Anda di halaman 1dari 342

WANITA GAGAH PERKASA

(GIOK LO SAT)

Ebook gratis http://ebukita.wordpress.com
PENGANTAR

Buku ini adalah cetak ulang dari hasil kerja Oey Kim Tiang yang dulu diter
bitkan di sekitar tahun 1959 oleh Bagian Penerbitan Keng Po di Jakarta. Sesudah
45 tahun, barulah buku cerita silat yang sangat memikat ini dapat diterbitkan ke
mbali dengan seizin (ahli waris) penutur aslinya.
Giok Lo Sat dan Pek Hoat Mo Lie mengisahkan lika-liku kehidupan Lian Nie S
iang, seorang pendekar wanita yang bergelar Giok Lo Sat atau Rasaksi Cantik (ole
h OKT diterjemahkan dengan Wanita Gagah Berani), ia adalah seorang luar biasa pa
da masa ahala Beng mendekati keruntuhannya di perempat pertama dan kedua abad ke
17. Ia luar biasa karena ilmu silat yang dikuasainya sangat tinggi, tetapi juga
karena tingkah lakunya yang amat bebas (modern, sebenarnya). Di masa ketika wan
ita kebanyakan tidak pernah melangkah keluar dari pekarangan rumah, maka Lian Ni
e Siang menjadi kepala begal dan menentukan nasibnya sendiri, tanpa bantuan oran
g lain. Ia benar-benar cerminan wanita modern masa kini, di masyarakat industri,
yang mengakui kesetaraan antara pria dan wanita...
Kisah bagian pertama berakhir pada salah satu titik balik kehidupan Giok L
o Sat. Peristiwa penyerbuan markasnya di Beng Goat Kiap yang mengakibatkan ia ha
rus hengkang dari sana merubah arah hidupnya. Ia terpaksa harus kembali menjadi
wanita biasa yang membutuhkan dampingan laki-laki agar ia paripurna sebagai wani
ta. Lanjutan itu dikisahkan dalam bagian kedua, yang sayangnya berujung pada kek
ecewaan, yang membuat tokoh kita dalam semalam rambutnya berubah menjadi putih s
emua. Karena inilah ia memperoleh julukan barunya, Pek Hoat Mo Lie, atau Hantu W
anita Berambut Putih.
Entah mengapa OKT memisah cerita silat ini menjadi dua judul, yaitu Giok L
o Sat untuk bagian pertama yang terdiri dari 7 jilid dan Pek Hoat Mo Lie untuk b
agian kedua yang terdiri hanya 3 jilid. Padahal seharusnya cerita ini satu kesat
uan dengan judul Pek Hoat Mo Lie {Baifa Monu). Kami berpendapat bahwa kedua buku
itu tidak terpisahkan, maka kedua judul ini kami satukan kembali dalam penerbit
an ulang ini.
Kisah ini merupakan bagian dari rangkaian cerita Thian San yang amat panja
ng. Dalam urutan penulisan, Pek Hoat Mo Lie adalah nomor dua sesudah Tjhit Kiam
Hee Thian San (QijianXia Tiansan), walaupun dalam keseluruhan siklus Thian San m
enduduki nomor enam yaitu di antara Khong Ling Kiam (Guang Ling Jian) dan Tjhauw
Goan Eng Hiong (Sai Wai QiXia Zhuari). Episode ini menjadi sangat penting karen
a dalam kisah inilah dipaparkan para cikal-bakal tokoh-tokoh Thian San (Gunung L
angit) yang nantinya akan mencapai klimaksnya di Tjhit Kiam Hee Thian San (Tujuh
Pedang di bawah Gunung Langit) yang legendaris itu.
Dalam buku inilah tokoh-tokoh tua yang berdiam di Gunung Langit itu diperi
kan masa mudanya dan pertautan nasib dia antara mereka. Gak Beng Kie (Ye Mingji)
, yang kemudian bergelar Hoei Beng Siansoe (Feiming Xianzi atau Begawan Cahaya B
erkilauan) adalah pendiri Thian San Pay atau Persaudaraan Gunung Langit. Lian Ni
e Siang sendiri juga bertapa di Gunung Langit ini, disusul oleh To It Hang yang
bekas Ketua Bu Tong Pay (Wudangbai). Ketiga tokoh inilah yang nantinya akan menu
runkan rangkaian pendekar yang mengisi sebutan Thian San Tjhit Kiam (Tujuh Pedan
g dari Gunung Langit).
Nasib perorangan yang berbenturan dengan peristiwa-peristiwa besar dalam s
ejarah terjalin dengan sangat pas, seakan tokoh-tokoh itu benar-benar pernah ada
. Arah kehidupan nasib tokoh-tokohnya tak bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan
sosial yang menghempas mereka sebagai manusia biasa. Banyak pembaca yang memper
oleh anggapan bahwa tokoh cerita ini memang pernah ada dan peristiwa sejarah mem
ang terjadi seperti dikisahkan disini. Jika Anda membaca sampai baris ini, sanga
t mungkin Anda akan menjadi salah satu dari mereka yang terbius, terbuai oleh ke
piawaian cerita ini.


I

Pada suatu hari di bulan sembilan dalam musim rontok ketika di jalan pegun
ungan Taypa san di perbatasan kedua propinsi Soetjoan dan Siamsay tampak bererot
jalan serombongan kereta tengah menuju ke arah barat. Orang yang jalan terdepan
adalah satu penunggang kuda yang dandan sebagai satu boesoe, seorang yang menge
rti ilmu silat.
Dalam sebuah kereta keledai, di tengah-tengah rombongan itu ada berduduk s
eorang tua umur kira-kira enam puluh tahun, dandanannya sebagai seorang bekas pe
mbesar negeri, sikapnya agung. Sebagai pakaian luarnya adalah selembar mantel.
Satu penunggang kuda mendampingi kendaraan orang tua ini. usianya masih mu
da, romannya cakap dan gagah, sedang sebilah pedang di pinggangnya saban-saban b
erbunyi sendirinya disebabkan goncangan kudanya yang tinggi dan besar itu.
Orang tua di dalam kendaraan itu bernama To Tiong Liam, bekas tjongtok (gu
bernur jenderal), dari kedua propinsi Inlam Kwesay.
Baru saja dia meletakkan jabatannya. Dia dapat dikatakan tepat juga dengan
namanya (Liam sederhana), sebab walaupun berpangkat besar tetapi dia tidak rakus
, cocok dengan pepatah: "Sam lian tjeng tiehoe, Sipban soat hoa gin" atau "Tiga
tahun menjadi residen yang putih bersih, hartanya toh sepuluh laksa tail perak p
utih bagaikan salju". Memang, sebagai tjongtok dia tidak usah serakah atau rakus
, dengan hasilnya dari uang komisi dan hadiah dari pelbagai sebawahannya saja su
dah tidak sedikit. Maka itu. untuk pulang ke kampung halamannya sekarang, dia mi
nta bantuannya beberapa piauvvsoe atau pelindung, untuk melindungi padanya di se
panjangjalan.
Melainkan pemuda di dampingnya itu, yang romannya cakap dan gagah bukanlah
salah satu piauwsoe, dia ikut mengiringnya karena suatu sebab lain.
Bekas tjongtok To Tiong 1am ini orang asal Siamsay Utara, dari keluarga be
rpangkat turun-temurun, tidak hartawan besar tapi dalam kecukupan, selalu dari t
urunan tunggal, seperti sekarang dia hanya mempunyai satu anak dan satu cucu. Pu
teranya itu, Kee Hian namanya, menjabat pangkat di kota raja sebagai Houwpou sie
long, ketua muda Departemen Pendapatan dan Penduduk. Sedang cucunya, yang bernam
a It Hang, mengikuti ayahnya berdiam di kota raja.
To It Hang sudah berumur delapan atau sembilan belas tahun, seorang pemuda
yang cerdik, dia sangat disayang oleh engkongnya. Maka itu, ketika Tiong Liam m
eletakkan jabatannya, ia telah tulis surat kepada puteranya. Kee Hian, minta sup
aya cucunya diantar pulang ke kampung halamannya. Di luar dugaannya, bukan cucun
ya yang datang tetapi seorang pemuda cakap dan beroman gagah yang menjenguk pada
nya.
Pemuda ini, yang perkenalkan diri sebagai Keng Tjiauw Liam, membawa serta
suratnya Kee Hian, yang menerangkan bahwa, karena It Hang sedang belajar keras u
ntuk menempuh ujian, tak dapat dia pulang. Dan tentang Tjiauw Lam ini, dalam sur
at itu diterangkan sebagai teman sekolahnya It Hang, dia mengerti ilmu silat, ke
betulan dia hendak pergi ke Siamsee, maka ia minta sang ayah ajak dia bersama.
Hanya mengenai Tjiauw Lam ini, Tiong Liam merasa aneh dan lucu. Tjiauw Lam
katanya belajar bersama It Hang, tetapi ketika ditanya ini dan itu yang berhubu
ngan sama ilmu sastera. pemuda ini lebih banyak menjawab "tak tahu". Maka ia ang
gap kalau satu sasterawan meyakinkan ilmu silat, pasti ilmu silatnya tidak sempu
rna, kedua-duanya akan menjadi kepalang tanggung. Tapi yang membuat ia heran dan
tidak mengerti ialah beberapa piauwsoe yang ia sewa itu, semuanya bersikap sang
at hormat kepada pemuda ini. Inilah yang ia sangat tak mengerti!
Ketika itu di tahun Banlek ke 43 dari kerajaan Beng, di timur utara, bangs
a Boantjiu telah membangun diri, sering mereka melanggar tanah perbatasan Tiongg
oan, sedang di lain pihak, Kaisar Sin Tjong sudah mengadakan pemungutan cukai be
rat yang dibebankan kepada rakyat tani, tidak perduli daerah barat utara itu tan
ahnya tandus dan rakyatnya melarat, hingga karenanya, di sana-sini telah muncul
rombongan-rombongan penyamun. Disebabkan itu pula To Tiong Liam telah pakai bebe
rapa piauwsoe di samping pengiring-pengiringnya sendiri, tetapi ia masih saja ta
k tenteram hatinya.
Hari itu baru saja rombongan ini melewati lamping pegunungan Padjoekwan, m
ereka telah dilombai dua penunggang kuda yang larinya pesat sekali. Menampak ked
ua penunggang kuda itu. air mukanya beberapa piauwsoe jadi berubah sendirinya!
Keng Tjiauw Lam majukan kudanya kepada si piauwsoe.
"Siapa mereka itu?" ia tanya.
"Itulah Seetjoan Siangsat!" sahut piauwsoe tertua.
"Oh, dua saudara Peng!" mengatakan Tjiauw Lam. "Mereka itu tersohor untuk
kekuatan tangannya yang dinamakan Tiatsee Tjiang, Tangan Pasir Besi, yang telah
dilatih untuk banyak tahun. Baiklah berhati-hati saja."
Pemuda ini segera putar kembali kudanya, tanpa ia menoleh lagi.
"Melihat gerak-geriknya, mereka agaknya tidak niat turun tangan," kata si
piauwsoe.
Tjiauw Lam bersenyum dan terus tahan kudanya.
Lekas sekali, kereta keledainya Tiong Liam telah datang mendekat.
"Aman, lootaydjin, tidak apa-apa." mengatakan pemuda ini dengan tawar kepa
da bekas tjongtok itu. "Yang barusan lewat hanyalah dua penjahat cilik yang tiad
a artinya."
Mereka jalan terus, sampai mereka dilombai pula oleh tiga penunggang kuda
lainnya, tetapi mereka ini berpalingpun tidak kepada kereta-kereta barang.
"Heran, ketiga totjoe dari Liongboen pang sampai keluar berbareng!" kata s
i piawsoe tua, agaknya dia heran sekali. "Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang
hebat dalam kalangan Rimba Persilatan?..."
Tampaknya piawsoe ini kenal baik orang-orang kaum kangouw.
"Perduli apa mereka dari kaum Rimba Hijau atau bukan!" kata Keng Tjiauw La
m dengan jumawa. "Jikalau mereka berani ganggu kita, tidak usah aku gunakan gega
manku yang biasa, dengan hanya panah peluru aku nanti bikin mereka seperti bunga
rontok atau air mengalir!"
Semua piauwsoe manggut-manggut, agaknya mereka mengiakan.
To Tiong Liam lihat orang sangat jumawa, tak puas hatinya.
"Kelihatannya anak muda ini terlalu kepala besar" pikirnya.
Rombongan kereta jalan terus ke baiat. Di waktu magrib mereka sudah mendek
ati Tjitpoankwan. jalan lamping gunung di luar kota Kiangleng. Lamping ini sempi
t sekali, pula yang paling berbahaya di perbatasan Soetjoan dan Siamsay. Sebab,
di belakangnya jalan ini menyender kepada gunung, di depannya berdampingan denga
n sungai yang gili-gilinya tinggi bagaikan tergantung, airnya mengalir deras seh
ingga muncrat-muncrat sendirinya, nampaknya seperti kabut saja.
Dengan waspada rombongan melalui jalan ini. Sekeluarnya dari mulut gunung,
mereka tampak di depannya kira-kira setengah lie jauhnya, satu penunggang kuda
sedang kasih jalan kudanya -- kuda putih -- dengan perlahan-lahan ke jurusan yan
g sama, nampaknya tenang sekali. Dia dapat tertampak tegas, karena pakaiannya se
rba putih seperti putihnya bulu kudanya.
"Pemuda di depan itu rupanya seperti satu anak sekolah." kata To Tiong Lia
m. "Dia jalan seorang diri tanpa kawan, apakah tidak berbahaya bagi dirinya? Mar
i kita susul dia untuk jalan bersama-sama."
Atas ajakan itu, Keng Tjiauw Lam menggoyang-goyangkan tangan.
Dapat dikatakan berbareng dengan penolakannya pemuda she Keng ini, dari be
lakangnya mereka dengar riuh suara derapnya kaki kuda disertai berisiknya kelene
ngan dari pelbagai binatang tunggangan itu, yang dalam sekejap saja telah kabur
melewati rombongan keretanya bekas tjongtok itu. Sama sekali mereka terdiri dari
tujuh penunggang kuda.
Pemuda serba putih di depan itu justeru berada dijalan yang sempit.
"Celakalah kalau dia tidak lekas-lekas minggir!" seru si piauwsoe tua, bah
na kagetnya.
Piauwsoe ini belum sempat tutup mulutnya, ketika itu dari arah depanpun mu
ncul belasan penunggang ke arah si pemuda serba putih itu. Dengan demikian pemud
a itu jadi terjepit dua rombongan dari kedua jurusan itu...
To Tiong Liam kaget hingga ia menjerit keras sekali.
Berbareng pemuda serba putih itupun perdengarkan suaranya, sambil berseru
dia larikan kudanya ke arah sungai, atas mana kuda itu kabur sambil terus berlom
pat melewati kali itu dan sampai di seberangnya dengan tidak kurang suatu apa! T
iong Liam ternganga dan akhirnya bernapas lega...
Kedua rombongan penunggang kuda itupun tidak bentrok satu dengan lain. Ked
uanya dengan cepat dan tangkas telah dapat tahan binatang tunggangannya masing-m
asing. Setelah itu, rombongan yang tadi lewati rerotan kereta segera memutar dir
i, hingga kedua rombongan itu sekarang menjurus berhadapan dengan rombongannya T
iong Liam, yang terus mendatangi semakin dekat.
Keng Tjiauw Lam majukan kudanya, untuk memapaki rombongan itu.
"Para hoohan, mohon kalian membagi jalan," ia minta sambil bersoja. (Hooha
n ialah "orang gagah").
Seorang berewokan yang rupanya menjadi kepala, mengawasi pemuda ini.
"Kau punyakan alasan apa untuk memohon jalan?" tanyanya dengan katak. "Har
tanya pembesar rakus, setiap orang dapat mengambilnya!"
"Tetapi harus kalian ketahui, dia ini bukannya pembesar rakus," Tjiauw Lam
kata.
"Untuk memohon jalan juga tidak sukar," kata satu penyamun lainnya. "Asal
kalian tinggalkan semua barang-barangmu!"
Kata-kata ini disusul dengan majunya beberapa penyamun ke arah kereta bara
ng-barang.
Keng Tjiauw Lam tidak banyak omong lagi, dengan sebat ia ambil busur pelur
u dari bebokongnya. akan di lain saat beberapa butir pelurunya sudah menyerang b
eberapa penyamun itu. yang berkaok kesakitan dan roboh, sebab tepat sekali merek
a terserang.
Si penyamun berewokan tertawa terbahak-bahak.
Masih Tjiauw Lam tidak sudi bicara, sebagai gantinya peluru, ia cabut seba
tang panah, dengan itu ia memanah patah sebatang bendera hitam di antara rombong
an penjahat itu.
Wajahnya si berewok lantas saja berubah, dia lompat maju. "Tahukah kau und
ang-undang dari kaum Rimba Hijau?" tegurnya.
Tjiauw Lam tidak jawab teguran itu. malah ia melepaskan pula beberapa pelu
ru beruntun ke arah pemimpin penyamun ini, hingga dia ini terpaksa mainkan golok
nya menangkis serangan peluru-peluru itu, yang dapat ditangkisnya terpental berh
amburan jatuh ke tanah semuanya.
Tjiauw Lam tidak hiraukan atau ia memang penasaran orang dapat tangkis sem
ua pelurunya, ia teruskan serangannya yang bertubi-tubi, hingga kali ini ia memb
uat repot kepada penyamun itu, yang menjadi keteter menghalau peluru-peluru yang
terus menerus menyerang padanya.
Dalam rombongan penyamun ada seorang yang alisnya gompiok dan mata gede. "
Jikalau kehormatan tidak dibalas, kita telah berlaku tidak hormat!" katanya deng
an suaranya yang keren sambil diapun turunkan busurnya, untuk balas menyerang. P
anahnya yang dinamakan "tjoayamtjian" atau "ular berkobar", biru tua warnanya.
Tjiauw Lam tangkis jatuh setiap panah berapi yang menuju ke arah tubuhnya,
tetapi ia tidak berdaya untuk panah yang menyambar ke kereta, maka ketika sebat
ang panah mengenai sebuah kantong, terdengarlah suara menghembus, lantas kantong
itu menyala, apinya lantas berkobar!
Dalam kantong ada uang perak, dengan terbakarnya itu, berhamburanlah uangn
ya! Akan tetapi, si berewok yang melihat itu telah menggeleng-geleng kepala, nam
paknya ia kecewa.
Masih Tjiauw Lam menyerang dengan pelurunya, ia telah gunakan ilmu memanah
"Pathong hongie", yaitu "Hujan angin di empat penjuru", maka salah satu pelurun
ya mengenai gelang-gelangan tangan kirinya si berewok itu hingga dia ini lompat
mundur. Tapi dia tidak gusar atau niat membalasnya, bahkan ia rangkap kedua tang
annya memberi hormat!
"Ilmu panah peluru Boetong pay benar-benar liehay!" katanya dengan nyaring
. "Kami telah keliru melihat, maafkanlah kami!"
Penyamun yang menggunakan panah api itu. yang telah lompat turun ke tanah,
kinipun lompat naik pula ke atas kudanya, iapun berkata dengan keras: "Tolong s
ampaikan ke hadapan Tjie Yang Tootiang, kami semua mengharap kesehatannya! Tolon
g sampaikan juga terima kasih kami, Hweeleng wan dan Poan San Houw, atas kebaika
n hatinya Tootiang dahulu yang tidak membinasakan kami
Sehabis mengucap demikian, dia perdengarkan satu seruan, atas mana kawan-k
awan-nya lantas menolongi mereka yang terluka untuk sama-sama berlalu...
Keng Tjiauw Lam kasih turun busurnya, ia dongak dan tertawa besar.
"Tuan, sungguh kau pandai sekali memanah!" tiba-tiba satu suara.
Orang she Keng ini terkejut, dia segera menoleh ke belakang dari mana suar
a itu datang. Dalam sedetik itu ia ternganga bahna herannya.
Entah kapan menyeberangnya dan datangnya, pemuda serba putih itu tahu-tahu
sudah berada di belakangnya.
"Kepandaian tidak berarti yang sebenarnya hanya memalukan saja," ia kata.
"Justeru kaulah yang liehay sekali!"
"Akupun tidak punyakan kepandaian, melulu mengandalkan kuda ini, yang tida
k terlalu mengecewakan, baru aku dapat lolos dari bahaya tabrakan," sahut pemuda
serba putih itu.
To Tiong Lam sementara itu telah awasi pemuda itu, yang tidak bawa barang-
barang apapun di bebokong kudanya, halus bicaranya seperti satu anak sekolah. Ti
ong Lam ketarik hati.
"Apakah tjiokhee sedang pesiar mencari kepandaian?" tanyanya.
(Tjiokhee artinya "tuan"). "Sekarang di jalan sangat tidak aman, maka untu
k lakukan suatu perjalanan jauh sungguh berbahaya..."
Pemuda serba putih itu menjura.
"Boanseng datang dari kota Yananhoe." berkata dia, yang membahasakan dirin
ya sebagai "yang muda" (boanseng). "Boanseng ingin sekali lekas-lekas pulang sam
pai di rumah. Bolehkah boanseng ketahui nama loope?" (Loope ialah "mamak". Itula
h panggilan untuk orang yang usianya lebih tua daripada orang tua seseorang). Sa
mbil tersenyum, To Tiong Liam beritahukan she dan namanya.
Pemuda itu agaknya jadi sibuk sekali. "Oh, kiranya To Lootaydjin dari sesa
ma kampung halaman!" katanya dengan cepat. "Maaf" lootaydjin, maaf!" Iapun seger
a perkenalkan diri sebagai Ong Tjiauw Hie.
"Boanseng lakukan perjalanan tanpa kawan," katanya pula, "maka itu boansen
g ingin minta perkenan untuk dapat berjalan di belakang rombongan lootaydjin, un
tuk dapatkan berkah perlindungan..."
Keng Tjiau Lam sudah lantas lirik pemuda ini.
Tiong Liam memang seorang yang murah hati. ia sudah lantas mengabulkan.
"Ada apa halangannya untuk jalan bersama?" katanya. "Tidak usah tjiokhee b
uat banyak pikiran."
Tjiauw Lam perdengarkan suara dingin ketika ia turut bicara: "Tuan adalah
satu mahasiswa tetapi tuan telah menunggang seekor kuda yang jempol sekali, sung
guh aku kagum terhadapmu!" demikian katanya.
"Inilah kuda turunan Khan Besar dari tanah barat," berkata pemuda ini deng
an suara halus. "Kuda ini aku berikan nama Yasaytjoe tetapi dia jinak sekali." (
Yasaytjoe berarti "singa malam").
Di wilayah Barat utara ada banyak kuda jempolan dan umumnya penduduk setem
pat pandai menunggang kuda, karena demikian Tiong Liam tidak curiga.
Selama Keng Tjiauw Lam layani penyamun, semua piauwsoe mengurung kereta-ke
retanya untuk melindungkannya, tadi mereka repot memadamkan api, akan tetapi set
elah bahaya lewat, mereka datang menghampiri dan turun dari kudanya untuk beri h
ormat pada Tjiauw Lam. malah piauwsoe kepala memberi hormatnya sambil tekuk sebe
lah kakinya separuh berlutut.
"Mataku sudah lamur." kata dia. "Telah aku duga bahwa Keng Enghiong seoran
g yang gagah, tetapi aku tak menyangkanya kau seorang anggauta dari Boetong pay
yang kenamaan. Keng Enghiong, aku hendak mohon kau hadiahkan kami sesuap nasi!"
Tiong Liam tidak mengerti akan ucapan piauwsoenya itu, herannya bertambah-
tambah terhadap pelindungnya ini.
Tjiauw Lam bersenyum, dengan kedua tangannya ia memimpin bangun.
"Sebenarnya aku tidak punya guna." katanya dengan merendah, "akan tetapi t
adi aku sudah kepalang tanggung, tidak nanti aku mundur setengah jalan. Harus ka
u ketahui, ikut sertaku ini bukan untuk popiauw (melindungkan angkutan barang se
bagai piauwsoe). aku hanya bekerja untuk sahabatku. Loopiauwtauw, jangan kuatir.
"
Tiong Liam pun dapat dengar perkataan itu, ia jadi semakin heran.
Bekas tjongtok ini pasti tidak ketahui bahwa pemuda she Keng itu bukannya
satu sasterawan atau mahasiswa tapi salah satu murid angkatan kedua (generasi ke
-2) dari Boetong pay.
Dalam kalangan ilmu silat, Siauwlim pay dan Boetong pay terhitung sebagai
gunung Taysan atau Paktauw, Bintang Utara, keduanya ternama besar dan tersohor.
Ketua Boetong pay. atau pemegang waris, adalah Tjie Yang Toodjin, yang liehay il
mu silatnya, yang bersama empat adik seperguruannya yakni Oey Yap Toodjin. Pek S
ek Toodjin, Ang In Toodjin dan Tjeng Soo Toodjin, adalah yang dikenal sebagai "B
oetong Ngoloo" -- Lima Tertua dari Boetong pay. Mereka mempunyai ratusan murid,
dan Keng Tjiauw Lam adalah murid kepala dari Pek Sek Toodjin. maka dapat dimenge
rti tentang kepandaiannya.
Dari rombongan pembegal, yang berewokan adalah Hoansanhouvv Tjioe Tong si
Harimau Gunung, dan yang matanya gede dan alis gompiok adalah Hweelengwan Tjoe P
oo Tjiang si Kera Api. dua penjahat besar di perbatasan Soetjoan dan Siamsay, te
tapi keduanya jeri terhadap pihak Boetong pay, maka itu tadi mereka sudah lantas
menyerah kalah.
Di kalangan Boetong pay ada dua larangan utama, yaitu pertama larangan men
jadi penjahat, dan kedua larangan untuk menjadi piauwsoe, karena inilah maka per
buatannya Keng Tjiauw Lam dapat dikatakan luar biasa. Ia tidak jadi piauwsoe tet
api ia melindungi piauw, atas nama sahabatnya seperti ia katakan tadi.
Piauwsoe itu jeri terhadap rombongan Hweelengwan, dia juga heran atas sika
pnya Keng Tjiauw Lam. dia sengaja mengucap demikian hanya untuk "ikat" jago Boet
ong ini supaya tetap turut mengiringnya.
To Tiong Liam di lain pihak baru sekarang ia insyaf Keng Tjiauvv Lam gagah
, hanya ia tidak mengerti mengapa cucunya bisa bersahabat kepada orang semacam i
ni. Ia menghaturkan terima kasih kepada pelindungnya ini.
Tjiauw Lam sangat gembira karena ia telah berhasil menunduki kawanan penya
mun, tapi terhadap Tiong Liam ia lantas bersikap sangat jumawa, ketika bekas tjo
ngtok itu menanyakan padanya hal perkenalannya dengan cucunya, ia menjawabnya de
ngan senantiasa mengegos, atau lawan tertawa.
Di samping itu. Ong Tjiauw Hie pemuda serba putih itu. sangat alim sekali,
baik terhadap Tiong Liam maupun terhadap Tjiauw Lam, ia bersikap sangat menghor
mat.
Dua hari sudah mereka berjalan bersama, Kiangleng telah dilalui. Selagi me
ndekati lamping Pengyangkwan, saban-saban mereka melihat orang-orang dengan ting
kah laku yang mencurigakan, jalannya selalu berombongan bertiga atau berlima, ba
ik dengan menunggang kuda atau dengan naik kereta keledai.
Si piauwsoe tua menjadi tidak enak hatinya. Ia tahu bahwa mereka itu adala
h pengintai-pengintai terhadap rombongannya. Syukur baginya, sampai sebegitu jau
h perjalanan dilalui dengan selamat.
Selewatnya Pengyangkwan, semua orang-orang yang mencurigakan itu tidak ter
tampak lagi.
Sesampainya di perhentian Tayantek, rombongan itu singgah untuk bermalam,
lega hatinya Tiong Liam. Ia telah pilih hotel yang terbesar.
"Besok selewatnya gunung Iengkoen san, jalan akan sudah rata!" katanya. Ar
tinya ialah, tidak lagi mereka jalan dijalan pegunungan.
Semua piauwsoe juga bernapas lega.
Keng Tjiauw Lam sebaliknya menganggap lain. Ia malah nampaknya gelisah, be
da sikapnya dengan hari-hari yang lalu.
Di dalam hotel tiba-tiba Ong Tjiauw Hie menjura pada Tiong Liam.
"Boanseng menghaturkan banyak-banyak terima kasih yang selama di perjalana
n, boanseng telah peroleh perlindungan," katanya dengan tegas. "Sama sekali boan
seng tidak berani dustakan lootaydjin. sebenarnya boanseng mempunyai satu musuh
yang liehay sekali, yang di sepanjang jalan telah menguntit aku. Bilamana malam
ini dapat dilewatkan dengan tidak kurang suatu apa. selanjutnya selamatlah aku.
Sebentar malam, kalau lootaydjin dapat dengar sesuatu, boanseng minta lootaydjin
jangan kuatir. Asal lootaydjin gantung tengloleng (tanglung) tjongtok dari lnla
m dan Kwietjioe, aku berani pastikan lootaydjin tidak akan terembet-rembet."
To Tiong Liam terkejut tak kepalang. Ia telah dipesan piauvvsoenya dengan
sangat, selama di tengah jalan supaya ia bawa sikap sebagai satu saudagar, janga
n sekali-kali ia perlihatkan lagak sebagai pembesar negeri, sebab umumnya kaum R
imba Hijau paling gemar membegal pembesar-pembesar pensiunan. Tetapi sekarang, O
ng Tjiauw Hie sudah minta sebaliknya daripada pesan piauwsoenya itu.
"Sebegitu jauh aku menyangka dia seorang mahasiswa, tak aku sangka dia jus
teru seorang kangouw," pikir bekas tjongtok ini. (Kangouw = "sungai telaga", yak
ni nama umum untuk segolongan orang kosen, termasuk kaum Boelim = Rimba Persilat
an, dan Lioklim = Rimba Hijau). "Dia bukan sanak ataupun pamili, maksud apa yang
dikandungnya terhadap diriku..."
Selagi orang tua ini ragu-ragu, Keng Tjiauw Lam dengan kedua biji matanya
berputar campur bicara.
"Sekarang ini, bersatu kita selamat, berpisah kita terancam!" katanya deng
an nyaring. "Tjiokhee, lootaydjin pasti turut saranmu ini. Untuk bicara terus te
rang bagi kepentingan kita bersama, mari kita bekerja sama dan bersatu hati, unt
uk menjaga diri dari angkara murka malam ini!"
Orang she Ong itu bersenyum manis.
"Itulah pasti." ia berikan janjinya. Sikapnya tetap tenang sekali.
Seorang diri Ong Tjiauw Hie ambil sebuah kamar berikut hoathia, ruang depa
n. Ia telah titahkan jongos atur sebuah hioto. meja sembahyang, berikut pedupaan
kayu cendana serta dua batang lilin besar, yang dinyalakan terang-terangan. Ia
juga minta dua poci arak wangi.
Pelana, berikut injakan kakinya, ia gabrukkan di sudut kamar.
"Silakan kalian semuanya sembunyi di kedua kamar samping itu," kata ia kem
udian pada Keng Tjiauw Lam dan para piauwsoe. "Kecuali aku panggil, jangan kalia
n lancang keluar!"
Tjiauw Lam semua undurkan diri dengan keheran-heranan. Walaupun mereka lua
s pengetahuan, mereka tak dapat terka maksudnya pemuda serba putih ini. Merekapu
n tidak tahu pemuda itu sebenarnya orang macam apa.
Malam itu kebetulan angin menderu-deru, tapi bintang-bintang tampak bertab
uran di langit. Selagi malam berlarut, jagat lantas menjadi sepi. Ong Tjiauw Hie
duduk seorang diri di ruang hoathia itu, matanya mengawasi keluar, tubuhnya tid
ak bergerak. TiongLiam dan lain-lainnya tidak berani tidur.
"Mungkinkah dia akan duduk bercokol demikian rupa terus sampai terang tana
h?" kata si piauwsoe tua dalam herannya.
"Hus, diam!" tiba-tiba Keng Tjiauw Lam berbisik. "Ada orang datang!"
Baru sekarang Ong Tjiauw Hie gerakkan tangannya, sedang tubuhnya tetap dia
m tak bergerak. Ia angkat sebuah poci arak. "Tuan-tuan telah datang dari tempat
jauh, maaf, maafkan aku yang telah tidak menyambut sebagaimana layaknya!" terden
gar suaranya yang nyaring.
Dari pintu luar segera muncul empat orang, yang semua berperawakan besar,
terutama yang maju di muka, sepasang matanya mencilak, sikapnya sebagai juga di
situ tidak ada orang lain.
"Sahabat, jangan rewel, mari turut kami!" berkata dia.
Ong Tjiauw Hie menyambutnya sambil tertawa.
"Untuk apakah?" sahutnya dengan sabar.
Muram wajahnya orang tadi, hampir dia berseru ketika tampak tengloleng bek
as tjongtok dari Inlam dan Soetjoan tergantung di kamar samping. Dia kaget.
"Sebenarnya apa yang kau sedang kerjakan?" tanyanya. "Bukankah kau..."
"Aku sedang lindungkan piauw!" Tjiauw Hie memotong. "Tuan-tuan, aku mohon
sukalah kalian memandang padaku, yang baru pertama kali ini bekerja, jangan kau
bikin pecah mangkok nasiku... Jikalau kalian hendak pergi cari untung, pergilah
ke lain tempat..."
"Hm!" orang itu berseru, terus dia kata: "Kausalah lihat!"
Kata-kata itu disusul dengan gerakan tubuhnya ke arah kamar samping.
To Tiong Liam sedang mengintai, ia lihat empat orang itu.
"Dia toh Kimiewie dari kota raya?" serunya tak disengaja.
Kimiewie, Barisan Baju Sulam, adalah suatu organisasi istimewa dari pemeri
ntah, orang yang menjadi kepala, touwtjiehoei, adalah Tjio Ho. To Tiong Liam ken
al kepala Kimiewie itu ketika ia masih menjabat pangkat, pernah kepala itu datan
g padanya untuk menawan satu pembesar tinggi yang dianggap bersalah, untuk dibaw
a ke kota raja. Sekarang tiba-tiba touwtjiehoei Tjio Ho muncul di sini.
Baru Tjio Ho mendekati pintu kamar, atau Tjiauw Lam sudah lompat keluar sa
mbil angkat tangannya menghalaunya.
"Siapa kau?" bentaknya. "Kau berani bikin kaget lootaydjin?"
Dua tubuh, atau lebih benar dua tangan, bentrok dengan keras, dengan kesud
ahan kedua-duanya terhuyung mundur sendirinya.
Tiong Liam segera menampakkan diri.
"Tjio Tjiehoei, pietjit di sini!" bekas tjongtok ini perkenalkan diri. Ia
menggunakan kata-kata "pietjit" yang rendah untuk bahasakan dirinya. "Apakah Sri B
aginda menitahkan memanggil pietjit?"
Di jaman Beng, memang biasa raya memperlakukan bengis pada menteri-menteri
nya, untuk perkara yang sangat kecilpun orang bisa dicekuk Kimiewie, untuk dihu
kum siksa hingga binasa. Tiong Liam baru meletakan jabatan, maka ia kuatir ditan
gkap raja, karenanya, suaranya agak menggetar.
Tjio Ho lantas awasi bekas tjongtok itu. iapun masih ingat.
"Ah benar-benar To Lootaydjin di sini," katanya kemudian. "Hamba hendak ta
wan orang jahat, di sini hamba berlaku kurang ajar, harap lootaydjin suka member
i maaf." Tapi ia tertawa dan terus menambahkan: "Sri Baginda senantiasa ingat lo
otaydjin, sehingga ia mengatakan bahwa lootaydjin adalah satu pembesar yang baik
..."
Mendengar itu, lega juga hatinya Tiong Liam. Lantas ia memberi hormat.
"Silakan duduk! Mari minum!" ia mengundang.
"Lootaydjin begini sungkan, tidak dapat hamba menerimanya," berkata Tjio H
o. "Hamba sedang diberi tugas oleh Sri Baginda, tidak berani hamba berdiam lama
di sini, harap lootaydjin maafkan."
Segera dia ajak tiga anggauta Kimiewie kawannya itu mengundurkan diri. Sel
agi lewat di depan Tjiauw Lam dan Tjiauw Hie. dia melirik kepada kedua pemuda it
u. Tiba-tiba dia tertawa.
"Lootaydjin, sungguh hebat kedua piauwsoemu ini!" katanya.
Tetapi Tiong Liam diam saja.
Keng Tjiauw Lam melihat ke bawah, ia dapatkan tapak kaki dalamnya setengah
dim di lantai, ia tertawa dingin.
"Budak-budak itu gemar sekali mempertontonkan Iweekangnya, tetapi mereka m
asih tidak dapat lawan saudara she Ong ini. yang tidak banyak lagak seperti koso
ng tiada berkepandaian!" katanya secara mengejek. (Iweekang adalah ilmu "dalam",
pokok dasarnya lemas).
Dengan tiba-tiba terdengar suara kesusu dari Tiong Liam di dalam kamar:
"Keng Hiantit, mari! Mari lekas!"
Dengan tindakan pesat anak muda itu taati panggilan itu.
Bekas tjongtok ini adalah seorang ulung dalam kalangannya, setelah hatinya
tenteram, dia segera dapat berpikir. Lantas dia menduga jelek terhadap Ong Tjia
uw Hie, sekarang ia menyangkanya, bahwa pemuda serba putih ini adalah satu penja
hat yang sedang dicari pahlawan-pahlawan Kimiewie itu. Dia anggap dirinya sudah
digunakan sebagai tameng oleh pemuda itu. Hal ini membuat ia berkuatir sekali Ap
abila hal ini diketahui raja mungkin ia akan dipandang berdosa sampai kepada sel
uruh keluarganya. Karenanya, ia segera teriaki Tjiauw Lam. untuk mengutarakan du
gaan dan kekuatirannya itu.
Tjiauw Lam tertawa dingin.
"Hal ini siang-siang aku telah dapat melihatnya," katanya.
Tiong Liam masih hendak bicara tetapi Tjiauw Lam sudah mendahului keluar.
Di hoathia. sepasang lilin besar masih menyala menggenclang. Di situ Ong T
jiauw Hie masih berduduk seorang diri, akan tetapi sekarang ia sedang tenggak ar
aknya dengan cawan yang besar. Ia menenggak dengan bernapsu.
Tjiauw Lam datang menghampiri, wajahnya muram.
"Hiantee, kau benar-benar seorang kangouw ulung, aku sangat kagum!!" kata
orang she Keng ini sambil berulang-ulang perdengarkan suara "Hm! Hm!"
"Jangan gusar, saudara Keng." sahut Tjiauw Hie dengan tenang. "Aku lakukan
ini karena terpaksa..."
Sepasang matanya Tjiauw Lam berputar, sekonyong-konyong tangan kanannya me
njambak, sambil berbuat demikian, ia membentak: "Nyalimu besar sekali sudah bera
ni permainkan orang Boetong pay!"
Tjiauw Hie egos turun pundaknya yang hendak dijambak itu, tapi Tjiauw Lam
segera susul dengan tonjokan tangan kiri ke arah dadanya.
Tjiauw Hie bersenyum, ia mengkeratkan dadanya dan mengelak ke samping hing
ga jotosan lewat di sisinya. Karena ia tidak mengangkat tubuh untuk berbangkit,
maka ia masih tetap bercokol di atas kursi, sikapnya pun sebagai tidak terjadi s
esuatu.
Tjiauw Lam heran berbareng penasaran sekali, ia menyerang pula, tangan kir
inya menjambak, dan tangan kanannya menotok. Inilah serangan yang merupakan sala
h satu dari tiga puluh enam jurus dari Taykimna tjhioe, Tangan Menawan, dari Boe
tong pay.
Ong Tjiauw Hie sedang duduk bercokol, nampaknya sukar untuk ia dapat bebas
kan diri dari serangan hebat itu, akan tetapi kesudahannya adalah di luar sangka
annya murid dari Pek Sek Toodjin itu.
Sebat luar biasa, dari samping Tjiauw Hie bentur tangan kiri penyerangnya,
hingga ia lolos dari cengkeraman, berbareng pula tangan kanannya menolak sikut
kanannya penyerang itu. hingga kembali ia luput dari bahaya. Hanya kali ini ia t
erus berseru: "Saudara Keng, tahan dahulu! Lihat, musuh tangguh sudah datang! Ka
lau bersatu kita selamat, berpisah kita celaka!"
Tjiauw Lam tidak ulangi serangannya walaupun hatinya sangat penasaran. Ia
sudah lantas dengar suara apa-apa dari kejauhan, hingga wajahnya menjadi berubah
.
Ong Tjiauw Hie tertawa.
"Kali ini yang datang adalah penjahat sejati!" katanya. "Buat omong terus
terang, ke lima rombongan penjahat yang paling liehay dari wilayah perbatasan So
etjoan Siamsay. malam ini datang semuanya!"
Keng Tjiauw Lam menjadi sangat gusar.
"To Taydjin tidak membawa banyak uang, mengapa kau main gila secara demiki
an ini, kau bersandiwara di dalam untuk sambut yang di luar?" ia menegur.
Masih Tjiauw Hie tertawa.
"Kau sangka aku menjadi cecolok di sebelah dalam?" dia tegaskan.
"Kau keliru! Sasaran mereka itu adalah aku, bukan taydjinmu itu! Namun mer
eka akan sekalian mengulur tangan untuk menuntun kambing, yaitu setelah merampas
aku, mereka akan rampas juga pihakmu!"
Tjiauw Lam semakin dibikin terbenam dalam keragu-raguan.
"Pundakmu tidak menggendol, tanganmu kosong kiri kanan, apa yang hendak di
rampasnya darimu?" pikirnya.
Tjiauw Hie tidak berikan orang kesempatan untuk melamun, "lekas mundur ke
dalam kamar!" serunya, dengan sungguh-sungguh. "Lekas singkirkan tengloleng kepa
ngkatan itu! Mungkin bencana tidak merembet kepadamu..."
Tjiauw Lam masih agak sangsi, hingga ia berdiri diam saja.
Tjiauw Hie lompat bangun akan membisikkan piauwsoe istimewa itu.
Baru sekarang orang she Keng itu angguk-anggukkan kepala dan. lantas undur
kan diri.
Suara berisik tadi datang semakin dekat.
Tjiauw Hie pergi kepintu untuk dipentangkan lebar-lebar, menyusul kemudian
belasan orang merubut masuk, perawakan mereka ada yang jangkung dan cebol tidak
berketentuan.
Kong Tjiauw lam lihat, di antara mereka itu terdapat ketiga totjoe. ketua
dari Liongboen pang, partai dari Pintu Naga (Liongboen).
Melihat mereka itu, mukanya si piauwsoe tua menjadi pucat pias.
"Celaka kali ini..." katanya dengan perlahan pada Tjiauw Lam"Telah datang
tiga rombongan penjahat yang paling liehay. Di samping dari Liongboen Samtotjoe
itu, datang juga Poeisie Hengtee dari Hekhouw gjam dari Taypa san dan Beksie Sam
hiong dari Tengkoen san."
Poeisie Hengtee adalah dua saudara she Poei dan Beksie Samhiong tiga jago
she Bek.
"Masih ada dua rombongan yang belum sampai," Tjiauw Lam kasih tahu. "Kau t
unggu saja!"
Di antara belasan orang yang baru muncul itu. tampak berdiri di tengah Loo
toa Bek Hong Tjoen. tertua dari Beksie Samhiong dari gunung Tengkoen san. Matany
a mencilak memain, lantas dia tertawa terbahak-bahak. Dia awasi Tjiauw Hie denga
n tajam.
"Benar kau seorang cerdik!" katanya. "Di mana kau simpan barang-barang per
matamu? Apakah kau tidak mau lekas-lekas mengeluarkan-nya? Apakah kau campurkan
dengan barang-barangnya si pembesar anjing?"
Ong Tjiauw Hie sedikitpun tidak menjadi takut, malah ia perdengarkan suara
nyaring.
"Bek Lootoa. kau seorang kangouw ulung, mustahil kau masih tidak dapat mel
ihatnya?" katanya. Inilah teguran yang berupa ejekan. " Sudah lama aku dengar na
mamu yang besar, tak kusangka, kau kiranya begini saja! Belum kau gerakkan tanga
n, kau sudah kalah satu gebrakan!"
Kata-kata ini disusul dengan tertawanya gelak-gelak Tie Keng Hiong, tjongt
otjoe atau ketua dari Liongboen pang tertawa besar, dia perlihatkan jempolnya.
"Saudara, kau cerdik sekali!" katanya. "Sekarang cobalah kau keluarkan unt
uk kami semua menambah pengalaman, supaya selanjutnya kita bisa ikat tali persah
abatan !*'
Ong Tjiauw Hie, yang tadi sudah duduk kembali lalu berbangkit dengan perla
han-lahan, dan dengan tindakan yang tenang ia menghampiri pelananya yang tadi di
gabrukkan di sudut kamar, la angkat dan bawa pelananya itu, ditaruh di atas meja
hioto. Enteng tampaknya ia angkat pelananya itu, akan tetapi waktu mengenai mej
a, pelana itu perdengarkan satu suara bentrokan berat.
Dengan mulut bungkam pemuda ini cabut pedangnya, dengan apa ia potong kuli
t pelananya itu. Pelana yang hitam dan tadinya tidak menarik perhatian itu seger
a memperlihatkan isinya yang bercahaya gemerlapan, ialah lempengan emas yang dit
abur dengan belasan mutiara besar, hingga sinarnya menyilaukan mata.
Tiga saudara Bek saling mengawasi dengan ternganga.
Orang Rimba Hijau yang ulung pandai sekait menaksir berat atau banyaknya i
si buntalan orang pelancongan, taksirannya jarang gagal. Demikian ke lima rombon
gan jago-jago dari perbatasan Soetjoan Siamsay ini. Sudah berhari-hari mereka me
masang mata terhadap Ong Tjiauw Hie. mereka menduganya dia bawa barang berharga,
tetapi mereka belum dapat menerkanya di mana ditaruh atau disimpannya harta bes
ar itu. Baru sekarang mereka kecele menyaksikan harta itu hanya diumpetkan di da
lam pelana!
Ong Tjiauw Hie tertawa, ia angkat injakan kaki pelananya itu.
"Semua sesama orang sendiri," katanya dengan tegas, "karena aku tak punyak
an lain barang untuk dihaturkannya, aku serahkan saja injakan kaki ini untuk sau
dara-saudara. Aku minta supaya barang ini dipandang sebagai bingkisan yang tidak
berarti."
Semua jago Rimba Hijau itu saling mengawasi.
"Kau cerdik, kami menyerah kalah!" kata Bek Hong Tjoen dengan suara yang d
alam. Ia tidak sambutkan injakan kaki itu, ia hanya putar tubuhnya dan pergi.
Keng Tjiauw Lam di dalam kamar saksikan kejadian itu, bukan main lega hati
nya. Saat hebat telah lewat.
Bek Hong Tjoen baru hendak melangkah di ambang pintu, atau dari luar terde
ngar suara tertawa hihi-hihi. menyusul berkelebat menerobos masuknya seorang. Se
telah berada di dalam thia. orang lihat dia adalah seorang tua kate dan gemuk, s
ambil mengepulkan asap hoentjweenya.
"Ha, bagus sekali!" katanya tiba-tiba. "Tidak menunggui aku lagi. kalian s
udah membagi-bagi harta!"
"Siauw Toako, kita telah jatuh pamor!" kata Bek Hong Tjoen.
"Hm! siapa yang jatuh?" kata orang tua kate terokmok itu. "Dari siang-sian
g aku telah dapat melihatnya, dalam pelananya itu ada hantunya! Semua pembicaraa
nmu aku telah dapat dengar, tetapi aku bukannya satu pengemis! Aku tidak mau ora
ng mengamatnya kepadaku hanya dengan injakan kaki saja!..."
Tjiauw Lam belum pernah bertemu si kate ini, akan tetapi dengan melihat pe
rawakan dan gerak-geriknya orang, tahulah ia bahwa orang ini Siauw Soan Yang. be
gal tunggal di Siamsay Selatan, yang biasa bekerja seorang diri saja. Iapun tahu
bahwa hoentjweenya itu pipa panjang sebenarnya adalah penganggan-nya yang dapat
digunakan sebagai alat penotok jalan darah berbareng sebagai pedang Ngoheng kia
m. Ia hanya tidak sangka, orang yang kenamaan ini kelakuannya demikian rendah.
Ong Tjiauw Hie bersenyum, agaknya ia tak jeri terhadap si kate ini.
"Siauw Lootiatjoe." katanya, "kau seorang dari angkatan tua. jikalau injak
an kakiku ini dipersembahkan kepadamu memang tidak ada artinya, akan tetapi di s
ini ada seorang sahabatku, dia tidak menyetujuinya."
"Siapakah sahabatmu itu?" Soan Yang tanya. "Silakan dia keluar..."
Belum habis ucapan itu dikeluarkan, dari dalam kamar sudah lompat keluar s
atu orang, siapa terus saja berkata: "Keng Tjiauw Lam murid Boetong pay memberi
hormat kepada semua tjianpwee!"
Kedua matanya Siauw Soan Yang berputar.
"Oh, kau murid Boetong pay?" katanya. "Mari kita ikat persahabatan!"
Ia angsurkan tangannya untuk berjabatan tetapi diam-diam ia kerahkan tiga
jarinya untuk menyerang dengan ilmu silat Hoenkin tjokoet hoat ialah ilmu "Memec
ah urat membagi tulang".
Keng Tjiauw Lam bisa duga serangan gelap itu ketika tangannya bentrok satu
dengan lain. ia elakkan diri dengan gunakan tipu silat "Samhoan togoat" atau "M
engalungi rembulan".
"Bagus!" seru Soan Yang sambil ia angkat tangan kirinya, akan tepuk pundak
kanan orang.
Tjiauw Lam kumpul tenaga di kedua lengan, yang ia rangkap satu dengan lain
, lalu ia egos pundaknya dengan gerakan "Giehoc seebong" atau "Nelayan menjemur
jala". Secara demikian, ia luput pula dari ancaman bahaya.
"Ha-ha-ha-ha!" Soan Yang tertawa. "Benar-benar murid Boetong pay!"
Kemenangannya Tjiauw Lam ini berkat kecerdikannya, pula karena pamor parta
inya. Mengenai ilmu silat, ia masih kalah dari Siauw Soan Yang, akan tetapi bega
l tunggal ini telah dipengaruhi nama partai itu. Boetong pay tersohor sekali dan
dimalui.
Akan tetapi Soan Yang masih penasaran.
"Kenapa tjiokhee campur air keruh ini?" tanyanya kemudian.
"Siapa kata air keruh?" kata Tjiauw Lam. "Kita adalah sesama golongan. Ema
s adalah perkara kecil tetapi nama Boetong pay tak dapat dijatuhkan di sini."
Soan Yang tertawa secara tawar.
"Murid-murid Boetong tidak pernah menjadi piauwsoe. mereka tidak pernah me
njadi penjahat, kenapa kau dan dia bisa menjadi dari satu golongan?" dia tanya p
ula.
"Bukankah urusan kangouw setiap orang berhak mengurusnya?" Tjiauw Lam bali
k tanya. "Kau hendak membegal karena andalkan jumlah yang jauh lebih banyak, mak
a aku yang telah melihatnya tidak dapat membiarkannya!"
Masih begal tunggal dari Siamsay itu tertawa.
"Adakah perbuatanmu ini karena suruhan gurumu?" dia tanya tegas-tegas. "Da
n mengapa dia hanya utus kau seorang?"
"Untuk membela keadilan, mengapa mesti tunggu titah guru?"
Baru Tjiauw Lam mengucap demikian, ia lihat lirikannya Tjiauw Hie, ia lant
as sadar dengan tiba-tiba. maka lekas-lekas ia menambahkan: "Sekarang ini angkat
an kedua dan Boetong pay sedang berkumpul di Siamsay, rombongan itu memang ada n
iatan untuk membuat pertemuan dengan orang-orang Rimba Persilatan sebangsamu yan
g kenamaan."
Soan Yang terperanjat. Ia baru saja dapat pikir, kalau orang Boetong pay i
ni tidak mempunyai lain kawan separtai, ia hendak mengerjakannya, dan mayatnya d
isingkirkan untuk melenyapkan bekas, tetapi sekarang mendengar pihak Boetong itu
sedang berapat, ia menjadi jeri. la menduganya pihak itu tentulah berjumlah ban
yak. Maka walau nyalinya besar, ia tidak berani bentrok murid-murid Boetong pay
itu.
"Jangan gusar, tjiokhee," katanya setelah sedot hoentjweenya dan tertawa.
"Karena dia sahabatmu, mustahil kami tidak ingat kepada persahabatan?"
Mendengar demikian, lega hatinya Tjiauw Lam hingga tanpa merasa ia menyeka
jidatnya yang telah mengeluarkan keringat. Dua kali ia telah berhasil elakkan d
iri dari serangan Soan Yang, ia insyaf, bahwa ia bukannya tandingan begal tungga
l itu. Iapun mengerti, begal ini telah dapat digertak olehnya, yang mengatakan h
al berapatnya murid-murid Boetong pay angkatan kedua. Keterangannya ini bukan ti
dak benar anteronya. Rapat memang tidak ada, akan tetapi Tjie Yang Toodjin telah
utus empat muridnya ke Siamsay untuk suatu tugas, melainkan di antara ia dan em
pat saudara seperguruannya itu tidak ada hubungannya.
Siauw Soan Yang lihat orang menyeka keringat, mendadak hatinya tergerak, k
arenanya ia terus berdiri tegak, kedua matanya mengawasi dengan sinarnya yang ta
jam.
"Inilah hebat..." Ong Tjiauw Hie mengeluh dalam hatinya.
Sekonyong-konyong Soan Yang tertawa sambil melenggak, lalu terdengar suara
nya yang nyaring tegas: "Kwie Toako, bagus kau telah datang! Bagaimana pendengar
anmu, bocah ini sedang berdusta atau tidak?"
Pertanyaan itu disambut dengan berkelebatnya satu bayangan hitam dari luar
melesat kedalam. Sehingga tertampak seseorang tua dengan muka merah, tubuhnya
tinggi dan besar. Lantas orang ini tertawa gelak-gelak.
"Memang Boetong pay telah kirim empat muridnya tetapi mereka semua telah o
rang dapat bekuk!" katanya dengan suara dahsyat. "Lain orang berani bentur Boeto
ng pay, mengapa kita tidak? Bocah ini berada sendirian di sini, mari kita hajar
mampus padanya, mayatnya kita lemparkan ketegalan untuk dikasihkan srigala berpe
sta! Bila Boetong Ngoloo datang kemari mencari padanya, perhitungan ini tidak me
ngenai kita, sudah ada orangnya yang akan jadi sasaranya!"
Hatinya Keng Tjiauw Lam goncang dan berkuatir. Ia menduga pasti bahwa oran
g tua muka merah ini tentu Engdjiauw Ong Kwie Yoe Tjiang si Raja Kuku Garuda, sa
tu begal tunggal pula yang kenamaan di Soetjoan Timur. Ia heran bagaimana orang
ini dapat ketahui pihaknya hanya kirim empat orang. Ia lebih heran lagi, orang i
ni ketahui juga ke empat saudara seperguruan itu telah ditawan lain orang. Siapa
kah pihak penawan itu?
Pun Siauw Soan Yang turut heran juga.
"Kwie Toako, tunggu dulu!" ia berkata "Apakah kau artikan si Iblis Wanita
ini telah turun tangan? Di sini toh bukan wilayah yang masuk lingkungan pengaruh
nya?"
Kwie Yoe Tjiang pandang sahabat itu.
"Hai, mengapa nyalimu demikian kecil?" kata dia. "Kita kaum Rimba Hijau da
ri perbatasan Soetjoan Siamsay, tak dapat membiarkan diri kita ditindih oleh sat
u bocah cilik wanita!"
Sambil mengucap demikian, begal tunggal inipun berbareng sudah lantas beke
rja. Dengan bergerak pundaknya, tangannya yang besar dan lebar seumpama payung s
udah menyambar ke arah Keng Tjiauw Lam.
Murid Boetong pay itu kaget sekali, terutama karena ia tampak, telapakan t
angannya orang she Kwie itu bersinar merah bagaikan nyalanya arang. la tidak ber
ani menyambutinya, maka ia hanya berkelit dengan segera. Tapi di samping itu ia
tidak mau menyerah dengan begitu saja, kaki kanannya telah diterbangkan ke arah
jalan darah "peksiehiat" didengkul orang tua itu.
Kwie Yoe Tjiang tertawa dingin. Cepat ia geser kakinya, lalu terus dimajuk
an kembali untuk berlompat menerjang, lima jari tangan kanannya menyambar kaki p
enendang yang sedang ditarik pulang itu.
Tjiauw Lam tampak ancaman bahaya, ia berlaku sebat menarik pulang kakinya
itu. Akan tetapi Engdjiauw Ong segera rangsek padanya, hingga ia mesti mundur be
rulang-ulang. Ia lantas jadi mendongkol terhadap Ong Tjiauw Hie, yang ia lihat t
idak maju membantui padanya.
Kwie Yoe Tjiang mendesak terus. Terdengar nyata sambaran angin dari serang
annya yang bertubi-tubi itu, yang merepotkan sangat lawannya.
Tjiauw Lam telah didesak sampai di pojok tembok.
Di saat Engdjiauw Ong hendak turunkan tangan jahatnya yang berupa serangan
terakhir, mendadak ia dengar ucapannya Tjiauw Hie: "Kalian mengarah! pelanaku,
itulah tidak sulit! Akan tetapi pernahkah kalian menanyakannya kepada Giok LoSat
?"
Waktu itu bukan hanya Siauw Soan Yang seorang yang sedang desak Keng Tjiau
w Lam, juga Poeisie Hengtee dan Beksie Samhiong sudah maju mengurung untuk menja
ga orang loloskan diri, tetapi ketika mereka dengarsuaraitu, mereka menjadi kage
t malah Kwie Yoe Tjiang sudah lantas mencelat mundur.
"Apa? Giok Lo Sat si Wanita Raksasa katamu?" dia tegaskan sambil matanya m
engawasi. Ong Tjiauw Hie tidak gubris pertanyaan itu.
"Bagi orang-orang Rimba Hijau, dia boleh garong seribu rumah, tapi tidak r
ampas barang sumbangsih!" demikian dia kata, sikapnya tenang tetapi suaranya ker
as. "Ini adalah bingkisan orang untuk Giok Lo Sat! Apakah benar kalian hendak hi
tam gegares hitam?"
Wajahnya Siauw Soan Yang menjadi pucat sekali.
"Kwie Toako. tunggu dulu!" ia cegah kawannya.
Tapi Yoe Tjiang sudah lantas maju pula, maju sambil berlompat.
"He, bocah! Kau hendak gertak aku dengan namanya Giok Lo Sat?" kata dia de
ngan bengis karena murka
"Siapa gertak kau?" membaliki Tjiauw Hie, tetap tenang. Ia angkat pelanany
a untuk di balik, hingga di kulit belakangnya dari pelana itu kelihatan ukiran d
ari beberapa huruf, bunyinya:
"Dipersembahkan kepada Nona Lian Nie Siang."
"Ini toh bukannya ukiran yang baru saja aku buat?" dia menambahkan dengan
pertanyaannya.
Soan Yang segera tarik Yoe Tjiang ke samping.
"Kwie Toako. urusan ini kita harus percaya akan kebenarannya," kata begal
tunggal dari Siamsay Selatan itu. "Turut pendapatku baiklah bocah ini kita berik
an kebebasan."
Kwie Yoe Tjiang bersuara MHm, hm!" beberapa kali, lantas dia tunduk untuk
berpikir.
Ketiga saudara Bek dan ketigajago Liongboen pang datang mengerumuni. Tingg
al persaudaraan Poei, yang masih melakukan pengawasan.
Keng Tjiauw Lam heran, hingga ia berdiri terpaku.
"Siapa itu Giok Lo Sat?" ia menerka berulang-ulang. "Nama ini belum pernah
aku mendengarnya... Kenapa semua jago ini tampaknya ketakutan sangat?"
la masih menerka-nerkanya, tanpa hasil.
Baru lewat beberapa detik, terlihatlah Kwie Yoe Tjiang si begal tunggal da
ri Soetjoan Timur tiba-tiba angkat kepalanya, kedua matanya memperlihatkan sinar
tajam.
"Tidak perduli barang kepunyaan Giok Lo Sat, aku hendak merampasnya juga!"
kata ia separuh mengerutu.
Siauw Soan Yang berjingkrak.
"Toako. toako!..." katanya dengan suaranya tertahan-tahan.
"Hm!" bersuara pula begal she Kwie itu. dibarengkan sebelah tangannya diay
un, lalu: "Brak!" dan ujung meja hiotoh dihajar patah. Dia terus berseru dengan
sengitnya: "Dalam satu tahun ini sudah cukup banyak kita terima gangguannya boca
h perempuan itu, maka baiklah kita gunakan ketika ini untuk membebaskan diri dan
lawan padanya!"
Siauw Soan Yang mundur beberapa tindak.
Ini...ini..." katanya, suaranya menggetar.
"Kecewa namamu yang termasyur!" seru Kwie Yoe Tjiang pula. "Mengapa kau ke
takutan demikian rupa? Toh tentang keliehayannya kita hanya baru dengar dari cer
itanya orang, kita belum lihat dengan mata kepala sendiri! Hayo, siapa berani ma
ri turut aku! Sudah pasti aku hendak rampas pelananya bocah ini!"
Persaudaraan Bek dan jago-jago Liongboen pang berdiam saja. Tapi persaudar
aan Poei berikan jawabannya.
"Kita suka turut Kwie Toako!" demikian katanya.
Kwie Yoe Tjiang berpaling kepada Siauw Soan Yang. matanya bersinar.
"Baiklah!" kalanya, dengan kecele. "Persaudaraan kita selama beberapa pulu
h tahun nyata sia-sia belaka!..."
Soan Yang tertawa meringis
"Jikalau sudah pasti toako hendak turun tangan, baiklah aku turut." kata d
ia dengan sangat terpaksa.
Kwie Yoe Tjiang tertawa puas, lalu dengan tiba-tiba ia ulur sebelah tangan
nya, dengan melalui meja ia jambak Tjiauw Hie.
Pemuda she Ong itu berkelit dengan sebat
Dua saudara Poei. menerjang berbareng dari kiri kanan.
Tjiauw Hie memutar tubuh, lantas dia pentang kedua tangannya, dengan sikap
"Tjo yoe kay kiong" -- "Mementang busur ke kiri dan kanan". Dengan cara ini, ia
tangkis serangannya Poeisie Hengtee itu.
Kwie Yoe Tjiang maju. kembali ia menyerang dengan kedua jari tangannya dit
ujukan ke arah sepasang matanya Tjiauw Hie.
Dengan gerakan "Hong hong tiam tauw" --- "Burung hong menggoyang kepala",
pemuda ini mencelat ke samping, menyingkir dari ancaman itu yang bisa menyebabk
an mata buta. lalu ia tertawa dengan dingin.
"Kwie Lootoa, kau telah terjebak ke dalam tipuku memperlambat waktu!" ia k
ata sambil mengejek. "Jikalau kau hendak merampas, seharusnya kau lakukan sejak
siang-siang. Sekarang baru kau turun tangan, nyata kau terlambat! Coba kau denga
r, suara apa itu di luar?"
Yoe Tjiang melengak. ia memasang kuping. Ia dengar suara kentongan dipalu
lima kali, tanda bahwa sang malam yang panjang sudah lewat dan mendekati pagi-
Ong Tjiauw Hie lantas saja tertawa besar.
"Kau sudah dengar, bukan? Itulah jam lima!" katanya dengan gembira. Sediki
tpun ia tidak kenal takut. "Giok Lo Sat segera akan datang, maka. Kwie Lootoa, a
pakah kau masih tidak hendak berhenti? Ingat, jikalau nanti kau mampus, kau akan
tidak punyakan tempat untuk kubur dirimu!"
"Hm. binatang, kau hendak memperlambat-lambatkan tempo?" bentak Kwie Yoe T
jiang. "Baiklah terlebih dahulu aku akan antarkan kau kepada Giam Lo Ong si Raja
Akherat!"
Benar-benar jago dari Soetjoan Timur ini kirim pula kepalannya yang mengel
uarkan suara angin.
Dengan kegesitannya, Ong Tjiauw Hie kelit serangan dari kematian itu, sege
ra terdengar suara tertawanya yang nyaring dan panjang, dibarengkan dengan keseh
atan kedua tangannya yang bergerak bagaikan kilat, menyebabkan kedua api lilin p
adam dalam sekejap, hingga hoathia pun menjadi gelap petang seketika itu juga!
Keng Tjiauw Lam menempelkan tubuhnya ke tembok dan menahan napas.
Dalam tempat gelap itu, walaupun mereka berjumlah banyak, kawanan begal it
u tidak berani sembrono turun tangan. Kwie Yoe Tjiang pun berdiri diam untuk mem
asang kuping dan mata. untuk dapat melihat di tempat gelap itu.
Segera juga dan luar terdengar suara tertawa yang nyaring tetapi halus, ag
ak jauh terdengarnya, akan tetapi dalam sekejap suara itu sudah berada di depan
pintu, hingga semua mata lantas berpaling ke arah pintu itu, yang kedua daunnya
sekarang telah terpentang, mata mereka segera bentrok kesilauan cahaya api tengl
oleng! Mereka pun menjadi kaget!
Di muka pintu yang lebar berbaris masuk serombongan wanita, empat yang jal
an di muka masing-masing menenteng tengloleng berkembang, di belakangnya tampak
pula empat wanita lainnya, yang jalan menjadi dua baris di kiri kanan, mengapit
satu nona cantik bagaikan bidadari. Nona ini mengenakan baju warna kuning jeruk
dan pinggangnya terlibat angkin sutera warna putih. Alisnya yang lentik panjang
menaungi kedua matanya yang bersih jernih. Dia bertindak sambil tertawa perlahan
dengan sangat manisnya.
Di dalam ruang itu. semua begal berdiri terpaku bagaikan patung-patung, an
taranya ada yang mukanya pucat seperti mayat, ada juga yang merengkal.
Dalam keadaan seperti itu, terdengarlah suara riang dari Ong Tjiauw Hie.
"Lian Liehiap, ayahku menanyakan kesehatanmu!" demikian suaranya yang nyar
ing terdengar nyata di dalam ruang sunyi senyap itu. (Liehiap = nona gagah).
Nona itu manggut-manggut.
"Diapun banyak sehat, bukan?" balasnya, suaranya halus.
"Terima kasih!" Tjiauw Hie mengucap. "Ayahku telah minta aku menyampaikan
pelana ini kepadamu.
akan tetapi mereka ini..."
Alisnya nona itu bergerak-gerak, dia tertawa.
"Ya, aku telah ketahui," dia memotong. "Bukankah mereka ini mengiler atas
pelanamu itu?" Kembali alisnya bergerak, tapi sekarang bergerak berdiri.
"Aku tak tahu bahwa pelana mi kepunyaanmu..." kata Siauw Soan Yang dengan
cepat, suaranya tidak wajar.
Mendengar sangkalan itu, Keng Tjiauw Lam tertawa di dalam hatinya.
"Nona ini masih demikian muda, mungkin usianya belum dua puluh tahun." pik
irnya, "tetapi aneh tua bangka ini sangat jeri kepadanya!..."
Lagi-lagi alisnya si nona bergerak, lantas ia bersenyum.
"Siapa tidak tidak tahu, dia tidak bersalah." katanya. "Mari kalian semua
turut aku pulang ke gunung..." Ia merandek sebentar, lalu ia tertawa. Ia pandang
Kwie Yoe Tjiang "Oh. Kwie Lootoa. kau juga datang kemari?" katanya, menambahkan
: "Upetimu bagian bulan ini masih belum diantarkan, apakah kau lupa?"
Jago Soetjoan Timur itu berdiri tegak mengawasi, tapi tiba-tiba ia perdeng
arkan suaranya:
"Giok Lo Sat, lain orang jeri terhadapmu, aku tidak! Di sini bukan daerah
pengaruhmu, aku kehendaki pelanamu itu!"
Jago ini tidak hanya membentak, diapun lompat maju.
Si nona yang orang sebutnya Giok Lo Sat itu berdiri diam, sikapnya tenang.
"Hayo tuan-tuan, siapa lagi yang hendak turut memiliki pelana itu?" tanyan
ya dengan sabar.
Beksie Samhiong undurkan diri berbareng bersama pihak Liongboen pang.
"Kami tidak campur," kata mereka.
Siauw Soan Yang yang mukanya menjadi pucat, tidak dapat buka mulutnya.
Poeisie Hengtee juga berdiam, akan tetapi mereka berdiri di belakangnya En
gdjiauw ong Kwie Yoe Tjiang yang nyalinya besar itu.
Nona itu awasi semua orang, lalu ia tertawa panjang.
"Kwie Lootoa, memang siapa orangnya yang membuat kau takut?" dia kata.
Kwie Yoe Tjiang tidak menjawab, hanya tangannya ia ulur untuk menjambret
Dengan sekonyong-konyong saja tubuhnya si nona seperti lenyap dari hadapan
jago Soetjoan Timur itu. hingga jago ini kaget tak terkira, dia segera mundur A
kan tetapi sudah kasep. bebokongnya mendadak dia rasakan sangat sakit, tidak amp
un lagi dia roboh terbanting!
Dua saudara Poei juga kaget tak kepalang, tapi seperti Yoe Tjiang, sebelum
tahu apa-apa keduanya menjerit dengan tiba-tiba dan roboh bergulingan!
Setelah itu, barulah terlihat lagi si nona berdiri dengan tertawanya yang
manis, ia seperti tidak menghadapi peristiwa apa juga.
Beksie Samhiong dan Liongboen Samto lantas maju memberi hormat.
"Kalian bangun, inilah bukan urusanmu!" berkata si nona.
Siauw Soan Yang lantas minta maaf berulang-ulang. Akan tetapi, menghadapi
begal dari Siamsay Selatan ini, si nona hanya tertawa dingin.
Di dalam rombongan penjahat itu. Kwie Yoe Tjiang adalah yang paling kosen,
ia empos semangatnya untuk lawan rasa sakit dari serangan yang ia peroleh itu,
karenanya, ia, tidak usah menjerit dan merintih-rintih sebagai persaudaraan Poei
itu. Tapi ia hanya dapat berlawan sebentar saja, ia tidak dapat bertahan pula.
rasa sakitnya bukan main, sebagai juga digigitnya ular-ular berbisa, sehingga ia
tidak bisa bersuara lagi. Peluhnya (keringat) membasahi seluruh tubuhnya, ia be
rgelisah tidak keruan.
"Nona, aku meminta kau segera bunuh kami, agar kami tidak menderita siksaa
n lebih lama," dua saudara Poei akhirnya memohon.
Yoe Tjiang sendiri tetap tidak bisa bicara, hanya matanya seperti hendak c
opot karena menahankan sakit.
Giok Lo Sat tertawa memandang kedua saudara Poei itu.
"Persaudaraan Poei, kalian melainkan ikut-ikutan, dapat kalian diberi seti
ngkat keringanan untuk peroleh kebebasan lebih cepat." katanya. Lantas ia angkat
kedua kakinya saling susul menendang dua saudara itu hingga keduanya menjerit,
terus mereka berdiam.
Keng Tjiauw Lam yang menyaksikan itu kaget tak terkira. Ia tidak sangka, n
ona secantik itu mempunyai hati demikian telengas. seperti raja iblis.
Setelah bereskan Poeisie Hengtee. Giok Lo Sat menggapai kepada Siauw SoanY
ang.
"Mari kau!" demikian suara panggilannya,
Dengan tubuh gemetar seluruhnya, Soan Yang menghampiri dengan tindakannya
yang perlahan, sambil jalan kedua tangannya meraba-raba kepada tembok.
"Kau dengan Kwie Lootoa adalah saudara-saudara angkat dari beberapa puluh
tahun, pasti erat sekali persahabatanmu!" kata si nona. suaranya sabar.
Hancur rasa hatinya Soan Yang. "Aku harap nona dapat maklumi bahwa di dala
m urusan ini aku tidak ambil bagian." jawabnya.
Wajahnya si nona bermuram durja karena jawaban ini.
"Percuma kau telah menjadi begal untuk banyak tahun!" dia menegur "Apakah
kau masih belum mengerti pantangannya satu penjahat?
Matamu seperti tidak ada sinarnya, namun kau masih berani menjagoi dalam k
alangan Rimba Hijau! Pikirlah masak-masak! Dia satu anak muda, tanpa tulang pung
gung, apakah dia berani bawa harta besar dengan bersendirian saja? Baik aku beri
tabukan kau, jikalau barang bingkisan itu bukan untukku, tak berani aku datang
kemari untuk mencampuri pekerjaanmu. Mengapa sebelum kau cari keterangan dahulu
tentang dia ini, kau sudah turut saja ojokan orang dengan bekerja sama untuk gan
ggu padanya? Bukankah itu berarti kau buta melek?"
Soan Yang terus membungkam, tetapi makin dicaci-maki makin hatinya lega. h
ingga akhirnya tenteramlah hatinya yang tadinya goncang keras. Ia ketahui baik a
dat tabiatnya Giok Lo Sat. Selagi menghadapi nrusan besar, kalau si nona berseri
-seri, dan kata-katanya halus dan sabar, itu artinya dia akan menggunakan kekera
san, sebaliknya, kalau dia berlaku bengis, itu berarti tak akan terjadi kehebata
n. Ia tunggu sampai si nona berhenti menegur, ia segera membarengkan dengan kedu
a tangannya ia gaploki mukanya sendiri berulang-ulang.
"Ya, mataku buta. tidak berhak aku menjadi begal!" ia mengoceh seorang dir
i, mengakui kesalahannya "Harap nona sudi beri pengajaran kepadaku."
"Jikalau kau insyaf akan kesalahanmu, aku suka memaafkannya." kata Giok Lo
Sat kemudian. "Sekarang hayo kau bikin habis saudara angkatmu ini!"
Soan Yang kaget sehingga pucat mukanya. Kwie Yoe Tjiang adalah sahabatnya
untuk puluhan tahun, sampai hatikah dia membunuh sahabat ini?
Kwie Yoe Tjiang bergulingan pergi pulang, ia bergelisah tidak keruan, kemu
dian ia berguling mendekati Soan Yang kepada siapa ia mengawasi, sinar matanya m
emohon supaya sahabat ini lekas-lekas bunuh padanya.
Bukan main sangsinya Soan Yang, ia merasa berat tetapipun hatinya takut...
Tjiauw Lam yang sedari tadi diam melihatkan semua kejadian itu. mendadak l
ompat maju.
"Kwie Yoe Tjiang adalah begal tunggal yang jahat sekali dan sesat, jikalau
kau bunuh padanya, itulah sebagai kau mewakilkan kaum Rimba Hijau menyingkirkan
satu manusia busuk!" katanya dengan nyaring. "Dengan singkirkan begal ini. oran
g tidak akan menyalahi tindakanmu ini. Akan tetapi untuk memaksa mereka berdua s
aling bunuh, aku anggap tidak tepat, bukan perbuatannya orang terhormat!"
Berubah wajahnya Giok Lo SaL tetapi ia tertawa.
"Kau dari golongan mana?" dia tanya.
"Murid Boetong pay angkatan kedua!" sahut Ijiauw Lam dengan angkuh.
"Oh. dari Boetong pay! Maaf. maaf..." katanya, matanya memain. Terus ia pa
ndang Soan Yang dan kata: "Siauw Soan Yang. aku sebenarnya sedang uji hatimu. Ka
u dan Kwie Yoe Tjiang adalah orang-orang segolongan, tetapi aku tahu kau tidak s
ejahat dia. Aku suruh kau bunuh dia. kau tidak lancang melakukan titahku itu, in
ilah bagus. Baik. karena sifatmu ini, aku tidak memaksa untuk kau menjadi algojo
."
Sehabis mengucap demikian, nona ini ayun sebelah kakinya terhadap Kwie Yoe
Ijiang. Habislah riwayat begal tunggal dari Soetjoan Timur itu. ia berpulang ke
tanah baka.
Lalu. nona ini berpaling kepada semua orang.
"Sekarang kau semuanya ikut aku ke Tengkoen san!" katanya. lapun tertawa.
Kemudian ia tunjuk Keng Tjiauw Lam, akan tanya: "Kau hendak pergi ke mana? Apaka
h kau hendak lanjutkan melindungi To Taydjin? Kau juga harus turut aku. berikut
To Taydj in serta semua barang bawaannya mesti diangkut ke atas gunung!"
Tjiauw Lam kaget tidak kepalang. "Sungguh besar nyalinya Giok Lo Sat," pik
irnya. "Bagaimana berani dia membentur aku dan Boetong pay!"
Boetong pay telah jadi terlalu kesohor hingga ada banyak muridnya yang men
jadi keras kepala, Keng Tjiauw Lam tidak terkecuali, akan tetapi sekarang ia toh
bersangsi menghadapi sikapnya Giok Lo Sat. Jikalau tidak menurut, ia kualir ken
a dikalahkan, sebaliknya kalau turut, ia kuatirkan pamornya jatuh yang bersangku
t paut dengan nama baiknya Bodong pay.
Ong Tjiauw Hie melirik dan mengedipkan mata. ketika orang Boetong pay itu
tengah terbenam dalam keragu-raguan.
"Saudara Keng memang sangat pangeni Lian Licin.ip." kata Tjiauw Hie dengan
terang tegas, "malah selama di perjalanan, dia telah utarakan niatnya mengunjun
gi liehiap kepadaku."
Mendengar ini, mengertilah Tjiauw Lam bahwa orang hendak cegah ia bertinda
k secara sembrono, maka ia merasa tidak puas, ia harus kendalikan diri. la juga
pikir: "Tidak boleh aku terima penghinaan di depan banyak mata. Baik aku turut p
adanya akan lihat apa yang hendak ia lakukan, andaikan dia tidak memberi muka de
ngan merampas juga harta benda To Taydjin, terpaksa aku mesti undang saudara-sau
dara seperguruanku untuk tempur padanya!"
Lantas ia masuk ke dalam kamar untuk memberitahukan Tiong Liam, iapun mint
a bekas tjongtok ini bersabar dan ikut ke gunung.
Tiong Liam bisa berpikir, apapula piauwsoenya pun membujuknya untuk mengik
ut saja. Maka ia kata: "Baiklah, asal jiwaku selamat. Harta benda adalah barang
sampingan."
Demikian, setelah kekacauan itu, selagi cuaca remang-remang. Giok Lo Sat s
erta delapan pengiringnya mengiringkan rombongannya To Tiong Liam dan kawanan be
gal itu menuju ke gunung Tengkoen san. yang menjadi cabang dari pegunungan Taypa
san. Pesanggrahannya di atas gunung itu merupakan sebagai benteng, dari kaki gu
nung sampai di atas, dengan berjarak-jarak, ada bandit-bandit wanita yang melaku
kan penjagaan dan menyambut rombongan. Semua mereka nampaknya gagah.
Ong Tjiauw Hie kagum melihat serdadu-serdadu wanita itu, di dalam hatinya
ia kata: "Tampaknya nona-nona ini mungkin lebih gagah daripada serdadu-serdaduny
a ayahku."
Sesampainya di atas gunung. Giok Lo Sat berikan titahnya supaya rombongan
To Tiong Liam diantar ke kamar tetamu yang besar, dan barang-barang berikut kere
ta-keretanya dibawa ke belakang. Ong Tjiauw Hie dapat satu ruang tersendiri, aka
n tetapi ia bebas merdeka untuk temui Keng Tjiauw Lam dan lain-lainnya.
"Loopiauwtauw," berbisik Tjjauw Lam kepada si kepala piauwsoe. "kau telah
lama popiauw di Barat utara, tahukah kau Giok Lo Sat ini orang macam apa?"
"Dia adalah penyamun wanita yang baru muncul selama dua tahun ini." jawab
orang yang ditanya. "Orang mengatakan dia bernama Lian Nie Siang akan tetapi di
dalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada orang yang ketahui jelas tentang asal-
usulnya, lebih-lebih tidak ada yang tahu dari mana dia peroleh kepandaiannya yan
g liehay itu. Aku dengar orang bercerita, walaupun dia baru muncul, dengan tanga
n kosong serta sebatang pedangnya dia pernah robohkan delapan belas penjahat bes
ar, dan pertempurannya itu telah dilihatnyaoleh Lie Djie Hoe, jago silat kesohor
dari Siamsee itu dengan mata kepala sendiri. Lie Djie Hoe nyatakan, ilmu silat
bertangan kosong dan ilmu pedangnya si nona beda daripada orang banyak umumnya,
belum pernah ia melihatnya, maka itu ia mau percaya, tidak usah sampai sepuluh t
ahun nona itu tentulah akan menjagoi seluruh golongan, mengalahkan semua jago si
lat lainnya."
Tjiauw Lam perdengarkan suara "Hm!"
Piauwsoe tua itu segera insyaf bahwa ia telah omong terlalu banyak, lantas
ia tertawa dan menambahkannya: "Lie Djie Hoe luas penglihatannya akan tetapi me
ngenai Giok Lo Sat mungkin ia agak berlebihan. Dari pihakmu. Boetong pay. ilmu t
angan kosong Kiockiong Sinheng tjiang dan ilmu pedang Tjittjapdjie tjhioe Lianho
an kiam adalah ilmu asli Rimba
Persilatan, tak dapat dibandingkan dengan lain kaum..."
Piauwsoe ini mengatakan demikian karena ia ingat, selama beberapa puluh ta
hun ini kaum Boelim atau Rimba Persilatan telah memandangnya Tjie Yang Toodjin d
ari Boetong pay sebagai ahli silat nomor satu. Kata-katanya tadi tidakkah ia tel
ah menindih toodjin itu?
Tjiauw Lam bersenyum mendengar perkataannya piauwsoe ini, ia masih bersika
p jumawa, akan tetapi hatinya puas.
Seantero hari itu, To Tiong Liam dan rombongannya telah disekap di dalam k
amar, selindakpun mereka tak dapat keluar, akan tetapi mendekati sore. dua serda
du wanita datang kepada mereka.
"Tjeetjoe kam i undang To Taydjin dan Keng Enghiong menghadiri perjamuan!"
demikian katanya. (Dengan "tjeetjoe" diartikan ketua pesanggrahan).
Undangan ini diterima dengan baik.
Ruang pesanggrahan diterangi dengan banyak lentera, di situ disiapkan dua
buah meja perjamuan, kecuali Giok Lo Sat Lian Nie Siang yang cantik bagaikan bid
adari, ada berkumpul Hoansanhouw Tjioe Tong. Hweelengwan Tjoe Poo Tjiang dan lai
nnya, berikut Seetjoan Siangsat yang dikeiemukan di tengah jalan. Dua belas nona
-nona disediakan untuk melayani hadirin. Di luar ruang pesanggrahan dijaga serda
du-serdadu (liauwlo) wanita.
Meskipun mereka menghadapi pesta, tapi jago-jago Rimba Hijau itu semua kun
cup hatinya
"inilah pesta paling aneh." Keng Tjiauw Lam berpikir. "Di sini pria tunduk
terhadap wanita..."
Ia tetap tidak puas tetapi ia kagumi juga Giok Lo Sat
"Silakan minum!" nona rumah mengundang. Kemudian, sesudah tiga edaran, dia
berikan titah kepada orangnya: "Bawa bingkisan untuk Ong Kongtjoe kemari!"
Titah ini diturut dengan segera.
Lima liauwlo membawa datang lima buah nenampan yang ditutupi cita merah. G
iok Lo Sat lantas buka tutupnya dua nenampan di sebelah kiri. melihat mana. Tion
g Liam kaget hingga ia berseru.
Di atas nenampan itu ada dua kepala manusia berlumuran darah!
Giok Lo Sat bersenyum, ia terus pandang Tjiauw Hie,
"Inilah yang dikehendaki ayahmu!" katanya.
Sekarang si nona singkap kain penutup tiga nenampan lainnya, semua itupun
bermuatkan masing-masing satu kepala orang yang darahnya masih berlepotan. la an
gkat setiap kepala yang ia ayun-ayun. kemudian ia bersenyum.
"Mcreka bertiga telah berlaku kurang ajar terhadap kongtjoe. maka itu, aku
ambil kepala mereka," katanya. "Aku harap kongtjoe pandang ini sebagai bingkisa
n untukmu. Mereka ini masih mempunyai satu kawan lainnya, yang telah mendapat ba
giannya pula, aku percaya dia selanjutnya tidak akan berani membikin pusing pula
kepada kongtjoe."
Kembali Tiong Liam menjadi kaget. Ia dapat mengenali tiga kepala itu adala
h tiga anggauta Kimiewie yang kemarin ikuti Touvvtjiehoei Tjio Ho. Tidak disangk
a mereka semua roboh di tangannya nona luar biasa ini. Satu kawan lainnya yang d
imaksudkan oleh si nona mungkin Touwtjiehoei Tjio Ho.
Ong Tjiauw Hie berbangku dengan hormat.
"Tidak sanggup aku terima bingkisan semacam ini." katanya. "Lagipun. untuk
sementara ini aku masih belum memikir untuk berangkat pulang."
"Aku tahu kongtjoe hendak melakukan perjalanan jauh ribuan lie." berkata p
ula si nona. "Baiklah, bingkisan ini aku nanti titahkan orang mengamarkannya kep
ada ayahmu sekalian bersama surat perjanjian ikatan kita."
"Terima kasih!" Tjiauw Hie mengucap.
Si nona tertawa manis sekali, la awasi semua hadirin bandit.
"Jikalau tidak bentrok lebih dahulu, kalian tidak akan mengenal satu denga
n lain," berkata dia.
"Baiklah di sini aku menjelaskannya, bahwa ayahnya Ong Kongtjoe ini adalah
Ong Kee In dari Siamsay Utara."
Mendengar itu, semua berandal tertawa.
"Benar-benar hebat!" kata mereka. "Inilah yang dapat dikatakan, air bah me
nerjang kuilnya raja naga, orang tidak mengenali sesama orang sendiri! Kalau sed
ari siang-siang kami telah kenalkan Ong Toako, tak mungkin kami berani menguntit
dan turun tangan!"
Ong Kee In adalah kepala dari kaum Rimba Hijau di Siamsay Utara, di bawahn
ya adalah Kho Geng Siang, Ong Tjoh Kwa, Hoei San Houw. dan Tay Ang Long, pelbaga
i penyamun kesohor itu, tetapi pengaruhnya rombongan dari Siamsay Utara ini tida
k sampai di Siamsay Selatan.
Di propinsi Siamsay semuanya ada tiga belas gerombolan berandal, mereka ti
dak takluk satu pada lain. Salah satu di antaranya, Ong Kee In-lah yang bercita-
cita besar, setelah bersama Kho Geng Siang mengangkat saudara, belum ada sepuluh
tahun ia telah dapat diangkat menjadi bengtjoe. kepala dari pelbagai rombongan
di Siamsay Utara. itu. Karenanya pula ia dapat bekerja secara luas. Melainkan ro
mbongan-rombongan dari Siamsay Tengah dan Siamsay Selatan, yang tidak suka terim
a segala titahnya. lapun seorang yang cerdik, baru dua tahun munculnya Giok Lo S
at. berbareng mendapat tahu ada dua musuh di Siamsay Selatan yang hendak satruka
n padanya, ia lantas utus puteranya, yaitu Ong Tjiauw Hie, membawa hadiah untuk
Giok Lo Sat, guna ikat persahabatan.
Pelbagai penyamun mempunyai daerahnya masing-masing, di manapun terdapat m
usuh, Ong Tjiauw Hie tidak mau berangkat secara menyolok mata, ia sengaja berang
kat seorang diri dengan gunakan akal menyimpan barang hadiah di dalam pelana. Ak
an tetapi di luar dugaannya, pihak Kimiewie yang liehay itu dapat mencium bau, m
aka lantas ditugaskan Tjio Ho berempat untuk menguntit dan turun tangan. Di samp
ing itu. lima rombongan penyamun di perbatasan Soetjoan Siamsay dapat dengar sel
entingan juga, bahna mengilerkan harta besar itu. merek a pun turut menguntit. D
emikianlah telah terjadi, Tjiauw Hie tempel rombongannya To Tiong Liam sambil gu
nakan akalnya yang cerdik itu.
Setelah mengetahui kelicinannya orang she Ong ini, Keng Tjiauw Lam mencaci
di dalam hatinya, karena ia telah kenadiabui oleh pemuda ini.
"Sungguh celaka bocah ini! Dia telah berkongkol sama Giok Lo Sat, dia tela
h pakai nama Boetong pay sebagai tameng, dia juga tempel pengaruhnya To Taydjin,
tetapi sekarang setelah muncul, si Raksasi Kumala, dia telah bikin kami menjadi
orang-orang tawanannya Raksasi Kumala ini," demikian pikirnya.
Giok Lo Sat sudah lantas berkata pula: "Mulai saat ini. kita kaum Rimba Hi
jau di seluruh propinsi Siamsay telah menjadi satu keluarga. Aku telah berserika
t kepada Toako Ong Kee In, aku harap semua saudara kelak sudi saling bantu. Anda
ikata saudara-saudara tidak memikir lainnya, silakan saudara-saudara keringkan c
awan ini!"
Ia angkat cawannya, untuk segera diceguk habis lebih dahulu.
Tidak ada berandal yang berani menentangnya, merekapun keringkan cawan mer
eka masing-masing.
Giok Lo Sat letakkan cawannya, ia tertawa, kemudian ia gapaikan seorang se
rdadunya, kepada siapa ia berbisik.
Serdadu itu lantas masuk ke dalam tidak lama, ia sudah kembali tetapi tida
k seorang diri, hanya bersama empat orang yang ia iringkan, menampak empat orang
itu, Keng Tjiauw Lam ternganga.
Empat orang itu adalah saudara-saudara seperguruannya Tjiauw Lam yang dibe
ri tugas oleh guru mereka untuk mengerjakan sesuatu di Siamsay, mereka sudah ber
angkat terlebih dahulu daripadanya, ia tidak sangka, bahwa mereka sekarang muncu
l di sarang penyamun ini.
"Apakah benar, seperti katanya Kwie Yoe Tjiang tadi, mereka sudah jadi taw
anannya Giok Lo Sat?" pikir Tjiauw Lam. Akan tetapi, melihat keadaannya mereka i
tu, nampaknya mereka bukan sebagai orang-orang tawanan.
Giok Lo Sat mengulapkan tangan, lantas ada orangnya yang mengeluarkan pula
barang hidangan yang baru, yang disajikan di sebuah meja lain. Ia undang empat
orang itu duduk di meja ini.
"Mari kita duduk di meja sana!" kata dia pada Keng Tjiauw Lam. "Biarlah ak
u diberikan ketika untuk bersahabat dengan orang-orang pandai dari Boetong pay!"
Dia tertawa manis.
Keng Tjiauw Lam tetap merasa heran, akan tetapi melihat orang bersikap ram
ah tamah. hatinya lega. Ia berpikir: "Boetong pay sangat kenamaan, walau dia san
gat ganas, rupanya dia masih j eri juga terhadap kaumku, maka sekarang dia berla
ku manis dan meminta persahabatan..."
Kepercayaannya Tjiauw Lam ini jadi semakin tebal setelah ia lihat si nona
bersikap semakin ramah tamah.
Tjiauw Lam bicara kepada empat saudara seperguruannya itu, tetapi mereka a
gaknya ada ganjelan di hati, sikapnya tidak gembira, malah dua di antaranya hany
a menyengir, hingga pemuda ini menjadi heran.
Lagi-lagi Giok Lo Sat panggil satu serdadunya, ia ucapkan beberapa perkata
an perlahan, setelah mana, serdadu itu segera undurkan diri.
"Entah apa lagi tindakannya lebih jauh," Tjiauw Lam menduga-duga.
"Mari minum!" Giok Lo Sat mengundang secara sangat gembira. Ia tenggak pul
a araknya.
Tjiauw Lam berlima juga minum arak mereka.
Sebentar kemudian terdengarlah suara roda-roda kereta di muka hoathia, waj
ahnya si nona bercahaya sedang Tjiauw Lam berlima segera lihat beberapa serdadu
menolak datang kereta barangnya To Tiong Liam. untuk ditunda di bawah tangga muk
a pesanggrahan
Dengan tiba-tiba Giok Lo Sat berbangkit.
"To Taydjin, mari kita membuat perhitungan!" tiba-tiba juga dia berkata ke
pada Tiong Liam.
Bekas tjongtok itu heran, akan tetapi dia bisa tetapkan hati.
"Itulah jumlah yang kecil, tjeetjoe, silakan kau ambil semua," berkata dia
. yang menduga hartanya akan dirampas "Di rumah aku masih mempunyai sedikit mili
k, aku tidak mengharapi harta bekas jabatanku ini."
Mendengar demikian, si nona perlihatkan tampang sungguh-sungguh.
"Aku Lian Nie Siang, walaupun menjadi penyamun, aku berpegang kepada keadi
lan!" katanya dengan nyaring. "Tanyakan semua hadirin di sini, kapan dan di mana
Lian Nie Siang pernah ambil harta orang secara serampangan. Terhadap pembesar y
ang putih bersih, uangnya satu boen pun aku tidak akan merampasnya! Tapi kalau d
ia satu pembesar rakus, uangnya tentu aku rampas, batok kepalanyapun aku maui! A
pakah kau telah dengar nyata?"
Tiong Liam kaget hingga tubuhnya menggigil.
"Celaka, celaka, habislah jiwa tuaku di sini..." ia mengeluh dalam hatinya
.
Akan tetapi sikapnya si nona kemudian nampaknya menjadi tenang pula.
"To Tiong Liam, kau dengarlah!" demikian katanya. "Kau telah menjabat pang
kat belasan tahun, selama itu kau telah terima hadiah dari orang-orang sebawahan
mu serta pelbagai hartawan setempat berjumlah tujuh puluh enam ribu tujuh ratus
tail. Uang itu tidak halal, aku hendak ambil semuanya! Di samping itu, kau masih
mempunyai tiga puluh dua ribu lima ratus tail. hadiah dari pemerintah, tetapi u
ang" itu berasal uang rakyat, maka aku hendak ambil juga untuk kemudian diamalka
n kembali kepada rakyat yang melarat. Sekarang masih ada sisa enam belas ribu de
lapan ratus tail uang stmpananmu sendiri, itulah hakmu, sejumlah itu akan aku ke
mbalikan kepadamu. Kau telah menjabat pangkat belasan tahun, kau punyakan hasil
demikian banyak, walau kau bukannya satu pembesar bersih, tetapipun tidak termas
uk pembesar rakus. Sekarang aku telah membuat perhitunganku, katakanlah terang-t
erang, kau puas atau tidak?"
Tiong Liam kaget berbarengpun hatinya girang. Ia kaget karena ia tidak men
gerti mengapa dan dari mana si nona ketahui demikian jelas tentang jumlah seluru
h hartanya yang diperolehnya Itu. Dan girangnya, kepul Lisannya si nona itu bera
rti jiwanya tidak akan diganggu dan hartanya tidak ludas semua.
Setelah mengatakan demikian, sambil tertawa dengan manis. Giok Lo Sat dudu
k kembali di kursinya. Ia cenderungkan tubuh kepada Keng Tjiauw Lam, yang duduk
di sampingnya
"Orang pandai dari Boetongpay." katanya sambil tertawa pula, "siauwmoay ma
sih berusia muda dan cetek pengetahuannya, bilamana kau anggap perbuatanku ini t
idak layak dan adil. sudi kau berikan petunjukmu."
Ia gunakan kata-kata "siauwmoay" = "adik kecil", pula suaranyapun halus.
Tjiauw Lam kagum sekali, hingga ia unjukkan jempolnya.
"Pantaslah Lian Liehiap menggetarkan dunia Rimba Hijau, nyata kau pandai s
ekali mengambil keputusan!" dia memuji. "Kau membuatnya orang kagum terhadapmu!"
Si nona bersenyum, ia menukar arak yang hangat, untuk minum bersama pemuda
shc Keng ini, wajahnya ramai dengan senyumnya yang berseri-seri.
Tanpa merasa Tjiauw Lam mulai terpengaruhi air kata-kata. Ia duduk dekat s
ekali kepada si nona, hidungnya dapat mencium bau harum dari tubuh nona itu.
"Giok Lo Sat sungguh menarik hati," pikirnya. "Sayang, demikian elok dia a
da. ia kesudian menjadi penyamun. Kalau dia kembali kepada jalan yang benar, ent
ah berapa banyak pemuda gagah yang akan roboh hatinya..."
Kemudian tiba-tiba ia tanya: "Lian Liehiap. kau demikian gagah, siapakah g
urumu yang pandai itu? Bila ada ketikanya. sungguh aku si orang she Keng ingin m
ohon pengajaran d asi padamu Bagaimana menggirangkan... Aku kuatir sekali, lain
waktu tidak mungkin ada pula ketika yang sehaik ini..."
Ong Tjiauw Hie yang mendengar ucapanny a orang she Keng ini merasa kuatir.
segera ia menyelak dan berkata: "Saudara Keng. kau sudah sinting, jangan minum
lebih jauh!"
Tjiauw Lam menggeleng-geleng kepala.
"Aku belum mabuk! Siapa katakan aku mabuk?" kata dia yang menyangkalnya.
Mendadak wajahnya si nona menjadi gelap suram, tetapi sedetik kemudian ia
tertawa pula, terus ia angkat cawannya.
"Keng Lnghiong, kau terlalu memuji aku!" katanya. "Sebenarnya aku seorang
anak perempuan yang tak berayah ibu, tidak mempunyai guru juga, beberapa jurus i
lmu silatku yang jelek adalah buah hasil dari belajar seorang diri, tidak dapat
dibandingkan dengan kau yang dapat pimpinan dari perguruan kenamaan, dari kalang
an persilatan yang asli!"
Nona ini singkap rambut di dahinya.
"Sebenarnya akupun ingin sekali mohon pengajaran darimu. Keng Enghiong," i
a menambahkan. "Ketikanya yang baik tentu mesti ada. kau tak usah sibuki."
Lantas ia duduk pula, matanya melirik jago muda dari Boetongpay itu dengan
senyumnya yang sangat menggiurkan.
Tjiauw Hie berkuatir sangat hingga ia rasakan bulu ramanya bangun berdiri.
Di samping itu. diam-diam ia mentertawai orang she Keng ini, yang ia katakan to
lol. Tapi ia segera berbangkit dan kata: "Tjeetjoe. terima kasih untuk perjamuan
ini! Saudara Keng sudah mabuk, akupun tak kuat minum banyak, harap tjeetjoe maa
fkan kami, kami ingin undurkan diri."
Giok Lo Sat merasa tidak puas. muram wajahnya.
"Kelihatannya kau hendak bantu dia." katanya dengan dingin.
Terbanglah semangatnya Tjiauw
Hie, tetapi ia menjawabnya dengan perlahan: "Sebetulnya aku tidak kenal sa
udara Keng ini, hanya dapat berkenalan di tengah jalan, aku berterima kasih kepa
danya yang telah bantu sedikit merintangi pihak lawan yang menguntit aku. karena
dia anggap aku sebagai sahabat, akupun sudah selayaknya perlakukan dia sebagai
sahabat."
Giok Lo Sat perdengarkan suara tidak tegas, lalu ia ulapkan tangannya dan
berkata dengan nyaring: "Tutup perjamuan!"
Meski demikian, dengan suara perlahan ia ucapkan kata-kata pada Keng Tjiau
w Lam: "Besok pagi harap kau datang kc tengah gunung untuk kita membuat pertemua
n di dalam lembah. Harap Keng Enghiong jangan lupa."
Sepasang alisnya Tjiauw Lam berdiri, ia nampaknya sangat gembira.
"Tidak nanti aku lupakan titahmu mi. tjeetjoe!" sahutnya.
Perjamuan sudah lantas ditutup, tapi Giok Lo Sat masih suruh orang-orangny
a antar Keng Tjiauw Lam berlima ke sebuah kamar yang terpisah dari Ong Tjiauw Hi
e. hingga pemuda ini. yang masih hendak bicara kepada murid Boelong pay itu. tid
ak dapatkan kesempatannya.
Keesokannya pagi. belum lagi pengaruh air kata-kata menghilang seluruhnya
dari kepalanya Tjiauw Lam, satu serdadu wanita telah datang padanya.
"Keng Enghiong, tjeetjoe kami undang padamu." kata serdadu ini.
Tjiauw Lam lantas saja dandan dengan cepat, segera ia ikut serdadu itu men
uju ke lembah di mana sudah ada empat saudara seperguruannya, sedangkan To Tiong
Liam duduk seorang diri di atas sebuah batu ditemani dua serdadu wanita.
Giok Lo Sat muncul tidak lama kemudian, jalan mendatangi di antara batu-ba
tu gunung yang berserakan tak teratur, wajahnya ramai dengan senyuman. Rambutnya
bergelang emas, pedangnya yang panjang tergantung di pingggangnya. Hingga selai
nnya cantik, iapun tampaknya sangat gagah.
Bukan main kagumnya Tjiauw Lam. Hanya ia tidak sangka di situ telah berkum
pul orang-orang lainnya, sedang pada mulanya ia menduga ia seorang dirilah yang
diundangnya.
"Selamat pagi, Keng Enghiong!" menegur si nona. "Apakah kau dapat tidur te
nang semalam?"
Suara itu menyatakan perhatian yang sungguh-sungguh.
"Terima kasih," sahut Tjiauw Lam dengan jengah. "Harap tjeetjoe pun dapat
tidur tenang."
"Aku tadinya kuatir kau tak dapat tidur nyenyak," tertawa si nona. "Jikala
u kau tidak dapat tidur nyenyak, pun sebentar lagi kau akan kurang tidur, oh, su
ngguh kau harus dikasihani!"
Tjiauw Lam merasa heran dalam hatinya.
"Aneh, cara bagaimana ia ketahui aku semalam tidak dapat tidur?" pikirnya.
"Tidakkah dia melainkan menduga-duga saja?"
Giok Lo Sat lantas berkata pula: "Jikalau kau dapat luka parah, umpama ada
salah satu anggauta tubuhmu menjadi cacat, pasti sebentar malam kau tidak dapat
tidur senang, bukankah?"
Walau masih dalam keheranan, Tjiauw Lam tertawa juga.
"Di atas bumi ada angin dan mega yang tak berketentuan, seperti juga manus
ia bisa terancam bencana siang dan malam," menyahut dia, "maka jikalau benar-ben
ar ada bahaya yang mengancam aku, apa daya? Kecuali tjeetjoe niat membikin susah
padaku, maka dari manakah datangnya angkara murka itu?"
"Kau nyata terbuka pikiranmu," kata Giok Lo Sat. "Aku tidak berani membuat
kau susah! Aku hanyalah hendak mohon pengajaran daripadamu. Aku dapat dengar il
mu pedang Boetong pay tidak ada keduanya di kolong langit, karenanya aku memikir
hendak membuka mataku."
Keng Tjiauw Lam menjadi tidak puas.
"Oh, kiranya benar-benar tjeetjoe niat mencoba aku?" katanya. "Satu taytia
nghoe lebih suka binasa daripada terhina, karenanya, meski aku bakal terima tiga
bacokan dan enam tikamannya tjeetjoe, tidak nanti aku bikin jatuh nama baiknya
Boetong pay!"
Nona itu tertawa dengan manis.
"Bagus!" katanya. Sekarang kau sedikit waspada, aku hendak mulai dengan de
ngan seranganku..."
Giok Lo Sat hunus pedangnya, terus ia menusuk.
Tjiauw Lam lihat gerak tangannya si nona yang enteng tetapi perlahan, agak
nya seperti sedang main-main, ia tidak dapat menduganya orang menyerang ia denga
n benar-benar atau gertakan belaka, meski demikian, ia toh menangkis.
Akan tetapi, ketika pedang si nona kena bentur, mendadak nona itu putar ta
ngannya dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah ancam tenggorokan'
"Kali ini gagal, mesti ditukar dengan yang lainnya!" kata nona ini sambil
tertawa.
Tjiauw Lam kaget berbareng mendongkol, karena ia telah terpedaya. Tusukan
si nona tidak diteruskan dan ia diejek. Dengan tiba-tiba ia mengelakkan tubuhnya
ke samping sambil terus berikan tikaman, dengan salah satu dari tiga tusukan be
rantai, ialah "Kimtjiam touwsian" = "Jarum emas dimasukkan benang". Ketika seran
gan ini gagal, ia segera melanjutkan dengan tikaman y ang kedua yakni "Tjoesat l
ianhoan" atau "Tarik dan lepas bergantian" mengarah tenggorokan si nona Cepat se
rangannya yang berantai ini. akan tetapi serangan yang kedua inipun gagal pula.
Maka ia hendak meneruskannya dengan runtunan yang ketiga. Tapi, belum ia sempat
bergerak, ia telah rasakan pedang lawan menempel di bebokongnya. karena nona itu
dengan tidak diketahui lagi sudah melejit ke sampingnya. Terpaksa ia berlompat
sambil memutar tubuh, untuk menyelamatkan diri. Baru ia lompat, berbareng juga s
ambaran angin lewat di atasan kepalanya, hingga ia kaget tak terkira. Sambaran a
ngin itu menyebabkan segumpal kecil rambutnya terbabat jatuh.
Si nona tertawa ketika lawannj-a menaruh kaki di tanah.
"Aku suruh kau waspada, mengapa kau justeru lengah?" tanya nona ini. la be
rdiri diam sambil rangkul pedangnya, kemudian dengan tangan kanannya ia menggapa
i kepada orang Boetong lainnya sambil berkata juga: "Orang-orang gagah Boetong p
ay, tegakah kalian akan tonton saja orang sesama perguruan main topeng monyet di
sini?"
Empat orang Boetong itu memang hatinya tidak puas, maka mendengar kata-kat
a si nona yang berupa tantangan itu. segera mereka maju menyerang dengan berbare
ng. Mereka tidak mengucap sepatah kata juga.
"Nah, ini barulah menggembirakan!" tertawa si nona.
Lalu, di antara sambaran-sambarannya lima batang pedang lawan, ia berkeleb
atan dengan pedangnya juga. Meski ia dikepung, ternyata ia adalah di pihak penye
rang.
Menampak demikian, Ong Tjiauw Hie merasa tidak enak hati.
"Lian Liehiap sudahilah!" ia berseru sambil lompat maju. "Harap kau menaru
h rasa kasihan!..."
Suaranya pemuda ini belum berhenti, tiba-tiba terdengar bentrokannya pedan
g dengan pedang disusul jeritan-jeritan dari kesakitan. Nyatalah pedangnya ke li
ma jago Boetong pay putus buntung, dua jarinya Keng Tjiauw Lam turut berpisah da
ri tangannya, dan empat yang lainnya hilang masing-masing satu jari tangannya
Giok Lo Sat balingkan pedangnya, wajahnya suram.
"Sekarang kalian baru mengerti bahwa di luar langit masih ada langit, jang
an kalian membuta mengandalkan nama besar dari rumah perguruanmu!" dia kata deng
an nyaring. "Keng Tjiauw Lam. tadi malam kau berlaku sedikit tidak tahu adat. se
benarnya aku hendak buntungkan lenganmu dan korek kedua biji matamu, akan tetapi
karena barusan kau perlihatkan juga semangatmu, aku kasih keringanan padamu! Se
karang lekas kalian pergi menggelinding turun dari gunung ini!"
Mendengar bentakan itu, hatinya Tjiauw Hie menjadi lega. Ia lantas mengham
piri Tjiauw Lam.
Pucat mukanya murid Boetong pay ini, tanpa mengucapkan kata-kata lagi ia m
embalik tubuhnya lari turun gunung.
Empat orang Boetong pay lainnya rangkap tangan mereka
"Terima kasih untuk kemurahan hati tjeetjoe," kata mereka. "Budi kebaikanm
u ini pasti kami tak akan lupakan untuk selama-lamanya!"
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Aku bersedia menanti tuntutan pembalasanmu!" katanya.
Tjiauw Hie mengedipkan mata kepada empat orang itu, untuk cegah mereka ber
kata-kata lebih jauh
Salah satu yang tertua dari ke empat orang itu hadapi Tjiauw Hie dan menju
ra. katanya: "Ong Kongtjoe. terima kasih yang kau sudah melindungi soetee kami.
Sayang kami tidak lebih siang dapai ketemui kau. Aku ada membawa suratnya Beng B
oesoe untukmu!"
Orang Boetong pay itu rogoh sakunya akan keluarkan sesampul surat.
Agaknya Tjiauw Hie terkejut, ia lirik si nona.
"Dari tempat ribuan lie orang datang antarkan surat, sudah selayaknya kau
haturkan terima kasihmu!" berkata Giok Lo Sat dengan nyaring.
Tjiauw Hie tahu si nona tidak kandung maksud lain, barulah ia sambuti sura
t itu.
"Terima kasih!" katanya.
Orang Boetong pay itu serta tiga saudaranya bersenyum tawar, tanpa memberi
hormat lagi mereka segera berlalu.
Tjiauw Hie merasa sangat bersusah hati dan menyesal, karena ia merasa tela
h tidak berbuat sebagaimana mestinya terhadap orang-orang Boetong pay itu.
Giok Lo Sat awasi Tjiauw Lam berlima sampai mereka lenyap dari pandangan m
ata, lalu ia berpaling kepada Ong Tjiauw Hie.
"Saudara Ong, kau tentunya katakan aku terlalu kejam, bukan?" tanyanya den
gan wajar.
"Tidak berani aku mengatakan demikian," sahut Tjiauw Hie. Tetapi dalam hat
inya sebenarnya ia mencela.
"Tabiatku adalah paling tidak sanggup menghadapi orang atau orang-orang ya
ng terlalu andalkan pengaruhnya," kata si nona kemudian, suaranya sabar. "Murid-
murid Boetong pay berjumlah besar, di antara mereka ada banyak yang tolol dan pi
ntar, yang sesat juga, dan di antara mereka ini, tidak sedikit yang menjadi somb
ong karena terlalu mengandal kepada guru mereka yang termasyur. Di antara Boeton
g Ngoloo, kecuali Tjie Yang Toodjin. empat lainnya mempunyai cacatnya masing-mas
ing, karenanya, murid-murid mereka banyak yang congkak. Mungkin di antara murid-
murid itu perbuatannya tidak ada yang keterlaluan, akan tetapi mereka toh menjem
ukan. Maka kali ini aku hendak tindas kejumawaan mereka, untuk kasihkan sedikit
hajaran pada mereka itu!"
Ong Tjiauw Hie membungkam, ia tidak mau mengutarakan pendapatnya.
Si nona berdiam sebentar, lalu ia menanya: "Kabarnya Boesoe Beng Tjan di k
ota raja dengan ayahmu mengangkat saudara, benarkah?" (Boesoe = guru silat).
"Dia adalah mertuaku," sahut Tjiauw Hie dengan singkat.
"Oh, kiranya sanak dekat!" kata si nona. "Bagus! Aku tahu nona she Beng it
u, yang bagus ilmu silatnya dan elok orangnya. Toh belum menikah, bukan?"
Mukanya Tjiauw Hie kemerah-merahan karena malunya.
"Belum." sahutnya. "Ayahku telah pesan supaya sehabisnya temui kau, aku me
sti langsung menuju kota raja untuk sambut mertuaku itu serta gadisnya."
"Memang sudah selayaknya kau sambut mereka," berkata Giok Lo Sat. "Apa art
inya berdiam di kota raja menjadi guru silat di dalam istana kaisar? --- Oh, sau
dara Ong, harap kau jangan kecil hati, aku memang biasa omong terus terang."
"Tidak, nona. Ayahkupun bersependapat denganmu," jawab Tjiauw Hie.
Nona itu berkata pula: "Jikalau tidak ada suratnya Beng Boesoe ini, empat
orang itu pasti akan merasakan penderitaan lainnya lagi. Mereka telah menyamar s
ebagai saudagar-saudagar kulit, di tengah jalan mereka dicegat oleh orang-orang
sebawahannya Hwee Leng Kauw dan Tjoe Poo Tjiang. Kalau mereka perkenalkan diri,
urusan pasti tidak ada, akan tetapi mereka sudah unjukkan kejumavvaannya. Mereka
sudah lukai empat tauwbaknya Hwee Leng Kauw! Dengan menunggang seekor kuda aku
segera susul mereka. Di depan mereka aku pertontonkan ilmu pukulan Biantjiang me
mukul batu sehingga hancur bagaikan tepung, setelah itu aku undang mereka naik k
e gunungku, aku kata supaya kita sama-sama meyakinkan ilmu silat pedang."
Ong Tjiauw Hie mengeluh di dalam hatinya.
"Itulah hebat, mustahil untuk saling meyakinkan ilmu silat mesti diberikan
semacam pertunjukan kekuatan tenaga..." pikirnya. (Biantjiang ialah Tangan Kapa
s).
Tadinya pemuda ini hendak mengutarakan sesuatu, tapi sebelum ia sempat men
gucapkannya, ia telah dengar si nona berseru, katanya: "Ai, di mana pembesar she
To itu?" Lalu" dia memanggilnya, sampai dua kali.
Tidak ada jawaban.
"Mari kita lihat!" mengajak Giok LoSat.
Ternyata Tiong Liam telah rebah pingsan, karena tadi dia lihat pemandangan
yang menggoncangkan sangat hatinya.





II

"Hm, beginilah satu tjongtok!" Giok Lo Sat mengejek. "Nyalinya demikian ke
cil!" Ia lantas tepuk dua kali tubuhnya bekas gubemurjenderal itu.
Dengan perlahan-lahan Tiong Liam sadar akan dirinya.
Si nona ambil keluar selembar lengkie (bendera), ia lemparkan bendera itu
kepada tjongtok itu sambil berkata: "Semua piauwsoemu aku telah suruh pergi, mak
a aku berikan lengkie ini untukmu."
Bekas tjongtok itu tercengang, ia tidak mengerti untuk apa lengkie itu
"Kau ambil bendera itu, dan tancap di atas keretamu," si nona mengajarkan,
"kau nanti akan dapat membuktikan, di dalam seluruh propinsi Siamsay ini tidak
akan ada seorang pun yang berani ganggu padamu. Bendera ini ada jauh terlebih ta
ngguh daripada semua orang Boetong pay yang menjadi piauwsoemu itu!"
Tiong Liam mau percaya "keterangan ini, ia menjadi girang secara tiba-t
iba. Lekas-lekas ia jemput bendera itu.
Ia menghaturkan terima kasihnya sambil menjura. "Terima kasih!" katanya.
Tapi si nona dan Ong Tjiauw Hie sudah pergi jauh!
Pemuda she Ong itu buka surat dari bakal mertuanya itu. Dalam surat itu di
tulisnya ia diminta datang ke Pakkhia, kota raja, untuk sambut bakal isterinya.
Ditulisnya pula bahwa di antara guru-guru silat di kota raja telah terjadi pergu
latan gelap yang hebat, terutama di dalam istana keadaannya berbahaya sekali, ma
ka itu ia diminta lekas datang untuk berdamai.
Ayahnya Ong Tjiauw Hie adalah satu sioetjay yang jebol dalam menanjak lebi
h jauh. Pada dua puluh tahun yang lampau selama di kota raja, dia telah angkat s
audara dengan Boesoe Beng Tjan. Perangkapan jodoh masing-masing anaknya itu terj
adi dengan jalan saling "menunjuk perut," ialah sebelum anak-anak mereka terlahi
r. Keduanya menghormati janji mereka.
Di masa Tjiauw Hie masuk umur tujuh tahun, ia ikut ayahnya pulang ke Siams
ay, maka sejak itu, kedua pihak tidak pernah salingketemu lagi.
Pada enam tahun yang baru berselang, Beng Tjan diundang pemerintah untuk j
adi guru silat di keraton Tjoekeng K i ong. istana putera mahkota, ia memangku j
abatan Titthiah Boesoe. Di pihak lain, di Siamsay Utara, Ong Kee In telah menjad
i bengtjoe, pemimpin kaum Rimba Hijau di wilayah itu. Tatkala Kee In dengar baka
l besannya itu bekerja kepada pemerintah, ia merasa sayang sekali. Ia tidak meng
erti mengapa Beng Tjan, seorang kangouw kenamaan, sudi terima jabatan itu.
Sejak Beng Tjan menjadi guru silat istana, setiap tahun tentu satu atau du
a kali ia minta perantaraan orang kangouw menyampaikan suratnya pada besannya. D
emikian kali ini, ia minta pertolongannya murid Boetong pay kakak seperguruannya
Keng Tjiauw Lam itu.
Sudah sedari belasan hari yang lalu, Ong Tjiauw Hie ketahui bakal mertuany
a telah kirim surat, bahwa surat di kirim dengan perantaraannya orang Boetong pa
y, tadinya ia menyangka pembawa surat itu adalah Keng Tjiauw Lam, maka ia sengaj
a berkenalan kepada pemuda she Keng ini, akan tetapi ternyata bahwa pembawa sura
t itu adalah soeheng-nya Tjiauw Lam.
Sehabis membaca surat itu, Tjiauw Hie segera pamitan dari Giok Lo Sat. unt
uk lantas berangkat ke kota raja. Ia lakukan perjalanan cepat. Namun sesudah sel
ang beberapa bulan barulah ia tiba di kota raja. Ketika itu adalah di permulaan
musim pertama, dan pada hari ia tiba, hujan salju tengah turun secara hebat.
Tjiauw Hie memasuki kota dengan ambil jalan pintu Hianboe moei, justeru ja
lan di situ ramai, penuh orang yang jalan berdesak-desak. Dari jauh-jauh ia suda
h dengar riuhnya suara gembreng diseling seru-seruan, ia tidak tahu apa yang men
yebabkannya. Maka ia lantas tanya seorang yang berada di dekatnya.
"Tuan tidak tahu?" sahut orang yang ditanya. "Selama beberapa hari ini di
kota ini sudah terjadi satu perkara besar sekali, banyak pembesar negeri turut t
erembet. Malah hari ini Houwpou Sielong To Kee Hian telah digusur keluar Ngomoei
untuk dihukum potong kepala. Kata-kata umum bahwa ' Menemani raja sama juga men
emani harimau'sangatlah tepat. To Sielong itu kabarnya seorang pembesar baik."
Tjiauw Hie kaget sekali. To Kee Hian itu adalah puteranya bekas tjongtok T
o Tiong Liam. Justeru Kee Hian-lah yang minta Keng Tjiauw Lam tolongmelindungi a
yahnya yang pulang kampung itu. Kenapa sekarang dengan tiba-tiba Sielong itu dih
ukum mati?
Tjiauw Hie yang cerdik lalu masuk ke sebuah restoran untuk menyelidikinya.
Di sini ada banyak orang yang mengobrol tentang macam-macam soal. Tidak ambil t
empo lama. lantas tahulah ia duduknya perkara To Sielong itu.
Kaisar Sin Tjong, yakni Kaisar Ban Lek. yang bernama Tjoe le Koen, mempuny
ai dua putera: Putera sulung Siang Lok namanya, dilahirkan oleh honghouw (permai
suri), dan putera kedua Siang
Soen. dilahirkan oleh The Koeihoei, selir yang tersayang.
Selir she The itu cerdik dan berambekan besar, dia niat merampas kerajaan,
supaya puteranya yang nanti naik tahta. Soal kedudukan thaytjoe (putera mahkota
) pun belum dapat kepastian, karena Kaisar Sin Tjong menunda-nunda untuk mengang
katnya. Baru belakangan, setelah menteri-menteri mengajukan permohonan. Siang Lo
k diangkat jadi thaytjoe. Karena ini, Siang Soen lantas diangkat jadi Hok Ong, p
angeran di Lokyang, Hoolam. Mula-mula Siang Soen tak sudi berlalu dari kota raja
, sesudah ada permohonan pelbagai menteri, baru ia berangkat juga.
Baru satu tahun sejak Hok Ong tinggal di Lokyang, pada suatu hari telah te
rjadi seorang yang bersenjatakan sebatang toya menyerang satu pahlawan pengawal
keraton Tjoekeng Kiong, setelah menerjang sampai di muka istana, baru penyerang
itu dapat diringkus.
Inilah rangkaian peristiwa antara "tiga perkara besar dan aneh" semasa pem
erintahan kerajaan Beng, ialah yang dinamakan "Teng Kie An" atau "Perkara Serang
an Toya". Inipun peristiwa yang menggemparkan kota raja.
Putera mahkota tidak sampai kena diserang, akan tetapi kejadian itu di wak
tu siang terang berderang di mana orang berani serbu istana untuk melakukan peny
erangan, sampai satu pahlawan istana terluka. adalah peristiwa yang belum pernah
terjadi.
Penyerang yang akui dirinya bernama The Toahoentjoe itu tidak keruan lagak
lagunya, kelakuannya surup seperti namanya: Hoentjoe = "campur aduk." Tabib ist
ana yang diperintahkan memeriksanya, tak dapat menetapkan penyerang ini sakit ji
wa atau tidak.
Tatkala penyerang ini di hadapkan ke muka Sam Hoat Soe, pengadilan tinggi,
untuk didengar pengakuannya, ia telah berikan pengakuan yang tidak keruan, ia t
elah rembet-rembet namanya beberapa menteri serta thaykam (orang kebiri).
Pengakuan ini entah benar entah palsu, tetapi telah membawa akibat bagi me
reka yang disebut-sebut namanya jadi bentrok satu pada lain, mereka saling sangk
al dan saling tuduh, di antaranya ada yang saling berkongkoljuga
Kaisar Sin Tjong tidak mempunyai ketetapan hati dan tipis kuping, satu wak
tu ia turut suaranya, menteri ini. dan lain waktu ia percaya menteri itu. Maka d
engan sendirinya, menteri-menteri merasa tidak tenteram hatinya.
To Kee Hian adalah seorang menteri yang tidak usilan, dia telah terembet-r
embet, malah lacur baginya, tanpa menantikan pemeriksaan yang mendalam lagi. dia
dijatuhkan hukuman mati dan mesti menjalankan hukumannya di Ngomoei (muka pintu
istana raja).
Mengetahui duduknya hal. Tjiauw Hie menghela napas. Ia berkasihan terhadap
Kee Hian, ia sayangi kekusutan dalam istana itu. Lebih celaka lagi justeru wakt
u itu di Timur utara bangsa Boantjioe sedang terbangun semangatnya untuk meluask
an daerahnya, sedang di Timur selatan, kawanan bajak bangsa kate (Jepang) saban-
saban datang menyerbu pesisir Tiongkok. Karenanya, berbayanglah keadaan yang men
gancam bagi kerajaan Beng itu.
"Tapi, inipun ada baiknya," berpikir Tjiauw Hie kemudian. "Jikalau Keluarg
a Tjoe tetap tidak punya kemampuan, biarlah aku dari Keluarga Ong yang mengganti
kan mengurus negara!..." (Keluarga Tjoe ialah keluarga raja-raja Beng).
Sekeluarnyadari restoran, Tjiauw Hie lantas ambil jalan menuruti peta kota
raja seperti yang ia pernah ditunjukkan ayahnya, langsung ia menuju ke jalan Po
tjoe Hotong. Samar-samar ia masih ingat rumahnya Keluarga Beng. Baru saja ia mem
asuki gang dan angkat kepalanya mengawasi rumah, ia segera menjadi kaget sekali.
Rumah nampaknya sepi. kedua daun pintunya pun ditutup rapat dengan ditempe
lkan melintang sepotong kertas pembesar negeri. Nyatalah rumah itu telah ditutup
karena disegel!
Itupun ada tanda segelan Kimiewie, sedang di muka pintu ada berdiri dua pe
ngawal barisan Baju Sulam itu. yang rupanya ditugaskan menjaga rumahnya Beng Boe
soe. Dua pengawal itu bertubuh besar dan tegap.
Walaupun ia kaget dan heran, Tjiauw Hie tidak berani mengawasi lama-lama,
ia terus ngeloyor pergi akan berlalu dari gang itu, melainkan hatinya yang agak
goncang. Ia mulai memikirkan keselamatan bakal mertuanya serta bakal isterinya..
.
Dalam kesangsiannya. Tjiauw Hie menuju ke Thiankio, di situ ada bertinggal
satu sahabat ayahnya yang juga satu guru silat kenamaan, bernama Lioe See Beng.
Ia bersyukur, dengan cepat ia dapat cari rumah guru silat itu.
Lioe See Beng terperanjat akan kedatangannya anak muda ini. Dengan tersipu
-sipu ia tutup pintu depannya, terus ia tuntun tetamunya ini ke dalam.
"Hai, benar besar nyalimu!" tegurnya guru silat itu "Ayahmu adalah orang y
ang hendak ditangkap pemerintah, dan bakal mertuamu sudah ditangkap, entah bagai
mana dengan keselamatan jiwanya! Bagaimana jikalau ada orang yang kenali kau?"
Di luar dugaan sang guru silat, Tjiauw Hie tertawa.
"Kota raja sedang perhatikan urusan besar, dia tak sempat perhatikan aku!"
katanya. "Aku justeru hendak mohon keterangan siokhoe. Bakal mertuaku menjadi g
uru silatnya putera mahkota, apa sebabnya dia ditangkap? Mungkinkah dia tersangk
ut perkara Teng Kie An itu?"
Lioe Boesoe menghela napas.
"Aku juga tidak dapat tahu," sahutnya dengan masgul. "The Toahoentjoe itu
justeru adalah ayahmu sendiri yang membekuknya, maka andaikata ia tidak hendak d
iberikan hadiah, ia toh tidak bersalah dosa. Sekarang keadaan jadi terbalik, dia
telah ditangkap."
Tjiauw Hie sudah lantas berpikir, tetapi ia diam saja
"Kau tinggallah di sini, jangan sembarangan perlihatkan diri," kata Lioe B
oesoe akhirnya, la tidak kuatir ketumpangan anak sahabatnya, meski ia tahu bahwa
pemuda ini adalah puteranya Ong Kee In dan bakal mantunya Boesoe Beng Tjan. yan
g kedua-duanya tersangkut perkara dengan pembesar negeri.
Dua hari telah lalu, penjagaan di depan rumahnya Beng Boesoe dihapus.
Malam itu. sehabis bersantap, Tjiauw Hie segera dandan dengan ringkas. Ia
mengenakan yahengie. pakaian yang diperuntukkan keluar di waktu malam, yang berw
arna hitam mulus.
"Siokhoe. malam ini aku hendak pergi ke rumah bakal mertuaku untuk melakuk
an penyelidikan," ia kata kepada See Beng. (Siokhoe - paman).
"Bagaimana kau dapat lakukan itu. anak?" tanya Lioe Boesoe. Dia ragu-ragu.
"Pasti aku tidak rembet-rembet pada siokhoe." Tjiauw Hie kasih tahu.
"Apakah kau telah pikir masak-masak?"
"Ya, siokhoe."
See Beng menggoyang-goyang kepala, ia menghela napas.
"Terserah!" katanya, yang tidak dapat mencegah lagi.
Segera juga Tjiauw Hie keluar dari rumah sahabat ayahnya itu.
Di kota raja, rumah-rumah umumnya rendah, tidak terkecuali rumah orang-ora
ng hartawan. Jarang ada rumah yang tinggi bertingkat tiga Inilah disebabkan raja
-raja melarang rakyat mendirikan rumah yang lebih tinggi daripada loteng istana
Ngohong Lauw, supaya kalau raja atau anggauta keraton naik ke loteng, mereka bis
a memandang seluruh panorama di sekitar istana. Sebaliknya rakyat dari rumahnya
tidak dapat memandang ke arah istana.
Dengan cepat Tjiauw Hie telah sampai di Potjoe Hotong. dengan kegesitan da
n keentengan tubuhnya, ia lompat naik ke genteng rumah yang paling dekat dengan
rumah mertuanya. Di sini dari sakunya ia keluarkan dua buah tangtjhic. yaitu uan
g receh. Dengan dua jarinya ia lemparkan sebuah ke atas. lalu dengan sebuah yang
lain ia timpuk uang yang pertama itu. Selagi melayang, kedua uang receh itu ben
trok satu pada lain dan bersuara mengentring.
Itulah semacam tanda rahasia, yang dinamakan "tjenghoe toansin" yaitu "men
yampaikan warta, dengan jalan uang tembaga", tanda yang biasa digunakan orang-or
ang yang suka keluar malam, untuk cari tahu suatu rumah dijaga atau tidak.
Sehabis menimpuk, Tjiauw Hie mendekam untuk tunggu kesudahannya itu.
Benar-benar ada dua pengawal kimiesoe yang muncul di dalam pekarangan. Ked
uanya dongak akan melihat ke atas. lalu yang satunya berkata seorang diri: "Suar
a apa itu? Satupun tak tertampak bayangan hantu!"
Sang kawan menyahuti: "Di dalam kota raja, di mana ada orang yang nyalinya
besar berani main gila? Dasar Lie Tjiehoei yang terlalu berhati-hati.-"
Masih sekian lama mereka ini berdiam di luar. baru mereka masuk.
Tjiauw Hie sudah siapkan piauw, kalau -kalau dua orang itu lompat naik ke
atas genteng, ia hendak sambut dengan tangan kematian. Sekarang orang undurkan d
iri, ia tertawa dalam hati.
"Dasar kutu tolol! Sedikitpun mereka tidak mengerti kebiasaan kaum kangouw
!"
Lantas ia lari untuk lewati kedua pengawal itu. Sesampainya di dalam, ia l
ompat naik ke atas loteng, yang ia tahu ada menjadi tempat beristirahat bakal me
rtuanya.
Kamar loteng itu sepi, daun pintunya hanya dirapatkan. Dengan berani Tjiau
w Hie berindap-indap masuk ke dalamnya. Baru saja ia melewati pintu, segera dari
samping pintu datang serangan golok.
Oleh karena ia telah syak wasangka, Tjiauw Hie tidak jadi kaget atau gugup
Ia mendek diri dengan segera, sebelah tangannya menarik daun pintu yang satunya
lagi.
Satu suara keras lantas terdengar, bacokan mengenai daun pintu itu.
Dengan satu gerakan "Leehie tateng" atau ikan tambra meletik", pemuda ini
memutar tubuhnya berbareng menghunus pedangnya.
"Bangsat cilik, kau telah antarkan diri ke dalam jaring!" begitulah terden
gar ejekan dari tempat yang gelap. Ruang itu memang tidak ada penerangannya.
Tjiauw Hie niat menerjang dengan pedangnya, tapi mendadak dari kiri kanan,
pintu-pintu samping terpentang dengan berbareng disusuli oleh serangan senjata
gelap. Syukur ia tabah dan gesit, ia mendekam pula Kemudian, sambil berlompat ia
terjang orang yang sembunyi di belakang pintu.
Malam itu penjagaan rumahnya Beng Boesoe dilakukan oleh tiga anggauta pili
han dari Kimiewie. tugas mereka adalah tangkap hidup setiap orang yang berani sa
troni rumah guru silat itu, maka itu sengaja mereka bersikap tolol-tololan untuk
pancing orang, di dalam mereka lantas bersiap sedia
Tadi Tjiauw Hie anggap kedua kimiesoe itu tolol, tapi sekarang justeru ia
yang kena jebak memasuki kamar loteng itu, hingga hampir saja ia kena dirobohkan
.
Kimiesoe yang sembunyi di belakang pintu itu rupanya sebagai kepala di ant
ara dua kawannya, ia bersenjatakan golok, setelah menangkis serangan, ia terus l
akukan perlawanan. Ia bersilat dalam ilmu golok "Ngohouw Toanboen to."
Dua pengawal lainnya, yang juga terus keluar dari kedua pintu samping, sud
ah lantas maju membantui kepalanya mengepung. Dua pengawal ini masing-masing ber
senjatakan toya kuningan dan tjittjiat pian, ruyung berbuku tujuh.
Tjiauu Hie insyaf bahayanya kepungan itu, ia berkelahi dengan keras sekali
. Ia peroleh hasil dengan cepat ketika ujung pedangnya mengenai musuh yang berge
gaman toya.
Adalah maksudnya pemuda she Ong ini, akan beri ajaran juga pada musuh yang
memegang ruyung, tetapi ia didului musuh yang bersenjata golok, yang membacokny
a dari samping, terpaksa ia melayani musuh ini. Orang yang bersenjatakan ruyung
itu juga merangsak. diturut oleh kawannya yang bersenjata toya, yang telah terlu
ka tadi tapi tidak parah.
Lagi-lagi Tjiauw Hie dikepung bertiga, tetapi ia tidak jeri. Ia mainkan pe
dangnya dengan sempurna. Ia pel ajarkan ilmu silat di bawah pimpinan ayahnya, On
g Kee In, yang telah dapat wariskan ilmu silat pedang Liapin Kiam dari Keluarga
Tjio. Tidak lama ia dapat tikam orang yang bersenjata cambuk hingga berkaok-kaok
kesakitan, la terus desak musuh yang bersenjata toya tadi.
Musuh ini terpaksa mundur hingga mendekati tembok tanpa ia ketahui, baru i
a kaget ketika ia merasa tubuhnya menempel kepada tembok. Waktu itupun pedangnya
lawan sudah menyambar ke arahnya.
Mendadak tembok bergerak dan terbuka sebuah pintu bagaikan pintu gua, ke d
alam mana tubuhnya kimiesoe itu roboh masuk.
Tjiauw Hie kaget, tubuhnya hampir terjerunuk ke dalam pintu itu, karena in
ilah, musuh yang memegang ruyung. yang telah maju pula. hampir saja dapat menyab
et padanya, syukur ia masih sempat memutar tubuh dan menangkis.
Pada saat itu, dari pintu rahasia itu terdengar satu seruan dengan lompat
keluarnya satu orang, hingga
Tjiauw Hie bertambah-tambah kaget. Ia tidak tahu orang itu kawan atau lawa
n.
Orang itu baru lompat keluar, segera menyusul seorang yang lain. Yang bela
kangan ini berpakaian putih seluruhnya, hingga segera dia dapat dikenali sebagai
seorang wanita.
Nona itu tidak lantas nyerbu ke dalam medan pertempuran, dia hanya berdiri
di ambang pintu dengan pedangnya dilintangkan, dia berseru: "Koko Bin, kau terj
ang kimiesoe yang -bersenjatakan golok itu!"
Orang yang pertama lompat keluar adalah seorang anak muda bergegaman sebat
ang golok, dia sudah lantas serang kepala kimiesoe. Kepala pengawal ini menangki
s, hingga kedua golok bentrok keras. Kedua pihak tidak menyerang lebih jauh. mer
eka sama-sama melengak. Itulah sebab bentrokan golok mereka yang menggetarkan ma
sing-masing tangannya
"Mungkinkah dia tunanganku?" Tjiauw Hie menduga-duga sambil matanya mengaw
asi si nona, roman siapa ia masih ingat samar-samar.
Menggunakan ketika itu, kimiesoe yang ketiga lantas saja cari jalan umuk a
ngkat kaki.
"Ke mana kau hendak mabur?" si nona membentak sambil mengayun sebelah tang
annya, melepaskan tiga batang golok yang terbang ketiga jurusan atas, tengah dan
bawah.
"Aduh!" menjerit pahlawan itu, yang lantas roboh terguling karena tubuhnya
tertancap tiga golok terbang itu.
"Eh, anak muda, mengapa kau mengawasi aku saja?" si nona tanya Tjiauw Hie.
"Kau tidak mau turun tangan?"
Pemuda ini bagaikan orang baru sadar. Iapun segera dapat lihat, si anak mu
da yang si nona panggil "Koko Bin" mulai keteter. Maka ia lantas lompat pada ana
k muda itu.
"Kau mundurlah!" ia kata, sikut siapa ia bentur. Pemuda itu heran. "Kau ma
u apa?" tanyanya. Tjiauw Hie tidak sempat menjawab, ia sudah terus serang ke
pala kimiewie itu, hingga ia bikin orang repot Kali ini ia tidak sia-siakan temp
o, karena di lain saat ia sudah lantas berhasil membabat kutung golok orang.
Kimiesoe itu kaget, tapi justeru itu pula tamatlah perlawanannya. Dengan k
esehatannya yang luar biasa Tjiauw Hie telah membacok pula mengenai tubuh musuh
sehingga binasa.
"Ilmu pedangmu tidak tercela, hanya sayang kau sedikit sembrono!" kata si
nona sambil tertawa.
Tjiauw Hie tercengang, mukanyapun merah. Ia tidak sangka di sini ia dapat
terima celaan sembrono.
Si nona agaknya tidak perdulikan orang tercengang, ia maju memberi hormat
sambil menjura.
Giesoe katanya, "untuk ayahku kau telah menempuh bahaya, aku berterima kas
ih, sudikah kau memberitahukan she dan namamu."
Sudah enam belas tahun Tjiauw Hie berpisah dari tunangannya ini. Ketika Bo
esoe Beng Tjan kirim surat mendesak ia datang menyambut, si nona tidak mendapat
tahu, maka si nona bermimpi p u n tidak akan kedatangan tunangannya dari tempat
ribuan lie untuk papak padanya. Sebenarnya ia rada-rada mengenali anak muda ini,
akan tetapi ia tidak berani lancang.
"Aku she Ong bernama Tiauw," Tjiauw Hie jawab. "Apakah siotjia yang bernam
a Tjioe Hee, puteri kesayangannya Beng Boesoe?" Nona itu tercengang. "Eh, mengap
a kau tahu namaku?" ia balik menanya.
"Dan ini engko toh..." kata pula Tjiauw Hie sambil tunjuk si anak muda. Ia
sampai tidak sempat menjawab si nona.
"Aku adalah Pek Bin," kata si anak muda sambil tertawa. "Aku muridnya Beng
Boesoe. Saudara Ong, hebat ilmu silatmu, dengan sejurus saja kau telah bikin ha
bis kuku garuda ini! Tadi kau bentur aku, untuk itu sedikitpun aku tidak gusar..
." Tjiauw Hie heran. "Orang ini rada tolol," pikirnya. "Dia bernama Pek Bin tapi
ia tidak cerdas!..." ("Bin" dapat diartikan "cerdas").
Pemuda kita tidak mau segera perkenalkan dirinya. Kepada si nona ia beri k
eterangan bahwa ia kenal Beng Boesoe dan siapa ia berhutang budi, karena itulah
ia berani menempuh bahaya, untuk balas budi guru silat itu. Ia kata bahwa kedata
nganya ini melulu untuk kunjungi Beng Boesoe.
Si nona percaya keterangan int, sebab ia tahu ayahnya memang mempunyai per
gaulan luas dan banyak sahabat ayahnya yang ia tidak kenal. Ia lantas menghaturk
an terima kasih untuk bantuannya pemuda ini.
"Kalian sembunyi di dalam tembok rahasia ini sudah berapa lama?" Tjauw Hie
kemudian tanya. Ia agaknya heran orang sembunyi di kamar rahasia itu.
"Sudah tiga hari." Pek Bin jawab. "Kami sembunyi sejak hari pertama guruku
ditangkap."
Tidak enak rasa hatinya Tjiauw Hie, tanpa merasa wajahnya berubah sedikit
pucat.
Hidup jeli matanya Nona Beng itu, ia awasi pemuda kita.
"Saudara Ong, kau lelah tentu, mari beristirahat!" ia mengundang.
"Ya, pasti dia sudah letih!" kata Pek Bin dengan gembira. "Nanti aku cari
arak untuk dia dapatkan kembali kesegarannya!"
Tjiauw Hie merasa lucu melihat lagaknya orang she Pek ini. tetapi di sampi
ng itu ia tidak dapat singkirkan curiga cemburu dalam hatinya.
Pek Bin lari turun dari loteng untuk ambil arak simpanan.
Ruang hanya diterangi sinar bulan yang molos dari antarajendela Berada ber
dua bersama tunangannya itu, Tjiauw Hie tak dapat cegah goncangan hatinya.
Tjioe Hee sudah lantas sulut dua batang lilin, hingga di antara cahayanya
lilin itu, semakin nyata tampak kecantikannya.
"Beng Siotjia, harap kau maafkan kelancangan ku. kata pemuda ini kemudian.
Sebenarnya ingin sekali aku ketahui sebabnya kenapa ayahmu ditawan dan bagaiman
a keadaannya sekarang, supaya kita dapat pikirkan daya untuk menolongnya."
Dari cahaya matanya nyata tampak si nona sangat bersyukur. Tjiauw Hie tund
uk ketika si nona awasi padanya.
Kemudian dengan liamdjim (merangkapkan kedua tangannya), Nona Beng memberi
hormat
"Sebetulnya kamipun gelap kepada duduknya hal," kata si nona. "Di hari ked
ua terjadinya perkara Teng Kie An itu. malam harinya ada datang dua orang ke rum
ah kami ini. Mereka itu bicara kepada ayah di kamar tulis. Bersama-sama Pek Bin
aku sembunyi di kamar sebelah. Suara pembicaraan mereka itu makin lama makin per
lahan, sehingga kami tidak dapat mendengarnya lagi. Samar-samar aku dengar dua t
etamu itu menyebut-nyebut tentang penjahat, hal pengakuan dan akal muslihatnya p
enjahat itu. Akupun berulang-ulang dengar ayahku mengatakan "Aku tidak tahu.' Ke
tika kemudian kedua tetamu itu berlalu, ayah lantas desak kami supaya lekas angk
at kaki dari sini. Masih ayah pergi keluar untuk melongok akan lantas balik pula
ke dalam mendorong kami masuk ke dalam kamar rahasia dua bungkusan besar barang
makanan ia lemparkan pada kami. Baru saja kami sembunyi, orang-orang Kimiewie t
elah datang. Kami tidur bergantian. Baru tadi kami dengar suaranya orang-orang K
imiewie yang menjaga di situ. Kami sudah tidak betah berdiam di dalam kamar ini,
kau datang justeru kami hendak keluar."
Kembali bangkit kesangsiannya rjiauw Hie. Si nona bersama Pek Bin telah me
ngumpet di dalam satu kamar berhari-hari dan bermalam-malam, namun si nona bicar
a dengan air muka tetap tidak berubah menjadi merah...
"Ya, aku masih ingat." Tjioe Hee menambahkan, "merekapun ada menyebut-nyeb
ut namanya The Kokkioe dan Goei Kongkong." (Kokkioe ialah ipar raja, dan Kongkon
g adalah sebutan untuk orang kebiri).
Tjiauw Hie pernah bantui ayahnya bekerja, pengalamannya melebihi daripada
usianya yang masih muda, setelah dengar keterangannya Tjioe Hee, ia tunduk untuk
berpikir.
"Perkara Teng Kie An itu tentulah suatu rencana komplotan busuk yang terbe
sar." ia menyatakan kemudian "Aku percaya ada golongan yang sewa tenaga si penye
rang itu dengan maksud mencelakai pihak lain. Ayahmu adalah yang pertama bentrok
dengan penyerang itu, sudah pasti ayahmu termasuk salah seorang yang di arah ko
mplotan itu. Mungkin si penyerang telah mengatakan sesuatu mengenai ayahmu, maka
ia sudah lantas ditahan. Dugaanku pihak pertama itu sudah tentu orang-orang yan
g mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan, mungkin dia The Kokkioe atau Goei Ko
ngkong. Aku percaya ayahmu sekarang masih belum mati."
"Dengan alasan apa kau berpendapat demikian?" tanya si nona
"Kecuali ayahmu tahu banyak, iapun telah beber semua itu, sudah tentu ia d
icurigai, maka ia ditahan terus untuk diperiksa secara perlahan-lahan." sahut Tj
iauw Hie.
Tjioe Hee menghela napas.
"Mungkin benar dugaanmu," kata ia. Dan dengan sendirinya ia lantas menaruh
harga pada pemuda ini. Hingga iapun melamun: "Entah bagaimana halnya tunanganku
, syukur kalau dia sama seperti pemuda she Ong ini..."
Justeru ia ingat tunangannya dan pemuda ini sama-sama orang she Ong. wajah
nya si nona lantas berubah bersemu dadu, maka lekas-lekas ia tunduk.
Tjiauw Hie heran, tadi ia tampak si nona demikian toapan, tapi sekarang be
rubah menjadi likat.
Tjioe Hee pun sadar atas perubahan kelakuannya ini, ia mencoba untuk tenan
gkan hatinya. Begitulah ia angkat kepalanya. Tadinya ia hendak bicara, tetapi se
gera ia dengar tindakan kaki di tangga loteng.
Itulah Pek Bin yang kembali bersama dua botol arak Tinliau Lootjioe.
"Saudara Ong, mari minum dua cawan arak untuk dapat pulih kesegaranmu!" ka
ta si tolol itu. "Kau telah berkelahi keras hingga menjadi lelah sekali." Tapi,
ketika ia pandang pemuda itu. ia tertawa sendirinya. Ia dapatkan orang sudah seg
ar kembali. "Ah. saudara Ong!" serunya. "Cepat benar kau dapat pulih kesegaranmu
! Melihat parasmu tadi, aku kuatirkau mendapat sakit..."
Tergerak hatinya Tjiauw Hie. Ia segera menjadi suka kepada anak muda yang
polos ini. Maka ia pikir: "Telah enam belas tahun aku berpisah dari tunanganku,
tak dapat disesalkan apabila di dalam hatinya berpeta lain orang." Oleh karena i
a memikir demikian, hatinya banyak lebih lega. iapun menjadi jengah sendirinya k
arena ia sudah curigai Pek Bin.
"Eh, tolol, kau pandai melayani tetamu!" kata Tjioe Hee sambil tenawa pada
murid ayahnya itu.
Pek Bin pun tertawa, ia isikan tiga buah cangkir.
"Soemoay, kau pun harus turut minum meski hanya secawan!" ia kata.
Si nona pergi ke jendela, untuk lihat cuaca.
"Jangan kita sibuki arak saja." katanya sambil kembali ke meja, "cuaca aka
n mulai terang, sebentar bakal datang Kimiesoe yang akan gantikan tiga orang ini
. Kita harus pikirkan daya..."
Ong Tjiauw Hie tolak cawannya.
"Mari kita pergi!" ia mengajak.
Beng Ijioe Hee tahu, memang mereka tidak dapat sembunyi terus di kamar rah
asia itu. maka ia setuju untuk angkat kaki.
"Ke mana kita hendak pergi?" dia tanya.
"Kau turut saja aku." sahut Tjiauw Hie.
Pemuda ini ajak kedua orang itu ke rumahnya Lioe Hee Beng.
Malam itu Lioe Boesoe tidak dapat tidur, ia terus memikiri Tjiauw Hie, hat
inya baru menjadi lega setelah melihat pemuda itu kembali dengan tidak kurang su
atu apa.
"Lioe siokhoe, aku datang membawa tunanganku bersama soeheng-nya, mereka s
edang menanti di luar." Tjiauw Hie kasih tahu. Iapun lantas tuturkan dengan sing
kat hal perbuatannya barusan. Kemudian ia tambahkan: "Aku hendak minta siokhoe b
antu aku untuk membohongi dulu nona Beng untuk sementara waktu saja. Dia masih b
elum tahu bahwa aku adalah tunangannya."
Orang tua itu urut-urut kumisnya sambil bersenyum.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
"Lebih baik ia tidak segera mendapat tahu," Tjiauw Hie jawab.
See Beng tertawa.
"Memang anak-anak muda, sukar dibade hatinya!" katanya. "Baiklah."
"Terima kasih, siokhoe," kata Tjiauw Hie sambil bersenyum, lalu ia keluar
dari kamar rahasia si paman, untuk ajak masuk Tjioe Hee dan Pek Bin.
See Beng tidak berkeberatan ditumpangi lagi dua orang.
Lewat beberapa hari. suasana tak segenting lagi sebagai beberapa hari yang
lampau itu.
Lioe Boesoe luas pergaulannya, maka ia lantas dengar warta yang bersumber
dari istana, bahwa Kaisar Sin Tjong telah menghukum mati dua thaykam Bang Po dar
i Lauw Seng, entah apa sebabnya, sebaliknya thaykam Goei Tiong Hian dinaikkan pa
ngkatnya menjadi Thaykam Tjongkam, yaitu kepala dari semua orang kebiri.
"Goei Tiong Hian itu tentulah Goei Kongkong." Tjiauw Hie menduga.
Tjioe Hee di lain pihak mulai bergelisah, karena ia masih tidak dapat deng
ar sesuatu mengenai ayahnya.
"Bagaimana sekarang?" ia tanya Tjiauw Hie. Sekarang ia dapat bergaul tidak
likat-likat lagi.
Tjiauw Hie berpikir tetapi ia tidak dapat jalan, hingga berulang-ulang si
nona desak padanya.
Lain malamnya, tiba-tiba Tjiauw Hie ajak Tjioe Hee dan Pek Bin ke kamarnya
.
"Siotjia, kau berani tidak menempuh bahaya besar?" ia tanya nona itu.
"Apakah itu, saudara Ong?" balas tanya si nona. Agaknya ia kurang puas ata
s pertanyaan itu. "Kenapa kau bicara begini rupa? Aku tidak sanggup menolongi ay
ah. aku sudah bukan main malunya, maka apakah untuk urusanku sendiri aku mesti m
engandal pada tenagamu?"
Ditegur begitu. Tjiauw Hie tertawa
"Aku tidak pandai mengatur omongan, ya, aku bersalah!" katanya.
"Ah, sudahlah, lekas omong!" Pek Bin mendesak. "Untuk menempuh bahaya, aja
klah aku. Aku tidak punya kelebihan apa-apa, kecuali aku tidak takut mati! Guna
menolongi soehoe, aku bersedia akan serbu lautan api!"
Tjiauw Hie pandang pemuda ini.
"Sebenarnya," ia kata. "malam ini aku niat pergi memasuki istana untuk mem
buat penyelidikan. Aku tahu di mana letaknya keraton Kiantjeng Kiong dari The Ko
eihoei. Atas permintaanku. Lioe Siokhoe telah lukiskan lengkap peta dari seluruh
istana."
Pek Bin tepuk-tepuk tangan. "Bagus! Bagus!" dia memuji. "Tapi," Tjiauw Hie
kata, "untuk satroni istana, orang mesti sempurna ilmu lari pesat dan lompat ti
nggi. Tentang kau. Beng Siotjia, aku tidak sangsi lagi.."
Kali ini nyata Pek Bin tidak tolol... "Dalam hal ilmu enteng tubuh, aku ka
lah daripada soemoay." demikian ia bisa pikir, "maka kalau aku turut pergi, tida
k saja aku tak dapat membantui mereka, bahkan aku akan menyulitkan mereka itu...
" Karena ini, ia lantas berkata: "Aku tidak akan turut!" Sama sekali ia tidak me
nunjukkan iri hati.
Senang hatinya Tjiauw Hie begitupun Tjioe Hee. karena dengan mengalahnya s
i tolol ini. tidak usah mereka sibuk meinbujukinya...
Malam itu setelah dengar kentongan tiga kali. pemuda-pemudi ini telah siap
sedia, sekeluarnya dari rumah, langsung mereka menuju ke Tjiekim Shia. Kota Ter
larang. Malam itu bulan masih samar-samar perlihatkan diri, bintangpun jarang.
Tjioe Hee hendak lantas lompat naik ke atas tembok pengurang istana itu, t
etapi ia ditarik oleh Tjiauw Hie yang mencegahnya kemudian pemuda ini jongkok ak
an jemput dua potong batu. dengan apa ia memimpuk hokshia ho. yaitu kali yang me
ngurung tembok. Segera terdengar suara, yang tidak terlalu nyaring, akan tetapi
menyusul itu lantas berkelebat empat bayangan.
Itulah pengawal-pengawal istana yang keluar dari tempat persembunyiannya.
Mereka lompat dari tembok menghampiri kali. Justeru mereka lompat keluar. Tjiauw
Hie ajak si nona membarengi lompat naik. untuk masuk ke dalam kota.
Tjiauw Hie sudah kenal baik keletakan istana maka ia yang pimpin Tjioe Hee
membuka jalan. Dengan lewati ketiga pendopo Thayho. Tiongho dan Pooho. mereka m
enyelusup ke dalam. Mencelatnya mereka sangat pesat, saban-saban mereka bisa abu
i pengawal-pengawal yang sedang melakukan penjagaan. Sebentar kemudian sampailah
mereka di taman kecil di samping keraton Kiantjeng Kiong.
Pekarangan istana sangat luas. ada telaga-telaga buatan yang diberikan nam
a laut. ialah Pakhay Pekhay dan Sipsathay. bening jernih airnya.
Sembunyi di tempat gelap. Tjiauw Hie dan Tjioe Hee memasang mata Di sebuah
pintu samping, mereka lihat enam pengawal sedang temani satu orang yang tubuhny
a berselubung mantel sampai kepalanyapun ketutupan. Tujuh orang itu menuju ke pi
ntu keraton.
Tadinya Tjiauw Hie hendak kuntit rombongan itu. di saat ia hendak keluar d
ari tempat persembunyiannya, ia tampak melesatnya satu bayangan dari atas genten
g, masuk ke dalam pendopo. Ia heran untuk kegesitannya bayangan itu, yang melebi
hi kepandaiannya sendiri. Maka kalau bayangan itu ada salah satu pengawal dan ia
dipergoki, sulit untuk ia loloskan diri.
Tjioe Hee bisa duga kesangsiannya pemuda ini, ia kata: "Tanpa masuk ke sar
ang harimau, mana kita bisa dapatkan anak harimau?"
"Sabarlah sebentar." Tjiauw Hie kata.
Hampir berbareng dengan itu, dari dalam keraton Kian Tjeng Kiong terdengar
teriakan berulang-ulang: "Ada penyerang gelap! Lantas dari luar keraton memburu
lima atau enam pengawal.
Kebetulan bagi Tjiauw Hie. beberapa pengawal itu lari beruntun di dekatnya
, ia tunggu orang yang terakhir lari melewat, tiba-tiba ia lompat menyerang samb
il menotok, setelah mana, ia seret orang itu ke belakang gunung-gunungan. Ia buk
akan pakaiannya orang itu untuk ia pakai.
"Kau sembunyi dahulu di sini. jangan bergerak," ia pesan Tjioe Hee. "Aku h
endak masuk ke dalam keraton, akan lihat siapa orang tadi itu."
Tanpa tunggu jawaban lagi, ia segera hunus pedangnya dan lari keluar sambi
l berteriak-teriak: "Tangkap penyerang gelap!" Secara demikian, ia dapat susul r
ombongan tadi.
Di dalam keraton, pertempuran sedang berlaku. Seorang pemuda jangkung yang
bersenjatakan sebilah pedang panjang tengah melayani belasan pahlawan, senjata
mereka saling sambar dan sinarnya berkelebat.
Pemuda itu bersilat dengan ilmu Boetong pay yang dinamakan Tjitcapdjietjhi
oe Lianhoan kiam. Di matanya Tjiauw Hie orang itu berlipat kali lebih liehaydari
padaKeng Tjiauw Lam, ia kagum bukan main. lapun tampak orang masih sangat muda.
Akan tetapi walaupun gagah, namun pemuda itu repot juga melayani belasan w
iesoe itu.
Selagi Tjiauw Hie bengong tonton pertempuran itu, tiba-tiba ia dengar tegu
ran: "Hai, mengapa kau diam saja. tidak membantui turun tangan?" la tahu bahwa o
rang itu tentu pemimpin barisan pengawal, yang telah pula datang menghampiri pad
anya. Melihat wajah Tjiauw Hie yang asing baginya, orang itu menjadi heran. Tjia
uw Hie pun tidak bisa umpetkan kekagetannya.
"Ada wiesoe palsu!" teriaknya pemimpin itu sambil mengangkat thietjio-nya
menyerang pengawal palsu ini.
Dengan terpaksa Tjiauw Hie tempur pengawal ini.
Beberapa pengawal datang bantu mengepung Tjiauw Hie. la dapat lukai seoran
g pengawal tapi ia tetap terkurung.
Tjiauw Hie tidak tahu bahwa pemuda jangkung yang liehay itu adalah To It H
ang, puteranya Houwpou SielongTo Kee Hian, atau cucunya bekas tjongtok To Tiong
Liam. Dalam usia tujuh tahun, selagi ikuti ayahnya di kota raja, It Hang bertemu
Tjie Yang Toodjin, imam pemimpin Boetong pay. yang datang ke kota raja untuk mi
nta dejrna sekalian diam-diam mencari satu pemuda yang berbakat untuk dijadikan
muridnya, untuk di belakang hari murid itu bisa dijadikan ahli waris. Melihat wa
jahnya It Hang, tertariklah hatinya imam itu, segera timbul keinginannya akan am
bil bocah ini.
Sebelum bekerja di kota raja, Kee Hian pernah pangku pangkat di Ouwpak. di
mana ia dapat ketika berkenalan kepada Tjie Yang Toodjin. Maka ketika mereka be
rtemu pula di kota raja. dan si imam utarakan maksudnya mengambil It Hang sebaga
i muridnya. Kee Hian lantas saja terima baik permintaannya imam ini. Maka It Han
g lantas dibawa pulang ke Boetong san untuk dididik dan dilatih, sampai selang d
ua belas tahun, hingga ia paham ilmu silat pedang Lianhoan kiam itu serta ilmu p
ukulan tangan kosong Kioekiong Sinhong koen. Dengan begitu, kepandaiannya pemuda
ini ada di atasan semua murid Boetong pay angkatan kedua bahkan melebihi para p
aman gurunya (soesiok).
Selama dua belas tahun yang lampau itu. setiap tiga tahun sekali tentu-ten
tu Tjie Yang Toodjin datang ke Pakkhia mengajak It Hang. untuk murid ini berkump
ul dengan ayahnya selama satu bulan, selama mana It Hang pun belajar ilmu surat,
untuk mana Kee Hian sengaja undang guru yang pandai. Secara demikian, It Hang p
un terdidik baik dalam ilmu surat.
Sekarang dalam usia sembilan belas tahun, dengan perkenan gurunya. It Hang
pulang ke kota raja memenuhi panggilan ayahnya, yang ingin ia turut dalam ujian
besar. Ketika ia mau berangkat turun gunung, gurunya hadiahkan ia sebatang peda
ng, yang diberi nama Hankong kiam.
Guru itupun memesan, katanya: "Aku ingin dan harapkan kau tidak akan tengg
elam dalam dunia kepangkatan, supaya kelak kau dapat menggantikan aku memegang p
impinan atas Boetong pay!"
It Hang terima baik pesan gurunya itu. Ketika ia sampai di rumah, ia disam
but dengan girang oleh kedua orang tuanya. Baru tiga tahun yang paling belakang
anak dan orang tua berpisahan, tapi sekarang It Hang sudah jangkung menyusuli ay
ahnya.
Mereka serumah tangga baru berkumpul belum tiga bulan, tiba-tiba datanglah
ancaman bencana hebat, yaitu To Kee Hian terlibat dalam perkara "Teng Kie An" i
tu, hingga ia menemui ajalnya secara sangat mengenaskan itu. Tentu saja It Hang,
yang dapat meloloskan diri, jadi sangat sedih berbareng murka, hingga ia ambil
putusan untuk menuntut balas.
Dari salah satu sahabat ayahnya. It Hang dapat tahu bahwa ayahnya difitnah
oleh The Kokkioe, bahwa ipar raja inipun bertindak menuruti keinginannya The Ko
eihoei, selir raja It Hang tidak dapat kendalikan diri lagi, walau ia tahu istan
a tidak dapat dibuat permainan, namun ia memasuki juga keraton seorang diri, unt
uk cari selir musuhnya itu. guna wujudkan pembalasannya.
Demikian ia terlibat dalam suatu pertempuran dahsyat, sampai Ong Tjiauw Hi
e datang membantui padanya.
Sesudah menyerang hebat dengan ilmu silat Liapin kiamhoat, ilmu pedang "Me
nyusul Mega", bisa juga Tjiauw Hie merangsek dekat kepada To It Hang, yang pun b
ergerak ke arahnya apabila dia lihat ada orang yang membantui padanya. Maka itu,
selanjutnya mereka berkelahi sambil belakang-membelakangi hingga tak usah merek
a jadi repot melayani musuh-musuh di depan dan belakang.
Pada saat itu pintu kamar tidur dari keraton Kiantjeng Kiong telah terpent
ang, dari situ keluar The Koeihoei bersama kakaknya dan seorang laki-laki yang m
engenakan mantel tadi, serta enam pengiringnya. Mereka muncul untuk menyender di
pintu, untuk saksikan pertempuran itu.
"Siang Soen. titahkanlah pengi ringmu pertunjukkan kepandaiannya!" berkata
selir raja itu sambil tertawa. Nampaknya sedikitpun ia tidak jeri menghadapi pe
nyerang gelap itu. "Lihat segala pahlawan bantong itu, dua bocah cilik saja mere
ka tidak mampu bekuk! Apabila mereka tidak lekas-lekas dibereskan, kalau sebenta
r kejadian ini mengejutkan keraton Tjhiakiong, itulah tidak bagus."
Laki-laki yang bermantel lantas gerakkan sebelah tangannya, segera dua pah
lawannya maju hampir berbareng. Seorang yang bersenjatakan sepasang gaetan hoktj
hioe kau w, menghampiri To It Hang. dan yang seorang pula dengan bertangan koson
g menyerbu Ong Tjiauw Hie, yang pedangnya hendak dirampas.
Tjiauw Hie sambut lawan yang baru ini dengan babatan pedangnya. Orang itu
lompat ke samping, gesit sekali, hingga ia lolos dari bahaya. Tapi pemuda kita t
idak berhenti sampai di situ, ia maju menyambar pula membabat lengan lawan, sete
lah mana, ujung pedang menusuk ke lutut!
"Ah!" seru wiesoe itu yang segera lompat mundur, ia rupanya kaget untuk se
rangan yang istimewa itu.
luga wiesoe yang menyerang It Hang tidak peroleh-hasil. Pikirnya dengan se
njata gaetannya ia hendak gaet dan rampas pedangnya si anak muda, maka ia maju m
enyerang dengan "Thaypang liamtjie," --- "Burung garuda rapatkan sayap", yaitu s
epasang gaetannya yang tadinya terpentang, ia rapatkan dengan mendadak.
It Hang jeli matanya, begitu pedangnya hendak digencet, ia teruskan membac
ok ke bawah dengan gerakan "Soanhong sauwyap" atau "Angin puyuh menyapu daun". M
aka repotlah si wiesoe, terpaksa ia lompat mundur.
Penyerangnya Tjiauw Hie rupanya mengerti ilmu Engdjiauw kang. Tangan Kuku
Garuda, beberapa kali ia coba mendesak Tjiauw Hie namun senantiasa ia tidak pero
leh hasil. Demikianpun kawannya yang bersenjatakan gaetan itu.
Siang Soen kecele menampak dua pahlawannya yang dibuat andalan itu tidak s
egera peroleh hasil.
Tetapipun di lain pihak karena majunya dua tenaga baru ini. It Hang dan Tj
iauw Hie menjadi repot juga. Hingga Tjiauw Hie merasa sangat berbahaya untuk mem
perpanjang waktu. Justeru itu ia dengar seruannya Tjioe Hee. yang disusul pula d
engan teriakan riuh: "Tangkap penjahat wanita!" Mengertilah ia. rupanya nona Ben
g telah dipergoki. Maka ia coba merangsak dengan niatan tengok nona itu. Tapi ka
rena perubahan sikapnya ini, pihak lawan berbal ik bisa desak ia, hingga ia jadi
berpencar dari It Hang.
Setelah melakukan perlawanan hebat, Tjiauw Hie dapat lukai dua pahlawan, a
kan tetapi sendirinyapun ia rasakan pundaknya panas, karena sebatang golok musuh
sudah mampir ke pundaknya itu. Karena ini ia berkelahi semakin hebat untuk memb
uka jalan.
Selagi pertempuran berjalan dahsyat itu. tiba-tiba pintu taman terpentang
tertolak dari luar. Pintu itu berada di samping keraton. Segera terlihat majunya
serombongan wiesoe lain.
Menampak barisan itu, wajahnya The Koeihoei berubah. Ia segera tolak tubuh
nya laki-laki yang bermantel itu, supaya dia masuk ke dalam.
Rombongan wiesoe itu sampai dengan segera, mereka tidak maju untuk membant
u menangkap penyerang, hanya seorang di antaranya, yang berada di tengah, berser
u: "Berhenti bertempur! Geledah keraton!"
Semua wiesoe yang sedang mengepung It Hang dan Tjiauw Hie kaget, mereka lo
mpat mundur, untuk berhenti bertempur.
"Thianhee. apakah salahku?" The Koeihoei menanya, suaranya nyaring.
Orang itu, yang ternyata adalah thaytjoe, putera mahkota, tidak berikan ja
waban, sebaliknya ia berikan titahnya pula.
"Geledah keraton!" demikian dia berikan perintahnya, sesudah mana. bersama
sekalian wiesoenya ia bertindak ke arah tangga.
The Koeihoei gerakkan kepalanya.
"Tanpa firman Sri Baginda, siapa berani lancang masuk ke sini?" dia memben
tak.
Dan bentakan itu membuat semua pahlawan merandek.
"Sudah ada lain orang yang mendahului masuk kemari!" seru thaytjoe. "Tidak
usah tunggu lagi firman Sri Baginda! Aku yang tanggung jawab!"
Semua pahlawannya putera mahkota maju pula sambil berseru.
"Halau kawanan orang jahat ini!" Koeihoei berteriak. "Aku nanti ajak dia m
enghadap Sri Baginda untuk berurusan! Akulah yang menanggung jawab!"
Pahlawannya selir itupun maju untuk belai majikannya, karena mana kedua pi
hak wiesoe (pahlawan) jadi bentrok satu pada lain.
Menampak demikian. To It Hang lompat maju.
"Thaytjoe, aku nanti bekuk semua pemberontak ini!" ia berseru.
Benar-benar puteranya To Kee Hian menerjang pahlawannya selir raja.
Beberapa pahlawan selir raja memencarkan diri, untuk merintangi pemuda ini
, akan tetapi serangannya It Hang membuat lawannya repot melayaninya.
Laki-laki yang bermantel itu angkat kaki. dia lari ke hadapan The Koeihoei
. tapi di saat dia hampir nyeplos ke pintu kamar, It Hang sudah lompat ke arahny
a, dengan ulur sebelah tangannya pemuda ini dapat jambak mantel berikut tubuhnya
orang itu. yang terus diangkat tinggi-tinggi, malah digunakan sebagai senjata u
ntuk menangkis setiap serangan.
Semua pahlawan koeihoei tidak berani menyerang lebih jauh, karena mereka k
uatir melukai orang itu.
Tjiauw Hie merangsek ke dalam, putera mahkota serta dua pahlawannyapun iku
t maju.
Justeru itu, It Hang lemparkan tawanannya, yang disambut oleh pahlawan tha
ytjoe. Ketika mantelnya orang itu yang menutupi mukanya disingkap, mereka kaget.
"Djiehongtjoe!" mereka berseru.
Itulah putera yang kedua dari Kaisar Sin Tjong.
Thaytjoe tertawa dingin.
"Ringkus padanya!" dia perintahkan. "Geledah keraton!"
Pintu keraton telah ditutup, tetapi dengan gempuran kedua tangannya. It Ha
ng bikin daun pintu mcnjcblak terbuka, maka semua orang menyerbu masuk.
Djiehongtjoe Siang Soen sangat andalkan ibunya, yakni The Koeihoei yang sa
ngat digilai raja. karena itu ia telah kandung niatan hendak merampas tahta kera
jaan, tindakan yang pertama adalah merebut kedudukannya thaytjoe. Akan tetapi ba
nyak menteri berada di pihaknya thaytjoe. maka telah kejadian Siang Soen diangka
t jadi pangeran Hok Ong dan diperintahkan berdiam di kota Lokyang. The Koeihoei
tidak puas terhadap keputusan itu, ia mencoba berdaya dengan berserikat kepada t
haykam Goei Tiong Hian serta kakaknya, The Kok Tay, begitupun bersama beberapa m
enteri yang suka berkomplot pada pihaknya. Demikian, selir raja ini sudah gunaka
n akal muslihat.
Penyerang yang menjadi gara-gara dari terbitnya insiden "Teng Kie An" itu
adalah seorang kepercayaan The Koeihoei, yang berpura-pura menjadi orang yang ti
dak beres otaknya, dengan bersenjatakan toya kayu dia menyerbu ke keraton Tjoeke
ng Kiong. Setelah dia kena ditangkap, dia terus ngaco belo sebagai orang edan de
ngan menyebut-nyebut beberapa nama. di antaranya ialah menteri yang menunjang pu
tera mahkota, malah dua thaykam yang berpengaruh yaitu Bang Po dan Lauw Seng bin
asa terfitnah, hingga Goei Tiong Hian yang berhasil merebut kedudukannya kedua o
rang itu dan berkuasa atas Tongtjiang, menjabat tjongtjoe.
Di jaman Beng Tiauw ada tiga organisasi istimewa, yang disebut Tongtjiang,
Seetjiang dan Kimiewie. Tongtjiang dan Seetjiang dikuasai oleh thaykam, dan Kim
iewie oleh satu pembesar militer. Pengurus dari Tongtjiang disebut tjongtjoe.
Untuk usahanya merampas kerajaan kelak. Siang Soen beli orang-orang gagah
yang suka bela ia mati-matian, setelah berhasil dengan usahanya menerbitkan perk
ara Teng Kie An, ia terus perbesar usahanya itu.
The Koeihoei percaya bahwa maksudnya akan tercapai, maka secara rahasia di
a panggil puteranya di Lokyang untuk datang ke kota raja, demikian Siang Soen be
rada di istana, dalam keraton.
Thaytjoe Siang Lok juga cerdik, iapun ada mempunyai sejumlah guru silat. I
a dapat kisikan bahwa djiehongtjoe (putera kedua), yaitu Siang Soen, telah berad
a di dalam keraton, maka untuk menggeledahnya ia datang ke keraton Kiantjeng Kio
ng, kebetulan sekali. Siang Soen dan ibunya, The Koeihoei, sedang menganjurkan p
ahlawan-pahlawannya mengepung To It Hang dan Ong Tjiauw Hie, hingga terjadilah b
entrokan di antara dua saudara itu.
Setelah menggempur pintu keraton, sesampainya di dalam, It Hang lihat The
Koeihoei berada bersama satu thaykam putih bersih dan gemuk. Ia maju terus untuk
menerjang selir itu, yang ia pandang sebagai musuh ayahnya.
"Kau berani berontak?" bentak si thaykam putih bersih, yang terus ulapkan
tangannya kepada orang-orangnya, maka empat tjiangtauw segera maju menyerang si
anak muda yang dikepungnya.
"Tjiangtauw" adalah panggilan untuk tauwbak atau kepala dari pahlawan-pahl
awan Tongtjiang.
It Hang sambut tjiangtauw yang pertama, tangan siapa ia sampok, akan tetap
i, meski tubuhnya terhuyung, tjiangtauw ini tidak mau mundur.
Menyusul itu, tjiangtauw yang kedua menyerang. Dia gunakan pukulan tangan
besi Thiepiepee, maka It Hang egos tubuh sambil melejit. Karena ini, ia jadi ben
trok dengan tjiangtauw yang ketiga, yang terbentur pundak kirinya. Bahna kerasny
a tubrukan itu, tjiangtiauw itu roboh terguling. Juga It Hang terhuyung-huyung.
Selagi tubuhnya It Hang limbung, tjiangtauw yang ke empat menyapu kakinya, tak s
empat ia mengelakkan diri. ia tersapu terpelanting. Syukur ia tidak sampai roboh
.
Empat tjiangtauw itu semuanya orang-orang pilihan.
It Hang jadi gusar. Insyaflah ia, karena kurang pengalaman, ia kena terser
ang musuh ini. Ia segera hunus pedangnya.
Pada waktu itu, thaytjoe telah menyusul masuk bersama pahlawan-pahlawannya
, Tjiauw Hie turut bersama.
"Siang Soen tinggalkan tempatnya secara diam-diam. dia niat berontak, oran
g yang lindungi padanya pasti akan ditangkap bersama!" thaytjoe berseru.
Belum suara putera mahkota sirap, Goei Tiong Hian sudah menyahuti: "Hamba
terima perintah!" Lantas ia titahkan orang-orangnya tawan The Koeihoei dan kakak
nya selir ini.
"The Koeihoei dan kakaknya berontak, akulah saksinya!" kata thaykam ini sa
mbil tertawa, sesudah selir itu dan saudaranya dibekuk.
Thaytjoe heran hingga ia tercengang.
Tjiauw Hie sebaliknya tidak perhatikan semua itu, ia hanya mengawasi ke em
pat penjuru.
"Eh, Goei Kongkong, apakah artinya ini?" tanya The Koeihoei pada orang keb
iri itu, yang bisa putar kemudi dalam sekejap itu.
Goei Thaykam segera perlihatkan roman bengis, kedua matanyapun mendelik.
"Kalian ibu anak dan saudara berkongkol untuk rampas tahta kerajaan!" kata
nya dengan keren. "Aku Goei Tiong Hian adalah hamba yang setia, sudah pasti aku
harus lindungi Kerajaan. Bahwa aku telah bercampur gaul denganmu, itulah melulu
siasat untuk ketahui segala rahasiamu! Apakah kalian sangka aku kesudian turut b
erkhianat?"
The Koeihoei gusar hingga ia caci-maki habislah pada orang kebiri yang cur
ang itu, yang sudah menghianati padanya.
Thaytjoe Siang Lok bersangsi, tapi ia bisa berpikir: "Goei Tiong Hian baru
peroleh pengaruh, dia berkuasa atas Tongtjiang, perduli apa dia benar setia ata
u berpura-pura saja? Untukku sudah cukup asal dia bantu aku!"
Lantas putera mahkota ini titahkan pahlawannya belenggu eraty-erat ketiga
orang tawanan itu.
Selagi thaytjoe hendak undurkan diri, tiba-tiba ia dengar Tjiauw Hie berse
ru: "Beng Pehoe, di mana kau? Aku datang!" Seruan ini membikin ia sadar. Maka ia
lantas pandang The Koeihoei.
"Kamu telah tawan guruku, di mana kau sembunyikan padanya?" ia tanya.
Belum lagi selir itu menjawab, Tiong Hian sudah mendahului memerintahkan s
atu tjiangtauw geser meja patsiantoh di dekatnya, terlihatlah di bawahnya sebuah
lubang yang gelap.
Tjiauw Hie lantas mengerti, dengan berani ia lompat turun ke dalam lubang
itu dengan empat tjiangtauw ikuti dia.
Pemuda she Ong ini baru jalan beberapa tindak, ia sudah lantas dengar seru
an hebat dan bentroknya senjata, ia berkuali r. Ia rogoh kantongnya akan keluark
an batu tekesan untuk nyalakan api.
Ke empat tjiangtauw lari terus ke depan, mereka tampak seorang yang tangan
nya terbelenggu sedang tempur hebat dua wiesoe dengan gunakan rantai belengguann
ya.
Orang itu adalah Titthian Boesoe Beng Tjan yang dirantai kaki dan tanganny
a, dari kamar rahasia ini ia dengar suara berisik di sebelah atas, ia lantas men
duga mesti telah terjadi perubahan, maka ia kerahkan tenaga di kedua tangannya u
ntuk membikin putus rantai belengguannya itu. Perbuatannya ini dilihat oleh dua
pahlawan penjaga yang segera maju untuk meringkusnya kembali, ia sambut dengan p
erlawanannya. Tetapi kedua kakinya masih terantai, tak dapat digerakkan dengan m
erdeka, menyebabkan ia tak dapat memberikan perlawanan dengan sempurna.
Kedua pahlawan itu terluka berdarah kepalanya, tetapi Beng Tjan pun dapat
beberapa tusukan pedang hingga bermandikan darah, ia terluka parah.
Selagi mereka berkelahi terus, muncullah ke empat tjiangtauw itu.
"Bagus!" seru kedua pahlawan, yang melihat kedatangannya empat kawan ini.
"Mari bantu kami meringkus manusia kasar ini!"
Empat tjiangtauw itu maju menghampiri, tapi bukan untuk membantui, mereka
memecah diri untuk lantas menyerang setiap satu pahlawan, hingga dua orang ini j
adi heran, akan tetapi sebelum mereka tahu apa-apa, mereka sudah kena dirobohkan
dan binasa.
Tjiauw Hie segera tolong bakal mertuanya itu. untuk dibawa keluar dari rua
ng dalam tanah itu. lapun membisikkan: "Gakhoe, inilah aku. mantumu!"
Guru silat itu manggut.
"Mana si Hee?" dia tanya. "Sekarang, dia ada di mana?" Suaranya lemah.
"Adik Hee ada di luar." Tjiauw Hie jawab.
Dengan tiba-tiba orang tua ini jadi bersemangat, dengan tekan pundaknya Tj
iauw Hie, ia lompat naik di mulut lubang.
Itu waktu thaytjoe sedang bicara dengan To It Hang. It Hang menerangkan ba
hwa ia adalah cucunya Tjongtok To Tiong Liam atau anaknya Houwpou Sielong To Kee
Hian. Mendengar keterangan itu. thaytjoe lantas mengerti maksudnya It Hang meny
erbu keraton.
"Penasarannya ayahmu pasti aku nanti bikin terang!" thaytjoe berjanji.
Beng Tjioc Hee telah lolos dari kepungan, ia sudah masuk ke dalam keraton
dan dapat bertemu It Hang, di samping siapa ia berdiri selagi pemuda ini bicara
dengan thaytjoe. la segera lihat Tjiauw Hie memapah seorang yang bermandikan dar
ah, ia menjadi kaget bukan main ketika ia dapat mengenali orang yang dipapahnya
itu.
"Ayah!" ia menjerit sambil terus lompat menubruk, air matanya lantas bercu
curan deras.
"Thaytjoe, maaf, tak dapat hambamu melayani kau lebih lama," berkata Beng
Boesoe kepada putera mahkota, sesudah mana, ia tarik puterinya dengan tangan kir
i dan bakal baba mantunya dengan tangan kanan.
Selagi guru silat ini hendak bicara kepada anak daranya itu, mendadak dua
pahlawan lari masuk sambil keluarkan seruan, mereka lompat menyerang Ong Tjiauw
Hie dari kiri kanan.
Tjiauw Hie sedang lengah tetapi ia masih sempat berdaya. Dengan tangan kir
inya ia tangkis serangan pahlawan yang pertama, yang ia terus sampok hingga terg
uling, lalu iasusuli menangkis pahlawan yang kedua, yang ia dapat tolak mundur.
Tjiauw Hie pun lantas mengenali salah satu penyerangnya itu. ialah pahlawa
n Kimiewie yang pernah kuntit ia sampai di Siamsay, yakni Tjichoei Tjio Ho.
Komandan Kimiewie ini biasa agulkan diri, ia tidak senang yang ia kena dit
angkis mundur, maka ia lompat maju pula.
"Tjio Ho, jangan kurang ajar!" Thaytjoe Siang Lok membentak.
"Dia seorang pemberontak dari Siamsay!" kata Tjio Ho.
"Apa? Dia pemberontak?" tanyanya thaytjoe dengan heran.
"Ya," sahut Tjio Ho. "Di Siamsay dengan tingkahnya yang jumawa dia akui di
ri sebagai piauwsoe yang melindungi To Tjongtok, sayang kami kurang awas, kami s
udah kasih dia lolos. Setelah itu muncul penyamun besar Giok Lo Sat yang telah b
inasakan tigaanggauta Kimiewie."
Tjio Ho berani menentangi thaytjoe karena beda kedudukannya, ia berada lan
gsung di bawah titahnya raja. Ia datang dari Thay Ho Tliian begitu dengar kabar
terjadinya kerusuhan di Kiantjeng Kiong.
"Siapa itu Giok Lo Sat?" tanya thaytjoe. "Adakah dia penyamun wanita atau
pria?"
"Penyamun wanita yang paling berbahaya!" jawab Tjio Ho. "Dia muncul untuk
melindungi pemberontak ini! Mereka berdua tentu mempunyai sangkut paut satu pada
lain!"
Kembali pahlawan ini tampaknya hendak menyerang Tjiauw Hie pula.
Tjiauw Hie tiba-tiba tertawa.
"Cucunya To Tjongtok itu ada di sini. kau tanyalah padanya, benar atau tid
ak aku menjadi piauwsoe pelindung engkongnya itu!" katanya sambil tunjuk To It H
ang.
It Hang pandang pemuda itu. lalu ia kata dengan nyaring: "Thianhee. saudar
a Ong ini benar orang yang melindungi keluargaku, maka itu sekarang kami datang
bersama ke dalam keraton ini untuk bantu thianhee membekuk kawanan penghianat."
"Tetapi, mengapa Giok Lo Sat bantu kalian?" tanya Tjio Ho.
Belum lagi Tjiauw Hie atau It Hang berikan jawabannya, Beng Boesoe telah m
endahului buka mulut. Ia sudah lantas menjura kepada putera mahkota.
"Thianhee, orang muda ini adalah bakal mantuku," ia kata, "dia datang kema
ri bersama anak perempuanku untuk menolongi aku." la terus tambahkan pada Tjio H
o: "Aku minta Tjio Tjiehoei tidak memfitnah orang baik-baik."
Tjioe Hee kemalu-maluan mendengar perkataan ayahnya itu, maka wajahnya men
jadi bersemu dadu dan hatinyapun memukul.
Sejak Beng Boesoe menjadi guru silatnya thaytjoe. ia bergaul erat sekali d
engan muridnya itu. kebetulan sekali ia yang bekuk si penyerang yang menyebabkan
perkara "Teng Kie Ari", karena mana ia ditangkap orang-orangnya The Koeihoei ya
ng niat menyiksa padanya, maka itu sekarang, melihat penderitaannya itu, tergera
klah hatinya thaytjoe.
"Tjio Tjiehoei." thaytjoe berkata pada kepala Kimiewie itu. "Beng Boesoe d
an To Kongtjoc tak mungkin berdusta, kau lepaslah mereka!"
"Jikalau Giok Lo Sat itu seorang penyamun yang liehay, pasti dia musuhnya
pihak pembesar negeri, karena itu. ada kemungkinan dia sedang beraksi mengadu do
mbakan kita," kata Beng Tjan.
Tjio Ho jadi serba salah. Walau bagaimanapun kedudukannya, kepada thaytjoe
ia harus memandangnya, sedangkan Beng Tjan pun masih terhitung angkaian terlebi
h tua yang ia harus hormati pula. Akhirnya terpaksa ia mundur juga.
"Soehoe sedang terluka parah, mari ikut aku ke istana untuk berobat," thay
tjoe mengajak. "To Kongtjoe dan kau juga. saudara Ong, mari sama-sama turut aku.
"
"Terima kasih, thianhee." Beng Boesoe mengucap. "Mungkin ajalku tak dapat
kupertahankan lebih lama lagi. karenanya harap thianhee ijinkan hambamu pulang k
e rumahnya untuk siap sedia..."
Thaytjoe lihat luka gurunya memang parah, pula karena iapun masih punyakan
urusan besar, ia tidak memaksa.
"Baiklah." katanya kemudian. "Pakailah kendaraanku."
Thaytjoe perintah orang lekas ambil obat luka untuk gurunya itu. iapun tit
ahkan pahlawannya mengantarkan gurunya pulang kc rumahnya.
Di sepanjang jalan, di dalam kereta Tjioe Hee pegangi ayahnya, kadang-kada
ng ia lirik Tjiauw Hie. yang tampaknya sangat berduka, sepasang alisnya senantia
sa dikerutkan.
Mereka sampai di rumah ketika cuaca sudah terang.
Pengantar yang menjadi pengiringnya putera mahkota itu, lantas robek tanda
sitaan pada pintu, dan setelah serahkan obat ia lalu pamitan untuk pulang ke is
tana.
Tjioe Hee dibantu Tjiauw Hie memapah Beng Boesoe, sampai di dalam kamar da
n direbahkan di atas pembaringan. Merekapun lantas membersihkan lukanya orang tu
a itu dan diobatinya.
Selama itu 11 Hang. yang turut bersama, membantui juga.
Setelah dapat rebah, nampaknya Beng Boesoe agak segaran sedikit. Ia meliha
t ke sekitarnya sambil pentang kedua matanya.
"Mari kalian lebih dekat," kata ia dengan napasnya yang memburu. "Ada raha
sia yang aku mesti beri tahukan kepadamu..."
It Hang menduga orang hendak bicarakan urusan keluarga, ia lantas bertinda
k keluar. Tapi tuan rumah segera panggil dia kembali.
"Saudara To. bukankah kau murid terpandai dari Tjic Yang Tootiang?" tanyan
ya.
Ong Tjiauw Hie manggut membenarkan pertanyaan itu.
"Sayang, saudara lo. baru kita bertemu, kita lantas bakal berpisah untuk s
elama-lamanya." berkata guru silat itu. "Tadi kau telah lindungi mantuku, aku in
gat budimu ini, maka itu, rahasia ini kaupun boleh turut sekalian mendengarnya,
malah mungkin sekali selanjutnya kami akan membutuhkan bantuan tenagamu..."
It Hang balik pula setelah ia sampai di ambang pintu.
Tjiauw Hie berikan secangkir teh panas kepada mertuanya.
"Beng Pehoe, baiklah kau mengasokan diri dahulu," kata ia.
Beng Tjan buka pula matanya.
"Jikalau aku tidak bicara sekarang, mungkin terlambat," ia kata. napasnya
mendesak. "Hiansay, aku tahu, bahwa selama belakangan ini ayahmu dan kau sendiri
merasa tidak puas terhadap aku!"
Tjiauw Hie heran.
"Itulah tak mungkin, pehoe," ia lekas menjawab.
"Aku akan segera menutup mata, mari kita omong terus terang," kata pula gu
ru silat itu. "Aku tahu, memang kau dan ayahmu tidak senang aku telah menjadi an
jingnya pemerintah. Tapi, tahukah kau mengapa aku kesudian masuk ke dalam Tjoeke
ng Kiong untuk jadi Titthian Boesoe?"
Romannya boesoe ini jadi keren, tetapi tubuhnya bergemetar.
Semua orang diam. Tjiauw Hie tidak berani memberikan jawaban.
Beng Boesoe berhenti sedetik.
"Kau telah ketahui bahwa dengan Tayhiap Lo Kim Hong dari Hoopak Utara, aku
mempun>ai persahabatan yang kekal," katanya. 'Tapi pada lima tahun yang lampau.
Lo Tayhiap mati dengan mendadak!"
"Aku dengar itu dari satu sahabat kangouw," jawab Tjiauw Hie.
"Lo Kim Hong adalah seorang yang sadar, dia sangat menyintai negaranya," B
eng Boesoe kata pula. "Ketika ia pergi ke Kwangwa untuk membuat penyelidikan, ia
telah peroleh satu rahasia penting. Nyatalah bangsa Boan telah kandung niatan m
enyerbu negeri kita. untuk itu dia telah bersiap-siap untuk menyerbunya. Sudah s
ekian tahun ia kirim orang-orangnya ke Kwangwa untuk mengumpulkan tenaga dan bua
t menyelidiki keadaan dalam negeri kita. Dia telah berhasil membeli sejumlah ora
ng, yang akan menyambut dari dalam, di antaranya ada yang berpangkat tokboe, ada
menteri juga. Dan di antara orang belian kaum Rimba Hijau. Lo Kim Hong dapat ta
hu dua jago, tapi yang satunya ia masih belum ketahui namanya..."
Mendengar itu. panas hatinya lt Hang dan Tjiauw Hie. Mereka mendongkol ter
hadap orang-orang Rimba Hijau yang demikian rendah derajatnya itu.
"Siapakah kedua mereka itu?" mereka tanya hampir berbareng.
"Yang satu adalah Eng Sioe Yang dari perbatasan Soetjoan," sahut Beng Boes
oe.
"Oh!..." Tjiauw Hie berseru tertahan.
"Eng Sioe Yang pandai bekerja," Beng Boesoe melanjutkan, "selama belasan t
ahun, tidak ada orang pihak kita yang ketahui di mana dia berada. Orang yang sat
unya lagi adalah orang gagah liehay dari istana, hanya entah dari dalam barisan
Kimiewie atau dari Tongtjiang. Oleh karena ada turut tokboe dan menteri dalam ro
mbongan penghianat itu. bisa dimengerti kalau mereka ini jauh lebih berbahaya da
ripada Eng Sioe Yang. Setelah ketahui rahasia itu, Lo Kim Hong berangkat pulang
dari Kwangwa, tetapi di tengah jalan ia telah dibokong hingga luka parah. Sebelu
m ia tarik napas yang penghabisan, ia masih bisa beber rahasia itu padaku. Demik
ianlah aku lantas pergi melamar pekerjaan di Tjoekeng Kiong. Adalah Lo Kim Hong
yang anjurkan aku bekerja pada pemerintah untuk ketahui jelas siapa adanya rombo
ngan penghianat itu."
Baru sekarang Tjiauw Hie . mengerti duduknya hal, bahwa bakal mertua itu b
ekerja pada pemerintah bukan karena kemaruk pangkat atau batinnya sudah rusak, h
anya untuk melakukan tugas mata-mata, suatu pekerjaan berbahaya.
"Sayang, selama lima tahun dalam istana, penyelidikanku masih belum perole
h hasil." kata Beng Boesoe pula kemudian. "Di dalam istana, pertempuran gelap be
rlangsung secara hebat sekali Thaytjoe ada terlebih sadar daripada ayahnya, dia
bercita-cita luhur untuk perbaiki pemerintahan, akan tetapi aku kuatir dia sukar
lolos dari bokongan. Sekarang aku tidak sudi kalian masuk bekerja dalam istana,
aku hanya ingin kalian ingat baik-baik nama Eng Sioe Yang itu."
Sehabis mengucapkan kata-katanya itu, napasnya guru silat ini memburu kera
s.
Tjioe Hee menguruti bebokong ayahnya itu, hatinya memukul.
"Mana Pek Bin?" tanya orang tua itu.
"Dia berada di rumahnya Lioe Boesoe," sahut Tjioe Hee. "Engko Ongyang tela
h tolong kami dan lantas diajaknya ke sana karena rumah kita ini disegel."
"Kiranya Pek Bin murid kesayangannya," pikir Tjiauw Hie, "pantaslah dia be
rgaul erat sekali dengan Tjioe Hee..."
Kembali timbul kesangsiannya pemuda ini.
"Beng Pehoe," kata dia. "kalau kau pangeni Pek Bin, nanti aku pergi panggi
l padanya untuk diajak kemari."
Beng Tjan tertawa meringis.
"Tidak usah, sudah tidak keburu," katanya. "Ai, Tjiauw Hie. kenapa kau mas
ih memanggil pehoe padaku'' Kalau nanti aku telah menutup mata, kau dan Tj ioe H
ee harus saling sayang menyayangi dan cinta menyintai! Hatiku girang sekali meli
hat kau ada bersama, aku girang sekali, girang..."
Kata-kata yang belakangan itu diucapkan dengan saling susul, makin lama ma
kin perlahan, sampai akhirnya suaranya jago tua ini habis, begitu lekas ia lonjo
rkan kedua kakinya, napasnyapun lantas berhenti jalan...
Tjioe Hee lantas saja menangis menjerit-jerit, sedang Tjiauw Hie segera be
rlutut untuk memberi hormat sambil manggut beberapa kali.
"Aku nanti minta Lioe Pehoe urus perkabungan," kata pemuda ini kemudian. "
Pek Bin pun perlu diberi tahu."
"Apakah kau tidak bisa bantu aku mengurusnya?" tanya Tjioe Hee sambil terus
menangis. "Buat apa kita minta bantuannya lain orang?"
Kelihatannya Tjiauw Hie ragu-ragu.
"Aku... aku..." katanya, la berhenti dengan tiba-tiba karena di luar terde
ngar ada orang mengetok pintu.
"Nanti aku lihat," kata It Hang, yang lantas turun dari loteng, untuk memb
ukakan pintu.
Yang datang itu adalah pesuruhnya thaytjoe. untuk menanyakan keselamatanny
a Beng Boesoe. Maka pesuruh itu menyesal sekali mendengar kabar, guru silat itu
baru saja putus jiwa. Tetapi ia datang bukan untuk itu saja. ia sekalian membawa
karcis undangan putera mahkota supaya It Hang suka datang ke istana Tjoekeng Ki
ong.
"Tunggu sebentar," kata It Hang, yang terima karcis undangan itu. Ia mempe
rsilakan telamu itu duduk di thia, ia sendiri masuk untuk salin pakaian. Kemudia
n ia pamitan dari Tjiauw Hie dan nona rumah.
Tjiauw Hie sudah lantas siapkan meja abu untuk bakal mertuanya, maka It Ha
ng pasang hio lebih dulu, sehabis itu. barulah pemuda sheOng itu tarik It Hang k
e dalam kamar.
"Saudara To," katanya dengan perlahan, "thaytjoe undang kau, pasti kau aka
n diberi jabatan. Menurut aku, paling baik kau jangan mau memangku pangkat."
"Aku sedang berkabung, sudah tentu aku tidak boleh memangku pangkat," kata
It Hang.
Memang, sebagai orang-orang yang taat kepada adat istiadat, It Hang mesti
berkabung tiga tahun penuh, selama itu, tidak hanya ia tidak dapat memangku pang
kat, bahkan menikahpun tidak diperbolehkan.
"Apakah saudara pikir hendak bawa jenazah ayahmu pulang ke Siamsay?" Tjiau
w Hie tanya.
"Aku memang memikir demikian," sahut It Hang. "Aku hanya sangsi bisa atau
tidak aku mengantarkannya pulang untuk dikubur di kampung halaman sendiri."
"Dengan andalkan kepandaianmu, saudara, ke manapun kau dapat melaluinya,"
kata Tjiauw Hie. "Cuma satu orang yang kau harus mengingat-ingat dalam hatimu."
"Siapakah dia itu?" It Hang tegaskan.
"Giok Lo Sat!" sahut sahabat ini "Mengapa begitu?" It Hang tanya pula
"Dia telah berselisih dengan pihakmu Boetong pay." Tjiauw Hie kasih tahu.
"Mengapa tentang hal itu aku belum pernah mendengarnya dari saudara-saudar
a seperguruanku?"
"Itulah disebabkan kejadian baru saja terjadi."
Tjiauw Hie lantas tuturkan pengalamannya, bagaimana engkongnya sahabat ini
"diculik" ke atas gunung, bagaimana Keng Tjiauw Lam diperhina.
"Sungguh satu penyamun wanita yang busuk!" kata It Hang.
Tjiauw Hie kerutkan alisnya. Ia tidak sangka It Hang bisa gusar demikian m
acam, malah dapat mencaci Giok Lo Sat sebagai "penyamun wanita busuk"! Karena in
i, --- sebab iapun seorang Rimba Hijau --- ia jadi merasa kurang puas. Maka deng
an dingin ia berkata: "Giok Lo Sat memang telengas, akan tetapi dia adalah seora
ng yang ganjil dan aneh. maka aku mau anggap dia seorang wanita jantan. Dalam ka
langan Rimba Hijau, dia satu nona gagah yang sukar dicari keduanya!"
"Begitu?" kata It Hang dengan tawar. "Jikalau ada kesempatan, ingin sekali
aku bertemu dengan dia..."
Mendengar ini. Tjiauw Hie terkejut. Ia pernah terima budinya pemuda ini, m
aka ia tidak ingin melihat sahabat ini antarkan jiwa...
"Saudara To, menurut pendapatku lebih baik kau jangan temui padanya!" ia m
embujuk. "Kau seorang yang berharga, apabila terjadi sesuatu atas dirimu, sunggu
h itulah dosaku!"
Sebenarnya It Hang masih tidak puas, tetapi melihat sikap kawannya itu, ia
bisa mengatasi dirinya.
"Baiklah kalau begitu, tak usah aku temui padanya" katanya.
"Itulah bagus, saudara To," kata pula Tjiauw Hie. "Saudara memang gagah te
tapi aku anggap tiada perlunya kau bentrok padanya. Lagipun, kalau nanti saudara
pulang ke kampung halamanmu, kau akan ambil jalan di Taytong, melewati Shoasay
akan sampai di Siamsay Utara. Kalau saudara tidak pergi ke Siamsay Selatan, suda
h pasti kau tidak akan bertemu dengan dia."
To It Hang mengucap terima kasih, lalu ia memberi hormat untuk pamitan.
Masih Tjiauw Hie membisiki pemuda itu: "Kalau nanti kau telah pulang ke ka
mpung halamanmu, diumpamakan kau hadapi suatu kesulitan, aku minta kau suka data
ng ke Yananhoe cari aku. Asal saudara sebut namaku yang rendah, mesti ada saudar
a atau saudara-saudara kangouw yang menunjukkannya."
"Baiklah." sahut It Hang yang tidak menyangka bahwa pemuda ini adalah pute
ranya satu jago Rimba Hijau di Siamsay Utara, sedang tadinya ia menduga kepada s
eorang kangouw yang licin. Iapun tidak menegasi di mana letaknya kota Yananhoe i
tu.
Dengan naik kendaraannya putera mahkota, It Hang diantar ke Tangkiong, Ist
ana Timur, ke sebuah kamar yang telah disediakan untuknya. Ia sampai belum lama.
lantas muncul satu pengawal yang diperintahkan putera mahkota mengundang padany
a. Ia ikut pengawal ini jalan di lorong yang berliku-liku. sampai di sebuah pase
ban yang terkurung lankan putih. Di tempat terbuka di paseban itu, beberapa boes
oe sedang asyik mempertunjukkan ilmu silat. Menghadapi lapangan itu ada sebuah l
oteng yang terpajang indah di mana tampak putera mahkota sedang duduk menyaksika
n pertunjukan sambil minum arak.
It Hang diantar naik ke loteng itu, maka ia segera memberi hormat pada pem
uda agung itu.
Thaytjoe suruh pemuda ini berbangkit. kemudian ia perintah pengiringnya se
diakan sebuah kursi di sisinya untuk It Hang duduk
"Kekacauan semalam telah memberi kesudahan baik." berkata thaytjoe sambil
bersenyum. "Aku percaya dengan adanya menteri-menteri setia dan undang-undang uj
ar leluhur kami, tidak nanti hoehong tidak hukum kawanan penghianat itu. Tadi ma
lam kau bercapai lelah, sekarang mari kita minum." (Hoehong = ayahanda raja).
"Terima kasih," kata It Hang. yang berbareng dapat suatu pandangan baru te
rhadap putera mahkota ini.
Sejak membangun kerajaannya. Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang sudah adakan
aturan penganugerahan, ialah putera, atau cucunya diangkat menjadi Hoanong, pang
eran atau raja muda dengan kedudukan di luar kota raja. di perbatasan atau propi
nsi, dan untuk cegah raja-raja muda itu berkhianat, telah diadakan aturan yang k
eras, yaitu setiap hoanong tanpa perkenan dilarang pulang ke kota raja. Sekalipu
n di daerah kekuasaannya, umpama satu hoanong hendak menyambangi makam leluhurny
a, untuk itu ia diharuskan memberitahukan dan minta perkenan terlebih dahulu. Di
antara pelbagai hoanong dilarang mengadakan perhubungan satu dengan lain. Lebih
-lebih setiap hoanong dilarang mencampuri urusan pemerintahan. Kalau ada hoanong
satu kali saja yang melanggar aturan itu. dia akan dihukum, dipecat dari kebesa
rannya, diturunkan derajatnya menjadi rakyat jelata, dibuang ke "tembok besar" (
penjara) di Hongyanghoe seumur hidup. Inilah aturan yang thaytjoe namakan undang
-undang leluhurnya.
Baginda Sin Tjong boleh menyayangi The Koeihoei dan Siang Soen, selir dan
puteranya itu, akan tetapi Siang Soen telah datang ke kota raja secara diam-diam
, dia sudah melakukan pelanggaran leluhur itu, maka andaikata tak dapat dibuktik
an penghianatannya pun namun kesalahannya sudah jelas, tak dapat dia luputkan di
ri dari hukuman.
Di antara menteri-menteri penunjang thaytjoe, seperti Kouw Hian Seng, Sin
Sie Heng, Ong Sek Tjiak dan Ong Kee Pin, raja malui terutama Kouw Kian Seng. Men
teri ini telah meletakkan jabatan di tahun Banlek ke-20. sebabnya ialah perselis
ihan pengangkatan putcra mahkota, dia pulang ke kampung halamannya di Boesek, di
mana dia dirikan Tonglim Siewan, yaitu semacam sekolah untuk meyakinkan kebuday
aan, sastera dan lainnya. Banyak sekali orang cerdik pandai dari seluruh negeri
yang datang berkumpul dalam sekolah itu, maka di akhirnya mereka dirikan perkump
ulan sasteravvan yang diberi nama Tonglim Tong (Partai Hutan Timur). Mereka bera
da di luar pemerintahan tetapi pengaruh mereka besar, sebab KouwHian Seng itu ad
alah penunjang thaytjoe. maka raja masih tetap memandang padanya.
Goei Tiong Hian lihat The Koeihoei dan puteranya berpengaruh, ia tempel me
reka itu, pengaruh siapa ia gunakan untuk merampas kekuasaan atas Tongtjiang, la
lu selanjutnya ia bekerja sama mereka, tapi itu malam, setelah saksikan The Koei
hoei terancam bahaya, dengan mendadak sontak ia ubah haluan, ia terbaliki selir
raja itu, dalam sekejap ia balik berhamba kepada putera mahkota. Inilah sebabnya
kenapa thaytjoe, yang merasa puas atas kedudukannya, sudah keluarkan kata-katan
ya itu kepada To It Hang. Tapi, karena dengar pengutaraan putera mahkota ini, It
Hang lantas dapat kesan lain terhadap pemuda agung ini.
"Djiehongtjoe memang keliru, tetapi mereka tetap saudara sedaging, tidak s
eharusnya thaytjoe berlaku kejam kepada adiknya itu," pikir pemuda ini. "Djiehon
gtjoe berniat khianat, pantas kalau thaytjoe bekuk dia. tetapi ini belum cukup b
eralasan akan celakai padanya."
Lantas It Hang ingat, meskipun Beng Boesoe telah berkorban untuk thaytjoe.
tapi thaytjoe itu tidak menunjukkan kesedihannya. Karena ini, hilanglah separuh
keinginannya untuk coba memperoleh bantuannya putera mahkota ini.
Thaytjoe lihat si anak muda agaknya sedang berpikir, ia tertawa sambil ang
kat cawannya.
"Kau lihatlah itu orang-orangku mempunyai ilmu enteng tubuh!" katanya.
It Hang memandang ke bawah. Ia lihat empat orang dengan masing-masing pund
aknya "memikul" sebatang galah panjang, yang berdiri menjulang ke udara, di atas
setiap ujung galah ada menangkel masing-masing satu anak muda, yang tangan kiri
nya memegang galah dan tangan kanannya menyekal pedang. Empat pemikul itu jalan
memutari lapangan, dari langkah cepat sampai berlari-lari, selama mana, empat an
ak muda di atas galah itu berbareng mempertunjukkan kepandaiannya sebagai tukang
dangsu, umpama menggelantung diri, mendatarkan tubuh dan lainnya
It Hang pernah nonton tukang-tukang dangsu di Thiankio. ia sudah lihat ban
yak macam permainan, akan tetapi pertunjukan macam ini ia belum pernah menyaksik
annya. Ia lihat empat pemuda ini sangat gesit dan tangkas, mahir permainannya di
ujung galah itu. Dalam keadaan seperti itu, mereka masih dapat tertawa-tawa.
"Bagus!" berseru cucunya bekas tjongtok To Tiong Liam.
"Ini masih belum seberapa!" kata thaytjoe sambil tertawa. Ia terus tepuk t
angan.
Empat pemikul galah itu berhenti berlari, mereka datang dekat satu pada la
in. untuk nyeplos sana dan nyeplos sini di antara mereka sendiri, atau mereka me
mbalik tubuh atau berputaran, selama mana, empat anak muda di atas galah juga tu
rut bergerak-gerak, yaitu mereka saling tikam atau saling babat, saling berkelit
.
"Bagus!" It Hang kembali memuji. Ia dapat kenyataan, empat pemuda itu bers
ilat secara sempurna sekali. Itupun suatu tanda mereka mahir dalam ilmu mengente
ngkan tubuh.
Menampak pemuda gagah ini memuji, thaytjoe kembali tepuk tangannya.
Dari antara rombongan wiesoe yang berkumpul di pinggiran, muncul seorang u
mur lima puluh lebih, yang wajahnya merah dan kumis jenggotnya bagaikan jenggot
kambing gunung, tangannya memegang sebatang galah. Sesampai di tengah lapangan,
orang tua ini patahkan galahnya itu. terus ia tancap dua-duanya di tanah, setela
h mana, ia lompat naik akan taruh kaki di masing-masing sebatang galah. Ia cuma
bergoyang-goyang beberapa kali, lantas ia bisa berdiri dengan tetap dan tenang d
i atas galah itu. Orang yang tidak mahir ilmu mengentengkan tubuh, tidak nanti d
ia dapat melakukan yang demikian itu.
"Mari!" memanggil orang tua itu begitu lekas ia sudah berdiri tetap.
Empat orang yang memikul galah bergerak, akan jalan memutari si orang tua.
di atas galah mereka masih ada ke empat anak muda Setelah mereka sudah memutar
rapi. mendadak anak-anak muda itu berseru, sesuatunya lantas lompat menyerang de
ngan pedangnya kepada orang tua itu.
Benar liehay orang tua yang berdiri di atas pelatok galah itu. Ia tetap be
rdiri tegak, tetapi kedua tangannya bergerak-gerak mengelak dan menyambut empat
penyerang yang datang saling susul. Ia mengelak dari tusukan pedang, lalu ia sam
bar lengannya penyerang yang terus ditariknya, dibuang ke samping. Dua orang dip
erlakukan demikian silih berganti, lalu menyusul dua yang lain. yang diperlakuka
n sama. Setiap pemuda tampaknya seperti terlempar, tapi kesudahannya nyata merek
a injak galah pula dengan bertukaran tempat atau kedudukan.
Pertunjukan ini dilakukan berulang kali. hingga mereka seperti orang-orang
yang beterbangan di tengah udara, sangat menarik ditontonnya.
Kemudian thaytjoe menepuk tangannya pula. segera semua orang itu berhenti
bergerak, empat orang itu turunkan galah dari pundaknya, dan empat anak muda jug
a lompat turun ke tanah.
Orang tua yang berjenggot seperti kambing gunung itu bersenyum, iapun lomp
at turun, akan tetapi kedua batang bambunya tetap menancap di tengah lapangan it
u.
It Hang dengan matanya yang jeli. dapat lihat bahwa kedua batang galah itu
telah melesak masuk ke dalam tanah.
Orang tua itu tertawa, ia cabut kedua batang galahnya itu yang meninggalka
n dua lubang bekas menancapnya.
Thaytjoe panggil orang tua itu, untuk diperkenalkan pada It Hang.
"Dia adalah guru silat nomor satu dari Seetjiang, yang hoehong telah berik
an padaku," kata putera mahkota. "Dia bernama The Hong Tjiauw. Kau pun liehay. T
uan To, maka kau berdua baiklah ikat tali persahabatan."
Hong Tjiauw angsurkan tangannya untuk berjabatan.
It Hangsambuti tangan itu, segera ia merasakan, orang telah kerahkan tenag
a pada lima buah jarinya yang menjadi keras bagaikan besi, ia menduga ia hendak
diuji. Maka ia segera lemaskan tangannya.
The Hong Tjiauw terkejut sendirinya ketika ia merasakan seperti sedang men
ggenggam kapas, apapula setelah It Hang tarik tangannya secara licin.
"Bagus, inilah Iweekang sempurna!" ia memuji. "Tuan, jikalau kau bukan dar
i Boetong pay, tentu dari Siongyang Pay."
Kaget juga It Hang untuk terkaan orang yang jitu itu. Jadi nyatalah boesoe
ini bukan boesoe sembarangan.
"Guruku adalah Tjie Yang Toodjin dari Boetong pay," ia beritahukan.
"Aha!" seru The Hong Tjiauw. "Kiranya murid pandai dari ahli silat nomor s
atu di kolong langit ini, pantas kau liehay sekali!"
Karena ini. orang she The itu jadi hargai si anak muda.
Thaytjoe ajak It Hang minum, sampai pelesiran itu ditutup, kemudian ia baw
a orang ke kamar tulisnya.
Kaisar Sin Tjong sudah berusia lanjut, sembarang waktu thaytjoe bisa mengg
antikan dia naik atas tahta kerajaan, karena itu. putera mahkota hendak kumpulka
n banyak orang kosen. Pasti ia ketarik pada It Hang yang muda, gagah dan pintar,
bahkan keturunan orang berpangkat besar. Maka lantas saja ia menawarkan jabatan
kepala pengurus istananya pada pemuda ini.
"Terima kasih." It Hang menampik. Ia unjuk bahwa ia sedang berkabung.
"Itulah bukannya soal," berkata thaytioe. "Kau bukannya pangku pangkat dal
am pemerintahan, kau hanya menjadi tetamu terhormat di dalam istanaku ini. Kedud
ukan ini tidak merusak kebaktianmu."
"Jenazah ayahku masih harus diangkut pulang ke kampung halaman kami." It H
ang berikan alasan pula. "Engkong pun sudah berusia lanjut dan tak ada orang yan
g merawatinya. Aku belum menjabat pangkat, mustahil aku tidak inginkan itu?"
Thaytjoe kewalahan, tapi iapun kagum. Maka ia menghela napas.
"Sianseng. kebaktianmu harus dipuji!" katanya. "Sejak jaman purba ada kata
-kata: menteri setia berasal dari keluarga berbakti, maka itu baiklah, aku tak i
ngin memaksanya. Tapi aku harap dengan sangat, setelah beres mengurus penguburan
jenazah ayahmu, segera kau kembali ke kota raja, supaya aku dapat ketika akan t
etap berdampingan denganmu. Tentang perkara penasaran ayahmu, segera aku akan ad
ili. Baik kau menanti beberapa hari di dalam istana."
Begitu sangat permintaan putera mahkota, It Hang tidak dapat jalan untuk m
enampik lebih jauh.
Lewat beberapa hari, suasana di dalam istana menjadi berubah.
Kaisar Sin Tjong boleh menyayangi selirnya, akan tetapi menghadapi ajaran
leluhur dan desakan dari pelbagai menteri, tak dapat tidak ia mesti perintahkan
jebloskan The Koeihoei ke dalam Lengkiong, penjara istana. Siang Soen juga dipec
at dan dikurung. Dan The Kokkioe mesti dipenggal batang lehernya. Di samping itu
, semua menteri yang terfitnah telah dapat pulang nama baik dan kebersihannya.
Houwpou Sielong To Kee Hian yang telah meninggal dunia, juga diperbaiki na
manya dan dianugerahkan sebagai Thaytjoe Siauwpoo, pelindung muda bagi putera ma
hkota.
To lt Hang menghaturkan terima kasih kepada thaytjoe. hatinya sedikit terh
ibur juga.
Sampai di sini selesailah insiden "Teng Kie An" itu.
The Toahoentjoe penyerang istana itu. entah apa sebabnya telah mati di dal
am penjara, tentang dia raja tidak ambil tindakan apa-apa. Thaytjoepun turut mem
bungkam, karena ia anggap tidak baik ia korek-korek itu.
Sejak itu, Goei Tiong Hian tempel putera mahkota, tetapi di samping itu di
am-diam ia terus kumpul pengaruh, ia gunai pengaruhnya di mana bisa untuk berkua
sa. Ia jeri terhadap kecerdasan thaytjoe, ia senantiasa bertindak secara diam-di
am. Maka di belakang hari, dia bisa timbulkan perkara hebat yang kedua, yaitu "A
ng Wan An" atau insidan "Pil Merah".
"Sesudah perkara beres, It Hang utarakan niatnya kepada thaytjoe untuk ber
angkat pulang, kemudian ia pergi ke Potjoe Hotong untuk sambangi Ong Tjiauw Hie.
akan tetapi untuk kemasgulannya, ia tidak dapat temui pemuda shc Ong itu. tidak
juga nona Beng Tjioe Hee. entah ke mana perginya mereka itu. Maka ia balik ke i
stana dengan lesu.
"Sayang." kala thaytjoe ketika ia diberitahukan hal kepergiannya pemuda da
n pemudi itu. Karena ini jasanya Beng Boesoe cuma dicatat tapi gambarnya Tjioe H
ee dilukiskan untuk nanti dicari guna balas budinya.
"Nampaknya kesayangan thaytjoe hanya palsu belaka," pikir It Hang mengenai
sikap putera mahkota itu.
Lagi beberapa hari telah berselang. Sesudah masukkan tulang-tulang ayahnya
ke dalam guci emas. It Hang ambil selamat berpisah dari thaytjoe.
"To Sianseng"' berkata Siang Lok dengan tiba-tiba. "ada satu orang yang in
gin turut jalan bersama kau!"
"Apakah orang sebavvahan thianhee yang hendak pulang ke Siamsay?" It Hang
tanya.
"Benar. Kau hendak lakukan perjalanan ribuan lie mengangkut jenazah ayahmu
, bagus ada orang temani kau di sepanjang jalan!" berkata thaytjoe. "Tunggu sebe
ntar."
Thaytjoe beri perintah pada satu pengiringnya, yang tidak lama kembali pul
a bersama satu orang, ialah The Hong Tjiauw. si tukang dangsu kemarin ini.
"Dengan kita berdua jalan bersama." orang she The itu kata sambil tertawa,
"walau ada penjahat yang banyak lebih liehay. mungkin dapat kita melayaninya...
"
It Hang berpikir.
"Bagaimana kalau kita ketemu Giok Lo Sat?" ia tanya kemudi.!n
Hong Tjiauw kaget hingga wajahnya berubah. Tapi cepat juga ia dapat tenang
kan diri kembal i.
"Kita dengan Giok Lo Sat bagaikan air kali tidak ganggu air sumur, tidak u
sah saudara To buat kuatir." Ia bilang.
Demikian dua orang ini meninggalkan kota raja. Di sepanjang jalan, mereka
omong banyak tentang ilmu silat hingga mereka tidak kesepian. Selang dua puluh h
ari lebih, mereka sudah lewati propinsi Shoasay dan sudah memasuki wilayah Siams
ay. Di sini saban-saban ada orang-orang yang menegur The Hong Tjiauw, suatu tand
a dia banyak kenalannya.
Suatu hari sampailah mereka di Hoaim, maka gunung Seegak Hoasan segera ter
tampak di hadapan mereka.
It Hang ingat di puncak Lokgan Hong dari gunung itu ada bertinggal Tjeng K
ian Toodjin. satu imam yang menjadi sahabat gurunya, dan gurunya dahulu pernah p
esan untuk dia kunjungi imam tersebut, maka ia lantas utarakan niatnya'pada kawa
n seperjalanannya itu.
"Bagus!" Hong Tjiauw menyatakan akur." Kita boleh singgah di sini sampai t
iga hari, akupun boleh sekalian tengok beberapa sahabatku."
Keesokannya pagi, lt Hang ajak Hong Tjiauw mendaki gunung.
"Hari ini aku ada urusan." sahabat itu menampik Tapi ia pesan It Hang supa
ya kembali siang-siang.
Seorang diri lt Hang mendaki gunung Hoasan. Ia menuju ke Lokgan Hong yang
kedua, satu di antara lima puncak. Empat puncak yang lainnya adalah Tiauwyang Ho
ng. Lianhoa Hong. lntay Hong dan Gioklie Hong.
Gembira lt Hang menyaksikan panorama puncak itu. Hanya setelah tengah hari
dan langit mendung, ia kuatir tertimpa hujan, buru-buru ia hampiri kuil yang di
tujunya. Di situ sudah ada beberapa tetamu lain
Selagi menindak di undakan tangga pendopo, It Hang lihat satu nona keluar
dari kuil dengan langkahnya yang cepat. Perhatiannya It Hang tertarik oleh kecan
tikan nona itu kecantikan yang mentereng.
"Kasihan kalau ia kehujanan di tengah gunung," pikirnya.
Di pendopo, It Hang jumpai satu imam muda. setelah perkenalkan diri, ia mi
nta imam itu antar ia kepada Tjeng Kian Toodjin.
Girang Tjeng Kian mendapat kunjungan anak muda ini.
"Mari masuk!" ia mengajak ke kamarnya sendiri. Ia suruh kacungnya menyuguh
kan teh.
It Hang paling dulu sampaikan pesan gurunya untuk menanyakan kewarasannya
imam ini.
"Sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu gurumu, tak kusangka sekarang ia te
lah didik kau seorang murid yang cakap!" pujinya.
It Hang merendahkan diri.
"Paman gurumu yang ketiga. Ang I n Toodjin, telah datang kemari sebulan ya
ng lalu." kata Tjeng Kian kemudian.
"Ada urusan apa samsoesiok datang kemari?" tanya It Hang.
"Dia datang untuk cari Giok Lo Sat, guna menuntut balas bagi lima murid Bo
etong pay." Tjeng Kian berikan keterangan. "Menurut dia, lima murid angkatan ked
ua telah dibabat kutung jari tangannya oleh Giok Lo Sat, yang pun mencaci dan me
nghina mereka itu. Aku telah membujukinya supaya dia jangan ladeni segala anak m
uda. kemudian dengan tidak diketahui dia telah pergi entah ke mana.
It Hang bercekat. Kembali ia dengar hal Giok Lo Sat. Maka ia membayangkan
bagaimana galaknya nona itu yang terjuluk Raksasi Kumala. Selama mereka bercakap
-cakap, hujan belum turun, melainkan beberapa kali terdengar bunyi guntur.
"Mungkin akan turun hujan besar," kata Tjeng Kian. "Baik kau bermalam di s
ini."
It Hang kualiri tulang ayahnya, juga kuaur Hong Tjiauw mengharap-harap pad
anya, maka ia tampik tawaran itu.
"Ada satu sahabatku menantikan aku. aku harus kembali," ia kata.
Tjeng Kian tidak menahan lebih jauh, setelah pesan untuk sampaikan hormatn
ya pada Tjic Yang Toodjin. ia antar pemuda ini sampai di pintu depan.
Baru It Hang sampai di tengah gunung, guntur telah berbunyi semakin gencar
dan hebat.
"Mungkin hujan akan turun hebat," pikirnya sambil ia memandang ke empat pe
njuru. Ia lihat sebuah gua, di mana ada terukir tiga huruf "Oeyin Tong" yang ber
arti gua "Awan Merah", ia lantas menuju ke situ.
Di depan gua ada tumbuh pohon bambu serta beberapa pohon cemara, juga ada
meja dan kursi-kursinya yang terbuat dari batu. Ia duga itulah tentu perlengkapa
n yang disediakan oleh imam-imam di situ.
"Inilah tempat yang cocok untuk menghindarkan diri dari hujan," pikirnya.
Baru pemuda ini sampai di dalam gua. guruh dan guntur bertambah-tambah gen
car dan menghebat, hujanpun turun dengan lebatnya.
It Hang masuk terus ke dalam gua. ia tampak suatu ruang yang terang, di at
as sebuah dipan batu ada rebah seorang perempuan, yang ia kenali adalah si nona
yang tadi keluar dari kuil. Si nona tampaknya tidur nyenyak, air mukanya manis s
ekali.
It Hang tidak berani mengawasi terus-terusan pada nona yang ia tidak kenal
itu, juga ia tidak pikir untuk membangun i. ia kuatir si nona nanti menyangka j
elek padanya. Celakalah kalau ia dianggap ceriwis. Maka dengan berindap-indap ia
kembali ke mulut gua. Ia cari sebuah batu di atas mana ia duduk bercokol, untuk
sekalian bersemedhi.
Hujan turun terus, makin lama makin lebat.
It Hang terus bersemedhi, ia tidak berani menoleh kepada si nona meski sat
u kalipun, hanya selang sekian lama, waktu ia rasakan hawa sangat dingin, ia kua
tirkan kesehatannya nona itu. Ia merasa kasihan kalau si nona dapat sakit.
"Aku berada hanya berdua, aku mesti indahkan adat kesopanan. Tapi dia tera
ncam bahaya sakit, aku tidak bisa mengantapkannya. Aku harus tolong padanya. Tid
ak apa kalau ia mendusin dan katai aku tidak tahu adat.."
Tidak sangsi lagi It Hang berbangkit dengan tindakan perlahan ia masuk pul
a ke dalam gua menghampiri si nona. Ia buka baju luarnya yang gerombongan, denga
n bajunya itu ia keredongi tubuhnya si nona, yang tetap tidur dengan nyenyak, ia
pun lantas berlalu pula sambil berindap-indap.
Oleh karena ia bertindak perlahan sekali, ia dapat dengar suara membalikny
a tubuh dari nona itu. la masih tidak berani menoleh, tapi ia seqera dengar bent
aknya nona itu:
"Hai manusia ceriwis! Kau berani perhina aku?"
Karena dicaci, terpaksa It Hang tunda tindakan kakinya.
"Maaf, nona. Harap kau tidak keliru mengerti." katanya dengan sabar sekali
. "Hawa di dalam gua ini sangat dingin, aku kuatir kau dapat sakit, maka aku tel
ah berlaku lancang menutupi tubuhmu dengan jubahku."
"Begitu?" kata si nona. Ia lantas menghela napas. "Coba kemari!"
Pemuda kita heran, ia berpaling. Ia tidak berani awasi langsung nona itu,
siapa sudah angkat jubah yang menutupi tubuhnya dan diangsurkan kepadanya.
"Tuan. perbuatanmu tadi sebenarnya aku telah ketahui." kata nona itu. "Nya
ta kau ada satu koentjoe. Seumurku belum pernah aku ketemui orang sopan seperti
kau. Kalau orang lain mungkin dia berlaku kurang ajar."
"Ah, dia seorang yang polos," pikir It Hang, tapi mukanya berubah merah ju
ga karena likat.
"Barusan aku damprat kau, itulah perbuatan sengaja dari aku," kata pula si
nona. "Harap kau tidak buat kecil hati."
Mau atau tidak It Hang kerutkan alisnya.
"Diapun seorang yang aneh pula," pikirnya. "Kenapa dia gampang marah dan g
ampang baik? Kenapadia anggap cacian seperti barang mainan..."
Nona itu mengawasi, ia tertawa.
"Begini memang tabiatku," ia mengaku. "Karena adatku inilah yang membikin
banyak orang jeri kepadaku. Lain kali pasti aku akan merubahnya."
"Heran!" It Hang pikir pula. "Jikalau demikian tabiatmu, buat apa kau meru
bahnya? Lagipun apa sangkutannya kau merubahnya atau tidak?"
Nona itu masih mengawasi, melihat orang diam saja, ia agaknya kurang puas.
"Kau gusar terhadapku, tuan?" tanyanya.
"Ah,..." It Hang gugup. "Mustahil aku gusar..."
"Memang aku tahu kau tidak akan gusar!" kata si nona, romannya jadi gembir
a. "Kau baik sekali. Sejak aku dilahirkan, belum pernah aku ketemu orang semacam
kau yang demikian perhatikan aku."
"Ayah dan ibumu bagaimana?" It Hang tanya
"Selagi aku masih belum tahu apa-apa, ayah dan ibu sudah tinggalkan aku da
ri dunia, yang fana ini," sahut si nona.
It Hang menyesal.
"Maafkan pertanyaanku ini," ia mohon. "Tidak disengaja atau disangkanya, a
ku telah bangkitkan kedukaanmu."
Tiba-tiba si nona ayun tangannya ke pundak pemuda ini. Mereka memang berdi
ri dekat sekali satu dengan lain.
It Hang berkelit diri. maka tangan si nona lewat di atasan pundaknya itu.
tapi karena sampokannya meleset, tubuhnya nona ini jadi terhuyung dan limbung he
ndak jatuh.
Menampak demikian, dengan sebat It Hang sambar ujung baju orang, dengan be
gitu, si nona batal roboh.
Nona itu berdiri menyeringai, agaknya ia jengah.
"Tanah demak dan licin, andaikan tuan tidak sambar aku. tentu jatuhlah sud
ah aku." katanya. Ia tertawa dengan tiba-tiba, lalu ia menambahkan: "Bukannya tu
an sambar aku. hanya dengan tarik bajuku kau telah pertahankan robohnya tubuhku.
.."
Merah muka dan kupingnya It Hang. Ia diam saja
"Eh, apakah kau juga jeri terhadapku?" sekonyong-konyong si nona tanya
It Hang heran bukan main. Aneh sekali nona ini. Kenapa dia selalu bicara t
idak keruan juntrungan?
"Mungkinkah disebabkan dia bersusah hati karena tidak beribu-ayah lagi?" i
a menduga-duga Lantas ia menjawab: "Aku hanya merasa kasihan terhadapmu, nona.."
"Apa kasihan?" si nona tegaskan, suaranya gemetar.
"Berbareng aku pun kagum." berkata pula It Hang. "Kau hidup sebatang kara
dan sekarang seorang diri kau mendaki gunung Hoasan untuk bersujut. Kalau nyalim
u tidak besar, tak mungkin kau dapat melakukannya"
Nona itu tunduk.
"Benarlah apa yang kau katakan itu," katanya. "Kenapa kau mirip seperti sa
habat kekalku? Eh ya, apakah she dan namamu? Aku sampai lupa untuk menanyakannya
..."
It Hang perkenalkan dirinya
"Dan kau, nona?" ia balik menanyakan.
"Aku she Nie, aku belum punya nama" si nona menyahut. "Dapatkah kau berika
n nama padaku?"
Waktu itu hujan sudah mulai berhenti akan tetapi angin masih menghembus-he
mbus masuk, satu kali bajunya si nona kena tertiup bergoyang-goyang, bagus dilih
atnya Melihat itu, tiba-tiba It Hang ingat akan kata-kata "Nie siang ie ie" -- "
Baju bulu, koen kembang".
"Jikalau nona pakai nama Nie Siang, tidakkah itu bagus?" katanya.
Tapi si nona kaget, hingga wajahnya berubah.
"Siapa kau?" tiba-tiba dia membentak. "Hayo bicara!"
It Hang pun kaget.
"Aku toh To It Hang!" jawabnya "Apakah nona anggap nama itu jelek? Kalau n
ona tidak suka nama itu, akupun tidak memaksanya. Kenapa kau gusar?"
Kedua matanya si nona dibuka lebar-lebar, bijinya memain, sinarnya tajam b
erpengaruh selagi ia awasi pemuda kita Tapi sebentar kemudian ia menjadi tenang
pula.
"Ah, kembali aku bawa adatku..." katanya. "Nama yang kau berikan itu bagus
. Baiklah, selanjutnya aku memakai nama Lian Nie Siang."
It Hang seka keringat dingin di dahinya.
"Nona ini sungguh mengejutkan orang..." pikirnya.
Nona itu lantas tertawa geli.
"Penglihatanku tentu kau pandai ilmu silat. Ada urusan apa kau datang ke H
oasan ini?" dia tanya.
"Di kalangan Boetong pay aku belajar beberapa jurus saja, tak dapat dikata
kan aku pandai..." sahutnya It Hang. "Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulan
g ke kampung halamanku dengan antar tulang-tulang ayahku almarhum untuk dikubur,
kebetulan aku lewat di gunung ini, maka sekalian aku mendaki untuk bersujut."
Nona itu adalah Giok Lo Sat sendiri, tidak heran kalau nama yang diberikan
It Hang itu membuat ia kaget. Nie Siang memang namanya sejati dan sekarang oran
g menyebutkannya, tentu ia telah menduga yang tidak-tidak. Memang ia beradat ane
h. pasti kelakuannya itu membuat si anak muda bingung. Tadi pun ia uji anak muda
itu yang ia tekan pundaknya dan ia sengaja berlagak terhuyung-huyung, katan>a t
anah licin. Kesehatannya It Hang menimbulkan dugaannya bahwa pemuda ini mungkin
pandai ilmu silat. Tadinya ia curigai It Hang sebagai satu musuh gelap, ia tidak
sangka bahwa orang berlaku terus terang. Maka ia mau percaya It Hang benar-bena
r tidak mengandung maksud busuk terhadap dirinya. Lagi-lagi ia tertawa
Giok Lo Sat telengas, kalau seandainya It Hang ceriwis dan tidak jujur, mu
ngkin terjadi onar di antara mereka berdua.
"Aku dengar orang mengatakan ilmu silat Boetong pay tidak ada tandingannya
di kolong langit ini, mengapa kau hanya menyebutnya beberapa jurus?" ia tanya.
"Ilmu silat itu tidak ada batasnya," It Hang jawab. "Ilmu silat setiap par
tai ada bagian-bagiannya masing-masing yang istimewa, maka tidak benar untuk men
gatakan suatu partai tidak ada tandingannya. Kenyataan yang tak dapat disangkal
ialah Boetong pay dan Siauwlim pay memang telah mempunyai riwayat yang sudah lam
a sekali, setiap jaman muncul jago-jagonya, karenanya kaum Rimba Persilatan tela
h berikan pujiannya. Aku sendiri berbakat tumpul, meskipun belajar kepada guru y
ang kenamaan, tentang ilmu surat dan ilmu silatku, kedua-duanya aku gagal, tidak
berharga untuk disebut-sebut."
Pemuda ini menduga si nona pandai silat, maka ia merendahkan diri.
Nona itu manggut-manggut. Mendadak ia maju, sebelah tangannya menyambar ta
ngannya pemuda kita.
It Hang kaget tidak terkira. Tidak sempat ia berkelit dan mukanya menjadi
merah sendirinya. Terpaksa ia menggentak tangannya itu.
Si nona melepaskan cekalannya dengan sengaja. Jusieru itu terdengar suaran
ya guruh walaupun hujan mulai berhenti.
"Aku takut, aku takut..." katanya,
"Kalau aku sedang takut, tentu aku ingin jambret orang untuk dibuat teman.
.. Mengapa kau menolak?"
It Hang terbenam dalam keragu-raguan. Adakah nona ini berkata benar-benar
atau hanya main-main saja? la sangsikan nona ini mempunyai kepandaian ilmu silat
Mengawasi si nona, ia agaknya merasa kasihan.
"Jikalau kau takut, nona. mari aku antar kau pulang," ia kata.
Giok Lo Sat pergi ke mulut gua, ia melongok.
"Hujan bakal lekas berhenti," katanya. "Ada orang menantikan aku, tidak us
ah kau mengantarkannya."
Secara demikian ia tampik tawaran.
Masih mereka berdiam di situ, sampai hujan benar-benar sudah berhenti dan
mega telah buyar.
"Bagus! Sekarang aku hendak pulang!" kata si nona.
Hampir It Hang tanya si nona apakah masih mempunyai anggauta keluarga di d
alam rumahnya itu, tetapi kapan ia ingat tabiat aneh dari nona itu, ia batal men
anyakannya, ia jeri sendirinya.
"Baiklah, aku juga hendak turun gunung," ia kata.
"Silakan kau berangkat lebih dahulu," kata si nona.
It Hang lantas bertindak. Baru ia injak mulut gua, mendadak ia dengar nona
itu memanggil:
"Tunggu sebentar!" demikian suara si nona yang nyaring itu.
Pemuda kita berpaling dengan melengak.
"Aku ingin kau janji satu hal," nona itu berkata.
"Kau sebutkanlah, asal yang aku sanggup, pasti aku terima janjimu itu." ja
wabnya It Hang.
"Tentang sekarang kau bertemu dengan aku, aku larang kau beritahukan pada
siapa juga!" demikian permintaannya si nona.
Mendengar itu, It Hang tertawa.
"Itulah mudah sekali, dapat aku mengabulkannya," ia jawab. "Kita baru saja
berkenalan, apa perlunya aku omong kepada lain orang?"
Dengan tiba-tiba matanya si nona menjadi merah.
"Oh, kiranya benar-benar kau tidak perhatikan aku!" katanya.
Lagi-lagi It Hang menjadi bingung.
"Aku hendak pulang ke rumahku di Siamsay Utara, mungkin di belakang hari k
ita tidak akan bertemu pula satu sama lain," katanya, yang tak tahu kata-kata ba
gaimana yang harus diucapkannya. "Akan tetapi, apabila kemudian kita toh dapat b
ertemu lagi, pasti aku akan pandang kau sebagai sahahat baik."
Nona itu ulapkan tangannya.
"Baik! Kau pergilah sekarang," kata dia.
Tanpa berkata-kata lagi It Hang turun gunung dengan berlari-lari. Satu kal
i ia menoleh ke belakang, samar-samar ia masih tampak si nona asyik berdiri meny
ender di sebuah batu.
Sesampainya di hotel, pemuda ini ketemukan Hong Tjiauw.
"Kau telah pergi mendaki gunung Hoasan, apakah kau dapat ketemu Tjeng Kian
Tootiang?" tanya sahabat seperjalanan she The ini.
"Ya. aku telah bertemu," sahut It Hang.
"Ah, sayang Tjeng Kian sudah tidak gemar mengurus segala urusan orang luar
..." sekonyong-konyong Hong Tjiauw berkata.
It Hang heran. Kata-kata itu mesti ada artinya
"Ada apa. The Tjianpwee?" ia tanya orang tua itu.
Hong Tjiauw niat membuka mulutnya tapi saban-saban ia batal.
"Kau mendaki gunung Hoasan, kecuali Tjeng Kian Tootiang, siapa lagi orang
gagah yang kau ketemukan?" akhirnya dia tanya.
"Tidak," sahut pemuda ini. Tapi dalam hatinya mendadak ia ingat pesan Nie
Siang, ia terpaksa dustakan hambanya Thaytjoe Siang Lok.
Sampai di situ, Hong Tjiauw tidak menanyakan apa-apa lagi, maka mereka lal
u bicara lain urusan yang mengenai kalangan kangouw.
Malamnya sehabis bersantap, mereka masing-masing masuk tidur.
Tengah malam It Hang mendustn. Segera ia dengar suara suling di kejauhan.
Ia heran. Tiba-tiba iapun terkejut, karena ia dengar ketokan perlahan-lahan pada
pintu kamarnya.
"Saudara To. coba buka pintu..."
Itulah suaranya The HongTjiauw.
Pemuda kita turun dari pembaringan, ia angkat palangan pintu dan pentang d
aunnya.
Hong Tjiauw masuk menerobos, langsung iabikin api lilin nyala terang.
"Saudara To, kau jeri atau tidak terhadap Giok Lo Sat?" tanya dia tiba-tib
a tampangnyapun berubah. Ia mendelong mengawasi pemuda kita.
It Hang heran.
"Aku ingin kau menjawab dengan sebenar-benarnya kau jeri atau tidak terhad
ap Giok Lo Sat?" mengulangkan sahabat seperjalanan itu, yang sikapnya aneh.
"Belum pernah aku bertemu muka kepadanya tak dapat aku bicarakan soal jeri
atau tidak!" akhirnya It Hang jawab.
"Kalau kau tidak takut, itulah terlebih baik." kata Hong Tjiauw. Mendadaka
n saja ia jadi girang. "Dia telah culik engkongmu, dia telah perhina saudara-sau
dara seperguruanmu, untuk itu kau memikir untuk menuntut balas atau tidak?"
It Hang anggap pertanyaan itu agak aneh
"Mengenai urusan itu kecuali mendapat titah dari guruku, aku tidak memikir
nya untuk ambil tindakan." jawabnya.
"Bagaimana seandainya kau bcrsomplokan dengan dia?" tanya pula orang she T
he itu.
It Hang jadi semakin heran.
"Mungkinkah Giok Lo Sat ada di sini?" dia tegaskan.
Hong Tjiauw perlihatkan satu jari tangannya
"Justeru dia ada di sini!" sahutnya.
It Hang terperanjat Berkelebat bagaikan kilat, dalam otaknya timbul ingata
n, bukankah Lian Nie Siang yang ia ketcmukan tadi siang itu Giok Lo Sat adanya?
"Ah, tak mungkin'" pikirnya pula. "Giok Lo Sat katanya jahat, romannya ten
tulah sangat jelek dan seram tampaknya! Tapi Lian Nie Siang tadi adalah seorang
nona yang elok luar biasa, manis dan menggiurkan sekali. Mustahil dia ada di sin
i?"
la tunduk dengan pikirannya bekerja
Menampak sikap orang yang sangsi itu. HongTjiauw berkata pula: "Mengapa ba
ru mendengar saja Giok Lo Sat ada di sini. kau sudah ketakutan?"
"Siapa yang takut?" kata It Hang. "Urusan dia dengan kaumku adalah urusan
kecil, kenapa mesti diperbesar? Tidak ada perlunya untuk aku memusuhi dia."
"Dengan demikian, urusan engkongmu diculik itu jadinya kau tidak hendak pe
rdu likan lagi?" kata Hong Tjiauw dengan maksud membikin panas hatinya pemuda in
i.
"Engkong telah pulang dengan tidak kurang suatu apa, kerugian uangnya tida
k ada artinya."
"Dan bagaimana urusan dia perhina soeheng-mu? Hal itu mempunyai sangkut-pa
ut dengan nama baiknya Boetong pay! Apakah kau masih hendak tinggal diam juga?"
"Mengenai urusan partai, aku akan turut titah soehoe." It Hang pastikan.
"Kalau begitu, umpama nanti Giok Lo Sat satroni kau, kau tidak akan memper
dulikannya, bukan? Tidakkah itu berarti nama baik Boetong pay runtuh di tanganmu
?"
Hong Tjiauw masih saja mainkan lidahnya yang tajam.
"Dia toh tidak satroni aku."
Hong Tjiauw perdengarkan suara dingin.
"Baik aku omong terus terang padamu!" katanya. "Besok malam dia bakal bert
empur dengan aku. Kau ada bersama-sama aku. mustahil kau dapat berdiam diri tida
k mencampurinya?"
It Hang kerutkan alisnya. Memang, walaupun ia tidak bersahabat kekal denga
n Hong Tjiauw, mereka toh berjalan sama-sama. Pun benar juga Giok Lo Sat adalah
satru partainya. Sudah sepantasnya Hong Tjiauw tegur padanya. Di samping itu. mu
ngkin kaum Rimba Persilatan akan katai ia bernyali kecil, tak berani terhadap Gi
ok Lo Sat.
"Samsoesiok mau cari Giok Lo Sat, andaikata sekarang aku bantui orang she
The ini, tidak bisa jadi soehoe nanti tegur aku..." pikirnya pemuda itu terlebih
jauh. Maka kemudian ia kata pada Hong Tjiauw: "The Lootjianpwee, kalau benar Gi
ok Lo Sat hendak ganggu kau, baiklah, aku nanti lihat dia punyakan kepandaian ap
a. Hanya sayang aku masih muda dan kebisaanku tidak berarti, dikuatirkan aku nan
ti tidak sanggup membantu padamu."
Tapi, mendengar itu, sudah bukan main girangnya Hong Tjiauw. Ia tertawa de
ngan sepasang alisnya terangkat naik.
"Bagus, bagus! Ini baru kata-katanya satu laki-laki sejati!" pujinya. "Aku
nanti ajak kau temui beberapa sahabat, untuk kita bersama-sama melayani hantu w
anita itu!"
Ia tarik tangannya pemuda kita, buat diajak lompat keluar jendela akan ter
us lari ke tegalan.
Rembulan tampak suram, bintang-bintang pun jarang. Di kejauhan terlihat ti
tik-titik api kecil.
HongTjiauw ajak It Hang berlari-lari sampai keduanya dengar beberapa suara
yang aneh kedengarannya. Mendengar itu Hong Tjiauw berhenti lari untuk terus te
puk-tepuk tangan.
Di samping mereka ada kuburan, dari belakang kuburan itu muncul beberapa o
rang, apabila It Hang sudah melihat nyata ia dapati empat orang dengan tubuh kat
e dan jangkung tidak berketentuan. begitupun usia mereka itu.
"Hoan Djieko punya urusan penting dia tidak bisa datang, inilah aku tahu,"
berkata Hong Tjiauw kepada mereka itu, "tetapi apakah Eng Toako juga tidak turu
t datang? Tanpa dia, pertahanan kita akan menjadi lemah!"
Satu antara ke empat orang itu menyahut: "Dia bakal datang pada saatnya ya
ng tepat. Dia hendak membuat kaget pada iblis wanita itu!"
Hong Tjiauw tidak kata apa-apa lagi, hanya ia perkenalkan It Hang kepada e
mpat orang itu, ialah Tio Teng dari SiongyangPay, Hoan Tek Giokbin Yauwho Leng S
iauw yang baru berumur kira-kira dua puluh tujuh tahun, danTjengSiongToodjin.
It Hang heran setelah ia ketahui nama empat orang itu. Tio Teng dan Hoan T
ek adalah orang-orang kangouw, tentang Tjeng Siong Toodjin ia belum pernah denga
r, tetapi hal Leng Siauw, yang punyakan julukan si Rase Kumala, ia ketahui bukan
nya orang kangouw sejati
"Saudara To," kata Hong Tjiauw kemudian, "besok malam dengan mengambil tem
pat di puncak Hoasan, kami bakal tempur iblis wanita itu, sekarang perlu kami be
rlatih dulu. Kami punyakan semacam cara berkelahi berbareng."
"Cara apakah itu?" It Hang tanya.
"Sebenarnya kami janjikan tujuh orang," Hong Tjiauw jawab. "Kesemuanya itu
terdiri dari partai-partai yang berlainan, karenanya berlainan juga kepandaian
masing-masing, tetapi untuk layani Giok Lo Sat, kami harus persatukan diri untuk
dapat bekerja sama saling membantu. Maka itu, perlulah kami berlatih dulu. Juml
ah kami tujuh orang tapi yang satu berhalangan datang, dari itu haruslah saudara
To turut kami untuk melengkapkan jumlah itu."
"Walaupun ditambah aku seorang, jumlah kita toh baru enam?" kata It Hang.
"Toako kami pasti datang besok malam." jawab Hong Tjiauw. "Cara berkelahi
semacam barisan pengurung ini dialah yang ciptakan."
It Hang pikir: "Baiklah, aku ingin saksikan barisannya ini..." Maka ia tid
ak berkata apa-apa lagi.
Hong Tjiauw lantas mulai. Ia tunjuk kedudukan yang harus diambil oleh mere
ka berenam, yang merupakan sebuah kurungan. Diumpamakan musuh ada di tengah kala
ngan.
"Kita harus bekerja saling sambut," kata orang she The ini. tidak boleh ad
a yang terlambat agar musuh tidak dapat kesempatan akan serang kita. Kita semua
adalah orang-orang kelas satu tapi Giok Lo Sat sangat gesit. Memang, dengan bert
ujuh kita tidak sukar untuk mengalahkan padanya, tapi masih sulit untuk dapat me
mbinasakannya, dari itu toako kami ciptakan barisan pengurung ini yang ia namaka
n Tjittjiat Tiemo tin --- Tujuh Jalan Buntu Untuk Membinasakan Iblis. Barisan in
i tiga orang jadi penggempur, tiga penjaga di belakang, dan yang ke tujuh sebaga
i kepala perang. Kita mesti kurung musuh hingga dia tak dapat meloloskan diri. S
ekarang kita cuma ada berenam, mari kita coba latihan pengurungan saja."
Tio Teng berlima bersiap, maka lt Hang pun lantas menuruti. Tiga orang seg
era maju menyerang, lalu disusul oleh tiga yang lain. Ketika rombongan yang kedu
a ini mundur, yang pertama sudah lantas menyerang pula. Secara demikian, mereka
menyerang saling susul dengan teratur. Gerakan mereka mirip dengan Tiangtjoa TinB
arisan Ular Panjang, atau "Djieliong Yauwhay" --- Dua Naga Mengaduk Lautan. Mere
ka bisa maju mundur dan menyamping ke kiri kanan secara rapi.
It Hang cerdas, segera ia mengerti. Ia percaya barisan pengurung ini cukup
sempurna. Apalagi kalau orang yang menjadi toako itu pun sudah datang, pasti ba
risan ini jadi I iehay sekali.
"Fntah ada ganjalan apa di antara mereka dan Giok Lo Sat maka mereka henda
k binasakan si Raksasi Wanita itu?" ia menduga-duga.
Lama juga mereka berlatih, lalu Hong Tjiauw beri tanda untuk berhenti, la
puas dengan kesudahan latihan itu.
"Saudara To," kata dia, "kau mainkan ilmu pedang Lianhoan kiam dari Boeton
g pay. dibantu ilmu pedang Hongpo kjam dari Siongyang Pay dari saudara Tio, sung
guh bertambah hebat barisan pengurung kita ini."
It Hang diam saja.
Setelah itu, Hong Tjiauw beber kejahatannya Giok Lo Sat, yang juga dikatak
an sebagai pembunuhnya jago-jago Rimba Persilatan.
"Jikalau demikian kejahatannya Giok Lo Sat, sepantasnya saja dia disingkir
kan,"" akhirnya It Hang pikir
Selama itu. Dewi Purnama mulai doyong ke arah barat.
"Mari kita pulang!" Hong Tjiauw kemudian mengajak. "Besok tengah malam kit
a harus berkumpul di puncak Gioklie Hong..."
Kata-kata ini belum habis diucapkan, tiba-tiba mereka dengar satu suara ke
tawa ejekan tak jauh di samping mereka, Hong Tjiauw segera lompat maju sambil be
rseru dengan bentakannya. Perbuatannya itu ditelad oleh Tio Teng berlima.
III

Hong Tjiauw lompat dengan percuma Di tempat dari mana tadi suara datang ti
dak kedapatan siapa juga. Tempat itu tidak terlalu lebat dengan pohon-pohon.
"Mungkinkah Giok Lo Sat mempermainkan kita?" tanya Kimkong tjhioe Hoan Tek
.
"Suara ketawa itu tidak mirip dengan suara wanita," membantah Tjeng Siong
Toodjin.
"Toh bukannya hantu!" kata Leng Siauw.
"Mungkin sekali kita yang keliru dengar." Tio Teng turut berkata.
Hong Tjiauw berdiam, ia bercekat hatinya
It Hangpun berdiam, akan tetapi ia berpikir. Ia anggap merugikan pihaknya
andaikata suara ketawa itu benar keluar dari mulutnya orangnya Giok Lo Sat, seba
b itu berarti rahasia mereka telah terbuka.
"Sudahlah," kata Hong Tjiauw akhirnya, yang tampak kawan-kawannya masgul.
"Tidak perduli dia kawan atau lawan, siapa berani terjang barisan Tjittjia
t tin kita, dia mesti terbinasa atau sedikitnya terluka! Buat apa kita mesti tak
ut?"
Oi mulut orang she The ini mengatakan demikian, namun hatinya sebenarnya c
iut.
Sampai di situ enam orang itu berpisahan. Hanya Hong Tjiauw dan It Hang ya
ng pulang bersama.
"Apabila kita juga dapat bantuan gurumu, itu barulah bagus!" kata orang sh
e The ini sesampainya mereka di hotel. Ia menghela napas.
"Guruku tidak usilan," It Hang kata.
"Aku telah saksikan ilmu pedangmu tadi, yang sempurna sekali," kata Hong T
jiauw, yang cari lain bahan, "maka kalau besok kau dan Siongyang Kiamkek merangs
ek musuh, kami harapkan benar kepadamu!"
It Hang dapat perasaan tahwa orang sangsikan dia tidak akan membantunya de
ngan sungguh-sungguh.
"Aku telah berikan janjiku," katanya, "maka itu walaupun Giok Lo Sat lieha
y luar biasa, tidak nanti aku mundur!"
"Jangan kecil hati, saudara," Hong Tjiauw minta. "Kita akan hadapi musuh t
angguh maka sudah sewajarnya aku berkuatir..."
Mereka lantas masuk tidur.
Keesokannya, sehari itu mereka tidak kerjakan apa-apa. Barulah setelah sor
e tiba, sehabisnya bersantap, mereka lantas dandan untuk terus mendaki gunung Ho
asan.
Malam itu sunyi, bulanpun suram. Bisa dimengerti kalau mendaki gunung di w
aktu demikian ada lebih sukar daripada di waktu siang. Namun Hong Tjiauw bisa aj
ak It Hang naik sampai di puncak Gioklie Hong. Ketika itu bulan belum naik sampa
i di tengah-tengah langit. Tetapi, Tjeng Siong Toodjin berempat sudah sampai leb
ih dahulu di puncak itu.
Semua orang itu perlihatkan romam muka muram, menandakan gentingnya suasan
a. Mereka duduk di atas rumput dengan tidak ada yang bicara satu sama lain.
"Lihat bulan!" tiba-tiba Hong Tjiauw berkata.
Di empat penjuru, semua tetap sunyi.
"Belum tampak bayangannya Giok Lo Sat," kata Tjeng Siong si imam.
"Giok Lo Sat biasanya dapat dipercaya," kata Tio Teng. "Apa yang aku kuati
rkan adalah Eng Toako tak dapat datang pada saat yang tepat..."
"Eng Toako tidak akan salah janji!" The Hong Tjiauw berikan kepastian.
Hatinya It Hang bercekat akan saban-saban dengar orang menyebut-nyebut "En
g Toako", hingga timbul keinginannya untuk menanyakan, siapa namanya toako itu.
Akan tetapi di saat itu segera ia dengar suara ketawa dingin, yang seperti terba
wa datang oleh angin, akan segera munculnya pula satu nona yang pakaiannya serba
putih.
Bagaikan terbang melayang demikian datangnya nona itu, yang lompat turun d
ari tempat di atasan mereka. Dia berdiri di tanah datar dari puncak Gioklie Hong
, tampaknya bagaikan bidadari.
Hong Tjiauw semua bangkit berdiri, tetapi It Hang berbangkit dengan tercen
gang. Ia mimpipun tidak akan sangka si nona justeru adai ah si nona yang kemarin
ini iaketemukan di dalam gua Oeyliong Tong itu.
"Mungkinkah dia Giok Lo Sat yang dikatakan sangat kejam itu. yang biasa me
mbuat gentar hatinya orang-orang kangouw?" berpikir ia. Ia jadi bingung. Kemarin
ia telah berjanji akan menjadi sahabatnya nona itu, siapa sangka sekarang merek
a bertemu pula di sini dalam keadaan sebagai musuh!
Mula-mula kelihatan Giok Lo Sat itu tenang sekali, ia telah perlihatkan se
nyuman manis, tetapi dalam sekejap saja, air mukanya telah berubah menjadi pucat
, lalu air matanya mengembeng dan berlinang-linang. Mungkin itu disebabkan ia te
lah lihat pemuda kita dan hatinya jadi hancur...
Hong Tjiauw heran bukan main. Ia telah lihat tegas air matanya si nona. It
ulah aneh! Apakah yang menyebabkan keluarnya air mata itu? Kalau tidak lihat den
gan mata kepala sendiri, tidak nanti ia dapat mempercayainya.
Giokbin Holie Leng Siauw si Rase Kumala adalah seorang ceriwis, iapun belu
m belajar kenal dengan keliehayannya Giok Lo Sat si Raksasi Kumala, maka ia tert
awa akan saksikan kelakuannya si nona itu.
"Siapa belum sampai di sungai Honghoo, hatinya belum puas! Siapa belum lih
at peti mati, air matanya belum meleleh!" katanya sambil tertawa. "Maka itu, Gio
k Lo Sat, hayolah kau baik-baik menyerah kepada kami, mungkin kami dapat memberi
ampun padamu."
Giokbin Holie menyangka si nona jeri.
Tiba-tiba wajahnya si nona berubah. Dari berlinangkan air mata, dia bersen
yum.
"Terima kasih untuk kebaikanmu..." katanya.
Hong Tjiauw sebaliknya beda daripada Leng Siauw. Ia ketakutan.
"Giok Lo Sat," katanya, "kau harus hormati kepercayaan kaum kangouw! Sekar
ang belum sampai saatnya, orang kami belum datang lengkap, kau tidak boleh lanta
s turun tangan..."
Kata-kata orang she The ini belum berhenti diucapkan atau Giokbin Holie Le
ng Siauw menjerit sambil memegangi perutnya dan tubuhnyapun mencelat tinggi satu
kaki. Itulah karena senjata rahasianya Giok Lo Sat yang disebut jarum Tengheng
tjiam, sudah melesat menyambar si Rase Kumala itu, mengarah jalan darah saintay
hiat.
Leng Siauw pandai ilmu enteng tubuh, ia lihat berayunnya tangannya si nona
, ia lantas berseru, sambil lindungkan perutnya ia lompat tinggi. Akan tetapi si
nona liehay, setelah serangan yang pertama sebagai ancaman, segera iasusuli ser
angannya yang kedua dan ketiga, maka senjata jarum yang ketiga itu segera menanc
ap di kaki, kepada jalan darah yongtjoan hiat!
Leng Siauw merasakan sakit yang sangat hingga air matanya keluar, akan kem
udian jatuh meringkuk di tanah.
Syukur baginya, Tjeng SiongToodjin segera datang menolong, hingga ia luput
dari siksaan penderitaan lebih jauh.
Giok Lo Sat mengawasi sambil tertawa.
"Aku kira dia satu laki-laki yang tidak bisa keluarkan air mata, tapi seka
rang nyatalah dia hanya satu bantong!" GiokLo Sat mengejek.
Merah mukanya Leng Siauw, dia bungkam bahna malunya.
"Tahukah kalian mengapa aku datang kemari?" kata Giok Lo Sat pula. "Sebena
rnya aku datang untuk sangsheng kalian semua, tapi tidak kusangka di antara kali
an terdapat sahabatku yang baru, kasihan dia hari ini telah cari kematiannya sen
diri!..." (Sangsheng = mengantar ke kuburan).
It Hangtahu si nona bicara tentang dirinya. Di dalam hatinya ia kata: "Aku
juga berkasihan terhadapmu... Kau demikian cantik, mengapa kau sudi menjadi ora
ng jahat? Tjittjiat tin sangat berbahaya, walau kau gagah, kau juga seperti seda
ng menuju ke jalan kematianmu..."
Ia awasi si nona dengan alis mengkerut.
Giok Lo Sat yang lihat wajahnya It Hang itu berkata:
"Kau... kau..." katanya dengan sengit, tetapi ia berhenti di tengah jalan,
terganggu oleh sesegukannya yang tertahan...
Hong Tjiauw dan kawan-kawan tidak mengerti sikapnya nona ini, walau mereka
tahu si nona memang mempunyai adat luar biasa, gampang tertawa dan gampang murk
a...
Siongyang Kiamkek Tio Teng segera tolak tubuhnya Hong Tjiauw, maksudnya su
paya kawan ini mulai bergerak mengurung nona itu, agat mereka tidak didahului. K
etika itu justeru Hong Tjiauw sedang memikir untuk minta si nona tidak menyerang
dahulu.
Giok Lo Sat di lain pihak menjadi panas hatinya. Ia penasaran terhadap It
Hang. Ia sekarang beranggapan bahwa It Hang adalah musuh, bahwa kemarin It Hang
telah mendustai padanya. Maka ketika ia lihat sikap musuh yang hendak mulai meng
urung padanya, tiba-tiba ia berseru dengan suaranya yang panjang, berbareng peda
ngnyapun berkelebat.
"Sekarang sudah larut malam, tak dapat aku menunggu lebih lama!" begitu ia
perdengarkan suaranya.
Dengan gerakan bagaikan kilat, nona ini menikam Hong Tjiauw.
Orang she The ini bersenjatakan sepasang Djitgoat loen. semacam gegaman mi
rip roda. dengan roda yang kiri ia menangkis, dan balas menyerang dengan roda ya
ng kanan.
Menyusul itu Tjeng Siong Toodjin, dengan goloknya. Kaytoo membacok dari se
belah kiri, disusul oleh Giokbin Holie dengan poankoan pit-nya. ialah senjata se
macam alat tulis, yang menotok dari samping, mengarah jalan darah kwangoan hiat.
Giok Lo Sat menangkis sambil berkelit, namun ia lantas diserang oleh tiga
lawan lainnya, yang menggantikan tiga kawannya. Dengan satu lompatan, ia berkeli
t dari serangannya Tio Teng, dibarengi ujung pedangnya lewat di atasan pundak la
wan itu. Tapi ia segera diserang oleh Kimkong tjhioe Hoan
Tek yang liehay tangannya-
Tangan Baja (Kimkong tjhioe). Dengan kegesitannya ia masih sempat untuk be
rlompat pula, ke arah It Hang.
Untuk bela dirinya, It Hang mainkan pedangnya dengan gerakan "Gioktay wiey
auw" = "Sabuk kumala melilit pinggang". Setelah putar pedangnya di sekitar tubuh
nya, iapun balas menyerang. Akan tetapi secepat kilat suatu sinar berkilauan men
yambar ke arah kakinya!
Dalam kagetnya It Hang lompat mencelat dengan tipu "Kantee poattjong" atau
"Mencabut bawang di tanah kering", dengan begitu, pedang si nona lewat di bawah
an kakinya.
Sebenarnya nona itu telah berbuat baik terhadap pemuda ini. kalau tidak, p
asti kakinya It Hang kena terbabat pedang, It Hang pun insaf akan kegesitannya n
ona itu.
Tidak sempat Giok Lo Sat mengasokan diri. karena terus majunya ke lima mus
uh lainnya, berbareng atau bergantian, dengan si anak muda she To juga tidak ber
diam diri. Akan tetapi dengan tabah iapun terus melayaninya, di samping menangki
s atau berkelit, iapun dapat kesempatan untuk balas menyerang.
"Awas kawan-kawan!" berseru HongTjiauw, yang saksikan kegesitan nona itu.
Pengurungan dilakukan dengan rapat dan hebat, tetapi hebat juga perlawanan
nya si Raksasi Kumala. hanya sampai sebegitu jauh nampaknya nona ini sukar melol
oskan diri dari kepungan yang teratur itu. beberapa kali tikamannya yang berbaha
ya sia-sia karena ke enam musuh bisa saling tolong, yang satu terdesak, yang lai
n mendesak.
To It Hang berkelahi dengan sungguh-sungguh, akan tetapi ia tidak beringat
an untuk melukai atau membinasakan lawannya, ia keluarkan kepandaiannya ilmu ped
ang Tjitcapdjie tjhioe Lianhoan kiam --- Pedang Berantai Tujuh Puluh Dua Jurus -
-- hanya untuk melindungkan diri, bukan untuk cari jasa. Demikianpun si nona, wa
lau dia benci pemuda ini, diapun tidak mempunyai pikiran untuk mencelakainya. Ad
alah kemudian sesudah saat-saat berlangsung, dan It Hang dapat bergerak dengan l
eluasa, si nona mulai hilang sabar, dia menjadi sengit sendirinya. Dia berkerot
gigi.
"Kau tidak tahu diri, baiklah! Jangan kau sesalkan aku!" begitu katanya di
dalam hati.
Kali ini Giok Lo Sat benar-benar desak pemuda itu.
Di saat segenting itu, dengan sekonyong-konyong terdengar suatu seruan dar
i sebelah atas mereka, dari mana segera tertampak lompat turunnya seorang tua ku
rus kering.
"Giok Lo Sat! Kenapa kau tidak hormati aturannya kaum kangouw?" demikian t
egurnya orang tua itu.
Mendengar seruan itu. The Hong rjiauw memberi isyarat dengan tangannya, me
ngajak lima kawannya mengundurkan diri. keluar dari kalangan pertempuran.
Giok Lo Sat juga lompat mundur.
"Bagaimana kau tuduh aku tidak menghormati kepercayaan?" dia berseru. "Kau
sendirilah yang sudah menyalahi waktu1"
Orang tua itu dongak, ia lihat bulan berada di atasan kepalanya. Ia tertaw
a gelak-gelak.
"Sebenarnya sudah lama aku berdiam di sini menantikan kau!" katanya dengan
lagaknya memandang enteng. "Dengan enam saudaraku saja kau tak dapat tobtoskan
kurungannya. bagaimana kalau aku turut menceburkan diri dalam rombongan kuningan
ku?"
"Hm, dia licik!" berpikir It Hang. "Dia sudah datang tetapi dia menonton s
ambil sembunyikan diri. dia baru muncul sesudah lihat kita menang di atas angin!
"
Giok Lo Sat pun tertawa dingin.
"Bangsat tua she Eng!" ia mendamprat, "kau telah bunuh Thayhiap Lo Kim Hon
g secara pengecut, apakah kau anggap tidak ada orang yang ketahui perbuatanmu it
u? Bagaimana dengan beberapa kawanmu ini, segala bangsat cilik? Adakah mereka me
ngekor kepadamu dengan setulus hatinya atau karena kau telah perdayakan mereka?"
Mendengar perkataannya nona ini, Siongyang KiamkekTjeng Siong Toodjin agak
nya terperanjat.
"Jangan percaya ocehannya bangsat perempuan ini!" orang tua kurus kering i
tu berseru. "Dialah yang sudah tindas saudara-saudara kita kaum Rimba Hijau di w
ilayah Soetjoan dan Siamsay! Dialah yang lukai piauwsoe dari golongan Siongyang
pay dan murid-murid Boetong pay! Dialah musuhnya kaum Rimba Persilatan! Jikalau
sekarang kita tidak singkirkan padanya, di belakang hari dia akan menyebabkan da
tangnya pelbagai malapetaka yang tidak terkirakan hebatnya!"
Orang tua ini tutup kata-katanya yang berbisa itu dengan ulapan tangannya,
sebagai isyarat, atas mana The Hong Tjiauvv menyambut tanda itu. maka bersama-s
ama lima kawannya, ia mulai menyerang pula si nona. untuk dikurung kembali.
Sekarang ini lengkaplah jumlahnya Tjittjiat tin, Barisan Tujuh itu. Si ora
ng tua kurus kering ambil tempat di tengah, ia menyerang dan menolong enam kawan
nya bilamana salah satu kawannya ada yang terancam bahaya. Senjatanya yakni hoed
tim, semacam kebutan, telah digerak-gerakkan bagaikan pedang Ngoheng kiam yaitu
"pedang panca logam", dan alat penotok jalan darah, setiap serangannya selalu me
mbahayakan. Maka si nona mesti bersungguh-sungguh dalam melayani musuh yang lieh
ay ini.
Tjeng Siong Toodjin itu adalah sahabatnya Lo Kim Hong si orang gagah yang
Giok Lo Sat namakan "tayhiap" (pendekar), maka ketika tadi ia dengar si nona men
gatakan tayhiap itu telah dicelakai oleh orang tua kurus kering yang disebut ora
ng she Eng itu. timbullah keragu-raguanya. Akan tetapi menampak si nona demikian
telengas. ia bimbang juga. Iapun sudah kepalang tanggung, bagaikan orang yang m
enunggang harimau, turun salah, tidak turunpun terancam bahaya... Maka terpaksa
ia berkelahi terus.
Tujuh anggauta Tjittjiat tin itu masing-masing mempunyai kepandaian sendir
i-sendiri. Giok Lo Sat kewalahan juga, hingga dia bermandikan keringat harumnya.
Tapi ia beradat keras, ia tidak mau angkat kaki. Ia percaya akan kepandaiannya
bahwa dalam keadaan biasa ia tidak nanti terkalahkan oleh ke tujuh lawan itu, ap
a mau sekarang mereka telah ciptakan pengurungan yang istimewa itu.
Makin lama si nona merasakan ancaman semakin hebat, akan tetapi ia bermata
jeli dan otaknya cerdas, ia lantas bisa lihat, di antara ke tujuh lawan itu ada
lah It Hang yang belum keluarkan sepenuh tenaganya, anak muda ini nampaknya tida
k nekat seperti yang lainnya, maka ia lantas gunakan saat ini untuk mendesak pem
uda ini, di saat anak muda itu menusuk padanya, ia mengegos sambil terus maju, h
ingga tubuh mereka berada dekat satu pada lain, di waktu itulah ia segera berkat
a dengan perlahan: "Tidak malukah kau menjadi konconya orang busuk?"
It Hang terkejut. Berbareng dengan itu, pedangnya si nona menusuk ke arahn
ya. Sebelum ia sempat berdaya, si orang tua kurus kering sudah mendahului menang
kis pedang itu, akan menghindarkan ia dari bahaya.
Giok Lo Sat tidak dapat segera pastikan It Hang telah terpengaruh atau tid
ak oleh kata-katanya itu, akan tetapi selagi pemuda itu lompat mundur, Hoan Tek
telah maju gantikan menerjang padanya, maka ia tangkis penyerang ini sambil teru
s membarengi menikam, hingga lawannya itu terluka.
Si tua yang kurus itu menduga si nona akan lompat mundur keluar kalangan,
ia lantas lompat maju merintangi, sedangkan HongTjiauw di lain pihak juga merang
sek bersama sepasang senjatanya yang berupa roda kereta.
Hoan Tek terluka tetapi tidak parah, ia justeru menjadi gusar, maka sambil
perdengarkan seruan bagaikan geramnya harimau ia lompat menikam. Akan tetapi de
ngan kelincahannya, si nona dapat mengelakkan diri.
Si tua kurus kering sudah perhatikan ilmu pedangnya si nona, ia dapati non
a itu tidak gampang menjadi lelah, ia menjadi curiga hingga timbut niatnya untuk
menegur. Akan tetapi sebelum ia sempat menegur tatkala 11 Hang, sang kawan, men
dadak mencelat ke sampingnya sambil menegur padanya: "Tjianpwee Eng Sioe Yang!"
Itulah bukannya serangan melainkan pertanyaan, akan tetapi pertanyaan itu
telah membuat terkejut orang tua ini, hingga hampir tanpa berpikir lagi ia menja
wab: "Ya!" Ia menduga pemuda ini adalah kawannya The Hong Tjiauw yang sampai seb
egitu jauh ia belum pernah ketemukan. Maka i apu n lantas memikir juga untuk ber
ikan peringatan supaya anak muda ini waspada terhadap musuh yang liehay itu.
Tapi It Hang sambut peringatan itu dengan tikamannya yang mendadak.
Bukan main kagetnya orang she Eng itu.
"Kau angot?" ia menegur sambil kelit diri dari tikaman itu.
It Hang tidak memperdulikannya, ia ulangkan tikamannya dengan lebih dahsya
t.
"Aku hendak bunuh dahulu kau, penghianat yang berkongkol sama bangsa Boan!
" teriaknya.
Tubuhnya Eng Sioe Yang bergidikan, tapi ia masih sempat tangkis tikaman it
u.
Giok Lo Sat dengar bentakannya It Hang, selagi si kurus kering itu terceng
ang, iapun berseru: "Oh, jahanam, kiranya kau berkongkol sama bangsa Boan?" Lant
as ia menyerang dengan tusukannya yang seru sekali.
Dalam ancaman bahaya itu, The Hong Tjiauw dan Tio Teng maju menolong sauda
ra yang tertua itu, menyusul mana, Giokbin Holie juga menerjang It Hang dari bel
akang, dengan incar jalan darah tjietong hiat.
Sambil memutarkan tubuhnya It Hang tangkis bokongan itu, demikianlah kedua
nya jadi bertarung.
Segera setelah berbaliknya To It Hang, jalannya pertempuran juga turut ber
ubah. Dari lawan. It Hang dan Giok Lo Sat menjadi kawan melayani enam musuh.
"To It Hang!" The Hong Tjiauw berseru. "Kau adalah puteranya seorang pembe
sar tinggi, mengapa kau berkonco dengan orang jahat? Bagaimana nanti kau membuat
perhitungan di hadapan putera mahkota?"
Giok Lo Sat tertawa Ia mendahului It Hang beri jawaban.
"Kau bersaudara angkat dengan
Eng Sioe Yang!" katanya dengan nyaring. "Yang satu sembunyi di gunung, yan
g lain mendekam di istana, tetapi sepak terjangmu sama saja. yaitu berkongkol sa
ma. bangsa Boan! Kau tidak dapat loloskan diri!"
Kata-kata ini dibarengi dengan berputarnya pedangnya si nona yang menyeran
g dengan dahsyat, sinar pedangnya berkelebatan di sekitar tubuhnya.
It Hang turut menyerang dengan tak kurang hebatnya.
Dengan kurangnya satu anggauta. Tjittjiat tin menjadi seperti kipa, sebali
knya musuh dapat tambah tenaga menjadi dua orang__
Sesaat kemudian Hoan Tek yang tangannya kuat seperti baja, karena sudah le
lah, sedang tadipun dia telah terluka, empat buah jari tangannya kena terbabat k
utung oleh pedangnya si nona. Dia menjerit kesakitan dan terus lompat mundur unt
uk menjauhkan diri.
Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ, bagaikan terbang ia lompat maju
, pedangnya berkelebat-kelebat di antara HongTjiauw beramai. Kali ini gerakannya
itu membuat senjata-senjata musuh disampok terpental, hingga ia dapat merangsek
terus dengan leluasa. Begitulah dengan satu kali mencelat ia telah berada di de
kat Hoan Tek, dengan ulur tangan kirinya ia jambak musuh itu. yang hendak lari k
abur.
"Ha-ha-ha-ha kimkong tjhioemu tidak sekuat kepunyaanku," si nona mengejek
sambil ia angkat tubuh orang yang dijambak bebokongnya. Lalu ia mengayunkan tang
annya, hingga tubuhnya Hoan Tek turut terayun juga. Hanya satu kali saja, terus
ia lepaskan cekalannya. Maka tubuh si Tangan Baja lantas terlempar melayang ke b
awah gunung, dari mana terdengarlah jeritannya yang menggiriskan.
Menampak nasib kawannya yang terbinasa di kaki gunung itu, hatinya Hong Tj
iauw dan kawan-kawannya menjadi kuncup.
Giok Lo Sat masih terus melancarkan serangannya, ke depan dan belakang, ke
kiri dan kanan, agaknya ia ada sangat merdeka. Di samping itu. It Hangpun menye
rang tidak kalah sengitnya dengan ilmu pedangnya yang mempunyai jurus-jurus bera
ntai yakni Tjitcapdjie tjhioe Lianhoan kiam.
Eng Sioe Yang bersama lima kawannya ada dari kalangan tinggi, akan tetapi
melawan sepasang pemuda-pemudi itu, mereka sangat terdesak, selain membela diri
mereka tidak mampu melakukan serangan pembalasan.
Beberapa saat telah berselang, si nona menjadi hilang sabar.
"Terpaksa aku membuat pelanggaran pembunuhan!" serunya. "Tjeng Siong Toodj
in! Siongyang Kiamkek! Kalian adalah dari golongan sejati, jikalau kalian tetap
masih tidak mau tahu harga diri. mengertilah, batu dan kumala akan hancur lebur
bersama!"
Seruan nona ini sebagai pembuka jalan hidup untuk Tjeng Siong Toodjin dan
Siongyang Kiamkek Tio Teng. Tanpa sangsi lagi, mereka segera tarik pulang senjat
anya masing-masing sambil terus lompat mundur dari kalangan pertempuran.
"Terima kasih!" mereka mengucap dan terus tari pergi.
Wajahnya Eng Sioe Yang menjadi pucat sekali, demikianpun Hong Tjiauw yang
hatinya menjadi ciut
Dalam keadaan putus asa itu. Eng Sioe Yang berbalik menjadi nekat, ia meng
ayunkan tangannya melepaskan lima buah hoeitoo, golok terbang, membokong musuhny
a.
Giok Lo Sat lihat serangan itu, ia tertawa.
"Segala tembaga rosokan dan besi tua!" demikian ia mengejek. "Apakah gunan
ya semua itu?"
Ia menangkis dengan pedangnya dengan tubuh berputar sana-sini, dengan begi
tu ia bikin runtuh ke lima buah hoeitoo itu, yang terbabat patah dan meluruk jat
uh ke kaki gunung!
Serangannya Eng Sioe Yang itu sebenarnya hanya suatu siasat belaka. Dengan
serangannya itu ia hendak membuat musuh repot menangkis goloknya itu, lalu deng
an gunakan ketika itu, ia lantas lompat mundur, untuk terus jatuhkan diri bergul
ingan ke kaki gunung!
The Hong Tjiauw pun hendak menelad kawannya itu. Demikian ia lompat melesa
t sejauh satu tombak lebih untuk menyingkirkan diri.
"Hai, ke mana kau hendak kabur?" bentaknya si nona.
Berbareng dengan aksinya Hong Tjiauw itu, juga Giokbin Holie Leng Siauw si
Rase Kumala niat ambil langkah seribu. Dan ia, lari ke lain jurusan. Dalam hal
ilmu silat ia kalah dari pada Hong Tjiauw, akan tetapi dalam ilmu mengentengkan
tubuh, ia mahir. Maka itu cepat sekali gerakannya.
Giok Lo Sat dapat lihat gerak sikapnya orang itu. Ia memang jemu terhadap
si Rase Kumala yang mulutnya enteng itu. Maka dengan menyampingkan Eng Sioe Yang
dan The Hong Tjiauw, ia lompat mengejar orang she Leng ini sambil mengayun sebe
lah tangannya.
Giokbin Holie berkaok hebat, oleh karena tiga batang jarum Tengheng tjiam
tepat menancap di tubuhnya, dia tidak bisa lari terus walaupun dia liehay dalam
ilmunya mengentengkan tubuhnya. Dia memaksanya lari dengan terhuyung-huyung.
Giok Lo Sat mengejar dengan cepat, begitu lekas ia sudah datang dekat, ia
segera menyerang dengan dua gerakan saling susul. Pedangnya membabat dan kakinya
menendang. Maka tidak ampun lagi robohlah tubuhnya si Rase Kumala, tergelincir
ke kaki gunung!
Menyusul itu,To It Hang berseru: "Nona Lian! Lebih penting kita bekuk oran
g she The itu!"
Giok Lo Sat sadar, segera ia memandang ke arah The Hong Tjiauw, yang sudah
lari sampai di tengah gunung, tubuhnya tertampak bagaikan titik hitam saja.
Walaupun demikian, nona ini tidak putus asa.
"Kejar!" ia berseru
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari tengah gunung: "Jangan ibuk! Aku te
lah wakilkan kalian menangkap dia!"
GiokLo Sat heran dan terperanjat. Ia telah dengar nyata suara itu akan tet
api tak tampak orangnya. Mengertilah ia, bahwa itulah suara yang disebabkan ilmu
lweekang "Tjoanim djipbie" yang mahir. Ilmu menyalurkan suara yang luar biasa.
Biasanya jikalau orang berseru di tempat tinggi, suaranya gampang terdenga
r dari bawah, akan tetapi tidak demikian apabila keadaan sebaliknya, orang di at
as tidak bisa mendengar nyata suara yang datangnya dari bawah. Sekarang suara it
u datangnya dari bawah tapi dapat didengarnya demikian tegas dan nyata.
Nona ini memasang mata. Segera ia tampak seorang berlari-lari mendaki, aka
n tak lama kemudian orang itu telah sampai di dekatnya, ialah seorang dari usia
kira-kira tiga puluh lebih kurang, mukanya persegi, kedua kupingnya lebar.
Orang itu datang sambil mengempit satu orang, yang ia lantas letakkan di t
anah di depannya Giok Lo Sat Tawanan itu adalah The Hong Tjiauw.
Selagi si nona mengawasi, orang itupun memandang kepadanya.
"Apakah kau Giok Lo Sat?" orang itu bertanya. "Dan tuan ini siapa?" Dia ma
ksudkan It Hang, yang sudah menghampiri si nona.
Lian Nie Siang tidak puas ditanya secara langsung demikian.
Julukannya --- Giok Lo Sat, si Raksasi Kumala --- sudah terkenal, akan tet
api ia tidak suka orang menyebutkan julukannya itu di hadapannya.
"Habis kau mau apa?" dia jawab dengan tertawa dingin.
It Hang sebaliknya, ia menjawab dengan sikap yang menghormat.
"Aku yang muda adalah To It Hang murid Tjie Yang Toodjin dari Boetongsan,"
demikian jawabannya. "Akupun mohon tanya, apakah she yang wangi dan nama besarm
u dan dari golongan mana?"
"Siauwtee adalah Gak Beng Kie," sahut orang itu. Yang segera melanjutkan.
"Baiklah kita bicarakan dahulu urusan penting, baru kemudian membicarakan kalang
an kita. Apa yang pihakmu hendak perbuat terhadap orang ini?"
"Dia tertawan olehmu, kau saja yang memutuskan," sahut Giok Lo Sat
Gak Beng Kie tertawa.
"Tidak usah kita ambil tindakan menuruti caranya Kalangan Hitam." katanya.
"Mengenai orang ini, aku tidak mengetahui banyak. Apakah dia konconya jahanam s
he Eng si bangsat tuabangka itu?"
Kembali Giok Lo Sat merasa tidak puas. Ia dikenal sebagai "lietjat" penjaha
t wanita --- akan tetapi tidak suka ia menyebutkannya itu. Maka itu, ia tidak se
nang orang she Gak itu menyebut aturan Kalangan Hitam (Hektoo), ia merasa tersin
ggung kehormatannya...
"Benar, dia adalah konco si orang she Eng itu!" It Hang wakilkan si nona m
emberikan jawaban. "Dia malah bekerja sebagai siewie dari putera mahkota, dia ad
alah orang gagah nomor satu dari Seetjiang!"
Gak Beng Kie pandang pemuda itu, tiba-tiba ia tertawa.
"Oh, saudara To, kau kiranya orang yang tadi malam berapat bersama mereka
itu?" katanya. "Pantas kau kenal dia baik sekali..."
Mukanya It Hang menjadi merah. Tahulah ia bahwa orang ini adalah yang mala
m itu telah perdengarkan ketawanya tanpa perlihatkan diri.
"Aku menyesal sekali yang aku telah keliru bergaul dengan orang-orangjahat
," diaakui. "Eng Sioe Yang sudah berkongkol sama bangsa Boantjioe, aku menduga d
ia pasti akan jadi penyambut di dalam dari bangsa di tapal batas itu."
Itu waktu The Hong Tjiauw, yang rebah di tanah, geraki tubuhnya. Giok Lo S
at yang matanya liehay dapat lihat itu, dengan sekonyong-konyong kakinya diangka
t menendang dagunya orang she The itu hingga dia tak dapat geraki kedua baris gi
ginya, sedang tadinya dia berniat menggigit buntung lidahnya karena insyaf tidak
nanti dia dapat lolos dari tangannya ketiga orang ini. Karena dupakan itu. mulu
tnya jadi terus terbuka saja...
Habis mendupak. Giok Lo Sat tidak gubris korbannya itu. Dia terus menoleh
pada lt Hang, yang ia awasi dengan tajam
"Kenapa kau tahu Eng Sioe Yang berkongkol sama bangsa Boan?" tanyanya.
Anak muda itu bersangsi, dia tidak lantas berikan jawabannya.
"Aku memang telah curigai dia berkongkol sama bangsa Boan itu." kata pula
si nona, "maka itu selama dua tahun ini, aku saban-saban ubrak-abrik sarangnya,
hingga dia terdesak dan tidak berdaya mengumpulkan kambrat. Begitulah sudah terj
adi, dia tantang aku untuk membuat perhitungan di puncak Hoasan ini. Aku tidak s
angka bahwa kau adalah salah seorang yang dijanjikan itu!..."
Juga Gak Beng Kie. dengan mata tajam turut mengawasi pemuda ini.
It Hang berpikir, la berkuatir juga, karena salah mengerti telah menjadi m
enghebat. Dalam sepintas lalu ia dapat kenyataan si nona sangat telengas, akan t
etapi di samping itu dia masih dapat membedakan putih dan hitam, bisa mengetahui
benar dan salah, ada semangatnya sebagai seorang gagah. Di pihak lain, Beng Kie
muda dan gagah, mestinya dia ini bukan orang sembarangan. Maka menghadapi kedua
orang itu, It Hang tidak mau berlaku sembrono.
"Agaknya mereka tahu banyak, tapi mereka curigai aku. sudah seharusnya aku
omong terus terang kepada mereka," ia menimbang. Segera ia ambil putusan. Maka
terus ia tuturkan halnya Boesoe Beng Tjan serta pesannya, terutama yang mengenai
sepak terjangnya Eng Sioe Yang. Kemudian ia juga jelaskan mengapa ia bisa berad
a bersama The Hong Tjiauw, utusannya putera mahkota, yang sekarang ternyata adal
ah komplotan penghianat
Agaknya Giok Lo Sat tersadar, dengan tiba-tiba ia tertawa.
"Memang aku percaya kau bukannya semacam manusia sesat itu," katanya terus
terang. "Jikalau tidak demikian sangkaku, sudah pasti sejak siang-siang jiwamu
aku telah bikin melayang!"
Selagi It Hang tercengang dan Gak Beng Kie pun masih berdiam saja, si nona
pandang The Hong Tjiauw.
"Bagaimana? Apakah kau rasakan badanmu tidak enak?" tanyanya dengan tertaw
a geli. "Maukah kau jikalau aku kasih obat kepadamu?"
Suaranya si nona lemah lembut, agaknya ia sangat menaruh perhatian.
Hong Tjiauw yang lihat sikap dan suara manis budi dari nona itu, mendadak
kedua matanya dibuka lebar dan wajahnya memperlihatkan roman ketakutan, semangat
nya seperti telah terbang pergi... Itulah karena ia telah ketahui baik adat tabi
atnya si nona yang aneh itu.
Giok Lo Sat tidak dapat jawaban, akan tetapi ia toh angkat kakinya menjeja
k bebokongny a orang she The itu.
Nampak nona ini menggerakkan kakinya dengan pelahan. akan tetapi akibatnya
hebat bagi Hong Tjiauw, yang berjengit kesakitan bagaikan ditusuk-tusuk ribuan
jarum, sakitnya dari luar sampai di dalam. Dia niat gigit putus lidahnya, tetapi
dia tidak mampu lakukan itu, oleh karena dia terus tidak bisa merapatkan kedua
bibirnya. Bisa dimengerti penderitaannya yang hebat itu.
"Bagaimana? Apakah kau masih tetap tidak mau berikan pengakuanmu?" si nona
tanya, menegaskan. "Benar mulutmu tidak dapat digerakkan akan tetapi kedua tang
anmu masih dapat membantu kau mengutarakan sesuatu! Lekas kau tulis di tanah nam
a-namanya semua kambratmu, atau kau masih hendak merasakan penderitaan lainnya l
agi!..."
The Hong Tjiauw adalah kepala dari Seetjiang, dia biasa periksa dan mengom
pes orang dengan pelbagai macam alat siksaan, dia tidak sangka bahwa roda telah
berputar, sekarang dia sendirilah yang menjadi pesakitan di mukanya si Raksasi K
umala. malah dia mesti icipi kompesan yang hebat luar biasa ini. Tidak ada lain
jalan, ia berikan pengakuannya dengan segera Dengan jari tangannya ia mencorat-c
oret di tanah, menuliskan beberapa nama dengan tulisannya miring tak keruan.
"Apakah kedudukan mereka masing-masing?" Giok Lo Sat tanya.
Hong Tjiauw mencoret pula di belakang setiap nama: Tiga nama ditambahkan h
uruf-huruf "siewie" atau pahlawan istana, dan dua nama lainnya ditambah dengan t
ulisan: "jago Rimba Hijau".
"Tidak ada lainnya lagi?" tanya pula si nona sambil membentak.
Kepalanya siewie itu bermandikan keringat, suatu tanda menghebatnya pender
itaannya.
"Tidak ada lagi," demikian ia menulis pula.
"Aku tidak percaya!" berkata Giok Lo Sat dengan nyaring. "Toh masih ada it
u segala tokboe setempat dan menteri-menteri dalam istana!"
"Dengan sebenarnya aku sudah tidak tahu lain-lainnya pula." Hong Tjiauw me
nulis pula. "Pangeran Boan itu telah berikan tugas kepadaku untuk menghubungi sa
ja ke lima orang itu."
"Hm! Masih kau hendak menyembunyikannya?"
Kembali ujung kaki si nona bergerak kali ini mengenai pinggang orang.
Sakit luar biasa Hong Tjiauw merasakannya, ia sampai bergulingan, ketika i
a gunakan jari tangannya akan menulis pula, ia tidak dapat segera menulis huruf
apa-apa. tampaknya dalam penderitaannya itu ia berpikir keras, rupanya untuk men
cari nama-nama orang...
Melihat keadaannya The Hong Tjiiauw itu, It Hang merasa kasihan.
"Nona Lian, aku percaya dia tidak tahu suatu apa lagi," ia kata kepada si
nona. "Jikalau kau terus paksa padanya, aku kuatir dia nanti menuliskan nama sem
barang orang, hingga dia bisa celakai orang-orang yang tidak bersalah dosa."
Giok Lo Sat pandang pemuda kita
"Bagaimana kau tahu dia mungkin mengaco-be!o?" dia tanya.
"Tidakkah kau lihat wajahnya itu?" sahut si anak muda. "Dia pasti sedang b
erpikir keras, memikirkan siapa-siapa yang dia bisa rembet-rembet. Betul-betul a
ku kuatir dia nanti mencelakai orang baik-baik. Lebih baik kau lekas hadiahkan d
ia kematian."
"Kau sungguh murah hati!" kata si nona. Tapi toh ia terus dupak bebokongny
a Hong Tjiauw pada urat kematiannya.
Hong Tjiauw muntahkan darah hidup, setelah tubuhnya berkelejat. lantas dia
m tidak bergerak, napasnyapun berhenti jalan untuk selama-lamanya.
It Hang mendekati Giok Lo Sat, di kuping siapa ia berkata dengan perlahan:
"Aku tidak senang untuk ketelengasanmu ini. lebih-lebih pula dengan tabiatmu ya
ng gusar dan gembira tidak keruan juntrungan! Dengan tabiatmu yang demikian itu,
siapa sudi dekati padamu?"
Nona Lian tidak sangka akan dengar pengutaraan itu. Tapi ia tidak menjadi
gusar.
"Pantas orang jeri terhadap aku..." pikirnya. "Adatku memang jelek, akan t
etapi dengan tiada sebab musababnya orang menjadi takut, itulah tidak menarik ha
ti..."
Karena berpikir demikian, iapun dekati kuping si anak muda.
"Terima kasih untuk nasihatmu yang berharga ini." katanya.
It Hang tidak menjawabnya, akan tetapi di waktu ia awasi mayatnya Hong Tji
auw. tiba-tiba ia perdengarkan seruan kaget.
"Celaka!" dia mengeluh.
"Celaka?" tanya si nona. "Celaka apa?"
"Dia dan aku keluar sama-sama dari kota raja," sahut 11 Hang. "sekarang di
a binasa secara demikian rupa, apakah kemudian putera mahkota tidak akan minta d
ia daripadaku?"
Mendengar demikian, Gak Beng Kie tertawa.
"Inilah gampang!" katanya, dan terus ia cabut pedangnya dengan apa ia taba
s kutung batang lehernya Hong Tjiauw, ia ambil kepalanya dimasukkan ke dalam kan
tongnya yang terbuat dari kulit. "Aku kenal baik Him Kengliak, dia sekarang teng
ah menjalani firmannya raja untuk meninjau pengatasan. Kengliak telah menulis su
rat padaku, mengajak aku bekerja sama dalam pasukan perangnya. Sebenarnya sekara
ng ini aku dalam perjalanan ke kota raja, setelah itu barulah aku hendak turut K
engliak pergi ke perbatasan, maka itu, setibaku di kota raja, aku nanti dayakan
supaya aku dapat berikan penjelasan kepada putera mahkota."
It Hang girang. Ia percaya sahabat baru ini.
Beng Kie pun lantas pamitan.
"Eh, tunggu dulu!" Giok Lo Sat menahan "Kau sebenarnya orang gagah dari pa
rtai mana? Ingin sekali aku belajar kenal dengan ilmu kepandaianmu."
Beng Kie tertawa.
"Kau baru saja bertempur hebat, bukankah lebih baik sekali kau beristiraha
t?" jawabnya.
Tampaknya si nona kurang puas.
"Sedikitnya aku masih sanggup layani kau tiga atau lima jurus." katanya.
Kembali Beng Kie tertawa. lapun sentil-sentil pedangnya.
"Sebenarnya, jikalau bukan karena ingin mengetahui ilmu silatmu, mustahil
aku datang ke gunung Hoasan ini..." katanya. Terus ia berpaling pada It Hang. "S
audara To, tadi kau tanyakan aku tentang partaiku, sekarang baik kau tunggu sebe
ntar, kemudian kau tanyakan nona ini, nanti kau dapat tahu!" Ia menambahkan.
It Hang terperanjat
"Kita adalah sahabat satu sama lain, untuk apa adu pedang?" katanya, denga
n maksud mencegah. Ia tidak setuju dengan pieboe itu karena ia kuatir salah satu
akan celaka.
Orang she Gak itu bersenyum.
"Jikalau pemain catur ketemu tandingannya, tak dapat tidak tangan mereka a
kan menjadi gatal!" katanya. "Saudara To, apabila kau tidak punyakan urusan pent
ing, marilah kau saksikan pertandingan ini!"
Giok Lo Sat lihat sikapnya orang wajar sekali, seperti memandang enteng ke
padanya, di dalam hatinya ia mencaci: "Bocah tak kenal mampus, bagaimana kau ket
ahui bahwa aku adalah lawanmu yang setimpal?" Terus ia bertindak ke arah bawah,
untuk sengaja berikan tempat yang bagus untuk orang she Gak itu, kemudian dengan
angkat pedangnya ke depan dada. ia tertawa dan berkata: "Silakan kau mulai!"
Beng Kie sudah lantas siap, akan tetapi ia berdiri tegak, matanya mengawas
i si nona, siapapun balik mengawasi. Sampai sekian lama ia masih diam, tidak ber
gerak, barulah kemudian dengan sekonyong-konyong ia angkat tangannya sambil bers
eru: "Awas!"
Seruan peringatan itu disusul dengan pedangnya yang menyambar cepat sekali
kepada bahunya si nona.
Giok Lo Sat berkelit, pedangnya digerakkan ke kiri, akan tetapi ia tidak m
eneruskannya, ia hanya balik menyabet ke kanan. Secara begini ia balas menyerang
.
Beng Kie berkelit sambil memutar tubuh. Geraknya gesit sekali dari "Poanho
ng kietjoan" atau ''Naga berputar kabur!"
Serangan si nona yang mengarah embun-embunan lawan meleset, dan baru saja
pedangnya lewat, ujung pedangnya Beng Kie tiba-tiba menyambar ke dadanya.
It Hang lihat serangan Beng Kie yang berbahaya itu, ia terperanjat.
Tapi si nona pun gesit dan tabah, dengan kasih turun pedangnya, ia dapat m
embebaskan diri dan pecahkan serangan dahsyat dari lawannya itu, lalu ia teruska
n pedangnya diangkat ke atas menusuk mata lawannya. Baru saja It Hang berlega ha
ti, ia sudah lantas terkejut pula. Kali ini ia berkuatir untuk sahabat she Gak i
tu.
Di luar dugaan pemuda she To ini, Beng Kie juga sangat gesit. Dia dapat me
nangkis akan punahkan tikaman si nona itu, hingga kedua senjata berbentrok denga
n keras, karena Giok
Lo Sat tidak keburu tarik pulang senjatanya
It Hang dengar kedua yang bertanding itu berseru "Hai!" Itulah disebabkan
masing-masing pedangnya seperti menempel satu pada lain. Kuiena pedang yang satu
agaknya hendak menikam terus, pedang yang lain menekan menghalau tikaman.
Selagi It Hang bengong menonton dengan hati gelisah, mendadak ia dengar se
ruannya Beng Kie: "Pergi!" Lantas ia tampak tubuhnya si nona terapung tinggi sep
erti terpental. Dan ketika si nona turun, Beng Kie menyerang pula dengan gerakan
"Hoeiniauwtouwlim" yakni "Burung terbang nyusup ke dalam rimba".
Itulah serangan hebat dari atas ke bawah. Hebatnya serangan itu karena dap
at bantuan tenaga dari beratnya tubuh.
Untuk bebaskan diri, Gak Beng Kie menangkis dengan gerakan "Kiehwee liauwt
hian" atau "Angkat obor membakar langit" Maka lagi-lagi kedua pedang beradu deng
an keras!
Selagi pedangnya bentrok, Giok Lo Sat gunakan ketika untuk taruh kakinya d
i tanah dan terus pula mendahului menyerang beberapa kali terus-menerus. Seranga
nnya yang pertama mengarah bebokong lawannya
Hatinya It Hang goncang menyaksikan pieboe itu. Di matanya, itulah bukanny
a "adu pedang" melainkan perkelahian benar-benar, bahkan melebihi hebatnya darip
ada pertempuran di dalam barisan Tjittjiattin tadi!
Sampai di situ. anak muda ini ambil putusan untuk datang sama tengah, untu
k menyudahi pieboe itu Akan tetapi tengah ia memikir, Beng Kie sebaliknya sudah
mulai lakukan serangan balasan, juga beruntun beberapa kali, hingga si nona kena
didesak.
Beng Kie telah tempatkan diri pada apa yang dinamakan "tiongkiong" --- "is
tana tengah", secara, demikian ia dapat ketika akan menghujankan pelbagai tikama
nnya ke arah dada lawan. Akan tetapi Giok Lo Sat bisa sapu semua bahaya. Nyatala
h kepandaian mereka seimbang.
Nona Lian perlihatkan kelincahannya, dari depan mendadak ia berada di samp
ing, lalu ke belakang, lantas ke kiri dan ke kanan, atau di lain saat tubuhnya m
encelat tinggi, lalu dari atas ia menusuk bagaikan menyambarnya elang, akan di l
ain saat ia merubah silatnya bagaikan harimau mendekam untuk menerkam mangsanya.
Atau ia bersilat bagaikan ular air sedang berenang berputaran.
Tidak perduli si nona sangat lincah dan berbahaya, Beng Kie dapat melayani
dengan gagah, iapun tak kurang lincahnya, tak kurang tabahnya.
Demikian di atas puncak Hoasan itu, yang anginnya menderu, bulan dan binta
ng-bintang suram, kedua lawan bertempur dengan dahsyat, sinar pedang mereka berk
elebat-kelebat berkilauan.
Tanpa merasa jurus-jurus telah dilalui, dari belasan sampai puluhan jurus,
akan tetapi kedua pihak tetap sama tangguhnya.
It Hang sebagai muridnya satu jago silat kenamaan, merasa kagum menyaksika
n pertandingan itu, yang tampaknya melebihi liehaynya ilmu silat Boetong pay.
Ia terus memasang mata, sampai kemudian ia berseru keheran-heranan beberap
a kali. Karena ia telah lihat suatu apa.
Dilihat sepintas lalu ilmu silat pedangnya Gak Beng Kie dan Giok Lo Sat ad
alah berlainan, akan tetapi setelah diteliti dengan seksama agak mirip satu deng
an lain, atau sedikitnya ada bagian-bagian yang mirip.
Aneh adalah ilmu pedangnya Gak Beng Kie, yang kalut nampaknya, ada bagian-
bagian ilmu silat dari Ngobie pay, Siongyang pay dan Siauwlim pay. Juga ada juru
s-jurus dari Boetong pay. Semuanya itu adalah jurus-jurus dahsyat dari pelbagai
partai itu, yang mempunyai perubahan-perubahan istimewa.
Giok Lo Sat pun serupa juga. kelihatannya ilmu silatnya campur aduk, malah
ada gerakan-gerakan yang bertentangan dengan ilmu silat pedang seumumnya. Umpam
a dalam ilmu partai Hoasan pay, yaitu ilmu silat "Kimtiauw tiantjie" atau "Garud
a emas pentang sayap". Pedang seharusnya dimulai dari kiri ke kanan, tapi si non
a memulainya dari kanan lalu ke kiri. Juga ilmu silat "Boe Siang toatbeng" atau
"IbJisBoe Siang merampas jiwa" dari Boetong pay, seharusnya dimulai dari atas ke
bawah, tapi si nona menyambar dari bawah ke atas, terus menikam ke tengah!
Kelitan atau elakan Beng Kie pun tidak berketentuan. Umpama Giok Lo Sat se
rang ia, dengan "Boe Siang toatbeng", ia mengelakkannya justeru dengan "Bengto t
jianlie" atau "Onta pesat" dari Soatsan pay. Atau selagi diserang dengan "Kimtia
uw tiantjie" ia menangkis dengan serupa tipu silat itu juga, menurut gerakan yan
g layak, yang hanya diubah sedikit saja.
Lain keanehan dari anak muda itu adalah ia seperti sudah bisa duga lebih d
ahulu si nona bakal serang ia dengan tipu silat apa maka ia menangkisnya dengan
serupa tipu itu juga, tampaknya ia seperti mengejek-ejek nona itu.
Inilah sebabnya, walaupun mereka bertempur dengan hebatnya, mereka tetap s
ama gagah dan sama pandai.
Pertandingan masih terus berlangsung. Selagi It Hang terbenam dalam kekagu
man, ia disadarkan oleh seruannya Beng Kie pula: "Pergilah!"
Dan seruan itu disusul pula dengan terapungnya tubuh si nona, yang mencela
t sampai tingginya satu tombak!
Giok Lo Sat tidak nampak bahaya karena melesatnya itu, ia bisa taruh kaki
dengan sempurna, begitu lekas ia memutar tubuhnya, ia hendak maju menyerang pula
. akan tetapi mendadak si anak muda berseru: "Sudah cukup, tidak ada faedahnya k
ita bertempur terus! Di mana adanya gurumu sekarang? Bukankah isinya kitab ilmu
pedangnya telah diwariskan semuanya kepadamu? Sekarang lekas kau pergi kepada gu
rumu untuk beritahukan bahwa Thian Touw Kiesoe sedang menantikan dia guna membua
t pertemuan!"
Giok Lo Sat segera tarik kembali pedangnya.
"Guruku, atau dapat dikatakan juga gurumu, telah menutup mata sejak tiga t
ahun yang lampau!" sahutnya.
Gak Beng Kie tampak terkejut.
"Siapa yang aniaya padanya?" tanyanya seraya angkat pedangnya.
"Dia sendiri yang telah ambil jalan sesat, tidak ada sangkutannya kepada s
iapa juga"
"Bagaimana dengan jenazah dan kitab ilmu pedangnya?"
"Jenazahnya berada di dalam kamar batu di ruang belakang gua OeyliongTong.
Jikalau kau geser dua potong batu besar yang menyerupai pintu angin di ruang gu
a itu, segera kau akan mendapatkannya. Dengan menuruti pesannya terakhir, pada h
ari ulang tahun ketiga dari menutup matanya, aku telah sampaikan berita tentang
meninggalnya itu kepada Tjeng Kian Tootiang. Sebenarnya aku hendak mohon peranta
raannya Tjeng Kian Tootiang untuk menyampaikan berita lebih jauh kepada gurumu,
akan tetapi karena sekarang kau telah berada di sini, pergilah kau sendiri saja
yang mencarinya!"
"Tolonglah kau antarkan aku." BengKie minta.
"Tidak!" sahut Giok Lo Sat dengan tertawa dingin. "Dua orang yang sama-sam
a berilmu tinggi tidak dapat berada bersama di suatu tempat! Kau tunggu lagi sep
uluh tahun, kita nanti bertemu pula untuk kembali pieboe pedang!" (Pieboe -adu s
ilat).
Lalu, setelah melambai-lambaikan tangannya kepada To It Hang, nona itu gun
ai ilmu enteng tubuh lari turun gunung.
Gak Beng Kie saksikan kelakuannya nona itu, ia menghela napas.
"Tabiatnya Giok Lo Sat mirip benar dengan tabiat gurunya," ia kata.
"Ilmu silatnya sungguh mahir, hanya dia terlalu jumawa," kata It Hang.
. Akan tetapi Beng Kie berkata seperti kepada dirinya sendiri: "Entah di m
ana letaknya gua Oeyliong
Tong... Gunung Hoasan ini mempunyai lima puncak, di mana aku harus mencari
nya?"
"Aku tahu gua itu," kata It Hang.
Hatinya si orang she Gak lega. "Sukakah kau mengantarkan aku?" dia mohon.
"Baiklah," jawabnya si orang she To. "Mari!"
Mereka lantas jalan bersama.
Dari puncak Gioklie Hong mereka jalan mutar ke puncak Intay Hong. Selama d
i tengah jalan, Beng Kie tuturkan It Hang kisah gurunya suami isteri.
Gurunya Beng Kie ialah Thian Touw Kiesoe, orang asal she Hok dan namanya T
hian Touw. Sebutan Kiesoe ialah orang yang hidup menyendiri. Pada tiga puluh tah
un yang lalu. Thian Touw adalah ahli pedang yang kenamaan. Isterinya. yaitu Leng
Bok Hoa. juga satu ahli silat pedang. Suami isteri ini hidup dalam sebuah gubuk
di puncak gunung Ngobie san, hidup seperti dewa-dewi. Mereka saling menyinta. k
ecuali Bok Hoa mempunyai semacam perangai aneh. ialah kadang-kadang datang angot
nya, tak suka ia mengalah dari suaminya...
Hok Thian Touw terus meyakinkan ilmu silat pedang, juga dari pelbagai part
ai lainnya. Setelah banyak tahun, ia merasa bahwa ia telah peroleh kesempurnaan,
maka pada suatu hari berkatalah ia kepada isterinya: "Lagi dua puluh tahun aku
akan berhasil menggodok ilmu silatnya pelbagai partai untuk dijadikan satu caban
g tersendiri, hingga selanjutnya ilmu pedangku itu tidak akan ada tandingannya l
agi di kolong langit ini! Maka itu hayolah kau angkat aku sebagai gurumu, supaya
kita bisa sama-sama meyakinkannya terlebih jauh, jikalau kau tidak mau angkat a
ku sebagai guru. aku tak sudi buka rahasianya ilmu pedang itu kepadamu..."
Sebenarnya Thian Touw hanya berguyon saja, akan tetapi kali ini di luar du
gaannya, ia telah membangkitkan tabiat aneh dari isterinya itu, yang besar kepal
a. Sambil bertawa dingin Leng Bok Hoa kata: "Kau bisa ciptakan suatu cabang ters
endiri, aku juga sanggup, maka tak sudi aku angkat kau menjadi guru! Baik. dua p
uluh tahun kemudian kita adu kepandaian masing-masing untuk buktikan siapa di an
tara kita yang terlebih tangguh!"
Thian Touw menyangka isterinya pun main-main, ia ganda dengan tertawa. Aka
n tetapi keesokannya ia menjadi sangat terkejut dan mencelos hatinya. Di luar ta
hu ia isterinya sudah pergi sambil bawa juga bukunya tentang ilmu pedang yang ia
telah kumpulkan dengan susah payah. Maka dapat dimengerti kesedihan hatinya. Ka
rena ini. ia turun dari gunung, ia menjelajah pelbagai tempat atau gunung untuk
mencari isterinya itu, tetapi sia-sia belaka, ia tak berhasil menemukan isteriny
a, akhirnya ia putus asa, sehingga ia tak sudi kembali ke gunungnya. Begitulah i
a menuju ke barat utara, ia tertarik akan keindahan gunung Thiansan, maka ia ter
us tinggal di Pakkho Hong. yakni puncak utama dari gunung Thiansan itu.
"Isteriku keras niatnya menciptakan sendiri suatu cabang ilmu silat pedang
, aku juga harus berbuat demikian," pikirnya kemudian. Ia mengharapkan kalau nan
ti tiba kepada saat janji isterinya, ia bisa main-main melayani isteri itu.
Walaupun Thian Touw Kiesoe telah kehilangan kitabnya, karena otaknya teran
g dan kuat, ia dapat mengapalkan sesuatunya di luar kepala, maka itu sambil meng
ingat-ingat, ia yakinkan ilmu silat ciptaannya itu. yang ia beri nama Thiansan k
iamhoat ialah ilmu pedang Thiansan dari Thiansan pay, untuk memperingati gunung
Thiansan itu.
Gak Beng Kie adalah murid yang Thian Touw Kiesoe terima setelah tiga tahun
ia berdiam di Thiansan, murid ini belajar sambil turut ia memahamkan lebih jauh
ilmu pedangnya itu, hingga berhasilnya ilmu pedang ciptaannya itu, sedikitnya a
da mengandal juga kepada kerja sama muridnya ini.
Baru selang dua tahun yang lampau, Thian Touw Kiesoe dengar kabar dari sah
abatnya kaum Rimba Persilatan (Boelim) bahwa dalam kalangan Rimba Hijau (Loklim)
di Siamsay Utara sudah muncul satu nona cantik yang liehay ilmu silatnya. Maka
teringatlah ia akan kata-kata isterinya dahulu, yang sehingga kini tepat dua pul
uh tahun sejak isterinya ngambuldan minggat...
Waktu itu Gak Beng Kie sudah turun gunung, akan tetapi karena diterimanya
warta itu, Thian Touw Kiesoe panggil datang muridnya itu untuk menerangkan perih
al ia dan isterinya yang adatnya aneh. Ia titahkan murid ini pergi ke Siamsay, u
ntuk cari nona gagah itu, untuk ketahui siapa adanya nona ini.
"Itulah sebabnya kenapa tadi aku layani dia adu pedang," Beng Kie menjelas
kan lebih jauh. "Setelah bertempur sekian lama. aku dapat kenyataan ilmu pedangn
ya nona itu beda dengan ilmu pedangnya guruku, karena itu aku percaya benar dia
adalah muridnya soeboku itu." (Soebo. = isteri dari guru, atau guru perempuan)
Oleh karena mereka berdua jalan sambil pasang omong, hampir tanpa merasa m
ereka telah sampai di OeyhongTong, Gua Naga Kuning. It Hang masuk lebih dahulu k
e dalam gua itu. hingga ia seperti dapat mencium sisa bau harum yang membuat ota
knya melayang kepada Giok Lo Sat, si Raksasi Kumalayang elok dan manis...
Beng Kie ikut masuk, benar-benar mereka dapatkan dua potong batu besar yan
g letak dan romannya bagaikan pintu angin.
Tidak ayal lagi pemuda she Gak itu kerahkan tenaganya menolak kedua batu i
tu yang tergeser ke kiri dan kanan, terbukalah lowong untuk mereka masuk ke ruan
g dalam dari gua di mana tampak duduk di atas sebuah kotak batu gua bagaikan sin
kham, ada satu rerongkong manusia lengkap.
Beng Kie menduga itu tentu rerongkong guru perempuannya, maka tidak sangsi
-sangsi lagi segera ia berlutut di depan rerongkong itu, untuk paykoei tiga kali
, setelah mana, ia memandang ke sekitar ruang, hingga ia lihat di tembok gua itu
terdapat pelbagai ukiran dari jurus-jurus ilmu pedang. Akan tetapi ketika ia ca
ri kitab yang dimaksudkan, ia tidak dapat ketemukan.
"Pastilah soebo telah memusnahkannya setelah dia berhasil memahaminya," ia
menduga-duga. Lagi sekali ia paykoei, di dalam hatinya ia berkata kepada soebo-
nya itu: "Soenio, hari ini tceljoe hendak bawa kau pindah ke Thiansan supaya kau
dapat berkumpul pula dengan soehoe. Tectjoe minta dengan sangat perlindunganmu
supaya soenio tidak membuat rusak tulang rerongkongmu!"
Murid ini berbangkit, dengan perlahan-lahan ia angkat rerongkong guru pere
mpuan itu. Tapi justeru rerongkong itu diangkat, ia dapatkan di bagian tempat du
duk ada satu j ilid buku yang kulitnya terbuat dari kulit kambing, buku mana ter
nyata memuat pelbagai lukisan yang satu sama lain mirip dengan ukiran-ukiran di
tembok gua itu. Di dalam beberapa lembaran kedapatan huruf-huruf yang ditulisnya
dengan darah. Setelah membaca itu, Beng Kie ketahui itulah "catatan sehari-hari
" dari sang soebo.
Menarik adalah catatan yang pertama. Di situ Leng Bok Hoa menulis, menguta
rakan penyesalannya bahwa ia sudah tinggalkan suaminya, sehingga sering di waktu
malam ia bermimpikan suami itu, maka ia gigit berdarah jari tangannya, untuk me
nulis catatan itu. Ia berpengharapan kalau nanti dua puluh tahun kemudian mereka
saling bertemu pula, catatan itu bisa dijadikan bukti tentang penyesalan dan ci
ntanya yang sejati.
Catatan yang lainnya adalah mengenai rahasia ilmu pedang. Soebo itu menuli
s:
"Thian Touw telah dapat kumpulkan ilmu silat pedang pelbagai cabang persil
atan, ia hendak menciptakan satu cabang sendiri, dan aku sebaliknya menciptakan
cabang yang berlawanan daripada peryakinannya Thian Touw itu: Caraku adalah mend
ahului, mengutamakan kesehatan. Maka
biarlah ahli-ahli pedang nanti mengetahui tentang ilmu silatku ini, supaya
selanjutnya ilmu ini dipegang kekal abadi..."
Membaca itu, Beng Kie menghela napas. Membalik halaman terlebih jauh, pemu
da ini baca lagi:
"Kemarin malam telah datang rombongan srigala kelaparan yang mencari makan
an. Dengan bawa pedangku aku keluar dari gua. Tiba-tiba aku dengar tangisnya sat
u anak perempuan. Segera aku usir rombongan srigala itu dan aku memburunya sampa
i di sarangnya. Di situ aku dapat menemukan satu bocah perempuan umur tiga atau
empat tahun, yang telanjang seluruh tubuhnya. Melihat aku, bocah itu kaget dan k
etakutan, lantas dia lari pergi, larinya sangat cepat. Diapun keluarkan suara se
perti suaranya srigala. Karena bocah itu tidak dipesta porakan oleh binatang-bin
atang liar itu. mengertilah aku bahwa dia justeru dipelihara srigala betina. Aku
lantas periksa gua itu. Aku dapatkan sepotong ikat pinggang yang sudah tua dan
hampir rusak hancur, dalam mana ada huruf-huruf yang masih bisa dibaca. Dari sit
u aku dapat ketahui bahwa si nona cilik itu adalah orang she Lian pulennya satu
sasterawan sengsara, yang lari menyingkir ke tempat sunyi itu bersama isterinya,
di mana sang isteri melahirkan bayinya itu, tapi sehabisnya bersalin, isterinya
itu menutup mata, hingga bahna sedih dan putus asa sasterawan itu letakkan pute
rinya di kaki gunung Hoasan di mana terdapat sebuah kuil serta penghuni-penghuni
nya golongan pendeta. Ia harapkan bayinya diambil dan dirawat oleh orang-orang s
uci itu, tetapi apamau, rupanya bayi itu dibawa lari srigala betina dan dirawatn
ya hingga dia tidak mati terlantar, sampai itu malam aku menemukannya. Tidaklah
itu karena takdir? Aku ambil anak itu. aku bawa dia pulang untuk dirawat dan did
idik sebagai murid. Dia cerdas dan berbakat, dia dapat belajar dengan cepat. Mak
a aku harap dikemudian hari dia bisa menjadi ahli waris dari ilmu pedangku."
Beng Kie panggil It Hang datang dekat padanya, untuk perlihatkan catatan i
tu, hingga It Hang ketahui bahwa Giok Lo Sat adalah nona yang dirawat srigala.
Mereka lalu bersama membaca catatan lainnya sebagai berikut:
"Hari ini telah copot semua bulu oulih pada tubuhnya bocah she Lian itu. A
ku lantas turun gunung pergi ke pasar untuk membeli cita untuk pakaiannya nona i
tu. Akupun telah ajarkan dia membaca. Ia memanggil mama kepadaku. Sejak dia diam
bil dari sarang srigala. sifatnya yang agak liar mulai lenyap sendirinya, ia lak
ukan segala apa sebagai manusia umumnya. Aku telah beri nama Nie Siang kepadanya
, untuk memperingati hari pertama yang aku berikan pakaian padanya."
Lagi dua halaman mencatat halnya Nie Siang belajar silat, teristimewa ilmu
pedang.
Catatan di halaman terakhir, dengan huruf-hurufnya tidak rata lagi, berbun
yi begini:
"Tadi malam aku tengah duduk bersemedhi untuk melatih Iweekang, mendadak a
ku merasa seperti sedang bermimpi. Dalam mimpi itu aku dikepung banyak sekali ib
lis. Dengan susah payah aku bisa basmi mereka, sesudah mana, aku sadar akan diri
ku, tapi segera juga aku rasakan tubuhku tidak dapat bergerak, aku merasa seluru
h tubuhku kaku. Segera aku insyaf bahwa cara semedhiku tidak sempurna, bahwa aku
telah ambil ialanyang keliru, hingga aku jadi tanam bibit bencana untuk diriku
sendiri. Ah, mengertilah aku bahwa dengan Thian Touw tak mungkin aku dapat berte
mu pula..."
Beng Kie menghela napas.
"Memang soehoe pernah mengatakan bahwa Iweekang (ilmu dalam) itu tak dapat
dipaksakan, tidak bisa dipercepat secara di luar garis," berkata ia. "Aku tidak
sangka, walaupun soenio seorang ahli, dia masih tidak bisa bebaskan diri dari a
ncaman malapetaka paksaan itu..."
Lantas ia masukkan kitab itu ke dalam sakunya.
"Kitab ini adalah kitab kesayangannya soenio, ingin aku kirim ini kepada s
atu orang untuk disampaikan kepada soehoe," ia kata.
Baru anak muda ini mengucap demikian, dari sebelah luar ruang itu ia tampa
k sinar api, hingga ia terkejut bahna herannya.
It Hang juga tak kurang herannya.
Tapi mereka tidak usah berkualir lama-lama akan segera juga mereka lihat s
atu orang bertindak masuk, ialah Tjeng Kian Tootiang adanya.
Beng Kie menghela napas longgar.
"Aku kenal baik Thian Touw Kiesoe dan Tjie Yang Tootiang," berkata imam in
i, yang jalan dengan tindakan perlahan. "Kemarin GiokLo Sat telah datang padaku,
dia minta supaya jenazah gurunya dapat dibawa ke Ngobie san, akan tetapi dia te
rhalang dan menghambat maksudnya dengan datangnya rombongan Eng Sioe Yang. kawan
an jahanam itu, yang menjanjikan suatu pertempuran. Barulah sekarang dia dapat
wujudkan maksudnya.
Kebetulan kaupun datang kemari, inilah bagus sekali I"
"Tidak usah rerongkong soebo itu dibawa ke Ngobie san." kata Beng Kie. "Gu
ruku sekarang berada di Thiansan."
"Aku memang ketahui itu, cuma soebo-mu yang tak tahu," Tjeng Kian terangka
n.
Imam ini datang dengan membawa juga sebuah peti kayu yang ia tunda di luar
gua. maka Beng Kie bisa lantas angkat rerongkong guru perempuannya untuk dibari
ngkan ke dalam peti itu.
"Tootiang," kata Beng Kie kemudian, "aku pun hendak mohon pertolonganmu, i
alah supaya kau tolong bawa sejilid kitab untuk disampaikan kepada guruku. Aku m
elainkan minta dengan sangat supaya kitab ini tidak sampai hilang!"
Mendengar itu, berubah wajahnya imam ini. Ia nampaknya tidak senang.
"Tootiang, aku yang muda tidak berani sekalipun berlaku kurang ajar terhad
apmu." Beng Kie lekas menjelaskannya. "Aku minta pertolonganmu ini disebabkan ki
tab itu sangat penting, andaikan kitab itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat,
bahayanya di kemudian hari bukan main hebatnya."
Anak muda ini lantas serahkan kitab soebo-nya itu.
Tjeng Kian Tootiang menyambutinya.
"Aku nanti melindunginya sedapat mungkin," kata dia sambil tertawa. "Apaka
h kau tidak kuatir aku nanti curi lihat isinya?"
"Oh, maafkan aku, tootiang!" ucapnya Beng Kie. Itulah artinya ia percaya h
abis bahwa imam ini tidak nanti berlaku sedemikian hina untuk curi baca isinya k
itab itu.
Sang imam tertawa pula, ia masukkan kitab itu ke dalam sakunya.
Setelah Beng Kie memeriksa pula gua itu, dengan pedangnya ia membacok dan
menyongkel kalang kabutan pada tembok gua, untuk hapuskan pelbagai ukiran persil
atan itu, hingga tidak meninggalkan bekas-bekas lagi.
"Soebo-mu telah ciptakan ilmu pedang yang luar biasa sekali, memang tak da
pat kepandaian itu dibiarkan hidup abadi di dalam dunia kita ini," berkata Tjeng
Kian Tootiang.
"Memang hebat ilmu pedang itu," It Hang turut bicara, "akan tetapi apabila
kepandaian itu digunakan dengan seksama dan pula jalan yang benar, justeru sang
at berguna untuk menyingkirkan manusia-manusia jahat."
Imam itu pandang anak muda ini. Ia tertawa.
"Kelihatannya kau cocok benar dengan Giok Lo Sat!" katanya.
"Ah, jangan main-main, tootiang!" kata It Hang yang menjadi gelisah hatiny
a.
Sampai di situ, urusan telah selesai, maka mereka lantas berpisahan satu p
ada lain.
It Hang lakukan perjalanan pulang, ia sampai di rumahnya berselang beberap
a hari. Ia disambut dengan kegirangan luar biasa oleh bujang tuanya, sampai buja
ng itu mengucurkan air mata.
"Siauw-siauwya, syukur kau telah pulang!" kata hamba yang setia itu. "Kami
semua sangat mengharap-harap kembalimu, sampai lootaydjin mendapat sakit. Dia s
angat ingin melihat kau."
It Hang berlari-lari masuk ke ruang dalam, di depan engkongnya ia memberi
hormat sambil berlutut, air matanya berlinang bahna terharunya.
To Tiong Liam berlega hati apabila ia tampak cucunya itu telah kembali den
gan selamat.
"Buat apa menangis?" kata orang tua ini. "Kenapa ayahmu tidak pulang bersa
ma?"
Oleh karena engkong itu sedang sakit. It Hang tidak berani omong terus ter
ang bencana yang telah menimpa ayahnya.
"Ayah sedang bertugas di kota raja, ia tak dapat sembarangan pulang." ia t
erpaksa mendusta.
"Dunia kepangkatan penuh dengan bahaya, sebenarnya lebih senang tidak mema
ngku pangkat," kata engkong ini. Nyata ia telah menginsafi bahayanya menjadi pem
besar negeri.
Berselang beberapa hari, karena pulangnya sang cucu, Tiong Liam sembuh dar
i sakitnya. Pada suatu hari ketika ia ingat hal pertemuannya dengan Giok Lo Sat,
ia merasa jeri sendirinya. Ia lantas tanya cucu itu tentang Keng Tjiauw Lam.
It Hang tuturkan halnya orang she Keng itu, juga tentang pelajaran silatny
a sendiri, hingga Tiong Liam jadi bunga hatinya mengetahui cucu ini nyata pandai
ilmu surat dan silat dengan berbareng.
"Kau pandai surat dan silat, itulah bagus!" kata engkong itu. "Tapi sebab
kau menjadi murid Boetong pay, aku harap kau jangan hidup di kalangan kangouw, a
ku kuatir kau ketemu Giok Lo Sat, itulah berbahaya. Aku lihat Giok Lo Sat sepert
i juga terutama memusuhi rombongan Boetong pay."
It Hang tidak berani beritahukan engkongnya bahwa ia telah bertemu si Raks
asi Kumala, maka ia hanya mengatakan, ia ingin menantikan ketika yang baik supay
a ia dapat mewariskan usaha leluhurnya
"Ya, itulah bagus!" kata Tiong Liam. Lalu ia menambalikan: "Sebenarnya Gio
k Lo Sat bukannya seorang busuk. Meski dia telah rampas hartaku, perbuatannya it
u sedikitpun aku tidak penasaran."
Mendengar pengutaraan engkong itu, riang hatinya It Hang. Ia girang engkon
gnya tidak berkesan jelek perihal si nona gagah itu.
Setelah sekarang berdiam bersama
engkongnya, It Hang menyekap diri dalam rumah. Ia berdiam di rumah untuk y
akinkan saja ilmu surat dan ilmu silatnya, terutama ilmu pedang.
Dua bulan telah berselang. Pada suatu hari dari kota raja ada datang dua u
tusan, yang menemui To Tiong Liam, begitu lekas juga It Hang dengar tangisnya en
gkong itu. Maka ia lari memburu untuk melihat. Untuk kagetnya, ia dapatkan sang
engkong rebah di lantai dengan tak sadar akan dirinya, mukanya pucat sekali, nap
asnyapun jalan dengan perlahan.
"Lekas bawa ke dalam!" ia menitah.

IV

Walaupun bingung, It Hang tidak berani turut masuk ke dalam kamar engkongn
ya. Kedua utusan masih berada dalam rumahnya dan tidak ada yang menemani, maka i
a mesti mengawaninya.
"Sri Baginda sangat pangeni To Lootaydjin," berkata utusan kaisar yang kes
atu, "maka kami tidak sangka, baru dia membaca firman, dia telah demikian bersus
ah hati..."
"Apakah bunyinya firman itu?" It Hang tanya "Sudikah tuan beritahukan itu
padaku?"
Kedua utusan itu yang menjadi sahabat kekalnya To Tiong Liam, tidak berkeb
eratan akan tuturkan sebab musababnya kaisar keluarkan firman untuk bekas tjongt
ok itu.
Baginda Sin Tjong menyesal yang dia telah keliru menghukum mati padaTo Kee
Hian, walaupun iasudah mengkurniakan kehormatan pada arwahnya menteri itu, yang
diangkat menjadi Thaytjoe Siauwpo, guru putera mahkota, dia toh masih tidak pua
s, maka pada suatu hari ketika ia membicarakan hal mendiang menterinya itu kepad
a Tayhaksoe Phoei Tjiong Tiat, ia teringat kepada Tiong Liam, ayahnya mendiang m
enteri itu.
"Mereka ayah dan anak, adalah hamba-hamba yang setia," berkata raja, "maka
andaikan Tiong Liam ketahui nasib yang menimpa puteranya itu, mungkinkah dia me
nyesal dan penasaran terhadap rajanya?"
"Tiong Liam pernah terima budi negara, mustahil dia penasaran?" berkata ta
yhaksoe she Phoei itu. "Baginda ingat padanya, justeru sekarang jabatan Liepou S
iangsie sedang lowong, kenapa Baginda tidak mau panggil dia datang untuk mengisi
jabatan itu?"
"Kita memang membutuhkan menteri-menteri setia," kata raja, yang lantas sa
ja menulis firman, untuk memanggil datang To Tiong Liam. untuk mana, dua utusan
di kirim untuk sampaikan firman itu. Hanya disayangkan, di dalam firman itu anta
ranya raja menyebutkan juga hal mendiang To Kee Hian sudah diangkat menjadi Thay
tjoe Siauwpo.
Maksudnya raja memang baik, ia bermaksud hendak menonjolkan perhatiannya k
epada bekas tjongtok itu, akan tetapi tidak disangkanya, akibatnya hebat. Itulah
karena Tiong Liam belum ketahui puteranya sudah dihukum mati karena fitnahan, h
al itu It Hang tidak menuturkan kepada engkongnya itu. Maka saking kagetnya Tion
g Liam telah roboh pingsan.
Selagi It Hang layani kedua utusan raja, dari dalam terdengar tangisan.
"Silakan masuk, sieheng, tidak usah kau kukuhi adat istiadat," kata kedua
utusan itu. "Tolong sampaikan saja hormat dan doa kami."
It Hang menghaturkan terima kasih dan meminta maaf, barulah ia tinggalkan
kedua tetamu agung itu, di dalam kamar ia tampak engkongnya sedang empas-empis,
semua anggauta keluarga gelisah.
"Mari!" kata Tiong Liam ketika ia lihat cucunya itu, yang ia masih dapat m
engenalinya.
It Hang menghampirkan.
"Engkong, maafkan cucumu," ia mohon sambil berlinang air mata,
Tiong Liam dengan suara terputus-putus, berkata: "Mulai hari ini dan seter
usnya, aku tak sudi dan melarangnya kau ambil bagian dalam pelbagai ujian negara
, kau harus tetap berdiam di rumah meyakinkan kitab-kitab sambil bertani!..."
Baru saja dia mengucap sampai di situ, bekas tjongtok itu lantas tutup rap
at kedua matanya, rapat juga mulutnya, napasnyapun lantas berhenti jalan untuk s
elama-lamanya.
It Hang menangis menggerung-gerung.
"Lootaydjin sudah berumur enam pulurrfeljih, sudah selayaknya dia mengas^
untuk selamanya," anak muda iiu dihiburkan. "Jangan siauwya terlalu berduka. Ked
ua kimtjee taydjin masih ada di luar, lebih baik siauwya ketemukan mereka, untuk
sekalian mohon disampaikan kepada Sri Baginda perihal meninggalnya lootaydjin,
supaya setelah itu, siauwya dapat urus jenazah dan penguburannya."
It Hang seka kering air matanya, terus ia pergi ke ruang tetamu menemui ke
dua utusan raja, untuk sampaikan pesannya menurut ajaran hambanya yang tua.
Kedua utusan itupun berduka mengetahui bekas tjongtok itu telah menutup ma
ta sebab kaget mendengar hal kematian puteranya, Terpaksa malam itu mereka mengi
nap di rumah keluarga To itu, untuk besok saksikan dirawatnya jenazah dan turut
sembahyang, untuk unjuk hormat dan persahabatannya. It Hang berlutut untuk hatur
kan terima kasihnya.
"Bangun, sieheng, jangan kau terlalu berduka," kedua utusan memberi nasiha
t. "Kita nanti sampaikan hal ini pada Sri Baginda, supaya lootaydjin diberi suat
u anugrah."
It Hang mengucap terima kasih pula. Ia membekalkan tanda mata kepada kedua
utusan itu. Tapi di saat kedua utusan itu hendak mulai berangkat, mendadak ia b
erlompat bangun.
"Kimtjee taydjin, tunggu dulu!" ia memanggil.
Kedua kimtjee heran, juga hamba tua keluarga To. Hamba ini anggap perbuata
n majikan mudanya yang demikian rupa itu terhadap utusan raja adalah tidak horma
t, sedangkan diketahuinya bahwa majikan ini mengerti adat istiadat.
"Siauwya," ia lekas berkata memperingatkannya, "Lootaydiin menutup mata se
cara terhormat, sampaipun kimtjee taydjin turut bersembahyang, maka kenapa siauw
ya tidak menghaturkan terima kasih kepada Sri Baginda?"
It Hang berdiam, agaknya ia hendak tenangkan diri.
"Taydjin, silakan duduk dulu di dalam," ia mohon kemudian.
Hamba tua itu bertambah heran, begitupun kedua utusan raja.
It Hang lantas pimpin kedua utusan ke kamar tulis, bujang tuanya ikut masu
k.
"Pergi kau keluar jagai jenazah," It Hang perintah hamba tuanya itu, setel
ah mana, ia tutup sendiri pintu kamar.
Dengan hati memukul hamba itu undurkan diri, diam-diam ia mendoakan kesada
ran majikan mudanya itu supaya tidak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan k
edua utusan raja.
Kedua kimtjee diam, mereka mengawasi anak muda itu; mereka agaknya menduga
tuan rumah ini bakal memohon sesuatu kepada mereka. Sebenarnya, di waktu demiki
an itu bukanlah saatnya.
"Taydjin merasakankah kesehatanmu sedikit terganggu?" It Hang tiba-tiba me
nanya sesudah ia kunci pintu dan terus hadapi kimtjee yang ia tanya itu, ialah k
imtjee she Lie.
Kimtjee itu terkkejut.
"Tidak!" sahutnya dengan heran.
"Kau baik sekali, sieheng," berkata kimtjee yang kedua. "Kami bersyukur ka
u sangat perhatikan kesehatan kami. Benar usia kami telah lanjut akan tetapi kam
i masih sanggup melakukan suatu perjalanan jauh untuk menjalankan tugas. Adalah
sieheng sendiri, berhubung dengan wafatnya kakekmu, kami harap jangan terlalu be
rduka, agar kesehatanmu tidak terganggu karenanya."
It Hang beranggapan bahwa suara itu berlagu mirip sindiran.
"Taydjin, maafkan aku," katanya. "Tadi aku lihat pada telapak tangan kanan
nya Lie Taydjin ada tanda yang mencurigakan."
Kimtjee she Lie itu angkat tangannya, dan ia segera lihat telapaknya.
Ia merasa heran ketika ia dapat lihat di tengah telapak tangannya itu ada
satu titik merah, seperti melenting kecil.
Kimtjee yang kedua, seorang she Tjioe, juga turut lihat telapak tangannya,
untuk kekagetannya, pada telapak tangannyapun terdapat tanda merah itu.
"Djiewie taydjin, coba dengan kukumu kau tekan tanda itu, sakit atau tidak
," It Hang minta.
Kedua utusan raja itu menekan dengan kuku mereka.
"Tidak sakit sedikit juga," kata mereka, "hanya terasa sedikit gatal."
"Coba djiewie taydjin tekan pundakmu, tulang rangka yang ke tujuh," It Han
g meminta pula.
Kedua utusan itu menurut. Kali ini, begitu mereka menekan, begitu juga mer
eka menjerit kesakitan.
"Apa artinya ini, sieheng?" tanya mereka.
It Hang awasi kedua utusan itu, ia menghela napas.
"Orang telah bokong djiewie taydjin," sahutnya. "Tanda beruntusan merah it
u adalah akibat serangan dari Imhong Toksee tjiang. Tangan Pasir Beracun, suatu
ilmu silat yang paling busuk dalam kalangan kaum kangouw. Ketika tadi Lie Taydji
n angkat aku bangun selagi aku berlutut, kebetulan saja aku lihat tanda merah it
u. Rupanya beruntusan itu baru saja muncul, maka itu Lie Taydjin tidak mendapat
tahu. Orang yang terserang Toksee tjiang, jikalau dalam tempo dua belas jam tida
k dapat pertolongan, keselamatan jiwanya sangat dikuatirkan. Inilah sebabnya den
gan tidak memperdulikan melanggar adat kesopanan, aku terpaksa berlaku kurang ho
rmat memanggil kembali djiewie Taydjin."
Adalah biasanya di jaman dahulu, kalau satu utusan mati di rumah menteri
atau pembesar yang didatanginya --- dalam hal ini ialah keluarga To --- keluarg
a yang bersangkutan bisa dipersalahkan hingga kedosaannya dapat merembet kepada
seluruh keluarga serta kerabat keluarga, sampaipun kepada pembesar setempat. Kar
ena ini, walaupun ia sedang berkabung, It Hang tidak bisa tinggal diam.
Mukanya kedua utusan raja itu menjadi pucat.
"Sieheng, kau tolonglah kami!" mereka memohon.
"Aku nanti mencobanya," jawab It Hang, yang terus panggil hamba tuanya, si
pengurus rumah, kepada siapa ia pesan: "Jangan sampaikan warta kedukaan ini kep
ada siapajuga kecuali sanak sendiri." Kemudian ia ajak kedua utusan itu ke sebua
h kamar lain, di situ ia ambil sebatang jarum emas, dengan itu ia berikan masing
-masing satu tusukan kepada jalan darah tjeksim hiat, hongbwee hiat dan tjengtji
ok hiat.
Kedua kimtjee lantas merasa mual, terus saja mereka muntahkan air kuning,
menyusul mana, mereka rasakan tubuh mereka panas.
"Inilah tindakan pertama untuk mencegah jalannya racun," It Hang berikan k
eterangan. "Sekarang silakan djiewie merebahkan diri untuk beristirahat. Sebenta
r malam aku akan lanjutkan pengobatanku." Ia simpan jarum emasnya. Tiba-tiba ia
tanya: "Siapakah wiesoe yang mengiringi taydjin itu? Dapatkah dia, dipercaya?" (
Wiesoe = pahlawan)
"Ketika kami berangkat dari kota raja, Sri Baginda tugaskan Tjin Tjiehoei
dari Kimiewie mengiringi kami," sahut Lie Kimtjee. "Dia menjadi wiesoe telah tur
un-temurun, maka Sri Baginda sangat percaya kepadanya. Diapun memang seorang juj
ur, tidak ada sebab dia hendak menganiaya kami."
It Hang manggut.
"Dengan lancang aku mohon djiewie undang dia untuk datang kemari," ia moho
n.
"Titahkan saja," jawab Lie Kimtjee.
It Hang segera suruh hambanya mengundang Tjin Tjiehoei, seorang yang tubuh
nya sedang dan tampangnya jujur, hingga sepintas lalu tak dapat dianggap dia lic
ik.
"Sudah lama aku dengar nama tjiehoei, sekarang marilah kita belajar kenal,
" kata It Hang seraya ia angsurkan tangannya.
Tjiehoei itu sambut jabat tangannya tuan rumah, akan tetapi begitu bertemp
el tangan, dia kaget hingga berjingkrak. Karena tangannya dia rasakan tergetar d
an beku dengan berbareng. Dia pun kaget ketika dapat lihat kedua kimtjee rebah d
i pembaringan dengan kulit muka merah serta keningnya bermandikan keringat.
"Hai! Kau berani celakai kimtjee!" dia membentak sambil tangannya menyamba
r, karena dengan lantas dia curigai pemuda itu.
It Hang berkelit sambil lompat mundur.
"Jangan!" kedua kimtjee itupun berseru karena kagetnya.
"Maaf, maaf, aku justeru hendak singkirkan kecurigaanmu terhadap diriku,"
It Hang kata. "Kedua kimtjee taydjin telah dibokong orang untuk dibikin celaka.
Aku justeru hendak bicarakan hal ini kepada tjiehoei taydjin."
Tjiehoei itu heran hingga ia berdiri ternganga
It Hang lantas tuturkan halnya kedua utusan jadi korban Toksee tjiang.
"Oh, jadi barusan kau telah uji aku?" seru tjiehoei itu yang terperanjat.
"Maaf," kata pula It Hang.
"Aku hanya ingin ketahui tjiehoei mengerti Toksee tjiang atau tidak. Kepan
daian silat tjiehoei liehay akan tetapi aku telah dapat membuktikan bahwa tjieho
ei tidak pernah
pelajarkan ilmu pukulan Tangan Pasir Beracun yang jahat itu, yaitu Imhong
Toksee tjiang."
"Apakah Imhong Toksee tjiang itu?" tanya Tjin Tjiehoei yang keheran-herana
n.
"Itulah ilmu tangan jahat dan djiewie taydjin sudah terserang tangan jahat
itu," sahut It Hang. Ia ajak tjiehoei ini dekati kedua kimtjee, untuk ia menjel
askannya lebih jauh.
Tjin Tjiehoei keluarkan keringat dingin. Meski benar ia mengerti ilmu sila
t dengan baik, tapi belum pernah ia dengar hal pelajaran tangan jahat itu.
"Maaf, " ia mengucap kepada It Hang.
"Liehaynya Imhong Toksee tjiang adalah, bahwa orang yang dilukai tidak seg
era mati, bekerjanya ayal sekali," It Hang menjelaskan pula. "Melihat tanda luka
ini, mestinya didapatkannya pada tiga hari yang lalu. Coba tjiehoei taydjin men
gingat-ingat pada tiga hari yang lalu, siapa yang taydjin ketemukan dan yang men
curigakan?"
Tjin tjiehoei tunduk berpikir dengan hatinyajengah.
Tiba-tiba Lie Kimtjee campur bicara: "Mungkinkah ini ada hubungannya denga
n si orang tua yang menyuguhkan air teh?"
"Ya, mungkin," Tjin Tjiehoei kata. "Tadinya aku juga curigai dia tetapi me
lihat usianya yang lanjut dan romannya seperti tidak mengerti ilmu silat, aku te
lah berlaku alpa, aku tidak bercuriga lebih jauh."
It Hang minta diberi penjelasan lebih jauh.
"Pada tiga hari yang lalu, kami singgah sebentar di tepi jalan, di bawah s
ebuah pohon yang rindang," Lie Kimtjee menceritakan. "Ketika itu kami merasa san
gat dahaga, maka kebetulan sekali di situpun ada seorang tua yang bawa air teh d
ingin yang sedang mengaso. Atas pertanyaan kami orang tua itu kata hendak antark
an air teh untuk pekerja-pekerja di sawah. Kamipun beritahukan bahwa kami hendak
pergi ke rumah keluarga To, orang tua itu kata justeru mereka adalah pekerja-pe
kerja sawahmu, malah dia terus tunjukkan jalanan. Diapun begitu baik hati menawa
rkan kami minum teh. Tjin Tjiehoei sendiri tidak turut minum. Pada waktu menyugu
hkan teh, tangannya orang tua itu membentur sedikit telapak tanganku tetapi aku
tidak curiga apa-apa."
"Dia juga bentur telapak tanganku," Tjioe Kimtjee turut berkata.
"Nah, itu dia!" It Hang kata. "Dia ketahui atau tidak djiewie taydjin seda
ng menjalankan tugas sebagai kimtjee?"
"Kami tahu di wilayah Soetjoan dan Siamsay ini banyak orang jahat, maka se
lama dalam perjalanan kami tidak berani perkenalkan diri sebagai orang-orang ber
pangkat," sahut Tjin Tjiehoei.
It Hang berdiam untuk berpikir. Tiba-tiba ia kaget. Sudah terang orang tua
tidak dikenal itu sudah main gila terhadapnya. Kedua kimtjee dibokong supaya ki
mtjee itu mati di rumahnya, dengan demikian ia dapat difitnah. Liehay adalah ser
angan gelap itu, yang sangat perlahan bekerjanya. Andaikan rahasia ini tidak seg
era dapat diketahui, pasti ia tidak dapat menghindarkan diri dari fitnahan.
Pemuda ini masih asyik berpikir, ketika seorang bujangnya lari masuk sambi
l berulang-ulang memanggil: "Siauwya!"
It Hang buka pintu.
"Ada apa?" tegurnya.
"Di depan ada datang satu anak muda," sahut bujang itu, "dia bengkak dan m
atang biru mukanya, seperti habis berkelahi. Dia menerobos masuk hendak cari sia
uwya, katanya. Aku sudah terangkan, bahwa siauwya sedang berkabung dan tidak dap
at menemui dia, tapi dia tidak memperdulikannya, dia memaksanya masuk juga. Kami
coba menghalau padanya tetapi dia kuat sekali, kami telah ditolak roboh. Dia la
ntas minta maaf, katanya dia sangat perlu menemui siauwya. bahwa dia datang buka
n untuk mengacau."
"Begitu?" kata It Hang, yang menjadi heran sekali. Ia permisi dari kedua k
imtjee, setelah tutup pintu kamar, ia pergi keluar. Di ruang tengah ia dapati se
orang muda berdiri di tangga lorak.
"Saudara To, kau bikin aku mati gelisah!" tiba-tiba pemuda itu berseru.
It Hang heran tak kepalang. Ia kenali pemuda itu adalah Pek Bin, muridnya
Beng Tjan. Selama di kota raja ya pernah lihat pemuda itu. tapi satu pada lain b
elum pernah bicara, jadi di antara mereka tidak ada persabahatan. Maka ia heran,
dari tempat ribuan lie pemuda itu datang mencari padanya.
"Saudara To, tolonglah aku!" kata pula Pek Bin, sekali ini sambil menjura.
"Kau kenapa, saudara Pek?" akhirnya It Hang tanya.
"Dengan aku tidak tahu sebab musababnya, orang telah serang aku." sahut pe
muda itu, "orangpun serang aku dengan ImhongToksee tjiang..."
It Hang menjadi kaget. Kembali tangan jahat itu.
"Mari masuk!" akhirnya ia mengundang mengajak orang ke dalam, untuk dapat
menanyakan lebih jelas, hingga ia dapat tahu duduknya hal.
Pek Bin dapat kabar Beng Tjan terluka parah dan menutup mata karenanya, di
a berangkat pulang dengan segera, hingga dia bertemu-Ong Tjiauw Hie. Dia berduka
sangat untuk kebinasaan gurunya, akan tetapi mengetahui orang she Ong ini tunan
gan puteri dari gurunya, hingga
puteri itu yang pun menjadi soemoay-nyajuga, telah mempunyai pelindung, ia
bersyukur. Tapi di luar dugaannya, di hari kedua Ong Tjiauw Hie berlalu tanpa p
amitan lagi, hingga Beng Tjioe Hee menangis sangat sedihnya. Ia telah membujuk d
an menghiburkannya, namun Tjioe Hee tetap menangis saja.
"Saudara To." kata Pek Bin kemudian, sikapnya tampaknya sungguh-sungguh. "
Kau dan Ong Tjiauw Hie mempunyai persahabatan, coba pikir, kenapa kelakuannya Tj
iauw Hie demikian aneh? Dia datang dari tempat ribuan lie untuk menjemput bakal
isterinya, sayang sekali bakal mertuanya ketimpa malapetaka. Diapun telah diangg
ap seperti anak, maka kenapa bukannya dia bantu mengurus perkabungan, diajusteru
pergi dengan begitu saja, agaknya sampai dia tak inginkan lagi bakal isterinya?
Soemoay juga aneh! Apa hubungannya aku dengan kaburnya Ong Tjiauw Hie? Soemoay
sekarang tidak perdulikan aku lagi. Agaknya dia menyangka akulah yang menyebabka
n kaburnya Tjiauw Hie itu..."
It Hang berdiam untuk berpikir, la segera mengerti halnya Tjiauw Hie dan T
jioe Hee itu. Maka di dalam hatinya, ia berkata: "Memang kaulah yang paksa Tjiau
w Hie angkat kaki!" Tapi ia menghibur.
"Itulah perkara kecil, jangan dibuat pikiran," ia membujuk. "Nanti aku bic
ara kepada saudara Ong, urusan pasti akan lantas menjadi beres."
Pek Bin agaknya heran.
"Apa yang kau hendak bicarakan kepadanya?" tanyanya. "Aku tidak berbuat sa
lah terhadapnya, dan diapun tidak berbuat salah terhadapku. Kalau kau jelaskan k
eadaan ini kepadanya, mungkin dia mentertawainya dan menyangka aku dan Tjioe Hee
telah berselisih, sedang sebenarnya kami tidak bertengkar. Soemoay pun telah me
ngatakan bahwa hal itu tidak mengenai aku, akan tetapi pada keesokannya, di luar
dugaanku, soemoay pun angkat kaki..."
It Hang kerutkan alis.
"Apa? Diapun pergi?" ia menegaskan.
"Benar! Jenazah soehoe baru dikubur, bukannya dia diam di rumah untuk berk
abung, diajusteru minggat mencari bakal suaminya!" Pek Bin jawab.
"Apa sebab kau tahu dia pergi cari Tjiauw Hie?"
"Dia tinggalkan surat untuk aku. Dalam suratnya dia menyuruh aku diam di r
umah saja untuk mengurus abu ayahnya."
Karena sedang berkabung It Hang hanya tertawa di dalam hati mendengar kata
-kata orang dan melihat tingkah lakunya pemuda yang demikian tolol ini, sampai t
ak tahu bahwa justeru dirinyalah yang sudah menyebabkan timbulnya salah mengerti
itu.
"Soemoay pergi seorang diri, aku kuatirkan keselamatannya," berkata pula P
ek Bin kemudian. "Dia melarang aku pergi, aku justeru hendak pergi juga!..."
Tiba-tiba ia angkat kedua tangannya hingga kelihatan nyata di telapak tang
annya ada tanda merah.
"Kau juga kena dibokong orang pada tiga hari yang lalu," It Hang kata.
"Memang!" sahut Pek Bin. "Ketika aku sampai di Siamsay, tidak tahu di mana
aku harus cari Tjiauw Hie, karena aku tidak ketahui tempat tinggalnya. Tapi ala
matmu, saudara To, gampang sekali dicarinya. Begitu aku sebut seorang she To bek
as tjongtok, orang segera tunjukkan aku kemari. Kau tentunya ketahui alamatnya o
rang she Ong itu."
It Hang menggeleng kepala.
"Aku juga tidak tahu," jawabnya.
Pek Bin menjadi hilang harapan dan lesu.
"Kalau tahu begini, tidak nanti aku datang cari kau." katanya terus terang
. "Dalam perjalananku ini, setibaku di Yanan. aku dapat tahu ada orang yang kunt
it aku."
"Kau sungguh cerdik," It Hang Puji.
"Sedikit tentang kaum kangouw aku tahu juga," Pek Bin jawab. "Kemarin dulu
di gunung Poatliong san, di sana aku disusul dua penunggang kuda, yang tanya ak
u apakah hendak pergi ke rumah keluarga To di Khokiotin. Ketika aku membenarkan
pertanyaannya, mendadak mereka itu lompat turun dari kudanya dan menyerang aku,
mereka tidak beri aku kesempatan bertanya apa-apa..."
"Ah... Dan kau kena dikalahkan?"
"Dua orang itu memang tangguh," jawab Pek Bin, "akan tetapi pada mulanya a
ku masih sanggup layani mereka Adalah kemudian aku telah keteter. Di belakang du
a orang itu ada lagi seorang tua yang tidak turut mengepung aku tetapi dia ngoce
h tak hentinya, katanya aku mesti dihajar hidup-hidup, jangan dikemplang mati, h
ingga aku mendongkol sangat, sampai permainan silatku jadi ngawur..."
"Dan bagaimana caranya kau dapat meloloskan diri?"
"Di permulaan tahun ini. aku telah pergi ke Thiankio meramalkan diri," ber
kata Pek Bin. "Menurut sinshe khoamia, meski benar tahun ini ada kurang baik bag
i diriku, tapi bahaya yang aku hadapi itu bisa berubah menjadi keselamatan..."
It Hang merasa lucu dapat jawaban yang melantur itu.
"Aku tanya kau bagaimana kau dapat lolos, bukan tentang ramalan dirimu!" i
a kata. "Apa ramalan itu ada hubungannya dengan kejadian atas dirimu sekarang in
i?"
"Tukang tenung itu tepat sekali ramalannya," Pek Bin masih mengatakan. "Di
dalam pertempuran itu, aku menghadapi ancaman bencana hebat sekali. Di saat aku
hampir dibikin roboh, tiba-tiba ada terdengar suara orang tertawa mengejek di a
tas gunung Poatliong san, suaranya sangat menusuk kuping. Mendengar suara ketawa
itu, si orang tua telah menyerukan kawan-kawannya: 'Lekas mundur!' Suara tertaw
a itu belum sirap, dari atas gunung sudah meluncur turun satu orang, cepatnya ba
gaikan melesatnya anak panah. Begitu sampai di bawah, orang itu lantas menyerang
dua pengepung aku, yang dalam sekejap sudah kena dibikin terpental roboh. Si or
ang tua lompat maju menyerang orang tidak dikenal itu. Baru aku saksikan kedua t
angan mereka bentrok, orang tua itu sudah lantas berseru: "Menyingkir!' Segera t
ubuhnya mencelat mundur, dia sambar tubuh kedua kawannya untuk dibawa lari. Baru
lah setelah itu, aku lihat tegas penolongku itu, ialah satu nona yang elok sekal
i!"
Tanpa merasa, It Hang menyebut: "Giok Lo Sat!"
"Giok Lo Sat?" tanya Pek Bin. Dia cuma tahu, Giok Lo Sat adalah Raksasi Ku
mala.
"Nona itu bernama Giok Lo Sat, seorang bandit wanita dari Siamsay Selatan,
" sahut It Hang. "Apakah kau tidak tahu tentang dia?"
"Oh, kiranya kau kenal dia!" Pek Bin berkata. "Pantas dia lantas suruh aku
pergi cari kau! Dia tidak mengejar orang tua itu, dia hanya berkata: Tmhong Tok
see tjiangmu tidak jelek! Bilakah kita dapat bertemu lagi untuk bertempur pula?'
Si orang tua lari terus, setelah dia pergi jauh, nona itu dekati aku dan sambar
tangganku untuk diperiksa telapaknya. 'Eh, kau hendak meramalkan aku?' aku tany
a. Tapi dia jawab aku: 'Anak tolol! Siapa hendak meramalkan kau? Kau telah terke
na serangan Imhong Toksee tjiang dari tua bangka itu!' Lantas dia keluarkan sebu
tir pil, dia suruh aku lantas menelannya. Dia kata bahwa dia cuma bisa lindungi
aku untuk sementara, guna mencegah ilmu silatku menjadi runtuh, dia tidak bisa m
enyembuhkan luka yang disebabkan Toksee tjiang itu. Dia suruh aku lekas pergi ca
ri kau yang menjadi ahli waris Tjie Yang Tootiang dari Boetong san ahli penyembu
h luka semacam itu."
"Pantas lukamu tidak hebat, kiranya kau telah ditolong oleh Giok Lo Sat,"
kata It Hang.
Memang benar katanya Giok Lo Sat, Tjie Yang Toodjin dari Boetong pay adala
h ahli untuk pelbagai luka berbahaya, dan It Hang, setelah belajar dua belas tah
un, sudah dapat mewarisi kepandaian itu, ia lantas ambil jarum emasnya, terus ia
tusuk tanda merah di telapak tangannya Pek Bin, kemudian, sesudah menguruti sek
ian lama. Pek Bin tidur sendirinya.
Kemudian, It Hang pergi tengok kedua kimtjee. Ia dapat kenyataan mereka ju
ga sedang tidur nyenyak. Ia tidak mau ganggu mereka itu, ia hanya ajak Tjin Tjie
hoei ke taman bunga, yang berada di belakang gedungnya.
"Jikalau di sini terjadi sesuatu, kau mesti ajak kimtjee menyingkir dari p
intu barat di pojok sana." pemuda ini beri pengunjukan. "Dari situ ada jalan yan
g menuju langsung ke atas gunung."
Pemuda ini bicara sambil terus jalan, ia ajak tjiehoei itu ke kedua sampin
g, untuk tunjukkan keadaan sekitar gedungnya itu supaya diingatkan baik-baik.
"Mari kita kembali," ia mengajak kemudian, untuk masuk ke dalam, terus ke
kamar dapur di mana ia suruh orangnya masak sepuluh kuali air panas, setelah air
itu mendidih, ia suruh orang-orangnya gotong kedua kimtjee dan Pek Bin untuk di
kasih hawa hangat. Lebih dulu Tjin Tj iehoei serta si hamba tua diperintah kasih
minum obat yang sifatnya dingin kepada tiga orang itu. Untuk berikan pengobatan
hawa hangat, ketiga orang yang luka itu dibukakan pakaiannya, dengan pintu ditu
tup rapat-rapat.
Setelah berselang dua jam, baru pintu kamar dipentang. Si hamba tua tidak
tahan hawa panas, hampir ia roboh pingsan. Maka ia dibantui Tjin Tjiehoei dan It
Hang memakaikan kembali bajunya Pek Bin bertiga, yang kemudian dibawa balik ke
kamar mereka untuk diberi obat kuat yang berupa air jinsom. Setelah mereka diuru
ti pula, mereka tidur dengan sangat nyenyaknya. Baru sesudah itu, mereka ditingg
al keluar.
Siang hari itu, It Hang repot terus-terusan, maka malamnya baru hambanya y
ang tua memberitahukan: "Tiehoe dari Yanan pernah kirim orang kesini tetapi kare
na siauwya sedang repot, tadi siang aku tidak melaporkannya."
"Kalau begitu, besok kau kirimkan karcis namaku untuk menghaturkan terima
kasih," kata majikan muda itu. Ia tidak pikirkan lebih jauh urusan itu, ia terus
tidur.
Keesokan paginya kedua kimtjee dan Pek Bin merasakan tubuh mereka segar, d
ari itu mereka diberikan bubur. Sampai magrib, Pek Bin anggap dirinya telah semb
uh kecuali tenaganya belum pulih semua.
It Hang ajak si tolol ini bercakap-cakap di dalam kamar tulisnya, ia dapat
kenyataan sitolol itu seorang yang jujur dan polos, suka ia bergaul dengan saba
bat baru ini.
Dua orang muda ini sedang bicara lebih jauh ketika si hamba tua datang mel
aporkan: "Ong Pengpie dari kantor tiehoe datang bersama barisan serdadunya untuk
menemui siauwya."
It Hang lantas saja kerutkan alisnya. Ia tidak dapat terka, apa perlunya p
embesar militer itu hendak temui padanya, sedang engkongnya sudah tidak lagi mem
angku pangkat. Tapi ia terus rapikan pakaiannya, sesudah mana baru ia bertindak
keluar.
Dari luar toathia, ruang besar, kelihatan Ong Pengpie mendatangi dengan ti
ndakan lebar. Ia ada pimpin dua atau tiga puluh serdadu.
Kembali It Hang heran. Ia tampak sikapnya punggawa itu tidak memakai atura
n yang sopan lagi. Masih ia menyangka orang datang untuk melakukan tugas, menjag
a tata tertib di gedungnya itu.
Segera mereka sudah datang dekat satu pada lain.
"To It Hang, kau tahu salahmu atau tidak?" mendadak punggawa she Ong itu m
enegur.
It Hang heran bukan main.
"Apakah salahku?" tanyanya.
"Kedosaanmu yang besar adalah kau telah sembunyikan satu penjahat besar di
dalam rumahmu!" berkata punggawa itu dengan ketus.
It Hang menjadi murka.
"Keluargaku menjadi pembesar turun temurun, bagaimana kau berani bicara ng
aco-belo!" tegurnya.
Pengpietoo itu tertawa dingin.
"Kau masih berani andalkan pengaruhmu?" dia membentak. "Geledah!"
Kawanan serdadu lantas saja bergerak untuk nerobos ke dalam.
"Jangan kalian bikin kaget kimtjee!" It Hang pun balas membentak.
"Aku dapat titah dari pemerintah agung, aku justeru hendak menemui kimtjee
!" kata Pengpietoo itu.
Di saat itu dari kamar tulis segera terdengar suara pertempuran.
"Pek Hiantee, jangan turun tangan!" ItHang menyerukan. "Mari kita pergi ke
kantor tiehoe dari Yanan untuk berurusan!"
"Ikat padanya!" Pengpietoo itu beri perintah tanpa perdulikan sikapnya tua
n rumah.
Bukan main gusarnya It Hang, ia tertawa dingin. Di depannya ada meja yang
terbuat dari kayu wangi, waktu ia raba meja itu segera terbalik.
"Lekas bicara secara baik-baik!" It Hang serukan punggawa itu. "Jikalau ka
u berlaku kasar, terpaksa aku mesti hajar padamu, baru nanti aku mohon maaf di N
gomoei."
Punggawa itu mengawasi. Bersama dia ada turut juga dua punggawa sebawahann
ya.
"Baik," kata dia kemudian. "Dengan memandang kau ada turunan satu menteri,
aku suka berikan sedikit muka padamu!"
It Hang segera mendahului opsir itu masuk ke dalam, kamarnya kedua kimtjee
. Begitu lekas pintu tertolak terbuka, ia kaget tak terkira. Di situ sudah tidak
tampak kedua utusan raja.
"Mungkinkah mereka sangka penjahat datang dan mereka sudah lantas sembunyi
kan diri?" pikirnya.
Akan tetapi Ong Pengpie, yang turut masuk, lantas tertawa dingin.
"Mana utusan Sri Baginda?" tanyanya secara mengejek.
"Kau berikan aku ketika untuk cari mereka," It Hang minta.
"Kau telah binasakan kedua kedua kimtjee, ke mana kau hendak cari lagi?"
It Hang segera dapat menduga sesuatu. Tiba-tiba ia berpaling dan sebelah t
angannya menyambar.
"Tentulah kau yang telah mencelakainya!" dia membentak.
Satu opsir di belakangnya Pengpietoo itu ulur tangannya menghalau tanganny
a It Hang, hingga kedua tangan itu bentrok.
Bentrokan itu membuat It Hang sadar akan ketangguhannya opsir itu.
"Kau telah aniaya kimtjee tapi kau berani melawan?" bentaknya opsir itu.
It Hang berlaku sabar.
"Mengenai perkara ini, baik kita menyelesaikannya di Pakkhia," kata ia.
Opsir itu tidak memperdulikannya, dia keluarkan borgolan.
"Tadi belum ada bukti, dapat kau menyangkal," dia kata, "sekarang sudah te
rnyata kimtjee telah hilang, apa lagi yang kau hendak katakan? Negara mempunyai
undang-undang, tak dapat kami membiarkan kau banyak tingkah! Lekas pakai borgola
n ini!"
Wajahnya pemuda kita berubah pucat karena gusarnya. Ia hendak melakukan pe
rlawanan, akan tetapi dia lalu ingat bahwa engkong dan ayahnya adalah orang-oran
g berpangkat besar, jikalau melawan, dia bisa dianggap memberontak. Tidakkah itu
akan mencemarkan nama baik keluarganya? Maka akhirnya terpaksa dia angsurkan ke
dua tangannya untuk dirantai.
Orang-orang keluarga To itu menjadi ketakutan, malah si hamba tua lantas s
aja menangis.
"Jangan takut." It Hang menghiburkan bujang-bujangnya itu. "Sri Baginda ya
ng bijaksana pasti dapat membikin terang perkara penasaranku ini."
Meski ia mengucap demikian, It Hang toh ingat bagaimana ayahnya binasa ter
fitnah, maka mau tidak mau ia berkuatir juga.
"Sekarang kau jaga baik-baik jenazahnya lootaydjin," ia pesan hamba tuanya
.
"Hayo, lekas jalan!"
Ong Pengpie menitah.
It Hang lantas saja ditolak keluar, di mana ia lihat Pek Bin juga sudah di
belenggu.
Dua tawanan ini digiring ke kantor tiehoe dari Yanan di mana mereka sampai
setelah terang tanah. Mereka mesti menunggu satu jam, baru mereka dibawa mengha
dap. Tapi mereka bukan dihadapkan kepada tiehoe hanya pada seorang lain yang pan
gkatnya kelas dua.
"Kau seorang turunan berpangkat yang telah terima budi negara, mengapa kau
berkhianat dan berontak?" demikian tanya pembesar Itu. "Kenapa kau mencelakai k
imtjee?"
"Memang ada orang yang telah aniaya kimtjee taydjin tetapi bukanlah aku ya
ng perbuatnya." It Hangjawab.
"Siapakah orang itu?"
"Jikalau taydjin beri tempo satu bulan padaku, aku pasti akan bekuk orang
yang menganiaya kimtjee itu," It Hang berkata.
Tapi si pembesar menggebrak meja.
"Kau ngaco!" demikian dia membentak. "Aku bukannya satu bocah cilik umur t
iga tahun yang dapat kau pedayai, supaya aku lepaskan kau kabur!..."
"Jikalau aku memikir untuk buron, tentunya sekarang aku tidak datang ke si
ni," kata It Hang yang mendeluh hatinya.
Kembali pembesar itu gebrak meja. Ia tidak perdulikan alasan itu.
"Lekas kau berikan pengakuanmu yang sebenar-benarnya!" ia mendesak.
"Aku tidak punya pengakuan," It Hangjawab.
"Kau kata kau tidak aniaya kimtjee, mengapa kau telah tahu ada orang yang
menganiaya kimtjee itu?" si pembesar mendesak dengan pertanyaannya.
"Tentang ini baru aku suka menerangkannya sesudah nanti aku menghadap Sri
Baginda!"
Pembesar itu jadi sangat gusar.
"Apakah aku tidak berhak untuk periksa padamu?"
It Hang tidak berikan jawabannya.
Pembesar itu meraba bumbung titah, ia hendak kompes pemuda itu tapi entah
kenapa, ia batalkan itu.
"Bawa menghadap pemberontak yang satunya itu!" ia menitah.
Pek Bin segera digusur maju.
"Apa she dan namamu?" si pembesar tanya. "Dan asal mana?"
"Namaku Pek Bin, asal dari Pakkhia," sahut anak muda itu.
"Kau adalah muridnya Titthian Boesoe Beng Tjan dari putera mahkota, bukank
ah?"
"Benar! Oh, kau tahu juga aku?" Pek Bin mengejek.
Pembesar itu menggebrak meja.
"Kau telah lakukan perjalanan ribuan lie sampai di kota Yanan ini, apakah
maksudmu? Lekas berikan pengakuanmu, jangan ada sesuatu yang disembunyikan!"
Pek Bin berdiri tegak.
"Satu laki-laki kenapa mesti sembunyikan apa-apa?" sahutnya. "Aku datang k
e Yanan untuk sambangi sahabat! Apakah itu dilarang?"
"Siapa yang kau cari?"
"Ong Tjiauw Hie!" sahut Pek Bin dengan nyaring.
Pembesar itu menggebrak-gebrak meja berulang-ulang, hingga suaranya sangat
berisik, mejapun sampai bergetar. Bentakan lain-lain hamba-hamba wet di dalam r
uangan itu menambah keberisikan itu.
Tiehoe, atau residen dari Yanan, juga turut hadir, tetapt duduk menemani s
aja. Dia berubah juga parasnya.
"Kasih dia lihat!" kata si pembesar pada opas pelayannya. Dia maksudkan be
rita acara yang dia telah sediakan, supaya diperlihatkan kepada Pek Bin. "Suruh
dia bubuhkan tanda tangannya!"
Pek Bin periksa berita acara itu, yang memuat namanya terang-terang, tanpa
pikir lagi berita itu kapan dibuatnya ia lantas membubuhi tanda tangannya.
Si pembesar perlihatkan berita acara itu pada tiehoe, dia tertawa.
"Selesailah sudah!" katanya. Tapi segera ia menepuk meja pula, kali ini un
tuk It Hang.
"Koncomu sudah mengaku, apa kau tetap hendak menyangkal?" tanyanya.
"Apa yang aku harus katakan?" It Hang tanya, ia memang tidak tahu bunyinya
tuduhan atau berita acara itu.
Sekarang adalah tiehoe yang bicara.
"Ong Tjiauw Hie serta ayahnya itu, adalah penjahat-penjahat besar! Siapaka
h yang tak ketahui itu?" katanya.
It Hang heran hingga ia melengak.
"Kau berkongkol kepada penjahat besar, itulah kesalahanmu!" berkata si pem
besar tukang periksa.
"Sekarang kau boleh menyatakan apa yang kau suka," kata It Hang. "Marilah
kita pergi ke Pakkhia, untuk bicara di muka mahkamah agung!"
Pembesar itu tertawa dingin.
"Kau masih memikir untuk pergi ke kota raja ? Hm! --- Bawa dia ke penjara!
"
It Hang jadi kaget, hatinya panas bukan main.
Pek Bin berada di dampingnya pemuda ini.
"Apakah benar Ong Tjiauw Hie itu satu penjahat besar?" dia tanya. Dia suda
h taruh tanda tangannya dalam berita acara, tetapi dia masih menanya...
It Hang tidak menyahut, akan tetapi wajahnya menjadi pucat bahna gusar dan
mendeluh.
Pek Bin rupanya mengerti orang tidak senang terhadapnya, ia jadi masgul.
"Apakah aku kena rembet padamu?" dia tanya,
"Inilah bukan urusanmu!" sahutnya It Hang, yang tahu akan ketololannya ora
ng.
"Sesama orang hukuman tidak boleh omong!" sipir membentaknya, terus saja d
ia masukkan kedua orang tawanan itu ke masing-masing sebuah kamar yang berlainan
.
It Hang mendapat sebuah kamar sendirian yang bersih, tidak seperti kamar t
ahanan biasa. Di sini ia
ditahan sampai tiga hari, tidak ada datang seorangpun yang periksa padanya
. Ia mengharap-harap kedatangan hambanya yang setia. Ia ingin menyampaikan kabar
pada murid atau sahabat engkongnya, supaya mereka berdaya untuk menolong padany
a. Akan tetapi dalam tiga hari itu seorangpun tidak ada yang datang kunjungi pad
anya. Ia menduga-duga kepada kemungkinan pembesar negeri yang melarang orang men
engoki padanya.
Adalah pada malam ke empat, mendadak pintu kamar dibuka oleh seorang, yang
ternyata opsir kawan Ong Pengpie. Dia bawa keluar pemuda kita dengan jalan memu
tari kamar, selang sekian lama sampailah mereka di sebuah kamar yang kecil. Sema
suknya mereka itu, pintu kamar segera ditutup pula.
Di dalam kamar itu, tampak berduduk seorang tua yang mukanya merah, sinar
matanya galak dan bengis, bisa membuat hati ciut bila orang melihat kepadanya. T
api ketika dia lihat anak muda ini, dia mengundang duduk. Dia pun tertawa.
"Nyata kau sangat disayang putera mahkota!" katanya tiba-tiba.
It Hang tidak mengerti, ia diam saja.
"Sri Baginda sudah berusia lanjut sekali dan berpenyakitan," berkata pula
si orang tua, "maka tidak lama lagi, putera mahkota pasti akan menggantikan dia
naik di atas singgasana. Akan tetapi meski demikian, masih banyak sekali urusan
yang bersangkut-paut, yang mesti mengandal kepada Goei Kongkong." (Kongkong = pa
nggilan menghormat untuk thaykam --- orang kebiri.)
It Hang terkejut, wajahnyapun berubah.
"Aku adalah seorang terdakwa," ia kata. "Jikalau kau hendak periksa aku, l
ekaslah periksa! Buat apa kau omongkan segala hal lainnya?"
"Goei Kongkong juga sangat sayang kau," kata si orang tua, yang tidak perd
ulikan ucapan orang.
"Siapa yang sudi disayang dia?" kata pemuda kita dengan suara nyaring.
"Kau benar satu laki-laki sejati," kata orang tua muka merah itu. "Tapi ka
u harus ketahui, jiwamu berada di tangan siankee!" (Siankee = "aku" untuk orang
beragama)
It Hang tertawa tawar.
"Habis kau mau apa?" dia tanya.
"The Hong Tjiauw itu toh sahabat kekalmu?" Si muka merah itu sebaliknya be
rtanya pula.
Tanpa merasa, hatinya It Hang goncang.
"Habis?" tanya dia
"Ketika The Hong Tjiauw hendak tarik napasnya yang penghabisan, dia mengat
akan apa kepadamu?" tanya si orang tua.
"Apa katamu? Aku tidak mengerti!"
Orang tua muka merah itu tertawa pula
"Janganlah mendusta di hadapan orang suci!" katanya "Pernahkah kau dengar
nama In Yan Peng! Itulah aku adanya!"
It Hang insyaf kepada bahaya yang sedang ia hadapi, ia segera kerahkan ten
aga di kedua lengannya, dengan satu gerakan ia dapat putuskan borgolan yang memb
elenggu tangannya, setelah mana, ia menyampok sambil menendangjuga.
"Bagus! Kau nyatalah satu di antara manusia jahat itu!" It Hang berseru.
Orang tua itu buang tubuhnya ke belakang, dengan demikian, kakinya dapat m
endupak meja di depannya, hingga meja itu terbang ke arah si anak muda.
"Prak!" demikian suara terdengar.
Dengan satu sampokan, It Hang sambut meja itu, yang ia hajar pecah dan jat
uh terbanting.
Orang tua muka merah itu, yang perkenalkan diri sebagai In Yan Peng, merab
a pinggangnya untuk meloloskan ikat pinggangnya. Ia bertindak maju sambil menyab
etkan ikat pinggangnya itu, ia tertawa.
"Nyatalah aku dapat buktinya!" kata dia. "To It Hang, apakah sampai sekara
ng kau tetap masih hendak mendusta?"
Anak muda itu tetap masih gusar. Inilah disebabkan, The Hong Tjiauw dalam
pengakuannya, telah menulis nama lima konconya, yang semua berkongkol sama bangs
a Boan, yakni tiga wiesoe atau pahlawan dari istana, dan dua bandit dari Rimba H
ijau, satu antara tiga pahlawan itu, ialah In Yan Peng.
Dengan mulut membungkam, It Hang serang penghianat itu. In Yan Peng pandai
memainkan ikat pinggangnya itu, yang menyambar-nyambar sampai menerbitkan suara
angin. Tubuhnya juga sangat enteng dan gesit, dengan gampang ia dapat berkelit
diri dari desakan si anak muda. Ia seperti memutari kamar kecil itu, untuk layan
i lawannya. Ikat pinggang itu merupakan semacam senjata sebagai djoanpian, cambu
k lemas.
It Hang melayani berkelahi sampai kira-kira tiga puluh jurus ia tidak dapa
t ketika untuk robohkan atau mendesak si muka merah yang tangguh itu, maka seger
a ia sadar, apabila ia tidak angkat kaki, ia bisa dapat celaka. Ia juga sudah la
ntas memikir untuk pergi mengadu kepada putera mahkota. Karena ini, dengan sekon
yong-konyong. Ia perhebat serangannya, sampai ia dapat kesempatan untuk mendekat
i pintu, yang ia terus dupak hingga menjeblak.
In Yan Peng tertawa gelak-gelak.
"Kau berniat angkat kaki?" ia mengejek. "Hanya dalam impian kau dapat laku
kan itu!"
It Hang tidak memperdulikannya, terus saja ia lompat keluar. Tiba-tiba ia
rasakan sambaran angin, ia segera mengelakkan tubuhnya ke samping. Ia berniat ta
ngkis serangan yang mestinya dahsyat itu. Tapi ia terkejut ketika ia melihat tan
gan yang menyerang padanya itu bersinar merah api.
Penyerang itu menyerang dengan seru, dua kali beruntun, tapi tiap kali It
Hang dapat mengelakkan diri dari ancaman. Akhirnya anak muda ini menjadi sangat
murka.
"Apakah kau anggap aku jeri terhadap Imhong Toksee tjiangmu?" serunya.
Anak muda ini lantas bersilat dengan ilmu Ngoteng Kaysan tjiang, ialah sem
acam ilmu untuk adu jiwa dengan Tangan Pasir Beracun itu. Kesudahannya dari pert
empuran semacam itu kedua pihak mesti celaka.
Orang itu jeri juga menghadapi kenekatan lawannya, dia tidak berani keras
melawan keras, terpaksa dia berkelahi dengan serangan-serangannya yang merupakan
totokan.
Sekarang It Hang tidak berani terlalu mendesak pula, karenanya, tetap ia t
idak dapat loloskan diri, malah ia telah terdesak mundur sampai di pintu tadi. S
edangnya ia repot melayani musuh di depan itu, di belakangnya In Yang Peng telah
sambar ia dengan ikat pinggangnya, hingga tidak ampun lagi ia dilibat dan terta
rik roboh ke dalam kamar.
Si orang tua yang bertangan liehay Imhong Toksee tjiang itu lompat ke pint
u yang segera menutupnya dan ia berdiri tegak di muka pintu itu.
"Saudara In sudahkah kau berhasil?" dia tanya Yan Peng.
"Bocah ini tidak mau bicara terus terang," sahut orang yang ditanya. "Saud
ara Kim, baik kau hadiahkan dia satu tanganmu!"
Orang yang dipanggil "saudara Kim" itu, yang usianya telah lanjut, angkat
sebelah tangannya ditujukan ke batok kepala It Hang.
Tapi It Hang yang lihat aksinya orang itu tidak takut.
"Tiada faedahnya kau hajar mati padaku!" katanya dengan dingin. "Jikalau a
ku binasa, sahabatku bisa pergi ke kota raja untuk mengajukan dakwaannya, supaya
kalian semua dibekuk!"
In Yan Peng kaget hingga ia bergidik sendirinya.
"Kau maksudkan Giok Lo Sat?" dia tanya.
It Hang mengawasi dengan bengis, tidak mau ia menjawab.
"Baik," kata si orang tua she Kim. "Aku tidak sangka kau bersahabat kekal
dengan Giok Lo sat."
Yan Peng pun mendadak tertawa.
"Binatang ini bisa menggertak juga," katanya.
Sekonyong-konyong si orang she Kim mendupak kepada jalan darah witiong hia
t di belakang dengkulnya It Hang, maka tidak ampun lagi anak muda ini tak sadar
akan dirinya.
Setelah itu, si orang tua muka merah memerintahkan gotong pemuda itu kemba
li ke kamar tahanannya.
Yan Peng dan orang tua she Kim itu saling pandang dan tertawa, mereka tida
k kuatirkan ancamannya It Hang. Sebab bukan hanya mereka berdua yang berkongkol
sama bangsa Boan, juga Goei Kongkong yaitu thaykam Goei Tiong Hian.
Ketika Gak Beng Kie sampai di kota raja, dia telah beri kisikan kepada Ken
gliak Him Yan Pek tentang rahasia yang dibuka The Hong Tjiauw perihal komplotan
penjual negara itu. Him Kengliak lantas masuk ke istana menghadap raja untuk buk
a rahasia itu. Akan tetapi Baginda Sin Tjong tertawa saja, dia angap kabar itu s
ebagai guyon...
Tiga pahlawan dalam istana liehay kupingnya, mereka dapat tahu hal rahasia
mereka dibuka di hadapan kaisar, tidak mensia-siakan tempo lagi mereka pergi bu
ron. Adalah setelah dengar hal kaburnya ketiga pahlawan itu. baru Kaisar Sin Tjo
ng menyesal, tetapi sudah kasip.
Minggatnya ketiga pahlawan dari istana itu bukannya berarti mereka menying
kir dari kota raja. Mereka tetap berhubungan dengan Goei Tiong Hian.
The Hong Tjiauw dan Goei Tiong Hian kenal satu pada lain, tetapi persahaba
tan mereka tidak rapat. Hong Tjiauwberkongkol sama utusan bangsa Boan, ia ketahu
i hanya ketiga pahlawan itu sebagai kambrat sehaluan, ia tidak tahu bahwa Goei T
iong Hian pun konconya juga. Tetapi Goei Tiong Hian di lain pihak ketahui Hong T
jiauvv sebagai kawan sekomplot. tapi mengenai aksinya itu ia tidak mau beritahuk
an kepada orang she The itu, yang ia masih sangsikan.
Dalam tindakannya, Goei Tiong Hian kirim ketiga pahlawan ke Siamsay untuk
bekerja secara diam-diam. Ia juga dengan berani pakai tenaganya satu giesoe yang
menjadi orang kepercayaannya, untuk menyamar sebagai kimtjee, utusan raja. perg
i ke kota Yanan. Adalah keinginannya untuk korek rahasia dari mulutnya To It Han
g.
Kebetulan sekali, waktu itupun raja kirim utusan kepada To Tiong Liam, unt
uk panggil bekas tjongtok itu menjabat pangkat pula. Maka Goei Tiong Hian lantas
mengatur akal, memerintahkan dua pahlawannya untuk mencelakai kedua utusan raja
itu. supaya keluarga To dapat difitnah, dan It Hang ditangkap untuk dihukum.
Di antara kedua pahlawan itu, yang pandai ilmu silat Bittjong koen asal Se
etjhong (Tibet), bagian Djioekang, yakni ilmu halus (lemas). Dialah pahlawan yan
g bersenjatakan ikat pinggang itu, yaitu In Yan Peng orang tua muka merah itu. H
anya dalam peryakinan ilmu itu orang she In ini baru mencapai tujuh puluh bagian
.
Pahlawan yang kedua adalah si orang tua yang pandai Imhong Toksee tjiang,
ilmu kepandaian tangan kuat. Dia adalah orang she Kim bernama Tjian Giam. Orang
yang kena pukulan tangan liehay itu, selewatnya tujuh hari, tidak akan dapat dit
olong pula. Maka dengan tangan jahat itu, dia bisa bunuh orang di tempat ramai t
anpa diketahui perbuatannya.
Demikian sudah terjadi, untuk menjalankan titahnya Goei Tiong Hian. mereka
sudah bokong kedua utusan raja guna memfitnah keluarga To, tetapi di luar dugaa
n mereka, It Hang telah menggagalkan usahanya itu. kedua kimtjee tertolong jiwan
ya. Inilah sebab-sebab yang kemudian menjadikan "pertempuran gelap" di dalam ist
ana,
It Hang rebah dalam kamar tahanan dengan hati mendongkol bukan main. Sebag
ai akibat totokannya si orang she Kim, dia rasakan tenaganya lenyap. Tentu saja
dia jadi sangat berkuatir. Diapun kualirkan negaranya, karena sudah terang berbu
kti bahwa bangsa Boan telah beli segala penghianat. Dia baru tahu lima nama, tap
i dia percaya jumlahnya penghianat tentu ada lebih besar lagi.
"Putera mahkota mesti diberitahukan tentang rahasia ini, tetapi bagaimana?
" dia berpikir. "Aku sekarang terkurung di sini, aku mesti berdaya sendiri. Baga
imana aku dapat bebaskan diri dari totokan lawan ini? Kalau aku gusar, darahku j
adi semakin tak dapat mengalir."
Karena ingat ini, bisa juga It Hang menenangkan diri, malah dia dapat berg
erak untuk duduk bersemedhi mengumpulkan semangatnya. Ia memang telah mempunyai
dasar lweekang yang baik, ketenangan ada baiknya untuk keadaannya seperti itu. B
aru berselang satu jam, ia mulai merasakan darahnya mengalir pula seperti biasa.
Karena ini ia lantas memikir untuk bikin putus rantai yang membelenggu kedua ta
ngannya, supaya ia bisa terjang pintu untuk nerobos keluar. Di saat ia sedang me
mikir demikian, kupingnya mendengar suara pertempuran yang samar-samar, yang dat
angnya seperti dari tempat jauh. Lekas-lekas ia mendekam untuk pasang kupingnya
di lantai, hingga ia dengar suara pertempuran itu datang semakin dekat.
"Heran! Siapa mereka?" ia menduga-duga.
Ketika itu tiba-tiba pintu kamar tahanan terbuka.
It Hang terperanjat, ia bangkit berdiri.
Itulah In Yan Peng yang muncul, wajahnya yang licik tersungging senyuman.
Dia bertindak perlahan menghampiri pemuda kita.
"Apa kau mau?" It Hang menegur.
"Sahabat baikmu telah datang, mari aku ajak kau pergi padanya," sahutnya m
usuh ini.
Belum lagi Yan Peng tutup mulutnya, mereka segera dengar suara ambruk yang
hebat. Karena kantor tiehoe telah digempur tembakan meriam dan terbakar.
Yan Peng kaget sehingga wajahnya berubah. Namun ia masih ingat untuk mengg
erakkan tangannya menyambar It Hang yang ia hendak bekuk, untuk dibawa menyingki
r dari situ.
Yan Peng tahu bahwa orang yang ditotok jalan darahnya wietiong hiat membut
uhkan waktu enam jam untuk dapat pulih kembali kesehatannya. Maka pikirnya denga
n mudah ia dapat cekuk pemuda itu.
Tetapi di luar dugaannya tiba-tiba It Hang buka mulutnya memperdengarkan s
eruan hebat, berbareng iapun pentang kedua lengannya menyabetkan rantai borgolan
, sedang kedua kakinyapun diangkat dengan berbareng dalam satu dupakan.
Semua itu In Yan Peng tidak menyangkanya, tidak heran kalau ia kena disera
ng. Dupakan pada lututnya membuat ia roboh seketika. Akan tetapi ia benar-benar
seorang liehay, jatuhnya itu, ia teruskan dengan gulingkan tubuhnya untuk menyin
gkir dari serangan lebih jauh, hingga ia dapat kesempatan untuk lompat bangun. I
a juga dapat segera meloloskan ikat pinggangnya, dengan itu ia serang pinggangny
a si anak muda!
It Hang tahu bahwa bala bantuan sudah sampai, ia jadi bertambah semangat.
Begitu lekas ia egos tubuh dari serangan musuh, ia segera mendesak dengan geraka
n "Tjhioetam piepee" atau "Merogoh piepee".
Yan Peng tidak sudi ditotok musuh, ia menyambar pula dengan senjata ikat p
inggangnya untuk melibat kedua bahunya pemuda kita. Tetapi It Hang mengerti baha
ya, Ia berkelit sambil melenggak diri, sesudah mana. lagi-lagi ia mendesak, meny
erang saling susul.
Orang tua muka merah itu mundur dua tindak, ia menangkis dengan tangan kir
i, berbareng tangan kanannya menyabet dengan ikat pinggangnya.
Satu suara keras terdengar, ikat pinggang musuh mampir di iganya It Hang.
Ia kalah gesit karena ia baru saja pulih jalan darahnya. Tapi ia mengempit lenga
nnya menjepit untuk jepit ikat pinggang itu, lantas ia pasang kuda-kuda untuk me
mbetotnya.
In Yan Peng tertawa dingin, berbareng dengan mana, tangan kirinya menyamba
r. Atas serangan ini, tidak dapat tidak It Hang harus menangkis. Justeru di saat
itu tangan kanan si muka merah bergerak akan tarik ikat pinggangnya untuk dipak
ai menyambar pula. dan dia berhasil melibat lengan kanan musuhnya.
It Hang gunakan tangan kirinya, untuk meloloskan libatan pada tangan kanan
nya itu. Tetapi Yan Peng tidak diam saja, dia pun membetot keras. Percuma It Han
g mencoba menancap kakinya, Ia kena ditarik hingga kuda-kudanya gempur, tubuhnya
terbetot roboh.
Dalam saat yang sangat berbahaya bagi anak muda ini, di luar kamar terdeng
ar tindakan kaki berlari-lari, lalu terdengar seruan: "In Toako, angin keras! Pe
cah!"
Itulah tanda rahasia!
Yan Peng kaget tidak kepalang sehingga mukanya pucat, akan tetapi ia masih
memegangi keras ikat pinggangnya, karena ia berniat meringkus si anak muda untu
k dijadikan manusia tanggungan.
Hampir berbareng pada saat itu, di luar kamar terdengar suara ketavva nyar
ing tapi halus.
It Hang dengar suara ketawa itu, ia menjadi kaget berbareng girang.
"Giok Lo Sat!" serunya
In Yan Peng kaget, segera ia tarik ikat pinggangnya, untuk lompat keluar k
amar, menyingkirkan diri.
Dugaannya It Hang tidak salah. Yang datang itu benar Giok Lo Sat, bersama
barisannya, menggempur kota Yanan. Sejak dia berserikat dengan Ong Kee In, ayahn
ya Tjiauw Hie, dia memang sudah berniat pergi ke Siamsay Utara untuk membuat per
temuan, akan tetapi karena ada janji dengan Eng Sioe Yang di puncak Hoasan, kebe
rangkatannya itu telah tertunda. Kali ini dia datang bersama beberapa puluh serd
adu wanitanya. Dalam perjalanan ke Wayauwpo untuk temui Ong Kee In, di tengah ja
lan kebetulan ia ketemu Pek Bin. yang diatolongi. Kejadian dengan Pek Bin ini me
nimbulkan kecurigaannya, dia berkuatir untuk dirinya To It Hang, maka segera dia
kirim mata-matanya untuk menyelidiki. Ia telah peroleh kabar hal ditawannya It
Hang itu.
Juga Ong Tjiauw Hie telah dapat kabar hal It Hang ditawan, dia sudah lanta
s kepalai satu pasukan, di tengah perjalanan ia ketemu Giok Lo Sat. ia persatuka
n pasukannya di bawah pimpinannya nona itu, terus malam itu juga mereka menggemp
ur kota. Tidak sampai satu jam pintu kota dapat dipecahkan, barisan penolong ini
langsung menyerbu ke kantor residen, hingga Kim Tjian Giam beri peringatan pada
In Yan Peng.
Ketika simuka merah sampai di luar kamar tahanan, sejarak tiga tumbak di d
epannya ia tampak sahabatnya sedang bertempur dengan satu nona, dalam keadaan te
rdesak dan berbahaya, karena dikurung sinar pedangnya si nona. Maka ia segera si
ap dengan ikat pinggangnya dan terus maju menyerang nona itu dengan tipu silat "
Kimkauw sotjoe" --- "Naga emas melilit tiang". Ia ancam tubuh dan pedangnya si n
ona berbareng.
Giok Lo Sat lihat datangnya satu musuh baru, Ia tertawa ketika ia diserang
, terus saja dengan pedangnya ia sampok ikat pinggang musuh yang baru itu.
Dua senjata bentrok keras, In Yan Peng rasakan telapak tangannya sakit, hi
ngga ia mesti kendorkan cekalannya Justeru itu pedangnya si nona sudah berkeleba
t pula. Kali ini terdengar suara getas, ikat pinggang si muka merah nyata telah
terbabat kutung!
In Yan Peng dapat adu Iweekang dengan To It Hang tapi tidak demikian terha
dap Giok Lo Sat. Ia tidak berhasil melilit si nona. sebaliknya ia sendiri yang m
enjadi korban.
Kim Tjian Giam gunakan ketika selagi si nona layani In Yan Peng, dia menye
rang dengan kedua tangannya yang liehay, tujuannya adalah kedua lengan nona itu.
Giok Lo Sat awas matanya dan gesit gerakannya, sehabis membabat ikat pingg
ang Yan Peng, ia memutarkan tubuhnya, hingga ia dapat lihat datangnya serangan d
ari musuhnya yang pertama, maka dengan sebat ia mendahului menikam sebelum kedua
tangan musuh sampai kepadanya Ujung pedang menjurus ke arah tenggorokan.
Orang she Kim itu kaget. Ia mesti berdaya untuk menolong diri. Dengan demi
kian, dengan sendirinya pecahlah serangannya itu.
In Yan Peng keluarkan napas lega Dalam keadaan seperti itu ia mesti berlak
u nekat, maka iapun menyerang pula. Kali ini ia gunakan ilmu silat menangkap Kim
na Sippat tjiang. Secara demikian, berdua Kim Tjian Giam ia mencoba kurung nona
kosen itu. Namun tetap mereka masih keteter.
To It Hang muncul di saat pertempuran sedang berjalan dengan serunya akan
tetapi belum ia datang mendekati, Giok Lo Sat sudah teriaki padanya: "Lekas kau
pergi ke belakang membantu Ong Tj iauw Hie! Biarkan kedua anak kelinci ini aku y
ang layani!"
Pemuda itu adalah satu ahli, dengan melihat sepintas lalu, ia bisa lantas
buktikan nona itu bukannya omong besar, maka ia batal maju terus, ia balik lari
memburu ke belakang. Baru ia sampai di lorong, di situ ia sudah lihat sepasang o
rang sedang bertarung sambil separuh berlari-lari. Orang yang di depan ia kenali
sebagai Ong Tjiauw Hie adanya. Dua orang itu adasetanding, sebab kalau Tjiauw H
ie mainkan pedangnya dengan hebat, lawannya tidak kurang dahsyatnya.
Amarahnya It Hang meluap apabila ia sudah kenali lawannya Ong Tjiauw Hie i
tu, ialah salah satu opsir yang telah bantu Ong Pengpie menangkap padanya Maka i
a lantas saja lompat maju menerjang opsir itu.
Opsir itu adalah punggawa kosen dari tjongtok, gubernur jenderal, dari ked
ua propinsi Siamsay dan Kamsiok, akan tetapi ketika dikepung oleh Tjiauw Hie dan
It Hang, ia menjadi repot seketika. Baru ia lolos dari sepasang kepalannya pemu
da she To, atau pedangnya Tjiauw Hie sudah sampai. Begitulah, sebelum sempat ia
memikir untuk angkat kaki. selagi It Hang desak padanya, ujung pedangnya Tjiauw
Hie telah mampir di pundaknya, kepada jalan darah thiantjoe hiat, maka tak ampun
lagi tubuhnya lantas roboh dengan jiwanya melayang pergi.
"Saudara To, aku datang terlambat, aku telah bikin kau menderita lama," ka
ta Tjiauw Hie sehabis pertempuran.
It Hang manggut, tetapi ia tidak kata apa-apa Sekarang ia tahu pasti bahwa
pemuda she Ong itu adalah satu penjahat besar dari Siamsay Utara. Ia merasa sun
gkan bergaul dengan bangsa penjahat.
"Mari kita tengok Nona Lian," Tjiauw Hie mengajak, tanpa perdulikan sikap
orang itu. "Mari kita tonton dengan cara bagaimana dia bereskan dua penghianat i
tu."
It Hang tidak mempunyai alasan menampik kebaikannya anak muda itu, maka ia
manggut pula Ia lantas ikut untuk kembali ke depan. Ia sendiri memang ingin lih
at Giok Lo Sat, yang kedatangannya bersama Tjiauw Hie justeru guna menolong pada
nya.
Pertempuran di depan masih berlangsung. Biar bagaimana Kim Tjian Giam dan
In Yan Peng adalah orang-orang kosen, mereka dapat bertahan terhadap serangan lu
ar biasa hebat dari Nona Lian. Dari kejauhan seperti tidak terlihat tubuh mereka
yang sedang bertempur itu, melainkan yang dapat tampak hanya sinarnya senjata m
ereka.
Setelah mengawasi, Ong Tjiauw Hie memuji: "Benar-benar Giok Lo Sat liehay!
Aku lihat, kedua penghianat itu akan segera mati dengan tidak mempunyai tempat
untuk mengubur tubuhnya!"
Baru Tjiauw Hie tutup mulutnya, atau ia dengar seruan halus tapi tajam yan
g menyangkal pujiannya itu. "Aku tidak percaya!" Demikian seruan itu.
Mendengar suara seruan itu, parasnya Tjiauw Hie berubah.
Menyusul suara itu, dari atas payon lompat turun seorang wanita muda denga
n muka bertopeng, nampaknya dia lebih muda daripada Giok Lo Sat.
"Mau apa kau datang kemari?" Tjiauw Hie tegur nona itu.
"Kau sendiri boleh datang-mustahil aku tidak?" si nona balik menanya. "Tah
ukah kau ada orang sedang menantikanmu! Tunggu sebentar, sehabis aku menemui Gio
k Lo Sat, baru aku terangkan padamu!"
"Siapa dia?" It Hang tanya Tjiauw Hie. "Kau kenal nona itu, saudara Ong?"
Tjiauw Hie nampaknya jengah.
"Boleh dikatakan juga aku kenal padanya..." sahutnya, yang lantas saja lar
i menyusul nona itu, yang lari menuju ke tempat pertempuran.
Dalam pertempuran itu, Kim Tjian Giam lebih banyak bersikap membela diri,
karena sesudah banyak jurus dilalui, ia insyaf meskipun bersama In Yan Peng, sul
it baginya untuk dapat merebut kemenangan. Beberapa kali ia telah menyerang deng
an Imhong Toksee tjiang, tapi selalu gagal, jangankan tubuh musuh, bajunyapun ia
tak dapat langgar. Inilah karena sangat lincahnya nona itu, yang pun penyeranga
nnya terus bertambah hebat.
Di saat Giok Lo Sat hendak beri pukulan yang terakhir, tiba-tiba ia tampak
bayangan berkelebat di arah belakangnya dan anginpun menyambar, maka cepat-cepa
t ia memutar tubuh sambil menangkis.
Dengan menerbitkan suara nyaring, kedua pedang beradu keras, sampai lelatu
nya pun muncrat.
Giok Lo Sat heran akan dapati pedang penyerangnya tidak terpental. Ia pun
heran setelah dapat lihat, bahwa penyerang itu adalah satu nona bertopeng.
"Hai. kau cari mampus?" ia lantas menegur.
Nona yang bertopengkan muka itu menyahut: "Setiap orang puji ilmu silat pe
dangmu, maka ingin aku belajar kenal!"
"Baik, kau sambutlah!" berkata Giok Lo Sat dengan sengit. Dan ia menikam t
anpa bersangsi pula
Nona tidak dikenal itu gerakkan pedangnya, ia berhasil memunahkan serangan
si Raksasi Kumala.
Kim Tjian Giam dan In Yan Peng bernapas lega, dengan menggunakan ketika ya
ng baik itu keduanya lompat naik ke atas genteng untuk angkat kaki.
"Ong Tjiauw Hie, cegat mereka!" seru Giok Lo Sat, yang lihat orang mencoba
untuk kabur. "Aku segera akan menyusul!"
Ong Tjiaw Hie menurut, dengan enjot tubuhnya ia lompat ke genteng.
"Aku harap kau menaruh belas kasihan, Lian Liehiap..." katanya selagi ia l
ompat naik.
Melihat kawannya menguber dua penghianat itu, It Hang pun segera lompat ke
genteng untuk menyusul karena ia tahu kepandaiannya Kim Tjian Giam dan In Yan P
eng adajauh lebih liehay daripada pemuda she Ong itu.
Giok Lo Sat layani si nona bertopeng. Tadinya ia sangka, dalam tiga jurus
saja ia akan dapat mengalahkan nona itu, akan tetapi ternyata nona itu bisa meng
elakkan serangannya Ia menjadi gusar ketika ia dengar pertempuran di atas genten
g agaknya jadi semakin jauh. Maka ia menyerang lawannya semakin hebat.
Nona yang bertopeng itu telah keluarkan antero kepandaiannya, baru dia dap
at melayani lawannya dalam tiga jurus, sekarang ia insyaf keliehayannya Giok Lo
Sat, karena inilah baru ia memikir untuk menyingkirkan diri.
Dalam murkanya, Giok Lo Sat masih bisa tertawa.
"Eh, bocah, kau masih berani balas menyerang aku?" kata ia sambil tertawa,
tetapi ia perhebat serangannya dengan tikamannya beruntun beberapa kali, membik
in lawannya terkurung pedangnya dan menjadi sangat repot.
"Tidak sanggup aku lawan kau, aku suka menyerah," kata si nona bertopeng k
emudian. "Mengapa kau desak aku demikian rupa?"
"Sekarang mengaku kalahpun tak dapat!" sahut si Raksasi Kumala.
"Jikalau benar kau gagah, mari turut aku menemui ayahku..." kata pula si n
ona bertopeng itu.
"Sekarang aku hendak lihat tampangmu dulu!" sahut Giok Lo Sat. Dan ujung p
edangnya menyambar.
Nona itu kaget tak alang kepalang. Ia rasakan hawa dingin menyambar berula
ng-ulang di depan mukanya. Bahna kaget ia menjerit, topengnya yang terbuat dari
citapun lantas terlepas.
Giok Lo Sat lihat satu nona cantik di hadapannya. "Baiklah, aku tidak akan
bunuh kau," ia kata. "Tetapi aku harus berikan kau serupa pertandaan saja!" Dan
ujung pedangnya memain pula di muka si nona lawannya.
Dalam kuatir dan repotnya, nona itu berikan perlawanannya* menangkis pedan
g lawan. Ia masih sempat unjukan kecerdikannya. Sehabis menangkis, ia menyerang
ke kiri, tetapi mendadak ia ubah sasarannya dengan balik menyerang ke kanan, ke
arah jalan darah tjiangtay hiat di buah dada kanan lawannya itu.
Giok Lo Sat berkelit, ia tercengang akan serangan liehay dari si nona bert
openg itu. Justeru sedangnya ia tercengang, nona itu gunakan ketika itu untuk lo
mpat naik ke atas genteng.
"Hai, dari mana kau dapatkan ilmu pedangmu itu?" teriak si Raksasi Kumala
sambil lompat naik juga ke genteng untuk menyusul.
Si nona bertopeng yang topengnya telah lenyap, lari terus.
Di lain pihak Kim Tjian Giam dan In Yan Peng telah tempur Ong Tjiauw Hie d
an To It Hang. Tapi mereka baru bertempur sepuluh jurus, lantas saja kedua pemud
a ini kena didesak. Sebabnya ialah karena kelemahannya Tjiauw Hie menghadapi dua
penghianat jagoan itu. Syukur bagi mereka dua penghianat itu memikir untuk lari
kabur. Maka setelah peroleh ketikanya, mereka segera lompat menyingkir.
"Kita kejar atau jangan?" tanya Tjiauw Hie pada It Hang. Ia bersangsi, seb
ab ia insyaf liehaynya dua penjahat itu.
"Kejar!" sahut It Hang. "Mereka adalah penghianat-penghianat yang berkongk
ol sama bangsa Boan!"
Ketika itu, gedung residen telah dimakan api yang disebabkan oleh orang-or
angnya Ong Tjiauw Hie. Api berkobar-kobar dan asap bergulung-gulung mengepul nai
k.
Tjiauw Hie bersama It Hang ketika sampai di luar gedung, mereka kehilangan
kedua penghianat yang licin itu. Selagi It Hang memandang ke sekitarnya, ia lih
at satu tubuh putih mengkelebat lewat di sampingnya. Ia segera kenali si nona be
rtopeng tadi, hanya sekarang topengnya itu sudah hilang. Nona itu lari di antara
asap yang tebal.
Menyusul si nona itu, lewat berkelebat pula satu tubuh lainnya.
"Dua penghianat itu lolos!" Ong Tjiauw Hie teriaki orang yang belakangan i
ni. "Lian Liehiap, mari kita memecah diri menjadi tiga untuk cari mereka itu!"
Pemuda ini segera kenali Giok Lo Sat.
"Lebih penting, aku susul bocah perempuan itu!" jawab si Raksasi Kumala
"Dua penjahat itu adalah penkhianat-penghianat, lebih baik kita kejar mere
ka!" It Hang campur bicara.
"Aku kata. lebih perlu kejar si bocah perempuan!" berkukuh Giok Lo Sat.
Ong Tjiauw Hie kewalahan juga, terpaksa bersama It Hang ia lari mengikuti
si nona.
It Hang sangat tidak mengerti akan sikapnya Giok Lo Sat yang membiarkan pe
nghianat-penghianat lolos, sebaliknya mengutamakan mengejar satu nona. Tentu sek
ali ia tidak tahu bahwa si Raksasi Kumala telah dibikin heran dan penasaran oleh
tipu silat yang terakhir dari nona bertopeng itu. Karena itu adalah salah satu
tipu silatnya sendiri, yang istimewa.
Sejak kecil Giok Lo Sat telah ikuti gurunya hidup menyendiri di dalam gua,
ia tahu betul gurunya tidak mempunyai lain murid, maka aneh yang si nona bertop
eng itu justeru pandai tipu silat itu. Karena ini, ia menduga-duga pada kemungki
nan Gak Beng Kie serta To It Hang secara diam-diam sudah berbuat lancang memberi
kan ketika kepada orang lain mencuri dan melihat kitab ilmu silat itu? Ia memang
penasaran ketika itu hari ia tidak sanggup mengalahkan orang she Gak itu. Dan k
etika ia kembali ke dalam guanya, tidak saja kitabnya lenyap, pun semua ukiran d
i tembok lenyap musnah. Karena ini, ia ambil putusan akan mencari kitab ilmu sil
at itu. Sekarang ia dapatkan si nona bertopeng mengerti tipu silat itu, tidaklah
heran kalau ia berkeinginan untuk menawan nona itu, untuk korek keterangan dari
padanya.
Si nona bertopeng lari pesat sekali, tapi si Raksasi Kumala mengubernya le
bih pesat lagi, di belakangnya menyusul It Hang dan Tjiauw Hie. Yang semakin lam
a semakin jauh ketinggalan di belakang. Di lain pihak, Giok Lo Sat berhasil meny
usul si nona bertopeng.
"Ayah! Ayah!" nona itu berteriak-teriak apabila ia dapatkan dirinya teranc
am bahaya.
Giok Lo Sat dengar teriakan itu, ia kendorkan larinya. Iapun tertawa.
"Baik aku nanti tunggui ayahmu, untuk aku menanyakan keterangan dari dia!"
ia kata
Mereka sekarang telah sampai di luarkota, di kaki bukit Tjenghong san.
Si nona bertopeng lari terus, sambil terus juga berteriak-teriak.
Giok Lo Sat tetap membayangi di belakang nona itu. Ia tidak hendak menyand
ak tapipun tidak mau membikin dirinya ketinggalan. Hanya beberapa kali ia ulurka
n pedangnya ke bebokong si nona, hingga ancaman itu membuat dia sangat ketakutan
, tiap kali dia mesti berkelit ke kiri atau ke kanan. Dia mencobanya lari sekera
s-kerasnya tapi tetap dia tidak bisa menjauhkan diri dari pengejarnya itu.
Bagaikan seekor kucing permainkan tikus, demikian tingkah polahnya Giok Lo
Sat. Berulang kali ia tertawa cekikikan di belakang orang yang dikejarnya, hing
ga nona itu bahna takutnya, menjerit berulang-ulang.
Setelah lari sekian lama, mendadak si nona bertopeng lompat ke depan dan t
erus dia roboh, dari mulutnya terdengar jeritan: "Ayah!"
Lalu dari atas gunung terdengar jawaban, suaranya luar biasa.
Giok Lo Sat berhenti mengejar, sambil lintangkan pedangnya ia mengawasi ke
atas gunung, ia telah dengar suara sambutan dari atas gunung tadi. Tidak lama m
enantikan tampak olehnya melayang satu tubuh turun mendatangi, lalu berhenti pad
a jarak dua tindak di depannya
Itulah seorang yang tubuhnya tinggi besar dan lanjut usianya, hidungnya ba
gaikan hidung garuda dan mulut bagaikan mulut singa dengan muka penuh berewokan
pendek. Satu roman yang jelek sekali dan bengis.
"Siapa berani perhina anakku?" demikian orang tua itu berseru.
Si nona bertopeng segera merayap bangun untuk sembunyikan diri di belakang
orang tua itu. Ia menangis, air matanya memenuhi mukanya.
"Ayah, tolong kau korek matanya wanita bangsat ini!" kata ia pada orang tu
a itu dengan lagak sangat manja.
Giok Lo Sat perdengarkan tertawa dingin. Ia juga menuding dengan pedangnya
.
"Bangsat tua. lekas kau bayar kembali kitab ilmu pedangku!" ia bentak.
Orang tua itu melengak.
"Kitab ilmu pedang apa?" dia menegasi, suaranya keras tetapi dalam.
"Ayah, perempuan bangsat ini tuduh aku jadi bangsat!" menangis pula si non
a bertopeng. "Kapan dan di mana aku pernah lihat kitab ilmu pedangnya? Dia telah
berulang kali menyodokkan ujung pedangnya di bebokongku, dia menghina sangat pa
daku... Ayah. kau mesti tolong balaskan anakmu mengorek biji matanya!..."
Giok Lo Sat gusar karena berulangkah ia dikatai bangsat, benar ia bisa ber
senyum akan tetapi pedangnya sudah lantas menikam.
Si orang tua keluarkan seruan: "Ah!..." Ia mundur tiga tindak, sebelah tan
gannya menolak mundur tubuh gadisnya, kepada siapa ia berkata: "Pergi kau mundur
ke batu di sana, aku larang kau membantui aku. Aku mengerti sekarang!"
Giok Lo Sat tidak perdulikan sikap orang, setelah tikamannya yang pertama
gagal, ia maju mengulangi serangannya pula sampai tiga kali, sebab si orang tua
mundur terus. Adalah setelah ini, orang tua itu berseru karena murkanya, tubuhny
a mencelat maju, tangan kirinya menyambar ke atas, tangan kanannya ke bawah. Ini
lah serangan yang mirip dengan tipu silat "Tjengtoan tjhioe" (Tangan Menahan Pen
glari) dari ilmu silatnya Keluarga Gak (Gak Hoei), malah gerakannya orang tua in
i terlebih sebat.
Diserang secara demikian mendadak, Giok Lo Sat terdesak. Maka, tidak ada l
ain jalan, ia apungkan diri sambil jumpalitan ke belakang, dengan gerakan "Yantj
oe tjoanin" atau "Burung walet menembus mega". Ketika ia turun pula, ia injak se
buah batu besar di belakangnya.
Si orang tua maju memburu, karena ia sangat gusar. Ia berkata dengan bengi
s: "Seumurku belum pernah aku mengalami ada orang berani menantang aku di hadapa
nku! Mengapa kau berani demikian kurang ajar? Siapakah gurumu?"
Wajahnya si Raksasi Kumala juga berubah sedikit, tapi ia masih tertawa bes
ar.
"Aku juga!" katanya mengejek. "Aku juga seumurku belum pernah ketemukan or
ang yang berani buka suara besar membentak-bentak di depanku! Siapakah gurumu da
n apakah namanya?"
Orang tua itu anggap dirinya dari kalangan tertua, dengan tanyakan gurunya
si nona, dia pernahkan dirinya sebagai orang yang lebih tua tingkatannya, maka
tidaklah dia sangka nona yang begitu muda usianya, berani bawa sikap seperti dia
sendiri, berani juga menanyakan nama gurunya, sedang gurunya sudah menutup mata
pada tiga puluh tahun yang lampau. Teranglah nona itu pandang dia yang usianya
lanjut sebagai orang dari tingkatan muda!
Bergerak-geraklah berewok dan jenggotnya orang tua ini, bahna gusarnya yan
g tak tertahankan.
"Anak muda kurang ajar, rasakanlah tanganku!" dia berseru.
Giok Lo Sat tidak takut, ia menyambutnya sambil tertawa, sesudah mana, dar
i batu di sebelah atas itu, ia berlompat turun, untuk menghampiri jago tua ini.
Segerajuga si orang tua itu berikan kepalannya, yang keras sampai mendatan
gkan suara angin. Teranglah ia pandai lweekang (ilmu dalam).
Giok Lo Sat tidak takut, malah ia menikam terus dengan pedangnya, hingga m
au tidak mau orang tua itu mesti berkelit ke samping. Dari sini barulah ia berge
rak cepat untuk menyerang pula, dengan kedua tangannya berbareng!
Giok Lo Sat gerakkan sedikit tubuhnya, untuk menangkis sambil menyontek de
ngan tipu "Kimtjiam touwshoa" -- "Jarum emas dimasuki benang".
Orang tua itu seperti sudah menduga nona ini akan menggunakan tipu demikia
n, ia ubah gerakkannya, sambil berkelit ia merangsek, dengan begitu, ujung pedan
g si nona lewat di samping iganya, menyusul mana, kedua tangannya dirangkap dala
m sikap "Tongtjoe pay Koan Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im". Denga
n gerakan ini ia mengancam, tapi sebenarnya serangannya ialah "Imyang siangtong
tjiang" --- yaitu "Kedua benturan tangan im dan yang".
Juga Giok Lo Sat kenal tipu serangan semacam itu, ia tarik kembali pedangn
ya, dan sambil berkelit, dengan cepat sekali ia kembali menyerang ketiak lawan k
epadajalan darah kieboen hiat.
Orang tua itu mengkerutkan tubuh tanpa mengubah kuda-kudanya, sesudah tusu
kan lewat bebas, ia membarengi menyerang dengan "Hengsin pahouw" atau "Sambil mi
ring menyerang harimau". Hebat serangannya ini.
Giok Lo Sat selamatkan dirinya dengan jalan melompat tinggi.
"Bocah, kau sambutlah!" serunya si orang tua selagi tubuh si nona turun. I
a buktikan ancamannya itu sambil lompat maju.
Si Raksasi Kumala tertawa riang.
"Bangsat tua, kau sambutlah!" dia juga berseru. Dan dia menyabetkan pedang
nya melintang di depan dadanya
Orang tua itu tahu si nona gunakan tipu silat "Hengkang hoeitouw" "Melompat
menyeberangi sungai", maka ia pasang kuda-kuda di kedudukan "kham" lalu ia berp
utar maju di kedudukan "lie", setelah luput dari babatan pedang, ia hendak menco
ba menangkap lengan lawan yang menyekal pedang itu.
Giok Lo Sat menyerang dengan "Hengkang hoeitouw" tidak sepenuhnya. Ia meng
gunakan siasat. Ialah baru ia membabat setengah jalan, ia sudah tarik kembali pe
dangnya untuk diteruskan menyerang ke jurusan ke mana lawannya menghindarkan dir
i.
Bukan kepalang kagetnya orang tua itu. Untung ia bermata jeli dan tubuhnya
enteng, ia masih dapat berkelit, menggeser dari kedudukan "lie" itu, berbareng
dengan itu dua jari tangan kirinya ditotokkan ke pundak si nona di bagian jalan-
darah honggan hiat. Karena ia tak puas jikalau ia menolong diri tanpa balas meny
erang.
Giok Lo Sat tidak takut akan serangannya orang tua itu. Dengan sebat ia me
mbabat tangan lawannya, ia mendesak sebegitu lekas dan lawan itu membatalkan ser
angannya, hingga orang tua itu terpaksa mundur.
Demikian mereka bertempur dengan seru, yang satu bersenjatakan pedang, yan
g lain bertangan kosong. Kalau jurus-jurusnya si nona senantiasa berubah-ubah ka
rena menggunakan kepandaiannya pelbagai cabang persilatan, demikian pula si oran
g tua, yang pelajaran silatnya rupanya dari banyak partai juga. Maka itu keduany
a sama tangkas dan sama liehay.
Nyata sekali orang tua ini gunakan gerakan dari tindak kaki "patmoei" dan
"ngopou", yaitu "delapan penjuru (pintu)" dan "lima tindakan". Patmoei ambil das
ar dari Patkwa (delapan segi), dan Ngopou dari Ngoheng, yaitu kim, bok, soei, hw
ee, touw atau emas, kayu, air, api dan tanah. Tapi semua itu berpokok dasar ilmu
silat "Thaykek Sipsam sie" -"Tiga belas jurus Thaykek Koen" dari Thio Sam Hong.
Pendiri dari Thaykek pay (Boetong pay). Gesit dan tetap, keras dan lemas, adala
h setiap tindak si orang tua, baikpun tangan, tubuh dan kakinya.
Giok Lo Sat heran juga sesudah melayani puluhan jurus, ia masih belum bisa
menang di atas angin, apalagi untuk dapat pecundangkan lawan tua ini. Maka sela
njutnya ia bersilat dengan sungguh-sungguh dengan keluarkan kepandaian warisan g
urunya. Ia tidak lagi berkelahi sambil berguyon dan tertawa.
Juga si orang tua heran tidak kepalang. Iapun tidak bisa berbuat suatu apa
terhadap si nona, yang semula ia tidak pandang mata. Ia kagum untuk kegagahanny
a nona ini, yang muda dan cantik tapi sedemikian lincah dan liehay. Inilah lawan
yang seumurnya belum pernah ia hadapi.
Setelah bertempur sekian lama Giok Lo Sat merasa bahwa dalam lweekang ia k
alah setingkat daripada orang tua itu.
Selagi pertempuran berlangsung terus, mendadak hatinya Giok Lo Sat terkesi
ap karena ia dengar seman dari kekagetan, yang datangnya dari arah belakang buki
t itu. Itulah seperti suaranya To It Hang. Di luar keinginannya, gerakan pedangn
ya menjadi kendor sendirinya. Justeru itu, dari kedudukan "koen" si orang tua me
nyerang dengan pukulan "Sengheng tauwtjoan" -- "Bintang-bintang melintang dan be
rputar".
Dengan demikian, kedudukan kedua pihak menjadi berbahaya. Apabila tanganny
a orang tua itu mengenai sasarannya, ujung pedang si nona juga akan demikian pul
a Di saat keduanya menghadapi bahaya, mendadak orang tua itu lompat mundur sambi
l berseru: "Jangan kau maju!"
Giok Lo Sat benar-benar batalkan gerakannya. Ia lihat orang tua itu memand
ang ke atas bukit, iapun melirikkan mata ke arah bukit itu. Maka ia lantas dapat
lihat, di atas sebuah batu gunung ada berdiri seorang perempuan cantik dari usi
a pertengahan. Dan si orang tua bicara kepada wanita itu. Diam-diam ia akui keli
ehayannya orang tua itu. Ia yang demikian liehay, masih tidak ketahui datangnya
si nyonya. Teranglah bahwa ia kalah pengalaman dari lawannya itu. Ia insyaf, kea
lpaannya ini disebabkan ia terlalu pusatkan perlawanannya Di dalam hatinya ia be
rkata: "Menghadapi lawan liehay, mata dan kuping harus tetap melihat dan mendeng
ar ke empat penjuru".
"Mari kita bertempur pula!" sekonyong-konyong si orang tua berkata setelah
penundaan itu sambil berlompat maju pula.
Giok Lo Sat jadi sangat mendongkol.
"Mustahil aku jeri terhadapmu?" dia berseru. "Kecewa kau dengan kepandaian
mu setinggi ini, kau sudi menjadi kurcaci yang hina dina! Jikalau hari ini kau t
idak kembalikan kitab ilmu pedangku, aku bersumpah akan merebutnya dari tanganmu
si tua bangka!"
Dalam murkanya, si Raksasi Kumala mendahului menyerang dengan dua sabetan
beruntun.
Si orang tua juga menjadi murka sekali, ia sambut serangan itu dengan tipu
silat "Paysan tohay" -- "Merobohkan gunung untuk menguruk lautan". Maka kembali
keduanya bertarung dengan seru sekali.
Pertempuran itu ditonton si nyonya elok setengah tua, di samping siapa sek
arang berdiri si nona yang bertopengkan muka tadi.
"Leie, pergilah kau ajar adat kepada perempuan galak ini!" kata si nona ke
pada nyonya di sampingnya itu.
"Tetapi, A Ho, Ouwtiap piauwmu lebih liehay daripada kepunyaanku, mengapa
kau inginkan aku yang pertontonkan kejelekanku?" si nyonya berkata
"Itulah sebabnya ayah melarang aku membantuinya," jawab si nona
Nyonya itu berdiam. Lalu ia berbisik: "Dia bicara tentang kitab ilmu pedan
g, kitab apakah itu? Mungkinkah kitab itu kepunyaannya?"
Wajahnya si nona berubah agak pucat.
"Jangan kau sebut-sebut itu!" dia peringatkan sambil berbisik juga. "Kalau
ayah dapat mendengarnya, kita bisa celaka!"
Si nyonya bersenyum, di dalam hatinya dia berkata: "Tua bangka tak mau mam
pus itu sedang berkelahi mengadu jiwa, walaupun suaraku terlebih keras daripada
ini dia pasti tak akan dapat mendengarnya." Sementara itu ia tampak si nona agak
gelisah, maka dari sakunya ia keluarkan tiga batang Ouwtiap piauw, yaitu senjat
a rahasia yang macamnya mirip kupu-kupu.
"Baiklah, aku tidak akan menyebutkannya," dia kata sambil tertawa. "Kau li
hatlah aku hajar padanya!"
Nyonya ini lantas mengayunkan tangan kanannya, ketiga ouwtiap piauw segera
melesat dengan perdengarkan suara nyaring, menyambarnya cepat bagaikan kilat, k
e arah si Raksasi Kumala yang sedang melayani orang tua dalam pertempuran yang s
emakin menghebat itu.
Kali ini Giok Lo Sat tidak berlaku alpa pula, apapula ia segera dengar sua
ra melayangnya senjata rahasia, yang ia dapat menduganya kepada ouwtiap piauw me
ngarah tiga jalan darahnya: kieboen hiat, tongboen hiat dan pekhay hiat. Mau tid
ak mau ia kaget juga. Sekarang ia bukannya sedang dalam keadaan biasa, ia hanya
hadapi musuh-musuh liehay.

V

Walaupun senjata rahasia sedang mengaung menyambar ke jurusannya, dan waja
hnya pun berubah, namun si Raksasi Kumala masih bisa tertawa -- tertawa dingin,
dan berkata dengan mengejek: "Tua bangka tidak tahu malu! Bagaimana kau berani g
unakan senjata rahasia?"
Sambil mengatakan demikian, namun si nona tidak gubris ancaman ouwtiap pia
uw, bahkan ia menikam dengan hebat kepada lawannya. Ia menikam susul menyusul ke
arah urat tjiangtay hiat dan kiekoet hiat. Pikirnya, tidaklah sukar baginya unt
uk menyingkir dari senjata rahasia, sebaliknya akan membahayakan dirinya kalau i
a berkelit, karena musuh dapat menggunakan ketika itu untuk menyerang padanya. M
aka ia bersedia dihajar piauw, asal iapun bisa tancapkan pedangnya di tubuh lawa
n untuk binasa bersama! Itulah kebinasaan secara terhormat!
Karena sikap yang nekat ini, sebatang ouwtiap piauw bisa menuju langsung k
e arah tenggorokannya si nona.
Orang tua itu juga dengar suara senjata rahasia. Itu waktu ia sedang murka
disebabkan ejekannya si nona. Iapun mendongkol kepada serangan senjata rahasia
itu. Akan tetapi serangannya si nona membuat ia berada dalam kedudukan yang terd
esak dan berbahaya. Tapi ia liehay, selagi ia kelit pundaknya dari tikaman pedan
g, ia maju sambil mengulurkan tangan kirinya menyampok jatuh ouwtiap piauw yang
pertama!
Giok Lo Sat heran. Ia tidak sangka lawan ini mau menolong padanya dari anc
aman piauw maut itu! Di samping itu. pedangnya tidak keburu ia tarik kembali, me
ski orang tua itu berkelit, tapi karena dia berkelit sambil maju, tidak urung ta
ngan bajunya kena tertikam, kulit lengannyakeserempet pedang, hingga darahnya la
ntas saja mengucur keluar!
Dengan tidak buka suara, orang tua itu lompat minggir.
Justeru itu piauw yang kedua dan ketiga sudah sampai kepada si nona.
Akan tetapi sekarang tanpa musuh liehay di depannya, dengan mudah Giok Lo
Sat dapat sampok kedua piauw itu, yang beruntun terlempar jatuh ke tanah.
Si orang tua sudah lantas lari mendaki, dia tuding si nyonya dengan tegora
nnya yang keras: "Siapa yang suruh kau lancang melepaskan senjata rahasia?"
Kedua matanya sinyonya memain, nampaknya ia manjasekali. Tapi ia menunjukk
an roman menyesal, ia seperti penasaran sudah ditegur demikian. Dia jawab: "Looy
atjoe, kau toh tidak larang aku, bukan? Kau lihatlah putrimu, A Ho, dia telah di
perhina. perlukah kita berlaku sungkan-sungkan terhadapnya? Looyatjoe, tidakkah
perbuatanku ini berguna untukmu ayah dan anak?"
Lalu kedua matanya menjadi merah, mengembeng air...
Di saat kedua orang itu bicara, Giok Lo Sat pun sudah mendaki datang. Ia t
erus lompat ke depannya nyonya itu.
"Kiranya kau, bangsat wanita, yang melepaskan senjata rahasia?" demikian t
egurnya. Dan ia susuli dengan mengayunkan tangannya, dari mana melayang melesat
tiga batang jarum.
Si orang tua kaget, dia lompat maju dengan mengebutkan tangan bajunya. Dia
dapat sampok jatuh dua batang, tetapi jarum yang ketiga mengenai sasarannya, me
nancap di pundaknya nyonya itu, hingga berkaok-kaok kesakitan!
Orang tua itu menjadi panas hatinya.
"Hai, bangsat wanita, kau sangat kurang ajar!" mendampratnya. "Kau telah p
erhina anakku, kau juga melukai gundikku, aku tidak dapat menyudahinya begitu sa
ja! Mari kita janjikan suatu hari untuk kita bertempur pula satu sama satu, siap
apun tidak boleh undang kawan pembantu! Beranikah kau terima tantanganku ini?"
Giok Lo Sat menjawab dengan ketawanya.
Maka berubah pucatlah wajahnya orang tua itu.
"Kalau kau inginkan, sekarangpun kita boleh bertempur lagi!" Orang tua itu
menantang. Dia sangka si nona mentertawai padanya karena lukanya itu, dia memin
ta waktu untuk melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi Giok Lo Sat tertawakan kelicikannya orang tua itu. Sebenarnya
tiga jarumnya tadi, kalau si orang tua inginkan, dengan gampang dia bisa sampok
jatuh semuanya. Tapi orang tua ini sengaja membiarkan jarum yang ketiga menyamba
r melukai nyonya itu, supaya mendapat "hukumannya". Orang tua ini liehay sekali,
ia percaya bahwa gundiknya tidak akan terluka parah oleh serombongan senjata ra
hasia jarum itu. Ia hanya tidak menyangkanya bahwa Si Raksasi Kumala dapat mener
ka akal muslihatnya ini.
"Sekarang kedua pihak sudah letih, umpama pertempuran itu dilanjutkan hasi
lnya pun tidak akan memuaskan siapa juga! Kau tinggal di mana? Lain hari pasti a
ku akan mengunjunginya untuk mohon pengajaran daripadamu!"
Suaranya nona kosen dan katak ini menjadi sabar, diajuga tidak sebut-sebut
lukanya si orang tua.
Orang tua itu adalah seorang kenamaan, ia tidak menjadi gusar karena lukan
ya itu. Meski benar gundiknya membantui padanya, namun hampir saja nama baiknya
menjadi runtuh. Maka ia berlaku sabar. .Ia dapat berpikir atas kata-katanya si n
ona.
"Baiklah," katanya kemudian. "Di dalam satu bulan aku menantikan kau di du
sun Tiat keetjhung di Liongboen!"
Mendengar alamat itu Giok Lo Sat terkejut, hatinya gentar juga
Si orang tua dengan tidak perdulikan si nona lagi lantas berlalu dengan ce
pat turun dari gunung itu sambil tuntun gundik dan gadisnya.
Giok Lo Sat hendak mengejar, tetapi mendadak dari tengah gunung ia dengar
seruannya To It Hang dan Ong Tjiauw Hie saling susul:
"Lian Liehiap, lekas, lekas kemari!"
"Entjie Lian, lekas, lekas kemari!"
Seruan "Entjie Lian" itu adalah panggilannya It Hang. Mendengar itu, hatin
ya si nona memukul. Suara itu merdu terdengarnya di kupingnya si nona. Ia kuatir
kan orang terancam bahaya, maka ia batal menyusul si orang tua serta gundik dan
anak daranya itu, terus ia memutarkan tubuhnya untuk lari ke belakang gunung.
Segera ia tampak di depan sebuah gua, Ong Tjiauw Hie dan To It Hang tengah
berjongkok. Di sekitarnya banyak batu besar berserakan.
"Eh kalian sedang bikin apa?" dia tanya sambil terus lari menghampiri.
It Hang lompat bangun.
"Tjeng Kian Toodjin telah dibinasakan orang!" demikian jawabnya.
Giok Lo Sat kaget hingga ia berjingrak.
"Apa? Orang telah bunuh Tjeng Kian Toodjin?" tanyanya.
Ia lihat Tjeng Kian Toodjin rebah dengan mengeluarkan darah dari hidung, m
ulut, mata dan kuping, keadaannya sangat mengiriskan dan menyedihkan. Kettka ia
raba nadinya Tjeng Kian, nadi itu sudah berhenti jalan, tapi seluruh tubuhnya ma
sih hangat, suatu tanda dia melepaskan napasnya belum lama.
"Pasti ada orang yang ketahui ia membawa kitab ilmu pedang maka orang tela
h aniaya padanya," It Hang mengutarakan dugaannya.
Giok Lo Sat berdebar-debar jantungnya.
"Kitab ilmu pedang apa?" ia tanya
"Kitab ilmu pedang gurumu," sahut It Hang. "Saudara Beng Kie minta tolong
Tjeng Kian Tootiang antarkan kitab itu kepada Thian Touw Loodjin, aku tak sangka
tootiang telah dibinasakan orang di sini, kitabnyapun lenyap.
Tiba-tiba si Raksasi Kumala menjadi gusar.
"Inilah pasti perbuatannya bangsat tua she Tiat itu!" dia berseru. "Tadiny
a aku anggap dia seorang dari golongan yang lebih tua, bahwa dia seorang gagah s
ejati, tapi ternyata dia telah curi kitab ilmu pedang, juga menganiaya Tjeng Kia
n Tootiang!"
Tjiauw Hie heran.
"Bagaimana liehiap dapat menduga demikian?" ia tanya
"Kepandaian silatnya Tjeng Kian Tootiang liehay, jikalau bukannya bangsat
tua she Tiat itu, siapa lagi yang sanggup robohkan padanya?" jawab si nona. "Eh,
Tjiauw Hie, bukankah kau kenal baik bangsat tua she Tiat itu?"
"Berulang-ulang kau sebut bangsat tua she Tiat itu, siapakah dia?" It Hang
tanya.
"Aku keluar dari perguruan belum cukup tiga tahun akan tetapi tentang kaum
Golongan Hitam dan Golongan Putih, aku tahu banyak juga" sahut Giok Lo Sat. "Di
Liongboen, Shoasay. ada tinggal Tiat Hoei Liong si makhluk aneh dari barat utar
a. Benarkah dia atau bukan?" ia menegasi Tjiauw Hie.
"Dia adalah satu makhluk dari kedua golongan itu," sahutnya Ong Tjiauw Hie
. "Perbuatan baik dia lakukan, perbuatan jahat dia lakukan juga. Siapa berani ma
in gila terhadapnya? Akan tetapi seumurnya dia sangat angkuh, aku sangsi bahwa d
ia yang curi kitab ilmu pedang itu."
Si nona pelototkan matanya
"Mungkinkah aku keliru menyangka?" katanya. "Perempuan muda yang bertopeng
muka tadi toh gadis orang tua itu?"
Tjiauw Hie menjadi likat, ia manggut.
"Benar," ia menjawabnya dengan perlahan.
"Ilmu silat pedang gadis itu adalah ilmu silat dari kaumku!" Giok Lo Sat k
ata.
Tjiauw Hie heran hingga ia pentang kedua matanya.
"Begitu?" tanyanya.
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Rupanya kau silau akan kecantikannya perempuan itu, maka kau hendak lindu
ngi padanya?" ia kata dengan tajam.
Tjiauw Hie terkejut, hingga tanpa merasa ia mundur dua tindak.
"Tua bangka itu kenal baik dengan ayahku," kata ia dengan sikap menghormat
. "Dan aku sendiri mengenai dia, hanya dapat mendengarnya dari cerita orang, aku
tidak tahu hal yang sebenarnya."
Sebetulnya di antara Tiat Hoei Liong dan Ong Kee In ada suatu "urusan" yan
g masih harus dibereskan, akan tetapi karena nona ini sedang murka, Tjiauw Hie t
idak berani menjelaskannya, terpaksa ia ke sampingkan soal itu.
"Tadi aku telah bertempur seru dengan tua bangka she Tiat itu," Giok Lo Sa
t kasih tahu. "Pada mulanya aku masih belum tahu siapa dia, aku baru mengetahuin
ya sesudah dia menyuruh aku pergi ke Tiat keetjhung di Liongboen untuk cari pada
nya. Benar-benar dia besar nyalinya, dia telah merampas kitab dan binasakan oran
g, dia masih berani beritahukan she dan namanya. Tidak dapat tidak aku mesti car
i padanya untuk membuat perhitungan!"
Ketika itu To It Hang berseru "Aha!"
Giok Lo Sat heran, ia berpaling dan mengawasi.
Ong Tjiauw Hie pun menengok ke arah sahabat itu.
"Aku ingat sekarang!" katanya It Hang. "Bukankah roman hidung tua bangka i
tu seperti garuda, mulut seperti singa, mukanya penuh berewokan dengan kumis dan
jenggot?"
"Apakah kau pun kenal dia?"
"Aku tidak kenal dia tetapi aku tahu dia siapa," It Hang jawab. "Itulah ke
jadian pada tujuh atau delapan tahun yang lampau. Pada suatu hari dia datang men
cari guruku, untuk diajak mencoba ilmu silat tangan kosong. Soehoe-ku tidak sudi
melayani, dia suruh paman guruku yang ke empat lawan padanya. Kesudahannya, pam
an guruku itu kena dikalahkan. Tentu sekali beberapa paman guru lainnya sesalkan
soehoe yang tidak mau turun tangan, sehingga nama baiknya Boetong pay telah din
odai. Atas itu, soehoe mengatakan: 'Menghadapi orang yang suka menang sendiri, k
ita harus mengalah. Boetong pay kita ada seumpama pohon kayu besar, yang mengund
ang damparan angin, maka kenapa kita mesti melayani orang mengadu mulut hingga m
endatangkan kesulitan sendiri? Lagipun aku berani pastikan, walau dia telah dapa
t mengalahkan soetee, terhadap kita kaum Boetong pay, dia tentu akan tetap mengh
ormatinya.' Ke empat paman guruku tanya apakah alasannya maka soehoe beranggapan
demikian. Soehoe menjawabnya hanya dengan ketawa. Baru belakangan, soehoe membe
ri keterangan padaku, bahwa ke empat paman guruku itu pun adalah orang-orang yan
g mau menang sendiri, karena itu soehoe tidak ingin omong terus terang kepada me
reka. Hoei Liong dapat mengalahkan paman guruku dengan menggunakan ilmu pukulan
yang dinamakan Hangliong tjhioe. Tangan Menakluki Naga, salah satu pukulan terli
ehay dari Loeiteng Patkwa tjiang. Setelah kemenangannya itu, bukan main puas hat
inya. Dia telah bicarakan ilmu pukulannya kepada guruku, katanya ilmu pukulan it
u tidak ada tandingannya di kolong langit ini. Terhadap kejumawaannya itu, guruk
u tetap membungkam. Ketika soehoe antar dia keluar, di ambang pintu soehoe memas
ang kuda-kuda Patkwa, dari kedudukan soenwie menghadap lurus ke arah kianwie, la
lu menyamping sedikit ke arah liewie. Di situ soehoe rangkapkan kedua tangannya
menjura terus tangannya diturunkan dibuka ke kiri dan kanan. Nampaknya dengan ca
ra menghormat itu, soehoe memimpin dia keluar, akan tetapi sebenarnya soehoe tel
ah aku pecahkan tipu Hangliong tjhioe. Hoei Liong seorang yang ahli, tentu saja
dia menginsafi itu, maka juga keluarnya dari kuil, dia berpaling untuk memberi h
ormat pada soehoe sambil menghaturkan maaf."
"Sungguh sabar gurumu itu!" Ong Tjiauw Hie memuji.
Tetapi Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Terhadap orang buruk semacam dia, aku tidak sudi mengasih hati!" katanya.
Tiat Hoei Liong tidak mempunyai anak laki-laki, ia hanya mempunyai seorang
anak perempuan, namanya San Ho yang sangat dimanjakan. Tabiatnya Hoei Liong suk
a menang sendiri, dan aneh pula adatnya, dengan kaum Rimba Persilatan ia tidak s
uka bergaul luas. Tetapi di samping itu, orang-orang kangouw pun tidak berani ma
in gila terhadapnya.
Tiat San Ho, sang gadis, cantik sekali, akan tetapi dalam umurnya delapan
belas tahun itu, dia masih belum menikah ataupun bertunangan.
Hoei Liong pernah ajak gadisnya ini merantau, sampai sebegitu jauh dia bel
um mendapatkan pemuda yang dipenuju untuk dijadikan pasangan puterinya itu.
Ong Kee In, ayahnya Tjiauw Hie, dalam kalangan Rimba Hijau di Siamsay Utar
a telah peroleh nama baik. Hoei Liong kenal baik pada Ong Kee In, diapun dengar
nama yang kesohor dari Tjiauw Hie, tertariklah hatinya. Seorang diri dia tertawa
dan berkata: "Genta wajar tak mau aku tabuh, sebaiknya aku lebur kuningan untuk
membuatnya yang baru!" Lantas dia ajak puterinya pergi ke Yanan. untuk sambangi
Ong Kee In.
Kee In tahu Hoei Liong adalah seorang liehay, dia girang mendapat kunjunga
nnya, ia menyambutnya dengan baik.
Di sini Hoei Liong dan gadisnya dapat melihat wajahnya Tjiauw Hie, keduany
a ayah dan anak pcnuju pada pemuda itu.
Sehabisnya perjamuan, dengan langsung Hoei Liong utarakan keinginannya unt
uk ikat tali persanakan dengan tuan rumah, dengan jalan menjodohkan putera puter
i mereka.
Kee In menjadi tak enak hati. Itulah bukan karena ia mencela nona Tiat, te
tapi ia mempunyai keberatan lainnya. Dengan terpaksa ia menampiknya dengan manis
. Ia menerangkan bahwa puteranya itu sudah ditunangkan dengan puterinya Boesoe B
eng Tjan di kota raja. bahwa pertunangan itu diikat semenjak mereka masih dalam
kandungan masing-masing. Maka itu. tuan rumah minta tetamunya suka pilih lain pe
muda saja.
Begitu keras keinginannya Hoei Liong akan bermenantukan Tjiauw Hie, hingga
ia membawa adatnya yang aneh. Begitulah ia gebrak meja dan kata dengan keras: "
Kecewa kau menjadi ketua kaum Rimba Hijau! Kenapa kau sudi mengikut tali persana
kan dengan garuda dan anjing Pemerintah? Di manakah cacatnya anak perempuanku? L
ekas kau batalkan pertunangan anakmu itu!"
Ong Kee In tahu bahwa sahabat ini tidak boleh dilayani keras dengan keras,
lagi pula ia sedang mengikhtiarkan suatu usaha besar, ia tidak ingin bentrok de
ngan orang semacam Hoei Liong, maka ia tetap berlaku sabar. Ia menjawab: "Umpama
pertunangan mesti dibatalkan, adalah selayaknya hal itu dibicarakan dahulu deng
an jelas kepada Beng Boesoe. Perjalanan ke kota raja bukanlah dekat, tak dapat d
ilakukan dengan hanya sehari semalam."
Hoei Liong tidak puas dengan alasan penampikan itu, terus saja ia ajak gad
isnya pergi.
Setelah tetamunya berlalu. Ong Kee In tanya pendapat puteranya.
Kepada ayahnya Tjiauw Hie mengatakan bahwa terhadap Tiat San Ho ia tidak m
empunyai kesan jelek, tetapi ia tidak ingin putuskan pertunangannya dengan Nona
Beng. Karena ini. merekajadi menghadapi kesulitan, karena merekapun tidak mau be
ntrok dengan jago she Tiat itu. Maka ayah dan anak lantas berdamai, untuk memeca
hkan kesulitan itu. Akhirnya diambil keputusan. Tjiauw Hie mesti pergi ke kota r
aja untuk menyambut bakal isterinya. Akan tetapi di luar dugaan, sesampainya Tji
auw Hie di Pakkhia, Beng Boesoe tengah mengalami nasib celaka dan binasa secara
mengenaskan. Selain itu juga Pek Bin menjadi persoalan, yang disangkanya menyint
ai Nona Beng, atau Nona Beng suka akan pemuda tolol itu yang menjadi murid Beng
Boesoe. karena itu Tjiauw Hie lantas kabur...
Tjiauw Hie menjadi serba salah menghadapi urusannya Giok Lo Sat dengan Tia
t Hoei Liong itu. Kalau si nona satroni Hoei Liong, kesudahannya mungkin hebat,
pasti ia akan dicurigai orang she Tiat yang adatnya aneh itu. Tapi ini masih dal
am teka-teki. Yang ia kuatirkan ialah usahanya nanti menjadi gagal disebabkan be
ntroknya si nona dan si tua bangka itu. Bukankah mereka ayah anakjusteru sedang
kumpulkan orang-orang gagah? Suatu kerugian besar kalau Tiat Hoei Liong tidak be
rada di pihaknya hanya karena urusan sekecil itu. Ia juga sangsi Hoei Liong sudi
melakukan perbuatan yang merendahkan dirinya dengan mencuri kitab ilmu silat pe
dang itu. Tapi sekarang Giok Lo Sat berkeras hendak tempur orang she Tiat itu! B
enar-benar sulit.
Sementara itu, semua orang letih, berdahaga dan lapar. Mereka telah bertem
pur sejak malam, dan sekarang sudah jauh siang. Sinar matahari telah menyorot he
bat ke arah gua, dari mana tercium bau amis dari darahnya Tjeng Kian Toodjin.
Giok Lo Sat robek sepotong tangan bajunya, dengan itu ia menyeka darahnya
si imam. Ia berlaku hati-hati sekali. Darah itu bersemu hitam, rupanya disebabka
n tercampurnya bisa.
Melihat darah itu, si nona jadi ragu-ragu.
"Tiat Hoei Liong lebih gagah daripada Tjeng Kian Toodjin, jikalau dia hend
ak rampas kitab ilmu pedang, tak perlu dia menggunakan bisa," begitu ia berpikir
.
Oleh karena ini. Giok Lo Sat lalu memeriksa kepalanya si imam, hingga ia d
apatkan tulang-tulang rahang yang remuk. Teranglah serangan itu dilakukan oleh t
angan yang liehay. Karena ini, ia meneliti kedua belah pipi itu. Sekarang terlih
at tanda-tanda bekas totokan jari tangan. Totokan itu juga mengenai tenggorokan.
Itulah totokan yang mirip dengan totokan tangannya Tiat Hoei Liong.
Maka bukan main bingungnya nona ini.
Tjeng Kian Toodjin itu kenal baik kepada To It Hang, juga kepada gurunya G
iok Lo Sat, maka dapat dimengerti kedukaannya It Hang dan si Raksasi Kumala. Den
gan dibantu Tjiauw Hie mereka menggali lubang untuk mengubur mayatnya imam itu.
Mereka melelehkan air mata.
Giok Lo Sat ambil tanah basah yang ia pulung-pulung dijadikan seperti hio,
lantas ia memberikan hormatnya sambil paykoei, sambil bersembahyang secara sang
at sederhana itu, ia sumpah kepada Thian bahwa ia akan menuntut balas untuk imam
ini.
Setelah penguburan selesai, mereka mencari sumber air untuk mencuci tangan
, lalu mereka dahar rangsum kering. Ketika kemudian mereka turun dari gunung, di
kaki gunung itu mereka disambut oleh tentaranya Ong Tjiauw Hie.
Pek Bin telah dapat ditolong. Ketika bertemu Giok Lo Sat, ia menghaturkan
terima kasih sambil menjura.
It Hang sangat berduka, keningnya tampak berkerut.
"Jangan kau terlalu berduka, saudara To," Giok Lo Sat menghiburkan. "Tenta
ng jenazah engkongmu, aku sudah titahkan orang membawanya ke Wayauwpo. Kalau nan
ti kau sampai di sana, kau boleh urus penguburannya lebih jauh. Perihal bujang-b
ujangmu, akupun sudah atur beres semuanya dengan berikan mereka uang untuk pulan
g ke masing-masing kampungnya."
It Hang berdiam untuk ambil keputusan. Kalau ia pulang, tentulah ia akan d
ibekuk pembesar negeri, karena ia melakukan perlawanan. Maka akhirnya ia terima
baik cara pengaturannya si nona. Sebenarnya ia tidak ingin turut Ong Tjiauw Hie
pergi ke Wayauwpo, tetapi karena jenazah engkongnya sudah diangkut Giok Lo Sat k
e sana, terpaksa ia ikut juga.
Wayauwpo terpisah seratus lima puluh lie dari kotaYanan. Tjiauw Hie mengaj
ak Giok Lo Sat dan It Hang, serta Pek Bin berangkat lebih dahulu daripada tenter
anya, dengan menunggang kuda. Maka mereka bisa sampai lebih cepat pada waktu ten
gah malam.
Ong Kee In menyambut sendiri ketika ia terima kabar sampainya Giok Lo Sat
beramai, ia girang sekali bertemu dengan nona kosen itu, juga ia utarakan kegira
ngannya terhadap To It Hang.
Tentang pemuda she To ini, Tjiauw Hie berikan keterangan kepada ayahnya de
ngan jelas.
"Jarang ada orang yang pandai ilmu surat dan silat berbareng seperti kau,
saudara To!" Kee In memujinya sambil tertawa. "Kami serombongan orang-orang kasa
r justeru kekurangan seorang cerdik pandai untuk mengatur tata tertib dan rencan
a pergerakan kami."
It Hang merangkapkan kedua tangannya.
"Urusan itu harap dibicarakan belakangan saja," ia kata, sikapnya tawar.
Kee In merasa kecele, ia tidak sangka akan mendapat jawaban demikian rupa.
Tjiauw Hie segera menyelak.
"Saudara To sedang berkabung," katanya, sebagai kisikan kepada ayahnya.
"Oh, maaf!" kata Kee In kemudian. Terus ia suruh orangnya siapkan pakaian
berkabung untuk tetamunya itu, untuk juga pernahkan layonnya To Tiong Liam. Maka
keesokannya, walaupun dengan cara sederhana, It Hang bisa urus pemakaman jenaza
h engkongnya itu. Iapun minta pertolongannya Tjiauw Hie untuk melihat-lihat kubu
rannya.
Giok Lo Sat telah membuat pertemuan dengan semua pemimpin dari Wayauwpo ya
ng mengambil waktu satu hari. maka baru pada sore harinya, ia mempunyai kesempat
an untuk unjuk hormat di makam To Tiong Liam.
It Hang layani nona itu memasang lilin dan hio.
Meski si nona unjuk hormatnya, tapi di dalam hatinya ia tertawa Inilah dis
ebabkan sebelumnya ia tidak menyangkanya bahwa hari ini ia mesti soja koei di ha
dapan arwah seorang yang dulu ia pesta porakan hartanya!
It Hang lihat si nona tidak menunjukkan roman duka, ia tidak puas. Ia duga
nona ini berduka hanya dengan pura-pura saja. Ia tidak tahu bahwa nona itu sebe
narnya sedang memikirkan sesuatu. Kalau bukan ia yang diberati si nona, tidak na
nti dia sudi unjuk hormatnya itu.
Bulan baru saja muncul ketika It Hang temani si nona berjalan pulang dari
kuburan, merekajalan berendeng dengan langkahnya yang perlahan.
Giok Lo Sat jalan sambil pegangi lengannya pemuda kita, ia seperti bergele
ndot diri, matanya senantiasa melirik. Satu kali ia memalingkan kepalanya, agakn
ya ia ingin bicara, tapi mulutnya tetap bungkam.
It Hang merasakan hembusan napas si nona yang berbau wangi, tanpa merasa h
atinya memukul. Maka lekas-lekas ia menjauhkan diri.
"Apakah sampai sekarang ini kau masih jeri terhadapku?" si nona tanya samb
il tertawa.
"Aku tidak tahu kenapa kau menyebabkan orang jeri padamu?" balik tanya pem
uda kita.
"Apakah kau tidak tahu bahwa aku telah menjadi besar di bawah asuhannya bi
ang srigala?" kata si nona. "Sebenarnya tidak ada niatku untuk membuat jeri siap
a juga. Mungkin disebabkan sifat keliaranku belum hilang semuanya maka orang jad
i jeri terhadap aku..."
It Hang tidak menjawab, ia hanya menghela napas. Ia sayangi nona ini, yang
demikian cantik dan cerdas tetapi tidak dapat pimpinan ke jalan lurus...
"Tidak keruan-keruan kau menghela napas, kenapa?" si nona tanya.
"Aku memikirkan kau... Kau demikian gagah, mengapa kau ceburkan diri dalam
kalangan Rimba Hijau?" jawabnya anak muda ini.
Air mukanya nona itu berubah.
"Apa jeleknya kalangan Rimba Hijau?" tanyanya. "Di mataku atau pendapatku
kalangan Rimba Hijau jauh lebih bersih daripada golongan pembesar negeri!"
It Hang tunduk dan diam.
"Bagaimana pikirmu tentang hari kemudianmu?" tanyanya si nona pula. "Apaka
h kau berniat memangku pangkat seperti engkongmu, seperti ayahmu juga? Apakah ka
u hendak menjual jiwa untuk raja?"
"Selama hidupku, pasti aku tidak sudi memangku pangkat!" jawab It Hang den
gan suara tetap. "Tetapi pun tak sudi aku menjadi penjahat!"
Giok Lo Sat jadi mendongkol. Kalau orang yang bicara di hadapannya bukan p
emuda she To itu, niscaya tangannya Giok Lo Sat sudah melayang.
"Aku adalah murid Boetong pay," berkata pula It Hang, suaranya sabar. "Atu
ran kaumku, kesatu kami dilarang menjadi penjahat, kedua dilarang menjadi piauws
oe. Mustahil kau tidak tahu aturan kami itu?"
Nona cantik itu tertawa dingin.
"Mungkinkah engkong dan ayahmu itu bukannya penjahat?" dia tanya.
Pemuda itu menjadi gusar.
"Bagaimana kau dapat mengatakan demikian?"
"Orang yang menjadi pembesar, dia memeras si melarat untuk mengumpulkan ha
rta," sahut si nona, "dan kami yang menjadi penjahat, kami merampas si kaya guna
menolong si miskin! Maka kita adalah sama-sama penjahat! Tapi penjahat sebagai
aku ada jauh lebih baik daripada penjahat yang berselimut kepangkatan!"
"Baiklah, kau boleh katakan apa kau suka! Sesuatu orang mempunyai cita-cit
anya masing-masing, cita-cita itu tidak selayaknya saling dipaksakan!"
Tubuhnya Giok Lo Sat bergemetar, ia sangat berduka
It Hang lirik nona itu, ia tampak matanya si nona merah dan mengembengkan
air, yang hendak meluncur turun. Dengan tiba-tiba datanglah rasa kasihnya. Maka
dengan pelahan-lahan, ia genggam tangannya nona itu.
"Cita-cita kita berlainan tetapi persahabatan kita harus terus tetap kekal
," kata dia.
Si nona tidak katakan suatu apa, hanya dengan lagu suara sedih dia tanya:
"Bila kau hendak berangkat?"
"Besok!" sahutnya pemuda kita.
Giok Lo Sat menghela napas Ia berdiam.
Sekian lama keduanya membungkam, kemudian It Hang yang mulai membuka suara
.
"Coba kau ceritakan tentang kaum kangouw," ia meminta, dengan maksud menco
ba mengenyampingkan pokok pembicaraan.
Giok Lo Sat suka bicara, dan ia menuturkan beberapa kejadian di kalangan k
aum kangouw.
Pemuda itu sendiri bicara dari hal keindahan kota raja.
Segerajuga mereka menjadi seperti sahabat-sahabat kekal, mereka jalan perl
ahan-lahan di bawah terangnya rembulan. Mereka tidak berani pula bicara secara m
endalam, tetapi kini mereka telah lebih saling mengerti.
Sampai jauh malam barulah mereka berpisahan.
Keesokannya pagi-pagi sekali, It Hang pamitan dari Ong Tjiauw Hie.
Tuan rumah yang muda tahu, sudah keras niatnya sahabat ini berangkat, ia t
idak mau mencegah. Maka mereka berpisahan dengan sama-sama merasa masgul
Hatinya It Hang menjadi tawar karena pengalamannya yang hebat itu, namun i
a tidak gampang-gampang dapat melupakan kepentingan negara, yang sedang terancam
bahaya kemusnahan. Maka setelah lama menimbang-nimbang, ia mengambil keputusan
akan berangkat ke kota raja, walaupun akan menghadapi bahaya. Ia hendak beberkan
pada putera mahkota tentang persekongkolan kaum penghianat dengan bangsaBoan. D
enganjalan ini juga ia ingin membersihkan diri, supaya ia tidak terfitnah.
Pemuda ini ambil jalan yang menuju Shoasay, akan kemudian memutar ke Hoopa
k. Dalam waktu kira-kira delapan hari, ia sudah memasuki wilayah propinsi Shoasa
y itu. Hari itu ia tiba di kecamatan Liongboen. Di sepanjang jalan ia tampak air
sungai yang kuning dengan di kedua tepinya terdapat batu-batu tebing.
Tengah berjalan, tiba-tiba pemuda ini ingat, Tiat Hoei Liong berkampung ha
laman di dalam kecamatan ini. Tanpa ia merasa, tergeraklah hatinya. Ia lantas me
mandang ke sekitarnya. Kebetulan pada waktu itu, di situ tidak kedapatan seorang
lain jua, kecuali di tengah sungai di kejauhan tampak ada beberapa buah perahu
layar. Ia jalan terus dengan merasa kesepian. Ketika akhirnya ia jalan menikung,
terlihat olehnya sebuah kampung di depannya.
"Mungkin itulah Tiat keetjhung..." ia menduga-duga.
Pemuda ini agak sangsi, ia harus mampir atau jangan di rumahnya orang she
Tiat itu. Karena kesangsiannya itu, ia keluarkan kata-kata yang tidak jelas baga
ikan orang melamun. Ia menjadi terperanjat sendirinya ketika tiba-tiba ia dengar
tertawa dingin dari arah belakangnya, cepat ia memutar tubuh. Untuk keheranan d
an kekagetannya, ia lihat In Yan Peng dan Kim Tjian Giam sedang berdiri sambil m
entertawai dia.
"Hai, manapelindungmu, si Giok Lo Sat?" tanya ln Yan Peng dengan mengejek.
"Bocah, jikalau dia tetap berada di sampingmu, aku memang tidak dapat berbuat s
uatu apa terhadap dirimu. Tapi toh ada kalanya kau jalan sendirian saja seperti
sekarang ini!"
It Hang insyaf akan bahaya yang mengancam dirinya maka ia segera hunus ped
angnya.
"Biarpun aku seorang diri, aku tidak takut!" katanya dengan gusar.
"Sungguh satu enghiong!" Kim Tjian Giam turut mengejek. "Berapakah beratny
a timbanganmu? Jangan kau mengebul!"
Sambil berkata bekas pahlawan ini datang mendekati, lalu sekonyong-konyong
ia menyambar dengan
sebelah tangannya-itu tangan
yang liehay!
It Hang berkelit, pedangnya menyabet!
Orang she Kim itu mengelakkan tubuhnya, menyamping, dari mana, dengan kece
patan luar biasa ia menyerang pula, kali ini dengan kedua tangannya.
It Hang lompat sambil memutarkan tubuhnya membebaskan diri dari serangan y
ang berbahaya itu, setelah tarik pulang pedangnya, ia juga balas menyerang. Ia m
enerjang dari samping, ia tidak mau kalah sebat.
Kim Tjian Giam ketawa terbahak-bahak! Dengan berani ia ulurkan tangan kana
nnya, menggunakan dua jarinya mementil pedangnya It Hang hingga terpental, diter
uskan dengan serangan tangan kirinya.
It Hang mundur dengan cepat. Kembali ia mundur sambil memutar tubuh, dan d
i waktu berbalik, lagi-lagi ia balas menyerang, untuk menabas lengan musuhnya. I
tulah serangan "Tosay kimtjhie" -- "Menyawer uang emas".
Tentu saja Tjian Giam tidak membiarkan tangannya ditabas kutung, ia segera
menariknya pulang. Tapi ia tidak mau begitu saja. Maka ia mengulangkan serangan
nya, kali ini berbareng dengan kedua tangannya, yang pada telapaknya memperlihat
kan sinar merah yang sasarannya adalah batok kepalanya pemuda kita.
It Hang juga tidak mau menjadi korban tangan yang jahat itu, sambil menyab
et ke atas ia mendek diri, untuk kasih lewat kepalanya di sebelah bawah kedua ta
ngan musuh. Setelah itu, iapun menyerang, malah ia mendesak untuk dapat cegah mu
suh datang dekat padanya.
Kim Tjian Giam liehay, ia hanya kalah gesit daripada pemuda kita.
Syukur It Hang mahir lweekangnya, maka ia dapat bertahan untuk sambaran-sa
mbaran angin dari setiap pukulan musuh itu.
Sudah lima puluh jurus kedua orang itu bertempur, It Hang agak keteter, ta
pi Tjian Giam tidak mampu segera merobohkannya. Selama itu, In Yan Peng berdiri
menonton sambil memasang mata, siap sedia kalau-x kalau kawannya membutuhkan ban
tuannya.
Akhirnya, It Hang menjadi ibuk juga Maka ia segera memikirkan daya untuk m
eloloskan diri. Ia kuatir kedua musuh nanti kepung padanya. Itulah berbahaya Den
gan tiba-tiba saja ia lompat mundur, terus melarikan diri ke jurusan kampung.
"Hai! Ke mana kau hendak mabur?" bentak In Yang Peng. Dia memang mahir dal
am ilmu enteng tubuh, ia lantas mengenjot tubuh untuk lompat mengejar. Hanya den
gan tiga kali enjotan saja, ia sudah dapat menyandak, segera ia menyabet dengan
ikat pinggangnya, untuk dapat melibat anak muda itu.
It Hang tahu bahaya mengancam dirinya, setelah beberapa kali dapat kelitka
n diri dari serangan-serangan ikat pinggang musuh sambil lari terus, di lain saa
t, ia sudah memasuki halaman kampung.
In Yan Peng terus mengejar, membayangi pemuda kita.
Selagi It Hang terancam bahaya, dari samping tempat dia lari, di mana terd
apat pohon-pohon kembang yang lebat, terdengar suara tertawanya seorang perempua
n. Justeru Yan Peng lewat di situ, mendadak dari dalam semak-semak itu sebuah gu
nting menyambar ikat pinggangnya, hingga dia mesti berhenti mengejar. Menyusul i
tu, dari semak-semak itu muncul dengan bergantian dua orang perempuan, satu muda
dan yang lain dari usia pertengahan.
Nyatalah si nyonya itu adalah wanita yang kemarin terserang jarumnya Giok
Lo Sat. dan si nona adalah Tiat San Ho, puterinya Tiat Hoei Liong.
In Yan Peng kenal kedua wanita Itu, ia lantas memberi hormat.
"Kioe Nio, bocah ini bukan orang baik-baik" kata dia pada si nyonya. Dan d
ia teruskan kepada si nona: "Nona San Ho, aku harap kau menjadi orang baik-baik
dari mula sampai akhir! Itu hari kau telah bantu kami, maka sekarang aku minta s
ukalah kau bekuk bocah ini!"
Nona itu tertawa.
"Aku lakukan urusanku sendiri, siapa yang telah bantu padamu?" dia membali
ki.
Si nyonyapun menegur:
"Looyatjoe telah mengatakan bahwa dia tidak sudi menemui kalian, mau apa k
alian lancang masuk pula kemari?" Dan ia perlihatkan tampang keren.
"Kami sedang mengejar bocah itu," sahut Yan Peng. "Apakah loodjinkee tidak
dapat lihat?" (Loodjinkee=orang tua, kata hormat untuk "kau").
"Siapa usil urusanmu itu?" bentaknya si nyonya. "Apakah Tiat keetjhung ini
tempat di mana kau dapat lancang memasukinya? Pergi! Lekas pergi!"
Yan Peng dan Kim Tjian Giam yang telah menyusul saling mengawasi.
Nyonya itu adalah Bok Kioe Nio, ialah ibu tirinya Tiat. San Ho, atau gundi
knya Tiat Hoei Liong, yang beristerikan Bok Kioe Nio ketika dalam umur setengah
abad ditinggal mati isterinya yang pertama. Kioe Nio adalah gadisnya penjual sil
at. Hoei Liong hormati almarhum isterinya, ia tidak mau anggap Kioe Nio sebagai
isteri sah. Meski demikian, Kioe Nio disayang olehnya. Karena ini Yan Peng dan T
jian Giam malui juga nyonya itu.
"Mengapa diundang minum arak, kalian tidak minum, tapi sekarang kalian hen
dak minum arak dendaan?" Kioe Nio menegur pula. "Dan disuruh pergi kalian tidak
mau pergi! Apakah kalian sengaja hendak bikin kaget looyatjoe supaya nanti looya
tjoe undang kalian masuk?"
"Maaf, Kioe Nio," kata Yan Peng akhirnya. "Kita akan segera berlalu dari k
ampungmu ini," Lantas dengan bengis ia awasi It Hang, terus bersama Tjian Giam i
a berlalu dengan cepat dari kampung itu.
It Hang juga hendak berlalu, ketika si nyonya sambil tertawa mencegahnya.
"Kau hendak pergi ke mana? Mari!" katanya.
Pemuda itu memberi hormat.
"Tidak berani aku menggerecoki kau." ia berkata.
"Hai anak tolol!" tertawa pula si nyonya. "Bagaimana, kau bisa berlalu sek
arang, sedangkan mereka belum pergi jauh! Bukankah kau bukannya tandingan mereka
? Apakah kau hendak antarkan jiwamu cuma-cuma?"
Mukanya si anak muda menjadi merah. Benar juga katanya nyonya ini. Ia past
i akan dicegat pula oleh Tjian Giam berdua apabila ia keluar dari kampung itu. M
aka dengan terpaksa, ia ikut si nyonya dan nona masuk ke dalam.
Bok Kioe Nio persilakan tetamu yang datangnya tidak diundang itu. duduk di
hoathia. ruang dari bagian rumah sebelah barat. San Ho di lain pihak sudah lant
as menyuguhkan air teh.
"Bukankah Ong Tjiauw Hie ada bersama kau?" si nona tanya.
"Tidak," sahut It Hang.
Agaknya nona itu kecele, terus saja ia keluar pula. Akan tetapi tidak lama
ia datang kembali, dengan menuntun ayahnya --- Tiat Hoei Liong.
Cepat-cepat It Hang berbangkit memberi hormat.
"Apa she dan namamu?" Hoei Liong tanya.
It Hang perkenalkan dirinya.
"Oh, jadinya kau ada turunannya To Tiong Liam?"
"Dia adalah kakekku." Di waktu menjawab, It Hang berbangkit pula.
Tampak wajahnya tuan rumah kurang puas.
"Ong Tjiauw Hie itu sahabatmu, atau bukan?" Hoei Liong tanya pula.
"Boleh juga dikatakan kenalanku," It Hang jawab.
Tuan rumah itu tertawa dingin.
"Ong Kee In seorang penjahat besar dari kaum Rimba Hijau, mengapa dia suka
bergaul kepada pihak pembesar negeri?" dia tanya.
It Hang tidak menjawab. Ia pun merasa kurang senang.
"Bangsat wanita yang tempo hari menantangi aku, adakah dia segolongan deng
an kau?" tanya pula tuan rumah ini.
Memang It Hang tidak puas Giok Lo Sat menjadi penjahat, akan tetapi ia gus
ar juga ketika mendengar orang katakan "bangsat wanita" kepada nona itu.
"Looenghiong," katanya, dengan dingin, "kau agaknya membenci pembesar nege
ri, tetapi juga kau mencaci maki bangsa penjahat, apakah sebabnya? Boanseng ingi
n sekali mendengar penjelasanmu."
Dengan sengaja pemuda ini memakai istilah "boanseng" (aku yang muda) untuk
"aku".
Tiat Hoei Liong menjadi tidak senang.
"Bocah tidak tahu adat!" dia membentak. Terus ia ulurkan sebelah tangannya
untuk menjambak.
It Hang miringkan pundaknya, mengelak dari jambakan itu, ia terus geser tu
buhnya, akan tetapi ia toh merasa sakit sekali seperti kena terbakar besi panas.
Syukur ia masih dapat loloskan dirinya
Wajahnya tuan rumah itu berubah.
"Apakah kau muridnya Tjie Yang Tootiang?" dia tanya.
"Tidak salah dugaanmu." sahut si pemuda yang berlaku terus terang.
Tuan rumah itu perdengarkan seruan tertahan: "Oh!"
"Pada tujuh atau delapan tahun yang lampau, ketika aku mengikuti soehoe di
Boetong san. pernah aku bertemu dengan lootjianpwee," kata It Hang.
"Oh!..." kata pula Hoei Liong, yang air mukanya lantas menjadi sabar. "Kau
duduklah!"
It Hang menurut, ia lantas duduk.
"Dengan gurumu aku pernah berjodoh ketemu satu kali. maka aku tidak niat m
engganggu kau." kata tuan rumah kemudian. "Tapi aku ingin kau omong terus terang
. Siapa sebenarnya nona yang tempo hari bertempur melawan aku?"
It Hang menjawab sambil unjuk roman angkuh.
"Dialah Giok Lo Sat yang namanya membikin runtuh nyalinya jago-jago Rimba
Hijau!" demikian katanya.
Tiat Hoei Liong lompat bangun.
"Oh, dia kiranya Giok Lo Sat?" serunya. "Tadinya aku sangka kaum Rimba Hij
au terlalu puji dia, nyatalah dia benar-benar mempunyai kepandaian!" Lantas dia
meneruskan dengan pertanyaannya: "Apakah dia pamilimu?"
"Boleh dibilang dia adalah sahabatku juga." It Hang sahuti.
Sekonyong-konyong jago tua itu tertawa besar.
Sehabis tertawa, Hoei Liong berkata: "Aku memang ingin undang Giok Lo Sat
dan Ong Tjiauw Hie datang berkunjung kemari, kebetulan sekali kau bersahabat den
gan mereka, itulah bagus! Sekarang ini biarlah kau mesti tinggal di gubukku ini
untuk beberapa hari, kalau nanti mereka datang, baru aku perkenankan kau pergi!"
It Hang menjadi gusar. Itu artinya orang hendak tahan dia.
"Apakah lootjianpwee hendak tahan aku sebagai manusia tanggungan?" dia tan
ya.
"Memang!" jawab tuan rumah. "Aku pandang muka gurumu, aku tidak mau ringku
s padamu, tetapi juga kau. jangan melamun hendak minggat!"
Orang tua ini ulurkan tangannya menyekal tangannya pemuda kita, yang ia tu
ntun keluar dari hoathia dibawa ke sebuah gudang kayu, ke dalam mana pemuda kita
didorong masuk, pintunya ia segera tutup.
"Kamar ini tak dapat dikatakan bagus, baik kau merendahkan diri untuk ting
gal di sini beberapa hari," kata dia.
It Hang tahu orang beradat koekoay, ia tidak membuat perlawanan. Di dalam
kamar itu lantas saja ia duduk untuk bersemedhi, guna kasih jalan ambekannya.
Ketika sang malam datang, Kioe Nio muncul dengan barang makanan.
"Sungguh kau rajin!" memuji si nyonya sambil tertawa.
It Hang tidak gubris nyonya ini, ia dahar tanpa banyak omong.
Bok Kioe Nio mengawasi anak muda ini, mendadak air mukanya bersemu dadu.
Pemuda kita yang dapat lihat perubahan wajah orang, diam tunduk.
Sejak itu, terus beberapa hari beruntun senantiasa Kioe Nio mengantarkan b
arang santapan, malah sayurannya makin lama makin lezat rasanya, tidak hanya dag
ing ayam, juga ikan gabus dari sungai Hongho.
Setiap kali datang, nyonya ini tentu ajak It Hang bicara, bicara dari sega
la hal yang tidak ada juntrungannya. It Hang tetap tidak sudi melayaninya hingga
nyonya itu kebogean.
Pada suatu malam, Kioe Nio kembali datang untuk mengobrol.
"Orang mengatakan gurumu seorang ahli pedang nomor satu di kolong langit i
ni," demikian katanya, "karena itu, ilmu pedangmu pun tentunya sangat sempurna,
cobalah kau bersilat sebentar, untuk dapat membuka pandangan mataku!"
It Hang tidak bergeming sedikit juga.
"Aku adalah orang tavvananmu, mana berani aku mainkan golok atau pedang?"
dia kata dengan adem. "Ah, kau sesalkan tjhungtjoe kami?" kata si nyonya. "Ya, k
alau ditimbang-timbang kau benar juga. Kau adalah puteranya seorang bangsawan, s
udah tentu kau tidak sanggup menderita seperti ini! Apakah kau memikir untuk ang
kat kaki?"
It Hang tidak berikan jawabannya.
"Tahukah kau kenapa tjhungtjoe tahan kau di sini ?" tanya pula si nyonya.
It Hang memang tidak tahu, maka ia terus membungkam.
"Itulah untuk kepentingan puteri mustikanya!" kata Kioe Nio.
"Apa?" It Hang heran bukan kepalang. Ia masgul. Di dalam hatinya, ia kata:
"Satu sudah sukar dilayani, sekarang tambah lagi satu tukang menggerecok..."
Bok Kioe Nio mengawasi, ia tertawa. Tanpa ditanya, dia berkata pula.
"San Ho ingin sangat menikah dengan Ong Tjiauw Hie. akan tetapi Ong Tjiauw
Hie sudah mempunyai tunangan," demikian katanya. Ia berhenti dengan tiba-tiba.
"Celaka!" ItHang mengeluh dalam hati.
"Itulah sebabnya kenapa kau ditahan di sini," Kioe Nio lanjutkan.
Anak muda itu menjadi gelisah.
"Ada apa hubungannya denganku?" dia tanya. "Di kolong langit ini toh banya
k pemuda-pemuda lainnya?..."
Kioe Nio tertawa geli sekali.
It Hang heran, ia awasi nyonya itu.
Sesudah berhenti tertawa. Kioe Nio angkat tangannya, menempelkan dua jarin
ya ke mukanya, untuk mengejek.
"Tidak tahu malu!" katanya, lagi-lagi dia tertawa. "Apakah kau sangka dia.
jatuh hati padamu? San Ho sengaja tahan kau dalam kamar ini untuk memancing dat
ang Ong Tj iauw Hie. Untuk kemudian..."
Pemuda itu jengah, akan tetapi dia mengeluarkan napas lega. Ia lantas ment
ertawai dirinya yang terlalu bercuriga
Juga Kioe Nio, kemudian tiba-tiba menghela napas.
"Tetapi mungkin ada orang yang tertarik padamu..." katanya dengan perlahan
, romannya lesu.
It Hang duduk bersila, ia tidak memperdulikannya.
Kioe Nio jadi tidak enak hati, ia datang mendekati untuk duduk berendeng.
"Apakah pedangmu ini pemberiannya gurumu?" dia tanya dan tangannya menunju
k kepada pedang itu. Ia mencari alasan pula untuk dapat bicara terus.
It Hang tetap duduk diam, membungkam.
Mendadak pedang yang digantung di pinggangnya anak muda itu oleh Kioe Nio
dicabutnya.
It Hang terkejut, hingga ia berlompat bangun.
"He, kau mau apa?" demikian ia menegur.
"Apakah tidak boleh kau kasih lihat pedangmu ini?" Kioe Nio balik tanya sa
mbil tertawa.
It Hang niat merampas kembali pedangnya itu, tetapi Kioe Nio menyembunyika
nnya di belakang badannya, sebaliknya dadanyalah yang dia majukan.
Dengan terpaksa It Hang mundur pula, ia batal merampasnya.
Berbareng dengan itu, di luar terdengar suara tertawa dingin yang disusuli
dampratan: "Perempuan rendah yang tidak tahu malu!"
Dan dengan satu suara "Brak!" pintu kamar ditendang terbuka.
Bok Kioe Nio kaget hingga lompat berjingkrak. Ia lihat lompat masuknya sat
u nona.
Itulah nona Giok Lo Sat, si Raksasi Kumala.
"Entjie Lian!" It Hang berseru.
Giok Lo Sat tidak menyahut, ia hanya mengawasi Bok Kioe Nio dengan bengis.
"Apa kau bikin di sini?" ia menegur. "Hm, sungguh tidak tahu malu!"
Belum pernah Bok Kioe Nio terima dampratan semacam ini, dari malunya ia me
njadi gusar. Ia tahu bahwa ia bukannya tandingan si nona, akan tetapi karena tei
pengaruh hawa amarahnya, ia lantas serang nona itu dengan tikamannya.
Giok Lo Sat tertawa dingin, ia menangkis untuk terus balas menyerang.
Pedangnya Kioe Nio terpental, tapi ia masih sempat menangkis, setelah ini
barulah ia mencelat ke jendela, untuk lompat keluar.
Giok Lo Sat kembali melengak. Tangkisannya nyonya itu kembali serupa denga
n tangkisan istimewa ajaran gurunya, yang lain kaum tidak mempunyainya. Tapi ia
segera lompat ke jendela untuk menyusul. Dengan satu lompatan lainnya pula. ia d
apat mendahului dengan melewati atas kepala si nyonya, hingga di lain saat ia te
lah berdiri di hadapan nyonya centil itu dibarengi dengan tikamannya. Terus ia m
enikam.
Ketika ia ditangkis, ia segera merubahnya menyontek dari kanan tetapi sebe
lum mengenai sasaran, ia merubahnya pula menyerang dari kiri.
Itulah cara serangan istimewa yang biasanya tidak dapat ditangkis, kecuali
oleh lain jurusnya sendiri, atau orang yang kepandaiannya lebih tinggi daripada
nya.
Kioe Nio dapat mainkan pedangnya ke kiri dan kanan, ia bisa bela diri, hin
gga serangannya si nona gagal. Gerak-geriknya tidak sebat, tetapi teranglah deng
an caranya ia bersilat itu tentu ia dapat pelajari dari kitab ilmu pedang kepuny
aan gurunya Giok Lo Sat. Demikian Giok Lo Sat dapat memastikan.
Ia lalu tertawa nyaring, ia seperti umbar kegembiraannya, tetapi gerakkan
tangannya tidak mengenal kasihan, serangannya semakin hebat, mengarah kedua iga
si nyonya.
Repot Bok Kioe Nio melayani nona yang gagah ini, maka segera j uga bajunya
kena dibikin robek, iganyapun tertikam, hingga ia roboh seketika.
Si nona hentikan penyerangannya, tetapi ia masih terus tertawa, sekarang t
ertawa puas. Ia mendekati nyonya itu dengan niat mengorek keterangan perihal kit
ab ilmu pedangnya. Belum sempat ia menanya, Tiat Hoei Liong sudah muncul!
Tuan rumah ini merah mukanya, kedua matanya bersinar, bahna gusarnya. Ia m
engibaskan tangan.
"Giok Lo Sat kau terlalu menghina aku!" dia berteriak. "Jikalau kau datang
berkunjung untuk mengadu silat, kenapa kau berlaku demikian tidak tahu aturan?
Ada sakit hati apakah di antara dia dan kau maka kau hendak turunkan tangan jaha
tmu terhadap dirinya?"
Nona Lian tertawa menghina.
"Hm! Kau semua serumah tangga, memang ada bangsat cilik yang hina dina!"
Tiat Hoei Liong menggeram karena sangat gusarnya, tangannyapun dikibaskan
pula, kali ini untuk dipakai menyerang si nona.
Giok Lo Sat berkelit ke samping untuk dari situ ia lompat menikam.
"Sebelum kau kembalikan kitab ilmu pedangku, aku tak dapat menyudahi begit
u saja," dia membentak.
Tiat Hoei Liong mendesak sehingga si nona mundur dua tindak.
"Ngaco belo!" dia berteriak. "Kau bicara dari kitab ilmu pedang apa?"
Giok Lo Sat menikam, ia tertawa pula.
"Tidak perlu kau masih berlagak pilon?" tegurnya. "Jikalau benar kau tidak
curi kitabku itu mengapa puterimu dan perempuan centil ini bisa mainkan tipu-ti
pu silat pedang istimewa kepandaiannya guruku itu?"
Kembali Tiat Hoei Liong menggeram dan merangsek. sampai si nona mundur lag
i dua tindak. Tapi setelah itu, Hoei Liong sendiri lompat mundur, akan keluar da
ri kalangan.
"Tunggu sebentar!" katanya. "Aku hendak tanya dulu mereka sampai jelas!"
Jago tua ini lompat kepada gundiknya, tubuh siapa ia angkat bangun. Ia lih
at darah mengalir dari kedua iga si manis itu, ia merasa terharu berbareng menyi
nta. Berbareng dengan itu, juga ia lihat sinar pedang yang berkilauan terletak d
i samping gundiknya itu. Ia terkejut. Ia lantas kenali pedangnya Tjie Yang Tooti
ang, yaitu pedang Hankong kiam. Maka tahulah ia, pedang itu tentunya diambil gun
diknya ini dari tangannya To It Hang. Karena ini, ia ingat akan dampratannya Gio
k Lo Sat barusan yang mengatakan gundiknya si "perempuan centil". Dengan sendiri
nya wajahnya menjadi berubah.
"Kenapa kau curi pedang orang?" ia segera tegur gundiknya.
Giok Lo Sat perdengarkan tertawa dinginnya. Ia ingin sahuti tuan rumah itu
, ketika ia tampak tubuhnya Bok Kioe Nio menggigil, sinar matanya memperlihatkan
roman dari ketakutan. lapun segera ingat akan kata-kata It Hang selama di dalam
gua. Maka mendadak datanglah perasaan kasihnya. Maka itu ia batal membuka mulut
nya.
Bok Kioe Nio berlega hati melihat si nona tidak jadi bicara. Tapi ia lanta
s menangis sesegukan.
"Aku lihat dia mendobrak pintu dan menerjang masuk sambil membawa pedang,"
ia kata pada suaminya. Dengan "dia" ia maksudkan Giok Lo Sat. "Karena aku tidak
punya senjata, terpaksa aku pinjam pedangnya To lt Hang."
Itulah keterangan yang beralasan.
"Bagaimana tentang kitab ilmu pedang itu!" Hoei Liong tanya pula. "Apakah
benar kau yang telah curi?"
"Tidak, tidak!" Kioe Nio menyangkal dengan tebalkan kulit mukanya. "Bukan
aku yang curi!..."
"Panggil San Ho datang kemari!" bentak Hoei Liong dengan titahnya.
Sang gundik kaget sampai wajahnya menjadi pucat.
Tentu saja suami itu menjadi bertambah curiga. Dia lompat naik ke atas gun
ung-gunungan.
"San Ho! San Ho!" ia memanggil berulang-ulang. "San Ho!"
Tidak ada jawaban untuk panggilan itu. Sebaliknya, dengan tiba-tiba terliha
t berkelebat dua bayangan manusia yang mencelat keluar dari balik tembok, menyus
ul mana, dengan menerbitkan satu suara menggebus, sinar api menyambar naik!
Hoei Liong kaget dan murka.
"Manusia rendah, aku larang kau bergerak!" dia bentak gundiknya yang ditud
ingnya.
Giok Lo Sat dengan pedangnya di tangan, tertawa mengejek. Ia berdiri di sa
mpingnya Bok Kioe Nio.
"Kau boleh pergi, ada aku di sini..." katanya dengan perlahan.
Berewoknya Hoei Liong bangun bergerak-gerak bahna gusarnya. Sejak puluhan
tahun, belum pernah ada orang berani "meraba kumisnya", tidak ia sangka, malam i
ni ada orang berani bakar rumahnya. Berbareng iapun kuatirkan anak daranya. Kare
na ia menduga, dua bayangan itu tentunya berkepandaian tinggi, yang dapat diliha
t dari gerakannya yang sangat pesat itu. Maka tanpa pikir-pikir lagi ia lari ke
arah menyalanya api. Ia baru lewati dua kamar loteng, atau mendadak, seperti dar
i dalam api, telah kelihatan munculnya tiga orang -dua wanita, satu pria.
Dan ketiga orang itu adalah Ong Tjiauw Hie bersama Beng Tjioe Hee dan Tiat
San Ho, dan sang puteri itu pucat mukanya, jalannya sambil dipegangi Nona Beng.
..
"Ah..." Hoei Liong perdengarkan suara tertahan, setelah mana, ia lompat me
mapaki ketiga orang itu, terutama Ong Tjiauw Hie. Dia lantas membentak: "Ong Tji
auw Hie, sungguh berani kau! Sudah cukup kau tolong tunanganmu, kenapa kau melep
askan api membakar rumahku juga dan melukai puteriku?"
Dalam gusarnya, jago ini ulurkan tangannya menyambar pemuda she Ong itu.
San Ho kaget, ia pentangkan matanya.
"Ayah, jangan!" dia berteriak. "Perbuatan itu bukan dia yang melakukannya!
"
Ong Tjiauw Hie sendiri berkelit ke samping, sampai tiga tindak.
Tiat Hoei Liong tarik kembali tangannya.
"Habis siapakah?" dia tanya puterinya.
San Ho banting-banting kaki.
"Itulah pamannya Kim Tjian Giam!" sahutnya.
Merah padam mukanya Hoei Liong, bukan kepalang heran dan kagetnya. Juga ia
sangat mendongkol.
"Sekarang paling perlu kita padamkan api!" Ong Tjiauw Hie segera turut bic
ara. "Belakang hari saja kita cari dia untuk membuat perhitungan!"
Hoei Liong anggap pemuda ini benar, amarahnya reda.
Pamannya Kim Tjian Giam yang dikatakan Tiat San Ho itu sebenarnya adalah K
im Tok Ek. asal dari perbatasan barat, untuk tiga puluh tahun lamanya, belum per
nah ia melangkah keluar dari wilayah gunung Thiansan bagian Selatan dan Utaranya
. Ia seorang ahli tangarrjahat Imhong Toksee tjiang yang liehay sekali, sedang K
im Tjian Giam, keponakannya, baru memperoleh enam atau tujuh bagian. Pada tiga p
uluh tahun yang lampau, Hoei Liong pernah ketemu jago dari Barat itu, yang ketik
a itu Toksee tjiangnya masih belum sempurna, meski demikian, waktu mereka adu ke
pandaian, mereka ada sama kosennya. Adalah belakangan, sesudah mahir tangan jaha
tnya, Tok Ek membuka rumah perguruan, ia (erima banyak murid, tapi sepak terjang
nya tetap aneh. Selagi Tok Ek pentang pengaruh, Hoei Liong sudah hidup menyendir
i, ia tidak begitu gemar lagi mencampuri segala urusan, jadi mereka masing-masin
g ambil jalannya sendiri. Sampai pada tiga hari di muka, Kim Tjiam Giam datang s
ecara mendadak bersama In Yan Peng. Hoei Liong tidak suka akan kelakuannya Kim T
ok Ek pamannya Tjian Giam. maka iapun tidak senang terima kunjungannya Tj ian Gi
am itu, di waktu orang baru bertindak di pintu pekarangan, Hoei Liong sudah suru
h gundiknya menggabrukkan daun pintu.
Hoei Liong pikir: "Apakah benar makhluk aneh bangkotan itu. karena aku men
ggabrukkan pintu pada keponakannya, dia lantas datang untuk melulu menuntut bala
s? Jikalau benar begitu, sungauh dia sangat cupet pandangannya! Tapi dia sangat
liehay, aku tidak mampu susul padanya. Baiklah aku turut pikirannya Ong Tjiauw H
ie, buat lebih dahulu padamkan api..."
Karena demikian, jago ini tidak jadi mengejar Kim Tok Ek
Tentang munculnya Beng Tjioe Hee di Tiat keetjhung, adalah suatu soal lain
pula.
Nona Beng sudah lakoni satu perjalanan ribuan lie. untuk cari tunangannya,
sekarang setelah bertemu, di sini di antara cahaya api ia dapat ketemukan tunan
gannya itu berada bersama Tiat San Ho, ia pandang mereka bergantian, hatinya mem
ukul.
Selama dalam perjalanan dari kota raja sampat di barat utara, sebagai satu
gadis dan seorang diri, Tjioe Hee andalkan kecerdasan dan nyalinya yang besar.
Ia boleh bersyukur yang ia tidak pernah dapat rintangan. Ketika di hari pertama
ia sampai di wilayah propinsi Shoasay, ia bertemu Tiat San Ho dan Bok Kioe Nio.
Mereka sama-sama orang kangouw, dengan gampang mereka dapat berkenalan. Tjioe He
e cerdik tetapi polos, antaranya ia utarakan maksud perantauannya itu ialah untu
k mencari tunangannya. Tiat San Ho pun cerdik, lantas ia gunai akal untuk pancin
g keluar kata-kata yang lebih tegas dari Nona Beng itu. Tanpa ragu-ragu Tjioe He
e sebutkan namanya Ong Tjiauw Hie. Hatinya San Ho bercekat, dia tertawa dingin,
lalu dengan tiba-tiba dia totok nona Beng itu!
Tjioe Hee yang tidak curiga telah roboh tanpa berdaya. Ketika kemudian ia
sadar akan dirinya, ia sudah berada di dalam Tiat keetjhung. Tapi ia tidak diper
lakukan kasar oleh San Ho, sebaliknya ia dilayani sebagaimana layaknya satu teta
mu.
Pada mulanya San Ho kuatir digusari ayahnya karena ia sudah "tawan" Tjioe
Hee. Terhadap ayahnya ia tidak berani merahasiakan perbuatannya itu. Maka dengan
memberanikan hati baru ia beritahukan ayahnya.
Tiat Hoei Liong tertawa sambil mengurut-urut kumisnya ketika ia dengar ket
erangan gadisnya itu.
"Ong Kee In adalah satu jago Rimba Hijau tetapi dia kesudian berbesan kepa
da guru silatnya putera mahkota tidak ada halangan apabila kau main-main dengan
puterinya guru silat dari istana itu!" kata ayah ini.
Hoei Liong mengatakan demikian karena menuruti adatnya yang luar biasa ia
tidak senang bila lain orang menentang kehendaknya. Begitulah ia tidak senang ke
pada Ong Kee In yang telah menampik untuk berbesan kepadanya. Akan tetapi kemudi
an pikirnya, jeleklah kalau ia turuti adatnya, ia dapat kendalikan diri. Maka ia
suruh San Ho berlaku baik pada Tjioe Hee. Sementara itu, iakirim kabar pada Ong
Kee In perihal bakal nona mantunya berada padanya.
Giok Lo Sat dengan Tiat Hoei Liong sudah berjanji membuat pertemuan dalam
tempo satu bulan, ia hendak menepati janji itu. Ketika ia dapat dengar halnya no
na Beng, ia ajak Ong Tjiauw Hie sebagai kawan, untuk pergi ke Tiat keetjhung.
Setelah sampai di luar kampungnya Hoei Liong, Giok Lo Sat kata pada kawan
seperjalanannya itu: "Kita berdua jalan sama-sama tetapi maksud kita berlainan.
Aku dan si tua bangka she Tiat sudah berjanji untuk adu kepandaian satu sama sat
u tidak boleh ada yang membantunya, maka aku minta kau tunggu dahulu sampai sala
h satu sudah peroleh kepastian, baru kau turut masuk ke kampungnya."
Ong Tjiauw Hie bernapsu sekali untuk segera menemui tunangannya, akan teta
pi ia tidak dapat menolak permintaannya nona kosen itu. Begitulah, selagi si non
a masuk ke dalam, ia jalan mundar-mandir di luar pekarangan.
Giok Lo Sat sudah masuk lama juga, ia masih belum kembali. Hal ini membuat
Tjiauw Hie menjadi heran dan berkuatir.
"Inilah hebat," pikirnya. Ia tahu bahwa si nona dan Hoei Liong kedua-duany
a liehay, apabila mereka itu ngotot terus, keduanya bisa celaka dan terluka para
h, "Aku tidak bisa tinggal diam menontonnya..." pikirnya pula.
Setelah berpikir demikian, Tjiauw Hie ambil putusan akan rela nanti ditegu
r Giok Lo Sat. Secara diam-diam ia bertindak ke belakang, dari situ dengan lompa
ti pagar ia masuk ke pekarangan dalam, maksudnya ialah untuk saksikan dulu bagai
mana jalannya pertempuran.
Selain Giok Lo Sat dan Ong Tjiauw Hie, pun malam itu Tiat keetjhung kedata
ngan dua orang lain. Mereka adalah Kim Tok Ek serta seorang kawannya, yang juga
liehay. Dan mereka itu sudah lantas menjelajah ke dalam rumah.
Malam itu San Ho kebetulan keluar, ketika ia pergoki Kim Tok Ek, segera ia
menjerit, tapi ia lantas diserang jago she Kim itu hingga roboh.
Tjioe Hee menempati sebuah kamar berdampingan dengan kamarnya San Ho, ia d
engar jeritannya nona Tiat itu, karena kaget ia lompat keluar dari kamarnya memb
uru ke tempat dari mana jeritan datang. Justeru waktu itu Ong Tjiauw Hie pun sam
pai di tempat kejadian, maka mereka bertemu di luar sangkaan mereka. Merekapun s
egera menolongi nona Tiat.
Kim Tok Ek terbitkan onar tanpa hasil, ia tidak mau berdiam lama-lama di T
iat keetjhung, ia lantas angkat kaki. Akan tetapi selagi hendak mabur, ia sulut
api belerangnya untuk bakar rumahnya Hoei Liong, baru ia menyingkirkan diri deng
an diikuti konconya.
Untung bagi Tiat Hoei Liong, sebelum api sempat berkobar besar, dengan han
ya dua lembar selimut ia dapat memadamkannya. Tuan rumah ini lompat turun dari l
oteng yang terbakar itu. Pada waktu itulah ia saksikan Tjiauw Hie dan Tjioe Hee
sedang menolongi San Ho yang telah direbahkan di tanah, tengah diuruti untuk mem
bikin darahnya berjalan seperti biasa pula.
Hatinya jago tua ini tergerak apabila ia lihat perbuatannya Nona Beng. Mem
ang selama beberapa hari ia telah dapat kesempatan untuk bercakap-cakap dengan n
ona itu, ia dapat kenyataan Tjioe Hee lemah lembut sikapnya. Inilah di luar duga
annya. Sekarang ia buktikan benar-benar kebaikan hatinya nona itu, yang dengan s
ungguh-sungguh menolong puterinya.
"Tjioe Hee lakukan perjalanan jauh dan sukar untuk mencari tunangannya, ia
adalah satu nona luar biasa yang harus dihargai," pikirnya jago she Tiat ini. "
Sekarang diapun menolongi San Ho, sama sekali sikapnya tidak bermusuhan, malah n
ampaknya dia sangat sayangi puteriku..."
Ketika ia menghampiri, Tjiauw Hie segera menyambut.
"Looenghiong!" kata anak muda itu. Ia hendak beritahukan tuan rumah, bahwa
luka gadisnya tidak parah, tetapi Hoei Liong sudah mendahului tertawa.
"Bangsat tua she Kim itu bernyali besar dan sembrono sekali," katajago tua
ini. "Jikalau dia benar-benar turunkan tangan jahatnya, pasti sepuluh jiwanya S
an Ho pun akan melayang semua..."
Sekarang baru Tjiauw Hie tahu orang tua itu sudah menduga terlebih dahulu
yang gadisnya tidak dalam bahaya, maka dia bisa tinggalkan gadisnya untuk memada
mkan api.
Dengan lekas mukanya San Ho yang semula pucat itu menjadi merah pula.
"Bangun lekas!" Hoei Liong membentak pada gadisnya itu. Si nona berbangkit
dengan cepat.
"Ayah, mengapa kau gusar?" dia tanya.
Ong Tjiauw Hie heran menampak sikapnya orang tua itu. San Ho yang terluka
bukan dihiburi, dia justeru dibentak.
"Aku hendak bicara padamu, mari ikut aku!" kata Hoei Liong. Dan ia tuntun
gadisnya buat diajak pergi ke paseban luar.
Bersama Tjioe Hee, Ong Tjiauw Hie mengikuti.
Dengan lantas mereka sampai di suatu tempat di mana terlihat Giok Lo Sat t
engah berdiri di atas sebuah batu besar dengan tangan menyekal pedang, wajahnya
bersenyum tawar. Dan di bawah batu itu, duduk mendeprok di tanah ada Bok Kioe Ni
o, yang mukanya pucat sekali.
"Nah, Giok Lo Sat, kau dengar!" berkata Hoei Liong dengan nyaring. "Kau li
hat, sedikitpun aku tidak akan berlaku berat sebelah!" Terus ia berpaling pada g
adisnya, akan tanya, "Betulkah kau yang curi kitab ilmu pedang?"
"Tidak!" sahut San Ho dengan cepat.
"Hm! Hm!" Giok Lo Sat mengeluarkan suara dari hidungnya berulang-ulang.
Hoei Liong perlihatkan tampang merah padam, hingga ia nampaknya sangat ben
gis.
"San Ho, hayo kau bicara terus terang!" dia bentak puterinya. "Lagi satu k
ali aku tanya: Kau curi atau tidak kitab ilmu pedang kepunyaannya dia itu?"
San Ho menangis.
"Kitab ilmu pedang itu pernah aku lihat tetapi bukan aku yang mencurinya,"
jawabnya.
Kembali wajahnya Hoei Liong berubah.
"Bagaimana caranya kau dapat lihat itu?" dia tanya dengan tidak kurang ben
gisnya.
"Itulah karena kehendaknya ieie..." sahut gadis itu.
Wajahnya Bok Kioe Nio yang pucat dalam sekejap itu menjadi semakin pucat b
agaikan mayat.
Giok Lo Sat segera tertawa gelak-gelak.
Kedua matanya Tiat Hoei Liong terbuka lebar, sinarnya merah bagaikan api,
mukanyapun menjadi merah padam.
Tiba-tiba, tertawanya si Raksasi Kumala berhenti.
"Tua bangka she Tiat, aku toh tidak sembarang menuduhnya?" kata dia dengan
dingin.
Dengan mukanya suram, Hoei Liong tidak gubris ejekannya Giok Lo Sat. Dia s
egera berpaling pula kepada puterinya.
"Sekarang kau ceritakan semua dengan sebenarnya, aku larang kau sembunyika
n sesuatunya!" dia kata pada puterinya itu, suaranya bengis.
San Ho seka air matanya dengan ujung bajunya, lalu ia menutur:
"Pada dua bulan yang lalu. dari
Siamsay aku berjalan pulang. Pada suatu hari aku singgah di dusun Tjiphian
tin, di sebuah rumah penginapan. Di situ aku dapatkan satu imam yang mukanya hit
am gelap duduk di tanah tidak dapat bergerak. Tuan rumah kata, imam itu mendapat
sakit berat yang mendadak, karena dia kuatir imam itu nanti mati di rumah pengi
napannya, dia hendak gotong pergi. Melihat keadaannya imam itu, aku merasa kasih
an. Maka aku lantas mendekati. Imam itu bermata sangat tajam. Dalam keadaannya s
ebagai itu, dia masih dapat lihat dan ketahui bahwa aku mengerti ilmu silat. Dia
berkata kepadaku: "Nona, kau toh bawa pedang, bukan? Tolong, kau lekas buka baj
uku, dan potonglah daging yang busuk di pundakku, lantas kau cabut keluar sebata
ng paku beracun yang menancap di situ!"
Mendengar itu, It Hang terkejut.
"Tidak salah lagi dia tentu Tjeng Kian Toodjin!" serunya It Hang.
Hoei Liong antap orang she To itu.
"Apakah Tjeng Kian Toodjin tahu bahwa kau anakku?" dia tanya gadisnya.
"Itu waktu tidak, tetapi belakangan aku perkenalkan diriku," sahut San Ho.
"Dia lantas berkata padaku, bahwa sudah lama dia dengar nama ayah sebagai satu
laki-laki sejati, dia minta tolong aku untuk sampaikan kata-katanya kepada ayah.
Dia ada bawa satu jilid kitab ilmu silat pedang kepunyaan seorang lain, yang mi
nta pertolongannya untuk disampaikan pada Hok Thian Touw di gunung Thiansan. Di
tengah jalan kitab itu dirampas orang. Umpama lukanya itu karena tidak mendapat
obat menjadikan matinya, dia minta supaya ayah menyampaikan pesannya ke Thiansan
, agar supaya Hok Thian Touw dapat menuntut balas untuknya."
Hoei Liong belum pernah dengar orang memuji dia sebagai satu laki-laki sej
ati, pujiannya Tjeng Kian Toodjin membuat wajahnya jadi lebih sabar karena senan
gnya, hingga ia urut-urut jenggotnya.
"Tjeng Kian Toodjin juga seorang kenamaan," ia kata. "Hayo teruskan cerita
mu!"
"Setelah itu. dia membuat selembar surat obat," San Ho melanjutkan. "Dia m
inta pertolonganku untuk belikan obatnya. Aku lalu pergi ke pasar. Rumah-rumah o
bat di sana tidak lengkap obat-obatannya, kalau tidak kurang ini, tentu kurang i
tu, maka setelah mengunjungi beberapa rumah obat, baru aku dapat obat lengkap me
nurut obat itu. Kemudian aku ketemu ieie yang datang cari aku..."
"Hm, kau pergi begitu lama, kau belum pulang juga, maka aku suruh dia susu
l kau."
"Kepada ieie aku omong-omong tentang imam itu," San Ho melanjutkan pul
a. "Lantas ieie ikut aku ke rumah penginapan untuk lihat imam itu. Di luar dugaa
n imam tua itu sudah tidak ada, entah ke mana perginya sebaliknya di sana ada du
a orang lelaki yang sedang tanya-tanya perihal imam itu. Mereka itu berdua satu
tua, satu muda. Waktu mereka lihat ieie, mereka lantas memberi hormat akan menan
yakan kesehatan ayah. Lantas ieie katakan kepada salah seorang itu: 'Kim Loosam,
mari kau turut aku!'"
Kembali Hoei Liong perdengarkan seruan "Hm!" Terus ia pandang gundiknya.
"Bagus benar perbuatanmu bersamaKimTjian Giam!" suami ini menegur.
Bok Kioe Nio lantas saja menangis.
"Adalah keinginanku supaya imam itu bisa dipaksa menyebutkan di mana adany
a kitab itu," ia akui. Hoei Liong diam, ia berpaling pula kepada gadisnya.
"Nah, San Ho, lanjutkan penuturanmu!"
"Dua orang itu turut kami pergi ke suatu tempat sunyi," sang anak melanjut
kan. "Di situ ieie berkata pada orang yang tua: "Loosam, kau keluarkan kitab ilm
u pedangnya imam itu!' Mula-mulanya orang tua itu menyangkal, barulah kemudian s
esudah didesak dia mau mengaku..."
Giok Lo Sat terus mendengarkannya sambil dengan matanya yang tajam, mengaw
asi Tiat Hoei Liong.
Jago dari Tiat keetjhung itu gusar.
"Giok Lo Sat, jangan kesusu!" dia membentak. "Kitab itu memang kepunyaanmu
, sudah pasti akan kembali padamu!" Ia lantas pandang gadisnya, akan tanya pula:
"Bagaimana selanjutnya? Kim Tjian Giam serahkan kitab itu atau tidak?"
"Semula dia tidak mau menyerahkannya," sahut San Ho. Lalu ieie menjelaskan
bahwa Tjeng Kian Toodjin mempunyai pergaulan yang luas! Dan ieie berkata kepada
orang itu. 'Apakah kau tidak takut sahabat-sahabatnya nanti cari padamu? Serahk
an kitab itu padaku, setelah habis aku membacanya, aku akan segera kembalikan pu
la padamu. Jikalau tidak... Hm. hm! Kau ketahuilah bahwa Bok Kioe Nio bukannya i
tu orang yang dapat dipermainkan!' Orang tua she Kim itu menyengir. Kemudian dia
mengusulkan, ieie boleh punyakan kitab itu selama dua bulan, sesudah itu dia ak
an datang mengambilnya. Ieie setujui usul itu. Setelah perjanjian beres, ieie de
ngan terburu-buru ajak aku ke gunung yang berdekatan untuk cari tempat mondok gu
na mempelajari isinya kitab itu."
"Kenapa kau tidak beritahukan hal itu padaku?" Hoei Liong tanya.
"Leie melarang aku memberitahukannya. Sesudah ieie pelajari beberapa jurus
, dia jadi sangat girang, dia seperti telah menemukan mustika. Ieie mengatakan k
epadaku bahwa kitab itu adalah kitab gaib nomor satu di kolong langit. Bahwa sia
pa dapat memahami semua isinya, dia tidak akan ada tandingannya lagi di dalam du
nia ini! Ieie lantas ajak aku sama-sama mempelajarinya secara diam-diam! Aku dip
esannya untuk tidak memberitahukan hal itu kepada ayah. Aku anggap, belajar lebi
h banyak kepandaian bukannya satu hal busuk, maka tanpa pikir-pikir lagi aku ter
ima tawaran ieie itu."
Sebelum Hoei Liong sempat berkata, It Hang sudah nyeletuk: "Setelah itu se
mua, kemudian kalian dapat lihat pula Tjeng Kian Tootiang atau tidak?" dia tanya
.
"Ya, belakangan, di gunung Tjenghong san," sahut San Ho. "Ieie yang ketemu
kan dia. Bukankah hari itu kau dan kawan-kawanmu juga berada di atas gunung itu?
"
"Hm!" Hoei Liong perdengarkan suaranya. "Pada hari itu ada orang janjikan
aku membuat pertemuan di atas gunung, aku pergi ke sana, tetapi aku tidak ketemu
orang yang menjanjikan aku itu. Rupanya urusan itu ada sangkut pautnya dengan
perkara ini.-Manusia hina kau, mengapa sampai waktu itu kau masih tidak ma
u memberitahukannya padaku?"
Teguran ini ditujukan pada Bok Kioe Nio.
Gundik itu tidak berani berikan jawabannya. Memang dalam pikirannya dia ni
at kangkangi kitab itu. Pada bulan yang lalu, ketika Tiat Hoei Liong pergi pula
ke Siamsay Utara untuk cari Ong Kee In, dengan diam-diam Kim Tjian Giam sudah ki
rim konconya untuk menyampaikan surat rahasia mengabarkan bahwa Tjeng Kian Toodj
in sedang bersembunyi di gunung Tjenghong san. Justeru itu, Tiat Hoei Liong pun
telah menerima surat kaleng, yang menjanjikan pertemuan di atas gunung Tjenghong
san itu, dan Hoei Liong telah berangkat dengan mengajak gundiknya itu. Di situl
ah sudah terjadi, karena gara-garanya Tiat San Ho, Giok Lo Sat datang juga ke gu
nung itu hingga nona ini bertempur dengan jago dari Tiat keetjhung itu. Dan seda
ngnya Hoei Liong dan si Raksasi Kumala bertempur, KioeNio telah mencari gua temp
at persembunyiannya Tjeng Kian Toodjin.
Mendengar keterangannya San Ho sampai di situ, mengertilah Giok Lo Sat aka
n duduknya kejadian, maka lagi-lagi ia tertawa mengejek. Lalu ia berkata: "Kau t
emahai kitab, itu sudah cukup, bukan? Kenapa juga kau bunuh Tjeng Kian Tootiang?
"
Hoei Liong pentangkan matanya.
Sampai di sini Bok Kioe Nio turut bicara. Ia menyangkal.
"Aku telah ketemukan Tjeng Kian
Toodjin di dalam gua itu sudah hampir putus jiwa," demikian bantahannya. "
Ketika itu di sampingnya masih ada barang-barang makanannya, rupanya ada orang y
ang rawati dia tapi dia berada sendirian saja. Nampaknya dia sangat menderita, d
ia telah beri tanda padaku supaya aku bantu dia agar dia bisa mati lebih lekas.
Adalah karena sangat terpaksa, aku telah mengabulkan permintaannya itu..."
Memang benar apa yang dikatakan Kioe Nio itu, akan tetapi di samping itu i
a mempunyai maksud lain. Ialah dia kuatirkan Tjeng Kian Toodjin nanti dapat tahu
bahwa sebenarnya kitab berada di tangannya, juga dia kuatir Hoei Liong keburu p
ulang hingga rahasianya ketahuan, maka dia percepat membinasakan imam itu.
Tiat Hoei Liong gusar tidak kepalang. Akan tetapi menampak gundik yang dis
ayang itu serta gadisnya demikian ketakutan, ia merasa tidak tega, hingga ketika
ia bicara, suaranya sedikit menggetar.
"Baiklah." demikian katanya pada gadisnya. "Sekarang kau kembalikan kitab
itu pada pemiliknya!"
San Ho nampaknya takut benar ketika berikan penyahutannya: "Baru saja kita
b itu telah dirampas orang..."
"Apakah siluman she Kim itu yang merampasnya?" tanya Hoei Liong, yang kage
t.
"Betul," jawab puterinya.
Jago tua itu bagaikan orang yang baru sadar.
"Pada dua hari yang lalu Kim Tjian Giam datang padaku, rupanya ada berhubu
ngan dengan urusan kitab ini," katanya.
Tapi Giok Lo Sat yang mendengar kitabnya itu hilang pula pindah tangan, ba
ngkit pula amarahnya, wajahnyapun menjadi muram.
Tiat Hoet Liong dapat lihat perubahan wajahnya nona itu.
"Giok Lo Sat, serahkan urusan ini kepadaku!" dia kata dengan suara nyaring
. "Meskipun aku mesti menjelajah sampai ke ujung langit, pasti aku nanti gantika
n kau untuk mencarinya!"
"Baik!" seru si nona. "Marilah sambil menunggang keledai kita nonton wayan
g! Kita lihat saja nanti!"
Nyatalah dari kata-katanya si nona itu masih ragu-ragu.
Tiat Hoei Liong tidak hiraukan kesangsiannya nona ini, dia memandang puter
inya kepada siapa ia ulur tangannya mengusap-usap rambutnya San Ho seperti sedan
g menghiburkan satu anak kecil.
San Ho memandang ayahnya, matanya anak ayah saling bentrok, San Ho seperti
merasakan kontak.
"Ayah, kau kenapa?" tanyanya dengan kaget.
"Anak, tahun ini kau telah berusia sembilan belas tahun, bukan?" tanya aya
h itu dengan sabar.
"Ah, ayah! Apa maksudmu?" tanya anak itu.
"Kau sekarang bukan lagi anak burung yang masih kecil, kau telah tumbuh bu
lu sebagai burung dewasa, hingga sudah seharusnya kau terbang tinggi dan jauh,"
berkata ayah itu.
"Tetapi, ayah, aku tetap ingin menjadi anak burung yang masih kecil, agar
dapat aku senantiasa berada di dampingmu..." anak dara itu mengatakan.
Mendadak wajahnya ayah itu berubah menjadi keren. Malah dia segera tolak t
ubuh anak itu! Dan dia kata dengan keras: "Sejak hari ini, kau bukan lagi anakku
! Lekas pergi! Selama berada di luaran, aku larang kau sebut-sebut namaku!"
Tiat San Ho kaget, sampai tubuhnya menggigil. Ia hendak menangis tetapi ti
dak bisa. Itulah pukulan yang tak disangka-sangkanya.
"Kau sudah curi kitab ilmu pedang dari partai lain, kau juga perhina ayahm
u dengan mengelabuinya, jikalau aku tidak memandang ibumu, tentu aku sudah lanta
s ambil jiwamu!" seru ayah itu.
Sejak masih kecil, belum pernah San Ho dibentak ayahnya, inilah untuk yang
pertama kali. Ia memang tahu baik tabiat ayahnya itu. Kata-kata sang ayah tak d
apat diubah pula. Justeru itu ia lihat Giok Lo Sat sedang melirik mengawasi, ia
malu dan mendongkol. Lantas saja ia tekuk lutut di depan ayahnya paykoey tiga ka
li.
"Ayah, kuharap kau rawat dirimu baik-baik..." katanya dengan duka, kemudia
n ia berbangkit dan lari keluar tanpa menoleh pula.
Hatinya Giok Lo Sat keras sebagai batu, tapi sekarang menampak kejadian di
hadapannya itu, hatinya runtuh. Sejak tadipun ia sudah merasa kasihan terhadap
San Ho, ia niat menasehatkannya, tapi tak dapat ia buka mulutnya, sekarang sudah
kasip, ia terlambat.
Tiat Hoei Liong awasi anaknya pergi, agaknya ia menenangkan diri, baru ia
berpaling pada Bok Kioe Nio.
"Manusia hina, mari kau!" ia memanggil.
Mendadak Kioe Nio tertawa gelak-gelak, dia lepaskan gelungan rambutnya hin
gga riap-riapan.
"Tua bangka bangkotan, sekarang aku tidak inginkan lagi jiwaku!" dia menje
rit sekuatnya. "Hayo kau pukul aku hingga mati..."
"Kau telah curi kitab orang, dengan itu kau cemarkan nama baikku, kau mema
ng harus dapatkan hukuman!" bentaknya Hoei Liong. "Kematian bagimu masih belum c
ukup, apa lagi yang kau buat penasaran?"
"Memang aku penasaran!" teriak Bok Kioe Nio. "Dahulu aku ikut ayahku, yang
sakit dan mati di kampung orang lain, aku tidak punya uang untuk menguburnya, t
erpaksa aku serahkan diri dengan menikah padamu! Tapi lacur bagi diriku, kau tid
ak perlakukan aku sebagai isteri kawin... Memang aku suka bicara tertawa-tawa di
hadapanmu, tetapi apakah kau kira karena aku cinta padamu? Hm! Kau pukul mampus
padaku, itulah terlebih baik! Hidup secara begini, aku tak sanggup!..."
Memang, sejak masih kecil, Bok Kioe Nio ikuti ayahnya merantau menjual sil
at, lalu karena kemalangan ayahnya itu, ia menerima nasib dengan menikah kepada
Tiat Hoei Liong. Suami tua dan ia masih muda, memang itu tidak sembabat. Di samp
ing itu, aneh dan keras tabiatnya Hoei Liong, maka bertambah tak puasnya Kioe Ni
o, kalau ia tidak jeri kepada suaminya itu, pasti sudah sedari siang-siang ia pe
rgi minggat. Kioe Nio curi kitab ilmu silat pedang itu dengan niatnya yang utama
ialah meyakininya secara diam-diam, supaya nanti setelah pandai, ia tidak usah
takuti lagi suami tuanya itu. Maka menyesallah ia, rahasianya telah terbongkar.
Tiat Hoei Liong tidak menyangka Kioe Nio bisa mengatakan demikian rupa. ia
melengak. Ia memang tahu gundiknya cantik dan sedangnya segar, sebaliknya ia se
ndiri sudah ubanan. Pikirannya menjadi kusut, maka tangannya yang ia telah angka
t tadi ia tidak dapat turunkan, seperti macet di tengah udara...
Giok Lo Sat yang melihat kelakuannya orang tua itu lompat kepadanya dan me
nurunkan tangannya.
Tiba-tiba Hoei Liong menghela napas panjang.
"Nah, pergilah kau!" kata ia dengan tangannya mengusir. "Untuk selama-lama
nya, jangan kau datang melihat aku pula!"
Bok Kioe Nio tertawa, lalu ia berlutut di depan Hoei Liong, akan paykoei t
iga kali.
"Looya, rawatlah dirimu baik-baik!..." ia mengucap. Kemudian ia berbangkit
lari keluar tanpa menoleh pula, seperti San Ho tadi.
Hoei Liong berdiri termangu-mangu, hatinya hancur. Sekarang ia merasakan b
ahwa ia benar-benar sudah lanjut usianya. Ia hampirkan batu gunung-gunungan, di
mana ia senderkan diri, nampaknya ia seperti orang yang diserang penyakit hebat.
Akhir-akhirnya ia menghela napas.
"Ya, akupun harus pergi dari sini... " katanya kemudian.
Maka berakhirlah sebuah drama yang tragis...
Keesokan paginya. To It Hang yang paling dulu pamitan.
"Mudah-mudahan kau sampai dengan selamat di Pakkhia!" Giok Lo Sat mendoaka
n.
"Dan kaupun semoga berhasil mendapatkan kembali kitab ilmu pedangmu!" bala
snya It Hang.
Kemudian Ong Tjiauw Hie datang bersama Beng Tjioe Hee mengucapkan selamat
tinggal kepada Hoei Liong.
"Hiantit," berkata orang tua itu. "tolong sampaikan maafku kepada ayahmu,
aku insyaf bahwa segala perbuatanku terhadap ayahmu dahulu terlalu sembrono!"
"Jangan mengucap demikian. I'oope," kata Tjiauw Hie.
Hoei Liong pandang Tjioe Hee, dia tertawa meringis.
"Nona Beng ini ada jauh lebih manis daripada San Ho," katanya. "Kalian tel
ah menderita gangguan gelombang dan taufan, semoga kalian dapat hidup beruntung
sampai di hari tua!"
"Terimakasih, loope," Tjiauw Hie mengucapkan, hatinya lega bukan main. Itu
lah tanda bahwa selanjutnya orang tua yang gagah dan galak ini tidak akan mengga
nggu pula padanya. Di saat itu, dua perasaan mengudak dalam hatinya Tjiauvv Hie:
girang dan duka. Ia girang karena Tj ioe Hee nyata benar-benar menyintai padany
a. Dan ia berduka, nasib buruk dari orang tua she Tiat ini, yang selanjutnya har
us hidup sepi menyendiri...
"Aku sekalian hendak mengantarkan saudara To," Tjiauvv Hie tambahkan kemud
ian.
Hoei Liong manggut.
"Giok Lo Sat! Bagaimana dengan kau?" ia berpaling kepada si nona kosen. "A
pakah kau tidak niat berangkat sekarang?"
Nona yang ditegur itu tertawa.
"Aku tidak bisa biarkan kau sendirian saja mencari kitab pedangku itu!" ja
wabnya.
Hoei Liong terharu, hatinya sangat tergerak.
"Tadi aku telah melepaskan kata, itulah urusanku," katanya. "Apakah kau an
ggap aku sendirian tidak sanggup mendapatkan kembali kitab pedang itu?"
Diam-diam Giok Lo Sat tertawai besar kepalanya jago tua ini.
"Pasti aku percaya akan tenagamu. Akan tetapi dengan sendirian saja keluar
pintu untuk satu perjalanan yang jauh, kau pasti akan kesepian, maka jikalau ak
u dapat mengawaninya, sedikitnya kau dapat terhibur. Tidakkah itu baik?"
Hoei Liong girang mendengar kata-kata si nona. Iapun tergerak hatinya. Kat
a-kata itu mirip dengan kata-katanya satu gadis terhadap ayahnya. Iajusteru baru
kehilangan gadis yang dimanjanya dan isterinyajuga.
Walaupun dia suka menang sendiri dan aneh tabiatnya, Hoei Liong toh sukai
orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi dan jujur. Dua kali dia telah tempu
r Giok Lo Sat secara hebat, selama itu dia telah saksikan juga adat-adatnya si n
ona. Maka sekarang dari musuh, mereka berbalik telah menjadi sahabat-sahabat kek
al.
Di akhirnya, jago dari Tiat keetjhung itu tertawa gelak-gelak.
"Sayang kau bukannya anakku..." katanya.
"Tapi akupun bisa menjadi anakmu!" kata Giok Lo Sat, yang terus saja tekuk
kedua lututnya untuk memberi hormat. "Giehoe!" ia memanggil. (Giehoe -- ayah an
gkat).
Dengan tersipu-sipu Hoei Liong pimpin bangun nona itu.
"Aku tidak berani menerimanya..." katanya.
"Kau tidak suka terima aku sebagai anak angkat, itulah tentu disebabkan ka
rena kau merasa telah dicaci dan diserang olehku," Giok Lo Sat bongkar perasaan
hatinya orang tua itu. "Marilah kita omong dengan jelas! Jikalau kau hendak puas
kan hatimu baiklah kau ambil aku sebagai anak angkatmu! Setelah aku menjadi anak
mu maka merdekalah kau caci aku..."
Hoei Liong tertawa terbahak-bahak. Ia anggap nona ini benar-benar lucu.
"Baiklah kalau begitu!" katanya. "J ikalau aku tidak terima kau sebagai an
ak angkatku, nyatalah kecupatan pandanganku! Sayang aku tidak punya apa-apa untu
k dijadikan bingkisan sebagai tanda pengangkatan anak padamu. Boegeemu lebih tin
ggi daripada boegeeku, benar-benar aku tidak punya suatu apa lagi untuk dihadiah
kan kepadamu. Begini saja, dalam halnya lweekang aku lebih terlatih daripadamu,
baik nanti pelahan-lahan kita sama-sama meyakininya lebih jauh."
Giok Lo Sat terima janji itu dengan girang sekali. Sebenarnya itu adalah h
adiah yang ia tidak pernah harap. Ia suka angkat Hoei Liong jadi ayah pungutnya
disebabkan ia suka kepada sifatnya yang mirip dengan sifatnya sendiri, pun karen
a ia berkasihan orang telah ditinggal puteri dan gundiknya. Tentu sekali tak dap
at ia tampik hadiah itu, yang merupakan hasil peryakinan beberapa puluh tahun.
"Terima kasih," ia mengucap sambil paykoei pula.
Setelah itu Ong Tjiauw Hie, Beng Tjioe Hee dan To It Hang pamitan kepada t
uan rumah dan anak pungutnya. Giok Lo Sat minta Tjiauw Hie mewakili ia mengurus
bentengnya, sedang Tjioe Hee diminta gantikan pimpin tentara wanitanya, Tjioe He
e suka terima tugas itu.
Berat Giok Lo Sat untuk berpisah dari It Hang, hampir ia tak dapat lakukan
itu.
Hari sudah siang ketika Hoei Liong dan anak pungutnya kembali ke dalam rum
ah untuk beristirahat sehabis mengantarkan Tjjauw Hie bertiga. Hoei Liong tidak
jadi kesepian karena sekarang ada Giok Lo Sat sebagai kawan.
Tiba-tiba jago Tiat keetjhung itu kerutkan alisnya.
"Aku heran kepadamu," katanya pada si anak pungut. "To It Hang itu adalah
anaknya orang berpangkat, nampaknya ia tidak bisa lenyapkah sifatnya itu, kenapa
dengan dia kau bisa bergaul rapat?"
Giok Lo Sat tertawa, tetapi ia tidak menjawab ayah angkat itu,
Hoei Liong bersenyum. Ia tidak memaksa meminta jawaban.
Tapi justeru itu satu tjhungteng, bujang pengawalnya, masuk sambil membawa
sebuah sampul karcis nama warna hitam.
Menampak warnanya sampul itu, Hoei Liong segera kerutkan alis.
"Orang itu tidak tahu adat!" kata Giok Lo Sat.
LIntuk karcis nama, warna kuning emas atau merah adalah tanda girang. Tapi
ini adalah warna hitam. Inilah bukan biasanya.
"Coba kita buka dan lihat dulu," Hoei Liong kata. Ia buka sampul itu akan
baca karcis namanya di atas mana tertuliskan:-
"Hormatnya Oey Yap Toodjin dan Angin Toodjin dari Boetong san serta murid-
muridnya."
Tiat Hoei Liong menjadi heran.
"Boetong Ngoloo datang dari tempat ribuan Iie mencari aku, apakah perlunya
?" kata dia sambil menduga-duganya. "Mereka itu memandang dirinya sebagai golong
an putih bersih, mereka biasa anggap aku sebagai kalangan sesat, sekarang kenapa
mereka datang berkunjung dengan laku menghormat?"
Tapi ia tidak berayal untuk segera perintahkan tjhungtengnya mempersilahka
n tetamu-tetamunya masuk, ia sendiri lantas bersiap.
Boetong Ngoloo adalah Lima Tertua Boetong Pay, di antara mereka itu, Oey Y
ap Toodjin terhitung yang nomor dua dan Ang In Toodiin nomor tiga. Maka dapat di
mengerti, dalam hal derajat dalam kaumnya, mereka berdua cuma ada di sebelah baw
ah Tjie Yang Toodjin, ahli waris dan pemimpin dari Boetong pay itu.
Ketika dulu Tiat Hoei Liong datangi Boetong san untuk tantang Tjie Yang To
odjin main-main dan ia dilayani bertanding oleh Pek Sek Toodjin, tertua yang nom
or empat, dalam pertandingan itu ia menang, nampaknya Oey Yap dan Ang In tidak p
uas. Sekarang Hoei Liong ingat kejadian yang dulu itu, ia jadi curiga.
"Mungkin maksud mereka tidak baik..." demikian ia ragu-ragu. Karena ini, m
eski ia tidak jeri, ia toh merasa kurang enak.
Tidak demikian dengan Giok Lo Sat, ia berdiri di samping ayah angkatnya it
u sambil bersenyum berseri-seri.
Tidak lama, terpentanglah pintu ruang muka. Di muka tangga, Oey Yap Toodji
n dan Ang In Toodjin berdiri berendeng.
Hoei Liong rangkapkan kedua tangannya menyambut dengan hormat.
"Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, djiewie tootiang nampaknya masih
sehat walafiat seperti sediakala!" tuan rumah berkata. "Apakah Tjie Yang Tootian
g juga baik?"
Wajahnya Oey Yap Toodjin mendadak menjadi muram.
"Menyesal sekali soeheng kami itu pada bulan yang baru lalu telah berpulan
g dan naik ke nirwana," sahutnya dengan berduka.
Hoei Liong terkejut, meski ia tidak utarakan itu pada wajahnya. Ia tahu ia
didendam oleh Pek Sek Toodjin, tetapi terhadap Tjie Yang ia mengaguminya. Sekar
ang barulah ia tahu kenapa rombongan Boetong pay itu memakai sampul karcis nama
warna hitam. Hoei Liong bersedih untuk wafatnya imam yang dihormatinya itu, hing
ga air matanya meleleh.
"Sungguh tidak disangka," katanya sambil menghela napas. "Sejak ini tidak
ada lagi tertua yang dapat dengan pengaruh dan kebijaksanaannya membuat orang tu
nduk kepadanya."
Kata-kata itu adalah satu pujian tinggi bagi Tjie Yang Toodjin, akan tetap
i mendengar itu, Oey Yap dan Ang In jadi merasa tidak enak sendirinya.
Hoei Liong sendiri segera memutar tubuhnya menghadap arah selatan, lantas
saja ia menjura tiga kali, sebagai tanda penghormatan terakhir terhadap ketua Bo
etong pay itu.
Selagi demikian, tuan rumah ini ingat sesuatu. Boetong pay kehilangan ketu
anya, sudah seharusnya kalau diangkat penggantinya, bahwa karena wafatnya sang k
etua, banyak yang harus dilakukan oleh murid-muridnya untuk mengurus jenazah dan
upacaranya. Kenapa sekarang Oey Yap dan Ang In dapat kesempatan mendatangi ruma
hnya ini? Mungkinkah mereka ini lebih mementingkan soal perselisihan? Tapi. dipi
kir sebaliknya, itulah tidak mungkin.
Oleh karena tidak mau dibikin pusing dengan keragu-raguannya itu, akhirnya
Hoei Liong segera menanya langsung: "Entah kedatangan djiewie lootiang ini deng
an maksud apa?"
Oey Yap Toodjin memandang ke sekitarnya seperti sedang mencari apa-apa.
"Ada dua urusan untuk mana kami mohon keterangan," jawab ia. dengan suara
adem. "Pertama, kami ingin tahu, apakah di rumah tuan ini ada murid kaum kami ya
ng bernama To It Hang?"
"Untuk apa kalian datang cari To It Hang?" Giok Lo Sat nyeletuk. mendahulu
i ayah angkatnya. "Apakah dia hendak dipanggil pulang untuk urus perkabungan?"
Oey Yap lirik nona itu. Ia memang tahu bahwa Tiat Hoei Liong mempunyai seo
rang gadis nama San Ho yang jumawa sekali, maka ia duga, nona ini San Ho adanya
Maka diam-diam ia bersenyum, karena ia anggap nona itu tidak kenal adat peradata
n "Partai kami hendak memenuhi pesan terakhir dari Tjie Yang Tootiang yang henda
k mengangkat To It Hang menjadi ahli warisnya" Oey Yap menjawab. "Maka itu kami
datang kemari untuk sambut dia pulang."
Mendengar itu, Giok Lo Sat girang berbareng terperanjat. Ia girang karena
It Hang yang masih begitu muda telah diangkat menjadi ahli waris, untuk mengepal
ai Boetong pay, dengan sendirinya, dia menjadi pemimpin umum dari Rimba Persilat
an, walau bukan pemimpin resmi. Dan yang membuat ia terperanjat adalah dengan pi
hak Boetong ia telah berselisih, maka dengan It Hang menjadi ketua untuk selanju
tnya mungkin ia sukar mendekati pemuda pujaannya itu...
Melihat Oey Yap Toodiin bersikap jumawa, Hoei Liong juga jadi dingin hatin
ya.
"Sungguh tidak kebetulan kedatanganmu ini," ia menyahut. "Baru saja To It
Hang keluar dari sini!"
Hoei Liong percaya, dengan keterangannya itu, Oey Yap Toodjin beramai akan
segera berlalu untuk menyusul It HangTapi dugaannya ini meleset.
"Adakah itu benar?" Oey Yap bertanya. "Baiklah, kami akan berdiam di sini
untuk menantikan padanya."
Dan mereka lantas ambil tempat duduk.
Hoei Liong heran, dan tidak mengerti, tapi sesaat saja segera ia sadar dan
ingat, bahwa di dalam karcis nama ada disebutkan, dua imam itu datang sambil me
ngajak murid-muridnya. Maka sebentar lagi tentulah akan datang lain rombongan, u
ntuk menyambut ketua mereka yang baru diangkat. Pasti penyambutan mesti dilakuka
n dengan suatu upacara. Dua orang ini adalah paman gurunya It Hang, tugas mereka
tentunya untuk membantu saja, guna mendampingi ketua yang usianya muda itu. Ing
at kepada tata tertib dari kaum Boetong itu. Hoei Liong tertawa di dalam hati. I
apun percaya, akan kedatangannya lain rombongan, It Hang yang belum lama pergi i
tu akan kesomplokan di tengah jalan, jadi tidaklah heran kalau Oey Yap dan Ang I
n hendak menantikan di rumahnya. Namun ia toh tetap masih bersangsi.
"Numpang tanya, djiewie tootiang, bagaimana pandai kalian mendengar berita
," berkata dia kepada kedua imam sambil rangkapkan kedua tangannya. "Bagaimana c
aranya maka kalian ketahui To It Hang berada di gubukku ini?"
Oey Yap tidak menjawab, sebaliknya ia perlihatkan tampang yang sungguh-sun
gguh.
"Sekarang ada giliran maksud kedatangan kami yang kedua," dia kata, suaran
ya pun kaku.
Mauatau tidak, Hoei Liong jadi gusar.
"Silakan sebutkan!" katanya.
"Bagaimana sebenarnya kematiannya Tjeng Kian Toodjin terjadi?" imam itu ta
nya.
Hoei Liong mencelat bangun, ia kaget dan murka.
"Jadi kaulah yang hari itu tulis surat budek itu?" tegurnya.
"Betul!" jawabnya si imam.
"Jikalau begitu, teranglah kau salah janji!" demikian Hoei Liong menegur,
yang ia pun tertawWrlingin.
"Sekarang toh masih belum kasip, bukan?" si imam mengejek.
Oey Yap dan Ang In datang berombongan bersama enam murid dari tingkat kedu
a, enam murid itulah yang mesti menyambut It Hang secara resmi, Oey Yap dan Ang
In hanya mengantar dan memimpin untuk memberikan pelbagai pengunjukan. Seharusny
a mereka menuju ke Siamsay Utara, ke rumah keluarga To, akan tetapi di luar sang
kaan mereka, begitu memasuki wilayah Siamsay Utara itu, mereka dapatkan satu tan
da rahasia dari Tjeng Kian Toodjin yang malang itu di rumah penginapan. Dari tan
da itu tahulah mereka, Tjeng Kian Toodjin telah orang curangi dan sedang bersemb
unyi untuk berobat di bukit Tjenghong san.
Murid-murid Boetong pay tersebar di mana-mana, di antara mereka itu ada ya
ng lantas datangi Oey Yap Toodjin memberitahukan halnya Hoei Liong kedapatan di
sebuah rumah penginapan.
Tjeng Kian Toodjin itu adalah sahabat kekalnya Boetong Ngoloo, maka Oey Ya
p sudah lantas mendaki Tjenghong san di mana ia dapat cari imam yang bercelaka i
tu, yang benar-benar sangat buruk nasibnya, disebabkan lukanya yang parah tidak
dapat pengobatan, ketika itu dia sudah tidak bisa bicara lagi. Atas pelbagai per
tanyaannya Oey Yap, Tjeng Kian hanya dapat menulis di tanah: "Tanyalah Tiat Hoei
Liong".
Tjeng Kian sudah menjelaskan segalanya kepada Tiat San Ho, ia percaya nona
itu pasti akan menyampaikannya kepada ayahnya, maka itu ia suruh Oey Yap pergi
pada Hoei Liong saja.
Demikian Oey Yap Toodjin datang untuk sekalian menegur. Karena dia telah s
alah mengerti. Dia menyangka Hoei Liong yang aniaya Tjeng Kian. Dengan melihat k
eadaan luka itu dia tahu Tjeng Kian tiada mempunyai harapan dapat ditolong lagi.
Maka dia lantas saja berangkat pulang dengan kegusarannya yang sangat. Diapun l
antas tulis surat budeknya itu kepada Hoei Liong, yang dia kirim ke rumah pengin
apan di mana Hoei Liong singgah. Dia menjanjikan pertemuan di atas bukit, supaya
dia bisa membuat perhitungan di depan jenazahnya Tjeng Kian Toodjin. Oey Yap se
ngaja mengirimkan surat budek karena dia kuatir, karena jeri terhadap Boetong Ng
oloo, Hoei Liong nanti tidak berani terima tantangan itu.
Oey Yap sudah mengatur untuk menetapkan janji pertemuan itu, tapi baru dia
kirim surat kalengnya itu, tiba-tiba datang berita lain, yang penting. Itulah k
abar bahwa entah apa sebabnya, rumah keluarga To telah ditutup pembesar negeri,
bahwa orang-orangnya keluarga itu bubar semuanya. Orang menduga bahwa keluarga T
o tersangkut perkara besar.
Oey Yap beranggapan, perkaranya Tjeng Kian dapat ditunda, perkaranya It Ha
ng harus didahului, maka itu ia telah tidak dapat menepati janjinya terhadap Hoe
i Liong. Ia sudah lantas pergi ke rumahnya It Hang tapi di sana ternyata It Hang
sudah ditangkap dan dibawa ke kota Yanan. Ketika Oey Yap menyusul ke dalam kota
, ia dapat kabar bahwa It Hang sudah ada orang yang menolongnya Ia menjadi gelis
ah dan ibuk sekali. Ia lantas cari keterangan lebih lanjut.
Dalam penyelidikannya itu Oey Yap dengar It Hang mempunyai hubungan dengan
Ong Tjiauw Hie. Ia tahu, Ong Tjiauw Hie adalah puteranya Ong Kee In di Wayauwpo
, maka ia ajak rombongannya pergi kepada orang she Ong itu. Kee In belum tahu ha
l puteranya dan It Hang itu, dia hanya berikan keterangan, bahwa sang putera sed
ang bepergian ke rumah Tiat Hoei Liong di Liongboen, Shoasay.
Ong Kee In tidak bersahabat kekal dengan BoetongNgoloo, tapi ia tahu bahwa
pihak Boetong tidak terlalu memandang mata pada kaum Rimba Hijau -- Lok Lim --
, ini pun sebabnya kenapa ia tidak mau omong banyak, hingga ia tidak jelaskan ju
ga halnya Giok Lo Sat dan Tiat Hoet Liong sudah berjanji untuk adu kepandaian, b
ahwa kepergiannya Ong Tjiauw Hie sebenarnya adalah untuk menolong nona tunangann
ya.
Oey Yap Toodjin ambil kesimpulan, untuk mendapatkan It Hang ia perlu cari
Tjiauw Hie, dan untuk cari Tjiauw Hie, ia mesti pergi ke rumahnya Tiat Hoei Lion
g. Maka ia anggap tepat kalau ia pergi ke Tiat keetjhung, dengan demikian sekali
gus ia dapat selesaikan dua urusan.
Demikian Oey Yap dan rombongannya sampai di Tiat keetjhung. pertama untuk
menanyakan halnya It Hang, kemudian membuat perhitungan untuk kematiannya Tjeng
Kian Toodjin.
Tentu saja Hoei Liong juga menjadi gusar.
"Jadi djiewie tootiang percaya benar bahwa kebinasaannya Tjeng Kian Tootia
ng itu adalah perbuatanku?" akhirnya tuan rumah tanya dengan hati mendongkol.
"Benar!" Oey Yap jawab terus terang secara jantan.
Hoei Liong merasa sangat terfitnah, amarahnya meluap. Sambil berjingkrak i
a ayunkan sebelah tangannya.
"Oey Yap Toodjin, kau pandang Tiat Hoei Liong orang macam apa?" dia menegu
r dengan nyaring.
Imam itu menangkis sambil tertawa mengejek.
"Kau sendiri yang telah berbuat, buat apa kau tanya aku lagi?" dia jawab.
Dia pun panas hatinya.
Tiat Hoei Liong habis sabar. Ia menggeram. Kedua tangannya segera dipentan
g ke kiri dan kanan dalam gerakan "Pekwan tamlouw" yaitu "Lutung putih mencari j
alan." Kedua tangan itu menggunting pundak lawan.
Oey Yap juga lompat mencelat seraya buka kedua tangannya dalam dua rupa ge
rakan yaitu "Samhoan tauwgoat" --- "Tiga melibat dan mengikat rembulan" dan "Hon
ghoet soeilioe" --- "Sang angin mengebut yanglioe meroyot." Secara begitu pecahl
ah serangannya tuan rumah.
Hoei Liong tertawa dingin dan mengatakan: "Memang aku tahu, setelah wafatn
ya Tjie Yang Tootiang, kalian beberapa gelintir imam yang cupat pikiran, pasti t
idak akan melepaskan aku! Hm, rim! Jikalau benar-benar, kau tidak puas, marilah
kita pieboe pula!"
Dengan mengajak pula pieboe, itulah sebagai sindiran, karena salah satu di
antara Boetong Ngoloo telah pernah dipecundangi.
Tetapi sebenarnya, walaupun Oey Yap Toodjin tidak puas terhadap ketua dari
Tiat keetjhung ini, dia tidak mendendam dari hal kekalahannya Pek Sek Toodjin i
tu, hanya karena urusan Tjeng Kian dan orang "menyangkal", dia jadi panas hati.
hingga dia tak dapat kendalikan diri lagi. Maka dia lantas pasang kuda-kudanya.
"Bangsat tua, jikalau kau mau pieboe, mari kita segera mulai!" dia pun men
antang. "Mustahil aku jeri terhadapmu? Tjeng Kian Tootiang sedang menantikan kau
di neraka, jikalau kau mempunyai pesanan terakhir, baik kau siang-siang beritah
ukan itu pada orang-orangmu!"
"Kau ngaco! Mari rasai tanganmu!"
Dalam murkanya yang meluap-luap, Hoei Liong menyambar kepada muka orang. I
a menyerang dengan pukulan "Tiatpiepee tjhioe" -- "Tangan piepee besi".
Oey Yap mundur bukan melulu untuk berkelit diri, tapi sambil mundur iajuga
menghajar lengannya tuan rumah, yang dia incar jalan darahnya dengan dua jari t
angannya.
Hoei Liong tarik pulang tangan kanannya itu.
Justeru orang tarik pulang tangannya itu, tangan kiri Oey Yap menggantikan
tangan kanannya menyerang, kali ini ia menggunai kepalan.
Hoei Liong tolak kepalan musuh itu, hingga ia mundur tiga tindak. Tapi jug
a Oey Yap turut mundur karena kerasnya tolakan itu.
"Orang telah binasakan Tjeng Kian Tootiang, ada apa sangkutannya dengan ak
u?" tanya Hoei Liong, yang masih penasaran. "Kenapa kalian sembarang menuduh aku
? Jikalau kalian tidak menghaturkan maaf, jangan harap kalian bisa keluar dari p
intu rumahku ini dengan masih hidup!"
Akan tetapi setelah bentrokan itu, ketua Tiat keetjhung sadar bahwa pieboe
dan kebinasaannya Tjeng Kian Toodjin adalah dua persoalan yang tak dapat dicamp
ur baurkan menjadi satu. Kebinasaannya Tjeng Kian mesti dibikin terang lebih dah
ulu.
Oey Yap pun nampak ragu-ragu karena seruannya tuan rumah.
"Apakah kau bicara dengan sebenar-benarnya?" dia menegasi.
"Terserah padamu percaya atau tidak?" serunya Hoei Liong. "Ketahuilah oleh
mu bahwa akupun hendak menuntut balas untuk Tjeng Kian Tootiang! Tetapi pieboe p
un kita harus lanjutkan juga! Mengertikah kau sekarang?"
Kata-katanya ini ditutup oleh serangan sepasang tangannya.
Melihat serangan yang hebat itu, Oey Yap gunakan kedua tangannya untuk mem
unahkan: tangan kirinya menangkis sambil melibat, begitu juga tangan kanannya.
Hoei Liong biarkan tangan kanannya hendak dilihat lawan, tetapi tangan kir
inya dilonjorkan terus untuk menoblos libatan, guna menghajar pilingan si imam.
Di antara Boetong Ngoloo, Oey Yap cuma berada di bawahan ketuanya, bisa di
mengerti ilmu silatnya tidak sembarangan, maka walaupun tuan rumah pertunjukkan
keliehayannya, ia masih dapat kelitkan kepalanya, ia sambut serangan itu dengan
pundaknya, hingga terdengarlah suara keras: "Duk!" Adalah setelah itu, ia terus
libat tangan kiri penyerangnya. Serangan kepada pundaknya itu membikin matanya b
erkunangan walaupun ia tangguh, ia toh merasakan hebatnya serangan itu. Di lain
pihak, Hoei Liong juga merasakan sakit sekali kepada tangan kirinya itu. (a menc
oba mendorong, tapi Oey Yap dengan tangan kanannya menahan, sehingga terjadi per
kutatan antara mereka Mereka sama-sama tidak mau melepaskan tangannya yang terli
bat dan tercekal, maka sekarang keduanya mengandalkan kepada tenaga ambekan dan
kuda-kuda kedua kakinya. Mukanya Oey Yap pucat, napasnya memburu. Tapi juga Hoei
Liong rasakan tulang-tulang lengannya sakit sekali.
Baru sekarang keduanya menyesal kenapa tadi mereka umbar nafsu amarahnya,
sekarang menyesalpun sudah kasip.
Ang In Toodjin melihat hebatnya keadaan, ia memikir datang sama tengah unt
uk memisahkannya, tetapi baru saja ia memikir, satu tubuh lain sudah berkelebat,
lantas ia tampak Giok Lo Sat, yang berbaju putih, sudah sampai di sampingnya Oe
y Yap dan Hoei Liong berdua. Ia telah didahului orang.
Giok Lo Sat ulurkan kedua tangannya. masing-masing menyambar ketiaknya Oey
Yap Toodjin dan Tiat Hoei Liong, hingga keduanya merasakan sangat geli, dengan
demikian kendorlah ambekan mereka masing-masing. Maka dengan gunai ketikanya yan
g baik itu, si nona tarik dua lawan itu, hingga mereka terpisah satu pada lain.
Oey Yap kaget bahna herannya Ang In juga heran untuk kesehatannya nona ini
.
Giok Lo Sat tertawa.
"Djiewie tootiang sudah berusia lanjut, kenapa kalian sama pandangan seper
ti aku yang muda?" kata dia.
Oey Yap atur napasnya supaya tidak mengorong lagi.
"Apa kau kata?" dia menegasi.
"Aku maksudkan kebinasaannya Tjeng Kian Toodjin," sahut nona ini. "Mula-mu
la akupun menyangka dia dibinasakan oleh Tiat Looenghiong. maka seperti tootiang
, tidak tanya hijau atau merah atau putih, terus saja aku serang padanya. Kalau
aku ingat kesembronoanku itu, aku tertawa sendirinya."
Oey Yap menjadi heran.
"Apa? Apakah kau bukan puterinya Tiat Hoei Liong?" dia tanya.
"Siapa kata bukan puterinya?" si nona jawab. Dia tertawa.
Imam itu mendongkol.
"Ha, kau main gila terhadap aku?" tegurnya
Pada waktu itu di luar terdengarlah suara berisik dari tindakan banyak kak
i. Ang In segera saja lompat untuk melihatnya.
"To It Hang datang!" terdengar dia berseru.
Oey Yap segera menoleh, begitupun Giok Lo Sat dan Hoei Liong.
Memang juga, It Hang telah bersomplokan dengan rombongan Boetong pay.
Sehabisnya pamitan dari Giok Lo Sat, It Hang lakukan perjalanan dengan len
yap kegembiraannya. Ia biarkan kudanya jalan seenaknya di sebelah belakang Ong T
jiauw Hie dan Beng Tjioe Hee. Ia melamun mengawasi pemuda pemudi itu jalankan ku
danya sambil berendeng. Mau tidak mau ia jadi ingat Giok Lo Sat.
"To Soetee!" tiba-tiba ia dengar panggilan dari arah depan. Ia heran dan a
ngkat kepalanya. Ia tampak serombongan penunggang kuda, yang mendatanginya cepat
sekali.
Ong Tjiauw Hie yang jalan di depan segera menahan kudanya.
Beberapa penunggang kuda itupun lantas berhentikan kuda mereka, semuanya p
ada lompat turun.
It Hang segera kenali mereka itu. Yang paling depan adalah Gie Sin Seng, m
urid kepala tingkat kedua dari Tjie Yang Toodjin, atau soeheng-nya sendiri. Di b
elakang soeheng ini ada lima orang lain, di antaranya terdapat Keng Tjiauw Lam.
"Mari belajar kenal!" kata pemuda kita setelah ia sambut soeheng-nya itu,
untuk diperkenalkan pada Tjiauw Hie dan Tjioe Hee. Tjiauw Lam yang sudah kenal p
emuda she Ong itu menjadi likat sendirinya mengingat lelakonnya dahulu.
It Hang menanyakan maksud soeheng-nya pergi merantau.
"Apakah kau belum ketemu djiesoesiok dan samsoesiok?" Sin Seng balik tanya
.
"Apa? Apakah kedua soesiok pun datang?" It Hang heran.
Sin Seng segera mengucurkan air mata.
"Pada bulan yang lalu tanggal sembilan, soehoe telah wafat..." kata ia den
gan sedih.
It Hang kaget, ia menangis dengan tiba-tiba, tubuhnya terhuyung hampir dia
jatuh. Memang ia pandang gurunya, Tjie Yang Toodj in, bagaikan orang tua sendir
i. Sudah dua belas tahun guru itu merawat dan mendidik ia, maka ia ingat budi gu
runya yang besar itu, tetapi sekarang, sebelum ia bisa membalas budi, sang guru
telah tinggalkan ia untuk selama-lamanya, malah tanpa dapat kesempatan untuk ber
temu lagi.
Sin Seng tubruk soetee itu agar tidak roboh.
"Jangan bersedih, soetee," ia menghibur, dan ia berbisik: "Dengan wafatnya
soehoe, maka kaulah yang mesti bertanggung jawab untuk Boetong pay kita!"
It Hang angkat kepalanya. Ia seka air matanya.
"Apa soeheng bilang?"
"Soehoe telah memesannya supaya kau yang menjadi ahli warisnya!"
It Hang terkejut.
"Tak mungkin!" katanya. "Di atas kita masih ada empat soesiok! Kenapa soeh
oe kehendaki aku yang pegang pimpinan?"
"Sebabnya ialah kau boenboe tjoantjay, soetee," Sin Seng berikan keteranga
n. "Kau cerdas dan bersemangat, untuk kemajuan partai kita, kaulah yang dibuat h
arapan. Semua saudara setujui pesan soehoe, semua tidak ada yang tidak memuji so
ehoe telah memilih penggantinya yang tepat!" (Boenboe tjoantjay = lengkap penget
ahuan ilmu surat dan silat).
Sehabisnya mengucapkan kata-katanya itu, Gie Sin Seng terus memberi hormat
pada soetee itu, dalam kedudukannya sebagai tjiangboendjin (ketua), kemudian di
turut oleh Keng Tjiauw Lam dan yang lain-lainnya saudara-saudara seperguruannya.
It Hang sibuk membalas hormat itu.
"Inilah hebat," kata dia kepada saudara-saudara seperguruannya itu. "Soal
ketua ini baik ditunda dahulu, nanti sesudah aku pulang ke gunung, baru kita dam
aikan pula..."
"Tetapi kau jangan ragu-ragu lagi, soetee," Sin Seng membujuknya.
"Sekarang baiklah kita tengok dulu djiesoesiok dan samsoesiok," Keng Tjiau
w Lam mengajak.
"Di mana adanya kedua paman guru itu?" It Hang tanya.
"Di sana, di Tiat keetjhung," Sin Sengjawab.
"Ketahuilah bahwa dengan susah payah barulah kami ketahui kau berada di si
ni," Tjiauw Lam mengatakannya pula.
"Untuk aku seorang kedua soesiok dan saudara-saudara telah melakukan perja
lanan jauh dan sukar, sungguh tidak enak hatiku," ujar It Hang sambil menepas ai
r matanya. "Aku kuatir akan mensia-siakan harapan soehoe dan semua soesiok dan s
audara-saudara..."
Oleh karena ini, It Hang terpaksa berpisahan dengan Tjiauw Hie dan Tjioe H
ee, saking berduka, ia sampai mengeluarkan air mata. Sepasang pemuda-pemudi itup
un bersusah hati seperti dia.
"Soeheng, mengapa kau berada bersama bocah itu?" tanya Tjiauw Lam sesudah
Tjiauw Hie pergi jauh.
"Kenapa?" balik tanya kakak seperguruan ini.
"Dia adalah puteranya Ong Kee In. itu penjahat besar dari Siamsay Utara!"
kata Tjiauw Lam.
"Itulah aku sudah ketahui," sahut It Hang.
Mendengar ini. Sin Seng terperanjat. Ia adalah murid kepala dalam tingkat
kedua tetapi ia adalah saru manusia biasa saja, selagi ia setuju sangat It Hang
diangkat jadi tjiangboendjin, dengan melewati padanya, ia juga sangat menjunjung
segala aturan dari Boetong pay.
"Jadi dia adalah pemuda yang menunggang kuda putih yang dahulu menemani ka
u di perjalanan?" dia menegasi Tjiauw Lam.
"Betul," sahut Tjiauw Lam. Memang, ketika dahulu ia pulang sehabis mendapa
t hinaan itu, ia telah beber pengalamannya itu, hingga semua orang Boetong menda
pat tahu.
"Soetee." Sin Seng lantas kata pada It Hang. "kau sekarang telah menjadi t
jiangboendjin, maka dalam gerak-gerikmu selanjutnya kau harus berhati-hati karen
a kau harus menjadi teladan bagi sesama saudara kita."
"Terima kasih, soeheng, aku nanti ingat baik-baik nasihatmu ini," kata It
Hang dengan terharu. "Hanya baiklah diketahui, di dalam kalangan Rimba Hijau ada
banyak orang-orang gagah sejati. Kita tidak menjadi berandal, aku anggap tidakl
ah melanggar aturan jikalau kita bersahabat dengan mereka."
"Kau benar juga," Sin Seng kata. "Tapi aku dengar Ong Tjiauw Hie itu berko
mplotan dengan bangsat perempuan Giok Lo Sal. Kau telah ketahui bahwa Giok Lo Sa
t itu pernah membegal engkongmu..."
Mukanya It Hang bersemu merah.
"Akan tetapi engkong tidak mendendamnya," kata dia, suaranya tidak tedas.
Keng Tjiauw Lam menjadi sangat tidak puas.
"Apakah saudara To pernah ketemu Giok Lo Sat?"
It Hang mengangguk.
"Sekarang pikiranku sedang kusut banyak yang aku hendak bicarakan kepadamu
, baik lain kali saja," ia berkata "Saudara Keng, pada tahun yang lalu kau telah
antar engkongku, aku bersyukur dan berterima kasih kepadamu."
Ia lantas menjura kepada adik seperguruan itu.
Dengan tersipu-sipu Tjiauw Lam membalas hormat, tetapi mukanya tampak keme
rah-merahan.
"Kepandaianku rendah sekali, aku tak berdaya melindungi engkongmu." ia men
gakuinya "Soeheng, walaupun kau tidak tegur aku, sendirinya aku sudah merasa mal
u."
"Sudahlah, jangan sebut-sebut pula urusan itu," Gie Sin Seng memotong.
"To Soetee sekarang telah menjadi tjiangboendjin, maka kau tak usah kuatir
di belakang hari dia tidak akan tolongi kau melampiaskan penasaranmu itu!"
It Hang jalankan kudanya perlahan-lahan. Ia benar-benar sangat kusut pikir
annya. Ia sudah menduganya bahwa saudara-saudaranya itu memusuhi Giok Lo Sat, ia
hanya tidak sangka mereka memusuhinya secara demikian hebat, lapun gelisah juga
, karena ia tahu waktu itu Giok Lo Sat berada di Tiat keetjhung. Tidakkah, seben
tar lagi kedua pihak akan dapat ketemu satu pada lain?
"Soetee, jalankanlah kudamu sedikit cepat," berkata Sin Seng pada saudara
itu.
It Hang menurut, ia larikan kudanya. Maka itu, dengan cepat mereka sampai
di rumahnya Tiat Hoei Liong. Dari luar mereka sudah dengar suara keras dari Oey
Yap, paman guru mereka, mereka kaget. Karena ini Sin Seng lantas lompat turun da
ri kudanya dan nerobos masuk tanpa bicara lagi kepada pengawal pintu, perbuatann
ya ini diturut oleh saudaranya. Inipun sebabnya mengapa Ang In segera dapat liha
t mereka dan menyerukannya.
Sampainya rombongan ini membikin pertempuran tertunda. Oey Yap Toodjin h
endak menyambut murid keponakan itu, yang segera akan menjadi ketuanya, tetapi I
t Hang mendahului lompat kepadanya, untuk terus memberi hormat sambil berlutut d
an menangis.
"Sekarang kau telah diangkat menjadi tjiangboendjin," Oey Yap segera membe
ritahukan sambil memimpin bangun.
"Teetjoe tidak berguna, teetjoe tidak sanggup pikul tanggung jawab seberat
itu," kata It Hang. "Teetjoe minta soesiok ajak teetjoe pulang, untuk panggil b
erkumpul semua saudara seperguruan, untuk mereka pilih lain ketua..."
Oey Yap merasa tidak merdeka membicarakan urusan partainya di rumah keluar
ga Tiat, maka ia jawab keponakan murid itu dengan berkata: "Begitu pun baik. Tun
ggulah sampai aku sudah selesai berurusan kepada tua bangka she Tiat ini, baru k
ita pulang."
Tiat Hoei Liong tidak puas yang orang bicara saja. Ia anggap orang telah m
enggerecok, dan sebagai tuan rumah ia seperti dikebelakangi dan berbalik menjadi
tetamu. Syukur ia masih ingat Tjie Yang Toodjin yang ia hargai, j ikalau tidak,
pasti ia sudah umbar kemendongkolannya. Akan tetapi, begitu lekas orang sudah s
elesai bicara, ia lantas berkata dengan nyaring: "Oey Yap Toodjin, orang yang ka
u cari sekarang telah berada di hadapanmu, tanyalah padanya, siapa yang aniaya T
jeng Kian Toodjin!"
Hatinya It Hang bercekat. Segera ia dapat duga, tentu paman gurunya itu be
ntrok kepada jago tua she Tiat itu disebabkan kebinasaannya Tjeng Kian Toodjin.
Maka lantas saja ia campur bicara.
"Soesiok," katanya, kepada Oey Yap. "Tjeng Kian Toodjin binasa di tangan m
uridnya Imhong Tiatsee Tjiang Kim Tok Ek. Tiat Looenghiong sendiri justeru henda
k pergi ke barat untuk balaskan sakit hatinya imam itu!"
Oey Yap Toodjin tercengang. Ia percaya akan katanya keponakan murid atau k
etua baru ini. Meskipun dengan muka merah bahna malu, namun ia rangkap juga kedu
a tangannya kepada tuan rumah.
"Pintoo telah berlaku sembrono, dengan jalan ini pintoo mohon dimaafkan."
ia memohon secara laki-laki. "Bilakah Tiat Looenghiong hendak berangkat? Nanti p
intoo titahkah murid-muridku turut pergi membantunya."
"Itulah tidak perlu!" jawab Hoei Liong dengan tertawa dingin. "Hanya satu
hal aku ingin mohon daripadamu. Yaitu tolong kau sampaikan di hadapan arwahnya T
jie Yang Tbotiang bahwa aku tak bisa datang mengunjuk hormatku yang penghabisan
terhadapnya, sebab pertama ialah aku sedang punyakan urusan sangat penting, kedu
a karena kita berbedaan golongan aku minta supaya aku dimaafkan. Dari jauh saja
aku unjuk hormatku."
Oey Yap bisa mengerti yang orang sedang mendongkol.
"Terima kasih, looenghiong," ia mengucap sambil rangkap kedua tangannya pu
la
Ketika itu It Hang berdiri di samping. Ia telah diangkat oleh gurunya menj
adi tjiangboendjin, tapi ia masih tidak mau ambil kedudukan sebagai ketua partai
nya itu. Ketika ia menoleh ke samping, ia dapatkan Keng Tjiauw Lam yang mendampi
ngi Ang In Toodjin, paman gurunya sedang bisik-bisik pada paman guru itu. Ia ter
peranjat.
"Inilah hebat," pikirnya. Ia tahu bahwa Tjiauw Lam murid yang disayang ole
h paman gurunya itu. Ia menduganya tentulah Tjiauw Lam minta gurunyanya melakuka
n pembalasan. Karena ini, ia lantas menoleh ke arah Giok Lo Sat, yang sedang dud
uk diam di samping ayah angkatnya Nona itu melihat ke kiri dan kanan seperti jug
a ia tidak tampak akan terjadi ketegangan. Ketika secara kebetulan sinar mata me
reka bentrok satu pada lain, pemuda ini lekas-lekas menundukkan kepala, hatinya
memukul keras.
Oey Yap Toodjin anggap urusan telah selesai, ia lantas beri tanda pada Gie
Sin Seng beramai untuk mereka pamitan. Dengan paksakan bersenyum ia kata pad
a tuan rumah: "Tiat Looenghiong, maafkan kami, kami mohon pamitan..."
Baru imam ini menutup mulutnya, atau Ang In Toodjin berlompat maju.
"Tunggu dulu, soeheng" kata soetee ini. (Soeheng = kakak seperguruan).
Oey Yap heran, ia menoleh dengan segera.
Tapi Ang In tidak bicara lagi dengan soeheng-nya itu, ia hanya terus tunju
k nona di sampingnya Tiat Hoei Liong.
"Nona, kau membikin pintoo sangat mengaguminya!" demikian katanya. "Sudah
lama pintoo ingin memohon pengajaran darimu, tidak kusangka, hari ini kita dapat
bertemu di sini!"
Oey Yap menjadi heran.
"Apakah soetee telah menjadi angot?" pikirnya. "Kenapa sebagai salah satu
dari Boetong Ngoloo dia bisa mengeluarkan kata-kata menantang terhadap satu nona
muda?..."
Tiat Hoei Liong sambil tertawa dingin sudah lantas geserkan tubuhnya. Si n
ona Giok Lo Sat sebaliknya berbangkit dengan ayal-ayalan, akan dengan ayal-ayala
n juga rapikan pakaiannya.
Nampaknya Ang In panas benar hatinya. Dia maju ke depan nona itu.
Giok Lo Sat bersenyum.
"Ilmu silat pedang dari Boetong pay telah menjagoi di kolong langit ini, c
ara bagaimana aku berani terima pengajaran dari tootiang?" kata dia dengan sabar
.
"Jikalau kau tidak ingin menyambutnya juga tidak menjadikan apa-apa!" kata
Ang In sambil mengejek: "Hm!" Ia menambahkan: "Tetapi nona berhutang terhadap B
oetong pay, sekarang dengan besarkan hati pintoo ingin menagihnya!"
Sepasang alis yang lentik dari Nona Lian terbangun.
"Apa yang hendak ditagihnya?" tanyanya, suaranya nyaring.
"Aku minta nona suka potong enam jari tanganmu untuk diserahkan pada pinto
o. buat pintoo bawa pulang!" jawabnya Ang In Toodjin.
Memang waktu di Tengkoen san Giok Lo Sat telah perhina murid-murid Boetong
pay, dengan membabat buntung dua jarinya Keng Tjiauw Lam serta empat saudara se
perguruannya orang she Keng ini masing-masing satu jari.
Mendengar sampai di situ, mengertilah Oey Yap Toodjin sebabnya Ang In jadi
gusar dan menantang nona itu. Nya.talah nona itu bukan puterinya Tiat Hoei Lion
g tapi Giok Lo Sat si bandit wanita yang menggetarkan hatinya orang-orang kangou
w. Ia hanya heran, mengapa nona kosen itu masih begini muda remaja.
Giok Lo Sat tertawa cekikikan, ia tidak menjawab imam itu.
Mendongkolnya Ang In bertambah-tambah, tetapi ia masih tetap berdiri diam
saja. Lebih-lebih tidak berani ia mendahului menghunus pedangnya.
It Hang kalut pikirannya, sehingga tubuhnya bergemetar.
Keng Tjiauw Lam lihat sikapnya saudara ini, ia heran, maka diam-diam ia me
nghampiri.
"Kau kenapa, soeheng?" tanyanya.
"Tidak apa-apa." sahut It Hang dengan perlahan.
"Bangsat perempuan itu sangat liehay ilmu pedangnya, aku kuatir soehoe tid
ak dapat bekuk padanya," kata pula Tjiauw Lam, "maka itu, soeheng, baik kau siap
sedia, supaya bangsat itu tidak bisa lolos!"
It Hang mengangguk dengan seangguk-angguknyadi luar kehendak hatinya, sebe
narnya ia mengharapkan supaya pertempuran tidak akan terjadi.
Dalam keadaan tegang itu, Tiat Hoei Liong bertindak ke tengah di antara ke
dua orang yang saling berhadapan itu. Ia sekarang tampaknya sangat tenang, ia bi
sa tertawa riang.
"Anakku, Lian, apakah benar kau punya hutang kepada pihak Boetong pay?" di
a tanya, suaranya nyaring dan nyata sekali. .
"Bukannya hutang, ayah, itulah hadiah!" sahut sang anak sambil tertawa jug
a. "Lima murid Boetong pay telah pieboe dengan aku, pasti sekali tak dapat aku p
ulang dengan tangan kosong! Itulah aturan dari Hektoo, Kalangan Hitam. Ayah, mun
gkinkah kau tidak ketahui aturan itu?"
Oey Yap Toodjin kembali menjadi bingung. Mengapa mereka itu membahasakan a
nak dan ayah satu pada lain?
Tiat Hoei Liong mengusap-usap jenggotnya, ia tertawa gembira. "Anakku, ten
tulah kau telah keliru mengenalnya!" dia berkata pula. "Mungkin mereka telah mem
alsukan namanya Boetong pay! Ilmu pedang Boetong pay menjagoi di kolong langit,
maka cara bagaimana bisa terjadi, lima lawan satu tetapi yang dikerubuti peroleh
kemenangan dan yang lima keok?"
Ayah dan anak itu bicara saling sahut, mereka telah membuat An In Toodjin
serba salah, hatinyapun panas, maka kemudian karena tidak dapat mengendalikan di
ri lagi, "Sret!" dia cabut pedangnya.
"Giok Lo Sat, kau hendak bayar hutangmu atau tidak?" dia menegur dengan be
ntakannya.
Tapi dengan tidak menunggu jawaban si nona lagi ia segera berpaling pada T
iat Hoei Liong dan berkata: "Gunung kami tersembunyi dan sepi, karenanya kami ja
di kurang pendengaran, hingga kami tidak ketahui kau ada punya ini satu anak per
empuan yang gagah perkasa! Kami telah menagih hutang kepadanya di hadapanmu, per
buatanku ini memang sangat tidak hormat, akan tetapi siapa membunuh orang, dia m
esti menggantijiwa, siapa berhutang uang, dia mesti membayar uang juga karena de
mikian kami terpaksa menagihnya."
Tiat Hoei Liong tertawa gelak-gelak.
"Anak perempuanku ini beda sangat daripada anak-anak perempuan lainnya! "d
ia kata dengan nyaring. "Apa yang dia perbuat, aku biasanya tidak tahu menahu, m
aka jikalau memang dia berhutang, pasti dia dapat membereskannya sendiri! Maka i
tu janganlah kalian menagih kepadaku..."
Ang In Toodjin menjadi sangat heran, begitupun Oey Yap, Tidakkah arti kata
-kata Tiat Hoei Liong ini menyatakan si nona bukan gadisnya?
Justeru pihak Boetong pay masih diam saja, Hoei Liong menambahkan pula:
"Meskipun demikian, karena aku menjadi orang tuanya, dapat aku berlaku adi
l," demikian katanya. "Ingin aku menanya jelas: Apakah Tootiang sendiri yang dat
ang menagih hutang ataukah mereka semua ini, orang-orang pandai dari dua tingkat
dari Boetong pay. juga hendak menagih hutang bersama?"
Ang In menjadi gusar.
"Asal kau sendiri tidak turut turun tangan, sudah tentu kami dari pihak Bo
etong pay tidak nanti rebut kemenangan dengan mengandalkan jumlah yang banyak!"
diajawab.
Hoei Liong tertawa pula.
"Benarkah katamu ini?" ia tegaskan, dengan lagaknya mengejek. "Sebenarnya,
meskipun kau ditambah dengan beberapa orang lagi, anakku masih tidak berkeberat
an... Asal saja Oey Yap Tootiang seorang dapat mengatasi dirinya, aku si tua ban
gka pasti tidak akan merasa jemu, suka sekali aku duduk diam menemani padanya!"
Dengan itu Hoei Liong maksudkan. "Asal Oey Yap Toodjin tidak turun tangan,
biar kau semua maju, kalian tetap bukan tandingannya Giok Lo Sat!"
Pasti sekali Ang In Toodjin jadi sangat gusar.
Hoei Liong dengan tidak menghiraukan sikap Ang In, ia terus manggut kepada
Oey Yap Toodjin untuk memberi tanda, lalu ia duduk, perbuatan mana diturut imam
itu.
"Giok Lo Sat, apakah kau masih belum hendak hunus pedangiriu?" Ang In tegu
r si nona. "Kau hendak tunggu apa lagi?"
Nona itu bersenyum.
"Titah Tootiang sebagai orang yang lebih tua, aku yang muda tidak berani t
idak menurutnya," berkata dia, "akan tetapi tidak berani aku lancang mendahuluin
ya, maka silakan tootiang yang mulai."
Ang In mendongkol bukan main.
Selagi ia sangat mendesak, tapi lawannya ada demikian merendah. Iapun terl
ebih tua dan seorang suci pula, sedangkan lawan di depannya adalah satu nona bia
sa. Terpaksa ia tancap pula pedangnya ke dalam sarung, lalu ia menghampiri denga
n serangan tangan kirinya, dua jarinya diluruskan. Itulah gerakan "Hwaliong tiam
tjeng" atau "Melukis naga menitik matanya". Dua jarinya itu menyambar ke muka si
nona.
Hanya dengan satu kali Giok Lo Sat elakkan serangannya, imam itu telah tub
ruk tempat kosong. Tapi menyusul itu imam ini merasakan sambaran hawa dingin di
belakangnya, seperti sambarannya senjata tajam, hingga ia kaget tidak terkira. S
yukur hatinya tabah, kepandaiannyapun tinggi, dengan kedua kaki menjejak lantai,
tubuhnya imam ini mencelat dalam gerakan, "Loanyauw tjaplioe" -- "Membungkukkan
pinggang, menancap yanglioe!" Tetapi ia tidak mencelat jauh, ia hanya memutar t
ubuh, untuk memperlihatkan tipu silat Boetong pay "Wanyho Lianhoan twie" --- "Ka
ki berantai burung Wanyho". Yaitu sambil memutar tubuh, kaki kirinya menjejak ke
belakang, mengarah lengan yang mencekal pedang dari lawannya
Giok Lo Sat yang telah perlihatkan kegesitannya, kembali pertontonkan keli
ncahannya. Ketika kakinya menjejak, sebat sekali ia menyampingkan bahunya yang t
erancam itu, dengan begitu ia telah lolos dari bahaya.
"Eh tootiang, mengapa kau tidak hunus pedangmu?" tanya si nona sambil tert
awa manis. Ia memandangnya secara menarik hati kepada si imam, yang menaruh kaki
di depannya.
Diam-diam Ang In akui, inilah untuk yang pertama kali ia hadapi orang sede
mikian gesit sebagai Giok Lo Sat. Nona itu dengan mudah saja dapat selamatkan di
rinya dari jejakannya itu. Iapun bersyukur, karena telah memandang enteng lawan
ini, ia bisa lolos dari bahaya.
Oey Yap saksikan pertempuran itu, iapun heran. Ia belum tahu sampai di man
a kepandaian silatnya nona ini, akan tetapi mengenai kengsin kanghoe, ilmu menge
ntengkan tubuh, teranglah si nona ada di atasan Tiat Hoei Liong. Ia juga percaya
, bahwa kepandaiannya nona ini bukanlah buah pengajarannya jago dari Tiat keetjh
ung itu.
Sekarang tidak lagi Ang In berani berlaku alpa. Ia menghunus pedangnya.
"Baiklah," katanya. "Sekarang aku silakan kau lebih dahulu, nona!"
Suaranya imam ini juga lantas berubah menjadi lunak.
Giok Lo Sat bersenyum seperti biasa.
"Maafkan aku." kata ia. Ia menekan belakang pedangnya dengan tangan kiriny
a, lantas pedang itu dilonjorkan ke depan, selagi senjata tajam itu berkilau ber
keredep, kakinya menindak maju di arah tiongkiong, ujung pedangnya menyambar ke
dadanya si imam!
Di dalam kalangan persilatan ada disebut, "Pedang maju ke samping, tumbak
menjurus segaris." Atau, "Golok jalan di hitam, pedang jalan di hijau." Itu arti
nya, pedang mengutamakan kesehatan, dengan senjata pedang, orang kebanyakan meny
erang dari samping, kiri atau kajian, jarang yang maju langsung di tengah, tiong
kiong. Maka adalah luar biasa, baru saja mulai. Giok Lo Sat sudah maju menyerang
ke tengah!
Kesannya Ang In terhadap si nona berubah, sekarang ia memandangnya sebagai
lawan seimbang, maka itu, walaupun ia diserang bukan dengan cara biasa, tidak l
agi ia naik darah.
Ang In Toodjin putarkan pedangnya dari samping ke tengah, untuk menangkis
serangan. Tipu silatnya ini ialah yang dinamakan "Sanboe gintjoa" atau "Ular per
ak menari di atas gunung". Ini ada salah satu dari tujuh puluh dua jurus ilmu si
lat pedang Lianhoan Toatbeng kiam --- Berantai Merampas Jiwa --- dari Boetong pa
y. Inipun salah satu tipu untuk memunahkan serangan langsung dari depan.
"Bagus!" Oey Yap memuji di dalam hatinya. Ia dapat kenyataan, ilmu pedang
adik seperguruan ini telah maju pesat sekali. Biasanya, dengan tangkisan yang di
barengkan serangan semacam ini, senjata musuh mesti kena dibetot terlepas dari c
ekalan.
Juga Ang In Toodjin beranggapan sebagai soeheng-nya itu, dia merasa pasti
sembilan dalam sepuluh bagian serangannya akan berhasil, tapi kesudahannya membu
at ia heran, pedang si nona tetap masih berada di tangannya. Malah sebaliknya ia
menjadi kaget tak terkira. Menurut dugaannya, si nona akan menikamnya dengan "T
oktjoatouwsin" -- "Ular berbisa muntahkan bisanya", akan tetapi entah bagaimana
jalannya, tanpa ia lihat lagi, ujung pedang nona itu sudah menyambar ke bahunya.
Dalam kagetnya, bersama-sama pedangnya Ang In berkelit sambil memutar tubu
h, dengan begitu, baru ia dapat menghindarkan diri dari tikaman ulangannya si no
na.
Akan tetapi Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ. Selagi lawannya mem
utar diri, ia juga menyusul dengan desakannya, pedangnya bergerak sangat cepatny
a.
Ang In Toodjin t^ahu orang mengancam pula padanya, ia angkat pedangnya men
angkis, akan tetapi musuh membatalkan serangannya setengah jalan, untuk ditukar
dengan lain macam serangan yang silih ganti, kelihatannya ancaman menjurus ke at
as. tapi tahu-tahu arah bawahlah yang diserangnya, demikian pula serangan ke kir
i tetapi kananlah yang menjadi sasaran.
Maka akhirnya, dalam tempo yang sependek itu, Ang In Toodjin telah dibikin
bingung dan repot melakukan perlawanan.
Ilmu pedang Boetong pay bukan sembarangan. Demikian dengan Ang In Toodjin.
Setelah terdesak beherapa jurus, imam ini mulai mengerti cara bersilatnya si no
na. Ia lantas dapat perbaiki diri, ia bisa melayani dengan tenang tapi waspada.
Ia ambil putusan akan melayani terus dengan tujuh puluh dua jurusnya dengan hany
a menjaga diri tanpa menyerang dulu. Ia menjaga rapat dirinya, umpama kata, "ang
in dan hujan tak dapat menembusinya". Dengan kepandaian liehay inilah yang membu
at Boetong pay dijulukkan "Thianhee teeit" --- "Nomor satu di kolong langit".
Giok Lo Sat telah pertunjukkan kepandaian dan kelincahannya, ia berhasil m
engurung imam lawannya, akan tetapi pembelaan lawannya sangat rapat, ia tak dapa
t berbuat banyak. Ia hanya bisa mengurung, lebih tidak.
Selama pertandingan itu, Oey Yap Toodjin kuatirkan sangat soetee-nya itu,
dikuatirkan melakukan sesuatu kekeliruan gerakan, akan tetapi sekarang ia dapat
bernapas lega.
Ang In tidak dapat terka Giok Lo Sat menggunakan ilmu silat macam apa. Sud
ah lima puluh tujuh jurus ia
melayaninya, masih tetap nona itu berada di atas angin. Hal ini membuat Oe
y Yap mulai berkuatir pula. Soeheng ini menjadi gelisah, karena ia telah berjanj
i dengan Tiat Hoei Liong tidak boleh membantui soetee itu, karena ia sudah membu
at perjanjian.
It Hang duduk di sebelahnya Oey Yap Toodjin paman guru ini diam-diam tarik
tangannya keponakan murid itu.
"Kau tunggu sebentar saja, lantas kau gantikan paman gurumu itu," ia kata
seperti berbisik.
Di dalam tingkat kedua, It Hang adalah yang kepandaian silatnya paling tin
ggi, dibandingkan dengan Ang In, ia hanya kalah satu tingkat, akan tetapi ia mas
ih muda, dalam hal tenaga ia jauh lebih menang dari sang paman. Maka Oey Yap ing
in keponakan ini layani Giok Lo Sat, sedikitnya untuk lima puluh jurus. Iapun an
ggap It Hang ada dari tingkat muda, walau kalah pun dia^ tidak mendatangkan malu
. Ia pikir, baik ambil tempo dulu sekedarnya setelah itu, baru ia akan pikir pul
a lebih jauh.
Akan tetapi It Hang bengong memandang gelanggang pertempuran, kaki tangann
ya dingin. Tangan yang dingin seperti es itu membuat kaget paman gurunya hingga
paman ini mengawasi muka orang.
"Ah, kau sakit?" tanyanya, It Hang tidak menjawab, ia melainkan anggukkan
kepalanya bagaikan orang yang kurang sadar akan dirinya.
Oey Yap Toodjin jadi heran dan masgul.
Pertempuran berjalan terus dengan tak kurang hebatnya. Dahinya Ang In Tood
jin telah bermandikan peluh...
Dalam keadaan sehebat itu mendadak terdengar tertawa panjang dari Giok Lo
Sat, lalu tampak pedangnya menjurus kepada bahunya imam itu.
Ang In gunakan pedangnya untuk menangkis serangan itu.
Giok Lo Sat tarik memendekkan tangannya, lalu ia angkat naik untuk dari at
as menyerang ke bawah. Nyata sekali ia hendak tikam lutut lawannya. Terang itula
h ilmu pukulan Boetong pay "Kimtjiam touwhoa" atau "Jarum emas ditoblos benang".
Tentu sekali, Ang In Toodjin heran karenanya.
Sesudah bertempur demikian jauh, seratus junis lebih, imam dari Boetong sa
n ini mulai melihat tegas, ilmu silat lawannya itu benar-benar luar biasa, sesua
tu serangannya atau gerakannya, adalah bertentangan dengan cara-cara yang umum,
ia jadi bingung, hingga ia tidak tahu dengan cara apa ia harus memecahkan kurung
an untuk balas menyerang. Maka sedapat mungkin ia berlaku sabar, senantiasa berj
aga-jaga. terutama untuk menjaga jangan sampai ia kena diakali. Tapi sekarang ia
tampak orang serang ia dengan tipu silat partainya sendiri, maka lupalah ia kep
ada sikapnya mengawasi serangan berbalik dari lawan itu. Begitulah ia "membuka p
intu", untuk putar pedangnya dua libatan, guna menangkis. Inilah tipu silat "Sam
tjoan hoatloen" -- "Tiga kali roda berputar", yang biasa dipakai memecahkan "Kim
tjian touwshoa" itu.
Benar-benar aneh cara bersilatnya Giok Lo Sat. Sudah jelas dia menggunakan
tipu silat Boetong pay, pedangnya menjurus ke bawah, tetapi belum mengenai pada
sasarannya, mendadak dia merubahnya, pedangnya menyambar ke atas membentur peda
ngnya Ang In, hingga bentrokan itu membuat pedangnya imam itu terpukul keras dan
terpental, hampir terlepas dari cekalan, sampai Ang In kaget tak kepalang.

VI

Keng Tjiauw Lam saksikan bahaya yang mengancam gurunya itu, tanpa merasa i
a keluarkan seruan, hingga ia hendak betot Gie Sin Seng supaya soeheng ini maju
menolongi. Tapi Ang In lolos dari bahaya, ia sempat mundur dua tindak. Ini membu
ktikan bahwa ia adalah salah satu jago Boetong pay.
Giok Lo Sat lantas tertawa pula dengan manis, walau ia baru saja habis ber
kelahi lama dan seru, sedang lawannya telah bermandikan peluh.
"Kita sudah bertempur sampai seratus jurus," kata dia, dengan sikap gembir
a seperti biasa, tetapi tetap tidak ada yang menang dan kalah, maka menurut pend
apatku, baiklah hutang ini dibikin habis saja, tidak perlu kita berkelahi terus!
"
Nona itu mengucap demikian karena ia memandang kepada It Hang, dengan demi
kian ia mau memberi muka pada Angin Toodjin. Akan tetapi Ang In memikir lain. Di
a telah bertempur lama sampai dia rasakan kepalanya pusing, sekarang di depan mu
rid-muridnya dia tidak sanggup robohkan satu anak muda, dia merasa malu sendirin
ya. Malah mendengar kata-kata si nona, bagaikan api ditambah minyak, dia menjadi
bertambah gusar, mukanya merah padam, giginya berkerot. Tanpa kata lagi dia maj
u dan menikam Giok Lo Sat!
'Nona itu menangkis, alisnya bangkit berdiri. Ia tertawa dingin.
"Ha! kau masih hendak berkelahi terus?" tanya dia. Dan dengan ujung pedang
nya dia terus menikam iga kanan lawannya itu.
Kali inipun Giok Lo Sat menggunakan tipu silat Boetong pay, yakni "Pekho t
okhie" atau "Bangau putih mematok ikan".
Baru saja Ang In peroleh pelajaran, seharusnya ia ingat itu.
Akan tetapi ia telah belajar ilmu pedangnya untuk puluhan tahun, pedang it
u seperti sudah menjadi satu dengan hatinya, ia terpengaruh oleh kebiasaannya, m
aka melihat si nona menyerang dengan "Pekho tokhie", tanpa menginsafinya lagi-la
gi ia membuka lowong penjagaan dirinya dengan menangkis pedang lawan
dengan "Hengkang kiattauw"-
"Lintangkan sungai memotong tebing". Adalah keinginannya untuk menggempur
pedangnya nona itu. Giok Lo Sat telah kembali memancing, nyata ia berhasil. Maka
ketika" pedangnya hendak digempur, ia membalik tangan seperti tadi dan berbalik
ia yang mendahului menggempur pedang lawannya, yang disampok terputar dengan ke
ras dan terpental lepas dari cekalannya Ang In.
Dalam kagetnya Oey Yap Toodjin tolak tubuhnya It Hang.
"Kau masih belum hendak keluar membantunya?" serunya pada murid keponakan.
Tapi waktu itu
Gie Sin Seng bersama saudara-saudaranya sudah lompat menyerang Giok Lo Sat
untuk menolongi paman gurunya, karena mereka kuatir paman gurunya diserang teru
s hingga terluka.
It Hang kaget sampai seperti semangatnya terbang, dengan tergesa-gesa ia h
unus pedangnya.
Tetapi pertempuran telah menjadi sangat kalut, suara beradunya senjata-sen
jata berisik sekali, karena Sin Seng dan saudara-saudaranya sudah menyerang dan
mengepung Giok Lo Sat sangat serunya, hingga tampak si nona yang putih bagaikan
berterbangan, karena ia mesti perlihatkan kelincahannya dengan selalu menyingkir
dari setiap rangsakan.
Lima murid Boetong pay lupa maksud mereka semula ialah untuk menolongi pam
an mereka terus kepung si nona dengan hebat. Akan tetapi pengepungan mereka tida
k berlangsung lama, karena segerajuga pedang mereka masing-masing telah dibikin
terbang terpental, lepas dari cekalan mereka.
Keng Tjiauw Lam juga lompat maju, tetapi begitu lekas ia dipelototi oleh s
i nona, lantas ia menjadi kuncup kembali, bukan saja ia tidak berani menerjang t
erus, malah ia lempar diri ke lantai, untuk bergulingan sampai di sudut tembok!
Menampak murid-muridnya dipermainkan secara demikian, matanya Ang In Toodj
in menjadi merah bahna gusarnya, ia lompat kepada pedangnya yang ia jemput, teru
s ia maju akan menerjang pula musuhnya. Ia lupa dan telah mengingkari janji untu
k tidak mengerubuti si nona.
Giok Lo Sat mundur, ia tertawa dengan dingin.
"Lebih baik kau tunggu muridmu memungut pedang mereka dahulu.
masih belum terlambat!" demikian ia mengejek.
Ang In tidak perdulikan ejekan itu. ia menusuk dan menusuk lagi. hingga ti
ga kali saling susul, selama itu Giok Lo Sat main mundur sambil berjaga diri. Ad
alah pada tikaman yang ketiga kalinya barulah si nona gerakkan pedangnya.
Justeru itu It Hang telah datang dekat kepada si nona. kaki dan tangannya
lemas seperti tidak bertenaga, akan tetapi dia paksakan diri akan serang si nona
, karena dia lihat paman gurunya sedang terancam. .
"Ah!" si nona berseru, menyusul mana, pedangnya terlepas dan jatuh ke lant
ai, tubuhnya sendiri mencelat mundur sampai kira-kira satu tombak, dari lenganny
a, mengalir darah yang menembus keluar dari bajunya sehingga lengan baju itu ber
ubah warnanya menjadi merah.
Giok Lo Sat adalah seorang yang biasa suka menang sendiri, semula di waktu
layani Ang In ia masih sadar, ia masih memandang It Hang, tidak mau ia melayani
nya secara sungguh-sungguh akan tetapi imam itu terlalu turuti amarahnya, dia te
lah terlalu mendesak sehingga membangkitkan kemendongkolannya nona itu, si nona,
menggempur pedangnya sampai terpental dan terlepas. Adalah sesudah bikin terban
g pedangnya semua murid Boetong pay, barulah nona itu sadar, ia menyesal atas ke
sudahan yang demikian hebat itu. Maka kebetulan sekali It Hang lompat menikam pa
danya, sambil di satu pihak ia tangkis pedangnya Ang In Toodjin, di lain pihak i
a sengaja perayal gerakan tangannya, membiarkan lengannya ditikam pedangnya pemu
da she To. lalu ia menjerit dan lompat mundur.
It Hang kaget, ia terhuyung karena lemas dan kelesuannya.
Ang In pun kaget, karena ia terlolos dari bahaya, tetapi berbareng iapun h
eran karena si nona tertikam oleh It Hang dan lompat mundur, hingga ia seperti m
erasa sedang bermimpi. Karena ini, walaupun ia masih menyekal pedangnya, ia tida
k berani kejar nona itu.
Sementara itu Oey Yap Toodjin tonton pertempuran itu dengan hati gelisah,
pikirannya kusut. Ia kaget akan lihat romannya It Hang, hingga lupa ia pada janj
inya kepada Tiat Hoei Liong. Dengan tiba-tiba ia mencelat bangun sambil mementan
gkan kedua tangannya, setelah mana, ia lompat maju!
Menyusul mencelatnya Oey Yap itu, Tiat Hoei Liong juga bergerak bagaikan t
erbang untuk segera merintangi imam itu. hingga tubuh mereka berbenturan sampai
menerbitkan suara keras, keduanya sama-sama terpental mundur.
"Oey Yap Toodjin, janganlah kau merendahkan derajat dengan mengingkari jan
jimu!" berteriak Hoei
Liong sekuatnya bagaikan geramnya harimau.
Oey Yap berkuatir sangat untuk keponakan muridnya, sampai ia tak gubris Ho
ei Liong.
"It Hang, kau roboh?" dia tanya keponakan muridnya. Dia menyangka murid it
u terluka.
It Hang tidak lantas dapat menjawab paman gurunya itu, ia bingung sekali.
"Soeheng, mari kita pergi!" Ang In Toodjin ajak kakak seperguruannya itu.
Hoei Liong masih gusar, ia hendak menyerang Oey Yap ketika ia dengar suara
anak pungutnya: "Ayah, anakmu bertempur seri dengan mereka itu, sudahlah, bikin
habis saja perhitungan ini!..." kata Giok Lo Sat sambil melendotkan tubuhnya pa
da meja kayu wangi.
"Apa yang kau hendak artikan?" Hoei Liong tanya, karena ia tidak mengerti.
"Aku berterima kasih kepada Ang In Tootiang yang telah sudi mengalah terha
dap aku." sahut anak pungut itu, "akan tetapi setelah majunya murid mereka dari
tingkat kedua, aku telah dikalahkan. Maka aku anggap kita seri, tidak ada yang k
alah, tidak ada yang menang..."
"Jikalau begitu, perkara boleh dibikin habis," kata sang ayah angkat kemud
ian. "Oey Yap Tootiang, kalian mempunyai urusan penting sekali, aku tidak dapat
menahan kalian lebih lama pula!"
Jago tua ini segera kembali ke kursinya, untuk jatuhkan diri berduduk.
"Mari minum teh!" ia mengundang. Tapi itu adalah cara menyilahkan orang pu
lang...
Ang In Toodjin tertawa tidak bisa, menangispun tak dapat. Ia diam saja.
Oey Yap anggap tiada faedahnya untuk melanjutkan pertempuran, ia memaksaka
n bersenyum. Ia lantas rangkap kedua tangannya pada tuan rumah untuk pamitan.
"Di depan arwah Tjie Yang Tootiang, tolong haturkan maafku," Tiat Hoei Lio
ng mohon.
"Pasti aku tak akan lupakan itu!" sahutnya Oey Yap Toodjin.
It Hang pun menuruti sikap gurunya, ia memberi hormat untuk pamitan. Ia li
hat Giok Lo Sat mengawasi padanya dengan wajah berseri dan tertawa, ia jengah un
tuk balas mengawasi, buru-buru ia memalingkan muka untuk segera berlalu.
Selagi meninggalkan Tiat keetjhung, wajahnya Ang In Toodjin bermuram durja
dengan terus membungkam mulut. Terang ia sangat malu dan mendongkol.
Oey Yap Toodjin jalan berendeng bersama It Hang, ia sengaja jalan ketingga
lan berdua It Hang di belakang adik seperguruannya itu.
"Ilmu silat pedangnya Giok Lo Sat itu benar-benar luar biasa.
namanya yang tersohor bukannya kosong belaka," dia kata dengan perlahan pa
da muridnya, "tetapi kenapa dia dengan mudah dapat ditikam lengannya olehmu?"
"Itulah karena aku mengandal bantuannya samsoesiok." jawabnya, lt Hang.
Paman guru itu tertawa.
"Walaupun aku sendiri masih belum tentu dapat mengalahkan padanya." dia ka
ta.
It Hang tahu, bahwa paman gurunya tidak percaya kepadanya, mukanya menjadi
merah.
"Aku lihat dia sebenarnya mengasihi kau..." kata pula paman guru itu.
Melihat paman gurunya tetap tidak mempercayainya, terpaksa It Hang berkata
terus terang tentang perkenalannya kepada nona yang kosen itu, sedikitpun tidak
ada bagian yang ia umpetkan.
Mengetahui si nona tempur enam "iblis" di atas gunung Hoasan, diam-diam Oe
y Yap Toodjin mengaguminya. Dan mengenai asal-usulnya nona itu, ia menjadi heran
. Lama ia diam berpikir, baru ia manggut-manggut.
"Kalau begitu, nyatalah dia bukannya berandal biasa," pikir imam ini. "Dia
tersesat tetapi perbuatannya tidak terlalu dapat dicela."
Lalu ia berkata: "Kiranya dia disusui biang srigala, pantas tabiatnya bera
ndalan. Tetapi kau seorang keturunan sasterawan, tidak selayaknya kau bergaul ra
pat kepadanya."
"Harap soesiok ketahui, dengan dia sebenarnya aku tidak punya perhubungan
pribadi," It Hang jelaskan pada paman guru itu.
"Mudah-mudahan demikian adanya." Oey Yap tertawa. "Kau kini telah diangkat
sebagai tjiangboendjin, apabila kau membawa kisah, kau bisa ditertawai saudara-
saudara seperguruanmu."
Mendengar itu, It Hang pikir: "Baik aku tidak mau jadi Tjiangboendjin!"
Perjalanan dilanjutkan di sepanjang sungai Honghoo, melewati Tongkwan, mas
uk ke propinsi Hoolam, lalu dari Lamyang memasuki propinsi Ouwpak. Di sepanjang
jalan mereka tidak kesepian. It Hang tidak merasa lega hati. Ia dapat kesan bahw
a Ang In Toodjin bersama Gie Sin Seng dan lain-lainnya bersikap bermusuhan terha
dap Giok Lo Sat, kecuali Oey Yap Toodjin. Tetapi Oey Yap Toodjin memandangnya Gi
ok Lo Sat sebagai golongan sesat.
"Sayang," It Hang mengeluh. Ia telah peroleh pengalaman bagaimana sukarnya
untuk dapat melenyapkan salah mengerti.
Dua puluh hari lebih telah berselang, mereka telah lewati pelabuhan Lauwho
okauw. Dari situ mereka sudah lantas bisa lihat gunung Boetong san di mana sudah
berkumpul murid-murid Boetong
pay-murid-imam dan murid-
biasa. Mereka itu menyambut dengan gembira. Di antara merekapun turut sert
a Pek Sek Toodjin dan Tjeng Soo Toodjin.
Sehabisnya menjalankan kehormatan, ItHang diantar Pek Sek Toodjin menengok
i jenazah gurunya. Dua bulan lebih sejak wafatnya imam ini, untuk menantikan pul
angnya It Hang, mayatnya belum dikubur. Karena ini, mayat itu telah dipakaikan o
bat pembalsem agar tubuhnya tidak menjadi rusak.
Melihat roman gurunya, It Hang menangis sampai roboh pingsan, ketika ia sa
dar kemudian, ia dapatkan semua paman gurunya serta saudara-saudara seperguruann
ya dari tingkat kedua, yaitu dua belas murid kepala dari cabang-cabang Boetong p
ay Selatan dan Utara, sudah berdiri berbaris mendampingi padanya, berdiri diam d
engan roman sungguh-sungguh.
Segeralah terdengar suaranya Oey Yap Toodjin: "It Hang! Di masa hidupnya,
gurumu sangat sayang kepadamu, semua kepandaiannya dia telah wariskan kepadamu,
hingga kau selanjutnya tinggal membutuhkan latihan dan pengalaman saja Dengan pe
rbuatannya itu, sudah tentu gurumu mengharap supaya kau dapat mewarisi juga usah
anya, guna memancarkan sinarnya Boetong pay kita. Tahukah kau keinginan gurumu i
tu?"
It Hang mengangguk.
"Meskipun tubuh teetjoe akan hancur lebur, itu masih tidak cukup untuk mem
balas budinya soehoe," ia nyatakan. Ia lalu berlutut.
Oey Yap Toodjin memimpin bangun.
"Sebentar sore kau mesti berkeramas membersihkan diri dan pantang juga," p
aman guru itu kata. "Besok kita akan jalankan upacara besar, supaya selanjutnya
kau dapat pegang pimpinan. Mengenai pelbagai cabang kita, di mana yang kau kuran
g jelas, sekarang kau boleh tanyakan keterangannya."
Akan tetapi It Hang berkata: "Dengan sesungguhnya teetjoe tidak sanggup un
tuk menjadi tjiangboendjin, tidak berani teetjoe menerimanya."
"Kenapa begitu?" Oey Yap Toodjin tanya, ia heran.
"Teetjoe masih sangat muda dan pengetahuanku cetek sekali, bagaimana teetj
oe sanggup memimpin semua saudara seperguruanku?" It Hang menjawabnya.
"Untuk memancarkan dan meluaskan kaum kita, kita justeru membutuhkan kaum
muda," berkata Oey Yap. "Adakah kau mempunyai semangat untuk bertanggung jawab.
Ataukah kau hendak timpakan itu kepada kami beberapa tua bangka?"
It Hang berpaling kepada Gie Sin
Seng, siapa sebaliknya sudah lantas ajak empat murid kepala dari pelbagai
cabang menghampiri padanya, untuk memberi hormat dan dia berkata: "To Hiantee, j
angan kau menolak lagi. Siapa berani menentangi pesan ketua almarhum? Kau harus
ingat, di sini ada empat soesiok yang bisa membantu padamu."
Sin Seng duga lt Hang kuatir lain-lain saudara seperguruan tidak puas akan
pengangkatan itu, maka ia mengucap demikian, akan tetapi nyata dugaannya itu ke
liru.
"It Hang, kau harus ingat pengharapannya gurumu almarhum," Pek Sek Toodjin
pun bantu membujuki.
It Hang mengawasi ke kedua belas saudara seperguruannya, ia dapat kenyataa
n di antara mereka memang tidak ada yang cocok, maka kalau ia pujikan satu di an
taranya, pasti akan ditolak.
"Gurumu tidak dapat lebih lama pula menantikan kau!" Oey Yap Toodjin mende
sak karena ia lihat orang masih tetap ragu-ragu. "Jikalau kau tidak mau terima p
engangkatan, gurumu pasti belunvdapat dikubur. Puaskah hatimu apabila sampai ter
jadi demikian macam?"
It Hang lantas saja menangis.
"Semua soesiok dan saudara-saudara..." katanya, "teetjoe telah terima budi
nya kaum kita, apapula sekarang ada pesan dari soehoe, sudah selayaknya teetjoe
terima pengangkatan ini. Akan tetapi teetjoe mempunyai kesulitan sendiri. Umpama
teetjoe harus menerimanya juga, itu mesti ditunda sesudah tiga tahun."
Oey Yap Toodjin heran. "Kenapa begitu?" ia tanya. "Itulah disebabkan kar
ena difitnah, aku sekarang menjadi pemburon pemerintah." It Hang terangkan. "Seb
elum fitnahan itu dapat dibikin terang, bagaimana teetjoe dapat menjadi ketua?"
Oey Yap terkejut. "Mari!" ia mengajak. Maka mereka pergi ke lain ruang di mana s
i imam tanya jelas keterangan lebih jauh dari keponakan murid ini.
Selama dalam perjalanan pulang, di mana ada banyak saudaranya, It" Hang ti
dak berani sembarang omong. Ia tahu, bahwa bencana sedang mengancam pemerintah.
Tapi di sini dengan hanya berada berdua saja. ia berikan keterangannya. Ia beber
rahasia niatnya bangsa Boan melakukan penyerbuan, untuk mana mereka itu sekaran
g lagi beli-belikan penghianat untuk mewujudkan maksud jahatnya itu.
Mendengar itu, Oey Yap Toodjin terperanjat, hingga ia berdiam sekian lama.
"Habis, apakah Giok Lo Sat ketahui hal itu?" tanya dia.
"Ya, dia ketahui itu," It Hang jawab. "Dalam pertempuran di atas
Hoasan, dua di antara enam iblis itu adalah penghianat yang menjadi perkak
asnya bangsa Boan."
"Giok Lo Sat adalah seorang penjahat besar dari Rimba Hijau," kata pula Oe
y Yap. "Dan yang lainnya adalah penghianat yang hendak merobohkan negara, bukank
ah mereka itu orang-orang sekaum?"
"Sebaliknya, soesiok," kata It Hang. "Giok Lo Sat justeru sangat benci rom
bongan penghianat itu membencinya sampai ke tulang-tulangnya! Bukan melainkan Gi
ok Lo Sat, juga Ong Tjiauw Hie benci kawanan manusia hina dina itu! Di matanya k
aum Rimba Hijau, raja boleh dirobohkan untuk digantinya, akan tetapi negara tak
dapat dibiarkan termusnah di tangan bangsa lain." Kembali Oey Yap berdiam. "Sebe
narnya kita dari kaum Boetong pay tidak biasanya mencampuri urusan pemerintahan,
" kata ia kemudian, "akan tetapi urusan ada mengenai keutuhan negara, kau sendir
ipun sedang terfitnah, maka urusan ini kau harus membereskannya Apakah kau niat
berangkat ke kota raja begitu lekas gurumu dimakamkan?" It Hang manggut. "Benar,
" jawabnya. "Teetjoe ingin menghadap putera mahkota. Kawanan penjahat itu sudah
mencelakai utusan-utusan raja, kejahatannya itu mereka timpahkan kepadaku, maka
perlu aku menjelaskannya."
"Hal ini tidak perlu kau beritahukan saudara-saudara seperguruanmu, kecual
i paman guru-gurumu," Oey Yap kata.
"Teetjoe juga memikir demikian," berkata It Hang. "Sama sekali bukannya te
etjoe tidak mempercayai saudara-saudara seperguruan sendiri tetapi teetjoe angga
p ada bahaya rahasia bocor apabila orang yang mengetahuinya terlalu banyak."
"Aku mengerti, tidak usah kau menjelaskannya lagi." Oey Yap kata. "Sekaran
g kau tunggu di kamar semedhi, nanti aku panggil ketiga soesiokmu itu."
It Hang menurut, ia pergi ke kamar semedhi untuk menunggunya.
Oey Yap muncul tidak lama bersama Ang In, Pek Sek dan Tjeng So, ketiga ima
m adik seperguruannya itu.
It Hang segera berikan keterangannya, sesudah mana, mereka itu lantas meng
adakan perundingan.
"Kalau demikian duduknya hal," menyatakan Pek Sek Toodjin, "baiklah It Han
g tunda dahulu pengangkatannya sebagai ketua, kami angkat soeheng selaku pemangk
u jabatan itu untuk tiga tahun."
"Usiaku sudah lanjut, kesehatanku makin hari makin berkurang, bagaimana ak
u dapat menjalankan tugas itu?" menyatakan Oey Yap.
"Hanya untuk selama tiga tahun, soeheng." Pek Sek mendesak. "Jikalau bukan
soeheng, siapa lagi yang dapat melakukannya?"
Ang In dan Tjeng So juga setujui Pek Sek, mereka bantu membujuki.
"Baiklah," kata Oey Yap Toodjin setelah didesak.
Sampai di situ, empat tetua itu pergi keluar untuk menemui dua belas murid
kepala dari pelbagai cabang itu, untuk menjelaskan mereka halnya It Hang terfit
nah, perlulah ketua muda itu diberi ketika untuk membersihkan diri, karenanya, u
pacara pengangkatan ketua terpaksa harus ditunda dahulu.
Semua murid kepala itu dapat penjelasan, malah mereka bersimpati kepada ba
kal ketuanya itu. Dengan tidak sangsi-sangsi mereka segera berikan kesetujuannya
.
Setelah persoalan ketua beres, mereka lalu repot membuat persediaan untuk
pemakaman jenazah Tjie Yang Toodjin, yang dilakukannya selang beberapa hari kemu
dian, maka setelah tfu, pelbagai murid lantas bubaran pulang. Cuma It Hang seora
ng yang tidak segera berangkat
Pada suatu malam. Oey Yap Toodjin panggil keponakan muridnya ke dalam kama
rnya.
"Semasa ayahmu di kota raja, apakah kau telah ditunangkan?" tanyanya tiba-
tiba paman guru ini.
"Tidak," menjawab It Hang dengan sebenarnya. Tapi dalam hatinya ia heran,
kenapa paman guru ini menanya demikian.
"Usiamu tidak muda lagi, seharusnya kau sudah bertunangan." kata pula pama
n guru itu.
"Sekarang teetjoe sedang berkabung, tidak pantas teetjoe membicarakan soal
perjodohan?" sahut keponakan murid ini.
Oey Yap Toodjin tertawa.
"Aku bukannya orang turunan berpangkat, sedikitnya aku tahu juga tentang a
dat kesopanan." berkata dia. "Memang, siapa sedang berkabung, dia mesti menanti
tiga tahun, baru dia dapat menikah, akan tetapi membicarakan hal perjodohan tida
k menjadi halangan"
It Hang terkejut.
"Sekarang sedikitpun teetjoe tidak memikirkan hal perjodohan." kata dia de
ngan lekas
Oey Yap berdiam sebentar, lantas ia tertawa.
"Orang semacam kau seharusnya mempunyai pasangan yang cantik dan bijaksana
," katanya pula. "Giok Lo Sat lichay ilmu silatnya, sayang tak dapat dia lenyapk
an sifat banditnya, maka aku hendak menasihatkan kau supaya tidak jatuh hati kep
adanya."
"Soal itupun belum pernah teetjoe pikir." It Hang kata. "Berulang kali soe
siok sebut-sebut hal ini, mungkinkah soesiok tidak mempercayai teetjoe?"
"Kau adalah orang kami yang dibuat andalan, orang yang bertanggung jawab,
maka aku sangat kuatir kau nanti salah jalan!" sang paman guru omong terus teran
g.
"Harap soesiok tetapkan hati," kata It Hang.
"Syukur!" sahut paman guru itu. "Meski demikian, apabila ada satu nona yan
g cocok, aku nasihatkan kau mengikat jodoh, supaya hatimu tidak lagi terpengaruh
."
Makin lama It Hang makin heran mengenai sikapnya paman guru ini. tanpa mer
asa, hatinya bercekat. Memang belum pernah ia pikir untuk nikah Giok Lo Sat. aka
n tetapi entah kenapa, setelah lihat nona itu, hatinya bagaikan terikat... adatn
ya Giok Lo Sat yang keras ada kalanya membuat ia jeri. malah pun terkadang ia se
bal, akan tetapi wajahnya si nona seperti sudah tercetak dalam hatinya. Sekarang
, mendengar kata-kata paman gurunya ini. ia mendapat kesan paman guru itu telah
menjadi comblang bagi dirinya untuk dijodohkan dengan lain orang. Maka iajadi ge
lisah sendirinya.
"Benar-benar teetjoe tidak memikir untuk menikah semuda ini!" katanya samb
il menggoyang-goyangkan tangan.
Oey Yap pandang keponakan murid itu. ia tertawa dalam hatinya tetapipun ia
merasa kuatir. Ia tidak percaya penuh akan kata-katanya pemuda ini bahwa dia ti
dak pernah memikiri Giok Lo Sat.
"Tetapi baiklah aku tidak desak terus padanya" pikirnya kemudian. "Baik ak
u tunggu sampai sudah ada nona yang tepat, nanti aku amprokkan mereka, supaya me
reka lama bergaul rapat, mustahil hatinya takkan berubah..."
Lalu ia bersenyum sendirinya. Dan ia tidak bicara lebih jauh pula.
It Hang lihat perubahan sikap paman gurunya itu, baru ia merasa hatinya le
ga.
"Apakah soesiok ada pesan lainnya lagi?" tanya It Hang sambil berbangkit,
sikapnya tetap menghormat. "Teetjoe niat berangkat besok."
Niat semula dari pemuda ini adalah untuk tunggu sampai harian "samtjit" (d
ua puluh satu hari), akan tetapi mendengar kata-kata paman gurunya itu, ia lanta
s ubah waktu keberangkatannya itu. Ia anggap, lebih cepat berangkat lebih baik.
"Kau duduklah dahulu!" paman guru itu berkata sambil tertawa.
Mau tidak mau keponakan murid ini terpaksa duduk pula.
"Kau adalah murid yang bakal jadi tjiangboendjin kita. sebenarnya hatiku t
idak tenteram membiarkan kau berangkat seorang diri ke kota raja." kata Oey Yap
dengan perlahan.
It Hang ingat desakannya I n Yan Peng dan Kim Tjian Giam. ia anggap kekuat
irannya paman guru ini beralasan. Maka ia diam saja.
Oey Yap Toodjin pun berkata pula: "Maka itu aku pikir hendak minta soesoes
iokmu menemani kau." (Soesoesiok = paman guru yang ke-4).
Soesoesiok itu adalah Pek Sek Toodjin, karena di dalam Boetong Ngoloo -- L
ima Tetua dari Boetong pay -- dia adalah anggota yang ke empat, usianyapun palin
g muda, baru berumur lima puluh. Dia menjadi toosoe imam -- baru pada sepuluh ta
hun yang silam.
It Hang tahu paman guru yang ke empat ini asal orang she Ho, dia menjadi i
mam karena isterinya meninggal dunia dia pilih Boetong san sebagai tempat sucika
n dirinya.
"Sejak dia pieboe dengan Tiat Hoei Liong," kata Oey Yap mengenai adik sepe
rguruannya itu, dia rajin sekali melatih diri, hingga dia sekarang beda jauh dar
ipada dulu, maka dengan bergaul rapat kepadanya, kau pasti akan peroleh banyak k
ebaikan."
"Dengan ada soesoesiok sebagai kawan seperjalanan, itulah bagus," kata It
Hang. "Hanya dengan demikian aku akan memberabekan soesoesiok..."
"Mengenai paman gurumu, kau tak usah berlaku sungkan." kata Oey Yap sambil
tertawa. Terus ia berbangkit. "Sekarang pergilah kau beristirahat," dia menamba
hkan.
It Hang menurut. Ia girang mendapatkan Pek Sek Toodjin sebagai kawan seper
jalanan. Memang biasanya ia dan Pek Sek Toodjin bergaul lebih rapat daripada lai
n-lain paman gurunya.
Keesokan harinya It Hang lantas pamitan dari ketiga paman gurunya. Sebelum
nya ia lebih dahulu sambangi kuburan gurunya untuk pamitan. Kemudian barulah ber
sama-sama Pek Sek Toodjin ia turun gunung.
Setelah jalan sepuluh hari lebih keponakan murid dan paman guru ini sudah
memasuki wilayah propinsi Hoolam bagian Timur.
"It Hang, bagaimana kalau kita pergi ke gunung Siongsan?" tiba-tiba Pek Se
k Toodjin tanya keponakan muridnya itu selagi mereka berjalan.
It Hang bertujuan ke Pakkhia, ia heran untuk kegembiraannya paman guru ini
.
"Ada keperluan apakah maka soesiok niat pesiar ke gunung Siongsan?" tanyan
ya.
"Siongsan adalah salah satu dari lima gunung terbesar," sahut paman guru i
tu sambil tertawa. "Gunung yang demikian besar dan kenamaan, akan sayanglah kita
lewatkan begitu saja!"
"Teetjoe anggap masih belum terlambat apabila kita mengunjunginya lain wak
tu setelah selesai tugasku," kata keponakan murid itu.
"Terlambat datang di kota raja beberapa hari tidak ada artinya" kata
Pek Sek. "Aku tidak hanya hendak pesiar, aku sekalian ingin mengunjungi sa
tu orang..."
"Jikalau demikian, teetjoe suka mengiringinya," kata It Hang, tapi dalam h
atinya ia menggerutu bahwa paman guru ini tidak mau menjelaskannya.
Siongsan adalah nama lengkap untuk kedua gunung Thaysit san dan Siauwsit s
an digabung satu. Kedua gunung itu berdiri berhadapan, jarak di tengah-tengahnya
ada kira-kira sepuluh lie lebih. Di utaranya Siauwsit san, di bawah puncak Ngol
eng hong, adalah tempat keletakannya kuil Siauwlim sie yang kesohor, pusatnya il
mu silat cabang Siauwlim pay.
"Apakah soesiok hendak bikin kunjungan kehormatan ke Siauwlim sie?" It Han
g tanya paman gurunya.
"Kita kaum imam beda daripada pendeta, untuk apa aku unjuk kehormatan?" sa
hut sang paman guru sambil tertawa. "Aku pun tidak bersahabat kepada ketuanya Si
auwlim sie. Kita pesiar ke Thaysit san saja, kalau masih ada tempo, baru kita pe
rgi juga ke Siauwsit san."
Jawaban ini membuat heran pemuda kita. Kaum persilatan yang manapun, apabi
la mengunjungi gunung Siongsan, tidak ada yang tidak lebih dahulu pergi ke Siauw
sit san. Mungkin paman guru ini hendak tengok sahabatnya yang tidak mengerti ilm
u silat.
Untuk mendaki gunung, paman guru dan keponakan murid ini bangun dan berang
kat pagi-pagi. matahari baru mulai muncul, kabut memenuhi seluruh gunung, hingga
pemandangan sangat indah tampaknya. Sesampainya mereka di tengah gunung, barula
h halimun mulai tipis, Batara Surya tampak semakin nyata. Terdengar suara bercic
anya burung-burung, harum semerbaknya bunga-bunga menyambar hidung.
"Sungguh indah pemandangan alam di sini!" It Hang memuji.
Mereka berhenti sebentar, untuk makan rangsum kering, air selokan gunung y
ang jernih sebagai air minumnya, sehabis itu, mereka melanjutkan mendaki.
Di Siongsan ini terdapat banyak pohon pek yang tua-tua.
Pek Sek dan It Hangjalan di antara pohon-pohon pek itu, sampai mereka liha
t sebuah yang sangat besar dan tinggi, besarnya kira-kira dua pelukan orang. It
Hang menjadi kagum sekali.
"Orang-orang yang mengunjungi Thaysit san memang sangat tertarik kepada po
hon ini," Pek Sek terangkan. "Katanya ketika kaisar Han Boe Tee mengunjungi Sion
gsan. dia telah menganugerahinya sebagai Tay Tjiangkoen, maka selanjutnya pengun
jung-pengunjung lainnya menamakan pohon pek ini menjadi Tjiangkoen Pek. Andaikat
a cerita dahulu itu benar, maka usianya pohon pek ini tentunya sudah dua ribu ta
hun..." (Tay Tjiangkoen=Jenderal Besar. Tjiangkoen Pek = Pohon Pek Jenderal).
It Hang pandang pohon pek istimewa itu, yang cabangnya banyak dan lebat da
unnya, tanpa merasa ia tertawa sendirinya. Ia kata: "Manusia hidup tak lebih dar
ipada seratus tahun, dibanding dengan pohon ini, manusia adalah bayi belaka! Mak
a itu, kenapa manusia mesti perebuti harta dan nama besar sehingga mempersukar d
iri sendiri?..."
Selagi It Hang mengucap begitu. Pek Sek tarik tangannya.
"Kau dengar!" kata paman guru ini dengan perlahan. "Seperti ada orang seda
ng jalan mendaki..."
It Hang dan paman guru itu segera bersembunyi di belakang pohon pek, dari
situ keduanya memasang mata ke arah bawah, dari mana terlihat tiga orang asyik m
endatangi dengan berpakaian seragam pembesar negeri, malah satu di antaranya, pe
muda kita segera kenali sebagai Kimiewie Tjiehoei Tjio Ho, itu komandan dari pas
ukan pahlawan (pengawal) Kimiewie. Ia jadi heran.
"Kenapa diapun ada punya kegembiraan akan pesiar ke sini?" It Hang menduga
-duga. Tapi ia tak dapat menerka lama-lama, karena ia rasakan tangannya sang pam
an guru menyekal tangannya untuk ditarik, dan ia rasakan tangan pamannya itu sed
ikit gemetar.
Ketika itu angin halus menghembus ke arah mereka, maka mereka dap
at dengar pembicaraan orang-orang yang mendatangi itu.
"Lie Taydjin," kata Tjio Ho, "kimtjee telah diantar ke kantor tokboe, deng
an begitu tanggungjawab kita telah jadi enteng bukan main."
Orang yang disebut Lie Taydjin itu menyahut: "Putera mahkota segera bakal
naik atas tahta kerajaan, aku percaya In Yang Peng dan kavvan-kawannya tidak aka
n berani mengganggu kimtjee pula."
It Hang segera duga, orang sedang asyik membicarakan halnya dua kimtjee at
au utusan raja. kedua kimtjee she Tjioe dan Lie. Rupanya kedua kimtjee itu sudah
lolos dari ancaman bencana.
Lalu terdengar orang yang ketiga berkata: "Lie Taydjin, malam ini pasti ka
mi bakal tenggak arak kegirangan!"
Lie Taydjin bersenyum tetapi ia tidak kata apa-apa.
It Hang menoleh kepada paman gurunya, ia terperanjat. Wajah paman ini tiba
-tiba berubah. Tadinya ia hendak bertanya tapi sang paman guru berikan tanda den
gan goyangan tangan untuk ia berdiam.
Sementara itu ketiga orang itu sudah mendekati pohon pek besar.
"Sukar dicari pohon pek demikian tua tapi masih tetap segar," kata Tjio Ho
. "Mari kita singgah di bawah pohon."
Lie Taydjin itu menghela napas.
"Wanita cantik sejak dahulu diumpamakan panglima kenamaan, orang inginkan
dia untuk selamanya tidak menjadi tua dan ubanan," katanya, "tidak demikian deng
an pohon ini yang dinamakan Thay Tjiangkoen. usianya sudah dua ribu tahun, namun
ia tetap tidak berubah, sungguh aku kagum..."
"Hai, orang ini paham ilmu sastera." pikir It Hang.
Selagi tiga orang itu mulai datang dekat, Pek Sek hendak lompat keluar dar
i tempat sembunyinya, akan tetapi ia baru berpikir, ia segera dengar suara terta
wa bercampur omongan, yang terbawa angin, datangnya dari bawah gunung. Itulah su
aranya orang perempuan. Maka ia urungkan niatnya.
Tiga orang itupun segera berhenti bicara.
Suara tertawa dan bicara itu datangnya dari satu nona umur tujuh atau dela
pan belas tahun, yang mendatangi sambil menuntun satu nona kecil yang umurnya ki
ra-kira sepuluh tahun lebih, yang jalannya sambil berjingkrak-jingkrak.
"Lihat, entjie, ada orang!" bocah itu kata. ketika ia tampak Tjio Ho serta
dua kawannya. "Suruhlah mereka menyingkir, supaya kita bisa main petak di sini!
"
Ketika itu. tangannya Pek Sek Todjin kembali bergemetar.
Orang yang disebut Lie Taydjin itu berumur empat puluh lebih, romannya gag
ah. Dia bertindak memapaki kedua nona itu, terutama si nona cilik.
"Eh, nona kecil, apa namamu?" demikian dia tanya. "Mana ibumu?"
"Kau tidak perlu tahu!" sahut bocah itu, tapi ia terus menambahkan: "Aku t
idak punya ibu, ada juga bibiku."
Si nona pandang Lie Taydjin ini, lalu ia kata pada kawannya: "Adik Hoa, ja
ngan ladeni mereka! Mari kita pulang!"
"Entjie, apakah mereka itu orang-orang berpangkat?" tanya si nona cilik. "
Bibi kata kepadaku bahwa semua pembesar bukannya orang baik-baik! Baiklah, entji
e, mari kita pulang, jangan kita ladeni mereka!"
Nona itu benar-benar tuntun kawannya untuk berlalu.
Lie Taydjin itu nampaknya kesusu.
"Eh, kami bukan orang-orang jahat!" serunya "Ajaklah aku pergi menemui bib
imu itu!"
"Bibiku tak dapat menemukan kalian!" jawabnya nona cilik itu.
Orang yang ketiga seperti hendak bermuka-muka kepada Lie Taydjin ini, mend
adak dia lompat ke kedua nona itu dan menghalau di depan mereka, terus dia terta
wa dan berkata dengan ceriwis: "Nona kecil yang manis, mengapa kau tidak mau per
dulikan kami? Kami bisa ajak kau pesiar di dalam kota, di sana kau dapat bermain
dengan gembira!"
Ia lantas ulurkan tangannya hendak meraba mukanya nona cilik itu.
"Hai, Ouw, jangan main-main!" si Lie Taydjin menyerukan.
Kata-kata itu belum habis dikeluarkan, tangannya si nona sudah melayang se
bab tangan itu telah mampir di kupingnya orang ceriwis itu dengan perdengarkan s
uara "plok!"
Hampir It Hang tertawa bahna lucunya penglihatan itu.
"Tentulah opsir ini sudah biasa berbuat ceriwis terhadap orang perempuan,"
ia berpikir. "Sekarang dia dapat bagian dari nona ini, itulah pantas!"
Opsir itu gusar karena dapat persenan tabokan itu! Dia benar orang she Ouw
dan namanya Kok Tjoe. Pangkatnya lebih rendah daripada Lie Taydjin itu, tetapi
mereka sama bekerja dalam barisan Kimiewie. Dia memang gemar minum susu macan da
n main perempuan. Ketika tadi dia ditegur seatasannya, dia tidak puas, dalam hat
inya dia menggerutu: "Hm, kau berpura-pura alim!" Gaplokan kepada klipingnya itu
mendatangkan rasa sakit. Dia segera gerakan kedua tangannya dan melompat ke dep
an menubruk nona cilik itu.
Si nona tarik minggir nona cilik itu, terus dia siap menyambuti sambaran t
angan opsir ceriwis itu. Dia pasang tangannya satu tengkurap dan lainnya celenta
ng.
Kok Tjoe gagal, kedua tangannya membentur tangan si nona sampai ia terdoro
ng mundur tiga tindak ke belakang.
"He. apakah kau berniat berkelahi?" tegurnya si nona.
Kok Tjoe bertambah gusar. Dia adalah hoetjiehoei --- komandan muda --- dar
i Kimiewie, murid Koenloen pay, namanya terkenal juga dalam dunia Rimba Persilat
an, tapi sekarang dia tak dapat lolos dari gaplokan satu nona, juga kena ditolak
hampir roboh, dia bukan main malunya.
"Ha, kau hendak melayani aku berkelahi?" dia membentak. Dia malu akan hila
ng muka.
"Bukannya aku yang hendak tempur kau, tetapi kau yang hendak serang aku!"
si nona baliki.
"Aku tidak perduli siapa!" Kok Tjoe membentak pula. "Sekarang aku tidak da
pat menyudahkannya begitu saja!"
Tadinya Lie Taydjin niat mencegah, tapi segera ia ingin menyaksikan kepand
aiannya si nona untuk ketahui nona itu muridnya orang yang ia maksudkan atau buk
an. Maka ia terus berkata: "Kalau kalian mau berkelahi, mari di sinilah! Di sini
tempatnya lapang!"
Si nona nampaknya tidak senang.
"Walaupun kalian bertiga maju semuanya, aku tidak takut!" katanya dengan j
umawa. Ia terus bawa si nona cilik ke sebuah batu besar tidak jauh dari situ. "K
au duduk di sini menonton! Jangan kau pergi ke mana-mana!"
Nona cilik itu tertawa, ia tepuk-tepuk tangan dengan riang gembira.
"Bagus! Aku diam menonton saja!" serunya. "Entjie. kau harus dapat robohka
n mereka!"
Si nona tidak menjawab, dia hanya lompat mencelat ke depan pohon pek Tay T
jiangkoen itu di mana terdapat sebidang tempat yang agak besar juga "Hayo, kau k
emari!" ia memanggil seraya melambaikan tangannya.
Mukanya Ouw Kok Tjoe menjadi merah karena sangat murkanya, tanpa mengucap
sepatah kata ia terima tantangan itu. Dengan satu lompatan pesat ia hampiri si n
ona. Nyata ilmu enteng tubuhnya dia kalah daripada si nona.
Tjio Ho segera memperingatkan: "Saudara Ouw. jangan sembrono! Nona itu ada
lah seorang ahli!"
Tapi Kok Tjoe tidak memperdulikannya.
"Sambutlah!" serunya, begitu lekas ia datang dekat kepada si nona tangan k
anannya membarengi menyambar muka orang.
Nona itu mundur sedikit, tapi berbareng dan sebat ia membabat lengan orang
.
"Bagus!" seru Kok Tjoe sambil menangkis dengan tangan kirinya sedang tanga
n kanannya, sesudah ditarik pulang sedikit diteruskan untuk menjambak muka si no
na.
Itulah pukulan "Kimliongtamdjiauw" atau "Naga emas ulur cengkeramannya", s
alah satu jurus dari Liongheng Sippat sie" (Delapan belas jurus jalan naga) dari
Koenloen pay.
Tapi jambakan ini mengenai sasaran kosong. Nona itu sudah berkelit sambil
menangkis, akan dengan tangan kanannya balas menyerang iga kiri orang ceriwis it
u Kok Tjoe mengelak dengan meringkas tubuh, ia dapat tolong diri.
Selagi lawan berkelit, tangan kirinya si nona sudah menyambar pula ke dada
.
Orang she Ouw itu terkejut, ia berdongko untuk terus lompat mundur, tapi d
ia kalah sebat, pundaknya kena tersambar juga hingga bersuara, dia terhuyung mun
dur dua tindak.
"Sungguh berbahaya..." keluhnya di dalam hati. Ia bersyukur hanya terhajar
pundaknya kalau dadanya, hebat bukan main. Karena ini, ketika ia maju pula, tid
ak berani lagi ia memandang enteng nona itu. Ia melanjutkan bersilat dengan Lion
gheng Sippat sie itu, yang kemudian diubah menjadi Hekhauw koen -- silat Harimau
Hitam. Ia menjaga diri berbareng menyerang, ia bisa mendesak. Maka kemudian, wa
laupun si nona mahir ilmu enteng tubuhnya, ia jadi seimbang kepandaiannya.
Sampai di situ, si nona juga mengubah caranya bertempur. Sekarang ia berlo
ncat-loncat dan berputaran di sekitar dirinya Ouw Kok Tjoe, sewaktu-waktu ada lo
wongan, baru ia menyerang.
Repot juga pahlawan itu, yang kalah gesit ia tidak lagi sempat menyerang,
bahkan untuk menjaga diripun ia sudah sibuk sekali. Tidak heran, beruntun dua ka
li, ia rasakan pula tangannya si nona. Untung baginya kedua-duanya serangan itu
tidak berbahaya. Hanya sekarang seluruh tubuhnya telah bermandikan peluh.
Si LieTaydjin saksikan kawannya yang telah kewalahan itu.
"Saudara Tjio, pergi kau gantikan saudara Ouw," katanya, "Tapi jangan kau
lukai nona itu."
Tjio Ho sudah lantas maju. Dengan satu lompatan, ia sudah lantas berada di
tengah-tengah di antara dua orang yang sedang bertempur itu, lalu ia gerakkan k
edua tangannya ke kiri dan kanan, dengan tipu silat "Tayma kwietjo" -- "Membawa
kuda pulang ke kandang". Tangan kirinya menarik Kok Tjoe ke damping, tangan kana
nnya menolak mundur si nona.
Jikalau mereka bertempur satu sama satu, mungkin Tjio Ho tidak sanggup law
an si nona, tetapi ia mempunyai latihan lweekang yang baik, maka kedua tangannya
sangat kuat. Kuda-kudanya pun kuat sekali, ia menginjak lantai sampai bisa meni
nggalkan tapak kaki.
Nona itu tertolak mundur, tetapi ia berani dan adatnya keras pula.
"Bagus!" dia menantang. "Hayo, maju kalian semua!"
"Sudahlah, nona!" si Lie Taydjin berkata. "Kita ada orang-orang sendiri. B
ukankah gurumu seorang she Ho?"
Nona itu heran hingga ia mengawasi dengan ternganga. Si Lie Taydjin itu be
rsenyum. "Sekarang marilah antarkan aku menemui bibimu!" kata pula si taydjin in
i sambil bersenyum.
Suara itu baru saja berhenti, dari atas gunung kelihatan seorang berlari-l
ari turun sambil berseru dengan bengis: "Kau masih datang pula kemari! Apa kau m
au?"
Nyata orang itu adalah satu niekouvv, pendeta perempuan, dari usia kira-ki
ra empat puluh.
Melihat pendeta itu, Lie Taydjin lari menghampirinya.
"Ah, mengapa kau cukur rambutmu menjadi niekouw?" tanyanya.
Niekouw itu tidak menjawab, ia hanya ulurkan tangan kiri dan kanan kepada
si nona dan nona cilik.
"Di dunia ini ada banyak orang busuk, mari kita pulang!" katanya. Sedikitp
un ia tidak perdulikan taydjin itu.
Si LieTaydjin maju lagi beberapa tindak.
"Eh, apa kau tidak bisa dengar beberapa patah kata dari aku?" dia tanya.
Niekouw itu ragu-ragu.
"Kau bicaralah!" katanya kemudian.
Taydjin itu tertawa.
"Bicara banyakan toh boleh?" katanya.
Niekouw itu mengawasi, mukanya keren.
Lie Taydjin itu lantas berkata: "Adik Hee, dulu aku salah, maka sekarang a
ku datang untuk sambut kau pulang!"
"Hm!" mengejek si niekouw. "Ada sangkutan apa lagi di antara kau dan aku?
Kau pangku pangkatmu, aku tetap menjadi pendeta! Jangan kau gerecoki aku!"
"Tahukah kair, bahwa putera mahkota akan segera menjadi kaisar?" kata si L
ie Taydjin itu.
"Itupun tidak ada hubungannya dengan aku!"
"Kau tahu aku adalah orang kepercayaannya putera mahkota. Asal aku minta j
abatan di luar kota raja, segera aku akan jadi satu tjongpeng, atau mungkin satu
jenderal! Itu waktu kau jadi nyonya berpangkat tinggi!" (Tjongpeng = brigadir j
enderal).
Mukanya niekouw itu merah padam dan pucat bergantian.
"Kau toh sudah punyakan nyonya besarmu sendiri!" dia menegur. "Jikalau kau
banyak omong lagi, jangan katakan aku tidak memandang-mandang lagi!"
Lie Taydjin itu masih tertawa.
"Tidak heran kau gusar, katanya dengan tertawa-pula. "Kau tidak tahu bahwa
Ouwsie sudah menutup mata dengan belum meninggalkan seorang anakpun. Rumahku te
tap rumahmu..."
Niekouw itu tertawa dingin dan menunjukkan roman bengis.
"Pergi!" dia mengusir. "Pada empat belas tahun yang lalu, karena kau temah
ai uang dan pangkat, kau telah sia-siakan aku!..."
"Itulah kehendak -ibuku..." berkata Lie Taydjin. "Aku tidak bersangkut pau
t."
"Tetapi aku bukannya manusia rendah! Kau harus bertanggung jawab!"
"Meski demikian, umpama kau tidak mau ingat lagi sebagai suami isteri, kau
harus ingat kepada si Sin, anak kita..." kata Lie Taydjin itu.
Tubuhnya niekouw itu bergemetar. Ia sudah memutar tubuh tapi ia balik kemb
ali.
"Bagaimana dengan anak Sin itu?" tanyanya.
"Dia sedang tunggui ibunya pulang..."
Niekouw itu tertawa dingin, ia mengejek pula.
"Apakah kau sangka aku tidak tahu keadaan dalam rumahmu?" katanya dengan b
engis. "Si Sin tidak tahan terhadap kebengisan ibu tirinya, dia sudah minggat! A
pakah kau ingin aku beritahukan di mana adanya si Sin sekarang?"
Mukanya si Lie Taydjin menjadi pucat.
"Bagus!" serunya, yang tiba-tiba lompat berjingkrak. "Benar-benar kaulah y
ang telah sambut dia!"
"Nah, kau lihatlah!" niekouw itu mengejek dengan tertawa dinginnya. "Satu
kali saja aku mencoba, aku telah berhasil! Kau telah diuji! Sebetulnya kau datan
g untuk anakmu itu! Hm, segala pangkat nyonya besar? Fui! Lekas pergi!"
Akan tetapi si Lie Taydjin justeru maju merangsek.
"Aku ingin kau semua, ibu dan anak pulang bersama!" serunya.
Niekouw itu berdiri tegak, sikapnya sangat dingin.
"Si Sin tidak ada di sini!" katanya, setelah taydjin itu datang mendekati.
"Habis, di mana adanya dia?" tanya Lie Taydjin itu.
Niekouw itu tidak ambil pusing, ia diam saja.
"Kalau begitu, mari kau ikut aku pulang!" Lie Taydjin berteriak.
Masih niekouw itu diam saja.
"Bagus!" kata taydjin itu. "Aku tahu kau masih tetap menyintai binatang sh
e Liong itu! Tapi dia tidak cinta padamu!"
"Ngaco belo!" membentak si niekouw, dan tangannya segera melayang. Satu ta
bokan mampir di pipinya si taydjin, sama seperti Kok Tjoe tadi.
"Hai, perempuan galak!" bentaknya Lie Taydjin, ia ulurkan tangannya hendak
menjambak.
Niekouw itu berkelit dengan memutar tubuh, lalu ia balas menyerang.
Lie Taydjin mengempeskan perutnya untuk menghindarkan diri dari serangan.
"Aku sudah mengalah," katanya, "tetapi kau tetap tidak insyaf!"
Benar-benar dia menyerang dua kali beruntun, dengan tangan kiri dan kanan.
Serangan itu hebat, tetapi si niekouw dapat mengelakkan dirinya.
"Kau mau berlalu atau tidak?" bentaknya pendeta wanita itu, sambil menyamb
uti serangan untuk digaet.
Lie Taydjin itu membebaskan tangannya.
"Suami isteri berkelahi, kita ditertawai orang!" kata dia.
Tapi si niekouw sedang murka, ia menyerang berulang-ulang, hingga si Lie T
aydjin mesti mundur terus.
Tjio Ho tidak berani maju membantui.
Segera juga Lie Taydjin telah mundur sampai di pohon pek yang besar itu!
Kembali si niekouw menyerang secara hebat, hingga Lie Taydjin mesti berkel
it mundur ke belakang pohon, tapi berbareng dengan itu, Pek Sek Toodjin lompat k
eluar dari tempat sembunyinya sambii dengan tangan kirinya menekan pundak si tay
djin ini hingga tertolak ke samping.
Ketika niekouw itu tampak imam ini, dia kaget berbareng girang.
"Koko!" serunya. Nyata iapun heran. "Kapan kau datang?"
"Baru saja," sahut Pek Sek Toodjin.
Memang, niekouw itu adalah adiknya imam dari Boetong san ini. Dia adalah o
rang she Ho namanya Kie Hee. Pada dua puluh tahun yang lalu, semasa masih gadis,
duakeluarga meminang Kie Hee. Kedua keluarga itu sama tersohor dalam kalangan R
imba Persilatan.
Keluarga yang pertama adalah Liong Siauw In dari Ngobie pay. Dan keluarga
yang kedua adalah Lie Taydjin ini, yang sebenarnya bernama Lie Thian Yang. Kedua
keluarga itupun bersahabat kekal dengan keluarga Ho, hingga ayahnya Kie Hee tid
ak dapat memilihnya, akhirnya dia serahkan pemilihan kepadaputerinya sendiri.
Waktu itu Nona Ho baru berumur tujuh belas tahun. Ia lihat Lie Thian Yang
lebih cakap dan gagah romannya, ia pilih pemuda she Lie itu. Segera ternyata Thi
an Yang berambekan keras untuk peroleh pangkat. Maka setelah menikah, ia berangk
at ke kota raja. Ia mengerti ilmu silat dengan baik, juga pandai surat, di kota
raja ia dipenujui satu jenderal pangkat Kiekie Tjiangkoen, yang hendak ambil ia
sebagai mantu.
Thian Yang masih ingat kehormatan dirinya, ia tidak lantas terima "lamaran
" itu, ia kasih alasan hendak pulang dulu untuk dapatkan perkenan dari orang tua
nya. Sepulangnya ia telah lantas ambil ketetapan. Yaitu ia anjurkan ibunya untuk
ceraikan isterinya itu.
Suami isteri itu sudah dikaruniai satu anak lelaki umur tiga tahun. Pek Se
kToodjin masih belum jadi imam, dia telah pergi pada keluarga Lie untuk cegah pe
rceraian itu. Ia memperingatkan bahwa mereka sudah menikah banyak tahun, sudah p
unya anak juga, janganlah mereka sampai bercerai. Pihak Lie berkeras hendak berc
erai juga, maka dalam gusarnya Pek Sek lantas bikin putus perhubungan persanakan
dengan keluarga Lie itu.
Empat belas tahun telah berselang. Lie Thian Yang di dalam kalangan Kimiew
ie telah menjadi tjiehoei, komandan. Di lain pihak, tentang Liong Siauw In tidak
ada kabar ceritanya.
Kie Hee, setelah diceraikan, lalu pergi ke Thaysit san akan ikut gurunya.
Pada tujuh tahun yang lalu, gurunya itu meninggal dunia. Karena berduka dan tawa
r hatinya, sedang iapun sudah biasa dengan penghidupan tenteram di atas gunung,
Kie Hee lantas menggundulkan rambutnya menjadi pendeta.
Sampai terjadinya pertemuan hebat seperti di atas.
Lie Thian Yang terkejut melihat adanya Pek Sek Toodjin, ia ternganga sampa
i sekian lama, barulah sesaat kemudian ia sadar akan dirinya.
"Toakoe, kebetulan!" dia berseru. "Tolong kau bujuki Kie Hee..." Imam itu
nampaknya mendeluh. "Inilah urusan kau berdua, aku tidak perlu membujuki isterim
u," dia jawab. "Pada empat belas tahun yang lalu, aku toTTsudah beri nasihat pad
amu!"
Lie Thian Yang malu sampai ia diam bengong bagaikan patung.
Sampai di situ, To It Hang juga lompat keluar.
Melihat anak muda ini, Tjio Ho maju memberi hormat.
"To Kongtjoe!" ia memanggil. Terus saja ia cekal tangannya pemuda kita unt
uk diajak pergi dari depan suami isteri dan ipar yang sedang bercidera urusan ru
mah tangga itu, yang membuat ia likat.
"Tjio Tjiehoei," kata It Hang, "sekarang aku adalah seorang pemburon, apa
kau hendak tangkap aku untuk dibawa ke kota raja?" Tjio Ho tertawa. "Putera mahk
ota justeru sedang pikirkan kau!" katanya. "Sekarang kau bukan lagi pemburon! Se
karang Sri Baginda sedang sakit, keadaannya berat, maka sejak dua bulan yang lal
u, putera mahkota sudah mewakilkan pegang kendali pemerintahan. Juga Lie Kimtjee
dan Tjioe Kirntjee telah lolos dari bahaya, sekaburnya mereka dari rumahmu, mer
eka menuju ke propinsi Hoolam di mana mereka menumpang tinggal di rumahnya pembe
sar yang urus penjagaan gili-gili sungai. Dari sana mereka kirim kabar rahasia k
epada putera mahkota, memberitahukan bahaya yang telah mengancam mereka Putera m
ahkota sudah memegang pemerintahan, dia lantas memberi perintah mengurus perkara
itu, maka giesoe yang menyamar jadi kimtjee itu sudah lantas ditangkap dan dipe
cat. Pahlawan In Yan Peng juga telah ditangkap, hingga perkara merembet kepada T
haykam Goei Tiong Hian. Tapi Goei Tiong Hian yang mengepalai Tongtjiang, pengaru
hnya besar, putera mahkota tidak ingin bentrok dengan dia selagi ia belum naik s
ecara resmi atas tahta, maka urusan itu ia simpan tunda dahulu. Sekarang putera
mahkota sedang mengumpulkan orang-orang gagah dan pintar, terutama ia sangat pik
irkan kau. Ketika aku bersama Lie Tjiehoei diutus melindungi kedua kimtjee pulan
g, aku dipesan untuk sekalian dengar-dengar kabar perihal kau."
"Aku memang hendak pergi ke kota raja untuk menghadap putera mahkota," It
Hang memberitahukan. "Karena kalian sedang melindungi kimtjee, aku tidak mau jal
an sama-sama kalian."
"Kalau nanti kita bertemu di kota raja, pun sama saja," Tjio Ho kata.
Justeru itu mereka dengar bentakannya si niekouw: "Hayo pergi!"
Rupanya tidak ada perdamaian di antara suami isteri itu, malah suami yang
hendak rujuk itu telah membuat bekas isterinya jadi gusar pula.
Ketika It Hang menoleh, ia lihat Lie Thian Yang sedang meringis dan berkat
a dengan penasaran: "Baiklah, sampai nanti kita bertemu pula!..."
"Kita telah putus perhubungan untuk selamanya, jangan kita saling bertemu
pula!" Ho Kie Hee membentak.
Lie Thian Yang menghela napas, lantas ia gapaikan Tjio Ho dan kawannya, unt
uk diajak pergi.
Seberlalunya ketiga orang itu, It Hang menghampiri si niekouw, untuk belaj
ar kenal. Si nona pun telah menghampiri niekouw itu, di samping siapa ia berdiri
, sedang si nona cilik duduk di pangkuannya Pek Sek Toodjin.
"Kau panggil dia engko To!" kata si imam pada bocah itu seraya tunjuk It H
ang, kepada siapa terus ia tambahkan: "Kau belum pernah lihat anak perempuanku,
bukan?"
Ia tunjuk si nona. "Dia adalah Gok Hoa. Dan ini," ia empo si nona cilik un
tuk diangkat, "adalah Lok Hoa."
Ho Lok Hoa, dengan kegembiraannya satu bocah jelita, lantas saja memanggil
: "Engko To!" Gok Hoa sebaliknya merasa likat, ia memanggil dengan perlahan dan
sambil tunduk juga.
Menampak itu, Pek Sek Toodjin tertawa tergelak-gelak.
Imam ini, yang asalnya she Ho. telah punya dua anak, keduanya perempuan, i
alah Gok Hoa yang sudah berumur delapan belas tahun, dan Lok Hoa baru sepuluh ta
hun. Belum lama Lok Hoa dilahirkan, ibunya menutup mata, maka Pek Sek titipkan k
edua puterinya itu kepada adik perempuannya, niekouw, yakni bekas isteri yang di
sia-sia oleh Lie Taydjin Lie Thian Yang itu. Penitipan itu sehingga kini telah b
erjalan kira-kira sepuluh tahun. Selama itu, setiap satu atau dua tahun tentu-te
ntu Pek Sek Toodjin menyambangi kedua puterinya itu di Thaysit san. Inipun sebab
nya kenapa kali ini si imam ajak It Hang mendaki gunung itu. It Hang belum perna
h diberi keterangan, tidak heran ia tidak mendapat tahu, hingga ia menduga-duga
siapa yang paman guru ini niat kunjungi.
Di samping mengunjungi anaknya itu, Pek Sek Toodjin masih punya satu maksu
d lain. Ia sebenarnya sangat penuju kepada It Hang, yang selain murid berbakat d
ari tingkat kedua, pemuda itu pun cakap dan pintar, hingga ia bercita-cita meran
gkapkan jodohnya dengan Gok Hoa, puteri pertama itu. Oey Yap Toodjin ketahui nia
t adik seperguruannya itu, maka di waktu bicara kepada It Hang tentang Giok Lo S
at, dia sebenarnya hendak cari tahu hatinya keponakan murid itu perihal cita-cit
a hidupnya.
"Gok Hoa," kata Pek Sek sambil tertawa, setelah ia perkenalkan kedua anakn
ya pada It Hang, "soeheng-mu ini bukannya orang luar, tak usahlah kau berpegang
teguh kepada adat istiadat. Soeheng-mu ini mengerti baik ilmu silat dan surat, s
egala apa yang kau belum tahu, kau boleh dengan merdeka menanyakan kepadanya."
Gok Hoa masih likat, ia diam saja
"Sekarang mari kita pergi ke kuil," mengajak Pek Sek kemudian.
Kie Hee, yang sekarang pakai nama suci Tjoe Hoei, lantas ajak kakaknya itu
serta It Hang pergi ke kuilnya, karena sejak sucikan diri, ia telah dirikan seb
uah kuil sendiri.
Sesampainya di kuil, Tjoe Hoei silakan It Hang duduk. Tapi Pek Sek lantas
berkata, "Biarlah mereka yang sesama tingkat main-main sendiri!"
Gok Hoa lantas ajak It Hang pergi melihat-lihat seluruh kuil bibinya itu,
kemudian mereka duduk beristirahat di bawah sebuah pohon pek tua. Mereka duduk b
erhadapan.
Sekarang si nona tidak lagi likat dan malu-malu seperti semula. Mereka bis
a bicara dengan leluasa. Si nona lantas tuturkan nasib Kie Hee, sang bibi, yang
jodohnya sangat buruk itu.
"Begitulah nasib buruk seorang wanita..." kata nona ini kemudian sambil me
nghela napas.
"Kenapa kau berpendapat demikian?" It Hang tanya, ia bersenyum. "Bukankah
itu karena kebetulan saja Tjoe Hoei Soethay telah dapatkan suami yang tidak bija
ksana?"
"Justeru itulah!" kata si nona. "Sejak dahulu umumnya wanita mengandal kep
ada pria. Siapa dapatkan suami yang baik. untunglah dia apabila sebaliknya, cela
kalah dia seumur hidupnya. Bibi seorang yang cantik dan ilmu silatnyapun mahir,
akan tetapi sekarang dia cuma menjadi temannya pelita dan Buddha, seumurnya dia
akan hidup menyendiri di pegunungan ini..."
"Sebenarnya tak usah soethay terlalu berduka karena suaminya yang buruk it
u," It Hang berkata pula.
"Benarlah! Meskipun suami isteri yang tadinya menyinta satu pada lain, buk
annya tak mungkin jodohnya bisa berubah juga." Gok Hoa kata. "Kita dapat sebutka
n Soema Siang Djie dan To Boen Koen sebagai contoh. Tidakkah mereka itu yang sat
u cantik dan yang lainnya cakap serta saling menyinta satu pada lain? Akan tetap
i setelah To Boen Koen lanjut usianya, Soema Siang Djie telah berubah juga hatin
ya. Syukur To Boen Koen telah membuat syair 'Pek Tauw Gim" (syair nyanyian "Kepa
la Putih" = usia tua), yang membikin hatinya Soema Siang Djie berubah pula. Dan
Soema Siang Djie pun membikin syair pula, ialah "Tiang Boen Hoe' sehingga mereka
menginsyafi kesengsaraan hati yang satu terhadap yang lainnya."
Mendengar ini, It Hang tiba-tiba ingat kepada Giok Lo Sat. Ia percaya, dar
i mulutnya Giok Lo Sat tidak nanti keluar kata-kata "kesengsaraan wanita" itu.
Ho Gok Hoa halus budi pekertinya, kata-katanya teratur, sikapnya toapan. i
lmu silat dan ilmu suratnya pun cukup, akan tetapi entah bagaimana, di matanya I
t Hang, Gok Hoa masih banyak kekurangannya. Tidak demikian si Raksasi Kumala, wa
lau nona Lian itu kadang-kadang berlaku telengas...
Pek Sek Toodjin pasti tidak dapat bade atau ketahui apa yang terkandung da
lam hatinya It Hang, maka ketika ia habis omong-omong dengan adiknya dan ia kelu
ar, bukan main girang hatinya menampak pemuda itu serta puterinya duduk berduaan
berhadapan tengah mengobrol dengan asyik sekali.
Kita sudah ketahui bahwa Pek Sek Toodjin tidak memikir untuk membuat kunju
ngan ke gunung Siauwsit san. akan tetapi keesoknya pagi, Tjoe Hoei Soethay telah
terima dua surat undangan dari Tjoen Seng Siansoe. yang menjadi Khamsie, pengur
us kepala, dari kuil Siauwlim sie dari Siauwsit san. Itulah ada undangan untuk s
i niekouw serta Pek Sek Toodjin.
Tjoe Hoei tertawa dan kata: "Hebat pendengarannya Siauwlim Khamsie! Baru s
atu hari koko datang, dia sudah mendengarnya!"
Tjoe Hoei, yang tinggal di puncak Thaysit san, yang berdampingan dengan Si
auwsit san, memang bersahabat dan kenal baik pendeta-pendeta dari Siauwlim sie w
alaupun mereka berlainan jenis kelaminnya.
"Ketika ketuaku wafat, pihak Siauwlim sie juga mengirim utusan menyatakan
bela sungkawa," kata Pek Sek, "maka sudah selayaknya saja, hormat dibalas hormat
juga. Marilah kita pergi memenuhi undangan itu." Lalu ia kata pada It Hang: "Ka
u adalah bakal ketua Boetong pay, baiklah kau gunai ketika yang baik ini untuk b
elajar kenal kepada tetua dari Siauwlim sie."
It Hang suka ikut paman gurunya ini.
Jarak di antara Thaysit san dan Siauwsit san hanya sepuluh lie lebih, maka
baru jalan kira-kira setengah jam, Tjoe Hoei Soethay bertiga sudah lantas sampa
i di Siauwlim sie, yang terletak di kaki puncak Ngoleng hong, di utaranya Siauws
it san, di mana terdapat banyak pagoda batu, hingga kuil Siauwlim sie itu bagaik
an terkurung hutan pagoda
"Kita harus ketemui dahulu tiekektjeng untuk memberitahukan kedatangan kit
a," kata Pek Sek pada dua kawannya. (Tiekektjeng = pendeta tukang melayani tetam
u).
It Hang manggut.
Begitu lekas ketiganya sampai di muka kuil, mereka lantas dengar suara ber
isik. Pintu kuil tertutup rapat, rupanya dikunci. Suara berisik datangnya dari d
ua orang tua, yang duduk di atas batu di muka pintu. Mereka ini sedang mencaci k
alang kabutan.
"Hai, Keng Beng. tua bangka kepala gundul, jangan kau banyak lagak?" demik
ian masih terdengar suaranya seorang tua. "Kau memang kepala suatu partai akan t
etapi kau harus ketahui, bahwa kamipun bukannya orang yang tidak mempunyai asal-
usul!"
"Aku lihat kau kaum Siauwlim pay, cuma besar namanya saja, nama kosong bel
aka!" kata orang tua yang lainnya. "Jikalau kau benar-benar mempunyai kepandaian
tinggi, kenapa kau tidak sudi adu kepandaian dengan kami?"
It Hang heran sekali. Kenapa orang ada demikian berani, malah sangat kuran
g ajar dengan menantang berkelahi? Harus diketahui, Siauwlim pay dan Boetong pay
adalah kedua partai terbesar di jamannya itu, bahkan di dalam hikayat, Siauwlim
pay jauh terlebih tua. Boetong pay hanya menang lebih banyak anggautanya. sedan
g dalam halnya murid-murid yang pandai, pihak Siauwlim pay lebih banyak. Maka si
apakah dua orang tua ini, yang nyalinya demikian besar?
Kedua orang tua itu lihat ada orang-orang mendatangi, mereka lompat bangun
dari tempatnya bercokol dan menghampiri, wajah mereka ramai dengan senyuman.
Tjoe Hoei nampaknya acuh tak acuh terhadap kedua orang itu.
Menampak sikap adiknya, Pek Sek juga ikut tidak mau ladeni kedua orang itu
, yang ia anggap sangat tak tahu adat.
Dua orang tua itu agaknya kecele, tetapi mereka masih maju terus, kali ini
mereka menghampiri It Hang,
"Engko kecil," tegur mereka, "apakah kau datang berkunjung kepada Siauwlim
sie?"
It Hang menjawab dengan anggukan kepalanya.
Satu antaranya perdengarkan suara menghina dari hidungnya.
"Sebenarnya kau tidak perlu berkunjung kemari!" kata dia. "Di. dalam Siauw
lim sie, kecuali Keng Beng Tiangloo seorang, yang dapat diajak bertanding, yang
lain-lainnya semuanya tidak ada artinya! Untuk keperluan apakah dari tempat jauh
-jauh kau datang kemari?" It Hang heran bukan main. "Aku mohon tanya she dan nam
a besar dari lootjianpwee?" ia tanya. Ia ingin ketahui siapa adanya orang-orang
yang bernyali besar ini. Orang tua itu perdengarkan pulahinaannya: "Hra!"
"Namaku?" katanya. "Sekalipun aku menyebutkannya, kau pasti tidak ketahui!
Di jaman ini, mereka dari golongan muda hanya tahu namanya Siauwlim pay dan Boe
tong pay, sedang sebenarnya mereka melainkan dengar nama belaka! Tentang kami or
ang-orang tua, yang tidak sempat mendirikan partai, tentu mereka tidak tahu atau
mengenalnya. Terus terang aku katakan, andaikan Boetong Ngoloo ada di sini, mun
gkin mereka akan mengaku dirinya adalah yang termuda terhadap aku..."
It Hang benar-benar tidak mengerti akan obrolannya ocehan orang itu. "Dan
apakah imam itu gurumu?" orang tua itu menanya sambil tangannya menunjuk Pek Sek
Toodjin.
It Hang heran bukan kepalang. "Menurut katanya, dia ada terlebih tua dan t
erlebih terhormat daripada Boetong Ngoloo, tetuaku, tetapi mengapa dia tidak ken
al Pek Sek Soesiok?" Namun ia menjawab juga: "Itulah paman guruku." Lantas ia me
ngulangi menanyakan she dan namanya kedua orang tua itu.
Orang tua itu segera perlihatkan roman yang sangat bangga.
"Kau sebenarnya dari partai mana?" dia balik menanya. "Apakah tetuamu tida
k pernah beritahukan kau tentang Lioksiangsian Ouw Mai si Dewa Dunia, dan Sintjh
ioe Beng Hoei si Tangan Sakti? Aku adalah Lioksiangsian Ouw Mai itu! Pada dua pu
luh tahun yang lalu, dengan bertempat di atas gunung Boetong san, pernah aku men
gadu pedang dan silat dengan Tjie Yang Tootiang. Di dalam ilmu silat bertangan k
osong dia suka mengalah satu jurus kepadaku. Dan dalam hal ilmu pedang kedua pih
ak ada sama tangguhnya. Tapi karena dalam ilmu silat tangan kosong aku telah men
ang daripadanya, maka dalam ilmu pedang, tidak dapat tidak aku harus memberi muk
a padanya, aku tetap mengalah!..."
It Hang heran ditambah heran. Gurunya adalah seorang paling jujur dan bias
a merendah, kalau benar pernah terjadi adu ilmu silat itu, mengapa gurunya tak p
ernah memberitahukannya?
"Itulah kejadian pada dua puluh tahun yang telah lampau!" Sintjhioe Beng H
oei nyeletuk. "Pada waktu itu ilmu pedang dari Tj ie Yang Tootiang masih berimba
ng dengan kepandaiannya saudara Ouw ini. Kalau adu kepandaian itu dilakukan seka
rang, aku berani pastikan, belum sampai lima puluh jurus, Tjie Yang Tootiang aka
n sudah kalah! Dalam halnya Siauwlim pay, meskipun disohori untuk ilmu silatnya
tangan kosong, sebenarnya banyak sekali bagian-bagiannya yang lemah, maka itu Ke
ng Beng pun bukanlah tandinganku!"
Sehabisnya berkata demikian, dari dalam sakunya si Tangan Sakti keluarkan
sejilid buku, pada halaman kulitnya bertulisan:
"Sepuluh cacat dari ilmu silat Siauwlim pay."
Lantas ia kata pula: "Guna singkirkan anggapan keliru dari khalayak ramai,
sengaja aku telah tulis buku ini, untuk beber pelbagai kelemahan dari ilmu sila
t Siauwlim pay!"
"Apakah kau bermaksud hendak menyerahkan bukumu ini kepada Keng Beng Tiang
loo?" It Hang tanya
Pemuda ini tetap tak berkurang herannya.
"Sayang Keng Beng kepala gundul bangkotan itu namanya saja besar, tapi yan
g sebenarnya kosong belaka!" jawab Beng Hoei. "Diapun cupat sekali pandangannya!
Dia telah tutup pintu, dia tidak berani keluar menemui kami!"
It Hang niat pinjam buku itu untuk dilihat isinya, tetapi bersamaan dengan
itu pintu Siauwlim sie tampak terpentang, di ambang pintu segera muncul keluarn
ya pendeta.
Segera juga Ouw Mai berseru: "Bagus! Akhirnya toh kita bertemu juga! Hai,
Keng Beng, kau berani atau tidak melayani aku dalam sepuluh jurus?"
"Omitoohoed!" pujinya* pendeta yang jalan di sebelah kiri, seorang yang us
ianya lanjut dan wajahnya sangat sabar. "Pintjeng, sudah tua dan lemah, sudah la
ma pintjeng tidak punya kegembiraan untuk main silat..."
Hweeshio yang di sebelah kanannya hweeshio tua dan sabar ini, berkata samb
il tertawa dingin: "Katanya kalian dalam beberapa hari ini setiap hari datang me
ncari ketua kami untuk ditantang adu silat, apakah kalian tidak tahu aturan kami
dari pihak Siauwlim pay? Bukankah tiekektjeng kami telah memberitahukan aturan
pieboe kami kepadamu? Orang siapa yang datang untuk mencoba-coba lebih dahulu di
a mesti main-main dengan murid kami dari tingkat ke lima, artinya kau harus menj
atuhkan lebih dahulu tingkat demi tingkat, barulah aku sendiri yang melayani kal
ian. Kalian tidak suka turut aturan kami ini, dan datang membuat ribut saja, apa
maksud kalian yang sebenarnya?" Lantas pendeta ini menggapai ke arah dalam kuil
nya, dan memanggilnya nyaring: "Gouw Tjeng, cobalah kau main-main kepada kedua t
etamu ini!"
Dari dalam kuil segera terdengar suara penyahutan dan lompat keluarnya sat
u seebie atau kacung hweeshio umur empat atau lima belas tahun.
Melihat hweeshio cilik itu, Ouw Mai jadi sangat gusar.
"Tjoen Seng, kepala gundul bangkotan, kau sangat memandang rendah kepada k
ami!" dia berteriak. "Aku tahu kau sebagai Khamsie, akan tetapi kamipun adalah o
rang-orang yang berderajat, apakah kau anggap kami sembabat untuk main-main deng
anmu?"
Pendeta yang disebut Tjoen Seng itu, tidak memberikan penyahutannya.
Sebaliknya siauwseebie, si hweeshio cilik, segera perdengarkan suaranya: "Cukup!
Kalian adalah tetamu-tetamu kami yang datang dari tempat jauh, suka aku mengala
h untuk kau menyerang terlebih dahulu sampai tiga jurus!"
"Hai, keledai gundul cilik!" menjerit Ouw Mai, "tahukah kau siapa aku ini?
"
Si cilik itu angkat jari-jari tangannya ke mukanya, ia mengejek.
"Aku tahu kau siapa!" sahutnya. "Kau adalah si buaya darat yang hanya pand
ai pentang bacot!"
Mendengar itu, It Hang tertawa tanpa ia terasa.
Hweeshio cilik itu menyebutkannya "buaya darat" yaitu "boe lay". Suara "bo
e lay" ini, apabila diucapkannya dengan dialek Hoolam, sama suaranya dengan "ouw
mai" ialah sama seperti namanya Ouw Mai sendiri. Gunung Siauwsit san atau Thays
it san itu memang berada dalam propinsi Hoolam. Dan si cilik ini justeru berdial
ek Hoolam.
"Hai, Keng Beng!" teriaknya pula Ouw Mai. "Boetong dan Siauwlim adalah seb
agai pemimpin-pemimpin kaum Rimba Persilatan, maka kenapa kau kaum Siauwlim pay
tidak telad Tjie Yang Tootiang yang demikian sopan santun? Ketika dulu aku datan
gi Boetong san, Tjie Yang sendiri yang keluar menyambut aku, dan di waktu adu si
lat, dia telah kalah dari aku. Dan ketika aku pulang, dia bersama-sama empat mur
idnya mengantarkan juga kepadaku! Dengan perbuatannya itu, barulah dia dapat dis
ebut sebagai seorang pemimpin Rimba Persilatan!..."
Orang congkak ini belum tutup rapat mulutnya, ketika satu tabokan nyaring
mampir ke kupingnya. Itulah tangannya Pek Sek Toodjin yang sudah melayang menyam
bar ke kupingnya itu, menyusul mana, tubuhnya pun terpelanting jatuh kira-kira t
iga tumbak jauhnya, sambil bergulingan dia menjerit teraduh-aduh.
"Hai, orang-orang Siauwlim pay, apakah kau tidak mengindahkan undang-undan
g negara?" berteriak Beng Hoei. "Cara bagaimana di waktu siang hari sebagai ini
kau berani aniaya orang?"
Ouw Mai masih saja bergulingan kesakitan, suaranya serak dan perlahan, sep
erti hendak tarik napasnya yang penghabisan.
Menampak demikian, Keng Beng Siansoe kerutkan dahi.
"Kasihlah dia makan sebutir pel," pendeta kepala dari Siauwlim sie ini ber
kata pada khamsie, wakilnya
Dari sakunya Tjoen Seng rogoh keluar satu pot kecil terbuat dari perak, da
ri dalam mana dia tuang keluar sebutir angwan, obat pulung warna merah, yang ia
berikan pada si hweeshio muda.
"Ketua kami pemurah hatinya, dia hadiahkan kau obat mustajab," Tjoen Seng
kata pada orang tua mulut kotor itu.
Beng Hoei sambuti obat dari tangannya hweeshio kecil itu, dan terus ia mas
ukkan ke dalam mulut kawannya.
Setelah dapat telan obat itu, tidak lama Ouw Mai lantas bisa bersuara pula
.
"Saudara tuaku ini kau telah bokong hingga mendapat luka di dalam," berkat
a Beng Hoei. "Obat tadi telah menolong jiwanya tetapi itu belum cukup, mari bagi
aku dua butir lagi!"
Tjoen Seng Siansoe gusar. "Apakah kau hendak memeras padaku?" bentaknya.
"Tidak jadi apa, berikan padanya sebutir lagi." kata Keng Beng.
Pendeta kepala yang murah hati ini kuatir Ouw Mai benar-benar terluka para
h.
Dengan terpaksa Tjoen Seng memberikan pula sebutir.
Beng Hoei jadi sangat girang. Ia sambuti obat itu yang terus disimpannya d
alam sakunya, lalu ia angkat tubuhnya Ouw Mai untuk dipanggul dan dengan tindaka
n pesat ia berlalu dari gunung Siauwsit san.
"Apakah kau kenal aku?" Pek Sek Toodjin yang masih gusar itu mencegatnya.
"Aku justeru hendak mohon berkenalan," sahut Beng Hoei. Ia hentikan tindak
annya dan menoleh.
"Aku adalah adik seperguruan Tjie Yang Tootiang yang ke empat," Pek Sek pe
rkenalkan dirinya. "Akulah yang dijulukkan Touwliong Kiamkek Pek Sek Toodjin. Bu
kankah buaya ini tadi mengatakan bahwa aku adalah salah seorang yang pernah meng
antar padanya turun dari Boetong san? Mengapa dia tidak mengenali aku?"
Mendengar itu si hweeshio kecil, yang sekarang telah berkumpul bersama beb
erapa kawannya, tertawa ramai.
Ouw Mai, yang ngelehek di pundaknya Beng Hoei, angkat kepalanya dengan tib
a-tiba.
"Oh, kiranya kau adalah salah satu dari Boetong Ngoloo!..." katanya. "Pant
as kau liehay... Dasar aku sudah tua, tenagaku sudah habis... Baiklah, lagi tiga
tahun aku nanti perintahkan muridku pergi cari kau untuk menuntut balas!"
Sekarang ini, meski suaranya tidak keras, toh dia tidak serak lagi.
"Tikus, lekas pergi!" Pek Sek membentak. Ia mendongkol berbareng merasa ge
li untuk kelakuannya kedua orang yang rendah martabatnya itu.
Beng Hoei benar-benar lantas saja lari.
"Pek Sek Tooheng, kau telah berlaku keliru dengan memberitahukan namamu!"
kata Tjoen Seng sambil tertawa.
"Kenapa siansoe?" Pek Sek tanya karena herannya.
"Sebabnya ialah dengan mengetahui namamu itu mereka bisa perpanjang perkar
a itu!" menjelaskannya pendeta itu. "Kalau nanti mereka mampus, di atas batu kub
urannya pasti mereka akan tambah ukiran huruf-huruf yang berbunyi: 'Pernah aku b
ertempur kepada Boetong Ngoloo!'"
"Kalau itu sampai terjadi mereka sungguh kurang ajar!"
Meski ia mengucap demikian, imam ini toh tertawa.
"Tooheng, bukannya pintjeng bicara main-main belaka," Tjoen Seng Siansoe b
erkata pula. "Di dalam kalangan Rimba Persilatan memang banyak terdapat manusia-
manusia sebangsa mereka itu. Dua buaya itu sudah menduga, pasti ketua kami tidak
bakal melayani mereka bertanding, dan orang-orang Siauwlim sie tidak akan rampa
s jiwa mereka, dari itu mereka sengaja mengeluarkan kata-kata yang kotor itu. Ad
alah pengharapan mereka, jikalau nanti mereka dilayani, nama mereka jadi banyak
dibuat sebutan."
"Ya, cuma orang-orang Siauwlim sie saja yang ada demikian sabar dan pemura
h hatinya," Pek Sek kata. "Jikalau mereka berani berbuat seperti tadi di Boetong
san, sedikitnya mereka akan dikasih tanda mata dengan kedua kakinya dibikin tid
ak dapat digunakan untuk berjalan lagi!" Tjoen Seng Siansoe tertawa. "Itupun seb
abnya kenapa mereka tidak berani main gila terhadap Boetong pay," katanya. "Tent
u mereka tadi tak menyangkanya bahwa di gunung Siongsan ini, dengan menyebut-nye
but Boetong pay, mereka akan ketemu bintang celakanya!"
Pek Sek Toodjin pun tertawa, sampai ia tepuk-tepuk tangannya.
"Tetapi, tooheng," kata Tjoen Seng kemudian, "ketika tadi kau menyerang bu
aya darat itu, nampaknya kau gunakan tenaga sepuluh bagian penuh, akan tetapi se
telah mengenai sasaran, kau hanya mengerahkan tiga bagian saja. Benarkah itu?"
Pek Sek menjadi sangat kagum.
"Benar-benar taysoe sangat jeli matanya!" dia memuji. "Aku sebal melihat t
ingkahnya buaya itu, maka aku telah kerahkan tenagaku sepenuhnya, akan tetapi se
telah melihat dia tidak punya guna, mendadak aku merasa tidak tega, karenanya ak
u hanya gunakan tenaga tiga bagian."
Pendeta itu lantas menghela napas.
"Maka itu kita telah kena dipedayai buaya itu..." kata dia.
"Dipedayai bagaimana siansoe?"
"Mereka telah dapat menipu lebih sebutir pel," sahut Tjoen Seng.
"Soetee, janganlah kau terlalu kikir," Keng Beng Siansoe turut bicara. "Wa
lau mereka dapat tambahan satu butir, itulah tiada artinya bagi kita. Obat itu c
uma bisa dipakai untuk menolong orang, tidak untuk mencelakai. Maka kita tidak u
sah merasa kuatir."
Khamsie dari Siauwlim sie menggeleng kepala, ia tidak kata apa-apa lagi. I
a bisa memikir jauh, nyata kelak dikemudian hari kekuatirannya khamsie ini terbu
ktikan. Sebab obat pulung merah itu di belakang hari telah menerbitkan perkara "
gaib" terbesar yang kedua dalam jamannya kerajaan Beng, yang dinamakan perkara "
Pil Merah". Kelebihannya sebutir pel itulah yang menyebabkan hilangnyajiwa dari
satu raja...
Sampai di situ, Pek Sek Toodjin dan Keng Beng Siansoe lantas saling unjuk
hormat. Pek Sek perkenalkan It Hang kepada pendeta utama dari Siauwlim sie itu.
ketua dari Siauwlim pay.
Keng Beng memuji apabila ia lihat tampangnya pemuda she To itu.
Malam itu bertempat dalam ruang sucinya yang diberi nama "Kay Heng Tjeng S
ia" atau "kamar untuk mengubah kelakuan", Keng Beng Siansoe menjamu tetamunya.
Selama bersantap, Pek Sek omong tentang wafatnya Tj ie Yang Tootiang, mend
engar mana, Keng Beng menghela napas mengutarakan sayangnya.
It Hang turut menjadi terharu. Ia membayangkan, setelah soehoe-nya wafat,
Boetong pay tidak punya kepala lagi, ke empat soesioknya walaupun kepandaian sil
atnya sempurna, mereka semua tidak mempunyai bakat untuk jadi pemimpin. Ia meras
a bahwa kedudukan utama dari kaum persilatan pastilah akan berpindah kepada kaum
Siauwlim pay...
Cuaca malam itu bagus, tiga puluh enam pendopo dan lima puluh empat menara
dari Siauwlim sie tertampak tegas sekali, ketika Keng Beng Siansoe sehabis hiru
p tehnya dan memandang bulan yang indah, tiba-tiba ia tertawa.
"Tooheng, malam yang seindah ini cocok atau tidak bagi pekerjaannya yaheng
djin?" dia tanya imam dari Boetong san itu. (yahengdjin=tukang keluar malam).
Ditanyakan tentang Yahengdjin itu Pek Sek Toodjin menjadi heran.
"Apakah maksudmu ini loosiansoe?" tanyanya.
"Mungkinkah ada yahengdjin yang berani satroni Siauwlim sie? Tadi kedua bu
aya itu sangat mengganggu, akan tetapi pintoo berani pastikan, mereka tidak puny
akan kepandaian untuk masuk kemari."
Pendeta tuan rumah itu tertawa.
"Orang yang akan datang malam ini bukan sebangsa kurcaci," dia menjawab. "
Dia adalah utusan istimewa dari Him Kengliak. Malah diapun adalah orang yang pin
tjeng undang secara istimewa juga."
Imam dari Boetong pay itu menjadi terlebih heran.
"Him Kengliak yang mana itu?" dia tanya dengan penegasannya. "Apakah dia T
aytjiangkoen Him Teng Pek yang menjadi kengliak di jasirat Liauwtong?"
"Di kolong langit ini mungkinkah ada dua Him Kengliak?" Keng Beng bersenyu
m.
"Him Kengliak adalah seorang panglima pandai dari jaman kita ini, dia pun
jujur, mustahil dia hendak mengganggu Siauwlim sie?" Pek Sek tanya dalam keheran
annya yang telah memuncak itu.
"Pasti sekali itu bukan maksudnya!" Keng Siansoe tertawa pula.
Pek Sek mengawasi, sedang si pendeta berdiam.
Selang sesaat kemudian berkata pulalah tuan rumah: "Ada satu orang bernama
Gak Beng Kie. Pernahkah tootiang dengar nama itu?"
Pek Sek Toodjin berdiam, tetapi It Hang terperanjat.
"Aku tahu orang itu!" sahut anak muda ini.
"Nah. dialah yang akan datang malam ini," Keng Beng beritahukan.
It Hang kaget.
"Untuk keperluan apakah?" dia tanya.
"Dia datang atas titah Him Kengliak."
Tentu sekali jawaban itu membuat It Hang tidak mengerti, sama tidak menger
tinya Pek Sek sang paman guru.
Ketika Kengliak Him Teng Pek terima pangkatnya dengan tugas di Liauwtong,
selagi terima cap kebesarannya, ia berbareng menerima juga Sianghong Pookiam, ya
kni pedang kekuasaan yang dihadiahkannya kaisar kepadanya. Dengan punyakan pedan
g ini, apabila ia menghadapi perkara besar, hingga orang mesti dihukum mati, Him
Kenghak bisa lebih dahulu jalankan hukuman itu, baru kemudian ia melaporkannya
kepada junjungannya. Kekuasaannya besar luar biasa. Dengan dapatkan kekuasaan se
macam ini akan dapat diketahui, kengliak itu berlaku bijaksana dan cakap atau ti
dak. Kekuasaannya seorang kengliak adalah mengurus pasukan tentara berikut rakya
t dalam wilayah kekuasaannya itu, kedudukannya lebih penting dan lebih tinggi da
ripada satu gubernur jenderal.
Seterima jabatannya itu. Him Kengliak berangkat ke Liauwtong dengan melaku
kan perjalanan cepat. Ia telah bawa bersama pasukan pribadinya karena ia segera
niat bekerja mengurus wilayah tapal batas yang dipercayakan kepadanya. Dalam men
jalankan tugasnya di Liauwtong, paling dulu tiga pembesar rakus yang berpangkat
tjiangkoen (jenderal), yang kejahatannya dapat dibuktikan, ia hukum mati. Ketiga
perwira tinggi itu adalah Lauw Gie Tjiat, Ong Tjiat dan Ong Boen Teng. Kepala m
ereka itu dibawa ke pelbagai tangsi untuk dipertontonkan kepada semua opsir dan
serdadu, hingga hati tentara jadi gentar. Karenanya, maka selanjutnya semua oran
g peperangan taat kepada aturan ketentaraan.
Selanjutnya Him Kengliak mulai dengan usahanya memperbaiki semua pasukan,
pakaian dan peralatannya, terutama pendidikannya. Untuk pembelaan, ia telah memb
uat kereta-kereta perang dan meriam, kotanya juga diperkuat dengan antaranya men
ggali kali pelindung kota.
Sama sekali ada delapan belas laksa serdadu di Liauwtong, tadinya semua te
ntara itu tidak keruan, setelah dipimpin Him Kengliak, mereka merupakan satu ang
katan perang yang baik, mereka di tempatkan di Boesoen untuk menghadapi tentara
Boan. Hingga raja Boan, yang dengar kecakapannya kengliak itu, tidak berani gera
kkan tentaranya untuk mengganggu perbatasan Tionggoan. Bahkan pasukan itu ditari
k pulang ke Hinkeng.
Dengan lenyapnya ancaman bahaya perang, Him Kengliak berlega hati.
Gak Beng Kie di dalam pasukannya Him Kengliak menjabat tjhamtjan, penasiha
t atau penulis, pangkat itu tidak tinggi tetapi sangat dipercaya. Maka ketika Hi
m Kengliak dapat pikiran membuat sebatang pedang istimewa, dia bebankan tanggung
jawab itu kepada Beng Kie.
Gak Beng Kie terima tugas tersebut, untuk itu ia hendak pergi ke Kwangwa b
uat cari ahli pembuat pedang, akan tetapi di lain pihak ia dengar selentingan ba
hwa di kota raja ada komplotan yang memusuhi Him Kengliak, komplotan yang terdir
i dari Perdana Menteri Poei TjiongTiatdan Menteri Perang Lauw Kok Tjhin. Komplot
an ini iri hati akan kekuasaan kengliak yang besar itu dan berikhtiar untuk menj
atuhkannya, antaranya menteri penasihat yaitu giesoe, dianjurkan mendakwa Him Ke
ngliak. Karena ini, dengan seijin Him Kengliak, Beng Kie pergi ke kota raja mela
kukan penyelidikan, untuk merintangi komplotan itu.
Sesampainya di kota raja. Beng Kie berhasil memperoleh keterangan bahwa di
sampingnya komplotan itu terdapat juga serombongan menteri setia, seperti Yo Li
an dan Lauw It Keng. yang membelai Him Kengliak, hingga untuk sementara panglima
di tapal batas itu tidak akan menghadapi bahaya. Karena ini. ia ambil kesempata
n untuk pergi mencari ahli pembuat pedang. Tapi ia nampak kesulitan. Ahli-ahli i
tu banyak yang sudah meninggal, dan yang masih hidup sudah lanjut usianya, merek
a sungkan pergi ke Liauwtong. Beng Kie sendiripun ahli pedang tapi dia tidak pan
dai membuatnya sendiri.
Setelah memikir-mikir akhirnya Beng Kie ingat bahwa di dalam kalangan pers
ilatan, cuma Siauwlim paylah yang punyakan kitab pembuatan pedang, yakni "Liong
Tjoan Pek Lian Kiat", maka ia berkeputusan pergi ke Siauwlim sie untuk min
ta salinan rahasianya pembikinan pedang itu. Ia kandung niatan, kecuali membuat
pedang untuk Him Kengliak. iapun hendak membuat golok dan pedang untuk tentarany
a.
Begitulah selagi keadaan di perbatasan aman, Beng Kie sudah lantas pergi k
e Siongsan. Ia kunjungi Keng Beng Siansoe. kepada siapa ia utarakan keinginannya
Him Kengliak untuk meminjam salinan kitab rahasia pembuatan pedang itu.
Demikian halnya Beng Kie, yang dituturkan Keng Beng Siansoe kepada Pek Sek
Toodjin.
"Hal itu memang baik sekali," kata pendeta ini, "apalagi untuk Him Kenglia
k sendiri. Hanya sangat disayangkan bahwa Siauwlim pay mempunyai aturan sendiri
yang mesti dihormati, yaitu kitab-kitabnya dilarang diwariskan kepada pihak luar
, tak terkecuali Him Kengliak sekalipun. Maka setelah aku pikir pergi datang, ak
u memutuskan suruh dia datang untuk mencurinya saja!"
Sehabisnya berkata demikian, Keng Beng tertawa terbahak-bahak.
Pek Sek pun anggap kcputusan itu lucu, dia turut tertawa.
Tjoen Seng Siansoe ingat sesuatu, lalu ia tanya It Hang: "Tahukah kau baga
imana ilmu silatnya Gak Beng Kie itu?"
"Dibandingkan dengan teetjoe, dia menang berlipat kali," sahutnya pemuda i
ni.
Pek Sek Toodjin terkejut hingga berubah roman mukanya. Ia nampaknya tidak
senang.
"Kau terlalu merendahkan diri, lauvvtee!" ujar Tjoen Seng sambil tertawa.
"Menurut dugaanku, mungkin ilmu silatnya itu dia perolehnya dari suatu cabang te
rtentu. Aku bersama ketuaku harapkan dia berhasil dengan pencuriannya ini, akan
tetapi tak dapat kami tanggung mengenai sikapnya murid-murid kami. Kami telah me
mikirnya, apabila ilmu silatnya tidak berarti, kami tidak hendak menugaskan muri
d-murid yang ada kepandaiannya untuk melakukan penjagaan."
"Menurut pintoo." Pek Sek Toodjin campur bicara, "mengingat namanya Siauwl
im pay, walaupun kau niat memberi kelonggaran pada orang she Gak itu, sudah seha
rusnya hasil kerjanya itu dia dapatkan bukannya dengan secara gampang."
Tjoen Seng tertawa.
"Itulah sudah selayaknya!" kata ia. "Dan kalau tooheng ada punya kegembira
an, silakan kau turut menontonnya."
Sampai di situ orang lalu bicara lain-lain hal, sampai mendatangnya sang m
alam, pada waktu itulah orang telah bersiap sedia.
Gak Beng Kie di lain pihak gembira sekali, oleh karena sikapnya
Keng Beng Siansoe mendatangkan > kekagumannya. Ia telah mengenakan pakaian
malam warna hijau. Ketika ia telah sampai di luar kuil Siauwlim sie, di muka pi
ntu kuil ia memberi hormat dengan menjura tiga kali, sesudah mana baru ia apungk
an tubuhnya, untuk lompat naik ke atas genteng. Segera juga ia masuk ke dalam ku
il.
Tapi berbareng dengan itu, ia lihat satu bayangan orang sangat gesitnya me
lesat di sampingnya, menuju ke arah timur utara. Mahir ilmu enteng tubuhnya. Bay
angan itu pastilah bukan dari sembarang orang. Tentu saja ia terkejut, hingga ia
menduga mungkin Keng Beng Siansoe telah berubah sikap dengan menugaskan orang p
andai untuk merintangi padanya.
Selagi "pencuri" ini berdiri diam sambil berpikir dari ruang Lohan tong ke
luar dengan tiba-tiba satu seebie cilik, yang umurnya baru lima atau enam belas
tahun. Pesat lompatnya si cilik ini, yang tanpa sepatah katapun lantas menyerang
dengan tipu silat "Imyang Siangtong tjiang."
"Hai, orang lancang, kau berani masuk kemari?" demikian bentaknya kacung p
endeta itu.
Beng Kie ingat pengunjukannya ketua Siauwlim sie. ia layani bocah ini sepa
ruh memain. Begitulah ia melayani dengan senantiasa berkelit, sambil memikirkan
jalan untuk nerobos masuk lebih dalam.
Di luar dugaan, seebie itu beradat tinggi, sesudah berulang kali dia gagal
dengan penyerangannya, lantas dia membuat perubahan, ialah selanjutnya dia berk
elahi dengan menggunakan ilmu silat "Biantjiang" Tangan Lemas. Saban-saban ia be
raksi menotok atau menonjok, gerakan tubuhnya sangat lincahnya.
It Hang bersama paman gurunya, mengintai dari atas sebuah menara, dikawani
satu pendeta dari ruang Tat Mo Ih dari Siauwlim sie. Mereka kenali seebie itu.
ialah hweeshio cilik yang tadi siang tantang Ouw Mai, maka mereka merasa lucu se
ndirinya.
"Soehoe cilik ini gesit sekali gerak-gerakannya," It Hang kata. "Kalau tad
i siang kejadian dia turun tangan, pasti sekali buaya darat itu akan dapat luka
parah."
Di lain pihak Beng Kie terus layani sicilik itu, sampai ia rasa sudah cuku
p lama, lantas ia sengaja membuka satu lowongan, hingga tangannya si seebie yang
tidak sempat ditarik pulang telah mengenai jalan darahnya kieboen hiat di bawah
tetek kiri, menyusul mana, ia mencelat naik ke tembok sambil berseru: "Soehoe k
ecil, liehay sekali tanganmu! Aku menyerah kalah!..."
Seebie itu sebaliknya menjadi heran. Ia memang telah berhasil dengan seran
gannya, akan tetapi baru saja tangannya menempel kulit badan lawannya, ia rasaka
n daging orang seperti melesak, hingga tak dapat ia menekannya, jangankan untuk
ditotoknya. Maka ia heran kenapa orang telah mengaku kalah...
Meski demikian, dasarnya bocah, ia anggap ilmu silatnya sendiri sudah lieh
ay. Yang mengherankan padanya yaitu, lawannya walaupun mengaku kalah, tapi dia l
ari ke arah dalam!
Selagi seebie ini diam memikirkan lawannya itu, satu orang lompat turun da
ri ruang Tjeetjouw am.
"Anak tolol!" demikian orang yang baru datang ini, ialah Tjoen Seng Sianso
e. "Orang telah mengalah padamu, kau masih tidak tahu! Kenapa kau tidak lekas me
nghaturkan terima kasih? Biantjiangmu masih beda sangat jauh!"
Merah mukanya kacung itu. Tapi ia segera rangkap kedua tangannya.
"Terima kasih untuk kebaikanmu, tetamu yang mulia," kata dia.
Beng Kie terkejut. Ia kagumi Tjoen Seng Siansoe. ia betul-betul tidak keta
hui di mana sembunyinya tetua dari Siauwlim sie itu. Iajuga kagum akan keliehaya
n dari matanya pendeta ini.
Segera Beng Kie lewati Lohan tong. untuk memasuki ruang Kayheng Tjengsia,
yaitu tempat di mana tadi siang Keng Bcng Siansoe sambut Pek Sek Toodjin. Ia bar
u lompat masuk, segera ia dengar suara angin yang menyambar mukanya, maka dengan
gunakan ilmu enteng tubuhnya yang istimewa, ia terus lompat naik ke pcnglari.
"Tetamuku, jangan kaget," terdengar satu suara sambil tertawa. "Silakan tu
run! Mari kita mengadu senjata rahasia!"
Beng Kie pandang orang yang bicara itu, satu pendeta di tangan siapa ada s
ebuah benda panjang persegi. Itulah senjata yang tadi menyambar dia, yang anehny
a telah segera kembali ke tangan pemiliknya.
Pendeta itu adalah Hian Thong, muridnya Tjoen Seng Siansoe. Ia gunakan sen
jata rahasianya, tapi untuk kekagumannya, ia dapatkan Beng Kie mempunyai kelinca
han yang di luar dugaannya. Pemuda itu dapat loloskan diri, dengan lompat ke pen
glari, yang dalam sejenak bagaikan lenyap dari hadapannya. Karenanya, ia jadi me
nantang untuk adu kepandaian senjata rahasia, karena bangkit tabiatnya yang suka
menang itu.
Sambil tertawa Beng Kie terus lompat turun, akan memberi hormat.
"Harap taysoe menaruh rasa kasihan kepadaku," dia memintanya.
"Jangan mengucap demikian," Hian Thong kata. "Kau menggunakan senjata apa?
"
Tidak biasanya Beng Kie menggunai senjata rahasia, ia jadi berpikir. Kebet
ulan di luar ruang, di latar dalam, ada sebuah pohon lengkeng, terus saja ia kat
a sambil tertawa: "Aku berdahaga sangat, sudilah kiranya berikan aku ketika akan
petik beberapa biji buah lengkeng untuk melenyapkan dahaga..."
Hian Thong heran, ia tidak dapat terka maksud orang.
"Silakan!" katanya kemudian. Beng Kie naik ke pohon lengkeng, ia petik bua
hnya dan dahar itu, sampai kira-kira tiga puluh biji, semua bijinya ia kumpulkan
, dan digenggam dalam tangannya.
"Cukup!" katanya kemudian. "Sekarang aku telah siap dengan senjata rahasia
ku, taysoe, silakan kau beri ajaran padaku!".
Mengetahui orang hendak gunakan biji lengkeng sebagai senjata rahasia, Hia
n Thong menjadi tidak senang, dalam kemendongkolannya itu, tanpa kata apa-apa la
gi, ia mulai dengan penyerangannya, dengan lima biji Tiatpouwtee.
Beng Kie menangkis dengan biji lengkengnya, setiap tiatpouwtee terbentur b
iji lengkeng dan menerbitkan suara, jatuh ke lantai. Senjata rahasia si pendeta
itu gagal menemui sasarannya.
Baru sekarang Hian Thong heran sekali, tapi ia penasaran, ia ayunkan sepas
ang tangannya, untuk menyerang dengan senjata rahasianya yang dinamakan "wanyho
tjim", senjata rahasia mirip bantal tetapi di dalamnya disembunyikan senjata taj
am yang bisa dipakai menyerang dan bisa ditarik pulang...
Diserang senjata rahasia yang luar biasa sebagai boomerang itu. Beng Kie m
enyambutnya dengan empat butir biji lengkengnya; ia telah kerahkan tenaga besar,
hingga Wanyho tjim kena terhajar miring dan menjurus ke lain arah.
Menampak demikian, Hian Thong segera tarik pulang senjatanya itu.
Matanya Beng Kie tajam sekali. Segera ia dapatkan, senjata rahasia itu ter
ikat dengan selembar kawat halus, yang ujung lainnya seperti terlibat di bebokon
gnya si pendeta. Ia gunakan kegesitannya lompat menyambar, untuk putuskan kawat
itu. Maka waktu Hian Thong mengulangi serangannya, dengan sendirinya senjatanya
itu melesat keluar, senjata tajamnya nancap di batang pohon lengkeng!
"Terima kasih!" mengucap Beng Kie, yang terus lompat lagi akan lewati "pin
tu kota" yang kedua ini, untuk nerobos ke Tjhongkeng kok, loteng tempat simpan k
itab. Dengan kata-katanya itu, ia seperti mengatakan bahwa, si pendeta sudah sen
gaja mengalah terhadapnya...
Baru beberapa tindak, Beng Kie telah dicegat pula oleh satu pendeta lain,
yang muncul dari ruang Tat Mo Ih dengan bersenjatakan Hongpian san, senjata sema
cam alat sekop, yang gagangnya panjang.
"Sietjoe, harap berhenti!" demikian si pendeta berseru.
Beng Kie tahu pendeta ini tentu seorang yang liehay, sebab sudah biasanya
murid atau murid-murid yang liehaylah baru dapat di tempatkan di dalam Tat Mo Ih
.
"Maaf, soehoe!" ia memberi hormatnya, sambil ia tanya nama orang.
Hweeshio itu perkenalkan diri sebagai Thian Goan, murid kepala dari Keng B
eng Siansoe. Dia melintangkan senjatanya tetapi sambil bersenyum.
"Silakan keluarkan senjatamu, Gak Sietjoe!" dia mengundang.
"Maaf!" jawab Beng Kie, yang segera hunus pedangnya yang memancarkan cahay
a bergemerlapan -- pedang Yoeliong kiam, atau pedang "Naga Memain."
Gurunya Beng Kie, yaitu Thian Touw Kiesoe, sudah cari bahan baja dan besi
di gunung Thiansan, ia membawanya pada Auwyang Tie Tjoe, ahli pembuat pedang yan
g tajam, untuk dibuatkan dua bilah pedang, satu panjang dan satu pendek. Yang pa
njang adalah Yoeliong kiam ini, dan yang pendek diberi nama Toangiok kiam, pedan
g "Memutuskan kumala". Yoeliong kiam inilah yang dijadikan pedang pusaka Thiansa
n pay.
Bercekat juga hatinya Thian Goan melihat pedangnya pemuda itu, akan tetapi
mengingat senjatanya sendiri ada "senjata berat", ia tidak takut.
Setelah memberi hormat, Beng Kie bersiap dengan pedangnya diangkat rata di
depan dadanya.
Thian Goan sudah lantas menyerang, dengan sebat sekali. Beng Kie pun tidak
kurang gesitnya berkelit ke samping, dari mana ia kirim tusukan ke lengannya la
wan itu.
"Sungguh sebat!" seru Thian Goan yang memuj inya. Ia segera tarik pulang s
enjatanya untuk menyerang pula.
Beng Kie batalkan serangannya, setelah menarik pulang sambil berkelit, kem
bali ia menyerang. Kali ini pedangnya kena bentur senjatanya Thian Goan, kedua s
enjata bentrok keras, dengan kesudahan Beng Kie rasakan tangannya kesemutan menj
adi seperti kaku, hingga ia kaget sekali. Tapi lekasjuga ia dapatkan tenaganya k
embali maka ia mendahului menyerang dan mendesak, tiga kali beruntun.
Atas desakan itu, Thian Goan bela diri sambil putar gegamannya, hingga tub
uhnya seperti terkurung.
"Bagus!" memuji Beng Kie. Tapi, sambil berikan pujiannya itu pemuda ini te
rus mendesaknya.
Akhir-akhirnya kaget juga pendeta itu. Di dalam Tat Mo Ih ia adalah salah
satu pendeta terliehay, sedang dalam Siauwiim sie ia menduduki kursi yang ketiga
. Di dalam pengalaman persilatan, ia ketahui baik pelbagai macam ilmu silat golo
ngan selatan dan utara. Akan tetapi sekarang ia saksikan Gak Beng Kie bersilat d
alam keistimewaannya segala macam cabang persilatan.
Hingga sampai kira-kira lima puluh jurus, ia masih belum dapat terka orang
sebenarnya ada dari golongan mana.
Masih Beng Kie mendesak, beberapa kali senjata mereka beradu hingga menerb
itkan suara nyaring.
Pertandingan tengah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara kata-kata yang
datangnya seperti dari tengah udara. Itulah suara Keng Beng Siansoe di atas mena
ra. Katanya: "Thian Goan! Kau sudah kalah, kenapa kau tidak lantas undurkan diri
!"
Thian Goan agaknya heran, tapi ia lantas berhenti bersilat. Barulah sekara
ng ia dapat kenyataan, bahwa kedua pinggir sekopnya pada bagian tajamnya, telah
sempoak bekas terpapas pedang. Tapi ia masih penasaran, maka di dalam hatinya ia
kata: "Senjataku kalah karena pedangmu pedang mustika, tetapi di dalam hal ilmu
silat aku belum kalah..."
Gak Beng Kie menjura ke arah pagoda, dan ia hendak menghampirinya dengan j
alan melalui Tjhongkeng kok, tapi Thian Goan mendahuluinya di tangga menara.
"Soehoe, teetjoe masih belum kalah, mengapa soehoe menitahkan teetjoe undu
rkan diri?" tanyanya. "Kalau toh soehoe niat membiarkan dia lewat, sedikitnya di
a harus merasakan kesulitannya. Dengan cara soehoe ini, apakah dia tidak akan me
mandang.enteng kepada Hongpian san dari Siauwiim pay?"
Tidaklah heran kalau pendeta ini mengatakan demikian, karena pada jaman it
u, ilmu silat Hokmo Hongpian san dari Siauwiim pay sangat terkenal.
Keng Beng Tiangloo bersenyum.
"Untuk banyak tahun kau telah ikuti aku, di dalam Tat Mo Ih pun kedudukanm
u tinggi, mengapa sekarang masih belum insyaf kekalahanmu?" tanya guru ini. "Cob
a periksa jubahmu bagian dadamu!"
Thian Goan segera tunduk untuk melihatnya. Maka di situ ia tampak tiga lub
ang kecil bekas ujung pedang. Baru sekarang ia insyaf bagaimana murah hatinya Be
ng Kie
Melihat muridnya berdiam, Keng Siansoe rangkap kedua tangannya.
"Inilah dia pemuda harapan!" pendeta ini memuji. "Tidak kusangka, dalam us
iaku yang telah lanjut ini, dapat aku saksikan ini cahaya terang dalam dunia Rim
ba Persilatan!"
"Sebenarnya ilmu silatnya Gak Beng Kie ini dari kaum mana, soehoe?" Thian
Goan tanya kemudian. "Dan apa sebabnya soehoe sampai menghargainya demikian maca
m?" t. "Ilmu pedangnya itu adalah ciptaan sendiri, hasil petikan dari keistimewa
annya semua cabang il mu silat lainnya," sang guru menerangkan. "Aku telah denga
r bahwa Thian Touw Kiesoe hidup menyendiri di gunung Thiansan untuk meyakinkan i
lmu silat, dugaku pemuda ini mungkin murid kesayangannya Thian Touw Kiesoe itu."
Thiansan terpisah selaksa lie dari Siongsan, maka tidaklah heran sedikit s
ekali orang Siauwiim pay yang ketahui Thian Touw Kiesoe asyik meyakinkan ilmu pe
dang. Demikianlah Thian Goan meski kedudukannya tinggi, ia belum pernah dengar n
amanya Thian Touw Kiesoe. Maka dengan perasaan ingin tahu, ia awasi gurunya.
"Pemuda ini, kecuali latihan semangatnya yang dia belum dapat sempurnakan
benar," mengatakan pula Keng Beng siansoe, "Walaupun Tjie Yang Tiangloo menjelma
pula, masih belum tentu dia dapat memenangkannya. Demikianlah ilmu silat, setia
p hari bertambah baru, setiap bulan berubah --- jikalau tidak mundur, niscaya ma
ju --- maka ingatlah kau baik-baik!"
Thian Goan dapatkan paling banyak pelajaran daripada saudara-saudara seper
guruannya, hingga ia merasa bangga, akan tetapi sekarang insyaflah ia akan kekur
angannya. Ia tidak runtuh semangat, bahkan ia belajar lebih jauh dengan rajin da
n ulet, hingga di belakang hari ia peroleh hasil karena ambekannyayang besar itu
.
Gak Beng Kie sudah lintasi Tat Mo Ih, ia sampai di depan Tjeetjouw am. Tjh
ongkeng kok tertampaklah sudah di hadapannya. Kuil Tjeetjouw am itu dibangun unt
uk memperingati Tat Mo Tjouwsoe. "Tjee Tjouw" itupun berarti "Leluhur mula perta
ma". Karena itu, menghadapi kuil itu Beng Kie lantas memberi-hormat sambil menju
ra.
Puas Tjoen Seng Siansoe menampak orang sangat tahu aturan.
"Gak Sietjoe, silakan bangun!" ia berkata. "Silakan masuk dan duduk di sin
i."
Beng Kie bertindak masuk ke dalam kuil. Ia memberi hormat sedalam-dalamnya
, sambil mengucapkan: "Teetjoe datang untuk menghadap, tidak berani teetjoe meng
adu kepandaian."
Tjoen Seng ini sama tingkatannya dengan Keng Beng Siansoe, sebenarnya dia
tak sudi menjaga "kota" ini. akan tetapi setelah saksikan kegagahannya Gak Beng
Kie, hatinyajadi tertarik, hingga dalam kegembiraannya itu, suka ia akan mencoba
-coba pemuda itu. Demikian ia turun dari pagoda, ia pergi ke Tjeetjouw am akan l
ayani main-main pemuda itu. ,
"Jangan kau terlalu merendah," kata Tjoen Seng Siansoe sambil tertawa. "Du
duklah! Dalam hal ilmu silat tidak dapat dikatakan siapa belajar lebih dahulu da
n siapa belakangan. Yang benar adalah, orang yang memperoleh buah peryakinan, di
alah yang menjadi guru. Dalam hal ilmu silat kalau orang saling belajar mempelaj
ari, bagi kedua pihak ada faedahnya."
"Maaf," mengucap Beng Kie. Ia tetap berlaku hormat. Barulah setelah itu, i
a ambil tempat duduk di sebelah barat menghadapi si pendeta tua, yang duduk di s
ebelah timur. Jarak di antara mereka sekira tiga tombak jauhnya.
"Tak usah kita mengadu kepandaian dengan beradu tangan," berkata Tjoen Sen
g Siansoe, "cukup jikalau kita masing-masing duduk diam dengan hanya kepalan kit
a yang dihadapi satu pada lain. Ini namanya adu kepalan..."
Beng Kie heran dengan caranya "adu kepalan" yang demikian itu.
"Kita duduk sejarak tiga tombak, anginnya kepalan kita akan sampai satu ke
pada yang lain," berkata pula pendeta tua itu. Dengan sama-sama tetap duduk, kit
a menyerang satu pada lain. Siapa yang terserang hingga roboh dari tempat dudukn
ya dialah yang kalah. Diumpamakan kita duduk sama tangguhnya, nanti kita gunakan
kelenengan untuk menghitung siapa di antara kita yang terlebih ulet bertahannya
."
"Bagaimana caranya, siansoe?" Beng Kie minta ketegasan.
Tjoen Seng Siansoe jemput sebuah kelenengan, ia lemparkan itu kepada si an
ak muda.
"Taruh kelenengan itu di dalam baju di depan dadamu," Tjoen Seng Siansoe m
enyuruhnya.
Beng Kie ikuti petunjuknya Tjoen Seng Siansoe.
Tjoen Seng Siansoe duduk dengan benar, ia pun letakan sebuah kelenengan di
dadanya itu.
"Kau boleh menyerang ke arahku dengan cara sesukamu," katanya kemudian, "d
emikian juga aku. Kita akan sulut sebatang hio untuk dijadikan batas waktu. Jika
lau kita keduanya sama dapat bertahan, nanti kita hitung bunyinya kelenengan sia
pa di antara kita yang bersuara paling banyak."
Beng Kie anggap perjanjian itu sangat baru baginya.
"Silakan mulai!" Tjoen Seng memberi isyarat setelah ia duduk rapi.
Beng Kie menurut, ia lantas menyerang.
"Bagus!" seru Tjoen Seng sambil menangkis dan menyerangjuga.
Beng Kie kalah tenaga, ia rasakan sambarannya angin ke arah mukanya. Ia be
rsyukur bahwa kelenengannya tidak sampai perdengarkan suara.
Lantas Tjoen Seng balas menyerang, dan Beng Kie menangkis.
Saling serang ini berlaku terus, selama itu, Beng Kie rasakan angin menyam
bar mukanya semakin lama semakin keras, ia terperanjat.
"Benar-benar liehay ilmu silatnya Siauwlim pay," pikirnya. Ia insyaf, apab
ila terus ia melayaninya keras sama keras, ia tidak akan dapat bertahan. Maka ia
lantas memikirkan akal.
Tjoen Seng Siansoe menyerang pula. Beng Kie tidak membalas, ia hanya perbe
rat tubuhnya untuk dapat duduk tetap. Ia tak kena dibikin bergerak oleh angin la
wan, tetapi kelenengannya berbunyi!
"Satu, dua..." Tjoen Seng menghitung.
Selagi lawan menghitung, mendadak Beng Kie pun menyerang. Belum sempat Tjo
en Seng menangkis, atau kelenengannya juga berbunyi.
"Satu, dua..." Beng Kie turut menghitung.
Nyata kelenengan mereka masing-masing berbunyi tiga kali.
Tjoen Seng Siansoe lantas tertawa.
"Kau cerdik!" pujinya. Ia menyerang pula.
Beng Kie tetap pakai caranya yang baru itu. Ia menunggu sesudah diserang,
segera ia membalas. Tapi Tjoen Seng juga menggunakan akal. Dia telah menyerang d
engan ancaman belaka, dan ketika dia diserang, dia lantas gunakan tenaganya. Mak
a anginnya Beng Kie kena tertolak.
Atas itu, Beng Kie cepat-cepat tarik pulang tangannya. Tapi ia kalah cepat
kelenengan telah terserang berbunyi! Hingga kesudahannya ia kalah dua karena in
i, segera ia berlaku waspada.
Lagi beberapa gebrak, kelenengan kedua pihak berbunyi bergantian, akan tet
api walau demikian, sampai sebegitu jauh Beng Kie masih kalah lima. Tentu saja i
a menjadi gelisah sendirinya.
"Aku mesti mengalah," pikir Tjoen Seng. Benar-benar ia tidak melawan ketik
a ia diserang dua kali hingga ia kalah empat tapi jumlahnya Beng Kie masih kalah
satu. Hal ini membuat si anak muda tertawa tanpa merasa.
"Biaraku hajar dia sekali lagi..." pikir Tjoen Seng, yang perhatikan wajah
lawannya.
Beng Kie lantas diserang, tapi dia berikan perlawanan dengan bersemangat.
Kelenengan kedua pihak masing-masing berbunyi, tapi jumlahnya tetap Beng Kie kal
ah tiga.
Ketika itu. hio hampir terbakar habis.
Beng Kie bingung. Ia tidak dapat duga maksud apa sebenarnya yang rjoen Sen
g Siansoe kandung terhadap dirinya. Dalam bingungnya itu, ia peroleh akal. Begit
u diserang pula, ia kerahkan tenaga dalamnya, sampai kelenengannya tertolak ke d
epan, memapaki serangannya pendeta itu. Berbareng dengan itu iapun membalas meny
erang, hingga kelenengan itu terserang dari depan dan belakang, lantas saja peca
h belarakan.
"Celaka, kelenenganku pecah!" Beng Kie sengaja berseru. "Bagaimana menghit
ungnya sekarang?"
Tjoen Seng tercengang, ia hendak bangun, tetapi justeru ia bergerak, Beng
Kie serang padanya, sampai kelenengannya berbunyi, tepat tiga kali! Dan berbaren
g dengan itu, api hio pun padam!
Tjoen Seng Siansoe lantas tertawa gelak-gelak.
"Kau cerdik sekali, laotee!" katanya dengan pujiannya. "Kita bertanding se
ri tetapi dapat dikatakan kau telah dapat tobloskan pintu kota ini."
Beng Kie lompat turun untuk lantas menjura memberi hormat
"Maaf!" katanya. Berbareng dengan itu, sekarang ia rasakan kedua lengannya
sakit.
"Kau masih begini muda, tapi kau tangguh sekali, kau dapat lewati tempat i
ni!" kata pula Tjoen Seng Siansoe.
Sekeluarnya dari Tjeefjouw am. Beng Kie dapatkan rembulan bersinar suram d
an bintang-bintangpun sangat jarang. Tiba-tiba ia ingat kepada bayangan yang ia
lihat tadi ketika ia mulai memasuki pekarangan Siauwlim sie. Ia jadi berpikir. I
a sudah lewati empat "pintu" dan haripun telah larut malam-sudah jam tiga.
Ke mana perginya bayangan itu? Kalau bayangan itu ditugaskan untuk mengama
t-amati padanya, kenapa sampai itu waktu masih belum muncul juga?
Dengan pikiran terus bekerja, Beng Kie menuju ke Tjhongkeng kok. Ia sampai
seperti tanpa merasa.
Tidak ayal lagi ia tekuk kedua lututnya, untuk memberi hormat sambil mangg
ut tiga kali.
Tiba-tiba, ia dengar satu suara terang: "Anak yang baik, mari masuk!"
Beng Kie bangun dan bertindak ke pintu yang ia tolak terbuka. Di dalam ia
tampak Keng Beng Siansoe tengah berduduk semedhi. Dengan bergegas-gegas ia rapik
an pakaiannya, untuk segera berlutut.
"Apakah kau muridnya Thian Touw Kiesoe?" itulah pertanyaan pertama yang di
ajukan ketua Siauwlim pay.
"Ya," jawab Beng Kie dengan sebenarnya.
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, ketika pintjeng pesiar ke Ngobie san. pi
ntjeng peroleh jodoh bertemu gurumu itu," Keng Beng kata pula. "Di kala itu guru
mu sedang kumpulkan pelbagai macam kitab ilmu silat pedang, yang ia pelajari, da
n memahaminya dengan sungguh-sungguh, kemudian ia hidup menyendiri di Thiansan.
sampai tidak ada kabar cerita lagi. Kau muncul sekarang, maka teranglah sudah, i
a telah dapat sempurnakan peryakinannya itu. Sungguh harus pintjeng beri selamat
kepada sahabatku itu!"
Gak Beng Kie turunkan kedua tangannya.
"Ilmu silat Thiansan kiamhoat masih baru, teetjoe mengharap sukalah Taysoe
berikan petunjuk lebih jauh," kata ia dengan merendah.
Keng Beng tertawa.
"Dalam halnya ilmu silat pedang, apa yang pintjeng pelajari jauh ketinggal
an daripada gurumu." Keng Beng nyatakan. "Malam ini kebetulan sekali kau telah d
atang, ingin sekali pintjeng mencoba-coba lweekangmu."
Beng Kie terkejut. Ia bingung. Ia sudah merasa pasti akan kalah, sedang un
tuk menggunakan kecerdikanpun ia tidak sanggup.
"Pergilah kau duduk di sana," kata Keng Beng, selagi pemuda itu masih dala
m kesangsian. Ia menunjuk tempat duduk yang diperuntukkan bersemedhi.
Beng Kie menduga orang hendak adu kepandaian seperti caranya Tjoen Seng Si
ansoe tadi.
"Dengan sebenar-benarnya teetjoe tidak berani sambuti kepalan loosiansoe,"
ia berkata, hatinya bertambah gelisah.
"Aku tidak berniat adu kepalan denganmu," kata Keng Beng sambil bersenyum.
"Kau duduk saja."
Beng Kie insyaf bahwa ia salah omong. Bahna bingungnya, ia sampai tidak da
pat berpikir dengan sadar. Satu kepala partai, apalagi dari Siauwlim pay. tidak
nanti ia sudi melayani adu kepalan. Maka dengan muka berubah merah, ia pergi dud
uk bersila.
Keng Beng Siansoe tarik satu tempat duduk lain yang ia letakkan di depanny
a si anak muda di atas mana iapun bersila. Ia pun keluarkan sepotong benang, sat
u ujungnya ia angsurkan pada pemuda itu.
"Kita masing-masing memegang satu ujung," kata pendeta itu. "Dan kau duduk
dengan tetap dan tenang seperti biasa orang bersemedhi, supaya dengan begitu ak
u bisa periksa berapa dalam adanya Iweekangmu."
Gak Beng Kie heran, ia separuh percaya separuh tidak.
"Mungkinkah dengan cara itu dia bisa ketahui tinggi rendahnya lweekangku?"
pikirnya. Tapi ia duduk dengan tegak dan tenang, ia mulai bersemedhi, akan empo
s semangatnya.
Berselang sekian lama, anak muda ini merasakan tubuhnya menjadi keras, jal
an napasnya pun turun naik dan masuk keluar dengan seksama. Itulah tanda telah s
empurnanya pemusatan semangatnya. Memang sejak masih kecil ia ikuti gurunya bers
emedhi, ia telah wariskan kepandaian gurunya. Ia hanya kalah waktu peryakinan da
ripada gurunya itu. Tidak lama kemudian, ia mulai merasa tubuhnya sedikit panas.
Sendirinya Beng Kie girang bukan main karena hebatnya Iweekangnya itu. Mak
a diam-diam ia buka sedikit kulit matanya untuk intai pendeta di depannya itu.
Keng Beng duduk bersila dengan mata meram dan tenang, tetapi wajahnya ters
ungging senyuman. Menampak demikian, Beng Kie menduga-duga apa mungkin Iweekangn
ya telah dapat dijajaki oleh pendeta itu. Pikiran ini membuat pemusatannya sedik
it goncang.
Keng Beng Siansoe terus duduk diam dengan semedhinya.
Beng Kie juga bercokol terus, akan tetapi, dengan lewatnya sang waktu, kar
ena ia pikirkan pendeta tua itu, rupa-rupa perasaan timbul dalam otaknya.
Ia pun teringat kepada Him Kengliak di perbatasan, entah bagaimana keadaan
tentaranya. Karena ini, pemusatan semangatnya agak goncang.
"Siantjay! Siantjay!" mendadak Keng Beng Siansoe mengucap sendirinya.
Pujian yang mendadak itu membuat Beng Kie terperanjat.
Masih Keng Beng Siansoe mengucap, tentang nasihat melenyapkan pikiran mela
mun, perihal kebebasan pikiran, pokok dasar untuk mencapai semedhi sejati.
Dasarnya cerdas, Beng Kie segera insyaf, maka dengan cepat sekali ia dapat
empos pula semangatnya, ia bisa pusatkan pula pikirannya, dapatlah ia bersemedh
i terus dengan sabar dan tenang.
"Cukup!" berkata Keng Beng Siansoe kemudian sambil ia tarik benangnya. "De
ngan caranya kau bersemedhi ini, lweekangmu bakal berhasil sendirinya!"
Beng Kie lantas berbangkit, ia memberi hormat sambil menghaturkan terima k
asih. Tapi ia masih tidak mengerti, bagaimana caranya pendeta itu ketahui tentan
g Iweekangnya itu, hingga ia niat mengajukan pertanyaan.
"Untuk yakinkan lweekang, hati orang mesti jangan terkena debu biar bagaim
ana sedikitpun juga," berkata pendeta itu. "Jikalau hati tidak tetap, seluruh an
ggauta tubuh turut tidak tetap juga. Satu kali orang diserang pikiran campuran,
segera akan tertera pada wajahnya. Ketika kau pertama, duduk, benang bergerak se
dikit, kemudian lantas tetap tenang, membuktikan Iweekangmu telah sempurna. Tapi
selang sedikit lama, pikiranmu tergerak, itu adalah bukti hatimu belum bersih.
Tergeraknya pikiranmu itu menyebabkan benangpun bergerak, itulah tandanya, k
au telah kemasukan pikiran yang tak keruan."
Baru sekarang Beng Kie insyaf. "Terima kasih, taysoe," katanya. Sampai di
situ, ia ingat untuk ambil kitab yang dijanjikannya.
Tiba-tiba wajahnya Keng Beng berubah.
"Apakah kau datang berkawan?" pendeta ini tanya.
Beng Kie terkejut. Ia bingung.
"Tidak!" sahutnya.
"Kalau begitu, telah ada orang mendaki Tjhongkeng kok!" kata Keng Beng Sia
nsoe. "Lekas, kau wakilkan aku menawan orang itu!"
Baru pendeta ini tutup mulutnya, segera terdengar seruannya Tjoen Seng Sia
nsoe: "Semua pendeta dari Tat Mo Ih cepat menuju ke Tjhongkeng kok!"
Tanpa berayal dan sangsi lagi, Gak Beng Kie hunus pedangnya, ia lompat nai
k ke loteng. Baru ia sampai atau ia dengar satu suara aneh, ialah suara angin ya
ng datangnya dari satu serangan kepalan. Maka segera ia melakukan penangkisan. B
enturan ini menandakan bahwa, penyerang yang tidak dikenal itu adalah seorang li
ehay. Tapi ia tak takut, ia segera menikam ke arah dari mana, serangan datang. K
esudahannya serangan ini membikin ia kaget. Serangannya itu tidak mengenai sasar
an, orang yang diserang itu dengan kegesitannya sudah mencelat ke kanan. Ia dapa
t lihat bayangan yang hitam.
"Siapa kau?" teriaknya anak muda ini, yang segera putar Yoeliong kiam, yan
g bercahaya terang berkilauan, hingga ia tampak bayangan tadi adalah seorang tua
yang bermuka merah, yang berdiri dengan wajah tersungging senyuman menyengir.
Orang tidak dikenal itu tidak menjawab, atas mana Beng Kie maju merangsak
sambil menikam kepada jalan darah hoakay hiat dari orang itu.
Orang tua muka merah itu berkelit sambil lompat.
Beng Kie lompat mencegat depan orang itu, pedangnya menyambar.
Di luar dugaan, orang tua itu gesit sekali. Sambil lompat ke samping, sebe
lah tangannya menyambar lengan Beng Kie yang menyekal pedang untuk digempurnya.
Beng Kie tidak menyangka, akan tetapi ia masih mempunyai kesehatan untuk m
enyelamatkan diri sambil mendek diri dengan tarik pulang pedangnya, yang ujungny
a ia pakai menyontek ke atas, kepada nadi lawannya.
Orang tua itu benar-benar liehay. Dia buang lengannya sambil memutar tubuh
, hingga dalam sekejap itu ia sudah hadapi pula si anak muda, tangannya pun teru
s menyambar selagi musuhnya menyontek nadinya itu.
Inilah Beng Kie tidak sangka, ia terkejut. Ia mencoba tarik pulang tangann
ya, tapi tidak urung tangannya terbentur juga, sehingga ia merasakan sakit bukan
main. Karenanya, ia jadi sangat gusar, terus saja ia menikam.
Orang tua itu egoskan pundaknya terus dia mundur. Tapi justeru dia mundur,
ujung pedangnya si anak mudajuga diteruskan ke arah di mana dia mundur. Sekaran
g dialah yang menjadi kaget. "Sret!" Demikianlah terdengar suara robeknya baju y
ang terbabat pedang.
Dengan tidak memberikan ketika sedikitpun Beng Kie terus mendesaknya
.
Orang tua itupun murka agaknya, sambil berseru ia lompat menyamping, tapi
pun sambil berlompat, tangannya melayang sangat cepat hingga kena menyampok peda
ng, sampai pedang itu menyeleweng. Berbareng dengan itu, dengan satu lompatan pe
sat, orang tua itu mencelat ke wuwungan!
Beng Kie tidak puas, ia hendak mengejar. Tapi waktu itu dari atas wuwungan
segera terdengar bentakannya Tjoen Seng Siansoe: "Menggelindinglah kau!" suara
keras terdengar dari robohnya tubuh.
Tjoen Seng lompat turun menyusul robohnya orang tua itu. Ia segera nyalaka
n api. Maka terlihatlah si orang tua yang tempatkan diri di antara para-para kit
ab, wajahnya pucat pasi.
"Siapa kau?" tegur Tjoen Seng. "Apakah kau masih belum mau menyerah?"
Si muka merah menyengir.
"Jikalau kau berani maju pula setindak saja, aku nanti ubrak-abrik Tjhongk
eng kok ini!" dia mengancam. "Kau telah rasakan bagaimana sambutanku tadi atas t
anganmu, apakah kau kira aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk gempur lotengmu
ini?"
Wajahnya Tjoen Seng Siansoe merah padam. Memang ia telah rasakan, ketika t
adi ia menyerang, si muka merah ini telah menangkis dengan hebat, suara bentroka
nnyapun hebat sekali.
Selagi kedua pihak nampaknya tegang, terdengar puji Keng Beng Siansoe, lal
u orangnya sendiri tertampak muncul.
"Keng Beng Siansoe!" si muka merah itu menegur, "jikalau kalian kaum Siauw
lim pay hendak rampas kemenangan dengan andalkan jumlahmu yang besar, aku berkep
utusan untuk tidak keluar pula dari sini!"
"Omietoohoed!" Keng Beng memuji pula, seraya menakapkan kedua tangannya.
"Apakah kehendak sietjoe datang kemari?" dia tanya. "Sudikah kau menj elas
kanny a?"
Sikapnya pendeta ini sabar sekali.
"Aku datang hendak meminjam kitab Liongtjoan Peklian Koat dan Ie Kin Keng,
" sahut orang tua itu, suaranya tetap.
"Kitab Liongtjoan Peklian Koat itu aku telah janjikan meminjamkannya kepad
a lain orang, maka itu menyesal tak dapat aku berikan kepadamu," jawab pendeta k
epala dari Siauwlim sie itu. "Tentang Ie Kin Keng, dapat aku jelaskan, itu adala
h kitab pusaka dari Tjouwsoe kami. maka menyesal sangat kitab itupun tak dapat d
ipinjamkan."
Belum sempat orang itu kata apa-apa, Tjoen Seng Siansoe terdengar tertawa.
"Kau pun telah terkena pukulanku dari ilmu silat Sinkoen," berkata pendeta
ini, "bukannya kau lekas-lekas pergi untuk beristirahat akan mengobatinya, kena
pa kau masih berani hendak memeras kami?"
Selagi orang tua muka merah itu berdiam, Keng Beng Siansoe jalan memutari
para-para kitab, setelah mana ia berkata: "Kau pergilah sekarang! Kami tidak hen
dak tegur kau! Kitab-kitab kami di sini, andaikan kau berniat bawa pergi, itu ta
k dapat kau lakukan!"
Cepat juga orang tua itu menjadi insyaf. Memang mungkin Keng Beng sendiri
tidak akan merintanginya, tetapi pendeta-pendeta lainnya, yang banyak jumlahnya,
mungkinkah mereka tidak akan turun tangan?
"Kau suruh aku pergi, aku percaya," katanya. "Bagaimana dengan pendeta-pen
deta lainnya?"
"Aku nanti titahkan khamsie antar kau keluar," sahut Keng Beng Siansoe. "D
ia nanti umumkan pemberitahuanku supaya mereka jangan merintanginya."
Si muka merah pandang Tjoen Seng Siansoe, ia sendiri masih pegangi para-pa
ra.
"Kaum agama Buddha tidak biasa berdusta, kau masih sangsikan?" Keng Beng S
iansoe tanya, apabila ia saksikan keragu-raguannya orang itu.
"Baik!" sahut si muka merah, dengan masih jumawa. "Silakan kau berikan aku
sebutir pil Siauwhoan tan!"
"Hm!" Tjoen Seng perdengaran geramnya.
Tetapi Keng Beng Siansoe bersikap lain.
"Berikan ia sebutir," kata pendeta kepala ini.
Tjoen Seng menurut dengan terpaksa ia rogoh keluar satu botol kecil yang b
erisikan obat-obat pulung warna merah, ia buka tutupnya akan tuang keluar sebuti
r pil yang ia angsurkan kepada si muka merah itu.
Orang tua ini menyambuti, lalu dengan lantas ia telan pil itu.
"Nah, mari turut aku keluar!" Tjoen Seng kata kemudian. Lalu sambil berlom
pat ia mendahului.
Orang tua muka merah itu memutar tubuh, ia hadapi Keng Beng Siansoe untuk
memberi hormat sambil menjura, baru setelah itu ia lompat menyusul Tjoen Seng.
Gak Beng Kie lihat sepasang mata tajam dari orang itu, yang tidak mau diam
. ia kuatir orang kandung maksud tidak baik. dengan cekal pedangnya ia mengikuti
di belakang mereka.
Ketika itu. di wuwungan dan di atas genteng, telah berkumpul banyak pendet
a-pendeta tuan rumah, di antaranya ialah delapan pendeta dari Tat Mo lh. Di situ
pun terdapat Pek Sek Toodjin serta To It Hang.
Beng Kie heran apabila ia lihat pemuda she To itu.
"Hongthio menitahkannya supaya dia dibiarkan pergi!" Tjoen Seng lantas mem
berikan pengumuman.
Pendeta itu berdiri di sampingnya It Hang. It Hang yang matanya tajam dapa
t lihat tangannya pendeta itu bertanda belang merah seluruhnya. Ia terkejut.
"Siansoe, apakah tadi kau telah berbcntrok tangan dengan penjahat ini?" ta
nyanya It Hang.
"Kenapa?" Tjoen Seng balik tanya karena herannya.
"Dia adalah Imhong Toksee tjiang Kim Laokoay." ItHang beritahukan.
Tjoen Seng kaget. Memang tadi. sehabisnya beradu tangan, ia merasakan apa-
apa yang beda pada tangannya, ia hanya tidak menduga jelek, terutama tidak mendu
ga sama sekali kepada Imhong Toksee tjiang. si "Tangan Pasir Beracun".
"Hai!" dia berteriak. Ketika dia hendak lompat menyusul, mendadak dia rasa
i kedua lututnya lemas.
Si muka merah sendiri, ialah Kim Tok Ek, sudah berlalu dengan cepat, melew
ati dua wuwungan, tetapi dia masih dengar seruannya Tjoen Seng itu. maka dia men
oleh sambil berkata: "Apakah ucapannya orang-orang Siauwlim sie dapat dipercaya?
"
"Jangan kejar padanya!" Keng Beng Siansoe mencegah.
"Tapi aku bukannya orang Siauwlim sie!" teriak To It Hang. Rupanya mendada
k ia ingat sesuatu. Maka ia berseru: "Gak Toako. mari kita kejar! Dia telah curi
kitab ilmu pedang kepunyaan gurumu!"
Mendengar itu, Beng Kie berseru seraya lompat melesat, dengan beberapa kal
i lompat ia sudah sampai di bagian belakang Tjeetjouw am.
It Hang pun telah menyusul dengan cepat. Maka bersama-sama mereka mengejar
jago yang bertangan liehay itu.
Kejadian ini ada di luar dugaannya Pek Sek Toodjin. Di dalam hatinya ia se
salkan It Hang yang dikatakan usilan, suka campur tahu urusan lain orang. Imam i
ni tidak tahu bahwa It Hang senantiasa pikirkan Giok Lo Sat. Maka sekarang, sete
lah mengetahui penjahat ini justeru orang yang curi kitab ilmu pedangnya si Raks
asi Kumala, sudah tentu dia tidak bisa tinggal diam.
Dalam pengejarannya itu, It Hang lantas ketinggalan dari Beng Kie. Mulanya
saja ia masih lihat bebokongnya orang she Gak itu, lalu sebentar kemudian ia cu
ma lihat bayangan saja, yang dalam sekejap telah lenyap di antara gelapnya sang
malam. Ia liehay ilmu enteng tubuhnya, tetapi dibanding dengan Beng Kie dan Kim
Tok Ek, ia masih kalah. Begitulah, walaupun ia mengejar terus, akhirnya ia tak l
ihat lagi bayangan orang-orang yang disusulnya itu, hingga ia jadi ragu-ragu. Ju
steru itu Pek Sek Toodjin telah menyusul padanya.
"Mereka itu berada di arah barat utara sana," kata It Hang. "Kita susul te
rus atau jangan?"
"Kau adalah bakal ketua partai kita," kata Pek Sek dengan jawabannya, "mak
a mengenai urusan kaum kangouw, harus kau mengerti dan menginsafinya. Kita toh d
atang ke Siauwlim sie sebagai tetamu! Maka mari kita kembali dulu. Khamsie dari
Siauwlim sie terkena tangan jahat, mari kita tolong padanya, sehabis itu, baru k
ita susul orang jahat itu. Kim Laokoay pun sudah terkena pukulan Siauwlim Sinkoe
n, dia pasti bukan tandingannya orang she Gak itu, tidak perlu kita membantunya.
"
It Hang anggap Pek Sek benar, maka ia lantas saja turut kembali ke Siauwli
m sie.
Di lain pihak Gak Beng Kie sudah susul terus pada Kim Tok Ek. Selang seten
gah jam, ia telah mengejar dari Siauwsit san sampai di Thaysit san. Ia masih men
gejar terus ketika sekonyong-konyong ia rasakan hatinya tidak tenteram dan mulut
nya kering haus. Tanpa merasa tindakannya jadi perlahan, sedang Kim Tok Ek di de
pan sudah lenyap dari pandangan matanya!
Dengan perlahan Beng Kie menyalurkan jalan napasnya. Ia sekarang merasakan
gatal pada lengannya. Maka ia gulung tangan bajunya akan lihat lengannya itu. I
a terkejut. Ia tampak lengan itu, terus, ke bawah, menjadi hitam dan bengkak, di
lain pihak, segaris merah bagaikan benang, merayap naik ke atas, seperti mengal
irnya bisa ular.
Kim Tok Ek telah lama terkenal, dia pasti ada sepuluh lipat lebih liehay d
aripada Kim Tjian Giam, keponakannya. Beng Kie telah tersampok lengannya, dengan
lantas bisanya tangan jahat orang itu bekerja. Maka dalam kagetnya, anak muda i
ni berhenti mengejar, segera ia cari tempat untuk duduk bersemedhi. guna melanca
rkan jalan napasnya. Dengan cara ini, ia hendak tolak bekerjanya racun.
Berselang kira-kira setengah jam. Bcng Kie dapat kenyataan garis merah di
lengannya itu telah menjadi kurangan, sudah turun mendekati nadi, maka fa pikir,
di waktu terang tanah ia akan sudah bisa kembali ke Siauwlim sie. Hatinya telah
menjadi lega.
Hampir berbareng dengan itu, Beng Kie dengar suara seruling, yang datangny
a dari tempat tidak jauh. Suara itu halus tetapi tedas. Maka ia ulur lehernya un
tuk memandang. Lalu ia tampak satu anak muda yang duduk di atas sebuah batu besa
r, sedang meniup seruling itu.
"Aneh!" pikirnya, karena di waktu seperti itu, sekira jam empat, bukan wak
tunya meniup seruling.
Tidak lama kemudian suara seruling berhenti. Itulah disebabkan kedatangann
ya beberapa bayangan sambil berlari-lari. Pemuda itu segera lompat bangun.
"Oh, kalian baru sampai?" demikian pertanyaannya. "Kalian terlambat!"
Orang-orang yang baru sampai itu belasan jumlahnya, di kepalai oleh seoran
g tua umur kurang lebih lima puluh tahun, yang tubuhnya kurus kering. Segera ora
ng tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku percaya kau toh tidak berani lancang berlalu dari sini!" katanya. "Ha
i, bocah, siapa sebenarnya namamu?"
Pemuda itu angkat alisnya. Ia tertawa.
"Tidak perlu aku memberitahukan namaku!" katanya.
"Kau adalah pitik yang baru muncul!" kata si orang tua, "tahukah kau undan
g-undang kaum Rimba Hijau? Kau sudah ulur tanganmu, kau telah bekerja, mengapa k
au tidak datang menjumpai kepala naga di sini?" (Kepala naga liongtauw -- jago s
etempat).
"Kau toh bukannya kepala naga di sini?" berkata si pemuda.
"Pandai kau mencari keterangan!" kata orang tua itu. "Coba. ingin aku keta
hui, siapakah si kepala naga yang jadi toako di sini? Kau tahu aturan, tetapi ka
u sengaja langgar itu. itu artinya kesalahanmu telah bertambah!" (Toako -- sa
udara tua).
"Apa sih main toako-toako-an! Kalian boleh melakukan pencurian, akupun bol
eh!"
Dari sampingnya si orang tua maju seorang yang tubuhnya tegap, dia lantas
saja menuding.
"Hai, bangsat cilik!" dampratnya dengan bengis. "Bagaimana kau berani beke
rja hitam dan memakan hitam? Lekas kau keluarkan batu permata itu!"
Mendengar sampai di situ, tahulah Beng Kie bahwa dua pihak orang itu adala
h sama-sama bandit, cuma ia merasa heran atas si anak muda, yang romannya demiki
an sopan santun tetapi dia toh menjadi penjahat --- bekerja hitam dan memakan hi
tam...
Pemuda itu tertawa.
"Jadinya kaulah si toako kepala naga di sini?" dia tegaskan.
"Maka itu kenallah kau pada Moa Hektjoe!" bentak orang itu dengan jumawa.
"Kau hendak serahkan kumala itu atau tidak?"
"Menyesal sekali," sahut si anak muda. "Aku telah tukarkan itu dengan uang
!"
Orang yang perkenalkan diri sebagai Moa Hektjoe itu menjadi sangat gusar.
Ia lonjorkan sepasang tangannya perlihatkan tali bandringnya(hoeidjiauw). Segera
ia menyerang.
"Jangan lukai dia!" seru si orang tua kurus kering.
Anak muda itu gerakkan serulingnya menangkis serangan sepasang hoeidjiauw
itu. Selagi menangkis, iapun majukan diri mendekati musuh, tangannya yang kiri d
iulur. Maka tidak ampun lagi Moa Hektjoe kena ditotok, roboh seketika dengan tub
uhnya terbanting keras!
Mukanya si orang tua kurus kering jadi berubah pucat.
"Kau pernah apa dengan Tiat Hoei Liong?" dia tanya.
Orang tua ini nyata liehay, dia dapat menduga.
Memang pemuda itu adalah Tiat San Ho, gadisnya Tiat Hoei Liong. Setelah di
usir ayahnya, nona ini berlalu dengan menyamar sebagai pria. Ia merantau dengan
merdeka. Jikalau putus uang belanjanya, dengan gampang ia satroni rumah seorang
hartawan untuk curi uangnya. Baru beberapa hari yang lampau ia sampai di kota Ka
yhong, di suatu jalan ia ketemu rombongannya Kim Tok Ek dan Kim Tjian Giam. Ia t
ak ingin dapat dilihat, cepat-cepat ia menjauhkan diri. Tadinya ia hendak berlal
u dari Kayhong, tapi sekarang ia ubah niatnya itu. Dengan munculnya Kim Tok Ek,
ada kemungkinan ayahnya bersama Giok Lo Sat akan datang menyusul.
Tiada sedetikpun San Ho dapat lupakan ayahnya. Ia tahu, bahwa ayahnya, den
gan dibantu Giok Lo Sat (atau sebaliknya), tentu akan cari Kim Tok Ek, untuk min
ta kembali kitab ilmu pedang, ia ingin dapat membantu ayahnya itu. Ia insyaf, ba
hwa ia tidak akan sanggup melawan Kim Tok Ek, akan tetapi ia dapat membantu ayah
nya dengan mengintai gerak-geriknya orang she Kini yang liehay itu. Demikian ia
bertindak.
Sesampainya di Kayhong, San Ho keputusan bekal, dari itu pada suatu malam
ia satroni seorang hartawan besar. Justeru rumah itu lebih dahulu didatangi Hek
Moatjoe, yang telah berhasil mencuri uang dalam satu bungkusan besar, dalam mana
terisi juga sebatang kumala gioksanho yang indah, sudah kepalang, ia sambar bun
gkusan itu dari tangannya Hek Moarjoe.
Sama sekali San Ho tidak pikirkan kumala itu, sampai keesokannya tiba-tiba
ia terima "surat undangan" yang menentukan waktu dan tempat untuk pertemuan. Wa
ku itu adalah jam tiga, dan tempatnya adalah tempat di mana tadi ia tiup serulin
gnya, tanjakan Ngopek Siepo di gunung Thaysit san itu. Berbareng dengan itu, ia
pun segera dapat tahu bahwa dirinya terus ada yang intai. Ia insyaf, apabila ia
bentrok kepada pengintai itu di tempat mondoknya, ia kuatir Kim Tok Ek nanti per
goki padanya, maka ia anggap lebih baik ia terima undangan tanpa banyak berisik.
Ia percaya bahwa pengundangnya bukan lawannya yang setimpal. Sekarang kenyataan
di luar dugaannya, maling yang ia malingi itu adalah kawannya Kim Tok Ek paman
dan keponakan, sebagaimana Kim Tjian Giam telah datang bersama si maling itu.
Sebelumnya Kim Tjian Giam sudah kenal San Ho, tapi karena orang menyamar s
ebagai pemuda dan waktu itu bulanpun suram dan bintang sedikit, tidak dapat ia s
egera mengenalinya, hanya setelah pertempuran, baru ia menduga kepada Tiat Hoei
Liong yang ilmu silatnya ia kenal baik.
Gak Beng Kie terperanjat mendengar tegurannya orang she Kim ini. Ia tahu T
iat Hoei Liong dan Kim Tok Ek keduanya sama kesohor di barat utara. Kenapa dua o
rang itu bisa berada berbareng di wilayah selatan ini?
Atas teguran orang itu. Tiat San Ho tertawa. lapun lintangkan serulingnya.
"Orang tua she Kim!" katanya separuh mengejek, "Giok Lo Sat hendak rampas
jiwamu, cara bagaimana kau masih berani banyak tingkah di sini?"
Kim Tjian Giam terkejut, hingga segera ia celingukan ke sekitarnya.
"Kau toh San Ho?" katanya ragu-ragu. "Benarkah ayahmu dan Giok Lo Sat tela
h datang kemari?"
San Ho tidak lantas menjawab, ia hanya tiup serulingnya.
"Pasti mereka dapat dengar suara serulingku ini!" jawabnya sambil tertawa.
Nona ini jeri, sengaja ia bawa aksinya itu untuk menbikin pusing kepalanya
si orang Kim, yang sebaliknyajeri terhadap Giok Lo Sat.
Benar-benar Kim Tjian Giam berkuatir sampai wajahnya pucat.
"Paman pergi ke Siauwlim sie untuk mencuri kitab, kenapa ia masih belum ba
lik?" demikian ia berpikir. Ia takut kalau benar-benar Tiat Hoei Liong dan Giok
Lo Sat muncul di hadapannya itu.
San Ho kembali perdengarkan tertawanya yang dingin.
"Oh nona. aku tidak tahu bahwa kau nona San Ho, harap kau tidak kecil hati
," akhirnya kata Tjian Giam sambil memberi hormat dengan lagak yang sibuk, terus
ia sambar tangan kawan-kawannya untuk berlalu, ia sendiri sudah lantas memutar
tubuhnya.
Itu waktu Hek Moatjoe telah bisa merayap untuk berbangkit.
"Kim Toako, jangan kau percaya ocehannya!" kata pencuri ini dengan tertawa
dingin. "Aku tahu benar, di dalam beberapa hari ini kecuali dia, di wilayah Kay
hong ini tidak ada lain kambratnya lagi!"
Hek Moatjoe ini, untuk di propinsi Hoolam, selain menjadi kepala dari romb
ongan Hoolam pang juga seorang cabang atas untuk wilayah Tenghong. Ilmu silatnya
tidak mahir akan tetapi ia banyak konconya, pandai sekali ia memperoleh kabar k
aum kangouw.
Kim Tjian Giam tahu pengaruh dan liehaynya sahabat ini, maka ketika menden
gar kata-katanya itu, hatinya mulai tenangan.
"Bagus, bocah, kau hci.iui permainkan aku!" katanya dengan mengejek.
"Ah, kiranya dia seorang perempuan?" kata Hek Moatjoe dengan kegirangan. "
Kasihlah dia padaku!"
Tiat San Ho mendongkol bukan kepalang, tahu-tahu ujung serulingnya telah m
enyambar, hingga Hek Moatjoe roboh terguling pula untuk kedua kalinya. Kali ini
dia tertotok lebih hebat, sampai tidak bisa menggerakkan tubuh untuk bangun pula
.
Kim Tjian Giam tertawa haha-hihi.
"Kau ganas, budak cilik!" tegurnya, sambil tangannya menjambret ke muka or
ang. Sebat sekali ia ulur sebelah tangannya itu.
San Ho gesit, ia dapat kelit diri.
"Entjie Lian!"dia menjerit. "Lekas, entjie!"
Tjian Giam kaget, hingga ia celingukan pula, ketika mana digunai si nona d
alam penyamaran untuk lompat mundur.
"Kurang ajar!" bentak Tjian Giam. yang menjadi gusar. Ia sadar bahwa ia ke
mbali kena dipermainkan nona itu. Menuruti kemurkaannya ia lompat maju, untuk be
rdiri di hadapan si nona.
"Kau berani pakai nama Giok Lo Sat untuk menakut-nakuti aku?" katanya deng
an tertawa dingin. Lalu tangannya menjambret pula.
Lagi-lagi San Ho mundur untuk menghindarkan diri.
Dalam gusarnya itu, Tjian Giam menyerang pula.
Dengan terpaksa San Ho totok tangan musuhnya itu. Tapi Tjian Giam sangat I
iehay. dia tidak berkelit, dia justeru menyambar dan merampas seruling musuh den
gan tangan kanannya yang terus ia lempar ke tanah, dan tangan kirinya berbareng
menyambar juga.
San Ho kaget untuk gerakan musuh yang sangat sebat itu, sampai tak dapat i
a mundur lagi.
Sekonyong-konyong Tjian Giam tertawa, tangannyapun tidak diteruskan menyer
ang.
"Aku tidak tega lukai kau dengan menggunakan Tiatsee Tjiang!" katanya. "Ta
pi kau jawablah aku secara baik-baik dan terus terang! Awas jikalau kau sembunyi
kan sepatah katajua. walaupun aku tidak mau bunuh kau mati, sedikitnya aku akan
bikin kau tersiksa seumur hidupmu! Mana. ayahmu dan Giok Lo Sat? ke mana perginy
a mereka?"
"Apakah benar-benar kau hendak temui mereka?" si nona balik tanya. Ia teta
p bandel dan besar kepala.
"Siapa main-main denganmu?" bentak Tjian Giam. Ia ulur tangannya menyambar
si nona untuk dicekuknya.
Sekarang ini San Ho dapat egoskan tubuhnya.
"Entjie Lian!" ia berteriak pula.
memanggil Giok Lo Sat.
Tak sudi Tjian Giam "dijual" pula, tanpa perdulikan jeritan itu ia maju, t
angannya diulur, hingga jari-jari tangannya mengenai baju si nona. Tapi berbaren
g dengan itu dia menjerit keras: "Aduh!" sambil tangannya segera ditarik pulang.
San Ho heran menampak kejadian itu.
Gak Beng Kie dari tempat persembunyiannya di belakang batu dapat dengar ny
ata pembicaraan orang, mulanya ia menyangka kepada bentrokan di antara kawan sen
diri, ia tidak mau turun tangan untuk membantui salah satu pihak. Akan tetapi ia
dengar si nona menyebut-nyebut orang tua itu she Kim dan si orang tua sendiri p
erkenalkan dirinya sebagai ImhongToksee tjiang, ia jadi berpikir lain.
"Ah, tak disangka di sini aku dapat menemui mereka." pikirnya pula. "Kim L
aokoay tidak dapat dicandak, baik aku bekuk saja keponakannya ini!..."
Maka diam-diam ia jemput tanah dan dipulungnya bagaikan pil. dengan, apa i
a timpuk Tjian Giam di saat orang she Kim ini hendak sambar pemuda tetiron itu.
Dan terkenalah Tjian Giam kepada nadinya.
Timpukan itu tidak keras tapi telah membikin semangatnya orang she Kim sep
erti terbang buyar, karena dia menduga kepada si Raksasi Kumala yang datang meny
erang padanya, maka tanpa berayal lagi ia segera membalik tubuh mengangkat langk
ah panjang.
Hek Moatjoe telah dipayang bangun oleh kawan-kawannya, ia heran menyaksika
n lagaknya orang she Kim itu, hingga ia berteriak: "Di sini tidak ada lain orang
kecuali bangsat cilik ini!"
Tjian Giam segera menoleh, ia tampak si nona sedang tertawa menyengir, di
situ tidak ada Giok Lo Sat. Ia tetap sangsi dan jeri, maka ia tak mau lantas kem
bali. Ia hanya melihat ke sana-sini. tanpa ia tampak sesuatu perubahan.
Orang-orangnya Hek Moatjoe tidak menjadi takut walaupun kepalanya telah or
ang robohkan, mereka maju mengurung pemuda palsu itu. Tetapi mereka tidak berani
segera turun tangan, rupanya mereka masih ragu-ragu.
Tjian Giam mencoba menenangkan diri. Ia pikir, kalau penyerangnya tadi ben
ar Giok Lo Sat, tidak nanti si Raksasi Kumala mengumpet terus dan tidak mengejar
padanya. Ia tahu nona itu sangat ganas. Dan pikirnya pula. kalau benar Giok Lo
Sat ada di situ, walaupun ia hendak kaburpun akan cuma-cuma belaka, pasti ia aka
n dapat dicandak. Maka akhirnya ia ambil putusan, daripada mesti mati, lebih bai
k ia kembali.
"Jikalau dia bukannya Giok Lo Sat, pasti aku ditertawai Hek Moatjoe," ia b
erbalik pikir. Demikian akhirnya, ia putar tubuhnya.
Tiat San Ho lihat orang batal kabur, ia jadi bingung.
"Entjie Lian!" dia berteriak pula. sekeras-kerasnya.
Walaupun dia sudah ambil ketetapan, dasar bekas burung kaget. Tjian Giam t
etap ragu-ragu, maka sambil bertindak menghampirkan, matanya melirik ke kiri dan
kanan. Begitulah ia dengar ketika ada angin menyambar.
"Tikus, jangan menggunakan senjata gelap!" dia mendamprat sambil menangkis
dengan sebelah tangannya.
Menyusul itu, orang she Kim ini menjerit keras. "Aduh!" lalu tubuhnya terg
uling roboh di tanah.
Beng Kie pun lompat keluar dari tempatnya sembunyi!
Mulanya, dengan tanah pulung yang pertama Beng Kie ingin robohkan orang sh
e Kim itu, tapi Tjian Giam ternyata, walaupun nadinya telah tertimpuk, dia masih
dapat pertahankan diri. Beng Kie tidak niat mengejar orang she Kim itu. disebab
kan ia baru saja beristirahat, ia tidak boleh menggunakan tenaganya untuk berlar
i-lari keras. Ia tidak sangka, karena malu hati kepada Hek Moatjoe. Tjian Giam t
elah balik kembali. Tjian Giam melainkan malui Giok Lo Sat, dia tidak menduganya
di situ ada si orang she Gak yang terlebih liehay daripada si Raksasi Kumala.
Selagi Tjian Giam kembali, Beng Kie sudah pulung pula tiga butir peluru ta
nah itu, berbareng dengan itu pemuda ini jemput dua batang kayu kering, lalu dia
serang Tjian Giam yang hendak menyerang si nona. Maka tidak ampun lagi. mata ka
nannya Tjian Giam kena tertusuk satu cabang kayu yang menyerupai anak panah itu,
hingga dia roboh dengan matanya mengucurkan darah deras!
Hek Moatjoe semua menjadi kaget, semuanya lantas menyerang.
Beng Kie hunus pedangnya yang ia putar untuk dipakai menangkis, ketika pel
bagai senjata bentrok, dengan menerbitkan suara berisik, banyak golok dan pedang
telah terbabat kutung! Hingga semua orangnya Hek Moatjoe kaget dan lompat mundu
r.
Hek Moatjoe sendiri, melupakan sakitnya, sudah gulingkan tubuh untuk lari
sambil bergelindingan.
Juga Kim Tjian Giam, dengan menahan sakit, telah lompat bangun dengan niat
an angkat kaki. akan tetapi Beng Kie sudah lompat kepadanya dengan ujung pedang
Yoeliong kiam ditandalkan ke tenggorokannya!
"Kim Tok Ek itu apamu?" pemuda she Gak itu tanya.
"Dia adalah pamanku," jawabnya Tjian Giam.
Meski Tok Ek dan Tjian Giam mereka bersanak sebagai paman dan keponakan, t
api usia mereka bedanya tidak ada sepuluh tahun.
"Bagus!" kata Beng Kie. "Sekarang suruhlah pamanmu itu tebus kau dengan ki
tab ilmu pedang?"
"Kitab ilmu pedang apa itu?" Tjian Giam tanya.
"Kau masih berpura-pura?" bentak Beng Kie. "Kitab ilmu pedang kepunyaannya
Giok Lo Sat!"
"Ah..." bersuara Tjian Giam. "Apakah sangkut-pautnya kitab Giok Lo Sat den
gan kau?"
Beng Kie tidak menjawab, ia hanya gerakkan tangannya, tapi belum sampai uj
ung pedang menyontek tenggorokan si orang she Kim, dari satu tikungan ia lihat m
unculnya satu orang yang berlari-lari sambil berteriak berulang-ulang: "Lepaskan
dia! Aku nanti serahkan kitab itu!"
Dengan tangan kirinya, Beng Kie tolak tubuh Tjian Giam sampai orang roboh,
lantas ia bersiap, akan menantikan orang yang sedang mendatangi itu. ialah Kim
Tok Ek.
Jago Tiatsee Tjiang itu tertawa menyeringai, dia datang bukan untuk serahk
an kitab seperti apa yang dia katakan tadi. hanya secara mengejek dia kata: "Hm!
Neraka tidak ada pintunya, kau toh memasukinya juga: Mari. mari! Kitab ilmu ped
ang ada di sini! Jikalau kau mempunyai kepandaian, nah ambillah ini!"
Kalau tadi dikejar Beng Kie dia kabur, kenapa Kim Tok Ek sekarang justeru
berani menantang? Tidak lain, itulah disebabkan tadi ia terluka bekas hajarannya
Tjoen Seng Siansoe, hingga iapun perlu beristirahat dulu seperti Beng Kie tadi.
Ia duduk bersemedhi sekian lama sampai ia rasakan darahnya berjalan pula sepert
i biasa, maka segera ia lari ke tempat ini di mana ia sudah janji dengan keponak
annya, untuk bertemu. Kebetulan sekali dia sampai di saat Tjian Giam terancam.
"Bagus!" menyambut Beng Kie. "Aku memang ingin tempur pula padamu! Jikalau
kau satu laki-laki sejati, jangan lari!"
Beng Kie tutup kata-katanya dengan serangannya.
Kim Tok Ek berkelit akan terus balas menyerang. Ia berkelahi dengan tangan
kosong, karena ia andalkan Toksee tjiang yang jahat.
Beng Kie menyerang berulang-ulang, tapi ia waspada, karena ia tahu liehayn
ya lawan ini, yang dengan kegesitannya dia seperti nyeplos pergi datang antara s
ambaran-sambaran pedang yang cahayanya berkilauan.
Tiat San Ho saksikan pertempuran yang kipa itu, tetapi sangat dahsyat, ia
menjadi kagum: Kagum untuk liehaynya pedang si anak muda dan kegesitaunya si ora
ng she Kim.
Beng Kie berkelahi dengan "Twiehong Kiamhoat", ilmu pedang "Mengejar angin
", salah satu ilmu dari ilmu pedang Thiansan pay, m bergerak dengan sangat cepat
. Inipun yang pertama kali ia pakai ilmu itu, akan layani jago Tangan Pasir Besi
itu. Dengan jalan ini ia bisa desak mundur pada lawan yang tangguh itu, yang me
sti mundur setindak demi setindak.
"Lekas serahkan kitab itu!" Beng Kie membentak sambil terus mendesak.
Sebagai jawabannya Kim Tok Ek perdengarkan tertawanya yang seram. Jago ini
kemudian kata dengan dingin: "Jikalau aku tidak perlihatkan keliehayanku kepada
mu, kau tentunya menyangka aku si orang tua jeri padamu!" Benar-benar Tok Ek men
yerang dengan hebat sekali, sesuatu serangannya mendatangkan siuran angin. Yang
hebat ialah, beberapa kali pedangnya Beng Kie kena disampok terpental, hingga pe
muda ini menjadi heran.
Beberapa gebrak telah berlanjut, mendadak Beng Kie kaget dan bingung karen
a tiba-tiba ia merasa dahaga, mulutnya kering. Nyatalah ia telah keluarkan terla
lu banyak tenaga, sedang waktujtu ia baru saja sembuh.
"Celaka..." ia mengeluh.
Tapi pemuda ini tidak tahu bahwa Tok Ek pun merasa lebih bercelaka daripad
a dia. Sebab Tok Ek juga tergempur tenaga dalamnya oleh Tjoen Seng Siansoe, iapu
n baru saja pulih tenaganya, lalu sekarang ia paksa keluarkan tenaga sekuatnya u
ntuk dapat melayani Beng Kie. yang ia niat robohkan. Memang kelihatannya ia mena
ng di atas angin, tetapi di dalam anggauta badannya sudah tergerak hebat.
Maka selang beberapa saat Kini Tok Ek menjadi buyar pandangan matanya.
Syukur untuk jago ini, meski sudah kabur pandangan matanya, tapi kupingnya
masih tajam pendengarannya, menuruti suara anginnya pedang, ia tahu di mana ata
u ke mana ujung pedang musuh menjurus. Dengan begitu, selain berkelit, ia juga b
isa sampok pedang musuh! Malah satu kali tangannya bisa sambar lengannya Beng Ki
e selagi pemuda ini menyerang.
Dengan tangan kirinya, Kim Tok Ek gunakan ilmu menangkap tangan yang dinam
akan "Toakimna Tjhioe" -- "Tangkapan Besar".
Sejenak saja Beng Kie rasakan lengannya lemas, tenaganya seperti habis sec
ara tiba-tiba. Tapi selagi begitu, ujung pedangnya justeru menjurus ke selangkan
gannya Tok Ek mengenai tulang kakinya.
Geraknya pedang sangat perlahan. Tok Ek tidak dengar itu. ia baru kaget se
telah mendadak merasa sakit. Meskipun tusukan perlahan tetapi Yoeliong kiam taja
m luar biasa.
Karena tertusuk, Tok Ek menjerit, dengan tangan kanannya, segera ia menyer
ang beruntun sampai dua kali.
Beng Kie sedang menyekali sebelah tangannya, tak dapat ia kelit diri, maka
ia kena diserang, atas mana tubuhnya, bagaikan sioekioe. bola sulam, terhuyung
roboh ke arah bawah gunung!
San Ho kaget, tetapi ia masih sempat lompat menyambar tubuhnya si anak mud
a yang ia peluknya mencegah tubuh itu jatuh tergelincir ke bawah gunung itu.
Beng Kie muntahkan darah hidup, tapi meski demikian ia masih bisa perdenga
rkan suaranya yang serak: "Lekas pungut pedangku!"
San Ho ragu-ragu.
"Bagaimana kau rasa?" dia tanya.
Tapi Beng Kie gelisah.
"Lekas! Lekas!" serunya dia.
Juga Kim Tok Ek. setelah serangannya itu dia jatuh roboh, sedang Kim Tjian
Giam, yang matanya buta sebelah dan telah merasai tangannya Beng Kie. habis ten
aganya, hanya karena ia tidak pingsan, ia masih bisa berdiri dan berjalan, maka
ketika ia tampak pamannya roboh, lantas ia lompat untuk menolongnya. Karena ini.
San Ho dapat dengan leluasa menjemput pedangnya Beng Kie.
Tapi ia kuatir nanti ada orang yang merintangi padanya, maka untuk menganc
am, begitu ia cekal pedang itu. ia lantas putarkan untuk dipakai menyabet, kebet
ulan sekali ia kena sabet batu. dan di antara suara nyaring, batu itu memuncratk
an letikan api berhamburan.
Kim Tjian Giam lihat cahaya api itu, ia kaget dan jeri, maka tidak ragu-ra
gu lagi ia keluarkan Seantero tenaganya, ia pondong tubuh pamannya, untuk dibawa
lari turun gunung.
Sementara itu, selagi pertempuran berlaku di antara Gak Beng Kie dan Kim T
ok Ek, orang-orangnya Hek Moatjoe sudah kabur bersama-sama pemimpin itu sendiri.
Maka di waktu itu tanah pegunungan itu sepi dari manusia lainnya kecuali Beng K
ie dan San Ho sepasang pemuda-pemudi itu.
"Tolong angkat aku," Beng Kie minta, ketika ia lihat si nona datang mendek
ati, i
San Ho menurut, ia bantu pemuda itu untuk dapat berbangkit. Tapi Beng Kie
tidak terus berdiri, ia hanya duduk bersila untuk bersemedhi.
"Kau pergilah lebih dahulu," kata ia kemudian pada si nona, suaranya serak
dan perlahan.
San Ho tidak perdulikan titah itu, ia diam menemani.
"Aku kuatir musuh nanti datang pula!" Beng Kie mendesak. "Pergilah kau! Ka
u pergi ke Siauwlim sie untuk memberi kabar!"
Tergerak hatinya Nona Tiat.
"Ia telah terluka parah, ia toh masih pikirkan aku," katanya di dalam hati
.
"Eh, mengapa kau tidak turut perkataanku?" Beng Kie menegur, apabila ia ta
mpak orang masih berdiam saja
San Ho masih mempunyai sifat kanak-kanak, biasanya kalau orang bicara kasa
r demikian terhadapnya, amarahnya lantas timbul. Tapi sekarang sebaliknya, ia me
njadi terharu, hingga air matanya meleleh turun.
"Baiklah," katanya dengan perlahan. "Aku akan lantas pergi."
Beng Kie terluka parah, ia sudah coba luruskan jalan napasnya, masih ia be
lum sanggup lakukan. Karena itu, terpaksa ia bersila terus, hingga tanpa merasa,
fajar sudahi menyingsing. Sekarang ia lihat nyata si nona sedang berdiri di baw
ah pohon pek, berdiri diam sambil memegangi pedang.
"Eh, kenapa kau masih belum pergi juga?" tanya Beng Kie yang menjadi heran
.
Mendadak nona itu berlompatan lari mendekati, terus ia buka mulutnya yang
mungil.
"Kau adalah seorang yang tidak kenal tjenglie!" ia balik menegur, tetapi s
uaranya sabar.
Pemuda itu heran.
"Kenapa aku tidak kenal tjenglie?" dia tanya.
"Kau sudah tolong jiwaku, kenapa kau tidak ijinkan aku melakukan kewajiban
untuk melindungi kau?" si nona tanya. "Apakah hanya kau seorang saja yang diper
kenankan menjadi seorang gagah?"
Beng Kie bungkam. Ia coba menggerakkan tubuhnya, lantas ia merasakan sakit
yang hebat, ia pun seperti kehabisan tenaga.
"Marilah aku gendong kau, untuk dibawa ke Siauwlim sie.". kata San Ho kemu
dian.
Beng Kie mengawasi akan kemudian menggeleng kepala, la ingat bahwa makhluk
di depannya itu adalah satu nona yang menyamar sebagai pemuda.
"Tak usah," sahutnya. Ia empos pula semangatnya.
"Dia aneh," pikir San Ho, yang jujur, hingga ia tidak menduga bahwa Beng K
ie bersikap demikian karena mentaati adat sopan santun bahwa wanita dan pria tak
dapat berpegang tangan.
Masih Beng Kie mencoba mencoba luruskan napasnya, supaya ia dapat memulihk
an tenaganya, akan tetapi tetap ia tidak peroleh hasil, bahkan sebaliknya ia ras
akan napasnya sesak. Ia tidak ingat sama sekali bahwa ia belum dahar dan lukanya
sangat parah. Ia pentang kedua matanya mengawasi San Ho yang tetap berdiri diam
di dampingnya. Akhir-akhirnya, ia menghela napas.
"Baiklah aku gendong saja padamu." kata San Ho pula kemudian.
Pemuda itu diam saja.
San Ho tahu, ia tidak dapat tentangan lagi, maka ia berdongko untuk pasang
bebokongnya, akan cekal kedua tangan si anak muda yang terus digendongnya.
Maka sedetik kemudian, nona ini sudah berlari-lari turun gunung menuju ke
kuil Siauwlim sie.
Pada waktu itu di dalam Siauwlim sie, Khamsie Tjoen Seng Siansoe telah lol
os dari bahaya sebagai akibat dari serangannya Kim Tok Ek. Inilah disebabkan lwe
ekangnya lebih liehay' daripada Tok Ek, iapun telah makan obat pilnya yang mujar
ab, maka setelah dibantu dengan semedhi, dalam satu malam saja, ia sudah pulih k
esehatannya. Menampak ini maka Pek Sek Toodjin telah mohon pamitan untuk berangk
at pulang.
"Entah kenapa Gak Toako masih belum kembali?" It Hang tanya paman gurunya
itu.
"Mungkin dia mengejar sampai beberapa puluh lie jauhnya." Pek Sek utarakan
dugaannya, "untuk dapat menyandak siluman bangkotan itu."
"Siluman itu sudah terkena tanganku, dia bukannya lagi tandingannya Gak Si
etjoe," Tjoen Seng menyatakan.
Mendengar itu. lega hatinya It Hang. Toh ia masih ingin tunggu kembalinya
Beng Kie, maka ia menyesal Pek Sek sudah minta pamitan, hingga ia mesti ikut ber
angkat.
Pek Sek Toodjin ada mengandung maksud mengapa ia ajak It Hang lekas berlal
u. Ia ingin ajak gadisnya berangkat ke kota raja bersama-sama pemuda she To ini,
supaya pemuda dan pemudi itu dapat bergaul bebas dan erat. Kalau Beng Kie turut
bersama, dia pasti kurang leluasa untuk mengamprokkan puterinya kepada pemuda i
ncarannya itu...
San Ho mesti berjalan jauh dan sukar dengan menggendong satu tubuh yang ma
ntap, maka setelah tengah hari, barulah ia sampai di Siauwlim sie.
Tjoen Seng Siansoe lantas keluar menyambut ketika tiekektjeng melaporkan k
embalinya Beng Kie dengan tergendong, dan ia terkejut bukan main ketika melihat
keadaan yang berbahaya dari pemuda itu.
"Apakah yang telah terjadi?" dia tanya San Ho.
Nona Tiat, yang masih tetap dengan penyamarannya, tuturkan jalannya pertem
puran yang dahsyat itu.
"Itulah hebat," serunya sang pendeta
Dengan cepat Tjoen Seng bawa Beng Kie ke dalam kamar, paling dulu ia kasih
minum air obat somthung, kemudian ia cekoki tiga butir pil siauwhoan tan.
Tidak lama Keng Beng Siansoe pun datang melongok, tapi ketika ia lihat San
Ho, terus saja ia kata: "Kau tak usah mendampinginya lebih jauh."
San Ho heran, hingga ia mengawasi dengan bengong.
"Setelah beristirahat dua hari dia akan sembuh," kata pendeta kepala itu k
epada pemuda tetiron ini. "Kau bawa suratku ke Thaysit san akan menumpang tingga
l kepada Tjoe Hoei Soethay. Selang dua hari, kau datang pula kemari untuk menyam
but Gak Sietjoe ini."
Segera San Ho mengerti bahwa pendeta ini telah ketahui penyamarannya, maka
wajahnya menjadi merah sendirinya Terpaksa ia sambut surat dari pendeta itu, lal
u ia pamitan dan pergi.
Seberlalunya si nona, Keng Beng dan Tjoen Seng keluar dari kamar di mana B
eng Kie dirawat.
"Gak Beng Kie ini sempurna latihannya, jikalau dia direndengkan dengan It
Hang, mereka mirip dengan pohon kumala, mereka adalah bakat-bakat yang sukar did
apatkan selama seribu tahun," kata Tjoen Seng. "maka aku tidak sangka, kenapa di
a tidak bisa kendalikan dirinya, hingga dia hampir merusak kesucian kuil kita in
i... Kalau soeheng tidak lantas dapat pergoki penyamaran nona itu, dan dia berma
lam di sini bersama-sama Beng Kie, tidakkah itu akan lebih hebat kesudahannya? A
ndaikan hal ini tersiar tidakkah itu memalukan?"
Keng Beng Siansoe menghela napas.
"Tapi itulah bukan hal yang aku kuatirkan," kata pendeta ini. "Dalam segal
a hal kita harus memandangnya dari keadaan dan suasananya. Beng Kie sedang terlu
ka parah, dari itu, siapa saja yang antar dia, wanita atau pria. adalah sama saj
a Dalam keadaan sulit dan berbahaya sebagai Beng Kie, kita tak dapat taati sepen
uhnya adat sopan santun. Umpama dia tidak dapat orang yang merawatinya tidak ada
halangannya mereka berdua berdiam di dalam satu kamar."
"Tetapi tadi mengapa soeheng menghela napas?" Tjoen Seng tanya.
"Aku sayangi bakatnya Beng Kie yang putih bersih." kata pendeta kepala dar
i Siauwlim sie itu. "dia bukan saja bisa menjadi kiamkek, diapun bisa menjadi pe
ndeta suci. Aku hanya kuatirkan dia nanti terlibat asmara..." (Kiamkek -- ahli p
edang).
Mendengar ini, lega hatinya Tjoen Seng. Karena yang ia kuatirkan adalah ke
hormatannya Siauwlim sie.
Benar seperti katanya Keng Beng Siansoe. selang dua hari. Beng Kie telah s
embuh dari bisanya tangan jahat dari Kim Tok Ek. hingga selanjutnya ia membutuhk
an hanya sedikit waktu lagi untuk memulihkah tenaganya kembali seperti sediakala
.
Tepat di hari ketiga pagi-pagi. Keng Beng Siansoe serahkan pada Beng Kie s
alinan kitabnya ilmu pedang, yaitu "Liongtjoan Pcklian Koat" sambil pemuda itu d
ipesan untuk belajar sungguh-sungguh dengan kuat dan bertetap hati. supaya dia d
apat selalu mengatasi diri.
Pemuda itu mengucap terima kasih, ia memberi hormat untuk pamitan. Ketika
ia sampai di luar Siauwlim sie, di muka pintu, sambil bersenyum San Ho asyik men
antikan padanya. Tiba-tiba ia teringat yang ia telah digendong si nona, ia menja
di jengah sendirinya.
"Mau apa kau datang kemari?" ia tanya.
"Untuk memapak kau," sahut San Ho. "Aku juga hendak haturkan terima kasihk
u kepadamu."
"Aku justeru hendak mengucapkan terima kasih padamu," Beng Kie kata. "Kau
hendak pergi ke mana sekarang?"
"Dan kau?" si nona balik menanya.
"Aku hendak pergi ke Pakkhia."
"Aku juga hendak pergi ke Pakkhia!" si nona tertawa.
Beng Kie melengak.
"Kau pun hendak pergi ke Pakkhia?" dia tegaskan.
"Benar. Maka kita boleh jalan sama-sama!"
Tidak ada alasan untuk Beng Kie menolak, terpaksa ia terima nona itu.
Maka berdua berangkatlah mereka menuju ke kota raja.
San Ho berlaku polos dan ramah tamah, terhadap Beng Kie dia berlaku sebaga
i saudara kandung kakak beradik, maka itu, lambat laun lenyaplah kelikatan merek
a. Karena polosnya si nona omong dari hal apa saja yang ia dapat pikir, kecuali
ia tak ingin omong tentang ayahnya, hingga karenanya, Beng Kie heran sekali.
Sifat kekanak-kanakannya Tiat San Ho belum lenyap seanteronya, akan tetapi
sejak kecil ia telah kenyang ikuti ayahnya merantau, karena itu, ia kenal banya
k dan ketahui segala hal ikhwalnya kaum kangouw. maka karena itu pula, perjalana
n mereka menjadi lancar sekali. Di samping itu, sering San Ho kenali orang-orang
kangouw yang menuju ke utara juga. Demikian pada suatu hari, sesampainya mereka
di Hamtan, sebuah kota besar di Hoopak, selagi jalan di dekat sebuah rumah maka
n, ia menunjuk ke rumah makan itu sambil berkata pada kawan seperjalanannya: "Li
hat di dalam restoran, di antara tetamu-tetamunya itu, ada satu kepala dari kaum
Hitam!"
"Kita baik jangan usil," sahut Beng Kie.
"Kau temani aku, mari kita melihatnya," San Ho minta. "Dia adalah dari der
ajat yang tinggi. Selama dua hari ini, semua orang kangouw yang kita ketemukan m
ungkin harus memandang dia sebagai tertua..."
"Eh, bagaimana kau ketahui itu?" Beng Kie tertarik juga hatinya.
"Kau lihat di sana, di pojok tembok," kata San Ho. "Lihat itu setangkai bu
nga bwee yang dilukiskan di situ. Coba kau hitung jumlah tangkainya."
"Ya ada dua belas," jawab Beng Kie, setelah ia bertindak mendekati.
"Nah, itu dianya! Itulah bunga bwee yang menjadi tanda rali.isiu yang juml
ah tangkainya menandak.ui tinggi rendahnya derajat orang yanp bersangkutan. Bias
anya, jumlah tangkai adalah tiga belas yang paling banyak, sekarang bunga ini be
rtangkai dua belas, inilah hal yang ganjil."
"Baiklah kalau begitu," kata Beng Kie. "Mari kita masuk dan melihatnya. Ta
pi ingat, kau jangan sembarang terbitkan onar."
Keduanya lantas mampir di rumah makan itu, mereka pilih meja dari mana mer
eka bisa leluasa memandang ke sekitarnya.
Beng Kie melihat ke sekitar ruangan, ia tampak di sebelah timurnya, dekat
pada jendela, duduk dua orang yang mengenakan kopiahnya rendah sekali, sehingga
menutupi mata dan hidungnya, akan tetapi walaupun demikian, dengan matanya yang
taj am Beng Kie merasa seperti pernah melihatnya, dan iapun lantas ingat suatu a
pa, maka sekonyong-konyong ia bangun berdiri, terus ia bertindak maju.
San Ho heran.
"Eh, toako, kau mau berbuat apa?" tanya nona ini.
Beng Kie tidak segera menjawab, dia hanya menggapai.
"Jongos, tolong seduhkan dulu satu tehkoan teh Liongtjeng!" katanya kepada
jongos. Tetapi gerakan tangannya itu ada demikian rupa, hingga ia kena singkap
kopiahnya orang yang ia curigai itu, sampai kopiah itu terangkat, menyusul mana,
dia lompat menyambar.
"He, Eng Sioe Yang, bangsat tua, kau kenali aku atau tidak?" tegurnya pemu
da ini membarengi gerakannya menyekal orang.
Orang itu dengan sebat sekali menangkis dengan kebutannya, hoedtim, untuk
sekalian lilit lengan penyerangnya itu.
San Ho heran bukan main.
"Dia larang aku terbitkan onar. sekarang dia yang mulai..." katanya dalam
hati. Ia sama sekali tak tahu bahwa kedua orang itu adalah penghianat yang berko
ngkol sama pihak Boan, yang di puncak bukit Koensan sudah kepung Giok Lo Sat.
Walaupun Eng Sioe Yang liehay. menghadapi Beng Kie ia berkecil hati, apapu
la setelah gagal ia menangkis dan melilit tangan si anak muda, sementara di piha
k lain. sambaran pemuda itu telah diulangi. Bahna berkuatir dan hendak bela diri
. ia berseru seraya angkat meja untuk menangkis, hingga karenanya, piring mangko
k, atau lebih benar pelbagai sayur, terbang ke arah pemuda itu.
Beng Kie lompat berkelit. Justeru inilah yang dikehendaki Eng Sioe Yang, y
ang gunakan ketika baik itu untuk lompat keluar jendela.
Sahabatnya penghianat bangsa itu tidak kenal bahaya, dia maju merintangi B
eng Kie mengejar kawannya, akan tetapi Beng Kie dalam sengitnya berbalik menyamb
ar padanya, yang kena dicekal dan dilemparkan terbanting ke jalan besar di luar
jendela.
Eng Sioe Yang baru mau lari terus atau pengejarnya sudah dapat candak pada
nya, yang segera diserang dengan pedang Yoeliong kiam, hingga terpaksa, dia guna
kan kebutannya akan melakukan perlawanan. Kebutannya itu memang dapat digunakan
sebagai pedang atau alat penotok jalan darah di samping senjata penyabet atau pe
libat. Hanya meski dia sangat liehay, sekarang dia menghadapi ilmu pedang Thians
an kiamhoat dengan pedang mustika pula. kebutannya nampaknya tiada berguna.
Pertempuran itu membikin takut orang-orang yang berlalu lintas, mereka sem
ua lantas jauhkan diri dan sembunyi, sedang toko-toko yang berdekatan, repot men
utup pintu.
Beng Kie mendesak terus-terusan, membikin Sioe Yang repot menangkis.
Pertempuran tengah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara gembleng pembuka
jalan dan muncul delapan penunggang kuda. yang di belakangnya tampak pula delap
an thaykam. orang kebiri, yang mengiring sebuah kereta keraton.
"Lekas tangkap penjahat!" Eng Sioe Yang berteriak ketika ia lihat rombonga
n kereta itu.
Delapan penunggang kuda itu adalah siewie-siewie atau pahlawan-pahlawan is
tana, mereka sudah lantas lompat turun dari kudanya dan maju menyerang Beng Kie.
Beng Kie jadi mendongkol. Ia tidak takut dikepung tapi ia tidak dapat mela
yani barisan pengawal istana itu, karena ia sendiri adalah utusannya Him Kenglia
k... Untuk mencegah keonaran, ia lantas lompat mundur dan lari menyingkir.
Eng Sioe Yang beramai hendak mengejar, tapi mereka terlambat.
Beng Kie lari melintasi duajalanan panjang, ketika tiba-tiba dari pojok di
muka tikungan jalan yang kedua itu muncul San Ho yang menyambutnya sambil terta
wa berseri-seri.
"Bagaimana, eh?" nona ini menegur. "Kenapa justeru kau yang terbitkan onar
?"
Beng Kie tertawa.
"Kau cerdik sekali, kau telah nantikan aku di sini!" katanya.
"Aku telah menduga pasti, kau tidak akan sanggup layani mereka terus-terus
an, maka itu, aku mendahului kau menyingkir kemari!" sahut nona yang cerdik itu.
"Bukannya aku tidak sanggup, aku..."
"Sudahlah, aku tahu!" si nona memotong, sambil ia tertawa pula. "Aku tahu
kau bukannya tidak sanggup melawan mereka, kau hanya tidak sudi melayani rombong
an siewie itu. Aku bicara main-main saja! Tahukah siapa yang duduk dalam kereta
itu?"
"Siapa dia sebenarnya?" Beng Kie balik tanya.
"Dia adalah satu budak besar!"
"Ah, kau jangan ngaco belo!" Beng Kie tegur.
"Eh, siapa yang mau omong main-main?" kata si nona. "Orang yang naik keret
a itu adalah gadisnya babu susu dari Hongthaysoen, buyutnya raja! Babu susu itu
adalah Keksie Hoedjin, yaitu Nyonya Kek, yang sangat disayangi oleh raja yang ba
ru, maka begitu lekas habis penobatan raja ini dia lantas kirim orang ke kampung
nya untuk menyambut kedatangan gadisnya ini."
Beng Kie heran.
"Apa kau bilang?" tanyanya. "Kau sebut-sebut raja yang baru?"
"Benar! Raja yang tua sudah wafat, sekarang putera mahkota yang menggantik
an kedudukannya!" si nona menerangkan.
Memang, ketika Beng Kie berlalu dari kota raja, kaisar sedang sakit berat,
ia hanya tidak sangka telah wafat demikian cepat. Maka ia lantas menghela napas
.
"Kenapa, eh?" tanya San Ho. "Raja punya kebaikan apa terhadapmu? Kenapa ka
u bersusah hati?"
"Aku terharu bukan untuk raja itu," Beng Kie jawab. "Ah, inilah urusan bes
ar dari negara... Baik kita jangan bicarakan itu..."
"Hm!" gerutunya nona itu.
"Apakah kau anggap aku sebagai bocah cilik, hingga tak tepat untuk aku men
getahui urusan negara? Hm!"
"Bukan begitu, nona..."
Beng Kie berhenti bicara dengan tiba-tiba, karena ia lihat di lain ujung j
alan itu muncul sepasukan serdadu. Ia segera sambar tangannya si nona untuk diaj
ak menyingkir.
Baru sesudah berada di luar kota, kedua anak muda ini berhenti berlari.
"Kita telah terbitkan onar, sekarang kita harus sembunyi dulu," kata Beng
Kie. Kemudian ia menambahkan: "Aku anggap putera mahkota bijaksana, setelah naik
tahta, dia bakal membuat perubahan, akan tetapi tak disangka begini saja kelaku
annya, sampaipun segala babu susu ia berikan kepercayaan yang berlebih-lebihan.
Dia benar-benar merusak tata tertib dalam istana. Lebih celaka lagi segala pengh
ianat dia biarkan mundar-mandir di dalam istana. Melihat begini, sia-sialah capa
i lelahnya Him Kengliak dan To Soeheng."
Memang, setelah diketahui ada penghianat di dalam istana. It Hang telah mi
nta Beng Kie memberitahukannya kepada Him Teng Pek, supaya pembesar di perbatasa
n itu kasih kisikan lebih jauh kepada raja. In Yan Peng dan Kim Tjian Giam adala
h "pemburor." dari istana, dan Eng Sioe Yang, dia belum menjadi siewie akan teta
pi namanya sudah sampai di kuping raja, maka heran sekarang, penghianat ini munc
ul dengan berterang dan bisa bersekongkol dengan kawanan siewie.
Oleh karena onar di atas. Beng Kie dan San Ho berlaku waspada. Mereka berh
asil melintasi Tjio keetjhung dan Pooteng, lalu dengan diam-diam mereka nelusup
masuk ke dalam kota raja: Pakkhia. Berdua mereka pergi ke gedung sahabatnya Him
Kengliak. yaitu Yo Lian yang berpangkat Pengko Kiesoe tiong, pembesar penilik da
lam kementerian peperangan.
Di sini Beng Kie mendapat keterangan jelas bahwa Kaisar Sin Tjong telah wa
fat sejak sebulan lebih, bahwa putera mahkota, yaitu Thaytjoe Siang Lok, telah n
aik menjadi gantinya dengan pakai nama raja Kong Tjong.
"Sekarang di dalam kota raja ada dua kabar terbaru," berkata Yo Lian. "Yan
g pertama yaitu, setelah naik menjadi raja. Kaisar Kong Tjong mendapat semacam p
enyakit aneh. Tabib istana kata kaisar dapat sakit mejen, akan tetapi setelah di
beri obat untuk penyakit itu, ia tetap tidak bisa sembuh. Sudah satu bulan lebih
kaisar masih belum dapat duduk di singgasana."
"Putera mahkota pernah belajar silat, tubuhnya sehat dan kuat. kenapa dia
bisa dapat penyakit luar biasa itu?" tanya Beng Kie. "Dan apa itu kabar yang ked
ua?"
"Selama ini di dalam kota raja ini sering terdengar lenyapnya anak-anak mu
da, di antaranya juga terdapat anak-anak orang berpangkat," Yo Lian terangkan pu
la. "Kioeboen Teetok sudah berikan titah-titah keras untuk menyelidiki serta men
jaganya, akan tetapi buah hasilnya hampa belaka. Coba pikir, tidakkah itu aneh?"
"Kalau yang lenyap adalah nona-nona, pasti itu ada perbuatannya penjahat-p
enjahat pemetik bunga," kata Beng Kie. "Sekarang yang lenyap adalah anak-anak mu
da, memang ini aneh."
Sampai di situ, pembicaraan beralih kepada soal lain.
"Bagaimana dengan perkaranya Him Kengliak?" Beng Kie tanya
"Baru-baru ini setelah kau meninggalkan kota raja," sahut Yo Kiesoetiong,
"lantas ada beberapa giesoe yang mengajukan surat mendakwa Him Kengliak yang men
jadi biang keladi adalah Pengpou Tjoesoe Lauw Kok Tjin dan Giesoe Yauw Tjong Boe
n. Orang yang karang surat dakwaan adalah Giesoe Phang Sam Goan."
Beng Kie tertawa tawar.
"Tidak heran jikalau Lauw Kok Tjin mendendam sakit hati," kata dia. "Dia p
ernah menjadi pembesar militer di bawah penguasaannya Him Kengliak di Liauwtong,
karena temahanya dia telah main gila dalam urusan keuangan, hal itu telah diadu
kan Him Kengliak kepada Si i Baginda dan lantas dia ditarik pulang Dan Yauw Tion
g Boen ada terlebih buruk lagi. Dia berani peras linu Kengliak, yang dimintai ti
ga lembar kulit tjietiauw, kulit musang yang mulus warnanya. Kengliak adalah seo
rang pembesar putih bersih, sudah tentu dia tidak sanggup beli tiga lembar kulit
yang mahal itu. Tapi dia masih suka berlaku baik, dia telah serahkan kulit musa
ngnya yang dia dapatkan dari hadiah. Atas itu, Yauw Tjong Boen mengatakan Kengli
ak tidak memandang mata padanya. Tentang Phang Sam Goan, aku tidak ketahui jelas
, tapi apa yang aku dengar adalah dia menjadi musuh dari partai Tonglim tong yan
g lurus, maka dia tentu juga bukan orang baik-baik."
"Akan tetapi tulisannya liehay sekali," kata Yo Lian. "Dalam surat pengadu
annya itu dia majukan sebelas macam dakwaan, delapan fatsal menuduh Kengliak bod
oh dan karenanya sudah mencelakai negara, dan yang tiga fatsal lagi menuduh Keng
liak sudah menghina Sri Baginda"
Mendengar dakwaan itu, Beng Kie tertawa besar.
"Sungguh aneh!" seru pemuda ini. "Jikalau Kengliak bodoh hingga mencelakai
negara, tapi kenapa angkatan perang Boan dapat ditangkis di Hinkeng? Jasa siapa
kah itu? Setiap tindakannya, dengan tentu Kengliak ada kasihkan laporan ke kota
raja. Dia pegang kekuasaan atas tentara, dia juga memegang pedang Sianghong Pook
iam, namun tidak pernah dia berani berlaku lancang, makabagaimanadia bisa ditudu
h telah menghina Sri Baginda?"
"Tadi aku telah katakan, itulah disebabkan pitnya Phang Sam Goan liehay se
kali, dia dapat putar balik duduknya hal," Yo Lian jelaskan. "Aku mengaku, bahwa
aku sendiri tidak nanti sanggup menulis dakwaan semacam itu!" Ia berhenti seben
tar, lalu ia berkata pula: "Meski demikian, tak usah kau berkuatir. Sudah sebula
n lebih sejak sakitnya Sri Baginda, dakwaan itu masih tertunda saja. Di dalam is
tana benar banyak kaum tersesat akan tetapi pihak yang benar pun tidak kurang."
Malam itu Beng Kie hiburkan diri dengan tenggak arak, ia sangat mendongkol
dan penasaran mengingat sepak terjangnya dorna-dorna, ia menenggak arak sampai
mabuk, la baru sadar keesokannya setelah terang tanah waktu ia rasakan ada angin
'dingin meniup batang lehernya, ia membalikkan tubuhnya dan membuka mata ia tam
pak San Ho berada di dampingnya, nyata nona inilah yang jaili padanya.
"Jangan nakal, hei!" ia menegur sambil tertawa.
"Orang yang mempelajarkan ilmu silat bisa mabok-mabokan begini macam, sung
guh tidak bagus!" kata si nona sambil tertawa juga. "Kau tidur nyenyak sekali sa
mpai kau tak tahu ada orang dekati padamu! Syukur adalah aku, kalau seandainya p
enjahat tukang petik bunga yang satroni kau, tidakkah itu akan hebat kesudahanny
a?"
"Kau ngaco!" Beng Kie menegur pula.
"Ngaco?" mengulangi si nona. "Tidakkah dengan kupingmu sendiri kau telah d
engar apa katanya Yo Taydjin, bahwa di dalam kota raja selama ini telah lenyap b
anyak anak-anak muda?"
"Ah, anak perempuan omong seenaknya saja!" tegurnya pula Beng Kie. "Kalau
kau masih ngaco terus, aku nanti hajar padamu!..."
Nona Tiat leletkan lidahnya.
"Baiklah!" katanya kemudian. "Walaupun di sini tidak ada penjahat wanita y
ang suka petik bunga, di waktu begini kau sudah seharusnya bangun tidur!"
Beng Kie tertawa ia bangun dari pembaringannya.
"Hari ini aku ingin tengok saudara To," katanya. "Aku rasa dia sudah sampa
i di kota raja Kau berdiam di kamar ini menantikan kembaliku. Kau harus mengerti
. Pek Sek Toodjin tidak punya kesan baik terhadap kau dan ayahmu."
"Tidak apa aku dilarang turut kau." kata si nona. "Tapi, turut penglihatan
ku. To It Hang itu bukannya sahabat sejati..."
Beng Kie heran, hingga ia mengawasi sambil mendelong.
"Apakah sebabnya?" tanya dia.
"Jikalau aku beritahukan, kepadamu, pasti kau tidak senang," jawabnya si n
ona, sambil tertawa. "Jikalau dia sahabatmu, kenapa itu malam di dalam Siauwlim
sie dia tidak bantu padamu?"
"Dia toh turut mengejar, cuma dia tidak dapat menyandak," Beng Kie kata.
"Kalau toh dia tidak dapat menyandak, seharusnya dia teruskan penguberanny
a?" kata San Ho. "Di mataku dia sebenarnya tidak bersungguh-sungguh membantu kep
ada seorang sahabat."
Beng Kie menjadi tidak senang.
"Aku larang kau ngoceh sembarangan!" dia menegur.
San Ho menjebi.
"Baiklah, aku tidak bicara pula," katanya.
Beng Kie lantas dandan dan dahar, lalu seorang diri ia pergi keluar. Ia pe
rgi ke Tayhongkee Hootong, ke rumah perkumpulan Siamsay Hweekoan untuk dengar-de
ngar halnya It Hang. Selagi ia baru sampai dijalan Tiangan Timur, ia tampak sebu
ah kereta mendatangi dari arah depannya. Kereta itu indah sekali, tendanya tenda
sulam. Di muka kereta ada duduk dua orang dengan baju kuning. Cepat sekali kere
ta lewat di sampingnya, di waktu mana ia dengar suara dari dalam kereta itu: "Ha
, satu pemuda cakap!" Tapi ia tidak memperhatikannya, ia menuju langsung ke Siam
say Hweekoan, rumah perkumpulan orang asal propinsi Siamsay.
Nyata benar dugaannya pemuda ini, dari pengurus Hweekoan ia dapat keterang
an bahwa It Hang sudah datang sejak dua hari yang lampau, dan sekarang tinggal d
i rumahnya Liepou Siangsie Yo Koen, yang menjadi sahabat almarhum ayahnya dahulu
.
Tanpa ayal lagi Beng Kie pergi ke rumahnya Yo Koen di mana ia temui kuasa
rumah Keluarga Yo, kuasa itu menerangkan padanya dengan berkata: "Selama dua har
i ini To Siauwya repot sekali, kemarin dia pergi ke istana, dia tidak berhasil m
enghadap Sri Baginda, maka hari ini dia telah keluar pula."
"Kapan kiranya siauwya akan kembali?"
"Itulah tak dapat dipastikan. Baik sebentar sore saja tuan datang lagi."
Beng Kie berlalu dengan pikiran ruwet.
Gedungnya Yo Koen bertetangga dengan Lioelie tjiang, pusat seni tulis dan
seni lukis dari kota Pakkhia, di situ dapat dibeli pelbagai pigura tulisan-tulis
an indah dan gambar-gambar lukisan yang permai, banyak dikunjungi sasterawan-sas
terawan serta pemuda-pemuda terpelajar yang hendak turut ujian, demikian juga ka
um muda pelajar kota raja sendiri. Beng Kie mewujudkan langkahnya ke sana. di si
tu ia tampak kereta indah yang ia ketemukan tadi di tengah jalan, sedang berhent
i di luar pasar.
Hari itu cuaca baik akan tetapi pengunjung tidak banyak.
Beng Kie masuk kc sebuah toko untuk melihat-lihat gambar lukisan, di antar
anya ia jemput lukisan bunga dan burung dari Boen Tin Beng. Ketika ia sedang mem
andang lukisan itu. di sampingnya ada seorang yang berkata-kata seorang diri: "G
ambar ini tidak berharga untuk dipandang..." Lantas ia berpaling. Maka ia kenali
satu di antara dua orang yang mengenakan pakaian kuning tadi, yang naik kereta
indah itu. Orang itu berada bersama kawannya.
"Lukisannya Boen Tin Beng tidak terlalu buruk," Beng Kie berkata.
"Boen Tin Beng adalah satu di antara empat sasterawan pada permulaan keraj
aan kita," kata pula si baju kuning itu. "memang lukisannya tidak terlalu jelek,
akan tetapi gambar ini bukan lukisan yang jempol. Jikalau saudara gemar akan se
ni lukis, mari saudara turut aku, aku ada punya lukisannya Boen Tin Beng yang di
buatnya bersama Tjhia Sie Sin."
Orang itu menyebutkan gambar "Pesiar di Tjekpek." salah satu lukisan kesoh
or dari Boen Tin Beng.
Beng Kie heran atas undangan itu. sebab ia tidak kenal mereka.
Orang berbaju kuning itu kata pula: "Ada orang-orang yang menyimpan gambar
-gambar indah, yang demikian disayangnya sampai mereka tak suka pertontonkan kep
ada lain orang, tidak demikian dengan aku. Adalah tidak menggembirakan apabila g
ambar-gambar indah tidak dipandang beramai-ramai.
Beng Kie tertarik. Ia memang sedang senggang, iapun tidak takut.
"Kau baik sekali, saudara. Baiklah, suka aku turut kau. Terima kasih."
Di situ mereka belajar kenal. Dua orang itu perkenalkan diri masing-masing
sebagai orang she Ong dan she Lim.
"Mari kita sama-sama naik kereta." kata si Ong.
Beng Kie menurut.
Di dalam kereta si orang she Lim keluarkan sebuah pieyanhoe yang ia sodork
an pada kenalannya yang baru.
"Inilah alat penyedot hawa buatan Barat, baunya menyegarkan," kata dia itu
.
"Terima kasih, aku tidak biasa mencium pieyanhoe." Beng Kie menampiknya.
Si orang she Ong lantas keluarkan sebatang hoentjwee.
"Akupun tidak gemar isap hoentjwee dan minum arak." Beng Kie menampik pula
. meski sebenarnya ia doyan arak. Di depan sahabat-sahabat baru. ia ingin berhat
i-hati.
Orang she Ong itu lalu menghisap sendiri, asapnya hoentjwee ia kepul-kepul
kan.
Beng Kie rasakan bau tembakau yang tak sedap, iapun tidak puas atas kelaku
annya kenalan ini.
Orang she Ong itu menyedot pula, kali ini tiba-tiba ia kepulkan asapnya ke
mukanya Beng Kie, sampai pemuda kita kena sedot asap itu, hingga ia rasakan kep
alanya pusing, tubuhnya seperti melayang-layang.
"Tikus, kau tipu aku!" dia berseru sambil menyerang juga dengan sebelah ta
ngannya.
Tetapi orang she Ong dan kawannya itu sudah mendahului lompat turun dari k
ereta, maka serangan Beng Kie gagal. Menyusul serangan itu, ia pun roboh tak sad
ar diri lagi.
Berselang sekian lama Beng Kie siuman. Ia segera mencium bau yang harum se
kali, maka lantas ia buka matanya. Untuk keheranannya, ia dapatkan dirinya sedan
g rebah di atas kasur yang empuk dengan di sisinya ada sebuah meja kecil di atas
mana ada pedupaan yang asapnya bergulung-gulung mengeluarkan bau yang harum.
Kamar itupun terpajang indah sekali, tirainya terbuat dari wol dengan kaca
buatan Kiantjiang, dan di tembok ada tergantung gambar-gambar lukisan antara ma
na terdapat sebuah sansoei yang hidup nampaknya. Dan dengan matanya yangjeli, Be
ng Kie kenali itulah buah pekerjaannya Boen Tin Beng bersama Tjhia Sie Sin, iala
h lukisan "Tjekpek Seng Yoe" "Pesiar di Tjekpek".
"Heran," pikir Beng Kie, yang tampaknya seperti melamun.
Tiba-tiba ia ingat kata-katanya Tiat San Ho tentang si "pemetik bunga wani
ta". Adakah itu benar dan sekarang ia sendiri mengalaminya? Sejenak kemudian, ia
tertawa sendirinya. Ia tidak percaya bahwa satu pemetik bunga wanita ada mempun
yai kamar yang demikian mentereng.
Lantas Beng Kie mencoba untuk bangkit berdiri untuk kekagetannya, ia rasak
an semua tenaganya habis, seluruh tubuhnya menjadi lemas.
"Adakah ini disebabkan liehaynya asap hoentjwee itu?" ia menduga-duga. Ben
arkah ia yang demikian gagah telah roboh oleh asap itu."
Dalam percobaannya lebih jauh, Beng Kie dapat juga berdaya untuk duduk, se
telah mana, ia bersemedhi untuk empos semangatnya. Percobaannya ini memberikan h
asil juga. Sebab sesaat kemudian, darahnya seperti sudah mulai berjalan, iapun r
asakan tubuhnya sedikit lebih segar.
Sementara itu Pek Sek Toodjin dan gadisnya bersama It Hang telah sampai di
kota raja untuk mendapat keleluasaan. It Hang menumpang di gedungnya Pengpou Si
angsie Yo Koen. Pek Sek berdua gadisnya di tempatkan di rumahnya Boesoe Lioe See
Beng.
Pek Sek memesan keponakan muridnya itu, katanya: "Begitu lekas kau selesai
, kau mesti lantas pulang ke gunung. Jangan kau kesudian memangku pangkat!"
"Itulah pasti," It Hang berikan janjinya.
Akan tetapi kenyataannya It Hang tidak dapat bekerja lancar. Di luar dugaa
nnya, Kaisar Kong Tjong telah mendapat sakit, hingga di hari pertama ia gagal me
nghadap junjungannya itu, sedang pada hari kedua, bersama Yo Koen, ia harus mena
ntikan lama di luar pintu istana Thayhoo moei. Untuk menghadap raja, ia telah da
ftarkan nama, lalu ia menantikan panggilan.
Setengah hari lamanya orang menantikan. Bersama It Hang pun ada banyak men
teri lainnya, yang memenuhi ruang Thayhoo thian. Kemudian ketika muncul thaykam
yang membawa warta, orang yang dipanggil menghadap melainkan Honglou siesin Lie
Ko Tjiak seorang.
Semua menteri atau pembesar lainnya menjadi heran sekali. Kenapa justeru L
ie Ho Tjiak yang dipanggil menghadap. Orang she Lie ini hanya seorang pemimpin u
pacara atau kepala tata tertib belaka, dan kelasnyapun kelas dua!
Semua orang bubaran dengan hati masih merasa heran, malah It Hang heran da
n masgul.
"Demikian sukar menemui raja, agaknya perjalananku ini akan tidak memberik
an hasil..."
Akan tetapi pada waktu mendekati sore ada datang warta yang memberi harapa
n. Istana telah mengutus Iweekham, seorang kebiri dari keraton, yang menyampaika
n warta pada Yo Pengpou, katanya: "Hari ini kesehatan Sri Baginda agak bertambah
, ketika Sri Baginda dengar hal datangnya cucunya To Tjongtok, dia dipesannya su
paya besok pagi datang menghadap di istana Yangsim thian."
Bukan main girangnya It Hang mendengar warta itu.
"Tabib manakah yang obatnya demikian mujarab." Yo Koen tanya.
"Sia-sia saja Paduka menduga-duganya." sahut Iweekham itu. "Penyakit itu b
ukannya disembuhkan oleh tabib."
Benar-benar Yo Koen menjadi heran sekali.
Adalah biasanya, jikalau raja mendapat sakit, ia dirawat oleh Thayie, yait
u tabib istana. Jikalau sesudah thayie tidak berdaya menolongnya, barulah terpak
sa didayakan mengundang tabib-tabib kesohor dari pelbagai tempat. Siang Lok, yai
tu Kaisar Kong Tjong, sakit sudah satu bulan lebih, tabib istana sudah hilang da
ya, maka beruntun datanglah tabib-tabib preman dari banyak tempat. Tapi juga tab
ib-tabib ini tidak dapat menolong. Itulah sebabnya kenapa tadi orang kebiri itu
mengatakan bahwa sembuhnya kaisar bukan dari pertolongan tabib.
Yo Pengpou, dalam herannya, menanya lebih jauh kepada Iweekham:
"Aku tak tahu bagaimana untungnya Lie Ko Tjiak, ia telah peroleh jasa besa
r!" kata orang kebiri itu.
"Apa? Jasa apakah yang ia dirikan?" Yo Peng-pou tanya.
"Dialah yang telah menyembuhkan Sri Baginda!" ujarnya Iweekham. itu.
"Benarkah Lie Ko Tjiak mengerti ilmu ketabiban?" tanya menteri perang itu.
"Sri Baginda berani makan obatnya dia itu?"
"Lie Ko Tjiak telah dipujikan oleh Tjaysiang Poei Tjiong Tiat, yang berani
berikan tanggungan jawabnya," menerangkan si orang kebiri. "Perdana Menteri men
gutarakannya bahwa Lie Ko Tjiak mempunyai pil merah yang sanggup menyembuhkan se
ratus rupa penyakit. Lie Soansie juga telah menganjurkannya Sri Baginda untuk me
ncoba obat itu."
Lie Soansie itu adalah salah satu selir kesayangan raja.
Yo Koen mengkerutkan dahi.
"Kenapa Sri Baginda gampang mempercayai mulut perempuan dengan berani menc
obanya pil merah itu?..." katanya.
Akan tetapi Iweekham itu tertawa.
"Justeru yang manjur adalah pil merah dari Lie Ko tjiak itu! kata dia. "Set
elah makan obat itu, selang satu jam, Sri baginda lantas merasakan tubuhnya bany
ak ringan, napsu daharnya lantas datang, hingga berulang-ulang Sri Baginda memuj
i Lie Ko Tjiak yang dikatakan-nya menteri setia!"
Mendengar begitu, Yo Koen lantas. tutup mulut.
Keesokan paginya, It Hang bersama Yo Koen berangkat ke istana menuju ke ru
ang Thaytoo thian untuk menanti panggilan. Di Ngomoei mereka lihat Lie Ko Tjiak,
yang romannya sangat bangga, tapi yang membikin It Hang heran adalah dua pengir
ingnya pembesar Honglou siesin itu, yang It Hang dapat kenali mereka adalah Ouw
May dan Beng Hoei, dua orang yang mengacau di kuil Siauwlim sie, yang menantang
berkelahi tapi kena dihajar, sampai mereka mengemis obat!
Ketika itu, sambil berdiri dengan kedua tangannya diturunkan dengan lurus,
Ouw May berkala pada majikannya: "Taydjin telah dapal sembuhkan sakitnya Sri Ba
ginda, pastilah tinggal tunggu harinya yang Taydjin bakal peroleh kenaikan pangk
at!"
"Jasaku itupun karena bantuanmu berdua," kata Lie Ko tjiak. "Pasti kalian
akan dapat bagian dariku."
"Terima kasih, taydjin," mengucap Beng Hoei.
"Kalian jangan pergi dari sini," kemudian pesan Ko Tjiak dengan perlahan.
"Sebentar sehabis Sri Baginda makan obat, jikalau ada perubahan atas dirinya, na
nti aku titahkan lweekham mengundang kalian."
"Obat Siauwhoan tan itu, asal dimakan, penyakit bakal segera terbasmi!" ka
ta Beng Hoei. "Taydjin tidak usah kuatirkan apa juga!"
Lantas Lie Ko Tjiak menuju ke pintu Ngomoei.
To It Hang berjalan di belakangnya pembesar pemimpin upacara itu.
Ouw May lihat anak muda ini, mukanya menjadi merah sendirinya, lekas-lekas
ia berpaling ke samping, pura-pura tidak melihat.
Hari ini menteri-menteri dan pembesar yang menanti di ruang Thayhoe thian
ada jauh lebih banyak daripada kemarinnya, semuanya ingin sangat menanyakan kese
hatannya raja.
Tidak lama antaranya muncullah lweekham dengan panggilannya pertama untuk
Honglouw siesin Lie Ko Tjiak. lalu Pengpou Siangsie Yo Koen. diturut oleh Leepou
Siangsie Soen Tjin Hang dan Giesoe Ong An Soen dan lainnya, berjumlah belasan m
enteri. Mereka diwajibkan menanti di ruang Teedjin kok.
Yang paling belakang dipanggil adalah To It Hang.
Menteri dan pembesar lainnj-a kagum apabila mereka dengar It Hang turut di
panggil, sebab mereka tahu bahwa pemuda ini tidak memangku pangkat, cuma ada beb
erapa saja yang tahu It Hang adalah cucunya bekas Tjongtok To Tiong Liam dari In
lam atau putera dari almarhum To Kee Hian.
Kaisar Siang Lok tetirah di Yangsim thian. di samping keraton ini adalah r
uang Teedjin kok. di dalam ruang ini It Hang turut sekalian menteri duduk menant
ikan panggilan lebih jauh. Beberapa menteri sudah lantas memberi selamat pada Li
e Ko Tjiak.
Dengan kegirangan, pembesar pengurus upacara itu berkata: "Boleh dibilang
inilah rejeki yang besar sekali dari Sri Baginda, sebab obat pilku yang merah it
u baru kira-kira sebulan aku dapat rampungkan pembuatannya!"
"Pil merah itu sebagai juga obat dewa," puji Leepou Siang-sie Soen Tjin Ha
ng. "Entah bagaimana cara membuatnya obat itu? Jikalau kau bersedia menjelaskan
di antara orang banyak, sungguh bukan main besar kebaikannya!"
Tapi Lie Ko Tjiak tertawa dingin.
"Apakah kau kira gampang membuat pil itu?" katanya. "Untuk itu dibutuhkan
campuran obat Hosioeow yang umurnya seribu tahun, teratai Soatlian dari Thiansan
. Jinsom pilihan dari Tiangpek san, serta sepasang jangkrik yang sedang berpasan
gan di waktu tengah hari tepat harian Toanngo! Untuk dapat mengumpulkan semua ba
han obat itu, aku telah membutuhkan waktu beberapa puluh tahun!"
Mendengar ini. beberapa menteri meleletkan lidah.
Cuma It Hang seoranglah yang tertawa di dalam hati, karena ia tahu orang s
edang mengebul dan tahu benar asal usul didapatkannya pil Siauwhoan tan itu.
Tidak lama antaranya, muncullah seorang kebiri, yang mengundang Lie Ko Tji
ak.
Berbareng dengan itu, It Hang jadi bergelisah. Ia ingat, ketika Ouw May da
n Beng Hoei dapat menipu dua butir pil, satu di antaranya sudah masuk ke dalam t
enggorokannya Ouw May. Raja tentunya telah makan satu butir, ialah butir sisa ya
ng tulen itu. maka sekarang apabila raja makan obat pula, pasti itulah obat yang
palsu atau tiruan.
Yo Koen lihat roman gelisah dari si anak muda.
"Kenapa?" tanyanya.
"Aku kuatir Lie Ko Tjiak berikan Sri Baginda obat sembarangan," sahut It H
ang.
Atas kata-katanya pemuda ini, satu pembesar di sampingnya menoleh dan meli
rik padanya dengan mata yang tajam.
Yo Koen tahu, pembesar itu adalah salah satu pengikut setia dari Perdana M
enteri Poei Tjiong Tiat. Maka lekas-lekas ia kata: "Apa yang dipujikan Poei Tayd
jin tidak akan salah."
Tidak antara lama Lie Ko Tjiak telah muncul pula dengan wajah berseri-seri
. Sejumlah pembesar menghampiri dan menanyakan.
"Pil merahku itu hebat bukan main!" sahut orang she Lie ini dengan bangga.
"Sebenarnya sebutir pil pun sudah cukup, apa pula sampai dua butir! Begitu Sri
Baginda memakannya, dia menjadi segar bukan kepalang, pasti besok Sri Baginda bi
sa duduk di singgasana."
"Bagus!" memuji sekalian pembesar itu, yang pun memberi selamat.
It Hang ragu-ragu, ia separuh percaya separuh tidak, karena ia tahu, walau
pun Siauwhoan tan yang tulen, khasiatnya pasti tidak sedemikian cepat.
Justeru itu mutjul pula seorang lweekham dengan wartanya:
"Sri Baginda memanggil To ItHang datangmenghadap!"
Mendengar itu, Yo Koen segera pesan pemuda itu: "Sieheng, harap berhati-ha
ti di waktu bicara."
"Terima kasih, taydjin." It Hang mengucap. Lalu ia ikut orang kebiri itu m
asuk ke dalam melalui lorong yang panjang, akan sampai di istana Yangsim thian.
Raja sedang duduk menyender di pembaringan, wajahnya berseri.
It Hang maju berlutut untuk berikan hormatnya.
"Tak usah menjalankan kehormatan," raja bersabda. "Berilah tempat duduk!"
Kata yang belakangan itu adalah titah untuk lweekham, yang segera bawakan
Tt Hang sebuah kursi.
Pemuda itu mengucap terima kasih, lalu ia duduk di samping raja. Sekarang
ia dapat pandang muka raja dengan nyata, wajah yang merah, sedikit pun tiada tan
da dari orang baru sembuh dari sakit. Maka ia jadi sangat heran.
Kaisar Tay Tjiang (yang pun disebut Kaisar Kong Tjong berhubung nama tahun
kerajaannya adalah Kong Tjong), sudah lama mendapat sakit, andaikan benar dia m
endapatkan obat yang mujarab, tidak dapat begitu makan obat dia segera sembuh da
n sehat seperti sediakala. Tapi sekarang, baru dia makan sebutir obat, dia telah
bercahaya merah dan segar wajahnya, inilah luar biasa. Atau obat itu terlalu ku
at. hingga khasiatnya berbukti dalam sekejap. Kalau dugaan yang belakang ini ben
ar. It Hang merasa itulah berbahaya. Tapi ia tetap bungkam, ia tidak berani meng
atakan sesuatu, sebab ia sendiri tidak mempunyai kepastian.
"Sejak kemarin aku tahu kau telah datang," berkata raja, "akan tetapi kare
na aku sedang sakit, tidak dapat aku segera panggil kau menghadap. Syukur aku da
patkan dua butir pil dari Lie Ko Tjiak. Benar-benar obat itu mustajab, begitu ob
at dimakan.
penyakitku hilang! Jikalau tidak, juga hari ini tentulah tak dapat aku men
emukan kau. Kau lihat sendiri bagaimana wajahku?"
Raja bicara dengan perasaannya sangat puas.
"Itulah karena rejeki Sri Baginda yang besar!" sahut It Hang, yang tetap t
idak berani beber isi hatinya. "Wajah Sri Baginda segar sekali. Akan tetapi kare
na Sri Baginda sakit sudah lama, baiklah Sri Baginda terus menjaga diri baik-bai
k."
"Tentang urusanmu, Tjio Ho sudah menuturkannya kepadaku," berkata pula raj
a. "Kedua kimtjee Lie dan Tjioe telah kembali dengan selamat ke kota raja. merek
a sangat berterima kasih padamu."
"Melainkan tentang orang yang menganiaya kedua kimtjee itu," kata It Hang,
"rupanya ada orang-orang yang menunjang mereka di belakang tiraL.."
Mendengar ini. thaykam yang mendampingi raja melirik kepada pemuda kita.
"Sri Baginda baru sembuh, tak selayaknya aku mengucap begini," menambahkan
It Hang, "kata-kata yang demikian itu bisa membuat Sri Baginda pusing..."
Raja tidak lantas mengatakan apa-apa. hanya dengan roman sungguh-sungguh i
a titahkan orang kebirinya itu: "Pergi kau ke keraton Tjoeihoa kiong panggil Lie
Soansie datang kemari."
Thaykam itu turunkan kedua tangannya, lantas ia undurkan diri.
Raja tertawa seperginya pelayannya itu.
"To Sianseng, kau dapat memandang jauh, kau mengerti banyak," katanya. "Ti
m justeru mengharapkan bantuanmu."
Hatinya It Hang tergerak mendengar perkataan raja ini.
"Bukankah kau curigai Goei Tiong Hian?" raja tanya, menambahkan.
"Hamba adalah satu rakyat jelata, tidak berani hamba sembarang omong tenta
ng pemerintahan," sahut It Hang. "Akan tetapi mengenai orang-orang kebiri, denga
n sesungguhnya hamba merasa bahwa mereka tak dapat tidak dijaga baik-baik."
Siang Lok manggut.
"Sebenarnya," katanya, "telah tim memikir untuk urus perkara fitnahan atas
dirimu itu, sayang sejak tim naik atas singgasana, kesehatanku terus terganggu.
"
"Urusan fitnah pribadiku sendiri adalah tidak berarti," It Hang terangkan.
"Yang paling penting adalah urusan negara."
"Justeru itu tim telah undang padamu," kata raja. "Goei Tiong Hian tidak s
etia dan tidak jujur, inilah bukannya tim tidak ketahui, tetapi sebab dia berkua
sa atas Tongtjiang dan semua pahlawan di dalam istana taat kepada titah-titahnya
, tim tidak bertindak sembrono. Baik kau tunggu samp&kjm sudah sembuh benar dan
sudah dapat hadiri sidang istana, perkara ini nanti kita bicarakan pula."
Atas sabda raja itu, It Hang bungkam.
Tiba-tiba raja tanya: "To Sianseng, sudikah kau berdiam di istana?"
"Hamba sedang berkabung, tak berani hamba mendampingi Sri Baginda," It Han
g berikan jawabannya.
Siang Lok tertawa.
"Bukannya kehendakku untuk kau memangku pangkat!" dia kata. "Keinginanku a
dalah supaya kau berdiam di istana untuk mendidik putera mahkota dalam ilmu sila
t. Bagaimana pikirmu? Sekarang Yoe Kauw telah berumur tujuh belas tahun akan tet
api dia tetap bandel dan tak tahu apa-apa."
Dengan tiba-tiba It Hang ingat pesan engkongnya, yang melarang ia bekerja
di kota raja, akan tetapi di saat ia hendak menampik, raja sudah mengangkat pit
di atas meja kecil di samping pembaringan. Raja ini telah lantas menulis firmann
ya yang dicapnya dengan cap kerajaan.
Tidak dapat It Hang mencegah pula, ia jadi gelisah.
Raja angkat surat keangkatannya itu, disodorkan pada pemuda kita.
"Besok pergilah kau ke Lweeboe hoe untuk mendaftarkan diri," katanya. "Kau
minta supaya mereka sediakan tempat untukmu."
It Hang sambuti firman itu, iapun berlutut menghaturkan terima kasih.
"Dengan sebenarnya sin masih belum berani terima firman ini," kata dia.
Siang Lok tercengang.
"Apakah masih ada kesukaranmu?" tanya raja. Tapi sekonyong-konyong dia men
jerit: "Aduh!"
Mendengar jeritan raja itu. dari luar ruangan itu nerobos masuk sejumlah p
ahlawan.
"Inilah bukan mengenai dia!" kata raja, seperti merintih. "Panggil Lie Ko
Tjiak!"
Baru mengucap demikian, dari keningnya raja tampak timbul urat-urat merah,
menyusul mana raja pun segera roboh di atas pembaringannya itu.
Tidak salah dugaan atau kecurigaannya It Hang. Memang, pil yang pertama ra
ja makan adalah Siauwhoan tan tulen dari Siauwlim sie, tetapi yang kedua adalah
pil palsu.
Ouw May dan Beng Hoei itu 'adalah boenkek, yaitu tetamu-tetamu tumpangan y
ang bersedia memberikan bantuannya dan bersedia juga menerima segala titah dari
Lie Ko Tjiak. Ouw May mengerti juga sedikit ilmu silat, Beng Hoei adalah satu pe
nipu yang pandai membuat obat-obatan palsu. Begitulah setelah bersepakat, mereka
berdua pergi ke Siauwlim sie untuk menipu pil Siauwhoan tan dengan akalnya meng
acau, hingga mereka- dapatkan dua butir, yang sebutir Ouw May masukkan ke dalam
mulutnya tapi ia tidak telan terus. Pil itulah yang pertama raja memakannya. Ada
kah pil yang kedua diserahkan pada Beng Hoei, untuk si penipu bikin hancur dan m
emeriksainya, sesudah mana, dia membuat yang palsu, beberapa butir. Itulah obat-
obat yang Lie Ko Tjiak sangat andalkan. Dan raja mempercayainya, karena waktu ia
makan pil yang pertama, ia rasakan tubuhnya sehat. Pil-pil inilah yang di jaman
kerajaan Beng itu disebut Peristiwa Pil Merah.
Bukan main kagetnya It Hang, ia jadi sangat gelisah.
Rebah di atas pembaringannya, raja meringis menahan sakit, keringatnya tur
un menetes sebesar kacang kedele. Selagi ia tidak tahu apa harus diperbuat, di l
uar kamar itu terdengar suara berisik, sesudah mana muncul pahlawan kepala sambi
l berseru: "Siapa berani ganggu Sri Baginda?"
Adalah di waktu itu Gak Beng Kie, di dalam kamar yang indah telah sadar da
ri pingsannya, ia bersemedhi untuk dapat pulihkan tenaganya. Menghadapi kaca ras
a. ia tampak ia telah mengenakan pakaian tidur. Segera ia pun ingat, ia ada beka
l pedang, akan tetapi sekarang pedang itu tidak ada padanya bersama pakaiannya s
endiri. Pasti sekali ia jadi kaget dan gelisah. Pedangnya itu adalah pedang pusa
ka pemberian gurunya. Maka ia niat mencarinya. Tapi justeru ia baru turun dari p
embaringan, tiba-tiba ia tampak kaca besar di depannya itu bergerak dan berkisar
, dan di antara gulungan asap, terlihatlah sebuah pintu rahasia, dari pintu mana
bertindak keluar seorang perempuan yang romannya cantik.
"Oh, kau telah mendusin?" kata wanita itu sambil tertawa geli.
"Kau siapa?" tegur Beng Kie dalam keheranan. "Kenapa kau curi pedangku?"
Itulah pertanyaan pertama, yang ia ingat waktu itu.
"Pedang?" wanita itu tertawa pula. "Pedang apakah? Kau jangan bingung dan
gelisah! Aku ada punya banyak mustika di sini! Berapa banyak yang kau kehendaki?
"
Si cantik itu menghampiri lemari dan tarik lacinya, maka dari situ segera
terlihat cahaya berkilauan dari banyak permata. Pikirnya, tentu si anak muda aka
n menjadi sangat kagum. Akan tetapi ternyata kecele.
"Semua benda ini, walaupun ada sepuluh lipat lebih banyak, masih tak seban
ding dengan pedangku itu!" kata Beng Kie.
Nampaknya si cantik heran, tapi lantas dia tertawa. Agaknya dia memandang
rendah.
"Apakah khasiatnya pedangmu itu?" katanya. "Jikalau kau gemar akan pedang,
di sini akupun ada mempunyainya! Pendeknya asal kau
suka turut segala kata-kataku, apa juga yang kau kehendaki kau akan dapatka
n!"
"Siapa kau sebenarnya?" Beng Kie tanya.
Si cantik tidak segera menjawab, hanya lagi-lagi dia tertawa.
"Coba tengok, miripkah tempat ini dengan dunia manusia?" tanya dia.
Diam-diam Beng Kie gigit lidahnya, hingga ia merasakan sakit. Jadinya ia b
ukannya sedang mimpi.
"Mungkinkah tempatmu ini taman firdaus?" dia tanya.
"Mirip dengan itu!" tertawa si cantik manis itu. Lalu dia bertindak akan d
ekati si anak muda, dari tubuhnya tersiar bau harum yang tebal sekali...

VIII

Goncanglah hatinya Beng Kie. Ia merasakan bau harum yang luar biasa sekali
. Ia mencium hawa wangi yang seperti masuk meresap ke tulang-tulangnya. Dengan p
erlahan-lahan wajahnya berubah merah, darahnyapun seperti mengalir deras.
"Adakah aku menghadapi pengaruh gaib yang sedang mencoba aku?" ia berpikir
. Maka ia lantas duduk bersila untuk bersemedhi pula, kedua matanya dimeramkan.
Si cantik menghampiri sampai dekat, dengan tangannya ia mencoba membuka se
laput matanya pemuda itu agar terbuka melek.
Beng Kie tahu itu. ia tidak memperdulikannya.
Lagi-lagi sicantik tertawa.
"Kau bukannya hweeshio, untuk apa kau bersemedhi?" tanyanya.
Tetap Beng Kie membungkam.
Si cantik tertawa pula dan berkata: "Aku tahu hal pendeta suci yang matany
a tak tersilaukan lima warna, kupingnya tak terganggu lima suara! Kau sebaliknya
tidak berani buka matamu, bisakah kau menjadi pendeta yang berilmu?"
Mendengar ini, Beng Kie makin percaya bahwa ia sedang menghadapi ilmu sesa
t. Di dalam hatinya ia kata: "Aku belum mengerti tentang agama, akan tetapi Keng
Beng Siansoe pernah mengatakan bahwa aku berbakat baik. Siansoe juga pernah aja
rkan aku mantera, untuk menenangkan hati dan menemui sifat sejati, baiklah sekar
ang aku mencobanya, untuk membikin tetap hatiku.
Setelah berpikir demikian, pemuda ini segera buka kedua matanya, tetapi ia
tidak memandang ke sekitarnya, hanya ia melihat lurus ke bawah, ke arah hidungn
ya, pikirannya, dipusatkan, sedang semangatnya ia empos
Agaknya si cantik heran menampak orang tidak bergeming hatinya, maka ia la
ntas tempelkan tubuhnya ke tubuh si anak muda. iapun meniupkan hawa harum dari m
ulutnya.
Beng Kie mengerti ilmu "Tjiamie Sippat Tiat" atau "Mengenai baju, tergulin
g delapan belas kali". Ia segera empos semangatnya mengerahkan tenaga dalamnya,
untuk gunai ilmunya yang istimewa itu.
Mendadak saja si cantik menjerit "Aduh!" disusul oleh robohnya tubuhnya da
ri atas pembaringan di mana tadi ia duduk mendampingi si anak muda.
"Setan!" dia berseru. "Kau gunai ilmu iblis apa?"
Tidak kepalang kaget dan herannya si manis ini.
Menyaksikan orang roboh, mengertilah Beng Kie bahwa si cantik tidak menger
ti ilmu silat, karenanya, tanpa berpikir lagi ia buka mulutnya.
"Oh, kiranya kau bukannya siluman!" demikian suaranya.
"Kaulah yang siluman!" Dentaknya si manis, yang menjadi gusar. Tetapi, den
gan sekonyong-konyong saja. ia tertawa lagi. Iapun lantas tanya: "Apakah kau dat
ang ke kota raja untuk turut ujian boekiedjin?"
Beng Kie segera ingat sesuatu. "Kau tadi kata kau mempunyai banyak pedang,
apakah aku boleh pinjam lihat?" ia balik tanya dengan tidak jawab pertanyaan or
ang.
Si cantik berdiam sebentar, rupanya ia sangsi.
"Tidak nanti dia berani bunuh aku!" pikirnya. Maka kembali ia tertawa. "Ma
ri, aku akan buka pandangan matamu!"
Ia ulur tangannya menekan tembok, terbukalah suatu pintu rahasia, pintu le
mari yang menyerupai tembok, di dalam mana ada tergantung belasan pedang. Tapi d
i situ tidak ada Yoeliong kiam.
"Semua pedang ini, yang mana pun mesti ada lebih bagus daripada pedangmu!"
kata si cantik sambil bersenyum. "Kau percaya sudah, bukan?"
Dengan sekonyong-konyong Beng Kie lompat ke depan lemari menyambar sebatan
g pedang, yang ia terus hunus, hingga terlihat sinarnya yang berkilauan.
Si cantik tidak jeri.
"Apa kataku?" katanya. "Tidakkah pedang ini ada terlebih bagus, daripada p
edangmu? Nah, gantunglah pula di tempatnya semula!"
Beng Kie heran memandang pedang itu, yang bentuknya luar biasa, dan gagang
nya, yang terbuat dari kuningan, berterotolan. Ia percaya pedang ini adalah peda
ng tua yang sudah berumur seribu tahun. Maka ia awasi terus, sampai ia lihat uki
ran huruf-huruf "Liongtjoan" di gagangnya. Maka ingatlah ia kepada penuturan gur
unya di saat guru itu bercerita tentang pedang.
"Yoeliong kiam dan Toangiok kiam memang terbuat dari bahan-bahan logam yan
g terpilih," demikian penuturan gurunya dahulu, "akan tetapi apabila dipadu deng
an pedang^ pedang tua seperti Kantjiang, Bokshia, Gietiang, Liongtjoan, Thianhon
g, Kiekoat, Soenkin dan Khamlouw, kedua pedang itu masih kalah jauh."
Mendengar itu, Beng Kie tanya gurunya tentang di mana adanya semua pedang
tua itu, atas mana gurunya menjawab: "Kabarnya ketiga pedang Liongtjoan, Kiekoat
dan Khamlouw, sejak ahala Tong sudah masuk ke dalam istana. Entah yang lima lai
nnya lagi."
Sekarang Beng Kie lihat Liongtjoan kiam, ia jadi heran. Mungkinkah ia bera
da di dalam keraton, karena adanya pedang di kamar tidak dikenal itu? Mungkinkah
terulang pula cerita tentang seorang puteri dari jaman Tong, yang gemar menculi
k pemuda-pemuda cakap ke dalam keraton? Selagi ia berpikir karena herannya itu.
Ia dengar ketokan tiga kali pada tembok, ketokan yang gencar.
"Lekas gantung pedang itu di tempatnya!" si cantik menitah.
Sebaliknya daripada menurut, Beng Kie justeru tuding si elok dengan pedang
itu.
"Kau siapa?" ia tanya dengan bengis. "Lekas kau
memberitahukannya."
Kaget juga sicantik, wajahnya sampai berubah menjadi pucat. Tapi ia masih
sempat menekan tembok, hingga pintu rahasia segera tertutup pula. Setelah itu, i
a bertindak mundur.
Beng Kie maju mendekati.
Begitu lekas tubuhnya si cantik menempel kepada tembok, tangannya kembali
menekan kepada tembok itu, di mana ada alat rahasianya, atas itu terbukalah sebu
ah pintu rahasia, dari mana lompat keluar dua orang. Dan menggunai ketika yang b
aik itu, si cantik sendiri masuk menghilang dari pintu rahasia itu.
Dua orang yang muncul dari pintu rahasia itu masing-masing menyekal pedang
, tetapi yang membuat Beng Kie gusar adalah ketika ia kenali, satu di antaranya
adalah si orang berbaju kuning, yang di dalam kereta telah kepulkan asap hoentjv
vee ke mukanya, hingga ia lupa akan dirinya dan kena tertawan tanpa merasa. Dala
m murkanya, ia segera menyerang orang itu.
Si baju kuning tidak tunggu sampai serangan datang, ia mendahului mengayun
kan sebelah tangannya, melemparkan tiga biji peluru, peluru "yang hebat sekali,
karena dengan sendirinya ketiga peluru itu meledak dan mengeluarkan asap tebal!
Beng Kie terkejut, akan tetapi ia sudah siap waspada. Ketika asap bergulun
g-gulung ia tahan napasnya, tubuhnyapun telah berkelit dari serangan yang dahsya
t itu untuk terus lompat maju menyerang, atau mendadak ia ingat orang itu tentun
ya pahlawan istana, maka kembali dia merandek. Justeru itu si baju kuning membar
engi menyerang ia. Ia berlaku sebat, ia menangkis guna merampas senjata musuh, m
enyusul mana, ia lompat ke pintu yang ia dupak untuk nerobos keluar.
Dua orang itu tidak menyangka, karena pemuda itu baru sadar, tapi dia suda
h dapat pulang ketangkasannya, terpaksa mereka menepuk-nepuk tangan, untuk membe
ri tanda rahasia meminta bantuan.
Begitu lekas Beng Kie sudah berada di luar kamar, ia sudah lantas disambut
oleh delapan pahlawan yang menghalau dan menyerang kepadanya. Ia melawan tetapi
tidak mau ia melukai orang, melainkan membela diri. la menyabet berulang-ulang
ke empat penjuru.
Tidak dapat dicegah lagi. senjata mereka beradu satu pada lain, terdengarl
ah suara bentrokan pelbagai alat senjata, keras tapi sejenak saja, karena semua
senjatanya pahlawan-pahlawan itu telah terbabat kutung oleh pedangnya si anak mu
da. Kejadian itu telah membuktikan tajamnya Liongtjoan kiam sebagai pedang musti
ka.
Pahlawan-pahlawan itu terkejut.
"Hai, bocah, kau curi pedang istana!" demikian teriak satu pahlawan. "Mesk
ipun kau dapat lolos dari sini, kau tetap berdosa dan bagianmu adalah hukuman ma
ti. mari lemparkan pedangmu itu. nanti kami berikan kau ketika untuk meloloskan
diri!"
Beng Kie sendiri segera dapat pikiran. Di dalam hatinya, ia kata: "Baiklah
sekarang juga aku menghadap Sri Baginda sambil membawa pedang ini! Mati atau hi
dup, mesti aku ketahui duduknya hal ini!"
Karena ini. ia menyerang semua pahlawan sehingga mereka terdesak mundur du
a tombak lebih, menggunakan ketika itu. ia segera menyingkirkan diri dengan lomp
at naik ke atas genteng.
Genteng atau wuwungan istana terbuat dari genteng beling warna kuning yang
licin, sulit untuk orang berjalan di atasnya, akan tetapi, melihat macamnya gen
teng ini, besar hatinya Beng Kie. Karena genteng itu membuktikan bahwa ia benar-
benar berada di istana, hingga lenyaplah kesangsiannya. Tapi pelbagai perasaan m
engaduk otaknya. Ia tidak duga di dalam keraton ada keburukan semacam ini, hingg
a bisalah dibilang, sia-sialah ia dan Him Kengliak berperang mati-matian di tapa
l batas untuk keutuhan negara, karena adanya kebusukan di dalam istana itu.
Beberapa pahlawan yang mengepung itu, karena tahu orang liehay, tidak bera
ni datang dekat kepada Beng Kie, mereka hanya berseru-seru dari jauh dan mengiku
ti dari sebelah bawah.
Beng Kie dapat ketika akan perhatikan mana ruang yang paling indah, meski
genteng licin, ia toh dapat berlari-lari di atas itu, karena ia mengandal kepada
keentengan tubuhnya.
Istana ada luas, ruangannya banyak, maka itu sulit untuk Beng Kie dapat ca
ri keraton raja. Baru ia lewati beberapa wuwungan, mendadak ia dengar bentakan d
ari bawah dan lompat naiknya satu orang, yang Beng Kie kenali sebagai Eng Sioe Y
ang.
"Benar-benar hebat," berpikir anak muda ini. "Dengan Eng Sioe Yang bisa be
rada di dalam istana, negara sungguh terancam sekali..."
"Ada penjahat!" Eng Sioe Yang berteriak.
Bukan kepalang gusarnya Beng Kie.
"Bagus, penghianat!" dia berseru. "Aku nanti bekuk padamu untuk dihadapkan
kepada Sri Baginda!"
Pemuda ini lantas menyerang.
Eng Sioe Yang melawan dengan gunai kebutannya yang liehay, akan tetapi lac
ur baginya, bukan ia dapat libat pedang musuh, sebaliknya ujung kebutannya yang
kena terbabat putus, hingga ia jadi terperanjat. Syukur ia sebat, jikalau tidak,
lengannya pasti akan turut tertabas kutung.
Beng Kie terus mendesak keras hingga membikin musuhnya sangat repot. Meman
g Sioe Yang bukannya lawan yang setimpal, setelah didesak, beberapa kali hampir
dia kena tertikam atau tertabas.
Selagi penghianat ini terancam, beberapa pahlawan muncul. Mereka datang se
sudah dengar kabar ada bahaya.
Dalam murkanya. Beng Kie kata: "Tunggu sampai kau sudah mampus, babaru kit
a bicara pula!" Segera ia ulangi desakannya yang terlebih hebat.
Eng Sioe Yang unjukkan kegesitannya. ia berkelit ke sana kemari, sampai me
ndadak ia terperanjat karena ia rasakan sambaran angin di atasan kepalanya, tern
yata separuh rambutnya telah terbabat kutung. Tak ayal lagi ia lompat menyingkir
kan diri.
"Kau masih memikir meloloskan diri?" bentak Beng Kie. yang bertambah murka
. Lantas ia enjot tubuhnya, untuk lompat menyusul. Dalam, hal ilmu enteng tubuh,
ia memang jauh lebih mahir, la dapat berlompat melewati kepala musuh, sambil be
rbuat demikian, pedangnya ditusukkan.
Eng Sioe Yang sedang lari. ia kaget bukan main, tetapi di saat jiwanya ter
ancam, satu bayangan putih nampak berkelebat, pedangnya Beng Kie terserang hingg
a menyeleweng dari tujuannya, cuma tangan bajunya si penghianat yang kena terbac
ok tapi dia bisa lolos.
Beng Kie terperanjat atas datangnya bayangan putih itu. Ia menduga pada s
atu pahlawan tetapi ia tidak menyangka akan kegagahan orang itu. Ketika ia menga
wasi, ia tampak seorang yang mukanya tertutup topeng dengan wajah bengis dan men
yeramkan. Orang itupun sudah lantas menyambar lengannya. Ia berkelit untuk seger
a membarengi tikamannya.
Pahlawan tidak dikenal itu tarik pulang tangannya, untuk dengan tangan yan
g lainnya dia balas menyerang, hingga Beng Kie pun mesti terus menyerang tangan
yang belakangan ini.
Benar-benar pahlawan ini liehay. walaupun ia melayani berkelahi dengan ber
tangan kosong, ia tidak jatuh di bawah angin.
Beng Kie menjadi heran dan kagum, justeru itu. hampir saja ia kena dihajar
.
Ketika itu, kawanan pahlawan sudah mulai mendekati.
"Orang jahat di sini!" teriak Eng Sioe Yang. Karena datangnya penolong ber
topeng itu. penghianat ini tidak menyingkir terus. Sebaliknya penolong itu. apab
ila ia lihat datangnya banyak orang, ia lalu lompat turun dan lari menghilang ke
dalam pohon-pohon bunga yang lebal.
Beng Kie heran atas sikapnya orang bertopeng itu. Tidak ada alasan orang i
tu lari menyingkir, karena kepandaiannya tidak ada di bawah kepandaiannya Kim To
k Ek, mungkin dia tak dapat rebut kemenangan, akan tetapi buat segera kalah pun
tidak ada kemungkinannya. Kalau dia ada salah satu pahlawan, kenapa dia angkat k
aki? Kalau bukan, siapa dia sebenarnya?
Tetapi Beng Kie tidak sempat menduga-duga terus, musuh sudah mulai naik ke
atas genteng untuk mengepung kepadanya! terpaksa ia mundur. Ia masih disusul me
skipun ia sudah sampai di luar istana.
Adalah di saat itu, Eng Sioe Yang menoblos pergi.
Justeru waktu itu, karena dengar suara berisik, It Hang melongok di jendel
a. Ia terperanjat akan tengok Beng Kie sedang dikejar sejumlah pahlawan istana.
Tidak ayal lagi ia lompat keluar jendela, untuk papaki sahabat she Gak itu.
Pahlawan kepala dari raja menjadi heran, mulanya ia hendak hunus pedangnya
, untuk cegah berlalunya It Hang, akan tetapi ia telah terlambat. Di pihak lain,
dalam sejenak saja It Harg telah kembali pula bersama Beng Kie, yang tangannya
ia tarik buat diajak bersama-sama tekuk lutut di hadapan raja.
Siang Lok terkejut, sampai ia keluarkan keringat dingin.
"Kau... kau bawa pedang, untuk apa?" dia tanya sambil menunjuk pemuda she
Gak itu. It Hang segera berikan jawabannya:
"Sri Baginda, dia adalah pesuruhnya Him Kengliak! Dengan jiwaku, ingin ham
ba melindungi dia!"
Beng Kie pun sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam sarungnya.
"Sri Baginda," ia pun berkata, "di dalam istana sudah muncul siluman cabul
, maka itu harap Baginda ijinkan hambamu menuturkannya."
Kembali Siang Lok keluarkan keringat dingin. Dengan perlahan pikirannya me
njadi sadar. Ia memang tahu, Kengliak Him Teng Pek adalah seorang menteri yang j
ujur dan setia. Maka ia lantas angkat tangannya.
"Seng Koen, pergi titahkan semua budak itu undurkan diri!" ia menitahkan.
Seng Koen adalah kepala pahlawan rajayangjujur, diapuntahu tentang adanya
golongan-golongan di dalam istana, maka dia tahu juga apa artinya pihak Tongtjia
ng. Dia telah berlega hati setelah mengetahui bahwa orang yang disangka penjahat
itu adalah wakilnya Him Kengliak.
"Baik, Baginda," sahutnya sambil memberi hormat dan lantas mengundurkan di
ri sampai di ambang pinta di mana dengan golok di tangan, ia suruh pergi semua p
ahlawan yang mengejar Beng Kie tadi.
Segera juga pemuda she Gak itu angsurkan Liongtjoan kiam kepada raja.
"Sri Baginda, sudilah Sri Baginda lihat, pedang ini ada miliknya istana at
au bukan," ia berkata.
Raja menyambut pedang itu.
"Bagaimana caranya kau dapatkan ini?" dia tanya.
Sambil tetap berlutut Beng Kie tuturkan pengalamannya mulai ia diperdayai,
bagaimana orang bokong ia di atas kereta, bagaimana ia ketemui si cantik di dal
am kamar yang indah.
"Bukankah dia yang bergelung pasangan Poanliongkie dan mukanya bundar?" ra
ja tegaskan. (Poanliongkie = konde model naga melingkar).
"Benar," Beng Kie jawab.
"Celaka!" menjerit raja dengan keluhannya dan terus ia roboh pingsan di at
as pembaringannya.
It Hang lantas hampiri raja itu untuk ditolong dengan diurut tubuhnya agar
menjadi sadar kembali.
Seng Koen pun menghampiri untuk melihat junjungannya itu. Dengan cepat Sia
ng Lok telah siuman pula.
"Kalian semua mundur dulu," ia lantas menitah. "Ingat, jangan kalian bicar
a sembarangan." Lantas ia titahkan Seng Koen: "Seng Koen, pergi kau panggil Poei
Tjiong Tiat dan Lie Soansie."
It Hang dan Beng Kie undurkan diri dengan hati kebat-kebit. Mereka lihat s
ebaris dayang, akan tetapi kedua pemuda itu menuju terus ke Teedjin kok di mana
puluhan mata dari menteri-menteri yang sedang menanti panggilan raja, dalam kehe
ranan ditujukan ke arah mereka. Menteri-menteri itu heran melihat Beng Kie kelua
r bersama si pemuda she To.
"Bagaimana dengan Sri Baginda?" Yo Koen tanya It Hang, suaranya perlahan.
Pemuda itu tidak berani menjawab, ia melainkan menggeleng kepala.
Tidak lama antaranya, dari dalam keraton sayup-sayup terdengar tangisan, l
alu muncul satu orang kebiri, yang menyampaikan titah:
"Kalian semua boleh bubaran, hari ini Sri Baginda tak dapat menemui kalian
!"
Semua menteri lantas undurkan diri.
"Aku kuatirkan keselamatan raja," kata Beng Kie sesampainya mereka di luar
Ngomoei
"Nasibnya Kerajaan Beng yang besar baiklah diserahkan kepada Thian saja,"
sahut It Hang dengan masgul.
"Sri Baginda memang tidak bijaksana tetapi dia cukup sadar." Beng Kie berk
ata pula. "Kalau nanti putera mahkota naik di atas tahta, inilah hebat. Putera m
ahkota masih kanak-kanak yang belum tahu apa-apa, sedangkan di luar ada menteri-
menteri dorna. di dalam ada kebiri busuk, dan di keraton pun terdapat wanita cab
ul, dugaku mungkin, sebelum datang menyerbunya bangsa Boan. negara akan sudah mu
snah sendirinya..."
Heran Yo Koen mendengar kedua pemuda itu bicara demikian rupa tanpa ragu-r
agu dan tanpa kuatir orang lain mendengarnya, lekas-lekas ia menyelak untuk meng
alihkan pembicaraan.
Beng Kie lantas tanya alamatnya It Hang dan meneruskannya: "Besok aku nant
i pergi tengok kau."
Segera keduanya berpisahan.
Keesokannya segera tersiar berita dari istana, tentang wafatnya Kaisar Kon
g Tjong, bahwa sebagai gantinya, Thaytjoe Yoe Kauw naik sebagai raja dengan paka
i tahun kerajaan Thian Kee. Tentu saja pemerintah menjadi repot dengan urusan pe
rkabungan dan penobatan. Akan tetapi Lie Ko Tjiak, yang telah mengobati raja den
gan pil merahnya hingga raja menemui ajalnya, tidak saja dia tidak dihukum, mala
h sebaliknya Perdana Menteri Poei Tjiong Tiat mengatakannya bahwa dalam pesan te
rakhirnya raja mengatakan Lie Ko Tjiak setia dan diberikan hadiah uang.
Pasti sekali kejadian itu sangat menggemparkan.
Beberapa menteri setia yang nyalinya besar, tidak mau mengerti. Begitulah
Leepou Siangsie Soen Tjin Hang, Giesoe Ong An Soen dan Keesoetiong Hoei Sie Yang
, setelah mereka bermupakatan, sudah majukan surat dakwaan, menuduh Poei Tjiong
Tiat adalah yang membinasakan raja. Tetapi dakwaan ini kelak tidak memberi kesud
ahan yang memuaskan, dakwaan telah dipendam, karena Poei Tjiong Tiat kemudian te
lah peroleh perlindungan Goei Tiong Hian.
Beng Kie hari itu sekembalinya ke gedungnya Yo Lian sudah lantas tuturkan
pada San Ho tentang pengalamannya. Sehabis bercerita, ia menghela napas berulang
-ulang.
Mendengar itu. Nona Tiat justeru tertawa.
"Melainkan orang tolol sebangsamu yang anggap urusan negara ada sebagai ur
usan dirimu pribadi!" katanya. "Kalian telah tunjang satu raja yang melempem! Bu
kankah kita lebih baik hidup merdeka sebagai burung hoo liar, yang dapat berterb
angan atas jagat yang luas, untuk berbuat jasa di dalam kalangan Sungai Telaga?"
Beng Kie kerutkan keningnya.
"Apakah kau sangka aku hanya melindungi Keluarga Tjoe?" dia tanya. (Keluar
ga Tjoe ialah keluarga pendiri Kerajaan Beng).
Masih San Ho tertawa.
"Aku tahu kau hendak menangkis serbuannya bangsa asing, karenanya kau perl
u lindungi raja," katanya, "Bukankah demikian maksudmu? Tapi. untuk melawan bang
sa asing, kenapa kita mesti membutuhkan raja?"
Beng Kie terkejut. Inilah pengutaraan yang ia tidak pernah sangka.
"Aku tadinya sangka wanita ini tidak tahu segala urusan negara, ternyata d
ia luas pengetahuannya!" pikirnya.
Melihat orang berdiam San Ho berkata: "Aku tidak ingin ketemui To It Hang,
jangan kau beritahukan padanya bahwa aku berada di sini."
"Kenapa begitu?"
Merah wajahnya si nona.
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin melihat padanya."
Sebenarnya Nona Tiat cuma likat untuk menemui It Hang karena ia sangka pem
uda ini tentu ketahui urusan perjodohannya dengan Ong Tjiauw Hie, It Hang toh sa
habat kekalnya pemuda she Ong itu,
Di hari kedua, seperti yang telah dijanjikan, Beng Kie pergi ke gedungnya
Yo Koen untuk menemui It Hang. Ia dapat bertemu dengan It Hang sendiri, karena Y
o Koen sedang berunding sama kawan-kawannya untuk mendakwa Poei Tjiong Tiat.
"Tidak disangka, Kaisar Tay Tjiang telah wafat demikian cepat," kata Beng
Kie. "Karena ini, tidak ada lagi orang yang akan mengurus keburukan di dalam ker
aton..."
It Hang berduka, hingga ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata.
"Kembali ke kota raja ini, aku telah menyaksikan banyak, hatiku menjadi ta
war," Beng Kie tambahkan. "Setelah penobatan, selanjutnya pemerintahan pasti bak
al terjatuh ke dalam tangannya rombongan Goei Tiong Hian dan Poei Tjiong Tiat. M
ereka itu tentulah akan memusuhi Him Kengliak. Kalau aku tidak berati Kengliak,
sungguh ingin aku sucikan diri saja..."
"Baik kita berdiam di sini untuk beberapa hari lagi, guna tengok perkemban
gan terlebihjauh." It Hang nyatakan.
"Aku tidak mau perdulikan pula urusan pemerintahan," kata Beng Kie. "Tapi
malam ini aku hendak memasuki keraton..."
"Untuk apa kau hendak menempuh bahaya?" It Hang tanya.
"Pedangku Yoeliong kiam lenyap di dalam keraton, perlu aku mencarinya," Be
ng Kie jawab.
Tiba-tiba It Hang ingat suatu apa.
"Mari kita pergi bersama," ia menyatakan.
Beng Kie tidak setuju. Ia tahu bahwa walaupun liehay, It Hang masih belum
mencapai kemahirannya, ia kuatir kalau-kalau ada ancaman bahaya hebat, sahabat i
tu tak akan sanggup meloloskan diri.
"Untuk mendatangi keraton di waktu malam, ada kurang leluasa untuk kita pe
rgi dengan berkawan," ia memberi alasan, "maka itu, saudara, aku berterima kasih
untuk kebaikan hatimu ini."
It Hang berdiam, agaknya ada apa-apa yang ia pikirkan.
"Bagaimana jikalau kita pergi menemui paman guruku?" tanya ia kemudian.
"Tootiang manakah itu?" Beng Kie menegaskan.
"Pek Sek Toodjin. pamanku yang ke empat."
"Sudah lama aku dengar namanya Boetong Ngoloo," kata Beng Kie. "Karena dia
adalah paman gurumu, sudah selayaknya aku temui padanya."
It Hang girang. Ia lantas ajak sahabatnya itu pergi ke rumah keluarga Boes
oe Lioe See Beng, yang hanya terpisah sepuluh lie lebih dari gedungnya Yo Koen.
Lekas juga mereka telah sampai dan It Hang segera mengetok pintu.
Pintu dibuka selang sedikit lama, tetapi yang membukakannya bukan orangnya
keluarga Lioe hanya Ho Lok Hoa.
It Hang tercengang saking heran, dalam hatinya ia menanya, ke mana perginy
a keluarga Lioe itu maka lain orang yang membukakan pintu.
Lok Hoa pun agaknya heran, dengan ternganga, ia mengawasi It Hang. ia sepe
rti hendak bicara tetapi tidak bisa. It Hang juga sudah lantas tunduk.
Menampak demikian. Beng Kie tertawa di dalam hati.
Lok Hoa ajak kedua tetamu ke sebuah kamar barat, yang pintunya ia segera k
etok sambil memberitahukan: "Ayah. To Soeheng dan sahabatnya datang."
Pek Sek Toodjin adalah yang buka pintu, ia heran melihat Beng Kie.
"Kiraku siapa, tak tahunya Gak Enghiong!" katanya.
Beng Kie pun heran, ia tak tahu kenapa imam itu kenal padanya.
It Hang tahu keheranannya sahabat ini, ia tertawa dan berkata: "Saudara, k
etika kau itu malam menerjang dengan lintasi lima pintu kota dari Siauwlim sie,
paman guruku ini berada di dalam kuil itu."
"Ya, ilmu pedangmu bagus sekali!" Pek Sek memuji.
"Justeru ilmu pedang Boetong pay yang paling terkenal di kolong langit," k
ata Beng Kie. "Aku ingin sekali minta tootiang suka mengajarkannya padaku."
"Kau terlalu merendahkan diri, Gak Enghiong!" Pek Sek tertawa tawar. "Gelo
mbang belakangan dari sungai Tiangkang mendorong gelombang yang terdepan, karena
nya, ilmu silat pedang Boetong pay telah ketinggalan jauh di sebelah belakang!"
Pek Sek Toodjin cupat pandangan, maka itu ketika Kong Beng Siansoe puji Th
iaiwin Kiamhoat, ilmu pedang Thiansan pay, nampaknya ia tidak senang. Meski demi
kian, It Hang tidak sangka paman guru ini bawa sikapnya itu, hingga dia membuat
Beng Kie menjadi jengah.
"Gak Eng-hiong, silakan duduk," Pek Sek lantas mengundang. "Ada urusan kec
il yang aku hendak bicarakan kepada keponakan muridku ini, sebentar saja."
Tanpa tunggu jawaban, Pek Sek tarik tangannya It Hang untuk diajak ke dala
m.
Beng Kie masih sempat mengucap, "Silakan tootiang." Ia duduk sendirian den
gan hilang kegembiraan, ia benar-benar tidak mengerti akan sikapnya Pek Sek Tood
jin yang demikian rupa terhadapnya.
It Hang pun sama tak mengertinya seperti sahabatnya itu, tapi ia turut pam
an gurunya masuk ke dalam.
"Gak Beng Kie itu adalah orang gagah dari jaman kita ini," berkata It Hang
yang menyatakan ketidak puasannya, "dan iapun ada baik sekali terhadapku, kenap
a soesiok perlakukan dia demikian tawar?"
"Justeru dia orang gagah dari jaman ini, pasti dia tidak akan terlalu rewe
lkan tentang adat sopan santun," berkata Pek Sek. "Ada urusan penting yang aku h
endak bicarakan denganmu, biarlah suruh dia menantikan sebentar. Toh tidak ada h
alangannya bukan?"
Itulah kata-kata yang berupa paksaan bagi It Hang, akan tetapi mengingat t
ingkatnya lebih bawah, It Hang tidak mau menentangnya.
"Apakah yang,Soesiok hendak katakan?" dia tanya dengan hormat. Imam itu be
rdiam sekian lama. "Sekarang Kaisar Tj iang Tay telah wafat, maka urusanmu di si
ni selesailah sudah," kata dia kemudian, dengan perlahan. "Sekarang kau harus tu
rut aku pulang ke gunung." It Hang ragu-ragu. "Kepada Gak Toako aku telah membua
t perjanjian." katanya. "Pedangnya dia itu telah hilang di dalam keraton. Nampak
nya urusan agak luar biasa!" It Hang lalu berikan keterangannya sebagai penjelas
annya.
Pek Sek Toodjin mengerutkan kening.
"Ada kejadian semacam itu?" katanya.
"Jikalau satu negara ditakdirkan runtuh, di dalamnya mesti muncul siluman,
" It Hang kata. "Akan tetapi aku telah terima budi negara, sekarang aku hadapi k
ejadian yang serupa ini, tidak dapat rasanya aku melewatkan dengan begitu saja."
"Jadinya kau berniat membantui Gak Beng Kie memasuki keraton untuk menyeli
diki duduknya hal yang benar?" tanya sang paman guru. "Ya," It Hang manggut. Tib
a-tiba saja paman guru itu berkata: "Urusan diri sendiri masih belum beres, kau
sudah mau urus-urus perkara lain orang!" Lalu dia buka bajunya di betulan dadany
a. "Kau lihat!" dia tambahkan.
It Hang lihat pada dadanya paman guru itu ada tapak tangan merah muda, ia
terkejut.
"Soesiok. orang telah serang padamu?" tanyanya.
Pek Sek Toodjin manggut. "Benar," sahutnya. "Maka itu aku ingin berdamai d
engan kau, kita lantas pulang ke gunung atau berdiam dahulu di sini..."
"Apakah soesiok bentrok kepada Imhong Toksee tjiang Kim Laokoay?" It Hang
tanya. "Inilah tapak tangannya ahli Pasir Beracun itu!"
"Jikalau itu benar ada tangannya Kim Laokoay sendiri, aku rasa sekarang in
i. aku sudah tidak dapat bertemu kau pula dengan masih bernapas," jawab paman gu
ru itu. "Penyerangku itu, latihannya masih kalah jauh daripada Kim Tok Ek."
Imam ini menepuk kedua tangannya.
"Kemarin sore seorang diri aku pergi ke Thiankio." ia beri keterangan, "di
sana aku nonton satu tukang dangsu yang sedang mempertunjukkan ke
pandaian jalan di atas kawat dan menunggang kuda. Kelihatannya dia punyaka
n kepandaian yang cukup berarti. Selagi aku menonton, kemudian datang seorang ya
ng romannya sebagai cabang atas, alisnya gompiok dan matanya gede. Dia merampas
uang saweran. Tukang dangsu itu memberi hormat, dengan rnenjura berulang-ulang.
Kelihatannya dia harus sangat dikasihani. Dia memohon, katanya. "Hari ini aku ti
dak peroleh uang, aku minta tuan beri ketika padaku...' Cabang atas itu tid
ak mau memberikan kelonggaran, dia membentak memaki-maki. Aku tidak dapat berp
eluk tangan menonton kejadian yang tidak pantas itu, aku lantas masuk ke gelangg
ang tukang dangsu itu untuk mencegah perbuatannya cabang atas itu. Tapi dia
menyerang aku. ketika aku gerakkan tanganku, dia lantas roboh jumpalitan, kemudi
an bagaikan seekor anjing yang goyangkan ekornya, dia ngeloyor pergi. Atas perto
longanku, tukang dangsu yang tua itu menghaturkan terima kasih padaku. Ketika it
u sudah magrib, karena onar itu, penonton telah bubar, si tukang dangsu undang a
ku ke kemahnya, katanya untuk minum arak bersama. Aku tidak menyangka jelek, aku
terima baik undangan itu. Orang tua itu mengerti ilmu pukulan Imyang Toksee tji
ang, selagi ia angsurkan cawan terisi arak padaku, diam-diam dia menyerang dadak
u..."
"Aha!" seru It Hang.
"Tapi diapun tidak dapat bergirang terus!" Pek Sek tertawa. "Aku telah ras
akan satu tangannya tetapi aku telah bayar dengan dua jari tanganku dengan apa a
ku tutup jalan darahnya, yaitu djiekhie hiat. Maka biarpun dia sangat liehay ilm
u silatnya, dia mesti hidup bercacad!
"Kalau begitu, Kim Laokoay pasti berada di kota raja." It Hang utarakan du
gaannya.
"Setelah seranganku itu, tukang dangsu tua itu kabur dari kemahnya," Pek S
ek tambahkah keterangannya, "sambil lari, dia pentang bacotnya, katanya jikalau
dalam tempo tiga hari aku tidak pulang, nanti ada orang yang akan menghormati ak
u dengan sebelah tangan! Aku kuatir dia banyak kawannya, aku lantas pulang ke ru
mahnya Lioe Boesoe. Di luar dugaanku, rumahnya Lioe Boesoe juga kalang kabutan!.
.."
It Hang kembali heran.
"Pantas, pantas!" katanya. "Pantas ketika aku datang, bukannya orangnya Li
oe Boesoe yang membukakan aku pintu."
"Lioe Boesoe telah pergi untuk mengundang bala bantuan." Pek Sek kasih tah
u.
"Lioe Boesoe itu sangat terkenal di kota raja ini karena keramah-tamahanny
a," berkata It Hang, "apa mungkin ada orang yang satrukan dia?"
Pek Sek goyang kepala.
"Selagi aku mendapat pengalaman itu, ada beberapa tetamu tidak diundang ya
ng datang di rumah Lioe Boesoe ini," ia jelaskan. "Mereka dengan galaknya, melar
ang Lioe Boesoe kasih aku menumpang di dalam rumahnya. Mereka itu tidak bermusuh
terhadap Lioe Boesoe sendiri, mereka hanya menyatrukan aku!"
"Benar-benar heran!" It Hang mengatakan. "Kita dengan Kim Laokoay adalah s
eumpama air sumur tidak bercampur dengan air kali, dan namanya Boetong Ngoloo te
rkenal di kolong langit ini, kenapa mereka justeru memusuhi soesiok?"
"Aku juga tidak mengerti maksud mereka itu," Pek Sek akui. "Maka sekarang
aku ingin berdamai dengan kau untuk ambil keputusan. Kita lebih baik pulang saja
atau kita terus berdiam di sini untuk sambut mereka?"
"Sepantasnya, apabila kita tidak niat menyusahkan Lioe Boesoe, kita mesti
pulang," It Hang utarakan pikirannya, "akan tetapi Lioe Boesoe telah pergi mengu
ndang bala bantuan, sekarang kita harus tunggui dia, tidak dapat kita tinggalkan
dia pergi."
"Akur!" seru Pek Sek Toodjin. "Demikianpun pendapatku! Selama tiga hari in
i kau jangan pulang ke rumah Keluarga Yo itu, kau berdiam di sini saja. kita nan
ti lihat sepak terjangnya mereka itu."
"Gak Toako liehay ilmu pedangnya, liehayjuga ilmu silatnya, kenapa kita ti
dak mau bergabung kepadanya?" It Hang nyatakan. "Lebih dahulu kita bantu dia. se
telah itu. kita undang dia untuk membantui kita..."
Parasnya Pek Sek Toodjin mendadak berubah muram dan keren.
"It Hang." katanya dengan bengis, "kau adalah bakal tjiangboendjin kita, b
enarkah kau tidak ketahui aturan partai kita?"
Keponakan murid itu terkejut.
"Aturan mana dari partai kita yang teetjoe langgar?" dia tanya.
Pek Sek berdiam sejenak, lalu ia tertawa.
"Sebenarnya kau tak dapat dipersalahkan." katanya. "Kau lulus dari perguru
an belum ada dua tahun, dan gurumu juga tidak terlalu kukuhi aturan itu, maka mu
ngkin sekali dia belum pernah memberitahukannya kepadamu..."
Heran It Hang.
"Sebenarnya aturan apakah itu. soesiok?"
"Aturan ini tidak termaktub dalam warisan leluhur kita," Pek Sek kata. Sek
arang tidak lagi ia keren sebagai tadi. "Meski demikian, aturan itu telah ditaat
i selama dua puluh tahun hingga kini. Kau tahu, selama dua tiga puluh tahun yang
silam, partai kita sedang makmurnya, sesama kaum kita telah tersebar di mana-ma
na. Selama waktu itu, apabila orang dari partai kita bentrok dengan pihak lain,
selamanya belum pernah kita mohon bantuan lain orang, dan seterusnya, sikap kita
itu telah menjadi kebiasaan, hingga akhirnya dengan sendirinya kebiasaan itu te
lah menjadi semacam aturan tak tertulis."
"Habis, bagaimana mengenai Lioe Boesoe?" It Hang tanya. "Lioe Boesoe sedan
g cari bala bantuan. Apakah soesiok tidak sudi bantuannya Lioe Boesoe itu?"
Pek Sek Toodjin tertawa.
"Dalam hal ini, itulah lain." ia berkata. "Lioe Boesoe bukan orang Boetong
pay, walaupun dia memohon bantuan dan urusannya ada bersangkut paut dengan piha
k kita, pihak yang membantu itu bukan kita yang minta, mereka tidak langsung mem
bantu kita, tapi mereka datang untuk Lioe Boesoe. Jadi kita tak usah menerima ke
baikan budi mereka, pihak pembantu itu."
"Inilah benar aneh," It Hang berpikir. "Jikalau nanti aku telah resmi menj
adi ketua Boetong pay. Inilah kebiasaan yang merupakan aturan tak tertulis yang
paling dahulu aku mesti hapuskan. Di dalam kalangan Rimba Persilatan, kehormatan
dan saling membantu adalah yang paling diutamakan, sikap terlalu mengandalkan d
iri sendiri dan angkuh itu bukanlah sikap yang layak! Kaum Rimba Persilatan just
eru paling perlu saling bantu, bahu membahu!"
"Dalam partai kita," Pek Sek melanjutkan, "apabila kita bentrok dengan pih
ak lain. tidak pernah kita mohon bantuan lain orang, tapi kalau ada sahabat yang
mengetahui bentrokan itu dan dia dengan sukanya sendiri datang membantu, kita t
idak menampiknya. Tegasnya, pihak kita sendiri yang tidak pernah minta bantuan o
rang!"
"Jikalau demikian adanya, tidak baik untuk aku membicarakannya kepada Gak
Toako," kata It Hang.
"Memang," membenarkan Pek Sek. "Ini juga sebabnya kenapa aku tak ingin bic
ara di depan dia. Aku sudah titahkan belasan orang dari partai kita untuk dengan
beruntun datang ke sekitar rumahnya Lioe Boesoe untuk menjaga sambil sembunyi."
Gak Beng Kie mesti menantikan sekian lama, baru ia tampak It Hang keluar b
ersama Pek Sek Toodjin, ia merasa tidak puas, maka juga sambil menjura ia lantas
berkata: "Maaf, aku telah menggerecok."
"It Hang. pergi kau temani saudara Gak duduk bicara," kata si imam dengan
tawar.
Beng Kie menjadi tidak senang. Itulah kata-kata yang bermaksudkan untuk me
mpersilakan tetamu pergi.
Maka ia lantas berbangkit.
Pek Sek Toodjin masih berkata, sekarang barulah kepada Beng Kie: "Turut ka
tanya It Hang, saudara Gak tinggal pada keluarga Yo. baiklah, lain hari pintoo n
anti ajak It Hang pergi mengunjunginya."
"Aku yang muda tidak berani membikin berabe kepada siansoe," kata Beng Kie
sambil menjura. Lantas ia membalikkan tubuh bertindak keluar.
It Hang mengantarkan sampai di luar pintu.
"Berselang lagi tiga hari, kalau saudara masih belum meninggalkan kota raj
a ini. aku minta sukalah kau datang pula kemari." ia minta, suaranya perlahan se
kali.
Beng Kie mengawasi dengan melengak.
"Untuk berjanji membuat pertemuan saja. mengapa dia memesannya dengan suar
a demikian perlahan." pikirnya dengan heran. Ia hendak minta keterangan tetapi I
t Hang sudah lantas menjura kepadanya sambil berkata: "Maaf. Aku tidak dapat men
gantarkan lebih jauh..."
Belum sempat Beng Kie buka mulutnya, ia sudah tampak sahabat itu menutup p
intu, maka terpaksa ia pulang dengan masgul. Ia sampai di rumah keluarga Yo untu
k terus tidur tengah hari. untuk dapat beristirahat. Sehabis bersantap malam, ia
berdiam terus di dalam kamarnya, sampai kemudian ia dengar kentongan dipalu dua
kali, segera ia dandan.
"Kau berdiam di dalam rumah," ia pesan Tiat San Ho, "tetapi kau harus wasp
ada dan sedikit getap. Aku mau pergi dan akan kembali di pagi hari. Apabila sete
lah terang tanah aku masih belum kembali, pergilah kau ke rumah Lioe Boesoe di k
ota utara, untuk mewartakan kepada It Hang."
Dipesan begitu. Nona Tiat tertawa geli.
"Sifatmu semakin lama semakin seperti wanita saja!" kata dia. "Aku bukanny
a kanak-kanak mengapa kau memesannya demikian melit? Aku tidak setolol kau, seor
ang yang sudah tua bangka masih kena diculik bangsat wanita tukang petik bunga!.
.."
"Kau ngaco!" tegur Beng Kie, yang tapinya tertawa, "Nah. aku pergi sekaran
g!"
Lantas pemuda ini keluar dari rumah Keluarga Yo. untuk menuju langsung ke
Tjiekim shia. Kota Terlarang.
Malam itu, malam musim rontok, angin sangat dingin, langitpun hitam. Itula
h saat paling cocok untuk orang yang suka keluar malam. Maka Beng Kie bisa linta
si tembok kota tanpa rintangan walaupun terdapat penjaga-penjaga dari rombongan
pengawal. Ia masuk terus sampai di taman. Karena sangat luasnya keraton, ia mest
i meneliti sekian lama untuk dapat mengenali bagian keraton di mana kemarin ini
ia lewat. Ia memasang mata sambil mendekam.
Tiba-tiba ia dengar tindakan kaki di sampingnya, lalu ia tampak dua pengaw
al berjalan lewat. Di malam yang sunyi, dan mereka berada dekat satu pada lain,
ia dapat dengar nyata pembicaraannya kedua pengawal itu.
"Malam-malam Goei Tjongtjoe memanggil aku, entah ada urusan apa?" kata yan
g seorang. Mereka ini mengenakan seragam hitam.
"Kau toh sahabatnya Seng Koen," berkata kawannya. "Kabarnya Seng Koen tela
h ditangkap Goei Tjongtjoe. mungkin kau dipanggil berhubung dengan urusan itu...
"
"Hm! Binatang Seng Koen itu tidak tahu diri. aku tidak bisa tolong padanya
!" kata yang pertama.
Beng Kie duga Goei Tjongtjoe itu tentulah Thaykam Goei Tiong Hian, si oran
g kebiri yang berpengaruh. Sedang Seng Koen, ia tahu adalah kepala pahlawan dari
marhum Kaisar Siang Lok.
"Meskipun Seng Koen menjadi siewie, tetapi dia dapat terhitung seorang yan
g jujur," pemuda ini berpikir, "maka kenapa sekarang Goei Tiong Hian demikian us
ilan dengan menawan bekas hambanya kaisar? Justeru sekarang maksudku hendak cari
Goei Tiong Hian, kenapa aku tidak mau kuntit saja dua pengawal ini?"
Dengan entengkan tubuhnya. Beng Kie lantas menguntit dua orang itu, yang s
ambil berjalan masih bicara terus, hingga teranglah mereka ada orang-orang keper
cayaannya Goei Tiong Hian. Malah mereka bicarakan juga tentang Seetjiang, yang s
ekarang sudah jatuh ke dalam pengaruhnya orang kebiri she Goei itu. Cuma tinggal
Kimiewie, barisan pengawal berseragam sulaman, masih tetap berada ditangannya L
weekeng Kauwoet Liong Seng Giap, kepala Kimiewie.
Beng Kie terus menguntit di belakangnya dua orang itu, yang melalui jalana
n panjang dan banyak tikungannya, sampailah mereka, di sebuah ruang model payung
. Selagi mereka masuk ke dalam, Beng Kie menunda diri di payon rumah dari mana i
a bisa mengintai ke dalam. Ia tampak seorang kebiri yang gemuk dan mukanya putih
sedang bercokol sambil di dampingi empat pengawal di kiri kanannya. Ia sudah la
ntas merogoh kantong piauw, karena ia percaya betul bahwa orang kebiri itu tentu
lah Tiong Hian adanya. Akan tetapi sedetik kemudian ia ingat, kalau ia singkirka
n jiwanya Tiong Hian, pasti Kengliak akan tegur padanya. Maka ia menahan sabar.
Kedua pahlawan tadi mengetok pintu, lalu mereka masuk ke dalam dan memberi
hormat pada orang kebiri itu.
"Ong Seng, Tang Hong," berkata thaykam berpengaruh itu. "tahukah kalian ba
hwa Seng Koen telah berada di sini?"
"Ya." jawabnya kedua pengawal itu.
"Tang Hong," berkata pula Goei Tiong Hian, "bukankah kau pembantunya Seng
Koen, dan jabatanmu adalah pembantu kepala dari pasukan pahlawan raja?"
"Memang benar hambamu adalah pembantunya Seng Koen akan tetapi sekian lama
, hambamu tidak cocok dengan dia," sahut Tang Hong.
"Pernahkah kau bentrok satu pada lain?"
"Tidak," jawab Tang Hong setelah sejenak bersangsi. "Hambamu cuma tidak co
cok di dalam hati..."
Goei Tiong Hian perdengarkan suara "Hm," Lalu ia tanya pahlawan yang satun
ya: "Ong Seng, kau masuki istana menjadi pahlawan bersama Seng Koen, dan di dala
m kalanganmu, bukankah kau yang paling akur kepada Seng Koen?"
Dengan tergesa-gesa, pahlawan yang bernama Ong Seng itu tekuk lutut di dep
an orang kebiri itu, ia manggut-manggut, akan terus berkata: "Hambamu cuma tahu
ada Goei Tjongtjoe!"
Goei Tiong Hian tertawa.
"Bagus!" katanya dengan girang. Lantas ia pesan kedua pahlawan ini. terus
ia ajak empat pengiringnya masuk ke pintu samping, yang pintunya tertutup pula,
akan tetapi sesaat kemudian pintu itu terbuka pula, dari mana muncul tiga orang
tanpa orang kebiri yang berpengaruh itu. Tiga orang itu adalah dua pahlawan yang
mengiringi Seng Koen.
Di matanya Beng Kie, baru dua hari berselang, Seng Koen sekarang sudah ber
ubah keadaannya tidak keruan dan kaki tangannyapun terbelenggu rantai.
"Sahabatmu telah tanggungi kau!" kata kedua pahlawan pengantar kepada oran
g tawanan itu. Mereka berkata sambil tertawa. "Sekarang pergilah kau!"
Tanpa membukakan belengguan orang lagi, kedua pahlawan itu lantas pergi pu
la.
Ong Seng sambut seatasannya sambil tertawa.
"Silakan duduk!" katanya sambil memimpin. "Apakah kau tidak menderita?"
Seng Koen tertawa dingin, ia tidak berikan penyahutan.
"Toako," berkata Tang Hong, sang pembantu, "bukankah kau mengerti kata-kat
anya orang dulu, bahwa siapa kenal gelagat, dialah seorang gagah? Maka itu. kena
pa kau tentangi Goei Tjongtjoe?"
"Siapakah yang menentangi padanya?" tanya Seng Koen dengan mendongkol. "Ak
u justeru tidak mengerti kenapa dia tidak mau lepaskan aku!"
"Toako," berkata Ong Seng, "kami berdua telah serahkan jiwa dan rumah tang
ga kami untuk menanggungkan kau. maka itu kami minta sukalah kau ucapkan sepatah
kata saja..."
"Itulah budi untuk mana aku sangat bersyukur," Seng Koen jawab. "Apakah it
u yang saudara ingin aku mengatakannya?"
"Ketika Sri Baginda wafat, kau berada di dampingnya di Yangsim thian. kau
yang merawati junjungan itu," berkata Ong Seng. "Itu waktu Sri Baginda telah pan
ggil menghadap cucunya To Tiong Liam. Tahukah kau apa yang mereka bicarakan?"
"Aku mendengarnya tidak jelas," Seng Koen jawab.
"Namanya Goei Tjongtjoe ada di sebut-sebut atau tidak?"
"Aku berada di luar, aku tidak dengar apa-apa."
"Sehabis itu, ketika si orang jahat kabur, mengapa Sri Baginda, membiarkan
padanya?" Ong Seng tanya pula.
"Hal itu lebih-lebih aku tidak mengerti."
"Bukankah sakitnya Sri Baginda menjadi hebat setelah sedikit lama sehabisn
ya dia makan pil merah?" Tang Hong tanya. "Kau pasti ketahui hal itu. bukan?"
"Di hari pertama, sehabis Sri Baginda makan pil merah itu. sakitnya baikan
banyak," sahut Seng Koen. "Di hari kedua, setelah makan pil merah lagi belum la
ma, panasnya telah naik. tanpa dapat ditolong lagi ia lantas meninggal. Tentang
itu aku telah beritahukan Goei Tjongtjoe." Wajahnya Ong Seng menjadi berubah.
"Toako," katanya, agaknya ia bergelisah, "kita berdua telah memasuki istan
a bersama-sama, selama itu, dua puluh tahun kita telah bersahabat, kau ketahui b
aik tentang diriku. Kali ini. aku menanggungkan kau dengan jiwaku sekeluarga, ma
ka, jikalau kau tidak omong terus terang, bukan hanya kau sendiri yang tidak usa
h mengharap bisa keluar dari istana ini dengan masih hidup, tetapi jiwa kami ber
dua saudara Tang Hong inipun tak dapat diselamatkan lagi..."
"Segala apa yang aku tahu, aku telah menyebutkannya," Seng Koen kata. "Ten
tang yang aku tidak tahu, bagaimana aku harus mengatakannya?"
"Toako, bukannya Goei Tjongtjoe sangat curigai kau," kata pula Tang Hong.
"yang benar adalah ia ingin ketahui segala apa dengan pasti. Goei Tjongtjoe menu
njang raja yang muda, ia baru saja pegang kekuasaan besar, di antara menteri-men
teri boen dan boe, mesti ada mereka yang tidak cocok dengannya. Walaupun Baginda
almarhum sendiri, semasa hidupnya, dia segan terhadap Goei Tjongtjoe. To It Han
g itu bersahabat kekal dengan Pengpou Siangsie Yo Koen, dan di masa hidupnya Sri
Baginda pun telah mengenal dia, maka itu tidak mustahil kalau-kalau Sri Baginda
ada meninggalkan sesuatu pesan kepadanya."
"Yo Pengpou adalah seorang menteri setia, jikalau Goei Tjongtjoe bersunggu
h-sungguh menunjang raja yang muda, pastilah Yo Pengpou tidak akan satrukan pada
nya," Seng Koen berkata.
"Kalau begitu kau jadinya maksudkan Sri Baginda almarhum benar meninggalka
n suatu pesan kepada To It Hang?" Ong Seng desak.
"Aku tidak maksudkan demikian," Seng Koen membantah.
"Baiklah, hal ini kita tunda dahulu," kata pula Ong Seng. "Sekarang halnya
si orang jahat, si calon pembunuh raja, dia adalah penting sekali. Apakah benar
-benar kau tidak pernah dengar dia mengatakan sesuatu kepada Sri Baginda almarhu
m?"
"Sesungguhnya tidak."
"Apakah kau pun tak tahu she dan nama serta asal-usulnya penjahat itu?"
Seng Koen menjadi heran.
"Saudara, kenapa kau begini mendesak padaku?" dia tanya. Ia tahu bahwa Gak
Beng Kie adalah utusannya Him Kengliak, jikalau ia menyebutkannya, mungkin Goei
Tiong Hian akan bertindak tidak baik terhadap Him Teng Pek.
"Bukannya aku desak kau, toako," Ong Seng kata. "Sebenarnya Goei Tjongtjoe
ingin sekali bekuk penjahat itu, sesudah itu barulah dia puas. Kau tahu halnya
penjahat itu tapi kau tidak hendak menyebutkannya, apakah benar-benar kau ingink
an jiwa kami berdua habis bersama kau?"
Mendengar sampai di situ, Beng Kie duga wanita cantik itu mestinya puteri
raja atau selir dan dia itu mungkin berkonco sama Goei Tiong Hian, karena untuk
dia itu, orang kebiri ini jadi begini repot.
Seng Koen pun heran akan dapat tahu Ong Seng sudah pertaruhkan keluarga da
n jiwanya sendiri untuk mempertanggungkan padanya, hingga karenanya sahabat ini
telah desak ia sedemikian rupa. Maka ia lantas menanya: "Kenapa kau tahu orang i
tu satu pembunuh? Jikalau benar dia pembunuh, mengapa setelah bertemu Sri Bagind
a, dia tidak lantas bunuh junjungan kita itu?"
"Kau baik jangan perdulikan hal itu," Ong Seng memotong. "Kau cuma harus k
asih tahu saja she dan nama serta asal-usulnya pembunuh itu. Begitu kau menyebut
kannya, Goei Tjongtjoe akan segera merdekakan kau. Atau mungkin sekali jabatan k
epala dari Kimiewie akan diserahkan padamu..." Seng Koen menjadi gusar. "Aku tid
ak harapkan jabatan itu!" katanya dengan sengit. "Lagi pula aku memang tidak tah
u suatu apa! Ketika dia masuk ke dalam Yangsim thian. Sri Baginda lantas suruh a
ku keluar untuk menitahkan semua pahlawan yang mengejar orang itu undurkan diri.
"
Ong Seng dan Tang Hong saling mengawasi.
"Heran, apapun kau kata tidak mengetahuinya," kata Tang Hong kemudian. "Se
karang ada satu pekerjaan untuk mana asal kau gerakkan sekali saja tanganmu. Mau
kah kau lakukan itu?"
"Aku hendak lihat dahulu halnya," jawab Seng Koen.
"Begini." Ong Seng kata. "Sekarang di luar istana ada beberapa menteri yan
g menuduh keras bahwa wafatnya Sri Baginda almarhum karena diracuni dengan pil m
erahnya Lie Ko Tjiak, sehingga Paduka Perdana Menteri sendiri turut terembet-rem
bet. Berhubung dengan itu. Goei Tjongtjoe ingin kau menjadi saksi, supaya kau ka
sih keterangan bahwa meninggalnya Sri Baginda kemarin malam bukannya di ruang Ya
ngsim thian dan bahwa wafatnya bukan tidak lama sehabisnya makan pil merah..."
Kaget Seng Koen mendengar kata-kata itu. hingga lantas saja ia berkata den
gan nyaring: "Sebenarnya, aku tidak curiga suatu apa. tetapi sekarang setelah me
ndengar katamu ini. timbullah kecurigaanku. Mungkin wafatnya Sri Baginda disebab
kan dianiaya oleh Poei Tjiong Tiat dan Lie Ko Tjiak berdua!"
Ong Seng pun jadi gelisah. "Kau harus ingat, asal kau angkat tanganmu, seg
era kau akan merdeka!" dia bilang. Dia maksudkan, asal ajaran itu diterima baik
dan diturut, sahabat ini bakal dibebaskan.
"Seumurku, tidak biasanya aku berdusta," Seng Koen kata.
"Keluargaku bertanggung jawab atas dirimu," Ong Seng masih mengatakan, "ma
ka jikalau kau menampik, mereka semua akan tidak hidup lebih lama..."
Seng Koen menjadi gusar, hingga ia berteriak: "Ong Seng, baru sekarang aku
ketahui kau adalah seorang siauwdjin! Mempertanggungkan aku dengan jiwanya kelu
argamu? Hm! Cuma iblis yang dapat percaya padamu!"
Parasnya Ong Seng menjadi biru putih.
"Inilah yang dikatakan, anjing menggigit Lu Tong Pin, dia tak tahu kebaika
n hati manusia!" Tang Hong membentak, berbareng dengan itu, sebelah tangannya di
ulur, dipakai menotok jalan darahnya Seng Koen.
Pasti sekali, dengan terbelenggu kaki dan tangan, pahlawan raja itu tak da
pat bela dirinya. Maka dengan gampang Ong Seng terus masukkan Seng Koen ke dalam
sebuah kantung besar tanpa dibukakan belengguannya lagi.
Sambil berbuat demikian, sahabat palsu ini tertawa dan kata: "Goei rjongtj
oe ragu-ragu bereskan dia secara terang-terangan, dia kuatir akan timbul tak ket
enangannya kawan-kawannya dia ini. maka cobalah kau pikirkan daya bagaimana kita
dapat selesaikan dia secara diam-diam, untuk tidak mendatangkan kecurigaan?"
"Inilah agak sukar," Tang Hong jawab. "Nanti aku memikirkan dayanya..." Se
jenak kemudian, dia tambahkan: "Coba singkirkan dulu belengguannya..."
"Eh, untuk apakah?" Ong Seng tanya, ia heran.
"Aku telah totok dia, walau belengguannya disingkirkan, tidak nanti dia bi
sa meloloskan diri," Tang Hong kata. "Baiklah secara diam-diam kita bawa dia ke
bukit Bweesan, kita gantung dia di atas pohon, untuk mengabui matanya orang bany
ak, bahwa dia telah menggantung diri sendiri. Tidakkah ini bagus? Dengan begitu,
dia mampus sebagai satu tiongsin, hamba yang setia!"
"Bagus!" seru Ong Seng sambil tepuk tangan. Terus dia buka kantung itu unt
uk keluarkan Seng Koen dan loloskan belengguannya. "Cukup, bukan?" dia tanya kaw
annya.
"Cukup!" sahut Tang Hong, yang berbareng, dan sekonyong-konyong menyerang
sahabatnya itu, hingga Ong Seng tanpa berdaya lagi roboh dengan pingsan.
Tang Hong kembali hendak menotok Seng Koen, sekarang untuk membebaskan. Ak
an tetapi belum sempat kedua jari tangannya mengenai tubuhnya pahlawan kepala it
u, tiba-tiba ia sendiri yang roboh terguling. Karena tepat di sampingnya, daun p
intu samping terbuka dengan tiba-tiba dan munculnya satu pahlawan yang mendahulu
i membokong padanya.
"Benar-benar Goei Tjongtjoe pandai menduga!" kata pahlawan ini sambil tert
awa dingin.
Memang Tang Hong dan Seng Koen tidak cocok satu pada lain, namun walaupun
demikian, Tang Hong ada terlebih jujur daripada Ong Seng maka menampak si orang
she Ong hendak binasakan Seng Koen, tak tegalah hatinya. Iapun lantas membayangk
an, kejadian terhadap Seng Koen ini mungkin juga terjadi atas dirinya maka dalam
tempo sedetik itu dia telah berubah pikiran, lalu timbul niatnya untuk menolong
i Seng Koen, untuk sama-sama buron dari kota raja. Ia hanya tidak menduga, Goei
Tiong Hian, yang senantiasa bercuriga, ada licin sekali, orangkebiri ini siang-s
iang sudah pasang satu pahlawan lain, untuk mengintai. Maka dengan senjata rahas
ia, Tang Hong telah kena dihajar roboh.
Beng Kie saksikan kejadian itu, ia terperanjat. Sekarang tambahlah pengala
mannya untuk kelicikannya kaum kangouw. yang tak segan makan kawan karena pengar
uh harta atau pangkat.
Setelah itu, pahlawan pembokong itu lantas sadarkan Ong Seng.
"Kaulah yang setia!" dia puji orang she Ong ini.
Ong Seng jengah berbareng mendongkol. Lantas ia bantui kawan itu akan mema
sukkan pula Seng Koen ke dalam karung.
"Tang Hong pantas dibunuh tetapi akalnya bagus." kata si pahlawan yang bar
u itu. "Mari kita bikin Seng Koen menggantung diri sendiri!"
Ia lantas angkat dan tenteng kantong yang berisikan orang itu untuk berlal
u bersama Ong Seng.
Keduanya mesti jalan di dalam taman yang gelap dan sunyi. Ketika itu sudah
jam tiga, angin bertambah dingin. Selagi mereka menikung di-gunung-gunungan pal
su, mendadak ada berkesiur angin yang dingin sekali mengenai mereka, sampai Ong
Seng bergidik dan menggigil.
"Ah, toako, aku rada takut..." ia mengaku.
"Takut apa?" kata sipahlawan. "Orang pun belum mampus! Sekalipun setan pen
asaran, belum tentu dia datang mengganggu padamu!"
Baru si pahlawan tutup mulutnya, atau iapun merasa ada angin meniup kebebo
kongnya, menyusul mana. kupingnya dengar: "Setan akan cari padamu!"
Pahlawan ini kaget dan hendak memutar tubuh, tapi sebelum ia dapat berpali
ng, jalan darahnya telah kena ditotok, hingga ia merasakan sakit tak kepalang, s
ampai ia tak dapat bersuara lagi.
juga Ong Seng, tanpa berdaya telah dibikin lumpuh seperti kawannya.
Setelah itu, orang yang tak dikenal itu tertawa dan berkata seorang diri:
"Kalian hendak bikin celaka orang, sekarang Giam Lo Ong menghendaki kalian yang
lebih dahulu mendaftarkan diri!" (Giam Lo Ong = Raja Akherat).
Lalu, dengan masing-masing sebelah tangannya orang ini angkat Ong Seng dan
pahlawan itu untuk dijebluskan ke dalam gua dari gunung-gunungan batu.
Selang sesaat Seng Koen. di dalam kantung yang mulutnya telah dibuka, sada
r dengan heran, karena apabila ia buka matanya, ia kenali penolongnya adalah si
"calon pembunuh" yang kemarin ini.
"Kau telah bebas dari totokan jalan darah, pergi kau menyingkir dari kerat
on ini!" kata si penolong sambil tertawa. "Paling baik kau tidak temahai lagi se
gala pangkat Gietjian siewie!"
"Kenapa kau bernyali begini besar berani masuk pula kemari dan melakukan p
erbuatan ini?" Seng Koen tanya dengan keheranannya
Tiba-tiba mereka lihat cahaya api di kejauhan.
"Gak Toako, pergi kau tukar pakaianmu dengan pakaian seragamnya Ong Seng!"
ia segera menambahkan. "Aku akan antar kau keluar dari sini..."
Gak Beng Kie, demikian penolong itu, lompat ke dalam gua selang tidak lama
, ia muncul pula dengan sudah mengenakan pakaiannya Ong Seng.
"Mari kita keluar dari pintu Seehoa moei," SengKoen mengajak. "Di sana ada
orang-orang Kimiewie yang menjaga, di antaranya ada yang aku kenal baik."
"Aku tidak mau pergi dulu dari sini," Beng Kie beritahukan.
"Ah! Untuk apa kau datang pula kemari?"
Seng Koen heran bukan main. Beng Kie ingat suatu hal. "Aku ingin minta sua
tu keterangan darimu," katanya.
"Apakah itu?" Seng Koen tanya. Beng Kie segera tuturkan apa yang ia ingin
ketahui itu. Di akhirnya, ia tanya: "Saudara Seng, tahukah kau siapa wanita cant
ik itu?"
Mendengar pertanyaan ini, kepala palawan raja itu menghela napas.
"Jikalau negara bakal runtuh, selalu muncul segala siluman!..." katanya de
ngan masgul. "Aku tidak sangka perempuan itu berani berbuat yang melanggar kesus
ilaan, seperti sudah tidak ada undang-undang negara dan Thian lagi!..."
"Apakah dia bukannya puteri raja atau selir?" tanya Beng Kie.
"Sekarang dia malah lebih berkuasa daripada ibu suri!" jawab Seng Koen. "D
ia adalah Keksie Hoedjin. babu susu dari kaisar yang sekarang."
Beng Kie benar-benar merasa aneh sekali.
"Babu susu?" tanyanya, menegasi. "Bagaimana seorang babu susu dapat berkua
sa demikian besar?"
"Kaisar yang sekarang diasuh olehnya semenjak kecil sehingga besar." Seng
Koen beri keterangan. "Adalah aneh, sejak masih kecil kaisar tidak dapat berpisa
h daripadanya. Diapun cantik sekali, walaupun sudah berusia empat puluh lebih, d
ia mirip dengan seorang yang umurnya belum tiga puluh tahun. Mungkin ini sebabny
a kenapa kaisar sangat sayang padanya."
Dari keterangan ini, Beng Kie mendapat kesan bahwa di keraton tentu pula t
elah terjadi keburukan lainnya, yang lebih hebat. Maka ia menghela napas.
"Kalau demikian tidaklah heran..." katanya.
"Goei Tiong Hian juga sangat mengandalkan padanya, yang ia tempel," Seng K
oen beri keterangan lebih jauh, "maka itu dengan perlahan-lahan ia jadi dapat pe
ngaruh. Goei Tiong Hian sejak dirikan Tongtjiang tahun yang lampau, ia telah kir
im beberapa pahlawan kepercayaannya ke dalam keraton untuk dijadikan pesuruhnya
babu susu itu. hingga sejak itu Keksie Hoedjin pun sendirinya mempunyai pahlawan
pribadi."
Sekarang barulah Beng Kie insyaf, bahwa dua orang berbaju kuning yang robo
hkan ia dengan asap hoentjweenya itu adalah pahlawan-pahlawannya perempuan genit
dan cabul itu. Mereka berdualah yang disuruh menculik anak-anak muda. untuk dis
ekap di dalam keraton,
"Apakah kau atau kawan-kawanmu ketahui hal penculikan anak-anak muda?" ia
tanya pula Seng Koen.
"Sampai sebegitu jauh. belum berani kami menduganya," sahut Seng Koen. "Pa
hlawan-pahlawannya babu susu itu merupakan rombongan sendiri-sendiri, pihak kami
tidak berani pergi mencari tahu hal ikhwal mereka."
Beng Kie lantas minta keterangan keletakan keratonnya babu susu itu dan ja
lan yang mana harus diambil untuk pergi menyatroninya. lalu ia tambahkan: "Kau t
unggui aku di sini, aku akan segera kembali."
Pemuda ini lantas pergi dengan menuruti petunjuknya Seng Koen. Ia berhasil
menyampaikan Lengnio hoe, demikian namanya keraton babu susu itu. Baru ia sampa
i di bagian luar, ia sudah tampak mundar-mandirnya beberapa pengawal. Ia jemput
dua potong batu kecil yang ia lontarkan ke atas hingga jatuhnya menerbitkan suar
a, tapi justeru beberapa peronda itu tertarik perhatiannya, dengan gesit ia meny
eplos masuk.
Samar-samar pemuda ini masih ingat jalanan yang ia pernah lalui untuk meny
ingkir dari istana itu, maka di lain waktu, ia sudah sampai di kamar di mana ia
pernah dikeram. Tetapi selagi melangkah mendekati, dari sampingnya ia dengar teg
uran pelahan: "Siauw Sam di sana? Sri Baginda ada di dalam, pergi kau meronda di
luar saja!
Beng Kie tahu bahwa orang telah keliru mengenali padanya, karena ia mengen
akan seragamnya pahlawan Tongtjiang. la tidak mau menjawab, ia kuatir suaranya n
anti dikenali. Ia hanya tunggu sampai penegur itu sudah menghampiri dekat padany
a, tiba-tiba ia menotok, hingga tanpa ampun lagi pahlawan itu roboh tak berdaya.
Tubuhnya pahlawan itu Beng Kie sembunyikan di bawah tambur batu.
Dari situ barulah pemuda kita loncat naik ke atas genteng.
Mengintai dari atas, Beng Kie pertama-tama lihat asap dupa mengepul-ngepul
bergulung naik. Cahaya lilin terang sekali.
"Mirip sebagai kamar pengantin," pikir pemuda kita, yang tampak kamar itu
telah salin rupa, tidak lagi teratur dan terperabot seperti waktu ia rebah di si
tu sebagai orang tangkapan.
Dekat pada jendela ada sebuah meja marmer panjang di atas mana bertumpuk b
anyak surat-surat. Seorang muda yang berumur tujuh belas tahun kira-kira asyik p
eriksa surat-surat itu, satu demi satu. Agaknya dia tak senang atas banyaknya su
rat-surat itu.
"Benar gila!" Beng Kie pikir. "Raja sudah bukan kanak-kanak lagi, kenapa t
ak dapat dia berpisah dari babu susunya? Bukankah sangat gila, surat-surat urusa
n negara "yang seharusnya diurus di dalam istana, dibawa ke dalam keraton ke kam
arnya satu babu susu?"
Raja membalik-balik beberapa lembar surat, lalu ia mengulet.
"Sungguh menyebalkan!" keluhnya.
Keksie si babu susu duduk di damping kaisar, ia lantas menyuguhkan semangk
ok godokan somthung.
"Seorang yang menjadi raja bagaimana dia tidak mau mengurus surat-surat?"
katanya.
"Ada beberapa huruf yang aku tak tahu artinya," raja akui. "Biar besok saj
a aku tanyakan pada Thayhoe."
"Ah, anak Yoe!" bersenyum Keksie. "Kata-katamu ini mungkin menyebabkan ora
ng mentertawainya! Coba kasih aku lihat surat itu, barangkali aku tahu artinya..
."
Seperti diketahui kaisar ini bernama Yoe Kauw. sudah biasanya babu susunya
memanggil ia dengan namanya saja, mengambil nama Yoe itu ditambah "anak".
Raja yang muda itu jemput selembar laporan, ialah laporannya soenboe dari
propinsi Siamsay tentang huru-hara gerombolan, untuk mana, soenboe itu mohon ban
tuan tentara.
"Turut laporan Ong Soenboe, karena tahun ini di propinsi Siamsay timbul ba
haya kelaparan, di propinsi itu telah muncul tiga puluh rombongan berandal, maka
itu dia mohon bantuan tentara," kata Keksie sehabisnya membaca.
Raja ini nampaknya gelisah. "Berapa jauh jaraknya Siamsay dari sini?" tany
anya.
"Jauh, jauh sekali," Keksiejawab. "Jangan kuatir, anak."
"Pembesar negeri sangat banyaknya, aku tidak ingat nama-namanya mereka," b
erkata raja itu. "Besok nanti aku tanyakan kepada Menteri Perang dan titahkan di
a angkat satu panglima untuk pergi menindas huru-hara itu."
"Tak dapat kau bertindak demikian, anak." berkata Keksie, "untuk mengirim
panglima tentara, itu memang kewajibanmu sebagai raja. Tapi dalam hal ini, kau m
esti dengar dahulu pikirannya menteri perbatasan, jangan kita bertindak sembaran
gan."
Kembali raja itu mengulet. "Benar-benar aku tak dapat memikirnya," ia kata
. "Begini sukarnya untuk orang yang menjadi raja, sungguh tak ingin aku mengurus
nya lebih jauh. Menurut kau. babu, bagaimana, aku harus bertindak?"
Inilah pertanyaan yang diharap-harapkan Keksie.
"Kabarnya Pengko Kiesoe tiong Lauw Teng Goan cakap bekerja," ia jawab. "Ke
napa kau tidak hendak tugaskan dia saja membawa angkatan perang?"
"Baiklah, Lauw Teng Goan ya Lauw Teng Goan!" kata raja. Dan ia angkat pitn
ya dan mencoret di atas laporan itu. Lalu sambil tertawa, ia tambahkan: "Babu, s
elanjutnya baiklah kau yang wakilkan aku meniliki pelbagai laporan, apa yang kau
katakan aku turut saja!"
Keksie girang bukan buatan. Memang ia sengaja desak raja cilik ini memerik
sa pelbagai laporan supaya menjadi sebal, dengan demikian ia dapat ketika untuk
rebut kekuasaan. Sekarang ternyata ia berhasil dengan tipu dayanya itu. Walaupun
demikian, ia tidak unjuk kegirangannya, bahkan ia berlagak mengkerutkan keningn
ya.
"Anak, sungguh tak sanggup aku terima tugas ini," katanya dengan pura-pura
. "Umpama aku terima itu dan lalu satu kali aku membuat kesalahan, maka pastilah
rombongan Lim Tong bakal tidak lepaskan aku."
"Kau jangan kuatir aku toh tidak akan menyebutkan namamu." kata raja.
Baru sekarang si babu susu tertawa.
"Kalau begitu, baiklah, sekarang pergilah kau tidur!" kata dia. "Biar aku
yang periksa semua laporan ini."
"Tetapi Him Teng Pek adalah seorang menteri setia!" tiba-tiba raja ini ber
kata. Lantas ia angkat pitnya, untuk mencoret-coret pula. Ia menulis huruf-huruf
tidak keruan macam akan tetapi sesuatu hurufnya besar-besar, hingga Beng Kie da
ri atas genteng masih dapat membacanya. Tulisnya raja: "Him Teng Pek adalah satu
menteri sangat setia." (Menteri sangat setia --- taytiongsin).
Keksie Hoedjin tercengang. "Bagaimana kau ketahui Him Teng Pek itu menteri
yang sangat setia?" tanya dia.
"Di masa hidupnya Sri Baginda ayah sendiri yang omong kepadaku," sahut raj
a dengan terus terang. "Katanya jikalau bukan Him Teng Pek yang membelai tapal b
atas, pasti sudah sejak siang-siang bangsa Tattjoe datang menyerbu. Maka ketika
Sri Baginda ayah sakit, dia telah memanggilnya Him Teng Pek untuk pulang ke kota
raja. Laporan Him Kengliak itu ditulisnya setengah bulan yang lampau, katanya d
ia sudah mulai berangkat, mungkin pada tanggal dua puluh delapan yang akan datan
g dia akan sudah tiba di sini ialah nusa. Bagaimana pendapatmu perlu atau tidak
aku keluar dari istana untuk menyambutnya?"
Beng Kie terkejut berbareng girang. Ia terkejut karena Him Kengliak akan d
atang tepat selagi pemerintahan kusut, disebabkan aksinya kedua doma Poei Tjiong
Tiat dan Goei Tiong Hian. yang berkomplot satu pada lain, malah mereka bersekon
gkol dengan pihak asing, sedang raja sendiri dipengaruhi Keksie Hoedjin, karenan
ya, ia kuatir sepnya menghadapi ancaman bahaya. Dan ia bergirang, karena seger
a Him Kengliak akan datang hingga ia dapat segera menghadap sep itu.
Selagi berpikir. Beng Kie juga ingat janjinya To It Hang lagi tiga hari. T
idaklah itu sangat kebetulan dengan akan datangnya Him Teng Pek?
Pemuda ini tidak sempat berpikir lebih jauh. Ketika itu, sehabis menyuguhk
an somthung. Keksie telah layani raja bicara. Sambil tertawa, dengan kedua matan
ya melirik, babu susu ini kata: "Lihat baru kau mengatakan tak mau pusingkan uru
san negara, sekarang kembali kau sibuki kedatangannya menteri! Sri Baginda almar
hum wafat belum lama, sampai nanti tanggal dua puluh delapan, belum lagi lewat t
ujuh hari, dari itu, kau tidak boleh keluar dari istana. Baiklah kau titahkan sa
ja dia datang menghadap! Anak yang baik, kau sudah letih, nah pergilah kau tidur
."
Yoe Kauw memang niat tidur, tetapi urusannya Him Teng Pek membuat ia berpi
kir. Ia kata: "Tadi aku lihat pelbagai laporan, delapan atau sembilan bagian ada
menuduh Him Teng Pek. Karena Him Teng Pek seorang menteri setia, mungkin menter
i-menteri yang menuduh itu adalah penghianat! Kalau besok aku duduk di singgana
satu demi satu, nanti aku tegur dan hukum mereka, maka itu. kau gantikan aku men
catat nama-nama mereka. Bukankah kau suka menolonginya?"
"Ah, raja cilik ini masih mengerti juga urusan..." pikir Beng Kie.
Keksie Hoedjin terkejut dalam hati mendengar kata-kata raja ini. Maka leka
s-lekas ia berkata.
"Aku berdiam di dalam keraton, aku tak tahu urusan di luar," katanya. "Mes
kipun Sri Baginda, almarhum mengatakan Him Teng Pek satu menteri sangat setia, t
idak dapat dipastikan bahwa di luaran dia tidak melakukan sesuatu yang melewati
batas kekuasaannya. Sekarang ada demikian banyak orang yang menuduh kepadanya, p
asti dia mempunyai kesalahan..."
"Habis, apakah kau hendak hukum Him Teng Pek?" raja tanya. Kembali Beng Ki
e bergelisah hati. Tapi Keksie Hoedjin menjawab raja: "Sekarang baiklah kita jan
gan layani kedua-dua pihak. Andaikata kau hukum semua menteri yang menuduh itu.
dalam tempo begini pendek ke mana kau hendak cari menteri-menteri penggantinya a
kan bantu kau memerintah?"
Raja berdiam untuk berpikir. "Baiklah!" katanya kemudian. "Semua laporan i
tu boleh dimuatkan ke dalam sebuah keranjang besar, semuanya serahkan pada Teng
Pek!"
"Baik. baik." jawabnya Keksie. "Sekarang pergilah kau tidur!"
Raja gulung surat tulisannya, ia lempar itu ke kolong meja.
Keksie kumpulkan pelbagai laporan, lalu ia tuntun junjungan cilik ini ke p
embaringannya untuk tidur.
Dengan tiba-tiba raja perlihatkan wajah yang beda dari biasanya, ia kata:
"Kau tahu, Lie Soansie ingin menolongi aku mengangkat satu permaisuri!"
Lie Soansie itu adalah selir yang paling disayang dari almarhum Kaisar Kon
g Tjong (Siang Lok), karena ibunya Yoe Kauw telah wafat, raja ini jadi pandang L
ie Soansie sebagai ibunya sendiri.
Keksie Hoedjin tertawa. "Selamat, Sri Baginda!" pujinya. "Nyatalah anakku
Yoe telah jadi dewasa!"
"Aku tidak menghendaki permaisuri!" raja ini kata. "Aku ingin babu susu ya
ng menjadi permaisuriku! Babu. kau sangat cantik! Gadismu juga romannya seperti
adikmu saja tetapi jikalau dia dibandingkan dengan kau. dia masih kalah cantik d
ari padamu!"
"Ah, omongan ngaco belo..." kata Keksie. "Mari!"
Ia membuka sebuah pintu, ialah pintu kamar tidur, ke dalam mana ia masuk b
ersama-sama raja, yang ia tuntun tangannya.
Begitu kamar kosong, Beng Kie segera lompat turun untuk masuk ke dalam kam
ar itu, paling dahulu ia jemput gumpalan kertas tadi yang dilempar ke kolong mej
a. Menyusul itu. ia dengar suara pintu ditolak dari luar. maka sebat sekali ia m
encelat naik ke atas penglari untuk umpetkan diri.
Orang yang datang itu adalah satu nona elok.
"Sungguh besar nyalinya nona ini!" Beng Kie pikir. "Kenapa dia berani masu
k ke kamar raja tanpa mengetok pintu lagi?"
Ketika itu terdengar suaranya Keksie Hoedjin.
"Apakah anak Teng di sana?" "Ya ibu," jawabnya nona ini. Maka tahulah Beng
Kie, siapa nona itu.
Tidak lama kemudian Keksie muncul. Dia rapatkan daun pintu dengan perlahan
.
"Jangan berisik," dia memperingatkan. "Raja baru saja tidur..."
Si nona kata: "Goei Kongkong kata bahwa Sri Baginda berada pada ibu di sin
i, maka itu aku lantas menyusul kemari."
Nona itu ternyata gadisnya Keksie Hoedjin, namanya Kek Peng Teng. "Peng Te
ng" itu berarti "cantik molek." Dia memang kenal baik Tiong Hian karena ibunya.
Keksie, sebelumnya masuk ke dalam keraton sudah bersahabat dengan Tiong Hian. ya
ng ketika itupun masih belum menjadi orang kebiri. Persahabatan mereka ada demik
ian rupa sehingga mereka berhubungan sebagai suami isteri dengan buah terlahirla
h nona ini. Ini juga sebabnya tidak lama setelah wafatnya Kaisar Sin Tjong, sete
lah memegang kekuasaan, Goei Tiong Hian lantas tolong Keksie menyambut gadisnya
itu untuk tinggal bersama di dalam keraton. Hanya, sampai waktu itu Peng Teng ma
sih belum tahu bahwa thaykam she Goei itu adalah ayahnya sendiri.
Keksie tarik tangan puterinya supaya puteri itu duduk di dampingnya.
"Budak tolol, untuk apa kau datang kemari?" tanyanya sambil tertawa.
"Kau memikir untuk menjadi permaisuri? Sayang kau tidak punyakan rejeki it
u. Walaupun raja turuti kata-kataku, tetapi permaisuri itu harus keturunan dari
keluarga agung. Sayang leluhurmu tidak pernah menjadi orang berpangkat besar. Se
baliknya, untuk kau menjadi selir aku tidak setuj u! Anak yang baik kau bersabar
lah, sudah tentu aku akan carikan kau suami yang setimpal..."
Mukanya si nona menjadi merah. "Kau ngaco belo, ibu!" ia menegur, tetapi i
a tidak gusar. "Aku hendak omong hal yang sebenarnya. Kau telah bicara atau belu
m dengan Sri Baginda? Soekong kata, tidak tepat dia tinggal di dalam keraton sec
ara sembunyi-sembunyi. Dia memikir untuk sedikitnya menjadi kepala dari barisan
Kimiewie..."
"Aku belum peroleh kesempatan membicarakan itu," Keksiejawab. "Soekong tel
ah ajarkan aku ilmu silat pedang," kata pula si nona, "maka itu, jikalau kau tid
ak segera bicarakan hal itu kepada raja sungguh tidak enak rasanya bagiku."
Sang ibu tertawa.
"Ini toh bukannya urusan yang sangat besar?" katanya. "Anak yang baik, men
gapa kau demikian kesusu? Baiklah, besok aku bicarakan itu, tentu akan beres."
Beng Kie heran hingga ia berpikir keras.
"Bocah ini omong tentang soekong? Dan ia diajarkan juga ilmu silat pedang?
Siapa soekong itu? Siapa gurunya?" demikian ia menanya-nanya dalam hatinya, (So
ekong --- kakek guru).
Si nona tidak mendesak lebih jauh. "Ya, ibu," katanya kemudian, "coba kau
kasih aku pinjam lihat Yoeliongkiam..."
"Jangan sebut-sebut tentang pedang itu, anak!" Keksie berkata. "Pedang itu
hampir saja menerbitkan onar besar!"
Anak itu merasa heran, tapi ia berkata pula: "Untuk melihat saja toh tiada
halangan?"
"Tetapi ingat, pedang itu tak dapat kau ambil untuk dipakai sendiri!"
"Tidak, ibu. Turut katanya soekong dan BouwyongTjongkoan, meskipun di dala
m keraton ada banyak pedang mustika, tetapi pedang-pedang itu tak ada yang bisa
lawan pedang Yoeliong kiam yang Goei Kongkong baru dapatkan itu."
Keksie terperanjat, sampai ia berkata seorang diri tanpa ia merasa: "Ah, p
antaslah bocah itu sangat sayang pedangnya itu..."
Beng Kie pun tertarik perhatiannya. Orang toh sedang bicarakan pedang must
ikanya.
Keksie Hoedjin ulur tangannya ke tembok, di mana ada lemari rahasianya unt
uk membuka pintunya.
Beng Kie sedang mengawasi dengan penuh perhatian ketika tiba-tiba ada caha
ya berkeredep menyambar kepadanya. Ia menjadi kaget tetapi ia lantas menyampok d
engan tangan bajunya, hingga beberapa potong jarum Bweehoa tjiam lantas meluruk
jatuh, menyusul mana, ia lompat turun dari tempat sembunyinya.
Kek Peng Teng segera berseru: "Ada pembunuh!"
Keksie segera kenalkan Beng Kie, ia tercengang.
"Jangan takut, ibu!" seru pula Peng Teng. "Aku nanti bekuk pembunuh itu!"
Keksie tidak menyahut, ia hanya menekan kepada alat rahasia yang membikin
terbukanya pintu dari kamar rahasianya ke dalam mana ia nyeplos masuk.
Peng Teng segera hunus sebatang pedang panjang dengan apa ia terus tikam p
emuda itu.
Beng Kie terkejut bukan karena tusukan hebat dari si nona, tetapi disebabk
an gerakan tangannya nona itu yang mirip dengan dasar ilmu silatnya Giok Lo Sat
--- itu ilmu pedang istimewa dari si Raksasi Kumala. Ia segera dapat mengenali i
lmu silat pedang itu setelah si nona menikam tiga kali beruntun kepadanya.
Pada waktu itu pun segera terdengar suara berisik di luar kamar.
Mengetahui akan terancam dikepung musuh Beng Kie tidak lagi main kelit unt
uk serangannya nona itu, lantas dari samping dengan tangan kanannya ia merampas
lengan si nona, berbareng dua jari tangan kirinya, mengancam sepasang matanya no
na itu.
Peng Teng kelihatannya mengerti ilmu silat dengan baik, tapi rupanya dia k
urang pengalaman. Dia kaget atas ancaman kepada matanya, dan ketika dia mencoba
bela diri, tahu-tahu pedangnya telah terampas musuh. Bahna kagetnya, dia lompat
mundur, tapi justeru itu, sebuah kitab jatuh dari badannya.
Beng Kie tidak mengejar, ia hanya lompat kepada kitab itu. yang ia segera
ambil. Itulah kitab ilmu silat pedangnya Giok Lo Sat yang sedang dicarinya.
Adalah waktu itu. dari pintu terlihat nerobosnya dua pahlawan.
Pedang panjang itu bukannya Liongtjoan kiam tetapi pedang yang tajam cocok
sekali untuk Beng Kie.
Begitu ia tangkis goloknya satu pahlawan, golok musuh itu segera tertabas
kutung, sedang dengan sebelah kakinya ia dupak seorang pahlawan lainnya sehingga
terpelanting keluar. Ia menggunakan ketika itu untuk melesat keluar pintu terus
lompat naik ke atas payon, dari mana ia lari naik ke wuwungan untuk kabur terus
melewati beberapa undakan istana.
Pada waktu itulah dari empat penjuru terdengar seruan-seruan: "Tangkap pem
bunuh! Tangkap pembunuh!"
Menggunai ketika sebelum musuh memergokinya, Beng Kie lompat turun akan me
nyelusup masuk di antara pohon-pohon bunga lebat di dalam taman, dari situ ia ta
mpak puluhan pahlawan istana lari mendatangi tapi bukan ke jurusannya, juga buka
n ke keraton tempatnya si babu susu, hingga iajadi heran sekali. Maka ia panjat
sebuah pohon, untuk dari atas pohon itu ia dapat mengintai mereka
Jauh di sana, satu bayangan tertampak sedang berlari-lari sangat cepatnya.
Bayangan itu agaknya lari keluar dari pendalaman keraton dan menuju ke arah ket
iga ruang istana Poohoo thian, Tionghoo thian dan Thayhoo thian di mana dia lant
as lenyap. Kegesitannya bayangan itu, dalam seumurnya belum pernah Beng Kie liha
t lain orang mempunyainya. Itulah ilmu enteng tubuh yang tiada lebih bawah darip
ada Beng Kie, maka ia tak kepalang herannya. Ia lantas menduga-duga, siapa orang
itu dan kenapa dia justeru memasuki istana bersamaan waktunya dengan dia.
Sekian lama kawanan pahlawan mencari bayangan tadi, mereka tidak peroleh h
asil, maka itu mereka mulai bubar.
Beng Kie lihat dua pahlawan mendatangi ke arah tempat persembunyiannya. Ti
ba-tiba timbul pikirannya untuk membekuk mereka itu, untuk korek keterangan dari
mulut mereka. Lantas ia bersiap menantikan.
Segerajuga kedua pahlawan datang dekat. Dengan sekonyong-konyong pemuda ki
ta lompat keluar dari persembunyiannya sambil terus menotok pahlawan yang di kir
i, hingga pahlawan itu roboh tanpa ketahui suatu apa.
Pahlawan yang satunya, yang di kanan, kaget, ia membalik tubuh sambil meny
ambar dengan tangannya. Ia berhasil mencangkol tangannya pemuda kita yang ia seg
era tarik. Beng Kie sengaja supaya ia terbetot, tetapi sebaliknya ia kena tertol
ak, hingga ia terperanjat. Terus ia hunus pedangnya dengan apa ia menikam.
Pahlawan itu bersikap tenang, sama sekali tak dia mau buka mulutnya. Atas
datangnya tikaman, dia berkelit, lalu dia lompat maju, kedua tangannya menyambar
ke muka kirinya Beng Kie.
Beng Kie pun berkelit, berbareng dengan mana, ujung pedangnya menikam ke p
erut lawan itu.
"Hm!" pahlawan itu perdengarkan suara. Kembali dia berkelit, sambil berbua
t begitu, kedua tangannya diulur untuk menjepit pedang lawannya.
Inipun ada perlawanan istimewa, yang Beng Kie belum pernah alami sebelumny
a.
Tapi bukan Beng Kie sendiri yang heran. Lawannya pun tidak kurang terkejut
nya, melihat caranya ia berkelahi itu. Lawannya itu adalah tjongkauwtauw guru si
lat dari rombongan pahlawan dari Tongtjiang yang. bernama Bouwyong Tjiong, orang
kosen nomor satu untuk keraton sebab dia pandai kedua-dua ilmu silat lweekang d
an gwakang, dan untuk beberapa puluh tahun, belum pernah dia menemui tandingan.
Malam itu, dengan saling susul, dua kali Bouwyong Tjiong terima laporan ad
a orang jahat (calon pembunuh) yang memasuki istana, satu di antaranya, penjahat
yang kepergok di depan keraton Sinboe kiong, liehay luar biasa ilmu enteng tubu
hnya, sampai dia tidak sanggup mengejarnya. Dan kali ini, menghadapi penja
hat yang kedua, dia heran bukan main karena liehaynya lawan sehingga hampir-hamp
ir dia kena tertikam. Dia juga heran menampak orang mengenakan seragam dari Tong
tjiang. Dia anggap itulah bukti bahwa mesti ada salah satu pahlawan yang sudah r
oboh di tangan penyerang ini. Maka dia jadi mendongkol. Dia anggap malu baginya
untuk menemui rekannya apabila dia tak dapat bekuk orang ini.
Demikian, dia membalas menyerang.
Beng Kie melayaninya sampai kira-kira dua puluh jurus. Ia heran yang orang
terus membungkam, iajadi curiga. Akhirnya, dengan perlahan ia tanya: "Eh, kau sa
habat dari golongan mana? Apakah kaupun pahlawan di dalam keraton ini? Jangan ka
u keliru kenali orang!"
Pemuda kita menanya demikian, karena ia kuatir orang pun ada seperti ia, y
ang nelusup masuk secara diam-diam dan sudah sengajapakai seragam pahlawan istan
a. Sama sekali ia tidak menyangka pada tjongkauwtauw dari Tongtjiang, yang biasa
agungi kepandaian sendiri, yang berkeinginan keras hendak membekuk padanya, sup
aya tidak ada rekannya yang merampas jasa. Inilah sebabnya kenapa Bouwyong Tjion
g tutup mulut.
Selagi menanya demikian. Beng Kie sedikit lengah. Ketika ini digunai tjong
kauwtauw itu, yang segera menyerang dengan hebat. Dia telah berhasil, dia telah
hajar pundaknya pemuda kita.
Beng Kie terhuyung, ia merasa sakit dan menjadi gusar, segera ia balas men
yerang. Dengan begitu, mereka jadi bertempur pula dengan sengitnya.
Bouwyong Tjiong menjadi dapat hati, ia mendesak hebat, hingga Beng Kie men
jadi repot, karena rasa sakit pada pundaknya belum lenyap.
Ketika itu, dari pelbagai jurusan, terdengar berlari-larinya suara kaki ya
ng mendatangi.
Bouwyong Tjiong ingin sekali peroleh pahala, selagi mendesak ia coba memba
ngkol dengan tangan kiri, tangan kanannya menyerang dengan pukulan yang dinamaka
n Biantjiang, Tangan Kapas.
Beng Kie berkelit dengan melenggak, berbareng dengan itu, pedangnya ditusu
kkan. Ia lolos dari serangan tjongkauwtauw itu, siapa sebaliknya mesti berlompat
untuk luputkan diri dari ujung pedang. Meski demikian, tidak urung ujung tangan
bajunya terkena pedang hingga berlubang.
Berbareng dengan itu, Bouwyong Tjiong keluarkan seruan keras, ia apungkan
tubuhnya untuk menyingkir.
Di lain pihak, Beng Kie ditarik tangannya oleh seorang yang muncul dari sa
mping gunung-gunungan batu, ke mana dia diajak menyingkir.
Orang itu adalah Seng Koen, kepala dari barisan pahlawan raja. Dia sembuny
i di gunung batu itu, pikirannya kusut, ketika dia tidak dengar suara apa-apa, d
ia bertindak keluar dengan diam-diam, tetapi kebetulan dia tampak Bouwyong
Tjiong. Dalam kagetnya, dia ngelepot pula. Adalah sedang dia sembunyi, dia
saksikan sepak terjangnya Beng Kie yang bentrok dengan tjongkauwtauw itu. Dia m
asih sembunyi terus sambil melatih napasnya. Dia masih menderita bekas siksaan.
Dia segera lihat Beng Kie kena tertoyor hingga terdesak. Untuk menolongi Beng Ki
e, lekas-lekas dia patahkan beberapa potong cabang bambu, di saat kedua orang it
u saling serang, dia bokong Bouwyong Tjiong dengan batang bambu itu, yang dia gu
nai sebagai senjata rahasia. Itulah ilmu senjata rahasia "Tekyap hoeihoa, siangd
jin lipsoe" atau: "Memetik daun menerbangkan bunga, siapa terluka dia terbinasa"
.
Bouwyong Tjiong tahu ia ada sebanding dengan Gak Beng Kie. sekarang ada or
ang Iiehay yang bokong padanya, maka guna lindungkan kehormatannya, sebelum reka
n-rekannya pergoki kekalahannya itu ia lantas menyingkirkan diri.
Seng Koen pun ajak Beng Kie menyingkir terus.
"Mari turut aku!" katanya.
Beng Kie mengikuti, mereka sampai di belakang gunung batu itu. Kepala pahl
awan itu mengangkat sebuah batu besar, terlihatlah di depannya sebuah lubang gua
. Ke dalam situ mereka bertindak masuk.
Baru setelah sampai di dalam, Seng Koen menghela napas lega. Beng Kie pun
tidak terkecuali. Mereka masih dengar suara berisik di luar.
"Dari sini kita bisa sampai ke sungai di luar istana." Seng Koen beritahuk
an. Dengan begini tidak usah kita serbu bahaya dari pintu Seehoa moei."
"Apakah tidak ada orang yang ketahui terowongan rahasia ini?" Beng Kie tan
ya.
"Terowongan ini dibuat oleh Sri Baginda almarhum, semasa dia masih bertemp
at di Tangkiong," Seng Koen jawab. "Sama sekali cuma lima pahlawan berikut aku y
ang ketahui terowongan rahasia ini. Sekarang Sri Baginda telah wafat, dengan sen
dirinya rombongan pahlawan kami telah lenyap pengaruhnya, aku percaya mereka itu
tidak nanti sudi jual tenaganya untuk Goei Tiong Hian. Aku percaya juga bahwa m
ereka itu tidak akan berani datang menggeledah kemari."
Beng Kie percaya keterangannya pemimpin pahlawan ini.
Mereka jalan terus. Benar-benar mereka tidak menghadapi rintangan, di depa
n tidak ada yang mencegat, di belakang tidak ada yang mengejarnya. Tidak lama, m
ereka dapat dengar berisiknya suara air di arah depan.
Seng Koen buka pintu rahasia, atas mana, air menyerbu masuk.
Beng Kie mau segera lompat keluar.
"Tahan!" Seng Koen mencegah.
Dia pun segera ulur tangannya ke tembok di sebelah kanan dan menekannya.
Sekarang Beng Kie bisa saksikan, di sebelah luar itu ada rintangan roda be
si yang bisa berputar. Pada roda itupun dipasangkan golok-golok tajam.
Roda rahasia itu berputaran sekian lama, lalu menjadi perlahan dan akhirny
a berhenti.
Seng Koen tutup kembali pintu rahasia itu, ia ajak Beng Kie nyeplos di ant
ara jari-jari roda rahasia itu, hingga di lain saat, sampailah mereka di-gili-gi
li sungai istana itu.
"Segera akan terang tanah," kata Seng Koen. setelah ia dongak memandang la
ngit. "Pakaian kita basah kuyup, tidak dapat kita lantas berlalu dari sini. Leta
k rumahnya Tang Hong tidak jauh dari sini, mari kita pergi ke rumahnya untuk sal
in pakaian. Ada kata-kata yang aku hendak bicarakan kepada enso Tang."
Beng Kie menurut, ia ikuti pemimpin pahlawan itu.
Tang Hong adalah pembantunya Seng Koen, isterinya pun ada dari kalangan Ri
mba Persilatan, maka Nyonya Tang ketahui bahwa suaminya tidak terlalu cocok deng
an Seng Koen. Pagi itu Nyonya Tang sendiri yang membukakan pintu. Ia terperanjat
akan lihat Seng Koen datang bersama satu pahlawan lain, dengan pakaian kedua-du
anya basah. "Enso, kunci pula pintu, ada urusan penting yang aku hendak bicaraka
n padamu," Seng Koen lantas berkata.
Nyonya Tang menurut, la kunci pintu, ia ajak kedua tetamunya ke dalam.
Seng Koen lantas menceritakan bagaimana Tang Hong hendak menolongi padanya
tetapi gagal sebab keganasannya Goei Tiong Hian.
Nyonya Tang kaget, segera saja ia menjerit dan menangis.
"Memang sudah sejak lama aku anjurkan padanya jangan menjadi siewie, tetap
i dia tidak mau meladeninya," kata isteri ini. "Sebenarnya lebih merdeka mengiku
ti ayahku menjadi piauwsoe. Sekarang benar-benar terbit onar..."
"Jangan menangis, enso," Seng Koen menghibur. "Memang benar suamimu dan ak
u tidak terlalu cocok satu dan lain, akan tetapi sekarang dia telah tolong aku,
aku ada sangat berterima kasih padanya, maka itu, akupun hendak tolong suamimu i
tu. Kau percayalah padaku!"
Nyonya Tang mencobanya untuk tidak menangis, ia buka kedua matanya mengawa
si sep suaminya itu, agaknya ia bersyukur tetapipun bersangsi. Di dalam hatinya
ia mengatakan: "Jiwamu sendiri hampir tidak dapat tertolong, bagaimana kau bisa
menolongi suamiku?"
"Mari ambil kertas." Seng Koen minta. "Aku nanti menulis sepucuk surat. Se
bentar terang tanah, kau bawalah kepada Tjiehoei Tjio Ho dari Kimiewie, kau mint
a pertolongannya untuk disampaikan pada Goei Tiong Hian. Percayalah, tidak perdu
li bagaimana besar nyalinya Goei Tiong Hian, tidak nanti dia berani bunuh suamim
u itu."
Beng Kie segera mengerti, tanpa merasa dia berseru: "Benar! Selama Seng To
ako masih hidup, pasti Goei Tiong Hian tidak akan berani bunuh Tang Toako!"
Enso Tang pun lantas saja mengerti. Tentulah Seng Koen ketahui banyak raha
sianya orang kebiri yang berpengaruh itu, dan di dalam barisan Kimiewie, orang s
he Seng itu masih banyak kawannya, oleh sebab-sebab itu niscaya Seng Koen dapat
pengaruhi Tiong Hian.
Enso Tang lantas sediakan perabot tulis. Selagi Seng Koen tulis suratnya,
ia siapkan dua perangkat pakaian untuk kedua siewie itu kepada siapa kemudian ia
kata: "Di sini ada dua perangkat pakaian untuk djiewie (kedua tuan), harap djie
wie pakai seadanya."
Seng Koen serahkan suratnya, ia terima pakaian sambil mengucap terima kasi
h. Enso Tang juga haturkan terima kasihnya.
Seng Koen berdua Beng Kie pergi ke ruang telamu yang pintunya mereka kunci
, untuk mereka salin pakaian.
Dari dalam saku pakaiannya yang basah. Seng Koen keluarkan, sepasang sarun
g tangan. Ia pandang itu dengan dibalik-balik, terus ia letakan di atas meja aga
knya ia sangat menyayanginya.
Beng Kie juga keluarkan gumpalan kertas, yang ia dapat ambil dari kolong m
eja. Surat yang dilempar kaisar itu. Syukur surat itu cuma basah demak. maka ia
bawa ke api untuk dikeringkan.
Sehabis dandan, Seng Koen kata pada kawannya: "Gak Toako, ilmu silatmu lie
hay sekali, tak dapat aku menandinginya. Kaupun telah menolong jiwaku, selama hi
dupku mungkin aku tidak bisa balas budimu. Maka itu, haraplah kau terima sepasan
g sarung tangan ini."
"Ah, Seng Toako, mengapa kau mengucap demikian..." kata Beng Kie. Ia henda
k menampik, tapi Seng Koen demikian mendesak, maka ia terima juga tanda mata itu
. Iapun pikir, tidak seberapa harganya sepasang sarung tangan...
Seng Koen tunggu sampai Beng Kie sudah terima sarung tangan itu, ia lantas
berkata pula: "Gak Toako, sarung tangan ini dahulu aku terima sebagai hadiah da
ri Sri Baginda almarhum. Kabarnya sarung tangan ini terbuat dari bulu lutung Kim
sie wan dan benang kulit asal dari Hekliong kang. Sarung ini tidak saja tidak me
mpan terbacok dan tertombak, racun pun tidak dapat menembusinya. Maka jikalau sa
rung ini dipakai untuk dengan tangan kosong melawan musuh yang bersenjata, bukan
main berharganya." Beng Kie terperanjat. "Mengapa kau tidak mengatakannya sedar
i siang-siang, toako?" ia sesalkan. "Inilah benda sangat berharga, tidak berani
aku menerimanya."
Pemuda ini keluarkan pula sarung tangan itu, yang ia sudah simpan dalam sa
kunya, untuk dikembalikan. Seng Koen tertawa, ia menolak. "Kata-kata satu koentj
oe tidak dapat dikejar seekor kudajempolan!" berkata pemimpin pahlawan ini. "Kau
telah terima tanda peringatan dari aku, cara bagaimana kau bisa kembalikan itu
padaku?"
Beng Kie kalah desak, maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya yang ha
ngat. Ia ingat benar kebaikan ini, sedang sarung tangan itu ia simpan pula.
Sebentar kemudian, matahari sudah mulai muncul. Enso Tang lantas cari kere
ta sewaan untuk Seng Koen dan Beng Kie berlalu secara diam-diam, ia sendiri juga
terus menuju ke Tjiekimshia.
Beng Kie suruh tukang kereta menuju ke rumah Pengko Kiesoetiong Yo Lian.
"Oh, kau tinggal di sana, saudara Gak?" tanya Seng Koen. "Yo Lian adalah s
eorang menteri setia, maka aku percaya, tidak nanti orang berani berlaku terlalu
kurang ajar terhadapnya..."
"Kenapa kau kata demikian. Seng Toako?" Beng Kie menegaskan.
"Apakah ada orang tahu kau tinggal pada Keluarga Yo?" Seng Koen masih tany
a.
"Tidak banyak orang yang ketahui," Beng Kie jawab. "Ketika aku datang ke k
ota raja, aku tak menyangkanya akan terbit kejadian serupa ini, maka itu, aku ti
dak sembunyikan tempat kediamanku."
Seng Koen menghela napas, lalu ia berbisik: "Aku kuatir mereka sudah ketah
ui tempat kediamanmu ini..."
"Bagaimana kau ketahui itu, toako?"
"Sebab sebelumnya aku ditangkap Goei Tiong Hian, aku telah dengar pembicar
aan di antara pahlawan-pahlawan dari Tongtjiang, katanya gedung Keluarga Yo haru
s diawasi. Sebenarnya aku tidak tahu apa maksudnya mereka, tidak disangka kau ju
steru menumpang di sana."
Beng Kie nampaknya gelisah.
Sesampainya mereka di depan rumah Yo Lian, hari sudah terang. Seng Koen me
ngintai dari dalam tenda kereta, ia dapatkan gedung itu sunyi, tidak ada orang y
ang ia kenali. Bersama Beng Kie ia turun dari kereta.
Tiba-tiba pintu pekarangan dipentang, dari dalam terdengar suara nyaring:
"Tuan Gak pulang!"
Beng Kie bertindak masuk, ia ajak Seng Koen bersama. Sesampainya mereka di
tiongtong, ruang tengah, di situ mereka lihat Yo Lian sedang duduk menantikan.
Tuan rumah itu segera saja berseru: "Dunia terbalik!"
Beng Kie terkejut, ia jadi sangat heran.
"Apakah sudah terjadi?" ia tanya.
"Aku adalah Menteri Perang, siapa nyana, ada orang jahat berani permainkan
aku!" sahut tuan rumah itu. "Rombongan penjahat telah mengacau di sini!"
Beng Kie heran tak kepalang.
"Barang-barang apa yang hilang?" dia tanya pula.
"Tidak banyak, orang hanya ambil beberapa barang kuno," sahut Yo Lian. "Ta
pi nona kawanmu itu telah d i bawa pergi."
Beng Kie kaget sampai semangatnya seperti terbang pergi. Ia tidak terlalu
cocok dengan Tiat San Ho, tetapi mereka telah berada bersama sekian lama, mereka
telah seperti kakak beradik, sekarang kawan itu lenyap dibawa lari penjahat, ba
gaimana ia tidak jadi kaget dan berkuatir.
"Berapa banyak jumlahnya penjahat itu?" dia tanya pula kemudian.
"Jumlah mereka tujuh atau delapan orang," Yo Lian kasih keterangan. "Muka
mereka semua memakai topeng. Kawanmu itu telah melakukan perlawanan, tetapi dia
kewalahan karena dikepung, akhirnya dia dibikin tidak berdaya dan dibawa pergi."
Beng Kie lantas berpikir. Ia segera menduga pada orang-orangnya Goei Tiong
Hian. Ia tidak berani utarakan sangkaannya itu kepada Yo Lian, supaya tuan ruma
h ini tidak menjadi masgul.
"Nanti aku minta bantuannya sahabat-sahabat dari Rimba Persilatan, untuk c
ari tahu penjahat-penjahat itu," kata ia, untuk menghibur.
"Sebenarnya di dalam kota raja ini belum pernah terjadi perampokan semacam
ini," kata Yo Lian. "Sekarang aku hendak pergi ke kantor Pengpou, untuk mereka
beritahukan Kioeboen Teetok, guna tanya apa saja yang mereka itu kerjakan. Kebet
ulan kau sudah pulang, tolonglah kau jagakan rumahku."
Setelah memesan pula kepada hamba-hambanya akan periksa semua pintu, pembe
sar ini lantas berlalu, agaknya ia masih sangat mendongkol.
Beng Kie ajak Seng Koen ke kamar tetamu, yang menjadi kamarnya.
"Tidak usah dicurigakan lagi. ini pasti ada perbuatannya orang-orang dari
Tongtjiang." Seng Koen utarakan dugaannya. "Siapa sahabat itu, dan apa she dan n
amanya? Aku nanti tolong kau untuk mencari keterangan."
"Lebih baik aku satroni keraton untuk mengacau mereka!" Beng Kie kata.
"Tidak dapat kau lakukan itu!"
Seng Koen mencegah dengan menggelengkan kepala. "Dua kali kau telah datang
mengacau, pasti mereka akan bikin penjagaan lebih kuat. Di dalam keraton itu, k
ecuali Bouwyong Tjiong, aku dengar kabar telah datang dua orang pandai lainnya y
ang aku belum tahu namanya. Aku duga saja mereka mesti ada tetua-tetua dari kaum
kangouw. Jikalau kau berlaku sembrono, saudara Gak. dikuatirkan kau sama juga s
eperti antarkan diri ke dalam jaring. Aku ada punya beberapa sahabat kekal di da
lam istana, tunggulah satu atau dua hari lagi setelah keadaan agak mereda, aku a
kan pergi mencari keterangan."
Beng Kie pikir sarannya sahabat ini benar juga. maka ia menurut.
"Tapi coba kau duga. Seng Toako, mereka itu berani atau tidak datang pula
kemari?" dia tanya "Aku kuatir, jikalau kita tidak pergi cari mereka, mereka sen
diri yang akan datang menyatroni kita..."
"Dalam siasat ilmu perang ada disebut bahwa yang kosong mungkin berisi, da
n yang berisi adalah kosong," kata Seng Koen, "maka itu aku duga mereka tentunya
menyangka kau tidak berani tinggal lebih lama pula di gedung Keluarga Yo ini. J
usteru itu, baiklah kita tetap tinggal di sini. Mereka pun tidak bermusuh dengan
Yo Lian, dugaku tidak nanti mereka datang pula. Umpama kata mereka toh datang l
agi. dengan kepandaian kita berdua, aku percaya kita akan bisa bekuk satu atau d
ua di antaranya. Dari mulut mereka itu kita bisa korek keterangan. Setelah duduk
nya perkara menjadi terang, tidak ada halangannya kita maklumkan perang kepada m
ereka itu!"
Beng Kie setujui pikiran sahabat ini.
"Bagus!" katanya. "Baiklah, kita bersikap begini saja!"
Sesudah sore barulah kelihatan Yo Lian pulang.
"Kioeboen Teetok telah keluarkan titah-titah penangkapan," ia beri tahu Be
ng Kie. "Aku telah beri tempo sepuluh hari!"
Beng Kie tertawa di dalam hati. "Jikalau perkara ini diserahkan pada Kioeb
oen Teetok, sampai sepuluh tahun pun perkara akan tetap terpendam." pikirnya.
Yo Lian berdiam sekian lama, lalu ia menghela napas.
"Kejadian ini sangat membikin aku mendongkol," katanya. "Tapi di samping i
tu juga satu kabar baik untuk disampaikan padamu." "Apakah itu?" Beng Kie tanya.
"Tadi di dalam kantor Pengpou aku terima surat kilat dari Him Kengliak." menter
i itu jawab, "surat itu memberitahukan, bahwa nusa dia bakal sampai di kota raja
. Di dalam surat itupun dijelaskan, dia akan menumpang di rumahku ini. Sungguh i
ni suatu kabar sangat menggirangkan. Suasana dalam istana ada demikian kusut, bi
arlah dia pulang untuk meredakannya."
Beng Kie sudah tahu Him Teng Pek bakal datang, hanya wartanya Yo Lian ini
telah menguatkan itu. Tentu saja ia menjadi girang sekali. Tapi ia kata:
"Memang benar Him Kengliak berkuasa atas angkatan perang, tetapi dia adala
h menteri luar, aku kuatirdia tidak dapat mengurus kekusutan di dalam istana..."
"Bicara dari hal derajat, kedudukannya memang tidak terlalu tinggi," Yo Li
an kata. "Akan tetapi dia seorang yang sangat jujur, diapun mempunyai pedang kek
uasaan Sianghong Pookiam, maka sekalipun Poei Tjiong Tiat dan Goei Tiong Hian, m
ereka harus jeri terhadapnya."
Demikian pembicaraan berakhir. Di harian Him Teng Pek tiba di kota raja, b
eberapa sahabat kekalnya, seperti Liepou Siangsie Tjioe Kee Bok, Leepou Siangsie
Soen Tjin Hang dan Touwgiesoe Tjee Goan Piauw, telah datang ke rumahnya Yo Lian
, untuk menyambut dan menemuinya. Cuma Pengpou Siangsie Yo Koen tidak dapat hadi
r, karena dia sedang repot mengurus pengiriman tentara ke Siamsay.
Orang telah menantikan dari siang, akan tetapi sampai lewat tengah hari, m
ereka tidak dengar suara gembreng, tanda pembuka jalan untuk kedatangannya satu
pembesar yang tinggi pangkatnya. Hal ini membikin mereka heran.
"Mungkinkah dia ubah harinya?" Soen Tjin Hang tanya.
"Him Kengliak bukannya seorang yang suka mengingkari janji," kata Yo Lian.
Tengah mereka bicara itu, koankee, yaitu penguasa gedungnya Yo Lian, muncu
l untuk mewartakan kedatangannya dua orang yang tubuhnya besar, yang mohon ketem
u kepada tuan rumah. Katanya koankee itu. ketika dia menanyakan nama mereka, mer
eka itu cuma menyebutkan shenya. ialah she Him.
"Ah!" Yo Lian berseru apabila ia dengar laporan yang agak luar biasa itu.
Ia segera berbangkit. "Lekas undang mereka masuk, itulah tentu si Him Tua sendir
i! Aku tahu tabiatnya ini!"
Penguasa gedung itu segera undurkan diri, selang sesaat, seorang bertindak
di Iorak tangga, orang mana bertubuh besar, tindakannya lebar, kepalanya bagaik
an "kepala harimau" dan matanya seperti "mata garuda". Mukanya orang itupun penu
h debu dengan di belakangnya mengikut satu pengiring dengan buntalan di bebokong
nya.
Yo Lian semua segera berbangkit. "Oh, Him Kengliak. mengapa kau tidak meng
abarkan lebih dahulu?" tanya Yo Lian dan yang lainnya selagi mereka menyambut.
Adalah di luar dugaan, satu kepala perang yang besar kekuasaannya atas ten
tara, yang kesohor, telah tiba hanya diikuti satu pengiring! Sedang dia datangny
a dari tapal batas!
Tetamu itu lantas saja tertawa.
"Bukankah kemarin aku telah kirim orang membawa surat?" katanya dengan gem
bira. "Mengapa kalian mengatakannya aku tidak memberi warta lagi?"
Semua penyambut itu turut tertawa.
"Dengan cara datangnya kau ini," kata mereka, "kau mirip dengan satu serda
du pembesar yang baru saja mundur dari medan perang!"
"Memang akupun asalnya satu serdadu!" kata perwira tinggi itu.
Sampai di situ, Beng Kie maju untuk beri hormatnya.
"Oh, kau juga ada di sini?" kata sep itu. "Bagus! Sebentar malam kita pasa
ng omong!"
Sekarang Kengliak ini perkenalkan pengiringnya, yang bernama Ong Tjan, mur
id terpandai dari Djitgoat loen Khoe Tay Hie, seorang Rimba Persilatan yang kena
maan. Ong Tjan sudah kenal kepada Beng Kie.
"Apakah kau tidak ketemu halangan apa-apa diperjalanan?" Beng Kie tanya.
"Di dua tiga tempat kami bertemu tukang-tukang cegat jalanan!" sahut Ong T
jan sambil tertawa. "Mereka lihat buntalan kami yang tidak berarti ini, mereka l
alu kasih kami lewat dengan begitu saja."
Beng Kie pun tertawa. "Itulah ada keberuntungan mereka!" ia kata.
Selagi dua sahabat ini bercakap-cakap, Yo Lian serta kawan-kawannya juga l
antas tuturkan pada Him Teng Pek tentang suasana buruk dalam istana. Panglima da
ri perbatasan itu diam saja, hanya berulang kali ia menggeleng kepala.
Mereka masih bicara terus tatkala dan luarterdengarsatu suara nyaring, ial
ah pemberitahuan dari si penguasa rumah: "Ada kimtjee taydjin!"
Yo Koen dan lain-lainnya segera undurkan diri untuk menyingkir, dan Him Te
ng Pek bersama Beng Kie dan Ong Tjan pun pergi ke ruang samping. Hanya Yo Lian s
eorang yang berdiri di ruang tengah, untuk menantikan kimtjee taydjin --- utusan
raja.
Segera setelah pintu tengah dipentang, satu pembesar dengan jubah bersulam
kan ular naga dan ikat pinggang tertabur kumala, bertindak masuk sambil diiringi
beberapa puluh kauwwie. Sesampainya di ruang tengah utusan ini lantas disambut
Yo Lian sambil berlutut.
"Ini bukan urusanmu. Suruh Him Teng Pek keluar!" berkata kimtjee itu denga
n kaku.
Him Kengliak di kamar samping dapat mendengarnya, sambil tertawa ia kata p
ada Gak Beng Kie: "Hai, baru kaki depanku sampai, kaki belakang mereka telah men
yandak! Walaupun
Sri Baginda masih sangat muda beliau toh pandai dan bijaksana tepat beliau
menduga waktunya kedatanganku!"
Lalu panglima dari perbatasan ini rapikan pakaiannya, terus ia bertindak k
eluar, ke ruang tengah itu.
Dengan segera kimtjee taydjin berseru: "Him Teng Pek, berlututlah kau. unt
uk sambut firman!"
Him Teng Pek menurut, ia tekuk lututnya.
Segera kimtjee itu bacakan firman:
"Menteri yang berdosa, Him Teng Pek, sudah lancang menggunakan kekuasaanny
a dan dengan sembarangan dia berikan putusan-putusan, dan dia juga telah umbar t
entaranya mengganggu rakyat jelata. Selama memangku jabatan di tapal batas, sedi
kit kemajuanpun tidak diperoleh sebaliknya sekarang dengan lancang dia meninggal
kan jabatannya, dengan diam-diam dia Dulang ke kota raja. Dengan perbuatannya it
u, dia sudah melanggar undang-undang negara, pasti sekali dia kandung maksud unt
uk memberontak. Maka dengan ini dia diperintah menyerahkan kembali pedang Siangh
ong Pookiam dengan dia sendiri mesti diserahkan kepada pengadilan Tayliehoe untu
k diperiksa perkaranya!"
Baru habis membacakan firman, utusan itu sudah lantas membentak dengan tit
ahnya: "Tangkap dia!"
Him Teng Pek gusar hingga alis dan kumisnya berdiri bangun.
"Aku pulang atas panggilan Sri Baginda almarhum, apakah dosaku?" dia tanya
dengan nyaring.
"Sri Baginda telah keluarkan firmannya cara bagaimana kau berani omong ker
as?" kimtjee itu menegur. "Ini saja sudah merupakan satu dosamu!"
"Sri Baginda masih sangat muda usianya, maka pemerintahan dapat dipermaink
an segala dorna!" seru pula Him Teng Pek. "Habis, habis sudah!..."
Dan iamanda kasih dirinya untuk dibelenggu. Tidak perduli bagaimana murkan
ya, hamba yang setia ini tidak berani lawan firman.
Yo Lian berdiri menjublek, ia kaget dan heran.
Beberapa kauwwie lantas maju menghampiri Him Kengliak untuk dibelenggunya,
akan tetapi belum sempat mereka turun tangan. Beng Kie sudah lompat keluar dari
kamar samping.
"Tahan dulu!" dia berteriak bagaikan suaranya guntur.
"Siapa kau?" kimtjee menegur. Beng Kie tidak lantas menyahut, hanya dengan
pentang kedua tangannya ia bikin terpental empat kauwwie yang sudah mendekati s
epnya, hingga mereka itu terguling roboh.
"Di waktu matahari terang benderang sebagai ini, kau berani berontak?" si
kimtjee masih menegur.
Teng Pek sesak napasnya karena sangat mendongkol tanpa ia bisa lampiaskan
itu. Iapun berkuatir untuk sikapnya sebawahannya itu.
"Beng Kie, apakah kau hendak celakai aku?" dia tegur orangnya itu.
Matanya Beng Kie terbuka lebar, ia gusar, tetapi ia menangis. "Taysoe, ini
lah firman palsu!" ia berteriak.
Teng Pek kaget bahna heran.
"Palsu?" dia mengulangi kata-kata itu.
"Ngaco!" teriak sang utusan. "Tangkap!"
Him Kengliak hunus pedang kekuasaannya.
"Tunggu dulu!" dia membentak. "Aku harus dapat penjelasan dulu, baru aku t
urut padamu!"
Semua kauwwie berdiam. Mereka tahu akan kegagahannya panglima itu, dan sik
apnyapun sangat berpengaruh.
Beng Kie segera rogoh sakunya, akan keluarkan segumpal kertas, yang ia ter
us beber di tangannya. Iapun hadapi Yo Lian, untuk berkata dengan nyaring: "Yo T
aydjin, tolong lihat ini! Bukankah ini ada tulisan tangan dari Sri Baginda sendi
ri?"
Memang setiap penobatan kaisar baru. kaisar ada mengirim firman hiburan un
tuk menteri-menterinya, hingga setiap menteri dapat mengenali tulisan tangan jun
jungannya. Yo Lian tidak kecuali.
Menteri ini lihat tulisan yang berbunyi: "Him Teng Pek adalah seorang ment
eri yang sangat setia." Walaupun huruf-huruf itu ditulisnya tidak keruan, ia ken
ali tulisan rajanya. Seketika itu ia menjadi dapat hati, hingga tak sempat iamen
anyakan. dari mana Beng Kie dapatkan itu.
"Him Taydjin, ini memang tulisan tangannya Sri Baginda!" kata Yo Lian.
Kimtjee taydjin itu menjadi bingung. Dia memang ada konconya Goei Tiong Hi
an yang bernama Tjoei Tjeng Sioe. Tapi sebisa-bisanya ia mencoba untuk menenangk
an diri.
"Tak mungkin firman ini palsu!" dia berteriak. Dia segera beber firman itu
, untuk diperlihatkan cap kebesarannya.
Him Teng Pek lihat, meskipun surat itu tidak sama tetapi capnya tulen cap
kerajaan.
Beng Kie kuatir sep itu terpengaruh.
"Sekarang petualang-petualang sedang permainkan pemerintahan, cap kerajaan
itu, mungkin telah mereka curi untuk dipakainya!" ia kata dengan nyaring. "Tays
oe baiklah menghadap sendiri kepada Sri Baginda untuk urus perkara ini!"
Him Kengliak tetapkan hatinya. Ia tertawa dingin.
"Tjoei Tjeng Sioe," katanya, "mari kita sama-sama menghadap Sri Baginda!"
"Kamipun suka turut bersama!" menimbrung semua menteri lainnya, yang datan
g munculkan diri.
"Him Teng Pek," kata Tjeng Sioe dengan berani, "secara begini kau menghina
pemerintah, kau telah lawan firman kaisar, maka bagianmu adalah kemusnahan ruma
h tanggamu!"
"Sudah, jangan banyak bicara!" Him Kengliak membentak. "Aku boleh dihukum
picis tapi sekarang mari kita menghadap dahulu kepada Sri Baginda!"
Tjeng Sioe kena didesak, tapi ia cerdik. Ia kata: "Sekarang Sri Baginda se
dang berkabung dalam keratonnya, jikalau kau hendak menghadap, besok saja kau pe
rgi!" Lalu ia teruskan gertakannya: "Yo Lian, aku serahkan Him Teng Pek di bawah
penjagaanmu! Jikalau besok dia kabur, kaulah yang bertanggung jawab!"
Lalu dengan ajak pengiring-pengiringnya, kimtjee taydjin ini lantas undurk
an diri.
Him Kengliak tidak ambil tindakan lebih jauh terhadap kimtjee palsu itu. B
iar bagaimana, ia adalah menteri di luar istana, tidak dapat ia tahan kimtjee it
u. Maka ia titahkan Beng Kie untuk membiarkan kimtjee itu berlalu.
Tentu saja kejadian ini membikin mendongkol semua menteri yang hadir di si
tu.
Him Kengliak lantas jatuhkan diri di atas kursi dengan sikap lesu, berulan
g-ulang ia menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak perduli firman itu palsu, tapi sekarang petualang-petualang demikia
n sangat kurang ajar, negara sungguh sangat terancam..." ia kata dengan masgul.
"Him Toako," berkata Yo Lian, "kau baru pulang, kau lantas dibikin lenyap
kegembiraanmu oleh segala dorna. marilah kita minum arak!"
Tuan rumah itu baru berkata sampai di situ atau mereka segera dengar suara
yang sangat berisik di luar gedung, daun pintu digedor keras. Tentu saja Yo Lia
n menjadi sangat gusar.
"Mungkinkah binatang Tjoei Tjeng Sioe itu berani datang pula?" katanya.
Belum berhenti suaranya tuan rumah itu atau pintu telah terdobrak, lalu ke
lihatan serombongan orang nerobos masuk. Mereka itu semuanya mengenakan topeng,
hanya tampak mata mereka yang bercilak-cilak. Orang yang menjadi kepala pun lant
as berteriak: "Kabarnya Him Taysoe baru pulang, kami hendak pinjam sejumlah uang
!"
Him Kengliak kaget tetapi ia tidak takut.
"Aku seorang pembesar miskin, aku tidak punya banyak uang!" kata ia sambil
tertawa dingin.
Yo Lian sebaliknya telah berteriak-teriak: "Di waktu siang hari kalian ber
ani datang merampok, oh, sungguh, dunia terbalik, dunia terbalik!"
"Mereka ini bukan perampok-perampok sewajarnya!" Beng Kie berseru.
Kawanan orang-orang bertopeng itu benar-benar berani, mereka maju terus. J
umlah mereka ada beberapa puluh orang.
Him Kengliak tolak Yo Lian supaya tuan rumah ini masuk ke dalam kamar. Si
kepala rampok tidak mau mengerti, ia ulur tangannya hendak menjambak tuan rumah
itu.
Teng Pek jadi sangat gusar, sambil berseru ia menabas dengan pedangnya.
Kepala rampok itu berkelit dengan gesit, lantas dia balas menyerang.
Menampak kegesitan dan serangan yang berbahaya dari kepala rampok itu. Him
Teng Pek berseru: "Orang dengan kepandaian sebagai kau ini menjadi rampok, sung
guh sayang!"
Beng Kie tidak perdulikan kata-kata sepnya itu. dari samping ia maju, akan
menyelak di sama tengah.
"Hai, Bouwyong Tjiong, kau sayang kepada jiwamu atau tidak?" bentak Beng K
ie kepada kepala rampok itu.
Kaget kepala rampok ini. "Beng Kie, kau kenal padanya?" Teng Pek tanya seb
awahannya.
"Bereskan mereka semua!" teriak kepala rampok itu, yang menjadi mogok, kar
ena rahasianya telah terbuka.
Beberapa puluh pahlawan dari Tongtjiang itu segera rangsefc Teng Pek dan B
eng Kie hingga terdesak mundur ke tembok.
Firman palsu dan peristiwa rampok ini kesemuanya adalah rencananya Goei Ti
ong Hian dan Keksie Hoedjin, maksud mereka adalah untuk mengabui raja untuk sing
kirkan Him Kengliak secara diam-diam.
Di waktu keadaan yang sangat terancam itu, Ong Tjan muncul dengan senjatan
ya yang mirip roda, yaitu Ngoheng loen, tapi segera ia dirintangi satu pahlawan
yang bersenjatakan cambuk. Dalam mendongkolnya. Ong Tjan sampok cambuk itu hingg
a putus dua dan terlepas dari cekalan.
Di antara pahlawan-pahlawan itu, majulah seorang yang usianya lanjut. Ia t
idak jeri terhadap Ngoheng loen, ia ulur kedua tangannya untuk menggempur. Ia te
lah berhasil membikin senjatanya Ong Tjan tersampok miring.
Beng Kie dapat ketika, ia tikam orang tua itu, atas mana, si orang tua ges
er kakinya, tapi tangan kirinya menghajar pedang, dari atas ke bawah, itulah puk
ulan "Geledek menyambar ubun-ubun".
Di waktu siang seperti itu, kelihatan tegas tangannya si orang tua merah s
eperti sepuhan.
Menampak demikian, Beng Kie terperanjat.
"Kim Laokoay, kaupun datang kemari!" dia berseru.
Si orang tua tertawa terbahak-bahak, dengan berani dia copotkan topengnya.
"Gak Beng Kie!" katanya, "hari ini akan kubalas kau satu tikaman!"
Beng Kie tidak gubris ancaman itu, ia hanya peringatkan sepnya, katanya: "
Taysoe, bangsat tua ini mengerti Toksee tjiang. jangan kasih tanganmu kena diben
tur olehnya!"
Sambil berkata demikian, pemuda ini maju ke depan sepnya untuk gantikan se
pnya itu membuat perlawanan, maka sebentar saja ia sudah dikepung Bouvvyong Tjio
ng dan Kim Tok Ek, dua cabang atas yang liehay, hingga segera ia terancam bahaya
.
"Kawanan tikus, sungguh berani kalian!" berteriak Him Kengliak, yang jadi
sangat gusar. Dan ia maju, ia dapat jambret satu pahlawan, tubuh siapa ia angkat
dan dilemparkan keluar pintu.
Semua pahlawan lainnya terkejut menampak kegagahannya Him, Kengliak itu.
"Jangan takut!" teriak Bouwyong Tjiong. yang saksikan orang-orangnya kena
terpengaruhi. Ia lantas maju, dengan tipu silat Kimnatjhioe ia coba rampas pedan
gnya Kengliak itu.
Meskipun ia gagah, Him Kengliak tidak mengerti Kimna tjhioe. hampir saja S
ianghong Pookiam di tangannya terampas musuh. Syukur Ong Tjan maju membantui. Ta
pi karena ini. hamba yang setia itu jadi menggantikan menghadapi bahaya.
Dalam suasana yang sangat menguatirkan itu, seorang lompat keluar dari kam
ar.
"Saudara-saudara, dengar aku!" berteriak orang ini, ialah Seng Koen, kepal
a dari sekalian pahlawan dari Tongtjiang.
Separuh dari pahlawan-pahlawan itu mengenali orang ini, mereka lantas berh
enti berkelahi.
Seng Koen lantas berkata terus:
"Him Kengliak adalah tiang negara, kenapa kalian demikian gila hendak menc
elakai padanya? Memang sekarang orang kebiri she Goei sedang dapat pengaruh, aka
n tetapi di belakang hari, dia akan celaka juga, maka saudara-saudara, hayolah b
ubar!"
Beberapa pahlawan lantas saja ambil putusan, mereka lantas lempar senjatan
ya dan lompat mundur untuk berlalu.
Bouwyong Tjiong jadi sangat murka.
"Seng Koen juga satu pemberontak!" ia berteriak. "Siapa lari, dia bakal ma
ti!"
Kata-kata inipun ada pengaruhnya, maka di samping pahlawan-pahlawan yang
melemparkan senjata dan kabur, ada sembilan belas sisanya yang maju menyer
ang pula, melanjutkan pengurungan. Mereka ini adalah hamba-hambanya Goei Tiong H
ian.
Beng Kie dan Ong Tjiang berdiri di depan Him Teng Pek, mereka berkelahi ma
ti-matian untuk belai sepnya itu. Untung bagi mereka sejumlah pahlawan yang tida
k lari, tidak mendesak seperti kawan mereka yang sembilan belas itu mereka hanya
mengurung. Yang hebat adalah desakannya Bouwyong Tjiong dan Kim Tok Ek.
Sebentar kemudian Seng Koen, yang turut ceburkan diri dalam pertempuran, t
elah kena dihajar pundaknya, sedang Him Kengliak terbacok bahunya yang kiri.
Kedua matanya Beng Kie menjadi merah, sangat gusar dan mendongkol, karena
perlawanannya sia-sia saja untuk mundurkan musuh yang banyak dan liehay itu. Ia
berkelahi mati-matian!
Selagi pertempuran dahsyat berlangsung, tiba-tiba beberapa pahlawan keluar
kan jeritan dari kesakitan yang hebat, di antara jeritan itu segera terdengar se
man nyaring: "Kim Laokoay! Akhir-akhirnya dapat juga aku cari padamu!"
Kim Tok Ek kaget tetapi dia berteriak: "Tjek Hiantee, kau sambut dia untuk
sepuluh jurus!"
Belum lagi orang yang dipanggil "Tjek Hiantee" atau "adik Tjek" itu menyah
uti, di antara suara berisik itu terdengar suara ketawa nyaring tetapi halus dan
terang sekali, disusul pula kata-kata: "Masih ada aku di sini! Kim Laokoay. ini
lah pertemuan kita yang pertama kali, kau suka atau tidak memberi muka padaku de
ngan menghadiahkan pukulanmu kepadaku?"
Kata-kata itu lantas disusul dengan berkelebatnya sinar pedang yang menyil
aukan mata dan munculnya orang yang tertawa itu, ialah Giok Lo Sat. yang dengan
pedangnya sudah melabrak sana-sini, hingga dalam sejenak itu, ia telah dapat luk
ai tujuh atau delapan pahlawan, maka cepat juga ia sampai di pusat pertempuran i
tu.
Bouwyong Thiong jadi sangat murka, mendadak ia serang si nona!
Giok Lo Sat tidak menyangka untuk serangan ini, hampir saja ia menjadi kor
ban. Syukur ia gesit, berbareng dengan kelitannya iapun balas menikam. Maka berb
alik pahlawan itu yang menjadi kaget, karena hampir saja dia kena tertikam.
Giok Lo Sat yang tabah itu tertawa walaupun ia lihat keadaan pihaknya yang
terkurung.
"Tidaklah bagus akan bertempur secara begini!" katanya.
Dengan satu gerakan, kembali Giok Lo Sat lukai satu pahlawan, kemudian, se
telah berkelit dari serangan Bouwyong Tjiong, ia lompat kepada Beng Kie.
Pemuda she Gak itu girang bukan kepalang.
"Lian Liehiap lekas kau lindungi Taysoe!" dia berseru.
Tapi si nona sambut ia dengan tertawa dingin.
"Aku tidak perdulikan taysoemu itu, aku datang hanya untuk urusan kitab il
mu pedangku!" menjawabnya.
Dan ia tutup kata-katanya dengan satu lompatan diberikuti tikaman terhadap
Kim Laokoay.
Kim Tok Ek sambut serangan dengan satu pukulan angin, sampai si nona terto
lak mundur. Tapi nona itu kembali maju menyerang sambil berjaga diri.
"Ha, kau benar liehay!" kata nona ini sambil tertawa. "Tapi tidak cocok un
tuk kau mempunyai kitab ilmu pedangku!"
Giok Lo Sat tutup perkataannya dengan serangannya dua kali beruntun, hingg
a memaksakan si orang she Kim itu mundur.
Beng Kie mengerti maksudnya si nona.
"Lian Liehiap, kitabmu ada padaku!" ia serukan. "Hari ini kau telah bantu
aku, terimalah ucapan terima kasihku!"
Masih si nona menjawabnya dengan dingin: "Aku tidak terima kebaikanmu, aku
juga tidak keluarkan tenaga untukmu!" demikian katanya. Meski ia mengucap demik
ian, namun desakannya kepada Tok Ek hebat sekali.
Selagi berkelahi, Beng Kie masih dapat kesempatan akan memasang mata. Maka
heranlah ia ketika ia lihat pedangnya si nona, pedang yang mirip Yoeliong kiam.
kepunyaannya.
Dalam pertempuran dahsyat itu, dari kelompok sebelah luar ada terdengar se
ruan nyaring: "Kim Toako, inilah satu yang keras!" Atas itu. Kim Tok Ek segera m
enyahutinya: "Aku tahu! Kau pecah tenaga untuk kurung dia!"
Giok Lo Sat pun turut perdengarkan tertawanya, kemudian ia serukan ayahnya
: "Ayah, kau boleh menerjang kemari! Kim Laokoay ada di sini!"
Satu suara orang tua tetapi nyaring terdengar memberi jawaban: "Baik, anak
ku Giok!"
Tiba-tiba kelihatan tubuhnya beberapa pahlawan terlempar melayang di atasa
n kepala mereka yang asyik bertempur mati-matian itu, hingga orang jadi kaget.
Itulah hasil serangannya si orang tua, yang menjambret dan melemparkan ses
uatu penghalang di depannya. Maka di lain saat, tubuhnya orang tua itu sudah ter
tampak menyerbu ke dalam kalangan.
Beng Kie heran, karena ia belum kenal orang tua itu, ialah Tiat Hoei Liong
, jago kenamaan. Iapun heran dan kagum, si Raksasi Kumala mempunyai ayah yang de
mikian tangguh.
Dengan datangnya dua tenaga baru itu, bukan main Beng Kie peroleh bantuan,
tetapi serangannya pihak musuhpun jadi bertambah.
sebab kehebatan dari Giok Lo Sat dan Hoei Liong membuat semua pahlawan, ya
ng tadi berkelahi separuh hati. menjadi gusar dan sengit, sekarang mereka memban
tui kawannya dengan sungguh-sungguh.
Luar biasa adalah korban-korban ujung pedangnya Giok Lo Sat. Sesuatu pahla
wan yang kena dirobohkan tidak lantas lenyap jiwanya, mereka hanya roboh dan ber
gulingan di lantai sambil menjerit kesakitan. Sebab si nona telah tusuk jalan da
rah mereka, hingga mereka mati tidak, hiduppun tersiksa!
Lain nasib adalah korban-korbannya Tiat Hoei Liong. Karena dilempar-lempar
kan, satu kali mereka jatuh, mereka terbanting keras, kepala mereka pecah. Maka
itu, semua pahlawan mengepung hebat kepada si nona dan ayahnya itu, dengan demik
ian kepungan kepada Him Kengliak jadi sedikit kendor.
Giok Lo Sat liehay ilmu pedangnya dan enteng tubuhnya, tetapi berkelahi se
cara rapat seperti itu, di antara banyak musuh, ia tidak leluasa mempertunjukkan
kepandaiannya itu. Syukur ia ada bersama ayah angkatnya, yang tenaganya besar,
dengan begitu ia jadi tidak terlalu repot.
Beng Kie lihat pihaknya sudah mulai memperoleh keunggulan, akan tetapi ia
masih belum bertetap hati. Inilah sebabnya ia kuatir nanti datang bala bantuan d
ari pihak Tongtjiang.

Maka ia masih bergelisah juga.
Giok Lo Sat berkelahi dengan hebat tapi gembira. Lagi sekali ia tusuk satu
pahlawan yang ada dekat padanya. Lalu sehabis itu. ia godai Beng Kie: "Eh, Gak
Beng Kie, mana sahabat kekalmu?"
Tapi justeru mendapat pertanyaan itu dengan mendadak Beng Kie ingat sesuat
u.
"Dia akan segera datang!" ia jawab. Lantas tangan kirinya merogoh kantong,
untuk tarik keluar sarung tangan pemberiannya Seng Koen, yang terus dipakainya,
setelah mana, ia ambil kesempatan untuk lompat keluar kurungan.
"Ke mana kau hendak kabur?" bentak Kim Tok Ek sambil lompat menyerang.
Beng Kie ulurkan tangan kirinya menyambut serangan Tangan Pasir Beracun da
ri jago tua she Kim itu. di lain pihak pedangnyapun membarengi menikam kepada be
tis musuh. Tapi itu belum semua, dengan sambuti serangan tangan musuh, ia juster
u pinjam tenaga musuh itu. hingga ia bisa melesat lebih pesat keluar kalangan!
Kim Tok Ek heran melihat orang berani sambuti serangan tangannya yang lieh
ay itu, sama sekali ia tidak tahu bahwa Beng Kie telah mengenakan sarung tangan
mustika pemberiannya Seng Koen.
Him Kengliak heran menampak orangnya kabur justeru ketika mereka terkurung
musuh, malah Ong Tjan sampai berkata sambil menghela napas: "Dalam waktu kesuka
ran terlihatlah hati manusia, kata pepatah, dan sekarang terbukti kebenarannya p
epatah itu."
"Mungkin Beng Kie ada punya maksud lain," Teng Pek masih bersangsi. "Janga
n kau menduga yang tidak-tidak..."
Lantas kepala perang ini layani Kim Tok Ek.
Setelah Tok Ek kena dilukai Beng Kie, dia tidak lagi galak seperti semula.
Juga Bouwyong Tjiong tidak mampu lagi berbuat banyak, sebab Seng Koen dan
Ong Tjan layani dia secara sungguh-sungguh, sedang sejumlah pahlawan tidak mau m
enyerang sungguh-sungguh kepada Seng Koen.
Maka pertempuran tidaklah sehebat seperti semula tadi.
Pada waktu itu di lain pihak, Pek Sek Toodjin telah bersiap sedia. Ia sang
at gusar menerima ancaman, maka ia telah kumpulkan belasan orang Boetong pay yan
g berada di kota raja. Bersama ia pun ada belasan orang lain, ialah orang-orang
undangannya Boosoe Lioe See Beng. Maka itu mereka berjumlah besar. Setiap saat m
ereka nantikan datangnya musuh. Akan tetapi dua hari telah dinantikan tidak juga
ada musuh yang muncul. Sekarang sampailah pada hari ketiga, mereka menantikan d
ari pagi sampai lewat tengah hari, tetap musuh tidak tampak datang.
Akhir-akhirnya Lioe See Beng tertawa, ia kata: "Boetong pay ada sangat kes
ohor, maka siapakah yang berani tarik-tarik kumis harimau?"
Pek Sek Toodjin sangat puas mendengar puj ian itu, ia pun tertawa. "Selewa
tnya hari ini, tak dapat aku menunggu pula!" katanya.
Justeru waktu itu, satu suara terdengar dari luar: "Ada orang datang!"
"Berapa jumlahnya?" See Beng tanya.
"Cuma seorang," sahut orang di luar itu yakni tukang pasang mata.
"Begitu besar nyalinya?" kata See Beng yang menjadi heran. "Buka pintu! Ka
sih dia masuk!"
Sesaat kemudian, kelihatan seorang bertindak masuk, tindakannya pesat, ora
ngnya bermandikan keringat.
Semua orang telah siap untuk sambut musuh.
Tapi It Hang heran.
"Oh, Gak Toako!" serunya.
Pek Sek Toodjin menghela napas lega. Tapi ia duga orang tentu telah dengar
kabar perihal musuh dan sekarang datang untuk membantu padanya, maka dengan taw
ar ia lantas berkata: "Gak Enghiong. tak usah kau capaikandiri lagi!"
Beng Kie tertawa, ia dekati It Hang yang ia jabat tangannya, tapi tibatiba
iapun menotok pinggangnya hingga dalam sekejap It Hang menjadi lemas. Lalu, seb
elum yang lain-lainnya ambil tindakan Beng Kie segera panggul sahabatnya itu unt
uk dibawa lari!
Pek Sek semua terkejut.

IX

"Kurang ajar!" imam itu berteriak. "Binatang, kiranya kau datang untuk sat
rukan pihakku! Mari kejar padanya!"
Pek Sek yang memulai menghunus pedangnya, lantas lari mengejar. Maka kawan
-kawannya pun turut mengejar juga.
"Jangan kesusu, tooheng!" Lioe See Beng mencegah, karena guru silat ini ta
hu betul siapa pemuda she Gak itu.
Tapi Pek Sek semua sudah lari terus, dengan terpaksa guru silat ini ajak k
awan-kawannya pergi menyusul.
Walaupun Beng Kie memanggul orang ia bisa lari sangat cepat, ia bikin Pek
Sek ketinggalan dua tiga tumbak di belakangnya meski imam dari Boetong san ini s
udah berlari-lari keras dengan ilmu lari Patpou Kansiam.
Pek Sek sangat penasaran dan mendongkol, iapun tidak dapat menyerang denga
n senjata rahasia, hingga terpaksa ia mesti mengejar saja.
Beng Kie lari balik ke gedung Keluarga Yo, ia telah sampai dengan cepat, s
etelah turunkan It Hang dari panggulannya, ia menotok pula, kali ini untuk sadar
kan sahabatnya itu.
It Hang sadar dengan heran, tapi yang lebih mengherankan padanya ialah ia
dengar berisiknya suara beradunya senjata-senjata di dalam gedung, tanda dari pe
rtempuran hebat.
"Saudara To, mari bantu aku!" Beng Kie berbisik, selagi sahabatnya ini mas
ih bingung. "Mari kitatolongi Kengliak!"
Giok Lo Sat dan Tiat Hoei Liong sedang berkelahi hebat, ketika mereka liha
t datangnya Beng Kie bersama It Hang. lantas saja semangatnya terbangun.
Dengan satu gerakan "Lie Kong siatjio" atau "Lie Kong memanah batu", si Ra
ksasi Kumala menikam tenggorokannya Kim Tok Ek, tapi, jago yang tangannya liehay
ini dapat mengelakannya sambil sebelah tangannya menyambar dari samping, untuk
menangkap tangannya nona itu. Justeru itu kepalan Tiat Hoei Liong menghajar tang
annya, bahna kerasnya pukulan itu sehingga ia mundur dua tindak. Karena ini, si
nona sempat untuk lompat menerjang kawanan pahlawan Tongtjiang, hingga kembali i
a bisa lukai empat di antaranya, sesudah mana, ia nerobos ke depan untuk mendekat
i It Hang.
It Hang heran berbareng girang melihat Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat ber
ada di dalam gedung itu, akan tetapi ia tetap masih belum mengerti. "Apakah arti
nya ini?" dia tanya "Pergilah kau bersama Liehiap melayani kawanan berandal ini!
" kata Beng Kie kepada sahabatnya itu. "Aku hendak menolongi Taysoe!"
Dengan memutarkan pedangnya pemuda she Gak itu segera buka jalan darah.
It Hang berpaling ke arah tempat Beng Kie menyerbu, di situ ia tampak seor
ang dengan tubuh besar dan gagah, yang wajahnya bagaikan malaikat. Ia menduga ke
pada Kengliak Him Teng Pek, panglima yang ia hargai. Karena ini, lantas ia menge
rti maksudnya Beng Kie sudah culik ia sampai di gedung ini. Karena ini juga, ter
hadap Giok Lo Sat iapun mendapat kesan baik. Dengan tidak berayal lagi ia segera
putar pedangnya, untuk maju menyerang, ia bisa lantas robohkan beberapa pahlawa
n, hingga tergempurlah kurungan musuh, maka lekas juga ia dapat bergabung dengan
si Raksasi Kumala.
"Entjie Lian. sungguh kau setia dengan datang menolongi Kengliak!" ia seru
kan si nona, hatinya riang.
Giok Lo Sat tidak sempat menjawabnya, ia melainkan tertawa. Terus ia berke
lahi, hingga lagi-lagi ia berhasil menabas kutung lengannya dua pahlawan.
"Anak tolol, mari kita lebih dahulu habiskan mereka ini!" katanya.
"Tidak usah kau kuatirkan keselamatannya Him Kengliak, dia ada sahabat bai
kmu yang melindunginya!"
Masih dia menyerang hebat, hingga beberapa pahlawan dapat dirobohkan lagi,
sampai mereka itu bergulingan sambil merintih kesakitan.
Itu waktu Pek Sek Toodjin pun sudah sampai di ambang pintu. Dengan hati sa
ngat mendongkol ia saksikan Gak Beng Kie bawa It Hang ke gedungnya Yo Lian, di s
itu It Hang disadarkan, lalu kedua anak muda itu menyerbu ke dalam. Ia juga hera
n akan dengar suara berisik dari pertempuran di dalam gedung menteri itu. Maka s
ekalian ingin mendapat tahu, ia maju sampai di muka pintu, hingga ia lihat perte
mpuran hebat itu, dalam mana It Hang bertempur bahu-membahu bersama satu nona ko
sen. Ia juga saksikan si nona yang gagah dan cantik, alisnya panjang dan lentik,
wajahnya bersujen, rambutnya dijepit gelang emas, pakaiannya mentereng.
"Pasti dia siluman wanita yang orang gelarkan Giok Lo Sat," ia lantas mend
uga-duga. Ia berniat keras merangkapkan jodoh gadisnya dengan pemuda she To itu,
karenanya dengan sendirinya ia pandang nona ini sebagai perintang atau saingan
puterinya, dan sekarang dengan tak disangkanya ia saksikan justeru pemuda pemudi
itu bertempur samasama, tanpa merasa ia jadi jelus dan mendeluh.
It Hang dapat lihat paman guru itu.
"Soesiok, lekas!" dia menyerukan "Him Kengliak di sini!"
Pek Sek Toodjin dengar seman itu, ia memandang ke sekitarnya dengan pedang
dilintangkan di depan dadanya, tapi ia masih belum majukan diri.
Di waktu itu Giok Lo Sat telah serang satu pahlawan, pahlawan itu mengelak
kan kepalanya, tetapi ujung pedang menyambar juga kedoknya sampai pecah dan terl
epas jatuh ke lantai, hingga si imam dapat mengenali mukanya. Dengan tiba-tiba P
ek Sek menjadi gusar.
"Hai, kiranya kau di sini?" Pek Sek berteriak dengan tegurannya "Kebetulan
hari ini telah sampai batas tempo tiga hari, maka sekarang aku ingin lihat kau
ada mempunyai kepandaian apa untuk usir aku dari kota raja!"
Berkelebatlah pedangnya imam ini, yang sudah lantas lompat maju menyerang
pahlawan yang locot topengnya itu.
Pek Sek menjadi sangat gusar karena ia kenali pahlawan itu adalah penjual
silat yang kemarin ini di Thiankio telah permainkan padanya.
Pahlawan itu bernama Tjek Kiam Tjiang, murid kepala dari Imhong Toksee tji
ang Kim Tok Ek. ketika itu hari ia permainkan Pek Sek Toodjin, ia sebenarnya sed
ang mainkan peranan menurut rencananya Eng Sioe Yang. Sengaja Lioe See Beng tela
h diancam, untuk dalam tempo tiga hari mengusir imam ini keluar dari Pakkhia.
Sudah diketahui bahwa Eng Sioe Yang itu adalah orang kepercayaannya thayka
m Goei Tiong Hian, setelah wafatnya Kaisar Kong Tjong, dengan diam-diam dia meny
elundup masuk ke kota raja, setelah itu, ia buka jalan untuk Kim Tok Ek juga bis
a datang ke Pakkhia. Tetapi namanya Kim Tok Ek sangat terkenal, maka ia di tempa
tkan di dalam istana secara rahasia.
Oleh karena liehaynya pihak Tongtjiang, hal ikhwalnya Gak Beng Kie dan To
It Hang lantas saja dapat mereka ketahui, dan terhadap kedua pemuda ini hendak d
iambil tindakan.
Mengetahui bahwa Beng Kie adalah orang kepercayaannya Him Kengliak, Eng Si
oe Yang terkejut juga. la terus menghaturkan tipu kepada Goei Tiong Hian. Katany
a: "Him Kengliak akan tiba tanggal dua puluh delapan, harus Tjongtjoe berdaya un
tuk singkirkan padanya. Untuk itu, penting bahwa kaki tangannya dihalau terlebih
dahulu!"
"Aku baru saja pegang kekuasaan," berkata dorna orang kebiri itu. "Di dala
m istana, dari semua menteri boen dan boe, separuh pasti adalah kawan-kawannya H
im Teng Pek, bagaimana aku harus bertindak untuk dapat menyingkirkan padanya?"
Eng Sioe Yang tertawa.
"Aku bukannya maksudkan kawan-kawannya Him Teng Pek di istana," ia kata de
ngan berani terhadap orang kebiri itu, "yang aku maksudkan ialah pembantu-pemban
tunya dari kalangan kangouw. Tjongtjoe telah ketahui bahwa rencana kita sejak se
mula bukanlah merobohkan Him Teng Pek di muka istana, tetapi kita ingin singkirk
an dia secara diam-diam. Maka itu, jikalau dia tetap mempunyai pembantu-pembantu
yang liehay, rencana kita bisa gagal."
"Aku kenal baik tabiatnya Him Teng Pek," Goei Tiong Hian beritahu. "Dengan
pulang dari Liauwtong, dia tidak akan mengajak banyak pengiring. Kalau sekarang
cuma Beng Kie seorang, walaupun kepandaiannya setinggi langit, tidak sanggup di
a terus-terusan melindungi Him Bantjoe!"
"Kalau Gak Beng Kie sendirian saja memang bagi kita tidak sukar." Eng Sioe
Yang kata. "Tapi To It Hang itu adalah sahabat kekalnya."
"Bagaimana kepandaiannya To It Hang itu?" Tiong Hian menegasi.
"Kepandaiannya To It Hang tidak dapat dibandingkan dengan kepandaiannya Ga
k Beng Kie." Eng Sioe Yang terangkan, "akan tetapi dia adalah tjiangboendjin dar
i Boetong pay. Aku telah selidiki, kali ini It Hang datang ke kota raja bersama
paman gurunya. Di dalam kota raja ini ada belasan orang-orang Boetong pay itu."
"Kalau begitu, bereskan mereka semua!" kata Goei Tiong Hian.
"Itulah tak dapat dilakukan tjongtjoe," Eng Sioe Yang berikan pengertian.
"Sekarang ini dalam kalangan kangouw. partai Boetong pay adalah yang paling kena
maan. Syukur mereka tidak tahu menahu urusan pemerintahan. Terhadap mereka itu,
kita mesti ambil sikap seperti air sumur tidak mengganggu air kali, itu artinya
kita aman dan selamat. Kalau sekarang kita singkirkan salah satu ketuanya serta
ahli warisnya, apa itu bukan berarti kita cari musuh tanpa ada perlunya?"
"Tentang kaum kangouw, aku tidak tahu jelas," Goei Tiong Hian kata. "Denga
n turut katamu, kita harus perbuat bagaimana sekarang?"
"Baiklah kita kirim orang untuk mengganggu imam itu," Eng Sioe Yang mengat
urkan tipu dayanya. "Kita mesti bikin dia tahu rasa! Sehabis itu baru kita gerta
k padanya dan juga orang yang rumahnya dia tumpangi itu, supaya dalam tempo tiga
hari dia mesti angkat kaki dari sini. Kita gertak padanya, selama tempo tiga ha
ri kita akan menyatroni untuk terbitkan gara-gara. Aku tahu imam itu kepala batu
, pasti dia tidak sudi angkat kaki dari kota raja. malah sebaliknya dalam tempo
tiga hari itu dia mungkin kumpulkan kaumnya yang berada di kota raja ini untuk m
enantikan kita. Tentu saja bukanlah maksud kita untuk bentrok dengan mereka, mel
ainkan dengan gertakan itu kita hendak cegah dia bergabung kepada Gak Beng Kie,
sebab kerja sama mereka itu berarti sulit untuk kita turun tangan terhadap Him K
engliak."
"Bagus!" Goei Tiong Hian puji akal muslihat itu. "Inilah tipu yang dinamak
an "Bersuara di Timur, menyerang di Barat'. Baiklah, kau boleh gunakan akal ini.
"
Tentu saja Pek Sek Toodjin tidak dapat menerka akal muslihat itu. sia-sia
saja ia menantikan di rumah Lioe See Beng. Memang Pek Sek Toodjin pun tidak bern
iat membantui Gak Beng Kie. Justeru hal itu sangat kebetulan bagi Eng Sioe Yang.
Tapi di luar dugaan mereka itu, Beng Kie sendiri mendapat perasaan curiga. Mala
h pemuda yang cerdik ini segera dapat akal. Demikian di saat pertempuran sangat
gentingnya dia lari pada Pek Sek Toodjin menculik It Hang, hingga kesudahannya P
ek Sek Toodjin datang ke gedung Yo Lian bersama semua murid Boetong pay yang ber
ada di kota raja.
Begitulah Kim Tok Ek menghadapi bala bantuan musuh. Begitu melihat Pek Sek
Toodjin, Tok Ek menduga pihak Boetong pay tentu datang dalam jumlah besar, maka
tanpa bersangsi lagi dia berteriak:
"Angin hebat! Minggir!"
Bahna kuatirnya, sehabis berteriak itu Tok Ek segera mendahului lompat mem
buka jalan, untuk mendahului angkat kaki.
Hoei Liong maju menghalau sambil menyerang.
Bouwyong Tjiong saksikan aksinya Hoei Liong, ia lompat dari samping untuk
hajar lengan yang dipakai menyerang Tok Ek itu. Ia berhasil dengan dayanya ini,
Pek Sek Toodjin telah lantas tarik pulang tangannya.
Di saat Bouwyong Tjiong hendak menyerukan kawan-kawannya kabur, di waktu i
tupun muncul Lioe See Beng bersama murid-murid Boetong pay.
"Cegat mereka!" Pek Sek serukan. Ia belum tahu bahwa musuh-musuhnya itu ad
alah orang-orang dari Tongtjiang.
Jumlahnya murid-murid Boetong pay yang tergabung di pihaknya Lioe Boesoe i
tu mencapai jumlah kira-kira tiga puluh orang, karena itu, satu kali mereka cebu
rkan diri dalam kalangan pertempuran, keadaan segera berbal ik rupa. Dari pihak
penyerang, rombongan Tongtjiang lantas menjadi pihak yang diserang dan terdesak.
Kim Tok Ek bersama Bouwyong Tjiong ambil kedudukan berendeng, akan bersama
-sama memecahkan kurungan untuk menoblos pergi, akan tetapi mereka telah dibikin
terpencar oleh Pek Sek Toodjin dan Lioe Boesoe.
Giok Lo Sat perdengarkan tertawanya yang panjang dengan sinar pedangnya be
rkilau-kilau ia menghampiri Kim Tok Ek, atas mana, orang she Kim itu terpaksa me
sti melayani berkelahi. Dasarnya jago, Tok Ek bisa melayani selama beberapa juru
s.
Justeru itu Gak Beng Kie pun datang menyerang.
Dengan tangannya yang liehay. Tok Ek sambuti Beng Kie, tapi Beng Kie denga
n tangan kiri menangkisnya dengan berani, sambil pedang di tangan kanannya dikas
ih melayang.
"Bret!" demikian satu suara, yang ternyata bajunya si orang she Kim robek
ditegur ujung pedang.
Selagi begitu, Giok Lo Sat pun maju dengan totokannya ke arah jantungnya T
ok Ek. Inilah serangan "Lioeseng kiesoe" -- "Bintang melesat."
Tok Ek dengan sebat berkelit dari serangan itu, tapi justeru itu ia dengar
bentakannya Giok Lo Sat: "Kena!"
Tahu-tahu ujung pedang sudah mampir ke dadanya jago she Kim ini. tiada ket
ika lagi ia dapat menangkisnya lantas saja darah menyembur keluar dari dadanya y
ang dilukai dengan guratan pedangnya si nona.
Bicara tentang ilmu silat, kepandaiannya Kim Tok Ek tiada di sebelah bawah
Giok Lo Sat atau Gak Beng Kie, Akan tetapi menghadapi pemuda she Gak itu, ia ke
walahan karena Beng Kie memakai sarung tangan yang liehay, yang tidak jeri untuk
tangan berbahaya dari orang she Kim ini. Di samping pemuda ini juga ada Giok Lo
Sat yang sangat benci kejahatan dan bertempur secara hebat sekali, mau tidak ma
u Kim Tok Ek menjadi tidak bisa berbuat banyak, terlalu berat untuk ia hadapi se
pasang pemuda pemudi itu. Masih syukur ia dapat berkelit dengan cepat, kalau tid
ak, bukan melainkan kulitnya yang terluka, perutnya pun akan terdodet pedang dan
binasa.
Dengan berhasilnya serangan-nya itu, Giok Lo Sat lalu mendesak terus.
Bouwyong Tjiong saksikan bahaya yang mengancam, ia berkelahi dengan keras,
ia telah dapat pukul roboh tiga murid Boetong pay.
Gak Beng Kie lihat orang mengganas, ia percaya Giok Lo Sat seorang diri sa
nggup melayani Kim Tok Ek. ia lantas memecah diri, dengan pedangnya ia lompat ke
pada orang she Bouwyong itu, yang ia serang dan merintangi jalannya untuk molos.
Giok Lo Sat benar-benar perhebat desakannya sehingga Kim Tok Ek terdesak m
undur.
"Eh, Kim Laokoay, apakah kau tetap tidak mau kembalikan kitab ilmu pedangk
u?" dia tanya, sambil tertawa.
Orang she Kim itu tidak menyahut, dia kertak gigi, dia seperti menahan nap
as, guna pertahankan diri dari rangsekan si nona ini.
Giok Lo Sat tetap menggoda.
"Jikalau kau benar-benar tidak sudi menyerahkannya, terpaksa aku akan berl
aku bengis terhadapmu!" dia mengancam.
Seperti sudah umum perangainya nona ini, meskipun ancamannya belum peroleh
jawaban, ia sudah lantas buktikan ancamannya itu, pedangnya menyambar-nyambar b
agaikan "topan dan hujan lebat", hingga Kim Tok Ek seperti terkurung sinar pedan
g.
Selagi pertempuran berlangsung hebat, sekonyong-konyong terdengar suara be
risik dari tindakan kuda di luar gedung, lalu tampak nerobos masuknya sejumlah s
erdadu, dan satu di antaranya, yang menjadi pemimpin, sudah lantas berseru: "Him
Kengliak, maaf pietjit telah terlambat datang!" Kemudian dia membentak: "Kawana
n berandal yang bernyali besar, bagaimana di waktu siang terang benderang kalian
berani merampok satu keluarga pembesar negeri! Lekas kalian menyerah!"
Orang yang datang ini adalah Kioeboen Teetok Thian Djie Keng, serdadu-serd
adunya sudah lantas maju menyerang.
"Pihak kita semua mundurlah!" HimKengliak menyerukan.
Kim Tok Ek sedang didesak Giok Lo Sat, datangnya serdadu-serdadu itu membu
at ia dapat ketika untuk merat. Hal ini membuat si Raksasi Kumala menjadi gusar,
hingga dia labrak tentara negeri itu. Banyak golok dan tombak serdadu-serdadu i
tu dibikin terpental atau tertabas kutung.
"Berandal wanita yang liehay!" berseru beberapa serdadu, yang menyangka no
na itu berandal.
Giok Lo Sat jadi semakin mendongkol.
Tiat Hoei Liong tahu puteri angkatnya itu gusar dia kuatir Giok Lo Sat men
jadi kalap.
"Jangan!" dia berteriak mencegahnya. Malah dia terus tarik tangannya anak
itu.
Gak Beng Kie juga lantas maju ke depannya Kioeboen Teetok Thian Djie Keng
itu. "Jangan ganggu nona ini dia adalah pelindungnya Him Taydjin!" katanya.
Dalam sekejap pertempuran yang seru itu lantas berakhir. Pelbagai pahlawan
dari Tongtjiang yang terluka dan roboh, semua lantas "menjadi orang tawanan bar
isan negeri, tetapi Kim Tok Ek dan Bouwyong Tjiong bersama lain-lain kawannya lo
los kabur.
Thian Djie Keng segera datang menghampiri Him Kengliak, untuk memberi horm
at sambil menjura.
"Harap Taydjin memaafkan atas kelambatanku ini," ia mohon. "Pietjit menyes
al yang taydjin sampai mendapat kaget."
Sebelum Kengliak itu berkata apaapa, Pengko Keesoe tiong Yo Lian muncul da
ri perdalaman, ia perdengarkan suara "Hm"' berulang-ulang, setelah mana ia lalu
berkata dengan dingin: "Sungguh sempurna sekali pendengarannya Thian Taydjin!"
Mukanya Kioeboen Teetok itu menjadi merah.
"Memang pietjit bersalah karena sudah dua kali gedung Taydjin diganggu ora
ng-orang jahat dengan pietjit tidak dapat ambil tindakan," ia akui kesalahannya.
Kembali ia menghaturkan maaf.
"Di dalam kota raja terdapat kawanan berandal semacam itu, mereka tentunya
bukan sembarang berandal," kata Yo Lian.
"Nanti pietjit bawa mereka ke kantorku untuk diperiksa," kata Djie Keng. "
Pemeriksaan akan segera dilakukan."
Matanya Gak Beng Kie memain, ia campur bicara.
"Mereka ini bukan sembarang berandal, dikuatirkan Taydjin tidak merdeka me
meriksa mereka!" kata Beng Kie yang agak menyindir. Terus ia hadapi sepnya, dan
menambahkan: "Beng Kie membesarkan nyali memohon supaya Kengliak Taydjin sendiri
yang memeriksa mereka itu."
Thian Djie Keng agak gelisah dalam hatinya.
"Inilah tugasku, tidak berani pietjit membikin berabe pada Taydjin," ia le
kas berkata.
Kedua matanya Him Kengliak memain dengan tajam, ia lirik teetok itu. koman
dan utama dari pasukan pelindung sembilan pintu kota dari kota raja.
"Baiklah, kau boleh bawa pergi mereka itu," kata ia kemudian. Iapun member
i isyarat dengan tangannya.
Thian Djie Keng segera atur barisannya buat diajak berlalu sambil angkut s
emua orang tawanan.
"Taydjin, tidakkah Taydjin seperti melepaskan harimau pulang ke gunungnya?
" kata Beng Kie pada sepnya, seberlalunya teetok itu.
Yo Lian pun kata: "Akupun tidak percaya pada Thian Djie Keng..."
Him Teng Pek menghela napas, ia kata: "Mustahil aku tidak tahu siapa seben
arnya kawanan berandal itu? Aku hanya berkuasa atas bala tentera di perbatasan,
tidak di kota raja, di sini dialah yang berhak mengurus kesejahteraan. Sesuatu p
embesar mempunyai hak kekuasaannya masing-masing yang telah ditentukan, jikalau
aku berkukuh, mungkin nanti ada menteri yang mengatakan aku gunai kekuasaan sewe
nang-wenang."
Yo Lian mengerti itu. ia tutup mulut.
"Beng Kie," kata Him Kengliak kemudian, "pergi kau undang semua giesoe, ak
u hendak menghaturkan terima kasih kepada mereka."
Giesoe yang dimaksudkan kengliak itu ialah semua orang yang membantui pada
nya.
Giok Lo Sat dan Tiat Hoei Liong yang mendengar perkataannya panglima dari
perbatasan itu, segera menghampiri, untuk memberi hormat dengan menjura dalam-da
lam.
"Kami datang kemari secara kebetulan saja. kami tidak berani menerima ucap
an terima kasih," kata mereka.
Teng Pek heran, hingga ia awasi kedua orang itu.
"Him Taydjin setia kepada negara, hamba sangat mengaguminya," kata pula Ho
ei Liong, "akan tetapi kami ayah dan anak. adalah orang-orang gunung, biasanya k
ami tidak berani dekat dengan pembesar negeri. Pertemuan kita hari ini adalah ke
jadian yang tidak disangka-sangka, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai ja
sa. Harap kengliak memaafkannya, kami mohon pamitan."
Meski demikian, panglima itu toh memberi hormat sambil menghaturkan terima
kasih juga.
"Beng Kie, pergi kau antar kedua tetamuku ini," kata ia kepada Gak Beng Ki
e.
Ketika itu Giok Lo Sat masih belum masukkan pedangnya ke dalam sarungnya,
Beng Kie lihat senjatanya nona itu. ia heran. Itulah pedang Yoeliong kiam kepuny
aannya, yang telah lenyap di dalam keraton! Tiba-tiba ia ingat kepada bayangan o
rang yang sama-sama ia memasuki keraton pada malam itu. Sekarang ia menduganya b
ayangan itu Giok Lo Sat adanya.
Sampai waktu itu barulah si Raksasi Kumala masukkan pedangnya ke dalam sar
ungnya, ia berbuat demikian sambil bersenyum puas...
Beng Kie tidak mengucapkan apa-apa, ia mengantarkan sampai di tangga lorak
.
"Lian Liehiap. ada serupa barang yang aku hendak kembalikan kepadamu." kat
a ia kepada si nona. ta rogoh keluar kitab ilmu pedang dari sakunya, sambil angs
urkan itu ia tambahkan: "Silakan liehiap periksa, benar atau tidak ini barangmu
yang tulen."
Dengan tertawa. Giok Lo Sat sambuti kitabnya itu.
Beda daripada puterinya itu, Hoei Liong sebaliknya merasa heran sekali.
"Untuk kitab ini. kami ayah dan anak telah melakukan perjalanan ribuan lie
," dia mengatakan. "Dari "manakah kau dapatkannya ini9"
Selagi Beng Kie hendak berikan keterangannya, si nona memotongnya.
"Aku juga ada punya serupa barang untuk dikembalikan padamu!" kata ia.
Nona ini loloskan Yoeliong kiam dari pinggangnya.
"Barang masing-masing telah dikembalikan, maka itu kita pun tidak usah sal
ing terima budi..." kata dia.
Hoei Liong melengak, dalam hatinya ia kata: "Dasar anak kepala besar!"
Giok Lo Sat bertindak turun di tangga. Tiba-tiba ia berpaling dan tanganny
a menggapai.
"To It Hang, kemari kau!" ia memanggil.
It Hang campurkan diri di antara orang banyak, ia dengar panggilan itu, ma
u tidak mau ia bertindak menghampirkan.
Pek Sek Toodjin saksikan semua itu, ia lirik It Hang dengan maksud mencega
h, tapi pemuda itu seperti tidak melihatnya dia bertindak terus ke tangga lorak.
"Kau baik?" Giok Lo Sat tanya kepadanya.
"Kenapa tidak?" menyelak Pek Sek Toodjin, yang diam-diam telah mengikuti d
i belakangnya It Hang.
Kedua matanya si nona bersinar.
"Inilah paman guruku yang ke empat," It Hang memperkenalkan.
Si Raksasi Kumala tertawa tawar.
"Seumurku, aku paling tidak suka orang banyak mulut!" katanya dengan dingi
n. "Eh, To It Hang, aku menanya kau!"
Bukan main mendongkolnya Pek Sek Toodjin, sampai ia raba gagang pedangnya.
"Aku ada baik." It Hang lekas menjawab si nona "Kau bersama Tial Lootjianp
wee tinggal di mana? Lain hari aku nanti mengunjungi kalian..."
"It Hang," Pek Sek memotong, "urusan di sini sudah selesai, besok kau turu
t aku pulang ke gunung!"
Imam ini mencoba akan sabarkan diri.
Giok Lo Sat kembali tertawa dingin.
"Benarkah orang ini paman gurumu?" dia menegasi It Hang.
"Apa artinya kata-katamu ini?" Pek Sek menegur dengan gusar.
Giok Lo Sat tertawa.
"Sebab aku lihat kau mirip sebagai ayahnya!" ia jawab. "Biasanya sekalipun
seorang ayah, tidak nanti dia perlakukan anaknya demikian keras!"
"Hm!" Pek Sek perdengarkan suara di hidung. Lalu ia pandang keponakan muri
dnya akan berkata: "Kami kaum Boetong pay mempunyai aturan yang melarang percamp
ur gaulan dengan orang jahat!"
Sekonyong-konyong Giok Lo Sat menghunus pedangnya.
"Pek Sek Toodjin!" dia kata dengan mengejek. "Orang-orang dari kaummu tida
k sedikit yang aku telah mengenalnya, akan tetap aku berani kata, kecuali Tjie Y
ang Toodjin, belum pernah ada di antaranya yang terdengar pantas disebut satu gi
esoe! Aku hendak tanya kau. usaha apa kau pernah perbuat yang mendatangkan kekag
uman khalayak ramai? Kau berani memandang tak mata kepada orang-orang gagah kaum
Rimba
Hijau? Hm! Aku adalah yang di matanya kaummu dianggap sebagai orang-orang
jahat! Nah, mari kita mencoba-coba!"
Mukanya imam dari Boetong pay itu menjadi merah padam. Ia tidak sangka non
a ini dapat keluarkan kata demikian tajam. Maka dengan perdengarkan suara "Sret"
, ia segera cabut pedangnya.
It Hang jadi gelagapan.
"Di depan Him Kengliak jangan orang berbuat tak kenal aturan!" dia kata ba
hna bingungnya.
Pek Sek rupanya sadar, ia terus kata:
"Besok tengah hari, aku nantikan kau di lembah Pitmo gay untuk terima peng
ajaranmu!"
"Soesiok!" It Hang memotong. "Bukankah tadi Soesiok kata bahwa kita akan p
ulang ke gunung besok?"
Napasnya imam itu seperti sesak.
"Kau tak usah perdulikan itu!" dia membentak keponakan muridnya.
Giok Lo Sat tertawa riang.
"Aku bersedia akan turut titahmu!" dia terima tantangan.
Selagi Giok Lo Sat adu mulut dengan Pek Sek Toodjin, Tiat Hoei Liong tarik
Gak Beng Kie ke samping, untuk tanya ini dan itu kepada pemuda itu. Ia menanyak
an she dan namanya Beng Kie, lalu keluarganya, lantas gurunya.
Gak Beng Kie tidak tahu orang tua ini adalah ayahnya nona Tiat San Ho. ia
heran atas pelbagai pertanyaan itu, di dalam hatinya ia kata: "Tadi aku saksikan
dia berkelahi sangat gagah, maka heran sekarang kenapa dia bicara begini melit
bagaikan seorang nenek?" Iapun berniat tanya she dan namanya orang tua ini, tapi
tidak dapat ia potong rentetan pertanyaan yang diajukan kepadanya itu.
Maka syukur, pertengkaran mulut di antara Pek Sek dan Giok Lo Sat telah sa
mpai di akhirnya dan si nona hampirkan orang tua itu.
"Ayah. mari kita pergi!" si anak-angkat mengajaknya.
Kepada Beng Kie masih Tiat Hoei Liong memesan: "Saudara Gak. biar bagaiman
a, sebentar malam aku undang kau mesti datang ke kuil Lengkong sie dibukit Seesa
n untuk kita pasang omong!"
Itu waktu It Hang datang kepada mereka.
"Tiat Lootjianpwee. apakah kau ada baik?" dia tanya si orang tua.
Beng Kie terperanjat, bahna heran.
"Lootjianpwee toh yang menggetarkan Barat utara..." katanya.
"Ya, aku si orang tua Tiat Hoei Liong yang dimaksudkan!" jago tua itu memo
tong.
Beng Kie masih heran.
"Nona San... Nona San Ho..."
"San Ho adalah anak perempuanku." Hoei Liong meneruskannya.
Beng Kie hendak beritahukan orang tua ini tentang lenyapnya San Ho akan te
tapi Giok Lo Sat sudah tuntun tangan ayah angkatnya itu untuk diajak pergi.
It Hang segera juga keluarkan helaan napas lega. Tapi Pek Sek Toodjin masi
h saja mendeluh hatinya, dengan terpaksa ia kembali ke dalam, untuk pamitan dari
Him Kengliak.
Teng Pek tahu imam ini adalah salah satu ketua dari Boetong pay, ia mengho
rmatinya, ia mengantar sendiri imam itu sampai di tangga lorak.
Dengan perginya Pek Sek Toodjin, semua murid Boetong pay ikut berlalu juga
. Kemudian Boesoe Lioe See Beng pun ajak kawan-kawannya pamitan dari Him Kenglia
k.
"Sudah lama aku dengar nama besar dari Lioe Giesoe di kota raja ini," berk
ata panglima dari tapal batas itu. "aku merasa beruntung dengan pertemuan kita h
ari ini. Kenapa Giesoe tidak duduk dulu sebentar?"
"Terima kasih, taydjin," sahut See Beng. "Kawanan berandal ini terang data
ng tidak untuk harta benda, maka jikalau taydjin sudi dengar, haraplah taydjin b
erlaku waspada."
"Terima kasih," Teng Pek mengucap. "Pernah aku berperang beratus kali, beb
erapa puluh kali aku mengalami bencana yang hampir merampas jiwaku, maka itu aku
anggap kematian adalah takdir, aku pasrah kepada nasib."
Lioe See Beng kagum untuk nyalinya panglima ini.
"Keluargaku turun temurun menjadi guru silat di kota raja ini," berkata Li
oe Boesoe pula, "maka itu, murid-murid dan sahabat-sahabatku tidak sedikit jumla
hnya, bersama-sama mereka aku bersedia untuk menunaikan kewajibanku terhadap tay
djin. Aku tidak akan kasih ketika orangjahat main gila di sini! Sekarang ijinkan
kami pulang dahulu."
Beng Kie girang, ia mengucapkan terima kasih pada guru silat ini.
Seberlalunya guru silat serta kawan-kawannya itu, Beng Kie kata kepada sep
nya: "Guru silat ini luas pergaulannya di kota raja, dia bersahabat kepada kedua
golongan Jalan Hitam dan Jalan Putih, dengan adanya mereka yang suka bantu kita
, bolehlah kita legakan hati."
Him Kengliak menghela napas.
"Melihat suasana sekarang, hatiku tawar," kata ia.
"Jika besok kita menghadap di istana." kata Yo Lian, "paling dulu kita tan
yakan halnya kimtjee palsu Tjoei Tjeng Sioe itu, kemudian barulah kita minta ora
ng dari Kioeboen Teetok."
"Tjoei Tjeng Sioe adalah orangnya Goei Tiong Hian." kata Touwgiesoe Tjee G
oan Piauw, "sudah kepalang tanggung baik kita sekalian dakwa juga Goei Tiong Hia
n!"
Mendengar ini. Leepou Siangsie Soen Tjin Hang usulkan: "Kenapa kita tidak
undang saj a semua menteri yang setia untuk bersama-sama mohon Sri Baginda urus
perkara ini seluruhnya?"
"Akur!" kata Liepou Siangsie Tjioe Kee Bok. "Dengan bekerja sama. jumlah k
ita menjadi besar, dengan begitu, kawanan dorna pasti tidak akan berani memandan
g enteng terhadap kita."
Usul itu telah dapat kesetujuan. Maka orang lantas membagi tugas.
Selekasnya semua pembesar bubaran. Beng Kie merasa tidak aman.
Him Kengliak tidak tahu pikirannya orang sebawahan itu, ia puji padanya: "
Baiknya tadi kau bisa lihat gelagat dengan pergi mengundang bala bantuan."
Ong Tjan pun sekarang insyaf bahwa tadi ia menduga jelek kepada pemuda itu
, ia berbalik mengaguminya.
"Saudara Gak, kau sungguh pandai!" kata ia. "Dalam waktu pendek kau telah
datangkan demikian banyak orang kosen."
"Duduknya hal sebenarnya sederhana saja," sahut Beng Kie. Ia tuturkan haln
ya Pek Sek semua. "Tapi Tiat Hoei Liong telah janjikan aku untuk sebentar malam
datang padanya."
"Sudah adajanji, tidak dapat kita mengingkari janji itu," kata Him Kenglia
k.
"Tapi aku tidak niat meninggalkan taysoe," Beng Kie kata. "Lagi pula aku b
elum terima baik undangannya itu."
"Tapipun kau tidak menolaknya?"
"Tidak sempat aku menampik, dia sudah keburu pergi."
"Jikalau demikian duduknya, harus kau pergi," katanya sep itu. "Ratusan ri
bu musuh aku tidak takuti, kenapa aku mesti jeri terhadap rombongan penjahat kec
il ini? Lagipun kita dilindungi Lioe Giesoe, bukan? Maka itu kau pergilah dengan
tenang! Orang tua itu, walaupun nampaknya jumawa, aku lihat dia adalah seorang
jujur, sudah selayaknya jikalau kau ikat persahabatan dengan orang tua itu."
Mendengar demikian, lega juga hatinya Beng Kie. Pada malam harinya sehabis
bersantap, ia lantas dandan, terus ia minta perkenan dari sepnya untuk pergi me
menuhi janji terhadap Tiat Hoei Liong. Kepada Ong Tjan ia tinggalkan pesan. Hati
nya bertambah lega ketika ia saksikan di luar gedung, Lioe See Beng benar-benar
ada memasang orang di sekelilingnya. Karenanya, dengan hati tenteram ia menuju k
eluar kota.
Kuil Lengkong sie berada di atas Seesan, Bukit Barat. Di waktu Beng Kie me
ndaki bukit itu, rembulan sudah berada di atasan kepala, ialah sudah hampir jam
tiga.
"Tiat Hoei Liong seorang yang aneh." pikir pemuda ini. Dia tinggal begini
jauh dari kota, dia toh minta orang kunjungi padanya... Entah urusan penting apa
yang hendak dibicarakannya?"
Tengah pemuda ini berpikir sambil jalan, tiba-tiba ia dengar suara tertawa
yang panjang, yang keluar dari tempat pohon-pohon lebat di sampingnya, ketika s
uara itu berhenti, sebagai gantinya muncul satu nona dengan pakaian serba putih.
Itulah Giok Lo Sat dengan senyumnya yang berseri-seri.
Saking heran, orang she Gak ini melengak.
"Mana Tiat Lootjianpwee?" dia tanya selang sesaat.
Tiba-tiba Giok Lo Sat perlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia kata: "Hari in
i kau adalah tetamu terhormat dari ayahku, maka itu walaupun di antara kita ada
sedikit perselisihan, suka aku menghabiskannya."
"Ah, siapa yang berselisih denganmu?" pikir Beng Kie. "Ketika dulu kita be
rtemu di puncak gunung Hoasan, kau sendirilah yang dengan tak ada sebab dan alas
an sudah menantang aku mengadu pedang! Itu toh bukannya urusanku?"
Tetapi pemuda ini ketahui baik perangainya nona itu, ia tidak mau melayani
nya.
"Apakah Tiat Lootjianpwee minta kau papak aku?" dia tanya.
"Bukan hanya memapak, akupun hendak periksa kau!" sahut si nona.
"Ah, janganlah kau bergurau, Lian Liehiap!" kata Beng Kie. Ia merasa tidak
enak hati, tetapi iapun sedikit mendongkol.
"Siapa bergurau kepadamu?" Giok Lo Sat baliki. "Aku tanya kau! Kau tahu ti
dak bahwa Tiat San Ho itu gadisnya ayah angkatku?"
"Aku tahu."
"Dan tahukah kau bahwa gadisnya itu berlalu dari rumah karena mengambul?"
"Hal itu aku tidak ketahui."
"Kau datang bersama-sama dia ke kota raja ini dan sama-sama tinggal di ged
ungnya Yo Lian, bukankah?"
"Benar! Tapi baru beberapa hari yang lalu dia telah diculik orang. Mengena
i ini aku justeru berniat temui Tiat Lootjianpwee untuk menghaturkan maaf."
Mendengar ini, mendadak Giok Lo Sat tertawa, tak hentinya.
Benar-benar Beng Kie heran, ia tercengang.
"Orang nampak bahaya tetapi kau tertawa, kau sungguh luar biasa..." ia pik
ir bahna herannya.
Masih Giok Lo Sat tertawa.
"Jangan kuatir, ayahku bukan hendak minta orang dan padamu1" ia kata. "Dia
malah niat haturkan gadisnya itu kepadamu!"
Beng Kie terperanjat.
"Apa yang kau maksudkan?" tanyanya.
"Apa yang kumaksudkan?" mengulangi si nona. "Apa benar kau begini tolol? A
ku akan jadi comblangmu, kau mengertikah?"
"Adakah orang mencomblangi seperti caramu ini?" Beng Kie tanya.
Si nona perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Aku lihat kau bukannya orang yang tidak berbudi," ia berkata. "Mengapa ka
u bersikap begini?"
Beng Kie heran berbareng mendongkol.
"Jadi kau maksudkan aku orang yang tidak berbudi?" katanya.
"Yang satu lelaki bujangan dan yang lain wanita tunggal!" kata si nona. "K
alian jalan bersama laksaan lie, sampai di kota raja ini! Memang benar San ho me
nyamar sebagai orang lelaki, tetapi kau dan dia tinggal sama-sama di rumah Kelua
rga Yo! Mungkinkah di antara kalian sedikitpun tidak mempunyai perasaan saling m
enyinta?"
Nona Lian demikian polos, hingga ia keluarkan kata-katanya tanpa rem lagi
dan malu-malu, hingga mukanya Beng Kie menjadi merah sampai ke kuping-kupingnya.
"Aku Gak Beng Kie adalah satu laki-laki sejati!" dia berteriak. Tapi dia t
idak dapat meneruskannya, meskipun sebenarnya dia hendak menambahkan: "Mustahil
aku berbuat yang tidak kepantasan?" Karena Giok Lo Sat sudah lantas memotongnya.
"Adalah umum jikalau pria dan wanita saling mengagumi!" demikian katanya.
"Aku sendiri seandainya sukai satu orang, tak takut aku mengatakannya terhadap s
iapa juga! Siapa main sembunyi-sembunyi, dia bukannya seorang gagah!"
Beng Kie bergelisah. ia menggoyang-goyangkan tangannya.
"Cukup, Lian Liehiap!" katanya. "Terhadap San Ho aku anggap sebagai adikku
. Aku harap kau tidak keliru mengerti!"
Nona itu lantas kerutkan kening, hingga wajahnya tak dapat diterka, dia te
rtawa atau bukan.
"Sekarang tak usah kita bicarakan lagi soal cinta atau tidak," ia kata. "S
ekarang aku tanya padamu, kau suka padanya atau tidak?"
"Tadi toh aku telah beritahu kepadamu..." sahut Beng Kie. Tapi ucapan sela
njutnya dicegat pula oleh nona di depannya itu.
Wajahnya si Raksasi Kumala nampak menjadi sungguh-sungguh.
"Kau jawab dengan ringkas!" katanya. "Aku paling sebal apabila orang memut
ar-mutar pembicaraan. Ringkasnya saja, kau suka dia atau tidak?"
"Aku suka!" jawabnya Beng Kie, yang terpengaruh kepolosannya si nona.
Giok Lo Sal perlihatkan wajah keren.
"Kalau begitu, inginkah kau menikah dengan dia?"
"Suka adalah satu urusan, menikah ada lain soal lagi," Beng Kie jawab.
"Ah, kau jangan omong saja!" kata pula si nona. "Hayo jawab, kau suka meni
kah dengan dia atau tidak?"
Melihat orang mendesak demikian rupa, Beng Kie kepeskan tangannya.
"Jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, tolonglah sampaikan kepada Tiat L
ootjianpwee bahwa aku telah datang kemari," kata dia. Ia membalik tubuh untuk be
rtindak pergi.
Nona Lian perdengarkan tertawa panjang, tubuhnya lompat mencelat, akan men
ghalang di depan pemuda itu. Pedangnyapun segera terhunus di tangannya.
"Apakah artinya ini?" Beng Kie tanya.
"Aku larang kau pergi!" sahut si nona. "Katakanlah, kau sebenarnya suka me
nikah dengan dia atau tidak?"
Beng Kie menjadi gusar.
"Tidak!" dia berteriak.
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Hm! kau benar-benar bukannya satu manusia!"
Dengan mendadak juga nona ini segera menikam dengan pedangnya.
Beng Kie terkejut tetapi ia dapat mengelakkan diri.
Si Raksasi Kumala tidak berhenti dengan satu tikamannya itu, ia lantas men
yerang pula, berulang-ulang dengan sangat ganasnya, saban-saban ia cari sasaran
pada bagian-bagian yang berbahaya.
Setelah terus-terusan berkelit tanpa balas menyerang, habislah kesabaranny
a Beng Kie.
"Sret!" dia hunus Yoeliong kiam.
"Jikalau kau mempunyai kepandaian, hayo kau bunuh comblangmu ini!" teriak
Giok Lo Sat, namun ia tetap menyerangnya.
Panas hatinya pemuda she Gak itu, ia menangkis berulang-ulang menghindarka
n ancaman bencana.
"Di kolong langit ini, belum pernah aku ketemu orang yang tidak tahu atura
n semacam kau ini!" dia berteriak. "Di mana ada aturan memaksa orang menikah?"
Pemuda ini tidak tahu bahwa pandangannya Giok Lo Sat lain daripada pandang
annya sendiri. Nona ini anggap, dia telah lakukan perjalanan demikian jauh bersa
ma Tiat San Ho, mereka juga tinggal sama-sama, malah Tiat San Ho sendiri suka me
nikah kepadanya, maka itu Giok Lo Sat anggap Beng Kie harus nikah nona Tiat itu!
Beng Kie benar-benar murka karena terlalu didesak, ia keluarkan ilmu pedan
g Thiansan kiamhoat untuk melayaninya, hingga Giok Lo Sat tidak berani terlalu m
erangsek pula.
Kemudian, sambil berkelahi, si Raksasi Kumala berseru: "Adik San Ho, baikl
ah kau jangan nikah kepada orang yang tidak mempunyai perasaan ini! Aku nanti wa
kilkan kau membunuh dia!"
Seruan itu membuat Beng Kie heran, hingga ia melihat ke sekitarnya. Juster
u itu, Giok Lo Sat serang ia di kiri kanan membikin ia repot, setelah mana, si n
ona tusukkan ujung pedangnya ke arah tenggorokannya.
Bukan kepalang kagetnya pemuda ini, tetapi masih sempat ia mengegoskan kep
alanya, hingga ujung pedang lewat di tempat yang kosong. Ia lantas keluarkan ker
ingat dingin. Tentu sekali ia jadi sangat gusar karenanya. Maka ia balas menyera
ng dengan sengit. Dengan satu tangkisan "Kiehwee liauwthian", atau "Mengangkat o
bor membakar langit", ia sampok terpental pedang si nona.
"Biar bagaimana, tak sudi aku nikah dia!" ia kata dengan nyaring.
Giok Lo Sat tidak gubris pernyataan itu. Dia hanya berseru pula: "Adik San
Ho!"
Beng Kie mendongkol tidak kepalang.
"Tiada gunanya kau panggil dia!" ia kata. "Biar bagaimana, tidak nanti aku
nikah dia!..."
Baru Beng Kie keluarkan kata-katanya yang terakhir itu, atau dari dalam po
hon-pohon lebat terdengar seruan bagaikan guntur, disusul dengan menyambarnya su
atu bayangan hitam. Ia kaget tetapi ia lantas jatuhkan diri untuk terus bergulin
gan di tanah.
"Binatang, kau berani menghina anakku!" demikian satu bentakan. "Kau rasai
kepalanku ini!"
Ancaman itu segera dibuktikan dengan serangan.
Beng Kie menangkis dengan pedangnya.
"Tiat Lootjianpwee, maaf..." kata dia
Hoei Liong tidak memperdulikan, ia mengulangkan serangannya
"Nie Siang berlaku baik menjodohkan kau dengan anakku, kau menolaknya, aku
pun tidak dapat memaksanya, tetapi mengapa kau perhina anakku?" teriak orang tua
itu.
Beng Kie menikam ke arah pundak kiri. dengan begitu, ia buyarkan serangann
ya jago dari Barat utara itu.
"Lootjianpwee. jangan kau salah mengerti..." ia berkata.
Hoei Liong mengelakkan pundak kirinya, kepalan kanannya balas menyerang, l
alu disusul pula dengan kepalan kiri.
"Aku telah dengar semua, kau masih hendak menyangkal?" teriaknya, la masih
sengit, ia menyerang dengan hebat. Ia memang liehay ilmu silatnya dan tenaganya
pun besar.
Beng Kie jadi gelisah dan bingung sekali, la tidak berani membalas menyera
ng orang tua itu. Dalam repotnya itu, pundaknya kena terpukul, hingga ia merasak
an sakit bukan main. lapun terpukul terpelanting sampai kira-kira satu tumbak.
Giok Lo Sat berlompat selagi orang terhuyung-huyung.
"Apakah kau masih berniat lari?" dia mengejek sambil tertawa, pedangnya me
nikam ke arah ulu hati.
Beng Kie dapat tangkis serangan itu. setelah mana, ia lompat mundur. Tapi
justeru itu Tiat Hoei Liong lompat mencegat sambil mementangkan tangan dengan ja
ri-jarinya yang kuat bagaikan gaetan besi.
Melihat bahaya yang mengancam itu, Beng Kie lempar pedangnya sambil keluar
kan helaan napas.
"Baik kau bunuh saja aku!" katanya.
Hoei Liong tidak menyangka akan kenekatan orang, ia heran dan kaget, hingg
a tangannya seperti berhenti di tengah jalan.
"Ayah, jangan!" demikian jeritan seorang perempuan, yang pun segera muncul
dari arah pohon. "Anakmu hendak bicara!"
Kembali Hoei Liong tercengang.
Beng Kie kenali suara itu, ia kaget berbareng girang.
"San Ho!" ia berseru. Tapi ia tidak dapat mengucap lebih lanjut, lantas ia
bungkam.
Hoei Liong dan Giok Lo Sat pernah merantau sampai di tapal batas untuk men
cari kitab ilmu pedang, di mana mereka satroni sarangnya Kim Tok Ek, ketika mere
ka dengar kabar, bahwa orang she Kim itu menyelusup ke kota raja, mereka lantas
menyusul. Kebetulan sekali, sesampainya mereka di kota raja, mereka lihat San Ho
yang menyamar sebagai seorang pemuda dan bersama Gak Beng Kie menumpang tinggal
di gedungnya Keluarga Yo. Ketika dulu Hoei Liong usir puterinya, itulah disebab
kan amarahnya seketika, yang kemudian ia merasa menyesal. Giok Lo Sat dapat terk
a hatinya ayah angkat itu.
"Kenapa ayah tidak mau tengok mereka?" kata anak angkat ini. "Aku kenal or
ang she Gak itu. Bila ayah setuju, aku akan berdaya untuk ikat perjodohan mereka
."
Sementara itu Hoei Liong dan Nona Lian dapat ketahui bahwa Kim Tbk Ek seda
ng bersembunyi di dalam istana, hingga Giok Lo Sat sudah merencanakan akan menye
rbu ke keraton untuk cari orang she Kim itu. Jago tua itu setuju.
"Baiklah, mari kita pergi dahulu ke rumah Keluarga Yo," kata orang tua ini
. "Dari sana baru kita pergi ke istana akan cari siluman tua (dimaksudkan Kim To
k Ek) itu?"
Tapi Hoei Liong dapat jawaban di luar sangkaannya.
"Aku tidak ingin temui orang she Gak itu," kata Giok Lo Sat. "Baiklah kita
bekerja dengan berpisahan. Ayah boleh tengok San Ho, aku akan pergi ke istana m
encari si orang she Kim."
"Bagaimana, apakah orang she Gak itu bukan orang baik-baik?" Hoei Liong ta
nya.
"Aku tidak maksudkan dia jahat, hanya ada perselisihan di antara dia dan a
ku, kecuali bila dia telah menikah dengan adik San Ho, tidak nanti aku mau akur
pula dengan dia."
Hoei Liong dan Giok Lo Sat masing-masing mempunyai tabiat yang aneh, maka
tanpa banyak omong lagi, malam itu mereka pergi dengan berlainan tujuan. Justeru
malam itu keduanya mendapatkan hal yang luar biasa
Malam itu untuk kedua kalinya, Gak Beng Kie telah memasuki keraton. Kali i
ni Giok Lo Sat pun justeru datang menyatroni istana. Kebetulan bagi si nona, dia
sampai di tempatnya Goei Tiong Hian selagi orang kebiri itu berkumpul bersama p
ahlawan-pahlawannya tengah mengagumi pedang Yoeliong kiam, kepunyaan Beng Kie.
Giok Lo Sat tidak kenal yang mana satu adalah Goei Tiong Hian, sebaliknya,
ia kenali pedang mustika itu. Ia ada demikian berani, dengan-tiba-tiba ia lompa
t di antara orang kebiri itu dan hamba-hambanya, tahu-tahu pedang itu telah berp
indah ke tangannya hingga istana menjadi kacau. Di luar tahunya, aksinya ini tel
ah membantu Beng Kie, hingga pemuda she Gak ini berhasil menolongi Seng Koen. Be
ng Kie tidak tahu aksinya nona itu.
Tiat Hoei Liong di lain pihak pergi ke gedungnya Yo Lian, untuk tengok gad
isnya, belum ia memasuki gedung itu, ia telah berpapasan dengan beberapa pahlawa
n dari Tongtjiang yang menculik San Ho. Jago tua ini jadi gusar, dengan hebat ia
serang pahlawan-lawan itu, ia dapat binasakan tujuh orang. Dengan begitu, ia be
rhasil menolongi gadisnya. Tapi karena ini juga, Hoei Liong duga mungkin sekali
Kim Tok Ek akan datangi pula gedung Yo Lian itu, maka iapun datang bersama Giok
Lo Sat dengan kesudahannya mereka dapat membantu Him Kengliak.
Setelah dapat menolongi puterinya banyak yang Hoei Liong tanyakan kepada p
uterinya, dari jawaban dan lagu suaranya ia tahu puteri ini kagumi Gak Beng Kie,
hingga ia menduga di antara San Ho dan Beng Kie telah ada janji untuk hidup ber
sama. Justeru dugaan inilah yang telah menerbitkan lelakon yang membawa keonaran
itu. Giok Lo Sat desak si anak muda, dan Hoei Liong unjuk kemurkaannya.
Sesudah menduga hati anaknya, Hoei Liong berdamai kepada Giok Lo Sat. Deng
an tangkas nona Lian menyediakan diri untuk jadi orang perantaraan. Ketika Giok
Lo Sat bujuki Gak Beng Kie, sampai ia memaksanya, Hoei Liong dan San Ho sembunyi
di dalam pohon-pohon lebat, hingga mereka dengar semua pembicaraan. Selagi Giok
Lo Sat habis sabar, Hoei Liong pun gusar, hingga ia turun tangan membantui anak
pungutnya mengepung anak muda itu.
San Ho sendirinya berduka mendengar Beng Kie tidak cinta padanya. Pernah m
ereka berjalan sama-sama, selama itu tidak pernah mereka omong tentang cinta, ak
an tetapi dengan diam-diam, nona ini menaruh hati terhadap si anak muda. Ia tida
k sangka pemuda itu tidak cinta padanya. Ia berduka berbareng mendongkol, hingga
pikirannya jadi kalut tidak keruan rasa. Ia mau menangis tetapi air matanya tid
ak mau keluar. Meski demikian, menampak Beng Kie putus asa dan menyerah, menghad
api kebinasaan di tangan Giok Lo Sat dan ayahnya, hatinya tidak tega. Maka itu,
ia perdengarkan suaranya dan muncul dari tempat sembunyinya. Anak ini segera peg
angi tangan ayahnya yang hendak diturunkan menghajar Beng Kie.
"Ayah, jangan binasakan padanya," katanya kemudian, suaranya perlahan tapi
tajam. Kemudian ia putar tubuh, akan hadapi Beng Kie. Ia kata: "Gak Toako, aku
berterima kasih yang sebegitu jauh kau telah perhatikan aku. Adikmu yang menyeba
lkan ini, selanj utnya tidak akan memusingkan pula padamu. Aku telah terima budi
mu, aku belum dapat membalasnya, sebaliknya aku telah membikin kau gusar, karena
aku tidak bisa menebus dosa, sekarang sukalah kau terima hormatku..."
Benar-benar San Ho memberi hormat sambil menjura kepada pemuda kita.
Beng Kie tertegun. Dengan tidak disengaja ia telah singgung kehormatannya
nona ini, ia menjadi menyesal sekali. Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata, p
un ia tidak berani angsurkan tangannya untuk membanguni nona itu. Ia dapat lihat
, setelah bangkit berdiri mukanya si nona sangat pucat di kedua pipinya mengalir
sedikit air mata, suatu tanda nona itu sangat berduka. Benar-benar ia jadi mera
sa sangat tidak enak.
Selagi pemuda ini mencoba untuk bicara, San Ho sudah mendahuluinya.
"Mulai hari ini, baiklah kita satu pada lain jangan saling membahasakan ka
kak dan adik lagi. Aku... ya. kitapun tidak usah saling bertemu lagi..."
Lantas si nona membalik tubuh dan lari ke arah kuil.
"Aku keliru!..." kata Beng Kie dengan sesalnya, ia niat menyusul. Baru ia
hendak angkat kakinya, tapi Giok Lo Sat yang berada di dampingnya sudah membenta
k padanya: "Untuk apa berkasihan palsu?" Perkataan ini disusul dengan tikaman pe
dang!
Tapi Tiat Hoei Liong ulur tangannya. untuk menahan serangannya anak angkat
nya itu, sedang di lain pihak, dia bentak Beng Kie: "Orang she Gak, kau pergilah
! Jikalau kau berayal-ayal, pasti akupun tidak akan beri ampun padamu!"
Beng Kie segera pungut pedangnya. dengan mulut membungkam ia ngeloyor turu
n gunung. Ia membiarkan saja walaupun ia dengar berulang-ulang suara dingin dari
Giok Lo Sat: "Hm! hm!..." Ia hanya merasakan suara itu sangat tidak enak. bagai
kan anak panah menikam ulu hatinya...
"Ayah, mari kita pulang!" Giok Lo Sat mengajak.
Ayah angkat itu berdiam, pun tidak menyahutinya.
"Betapa dukanya adik San Ho, mari kita lihat," si Raksasi Kumala mengajak
pula.
Baru sekarang Hoei Liong angkat kepalanya, kelihatan ia ada sangat gusar.
"Apakah kecelaannya anakku itu maka bocah she Gak itu berlaku sangat kuran
g ajar?" katanya dengan mendongkol.
"Itulah disebabkan dia yang tidak punya rejeki," Giok Lo Sat menghibur. "D
i belakang hari, andaikata dia jalan setindak demi setindak untuk memohon tangan
nya adik San Ho, pasti kita tidak akan ambil perduli!"
Mendengar kata-katanya anak angkatnya yang agak lucu ini, Hoei Liong terta
wa juga.
"Nah, mari kita pulang!" anak itu mengajak pula. "Mari kita lihat adik San
Ho. Jikalau dia menangis, tidak ada orang yang menghiburkannya, dia akan lebih
berduka..."
"Ngaco! Jikalau dia menangis, dia bukannya anakku!"
Hoei Liong tahu baik akan sifat puterinya itu. Walau dalam keadaan bagaima
napun, tidak nanti San Ho mau unjuk kelemahannya, apapula untuk mohon bantuan la
in orang. Tapi Hoei Liong merasa kurang tenteram juga, ia bertindak cepat-cepat.
Lengkong sie adalah sebuah kuil tua dan tidak terawat, debunya penuh di sa
na-sini. Setelah memasuki pintu pekarangan, Hoei Liong lihat tapak kaki kusut di
undakan pintu.
"San Ho! San Ho!" ia memanggil berulang-ulang. Hatinya benar-benar menjadi
tidak tenteram.
Kuil itu tetap sunyi, tidak ada jawaban dari San Ho.
Giok Lo Sat pun menjadi heran.
"Mungkinkah ada orang bersembunyi di sini?" tanya dia.
"Coba kau pergi lihat ke depan sana." Hoei Liong menitah. "Jikalau kau lih
at apa-apa yang mencurigakan, segera kau beri tanda padaku."
Sebagai seorang yang telah banyak pengalaman, tindakannya Hoei Liong ini a
dalah persiapan kalau-kalau ada orang jahat, untuk menjaga supaya mereka bisa sa
ling tolong berbareng mencegah dicelakai musuh semuanya.
Giok Lo Sat menurut, ia pergi keluar.
Dengan siap waspada Hoei Liong masuk ke dalam. Lebih dahulu ia meneliti se
kitar luar kamar, baru ia mendekati kamar barat yang di tempatkan gadisnya. Sege
ra ia dengar suara tarikan napas.
"Apakah benar-benar dia menangis?" berpikir ayah ini. Terus ia menolak pin
tu dengan perlahan-lahan. "San Ho!" ia memanggil.
Di atas pembaringan tertampak seorang wanita dengan rambut kusut, dia itu
menyahuti dengan perlahan, "San Ho sudah pergi..."
Hoei Liong terkejut. Ia kenali wanita itu adalah Bok Kioe Nio, gundiknya.
Inilah di luar sangkanya. Ia lantas menjadi gusar.
"Manusia rendah, perlu apa kau datang kemari?" ia menegur. "Kaukah yang me
mbujuk San Ho pergi?"
Bok Kioe Nio tidak beri penyahutan, ia hanya perlihatkan telapakan tangann
ya yang menggenggam tiga butir mutiara merah bagaikan darah. Melihat ini, Hoei L
iong kaget.
"Hai, kau bergabung dengan hantu wanita itu?" teriaknya.
Gundik itu tertawa sedih.
"Looya. kau masih tetap bawa tabiatmu seperti dulu," katanya. "Begitu kau
buka mulut, lantas kau mencaci orang..."
Jago tua itu melengak.
"Ah! Apakah kau hendak pinjam pengaruhnya hantu wanita itu untuk satrukan
aku?" dia tanya.
Bok Kioe Nio diusir suaminya berhubung dengan pencurian kitab ilmu pedang
kepunyaan Giok Lo Sat. karenanya. Hoei Liong curigai gundik ini berdendam kepada
nya dan hendak menuntut balas.
Gundik itu perlihatkan roman tak wajar, lalu mendadak ia menghela napas.
"Looya, kau telah jadi banyak tua..." katanya.
"Apakah hantu wanita itu datang bersama kau?" sebaliknya Hoei Liong mengaj
ukan pertanyaan pula. "Aku tidak perduli! Di mana San Ho sekarang berada?"
"Ketika aku sampai di sini, San Ho sudah turun gunung dengan ambil jalan d
i belakang kuil ini," Kioe Nio kasih tahu. "Tadinya aku sangka kau mendapat kaba
r penting dan telah titahkan si San pergi untuk minta bantuan, adalah setelah ma
suk ke sini, baru aku tahu hal kepergiannya itu. Itulah suratnya di atas meja ya
ng dia tinggalkan untukmu."
Hoei Liong tampak sehelai kertas di atas meja, yang tertulis dengan arang,
bunyinya:
"Aku pulang lebih dahulu. Ayah tak usah cari aku."
Hoei Liong kaget. Tetapi ia kenal baik tabiat anaknya, yang pasti sudah pe
rgi jauh, maka akan sia-sia saja ia menyusulnya. Ia berpaling pada gundiknya, di
telapak tangan siapa masih terlihat tiga butir mutiara merah bagaikan darah tad
i yang di antara sinar pelita, mengeluarkan cahaya merah bergemerlapan.
Meskipun ia satu jago yang tidak kenal takut, namun menampak tiga butir mu
tiara itu, hatinya Hoei Liong gentar juga.
"Looya, baiklah kau lekas menyingkir!" Kioe Nio berkata.
Tapi suami itu murka.
"Untuk banyak tahun kau telah ikut aku, pernahkah kau lihat aku menyingkir
dari satruku?" dia membentak. Tapi sejenak saja, ia menjadi lebih sabar. "Apaka
h kedatanganmu ini hanya untuk memberi kisikan padaku?" tanyanya dengan suara pe
rlahan.
"Masihkah kau menetapi kepada kata dahulu?" Kioe Nio tanya.
"Apa yang aku katakan, aku tidak akan mengubahnya," Hoei Liong jawab. "Kau
ikut kepada siapapun aku tak perduli!"
"Terima kasih, looya," berkata bekas gundik itu.
Dengan sepasang matanya, Hoei Liong memandang keluar jendela. Lalu ia kata
: "Juga tidak terkecuali kalau kau suka kembali pula padaku, maka aku tak akan m
enanyakan jelas padamu."
Hoei Liong merasa kesepian dalam usianya yang telah lanjut itu.
Gundik itu tertawa.
Telah belasan tahun aku ikut looya, yang lainnya tak dapat aku telad, pera
ngaimu dapat juga aku mencontohnya," katanya. "Karena aku telah dianggap bersala
h, biarlah aku salah terus-terusan sampai di akhirnya."
Hoei Liong rasakan mukanya panas.
"Kalau begitu, apa perlunya kau datang memberi kisikan?" dia tanya.
"Itulah karena looya telah rela merdekakan aku, sehingga aku tidak lebih l
ama pula menjadi budak," sahut si nyonya. "Aku ingat budi looya ini, maka aku ta
k ingin melihat kau binasa secara kecewa."
Hoei Liong kerutkan keningnya "Kau ngaco belo!" bentaknya. "Apakah kau ang
gap aku sudah tua hingga aku menjadi tidak berguna lagi?"
"Looya liehay, inilah aku tahu," kata pula Kioe Nio. "Akan tetapi mertuaku
telah berhasil meyakini ilmu silat memukul batu sehingga hancur bagaikan tepung
, dan tangannyapun telah direndam dengan bisa beracun. Maka itu, lebih baik looy
a menyingkir saja!"
Kedua matanya Hoei Liong terbuka lebar.
"Apa? Mertuamu?" dia menegasinya.
"Benar," sahut bekas gundik itu. "Sekarang aku telah menjadi nyonya mantun
ya Anghoa Koeibo Kongsoen Toanio si Biang Hantu Bunga Merah."
Hoei Liong melengak.
"Baik, baik!" katanya kemudian. "Nah, sekarang kau pergilah!"
Masih Bok Kioe Nio berkata pula:
"Kongsoen Toanio telah ketahui kau berada di sini. Besok malam dia hendak
datang untuk membuat perhitungan! Dia sekarang telah akur pula dengan Kim Lookoa
y..."
"Biarlah!" kata Hoei Liong pula.
"Dan kau --- kau pun menjadi satruku?"
"Tidak berani aku menjadi musuh looya." kata Kioe Nio, yang tetap masih be
rbahasa "looya" kepada bekas suami itu. "Mereka pun tidak inginkan aku turut amb
il bagian. Hanya hendak aku terangkan, mertuaku itu, walaupun perangainya mirip
seperti perangai looya, dia tidak dapat dikatakan seorang yang buruk. Maka itu,
aku tidak ingin dia membunuh looya. Juga looya tidak bunuh dia. Oleh karenanya,
looya baiklah kau menyingkir saja daripadanya..."
Itu waktu di luar terdengar satu suara nyaring.
"Giok Lo Sat akan segera datang, nah, kau lekaslah pergi!" Hoei Liong kata
.
Bok Kioe Nio terkejut, lantas ia berpaling kepada bekas suaminya untuk ber
i hormat.
"Looya, harap kaujaga diri baik-baik," katanya, lantas ia lompat keluar je
ndela.
Sebentar kemudian, Giok Lo Sat masuk.
"Apakah ada yang mencurigai?" Hoei Liong tanya anak pungutnya.
"Tidak," sahut Giok Lo Sat. "Cuma di arah Pitmo gay sana seperti ada sinar
api. Apakah perlu kita tengok?"
"Tidak usah, aku sudah ketahui itu," jawabnya Hoei Liong.
Giok Lo Sat memandang ke lantai.
"Siapa yang telah datang kemari?" dia tanya. "Apakah adik San Ho...?"
"San Ho sudah pergi. Tadi Bok Kioe Nio datang cari aku."
"Bok Kioe Nio?"
"Ya, dia. Apakah kau pernah dengar namanya Anghoa Koeibo Kongsoen Toanio?"
"Belum pernah aku mendengarnya. Nama itu aneh
bagiku. Gelaranku saja-Giok Lo
Sat-sudah membuat orang kaget,
tak kusangka ada lain orang yang namanya lebih hebat lagi! Ingin aku menem
ui Koeibo itu..."
Hoei Liong tertawa mendengar kata-kata Jenaka dari anak pungutnya itu. Tap
i sedetik kemudian, ia segera perlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Julukannya Biang Hantu tersohor jauh terlebih siang daripada julukanmu it
u," berkata dia. "Sejak empat puluh tahun yang lampau, orang sudah gelarkan Angh
oa Koeibo padanya."
"Dia sebenarnya orang macam apa?" si Raksasi Kumala menegasinya. "Meskipun
usiaku masih muda sekali, bukan sedikit orang kangouw aku telah jumpai, mengapa
aku belum pernah dengar nama Anghoa Koeibo itu?"
Hoei Liong mengurut-urut kumisnya dan matanya dibuka lebar-lebar. Pada sin
ar mata itu tertampak roman dari ketakutan. Menampak sinar mata ayah angkatnya i
tu. Giok Lo Sat heran, agaknya terkejut.
"Ayah, mungkinkah kau takut terhadap Anghoa Koeibo itu?" dia tanya.
Tiat Hoei Liong kerutkan kening.
"Aku tidak takut terhadap siapa juga," ia kata dengan tawar, "akan tetapi
Anghoa Koeibo itu benar-benar satu lawan yang tangguh sekali. Anak Lian, mari du
duk, akan kututurkan kau suatu cerita."
Giok Lo Sat duduk di tepi pembaringan, dengan mendelong ia awasi ayah angk
at itu.
Hoei Liong hirup secangkir teh tua, ia batuk-batuk.
"Kau telah ketahui," katanya, memulai, "pada beberapa puluh tahun yang lam
pau, untuk di Barat utara, namaku dan Kim Laokoay sama terkenal. Akan tetapi, ta
hukah kau siapa yang mengajarkan ilmu silatnya Kim Laokoay itu?"
Si Raksasi Kumala menggelengkan kepala.
"Kalian adalah orang-orang yang telah berusia di atas enam puluh tahun leb
ih, yang terhitung dua tingkat lebih tua daripada aku, sudah tentu aku tidak ket
ahui tentang kalian di waktu mudanya."
"Ilmu silatnya Kim Laokoay itu adalah isterinya yang mengajarkannya." Hoei
Liong beritahukan. "Isterinya itu ialah Anghoa Koeibo Kongsoen Toanio adanya."
Si nona tertawa.
"Isteri menjadi guru suaminya, sungguh bagus!" kata dia. Tapi di dalam hat
inya ia berpikir: "Andaikata aku berjodoh dan menikah dengan To It Hang, mungkin
akupun akan ajarkan It Hang ilmu silat lebih jauh..." Karena ini, ia jadi ingat
suatu hal, maka ia tanya: "Jikalau satu nona telah menikah, dia biasanya pakai
she dan nama suaminya. Kenapa Anghoa Koeibo itu bukan pakai nama Kim Toanio, tap
i disebutnya Kongsoen Toanio?"
"Baiklah aku tuturkan halnya Anghoa Koeibo itu," sahut Hoei Liong. "Pada e
mpat puluh tahun yang lampau, di Barat utara ada seorang luar biasa yang disebut
Kongsoen It Yang. Ilmu silatnya sangat liehay tak terjajakkan, diapun gemar sek
ali memelihara binatang-binatang yang berbisa, maka itu orang jeri kepadanya. Di
a mempunyai banyak murid tetapi tidak ada satu yang dapat mewarisi kepandaiannya
dengan sempurna. Guruku adalah sahabat karibnya Kongsoen It Yang itu. Menurut k
ata guruku. Kongsoen It Yang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silatnya san
gat berbahaya, apabila ilmu itu diwariskan kepada murid jahat dan kejam, bahayan
ya bukan main hebatnya, maka ia cuma ajarkan murid-muridnya pelbagai ilmu silat
yang kasar dan mudah diajarkannya saja. Kongsoen It Yang berlaku demikian hati-h
ati tapi kemudian ia toh nampak kegagalan. Satu kali pernah datang satu pemuda,
yang menjadi muridnya, di luar dugaannya, murid ini telah tempel gadisnya, hingg
a kesudahannya mereka berdua berhasil mencuri kitab ilmu silatnya Kongsoen It Ya
ng yang dirahasiakan itu. Nona itu adalah anak satu-satunya dari Kongsoen It Yan
g, dimanjakan bagaikan mustika saja, sebagaimana aku terhadap San Ho. Walaupun K
ongsoen It Yang kemudian ketahui perbuatan anaknya itu, dia hanya bergusar tetap
i tidak bisa berbuat suatu apa terhadap anaknya. Akhirnya dia mati mereras bahna
jengkelnya."
"Pemuda itu pastilah yang kemudian dikenal sebagai Kim Laokoay," si Raksas
i Kumala menduga. "Kiranya dia sudah biasa mencuri, tidak heran kalau dia telah
curi kitab ilmu pedang kepunyaan guruku dan kemudian mencobajuga curi kitab ilmu
silat Siauwlim pay!"
"Demikianlah kalau orang sudah menjadi kebiasaan," kata Hoei Liong. "Di ma
sa mudanya, hatinya Kim Laokoay sudah demikian buruk, sudah dapat dipastikan, ma
kin dia tua. hatinya makin buruk lagi. Sesudah dia dapat bujuki isterinya curi k
itab rahasia mertuanya itu, lalu bersama-sama mereka pergi menyembunyikan diri d
i gunung Thiansan bagian Utara, di mana diam-diam mereka meyakini ilmu dari kita
b rahasia itu. Di kala itu, ilmu silatnya Kim Laokoay barulah apa yang dinamakan
mulai memasuki pintu, sedang ilmu silat isterinya sudah mempunyai dasar kuat, d
engan demikian menjadi nyata bahwa Kim Laokoay dapat pelajaran di bawah pimpinan
isterinya itu. Selang belasan tahun, ilmu silatnya kedua suami isteri itu telah
menjadi sempurna. Setelah itu, Kim Tok Ek mulai berbuat hal-hal yang tidak bagu
s, dengan kesudahannya dia membangkitkan amarahnya kaum Rimba Hijau, hingga tiga
belas jago dari Barat utara telah berserikat mengepung dia. Sebenarnya akupun t
elah diundang untuk bekerja sama, tetapi karena terhalang urusanku, tidak dapat
aku turut serta. Tiga belas jago itu berhasil mengurung Kim Tok Ek, yang tak mun
gkin dapat meloloskan diri lagi, akan tetapi di saat jiwanya sedang terancam mau
t, muncullah isterinya yang telah datang menolongi. Pertempuran jadi sangat dahs
yat, tiga belas jago itu kena dikalahkan. Kim Tok Ek telah dapat luka yang berba
haya tapi kemudian jiwanya tertolong juga. Kongsoen Toanio itu suka menancapkan
bunga merah di rambut di samping kupingnya, sehabisnya pertempuran mati-matian i
tu, dia lantas dapatkan julukan Anghoa Koeibo si Biang Hantu Bunga Merah."
"Liehay ilmu silatnya Anghoa Koeibo," berkata Giok Lo Sat, "akan tetapi di
a telah menangi suaminya, itulah harus disayangkan."
"Ya," kata Hoei Liong. "Buat omong secara jujur, walaupun julukan Anghoa K
oeibo sangat menakuti, akan tetapi hatinya tidak seburuk suaminya itu, seringkal
i dia beri nasehat pada suaminya, tapi semua itu tak didengar oleh suaminya itu.
Inipun sebabnya waktu Kim Laokoay dikepung tiga belas jago. dia baru datang men
olongi di saat suaminya dalam keadaan yang sangat terancam. Maksudnya Anghoa Koe
ibo berbuat demikian adalah untuk beri ajaran pada sang suami agar tahu takut da
n meru bah tabiatnya, akan tetapi justeru karena mengandalkan kegagahan isteriny
a itu, Kim Laokoay jadi semakin binal, setelah sembuh dari luka-lukanya, dia tel
ah melakukan lebih banyak kejahatan, hingga kesudahannya, bahna jengkel dan putu
s asa, Anghoa Koeibo pisahkan diri dari suaminya itu. Sejak itu, selama tiga pul
uh tahun tidak ada orang yang ketahui di mana nyonya kosen itu menempatkan dirin
ya."
Giok Lo Sat menghela napas.
"Kalau begitu, Anghoa Koeibo itu tak dapat dikatakan terlalu buruk," katan
ya.
"Sejak meninggalkan suaminya itu, Anghoa Koeibo tidak sudi pakai nama suam
inya," Tiat Hoei Liong menjelaskan lebih jauh, "ia memakai nama Kongsoen Toanio,
dengan ambil she ayahnya. Pada sepuluh tahun pertama ia sembunyikan diri. perna
h dua tiga kali Kongsoen Toanio munculkan diri, barulah setelah itu ia tidak per
nah muncul pula, hingga banyak orang yang anggap dia telah menutup mata. Tidak d
isangka dia sebenarnya masih berada dalam dunia dan sekarang muncul untuk menyat
rukan aku. Dan lebih tidak disangka dia telah peroleh satu anak laki-laki dan an
aknya itu telah ambil Bok Kioe Nio sebagai isteri! Sungguh dunia bagaikan sandiw
ara, yang membuat orang tak habis pikir!..."
Sama sekali Tiat Hoei Liong tidak tahu. setelah Bok Kioe Nio meninggalkan
padanya, gundik itu sudah dikepung-kepung Kim Tjian Giam, sampai di Siangyang, O
uwpak, di mana Kioe Nio ketemu Anghoa Koeibo. Kim Tjian Giam takut terhadap bibi
nya itu, yang berikan teguran padanya, dia ngiprit pergi. Tapi justeru dari Kim
Tjian Giam, sang keponakan, Anghoa Koeibo 'dengar halnya Kim Tok Ek, suaminya it
u, ia lantas teringat kepada hubungan suami isteri, maka, setelah mendapat tahu
suaminya hendak pergi ke kota raja. ia mendahului pergi ke Pakkhia untuk menanti
kan suaminya itu.
Mengenai Anghoa Koeibo pribadi, dia masih mempunyai kisah sendiri.
Pada waktu meninggalkan suaminya, Anghoa Koeibo sedang mengandung, dan mel
ahirkan satu bayi lelaki yang diberi nama
Kongsoen Loei. Sengaja dia tidak mau pakai she dari suaminya kepada anakny
a itu.
Di luar dugaanya Anghoa Koeibo, Kongsoen Loei telah mewarisi sifat ayahnya
. Sejak masih kecil dia sudah bandel, beberapa kali dia telah menerbitkan onar.
Sang ibu ambil tindakan keras untuk mengendalikan anak ini dengan melarangnya ke
luar dari rumah.
Oleh karena mempunyai anak bandel, hatinya Kongsoen Toanio menjadi tawar,
karena ini ia terima satu murid ialah seorang murid perempuan. Inilah murid yang
mempunyai asal-usul tak sembarangan. Murid ini ialah anak perempuannya Keksie H
oedjin, babu susunya kaisar. Di waktu Anghoa Koeibo ambil murid itu, Keksie Hoed
jin masih belum berpengaruh sebagai sekarang ini.
Tatkala Bok Kioe Nio diterima menumpang oleh Anghoa Koeibo, dia telah tari
k perhatiannya Kongsoen Loei. Karena sangat dikekang ibunya, Kongsoen Loei belum
pernah lihat wanita secantik Kioe Nio. Ia tertarik hatinya tambahan pula Kioe N
io pun memberi hati kepadanya, hingga kesudahannya mereka bikin perhubungan raha
sia.
Ketika Anghoa Koeibo ketahui perbuatan anaknya itu, ia tidak berdaya, kare
na menganggapnya nasi sudah menjadi bubur. Sebenarnya ia tidak cocok Bok Kioe Ni
o menjadi nona mantu, sebab Kioe Nio adalah bekas gundiknya Tiat Hoei Liong.
Belum lama setelah Kongsoen Loei dan Bok Kioe Nio menikah, Kaisar Sin Tjon
g wafat dan digantikan oleh Kaisar Kong Tjong, lantas setelah itu. Keksie Hoedji
n peroleh pengaruhnya, karena mana, dia sambut anaknya untuk pulang. Inilah keti
ka yang baik bagi Kongsoen Toanio untuk turut serta dengan muridnya pergi ke kot
a raja, akan berdiam di dalam keraton. Sampai kemudian Kaisar Kong Tjong wafat d
an Yoe Kauw naik di tahta, waktu itulah Keksie Hoedjin berpengaruh benar-benar s
ebab Yoe Kauw, kaisar yang sekarang ini, adalah bekas bocah asuhannya.
Kongsoen Toanio segera dapat ketahui adanya perhubungan yang tidak sehat d
i antara Keksie Hoedjin dan Goei Tiong Hian, yang mempermainkan pemerintahan, di
a memikir hendak berlalu dari kota raja Akan tetapi sebelum ia berangkat, juster
u datang Kim Tok Ek, yang ia memang niat cari. Maka keduanya lantas membuat pert
emuan rahasia. Anghoa Koeibo menasihatkan pula suami itu untuk pulang, tetapi di
lain pihak, Kim Tok Ek beritahu isterinya itu bahwa ia sedang dikejar-kejar Tia
t Hoei Liong dan Giok Lo Sat yang membuat ia jeri. Pada mulanya Anghoa Koeibo ti
dak mau ambil pusing urusan suami ini. adalah kemudian, sesudah pertempuran di r
umah Keluarga Yo, di mana Kim Tok Ek kalah dan terluka hebat, pikirannya Anghoa
Koeibo telah berubah. Sebabnya ialah Kim Tok Ek mengadu kepadanya sambil menangi
s dan mengatakannya, kecuali sakit hatinya ini dapat dibalaskan, tidak sudi ia i
kut pulang. Iapun menjelek-jeleki Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat, yang dikataka
n sangat kejam. Ia kata, jikalau kedua satru itu tidak disingkirkan, ia tidak ak
an hidup senang dan tenteram...
Hatinya Kongsoen Toanio menjadi lemah.
"Baiklah, aku nanti bantu kau," katanya. "Tapi ini adalah untuk yang pengh
abisan kali. Satu hal hendak aku terangkan, oleh karena Tiat Hoei Liong itu gaga
h, aku tidak dapat memastikan bahwa aku dapat menangkan padanya."
"Asal kau sudi membantu aku, akupun hendak minta bantuan lain orang lagi,"
Kim Tok Ek membujuki terus isterinya itu.
Tapi mendengar ini, berubahlah wajahnya Anghoa Koeibo.
"Belum pernah aku mengandalkan jumlah yang banyak untuk merebut kemenangan
!" katanya dengan sengit.
"Jikalau kau minta bantuan lain orang lagi, aku tidak mau pergi!"
"Baik, baik," Tok Ek mengalah.
Tapi diam-diam ia mengatur lain di luar tahu isterinya.
Demikian hal ikhwal Kongsoen Toanio, yang dituturkan Tiat Hoei Liong kepad
a anak pungutnya. Hoei Liong menghela napas setelah penuturannya itu.
"Sudah aku katakan, hatinya Kongsoen Toanio tidak buruk." berkata dia, "ap
a yang aku kuatirkan ialah dia tidak sanggup pertahankan diri dari bujukan suami
nya. Apabila itu benar terjadi, sukar diramalkan, apa yang akan terjadi kelak. S
ekali terbujuk, dia akan menjadi bengis tanpa tandingan. Kalau bukan demikian, c
ara bagaimana dia bisa dapatkan gelarannya itu?"
Mendengar kata-kata ayah angkat itu, Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak.
"Anak Lian, kenapa kau tertawa?" sang ayah tanya.
"Bukankah Raksasi ketemu Biang Hantu?" tertawa anak itu. "Maka lihat saja
nanti, siapa lebih tangguh dan siapa lebih bangpak! Ayah. aku menyesal tidak sek
arang juga aku dapat tempur dia!"
"Bukankah besok tengah hari ada janjimu dengan Pek Sek Toodjin? Nah, sehab
is melayani imam itu, tak mungkin sorenya kau dapat bertempur pula!"
"Bukankah ayah telah kata bahwa mereka bertempat di Pitmo gay dari mana me
reka pasang mata terhadap kita? Besok kita tempur Pek Sek Toodjin. sehabis itu t
erus kita tempur Anghoa Koeibo. Dua urusan dapat dilakukan sekali pukul, tidakka
h itu sangat menyenangkan hati? Sedari aku tempur kau, tempo hari, sampai sekara
ng ini sudah lama. belum pernah aku merasakan bertempur pula secara memuaskan, s
ekarang tanganku gatal!"
Hoei Liong kerutkan kening.
"Ah, anak, kau tahunya cuma bertempur saja!..." ujarmja, agaknya ia menyes
ali. Ia menegur, tapipun ia menyayangi anak pungut ini yang Jenaka dan manis.
"Besok, ayah, besok kau biarkan aku yang turun tangan lebih dahulu!" kata
anak itu tanpa perdulikan tegurannya sang ayah.
Hoei Liong tidak layani lagi anak ini bicara, hanya ia pergi ke jendela un
tuk memandang keluar.
"Cepat sekali akan sampai jam empat, masih keburu!" katanya seorang diri,
kata-katanya seperti orang yang menggerutu.
"Apa katamu, ayah?" si anak tanya. Ia mendengarnya samar-samar. "Asalkan a
ku dengar ada tandingan dengan siapa dapat aku bertempur, segera kegembiraanku t
erbangun! Sekalipun mesti tidak tidur tiga hari tiga malam, dapat aku melayani t
erus!"
Mau atau tidak Hoei Liong tertawa juga.
"Kau benar mirip dengan adatku di waktu muda!" dia berkata. Lalu mendadak
ia perlihatkan roman sungguh-sungguh dan
menambahkannya: "Aku bukannya kuatirkan kau tidak punyakan kegembiraan, ak
u hanya ingin kau menyiapkan obat..."
Si Raksasi Kumala menjadi heran.
"Menyiapkan obat?" tanyanya. "Obat apakah itu? Pertempuran masih belum dil
akukan, apa perlunya obat sudah harus disiapkan sekarang?"
"Ah, anak, kau mana tahu liehaynya Anghoa Koeibo?" berkata sang ayah. "Ilm
unya Toksee tjiang, yakni tangan beracun, ada lebih liehay daripada Kim Laokoay,
dengan digabungnya ilmu Biantjiang, Tangan Kapas, dia bisa meremukkan batu menj
adi seperti pupur. Maka apabila kita tidak siap sedia dari siang-siang, sulitlah
untuk kita dapat melayaninya."
"Dengan cara bagaimana kita bersiap sedia?"
"Sekarang lekas kau pergi ke kota kepada piauwsoe Liong Tat Sam dari Tiang
an Piauwkiok, untuk pinjam dua perangkat kaca tembaga Hoksim keng daripadanya. L
iong Piauwsoe itu adalah sahabat kekalku, dengan membawa suratku, pasti dia akan
kasih pinjam kacanya untuk melindungi dadaku. Setelah itu, di waktu terang tana
h, kau harus menyiapkan obat."
Ayah angkat ini bicara dengan terus bekerja, tapi di situ tidak ada kertas
dan alat tulis, maka ia robek ujung bajunya dibikin jadi dua potong, dan ia amb
il sebatang arang sebagai pitnya. Lebih dahulu ia tulis surat untuk Liong Piauws
oe, lalu ia tulis surat obatnya.
"Demikian banyak obatnya?" kata Giok Lo Sat, yang lihat ayah itu mencatat
nama-nama obat hampir dua puluh macam. "Bagaimana jikalau obat ini tidak lengkap
?"
"Dari obat-obat ini, kecuali satu dua, semua yang lainnya adalah bahan oba
t biasa saja," Hoei Liong terangkan. "Apabila kau tidak dapat beli semuanya, kau
pergi minta bantuannya Liong Piauwsoe. Inipun masih belum semua," ayah ini mena
mbahkan, dan ia tulis pula tujuh rupa nama obat lainnya.
"Sudah lengkapkah?" tanya sang anak dengan keningnya dikerutkan.
"Sudah cukup." ayah itu jawab, "kecuali kau tambahkan dua potong Hionghong
. Setelah dapat beli semuanya, kau tumbuk di dalam piauwkiok untuk dibikinkan me
njadi obat pulung yang kecil-kecil. Kalau besok kita bertempur. Mesti kita menda
pat luka, obat ini berguna untuk melenyapkan rasa sakit, khasiatnya teristimewa
guna melindungi peparu. Nah, pergilah lekas!"
Begitu sungguh-sungguh ayah ini. hingga Giok Lo Sat tidak bersangsi-sangsi
lagi untuk bekerja menuruti apa yang diperintahkannya.
Kalau Hoei Liong ada demikian sibuk, pihak Pek Sek Toodjin tak kurang tega
ngnya, terutama anak perempuannya, Ho Gok Hoa. Nona ini berkuatir sekali mendeng
ar ayahnya bentrok kepada Giok Lo Sat. Pek Sek Toodjin bawa sikap tenang, inilah
di luar saja, di dalam hatinya diapun sama berkuatir sebagai gadisnya.
Di hari kedua, pagi-pagi Pek Sek Toodjin sudah bangun dari tidurnya, murid
-murid Boetong pay pada datang menemui dia. Di antara mereka ini tampak nyata ke
tegangan hatinya, pun banyak yang mengutarakan kekuatirannya karena mereka ketah
ui Ang In Toodj in. salah satu tetua mereka, pernah dikalahkan si Raksasi Kumala
.
"Soesiok, baik kami semua turut kau," berkata Lie Hong Sioe, murid kepala
untuk di kota raja.
"Aku telah tantang Giok Lo Sat bertempur satu sama satu, buat apa kalian i
kut aku?" si imam berkata.
"Kami ikut hanya untuk turut menyaksikan. buat tambah pengaruh," Hong Sioe
jawab.
Pek Sek tahu maksud hati yang sebenarnya dari murid-murid itu, ia menggele
ngkan kepala.
"Tidak boleh," sahutnya. "Tidak seorangpun dari kalian aku ijinkan turut s
erta."
Imam ini bersikap demikian karena ia berpendapat bahwa meski benar Giok Lo
Sat tangguh tetapi turut katanya Ang In, dia cuma mahir dalam ilmu silat pedang
, dalam hal ilmu silat tangan kosong dan tenaga, dia masih di bawahnya Oey Yap T
oodjin, soeheng mereka yang kedua, atau seimbang dengan kepandaiannya sendiri. D
alam hal ilmu pedang, di antara saudara-saudaranya, dialah yang paling liehay, m
aka dia percaya mungkin dia dapat menandingi si nona. Jikalau dia ajak semua mur
id itu. mungkin disebabkan rasa cinta dan bersatu padunya mereka ini, di saat ya
ng genting mereka akan turun tangan membantui padanya. Kalau ini kejadian, pasti
nama Boetong pay akan tercemar karenanya
"Mustahil untuk menonton saja tidak boleh?" Hong Sioe masih membandel.
Pek Sek menjadi tidak senang.
"Siapa lancang menonton, dia akan dihukum!" katanya dengan bengis.
Lie Hong Sioe semua bungkam.
"Ayah, aku mau turut." Gok Hoa berkata.
Ayah itu menghela napas.
"Anak yang baik, jangan kau turut aku," sahutnya. "Giok Lo Sat itu sangat
ganas, turut kepergianmu cuma-cuma akan menambahkan berabesaja!"
Anak ini tidak puas. Sudah sepuluh tahun ia belajar silat, meski ia dengar
Giok Lo Sat liehay namun ia ingin mencoba-cobanya, ia tidak sangka bahwa iapun
ditolak ayahnya. Terpaksa ia tutup mulut.
Pek Sek Toodjin sudah lantas rapikan pakaiannya, lalu semua murid menganta
r ia keluar, sesampainya di luar agaknya ia ragu-ragu. tapi akhirnya, ia gapaika
n It Hang.
"Kau boleh turut aku," katanya. "Kau kenal Giok Lo Sat, kaupun ketua kami,
pantas untuk kau hadir bersama."
Sama sekali It Hang tidak inginkan paman guru itu bertempur dengan Giok Lo
Sat, sikapnya paman guru ini membikin ia bingung. Iapun sangsi untuk membuka mu
lut, supaya ia diajak turut serta. Ia sebenarnya ingin sekali batalkan pertempur
an itu. Maka giranglah ia ketika mendengar paman guru itu akhirnya mengajak juga
padanya.
Malam itu Giok Lo Sat telah pergi ke dalam kota. Dalam ilmu enteng tubuh i
a lebih atas daripada Tiat Hoei Liong, inilab sebabnya kenapa Hoei Liong suruh i
a yang pergi ke kota. Ia berangkat dari Lengkong sie kira-kira jam empat, ketika
ia sampai di dalam kota di Tiangan Piauwkiok belum lagi terang tanah.
Tjongpiauwtauw Liong Tat Sam, pemimpin dari Tiangan Piauwkiok. adalah saha
bat karibnya Tiat Hoei Liong. Hubungan persahabatan itu telah berjalan dua puluh
tahun sehingga kini. Pada waktu itu, Liong Tat Sam antar piauw ke Barat utara,
di tengah jalan ia dicegat dan dikurung gerombolan, sampai sukar untuk ia melolo
skan diri. Kebetulan sekali, Hoei Liong dengar kabar perihal pembegalan itu, dia
segera datang. Dengan mengandalkan nama besarnya, Hoei Liong bisa bubarkan peng
urungan dengan kesudahan, tidak saja piauwnya Liong Tat Sam terhindar dari pembe
galan, nama baiknya pun turut terlindung juga. Karena itulah. Liong Piauwsoe jad
i sangat berterima kasih kepada jago dari Barat utara itu, selama dua puluh tahu
n dia ingat benar akan budinya Hoei Liong, dia menyesal selama itu tidak ada ket
ikanya untuk dia membalas budi itu.
Juga Liong Tat Sam mempunyai persahabatan yang kekal dengan Boesoe Lioe Se
e Beng, kemarin ini dia seoranglah yang Lioe See Beng mohon bantuannya, untuk se
cara diam-diam bantu melindungi Him Kengliak. Di sana secara kebetulan ia dengar
halnya Tiat Hoei Liong, yang berada sama satu nona cantik ia menjadi girang sek
ali. Maka lantas saja ia tanya Lioe Boesoe tempat pemondokannya jago dari Barat
utara itu.
"Orang tua itu sangat aneh," berkata Lioe See Beng. "Di dalam pertempuran,
dia bersama si nonalah yang keluarkan tenaga paling banyak, namun sedikitpun di
a tidak menginginkan pahala, setelah pertempuran selesai, mereka lantas ngeloyor
pergi sampai mereka tidak sempat bicara kepada kita. Belakangan setelah aku tan
ya Pek Sek Toodjin, baru aku dapat tahu, bahwa dia adalah Tiat Hoei Liong. Menur
ut pendengaranku, nona yang cantik itu katanya adalah bandit wanita bernama Giok
Lo Sat yang baru hari hari paling belakang ini muncul di wilayah Barat daya."
"Oh, Giok Lo Sat!" seru Liong Tat Sam. "Pada waktu belakangan ini aku deng
ar namanya disebut-sebut orang! Kabarnya dia sangat ganas, hingga orang julukkan
iblis wanita yang membunuh orang tanpa berpejam mata. Tiat Hoei Liong memang an
eh tabiatnya, akan tetapi dia termasuk orang yang jujur, aku merasa heran dia bi
sa berada bersama nona itu?"
Liong Tat Sam cuma ketahui kekejamannya Giok Lo Sat, ia tidak tahu bahwa s
i nona membunuh bukan sembarang bunuh, bahwa Giok Lo Sat mempunyai banyak satru
di kalangan kangouw, yang menyiarkan cerita burung menjeleki dirinya si nona yan
g dikatakannya sangat kejam. Baru saja namanya Giok Lo Sat tersohor sebagai hant
u wanita yang jahat dan kejam...
Dalam pembicaraan dengan Lioe See Beng mengenai Giok Lo Sat, Tat Sam yang
terpengaruh cerita di luaran, "masih menganggapnya si nona benar jahat dan kejam
, ia tidak puas mengetahui Tiat Hoei Liong bergaul sama nona itu.
Dalam hal ini, See Beng tidak kata apa-apa. tetapi mengenai Pek Sek Toodji
n, dia tertawa.
"Kalau dibicarakan, sungguh lucu!" katanya guru silat ini. "Pek Sek Toodji
n sudah berusia lanjut tetapi dia tetap masih suka menang sendiri, tentulah dia
ingin adu silat pedang dengan Giok Lo Sat."
Guru silat ini tidak ketahui jelas peristiwa antara Giok Lo Sat dan Boeton
g pay, karenanya ia anggap, imam itu memang masih dipengaruhi tabiat suka menang
sendiri, tabiat suka berkelahi...
"Pek Sek Toodjin adalah salah satu dari Boetong Ngoloo," berkata Liong Tat
Sam, "ilmu silat pedangnya, yakni Tjitcapdjie tjioe Lianhoan Toatbeng kiam, kes
ohor di empat lautan, hantu wanita benar-benar cari mampusnya sendiri..."
"Maka itu aku tidak ingin campur tahu urusan mereka itu," See Beng berkata
. "Pek Sek Toodjin tampaknya sangat sungguh-sungguh
menumplakkan semua perhatiannya dalam urusan pieboe pedang itu, sampai uru
san menjaga aksi penghianat dan melindungi Him Kengliak. dia ke sampingkan. Inip
un sebabnya mengapa aku minta bantuanmu."
"Him Kengliak itu seorang yang berhati baik." Tat Sam kata. "Pada tahun ya
ng lalu Him Kengliak urus pengiriman rangsum, dia hargai aku, dia suruh aku bant
u melindunginya. Selama aku menjadi piauwsoe, hanya sekali itulah, aku melindung
i angkutan paling gembira, meski aku hanya jadi pembantu tapi aku merasakan seba
gai juga aku adalah piauwsoe utama. Kesemuanya itu disebabkan sikapnya Kengliak
yang baik budi itu!"
Lioe Boesoe menjadi kagum.
"Secara demikian, kau dapat dikatakan salah seorang sahabatnya Him Kenglia
k!" Lioe Boesoe berikan pujiannya.
"Itulah pujian yang aku tidak berani menerimanya. Seumurku aku hanya kagum
i dua orang, seandainya mereka itu memerintahkan aku. walau mesti tempuh api yan
g berkobar sekalipun, tidak nanti aku menolaknya!"
Lioe See Beng tertawa.
"Dua orang itu," katanya sambil tertawa, "tentulah seorang tua Tiat Hoei L
iong dan Kengliak Taydjin! Benar tidak? Lucu adalah aku, kita berdua telah bersa
habat untuk banyak tahun tetapi aku tidak ketahui bahwa terhadap Him Kengliak ka
u sedemikian mengaguminya! Ketika tadi aku kunjungi kau, aku merasa ragu-ragu da
n kuatir. berhubung kerepotan di dalam piauwkiok, kau akan terganggu karenanya."
Liong Tat Sam juga tertawa.
"Dalam hal itu akulah yang bersalah," ia akui. "Ketika tahun itu Him Kengl
iak minta bantuanku mengantar angkutan rangsum tentara, aku tidak memberitahukan
nya kepada sahabat-sahabatku."
"Tetapi dengan begitu kau berbuat benar," berkata Lioe Boesoe. "Angkutan r
angsum itu sangat penting, hal itu memang tidak dapat diberitahukan kepada semba
rang orang."
"Karena hari ini kau ajak aku, aku pun baru menceritakannya. Kau jangan ku
atir, toako, seandainya benar Goei Tiong Hian hendak tutup piauwkiokku atau dia
hendak menghukum picis padaku, tetap aku akan membantu Him Kengliak!"
Benarlah itu malam, meski ia menjadi tjongpiauwtauw, pemimpin sebuah piauw
kiok, Liong Tat Sam tidak merasa rendah untuk menyelusup ke dekat-dekat gedungny
a Keluarga Yo, guna melindungi Him Teng Pek secara sembunyi, sampai kira-kira ja
m empat, baru ia bergilir dan pulang ke rumahnya.
Tentang rumah atau kantornya sendiri Tat Sam tidak kuatirkan, baik siang m
aupun malam ada orangnya yang menjaga.
Malam itu belum lama Tat Sam pulang, lantas ada orangnya yang membanguni p
adanya
memberitahukan kedatangannya satu nona yang mengetok pintu mencari dia.
"Heran!" katanya. "Kenapa satu nona malam-malam mencari aku? Tak dapatkah
dia menanti sesudah terang tanah?"
Ia lantas mengenakan pakaian, ia keluar untuk menemui nona itu, yang usian
ya kurang lebih baru dua puluh tahun, alisnya panjang dan lentik, romannya canti
k, matanya bercahaya tajam hingga membikin orang yang bentrok mata dengan cahaya
matanya nona itu, merasa jeri sendirinya. Mau tidak mau ia terkejut.
"Kau... kau... kau toh Giok Lo Sat?" dia tanya dengan gugup. Segera ia mer
asa hatinyapun tidak tenteram. 'Giok Lo Sat' adalah nama julukan, cara bagaimana
ia lancang menyebutkan julukan itu?
Tapi si nona agaknya tidak memperhatikannya. Dia malah tertawa.
"Tidak keliru dugaanmu, aku benar Giok Lo Sat," ia menjawabnya dengan saba
r.
"Kau... kau... Liehiap. kau datang
piauwsoe ini tanya, ia masih tetap gugup. Kekuatirannya pun datang mendada
k: musuhkah yang kifim Giok Lo Sat untuk menyatrukan padanya? la baru merasa leg
a ketika ia ingat, nona itu ada bersama Tiat Hoei Liong, tidak bisa jadi kedatan
gannya untuk memusuhi padanya.
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Inilah surat ayahku untukmu!" ia kata sambil mengeluarkan kepingan ujung
baju yang ada tulisannya, yang terus ia serahkan pada piauwsoe itu.
Liong Tat Sam sambuti robekan baju itu, apabila ia sudah beber dan lihat,
giranglah hatinya. Di situ dilukiskan seekor naga yang sedang mementangkan cengk
eramannya. Kemudian ia jadi lebih girang lagi setelah baca bunyinya surat, hingg
a iapun ketahui, nona ini adalah anak pungutnya jago dari Barat utara itu, bahwa
dengan surat itu Tiat Hoei Liong mohon bantuannya.
Menampak surat dari robekan baju dan tintanya bukan bak tapi arang, Liong
Tat Sam mengerti bahwa urusan ada sangat penting. Dan datangnya si nona pun di w
aktu tengah malam.
"Titahnya Tiat Loo tidak akan kutampik," dia lantas kata. "Sebenarnya lieh
iap hendak menitahkan apa padaku?"
Orang berbudi ini segera sediakan dirinya.
Aku hendak berkelahi ! sahut Giok lo sat, sambil tertawa. Masih sempat dia b
erjenaka.
Tat Sam melengak.
"Inilah sulit..." pikirnya. "Bagaimana aku harus bersikap? Tiat Hoei Liong
adalah penolongku, aku berhutang budi kepadanya, sedang Pek Sek Toodjin sahabat
ku juga, malah dia sekarang menumpang di rumahnya Lioe See Beng. Sekarang Giok L
o Sat hendak adu pedang dengan Pek Sek Toodjin, rupanya Tiat Hoei Liong kuatir a
nak pungutnya kalah, maka dia suruh Giok Lo Sat datang padaku untuk minta bantua
n tenagaku. Hanya belum tahu, Tiat Hoei Liong hendak minta aku bantu pihaknya at
au untuk mengakurkan mereka, kalau hanya untuk mengakurkan, aku dapat mengajukan
diri, tapi kalau diminta membantui pihaknya, di manakah aku mesti taruh mukaku?
"
Giok Lo Sat lihat orang berdiri diam saja. iapun heran.
"Kenapa orang ini begini tolol?" pikirnya. "Baru saja dengar aku hendak be
rkelahi, ia sudah bingung tidak keruan! Orang begini bisa jadi satu piauwsoe kep
ala?"
Tat Sam mencoba menenangkan hatinya.
"Liehiap, mengapa kau bermusuh dengan Boetong pay?" dia tanya, suaranya ti
dak lancar.
Bangun alisnya si nona karena pertanyaan itu.
Lain orang taku tkepada Boetong pay, yang banyak orangnya dan besar pengaru
hnya, aku sendiri tidak!" ia kata dengan nyaring.
"Aku tahu liehiap tidak takut," kata Tat Sam, yang masih bingung, "akan te
tapi aku berpendapat bahwa permusuhan haruslah dibikin habis dan bukannya diperb
esar. Bagaimana jikalau aku datang sama tengah, untuk minta liehiap serta Pek Se
k Toodjin memberi muka kepadaku dengan hadiri sebuah perjamuan untuk mengadakan
perdamaian?"
Nona itu tertawa.
"Adu pedang di antara aku dan Pek Sek Toodjin sudah ditetapkan," katanya,
suaranya tetap. "Ilmu silatnya Pek Sek Toodjin sudah mahir, meski demikian, bole
hlah dia menjadi tandinganku. Bila kau tidak menghendaki aku adu pedang dengan
Pek Sek Toodjin, itu baru bisa terjadi kalau kau dapat carikan seorang lai
n sebagai gantinya untuk menjadi tandinganku itu. Di kolong langit ini, urusan y
ang paling menyenangkan adalah mengadu silat! Kau hendak cegah aku adu silat, ta
k mungkin kau dapat menghalanginya."
Tat Sam mengeluh, ia perlihatkan wajah dari kemenyesalan, tak dapat ia buk
a mulutnya lagi.
"Bagaimana, dapat tidak kau bantu aku?" Giok Lo Sat menegasi. "Cuaca akan
segera menjadi terang dan aku mesti cepat-cepat kembali!"
Piauwsoe itu jadi sangat terdesak.
ayahmu, sekarang dia menitahkan aku, sudah tentu aku turut," katanya denga
n sangat terpaksa. "Hanya terlebih dulu ingin aku temui ayahmu itu, satu kali sa
ja. Ilmu silat pedangnya Pek Sek Toodj in tergolong nomor satu di kolong langit
ini, apabila aku tempur dia, sudah pasti aku bakal mati, karena itu hendak aku m
ohon kepada ayahmu supaya sukalah dia tengok-tengok anakku..."
Tat Sam menyangka pasti Giok Lo Sat hendak minta ia membantui berkelahi, d
ari itu ia ingin bertemu dulu kepada Tiat Hoei Liong guna tuturkan kesulitannya.
Giok Lo Sat tertawa terpingkal-pingkal, sampai air matanya keluar.
Tat Sam lihat itu, ia heran bukan main, tapi di dalam hatinya ia amat mend
ongkol.
Masih si Raksasi Kumala tertawa.
"Sudah setengah harian kita bicara, kiranya kau anggap aku cari kau untuk
mohon bantuanmu guna hantui aku berkelahi," katanya, sekarang dengan sabar. "Pek
Sek itu orang macam apa? Untuk layani dia, tidak perlu aku minta bantuan orang
lain! Walau menghadapi musuh yang jauh terlebih liehay daripada Pek Sek pun aku
dan ayahku tidak takut sama sekali!"
Baru sekarang lega hatinya Tat Sam, meskipun ia masih belum tahu apa maksu
d si nona sebenarnya. Urusan tetap membingungkan dia.
"Habis, nona hendak menitahkan apa?" tanya dia akhirnya.
"Aku cari kau bukan buat melayani Pek Sek Toodjin," si nona mulai berikan
keterangannya. "Lawan yang aku akan hadapi adalah Anghoa Koeibo."
Keterangan ini membuat Tat Sam kaget pula.
"Apakah Anghoa Koeibo Kongsoen Toanio masih hidup?" Dia kaget tetapi tidak
lah sehebat tadi. Sekarang dia kaget karena herannya.
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Apakah kau tidak berani lawan padanya?" ia tanya.
Sekarang baru Tat Sam bisa tertawa, malah tertawa besar.
"Jikalau aku takut mati, tidak nanti aku buka piauwkiok!" jawabnya.
"Kau hendak lawan Anghoa Koeibo, baiklah, aku suka bantu kau!
Untuk itu aku bersedia binasa!"
Sekarang adalah gilirannya Giok Lo Sat yang menjadi tidak mengerti. Bukank
ah Anghoa Koeibo jauh lebih liehay daripada Pek Sek Toodjin? Kenapa piauwsoe ini
tidak berani lawan si imam tetapi berani terhadap Anghoa Koeibo? Apakah sebabny
a? Tapi karena Tat Sam mengutarakan keberaniannya itu secara cepat, dengan sendi
rinya berubahlah pandangan Giok Lo Sat terhadap piauwsoe ini.
"Apakah kita pergi sekarang?" Tat Sam tanya pula selagi si nona masih berd
iam. Ia jadi menantang...
Mau tidak mau si Raksasi Kumala tertawa pula.
"Aku bukan hendak minta bantuan tenagamu untuk berkelahi," ia menjelaskan.
Tat Sam heran, tetapi sekarang hilanglah kekuatirannya.
Giok Lo Sat tidak ayal lagi akan menuturkan maksud kedatangannya yang sebe
narnya.
"Hoksim khia memang aku ada punya," kata Tat Sam. "Tapi obat yang demikian
banyak macamnya itu membuat aku ragu-ragu... Bisakah itu didapatkan lengkap sem
uanya? Tapi, baikkah, silakan kau menanti sebentar di sini, aku mau perintah ora
ng segera mencarinya!"
Giok Lo Sat suka menantikan. Tapi ia tidak sabaran. Ia sudah duduk hingga
cuaca mulai menjadi terang, sampai sinar matahari mulai menyorot masuk ke dalam
jendela, orangnya piauwsoe itu masih belum kembali.
"Kenapa dia masih belum kembali?" dia tanya Tat Sam.
"Obat ada berpuluh macam, pasti sukar dicarinya," jawabnya Tat Sam.
Terpaksa nona ini sabarkan diri, sampai kira-kira waktu makan nasi, kali i
ni barulah pegawai piauwkiok itu kembali.
"Bagus, belum terlambat," dia kata, hatinya lega.
Pegawai itu segera beri laporannya: "Dari dua puluh lima macam obat, kecua
li Himtha, semuanya telah didapat," katanya.
"Kurang serupa tidak apa," kata Giok Lo Sat.
Tetapi Liong Tat Sam kerutkan kening.
"Himtha itu justeru obat utama," katanya "Itulah obat yang tak dapat dikur
angkan. Himtha memang berharga tetapi bukanlah barang yang sukar didapatkannya,
di pasar bisa kehabisan?"
Himtha adalah nyali biruang, karenanya, piauwsoe ini heran.
"Kabarnya." berkata si pegawai, "selama dua hari ini, thaykam dari istana
telah cari himtha dalam jumlah yang besar, semua obat itu dari rumah-rumah obat
di sini telah dibeli habis."
Giok Lo Sat jadi mendongkol.
"Kalau bukannya sekarang juga aku membutuhkan obat itu, pasti aku akan per
gi menyatroni istana untuk mencurinya!" dia kata dengan sengit, Tat Sam berpikir
, tiba-tiba ia berjingkrak bagaikan orang dipagut ular.
"Ada satu tempat di mana mungkin Himtha itu bisa didapatkan!" katanya sela
ng sedetik.
"Di mana letaknya?" tanya Giok Lo Sat. "Sekarang juga aku mau pergi ke san
a!"
"Himtha berasal dari tapal batas, panglima perbatasan pasti punyakan baran
g itu," kata Liong Piauwsoe.
"Tentulah Kengliak mempunyai barang itu," kata si nona
"Benar," sahut Tat Sam. "Kengliak, seorang pembesar jujur, untuk barang-ba
rang bingkisan, ia tidak mampu menyediakan segala bulu binatang yang mahal-mahal
, sebaliknya himtha, meski di sini harganya mahal, di tapal batas tentunya murah
, mesti Kengliak ada bawa itu untuk dihadiahkan kepada sahabat-sahabat dan sanak
nya Nah, mari kita pergi bersama"
Giok Lo Sat ingat pertempuran malam itu, iajadi bersangsi. Beng Kie tentu
ada di sana. Tapi segara ia pikir: "Umpama Beng Kie cegah Kengliak memberikan ob
at itu padaku, dia benar-benar tidak dapat dihargai!..."
Tat Sam dengar perkataan si nona tetapi ia tidak mengerti, ia heran.
"Apa kata liehiap?" demikian ia menanya
Si nona mendadak tertawa.
"Ah, tidak!" sahutnya.
"Sebenarnya aku kurang cocok dengan salah satu perwira sebawahannya Kengli
ak..."
"Itulah soal kecil," kata Tat Sam. "Mari kita pergi sekarang!"

*****

Dua kali Him Teng Pek telah alami "onar", seharusnya dia gusar, akan tetap
i dia dapat mengatasi diri, dia bisa berlaku tenang. Keesokannya pun dia terus m
enungkulkan diri seperti kemarinnya.
Itu hari menteri-menteri telah majukan kepada kaisar rencana mereka akan t
etapi kaisar tidak datang hadir di singgasana. Biasanya surat-surat penting dite
rimakan kepada pembesar istana yang berpangkat tiongkoen, yang akan menyampaikan
nya lebih jauh kepada thaykam atau orang kebiri yang bertugas untuk itu, baru ol
eh si thaykam dihaturkan kepada raja. Pun biasanya, apabila ada urusan sangat pen
ting, kaisar harus segera memeriksa dan mengurusnya. Tapi kali ini, semua menter
i menantikan sampai matahari naik tinggi, belum ada gerakan apa juga dari dalam
keraton, malah tidak ada pesuruh kaisar yang memanggil menteri atau menteri yang
bersangkutan. Maka itu, akhirnya semua menteri bubaran dari istana
Him Teng Pek jalan mundar-mandirdi dalam kamarnya, teranglah ia sedang kus
ut pikirannya Beng Kie tahu kebiasaannya sep ini, ia tidak mau menggerecok. Kare
na tiap-tiap menghadapi soal besar atau sulit, beginilah kelakuannya sep itu.
Kira-kira mendekati tengah hari, barulah raja kirim dua Iweekam, orang keb
iri dari keraton, membawa sebuah keranjang surat-surat untuk menteri dari perbat
asan itu. Kedua orang kebiri ini dapat pesan bahwa surat-surat itu harus Him Ken
gliak periksa semuanya.
Seberlalunya kedua Iweekam, Teng Pak lantas periksa surat-surat itu. Ia la
ntasjadi masgul, mendongkol dan putus asa. Surat-surat yang memenuhi keranjang i
tu semuanya mendakwa padanya. Semua dakwaan, atau tuduhan itu datangnya dari men
teri-menteri dorna.
"Habis, habislah!..." panglima ini mengeluh, ia menghela napas.
"Legakan hatimu, Kengliak Taydjin," Yo Lian menghibur. "Semua surat-surat
ini Sri Baginda kirimkan pada taydjin tanpa dibuka dahulu, itu menandakan keperc
ayaan Sri Baginda atas diri taydjin."
"Duduknya hal tidak demikian, Yo Taydjin," kata Teng Pek. "Jikalau semua s
urat ini diserahkan padaku sebelum surat dakwaan kita dimajukan, itulah memang p
antas, tetapi ini di kirimkan sesudah kita ajukan surat dakwaan, maka dengan ini
teranglah Sri Baginda hendak mengatakan: Kau dakwa lain orang, lain orang juga
mendakwa padamu. Nyata Sri Baginda tidak membeda-bedakan lagi menteri setia dan
dorna, kedua-duanya beliau pandang sama saja!"
"Mungkin tidak demikian," kata pula Yo Lian.
Him Kengliak gendong kedua tangannya, kembali ia jalan bulak-balik.
Menampak demikian, Yo Lian bungkam.
Selang tidak lama mendadak kengliak itu berkata: "Ambil kertas dan pit!"
"ApaKah taydjin hendak ajukan dakwaan pula?" Yo Lian tanya.
"Tidak. Aku hendak ajukan permohonan meletakkan jabatan."
Menteri she Yo itu terkejut.
"Jangan, jangan," dia mencegahnya. "Janganlah karena kegusaran satu waktu,
Taydjin melupakan negara!"
"Saudara Yo, kau tidak tahu," kata kengliak itu. "Karena sekarang kawanan
dorna dapat menguasai istana, sekalipun aku bisa kembali ke tapal batas, aku ten
tu terus dalam pengendalian mereka, tidak bisa aku gunai tentara untuk melakukan
perlawanan. Maka itu, lebih baik aku undurkan diri saja. Dengan ini, akupun sek
alian bisa uji hati Sri Baginda. Menurut ilmu perang, inilah siasat yang dinamak
an: didudukkan di tempat kematian tetapi bisa hidup pula. Umpamanya Sri Baginda
benar tidak terlalu tolol, beliau pasti akan panggil aku menghadap di dalam kera
ton untuk ditanyakan duduknya hal dengan jelas."
Sebenarnya, walaupun Yoe Kauw masih sangat muda, ia tidak terlalu tolol, i
a malah ketahui baik, bahwa Him Teng Pek adalah seorang tiongsin, menteri yang s
etia. Tapi ia telah dipengaruhi Goei Tiong Hian dan Keksie Hoedjin yang berkongk
ol satu pada lain. Mereka ini cegah kaisar mengetahui segala urusan di luar kera
ton, setindak demi setindak raja dijejal dengan pelesiran, yang selalu siap sedi
a di dalam keratonnya, hingga kaisar lupa segala urusan lainnya. Maka itu, pelba
gai suratnya menteri-menteri semuanya tidak sampai ke tangan kaisar, semua surat
-surat itu dibekap oleh babu susunya
Pernah kaisar mengatakan, keranjang surat-surat hendak di kirimkan pada Hi
m Kengliak. Keksie Hoedjin dan Goei Tiong Hian ketahui itu, maka keduanya bermup
akatan, lantas mereka anjurkan kaisar dengan kata: "Him Kengliak sudah pulang, s
ekarang Sri Baginda boleh kirimkan semua surat-surat kepadanya!"
"Jikalau dia sudah pulang, lebih baik panggil dia menghadap ke istana, unt
uk surat-surat itu diserahkan di tangannya sendiri," kata kaisar. "Tidakkah itu
ada terlebih baik?"
Goei Tiong Hian tertawa dengan tertawa kansin (dorna)nya.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tegur Yoe Kauw.
Dorna kebiri itu menyahutinya dengan perlahan sekali: "Harap Sri Baginda k
etahui, Him Teng Pek itu baik dalam semua hal, kecuali satu..."
"Apakah itu yang tidak baik?" tanya raja yang menjadi heran.
"Dia mempunyai adat yang koekoay!" sahut orang kebiri itu. "Jikalau dia li
hat Sri Baginda gemar pelesiran, dia tentunya akan mengoceh tidak putusnya!..."
Yoe Kauw ini sejak wafatnya ayahnya, tidak ada yang kendalikan, dia jadi s
angat merdeka, malah berandalan. Begitulah di dalam keraton, dia gemar sekali de
ngan permainan adu ayam jago, adu anjing lari, main bola atau main sandiwara. Te
gasnya setiap hari dia memain saja Maka, mendengar adat aneh dari Teng Pek, ia k
uatir juga.
"Bagaimana kalau dia dipanggil tetapi jangan kasih dia lihat tiga pendopo?
" kata raja ini. "Bisakah?"
Raja maksudkan pendopo tempatnya dia pelesiran, pendopo itu ada tiga buah.
"Tidak bisa, Sri Baginda," Goei Tiong Hian dustai rajanya. "Satu kali dia
sudah datang, mesti ada orang yang telah beritahukan kepadanya, kalau nanti dia
menghadap Sri Baginda, pasti sekali dia akan mengoceh tidak keruan." Lalu dorna
ini menambahkan. "Selama beberapa hari ini, bunga-bunga bwee dan seruni sedang m
ekar seperti saling bersaingan, sekarang adalah saatnya untuk membuat pesta bu
nga seruni dan bwee itu. Baiklah dayang-dayang diperintahkan menyamar jadi bidad
ari-bidadari bunga bwee dan seruni, biarlah mereka itupun saling adu keelokan me
reka. Maka, kalau sebaliknya Sri Baginda tengok wajahnya menteri she Him yang tu
a itu, apakah kegembiraan Sri Baginda tidak akan tersapu habis?"
Yoe Kauw kena dibujuk. Tapi, masih ia mengatakan: "Biar bagaimana, aku toh
mesti temui dia?"
"Ah, anak tolol!" KeksieHoedjin tertawa di damping kaisar muda ini. Sedari
tadi babu susu ini diam saja, menunggu gilirannya membuka mulut untuk timpali G
oei Tiong Hian, rekannya itu. "Toh boleh ditunggu sampai nanti dia hendak kembal
i ke perbatasan, baru Sri Baginda menjumpai padanya sekalian mengantar dia pergi
."
Dasar masih terlalu muda, Yoe Kauw kena dibujuk kedua orang itu.
Kasihan Teng Pek, walaupun ia ketahui kaisar dipengaruhi Keksie Hoedjin da
n Goei Tiong Hian. tetapi ia tidak tahu bahwa pengaruhnya kedua orang itu ada de
mikian rupa. Ia tetap jalan mundar-mandir, ia menduga-duga apa maksud sebenarnya
dari rajanya untuk perlihatkan padanya surat-surat itu.
"Saudara Him," berkata Yo Lian, "kalau kau hendak mengajukan surat permoho
nan untuk meletakkan jabatan guna menguji Sri Baginda, aku tidak akan menentangi
nya, tetapi tak usahlah kau menulisnya sekarang juga. Sekarang ini Pengpou Siang
sie Yo Koen sedang desak Kioeboen Teetok untuk menanyakan orang-orang yang dibek
uk kemarin, untuk mengetahui sampai di mana Teetok itu telah periksa komplotan y
ang menyamar sebagai berandal itu. Baik kita tunggu sampai dia sudah peroleh jaw
aban, baru kita bermupakatan pula. Bagaimana pikiranmu?"
"Baiklah," sahut Teng Pek akhirnya. Tapi masih ia mundar-mandir memutari r
uangan.
Yo Lian kuatir panglima ini nanti jatuh sakit.
"Lao Him, mari kita main catur -- maukah kau?" dia mengajak.
"Boleh juga." sahut Teng Pek dengan singkat. Mereka lantas memulai dengan
mengatur dan menjalankan biji-biji caturnya.
Justeru itu Ong Tjan masuk mengabarkan bahwa Piauwsoe Liong Tat Sam yang p
ernah bantu mengantar rangsum serta nona yang kemarin ini membantui bertempur da
tang mohon bertemu.
"Kali ini anggap saja aku yang kalah," kata panglima itu. sambil ia tolak
papan catur ke samping, dan ia teruskan berkata kepada perwiranya: "Undang merek
a masuk!"
Beng Kie heran. Ia menduga Giok Lo Sat datang untuk gerecoki pula padanya.
Tentu sekali, urusan mereka itu tak dapat diberitahukan kepada Him Kengliak.
Teng Pek lihat wajah yang tak wajar dari perwiranya itu.
"Kau memikirkan apa?" dia tanya.
"Wanita itu berandalan, aku kuatir dia nanti berlaku yang tak kenal kepant
asan," Beng Kie menjawab dengan menyimpang.
Tapi Him Kengliak tertawa terbahak-bahak.
Beng Kie heran.
Teng Pek tertawa pula, lalu ia kata: "Selama dua hari ini aku telah lihat
binatang-binatang bersayap dan berkaki empat yang berpakaian sebagai manusia, ma
ka aku ingin tengok juga manusia berandalan bagaikan orang hutan..."
Lega juga hati Yo Lian menampak Kengliak ini bisa bergurau.
"Wanita itu tinggi ilmu pedangnya," berkata dia. "Ketika pertempuran kemar
in, aku telah mengintai dari balik pintu, aku lihat hebat serangan-serangannya,
aku kagum sekali."
Mendengar begitu, Beng Kie tidak mencegah lebih jauh. Ia berdiri tetap di
damping sepnya
Sebentar kemudian Ong Tjan telah kembali bersama Liong Tat Sam dan Giok Lo
Sat. Piauwsoe itu memberi hormat sambil berlutut. Tapi Giok Lo Sat yang dandan
sebagai pria memberi hormat hanya dengan menjura, sedang terhadap Beng Kie, ia m
enoleh pun tidak.
Him Teng Pek tidak pedulikan sikap sebawahannya itu.
"Kemarin dengan suka rela kau telah menolong aku, belum sempat aku tanyaka
n namamu yang harum," dia kata.
Sekonyong-konyong Giok Lo Sat tertawa geli.
"Apa sih nama harum dan tidak harum," katanya. "Namaku Lian Nie Siang, aka
n tetapi kaum kangouw menyebut aku Giok Lo Sat, hingga namaku yang benar orang t
idak sebut-sebut lagi. Kalau kau senang, kau boleh panggil aku Lian Nie Siang, k
alau kau lebih suka menyebut Giok Lo Sat, itupun boleh!"
Him Kengliak bersenyum.
"NonaLian, kau sungguh polos!" katanya.
Ong Tjan menyuguhkan dua cangkir teh wangi.
Giok Lo Sat sambuti secangkir yang ia terus minumnya.
"Cangkir ini terlalu kecil!" katanya.
"Bagus!" seru Him Kengliak. "Tukar dengan yang lebih besar! Eh, Nona Lian,
kau suka minum arak atau tidak? Buat aku, kalau aku minum arak, selamanya aku p
akai cawan yang besar."
"Mengapa tidak?" jawabnya si nona. "Akan tetapi sebaliknya, kalau aku minu
m arak, aku pakai cawan yang kecil. Sayang, hari ini aku pantang minum arak, jad
i kau tak usah menyediakannya. Teh ini harum, aku boleh minum lebih banyak!"
Teng Pek sedang pepat pikiran, kata-katanya nona yang polos ini dapat juga
membikin hatinya lega. Ia tertawa.
"Bagus!" katanya. "Mari duduk, kita pasang omong!"
Giok Lo Sat sikut Tat Sam.
"Maaf, kita tidak dapat duduk pasang omong," jawabnya Liong piauwsoe itu.
Kelakuan kedua tetamunya itu membingungkan Teng Pek. Tetapi ia tertawa.
"Apakah ada urusan penting untuk mana kalian datang menemui aku?" kata pan
glima ini. "Tat Sam, hayo kau bicara!"
Piauwsoe itu anggukkan kepala.
"Kengliak Taydjin telah bekerja untuk negara, sekarang taydjin telah kemba
li dari tempat ribuan lie, selagi hambamu tidak punya apa-apa untuk dihadiahkan,
sebaliknya..." terhenti dengan tiba-tiba. Sebab Giok Lo Sat memotong omongannya
.
Nona itu kata: "Hai, kenapa kau bicara begini rupa, tidak segera menjelask
an kepada pokoknya?..."
Teng Pek tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa gelak-gelak.
"Nona ini benar!" katanya, ia tampaknya gembira. "Liong Loosam, kau harus
didenda satu cawan! Lekaslah omong, urusan apa kau punyai yang mungkin aku dapat
membantunya?"
Mukanya Liong Piauwsoe menjadi merah, dia jengah,
"Apakah taydjin membawa pulang himtha?" demikian dia menanya, suaranya tid
ak lancar. "Aku memikir untuk mohon taydjin menghadiahkannya sedikit kepadaku...
"
Kembali Kengliak itu tertawa.
"Ini toh urusan sangat kecil!" katanya. "Benar, himtha itu berguna untuk m
enghentikan darah dan membuyarkan darah yang beku. obat itu memang dibutuhkan pi
auwkiok. Ong Tjan, pergi kau paruhkan himtha yang aku bawa pulang itu untuk saha
batku ini!" Lantas dia menambahkan: "Memang aku telah sediakan itu untuk dibagik
an kepadamu, sayang dalam dua hari ini aku mempunyai sangat banyak urusan hingga
aku menjadi lupa!"
Sepasang matanya Giok Lo Sat berputar mendengar kata-katanya panglima ini,
lalu tiba-tiba saja ia tertawa dan kata: "Kau adalah seorang pembesar yang tida
k dapat dicela! Tabiatmu hampir tiada bedanya dengan kami orang-orang gagah kaum
Rimba Hijau!"
Mendengar itu Yo Lian kaget sampai pucat wajahnya. Teng Pek sebaliknya ter
tawa terbahak-bahak.
"Kau jadinya ada satu nona gagah kaum Rimba Hijau?"
"Tidak berani aku mengatakan itu." sahut si Raksasi Kumal a. "Aku sendirip
un tak tahu aku seorang gagah atau bukan..."
Lagi-lagi panglima perbatasan itu tertawa. Tapi ketika ia bicara pula, kal
i ini ia menunjukkan roman sungguh-sungguh.
"Tidak apalah menjadi orang gagah kaum Rimba Hijau yang bekerja seperti me
wakilkan Thian menjalankan keadilan," demikian katanya "Tetapi sekarang ini bang
sa Tattjoe dari Boantjioe segera bakal datang menyerbu negara kita, sudah selaya
knya j ikalau orang-orang gagah kaum Rimba Hijau menerima panggilan negara untuk
menjadi serdadu guna sama-sama menangkis penghinaan dari luar!"
"Jikalau pembesar yang memanggilnya sebangsa kau, mungkin ada orang-orang
gagah yang suka mendengar kata-katamu." kata Giok Lo Sat. "Kalau lain-lain pembe
sar, aku kualirkan tidak ada yang sudi terima panggilan itu! Tapi menurut aku, t
idak usah kita bicara lagi siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil, asal b
angsa Boantjioe itu datang menyerbu, segera kita sama-sama menghajar padanya!"
Teng Pek bungkam ternganga mendengar pengutaraan itu. Nona itu telah bicar
a demikian polos dan dengan sebenarnya tepat sekali.
Him Kengliak ketahui baik keburukannya pihak pemerintah, kalau tadi ia men
yebutkannya "memanggil orang gagah kaum Rimba Hijau", itu adalah cita-citanya se
ndiri, karena ia memang telah memikir memanggil mereka itu, guna memperkuat kedu
dukannya. Juga benar katanya Giok Lo Sat bahwa lain pembesar tidak akan dibantun
ya
Si nona lihat orang mengawasi saja padanya.
"Apakah kataku tadi salah?" dia tanya.
"Kau tidak keliru," Teng Pek menj awabnya segera.
Yo Lian tercengang mendengar pembicaraannya kedua orang itu. Ia adalah men
teri perang, baru dua hari yang lalu ia terima titah kaisar (atau lebih benar ti
tah tak langsung dari Keksie Hoedjin) untuk menugaskan perwira yang bernama Lauw
Teng Goan pergi membasmi kawanan penyamun di Siamsay. Ia ingat bahwa dalam sura
t cepat permohonan bala bantuan dari Siamsay ada disebutkan bahwa pemimpin penya
mun itu bernama Giok Lo Sat. Ia telah perhatikan nama penyamun itu, karena penya
mun itu adalah seorang wanita, maka sama sekali ia tidak sangka bahwa Giok Lo Sa
t itu adalah nona cantik bagaikan bidadari di depannya ini. Maka dengan sendirin
ya ia menjadi bingung.
Him Kengliak lihat romannya menteri itu, Ia bisa duga orang bersangsi. Mak
a ia tertawa.
"Saudara Yo, nona ini sekarang telah datang menghadap aku," katanya separu
h menggoda "maka dia adalah sahabatku!"
"Tentu saja, taydjin," sahut Yo
Lian, suaranya tidak wajar. Ia merasa aneh sekali akan sifatnya kengliak i
ni, hingga ia anggap orang benar-benar aneh. Kenapa kengliak ini bicara kepada s
atu kepala penyamun demikian merdeka, seperti benar-benar sahabat kekal satu pad
a lain?
Namun, di akhirnya menteri ini legajuga hatinya.
Sementara itu Ong Tjan sudah kembali bersama satu bungkus besar himtha.
"Oh, terlalu banyak!" kata Liong Tat Sam dengan kaget.
"Kantormu membutuhkan banyak, ambillah semua!" Kengliak kata.
Terpaksa piauwsoe itu menerimanya, ia mengucap terima kasih. Selagi ia hen
dak pamitan, ia dengar pembesar itu bicara kepada Giok Lo Sat, ia tahan langkahn
ya.
Teng Pek sangat suka kepada Nona Lian, hingga ia menyesal sangat yang ia t
idak punya anak perempuan sebagai nona ini. Ia dapat lihat pedangnya si nona, la
ntas sambil tertawa ia tanya: "Nona Lian, siapakah yang ajarkan kau ilmu silat p
edang?"
"Untuk apa kau tanyakan hal ini?" Giok Lo Sat balik tanya Saking polos, ia
berani bicara secara demikian merdeka.
"Sebab ilmu pedangmu sangat mahir!" sahut panglima itu. "Aku tidak pandai
ilmu silat pedang tetapi aku paling senang menyaksikan orang adu pedang!"
"Sayang kau seorang pembesar berpangkat tinggi, kalau tidak, pasti hari in
i aku akan ajak kau pergi menyaksikan orang adu pedang!" kata nona kita
Teng Pek tidak menjawab si nona, hanya tiba-tiba ia tunjuk Beng Kie seraya
terus berkata: "Nona Lian, inilah perwira sebawahanku pangkat Tjhamtjan nama Ga
k Beng Kie..."
"Aku tahu!" si nona memotong.
Teng Pek tidak mempedulikannya. Ia berkata pula: "Dalam pasukan tentaraku,
ilmu silat pedangnya sebawahanku ini adalah nomor satu, maka sudikah kau mencob
a-coba adu pedang dengan dia? Tentu saja syaratnya ialah saling sentuh saja, aku
larang saling melukai!"
Mendengar itu, sekonyong-konyong Giok Lo Sat tertawa.
"Ha, Gak Beng Kie, kiranya kau masih belum puas!" katanya. "Baik, marilah
kita mencoba-coba pula!"
Dan tanpa tunggu jawaban lagi, "Sret!" nona ini menghunus pedangnya.
Yo Lian kaget hingga ia menyingkir ke belakang kursi.
Teng Pek sebaliknya menjadi heran. Kata-katanya si nona mesti ada sebabnya
"Tunggu dulu!" ia mencegah. "Beng Kie, apakah sebelum ini pernah kau adu p
edang dengan nona ini?"
"Bukan hanya baru satu kali!" kata si nona, yang kembali memotong pembicar
aannya panglima itu. Lalu ia berseru: "Ha, sudah siang! --- Jikalau kau belum ma
u kembali ke perbatasan, baik lain kali saja aku memberitahukannya padamu! -- Da
n kau, Beng Kie, adu pedang ini kau boleh catat saja!"
Teng Pek jadi semakin heran, ia juga berat untuk segera berpisah dari nona
ini. Ia pun tidak berkecil hati atau merasa tersinggung untuk sifat yang berand
alan dari si nona itu. Sebaliknya, ia jadi semakin ketarik hati. Iapun lantas li
hat cuaca.
"Hampir tengah hari," katanya. "Mengapa kau kata sudah siang?"
Giok Lo Sat kuatir kengliak ini akan menahan terus kepadanya, untuk layani
dulu Beng Kie adu pedang, maka segera ia omong terus terang.
"Aku sebenarnya hendak adu pedang dengan AnghoaKoeibo, kau tahu tidak?" ka
tanya.
"Siapa itu Anghoa Koeibo?" tanyanya Teng Pek. "Nama itu aneh sekali kedeng
arannya!..."
Sebaliknya dari sep itu, Beng Kie kaget bukan main. Gurunya, Hok Thian Tou
w, adalah satu tertua dalam kalangan Rimba Persilatan, yang banyak penglihatanny
a dan pendengarannya, semasa Beng Kie masih berada di atas gunung Thiansan
- pernah ia dengar gurunya
omong tentang Anghoa Koeibo, maka tahulah ia, siapa Biang Hantu itu. Ia la
ntas tarik tangan sepnya "Mari, taysoe aku hendak bicara..." katanya.
Giok Lo Sat tidak tahu apa yang Beng Kie hendak katakan kepada sepnya itu,
tapi ia sudah lantas beri peringatan: "Jangan kau paksa aku berdiam di sini unt
uk adu pedang!"
"Nona jangan kuatir," Teng Pek berkata. "Kau mempunyai urusan penting, adu
pedang ini boleh dibicarakan belakangan. Harap kau tunggu sebentar saja." Lalu
ia berkata kepada sebawahannya: "Nah, Beng Kie, kau hendak bicara apa? lekas kat
akan!"
Beng Kie tuntun sepnya sampai di belakang pintu angin.
Liong Tat Sam lihat orang pergi sampai sekian lama masih belum kembali jug
a, ia jadi bingung, hatinya lantas memukul. Ia kuatir Gak Beng Kie tidak ingin l
epaskan Giok Lo Sat. Di dalam hatinya iapun berkata:
"Ha, iblis wanita ini sungguh besar nyalinya, di depan Kengliak dia berani
beber hal dirinya sendiri... "Kalau aku tahu akan terjadi begini, tidak nanti a
ku ajak dia kemari -- biar bagaimana, tidak! Him Teng Pek adalah seorang panglim
a perang dan di depannya berdiri satu kepala penyamun, bagaimana bisa dia tidak
menawannya? Kali ini Giok Lo Sat tidak bakal dapat meloloskan diri lagi..."
Sebaliknya Giok Lo Sat tampak tenang-tenang saja. Ia percaya betul kepada
Kengliak yang sifatnya agung itu, yang jujur katanya. Ia diakui sebagai sahabatn
ya, tentulah Kengliak artikan itu dengan sebenar-benarnya. Maka ia tidak sependa
pat dengan Tat Sam, yang bahna bingungnya, tidak bisa memikir jauh.
Sedetik kemudian, barulah terlihat Teng Pek dan Beng Kie keluar bersama, d
an Kengliak itu lantas saja tertawa.
"NonaLian, mari!" ia memanggil.
Dengan sikap wajar, Giok Lo Sat menghampiri.
"Sebenarnya aku telah memikir untuk menghadiahkan sesuatu kepadamu," kata
panglima itu, "sayang di tempat asing bagiku ini, aku tidak punya barang apa-apa
yang berharga..."
"Ah!" bersenyum si nona. "Sangkaku kau hendak omong suatu hal penting deng
an aku, tidak tahunya kau hendak berlaku sungkan! Untuk ikat persahabatan tidak
usah orang main hadiah menghadiahkan. Dan seumurku, aku melainkan terima hadiah
dari kepala berandal, sebaliknya barangnya sahabat-sahabat aku tidak kehendaki."
Teng Pek tidak hiraukan penampikannya nona itu, ia kata: "Meski aku tidak
punya barang berharga untuk dihadiahkan kepadamu, namun aku hendak juga meminjam
kan kau serupa barang, setelah nanti kau selesai memakainya, kau harus kembalika
n padaku."
Nona itu agaknya heran.
"Ha, kau hendak pinjamkan barang padaku?" katanya. "Inilah soal baru bagik
u! Barang apakah ttu?"
Him Teng Pek keluarkan sepasang sarung tangan.
"Nona Lian, sudikah kau pandang aku sebagai sahabat?" tanyanya sambil tert
awa.
Si nona bersenyum.
"Jikalau aku tidak memandang kau sebagai sahahatku, mustahil aku kesudian
pasang omong demikian lama dengan kau seorang pembesar agung?" sahutnya
Baru sekarang Teng Pek perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Kalau begitu ingin aku meminta sesuatu kepadamu, sudikah kau mengabulkann
ya?"
Agaknya si nona jadi sangat gembira
"Ah, kau hendak mohon sesuatu kepadaku?" katanya. "Haha! Aku suka, suka se
kali! Walau aku mesti terjun ke dalam air berdidih atau terjang api, pasti tidak
aku tampik!"
"Bagus!" berkata panglima dari perbatasan itu. "Permintaanku adalah: Jikal
au sebentar kau tempur lawanmu yang namanya entah apa Anghoa Koeibo, aku minta d
engan sangat kau harus memakai sarung tangan ini, nanti sesudah pertandingan itu
selesai, kau mesti antarkan kembali padaku."
Giok Lo Sat pandang sarung tangan itu, yang bersinarkan kuning emas yang i
ndah, tampaknya bukan terbuat dari sutera biasa, ia menjadi suka dan hatinya gir
ang.
"Baiklah, aku suka turut katamu!" ia beri jawabannya.
Teng Pek serahkan sarung tangan itu, yang pun lantas diterimanya oleh nona
itu.
"Sekarang bolehlah kau pergi." kata Kengliak kemudian, malah dia mengantar
sampai di ambang pintu di mana mereka berpisahan.
Bersama Liong Tat Sam, Giok Lo Sat cepat-cepat berangkat pulang ke piauwki
ok. Pegawai piauwkiok sudah tumbuk semua obat, sudah diaduk juga, hanya tinggal
tunggui, himtha saja, untuk terus dicampurkan diaduk lebih jauh, untuk segera di
pulung menjadi pil.
Tat Sam terus masuk ke dalam, untuk ambil Hoksimkhia, kaca semacam tameng
pelindung dada, yang ia lantas serahkan kepada si nona dengan diberikuti dua bun
gkus belirang.
"Sekarang ini sudah siang," kata piauwsoe-'itu," "tidak dapat kau berjalan
dengan mengguna; ilmu enteng tubuh, maka baiklah kau tunggang kudaku yang bisa
lari cepat. Setelah sampai di kaki gunung, baru kau tinggalkan kuda itu untuk ka
u mendaki dengan berjalan kaki."
Giok Lo Sat terima baik usul itu.
"Terima kasih!" ia mengucap.
Kuda sudah lantas disediakan, nona ini lompat naik atas bebokong binatang
itu, yang segera ia kaburkan.
Ia Ingin memburu tempo. Ketika ia keluar dari pintu kota, matahari baru sa
ja lintasi garis tengah hari.
"Cade, inilah yang pertama kali aku salah janji!" ia mengeluh seorang diri
. Maka ia bedal kudanya lebih hebat.
Sementara itu Pek Sek Toodjin, sekeluarnya dari rumah Boesoe Lioe See Beng
. telah menuju keluar kota sebelah barat.
"Soesiok, kenapa kau menjanjikan dia pieboe di Pitmo gay?" It Hang tanya p
aman gurunya di tengah jalan.
"Kau tidak tahu tentang lembah Pitmo gay itu," sahut sang paman guru. "Di
dalam Pitmo gay ada sebuah rumah batu. Menurut cerita, di jaman Ahala Tong di sa
na hidup satu pendeta bernama Louw Soe Guru Louw -- pendiri dari kaum persilatan
Koenlouw Kiampay, dia tinggal di rumah batu itu. Ilmu silat dari golongan itu su
dah lama hilang, apa yang dinamakan ilmu silat Koenlouw Kiam sekarang ini melain
kan kulit atau bulunya saja. Kabarnya di dalam rumah batu itu masih ada tanda-ta
nda peninggalannya pendeta itu, maka setiap penggemar silat, satu kali dia sampa
i di rumah batu itu, katanya lantas lupa pulang. Kau adalah bakal ketua partai k
ita, sudah selayaknya kaupun belajar kenal dengan rumah batu yang berhikayat itu
. Pitmo gay juga tersohor sebagai suatu lembah yang berbahaya. Di pinggiran kota
Pakkhia ini, sukar dicari tempat adu pedang yang terlebih baik daripada Pi
tmo gay itu."
Mendengar itu. It Hang berpikir: "Kau hendak adu pedang dengan Giok Lo Sat
. mana dapat kau membikin aku menontonnya dengan gembira?" Maka berbareng dengan
itu, ia asah otaknya mencari jalan pemecahan untuk membatalkan pertandingan itu
.
Tanpa merasa, sampailah mereka di Seesan, Gunung Barat itu. Pek Sek segera
menjadi tidak puas, karena ia tampak keponakan muridnya itu tidak gembira seper
ti hilang semangatnya. Keponakan murid ini seperti tidak punya perasaan apa juga
...
Menjadi tawarlah hatinya paman guru ini. Ia sengaja ajak It Hang berjalan
sama-sama puterinya, dan sampai sebegitu jauh ia lihat pemuda itu suka juga bica
ra kepada Gok Hoa, kadang-kadang mereka tertawa, akan tetapi ia dapatkan, orang
bicara dan tertawa dipaksakan.
Pek Sek Toodjin angkat kepalanya dan dongak.
"Kita datang terlalu pagi," katanya. "Masih belum tengah hari!"
"Kita boleh pergi lebih dahulu ke Pitmo gay, untuk tunggui dia di sana," I
t Hang kata.
"Tunggu dia? Dia begitu agung? Hm!" kata paman guru ini.
It Hang tidak kata apa-apa lagi. Tapi dalam hatinya ia berkata:
"Kenapa soesiok selama ini jadi makin cupat pikirannya? Selama dalam perja
lanan, kenapa soesiok seperti memaksa aku supaya senantiasa berdampingan dengan
putrinya?
Dan mungkinkah perselisihannya dengan Giok Lo Sat itu ada hubungannya deng
an sikapnya mengenai puterinya ini?
Tapi ia tidak dapat jawaban atau pemecahannya, ia jadi masgul sendirinya.
"Eh. apa yang kau pikirkan?" tegur Pek Sek, yang lihat orang termangu saja
"Tidak apa-apa," It Hang jawab. "Soesiok, aku berpendapat baiklah pieboe ini di
sudahi saja..." ia tambahkan.
"Ngaco!" bentak paman guru itu.
"Orang Boetong pay tidak pernah merasajeri!"
Di mulut imam ini mengatakan demikian, tetapi di dalam hatinya, ia berpiki
r: "Baik aku lihat dulu Pitmo gay, untuk periksa keletakannya. Pasti ini akan ad
a faedahnya bagiku..."
Ia lantas mendaki gunung sambil berlari-lari. Tidak lama kemudian ia sudah
menghadapi sebuah lembah, yang seperti ditawungi suatu batu besar yang dari ata
s bukit melonjor di tepian lamping jurang. Di lembah itu ada sebuah tanah kosong
, yang merupakan wujud seperti singa pentang mulut.
"Itu dia Pitmo gay," kata Pek Sek.
"Mari!"
It Hang menurut.
Keduanyamenggunai ilmu enteng tubuh akan lari mendaki.
Begitu ia sampai di atas, si imam perdengarkan seman dari keheranan: "Ai!"
Di tanah yang datar kedapatan tumpukan-tumpukan batu, romannya mirip denga
n tintouw, barisan rahasia (tin).
"Entah Giok Lo Sat gunai akal apa?" katanya. Ia lantas ajak It Hang jalan
di antara tumpukan-tumpukan batu itu. Ia seperti merasa memasuki ratusan ribu pi
ntu yang terpasang kusut. Benar-benar tempat itu mirip dengan barisan rahasia ya
ng berdasarkan ngoheng dan patkwa.
Tentang barisan rahasia itu, Ngoheng Patkwa Tin, dalam Boetong Pitkip ---
Kitab rahasia Boetong pay --- ada dimuat cuma Pek Sek Toodjin sendiri belum semp
at memahaminya sampai sempurna, maka itu sekarang, setelah jalan mundar-mandir s
ekian lama, ia tidak juga menemui jalan keluar.
"Kurang ajar!" dia menjadi gusar. "Tidak peduli iblis itu atur apa di sini
, aku hendak sapu habis dulu tumpukan-tumpukan batunya ini!"
Dalam murkanya itu, imam ini menyapu dengan kakinya, hingga satu tumpukan
batu buyar berantakan, ada yang membentur tumpukan batu lainnya, hingga batu itu
terpentalnya lebih jauh lagi.
Menampak itu, puas hatinya Pek Sek, maka ia tertawa berkakakan. Tapi, belu
m habis suara tertawanya itu, iapun dengar suara tertawa lain, yang dingin, yang
ditambahkan dengan teguran: "Bocah dari mana sudah begitu bernyali besar berani
mengacau tumpukan batuku untuk berlatih?"
Suara itu tajam didengarnya, hingga Pek Sek Toodjin terperanjat. Ia segera
menoleh kesekitarnya. Di empat penjuru, ia tidak lihat satu jua bayangan manusi
a.
"Kau setan apa?" dia tanya akhirnya. Dia telah dengar nyata suara itu, dia
merasa pasti mesti ada orangnya, saking sengitnya, dia bersikap kasar.
Sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat dari belakang suatu batu besar
dari sebelah bawah. Itulah seorang perempuan tua yang kurus kering dan kuning wa
jahnya, rambutnya ubanan, kulitnya telah kerut, sebelah tangannya menyekal sebat
ang tongkat. Pada rambut di ujung kupingnya tampak setangkai bunga merah. Pakaia
nnyapun tidak keruan macam. Maka dipandang seluruhnya nenek ini bagaikan hantu g
unung yang baru menjelma. Dia juga perlihatkan wajah seperti orang sedang murka
berbareng tertawa...
Walau nyalinya besar, menampak romannya nenek yang luar biasa itu, Pek Sek
menggigil juga. Dengan tindakan tetap, nenek itu maju ke dalam tin batunya.
"Hai, dua orang golongan muda, siapa namamu?" dia menegur. "Dan siapa guru
kamu? Untuk apa kalian datang kemari? Lekas kalian kasih keterangan yang sebena
r-benarnya!"
Pek Sek ada salah satu dari BoetongNgoloo, iajugatelah berusia lima puluh
satu tahun, ia tidak muda lagi seperti It Hang. Ia juga belum pernah orang hinak
an. Ia menjadi gusar dikatakannya sebagai golongan muda.
"Namanya Boetong Ngoloo, pernah kau dengar atau tidak?" dia balik menegur.
Nenek itu membelalakkan matanya.
"Apa itu Boetong Ngoloo? Aku belum pernah mendengarnya!" katanya, seperti
mengejek.
Nama kesohor dari Boetong Ngoloo didapat baru belasan tahun yang silam, se
baliknya nenek ini hidup menyendiri sudah tiga puluh tahun. Maka pada tiga puluh
tahun yang lalu itu, Pek Sek baru berumur kira-kira dua puluh tahun. Di kala it
u nama Boetong Ngoloo belum ada, tidak heran kalau nenek ini tidak mengetahuinya
. Jadi nyatalah nenek ini telah bicara dengan sebenarnya. Pek Sek sementara itu
anggap nama Boetong Ngoloo, untuk di kolong langit ini tidak ada orang yang tida
k mengetahuinya. Oleh karenanya, ia jadi sangat gusar. Ia menganggapnya nenek in
i sudah menghina Boetong pay.
Beda daripada paman gurunya, It Hang tidak menjadi kurang senang atau gusa
r, ia malah segera memberi hormat sambil menjura dalam-dalam.
"Harap dimaafkan, aku ingin ketahui nama besar tjianpwee," kata ia dengan
merendah.
Wanita tua itu buka mulutnya dan tertawa.
"Ah, anak, kau mengerti juga adat istiadat," katanya. Dia lantas tunjukkan
bunga merah di samping kupingnya. "Kau sanggup mendaki Pitmo gay, kau boleh dib
ilang mempunyai kepandaian juga, kau tentunya dapat pelajaran dari orang berilmu
. Apakah tetuamu tidak pernah omong tentang halnya bungaku ini? Tahukah kau riwa
yatnya bunga merah ini?"
It Hang menggeleng kepala, agaknya ia bingung.
Baru sekarang Pek Sek Toodjin ingat namanya Anghoa Koeibo, dengan sendirin
ya ia menjadi kaget, tapi berbareng iapun gusar.
"Ha, perempuan siluman, kau kiranya masih hidup!" dia membentak.
Anghoa Koeibo pun gusar, dia segera angkat tongkatnya.
"Imam bangsat, rasai tongkatku ini!" dia berteriak.
Anghoa Koeibo, telah berumur enam puluh lebih, dibanding dengan almarhum T
jie Yang Toodjin, dia cuma lebih muda beberapa tahun saja
Tentang Anghoa Koeibo itu, Pek Sek pernah dengar penuturan soeheng-nya aka
n keliehayannya nyonya tua ini, bahwa dulu tiga belas jago dari Barat utara tela
h dikalahkan. Tapi ia menganggapnya tiga belas jago itu bukannya jago-jago kelas
satu, jadi kekalahan mereka itu tidaklah mengherankan. Maka ia anggap, kegagaha
n nenek ini adalah omong besar belaka. Ini pula sebabnya, sekarang ia tidak mera
sa jeri. Ia hendak berlaku sabar, meskipun ia dicaci dan dituding, ia tidak mau
segera menggerakkan tangan.
"Orang rendah, kau masih tidak mau maju?" nenek itu menantang.
"Perempuan siluman, kau pun tidak hendak mulai menyerang?" imam ini balas
menantang.
Anghoa Koeibo memukul kepada tumpukan batu, yang menjadi hancur berhambura
n. Ada batu-batu yang terpental ke arah Pek Sek Toodjin tetapi dengan berkelit i
mam ini menghindarkan diri, cuma abu batu yang mengotori jubanya. Hal ini barula
h membuat si imam gusar, dengan sebat ia hunus pedangnya, pedang Tjengkong kiam,
dengan apa ia segera menikam dengan gerakan "Kimtjiam touwsian" atau "Jarum ema
s ditembusi benang". Ujung pedangnya menyambar ke tenggorokan sinenek.
Dengan hanya menggerakkan tangannya satu kali, dari atas Anghoa Koeibo men
indih dengan tongkatnya, dengan begitu ia memunahkan serangannya imam itu, yang
mesti berkelit dengan lompat ke samping, pedangnya lekas ditarik pulang. Karena
tindihan itu yang berbareng pun merupakan penyerangan, telah membikin tubuhnya P
ek Sek terhuyung beberapa tindak. Tapi yang menjadikan dia kaget berbareng mendo
ngkol adalah telapak tangannya, yang menyekal pedang, dirasakan panas dan sakit
akibat tindihan tongkat nenek itu, tenaga siapa nyata ada besar luar biasa. Dala
m murkanya, Pek Sek Toodjin segera menyerang, untuk mana ia lantas bersilat deng
an ilmu pedangnya. Tj itcapdj ie tj ioe Lianhoan Toatbeng kiam -- ialah ilmu ped
ang berantai untuk "merampas jiwa" yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua ju
rus. Ia bergerak dengan sangat cepat dan tegas ketika ia menyerang beruntun dua
kali.
Kedua-dua kalinya, Anghoa Koeibo gempur serangan pedang dengan gerakan toy
a sekali pukul, dan dia kata dengan jumawa: "Kau dapat lolos dari ujung tongkatk
u, kau boleh jugalah!"
Pek Sek terus berada dalam kemurkaan, maka ia ulangi serangannya terus-ter
usan sampai tujuh jurus. Tapi masih saja si nenek dapat memecahkannya satu demi
satu serangan-serangan itu. Kembali nenek ini kata: "Eh, ilmu pedangmu ini rasan
ya pernah aku lihat, entah di mana... Di jaman ini orang yang bisa bersilat deng
an pedang begini rupa, dia termasuk juga golongan kelas utama!"
Nenek ini bicara sambil tertawa tetapi dengan terus melakukan serangan bal
asan, hingga Pek Sek terdesak mundur, untuk mana dia sampai lewati beberapa tump
uk batu. Dengan demikian, dia mulai terdesak ke dalam tin istimewa dari Anghoa K
oeibo.
Imam ini lantas insyaf bahwa sulit untuk ia meloloskan diri, karenanya, ia
memasang mata ke delapan penjuru, pedangn-nya diputar cepat hingga umpama kata
tubuhnya tak kena tersampok angin atau terserang hujan. Secara demikian dapat ju
ga ia pertahankan diri. Akan tetapi, sesudah didesak selama lima puluh jurus leb
ih, ia lantas bermandikan keringat. Dengan hati mantap dan tenaganya yang ulet,
tidak pernah ia memberi lowongan kepada musuhnya yang liehay itu.
Sesudah menyerang hebat sekian lama, tiba-tiba Anghoa Koeibo memperlunak s
erangannya.
"Tjie Yang Toodjin itu apamu?" mendadak dia tanya.
Pek Sek malu berbareng mendongkol, tidak lagi dia hendak menyebut-nyebut B
oetong Ngoloo, maka dia terus membungkam, bahkan selagi orang berlaku kendor, di
a berbalik menyerang secara hebat dengan dua serangannya "Burung garuda menerjan
g ke udara!" dan "Sang ikan menyelusup ke dasar air". Ujung pedangnya mencari sa
saran yang berupajalan darah.
Anghoa Koeibo menjadi sangat gusar.
"Bocah, kau tidak tahu diri!" serunya sambil ia angkat tongkatnya menangki
s yang berbareng memunahkan dua serangan musuh. Menyusul itu, ia ulur tangan kir
inya guna balas menyerang dengan totokan. sesudah mana, juga kembali tongkatnya
menyambar menyerang terlebih jauh. Dalam murkanya itu tampak sikapnya menjadi be
ngis.
Pek Sek sanggup tangkis semua serangannya si nyonya, akan tetapi segera ju
ga ternyata ia telah kena didesak, ia repot menghindarkan diri dari serangan tan
gan kiri dan tongkatnya Anghoa Koeibo. Sekarang barulah ia insyaf liehaynya si n
yonya Bahna hebatnya desakan, permainan pedangnya dengan cepat mulai menjadi kal
ut.
It Hang berkuatir menampak keadaannya paman guru itu, dengan tidak menghir
aukan lagi kepada tumpukan-tumpukan batu yang merupakan barisan rahasia itu, ia
pun hunuskan pedangnya dan lompat membantui paman gurunya itu.
"Hai, kau juga turut ambil bagian?" seru si nyonya, yang pun terus menyera
ng pemuda itu, untuk dikurungnya bersama Pek Sek, untuk bikin mereka tidak bisa
keluar dari dalam tin batu.
Sekali It Hang tangkis tongkat musuh, ia segera ketahui tenaga besar dari
nyonya tua itu, ia merasakan tangannya bergetar, maka untuk dapat melayani terus
, ia lantas gunai kelincahannya supaya tak usah adu tenaga lagi.
Anghoa Koeibo nampaknya memperhatikan pemuda ini. Setelah beberapa jurus,
tidak lagi ia menyerang dengan bengis, bahkan setiap serangannya It Hang ia mena
ngkisnya secara ringan.
Ilmu silatnya It Hang, di dalam kalangannya sendiri, yaitu generasi kedua,
adalah yang paling mahir, malah bila dibandingkan dengan Pek Sek Toodjin, ia cu
ma~kalah satu tingkat. Karena ini, dengan bantuannya itu, si nyonya seperti tida
k ingin melukai padanya, Pek Sek Toodjin menjadi peroleh keringanan, juga ia jad
i dapat ketika untuk melakukan penyerangan.
Banyak jurus telah dilalui dalam pertempuran dua lawan satu ini, tiba-tiba
Anghoa Koeibo perdengarkan suaranya yang bengis: "Ketika dahulu aku layani tiga
belas jago yang berserikat dan mengepung aku, aku telah merobohkannya tak lebih
daripada lima ratus jurus, sekarang sesudah tiga ratus jurus maka tidak bisa la
gi aku beri kelonggaran!"
Nyonya dengan bunga merah di kuping ini buktikan ancamannya itu dengan mem
perkeras serangannya hingga tongkatnya bertambah berbahaya.
Dengan lantas It Hang menjadi gelisah, apapula ketika ia tampak ujung tong
kat menyambar ke dada paman gurunya, dengan melupakan bahaya, ia lantas serang s
i nyonya, menyerang iga kirinya, walaupun ia tahu ia tidak akan peroleh hasil, t
etapi sedikitnya ia harap paman gurunya dapat tertolong.___
"Pergi!" bentaknya si nyonya, yang keluarkan tangan kirinya menyampok bela
kang pedang, atas mana, tubuhnya It Hang terlempar dan terpelanting jatuh keluar
tin. Akan tetapi ketika ia merayap bangun ia dapatkan dirinya tidak terluka sam
a sekali, hingga ia menjadi heran sendirinya. Ia tidak mengerti kenapa ia dapat
disampok demikian dahsyat.
Belum sempat It Hang maju pula, atau segera ia dengar jeritan dari kekaget
an atau kesakitan, lantas ia tampak tubuhnya Pek Sek Toodjin terlempar keluar ti
n seperti dia tadi. Dalam kagetnya itu ia lompat kepada paman gurunya, yang ia t
ampak baju di depan dadanya robek dan darah mengucur keluar dari dua guratan ped
ang. Mukanya paman guru itu pucat pasi, napasnya seperti berhenti jalan. Ia mena
ngis tanpa merasa, lalu dengan gesit ia lompat ke arah nyonya itu, dengan nekat
ia hendak menyerangnya.
"Perempuan siluman!" bentaknya.
"kau telah lukai paman guruku, aku hendak adu jiwa denganmu!"
"Hai, kau juga memanggil aku perempuan siluman?" si nyonya berseru. Ia aga
knya tidak senang, akan tetapi ia tidak bersikap bengis seperti terhadap Pek Sek
Toodjin.
Sekonyong-konyong terdengar suara orang memanggil namanya: "It Hang! ItHan
g!"
Itulah suara panggilan dari arah belakang It Hang, mendengar mana, ia sege
ra berhentikan tindakannya dan berpaling.
"Entjie Lian, lekas!" ia berseru. Karena ia segera kenali orang yang meman
ggil namanya itu. "Man lekas bantui aku membunuh perempuan siluman ini!"
Dalam tempo yang pendek Giok Lo Sat telah sampai di kalangan pertempuran b
ersama Tiat Hoei Liong.
Anghoa Koeibo lihat orang itu, ia tertawa dingin berulang kali.
"Kongsoen Toanio, kali ini kelirulah sikapmu!" Hoei Liong berkata.
Si bungamerah mencilak matanya.
"Keliru bagaimana?" dia tanya.
"Kim Tok Ek telah terlalu sering berbuat yang tiada kepantasan dan sekaran
g ia justeru turut titahnya segala dorna kebiri untuk mencelakai menteri setia!
Kenapa kau belai padanya?" sahutnya Hoei Liong.
Nyonya kosen itu tertawa dingin.
"Meski benar iblis tua itu berbuat keliru, itulah bukan urusanmu untuk tur
ut campur!" kata dia.
Hoei Liong jadi mendongkol.
"Dengan demikian aku telah bikin renggang pada kau suami isteri!" katanya
dengan sengit. "Kongsoen Toanio, oh, Kongsoen Toanio!" ia tambahkan, "sungguh
mentertawakan, kau seorang dari satu keluarga kenamaan telah berbuat begin
i sembrono, kau tidak bisa bedakan pri keadilan!"
Kongsoen Toanio angkat tongkatnya.
"Tiat Hoei Liong, jangan kau banyak omong!" dia membentak. "Hari ini aku d
atang tidak lain justeru dengan maksud belajar kenal dengan ilmu silatmu Loeiten
g Patkwatjiang!"
Hoei Liong tertawa besar, terus ia lompat masuk ke dalam tin batu. "Bagus!
" serunya. "Kiranya kau sengaja datang untuk mencoba-coba aku si Tiat tua!"
Dengan lompatannya itu, jago tua ini menempatkan kaki, di belakangnya satu
tumpukan batu.
Wanita tua itu lepaskan tongkatnya.
"Dengan sikapmu ini kau hendak gunai tin batu ini untuk uji tenaga tangan?
"
"Benar!" sahut Hoei Liong, yang segera mengibaskan kedua tangannya. Maka b
atu di hadapannya itu tersampok dan terbang berhamburan...
Anghoa Koeibo pun menggerakkan sebelah tangannya, ia bikin gempur satu tum
puk batu hingga berhamburan juga.
Keduanya saling menggempur, setiap kali batu menyambar ke arah mereka, mer
eka masing-masing berkelit untuk mengelakkan diri dari sambaran batu.
Hoei Liong menaruh kaki menurut keletakan patkwa, sehabis menggempur ia lo
mpat.
"Bangsat tua she Tiat, kau licik!" mendamprat Anghoa Koeibo. Dampratan ini
disusul dengan gerakan kedua tangannya menggempur dua tumpuk batu lainnya, la m
enggempur dari kiri dan kanan, dengan begitu Tiat Hoei Liong terserang dari kiri
kanan juga.
Hoei Liong lompat berkelit, dari apa yang dinamakan pintu "Kammoei" ke pin
tu "tweemoei", lalu dengan cepat ia balas menyerang dengan sebelah tangannya, hi
ngga sinyonya juga mesti singkirkan diri, dari pintu "kianmoei" ke pintu "koenmo
ei".
Demikian mereka serang menyerang dengan cepat, sama cepatnya dengan elakan
diri masing-masing untuk menghindarkan bahaya. Karena hebatnya serangan mereka
kepada tumpukan-tumpukan batu, batupun berhamburan kalang kabutan. Tapi keduanya
gesit dan awas matanya, tidak ada batu yang mengenai tubuh mereka.
Giok Lo Sat yang tonton pertempuran yang luar biasa itu, hatinya sangat te
rtarik, ingin ia ambil bagian.
Tiat Hoei Liong berkelahi dengan ilmu silat Loeiteng Patkwa tjiang, yang b
enar-benar berdasarkan delapan penjuru patkwa. Ia sengaja berkelahi dengan cara
ini, karena ia tahu, Anghoa Koeibo sangat liehay, tepat ia pilih tin batu itu un
tuk melayaninya. Mengenai tin ini, atau barisan patkwa, ia lebih berpengalaman,
maka ia bisa bergerak dengan sebat sekali. Karena ini juga, sampai sekian lama m
ereka masih sama tangguhnya.
Anghoa Koeibo jadi murka sekali, karena sudah demikian lama ia tidak perol
eh keputusan. Ia telah lihat dengan tegas, dalam hal ilmu silat Hoei Liong ketet
er daripadanya, tetapi di dalam tin ia tak sanggup atasi kegesitannya Hoei Liong
.
Hoei Liong cerdik dan berpengalaman, dari wajahnya ia bisa duga nyonya tua
itu sedang murka besar atau sangat mendongkol, lalu sengaja ia menggunai akal.
Begitulah dengan tiba-tiba ia menyerang, menyusul itu, ia tertawa haha-haha meng
ejek musuhnya.
Amarahmja Anghoa Koeibo meluap-luap, ia balas menyerang dengan kedua tanga
nnya saling susul, dengan cara yang paling hebat, hingga ia bikin batu-batu bert
erbangan. Akan tetapi, sambil unjuk kegesitannya Hoei Liong perdengarkan pula te
rtawanya.
"Berhenti!" mendadak Giok Lo Sat berseru, selagi ayah angkatnya masih teru
s tertawa.
Hoei Liong dengar suara anaknya, tanpa bersangsi lagi ia lompat keluar dar
i kalangan.
"He, apakah artinya ini?" teriak Anghoa Koeibo.
Giok Lo Sat awasi nyonya tua itu. ia tertawa tawar.
"Apa?" mengulangi Giok Lo Sat. "Tin batumu sudah gempur semua, dengan send
irinya pertempuranpun harus diberhentikan!"
Anghoa Koeibo segera pandang barisannya yang istimewa itu. Benarlah barisa
n batunya telah tidak lagi menjadi barisan batu, karena semua tumpukan sudah gem
pur, malah ada batu-batu yang masih bergelindingan turun ke kaki gunung... Ia se
dang gusar, maka menampak itu ia tambah mendongkol. Ia jemput tongkatnya, dengan
itu ia mengemplang batu. hingga terdengarlah satu suara nyaring.
"Bangsat she Tiat, anggaplah pertandingan ini seri!" dia berkata dengan se
ngit. "Mari kita bertempur pula dengan lain cara!"
Tidak tunggu lagi ayahnya terima tantangan itu, Giok Lo Sat tertawa pula.
Sengaja ia mendahului.
"Anghoa Koeibo, kau berlaku tidak adil!" dia berkata.
"Kenapa tidak adil?" bentak si nyonya, dalam murkanya.
"Karena kau memegang senjata dan ayahku tidak!" jawabnya si nona.
"Itulah tidak menjadikan halangan!" kata nyonya itu. "Kita boleh bertempur
pula dengan tangan kosong!"
"Tadi toh kalian telah bertanding seri, untuk apa bertempur pula?" Giok Lo
Sat mengejek.
Anghoa Koeibo mendeluh juga Memang benar apa yang si nona katakan. Tadi wa
laupun mereka bertempur di dalam tin batu, namun sebenarnya mereka sedang adu ke
pandaian silat tangan kosong. Selain daripada itu, tin adalah kepunyaannya yang
ia atur sendiri, seharusnya ia menang di atas angin.
Bahwa nyonya ini hendak tantang Hoei Liong lebih jauh. itulah pantas. Ia p
andai silat dengan tangan kosong atau bersenjata. Dan Hoei Liong biasa bersilat
dengan tangan kosong selalu, karena peryakinannya ilmu silat Loeiteng Patkwa tji
ang itu. Tidak pernah jago tua ini gunai gegaman. Akan tetapi, apa yang dikataka
n Giok Lo Sat pun tidak keliru. Memang tidaklah seimbang-kalau dua orang bertand
ing, yang satu memakai senjata dan yang lainnya tidak.
"Biar bagaimana, hari ini aku tidak puas, tetap aku hendak lanjutkan perta
ndingan!" kata si nyonya tua, yang menjadi ngotot. Dia telah dipengaruhi sangat
oleh penasarannya. Walau demikian, dia tidak dapat segera menyebutkan dengan car
a apa dia hendak bertanding pula.
Giok Lo Sat berlaku tenang. Ia girang melihat orang dipengaruhi nafsu amar
ah. Dengan sabar, ia loloskan beberapa lembar benang merah dari kepalanya, ia pa
kai itu untuk melibat ujung bajunya.
"Anghoa Koeibo, jangan kau gusar," katanya dengan sabar. "Kau hendak berte
mpur itulah gampang sekali. Ada orang yang bersedia akan iringi kehendakmu!"
Nyonya tua itu tercengang.
"Apakah kau, bocah, yang hendak melayani aku?"
Giok Lo Sat tertawa, sepasang alisnya yang bagus memain.
"Ha, kau menerka jitu!" katanya, dan ia tertawa pula.
Selama beberapa tahun yang paling belakang, namanya Giok Lo Sat sangat ter
kenal, akan tetapi Anghoa Koeibo tidak dengar itu, disebabkan ia sedang hidup me
nyendiri dan barulah sekarang ia muncul pula benar ketika di kota raja dari suam
inya, Kim Tok Ek, ia pernah dengar tentang si Raksasi Kumal a. tapi ia tidak men
yangka sama sekali bahwa si Raksasi Kumala adalah nona muda dan cantik di depann
ya ini. Tentu saja ia jadi heran, Tapi ia besar kepala dan pula ia tidak memanda
ng mata. Ia tidak ingin melayani anak muda.
"Baiklah kau belajar silat dahulu lagi sepuluh tahun!" ia mengejek sambil
menuding dengan tongkatnya.
Giok Lo Sat pun segera hunus pedangnya, kembali ia tertawa.
"Eh, Anghoa Koeibo, apakah dengan kata-kata ini kau hendak artikan kau ada
jauh terlebih gagah daripada aku?"
Nyonya itu melirik, tidak mau ia menjawab.
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Sungguh sayang, kau tak lebih daripada satu buntalan besar!" katanya.
Bukan main murkanya nyonya tua itu.
"Kau ngoceh tak keruan!" bentaknya.
"Jikalau kau bukan satu buntalan besar," sahut si nona, "kenapa kau tidak
mengerti tentang pepatah: 'Belajar itu tak ada yang lebih dahulu atau lebih bela
kang, siapa yang berhasil dialah yang jadi guru? Benarkah kau tidak ketahui ini?
"
Si Raksasi Kumala tidak belajar surat akan tetapi kata-kata itu baru saja
ia dengar dari It Hang, maka kebetulan sekali, menghadapi Anghoa Koeibo yang jum
awa dan kepala besar, ia gunai kata itu untuk mengejek, guna membangkitkan amara
h orang. Dan ia berhasil.
Dalam murkanya yang meluap-luap, nyonya tua itu menuding dengan tongkatnya
.
"Apabila kau sanggup menangkan aku, aku nanti angkat kau jadi guruku!" ia
berseru.
Itulah tak berani aku menerimanya!" tertawa si nona. "Baiklah kita atur beg
ini saja: Jikalau kau dapat memenangkan aku, kami berdua ayah dan anak akan meny
erah, kau boleh perbuat sesuka hatimu atas diri kami. Sebaliknya kalau akulah ya
ng menang, maka kau mesti serahkan suamimu si setan bangkotan yang busuk itu kep
adaku! Aku hendak bunuh dia atau menghukum picis, kau tidak dapat membantu lagi
kepadanya!"
Bukan main mendongkolnya Anghoa Koeibo.
"Asalkan kau mampu lawan aku sampai seri, aku akan pergi sembunyikan diri
lagi tiga puluh tahun!" ia berikan janjinya.
Giok Lo Sat tertawa.
"Bagus!" serunya. "Sekarang kau boleh mulai!"
"Selamanya jikalau aku tempur orang satu sama satu, belum pernah aku turun
tangan lebih dahulu!" kata nyonya tua itu.
Giok Lo Sat mainkan alisnya, ia tertawa. Ia ulur pedangnya ke mukanya nyon
ya tua itu. gerakannya sangat perlahan, lalu ia putarkan pedangnya di muka si ny
bnya sekali, bagaikan orang menggurat.
"Hai, kau mainkan apa ini?" bentak nyonya itu. "Kau sebenarnya hendak bert
empur atau tidak?"
Belum sampai Anghoa Koeibo tutup mulutnya, tiba-tiba ujung pedang si nona
telah sampai di mukanya sekali. Demikian sebat gerakan nona itu, sampai lawannya
yang liehay itu tidak menyangkanya.
Si Raksasi Kumala sangat cerdik, ia sudah lihat ilmu silatnya nyonya tua i
tu mahir sekali, maka itu ia menggunai akal untuk membangkitkan amarahnya, guna
mengacaukan ketenangan hatinya, setelah itu, sengaja ia mainkan pedangnya di muk
a orang, ia bergerak demikian ayal, guna membuat orang alpa dengan penjagaannya,
lalu dengan sebat luar biasa ia menikam!
Dalam kagetnya, Anghoa Koeibo menangkis dengan tongkatnya, tapi begitu lek
as tongkatnya terangkat, atau ujung pedang si nona sudah ditarik pulang, untuk d
iteruskan ditikamkan kepada tenggorokannya. Maka lagi sekali ia menjadi kaget. U
ntuk selamatkan diri, ia pengkeratkan pundak dan kepalanya, berbareng tangan kir
inya menyambar untuk merampas pedang lawannya.
Giok Lo Sat ada sangat awas dan cerdik, ia telah tujukan ujung pedangnya k
e arah tenggorokan. namun setelah orang berkelit, pedangnya ia miringkan dipakai
menyerang ke samping, ke arah mana nyonya itu berkelit.
Bahna terperanjatnya, Anghoa Koeibo mencelatkan diri lompat menyingkir, te
tapi selagi ia lompat, ia rasakan hawa dingin menyambar di samping kupingnya, me
nyusul mana tahu-tahu bunganya yang merah dan besar itu telah jatuh tertabas ped
ang.
"Ha-ha-ha-ha!" nona itu tertawa.
Nona ini berhasil menindih kesombongan lawannya.
"Hm!" bersuara si nyonya tua.
"Ilmu pedangmu ini benar bagus tetapi bukanlah ilmu yang sejati!"
Meski demikian, benar-benar Anghoa Koeibo gentar juga.
Lagi-lagi nona manis itu tertawa.
"Baik!" katanya. "Baik, nanti aku perlihatkan padamu ilmu silat pedang yan
g sejati!"
Dan kata-katanya ini ia akhiri dengan serangannya, beruntun beberapa kali,
semua dengan gerakan sangat gesit, tetapi di antaranya ada yang gertakan belaka
.
Anghoa Koeibo tidak pernah menduga, untuk penyerangan semacam ini, iapun m
erasa aneh atas gerakan-gerakannya ilmu pedang itu, tanpa merasa ia kena didesak
mundur. Untung dia mempunyai kepandaian yang liehay, kalau lain orang yang meng
hadapi nona itu, mungkin telah menjadi.korbannya.
To It Hang yang saksikan pertempuran itu diam-diam hatinya girang, hingga
ia 1upa kepada paman gurunya, Pek Sek Toodjin, yang telah mendapat luka parah.
Tiat Hoei Liong sebaliknya merasa kuatir menampak jalannya pertempuran itu
.
"Entjie Lian menang cerdas, perempuan tua siluman itu bukanlah tandinganny
a," It Hang kata.
"Masih terlalu siang pendapatmu!" berkata Hoei Liong.
It Hang terus memandang kepada pertempuran, tetapi segera ia menjadi kuati
r, karena cepat sekali ia tampak perubahan. Dari terdesak dan repot menangkis, s
ekarang Anghoa Koeibo sudah mulai membalas menyerang, berbalik dia merangsek. He
bat adalah tangan kirinya, yang saban-saban menyambar lowongan selagi tongkatnya
melayani pedang si nona.
Dari pihak penyerang, Giok Lo Sat sekarang berbalik menjadi pihak pembela
diri, pedangnya seperti tak dapat digunakan lagi untuk menyerang. Malah sekarang
sinar tongkatlah yang berkelebatan tak hentinya, seperti mengurung si nona. Dal
am keadaan seperti itu Giok Lo Sat mesti lakukan perlawanan sungguh-sungguh. Kar
ena ini juga, keduanya bergerak sangat cepatnya.
It Hang menggigil sendirinya menyaksikan kehebatan itu. Akan tetapi sebali
knya Tiat Hoei Liong, dari merasa kuatir, sekarang dia nampaknya berlega hati. M
alah jago tua ini segera berkata:
"Walaupun ilmu silatnya perempuan siluman itu sangat mahir, kini dia tidak
dapat berbuat sesuatu terhadap Giok Lo Sat..."
Giok Lo Sat gesit, tadi ia menang di atas angin karena kecerdikannya, tapi
lawannya pun memang benar-benaV liehay. Nyonya tua ini ada lebih gagah daripada
Tiat Hoei Liong. Di mana Giok Lo Sat cuma sedikit lebih atas daripada ayah angk
atnya itu, iapun kalah daripada si nyonya. Tambahan pula nyonya inipun sangat be
rpengalaman. Tadi dia didesak karena terbangkit hawa amarahnya yang menjadikan d
ia mendongkol, setelah kena didesak, segera dia insyaf. Maka lantas dia dapat te
nangkan diri, lalu dia berkelahi dengan tenang dan sungguh-sungguh. Setelah tiga
puluh jurus, dapat dia perteguhkan kedudukannya, cepat dia berubah menjadi piha
k penyerang, karena dengan tangan kirinya yang liehay tangan Toksee tjiang yang
beracun -- membantu banyak tongkatnya yang tak kurang liehaynya itu.
Maka lawannya lantas seperti kena terkurung tongkat dan tangan kirinya itu
.
Suasana yang berbalik itu membikin tetap hatinya Anghoa Koeibo, hingga pik
irnya segera ia akan dapat rebut kemenangan. Akan tetapi Giok Lo Sat sangat mant
ap hatinya dan cerdas otaknya, walaupun dia telah terangsek, dia tidak menjadi g
ugup dan kalut pikirannya, sama sekali dia tidak menjadi takut. Dengan kelincaha
nnya dia menghindarkan diri dari setiap saat berbahaya.
"Hebat..." akhirnya Anghoa Koeibo mesti akui kegagahan lawannya itu. Karen
a ini, dalam penasaran, ia perhebat serangannya.
Tibalah saat yang sangat berbahaya bagi Giok Lo Sat, setelah didesak secar
a demikian, satu kali ujung tongkat menyambar kepadanya. Tidak ada ketika untuk
menangkis, juga berbahaya untuk ia lompat berkelit. Tapi nona ini tidak gempur h
atinya, ia tetap tabah. Di dalam keadaan bahaya itu, ia sambuti ujung tongkat de
ngan ujung pedangnya. Agaknya ia membela diri dengan menahan senjata lawan. Tapi
ia bukan cuma pertahankan diri, ia mempunyai maksud lain. Dengan mengamprokkan
kedua ujung senjata, ia justeru hendak pinjam tenaga lawan. Selagi kedua senjata
bentrok, mendadak ia menjejak tanah untuk mengapungkan diri. Dan ia berhasil me
minjam tenaga lawannya. Tapi ia tidak berhenti sampai kepada pembelaan diri saja
justeru sedang tubuhnya mencelat maka pedangnya, yang ia telah tarik pulang den
gan sebat, ia teruskan menyerang musuh dari atas selagi tubuhnya mengapung!
Anghoa Koeibo terperanjat untuk liehaynya nona ini, ia mundur sambil menan
gkis. Dengan begitu, si nona dapat menaruh kaki dengan tidak kurang suatu apa, h
ingga ia dapat bersiap sedia untuk mulai dengan pertandingannya lebih jauh, yang
telah berlangsung pula banyak jurus.
Setelah hatinya Hoei Liong lega, ingatlah ia kepada Pek Sek Toodjin.
"Coba tengok paman gurumu," ia kata kepada It Hang.
Pemuda itu seperti baru sadar, tidak membuang tempo lagi ia bertindak deng
an cepat kepada paman gurunya itu.
Pek Sek Toodjin duduk termangu, kedua matanya dimeramkan. Ia sedang bersem
edhi. Ketika ia dengar suaranya Hoei Liong, ia buka kedua matanya, wajahnya namp
aknya gusar.
Tiat Hoei Liong juga menghampirkan.
"Inilah obat manjur untuk melawan racun/' kata dia yang keluarkan dua buti
r obat pulung. Imam itu menggeleng kepala, ia tidak mengucap apa-apa. Ia sudah m
akan obat buatannya sendiri, obat Boetong pay, maka tak sudi ia makan lain obat
lagi, apapula obatnya pihak musuh. Ia telah anggap Hoei Liong dan Giok Lo Sat se
bagai musuh-musuh.
Hoei Liong mendongkol berbareng geli di hati. Ia segera dekati kupingnya i
mam itu katanya: "Aku tidak suka menghadapi seorang kenamaan terbinasa secara de
mikian kecewa. Obatmu itu cuma dapat menahan untuk sementara waktu, tetapi obatk
u adalah obat yang tepat. Kalau toh kau tidak puas, tidak apa kau makan dulu oba
tku ini, nanti setelah kau sembuh, kau boleh tetapkan hari untuk kita bertanding
."
Pek Sek berdiam, ia tutup rapat kedua matanya.
TiatHoei Liong jadi mendongkol sekali, tiba-tiba ia ulur sebelah tangannya
ke muka imam dari Boetong pay itu yang ia pencet.
Pek Sek Toodjin terkejut, ia buka mulut tanpa ia kehendaki. Tapi, baru saj
a ia buka mulutnya atau dua butir obat telah diceploskan oleh Hoei Liong ke dala
m mulutnya itu, malah obat itu segera ia kena telan!
Benar mujarab obatnya orang she Tiat itu, begitu obat masuk ke dalam perut
, si imam lantas merasakan sedikit hawa panas; tapi untuk sebentar saja rasa pan
as itu telah hilang, lalu ia merasakan tubuhnya lebih enak. Hingga terpaksa ia b
ungkam terus, tidak lagi ia umbar kemarahannya
Hoei Liong mengawasi, ia tertawa sendirinya.
"Pamanmu ini berkepala batu tanpa alasan!" kata ia pada It Hang. Sambil be
rkata demikian, ia tarik pemuda itu mendekati padanya, lalu sambil buka kancing
bajunya sendiri, ia kata kepada pemuda ini: "Kau lihat ini!"
It Hang terkejut. Ia dapatkan kaca pelindung di depan dadanya orang tua it
u telah pecah remuk, apabila tidak ada kawat-kawat pegangannya, semua pecahan ka
ca tentulah telah jatuh belarakan.
Hoei Liong mengancing pula bajunya, ia tertawa.
"Tanpa kaca pelindung ini, pasti akupun terluka hebat," dia kasih keterang
an. "Paman gurumu ini telah terhajar Anghoa Koeibo yang kuat sekali tenaga dalam
nya, maka itu, walaupun sekarang dia dapat ditolong dari bahaya maut, untuk ia d
apat pulih kembali, kurasa ia membutuhkan tempo sedikitnya satu bulan..."
It Hang terperanjat, ia berkuatir, tapi di samping itu ia berlega hati kar
ena ia sendiri tidak terluka Inilah disebabkan nyonya tua itu merasa kasihan kep
adanya. Karena ini, ia sedikitpun tidak benci nyonya tua itu. Tetapi ketika ia i
ngat kepada Giok Lo Sat, timbullah kekuatirannya bahaya yang dihadapi nona itu.
Bukankah si nona sedang adu jiwa dengan nenek liehay itu? Bagaimana andaikata si
nona terluka seperti pamannya ini?
Segera It Hang berpaling ke arah pertempuran.
Sekarang pertandingan itu telah memperlihatkan perubahan pula.
Tongkatnya Anghoa Koeibo telah bergerak ke barat dan ke timur, sesuatu ser
angannya nampaknya sangat berat, tetapi sekarang, gerak-gerakannya banyak lebih
kendor daripada tadi. Tetapi gerakannya Giok Lo Sat juga turut berubah, dia tamp
aknya tidak hanya tidak dapat menyerang, bahkan tak dapat meloloskan diri. Maka
itu, dengan cara berkelahi ini, kedua tubuh mereka, setiap gerakannya, jadi tert
ampak tegas, hingga mereka nampaknya bukan sedang berkelahi, tapi sedang berlati
h... Toh wajah mereka sama bersungguh-sungguh, malah si nona yang biasanya terta
wa, sekarang bersenyum pun tidak, kedua matanya terus ditujukan kepada gerak ton
gkat lawannya itu.
Ternyata Anghoa Koeibo, setelah melayani demikian banyak jurus dengan sia-
sia, menjadi gelisah sendirinya. Insyaflah ia sekarang akan liehaynya si nona, y
ang tadinya ia tidak pandang mata. Terpaksa, untuk rebut kemenangan atau untuk m
embela muka, ia keluarkan ilmu silatnya yang istimewa, ialah "Thayit Hiankong".
Dengan gunai ilmu silat ini, ia telah pindahkan tenaganya kepada genggamannya.
Giok Lo Sat menjadi heran begitu lekas si nyonya tua menukar siasat. Ia me
rasa sulit untuk datang terlalu dekat kepada lawan yang tua ini. Begitu lekas pe
dangnya bentrok dengan tongkat si nenek, ia merasa pedangnya itu seperti terbeto
t besi berani, dan makin keras bentroknya, makin kuat juga tenaga membetot itu.
Oleh karena ini, meskipun ia mahir mainkan pedang, sekarang ia repot juga.
Tongkatnya si nyonya tua, walaupun gerakannya tampaknya pelahan, tetapi uj
ungnya senantiasa mencari jalan darah. Inilah yang membuat si nona gelisah, sedi
kit saja ia berlaku alpa dan ayal. ia bisa celaka
Terpaksa ia mesti utamakan pembelaan diri. Ia mesti main mundur, karena un
tuk maju ketikanya sudah tidak ada. Benar-benar ia telah terkurung secara istime
wa itu.
Sesudah mengawasi dengan seksama, It Hang kata pada Hoei Liong: "Baik suru
h dia angkat kaki!" Pikirnya, walaupun jago tua ini tidak bisa lawan si nenek, n
amun untuk bantu i Giok Lo Sat meloloskan diri, tentulah dia sanggup.
Tiat Hoei Liong menghela napas, kepalanya digoyang-goyangkan.
"Tadi masih bisa, sekarang sudah terlambat," ia jawab. "Sekarang ini kecua
li Tjie Yang Toodjin hidup pula atau Thian Touw Kiesoe yang datang kemari, sudah
tidak ada orang yang ketiga yang sanggup memisahkan kedua orang ini..."
It Hang kaget bukan main. Ia segera menoleh pula ke arah kedua orang yang
sedang adu jiwa itu. Kembali ia menjadi kaget. Justeru ia lihat tongkat si nenek
menyambar ke kepalanya Giok Lo Sat selagi pedang si nona terangkat di samping h
ingga satu lowongan telah terbuka. Hampir ia menjerit, syukur Hoei Liong keburu
membekap mulutnya.
"Jangan bersuara, nanti kau bikin anakku kaget dan pecah pemusatan pikiran
nya," jago tua ini berbisik.
It Hang berdiam, matanya terus mengawasi. Ia dapat kenyataan tongkat si ne
nek, selagi mendekati kepalanya si nona, mendadak miring sendirinya, entah apa s
ebabnya, hingga ia jadi heran.
"Ilmu pedangnyaNie Siang benar-benar luar biasa!" Hoei Liong kata sambil t
ertawa perlahan. "Bagus sekali tangkisannya barusan, hingga ia dapat meloloskan
diri. Inilah tidak aku sangka!..."
Orang tua ini angkat tangan bajunya, untuk dipakai menyeka peluh di dahiny
a yang mengucur keluar dengan tiba-tiba. Maka tahulah It Hang, bahwa tadi si ora
ng tua tak kalah berkuatirnya daripada ia sendiri.
Memang berbahaya ancaman kemplangan Anghoa Koeibo tadi, akan tetapi Giok L
o Sat dengan menempuh bahaya, cepat-cepat menikam iga lawan kepada jalan darah t
jiangboen hiat. Kalau si nenek tidak tolong diri, dia bakal bercelaka bersama si
nona. Maka itu, karena dia sayang jiwa, dia tolong diri dengan egoskan tubuhnya
hingga dengan sendirinya sasaran tongkatnyapun turut gagal.
"Ilmu dalamnya (lweekang) bocah ini kalah mahir daripadaku, maka untuk apa
aku layani dia sama-sama menempuh mala petaka? Baiklah aku kurung padanya, supa
ya dia lelah sendirinya..."
Maka, lantas ia bersilat dengan Thayit Hiankong itu, hingga si nona benar-
benar tidak bisa menyerang juga tidak bisa mundur.
Sebagai ahli, Hoei Liong dapat lihat perubahan suasana itu, ia mulai berku
atir pula untuk anak angkatnya.
"Satu kali Anghoa Koeibo peroleh ketenangannya, itulah berbahaya bagi Nie
Siang," pikir orang tua ini. "Walau Nie Siang liehay, tidak dapat ia bertahan te
rlalu lama..."
Gelisahnya orang tua ini karena ia sendiri tidak mampu maju untuk mencegah
.
It Hang tidak mengerti tapi, melihat si orang tua keluarkan keringat pula,
ia turut menjadi gelisah dan berkuatir. Iapun lihat roman yang bersungguh-sungg
uh dari Giok Lo Sat. Ia jadi sangat menyesal karena ia juga tidak bisa berbuat l
ain daripada menyaksikan saja...
Hoei Liong tapinya berpikir keras. Mendadak ia ingat sesuatu hingga tanpa
merasa ia adu kedua telapak tangannya, sampai perdengarkan tepukan yang nyaring.
It Hang lihat tingkah laku orang, ia heran.
"Mungkinkah orang tua ini terganggu urat syarafnya?" ia menduga-duga.
Tidak hanya orang yang menonton gelisah hatinya, juga mereka yang sedang a
du kepandaian itu. Anghoa Koeibo semula menduga, dalam lima puluh jurus ia akan
sudah dapat robohkan lawannya, tapi ternyata sekarang, sesudah berlangsung serat
us jurus lebih, ia cuma menang di atas angin tapi nona itu belum dapat dikalahka
n, si nona tetap dapat bertahan diri dengan ulet. Sebaliknya ia dengan gunakan i
lmu silatnya itu, telah memakai tenaga yang istimewa, maka kalau pertandingan be
rlanjut terus, seandainya menangpun akhimnya ia akan dapat sakit.
Giok Lo Sat sendiri gelisah karena ia sudah bertempur sekian lama, ia cuma
menjadi pihak pembela diri. Ia menginsyafi bahwa keadaan ini berbahaya baginya.
Dengan tidak bisa balas menyerang atau mundur, tidakkah ia seperti sedang tungg
ui kematiannya? Adalah sedangnya ia berpikir keras, ia dengar tepukan tangan. Ti
ba-tiba saja ia sadar!
Lian Nie Siang ketahui baik, dalam lweekang -- ilmu dalam -- kalah dari ne
nek itu, karena itu, tidak berani ia adu keras dengan keras, akan tetapi untuk m
enyingkir dari bahaya mampus tanpa berdaya, ia harus berani menempuh bahaya juga
. Maka diam-diam ia kertek gigi, kumpulkan tenaga dalamnya, untuk bersiap sedia
di saat yang paling berbahaya.
Saat berbahaya itu tak usah ditunggu lama. Karena Anghoa Koeibo senantiasa
mencarinya. Saat itu digunakan dengan penyerangannya yang dahsyat.
Giok Lo Sat berlaku nekat, ia lintangkan pedangnya untuk menangkisnya.
Dengan tidak dapat dicegah lagi, tongkat dan pedang bentrok dengan keras,
sampai lelatu apinya meletik ke empat penjuru. Giok Lo Sat terpental mundur samp
ai tiga tindak, syukur ia tidak roboh terguling.
Anghoa Koeibo tidak terpental mundur, tetapi ia tidak dapat pertahankan ku
da-kudanya, tubuhnya terhuyung dua kali, hingga menjadikan dia kaget bukan main.
Segera setelah bentrokan ini hatinya Giok Lo Sat menjadi besar. Kiranya ma
sih dapat ia bertahan diri dari lweekangnya nyonya tua itu. Timbulah keberaniann
ya. Maka dengan tak kuatir bentroknya pula senjata-senjata mereka, ia maju pula
untuk menyerang dengan bengis.
Anghoa Koeibo heran dan kagum untuk tenaga dalam nona ini. Dengan itu tela
h ternyata babwa lweekang mereka tidak beda banyak terpautnya. Sedang sebenarnya
tenaganya itu berkurang sebab tadi ia telah layani lama pada Pek Sek Toodjin da
n kemudian juga Tiat Hoei Liong, hingga mau tidak mau tenaganya telah berkurang
dengan sendirinya. Amarah dan kemendongkolannyapun telah mengurangi tenaga dalam
nya itu karena ia kehilangan ketenangan diri. Apabila tidak demikian, dengan Tha
yit Hiankong, sebelum seratus jurus, seharusnya ia sudah dapat robohkan nona law
annya itu.
Hoei Liong terus memasang mata, kembali ia bernapas lega, diam-diam ia ter
tawa dalam hatinya, karena siasatnya tadi telah berhasil. Memang ia sengaja wakt
u ia bangkitkan amarahnya Anghoa Koeibo, sampai ia tempur nyonya itu dan akhirny
a ia adu orang dengan anak angkatnya, supaya anak angkat yang lincah dan cerdik
ini dapat gunai kecerdasannya.
Giok Lo Sat tidak kenal patkwa tapi gerak tubuhnya sangat enteng dan gesit
, maka itu, dapat ia berkelahi di dalam tin batu itu, yang lebih dahulu sudah ru
sak diubrak-abrik Hoei Liong.
Kembali pertempuran berjalan seru, sebab walaupun Giok Lo Sat menyerang he
bat tapi si nenek masih tetap gigih. Si nenek hanya heran, dia merasakan dirinya
demikian kesohor dan kosen, sekarang dia harus bertempur dengan satu bocah yang
sama tandingan. Tentu sekali dia jadi sangat penasaran.
Kembali sekian lama, lalu mendadak Anghoa Koeibo menyerang dengan tangan k
irinya yang liehay.
Giok Lo Sat lihat serangan itu, ia berkelit. Tapi justeru ia egos tubuhnya
, lawan yang tua itu seret tongkatnya dan lompat keluar kalangan. Inilah satu ge
rakan luar biasa.
Menampak demikian. Giok Lo Sat tertawa. Tanpa berayal lagi, iapun enjot tu
buhnya lompat menyusul, lalu dengan tubuh masih di atas, ia menyerang.
"Waspada, anak Siang!" Hoei Liong berseru memperingatkan.
Berbareng dengan itu Anghoa Koeibo mengayunkan sebelah tangannya, lantas m
elesatlah tiga sinar merah mencorong, menyambar ke arah musuhnya.
Giok Lo Sat lihat senjata rahasia itu, ia rupanya telah siap sedia, ia dap
at mengelakkan diri dan lolos dari serangan mendadak itu.
"Hai, kau mainkan peran apa?" tegurnya sambil tertawa.
Sedangnya nona ini pentang mulutnya, satu sinar merah seperti tadi menyamb
ar pula padanya, kali ini tepat masuk ke dalam mulutnya itu, menyusul mana, si n
enek liehay maju menyerang dengan tongkatnya. Serangan tongkat ini hebat sekali.
Giok Lo Sat tidak dapat berkelit lagi, tetapi ia tidak kurang daya ia meny
ambut dengan ujung pedangnya, lalu dengan kerahkan tenaganya meminjam tenaga ton
gkat ia mencelat mundur sampai setombak lebih, ketika iajatuh di tanah dengan ke
dua kaki berdiri, ia cuma terhuyung sedikit!
To It Hang kaget bukan main, tetapi Tiat Hoei Liong bersenyum.
Anghoa Koeibo merasa sangat puas, berulang kali ia perdengarkan seruan ane
h. lantas ia lompat maju lagi, tongkatnya ditusukkan ke arah dada nona itu.
"Hai, bocah cilik, apakah kau masih tak hendak lemparkan pedangmu untuk me
nyerah?" tegurnya. "Apakah kau hendak tunggui kematianmu?"
Giok Lo Sat tidak menjawab, dia hanya berkelit ke samping, hingga tusukan
tongkat mengenai tempat kosong.
Si nenek maju pula, ia membentak lagi: "Kau telah terkena mutiaraku yang b
eracun, jiwamu tidak akan hidup lebih lama daripada satu jam tiga perempat, leka
s kau menyerah supaya dapat aku obati padamu!"
Giok Lo Sat mundur pula, ia tak gubris peringatan itu.
"Ha, sungguh kau kepala batu, bocah!" pikir si nenek, yang sekarang maju d
engan ulur tangannya untuk menjambak.
Kali ini si nona tidak lagi mundur, justeru ia dijambak, ia mementang mulu
tnya menyemburkan atau memuntahkan satu sinar merah darah yang menyambar kepada
si nenek, berbareng dengan itu, pedangnyapun menyambar kepada tangan nenek itu.
Bukan kepalang terkejutnya Anghoa Koeibo. Ia sudah menyangka si nona telah
terluka, tidak tahunya, orang masih bisa melakukan perlawanan. Dalam keadaan mo
gok seperti itu, ia tidak berdaya kecuali lompat mundur sambil mendahulukan tari
k pulang tangannya yang dipakai menjambak itu. Ia dapat selamatkan diri tetapi u
jung bajunya telah terbabat kutung!
Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak.
"Hai, perempuan tua siluman, masihkah kau tidak mau menyerah kalah?" tanya
nya dengan ejekannya.
"Apakah kau hendak tunggui kematianmu?"
Nenek itu jadi sangat malu dan mendongkol. Apa yang ia namakan mutiara mus
tika adalah "tjhiatok tjoe" atau "mutiara merah beracun". Itu adalah senjata rah
asianya yang istimewa. Biasanya, tidak pernah ia sembarang gunakan senjata rahas
ia itu. Senjata itu terbuat dari mutiara yang direndam dalam bisa ular, sampai w
arna putih berubah menjadi merah tua, maka bisalah dimengerti hebatnya racun itu
.
Syukur bagi Tiat Hoei Liong, Bok Kioe Nio telah perlihatkan padanya tiga b
iji mutiara mustika itu dengan diterangkan juga tentang liehaynya, maka siang-si
ang ia telah bikin persediaan untuk menjaga diri, yaitu dibuatnya macam-macam ob
at itu, yang dibuatnya menjadi pil dan dimasukkan ke dalam mulut untuk dikemuh,
guna lawan senjata rahasia beracun itu.
Untung Giok Lo Sat telah mempunyai kepandaian istimewa akan sambuti senjat
a rahasia dengan mulutnya tanpa terluka, karena mana, ia dapat balas menyerang l
awan dengan senjata rahasia itu juga sambil dibarengi tabasan pedangnya.
Dalam murkanya, Anghoa Koeibo lompat menyerang Giok Lo Sat, pedang siapa i
a sampok sehingga terpental, syukur tidak terlepas dari cekalan.
Menampak demikian, Tiat Hoei Liong berteriak: "Anghoa Koeibo, apakah benar
kau tidak mempunyai muka?"
Wanita tua itu tetap bungkam, ia hanya mengulangi serangannya.
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Perempuan siluman tua, apa lagi kepandaianmu?" dia sengaja menantang samb
il terus melayani lawan yang sudah kalap itu. Hingga lagi sekali mereka bertempu
r seru.
Setelah satu serangan, Anghoa Koeibo mundur dua tindak, sekonyong-konyong
ia berlompat tinggi menyerang dari atas ke bawah.
Giok Lo Sat lihat caranya orang menyerang, dengan tangan kiri menekan bela
kang pedang, ia menangkis dengan pedangnya itu, hingga ketika kedua senjata bera
du, terdengarlah satu suara nyaring dan panjang. Tapi karena bentrokan itu, tong
kat si nenek terpental ke samping, dari ujung tongkat mendadak muncul sebilah pi
sau tajam yang panjangnya kira-kira satu kaki. Setelah ini, kembali dengan keseh
atannya nenek itu menyerang pula dengan tongkatnya, dengan tambahan pisau itu me
nuju langsung ke ulu hati!
Dalam keadaan seperti itu, terutama disebabkan kesehatannya Anghoa Koeibo,
Giok Lo Sat tidak sempat berdaya, menampak demikian Hoei Liongjadi sangat gusar
, karena teringatlah ia kepada lukanya Pek Sek Toodjin tadi. Ia mencelat ke dala
m kalangan sambil berteriak: "Anghoa Koeibo, kau gunai tangan jahat melayani sat
u anak muda, apakah kau tidak malu?"
Nyonya tua itu terkejut, rupanya ia insyaf atas teguran itu, tetapi ia sud
ah turun tangan, tidak dapat ia membatalkannya.
Di saat tubuh Hoei Liong sampai di kalangan, ia dengar satu jeritan dari k
esakitan, apabila ia telah menaruh kakinya di tanah, ia tampak Giok Lo Sat dan l
awannya itu telah pisahkan diri satu dari lain, si nona sendiri beroman tabah, m
alah dengan tertawa dingin dia menantang: "Mari, mari! Mari kita bertempur pula
lagi tiga ratus jurus!"
Bukan main herannya ayah-angkat itu, tidak pernah ia sangka anaknya mempun
yai kepandaian demikian luar biasa sampai dia bisa lolos dari ancaman bahaya mau
t.
Sebenarnya berhasilnya Giok Lo Sat bukan melulu karena kepandaiannya, di s
ebelah ketabahannya, iapun mengandalkan sarung tangannya Gak Beng Kie, yang dipi
njamkan kepadanya secara tidak langsung dengan perantaraan Him Kengliak.
Selagi pisau tajam istimewa dari Anghoa Koeibo mengancam ke ulu hatinya, d
engan kesehatan luar biasa Nona Lian angkat tangan kirinya yang memakai sarung k
e depan dadanya, tepat di waktu menyambarnya pisau, maka telapak tangannyalah ya
ng tertikam. Benar hebat sarung tangan itu, yang tak dapat ditembusi pisau, bahk
an pisau itulah yang melengkung sendirinya. Justeru selagi si nyonya tua kaget b
ahna herannya, kembali dengan kesehatannya yang luar biasa, nona ini menikam tul
ang pundaknya wanita tua jagoan itu.
Anghoa Koeibo tidak keburu mengelakkan diri, ia menjerit, tapi sambil meri
ngis ia tertawa dan berkata:
"Bagus!" serunya. "Inilah yang disebut gelombang Tiangkang terbelakang men
dorong gelombang terdahulu! Ya, sejak sekarang hingga selanjutnya, di dalam duni
a kangouw tidak lagi ada orang yang bergelar Anghoa Koeibo!..."
Dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sambil bawa tongkatnya, nyonya tua itu
angkat kaki hingga tak tampak lagi sekalipun bayangannya!
Giok Lo Sat tertawa.
"Sarung tangan ini benar-benar mustika!" pujinya.
Ketika ia buka kancing bajunya, kaca pelindung dadanya dengan mengeluarkan
suara telah meluruk jatuh. Karena kaca itu telah pecah remuk, la kaget. Dengan
lekas ia telan dua butir pil yang ia bekal, sambil mengempos semangatnya.
"Syukur aku tidak terluka dalam tubuhku!" katanya sambil tertawa.
It Hang kaget tak kepalang.
"Entjie Lian!" ia memanggil.
Giok Lo Sat manggut.
"Dengan pihak Boetong pay mu aku masih punya sangkutan," kata dia seraya t
erus bertindak menghampiri Pek Sek Toodjin.
Setelah makan obatnya Tiat Hoei Liong, imam dari Boetongsan itu jadi segar
banyak, sekarang ia dapat berdiri.
Di depan imam ini Giok Lo Sat ayunkan pedangnya.
"Eh, apa kau hendak bikin?" seru It Hang dengan kaget.
Pek Sek Toodjin segera raba gagang pedangnya.
Si nona tidak menyerang, dia hanya kata: "Pek Sek Toodjin, kau telah terlu
ka parah, maka perhitungan kita baik dicatat saja sampai lain waktu!"
"Ah, mengapa mesti adu silat juga?' kata It Hang. Ia masgul.
"Baik," menjawab si imam. "Di dalam tempo tiga tahun kemudian aku nanti tu
nggui kau di Boetong san!"
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Tidak nanti aku membikin kau kecele!" katanya.
Baru saja si nona tutup mulutnya atau Hoei Liong telah dengar suara berisi
k yang datangnya dari bawah Pitmo gay. Ia segera lompat ke atas sebuah batu besa
r untuk melongok ke bawah. Untuk herannya, ia tampak serombongan pahlawan Tongtj
iang sedang kepung seorang yang bertubuh besar, sementara satu nona muda kedapat
an teringkus di atas kuda. Adalah nona itu yang menjerit berulang-ulang.
Pek Sek Toodjin pun segera dengar jeritan itu, ia kaget.
"It Hang, dengar!" serunya "Bukankah itu suaranya Gok Hoa yang memanggil-m
anggil aku?"
"Aku tidak mendengar nyata!" jawab It Hang.
Tapi suara itu yang terbawa angin, mendatangi makin dekat.
"Tidak salah, itulah Gok Hoa!" Pek Sek berseru pula. Tanpa berpikir lagi i
a lompat ke atas batu.
Hoei Liong terkejut.
"Kau cari mampus?" tegurnya.
Inilah disebabkan lukanya yang belum sembuh, tidak membolehkan Pek Sek men
ggunai tenaga terlalu besar, maka ketika dia sampai di batu, tubuhnya limbung, h
ampir dia jatuh terguling. Kalau dia jatuh, pasti dia akan tergelincir ke bawah.
"It Hang, pergi kau gendong paman gurumu pulang!" Hoei Liong teriaki pemud
a itu.
Ketika itu ada belasan pahlawan, yang mencoba mendaki Pitmo gay, di antara
nya, ada yang melapai naik dengan bantuan rotan.
Dengan tidak banyak pikir lagi, Hoei Liong jemput beberapa butir batu, lal
u ditimpukkannya kepada pahlawan-pahlawan itu. hingga mereka itu kaget, antarany
a ada yang menjerit, lekas-lekas mereka merayap turun pula.
"Lekas pergi!" Hoei Liong teriaki It Hang sambil memberi tanda dengan tang
annya.
It Hang menurut, ia terus gendong paman gurunya, yang ia bawa lari ke lain
arah. ke mana Giok Lo Sat telah mendahului membuka jalan.
Hoei Liong menyusul, sambil berlari ia kata: "Kim Laokoay bukan manusia! D
ia bujuk isterinya yang busuk menjanjikan kita bertanding, tapi dia sendiri diam
-diam ajak rombongan pahlawan Tongtjiang pergi menawan orang!"
Giok Lo Sat kata dengan sengit: "Isterinya yang busuk itu tentu tidak lagi
mau membantu padanya, apabila dia bentrok denganku, aku tanggung dia tak akan d
apat lolos lagi!"
Bertiga mereka lari keras, kira-kira magrib mereka sudah sampai di dalam k
ota.
"Tiat Lootjianpwe," It Hang minta, "silakan kau turut kami ke rumahnya Boe
soe Lioe See Beng."
Giok Lo Sat tertawa, ia wakilkan ayah angkatnya menjawab: "Menolong orang
harus dari permula hingga di akhir. Paman gurumu terluka parah, sudah selayaknya
kami antarkan mereka hingga tiba di rumah dengan selamat."
Matanya Pek Sek Toodjin mencilak bahna gusar tetapi ia tidak bisa bilang s
uatu apa.
Sesampainya di rumah Lioe Boesoe, See Beng menyambutnya dengan kaget, seba
b ia tampak imam itu terluka parah, dan berbareng, Tiat Hoei Liong dan Giok Lo S
at pun datang bersama.
Orang-orang Boetong pay pun kaget dan heran, mereka semua lantas mengepal-
ngepal tinjunya, untuk bersiap menyerang si nona. Mereka berbangkit serentak.
Giok Lo Sat lihat aksi mereka, ia tertawa.
"Inilah bukan urusanku!" kata dia.
Hoei Liong lantas menuturkan tentang lukanya Pek Sek Toodjin itu.
"Syukur aku telah siang-siang siapkan obat yang mustajab," ia tambahkan. "
Dengan paksa aku telah kasih dia makan obatku itu, dia juga punyakan latihan Iwe
ekang yang baik, maka setelah beristirahat tiga hari. dia akan bisa bergerak sep
erti biasa, atau lagi satu bulan, dia akan sembuh betul."
Orang-orang Boetong pay itu percaya akan keterangannya jago tua ini, merek
a batal menyerang si nona, mereka lantas menghaturkan terima kasih kepada Hoei L
iong.
"It Hang, mari turut aku masuk ke dalam," kata Pek Sek dengan wajah likat.
Dua murid Boetong segera kata kepada ketua itu: "Soemoay dan Lie Soeheng p
ergi menyaksikan pertandingan, apakah mereka tidak bertemu soesiok?"
Imam itu ulapkan tangannya.
"Semuanya masuk, bicara di dalam!" katanya. Lalu ia menoleh pada Hoei Lion
g dan berkata: "Bukanlah aku yang ingin makan obatmu!"
Hoei Liong bersenyum mendengar kata-kata itu.
"Tapi aku telah terima kebaikanmu itu," Pek Sek tambahkan. "Kami dari Boet
ong pay dapat membedakan budi dan dendaman, maka budimu yang besar itu mesti aku
membalasnya."
Hoei Liong tetap bersenyum. Tapi Giok Lo Sat tertawa dan berkata pada imam
yang besar kepala dan kukuh itu: "Aku sendiri tidak mempunyai budi terhadapmu,
maka kalau nanti kau telah sembuh betul, sembarang waktu kau boleh tantang aku u
ntuk kita adu pedang!"
It Hang segera ajak paman gurunya itu masuk ke dalam, bersama ia turut sem
ua orang Boetong pay.
Lioe Boesoe tertawa.
"Imam ini sangat jumawa," katanya, "biar bagaimana, dia tidak mau kalah bi
cara! Beda jauh daripada Tjie Yang Toodjin yang sangat ramah tamah dan manis bud
i."
Hoei Liong tetap bersenyum tetapi tidak kata apa-apa.
"Halnya Anghoa Koeibo datang ke kota raja, aku telah mendengarnya sejak du
a hari yang lalu," berkata pula Lioe Boesoe. "Semula aku tidak tahu untuk apa di
a datang kemari, tak tahunya dia mencari onar terhadap kalian."
Mulutnya Hoei Liong bergerak, akan tetapi ia batal untuk bicara.
See Beng lihat sikap orang itu, ia tidak berani menanyakannya, sebab meski
mereka kenal satu pada lain, mereka bukanlah sahabat-sahabat karib.
It Hang muncul tak lama kemudian.
"Tidak leluasa untuk paman guruku keluar, ia titahkan aku mewakilkannya me
ngantar tetamu-tetamunya," ia kata.
Hoei Liong tertawa besar.
"Tanpa diantarpun aku memang sudah hendak pergi!" katanya. Baru sekarang i
a buka mulutnya.
Lioe See Beng menjadi tak senang, la justeru tengah memikir untuk ikat tal
i persahabatan kepada Tiat Hoei Liong, ia tak sangka bahwa Pek Sek Toodjin telah
lancang merampas haknya, akan "usir" tetamu. Tapi karena masih ingat kepada Boe
tong pay dan persahabatannya dengan imam ini, sedapat mungkin ia tahan kemendong
kolannya. Maka terpaksa ja angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat pada Hoe
i Liong dan Giok Lo Sat.
It Hang mengantar sampai di luar.
"Paman guruku tidak kenal budi, aku minta sukalah Tiat Lootjianpwee memaaf
kannya," ia mohon.
"Tidak apa, tidak apa," berkata Hoei Liong. "Apakah paman gurumu itu ada o
mong lainnya lagi?"
Mukanya pemuda itu menjadi merah. Memang Pek Sek telah mengatakan pada sem
ua orang Boetong bahwa Hoei Liong ada melepas budi terhadapnya tetapi Giok Lo Sa
t adalah musuh partai mereka, dia larang semua murid Boetong itu bergaul kepada
Giok Lo Sat. It Hang mengerti, meski pesan larangan itu diucapkannya kepada semu
a saudara seperguruannya tapi maksudnya yang utama adalah ditujukan kepada dirin
ya. Dan dengan menyuruh calon ketua ini yang antar tetamu, sang paman kandung ma
ksud supaya keponakan murid ini putus perhubungannya dengan nona itu. Karena ini
, It Hang menjadi jengah sendirinya.
Giok Lo Sat tertawa.
"Walaupun kau tidak menyebutkannya, sudah aku ketahui!" kata ia. "Singkatn
ya ialah dia larang kau bergaul dengan aku! Apakah kau takut untuk tetap bergaul
denganku?"
Tambah merah mukanya It Hang, sampai ke kuping-kupingnya.
Hoei Liong lihat itu, ia tertawa.
"Anak Siang, mulutmu tidak ada remnya!" kata dia. "Kau bikin orang malu."
Masih saja It Hang jengah, iapun ragu-ragu, tapi sejenak kemudian ia kata
kepada si nona: "Entjie Lian, aku ingin bicara kepadamu..."
Mendengar itu, Hoei Liong lantas angkat kakinya.
"Kau bicaralah!" Giok Lo Sat menyuruhnya.
"Paman guruku mempunyai satu anak perempuan," kata It Hang, suaranya masih
tak tenang, "anak itu diculik rombongan pahlawan dari Tongtjiang... Pamanku sed
ang terluka parah, di kota raja ini tidak dapat dicari lain orang yang dapat men
olongnya..."
Si nona tertawa.
"Jadi maksudmu meminta kami yang mendayakannya?..." tanyanya
"Benar," It Hang jawab dengan memberanikan diri. "Jikalau pihakmu bisa tol
ong nona itu, mungkin perselisihanmu kedua pihak akan habis sendirinya..."
"Beberapa ketuamu dari kaum Boetong pay memang tidak punya salah apa-apa,"
kata si Raksasi Kumala, "akan tetapi lagak mereka sangat menjemukan, karena mer
eka tidak senang terhadapku, aku justeru ingin menjadi musuh mereka itu!"
It Hang tercengang.
"Anaknya paman gurumu itu cantik atau tidak?" tiba-tiba si nona tanya.
"Pasti dia tak dapat dibandingkan denganmu, entjie Lian," It Hang jawab.
Giok Lo Sat tertawa.
"Toh bukannya tak manis dipandangnya, bukankah?"
"Digolongkan kepada umumnya dia terhitung cantik juga" It Hang akui.
Si Raksasi Kumala seperti memikir sebentar, lalu dengan wajah sungguhsungg
uh ia pandang orang di hadapannya.
"Kau bicara terus terang!" katanya tiba-tiba: "Bukankah benar paman gurumu
itu berniat menjodohkan gadisnya kepadamu?"
"Dia tidak mengatakan demikian," sahut It Hang, suaranya perlahan.
"Kau toh bukannya boneka?" kata pula si nona. "Mustahil kau tidak dapat li
hat maksud yang dikandung paman gurumu itu?"
"Aku lihat... mungkin benar dia kandung maksud demikian..."
Nona itu tertawa dingin.
"Walau bagaimana, aku tak dapat lupakan kau, entjie..." It Hang kata denga
n perlahan sekali.
Berdenyut hatinya si nona. Inilah pengutaraan yang pertama dari pemuda itu
terhadap dirinya.
It Hang menambahkan: "Akan tetapi aturan kaum Boetong pay ada sangat keras
..."
Sepasang alisnya si nona bangun dengan mendadak.
"Apa? Jadinya kau takut?" tanyanya.
"Seandainya kita tak dapat tinggal bersama," kata It Hang dengan menyimpan
g, "walau di ujung laut atau pangkal dunia, aku toh tidak nanti lupakan kau... A
ku... untuk seumur hidupku tak akan menikah..."
Kata-kata itu diucapkan demikian perlahan sampai sukar didengarnya.
Si Raksasi Kumala jadi putus asa.
"Sungguh tolol!" katanya dalam hatinya. "Menjadi ketua begini penakut, tid
ak berani berterus terang..."
It Hang lihat wajah orang berubah, ia menghela napas.
"Aku mengerti bahwa apa yang aku minta memang tidak selayaknya," ia kata.
"Paman guruku bersalah terhadap kau tetapi aku mohon kau menolongi gadisnya..."
Giok Lo Sat memandang ke udara, pikirannya bekerja keras. Ia sengit untuk
kelemahannya It Hang, tapi di samping itu, ia tahu bahwa orang menyintai padanya
... Hatinya sedikit terhibur juga...
It Hang lirik nona itu, yang alisnya ia tampak bergerak-gerak.
"Percuma saja perkenalan kita ini..." tiba-tiba si nona berkata.
Pemuda itu terkejut, hatinya memukul.
"Cade!" pikirnya.
"Ah, kau seperti sedikitpun tak kenal aku..." kata si nona kemudian.
It Hang bingung, tak dapat ia bicara.
"Aku jelaskan padamu, aku bukannya hendak cari muka kepada Pek Sek Toodjin
," berkata pula si nona. "Tapi aku berjanji aku akan berdaya menolongi adik sepe
rguruanmu itu."
Mendengar ini. It Hang jadi sangat girang.
"Terima kasih!" katanya. Tapi mendadak dia memesan: "Jikalau nanti kau ber
hasil menolongi dia, aku minta jangan kau menyebutkannya bahwa akulah yang telah
minta tolong kepadamu. Paman guruku itu..."
"Aku tahu!" jawab Giok Lo Sat dengan mendongkol. "Orang-orang Boetong pay
memang tak pernah mohon bantuan orang dan kau takut langgar aturan kaummu itu! B
aiklah, sekarang kau boleh pulang!"
It Hang tidak kata apa-apa lagi, ia undurkan diri.
Begitu bayangan orang lenyap di balik pintu, Giok Lo Sat menyesal sendirin
ya sudah bicara keras terhadap pemuda itu.
"Apakah yang dia katakan?" Hoei Liong menghampirkan.
"Tidak apa-apa," sahut Giok Lo Sat dengan tawar.
Keduanya lantas pulang ke Seesan, di sepanjang jalan Giok Lo Sat bungkam t
erus. Barulah setelah mereka sampai di Lengkong sie, anak angkat itu buka mulutn
ya.
"Ayah, aku hendak minta sesuatu padamu..." katanya.
"Kau sebutkanlah!" sahut ayah angkat itu. Ia menjawab dengan cepat.
"Aku minta ayah bersama aku pergi menolongi gadisnya Pek Sek Toodjin," Gio
k Lo Sat berttahukan
Hoei Liong heran hingga alisnya mengkerut
"Bersama Gak Beng Kie kau telah mengacau istana sampai seperti langit robo
h dan bumi amblas." katanya, "bagaimana sekarang kau masih memikir untuk antarka
n diri ke dalam jaring?"
"Tapi aku telah berikan janjiku, ayah..."
Hoei Liong berpikir, ia berduduk Sampai sekian lama baru ia berbangkit den
gan cepat.
"Ada jalannya!" katanya. "Tak usah kita memasuki istana untuk menolongnya.
"
Giok Lo Sat girang.
"Benarkah ayah mempunyai daya?" dia menegasi.
"Dalam hal itu aku belum dapat memastikan akan hasilnya," Hoei Liong jawab
anaknya. "Kita coba saja. Besok kita cari Liong Tat Sam."
Anak-angkat itu setuju.

X

Ho Gok Hoa tidak puas ketika ayahnya menolak padanya ikut pergi, maka sebe
rlalunya ayah itu, ia cari Lie Hong dan ajak saudara seperguruan itu pergi menyu
sul ke Pitmo gay.
Lie Hong adalah murid kepala untuk kaum Boetong pay di kota raja, ia berke
dudukan sebagai tjiangboendjin. lapun sebenarnya ingin turut ke Pitmo gay tapi k
arena ia tidak berani tentangi Pek Sek, terpaksa ia tutup mulut, sekarang Gok Ho
a ajak padanya, ia girang sekali.
"Mari!" ia berikan persetujuannya.
Dengan diam-diam dua orang ini keluar dari kota. setelah berjalan kira-kir
a setengah jam. mereka sudah mendekati Seesan, Bukit Barat.
"Rupanya dua orang di belakang kita sedang menguntit kita," kata Lie Hong
pada kawannya selagi mereka jalan terus.
Dengan lagak acuh tak acuh Gok Hoa berpaling ke belakang. Ia lihat dua ora
ng, yang satu berumur kurang lebih empat puluh tahun, yang lainnya masih muda, k
urang lebih dua puluh tahun usianya dan cakap romannya, malah si nona rasa perna
h melihatnya, entah di mana.
Dua orang itu berjalan sambil omong-omong dan tertawa-tawa.
"Apakah kau kenal baik jalanan di sini?" tiba-tiba Gok Hoa tanya Lie Hong.
"Aku hidup di Pakkhia, mustahil aku tidak tahu!" jawab Lie Hong yang terta
wa.
"Mari kita jalan mutar untuk menyingkir dari mereka." si nona usulkan.
Lie Hong manggut.
Tidak lama tibalah mereka di Seesan, yang mempunyai tiga buah puncak yang
permai, yakni Tjoeibie san. Louwsay san dan Pengpo san. Untuk pergi ke Pitmo gay
, harus melalui gua Potjoe tong dari puncak Pengpo san. terus belok ke utara, te
tapi Lie Hong sengaja ambil jalan dari kaki puncak Tjoeibie san. Mereka berjalan
cepat, mereka lintasi pohon-pohon lebat dan selokan, maka di lain saat, kedua o
rang di sebelah belakang itu sudah tidak tertampak.
"Mungkin aku terlalu bercuriga," kata Lie Hong kemudian. "Mereka itu tidak
terus menguntit kita"
Karena ini, mereka pertahankan tindakan mereka.
Tiba-tiba mereka dengar suara bicara sambil tertawa yang datangnya dari ar
ah belakang mereka, waktu Gok Hoa menoleh, ia lihat dua orang tadi sedang mendak
i bukit.
"Soemoay, benar-benar mereka menguntit kita," kata Lie Hong, yang terus ra
ba gagang pedangnya.
"Sabar, kita lihat dulu," Gok Hoa peringatkan.
Mereka berjalan terus di jalanan kecil.
Dua orang itu masih terus membayangi, jalannya kadang-kadang cepat dan kad
ang-kadang perlahan.
Mereka sudah melalui tiga atau empat lie, masih dua orang tidak dikenal it
u mengikuti bagaikan hayangan mereka.
"Baiklah kita kasih rasa pada mereka!" kata Lie Hong, yang menjadi gusar.
Ia segera hentikan tindakannya.
Nyata dua penguntit itu gerakannya sangat gesit. Ketika Lie Hong berhenti
jalan, tahu-tahu mereka telah sampai di sisinya pemuda ini dan melewatinya dalam
sejenak, hingga di lain saat mereka sudah berada di sebelah depan di mana, orar
rg'yang setengah tua itu lantas membalik tubuh:
"Hai, kalian hendak pergi ke mana?" demikian tegurnya.
Lie Hong menjadi gusar.
"Kau kuntit kami, apakah kehendakmu?"
Orang itu tertawa.
"Ini adalah jalan umum, kau boleh melewatinya, mustahil aku tidak?" jawabn
ya secara menantang. "Ah, anak muda kenapa adatnya begini keras?"
Ia maju setindak, sebelah tangannya diulur untuk menjambret pundak.
"Pergi!" bentak Lie Hong, yang angkat kedua tangannya hendak menolaknya. T
api sebelum tangannya mengenai tubuh orang itu, tangannya itu seperti tertolak t
enaga membalik. Tentu saja ia jadi sangat gusar, hingga ia hunus pedangnya
"Jangan!" teriak Ho Gok Hoa, untuk mencegah. Lalu ia bertanya kepada kedua
orang itu: "Djiewie ke mana kalian hendak pergi?"
"Kami justeru hendak menanyakan itu kepadamu!" membaliki orang itu.

XI

Lie Hong mendongkol bukan main, ia mengawasi dengan tajam, pedangnyapun te
lah siap sedia.
"Kami hendak pergi ke Pitmo gay," sahut Gok Hoa dengan terus terang. "Dan
kalian?"
Selagi mereka bicara, pemuda kawannya orang itu mengawasi si nona dengan t
ajam, sampai mendadak dia perdengarkan suara heran.
"Kau toh adik Gok Hoa?" tanyanya.
Gok Hoa balik mengawasi, ia segera ingat, ia menjadi girang.
"Kau toh kakak Sien Sie?" dia menegaskan.
Pemuda itu berlompat saking girangnya, bagaikan orang lupa daratan ia samb
ar tangannya nona Ho.
"Tidak kusangka kau telah jadi begini besar!" katanya.
"Ah, kaupun demikian juga," kata Gok Hoa. "Dulu kau sama tingginya dengan
aku tetapi sekarang kau jauh terlebih tinggi hingga melewati kepalaku!"
Si orang usia pertengahan tertawa terbahak-bahak.
Pemuda itu terkejut bagaikan orang yang baru sadar, maka buru-buru ia lepa
skan cekalannya. Ia harus ingat bahwa sekarang ia adalah satu "taydjin" "pembesa
r tinggi"...
Lie Hong masukkan pedangnya ke dalam serangkanya.
"Kiranya kau kenal satu pada lain," katanya.
"Kami bukan cuma kenal," Gok Hoa terangkan. "Kami biasa bermalam sama-sama
sejak masih kecil sampai besar. Ia adalah kakak keponakanku."
Pemuda itu adalah Lie Sien Sie anaknya Ho Kie Hee, yang setelah menjadi pe
ndeta perempuan telah ganti nama, Tjoe Hoei. Anak ini didapat dari pernikahannya
Kie Hee dengan Lie Thian Yang.
Orang she Lie itu terpincuk harta dan pangkat, dia ceraikan Ho Kie Hee dan
menikah pula dengan lain nona. Karenanya Kie Hee sucikan diri di Thaysit san. P
ek Sek Toodjin titipkan dua anak perempuannya kepada Kie Hee, untuk adik itu yan
g merawatnya
Lie Sien Sie dan Ho Gok Hoa bersamaan umur, semenjak kecil sudah biasa mer
eka hidup bersama, karenanya, mereka kenal baik satu pada lain, apapula merekapu
n bersanak satu pada lain.
Tjoe Hoei Soethay telah mengalami kegetiran dalam penikahannya, ia sangat
sayang puteranya itu, dan sangat dimanjakan. Sedari masih kecil, ia sudah ajarka
n putera itu ilmu silat bersama Gok Hoa Kemudian Tjoe Hoei dapat kenyataan, pute
ra ini tidak peroleh kemajuan, ketinggalan dari Gok Hoa, maka ingatlah ia akan k
ata-kata orang tua tentang penukaran juru pendidik. Demikian, dalam usianya dua
belas tahun Lie Sien Sie di kirim ibunya kepada sahabatnya. Liong Siauw In, untu
k belajar di bawah pimpinannya sahabat itu.
Liong Siauw In adalah murid yang pandai dari Ngobie pay. pada dua puluh ta
hun dulu, bersama Lie Thian Yang pernah dia bersaing untuk dapati Ho Kie Hee, ak
an tetapi ia gagal, maka dia pergi merantau jauh ke lain tempat, ketika kemudian
Ho Kie Hee menjadi niekouw, baru dia datang mencari bekas kekasih itu, hingga k
ebetulan sekali Kie Hee lantas titipkan puteranya itu dan memesannya: "Kalau nan
ti anakku itu sudah selesaikan pelajarannya, baru kau ajak dia pulang menemui ak
u."
Liong Siauw In terima permintaan itu, ia ajak Sien Sie ke Ngobie san. Sela
ma tujuh tahun ia didik bocah itu. Selama tempo itu pernah ia minta pertolongan
orang akan dengar-dengar hal Kie Hee, tapi selama itu belum pernah ia bertemu mu
ka pula dengan niekouw itu.
Tjoe Hoei Soethay penujui Gok Hoa, maka pernah ia kandung niat akan bicara
kepada kakaknya, Pek Sek Toodjin, untuk mempersoalkan jodoh anak-anak mereka it
u. Akan tetapi Pek Sek mempunyai pikiran lain. Imam ini lihat pelajarannya Sien
Sie perlahan majunya, ia anggap tidak cerdas otaknya, di samping itu ia tertarik
kepada It Hang yang berbakat, murid Boetong pay terjempol dalam tingkat kedua,
turunan keluarga terhormat, orangnyapun cakap dan berbudi pekerti halus, selain
ilmu silat juga pandai ilmu surat. Tjie Yang Toodjin pun telah menunjuk It Hang
sebagai calon ketua Boetong pay, yang dalam kalangan persilatan diakui umum seba
gai pemimpin partai. Karena ini, tanpa pedulikan kedua anak muda itu berlainan s
ifatnya, imam ini memaksanya hendak menjodohkan Gok Hoa dengan It Hang, hingga k
arenanya, terbitlah gara-gara...
Bukan main gembiranya Gok Hoa dan Sien Sie yang dapat bertemu satu pada la
in dengan cara kebetulan itu. Tapi lekas juga si nona ingat orang setengah tua,
lantas ia tanya Sien Sie: "Siapakah lootjianpwee ini? Aku belum tahu namanya..."
Orang setengah tua itu tertawa mendengar pertanyaan tersebut.
"Inilah guruku," Sien Sie perkenalkan. Orang itu memang Liong Siauw In ada
nya.
"Oh, LiongPehoe!" kata Gok Hoa "Aku lupa, maaf."
"Ketika tujuh tahun yang lampau aku lihat kau, nona, kau masih sangat keci
l," kata orang she Liong itu, "tidak heran kalau kau lupa."
Ingat pada Gok Hoa ini, wajahnya Siauw In menjadi suram.
"Bibi sering menyebut-nyebut kalian," Gok Hoa kata kemudian.
"Apakah bibimu baik?" tanya Siauw In.
"Ia ada baik, terima kasih," sahut -Gok Hoa. "Liong Pehoe berdua hendak pe
rgi ke mana?" tanyanya untuk simpangkan pembicaraan, karena ia tampak perubahan
wajah dari orang setengah tua itu.
"Seperti kalian, ke Pitmo gay," Sien Sie jawab.
"Kami dengar ayahmu hendak adu silat dengan Giok Lo Sat, maka kami sudah l
antas menyusul kemari," Siauw In jelaskan.
"Kami sampai di sini dua hari yang lalu," Sien Sie menjelaskan lebih jauh.
"Kami telah merancangkan, sehabis pesiar beberapa hari. baru kami ingin tengok
kalian di Thaysit san. Kemarin Liong Pehoe bertemu seorang sahabatnya, piauwsoe
dari Tiangan Piauwkiok. Piauwsoe itu omong halnya ayahmu dan kau telah pergi ke'
kota raja, katanya juga bersama seorang yang bernama To It Hang. Dikatakannya ba
hwa ayahmu sudah tantang iblis wanita Giok Lo Sat untuk tengah hari ini bertempu
r di sini. Aku duga pasti kaupun akan datang, benar saja kita bertemu di sini. A
pakah saudara ini yang bernama To It Hang itu?"
Waktu menyebut nama It Hang, mukanya Sien Sie berubah, agaknya ia jengah a
tau menyesal, suaranya pun kurang lancar.
Ho Gok Hoa tertawa.
"Inilah soeheng Lie Hong," ia perkenalkan. "Murid kepala Boetong pay di Pa
kkhia."
Mendengar ini, baru hatinya Sien Sie tenteram.
Sekarang mereka berjalan berempat, mereka bercakap-cakap sambil tertawa-ta
wa. Dari Tjoeibie san, mereka mulai jalan menurun.
"Selewatnya ini adalah puncak Louwsay san," Lie Hong beritahu.
"Pitmo gay letaknya di atas puncak itu."
Liong Siauw In dongak melihat matahari, yang sudah berada di atasan kepala
mereka.
"Mungkin mereka kini sudah mulai bertanding," ia kata.
"Giok Lo Sat itu orang macam apa?" Lie Sien Sie tanya. "Mungkinkah ilmu pe
dangnya dapat menandingi engkoeku itu?"
"Kabarnya dia seorang wanita yang umurnya kurang lebih baru dua puluh tahu
n, yang liehay ilmu silatnya, aku belum pernah bertemu muka dengan dia," sahut S
iauw In.
"To Soeheng kenal baik kepada Giok Lo Sat," kata Gok Hoa sambil tertawa, "
maka itu ayah larang aku ikut menyaksikan, sebaliknya dia paksa To Soeheng turut
padanya!"
Segera mereka tiba di sebuah puncak yang bentuknya seperti harimau atau si
nga (say), mereka berjalan ke lembah.
"Itulah dia Pitmo gay," Lie Hong menunjuk ke atas. "Lihat itu lembah atau
tanah datar di kaki puncak, yang mirip dengan mulut singa Tentulah mereka adu si
lat di sana."
Baru Lie Hong berhenti bicara, atau di depan mereka, dari antara batu-batu
besar, lompat keluar empat orang, di antaranya ada yang menegur: "Siapa yang he
ndak pergi ke Pitmo gay?"
Gok Hoa kaget hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Di antara empat orang itu, yang menjadi kepala adalah seorang berumur kira
-kira empat puluh tahun, romannya gagah. Gok Hoa kenali orang itu yang pada tahu
n yang lalu mendaki Thaysit san mencari bibinya, dan belakangan ia ketahui bahwa
dia sebenarnya adalah bekas suami bibi itu, ialah pahlawan Kimiewie dari kota r
aja, Lie Thian Yang namanya.
Thian Yang tercengang mendengar suara si nona.
Liong Siauw In juga segera kenali orang itu.
"Lie Taydjin, sebagai seorang mulia sungguh kau banyak urusanmu!" katanya
dengan tawar. "Sampai halnya kami hendak pergi ke Pitmo gay juga kau hendak meng
urusnya."
"Ha, saudara Liong!" sahut Lie Thian Yang. "Sudah dua puluh tahun kita ber
pisah, selama itu berulang kali aku cari tahu tentang kau, senantiasa aku gagal.
Sungguh aku kangen."
Liong Siauw In tertawa gelak-gelak sehingga tubuhnya melenggak.
"Satu orang hutan demikian dipikirkan taydjin, sungguh aku berdosa dan har
us mati!" katanya.
Waktu itu dari kedua tepi gunung kelihatan muncul pula sejumlah pahlawan d
ari Tongtjiang dan Seetjiang.
Nyatalah Lie Thian Yang sudah mengatur barisan tersembunyi. Atau lebih ben
ar dialah salah satu
pemimpin dari orang-orang tersembunyi itu, yang bekerja menuruti rencanany
a Kim Tok Ek dan Bouwyong Tjiong.
Kim Tok Ek benar licik. Setelah ia baik kembali dengan isterinya, yaitu An
ghoaKoeibo, ia bujuk dan anjurkan isteri ini tantang Tiat Hoei Liong dan Giok Lo
Sat. Menurut niatnya, ia ingin ajak kawan-kawan pergi ke tempat pertandingan un
tuk membantui isteri itu, akan tetapi ia kenal habis perangainya sang isteri, ni
at itu ia tidak wujudkan. Ia kuatir kalau isteri itu ketahui orang bantu padanya
, dia bisa gusar dan lantas mundur sendiri. Maka tak berani ia pergi ke Pitmo ga
y. Sebenarnya, Kim Tok Ek masih ragu-ragu. Di satu pihak ia percaya kepandaian i
sterinya ada di atasan Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat, di lain pihak ia kuatir
isterinya tak sanggup dikerubuti Hoei Liong dan si Raksasi Kumala, atau Anghoa K
oeibo nanti bikin lolos kedua musuh itu. Maka di akhirnya, ia mengadakan permupa
katan dengan Bouwyong Tjiong.
Bouwyong Tjiong menjabat tjongkoan, penguasa dari rombongan pahlawan dari
Tongtjiang, konco sehidup semati dari Goei Tiong Hian, sudah tentu ia suka memba
ntu Kim Tok Ek, dari itu, ketika ia telah dengar kesulitannya Kim Laokoay, ia be
rpikir sambil kerutkan keningnya.
"Memang bagus sekali isterimu suka membantu," kata orang she Bouwyong ini.
"Hanya harus saudara ketahui bahwa Giok Lo Sat dan Tiat Hoei Liong itu adalah k
omplotannya Him Teng Pek. Lupakah saudara ketika hari itu kita alami kerugian di
dalam pertempuran di gedungnya Yo Lian?"
"Mereka semua adalah orang-orang kenamaan dari kalangan Rimba Persilatan,"
kata Tok Ek, "mereka sudah berjanji akan bertempur satu sama satu, mereka laran
g campur tangannya orang ketiga, maka itu mungkinkah Him Bantjoe sebagai satu ke
pala perang akan membantui Giok Lo Sat dan ayah angkatnya?"
Bouwyong Tjiong tertawa mengejek.
"Tidak kusangka kau sedemikian jujur!" katanya. "Pasti sekali Him Teng Pek
pribadi tak akan datang! Akan tetapi Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat adalah kon
co-konconya Him Teng Pek, mereka itu mempunyai banyak kawan, maka siapa berani p
astikan Tiat Hoei Liong dengan diam-diam tidak minta bantuan kawan-kawannya?"
"Habis, bagaimana kau hendak bertindak?" Kim Tok Ek tanya. "Isteriku itu a
neh perangainya, kalau dia dapat tahu kita membantuinya, dia bisa mengambek dan
pergi, dia nanti lepas tangan!..."
"Di antara orang-orangnya Him Teng Pek, Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat ad
alah yang paling liehay,"
menyatakan Bouwyong Tjiong, "dengan adanya isterimu itu, sudah cukup untuk
melayani mereka, yang lain-lainnya mudah dibereskannya. Aku memikir hendak meng
ajak sejumlah kawan yang liehay, kita atur barisan tersembunyi di dekat-dekat Pi
tmo gay. Aku percaya Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat bukannya lawan dari isterim
u, tapi jikalau mereka dua lawan satu, walaupun mereka tidak bisa menang, mereka
masih punyakan kesempatan untuk angkat kaki. Baik kita tunggu sampai mereka sed
ang kabur, kita cegat dan serang mereka untuk ringkus hidup-hidup! Mereka baru h
abis berkelahi mati-matian, pasti mereka sangat letih, andaikan isterimu tidak s
enang dan lepas tangan, pasti kita sanggup lawan mereka Ini yang kesatu ... "
Kim Tok Ek tertawa, terus ia kata: "Jikalau ada kawan-kawan mereka yang da
tang membantu, dengan kita punyakan barisan sembunyi, kita bisa sekalian bekuk m
ereka semua. Inilah yang kedua, bukankah?"
Kim Tok Ek merasa pasti, Tiat Hoei Liong yang bersikap jantan, tak mungkin
mengundang kawan, akan tetapi dengan berkata demikian, maksudnya hanya mengimba
ngi orang she Bouwyong itu. Ia juga setujui pikirannya sahabat ini. karena ia sa
ngat benci Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat dan ingin sangat melampiaskan dendam
terhadap mereka.
Demikian pun Bouwyong Tjiong, ia ingin sangat singkirkan Tiat Hoei Liong d
an Giok Lo Sat, di satu pihak untuk kepentingannya Goei Tiong Hian, di lain piha
k untuk melampiaskan dendamnya kepada kekalahannya di gedungnya keluarga Yo.
Kim Tok Ek masih memikir panjang.
"Bagaimana jikalau di antara mereka ada tersangkut juga pihak Boetong pay?
" dia tanya Bouwyong Tjiong,
"Dalam pertempuran di gedung Yo Lian, kita sebenarnya yang akan menang, ke
kalahan kita itu disebabkan Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat dapat bantuan yang d
atangnya mendadak," sahut Bouwyong Tjiong. "Bantuan itu adalah dari rombongan Pe
k Sek Toodjin dan murid-muridnya. Boetong pay satu partai besar dan luas pergaul
annya, meski demikian, apabila mereka tidak rnenimbang-nimbang lagi dan hendak m
embantui lawan kita, maka kita pun tak usah memandang-mandang lagi, sekalian saj
a kita lawan dan bekuk mereka satu demi satu!"
Lantas Bouwyong Tjiong usulkan orang-orang yang harus dimintai bantuannya
ialah Tjiehoei Lie Thian Yang, pemimpin dari Kimiewie, dan Tjio Ho, serta Tjongk
oan Nie Seng Pek, penguasa dari Seetjiang, dan lain-lainnya.
Selama kerajaan Beng, tiga badan rahasianya adalah Tongtjiang, Seetjiang d
an Kimiewie, dan di tahun-tahun terakhir dari Kaisar Sin Tjong, karena Goei Tion
g Hian yang berkuasa atas Tongtjiang, maka Tongtjiang-lah yang paling besar peng
aruhnya. Bouwyong Tjiong usulkan Lie Thian Yang dan lain-lainnya adalah untuk da
pat ambil hatinya Goei Tiong Hian. Dan Kim Tok Ek, tanpa ragu-ragu, terima usul
ini. Demikianlah sudah terjadi, di Pitmo gay telah bersembunyi orang-orangnya Ki
m Tok Ek dan Bouwyong Tjiong.
Selagi Lie Thian Yang berhadapan dengan Liong Siauw In, di pihak Bouwyong
Tjiong dan Kim Tok Ek pun telah pimpin maju rombongannya, dan orang she Bouwyong
itu maju sambil berteriak: "Tidak peduli siapa yang datang ke Pitmo gay, tangka
p padanya!"
Lie Thian Yang lupa segala apa karena ia sangat inginkan pangkat, dan seka
rang, selagi raja baru naik di tahta, ia anggap inilah saatnya yang paling baik.
Ia mengharap sangat tunjangannya Goei Tiong Hian. Maka ia berkata kepada Siauw
In:
"Saudara Liong, maafkan aku, sukalah kau turut kami ke pusat Kimiewie!" ka
tanya tapi wajahnya berubah.
Liong Siauw In jadi sangat murka.
"Budak tak tahu malu!" dia mendamprat. "Sungguh Kie Hee sudah salah pilih
suami!"
Lie Thian Yang pun murka. Ia tertawa dingin, lalu maju, menikam. Tapi Siau
w In menangkisnya dengan keras, hingga kedua senjata bentrok hebat, sampai Lie T
hian Yang merasakan tangannya sakit dan panas.
Bertahun-tahun Liong Siauw In berlatih di gunung Ngobie san, ia peroleh ke
majuan pesat, kalau pada dua puluh tahun yang lampau Lie Thian Yang ada lebih li
ehay daripadanya, sekarang kepandaian mereka bertukar sifat. Lie Thian Yang keti
nggalan.
Tjio Ho maju hendak membantui kawannya, akan tetapi ia dirintangi oleh Lie
Sien Sie.
Lie Thian Yang ragu-ragu setelah ia pandang romannya Sien Sie itu. yang ia
rasa pernah melihatnya, entah di mana, ia lupa. Ia merasa sangat tertarik perha
tiannya, hingga timbul keinginannya untuk menanyakan keterangan. Tapi justeru pa
da waktu itu muncul Tok Ek bersama Bouwyong Tjiong. Ia berkelit ketika Siauw I n
serang padanya, terus ia menyingkir, supaya Bouwyong Tjiong bisa gantikan padan
ya.
Ho Gok Hoa pun sudah turun tangan, melayani pihak pahlawan istana. Ia berk
elahi berendeng bersama Lie Sien Sie.
Di dalam hatinya. Lie Thian Yang berpikir: "Nona ini adalah anaknya Pek Se
k Toodjin. tidak dapat dia dibiarkan menemui ajalnya di sini...
Dengan Pek Sek aku bersanak, hal ini pun tak dapat diberitahukan pada Bouw
yong-Tjiong..."
Ho Gok Hoa telah berlaku cepat, dengan desakan senjata pedangnya, ia telah
dapat lukai satu pahlawan.
Lie Thian Yang lihat itu, ia lantas berteriak: "Kasih aku yang bekuk dia!"
Dan lantas ia maju menyerang si nona
Gok Hoa tidak tahu maksud orang, ia memang benci orang ini, yang telah per
sakiti hati bibinya, menjadikan ia tidak sudi memandang-mandang lagi, ia lantas
menyerang dengan tidak kurang sengitnya. Mula-mula ia mengarahkan tikamannya kep
ada kening lawannya tapi segera ia ubah tujuannya menabas lengan.
Lie Thian Yang kaget, hampir ia menjadi korban. Ia tidak sangka nona itu b
erlaku demikian bengis. Akan tetapi ia ada terlebih gagah daripada Nona Ho, begi
tu lekas ia mainkan pedangnya, ia bikin pedang si nona tertahan, terus ia menola
knya hingga nona itu mundur terhuyung. Belum lagi Gok Hoa sempat perbaiki diri,
Thian Yang lompat menyambar, begitu jari tangannya mengenai sasaran, Gok Hoa lan
tas tidak berdaya dan kena ditawan karena dia telah tertotok jalan darahnya.
Lie Sien Sie terkejut, ia tinggalkan pahlawan musuhnya untuk lompat menolo
ngi nona itu.
Ketika Lie Thian Yang ceraikan isterinya dan terus menikah pula, Sien Sie
belum berumur tiga tahun. Ho Kie Hee tidak ingin anaknya nanti dipersakiti ibu t
iri, dua tahun sejak perceraiannya, ia minta kakaknya bawa pergi anaknya itu ke
Siongsan. Lima belas tahun telah berselang sejak itu, lima belas tahun ayah dan
anak tidak bertemu, tidak heran kalau sekarang mereka tidak dapat mengenali satu
pada lain.
Ketika tadi Lie Thian Yang dan Liong Siauw In bicara satu sama lain, Sien
Sie dengar samar-samar gurunya menyebut-nyebut nama "Kie Hee". Ia heran. Ia memi
kirkan kenapa gurunya itu sebut-sebut nama ibunya di hadapan musuh. Sekarang, se
telah menghadapi musuh itu, roman siapa ia dapatkan mirip dengan romannya sendir
i, hatinya bercekat, sampai lengannya pun menjadi lemas sendirinya. Justeru itu
satu pahlawan hajar pedangnya, lantas saja pedangnya itu terlepas dari cekalanny
a dan jatuh ke tanah. Di waktu itulah, Lie Thian Yang unjuk kesehatannya. Ia lom
pat pada Sien Sie yang ia totok dengan segera. Maka di lain saat, Sien Sie pun t
elah kena dibekuk seperti Gok Hoa.
Lie Thian Yang belum tahu pemuda ini ialah puteranya, tetapi melihat orang
datang bersama Liong Siauw In dan Ho Gok Hoa, ia timbul kecurigaannya. Juga ket
ika ia gerakkan tangannya, ia terpengaruh suatu perasaan luar biasa, hingga ia
tak ingin mencelakai pemuda itu. Ia benar-benar heran sendirinya. Dari itu
, selekasnya dapat bekuk pemuda itu, iamenyerahkannyapadaTjio Ho, supaya pemuda
itu segera dibawa pulang ke pusat Kimiewie, untuk nanti ia yang memeriksanya.
Liong Siauw In telah tempur Bouwyong Tjiong. Tiga kali ia menikam hebat, t
api ketiga-tiga kalinya lawannya dapat berkelit. Ia jadi heran. Keheranan ini be
rubah menjadi kaget ketika berbareng dengan itu, saban-saban ia rasakan dorongan
angin yang datangnya dari pihak lawan, hingga ia mengerti bahwa pahlawan itu se
orang yang liehay. Iapun heran mengetahui di dalam istana ada pahlawan yang seli
ehay lawan ini.
Bouwyong Tjiong juga berlaku hati-hati setelah ketahui kegagalan lawannya
ini, ia lantas berkelahi dengan ilmu Kimna hoat, untuk dapat menawan lawan ini.
Liong Siauw In menyerang pula beberapa kali dengan sia-sia, lantas ia dapa
t pikiran untuk tidak berkelahi terus. Begitulah, setelah satu kelitan, ia lompa
t ke samping. Tapi di sini ia dipapaki satu pahlawan Tongtjiang, yang dengan sep
asang gaetannya menyambar pedangnya. Ia tidak menjadi kaget atau keder, malah de
ngan sebat ia mendahului, hingga lima jari tangan pahlawan itu terbabat kutung!
"Minggir!" teriaknya dengan bengis, sambil ia lompat keluar kalangan.
Bouwyong Tjiong liehay, tetapi menghadapi kegesitan lawannya itu, sedang d
i situ ada banyak orang yang menjadi rintangan baginya, ia tidak dapat menyusul
untuk mengejarnya.
Kim Tok Ek berada di sebelah belakang, ia pegang pimpinan mengatur pahlawa
n-pahlawan mencegat musuh, kapan ia saksikan kelincahannya Liong Siauw In, hatin
ya menjadi panas. Ia lompat maju merintangi.
Liong Siauw In tampak musuh yang romannya bengis, ia tidak maju terus hany
a lari ke samping, ke arah barat. Meski demikian, Kim Tok Ek toh lompat menyamba
r kepadanya, sehingga dua pahlawan yang mengadang di depannya tertolak keras.
Melihat orang hendak menjambak bebokongnya, Siauw In mengelak sambil terus
berbalik, pedangnya menabas lengan penyerang yang liehay itu. Atas ini, Kim Tok
Ek tarik pulang tangannya itu. Tapi justeru itu, Bouwyong Tjiong telah berhasil
menyandak.
Segera Siauw In dikepung kedua musuh yang semuanya liehay. Ia menjadi repo
t, ia berkelahi sambil mundur. Tapi ia tidak dapat bertahan lama, selagi Kim Tok
Ek mendesak padanya, tangannya Bouwyong Tjiong mampir tanpa dapat dielakkan lag
i, tubuhnya roboh, hingga dalam
sekejap ia telah jadi orang tawanan.
Di waktu itulah Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat menyaksikan aksinya kawana
n pahlawan itu, dan Hoei Liong gunai sejumlah batu menyerang dan melukai beberap
a pahlawan itu.
Bouwyong Tjiong titahkan membelenggu Liong Siauw In, lalu ia kata pada Lie
Thian Yang: "Kaujaga orang-orang tangkapan ini, untuk cegah kalau-kalau ada kaw
an-kawannya yang merampasnya, aku hendak naik ke atas!"
Dan ia menyerbu naik bersama Kim Tok Ek. Mereka sampai di atas di mana mer
eka dapatkan tumpukan batu telah menjadi rata, dan ia tampak bercecerannya darah
segar. Hoei Liong dan Giok Lo Sat sudah tidak tertampak, malah Anghoa Koeibo pu
n tak ada di situ!
Kim Tok Ek heran berbareng berkuatir. Ia memanggil-manggil beberapa kali,
isterinya tidak juga muncul, hingga ia jadi semakin heran dan kekuatirannya bert
ambah.
"Mungkinkah dia terluka oleh musuh?" tanya Bouwyong Tjiong, yang turut ber
sangsi.
"Tak mungkin!" sahut Kim Tok Ek, yang masih tetap berkepercayaan. Terus ia
naik ke tempat tinggi, hingga ia tampak jauh belakang badannya Giok Lo Sat bera
mai yang sedang lari turun gunung, hingga tidak mungkin ia dan Bouwyong Tjiong d
apat menyandaknya. Yang sangat mengherankan padanya ialah Anghoa Koeibo tidak te
rtampak di antara mereka itu.
"Mari kita turun!" mengajak Kim Laokoay.
Mereka ini bukan saja tidak ungkulan mengejar Giok Lo Sat, bahkan mereka p
un jeri. Tanpa Anghoa Koeibo yang mereka sangat andalkan, mereka kalah semangat.
Maka setelah mencari pula sebentaran, mereka lantas turun.
Itu waktu. dalam satu pertempuran kalut, Lie Hong juga telah kena ditawan
kawanan pahlawan istana.
Lie Thian Yang, sambil menjagai orang-orang tangkapannya, menantikan balik
nya Kim Tok Ek dan Bouwyong Tjiong, ketika ia tampak mereka balik dengan tangan
kosong, ia sudah dapat duga kawannya itu tidak berhasil, apapula wajah mereka me
nunjukkan kelesuan.
"Apakah Lie Taydjin sudah periksa mereka ini?" Bouwyong Tjiong tanya. "Ada
kah mereka orang-orang undangannya Giok Lo Sat dan itu tua bangka bangsat she Ti
at?"
"Siapa kata kami orang-orang undangannya Giok Lo Sat?" Ho Gok Hoa bersuara
tanpa diminta. Ia mendongkol dan gusar. "Ayahku adu silat dengan Giok Lo Sat. k
ami datang untuk membantui ayahku. Kenapa kalian demikian kurang ajar menangkap
orang secara sembrono?"
Sambil membentak demikian, si nona pun pelototi Lie Thian Yang,
"Ah, buat apa kau mencomel lagi?" kata Liong Siauw In pada nona itu. "Jika
lau mereka kenal aturan, tidak nanti mereka jadi hamba negeri!"
Bouwyong Tjiong gusar, hingga matanya mencilak.
"Siapa ayahmu itu?" tegurnya.
Gok Hoa tunjukkan kejumawaannya.
"Ayahku adalah Pek Sek toodjin, salah satu dari Boetong Ngoloo!" sahutnya.
"Meski kau belum pernah bertemu, namun sedikitnya kau pernah mendengar namanya!
"
Bouwyong Tjiong tertawa.
"Kiranya kau gadisnya Pek Sek Toodjin!" dia kata dengan kejumawaannya tak
berkurang. "Jikalau begitu, kita tidak menangkap salah! Siapa suruh ayahmu memus
uhi kami?"
"Ngaco, ngaco!" Kim Tok Ek turut bicara dan tertawa dingin, "Bagaimana bis
a Pek Sek Toodjin bertempur dengan Giok Lo Sat? Kau ngoceh tidak keruan, pasti k
au mendustai"
Gok Hoa jadi gusar.
"Di kolong langit di mana ada orang yang akui ayah palsu?" teriaknya.
Justeru itu Lie Sien Sie, dengan matanya terbuka lebar, mengawasi Lie Thia
n Yang, hingga sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Tanpa merasa, Thian Yan
g menggigil sendirinya.
"Tidak perduli dia benar atau bukan anaknya Pek Sek Toodjin, paling benar
bawa dahulu padanya untuk diperiksa lebih jauh!" orang she Lie ini turut bicara.
"Dapatkah itu dilakukan?" tanya Bouwyong Tjiong.
"Memang tak leluasa untuk bawa mereka ke keraton," Lie Thian Yang jelaskan
. "Baik mereka diserahkan padaku untuk dibawa ke pusat Kimiewie."
Tongtjiang dan Seetjiang diadakan di dalam keraton, kekuasaannya di tangan
thaykam, orang kebiri, tugasnya ada bagian dalam. Kimiewie sebaliknya mengurus
bagian luar keraton dan penguasanya adalah pembesar militer dengan tugas menangk
ap dan memeriksa. Bouwyong Tjiong ketahui perbedaan tugas itu, maka justeru ia a
nggap empat tawanan itu bukannya orang-orang yang penting, ia suka mengalah untu
k memberi muka kepada Lie Taydjin ini.
"Baiklah," demikian katanya.
Di dalam hatinya, orang she Bouwyong ini pun merasa kecele. Ia sudah kerah
kan pasukan pahlawan, namun Tiat Hoei Liorlg semua masih lolos juga.
Kim Tok Ek pun menyesal sekali, malah ia kehilangan isterinyajuga.
Semua mereka pulang dengan hilang kegembiraan. Di dalam kota, Thian Yang p
amitan untuk berpisahan
dengan membawa empat orang tawanan.
Sementara itu Anghoa Koeibo, yang nampaknya telah kalah sudah lantas lari
pulang, untuk segera beritahu anak dan mantunya supaya mereka bersiap-siap untuk
besok mereka pulang bersama ke Ouwpak.
"Ibu, apakah kau telah bertemu dengan Giok Lo Sat?" Kongsoen Loei tanya.
"Jangan kau banyak rewel!" bentak ibu itu. "Kali ini, sepulangnya kita ke
rumah, aku larang kau muncul pula di dalam dunia kangouw, aku larang kau omong p
ula segala hal kaum Rimba Persilatan! Kau mesti dengar kata untuk berdiam di rum
ah dengan tenteram! Jikalau kau berani membantah, nanti aku kemplang patah kedua
kakimu!"
Anak itu menjadi heran sekali.
"Ibu," katanya perlahan, "kenapa ibu tidak mau menetap di dalam keraton ya
ng indah permai ini dengan hidup manis serumah tangga? Lagi pula kita berkumpul
dengan ayah belum ada satu bulan."
Ibu itu awasi anaknya dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. Orang tua i
ni berbeda pendapat dengan puteranya ini.
Ketika itu hari Anghoa Koeibo antar Kek Peng Teng ke keraton, untuk disera
hkan pada Keksie Hoedjin, yang menjadi ibunya yang sejati, ia diajak Keksie berd
iam di dalam keraton. Segera ternyata, tidak biasa ia dengan cara hidup di dalam
istana, apapula kemudian ia mulai dengar hal tingkah laku yang tak bagus dari K
eksie Hoedjin itu. Ia memang bukannya seorang yang buruk batinnya. Karena itu, i
a jadi tidak suka tinggal di dalam keraton. Benar ia tidak segera pulang ke kamp
ung halamannya tetapi ia sengaja sewa sebuah rumah di luar istana. Di sini ia be
ri tempat pada Kongsoen Loei dan Bok Kioe Nio, yang ia larang tinggal di keraton
.
Mendongkol nyonya kosen itu mendapatkan anaknya kemaruk penghidupan mewah.
"Bagus, kau pintar ya!" bentaknya. "Kau hendak menelad ayahmu! Sudah, jang
an kau pulang pula padaku di sini!"
Kongsoen Loei tidak berani buka mulut lagi, bersama Kioe Nio, ia mulai beb
enah.
Masih saja Anghoa Koeibo mendongkol disebabkan penasaran dan kemasgulannya
saling susun, dengan cekal tongkatnya ia jalan mundar-mandir di pekarangan dala
m, beberapa kali ia mengetok lantai hingga menerbitkan suara berisik.
Kongsoen Loei jeri kepada ibunya itu, ia terus sekap diri di dalam kamar,
ia sampai tak berani untuk menghibur ibunya sekalipun.
Sampai tengah malam, masih Anghoa Koeibo mundar-mandir saja. Ia terbenam d
alam keragu-raguan. Satu ketika ia memikir hendak melatih
diri lebih jauh untuk kelak tempur pula Giok Lo Sat, atau di lain saat ia
memikir keram diri di dalam rumah, untuk simpan tongkatnya untuk selama-lamanya
dengan tidak mau campur lagi urusan apa juga...
Akhir-akhirnya, nenek ini tertawa sendirinya.
"Usiaku telah lanjut, untuk apa aku turuti adatku yang keras berbentrok de
ngan lain orang?" demikian pikirnya. "Kenapa untuk satu suami buruk aku mesti te
rbitkan onar? Sungguh tak selayaknya..."
Karena ini, hatinya mulai menjadi adem.
Sekonyong-konyong pintu ada yang ketok dari luar.
"Siapa?" tanya Kongsoen Toanio.
Di luar terdengar suaranya Kim Tok Ek.
"Aku, isteriku!" demikian jawabnya.
Anghoa Koeibo buka pintu pekarangan.
"Kau mau apa datang kemari?" tanyanya dengan dingin.
"Ah, kau tidak kurang suatu apa?" kata suami itu. "Aku kuatir setengah mat
i..."
"Kau jadinya telah pergi ke Pitmo gay?" menegaskan isteri itu. "Mustahil a
ku berani langgar pesanmu?" Tok Ek jawab. "Karena kau pergi demikian lama, aku t
erpaksa pergi juga ke sana untuk melihat keadaan."
Suami ini cerdik, ia mendusta dengan akalnya itu.
"Sekarang tidak usah kau mencari tahu lebih jauh halku!" kata Anghoa Koeib
o dengan getas. "Aku tidak dapat membantu lagi padamu!"
Kim Tok Ek perlihatkan wajah heran.
"Isteriku," katanya kemudian, "kitatelah menjadi suami isteri untuk banyak
tahun, tegakah kau akan tidak mempedulikan lagi aku mati atau hidup?..."
Isteri itu tidak segera menjawabnya, ia hanya mengunci pintu. Ia bertindak
menuju ke dalam thia, suaminya itu mengikuti.
"Sekalipun aku, aku bukan lagi tandingan orang, maka tiada gunanya lagi ak
u membantu padamu," katanya sambil berjalan terus.
Kim Laokoay kaget bukan main.
"Apa?" serunya. "Kau telah dikalahkan oleh mereka berdua?"
"Ya, aku telah dikalahkan Giok Lo Sat, itu bocah..." sahut sang isteri.
Kim Tok Ek menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak percaya!" katanya. Di dalam hatinya Kim Laokoay berpikir: "Mesk
ipun ilmu pedang Giok Lo Sat sangat mahir, tapi kalau dia tempur aku satu sama s
atu masih seimbang kepandaiannya, dan isteriku yang busuk ini jauh lebih liehay
daripada aku. cara bagaimana ia tak dapat menandinginya?"
Anghoa Koeibo menyobek baju di pundaknya.
"Jikalau kau tidak percaya, kau lihatlah ini!" katanya. Dan dia tunjukkan
pundaknya.
Kim Tok Ek mendekati, ia lihat satu luka bekas ujung pedang, sampai tulang
nya pun kelihatan. Ia jadi sangat kaget.
"Mari aku obati!" katanya kemudian.
"Jangan kau berpura-pura baik hati!" sang isteri menjengeki. "Mustahil aku
tidak sanggup menahan derita luka semacam ini?"
"Mari kita suami isteri berserikat untuk lawan pula mereka!" kata Tok Ek,
yang simpangkan jengekan isterinya itu.
Sang isteri tapinya tertawa dingin.
"Aku peringatkan padamu, baiklah kau kurangi membuat onar!" katanya. Tapi
lantas ia menghela napas, lalu ia tertawa-tawa sedih.
Kim Tok Ek bungkam, tidak berani ia lantas bicara pula.
"Kau telah membuat ayahku mati karena mendongkol," kata Anghoa Koeibo kemu
dian, setelah berkurang kesedihannya. "Dan sudah banyak tahun kau menerbitkan pe
lbagai keonaran di luaran, sekarang usiamu telah lanjut, apakah kau masih tidak
insyaf?"
Masih Tok Ek bungkam.
"Sebenarnya perhubungan kita suami isteri sudah putus," kata pula si nyony
a tua itu. "Bahwa kali ini aku telah bantu padamu, ini adalah bantuan yang terak
hir. Sekarang aku tidak dapat membantu lebih jauh, besok aku hendak pulang."
Kim Tok Ek berjingkrak saking kagetnya.
"Kau hendak pulang" serunya.
"Benar," sahut sang isteri dengan tenang.
Kim Tok Ek menjadi hilang sabar karena bingungnya. Hampir-hampir ia umbar
kemendongkolannya kalau ia tidak tampak isterinya itu menghela napas.
"Jikalau kau ingin lindungi jiwamu," berkata isteri ini, yang dengan menda
dak telah ubah sikapnya, "lebih selamat kau baik-baik turut aku pulang. Jangan k
au mengacau pula di sini."
"Siapayang mengacau?" kata sang suami yang menyangkal. "Kita tinggal di da
lam istana dengan segala kemewahan. Tidakkah itu jauh lebih menang daripada kita
hidup terasing dan sengsara di hutan?"
Mendadak kambuhlah tabiatnya si nyonya tua. Ia angkat tongkatnya. . " Kau
tidak berniat pulang?" tanya dia.
"Walau bagaimana akan terjadi atas diriku, aku tetap tidak pulang!" sahut
suami itu yang pun keras hatinya.
"Baik!" seru Anghoa Koeibo. "Selanjutnya, kau mati atau hidup, aku tidak m
au pedulikan lagi!"
Baru nyonya ini tutup mulutnya, tiba-tiba ia lihat di luar, di para-para p
ohon semangka, berkelebatnya
bayangan orang. Kim Tok Ek tidak lihat bayangan itu.
"Turun kau!" bentaknya nyonya itu, suaranya sangat nyaring dan bengis.
Sebagai jawaban, dari para-para pohon itu terdengar suara tertawa, yang di
susul dengan berlompat datangnya dua orang. Giok Lo Sat adalah yang jalan di muk
a.
"Aku datang menyambangi kau!" kata nona ini sambil memberi hormat dengan d
iberikuti tertawanya yang manis. "Aku percaya, loodjinkee, kau tidak lupa akan j
anji kita sewaktu kita adu silat..."
Dengan membahasakan "loodjinkee" atau "kau orang yang tua" si nona telah u
njuk penghormatannya. Inipun cocok dengan sikapnya yang sabar dan ramah tamah it
u.
"Kongsoen Toanio senantiasa taat kepada janjinya!" turut bicara Tiat Hoei
Liong, ialah orang yang bertindak di belakang si Raksasi Kumala. "Apakah kau tak
dengar barusan? Kenapa kau banyak omong lagi?"
Giok Lo Sat berkeras hendak menolongi puterinya Pek Sek Toodjin, ia telah
damaikan itu bersama ayah angkatnya. Tiat Hoei Liong berpikir, sampai ia dapat s
atu jalan. Maka itu, ia pergi cari Liong Tat Sam, untuk mohon bantuan. Dari piau
wsoe she Liong ia ketahui alamatnya Anghoa Koeibo. Ia duga pasti Kim Tok Ek akan
cari isterinya, maka ia ajak Giok Lo Sat tengah malam itu juga pergi ke rumahny
a nyonya tua itu. Kebetulan sekali mereka tiba justeru Kim Tok Ek pun sampai, hi
ngga mereka dengar pembicaraannya suami isteri itu. Setelah mendengar cukup, aya
h dan anak itu keluar dari tempat sembunyinya, hingga bayangan mereka terlihat n
yonya rumah.
Kim Tok Ek tidak tahu isterinya telah bikin perjanjian apa dengan musuh-mu
suhnya itu. Sebenarnya ia merasajeri menghadapi kedua musuh itu, tetapi karena i
a berada di damping isterinya, ia tidak takut.
"Kalian datang untuk menghina kami?" ia membentak. Memang ia gusar.
Anghoa Koeibo jatuhkan diri di sebuah kursi, romannya sangat lesu.
"Kami tidak berani, tidak biasa kami menghina orang!..." sahut Giok Lo Sat
sambil tertawa. "Tadi siang dalam jumlah besar kalian pergi cari aku di Pitmo g
ay, sayang aku tidak dapat diketemukan, pasti kalian jadi putus asa karenanya. M
aka sekarang sengaja kami datang padamu untuk mohon kau beri pengajaran padaku!"
"Dengan jalan apa kau hendak perbuat? Sebutkanlah," Tok Ek menantang.
Belum Raksasi Kumala beri jawaban, Tiat Hoei Liong yang tetap berdiri di s
isinya telah mendahului buka suara.
"Kami hendak pinjam tubuhmu!" kata jago dari Barat utara ini. Iapun tertaw
a.
Kim Tok Ek naik darah seketika dan sebelah tangannya tiba-tiba melayang me
nyambar Giok Lo Sat.
Si Raksasi Kumala lompat mundur untuk menghunus pedangnya, tanpa buka suar
a lagi ia segera balas menyerang, hingga di situ di hadapan
Anghoa Koeibo-mereka jadi bertarung.
Kongsoen Loei dan Bok Kioe Nio dengar suara berisik, mereka nerobos keluar
, mereka menjadi heran. Kongsoen Loei segera hunus goloknya.
"Kau berani majulah!" bentak Tiat Hoei Liong sambil mempelototkan matanya
Bok Kioe Nio menjadi jengah, ia lekas-lekas tarik suaminya
"Kau berani perhina anakku?" tegur si nenek dengan murka.
Tiat Hoei Liong perdengarkan tertawa dingin. Ia jawab dengan tenang:
"Anak perempuanku sedang lawan suamimu satu sama satu, jikalau ada lain or
ang yang membantu suamimu itu, pasti aku tidak dapat diam berpeluk tangan untuk
menonton saja!"
Anghoa Koeibo menjerit keras sekali karena kemendongkolannya tak dapat ia
lampiaskan. Lalu ia menggedrukkan tongkatnya.
"Anak Loei, mari kita pergi sekarang juga!" ia berseru. "Kita pulang malam
-malam!"
Nyonya ini telah berjanji dengan Giok Lo Sat, ia hendak taati janjinya itu
. Tentu sekali tidak dapat ia membantu suaminya, tetapi di samping itu iapun jug
a tak dapat tonton suaminya dibinasakan orang. Maka terpaksa, angkat kaki dari s
itu adalah jalan paling tepat baginya.
Akan tetapi Kongsoen Loei tidak suka berlalu. Ia tidak mau berpisah daripa
da ayahnya itu. Karena itu, ia jadi "berkutet" dengan ibunya: Yang satu mengajak
dengan mendesak dan memaksa, yang lain bertahan...
Sementara itu, pertempuran di antara Giok Lo Sat dan Kim Tok Ek berjalan t
erus dengan seru sampai dengan tiba-tiba terdengar jeritan "Aduh!" dari Kim Laok
oay.
"Ibu!" seru Kongsoen Loei dengan murka. "Apakah ibu tidak mau tolong ayah
dari bencana kematiannya? Kalau kita poettiong dan poethauw, untuk apa kita jadi
manusia?"
(Poettiong -- tidak setia/menyinta, Poethauw -- tidak berbakti.)
Biar bagaimana, Anghoa Koeibo ingat perhubungannya sebagai suami isteri ap
apula mereka baru saja akur kembali. Maka ia lantas membalik tubuh, ia angkat to
ngkatnya.
Tiat Hoei Liong lantas menghalau.
"Lupakah kau kepada janjimu?" jago tua ini menegor.
"Tapi kalian berbuat jahat di rumahku, aku tidak ijinkan
perbuatanmu ini!" sahut sinyonya. Lalu dengan tongkatnya ia serang Hoei Li
ong.
Ketika itu di tangga rumah, Kim Tok Ek telah dihajar roboh Giok Lo Sat.
Dalam ilmu silat, Kim Laokoay tidak lebih bawah daripada si Raksasi Kumala
, tapi kali ini dia kalah disebabkan baru saja dia sembuh dari luka-luka yang di
dapatnya beberapa hari yang lalu, kesehatannya belum pulih seanteronya. Di sampi
ng itu, ia tidak dapat gunakan Toksee tjiang "tangan pasir beracun" dengan sempu
rna karena Giok Lo Sat memakai sarung tangannya Gak Beng Kie yang tidak mempan s
enjata, hingga ia tidak dapat berbuat suatu apa. Sebaliknya si nona dengan hati
besar, menyerang musuh ini. Kerugian ketiga bagi Kim Tok Ek adalah hatinya yang
mendongkol, yang seperti lumer, karena isterinya tidak hendak membantu padanya,
bahkan isteri itu hendak ajak anak mantunya mengangkat kaki malam itu juga di ka
la ia sedang berkelahi mati hidup. Maka dengan hebatnya desakan Giok Lo Sat, tid
ak lagi ia mampu tolong dirinya.
Giok Lo Sat tidak berhenti dengan robohnya musuhnya itu, selagi Kim Tok Ek
terguling, ia lompat menyusul dengan tendangan kakinya yang memakai sepatu beru
jung lancip, denganjitu ia telah tendang patah dua potong tulang iga musuhnya di
susul pula dengan totokannya, hingga Kim Tok Ek mati daya.
Di lain pihak Tiat Hoei Liong melayani dengan seru jago wanita yang berkel
ahi sangat bernapsu itu, tetapi setelah dapatkan desakannya si nyonya agak berku
rang, ia berkata: "Kami tidak niat bunuh suamimu, mengapa kau bergelisah tak ker
uan?"
Selagi sang ibu belum berikan penyahutan, Kongsoen Loei telah lari kepada
ayahnya yang ia niat tolongi, akan tetapi dia segera disambut oleh Giok Lo Sat,
yang tabas kutung goloknya, dibarengi tubuhnya disampok hingga terpelanting.
Anghoa Koeibo saksikan itu, mendadak saja ia berhenti berkelahi.
"Sebenarnya apa yang kalian kehendaki?" dia tanya.
"Seperti tadi aku telah katakan, kami hanya hendak pinjam suamimu!" jawabn
ya Tiat Hoei Liong.
Giok Lo Sat sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam serangkanya.
Dengan langkah tenang ia menghampiri nyonya tua itu, terus ia menjura deng
an dalam.
"Kamipun hendak mohon bantuanmu," katanya sambil tertawa.
Anghoa Koeibo heran, tetapi ia tetap mendongkol.
"Ah, bocah, kau masih terus hendak mengganggu aku?" katanya. "Jikalau kau
tidak menimbang-nimbang, jangan sesalkan aku apabila aku nanti tidak pegang janj
iku!"
"Akan tetapi benar-benar aku tidak main-main," si nona kata. "Dengan sesun
gguhnya aku hendak mohon bantuanmu. Kau telah pandang lelaki busuk itu sebagai m
ustikamu, tentu sekali kami suka pulangkan dia kepadamu, asal selanjutnya kau ti
lik dia dengan keras."
Nyonya tua itu turunkan tongkatnya yang sudah diangkat tadi.
"Baik, kau bicaralah!" katanya, yang menjadi sabar pula. Iapun ingin sekal
i ketahui, apa yang orang hendak minta daripadanya.
anak perempuan-nya Pek Sek Toodjin telah ditawan Bouwyong Tjiong," berkata
Giok Lo Sat, "maka sekarang aku ingin supaya kau mengatakan kepada orang she Bou
wyong itu, supaya dia merdekakan nona itu!"
"Ha!" seru sinyonya tua. "Jadinya kau hendak gencet aku, kau hendak memaks
a aku menukar suamiku dengan gadisnya Pek Sek!"
"Inilah bukannya gencetan," Hoei Liong campur bicara. "Suamimu adalah seor
ang kenamaan, gadisnya Pek Sek adalah satu budak perempuan, jikalau dilakukan pe
nukaran, pihakmu pastilah tidak rugi. Andaikan Bouwyong Tjiong tidak pandang lag
i padamu, apabila dia ketahui kejadian di sini, pasti dia akan segera datang sen
diri untuk menukarnya. Binatang Bouwyong Tjiong itu sangat sukar diketemuinya, d
ari itu kami hendak minta pertolongan supaya kaulah yang pergi ketemui padanya"
Anghoa Koeibo buka matanya lebar-lebar, alisnya berdiri.
"Baik, beginilah kita membuat perjanjian!" katanya. "Besok malam, kira-kir
a jam tiga, kita nanti saling tukar orang di Pitmo gay. Kalian harus berjanji ba
hwa kau tidak akan aniaya suamiku!"
"Pasti!" sahut Hoei Liong,
"Kali ini aku larang kalian dengan diam-diam sembunyikan orang," Giok Lo S
at omong terus terang. "Awas, atau nanti pedangku tak kenal muka lagi!"
Hoei Liong segera menyelak sama tengah.
"Kongsoen Tbanio adalah satu tjianpwee dari Rimba Persilatan, mustahil dia
tidak kenal aturan umum ini di kalangan Jalan Hitam!" katanya. "Besok malam kit
a datang berdua, maka di pihak sana. kecuali Kongsoen Toanio sendiri, yang lainn
ya tentulah cuma Bouwyong Tjiong seorang!"
Secara cerdik, jago dari Barat utara ini mencegat Anghoa Koeibo.
Giok Lo Sat pun tertawa.
"Masih ada dua orang tawanan yang harus ditukar!" katanya pula
Anghoa Koeibo jadi gusar pula.
"Sudah, kau jangan banyak omong lagi!" ia lampiaskan hatinya. "Begini kita
mengatur! Jikalau Bouwyong Tjiong membawa banyak orang, lebih
dahulu aku akan adu jiwaku dengan dia!"
Tiat Hoei Liong tertawa. Ia rangkapkan kedua tangannya memberi hormat samb
il menjura, setelah mana ia memutar tubuh menyambar tubuhnya Kim Tok Ek, dibawa
lompat naik ke atas genteng dan berlalu bersama anak angkatnya...
Si nyonya tua dan anak mantunya mengawasi dengan ternganga.
Sementara malam itu, ketika Lie Thian Yang pulang ke kantornya dengan bawa
empat orang tawanan, ia jadi berpikir keras, hingga ia tak dapat lantas masuk u
ntuk tidur karena hatinya tak tenteram. Maka pada tengah malam, ia suruh orang b
awa Liong Siauw In menghadap padanya. Ia kunci pintu. Dengan tangan sendiri ia b
ukakan borgolannya orang she Liong itu.
"Silakan duduk!" iapun mengundang.
Liong Siauw In tertawa dingin.
"Secara begini hormat Lie Taydjin perlakukan seorang tawanan, apakah taydj
in tak kuatir usahamu nanti gagal untuk manjat di tangga kepangkatan dan keagung
an?" tanyanya dengan mengejek.
Merah mukanya Thian Yang.
"Pada kejadian dahulu itu akulah yang keliru," ia kata. "Memang aku telah
perlakukan Kie Hee tak selayaknya. Sekarang walau aku menyesalpun sudah kasep...
"
"Apa faedahnya sekarang kau bicara begini padaku?" Siauw In tanya. Ia meng
ejek pula.
"Pada waktu dahulu kita bertiga adalah sahabat-sahabat karib..." kata Thia
n Yang pula. Tapi ucapannya itu dicegat Siauw In, yang perdengarkan hinaan: "Hm!
"
"Kalau toh kau tidak sudi memandang aku sebagai sahabat, sedikitnya kau ha
rus pandang muka Kie Hee..." Thian Yang menyambungkan. Ia tidak gubris hinaan be
kas sahabat itu.
"Ah, benar-benar aneh!" seru Siauw In. "Tadi siang, bengis bagaikan harima
u, kau telah tawan aku, kenapa sekarang kau bersikap begini baik kepadaku, seora
ng tawanan yang jiwanya berada dalam genggamanmu? Kenapa keadaan jadi terbalik?
Kau hendak minta apa dari aku?"
Thian Yang tertawa meringis. Benar-benar ia tidak pusingkan ejekan orang i
tu.
"Saudara Liong," katanya, "kau tahu yang aku telah berusia hampir setengah
abad, bahwa aku punyakan hanya satu anak lelaki, kau tentu mengerti bagaimana h
ebat aku memikiri anakku itu..."
Siauw In tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara: "Hm!"
"Saudara Liong," tanya pula Thian Yang, "selama tahun-tahun ini, pernahkah
kau bertemu dengan isteriku?"
"Pernah sekali aku temui Kie Hee tetapi tidak isterimu." sahut Siauw In de
ngan sengaja. v
Thian Yang gusar sekali. Ia merasa sangat tersinggung. Tapi sedapat-dapat
ia atasi dirinya.
"Aku tahu pergaulanmu dengan Kie Hee adalah baik," katanya, dengan paksaka
n menahan kemendongkolannya. "Itupun sebabnya mengapa sampai sekarang ini kau be
lum juga menikah..."
Sekarang adalah Siauw In yang menjadi gusar.
"Aku menikah atau tidak, ada apa sangkutannya dengan kau?" katanya. "Janga
n kau sembarang menggoyang lidahmu!"
Thian Yang paksakan diri untuk tertawa.
"Bagaimana pikiranmu, saudara Liong?" tanyanya. "Harap kau maafkan, aku ya
ng tidak pandai omong. Oleh karena aku sangat memikiri anakku, saudara, maka aku
telah menanyakan kepadamu. Saudara ketahui atau tidak tentang anakku si Sien?"
"Aku sangsikan anakmu ketahui bahwa ayahnya adalah semacam kau!" jawab Sia
uw In.
Habislah sabarnya Lie Thian Yang.
"Kau pernah apakah dengan anakku si Sien itu?" dia berteriak. "Hak apa kau
punyai untuk membikin anak itu tidak kenal ayahnya? Beranikah kau membikin reng
gang darah daging kami ayah dan anak?"
Liong Siauw In tertawa dingin.
"Apa perlunya aku untuk bikin renggang kau ayah dan anak?" dia membalik!.
Terus dia tutup mulut, tak peduli orang caci padanya.
Lie Thian Yang gusar bukan main, ia umbar itu dengan dampratannya, akan te
tapi karena Siauw In tidak meladeninya, ia borgol pula bekas kawan itu dan terus
ia suruh orang bawa ke kamar tahanan.
Masih sekian lama Thian Yang berpikir setelah Siauw In dibawa pergi, lanta
s iatitahkan Ho Gok Hoa dihadapkan kepadanya. Kembali ia menutup pintu.
"Tahukah kau bahwa aku adalah kohthio-mu?" tanya dia dengan sabar kepada n
ona she Ho itu. (Kohthio = suami dari bibi).
Gok Hoa rapatkan kedua bibirnya.
"Pernah kudengar bibi kata bahwa dia mempunyai suami semacam kau," iajawab
.
Thian Yang mendongkol berbareng geli di hati.
"Apakah kau kenal Sien Sie?" dia tanya pula
"Kami hidup sama-sama dari kecil, kenapa aku tidak kenal dia?" menjawab pu
la si nona.
Thian Yang girang mendengar penyahutan ini.
"Pernahkah Sien Sie tanyakan ayahnya?" tanya dia.
"Bibiku pernah kata pada si Sien bahwa ayahnya seorang busuk, bahwa dia se
jak masih bayi sudah disia-siakan, maka itu sama sekali belum pernah dia tanyaka
n hal ayahnya!" sahut Gok Hoa.
Thian Yang bungkam. Ia tersinggung dan sangat masgul. Ia berdiam sampai se
kian lama
"Bagus," katanya. "Mari masuk ke kamarku dan duduk sebentar."
Ia loloskan borgolan si nona dan mengajaknya ke dalam. Ia tuangkan nona in
i secangkir teh Liongtjeng dan berikan juga sebungkus angtjoh.
"Kau duduk dulu, aku hendak pergi sebentar, nanti aku kembali," ia kata.
"Kamar ini lebih enak daripada kamar tahanan," kata si nona, agaknya ia po
los sekali.
Thian Yang tertawa menyengir. Ia bertindak keluar, pintu kamar ia tutup.
Selang tak lama, taydjin ini kembali bersama Lie Sien Sie. Ia suruh anak m
uda ini duduk, lalu ia pandang. Makin lama ia mengawasi, ia dapatkan pemuda itu
makin mirip dengan dirinya. Ia menyesal dan penasaran dengan berbareng. Akhirnya
ia loloskan borgolannya Sien Sie dan usap-usap pundaknya.
"Ah, kau terluka..." katanya
Lie Sien Sie mendapat luka enteng di kulit, tetapi menampak itu. Lie Thian
Yang merasa pedih hatinya.
"Jikalau dia benar Sien Sie, mungkin dia benci aku..." pikirnya.
Pemuda itu sendiri bingung, matanya jelilatan ke empat penjuru. Ia agaknya
sedang berpikir keras, entah apa yang dipikirkan.
Kamar sunyi sekian lama, karena Lie Thian Yang tetap belum buka mulutnya.
Tiba-tiba kesunyian terpecahkan oleh suaranya Sien Sie.
"Apakah salahku? Kenapa kau mempenjarakan aku?" demikian tanya Sien Sie.
"Itulah sebab orang curigai kau ada konconya Him Teng Pek," sahut Thian Ya
ng.
"Him Teng Pek adalah satu pendekar pembela negara yang telah melawan musuh
," kata Sien Sie, "meskipun aku masih muda, aku pernah dengar dia dipuji orang d
i mana-mana! Maka itu, jangankan kami bukan konconya, meski benar konconyapun, k
ami tidak bersalah!"
Lie Thian Yang tertawa menyeringai.
"Kalian yang masih muda, belum tahu apa-apa," katanya.
Lie Sien Sie angkat kepalanya, sikapnya agung.
"Pendapatku, taydjinlah yang tidak tahu apa-apa!" ia kata.
Menggetar hatinya Lie Thian Yang, sampai ia tunduk. Sejenak kemudian baru
ia angkat pula kepalanya, terus ia awasi pemuda itu,
"Kau pernah apa dengan nona Ho Gok Hoa ini?" tiba-tiba ia tanya.
"Dia adalah adik misanku," sahut Sien Sie. "Apa perlunya kau menanyakan in
i?"
Thian Yang jengah berbareng girang. Ia sudah duduk atau mendadak ia berjin
gkrak bangun. Ia jemput sebuah kaca muka, lalu diserahkannya kepada pemuda itu.
"Cobalah kau kacakan dirimu!" katanya.
Sien Sie heran.
"Apakah maksudmu!" dia tanya.
"Kacakan wajahmu dan lihat, sama atau tidak dengan romanku." Thian Yang me
ndesak.
Sien Sie banting kaca itu ke lantai hingga hancur, terus saja ia menangis.
Thian Yang menjadi bingung. Ia tidak gusar.
"Kau... kau kenapa?" tanyanya. Ia maju, akan rangkul anak muda itu. Ia ber
bisik: "Sien Sie, anakku, aku ini adalah ayahmu..."
Sien Sie berontak dari rangkulan.
"Kenapa kau tidak mau kenal ayahmu?" Lie Thian Yang tanya.
"Ibuku kata ayahku sudah mati!" sahut pemuda itu.
"Mustahil, ada ayah yang lancang akui anaknya?" kata Thian Yang. "Apakah k
au tidak percaya bahwa aku ini ayahmu?"
"Ayahku pasti bukannya satu manusia yang tak dapat membedakan seorang ment
eri setia daripada seorang dorna, yang tak mengerti kebaikan dan kejahatan!" kat
a Sien Sie. "Dan diapun pasti tidak akan menyuruh orang untuk menangkap dan melu
kai anaknya!"
Thian Yang merasa sangat malu dan hatinya sakit. Sekarang ia telah insyaf.
Maka ia sambar tangannya Sien Sie dan ditariknya.
"Sien, ayahmu benar-benar telah mati!" katanya.
Sien Sie tercengang, dengan ternganga ia awasi taydjin itu.
"Pernahkah kau mendengar kata-kata peribahasa: 'Macam-macam yang telah lam
pau adalah seperti yang telah mati kemarin, macam-macam yang sekarang adalah sep
erti yang terlahir hari ini'?" tanya Lie Thian Yang sambil mengawasi muka anakny
a itu.
Lie Sien Sie ketahui peribahasa itu, ia anggukkan kepala.
"Maka itu ayahmu yang telah mati itu telah hidup pula," kata Thian Yang. "
Besok pagi ayahmu akan antar kau pulang ke gunung Siongsan untuk menemui ibumu,
untuk selanjutnya tidak akan memangku pangkat pula, tidak peduli pangkat apapun
juga."
Lie Sien Sie girang mendengar pengutaraan ayahnya ini, ia seka air matanya
.
"Benarkah itu?" ia menegasinya.
Lie Thian Yang mengucurkan air mata.
"Masihkah kau tidak percaya, Sien?" tanyanya
Lantas saja anak itu memanggilnya dengan perlahan: "Ayah..."
Baru sekarang Lie Thian Yang bisa tertawa.
"Selama sekian tahun kau berada di mana saja?" ayah ini tanya kemudian.
"Aku berdiam di Ngobie san bersama guruku," jawab sang anak.
"Siapakah gurumu itu?" tanya Thian Yang.
"Itulah Liong Pehoe yang tadi siang kau tawan di Pitmo gay."
"Oh, kiranya dia!" seru Thian Yang.
"Apakah kau kenal satu pada lain?"
"Ya, malah lebih daripada itu, dia adalah sahabat karibku!"
Lantas taydjin ini jalan mundar-mandir.
"Bagus kalau begitu," kata Sien Sie. "Liong Pehoe perlakukan aku baik seka
li. Sekarang aku minta supaya kau merdekakan adik Gok Hoa dan saudara Lie Hong s
ekalian."
"Baik, aku luluskan permintaanmu!" sahut Thian Yang. Ia terus buka pintu d
an memanggil orangnya, untuk bawa datang Liong Siauw In, Lie Hong dan Ho Gok Hoa
.
Di saat ayah itu membalik tubuh habis menutup pintu, Sien Sie bangun meran
gkul padanya.
"Kalau sebentar kita pulang menemui ibu, selanjutnya kita serumah tangga t
idak bakal berpisah pula!" katanya dengan kegirangan.
Thian Yang pun girang, keduanya bersama tertawa dan saling pandang dengan
sinar mata dari kegirangan.

*****

Sebagaimana telah dijanjikan di malam kedua. Giok Lo Sal dan Tiat Hoei Lio
ng telah pergi ke Pitmo gay. Mereka bawa Kim Tok Ek si orang tawanan. Di sana me
reka menantikan Anghoa Koeibo.
"Sebenarnya aku benci sangat kepada Pek Sek Toodjin," kata si nona pada ay
ah angkatnya. "Kalau sebentar anak perempuannya telah dapat ditolong baik ayah s
aja seorang diri yang antarkan anaknya itu!"
"Tapi lebih baik kaulah yang mengantarkannya," kata ayah angkat itu.
Sambil bicara mereka menantikan, sampai sang Puteri Malam mulai naik, di w
aktu yang demikian itu, mereka tak tampak manusia lainnya, lembah dan jurangpun
telah menjadi sunyi.
"Kenapa Anghoa Koeibo masih belum datang juga?" kata si Raksasi Kumala. Ia
lantas tertawa. "Mungkinkah Bouwyong Tjiong tidak sudi serahkan orang tawananny
a?"
"Tak mungkin Anghoa Koeibo melanggar janji," sahut Tiat Hoei Liong. "Bouwy
ong Tjiong pun tak mungkin karena sayangi satu budak perempuan dia bersedia meng
orbankan sebelah tangannya"
Giok Lo Sat tertawa pula.
"Memang, apabila mereka melanggar janji, kita harus beset si manusia tang
gungan!" katanya.
Kim Tok Ek kejam hatinya, tapi mendengar perkataan si nona itu ia berkuati
r bukan main, karenanya, ia telah ulur lehernya untuk mengharap-harap datangnya
isterinya.
Selang tak lama kemudian, beberapa orang nampak mendatangi. Giok Lo Sat lo
mpat ketempat tinggi untuk dapat melihat jelas.
"Berapa jumlah mereka?" tanya Hoei Liong.
"Dua orang."
Sunyi sejenak. Lalu mendadak:
"Ah!" seru si nona. "Anghoa Koeibo tidak bawa orang di bebokongnya!" Terus
ia lompat turun akan hampiri Kim Tok Ek, bebokong siapa ia jambak.
Kim Laokoay masih belum dapat bergerak, karena totokan pada tubuhnya belum
dipunahkan, maka dengan gampang ia kena dijambak.
Giok Lo Sat cabut pedangnya, ujungnya ia tempelkan di bebokongnya jago tua
yang bertangan pasir beracun itu.
"Ayah, aku mulai hendak merobek dia ini!" kata si nona sambil tertawa.
Tok Ek takut bukan kepalang, rohnya sampai seperti telah terbang pergi.
"Sabar, anak Siang," kata Tiat Hoei Liong. "Tunggu dulu hingga tibanya Ang
hoa Koeibo."
Mereka tidak usah menantikan lama, si Biang Hantu Bunga telah muncul bersa
ma Bouwyong Tjiong. Anghoa Koeibo benar-benar tidak membawa orang, mukanya pucat
sekali, hingga wajahnya nampak jadi terlebih bengis.
"Mana orang yang kumaksudkan?" tegur Giok Lo Sat dengan tertawa dinginnya.
"Hm!" ada jawabannya Bouwyong Tjiong. "Kau telah berkongkol dengan Lie Thi
an Yang, dia telah merdekakan orang-orang tawanannya tetapi kau masih hendak min
ta orang dari aku!"
Si Raksasi Kumala heran dan gusar. Ia tertawa dingin pula.
"Siapa Lie Thian Yang itu? Aku tidak kenal padanya? Apakah kalian berniat
menyangkal? Tidak dapat, sahabat!"
"Aku tidak peduli kau kenal atau tidak, tetapi dengan sebenarnya orang sem
ua sudah kabur!" kata Bouwyong Tjiong. "Karena itu, kaupun harus merdekakan oran
g pihak kami!"
"Siapa sudi percaya obrolan iblismu!" bentaknya Giok Lo Sat. Ujung pedangn
ya lantas dikasih berkenalan kepada kulitnya Kim Tok Ek, hingga jago ini menjeri
t bagaikan babi yang hendak disembelih.
Anghoa Koeibo jadi gusar.
"Kali ini Bouwyong Tjiong tidak mendusta!" ia kata dengan sengit. "Aku tel
ah pergi dan menyaksikannya sendiri di pusat Kimiewie! Jikalau kau tidak percaya
, tunggulah besok untuk saksikan pengumuman penangkapan kepada Lie Thian Yang se
rta empat orang tawanannya itu."
Si Raksasi Kumala tetap tertawa dingin.
"Ada orang, boleh tukar!" katanya. "Tidak ada orang, robek orang tanggunga
n!"
Anghoa Koeibo ada sedemikian gusarnya hingga ia angkat tongkatnya hendak m
enyerang si nona, untuk pertaruhkan jiwanya.
"Anak Siang, serahkan Kim Laokoay padanya," menyuruh Hoei Liong kepada ana
k angkatnya itu.
Giok Lo Sat perdengarkan suaranya yang nyaring dan panjang.
"Baik," katanya. "Tapi orang ini mesti diberi tanda mata!..." dan ujung pe
dangnya disontekkan kepada pundaknya Kim Tok Ek yang sudah tak berdaya itu, hing
ga putus sebatang tulang pipa dari jago tua itu!
Kim Tok Ek menjerit bahna sakitnya.
Bagi mereka yang mengerti ilmu silat, tulang pipa adalah yang paling penti
ng. Satu kali tulang itu patah, habislah tenaganya, percuma dia mempunyai kepand
aian tinggi. Tulang pipa bukan seperti tulang-tulang lainnya, yang kalau patah d
apat disambung pula dan diobati hingga sembuh seperti sediakala dalam tempo yang
pendek. Untuk mengobati tulang pipa sedikitnya dibutuhkan waktu tiga sampai lim
a tahun, itupun kalau obatnya tepat dan pandai merawatnya. Maka itu, sebelum lim
a tahun, pasti Kim Tok Ek tak dapat mengganas pula andaikata dia tak dapat ubah
cara hidupnya.
Setelah dilukai tubuhnya orang she Kim itu oleh Giok Lo Sat dilemparkan ke
pada Anghoa Koeibo. Anghoa Koeibo menyambuti dengan kedua' tangannya, matanya me
rah karena gusar. Barulah setelah melihat luka suaminya cuma di tulang pipa, kem
urkaannya itu reda sendirinya Karena ia mengerti tentang luka itu. Iapun berangg
apan: "Biarlah bangsat ini merasakan hukumannya." Maka ia lantas panggul tubuh s
uaminya itu.
"Giok Lo Sat, aku terima budimu ini!" katanya. "Tentang budi dan dendam ki
ta, dengan ini habislah sudah!"
Kata-katanya ini ditutup dengan lompatannya yang jauh, hingga dalam sekeja
p saja Biang Hantu Bunga itu telah lenyap bersama suaminya itu.
Bouwyong Tjiong terkejut menyaksikan sikapnya kawan itu, yang tinggalkan p
adanya sendirian di jurang itu.
Dengan tertawa haha-hihi Giok Lo Sat sudah lantas berdiri di hadapan pemim
pin pahlawan ini.
"Bouwyong Tjiong!" katanya, "kini adalah pertemuan kita yang kedua kali!"
"Kalau aku tahu akan terjadi begini, tentu aku tak ikut tua bangka itu dat
ang sendirian kemari..." mcnyclak Bouwyong Tjiong dalam hatinya. Tadinya ia piki
r bersama Anghoa Koeibo berdua pasti ia akan sanggup layani Giok Lo Sat dan Tiat
Hoei Liong. Akan tetapi sekarang?
"Ketika pertama kali kita bertemu, itulah di rumahnya Yo Lian," kata pula
Si Raksasi Kumala, yang masih saja tertawa. "Ketika itu kalian hendak celakai Hi
m Kengliak dan kami hendak bekuk Kim Laokoay. Meski benar waktu itu kita telah b
ertempur hebat tetapi kita masih belum punya sangkutan satu dengan lain. Tapi se
karang pertemuan kita ini adalah lain!"
"Habis apa kau hendak perbuat?" tanya Bouwyong Tjiong, yang mencoba tetapk
an hatinya.
"Him Kengliak itu adalah sahabatku, kau hendak celakai padanya, aku tidak
dapat diam berpeluk tangan!" sahut si nona. "Sekarang tidak dapat aku lepaskan k
au!"
Biar bagaimana, Bouwyong Tjiong adalah pahlawan nomor satu, tidak peduli m
enghadapi dua lawan tangguh, tak suka ia tunjukkan kelemahannya.
"Inilah urusan pemerintah, kau tidak berhak mencampurinya!" katanya dengan
galak.
Sepasang alisnya si nona bergerak.
"Aku justeru hendak mencampurinya!" dia berteriak, lalu pedangnya dipakai
menikam.
Bouwyong Tjiong berkelit.
Giok Lo Sat ulangkan serangannya hingga Bouwyong Tjiong terpaksa melakukan
perlawanan.
"Anak Siang!" berkata Hoei Liong, "buat apa kau layani padanya?"
Seruan ayah angkatnya ini membuat lambat gerakannya Giok Lo Sat, maka keti
ka itu digunai Bouwyong Tjiong untuk lompat melesat ke samping, terus ia lari tu
run gunung!
"Kenapa ayah mencegahnya?" tanya anak angkat itu.
"Sudah dua hari kau bertempur luar biasa seru," menerangkan ayah angkat it
u, "kalau sekarang kau bertempur pula setengah mateman, taruh kata kau menang, k
au akan dapat luka dalam tubuhmu."
Si nona berdiam. Benarlah katanya ayah angkat ini, memang untuk dapat meng
alahkan Bouwyong Tjiong seorang musuh tangguh, sedang untuk ia dihantui ayahnya,
inilah ia tak sudi.
Ayah dan anak ini segera pulang untuk tidur, hingga malam itu mereka dapat
beristirahat. Keesoknya pagi mereka bangun dengan rasakan tubuhnya lebih segar
dan sehat.
"Mari kita pergi kepada Him Kengliak," Giok Lo Sat mengajak. "Dia telah ka
sih pinjam sarung tangan yang sungguh suatu benda mustika. Kemenangan kita juste
ru mengandal kepada sarung tangan itu!"
"Mari," menyambut Hoei Liong.
"Akupun ingin temui padanya untuk menghaturkan terima kasihku."
Maka pergilah mereka ke kota, ke rumahnya YoLian.
Ketika tuan rumah dilaporkan kedatangan kedua orang itu dia sendiri segera
keluar menyambutnya.
Sampai di thia, Giok Lo Sat tidak lihat Him Kengliak.
"Mana Kengliak taydjin?" tanyanya.
"Him Taydjin telah meletakkan jabatan dan pulang ke kampung halamannya," s
ahut Yo Lian. "Dia pesan aku beritahukan kalian, umpama di belakang hari kalian
lewat di Kanghee, Ouwpak, dia harap kalian sekalian mampir kepadanya untuk kemba
likan sarung tangannya. Tapi dia menegaskannya, tak usah kalian datang melulu ha
nya untuk keperluan mengembalikan sarung tangan itu."
"Oh, Him Taydjin tinggal di Kanghee?" tanya Hoei Liong.
"Benar," menetapkan Yo Lian.
"Raja bocah itu sungguh tidak mengerti apa-apa!" seru Giok Lo Sat. "Kenapa
dia luluskan Him Taydjin meletakkan jabatan?"
Yo Lian tertawa meringis.
"Kau tidak mengerti urusan pemerintahan," ia kata.
Kata-kata ini tidak beda dengan kata-katanya Bouwyong Tjiong. Sebenarnya G
iok Lo Sat mendongkol. Tapi Yo Lian bukannya orang she Bouwyong itu, maka dapat
ia sabarkan diri.
Tindakannya Kengliak Him Teng Pek adalah apa yang dinamakan guyon menjadi
benar. Ia majukan permohonan meletakkan jabatan untuk mencoba kaisar. Tapi rekes
t paling dulu sampai di tangan Keksie Hoedjin. Inilah rekest yang memang sangat
diharapkan nyonya yang agung itu.
"Him Teng Pek banyak pernik, biarkan dia pergi!" berkata Keksie kepada Yoe
Kauw ketika ia serahkan rekestnya Teng Pek pada junjungannya
"Tetapi ayahanda raja pernah mengatakan bahwa Him Teng Pek adalah tiang ne
gara," kata kaisar yang muda itu. "Bagaimana dia bisa dibiarkan meletakkan jabat
annya?"
Keksie tertawa
"Ah, Yoe Kauw!" katanya. "Kau cuma tahu akan kata-kata ayahmu marhum itu,
kau tidak menginsyafi akan jaman, lain dahulu lain sekarang. Sekarang ini telah
siap orangnya yang dapat menjadi kepala perang besar. Lagi pula kurang baik untu
k biarkan seorang memegang kekuasaan terlalu lama, kekukuhan semacam itu bukan m
enguntungkan negara bahkan merugikan."
"Menteri setia dari jaman Sri Baginda almarhum tidak dapat disia-siakan,"
kata pula Yoe Kauw, "maka itu, tak dapat dia diberhentikan dari jabatannya dalam
ketentaraan."
"Tapi, dia sendirilah yang hendak meletakkan jabatan, ada sangkut paut apa
kah dengan kau?" kata Keksie Hoedjin yang tajam lidahnya "Kau juga tentu tidak t
ahu apa katanya Him Teng Pek di luaran. Dia kata di perbatasan, Kerajaan Beng me
ngandal sangat kepada tenaganya! Dapatkah kau terima kejumawaan itu? Dia pun ang
gap dirinya seorang menteri setia, maka jikalau kemudian dia ketahui sifatmu yan
g berandalan, sudah tentu dia akan datang menggerecok! Bila itu sampai terjadi,
kau sebagai kaisar akan tidak bisa hidup merdeka..."
Hati kaisar ini tergerak dengan hasutan itu.
"Siapakah yang dapat gantikan Teng Pek sebagai kengliak di tapal batas?" d
ia tanya
"Turut katanya Goei Tiong Hian, Wan Eng Tay mempunyai kepandaian untuk jad
i panglima perang," sahut Keksie.
Yoe Kauw segera ingat, Wan Eng Tay itu pernah persembahkan kepadanya sepul
uh ekor burung hoabie. beliau berkesan baik terhadap orang yang dipujikan Goei T
iong Hian itu. Maka lantas saja beliau menulis "Diluluskan" di atas surat permoh
onannya Him Teng Pek.
Kasihan Him Kengliak, sampaipun menghadap raja ia tidak bisa, maka bahna m
endongkolnya, di hari kedua terus saja ia berangkat pulang dengan ajak Gak Beng
Kie dan Ong Tjan.
Giok Lo Sat menjadi putus asa atas kepergiannya kengliak itu. "Apakah Gak
Beng Kie turut bersama?" Hoei Liong tanya Yo Lian. la selalu ingat pemuda itu. y
ang telah menampik lamarannya.
"Semua sudah pergi!" sahut Yo Lian. "Bukan melainkan Gak Beng Kie dan Ong
Tjan. malah To Kongtjoe dan semua orang Boetong pay telah sama pergi juga!"
Giok Lo Sat terperanjat.
"Habis, bagaimana dengan Pek Sek Toodjin?" tanyanya.
"Siapa itu Pek Sek Toodjin?" tanya Yo Lian. "Oh, kau maksudkan imam yang k
emarin datang kemari itu? Diapun turut pergi bersama gadisnya."
Mendengar ini. tahulah Giok Lo Sat bahwa Anghoa Koeibo benar tidak dusta.
Maka itu, ia lantas pamitan dari tuan rumahnya.
"Apakah nona hendak pulang ke Siamsay Utara?" Yo Lian tanya. "Aku hendak b
eritahukan kau suatu hal. Sekarang ini pemerintah sedang menyiapkan pasukan tent
ara untuk di kirim ke Siamsay Utara guna menindas gerombolan, maka jikalau nona
kenal orang-orang Rimba Hijau di sana, baiklah nona anjurkan mereka supaya terim
a tjiauwan. (Tjiauwan = dipanggil dengan baik untuk menyerah dan bekerja kepada
pemerintah).
Giok Lo Sat perdengarkan suara -Hm!" Tapi belum sempat ia buka
suara lebih jauh. Tiat Hoei Liong sudah tarik padanya untuk diajak pergi.
Dengan sesungguhnya Pek Sek Toodjin sangat gelisah berhubung dengan lenyap
nya puterinya yang terculik orang terutama ia berkuatir karena ia tidak berdaya
disebabkan ia sedang terluka parah. Syukur baginya, ia tidak usah bergelisah ter
lalu lama. Di malam kedua, puterinya itu pulang sendiri bersama pula Lie Thian Y
ang ayah dan anak serta Liong Siauw In dan Lie Hong. Tidak terkira lega dan gira
ng hatinya imam ini. Tatkala Lie Thian Yang memberi penjelasan, ia kata: "Jangan
kuatir, moayhoe. Jikalau nanti kita pulang, aku akan membicarakannya kepada adi
kku supaya perselisihan di antara kalian dapat dihabiskan, supaya hidup rukun pu
la seperti biasa." (Moayhoe = suami dari adik perempuan).
"Kita telah menyingkir dengan cara luar biasa ini, pemerintah tentu tidak
mau mengerti dan akan keluarkan titah penangkapan," kemudian Lie Thian Yang menj
elaskan lebih jauh. "Malah menurut suaranya Bouwyong Tjiong, dia juga tidak puas
terhadap kau. Oleh karena ini besok pagi-pagi kita mesti segera berlalu dari ko
ta raja ini."
"Segala apa di sini telah beres, kita bisa segera berangkat!" kata si imam
. Oleh karena ini juga, It Hang lantas pamitan dari Beng Kie. Kepada Him Kenglia
k, yang ia tahu hendak berangkat pulang, ia kata: "Kawanan dorna di dalam istana
ada sangat berdengki terhadap kengliak, walaupun kengliak telah meletakkan jaba
tan, aku kuatir mereka masih mendendam dan berniat melampiaskannya, dari itu mar
ilah kita berangkat bersama!"
Beng Kie juga berkuatir, baik selama mereka masih berada di kota raja maup
un di tengah perjalanan, maka ia setujui pikirannya It Hang itu.
"Memang inilah paling baik!" katanya, tertawa. "Kalian hendak pulang ke Bo
etong san, mari kita berangkat bersama. Hanya paman gurumu itu tak menyenangkan
untuk ditemani..."
It Hang tidak dapat berkata apa-apa, ia hanya bersenyum.
Setelah pembicaraan, Him Kengliak dan Pek Sek Toodjin setuju untuk mereka
berangkat bersama-sama. Tetapi dalam perjalanan mereka terpisah menjadi dua romb
ongan, karena Beng Kie dan Pek Sek tidak cocok satu pada lain. namun apabila ada
perlunya, mereka dapat saling tolong. Sebaliknya di waktu malam, mereka singgah
di satu tempat penginapan. Yang jalan terdahulu adalah rombongannya Him Kenglia
k.
Sekeluarnya rombongan ini dari perbatasan propinsi Hoopak, mereka sudah la
ntas dipapak Ang In dan Tjeng Soo, kedua soetee atau adik seperguruannya dari Pe
k Sek, yang dititahkan oleh Oey Yap Toodjin. Karena pihak Boetong san cepat seka
li peroleh kabar tentang peristiwa di kota raja, hal pengalamannya Pek Sek dan I
t Hang beramai, maka kedua soetee itu segera ditugaskan pergi menyambut.
Kepada kedua soetee-nya Pek Sek omong banyak halnya adu pedang, bahwa Giok
Lo Sat sudah menantangnya dengan sangat tidak memandang mata terhadap Boetong s
an. It Hang yang mendengar semua itu diam saja.
Ang In Toodjin pernah mendapat malu dari Giok Lo Sat, ia merasa tidak puas
.
"Tidak dapat tidak, hantu wanita itu mesti diajar adat!" katanya dengan se
ngit.
Meski orang mengucap demikian, It Hang tetap bungkam.
Pek Sek melirik kepada pemuda itu dan berkata: "Jikalau kita kaum Boetong
san beragam satu hati, orang di kolong langit tak mungkin ada yang berani memand
ang enteng kepada kita!"
Setelah mengucap demikian, imam ini tertawa gelak-gelak, karena maksudnya
hanya untuk menyindir It Hang.
Perjalanan dilanjutkan terus ke selatan. Mereka tidak menghadapi arah peri
ntang. Mereka adalah orang-orang tangguh, umpama Goei Tiong Hian mengutus pahlaw
an-pahlawannya untuk mengejarnyapun, belum tentu pahlawan-pahlawan itu berani de
ngan lancang turun tangan terhadap mereka.
Lewat beberapa hari, tibalah mereka di gunung Siongsan. LieThian Yang ingi
n sangat menjumpai isterinya selekas mungkin, isteri yang ia telah sia-siakan it
u. Pek Sek menyatakan suka menyertainya.
Juga Beng Kie suka turut bersama, karena ia ingin gunakan ketika sebaik in
i untuk temui Keng Beng Tiangioo, ketua dari Siauwlim sie. Maka itu mereka menda
ki gunung dalam satu rombongan.
Kala itu adalah di saat dari berlalunya musim dingin atau mendatangnya mus
im semi, maka di sepanjang jalan, sampai di atas gunung, rombongan ini bagaikan
disambut kicauannya burung-burung cilik dan bunga-bunga yang memekar dengan haru
m baunya.
Mereka sama-sama mendaki gunung tetapi pikirannya Lie Thian Yang dan Pek S
ek Toodjin berlainan. Tapi umumnya mereka sama bergirang. Thian Yang bisa berkat
a sambil tertawa: "Hari ini barulah aku ketahui bahwa tinggal di pegunungan ada
jauh lebih menang daripada berdiam di dalam istana."
"Eh!" seru Ang In yang tiba-tiba menyelak. "Siapakah itu yang
gerakannya demikian gesit?"
Imam ini lantas menunjuk ke bawah.
Semua orang berpaling, hingga merekapun tampak satu orang sedang berlari-l
ari naik, cepat bagaikan terbang, hingga di lain saat orang itu telah datang men
dekati mereka.
Lie Thian Yang bersama puteranya dan It Hang, segera ambil sikap melindung
i Pek Sek Toodjin, mereka jalan di depan, sedang Ang In bersama Tjeng Soo, denga
n pedang terhunus, jalan di sebelah belakang.
Dalam tempo sekejap orang itu sudah berada di hadapan mereka, hingga Ang I
n tak saggup kendalikan diri lagi, segera saja ia maju menyerang dengan pedangny
a. Karena orang itu tidak lain daripada Giok Lo Sat.
"Giok Lo Sat, kau terlalu menghina kami pihak Boetong pay!" berseru Ang In
. "Pek Sek Soeheng belum dapat melayani kau pieboe, maka sekarang baik aku saja
yang melayaninya!"
Giok Lo Sat lompat menyingkir. Ia sangat gusar. Kedatangannya itu bukan un
tuk menyusul Pek Sek Toodjin, hanya bersama ayahnya ia menyusul Him Kengliak dan
Gak Beng Kie, karena hebatnya ilmu berlari cepatnya, ia telah tinggalkan ayah a
ngkatnya di belakang. Ia tidak sangka bahwa ia disambut secara demikian itu.
"Ang In Toodjin!" katanya, "kau adalah pecundangku, untuk apa kita adu ped
ang pula?"
Ejekannya nona itu membikin imam ini semakin gusar, ia segera menyerang pu
la. Ia telah gunai jurus-jurus yang liehay dari ilmu pedang kaumnya yaitu Tjitca
pdjie tjioe Lianhoan Toatbeng kiam.
It Hang bergelisah sendirinya. Ia sedang memapah paman gurunya, ia tidak d
apat maju untuk cegah pertempuran walaupun ia kehendaki itu. Ia mengawasi dengan
pikiran tak keruan rasa.
Si Raksasi Kumala lihat Ang In menyerang ia secara kalap, ia melayaninya d
engan kegesitannya. Ialah ia menyingkir dari setiap serangan, ia menangkis dan m
engancam dengan serangan pembalasan sambil tertawa haha-hihi mempermainkan imam
itu.
Karena kemahirannya si nona, Ang In ada bagaikan terkurung sinar pedang.
Tjeng Soo Toodjin menyaksikan sekian lama, lantas ia dapat kenyataan, saud
ara seperguruannya bukanlah tandingan si nona. Beberapa kali pedangnya Ang In te
lah disampok terpental hampir terlepas. Maka untuk menolong saudara itu, ia lupa
bahwa ia adalah salah satu dari Boetong Ngoloo, ia lantas maju mengerubuti si n
ona.
Giok Lo Sat tidak keder walaupun dikepung kedua cabang atas dari Boetong s
an itu, ia tetap perlihatkan
kegesitan tubuhnya, ia berloncatan sekitar kedua lawan itu sambil kadang-k
adang menggertak dengan pelbagai serangannya. Maka itu, meski Boetong Ngoloo ada
berdua, mereka cuma dapat melayani dengan setanding.
Lie Thian Yang dan Liong Siauw In yang sedari tadi menonton saja, menjadi
sangat heran.
"Ah, benar-benar ilmu silat pedangnya nona ini sungguh liehay!" kata Siauw
In.
"Memang hebat," sahut Thian Yang.
Pek Sek dengar pembicaraan itu, wajahnya menjadi muram. Ia merasa jengah.
"It Hang, tak perlu aku dipapah pula!" serunya. "Pergilah kau bantui kedua
soesiokmu itu! Kali ini, kalau siluman perempuan itu dibiarkan lolos, amblaslah
nama harumnya kaum Boetong pay!"
It Hang juga sama menduga bahwa Giok Lo Sat datang untuk mengejar Pek Sek,
maka ia anggap perbuatan si nona sangat keterlaluan, akan tetapi di samping itu
ia beranggapan, mungkin si nona hendak susul ia tapi telah disambut dengan sera
ngannya Ang In, maka terjadilah pertarungan terpaksa. Karena ini, ia menjadi bin
gung, hatinya tak tenteram.
"It Hang, kau masih diam saja?" tegur Pek Sek. "Siluman perempuan ini adal
ah musuh kita, kau jangan pikir-pikir lagi kepada aturan kaum kangouw!"
Liong Siauw In tidak puas mendengar perkataannya jago Boetong pay itu. Sam
bil bersenyum ia berkata seorang diri: "Nona ini sanggup melayani dua dari Boeto
ng Ngoloo, dalam ilmu silat, ia adalah jago nomor satu dari jaman ini, sayang ka
lau ia dibinasakan..."
It Hang yang mendengar itu menjadi semakin ragu-ragu, hingga masih ia berd
iri menjublek bagaikan patung saja.
"Kau tidak hendak maju?" Pek Sek menegur pula dalam kemurkaannya yang heba
t.
Sampai di situ, dengan terpaksa It Hang hunus pedangnya.
Giok Lo Sat sedang permainkan Ang In dan Tjeng Soo apabila ia tampak majun
ya si anak muda. Ia tertawa.
"It Hang, kau juga hendak maju?" tanyanya. "Ah, hari ini benar-benar aku b
akal menghadapi semua jago Boetong!"
Dan ia lantas tertawa besar.
It Hang yang baru maju mendekati dua tindak, merandek pula. Ia malu akan b
ertiga mengepung nona itu, apapula ia kenal baik orang yang akan dikepungnya itu
.
"Mari! Mari maju!" Giok Lo Sat menantang sambil terus melayani kedua lawan
yang ia coba desak. Ia tertawa pula.
Belum lagi It Hang mengambil sikap, tiba-tiba terdengar seruan:
"Lian Liehiap. tahan!" demikian seruan itu, yang orang kenali sebagai teri
akannya Gak Beng Kie. "Tahan! Tahan!"
Semua orang menoleh, maka tampaklah pemuda she Gak itu berlari-lari mendat
angi bersama satu pendeta tua.
Menggunai saat orang belum sampai, Giok Lo Sat mendesak dengan serangannya
"Soatkian tjhongsan" atau "Salju menggulung gunung", dengan begitu ia paksa ked
ua lawannya, Ang In dan Tjeng Soo, mundur dua tiga tindak.
"Gak Beng Kie, kau mengundang bala bantuan?" tertawa si nona. "Bagus! Mari
lah kita bertarung sampai puas!"
Justeru itu Beng Kie dan si pendeta telah sampai, si nona papaki mereka de
ngan serangan "Hoenhoa hoetlioe" atau "Memecah bunga, mengebut cabang yanglioe".
Dengan begitu, ke kiri ia menikam Beng Kie, ke kanan ia menusuk si pendeta tua.
Ia kerahkan tenaga sepenuhnya. Tapi begitu ia serang si pendeta, begitu juga ia
rasakan tolakan yang keras sekali yang dibarengi pujian. "Omietoohoed!" Dengan
sendirinya, tangannya yang menyekal pedang itu tertolak mundur sampai ke dadanya
. Ia sangat terperanjat.
Si pendeta sambil tertawa, terus berkata: "Omietoohoed! Gunung yang suci i
ni tidak senang mendengar beradunya senjata-senjata, maka itu, liepousat, sudila
h kau simpan pedangmu."
Giok Lo Sat awasi pendeta itu.
"Kau siapa?" tanyanya. Diam-diam ia kerahkan tenaganya untuk mencoba, lagi
satu kali. Tapi belum sempat ia wujudkan niatnya itu, ia segera dengar satu ter
iakan keras dan panjang, yang segera muncul orangnya juga, ialah Tiat Hoei Liong
.
"Anak Lian, jangan tak tahu adat!" demikian suaranya ayah angkat itu, yang
sampai dengan segera.
Giok Lo Sat tercengang, ia urungkan serangannya.
Pendeta itu menoleh pada Hoei Liong dan manggut.
"Tiat Kiesoe, sejak perpisahan kita, adakah kau banyak baik?" tanyanya.
Hoei Liong cepat-cepat membalas hormat.
"Keng Beng Siansoe, harap maafkan anakku ini," ia mohon.
Mendengar perkataan ayah angkat itu, tahulah Giok Lo Sat bahwa pendeta di
hadapannya ini adalah ketua dari Siauwlim pay atau pendeta kepala dari Siauwlim
sie, yang namanya dapat merendengi Tj ie Yang Tootiang dari Boetong pay.
"Kalau begitu, pendeta ini bukan namanya saja yang kesohor," pikir nona in
i kemudian. "Dia benar jauh lebih gagah daripada Boetong Ngoloo."
Keng Beng Siansoe berkata pula pada Hoei Liong: "Sesudahnya Tjie Yang Toot
iang dan Thian Touw Kiesoe, baru sekarang pintjeng dapat lihat pula ilmu silat y
ang cemerlang. Inilah yang dinamakan jodoh. Tiat Kiesoe, pintjeng undang kau ber
sama puterimu datang ke kuilku yang kecil untuk kita pasang omong. Sudikah kau?"
Diam-diam si Raksasi Kumala girang karena pendeta ini memuji-muji padanya.
Sementara itu Tiat Hoei Liong lihat Beng Kie, ia perdengarkan suara "Hm!"
Ia menjadi tidak senang kalau ia ingat bahwa dahulu gadisnya kabur karena pemuda
ini.
"Lootjianpwee..." kata Beng Kie dengan hormat.
Hoei Liong perlihatkan wajah muram, ia tidak sahuti Beng Kie, hingga pemud
a she Gak ini menjadi jengah.
Keng Beng Siansoe tidak tahu ada "ganjalan" di antara kedua orang itu, ia
kata pada Tiat Hoei Liong. "Sietjoe muda ini adalah orang kepercayaannya Him Ken
gliakjuga ahli waris satu-satunya dari Thian Touw Kiesoe, ilmu pedangnya dapat d
irendengi dengan puterimu."
Mendengar itu, Giok Lo Sat tertawa dan campur bicara:
"Memang ilmu pedangnya tak dapat dicela, tapi tidak demikian dengan perila
kunya..."
Keng Beng Siansoe heran, sedang Beng Kie menjadi merah mukanya. Menampak d
emikian, tahulah pendeta ini apa artinya kata-kata si nona. Lantas ia tertawa.
"Him Kengliak ada di dalam kuilku," katanya dengan simpangkan pembicaraan.
"Tadi Kengliak ada sebut-sebut juga tentang kau ayah dan anak..."
"Bagus!" kata si nona. "Aku memang hendak kembalikan sarung tangannya!"
Lantas ia tarik tangan ayahnya, iapun ajak si pendeta berlalu.
Memang benar katanya Keng Beng Siansoe hal Him Kengliak berada di kuilnya.
Di sana Kengliak itu mampir bersama Beng Kie. Hanya, belum mereka duduk lama, B
eng Kie lantas dengar suara senjata beradu. Ia menduga pada aksinya Giok Lo Sat,
maka itu ia ajak si pendeta pergi untuk melihat, ia sendiri mendahului berseru.
Dan dengan mempertunjukkan kekosenannya, Keng Beng Siansoe dapat memisahkan per
tempuran.
Keng Beng tidak lantas undurkan diri, lebih dahulu ia beri hormat pada Pek
Sek Toodjin, Ang In dan Tjeng Soo bertiga, yang ia sekalian undang ke kuilnya.
Tentu sekali Pek Sek tidak sudi terima undangan itu, ia menolaknya dengan
manis. Katanya "Ada urusan penting untuk mana pintoo ingin ketemui adik perempua
nku."
"Jikalau begitu, sebentar aku minta sukalah tootiang datang bersama-sama T
joe Hoei Soethay," kata Keng Beng Siansoe yang manis budi.
Kedua pihak lalu berpisahan.
Pek Sek Toodjin bersama rombongannya terus mendaki Thaysit san.
Keng Beng Siansoe balik ke kuilnya dengan ajak tamu-tamunya masuk ke ruang
Kayheng Tjengsia, di situ Tjoen Seng Siansoe sedang duduk menemani Him Kengliak
.
Giok Lo Sat segera menghampiri bekas panglima itu untuk mengembalikan saru
ng tangan mustika.
Him Teng Pek tertawa.
"Nona Lian, kau telah lakukan perjalanan seribu lie untuk menyusul aku unt
uk hanya mengembalikan benda tak berharga ini, sungguh kau seorang yang telah me
nelad contoh orang dahulu!" kata dia.
"Benda tak berharga? Ini justeYu benda mustika!" berkata si nona. "Adalah
dengan mengandalkan sarung tangan aku dapat mengalahkan Anghoa Koeibo. Dengan me
ngandalkan kepandaianku sendiri, aku bukanlah tandingannya siluman wanita tua it
u!"
Giok Lo Sat bicara demikian polos, hingga Him Teng Pek tertawa bergelak-ge
lak.
"Lian Liehiap," kata bekas panglima ini, "apabila benar kau hendak menghat
urkan terima kasih, jangan kau mengucapkannya itu terhadap aku, seharusnya terha
dap dia..."
Dan ia sambuti sarung tangan itu untuk terus diserahkan kepada Beng Kie.
Inilah di luar dugaan si Raksasi Kumala, hingga ia diam dengan bengong.
"Inilah urusan kecil yang tiada artinya," kata Beng Kie dengan tenang. "Bu
di besar tak ingin dibalas, tapi kebaikan dan penasaran harus dibedakan, demikia
n kebiasaan kaum kangouw," mengatakan Tiat Hoei Liong. "Anakku Lian, urusan tela
h selesai, mari kita berangkat!" Tjoen Seng Siansoe heran. "Tiat Kiesoe," katany
a, "kau baru sampai, bagaimana kau hendak lantas berangkat pula?"
"Persahabatan sejati tetap tinggal di hati kenapa mesti dinyatakan dengan
omong sebentar atau omong lama?" sahut Hoei Liong, yang telah rangkap kedua tang
annya untuk memberi hormat pada Keng Beng Siansoe semua, sesudah mana, ia berlal
u bersama anak pungutnya. Him Teng Pek susul si nona. "Nona Lian, tunggu sebenta
r!" memanggil bekas kengliak ini. "Aku hendak bicara sedikit kepadamu." Giok Lo
Sat berpaling. "Silakan," sahutnya. "Angkatan perang pemerintah akan sampai di S
iamsay lagi beberapa hari," berkata Teng Pek. "maka itu, andaikata nona tak sudi
terima tjiauwan, baiklah kau tak usah pulang."
Lian Nie Siang tertawa.
"Kengliak Taydjin, bagaimana kau pimpin tentara dahulu?" dia tanya.
Him Teng Pek ketahui maksud orang.
"Suasana berlainan, hal itu tak dapat disamakan," jawabnya sambil tertawa.
Si nona masih berkata: "Satu kepala perang tidak nanti mendahului tentaran
ya mengangkat kaki karena hanya menghadapi kesulitan, hingga tak dapat dia mende
rita bersama-sama tentaranya itu! Dahulu kau pimpin satu angkatan perang dari se
ratus laksa jiwa, akan tetapi yang aku kepalai adalah cuma beberapa ratus berand
al wanita yang kau tidak pandang sebelah mata! Keadaan memang berlainan, akan te
tapi semua itu di mataku sama saja." Mendengar itu, Teng Pek menghela napas. Tah
ulah ia bahwa tak dapat ia menasihati nona ini untuk tinggalkan penghidupan yang
penuh bahaya dalam kalangan Rimba Hijau, maka tak ingin ia membujuk lebih jauh.
Seberlalunya ayah dan anak itu, Keng Beng Siansoe pandang Beng Kie.
"Turut lagu bicaranya orang tua she Tiat itu, dia tak puas terhadap dirimu
, apakah sebabnya itu?" tanya pendeta ini.
Beng Kie tidak berani mendusta, terpaksa ia tuturkan lelakonnya yang menge
nai urusan jodohnya Tiat San Ho.
"Kalau memang tak diniat-niat, nanti juga urusan akan beres sendirinya," b
erkata pendeta itu.
"Kenapa kau tidak siang-siang beritahukan hal itu padaku?" tanya Teng Pek.
"Jikalau aku yang bicarakan kepada orang tua itu, mungkin dia memaafkan, setela
h itu bolehlah aku yang nanti mengamprokkan jodohmu berdua..."
Beng Kie tidak menjawab, ia masgul sekali.
Selagi di kuil Siauwlim sie terjadi pertemuan seperti di atas. Pek Sek Too
djin bersama Lie Thian Yang beramai sudah jalan memutari gunung Selatan untuk me
ndaki puncak gunung Thaysit san di mana mereka sampai justeru Ho Lok Hoa, gadisn
ya imam itu, sedang bermain seorang diri di atas puncak. Ketika si nona lihat ay
ahnya datang ia tertawa dan memanggil-manggil.
"Lekas ajak bibimu keluar!" Bek Sek menyuruh.
Lie Than Yang dengan hati tidak tenteram, berjalan paling belakang sekali,
tidak lama kemudian muncul Tjoe Hoei Soethay. Lie Sien Sie lari kepada ibunya
"Mama!" dia memanggil. Pendeta wanita- itu girang sekali hingga air matany
a meleleh keluar.
"Anakku!" katanya. Tapi ia masih ingat akan segera haturkan terima kasih p
ada Liong Siauw In.
Lie Thian Yang mengawasi dengan diam saja la terharu bukan main akan menya
ksikan pertemuan di antara ibu dan anak itu. Ia lebih terharu lagi ketika memand
ang isterinya yang telah menjadi niekouw itu. , Tjoe Hoei tidak tanya suaminya i
tu, ia lebih repoti undangannya kepada Ang In beramai untuk masuk ke dalam kuil,
ia jalan sambil menuntun tangan anaknya
Sesudah tiba di dalam kuil, baru Sien Sie melihat ke sekitarnya.
"Ah! Mana ayah?" tanyanya.
Siauw In pun segera berpaling. Benar-benar ia tidak tampak Thian Yang, yan
g rupanya diam-diam telah berlalu pergi.
"Buat apa ayah semacam itu!" berkata Tjoe Hoei. "Bagaimana dan di mana kau
ketemu dia?"
Air matanya Sien Sie berlinang-linang.
"Ibu, kini ayah telah insyaf akan kekeliruan-kekeliruannya yang lampau, ja
ngan ibu tolak padanya."
Anak ini lantas tuturkan lelakon pertemuannya dengan ayahnya itu, belum ia
menutur habis, ibunya pun telah berlinangkan air mata.
Thian Yang menyingkir dengan tindakan perlahan, rupanya ia niat berlalu da
ri gunung, belum sampai ia di tengah gunung, sekonyong-konyong ia dengar panggil
an: "Thian Yang!" Ia terkejut, lalu ia berpaling dengan perlahan. Segera ia tamp
ak isterinya berlari-lari ke arahnya dengan kedua belah pipinya bermandikan air
mata.
"Tjoe Hoei Soethay, aku beri selamat kepada kau ibu dan anak, yang telah b
ertemu kembali satu sama lain," kata dia dengan sabar. "Aku sendiri tidak ada mu
ka untuk berdiam lebih lama pula di sini. Semoga kau baik-baik pelihara dirimu d
an merawat si Sien."
Tjoe Hoei seka air matanya Tiba-tiba ia tertawa.
"Pada dua puluh tahun yang lalu kau tega meninggalkan kami," katanya "apak
ah sekarang kau pun tega meninggalkan kami pula?"
"Kejadian yang lampau itu membuat aku sangat malu," kata Thian Yang yang a
kui kekeliruannya "Baiklah kau anggap saja bahwa aku telah meninggal dunia..."
Isteri itu mengawasi suaminya "Macam-macam yang telah lampau adalah sepert
i yang telah mati kemarin, dan macam-macam yang sekarang adalah seperti yang ter
lahir hari ini," kata Tjoe Hoei dengan perlahan.
Inilah kata-katanya Lie Thian Yang sendiri ketika ia kenali puteranya. Mak
a, mendengar ucapan isteri itu, mengertilah ia bahwa Sien Sie tentu telah menutu
rkan segalanya kepada ibunya itu.
Thian Yang balik mengawasi isterinya itu.
Tjoe Hoei bersenyum. "Dan mulai hari ini, aku tidak lagi dipanggil Tjoe Ho
ei," ia tambahkan. "Kie Hee," kata Thian Yang, dengan befnapsu, "apakah kau hend
ak kembali kepada penghidupan yang umum pula?"
Jawab pendeta wanita itu: "Karena kau tidak sudi pangku pangkat lagi, akup
un tak ingin terus menjadi niekouw. Tidakkah ini bagus?"
Air mata di kedua pipinya nyonya itu telah menjadi kering sendirinya, caha
ya matanyapun j adi bersinar.
Thian Yang girang bukan kepalang. Adalah di luar dugaannya bahwa isterinya
ini dengan cepat dapat mengubah hatinya. Hingga sekarang mereka bagaikan kaca p
ecah yang menjadi utuh pula
Maka dengan berpegangan tangan, keduanya lantas mendaki gunung akan kembal
i ke kuil.
Pek Sek Toodjin beramai bergelisah menampak Tjoe Hoei tiba-tiba berlalu, u
ntuk cari suaminya, maka ketika melihat orang kembali dengan telah akur kembali,
mereka berlega hati bahkan menjadi sangat girang. Mereka semua lantas menghatur
kan selamat.
Selagi orang tertawa riuh, Pek Sek Toodjin tampak Gok Hoa berdiri berenden
g dengan Lie Sien Sie, nampaknya pemuda dan pemudi itu erat sekali perhubunganny
a satu dengan lain.
"Engko, aku juga hendak memberi selamat kepadamu!" tiba-tiba Kie Hee kata
pada kakaknya itu. Pek Sek heran.
"Beri selamat untuk soal apa?" tanyanya.
"Mari masuk ke dalam," Kie Hee meminta. "Aku hendak bicara dengan kau."
Pek Sek berdiam dan mengawasi adiknya itu. Tapi kemudian ia turut adiknya
masuk ke dalam.
"Engko, bagaimana penglihatanmu atas diri Sien Sie?" adik itu tanya.
"Dalam hal ilmu silat dan perilakunya, dia tiada kecela," sahut kakak itu.
"Setelah pelbagai pengalaman," kata Kie Hee, "sekarang tahulah aku bahwa u
rusan pernikahan tak dapat dipaksakan. Gok Hoa dan Sien Sie hidup bersama sedari
masih kecil, kelihatannya mereka rukun sekali satu pada lain, maka engko, bagai
mana pikiranmu andaikata persanakan kita ditambah persanakan pula?"
Pek Sek Toodj in berdiam. Ia tidak dapat lantas berikan jawabannya. Ia sud
ah lakukan perjalanan ribuan lie .mengikuti To It Hang, ia dapat kenyataan pemud
a itu bukanlah pasangan puterinya. lapun telah saksikan sendiri kisah percintaan
dari adiknya ini. Maka ia jengah ketika mendengar perkataan Kie Hee bahwa "urus
an pernikahan tak dapat dipaksakan", la sampai merasakan mukanya panas sendiriny
a.
"Katakanlah terus terang engko," Kie Hee mendesak. Ia tak tahu apa yang di
pikirkan kakak itu. "Apakah kau cela Sien Sie tak sembabat untuk menjadi pasanga
nnya Gok Hoa?"
Pek Sek tertawa, dengan terpaksa.
"Jangan mengatakan demikian, adikku," sahutnya. "Asal keduanya setuju satu
sama lain, kita yang menjadi orang tua tak usah pusingkan kepala lagi."
Kie Hee bersenyum. Ia lantas panggil Sien Sie dan Gok Hoa. Kepada mereka K
ie Hee beritahu tentang perjodohan mereka.
"Engkoe..." memanggil Sien Sie kepada pamannya, dengan selagu-lagunya
"Anak tolol!" Kie Hee tegur puteranya, "sampaipun membahasakan mertua kau
tak tahu!..."
Sien Sie likat tapi ia lantas memanggil "gakhoe" pada bakal mertuanya itu
dan terus paykoei memberi hormat sambil berlutut dan manggut.
Gok Hoa bersenyum, ia nampaknya sangat girang.
Menampak demikian, walaupun hatinya tidak cocok, Pek Sek Toodj in pun bers
enyum, ia terima usulnya Kie Hee itu. Tapi ia lantas kata pada keponakan atau ba
kal baba mantunya itu: "Sien, ilmu silatmu masih jauh daripada sempurna, kau mas
ih harus berlatih pula dengan sungguh-sungguh. Baiklah kau turut aku ke Boetong
san, di sana aku nanti mohonkan Soeheng Oey Yap Toodjin terima kau sebagai murid
nya. Selama sepuluh tahun ini, bukankah kau baru meyakinkan ilmu pedang Ngobie p
ay? Ilmu pedang dari Liong Siauw ln cukup baik, hanya..."
Imam ini tidak meneruskannya, ia menggeleng kepala.
Kie Hee tidak puas.
"Kau maksudkan ilmu pedang Ngobie pay tak dapat menandingi ilmu pedang kau
m Boetong pay?"
"Aku bukan maksudkan demikian, aku hanya ingin si Sien peroleh kemajuan,"
jawabnya engko itu yang menyimpang.
"Jikalau tidak ada Liong Siauw In, yang mengajarkannya, bagaimana dia dapa
t jadi seperti sekarang?" kata pula Kie Hee, yang menyatakan tak puasnya terhada
p sikap kakaknya itu.
Justeru itu dari luar, terdengar suara memanggil:
"Sien Sie! Sien Sie!"
Itulah suaranya Liong Siauw In.
Mendengar panggilan itu, Sien Sie lantas kata pada bakal mertuanya: "Terim
a kasih atas kebaikan hati gakhoe. Tapi untuk belajar silat lebih jauh dengan me
nukar guru dan kaum, perlu aku memberitahukan lebih dahulu kepada guruku."
Lantas pemuda ini pergi menghampiri gurunya, kemudian dia kembali bersama
guru itu.
Sien Sie segera beritahukan gurunya tentang usulnya Pek Sek Toodjin, mende
ngar mana, Siauw In dengan segala senang hati berikan perkenannya
Semua orang girang mendengar perjodohan itu mereka beri selamat pada Kie H
ee dan Pek Sek, terutama kepada sepasang calon pengantin itu.
It Hang pun tidak terkecuali, ia jabat tangannya Sien Sie sambil mendoakan
kebahagiaan. Ia nampaknya j adi bebas sekali, hingga baik terhadap Pek Sek Tood
jin maupun terhadap Kie Hee, ia bisa bicara dengan leluasa, tak likat-likat lagi
.
Di dalam hatinya Sien Sie kata: "Kiranya It Hang seorang yang baik, nyata
aku telah menganggap keliru kepadanya"
Melainkan Pek Sek Toodjin, walaupun jodoh puterinya sudah ada ketetapannya
, hatinya masih belum senang benar, karena ia tidak dapat capai maksud hatinya s
emula.
Di hari kedua, perjalanan dilanjutkan pula, menuju ke selatan. Kedua rombo
ngan masih tetap jalan bersama. Setengah bulan kemudian, sesampainya di wilayah
Ouwpak, baru mereka berpisah rombongan. Yakni Him Teng Pek bersama Gak Beng Kie
dan Ong Tjan pulang ke kampung halamannya di Kanghee, Liong Siauw In kembali ke
Ngobie san, dan rombongan Pek Sek Toodjin pulang ke Boetong san.
Begitu lekas melihat It Hang, Oey Yap Toodjin lalu timbulkan soal ahli war
is Boetong pay untuk It Hang segera menerimanya sebagai ketua.
"Sekarang ini teetjoe masih berkabung, teetjoe ingin pulang dahulu ke kamp
ung halamanku untuk mengurus pemakaman jenazah engkongku," berkata It Hang. "Nan
ti, sesudah tiga tahun teetjoe suka mengenakan kopiah kuning pulang ke gunung un
tuk menerima segala titah soesiok."
"Kau menjadi tjiangboendjin, tak usah menjadi imam!" berkata Oey Yap Toodj
in sambil tertawa. "Dalam keluargamu selama tiga turunan, kau adalah turunan yan
g tunggal, maka itu tak dapat kau menjadi imam seperti kami."
"Teetjoe telah menginsyafi penghidupan dalam dunia, hatiku telah jadi tawa
r," menyatakan It Hang.
Oey Yap Toodjin bersenyum, ia melirik kepada Pek Sek Toodjin.
Wajahnya Pek Sek menjadi kemerah-merahan. Ia kata kepada si anak muda: "Tu
nggu sampai kau nanti menikah dan peroleh anak untuk menjadi imam temponya belum
terlambat. Kami pandang kau sebagai putera sendiri, pasti kami akan carikan kau
satu nona yang sempurna. Giok Lo Sat itu perempuan liar, sukar dididiknya, dia
juga menjadi musuh umum dari kita pihak Boetong pay. Janganlah kau bergaul denga
n dia!"
Oey Yap belum diberitahu halnya Gok Hoa telah ditunangkan kepada lain oran
g, mendengar soetee-nya ini, ia melengak. Adalah kemudian, setelah tiba sang sor
e, ketika Pek Sek Toodjin omong hal Sien Sie yang dia minta soeheng ini suka ter
ima sebagai murid, baru ia ketahui itu.
It Hang berdiam setengah bulan di Boetong san, sehabisnya bersembahyang di
kuburan gurunya, baru ia turun gunung pulang ke kampungnya.
Sebenarnya Oey Yap Toodjin ingin minta Pek Sek mengiringi bakal ketua ini,
akan tetapi It Hang sendiri menolaknya dengan getas. Di lain pihak, Pek Sek tid
ak lagi menyayangi keponakan murid ini sebagai dulu-dulu, mendengar penolakannya
pemuda ini, iapun tidak kata apa-apa.
Ketika itu pasukan perang kerajaan Beng, yang berada di bawah pimpinan Pen
gko Kiesoe tiong Lauw Yan Goan sebagai kepala perang, sedang asyiknya menumpas k
awanan berandal di wilayah Siamsay. Maka itu dalam perjalanan It Hang sering-ser
ing mendapat pemeriksaan keras. Syukur baginya, baik ayah maupun engkongnya pern
ah memangku pangkat tinggi, dan Panglima Lauw Yan Goan itu pernah menjadi orang
scbawahan engkongnya, maka setelah ia berikan keterangan, ia dapat lewat dengan
leluasa. Tapi kemudian, untuk menyingkirkan kepusingan, ia sengaja berangkat den
gan ikuti tentara negeri itu.
Selang beberapa hari, tibalah It Hang di gunung Tengkoen san di Tjoantong,
Soetjoan Timur. Itulah gunung di mana Giok Lo Sat telah dirikan pesanggrahannya
. Sekarang ia tampak pesanggrahan itu sudah runtuh dibakar menjadi abu, masih ad
a sisa asapnya yang mengepul keluar. Tentu saja ia kaget menampak musnahnya gunu
ng itu.
"Inilah pertempuran dalam mana kita tak turut ambil bagian," berkata satu
punggawa, yang ditanyakan It Hang. "Kabarnya pertempuran di sini sangathebat dan
tercampurjuga kisah asmara di dalamnya..."
"Bagaimana duduknya hal?" It Hang menanya pula.
"Menurut cerita, gunung ini diduduki oleh pasukan berandal wanita seluruhn
ya," menerangkan punggawa itu. "Katanya semua berandal cantik elok, akan tetapi
di waktu bertempur, mereka sangat gagah dan galak sekali. Jumlah mereka cuma beb
erapa ratus jiwa, jumlah tentara ada tiga ribu serdadu berkuda, tetapi untuk mem
ecahkan gunung ini, telah menggunai tempo mengurung dan menyerang sampai setenga
h bulan lamanya. Separuh dari jumlah tentara kita telah roboh sebagai korban, da
n beberapa berandal wanita dapat meloloskan diri. Ada belasan berandal wanita it
u yang tertawan, mereka lantas dirampas oleh perwira-perwira atasan. Tiga perwir
a ingin lantas menikah, tetapi pada malam harinya mereka dibunuh mati oleh nona-
nona berandal itu. Hal ini membikin keder perwira-perwira lainnya. Baru setelah
kejadian itu, semua berandal itu lantas dihukum mati. Syukur pasukan yang akan t
urut tidak menyertai dalam serbuan itu, kalau tidak, mungkin akupun turut menjad
i hantu asmara... "
Lalu punggawa yang bercerita ini tertawa.
It Hang berubah wajahnya.
"Bagaimana dengan Giok Lo Sal si kepala berandal itu?" dia tanya.
"Giok Lo Sat?" mengulangkan punggawa itu. "Kau kenal Giok Lo Sat?"
"Pernah aku dengar dari pembicaraannya kaum Rimba Persilatan."
Punggawa itu berdiam, lalu ia tertawa.
"Ya, aku lupa, bahwa kau murid terpandai dari Boetong pay!" katanya. "Mema
ng tidak aneh kalau ada sahabat-sahabat kaum Rimha Persilatan yang bicara padamu
tentang Giok Lo Sat itu. Dia sangat kesohor, kabarnya dia galak tiada bandingan
, dia adalah ratu iblis tukang sembelih manusia dengan mata tak berkesip. Tapi s
yukur, waktu gunung diserang, GiokLo Sat kebetulan tidak ada di tempat, kalau ti
dak, mungkin sulit untuk peroleh kemenangan."
Lega juga hatinya It Hang.
Pasukan itu menuju ke Yanan, inilah kebetulan, sebab kampung halamannya Ke
luarga To adalah dalam daerah kota itu, maka It Hang diantar sampai di rumahnya
sendiri.
Oleh karena duduknya perkara sudah jelas, rumah keluarga To tidak disegel
terus, semua pegawainya sudah pada kembali. Mereka girang melihat majikannya yan
g muda ini pulang dengan tidak kurang suatu apa.
It Hang dapat berdiam dengan tenteram di rumahnya, ia berlatih terus ilmu
silat dan ilmu suratnya.
Sekarang marilah kita tengok Giok Lo Sat, yang berangkat bersama-sama ayah
angkatnya, Tiat Hoei Liong, luga mereka ini tidak dapat terus berada bersama. G
iok Lo Sat tahu, bahwa pasukan negara telah diberangkatkan ke propinsi Siamsay,
ia ingin segera kembali ke gunungnya untuk tengok barisannya, yang telah lama ia
tinggalkan. Tiat Hoei Liong sebaliknya ingin cari San Ho, puterinya. Karena tuj
uan yang berlainan inilah mereka terpaksa berpisahan.
Ketika si Raksasi Kumala sampai di Tengkoen san, di gunungnya itu, ia tela
h terlambat tiga hari. Pada tiga hari sebelumnya ia tiba, tentara negeri telah m
enghancur leburkan gunungnya itu, sisa laskarnya banyak yang lolos, tentara nege
ri pun telah maju lebih jauh ke lain arah. Bukan main menyesal dan murkanya nona
kita. Pasukannya adalah pasukan yang terlatih, yang ia sayangi. Ia menyangka pa
sukannya itu telah termusnah semua Maka ia hunus pedangnya dan membacok batu, ia
angkat sumpah akan menuntut balas untuk anak buahnya itu!
Lalu, dengan menyamar sebagai satu pemuda, Giok Lo Sat menuju ke Siamsay U
tara. Ia niat bergabung dengan Ong Kee In untuk bersama-sama beri hajaran pada t
entara negeri.
Di sepanjang jalan ini, ada saja tentara negeri, tetapi Giok Lo Sat yang t
idak hendak memusingkan diri senantiasa menyingkir dari mereka itu. Ia berangkat
cepat siang dan malam. Tidak sampai empat hari, ia sudah sampai di Kongkoan dar
i mana untuk menuju ke Yanan, perjalanan tinggal lagi satu hari. Maka dengan lek
as ia akan dapat lewati kota Yanan itu, dan dengan terus berjalan dengan cepat,
tidak sampai tiga hari lagi tibalah ia di Bietjie, pusat kawanan berandal dari S
iamsay Utara.
Begitulah, walaupun sudah magrib, Giok Lo Sat telah lanjutkan perjalananny
a. Di tengah jalan ia berpapasan dengan beberapa penunggang kuda, yang telah lar
ikan binatang tunggangannya keras sekali.
Selagi penunggang-penunggang kuda datang semakin dekat, Giok Lo Sat telah
pasang matanya dengan tajam, ia merasa seperti mengenali salah seorang di antara
mereka itu. Tapi, selagi berpapasan, ia lewat dengan cepat sekali sehingga meng
ejutkan mereka itu. Seorang di antaranya menyabet dengan cambuknya
Bahna gesitnya nona kita lolos dari cambukan itu.
"Ai!" orang itu berseru. "Dia manusia atau hantu?"
Di waktu magrib seperti itu, sulit untuk orang dapat melihat tegas.
Salah seorang lain tertawa dingin.
"Di Siamsay Utara ini ada banyak orang berilmu, sayang kita telah kasih di
a lewat..." kata seorang lainnya lagi.
Giok Lo Sat sementara itu, dalam sepintas lalu telah dapat lihat nyata waj
ahnya beberapa orang itu. Jumlah mereka berenam, yang tiga bertubuh tegap dan ke
kar, hidung bengkung dan mulutnya lebar, mereka tidak mirip dengan orang-orang H
an (Tionghoa asli). Dan yang tiga lainnya yang satu muda dan cakap ganteng, dua
lainnya dandanannya seperti pembesar militer. Adalah satu dari dua perwira ini y
ang menyambuk Giok Lo Sat. Dilihat dari gerakan tangannya, dia mestinya bukan or
ang sembarang.
Yang paling menarik perhatiannya Giok Lo Sat adalah pemuda yang berjalan p
aling belakang itu, yang wajahnya mirip dengan Tiat San Ho dalam penyamaran.
"Heran, kenapa dia berada sama mereka itu?" nona kita berpikir. "Ayah seda
ng cari padanya, ayah tentu bingung sekali, aku tak sangka di sini aku dapat ket
emukan padanya. Malam ini aku harus tunda dahulu perjalanan, aku hendak kuntit n
ona ini untuk ketahui, ke mana dia hendak pergi dan apa maksudnya..."
Rombongan itu ternyata menuju ke kantor tiekoan kota Kongkoan dan masuk ke
dalamnya. Giok Lo Sat lantas cari rumah penginapan untuk beristirahat. Kira-kir
a jam tiga dengan diam-diam ia keluar dari kamarnya menuju ke kantor tiekoan tad
i Dengan berani ia menyelundup masuk ke pekarangan dalam. Ia tidak takut pada or
ang ronda, malah ia totok tubuh seorang jaga malam, untuk korek keterangan dari
mulutnya enam orang tadi.
Orang ronda itu tidak dapat memberi jawaban, dia bukannya opas.
"Apakah kau tahu di mana kamarnya camat?" Giok Lo Sat tanya.
Mengenai kamarnya camat (tiekoan), orang ronda itu ketahui, maka ia berika
n keterangannya
"Maaf, kau tunggulah sebentar..." kata nona ini, yang terus merobek bajuny
a peronda itu, untuk dipakai menyumbat mulutnya, lalu orangnya dicancang di suat
u pojok pada sebuah singa-singaan batu. Kemudian, sebagai juga wakilnya peronda
itu, ia jemput kentongan untuk dipalu beberapa kali, kemudian ia bertindak menur
ut arah yang ditunjuk peronda itu.
Dari dalam kamar masih terlihat cahaya api yang menandakan bahwa tiekoan m
asih belum tidur. Maka Giok Lo Sat lantas menghampiri jendela di mana ia mendeka
m memasang kuping.
"Beberapa tetamu itu harus dilayani baik-baik," demikian terdengar satu su
ara-terang
suaranya tiekoan. "Baik kau suruh budak antarkan yanoh yang telah dimasak
matang itu."
"Yanoh memang sudah tersedia," sahut satu suara wanita, mungkin nyonya tie
koan. "Hanya dipesannya supaya dua mangkok di antaranya jangan diganggu..."
"Ah!..." tiekoan itu bersuara pula. "Baiklah kalau begitu, besok saja sugu
hkan kepada mereka."
"Orang asing itu sebenarnya siapa?" sang nyonya tanya. "Kenapa pemerintah
sampai tugaskan dua pemimpin dari barisan Gielimkoen untuk mengantar mereka?" Ti
ekoan itu tertawa perlahan. "Pemuda asing itu," katanya, "kabarnya adalah putera
nya raja dari satu negara kecil di Barat."
"Pantaslah kedua tongnia Gielimkoen itu kelihatannya sangat menghormati ke
padanya," berkata pula si nyonya.
"Itulah sudah selayaknya," kata tiekoan. "Putera raja itu berkedudukan seb
agai utusan negaranya, apabila ada terjadi sesuatu atas dirinya, bukan hanya si
tongnia pengantarnya yang bakal dihukum tapi juga pembesar-pembesar setempat yan
g wilayahnya telah dilewati."
"Ah, itulah hebat!..." seru si nyonya. "Sekarang jaman sedang kalut, di ma
na-mana ada pemberontak atau berandal, bagaimana apabila terjadi sesuatu dalam d
aerah kita?..."
"Jangan kuatir, hoedjin," menghibur si tiekoan. "Dua tongnia itu adalah or
ang-orang liehay dan di dalam wilayah kita juga ada beberapa ribu serdadu berkud
a, aku percaya orang jahat tidak akan berani sembarang bergerak."
Di mulutnya tiekoan itu mengucap demikian, akan tetapi hatinya sebenarnya
tidak tenteram, sebab tanggung jawabnya ada besar sekali.
"Sekarang sudah jam tiga lewat," kata tiekoan itu kemudian seorang diri, "
maka sebentar lagi, hari akan sudah terang tanah. Asal malam ini lewat dengan se
lamat, besok pagi mereka sudah akan berangkat pergi, tanpa setengah harian merek
a akan sudah lintasi perbatasan kita. Di waktu siang benderang, dan banyak tenta
ra di jalan-jalan, aku percaya mereka bisa lakukan perjalanan dengan tak kurang
suatu apa."
Tiekoan ini asalnya orang peperangan, hatinya tabah juga.
"Supaya hatimu tetap, nanti aku keluar sebentar," kata lagi ia pada isteri
nya, selang sesaat.
Lalu dengan bawa golok, dia keluar dari kamar.
Dengan diam-diam si Raksasi Kumala kuntit camat ini.
Tiekoan dari Kongkoan ini menuju ke ujung barat, di sana ada sebuah loteng
yang di bagian bawahnya dijaga beberapa orang polisi. Mereka itu memberi hormat
melihat sep ini datang meronda.
"Semua pembesar sudah tidur," kata satu orang polisi. "Taydjin jangan kuat
ir."
Sep itu melihat ke sekitarnya. "Baiklah," jawabnya. "Kalian harus berhati-
hati."
Giok Lo Sat yang umpetkan diri di atas sebuah pohon, tertawa di dalam hati
nya. Ia tunggu sampai tiekoan sudah pergi, lantas ia mencari jalan untuk naik ke
loteng. Ia dapat bergerak dengan merdeka karena sinar bulan terhalangkan cabang
-cabang pohon yang daunnya lebat. Untuk sementara ia mendekam di pojokan.
Tidak antara lama terdengarlah tindakan kaki perlahan di tangga loteng. Un
tuk selamatkan diri nona kita mendahului lompat naik ke atas penglari dengan ter
us mendekam, ia kuatir orang dapat lihat padanya.
Orang yang baru datang itu mengetok pintu sebuah kamar di sebelah timur, d
ia mengetok tiga kali, atas mana di dalam terlihat sinar api yang baru dinyalaka
n.
Dari terangnya sinar api itu. Giok Lo Sat segera kenali orang yang datang
ini, ialah In Yan Peng dengan siapa ia pernah bertempur di Yanan.
"Dia adalah pahlawan dari istana, malam-malam dia datang kemari, apa dia m
au?" pikir nona kita. "Mungkinkah pemerintah kuatir kedua tongnia masih belum cu
kup hingga In Yang Peng harus bantu melindunginya?"
Sebegitu lekas pintu dipentang, In Yan Peng segera bertindak masuk, lalu p
intu itu ditutup pula.
Setelah itu dari dalam terdengar suara orang tertawa dan bicara katanya: "
Selamat, In Taydjin! Kau telah ditugaskan memimpin tentara di bagian luar, jauh
lebih bagus daripada berdiam saja di dalam istana!"
Pasti itulah suaranya perwira dari kamar itu.
"Tidakkah kedua-duanya sama' saja?" kata In Yan Peng.
"Biar bagaimana, di luar lebih menyenangkan!" kata siperwira.
Lalu terdengar pula suaranya In Yan Peng, suara tertawa yang seperti menga
ndung rahasia. Giok Lo Sat heran. "Dia telah jadi perwira yang mengendalikan pas
ukan perang, kenapa dia muncul di sini bagaikan pencuri" ia berpikir.
Masih terdengar tertawanya In Yan Peng, lalu dia berkata: "Di depan kita s
ekarang ada sejumlah besar minyak dan air, yang dapat kita sendok, mengenai itu
aku ingin berdamai dengan kalian kedua saudara."
"Begitu? Silakan bicara!" kata kedua perwira di dalam kamar loteng itu.
"Kemarin aku terima surat dari Lauw Taysoe," berkata In Yan Peng. "Surat i
tu mengatakan halnya satu utusan negara asing bakal lewat dalam wilayah kita, ak
u diminta bantu melindungi utusan itu. Aku tidak sangka kalianlah yang ditugaska
n mengantar utusan itu. Inilah kebetulan!"
Segera caranya mereka bicara jadi bertukar sifat. Inilah disebabkan kedua
pembesar yang bernama Ong Teng Hok dan Ong Teng Lok, adalah pahlawan-pahlawan Gi
elimkoen yang dahulu bersahabat kekal dengan In Yan Peng ini.
"Saudara In," berkata Ong Teng Hok kemudian, kami juga tidak menduga bahwa
kau berada di sini bersama pastikan tentaramu. Aku percaya, begitu lekas kita s
udah melalui wilayah ini, kau dapat bergerak dengan merdeka dan dengan kami suda
h tidak ada sangkutannya pula."
"Sebaliknya, dalam hal itu aku hendak minta bantuanmu kedua saudara," kata
In Yan Peng. "Aku mengandalkan sangat tenagamu."
"Apakah In Taydjin main-main?" Teng Lok tanya.
Tapi Teng Hok telah dapat duga maksud orang.
"Minyak dan air itu tak dapat disendok," ia menjelaskan sambil tertawa.
"Sebab apa?" Yan Peng tanya. "Kami adalah petugas yang melindungi orang as
ing itu," Teng Hok terangkan dengan perlahan, "jikalau kami sendiri yang begal d
ia, dosa kami harus ditambah tiga tingkat. Apakah kau tak takut nanti dihukum ma
ti sampai pada sekeluargamu?"
Sambil berkata pahlawan ini kedua tangannya melukiskan bagaimana golok alg
ojo menabas batang leher.
Kata-kata itu diucapkan demikian perlahan, sampai Giok Lo Sat cuma dengar
beberapa perkataan saja, namun sebagai seorang ulung dalam dunia Rimba Hijau, da
pat ia menduga maksud orang. Pangeran asing itu datang berkunjung secara resmi,
pasti raja telah menghadiahkan emas, perak dan mutiara kepadanya, jumlah itu cuk
up besar buat jadi sasarannya kaum Jalan Hitam, tapi tak mungkin ada orang Jalan
Hitam yang berani lancang turun tangan. Siapa tahu In Yan Peng, seorang panglim
a, justeru dia yang mendapat ingatan berani itu!
Dengan sabar si Raksasi Kumala terus pasang kupingnya.
"Aku telah memikir pasti, saudaraku," In Yan Peng kata pula. "Kalian berdu
a boleh tetapkan hatimu, aku tanggung tidak akan ada bahayanya."
"Kami percaya akan pengutaraanmu, taydjin," berkata Ong Teng Hok. Ia telah
dapat menduga maksudnya In Yan Peng, tapi ia masih berpura-pura.
"Sekarang jaman sedang kalut, di mana-mana banyak muncul orang-orang jahat
," menerangkan In Yan Peng, "maka itu, andaikata kita kerjakan orang-orang asing
itu, janganlah kalian kuatir kena kerembet-rembet. Sehabisnya membinasakan mere
ka, akupun nanti lukai juga kalian..."
"Untuk apakah itu?" Teng Lok memotong.
"Manusia tolol!" Teng Hok tertawa. Kenapa kau taidak dapat terka maksudnya
akal itu? Kita nanti biarkan In Taydjin melukai kita, tentu saja di bagian angga
uta tubuh yang tidak berbahaya. Ini sebagai pelabi belaka. Diumpamakan kita dibe
gal, kita melakukan perlawanan, lalu kita terluka, meski benar perlawanan kita g
agal, tapi kita toh terluka, kesalahan kita menjadi enteng, hukumannya paling ju
ga kita bakal dipecat..."
"Kita mempunyai Goei Kongkong sebagai tulang punggung, mungkin sekali dipe
cat pun tidak," In Yan Peng tambahkan. "Hanya saudara, dapatkah kalian terangkan
macam bentuknya barang-barang berharga itu?"
"Jelasnya aku tidak tahu," sahutnya Ong Teng Hok. "Menurut keterangannya G
oei Kongkong, raja cilik girang bukan kepalang menerima kunjungannya seorang pan
geran dari negara lain. Bukankah ia baru saja duduk atas tahta? Maka itu, karena
kegirangannya, tanpa pikir-pikir lagi, secara sembarangan saja ia memberi hadia
h selaku tanda peringatan. Katanya, di antaranya ada sepotong kumala seharga sej
uta lebih. Ketika Goei Kongkong menyebutkannya permata itu, dia sendiri sangat m
engilerkannya..."
"Apakah beberapa anjing asing itu mengerti ilmu silat?" menanyakan In Yan
Peng lebih jauh.
"Dilihat dari sikapnya, mungkin
mereka mengerti juga," sahut Teng Hok,
"Dan tampaknya bukan ahli."
"Adalah si bocah, yang menjemukan," Teng Hok menyelak.
"Bocah siapakah itu?" tanya In Yan Peng.
. "Bocah yang si pangeran ketemukan di tengah jalan," sahut Teng Hok. "Pan
geran itu aneh, dia bertemu bocah yang cakap romannya itu, dia lantas ajak bicar
a dan dijadikan sebagai sahabat kekalnya. Bocah itu bicarakan halnya di Siamsay
ada banyak orang jahatnya, bahwa jalan sangat tidak aman, lalu pangeran itu ajak
si bocah jalan bersama dan dipandangnya sebagai pengawalnya."
"Usianya bocah itu masih muda sekali," Teng Hok tambahkan, "hanya mendenga
r lagu bicaranya serta melihat gerak-geriknya, dia adalah seorang kangouw ulung.
"
Giok Lo Sat tertawa di dalam hati.
"Sejak masih kecil Tiat San Ho telah ikuti ayahnya menjelajah ke selatan d
an utara, sudah tentu dia ada jauh terlebih ulung daripada kalian kawanan burung
tolol!" pikirnya.
"Siapa namanya bocah itu?" In Yan Peng tanya. "Sekarang dia ada di mana?"
"Bocah itu mengaku she Kim nama Ko," sahut Teng Hok. "Dia sekarang ada ber
sama orang-orang itu. Si pangeran dan dua pengiringnya berdiam di kamar timur, b
ocah itu di kamar barat yang kecil."
"Baik!" kata In Yan Peng. "Nanti aku pergi melihatnya, tidak peduli dari g
olongan manapun, bocah itu tidak akan dapat mengelabui aku!"
"Awas, janganlah kau keprak rumput hingga ular kaget," Teng Lok pesan.
"Mustahil perahuku karam di dalam selokan!" adalah jawaban yang jumawa dar
i orang she In ini.
Ong Teng Hok tertawa dengan bermuka-muka.
"In Taydjin sudah kenyang mengembara, ilmu silatnyapun mahir," katanya, "d
an bocah itu, berapalah tingginya ilmu silatnya? Adikku, kau terlalu berkuatir..
."
In Yan Peng bersenyum.
Giok Lo Sat geli di hati, hampir ia tertawa dengan menerbitkan suara.
In Yan Peng lantas kelihatan keluar dari kamar, dengan gunai kegesitannya,
ia lompat naik ke atas payon, untuk naik ke genteng sampai ke wuwungan. Ia sama
sekali tidak menyangka, di belakangnya ada orang yang terus membayangi padanya.
Ia menuju ke arah barat, ke kamar yang kecil. Di sini ia berhentikan langkahnya
dan dari sakunya ia keluarkan serupa benda mirip patuk burung ho, yang terus sa
ja mengeluarkan sinar api mirip dengan api hio.
Sebagai seorang ulung, Giok Lo Sat tahu perbuatan apa yang akan dilakukan
orang itu. Ialah In Yan Peng hendak ukup orang dengan hio obat tidur "Keebeng Ng
okouw Toanhoen hio." Siapa kena sedot asapnya hio itu, ia akan tertidur nyenyak
lupa daratan, (tulah obat tidur yang biasa digunai oleh golongan rendah.
"Kecewa orang ini menjadi perwira yang memimpin pasukan serdadu," pikir si
Raksasi Kumala, yang mencaci di dalam hati. "Kenapa dia bawa lagaknya seorang r
endah dari kalangan Jalan Hitam? Baiklah aku singkirkan padanya..."
Tapi segera juga nona ini ubah niatnya, karena ia kuatir, dengan turun tan
gan di kantor itu akan terbit keonaran, sebagai gantinya pedang yang ia telah hu
nus tadi. sekarang ia siapkan senjata rahasianya yang berupa jarum "Kioeseng Ten
gheng tjiam". Di saat In Yan Peng mendekatkan ujung hio ke celah-celah jendela u
ntuk meniup masuk asapnya ke dalam kamar, ia mementil jarumnya yang segera meles
at.
In Yan Peng cuma rasakan siuran augin halus sekali, api hionya padam seket
ika. Ia terkejut. Lantas ia menoleh ke sekitarnya, kupingnya pun dipasang.
Giok Lo Sat umpetkan diri di sudutnya payon yang tak dapat terlihat, gerak
an badannyapun tidak bersuara. Maka orang she In ini jadi heran, hingga dia diam
terpaku sedetik. Dia j adi penasaran. Kembali dia sulut hionya yang liehay itu.
Di saat dia hendak ceploskan pula ujung hio ke celah jendela, kembali bersiur d
atang angin halus lagi-lagi api hio itu padam!
Jarum yang dilepaskan Giok Lo Sat sangat halus, melesatnyapun sangat pesat
, tidak heran kalau In Yan Peng tak ketahui itu. Setelah mencoba tiga kali dan k
esemuanya telah gagal, barulah si muka merah ini jeri dan tubuhnya sedikit mengg
igil. Lekas-lekas dia turun dari genteng.
Kedua tongnia, Gielimkoen, heran melihat "taydjin" ini kembali secara demi
kian cepat.
"Apakah taydjin sudah dapat tahu bocah itu macam apa?" Teng Hok tanya.
Muka merah dari Yan Peng jadi tambah merah.
"Dia adalah jago dari Jalan Hitam dari Barat utara," sahutnya secara semba
rangan.
"Kamipun menduga dia ada dari Jalan Hitam itu," kata Teng Hok. "Rupanya
dia juga hendak mempunyai harta besar itu."
"Apakah selama di jalan kalian telah ketemui sesuatu yang luar biasa?" In
Yan Peng tanya.
"Sebegitu jauh tidak," jawab Teng Lok. "hanya tadi, selagi mendekati kota,
kami melihat sesuatu yang mencurigakan." Ia lantas tuturkan halnya Giok Lo Sat,
lalu ia tambahkan: "Orang itu sangat enteng tubuhnya, gerakannya cepat bagaikan
angin, sampai mukanya tak dapat dilihat tegas!..."
Yan Peng diam memikir sejenak. "Jikalau demikian, besok harus kita waspada
," ia kata. "Apabila bocah itu benar-benar berlaku tidak tahu diri, aku ada memp
unyai daya untuk menghadapinya. Yong Djieko (engko Yong yang kedua) ada di tangs
iku, nanti aku ajak dia bersama."
Pembicaraan mereka itu Giok Lo Sat dapat mendengarnya nyata. "Bagus, bagus
sekali!" pikirnya. "Besok bolehlah dengan sebatang panah aku memanah sepasang g
aruda! Lebih dahulu kawanan bangsat anjing ini harus dibikin mampus, baru setela
h itu aku rampas barang-barang permatanya! Inilah yang dinamakan ketika baik yan
g dihadiahkan Thian! Aku harus kumpulkan rakyat pencinta negara di sebuah bukit,
untuk kelak menghadapi tentara negeri. Untuk itu tanpa uang tak dapat aku berge
rak, maka kebetulan sekali adanya harta karun ini. Bukankah tadi mereka telah ka
takan bahwa jumlah harta itu ribuan laksa tail? Dengan mendapatkan harta itu, ta
k usah aku memutar otak lagi akan memikirkan pengumpulan uang..."
Lalu nona ini pasang kupingnya lebih jauh.
In Yan Peng dan kedua saudara Ong itu berdamai lebih jauh, terutama tentan
g tempat di mana mereka bakal turun tangan, ialah di hutan Yatie lim yang letakn
ya lima puluh lie dari tembok kota.
Giok Lo Sat bersenyum sendirinya. Ia kenal tempat itu, yang berarti "Rimba
Babi Hutan", Memang itulah tempat yang berbahaya dan bagus untuk orang jahat tu
run tangan.
"Tapi tempat itupun cocok bagiku." pikirnya nona ini.
Kemudian, karena percaya In Yan Peng tidak akan intai pula bakal mangsanya
, Giok Lo Sat lantas berlalu.
Sementara itu orang yang disebut pangeran asing itu bukanlah puteranya sua
tu raja asing, dia sebenarnya adalah putranya kepala dari suatu suku bangsa Lopu
yang besar di Sinkiang Selatan bernama Tangnu dan ayahnya bernama Tangma.
Di Sinkiang Selatan terdapat banyak suku bangsa yang masing-masing berdiri
sendiri, setelah Tangma diangkat menjadi kepala bangsanya, ia ikhtiarkan persat
uan di antara pelbagai suku itu, dia mengadakan perserikatan dengan mengangkat d
irinya sebagai kepala, atau ketua umum. Ia bercita-cita besar untuk menjadikan S
inkiang Selatan suatu negara sendiri. Bahwa ia telah utus puteranya, Tangnu ke T
ionggoan, kota raja Kerajaan Beng, itulah disebabkan ia ingin ketahui keadaan Ti
onggoan, kebudayaannya, cara pemerintahannya dan lain-lain lagi, untuk nanti dij
adikan teladan.
Yoe Kauw ada satu raja "bocah", ia tidak tahu halnya pelbagai suku bangsa
di Sinkiang Selatan itu, maka ia percaya saja satu ketua suku disebut "raja", da
n satu anak ketua suku, sebagai "puteraraja"...
Ketika itu, kejayaan Kerajaan Beng telah mulai runtuh, dari negara-negara
yang takluk sudah lama tidak
datang antaran upeti, sekarang-
belum lama dari bertahtanya Yoe Kauw datang suku bangsa Lopu yang besar dar
i Sinkiang Selatan ini, yang telah menghadiahkan harta besar yaitu kuda pilihan
Hanhiat Pooma dan kumala Tjinmo giok, tentu saja raja Beng itu menjadi sangat gi
rang. Tidak pernah ia menduga atau memikir seperti itu ada udang di balik batu.
Malah menteri-menteri yang biasa permainkan raja bocah ini, sengaja katakan suku
bangsa Lopu sebagai suatu negara taklukan. Hingga, dalam kegirangannya yang san
gat itu, Yoe Kauw lantas menghadiahkan harta besar kepada "pangeran asing" itu.
Memang benar walaupun Tangnu bukannya pangeran, ia mempunyai harta besar.
Tidak keliru penglihatannya Giok Lo Sat, bahwa pemuda yang menyertai Tangn
u itu adalah Tiat San Ho, puterinyaTiat Hoei Liong. Nona ini kabur setelah penol
akannya Gak Beng Kie terhadap jodohnya, dalam mengambulnya, ia tinggalkan ayahny
a. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke Siamsay tatkala ia bertemu dengan rombon
gan Tangnu. Ia masih muda tetapi luas pengalamannya, ia segera dapat lihat Tangn
u membekal harta besar, hingga timbullah niatnya akan punyakan harta besar itu.
Sebagai juga si Raksasi Kumala, ia berani dan besar kepala, ketika ia pulang ke
Siamsay, ia kandung matan menduduki gunung untuk menjadi ratu. Demikian ia maink
an peranan, untuk menanti ketika turun tangan.
Di hari kedua pagi-pagi, Teng Hok dan Teng Lok iringi Tangnu melanjutkan p
erjalanan, yang kemudian ambil jalan ke jurusan jalanan kecil tidak lagi jalan b
esar.
Tangnu menjadi heran hingga ia menanyakannya.
"Jikalau tetap kita ambil jalan besar, hari ini sukar untuk kita sampai di
Kamtjoan," Teng Hok beri keterangan. "Di Kongkoan telah di tempatkan pasukan be
sar, orang-orang jahat telah pada sembunyikan diri, maka itu lebih baik kita mem
otong jalan di jalan kecil mempercepat perjalanan kita."
Tangnu tidak kenal jalan, ia percaya keterangan yang beralasan itu.
Tiat San Ho menduga hari itu mesti terjadi sesuatu. Tetapi ia diam saja, i
a melainkan waspada dan siap sedia
Di jalan kecil itu, keadaan jalan makin jauh makin sulit. Tepat tengah har
i, mereka tiba di suatu rimba dari tanah pegunungan yang lebar jalannya cuma lim
a kaki lebih, yang hanya seekor kuda tunggangan saja dapat jalan di situ. Di tep
i jalan tumbuh rumput-rumput dan pohon-pohon merambat. Tak usah dikatakan lagi b
ahwa tempat sangat sunyi.
"Baiklah kita beristirahat di sini," berkata Teng Hok. Dan tanpa tunggu pe
rsetujuannya Tangnu lagi, ia mendahului lompat turun dari kudanya.
Putera kepala suku Lopu itu tidak menduga jelek, ia dan pengiring-pengirin
gnya turut turun dari kuda mereka
Menampak keadaan demikian, Tiat San Ho bersenyum ewah, ia tertawa dingin.
"Saudara Kim," berkata Ong Teng Hok, "mari kita sama-sama minum dari sebua
h cawan!"
Tangnu dengar itu, ia heran.
"Di mana ada air di sini?" tanyanya.
Teng Hok dan Teng Lok menjawab dengan tertawa besar.
Justeru itu tampak dari arah depan kabur mendatangi dua penunggang kuda. P
enunggang yang satunya adalah In Yan Peng. Dia tidak lagi mengenakan pakaian ser
agamnya, hanya dandan sebagai rakyat jelata.
Menampak demikian, Tiat San Ho segera berseru: "Mereka ini adalah rombonga
n begal anjing!" Terus ia hunus senjatanya, yang merupakan seruling kumala, deng
an apa ia totok pinggangnya Teng Hok.
"Oh, manusia rendah tak tahu diri!" seru orang she Ong itu sambil berkelit
, terus ia membalas dengan satu serangan telapakan tangan. "Dengan baik hati kam
i suka membagi bagian kepadamu tetapi kau tidak sudi menerimanya! Apakah kau nia
t meminumnya sendiri saja?"
Tiat San Ho tidak hiraukan teguran itu, ia lanjutkan serangannya. Ia tetap
mencoba menotok lawannya itu, sampai Teng Hok repot menangkisnya berulang-ulang
dengan tidak mampu balas menyerang.
Tangnu kaget, segera ia insyaf akan bahaya yang mengancam dirinya. Tentu s
aja ia menjadi gusar, sambil berteriak ia terjang Teng Lok muka siapa ia cengker
am.
Teng Lok hunus goloknya melakukan perlawanan.
Tangnu mengerti ilmu gelut, dengan kesehatannya ia dapat sambar tangannya
orang she Ong iiu untuk ditariknya.
Dua pengiring dari putera suku bangsa ini adalah orang-orang kuat dari Sin
kiang Selatan, merekapun segera turun tangan dengan masing-masing bersenjatakan
sepasang gembolan membantui majikan mereka.
Teng Lok yang tangannya telah tercekal oleh Tangnu, tidak sempat menangkis
atau berkelit dari serangannya dua pengiring itu, maka sekejap saja kepalanya p
ecah dan otaknya muncrat berhamburan sebagai akibat dari menimpanya dua pasang g
embolan!
Justeru itu tibalah In Yan Peng, dia segera lompat turun dari kudanya. Dia
segera disambut oleh dua pengiring bangsa Lopu itu.
Orang she In ini pandai ilmu silat Bittjong koen dari Tibet, ialah ilmu ya
ng dinamakan Ilmu Lunak, maka ia tarik ikat pinggangnya yang segera digunakan se
bagai senjata, untuk membuat perlawanan. Benar-benar ia liehay. Dengan satu gera
kan saja ia telah dapat libat dua pasang gembolan. Maka dengan sekali tarik terl
epaslah senjatanya dua orang kuat bangsa Lopu itu. Ia lantas tertawa nyaring dan
panjang sambil terus merangsek, maka kali ini, dengan bergantian ia berhasil me
libat kedua lawannya, yang kemudian dilemparkan ke tepi jalan di mana terdapat b
anyak batu-batu besar. Kasihanlah kedua orang kuat itu, mereka terbanting di ata
s batu, percuma saja tenaga mereka yang besar, mereka roboh menggeletak dengan m
andi darah, dan jiwanya melayang.
Di waktu itu Teng Hok, dengan tumbaknya masih melayani San Ho dalam kerepo
tan dan bergelisah bukan main karena hebatnya desakan lawan. Serulingnya si nona
dapat digunai sebagai dua rupa senjata, ialah sebagai alat penotok atau pedang.
Alat penotok adalah poankoat pit, yang mirip dengan pit atau alat tulis, yang b
erarti "pit hakim". Sedang sebagai pedang harus dimainkan dengan jurus-jurus dar
i Ngoheng kiam.
In Yan Peng lihat Teng Hok keteter, ia lantas berseru: "Pergi kau layani a
njing Hoan itu, kasih aku yang bereskan bocah ini!" Terus saja dia menyerang den
gan sabuknya.
Segera juga Yan Peng dapat kenyataan bahwa ilmu totoknya San Ho masih belu
m sempurna, dia heran untuk kejadian tadi malam.
"Kalau aku tahu kepandaiannya hanya sedemikian, tidak perlu aku undang dat
ang Yong Djieko..." dia kata dalam hatinya.
"Tiat San Ho melayani orang she In ini sampai kira-kira dua puluh jurus, d
i saat itu terdengarlah suara riuh dan munculnya belasan orang dari dalam rimba,
la menjadi kaget, hingga guguplah ia ketika ia diserang di bagian atas. Ia menc
oba untuk berkelit, tidak urung kopiahnya tersarnpok juga oleh sabuk dan terpent
al jatuh ke tanah, hingga tampaklah rambutnya yang panjang riap-riapan.
"Ah, kiranya kau Tiat San Ho?" tanya In Yan Peng, yang ternganga sekian la
ma. Ia menyesal tidak dari siang-siang dapat mengenali nona ini yang menyamar se
bagai satu pemuda.
"Karena kau telah kenali aku, lekas kau pergi!" San Ho kata.
Yan Peng memandang ke sekitarnya. Ia tertawa.
"Bangsat tuamu tidak ada bersama kau, hm, buat apa kau omong besar?" katan
ya dengan mengejek. Segera ia menyerang pula.
San Ho pun melakukan perlawanan pula, tidak sempat ia perhatikan datangnya
orang-orang baru itu, yang muncul dari rimba. Mereka terdiri dari dua rombongan
, kesemuanya begal-begal dari Siamsay Selatan dan Utara, mereka tertarik oleh ha
rta besarnya Tangnu, dengan tidak menghiraukan ancaman tentara negeri, merekapun
datang untuk dapat punyai harta besar itu.
Rombongan dari Siamsay Selatan dan Utara itu di kepalai oleh Kwe Thian Sen
g si Bintang Melewati Langit dan Kioe Tjiat Lie si Kucing Hutan, mereka ini lant
as lihat seorang tua yang panjang kumis jenggotnya, tangannya menyekal sebatang
hoentjwee besi panjang tiga kaki, yang tengah disedot berulang-ulang dengan asap
nya dikepul-kepulkan secara merdeka...
"Apakah sahabat segolongan di sana?" Kwe Thian Seng menegur. Orang tua itu
tidak menjawab, dia hanya tunggu sampai orang sudah datang dekat padanya, denga
n mendadak dia menyampok dengan hoentjwee besinya itu.
Kwe Thian Seng dan Kioe Tjiat Lie bersenjatakan masing-masing bandring lio
eseng twie dan cambuk lunak kioetjiat pian, keduanya lantas menangkis, tetapi de
ngan bentroknya senjata itu, tiba-tiba Kwe Thian Seng roboh terguling. Adalah Ki
oe Tjiat Lie, yang berlompat ke belakang si orang tua, dari mana ia lakukan peny
erangan.
Orang tua itu bagaikan mempunyai mata di belakangnya, tanpa berpaling lagi
, sambil memendek diri ia menyerang ke belakang, yang dengan jitu mengenai lutut
penyerangnya, hingga si Kucing Hutan menjerit menyusul robohnya tubuhnya, sebab
lututnya itu terluka hebat.
Orang tua itu adalah kawannya In Yan Peng, namanya Yong It Tong. Ia juga s
ahabat karibnya Eng Sioe Yang. Ketika Sioe Yang atur barisan Tjittjiat tin di at
as gunung Hoasan untuk tempur Giok Lo Sat, ia undang orang she Yong ini yang ber
halangan datang, maka kejadianlah The Hong Tjiauw betot To It Hang untuk dijadik
an sebagai penggantinya. Kegagalan itu membuat Eng Sioe Yang sangat menyesal, ka
rena ia menduga pasti andainya It Tong dapat hadir, Giok Lo Sat pasti akan dapat
dirobohkan. Dari kepercayaannya Eng Sioe Yang, bisalah diduga liehaynya orang Y
ong ini.
Kawanan begal menjadi tercengang menampak pemimpin mereka roboh demikian c
epat dan gampang. Kemudian, selagi mereka hendak maju juga untuk mengepungnya, t
iba-tiba It Tong tertawa gelak-gelak.
"Kawanan begal busuk, kalian terjebak!" berseru orang tua ini, yang terus
pula memekik dengan suara yang panjang.
Sebagai sambutan dari pekikan itu, yang ternyata suatu pertandaan, dari da
lam rimba terdengarlah tampik sorak riuh rendah, lalu muncul seratus lebih serda
du dengan masing-masing mengenakan baju lapis besi dan tangan menyiapkan busur s
erta panahnya.
In Yan Peng telah menduga, mesti ada orang-orang jahat yang ingini juga ha
rta besar itu, maka untuk mencegah harta itu jatuh ke tangan lain orang, ia seng
aja tempatkan barisan sembunyinya. Nyata dugaannya tepat, maka sekarang, kawanan
begal itu telah dapat dikurung.
Ketika itu, jalannya pertempuran telah membawa perubahan. Menghadapi lawan
yang tangguh, Tiat San Ho berbalik menjadi repot. Juga Tangnu didesak Teng Hok.
In Yan Peng mainkan sabuknya secara hebat, hingga sabuk itu nampaknya baga
ikan seekor naga yang sedang terbang menari di tengah udara.
Di saat keadaan berbahaya bagi nona Tiat itu, sekonyong-konyong di udara m
endengung satu suara tertawa nyaring dan panjang.
"Giok Lo Sat datang!" pekiknya San Ho, yang menjadi girang dengan mendadak
.
Kalau puterinya Tiat Hoei Liong menjadi girang sekali, tidak demikian deng
an si muka merah, bahna kaget dan ciut hatinya, penyerangannya menjadi kendor se
ndirinya. Ia ada seperti tikus mendengar ngeongnya kucing...
Suaranya Giok Lo Sat, itu disusul dengan munculnya tubuh yang sangat gesit
. Dan tanpa mensia-siakan ketika sedetik juga, ia sudah lantas serang In Yan Pen
g. Malah ia berlaku demikian hebat, hingga baru tigajurus, berhasillah ia dengan
ujung pedangnya menyentuh jalan darah lawan di pundaknya, kemudian disusul deng
an dupakan kepada tubuhnya!
Tiat San Ho, maju mendekati penolongnya itu.
"Entjie Lian, jangan lukai orang asing itu," katanya dengan perlahan.
Si Raksasi Kumala melengak atas pesan itu.
"Begitu?" katanya. "Baiklah..."
Lantas nona kosen itu loncat ke arah Ong Teng Hok, yang ia terus serang.
Orang she Ong itu mengadakan perlawanan, tetapi dalam sekejab saja, atau d
i lain saat, kepalanya telah terpental. Karena pedang si nona tak sudi memberika
n keampunan.
Tangnu kaget dan heran, hingga ia tercengang. Ia kagum untuk kegagahannya
nona yang ia tak kenal ini.
Sebenarnya Giok Lo Sat telah datang terlambat. Itulah disebabkan selagi ia
baru sampai di jalanan ke Yatie lim, ia sudah lihat orang-orang yang mencurigai
padanya, di antara siapa ia kenali ada beberapa orang jahat dari Siamsay Selata
n. Ia mempunyai ayah angkat yang jago dan ulung, iajuga pernah bercokol di gunun
g Tengkoen san, selama mana ia berhak memperoleh bagian dari orang-orang jahat d
i Siamsay Selatan, maka ia bukanlah satu nona hijau. Karena melihat mereka itu,
ia jadi curiga, lantas timbul keinginannya untuk mencari tahu. Demikian ia saksi
kan mereka mencegat Tangnu sampai mereka dipengaruhi rombongan dari Siamsay
Utara, hingga ia lantas turun tangan.
Yong It Tong kaget tak kepalang melihat munculnya nona itu secara demikian
tiba-tiba hingga ia pun melengak. Waktu itu pengurungan tentara negeri sedang d
iperhebat.
Giok Lo Sat lompat kepada In Yan Peng, untuk sambar tubuhnya si muka merah
itu, untuk diangkat.
"Siapa di antara kamu yang berani maju!" dia bentak rombongan tentara itu.
"Bila ada yang maju, lebih dahulu aku binasakan kepala perangmu!"
Serdadu-serdadu itu ada serdadu-serdadu kepercayaannya In Yan Peng, menamp
ak pemimpin mereka telah kena dicekuk sampai tak berdaya, mereka tidak berani be
rgerak lebih jauh.
Walaupun Yong It Tong heran atas keganasan si nona, ia sebenarnya tidak ke
nal si Raksasi Kumala, yang usianya baru dua puluh lebih, maka setelah ia sadar
dari lamunannya, ia lantas perdengarkan suaranya: "Menawan orang untuk memeras,
adakah itu perbuatan satu enghiong?"
Giok Lo Sat tertawa geli mendengar perkataan orang itu. Ia tidak lepaskan
In Yan Peng, malah ia terus mengempit tubuh orang itu.
"Baiklah!" katanya. "Aku nanti gunai sebelah tanganku untuk melayani kau s
atu enghiong besar! Jikalau kau dapat mengalahkan aku, dengan segera kuserahkan
kepala perangmu ini!"
It Tong heran sekali untuk kejumawaan orang. Tidak disangka, nona ini bern
yali demikian besar.
"Kau hendak gunakan orang tawananmu sebagai senjata, pasti sekali kaulah y
ang bakal peroleh kemenangan!" kata ia.
Giok Lo Sat tertawa dingin. "Kau menduga keliru!" katanya: "Sebaliknya aku
ingin ke mukakan, asal kau mampu lukai orang tawanan dalam kempitanku ini, kau
boleh anggap kaulah yang menang! Setuju apa tidak?"
Inilah semacam pertaruhan yang langka dalam kalangan Rimba Persilatan. Bia
sanya, kalau seorang dapat menawan musuh, jiwa musuh diancam untuk diperas, hing
ga pihak musuh tidak berdaya dengan begitu orang peroleh kemenangan yang dipaksa
kan. Tidak demikian adalah caranya Giok Lo Sat sekarang. Dia bukan hendak rebut
kemenangan dengan memeras, dengan gunakan tubuh musuh sebagai tameng, dia juster
u hendak lindungi tubuh musuh dari senjata kawannya! Apakah ini tidak lebih suli
t daripada diikat sebelah tangannya? Sebab selain mesti melindungi dirinya, iapu
n mesti melindungi tubuh musuh!
Yong It Tong heran dan mendongkol karena pertaruhan itu. Ia anggap itu seb
agai hinaan, sedang seumurnya, belum pernah orang menghina ia secara demikian. M
aka, ia awasi nona itu dengan tajam.
"Bagaimana?" tegur Giok Lo Sat sambil tertawa.
Seperti baru sadar, It Tong menjawab: "Kau inginkan ini, baiklah, begini k
ita bertaruh. Jikalau kau menang, semua harta ini untukmu. Tapi bagaimana jikala
u aku yang menang?"
Mendengar kata-kata ini, Giok Lo Sat lantas ketahui, orang ini utamakan ha
rta, dia tidak memandang kawan, maka itu, ia memandang rendah pada It Tong. Suda
h biasanya dalam kalangan Rimba Hijau orang utamakan kehormatan, tidak demikian
dengan orang ini.
"Bagaimana?" Yong It Tong tegaskan, ketika ia lihat orang berdiam. Ia sepe
rti tak memberikan kesempatan orang berpikir.
"Jikalau kau dapat menangkan aku," sahut Giok Lo Sat, "selain akan aku lep
askan dan serahkan kepala perangmu ini, juga semua harta itu kau boleh ambil unt
uk dijadikan milikmu."
Yong It Tong memandang ke sekitarnya, terutama terhadap rombongan begal.
"Apakah kau dapat ambil putusan sendiri?" masih dia tanya si nona. "Berhak
kah kau?"
Giok Lo Sat tertawa besar. Ia tidak lantas menjawab, ia hanya menyahut den
gan perbuatan. Yaitu ia robek baju luarnya, hingga terlihat pakaian dalamnya - -
yaitu baju dan celana wanita yang berkembang. Kemudian iapun buka ikat kepalanya
, hingga terlihat rambutnya yang terkepang oleh gelang emas.
Rombongan berandal dari Siamsay Selatan memang sudah tahu nona itu adalah
si Raksasi Kumala, sekarang mereka dapat lihat wajah aslinya, mereka lantas saja
bertepuk tangan, bersorak-sorai. Mereka gembira bukan buatan.
Rombongan berandal dari Siamsay Utara tahu Giok Lo Sat liehay, benar merek
a tidak terpengaruh nona ini, tetapi mendengar cara bertaruh yang aneh itu, mere
ka setuju. Maka mereka pun nyatakan: "Jikalau kamu dapat menangkan Lian Liehiap,
tidak peduli emas dan perak atau mutiara, kami pasti tak inginkan itu!"
Rombongan berandal itu merupakan satu lingkungan, dibelakang mereka --- ar
tinya di sebelah luar --- tentara negeri merupakan satu kurungan. Di tengah kala
ngan, Giok Lo Sat berdiri berhadapan dengan Yong It Tong, di dalam kempitannya a
da In Yan Peng. Tangnu bersama Tiat San Ho duduk di dalam kalangan, di pinggiran
, sambil duduk, mereka hendak menonton...
Tangnu tidak tahu. Giok Lo Sat pun datang untuk merampas harta, karenanya
ia sangat berterima kasih terhadap nona itu, ia mengharap-harap si nonalah yang
peroleh kemenangan.
"Nona," berkata dia kepada San Ho, "tidak kusangka kau mempunyai kepandaia
n tinggi, tetapi lebih-lebih tidak kuduga, sahabatmu itu, yang elok bagaikan bid
adari ada terlebih gagah lagi! Hari ini aku telah dapatkan pertolongan kamu, tid
ak nanti aku lupakan budimu itu!"
San Ho tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ia malu sendirinya. Sebenarny
a, ia berkawan dengan rombongan Tangnu ini untuk rampas harta besar orang itu, t
etapi, selama di perjalanan, ia dapat kenyataan orang asing ini berhati baik, de
ngan sendirinya, lenyaplah niatnya itu. Hanya sekarang, melihat sepak terjangnya
Giok Lo Sat. Ia merasa tidak tenteram. Ia kuatir, kalau nanti si Raksasi Kumala
menang, nona itu nanti akan bawa adatnya yang luar bisa...
It Tong sementara itu terperanjat mendengar gemuruhnya rombongan penjahat,
karena baru sekarang ia ketahui, nona kosen di depannya itu ada si hantu wanita
dari kaum kangouw yang mendengar namanya saja, sudah membuat hati orang rontok.
Ia lantas ingat halnya dahulu Eng Sioe Yang mengatur tin di gunung Hoasan tetap
i kesudahannya, dua kawan mereka roboh di tangan nona itu. Dahulu ia lolos dari
bahaya sebab ada urusan, ia tidak nyana, sekarang di sini ia mesti hadapi nona y
ang kosen itu. Maka sekarang ia berpikir, dengan cara hagaimana dapat ia loloska
n diri dari bahaya...
Giok Lo Sat awasi orang, ia tertawa.
"Mari maju!" ia menantang, pedangnya diangkat. "Mari!"
Karena terdesak, dan sangat terpaksa, Yong It Tong gerakan hoentjweenya. D
engan tipu silat "Lie Kong siatjio" atau "Lie Kong memanah batu", ia tikam dadan
ya si nona.
"Ha-ha-ha!" tertawa Giok Lo Sat seraya menangkis, hingga di antara suara n
yaring, ujung hoentjwee telah tersampok miring. Beradunya kedua senjata telah me
ndatangkan lelatu api.
Gerakannya Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ saja. Habis menangkis
, ia teruskan menikam ke arah tenggorokan lawannya.
Yong It Tong tidak menyangka lawannya ada demikian gesit, hingga tak sempa
t ia menarik gegamannya, guna menangkis, maka itu, ia segera undurkan diri untuk
berkelit. Ia telah bergerak sangat cepat, akan tetapi, ia masih kalah cepat dar
i si nona, hingga ujung pedangnya dapat menyentuh pundaknya. Bajunya robek, dan
darahnya muncrat keluar. Syukur baginya, karena sedang mengempit satu tubuh manu
sia si Raksasi Kumala tak segesit biasanya, kalau tidak, mesti ia roboh.
Si Raksasi Kumala tidak puas dengan hasil pertama itu, dengan kelincahanny
a, ia menyerang pula, untuk mendesak lawan.
Dengan menunjukkan keuletannya, Yong It Tong layani nona ini. Kali ini ia
bisa berkelahi sampai dua gebrak, sesudah mana, ia juga gunai ketikanya, untuk m
enyerang. Tapi ia telah pilih tubuhnya Yan Peng sebagai sasaran, hingga sahabat
itu jadi terancam.
"Bangsat anjing yang kejam!" Giok Lo Sat berseru apabila ia ketahui maksud
musuh. Sambil berkelit, ia tangkis tusukan hoentjwee ke arah tubuhnya Yan Peng,
yang hampir saja menjadi korban karena kelicikannya sahabat ini.
Setelah itu, tanpa segan-segan, It Tong incar si muka merah, hingga Giok L
o Sat terpaksa mengubah caranya berkelahi, yaitu dari menyerang, ia balik membel
a diri membelai si orang she In, supaya dia tak terkena oleh hoentjwee kawannya
sendiri.
Kegagahan It Tong tak ada di bawahan Eng Sioe Yang, hoentjweenya itupun bi
sa dipakai sebagai tumbak serta sebagai alat penotok, maka setelah mendapat angi
n, ia lanjutkan rangsakannya, guna mendesak lawannya itu.
"Awas! Entjie Lian," berseru Tiat San Ho, sesudah ia menonton sekian lama.
"Ini bangsat anjing berniat melukai sahabatnya sendiri! Baik entjie jangan tung
kuli dia!"
"Kau jujur nona, sungguh kau harus dihormati!" menyelakTangnu.
Giok Lo Sat tidak memberi jawaban, ia berkelahi terus, dalam mana dengan p
erlahan tentara negeri bergerak mendekati, sesaat kemudian, terdengar suara tero
mpet dari arah rimba, dari mana muncul lagi satu pasukan tentara yang baru.
Menampak ini, si Raksasi Kumala mengancam: "Tentara negeri, kamu dengar! K
ita sedang berkelahi satu sama satu, jikalau kamu maju, untuk mengepung aku, jan
gan kamu persalahkan aku sudah tidak menetapi janji!"
Pasukan pengiring dari In Yan Peng lantas memutar tubuh, guna mencegah pas
ukan itu maju lebih jauh.
Yong It Tong sendiri menjadi heran. Ia tahu, In Yang Peng bertindak di lua
r tahunya semua pasukannya, dia cuma bawa barisan kepercayaannya itu. Maka, dari
mana datangnya ini pasukan baru?
Pasukan baru itu di kepalai seorang perwira muda yang menunggang seekor ku
da tinggi dan besar, romannya gagah, tetapi dia asing di matanya barisan In Yan
Peng.
"Perwira, tahan!" bentak pembantunya Yan Peng. "Kau dari tangsi mana?"
Perwira itu tidak menjawab, sebaliknya, ia membentak:
"Tentara tak berdisiplin, bikin apa kamu di sini?" demikian tegurnya denga
n bengis. "Lekas kamu turut aku pulang ke kota!"
Bentakan ini ditutup dengan satu serangan anak panah, hingga pembantunya I
n Yan Peng roboh seketika itu dan terbinasa!
Barisannya In Yan Peng itu jadi kalut, tanpa mempedulikan perwira mudanya
mendesak mereka, hingga mereka tergiring ke dalam rimba.
Giok Lo Sat, yang sedang bertempur memasang mata dan kuping, menyaksikan p
erbuatan si anak muda dan mendengar perkataannya, ia menjadi heran.
"Bagaimana di dalam pasukan tentara ada pemuda gagah sebagai dia?" dia mem
ikir, menduga-duga.
Sebaliknya Yong It Tong menjadi heran dan berkuatir. Tanpa merasa, ia jadi
bingung, ketika lawannya gunai ketikanya, untuk desak dia, dengan dua tusukan p
edang saling susul. Dia masih dapat mengelakan diri. Dalam bingungnya, dia sempa
t berpikir untuk serang pula tubuh In Yan Peng. Demikian selagi menangkis dengan
hoentj weenya, dia menendang ke arah kepala kawannya itu.
Giok Lo Sat gusar melihat maksud busuk orang, dalam sengitnya, dengan sebe
lah tangan mencekal tubuhnya In Yan Peng, untuk disingkirkan dari ancaman mala p
etaka, pedangnya menangkis senjata lawan dengan keras, hingga terpental, berbare
ng mana, pedangnya turun dari atas ke bawah, yang mengenai kepalanya sampai terb
elah!
"Ha-ha-ha!" ia tertawa. "Kamu lihat, aku toh tidak membikin tubuhnya terlu
ka?" Ia angkat tinggi tubuhnya Yan Peng itu.
Semua kawan berandal melengak. Selagi orang berdiam, Giok Lo Sat memikir u
ntuk pergi merampas harta, tapi justeru itu, si perwira muda telah kembali, untu
k mana dia larikan kudanya.
Melihat perwira itu, semua berandal Siamsay Utara berdiri diam dengan tang
an diturunkan.
"Aku larang siapa juga menggerakkan tangannya!" berseru punggawa muda itu.
Si Raksasi Kumala menjadi heran.
Tidak mengerti ia, kenapa rombongan berandal dari Siamsay Utara itu tunduk
kepada perintah anak muda ini. Mau tidak mau, ia menjadi mendongkol juga. Maka
dengan hunus pedangnya, ia maju untuk mendekati.
"Kau siapa?" tanya dia. Pemuda itu mengawasi dengan matanya yang jeli dan
bersinar tajam, hingga sekalipun si nona ada satu nona gagah, ia toh merasakan j
uga pengaruhnya sinar mata itu.
"Bagus, aku ketemu tandingan..." pikir si Raksasi Kumala, sambil maju lebi
h dekat.
"Kau tentunya Giok Lo Sat!" kata si anak muda. "Selamat bertemu! Selamat b
ertemu!" Nona itu tertawa. "Ah, kau juga kenal aku?" katanya. "Satu pembesar ten
tara bertemu aku, itu artinya setan cilik bertemu sama Giam Lo Ong!"
Ia angkat pedangnya, untuk dipakai menunjuk.
Si anak muda bersenyum. Semua berandal dari Siamsay Utara lantas siapkan s
enjata mereka, dengan wajah yang memperlihatkan kegagahan. Mereka bersikap henda
k melindungi anak muda itu.
Dalam saat tegang itu, kawanan berandal dari Siamsay Selatan, yang sejak t
adi diam saja, lantas berseru-seru: "Lian Liehiap, ini... inilah Siauw, Siauw...
"
Tapi si anak muda menghalang halangi mereka, dengan menggoyangkan tanganny
a.
"Kita ada di antara orang sendiri!" serunya. "Kamu semua mundur!" Terus di
a menghadap Giok Lo Sat, dan berkata: "Lian Liehiap, aku adalah Siauw Giam Ong L
ie Tjoe Seng. Kho Eng Siang adalah pamanku! Mari kita pergi ke bawah pohon sana,
untuk bicara." (Paman -- engkoe).
Giok Lo Sat tercengang bahna heran. Ia kaget bukan karena mendengar namany
a orang she Lie ini. Nama dia ini belum termashur. Di antara tiga puluh enam rom
bongan berandal, nama Ong Kee In adalah yang tersohor. Malah Kho Eng Siang pun a
da pembantunya Ong Kee In itu. Ia hanya heran kenapa rombongan berandal dari Uta
ra dan Selatan ini demikian takluk kepada pemuda ini.
"Baiklah," ia jawab. Ia minta seekor kuda, untuk bersama pemuda itu pergi
masuk ke dalam rimba.
"Apakah Ong Kee In ayah dan anak ada baik?" dia tanya.
"Ong Lootjong telah menutup mata," sahut Lie Tjoe Seng. "Sekarang ini pama
nku, Kho Eng Siang, yang pegang pimpinan. Ong Tjiauw Hie dan isteri serta Pek Bi
n, mereka semua ada dalam pasukan kita." (Dengan Ong Lootjong, ketua Ong, dimaks
udkan Ong Kee In.).

XII

Giok Lo Sat terkejut, ia jadi berduka. Belum satu tahun ia meninggalkan Si
amsay Barat, perubahan telah terjadi begitu besar.
"Kalau begitu, tahukah kau tentang anak buahku?" dia tanya si pemuda. "Apa
kah mereka itu telah habis musna di tangan tentara negeri? Kenapa kau menyamar s
ebagai pasukan negara?"
"Aku tahu tetapi tidak jelas," sahut Lie Tjoe Seng. Lauw Teng Goan sudah k
umpulkan dua puluh laksa serdadu dari empat propinsi Soetjoan, Siamsay, Kamsiok
dan Shoasay, dia telah kurung kami, hingga pasukan kami bercerai-berai satu sama
lain. Baru pada bulan yang berselang, aku menempuh bahaya. Aku telah mengadakan
pertemuan di antara pemimpin dari tiga puluh enam rombongan, tetapi yang hadir
cuma tiga puluh tiga wakil. Yang tak datang itu adalah rombongan kau serta rombo
ngannya saudara Sin It Goan. Itu waktu aku dengar, rombonganmu sudah menerobos m
asuk ke wilayah Soetjoan, katanya, kerusakannya tidak sebesar kerusakan rombonga
n-rombongan lainnya. Pada bulan yang lalu itu, juga Thio Hian Tiong dari Soetjoa
n telah datang ke kecamatan Bietjie di mana kami telah mengadakan pertemuan
besar itu. Menurut Thio Hian Tiong, dia pernah lihat suatu pasukan wanita di ant
ara Konggoan dan Tjiauwhoa, sebenarnya dia telah mencoba mengirimkan wakilnya
, guna mengajak pasukan wanita itu bergabung dengannya, sayang kedua pihak kena
dipegat tentara negeri. Maka itu, untuk mencari rombongan itu, baiklah kau pergi
ke sana."
Pertemuan di Bietjie itu adalah satu peristiwa besar karena di sana berkum
pul puluhan rombongan berandal yang bercita-citakan menyintai negara juga. Dan n
amanya Lie Tjoe Seng, atau lebih tepat lagi, Siauw Giam Ong, si Raja Akherat Kec
il, dapat dijumpai di sana.
Setelah Ong Kee In meninggal, pelbagai pemimpin kaum Rimba Hijau segera me
ngangkat Kho Eng Siang sebagai gantinya. Sebenarnya, kepandaiannya Eng Siang bel
um tinggi namun kedudukannya itu didapatkan dengan mengandalkan kepandaian dan k
egagahannya Lie Tjoe Seng. Dua kali ia berperang, dua kali ia menang.
Semua pemimpin rombongan mempunyai julukannya masing-masing, seperti Heng
Thian Ong Raja Melintangkan Langit, Koen Sie Ong -- Raja Mengacau Dunia, Sauw Tee
Ong -- Raja Menyapu Bumi, dan lainnya, yang beraneka warna. Kho Eng Siang sendi
ri belum mempunyainya, lalu orang-orangnya menginginkan itu, lantas mereka memil
ihnya. Sukar bagi mereka mendapat gelar yang cocok, sampai Lie Tjoe Seng berkata
sambil tertawa: "Kita sekarang sedang bertindak maju, entah sampai di mana, tak
ada yang mengetahuinya, malah bila semua tidak bertekad, mungkin tak dapat kita
keluar dari wilayah Siamsay ini. Maka seharusnya kita melupai bahaya mati, kita
harus menerjang dengan bersatu hati dan bersatu tenaga, dengan begitu, untuk ma
ju ke Pakkhia pun tak sukar. Maka yang utama sekarang adalah maju, maju, maju! J
adi tak perlu kita membicarakan gelaran raja ini atau raja itu. Jangan kita pusi
ngkan kepala untuk segala gelaran kosong!"
Mendengar itu, semua hadirin bertepuk tangan.
"Kalau begitu, marilah kita maju bersama!" teriak mereka. "Baiklah kita pa
kai gelaran Giam Ong!"
Demikian sudah terjadi, Kho Eng Siang dijuluki Giam Ong, maka itu, Lie Tjo
e Seng menjadi Siauw Giam Ong, si penyerbu cilik. Adalah kemudian, dengan mening
galkan Kho Eng Siang, dengan sendirinya Lie Tjoe Seng menjadi Giam Ong, tambahan
Siauw atau Kecil di depannya dihilangkan.
Bukan main tegangnya perasaan Giok Lo Sat mendengar tentang anak buahnya,
seperti ia hendak menyusul dengan terbang di tengah udara...
"Siauw Giam Ong adalah orang ternama," pikirnya kemudian, "maka itu baik k
ita membagi rata saja..."
Justeru ia lagi berpikir, Lie Tjoe Seng kata padanya:
"Lian Liehiap, aku hendak mohon suatu, kepadamu..." "Apakah itu?"
"Harta ini kita jangan ganggu..." "Apa? Apakah kamu datang bukan untuk mer
ampas?"
"Itulah niat kita semula," sahut Lie Tjoe Seng sambil tertawa. "Sekarang a
ku sudah tahu jelas duduknya hal, harta ini tak dapat diganggu."
"Kita adalah bangsa yang tidak takut akan Thian, tak jeri akan Bumi," berk
ata si nona, "malah hartanya raja juga akan kita rampas! Kenapa harta ini tak da
pat kita punyai?"
"Lian Liehiap," Lie Tjoe Seng tertawa pula, "memang benda raja mesti diram
pas, tapi setelah harta itu pindah ke tangan mereka, tak dapat kita menggangguny
a."
"Kenapa begitu? Dalam hal ini, aku membutuhkan keterangan."
Lie Tjoe Seng lompat turun dari kudanya.
"Lian Liehiap, mari duduk!" ia mengundang. Terus ia duduk di tanah. Ia pun
terus berkata: "Apakah liehiap tahu bangsa Boan sedang incar negara kita, dan k
arena dayanya suasana di perbatasan ada sangat genting sekarang?"
"Apakah hubungannya kejadian di perbatasan itu dengan harta ini?" si nona
masih tanya.
"Baiklah liehiap dengar aku," kata Lie Tjoe Seng dengan sabar. "Tentang or
ang asing ini, aku mulanya tak tahu jelas, karenanya aku niat merampas hartanya.
Tetapi sekarang aku ketahui, dia adalah puteranya Tangma, kepala suku bangsa Lo
pu di Singkiang Selatan. Suku bangsa itu, dengan Tangma sebagai ketuanya, sekara
ng ini memimpin pelbagai suku bangsa lainnya di wilayah yang luas itu. Umpama pu
teranya Tangma ini dibunuh dan hartanya dirampas, pasti Tangma akan membalas den
dam terhadap kaisar Beng, atau dia gerakan angkatan perangnya untuk menuntut bal
as. Apabila itu sampai terjadi maka pertempuran akan berkobar di Timur utara dan
Barat utara. Yoe Kauw ada satu bocah, mana dia sanggup layani semua huru-hara i
tu?"
Giok Lo Sat berdiam, ia tidak dapat segera berpikir.
"Walaupun kita menyatrukan kerajaan Beng," Lie Tjoe Seng tambahkan, "akan
tetapi apabila ada bangsa asing yang datang menyerang kita, kita suka menggabung
kan diri dengan tentara negeri guna melawan serangan asing itu. Tidakkah benar d
emikian?"
Mau tidak mau, Giok Lo Sat mengangguk.
"Maka itu tak dapat kita mengobarkan huru-hara lain untuk kerajaan Beng,"
Lie Tjoe Seng tegaskan. "Sayang sekali Yoe Kau w si bocah butek pikirannya ini,
cuma bisa kerahkan angkatan perangnya buat gempur kita saja, tapi tak bisa ia me
ngadakan pertahanan di perbatasan.
Begitulah Him Teng Pek yang demikian pandai, dia telah pecat."
Tanpa merasa, si Raksasi Kumala kagum akan pemuda ini, yang luas pemandang
annya dan bersemangat. Tapi, akhirnya, ia tertawa sendiri.
"Sayang pikiranmu yang bagus ini," katanya. "Kau memikir demikian sempurna
untuk raja cilik itu, dia sebaliknya mengirim pasukan perangnya untuk menghajar
padamu!"
Lie Tjoe Seng tidak terdesak. "Itulah urusan dia sendiri," katanya.
Giok Lo Sat tertawa pula. "Kelihatannya, kerajaan Beng tidak sanggup melaw
an bangsa Boan," katanya, "maka baiklah kau gunakan ketika ini, sebelum angkatan
perang Boan itu masuk, kau mendahului menerjang ke kota raja, di sana kau boleh
angkat dirimu menjadi raja, hingga tak usah dikuatirkan lagi bangsa Boan bakal
datang menyerbu."
Lie Tjoe Seng tertawa terbahak-bahak.
"Untuk menjadi kaisar, setiap orang pun dapat," katanya. "Umpama aku yang
mesti menjadi raja, dan negara kita dapat dilindungi karenanya, aku suka naik di
tahta..."
Melihat orang berlaku terbuka, Giok Lo Sat bersenyum.
"Dia adalah seorang luar biasa," ia pikir. "Keadaan ada begini sulit tapi
dia tetap bersemangat, malah dia suka lepaskan harta besar ini, yang bisa dipaka
i untuk merangsum tentara. Dilihat dari sini, Him Teng Pek masih kalah dengannya
. Mungkin sekali dia mempunyai bakat untuk menjadi raja..."
"Bahwa kami telah menyamar sebagai tentara negeri, itulah disengaja," berk
ata pula Tjoe Seng. "Dengan berbuat begini, aku memikir untuk hari kemudian kita
. Sebenarnya tidak baik bagi tentara yang harus melindungi Tangnu kemudian henda
k merampas hartanya. Maka sebentar kau beritahukan Tangnu bahwa tentara itu adal
ah tentara pemberontak, bahwa pemerintah telah mengetahuinya dan aku di kirim un
tuk menyusul dan membasminya. Katakan padanya bahwa pemerintah akan mengantar di
a sampai dengan selamat di negaranya."
Sepasang matanya Giok Lo Sat bercahaya.
"Bagus, bagus, aku setuju denganmu!" ia kata sambil tertawa. "Kau sendiri
hendak singkirkan diri, sekarang kau pikirkan keselamatannya Tangnu. Jadi kau be
rniat mengirim orang untuk mengantarkan dia?"
"Lebih baik kita yang mengantarkan daripada dia diiring orangnya Yoe Kauw
si raja bocah. Tempat ini sudah tak jauh lagi dari Kamsiok, setelah melewati wil
ayah Kamsiok dan memasuki Kokonor, pasti tentara negeri sudah berpengaruh lagi,
hingga tak usah dikuatirkan akan muncul pula punggawa semacam In Yan Peng ini."
Giok Lo Sat setuju dengan pikiran orang ini.
"Baik," katanya. "Nanti aku bicara padanya."
Lie Tjoe Seng tertawa.
"Sekarang aku hendak pinjam In Yan Peng!" kata dia.
"Segala bangsat anjing seperti dia, apa gunanya?" si Raksasi Kumala tanya.
"Sekalipun barang rosokan masih ada terpakainya, apapula dia!" sahut Tjoe
Seng. "Saudara-saudara kita di pelbagai tempat telah kena didesak tentara negeri
, hingga mereka merasa sulit untuk bernapas, maka itu aku ingin pakai pengaruh d
ia ini untuk menangkan pertempuran, guna beri hajaran kepada semangatnya tentara
negeri itu, supaya di akhirnya dapat kita mundur dengan aman."
"Aku mengerti sekarang!" tertawa Giok Lo Sat. "Kau hendak gunakan dia untu
k serang Leekoan. Kamu memakai seragam tentara pemerintah, lalu kamu juga perlih
atkan satu kepala perang, dengan demikian serdadu-serdadu penjaga kota pasti bak
al kena diabui. Pantas kau telah kumpulkan demikian banyak seragam..."
Tjoe Seng hanya tersenyum.
Selagi tadi si Raksasi Kumala bersama Lie Tjoe Seng berlalu ke dalam rimba
, Tangnu heran bukan main, hingga ia mohon keterangan dari Tiat San Ho. Ia tanya
, mereka itu hendak berbuat apa.
"Mungkin mereka hendak urus tentara tadi," San Ho jawab.
Biar bagaimana, nona Tiat ini merasa tidak tenteram karena kawanan beranda
l, yang berada di sekitar mereka, mengawasi saja dengan tajam. Di lain pihak, Ta
ngnu telah kumpulkan dua mayat pengiringnya, yang kemudian dibakarnya, menurut a
dat istiadat kematian di antara kaumnya. Adalah tulang-tulang mereka, yang ia ba
wa pulang.
San Ho bersedih melihat air mata berlinang dari suku bangsa Lopu itu. Ia n
ampaknya bersikap keras, sebenarnya, hatinya lembut. Ia berduka untuk kemat i ar
inya beberapa orang asing itu, yang datangnya dari tempat jauh ribuan lie. Pasti
ayah bunda mereka dan sanak saudaranya tidak ketahui kebinasaan mereka... Ia ju
ga merasa tidak tenteram karena tak tahu apa yang dibicarakan Lie Tjoe Seng dan
Giok Lo Sat, sampai akhirnya ia tampak mereka itu kembali.
Lie Tjoe Seng segera lompat turun dari kudanya. Ia himpunkan kawan-kawanny
a, untuk berdamai.
Giok Lo Sat sebaliknya segera menghampiri Tangnu bersama siapa ia bicara s
ecara perlahan-lahan hingga menampak demikian, San Ho awasi mereka dengan kedua
matanya dibuka lebar-lebar. Selang sesaat, mendadak Tangnu berlutut, mendekam di
tanah, akan cium tanah yang bekas diinjak si Raksasi Kumala. San Ho pernah ikut
ayahnya merantau di Barat utara, maka tahulah ia, itu adalah cara menghormat pa
ling sujut dari suku bangsanya Tangnu itu.
"Benar-benar heran," pikirnya dan hatinya menjadi lega. "Giok Lo Sat katan
ya, adalah seorang yang kejam dan telengas, yang pandang jiwa manusia seperti ru
mput tak berharga, maka aneh sikapnya sekarang ini, dari uang harta rampasannya
demikian besar, sedikit juga ia tidak menginginkannya, semua dilepaskannya..."
Tangnu tidak tahu sama sekali yang Giok Lo Sat pernah memikir untuk meramp
as hartanya itu, ia melainkan tahu bahwa ia telah ditolongi, maka itu, ia jadi s
angat bersyukur, ia cuma tahu budi orang. Demikian ia hormati nona ini menurut c
ara penghormatannya itu. Kemudian, habis mencium tanah, ia kata: "Jikalau pada s
uatu hari nona datang ke Thiansan, aku minta kau nanti menyambangi aku."
Si Raksasi Kumala jengah sendirinya. Orang ada demikian baik hati, ia tadi
nya berniat jahat terhadapnya. Lantas ia beritahukan pesan dari Lie Tjoe Seng.
"Oh, kiranya demikian duduknya hal," berkata Tangnu. "Tionggoanada demikia
n besar, sudah selayaknya bila di sana ada orang-orang baik hati dan jahat juga.
Tentang tentara jahat itu, baik tak usah diomongkan lagi."
Lalu ia ajak Giok Lo Sat menghampiri Lie Tjoe Seng, untuk menghaturkan ter
ima kasihnya.
Tjoe Seng pun sudah bermupakatan sama rombongannya, maka untuk mengantarka
n Tangnu, ia minta bantuannya Kho Kiat, satu tauwbak kepercayaan dari Kho Eng Si
ang, serta keponakannya, yang bernama Lie Ko.
San Ho tidak sangka bahwa kejadian akan berakhir sedemikian rupa, hingga i
a kini tak mempunyai tujuan.
"Adik San," berkata Giok Lo Sat, "ayahmu sedang mencari kau, tapi sekarang
, entah di mana ia berada. Maka ada baiknya kita pergi berdua ke Soetjoan Barat,
di sana aku hendak jadikan kau wanita berandal!"
San Ho tidak bisa lantas berikan jawabannya. Ia teringat kepada Gak Beng K
ie, jodoh siapa tak dapat dirangkap sama jodohnya.
Giok Lo Sat dapat menduga hati orang, ia tertawa.
"Mula-mula aku anggap pemuda she Gak itu tidak baik kelakuannya, kemudian
ternyata, ia tidak dapat dicela," kata Giok Lo Sat. Lalu ia tuturkan perkenalann
ya dengan Beng Kie, sampai ia diberi pinjam sarung tangan mustika, untuk mengala
hkan Anghoa Koeibo.
San Ho girang berbareng duka. Ia girang karena di antara Giok Lo Sat dan G
ak Beng Kie terdapat suatu pengertian. Ia berduka sebab pemuda she Gak itu telah
mensia-siakan pengharapannya. Lama ia membisu, kemudian ia menjawab Nona Siang.
"Baik atau tidak, apa sangkutannya dia dengan aku?" katanya.
Giok Lo Sat bisa duga hatinya Nona Tiat ini.
"Pria berbau busuk di kolong langit ini ada banyak sekali!" katanya dengan
sengaja. "Mungkinkah dengan tidak adanya mereka, kita tidak dapat berdiri sendi
ri? Baiklah kau turut aku, untuk menduduki sebuah gunung di atas mana kita dapat
menjadi ratunya. Itu waktu, siapa kita suka, kita boleh tawan dan bawa ke atas
gunung! Siapa cuma bisa menangis, dia adalah seorang yang tak berguna!"
"Foei, aku tak setebal mukamu!" kata San Ho. "Siapakah yang cuma bisanangi
s saja? Untuk jadi berandal wanita, mustahil aku takut turut padamu?"
Inilah yang Giok Lo Sat harapkan, maka diam-diam. ia girang dalam hatinya.
Ia memang tidak inginkan Nona Tiat merantau seorang diri, tanpa tujuan, hingga
dia nanti berduka saja.
Itu waktu Lie Tjoe Seng, yang telah atur keberangkatannya Tangnu, menghamp
irkan Nona Lian, untuk ambil selamat berpisah.
"Tadi kau bilang, sesudah serang Lokkwan, kamu hendak undurkan diri," kata
si nona. "Sebenarnya ke mana kamu hendak mundur?"
"Propinsi Siamsay adalah tulang punggung dunia dan propinsi Soetjoan adala
h gudang rangsum dari alam," sahut Lie Tjoe Seng, "maka itu, siapa hendak melaku
kan sesuatu yang besar hingga berhasil, tidak dapat dia membuang-buang kedua pro
pinsi itu! Propinsi Siamsay telah bertahun-tahun diserang bahaya lapar, rakyatny
a sampai mati tersia-sia di tengah jalan, keadaan mereka itu bagaikan menanti ke
tika untuk menjadi matang, dari itu tidaklah sukar untuk mengumpulkan sejuta ser
dadu, guna keluar dari Hantiong dan menduduki Pasiok, setelah mengumpulkan tenag
a dan rangsum lantas bergerak pula keluar dari Tongkwan guna merampas Holam, Ouw
lam dan Ouwpak, kemudian maju lebih jauh ke utara untuk memastikan Tionggoan. Ke
mudian aku ingin menanam dasar di perbatasan Soetjoan dan Siamsay. dan di seluru
h pegunungan Tjinnia yang luasnya delapan ratus lie. Di sana kita akan membuka t
anah guna menyiapkan tentara yang besar dan kuat, untuk kemudian bergerak pula.
Bagaimana pikirmu?"
Si Raksasi Kumala tertawa.
"Aku sendiri tidak bercita-cita besar untuk menjadi ratu!" sahutnya. Setel
ah dapat cari anak buahnya, dengan begitu, bersama-sama mereka pimpin tentara
itu. San Ho perlakukan Nona Lian sebagai kakak sendiri, sekarang tahulah ia tabi
atnya nona yang disohorkan galak itu, yang sebenarnya baik.
Ketika itu pergerakan tentara di Soetjoan dan Siamsay kalut. Lie Tjoe Seng
yang berhasil mencapai pegunungan Tjinnia dan Thio Hian Tiong telah terusir sam
pai di Ouwpak, kemudian ke Kanghoay.
Giok Lo Sat, bersama beberapa ratus serdadu wanitanya, sudah pergi ke sela
t Benggoat kiap di kota Konggoan sejauh tujuh puluh lie lebih, di situ ia mendir
ikan kubu-kubu untuk tinggal menetap.
Selat Benggoat kiap ini ada suatu tempat ternama di wilayah propinsi Soetj
oan. Tidak ada jalan umum untuk mendaki gunung, maka itu, jalan yang dipakai ada
lah jalan kecil bekas penduduk setempat yang berliku-liku. Di kaki gunung terdap
at sungai Keekeng kang.
Letak Benggoat kiap itu bagus sekali, karena terjepit di antara dua gunung
, akan tetapi, perhubungan dengan dunia luar seolah-olah terputus.
Tiga tahun lamanya, Giok Lo Sat berdiam di tempat yang baru ini, dan selam
a itu, tidak pernah mereka ia dan Tiat San Ho -- mendengar tentang Tiat Hoei Lion
g. Di samping itu, Giok Lo Sat dengar kabar angin bahwa Him Teng Pek telah dipek
erjakan kembali oleh pemerintah, untuk bertugas pula di tapal batas, akan tetapi
kepastiannya belum diperoleh.
San Ho juga tak pernah dengar sesuatu mengenal Gak Beng Kie, yang selalu m
emikirkannya, lain tidak.
Selang tiga tahun -- itu waktu ada tahun Thian Kee ke 4 tahun kerajaannya
kaisar Yoe Kauw -- tentara negeri di perbatasan Soetjoan -- Siamsay telah ditari
k pulang, maka dengan begitu, suasana menjadi lebih tenang. Akan tetapi, di musi
m pertama, deerah Konggoan kembali mengalami musim kering. Sebenarnya Konggoan a
dalah daerah beras tapi kali ini panen gagal, ditambah pula tagihan pajak yang t
inggi. Maka itu, penduduk yang terdesak keluar kota karena bahaya kelaparan, ber
sedia untuk menyerbu ke dalam, guna menggedor beras. Di antara mereka ini ada ya
ng usulkan kerja sama dengan Giok Lo Sat.
Si Raksasi Kumala setujui niat itu, malah segera ia utus satu tauwbak mema
suki kota dengan menyamar, guna menyelidiki keadaan. Sampai malam baru tauwbak i
tu pulang. Habis memberi laporan, dia berkata: "Aku tampak suasana ramai tadi, k
atanya ada imam menyambut kemantin."
"Ngaco! Mustahil imam menikah!" kata Giok Lo Sat.
"Aku juga tahu, satu imam tidak mestinya menikah," sahut tauwbak itu. "Tet
api kelihatannya kabar itu benar..."
"Kalau benar, itulah aneh!" si nona tertawa.
"Menurut kata beberapa orang," si tauwbak lanjutkan, "tadi ada beberapa pa
sang imam menunggang kuda menuju ke barat, dalam tiap-tiap setengah jam. Aku sen
diri cuma lihat satu pasang. Mereka itu mengenakan jubah merah, seperti hendak m
engadakan upacara. Orang-orang katakan, pasangan imam yang pertama membawa satu
bungkusan merah, yang diangkat tinggi melewati kepalanya. Keadaan itu mirip deng
an pihak kemantin lelaki mengantar panjar. Malah warna kuda itu, setiap pasangny
a sama. Yang kurang hanya tukang musik."
Tiba-tiba kedua matanya Giok Lo Sat berputar, mendadakan ia ingat sesuatu.
"Ah, hari berjalan cepat, tiga tahun telah lewat!" katanya seorang diri, h
ingga tauwbaknya heran. Ia menghela napas.
"Apa kau kata, entjie?" tanya San Ho.
Si Raksasi Kumala bersenyum.
"Tidak apa-apa," sahutnya.
"Bukankah tjeetjoe anggap itu bukannya imam yang menikah?" kata si tauwbak
kemudian. "Turut katanya orang, di samping imam-imam ada juga orang-orang biasa
, kalau si toosoe kebanyakan sudah berusia lanjut, tapi orang-orang biasa masih
muda dan gagah romannya, pakaiannyapun serba merah, wajahnya semua keren, tidak
ada yang bersenyum..."
Mendengar keterangan itu. Giok Lo Sat tertawa.
"Itulah bukannya imam-imam akan menikah atau memapak kemantin," katanya. "
Mereka adalah kaum Boetong pay yang sedang berupacara untuk menyambut ketua mere
ka. Boetong pay adalah yang paling taat kepada aturan-aturannya. Ketika dulu mer
eka pergi ke rumah adik San Ho, untuk mencari ketua mereka, mereka juga berpasan
g-pasangan."
San Ho agaknya terkejut. "Kalau begitu, pasti It Hang, bakal pergi ke gunu
ngnya untuk menerima hukuman..." katanya.
"Beberapa paman gurunya It Hang ada sangat menjemukan, lebih-lebih Pek Sek
Toodjin. Entjie, mereka itu memapak, mari kita merampasnya!"
"Cis! Kau ngaco!..." bentak si nona Lian.
"Bukankah entjie yang bilang, siapa entjie suka, entjie akan rampas?" San
Ho tegaskan, "kenapa sekarang entjie main malu-malu kucing?"
"Hei, bocah, kau busuk! Apa kau sangka aku tak tahu hatimu?" kata Giok Lo
Sat. "To It Hang bersahabat kekal dengan Gak Beng Kie, sekarang kau ingin dengar
dari mulutnya It Hang tentang Beng Kie itu!"
Merah mukanya Nona Tiat, yang rahasia hatinya dibuka. Ia angkat tangannya,
hendak memukul nona kawannya itu.
Si Raksasi Kumala tertawa.
"Tetapi, bila kita hendak merampasnya, kita harus menanti dulu sampai suda
h lewat satu bulan," kata Giok Lo Sat. "Sekarang kemantin pun belum lagi disambu
t..."
"Muka tebal!" mencaci San Ho seraya menuding muka orang.
Tapi Giok Lo Sat lawan ia dengan tertawa.
Lewat lagi beberapa hari, pihak camat (tiekwan) jadi repot dan bingung. Pe
nduduk yang kelaparan mulai menerbitkan kekacauan. Camat mesti buka gudang untuk
menolong, tapi di lain pihak dia pun kirim utusan ke ibukota propinsi, untuk mi
nta bantuan tentaranya guna melindungi ketenteraman.
Gudang negara tak padat isinya, rakyat yang kelaparan itu cuma bisa ditolo
ng dua mangkok satu hari, juga dengan bubur encer. Syukur rakyat itu sabar dan m
enerima nasib, dua mangkok bubur pun cukup...
Tiekoan sudah menggunakan siasat, ia bekerja diam-diam dengan sejumlah har
tawan, untuk merangsum bubur itu. Ia tahu, tenaga tentaranya tidak cukup, ia amb
il sikap lunak. Sebenarnya ia telah pikir, begitu lekas tentara negeri tiba dari
ibukota propinsi, tidak nanti ia suka membagi bubur lagi.
Benar saja, ketika tiba bala bantuan, ia bersikap keras dengan memperlihat
kan tangan besi. Beberapa penduduk yang paling rewel dibekuk, mereka lantas dihu
kum mati.
Penduduk yang kelaparan itu menjadi kacau, mereka gusar tanpa berdaya. Mak
a kembali mereka pergi pada Giok Lo Sat, guna mohon bantuan, buat bekerja sama m
erampas rangsum negara...
Si Raksasi Kumala ketahui, jumlah tentara negeri cuma dua ribu jiwa, maka
ia suka berikan bantuannya, malah lantas iajanjikan saatnya untuk turun tangan.
Justeru pada hari itu tibalah utusan kaum Boetong pay, yang kembali dari S
iamsay habis memapak ketua mereka. Mereka tiba di Konggoan.
Sebenarnya It Hang tidak sudi menjadi ketua, atau tjiangboedjin, dari kaum
nya itu, akan tetapi janjinya tiga tahun berkabung telah sampai, ia tidak mempun
yai alasan lagi untuk menolak.
Pihak pemapak, yang diutus oleh Oey Yap Toodjin, terdiri dari dua belas mu
rid kepala, yang dipimpin oleh Ang In Toodjin dan Pek Sek Toodjin, dua di antara
Boetong Ngoloo. Maka itu berangkatlah It Hang dengan ambil jalan ke propinsi So
etjoan, kemudian masuk ke propinsi Ouwpak, untuk puiang ke Boetong san. Ketika i
tu hari mereka sampai di Konggoan, kota sedang berjaga-jaga, disebabkan huru-har
a rakyat penderita lapar. It Hang menghela napas, "Di luar ada musuh asing dan d
i dalam ada rakyat terlantar, kelihatannya kerajaan Beng sudah tak aman lagi..."
pikir dia.
Boetong pay mempunyai murid di pelbagai tempat, demikian pula di dalam kot
a Konggoan, dan satu muridnya berkedudukan di kuil Tjenghie koan, maka setelah m
emasuki kota, Pek Sek Toodjin pimpin rombongannya ke kuil tersebut.
It Hang tidak tahu bahwa Giok Lo Sat berada di sekitar kota Konggoan. Pada
suatu malam selagi rembulan agak guram, dan ia tak dapat tidur, tiba-tiba ia de
ngar satu ketokan perlahan pada jendela. Ia menyangka Pek Sek Toodjin. Tanpa bil
ang suatu apa, ia pentang jendelanya. Tapi begitu daun jendela terbuka, satu bay
angan hitam melompat masuk, hingga ia terperanjat, terlebih lagi ketika ia kenal
i Gak Beng Kie dengan bajunya robek dan berlumuran darah.
"Jangan berisik, saudara To!" kata orang she Gak itu separuh berbisik.
"Kau kenapa?" tanya It Hang. Beng Kie tidak menyahuti, ia hanya tiup api h
ingga padam.
"It Hang, apakah kau belum tidur?" demikian pertanyaan Pek Sek Toodjin dar
i kamar sebelah.
Belum sampai ia menyahut, Beng Kie sudah memberikan tanda dengan menggelen
gkan kepala dan tangannya menunjuk, lalu tangan itu digoyang-goyangkan, maksudny
a supaya orang she To ini tak memberitahukan hal adanya ia di situ. Maka It Hang
jawab saja: "Aku sudah tidur tapi sekarang aku terjaga untuk minum teh. Baiklah
soesiok pun tidur." Terus ia bisiki sahabatnya: "Ini paman guruku sangat menyeb
alkan..."
Dengan berindap, Beng Kie bertindak ke pembaringan, sesudah membuka sepatu
nya, ia naik, untuk rebahkan diri, dengan begitu, berdua mereka dapat rebah bere
ndeng dan sambil rebah-rebahan, pemuda she Gak itu tuturkan pengalamannya yang h
ebat.
Setelah Him Teng Pek letakan jabatannya kengliak di Liauwtong, penggantiny
a adalah Wan Eng Tay, yang bukan seorang ahli peperangan. Maka ketika angkatan p
erang Boantjioe maju di bawah pimpinan Nuerhacha -- pasukan mana bergerak berbar
eng di darat dan air, -- dalam satu gebrakan Simyang kena dirampas dan lalu Liau
wyang terjatuh. Dua punggawanya Eng Tay terbinasa oleh bala tentara Boantj ioe.
Mereka adalah Hoo Sie Hian dan Yoe Sie Kong, yang binasa di bawah hujan anak pan
ah. Eng Tay sendiri, yang pegang pimpinan dari lauwteng tembok kota di atas kota
Liauwyang bagian timur utara, setelah jatuhnya kota, mati dengan membakar diri.
Ketika itu bangsa Boantjioe masih disebut bangsa Kim, bangsa itu belum mem
bangun Tay Tjeng kerajaan Tjeng yang besar. Maka juga Nuerhacha masih sebut diri
nya "Khan yang besar" (Tay Khan).
Dengan kekalahan itu, delapan sampai sembilan bagian dari sepuluh bagian t
entara Beng terbinasa dan terluka, dan daerah Liauwhoo ke timurnya, semua habis
diduduki musuh. Sama sekali telah hilang lebih daripada lima puluh kubu-kubu ben
teng dan tujuh puluh lebih kota kecil.
Kerajaan Beng tergetar karena kekalahan itu, sampai kaisar Yoe Kauw ingat
akan pesan almarhum ayahandanya, maka segera ia pecat semua menterinya yang dulu
memusuhi Him Teng Pek, terus dia kirim utusan istimewa ke Kanghee, Ouwpak, guna
mengundang kembali Him Kengliak, untuk diangkat menjadi penanggung jawab di Lia
uwtong. Hanya, walaupun Teng Pek telah dapatkan Sianghong Pookiamnya, pedang keb
esarannya, tapi kekuasaan yang berarti tidak lagi ada di tangannya seperti dahul
u.
Menurut aturan kerajaan Beng, wilayah Liauwtong dipecah menjadi tiga jawat
an. Yang pertama ialah Kongleng Soenboe, penguasa di Kongleng, yang tentaranya t
erdiri dari tentara darat. Yang dua lagi, semuanya pasukan air, adalah Thiantjin
Soenboe dan Honglay
Soenboe. Kedudukan Him Kengliak, yang di tengah, adalah kota Sanhaykwan. D
ari tempat kedudukannya ini, Him Kengliak mengatur rencana pembelaannya, yang ke
mudian tersohor sebagai "Rencana Tiga Jurusan" dalam peperangan kerajaan Beng me
lawan bangsa Boan.
It Hang mengerti taktik perang, mendengar rencananya Him Kengliak itu ia b
erkata pada Beng Kie: "Kengliak memang ada satu panglima pandai, dengan rencanan
ya ini, untuk menyerang dan membela diri, dia tentu tidak bakal gagal."
Tetapi rencana merupakan barang mati dan manusia adalah makhluk hidup," ka
ta Beng Kie. "Rencana membutuhkan tentara, yang dapat diperintah-perintah. Renca
na juga memerlukan perwira-perwira yang mendengar titah. Tanpa ada kerja sama di
ketiga pihak, rencana hanyalah sehelai kertas saja."
"Him Kengliak pandai mengambil putusan, apa masih ada perwira yang tidak t
aat kepadanya?"
Beng Kie menghela napas. "Ketika dahulu Perdana Menteri Poei Tjiong Tiat d
ipecat, dia digantikan Yap Siang Kho," katanya dengan perlahan. "Dia ini ada seb
angsa Goei Tiong Hian. Di antara tiga soenboe sebawahannya Him Kengliak, Soenboe
Ong Hoa Tjeng di Kongleng adalah yang mempunyai pasukan paling kuat, tetapi dia
justeru muridnya Yap Siang Kho, dia tidak suka dengar titahnya Kengliak, ketika
Kengliak hendak pusatkan tentara di Kongleng, dia justeru hendak memencarkannya
. Bekas pasukan Kengliak, yang berada di bawah pimpinan Wan Eng Tay, setelah dua
kali peperangan di Liauwyang dan Simyang, telah menjadi korban hampir semua ser
dadu, maka itu sekarang, ia cuma dapat kumpulkan beberapa ribu jiwa serdadu suka
rela saja, di pihak lain, pasukannya Ong Hoa Tjeng terdiri dari belasan laksaji
wa. Walaupun ia seorang Kengliak dan memegang pedang kekuasaan Sianghong Pookiam
, iajauh kalah kuat daripada Ong Hoa Tjeng. Untuk memusatkan tentara itu, keduan
ya, Kengliak dan Ong Hoa Tjeng pernah menyampaikan soal kepada pemerintah agung,
akan tetapi Yap Siang Kho membelai Ong Hoa Tjeng. Yang hebat adalah putusannya,
bahwa Ong Hoa Tjeng tak usah jatuh di bawah kekuasaannya Kengliak."
"Jikalau demikian adanya, pasti keadaan di Liauwtong ada sulit," kata It H
ang. "Saudara, kenapa kau tidak mendampingi Kengliak, malah kau meninggalkannya
dan pulang seorang diri?"
Pertanyaan ini sampai sekian lama tidak dijawabnya, ketika ia pandang saha
batnya itu, tampak air matanya berlinang-linang hingga ia jadi sangat heran.
"Eh, kenapakah kau?" dia tanya. Beng Kie menahan kesedihannya. "Mari denga
r keteranganku," sahutnya kemudian. "Meski benar Him Kengliak setibanya di
Liauwtong tidak mempunyai pasukan serdadu, tetapi dua kali ia pernah menangk
an pertempuran. Yang mendongkolkan adalah Ong Hoa Tjeng, sudah ia tak tahu siasa
t perang, dia juga memandang enteng kepada musuh. Pihak Boantjioe dapat tahu, Ke
ngliak dan Hoa Tjeng tidak cocok satu pada lain, dia sudah bawa angkatan perangn
ya menyeberangi sungai Liauwhoo. Ong Hoa Tjeng telah pencarkan pasukannya, dalam
pertempuran semua pasukannya itu kena terhajar musuh, kerusakannya lebih hebat
daripada kekalahannya di Liauwyang dan Simyang baru-baru ini. Dia telah runtuh.
Syukur, dengan lima ribu serdadunya, Him kengliak dapat lindungi dia hingga dia
bisa pulang ke kota. Karena kekalahan ini, daerah Liauwhoo barat telah jatuh ke
tangan musuh, begitupun kota Kongleng. Berdua Ong Hoa Tjeng, Kengliak pulang ke
Koanlwe, keduanya ditangkap pemerintah, tetapi Goei Tiong Hian dan Yap Siang Kho
, yang bersekutu sama konco-konconya, telah menuduh dan mendakwa Kengliak. Yoe K
auw tidak tahu apa-apa, ia menduga karena Kengliak kalah perang, lantas Kengliak
dipersalahkan." It Hang terkejut.
"Bagaimana kesudahannya," tanya dia.
"Kasihan Kengliak, karena fitnahan dia telah binasa secara kecewa..." sahu
t Beng Kie.
Hampir It Hang menjerit, syukur sahabatnya keburu bekap mulutnya. Maka itu
, ia hanya menangis saja, air matanya bercucuran.
"Kengliak menutup mata dalam musim dingin," Beng Kie melanjutkan keteranga
nnya. "Kaisar Yoe Kauw sangat kejam, menurut cerita Yap Siang Kho, kekalahan di
Liauwtong itu dipersalahkan semuanya kepada Kengliak, maka Kengliak telah dihuku
m mati, ia dihukum picis! Sebaliknya Ong Hoa Tjeng mendapat hukuman enteng sekal
i, dia hanya dipecat..."
Mendengar itu, It Hang menangis tersedu-sedu.
"It Hang, kenapa kau masih belum tidur?" tegur pula Pek Sek Toodjin dari k
amar sebelah.
It Hang berpura-pura mimpi, ia bergulingan, ia tendang pembaringan.
"Ah, aku mimpi melihat soehoe!..." sahutnya.
"Jangan kau pikir yang tidak-tidak," Pek Sek kata. "Besok kita harus melan
jutkan perjalanan."
"Ya," sahut It Hang, lalu ia berbisik pada Beng Kie: "Jangan kau pedulikan
dia. Hayo kau bercerita terus. Kau liehay sekali, kenapa kau terluka?"
"Setelah Kengliak mati, Goei
Tiong Hian kirim orang untuk menawan aku," Beng Kie lanjutkan. "Hatiku sud
ah dingin, aku ingin menyingkir ke Thiansan. Kemarin di tengah jalan, aku ketemu
rombongannya Bouwyong Tjiong, hingga kita mesti bertempur hebat. Aku berhasil m
embinasakan empat musuh pahlawan-pahlawan Kimiewie, setelah itu, aku loloskan di
ri. Bouwyong Tjiong benar-benar liehay, ia kejar terus padaku sampai di Konggoan
. Aku gunakan saat gelap dari sang malam ini, untuk datang kemari. Apakah paman
gurumu sambut kau untuk diangkat menjadi ketua?"
"Ya. Mereka menggembar-gemborkan, hingga semua orang tahu. Aku merasa tak
enak."
Beng Kie rogoh sakunya, dari mana ia keluarkan sejilid kitab, la serahkan
itu pada sahabatnya.
"Tolong kau simpan buku ini," katanya. "Apabila kau bertemu satu panglima
pandai sebagai Him Kengliak, berikan kitab ini padanya. Aku kuatir, selanjutnya
tak akan ada lagi orang semacam panglima pandai itu..."
"Buku apakah ini?" tanya It Hang.
"Selama tiga tahun Kengliak berdiam di rumahnya, ia gunakan kesempatan ini
untuk mengarang kitab, yang diberi nama Liauwtong Toan, kisah dari Liauwtong. D
i sini ia catat pelbagai siasat perang, tentang musuh kosong atau berisi, kuat a
tau
476
lemah, cara bagaimana harus melayaninya. Kitab ini ditujukan terutama untu
k menghadapi Bangsa Boan. Goei Tiong Hian mencoba menawan aku, mungkin disebabka
n kitab ini yang dia ingin punyakan. Kau adalah ketua dari Boetong pay, paling s
elamat apabila kaulah yang menyimpannya."
It Hang masukkan kitab itu ke dalam sakunya. Justeru itu di luar terdengar
suara, yang kemudian disusul dengan suara toasoeheng-nya Gie Sin Seng: "Soesiok
, di luar ada orang datang mencari!"
It Hang lantas pasang kupingnya. Segera terdengar tindakan kaki dari Pek S
ek Toodjin.
"Aku hendak pergi sekarang," kata Beng Kie. "Mungkin itu ada pengejarku."
"Kita harus bekerja sama," It Hang kata. "Kalau itu benar pengejarmu, lebi
h baik kau jangan menyingkir seorang diri."
Itu waktu Pek Sek Toodjin sudah membuka pintu kuil, di luar kelihatan Bouw
yong Tjiong bersama Kim Tok Ek, paman dan keponakan, dan di belakang mereka ada
serombongan orang, mungkin beberapa puluh jiwa banyaknya. Maka imam itu terperan
jat.
"Selamat bertemu, selamat bertemu!" kata Bouwyong Tjiong sambil tertawa. "
Dulu kita telah bentrok satu pada lain, tapi itu ada urusan kecil dan kau terlib
at karena keliru mengerti, maka sekarang, urusan telah selesai sendirinya, tak u
sah kita menyebut pula. Hanya malam ini di dalam kuilmu bersembunyi pemburon yan
g dicari pemerintah agung dan ini bukannya urusan kecil lagi, apabila kau anggap
dirimu putih bersih, silakan kamu serahkan pemburon itu kepada kami."
Pek Sek menjadi heran.
"Pemburon apa?" tanya dia.
"Dialah Gak Beng Kie si bocah!" Bouwyong Tjiong beritahu.
Pek Sek menjadi gusar dengan tiba-tiba.
"Mungkinkah aku melindungi bocah itu?" katanya.
"Kalau demikian pikiranmu, ini baik," kata Bouwyong Tjiong. "Sekarang tak
usah kami menerjang masuk ke dalam kuil, untuk menangkapnya, kau saja yang belen
ggu dia dan membawanya keluar!"
"Sepanjang malam aku berdiam di dalam kuil, tidak pernah aku melintas kelu
ar, apabila benar dia datang kemari, mustahil aku tidak tahu?" kata imam ini. "D
i dalam kuil ini, semuanya orang-orang kami kaum Boetong pay! Di mana ada Gak Be
ng Kie di antara kami?"
"Pek Sek Toodjin, bukannya aku pandang enteng pada kau," berkata Kim Tok E
k, "tetapi harus kau insaf halnya seorang yang berkepandaian tinggi. Gak Beng Ki
e itu bersahabat sangat erat dengan tjiangboendjin mu!"
Pek Sek beradat tinggi tidak dapat ia terima kata-kata seperti itu, saking
mendongkolnya, wajahnya menjadi merah.
"Baik, kamu boleh masuk dan memeriksanya!" ia berteriak. "Jikalau kamu tid
ak dapatkan bocah itu, kamu mesti paykoei tiga kali terhadapku!"
Dan ia pentangkan kedua daun pintu.
Tanpa berayal lagi, Bouwyong Tjiong beramai menerobos masuk.
Semua orang Boetong pay' menjadi terkejut, sampai Ang In Toodjin pun kelua
r dari kamarnya.
Bouwyong Tjiong atur orang-orangnya, untuk menjaga di dalam dan di luar, s
etelah selesai dia bertanya: "Mana kamarnya ketua kamu?"
Pek Sek melirik kepada pihaknya, ia lihat semua dua belas murid Boetong ad
a, melainkan To It Hang yang tidak nampak. Ia j adi ragu-ragu. Tapi ia memikir,
It Hang ambil kamar di sebelah kamarnya, mustahil ia tidak tahu andaikata ada or
ang masuk ke kamarnya ketua itu.
"Nanti aku ajak kamu pergi ke kamarnya," katanya. "Ingat, kamu harus mengh
ormati undang-undang kaum Rimba Persilatan."
Bouwyong Tjiong tertawa.
"Itulah pasti!" sahutnya. "Mustahil kami berani berlaku tak hormat terhada
p ketua kamu?"
Pek Sek ajak orang ke kamarnya
It Hang. Ia lantas mengetok pintu.
"It Hang, buka pintu!" ia memanggil.
Suara jawaban datangnya lambat sekali, dibarengi dengan dibukanya pintu.
"Ya," demikian jawaban itu, lalu It Hang berdiri dengan tenang di ambang p
intu kamarnya. "Perlu apa kamu datang kemari?" ia tanya.
Kim Tok Ek bertindak masuk ke dalam kamar, matanya celingukan. Di situ tak
nampak Gak Beng Kie.
Kim Tjian Giam penasaran, ia singkap kelambu, terus berjongkok, akan melon
gok ke kolong pembaringan. Dia juga tak lihat satu bayangan manusia.
Menampak demikian, It Hang berseru: "Boetong pay termasuk kepala dari kaum
Persilatan, dapatkah dia membiarkan orang berlaku kurang ajar terhadapnya?"
Inilah hasutan untuk semua saudara seperguruannya dan pamannya. Pek Sek gi
rang atas sikapnya ketua yang muda ini, di dalam hatinya, ia berkata: "Bocah ini
tidak kecewa, dia dapat bawa diri sebagai ketua! Aku mesti tunjang padanya..."
Maka berkatalah ia dengan membentak: "Kim Laokoay! Jikalau kau tidak menghaturka
n maaf terhadap ketua kami ini, jangan kau pikir untuk dapat keluar dari pintu k
uil ini!"
Kim Tok Ek tertawa dingin. Ia ingin mencoba Pek Sek Toodjin, tapi Bouwyong
Tjiong tarik kawannya itu.
"Kamar yang sebelah ini kamar siapa?" tiba-tiba dia tanya.
Pek Sek memperlihatkan roman murka.
"Itulah kamarku!" jawabnya dengan bengis.
Bouwyong Tjiong tertawa. "Apakah kau tidak hendak undang kami duduk-duduk?
" dia kata dengan licin. "Di dalam kamarmu masih belum terlambat untuk menghatur
kan maaf. Saudara To itu adalah ketuamu tetapi dia toh tetap ada sebawahan kau,
maka itu, untuk menghaturkan maaf seharusnya itu dihaturkan kepadamu!..."
Kata-kata itu dikeluarkannya secara menyindir.
Pek Sek menjadi gusar sekali, hingga ia tersentak bangun dan lompat menuju
pintu kamarnya, yang terus saja dipentangnya.
"Mari!" serunya, menantang. Baru saja ia hendak mengucapkan kata "lihat",
tiba-tiba ia menjadi kaget, ketika ia pentangkan kelambu, tampaklah Beng Kie di
atas pembaringan duduk seorang diri, sikapnya tenang sekali...
Itulah hasil permupakatan di antara It Hang dan si anak muda she Gak, untu
k membuat Pek Sek Toodjin terlibat dalam urusan Beng Kie. la masuk ke kamar si i
mam di waktu imam itu keluar.
Kim Tok Ek tertawa gelak-gelak, agaknya ia puas, terus ia mengejek.
Bouwyong Tjiong sebaliknya sangat gusar, ia lompat ke dalam, sebelah tanga
nnya terus melayang ke arah muka orang she Gak.
Menampak datangnya serangan, Beng Kie mendahului lompat turun, sambil meng
hunus pedangnya, untuk menabas lengan si penyerang. Maka dalam sekejap saja, mer
eka berdua sudah bertempur.
Pertempuran segera menjadi hebat, hingga meja terbalik, pembaringan tersun
gkar, kamarnya Pek Sek Toodjin menjadi sangat kalut.
Pek Sek Toodjin berdiri tercengang, melihat kejadian itu hingga ia tak dap
at lantas membuka mulutnya. Justeru itu, Kim Tok Ek ulur tangannya, hendak membe
kuk Beng Kie. Akan tetapi It Hang menghunus pedangnya untuk merintangi serangan
itu.
"Soesiok, merekalah yang lebih dahulu berlaku tak tahu adat!" seru ketua m
uda itu. "Saudara Gak ini adalah sahabat kami kaum Boetong pay, tidak dapat dia
dibiarkan ditangkap oleh sembarang orang!"
"Boetong pay tinggal Boetong pay, habis kau mau apa?" Kim Tok Ek menantang
. "Kamu melindungi penjahat yang dicari kaisar, kedosaanmu ini tak dapat kamu tu
tupi lagi!"
"Soesiok, jangan dengarkan ocehannya!" It Hang berseru pula. "Mereka itu m
enggunakan Firman palsu, untuk melampiaskan sakit hati sendiri!"
Pek Sek Toodjin belum tahu halnya Him Teng Pek telah terbinasa, tetapi ia
masih ingat urusan panglima itu, yang dulu hendak dibikin celaka dengan firman p
alsu, sedang Gak Beng Kie adalah pembantu penting dari Teng Pek itu, maka masuk
diakallah kalau sekarang, si anak muda juga hendak disingkirkan. Teringat ini, i
a menjadi berani. Pikirnya: "Bila Gak Beng Kie bukan pemburon raja, tetapi urusa
n perseorangan, siapa juga dapat bantu padanya... Aku tidak suka akan bocah ini,
akan tetapi aku mesti bela kehormatannya Boetong pay..."
Ketika imam ini memikir demikian, ia lihat It Hang terdesak Kim Tok Ek, ya
ng tangannya liehay tidak jeri melawan pedangnya pemuda she To itu, maka tidak b
ersangsi lagi, ia cabut pedangnya dan ceburkan diri dalam pertempuran.
"Berontak! Berontak!" Kim Tok Ek berseru berulang-ulang.
"Kamu adalah kurcaci kaum Rimba Persilatan, siapa juga dapat singkirkan ka
u!" bentak Pek Sek. "Kau rasakan pedangku ini!"
Paman guru dari It Hang ini lantas menyerang hebat dengan Tjitcapdjie tjio
e Lianhoan Toatbeng kiam, atau ilmu pedang "Perampas Jiwa" yang mempunyai runtun
an jurusan sampai ke tujuh puluh dua.
Gak Beng Kie terus layani
Bouwyong Tjiong, dari dalam kamar, mereka bertempur sampai di luar.
Pertempuran kalut itu menyebabkan Ang In Toodjin bersama dua belas murid k
epala dari Boetong pay terpaksa turun tangan, hingga mereka jadi bentrok dengan
rombongan pahlawan istana yang dibawa orang she Bouwyong itu.
Bukan main keruh dan berisiknya suasana itu.
Gak Beng Kie dan Bouwyong Tjiong merupakan satu tandingan yang setimpal: y
ang satu ahli silat tangan kosong (kepalan), yang lain ahli pedang. Sebegitu jau
h nampaknya mereka berimbang sekali.
Di lain rombongan sebenarnya, Pek Sek bukanlah tandingan dari Kim Tok Ek,
akan tetapi ia sanggup melawannya. Inilah disebabkan pada tiga tahun yang lampau
, orang she Kim itu pernah diputuskan tulang pipanya oleh Giok Lo Sat, benar Ang
hoa Koeibo telah menolongnya, dengan obatnya yang manjur sekali, tetapi pengobat
an itu meminta tempo lama, meski sekarang tulangnya telah sembuh, toh selama tig
a tahun, Tok Ek tak pernah berlatih sebagai dulu lagi, maka itu ia jadi sangat m
undur. Demikian, keduanya pun jadi berimbang.
Adalah di pihak rombongan pahlawan istana, mereka tak sanggup pertahankan
diri dari serangannyaAn In Toodjin serta dua belas murid kepalanya, terpaksa mer
eka itu mundur sampai di suatu pojok.
Bouwyong Tjiong yang liehay dapat melihat pihaknya keteter, segera ia perd
engarkan seruannya yang nyaring dan panjang, atas mana semua pahlawan yang di te
mpatkan di luar segera menyerbu masuk, untuk membantui kawan-kawannya. Dengan be
gitu, pihak Ang In dan pahlawan ini pun jadi sama tangguhnya.
Selagi pertarungan berjalan sangat serunya, tiba-tiba terdengar teriakan d
ari beberapa pahlawan istana yang berada di dekat pintu pekarangan. Mereka berte
riak-teriak: "Kebakaran di dalam kota!"
Bouwyong Tjiong semua menjadi terperanjat. Pasti sekali mereka tak tahu, t
empat mana yang terbakar dan apa sebabnya. Sedang perbuatan itu sebenarnya adala
h perbuatannya Giok Lo Sat dan Tiat San Ho dengan beberapa serdadu wanitanya ber
sama-sama dengan rakyat jelata yang dalam kesukaran. Mereka menggunakan ketika i
ni dengan melepaskan api, membakar kantor camat, setelah merampas alat senjata,
mereka bentrok dengan tentara di dalam kota. Celaka bagi pihak tentara karenajum
lahnya sampai jadi ribuan jiwa.
Biasanya rakyat jelata itu tidak berani melawan pembesar negeri atau tenta
ra, biasanya mereka terima ditindih, mereka menahan sengsara, mati kelaparan pun
tak apa, tetapi sekarang ada orang yang pimpin mereka, mereka menjadi nekat. Me
reka pikir, nekat mati, tidak nekat pun mati juga. maka lebih baik nekat, mungki
n ada hasilnya...
Demikian, dalam jumlah ribuan, atau belasan ribu, rakyat jelata itu baaika
n gelombang dahsyat menggempur gili-gili sungai, dengan berani mereka serang ten
tara negeri. Giok Lo Sat sendiri maju mencari si punggawa perang, begitu bertemu
, dia lantas bekuk dan lemparkan orang itu ke dalam api berkobar!
Maka dalam sekejap saja, barisan serdadu yang kehilangan pemimpin itu menj
adi kacau.
Giok Lo Sat pegang pimpinan sampai ia dapatkan banyak serdadu roboh sebaga
i korban luka atau binasa dan sisanya menyerah, lalu ia serahkan rakyat melarat
itu kepada Tiat San Ho, ia sendiri terus lari ke arah kuil Tjenghie koan.
Itu waktu sudah lewat tengah malam.
Di kuil, Bouwyong Tjiong dan Kim Tok Ek hanya terperanjat dan berkuatir, m
ereka tidak ambil tindakan, sampai Kim Tjian Giam serukan mereka: "Mari kita bek
uk si pemberontak, jangan kita pedulikan pihak Boetong pay!"
Itulah tipu daya memecah lawan, mereka hendak meluruk kepada Gak Beng Kie.
Orang-orang Boetong pay telah dibikin murka, tentu sekali tak suka mereka
beri kesempatan kepada orang mengepung si orang she Gak, maka itu, mereka rintan
gi serbuan rombongan pahlawan itu, hingga tetap mereka bertempur secara kalut. S
elama itu, mereka bisa saksikan api di dalam kota berkobar makin besar.
Rim Tjian Giam penasaran, ia tinggalkan Pek Sek Toodjin, ia menerjang ke a
rah Gak Beng Kie, akan tetapi gerakannya itu dapat dilihat oleh To It Hang, yang
segera merintanginya.
Secara hebat Beng Kie serang Bouwyong Tjiong. Ia telah gunakan ilmu silat
Thiansan kiamhoat jurus "Ieseng tektauw" atau "Pindahkan bintang -- menggeser bi
ntang",
guna menusuk kedua mata dan menikam tenggorokan berturut-turut. Itulah ilm
u pedang kaum Thiansan yang hebat. Mau tidak mau, Bouwyong Tjiong kena terdesak,
maka ketika itu digunakan pemuda she Gak ini untuk lompat keluar kalangan.
"Saudara Gak, pergilah duluan!" seru It Hang.
Kim Tjian Giam lompat, untuk pegat Beng Kie, tetapi pemuda itu tidak lari,
walaupun tangan orang itu liehay. Dengan gunakan sarung tangannya yang istimewa
, ia menangkis dengan tangan kanan dan tangan kirinya dipSEaTmenggempur, hingga
tanpa ampun, pencegat itu limbung terhuyung tubuhnya.
To It Hang juga tidak diam sambil mendek diri ia mendesak, ujung pedangnya
menyambar tangannya Kim Tok Ek, hingga tangannya jago itu terluka. Dan ketika y
ang baik ini digunakan Beng Kie untuk noblos keluar, terus lompat naik ke atas g
enteng dan menghilang...
Bukan kepalang murkanya Kim TokEk.
"To It Hang adalah konco penjahat!" dia berteriak. "Penjahat tak dapat dib
ekuk, bekuk dia saja!" Dan segera dia maju menyerang, dengan mainkan kedua tanga
nnya dia mendesak.
It Hang menjadi repot
Pek Sek Toodjin tidak bisa membantui ketuanya yang muda itu, karena ia dir
intangi Bouwyong Tjiong. Ia pun menghadapi suasana genting.
Di antara murid-murid Boetong pay yang bisa noblos, untuk berikan pertolon
gan kepada ketuanya, akan kepung Kim Tok Ek, tetapi mereka tidak bisa berbuat ba
nyak, mereka pun dapat didesak jago she Kim itu.
Akhir-akhirnya pedangnya It Hang kena ditendang Tok Ek, sampai terlepas da
ri cekatannya dan terpental.
"Ha-ha-ha-ha!" Tok Ek tertawa, sambil mengulurkan tangannya untuk menjamba
k jantung orang.
Belum sampat tertawanya orang she Kim ini berhenti, satu suara tertawa lai
n yang halus tetapi nyaring mendengung di antara mereka yang sedang mengadu kepa
ndaian. Suara tertawa inipun tajam didengarnya oleh Tok Ek, seperti menusuknya j
arum, hingga ia kaget tak terkira. Dengan sendirinya, cengkeramannya menjadi aya
l...
It Hang berkelit dari jambakan hebat itu, yang bisa membuat jantungnya ter
betot keluar, iapun kaget berbareng girang. Ia kenal akan suara tertawa itu.
Apabila ia berpaling ke arah dari mana suara itu datang, ia tampak Giok Lo
Sat melayang turun dari atas payon kuil, tubuhnya bagaikan tubuh burung walet e
ntengnya.
Kim Tok Ek kaget tidak kepalang. Pada tiga tahun yang lalu, ia telah dikal
ahkan si nona, apapula sekarang, sesudah ilmu silatnya mundur sangat jauh.
Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak apabila ia tampak orang she Kim itu.
"Ha, sungguh baik isterimu yang berhati kumala itu!" menggoda si nona. "Ke
mbali kau diijinkan keluar mengembara! Apakah tulang pipamu telah sembuh?"
Tok Ek sangat berkuatir.
Ia bukan dimerdekakan isterinya, ia hanya berlalu dari isterinya secara di
am-diam. Sekarang Giok Lo Sat sebut isterinya, maka ia ingat akan perbuatannya d
an menjadi gelisah. Teringatlah ia kepada kata-kata isterinya, yaitu apabila ia
tidak bisa kendalikan diri dan keluar merantau pula, hidup atau mati tidak akan
dipedulikan pula oleh isterinya. Maka, karena jerinya, ia tinggalkan It Hang dan
lari kabur dari pintu kuil.
Giok Lo Sat tertawa dan sambil menggerakkan kaki dan tangannya, ia terjang
rombongan pahlawan itu. Sebentar saja ia telah robohkan beberapa pahlawan, hing
ga terbukalah jalan untuk ia maju ke arah Kim Tok Ek, yang ia kejar dengan seger
a. Benar-benar luar biasa gesitnya, baru Tok Ek molos di pintu besar atau tubuhn
ya nona ini sudah melesat dan pedangnya ditikamkan ke depan.
"Aduh!" demikian jeritan Tok Ek, yang kakinya kena tertikam, dan bagaikan
sebuah holouw, atau cupu-cupu, tubuhnya roboh terguling!
Bouwyong Tjiong tampak robohnya kawannya itu, ia jadi sangat gusar. Ia lom
pat meninggalkan Pek Sek Toodjin, dengan mengulurkan sebelah tangannya ia gempur
bebokongnya si nona. Hebat serangannya ini.
Giok Lo Sat lihat datangnya serangan itu, dengan lincahnya ia berkelit. Ta
pi ia tidak menyingkir jauh. Dengan mundur setindak, ia lantas menjejak tanah de
ngan kakinya yang dimundurkan itu, kaki yang lain dientengkan, dipakai membantu,
lantas tubuhnya mencelat tinggi melewati kepala lain lawan, berbareng mana iapu
n menikam dengan pedangnya. Maka tidak ampun lagi, robohlah pahlawan yang ia ser
ang itu menimpa kawannya yang berkelahi di dekatnya.
Setiap serangannya Giok Lo Sat adalah jalan darah, maka itu setiap korbann
ya roboh dengan bergulingan karena sakitnya luka itu. Ia tidak hiraukan lagi mer
eka yang roboh, ia hanya serang yang lain-lain, yang masih berani mengepung pada
nya. Cepat sekali ia merobohkan dua atau tiga belas pahlawan, hingga pahlawan-pa
hlawan lainnya menjadi jeri.
Begitu ia bebas dari desakan dan sebelum Bouwyong Tjiong sempat datang dek
at padanya, Giok Lo Sat menghampiri Pek Sek Toodjin, di samping siapa ia lewat s
ambil tertawa!
"Janji adu pedang tiga tahun yang lampau itu masihkah dianggap sah?" tanya
nya.
Imam itu membungkam, mukanya meringis, sebab tak dapat ia menangis atau te
rtawa.
Giok Lo Sat masih terus beraksi, ia dapat lukai lagi dua pahlawan yang tet
ap masih mengepung imam dari Boetong pay itu.
Bouwyong Tjiong jadi sangat mendongkol, karena itu, ia hajar roboh satu mu
rid Boetong pay yang menghalang di hadapannya, lalu ia mencoba menghampiri si no
na.
Giok Lo Sat menyambutnya dengan tertawa.
"Bouwyong Tjiong?" kata si nona ini, "kawan-kawanmu yang rebah bergulingan
di tanah sudah cukup untuk kau mengurusinya, maka itu perkenankanlah aku untuk
tidak menemani kau lebih lama pula!..."
Sehabis mengucap demikian, nona itu mencelat ke samping It Hang.
"Untuk apa kau berkelahi mati-matian di sini melayani mereka?" tegurnya sa
mbil tertawa. Kata-kata ini dibarengi dengan gerakan tangannya tak disangka-angk
a, hingga tahu-tahu anak muda itu sudah kena ditotok jalan darah di bahunya. Men
yusul itu, tanpa berdaya lagi tubuhnya disambar si nona, diangkat untuk dibawa p
ergi!
Pek Sek Todjjn terperanjat, sampai dia berteriak, lantas dia memburu. Teta
pi dia terlambat, sampai di luar kuil, si nona dan ketuanya yang muda itu sudah
tak tampak lagi.
"Celaka, celaka!" seru dia berulang-ulang, karena mendongkol berbareng men
yesal. Terus ia memberi hormat terhadap Bouwyong Tjiong, dan berkata: "Berdua ki
ta telah kalah dan terluka, kita tak usah bertempur lebih jauh..."
Bouwyong Tjiong menoleh pada rombongannya, hatinya gentar melihat demikian
banyak korban. Ia insaf, percuma pertempuran dilanjutkan, mungkin pihaknya meng
alami kekalahan. Maka ia terima baik tawarannya imam itu, hingga keduanya bersam
a-sama mengurus orangnya sendiri...
Giok Lo Sat sendiri telah menyingkir sampai beberapa lie, baru ia turunkan
It Hang.
"Apakah artinya ini?" tanya anak muda itu yang menyesali.
"Tanpa berbuat begini, tidak dapat aku undang kau," sahut si nona.
It Hang ingat kekukuhan paman gurunya, ia menyeringai.
"Mungkin mereka itu sangka kau telah menculik aku," katanya. "Kau tinggal
di mana?"
"Mari ikut aku," sahut Giok Lo Sat, yang menyahut bukan dengan jawabannya.
Ia pun merasa lucu sendirinya atas perbuatannya ini, karena ia lantas ingat pad
a lelucon orang "merampas kemanten".
It Hang ikut nona ini, yang mengajaknya sampai di selat Benggoat kiap, wak
tu itu cuaca sudah terang tanah. Angin fajar meniup dengan halusnya.
"Mari!" mengajak terus si nona, yang berlari-lari di sebelah depan mendaki
bukit. Baru ia hendak teriaki liauwlonya, mendadak ia dengar teriakan tajam dar
i It Hang, maka batallah maksudnya, sebaliknya, sambil memutar tubuh, ia lompat
turun kepada pemuda itu.
"Ada apa?" tanyanya.
It Hang baru sampai di mulut lembah ketika si nona sampai di sampingnya, t
etapi segera ia lompat ke atas tanjakan di dekatnya.
"Aku seperti lihat orang," jawabnya. "Sekejab saja, dia lenyap pula. Tak d
apat aku melihat nyata. Coba kau kemari!"
"Siapa berani datang ke sini?" kata Giok Lo Sat, seraya lompat naik mendek
ati si anak muda, terus ia memandang ke empat penjuru. Agaknya ia tidak lihat si
apa juga. Ia tertawa, lalu berkata: "Tempat ini sangat berbahaya, umpama musuh d
atang sendiri kemari, seperti juga dia mengantarkan jiwanya. Mungkin ini hanya p
erasaan saja, ataukah matamu agak kabur?"
"Ketika tadi kau lari naik, kebetulan aku berpaling," menerangkan It Hang.
Baru ia mengucap demikian, atau suaranya terputus. Karena dengan tiba-tiba saja
, tangannya si nona terayun dan cahaya mengkilap melesat ke samping mereka di ma
na ada tumpukan rumput tebal. Dan menyusul sambaran benda mengkilap itu, dari da
lam tumpukan rumput itu lompat muncul satu orang!
Giok Lo Sat sangat cerdik, matanya awas sekali, kupingnyapun terang luar b
iasa, begitu ia dengar keterangannya It Hang, diam-diam ia berlaku waspada, di l
ain pihak, ia berpura-pura tak percaya, sengaja ia omong besar tentang keletakan
lembahnya itu. Segera ia dapat kenyataan benar ada orang yang tengah mengintai
mereka berdua, maka ia menyerang dengan senjata rahasianya, jarum Tengheng tjiam
.
Selagi menyerang itu, ia kata dalam hatinya: "Walaupun kau liehay, tidak n
anti kau lolos dari jarumku ini!"
Akan tetapi, orang tak dikenal yang diserang itu nyata lolos dari bahaya m
aut, dia malah lompat keluar dari tempat sembunyinya, hingga segera dapat dikena
li, dia adalah Anghoa Koeibo Kongsoen Toanio, isterinya Kim Laokoay Kim Tok Ek!
Lantas saja si Biang Hantu Bunga Merah tertawa terbahak-bahak.
"Baru tiga tahun kita berpisah, nyata tanganmu bertambah liehay!" dia kata
. "Secara begini kau sambut tetamu tidakkah itu ada keterlaluan?"
Kata-kata ini disusul dengan gerakan tongkatnya yang berkepala naga ke ara
h tanah hingga menerbitkan suara dan kepalanya digoyangkan, hingga bunga merah d
irambutnya turut melambai-lambai!
Biar bagaimana, Giok Lo Sat terperanjat juga. Tak disangka olehnya pengint
ai itu adalah Biang Hantu yang liehay. Tapi ia lekas dapat tenangkan diri. Maka
iapun tertawa.
"Kiranya kau!" katanya dengan sabar tetapi suaranya mengandung ejekan. "Ka
u telah lepaskan lelaki bangsat itu, yang tidak dapat kau kendalikan, sekarang k
au datang kemari, apa kau mau? Apakah kau berniat sekali lagi adu kepandaian den
gan aku?"
AnghoaKoeibo lantas perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Untuk adu silat lagi atau tidak, itu terserah kepadamu!" dia jawab.
It Hang jadi kuatir.
"Kongsoen Toanio!" kata pemuda ini, "kau adalah orang tertua dari kalangan
Rimba Pergilatan, satu patah kata saja dari omonganmu berarti seratus tail emas
, apakah kau telah lupa pada janji tiga tahun yang lampau? Kenapa kau sebut-sebu
t pula hal adu silat?"
"Memang aku datang kemari untuk memenuhi janji kita tiga tahun yang lampau
!" sahut Kongsoen Toanio. "Giok Lo Sat, aku datang untuk memohon kepadamu!"
"Tak berani aku terima itu," kata si nona. "Aku minta kau sukalah menyingk
ap tirai dan menggurat jalanannya. Kau boleh titahkan saja!"
Dengan menggunai kata-kata rahasia "menyingkap tirai" dan "menggurat jalan
an", Giok Lo Sat minta orang omong terus-terang serta menjelaskan caranya adu si
lat itu.
"Memang, lelaki bangsat itu telah diam-diam kabur dari rumah," kata Anghoa
Koeibo "Tapi ia kabur belum berapa lama, dan aku tahu, dia belum sampai melakuk
an kejahatan, maka itu aku mau minta jasa baikmu, supaya dia dikembalikan padaku
untuk dibawa pulang. Aku berjanji bahwa lain kali dia tidak akan mengganggu pul
a padamu."
Si Biang Hantu ini telah menjadi korbannya Bouwyong Tjiong. Begitu dia ket
ahui suaminya minggat, dia lantas pergi menyusul, ketika dia sampai di luar kota
Konggoan, dia bertemu dengan Bouwyong Tjiong yang sedang melarikan diri. Orang
she Bouwyong itu kata padanya: "Suamimu telah ditawan Giok Lo Sat, jikalau kau h
endak memintanya, pergi kau susul dia di selat Benggoat kiap. Di sana Giok Lo Sa
t menjadi tayong!" (Tayong = raja). Ia percaya keterangan itu, maka segera ia me
nyusul ke Benggoat kiap, sebab keras sekali keinginannya untuk menolongi suaminy
a itu.
Giok Lo Sat tertawa terbahak-bahak.
"Suami bangsatmu itu tidak ada di sini!" sahutnya dengan dingin.
"Apakah Bouwyong Tjiong telah mendusta padaku?" Anghoa Koeibo tanya.
Giok Lo Sat lintangkan pedangnya di depan dadanya, ia tidak menjawab, ia c
uma tertawa dingin.
"Kau tertawakan apa?" tanya si nyonya dengan gusar.
"Kau sangat menyinta tetapi secara sesat, kau tak sadar!" si nona kata, ta
k kalah kerasnya. "Aku tertawakan kau yang tak dapat membedakan baik atau buruk!
Suami bangsatmu itu orang macam apa? Mustahil kau tidak ketahui? Setelah dia da
pat membolos, dapatkah dia tidak melakukan kejahatan? Baru satu jam berselang be
rsama-sama orang she Bouwyong dia telah serbu Tjenghie koan untuk menawan Gak
Beng Kie, orang kepercayaannya Him Kengliak! Apakah itu bukannya perbuatan
busuk?"
Belum orang menjawab, It Hang telah menambahkan: "Kasihan Him Kengliak, ya
ng telah terfitnah dorna, terbinasa secara menyedihkan, penasarannya dalam laksa
na lautan, tetapi orang masih belum puas terhadapnya, orang masih hendak membaba
t rumput sambil membongkar akarnya sekali! Mereka itu ketahui bahwa Gak B
eng Kie mempunyai kitab wasiat dari Him Kengliak, maka itu tanpa menghirau
kan perjalanan sukar selaksa lie, mereka menyusul untuk menyingkirkan juga si or
ang she Gak, sebelumnya, mereka belum merasa puas! Sudah merusakkan tembok besar
Banlie Tiangshia, mereka juga masih hendak rampas buku rencananya Him Keng
liak, soal melawan musuh negara itu. Mereka hendak serahkan itu pada bangsa lain
, untuk bermuka-muka! Tjianpwee Kongsoen Toanio, aku mohon tanya, bukankah perb
uatan itu ada perbuatan yang dibenci oleh manusia dan dunia?"
Kongsoen Toanio belum tahu kebinasaannya Him Kengliak, mendengar ini dia t
erperanjat. Pun Giok Lo Sat tidak mengetahui hal ini, maka si nona pun kaget.
"Adakah itu benar?" keduanya tegaskan.
"Kenapa tidak?" sahut It Hang.
"Kitab wasiat dari Him Kengliak itu ada padaku sekarang! Kongsoen Toanio,
jikalau kau hendak bantu suamimu untuk mendapatkan kitab itu guna dipakai menjil
at-jilat doma, guna memperoleh kebesaran, nanti aku serahkan kitab ini padamu!"
AnghoaKoeibo menjerit, dengan tongkatnya yang panjang bagaikan toya, iahaj
ar batu gunung hingga batu itu menerbitkan suara nyaring dan hancur.
"Kau pandang aku orang semacam apa?" dia berteriak, karena gusarnya. "Jika
lau benar apa yang kamu katakan itu, pergilah kamu bunuh atau cingcang suami ban
gsat itu! Tapi ingat, bila kamu mendusta --- hm! --- Giok Lo Sat, pasti aku hend
ak adu silat denganmu sampai ada keputusan menang dan kalah!"
"Pergilah kau membuat penyelidikan!" Giok Lo Sat menantang. "Sekarang ini
kau percaya perkataannya Bouvvyong Tjiong, kau tak sudi percaya aku, maka jagala
h nanti, setelah penyelidikanmu, jikalau kau tidak haturkan maaf padaku dan kau
tidak mencari aku, akulah yang nanti cari kau, untuk kita adu silat siapa yang m
enang atau kalah! Siapa yang jeri terhadapmu? Hm!"
Anghoa Koeibo terbenam dalam kesangsian.
"Akan kucari Bouwyong Tjiong untuk padu dia dengan wanita ini!" pikirnya.
Terus dengan bawa tongkatnya ia pergi.
Habis mengumbar kemendongkolannya itu, Giok Lo Sat menghela napas, air mat
anya pun turun meleleh. Ia tak pedulikan kepergiannya Biang Hantu itu.
"Him Kengliak ada seorang yang baik tetapi ia terbinasa secara kecewa, sun
gguh sayang," keluhnya.
It Hang terharu. Sejak ia kenal si nona, belum pernah ia melihat orang men
geluarkan air mata. Maka sekarang tahulah ia kesucian hati si nona, bahwa dia be
nar-benar berduka
Giok Lo Sat seka air matanya.
"Benarlah kata-katanya Siauw Giam Ong!" berkata si nona. "Mengandal pemeri
ntah untuk menangkis serangan penyerbu asing adalah sama dengan harapkan matahar
i terbit dari barat!..."
"Siapa itu Siauw Giam Ong?" It Hang tanya.
"Dialah satu enghiong sejati!" sahut si nona. "Kelak di belakang hari, dia
lah yang akan menggantikan kerajaanBeng!"
Pemuda itu heran. Belum pernah ia dengar si nona puji lain orang.
Giok Lo Sat berkata pula: "Memang harus dikasihani kebinasaannya Him Teng
Pek, akan tetapi, tanpa dia bukannya tak ada lain orang lagi yang nanti sanggup
tangkis musuh asing!"
"Mendengar gelarannya saja, rupanya dia satu orang gagah dari kalangan Rim
ba Hijau," It Hang kata.
"Memang!" si nona jawab.
Pemuda itu diam, sejenak.
"Sekarang ini angkatan perang pemerintah berkumpul di Barat utara," katany
a kemudian, "di Siamsay, semua tiga puluh enam rombongan tentara pemberontak tel
ah tersapu musnah, maka itu, kenapa kau masih saja berkecimpungan dalam dunia Ri
mba Hijau?"
Giok Lo Sat kerutkan alisnya. Tapi dalam sekejap saja ia beriang gembira p
ula. Ia tertawa.
"Tiga tahun kita tidak bertemu, maka sekarang ini baik kita jangan bicarak
an lagi hal itu," katanya. Terus dia perdengarkan suitan nyaring dari mulutnya,
atas mana, sebentar saja, muncul beberapa serdadu wanita yang bertugas meronda,
yang menyambut padanya, "Mari!" ia mengajak.
It Hang ikut mendaki bukit.
Sengaja Giok Lo Sat jalan mutar, untuk sekalian meronda sarangnya itu, mak
a It Hang dapatkan, walaupun kecil, bukit itu bagus keletakannya. Puncaknya juga
merupakan satu bentuk harimau, yang mementangkan mulutnya menghadapi lembah.
"Lembah ini mirip dengan taman toh gaib," pikirnya. "Tidak gampang-gampang
untuk tentara negeri menyerbu kemari?"
Matahari baru meninggi maka pemandangan alam waktu itu ada indah sekali, s
edang lembah pun sunyi dan tenang. Berbeda adalah sang puncak, yang ditutupi meg
a, yang asyik memain, memperlihatkan keindahannya.
Memandang kebesaran alam itu, Giok Lo Sat menghirup hawa, pikirannya tidak
keruan. Ia cekal tangan si anak muda sambil menanya: "Apakah benar kau berniat
pulang ke Boetong san untuk memangku apa yang disebut ketua kaummu?"
Hatinya si anak muda goncang.
"Budinya guru ada sangat besar, walaupun aku sendiri tak setuju tetapi apa
boleh buat," ia jawab.
Tiba-tiba saja si nona tertawa geli.
"Untuk membalas budi guru, tidak selalu orang mesti jadi ahli waris!" kata
nya. "Umpama..."
"Umpama apakah?" tanya si anak muda cepat.
"Umpama kau dapatkan seorang kaum Rimba Persilatan yang sama maksud dan tu
juannya dengan siapa kau tinggal bersama-sama dalam sebuah gubuk di atas gunung,
untuk pahamkan lebih jauh ilmu silat, hingga nanti di belakang hari kau peroleh
kesempurnaan dengan apa kau sanggup membuat gilang gemilang namanya Boetong pay
. Bukankah itu ada suatu jalan untuk membalas jasa baik gurumu?" kata si nona. "
Aku minta kau maklum yang aku omong terus terang. Kaum Boetong pay itu, meskipun
benar namanya ada sangat terkenal, akan tetapi ilmu pedang kaummu, Tatmo Kiam,
sudah hilang dari muka bumi ini, dan sampai sekarang ini, kamu tidak punyakan la
gi ilmu silat dengan mana kamu bisa bikin takluk dunia. Nama kosong itu tak dapa
t diandalkan untuk selama-lamanya. Oleh karena kau memikirkan kebaikannya Boeton
g pay, sudah selayaknya kau yakinkan lebih jauh ilmu silatmu, supaya kau punyaka
n semacam kepandaian yang istimewa..."
Mendengar itu. hatinya It Hang bimbang. Memang benar apa yang dikatakan si
nona. Dan ia insaf, kecuali Giok Lo Sat, tidak nanti ada orang kedua lainnya ya
ng berani atau sudi mengutarakan demikian. Ia tahu setelah Tjie Yang Tiangloo, B
oetong pay mulai memasuki saat kemundurannya. Jadi penting sekali tugas memajuka
n pula Boetong pay. Di lain pihak, ia akui kebenarannya si nona. tapi ia anggap
nona itu terlalu sangat mementingkan kegagahan silatnya, sampai dia lupa kepada
kebijaksanaan untuk dipakai menakluki orang. Kekerasan saja tak cukup buat memeg
ang pimpinan dalam kalangan Rimba Persilatan.
Segera It Hang sampai pada soal yang membuatnya bimbang, la mengerti sikap
nya si nona, Teranglah nona itu inginkan ia jadi kawan untuk selamanya, buat ber
sama-sama juga meyakinkan ilmu silat terlebih jauh. Memang maksud itu baik sekal
i, sebab itu berarti, ilmu silat mereka kedua pihak dapat digabung jadi satu. Il
mu pedang si nona memang ada istimewa. Pasti kalangan persilatan akan jadi berca
haya karena pergabungan kedua ilmu silat mereka. Dan, di samping itu, kecuali li
ehay ilmu silatnya, Giok Lo Sat juga ada sangat cantik dan manis, sungguh orang
akan merasa sangat beruntung seumur hidupnya siapa yang bisajadi pasangannya...
Akhir-akhirnya pemuda ini menghela napas.
"Aku kuatir impian manis tak akan kekal abadi..." pikirnya. "Aku kuatir in
i hanya impian di musim semi saja... Semua paman guruku pandang dia sebagai musu
h besar! Tak dapat aku nikah dia kecuali aku keluar dari Boetong pay. Dan aku pu
n ada turunan keluarga sasterawan, telah aku terima ajaran ayah dan guru bahwa t
ak dapat aku berjodoh dengan siapa yang dinamai hantu wanita dari Rimba Hijau...
Sungguh sayang kecantikannya ini, sayang jodohku tipis... Benar-benar tidak ada
harapan untuk kita berdua bisa hidup bersama-sama sampai di hari tua..."
Demikian pemuda ini melamun, hingga Giok Lo Sat, yang mengawasi padanya, m
enjadi heran. Nona ini tak tahu apa yang dipikir pemuda itu, bahwa orang sebenar
nya sedang menempuh gelombang hebat! Maka ia tertawa, ia tarik tangan orang.
"Ah, anak tolol!" katanya. "Apakah yang kau sedang pikirkan?"
It Hang angkat kepalanya, ia pandang nona di depannya itu.
"Entjie Lian," katanya, "memang bukannya aku tidak memikirkan untuk mendap
atkan satu kawan dengan siapa aku bisa bersama membuat sebuah gubuk di atas gunu
ng, hanya, hanya..."
Ia tak dapat segera lanjutkan kata-katanya itu.
"Hanya apa?" si nona tanya.
Lemah hatinya si anak muda, ia jadi masgul.
"Hanya aku mesti tunggu lagi beberapa tahun, baru dapat aku bicarakan pula
..." sahutnya ragu-ragu, suaranya tak tegas.
Giok Lo Sat menjadi putus asa, tanpa ia inginkan, sebelah tangannya menyam
bar memetik setangkai bunga hutan di sampingnya. Ia berdiam.
It Hang lihat sikap orang.
"Bunga ini sungguh indah!" katanya, dengan sengaja. "Eh, salah!... Entjie
Lian, dibanding sama bunga ini, kau terlebih indah lagi... kau sangat cantik..."
Si nona menoleh, ia bersenyum duka. Ia pun lemparkan bunga di tangannya it
u.
"Memang bunga ini indah," katanya, "akan tetapi seperginya musim semi, dia
bakal rontok, terbang terbawa angin. Tapi sang bunga ada baiknya, setelah tahun
ini, lain tahun dia dapat mekar pula. Tapi bagaimana dengan manusia? Setelah le
wat beberapa tahun, lewat lagi beberapa tahun, ya, beberapa tahun pula, maka put
ihlah semua rambut kepalanya, hingga, berbareng dengan itu, kecantikannyapun ber
ubah menjadi jelek!"
Goncang pula hatinya It Hang. Ia mengerti kenapa si nona menyebut-nyebut "
beberapa tahun!" itu berulang-ulang. Ia ingat akan pepatah, "Bagaikan bunga mani
snya keluarga, bagaikan air kekal abadi mengalirnya". Dan ia sekarang? Ia lantas
jadi sangat berduka, sampai air matanya mengembeng.
Giok Lo Sat lihat kedukaan orang, sebaliknya ia tertawa.
"Anak tolol!" katanya gembira. "Segala sesuatu ada pada manusia, mengapa k
au menangis?"
Ia lantas dekati pemuda itu, hingga It Hang dapat mencium bau yang harum,
hingga hatinya bergelombang. Hampir saja ia tak dapat mengatasi diri, hampir ia
beber isi hatinya. Tiba-tiba saja ia seperti membayangkan wajah dari beberapa pa
man gurunya, terutama wajah dari Pek Sek Toodjin, yang bagaikan mendelik terhada
pnya. Maka ia pun berpikir: "Jikalau aku tidak pedulikan lagi segala apa dan men
ikah dengan Giok Lo Sat, pasti aku bakal dicaci sebagai pendurhaka guru! Jikalau
aku sampai tercemar secara demikian, mana dapat kelak aku bertemu dengan sesama
kaum Rimba Persilatan?"
Karena ini, ia jadi menjublek saja.
Giok Lo Sat sambar pula setangkai bunga, ia remas itu hancur dan melempark
annya ke arah lembah.
It Hang bisa saksikan bagaimana hancurnya bunga itu beterbangan jatuh di a
ntara sampokannya sang angin.
"Entjie Lian," tiba-tiba ia kata, "kecantikanmu harusnya menjadi seperti b
unga yang tak dapat layu dan rusak..."
"Manusia tolol, kau sedang bermimpi!" kata si nona sambil tertawa. "Di man
a di kolong langit ada manusia yang muda selama-lamanya? Coba Thian ada bagaikan
manusia, banyak berpikir, banyak kedukaannya, pasti Thian juga bisa menjadi tua
seperti manusia! Demikian pun kita, setiap kali kita bertemu, setiap kali ada s
edikit kekurangannya, maka jikalau lain kali kau bertemu pula denganku, aku kuat
ir yang rambutku telah putih semuanya sebagai rambut nenek-nenek!"
Lagi-lagi hatinya It Hang goncang.
"Giok Lo Sat benar-benar cerdas sekali," pikirnya. "Dia tidak banyak baca
buku, dia tidak bisa membuat syair, toh kata-katanya tajam, menarik hati."
Si nona tak tahu apa yang dipikirkan anak muda itu, ia tertawa dan melanju
tkan pula: "Jikalau nanti rambutku telah ubanan semua, aku kuatir kau memandangn
ya pun tak sudi!"
It Hang tahu orang desak ia, akan tetapi benar-benar ia sulit menjawabnya.
Maka ia cuma bisa tertawa dibuat-buat, untuk mengelakkan soal itu, iakata: "Jik
alau nanti rambutmu ubanan, akan aku pergi mencari obat dewa untuk memulihkan pu
la usia mudamu!"
Tapi, mendengar itu, si nona menghela napas.
"Ah, kau tak mengerti aku..." katanya di dalam hati. "Aku omong benar-bena
r, kau sebaliknya main-main..."
Karena berduka, ia jadi berdiam. Ia menengadah, akan memandang langit, hin
gga ia lihat matahari sudah naik tinggi. Bagaikan orangyang sadar dari mimpinya,
ia berseru: "Ah, hari sudah siang! Kenapa adik San Ho masih belum kembali?"
Girang It Hang mendengar itu.
"Oh, apakah San Ho ada bersamamu?" tanyanya.
Si nona manggut.
"Kita harus pertemukan dia dengan saudara Beng Kie!" It Hang kata dalam ke
gembiraannya, "sejak meninggalnya Him Kengliak, hatinya saudara Beng Kie telah m
enjadi tawar, mesti ada satu orang yang dapat menghibur dia"
Mendengar ini, Giok Lo Sat berpikir: "Urusanmu sendiri kau tidak pedulikan
, sekarang kau hendak campuri jodoh lain orang! Kalau Gak Beng Kie perlu dihibur
orang, bagaimana dengan aku? Bukankah aku juga perlu orang yang dapat menghibur
nya?"
Tapi nona ini telah pandang San Ho sebagai adik sejati, ia girang juga men
getahui ada orang yang perhatikan kepentingannya adik itu.
"Mana dia orang she Gak itu?" dia tanya.
"Tadi malam kita pasang omong dalam satu pembaringan," It Hang jawab. "Ket
ika kita dengar kedatangannya Bouwyong Tjiong, kita membuat perjanjian untuk ber
temu lagi nanti. Aku telah suruh dia mencoba meloloskan diri terlebih dahulu. Ki
ta berjanji supaya dia kembali ke kuil Tjenghie koan. Apa yang tidak kusangka ad
alah kau sudah datang menyusul rombongannya Bouwyong Tjiong dan kau sudah lantas
seret aku kemari. Tidak apa andaikata Beng Kie tidak dapat cari aku, hanya aku
kuatirkan paman guruku, Pek Sek Toodjin, dia bisa gusari pemuda itu."
Mengenai itu, Giok Lo Sat tidak bilang suatu apa.
"Baru-baru ini aku telah bersikap keliru terhadapnya, entah dia gusari aku
atau tidak?" tanyanya.
"Sebaliknya!" sahut It Hang. "Jikalau ketahui San Ho ada bersama kau di si
ni, dan bila ia ketahui juga bagaimana kau bersungguh hati menjadi orang peranta
ra untuk jodoh mereka berdua, pasti dia akan sangat bergirang!"
Mukanya si nona menjadi merah sendirinya. Jengah ia kalau ingat bahwa ia t
elah menjadi tukang rekoki jodoh.
Selama pemuda dan pemudi ini pasang omong dengan asyik, semua liauwlo undu
rkan diri jauh-jauh, sampai mendadak, setelah pembicaraan kedua orang muda itu,
mereka dengar pemimpinnya berseru: "Beberapa dari kamu lekas pergi turun gunung
untuk memapak Tiat Tjeetjoe!"
Titah itu dituruti dengan segera. Beberapa serdadu wanita itu sudah lantas
pergi turun gunung
"Apakah tak akan terjadi onar apa-apa?" It Hang tanya
"Tentara dalam kota sudah terbasmi habis, jumlah rakyat penderita tak kura
ng dari sepuluh ribu jiwa," sahut si nona "maka itu andaikata ada datang bala ba
ntuan lagi beberapa ribu jiwa, mereka tak akan dapat berbuat suatu apa. Di sampi
ng itu, selama belakangan ini, ilmu silatnya adik San Ho telah maju pesat sekali
, maka aku percaya dia akan dapat kembali dengan tak kurang suatu apa."
Meski ia mengucap demikian, Giok Lo Sat toh terpengaruh juga pada pertanya
an si anak muda, ia merasa sedikit kurang tenteram, maka seperti si anak muda, i
a memandang jauh ke kaki gunung...
Sementara itu di dalam kota, San Ho dan barisannya, dengan pimpin rakyat y
ang menderita, sudah hajar lumpuh tentara negeri, hingga tentara itu terbinasa,
terluka dan kabur, sehingga kantor camat dapat dibakar, gudang negara bisa diser
bu, untuk merampas rangsum. Sambil membongkar rangsum itu, rakyat murka bukan ma
in, karena gudang masih penuh padat dengan simpanan rangsum dari tahun yang baru
silam, yang masih belum habis. Sudah kepalang tanggung, rakyat yang kalap itu j
uga menggedor rumah-rumah orang-orang hartawan di dalam kota. Hingga setelah ter
ang tanah, semua rakyat bubar dengan rata-rata menggondol banyak barang-barang y
ang diperolehnya dari gedoran itu. Karena mereka bukan tentara, mereka kelihatan
tak teratur.
"Sayang Entjie Lian hanya kehendaki tentara wanita," pikir San Ho apabila
ia saksikan jumlah rakyat demikian besar, "kalau tidak, apabila rakyat kelaparan
ini dipersatukan, mereka pasti bakal merupakan satu pasukan perang yang berarti
. Dengan ini dapat kita serang kota besar..."
Menampak rakyat sudah bubar semua, San Ho juga ajak barisannya undurkan di
ri dari kota untuk berangkat pulang. Ia bersyukur karena tidak ada tentaranya ya
ng terbinasa atau terluka.
Selagi San Ho berjalan pulang, rombongan Bouwyong Tjiong sedang turun gunu
ng, setelah kekalahannya yang membuat ia malu, mendongkol dan menyesal. Ada dua
belas pahlawan dari Tongtjiang yang dilukai
Giok Lo Sat, delapan lagi terlukai pihak Boetong pay. Yang tidak terluka a
da enam belas orang. Maka ketika pulang, terpaksa yang lukanya parah mesti digen
dong kawannya yang selamat, dan yang lukanya enteng saling bahu membahu.
Bouwyong Tjiong juga ambil jalan dari belakang Tjenghie koan, lalu di rimb
a di tepi bukit, ia ajak rombongannya berhenti dulu untuk beristirahat. Ia telah
lihat api berkobar di kota, tapi ia tidak tahu apa yang sudah terjadi, ia melai
nkan bisa menduga-duga. Tak tahunya rakyat sedang mengamuk. Justeru di saat ia b
erniat mengirimkan orang ke kota, guna mencari tahu sebab waktu itu sudah terang
tanah -- tiba-tiba, ia dengar suara mengaungnya panah bersuara. Suara itu adala
h tiga kali panjang dan dua kali pendek. Dengan tiba-tiba saja ia bergembira.
"Bagus!" demikian ia berseru. "Eng Sioe Yang berantai tak kurang suatu apa
, kita tak usah lagi pergi ke kota untuk mencari kabar!"
Sebenarnya tugas Bouwyong Tjiong ini, di samping menawan Gak Beng Kie ia j
uga mesti menyelidiki kabar perihal aksi "bandit" di propinsi Soetjoan. Karena w
aktu itu Thio Hian Tiong dan Lie Tjoe Seng sedang berada di propinsi itu.
Eng Sioe Yang sendiri, setelah berlalunya Tjio Hoo, sudah lantas dapatkan
kedudukannya orang she Tjio itu dalam pasukan pahlawan Kimiewie. Maka itu Goei T
iong Hian, kecuali dia kirim tjongkauwtauw, atau kepala dari Tongtjiang, yaitu B
ouwyong Tjiong yang terliehay, dia juga telah kirim orang she Eng ini, maksudnya
adalah agar rombongan Tongtjiang dan rombongan Kimiewie itu bekerja sama menawa
n musuh-musuh negara sambil menyelidiki sepak terjang musuh.
Malam itu ketika Bouwyong Tjiong menyerbu ke Tjenghie koan, Eng Sioe Yang
berdiam di dalam kota. Mereka telah berjanji akan melepaskan tanda panah nyaring
itu apabila mereka hendak membuat perhubungan satu pada lain. Kedua pihak sama-
sama tak mengetahui keadaannya masing-masing.
Bouwyong Tjiong melepaskan juga panah nyaring, untuk menyambut pertandaan
dari kawannya itu, maka tak lama kemudian, muncullah Eng Sioe Yang, yang berkawa
n bersama empat pahlawan Kimiewie.
"Hai! kenapa kamu?" teriak Eng Sioe Yang dengan pertanyaannya, karena ia k
aget menampak orang longpwee dalam keadaan kurat-karit. Ia lihat begitu banyak p
ahlawan Tongtjiang yang terluka. "Apakah orang-orang Boetong pay berani melawan
kamu?"
"Bukan cuma pihak Boetong pay," sahut Bouwyong Tjiong dengan masgul.
"Telah muncul juga itu hantu wanita, hingga dari sepuluh bagian saudara-sa
udara kita, sembilan bagian terluka olehnya..."
"Ah!" seru Eng Sioe Yang dengan keheranan. "Tadi malam aku saksikan dia di
antara rakyat kelaparan yang mengacau kota, mengapa dia bisa lantas datangi Tje
nghie koan untuk satrukan kamu?"
Bouwyong Tjiong kertak giginya. "Hantu wanita itu sangat liehay!" katanya
dengan sengit. "Dia pergi dan datang bagaikan angin, maka itu sukar untuk berjag
a-jaga! Jikalau ia tidak disingkirkan, akhirnya dia dapat mencelakai kita!"
Sepasang alisnya Eng Sioe Yang bangkit.
"Untuk singkirkan dia, sekarang adalah waktunya..." katanya, yang rupanya
telah mendapat daya upaya.
"Apakah dayamu?" tanya Bouwyong Tjiong. "Nampaknya kau gampang saja mendap
at akal..."
Belum sampai Eng Sioe Yang menyahut atau di samping mereka berkelebat satu
bayangan.
"Siapa kau?" tegur Bouwyong Tjiong, kaget.
Atas teguran itu, muncullah satu orang, melihat siapa, Bouwyong Tjjong sem
ua berlega hati.
"Hai, Kim Laokoay, bagaimana dengan lukamu?" tanya si kepala pahlawan she
Bouwyong.
Bayangan itu adalah bayangannya Kim Tok Ek si Tangan Pasir Beracun.
Setelah dilukai Giok Lo Sat dan menggelinding dari atas bukit, Kim Tok Ek
menyembunyikan diri dalam tumpukan rumput. Ia lihat cahaya api berkobar di dalam
kota tetapi tidak berani ia pergi pulang. Ia terus sembunyikan diri sampai ia d
engar suatu tanda panah nyaring yang pertama, yang kemudian disambutnya pula. De
mikian ia muncul di antara kawan-kawannya.
"Masih syukur!" tertawa Tok Ek. "Aku tidak sampai menjadi si pincang!"
Lukanya Kim Tok Ek tidak terlalu berbahaya sebab pedangnya Giok Lo Sat tid
ak meminta jiwanya, benar ia telah peroleh kemunduran tetapi dasar mulanya tangg
uh, tubuhnya tetap kokoh kuat, setelah pakai obatnya, ia dapat kumpulkan lagi te
naganya dan bisa berjalan seperti biasa.
"Jikalau hantu wanita itu belum dicingcang, tak dapat aku puaskan hatiku!"
katanya dengan sengit. Sebaliknya, menampak demikian banyak pahlawan yang terlu
ka, dia ulurkan lidahnya.
"Sayang enso tak sudi membantu kita!..." kata Bouwyong Tjiong sambil terta
wa. Dengan enso ia maksudkan isterinya Kim Tok Ek yang telah ditugaskan Bouwyong
Tjiong sembunyi di dekat kelenteng Tjenghie koan, maka itu, si Biang Hantu tak
dapat bertemu sama suaminya itu, malah oleh Bouwyong Tjiong dia telah diperdayak
an hingga dia pergi ke Benggoat kiap. Tentang diperdayainyaisteri ini, Tok Ek ti
dak tahu menahu.
"Enso telah datang kemari!" berkata Eng Sioe Yang sambil tertawa.
Tok Ek terperanjat, sampai ia bergidik sendirinya.
"Apakah kamu telah bertemu dengan dia?" tanyanya.
"Ya. Tadi malam tak sempat kita memberitahukan kepadamu. Mungkin sekarang,
dia sedang bertempur dengan Giok Lo Sat..." Bouwyong Tjiong terangkan.
Kim Tok Ek berjingkrak.
"Ah, kamu tidak kenal tabiat dia!" katanya dengan menyesal. "Jikalau dia k
etahui bahwa dia telah diperdayakan kamu, mungkin dia tidak cari Giok Lo Sat, se
baliknya dia tentulah akan mencari kamu untuk melampiaskan kemendongkolannya itu
..."
"Itulah tak mungkin!..." tertawa Bouwyong Tjiong. Tapi, walaupun dia terta
wa, sebenarnya dia jeri.
"Jangan kuatir," Eng Sioe Yang menghibur. "Aku mempunyai daya..."
"Bagus! Tadi kau bilang kau ada punya akal untuk singkirkan Giok Lo Sat, c
oba sekarang kaujelaskan."
"Giok Lo Sat telah menculik To It Hang, bukankah itu kau telah lihat sendi
ri?" Eng Sioe Yang balik menanya.
"Tidak salah!" sahut Bouwyong Tjiong.
"To It Hang itu ketua dari Boetong pay," Sioe Yang menjelaskan. "Kalau sat
u ketua kena diculik orang, itulah hal yang sangat membuat malu pada partainya,
terutama bagi beberapa tetua dari Boetong pay. Karena itu, baiklah kita mengadak
an perdamaian dengan Pek Sek Toodjin, kita bikin musuh menjadi sahabat, lalu ber
sama-sama dia kita pergi serang Benggoat kiap."
Bouwyong Tjiong adalah orang yang anggap dirinya sendiri sebagai seorang k
osen kelas satu, sebagai satu enghiong, maka itu mendengar pikirannya kawannya i
a kerutkan alisnya.
"Dengan cara demikian, walaupun dapat kita singkirkan Giok Lo Sat, kita ak
an ditertawakan orang-orang gagah di kolong langit ini..." katanya, masgul dan r
agu-ragu.
Eng Sioe Yang membungkam, meski ia sangat tidak puas dengan kata-katanya o
rang itu. Biar bagaimana, Bouwyong Tjiong ada seatasannya, tak dapat ia berselis
ih dengan sep itu.
Kim Tok Ek adalah lain. Si Tangan Pasir Beracun ini kata: "Sebenarnya, ump
ama kita berserikat dengan pihak Boetong pay itu tidak ada salahnya. Tapi karena
Bouwyong Toako tidak setuju, baiklah kita mencari daya lain."
Kedua matanya Eng Sioe Yang berputar. Rupanya ia segera dapat pikiran lain
.
"Tanpa andalkan tenaganya pihak luar, kita memang masih dapat singkirkan s
i hantu wanita itu!" katanya pula.
Tapi Bouwyong Tjiong menggeleng kepala
"Pahlawan-pahlawan yang kita bawa telah terluka lebih dari separuhnya," ka
ta sep ini, "di samping itu, berhubung dengan pemberontakan rakyat di dalam kota
, pengaruhnya Giok Lo Sat dengan sendirinya menjadi bertambah. Oleh karenanya, t
idak mudah bagi kita untuk menyingkirkan dia?"
"Bouwyong Toako ketahui satu tidak yang dua," berkata Eng Sioe Yang. "Mema
ng rakyat jelata yang kelaparan itu berjumlah besar, akan tetapi mereka adalah s
atu gerombolan saja. Habis merampas rangsum, pasti mereka bubar sendirinya. Tadi
malam aku saksikan sendiri, barisan wanita dari Giok Lo Sat, yang masuk ke dala
m kota, jumlahnya tak sampai seratus jiwa. Aku anggap, meskipun jumlah kita bany
ak yang terluka, kita tak usah jeri terhadap mereka!"
"Memang, menghadapi seratus lebih serdadu wanita, tak usah kita jeri," kat
a Bouwyong Tjiong. "Bagaimana dengan Giok Lo Sat sendiri? Apakah kebutan Tiathoe
dtimmu dapat menandingi pedangnya?"
Ditanya begitu, Eng Sioe Yang berjengit, ia menyeringai. Lalu ia batuk-bat
uk. Tapi segera ia tertawa.
"Memang aku bukanlah tandingannya Giok Lo Sat," ia mengaku. "Akan tetapi k
au, Bouwyong Toako, kau toh tidak akan mengaku kalah terhadap hantu wanita itu?"
"Jikalau ilmu silat saja yang diandalkan, dia bukanlah tandinganku," sahut
Bouwyong Tjiong, "tetapi dia sangat liehay ilmu entengkan tubuhnya, kegesitanny
a ini membikin aku tak dapat berbuat suatu apa..."
Bouwyong Tjiong tidak omong besar. Di dalam hal Iweekang, ia memang lebih
sempurna, kepalannyapun tak ada yang lawan. Tapi menghadapi si nona kosen, ia ka
lah dalam kelincahan.
"Inilah soalnya!" kata Eng Sioe Yang tertawa. "Sebabnya kenapa tadi malam
kamu kena dirugikan adalah karena rombongan imam dari Boetong pay telah satrukan
kamu. Tidak demikian, jikalau Giok Lo Sat sendiri saja, dia pasti tidak sanggup
melayani lama-lama. Malah untuk bela diri saja, mungkin dia tak berdaya."
"Ah, mengertilah aku maksud Eng Toako," Kim Tok Ek menyelak. "Bukankah toa
ko kehendaki kita mendahului pergi ke Benggoat kiap, untuk di depan selat itu, d
i tempat yang berbahaya, kita cegat padanya?"
"Benar!" Eng Sioe Yang membenarkan. "Saudara-saudara kita yang tidak terlu
ka dapat melayani tentara wanita. Bouwyong Toako bersama Kim Toako berdua harus
bekerja sama melayani Giok Lo Sat, dengan begitu, tak peduli dia lincah bagaiman
a, dia pasti tidak akan lolos dari tangan kita. Aku sendiri, yang bodoh, dengan
andalkan kebutanku, nanti aku bantu melawan dia, buat beberapa jurus saja. Ketik
a aku membolos dari dalam kota, aku lihat dia sedang kumpulkan barisannya, maka
itu sekarang mestinya dia tengah perjalanan pulang ke sarangnya..."
"Apa? Dia telah kembali ke kota?" tanya Bouwyong Tjiong yang berseru bahna
herannya.
Sep ini tidak pernah menduga bahwa Eng Sioe Yang sudah berbuat keliru, ia
telah kenali Tiat San Ho sebagai Giok Lo Sat.
"Sekejap saja, dari Tjenghie koan dia sudah kembali pula ke dalam kota, il
mu entengkan tubuhnya sungguh luar biasa..." Bouwyong Tjiong berpikir. Meski ia
sangat kagum, ia masih bisa gunakan otaknya. Maka ia tidak terlalu berkuatir. Ia
tahu benar, dengan ilmu silatnya saja, ia bisa bertanding seri melawan si Raksa
si Kumala, dengan bantuannya
Kim Tok Ek-tak peduli dia ini telah mundur banyak ia mempunyai harapan unt
uk menang. Apa lagi di antara mereka masih ada Eng Sioe Yang.
"Baiklah," akhirnya ia ambil putusan. Dan segera ia titahkan pada sisanya
lima belas pahlawan untuk mereka ini maju ke selat Benggoat kiap guna mencegat j
alan pulang dari barisannya si hantu wanita.
Semua pahlawan yang terluka diminta menunda perjalanannya pulang ke kota,
mereka itu diberi satu kawan yang sehat, yang akan jadi kepala mereka.
"Sekarang segala apa sudah siap," Eng Sioe Yang berkata kemudian. "Mengena
i enso Kim, yang telah diperdayakan oleh Bouwyong Toako, telah aku sedia dayanya
untuk membuat dia pergi ke Benggoat kiap. Kim Toako, jangan kau kuatirkan apa j
ua!"
Kim Tok Ek jadi besar hati dan girang.
Demikian rombongan ini tidak menunggu sampai matahari mencorong sudah lant
as ubah tujuan, ialah dengan ambil jalan memotong, mereka berangkat ke selat Ben
ggoat kiap. Dengan cepat mereka telah sampai di sebelah depan selat di mana mere
ka lantas cari tempat guna mencegat jalan pulang dari barisannya Giok Lo Sat.
Tiat San Ho bersama barisannya pulang dengan gembira. Mereka membawa oleh-
oleh dari kota Konggoan dengan menggunakan dua ekor kuda.
Di sepanjang jalan, barisan wanita ini tidak kekurangan suatu apa untuk da
har dan minum, tidak usah mereka masak sendiri. Rakyat sepanjangjalan selalu mem
apak mereka dengan suguhan barang makanan, dan air teh. untuk menangsel perut da
n menghilangkan dahaga.
Sesudah berjalan jauh kira satu jam, San Ho mulai memasuki daerah gunungny
a. Sejak itu, mereka tidak lagi menerima sujutannya rakyat jelata.
Selagi jalan, San Ho memandang ke langit di mana ia tampak matahari merah
dan besar bagaikan bola api, karena gembira, ia tertawa.
"Pasti entjie Lian sedang menantikan dengan hilang sabarnya..." katanya se
orang diri.
Masih mereka berjalan serintasan, baru mereka sampai di mulut selat. Di ki
ri dan kanannya ada bukit-bukit yang seolah-olah menjepit selat itu. Di kedua te
pinya, selain batu-batu gunung, kedapatan juga banyak pohon-pohon yang menyerupa
i rimba, malah ada rumput alang-alang yang tinggi sebatas dada.
"Tidak dapat kuda mendaki bukit," kata San Ho pada orang-orangnya. "Semua
barang harus diturunkan dan kuda ditinggalkan, biarkan semuanya pergi makan rump
ut."
Tapi belum sempat mereka itu bekerja, atau tiba-tiba mereka dikejutkan ole
h suara sangat berisik, disusul dengan munculnya segerombolan orang-yang muncul
di sekitar mereka!
Kim Tok Ek perlihatkan diri paling dulu, ia juga perlihatkan wajah menyeri
ngai serta suara tertawa yang seram.
"Eh, kiranya nona Tiat!" demikian ejekannya. "Mana Giok Lo Sat?"
San Ho kaget, tetapi meski demikian, dia lompat maju dengan seruling kumal
anya, untuk menotok.
Kim Tok Ek berkelit ke samping sambil menyampok.
"Kim Laokoay, kau berani main gila?" tegur puterinya Tiat Hoei Liong. "Ing
at olehmu, ayah pasti tak dapat memberi ampun padamu!"
Teguran itu membuat orang she Kim itu mengkerat.
"Peduli apa dengan ayahnya!" seru Eng Sioe Yang. "Tua bangka she Tiat itu
toh ada di Shoasay! Sekarang ini lebih dulu kita bekuk gadisnya! Siapa suruh dia
berkawan dengan si hantu wanita?"
Kim Tok Ek tidak lihat Giok Lo Sat, akan tetapi ia kuatir Tiat Hoei Liong
ada beserta gadisnya itu, tapi mendengar keterangannya Eng Sioe Yang ia berlega
hati. Sebenarnya ia jeri andaikata Giok Lo Sat dan Tiat Hoei Liong bekerja sama.
Segera ia pentang telapak tangannya, yang lebar bagaikan kipas, untuk mencengke
ram nona she Tiat itu pada batok kepalanya!
San Ho berkelit dan lompat ke samping, di mana ada satu pahlawan, maka ia
terus menotok pahlawan itu dengan senjata serulingnya yang liehay.
Pertempuran itu menyebabkan semua serdadu wanita dari Benggoat kiap segera
turun tangan untuk membantu pemimpinnya. Tiga tahun San Ho ikuti Giok Lo Sat, i
lmu enteng tubuhnya telah memperoleh banyak kemajuan, maka itu ia dapat lolos da
ri jambakannya Kim Tok Ek, siapa sebaliknya terhadang oleh bekas luka di kakinya
karena jago ini sendiri telah mundur kepandaiannya.
"Bubar! Lekas mundur!" teriak San Ho apabila ia saksikan majunya barisanny
a itu. la telah lihat keadaan mengancam pihaknya.
Eng Sioe Yang sambuti peringatan itu dengan tertawanya bergelak-gelak, lal
u ia menyerbu di antara barisan wanita itu.
Barisan wanita dari Giok Lo Sat telah terdidik baik, akan tetapi mereka bu
kanlah tandingan dari pahlawan-pahlawan Tongtjiang, maka itu dalam pertempuran i
ni segera terdengar jeritan-jeritan serta suara robeknya pakaian yang terkena se
njata.
San Ho mengerti selatan, dengan kelincahan tubuhnya ia gunakan ketika untu
k lompat ke atas seekor kuda, kemudian menyambar bungkusan yang didapatnya dari
menggedor lalu ia buka dan terus dilemparkan ke tanah, hingga terlihatlah benda-
benda itu bergemerlapan. Sebab oleh-oleh itu terdiri dari uang perak, emas dan l
ain-lain barang permata.
Melihat ini beberapa pahlawan Tongtjiang menjadi kilaf, mereka lompat untu
k mengambil barang berharga itu.
"Lebih dahulu habiskan musuh, baru ambil barangnya!" teriak Bouwyong Tjion
g. "Siapa langgar titah ini, dia akan dihukum mati!"
Perbuatannya beberapa pahlawan itu memberikan kesempatan pada San Ho. Ia j
epit perut kudanya, ia gentak lesnya. Karena kaget dan sakitnya, kuda itu mering
kik keras sambil berjingkrak dan berlompat, maka si nona lantas saja menyerbu ke
mulut lembah yang kedua.
Benggoat kiap memang mempunyai banyak tikungan, dan banyak mulut selatnya
yang merupakan pintu, maka itu San Ho tidak sudi melayani musuh, ia lebih perluk
an masuk ke sebelah dalam. Ia pikir, bila ia dapat sampai di mulut selat yang ke
tiga, di sana ia nanti akan berteriak-teriak minta tolong, teriakannya itu pasti
lah dapat didengar Giok Lo Sat.
Barisan wanita dari Benggoat kiap taat kepada titah pemimpinnya, mereka la
ntas lari menyingkir ke empat penjuru, untuk terus merayap naik ke lereng-lereng
bukit. Karena mereka semua kenal baik tempat itu, ke mana saja mereka menyingki
r, mereka dapat selamatkan diri.
"Tangkap berandal dan bekuk rajanya!" teriak Eng Sioe Yang. "Bekuklah anak
ayam itu!"
Dia maksudkan Tiat San Ho.
"Ya, bekuklah dulu budak perempuan itu!" Kim Tok Ek sambuti seman itu.
"Setelah diringkus, mustahil dia nanti tidak menyebutkan di mana adanya Gi
okLo Sat!"
Letaknya Benggoat kiap membuat orang sukar untuk melayani serdadu-serdadu
wanita yang semuanya gesit itu. Lagi pula bertempur di tempat demikian ada sedik
it sulit. Maka Bouwyong Tjiong setuju sekali dengan seruannya Kim Tok Ek. Memang
itu adalah cara yang paling baik untuk pancing Giok Lo Sat keluar. Dengan lekas
ia rampas seekor kuda, lalu ia kabur untuk mengejar Tiat San Hong.
Nona Tiat kenal baik selat itu, ia tahu betul di manajalan yang banyak bat
unya dan tidak rata dan sukar untuk dilalui. Di sini ia tidak kaburkan, kudanya,
sebaliknya, dia terjang hutan alang-alang yang tinggi-tinggi. Hutan itu kelihat
annya berbahaya, tetapi tidak ada batunya, maka menyingkir di hutan ini ada lebi
h aman.
Sebentar saja, San Ho sudah lihat mulut selat yang merupakan pintu kedua.
Ia gentak kudanya supaya lari lebih keras.
Dengan berani Bouwyong Tjiong pun terjang hutan alang-alang untuk menyanda
k si nona. Tiba-tiba saja kudanya tersungkur pada sebuah batu besar. Tidak ampun
lagi, binatang itu berbunyi keras dan robohlah berbareng dengan penunggangnya.
Justeru itu, San Ho sudah sampai di mulut gunung yang kedua.
Tjongkauwtauw dari pahlawan istanajadi sangat gusar, dia gulingkan tubuhny
a untuk lompat bangun, menyusul mana, ia sambar batu yang membikin kudanya tergu
ling, batu itu ia pakai untuk menimpuk. Dia memang bertenaga besar dan liehay da
lam ilmu menimpuk.
San Ho tengah kaburkan kudanya ketika mendadak kudanya itu berbunyi keras
dan terus roboh, karena hebat sekali dia kena tertimpuk batu lancip itu. Karena
ini, si nona turut roboh juga, sampai ia tak berkutik lagi.
"Jangan-jangan nanti mati bocah itu!..." kata Tok Ek, berkuatir.
Bouwyong Tjiong pun heran, hingga di dalam hatinya ia berkata: "Kenapa sih
budak ini tak berguna? Mungkinkah dia mati benar-benar? Aku justeru berniat mem
bekuk dia hidup-hidup untuk pancing keluar Giok Lo Sat, tidak ada dalam pikirank
u untuk menanam bibit permusuhan dengan Tiat Hoei Liong..."
Karena ia ingin mendapat kepastian, tjongkauwtauw ini lantas bertindak maj
u, untuk menghampiri nona itu, tapi mendadak ia dengar sambaran angin ke arahnya
-
sambaran dari beberapa batang anak panah yang kecil mungil.
Inilah perbuatannya Tiat San Ho yang telah menyembunyikan sejumlah panah r
ahasia di dalam serulingnya. Sambil mendekam, ia tiup serulingnya itu ke arah mu
suh yang mendatangi padanya. Panah sumpitan itu diarahkan ke dengkul kiri dan ka
nan.
Sama sekali Bouwyong Tjiong tidak pernah menduga-duga kepada senjata rahas
ia dari lawannya ini, dan serangan itu datangnyartidak ke atas, hingga gampang d
ilihatnya, melainkan ke bawah, maka terlambatlah ia dalam menggerakkan kakinya u
ntuk menyingkir. Hingga dengkulnya yang kiri, tak ampun lagi, kena tersumpit pan
ah rahasia itu!
Bouwyong Tjiong adalah jago kenamaan, tapi dia toh kena dibokong nona Tiat
. Maka itu, bukan main gusarnya dia, hingga dia berseru keras. Dengan dua jari t
angannya dia jepit panah sumpitan itu untuk dicabut.
"Biarpun kau bersayap dan terbang ke langit, mesti aku bekuk padamu!" seru
nya dengan mengancam. Kemudian dia lompat untuk menerjang.
San Ho sendiri, sehabisnya menyerang, sudah lantas berbangkit, untuk lari
ke arah mulut selat yang ketiga.
Bouwyong Tjiong mengejarterus, dari kiri kanannya menyusul Eng Sioe Yang d
an Kim Tok Ek, hingga gadisnya Tiat Hoei Liong dikejar dari tiga penjuru. Jarak
antara mereka hanya kira-kira dua puluh tindak.

XIII

Sambil lari keras, San Ho masukkan ujung serulingnya ke dalam mulutnya, ia
tiup sekerasnya hingga seruling itu perdengarkan suaranya beruntun beberapa kal
i. Mengikuti tikungan yang dilewati, suara seruling itu jadi semakin keras dan t
inggi.
"Ha, kau masih dapat meriangkan diri!" seru Kim Tok Ek, yang menyangka ora
ng masih dapat kesempatan untuk meniup seruling.
Selagi orang berlari-lari, tiba-tiba pihak pengejar merasa kakinya bergera
k, yang disusul dengan satu suara keras dari atas bukit.
"Celaka! Salju uruk!" teriak Eng Sioe Yang.
Teriakan itu disusul dengan jatuhnya potongan-potongan es dari atas bukit
yang menggelinding bagaikan batu-batu besar.
Pada waktu itu, kedua bukit Benggoat kiap ditutupi salju yang membeku menj
adi es, dan biasanya potongan-potongan es itu menggelinding ke bawah hingga menu
tupi jalanan di mulut selat. Kali ini potongan-potongan es itu merintangi pengej
aran Bouwyong
Tjiong bertiga
Tidak peduli mereka ini punyakan ilmu silat yang liehay, mereka jeri terha
dap "serbuan" es itu, terpaksa mereka batalkan maksud mereka mengejar terus, seb
aliknya, mereka mesti lompat mundur, untuk menghindarkan diri dari serangan es.
Ketika mereka sampai di tempat yang selamat, kuping mereka dirasakan hampir tuli
oleh berisiknya suara potongan-potongan es yang jatuh.
Bouwyong Tjiong masih penasaran, ia lihat San Ho sedang lari di lain arah.
"Ke mana kau hendak lari?" teriak tjongkauwtauw dari istana ini. Lalu ia e
njot tubuhnya, untuk lompat, mengulangi pengejarannya
San Ho tunggu orang sampai datang dekat, ia berpaling, kembali ia meniup s
erulingnya, guna menyumpit pula lawannya itu.
Kali ini Bouwyong Tjiong sudah siap sedia, dengan menggerakkan tangan kana
nnya ia menyampok panah sumpitan itu, sedang tangan kirinya ia gunakan untuk men
jambak si nona. Lompatannya yang jauh membuat ia segera datang dekat pada nona i
tu, siapa sebaliknya karena hendak menyumpit, sudah hentikan larinya.
Belum sempat nona Tiat berkelit atau menangkis, maka lehernya kena tersamb
er tangannya Bouwyong Tjiong, hingga ia rasakan lehernya dan separuh tubuhnya ka
ku, maka ia tak dapat berdiri lebih lama pula. Tapi ia masih bisa berteriak: "En
tjie Lian! Lekas!"
Bouwyong Tjiong tertawa.
"Aku memang ingin tunggu datangnya entjie-mu itu!'" dia kata.
Sementara itu, keruntuhan es sudah mulai reda, ketika tjongkauwtauw itu me
mandang, ia dapatkan mulut lembah itu telah tertutup salju. Maka itu, biar orang
pandai bagaimana, sukar untuk dia merayap turun. Dan, kecuali Kim Tok Ek dan En
g Sioe Yang, yang sudah masuk ke dalam mulut lembah, pahlawan lainnya tak ada sa
tu jua yang sanggup masuk ke situ.
Bouwyong Tjiong cekal tubuhnya San Ho, untuk dikempit. Nona itu sudah tida
k berdaya sama sekali.
"Semua saudara kita tertahan di luar," kata dia dengan masgul, "jikalau Gi
ok Lo Sat datang bersama barisan wanitanya, tentu sekali tidak dapat kita lawan
jumlah mereka yang terlebih besar..."
"Karena kita sudah berhasil membekuk budak ini, lebih baik kita pulangdulu
," Eng Sioe Yang usulkan. "Hantu wanita itu terlalu agulkan kepandaiannya, nyali
nya juga besar sekali, dengan adiknya terjatuh ke dalam tangan kita, dia pasti d
atang menolongnya, dengan sendirinya kita, dari tetamu berbalik menjadi tuan rum
ah, kita pasti akan menang di atas angin."
"Baik," Bouwyong Tjiong akur dengan usul itu. "Sekarang mari kita lekas me
nyingkir dari lembah ini."
Lantas ketiga orang ini mencari jalan keluar. Bouwyong Tjiong tetap kempit
San Ho. Di antara mereka bertiga dialah yang ilmu silatnya paling liehay, walau
pun ilmu entengkan tubuhnya tak semahir Giok Lo Sat. Begitulah dijalan sukar itu
, ia jalan seperti di tanah datar.
Eng Sioe Yang kalah sedikit dari tjongkauwtauw itu, akan tetapi dia bertan
gan kosong, maka itu, dapat ia susul sepnya itu. Maka sengsaralah Kim Tok Ek, ya
ng kalah di kaki meskipun ilmu silatnya mahir. Untuk jalan di tanah datar, tidak
apa, tetapi di tempat tak rata itu, sebentar-sebentar dia berhenti untuk berist
irahat.
Bouwyong Tjiong ingin lekas-lekas menyingkir, ia sudah tidak sabar. "Coba
kau bantu dia!" ia suruh Eng Sioe Yang.
Sebenarnya tak sudi orang she Eng ini bantui Tok Ek, tetapi karena ada tit
ah dari pemimpinnya, ia tidak dapat menolak. Maka ia hampiri si orang she Kim, u
ntuk membantu padanya.
Selagi menantikan Tok Ek, Bouwyong Tjiong berhenti bertindak.
Tiba-tiba saja San Ho, di dalam kempitannya, berteriak keras.
"Kau cari mampus?" bentak Bouwyong Tjiong dengan murka. Lantas dia angkat
kepalanya, akan melihat ke arah atas gunung di mana ia tampak satu peta tubuh ma
nusia di atas bukit, tubuh mana bergerak gesit ke arah puncak bagaikan burung te
rbang.
Kim Tok Ek segera menjerit: "Giok Lo Sat!" Dia kaget sekali.
Tanpa bersangsi sedikit juga, Bouwyong Tjiong totok orang tawanannya, kemu
dian ia letakan tubuh Nona Tiat di sampingnya. Terus ia mengawasi ke atas, ke ar
ah peta tubuh manusia tadi.
Sekarang terlihat tegas bukannya satu orang tetapi dua orang yang berada d
i bukit. Yang satunya tidak berlari-lari naik, dia tetap berdiam diri, dia mirip
dengan seorang lelaki. Sedang yang naik, mirip dengan seorang wanita
Dengan ragu-ragu, tjongkauwtauw pahlawan istana ini terus memandang ke ara
h orang itu.

XIV

Giok Lo Sat dan To It Hang berada di atas gunung. Berdua mereka sedang mem
andang ke sekitarnya tatkala mereka mendengar suara sangat berisik bagaikan gemu
ruhnya guntur.
"Salju beku di depan gempur," kata Giok Lo Sat. "Pasti sekali adik San Ho
terhalang perjalanan pulangnya."
Selagi si Raksasi Kumala berniat lari turun, untuk menengoki gadisnya Tiat
Hoei Liong, matanya berbentrok dengan peta tubuh yang sedang berlari-lari naik
ke atas bukit menuju dia berdua. Dia kenali orang itu adalah Anghoa Koeibo, si B
iang Hantu Bunga Merah.
"Anghoa Koeibo datang lagi," kata It Hang, yang pun kenali nyonya yang lie
hay itu. "Terang sekali dia telah dipedayakan orang. Entjie Lian, kau harus berh
ati-hati."
Nona itu manggut.
"Kau diam di sini tunggui dia," katanya. "Aku akan pergi ke pesanggrahan k
ita, segera aku kembali."
Dan terus ia putar tubulnya, buat lari ke arah pesanggrahannya.
It Hang turut pesan itu, ia berdiri tegak, matanya mengawasi ke arah si Bi
ang Hantu Bunga Merah, yang tidak lama kemudian sudah lantas sampai.
Sebetulnya ketika Anghoa Koeibo meninggalkan Benggoat kiap, ia beragu-ragu
atas keterangannya Giok Lo Sat. Ia pikir: "Suami bangsat itu sudah sering aku b
eri nasehat, sering juga dia tak dapat ubah tabiatnya, maka ada kemungkinan yang
dia berani berbuat busuk pula. Tapi, inilah tak mungkin! Bukankah dia minggat b
elum berapa lama? Bukankah aku telah susul dia pada hari kedua sehabis ia mingga
t? Mustahil dalam tempo demikian singkat dia dapat berdamai dengan Bouwong Tjion
g untuk melakukan kejahatan?"
Sama sekali Anghoa Koeibo buta terhadap maksudnya Kim Tok Ek buron itu. Se
benarnya suami ini telah bermupakat dari jauh hari dengan Eng Sioe Yang. Mereka
sudah janji, bilamana Anghoa Koeibo pergi mengunjungi sahabatnya, ia mesti mingg
at, nanti Sioe Yang beramai papak padanya.
Anghoa Koeibo tetap terbenam, dalam keragu-raguannya itu.
"Giok Lo Sat kata suamiku pergi ke Tjenghie koan, baik aku pergi ke sana d
ulu," demikian pikirnya terlebih jauh.
Si Biang Hantu ini tidak tahu Pek Sek Toodjin berada di kuil Tjenghie koan
itu, maka ketika kedua orang ini bertemu satu pada lain, hampir saja mereka ben
trok dan bertarung hebat.
Selama kedua pihak saling caci, Anghoa Koeibo sudah lantas ketahui bahwa b
enar-benar suaminya telah pernah datang ke kuil itu, cuma ia masih belum ketahui
yang suaminya itu telah dilukai si Raksasi Kumala.
Dalam mendongkolnya, Pek Sek Toodjin berteriak: "Siapa mempunyai kesempata
n akan urus suamimu itu? Kau datang kemari untuk mencari suami, sungguh ini adal
ah satu lelucon yang maha besar! Jikalau kau hendak cari suamimu, pergilah minta
kepada Giok Lo Sat! Hm! Pedangnya Giok Lo Sat pastilah tidak kenal kasihan! Sua
mimu itu sudah rasai tajamnya pedang si Raksasi Kumala itu! Umpama kau pergi men
cari nona itu, belum tentu dia serahkan suamimu masih hidup!..."
Baru saja Pek Sek Toodjin mengalami kegagalan, meskipun di dalam kuilnya a
da banyak muridnya, ia agaknyajeri juga terhadap si Biang Hantu Bunga Merah ini,
karenanya ia sengaja omong demikian, supaya hawa amarahnya nyonya ini meluap da
n segera pergi mencari si nona kosen itu. Inilah tipunya-tipu memindah bencana k
epada pihak lain.
Anghoa Koeibo berniat keras mencari suaminya, tidak ada niatnya untuk cari
gara-gara dengan pihak Boetong pay, kalau dia toh omong keras, itulah disebabka
n tabiatnya dan kemendongkolannya, Begitu dengar omongan Pek Sek, dia terus lari
keluar dari kuil. Ketika sampai di pintu pekarangan, mendadak ia ingat sesuatu.
Maka ia menoleh kepada si imam.
"Bagaimana dengan Gak Beng Kie?" tanyanya.
Merah wajahnya Pek Sek Toodjin.
"Siapa yang demikian usil? Tak tahu aku!"
Beberapa murid Boetong pay segera menggabrukkan pintu!
Bukan kepalang gusarnya nyonya galak itu, di saat dia hendak melompati tem
bok, untuk menerjang masuk kembali ke dalam kuil, tiba-tiba saja ia dapat pikira
n lain.
"Belum pasti suamiku itu sudah mati, tapi terang dia terluka di tangannya
Giok Lo Sat, buat apa aku gerecoki lagi Pek Sek?..."
Oleh karena dia ingat ini, Anghoa Koeibo terus lari turun gunung. Ia menuj
u ke kota Konggoan, ia hendak cari Bouwyong Tjiong.
Ketika itu kekacauan sudah berakhir, rakyat jelata telah bubar dan pahlawa
n-pahlawan yang terluka sudah sampai di kantor, maka ketika si Biang Hantu tiba,
dia hanya dengar rintihan korban-korban kekacauan itu. Ia kaget berbareng heran
. Waktu ia masuk ke dalam, untuk melihat korban-korban itu ia peroleh kenyataan,
mereka itu merintih kesakitan akibat luka pedang. Itulah bekas totokan pedang d
i batas jalan darah dan itulah hasil tangan yang liehay dari Giok Lo Sat.
Anghoa Koeibo tidak lihat, baik Bouwyong Tjong maupun Eng Sioe Yang.
"Ke mana mereka pergi?" dia tanya pahlawan-pahlawan terluka itu.
"Bouwyong Tjongkoan dan Eng Touwtauw telah pergi untuk menolongi Kim Lootj
ianpwee," sahut beberapa pahlawan, yang sudah dipesan Eng Sioe Yang. "Baiklah ka
u lekas pergi ke Benggoat kiap, loodjinkee..."
"Untuk apa aku pergi kesana?" tanya si nyonya.
"Ah, apakah loodjinkee belum mengetahuinya?" sahut orang itu. "Kim Lootjia
npwee telah dilukai Giok Lo Sat, dia ditawan hidup-hidup dan dibawa pergi..."
Kaget juga nyonya itu.
"Bagaimana dengan Gak Beng Kie?" dia masih tanya. "Eh, ya, apakah benar Hi
m Kengliak telah dihukum mati pemerintah?"
"Gak Beng Kie? Ohritu Gak Beng Kie!" sahut si pahlawan. "Dia adalah satu b
oebeng siauwtjoet, dari mana loodjinkee ketahui dia? Dia telah merampas harta be
sar yang seharusnya disita pemerintah ketika Him Kengliak dihukum mati! Maka pem
erintah hendak cari padanya. Kita sama sekali tidak ditugaskan untuk membekuk di
a. Tentang sebabnya kenapa Him Kengliak dihukum mati, inilah kita tidak tahu, te
tapi mendengar kata orang dia telah berdosa menjual negara pada bangsa asing den
gan siapa dia berkongkol!..."
Habis dengar itu, tanpa banyak omong lagi, Anghoa Koeibo meninggalkan kota
, untuk lari ke arah Benggoat kiap.
Sesampainya di dekat selat, Nyonya Kim ini telah melihat rombongan pahlawa
n-pahlawan istana. Dia lari ke arah mereka itu, dengan niat minta keterangan. Ju
steru itu ia dengar suara hebat bagaikan guntur, ialah longsornya potongan-poton
gan es. Itu waktu, Bouwyong Tjiong bertiga sudah memasuki mulut selat yang ketig
a. Dan ketika nyonya ini sampai di mulut selat pertama, es itu sudah menutupi Se
antero jalanan masuk. Maka ia hampirkan pahlawan yang terbelakang itu, untuk mem
inta keterangan padanya.
Pahlawan yang ditanya itu kebetulan ada muridnya Eng Sioe Yang, dia cerdik
tak kalah dari gurunya. Dengan enak dia menjawab: "Kami datang kemari untuk men
olongi Kim Lotjianpwee, di tengah jalan tadi kami telah bentrok dengan barisan w
anita dari si hantu gunung ini. Bagus kau telah datang loodjinkee! Lihat jalanan
sudah tertutup, kami semua tidak sanggup melintasinya, maka baiklah loodjinkee
yang pergi mendaki gunung, guna jalan mutar ke Benggoat kiap..."
Anghoa Koeibo anggap benar keterangan itu, ia tinggalkan semua pahlawan, m
aka dari samping dapat ia mendaki bukit untuk lintasi jalan tertutup itu. Ketika
ia sampai di atas, Bouwyong Tjiong bertiga sedang merayap naik batu dan oyot ro
tan mengalingi mereka dari matanya si nyonya jagoan. Karenanya, Anghoa Koeibo ti
dak lihat suaminya, tak tahu dia suaminya justeru berada di dekatnya.
Pun, berbareng dengan itu, nyonya kosen ini dapat lihat satu peta tubuh mu
ncul di samping bukit, gerakannya cepat bagaikan terbang. Ia menjadi heran dan b
erpikir: "Itulah ilmu enteng tubuh yang mahir sekali, mirip dengan kepandaiannya
Giok Lo Sat. "Siapakah orang pandai ini?"
Masih terus Nyonya Kim ini berpikir, menduga-duga orang itu. Ia tahu betul
, dalam kalangan kangouw, dari pelbagai partai, tidak ada orang yang demikian li
ehay ilmu enteng tubuhnya. Ia hanya dapat menduga-duga, lain tidak. Coba tidak d
i saat seperti ini, pasti ia sudah susul orang itu, untuk peroleh kepastian. Sek
arang ini ia terlalu sibuk dengan soal menolongi suaminya. Ia juga kuatirkan ora
ng ada dari pihak musuh, kalau benar itu, pasti ia akan hadapi suatu lawan yang
tangguh, sedang kalau orang ada dari pihak sahabat, sedikitnya ia mesti sia-siak
an tempo untuk berbicara dengan dia itu.
Karena Benggoat kiap sudah berada di depan matanya, dia tidak ambil mumat
lebih jauh, dia lari terus, mendaki, sampai melintasi sebuah puncak, dan akhirny
a dia tiba di tempat di mana It Hang sedang berada sendirian saja.
"Mana Giok Lo Sat?" tanya si nyonya, yang bergelisah sebab ia tidak tampak
si nona gagah.
It Hang hormati nyonya yang liehay itu, ia menjura
"Ada apa Iootjianpwee kembali?" dia tanya mendahului.
"Inilah bukan urusanmu! Suruh Giok Lo Sat kemari!" bentak si nyonya.
"Baik Iootjianpwee tunggu sebentar, dia segera datang," kata si anak muda,
yang tak menggubris sikap orang yang galak dan jumawa itu.
Anghoa Koeibo menoleh ke arah pesanggrahan, yang pintunya tertutup rapat.
"Ha, kau sedang bantui dia menggunakan tipu memperlambat ketika?" dia kata
. "Nyonya tuamu tak dapat dipedayakan!"
Nyonya ini duga Giok Lo Sat insaf akan kesalahannya maka dia tak hendak me
nemui tetamunya dan pintu pesanggrahanpun ditutup. Malah dia menduga juga, nona
itu tentunya hendak menyingkir secara diam-diam dari belakang, hingga dia jadi s
angat bergelisah. Maka tanpa bilang suatu apa lagi, dengan tangan kiri dia tolak
It Hang, untuk geser pemuda itu tidak menghalangi padanya, terus dia lari ke pi
ntu, akan terus juga kumpul tenaganya, untuk dengan tongkatnya menghajar daun pi
ntu, sedang tangan kirinya, dipakai menggebrakjuga
"Brak!" pintu pesanggrahan roboh terbuka.
Menampak demikian, beberapa serdadu wanita, yang menjaga pintu itu, segera
lari kabur, untuk selamatkan diri.
Berbareng dengan itu Giok Lo Satpun muncul, dia lari mendatangi.
"Anghoa Koeibo, kau berani merusak pintu pesanggrahanku?" dia menegur deng
an murka, terus dia menyerang dengan pedangnya, beruntun sampai dua kali.
Anghoa Koeibo menangkis dengan tongkatnya, menghalau ujung pedang ke arah
ulu hatinya.
Menggunai ketika itu, Giok Lo Sat berlompat tinggi, sampai ia lewati kepal
a si nyonya, dengan begitu, dapat ia pilih tempat di sebelah atas.
"Mari, mari! Mari kita bertempur pula sampai tiga ratus jurus!" ia menanta
ng.
Anghoa Koeibo siapkan tongkatnya.
"Giok Lo Sat, kau berani pedayakan aku?!" dia menegur dengan bentakannya.
"Lekas kau kembalikan orang kepadaku! Jikalau tidak, hari ini aku tak mau sudah
dengan begini saja!"
Giok Lo Sat bisa duga nyonya ini sedang dipermainkan orang, tetapi karena
pintu pesanggrahannya dirusak, ia tetap murka sekali. Hingga tak sudi ia bicara
ngotot.
"Jikalau kau tidak perbaiki pintu pesanggrahanku," katanya mengancam, "aku
sendiri kenal kau, pedangku tidak, maka itu, biar kau sendiri suka menyudahinya
, aku tidak!"
Ucapan ini dibuktikan dengan serangan bertubi-tubi, sampai enam atau tujuh
tikaman.
Anghoa Koeibo menjadi sangat murka, dengan tongkatnya yang berkepala naga,
ia membuat perlawanan, ia menyabet dengan dahsyat, sampai sambaran dari tongkat
nya menerbitkan suara seperti angin.
Maka itu berdua mereka bertempur di muka pesanggrahan, bertempur secara da
hsyat.
AnghoaKoeibo berkelahi dengan hati bergelisah, gusarnya terhadap si nona b
ukan buatan, sehingga ia seperti sedang mengadu jiwa secara mati-matian. Repotla
h Giok Lo Sat melayani musuh ini, tidak peduli selama keram diri tiga tahun di s
elatnya, ia juga telah peroleh kemajuan. Syukur untuknya, selagi ia kewalahan me
layaninya, ilmu enteng tubuhnya tetap mahir, hingga ia tak dapat diserang atau d
ilukai. Tongkatnya sinyonya melainkan mengenai batu hingga batu itu hancur dan b
eterbangan.
Dalam keadaan sehebat itu si Raksasi Kumala masih bisa tertawa.
"Ha, semenjak tiga tahun, belum pernah aku dapat bertempur secara begini g
embira!" demikian ujarnya.
Menghadapi lawan yang tangguh itu, dia mainkan pedangnya dengan sungguh-su
ngguh, dia keluarkan pelbagai jurusnya yang istimewa, hingga dia bergerak bagaik
an naga beterbangan melilit-lilit, gesit majunya, sebat mundurnya.
Anghoa Koeibo menjadi bertambah mendongkol apabila ia dapat kenyataan tak
dapat ia robohkan lawannya itu walaupun ia sudah berkelahi secara sangat mendesa
k.
"Baiklah, aku akan adu jiwa denganmu!" dia berteriak sekuatnya. Dan serang
an-serangannya diperhebat, dengan tongkatnya, dan dengan kepalannya juga Ia berl
aku sangat telengas, setiap serangannya selalu di arahkan ke tempat-tempat yang
berbahaya sekali. Telapakan atau kepalan tangan kirinya, memainkan jurus-jurus P
aysan tjiang, Menolak Gunung.
To It Hang bergelisah menyaksikan pertarungan semacam itu, meskipun ia buk
annya seorang yang bernyali kecil. Inilah disebabkan karena ia menyayangi kedua
lawan itu.
"Bicaralah baik-baik!" dia berseru akhirnya. "Dengan sebenarnya Kim Lootji
anpwee tidak ada di sini!"
Dua orang itu tidak mau berhenti dengan begitu saja, mereka bertempur teru
s, sampai seperti tanpa merasa, mereka sudah melalui tiga ratus jurus.
Pertempuran kali ini beda dengan pertempuran duluan di Pitmo gay. Waktu it
u, pertama-tama ada Pek Sek Toodjin dan Tiat Hoei Liong, yang melayani nyonya tu
a itu, hingga dia telah gunai terlalu banyak tenaga. Di samping itu ada Gak Beng
Kie dengan sarung tangannya yang liehay. Hingga Giok Lo Sat mendapatkan banyak
keringanan. Kali ini mereka ada satu sama satu, segar sama segar.
Si Raksasi Kumala liehay ilmu pedangnya, liehay juga kengkang soet, ilmu e
nteng tubuhnya, akan tetapi di samping itu, ia kalah lweekang atau "tenaga dalam
" dari si nyonya kosen, maka lama kelamaan ia kalah angin juga, ia merasa diriny
a terdesak. Karena itu, terpaksa ia berlaku waspada.
It Hang menjadi semakin gelisah. Sulitnya untuk dia, tidak dapat dia menye
rbu di antara mereka itu, sebab dia dapat menimbulkan salah pengertian di antara
kedua orang yang sudah jadi nekat itu. Pun teriakannya untuk minta kedua pihak
menunda pertarungannya sia-sia saja.
Selagi keduanya bergulat terus, tiba-tiba terdengar seruan si nyonya tua:
"Kena!" Itulah seruan yang dibarengi dengan hajaran tongkat kepada pedangnya, se
raya disusul dengan sampokan tangan kiri ke arah muka si nona.
Riuh suara kaget dari barisan wanita dari Benggoat kiap. Mereka kuatirkan
pemimpin mereka, yang sudah terdesak itu.
"Tak bisa!" seru Giok Lo Sat, yang diiringi dengan suara tertawa nyaring t
etapi halus.
Benar-benar si Raksasi Kumala lolos dari ancaman malapetaka Orang tidak li
hat ia gunai tipu apa, tahu-tahu ia sudah terhindar dari tangan kirinya Anghoa K
oeibo, pun pedangnya tak terpental karena gempuran tongkat itu, sebab dapat ia e
lakan senjatanya itu.
Malah sebaliknya, dengan pedangnya, ia lakukan penyerangan membalas yang d
inamakan, "gigi tukar dengan gigi!" Tiba-tiba ujung pedangnya sudah menyambar ke
ulu hati lawannya itu, si Biang Hantu Bunga Merah.
Itulah satu rahasia yang diketahui Giok Lo Sat sendiri, setelah pertempura
n di Pitmo gay melawan Anghoa Koeibo, dia merasa bahwa di kolong langit ini cuma
nyonya tua kosen ini yang menjadi lawannya yang seimbang tangguhnya dengan dia
sendiri, karena itu, dia selalu pikirkan jurus-jurus yang istimewa saja untuk bi
sa melayani kelak. Dalam hal ini ia nampak kesulitan, sebab tidak sanggup dia me
layani lweekang orang. Apa yang menambah keringanannya adalah dia telah kenal ba
ik ilmu tongkat si nyonya, hingga untuk sementara, selama menghadapi ancaman ben
cana, dia mengandalkan kegesitan tubuhnya. Demikian kali ini dalam saat ancaman
bahaya maut itu, dapatlah dia selamatkan dirinya, sambil mencari balas.
Anghoa Koeibo duga, satu kali ini dia dapat peroleh hasil. Dia percaya bet
ul yang lawannya tidak akan lolos lagi. Tapi dugaannya dan kepercayaan itu, gaga
l dua-duanya. Atas kejadian ini, bukan dia jadi sengit dan bertambah benci kepad
a nona itu, sebaliknya, timbullah rasa sayangnya untuk kelincahan orang itu.
"Bocah ini masih berusia sangat muda tetapi kepandaiannya, kecerdasannya,
telah begini mahir, itulah kepandaianya yang tidak mudah didapatkannya," demikia
n dia berpikir. "Bila dia benar-benar tidak binasakan suami bangsatku, aku suka
beri ampun padanya..."
Sambil berpikir demikian, ia sampok pedang si nona. hingga ia pun bebas da
ri ancaman kepada ulu hatinya itu.
Habis ini, keduanya bertempur sedikit kendor.
"Aku punya suami bangsat itu sudah mati atau masih hidup? Kau hendak membe
ritahukan atau tidak?" begitu si nyonya kosen menanya tetapi dengan bengis sekal
i.
Giok Lo Sat tertawa.
"Mana aku ketahui dia sudah mampus atau masih bernyawa!" demikian jawabnya
.
Kembali naik darahnya si nyonya tua.
"Bukankah, kau telah tikam dia sampai terluka?" dia masih sabarkan diri, d
ia masih suka menanyakan. "Kenapa kau bolehnya tidak mendapat tahu?"
"Memang, aku telah tikam dia!" si Raksasi Kumala akui. "Ketika aku tikam d
ia, pasti sekali dia masih hidup! Hanya sekarang, dia masih hidup atau sudah mat
i, tidak aku tahu!"
Tergetar hatinya si Biang Hantu. Mendengar jawabannya si nona ia menduga b
ahwa suaminya itu telah kena ditawan nona ini, mungkin karena lukanya parah seka
li, suami itu sedang menghadapi malaikat maut. Kalau tidak, mustahil jawabannya
nona itu sedemikian rupa
"Marilah kau ajak aku ke dalam pesanggrahanmu untuk
menyaksikannya!" dia mengajak. "Jikalau suamiku itu belum mati, lekas kau
tolongi padanya. Tetapi jikalau dia betul sudah mati, -- hm! -- maka haruslah ka
u mengganti jiwa!"
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Jikalau kau mempunyai kepandaian, pergilah sendiri!" dia kata. Lantas dia
lintangkan pedangnya di dadanya, untuk bersiap sedia.
It Hang, dalam gelisahnya, gunakan ketika ini.
"Dengan sebenarnya Kim Lootjianpwee tidak ada di sini!" katanya berteriak.
"Di mana dia?" teriak Anghoa Koeibo menegaskan.
"Tadi malam dia kena ditikam, dia jatuh menggelinding ke bawah gunung," sa
hut It Hang. "Mungkin dia sudah pulang ke kota untuk cari Bouwyong Tjiong."
"Ngaco!" bentak si nyonya kosen. "Bouwyong Tjiong sekarang ini berada di l
uar mulut selat, dia terhalang tumpukan es. Mungkin sebentar lagi dia bakal data
ng kemari. Jikalau dia sudah pulang ke kota, cara bagaimana dia bisa datang pula
kemari untuk menolongi?..."
Giok Lo Sat terperanjat.
"Aku tungkuli diri dengan layani dia ini bertarung, siapa nyana, Bouwyong
Tjiong telah datang menyerang kemari," pikirnya.
"Jangan-jangan mereka datang kemari dengan mengejar adik San Ho. Sudah ter
ang adik San Ho bukannya tandingan mereka..." Ia jadi bergelisah, maka segera ia
kata pada lawannya itu: "Mari kita cari Bouwyong Tjiong, untuk padu dengan dia!
Tidakkah ini ada terlebih baik?"
Anghoa Koeibo tertawa dingin.
"Menolong orang mesti cepat seperti menolong bahaya kebakaran." katanya. "
Dia telah kau tikam, mungkin terkena anggauta tubuhnya yang berbahaya, mana aku
punya kesempatan untuk bersama kau mencari Bouwyong Tjiong?"
Nona Lian tertawa bergelak-gelak.
"Siapa bilang aku lukai dia di tempat yang berbahaya?" tanyanya. "Suamimu
itu mempunyai ilmu silat yang bukan sembarang! Baik aku omong terus terang! Mema
ng niatku menikam dia pada anggauta yang berbahaya, tetapi dia berkelit secara g
esit sekali, maka dia cuma tertusuk kakinya. Jangan kau gelisah tidak keruan!"
"Apakah kau omong benar-benar?" si Biang Hantu tegaskan. "Apakah benar-ben
ar dia tidak ada di sini? Giok Lo Sat, jangan kau pedayakan orang! Sekarang aku
tanya kau, kenapa tadi kau tidak sebut-sebut halnya dia telah terluka?"
Giok Lo Sat tertawa berkakakan.
"Urusan sedemikian kecil, apakah ada harganya untuk disebutsebut?"dia bali
k tanya. "Sekarang hendak aku tanya padamu: Jikalau kau mempunyai urusan yang bu
ruk, apakah kau sudi orang menyebutkannya?"
"Apa? Kapan aku punyakan urusan jelek?" dia tanya. "Apakah kau maksudkan k
ejadian di Pitmo gay itu? Ketika itu kamu berkelahi dengan main kerubuti, dengan
bergilir ganti! Adakah itu memalukan aku?"
"Ini hanya suatu perumpamaan!" si Raksasi Kumala tertawa pula. "Suamimu ke
pandaiannya sekarang ini sudah kalah jauh daripada aku. Aku telah tikam dia, tap
i tidak terkena anggautanya yang berbahaya Tidakkah ini buruk? Untuk menyebutnya
itu. aku jengah sendiri..."
Si Biang Hantu gusar berbareng merasa lucu.
"Hm, kau rupanya bangga sekali!" katanya.
Tapi sekarang mau dia percaya si nona.
"Baiklah," sahutnya dengan sabar. "Mari kita pergi pada Bouwyong Tjiong!"
Di luar dugaan nyonya ini, Giok Lo Sat bersikap dingin.
"Tidak bisa!" sahutnya.
Heran si Biang Hantu.
"Apa katamu? Bukankah barusan kau sendiri yang ajak aku pergi cari Bouwyon
g Tjiong?" dia tanya.
"Memang!" sahut nona kita. "Tapi kau telah rusaki pintu pesanggrahanku, un
tuk itu kau mesti menghaturkan maaf dulu kepadaku! Tentang membetulkannya, urusa
n itu boleh ditunda sampai nanti kita sudah dipadu dengan Bouwyong Tjiong."
Darahnya si Biang Hantu meluap. Dia memukul tanah dengan tongkatnya.
"Giok Lo Sat, apakah benar kau begini menghina padaku?" dia tegaskan.
"Aku adalah kepala dari satu pesanggrahan," sahut Giok Lo Sat. "Kau telah
hajar rusak pintu pesanggrahanku, itu sama saja dengan menterbalikan pembaringan
naga dari kaisar, sama saja dengan orang yang telah merobek bendera dari satu p
iauwkiok! Kau kenal atau tidak undang-undang kaum kangouw? Lekas kau haturkan ma
af, supaya kita bisa lantas pergi cari orang!"
Anghoa Koeibo melengak, dia tercengang. Ia memang tahu baik undang-undang
kangouw, kaum Sungai Telaga. Tapi ia tetap bersangsi, karena urusan masih belum
jelas. Siapa bisa pastikan suaminya tidak ada di dalam pesanggrahan si Raksasi K
umala ini? Bagaimana dapat ia tundukkan kepala, untuk lantas menghaturkan maaf?
Maka ia menjadi gusar.
"Kau menghendaki aku menghaturkan maaf padamu?" dia tanya. "Baik! Kau bole
h tempur pula tongkatku ini! Jikalau tongkatku tunduk terhadapmu, aku juga nanti
manggut kepadamu!"
It Hang kembali bergelisah. Ia sesalkan Giok Lo Sat, yang lagi-lagi timbul
kan gara-gara.
Akan tetapi si Raksasi Kumala sangat bandel. Dia tertawa dingin.
"Baik, mari kita bertarung pula sampai tiga ratus jurus!" ia menantang. "I
t Hang, coba kau pergi ke depan gunung, kau lihat adik San Ho sudah balik atau b
elum!"
Anghoa Koeibo sangat gusar, dia ayunkan tongkatnya, dengan itu ia menyapu
secara hebat. Itulah serangan "Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pas
ir datar". Ia tujukan ke arah pinggang dan paha si nona. Serangannya itu diulang
i berkali-kali.
"Bagus!" seru Nona Lian. Dengan gesit dia enjot tubuhnya, untuk berloncat.
Dengan begitu, tongkat itu lewat di bawahan kakinya.
Walaupun tubuhnya terangkat tinggi, nona ini tidak mengabaikan serangan pe
mbalasannya. Selagi tubuhnya turun, pedangnya menyabet, dari atas ke bawah. Itul
ah tabasan "Pekhong koandjit" atau "Bianglala putih menutupi matahari".
Anghoa Koeibo menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras dan menerbitka
n suara nyaring.
Pedangnya Giok Lo Sat tidak terlepas, sebaliknya, tubuhnya melayang pergi
menuruti arah terpentalnya. Dia baru turun setelah lompat sejauh setumbak lebih.
Ketika pertempuran sedang berjalan dengan hebatnya, tiba-tiba terdengar su
ara seruling samar-samar iramanya halus, perlahan lalu menjadi tandas, suara itu
terputus-putus. Mendengar itu, pucatlah wajahnya Giok Lo Sat. Maka ketika Angho
a Koeibo mencelat kepadanya dengan tongkatnya, dia segera lompat berkelit sambil
berseru: "Baiklah, urusan kau menghaturkan maaf boleh ditunda sampai kita sudah
bertemu dengan Bouwyong Tjiong!"
"Apakah kau anggap aku dapat dipermainkan sesukamu?" seru si Biang Hantu.
Kembali ia angkat tongkatnya, mengancam.
Mendadak, suara seruling itu lenyap, lalu terdengar pula, kali ini dengan
bertambah tandas, sampai nyonya yang galak itu turut mendengar juga, hingga dia
menjadi heran. Seruling itu memberi lagu sebagai orang berduka penasaran dan mur
ka.
"Siapakah yang meniup seruling itu?" tanya Anghoa Koeibo bahna herannya. T
anpa merasa, hatinya tergerak dan terpengaruh sekali.
"Itulah Tiat San Ho, puterinya Tiat Hoei Liong," si Raksasi Kumala beritah
u. "Es longsor dan menutupi lembah, mungkin dia berada di luar dan terhalang jal
annya."
"Ah, inilah hebat!" teriak To It Hang. "Jikalau lukanya Kim Lootjianpwee t
idak hebat, mestinya dia telah datang bersama Bouwyong Tjiong..."
It Hang berkuatir, San Ho nanti diganggu tjongkauwtauw pahlawan istana itu
.
Anghoa Koeibo rupanya mendapat pikiran yang sama, hingga ia pun berseru "C
elaka!" Ia telah pikir: "Aku percaya betul lelaki bangsat itu ada pada Giok Lo S
at di sini, sama sekali tidak kupikir dia datang bersama Bouwyong Tjiong. Jikala
u benar dia ada di sini, dia baru terluka, cara bagaimana dia dapat loloskan dir
i dari longsoran es ini?... Ah, kalau benar dia ada di sini. sungguh hebat! Tida
kkah benar Giok Lo Sat mendustai aku? Bukankah dia telah buron dan melakukan pul
a perbuatan busuk? Habis, bagaimana dapat aku berurusan dengan Giok Lo Sat? Apak
ah aku sendiri yang harus membuat dia bercacat atau biarkan saja Giok Lo Sat ber
pesta pora dengan penghinaannya? Ah, tidak. Tidak! Biar bagaimana, kami ada suam
i isteri dari puluhan tahun... Tapi, tak dapat aku lindungi dia! Bagaimana sekar
ang? Bila aku melindungi padanya, aku membuat kaum Rimba Persilatan nanti menter
tawainya..."
Maka bingunglah si Biang Hantu Bunga Merah ini.
Giok Lo Sat sendiri tidak terlalu perhatikan nyonya itu, ia bergelisah kar
ena suara seruling. Itulah serulingnya Tiat San Ho. Itulah tanda bahaya, tanda m
inta pertolongan.
"Celaka betul, kenapa aku biarkan diriku digerembengi Anghoa Koeibo!" dia
sesalkan dirinya sendiri. Segera dia serukan pada nyonya di depannya itu: "Jikal
au kau tidak hendak pergi, aku akan pergi sendiri! Jikalau mukamu cukup tebal, p
ergilah kau perhina pasukan wanitaku!"
"Cis" berseru nyonya itu. "Selama perkara ini belum selesai, walaupun kau
lari terbang ke langit, aku akan kejar terus padamu!"
Itu waktu Giok Lo Sat sudah lompat, untuk lari ke arah dari mana suara ser
uling datang, maka si Biang Hantu pun menekan dengan tongkatnya, sampai tubuhnya
mencelat, untuk menyusul nona itu.
Menampak orang pada angkat kaki, It Hang lompat dan lari, untuk menyusul,
tetapi dia segera mengeluh seorang diri. Bagaimana juga ia empos semangatnya dan
kerahkan tenaganya, tidak dapat ia susul kedua wanita yang sangat gesit tubuhny
a itu, hingga ia tertinggal beberapa puluh tumbak di belakang mereka!
Gak Beng Kie sendiri, setelah molos dari belakang Tjenghie koan. sudah lan
tas sembunyikan diri di dalam rimba. Dia bersembunyi sampai kira-kira jam empat
di waktu mana ia dengar suara dari banyak tindakan kaki. Ia segera bergerak, unt
uk mengintai. Maka ia dapatkan Bouwyong Tjiong beramai sedang lalu berduyun-duyu
n, banyak kawannya yang menggendong kawannya yang terluka, sebagian lagi saling
berpayangan.
"Ah Pek Sek Toodjin tak dapat dicela," pikirnya. "Tentulah Bouwyong Tjiong
semua telah merasai tangannya orang-orang Boetong pay..."
Beng Kie tidak ketahui datangnya Giok Lo Sat, yang menghajar rombongan pah
lawan istana itu. Ia memang tidak melihat datang dan perginya si nona gagah yang
telah mengambil jalan lain.
Sesudah rombongan Bouwyong Tjiong itu lewat, Gak Beng Kie mengeluarkan nap
as lega. Ia merasa sangat letih akibat berjalan sepanjang hari dan setelah berke
lahi hebat.
"Baiklah aku tidur sebentar di sini untuk beristirahat," pikirnya kemudian
. Ia ingin menghilangkan lelahnya Iapun berpikir, sebentar setelah terang tanah -
- ia mau menemui Pek Sek Toodjin untuk menghaturkan maaf, sambil mengucapkan sel
amat berpisah dari It Hang.
Berapa lama ia telah jatuh pulas, Beng Kie tidak tahu. Ia mendusin dengan
terperanjat waktu ia dengar satu suara, hingga ia segera berbangkit untuk memasa
ng mata. Ia rebah di antara batu-batu besar, hingga sukar untuk orang melihat pa
danya, sebaliknya ia sendiri dapat memandang keluar. Maka segera ia tampak seora
ng wanita tua, yang romannyajelek sekali, sedang berlari lari sambil mulutnya me
nggerutu. Pada rambut di dekat kupingnya nyonya itu ada tertancap setangkai bung
a merah yang besar. Larinya sangat pesat, dan tujuannya adalah kota.
Beng Kie kaget, ia menduga, jangan-jangan wanita tua itu Anghoa Koeibo ada
nya. Ia telah saksikan, ilmu enteng tubuh orang tak ada di bawahannya. Maka sete
lah si nyonya pergi jauh, ia lompat bangun, dengan cepat ia rapikan pakaiannya,
lalu ia berlari-lari mendaki gunung, akan kembali ke Tjenghie koan. Tidak bersan
gsi lagi ia ketok pintu kuil itu.
Pek Sek Toodjin sedang mendongkol dan uring-uringan sekali. Kedatangan Gio
k Lo Sat dan Anghoa Koeibo dengan bergantian membuat darahnya mendidih. Ia tidak
sangka, sehabisnya dua wanita yang tak dapat dibuat permainan itu, sekarang ada
lagi yang mengetok' pintu. Ia menduga-duga, siapa orang ini, hatinyapun tidak t
enteram. Ketika ia kenali Beng Kie adanya meluap pula hawa amarahnya.
Beng Kie berlaku hormat, ia perlakukan imam itu sebagai orang yang terlebi
h tua, sikapnya ini membikin tidak ada alasan untuk Pek Sek lantas umbar kemurka
annya.
"Apakah saudara To tak kurang suatu apa?" Beng Kie tanya dengan halus sete
lah ia memberi hormat dengan menjura
"Bukankah kamu ada dari rombongannya Giok Lo Sat si siluman perempuan?" ta
nya imam itu dengan bengis.
"Apa?" Beng Kie tanya, heran.
"Kau masih berpura-pura?" sang imam menegur. "Kau toh tahu, Giok Lo Sat su
dah membawa lari ketua kami!"
Beng Kie menjadi heran, ia terkejut.
"Apakah itu benar?" tanyanya. "Ah, kalau begitu, Giok Lo Sat pun berada di
Konggoan!"
Pek Sek bertambah gusar. Ia duga orang niat permainkan padanya.
"Beng Kie!"bentaknya, "orang muda kau benar bernyali besar, kau kurang aja
r! Kau telah fitnah kami hingga Boetong pay bentrok dengan pembesar negeri, suda
h begitu, kau juga berkongkol dengan Giok Lo Sat hingga siluman itu datang mengh
ina kami!"
Memang itu ada satu penghinaan besar bila ketua satu partai kena diculik,
dibawa lari orang dari lain kaum.
Beng Kie menjura pula
"Mengenai urusan tadi malam aku mohon lootjianpwee
memaafkannya," dia kata. "Hanya bicara hal aku berkongkol dengan Giok Lo S
at, itulah ada salah anggapan dari lootjianpwee..."
Pek Sek sangat mendongkol hingga "Sret!" ia hunus pedangnya.
"Kejadian tadi malam saja sudah cukup untuk kau merasai pedangku!" dia ber
teriak. "Urusan demikian besar, mana dapat dihabiskan hanya dengan minta maaf!"
Bukan main hebatnya ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Pek Sek Toodji
n, dalam sekejab saja, serangannya telah bertubi-tubi, hingga akhirnya Beng Kie
terpaksa mesti cabut pedangnya guna menangkis, sebab tak cukup ia main mundur sa
ja dan berkelit.
Begitu kedua pedang bentrok, suara nyaring terdengar. Tapi yang hebat adal
ah pedang si iman kena dibikin mental.
"Murid-muridku, hayo maju!" teriak Pek Sek dalam gusarnya.
Beng Kie tidak sudi melayani orang yang seperti tengah kalap itu, ia juga
tak membiarkan dirinya dikepung, maka begitu mendengar teriakan si imam, ia mend
ahului lompat mundur, untuk putar tubuhnya dan lari keluar bagaikan terbang cepa
tnya.
Pek Sek Toodjin mengejar tapi sia-sia saja, hingga ia kembali dengan mendo
ngkol disebabkan penasarannya yang tak terlampias.
Beng Kie menyingkir dengan pikirannya kacau. Semenjak kebinasaannya Him Ke
ng Liak, hatinya sudah tawar, hingga beberapa kali ia berniat mencukur gundul ra
mbutnya, untuk menjadi pendeta saja. Apa mau di sana ada Tiat San Ho, ia jadi te
rbenam dalam keragu-raguan. Ia menyesal atas minggatnya si nona yang hatinya men
dongkol. Karena kejadian itu, ia ingin menemui nona itu untuk menghaturkan maaf.
Maaf akan melegakan hatinya. Sayang, pelbagai urusan membuat ia tak sempat mene
mui nona itu, hingga niatnya belum sampai terwujud. Tapi sekarang ia dengar hal
munculnya Giok Lo Sat, timbul harapan dalam hatinya.
"Mungkin Giok Lo Sat ketahui di mana adanya San Ho," dia berpikir. "Biarpu
n Giok Lo Sat tidak akur denganku, aku mesti ketemui dia guna minta keteranganny
a hal San Ho..."
Demikian, meskipun kacau pikirannya, pemuda ini lari turun gunung dengan t
ujuan pasti. Ia dapat tahu Giok Lo Sat berdiam di Benggoat kiap. Dari sepuluh pe
nduduk sembilan tahu hal selat itu, hal penghuninya yang kosen. Maka setelah per
oleh keterangan, tujuannya adalah selat Rembulan Terang itu.
Anghoa Koeibo pun sedang menuju ke selat, sebab dia sudah kembali dari kot
a, maka itu, mereka
-Beng Kie dan si nyonya tua jadi seperti saling susul, tanpa mereka ketahui
maksud dan tujuan masing-masing.
Ketika Beng Kie mendekati selat, di sana ia tampak sejumlah pahlawan yang
mengejar musuh, mereka berpencaran di lamping bukit, juga ada serdadu-serdadu wa
nitanya Giok Lo Sat yang sedang menyingkir dari pahlawan-pahlawan istana itu.
Karena herannya, ingin Beng Kie ketahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ia lari mendaki gunung, ia pegat satu serdadu untuk dimintai keterangannya.
Serdadu itu tampaknya bukan pahlawan, hatinya lega.
"Kau siapa?" dia tanya dahulu.
"Aku ada sahabat dari tjeetjoe kamu."
Serdadu itu percaya, iapun lihat orang beroman gagah.
"Kalau begitu, pergi kau lekas tolongi Tiat Tjeetjoe kami!" kata dia, yang
mendapat harapan, hingga dia menjadi girang. "Tjeetjoe kami telah didesak kawan
an anjing itu, dia telah dikejar masuk ke dalam mulut gunung sana!"
Beng Kie kaget hingga ia berjingkrak.
"Siapa kau bilang?" dia tegaskan.
"Apakah kau tidak kenal Tiat Tjeetjoe kami?" si serdadu wanitapun menegasi
. "Dia ada gadisnya jago tua dari Barat utara, namanya San Ho."
Tidak tunggu sampai orang tutup mulutnya, Beng Kie sudah lompat lari ke ar
ah mulut gunung yang ditunjuk, seperti bayangan cepatnya, hingga tidak lama kemu
dian lenyaplah ia dari pandangan mata.
Dalam hal ilmu enteng tubuh, Beng Kie berimbang sama kepandaiannya si Raks
asi Kumala, maka karena pesatnya ia lari, beberapa pahlawan yang dilewatinya tid
ak berani mencegat untuk menghalangi, mereka itu sangsikan manusia atau hantu...
Di saat Beng Kie memasuki mulut gunung yang pertama, San Ho justeru sudah
menginjak mulut gunung yang ketiga, ialah di mana dia pertama kali meniup seruli
ngnya. Suara seruling itu tak dapat didengar Giok Lo Sat, barulah kemudian sesud
ah beberapa kali. Tapi Beng Kie dapat segera dengar suara itu.
"Terima kasih kepada langit dan bumi, benarlah itu dianya!" serunya dengan
girang. Dia kenali itu adalah serulingnya San Ho.
Justeru itu waktu terdengarlah suara hebat bagaikan guruh. Tapi Beng Kie,
yang dibesarkan di Barat utara, tahu apa artinya itu, maka segera ia lompat ke t
empat yang tinggi, untuk menyingkir dari uruknya es. Ia tunggu sampai es longsor
itu berhenti baru ia mencoba maju lebih jauh. Segera ia dapat kenyataan, mulut
gunung yang ketiga telah tertutup es. Ia memandang jauh ke depan, tapi seorangpu
n tak tampak.
"Mungkin adik San Ho terkurung es di lembah bawah," ia berpikir.
"Sungguh hebat umpama kata musuh berada bersama dia..."
Maka dengan mengempos semangatnya, pemuda ini mencoba maju terlebih jauh.
Iagunakan seluruh kepandaian enteng tubuhnya, dari tempat yang tinggi ia lompat
turun, tak peduli es itu licin.
Adalah di waktu itu, Beng Kie saksikan Anghoa Koeibo yang berada di sebela
h atas, yang terpisah beberapa tumbak jauhnya dari dia, melesat cepat sekali. Ia
menjadi heran.
"Heran..." pikirnya. "Baru saja dia pergi ke Tjenghie koan atau sekarang d
ia telah kembali ke Benggoat kiap. Untuk apakah?"
Karena sangat keras minatnya menolong orang, pemuda ini tidak pikir kelaku
annya si Biang Hantu Bunga Merah itu, ia lanjutkan mencari jalan turun sambil be
rpegangan pada oyot-oyot rotan.
"Jangan datang dekat!" mendadak Beng Kie dengar bentakan ketika ia sampai
di pinggang gunung, hingga berbareng dengan heran ia segera berpaling.
Maka terlihatlah Bouwyong Tjiong dengan muka menyeringai, sedang di pingga
ngnya ada terkempit si nona yang iajusteru lagi cari, yang selalu menjadi pikira
nnya. Tentu sekali, ia menjadi sangat gusar, maka lantas ia cabut pedangnya.
"Lihat pedangku!" ia berseru.
Keduanya segera datang dekat satu pada lain.
"Seranglah! "menantang Bouwyong Tjiong, dengan sikapnya mengejek. Ia angka
t tubuhnya si nona, rupanya untuk dipakai menangkis serangan. Ia tertawa.
"Jikalau kau berani celakai dia!" mengancam Beng Kie. "Maka hari ini kita
bertiga akan terpendam bersamasama dalam lembah ini!"
"Mari kita turun!" tiba-tiba Kim Tok Ek bersuara. Dia telah merasakan kaki
nya sakit sekali, tidak peduli Eng Sioe Yang pepayang padanya. Sahabatnya itupun
telah letih membantui dia.
Orang she Kim ini berpendapat sama dengan Bouwyong Tjiong. Ialah San Ho he
ndak digunakan sebagai alat untuk mendesak Beng Kie. Ia mengerti tanpa menggempu
r es, sulit untuk mereka lekas menyingkir dari selat itu. Untuk menyingkirkan es
, bantuannya tentara wanita mesti diminta, dan untuk itu, Beng Kie harus dipaksa
pergi mohon bantunnya Giok Lo Sat...
Tapi Bouwyong Tjiong sendiri, meski benar ia hendak gunakan orang sebagai
alat, mempunyai pikiran lain. Beng Kie adalah orang yang Goei Tiong Hian hendak
bekuk, Beng Kie ini ada terlebih penting daripada San Ho, pun lebih penting dari
pada si Raksasi Kumala. Maka alangkah besar faedahnya baginya bila ia dapat beku
k pemuda ini. Ia tahu Beng Kie liehay tetapi ia tidak jeri. Memang, seorang diri
saja tak dapat ia tawan anak muda ini, tetapi bersama Eng Sioe Yang dan Kim Tok
Ek, ia mendapat ungkulan. Di samping itu, ia tahu juga, bila pertempuran sampai
terjadi, ini akan mengambil banyak tempo, hingga ada kemungkinan Giok Lo Sat na
nti keburu datang bersama barisannya. Maka ia pikir, San Ho harus tetap dipakai
sebagai alat untuk paksa pemuda she Gak ini.
Beng Kie ikuti ketiga orang itu turun sampai di lembah.
"Nah, Gak Beng Kie, apa kau inginkan sekarang?" tanya Bouwyong Tjiong deng
an tertawa dingin. Ia hendak undang kemarahan orang.
Beng Kie awasi San Ho, hatinya sakit. Rambut nona ini terurai, mukanya puc
at sekali, pakaiannyapun robek-robek. Pasti sekali nona itu telah menderita sang
at.
"Kau perhina satu wanita, apakah kau satu enghiong?" pemuda ini tanya. "Ka
u lepas dia!"
Bouwyong Tjiong tertawa dingin pula.
"Hm, enak benar kau bicara!" katanya. "Kau ingin aku merdekakan dia? Inila
h gampang, asal kau suka turut kami menghadap Sri Baginda!"
Beng Kie awasi pula si nona.
"Tidak ada halangannya untuk aku turut kau ke kota raja," katanya kemudian
. "Hanya sebelumnya turut kamu, ingin aku ketahui dulu bagaimana keadaan lukanya
."
Bouwyong Tjiong menotok dengan jari tangannya, dengan begitu dia bebaskan
jalan darah San Ho yang tertutup, hingga si nona segera saja sadar.
"Koko, jangan turut dia ke kota raja!" kata nona ini.
"Kau lihat, bukankah dia sehat walafiat?" tertawa Bouwyong Tj iong.
"Mari kita berjual beli dengan jalan yang sama rata sama rasa! Tidak nanti
aku bikin dia bercacat asal saja kau suka turut ke kota raja, tak akan aku peda
yakan kau!"
Beng Kie berpikir dengan cepat, hingga segera dia ambil putusannya. Dia te
lah serahkan kitab wasiat Him Kengliak kepada It Hang, maka dia tidak usah kuati
rkan kitab itu. Dia anggap tak apa dia pergi ke kota raja, untuk adu untung. Dia
hanya masih sangsikan keselamatannya San Ho. kalau-kalau Bouwyong Tjiong telah
lukai bagian dalamnya, hingga dalam tempo sepuluh hari atau setengah bulan, nona
itu bisa menemui ajalnya. Dia perlu mengobati nona itu andaikata ia terluka di
dalam.
"Koko, jangan mau kau dipedayakan!" kata pula Nona Tiat, yang melihat pemu
da itu bersangsi.
"Cobalah kau menghela napas," kata Beng Kie. "Ingin aku ketahui, tulang ig
amu sakit atau tidak..."
"Setan alas!" seru Bouwyong Tjiong. "Mustahil Bouwyong Tjiong menjadi tuka
ng siksa wanita?"
Tapi San Ho pun cerdik. Ia menghela napas, ia menyedotnya.
"Ada sedikit rasa sakit," katanya, dengan sengaja mendusta.
Bouwyong Tjiongkaget hingga dia perlihatkan wajah suram.
"Kau berpura-pura mampus?" tegurnya. "Kau main gila?"
"Kau biarkan aku meniup seruling supaya kokoku dengar," kata si nona tanpa
pedulikan teguran itu.
"Benar, cobalah kau tiup!" kata Beng Kie. "Dengan perdengarkan serulingmu
aku dapat ketahui kau telah terluka di dalam atau tidak."
"Baik, tiuplah!" kata Bouwyong Tjiong, yang kena terdesak. Dia kalah sabar
. Tapi dia panggil Kim Tok Ek: "Kau kemari!" Sedang San Ho ditariknya ke samping
. Dia pesan kawannya itu: "Kau jagai dia, jangan ijinkan dia main gila!"
Kim Tok Ek membuat penjagaan, malah dengan sebelah tangannya ia tekan tula
ng piepee di pundaknya si nona, dan dengan tangan yang lainnya, ia meraba beboko
ng orang. Dia memang menjagoi dengan Toksee tjiang, tangannya yang liehay, dan k
ekuatan di tangannya itu tak berkurang walaupun kakinya sakit dan lweekangnya su
dah mundur. Dengan persiapannya ini, andaikata San Ho gerakkan tubuhnya, dalam s
ekejab saja ia dapat diserang di dua tempat yang berbahaya, hingga akan rusaklah
semua anggauta tubuh dalamnya.
Bouwyong Tjiong sendiri segera ambil tempat menyelak di antara Tiat San Ho
dan Gak Beng Kie, guna bertindak bilamana pemuda she Gak itu hendak melakukan s
esuatu guna menolongi si nona.
"Sudah siap, budak hina!" kata tjongkauwtauw ini. "Eh, kenapa kau tidak la
ntas mulai meniup serulingmu?"
San Ho sendiri sangat masgul, pikirannya pun kusut. Apa boleh buat, ditemp
elkannya ujung seruling itu di kedua bibirnya. Maka terdengarlah suara yang perl
ahan dan halus, kemudian suara" itu dengan sendirinya menjadi tinggi dan keras.
Iramanya adalah irama bergembira, bagaikan bunga-bunga sedang mekar di musim sem
i atau seperti sepasang pemuda-pemudi yang asyik bergandengan tangan di tempat p
esiar dan saling membisiki... Mau atau tidak, mendengar itu, ingatlah Beng Kie -
- terkenanglah ia pada saat ketika ia berdua si nona melakoni perjalanan jauh ri
buan lie, bagaimana mereka menunggang kuda bermain panah. Tanpa merasa, ia jadi
bagaikan melamun.
Seruling berbunyi terus, lalu dengan mendadak bertukar irama. Lenyaplah su
asana indah di musim semi diganti dengan musim rontok ketika daun-daun menjadi t
ua dan kuning dan runtuh sendirinya, buyar tertiup angin. Atau bagaikan belibis
tunggal bernyanyi sedih sendirian. Atau bagaikan tonggeret tengah mengulun seora
ng diri.
Beng Kie membayangkan bagaimana perasaan nona ini, sebatang kara yang suda
h menjelajah dunia kangouw, bagaimana keadaannya sangat tidak menggembirakan, ap
apula sekarang dia sedang dipengaruhi musuh-musuhnya yang tangguh dan telengas..
. Maka ia merasa sangat terharu.
Masih San Ho tiup serulingnya. Kali ini nada berubah pula. Suara menjadi t
inggi, walaupun kesedihannya tak berkurang, malah bertambah, bagaikan orang seda
ng tersedu-sedu, menggerung-gerung, dan dalam pada itu, tercampur kemurkaan yang
tertahan.
"Sebenarnya tak selayaknya aku tampik jodohnya, hingga sekarang dia jadi s
angat berduka," Beng Kie berpikir.
Dalam perubahan suara yang ketiga kali, serulingnya Nona Tiat lantas menja
di perlahan pula dan halus, bagaikan sutera melayang-layang diudara, seperti bis
ikan-bisikan perpisahan, sebentar-senemtar terputus, hingga siapa yang mendengar
nya hatinya turut menjadi terharu.
Bukan saja Beng Kie yang kena terpengaruh, tapi pun Bouwyong Tjiong sendir
i, yang hatinya keras bagaikan baja, air matanya berlinang-linang...
"Kenapa dapat dia melagukan suara begini?" pikir Beng Kie heran. "Apakah b
enar dia tidak tega lihat aku pergi antarkan diri kepada malaikat maut? Aku tida
k takut mati, tetapi bagaimana aku dapat biarkan dia hidup seorang diri dalam ke
sedihan?"
Masih terus seruling itu merayu-rayu, hingga, walaupun ia terpengaruh, Bou
wyong Tjiong toh masih insyaf, hingga habis sabarnya.
"He, kenapa kau masih tak hendak berhenti? Apa belum cukup?" bentaknya. "S
udah, berhenti!"
San Ho berpikir.
"Sekarang ini tentulah Entjie Lian telah mendengarnya..."
Maka ia berhenti dengan lagu-lagunya.
"Gak Beng Kie, sudahkah kau mendengar nyata atau belum?" Bouwyong Tjiong t
egur si anak muda. "Kau lihat sendiri, mana dia terluka, sedikitpun tidak!"
"Baiklah!" Beng Kie jawab. "Sekarang kau merdekakan dia, nanti aku turut k
amu!"
Tiba-tiba saja tjongkauwtauw itu tertawa.
"Kau masih harus penuhi satu syarat pula!" dia kata.
"Apa itu?"tanya si anak muda. "Kau jangan timbulkan yang tidak-tidak!"
"Sekarang kau talangi aku membacok kutung lenganmu yang kanan!"
"Apa?" teriak Beng Kie terkejut.
Bouwyong Tj iong tertawa dingin.
"Kau terlalu liehay!" dia kata. "Untuk membelenggu kau, belengguannya tida
k cukup kuat, dan untuk totok padamu, kau bisa menotok sendiri untuk membebaskan
pula, sedang perjalanan jauhnya selaksa lie! Mana tuan-tuan besarmu mempunyai k
esempatan untuk senantiasa jagai padamu? Kau tidak percaya kami, kami juga tidak
percaya kau, maka itu, dengan mengutungkan lengan kananmu, baru hati kami tente
ram! Ah! Apakah kau takut sakit?"
"Koko, jangan, jangan!" teriak San Ho dengan cegahannya. "Jikalau kau terb
inasa, tak bisa aku hidup sendirian...!"
"Adik San, aku mengerti kau," kata Beng Kie. "Aku berterima kasih padamu.
Kau masih muda sekali, kau harus hidup terus. Kau boleh berdiam bersama-sama Ent
jie Lian, tak usah kau pikirkan aku..."
Tjong kauw tauw dari istana tertawa.
"Sungguh cinta!" ia mengejek. "Masih berapa banyak kata-kata lagi yang kau
hendak ucapkan?"
Beng Kie mendongkol.
"Kata-katanya satu koentjoe ada bagaikan seekor kuda dicambuk kabur!" kata
dia. "Kau boleh lakukan apa yang kau suka atas diriku, asal jangan kamu ganggu
dia!"
"Siapa menyesal, dia akan ditertawai kaum Rimba Persilatan!" Bouwyong Tjio
ng menekankan,
"Baiklah!" jawab Beng Kie. Ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tan
gan kiri, lalu ia membacok ke arah lengan kanannya.
"Aduh!" demikian terdengar jeritan kesakitan.
Dan pedangnya pemuda she Gak itu hampir sampai pada kulitnya, tiba-tiba pe
dang itu berhenti dengan sendirinya.
Menyusul jeritan dari kesakitan itu, tampaklah Kim Tok Ek dan Tiat San Ho
roboh terguling ke tanah.
Nona Tiat meniup serulingnya, dengan itu ia mainkan tempo, untuk memberi t
anda kepada Giok Lo Sat; ia mengharap kedatangannya si Raksasi Kumala, untuk men
olongi padanya. Tetapi di sebelah dia ada Bouwyong Tjiong si licin, tjongkauwtau
w ini lantas bersiap sedia dengan pasang Kim Tok Ek selaku mata-mata, dengan mem
aksa Gak Beng Kie mengutungkan lengannya.
Tentu saja, kelicinannya itu mendatangkan kedukaan dan kekuatirannya San H
o. Maka dalam keadaan sangat mendesak itu, nona ini berpikir keras, segera ia am
bil satu putusan. Tidak bisa ia biarkan Beng Kie jadi bercacat, dan ia sendiri,
tak sudi ia dipengaruhi Kim Tok Ek. Oleh karenanya, ia ambil tindakan tegas dan
nekat. Dengan sekonyong-konyong ia menyikut ke belakang, menyusul itu serulingny
a pun diputar ke belakang, lalu ia pencet pesawat rahasia seruling itu, hingga d
alam sekejab saja tiga batang panah sumpitannya menyambar ke arah Kim Tok Ek.
San Ho adalah gadisnya satu ahli silat kenamaan, walaupun boegeenya sendir
i belum mahir sampai di batasnya, dia toh telah punyakan beberapa jurus atau tip
u yang dapat menewaskan musuh, asal saja dia bisa gunakan tepat tipu silatnya it
u. Demikian dengan sikutnya dan sumpitannya itu. Sikut itu tepat mengenai ulu ha
ti, dan sumpitannya menancap telak di bagian anggauta yang berbahaya. Maka itu,
tidak perduli Kim Tok Ek liehay ilmu dalamnya, mahir boegeenya, ia toh terserang
hebat, ia merasa kesakitan sekali hingga matanya kabur. Tapi dalam keadaan sepe
rti itu, ia tidak lupakan tugasnya, ia masih mencoba melakukan serangannya terha
dap si nona, hingga mereka roboh saling susul.
Sambil bergulingan di tanah, San Ho berseru hebat: "Koko, pergilah kau lol
oskan dirimu, supaya kemudian dapat kau menuntut balas untukku! Sampai kita bert
emu pula!..."
Mendengar suaranya si nona Kim Tok Ek berlompat bangun.
Merah matanya Beng Kie.
"Inilah hari penuntutan balas!" teriak dia, sambil lompat, dan memutarkan
pedangnya.
Bouwyong Tjiong juga kaget tapi ia masih sempat menyerang dengan kepalanny
a, hanya berbareng dengan itu, ia tampak mata merah mencorong dari si pemuda she
Gak, hingga tahulah dia bahwa orang sudah jadi nekat.
Serangannya Beng Kie gagal, tapi dia pun bebas dari serangan karena gesitn
ya mengelakan tubuh, maka itu, dapat dia maju terus.
"Serahkan kepalamu!" dia berteriak kepada Kim Tok Ek, selagi si muka merah
ini baru lompat berbangkit.
Belum sempat orang she Kim itu berdiri tegak atau dia sudah roboh pula, ka
rena Beng Kie ulur kakinya dengan keras, menendang roboh padanya.
Bouwyong Tjiong lompat hendak menolongi kawannya itu, tetapi sudah kasip,
sudah tidak keburu lagi.
Untuk kedua kalinya terdengar jeritannya Kim Laokoay, sekarang ini tertaha
n. Dia roboh dengan batang lehernya putus dengan segera, karena susulannya Beng
Kie ada sangat hebat, dengan pedangnya yang tajam, dia tabas dan penggal, hingga
sekejab saja kepalanya sudah berada di dalam cekalan pemuda yang nekat itu.
Bouwyong Tjiong kaget, selagi begitu. Beng Kie sekarang hadapi dia.
"Kau kehendaki aku turut kau ke kota raja, tapi aku inginkan kau pergi ke
akherat untuk menghadap Giam LoOng!"
Terus pemuda ini menyerang dengan hebatnya
Tjongkauwtauw itu menjadi repot, sebisa-bisanya ia membuat perlawanan. Ia
tahu, ia mesti adu jiwa, sebab ia sedang menghadapi satu orang kalap. Ia lantas
kerahkan Iweekangnya terraga"dalam. Dengan sepasang kepalannya, ia lawan sebatan
g pedang.
Maka hebatlah pertempuran mereka berdua.
Kedua musuh ada sama tangguhnya, tetapi Beng Kie seperti kesetanan, pedang
nya bergerak-gerak bagaikan naga menyambar-nyambar, ia tidak gubris lagi sepasan
g kepalan lawan yang bagaikan harimau atau macan tutul, dari itu, baru berselang
kira-kira tiga puluhjurus, Bouwyong Tjiong sudah bergelisah bukan main, hingga
dia menjadi jeri.
Eng Sioe Yang kaget, dia berdiri melengak di pinggiran.
"Jikalau aku terbinasa, mana dapat kau lolos sendirian!" teriak Bouwyong T
jiong kepada sahabatnya itu. Maksudnya adalah supaya sahabat itu jangan tercenga
ng saja, harus dia maju untuk membantui, guna mengepung musuh.
Eng Sioe Yang justeru sadar karenanya. Dia berpikir: "Gak Beng Kie sangat
liehay, sekarang dia berkelahi bagaikan harimau gila, dia lupa kepada jiwanya se
ndiri, taruh kata aku bantui kawanku, belum tentu kita bisa rebut kemenangan. Di
sebelah sana. kemungkinan Giok Lo Sat segera datang kemari... Kapan lagi hendak
aku tunggu jikalau tidak sekarang juga aku angkat kaki?..."
Dan dengan kerahkan tangan dan kakinya, ia lompat ke lamping bukit, ia lan
tas saja kabur.
Bouwyong Tjiong lihat sikap kawan itu, bukan main ia menyesal dan gusar. T
api ia gusar tanpa berdaya, sebab repot ia melayani Gak Beng Kie untuk bela diri
. Sampai tak sempat ia berpikir untuk angkat kaki...
Sementara itu, Giok Lo Sat dan Anghoa Koeibo berlari-lari saling susul men
yusul. Si Raksasi Kumala segera mendengar suara pertempuran, yang telah menyusul
i atau menggantikan suara seruling yang telah berhenti. Ia perlihatkan keentenga
n tubuhnya, pun larinya bertambah kuat, supaya bisa lekas sampai kepada adiknya.
Seringkah ia lompat, ia menekan batu gunung dengan pedangnya, hingga tubuhnya m
elesat bagaikan terbang melayang. Dengan kemahiran ilmu enteng tubuhnya, ia samp
ai dengan cepat sekali. Begitulah ia telah bernapasan dengan Eng Sioe Yang, yang
sedang kabur.
"Ha-ha-ha-ha!" tertawa si nona, ketika ia tampak orang yang ia kenali siap
a adanya. "Dulu di puncak Hoasan dapat kau loloskan diri. sekarang ini kau tak d
apat lolos pula!"
Eng Sioe Yang kaget dan ciut nyalinya, tetapi ia insaf pada ancaman bahaya
, maka ia terus mainkan kebutannya guna menangkis pedangnya si nona yang menerja
ng padanya.
"Ha! Kau masih berani melawan!" tegur si Raksasi Kumala. Dan pedangnya mem
babat dengan dahsyat sekali.
Bukan main repotnya Eng Sioe Yang, menangkis dan berkelit. Ia juga menjadi
nekat, hingga di waktu mestinya menangkis, ia mendahului mencoba menabas lengan
lawannya. Di tanah datar ia sudah bukan tandingan si nona, apapuladi tempat yan
g demikian sukar, setiap tindak bisa membuat ia terpeleset dan terguling.
Giok Lo Sat desak orang demikian rupa, hingga akhirnya Eng Sioe Yang mengi
njak sepotong batu, dan tak ampun lagi, berbareng dengan melejitnya batu itu, tu
buhnya limbung, terus saja ia terguling, terjatuh ke bawah!
Si Raksasi Kumala melihat ke bawah, ia tertawa puas, akan tetapi waktu mat
anya bentrok sesuatu, ia kaget tak kepalang.
Di mana Beng Kie dan Bouwyong Tjiong sedang adu jiwa, di sanapun melintang
satu tubuh bermandikan darah tanpa kepala! Dan tak jauh dari mereka itu, tampak
tubuhnya San Ho juga menggeletak tak berkutik!
"Adik San!" memanggil nona ini, sambil terus lompat turun, berlari-lari ke
arah tubuh Nona Tiat. "Adik San" ia memanggil pula, kali ini sambil memegang tu
buh orang, untuk diterbalikan.
"Entjie Lian..." demikian suara lemah dari San Ho. "Kau terlambat... Tolon
g sampaikan kepada ayahku dan minta supaya ia jangan pikirkan pula padaku..."
Suara itu perlahan dan lemah, akan tetapi Beng Kie dapat mendengarnya, ia
dengar bagaikan bunyi guntur di musim semi.
"Ha, dia belum mati..." pikirnya. Maka ia putar tubuhnya, untuk lari kepad
a nona itu.
Bouwyong Tjiong bernapas lega karena lawannya meninggalkan dia. Inilah ket
ika yang baik. Maka dia tidak kejar lawan itu, sebaliknya, ia lompat naik ke lam
ping, untuk angkat kaki. Dia belum lari jauh atau dengan kagetnya, dia tampak An
ghoa Koeibo sedang mendatangi. Bukan main takutnya dia, tak sudi dia menemui wan
ita kosen dan galak itu. Maka lekas-lekas dia putar arah, akan lari ke lain tuju
an.
"Lian Liehiap. pergi kau kejar Bouwyong Tjiong!" Beng Kie teriaki si Raksa
si Kumala "Biar aku yang tengok adik San Ho!"
Giok Lo Sat tertawa meringis, ia pondong tubuhnya San Ho, akan diserahkan
kepada rangkulannya anak muda itu, dan ia sendiri segera lari, untuk menyusul tj
ongkauwtauw dari istana.
Beng Kie lantas cium kelopak matanya San Ho.
"Adik San, buka matamu..." ia berkata. "Kau lihat, aku di sini..."
Tiat San Ho membuka kedua matanya ia tersenyum.
"Koko, gi rang hatiku..." katanya.
"Aku menyesal, aku telah terlambat datang." Beng Kie bilang.
"Kau tidak terlambat, koko. adalah aku yang hendak berangkat lebih dulu...
" kata si nona.
Hebat luka di dalam tubuhnya San Ho bekas gedoran tangan yang liehay dari
Kim Tok Ek. yang terluka ialah hati dan isi perutnya, hingga untuk bisa bicara d
engan si anak muda. ia kumpulkan kekuatannya yang terakhir, habis itu ia berdiam
dalam rangkulan anak muda itu. bagaikan ia tidur nyenyak di atas kasur, bukan m
ain ia merasa hangatnya, hatinya puas...
Beng Kie terus merangkul, ia lihat mata orang meram pula. Ia terkejut apab
ila ia rasakan tubuh orang menjadi dingin, lenyap hawa hangatnya. Sebab si nona
telah menghembuskan napasnya yang penghabisan, tubuhnya itu dengan lekas telah m
enjadi dingin.
Pemuda ini berdiri melongo, hatinya kosong. Ia tidak mempunyai harapan lag
i. hatinya segera menjadi tawar. Ia seperti merasa suasana di sekitarnya dingin
semua.
Ketika itu Anghoa Koeibo dari atas berlari-lari ke bawah, ia saksikan lari
nya Bouwyong Tjiong. yang dikejar Giok Lo Sat. Ia memandang ke depan, ke lembah,
segera ia menjadi sangat terperanjat.
"Kim Lootoa!" ia memanggil. "Kim Lootoa!"
Mendengar suaranya si nyonya. Beng Kie bagaikan tersadar dari impian-nya y
ang muluk. Dengan hati-hati ia letakan tubuhnya San Ho di tanah, setelah itu. ia
jemput kepalanya Kim Tok Ek.
"Di sini adama Lootoamu!" dia berteriak pada nyonya itu. suaranya menyatak
an kemarahan yang hebat.
Anghoa Koeibo lihat kepala tanpa tubuh itu. ia kaget hingga tubuhnya bagai
kan disiram air dingin, dari kepala sampai di dasar kaki. Ia awasi kepala orang
itu yang berlumuran darah...
Tidak salah, itulah kepalanya suaminya dengan siapa ia pernah hidup bersam
a puluhan tahun!
"Apakah kau yang telah bunuh dia?" tegur nyonya ini setelah ia sadar. Dia
sangat gusar, tongkatnyapun diangkat tinggi.
"Suamimu yang busuk ini. sekalipun dia berjumlah sepuluh, dia masih tidak
dapat dibandingkan dengan adikku San Ho!" jawab si anak muda. mengejek.
"Siapa kau?" bentak nyonya tua itu. "Aku hendak membunuh kau. guna menggan
tikan jiwanya!"
"Bagus perkataanmu!" bentak Beng Kie. "Aku si orang she Gak yang pernah me
nyerbu di antara ratusan ribu serdadu musuh, buat puluhan kali aku menghadapi an
caman bahaya maut. malah dorna sudah mengejar-ngejar aku. tapi aku tidak takut,
malah jiwaku, telah aku taruhkan di luar garis! Ha-ha-ha! kau berniat membunuh a
ku. Untuk mengganti jiwa? Habis, siapa yang nanti menggantikan jiwanya Him Kengl
iak -- jiwanya adik San Ho ini?"
Anghoa Koeibo berdiam bagaikan dihajar guntur. Jadi benarlah katanya Giok
Lo Sat, suaminya ini kembali melakukan kejahatan, malah rupanya telah membinasak
an menteri setia. Maka menyesallah ia, yang telah puluhan tahun mendidiknya, ia
mengharap suaminya itu mengubah tabiatnya untuk menjadi manusia baik-baik, tapi
akhirnya, suami itu terbinasa sedemikian rupa...
Lemah seluruh anggauta tubuhnya wanita kosen ini, tongkatnya turun sendiri
nya bersama kedua bahunya.
"Habis mau apa kau sekarang?" tegur Beng Kie, yang hawa amarahnya mulai be
rkurang.
"Jadi kaulah yang bernama Gak Beng Kie? Kau adalah pembantu setia dari Him
Kengliak?" tanya wanita kosen itu dengan sabar, sambil ia mengawasi wajah orang
.
"Dan aku ketahui, kaulah yang dinamakan Anghoa Koeibo si Biang Hantu Bunga
Merah!" sahut Beng Kie sebaliknya. "Hm, hm, orang telah keliru menamakan juluka
nmu itu! Adalah suamimu yang seperti satu hantu!"
Si Biang Hantu menghela napas panjang.
"Habis, habis sudah..." katanya dalam hatinya. "Apakah sekarang aku masih
mendapat muka untuk bertemu dengan kaum Rimba Persilatan? Apakah artinya hidup d
alam dunia ini jikalau rasanya tawar?"
Mendadak saja wanita jago ini menjadi putus asa, hingga ia jadi nekat. Ia
lompat membenturkan kepalanya kepada batu besar di sampingnya, hingga kepalanya
pecah dan jiwanya melayang dalam sekejap. Dan batu itu bermandikan darah, berlep
otan polo yang hancur lebur.
Beng Kie kaget tetapi ia tidak berdaya, sebab tidak pernah ia sangka orang
demikian keras hatinya. Ia berdiri bengong karena tercengangnya. Ketika ia sada
r, ia tertawa terbahak-bahak.
"Mati semua barulah bersih!" serunya seorang diri. Dan iapun lompat memben
turkan kepalanya kepada batu itu, untuk menelad si nyonya kosen!
Tapi tak dapat ia berbuat sekehendak hatinya itu, tak bisa ia menjadi haki
m untuk jiwanya sendiri. Tak dapat ia adu kepalanya dengan batu itu. Karena dari
belakang, ada orang menyambar sebelah kakinya, yang terus ditarik, hingga hampi
r ia tersungkur jikalau sebelah kakinya lagi tidak lantas menginjak tanah. Seger
alah ia menoleh, dengan mata mendelong.
"Dalam satu hari ini, tak mungkin terbinasa berbareng dua jago!" demikian
ia dengar satu suara nyaring, suaranya Giok Lo Sat, ialah orang yang telah menya
mbar dan betot kakinya itu untuk mencegah ia menghabiskan jiwanya sendiri secara
kecewa demikian.
Si Raksasi Kumala membatalkan mengejar Bouwyong Tjiong, sebab tengah ia be
rlari-lari, kupingnya mendengar suara keras dari Anghoa Koeibo, suara yang ditim
pali suaranya Beng Kie. Ia jadi berkuatir.
"Jangan-jangan nyonya tua itu adu jiwa..." demikian ia menduga. Ia ingat k
epada Beng Kie, ia ingat juga kepada San Ho, keselamatan siapa membuatnya sangsi
. Maka berserulah ia pada si tjongkauwtauw: "Bouwyong Tjiong, hari ini aku beri
ampun kepadajiwamu!" Habis itu ia lari kembali, tetapi alangkah terkejutnya ia,
ketika ia menyaksikan kebinasaan yang menyedihkan dari si Biang Hantu.
"Celaka betul!" serunya dalam hatinya. "Sejak ini aku kehilangan satu kawa
n yang tangguh!"
Baru ia kaget melihat yang satu, ia sudah dikagetkan oleh yang lain, demik
ian Giok Lo Sat. Karena segera ia tampak perbuatan nekat dari Gak Beng Kie, maka
dengan pesatnya ia mencelat kepada anak muda itu untuk menyambarnya, hingga ia
merasa beruntung juga masih keburu menangkap kaki orang, hingga dapat ia mencega
h satu jiwa lain melayang...
Pemuda itu lantas menjatuhkan dirinya di tanah begitu lekas si nona melepa
skan cekalannya kepada kakinya. Kalau tadi ia benturkan kepalanya dengan kedua m
atanya dimeramkan, sekarang ia mementangnya.
"San Ho telah terbinasa, untuk apa aku hidup terlebih lama pula?" katanya.
Sakit hatinya Giok Lo Sat. Tetapi ia masih ingin hidup, tak sudi ia pergi
meninggalkan dunia. Maka ia keraskan hatinya untuk melawan kesedihannya. Ia tert
awa dengan tawar.
"Gak Beng Kie, adakah kau jeri nanti adu pedang pula denganku?" tanyanya,
sengaja.
Mendongkol Beng Kie mendengar hinaan itu.
"San Ho ada adikmu, tapi kau begini tega terhadapnya..." dia berpikir. "Ma
sakah di saat begini kau masih mempunyai keinginan untuk adu pedang denganku?"
Ia lantas lompat bangun.
"Benarkah kau hendak adu pedang?" dia tanya. "Mari, mari! Sayang adikmu ta
k dapat menonton kegagahan entjie-nya!"
"Aku bukannya niat adu pedang denganmu sekarang!" Giok Lo Sat berkata samb
il tertawa. "Kau tahu, guru kita telah menciptakan masing-masing semacam ilmu si
lat pedang, kedua ilmu silat itu adalah satu lempang, satu kebalikannya, sama se
perti saling menindas, saling menghidupi juga. Adalah maksud guruku, setelah sel
esai merampungkan pelajarannya itu, ingin ia adu pedang dengan gurumu, untuk mel
atih diri, tapi sayang, guruku telah mendahului meninggal dunia, hingga karenany
a, mereka berdua tak dapat lagi mengadu kepandaian mereka. Tapi kita masih hidup
, kita masing-masing mempunyai satu macam ilmu silat, kita adalah ahli waris tun
ggal dari kedua orang tua itu, dapat kita dikemudian hari melangsungkan mewujudk
an cita-cita mereka. Bila telah sampai waktunya, umpama kata kau tidak sudi adu
pedang denganku, aku sendiri yang nanti cari padamu! Sekarang ini, marilah kita
sama-sama meyakinkan pula, sampai dua puluh tahun lagi, setelah sama-sama selesa
i memahamkannya, baru kita bertanding, guna memastikan siapa yang tinggi siapa y
ang rendah! Sekarang ini kita berimbang, inilah tak menarik hati..."
Beng Kie berpikir.
"Kiranya dia kandung maksud begini..." demikian pikirnya "Soehoe juga tela
h berusia lanjut, pasti dia tidak bakal punyakan murid yang kedua, maka itu tak
dapat aku tidak menyayangi jiwaku, hingga karenanya, aku dapat membuat putus war
isan ilmu pedang kaumku..."
Karena berpikir demikian, ia merasakan kepalanya dingin bagaikan disiram a
ir, ia jadi sadar.
"Terima kasih!" katanya kepada si nona suaranya perlahan. Lantas saja ia b
erbangkit. "Baiklah, lagi dua puluh tahun, nanti aku tunggu kau di gunung Thians
an."
Giok Lo Sat juga bernapas lega. Baru sekarang ia tak dapat tahan kesedihan
nya. Ia tubruk tubuhnya San Ho, sambil memeluk, ia menangis menggerung-gerung.
"Kiranya di lahir saja dia bengis, hatinya tetap halus..." berpikir Beng K
ie.
Lantas ia pikir untuk menghampiri si nona, guna menghibur padanya. Tapi in
i tak dapat ia lakukan karena ia segera tampak satu orang berlari-lari ke arahny
a.
Itulah To It Hang, yang ilmu enteng tubuhnya ketinggalan jauh daripada si
Raksasi Kumala dan Biang Hantu Bunga Merah, hingga baru pada saat itu ia dapat m
enyusul.
"Saudara To, San Ho telah mati," kata Beng Kie kepada sahabatnya itu. "Kau
hiburkanlah Nona Lian..."
It Hang terkejut memandang segala apa yang dihadapinya itu. Ia tidak sempa
t sahuti si anak muda, ia lantas dekati Giok Lo Sat, untuk pimpin dia bangun.
Pada itu waktu, si Raksasi Kumala justeru sedang berpikir, "Gak Beng Kie d
an adik San Ho tidak dapat menikah, tetapi mereka menyinta satu pada lain, maka
meskipun dia menutup mata, hatinya tentu puas..." Karena ini, ia jadi mengiri un
tuk keberuntungannya adik itu. Tapi, ketika ia lihat It Hang, ia mengawasi denga
n tajam, cahaya matanya mengandung rasa cinta dan kemenyesalan, penasaran...
It Hang tunduk dengan segera tak dapat ia memandang sinar mata orang itu.
Giok Lo Sat berdiam, hatinya bekerja. Tiba-tiba saja ia insaf, bukannya Sa
n Ho yang harus dibuat sedih, hanya dirinya sendiri. Ialah yang tidak beruntung
dalam urusan asmara. Maka ia berdiri menjublak. Ia tidak lagi mengucurkan air ma
ta. Adalah selang sekian lama, baru ia bisa angkat kepalanya.
"Marilah kita kubur dia di lembah ini," katanya, "Kita tunggu sampai es te
lah menjadj_cair, baru kita urus pula jenazahnya, untuk dikubur seperti selayakn
ya..."
Beng Kie setuju, maka dibantu It Hang mereka menggali es.
Giok Lo Sat membantu pula membuat satu liang yang dalam, setelah mana, tub
uhnya San Ho diangkat dimasukkan ke dalam liang itu, yang terus diuruk pula.
"Mari kita menggali sebuah lubang lain," kemudian si Raksasi Kumala mengaj
ak pula. Dan ia pondong tubuhnya Anghoa Koeibo, untuk dikuburkan dengan baik seb
agai mayatnya gadisnya Tiat Hoei Liong.
"Dia ini adalah satu nyonya yang harus dikasihani..." katanya.
"Biarlah dia dikubur bersama suaminya," Beng Kie usulkan.
Lantas tubuhnya Kim Tok Ek, serta kepalanya, diangkat untuk dimasukkan dal
am liang kubur dari si Biang Hantu.
"Sebenarnya hendak aku pakai kepala ini untuk sembahyangi adik San Ho," ka
ta pemuda she Gak itu, "tetapi mengingat kepada nyony a ini. suka aku menghabisk
annya..."
Maka es pun diurukkan ke liang kubur pasangan itu.
Sesudah itu bertiga mereka mengheningkan cipta, guna mendoa untuk ketenter
amannya ketiga roh yang bercelaka itu.
Pada saat yang sunyi itu, Beng Kie dengar suara merintih perlahan. Ia berp
aling dengan segera. Maka segera juga ia tampak Eng Sioe Yang sedang bergulingan
, akibat robohnya tadi bekas dikejar si Raksasi Kumala. Kakinya terluka pula, ta
k dapat dia berjalan, sedang melihat kebinasaannya Kim Tok Ek, hatinya pedih, je
ri...
"Masih ada satu lagi!" kata Beng Kie, sengit. "Mari kita membuat lagi satu
lubang, dia mesti dikubur hidup-hidup!"
Dalam sengitnya pemuda ini menghampiri orang she Eng itu, tubuh siapa ia s
ambar untuk ditenteng, guna dilemparkan ke dalam lubang.
"Tunggu!" seru Giok Lo Sat. "Dia mesti dibiarkan tinggal hidup!"
It Hang bagaikan baru sadar.
"Benar!" dia turut bicara. "Dia mesti dikasih tinggal hidup! Dia mesti dik
orek mulutnya, supaya dia beber sekongkolannya dengan bangsa Boan!"
Beng Kie segera ingat kejadian dulu di puncak gunung Hoasan tatkala The Ho
ng Tjiauw membuat pengakuan.
"Dalam hal ini kita mengharapkan Lian Liehiap," dia kata
"Mari kita bawa pulang dulu dia ke pesanggrahan," mengajak Giok Lo Sat. "B
iar dia hidup lebih lama dua hari lagi!"
Habis berkata demikian lama dan berlari-lari, sedang matahari sudah naik t
inggi, nona ini memikir untuk beristirahat.
"Segala apa terserah padamu," kata Beng Kie. "Mustahil dia mampu terbang!"
Lantas dia angkat pula tubuh Eng Sioe Yang, kali ini untuk dibawa lari ke
pesanggrahan si nona.
Giok Lo Sat dan It Hang mengikuti.
Sesampainya di sarangnya si Raksasi Kumala memberi titah untuk melakukan p
enjagaan, terutama di mulut gunung.
Sampai di situ barulah orang dapat menghilangkan lelah.
Pada sore hari, habis bersantap, selagi sang rembulan mulai naik, barulah
barisan wanita yang di kepalai Tiat San Ho dapat disambut pulang semuanya, syuku
r tidak ada yang kurang, kecuali semuanya letih dan lapar.
Bertiga Beng Kie dan It Hang, Giok Lo Sat berkumpul bersama. Tak mau merek
a lantas masuk tidur. Masing-masing mempunyai pikiran sendiri. Mereka muncul di
lapangan gunung, untuk berjalan-jalan mencari angin... Semuanyapun bungkam kemud
ian.
"Lian Liehiap, hendak aku mohon sesuatu kepadamu..." tiba-tiba Beng Kie be
rkata, memecah kesunyian.
"Silakan," sahut si nona, ringkas.
"Him Kengliak terbinasa dengan kepala terpisah, aku minta sukalah kau beru
paya hingga tubuhnya terkumpul utuh, untuk dikubur dengan baik," demikian permin
taan si anak muda.
"Him Kengliak itu sahabatku, nanti aku kerjakan sebisaku," si nona beri ke
pastiannya.
"Terima kasih," kata Beng Kie, yang terus pandang It Hang: "Saudara To, ak
u harap kau nanti serahkan kitabnya Kengliak kepada orang yang tepat. Dalam hal
ini aku mengandal padamu."
"Akan aku lakukan itu sekuat tenagaku," jawab It Hang dengan janjinya. "Ha
nya aku kuatir, sepulangku ke gunung, untuk menjadi ahli waris guruku, aku tak d
apat kemerdekaan luas untuk bergerak di kalangan kangouw..."
"Jadi kau masih hendak pulang untuk menjadi ketua?" Giok Lo Sat tanya pemu
da itu.
It Hang tunduk, ia tidak menjawab.
Beng Kie nyelak, untuk menolong kawannya itu.
"Baik juga jikalau saudara To pulang untuk mengepalai kaumnya." katanya. "
Lebih baik dia daripada sekalian paman gurunya..."
Pemuda she To itu tertawa meringis.
"Umpama kata kau tidak menemui orang yang tepat, saudara To," berkata pula
Beng Kie, "tidak apa bila kitab itu tetap disimpan olehmu."
"Jangan kuatir, saudara Gak," sahut It Hang. "Jikalau aku tidak dapat cari
orang yang tepat itu. nanti aku minta pertolongan sahabatku yang baik guna meng
gantikan aku mengurusnya."
GiokLoSat heran mendengar kata-kata Beng Kie itu, ia berkuatir. Maka terta
walah ia ketika ia menegurnya untuk mengingatkan. Ia kata: "Jangan kau lupakan j
anji kita berdua untuk mengadu pedang pula sesudah dua puluh tahun!"
"Pasti tidak akan aku lupakan!" jawab pemuda itu.
"Saudara Gak," tanya It Hang, "apa yang kau hendak lakukan kemudian?"
"Lihat saja nanti," jawab Beng Kie. "Tidak perduli bagaimana gangguannya p
enghidupan, aku toh nanti terumbang-ambing seorang diri..."
"Eh, apakah kau kata?" si nona tanya. "Kau mirip dengan si pendeta tua yan
g lagi mendoa..."
It Hang mengerti, sahabatnya itu sudah tawar hatinya.
"Ada baiknya dia menjadi pendeta," dia kata di dalam hati. "Aku sendiri, b
elum ada jodohku untuk menjadi pendeta..."
Malam itu lewat dalam kesunyian, lalu besok paginya Beng Kie telah lenyap
dengan tidak keruan parannya. Dia telah berangkat pergi tanpa pamitan lagi, kecu
ali meninggalkan sepucuk surat pada Giok Lo Sat dan To It Hang. Dia menulis, kar
ena gurunya sudah lanjut usianya, maka dia akan pulang ke gunung Thiansan guna m
erawati hidup gurunya, berbareng itu ia akan bersungguh-sungguh meyakinkan lebih
jauh ilmu silat pedangnya...
It Hang dan Giok Lo Sat telah menduga akan perbuatannya Beng Kie itu, mere
ka hanya tidak menduga orang pergi demikian cepat. Biar bagaimana, mereka merasa
menyesal.
Hari itu Giok Lo Sat sedang memimpin sejumlah serdadunya untuk mengurus le
bih jauh penguburan sempurna bagi San Ho dan Anghoa Koeibo. It Hang pun membantu
nya. Sampai sore baru mereka dapat beristirahat. Habis bersantap malam, mereka h
endak periksa Eng Sioe Yang, tatkala terlihat cahaya api berkobar di arah gudang
barang makanan, segera disusul dengan suara berisiknya tentara.
Dalam kagetnya, Giok Lo Sat samber pedangnya.
Justeru itu datang laporan: "Tentara negeri datang menyerang!"
"Demikian cepat?" tanya si nona. "Mereka demikian berani?"
Inilah di luar dugaannya.
Dengan membawa pedangnya, tjeetjoe ini lari keluar sampai di muka pesanggr
ahan, di sini ia lantas tampak BouwyongTjiong bersama beberapa puluh serdadunya
yang sedang beraksi melepas api di sana-sini.
"Untung kau telah lolos, sekarang kau berani datang pula kemari?" tegur si
nona. dalam gusarnya. Lalu dengan tanda gerakan pedangnya, tentaranya maju mene
rjang.
Barisan wanita itu taat kepada pemimpinnya dengan cepat mereka sudah siap
sedia, tetapi di waktu bertempur mereka tempur tentara negeri secara kalut karen
a tentara itu berpencaran. Giok Lo Sat sendiri maju untuk menghampiri Bouwyong T
jiong.
Selagi pertempuran berjalan, di arah barat muncul serombongan imam yang be
rsenjatakan pedang panjang. Mereka ini datang menyerbu.
Bouwyong Tjiong sudah lantas menyerang, untuk melampiaskan penasarannya. D
ia dapat lolos setelah batalnya pengejaran Giok Lo Sat terhadapnya. Dia kumpulka
n sisa pahlawan yang tidak terluka, yang tinggal sepuluh orang. Dia menjadi bing
ung, mau pulang ke kota raja, dia bersangsi. Kota Konggoan pun masih kacau akiba
t penggedoran rakyat.
Syukur untuknya, sebelum ia mengambil putusan, Khamkoen Lian Seng Houw tel
ah datang bersama barisannya. Punggawa ini dapat tugas dari Goei Tiong Hian untu
k membasmi "penjahat". Dia ini bekas tjongkauwtauw dari Seetjiang, maka ia adala
h rekannya orang she Bouwyong itu. Malah dia yang mendahului cari Bouwyong Tjion
g apabila dia dengar kabar tjongkauwtauw itu ada di kota Konggoan.
"Apa yang telah terjadi?" dia tanya.
Bouwyong Tjiong menghela napas.
"Sejak hidupku, inilah kekalahan yang belum pernah aku terima," sahutnya t
erus terang.
"Ya, bagaimanakah terjadinya itu?" Lian Seng Houw tanya pula.
Tanpa ragu-ragu, Bouwyong Tjiong tuturkan semua.
Mendengar Kim Tok Ek terbinasa, Lian Khamkoen tidak utarakan apa-apa, akan
tetapi mengetahui Eng Sioe Yang tertawan, dia kaget hingga mukanya menjadi puca
t sekali.
Eng Sioe Yang bersama-sama Goei Tiong Hian dan Lian Seng Houw ini adalah p
enyambut-penyambut dari bangsa Boan, karenanya Seng Houw jeri bukan main, dia ta
kut kalau Eng Sioe Yang nanti membeber rahasia. Kalau Eng Sioe Yang buka rahasia
, celakalah mereka.
"Nama Giok Lo Sat itu pernah aku mendengarnya," katanya, gelisah. Dia memp
unyai berapa banyak serdadu?"
"Cuma kira-kira beberapa ratus jiwa dan semuanya wanita," sahut Bouwyong.T
jiong.
Mendengar ini, barulah Seng Houw tertawa.
"Beberapa ratus serdadu wanita -- apakah yang ditakuti?" katanya. "Mari ki
ta pimpin pasukan kita untuk membasmi sarang mereka!"
"Memang beberapa ratus serdadu wanita itu tidak banyak artinya," kata Bouw
yong Tjiong. "Di sebelah mereka, yang penting adalah keletakannya selat Benggoat
kiap. Tidak dapat pasukan perang besar masuk ke sana! Sekarang ini, salju dan e
s sedang menutupi jalanan juga."
Lian Seng Houw lantas berpikir.
"Menurut keterangan kau barusan, tentara wanita itu juga tercegat jalanan
pulangnya," kata dia kemudian. "Untuk mereka dapat kembali, perlu Giok Lo Sat me
mbuka jalan itu, guna menyambut mereka. Baiklah kita coba ambil jalan yang diamb
il mereka itu. Dari dalam pasukanku, boleh aku pilih beberapa antaranya yang dap
at ikut kau masuk dengan diam-diam. Di antaranya mesti yang mempunyai kebisaan e
nteng tubuh."
Bouwyong Tjiong menggeleng kepala.
"Itulah belum cukup." katanya. "Tentaramu itu. andaikata mereka dapat mene
robos naik dan masuk, tidak dapat dipakai melawan pasukan wanita dari Giok Lo Sa
t. Jumlah beberapa puluh serdadu saja belum cukup. Di sana ada Giok Lo Sat dan G
ak Beng Kie yang liehay sekali, dan mereka dibantu ketua yang baru dari Boetong
pay."
"Apa kau kata?" tanya Lian Seng Houw. "Aku dengar Boetong pay sudah pilih
ketuanya yang baru, satu anak muda yang bernama To lt Hang. Tapi pihak Boetong t
idak biasanya memusuhi tentara negeri. Mungkinkah To It Hang itu bergandengan ta
ngan dengan hantu wanita itu?"
"Justeru demikian adanya!" Bouwyong Tjiong membenarkan. To It Hang itu mem
punyai hubungan sangat erat dengan Giok Lo Sat dan ia pun melindungi Gak Beng Ki
e. It Hang sendiri tak usah dibuat kuatir. Bersama dia ada imam-imam dari Boeton
g pay. mereka semuanya liehay. Di dalam kota Konggoan ada beberapa puluh dari im
am-imam itu. apabila mereka sampai turut terlibat, itulah bukan main..."
Lian Seng Houw berkuatir juga. parasnya berubah.
"Meski begitu, tak dapat tidak. Eng Sioe Yang mesti dapat ditolong." katan
ya perlahan. Terus ia berbisik di kupingnya tjongkauwtauw she Bouwyong itu: "Eng
Sioe Yang itu ada orang kepercayaannya Goei Kongkong, dia sangat disayang, samp
ai berulang kali Goei Kongkong pesan aku untuk bantu lindungi dia..."
Sebenarnya Bouwyong Tjiong kurang menghargai Eng Sioe Yang, tapi sekarang,
mendengar keterangan orang, ia kaget, hatinya bercekat.
"Jikalau begitu, mesti dia ditolongi," pikirnya. Karena ini, ia jadi ingat
pikirannya Eng Sioe Yang yang pernah diutarakannya terhadapnya. Ia kata: "Perna
h Eng Sioe Yang mengutarakan sesuatu, cuma aku tadinya tidak memperhatikan."
Lian Seng Houw tertarik mendengar kata-katanya orang she Bouwyong itu.
"Dia telah usulkan supaya kita ubah Boetong pay dari musuh menjadi sahabat
-sahabat," menjelaskan tjongkauwtauw pahlawan istana Tongtjiang itu. "Kita mesti
menghaturkan maaf pada Pek Sek Toodjin, habis itu kita ajak mereka untuk bersam
a-sama menerjang gunung musuh."
Lian Seng Houw tepuk-tepuk tangan, ia tertawa bergelak-gelak.
"Bagus, inilah akal bagus!" serunya. "Kita harus bertindak demikian! Pek S
ek Toodjin pikirannya sedang cupat, sekarang ketuanya diculik orang, pasti dia t
idak dapat berpikir panjang. Mari kita bicara padanya, hatinya tentu dapat dibik
in tergerak!"
Nyatalah pendapatnya Lian Seng Houw dan pikirannya Eng Sioe Yang itu sama.
Dua hari Pek Sek berantai tak dapat lihat It Hang, mereka jadi sangat mendongko
l, tetapi imam itu bukan tandingannya Giok Lo Sat, mereka pun tidak berani menda
tangi Benggoat kiap untuk mengambil orang, ia jadi masgul sendirinya. Tapi sekar
ang, setelah mendengar kata-katanya Bouwyong Tjiong dan Lian Seng Houw, yang men
gunjungi mereka dengan hormat dan telah menghaturkan maaf juga, pikirannya berub
ah menjadi tetap. Ang In pun setuju menerima ajakan bekerja sama itu. Hanya, unt
uk menerima itu, mereka memajukan tiga syarat. Ialah:
Pertama-tama: Benar mereka bekerja sama, tetapi tujuan mereka adalah berla
inan. Sebab mereka cuma hendak mencari ketua mereka, tak suka mereka menolong te
ntara negeri. Kedua: Kecuali Giok Lo Sat, yang lainnya tak suka mereka membuat l
uka atau binasa. Umpama ada serangan tentara wanita mereka cuma akan bela diri.
Dari itu, pihak tentara negeri harus maju di muka untuk melawan tentara wanita i
tu, mereka sendiri hanya menyerbu guna mencari ketua mereka. Dan ketiga: Setelah
selesai tugas mereka mereka akan berpisahan masing-masing, berbareng dengan itu
, dendam di antara mereka berdua pun mesti diselesaikan, ialah pihak pahlawan ti
dak boleh lagi memusuhi Boetong pay.
Oleh karena Bouwyong Tjiong hanya mengharap bantuannya, dengan gampang saj
a ia dan Lian Seng Houw terima baik ketiga syarat itu. Bukankah, bila rombongan
imam ini mendaki bukit mereka akan bentrok dengan pihak Giok Lo Sat? Bukankah be
ntrokan itu berarti bantuan berharga untuk pihak tentara negeri?
Demikian setelah mereka membuat perjanjian, lantas mereka berangkat bersam
a. Maka malam itu mereka mendaki bukit dan menyelusup masuk ke dalam, hingga tah
u-tahu mereka sudah membakar gudang dan menyerang.
Giok Lo Sat murka bukan main mengetahui Pek Sek Toodjin turut datang menye
rbu. Ia segera hampiri imam itu dan menegur dengan bengis: "Pek Sek. kau membant
u Tioe Ong berbuat jahat?"
Artinya, Pek Sek disamakan dengan Kaisar Tioe yang jahat dan kejam.
Tentara wanita segera turun tangan melawan penyerang-penyerang itu.
Pek Sek pun gusar sekali.
"Runtuhkan senjata mereka!" ia titahkan kepada kawan-kawannya.
Tentara wanita itu kosen semuanya, di pihak Boetong tidak ada niatan membi
nasakan ataupun hanya melukai mereka, sulit juga untuk mereka dipecundangkan lek
as-lekas. Demikianlah mereka bertempur seru dan ulat.
Pek Sek maju berbareng Ang In karenanya, Ang In Toodjin geser pedangnya da
ri tangan kanan ke tangan kiri dan Pek Sek Toodj in tetap menggunakan tangan kan
annya. Mereka ini liehay, tidak heran kalau dalam sekejap saja, belasan serdadu
wanita yang alat senjatanya dapat dibikin terlepas dan terpental.
Pertempuran ada kalut sekali.
Giok Lo Sat tidak ketahui duduknya perdamaian di antara Bouwyong Tjiong da
n Pek Sek Toodjin, dia menyangka Boetong pay telah bekerja sama dengan tentara n
egeri, dalam sengitnya ia rangsek tjongkauwtauw itu. Dia kuatir sekali musuh nan
ti membakar pesanggrahannya. Maka sesudahnya bikin Bouwyong Tjiong berkelit, dia
lompat akan nerobos terus.
Murid-murid Boetong pay mencoba merintangi nona ini akan tetapi mereka dib
ikin repot oleh si nona.
Pek Sek gusar menampak kekosenan orang itu.
"Siluman perempuan, kembalikan ahli waris Boetong pay!" teriaknya. "Jikala
u tidak, hari ini kau tidak akan lolos dari pri keadilan!"
"Kau justerulah yang memalukan kehormatannya Tjie YangTiangloo!" si nona m
embaliki. "Kau membuat tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!"
Dan dengan pedangnya yang hebat, si nona membuat Pek Sek dan Ahg-In tak be
rdaya, mereka seperti ditutupi sinar bergemerlapan dari pedangnya itu.
To It Hang belum lagi tidur, dia menjublak bilamana ia ketahui paman-paman
gurunya serta saudara-saudara seperguruannya datang menyerbu pesanggrahan si no
na. Dikucek-kuceknya matanya untuk mendapat kenyataan apakah ia tengah bermimpi.
Kini dia menjadi sangat bersusah hati, sikap apakah yang harus diambil?
Tidak lama berselang mulailah terdengar jeritan-jeritan hebat, dari kesaki
tan. Inilah akibat serangan nekat dari pihaknya Bouwyong Tjiong atas serdadu-ser
dadu wanita. Serdadu-seidadu ini repot melayani pihak Boetong pay, tapi lebih ce
laka lagi ketika mereka berhadapan dengan tentara negeri, sebab tentara ini buka
n seperti orang-orang Boetong pay, yang cuma membikin terpental senjata mereka,
mereka ini di samping melukai, juga menikam dan membacok secara dahsyat. Maka it
u keadaan menjadi lekas kalut.
Di belakang barisan pelopor itu menyusul tentaranya Lian Seng Houw, yang t
elah mendaki gunung dengan mengambil jalan yang dibuka Bouwyong Tjiong. Mereka m
enerjang masuk dengan leluasa, tanpa mendapat rintangan, karena tentara wanita s
edang repot melayani musuh-musuh. Dan hebatnya, tentara Lian Seng Houw ini terus
main api, membakar pesanggrahan, yang umumnya terdiri dari kayu dan atap, yang
gampang menyala.
Pedih hatinya To It Hang mendengar jeritan-jeritan itu, iapun malu terhada
p Giok Lo Sat, maka dari diam saja, terpaksa ia muncul juga. Ia lompat maju di a
ntara cahaya api berkobar dan menerjang keluar.
"Soesiok, aku di sini!" teriaknya. Ia pun ketahui baik maksud dari kedatan
gannya rombongan Boetong pay itu. "Soesiok, kenapa kamu bantui tentara negeri?"
"Bagus!" berseru Pek Sek, yang girang melihat keponakan murid itu atau ahl
i waris Boetong pay. "Mari kau ikut kita pulang!"
Dan ia kepalai murid-muridnya untuk menyambut ketua yang muda itu, untuk d
iajak berlalu.
Matanya Giok Lo Sat menjadi merah. Tentu saja tidak dapat ia ijinkan orang
membawa pergi sahabatnya itu. Dengan beberapa lompatan saja, ia telah sampai di
samping si anak muda itu.
"Kau biarkan aku pergi!" It Hang kata. "Kau perlu lawan tentara negeri itu
!" Dan ia lemparkan kitabnya Beng Kie kepada nona itu, sambil ia tambahkan: "Kau
tolongi aku urus pesannya saudara Gak!"
It Hang tahu, meskipun ia menjadi ketua, ia tetap ditilik keras oleh paman
-paman gurunya, maka itu ia anggap baiklah kitab itu diserahkan kepada nona ini.
Giok Lo Sat tercengang atas sikapnya pemuda itu, justeru itu, Pek Sek tela
h datang dekat padanya, ia terus diserang. Ia menjadi murka, ia menangkis dengan
keras. "Trang!"
Dan pedangnya si imam terpental, hampir saja terlepas dari cekalannya.
"Kami memapak ketua kami, segera kami akan berlalu," kata Ang In Toodjin.
"Giok Lo Sat, apakah kau keras hendak menyatrukan kami dari pihak Boetong pay?"
Giok Lo Sat dengar suara riuh hebat. Ia kertak giginya.
"Baik, pergilah kamu!" sahutnya. Dan tanpa tunggu jawaban lagi ia lompat m
enyingkir meninggalkan rombongan Boetong pay itu, yang segerapun berlalu mengiri
ngi ketua mereka yang muda.
It Hang terpaksa menurut, ia membungkam.
Pesanggrahannya Giok Lo Sat seperti telah terkurung api, yang berkobar-kob
ar membakarnya. Lian Seng Houw bersama orang-orangnya menyerbu ke belakang pesan
ggrahan, untuk mencari orang yang dicarinya.
Di lain pihak. Giok Lo Sat sedang serang Bouwyong Tjiong, keduanya bertemp
ur secara sangat dahsyat.
Pertempuran kusut masih berjalan di antara tentara negeri dan barisan wani
ta.
Bouwyong Tjiong jeri terhadap ancaman api, ia bertempur sambil mundur. Sem
ua serdadu juga mencoba menyingkir dari hawa api yang panas sekali. Sambil berte
mpur mereka itu juga berteriak-teriak, yang menambah kalutnya suasana.
Pertempuran itu merugikan sangat pasukan wanita, seolah-olah sembilan dari
sepuluh telah termusnah, sedang di pihak negeri, kerusakan lebih daripada separ
uh.
Bukan main gusarnya Giok Lo Sat. Tiga tahun ia berusaha, sekarang dalam se
kejap saja termusnah. Dan serdadu-serdadunya, dengan siapa ia hidup bagaikan kak
ak dan adik, sekarang menerima nasibnya secara demikian hebat dan menyedihkan. D
alam keadaan itu. tak sempat ia menghitung berapa sisanya...
Maka, dalam murkanya nona ini menyerang hebat sekali. Dalam tempo yang pen
dek, ia telah robohkan belasan serdadu. Bouwyong Tjiong coba merintanginya, teta
pi ini tidak dipedulikan, ia elakan dirinya, supaya ia bisa hajar lagi belasan s
erdadu. Kelincahannya membuat ia tak dapat dihalang-halangi orang she Bouwyong i
tu.
Dalam saat kalut itu, tiba-tiba terdengar seruan: "Kamu semua mundur! Perg
i kamu kejar serdadu musuh! Biar kami yang melayani hantu wanita ini."
Itulah suaranya Lian Seng Houw. yang berhasil menolongi Eng Sioe Yang, yan
g setelah beristirahat, kakinya telah sembuh.
Eng Sioe Yang juga berteriak: "Jangan kasih lolos hantu wanita itu!" Lalu
ia maju mendampingi Lian Seng Houw, untuk menerjang.
Giok Lo Sat tidak banyak omong, dia lompat pada orang bekas tawanannya itu
, lalu menerjang dengan hebat sekali. Dalam dua tiga jurus saja, hampir Eng Sioe
Yang kehilangan jiwanya di ujung pedang si nona, syukur ia ditolongi Lian Seng
Houw. Tapi ia bandel, tidak mau ia menyingkir, sebaliknya, mendampingi Lian Kham
koen, ia menyerang dari samping.
Lian Seng Houw ada tjongkauwtauw, guru silat, dari Seetj iang, di dalam ka
langan pahlawan istana, ia cuma ada di bawahannya Bouwyong Tjiong atau di atasan
Eng Sioe Yang, bisa dimengerti ia sanggup melayani si Raksasi Kumala. Ia bersen
jatakan siangkauw, sepasang gaetan. Untung baginya, baru menggebrak belasan juru
s, Bouwyong Tjiong sudah datang membantui, hingga bertiga mereka dapat kepung mu
suh mereka.
Sisa tentara wanita telah meloloskan diri, di antaranya, sambil berlari me
reka teriaki ketua mereka: "Tjeetjoe, mari kita menyingkir!" Ada pula yang mener
iaki: "Tjeetjoe, selama masih ada gunung hijau, jangan takut tidak ada kayu baka
r! Janganlah adu jiwa dengan mereka!"
Giok Lo Sat mendengar ajakan itu, ia menginsyafinya. Sekarang ia berada da
lam kedudukan serba salah, walaupun ia berniat untuk menyingkir, sulit untuk mel
akukan itu. Ia sedang dikurung musuh-musuhnya yang tangguh, terutama Bouwyong Tj
iong, yang kepalannya seperti angin, dan sepasang gaetannya Lian Seng Houw sewak
tu-waktu dapat menyambar kakinya apabila ia kurang gesit...
Tidak lama kemudian, dalam pertempuran itu, tinggallah Giok Lo Sat seorang
di dalam kurungan. Semua serdadunya sudah menyingkir, sudah terbinasa atau terl
uka. la menjadi nekat, karena ia harus melayani kurungan yang hebat sekali. Ia p
un mulai berkuatir karena berlarutnya sang waktu. Itu waktu sudah mendekati teng
ah malam.
"Apakah aku mesti terbinasa di sini?" nona ini berpikir melihat sukarnya i
a memukul mundur musuh-musuhnya itu. Ia bisa kehabisan napas atau tenaganya. Itu
lah sangat berbahaya...
Tentara negeri tidak lagi bertempur, mereka tidak berani maju, mereka hany
a berkumpul di sekitar kalangan, untuk menyaksikan pertempuran sambil bersiap se
dia untuk membantu pemimpin mereka. Melainkan mulut mereka yang tidak turut berd
iam. Ada di antara mereka yang tertawa, yang mencaci, ataupun mengejek.
"Bandit begini cantik molek, jangan lukai dia, kasihan..."
"Cis! Taruh kata dia dapat ditangkap, kau toh tak akan kebagian..." temann
ya mengejek.
Giok Lo Sat sangat mendongkol. Kepalanya menjadi pusing, karena sudah berk
elahi lama.
Dalam saat si Raksasi Kumala terancam mala petaka itu, tiba-tiba terdengar
seruan hebat bagaikan guntur: "Kawanan bangsat hinadina! Kamu berani menghina a
nak angkatku?!"
Belum berhenti suara itu atau menyusuli jeritan hebat dari satu serdadu, y
ang segera disusul dengan jeritan-jeritan yang lainnya. Dengan tiba-tiba sajaTia
t Hoei Liong muncul di medan adu jiwa itu, dan sambil menerjang ia sambar serdad
u yang berada di hadapannya, dilemparkannya setiap serdadu itu ke bawah gunung,
ke arah lembah hingga mereka terlempar bagaikan ikatan-ikatan rumput saja.
"Ha, kau kembali, tua bangka!" seru Bouwyong Tjiong dengan murka, ketika i
a tampak ada pembela untuk wanita yang ia rasa tinggal mencekuknya saja.
"Ya, aku yang hendak ambil jiwamu!" bentak jago tua dari Barat utara itu.
Bouwyong Tjiong tinggalkan Giok Lo Sat dalam kepungannya Lian Seng Houw da
n Eng Sioe Yang, ia lompat kepada orang tua itu, yang terus diserang dengan kepa
lannya yang hebat.
Dengan berani Tiat Hoei Liong sambuti serangan itu, menyusul mana terdenga
rlah suara keras, dari bentroknya kedua tangan, sebagai kesudahannya kedua jago
itu masing-masing terpelanting mundur!
Giok Lo Sat lihat siapa yang datang, dalam sekejap saja semangatnya telah
terbangun, hingga dengan gampang ia dapat tangkis serangan kedua gaetan itu. Ia
telah gunakan tipu silat "Sengheng tauwtjoan", atau, "Bintang melintang, bintang
berputar"; senjatanya tjongkauwtauw itu tersampok ke samping.
Bouwyong Tjiong menjadi sengit, ia lompat kepada si nona untuk menyerang,
akan tetapi Tiat Hoei Liong lompat kepadanya untuk menghalangi hingga kembali ia
mesti layani jago ini.
Karena datangnya jago she Tiat itu tak terduga-duga, maka keadaan berubah
rupa dengan cepat. Jago ini segera berkelahi dengan tindak tanduknya yang berjur
us "ngoheng patkwa" atau "limajalan dan delapan penjuru", hebat serangannya yang
berulang-ulang.
Bouwyong Tjiong layani jago tua ini. untuk itu ia pasang kuda-kudanya yang
kuat bagaikan tubuhnya terpaku di tanah, ia tangkis setiap serangan, ia pecahka
n sesuatu pukulan.
Dengan kurangnya satu musuh tangguh, Giok Lo Sat mendapat keringanan, kala
u tadi ia terdesak, sekarang ia bisa balas menyerang Lian Seng Houw dan Eng Sioe
Yang, hingga kini kedua hamba negeri yang menjadi berkuatir hatinya.
"Mana adikmu San Ho?" tiba-tiba Hoei Liong menanya selagi pertandingan ber
jalan sangat seru, ia sendiri sedang mencoba mendesak lawannya.
Mendengar pertanyaan ini Giok Lo Sat terkejut, justeru itu kedua gaetannya
Seng Houw menyambar, satu menikam, yang lain menggaet. Tentu saja, tubuhnya aga
k berayal, maka dengan perdengarkan suara "Bret!" ujung bajunya pecah sebagai ko
rban gaetan lawan itu.
"Kurang ajar!" ia mendamprat dalam hatinya, saking mendongkolnya. Tidak ay
al lagi ia menikam dengan pedangnya selagi lawannya itu belum sempat menarik kem
bali gaetannya.
"Aduh!" menjerit Lian Seng Houw, yang pundaknya kena tertusuk, atas mana,
bukannya ia menjadi gusar dan melakukan pembalasan, sebaliknya ia angkat kaki un
tuk memutar tubuh dan menyingkir sekuat-kuatnya.
Eng Sioe Yang pun kaget, melihat kawannya angkat kaki, ia juga lantas lari
menyusul tanpa banyak berpikir lagi.
Giok Lo Sat tidak mengejar, akan tetapi ia masih bersilat terus, sebagai j
uga ia sedang melayani lawanlawannya itu.
Tiat Hoei Liong lihat keanehannya anak angkat itu, ia terperanjat.
"Kau kenapa?" tanyanya. Ia sambar anak itu, untuk dipegangi.
Tiba-tiba si nona tertawa berkakakan, bagaikan menangis.
"Semua musuh sudah kabur!" Hoei Liong beritahukan, sambil berteriak.
Giok Lo Sat tidak berontak, hanya kakinya seperti lemas, ia jatuh terduduk
di tanah.
"Kenapa kau?" tanya ayah angkat itu, yang kaget dan heran.
"Menyesal, ayah..." sahut si nona kemudian.
"Apa katamu?" tanya Hoei Liong, kagetnya bertambah. "Bicaralah dengan tena
ng..."
Giok Lo Sat tidak menyahut, matanya meram. Tiba-tiba saja ia tak sadar aka
n dirinya. Sebab ia terlalu letih dan hatinya mendapat goncangan hebat.
"Anak yang baik, kau terlalu letih_." kata Hoei Liong dengan perlahan, sam
bil menghela napas. Ia menduga anak angkat ini sudah berkelahi sangat lama.
Ketika itu, pesanggrahan telah menjadi abu, tinggal sisa api dan asap sert
a api yang merembet ke pohon-pohon.
Tiat Hoei Liong telah terlambat.
Setelah bercapai lelah tiga tahun, baru ia dapat tahu di mana San Ho dan G
iok Lo Sat bernaung, tetapi di luar sangkaannya, justeru ia sampai, mala petaka
sedang menimpa puteri dan puteri angkatnya itu.
Memandang kesekitarnya, jago tua dari Barat utara ini tampak kesunyian. Di
situ tak kedapatan lagi serdadu musuh, mereka telah kabur semua.
"San Ho! San Ho!" tiba-tiba jago ini berteriak, memanggil-manggil gadisnya
.
Tidak ada jawaban kecuali kumandang dari tengah-tengah lembah.
"San Ho! SanHo!" ia mengulangi.
Kembali adalah sang kumandang yang menyahuti.
Tidak lama, dua serdadu wanita tampak muncul merayap. Mereka ini lolos dar
i bahaya, mereka bersembunyi sampai mereka dengar panggilan itu berulang-ulang.
Mereka tidak kenal Hoei Liong, tetapi menampak dandanan orang bagaikan rakyat je
lata mereka tak takut, sebaliknya, mereka menghampiri. Mereka menduga orang tua
ini ada dari pihak kawan.
"Tiat Tjeetjoe telah menutup mata..." kata mereka itu sambil menangis.
Hoei Liong kaget bagaikan terpagut ular. Tak salah ia mendengar, pasti ia
menduga kepada gadisnya, gadis tunggal, yang ia telah cari sekian lama itu. Jadi
gadisnya itu telah meninggalkan dia...
"Apa yang terjadi?" tanyanya kemudian, sesudah tenteram goncangan hatinya.
Kedua serdadu wanita itu menuturkan apa yang mereka ketahui.
"Ah, aku terlambat..." mengeluh Hoei Liong, dan air matanya bercucuran.
"Loosianseng, bukankah kau Tiat Looenghiong yang kesohor di Barat utara?"
tanya kedua serdadu itu.
Hoei Liong berdiri bagaikan patung, matanya mengawasi ke depan. Di kepalan
ya terbayang peta gadisnya, di depan matanya seperti tampak bayangan gadis itu.
Maka ia tak mendengar apa katanya si serdadu wanita itu.
Segera kedua serdadu tampak Giok Lo Sat, tubuh siapa rebah menggeletak tak
jauh di pinggiran, mereka kaget. Lantas mereka lari menghampiri, mereka balikka
n tubuh pemimpin' itu.
Giok Lo Sat pingsan, mukanya pucat pasi.
"Tiat Looenghiong, tolong lihat ketua kami!" kata mereka, setelah mereka l
ari pada Hoei Liong kaki siapa mereka peluki.
Orang tua itu sadar.
"Jangan kuatir," katanya sabar, tetapi dengan suara di tenggorokan, karena
ia menangis perlahan. "Aku pun tak dapat melenyapkan anak pungutku..."
Justeru itu. Giok Lo Sat membalik tubuh.
"Adik San Ho, aku telah menuntut balas untukmu..." katanya.
Hatinya Hoei Liong memukul.
"Benar, aku pun mesti mencari balas untuk anakku!" katanya, sadar.
Si Raksasi Kumala membalik tubuh pula.
"It Hang, kau baik..." katanya perlahan.
Hoei Liong berduka mendengar perkataan anak pungut ini. Dari serdadu wanit
anya, sudah ia dengar jelas kejadian tadi.
"Sayang, anak, kau keliru mencintai orang..." katanya seperti mengeluh. "I
a ada turunan sastrawan, tidak ada padanya sifat dari kaum Rimba Persilatan, ump
ama kata tidak ada rintangan dari paman-paman gurunya, kamu berdua masih bukanny
a pasangan yang seimbang..."
Sekarang Hoei Liong dapat kenyataan, matanya San Ho ada terlebih awas dari
pada matanya si Raksasi Kumala, maka ingat itu, ia jadi bertambah sedih.
Selagi ayah angkat ini mendekati dua tindak, tiba-tiba:
"Ha-ha-ha! Kamu semua telah pergi!" demikian tertawa dan kata-katanya Giok
Lo Sat, nyaring. "Adik San Ho, baik-baiklah kau pergi! Kau, BengKie, kau juga p
ergilah baik-baik! Melainkan kau, It Hang, kau tak dapat pergi secara baik-baik.
.."
Hoei Liong mengerti bahwa orang sedang berduka melewati batas, maka ia tar
ik tangan si nona, untuk membawa dia ke dalam rangkulan-nya.
"Anak Nie, kau lihat, aku ada di sini..." katanya dengan sabar, sambil ia
kuatkan hati, menahan kesedihannya sendiri.
Giok Lo Sat angkat mukanya ia pandang ayah angkat itu. Ia bagaikan sadar,
terus saja ia tutupi mukanyasambil menangis mengerung-gerung.
"Marilah kita tinggal bersama " kata Hoei Liong. "Tidak nanti kelak kita b
erpisahan pula..."
"Ayah," kata si nona, "aku tidak mampu melindungi adik San Ho, aku sangat
menyesal, aku mesti mati..."
"Tidak, anak, aku tidak persalahkan kau," Hoei Liong kata "Kau jangan berd
uka, jangan menangis. Mari ajak aku menengok kuburannya San Ho."
Orang tua ini membujuki anak angkatnya jangan menangis, akan tetapi dia se
ndiri suaranya dalam, air matanya mengembeng.
Giok Lo Sat cekal keras tangan ayah angkatnya itu, ia bertindak, tangannya
itu menarik. Tanpa bilang suatu apa, ia bertindak turun ke dalam lembah. Di bel
akang mereka, ikut dua serdadu wanita.
Di sepanjang jalan kedua serdadu itu berulang-ulang perdengarkan
suaranya-suara memanggil maka dari sana-sini, muncullah semua lolosan dari
bencana seperti mereka. Semua belasan serdadu ini membungkam apabila mereka teng
ok wajah pemimpin mereka -- wajah yang pucat sekali, mulut tertutup rapat, mata
mendelong. Mereka hanya bertindak mengikuti...
Tidak lama sampailah mereka di dekat kedua kuburan baru itu. Giok Lo Sat m
enjemput tanah, untuk dipakai sebagai ganti hio. untuk mengunjuk hormatnya sambi
l berlutut dan bangun hingga tiga kali.
Tiat Hoei Liong mengawasi kuburan gadisnya, lantas ia duduk berdiam di kep
ala kuburan, matanya diarahkan ke udara. Ia pun tetap bungkam sejak tadi. Sekara
ng ini, air matanya seperti sudah habis...
Giok Lo Sat berdiri di muka kuburan, ia hadapi ayah angkatnya sebagaimana
si ayah angkatpun menghadapi padanya.
Mereka sama-sama tutup mulut.
Waktu telah berlalu tanpa menghiraukan orang-orang yang terbenam dalam ked
ukaan itu. tanpa merasa, sinar keputih-putihan mulai muncul di arah timur.
Tiba-tiba satu liauwlo, satu serdadu wanita, berkata: "Tjeetjoe, yang tela
h meninggal dunia tidak bakal hidup pula, maka itu marilah kita pulang!"
Si Raksasi Kumala tertawa meringis.
"Kamu hendak ajak aku pulang ke mana?" tanya si nona.
Liauwlo itu melengak. Baru ia ingat yang sarang mereka sudah terbakar luda
s, bahwa bersama sarang itu telah lenyap juga sembilan dari sepuluh bagian kawan
-kawannya, hingga musnahlah usaha bangunan mereka selama beberapa tahun -- musna
h dalam satu hari saja.
Ke mana mereka akan pulang?
Tanpa merasa, liauwlo ini serta kawan-kawannya mengucurkan air mata. Tetap
i mereka tidak berani menangis keras.
Semua orang berdiam, sampai sekian lama ketika matahari pagi mulai muncul
dengan sinarnya yang lemah indah, yang menyorot ke dalam lembah melalui celah-ce
lah cabang dan daun-daunan.
Benar di saat serdadu wanita tadi hendak mengajak pula pemimpinnya untuk b
erlalu dari situ, sekonyong-konyong mereka dengar suara dari tindakannya banyak
kuda sedang mendatangi.
Giok Lo Sat berjingkrak.
"Hm! Mereka hendak tumpas kita habis-habisan?" serunya.
Tiat Hoei Liong lompat bangun, malah ia segera sambar sebuah batu besar di
sampingnya. Ia angkat batu itu tinggi-tinggi.
"Biar mereka datang kemari!" katanya dengan nyaring. "Nanti aku pendam mer
eka di dalam lembah ini!"
Dalam kedukaannya yang hebat itu, jago dari Barat utara ini umbar hawa ama
rahnya.
Si nona tak kurang murkanya. Mereka pun menyangka, yang datang itu tentuia
h pasukan negeri yang hendak menyerang mereka pula.
Jalanan yang ditutupi es belum dapat dibuka seluruhnya, hingga orang mesti
jalan beriring-iringan, Hoei Liong merasa dia dapat hajar mereka satu demi satu
.
Tidak lama atau suara kaki terdengar semakin nyata dan bendera pun mulai t
ampak melambai-lambai menyusul mana kelihatan berlerotnya satu pasukan serdadu.
Belum lagi Hoei Liong dapat melihat tegas, atau ia sudah lepaskan batu bes
arnya.
"Tunggu!" teriak si Raksasi Kumala, tetapi ia telah terlambat, batu besar
itu, sudah lantas jatuh menggelinding.
Hoei Liong mengawasi ke bawah, sekarang ia dapat kenyataan, barisan yang m
endatangi itu ada barisan wanita semua.
"Celaka!" seru Giok Lo Sat. "Itu bukannya tentara negeri! Mari!"
Ia lompat turun, niatnya untuk menyusul dan mencegah jatuhnya batu terlebi
h jauh. Bersama ia, Hoei Liong turut lompat juga.
Batu itu besar, turunnya pun terlebih dahulu, menggelindingnya sangat pesa
t dan cepat, maka itu sia-sia saja ayah dan anak angkat itu mengejarnya. Apapula
tatkala satu kali batu itu membentur sebuah batu lain dan terus terpental.
"Celaka!" seru si orang tua. Ia telah saksikan ancamannya batu yang ia lem
parkan itu.
Dalam saat yang sangat berbahaya itu, tampak di antara barisan wuiiiiu itu
satu pemimpinnya, si-onmu wanita, yang lompat dari kuduuva sambil menggerakan s
ehutang tumbaknya yang panjang j'iin.t menyerang batu besar yang socl.mf turun i
tu!
Serangan tumbak itu ada hebat, begitu pula sang batu sendiri, hingga di an
tara satu suara keras dan nyaring, tumbak itu terkutung dua, batu pun mental ke
samping, tidak lagi menggelinding ke arah barisannya. Dan si pemimpin sendiri, y
ang tubuhnya jatuh habis dia lompat dan menyerang batu itu, turun tepat di bebok
ong kudanya. Gayanya sangat menarik, seperti satu nona komedi asyik mempertunjuk
kan kepandaian di atas kuda.
"Bagus," seru Giok Lo Sat, yang memuji tanpa merasa.
Di mana itu waktu kedua pihak sedang datang dekat satu pada lain, si pungg
awa wanita sudah lantas menghampiri nona itu.
"Apakah aku berhadapan dengan Lian Tjeetjoe?" tanyanya sambil tertawa.
Giok Lo Sat tidak segera menjawab, ia hanya awasi orang yang berpakaian se
rba merah, habis itu baru dia menyahuti sambil balik menanya: "Benar! Apakah kau
sendiri ada lieenghiong AngNiotjoe si Nona Serba Merah?"
Punggawa itu menjura.
"Entjie terlalu memuji!" katanya.
"Siauw Giam Ong titahkan aku menanyakan kesehatan entjie!" ia menambahkan.
Ia merendahkan diri karena disebut sebagai "Lieenghiong" -pendekar wanita.
Dari dalam barisan wanita itu muncul belasan serdadu wanita juga.
"Tjeetjoe!" memanggil mereka.
Dan Giok Lo Sat segera kenali serdadunya.
"Tjietjiangkoen Lie Giam kemarin sudah serang kota," berkata Ang Niotjoe.
"dia bekerja sama dengan rakyat yang kelaparan, dia berhasil. Tentara negeri yan
g didatangkan dari ibu kota propinsi untuk menumpas rombongan bandit, kena dibas
mi habis. Berhubung dengan terampasnya kota. Siauw Giam Ong tugaskan aku datang
mengundang entjie. untuk turun gunung dan bekerja sama. Sayang aku telah terlamb
at satu hari. aku sampai sesudah pesanggrahan entjie kena dibakar. Aku minta suk
alah entjie memaafkan aku untuk kelambatanku ini."
"Kemusnahan pesanggrahanku ini ada karena kealpaanku," Giok Lo Sat akui.
"Aku sebaliknya harus mengucap terima kasih kepada entjie yang sudah sudi
menolongi orang-orangku ini." Kemudian ia tanya belasan serdadunya itu: "Apakah
cuma kamu sajayang ketinggallan hidup?"
Belasan serdadu itu lantas saja menangis.
Itulah sama dengan jawaban "ya".
maka pedih rasa hatinya si Raksasi Kumala, bila ia menghitung semua sisa s
erdadunya itu, yang tinggal dua puluh tujuh jiwa, sedang pasukaunya sama sekali
terdiri dari lima ratus jiwa lebih. Tanpa merasa ia berlinangkan air mata. Pasti
ia bersedih hati karena kerusakannya itu serta berkasihan untuk tentaranya, yan
g hidup dengannya bagaikan saudara.
"Jangan berduka, entjie," Ang Niotjoe membujuk. "Sekarang ini negara sedan
g kalut, mereka yang tidak punya rumah tangga ke mana mereka bisa pulang, jumlah
nya bukan puluhan ribu lagi, maka asal kita suka memanjat tinggi dan memanggilny
a, sekali saja, pasti mereka bakal datang berkumpul. Itu waktu entjie dapat memb
angun dan mendidik pula satu pasukan wanita, aku percaya, entjie akan berhasil d
engan gampang."
Giok Lo Sat tertawa meringis.
"Sekarang ini Lie Giam berada di dalam kota, dia sedang repot mengumpulkan
orang-orang yang terlantar, maka itu dia cuma dapat mengutus aku untuk menanyak
an kesehatan entjie." Ang Niotjoe berkata pula.
"Siapa itu Lie Giam?" tanya Giok Lo Sat.
"Dia ada sebawahannya Siauw Giam Ong yang berpangkat Tjietjiangkoen," si N
ona Serba Merah menerangkan. "Dia adalah suamiku."
"Maaf, maaf," kata si Raksasi Kumala.
Sampai di situ, Tiat Hoei Liong menghampiri untuk belajar kenal dengan Ang
Niotjoe. Mereka berdua saling mengagumi, karena sama-sama sudah pernah dengar n
ama masing-masing yang kesohor.
"Itu suami nyonya," kata Tiat Hoei Liong kemudian, "bukankah dia ada puter
a dari Pengpou Siangsie Lie
Tjeng Pek?" (Pengpou Siangsie -- menteri perang).
"Itulah benar," sahut Ang Niotjoe.
Justeru itu, hatinya Giok Lo Sat bercekat. Disebutnya Lie Giam sebagai sua
mi si nyonya serba merah ini, terbayanglah wajahnya To It Hang di kepalanya. Ked
udukan Lie Giam itu mirip dengan kedudukannya It Hang, sebagaimana kedudukan Ang
Niotjoe mirip sama kedudukannya sendiri.
Untuk wilayah propinsi Hoolam, namanya Ang Niotjoe terkenal sekali sebagai
satu berandal wanita, cuma ia tak demikian termashyur sebagai Giok Lo Sat. Dan
Lie Giam itu, dia adalah seorang pelajar dengan gelaran kiedjin, lulusan tingkat
dua, dan ayahnya adalah bekas menteri perang. Cuma ayah itu, Lie Tjeng Pek nama
nya, telah meninggal dunia siang-siang, hingga walaupun dia berpangkat lebih tin
ggi daripada engkongnya It Hang, di kampungnya, di tempat kelahirannya, dia kala
h terkenal dengan engkong It Hang itu. Akan tetapi Lie Giam sendiri, seperti jug
a It Hang, dia gemar belajar silat di samping mempelajari surat, maka dia pun ad
a satu pemuda boenboe tjoantjay -- lengkap kepandaian ilmu silat dan suratnya. D
i samping itu, diapun berhati mulia.
Pernah pada satu tahun, wilayah Hoolam diserang musim paceklik hebat. Mena
mpak kesciifsniaan rakyat, Lie Giam tak sampai hati untuk membantu meringankan k
esengsaraan itu, ia buka gudang padinya, akan mengamal sampai sejumlah beberapa
ratus karung barang makanan. Tapi belum puas dengan cuma mengamal. ia juga menul
is sebuah nyanyian untuk menganjurkan lain-lain hartawan menuruti teladannya men
derma rangsum. Hatinya sangat terpengaruh, ia sampai menulis dengan tak pikir pa
njang lagi. Beginilah bunyi nyanyian itu:
Kalau pembesar negeri
memungut pajak, galak ia
bagaikan harimau,
Kalau orang hartawan menagih
cukai, garang dia bagaikan
srigala.
Kasihan mereka yang hanya
empas-empis napasnya, kasihan.
Rohnya berpulang terlebih dahulu ke liang kubur...
Tentu saja nyanyian itu membangkitkan amarahnya banyak hartawan dan juga p
embesar setempat, maka kesudahannya, Lie Giam ditangkap, dijebloskan ke dalam pe
njara atas tuduhan telah menghasut "rakyat jelata yang kelaparan" untuk mengacau
tata tertib dan keamanan. Tapi penjara justeru merupakan sebagai dapur untuknya
, yang membuatnya ia matang bagaikan baja. Maka ketika Ang Niotjoe dengan pasuka
nnya menerjang kota Kiekoan dan kota itu dapat dirampasnya, dia ditolongi hingga
terus saja dia ikut pergerakannya nona itu.
Pernah Giok Lo Sat dengar nama Lie Giam, ia hanya tidak menyangka Lie Giam
dan Ang Niotjoe itu sudah menjadi suami istcri, malah ia tidak duga juga, Lie G
iam justeru ada sebawahan Siauw Giam Ong yang dapat dipercaya.
Kembali si Raksasi Kumala teringat akan It Hang, dalam hatinya ia berkata:
"Ayah angkatku pernah bilang, It Hang itu ada anak orang berpangkat, dia tidak
seimbang dengan aku, tetapi bagaimana dengan Lie Giam ini? Bukankah dia pun ada
turunan orang berpangkat? Tapi dia telah berjodoh dan menikah dengan Ang Niotjoe
!..."
Nona ini tidak menginyafinya, walaupun Lie Giam dan It Hang sama-sama turu
nan orang berpangkat, akan tetapi Lie Giam itu siang-siang sudah seperti "salin
tulang menukar wajah", tidak demikian dengan It Hang.
Ang Niotjoe tidak tahu apa yang dipikirkan Nona Lian itu, ia hanya mengund
ang si nona dan ayah angkatnya untuk turut ia ke dalam kota.
"Baiklah," sahut Giok Lo Sat sesudah ia berpikir sejenak. Ia pun haturkan
terima kasihnya. Hoei Liong pun suka turut serta.
Maka, bersama-sama mereka pergi ke kota.
Kota Konggoan seperti memperlihatkan wajah baru, yang berbeda dengan beber
apa hari yang lalu. Puluhan ribu rakyat yang kelaparan sudah di kepalai Lie Giam
hingga menjadi satu pasukan tentara yang garang nampaknya, walaupun mereka tida
k berseragam dan tak semuanya bersenjata tajam. Mereka mendirikan gala sebagai b
endera dan merauti kayu menjadi tumbak. Kelihatannya mereka gampang dididik.
Kagum Giok Lo Sat menampak perubahan itu, apapula bila ia tampak di setiap
gang atau ujung jalan terdapat selembar kain putih yang bertuliskan kata-kata m
enganjurkan rakyat menyambut Giam Ong, yang membebaskan mereka dan memberi merek
a makan...
"Bagus!" pujinya seorang diri. Anjuran itu sangat menarik hatinya.
Mereka jalan sampai di muka tangsi sekali, dan segera di sana Lie Giam mun
cul menyambut mereka.
"Aku wakilkan kau memapak tamu agung!" berkata Ang Niotjoe sambil tertawa.
Lie Giam pun tertawa. Dengan hormat ia lantas undang kedua tamu itu masuk.
"Sekarang ini orang-orang gagah bergerak di pelbagai penjuru dan pasukan p
erangnya Giam Ong segera akan keluar dari pegunungan Tjinnia untuk menuju ke bar
at, guna lebih dahulu merampas kota Tongkwan, baru kemudian maju terus ke Hoolam
, Ouwlam dan Ouwpak. Maka, Lian Tjeetjoe, sudikah kau berserikat dengan kami?" t
anya wakilnya Giam Ong itu.
Giok Lo Sat berpikir. .
"Negara ini adalah negara kamu, tak dapat aku membantu apa-apa," sahutnya
kemudian. "Juga sisa tentaraku, aku minta entjie Ang yang mengurusnya. Aku henda
k pergi sekarang..."
Lie Giam mengawasi dengan mendelong. Ia duga si nona pasti akan turut perg
erakannya, tidak ia sangka si nona menjawab demikian. Tentu sekali, dia tak tahu
apa yang Nona Nie pikir.
Setelah ajakan Lie Giam itu, si Raksasi Kumala berpikir: "Sakit hatinya ad
ik San Ho belum terbalas, bagaimana bisa aku pendam diri di dalam satu angkatan
perang? Dengan berserikat sama mereka ini, maka lebih sukarlah untuk aku nanti m
enemui It Hang. Hilang kemerdekaanku..."
Mengenai It Hang, nona ini menyesal, penasaran dan menyinta... di waktu me
nyesal, ia berduka, tetapi di waktu penasaran, benci ia terhadap si anak muda ya
ng lemah hatinya, ingin dia putuskan saja perhubungan mereka berdua. Akan tetapi
akhirnya ia sendiripun hatinya tak kuat... tak bisa ia lupakan wajah pemuda sas
trawan dan ksatria itu...
Lie Giam tidak gembira, ia berdiam.
"Entjie Lian," berkata Ang Niotjoe, si Nona Serba Merah, "pesanggrahanmu t
elah dimusnahkan tentara negeri, sakit hati itu tak dapat tidak dibalas!"
Mendengar itu si Raksasi Kumala tertawa bergelak-gelak.
"Di sini ada kamu semua, untuk apa aku capaikan hati lagi?" katanya. "Meng
atur tentara, itulah bukannya kesanggupanku. Lagi pula, aku ada seorang bebas me
rdeka, maka aku ingin malang melintang tanpa ada yang mencegah. Maka itu aku ang
gap jikalau kita bekerja masing-masing, menurut cita-cita perseorangan, tidakkah
itu baik?"
Lie Giam pikir: "Pantas dia dijuluki hantu wanita, kiranya dia masih tetap
berandal. Jikalau aku mendesak dia, supaya dia bekerja dalam pasukan perang, in
ipun ada bahayanya. Bagaimana jikalau dia tidak mentaati tata tertib?"
Oleh karena berpikir demikian Lie Giam tidak membujuk terus, iapun puas te
rhadap nona merdeka itu.
"Demikian pun baik," katanya.
Maka soal ditutup.
Lantas kepala perang ini bekerja repot. Kota baru saja dirampas, pekerjaan
banyak. Dari sana-sini pun datang rombongan-rombongan Rimba Hijau yang menyerah
dan suka bekerja sama, maka permintaan itu mesti diurus, antaranya untuk membag
i rangsum kepada mereka itu.
Giok Lo Sat menghadapi orang bekerja, ia tampak Lie Giam tidak pernah mena
mpik rombongan-rombongan yang menyerah itu, hanya dia menanya dengan teliti tent
ang sesuatu rombongan, setelah semua dicatat rapi. rangsum segera diberikan. Seg
ala apa dilakukan cepat dan semua pihak rombongan itu merasa puas.
"Kenapa kau bersikap begini rupa terhadap pelbagai rombongan itu?" kemudia
n Giok Lo Sat bertanya, la merasa aneh atas sikap orang yang ramah dan murah hat
i itu.
"Habis bagaimana menurut entjie?" Lie Giam balik tanya. "Sukakah entjie me
mberi petunjuk kepadaku?"
Cerdik orang she Lie ini, untuk membaliki pertanyaan.
"Semasa aku di Siamsay Selatan." kata Giok Lo Sat, "adalah aku yang minta
uang dan rangsum dari pelbagai rombongan di atas gunung, tidak terbalik sebagai
sekarang, adalah kamu yang memberi tunjangan kepada mereka itu..."
Lie Giam tersenyum. Di dalam hatinya, ia berkata: "Kau menaklukkan orang d
engan menggunakan kekuatan, mana kau bisa bekerja besar?"
Ang Niotjoe lihat suaminya tidak menjawab, ia mewakilkannya:
"Jikalau kami tidak berbuat demikian, mana mereka sudi dengan sesungguh ha
ti menakluk kepada pihak kami? Di sana, di dua propinsi Soetjoan dan Siamsay, ad
a terdapat pasukan-pasukan perang besar dari pemerintah, kedua pasukan itu sedan
g mencari jalan untuk menyerang kami, maka jikalau kami tidak berserikat dengan
pelbagai rombongan itu, rasanya sukar untuk kami menancap kaki. Masih untung jik
alau mereka berdiam saja, tetapi bagaimana andaikata mereka berbalik membantu te
ntara negeri mengganggu kita? Jikalau sampai terjadi gangguan itu, maka janganla
h kita bicara pula hal keluar ke Tongkwan, untuk maju ke utara!"
"Tetapi kaum Rimba Hijau itu ada banyak ragamnya, apakah kamu tidak kuatir
mereka cuma datang untuk memperdayakan rangsum saja?" si nona tanya.
"Dalam hal itu, entjie benar," Lie Giam akui. "Tetapi di dalam hal itu jug
a, dapat kami ambil sikap yang berbedaan kelak. Di lain pihakjangan kita lupakan
mereka yang benar-benar laki-laki sejati. Oleh karenanya, jangan melainkan dise
babkan mereka yang busuk, yang kita ragukan, kita kuncikan pintu pada mereka sem
ua."
"Ya, kau benar juga," berkata si nona, yang dapat diberi pengertian. Tapi
sedetik kemudian, ia tanya pula: "Kamu mempunyai berapa banyak persediaan rangsu
m hingga dapat kamu iringi permohonan rangsum dari mereka itu? Tentang rangsum d
i dalam kota, berikut isi gudang uang negara, aku tahu semua. Aku rasa, semua it
u masih tak cukup untuk makan dan belanja satu bulan lamanya..."
Si Raksasi Kumala maksudkan juga rangsum rakyat yang kelaparan.
Mendengar pertanyaan itu, Lie Giam menyeringai.
"Dalam hal itu, kita nanti pikir belakangan saja," sahutnya.
Mendengar itu, Giok Lo Sat sebaliknya tertawa besar.
"Tidak, tidak dapat aku turut berserikat!" katanya kemudian dengan terus t
erang. "Akan tetapi untuk entjie Ang aku mempunyai suatu bingkisan yang berharga
..."
"Ah, jangan, entjie, jangan kau sungkan!" kata Ang Niotjoe.
"Bingkisan ini tak dapat kau tampik!" berkata si Raksasi Kumala sambil ber
senyum. "Besok kau boleh kepalai satu pasukan wanita untuk kau turut kami pergi
ke Benggoat kiap."
Habis mengucap demikian nona ini menggerakkan pinggangnya, untuk melempang
kan urat-uratnya, lalu ia menguap.
"Kamu sedang repot, aku pun sudah pusing dan mataku sepat, aku ingin tidur
," ia tambahkan. "Ayah pun tentu ingin beristirahat..."
Ang Niotjoe dan Lie Giam segera berbangkit.
"Siapkan dua kamar! "demikian titah kepala perang itu.
Si Serba Merah antar si nona ke kamar yang disediakan untuknya di mana, un
tuk satu malam ia dapat beristirahat, hingga besok paginya bersama Ang Niotjoe,
yang memimpin satu barisan serdadu, dapat ia kembali ke Benggoat kiap. Lie Giam
telah layani Tiat Hoei Liong.
Ang Niotjoe heran atas sikap orang dan mengenai bingkisan yang dimaksudkan
, maka ketika ia hendak berangkat, ia berbisik pada suaminya: "Entah ia hendak m
enghadiahkan barang apa kepadaku. Kenapa dia minta satu pasukan tentara? Berapak
ah pentingnya itu?"
Lie Giam tertawa, ia pun berbisik: "Aku telah dapat menerkanya tujuh sampa
i delapan bagian! Kau boleh pergi, jangan kuatir. Aku nanti antar kau serintasan
!"
Suami ini mengantar sampai di luar kota, baru ia hendak memutar kudanya un
tuk kembali, atau si Raksasi Kumala serukan kepadanya: "Kau juga boleh turut ber
sama!"
"Heran!" pikir Ang Niotjoe. "Hantu wanita ini benar tidak kenal selatan. D
ia ada sangat repot, ini kau ketahui sendiri, mengapa kau ajak dia?"
Ang Niotjoe menduga suaminya tentu tampik ajakan itu, tetapi dugaannya itu
meleset.
"Baiklah!" demikian jawab suami itu sambil tersenyum, hingga ia pun awasi
suaminya, yang terus bersenyum juga kepadanya...
"Bukankah hari ini kau berjanji dengan dua rombongan lain, yang mohon bert
emu sama kau?" Ang Niotjoe peringatkan suaminya.
"Hal itu dapat diserahkan pada wakilku," sahut Lie Giam, singkat. Dan ia t
itahkan pengiringnya pulang ke kota, guna menyampaikan tugas itu kepada wakilnya
.
Ang Niotjoe heran tetapi ia tidak bilang sesuatu apa.
Tak lama kemudian sampailah mereka di Benggoat kiap - -Selat Terang Bulan.
Benar-benar selat itu terang sekali, sebab seluruh pesanggrahan sudah ludas ter
bakar, tinggal sisa abunya saja. Pohon-pohonan di dekatnya turut musnah juga.
Giok Lo Sat jalan mundar-mandir di atas abu bekas pesanggrahannya itu, ia
tidak bilang suatu apa, ia membungkam, hanya matanya yang tajam, senantiasa mema
in.
"Jangan kau berduka, entjie," Lie Giam menghibur. "Setiap kali tentara neg
eri merampas satu pesanggrahan kita, maka kita akan membalasnya dengan merampas
sepuluh kotanya!"
Si nona tidak menjawab, ia hanya awasi panglima pemberontak itu.
"Kau menggantungkan pedang di pinggangmu, kau pasti pandai ilmu pedang," k
ata dia tiba-tiba. "Kita sedang senggang sekarang, mari kita coba main beberapa
jurus..."
Ang Niotjoe heran, iapun mendongkol.
"Hm, hantu wanita!" katanya dalam hati, "kau jadinya bukan hendak menghadi
ahkan bingkisan kepada kami, hanya kau hendak uji kepandaian kami..."
Baru nona ini hendak menjawab atau suaminya sudah melirik kepadanya dan me
ngedipkan matanya Itulah tanda untuk ia jangan bersuara. Maka ia berdiam terus.
Juga Lie Giam, pada mulanya melengak. Ajakan si nona ada sangat luar biasa
. Akan tetapi, sedetik kemudian, ia tertawa seorang diri.
"Mana bisa ilmu pedangku dibanding dengan ilmu pedang kau, entjie?" katany
a merendah.
"Tidak demikian," kata si nona.
"Dua hari aku telah beristirahat tidak ada orang yang menandingi aku, tang
anku menjadi gatal. Daripada kau menghidangkan aku makanan yang lezat dan arak y
ang harum, lebih baik kau temani aku selama dua jurus. Budimu ini aku lebih-lebi
h menghargainya."
Lie Giam pun nyata polos sekali.
"Baiklah, entjie!" sahutnya, menerima. "Silakan entjie mulai!"
Hoei Liong tidak mengerti maksud anak pungutnya itu tetapi ia diam saja.
Giok Lo Sat hunus pedangnya hingga sinarnya berkilauan, sesudah mana tanpa
ragu-ragu lagi, ia maju menyerang dengan menusuk ke arah bahu si panglima muda
Lie Giam adalah murid yang pintar dari Ong Tong dari Thaykek pay, kepandai
annya pun tidak sembarang, malah ketika serangan datang, ia tidak menangkis, bah
kan setelah menarik sedikit tangannya, terus saja ia balik menyerang, membabat k
e bawah, ke kaki!
"Tidak kecewa!" seru si nona, yang terus menyerang pula malah ini kali, sa
mpai dua kali beruntun setelah serangannya yang kedua pun gagal. Pedangnya itu,
sesudah membacok, lantas menyontek ke atas.
Lie Giam tidak dapat terka maksud orang, ia tutup dirinya dengan gerakan p
edang "Djichong soepie" atau "Seperti mengunci, seperti menutup". Adalah harapan
nya, agar pedang lawan itu tidak dapat menyerang masuk. Tetapi Giok Lo Sat benar
-benar luar biasa!
Mengetahui sikapnya panglima muda itu si Raksasi Kumala unjukkan kesehatan
nya, ia tidak membiarkan pedangnya berada di luar kalangan lawan. Dengan sangat
cepat, berbareng dengan berkilaunya ujung pedang itu diarahkan ke leher lawan: k
arena ia menusuk dari samping, tujuannya adalah pundak.
Lie Giam berkelit sambil memutar diri, tangan kirinya menjaga diri, kaki k
anannya melayang ke arah pinggang si nona. Tendangan ini hebat, sebab itulah "Bo
e SiongtjoeitaTjhio Moei Sin" atau "Boe Siong dalam mabuk arak menendang Tjhio M
oei Sin". Dan tendangan mestinya saling susul, beruntun beberapa kali.
"Hm!" bersuara si nona, selagi ia elakkan diri dari tendangan itu, tidak i
a menabas, cuma ia mengancam. "Kau boleh juga!"
Ia berkelit seraya pedangnya dimajukan. Adalah habis ditendang, baru ia me
nyerang pula dengan hebat.
Ketika tadi ia diancam, ia melakukan perlawanan dengan tidak kurang hebatn
ya. Mengertilah ia, tidak dapat ia sembarang mundur. Meski begitu, karena dahsya
tnya gerakan si Raksasi Kumala, dia seperti terkurung cahaya pedang si nona.
Ang Niotjoe menghirup hawa dingin karena jerinya menonton ilmu silat pedan
g orang.
"Benar-benar hantu wanita ini bukan tersohor kosong..." kata ia dalam hati
nya. Ia pun menjadi sangat kagum.
Hoei Liong tidak kurang kagumnya.
Pertempuran berjalan terus, sampai pedangnya Giok Lo Sat dapat ditempelkan
pada pedang Lie Giam, untuk segera dililit dua lilitan, sampai terdengar suara
nyaring dari amproknya kedua pedang.
"Celaka!" seru Ang Niotjoe sambil ia lompat ke dalam kalangan.
Justeru itu Giok Lo Sat tertawa nyaring, tubuhnya mencelat, berbareng deng
an mencelatnya Lie Giam. hingga berdua mereka jadi terpisah, sedang tadinya mere
ka bertarung rapat.
Si Nona Serba Merah kebogehan, ia heran.
Lie Giam memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia beri hormat pada Giok
Lo Sat, sambil memuji: "Lian Liehiap. ilmu pedangmu tidak ada tandingannya di k
olong langit ini! Aku takluk, aku takluk!"
Wajahnya si Raksasi Kumala guram sebentar.
"Itulah pujianmu yang berlebih-lebihan!" sahutnya lalu dia tertawa. "Dalam
tiga puluh jurus tidak berhasil aku merampas pedangmu, maka berhaklah kau untuk
terima bingkisan dari aku!"
Masih saja Ang Niotjoe heran, ia mendeluh juga.
"Di kolong langit ini," pikirnya, "di mana ada aturan menghadiahkan bingki
san semacam ini? Masa sebelumnya menghadiahkan, orang menguji dulu kepandaian or
ang lain? Siapa yang kcsudian menerima bingkisanmu itu?
Selagi sang isteri berpendapat demikian, lain adalah sang suami.
"Liehiap, lebih dahulu aku haturkan terima kasih padamu!" berkata Lie Giam
.
"Mari!" Giok Lo Sat mengajak, sambil menindak ke samping gunung, tindakann
ya perlahan. Terus ia berkata: "Kemarin telah aku saksikan kepandaian ilmu surat
dan kecerdikanmu, sekarang aku telah buktikan juga ilmu silatmu, dengan begitu
maka bingkisan ini telah dihadiahkan kepada orang yang tepat!"
Pesanggrahannya Giok Lo Sat, didirikan di atas bukit dengan menuruti letak
nya bukit itu. yang tidak rata demikian juga jadinya pesanggrahan itu. Di sampin
g itu masih ada sebuah tiang kayu yang tebal, yang terbakar hangus tetapi tak sa
mpai roboh. Si nona dekati tiang itu, dengan tiba-tiba saja ya menyampok dengan
tangannya hingga tiang itu patah dan roboh.
"Mari!" ia memanggil Ang Niotjoe sambil melambaikan tangannya, selagi si n
yonya mengikuti dia sedikit jauh. Nyonya itu ketinggalan, walaupun si nona jalan
perlahan-lahan, sebab ia masih terbenam dalam keragu-raguan menyaksikan sikap n
ona yang luar biasa itu. "Silakan kamu bongkar tiang ini. galilah tanahnya sampa
i tiang ini dapat diangkat."
Dalam keadaan masih mendongkol. Ang Niotjoe kata: "Aku nanti perintahkan k
epada lebih banyak orang supaya mereka sekal ian merapikanjuga lapangan ini!"
Wajahnya Giok Lo Sat hciuhah dengan tiba-tiba. Wajah itu menjadi gelap. Ia
segera berkata: "Dai.mi hidupku ini, dalam abad ini. tidak nanti aku bisa bersa
ma-sama dalang pula kemari, oleh karenanya untuk apa dirapikan pula semua ini?"
Memang telah tiga tahun si Raksasi Kumala membangun pesanggrahannya itu, s
ekai ang pesanggrahan termusnah dalam tempo satu hari, sekarang ia dengar kata-k
atanya si nona serba merah, bagaimana ia tak jadi berduka? Untung, karena keduka
annya yang hebat itu, ia tak menduga kepada ejekan si nyonya.
Menampak orang demikian berduka, Ang Niotjoe menjadi lak lega hati.
"Hantu wanita ini berperangai aneh tetapi ia polos," pikir nyonya Lie Giam
. Lalu, tanpa bilang suatu apa lagi, ia titahkan beberapa serdadunya mulai mengg
ali di kaki tiang itu, untuk mengangkat sisa tiangnya.
Orang tidak usah menggali lama untuk dapat mencabut sisa balok itu, tetapi
sesudah itu. Giok Lo Sat masih menitahkan serdadu-serdadu itu menggali lebih ja
uh, sambil membuat suatu lubang yang lebar.
Tak lama sampailah penggalian pada tanah yang empuk, lalu cangkulnya satu
serdadu membentur entah benda apa yang keras, mirip batu.
"Gali terus, angkat semua tanahnya!" Giok Lo Sat menitahkan.
Perintah itu dilakukan, hingga tanah terangkat habis, hingga di situ terta
mpak suatu batu yang lebar. Giok Lo Sat lompat turun ke dalam liang itu dan semu
a serdadu segera mengundurkan diri, dengan sebelah tangannya ia cekal pinggiran
batu itu, terus ia angkat, atas mana, kagetlah semua orang, silaulah mata mereka
!
Sebab lubang itu adalah lubang tempat menyimpan hartanya si Raksasi Kumala
. Di situ orang lihat banyak perak dan emas dan barang permata, yang berkilau-ki
lauan seperti lagi bersaingan.
Dan itulah hartanya si Raksasi Kumala ini, yang ia kumpulkan selama tiga t
ahun -- yang ia peroleh sebagai hadiah dari pelbagai rombongan Rimba Hijau yang
tunduk kepadanya. Di samping itu ada juga hasil pekerjaannya sendiri dari rumahn
ya hartawan-hartawan jahat dan merkis atau pembesar-pembesar rakus.
Semua serdadu wanita yang menggali tiang itu, berdiri menjublak. Mereka it
u kaget, heran dan kagum. Tidak terkecuali adalah Hoei Liong dan Ang Niotjoe, ya
ng tadinya tetap beragu-ragu. Cuma Lie Giam yang tersenyum, seperti juga ia tela
h menduga tepat akan kesudahan ini...
"Aku minta kamu angkut semua barang ini," kata Giok Lo Sat kemudian.
Semua serdadu wanita itu lantas bekerja, mereka bekerja dengan hati-hati.
Selagi barang-barang permata itu diangkat naik satu demi satu, si Raksasi
Kumala memberitahukan kepada Tiat Hoei Liong, ayah angkatnya, permata ini didapa
t dari siapa, permata itu diperoleh dari siapa lagi, tak bosan ia menunjukkannya
, tak lupa ia dari mana asal-usulnya permata itu. Dan selama menuturkan, tampak
tegas sekali kepuasannya nona ini.
Tiat Hoei Liong, yang sampai sebegitu jauh membungkam saja, mengerutkan al
isnya.
"Untuk apa kau kumpulkan ini semua?" tanyanya kemudian.
Giok Lo Sat tertawa.
"Ayah, pernahkah kau tampak hadiah untuk perlombaan catur?" anak ini balik
menanya. "Orang tidak memperhatikan hadiahnya, tetapi makin besar hadiah itu, m
akin bertambah pula kegembiraan si peserta. Demikian juga aku. Selama di Siamsay
Selatan aku telah menundukkan jago-jago Rimba Hijau, aku paksa mereka membayar
upeti kepadaku, tetapi aku berbuat demikian cuma dalam sifatnya si peserta perlo
mbaan catur itu!"
Selama dua hari. Hoei Liong selalu mengerutkan alisnya, karena sangat berd
uka dan selama itu jarang sekali ia bicara, hingga apabila tak perlu, anak angka
tnya juga membiarkan dia tungkuli dirinya sendiri, akan tetapi kali ini, setelah
dengar penjelasan si nona, ia tersenyum dan alisnya terbangun.
Begitu lekas harta karun itu selesai diangkat, Giok Lo Sat menghadap Lie G
iam dan menjura terhadapnya.
"Ini bingkisan yang tidak berharga aku haturkan kepada kamu berdua suami i
steri untuk membantu membelanjai tentara!" demikian ia berkata.
"Atas nama rakyat yang kelaparan, aku haturkan terima kasih kepada kau," j
awab Lie Giam tanpa ragu-ragu, tanpa banyak adat istiadat.
Giok Lo Sat angkat sebuah pelana tersakit emas, dengan wajah guram ia berk
ata pada Lie Giam: "Ini adalah hadiah untukku yang dahulu diberikan oleh puteran
ya bekas Iootjeetjoe Ong Kee In atas perintahnya Iootjeetjoe itu, sekarang ini l
ootjeetioe telah menutup mata, maka aku minta sukalah pelana ini kau kembalikan
kepada puteranya itu, Ong Tjiauw Hie. Katakan padanya bahwa aku anggap ini sebag
ai tanda mata untuk pernikahannya!"
"Apakah kau tidak ingin memilih satu atau dua macam barang permata untuk k
au simpan sendiri selaku tanda peringatan?" Ang Niotjoe tanya si nona.
Sekarang ini telah berubah semua pandangannya si Nyonya Serba Merah terhad
ap nona kosen itu, yang ia namakan hantu wanita.
Adalah aturan umum di kalangan Hektoo, Jalan Hitam, bahwa satu kali orang
turun tangan, tidak nanti dia pulang dengan tangan kosong, atau kalau dia mengha
dapi pihak yang dimalui, hingga tak dapat dia turun tangan, sepotong barang tak
berharga juga tak mau dia mengambilnya. Perbuatan tak mengambil itu berarti keba
ikan. Sekarang ini Giok Lo Sat menghadiahkan harta yang sangat besar, yang telah
disimpan bertahun-tahun lamanya, maka Ang Niotjoe ingat akan aturan kaum Hektoo
itu dan meminta kepada si nona untuk mengambil satu atau dua macam barang untuk
tanda mata.
Giok Lo Sat tertawa besar atas pertanyaan itu.
"Mulai saat ini aku telah mencuci tangan, aku mundur dari Rimba Hijau, mak
a untuk apakah barang-barang semacam ini?" katanya.
Habis mengucap demikian, tiba-tiba mata si nona terbeliak, lantas ia berka
ta: "Baiklah, aku ambil sesuatu barang!"
Sama cepatnya dengan perubahan sikapnya itu, ia membungkuk seraya mengulur
kan sebelah tangannya, akan meraup tanah. Lalu ia berkata: "Aku telah tinggal di
sini untuk tiga tahun lamanya. Untukku, jarang sekali aku berdiam begini lama d
i suatu tempat Karenanya, aku juga kenal haik sifatnya tanah di sini." Dia bawa
raupan tanah itu ke hidungnya, untuk dicium. Kemudian ia tambahkan: "Tanah ini m
asih tercampur darahnya adikku, maka itu tidak ada lain barang yang lebih berhar
ga dari pada tanah ini untuk disimpan sebagai tanda mata!"
Tanah itu terus dimasukkan ke dalam sakunya.
"Mari!" ia mengajak ayah angkatnya. Dan ia lari turun gunung.
Tiat Hoei Liong turut ajakan itu, iapun berlari pergi.
Lie Giam dan Ang Niotjoe terperanjat, si nyonya malah terus berteriak-teri
ak memanggil pulang. Tapi nona itu lari terus, makin jauh makin jauh, sama sekal
i dia tidak menyahuti, pun tidak memalingkan muka, yang tampak, hanya bajunya be
rgelawiran ditiup angin...
"Aneh!" mengeluh Ang Niotjoe
"Ya, aneh..." sahut suaminya, yang masih tersenyum. "Mari kita pulang."
Dan bersama dengan harta besar itu, mereka kembali ke kota.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai