Kisah ini menceritakan tentang teka-teki dari sebuah
perkumpulan yang berada di lereng Thai-san. Perkumpulan yang mampu menjagoi seluruh kang-ouw ini hancur tanpa diketahui siapa pelakunya. Kehancuran Kim-liong-pay (Partai Naga Emas) menjadikan dunia kang-ouw seperti ayam kehilangan induknya, banyak terjadi persaingan dan kejahatan dimana-mana. Apakah tunas-tunas muda Kim-liong-pay berhasil membangkitkan kerajaan tak terlihat itu? Misteri apakah yang ada di balik kehancurannya? Dan di mana kah letak BU ENG HU yang sedang dicari-cari banyak orang itu? Saya mohon kritik, saran, cacian dan masukannya untuk para pembaca yang budiman! Semoga bermanfaat.... Bu Beng Siaucai...
BAB 1 : ANCAMAN ANG-HONG-PAY
Hitam dan putih
Melingkar-lingkar saling berpadu Ciptakan keserasian dan selalu bertumpu Satu yang tidak berubah Bahkan malah mengubah Hitam dan putih Saling menyatu Menciptakan kehidupan indah Dalam kehidupan manusia Segalanya kosong dan tidak berarti Tapi jangan disalahkan arti Tidak berarti bukan kosong Bahkan kadang-kadang mengisi kekosongan Sebaliknya segala yang berarti adalah kosong Menambah hidupnya hidup! Terdengar suara merdu seorang pemuda berusia tujuh belas tahun sedang membaca puisi. Sambil manggut-manggut lagaknya seorang penyair besar tidak henti-hentinya mengulang puisi itu. Puisi yang entah siapa yang membuatnya itu tampak disukai oleh pemuda kecil itu. Badannya yang tegap tampak enak dipandang, dengan wajah lonjong hidung mancung dan dua mata yang bersinar lembut penuh kejujuran. Pakaian yang dipakai juga bagus dan bersih. Pakaian dari campuran sutra berwarna hijau muda itu sangat pas dengan warna kulitnya yang putih bersih. Rambutnya dibiarkan terurai sampai pundaknya. Ia terus membaca puisi itu sambil kadang-kadang berhenti dengan siulan merdu. Pemuda itu berjalan pelan di antara gang sempit di kota Taiyuan di propinsi Shansi. Setiap ia bertemu dengan orang-orang ia selalu menyapa ramah sambil menyungging senyum ramahnya. Hampir semua orang di kota Taiyuan itu mengenal pemuda itu, seorang pemuda putera pemilik gedung paling besar di kota Taiyuan. Mereka biasanya memanggil pemuda itu dengan ‘Song-kongcu atau Tuan muda Song’ anak tunggal dari Song-wangwe (Hartawan Song). Kedermawanan pemuda itu tidak perlu ditanyakan lagi, karena hampir setiap seminggu dua kali ia akan pergi jalan-jalan keliling kota. Setiap tempat akan dikunjungi, kecuali tempat-tempat ‘kotor’, tentunya. Ketika berjalan dan ia menemukan kesusahan penduduk ia akan langsung membantu, makanya tidak heran kalau pemuda itu sangat disayang dan dihormati oleh penduduk sekitar. Sering ia ikut nimbrung dengan para pengemis mendengarkan cerita-cerita mereka yang menarik atau mendengarkan pengaduan mereka tentang kelakuan para pejabat yang rusak moralnya, atau bahkan mendengarkan cerita tentang dunia kang-ouw. Pokoknya pemuda yang baru menginjak masa remaja ini bisa dikatakan sangat supel dan pandai bergaul dengan siapa saja. Kalau sudah ke luar rumah, ia
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 1 dari 114
akan lama sekali kembalinya. Kalau sudah pulang, uang yang ada di dalam kantongnya akan segera ludes dibagi-bagikan kepada para pengemis atau penduduk yang membutuhkan. Pagi-pagi sekali ia sedang berjalan menuju tempat berkumpulnya para pengemis dari Kay-pang (Perkumpulan Para Pengemis). Tempat itu berada di sebelah barat kota Taiyuan. Di sana akan ditemukan sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak dan di kelenteng inilah para pengemis biasanya berkumpul. Kali ini kedatangannya seperti biasanya ingin mendengarkan cerita-cerita dari teman- temannya para pengemis. Sudah lama Song-kongcu atau nama lengkapnya Lie Yang bermarga Song bergaul dengan mereka. Dari mereka ia banyak mendapatkan cerita-cerita sekitar dunia kang-ouw dan orang-orang yang ada di luar propinsi Shansi, khususnya tentang kota raja. Orang tua Song Lie Yang tidak pernah membatasi pergaulan anaknya, hanya kadang-kadang menasehati untuk tidak bergaul dengan pemuda-pemuda kota yang kerjaannya hanya berfoya-foya saja. Dan juga untuk tidak membuat perkara dengan orang-orang kang-ouw, karena memang bahaya sekali baginya dan keluarganya. Ini tidak heran, karena keluarga Song sejak dahulu hanya seorang pelajar lemah yang tidak bisa silat. Termasuk Lie Yang juga tidak bisa bermain silat dan sebagai seorang pemuda lemah, namun karena ia terkenal dengan kedermawanan dan kebaikannya maka tidak ada orang yang memusuhinya, bahkan sebaliknya banyak ia mempunyai teman, baik orang-orang lemah sepertinya atau dari orang-orang kang-ouw murid Kay-pang. Di depan kelenteng tua itu duduk belasan pengemis dengan diam. Dan ratusan pengemis lainnya berdiri di samping kelenteng dengan tongkat di tangan mereka, ada juga puluhan lainnya duduk di bawah pohon di samping kelenteng. Melihat banyaknya pengemis di tempat ini, Lie Yang terkejut juga. Tidak biasanya para pengemis bisa berkumpul dan terkumpul begitu banyaknya seperti hari ini. Apakah mereka sedang mengadakan pertemuan besar, beberapa kali Lie Yang bertanya pada dirinya tidak mengerti. “Selamat pagi saudara semuanya !” sapanya dengan senyum ramah. “Ah, Song-kongcu. Silahkan! Silahkan masuk!” terdengar suara yang berat dari salah satu pengemis. Pengemis yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun ini mengajak Lie Yang masuk ke kelenteng dan diikuti oleh pengemis lainnya. Di dalam kelenteng rusak itu terdapat api unggun kecil sebagai penghangat badan. Lalu mereka duduk melingkar menghadap api unggun. “Ah, kenapa kongcu kelaur rumah di hari seperti ini? Terlalu berbahaya bagi kangcu!” kata pengemis itu dengan nada khawatir. “Memangnya ada apa dengan hari ini, Sun-lopek (Paman Sun)?” tanya Lie yang heran dan tidak mengerti. Lalu ia menyapu ke wajah para pengemis yang terlihat pucat seperti sedang mengkhuwatirkan sesuatu. “Akhir-akhir ini kami mengalami kemalangan. Banyak saudara kami yang tewas! Dan sepertinya mala petaka ini akan segera datang ke daerah ini!” jawab Sun-lopek dengan sedih. Wajahnya tampak tambah pucat. “Apa yang terjadi dan siapakah yang membunuh saudara-saudara dari Kay-pang?” tanya lagi Lie Yang masih tidak mengerti. “Tiga hari yang lalu kami mendapatkan sebuah peringatan dari Ang-hong-pay (Partai Tawon Merah) supaya kami menakluk dan bergabung dengan mereka. Mereka mengancam akan membinasakan siapa saja yang tidak mau takluk kepadanya. Seperti halnya yang mereka lakukan pada markas Kay- pang di kota raja beberapa waktu yang lalu. Lima hari kemarin markas Kay-pang di luar kota raja habis dibantai oleh segerombolan orang berkedok dari Ang-hong-pay. Ratusan pengemis tewas mengenaskan, termasuk beberapa tionglo (Tetua) Kay-pang, untung saja pangcu (Katua) kami bisa selamat dan sekarang bisa bersembunyi. Dan hari ini adalah hari terakhir untuk memberi jawaban kepada mereka, kalau kami menolak uluran tangan mereka, maka kami akan digempur seperti halnya dengan markas kami di kota raja.” “Apakah dengan begitu banyaknya para pengemis, kalian tidak dapat mengalahkan mereka?” tanya lagi Lie Yang. “Ah, jangan dikira dengan orang banyak seperti ini bisa mengalahkan pasukan Ang-hong-pay yang sudah terkenal akan kelihaian dan keganasannya. Markas Kay-pang yang ada di kota raja saja hancur, walaupun di sana ada pangcu, para tionglo dan ratusan anggota pengemis.” Lalu dengan nafas berat Sun-lopek menjelaskan dengan detail pergerakan mereka kepada Lie Kang. Ang-hong-pay adalah salah satu partai besar yang misterius. Tidak ada orang yang tahu di mana http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 2 dari 114 markas utama partai ini. Partai ini muncul baru sekitar sepuluh tahun terakhir dan dalam sepuluh tahun ini namanya membumbung cepat. Hampir setiap orang kang-ouw tahu partai ini, atau paling sedikit pernah mendengar nama ini. Lebih-lebih ketika terjadi pengerusakan ketika dunia persilatan mengadakan pesta pemilihan bengcu lima tahun yang lalu. Banyak sekali para pendekar yang menjadi korban kekerasan dalam pertempuran sengit waktu itu. Walaupun begitu akhirnya Ang-hong- pay dapat dipukul mundur oleh para pendekar. Setelah kekalahannya ini mereka tidak pernah muncul lagi, sehingga keadaan menjadi tenang kembali. Selama lima tahun keadaan kang-ouw mengalami ketenangan setelah pihak Ang-hong-pay berhasil dikalahkan. Tujuan mereka melakukan pengerusakan dan pembantaian waktu pemilihan bengcu dahulu adalah untuk mendapatkan kursi bengcu dan menguasai dunia persilatan. Setelah gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan dan selama lima tahun kemudian mereka menghilang begitu saja. Baru setahun lalu tiba-tiba mereka muncul kembali ke permukaan dengan gerakan yang lebih dahsyat dari pada yang dahulu. Kali ini mereka tidak lagi mendatangai langsung ke pesta-pesta besar, tapi mereka mendatangai beberapa perguruan kecil-besar dan beberapa partai kecil-besar untuk melakukan pembantaian atau balas dendam. Akibatnya banyak perguruan dan partai yang terpaksa menakluk kepada mereka. Diantara perguruan dan partai besar yang sudah dibantai oleh mereka karena tidak mau menakluk adalah Pek-tiauw-pay (Partai Rajawali Putih), Pek-houw-pay (Partai Harimau Putih), Perkampungan Kim-hoa-bwee (Bunga Bwee Emas), Go-bi-pay dan lain-lainnya. Sedangkan partai besar yang berhasil dikalahkan dan diikat janjinya adalah Bu-tong-pay dan Hoa- san-pay. Dua partai besar ini dikalahkan dan berhasil memaksa mereka berjanji untuk tidak mencampuri urusan mereka dengan orang-orang kang-ouw yang lainnya. Sedangkan Siauw-lim-pay dan Kun-lun-pay belum didatangi, hanya baru diancam sehingga keadaan dua partai besar ini selalu tegang dan siap tempur. Adapun Kay-pang sebagai perkumpulan terbesar dan terbanyak anggotanya berhasil dipecah menjadi dua bagian. Cabang di propinsi Nan-king dan Ho-nan berhasil digagahi oleh Ang-hong-pay, hanya markas di kota raja sudah dikalahkan, walaupun Kay-pang di sana masih belum mengaku kalah. Sedangkan di cabang Kay-pang di propinsi Shansi baru mulai diancam. Hampir semua perguruan, partai, dan perkumpulan baik dari golongan putih (Golongan Pendekar) atau hitam (Para Penjahat dan Perampok) sudah pernah disatroni oleh Ang-hong-pay, hanya satu partai yang tidak begitu tegang dan takut terhadap Ang-hong-pay. Partai itu adalah Pek-eng-pay (Partai Elang Putih) yang berada di puncak gunung Heng-san di Ho-nan. Partai ini bisa dibilang tidak pernah mencampuri urusan orang lain dan jarang terjun di dunia kang-ouw. Hanya saja banyak orang- orang kang-ouw yang segan dan tidak berani mengutik-utik partai Pek-eng-pay. Mungkin karena tempat partai itu terlalu tinggi dan menakutkan bagi kang-ouw atau karena mereka mengenal bahwa pangcu dari partai ini adalah salah satu murid dari pangcu partai besar Kim-liong-pay (Partai Naga Emas) yang ada di lereng gunung Thai-san sebelah timur. Apalagi dengan Kim-liong-pay, bahkan dengan pecahan dari partai ini saja pihak Ang-hong-pay tidak berani mengusik. Sayang, Kim-liong- pay yang ada di lereng gunung suci itu sudah lama hancur sehingga partai seperti Ang-hong-pay berani meraja-lela seenaknya saja. Seandainya Kim- liong-pay masih ada kemungkinan partai inilah yang akan pertama kali menantangnya. Bab Sesudah: Ancaman Ang-hong-pay (2) Bab Sebelum: Ancaman Ang-hong-pay (1) Partai Kim-liong-pay dikenal oleh kang-ouw sebagai raja-dirajanya parta-partai dan berbagai perguruan di Tiongkok. Semua partai persilatan tunduk dan menghormat kepada Kim-liong-pay, karena disamping ilmu silatnya yang terkenal paling hebat, juga keadilan dan kewibawaan partai ini. Sejak partai ini masih ada dunia kang-ouw selalu tenang, hampir setiap masalah dan pergolakan orang-orang kang-ouw bisa diatasi dengan baik oleh partai Kim-liong-pay. Melalui Kim-liong-pay Ji- sian (Dua Dewa dari Partai Naga Emas)-nya partai ini berhasil menyelesaikan semua permasalahan orang-orang kang-ouw dengan adil dan tegas. Hanya saat ini partai itu sudah tidak ada lagi, karena sudah belasan tahun partai itu hancur. Partai besar itu dahulu bermarkas di lereng gunung Thai-san yang diberi nama Kim-liong Sancung (Perkampungan Naga Emas). Hampir semua orang yang berada di perkampungan itu bisa bermain silat dengan bagus hingga perkampungan itu selalu tenang dan damai. Hingga pada suatu hari terjadi petaka besar, yaitu hampir seluruh penghuni perkampungan itu ditemukan tewas mengenaskan. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di sana dan siapa yang melakukan pembantaian masal itu. Pangcu dari Kim-liong-pay yang waktu itu dijabat oleh Giok Bu juga tewas dan juga keluarganya. Kejadian itu membuat dunia kang-ouw benar-benar gempar, karena partai yang mereka hormati dan mereka anggap sebagai bengcu mereka terbantai tanpa diketahui siapa pelakunya. Sejak itu keadaan kang-ouw menjadi berubah, di sana sini selalu terjadi pertentangan antar sesama, tidak ada lagi pemisah dan pemimpinnya lagi. Hingga beberapa tahun http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 3 dari 114 kemudian muncul partai Ang-hong-pay yang mencoba merebut kendali kang-ouw, tapi dengan niat yang tidak baik. Partai ini mungkin bercita-cita ingin menjadi pemimpin orang-orang kang-ouw, tapi sayang jalan yang ditempuh salah dan malah membuat marah sebagian mereka. Sehingga tidak heran jika terjadi pergolakan pertentangan di mana-mana yang tidak ada ujung penyelesaiannya kecuali diujung pedang. Kita kembali ke kisah cabang Kay-pang yang ada di propinsi Shansi. Cabang Kay-pang yang ada di propinsi Shansi dipimpin oleh seorang pengemis yang bernama Sun Kwe San atau Sun-lopek kalau yang memanggil adalah Lie Yang. Kehancuran markas mereka di kota raja sebenarnya membuatnya marah dan sakit hati, sayang mereka tidak tahu dimana markas Ang-hong-pay sehingga mereka tidak bisa menuntut balas. Dua hari setelah kejadian di kota raja, giliran Kay-pang cabang Shansi, Ho-nan dan Nan-king yang mendapatkan ancaman dari mereka. Sayang sekali sayang Kay-pang Ho-nan dan Nan-king sebelum berperang sudah mengaku kalah dan menakluk, hanya cabang Shansi yang masih bertahan. Para pengemis di cabang ini lebih memilih berperang habis-habisan dari pada menghianati perkumpulan dan janji mereka. Mereka tahu bahwa sudah tidak ada lagi bantuan yang bisa diandalakan, karena dunia kang-ouw sudah hampir ditaklukan oleh Ang-hong-pay yang tidak diketahui berapa kekuatan mereka sebenarnya. Tidak heran jika pagi itu mereka sudah berkumpul untuk siap bertempur mati-matian membela kehormatan mereka, walaupun di dalam hati mereka ada rasa takut. Lie Yang mendengar perkataan Sun Kay (Pengemis Sun) dengan berkali-kali geleng-geleng kepala dan meleletkan lidahnya. Kadang sampai kedua matanya tidak berkedip karena tegangnya. “Sebaiknya kongcu pulang, aku takut terjadi apa-apa dengan kongcu kalau berada di sini. Aku sendiri tidak tahu akan bisa bertahan melawan mereka apa tidak? Sebaiknya kongcu sekarang pulang biar diantar teman-teman yang lain sampai rumah.” Kata Sun Kay setengah berharap dan khuwatir. “Ah, ini salahku kenapa aku begitu lemah. Coba seandainya aku bisa silat, sudah tentu aku bisa membantu teman-teman lebih banyak lagi. Baiklah aku akan pulang, tapi Sun-lopek dan teman-teman harus berjanji untuk menang dan tetap hidup. Tidak boleh mati!” kata Lie Yang yang tahu dirinya tidak mampu membantu mereka. Ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. “Hahaha... baik! Kami akan berjanji untuk memenggal kepala penjahat itu sebanyak-banyaknya. Kita akan buktikan bahwa Kay-pang tidak muda direcoki oleh penjahat seperti mereka. Kalau aku bisa memenangkan pertarungan ini, kami akan datang ke rumah kongcu untuk berpesta minum arak sampai mabuk!” kata Sun Kay sudah tidak lagi diam. Sejak mendengar perkataan Lie Yang yang sederhana itu, darahnya bergejolak penuh semangat dan rasa takut tiba-tiba terhempas hilang. Lie Yang hanya mengangguk sambil pamit pulang. Malam ini teman-temannya akan bertarung matia- matian membela kehormatan mereka. Entah ia dapat bertemu dengan mereka lagi apa tidak? Yang jelas ia hanya bisa berdoa semoga mereka mampu mengalahkan musuhnya. “Cang Su kamu antar kongcu sampai ke rumahnya!” perintah Sun Kay kepada salah satu pengawalnya yang bernama Cang Su. “Tidak, tidak usah repot-repot Sun-lopek! Aku bisa dan berani pulang sendiri, sebaiknya kalian mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kalau kalian tidak mampu mengalahkan musuh dengan kepandaian, maka otak adalah kepandaian utama manusia!” kata Lie Yang sambil mengedipkan matanya. Ia memberi senyuman berarti kepada teman-temannya. “Terima kasih atas petunjuk kongcu! Baiklah, kami tidak akan memaksa. Hanya hati-hati di jalan!” hanya itu yang bisa dikakatan oleh Sun Kay kepada Lie Yang sebagai ucapan terima kasih atas pesannya yang berharga. Sun Kay masih berdiri mematung sedangkan Lie Yang sudah menghilang diantara pohon. Sun Kay masih berdiri sambil memikirkan akal apa yang bisa digunakan untuk memukul mundur pengacau nanti. Tiba-tiba ia tersenyum sepertinya itu tanda bahwa ia telah menemukan akal yang sejak tad ia pikirkan. <><><><><>-()-<><><><><> Bab Sesudah: Si Hitam dan Si Merah (1) II- Chapter dua; Si Merah dan Si Hitam Malam itu begitu terasa mencekam. Sinar bulan tampak memancarkan cahayanya dengan terang. Bukannya suasana seperti itu sangat indah dan neyaman, malahan terasa seperti begitu menakutkan. Angin yang menghembuskan hawa dingin, tidak terasa sama sekali. Ratusan pengemis berdiri di depan kelenteng tua di luar kota Taiyuan. Ratusan lainnya berjongkok di rerumputan yang ada di http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 4 dari 114 dalam hutan. Puluhan lainnya berjaga di kejahuan. Mereka diam membisu. Tidak ada suara apapun yang terdengar dari mulut mereka, hanya suara pernafasan yang berat terdengar keras. Suara detak jantung yang semakin cepat karena rasa takut dan ngeri terdengar melagu seram. Di tempat ini benar- benar seram. Di tempat lain di dalam sebuah gedung besar terlihat seorang pemuda yang tampak cemas mondar- mandir di dalam kamarnya. Berkali-kali ia mendesah berat serasa begitu berat beban pikirannya. Di bawah penerangan lilin Lie Yang tampak cemas, ia memikirkan keselamatan teman-temannya di luar. Lalu ia berjalan ke tempat tidurnya dan istirahat. “Apapun yang terjadi, semuanya sudah digariskan! Sulit untuk membelokkan atau meluruskannya.”gumamnya sebelum memejamkan mata. Di luar kota Taiyuan masih terasa sepi. Malam semakin larut tapi pasukan Ang-hong-pay belum juga datang. Tiba-tiba terdengar suara jeritan di dalam hutan memecah keheningan. Sebelum semuanya sadar apa yang telah terjadi di dalam sana, tiba-tiba dari dalam hutan sudah melayang turun puluhan manusia dengan pakaian hitam dan berkedok. Tanpa terasa kemenjing para pengemis naik turun karena rasa takutnya. Belum pernah mereka merasakan kehidupan yang begitu menakutkan sebelumnya. Di depan kelenteng tua sudah berdiri puluhan orang dengan pakaian hitam menyeramkan. Hanya dua mata mereka yang terlihat mencorong membetot sukma. Suasana tambah hening dan menakutkan. Pakaian mereka serba hitam, kecuali sebuah gambar di dada mereka yang berwarna merah darah. Jarak antara mereka dengan para pengemis cukup dekat sehingga mereka bisa melihat gambar ‘Tawon Merah’ di dada mereka. “Inikah pasukan Ang-hong-pay yang telah membantai ratusan nyawa? Dan mereka hanya terdiri dari dua puluh lima orang sajakah? ” tenya Sun Kay pada dirinya sendiri. Tanpa terasa ia merasakan begitu ngeri suasana malam ini. Dan kadang-kadang ada rasa kagum juga terhadap mereka yang memiliki ilmu tinggi-tinggi. “Siapakah yang menjadi pemimpin di sini?” tiba-tiba terdengar suara menyeramkan. Sesaat Sun Kay dengan kaget menoleh mencari suara itu datang dari mana. Suara itu terasa begitu dekat terdengar di telinganya. “Apakah kamu tidak bisa melihat keberadaanku di sini?” ejek orang itu. Tanpa terasa bulu kuduknya meremang takut. Orang ini seperti iblis mengirim suara tapi tidak terlihat orangnya. Suara itu terdengar dari belakangnya, bukan dari depannya. Ia menoleh mencari orang itu apakah ada di belakangnya. Lalu matanya melihat sosok yang berdiri di atas kelenteng. Pakaian yang dipakai berbeda dengan orang-orang yang ada di depannya. Pakaiannya berwarna merah semua menandakan bahwa orang ini mempunyai pangkat lebih tinggi dari pada dua puluh lima orang di depannya. Beberapa detik kemudian, bayangan merah itu menghilang. Wajah Sun Kay tambah pucat melihat ginkang pemimpin mereka ini. Ginkang yang hebat sekali. Sampai-sampai ia tidak tahu sejak kapan orang memakai pakaian merah itu pergi. “Siapakah diantara kalian yang bernama Sun Kwe San ketua Kay-pang cabang Shansi?” terdengar suara lagi bertanya. Kali ini Sun Kay benar-benar gelagapan karena ia tidak bisa lagi menemukan dimana orang itu berada. “Aku di sini! Apakah kamu tidak punya mata untuk melihat?” jengak setengah ejek orang itu. Suara itu terdengar dari dalam kelenteng yang kosong. Tidak lama kemudian, orang berbaju merah itu keluar. “Berapa orangkah pemimpin berbaju hitam itu? Menakutkan sekali!” katanya di dalam hati. “Akulah yang bernama Sun Kwe San!” jawab Sun Kay tegas dan lugas. “Apakah kamu tahu untuk apakah kedatangan kami ke sini?” tanya orang berbaju merah itu. “Kami tidak akan pernah bergabung dengan kalian! Lebih baik kami mati dengan terhormat dari pada kami dikutuk nenek moyang kami!” jawab Sun Kay. “Hahaha... kalian begitu bodoh, lebih-lebih engkau Sun Kwe San! Kami datang bukan untuk mengajak kalian bergabung dengan kami, tapi ingin membantai kalian semuanya!” kata si baju merah membuat merinding para pengemis Kay-pang. Ketika menyebut kata-kata ‘membantai’ si baju merah itu mengeraskan sehingga terdengar dan bergema di mana-mana. “Apakah kalian mampu membantai kami semuanya?” tantangnya berapi-api. Ia sudah melupakan lagi keraguan dan ketakutannya. Seperti seorang yang sedang kedinginan kalau bisa mendapatkan api http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 5 dari 114 akan terasa hangat dan panas. Seperti itulah jiwa Sun Kay. Tadinya ia ragu untuk bergebrak dengan si baju merah itu, tapi bicaranya yang terlalu menghina membuatnya marah. “Hahaha... hanya cacing-cacing tanah seperti kalian kenapa kami tidak mampu?. Seandainya kalian bertambah sepuluh lipat lagi pun kami masih bisa membantai kalian semuanya.” Besar sekali omongan ini. Kali ini Sun Kay sudah dibakar habis oleh lawannya sehingga tidak bisa mengontrol lagi jiwanya. “Bangsat, rasakan ini!”. Sambil berseru keras ia berlari ke arah si baju merah. Tongkat yang ada di tangannya dilemparkan ke arah bayangan merah di depannya. Kali ini ia langsung menggunakan jurus paling berbahaya Hui-tung (Tongkat Terbang) andalannya. Baru saja tongkat itu melayang menyerang dada si baju merah. Tiba-tiba saja tongkat itu membalik, seperti ada penghalang besi di depan si baju merah itu. Sebaliknya si baju merah hanya berdiri sambil memperlihatkan senyum sinis dan mengejak. Tongkat yang ia lemparkan kali ini menyerang balik ke arahnya sendiri. Ini baru namanya senjata makan tuan. “Aih!!!” ia menjerit sambil menghindar dengan membuang dirinya ke samping kanan. Melihat tongkat terbang ketuanya ini para pengemis tanpa terasa semakin ketakutan. Mereka tidak bisa membantu ketuanya karena di sini hanya ketuannya saja yang mempunyai ilmu silat paling tinggi. Ketuanya kalah dengan mudah apalagi mereka. Untung saja tongkat itu bisa ia hindari sehingga ia tidak terkena gebukan tongkat itu. Ia berdiri dengan muka pucat melihat kemampuan lawannya itu. Tongkatnya yang sudah jatuh di tanah ia ambil lagi. Ia heran kenapa lawannya tidak segera menyerangnya malah masih berdiri sambil mengejek. “Ah, begitu goblok dan bodoh kamu Sun Kay! Kenapa menggunakan kekerasan kalau masih ada jalan lain untuk menyelamatkan diri sendiri dan teman-temanmu!” katanya dengan nada sedih, padahal ia tidak bersedih. “Permainan apa lagi yang ingin kamu lakukan?” tanyanya setengah membentak. “Ah, hebat, hebat sekali! Sudah tidak ada kemampuan sedikitpun untuk melawan masih berani membentak-bentak. Tapi sayang sekali nyali yang begitu tinggi tidak disertai akal yang cerdas!” “Bangsat, setan! Apakah kalian datang hanya ingin menghina kami yang lemah? Bunuh sekalian dari pada kami harus mendengarkan ocehanmu yang berbau busuk seperti kentut itu!” “Hahaha... menarik, menarik sekali! Dengar baik-baik! Kami datang memang ingin membantai kalian, cuma sayang aku tidak tega melakukannya. Aku akan melepas dan tidak akan mengganggu kalian jika kamu mau menyerahkan Kim-liong Giok-ceng (Kemala Hijau Naga Emas) padaku!”
Bab Sesudah: Si Hitam dan Si Merah (2)
“Kim-liong Giok-ceng (Kemala Hijau Naga Emas)? Baru kali ini aku mendengar nama ini. Apakah kamu sudah gila mengatakan kalau aku mempunyai barang itu?” kata Sun Kay heran campur bingung. Ternyata kedatangan mereka untuk barang itu, bukan untuk membantai seperti apa yang dilakukan mereka terhadap partai-partai lainnya. Aneh sekali orang ini. “Tidak usah berlagak pilon! Aku tahu kamu mempunyai barang itu. Sekarang serahkan barang itu dan aku akan membiarkan kalian semua hidup! Tapi kalau masih bandel, hmm. Jangan salahkan diriku jika tempat ini menjadi kuburan kalian!” “Eh! Jangan mabuk. Benar-benar aku tidak mempunyai barang itu. Bahkan medengar namanya saja baru malam ini kudengar.” Jawab Sun Kay jujur. Ia benar-benar tidak tahu apa itu Kim-liong Ceng-giok, bahkan baru malam ini ia mendengar nama barang itu. “Baik! Jangan salahkan aku jika kugenangi tanah ini dengan darah kalian!” katanya yang diikuti dengan suara ‘sringgg, sringggg’ bunyi pedang dikeluarkan berbareng oleh dua lima orang berbaju hitam. “Baik! Akan kukabukan impianmu!” jawab Sun Kay dengan didahului dengan terjangan mengadu nyawa. Baru saja ia meloncat satu langkah, ia sudah berhenti secara mendadak. Kakinya terasa tiba- tiba saja tidak bisa digerakkan. Seperti ada yang memegang atau yang menutuk urat nadi di pergelangan kedua kakinya. Benar-benar ia tidak bisa bergerak. Lalu ia memejamkan kedua matanya untuk menunggu ajal menjemput.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 6 dari 114
Tiba-tiba ia merasakan tongkat yang dipegangnya terlepas seperti ditarik seseorang. Beberapa menit kemudian ia mendengar suara ‘Bug-bag-big-bug” seperti suara tubuh terkena pukulan. Lalu terdengar pekik ngeri dari belakangnya. Sebenarnya ia tidak berharap melihat atau mendengar suara pekikan ngeri saudara-saudaranya, tapi apa dayanya saat ini. Tubuhnya tidak bisa digerakkan untuk segera menemui ajalnya. Setelah itu tidak terdengar lagi suara jeritan. Suasana menjadi sepi dan hening. Hanya suara detak jantung yang terdengar sangat memburu. Dua matanya ia buka dan alangkah kagetnya ketika melihat orang berpakaian merah itu terlihat kedua matanya sepertinya melotot ke arahnya dengan seram. Dan ia melihat juga betapa mata semua orang beralih ke arahnya. Wajah teman-temannya tampak pucat seperti mayat. Apakah yang terjadi?. Selagi ia bertanya-tanya pada dirinya apa yang terjadi. Tiba-tiba matanya melihat tongkatnya itu melayang berputaran mengelilingi tubuhnya. Tongkatnya itu seperti hidup. “Oh, apakah aku sudah gila atau mati?” katanya terkesiap dan meremang bulu kuduknya. Tongkatnya itu melayang di udara sambil melenggok-lenggok menuju ke arah orang berpakaian merah itu. Dua mata orang berpakaian merah itu tampak melotot entah apa yang dipikirkannya itu. Ia semakin heran. “Kenapa melotot seperti itu, apakah sudah bosan hidup?” tiba-tiba terdengar suara mengejek. Suara itu terdengar dari dalam tongkat. Apakah tongkatnya sudah menjadi arwah gentayangan sehingga mampu bicara?. Benar-benar tongkat menakutkan. Suara itu sulit ditentukan apakah suara orang muda atau tua, laki-laki atau perempuan. Orang yang memakai pakaiawan berwarna merah itu tambah melotot dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak entah apa yang ditertawainya. “Locianpwe kumohon sudi menampakkan diri, jangan memperlakukan orang lemah seperti itu?” kata si merah setelah selesai tertawa. Ia ternyata baru sadar bahwa tongkat yang melayang-layang itu sebenarnya dikendalikan oleh seseorang berkepandaian tinggi dengan menggunakan semacam ilmu Menjerat Angin. Dilihatnya anak buahnya telah tergeletak malang melintang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia sudah tidak berani lagi membayangkan bagaimana kepandaian orang yang memainkan tongkat itu. Pikirannya hanya bergejolak bagaimana harus kabur. Tiba-tiba terdengar suara ‘duk’ tongkat yang melayang-layang itu jatuh. Sedangkan Sun Kay sudah bisa bergerak. Ia semakin kaget ketika membalikkan badan karena ia melihat dua puluh lima orang berpakaian hitam itu sudah roboh semuanya. Entah dengan ilmu apa orang itu bisa merobohkan lawannya begitu cepat?. Ngeri dan girang campur aduk dipikirannya. “Apakah locianpwe masih tidak mau menampakkan diri?” seru si baju merah. Suasana masih sepi tidak ada suara apapun, hanya suara angin yang terdengar menderu. Dingin. “Apakah kamu tidak bisa melihat keberadaanku di sini?” terdengar suara mengejek di mana-mana. Kali ini si baju merah yang dipermainkan seperti ia tadi mempermainkan Sun Kay. Jawabannya juga sama dengan jawaban si baju merah. “Locianpwe, jangan main-main lagi!” tiba-tiba suara si baju merah meninggi agak tergetar karena mengekang rasa marahnya sehingga terdengar bergetar. “Aku di sini! Apakah kamu tidak punya mata untuk melihat?” katanya meniru suara si baju merah. Aneh sekali. Suara angin malah terdengar seperti lantunan suara yang sangat merdu. Membuat orang semakin nyaman, tidak tegang dan ngeri seperti tadi. Para pengemis tampak tiba-tiba tersenyum mendengar suara angin. Suara itu semakin tinggi bertambah menggema merdu. Si baju merah bukannya tambah senang seperti para pengemis Kay-pang, malah semakin beringasan. “Kim-liong Hong-hoat-sut (Sihir Angin Naga Emas)!” teriak si baju merah setengah tercekik. “Ternyata engkau mengenal juga ilmu ini. Kukira engkau seorang yang goblok! Aku ada di sini. Lihat baik-baik !” terdengar suara terbawa angin. Seketika si baju merah melihat sesosok memakai baju hitam seperti anak buahnya. Tapi baju itu bukan baju ringkas, malahan baju longgar dan besar. Baju itu berkibar-kibar tertiup angin. Sesosok hitam itu berdiri di atas pucuk pohon yang ada di depan kelenteng tua. Semua mata menyorot ke pucuk pohon itu. Luar biasa tingginya ginkang (Ilmu Meringan Tubuh) orang itu. Hanya dengan pucuk dedaunan di atas pohon ia mampu berdiri dengan anteng tanpa goyang. Sepertinya tubuh hitam itu hanya seenteng kapas, sehingga dedaunan itu tampak tidak terbebani. Lalu sesosok bayangan hitam itu melayang ke bawah tanpa menggerakkan kedua kaki atau badan lainnya sama sekali. Tubuhnya seperti melayang terbawa angin dan turun di atas tanah tanpa suara atau ada debu mengepul sama sekali.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 7 dari 114
“Bagaimana locianpwe bisa menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang (Tenaga Sakti Angin Sakti)? Siapakah sebenarnya locianpwe?” tanya si baju merah tiba-tiba ke sosok hitam itu. “Mestinya aku yang bertanya dari mana kamu bisa ilmu itu juga? Yang muda mestinya menjawab pertanyaan yang tua, bukan sebaliknya. Itu namanya tidak sopan! Dan barang siapa tidak sopan kepada orang tua, maka hukumannya hanya MATI!” kata sosok hitam pelan membuat si merah tambah takut. “Hm, jangan sok hebat di depanku? Memang ilmuku masih jauh dari pada hebat, namun dibelakangku masih ada yang lebih hebat daripada locianpwe kuasai dan miliki!” katanya tidak takut-takut lagi. “Hahaha... luar biasa berani dan besar amat nyalimu, sayang sebentar lagi akan menjadi mayat seperti lima puluh anak buahmu!” kata sosok hitam pelan. Si merah mundur beberapa langkah. Ia benar-benar kaget dengan apa yang didengarnya. Ternyata anak buah yang dibawa oleh si merah tidak dua puluh lima, bahkan lima puluh pasukan dan mereka mati semua dalam sekejab saja, padahal lima puluh pasukannya adalah pasukan istimewa. Benar-benar ia ketakutan. Kali ini ia baru mengenal apa artinya takut. Lucu sekali wajahnya seandainya tampak. Ia tahu bahwa ia toh akan mati saja. Makanya mumpung ia masih ada kesempatan, ia akan menggunakan kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Lalu dengan jeritan hebat ia menyerang menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang yang sudah ia latih sampai tingkatan tiga. Lebih baik mati dari pada ia dipaksa membocorkan rahasia. Kali ini ia mencoba mengadu nasib. Melihat gerakan si merah ini para pengemis sampai terbelalak lebar. Si merah itu melayang menggunakan sin-kang (hawa saktinya) untuk menunggangi angin dan menggunakannya sebagai senjata menyerang lawan. Jarak antara si merah dengan sosok hitam hanya ada sepuluh langkah saja, sedangkan jarak mereka agak jauh. Sun Kay juga sudah mulai minggir. Hawa pukulan yang digunakan oleh si merah benar-benar hebat. Terdengar suara mendesih-desih hebat sampai kadang-kadang suara itu terdengar seperti suara gesekan pedang memekakkan telinga. Hawa yang dipantulkan juga membuat sebagian pengemis sampai mundur beberapa langkah. Angin yang menyambar mereka sangat menyakitkan. Bab Sesudah: Si Hitam dan Si Merah (3) Bab Sebelum: Si Hitam dan Si Merah (2) Belum pernah mereka melihat pertandingan tenaga dalam seperti ini, bahkan Sun Kay yang sudah mempunyai banyak pengalaman pun sampai bengong hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Beberapa kali si merah menyerang dari jarak jauh menggunakan angin sebagai senjatanya. Kadang- kadang angin itu bisa berubah menjadi sebuah tangan yang menjulur panjang atau kadang-kadang menjadi setajam pedang, sehingga dengan tenaga dalam yang kuat dan menggunakan ketajaman angin ia bisa memotong kayu atau tubuh orang. Tapi anehnya pukulan-pukulannya tidak ada yang bisa mencapai tubuh lawannya. Nayatanya lawanya masih diam tidak bergoyang sedikit pun, bahkan tambah mencorong matanya. Lalu ia semakin nekat. Ia lebih mendekat dengan bertubi-tubi melakukan pukulan sambil melayang- layang terbawa angin. Nyatanya bobotnya juga bisa seringan itu. Berkali-kali terdengar desiran angin seperti desiran pedang ketika angin pukulan si merah membacok ka arah lawan. Sosok hitam itu masih diam sambil menggendong dua tangannya di belakang. Setelah mendekat, si merah baru tahu bahwa lawan telah melindungi tubuhnya dengan angin yang membentuk prisai. Makanya pukulan dan sayatan hawa sinkangnya tidak bisa menembus lawan. Lalu dengan jeritan histeris ia menyerodok dengan menggunakan kepalanya ke arah tubuh sosok hitam di depannya. Kali ini ia sudah siap mati, karena ia tidak mampu melawan sosok hitam itu. Baru mendekat ia merasakan diterjang oleh gelombang dahsyat sinkang yang sangat hebat. Sinkang yang menyusup bersama diantara terjangan angin topan dan badai itu membuatnya ikut tergulung. Ia tersedot ke dalam angin yang sangat kencang. Tubuhnya berputar-putar mengikuti gelombang angin. Beberapa kali ia merasakan angin berhawa dingin dan panas dalam badai yang menggulung dirinya. Bajunya robek-robek hangus oleh singkang panas yang menyusut ke tubuhnya. Setelah itu ia tidak sadarkan diri karena terlalu lelah diombang-ambingkan di dalam gelombang angin puyuh yang menyakitkan. Hanya sekejap saja angin sudah tenang seperti biasa, sedangkan tubuh si merah tampak terkoyak-koyak hancur. Para amggota Kay-pang benar-benar terbengong melihat atraksi gratis ini. Sebelum mereka sadar dengan apa yang mereka lihat. Sosok hitam itu sudah melayang sambil membawa tubuh si merah yang lagi pingsan. “Sun Kay – pangcu tolong jangan membikin susah para anggota Ang-hong-pay yang dalam keadaan pingsan itu. Besok pagi mereka akan segera siuman dan biarkan mereka pergi. Mereka telah kehilangan ilmu silat dan tenaga sakti. Mereka akan menjadi orang-orang biasa lagi!” terdengar suara berkali-kali menggema membuat para anggota Kay-pang tersadar. Setelah suara itu hilang, baru http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 8 dari 114 mereka bisa bernafas lega. Di tempat itu lalu terdengar suara ramai sekali. Ada yang bertanya-tanya siapa penolong mereka, atau tertawa karena mereka terbebas dari kematian dan lain-lainnya. Hanya Sun-pangcu yang diam dengan seribu pertanyaannya. Setelah menghela nafas panjang, lalu ia menyuruh anak buahnya untuk tidak mengusik tumpukan orang pingsan itu. Kali ini ia benar-benar tidak percaya ada orang mempunyai kemampuan seperti itu. Orang itu dengan mudah bisa menyetir dan mengendalikan angin menggunakan sinkangnya. Hanya sinkang yang sudah benar-benar sempurna saja yang mampu melakukan hal itu. Dan entah ilmu apa yang dimainkan oleh penyelamatnya. Mungkin ilmu sihir. Berkali-kali ia geleng-geleng kepala sambil meninggalkan tempat menyeramkan itu. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kim-liong-pay Ji-sian (1) III- Chapter Tiga; Kim-liong-pay Ji-sian (Dua Dewa dari Partai Naga Emas) Di tengah kota Taiyuan terdapat sebuah kedai besar yang menjual arak paling enak dan harum. Di dalam kedai lantai dua terdapat banyak orang minum arak sampai teler mengoce kesana-kemari. Orang di lantai dua itu semuanya adalah orang-orang Kay-pang. Bajunya tambal-tambal berwarna- warni, kecuali seorang saja yang mempunyai pakaian bagus dan rapi. Satu orang itu adalah seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun, ia tidak ikut minum hanya sebagai penyuguh saja. Pemuda itu bukan lain adalah Lie Yang yang sedang ikut pesta para anggota Kay-pang atas keselamatan hidup mereka tadi malam. Semuanya tampak teler, bahkan ada yang sampai pingsan tidak kuat minum. Sedangkan Sun Kay hanya cengar-cengir sambil menenggak arak beberapa kali. Ia sudah bercerita tentang kejadian tadi malam kepada Lie Yang. Ganjalan yang selalu mengusik hatinya semuanya hilang. Membuatnya kali ini benar-benar mabuk. Lie Yang yang tidak ikut minum hanya tersenyum ramah sambil geleng-geleng kepala melihat kelakukan orang-orang Kay-pang ini. Sejak bergaul dengan para anggota Kay-pang ia menjadi seorang pemuda yang mempunyai banyak pengetahuan tentang dunia kang-ouw, khususnya kejadian-kejadian akhir-akhir ini. Tadi sebelum berpesta arak di kedai ini, Sun Kay sempat mengirim surat ke pangcu-nya yang ada di Siauw-lim-si. Ia juga sempat memikirkan apa yang ditanyakan oleh penjahat memakai baju merah tentang Giok yang katanya berada padanya. Sebelumnya ia benar-benar tidak tahu tentang Giok itu, namun setelah mengingat-ngingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Akhirnya ia bisa menemukan kebenaran tuduhan si merah tadi malam. Enam bulan yang lalu ketika melakukan perjalanan balik dari kota raja, ia sempat bertemu dengan seorang kakek-kakek. Orang tua yang rambutnya sudah beruban itu menitipkan sebuah kotak kepadanya. Katanya kotak kecil itu akan diambil dua bulan lagi setelah kakek itu selesai menyelesaikan masalahnya. Pertamanya ia tidak ada rasa curiga atau keinginan untuk membuka kotak titipan orang itu, namun setelah mengalami bencana tadi malam ia segera membuka kotak dari kayu itu. Ternyata memang benar di dalamnya ada sebuah Giok berwarna hijau dengan bentuk kotak persegi empat. Giok itu digambari sebuah kepala naga berwarna emas dan sisi lainnya gambar gunung yang menjulang tinggi. Selain dua gambar itu, gambar lainnya tidak ada. Ia merasakan ada yang aneh dengan Giok ini, padahal dilihat dari bentuknya tampak biasa saja. Tapi kenapa Giok sederhana ini mau dirampas oleh Ang-hong-pay dan darimana mereka mengetahui bahwa Giok itu berada padanya, padahal ia sendiri tidak tahu apa isi kotak itu seandainya tidak terpaksa membukanya. Selain Giok itu, di dalam kotak kayu itu tidak terdapat barang lainnya. Kalau memikirkannya ia menjadi semakin bingung. Makanya ia langsung pergi ke rumah Lie Yang untuk mengajak berpesta. Ia ingin menghilangkan rasa pusing dikepalanya akibat memikirkan banyak perkara ini. Jalan satu-satunya adalah mabuk sampai benar-benar teler dan pingsan. “Apakah benar besok Sun-lopek akan pergi ke Siauw-lim-si untuk menemui Kay Pang-pangcu di sana?” tanya Lie Yang kepada Sun Kay yang sudah mabuk berat. “Benar! Apakah kongcu ingin titip sesuatu dalam perjalananku kali ini?” jawab Sun Kay yang ternyata masih sadar dan waras. Biasanya, memang Lie Yang selalu titip sesuatu kepada Sun Kay jika ia bepergian keluar kota. Dahulu pernah ia titip kepada Sun Kay untuk membelikannya beberapa buku ketika ia sedang melakukan perjalanan ke kota raja. Di sana buku pelajaran tentang, agama, filsafat, sejarah dan politik dapat ditemukan lebih banyak dari pada di kota Shan-si. Kadang-kadang Lie Yang menyuruh langsung beberapa pegawainya untuk membelikan beberapa keperluannya yang sulit didapat di kota Shansi. “Bukan titip tapi mau ikut! Aku ingin melihat keindahan gunung Siong-san yang katanya indah, juga aku ingin menimbah beberapa ilmu pengetahuan tentang agama dan filsafat di sana!” http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 9 dari 114 Sejenak Sun Kay berhenti dari minumnya mendengar permintaan Lie Yang. Dua matanya tampak melihat wajah Lie Yang dengan sorot mata yang tajam. Lalu ia menghembuskan nafas berat dan berkata. “Aih, apakah perjalananku kali ini sedang melancong? Kongcu tahukan kalau kondisi di luar sangat berbahaya? Kali ini entah apakah orang-orang Ang-hong-pay akan diam saja melihat anak buahnya dikalahkan? bukan maksudku melarang atau tidak mau mengajak kongcu untuk menemani menikmati indahnya gunung dan hutan di luar sana, cuman saat ini tidak memungkinkan dan sangat membahayakan. Apalagi...” “Apalagi aku tidak bisa silat, begitu? Ah, paman Sun jangan terlalu mengkhawatirkan diriku. Sejak dahulu ingin sekali aku meluaskan pengetahuanku dengan melakukan perjalanan panjang. Menyebrangi hutan, pegunungan dan sungai. Apakah paman tidak bisa meluluskan permintaanku kali ini?” Lie Yang memohon. “Masalahnya bukan saja kamu tidak bisa silat, namun perjalanan ke pegunungan Siong-san lumayan jauh dan bagaimana dengan orang tuamu nanti?” “Itu gampang, paman! Aku bisa meminta izin kepada mereka, pasti diperbolehkan. Sedangkan masalah jalan jauh, itupun tidak menjadi halangan berat bagiku. Kalau memang paman terlalu mengkhawatirkan diriku, aku bisa mengajak dua pengawal pribadiku! Bagaimana menurutmu, paman?” kata Lie Yang sambil memicingkan mata kirinya. Sun Kay diam sejenak. Ia sedang berpkir bagaiamana menjawab permintaan Lie Yang. Lalu tampak tangannya menggaruk-ngaruk kepalanya yang tidak gagal. Ia kalah dan tidak bisa menjawab, karena ia tahu bahwa Lie Yang mempunyai watak ngotot dan keras kepala. Ia hanya bisa menghelai nafas panjang. Sambil berpikir, alangkah baiknya seandainya Lie Yang mempunyai sedikit kemampuan, mungkin perjalanannya akan menyenangkan bersama anak ini. “Baiklah! Kongcu boleh ikut dengan syarat kalau kedua orang tua kongcu memperbolehkan. Oh, ya ada lagi, kongcu harus mentaati semua perintah dan permintaanku.” Akhirnya Sun Kay memilih mengalah dengan memberikan syarat berat kepada Lie Yang dengan harapan supaya pemuda itu tidak jadi ikut. “Baik! Setelah dari sini, aku akan meminta izin kepada ayah dan ibu. Kapan kita bertemu dan berangkat?” kata Lie Yang tidak terduga-duga. Ia masih ngotot dan kelas kepala mau ikut. “Besok pagi-pagi kita akan berangkat. Aku tunggu di tempat biasanya.” Kata Sun Kay lemas dan tidak berdaya. Setelah berkata, ia lalu mulai minum lagi sampai benar-benar mabuk. Satu jam kemudian mereka sudah berpisah. Lie Yang berjalan cepat menuju gedungnya untuk meminta izin orang tuanya. Ia berharap kali ini bisa keluar untuk mencari pengalaman di luar kota. Sambil berjalan cepat, tidak henti- hentinya ia membayangkan keindahan gunung Siong-san dengan Siauw-lim-sie sebagai bangunan yang menancap di lerengnya. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kim-liong-pay Ji-sian (2) “Tia-tia (Ayah), Lie Yang sudah tidak kecil lagi! Kumohon beri izin untuk melihat-lihat dunia luar untuk memperluas pengetahuan!” mohon Lie Yang kepada ayah-bundanya. Ternyata tidak semudah bayangannya untuk minta persetujuan orang tuanya untuk ikut Sun Kay pergi ke Siauw-lim-sie. Sudah dari tadi ia memohon sampai merengek-rengek meminta persetujuan orang tuanya. Hartawan Song dan istrinya tampak duduk di kursi sambil melototi anaknya. Mereka tidak menyetujui keinginan anak semata wayangnya, karena tidak tega membiarkan anaknya yang lemah melakukan kesusahan. Apalagi kondisi dunia kang-ouw saat ini sedang tidak aman, banyak terjadi bunuh-membunuh. Seandainya Lie Yang bisa silat sekalipun mereka akan sangat berat membiarkan anaknya itu berkeliaran di luar. Hartawan berkali-kali melarang anaknya pergi. Tapi watak Lie Yang memang keras kepala tetap ngotot, bahkan ia mengancam orang tuanya akan tetap pergi walaupun dilarang. “Apakah kamu akan menjadi anak durhaka yang sudah tidak lagi mengindahkan perkataan orang tua lagi? Kalau memang benar kamu sudah tidak mau mendengarkan perkataan orang tua lagi kamu boleh pergi dan selanjutnya kami tidak akan pernah mengakui anak lagi!” Hebat sekali perkataan hartawan Song ini, hingga tanpa sengaja kedua kaki Lie Yang tidak kuat menyangga berat tubuhnya. Ia terduduk lemas. Badannya tampak menggigil takut.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 10 dari 114
Sebenarnya hartawan Song tidak tega melukai hati anaknya dengan perkataan seperti itu, namun hanya perkataan itulah yang mampu mengekang kedua kaki Lie Yang untuk tidak pergi. Ia tahu bahwa anaknya adalah tipe anak yang sangat berbakti kepada orang tua, makanya tidak heran jika Lie Yang tidak bisa berkutik mendengar perkataan ayahnya ini. “Ayah boleh bicara seperti itu, namun aku akan tetap duduk di sini terus sampai ayah meluluskan permintaanku ini. Aku tidak akan lama-lama meninggalkan ayah, hanya sekitar tiga bulan saja. Sudah lama aku ingin melihat dunia luar yang katanya indah dan meyenangkan.” Kata Lie Yang masih ngotot. “Ah, dasar anak keras kepala! Begini jadinya kalau kamu terlalu banyak membaca buku dan bergaul dengan orang-orang kang-ouw yang tahunya hanya saling bunuh membunuh itu. Masalahnya umurmu masih terlalu kecil untuk pergi jauh, lagian engkau tidak bisa apa-apa!” omel ayahnya. “Benar anakku. Dunia luar sana sangat keji dan menakutkan bagi seorang yang lemah seperti kita. Lebih baik engkau tunggu dua-tiga tahun lagi, mungkin kami akan meluluskan permintaanmu itu.” Kata ibunya juga. Mendengar kata-kata ‘lemah’, ‘tidak bisa silat’ atau ‘tidak bisa apa-apa’ yang sering didengarnya. Membuat Lie Yang tambah marah dan penasaran. Kemarahannya hanya dilampiaskan dengan menggigit bibirnya sampai berdarah. “Kalau memang begitu, aku bisa dikawal oleh paman Chi. Ayah-ibu, apakah aku pernah memohon kepada kalian sesuatu hal sampai seperti ini, hanya sekali ini saja! Kumohon luluskan permintaanku ini!” Liu Yang masih memohon. Melihat kekerasan hati anaknya ini, hartawan Song hanya bisa menggeleng-nggeleng kepala saja. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali meluluskannya, walaupun dengan hati yang sangat berat. “Baiklah! tapi kamu harus dikawal oleh Chi Lam dan Sung Huan. Dan jangan sekali-kali ikut campur urusan kang-ouw, lebih baik kamu cepat-cepat pulang setelah menikmati pegunungan Song dan mendapatkan pelajaran dari para hwesio Siauw-lim-sie!” Senang sekali hati Lie Yang mendengar permintaannya diluluskan. Lalu hartawan Song memanggil dua pengawal peribadinya, sekaligus merangkap sebagai ketua para pengawal keluarga Song. Dua orang ini mempunyai pengalaman yang cukup tentang dunia kang-ouw dan keahlian ilmu silat yang bisa diandalkan untuk menjaga anaknya. Setelah mereka datang, hartawan Song lalu memberitahu mereka untuk mengawal anaknya melancong ke gunung Song di barat dan memberi pesan kepada mereka. Selain dua pengawal Chi Lam dan Sung Huan, hartawan Song juga menambah satu pengiring untuk anaknya. Pengiring itu sudah berumur sekitar lima puluh tahun lebih, mukanya jelek sekali, namun pakaian tampak selalu bersih. Biasanya pengiring yang biasanya dipanggil paman Sam ini bekerja sebagai pembantu bersih-bersih dan pembantu pribadi Lie Yang ketika di rumah. Orang tua ini dapat membantu banyak keperluan Lie Yang dari memasak sampai memijatnya. Sudah lama sekali orang tua jelek ini bekerja sebagai pelayang di gedung Song. Mukanya yang burik tampak menyenangkan bagi Lie Yang, karena bagi pandangannya wajah seseorang tidak begitu penting, tapi hatilah yang penting. Orang tua yang sangat pendiam ini baik sekali terhadap Lie Yang, seperti keluarganya sendiri. Mendengar pamannya Sam ikut dengannya, hati Lie Yang sangat senang. Apalagi ia pergi diiringi oleh dua penjaga pribadi ayahnya yang sangat menyenangkan. Dua penjaga pribadi Chi Lam dan Sung Huan juga orangnya sangat baik. Mereka adalah keluarga Lie Yang sendiri. Sudah lama ia menganggap setiap orang yang ada di dalma rumahnya, baik itu keluarga aslinya atau hanya pembantu rumahnya saja. Chi Lam mempunyai tampang yang sangat gagah, jeggotnya yang rapi menambah ketampanannya. Sedangkan Sung Huan mempunyai tampang yang kelihatan sangat bengis, namun ramah dan baik. Mereka adalah pegawai-pegawai yang sudah tidak diragukan lagi kehebatan dan kebaikannya. Setelah mendapatkan bekal yang cukup dan pesan dari orang tuanya, akhirnya pagi-pagi sekali Lie Yang ditemani tiga pengawalnya melangkahkan kaki meninggalkan rumahnya. Orang tuanya mengantar kepergian anak tunggalnya dengan air mata yang mengalir deras, apalagi ibunya. Orang tua Lie yang yang sudah berumur tua hanya bisa mendoakan anaknya supaya dapat pulang dengan selamat dan tidak terjadi apa-apa di dalam perjalanan. Sesampainya di kelenteng tua sebelah barat kota Taiyuan, mereka sudah disambut oleh Sun Kay. Mereka hanya berhenti sebentar saja, karena mereka langsung berangkat dengan menunggang kuda. Kali ini Sun Kay hanya sendirian tidak mengajak pengawalnya, sehingga mereka pergi hanya berlima
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 11 dari 114
saja. Sun Kay pergi ke Siauw-lim-sie bertujuan untuk melapor secara lengkap tentang masalahnya beberapa hari ini dan juga lebih-lebih menyangkut Giok yang ada di tangannya. Di Siauw-lim-sie sepekan lagi akan diadakan pembicaraan tentang masalah Ang-hong-pay, banyak tokoh kang-ouw yang akan datang ke sana. Baru tadi pagi Sun Kay mendapatkan undangan untuk menghadiri pertemuan ini. Sedangkan Lie Yang hanya ingin menikmati gunung Siong-san saja. Kuda yang ditunggangi oleh lima orang itu melaju dengan cepat seperti terbang saja, karena kuda yang mereka tumpangi adalah kuda-kuda bagus. Setelah melakukan perjalanan tiga hari tiga malam, akhirnya sore hari pada hari ke empat, mereka sampai di kota Lok Yang (Luo Yang). Sebenarnya dengan berkuda mereka bisa sampai di gunung Siong-san lebih cepat lagi, namun Lie Yang mengajak teman-temannya untuk menikmati pemandangan pegunungan yang ada sepanjang luar kota Taiyuan sampai Lok Yang. Baru sampai di sini, Lie Yang sudah berhenti untuk mengajak teman-temannya menikmati pemandangan sungai Huang-ho. Pemandangan di sekitar Lo Yang sangat menakjubkan, tanahnya yang subur memancarkan aroma yang menyegarkan. Lama sekali mereka berhenti untuk menikmati pemandangan yang jarang mereka lihat, khususnya Lie Yang yang baru melihat pertama kalinya. Berkali-kali Sun Kay berbicara menerangkan tempat yang dilaluinya. Hampir bisa dikata dirinya saat ini seperti seorang pemandu para pelancong. Memang Sun Kay sejak mendapatkan undangan itu, ia tidak terburu-buru masuk ke Siong-san, namun kekhawatirannya membawa Giok yang sedang dicari Ang-hong-pay membuatnya tidak tenang. “Wah-wah, indah sekali kota ini. Sepertinya kota ini lebih maju dari pada Taiyuan sendiri. Tanahnya subur dan perempuan-perempuannya tampak cantik-cantik. Betul tidak, paman Sam?” kata Lie Yang sambil tertawa renyah. Ia mengerling ke orang tua Sam yang ada di sampingnya. Pembantunya yang bernama Sam diam saja tidak menjawab perkataan kongcu-nya itu. Sebaliknya Sun Kay yang tidak ditanya tertawa mendegar perkataan pemuda baru besar ini. Mereka berjalan pelan menuju kota Lok Yang, walaupun mereka menunggangi kuda. Lie Yang sangat senang sekali dan menikmati benar-benar perjalanannya. Matanya selalu berbinar-binar dengan senyum ramah campur ceriwis kalau melihat perempuan-perempuan cantik terlihat seperti benar- benar seorang ‘kongcu’.
Bab Sesudah: Kim-liong-pay Ji-sian (3)
Dua pengawal dan pembantunya yang sudah tua diam saja melihat kelakuan tuan mudanya itu, hanya kadang-kadang mereka siap dengan pedang di punggung kalau ada sesuatu yang terjadi dengan tuan mudanya. Setelah masuk ke dalam kota Lok Yang, mereka lalu mencari penginapan untuk beristirahat dan menukar kuda. Sebentar lagi akan malam, sehingga mereka cepat-cepat untuk mencari tempat istirahat. Setelah mendapatkan kamar, mereka beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh. Besoknya mereka berjalan-jalan menikmati keindahan kota Lok Yang. Kadang-kadang mereka masuk ke beberapa restoran terkenal yang menyediakan makanan istimewa Lok Yang. Setelah puas menikmati pemandangan kota dan berbagai makanan khas Lok Yang, Sun Kay mengajak Lie Yang dan pengawal-pengawalnya untuk menemui ketua Kay Pang yang berada di kota ini. Ternyata markas Kay Pang yang ada di sini masih mengikut markas Kay Pang di kota raja. Mereka tidak mendapatkan tekanan dari Ang-hong-pay, mungkin karena Kay Pang yang ada di kota ini tidak begitu banyak dan berarti. Namun kedatangan Sun Kay kali ini terlambat untuk menemui ketua Kay Pang cabang Lok Yang, karena ketuanya itu sudah menuju ke Siong-san hari kemarin. Selama melakukan perjalanan lima hari ini, mereka tidak menemukan halangan suatu apapun. Tidak menemui perampok di perjalanan, atau anak buah Ang-hong-pay sama sekali. Bisa dikatakan perjalanan pertama bagi Lie Yang kali ini tidak menemui sama sekali rintangan seperti apa yang dikhawatirkan oleh orang tuannya dan apa yang didengar dari orang banyak bahwa di dalam hutan banyak perampok dan orang jahat. Namun bagi Sun Kay, keadaan seperti ini semakin mencekam, sebab ia tidak tahu dititik mana akan terjadi mala petaka. Mereka baru sampai setengah perjalanan, sehingga kemungkinan untuk diganggu pihak jahat masih ada setengah kemungkinan lagi. Selama perjalanan ini, mereka juga tidak mendengar lagi pergerakan baru Ang-hong-pay dan ini malah membuatnya semakin ngeri dan takut. Melihat sepak terjang mereka belasan tahun yang lalu, ketika mereka kalah oleh para pendekar dan menghilang lama sekali, lalu bergerak kembali dengan gerakan lebih kejam dan menakutkan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 12 dari 114
Hari ini mereka melihat banyak sekali orang-orang kang-ouw yang datang di Lok Yang, ini terlihat dari beberapa pendatang yang memakai beju ringkas dan berpedang. Mungkin mereka juga mendapatkan undangan dari Siauw-lim-sie seperti dirinya. Setelah bermalam sekali lagi, besok mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke atas gunung Siong-san. “Ah, cantik sekali nona berbaju merah itu! Entah apakah aku bisa berkenalan apa tidak dengannya?” kata Lie Yang tahjub dengan kecantikan seorang pendatang baru di penginapan tempat ia beristirahat. Kontan Sun Kay dan pengawal-pengawalnya melirik ke arah nona berbaju merah yang baru masuk penginapan. Mereka juga tahjub dengan kecantikan gadis yang umurnya bisa dikatakan kemungkinan tidak jauh dari Lie Yang. Mereka tidak mengira bahwa Lie Yang mempunyai mata yang begitu tajam sehingga bisa melihat keindahan lebih dahulu dari mereka. Gadis dan seorang laki-laki setengah umur itu sedang menghadap kasir penginapan, sepertinya mereka sedang mendaftar penginapan. Rombongan Lie Yang yang baru masuk melewati belakang dua pendatang baru itu. Dari jarak dekat, Lie Yang benar-benar mabuk oleh kecantikan gadis manis itu, sampai-sampai kedua kakinya tidak bisa digerakkan seperti ada kekuatan gaib yang menghentikannya. Terlalu dekat jarak antara Lie Yang dengan gadis baju merah itu sampai-sampai keharuman minyak dari si gadis tercium memabukkannya. Tiba-tiba ada tangan menyeretnya sehingga ia terpaksa berjalan meninggalkan gadis dan laki-laki setengah umur dengan caping lebar di kepalanya. Orang yang menariknya adalah Sun Kay. “Kongcu sebaiknya jangan membuat ulah di sini, dua orang itu tampaknya orang-orang kang-ouw yang tidak bisa direcoki!” bisik Sun Kay lalu Lie Yang menganggukkan kepala tanpa bicara. Mereka masuk ke kamar masing-masing, hanya Sam si tua saja yang tidur satu kamar dengan Lie Yang. Malam semakin larut dan sepi. Semua aktifitas di dalam penginapan ini sudah selesai. Semua orang masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat. Hampir semua kamar sudah tidak bercahaya lagi, hanya ada beberapa kamar saja yang masih terlihat sinar lilin remang-remang memancar keluar. Salah satunya adalah kamar yang berada paling ujung di sebelah dertan kanan. Kamar yang jaraknya hanya terpaut empat kamar dengan kamar Lie Yang tampak bercahaya. Sepertinya orang yang ada di dalam itu belum tidur. Di dalam kamar di bawah sinar lilin yang tampak remang-remang terlihat dua orang laki-laki setengah umur dan seorang gadis memakai baju berwarna merah. Gadis itu mempunyai wajah bulat telur, hidungnya mancung dengan dua mata yang memancarkan sinar seindah bintang kejora. Kulitnya yang kuning dan alisnya yang meliuk indah membuat orang yang memandangnya akan menelan ludah beberapa kali. Apalagi bibirnya yang mungil dan basah menantang akan membuat darah para lelaki menjadi mendidih. Laki-laki dan gadis yang baru berumur enam belas tahun yang tadi dilihat Lie Yang tampak sedang bercakap-cakap. “Ayah, benarkah kabar angin bahwa Kim-liong Giok-ceng akan muncul di Siauw-lim-sie?” tanya gadis berbaju merah itu. “Pasti benar! Kabar yang dibawa oleh mata-mata yang kusebarkan tidak mungkin meleset. She (Marga) Sun dari Kay Pang tidak mungkin berani menyembunyikan Giok itu setelah mengetahui tujuan penyerbuan Ang-hong-pay beberapa waktu yang lalu. Bisa dikatakan pasti ia akan mebawa Giok itu ke Siauw-lim-sie untuk diberikan kepada ketua Kay Pang pusat. Ah, alangkah senangnya seandainya aku bisa melihat lagi Giok-ceng yang sudah belasan tahun tidak terlihat itu!” kata si ayah kepada anaknya. “Menurut ayah, apakah kemunculan Ang-hong-pay baru-baru ini ada hubungan khusus dengan Giok- ceng ini?” tanya lagi si gadis berbaju merah kepada ayahnya. “Kemungkinan besar ada! Giok-ceng adalah lambang dari partai besar Kim-liong-pay sejak ratusan tahun dan lambang dari kepemimpinan dunia persilatan sejak ratusan tahun juga. Kemungkinan besar munculnya Ang-hong-pay untuk merebut Giok-ceng adalah untuk menarik semua orang-orang kang- ouw untuk mengakui kepemimpinannya.” Kata ayah gadis itu pelan. “Tidak hanya itu, kemungkinan besar Ang-hong-pay mempunyai hubungan juga dengan Kim-liong- pay, karena pemimpin mereka bisa memainkan jurus khas dari perguruan Kim-liong di Perkampungan Naga Emas!” tiba-tiba terdengar suara orang menimpali perkataan laki-laki yang ada di dalam. Mendengar jawaban ini, anak dan ayah yang ada di dalam kamar tidak menjadi kaget atau gugup. “Saudara yang ada di luar harap masuk! Tidak baik menguping pembicaraan orang lain.” Kata si ayah itu menjawab omongan orang di luar.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 13 dari 114
Si gadis beranjak dari tempat duduknya berjalan menuju jendela dan membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Baru saja di buka, sesosok bayangan sudah lewat dari jendela itu dan seorang laki-laki memakai topeng emas berbentuk naga sudah berdiri di tengah-tengah kamar. “Kau...kau siapa?” tanya si ayah kepada pendatang baru dengan agak terkejut ketika melihat topeng emas itu. “Hujan adalah anugerah terbesar dari Tuhan dan membawa petaka bagi orang yang tidak bersyukur dan menentang kehendak Tuhan!” orang itu berkata seperti membaca puisi. “Angin berhembus bagaikan tidak terasa, padahal ia adalah nyawa. Angin membawa petaka bagi orang yang tidak sayang kepada sesama!” si ayah juga berkata seperti sedang membaca puisi. “Hahaha... ternyata sicu Hong Hou-hoat (Saudara Gagah Pelindung Hong/Angin) masih ingat dengan sajak ini? Padahal sudah belasan tahun tidak bertugas lagi!” kata laki-laki bertopeng emas sambil tertawa senang. Bab Sesudah: Kim-liong-pay Ji-sian (4) “Apakah munculnya sicu Uh Hou-hoat (Saudara gagah Pelindung Uh/Hujan) sebab Giok-ceng? Dan bagaimana kehidupan sicu akhir-akhir ini, baik-baik sajakah?” sambut Hong Hou-hoat. Sebelum menjawab, Hong Hou-hoat mempersilahkan duduk kepada temannya dengan isyarat tangan. Puteri dari Hong Hou-hoat sejak tadi terheran-heran dan tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan itu. Tapi ia diam saja. “Kehidupanku saat ini masih diliputi mimpi, entah kapan aku akan bangun dari mimpi ini? Kedatanganku di sini memang berhubungan dengan Giok-ceng yang katanya akan muncul di Siauw- lim-sie. Entah kapan kita orang-orang tua ini akan hidup tentram setelah Kim-liong-pay hancur? Apakah sicu pernah ditemui oleh Jit Fu-hoat (Penasehat Jit/Matahari) ?” tanya Uh Hou-hoat. “Benar sekali! Bukannya Jit Fu-hoat sudah tewas setelah terjadi petaka di Perkampungan Naga Emas belasan tahun lalu? Ada apakah sicu menanyakan hal ini?.” “Jit Fu-hoat masih hidup, bahkan sempat menemuiku dan memberi perintah rahasia. Ah, mungkin waktu itu dia tidak sempat lagi menemui Hong Hou-hoat untuk menyampaikan perintah itu!” “Perintah apakah yang diturunkan oleh Jit Fu-hoat kepada kita?” tanya Hong Hou-hoat. Uh Hou-hoat melirik sebentar ke arah puteri Hong Hou-hoat sebelum menjawab pertanyaan Hong Hou-hoat. Sepertinya perintah yang akan disampaikan sangat rahasia sehingga bagi orang luar tidak boleh mendengarkannya. “Uh Hou-hoat jangan khuwatir, dia puteri tunggalku. Pasti bisa menjaga rahasia kita, lagian ia bisa dikatakan sebagai anak murid Kim-liong-pay, walaupun tidak resmi.” Kata Hong Hou-hoat yang paham terhadap maksud lirikan rekannya. “Bukan itu maksudku. Aku hanya merasa heran, gadis sekecil dan semanis ini sudah mempunyai nama besar di dunia kang-ouw! Nama Ang-i-sianli (Dewi bebaju Merah) tidak berlebihan setelah melihat orangnya yang sedemikian cantik dan manisnya.” jawab Uh Hou-hoat sambil manggut- manggut. “Ah, ternyata mata Uh Hou-hoat sangat tajam. Aneh, kalau Uh Hou-hoat sudah tahu tentang puteriku, berarti tahu juga tentang keadaanku?” tanya Hong Hou-hoat heran. Memang partai yang paling rahasia dan aneh adalah Kim-liong-pay, partai ini mempunyai dua pelindung yang bekerja di luar. Dua pelindung ini memiliki kepandaian yang sudah sangat hebat dan bekerja sebagai pelindung dan utusan perdamaian dari Kim-liong-pay yang ada di lereng Thai-san. Walaupun dua pelindung ini selalu bekerja sama atau kadang-kadang memilki pekerjaan yang berbeda, namun dua pelindung ini tidak pernah saling mengenal antara satu dengan lainnya. Mereka hanya mengenal tanda pengenal masing-masing sebagai pelindung Angin dan Hujan dari Kim-liong- pay. Tanda pengenal ini pun hanya diketahui oleh ketua Kim-liong-pay. Selain ketua Kim-liong-pay, lainnya tidak mengetahui. Makanya tidak heran ketika terjadi mala petaka terhadap Kim-liong-pay, mereka tidak bisa bersatu untuk membantu atau menuntut balas terhadap mereka yang telah melakukan pembantaian di Perkampungan Naga Emas. Makanya Hong Hou-hoat sampai heran mendengar pengakuan Uh Hou-hoat yang tahu tentang keadaan puterinya dan kalau sudah tahu tentang puterinya, kemungkinan ia tahu siapa ayahnya. Lebih aneh lagi sebenarnya bagaimana Jit Fu-hoat bisa mengetahui jati diri dari Uh Hou-hoat, bahkan http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 14 dari 114 dapat memerintahkannya. Padahal yang bisa memerintah Dua Pelindung dari Kim-liong-pay hanya ketuannya saja, itupun harus membawa Giok-ceng sebagai lambang ketua dan perintah terhadap bawahannya. Mereka memang sering bertugas sebagai utusan perdamaian dari Kim-liong-pay terhadap permasalahan-permasalahan dunia kang-ouw. Belasan tahun yang lalu nama mereka sebagai Kim-liong-pay Ji-sian (Dua Dewa dari Partai Naga Emas) sangat dihormati dan disegani oleh orang-orang kang-ouw. Ilmu dua orang inipun hanya selisih sedikit saja dengan ketuanya, makanya tidak heran jika mereka bisa malang melintang hebat di dunia kang-ouw. “Siapa yang dapat menyangka kalau Yang Lu pangcu dari Pek-eng-pay (Partai Elang Putih) dengan julukan Ban-li-hui-eng (Si Elang Terbang Berlaksa Li) adalah Hong Hou-hoat dari Kim-liong-pay yang telah hancur. Sedangkan puterinya Yang Kwat Lin dengan julukan Ang-i-sianli (Dewi Berbaju Merah) adalah seorang puteri dari ketua partai besar Pek-eng-pay! Sebenarnya akupun tidak akan tahu kalau tidak diberi tahu oleh Jit Fu-hoat dan selanjutnya selalu memperhatikan sepak terjang kalian.” Kata Uh Hou-hoat mengusir penasaran di hati Yang-pangcu. “Aku ingin tahu sesuatu, bagaimanakah Jit Fu-hoat tahu identitasku dan bisa memerintah Uh Hou- hoat dan diriku?” tanya Yang-pangcu yang agaknya bertambah bingung. “Kenapa harus heran kalau ia membawa Giok-ceng dan memerintah dengan menggunakan Giok itu?” “Bagaimana ia bisa membawa dan mendapatkan Giok-ceng? Dan sekarang Giok-ceng muncul tanpa pemegangnya!” “Wah, sepertinya aku harus menceritakan semuanya dari awal kepada Hong Hou-hoat! Secara singkat saja, setelah terjadi pembantaian di Perkampungan Naga Emas belasan tahun yang lalu, yang dapat meloloskan diri dari perkampungan itu hanya Jit Fu-hoat seorang. Dia diselamatkan oleh Giok Kong kakek dari mendiang pangcu Giok Bu yang keluar dari pertapaannya setelah melihat pembantaian-pembantaian itu. Setelah menyelamatkannya, kakek Giok Kong memberikan Giok-ceng kepadanya untuk menemuiku dengan membawa perintah rahasia darinya. Setelah selesai memberi perintah, Jit Fu-hoat pergi dan tidak pernah menampakkan diri lagi hingga saat ini. Baru beberapa minggu yang lalu aku mendengar tentang munculnya Giok-ceng yang dijadikan perebutan oleh orang- orang kang-ouw. Sebelumnya memang diriku mendapatkan surat darinya untuk mencari Hong Hou- hoat dan menjelaskan semuanya. Ia juga memerintahkan kepada kita supaya tidak ikut merebutkan Giok-ceng yang saat ini berada pada Sun kay. Apakah sedikit penjelasanku ini dapat membuat Hong Hou-hoat mengerti?” tanya Uh Hou-hoat setelah selesai bercerita. “Cukup jelas cerita Uh Hou-hoat, namun masih ada beberapa persoalan yang masih kurang jelas. Seperti kenapa Jit Fu-hoat melarang kita ikut merebutkan Giok-ceng yang sekarang berada di tangan Sun Kay? Dan apakah setelah memberi perintah itu Jit Fu-hoat tidak pernah menjelaskan apapun lagi?” “Sejak memberi perintah itu, Jit Fu-hoat disamping tidak pernah menampakkan diri lagi, juga tidak menjelaskan secara mendetail tentang siapa pelaku pembantaian atau apa yang akan ia lakukan. Namun ada kemungkinan ia sedang melaksanakan perintah kakek Giok Kong yang lainnya. Kita hanya bisa menunggu, pasti suatu saat ia akan datang menemui kita! Masalah ia memberi perintah supaya kita tidak ikut melibatkan diri dalam perebutan Gik-ceng itupun belum jelas, namun menurut perkiraanku di balik perintah ini pasti ada sesuatu maksud. Walaupun kita tidak diperbolehkan melibatkan dalam perebutan, namun kita diperintahkan juga untuk selalu memperhatikan siapa sajakah yang ikut terlibat dalam perebutan Giok-ceng. Lebih-lebih Ang-hong-pay yang pertama kali mendengar tentang adanya Giok-ceng.” “Sungguh memusingkan perintah kali ini! Apakah ada perintah lainnya untukku?” “Jit Fu-hoat hanya memberi perintah kepada Hong Hou-hoat supaya tidak ikut merebut Giok-ceng dan lebih memperhatikan Ang-hong-pay, karena Hong Houh-hoat mempunyai banyak anggota. Sedangkan aku mempunyai pekerjaan lainnya. Suatu saat kalau ada apa-apa aku akan datang ke Ho- nan.” “Oh ya, ada lagi yang ingin kukatakan sebelum pergi. Ini adalah permintaan dariku sendiri, bukan perintah dari Ji Fu-hoat. Kalau boleh, saat ini aku ingin melamar puteri Hong Hou-hoat untuk putera mendiang Giok Bu pangcu!” “Apa putera mendiang Giok-pangcu selamat juga dalam peritiwa pembantaian itu?” tanya Yang pangcu kaget sekaligus senang mendengar kabar ini.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 15 dari 114
“Putera mendiang Giok-pangcu berhasil diselamatkan kakek buyutnya waktu terjadi peritiwa itu dan tugasku adalah menjaga dan melindunginya. Sudah waktunya ia mendapatkan jodoh yang pas dan aku bisa melihat bahwa nona Yang Kwat Lin adalah perempuan yang cocok dengan Giok-kongcu!” “Hahaha... aku sendiri akan senang sekali kalau dapat mempunya mantu dari keturunan para naga dari Thai-san. Namun biarlah waktu yang akan menjawab apakah mereka berdua berjodoh apa tidak. Masalah seperti ini sangat sulit untuk menentukannya, karena selain masalah ini bersangkut paut dengan dua orang dan Lin-ji masih terlalu muda, juga berhubungan dengan CINTA! Apa artinya perjodohan atau ikatan suami istri tanpa jalinan kasih sayang dan cinta antara keduanya. Lagian aku belum pernah melihat bagaimana tampang Giok-kongcu, apakah segagah dan seganteng mendiang ayahnya!” Mereka lalu tertawa terbahak-bahak. Bukan karena saking senangnya membicarakan masalah, tapi karena mereka melihat wajah Yang Kwat Lin tiba-tiba saja menjadi merah karena malu dan jengah. Ia bahkan menundukkan muka ketika ayahnya melihatnya. Sungguh sial bagi anak ini yang tanpa sengaja mendengarkan urusan perjodohannya pas dihadapannya. Biasanya Kwat Lin banyak omongnya dan termasuk gadis yang cerdik banyak akalnya, namun kali ini ia benar-benar tidak bisa ngomong dihadapan ayah dan Uh Hou-hoat. Sepertinya manusia bertopeng yang ada dihadapannya menimbulkan kewibawaan yang sangat besar, hingga ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sejak tadi ia hanya diam ikut mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan orang yang memakai topeng emas ini. Berkali-kali ia merasa terkejut mendengar bahwa ayahnya adalah salah satu Pelindung Kim-liong-pay yang belasan tahun lalu sangat tersohor namanya. Padahal sejak kecil sampai besar, ia hanya tahu bahwa ayahnya adalah pemimpin Pek-eng-pay dan sebagai anak murid dari Kim-liong-pay saja. Tidak ada sama sekali di dalam otaknya membayangkan ayahnya adalah seorang Pelindung. Bab Sesudah: Kim-liong-pay Ji-sian (5) “Paman Uh Hou-hoat tidak adil!” katanya tiba-tiba dengan memonyongkan bibirnya. “Apa yang tidak adil, Lin-ji?” tanya ayahnya heran melihat kelakuan anaknya ini. “Habis ia tahu tentang keadaan ayah dan diriku, sedangkan kita tidak tahu sama sekali tentang dirinya, bahkan wajahnya saja ditutup topeng emas. Apakah ini bisa dinamakan adil? Terus ditambah bicara seenaknya tentang masalah yang berhubungan denganku, tanpa meminta persetujuanku dulu!” perkataan ini disambut gela tawa oleh kedua orang tua. “Baiklah! Biar aku tidak dikatakan sebagai manusia yang tidak adil dan tahu diri, aku akan meminta persetujuanmu. Apakah kamu mau menikah dengan Giok-kongcu?” kata Uh Hou-hoat disela tertawanya. “Mana yang bisa menerima lamaran seperti ini? Aku sendiri tidak tahu bagaimana orangnya, apakah ia seorang pemuda yang tampan, baik hati, kaya, pandai silat apa tidak, aku kan tidak tahu. Bagaimana aku bisa berdampingan dengan seorang yang belum pernah kukenal keperibadiannya, bahkan melihat pun belum.” Kata Kwat Lin yang mulai berkicau seperti burung tidak henti-henti. “Ah, bagaimana ada seorang gadis sekecil ini bisa berbicara seperti nenek-nenek yang sudah kenyang garam kehidupan! Cocok sekali watakmu ini dengan Giok-kongcu! Aku yakin nanti kamu akan suka jika melihat kongcu!” “Dimanakah sekarang Giok-kongcu berada Uh Hou-hoat?” tanya Yang pangcu sebelum puterinya berbicara lagi. “Mungkin nanti di Siauw-lim-sie kalian akan bisa melihatnya!” “Bagaimana kami bisa mengenalnya, kalau wajahnya saja belum pernah kami lihat?” kali ini Kwat Lin menimbrung lagi dengan pertanyaan. “Ah, betul juga katamu nona manis! Terpaksa aku akan membuka topengku supaya kalian tidak mengatakan bahwa aku bukan orang yang adil dan dapat mengetahui di mana Giok-kongcu berada. Namun ada satu syarat yang harus kalian taati untuk dapat melihat wajah asliku dan Giok-kongcu, apakah kalian mau menerima syaratku?” “Lihat dulu apa syaratnya, kalau syaratnya menguntungkan kami mau, namun kalau syarat itu merugikan, kami akan menolaknya!” jawab Kwat Lin sambil senyum-senyum. Uh Hou-hoat menjadi kagum atas kecerdasan dan kecerdikan Kwat Lin, nyatanya tidak saja parasnya yang cantik molek menggetarkan hati, namun kegagahan, kecerdikan, dan mulutnya yang nakal membuatnya terkagum-
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 16 dari 114
kagum. Senang sekali andai ia bisa mempersatukan Kwat Lin dengan Giok-kongcu yang bisa dikatakan mempunyai sifat yang sama. “Syaratnya adalah kalau kalian bertemu denganku dan Giok-kongcu tidak boleh memperlihatkan bahwa kalian kenal dengan kami, kecuali Giok-kongcu memperkenalkan diri sendiri atau mau berkenalan dengan kalian. Ketika di Siauw-lim-sie nanti, kami akan memakai nama samaran, kalian harus memanggil kami sesuai nama samaran itu!” Setelah menjelaskan syaratnya dan disetujui oleh Kwat Lin dan Yang-pangcu, lalu Uh Hou-hoat membuka pelan-pelan topeng emasnya. Setelah dibuka, lalu ditutup kembali. “Apakah benar itu wajah paman yang sebenarnya?” tanya Kwat Lin ingin tahu. “Benar! Kalau kalian melihatku di Siauw-lim-sie, kalian harus pura-pura tidak kenal, kecuali kalian bisa berkenalan dengan Giok-kongcu sendiri. Kali ini aku sendiri yang mengiring perjalanannya ke Siauw- lim-sie. Sepertinya pertemuan kita kali ini cukup di sini saja, semoga kita bisa bertemu lagi di gunung Siong-san nanti!” Setelah berbicara ia lalu berdiri dan meloncat keluar kamar lewat jendela. Uh Hou-hoat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk berbicara lagi. “Ayah, apakah mendiang Giok-pangcu mempunyai wajah yang tampan?” tiba-tiba saja Kwat Lin bertanya mengagetkan ayahnya. “Mendiang Giok-pangcu memang sangat tampan dan gagah, konon katanya nenek moyangnya berasal dari Persia. Badannya yang besar tegap dan gagah perkasa bisa dikatakan mendapatkan turunan dari Persia, sedangkan kulitnya yang putih halus mendapatkan darah dari China. Pokoknya dari tubuhnya terlihat benar kewibawaannya. Kalau memang benar Giok-kongcu yang dimaksud Uh Hou-hoat adalah putera kandungnya, kemungkinan besar tidak akan jauh dari mendiang ayahnya. Bukankah buah jatuh tidak akan jauh-jauh dari pohonnya?” jawab Yang-pangcu sepertinya bisa meraba isi hati anaknya. “Hm, masak seperti itu. Bukankah aku anak ayah, kenapa begitu beda? Ayah begitu jelek bisa mempunyai puteri yang begitu cantik sepertiku.” Kata Kwat Lin mencoba menggoda ayahnya. “Wah, dasar anak nakal! Anak macam apa ini berani mengejek dan menghina ayah sendiri. Ini malah membuatku senang, coba kalau kamu mirip ayah, entah bagaimana jadinya dengan wajahmu itu. Untung saja engkau lebih banyak mewarisi sifat mendiang ibumu!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba wajah Yang-pangcu menjadi buram. “Ayah, maafkan aku yang telah mengingatkan kepada mendiang ibu. Bukan ayah saja yang rindu kepadanya, namun aku juga lebih rindu lagi!”. Setelah berkata Kwat Lin memeluk ayahnya dan menangis di dada ayahnya mengingat ibunya yang baru meninggal setahun yang lalu karena sakit. Suasana kamar itu dalam sekejab telah terasa sempit akibat hati yang terlalu sedih. Kamar itupun menjadi sepi dan sejam kemudian lilin padam. Kamar semakin sepi, termasuk suasana penginapan yang ikut sepi. Semua kamar terlihat gelap tanpa penerang, menandakan orangnya sudah tertidur nyenyak. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Perebutan Giok-ceng (1) IV- Chapter Empat; Perebutan Giok-ceng Pagi yang cerah menambah suasan baru bagi kehidupan. Semuanya terbangun untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Semuanya tampak mulai kerja. Tukang kuda bekerja menyisir rambut kuda peliharaannya. Tukang kuli bekerja mengangkuti barang-barang. Pelajar mulai bekerja menggunakan segenap pikirannya untuk belajar. Bagi nelayan, menjaring ikan atau memancingnya adalah sebuah pekerjaan. Bagi petani, pagi-pagi ke sawah, walaupun hanya sekedar melihat pekerjaannya kemarin hari adalah bekerja. Bagi sastrawan, menulis membuat puisi atau melamun pun adalah pekerjaan baginya. Burung berterbangan mencari makan untuk anak-anaknya adalah bekerja. Begitu indah kehidupan itu dilihat seandainya kita mau membuka sedikit mata dan mendengarkan menggunakan kedua telinga. Kita bisa melihat kehidupan yang mulai bergerak. Apakah bergeraknya mereka adalah hanya sekedar KEBETULAN?, tentunya tidak. Kalau kita mau menarik benang merah atau sedikit membuat contoh dari seorang tukang wayang, maka kita akan menemukan jawabannya. Semuanya gerakan dalam kehidupan manusia tidaklah KEBETULAN, di puncaknya ada namanya sang PENGGERAK atau PENGEMUDI. Seorang petani datang ke sawah untuk mencangkul, pada dasarnya hanya digerakkan oleh sesuatu yang tidak nampak.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 17 dari 114
Pertama-tama sang petani digerakkan oleh hatinya yang sedang dipenuhi oleh ratusan keinginan dan pemikiran. Keinginan dan pemikiran yang ada di benak sang petani itu siapa sebenarnya yang memberikan, apakah ia datang begitu saja? Tentunya tidak juga. Keinginan manusia yang banyak adalah SEBUAH PILIHAN! Ya ! SEBUAH PILIHAN yang diberikan oleh Tuhan. Siapa yang mampu memilihnya dengan baik, sesuai dengan kapasitas dirinya, kebaikan dirinya dan sesuai PILIHAN yang DISENANGI Tuhan, maka sudah bisa mencapai titik PENERANG. Kehidupannya sudah mendapatkan setitik KEBAIKAN, walaupun kebaikan itu sebenarnya tidak HAKIKI, atau kadang-kadang malah membuatnya sengsara, padahal kesengsaraan ini sama dengan KEBAIKAN tadi, yaitu bukan HAKIKI. Artinya ketika kita memilih salah satu dari KEINGINAN kita yang begitu banyak dan mendapatkan hasil berupa ENAK dan PAHIT, maka dua sifat itu bukan asal dari HASIL buah keinginan kita, tapi KEKOSONGAN belaka, karena BUAH asal dari keinginan kita akan terbayar nanti di lain kehidupan, yaitu di kehidupan ABADI bukan kehidupan SEMU dan PERMAINAN saat ini. Sun Kay dan rombongannya sudah keluar dari penginapan setelah sarapan pagi. Mereka akan bernagkat pagi ini menju gunung Siong-san. Mereka naik kuda untuk mempercepat perjalanan menuju sana. Selain mereka, ada beberapa rombongan lain yang sudah mulai berjalan menuju puncak. Jarak antara Lok Yang dengan pegunungan Siong-san bisa ditempuh sekitar setengah hari dengan naik kuda yang berjalan santai seperti yang sedang dilakukan oleh rombongan Sun Kay. Memang pelan- pelan adalah kehendak Lie Yang sambil menikmati pemandangan hutan dan pegunungan. Sie Yang naik kuda dengan pelan jalannya, sambil membaca puisi yang pernah dihapalnya, kadang-kadang bacaannya disela-selai siulan merdu. Puncak kesadaran adalah mengerti tentang Tuhan Puncak kebodohan adalah mencaci Tuhan Tahu boleh dikatakan Namun tidak tahu jangan mengatakan tahu Itulah kesesatan! Nikmat hidup memang berdampingan Lebih nikmat lagi tidak ada pembunuhan Caci maki hilang menjadi kasih sayang dan puja-puji Tuhan Sayang disayang manusia masih memiliki keegoan Kesadaran tiba hidup disamping Tuhan Alangkah enaknya mencicipi kenikmatan mistik Tuhan Ia bersiul-siul sambil membaca puisi, sedangkan Sun Kay yang sedang mendengarkan puisi itu menjadi kebingungan. Berkali-kali ia mencoba memahami maksud kandungan puisi yang dinyanyikan oleh Lie Yang. “Apakah kamu tahu maksud puisi yang kau baca itu, kongcu?”, tanya Sun Kay tidak tahan lagi ingin tahu maksud puisi itu. Lie Yang menghentikan kudanya. Ia menatap wajah Sun Kay yang sedang berkerut sepertinya menanggung kepusingan. Lalu ia menjalankan kudanya lagi. “Puncak dari kesadaran hidup adalah mengerti hakikat Tuhan, siapa yang sudah mengerti maka dibayangannya hanya ada TUHAN. Ketika ia memandang ke pepohonan, maka di sana ia tampak dzat pembuat pepohonan itu. Ketika ia melihat sesamanya, maka di wajah sesamanya akan tampak dzat pencipta sesamanya termasuk dirinya. Lebih mudah lagi, ketika ia melihat apapun, maka yang terlihat adalah hakikat sang pencipta. Makanya ia tidak berani mencaci maki, menganiaya, merusak, bahkan membunuh apa yang diciptakan oleh Tuhan. Kalau ia mencaci maki, menganiaya, merusak, atau membunuh ciptaan Tuhannya, maka tandanya ia secara langsung menghina dan tidak menghormati ciptaan Tuhannya. Orang yang sudah tidak menghormati Tuhannya adalah sebodoh- bodohnya orang dan termasuk orang yang patut dihukum Tuhannya!” kata Lie Yang menjelaskan arti puisi yang dibacanya. “Ah, membingungkan sekali filsafatmu itu, kongcu!” kata Sun Kay tambah bingung. Lie Yang tertawa renyah mendengar pengakuan polos Sun Kay ini. Bab Sesudah: Perebutan Giok-ceng (2) “Suatu saat paman akan mengerti apa yang kukatakan tadi. Yang terpenting adalah siapa yang melakukan pengerusakan, pembantaian atau lain-lainnya adalah salah satu bentuk penghinaan terhadap penciptanya, karena manusia tidak bisa menciptkan makhluk lainnya.”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 18 dari 114
Mereka sudah memasuki sebuah hutan yang lebat sekitar tiga puluh kilo meter dari pegunungan Siong-san. Lie Yang masih tetap seperti tadi membaca puisi sambil bersiul-siul merdu. Namun kali ini tema yang dibaca bukan lagi tentang filsafat tinggi lagi, namun tentang percintaan. Cinta itu datang menikam sanubari Tertancap nikmat bagai manisnya madu di bibir bidadari Dua mata adalah pangkal penyebabnya Lalu merambat pelan-pelan ke dalam dada Musim berganti, namun wajah tak kan lupa Manisnya sang dewi menundukkan hati Si baju merah nan cantik mata berseri Apakah wajahmu bisa kutemui lagi? Baru sedetik berpisah Namun serasa sudah lama tidak berjumpa Tiba-tiba paman Sam tertawa terbahak-bahak mengagetkan Lie Yang dan lain-lainnya. Tadi telinganya begitu geli mendengar puisi Lie Yang yang morat-marit, namun merujuk pada satu topik indah. Tanpa terasa ia tertawa lebar hingga yang lainnya berhenti dan memandangnya dengan wajah penasaran. Melihat teman-temannya berhenti dan sorot matanya mengandung teguran dan tanda tanya besar, segera paman Sam diam. “Apa yang kamu tertawakan paman Sam? Apakah ada yang lucu dengan puisiku?” tanya Lie Yang dengan senyum. Bocah ini saja yang tidak tampak marah. Memang sejak kecil Lie Yang jarang sekali memperlihatkan marahnya. Ia lebih sering tersenyum, walaupun hatinya sedang jengkel atau marah. “Tidak ada yang lucu dengan puisi kongcu, namun terasa geli aku yang sudah tua mendengarnya. Aku jadi ingat dahulu pernah jatuh cinta dengan anak tetangga, namun tidak diterima karena wajahku seburuk ini. Ketika kudengar puisi kongcu, entah mengapa aku teringat kisah cintaku di masa lalu itu. Membuatku tiba-tiba ingin tertawa karena begitu lucunya peristiwa puluhan tahun yang lalu!” mau tidak mau semua orang melengak mendengar penuturan paman Sam ini. Lalu tiba-tiba Sun kay tertawa terbahak-bahak mendengar cerita percintaan sebelah tangan ini. Sungguh kasihan kehidupan paman Sam dahulu. Lie Yang tersenyum senang dan tahjub kepada orang tua ini yang ternyata punya jiwa romantis juga walaupun tampak buruk rupanya. “Apakah paman bisa tahu siapa yang kumaksud dengan si baju merah di dalam puisiku ini?”, tanya Lie Yang kepada pamannya Sam. “Apakah nona baju merah di penginapan kemarin yang kongcu maksud?” jawab paman Sam sambil memicingkan mata sebelah kiri. “Ternyata paman dapat menebak isi hatiku. Entah apakah aku bisa melihat wajah itu lagi apa tidak?” katanya senang. “Apakah kongcu ingin aku menyampaikan rasa sayang dan cinta kongcu kepadanya seandainya kita bisa menemuinya di Siauw-lim-sie?” tanya paman Sam. “Seorang laki-laki sejati harus berani mengutarakan isi hatinya sendiri, bukan bersembunyi di belakang bayangan orang lain!” jawab Lie Yang sambil membusungkan badannya meniru seorang jagoan tanpa tanding. “Omongan bagus!” tiba-tiba terdengar suara seseorang menimbrung. Semua mata beralih ke arah asal suara. Di samping kiri Lie Yang ada seorang laki-laki kerdil gemuk. Laki-laki dengan memakai baju terbuat dari kulit seekor serigala itu duduk di bawah pohon sambil bersendekap tenang. Rambutnya sudah hampir beruban semuanya, namun tubuhnya yang kecil pendek terlihat seperti masih bocah. “Apakah locianpwe (Orang Tua Gagah) di sana adalah Thian-long-cu (Si Serigala Langit)?” tanya Sun Kay agak tergetar melihat kedatangan Thian-long-cu. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberi hormat dan memberikan Giok-ceng yang kamu bawa!” jawab Thian-long-cu acuh tak acuh. “Dari... dari mana locianpwe tahu kalau boanpwe (Aku Yang Rendah) saat ini membawa Giok-ceng?” tanya Sun Kay lagi kaget.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 19 dari 114
“Apakah kamu belum tahu keahlianku mengendus barang-barang istimewa?” jengek Thian-long-cu sambil berdiri. “Hahaha.... Apakah locianpwe ini benar jelmaan siluman serigala sehingga mempunyai kemampuan mengendus yang begitu hebat?” tiba-tiba Lie Yang tidak sabar lagi untuk berkata sambil tertawa. Pucat wajah Sun Kay mendengar omongan bocah ini. Lie Yang terlalu berani berbicara seperti itu di depan Thian-long-cu yang bisa dikatakan memang siluman serigala dari utara. Hakikatnya apa yang dikatakan oleh Lie Yang adalah biasa saja baginya, ia tidak merasa ada sesuatu yang menakutkan terhadap Thian-long-cu, karena memang ia tidak tahu siapa sebenarnya Thian-long-cu yang sepak terjangnya sangat ditakuti oleh setiap orang kang-ouw. Di utara sana ia menjadi raja dirajanya kaum sesat, namun orang tua kerdil ini jarang keluar dari batasan wilayahnya. Namun sekarang Sun Kay tidak mengerti kenapa orang ini sampai bisa kesasar ke tempat ini, apakah hanya secara kebetulan saja, atau memang tujuan utamanya ingin merebut Giok-ceng dari tangannya?. Bab Sesudah: Perebutan Giok-ceng (3) “Siapakah namamu pemuda?” tanya Thian-long-cu kepada Lie Yang sambil berjalan tenang menghampirinya. “Namaku Lie Yang she Song. Apakah keperluan locianpwe ke sini hanya ingin merampas Giok-ceng milik orang lain? Ataukah karena ingin mendatangi undangan Siauw-lim-sie?” tanya Lie Yang sambil tersenyum ceriwis. “Song Lie Yang! Nama seorang pemuda pertama kali berani berbicara secara jujur dihadapanku. Kalau menurutmu apakah tujuan kedatanganku ke sini ini pemuda tampan?” Thian-long-cu sudah ada di samping dekat Lie Yang. “Em, lebih baik aku turun dari kuda, rasanya tidak sopan kalau berbicara dengan locianpwe di atas kuda seperti ini!” kata Lie Yang tiba-tiba dan disambung tawa Thian-long-cu. Teman-teman lainya melengak heran atas kelakuan dua Lie Yang yang dianggap terlalu berani meladeni Thian-long-cu. “Menurutku locianpwe bukan orang yang begitu rendah untuk merampas barang yang bukan menjadi hak locianpwe! Apalagi locianpwe sudah punya nama besar di dunia kang-ouw sebelah utara sana. Tentunya sudah merasakan apa itu ketenangan dan ketentraman, sehingga datang untuk membuat susah hidup sendiri!” Kali ini yang melengak heran dan terkejut tidak hanya Sun Kay, paman Sam dan dua pengawalnya, namu Thian-long-cu juga menjadi terheran-heran atas ucapan pemuda yang sepertinya menembus hatinya. Memang sudah bertahun-tahun Thian-long-cu hidup di utara sebagai seorang tokoh ajaib yang aneh, ia pantang mengganggu hidup orang lain, namun tidak berpantangan membunuh orang lain kalau kehidupannya yang tentram diusik orang lain. “Hebat! Hebat sekali ucapanmu anak muda! Kalau saat ini kamu menyebutku suhu (Guru) aku akan menerimamu menjadi murid tunggalku. Aku orang tua yang mempunyai pantangan mengambil murid, kali ini akan melanggarnya melihat ucapanmu itu! Coba katakan kepadaku kenapa kamu mengatakan tidak berhak merampas Giok-ceng?” kata Thian-long-cu senang. “Maafkan kalau aku yang muda mengecewakanmu yang tua! Alangkah senangnya diriku kalau aku juga bisa menjadi muridmu, namun aku sudah tidak ingin berguru silat ke orang lain lagi. Aku sudah kapok, karena dahulu kakiku pernah bengkak-bengkak akibat berlatih kuda-kuda sehari penuh, sejak itulah aku tidak mau lagi belajar seperti itu lagi! Masalah berhak atau tidak, tentunya locianpwe tahu benar siapa sebenarnya pemilik asal Giok-ceng yang ingin diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw?” “Cukup jujur, namun sayang sekali aku tidak bisa memaksamu untuk menjadikanmu muridku! Memang dahulu Giok-ceng adalah lambang dari kekuasaan Kim-liong-pay yang dari ratusan tahun dipegang oleh ketua Kim-liong-pay di Perkampungan Naga Emas di lereng Thai-san. Secara tidak langsung, Giok-ceng ini adalah milik orang-orang Kim-liong-pay, namun setelah Kim-liong-pay hancur dan sudah tidak ada lagi ahli warisnya, secara langsung Giok-ceng ini menjadi milik setiap orang yang mendapatkannya. Giok-ceng tidak hanya sebagai lambang dari satu partai besar Kim-liong-pay saja, akan tetapi sebagai lambang bengcu (Pemimpin Rakyat) dunia kang-ouw seluruhnya tanpa kecuali. Siapa yang memegang Giok-ceng maka dia adalah bengcu bagi semua orang-orang kang-ouw yang harus ditaati semua perintah dan perkataannya, kalau tidak ia dinyatakan memberontak dan wajib dimusuhi oleh semua orang!” Tanpa sengaja Thian-long-cu berkata secara blak-blakan menerangkan asal-usul Giok-ceng. Memang inilah yang dikehendaki oleh Lie Yang, karena ia ingin mengetahui dari mana asal Giok-ceng http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 20 dari 114 sebenarnya dan ternyata akalnya tercapai. Matanya berbinar-binar mendengar penuturan jujur orang ini. Senyuman Lie Yang semakin lebar. “Bagaimana kalau ada orang yang ingin merebut Giok-ceng dari tangan seorang bengcu orang-orang kang-ouw?” tanya Lie Yang lagi. “Orang itu adalah musuh bagi seluruh orang-orang kang-ouw! Hukumannya hanya MATI!” jawab Thian-long-cu tegas dan semangat, sedangkan Lie Yang tersenyum puas. “Tunggu pemuda! Apa maksud pertanyaanmu ini? Dan kamu belum menjawab pertanyaanku tadi tentang sebab apa aku tidak berhak merampasnya?”. Tanya tiba-tiba Thian-long-cu yang sudah agak merasa ada kejanggalan dalam pertanyaan pemuda di hadapannya itu. “Bukankah locianpwe sudah tahu jawabannya?!” tanya balik Lie Yang. Thian-long-cu diam sejenak, ia berfikir. “Aha, baru kali ini aku bisa dipermainkan oleh pemuda yang masih hijau sepertimu Lie Yang! Selama ini belum pernah aku kalah terhadap orang lain, baik dalam pertandaingan silat maupun perdebadan dan saat ini aku dikalahkan oleh seorang pemuda hijau sepertimu!” Thina-long-cu tidak nyana bahwa ia dapat terjungkal oleh Lie Yang yang masih muda. “Awas kongcu!” teriak Chi Lam mengingatkan. Namun teriakannya tidak dapat mencegah Lie Yang dari sergapan mendadak Thian-long-cu. Baik Sun Kay, Chi Lam, paman Sam, ataupun Sung Huan tidak bisa berbuat apa-apa kali ini ketika Lie Yang sudah berada di tangan Thian-long-cu dalam keadaan tertotok. Chi Lam, Sung Huan dan Sun Kay sudah mengeluarkan senjata mereka siap untuk bergebrak mati-matian melawan Thian-long-cu yang licik. “Kalian boleh memilih, mau menyerahkan Giok-ceng atau aku akan mencekik pemuda ini baru membinasakan kalian semua!” ancam Thian-long-cu. “Aku bisa menyelamatkan pemuda itu kalau kalian mau berjanji memberikan Giok-ceng kepadaku! Hik...hik..!” terdengar suara lain dari belakang Thian-long-cu. Mendengar suara ini, Thian-long-cu lalu membalikkan badan untuk melihat kedatangan orang ke tiga. “Aha, ternyata si Bi-sianli (Bidadari Cantik) yang datang! Angin apakah yang membawa Wanita Cantik dari barat sampai ke sini?” tanya Thian-long-cu. “Hm. Angin apakah yang membawa aku ke sini? Memangnya kamu saja yang hanya boleh ke sini?” jengek Bi-sianli atau Tok-sim Bi-sianli (Bidadari Cantik Berhati Racun) julukan lengkapnya. Bi-sianli berjalan mendekati Thian-long-cu, sedangkan ia mundur beberapa tindak sampai dekat sebuah pohon yang sangat besar. Thian-long-cu lalu mendudukkan Lie Yang. Ia tidak berani lagi menggeretak Sun Kay untuk memberikan Giok-ceng kepadanya kalau di sisinya ada lawan keras. Sebenarnya tadi ia hanya menggeretak mereka saja, bukan benar-benar ingin membunuh Lie Yang, karena ia masih ingin mengambil Lie Yang sebagai muridnya dan juga mendapatkan Giok-ceng melalui gertakan sambalnya. Namun dua keinginanya ini tidak akan lagi dapat terleksana, karena adanya Bi-sianli di depannya. Terpaksa ia harus menggunakan kepandaian untuk mendapatkan Giok- ceng, walaupun harus meninggalkan calon muridnya. “Ular! Ular!” tiba-tiba terdengar teriakan ngeri dan takut dari mulut paman Sam melihat ular yang ada di leher Bi-sianli. Semua orang melihat keadaan paman Sam yang tampak menggigil ketakutan sambil mundur beberapa tindak. Lalu ia berlari ketakutan menuju semak-semak. Memang ia paling takut terhadap ular. Kasihan sekali orang tua ini. Memang tidak omong kosong kalau Bi-sianli sampai mendapatkan julukan seperti itu, wajahnya memang sangat cantik menggiurkan. Pakaian yang dipakai tampak sepertinya tidak lengkap, karena ada beberapa bagian tubuh pentingnya yang terlihat menonjol membuat orang tidak bisa bernafas. Rambutnya dibiarkan teruarai meliuk-liuk bagaikan ular. Di lehernya yang tampak putih menggetarkan sukma melingkar seekor ular berwarna kuning sebesar pergelangan tangannya. Kepala ular itu menjulur mendesih-desih seperti ingin bicara. Bi-sianli adalah tokoh tua walaupun masih tampak cantik yang menguasai dunia barat Tiongkok. Kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya tidak sebanding dengan kekejamannya, sehingga ia mendapatkan tambahan julukan Tok-sim (Barhati Racun). Selain keji, ia juga termasuk wanita binal, karena ia paling gemar terhadap laki-laki muda yang kuat. Konon dialah wanita satu-satunya yang berhasil menguasai suatu ilmu dari datuk wanita Kucing Betina lima ratus tahun yang lalu. Ilmu itu adalah ilmu menyerap hawa jantan dari tubuh seorang laki-laki lewat hubungan badan. Hawa sakti yang ada di dalam tubuh korbannya akan habis
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 21 dari 114
terhisab olehnya, sehingga membuat tubuh korbannya itu tewas dalam keadaan mengenaskan, karena tubuhnya akan mengering seperti kayu. Bab Sesudah: Perebutan Giok-ceng (4) Cerita tentang kekejaman dan kehebatan Bi-sianli ini memang hampir tidak bisa dipercaya, karena tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya. Hanya di barat sana, ia sangat terkenal dan sangat ditakuti oleh orang-orang kang-ouw di sana. Sering kali di sana didapatkan pemuda tewas dalam keadaan mengering tanpa darah sama sekali. Tidak ada yang tahu apakah itu perbuatan Bi-sianli atau iblis lainnya, namun orang-orang di sana menyakini bahwa itu adalah akibat hisapan iblis Bi-sianli. Kali ini ia berjalan sambil memandang tubuh Lie Yang yang tergeletak tertotok tanpa bisa bergerak. Sambil tersenyum manis, sepertinya ia ingin memakan bulat-bulat tubuh Lie Yang. “Kenapa senyum- senyum? Apakah ingin merampas pemuda itu dan menghisap hawa jantannya?”. Thian-long-cu bertanya sambil bersendakep merintangi Yan-siali untuk merampas calon muridnya. “Hik...hik... apakah engkau cemburu? Sayang sekali, seandainya engkau tidak buruk rupa dan masih jantan mungkin aku lebih memilih engkau dari pada pemuda itu?” Pucat wajah Sun Kay, Chi Lam dan Sung Huan mendengar perkataan seperti ini. Mereka tahu benar apa maksud Bi-sianli yang gemar pemuda-pemuda gagah seperti Lie Yang. “Berani kamu menghina diriku di depan anak-anak kura ini? Kali ini jangan sebut diriku Thian-long-cu kalau tidak bisa membungkam mulutmu yang berdosa itu!” teriak gusar Thian-long-cu. Setelah membentak ia lalu menerjang Bi-sianli dengan pukulan hebat sekali. Berkali-kali ia menguik dan melolong seperti serigala yang sedang marah. Bunyi itu saja sudah mampu menggetarkan dada orang yang tidak punya sinkang hebat. Sun kay sampai terbengong-bengong melihat kedahsyatan serangan dua datuk sesat di depannya. Pukulan-pukulan Thian-long-cu yang hebat ditangkis begitu saja oleh Bi-sianli. Akibat pertarungan hebat itu, daun-daun berguguran terkena hawa sinkang dua orang iblis dari utara dan barat. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, muncul dua manusia bertopeng dengan memakai jubah merah dengan lambang Tawon Merah di dadanya langsung menyerang Chi Lam dan Sung Huan. Beberpa detik kemudian terjadi pertempuran hebat antara dua pengawal Lie Yang melawan dua pendatang baru. Paman Sam yang sejak tadi sudah ketakutan semakin menggigil badannya. Kali ini ia melihat banyak orang sedang bertarung dalam keadaan melayang seperti terbang. Hampir ia pingsang melihat adegan seperti iblis ini. Mukanya tampak tambah hitam saking ngerinya. Sedangkan Sun kay semakin bingung melihat teman-temannya sudah bergebrak. “Sun Kay cepat tolong Song kongcu dan bawa lari dahulu, kami akan menyusul kemudian!” teriak Chi Lam sambil mengerahkan sinkang menangkis sambaran pedang lawannya. “Tringggg...!!!” terjadi adu pedang yang sangat hebat antara dia dan lawannya. Benturan pedang ini membuat dirinya mundur sampai lima langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah. Dadanya terasa begitu sesak. Karena bicara sehingga konsentrasinya terpecah, akibatnya ia bisa terkalahkan. Ia maju kembali sambil mengibaskan pukulan dari tangan kiri sedangkan tangan kanannya membacok ke arah kepala lawan. Beberapa detik kemudian sudah terjadi pertarungan hebat. Sun Kay tidak menyia-nyiakan usaha teman-temannya. Ia langsung berlari menuju tempat Lie Yang untuk membebaskan dan mengajaknya lari. Baru ia berlari sepuluh langkah, di depannya sudah muncul seorang pendatang baru dengan memakai topeng dan baju berwarna merah seperti dua pendatang baru sebelumnya. Ia tahu bahwa orang di depannya adalah orang suruan dari Ang-hong- pay. Tidak banyak bicara ia lalu menyerang orang itu dengan lawannya. Tidak terelakkan lagi, terjadi pertandingan hebat antara dia dan orang Ang-hong-pay ini. Namun ia mendapatkan bahwa kepandaian orang ini tidak sama dengan orang yang pernah menyerbu ke tempatnya beberapa hari yang lalu. Melihat ini ia semakin gencar menyerang dan tidak pernah memberi kesempatan pada lawannya untuk menyerang balik kepadanya. Sudah puluhan jurus ia menyerang dengan gencar namun sia-sia saja, lawannya bisa dikatakan selalu mematahkan serangannya. Kali ini tenaganya sudah terkuras habis hingga nafasnya tersengal- sengal berat, keadaannya sudah sangat payah. Dalam keadaan payah seperti ini, ia mulai kalap dan menyerang sekenannya. Ketika tongkatnya di sambetkan melintang di depan wajah lawannya, tiba- tiba saja tangannya sudah terkena cengkraman lawan dan dalam sekejap saja tongkatnya sudah pindah tangan. Sebelum ia tahu tentang apa yang terjadi, tangan kanannya yang sudah dicengkeram
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 22 dari 114
lawan ditarik maju dan dengan gerakan yang cepat langkah lawannya sudah maju ke depan dengan memberi sikutan ke uluh hatinya. Tubuh Sun Kay jatuh ke tanah dalam keadaan pingsan. Di ujung bibirnya keluar darah merah yang kental. “Hanya punya kemampuan seperti ini saja sudah berani menghadang diriku!” Ejek orang berbaju merah itu. Sebentar kemudian ia sudah merabah baju Sun Kay dan menemukan sebuah buntalan kain dari dalam jubahnya. Setelah membuka ia mendapatkan Giok-ceng terbungkus rapi di dalam kain kuning. Sebentar saja orang itu tersenyum puas setelah ia berhasil mendapatkan Giok- ceng yang dicari-cari banyak orang. “Dukkkkkkk!!!” tanpa menyadari sebuah pukulan mengenai tengkuknya sehingga membuatnya terjatuh dalam keadaan pingsan. Seorang gadis berpakaian merah berdiri sambil tersenyum mengejek di belakangnya. Setelah mengalahkan lawan dalam satu pukulan saja, ia lalu memungut Giok-ceng yang ada di kiri kakinya. “Inikah Giok-ceng yang sedang diperebutkan oleh mereka?” tanyanya pada dirinya sendiri. Gadis itu bukan lain adalah Yang Kwat Lin yang baru saja tiba di tempat itu. Lalu matanya yang jeli memandang ke arah tubuh Lie Yang. Dua mata Lie Yang tampak melotot kepada Kwat Lin, walaupun tubuhnya tidak bis bergerak akibat tertutuk, namun dua matanya yang bundar masih bisa melihat semua kejadian. Termasuk melihat wajah Kwat Lin yang membuat hatinya menjadi bergetar saking senangnya. “Nona cantik, serahkan Giok-ceng itu padaku!” tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Setelah mebalik ia bisa melihat seorang berpakaian merah dengan sulam emas di pinggir gambar Tawon Emas sudah berdiri di depannya. Kaget bukan main, ketika mengetahui ada orang bisa muncul tanpa dapat ia ketahui kapan datangnya. “Lin Lin sebaiknya engkau tolong pemuda itu dan serahkan orang ini padaku!” tiba-tiba tedengar suara orang berkata di belakang orang berpakaian merah itu. Kali ini yang terkejut adalah orang berpakaian merah itu, sedangkan Kwat Lin atau Lin Lin tersenyum gembira. Lalu ia membalikkan tubuh berjalan menuju tempat Lie Yang berada. Di belakang itu telah beridiri seorang dengan memakai topeng emas. Orang ini adalah ayah Lin Lin yang sudah bekerja sebagai salah satu Dewa Kim-liong-pay lagi. Kali ini kedatangannya tidak sendirian, tapi bersama dengan Uh Hou-hoat juga. Tadi ia bertemu di perjalanan dengan Uh hou-hoat dan memberi tahu bahwa ia mendapatkan perintah dari Jit Fu-hoat untuk melindungi Giok-ceng dari tangan dua datuk sesat dari utara dan barat. Namun kedatangannya di sini ternyata malah bertemu dengan pasukan merah dari Ang-hong-pay. “Topeng Emas dari Kim-liong-pay!” teriak lirih orang berpakaian merah itu kaget. “Hmm... sudah tahu masih berdiri di sini! Pergi!” jengek Yang-pangcu atau Hong Hou-hoat. Memang ciri utama yang bisa diperlihatkan Dua Pelindung Kimliong-pay kepada orang-orang kang-ouw adalah Topeng Emas dalam bentuk kepala naga, atau kadang-kadang orang-orang kang-ouw menyebut Kim- liong Ji-sian kalau dua-duanya datang bersamaan. “Memangnya aku takut kepada cecenguk-cecenguk seperti kalian? Jangan dikira Ang-hong-pay takut kepada kalian yang sudah tidak punya rumah lagi...” belum habis perkataanya Yang pangcu sudah menyerang menggunakan jurus-jurus istimewa Kim-liong Jian-jiu-kun (Pukulan Seribu Tangan Naga Emas) dari Kim-liong-pay. Dalam satu tempat itu sudah terjadi pertempuran hebat. Hutan yang sepi tadinya kali ini menjadi ramai, terdengar suara bentakan-benatakan dan suara nyaring beradunya pedang. Ternyata lawan Yang-pangcu memang hebat, bisa dikatakan seimbang dengannya. Apalagi lawannya juga bisa menggunakan beberapa jurus khas perguruan Naga Emas. Kim-liong Jian-jiu-kun (Pukulan Seribu Tangan Naga Emas) yang dipakai oleh Yang-pangcu sangat cocok dengan ilmu Kim-liong Bian-ciang- kun (Ilmu Pukulan Tangan Lunak Naga Emas) yang dimainkan oleh orang berbaju merah. Beberapa kali terjadi benturan tangan antara tangan Yang-pangcu dengan tangan lunak lawannya. Karena ilmu ini sama-sama ampuh dan muncul dari satu pokok perguruan, sehingga tidak terjadi pertentangan hebat. Malahan dua ilmu pukulan ini sepertinya saling mengisi ruang dan waktu antara lainnya tanpa dapat mengalahkan lainnya. Sehingga setelah puluhan jurus berlangsung, dua orang ini tidak ada yang terluka. Berbeda dengan dua pengawal Lie Yang yang sudah begitu payah, walaupun bisa melukai di beberapa tempat di tubuh lawan dengan pedang mereka. Ratusan jurus sudah mereka keluarkan dan antara mereka dan lawan sudah sama-sama payah dan kehabisan tenaga sehingga pertandingan semakin lama semakin renggang. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 23 dari 114 Adapun pertandingan antara Thian-long-cu dan Bi-sianli masih tampak seru, mereka tidak berani lagi memeprhatikan keadaan sekelilingnya, karena sekali konsentrasi mereka hilang maka nyawa akan melayang. Thian-long-sianli yang sudah terbakar oleh api amarah, tidak lagi mau mengaku kalah sebelum nyawanya melayang. Keinginannya untuk melindungi calon muridnya dan penghinaan Bi- sianli membuatnya ingin merenggut nyawa Bi-sianli. Maka tidak heran jika kali ini mereka benar-benar berkelahi mati-matian dan tidak mau mengalah sedikit pun. “Dasar laki-laki ceriwis tidak tahu malu!” terdengar suara makian dari mulut Kwat Lin. Bab Sesudah: Perebutan Giok-ceng (5) Aneh sekali dua orang muda ini, dalam keadaan yang begitu menegangkan masih saja mereka main- main. Apalagi Lie Yang yang baru saja dibebaskan dari tutukan oleh Kwat Lin bukannya berterima kasih dengan baik-baik, malahan dari mulutnya juga muncul puji-pujian atas kecantikan wajah Kwat Lin. Ia juga merayu Kwat Lin dengan puisi-puisi yang romantis sehingga membuat marah Kwat Lin. Saking marah dan malunya sampai-sampai Kwat Lin beberapa kali berhasil menampar muka Lie Yang sampai bengkak-bengkak. Dipukul bertubi-tubi oleh Kwat Lin bukannya Lie Yang mejadi marah dan merasa sakit malah tersenyum senang. “Pukul lagi nona, aduh halus sekali tanganmu. Ingin sekali aku bisa menciumnya!” perkataan Lie Yang ini menambah marah Kwat Lin. Kali ini tidak hanya wajah dan mulutnya yang kena pukulan dan jotosan Kwat Lin, akan tetapi turun ke dada dan tubuh-tubuh lainnya. “Nona aduh enak sekali tubuhku! Seperti dipijeti bidadari dari surga! Terus pukul nona. Aduh enaknya!” berkali-kali perkataan itu muncul dari mulut Lie Yang. Entah berapa puluh kali Kwat Lin memukul tubuh Lie Yang sampai-sampai bajunya terkena debu sehingga warna hijauh pupus itu sudah berwarna coklat. Dalam keadaan masih rebah sambil tersenyum senang Kwat Lin masih memukul terus. “Iyat! Dukkk!!!!!!” kali ini pukulan Kwat Lin tidak main-main lagi karena tidak berhasil menutup mulut Lie Yang yang malah mengadu-ngadu manja membuatnya jengah dan marah. Sekali pukulan ini mengenai dada Lie Yang sampai dari ujung mulutnya keluar darah segar karena saking kerasnya Kwat Lin memukul. Lie Yang sampai pingsan mendapatkan pukulan berbahaya ini. Tiba-tiba Kwat Lin menjerit mendekati tubuh Lie Yang yang sudah pingsan itu. Disentuhnya urat nadi di pergelangan tangan Lie Yang dan ia mendapatkan bahwa nadi Lie Yang sudah tidak berdenyut lagi. Kaget campur merasa bersalah ia memukul pemuda lemah sampai mati. Dengan gugup ia menundukkan kepalanya dan menaruhnya di atas dada Lie Yang untuk memeriksa apakah Lie Yang benar-benar mati. Benar saja ternyata detak jantung Lie Yang juga sudah berhenti. Pucat wajahnya melihat Lie Yang. Saking takut dimarahi oleh orang tuanya dan rasa bersalahnya sampai-sampai ia menitikkan air mata. Menangis. “Maafkan aku Lie-twako (Kakak Lie)! Aku terlalu jahat sampai tega membunuhmu yang ternyata tidak bisa ilmu silat!” kata Kwat Lin sambil menangis sesegukan. Kwat Lin tahu nama Lie Yang karena tadi Lie Yang sudah bertanya namanya sambil memperkenalkan namanya. Ia memanggil Lie Yang denga sebutan ‘twako’ karena memang mengakui bahwa pemuda yang ia bunuh lebih tua sedikit dari umurnya, lagian ia berharap semoga arwah Lie Yang mau memaafkan perbuatannya. “Namaku Yang Kwat Lin, semoga Lie twako bisa memafkanku dan tenang di alam sana!” Kwat Lin berkata lagi sambil menunduk melihat jelas wajah Lie Yang yang sudah dingin. Wajah Lie Yang tampak pucat dan biru akibat pukulan Kwat Lin. Setelah melihat lama sekali wajah Lie Yang tanpa sadar ada semacam rasa aneh di dalam hati Kwat Lin. Wajah Lie Yang memang bisa dikatakan sangat tampan, tidak heran kalau Kwat Lin setelah lama melihat wajah itu dari dekat menjadi semakin tahjub juga. Kwat Lin masih memandang wajah Lie Yang tanpa berkedip. Setelah di dalam hatinya ada rasa bersalah dan kasihan, tiba-tiba di dalam hatinya muncul rasa suka kepada Lie Yang walaupun sudah terlambat. Memang Kwat Lin mempunyai sifat yang gampang tersentuh terhadap apa saja, maka tidak heran kalau saat ini timbul rasa sukanya juga. Pertandingan antara dua pengawal Lie Yang melawan dua orang Ang-hong-pay masih berjalan seru walaupun sudah terlihat siapa yang sudah terluka parah. Tubuh dua orang Ang-hong-pay sudah begitu parah, walaupun begitu mereka masih mencoba bertahan. Tiba-tiba terdengar suara suitan keras dari orang Ang-hong-pay yang sedang melawan Yang-pangcu. Ternyata tidak hanya dua teman yang tidak kuat membendung kehebatan ilmu silat lawannya, namun dia juga tidak kuat bertahan http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 24 dari 114 melawan kesaktian Yang-pangcu sehingga ia bersuit sebagai tanda mengajak untuk melarikan diri. Sejak beberapa pukulannya tidak berhasil melumpuhkan lawan, Yang-pangcu sudah menggunakan ilmu lainnya yang hanya diajarkan oleh pangcu Kim-liong-pay kepada para pelindungnya, yaitu ilmu Kim-liong Bu-eng-kun (Pukulan Tanpa Wujud Naga Emas) yang mendasarkan pada hawa sinkang sejati dan kuat. Dengan ilmu inilah lawannya bisa didesak sampai mundur puluhan langkah. Yang-pangcu paham tanda suitan ini, tanpa banyak mendesak lagi ia memberi peluang bagi lawannya untuk pergi, sedangkan dua teman lain orang Ang-hong-pay juga sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan lebat. Dua pengawal Lie Yang yang sudah kehabisan tenaga itu langsung terkulai pingsan setelah melihat lawannya lari. Luka dua pengawal itu tidak ringan, terdapat beberapa sayatan pedang di beberapa tubuh mereka. “Ada apakah Lin Lin?” tanya ayahnya heran melihat anaknya menangis sesegukan. “Aku telah membunuhnya, ayah!” jawab Kwat lin sambil berlari menubruk ayahnya. Ayahnya kaget juga mendengar pengakuan Lin Lin, namun lebih kaget lagi ia melihat anaknya menangis padahal setahunya Lin Lin jarang meneteskan air mata, kecuali ketika istrinya mati. “Biar kulihat apakah benar orang muda itu telah mati!” kata ayahnya mencoba melihat sendiri apa benar pemuda itu sudah mati. Yang-pangcu memeriksa tubuh Lie Yang yang sudah dingin. Tampak beberapa kali ia mengeleng- ngeleng kepala heran dan tidak paham bagaimana Lin Lin bisa membunuh pemuda ini. “Bagaimana ayah? Apakah benar ia sudah mati?” tanya Kwat Lin takut. “Benar!” jawab ayahnya kelam. Sedangkan wajah Kwat Lin yang tadinya putih memerah tampak cantik, sekarang terlihat pucat mengandung kepedihan. “Kenapa kamu membunuhnya Lin Lin?” tanya ayahnya ingin tahu penyebab kenapa anaknya sampai membunuh pemuda ini. “Aku tidak tahu kalau dia tidak bisa silat sehingga satu pukulan saja telah merenggut nyawanya. Memang aku yang bersalah padanya ayah, tolong bunuh saja diriku untuk menebus kesalahanku ini!” kata Kwat Lin sedih. “Setiap orang pernah melakukan kesalahan dalam kehidupannya, kenapa harus sampai menebus dangan nyawa segala! Sebab apakah engkau berani memukul pemuda lemah ini?” tanya Yang- pangcu masih ingin tahu. “Tadi ia berkata dengan nada menghina terhadapku, sehingga aku marah dan memukulnya.” Jawab Kwat Lin pelan. Yang-pangcu berdiri sambil menghela napas panjang. Wajahnya tampak kelam. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan ke depan mengeluarkan pukulan dari ilmu Sin-hong Sin-kang (Tenaga Sakti Angin Sakti). Pukulannya ini menimbulkan sinkang yang dapat melebur memancar melalui jalur angin sehingga berhasil menolak serangan tiba-tiba dari Thian-long-cu. Untung ia tidak begitu tenggelam dalam kesedihan seperti yang dialami puterinya sehingga bisa mengetahui serangan licik lawan. “Bless!!!” terdengar suara adu sinkang kuat yang membuat Yang-pangcu mundur tiga tindak begitu juga dengan Thian-long-cu. “Siapa yang berani membunuh calon muridku?” jengak marah Thian-long-cu. Di belakngnya berdiri Bi-sianli sambil tersenyum licik. Sebenarnya Thian-long-cu ketika bergebrak dengan Bi-sianli tadi juga mendengar percakapan Yang-pangcu dengan puterinya. Mukanya tambah merah mendengar calon muridnya mati di tangan seorang gadis kecil. Ia sendiri lalu menghentikan bertarungnya dan langsung menyerang ke arah tubuh Kwat Lin dengan serangan sinkang dari jarak jauh. Namun serangannya gagal akibat ditolak oleh sinkang lawan yang lebih tangguh. “Apakah pemuda ini benar-benar calon muridmu?” tanya balik Yang-pangcu. “Kalian telah membunuh calon muridku. Darah harus dibayar dengan darah!” baru saja ucapannya selesai ia sudah melejit menyerang Yang-pangcu. Kali ini ia tahu bahwa dihadapannya adalah tokoh hebat dari Kim-liong-pay sehingga dalam serangan pertama saja sudah memilih serangan yang paling hebat. Sebentar kemudian mereka sudah terlibat dalam pertarungan yang seru. Berkali-kali terdengar suara menggereng ala seriga. Paling berbahaya dari serangan Thian-long-cu adalah ilmu cakarannya yang mengandung racun. Sehingga Yang-pangcu tidak berani dekat-dekat dengan serigala tua ini.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 25 dari 114
Yang-pangcu memilih menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang (Tenaga Sakti Angin Sakti) yang sudah dilatihnya sampai tingkatan ke lima. “Thian-long-cu aku akan membantumu mencekik gadis pembunuh calon muridmu itu!” teriak Bi-sianli yang langsung melayang menerjang Kwat Lin. Kali ini Kwat Lin sudah siap sehingga dalam terjangan pertama ia bisa meloloskan diri dari pukulan lawannya. Dalam sekejap juga sudah terjadi pertarungan seru antara gadis muda yang cantik melawan wanita setengah baya namun cantik juga. Tiba-tiba saja Bi-sianli meloncat ke belakang sekitar lima meter dari Kwat Lin. Setelah melihat lawannya walaupun masih kecil tapi mampu mengimbangi ilmunya. Ia lalu meloncat ke belakang untuk melontarkan pukulan jarak jauh yang jarang ia gunakan. “Blukkkkk!!!!!!” terjadi sesuatu yang aneh. Tubuh Lie Yang yang sudah tidak bernyawa itu tiba-tiba saja melayang menghalangi pukulan jarak jauh Bi-sianli. Melihat ada orang mati bisa melayang seperti ini kontan saja Bi-sianli menjerit lari ketakutan. Karena bagaimana pun juga ia masih dibilang seorang manusia yang tidak mungkin tidak mempunyai rasa takut melihat ada orang mati bisa melayang seperti terbang. Tubuh Lie Yang melayang tanpa bergerak seperti digerakkan oleh orang lain. Tubuh mayat Lie Yang yang terkena pukulan jarak jauh dari Bi-sianli terlempar menabrak tubuh Kwat Lin. Tanpa kontrol lagi tubuh Kwat Lin juga ikut terjatuh tertimpa mayat Lie Yang. “Ah...ka...kau!” teriak Kwat Lin ngeri melihat mayat Lie Yang bisa melayang seperti hantu getayangan. Setelah berteriak ngeri seperti itu, tiba-tiba saja matanya tampak terasa gelap sehingga membuatnya terkulai pingsan. Baru saja keduanya pingsan tidurkan diri. Dari belakang terdengar suara seseorang. “Hong Hou-hoat silakan bertahan dulu, aku akan mebawa dua pemuda ini ke tempat yang aman! Aku akan datang sebentar lagi!”. Belum selesai bicara, seorang laki-laki bertopeng emas lainnya sudah melayang dengan menggunakan ginkangnya yang tinggi menyambar dua tubuh Kwat Lin dan Lie Yang. Sekitar setengah jam kemudian setelah dua tubuh muda-mudi itu hilang disambar orang bertopeng emas. Pertandingan antara Yang-pangcu dengan Thian-long-cu sudah mengendor dan selesai setelah Thian-long-cu melarikan diri. Yang-pangcu geleng-geleng kepala sambil melihat Thian-long-cu pergi secepat serigala. Lalu ia mencoba untuk mengobati tiga orang yang menggeletak tidak sadarkan diri. Setelah menunggu lama, ternyata Uh Hou-hoat tidak juga muncul, padahal sinar matahari mulai pudar ditelan kegelapan. Lalu Yang-pangcu mengambil pedang Chi Lam dan menggores beberapa pesan untuk Uh Hou-hoat di beberapa batang pohon di tempat itu. Pohon yang ditulisi diikat dengan kain berwarna emas. Lalu ia mengangkat satu persatu tubuh tiga orang pingsan itu ke atas kuda yang masih ditambatkan di tempat itu. ia akan membawa tiga orang yang luka berat ini naik ke pegunungan Siong-san untuk meminta pertolongan perawatan di Siauw-lim-sie sambil menunggu kedatangan Uh Hou-hoat di sana. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Bie Hun Tok (1) V- Chapter Lima; Bie Hun Tok (Racun Pemabuk Sukma) Terdengar suara air menetes dari dalam sebuah gua di dalam hutan pegunungan Siong-san. Gua itu panjang sekali sehinga suara tetesan air itu tidak sampai terdengar dari luar, namun suara tetesan itu terdengar merdu di dalam gua itu. saking dalamnya sampai gua itu bisa menembus ke dalam perut salah satu pegunungan Sing-san. Walaupun daerah gua ini jauh dari pusat Siauw-lim-sie, tetapi masih satu daerah dengan partai besar persilatn ini. Gua yang gelap itu mempunya dua lorong, satu lorong menembus ke belakang gunung yang dipenuhi jurang lebar dan sebuah lorong panjang dengan akhir buntu oleh batu. Di dalam lorong buntu yang hanya mempunya lebar dua meter ini terbujur dua tubuh seorang muda-mudi. Tubuh dua muda-mudi itu adalah Lie Yang dan Kwat Lin yang masih pingsan. Sudah lama sekali mereka masih belum sadar. Suara tetesan air yang terdengar dari tengah gua terdengar juga dari ruangan dimana tubuh Lie Yang dan Kwat Lin berada. Tiba-tiba terdengar suara rintihan seperti orang sedang kesakitan dari mulut Lie Yang. Ternyata Lie Yang yang tadinya dikatan telah mati saat ini masih hidup. Wajahnya tampak merah tidak pucat lagi. Aneh bin ajaib orang pemuda ini. Pernapasannya yang tadi sudah berhenti ternyata sudah normal kembali, malahan terdengar berdetak semakin cepat. Ia mencoba bangun setelah sadar dari kematian. Matanya melihat ruangan yang gelap, tidak bisa melihat apa pun. Tangannya meraba kesana-kemari dan ternyata tidak menemukan apa-apa hanya jerami kering dengan batu keras http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 26 dari 114 sebagai landasannya. Tiba-tiba saja ia seperti tersentak kaget ketika tangnnya merabah sesuatu yang lembut. Ia mencoba memberanikan diri dna ternyata ia meraba kaki Kwi Lan. Ia tidka tahu siapa yang tertidur rebah di sampingnya, hanya saja ia meraskan bau harum dari tubuh yang disentuhnya. Lalu ia meraba ke atas lagi dan tanpa sengaja tangannya meraba sesuatu yang kenyal. Bukan main kagetnya ketika ia menyentuh bagian penting Kwi Lan. Tangannya seperti terkena patukan lar sehingga buru-bur ia cabut. “Seorang perempuan! Siapakah dia?” tanyanya sendiri. Lalu ia mencoba meraba-raba tempat yang lain berharap mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Akhirnya ia mendapatkan juga dua batu untuk membuat api. Dengan agak sempoyongan karena badannya sepertinya sangat lemah tidak bertenaga ia berjalan mengumpulkan jerami di pojok ruangan. Setelah terkumpul ia bisa mencoba membuat api lewat percikan api dari benturan dua batu itu. Entah berapa kali ia telah mencoba, namun selalu gagal. Lalu tiba-tiba saja ingat sesuatu di dalam kantong dompet uang yang ada di dalam bajunya. Di sana terselip sepotong kayu bambu seukuran jari tangan. Tiba-tiba ia tersenyum senang, karena bambu itu adalah semacam korek api pada zaman itu. Setelah menyulut korek api itu akhirnya ia berhasil membuat api ungun yang dapat menerangi seisi ruangan. Ternyata di pojok ruangan yang lainnya ia mendapatkan tumpukan kayu kering yang sudah ditumpuk rapi. Di keempat ruangan itu juga ada obor sebagai penerang ruangan. Setelah memriksa dnegan jelas, ia mendapatkan bahwa ruangan ini ternyata tidak ada jalan keluarnya. Ruangan tertutup, walaupun ia bisa mendengar suara tetesan air, namun terhalang tembok. Lalu ia menatap tubuh Kwat Lin yang tergolek di depannya. Ia kenal siapa gadis muda ini. Seorang gadis yang sudah diketahui namanya dan mendapatkan ruang khusus di dalam hatinya. Gadis yang cantik dan pandai ilmu silatnya. Wajah Kwat Lin juga tampak memerah. Wajah itu terlihat semakin cantik. Lalu tiba-tiba matanya menatap sebuah tulisan dari kepur di tembok belakang kepala Kwat Lin. Lie Yang kalau kamu sudah bangun, sebaiknya berdiam dulu di dalam gua ini bersama Yang Kwat Lin. Jangan keluar sebelum racun kalian berdua hilang. Biarkan segalanya terjadi, ikuti kehendak kalian dan jangan cemas karena itulah penawar racun yang berdiam pada diri kalian. Kalau kalian melawan kehendak diri sendiri, maka racun itu akan menewaskan kalian berdua. Tidak ada obat penawar bagi racun ini kecuali mengikuti kehendak hati kalian. Setelah sembuh, kalian boleh masuk ke ruangan sebelah dalam melalui obor yang berada di pojok ruangan. Di dalam ruangan dalam itu ada beberapa kitab ilmu silat yang sengaja kutinggalkan supaya kalian melatihnya dan baru boleh keluar dari gua ini. Kami orang tua menyetujui perjodohan kalian dan jadilah suami-istri yang baik! Uh Hou-hoat dan Hong Hou-hoat Bingung juga Lie Yang setelah membaca tulisan itu, apalagi tulisan terakhir. Belum sempat ia menyelami maksud tulisan itu telinganya sudah mendengar suara rintihan dari mulut Kwat Lin. Sekuat tenaga Lie Yang mencoba menyeret tubuhnya mendekati tubuh Kwat Lin. “Nona Lin, apakah kamu sudah sadarkan diri? Bagaimana keadaanmu saat ini?” tanya Lie Yang khuwatir. Lalu ia mencoba mengangkat kepala Kwat Lin yang masih merintih-rintih kesakitan. Dua mata Kwat Lin terbuka pelan-pelan setelah Lie Yang berhasil memangkunya. “Ka...u kau masih hidup?!!” tanya Kwat Lin kaget hampir menjerit ketakutan kalau mulutnya tidak ditutup oleh tangan Lie Yang. “Jangan banyak bergerak dan bicara, lebih baik coba pulihkan dulu tenaga baru boleh bicara!” bisik Lie Yang ke telinga Kwat Lin. Lalu Kwat Lin yang memang penurut mengikuti arahan Lie Yang tanpa bertanya atau bicara apapun. Kedua matanya terpecam mencoba mengerahkan sinkang dari tubuhnya. Namun usahanya gagal tanpa diketahui kenapa dan apa yang terjadi. Selain lemah karena tenaganya habis juga darahnya terasa panas membara. Bab Sesudah: Bie Hun Tok (2) “Bagaiman? Apakah bisa memulihkan tenaga?” tanya Lie Yang seperti orang berbisik saking lemahnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 27 dari 114
“Aneh! Tenagaku dalamku seperti hilang semuanya, tubuhku terasa begitu lemah!” jawab pelan Kwat Lin. “Tempat apakah ini? Dan bagaiman kita bisa di sini? Dan bagaimana kamu bisa hidup kembali?” Kwat Lin meberondong pertanyaan kepada Lie Yang sambil mencoba duduk bersandar dinding gua. “Entahlah! Aku sendiri tidak tahu tempat apakah ini dan siapa yang membawa kita ke sini. Hanya tulisan-tulisan di dinding itulah yang dapat kutemukan di tempat ini!” jawab Lie Yang sambil memejamkan mata. Kwat Lin membaca tulisan itu dan tampak wajahnya semakin memerah entah apa yang dipikirkan bocah ini. “Mungkin Uh Hou-hoat yang menulis tulisan ini. Sepertinya kita terkena racun dari iblis Bi-sianli tadi pagi! Entah racun apakah yang dapat membuat tenaga dalam menjadi musnah dan tanpa penawar itu?” kata Kwat Lin. “Bagaimana menurut nona tentang tulisan terakhir itu?” tanya Lie Yang ingin tahu bagaiman pendapat Kwat Lin. Tulisan yang dimaksud oleh Lie Yang adalah ‘Kami orang tua menyetujui perjodohan kalian dan jadilah suami-istri yang baik!’. Tambah merah wajah Kwat Lin mendengar pertanyaan Lie Yang. “Lin-moi (Adik Lin) sebenarnya sejak pertama kali melihatmu, aku sudah tertarik kepadamu. Kalau persetujuan orang itu bisa kamu terima, alangkah senangnya diriku! Aku yakin perkataan terakhir ini mempunyai hubungan dengan tulisan di atasnya, bahkan kemungkinan mempunyai hubungan dengan racun yang mengeram di dalam diri kita.” kata Lie Yang mengerahkan kekuatannya untuk berbicara. “Mungkin... kalau memang ayah dan Uh Hou-hoat memberi pesan dan persetujuan seperti itu mungkin ada baiknya aku menerimanya. Asalkan dengan syarat jika tulisan ini bukan dibuat oleh dua orang yang kuhormati ini, aku tidak sudi lagi menjadi istrimu!” perkataan ini terdengar pelan sebagai penyerahan segala jiwa Kwat Lin dan terasa tergetar. Maklum urusan pernikahan bagi seorang perempuan yang masih berumur enam belas tahun seperti Kwat Lin masih sangat tabu. Sehingga sangat malu ia berkata seperti itu. Tidak perlu ditanya lagi kenapa Kwat Lin berani menerima begitu saja pernyataan dari tulisan di dinding itu. bukan lain karena sebenarnya sejak awal ia juga telah menaruh hati pada Lie Yang, begitu juga sebaliknya. Cinta tumbuh begitu cepat dan singkat di hati dua pemuda itu, padahal umur mereka baru belasan tahun. Memang benar apa yang dikatakan para pujangga, bahwa awal dari munculnya cinta adalah dari mata atau saling pandang memandang. Senang sekali hati Lie Yang mendengar pengakuan Kwat Lin yang sudah tidak sabar ditunggunya. Seperti ada kekuatan dahsyat yang menarik Lie Yang sehingga tanpa dirasanya ia sudah mengesot ke arah Kwat Lin. Ditatapnya wajah yang bersemu merah dalam keadaan menunduk karena malu itu. “Lin-moi aku Song Lie Yang bersumpah atas saksi Tuhan Yang Maha Suci, saat ini juga aku mengaku engkau Yang Swat Lin sebagai istri tercintaku. Apakah engaku menerima pengakuanku ini?” kata Lie Yang dengan lantang mengerahkan tenaga yang tersisa. “Aku Yang Kwat Lin bersaksi kepada Tuhan Yang Maha Suci mengatakan bahwa mulai detik ini telah menjadi istri dari Song Lie Yang dengan resmi!” jawab Kwat Lin lantang juga. “Hahaha...begitu ajaib keadaan kita ini. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa aku akan mendapatkan istri yang begini cantik dan menyenangkan sepertimu Lin-moi!” kata Lie Yang tertawa senang. Kwat Lin hanya tersenyum melihat kelakuan Lie Yang yang seperti anak kecil. “Aduh...!!!!” tiba-tiba terdengar suara Lie Yang mengaduh kesakitan. Terasa badannya tiba-tiba saja dijalari hawa panas. Semua tubuhnya tampak memancarkan hawa panas yang membuat tubuhnya kegerahan. Kwat Lin tampak kaget dan khuwatir melihat Lie Yang mengaduh-ngaduh kesakitan sampai pemuda ini menggelinjang-ngelinjang seperti cacing kepanasan. Wajahnya tiba-tiba saja menjadi merah membara. “Apakah yang sakit Yang-twako? Di mana yang sakit?” tanya Kwat Lin terisak-isak tidak tega melihat suami barunya mengeliat-liat seperti itu. “Panas! Panas... mo-moi!” teriak Lie Yang dengan parau. “Aduh ...!!! Badanku juga tiba-tiba panas! Panas...panas.. aduh...!!” tiba-tiba Kwat Lin terkulai mengeliat-liat kepanasan seperti Lie Yang. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 28 dari 114 Dua pemuda yang telah menjadi suami-istri secara ‘kebetulan dan mendadak’ itu menggelita-liat seperti orang kepanasan. Wajah dua pemuda itu tampak merah seperti kepiting rebus. Saking tidak tahannya menahan panas dari dalam tubuhnya, Lie Yang lalu merobek-robek bajunya sehingga dalam sekejab saja tubuh atasnya sudah telanjang dada. Kwat Lin juga mengerang-ngerang kepanasan, sampai bajunya juga tanpa diketahuinya sudah terkoyak-koyak. Sehingga tampak kulitnya yang putih memerah akibat hawa panas yang berlebihan. Beberap menit kemudian hawa panas yang baru menyerang mereka sudah berangsur-angsur menghilang, namun terjadi keanehan setelah hawa panas ini hilang. Terdengar rintihan halus dari dua pemuda itu. Walaupun hawa panas sudah banyak hilang, namun masih menyiksa dua orang ini. Keajaiban yang baru datang itu adalah mereka merasakan kekuatan mereka menjadi bertambah sehingga mereka bisa duduk bersandar dinding. Tanpa sengaja tangan Lie Yang sudah menggenggam erat tangan Kwat Lin sambil menahan gerah. Lie Yang menoleh ke arah wajah istrinya yang tampak lebih cantik. “Bagaimana keadaanmu Lin-moi? Apakah engkau merasakan ada yang aneh dengan tubuhmu?” tanya Lie Yang terbata-bata. Kwat Lin hanya menjawab dengan nafasnya yang semakin terdengar aneh. Nafasnya juga terasa semakin memburu. Ia memjamkan mata ketika meraskan tangan Kwat Lin meremasnya dan ia juga meremas tangan istrinya itu. Sekelebat maksud tulisan-tulisan yang ada di dinding berhasil ia pahami. Ternyata rasa aneh itu adalah keinginan untuk menyalurkan keinginan biologis yang biasa diperbuat oleh seorang yang sudah menjadi suami-istri. Racun yang dideritanya kemungkin semacam racun perangsang sehingga membuat orang terangsang. Remasan tangan Lie Yang tidak hanya berkutit pada tangan Kwat Lin istrinya, namun lama kelamaan merambat ke atas. Lalu ia merebahkan tubuh Kwat Lin yang sedang empas-empis aneh. Kwat Lin menurut sambil memjamkan matanya. Pikirannya sudah tidak terkontrol lagi. Tiba-tiba ia merasakan ada benda basah menyentuh bibirnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat bibir Lie Yang sudah mengecup bibirnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ciuman ini mendatangan rasa nikmat dan lega. Siksaan-siksaan rasa panasnya sepertinya hilang. Saat ini ia hanya merasakan rasa nikmat yang belum pernah diraskannya sebelumnya. Perlahan tapi pasti Lie Yang sudah membuka semua baju Kwan Lin dan menikmati tubuh istrinya. Entah berapa lama sudah mereka tenggelam dalam lautan asmara yang menggelora seperti ombak lautan? Ruangan itu tampak sepi dan gelap, hanya suara desahan dua pemuda yang baru menikmati malam pertama saja terdengar menyenangkan. Setelah bermain asmara entah berapa jam, mereka lalu tertidur pulas tanpa pakaian sama sekali. Rasa lelah karena melawan racun dan melakukan hubungan jasmaniah membuat mereka benar-benar kelelahan sampai tertidur pulas. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Bie Hun Tok (3) Lie Yang terbangun dari tidur lelapnya. Api yang menerangi gua sudah padam tanpa bekas, menandakan bahwa ia dan Kwat Lin tidur cukup lama. Saking gelapnya, sampai tangan sendiri tidak terlihat. Namun ia merasakan badannya terasa segar dan bertenaga. Semua tenaganya sudah pulih dan rasa panas yang dideritanya tadi sudah hilang sama sekali. Lalu ia mencoba berjalan pelan mencari korek api dari bambu yang ditinggalkannya di sebelah pojok kiri ruangan. Sebentar kemudian ia telah mendapatkan korek api itu dan sambil meraba-raba ia mencoba mencari obor di pojok ruangan. Setelah menyalakan obor, ruangan menjadi terang sehingga ia bisa melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Ia melihat Kwat Lin tertidur dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali, lama sekali ia terbelalak melihat tubuh yang halus itu. Lalu pandangannya beralih ke dirinya sendiri. Kali ini ia baru merasakan apa itu ‘malu’, karena dirinya juga berdiri dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali. Baru saja ia mau meraih bajunya yang ada di dekat tubuh istrinya, Kwat Lin sudah terbangun dengan sorot mata mengandung kekagetan. “Aihh. Dasar tidak tahu malu!” tiba-tiba Kwat Lin menjerit sambil menutup matanya dengan telapak tangannya, ketika melihat tubuh Lie Yang. “Hahaha... lihat dirimu sendiri, apakah engkau mau mencela dirimu sendiri?” jawab Lie Yang tertawa renyah melihat kelakuan Kwat Lin yang lucu. Kwat Lin dengan gerkan reflek langsung mengambil bajunya dan memakai sekenanya dengan risih melihat mata suaminya menatapnya dengan buas. Sambil tertawa Lie Yang terus memandangi Kwat Lin. Setelah selesai memakai baju tiba-tiba saja sorot mata Kwat Lin menjadi tampak beringas. Ia
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 29 dari 114
marah melihat kelakuan Lie Yang seperti itu. lalu ia menyerang mencoba memukul ke arah dada Lie Yang. “Eh, apakah engkau ingin membunuhku sekali lagi seperti kemarin?” tanya Lie Yang sambil tersenyum. Seketika tangan Kwat Lin menjadi lemas seperti tidak bertenaga. Memang sangat kasar sifat Kwat Lin, namun sekasar apapun seseorang, kalau sudah bisa dijinakkan akan menurut juga. “Pakai dulu bajumu, kalau tidak aku tidak mau melihatmu barang sedikit pun!” kata Kwat Lin merajuk. Lalu ia membalikkan badannya menghadap tembok. Lie Yang mengambil bajunya dan memakainya. Setelah selesai memakai, Kwat Lin sudah mau melihatnya. Kali ini Kwat Lin melihat Lie Yang dengan ngikik, entah apa yang ditertawakannya. Lie Yang juga ikut tertawa senang melihat Kwat Lin tidak cemberut marah lagi. “Bagaimana keadaanmu sekarang, Lin-moi? Apakah engkau merasa lapar?” tanya Lie Yang yang sudah merasa lapar sejak tadi. Perutnya berkali-kali berkeruyuk seperti ayam jago sedang kelaparan. Kwat Lin hanya menganggukkan kepala dan maju berjalan ke arah Lie Yang. Lalu ia memeluk Lie Yang dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya. “Aku lapar, apa kita tidak bisa keluar mencari makanan?”. “Lebih baik kita masuk ke ruangan dalam semoga di sana kita bisa menemukan makanan!” jawab Lie Yang sambil berharap ada makanan di dalam ruangan sebelah dalam. Ia berjalan ke arah pojok sebelah kanan ruangan dan menggerakkan beebrapa kali obor, namun tetap tidak ada sesuatu yang berubah. Kwat Lin juga sudah mencoba obor-obor yang lainnya. Menurut pengetahuan Lie Yang yang pernah membaca beebrapa cerita tentang gua-gua rahasia, seharusnya salah satu obor itu bisa membuka pintu ruangan dalam. Namun usahanya gagal, beberapa kali ia memutar ke kanan dan kiri, bahkan mengangkat obor itu tetap ruangan tidak berubah sama sekali. Ia mencoba meneliti keadaan obor-obor itu. diantara ke empat obor yang ada di ruangan itu, hanya satu obor yang tampak berbeda dengan lainnya. Seandainya ia tidak melihatnya dengan teliti, kemungkinan ia tidka akan bisa menemukan perbedaan itu. Satu obor yang ada di sebelah kanan di atas tempat tidurnya memiliki tempat obor bersegi empat, sedangkan lainnya hanya berbentuk bundar agak menyerupai segi empat. Bentuk segi empat pada tempat obor ini lebih sempurna dari pada lainnya. Lalu ia mencoba menekan tempat obor ke dalam, bukan memutar obornya saja. Tiba-tiba terdengar suara bergemuru seperti suara batu runtuh. Tembok yang ada tulisannya tiba-tiba membelah jadi dua. Sambil membawa obor di tangan kanan dan tangan kirinya menggandeng Kwat Lin, ia memimpin memasuki ruangan dalam. Setelah ia masuk, tiba-tiba dinding yang membelah itu menutup kembali. Sambil membawa obor Lie Yang maju terus menelusuri lorong yang tampak panjang sekali. Lorong yang tadinya gelap setelah berjalan entah berapa lama, nyatanya semakin terang. Sepertinya ada cahaya matahari di ujung lorong ini, walaupun terlihat remang-remang. “Panjang sekali terowongan gua ini! Apakah kita salah masuk?” kata Kwat Lin. “Entahlah, kita lihat dulu ada apa di ujung terowongan sana! Sepertinya ada cahaya matahari.” Lie Yang dan Kwat Lin maju terus menelusuri terowongan yang hanya mempunya lebar setengan meter itu. terlalau sempit untuk dilalui oleh dua orang dengan berjalan berdua, sehingga Kwat Lin hanya bisa berjalan di belakang Lie Yang. Berkali-kali terlintas rasa heran sekaligus bangga terhadap Lie Yang. Ia tidak mengira bahwa suaminya yang lemah tidak bisa silat mempunyai ketabahan dan keberanian seperti singa. Sedangkan dirinya yang sudah kenyang malang-melintang di dunia kang- ouw saja merasa ngeri. Sebenarnya Kwat Lin tidak tahu sosok manusia yang berjenis ‘laki-laki’ kalau sudah mempunyai tanggung- jawab dan perhitungan mantap, maka segalanya akan dijalani dengan berani. Apalagi kalau di dalam hati ‘laki-laki’ sudah muncul rasa ingin melindungi seorang yang di sayangi, maka medan apapun tidak akan membuatnya gentar atau takut. Benar saja, setelah berada di ujung terowongan, mereka lalu membelok ke kiri dna di sanalah mereka mendapati ruangan yang sangat luas. Sepuluh lipat luasnya dari ruangan yang pernah mereka tempati sebelumnya. Ruangan itu mempunyai dua kamar sebesar ruangan di luar. Di ujung ruangan itu ada dua lorong yang sepertinya menghubungkan ke dunia luar. Lorong pertama terlihat ada cahaya matahari, sedangkan lorong ke dua terdengar suara air terjun. Cahaya yang dipantulkan dari lorong pertama dapat menerangi seluruh ruangan besar ini. Banyak sekali peralatan yang terdapat di ruangan ini, walaupun terlihat sudah lama tidak disentuh orang. Setelah memeriksa lorong pertama, Lie Yang mendapatkan bahwa di dalam lorong itu terdapat ruangan yang luas juga. Cahaya matahari http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 30 dari 114 ternyata keluar dari sela-sela dinding gua yang ada di atas. Tampak terlihat langit yang begitu indah. Cahaya matahari itu memancar dari sel-sela dinding atas gua yang hanya sebesar 20 cm dengan panjang sampai belasan meter. Di pojok-pojok dinding ruangan ini dihuni oleh sarang burung walet, ada puluhan sarang bergelantungan di tembok-tembok. Sarang-sarang itu dibuat di celah-celah dinding yang tidak terkena pantulan langsung cahaya matahari. “Akhirnya kita bisa menemukan makanan yang enak!” kata Lie Yang girang. “Mana?” tanya Kwat Lin tidak mengerti. “Itu! Telur burung-burung itu dapat kita makan, juga air liurnya dapat kita jadikan sup sarang walet yang dapat menguatkan daya tubuh!” kata Lie Yang menjelaskan. Kwat Lin menjadi girang juga. Tiba- tiba perutnya terdengar berkeruyuk. “Kamu di sini mengambil telur-telur burung itu yang sepertinya baru mulai musim bertelur, sedangkan aku akan memeriksa lorong ke dua!” kata Lie Yang dan meninggalkan Kwat Lin yang tampak sedang mencari akal bagaimana dapat mengambil telur-telur di sarang walet yang jauh dari jangkauannya. Di lorong ke dua, tempatnya tida jauh berbeda dengan lorong pertama, namun di sini terdapat aliran air yang turun dari atas puncak gunung. Aliran air yang turun melalui celah-celah dinding gua cukup deras sehingga sampai menggenangi di dadar gua. Lorong ke dua ini bisa dikatakan sebagai tempat mandi. Di tempat ini banyak ditemui jamur-jamur yang bisa dimakan. Di beberapa celah dinding gua ini juga dapat ditemui sarang walet, bahkan lebih banyak dari gua ke dua. Mungkin karena gua ini lebih gelap dan ada airnya sehingga banyak burung walet lebih senang membuat sarang di tempat ini. Setelah puas memeriksa dua gua, ia mencoba memeriksa dua kamar yang ada di dalam ruangan besar. Satu kamar kosong, tidak ada barang sedikitpu hanya kursi dari batu dan tempat tidur. Sebaliknya di kamar ke dua, banyak sekali ditemukan barang-barang, termasuk beberapa setail baju dari kain kasar yang masih baik. Ada beberapa buku di atas meja di tengah, sebentar kemudian Lie Yang sudah membuka-buka beberapa lembar dari lima buku itu. Ternyata buku itu ada buku ilmu silat yang sengaja ditinggalkan oleh Uh Hou-hoat kepada mereka. Lie Yang hanya sebentar saja membuka buku-buku itu dan meningglkannya, karena matanya melihat tulisan di tembok. Hiduplah di tempat ini dengan tenang sambil mempelajari lima buku ilmu silat yang kutingglkan. Racun Bie Hun Tok (Racun Pemabuk Sukma) milik Bi-sianli sangat berbeda dengan racun yang lainnya. Walaupun sudah berhasil mengobati dengan berhubungan suami-istri, namun racun itu masih belum bisa ditawarkan secara bersih. Masih ada sisa racun yang mengerang di tubuh kalian, aku berharap kalian bisa mengobati sendiri dengan pelan-pelan dengan KETENANGAN dan OLAH RAGA melalui bersilat. Di tempat ini makanan bisa tercukupi untuk kalian dan jangan terlalu mengkhawatirkan keluargamu, karena kami berdua akan melindunginya. Salam, Uh Hou-hoat dan Hong Hou-hoat. Bab Sesudah: Bie Hun Tok (4) Lie Yang menghela nafas panjang. Entah berapa lama ia akan berdiam diri di tempat ini. Apakah hanya karena mendapatkan racun saja, sehingga mereka harus berdiam di tempat sepi seperti ini. Begitulah ia berpikir dnabertanya-tanya pada dirinya sendiri. Termasuk siapa sebenarnya Uh Hou- hoat dan Hong Hou-hoat yang telah membantunya. Siapa sebenarnya istrinya, ia sendiri tidak begitu mengerti hakikatnya, namun rasa cinta dan kasih sayang tidak mengenal usia, waktu, setatus dan lain-lainnya. Cinta hanya mengenal apa artinya sebuah PENGORBANAN, TANGGUNG JAWAB, dan SALING MENGHORMATI. Setidaknya itulah yang sedikit dimengerti oleh Lie Yang untuk saat ini. “Apa yang sedang engkau pikirkan, Yang-twako?” di pintu sudah berdiri Kwat Lin dengan sorot mata tajam. “Tidak! Apakah engkau sudah mendapatkan telur-telur burung itu?” tanya Lie Yang sambil memaksakan dirinya untuk selalu tersenyum, padahal hatinya tidak tentram. Kwat Lin membuka dua tangannya yang mengenggam beberapa telur burung walet. Lie Yang tertawa melihat telur-telur yang ada di genggaman Kwat Lin. Sedangkan Kwat Lin memonyongkan mulutnya seperti mengejek atau sedang jengkel karena ditertawai oleh Lie Yang. “Cuma lima butir, mana bisa mengenyangkan perut kita berdua!?” kata Lie Yang yang lalu mengajak Kwat Lin masuk ke gua ke pertama. “Habis sarangnya mereka begitu jauh, mana ginkangku bisa mencapai langit-langit gua sana?” kata Kwat Lin penasaran karena merasa disalahkan oleh Lie Yang. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 31 dari 114 “Sudah baik engkau bisa mendapatkan lima telur, kalau tidak kan lebih mengecewakan!” jawab Lie Yang sambil tertawa. “Memangnya engkau bisa mendapatkan telur itu, walau sebutir saja. Dasar laki-laki tidak tahu diri. Sudah tidak mampu mengambil, masih mengolok-ngolok orang lain!” kata Kwat Lin merajuk. Kwat Lin tanpa tidak langsung mengatakan bahwa Lie Yang adalah laki-laki lemah, namun sok hebat dan pandai. “Maafkan aku kalau perkataanku tadi membuatmu marah! Baiklah, kalau engkau menganggap suamimu ini seorang yang lemah, maka laki-laki di dunia ini lebih lemah lagi. Apakah mau taruhan denganku?” kata Lie Yang sambil mengedip-ngedipkan mata kirinya. “Bertaruh bagaimana?” tanya Kwat Lin. “Bertaruh setiap telur mendapatkan ciuman sekali, bagaimana?” jawab Lie yang masih dengan bermain mata. “Masakan kamu bisa terbang ke sana atau merayap seperti tokek? Baik! Aku akan mengganti setiap telur dengan apa yang engkau inginkan.” Jawabnya agak jengah. Ia sengaja tidak menjawab dengan kata-kata ‘mencium’ karena kata itu terlalu memalukan buatnya. “Lihat baik-baik aku akan terbang seperti burung-burung walet itu!” kata Lie Yang dan tiba-tiba saja badannya melayang tanpa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Pucat wajah Kwat Lin melihat adegan mengejutkan seperti ini. Hampir ia tidak percaya bahwa Lie Yang yang dianggapnya sangat lemah, bahkan membunuh lalat saja tidak bisa, bisa terbang seperti burung. Mulutnya terkunci tidak bisa mengelurkan apa-apa, sedangkan matanya melotot seperti melihat setan. Lie Yang melayang-layang dengan ginkang sempurna. Pelan-pelan ia memeriksa satu persatu sarang burung-burng walet dan mengambil telurnya satu-satu sehingga burung walet itu tidak kehilangan banyak telurnya. Lalu ia turun di hadapan Kwat Lin yang memandangnya dengan mata terbelalak lebar. “Eh! Apa yang engkau lihat?” tegur Lie Yang kepada istrinya. “Kamu..kamu...Yang-twako??!!” katanya terbata-bata seperti orang tercekik tidak mampu berbicara. “Nanti aku jelaskan semuanya, yang terpenting adalah aku sudah bisa mengumpulkan tiga puluh lima telur, sekarang mana ganti ruginya?” katanya sambil tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Kwat Lin menundukkan kepalanya saking malunya. Kwat Lin tidak bisa menjawab lagi permintaan Lie Yang. “Ah, kalau kamu seperti itu bagaimana aku bisa menciummu. Kalau begitu tidak jadi saja!” kata Lie Yang pura-pura jengkel dan kecewa. Lalu ia meninggalkan Kwat Lin sendirian menyesali nasibnya. Di ruangan tengah Lie Yang sudah mulai memasak telur-telur burung walet. Untung saja di gua yang besar ini terdapat juga alat masak yang lengkap, bahkan ada beberapa bumbu masakan. Tidak sia-sia Lie Yang belajar memasak dari beberapa pembantunya di rumah selama ini, sehingga menghadapi masalah hidup saat ini tidak begitu berat. Walaupun tidak ada berasa, dengan memakan telur dan beberapa jamur yang bisa diambil dari gua ke dua sangat cukup untuk mengisi perut dua orang. Sambil bersiul-siul dan membaca puisi seperti biasanya, ia memasak telur-telur burung dan jamur- jamuran. Sedangkan Kwat Lin masih tidak mau keluar dari gua pertama sejak tadi. Lie Yang heran sekali, kenapa Kwat Lin tidak juga keluar-keluar padahal masakannya hampir matang. Ia meninggalkan masakannya menuju gua pertama untuk melihat apa yang dilakukan oleh Kwat Lin. Kwat Lin ternyata sedang menangis terisak-isak di atas batu pinggir gua. Lie Yang benar-benar tidak mengerti kenapa Kwat Lin menangis, padahal seingatnya ia tidak merasa menyakiti hatinya. Ia benar- benar tidak mengerti sebenarnya bagaimanakah hati seorang perempuan. “Lin-moi, kenapa menangis, kalau aku punya salah engkau boleh memukulku sampai mampus!” Kwat Lin diam saja tidak menjawab perkataan Lie Yang. Malahan ia semakin terisak sedih. “Ada apakah Lin-moi, kenapa masih menangis? Kalau ada apa-apa bisa dibicarakan dengan baik- baik!” “Apa salahku kepadamu, sehingga engkau berani mempermainkanku dan membohongiku?” isak Kwat Lin.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 32 dari 114
Lie Yang duduk di sampingnya sambil memegang pundaknya. “Maafkan aku, Lin-moi. Bukan maksudku untuk membohongimu. Saat itu ada beberapa hal yang tidak mungkin dapat kujelaskan kepadamu. Kalau engkau masih penasaran denganku, engkau boleh bertanya dan aku tidak akan mengelak lagi!” Kwat Lin melihat wajah Lie Yang dengan sungguh-sungguh seperti ingin menjenguk hati suaminya. “Benarkah engkau tidak punya kemampuan apa-apa, sehingga dahulu sekali pukul saja engka sudah....?” tanyanya sambil memotong beberapa perkataannya yang sudah dapat dipahami oleh Lie Yan. “Hakikatnya kita adalah manusia yang lemah, Lin-moi. Kalau orang bisa bersilat engkau anggap sebagai orang hebat, maka itu salah. Terus terang saja, sejak umur sepuluh tahun aku sudah diajari silat oleh seseorang yang sampai sekarang belum kuketahui siapa namanya atau bagaimana wajahnya. Memang semua orang yang mengenalku belum tahu tentang rahasia ini, engkau adalah orang pertama yang tahu tentang rahasiaku ini. Ayah-ibu atau teman-teman lainnya pun tidak tahu. Kenapa waktu itu aku bisa tidak melawan ketika engkau pukul, bukan karena aku ingin mempermainkanmu atau membohongimu. Aku sudah terlanjur berjanji kepada pengajarku untuk tidak menggunakan ilmu ini kalau tidak menghadapi keadaan yang sangat berbahaya. Bahkan kalau aku menggunakan kepandainku, aku dilarang mengeluarkannya secara terang-terangan. Kata pengajarku, bahwa kepandaianku baru boleh diperlihatkan kepada orang lain, ketika pengajarku memberi izin. Sampai sekarang pun sebenarnya aku masih belum diperkenankan untuk mengeluarkan kepandaianku kepada orang lain. Aku harus pandai-pandai menyembunyikan kepandaianku. Lan-moi, engkau harus tahu bahwa aku berani melanggar janjiku karena aku benar-benar percaya dan menghargaimu sebagai orang yang paling dekat denganku. Aku sangat sayang dan cinta padamu, Lan-moi!” Kwat Lin bukannya malah diam atau senang mendengar penuturan Lie Yang, tangisannya malah lebih hebat dan menubruk ke arah Lie Yang. Sejenak mereka berpelukan. Lie Yang mengelus rambut Kwat Lin yang hitam legam dengan rasa sayang yang mendalam.
Bab Sesudah: Bie Hun Tok (5)
“Dan bagaimana dengan masalah dadamu tidak berdetak ketika kuperiksa dahulu, apakah itu bukan sengaja mempermainkan diriku?” tanya Kwat Lin masih dalam pelukan Lie Yang. “Inilah kesalahanku padamu, Lin-moi. Waktu itu aku sengaja mematikan semua nadi dalam tubuhku sehingga detak jantungku secara otomatis berhenti berdetak sesaat. Berharap aku bisa melihat bagaimana reaksimu dan dapat mengenalmu lebih dekat. Ini pun tidak terlepas dari kasih sayangku padamu sejak pertama kali melihat dirimu di penginapan di kota Lok Yang. Maukah engkau memafkan kesalahanku ini, Lin-moi?” Sesaat Kwat Lin merenggangkan pelukannya dan menatap senang wajah Lie Yang. Kali ini ia sudah tidak menangis bahkan tersenyum manis. Lie Yang juga tersenyum sambil mengelus-elus pipi kanan Kwat Lin. Lalu dengan punggung dua jari tengah tangan kanan ia mengelus hidung Kwat Lin. Tiba-tiba saja Kwat Lin mendekatkan mukanya dan mencium kedua pipi Lie Yang sambil berbisik, “Aku sayang dan cinta, Yang-twako!”. “Perutku lapar sekali apa masakannya sudah matang?” tanya Kwat Lin setelah berbisik merdu membetot sukma Lie Yang. “Hahaha...hampir lupa kalau aku juga sudah kelaparan! Ayo...!!! nanti setelah makan baru kita ngobrol yang lainnya!” ajak Lie Yang masuk ke dalam dan menikmati masakannya. Mereka berlari menuju ruangan dalam yang sudah dinantikan oleh makanan yang enak. Sebentar kemudian mereka sudah bersantap sampai kenyang. Masakan Lie Yang benar-benar enak sampai mulut Kwat Lin tidak henti-hentinya memuji. Sambil main caplok sana-sini, Kwat Lin bertanya tentang dari mana Lie Yang bisa memasak maskan enak seperti ini. Lie Yang hanya menjawab dengan senyuman khasnya, senyuman yang dapat memabokkan iman perempuan termasuk Kwat Lin. Lalu ia menceritakan kisa masa kecilnya ketika belajar memasak dari para pelayan dapur dan ibunya. “Yang-twako, apa yang ingin engkau bicarakan kepadaku?” tanya Kwat Lin yang sudah ingat perkataan Lie yang tadi. Sambil mengunyah makanan ia bertanya seperti itu, sehingga suaranya
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 33 dari 114
terdengar aneh di telinga Lie Yang. LIe Yang geleng-geleng kepala melihat kelakuan kanak-kanan istrinya. “Aku ingin tanya tentang siapa sebenarnya orang yang menulis tulisan di tembok kemarin, barang kali engkau tahu atau kenal dua orang itu.” “Oh..” jawabnya terputus oleh kunyahan makanan di mulutnya. Selesai menelan baru ia berkata melanjutkan perkatannya yang putus. “Orang yang mempunyai julukan Hong Hou-hoat adalah ayahku yang bernama Yang Lu. Sedangkan Uh Hou-hoat adalah salah satu rekan ayah di dunia kang-ouw. Ayah dan paman Uh adalah Dua Pelindung dari Kim-liong-pay dengan julukan Kim-liong Ji-sian. Dahulu nama dua orang ini sangat terkenal, karena mereka disamping menjadi Dua Pelindung luar, juga menjadi Duta Perdamaian dari Kim-liong-pay untuk menyelesaikan masalah-masalah orang-orang kang-ouw. Baru setelah Kim-liong- pay hancur, dua sahabat itu berpisah lama sekali dan baru bertemu kemarin. Ayah sendiri setelah mengetahui Kim-liong-pay hancur, ia lalu mendirikan partai sendiri yang bernama Pek-eng-pay dan orang-orang kang-ouw hanya mengenal ayah sebagai ketua Pek-eng-pay dengan julukan Yang Lu- Ban-li-hui-eng (Si Elang Terbang Berlaksa Li), karena ginkangnya yang tinggi dan sempurna. Dua Duta Perdamaian ini selama malang-melintang di dunia kang-ouw belum pernah ada yang mengetahui wajah aslinya karena mereka bekerja di bawah topeng emas bergambar naga. Tentang paman Uh, aku tidak begitu kenal karena baru saja bertemu dengannya kemarin ketika aku menginap di Lok Yang.” Lie Yang manggut-manggut mendengar penuturan istrinya. Sebaliknya Kwat Lin selalu mengawasi gerak-gerik suaminya dari anggukannya sampai suara pernapasannya. “Ada apakah Yang-twako? Kenapa diam saja?!” tanya Kwat Lin heran. “Aku hanya merasa ada yang aneh dengan ayahmu dan Uh Hou-hoat saja!” jawab Lie Yang masih penasaran. “Apanya yang aneh?” “Coba kamu ikut denganku ke kamar sana. engkau akan menemukan sesuatu yang aneh.” Kata Lie Yang langsung berdiri mengajak Kwat Lin ke kamar dimana terdapat tulisan dan lima buku teori ilmu silat. Setelah sampai di dalam, Lie Yang menunjukkan tulisan yang tadi ia baca dan menunjukkan juga lima buku teori silat yang ada di atas meja. Setelah membaca tulisan di tembok itu, wajah Kwat Lin menjadi pucat. Ia pernah mendengar tentang racun Bie Hun Tok (Racun Pemabuk Sukma) di dunia barat. Baru ia tahu dan percaya bahwa memang di dunia ini ada racun yang sedemikian aenhnya. Maka tidak heran kalau mereka disuruh menjadi suami-istri karena pengobatannya hanya melakukan hubungan badan suami-istri. “Apa yang engkau ketahui tentang Bie Hun Tok (Racun Pemabuk Sukma) ini, Lin-moi?” tanya Lie Yang yang sebenarnya bisa menebak bagaimana racun itu. namun ia ingin tahu lebih detail lewat pengetahuan luas istrinya. Tampak Kwat Lin menghela napas panjang mendengar pertanyaan saminya. “Bie Hun Tok (Racun Pemabuk Sukma) adalah racun yang dimiliki oleh iblis perempuan dari barat Tok-sim Bi-sianli. Biasanya racun ini disebarkan melalu pukulan atau minuman untuk meracuni mangsanya dan lawannya. Dahulu ketika aku melakukan perantauan bersama ayah ke Tibet, pernah aku mendengar dongeng tentang sepak terjang iblis wanita di sana. Katanya iblis wanita ini paling suka dengan hawa laki-laki muda yang masih perjaka. Pernah iblis wanita ini menghisap sepuluh pendeta Lama yang masih muda sampai tubuhnya kering seperti kayu mati. Tidak hanya hawa murninya yang lenyap, bahkan darah, sum-sum dan nyawa sepuluh pendeta ini melayang. Akibatnya ia dikejar-kejar dan dicari oleh para pendeta Lama untuk menghilangkan mala petaka ini. Namun kelihaian iblis wanita Bi-sianli ternyata dapat menggagalkan usaha mereka. Sampai akhirnya pendeta Lama tidak berani mendekati iblis wanita ini lagi. Dulunya aku tidak percaya ada wanita mempunyai kekejian seperti iblis, namun setelah mengalami sendiri aku baru percaya bahwa di bumi ini ada orang seperti Bi-sianli dan racunnya yang mengerikan. Racun dan kecantikannya inilah yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya.” “Sungguh sulit dipercaya, seandainya aku tidak mendapatkan pengalaman pahit ini! Dan sungguh ngeri sekali, seandainya aku tidak diselamatkan oleh dua locianpwe itu.” guman Lie Yang ngeri.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 34 dari 114
Lalu Lie Yang menunjukkan lima buku teori ilmu silat di atas meja kepada Kwat Lin. Kwat Lin tampak terkejut dan girang melihat lima buku teori silat ini. “Benar-benar kehidupanku seperti mimpi saja. Buku teori silat ini adalah pelajaran silat tertinggi Kim- liong-pay, bahkan tiga buku yang ini sepengetahuanku hanya khusus diajarkan kepada para Penasehat dan Pelindung saja. Ayah yang termasuk salah satu Pelindung Kim-liong-pay saja belum pernah mengajari ke lima ilmu silat ini. Entah apakah maksud paman Uh memberikan lima buku silat tinggi ini kepada kita, apakah hanya untuk mengobati racun yang kita derita atau ada maksud lainnya?” kata Kwat Lin heran. “Sebenarnya itulah yang ingin kutanyakan kepadamu, Lin-moi. Aku merasa aneh dengan semua ini, padahal aku tidak pernah mengenal ayahmu atau pada paman Uh. Aku benar-benar bingung, tidak habis mengerti apa yang mereka inginkan dan rencanakan?” kata Lie Yang tawar juga.
Bab Sesudah: Bie Hun Tok (6)
“Sebaiknya kita pelajari lima silat tingkat tinggi Kim-liong-pay ini, mungkin ada manfaatnya bagi kita. Lagian kita juga belum tahu di mana jalan keluar gua ini!” Kwat Lin berkata dengan semangat. Lie Yang geleng-geleng kepala melihat sifat istrinya yang selalu berubah-ubah tidak menentu dan sulit menebaknya. “Ada apa?” tanya Kwat Lin penasaran. “Sebaiknya engkau saja yang mempelajari lima macam ilmu silat ini. Aku tidak mau mempelajari lima ilmu ini! Kali ini aku benar-benar pusing, sepertinya aku harus bertanya ke paman Uh atau ayah mertua!” “Apakah engkau tidak mau memberitahu persoalan itu kepadaku?” tanya Kwat Lin heran melihat wajah Lie Yang tidak lagi tersenyum. “Kali ini persoalannya sangat memusingkan. Aku tahu engkau saat ini adalah seorang yang paling dekat denganku, bisa dibilang setengah nyawaku. Namun persoalan ini aku kira bisa selesai kalau aku bertemu dua orang itu, atau bertemu pengajarku. Kali ini aku belum bisa memberitahu persoalanku ini, akan tetapi aku yakin sebentar lagi semuanya akan selesai.” “Baiklah kalau begitu, aku percaya padamu. Aku ingin tanya sesuatu persoalan kepadamu, apakah kamu mau menjawabnya?” kata Kwat Lin. “Apakah engkau ingin bertanya tentang kenapa aku tidak mau mempelajari lima ilmu ini, bukan?” kali ini mata kiri Lie Yang berkedip-kedip seperti biasanya kalau sudah merasakan kesenangan. Kwat Lin menghela napas berat, entah apa yang ada dipikirannya. “Memang engkau cacing di dalam perutku sehingga engkau tahu semua maksudku, sedangkan aku sama sekali tidak mengerti atau paham maksud dalam hatimu?!” kata Kwat Lin mengakui kebolehan suaminya. Lie Yang tertawa renyah mendengar nafas berat istrinya. Sepertinya lagi kesal terhadapnya. “Kenapa aku tidak mau mempelajari lima ilmu silat ini, karena persoalan ini berhubungan erat dengan persoalan yang ingin kutanyakan kepada dua locianpwe itu. Kali ini juga tidak bisa kujawab pertanyaanmu, sayang! Lain kali engkau akan tahu dengan tersendirinya. Sebenarnya aku masih harus memperdalam ilmu yang kupelajari dari pengajarku sehingga tidak mungkin aku mempelajari ilmu yang lainnya. Mungkin hanya itu yang bisa kuberi tahukan kepadamu. Walaupun begitu engkau jangan khuwatir, aku akan membantumu untuk mempelajari lima kitab ini sampai dapat menguasainya!” “Buka lah lima buku itu, aku akan sedikit memberitahumu bagaimana cara menguasai lima ilmu ini dengan waktu yang sangat singkat!” Lie Yang menyambung lagi. Kwat Lin benar-benar tidak mengerti apa maksud suaminya. Namun ia tetap menurut perintah suaminya. “Tiga Ilmu ini adalah ilmu silat yang menitik beratkan kepada sinkang yang minimal sudah mendekati sempurna, sehingga bagi seseorang yang tidak mempunyai sinkang dan lwekang (tenaga dalam) cukup akan menyebabkan cidera ketika memaksa mempelajari tiga ilmu ini. Ilmu ini sebenarnya tidak
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 35 dari 114
hanya terdiri dari tiga kitab atau bagian saja, namun terdiri dari delapan kitab atau bagian yang saling berhubungan antara satu sama lainnya. Menurutku, lebih baik engkau jangan mempelajari tiga ilmu ini dulu sebelum sinkang dan lwekangmu cukup.” Kata Lie Yang memulai menerangkan tentang lima kitab peninggalan Uh Hou-hoat. Kwat Lin hanya diam dengan penuh pertanyaan dan kekaguman kepada suaminya. “Ilmu Sin-hong Sin-kang (Tenaga Sakti Angin Sakti) adalah dasar dari tujuh ilmu lainnya. Untuk menguasai ke tujuh ilmu dahsyat ini, engkau harus menguasai dasarnya ini. Namun tidak mudah untuk menguasai ilmu dasarnya, kalau sinkang dan lwekangmu belum cukup. Kalau engkau bisa menguasai ilmu ini, engkau akan bisa mengontrol angin dengan sinkangmu dan memainkannya sesuka hati, engkau bisa menjadikan angin itu sebagi pukulan, pedang atau tumpangan untuk melayang-layang di udara. Selanjutnya buku ke dua ilmu Kim-liong Sin-hong Ciang-kun (Ilmu Pukulan Tangan Angin Sakti Naga Emas) adalah ilmu ke dua atau tingkatan ke dua. Di buku ini dijelaskan beberapa cara memainkan angin dengan menggunakan sinkang khas dalam bentuk pukulan. Dan buku ke tiga ilmu Kim-liong Hong-kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Naga Emas) adalah buku yang menernagkan jurus-jurus dan tata cara melatih bagaimana menggunakan angin dalam bentuk pedang. Kalau kamu bisa memainkan jurus ini, dalam jarak sekitar lima langkah engkau bisa memotong kepala orang hanya dengan menggunakan angin sebagai senjata. Hebat bukan ilmu ini, namun sayang saat ini aku tidak ada mood untuk mempelajari ilmu-ilmu ini.” Lie Yang berhenti sejenak untuk bernapas dan melihat reaksi istrinya. “Kalau ingin tanya sebaiknya engkau simpan dulu di dalam hati. Setelah aku menerangkan ke lima buku ini, baru engkau boleh bertanya kepadaku. Buku ke empat ilmu Kim-liong Sin-ciang-kun (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Naga Emas) adalah ilmu pukulan biasa seperti pukulan-pukulan lainnya, namun gerakannya tidak sembarangan karena ilmu ini dasar dari isi dari ilmu Kim-liong Sin-hong Ciang-kun. Tanpa menguasai ini dulu, engkau akan kesulitan untuk menguasai dengan cepat Kim- liong Sin-hong Ciang-kun. Buku terakhir ilmu Kim-liong Jian-jiu-kun (Pukulan Seribu Tangan Naga Emas) adalah ilmu yang sangat unik. Karena pada dasarnya ilmu ini juga bukan lain adalah dasar atau isi dari Kim-liong Sin-hong Ciang-kun. Dua ilmu terakhir harus engkau kuasai dulu, baru mempelajari tiga ilmu lainnya. Ini adalah metode tercepat untuk menguasai semua ilmu yang ditinggalkan oleh paman Uh dan ayahmu. Sekarang engkau boleh bertanya!” Lie Yang selesai menerangkan lima buku teori silat ini. “Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana engkau bisa mengetahui begitu banyak tentang lima ilmu khas Kim-liong-pay ini? Dan apakah tidak lebih baik saja aku mempelajari tiga ilmu pertama kalau memang dua ilmu terakhir adalah isinya?” “Sudah kuduga bahwa engkau akan bertanya soal ini. Sebenarnya aku secara tidak sengaja mendapatkan pengetahuan ini, ketika aku dahulu pernah mendapatkan lima teori ini juga. Bahkan aku sudah hapal lima teori ilmu silat ini, hanya saja aku tidak tahu banyak tentang Kim-liong-pay dan baru sekarang aku tahu bahwa lima buku yang pernah kubaca itu adalah ilmu-ilmu khas dari Kim-liong-pay. Untuk pertanyaanmu yang ke dua, memang sepertinya dua ilmu ini tidak perlu lagi dipelajari, kalau nanti dipelajari lagi di tiga ilmu induknya. Jangan engkau menyala artikan seperti itu, dua ilmu ini disamping dapat mempercepat proses menguasai tiga ilmu induknya, juga dapat engkau jadikan tambahan penguasaan ilmu silatmu. Perlu engkau ketahui, bahwa tiga ilmu silat pertama dapat menghabiskan tenaga begitu banyak untuk dapat menggunakannya. Makanya sangat dianjurkan untuk tidak menggunakannya kecuali bertemu lawan tanding yang sangat hebat. Sedangkan menguasai dua ilmu terakhir, dapat dijadikan pegangan untuk melawan lawan yang tidak begitu berbahaya dan juga untuk melatih gerakan tiga ilmu pertama sehingga benar-benar mendarah daging. Dan antara dua ilmu terakhir dan tiga ilmu pertama terdapat perbedaan yang sangat nyata dan jelas ketika engkau mempelajari kedua-duanya. Untuk hari-hari ini lebih baik engkau melatih dua ilmu terakhir sambil menambah sinkang dan lwekang dengan banyak bersemadhi. Aku akan membantumu meningkatkan sinkang dan lwekang dalam tubuhmu dengan cepat, yaitu lewat pengoperan sinkang dan lwekang dariku.” Bukan main senangnya Kwat lin mendengar keternagan dari suaminya ini. “Apakah dengan penyaluran sinkang dan lwekang darimu tidak membahayakan dan melemahkan sinkang dan lwekangmu sendiri?” tanya Kwat Lin khuwatir. “Jangan khuwatir, aku mempunyai cara lain untuk memindah sinkang dan lwekang tanpa mengurangi sinkang dan lwekang dalam tubuhku atau mengganggu kesegaranku. Bahkan dalam penyaluran ini aku juga akan mendapatkan manfaat yang tidak sedikit.” “Terima kasih atas petunjukknya, Yang-twako!” kata Kwat Lin bersyukur. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 36 dari 114 “Apakah hanya itu saja yang bisa engkau lakukan untuk berterima kasih kepadaku?” tanya Lie Yang sambil mengedipkan mata kirinya lagi. “Terus aku harus bagaimana?” tanya Kwat Lin tidak tahu harus berbuat apa. “Engkau bisa bersyukur melalui pelunasan hutangmu tadi, bahkan harus berbunga sepuluh kali lipat!” jawab Lie Yang dengan tersenyum licik. Kwat Lin menundukkan kepalanya malu dan jengah. Ia sudah bisa menebak kemana arah omongan suaminya, yaitu hutang ciuman tiga puluh lima kali. “Baiklah! Ini aku sudah siap!” tiba-tiba Kwat Lin mendongakkan kepalanya mengagetkan Lie Yang. Kali ini Lie Yang yang kelabakan, karena tidak menduga bahwa istrinya akan mau dipermainkannya. Sungguh polos sifat istrinya ini. Gurauannya dianggap benaran. Mau tidak mau di dalam hati Lie Yang bersorak gembira. Siapa yang tidak ingin mencium seorang istri yang mempunyai kecantikan yang khas begitu. Apalagi masih muda baru mekar-mekarnya. Kwat Lin tampak mendongakkan kepalanya sambil memejamkan dua matanya merasa malu dan ngeri. Ia sudah siap dicium oleh suaminya tiga puluh lima kali. Lie Yang menyeringai seperti setan penasaran, dua tangannya digosokkan seperti orang kedinginan. “Yahhh! Kalau engkau menutup mata bagaimana aku bisa menikmati ciumanku. Buka dua matamu, engkau juga harus melihat bagaimana aku menciummu. Dan kenapa engkau mendongakkan muka seperti itu, apakah engkau hanya menghendaki kucium di wajahmu saja? Ah itu tidak enak tahu!” kata Lie Yang sambil tersenyum penuh kemenangan. “Memangnya aku harus bagaimana dan mau mencium di mana?” tanya Kwat Lin sambil menghentakkan kaki kirinya manja dan jengkel melihat kelakuan suaminya yang selalu mempermainkannya. “Enaknya mencium di mana ya? Kayaknya kita harus mandi bersama dan engkau akan tahu dimana aku akan dapat mencium!” Lie Yang berkedip-kedip. “Ih... apa engkau sudah tidak punya malu mau mandi berdua, kita kan berbeda jenis!” jawab Kwat Lin jengah. “Apanya yang salah?! Kita toh sudah menjalin suami-istri dan mana ada orang yang melihat kalau kita mandi berdua di gua ini?” kata Lie Yang membalik. Kwat Lin diam dan tiba-tiba saja dengan gerakan cepat Lie Yang sudah melayang memeluk erat istrinya. Bab Sesudah: Bie Hun Tok (7) “Ihhhh!” teriak Kwat Lin dan diam tidak berdaya dalam pelukan suaminya. Tubuhnya rasanya menggigil ketika bibirnya sudah dicium mesra oleh suaminya sambil menghitung. Lalu dalam keadaan diam Kwat Lin sudah dipondong melayang masuk ke gua ke dua dan diajak mandi bersama. Berkali- kali terdengar jeritan manja dari mulut Kwat Lin dan suara hitungan dari mulut Lie Yang sambil tertawa cekikan penuh kemenangan. Dua suami-istri muda-mudi yang mempunyai darah panas memang luar biasa ganasnya. Mereka akhirnya dapat hidup di gua bersama sambil mencoba memahami dan menyelami sifat masing- masing. Kesehariannya hanya berlatih dengan tekun di dalam gua dan kadang-kdang bermain-main bersama layaknya anak kecil. Mereka tidak tahu bahwa racun yang ada di tubuh mereka lama kelamaan menjadi hilang tanpa bekas, akibat beberapa hal yang tidak mereka kira-kira. Pertama karena mereka selalu berhubungan badan suami-istri, berlatih ilmu-ilmu silat tinggi dan makanan yang mereka makan mengandung obat dan dapat menambah daya sinkang dan lwekang mereka menjadi berlipat ganda dalam beberapa minggu saja. Jamur-jamuran dan telur burung walet yang mereka konsumsi setiap hari dapat mencuci bersih racun yang mengeram di dalam tubuh mereka. Bahkan tanpa diketahui oleh Kwat Lin keringat tubuhnya bisa mengeluarkan aroma harum. Sehingga dapat membuat Lie Yang tambah senang dan sayang. Kecantikannya juga menjadi lebih hebat dari sebelumnya. Sedangkan Lie Yang tanpa diketahui ia dapat menyempurnakan semua ilmu-ilmu yang sedang ia pelajari dan tubuhnya dengan cepatnya dapat tumbuh lebih besar dan berotot. Tampak lebih gagah dengan kulit yang selalu kenyal. Dua suami-istri muda itu tidak tahu bahwa lamban laun tubuh dan ilmu silat mereka menjadi berubah meningkat sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Sebaiknya kita beralih ke dunia luar dan kita tinggalkan suami-istri muda ini untuk sementara. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Thian-long-pay (1) http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 37 dari 114 Dunia kang-ouw gempar dengan munculnya sebuah partai baru persilatan. Partai itu disebut Thian- long-pay atau Partai Serigala Langit. Partai baru ini didirikan oleh datuk sesat dari utara Thian-long-cu. Sudah kita ketahui bahwa kedatangan Thian-long-cu ke selatan adalah untuk mencari Giok-ceng dan di sebuah hutan di bawah pegunungan Siong-san ia dapat menemukan barang yang diinginkan. Di sana ia bertempur melawan Bi-sianli dan Yang-pangcu sehingga ia kabur melarikan diri karena merasa kalah dengan Si Topeng Emas dari Kim-liong-pay itu. Sehingga ia tidak berhasil merebut Giok-ceng dari tangan lawan-lawannya. Kekalahannya membuatnya benar-benar kecewa dan menaruh dendam kepada setiap orang yang berada di situ, lebih-lebih Topeng Emas dan Bi-sianli. Namun kehendak Tuhan tidak bisa ditebak dan kemujuran seseorang sulit diraba. Begitu juga dengan kondisi Thian-liong-cu yang dalam pelariannya tanpa sengaja menemukan Giok-ceng di tengah- tengah hutan. Giok-ceng yang sebelumnya dibawa Kwat Lin tanpa diketahui olehnya ternyata terjatuh di tengah hutan ketika Kwat Lin dan Lie Yang dilarikan oleh Uh Hou-hoat. Bukan main senangnya ia mendapatkan barang berharaga yang telah diperebutkan oleh banyak orang ini. Diam-diam ia lalu pulang ke utara dan mencari banyak pendukung di sana, karena memang kekuasaannya di sana sangat luas, sehingga dalam beberapa bulan kemudian ia sudah dapat mengumpulkan banyak pengikut. Para pengikut atau anak buahnya kebanyakan dari orang-orang jahat seperti perampok, bajak sungai dan laut. Setelah mendapatkan pengikut banyak, ia lalu membuat sebuah markas di utara untuk menetap. Impiannya membuat markas besar yang nanti akan menjadi cikal bakal markas Thian-long-pay tercapai dengan cepat. Bahkan harta yang diperoleh dari hasil perampokan dan membajak di sungai atau laut oleh anak buahnya bisa ia kantongi. Untuk memperluas wilayah dan pengaruhnya, ia tidak segan-segan berani membantai penentangnya dan mencuri harta beberapa pegawai kerajaan. Bahkan ia berani memeras rakyat sehingga keadaan utara sampai ke kota raja menjadi kacau balau dalam sekejab. Dimana-mana terdengar suara ketakutan ketika mendengar nama Thian-long-pay. Selama setahun pertama Thian-liong-cu tidak memperbolehkan anak buahnya mengaku sebagai anak buahnya ketika melakukan kejahatan. Baru setelah kekuasaannya sudah meluas, kekayaannya melimpah dan kekuatannya juga kuat. Ia baru mengumumkan munculnya partai baru di dunia kang- ouw lewat sepak terjang kajahatannya. Berkali-kali para pendekar mencoba mengehentikan sepak terjang Thian-long-pay yang dipimpin oleh datuk sesat utara Thian-long-cu selalu gagal dan sia-sia. Kekuatan Thian-long-pay sudah begitu kuatnya. Kejeniusannya dalam mengumumkan partainya sebelum benar-benar kuat memang patut diacungi jempol, apalagi ia tidak pernah menyinggung atau mengumumkan tentang Giok-ceng yang sudah berada di tangannya. Ini adalah kehebatan dan kecerdikan Thian-liong-cu, maka tidak heran kalau dia bisa menjadi datuk sesat di utara. Ia juga tidak pernah menyuruh anak buahnya untuk menyinggung partai-partai besar lainnya, seperti Ang-hong-pay, Pek-eng-pay, Siauw-lim-pay, Kun-lun-pay, Kay pang, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan lain- lainnya. Thian-long-cu masih belum mau bentrok dengan partai-partai besar seperti mereka, karena kekuatan partainya masih belum cukup kuat untuk melawan mereka. Thian-long-cu lebih memilih mengalah kepada parta-partai besar itu. Baru setelah dua tahun berlalu dan kekuatan partaianya sudah dianggap kuat untuk melawan partai besar lainnya. Akhirnya ia dapat betenang dan tidak gentar dengan lawan siapa saja yang mencoba memusuhinya. Setelah partainya sudah berumur tiga tahun, baru ia berani mengeluarkan undangan kepada seluruh orang kang-ouw untuk menghadiri ulang tahun partainya yang ke tiga. Sebenarnya dalam pesta besar ini ia ingin menunjukkan Giok-ceng kepada orang-orang kang-ouw dan memerintahkan kepada mereka untuk takluk kepada partainya. Kalau sudah dapat menguasai orang-orang kang-ouw atau dalam kata lainnya menjadi bengcu dunia persilatan, ia akan tenang karena memang itulah tujuan utamannya. Persidangan para orang-orang kang-ouw dari aliran putih di Siauw-lim-sie tiga tahun yang lalu ternyata tidak membawa banyak hasil, karena Giok-ceng yang mestinya hadir di sana raip tidak ketahuan perginya. Orang-orang kang-ouw yang hadir di sana saat itu tidak menyangka bahwa Giok- ceng sudah berada di tangan Thian-long-cu dan akan ditunjukkan dalam ulang tahun ke tiga partainya. Di sebuah kedai di kota Lok Yang duduk seorang pemuda berumur dua puluh tiga tahun memakai pakaian putih bersih sendirian. Pemuda itu sedang duduk sambil minum arak untuk menghangatkan badan di musim dingin seperti ini. Dua botol arak tergeletak kosong di atas mejanya. Tampaknya pemuda ini sudah begitu lama duduk di kedai itu, hingga isi dua botol arak sudah tidak tersisa lagi. Walaupun sudah meminum habis dua botol arak, tampak pemuda itu tidak ada gejala mabuk sama sekali. Seorang pemuda yang sangat kuat minumnya. Mungkin karena pemuda ini sudah terbiasa http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 38 dari 114 dengan arak atau memang lwekangnya dapat mengendalikan arak yang diminumnya sehingga sebanyak apapun ia minum, tetap tidak akan pernah mabuk. Kalau orang sudah mampu mengendalikan arak dengan lwekang dan sinkang di dalam tubuhnya, berarti pemuda ini benar-benar mempunyai keahlian sangat tinggi. “Lo-peh (paman tua) tambah lagi araknya dua botol!” teriak pemuda itu kepada seorang pelayan tua. “Baik! Tunggu sebentar kongcu!” kata pelayan itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam untuk mengambil pesanan pemuda itu. Setelah mendapatkan dua botol arak baru, ia segera meminumnya sambil bergumam ‘Arak enak!” berkali-kali. Baru saja ia menghabiskan satu botol arak barunya, dari pintu kedai makan sekaligus merangkap penginapan ini muncul tiga laki-laki berpakaian ringkas. Di belakang tiga orang ini muncul juga belasan orang dengan menghunus pedang. “Orang muda, saatnya engkau menebus dosamu!” kata salah satu dari tiga pendatang. Orang-orang yang berada di kedai ini sudah mulai menyingkrih dari sana. Mereka langsung pergi dari kedai tanpa banyak ngomong lagi. Sedangkan para pelayan sudah berlari masuk ke dalam rumah takut tersangkut masalah. Kedai yang tadinya ramai dalam beberapa detik sudah menjadi sunyi tidak ada orang lagi, kecuali pemuda berbaju putih dengan beberapa pendatang baru. “Sudah lama kalian kutunggu di sini ternyata baru muncul! Kenapa kalian tidak mengajak sekalian pangcu kalian untuk mengantarkan kepala di sini!” jengak setengah mengejek pemuda itu. “Bangsat! Jangan dikira kami tidak mampu menutup mulutmu yang bau itu!” sentak yang lainnya. “Terlalu rendah tangan pangcu kami dilumuri darah kotormu yang tidak berharga!” satunya juga tidak mau kalah dengan teman-temannya. “Hahaha...hanya kalian anak buah rendahan Thian-long-pay mau berulah di sini, apakah kalian ingin mengalami nasib yang sama dengan teman-teman kalian?” ejek si pemuda masih meminum arak. “Hahaha... salut, salut sekali! Masih muda namun sudah memiliki bakat menjadi mayat penasaran!” jengek salah satu dari tiga orang itu lagi. Tiga orang dari Thian-long-pay itu langsung mengurung pemuda berbaju putih itu yang masih enak menegak arak. Tiga orang ini biasanya dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai Sam-thian-long (Tiga Serigala Langit dari Thian-long-pay). Tidak hanya saja namanya sudah terkenal, namun kehebatan ilmu orang ini sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw. Tiga saudara kembar ini biasanya selalu mewakili pangcu Thian-long-pay untuk mengerjakan pekerjaannya di luar daerah kekuasaan Thian-long-pay. Baru saja mereka diutus pengcu mereka untuk membantu membinasakan seorang pemuda yang telah berani menghancurkan cabang partai mereka yang ada di Ho-nan, Nanking dan Santung. Tiga cabang ini hancur dilibas habis oleh seorang saja, yaitu pemuda yang saat ini ada dihadapan Sam-thian-long.
Bab Sesudah: Thian-long-pay (2)
Tidak ada yang tahu sebab apa pemuda ini menghancurkan tiga markas mereka yang ada di cabang tiga propinsi ini. Karena puluhan orang anak buah Thian-long-pay yang menjaga tiga tempat ini tewas semuanya, hanya seorang saja yang dibiarkan hidup supaya bisa memberitahu ke markas Thian-long- pay di utara. Bahkan pemuda ini juga menantang pangcu Thian-long-pay untuk turun tangan sendiri melawannya melalui surat yang dikirimkannya lewat anak buah Thian-long-pay yang masih hidup. Sudah sejak pagi pemuda ini menunggu kedatangan orang-orang Thian-long-pay di kedai tengah kota Lok Yang, namun baru sore hari mereka muncul. Pemuda itu tiba-tiba berdiri tanpa bicara sepatah kata pun, sedang tangan kanannya merogoh saku bajunya untuk mengeluarkan uang dan ditaruh di atas meja. Lalu ia berjalan keluar kedai diikuti oleh Sam-thian-long di belakangnya. Tidak ada seorang pun yang berani memulai bergebrak melawan pemuda itu. hanya mata setiap anak buah Thian-long-pay tampak melotot gusar. Setelah berada di luar kedai, ia lalu melayang seperti terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga banyak anak buah Thian-long-pay terbengong-bengong. Lalu Sam-thian-long juga sudah melayang menggunakan ilmu peringan tubuh mengikuti pemuda itu yang sudah pergi duluan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 39 dari 114
Di luar kota Lok Yang pemuda berbaju putih sudah berhenti dan berdiri tenang sambil menatap tiga orng kerdil dari Thian-long-pay. Hampir sepuluh menit pemuda itu menatap Sam-thian-long tanpa bicara, sepertinya ia ingin mengukur seberapa kekuatan Sam-thian-long yang tersohor. “Kami orang-orang tua sudah berlaku murah hati kepadamu. Ada permusuhan apakah engkau dnegan kami sehingga berani mati membinasakan semua anak buah kami di Santung, Nanking dan Ho-nan?” tanya seorang Sam-thian-long yang berada di tengah. “Bukan aku yang menghendaki permusuhan dengan pihak kalian, akan tetapi pihak kalian lah yang memulai dulu memusuhi pihak kami.” Jawab pemuda itu tidak berguming dari tempat berdirinya. “Hm... kami saja tidak mengenal siapa kalian, bagaimana kami bermusuhan dengan pihakmu?” tanya tawar orang yang berada di tengah. “Kalian mengenalnya, namun dengan sengaja mencoba bermain api dengan kami. Apa yang akan kalian lakukan seandainya ada segerombolan serigala berani membuat sarang di sebuah tempat yang kalian kuasai? Bukankah kalian akan menghancurkan sarang serigala itu?” kata pemuda itu dengan suara datar. “Kami tidak pernah tahu bahwa tiga tempat itu ada dalam kekuasaan suatu golongan?” tampaknya Sam-thian-long mencoba untuk menghindar dari pertanyaan pemuda berbaju putih. “Apakah kalian pernah kalian mendengar perkataan ini ‘Tawon merah terbang beribu-ribu li jauhnya, mencari bunga segar dan meninggalkannya sebagai bunga layu setelah menghisap sarinya.’ Dan perkataan ini ‘Segerombolan tawon merah terbang beribu-ribu li jauhnya merajai setiap tempat yang disinggahinya!’???” kata pemuda seperti seorang bersajak. “Hahaha... ternyata Ang-hong-pay yang mendalangi semua ini! Walaupun begitu kami tidak akan mundur selangkah pun. Sebaliknya kalian harus mengganti nyawa puluhan anak buah Thian-long- pay.” Mereka lalu serempak menyerang pemuda berbaju putih. Pemuda itu hanya mendengus tidak bergerak dari tempat berdirinya ketika Sam-thian-long menyerangnya. Dan meloncat ke atas ketika tubuh tiga lawannya sudah dekat dengannya. Berkali-kali pukulan dari tiga serigala itu mengenai tempat kosong. Ilmu peringan tubuh pemuda berbaju putih memang hebat sekali. Gerakannya memang seperti tawon merah terbang beribu-ribu li. “Aku akan mengampuni jiwa kalian dengan syarat kalian mau bekerja sama dengan pihak Ang-long- pay!” kata pemuda berbaju putih sambil menghindari pukulan-ukulan Tiga Serigala Langit dengan ginkang tingginya. Setelah lama tidak mendapatkan jawaban, malahan serangan Tiga Serigala Langit semakin gencar, mendadak ia mulai menyerang tidak menghindar seperti tadi. “Baik! Jangan bilang panggil aku Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) kalau tidak bisa mengalahkan kalian!” serempak ia mulai memainkan sebuah jurus yang dapat menangkis beberapa pukulan lawannya. Julukannya Ang-hong-cu namun jurus yang dimainkannya bukan jurus seperti Tawon Merah, sangat beda dengan Tiga Serigala Langit yang jurus-jurusnya sangat mirip dengan julukannya. Cakaran dan gerengan ala serigala dengan disertai sinkang tinggi membuat daerah pertempuran semakin seram. Suara Tiga Serigala Langit benar-benar menyeramkan, seperti siluman. Seandainya lawannya bukan orang hebat, tentu sudah sejak tadi sudah mati kelenger. Gerengan ala serigala itu saja sudah bisa memekakkan telinga lawan, belum lagi ilmu cakaran mereka yang sangat berbahaya. Namun ilmu yang dimainkan oleh Ang-hong-cu saat ini adalah ilmu yang sangat tinggi. Termasuk ilmu khas dari Kim-liong-pay yang memang mempunyai ilmu-ilmu hebat. Ilmu Kim-liong Jian-jiu-kun (Pukulan Seribu Tangan Naga Emas) sangat hebat sekali dimainkan oleh Ang-hong-cu. Sayang sekali gerakan Tiga Serigala langit yang bergabung bertiga juga memiliki ketangkasan yang luar biasa, sehingga dalam gebrakan ini mereka belum ada yang terluka. Lalu Tiga Serigala Langit mulai merubah gerakan mereka, kali ini mereka tidak lagi menyerang berbarengan dan secara acak lagi, namun mereka menyerang secara bergiliran sambil menggunakan langkah-langkah aneh sehingga membingungkan Ang-hong-cu. Kali ini Ang-hong-cu benar-benar tidak menyangka bahwa Tiga Serigala Langit mempunyai ilmu sehebat ini. Pukulan disertai gerakan ginkang Ang-hong (Tawon-Merah) tidak bisa menerobos serangan lawannya. Sepertinya lawannya adalah bayangan dirinya yang selalu menguntilnya sambil menyerang. Lalu tiba-tiba lawannya merubah lagi gerakannya, kali ini mereka menyebar melingkar
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 40 dari 114
mengepung Ang-hong-cu. Gerakan mereka malah semakin hebat, sehingga benar-benar Ang-hong- cu tidak bisa keluar dari lingkaran kurungan Tiga Serigala Langit. Ang-hongcu tidak salah kalau mengaku sebagai anggota Ang-hong-pay yang tersohor memiliki pengikut hebat-hebat. Dalam keadaan seperti ini terpaksa ia memainkan ilmu simpanannya yang sebenarnya jarang digunakan untuk bertempur. Kali ini ia harus menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang (Tenaga Sakti Angin Sakti) untuk mengalahkan tiga lawannya yang memiliki ilmu hebat. Setelah meloncat ke atas ia lalu mulai menggerakkan sinkang dari dalam tubuhnya. Setelah menjulurkan tangan menggerakkan beberapa jurus pukulan menyerang lawannya, dari dua tangannya keluar sinkang halus dan bergulung-gulung menyerang hebat lawannya. Sinkang itu lalu melebur dengan angin sehingga yang terlihat atau tampak hanya angin berbentuk pukulan yang menderu-deru. Di dalam pukulan berbentuk angin itu terkumpul sinkang hebat sehingga dapat melukai tubuh lawan dari jarak jauh.
Bab Sesudah: Thian-long-pay (3)
Belum pernah selama hidup Tiga Serigala Langit mengalami pertempuran yang begitu hebatnya. Dalam mimpi pun mereka belum pernah melihat ilmu sedahsyat ini. Kali ini mereka benar-benar kewalahan sampai-sampai lingkaran yang mereka gerakkan buyar terkena serangan pukulan Ang- hong-cu. Beberapa detik saja salah satu Tiga Serigala Langit terkena pukulan jarak jauh Ang-hong-cu di dadanya sehingga ia mental beberapa meter dalam keadaan empas-empis. “Bangsat!” teriak parau salah satu serigala langit melihat salah satu temannya terkapar sekarat. Ang-hong-cu menjawab dengan serangannya lebih gencar lagi, bahkan merubah pukulan angin menjadi pedang angin. Kali ini Ang-hong-cu bergerak pada tingkatan ke tiga dari ilmu yang ia gunakan. “Aih...!!!!!” jerit tertahan dari salah satu serigala langit terkena sayatan Pedang Angin di bahu kirinya. Mereka semakin gencar menyerang Ang-hong-cu. Pukulan dan cakaran selalu berubah-rubah membuat Ang-hong-cu kelabakan. Mereka selalu berhasil menghindar sabetan dan pukulannya dan bahkan berani mendekatinya. Lalu Ang-hong-cu merubah lagi gerakannya dan terdengar angin menderu di sana sini membuat lawannya terombang-ambing oleh Angin Badai. Inilah tingkatan ke empat dan memasuki tingkatan ke lima dari ilmu yang dipakai oleh Ang-hong-cu. Hebat sekali ilmu ini hingga dapat mendorong ke sana-sini lawannya dan disertai pukulan-pukulan dan sayatan-sayatan pedang. Berkali-kali pukulan dan sayatan Pedang Angin mengenai tubuh lawan hingga terdengar jeritan mengerikan. Beberapa saat kemudian tiga lawannya sudah terkapar mandi darah dalam keadaan tidak bisa bergerak. Pukulan dan sayatan dari ilmu yang dimainkan oleh Ang-hong-cu tidak hanya membuat tubuh mereka tercabik-cabik, namun lebih berbahaya lagi luka dalam yang diterima oleh mereka. Karena pukulan dan sayatan dari ilmu itu hasil dari sinkang istimewa sehingga bisa masuk ke dalam tubuh lawannya. Ang-hong-cu tampaknya terengah-engah akibat terlalu banyak menguras tenaga, akibat menggunakan ilmu Sin-hong Sin-kang. Setelah selesai istirahat ia lalu berjalan menuju tiga serigala yang masih rebah dengan keadaan empas-empis. “Aku bisa membunuh kalian sekarang juga, namun aku tidak akan melakukannya. Kalian sampaikan peringatanku kepada Thian-long-cu untuk tidak lagi mencoba membuat cabang di daerah selatan dan segera bergabung dengan Ang-hong-pay, kalau tidak kami akan menggempur habis-habisan markas Thian-long-pay!” ancam Ang-hong-cu dan langsung pergi tanpa menghiraukan jawaban Tiga Serigala Langit. <><><><><>()<><><><><> Sore itu Ang-hong-cu sudah duduk kembali di kedai tengah kota Lok Yang untuk menikmati arak kesukaannya. Puas sekali kemarin ia bisa mengalahkan Tiga Serigala Langit yang sangat tersohor di kalangan kang-ouw. Ia tidak penasaran lagi kalau sampai tiga serigala itu bisa mempunyai nama yang sangat hebat di utara, karena memang ilmu tiga orang itu hebat sekali. Seandainya ia tidak menggunakan ilmu simpanannya, mungkin ia akan sulit mengalahkan mereka. Berkali-kali ia geleng- geleng kepala mengingat gerakan serempak mereka. Beberapa puluh tegukan arak tidak juga mdapat menghilangkan ingtannya mengenai pertarungan terhebatnya selama ini. “Pantasan Thian-long-cu berani membuat partai kalau punya anak buah yang begitu hebat!” gumamnya sendirian. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 41 dari 114 Tiba-tiba dua matanya mencorong aneh dan tidak bergerak sama sekali. Bahkan gerakan meminumnya sampai berhenti di udara. Dua mata Ang-hong-cu melihat seorang gadis berumur sembilan belas tahun dengan pakaian serba merah berjalan di depannya. Gadis itu sangat cantik, kulitnya yang putih mulus tampak lebih mengkilap tertempa cahaya. Sungguh sempurna kecantikan gadis itu, hingga tidak hanya mata Ang-hong-cu yang jelalatan melihat kecantikan gadis di depannya itu. Semua orang yang sedang ada di kedai itu tampak melengak tidak bergerak melihat bidarai di tengah-tengah mereka. Angin yang menempa tubuh langsing gadis itu mengeluarkan aroma wewangian yang sulit dikatakan dari bunga apa. Aroma yang dapat membetot sukma para lelaki itu menyebar ke segenap kedai. “Lo-peh, tolong buatkan seporsi makanan dan bawah ke kamar nomor dua!” kata gadis itu yang sedang membawa bingkisan besar di tangan kanannya. “Baik nona!” jawab pelayan tua itu. Gadis itu tertawa merdu mendengar jawaban pelayan tua yang seperti seorang sedang tersendak makanan di tenggorokan. Suara gadis itu benar-benar merdu sehingga membuat kalamenjing semua orang naik-turun tidak menentu. “Nona cantik selamat sore! Bolehkah aku bertanya siapa nama nona?” tanya tiba-tiba Ang-hong-cu sudah tidak sabar lagi ingin berkenalan dengan gadis itu. Sekilas gadis melihat ke arah Ang-hong-cu sambil tersenyum manis dan menjawab dengan suara merdu. “Namaku Ang-i-sianli (Dewi Berbaju Merah)!”. Gadis itu lalu naik ke atas lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Setelah sosok yang dikagumi oleh banyak orang masuk ke dalam kamar, suasana kedai yang tadi sepi menjadi ramai berisik. Banyak orang yang membicarakan sosok halus itu. Sedangkan Ang-hong-cu sampai terdiam membisu sepertinya sukmanya sudah melayang mengikuti tubuh gadis itu ke kamarnya.
Bab Sesudah: Thian-long-pay (4)
“Aduh! Belum pernah selama ini kulihat gadis secantik dia. Ah, lihat saja nanti malam aku akan mendapatkannya!” pikir Ang-hong-cu sambil tersennyum licik. Setengah jam kemudian ia pergi meninggalkan kedai dan malam mulai menghiasi kehidupan. Dalam perjalanannya ini tidak henti-hentinya pikiran Ang-hong-cu melayang-layang mengingat keindahan tubuh gadis berpakaian merah itu. Gadis tadi bukan lain adalah Kwat Lin yang sudah keluar dari gua persembunyiannya. Sudah tiga tahun lamannya ia berdiam di sana bersama Lie Yang menikmati hari-harinya yang indah dan menyenangkan. Selama tiga tahun ini semuanya telah berubah, dari cara berpikirnya, keadaan tubuhnya dan ilmu silatnya. Semuanya ada kemajuan, bahkan lima buku yang ditinggalkan oleh Uh Hou-hoat sudah dikuasainya dengan sempurna. Lie Yang semakin hari semakin sayang kepada istrinya, hingga ia mengajarkan sebuah ilmu ginkang kepada istrinya. Ilmu itu dapat membuat tubuh seseorang seringan kapas dengan mengandalkan ginkang tinggi dan istimewa. Selama di dalam gua itu, Lie Yang juga berhasil menguasai semua ilmu yang sedang ia pelajari dan sempurnakan. Bahkan saking jeniusnya anak muda ini, diumurnya yang ke dua puluh ia bisa menciptakan sebuah ilmu peringan tubuh yang lalu diajarkan kepada istrinya. Ilmu itu dinamakan Yan-bi Hi-hong (Walet Cantik Bermain dengan Angin) dan memang sengaja diciptakan khusus untuk istrinya. Sehingga dengan ilmu itu Kwat Lin bisa mengambil telur-telur walet yang berada di atas dinding gua tanpa alat pembantu lainnya. Ia bisa melayang ke atas tanpa menggerakkan badannya sedikit pun. Sekali-kali sebenarnya bukan karena tubuhnya sudah seringan kapas, namun sinkang istimewa yang dilatihnya selama ini dapat juga digunakan untuk membantu meringankan tubuhnya. Atas bantuan sinkang istimewanya, ia bisa memanfaatkan angin sebagai semacam tumpangan atau penggerak tubuhnya untuk terbang. Mendapatkan ilmu yang istimewa seperti ini ia sangat senang sekali dan hampir setiap hari ia tekun mempelajari ilmu ini sampai-sampai ia bisa berkejaran dengan burung walet di udara. Setelah berhasil meyakinkan dan menyempurnakan semua ilmunya dan lebih-lebih sudah berhasil mengusir semua hawa racun di dalam tubuh mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk keluar gua. Kali ini Lie Yang sudah tampak gagah dan dewasa sehingga tindak-tanduknya tambah tenang, walaupun sifatnya yang ceriwis tidak bisa dihilangkan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 42 dari 114
Baru pagi tadi mereka sampai di penginapan sekaligus kedai di Lok Yang. Lie Yang yang memilih berdiam diri di dalam kamar melakukan semadhi seperti hari-hari biasanya. Selama tiga tahun di gua, ia lebih banyak melakukan semadhi kalau tidak sedang bergurau atau bermain-main dengan istrinya. Kekuatan sinkangnya saat ini entah sudah samapai tingkata bagaimana ia pun tidak mengetahui. Ia cuma tahu belajar dan belajar sesuai arahan pengajarnya. Kalau Lie Yang berdiam di dalam kamar, sedangkan Kwat Lin berkeliaran mengelilingi kota Lok Yang sambil membeli baju untuk dirinya dan suaminya. Sifatnya yang periang dan suka berpetualang tidak bisa juga dihilangkan. Dahulu ketika ia masih berada di dalam gua, seringkali ia merengek seperti anak kecil meminta keluar gua kepada suaminya, namun berkat kesabaran dan ketenangan Lie Yang akhirnya bisa mengontrol sifat istrinya. Baru saja ia masuk ke dalam kamar ia sudah tertawa cekikikan sambil melempar baju yang ia bawa ke arah muka Lie Yang yang sedang bersemadhi. Kontan Lie Yang sampai terbangun dari semadhinya dan dua matanya meotot ke arah istrinya yang masih tertawa cekikikan sambil berjalan ke arah pembaringan. “Kenapa engkau masih begini kekanak-kanakan?” tegur Lie Yang sambil melototkan matanya. “Cik..cik...marah ya? Ala gitu saja marah, bagaimana nanti kalau sudah punya anak?” jawab Kwat Lin sambil menyandarkan tubuhnya ke dada Lie Yang. Lie Yang diam saja tidak menjawab hanya terdengar suara pernapasannya sepertinya sangat berat. “Apa Yang-twako marah kepadaku? Maaf ya kalau aku mengagetkanmu! Kalau mau menghukum, nih boleh Yang-twako menghukum!” kata Kwat Lin memelas dan menyodorkan pipi kanannya ke muka suaminya. Selama tiga tahun ini hubungan mereka semakin lembut, hingga kalau Lie Yang mau menghukum kesalahan istrinya, seperti omongannya yang kurang sopan, masakannya kurang enak atau ketika diajar silat tidak juga bisa-bisa. Ia akan menghukum istrinya dengan sebuah ‘ciuman’ di pipi atau tempat lain. Maka tidak heran ketika Kwat Lin merasa bersalah, ia sudah boro-boro menyodorkan pipi kanannya yang tampak putih kemerah-merahan. “Cupp!!” tiba-tiba Lie Yang menyodorkan bibirnya mencium pipi kanan istrinya. “Lin-moi, umurmu sudah tua dan sebentar lagi engkau akan menjadi seorang ibu, sungguh tidak baik kelakuanmu ini kalau sampai dilihat orang lain atau ditiru anak-anak kita kelak!” tegur suaminya dan Kwat Lin menganggukkan kepala mentaati. Memang saat ini Kwat Lin sedang hamil, baru dua bulan kandungannya dan sangat membahagiakannya. Sebenarnya mereka sudah sangat betah di dalam gua sana, namun karena usia kandungan Kwat Lin sudah mulai tua dan Lie yang tidak mau menyusahkan istrinya kalau nanti melahirkan, akhirnya mereka sepakat keluar untuk pulang ke Taiyuan dan menetap di sana bersama ayah-ibunya. “Aih! Siapa yang sudah tua, umurku saja baru sembilan belas dan lihat tubuhku masih begitu indah belum terlihat seperti nenek-nenek! Apakah Yang-twako sudah salah lihat?” kata Kwat Lin yang lalu berjalan megal-megol di depan suaminya sambil tertawa cekikikan. Mau tidak mau Lie Yang akhirnya tersenyum juga melihat kelakuan istrinya yang benar-benar aneh dan keras kepala. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Thian-long-pay (5) Malam itu di kamar dua suami-istri muda itu sudah gelap tidak ada sinar lampu lagi. Suasana di penginapan ini sudah begitu sepinya, hingga tidak ada suara apapun terdengar, hanya suara orang mendengkur di selingi igauan-igauan orang lelap tidur yang terdengar keras. Tiba-tiba dari atas atap kamar mereka ada sesosok orang sedang membuka genteng rumah dengan sangat pelan. Lalu terjulur sebuah kayu bambu sebesar ibu jari. Tidak lama kemudia keluar asap dari kayu bambu itu memenuhi kamar Lie Yang dan Kwat Lin. Kamar itu akhirnya tampak lebih gelap sampai-sampai tidak terlihat lagi isi kamar itu. Dari kamar itu terdengar suara batuk-batuk ramai sekali dan sepi. Sepertinya Lie Yang atau Kwat Lin sudah terlelap terkena asap pembius dari sesok orang di atas atap. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, sosok berbaju putih itu lalu turun dan masuk lewat jendela belakang. Ginkangnya hebat sekali hingga tidak terdengar suara sedikit pun. Setelah menyalakan lilin dan melihat ruangan kamar yang masih berkabut tiba-tiba orang itu menyeringai licik.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 43 dari 114
“Kali ini aku bisa menikmatimu, sayang!” kata orang berpakaian putih yang bukan lain adalah Ang- hong-cu. Kedatangannya sebenarnya bermaksud jahat terhadap Kwat Lin yang tadi sore terkagum-kagum melihat kemolekan tubuh dan wajah Kwat Lin. Ang-hong-cu sebenarnya bisa dikatakan sebagai golongan seorang penjahat pemetik bunga atau pemerkosa wanita. Tidak heran kalau malam ini ia berani masuk ke kamar Kwat Lin dengan menggunakan asap tidurnya. “Ahhh!!!” teriaknya tertahan. Ia tampak kaget ketika melihat kamar Kwat Lin kosong. Padahal tadi ia sudah mendengar suara Kwat Lin batuk-batuk seperti sudah terkena asap pembiusnya. Namun kali ini ia tidak habis mengerti kemana perginya orang yang sedang diharap-harapkannya itu. “Yang-twako, sepertinya ada jai-ho-cat (Penjahat Pemetik Bunga) yang sedang kesasar ke dalam kamar kita! Dasar pemuda hidung belang tidak tahu malu! Kamar orang yang sudah besuami masih saja disatroni!” terdengar suara Kwat Lin terbawa angin masuk ke dalam kamar. Entah ada di mana orangnya?. Kaget bukan main Ang-hong-cu mendengar suara ini. Mukanya tampak kadang-kadang merah kadang-kadang pucat. Malu bukan kepalang si penjahat pemetik bunga ini mendnegar teguran dan hinaan Kwat Lin. Tanpa berkata apa-apa lagi ia sudah meloncat keluar dan kabur. Pikirannya kali ini kusut dan kecewa karena tidak hanya mangsanya bisa meloloskan diri namun juga telah menghinannya. Ang-hong-cu melarikan diri dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang istimewa. Tampak tubuhnya meloncat-loncat dan kadang-kdang melayang seperti Tawon saja. “Sobat, apakah begini sifat orang jantan setelah melakukan kesalahan!” terdengar suara orang dibelakangnya. Kaget tidak kepalang dirinya kali ini. Suara itu terdengar begitu dekat hingga tanpa sengaja bulu kuduknya berdiri ngeri. Ketika ia mencoba menengok ke belakang ia tidak melihat apa- apa. Ia tetap berlari menggunakan ilmu peringan tubuhnya, namun mendadak ia berhenti di udara ketika ia membalikkan mukanya ke depan. Di depannya sudah berdiri atau tepatnya melayang dua orang. Satu laki-laki dan perempuan. Dua orang itu bukan lain adalah Lie Yang dan Kwat Lin. Hampir ia tidak percaya ada orang mempunyai ginkang sehebat ini. Dua orang muda-mudi itu tampak tersenyum mengejek kepadanya. “Si...siapa sebenarnya kalian berdua?” tanyanya tergagap sambil turun ke tanah dan diikuti oleh Lie Yang dan Kwat Lin. “Mestinya kami yang bertanya siapa sebenarnya saudara yang mengganggu tidur kami?” jawab Lie Yang sambil mencoba untuk tersenyum. “Maaf kalau kali ini aku mengganggu tidur kalian. Aku kira tadi kedatanganku sangat dibutuhkan oleh nona Ang-i-sianli. Hahaha....!!!” kata Ang-hong-cu sambil tertawa latah. Ia sudah dapat menghilangkan rasa kaget dan ngerinya. Mendengar jawaban tidak sopan seperti ini, sejenak wajah Kwat Lin menjadi merah saking marahnya. Untung tadi sore ia sudah menceritakan kepada suaminya tentang ada seorang pemuda yang memanggilnya ‘nona’, padahal ia sudah tidak nona-nona lagi dan mendadak Lie Yang mempunyai firasat buruk, sehingga sampai malam ia tidak tidur, hanya duduk bersemadhi seperti biasanya. Pada saat itulah telinganya yang sudah sangat tajam mendengar ada orang datang di atas kamarnya dan ia sudah siap. “Bangsat! Ternyata tidak hanya kelakuanmu yang kotor, namun mulut dan hatimu juga busuk!” teriak Kwat Lin mau menyerang Ang-hong-cu namun dicegah oleh Lie Yang. Ang-hong-cu hanya tertawa latah. Hakikatnya ia malah senang dikatakan mempunyai hati dan mulut yang busuk. Ia senang ternyata ada wanita cantik memujinya seperti itu. “Saudara, sebaiknya engkau segera mengaku siapa sebenarnya dirimu dan apa maksudmu malam- malam mengganggu tidur kami suami-istri?” tanya Lie Yang masih dengan senyum khasnya. Kwat Lin diam saja dengan muka cemberut sepertinya tidak senang dengan cara suaminya bertanya kepada ‘makhluk jahat’ ini. Hatinya sangat kesal melihat suaminya yang ia tahu sangat cerdik dan jenius, kenapa kali ini mendadak sangat bodoh. Padahal sudah jelas tujuan Ang-hong-cu ingin ‘memetik bunga’ yaitu dirinya. “Oh? Aku kira Ang-i-sianli masih seorang nona, ternyata sudah bersuami. Maafkan aku hujin (Nyonya) kalau aku tidak tahu tentang persoalanmu. Tapi walaupun engkau sudah bersuami masih tetap harum memabukkanku. Hahahah....!!!” kata Ang-hong-cu tidak senonoh. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 44 dari 114 Mendengar perkataan Ang-hong-cu ini, bukannya Lie Yang marah malahan tersenyum. Sedangkan Kwat Lin sudah benar-benar tidak tahan lagi, seperti gunung api yang sudah tidak tahan meletuskan laharnya. “Sayang!” kata Lie Yang berkali-kali sehingga membuat Ang-hong-cu tidak mengerti. “Hahaha... sayang? Memang sayang sekali wanita begitu cantiknya berada di tangan seorang pemuda segoblog dirimu, saudara!” kata Ang-hong-cu sambil tertawa tidak ada henti-hentinya. “Hahaha... sayang sekali seorang pemuda sepertimu tidak punya rasa malu sehingga selalu berbuat seenak perutnya! Aku ingin melihat apakah engkau benar-benar tidak punya ‘kemaluan’ hingga tidak punya malu?” kata Lie Yang yang sudah tidak lagi tersenyum seperti tadi, walaupun dalam mengucapkan perkataan ia tertawa. Kali ini Kwat Lin baru tahu bahwa Lie Yang juga bisa bicara seperti itu padahal setahunya suaminya tidak pernah berkata yang seperti itu. lalu ia melihat wajah suaminya yang sepertinya sudah berubah, sorot matanya memancar aneh, sedang mulutnya sudah tidak tersenyum seperti biasanya. Ngeri sekali Kwat Lin melihat wajah suaminya yang sudah mulai berubah entah bagaimana. Nada suaranya juga sudah sedemikian beku dan datar seperti tidak mencerminkan lagu jiwa lagi.
Bab Sesudah: Thian-long-pay (6)
Ang-hong-cu mendengarkan perkataan ini juga marah sekali sampai-sampai ia tidak bisa bicara. Belum pernah ia mendengar perkataan yang seperti itu. “Bangsat! Aku akan bikin engkau mampus dan akan kutunggangi istrimu yang cantik ini biar engkau tahu bagaimana menyesalnya mengeluarkan perkataan itu!” teriak Ang-hong-cu lalu ia mulai menyerang Lie Yang. Tiba-tiba dalam tubuh Lie Yang memancar hawa panas dan dingin sehingga membuat Kwat Lin minggir tidak bergerak. Benar-benar ia tidak paham bagaimana perasaan suaminya mendengar omongan Ang-hongcu. Sebenarnya sejak tadi ia ingin mencoba kemampuan Ang-hong-cu apakah sehebat bicaranya, namun ia tidak berani karena sejak pertama ia sudah dilarang. Lie Yang diam saja tanpa menggeser tubuhnya, padahal pukulan Ang-hong-cu sudah begitu dekatnya. Baru sekitar satu jengkal pukulan Ang-hong-cu mau mendarat di dada Lie Yang tiba-tiba ia sudah merasakan hawa panas dan dingin memancar dari tubuh lawannya. “Blangggggggg!!!!! Aihhhhhhhhhhhh!!!” Tubuh Ang-hong-cu terpental sampai puluhan jengkal dengan jeritan menyayat hati. Padahal pukulannya tadi belum nyampai di tubuh Lie Yang. Kiranya hawa panas dan dingin yang memancar dari tubuh Lie Yang tidak hanya membuat sebuah prisai yang kuat, juga menyusup melalui tangan Ang-hong-cu dan menolak balik tenaganya hingga merusak semua organ di dalam tubuh Ang-hong- cu. Tampak Ang-hong-cu terbaring dengan tubuh tidak hidup atau mati. Walaupun ia hidup sebagian tubuhnya pasti sudah cacat sehingga ia akan menjadi seorang yang cacat dalam hidupnya. Setengah tenaganya buyar hingga tubuhnya tampak lemas dan dari mulutnya keluar darah merah tidak ada henti-hentinya. “Hui-im Hong-sinkang (Tenaga Sakti Angin Api dan Dingin)!” katanya lirih. “Hm, akhirnya engkau mengetahui juga ilmu ini. Aku tahu bahwa ilmu yang engkau gunakan didasarkan pada Sin-hong (Angin Sakti) sampai tingkatan ke lima. Kalau engkau tidak mau mengatakan siapa engkau sebenarnya, aku akan menelanjangimu dan membiarkan dirimu tidak hidup atau mati di sini, biar semua orang tahu bahwa orang yang paling jahat adalah sepertimu!” jengak keren Lie Yang mengerikan. Kwat Lin berdiri dengan pucat melihat kedahsyatan ilmu suaminya dan kekejamannya. Benar-benar ia tidak mengerti kenapa sifat suaminya berubah padahal ia tahu suaminya adalah laki-laki yang paling lembut. Tidak terasa matanya mengalirkan air mata yang entah terasa pahit atau manis. “A...aku...Ang..-hong..-cu bernama Kong..Lee. Mohon sembuhkan diriku, aku benar-benar menyesal atas kelakuanku padamu, sobat budiman!” jawab terbata-bata Nag-hong-cu. “Hahaha... engkau benar-benar menjijikkan! Apakah engkau mempunyai hubungan dengan Ang- hong-pay?” Lie Yang masih ingin bertanya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 45 dari 114
“Aku putera ke dua dari pangcu-Ang-hong-pay! Mohon saudara membebaskan penderitaan ini!” kata Ang-hong-cu takut setengah mati sehingga menjawab pertanyaan Lie Yang dengan jujur. “Sudah kuduga sebelumnya, hanya orang-orang Ang-hong-pay yang mampu memainkan jurus Sin- hong Sin-kang! Aku bisa menyembuhkanmu, karena kejujuranmu, namun aku tetap akan melakukan satu hal untuk kelancanganmu atas mulutmu yang kotor!” Lalu Lie Yang menjulurkan tangannya ke arah tubuh Ang-hong-cu. Tiba-tiba dari tangan Lie Yang memancar hawa dingin dan panas bergerak pelan-pelan ke tubuh Ang-hong-cu. Sebentar kemudian dua hawa sakti itu masuk ke dalam tubuh Ang-hong-cu, tampak tubuhnya kadang-kdang menggigil dan kepanasan. Dua puluh menit kemudian Lie Yang menurunkan tangannya. Wajah Ang-hong-cu yang tadinya pucat seketika itu memerah dan tidur terpulas dengan enaknya. Lalu Lie Yang menarik tangan Kwat Lin pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan dengan tangan yang lain Lie Yang menggerakkan tenaga dalamnya untuk melucuti semua pakaian Ang-hong-cu sampai bugil. Mereka lalu meniggalkan tubuh bugil itu di tengah jalan begitu saja. “Kenapa engkau melakukan pekerjaan yang begitu kejam terhadap Ang-hong-cu? Lebih baik dibunuh orang itu dari pada dilecehkan seperti itu!” kata Kwat Lin tidak senang melihat kelakuan suaminya. “Sebenarnya aku juga tidak tega melakukan hal seperti itu kepadanya, namun aku lakukan juga karena memandang berbagai hal!” jawabnya sambil menghela napas berat. “Apa?” “Pertama aku hanya mengikuti firasat untuk mengalahkan dengan ilmuku tanpa kubisa mencegahnya. Ke dua karena aku benar-benar marah istriku yang baik dilecehkannya, itu sama halnya melecehkanku. Ke tiga aku sengaja berbuat begitu supaya ia insaf. Ke empat karena aku ingin melihat siapa sebenarnya dirinya dan ternyata dugaanku tidak meleset, walaupun ada beberapa hal lainnya yang belum kumengerti. Ke lima aku ingin menyembuhkan penyakit yang dideritanya akibat salah melatih ilmu Sin-hong Sin-kang, walupun ia sudah menguasai sampai tahapan ke lima. Semua itu tidak akan berarti apa-apa, malahan akan merugikan badannya!” jawab Lie Yang enteng. Kwat Lin sampai bengong mendengar uraian Lie Yang yang begitu singkat namun begitu panjang kalau dipikirkan. Kali ini ia menjadi kagum atas sifat suaminya yang ternyata gagah dan sejati. “Maafkan diriku!” tiba-tiba Kwat Lin meminta maaf kepada suaminya. “Maaf?” tanya Lie Yang tidak mengerti kenapa istrinya meminta maaf. “Aku sudah menduga yang tidak-tidak terhadapmu!” Lie Yang tertawa atas kepolosan dan kejujuran istrinya. “Makanya belajarlah memahamiku, kalau bukan engkau yang paling paham sifatku, terus siapa lagi?!” jawab Lie Yang sambil mentowel hidung istrinya. Kwat Lin tertawa cekikikan dan Lie Yang tersenyum senang. “Menurutku untuk akhir-akhir ini engkau jangan banyak ulah, apalagi mau berkelahi. Kasihan bayi dikandunganmu!” pesan Lie Yang sayang kepada istrinya. Kwat Lin sampai terharu mendengar perhatian suaminya ini. Ia mengaggukkan kepalanya menyetujui pesan suaminya. “Bolehkah aku tahu satu hal darimu, Yang-twako?” “Tentang apa?” “Kenapa firasatmu begitu aneh?” “Entahlah! Sejak aku melatih ilmu Sin-hong Sin-kang sampai tahapan ke delapan, aku merasa ada yang aneh dengan batinku. Apalagi setelah aku berhasil mempelajari ilmu Jit-goat Hoat-lek Sin-kang (Hawa Sakti Sihir Matahari dan Bulan) dengan sempurna. Sepertinya aku sering mendapatkan sebuah isyarat atau tanda tanpa kuketahui datang dari mana. Seperti yang sering kurasakan untuk menyelidiki dan menghancurkan Ang-hong-pay, padahal aku tidak mempunyai permusuhan sama sekali dengan partai ini. Sepertinya ada sesuatu kejadian hebat yang akan muncul karena Ang-hong- pay di dunia kang-ouw sebentar lagi. Sekarang juga aku mempunyai firasat aneh tentang ilmu Sin- hong Sin-kang yang dipakai oleh para anak buah Ang-hong-pay, padahal sepengetahuan kita ilmu itu milik Kim-long-pay yang telah hancur dan yang aneh adalah sering kulihat ilmu Sin-hong Sin-kang
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 46 dari 114
dilatih oleh mereka dari sumber yang salah. Dan ada lagi, mengenai Giok-ceng yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw, sepertinya ada sesuatu intrik tersembunyi di dalamnya.” “Wah...wah banyak sekali firasatmu, Yang-twako. Apakah engkau kuat menerima firasat-firasat itu?” kata Kwat Lin sambil cekikian merdu. “Sudahlah! Suatu saat nanti kita akan segera tahu, kalau kita bisa bertemu dengan Dua Pelindung Kim-liong-pay!” Setelah berbicara mereka lalu tidur. Lampu kamar sudah dimatikan. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kakek Bu-eng-hu (1) VII- Chapter Ke Tujuh; Kakek Bu-eng-hu Lie Yang dan Kwat Lin berjalan menelusuri hutan di selatan kota Taiyuan. Sudah seharian mereka berjalan dari kota Lok Yang untuk pulang ke Taiyuan. Perjalanan mereka cukup cepat karena mereka menggunakn ilmu peringan tubuh untuk mempercepat perjalanan mereka pulang ke rumah. Beberapa kali Kwat Lin harus dipondong suaminya karena Lie Yang sangat mengkhuwatirkan kandungan istrinya. Dalam perjalanan kali ini, Lie Yang tidak bisa menikmati banyak pemandangan yang dijumpainya karena terlalu terburu-buru. Semalam ia mendapatkan firasat buruk tentang dua orang tuanya dan tentang Giok-ceng. Ketika ia sedang terlelap dalam tidurnya ia melihat wajah ayah-ibunya terbayang di hadapannya dengan muka pucat mengerikan. Ayahnya berkali-kali memanggilnya untuk segera pulang karena sudah sangat rindu kepadanya. Pagi-pagi sekali ia langsung mengajak istrinya untuk cepat-cepat pulang. Kali ini ia benar-benar takut dan khuwatir terhadap keadaan orang tuanya. Ketika masuk ke kota Taiyuan ia melihat kota ini begitu sepi tidak seperti dahulu ketika ia masih kanak-kanak. Hanya beberapa orang saja yang tampak keluar rumah, bahkan anehnya penduduk yang melihat kedatangannya diam saja tidak menyapa, padahal mereka mengenalnya. Dulu tiga tahun yang lalu hampir semua orang yang melihatnya akan menyapanya senang. Namun kali ini mereka hanya memandang kepadanya dengan perasaan hampa atau seperti orang sedang menegur kepadanya lewat tatapan kosong. Lalu ia mengajak istrinya untuk cepat-cepat ke rumahnya, karena hatinya benar-benar tidak tentram melihat kelakuan penduduk Taiyuan kepadanya. Baru saja ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbang rumahnya ia sudah dibentak oleh seseorang yang tidak terlihat. “Siapa orang yang berani lancang masuk!” terdengar suara menggelegar dari pepohonan yang ada di samping gerbang. “Ini aku Lie Yang!” jawabnya hampa. “Ah, kongcu! Baru sekarang kongcu pulang?” terlihat sosok orang ke luar menyambut dirinya. Orang ini adalah pengawal peribadi ayahnya paman Chi. “Ada apakah dengan ayah dan ibu, paman?” langsung saja Lie Yang bertanya tentang ayah dan ibunya. “Sebaiknya kita masuk ke dalam!” paman Chi mengajak masuk Lie Yang. Di dalam rumahnya terdengar isak tangis dari para pelayan. Rumahnya memang sangat sepi, hanya suara tangis pilu dari para pelayan terdengar mengerikan. Di tengah ruangan terlihat peti mati dan di samping peti itu duduk para pelayan sedang menangis. “Siapakah yang meninggal, Paman Chi?” tanya Lie Yang kaget dan khuwatir. Mendengar suara ini para pelayan semakin keras tangisnya. Ada juga langsung diam tidak mau bersuara walaupun menangis. “Di sana adalah jenazah ibu kongcu yang baru tadi pagi meninggal setelah seminggu dapat bertahan menunggu kedatangan kongcu!” jawab pengawal Chi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 47 dari 114
Lie Yang langsung berlari tanpa sengaja menggunakan ilmu peringan tubuhnya sehingga mengagetkan semua orang yang hadir di dalam. Mereka kaget, karena kongcu yang dahulu mereka kenal tidak bisa silat, namun kali ini mereka disuguhi atraksi gratis. “Ibu...!” teriak Lie Yang pilu. “Kenapa ibu meninggalkanku secepat ini? Apa ibu tidak mau menemui menantu dan cucumu?. Maafkan aku yang tidak menurut perkataanmu ibu!” kata Lie Yang benar-benar sedih. Tidak terasa lagi ia menangis seperti anak kecil. Kwat Lin mengelus-elus pundak suaminya. “Paman dimana ayah?” tanya Lie Yang baru ingat ayahnya. “Ayah kongcu sudah tiga hari tidak sadarkan diri dan sekarang ada di dalam kamarnya!” Belum habis ucapan pamannya, ia sudah berlari atau melayang tidak merasakan bahwa ia menggunakan ginkangnya yang sudah mendarah daging. “Ayah! Oh ayah! Maafkan anakmu yang tidak berbakti ini!” kata Lie Yang yang melihat ayahnya tergeletak belum sadarkan diri dalam keadaan pucat seperti mayat. Lie Yang sudah duduk di samping ayahnya dna mencoba menyalurkan sinkangnya melalui persentuhan tangan. Setengah jam kemudian ayahnya sudah bisa membuka mata. “Yang-ji, ah... senang sekali aku melihatmu kembali. Mungkin aku tidak akan hidup lama lagi, aku dapat bertahan hingga saat ini karena ingin melihat wajahmu untuk terakhir kalinya!” kata ayahnya menguatkan diri. “Ayah, jangan banyak bicara lagi! Sebaiknya engkau istirahat!” kata Lie Yang mencegah ayahnya menghamburkan kekuatan yang baru disalurkannya. “Aku sudah tidak kuat lagi, anakku. Aku sudah terlalu tua untuk hidup lagi! Sia... siapakah gadis manis di sampingmu ini, Yang-ji?” Hartawan Song mencoba untuk tersenyum. Lie Yang menyuruh istrinya untuk duduk di sampingnya. Sambil memegang tangan kanan ayahnya ia berkata. “Namanya Yang Kwat Lin menantu ayah dan akan menjadi ibu dari cucu ayah!” jawab Lie Yang memperkenalkan istrinya kepada ayahnya. “Senang sekali aku mendengar engkau sudah beristri, bahkan akan punya anak. Semoga hidupmu penuh bahagia dan berkah, anakku. Impianku ingin melihat engkau beristri sudah terkabulkan hari ini. Ayah bisa meninggalkanmu dengan tenang. Namun sayang...sayang...aku...tid..” Tiba-tiba perkataan hartawan Song berhenti tanpa bisa meneruskan kata-katanya lagi untuk selamanya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan lagi, namun tidak kuat karena keburu meninggal dunia. “Ayah.......!!!!!” teriak campur jerit Lie Yang. Ia menangis di atas dada ayahnya. “Sudahlah, Yang-twako! Yang mati tidak akan pernah kembali lagi, lebih baik urus segera jasadnya!” hibur istrinya. Jeritan Lie Yang tadi mengagetkan para pelayan sehingga membuat mereka berlari ke kamar dan mereka juga menangis menjerit ketika melihat tubuh tuannya sudah tidak bernyawa lagi. Pengawal Chi juga sudah ada di situ. “Paman, tolong ceritakan siapa yang melakukan kebiadaban ini?!” tanya Lie Yang tanpa menengok ke arah pengawal Chi. “Sejak kongcu menghilang dari hutan pegunungan Siong-san, banyak orang-orang kang-ouw baik dari golongan putih maupun hitam datang berduyun-duyun kemari. Mereka menuntut kongcu untuk menyerahkan Giok-ceng kepada mereka. Kami mencoba menjelaskan sebenarnya bahwa Giok-ceng tidak ada di sini, namun mereka memaksa hingga sering terjadi pertikaian di sini. Walaupun kami bisa menggagalkan usaha mereka dengan cara lembut dan kasar, tetap saja mereka tidak percaya. Lalu seminggu yang lalu, orang-orang Ang-hong-pay datang kemari dan memaksa kepada kami untuk memberi tahu dimana kongcu yang dikatakannya membawa Giok-ceng, mereka mengancam akan membunuh setiap yang hidup di sini kalau kita tidak mau memberitahu. Kedatangan mereka tidak terduga-duga dan membawa anak buah yang sangat lihai, sehingga kami tidak mampu membendung ketika terjadi bentrokan besar di sini. Sehingga banyak orang kita yang terluka parah atau tewas
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 48 dari 114
dalam pertempuran itu, termasuk ayah dan ibu kongcu yang tidak bisa silat. Seandainya tidak datang tiga orang penolong, kemungkinan semua orang di sini akan tewas dengan mengenaskan.” Cerita pengawal Chi. Lie Yang tampak memejamkan kedua matanya seperti sedang membayangkan kejadian itu. “Siapa tiga penolong itu?” tanya Lie Yang. Kali ini suaranya begitu datar. Kwat Lin sudah paham bahwa Lie Yang sudah mulai marah. “Dua orang memakai topeng emas dan seorang kakek berambut putih.” “Ayah dan Uh Hou-hoat dan entah siapa kakek berambut putih itu, Yang-twako?!” kata Kwat Lin. “Kakek itulah pengajarku selama ini!” kata Lie Yang hampa. “Kalau mereka tidak terlambat, kemungkinan orang-orang Ang-hong-pay tidak akan berhasil menyakiti seujung rambut pun penduduk rumah ini!” kata Lie Yang lagi. Lalu ia diam membisu. Seperti seorang sedang termenung memikirkan sesuatu. “Teman yang ada di atap sana, mengapa tidak juga masuk? Mau menunggu apa lagi, apakah menunggu kekerasan dariku?!” kata Lie Yang dengan nada datar. “Maafkan kami kongcu, seharusnya sejak tadi kami masuk!” jawab seseorang di atas atap. Sebentar kemudian di pintu sudah berdiri dua orang memakai topeng emas. “Ayah!” teriak Kwat Lin sambil memeluk ayahnya. Lie Yang yang sedang bersedih diam saja melihat kedatangan dua bertopeng emas, apalagi salah satunya adalah mertuanya. “Maafkan kami yang terlambat...” kata Uh Hou-hoat yang sudah dipotong oleh Lie Yang. “Sudahlah paman, takdir seseorang memang tidak bisa ditebak. Hidup dan mati adalah dua pilihan manusia. Menyesali kematian sama saja menyesali kehidupan. Aku hanya heran kenapa mereka menduga bahwa kami yang membawa Giok-ceng, padahal sejak kejadian perebutan di hutan pegunungan Siong-san, benda itu tidak lagi kami bawa?” “Itulah kesalahan kami. Benda itu sebenarnya ada di tangan Thian-long-cu dan entah siapa yang mengabarkan benda itu berada di tangan kongcu. Ketika kami menyelidiki, ternyata yang menyebarkan bukan lain adalah Thian-long-cu sendiri.” “Ah, licik benar orang tua sesat itu. Demi ingin mengangkangi sendiri Giok-ceng, ia tidak berat mengorbankan nyawa banyak orang!” Setelah bicara ia lalu berdiri dan melangkahkan dua kakinya keluar kamar. “Mau ke manakah engkau, Yang-twako?” tanya Kwat Lin heran, begitu juga yang lainnya. “Paman Chi tolong bantu mengurusi jenazah ayah, aku mau menemui kakek di belakang rumah dulu!” Lie Yang melangkahkan kakinya tidak menghiraukan mata orang-orang menatapnya dengan heran. “Benarkah bahwa ada seorang kakek berambut putih membantu kita kemarin?” tanya Uh Hou-hoat kepada pengawal Chi. “Apakah ji-locianpwe tidak melihat kakek berjubah putih itu?” tanya balik. “Sudahlah! Sebaiknya kita mengikuti kongcu barang kali kita bisa bertemu langsung dengan kakek yang ia maksudkan!” kata Yang-pangcu. Tiga orang itu mengikuti Lie Yang yang sedang berjalan pelan menuju belakang rumahnya. Di belakang rumahnya terdapat lapangan yang sangat luas. Ada puluhan pohon besar di sana dan taman bunga yang sangat luas. Biasanya setiap malam Lie Yang belajar silat di antara taman-taman bunga ini. Lie Yang berdiri sambil memandang pucuk salah satu dari pohon yang tumbuh di taman. Sepertinya ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Pohon yang tumbuh di paling pojok taman itu sangat besar hingga terlihat seram sekali. Tiga orang yang berdiri agak jauh dari Lie Yang terheran-heran melihat kelakuan Lie Yang. Sudah hampir satu jam mereka menanti datanganya kakek berambut putih yang pernah dikatakan oleh
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 49 dari 114
pengawal Chi, namun belum juga datang. Hingga malam hari mereka masih berdiri tanpa bicara sepatah kata pun. Lie Yang diam, mereka juga diam. Akhirnya Yang-pangcu tidak sabar dengan kesunyian malam. Ia lalu bertanya kepada puterinya tentang masa tiga tahun mereka hidup bersama di dalam gua dan apakah mereka sudah menguasai lima buku teori silat yang ia tinggalkan di sana. Lalu Kwat Lin menceritakan semuanya dengan detail bagaimana mereka hidup di sana sampai bisa ke sini, termasuk tentang pertempuran Lie Yang melawan Ang-hong-cu. “Apakah benar katamu bahwa kongcu memainkan ilmu Hui-im Hong-sinkang, tidakkah pendengaranmu salah?” tanya Yang-pangcu tidak percaya kepada puterinya. “Masa aku salah mendengar? Sudah jelas bahwa Ang-hong-cu berteriak kaget sambil menyebut nama ilmu itu!” jawab Kwat Lin meyakinkan ayahnya. “Apakah engkau melihat ciri khas ilmu yang dimainkan oleh suamimu, Li-ji?” tanya Uh- Hou-hoat. “Ilmu itu mengandalkan sinkang hebat sekali. Hingga angin bisa digunakan untuk memperisai diri dari serangan lawan, bahkan angin itu berhawa sakti panas dan dingin. Aku sendiri tidak tahan terkena hawa sakti itu hingga minggir menjauh.” “Benar! Seperti itulah ilmu Hui-im Hong-sinkang bahkan sepertinya sudah tingkatan tinggi sekali. Entah dari mana bocah itu belajar ilmu Sin-hong Sin-kang sampai tahap ke delapan, padahal sepengetahuanku hanya Giok-pangcu yang menguasai sampai tahapan ke delapan?” kata Uh Hou- hoat heran. Ia sendiri hanya bisa sampai tahapan ke lima, sedangkan Lie Yang yang dianggap lemah sudah mencapai tingkatan lebih tinggi darinya. “Bahkan kalau tidak salah ia sekarang lagi menyempurnakan ilmunya Jit-goat Hoat-lek Sin-kang (Hawa Sakti Sihir Matahari dan Bulan)!” “Apa?” tanya Uh Hou-hoat dan Yang-pangcu berbarengan. “Kenapa?” tanya Kwat Lin tidak mengerti kenapa mereka sepertinya kaget mendengar ilmu itu.
Bab Sesudah: Kakek Bu-eng-hu (2)
“Apa mungkin, Hong Hou-hoat?” tanya Uh Hou-hoat kepada Yang-pangcu. “Entahalah! Sulit mempercayainya dan mungkin juga!” jawabnya bingung. “Sebenarnya ilmu apakah Jit-goat Hoat-lek Sin-kang itu, ayah?” tanya Kwat Lin masih tidak mengerti. “Sebenarnya ilmu itu adalah salah satu ilmu yang sudah hilang di Perkampungan Naga Emas sejak ratusan tahun yang lalu. Setahuku hanya nenek moyang Perkampungan Naga Emas saja yang menguasai ilmu itu. Ilmu itu harus dipelajari sejak kecil dan harus mempunyai hati yang benar-benar suci dan bersih baru bisa mempelajarinya. Kalau hatinya tidak suci atau bersih, akan terjadi mala- petaka. Orang itu akan kemasukan hawa iblis yang mengerikan.” Kata Yang-pangcu. “Dan untuk apakah ilmu itu sebenarnya dan bagaimana kedahsyatan ilmu itu?” tanya Kwat Lin lagi. “Sulit diduga kedahsyatan ilmu ini, karena sudah ratusan tahun menghilang. Konon dengan ilmu inilah nenek moyang Perkampungan Naga Emas dapat menguasai Naga Emas yang muncul di kaki bukit Thai-san. Orang yang menguasai ilmu ini tidak hanya lwekang, sinkang, ilmu silat yang dapat maju dan sempurna tanpa batas, bahkan akan mempunyai firasat-fiarasat yang bisa merasakan sesuatu nasib yang akan terjadi. Bisa dikatakan orang ini akan mempunyai indra para dewa sehingga bisa merasakan sesuatu sebelum terjadi.” Kata Uh Hou-hoat. “Pantas kemarin malam ia selalu bicara tentang firasat-firasat aneh yang selalu mengganggunya!” kata Kwat Lin termenung. “Apakah benar ia sudah bisa merasakan suatau firasat aneh?” tanya Yang-pangcu terkaget-kaget mendengar penuturan puterinya. “Sebelum tahu tentang kondisi ayah-ibunya, Yang-twako sebenarnya sudah merasakannya sebelumnya. Maka ia mengajakku ke sini dengan cepat dan rasa khuwatir!” Dua orang tua bertopeng ini manggut-manggut walaupun masih belum begitu percaya dengan munculnya ilmu gaib dari Perkampungan Naga Emas.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 50 dari 114
“Ayah dan paman, aku ingin tanya sesuatu. Apakah benar Yang-twako adalah kongcu dari Perkampungan Naga Emas?” Pertanyaan ini sebenarnya sudah disimpan sejak pertama kali bertemu dengan Lie Yang oleh Kwat Lin namun baru kali ini mengutarakannya. “Ya!” hanya itu jawaban dari Yang-pangcu dan Kwat Lin puas. Belum Kwat Lin melanjutkan pembicaraanya. Dua Topeng Emas sudah melayang mendekati Lie Yang yang sedang duduk di atas pucuk pohon bersama seorang kakek berpakaian putih dari kain kasar. Rambutnya yang riap-riap ditempa sinar bulan tampak menakutkan. Kakek itu sudah tampak tua sekali, umurnya mungkin sudah mendekati seratus tahun. Kakek itu tersenyum melihat dua topeng emas dan Kwat Lin datang. “Cucuku, naiklah ke atas! Aku ingin melihat sudah sampai manakah tingkatan ginkangmu!” kata kakek itu pelan namun bisa didengar jelas oleh tiga orang di bawahnya. Kwat Lin lalu melayang ke atas pucuk pohon dengan enteng, namun ia tidak berani duduk seperti apa yang dilakukan oleh suaminya dan kakek tua itu. Ia masih belum bisa menguasai ginkangnya. Tiba- tiba ia ingin muntah ketika melihat ke bawah. Pohon itu terasa sangat tinggi apalagi kandungannya terasa aneh. “Jangan takut, cucuku! Ketakutan hanya akan menjauhkan engkau dari kesempurnaan ilmumu! Duduklah dengan tenang karena ketenangan adalah lembar tempat dudukmu!” “Duduklah Lin-moi! Jangan takut, biarkan tubuhmu bebas terbang seperti walet dan seenteng hembusan angin yang bersemilir bebas!” kata Lie Yang sambil tersenyum. Setelah mendengar perkataan kakek tua dan suaminya ia mencoba mengusir ketakutannya untuk jatuh. Kali ini ia mencoba berkosentrasi penuh dan hasilnya memang hebat. Ia bisa duduk dengan enak di atas pohon itu. Kakek itu sangat senang sekali melihat Kwat Lin sudah bisa memahami perkataannya. Tangan kanan Kwat Lin dipegang oleh Lie Yang sehingga semua ketakutannya hilang tanpa bekas. Kali ini ia hanya merasakan seperti duduk di atas rerumputan. Tidak merasa ngeri sama sekali. “Kalian berdua boleh menanggalkan topeng kalian, aku ingin melihat wajah asli kalian!” perintah kakek tua itu sambil tersenyum. Dua pelindung diam saja tidak menjawab, hanya mata mereka mencorong seperti menolak perintah kakek itu. “Baiklah! Ternyata kalian masih mentaati sumpah kalian. Pernahkah kalian mendengar perkataan ini, ‘Naga emas muncul memberikan berkah bagi umat manusia, membebaskan kesengsaraan dengan tindak mulia, memberikan kesempatan untuk berbaik diri, mengampuni yang menyesali, menghukum yang bersalah. Itulah titah Naga Mulia!’” kakek itu berkata layaknya membaca puisi. “Kami mentaati perintah Naga Emas, Naga Mulia!” jawab serentak Yang-pangcu dan Uh Hou-hoat sambil melepaskan topeng mereka. Setelah terbuka, Lie Yang baru tahu wajah dua topeng emas yang terlihat tampan dan bersih. “Ternyata paman Sam mempunyai wajah setampan ini!” kata Lie Yang sambil tersenyum kepada paman Sam yang sejak kecil melayaninya dan ternyata adalah Uh Hou-hoat adanya. “Sekarang kalian semua dengarkan ceritaku! Aku ingin bercerita supaya hati kalian tidak penasaran terhadapku!” “Apakah kakek akan bercerita tentang diriku juga?” tanya Lie Yang sedangkan kakek tua itu menjawab dengan anggukan kepala. Semua orang diam mendengarkan cerita kakek tua itu. “Ketahuilah kalian semua! Mungkin kalian penasaran siapa sebenarnya diriku yang tahu kunci semboyan seorang pangcu dari Kim-liong-pay. Delapan puluh tahun yang lalu aku pernah merasakan jabatan pangcu Kim-liong-pay dan lalu kuserahkan kepada anakku Giok Sin Lee dan dijabat cucuku Giok Bu dan sekarang aku akan menyerahkan jabatan ini kepada salah satu dari kalian!” hebat sekali omongan kakek ini.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 51 dari 114
Tanpa sengaja Dua Pelindung sampai kaget mendengar tentang diri kakek tua renta yang ternyata adalah salah satu dari ORANG SUCI dari Perkampungan Naga Emas. Peraturan Kim-liong-pay memang aneh, karena setiap anak murid Kim-liong-pay dari mulai menjabat pangcu, Fu-hoat, Hou- hoat akan segera masuk ke sebuah dunia yang bernama DUNIA ORANG-ORANG SUCI setelah mereka melepas jabatannya. Hanya beberapa orang saja yang bisa masuk ke dunia yang tidak diketahui dimana letak tempatnya itu, karena hanya orang-orang yang sudah terpilih mempunyai hati suci dan kesetiaan saja yang akan mendapatkan tempat mulia itu. tempat orang-orang suci atau dunia suci adalah tempat mengasingkan diri bagi mereka yang sudah melepas urusan duniawi. Mereka akan masuk dunia suci dan tidak akan pernah muncul ke dunia ramai. Kebanyakan orang-orang dari Perkampungan Naga Emas tidak ada yang tahu dimana tempat pengasingan orang-orang suci bagi mereka itu. Maka tidak heran kalau Dua Pelindung menjadi sedemikian kagetnya mendengar penuturan kakek tua yang tanpa sengaja mengatakan ia keluar dari tempat sucinya. “Aku sengaja keluar dari tempatku, karena ada beberapa hal yang menggemparkan akan muncul di dunia kang-ouw. Mungkin kalian masih ingat bencana yang melanda Perkampungan Naga Emas belasan tahun yang lalu. Bencana yang bisa dikatakan paling hebat yang pernah kita terima, semua anggota Kim-liong-pay terbunuh tanpa diketahui siapa pelakunya, bahkan hingga saat ini. Sengaja aku muncul memang ingin mengusut siapa sebenarnya pembunuh-pembunuh anggota keluarga kita. Belasan tahun aku menyuruh Fu Hou-hoat untuk menyelidikinya, namun tidak juga ketemu. Hingga akhir-akhir ini aku bisa menemukan sedikit penerang. Kemungkinan bencana yang melanda perkampungan kita ada hubungannya dengan Ang-hong-pay, sebab akhir-akhir ini mereka menggunakan ilmu-ilmu khas Kim-liong-pay, seperti Sin-hong Sin-kang hingga tahapan ke lima, Kim- liong Sin-ciang-kun (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Naga Emas), Kim-liong Jian-jiu-kun (Pukulan Seribu Tangan Naga Emas), Kim-liong Bian-ciang-kun (Ilmu Pukulan Tangan Lunak Naga Emas) dan lain- lainnya. Padahal Kim-liong-pay tidak pernah mengajarkan ilmu-ilmunya ke luar tempat.” Kakek itu berhenti sebentar. “Dahulu ketika terjadi bencana itu, aku sendiri datang terlambat sehingga tidak bisa menyelamatkan banyak orang, kecuali hanya putera cucuku Giok Bu dan beberapa penduduk Perkampungan Naga Emas. Mungkin kalian ingin bertanya kenapa aku sampai bisa berpendapat bahwa Ang-hong-pay mempunyai hubungan dengan bencana ini? Bukan lain karena waktu itu aku sempat bertarung dengan salah seorang pembunuh yang ternyata dapat memainkan ilmu-ilmu dari Perkampungan Naga Emas. Bahkan ilmu silat Sin-hong Sin-kang yang dimainkan oleh dua orang pembunuh sudah mencapai tahapan sampai ke delapan. Padahal di perkampungan kita hanya pangcu seorang saja yang bisa memainkan ilmu itu sampai tingkatan ke delapan. Makanya aku harap Dua Pelindung suka menyelidiki kasus ini secara tuntas dan kalau perlu bisa menggunakan anak buah Pek-eng-pay juga.” Kakek tua berhenti bercerita. Ia menatap wajah setiap orang yang ada di situ. “Sekarang aku akan menyerahkan kursi pangcu kepada Lie Yang dan semoga kalian bisa membantunya menyelesaikan misinya kali ini!” tidak ada yang menyangkal pernyataan kakek ini. “Kakek, kenapa harus aku yang memegang pangcu Kim-liong-pay, padahal aku tidak begitu mengerti tentang Kim-liong-pay!” kata Lie Yang sepertinya tidak setuju dirinya ditunjuk menjadi pangcu Kim- liong-pay. “Dengarkan baik-baik Lie Yang, cucuku! Saat ini engkau harus tahu segalanya tentang dirimu, bukankah tadi engkau memintanya? Ketahuilah sebenarnya engkau bukan she (marga) Song, tetapi Giok, seperti diriku. Jadi namamu bukan Song Lie Yang namun Giok Lie Yang karena engkaulah putera cucuku Giok Bu yang dahulu kuselamatkan. Sebab jalur keluarga inilah engkau menjadi pangcu Kim-liong-pay, juga karena saat ini engkau sudah menguasai ilmu Sin-hong Sin-kang sampai tahap ke sembilan yang belum pernah dikuasai oleh pangcu atau nenek moyangmu sebelumnya!” “Sin-hong Sin-kang tingkatan ke sembilan? Apa benar ada tingkatan sampai ke sembilan, locianpwe?” tanya Uh Hou-hoat kaget karena selama menjadi Pelindung Kim-liong-pay belum pernah mendengar tingkatan ini. “Nanti aku akan jelaskan tentang tingkatan ilmu Sin-hong Sin-kang. Lie Yang cucuku, apakah engkau masih tidak paham perkataan ayah angkatmu yang terputus? Orang tua itu sebenarnya ingin memberi tahu padamu tentang rahasia dirimu!” Lie Yang masih diam tidak ada perasaan apapun yang tampak diwajahnya. Walaupun ia tampak berpikir, namun sulit menduga apa yang ia pikirkan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 52 dari 114
“Engkau adalah satu-satunya anak cucu dari keluarga Giok yang paling jenius. Karena dalam usia dua puluh tahun engkau sudah mampu menguasai banyak ilmu, padahahal mestinya sulit dikuasai oleh nenek moyangmu. Engkaulah orang pertama yang mampu menguasai ilmu Sin-hong Sin-kang sampai tahapan ke sembilan dan ilmu gaib. Hampir semua ilmu khas lainnya mampu engkau kuasai dengan baik diusiamu yang masih muda. Kakekmu Giok Sin Lee saja saat ini masih belum menguasai ilmu gaib itu, hingga tidak kuperbolehkan keluar dari tempat suci. Bahkan kemungkinan suatu hari engkau akan bisa keluar masuk ke tempat itu tanpa dikenai peraturan seperti nenek moyangmu yang lain!” “Baiklah, kek! Akan tetapi aku sendiri masih begitu bingung dengan keadaanku!” kata Lie Yang akhirnya menerima sebagai pangcu Kim-liong-pay. “Dua Pelindungmu itu akan menerangkan tentang Kim-liong-pay dengan detail! Ketahuilah, bahwa ilmu Sin-hong Sin-kang tahapan ke sembilan adalah bukan ilmu tertinggi di dalam perguruan kita. Masih ada beberapa ilmu lainnya yang lebih dahsyat dari ilmu ini, termasuk ilmu gaib Jit-goat Hoat-lek Sin-kang. Di tempat suci sana masih ada beberapa jenis ilmu silat dari keluarga kita yang masih belum pernah dikeluarkan, karena selama ini belum ada yang berhasil menguasai ilmu-ilmu itu. Suatu hari nanti, kalau waktunya sudah tepat, engkau akan kuajak untuk masuk ke tempat suci untuk melatih ilmu-ilmu hebat itu. Namun dengan syarat engkau harus menjaga hatimu dari sifat dendam, benci, iri hari, dengki apalagi sombong. Kalau engkau bisa menghilangkan semua sifat itu di dalam hatimu, engkau akan kuajak ke tempat suci itu.” “Sebelum aku pergi, ingat benar-benar perkataanku ini, cucuku! Suatu saat nanti hatimu akan mendapatkan cobaan yang sangat berat, kalau engkau bisa menghadapinya dengan sifat sucimu engkau akan kuajak masuk ke tempat suci atau Bu Eng Hu (Istana Tanpa Bayangan), sebaliknya kalau engkau gagal terhadap ujian ini maka kamu tidak akan bisa masuk ke tempat suci itu kecuali nanti sudah berumur enam puluh tahun, seperti nenek moyangmu yang lainnya. Sebaiknya engkau bertanya ke Dua Pelindungmu kalau engkau masih bingung dengan kabar memusingkan ini.” Kakek Giok lalu melayang pergi tanpa permisi lagi. Semua orang tampak diam tidak bicara. “Hati-hati dengan kelicikan orang-orang Ang-hong-pay! Kalian bisa memeriksa markasnya di Nanking, namun jangan terburu-buru.” Terdengar suara kakek Giok terbawa angin. Lalu hening dan sepi. Lie Yang memecahkan keheningan mereka dengan meloncat sambil menarik tubuh Kwat Lin turun ke tanah. Lalu ia mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah itu ia membantu pengawal Chi merawat jenazah ayah angkatnya. Setelah jenazah ayah angkatnya dimasukkan ke dalam peti pada malam itu. Lalu Lie Yang memberi penghormatan terakhir kepada dua orang tuanya yang telah membesarkannya sejak bayi. Berkali-kali ia menghaturkan terima kasih dan tidak bisa memberi apa-apa kepada mereka. Hatinya sebenarnya sangat menyesal kenapa hidupnya sepertinya hanya menjadikan dua orang tua yang membesarkannya menderita. Malam itu Lie Yang tidak tidur setelah memberi hormat terakhir kepada dua orang tuanya. Malam itu ia mendengarkan cerita dari Uh Hou-hoat bagaimana ia bisa sampai diasuh oleh dua orang tua angkatanya hartawan Song dan mendengarkan cerita tentang Kim-liong-pay, termasuk peraturan- peraturannya. Pagi harinya mereka melakukan penguburan dua jenazah ayah dan ibu Lie Yang yang diikuti oleh banyak penduduk. Setelah penguburan selesai banyak penduduk yang datang ikut berbela sungkawa atas meninggalnya hartawan kota Taiyuan. Selama seminggu Lie Yang dan Kwat Lin masih tinggal di rumahnya. Sedangkan Dua Pelindung ditugaskan untuk mengambil beberapa pusaka ketua yang wajib dibawah Lie Yang sebagai ketua Kim-liong-pay. Pusaka-pusaka itu adalah Kim-liong-ki (Panji Naga Emas), Kim-liong-tiap (Kartu Naga Emas) dan Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas). Hanya Giok-ceng saja yang masih berada di tangan Thian-long-cu. Kim-liong-tiap adalah kartu berbentuk lempengan emas bergambar naga berfungsi untuk Kim-liong-bit-leng (Perintah Rahasia Naga Emas) dan identitas seorang ketua Kim-liong-pay asli. Tiga kartu lempengan emas ini tidak akan pernah bisa dipalsukan, karena tiga lempengan emas ini mempunya banyak rahasia, kecuali seorang ketua, Penasehat dan pelindung yang lainnya tidak akan pernah tahu. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kakek Bu-eng-hu (3) Selama seminggu Lie Yang menunggu kedatangan Dua Pelindung sambil mengajari ilmu silat kepada pengawal Chi Lam seorang karena pengawal Sung Huan meninggal dunia ketika terjadi penyerbuat orang-orang Ang-hong-pay dahulu. Selain pengawal Chi, Lie Yang juga mengajarkan ilmu silat kepada tiga pelayan perempuan yang ada di rumahnya untuk melindungi dan melayani keperluan http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 53 dari 114 istrinya. Ia sengaja mengajarkan kepada tiga pelayan itu agar bisa menjaga dan melayani keperluan istrinya kalau suatu saat ia meninggalkan rumah. Satu pengawal dan empat pelayan perempuan itu ia latih dengan ilmu-ilmu khusus seperti para Hou-hoat namun masih rendah kemampuannya dengan Hou-hoat asli. Bahkan ia juga berani menambah sinkang mereka melalui penyaluran sinkang darinya. Sinkang yang dimilikinya tidak akan kurang karena disalurkan, malahan kemungkinan bisa bertambah. Cara yang digunakan dalam penyaluran sinkang untuk menambah dan mengurangi adalah diambil dari salah satu keistimewaan ilmu Sin-hong Sin-kang tahapan ke sembilan yang bernama Kim-liong Bu-hong- kun (Ilmu Pukulan Tanpa Angin Naga Emas). Keistimewaan ilmu ini bisa menghisap dan menempelkan sinkang seseorang kepadanya atau sebaliknya dari dirinya ke orang lain. Sehingga dalam seminggu saja sinkang tiga orang yang diajarnya menjadi cukup kuat. Hanya silat mereka masih rendah, karena ilmu silat tidak bisa ditransfer seperti lwekang atau sinkang. Seperti biasanya ia selain berbicara dengan istrinya atau mengajar ke tiga pembantunya, ia akan melakukan meditasi untuk menyempurnakan ilmu barunya Jit-goat Hoat-lek Sin-kang, walaupun ilmu ini bisa dilatihnya sampai tingkatan hampir sempurna, namun memperbaiki hati sangat diperlukan baginya. Ketika sedang semadhi inilah ia mendapatkan perasaan tidak enak lagi, kali ini sulit menentukan apa yang terjadi. Sepertinya nanti malam ia akan kedatangan tamu yang tidak diundang dan ia tidak tahu siapa pendatang ini. Sore hari ketika ia selesai beremadhi, ia mengumpulkan para pembantu dan pengawalnya untuk memberitahukan adanya kemungkinan tidak enak di rumah ini nanti malam. “Harap kalian nanti malam berdiam di kamar masing-masing atau berkumpul di ruang tengah. Jangan ada yang keluar rumah untuk malam ini. Aku mendapatkan firasat tidak enak untuk malam ini, kemungkinan akan datang tamu yang sulit ditentukan apa maksudnya. Kalau memang datang tamu tak diundang, harap kalian membiarkan saja. Saya sendiri yang akan menemui mereka.” Setelah memberi pesan untuk tidak kegabah kalau ada apa-apa dan segera melapor. Setelah berkata begitu ia lalu membubarkan para pelayan dan penjaga supaya bekerja seperti biasanya. Benar saja tengah malam yang sangat sepi, walaupun para anggota rumah sudah diperingati supaya tidak takut dan khuwatir, tampak mereka ketakutan juga ketika mengingat peritiwa beberapa minggu yang lalu. Tengah malam itu Lie Yang dan istrinya ada di ruang tengah sedang berbicara dan bercanda seperti bisanya. Tiba-tiba terdengar suara angin yang sangat aneh. Suara angin itu terdengar seperti lagu yang dapat menidurkan setiap orang. Lie Yang tahu apa maksud suara-suara yang dihasilkan oleh angin itu. Itulah sebuah sihir yang dapat dibawa oleh angin sehingga tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Tapi baginya sihir itu cukup kuat, sehingga membuatnya terkagum-kagum terhadap orang ini. “Apa engkau mendengar suara angin itu, Lin-moi?” tanya Lie Yang kepada Kwat Lin sambil mengedipkan mata kirinya. “Benar! Suara angin itu seperti lantunan lagu, membuatku ngantuk!” jawab istrinya dan Lie Yang benar-benar kagum terhadap keawasan mata batin istrinya. “Itulah ciri-ciri ilmu Sin-liong Sin-kang pada tingkatan ke tujuh dengan nama Kim-liong Hong-hoat-sut (Sihir Angin Naga Emas)! Entah siapa orangnya yang mampu mengerahkan ilmu sehebat ini?” kata Lie Yang kepada istrinya. “Kalau engkau mencoba mengusir pengaruh sihir itu dengan menggunakan sinkangmu, maka engkau akan semakin lemah dan akhirnya kalah. Karena ilmu sihir ini mempunyai daya tarik yang luar biasa kuatnya. Satu-satu jalan supaya tidak terganggu olehnya adalah melalui menikmati lantunan musiknya dengan mengimbangi sinkang yang dikeluarkan olehnya!” Tampak Kwat Lin memejamkan matanya sepertinya ingin menikmati irama sihir yang dibawa angin. “Istriku, sinkang orang ini lebih tinggi darimu! Apa engkau siap untuk mendapatkan singkang dan lweekang tambahan supaya sinkangnmu bertambah kuat dalam beberapa detik saja?” tanya Lie Yang kepada Kwat Lin namun istrinya tidak faham. “Kalian bertiga coba ke sini!” perintah Lie Yang kepada tiga pelayan istrinya yang tadi sudah tidur karena tidak kuat menahan lantunan sihir. Suara Lie Yang itu membuat mereka tersadar dan mereka mendekat.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 54 dari 114
“Kalian boleh memegang tubuh hujin (nyonya) kalian dan terimalah sinkang dan lweekang baru yang akan memasuki tubuh kalian. Ingat jangan melawan walaupun sinkang dan lweekang ini kadang- kadang terasa sakit!” perintah Lie Yang yang ditaati oleh tiga pelayan. Lalu Lie Yang menggunakan ilmu Kim-liong Bu-hong-kun untuk menangkap dan menyeret sinkang yang tersebar diudara melalui angin. Sinkang pengirim sihir dengan melalui angin itu langsung terseret ke arah Lie Yang dan disalurkan ke tubuh istrinya dan ketika pelayannya setelah disaringnya. Beberapa kali ia mendengar suara orang terkaget-kaget ketika sinkang pengirim sihir itu merosot tanpa bisa dikendalikannya lagi. Dalam waktu singkat saja wajah istri dan tiga pelayannya sudah berkeringat dan berwarna merah segar. Sepertinya mereka menikmati penambahan sinkang itu, sedangkan dari luar terdengar suara menjerit-jerit orang kasakitan karena sinkangnya merosot secara besar-besaran tanpa bisa dikendalikan lagi. Sedotan yang dilakukan oleh Lie Yang ternyata membuat pengirim sihir itu berteriak-teriak ngeri. Lie Yang tersenyum mendengar jeritan-jeritan orang ini, bukan karena mengejeknya namun karena merasa lucu saja. Tiba-tiba sinkang yang ditariknya lebih kuat lagi, kali ini ia tersenyum lebih senang karena sinkang orang ke dua juga terkena sedotannya hingga terdengar jeritan orang lain. Jeritan itu semakin parau dan lemas. Lie Yang tidak tega mendengar jeritan dua orang ini. Setelah puas mendapatkan sinkang ‘curian’ dari musuh yang mau membuat onar di rumahnya, ia lalu melepaskannya. Sebentar kemudian ia melihat tubuh istrinya dan ketiga pelayannya tampak mengepul uap putih di ubun-ubun mereka. “Sekarang kalian coba sinkang yang baru kalian dapatkan dengan menggunakan ginkang untuk mengikutiku ke luar!” ajak Lie Yang senang dan diturut oleh istri dan pelayan-pelayannya setelah bernapas sebentar. Di luar rumah mereka melihat ada tiga orang memakai pakaian merah berkedok sedang terduduk lemas di bawah pohon. Para pengawalnya yang berjaga di depan rumah diam membiarkan mereka. Kagum sekali Lie Yang melihat pengawalnya yang ternyata sangat mentaati perintahnya untuk tidak melakukan apa-apa kalau ada tamu asing datang. Seorang sepertinya sedang memeriksa keadaan dua temannya yang teduduk dengan lemas tanpa tenaga sama sekali. Mereka kehabisan tenaga dalam dan tenaga murni mereka akibat disedot dari jauh oleh Lie Yang. “Selamat datang sam-wi (Anda Bertiga) di rumah kami yang sederhana! Kalau boleh tahu ada keperluan apakah saudara bertiga masuk ke rumah kami?” tanya Lie Yang sambil menghormat. “Apakah engkau yang bernama Song Lie Yang dan itu istrimu Yang Kwat Lin?” tanya salah seorang yang masih segar bugar, sedangkan dua orang temannya tampaknya tidak bisa bicara lagi. “Benar! Apa yang bisa kami lakukan untuk tiga saudara sekalian?” jawab Lie Yang sambil tersenyum lembut. “Kalau begitu serahkan segera Giok-ceng kepada kami! Kalau tidak? Hmmm!!” kata berbaju merah itu sambil melototkan matanya. “Giok-ceng tidak berada di tanganku, seandainya Giok-ceng ada di tanganku pun tidak akan kuberikan kepada kalian, karena barang itu bukan milik Ang-hong-pay! Lebih baik kalian pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi, kalau tidak ingin mengalami hal yang sama seperti dua temanmu itu?!” kata Lie Yang lembut namun pedas. “Jadi, engkau yang melukai dua saudaraku ini?” tanyanya penasaran. Tadi ia tidak habis mengerti mengapa sinkang dan lwekang teman-temannya tiba-tiba merosot tanpa sebab. Makanya ia tanya kepada Lie Yang. “Sebenarnya bukan salahku kalau aku sedikit mengambil sinkang dua saudara itu, karena aku tidak bisa membiarkan mereka membuang-buang sinkang berharga!” “Hahaha... semuda ini sudah begitu sombong ucapannya! Coba aku ingin lihat bagaimana engkau bisa menyedot sinkangku!” kata berbaju merah itu langsung menyerang Lie Yang dengan ilmu Sin- hong Sin-kang tingkatan ke dua dan tiga. Lie Yang diam saja tidak bergerak dari tempat berdirinya. Lalu ia menggunakan tahapan ke sembilan untuk menyedot sinkang laki-laki berbaju merah itu. Padahal baru saja ia bergerak tiba-tiba ia merasa sinkangnya merosot hebat keluar. Lie Yang membalikkan atau membagi sinkang orang itu ke tubuh dua orang temannya yang sedang lemas kehabisan sinkang. Tiga orang itu tampak diam seperti patung dengan mata melotot tampak kaget dan heran kepada Lie Yang. Sinkang itu merosot tidak bisa diberhentikan, tubuhnya juga tidak bisa digerakkan seperti dikunci oleh kekuatan yang lebih kuat. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 55 dari 114 Setelah dua puluh menit berlalu, baru tiga orang itu merosot lemas karena sinkang mereka tiba-tiba lenyap entah ke mana larinya. Sebenarnya sinkang satu orang ini sudah dibagi oleh Lie Yang kepada dua temannya sehingga tiga orang itu sudah bisa berdiri lagi dengan muka pucat. “Ilmu apakah yang engkau gunakan itu, anak muda?” tanya salah satu dari mereka penasaran ada ilmu bisa mengalahkan ilmu mereka dengan mudah. “Coba tanyakan ke pangcu kalian pasti tahu!” jawab Lie Yang tidak mau membocorkan rahasianya. “Baik! Kali ini kami tidak akan mengganggu kalian, tapi ingat lain kali kami akan datang lagi!” “Bangsat! Mestinya kalian yang akan mampus di sini, seandainya suamiku tidak punya jiwa pengasih! Diberi hati masih banyak tingkah! Cih....!!!” teriak Kwat Lin. “Mo-moi!” Lie Yang mengingatkan kekasaran istrinya. “Maafkan aku, Yang-twako!” kata Kwat Lin sambil menunduk. “Saudara sekalian! Hentikan dengan segera latihan-latihan ilmu Sin-hong Sin-kang kalian. Karena latihan yang kalian lakukan salah sehingga membuat perjalanan darah kalian sedikit demi sedikit akan tersumbat dan melukai diri kalian sendiri. Kalau kalian tidak percaya, apakah dada kiri kalian terasa sakit setelah bangun dari tidur?” kata Lie Yang memberitahu penyakit yang mereka derita. “Bagaimana engkau tahu kalau kami punya sakit seperti itu, anak muda? Dan bagaiman mengobatinya?” tanya laki-laki yang lainnya sedangkan orang yang galak tadi diam-diam membenarkan perkataan Lie Yang. “Aku bisa melihat dari cara kalian mengerahkan sin-kang istimewa Sin-hong Sin-kang yang terbalik, namun tidak mengurangi kehebatannya. Aku yakin bahwa ada bekas hitam di sekitar dada kalian, sebab jalan darah kalian mulai tersumbat. Sebelumnya aku juga pernah mengobati beberapa teman kalian, termasuk Ang-hong-cu putera dari pangcu kalian!” “Benarkah bahwa engkau orangnya yang telah mengobati kongcu kami?” tanya yang satunya tidak percaya. “Sudahlah! Kalian percaya atau tidak terserah? Kalian boleh coba obati dengan bersemadhi secara terbalik selama tiga bulan sebelum tidur, kalian akan segera sembuh! Sudahlah, kalian boleh pergi dan titip salamku kepada pangcu kalian! Katakan kepadanya jangan melakukan kejahatan lagi, kalau tidak Kim-liong-pay akan segera menghancurkan markas kalian!” kata Lie Yang lalu meninggalkan mereka sendirian. Ia diikuti oleh istri dan pelayan-pelayannya masuk ke rumah dan tidak lagi menghiraukan apa yang akan dilakukan oleh tiga orang Ang-hong-pay selanjutnya. Yang terpenting ia sudah mencoba memberi kesempatan kepada mereka untuk insaf seperti apa yang tertulis dalam semboyan Kim- liong-pay. Seluruh anggota rumah akhirnya bisa tidur nyenyak tanpa rasa takut dan khawatir lagi. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kim-liong-bun (1) “Siauwte ucapkan selamat datang di Kim-liong-bun untuk Ji-loenghiong! Kalau siauwte boleh tahu, apa tujuan Ji-loenghiong ingin masuk ke Kim-liong San-cung!” Hong Hou-hoat menoleh ke arah Uh Hou-hoat. Dua Pelindung Kim-liong-pay itu tidak mengerti bagaimana di gerbang masuk Perkampungan Naga Emas dijaga orang. Setahu Yang Hong Hou-hoat, sejak benjana belasan tahun lalu, gerbang pintu masuk ke perkampungan yang biasanya disebut Kim- liong-bun sudah tidak pernah dijaga lagi. Bahkan Perkampungan Naga Emas tidak seramai dulu. Walaupun Yang Hong Hou-hoat dulu tidak aktif lagi di Kim-liong-pay dan akhirnya mendirikan Pek- eng-pay, namun ia masih menempatkan dua mata-matanya di Perkampungan Naga Emas. Ia selalu mendapatkan informasi terbaru, termasuk banyaknya penghuni Perkampungan Naga Emas yang pindah. Sejak setahun yang lalu, menurut mata-mata yang disebarkannya, Perkampungan Naga Emas saat ini hanya dihuni oleh dua orang penduduk saja. Kim-liong-hu atau Istana Naga Emas dibiarkan kosong tanpa ada penghuninya sama sekali. Hanya kadang-kadang ada salah satu penduduk yang memebersihkan Istana tempat pemerintahan kerajaan kecil di lereng Thai-san itu. Istana itu dibiarkan kosong tanpa penghuni, baik manusia ataupun perabotan istana sekali pun hingga sekarang. Kali ini pertanyaan sederhana menggelitik hatinya. Siapa orang-orang ini? Di depannya berdiri belasan orang yang dipimpin oleh seorang dengan pakaian berwarna kuning cerah dari kain sutera. Pemuda berpakaian kain dari sutera mahal itu yang bertanya kepada mereka. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 56 dari 114 Yang Hong Hou-hoat dan Sam Uh Hou-hoat yang datang ke lereng Thai-san karena ingin mengambil beberapa pusaka Kim-liong-pay merasa benar-benar penasaran. “Siapa kalian? Apa yang sedang kalian kerjakan di tempat ini?” tanya Sam Uh Hou-hoat kepada pemuda berbaju kuning itu. Pemuda berbaju kuning itu tersenyum lalu menjura sekali lagi. “Kami adalah penduduk Kim-liong San-cung! Kami ditugasi oleh kepala desa kami untuk menjaga gerbang desa Naga Emas.” Jawab pemuda berbaju kuning itu. “Siapa pun yang ingin masuk ke Perkampungan Naga Emas wajib menjawab pertanyaan kami!” terdengar suara dari kejahuan. Dua pelindung itu terkejut mendengar suara dari kejahuan itu. Orang yang berkata dari kejahuan itu menggunakan ilmu pengirim suara untuk mengantarkan perkataannya. Tidak banyak ornag mempunyai lweekang seperti itu. Hati dua pelindung itu digelitik oleh pertanyaan lainnya. Seorang pemuda dengan memakai baju berwarna kuning muncul dari belakang mereka. Pemuda itu muncul dengan senyuman yang cerah. “Benar! Siapa pun itu, bahkan lalat sekalipun! Karena sejak musim semi kemarin, Kim-liong-pay akan bangkit kembali. Kim-liong-pay akan merajai dunia kang-ouw kembali!” terdengar suara lainnya. Bahasa yang digunakan oleh laki-laki ini sangat kaku dan terbata-bata. Dua Pelindung tua itu mendongakkan kepalanya ke sebuah pohon di samping mereka. Di sebuah dahan yang besar terlihat seorang laki-laki sedang tidur-tiduran enak sekali. Kalau Dua Pelindung tua itu melihat jelas wajahnya, mereka akan terkejut, karena wajah itu sedemikian berbedanya dengan wajah-wajah yang pernah dilihatnya. Pemuda itu mempunyai hidung sangat mancung, dua bola mata yang besar mencorong seperti naga dan kulit yang bercahaya terang. Namun pakaiannya tidak sehebat tampangnya, karena pakaiannya terlihat compang-camping. Pakaiannya hitam dengan tutup kepala yang dirasakan aneh. Tutup kepala itu mengingatkan kepada orang-orang Hui, bukan orang- orang Han (Orang Asli Tionggoan). Dua Pelindung tua itu sangat kaget mendengar perkataan laki-laki di atas dahan itu. Kali ini pikiran Dua Pelindung itu seperti mengambang di langit. Tubuh mereka terasa diguyur air es. “Siapa sebenarnya kalian ini? Apa maksud perkataanmu itu, anak muda?” tanya Yang Hong Hou-hoat penasaran. “Kami adalah tuan rumah. Sebutkan nama dan tujuan, tuan-tuan. Kami akan pikirkan apakah Anda berdua diperbolehkan masuk Perkampungan Naga Emas.” Jawab lagi pemuda di atas dahan itu. “Benar! Sebutkan nama, kalian berdua!” Terdengar jawaban lainnya. Seorang pemuda yang mengirim suara dari jarak jauh itu sudah berada di hadapan Dua Pelindung Yang Hong Hou-hoat dan Sam Uh Hou-hoat. Belum lagi Dua Pelindung menjawab, pemuda yang sedang bermalas-malasan itu tiba-tiba meloncat dari dahan pohon. Pemuda tampan itu melakukan salto di udara tiga kali sebelum dua kakinya menyentuh tanah. Atraksi itu disambut keterkejutan Dua Pelindung. Belum mereka menyadari sesuatu yang aneh, pemuda bertampang ‘asing’ itu tiba-tiba menyerang mereka. Serangan itu sedemikian cepat dan anehnya hingga ujung baju Sam Uh Hou-hoat hampir dapat digapainya. Dua Pelindung menghindar dengan cepat. “Apa maksud kalian? Apakah ingin mengajak berkelahi?” Teriak Song Hong Hou-hoat gusar oleh prilaku gila pemuda di depannya. Pemuda dengan pakaian compang-camping itu tersenyum mendengar teriakan Song Hong Hou-hoat. Pemuda itu maju tiga langkah sambil mengangkat kedua tangannya. Ia menjura dan diikuti oleh teman-teman lainnya. “Selamat datang Kim-liong-pay Ji-sia! Semoga pertemuan ini menjadi berkah bagi Kim-liong-pay, khusunya kepada Giok-pangcu. Sudah lama Siauwte menunggu Ji-wi!” Berubah air muka Dua Pelindung. Yang Hong Hou-hoat menoleh ke arah Sam Uh Hou-hoat. Tidak banyak orang mengetahui jati diri mereka. Seandainya mereka memakai topeng emasnya, mungkin hati mereka tidak akan dibelit penasaran seperti itu. Nyatanya mereka tidak memakai topeng
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 57 dari 114
kebanggaan itu. Bagaimana pemuda itu mengetahui kalau mereka adalah Dua Pelindung Kim-liong- pay? “Siapa kalian sebenarnya?” Tanya Sam Uh Hou-hoat lebih penasaran lagi. “Kami hanyalah para penjaga Kim-liong San-cung!” Jawab pemuda memakai pakaian compang- camping itu. “Kalau kalian mengetahui siapa kami, kenapa kalian ‘tidak berlaku sopan’ seperti ini? Apa maksud kalian?” Tanya Sam Uh Hou-hoat sekali lagi. “Maafkan kami yang berlaku tidak sopan terhadap Ji-sian! Kami hanya memenuhi perintah atasan.” Jawab salah satu dari dua pemuda yang memakai pakaian kuning. “Siapa atasan kalian?” Tanya Yang Hong-hoat seketika. “Jit Fu-hoat (Penasehat Matahari)!” Jawab cepat pemuda ketiga. Dua Pelindung diam. Sekali lagi ada sesuatu yang menggelitik di hati mereka. Tiga pemuda di depannya juga memilih berdiam diri. Belasan pemuda di belakang tiga pemuda itu juga diam membeku. “Apakah kalian murid Jit Fu-hoat dan diperintah menyambut kami?” Tanya Yang Hong-hoat. “Bagaimana Ji-wi bisa mengetahui kalau kami adalah murid Jit Fu-hoat? Apakah ada yang khas dari ‘sambutan’ siauwte tadi?” Pemuda berpakaian compang-camping itu menyengir. “Pantas! Ilmu yang engkau gunakan begitu hebat, anak muda. Dimana Jit Fu-hoat sekarang? Apakah ia tidak ikut menyambut kedatangan kam?i!” Sam Uh Hou-hoat gilirna bertanya. “Maafkan kelancangan kami. Sudah satu minggu suhu ikut pergi dengan kakek Giok meninggalkan Perkampungan Naga Emas. Suhu hanya memberi perintah supaya kami menunggu kedatangan Giok- pangcu dan Dua Pelindung di tempat ini. Seandainya siauwte tidak dapat mengenal ilmu yang Ji-wi pakai, mungkin kami tidak akan mengenal siapa Ji-wi. Apakah Giok-pangcu tidak ikut bersama Ji-wi?” “Sayang sekali, padahal kami ingin bertemu dengannya, sekaligus menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya. Giok-pangcu tidak bisa ikut, mungkin setelah masa berkabung selesai pangcu baru kemari. Siapa nama kalian, apakah kami tidak perlu mengetahui nama kalian?” “Ah, begitu ternyata! Sampai lupa memperkenalkan diri kami. Nama siauwte Khoesarvi Syah atau bisa dipanggil Kho Sa. Sedangkan mereka bernama Kwee Kong dan Kim Yun Tai.” Pemuda berpakaian compang-camping memperkenalkan dirinya dan teman-temannya. “Kho-e-sar-phi Sa-y? Nama apa ini? Apa engkau bukan orang Tionggoan?” Tanya Yang Hong Hou- hoat heran mendengar nama aneh itu. Pemuda yang bernama Khoesarvi Syah atau Kho Sa itu tertawa lepas. Kelakuan pemuda ini memang aneh dan tidak mencerminkan kesopanan sama sekali. Kho Sa tertawa ketika Yang Hong hou-hoat menyebut namanya dengan susah. Namanya terdengar aneh di telinganya ketika disebut tadi. “Siauwte berasal dari negeri Persia. Delapan belas tahun yang lalu, suhu datang ke Persia untuk menyelidiki kasus di balik hancurnya Kim-liong-pay. Di sanalah siauwte bertemu dengannya dan mengajariku ilmu silat. Sudah lima tahun siauwte hidup di Tionggoan dan telah belajar banyak di sini. Di sini sauwtie mendapatkan banyak teman dan saudara. Oh ya, sebaiknya kita masuk ke Perkampungan supaya enak siauwte menceritakannya dan membicarakan pesan suhu. Mari!!!” Dua Pelindung menganggukkan kepala dan mengikuti langkah tiga pemuda di depannya. Belasan pemuda berjaga-jaga di belakang mereka. Kali ini pikiran Sam Uh Hou-hoat tiba-tiba melayang jauh sekali. Pertanyaan yang disimpannya belasan tahun tiba-tiba bisa dijawabnya dengan mudah. Dahulu ia pernah mempertanyakan kemana kepergian Jit Fu-hoat hingga bertahun-tahun lamanya itu. Belakangan ini baru diketahu bahwa Jit Fu-hoat pergi ke Persia. Sungguh tidak disangkanya. Kalau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan untuk Kim-liong-pay, maka pekerjaannya lebih mudah. Pergi ke negeri yang jauh lebih susah dan dari pada sekedar menjaga Lie Yang dan menyembunyikannya dari kejaran musuh. Berbeda dengan Sam Uh Hou-hoat, Yang Hong-hoat berpikiran lain. Dalam perjalanannya pergi ke Perkampungan Naga Emas, dirinya lebih banyak diselimuti pertanyaan. Otaknya sepertinya tidak berjalan lagi, akibat banyak masalah yang belum ia pahami. Ia pernah mendengar cerita dari gurunya yang dahulu pernah menjabat menjadi Hong Hou-hoat juga. Gurunya itu bercerita bahwa nenek
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 58 dari 114
moyang keluarga Giok dahulu berasal dari Persia. Ilmu-ilmu yang digunakannya banyak bersumber dari Persia yang digabung dengan Tionggoan. Legenda dan cerita tentang keluarga Giok sangat hebat. Bahkan menurut cerita gurunya, nenek moyang keluarga Giok di Persia berketurunan bangsawan dan raja Persia. Golongan kelas pertama di Persia. Sekarang di depannya muncul pemuda dari Persia dan menurut cerita pemuda itu, Jit Fu-hoat pergi merantau ke Persia selama bertahun-tahun. Sebenanrya apa maksud perantauan ini? Yang Hong Hou-hoat mencoba menelusuri beberapa benang merah, namun tidak mampu memutuskan apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Apakah perantauan ini benar-benar ingin menyelidiki kasus kehancuran Kim-liong-pay? Apakah ada hubungannya antara Persia, nenek moyang keluarga Giok di Persia, hancurnya Kim-liong-pay dan kelompok yang membantai penduduk Perkampungan Naga Emas. Ia yakin, semua itu ada hubungannya. “Sepertinya begitu...!” Katanya dalam hati. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kim-liong-bun (2) Di tempat lain. Waktu yang bersamaan. “Apa benar katamu?!!!” Bentak seorang laki-laki berumur 40-an. “Kami tidak bohong. Dia mengatakannya sendiri. Ilmunyanya berada di atas kami.” Jawab salah satu dari tiga orang berpakaian merah itu. Muka mereka tampak pucat seperti mayat hidup. “Hmmm!!!” “Tidak mungkin! Mustahil!” “Jelas sekali, Kim-liong-pay sudah habis sampai ke akar-akarnya. Bagaimana mungkin sekarang muncul seorang pemuda berani menggertak Ang-hong-pay. Bagaimana mungkin ada yang berhasil mempelajari ilmu Sin-hong Sin-kang sampai tingkatan sembilan selain atasan kita? Apa engkau tidak salah dengar?!!” Kata laki-laki itu masih tidak percaya dengan keterangan pasukannya. “Sungguh mati kami mendengar dia menyebut ilmu itu. Dia menyebutnya Kim-liong Bu-hong-kun. Kami telah merasakan betapa dahsyatnya ilmu itu. Ilmu itu bisa menyerap sihir dan sin-kang kami.” “Dari mana sebenarnya pemuda bernama Lie Yang itu memperoleh ilmu itu? Apa hubungannya dengan Kim-liong-pay?” Tanyanya sendiri. “Sejak dulu sudah kukatakan untuk sesegera mungkin mencari Gik-ceng. Karena benda itulah kunci masuk ke Bu-eng-hu. Sekarang, semuanya sudah terlambat. Para orang suci dari Bu-eng-hu telah muncul dan inilah kebodohan kalian tidak mempercayai perkataanku.” Terdengar suara dari ruangan dalam. “Terus apa yang harus kita lakukan, kek? Apa kita akan mundur setelah bertahun-tahun bekerja keras?” Tanya laki-laki berpakaian abu-abu dari katun kasar itu. “Kong Sie-ji, terlambat bukan berarti kalah! Menurut dugaanku, Giok-ceng tidak berada di tangan pemuda itu. Namun akan muncul akhir-akhir ini di utara. Bawa 10 pasukan Ang-i-hong (Tawon Berbaju Merah) dan pinjam ke kakakmu dua pasukan Cap-sian Pek-i-wi (Sepuluh Dewa Pengawal Berbaju Putih). Ditambah 100 pasukan Hek-i-hong (Tawon Berbaju Hitam). Samarkan setengahnya ke pesta Thian-long-pay di utara nanti. Di sanalah Giok-ceng akan muncul!” “Terima kasih atas petunjuk kakek!” Kata laki-laki bernama Kong Sie itu. Tidak ada jawaban dari orang yang dipanggilnya kakek itu. Baru saja ia mau berpikir, tiba-tiba ada pengawal masuk. “Kongcu, Siauw-kongcu telah kembali!” Kata pengawal itu melaporkan kedatangan seseorang. “Suruh dia kemari!” Perintah Kong Sie. Seorang pemuda masuk ke ruangan dengan muka masih terlihat pucat. Dua matanay tidak menyala seperti baisanya. Pemuda ini adalah Kong Lee yang beberapa minggu kemarin berhasil dilumpuhkan oleh Lie Yang. Jalannya terlihat seperti orang tidak semangat. “Ada apa denganmu itu? Apakah mabuk lagi?” Tanya Kong Sie heran melihat anaknya seperti itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 59 dari 114
“Lwekang dan sinkangku habis! Aku harus membalas atas penghinaan ini! Aku akan memakan daging dan meminum darahnya! Aku akan sayat-sayat kulitnya dengan pelan-pelan!” Teriak Kong Lee sambil menghambur ke ayahnya. Ia menangis di bawah kedua kaki ayahnya. Tak henti-hentinya ia memaki- maki. Ayahnya bingung dengan keadaan anaknya itu. “Apakah orang-orang Thian-long-pay yang melakukannya?” Tanya ayahnya sambil memandangi muka Kong Lee yang masih pucat. “Mereka tidak ada apa-apanya bagiku. Seorang pemuda memakai ilmu Hui-im Hong-sinkang memusnakan semuanya. Aku telah cacat. Tidak bisa bermain silat lagi.” Kong Sie memandang anaknya hampir tidak berkedip. Tidak sembarangan orang mampu mengimbangi ilmu ankanya itu. Apalagi seorang pemuda memakai ilmu simpanan mereka, ilmu Hui- im Hong-sinkang. Sungguh diluar dugaannya. “Apa kau kenal dengan pemuda itu?” tanya Kong Sie. Anaknya menggelengkan kepalanya yang tertunduk kembali. “Aku hanya tahu bahwa istrinya menyebut dirinya Ang-i-sianli.” Jawab Kong Lee lemas. “Kongcu, dia adalah Lie Yang! Pemuda yang mengalahkan kami bertiga.” Tiba-tiba terdengar salah satu tiga anak buahnya bekata. “Lie Yang?” Ulang Kong Lee. Dua mata Kong Lee tiba-tiba menyala. Dua tangannya dikepalkan rapat-rapat. “Aku harus membalasnya!” Gumam Kong Lee dengan suara sangat pelan. “Sebaiknya engkau istirahat dulu! Nanti aku bicarakan masalahmu ini di rapat para Tiong-lo dan para pangcu Ang-hong-pay.” Saran ayahnya. “Tidak ayah! Beri kesempatan aku belajar ilmu Ang-bin Hong-ong (Raja Tawon Muka Merah)!” “Apa engkau sudah gila! Ilmu itu sejak pangcu Ang-hong-pay generasi ke-2 belum ada yang berani melatinya. Kamu tahu akibatnya mempelajari ilmu gaib Ang-hong-pay itu? Mukamu akan berubah menjadi iblis setiap menggunakan ilmu itu.” Ujar Kong Sie dengan nada keras. “Biarlah wajahku berubah bagaimanapun, asalkan aku bisa membalas penghinaan ini. Aku tidak akan menyesal, ayah! Kumohon kabulkanlah permintaanku ini!” Kong Lee merengek. “Tidak!” Bentak ayahnya kokoh. “Baik! Aku akan pergi dari tempat ini. Aku akan mengadu nyawa dengan si Lie Yang itu.” Terdengar ucapan Kong Lee begitu keras sekeras hatinya. Ia pergi meninggalkan ayahnya yang berdiri termangu-mangu oleh kekerasan hati anaknya itu. “Pengawal!” Teriaknya mengguntur. Dua prajurit memakai baju hitam muncul dari balik pintu. Mereka membungkuk siap dengan perintah Kong Sie. “Bawa mereka ke Hong-ong-hiat (Gua Raja Tawon)!”. Perintah sudah dijatuhkan. Mengharap belas kasihan pun tidak mungkin. Tiga prajurit memakai pakaian merah itu berdiri ketika dua prajurit berpakaian hitam menggirngnya. Tiga laki-laki itu berjalan di depan dengan kepala menunduk. Kesalahannya begitu berat. Di Ang- hong-pay, terdapat peraturan yang sangat ketat. Setiap anggota yang gagal dalam misinya, selalu mendapatkan hukuman berat. Mereka dibawa ke Hong-ong-hiat yang sudah diketahui betapa seremnya tempat itu. Gua itu berada di sebuah bukit dengan berjuta-juta Tawon bersarang di dalamnya. Sekali manusia masuk, maka tawon-tawon itu akan segera memangsanya. Tawon-tawon berwarna merah itu mempunyai kegemaran memakan daging manusia. Menghisap darah sampai habis baru memakannya berbarengan. Tawon-tawon itu sengaja dipelihara di dalam gua itu sebagai tempat hukuman bagi anggota Ang-hong-pay yang bersalah. Anehnya, tawon-tawon sebesar ibu jari kaki itu tidak pernah didapati keluar gua. Hampir tidak ada yang tahu bagaimana bentuk tawon-tawon itu. Kabar tentang tawon-tawon itupun hanya sebatas mulut ke mulut. Tidak ada yang tahu kecuali ornag buangan atas kesalahannya. Setiap anggota Ang-hong-pay yang dibuang ke dalam gua itu, tidak akan dapat kembali keluar lagi menghirup udara sejuk. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam. Para penjaga hanya mendengar sebuah jeritan menyakitkan dari dalam, setelah itu gua akan hening kembali. Hanya kadang-kadang terdengar suara puluhan ribu Tawon mendengung dari dalam gua. Sungguh
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 60 dari 114
menyeramkan. Apalagi penjaga gua itu yang telah diketahui memiliki wajah bengis dan kepandaian setinggi langit. Tidak ada yang bisa keluar dari gua itu setelah masuk ke dalam Hong-ong-hiat. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kim-liong-bun (3) Di tempat yang sama. Dua hari kemudian. Di tengah hutan yang lebat. Ketika bulan bertengger terang di tengah malam. Sebuah bangunan kuno dipenuhi oleh puluhan, bahkan mungkin ratusan manusia dengan berbagai pakaian. Mulai hitam, merah, putih sampai kuning bersulam merah dan bersulam putih. Namun yang menjadi ciri khusus adalah sulaman bergambar Tawon itulah yang membuat merinding. Di dalam ruangan tengah telah berkumpul puluhan orang. Di luar ada ratusan manusia berpakaian hitam, merah, dan putih menjaga dengan ketat gedung kuno itu. Tidak ada suara, hanya jeritan jangkrik yang sedang melagukan lagu ketakutan terdengar menyakitkan hati. Sepertinya jangkrik itu sedang mengalami ketakutan karena melihat betapa banyaknya manusia ada di sektarnya. Terdengar juga burung hantu menyuarakan kekhuwatirannya. “Sepertinya kita sudah berkumpul semuanya.” Terdengar suara dari seorang laki-laki tua. Umurnya mungkin sudah 60-an. Mukanya sudah keriputan dan rambutnya sudah putih semuanya. Ia memakai pakaian berwarna kuning muda dengan sulaman seekor Tawon berwarna merah darah di dadanya. Jubahnya cukup besar. Ia duduk di sebuah kursi berwarna merah darah. Di bawahnya duduk berbaris puluhan laki-laki dengan usia berbeda-beda. Namun, yang paling aneh adalah ada tiga laki-laki berjubah putih sedang duduk di atas atap. Usianya sukar ditaksir, karena terlihat sudah begitu tua. Lebih tua dari laki-laki berpakain kuning yang duduk di singasana itu. Melihat lambang yang tergambar di dada mereka. Bisa ditebak siapa sebenarnya mereka. Lambang Tawon Merah sangat familiar dan siapa pun tahu lambang apa itu. Kalau melihat lambang itu, orang kang-ouw akan segera lari terbirit-birit. Itulah lambang Ang-hong-pay yang saat ini menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-ornag kang-ouw. Malam ini terjadi peristiwa besar dalam partai Ang-hong- pay. Rapat tahunan digelar. Semua anggota telah berkumpul, dari prajurit berpakaian hitam sampai pangcu Ang-hong-pay yang sudah berumur tua itu. Sangat perlu diketahui siapa sebenarnya pangcu Ang-hong-pay itu. Pangcu Ang-hong-pay generasi ke-6 itu bernama Ciang Hong. Ia mempunyai tiga putra yang bernama Ku Tek, Hou Bu, dan Kong Sie. Diantara tiga putranya itu, Ku Tek yang memilki ilmu silat paling hebat. Bahkan terdengar kabar ilmunya melebihi ayahnya sangat jauh sekali. Ia juga paling banyak diselimuti misteri, karena sejak berumur 10 tahun, putra pertamanya ini sudah menghilang. Tidak ada orang yang tahu kemana perginya, kecuali keluarganya. Hanya saja, ia sering muncul dengan memakai topeng atau mengutus utusan ketika melakukan suatu urusan. Ketika terjadi pertemuan seperti ini, ia juga tidak menampakkan dirinya. Namun jangan dibilang ia tidak hadir di tempat itu. Hanya saja ia tidak menampakkan dirinya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui dimana ia bersembunyi, hanya suaranya saja yang kadang-kadang terdengar di jarak yang sangat dekat. Kehadiarannya seperti setan. Tidak kelihatan wujudnya, namun orang yang ada di sekitarnya akan merasakan bahwa ia berada di tempat itu. Ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya tanpa diketahui orang lain. Sering ia mendatangi anggota Ang-hong-pay yang sudah mempunyai pangkat tinggi dan berbicara dengan mereka. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan wujudnya. Hingga saat ini belum ada yang melihat wujud asli dari Ku Tek. Konon, menurut cerita, dia lah yang menguasai hampir seluruh ilmu peninggalan manusia gaib dari Ang-hong-pay. Tidak ada seorang pun yang berani dengan hantu yang satu ini. Di Ang-hong-pay ia dikenal sebagai Wakil pangcu Ang-hong-pay langsung. Semua perintahnya sama denagn perintah pangcu. Putra keduanya tidak jauh berbeda dengan Ku Tek. Hou Bu memiliki ilmu yang jauh dari nalar manusia. Ia dapat menghilang di depan pandangan seseorang. Kadang ia muncul begitu saja di depan seseorang tanpa diketahui kapan datang dan perginya. Ilmunya katanya tidak dibwah kakaknya. Namun, yang ditakuti bukan ilmu menghilangnya. Akan tetapi kekejamannya membunuh orang tanpa belas kasihan sama sekali. Ia juga bertampang bengis, kasar dan keras. Di organisasi Ang-hong-pay ia mempunyai jabatan Wakil Cong Fu-hoat (Ketua Para Penasehat). Sekaligus ketua Cap-sian Pek-i-wi (Sepuluh Dewa Pengawal Berbaju Putih). Di termasuk salah satu dari Fu-hoat yang dimiliki oleh Ang-hong-pay. Yang berbeda adalah putra ketiganya, yaitu Kong Sie. Putra ketiganya ini memiliki kemampuan paling rendah kalau dibandingkan dengan dua kakaknya. Kesenangannya mengumpulkan wanita menurun http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 61 dari 114 kepada putranya Kong Lee. Jabatannya di Ang-hong-pay adalah Wakil Cong Hou-hoat (Ketua Para Pelindung). Ketua pasukan 50 Ang-i-hong (Pasukan Tawon Berbaju Merah) dan pembawa 300 pasukan Hek-i-hong (Pasukan Tawon Berbaju Hitam). Selama hampir sepuluh tahun ini, dialah yang melakukan aksi teror di dunia kang-ouw. Namun selama sepuluh tahun ini, aksinya ini bisa dikatakan hanya ‘main-main’. Belum pernah ia menggerakkan kekuatan Ang-hong-pay yang sebenarnya. Namun kekuatan ‘yang belum sebenarnya’ itu menjadi hantu di siang hari bagi orang-orang kang-ouw. Sudah puluhan perguruan dikuasainya. Mereka tidak dituntut banyak hal. Hanya dituntut untuk mengakui kepemimpinan Ang-hong-pay dan menyerahkan beberapa ilmu yang paling hebat yang dimiliki oleh perguruan tersebut. Hingga saat ini, belum ada yang tahu dimana markas sebenarnya Ang-hong-pay dan sudah berapa lama partai ini berdiri. Ang-hong-pay telah menjadi mimpi paling buruk dan selalu diselimuti misteri. Dalam keorganisasian Ang-hong-pay dikenal ada enam Fu-hoat beserta Cong Fu-hoatnya dan enam Hou-hoat beserta Cong Hou-hoatnya. Di bawah para Fu-hoat dan Hou-hoat ada tiga lapis prajurit atau pasukan. Dari pasukan paling elit Cap-sian Pek-i-wi lalu 50 Ang-i-hong dan 300 pasukan Hek-i-hong. Pasukan lainnya adalah anggota biasa yang berjumlah lebih dari lima ratus prajurit. Anehnya, sulit menduga dimana letak ratusan anggota Ang-hong-pay itu. Selain itu dalam organisasi Ang-hong-pay terdapat tiga Tiong-lo yaitu kakek-kakek tua yang sedang duduk di atas atap itu. Mereka adalah para orang tua yang sudah terbebas dari ikatan peraturan Ang- hong-pay, namun suara mereka masih dipertimbangkan. Bahkan tiga Tiong-lo ini bisa dikatakan sebagai pengawas dan sekaligus para guru para anggota khusus Ang-hong-pay. Mereka adalah para tetua manusia gaib di Ang-hong-pay. “Hari ini, hari paling istimewa dan akan menjadi sejarah terbesar bagi semua anggota Ang-hong-pay. Sepuluh tahun kita telah menunggu hanya untuk hari ini. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Waktu yang lama untuk berubah menjadi tawon dewasa dan berbisa. Inilah hari kelahiran Ang-hong- pay yang sebenarnya. Mengumpulkan pasukan sebanyak saat ini tidak mudah. Untuk itu, selagi dunia kang-ouw diterpa badai kegelisahan dan ketakutan. Kita harus mampu membawa mereka ke pusaran yang lebih dahsyat. Mencuci otak dan mewarnai hati mereka, agar sewarna dengan otak dan hati kita. Kita merahkan hati mereka!” Terdengar pangcu Ang-hong-pay berkata. Terdengar suara sambutan ramai dari para anggota Ang-hong-pay. Suara dengungan mirip suara ribuan tawon mengguncang ruangan itu. Itulah suara dari hasil latihan sin-kang istimewa Ang-hong- pay. Suara itu terdengar sampai belasan mil jauhnya. Beberapa anggota Ang-hong-pay tingkatan rendah sampai jatuh pingsan akibat telinganya mendengar suara itu. Beberapa burung hantu terbang menjauh. Suara jangkrik yang mendesah gelisah tiba-tiba tidak terdengar lagi. Suara riuh seperti gaungan gong itu hanya sebentar. “Ha... haha... haha...! Hari ini aku sangat bahagia! Ilmu kalian telah mendapatkan kemajuan yang banyak!” Suara tawa pangcu Ciang Hong terdengar melata. “Sebelum aku membagi tugas untuk kalian. Aku ingin mendengar kabar tentang Giok-ceng dan pemuda bernama Lie Yang itu??!! Apa ada diantara kalian yang bisa menjelaskan beberapa masalah ini!” Baru saja pangcu Ciang Hong selesai berbicara. Seorang dari para anggota khusus berdiri. Sebelum ia berbicara, terlebih dulu ia memberi hormat dengan menaruh tangan kananya di dada sambil membungkuk. Setelah pangcu Ang-hong-pay memberi izin dengan mengulapkan tangan kanannya. Laki-laki yang bukan lain adalah Kong Sie itu bmenegakkan kembali kepalanya yang tertunduk menghormat. Kong Sie lalu menceritakan semua apa yang telah diketahuinya. Mulai dari kegagalannya mendapatkan Giok-ceng di Taiyuan, kegagalannya di bawah Song-shan, di rumah hartawan Song sampai kegagagalan pasukannya oleh Lie Yang beberapa seminggu yang lalu. Selama tiga tahun ini misinya selalu gagal. Ia juga menceritakan munculnya Dua Pelindung Kim-liong-pay yang sudah lama menghilang. Ditambah kehebatan ilmu silat Lie Yang setelah menghilang tiga tahun lamanya. “Menurut dugaan saya, salah satu dari Dua Pelindung Kim-liong-pay yang pernah muncul tiga tahun yang lalu adalah Yang-pangcu dari Pek-eng-pay. Karena istri Lie Yang yang bernama Yang Kwat Lin adalah putri pangcu Pek-eng-pay. Selain itu, saya ingin mendapatkan persetujuan dari pangcu dan wakil Fu Hou-hoat untuk meminjam dua pasukan putih. Pasukan putih ini akan melengkapi pasukan saya untuk merampas Giok-ceng yang akan muncul di utara. Menurut arahan Cong Tiong-lo, Giok- ceng akan muncul di pesta ulang tahun Thian-long-pay.” Kata Kong Sie terakhir. Semua oarang manggut-manggut mendengar uraian Kong Sie. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 62 dari 114 Selama lima belas tahun ini, bisa dikatakan dirinya sendiri yang menjalankan semua aksi teror kepada ornag-orang kang-ouw. Mulai dari pembakaran, penculikan sampai pembakaran beberapa partai kecil dan beberapa perguruan silat di Tionggoan. Ia dengan 50 pasukan merah dan 300 pasukan hitamnya menjadi hantu yang mengerikan. Maka, tidak heran kalau saat ini ia mempunyai kepentingan paling banyak untuk menguraikan masalahnya. “Sejak dahulu aku sudah menduganya kalau Yang-pangcu adalah salah satu dari Kim-liong-pay Ji- sian. Apa sudah diketahui siapa lainnya?” Tanya pangcu Ang-hong-pay sambil berpikir. “Saya masih belum mendapatkan titik terang untuk yang ini. Namun sudah saya tambah mata-mata di sekitar tempat tinggal Lie Yang.” “Oh, ya. Tadi engkau mengatakan bahwa pemuda si Lie Yang itu mampu memainkan ilmu Sin-hong Sin-kang sampai tingkatan ke sembilan. Apa anak buahmu tidak salah dengar?” “Sepertinya mereka tidak salah dengar, pangcu. Kong Lee juga mengalami hal serupa. Semua sin- kang dan lweekangnya terkuras habis. Bahkan Kong Lee lebih parah, ada beberapa nadinya yang terputus. Tubuhnya terbakar oleh sin-kang Panas yang tinggi. Di tubuhnya terdapat darah membeku oleh sin-kang Dingin. Bukti itu sudah membuktikan betapa dahsyatnya ilmu lawan Kong Lee. Aku menduga ilmu Sin-hong Sin-kang tingkat ke delapannya tidak di bawahku. Malah mungkin lebih hebat ilmu yang dimilikinya, kalau benar ia mampu menemukan teori tingkatan ke sembilan itu.” Semua orang mendengarkan uraian Kong Sie dengan mata tak berkedip. Mereka dapat membayangkan betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki oleh Lie Yang. Bnayak diantara mereka yang terkejut mendengarkan uraian itu. Sebab selama ini, mereka hanya menegtahui tingkatan tertinggi ilmu Sin-hong Sin-kang adalah tingkatan ke delapan. Adapun sebagian lainnya mengalami gejolak lebih dahsyat. Mereka dapat menerka apa di balik semua itu. “Kalau benar-benar ilmu yang dimainkan oleh anak muda itua dalah tingkatan ke sembilan, maka MANUSIA SUCI dari BU ENG HU sudah mulai bermunculan. Ini juga bisa menjadi bukti bahwa dongeng BU ENG HU benar-benar ada. Tidak sembarang orang tahu kalau ilmu Sin-hong Sin-kang mempunyai tingkatan sembilan. Teori silat tingkatan ke sembilan sebenarnya sudah lama hilang. Kalau sudah muncul seperti ini, maka hanya ada segelintir orang yang mampu menandinginya. Pasukan putih pun tidak akan mampu menandingi kemampuan pemuda ini.” “Sifat Sin-hong Sin-kang sangat berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Sekuat apapun sin-kang dan lweekang anak itu, bagaimanapun tinggi ilmunya. Manusia tetap terbatas sifatnya. 10 pasukan merah dan dua pasukan putih sudah cukup untuk mengalahkan dan menghabiskan sin-kang dan lwekang yang dipakainya. Kalau masih merasa khawatir tidak mampu mengalahkan, biarlah pasukan putih dikerahkan setengahnya.” Terdengar suara dari atas genteng. Pangcu Ang-hong-pay tampak diam sedang berpikir lalu kepalanya bergerak-gerak. “Buka pintunya!” Perintahnya secara tiba-tiba kepada pengawal yang berada di samping pintu. Pintu terbuka lebar- lebar. “Sepertinya saudara dari Thian-liong-pay (Partai Naga Langit) sudah datang! Persilahkan saudara dari Thian-liong-pang masuk ke dalam!” Terdengar kembali suaranya memerintah. Baru saja ia selesai berbicara sebuah kumpalan angin masuk ke dalam ruangan. Pusaran angin itu bergerak bagaikan penari latar yang genit. Meliuk-liuk indah menimbulkan pesona, mengggores hati, menggelitik keingin-tahuan dan membangkitkan gairah tahjub. Tiba-tiba angin bergulung-gulung itu lenyap tanpa menyisahkan apapun. Hanya lima orang dengan pakaian serba putih berdiri dengan angkuhnya. Mereka muncul dengan tiba-tiba. Tidak diketahui kapan masuknya. Sepertinya mereka adalah jelmaan kumpalan angin tadi. Muka mereka ditutupi dengan kain putih tebal. Hanya mata mereka terlihat bersinar-sinar cerah. Di dada mereka tampak gambar naga melingkar dengan menjulurkan lidah apinya dari benang emas. Jubah putih yang dipakai mereka sangat putih dan halus. Semua orang merasakan sesuatu pesona yang luar biasa hebatnya. “Manusia Suci telah muncul, kami diutus oleh pangcu Thian-liong-pay pusat untuk mengambil alih pencarian Giok-ceng dan menghadapi Manusia Suci dari BU ENG HU. Tugas Ang-hong-pay hanya menguasai partai-partai dan perguruan-perguruan silat di Tionggoan. Rebut kembali kursi bengcu dan pimpin para pendekar Tionggoan untuk melakukan tujuan kita.” Terdengar suara dari balik cadar. Suara itu terdengar sangat keras di setiap telinga anggota Ang-hong-pay. “Apakah kami berhadapan dengan Pek-sianli (Bidadari Putih)?” Tanya pangcu Ang-hong-pay diikuti degupan hati para anggota Ang-hong-pay lainnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 63 dari 114
“Salah! Apa yang kalian lihat hanyalah Ngo-eng Pek-sianli (Lima Bayangan Bidadari Putih). Tapi, bukan berarti Pek-sianli tidak ada. Tidak tampak bukan berarti tidak ada, karena ketidak-nampaan adalah bukti hakikat adanya!” Terdengar jawaban dari balik cadar. Setiap orang yang memakai cadar itu berbicara. Sehingga suara yang dihasilkan terdengar bergemuruh di mana-mana. Tidak jelas dimana letak suara itu. Siapa hakikatnya Pek-sianli tidak ada yang tahu. Pucat wajah Kong Sie mendengar jawaban itu. Tidak hanya dia sendirian yang merasakan sesuatu perasaan aneh itu. Hampir seluruh anggota Ang-hong-pay merasakannya, termasuk pangcu Ang- hong-pay. Pek-sianli dengan Ngo-eng Pek-sianli-nya dianggap satu pasukan paling khsusus di Thian-liong-pay pusat. Mereka mempunyai sejarah berabad-abad. Tidak ada yang tahu bagaimana hakikat wujud Pek- sianli. Apakah ia masih muda atau sudah tua. Kalau dihitung dari mulai munculnya Pek-sianli, maka bisa dikatakan ia sudah berumur dua abad lebih dan apakah ada manusia bisa bertahan hidup sampai selama itu? Ada yang mengatakan bahwa Pek-sianli sudah menjadi dewi kahyangan dan berumur abadi seperti Budha. Tidak pernah terdengar Pek-sianli mati atau kalah dalam suatu pertempuran, apalagi gagal dalam satu misi pentingnya. Bulu kuduk setiap anggota meremang. Mereka merasakan betapa mengerikan melihat pasukan terelit itu. “Apakah pangcu menolak?!” Terdengar sebuah pertanyaan menggema di setiap pojok ruangan. Tidak ada jawaban. Sepertinya pangcu Ang-hong-pay lagi tidur. “Apakah diantara kalian ada yang tidak terima pekerjaan ini kami ambil?” Tanya Pek-sianli sekali lagi. “Kami senang dan merasa terhormat pekerjaan berat ini dipikul Pek-sianli. Kami akan melaksanakan perintah pusat dengan sebaik-baiknya!” Terdengar jawaban dari pangcu Ang-hong-pay. Semua anggota Ang-hong-pay mengikuti perkataan ketuanya dengan serempak. “Hi... hi... hi...!!! Aku suka dengan kekompakan kaliaa, anak-anakku!” Terdengar suara tertawa keras. Suara itu menggema dna menghilang bersama wujud Ngo-eng Pek-sianli. Setiap mata melotot hampir keluar bijinya. Lima manusia itu muncul dan pergi seperti angin saja. Sungguh menakutkan. Sidang masih berjalan dengan pembagian tugas.... <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Bu-tek Siauw-sin-tong (1) Di sebuah ruangan yang gelap. Hanya kerlip obor yang terlihat menerangi wajah-wajah sejuk itu. Wajah-wajah tua dengan keriput di mana-mana. Ada lima orang tua di dalam ruangan itu. Mereka memakai pakaian putih dari kain kasar, namun bersih dan rapi. Jubah putih itu disulam dengan warrna keemasan berbentuk sebuah danau dan naga yang hanya terlihat kepalanya mendongak ke langit. Lima orang yang sangat tua itu duduk melingkar beralas batu pualam berwarna hijau. Batu pualam itu akan bersinar benderang ketika bulan purnama tiba. Batu pualam itu mempunyai nilai mistik yang tidak bisa dinalar oleh otak manusia. Kemampuan lima manusia tua yang ada di atasnya itu tidak jauh dari nilai mistik yang dimiliki oleh pualam hijau itu. Lima orang yang sudah kakek-kakek itu terlihat begitu tenang. “Sepertinya permainan mereka yang sebenarnya akan segera dimulai. Setelah puluhan tahun mereka tidak dapat mencari tempat ini. Kemana arah gerakan mereka yang sebenarnya? Bukankah membuat kerusuhan dengan kekuatan yang sebenarnya?” Terdengar suara prihatin dari serang dari mereka. “Sepertinya begitu kenyataannya. Mereka tidak akan hanya membuat kerusuhan. Tujuan utama mereka sebenarnya akan benar-benar terlihat setelah membuat dunia kang-ouw morat-marit terlebih dahulu. Sayang, banyak orang tidak mengetahuinya!” “Apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua?” “Tidak ada! Kita hanya duduk di luar lingkaran sambil menonton permainan mereka. Giok Lie Yang cukup untuk menggagalkan niat tidak baik mereka. Dia akan menjadi kepala naga dengan badan para pendekar sakti kang-ouw lainnya.” “Hmmm. Aku melihat akan terjadi banjir darah nanti!” Empat kakek tua lainnya mengangguk membenarkan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 64 dari 114
“Setiap lima telunjuk ditunjukkan ke suatu kejahatan, maka akan ada satu diantaranya yang putus. Kejahatan akan selalu menuntut korban. Itu hukum Tao!” Empat lainnya kembali mengangguk. Mereka diam sambil membenamkan pikirannya ke suatu dimensi yang berbeda-beda. Mereka ingin melihat pertunjukan ‘yang belum terjadi’ dengan mata batin masing-masing. Bagi lima kakek-kakek yang sudah memiliki batin dan ilmu yang sakti, pekerjaan ‘mengintip’ masa depan bukanlah pekerjaan yang sulit. Apalagi hati mereka sudah disucikan. Tidak ada dendam dan benci di hati mereka. Nafsu mereka telah padam. Mereka hidup seperti manusia setengah dewa yang sebentar lagi akan menjelma menjadi dewa-dewa yang hanya mempunyai kasih sayang tinggi. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Bu-tek Siauw-sin-tong (2) “Twa-suheng, menurut keterangan Ji-enghiong Uh Hou-hoat dan Hong Hou-hoat kemarin, katanya Giok-pangcu telah berhasil menyakini ilmu Sin-hong Sin-kang tahapan ke sembilan, apa mungkin benar? Bukankah ilmu itu telah hilang selama hampir ratusan tahun lamanya. Tidak ada yang mengetahui dimana tempat teori ilmu itu berada.” Tanya seorang pemuda memakai jubah putih ke teman lainnya. Mereka adalah Kho Sa, pemuda dari Persia, Kwee Kong dan Kim Yun Tai. Mereka sedang menjalankan perintah dari guru mereka, Jit Fu-hoat. Mereka diperintahkan untuk pergi ke kota Taiyuan membawa pesan untuk Giok-pangcu. Sedangkan Ji Hou-hoat (Dua Pelindung) tua menunggu di Perkampungan Naga Emas. Dua Pelindung itu mempunyai pekerjaan sendiri yang harus diselesaikan – memperbaiki Perkampungan, istana Kim-liong-pay dan memperbaharui organisasi Kim-liong-pay. Saat ini, mereka sedang menempuh perjalanan menuju kota Taiyuan. Mereka masih berada di luar kota. “Kim sute, apakah suhu pernah berbicara tentang Bu-eng-hu kepadamu?” Kata Kho Sa. “Pernah. Tapi, tidak banyak. Suhu hanya bercerita bahwa Bu-eng-hu adalah istana paling misterius di dunia ini. Di istana itu hidup orang-orang yang sudah disucikan hatinya. Ilmu mereka sangat tinggi. Lalu apa hubungannya?” “Perlu kalian ketahui. Selain tempat untuk menyucikan diri. Bu-eng-hu juga adalah tempat beribadah. Istana itu juga tempat menyimpan beberapa barang antik, benda keramat dan pusaka yang disucikan dari Kim-liong-pay. Di tempat itu juga segala ilmu disimpan. Maka, jangan heran kalau teori ilmu Sin- hong Sin-kang tahapan ke sembilan muncul kembali. Menurut dongeng ayahku dulu, semua ilmu silat dari Persia disimpan rapi di dalam Bu-eng-hu. Bahkan setelah tumbangnya Syah lama di Persia dan menyelewengnya agama di Persia, banyak pusaka Persia yang dibawa ke Tionggoan dan disimpan di dalam Bu-eng-hu.” “Jadi, tempat itu bukan sekedar dongeng saja?” Tanya Kwee Kong yang sejak tadi diam. “Hahaha, Bu-eng-hu memang ada. Konon menurut dongeng, tempat itu adalah tempat bertapanya Naga Emas yang ditundukkan oleh Sabzavar Syah saudara kandung nenek moyangku yang bernama Syahrian Syah. Tempat itu berada di dimensi lain. Hanya orang yang sudah mensucikan dirinya yang bisa memasuki dan mengetahuinya.” “Siapa Sabzavar Syah itu?” Tanya sekali lagi Kim Yun Tai. “Sebaiknya, kita lanjutkan perjalan kita. Sore hari, kita sudah harus sampai di kota Taiyuan.” Kata Kho Sa tidak menjawab pertanyaan adik seperguruannya. Kho Sa lalu berdiri, berjalan ke arah kudanya yang sedang makan rumput dan menaikinya setelah melompat dengan ringannya. Dua adik seperguruannya itu mengikuti gerakannya tidak kalah cepat dan tangkasnya. “Ya!” Teriak Kho Sa menyemangati kuda kesayangannya untuk berlari secepat mungkin. Dua adik seperguruannya mengikuti di belakangnya. Mereka berlomba dengan waktu. Tiga pendekar muda itu melewati tengah hutan, tidak mengikuti jalan umum. Mereka memotong jalan dengan harapan supaya cepat sampai di kota Taiyuan. Bermacam-macam burung liar yang sedang menikmati kehidupannya berterbangan ketika mendengar teriakan-terikan tiga pemuda itu. “Twa-suheng, siapa sebenarnya Sabzavar Syah itu?” Tanya ulang Kim Yun Tai ketika dekat dengan Kho Sa.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 65 dari 114
“Dia adalah Giok Kim Liong, leluhur keluarga Giok dan pendiri Kim-liong-pay. Sebaiknya kita harus cepat-cepat sampai di kota Taiyuan. Jangan banyak tanya!” Jawab Kho Sa. Baru saja mereka sampai di pertengahan hutan di luar kota Taiyuan. Kho Sa tiba-tiba memberhentikan kudanya dengan tergesa-gesa. “Ada apa suheng?” Tanya Kim Yun Tai sambil mendekatkan kudanya ke kuda Kho Sa. “Ada yang aneh di depan sana.” “Mana? Sepertinya tidak ada sesuatu!” Kata Kim Yun Tai lagi. “Sute, dengarkan baik-baik sekitarmu!” Ujar Kwee Kong sambil menepuk pundak adik perguruannya itu. “Apa engkau mendengar suara binatang di sini?” Tanya Kho Sa sambil menoleh ke Kim Yun Tai. Kim Yun Tai mengenyitkan dahinya. Ia ingin membaca sesuatu. Membaca keadaan di sekitarnya. “Tidak ada suara binatang sama sekali. Apanya yang aneh? Sepertinya tidak ada yang aneh!” Kho Sa menghela napas panjang. “Sute, kalau di dalam hutan tidak ada suara binatang sama sekali. Ini namanya aneh. Setidaknya ada tiga kemungkinan ketika di dalam hutan tidak terdengar suara binatang sama sekali; pertama, memang hutan ini tidak ada binatangnya dan ini tidak mungkin, karena tadi aku masih melihat banyak binatang dalam perjalanan. Ke dua, ada beberapa binatang yang membuat binatang lainnya pergi ketakutan. Ke empat, ada manusia di tempat ini selain kita bertiga.” “Twa-suheng memang sangat cermat dalam melihat situasi. Sungguh salut!” Kata Kim Yun Tai. Belum suara tawa Kim Yun Tai selesai, terdengar bentakan keras dari depan mereka. “Serahkan kuda-kuda kalian!” Tiga orang laki-laki memakai baju sederhana tampak berdiri di depan mereka. Mereka muncul dari balik pohon. Melihat baju mereka, sepertinya mereka adalah para petani atau orang desa, karena baju yang dipakai oleh tiga lelaki itu adalah baju yang biasa dipakai oleh para petani. Tampak biasa, lusuh dan berlepotan lumpur. Namun, tidak cara mereka melangkah dan berbicara. Cara melangkah mereka terlihat sangat ringan dan aksen berbicara mereka sangat kasar. “Siapa sebenarnya saudara sekalian? Kenapa meminta kuda-kuda kami?” Tanya Kho Sa masih dengan nada ramah. “Tidak perlu banyak tanya. Cukup serahkan kuda yang kalian tunggangi. Kalau tidak, jangan salahkan kami kalau berlaku kasar.” Jawab salah satu dari mereka yang berada di tengah. “Oh, perampok, ternyata!” Kata Kim Yun Tai dengan nada rendah. “Oh ibu, ada perampok!” Terdengar suara lainnya. Suara itu terdengar seperti memelas dan sedih. Kho Sa mengalihkan pandangannya ke atas. Di sebuah dahan di atas pohon di sampingnya duduk seorang laki-laki setengah umur. Laki-laki itu duduk dengan enaknya sambil mengipasi tubuhnya yang kepanasan. “Orang ini sudah berada di sini, sungguh hebat ilmu peringan tubuhnya!” Kata Kho Sa dalam hatinya. “Siapa berani ikut campur urusan kita? Siapa engkau orang cebol?” Tanya kasar salah satu laki-laki di depan Kho Sa itu. Laki-laki yang sedang duduk di dahan pohon itu tersenyum memperlihatkan giginya. Tubuhnya memang terlihat sangat kecil. Mengingatkan pada tubuh pangcu Thian-long-pay yang kerdil. “Oh ibu, ada perampok membentakku. Aku takut. Oh ibu, dia bertanya siapa aku. Apakah Bu-tek Siauw-sin-tong (Bocah Ajaib Tanpa Tanding) harus menjelaskan kepada mereka?” Kata laki-laki cebol yang mengakui dirinya adalah Bu-tek Siauw-sin-tong itu. Lagaknya sungguh aneh. Ketika berbicara, ia selalu menyebut ‘Oh ibu’. Wajahnya pun ditampakkan seperti orang ketakutan. Suaranya terdengar tersedat-sedat. “Eh, turun kau bocah tengik! Kalau tidak kuhancurkan kepalamu biar menjadi hantu penunggu hutan ini.” Teriak laki-laki lainnya. Kho So dan dua adik seperguruannya diam saja. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 66 dari 114
“Oh ibu, aku dicaci maki oleh perampok itu. Aku harus bagaimana? Tiga pemuda itu diam saja tidak membantuku. Apakah aku harus turun, oh ibu? Atau diam saja di sini?” Kata Bu-tek Siauw-sin-tong sambil menggoyang-ngoyangkan tangan dan kakinya. “Sepertinya bocah itu sudah bosan hidup!” Kata laki-laki yang berada di kanan. Ia melangkah dengan ringannya. Seringan angin yang sedang berhembus menerpa wajah Kho Sa. Dua mata Kho Sa tiba- tiba menyala sebentar melihat langkah ringan itu. Salah satu dari penghadang itu berhenti tepat di bawah Bu-tek Siauw-sin-tong. Laki-laki itu mengambil sebilah pedang yang ada di bungkusan kain yang dibawahnya. “Oh ibu, aku mau dibunuh. Takut!” Kata Bu-tek Siauw-sin-tong menggigil ketakutan ketika melihat pedang itu sudah dikeluarkan dari sarungnya. “Turun kamu anak baik, atau kubelah tubuhmu!” Sekali lagi laki-laki itu berteriak dengan nada memerintah. “Oh ibu, kalau aku turun, aku bakal dibelah dan disate oleh mereka. Lebih baik aku di sini saja, lebih aman, bukankah begitu ibu?” “Hahahha.” Laki-laki di bawahnya tertawa mendengar omongan Bu-tek Siauw-sin-tong. Pedangnya bergerak datar dengan kecepatan sulit diikuti oleh mata. Sebelum semua orang mengerti apa yang sedang terjadi. Laki-laki itu sudah menghentakkan kakinya mundur ke tempat asalnya. Ilmu peringan tubuhnya tidak mungkin dibilang jelek. Kecepatannya seperti angin saja. “Siapa sebenarnya orang-orang ini?” Tanya sekali lagi Kho Sa dalam dirinya sendiri. “Terlalu banyak orang hebat di Tionggoan ini.” Sekali lagi kekagumannya muncul. “Hahahaha, bocah tengik, kali ini engkau akan turun. Tidak bisa tidak!” Teriak laki-laki membawa pedang itu. “Oh ibu, aku tidak akan turun kecuali pohon ini tumbang. Masa pohon ini akan tumbang oleh sabetan pedangnya?” Kata Bu-tek Siauw-sin-tong. “Hahahaha.” Terdengar suara ketawa tiga orang berpakaian petani itu. Suara ketawa itu semakin keras dan mendengung-dengung seperti lebah. Lalu laki-laki yang berada di tengah menggerakkan tangan kanannya. Menggunakan lwe-kangnya, laki-laki berjenggot itu mengambil dedahuan yang ada di tanah. Akibatnya sebuah daun yang sudah kering melayang ke arah jari-jarinya. Daun berwarna coklat itu melayang-layang seperti ada dua kekuatan yang sedang saling tarik-menarik. Hanya sebentar saja daun kering itu diam melayang-layang. Secepat angin daun kering itu sudah melayang ke arah pohon yang sedang diduduki oleh Bu-tek Siauw-sin-tong. Daun kering itu bersentuhan dengan pohon. Akibatnya, sungguh menakjubkan. Daun kering it menancap hampir setengahnya di pohon sebesar pelukan orang dewasa itu. Pohon itu tiba-tiba saja bergetar dan tumbang begitu saja. Bu-tek Siauw-sin-tong meloncat dan mengawang di udara. Sebelum kakinya menginjak tanah, Bu-tek Siauw-sin-tong bersalto tiga kali di udara. Pohon itu terbelah. Bukan akibat daun kering itu, namun akibat pedang yang di bawah laki-laki tidak dikenal itu. Potongan pohon itu sungguh menakjubkan. Entah bagaimana tajamnya pedang itu hingga bisa memotong kayu sebesar itu seperti memotong keju saja. Belahannya terlihat lembut.
Bab Sesudah: Bu-tek Siauw-sin-tong (3)
“Oh ibu, tiga murid Kun-lun-pay itu sangat sombong. Berani memamerkan ilmu pedang mereka yang masih cetek kepada Bu-tek Siauw-sin-tong.” Terdengar Bu-tek Siauw-sin-tong menggerutu. “Hahahahaha, sungguh tajam penglihatanmu, bocah tengik. Kalau begitu mari kita lihat, apa benar ucapan gombalmu itu? Lihat pedang!” Teriak laki-laki yang membawa pedang. Baru ucapan selesai, ia sudah menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi ‘Sring’ sekali dan ornagnya sudah menyerang dengan telak Bu-tek Siauw-sin-tong. Bu-tek Siauw-sin-tong tertawa terbahak-bahak sambil menyebut ‘Oh ibu,’ terus menerus. Gerakan Bu- tek Siauw-sin-tong pun tidak kalah hebatnya dengan ilmu pedang murid Kun-lun-pay itu. Ketika dua orang itu sudha berada pada puncak pertarungan. Dua orang lainnya segera maju. “Anak muda, serahkan kuda kalian. Kami tidak mempunyai cukup waktu banyak untuk meladenimu.” Kata salah satu dari dua orang itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 67 dari 114
“Maaf saudara, kami mempunyai urusan sendiri yang cukup mendesak. Saudara bisa membeli kuda di desa timur hutan ini. Aku rasa ilmu ringan saudara tidaklah jelek. Paling-paling sore hari sudah sampai di desa itu kalau berlari menggunakan gin-kang kalian.” Jawab Kho Sa tenang. Matanya sebelah kanan melirik ke arah pertempuran Bu-tek Siauw-sin-tong. “Setidaknya Bu-tek Siauw-sin-tong tidak akan kalah dengan orang itu.” Katanya dalam hati. Hatinya sudah merasa tenang. “Sepertinya kalian tidak akan menyerahkan kuda kalian sebelum menjadi bangkai terlebih dahulu.” Teriak sala satu dari mereka dan segera menyerang Kho sa yang masih duduk di atas kuda. Kho Sa melompat dari atas kudanya menghindari pukulan lawannya. “Suheng biar aku melawan yang satunya!” Teriak Kim Yun Tai sambil turun dari kudanya. Segera kemudian ia mengambur ke depan menyerang lawan satunya. Kwee Kong diam di atas kudanya. Ia tahu betul kemampuan Kho Sa dan Kim Yun Tai, sehinggai ia tidak khuatir sama sekali. Bahkan ia tersenyum ketika dua matanya melihat pertarungan Bu-tek Siauw-sin-tong yang konyol. Bocah Ajaib itu selalu menghindar dengan keistimewaan gin-kang-nya. Lawannya hingga kerepotan mengejar- ngejarnya. Pertarungannya itu lebih cocok disebut permainan petak umpet daripda pertarungan hidup- mati. Kho Sa menggunakan ilmu Kim-liong Sin-ciang-kun (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Naga Emas) untuk menghadapi lawannya. Sedangkan Kim Yun Tai menggunakan ilmu Kim-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Emas) karena lawannya menggunakan pedang. Pertarungan di tiga tempat itu sungguh seru. Bocah Ajaib, Kho Sa dan Kim Yun Tai terlihat lebih santai menghadapi lawan-lawannya. Bagaimana pun juga mereka tidka ingin membunuh lawannya. Apalagi Bocah Ajaib yang terlihat lebih ingin mempermainkan lawannya. Lwannya itu terdengar mengumpat dan mencaci maki Bocah Ajaib terus menerus. Bocah Ajaib hanya bisa mentertawai lawannya. “Oh ibu, aku bosan dengan lawanku ini. Apakah aku harus melumpuhkannya?” Kata Bocah Ajaib itu. “Oh ibu, aku mendapatkan ide bagus. Pasti akan menjadi permainan yang sangat menarik!” Baru selesai ia bicara, dengan gerakan yang sulit diduga, Bocah Ajaib itu sudah berhasil meloloskan diri dari serangan lawan. Ia berlari ke arah sebuah pohon dengan kecepatan peringan tubuhnya. “Kemana dia?” Tanya lawannya kehilangan Bocah Ajaib. Belum sempat ia menyadari ada sesuatu yang ganjil. Dari balik pohon telah muncul Bocah Ajaib. Kali ini gerakannya lebih cepat. Belum sempat lawannya emnyadari kehadirannya, ia sudah berdiri membeku. Sebuh totokan mengunci seluruh gerakaan lawannya. “Hahahaha, oh ibu, ini baru akan menyenangkan.” Setelah berbicara seperti itu menyentuh tubuh lawannya. Sepertinya ia takut kalau lawannya hanya pura-pura tertotok. Ia lalu menjalankan permainannya. Baju dan celana lawannya dicopotnya hingga meninggalkan celana dalam saja. Lawannya itu tidka bisa bergerak dan berbicara. Seandainya ia mampu berbicara, mungkin ia akan berteriak mengutuki Bocah Ajaib itu atas perilakunya yang konyol. Hanya dua mata lawannya itu yang tampak merah sepertinya ia ingin menyemburkan api. Bocah Ajaib tertawa senang ketika berhasil menelanjangi lawannya. Tubuh tidka berdaya itu segera diangkatnya dan dilemparkan ke arah Kim Yun Tai yang sedang bertempur serunya. Dua orang itu segera terpisah oleh leparan orang itu. Tidak menyadari ada sesuatu yang licik. Lawan Kim Yun Tai menerima tubuh temannya yang telanjang itu. Baru saja ia berhasil menyentuh tubuh temannya, sebuha tangan pendek berhasil menyentuh kedua pundak tangannya. Dan ia hanya bisa berdiri mematung dengan dua bola mata hampir keluar. Tubuh temannya terjatuh ke tanah. Ternyata Bocah Ajaib telah berhasil menotok lawan Kim Yun Tai. Seperti lawannya, Bocah Ajain ini juga melepaskan ikatan pakaian lawan Kim Yun Tai. Dua murid Kun-lun-pay telah ditelanjangi oleh Bocah Ajaib. Ia tertawa terbaha-bahak melihat dua tubuh telanjang itu. Kim Yun Tai dan Kwee Kong hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan aneh Bocah Ajaib itu. “Cianpwee terima kasih telah menolong teecu! Sungguh kasihan dua orang itu, apa tidak kasihan mereka diperlakukans eperti itu?” Kata Kim Yun Tai sambil menghormat. “Oh ibu, ternyata anak muda ini mempunyai hati yang sangat baik. Hatiku tersentuh.” Kata Bocah Ajaib itu sambil memperdengarkan tawanya. Ia lalu pergi menyelonong ke arah pertempuran Kho Sa.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 68 dari 114
“Oh ibu, biar kubantu anak baik yang satu itu.” Katanya dengan gerakan cepat. Tahu-tahu ia sudah berada di tengah pertempuran. Seperti seekor ular yang licin. Ia melengok-lengok di antara dua pertempuran Kho Sa dan lawannya. Kho Sa lalu mundur memberi ksempatan kepada Bocah Ajaib untuk meneruskan pertandingan. “Oh ibu, anak muda itu benar-benar baik. Ia memberikan permainan ini kepadaku.” “Oh ibu, sebaiknya kalian menerukan perjalanan. Bukankah kalian sore hari sudah harus sampai di kota Taiyuan? Biar tiga babi ini aku yang mengurusnya. Nanti sore kita bertemu di kota Taiyuan. Ada yang ingin kutanyakan kepada kalian.” Kata Bocah Ajaib itu sambil bertarung dengan lawab barunya. “Akan kubunuh engkau Bocah tengik!” Teriak lawannya marah akrena merasa dipermainkan, apalagi melihat dua temannya dijahili sedemikian rupa. Kho Sa hanya mengangguk dan melompat ke atas kudanya diikuti oleh Kim Yun Tai. Sesaat kemudian tiga pemuda itu sudah jauh dari pertandingan Bocah Ajaib dengan lawannya. Tampaknya lawannya yang satu ini memiliki ilmu silat di atas dua temannya. Walaupun begitu Bocah Ajaib masih bisa tertawa dan mepermainkan lawannya hingga menyumpah-nyumpah. Dengan gerakan cepat, kadang-kadang tangannya berhasil menampar pipi lawannya. Sekitar lima menit kemudian sebuah permainan dilakukannya. Kali ini, ia ingin mencopot pakaian lawannya di tengah-tengah pertarungan dan pekerjaan ini tidaklah sulit baginya. Gerakan lawannya semakin lama, semakin lamban akibat baju yang dipakainya sudah berhamburan ke sana kemari. Tubuhnya sudah setengah telanjang. Sekitar setengah jam kemudian, ia menyudahi permainannya dengan menotok lawannya dan menelanjanginya. Tiga tubuh telanjang itu ditumpuk sedemikian rupanya hingga terlihat seperti orang yang mau berbuat mesum. Baju mereka dibawa pergi dan ditaruh di dahan-dahan pohon yang ada di hutan. “Hahahaha, oh ibu, ada tiga laki-laki berbuat mesum. Oh ibu, Bu-tek Siauw-sin-tong tidak tega melihatnya!” Ujar Bu-tek Siauw-sin-tong dikejahuan. Tiga orang itu mengumpat tidak ada habis- habinya di dalam hati. Mereka ditinggal dalam keadaan tidak bisa bergerak di tengah hutan. Alangkah menakutkannya seandainya malam sudah tiba. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau di samping mereka ada harimau dan serigala. Mereka akan menjadi makanan mereka. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Arti Sebuah Ketenangan! (1) “Siapa sebenarnya orang kerdil tadi? Sepertinya ilmu yang digunakan masih ada hubungan dengan perguruan kita?” Ujar Kim Yun Tai setelah duduk dikursi. Sejenak Kho Sa memperhatikan sekelilingnya. Terlalu ramai. Ada yang sedang enak menikmati makanan, mabuk, mengobrol santai sampai adu minum. Di kedai kota Taiyuan, mereka baru berhenti dari perjalanan jauh. Di kedai yang paling ramai pengunjung dan paling elit itulah mereka beristirahat. “Hmmmm, aneh, kenapa sejak hancurnya Kim-liong-pay, ilmu-ilmunya berceceran di tengah jalan. Sungguh penasaran, sungguh penasaran, sungguh penasaran!” Kwee Kong menimpali dengan suara tertekan. “Kalian bisa melihatnya. Ilmu yang digunakan Bocah Ajaib itu walaupun ada sedikit kesamaan dalam beberapa gerakannya, belum tentu itu milik perguruan kita. Pada hakikatnya, semua ilmu yang ada di dunia ini sama. Gerak yang diperlihatkan sama semuanya. Tinggal berapa ilmu yang telah kalian pahami. Berapa luas pengetahuan yang telah kalian ketahui. Ragamnya memang banyak. Intinya hanya satu. “ Kho Sa berbicara dengan nada santai. Dua bola matanya tidak henti-hentinya melirik kanan dan kiri. “Apa maksud twa suheng?” Tanya Kim Yun Tai. Dua alinya tergerak ke atas. “Sudah jelas. Gerakan yang dimainkan Bocah Ajaib itu belum tentu milik perguruan kita. Kalau pun iya, mungkin dahulu nenek moyangnya pernah mendapatkan pengajaran dari Sabzavar Syah. Bukankah dahulu Sabzavar memiliki ilmu yang maha luas. Bahkan konon menurut cerita orang tuaku, Sabzavar Syah akan mampu mengajarkan ilmu yang berbeda-beda kepada seribu muridnya dengan sumber yang sama. Sumbernya satu. Ia juga dikenal di daratan Persia sebagai titisan sang Mani, sang Nabi Agung Persi. Pengetahuannya tidak hanya dalam hal ilmu silat, namun ilmu lainnya Sabzavar Syar juga menguasai. Seperti ilmu perbintangan, pertabiban, arsitek dan ahli sihir. Ia dikenal sebagai seorang Guru Selamat dan pejalan tangguh. Seluruh daratan dan lautan pernah dijelajahinya. Ia hidup seperti dewa. Kalau melihat ini, sepertinya mungkin saja ilmu-ilmu itu berasal dari satu sumber.” http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 69 dari 114 “Wou, sehebat itukah Sabzavar Syah!” Ada rasa bangga di hati Kim Yun Tai. Cerita tentang leluhur partai Kim-liong-pay baru sedikit yang ia ketahui. Dulu, gurunya tidak mau mengungkit sama sekali cerita tentang perguruannya. Gurunya hanya mengatakan, “kelak engkau akan mengetahuinya sendiri,”, ketika ia ingin tahu tentang sejarah perguruannya. Kho Sa ternyata sejarah hidup. Darinya ia bisa mendapatkan banyak pengetahuan. Kim Yun Tai manggut-manggut. “Apakah...” Kim Yun Tai memutuskan perkataanya. Matanya melihat seorang wanita berpakaian putih dengan masuk kedai. Secara otomatis dua saudara seperguruannya mengikuti ekor dua matanya. “Dimana kongcu lo-peh?” Tanya wanita itu tergesa-gesa. Seorang pelayang tergopoh-gopoh menemui wanita itu. “Beliau ada di dalam dapur,”. Wanita itu tidak perlu menanti lama. “Beritahu beliau, di rumah sedang ada masalah! Hujin memintanya pulang segera!” Baru saja pelayan tua itu mau pergi. Dari dalam sudah keluar seorang pemuda dengan memakai pakaian putih bersih. Wajahnya putih bercahaya. Seulas senyum di wajahnya tidak pernah hilang. Wajah ramah itu menyapa wanita di depannya. “Ada apa, Shi Lan?” Tanya pemuda itu ramah. Dua matanya terlihat berkilauan ketika bertatapan dengan dua mata Kho Sa. Pemuda itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum kepada Kho Sa dan dua adik seperguruannya. Kho Sa menjawab dengan senyuman dan anggukan rama juga. Wanita yang dipanggil Shi Lan itu juga ikut menoleh. Kalau dua mata pemuda itu bertabrakan dengan dua mata Kho Sa. Giliran dua mata jeli wanita itu yang bentrok dengan dua mata Kim Yun Tai. Kim Yun Tai Tersenyum hampar. Kwee Kong tersenyum melihat kelakuan adiknya. Belum pernah dalam hidup Kho Sa dapat melihat wajah sedamai wajah pemuda di depannya itu. Tidak diragukan lagi. Ia tertarik dengan wajah tedu itu. Wajah damai. Wajah misterius yang pernah dilihatnya. Shi Lan menjawab dengan suara berbisik. Wajahnya tampak serius. Sebaliknya, pemuda yang mendengarkannya tersenyum. Tidak ada muka emosi yang terlihat. Wajah itu seperti lautan saja. Tidak mudah menjenguk kedalamnnya. Wanita dan pemuda itu segera berlalu. Ketika pemuda itu melewati di depan Kho Sa, ia berkata, “maaf kalau hidangannya membuat lama menunggu tiga saudara. Sebentar lagi makanan akan selesai. Mohon sabar!” Hati Kho Sa semakin kagum atas kesopanan pemuda itu. “Tidak apa-apa saudara yang budiman. Kami akan menunggu.” Jawab Kho Sa sambil menrangkai dua kepalan di sepan dadanya. Menghormat. “Kalau ada apa-apa, silahkan berbicara dengan paman Pek di sana! Saya minta undur diri dulu!” “Silahkan sudara!” Kho Sa berdiri. Pemuda itu pergi dengan seulas senyuman tertinggal dalam hati Kho Sa dan dua adik seperguruannya. “Aneh,” Kata Kho Sa tiba-tiba. “Ya, aneh,” Kata Kim Yun Tai juga. “Benar, aneh,” Kwee Kong juga unjuk gigi. “Apanya yang aneh menurutmu, Yun Tai-te?” Tanya Kho Sa ingin tahu. “Wanita itu membuat jantungku meloncat-loncat!” Jawab Kim Yun Tai sambul berhamburan senyuman. Kho Sa dan Kwee Kong tertawa berderai. “Kalau kamu, Kong-te?” Tanya Kho Sa kepada Kwee Kong. Sebelum Kwee Kong menjawab, terlebih dauku ia tersenyum. “Aku merasakan ada hawa aneh yang muncul dari dalam tubuh adik Yun Tai.” “Hawa apa itu, Kong-suheng? Jangan ngarang kamu?” Tanya Kim Yun Tai penasaran. Ia tahu, Kwee Kong jarang bergurau. Ia selalu serius. “Hawa cinta!” Tiga orang itu tertawa terbahak-bahak.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 70 dari 114
“Kalau twa-suheng bagaimana?” Tanya Kim Yun Tai setelah kenyang tertawa. Ia tidak akan pernah berhenti bertanya, sebelum rasa penasaran di dalam hatinya terkuras habis. “Apakah kalian tidak dapat melihat betapa ringan langkah wanita yang dipanggil Shi Lan tadi. Apalagi ketika dia berlari. Sebaliknya, langkah tuan mudanya itu terasa berat, namun dua matanya bercahaya seperti bintang. Hanya seorang yang sudah mempunyai tenaga dalam tinggi yang dapat mempunyai dua mata seperti itu. Apa kalian tidak merasa ada sesuatu yang tidak beres?” “Mana aku sempat memperhatikan langkahnya, sedangkan dua mataku yang busuk ini selalu tersangkut di wajah yang mempesona!” Tiga pemuda itu terdiam setelah tertawa habis-habisan. Beberapa saat kemudian, pelayan datang dengan membawa makanan yang tadi mereka pesan. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Arti Sebuah Ketenangan! (2) Gedung itu besar. Luas. Suara yang terdengar dari depan gedung itu sangat berisik. Di halaman gedung itu berdiri puluhan orang dengan bermacam-macam pakaian dan senjata. Tombak. Parang. Golok. Trisula. Pedang. Dan masih banyak lagi senjata-senjata lainnya yang aneh dan terlihat diluar pikir manusia. Gedung yang didiami oleh Giok Lie Yang dan keluarganya sedang dikerumuni banyak orang. Hampir banyak orang kang-ouw yang merasa penasaran dengan cerita di luar. Semenjak tersiarnya kabar munculnya Giok Lie Yang dan istrinya, banyak orang-orang Kang-ouw yang berdatangan ke Taiyuan. Menurut cerita yang dibawa angin, Giok-ceng saat ini berada di tangan Giok Lie Yang. Entah kabar itu siapa yang menyiarkan. Tidak ada yang tahu. Tiba-tiba saja rumah Giok Lie Yang dikerumuni banyak orang. Mereka menuntut Giok Lie Yang untuk menyerahkan Giok-ceng sebagai lambang Bengcu lama yang telah belasan tahun hilang. Sekaligus simbol misteri yang menimbulkan mala petaka akhir-akhir ini. Banyak orang yang sudah tahu, bahwa Giok-ceng adalah lambang misteri. Namun, mereka tidak tahu, apa misteri yang ada di dalam lambang itu. Misteri dalam misteri. Suatu keputusan yang sulit dijangkau. Sebuah rahasia yang masih misteri bagi semua orang. “Sebanyak itukah orang-orang ingin tahu tentang Giok-ceng?” Tanya Lie Yang kepada seorang wanita muda disampingnya. Wanita itu bukan lain adalah Shi Lan yang berada di kedai tadi. Dua hari terakhir, ia memang sudah melakukan aktifitas sehari-harinya. Saat ini, semua pekerjaan orang tua angkatnya berada di pundaknya. Ia harus memikul beban berat itu, walaupun usianya masih muda. Dua buah kedai serta penginapan besar, peternakan kuda, toko-toko keramik dan pakaian, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tidak ringan perlu segera ditanganinya. Dunianya semakin sibuk. Belasan pekerjaan besar itu perlu pencurahan pikiran yang tidak ringan. Biasanya, ia akan ikut mengawasi beberapa lahan bisnisnya, seperti yang telah dilakukannya di salah satu kedai di pinggir kota Taiyuan tadi. “Banyak tokoh hitam yang berdatangan. Mereka sempat melukai paman Chi dan memaksa masuk rumah, menebang beberapa pohon dan merusak bunga Bwe kesukaan Hujin.” Cerita Shi Lan dengan mata berkilat-kilat. “Tenangkan hatimu, Shi Lan! Jangan engkau biarkan kegelapan menguasaimu. Bunga Bwe bisa ditanam kembali, luka bisa disembukan, tapi hati dan pikiran yang dikuasai oleh kegelapan, mudah menimbulkan kerusakan yang berkepanjangan. Tidak akan ada habis-habisnya. Hakikatnya, seperti kuda liar, hati dan pikiran yang sudah terkuasai kegelapan susah ditundukkan. Berhati-hatilah. Mawas diri dan kontrollah dirimu sendiri, jangan malah dikontrol oleh kegelapan!” Shi Lan menundukkan kepalanya. Api telah padam secara tiba-tiba. Ia tahu, bahwa seharusnya ia tidak berbicara seperti itu di depan Lie Yang. “Maaf kongcu, bukan maksudku berbicara seperti itu. Mungkin benar perkataan kongcu, bahwa hatiku telah terbelengguh oleh kegelapan. Terima kasih atas petuah kongcu.” “Hmmm, Sudahlah. Sebaiknya kita harus mempercepat langkah kita. Aku takut mereka akan semakin gila!” Shi Lan mengikuti langkah Lie Yang. Mereka menelusuri gang-gang kecil. Menerobos dan mengambil jalan terdekat untuk cepat sampai di rumah mereka. Tanpa bicara sepatah katapun.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 71 dari 114
Di tempat lain, Kho Sa dan dua saudaranya sedang menikmati makanan yang telah disajikan oleh pelayan tua. Beberapa saat kemudian ketika mereka sudah selesai makan, Kim Yun Tai terlebih dahulu memanggil pelayan tua atau pelayan Pek. Orang tua itu datang dengan menyeringai, padahal maksudnya adalah tersenyum. Mukanya yang putih akibat luka bakar membuat dirinya dipanggil Pek (Si Putih}. Sungguh buruk sekali muka itu. Tidak begitu sedap untuk dipandang. Seandainya salah satu temannya tidak meminta izin untuk berlibur, mungkin ia akan lebih senang berada di dalam dapur. Kerjaannya sebenarnya bukan sebagai pelayan, tapi seorang koki ulung. Wajahnya terbakar akibat kesalahannya belasan tahun yang lalu ketika sedang memasak. Mukanya tersiram minyak. “Apakah paman bisa menunjukkan jalan dimana kediaman keluarga Song kepada kami?” Tanya Kim Yun Tai tidak bertele-tele lagi. “Lah, tadi itu siapa yang kalian ajak bicara kalau bukan Giok-kongcu? Apakah kalian tidak mengenal kongcu kami? Rumahnya ada di tengah kota, berdekatan dengan kuil Budha.” Tiga anak muda itu segera saling pandang. Hampir mereka tidak dapat mempercayai pendengaran mereka sendiri. “Maksud paman, tuan muda pemilik kedai tadi itu adalah Song-kongcu?” Tanya Kho Sa hampir melonjak girang. Akhirnya ia dapat bertemu dengan keluarga jauhnya. Dan sungguh tidak menyangka bahwa orang yang dikaguminya tadi adalah keluarganya yang ingin ditemuinya. “Benar memang dia. Keluarga Song memang keluarga kaya raya. Belasan toko besar ia yang punya, bahkan dua kedai plus penginapan terbesar di kota ini miliknya. Apakah para kongcu sudah mendengar tentang kabar meninggalnya hartawan Song dan istrinya? Sungguh kasihan Song-kongcu, terkutuk benar para pembunuh itu. Tuhan juga tidak adil, kenapa orang sebaik mereka hanya diberi umur yang pendek. Seandainya umurku ini bisa menyebabkan hidupnya kembali nyawa mereka yang hilang, sungguh aku rela memberikannya.” Paman Pek berkata hampir menangis. Namun raut mukanya malah terlihat seperti orang tertawa. Sungguh aneh. “Kalau begitu, kami akan segera berangkat! Sebelum malam datang.” Tiga anak muda itu segera mengemasi barang-barang mereka dengan agak tergesa-gesa. Mereka hanya mempunyai sedikit waktu. Ada banyak urusan yang ingin mereka selesaikan. Terlalu banyak malahan. Baru saja mereka sampai di depan kedai, paman Pek terlihat berlari-lari sambil memanggil-manggil mereka. “Kongcu, berhenti sebentar! Ada yang ingin aku sampaikan.” “Ada apa paman Pek?” Tanya Kim Yun Tai dengan seulas senyuman khasnya. “Tadi aku lupa menyampaikan sesuatu, aku tadi mendengar pembicaraan nona Shi Lan dengan Song- kongcu. Kata Shi Lan, rumah kongcu sekarang ada masalah. Tolong bantu kongcu, sepertinya kalian orang-orang kang-ouw. Pasti bisa membantunya. Aku tidak ingin melihat kongcu mendapatkan musibah yang sama dengan orang tuanya.” Paman Pek berbicara dengan nafas tidak sempurna. “Jangan khuatir paman Pek! Kami datang ke sini memang mau membantunya. Sebaiknya paman Pek segera kembali. Di dalam sana paman banyak dibutuhkan pengunjung.” Jawab Kim Yun Tai. Paman Pek sepertinya merasa nyaman dengan perkataan itu. Terdengar ia menghembuskan udara dari kerongkongannya dengan lega. Ia kembali ke kedai setelah mengucapkan kata terima kasih. Tiga anak muda itu saling pandang satu sama lainnya. Mereka sangat paham apa arti pandangan masing-masing. “Kalau tidak salah dugaanku, orang-orang itu sudah mendahului kita.” Kata Kho Sa. Dia langsung melejit di atas tubuh kudanya diikuti oleh dua saudaranya. Mereka menaiki kuda dengan kecepatan penuh. Mencoba menggapai bayangan mereka, yang telah mendahului mereka. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Arti Sebuah Ketenangan! (3) “Cepat serahkan Giok-ceng kepadaku, anak muda!” “Tidak!!! Serahkan padaku.” “Jangan! Serahkan padaku.” “Giok-ceng itu milik kami, karena kami yang pertama datang kemari! Serahkan kepadaku anak baik. Kalau tidak, kami tidak akan segan-segan lagi bertindak kasar.” Berbagai suara teriakan terdengar sangat menjemukan. Itulah manusia. Selalu tidak mensyukuri apa yang dipunyai. Mereka cenderung pada dasar ketamakan kepada dunia. Sungguh malang nasib mereka itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 72 dari 114
Lie Yang berdiri diam. Tidak ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Bahkan ekspresi wajahnya tidak terlihat sama sekali. Ia seperti tadi. Seperti tak ada masalah di depannya. Ia seperti menatap burung-burung yang sedang berkicau. Hanya sekejap saja ia tersenyum. Lalu hilang. Istrinya yang berada di sampingnya tampak lebih garang dan ketus. Seulas wajah sinis tampak jelas sekali. “Apakah menurut kalian Giok-ceng itu sekarang ada di tanganku? Kalau memang ada, tidak sebaiknya kuberikan kepada kalian. Hanya yang berhak yang dapat memegangnya. Apakah kalian tahu, bahwa Giok-ceng selain lambang bengcu orang-orang kang-ouw, juga lambang pangcu partai Kim-liong-pay. Apalagi saat ini lambang baru untuk bengcu orang-orang kang-ouw telah ada. Buat apa lagi kalian merebutkan Giok-ceng yang tidak ada harganya itu. Kecuali untuk suatu kelompok saja.” Terdengar Lie Yang berbicara dengan suaranya yang berwibawa. Semua orang tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang sedang meraba-raba hati mereka. Rabaan itu sungguh terasa. Bahkan ada sebagian orang yang tiba-tiba saja dihantui perasaan aneh. Lebih aneh dari pada sekedar perasaan takut. Sejenak ia berhenti bicara. Dan tiba-tiba ia menyambung, “apakah kalian mengaku lebih berhak dari pada para murid partai Kim-liong-pay?” Lie Yang menyentak dengan suara nyaring. Sebenarnya di dalam dadanya tidak ada rasa marah atau jengkel sama sekali. Ia hanya ingin menyadarkan orang- ornag di depannya. Sifat dasar manusia susah-susah mudah ditebak. Ia sengaja berbicara dengan suara keras setelah berbicara dengan suara lembut, itu bukan lain, hanya sebuah gertakan saja. Ia paham betul siapa yang sedang dihadapinya itu. Mereka kebanyakan hanya manusia-manusia yang perlu digertak untuk memunculkan sifat dasarnya. Ketakutan. Ketundukan. Kepatuhan. Tiga siafat itulah yang mendasari mereka. Mereka hanyalah manusia penakut, hakikatnya. Dan benar saja, beberapa orang terlihat menyempit nyalinya ketika mendengar bentakan itu. Sambil mengamati satu per satu dari mereka. Ia bisa menduga, bahwa timbulnya asap pasti ada api. Ia hanya perlu menyingkap asapnya untuk melihat apinya. Apakah api itu besar apa kecil. Dan benar saja, seorang pria setengah baya dengan kumis melintang tiba-tiba meloncat ke depan. Ia menghadap Lie Yang. Hanya dua langkah di depannya. “Hebat, hebat, hebat sekali omongmu anak muda! Siapa yang tidak tahu tentang semua itu. Kita semua tahu kalau Giok-ceng memang milik partai Kim-liong-pay. Dan siapa yang tidak tahu, kalau partai ini sudah hancur. Mana orang-orang Kim-liong-pay? Tidak ada! Semuanya telah habis. Semuanya mati. Semuanya musnah belasan tahun lalu. Kalau pemilik haknya sudah tidak ada, jadi untuk apa lagi kalau tidak diperebutkan. Betul tidak apa yang kukatakan ini saudara-saudara sekalian?!!” “Betul!” “Betul!!!” Teriak semua orang ramai. Mereka menjadi asap tebal kembali. “Sekarang, aku nasihati dirimu. Jangan sok jago. Serahkan Giok-ceng dengan baik-baik kepada kami. Kami akan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Kami dapat melakukan pibu untuk merebutkan giok- ceng dengan adil. Kamu boleh memilikinya, kalau mampu mengalahkan setiap utusan diantara kami. Kamu jangan mencari alasan yang tidak masuk akal, anak muda! Cepat, serahkan Giok-ceng kepadaku! Aku akan mengatur pertandingannya dengan adil.” Orang itu masih memaksa. Teriakan dan permintaan para orang-orang kang-ouw membuat gedung rumah Lie Yang sepertinya mau roboh. Disaat genting itulah, sebuah gelombang suara yang sangat kaku terdengar. “Siapa tadi yang berani bilang partai Kim-liong-pay sudah hancur? Jangan kira Kim-liong-pay akan membiarkan orang-orang seenaknya menghina. Kami telah datang. Kami yang berhak atas Giok-ceng itu. Bubar semuanya!!! Hanya murid Kim-liong-pay yang berhak memegang pusakanya. Bukan kalian!!!” Semua orang berpaling pada satu arah. Tepat di luar gedung. Di tengah pintu gedung. Tiga orang memakai jubah putih dengan sulaman naga emas berjalan. Mata mereka berkilat-kilat. Mereka adalah Kho Sa dan dua adik seperguruannya. “Kami datang untuk mengembalikan kehormatan kami yang telah diinjak-injak selama belasan tahun. Kami datang memenuhi janji untuk menjaga kedamaian alam. Memelihara jantung untuk tetap berdetak. Mensucikan hati yang dikuasai oleh kegelapan.” Kali ini Kim Yun Tai yang angkat bicara. Mereka telah memakai topeng dari perak dengan ukiran naga dan memegang Kim-liong-ki (Panji Naga Emas). Semua orang menengok. Melihat tiga orang memakai topeng itu, apalagi yang depan tinggi besar, beberapa orang sempat merasakan gelagat tidak enak. Mereka merasakan ada semacam ribuan semut sedang merayapi punggung mereka. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 73 dari 114 Bagaimana pun juga, hawa wibawa Kim-liong-pay masih tersisa. Banyak orang yang tahu benar, betapa hebatnya Kim-liong-pay, khususnya para orang-orang tua. Berbeda dengan Lie Yang, ia merasa bersyukur ada yang membantunya. Bukan karena ia merasa tidak mampu melakukan apapun sendiri, akan tetapi ia tidak mau menggunakan kekerasan untuk mengusir para tamunya. Ia tersenyum melihat kedatangan tiga orang di depannya itu. Tiga orang itu berjalan dengan santainya, beberapa orang menyingkir dan memberinya jalan hingga sampai di depan Lie Yang. Di samping pria setengah baya yang tadi berkoar-koar. Kali ini ia diam saja. Hanya wajahnya terlihat penasaran melihat kedatangan tiga orang bertopeng itu. “Apa benar, kami menghadap Giok-kongcu?” Kata Kho Sa menghadap Lie Yang sambil menjura. “Benar saudaraku, siap kalian sebenarnya, apa benar kalian murid Kim-liong-pay?” Jawab Lie Yang dengan senang hati. “Sungguh bahagia, akhirnya kami bisa berhadapan dengan Giok-kongcu. Kami bersyukur atas selamatnya Giok-kongcu. Kami datang diutus guru kami Jit Fu-hoat dan Kim-liong-pay Ji-sian untuk datang kemari. Beberapa hari kemarin, mata-mata yang kami sebarkan di Nanking memberitahu kami, bahwa hari ini pasukan khusus Ang-hong-pay akan meneyerbu kemari. Ternyata kabar itu benar adanya, walaupun tidak seratus persen. Kami senang, Giok-kongcu dan keluarga tidak apa-apa.” Kata Kho Sa seakan berbisik. “Mereka sudah mengirim utusannya tiga hari kemarin. Tiga utusan berjubah merah. Kalian jangan mengkhuatirkan kami. Lebih baik kita bicara nanti. Saya ingin tahu tentang misi yang saya perintahkan kepada Kim-liong-pay Ji-sian. Apakah telah dilaksanakan, atau bagaimana? Saudara, coba kalian selesaikan masalah hari ini, saya masih ingin identitasku jangan diperlihatkan. Belum waktunya.” Jawab Lie Yang dengan menggunakan ilmu pengirim suara. Kho Sa menganggukkan kepala. Ia tahu benar apa artinya perkataan Lie Yang. Dua saudaranya juga mendengar perkataan Lie Yang. Mereka tidak perlu dibilangin dua kali. Segera mereka berbalik dan menghadapi orang-orang kang-ouw yang mulai berisik berbicara sendiri-sendiri. “Saudara-saudara sekalian, kami ucapkan banyak terima kasih atas usaha kalian untuk mendapatkan Giok-ceng kami. Para pendekar dan budiman mungkin sudah tahu, bahwa belasan tahun yang lalu, Kim-liong-pay tiba-tiba hilang dari dunia kang-ouw. Hancurnya Kim-liong-pay tidak diketahu siapa pelakunya, bahkan hingga saat ini.” Kho Sa mulai berbicara. Semua orang tiba-tiba diam mendengarkan. Suaranya yang keras dan agak kaku bukan menjadi halangan dirinya untuk berhenti. “Sebenarnya, guru kami, Jit Fu-hoat telah mengejar para pengacau itu hingga ke Persia. Dan sebagian lainnya ada yang lari ke perbatasan barat dan ke daerah Nanking. Selama belasan tahun ini, jangan dikira kami berdiam saja dan tidak melakukan apa-apa. Kami telah melakukan penyelidikan selama belasan tahun. Bahkan usaha pencarian dan perebutan giok-ceng pun telah kami coba. Kalaupun kami belum mendapatkan giok-ceng hingga hari ini, ini bukan berarti tidak ada anak murid Kim-liong-pay yang tidak mampu melakukannya. Kami memang sengaja membiarkan giok-ceng manjadi perebutan. Kami ingin tahu siapa sebenarnya pelaku kejahatan yang sebenarnya. Karena salah satu alasan orang-orang itu menyerang perkampungan Naga Emas adalah untuk mendapatkan Giok-ceng.” “Sampai hari ini, kami belum tahu apa yang mendasari mereka ingin mendapapatkan giok-ceng. Padahal, giok-ceng hanyalah sebuah lambang pangcu dan bengcu saja. Bukan sesuatu yang menyimpan misteri. Seperti apa yang tersiar di dunia kang-ouw akhir-akhir ini. Siapakah yang berkeinginan untuk mendapatkan giok-ceng, mereka akan menjadi musuh semua orang. Telah terbukti, hingga saat ini, bahwa satu-satunya partai yang berkeinginan memilki giok-ceng adalah Ang- hong-pay. Ini bisa jadi merekalah yang seharusnya bertanggung jawab atas hancurnya Kim-liong-pay. Mereka juga berani menghina Kim-liong-pay dengan menggunakan ilmu khas kami untuk berbuat kejahatan. Apakah kalian belum sadar, bahwa ada sesuatu intrik yang tersembunyi dari semua ini.” “Apakah tidak ada yang lebih penting dari pada kerakusan kalian terhadap hak milik orang lain. Apakah kalian tidak mau bersatu, seperti dahulu, menuntaskan kejahatan dan menciptakan kedamaian!!!” Dua maat Kho Sa berkobar-kobar. Semua ornag merasakan hawa panas. “Benar apa yang dikatakan suheng kami itu. Lihat dan dengarkanlah, berapa banyak kejahatan yang dilakukan oleh Ang-hong-pay? Seharusnya kita bersatu melawan mereka!!!” Kim Yun Tai berteriak dengan lancnag. Suaranya menggema. “Buktikan dulu, apa kalian benar-benar dari Kim-liong-pay. Jangan-jangan hati kalian bertopeng seperti wajah kalian. Siapa yang tidak tahu, betapa banyak kejahatan Ang-hong-pay. Kami hanya
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 74 dari 114
perlu seseorang yang dapat dijadikan ketua bagi kami semuanya. Dua hari kemarin, bengcu kita ditemukan tewas tanpa diketahui pelakunya. Kami hanya ingin mendapatkan giok-ceng sebagai lambang bengcu yang baru. Kami akan mencari bengcu baru dengan giok-ceng sabagai lambangnya. Bukan yang lainnya.” Seseorang di tengah berteriak di tengah-tengah sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuah golok. “Betul! Buktikan dulu kebenaran kalian. Kalau kalian bukan orang-orang Kim-liong-pay yang asli, kalian juga tidak berhak untuk memilikinya.” Yang lainnay menambahi. Mereka semakin berani. “Saudara, di saat seperti ini, diperlukan sebuah ketenangan. Di sana banyak ornag-orang yang ingin memancing ikan di air yang keruh. Diperlukan ketenangan untuk menggagalkan usaha jahat mereka.” Gelombang bisikan dengan ilmu pengirim suara terdengar di telinga Kho Sa dan dua adik seperguruannya. Suara itu milik Lie Yang. “Saudara sekalian, seperti yang telah kukatakan sejak tadi. Masalah ini tidak akan ada titik ternagnya. Kecuali, tidak ada cara yang lebih tepat, hanya pibu penyelesaiannya. Siapa pun dia, boleh mencoba, baik yang merasa berhak atau pun tidak! Tiga saudara bertopeng ini, kita tidak tahu apakah benar mereka orang-orang Kim-liong-pay asli. Hanya dengan pibu, kita akan tahu kebenarannya.” Pria setengah baya yang ada di depan mulai berteriak kembali. Api mulai terlihat bercahaya lagi. Panasnya mengobarkan keberanian semua orang. “Ya, pibu, pibu!!!” “Pibu!!!” “Setuju!!!” Terdengar teriakan-teriakan dari tengah-tengah. Teriakan-teriakan itu beranak pinak. Banyak yang mulai ikut-ikutan. Banyak yang mulai panik juga. Kho Sa hanya bisa menghirup udara dengan berat. Dadanya sesak. Banyak ornag yang tidak paham tentang masalah itu. Usahanya akan sulit. Namun, ia mencoba untuk tenang, walaupun emosinya sudah berkobar-kobar. Ingin rasanya ia mencengkram dan merobek-robek mulut pria di sampingnya itu. Seandaianya ia tidak diabisiki Lie Yang terlebih dahulu, mungkin tangannya sudah bergerak. Bisikan Lie Yang adalah perintah pangcu. Tidak bisa disangkalnya. “Hahahahahha....” Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara itu melengking tinggi. Bagi ornag yang tidak memiliki lweekang tinggi, langsung ambruk. Tidak kuat menahan getaran itu. Kho Sa menolehkan kepalahnya ek arah Lie Yang. Di matanya ada semacam kode khusus dan sebuah permintaan. Lie Yang menggeleng-geleng kepala. Itu perintah. Perintah untuk diam dan jangan bergerak. Ia pun diam. “Apa yang kalian rebutkan? Semuanya goblok! Ada yang mengail ikan di kolam cetek mau-mau saja. Hanya orang tidak punya otak yang mau dikelabuhi orang lain.” Terdengar suara itu menyambung. “Lebih baik kalian pulang ke rumah masing-masing. Kunci rumah dan jangan keluar. Ilmu cetek kalian tidak akan mampu menjaga giok-ceng! Giok-ceng tidak akan kalian dapatkan di tempat ini!” Terdengar lagi suara keras itu. “Siapa itu?” Teriak pria di samping Kho Sa itu. Suaranya tidak kalah kerasnya. Lweekangnya sepertinya tidak jauh dari orang pertama itu. “Mengembara ditemani pedang, berpijak pada kebenaran, menolong orang demi masa depan dan menghancurkan kejahatan demi keindahan dan ketentraman!” Wajah pria itu tiba-tiba berubah warna. Terlihat pucat. Tampaknya ia tahu siapa sebenarnya orang itu. Ketakutannya tidak bisa disembunyikan lagi, bahkan mulutnya terkunci. Menyebut nama orang itu saja takut. “Luar biasa tenaga dalam orang ini! Ternyata di sini ada orang seperti ini. Sungguh hebat!!!” Kata hati Lie Yang terkagun-kagum denagn tenaga dalam orang itu. “Sungguh manusia yang tenang! Manusia yang telah matang ilmu dan jiwanya! Ia telah berhasil menjiwai sebuah ‘ketenangan’ dan ‘kebebasan’. Hebat, hebat, hebat!” Katanya lagi. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Jiwa-jiwa yang terpanggil! (1)
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 75 dari 114
“Koko, siapa dia? Tenaga dalamnya luar biasa hebatnya. Apakah dia termasuk salah satu musuh Kim-liong-pay?” Tanya Kwat Lin kepada suaminya. Lie Yang menoleh dan tersenyum. Ia menggeleng tenang. “Aku tidak tahu, istriku!” Kho Sa masih kadang-kadang melirik ke arah Lie Yang. Lalu ia menetapkan untuk mundur, sekaligus mengajak dua adik seperguruannya. “Hebat, hebat, engkau akhirnya muncul di sini. Kawan lama, sebaiknya engkau keluar. Sudah 15 tahun kita tidak bertemu, ingin aku merasakan apakah engkau masih sehebat dulu. Keluarlah kawan lamaku!” Terdengar suara seseorang dari tengah-tengah kerumunan. Beberapa orang menyibak. Orang itu memakai pakaian parlente. Seperti seorang kongcu yang kaya raya. Kipas di tangannya yang berwarna keemasan ditudingkan ke arah atap rumah Lie Yang. “Hahahaha... aku kira engkau sudah mati. Tidak nyana engkau keluar juga dari tempat persembunyianmu.” Terdengar suara lain menjawab. “Hahahah... aku sengaja bersembunyi, karena aku tahu, saat seperti ini akan datang. Aku tahu engkau hebat. Untuk itu aku mengolah diri. Menyempurnakan segala yang kurang. Mengobati semua luka hingga hilang. Keluarlah! Apakah engkau masih selalu menghindar. Apakah kebiasaan lamamu tidak bisa hilang???” “Ya, inilah kebiasaanku. Selalu malu, jika bertemu dengan banyak orang. Apalagi denganmu. Pelajaran 15 tahun yang lalu sudah cukup untukku. Bahkan lebih dari pada cukup. “ Mereka sepertinya sedang bercakap-cakap ringan. Padahal mereka sedang beradu kekuatan dengan suara. Beberapa orang menjerit dan jatuh pingsan. Telinga mereka berdarah. Ada yang terpaksa duduk dengan menahan gelombang suara itu sebisa mungkin. Mendengar ini, terpaksa Lie Yang membantu menyalurkan tenaga dalamnya ke istrinya yang hampir terduduk. Tiga pembantu dan paman Chi bahkan sudah terduduk menahan gelombang suara itu. Lie Yang dan beberapa orang di sampingnya menjadi marah atas ulah dua orang di depannya itu. Seandainya, Yun Tai tidak dipegang lengannya dan dibisiki oleh Kho Sa, mungkin orang pertama yang meloncat ke depan adalah dia. Bisikan kakaknya membuatnya harus berpikir seribu kali. “Sam-cianpwee, harap berwelas asih terhadap yang lemah. Kasihan mereka yang terlukai oleh permainan Sam-cianpwee.” Akhirnya Lie Yang berbicara. "Hahaha... welas asih bagaimana lagi, maksudmu? Aku kan hanya bicara dengan teman lama. Salah mereka sendiri masih mau berdiam diri di sini. Jangan salahkan kami! Kalau sekarang mereka tidak mau pergi, jangan salahkan kami!" Terdengar suara menjawab. "Hahaha... ucapan betul! Uh, lebih baik kita pergi saja, di sini terlalu ramai!" Kata laki-laki berkipas itu. Sekali gerak, ia sudah berlari bagaikan melayang. Dari atas atap rumah Lie Yang melayang sebuah bayangan dengan cepat. Bayangan itu menghilang, hanya suara tawanya yang menggema yang masih terdengar menggaung-nggaung. Memantul dari suduk ke sudut, dari telinga satu ke lainnya. Merusak beberapa syaraf dan indra pendengaran seseorang yang tidak mempunyai cadangan kekuatan yang tinggi. Lie Yang sampai menggelengkan kepala melihat kelakuan tidak sopan orang-orang itu. Dua matanya melihat banyak orang yang mendapatkan luka dalam akibat suara itu. "Sungguh sayang, punya ilmu setinggi itu digunakan untuk melukai orang-orang yang tidak mempunyai salah apa-apa!" Lalu dengan diam-diam ia memejamkan mata sambil melempar hawa saktinya ke sekelilingnya. Orang-orang disekitarnya tidak dpat merasakan kehadiran hawa sakti itu. Mereka hanya merasakan bahwa tubuh mereka terasa segar dan bersemangat. Luka dalam yang di derita tiba-tiba hilang. Tanpa bekas. Lie Yang melirikkan mata kananya ke arah Kho Sa. Bibirnya bergerak. Sebuah bisikan halus terdengar di telinga Kho Sa. Kho Sa mengangguk-nganggukkan kepala ketika mendengar bisikan itu. "Siap, pangcu!!!" Katanya berbisik menggunakan ilmu pengantar suara juga. Lie Yang menganggukkan kepala juga. Isyarat itu hanya dimengerti dua orang itu. Kho Sa berbisik kepada dua adik seperguruannya. "Saudara-saudara sekalian, tidak ada pesta yang tidak selesai. Untuk ahri ini, kami mohon saudara sekalian membubarkan diri. Kami tidak berani menjamin kalau Kim-tiok-kiam (Pedang Bambu Kuning) dan Giok-liong-to (Golok Naga Kemala) dari wisma keluarga Oiy kembali lagi!" Kho Sa mulai berbicara dengan nada menekan. Ada wibawa yang sangat besar di dalam suaranya itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 76 dari 114
Orang-orang yang tadinya sedang berpikir siapa dua manusia tadi. Tiba-tiba saja melengak kaget. Ada yang langsung keluar tanpa pamit. Ada yang masih berdiri tanpa rasa, hanya wajahnya terlihat pucat. Salah satunya adalah laki-laki setengah baya yang sejak dari tadi koar-koar. Sekarang ia berdiam seperti perawan yang ketakutan. Sebentar kemudian orang-orang sudah bubaran. "Benarkah dua orang tadi adalah Kim-tiok-kiam dan Giok-liong-to yang sudah belasan tahun menghilang?" Banyak ornag yang bertanya-tanya tentang kebenaran omongan Kho Sa. "Benar tidaknya tidak perlu ditanyakan lagi, kita masih hidup perlu diyukuri!" Jawab lainnya. Di depan Lie Yang hany ada sekitar sepuluh ornag yang masih berdiri. Namun, Li Yang tidak memandang ke arah sepuluh ornag di depannya. Ia sedang menatap sebuah pohon persik yang amat besar di depan rumahnya. Ada sesuatu di sana. "Ada apa, suamiku?" Tanya Kwat Lin penasaran melihat ulah suaminya itu. Tiga pembantu, paman Chi, Kho Sa, Kim Yun Tai dan Kwee Kong ikut memandang ke arah sana. Belum sempat Lie Yang menjawab. Puluhan senjata rahasia sudah melayang ke aranya. "Awas!!!!!!" Teriaknya sambil meraung dan menghambur ke depan. Pedang Kho Sa, Yun Tai, tiga pelayan, paman Chi, selendang Kwat Lin dan jubah Lie Yang berkibar. Bergerak-gerak laksana naga hidup. Senjata-senjata itu runtuh oleh saplokan pedang-pedang di tangan pendekar-pendekar terampil itu. "Kalian tidak apa-apa?" Tanya Lie Yang mengkhuatirkan teman-temannya. "Kami tidak apa-apa!!!" Jawab Kho Sa dan lainnya hampir berbarengan. "Ang-hong-pay!!!" Kata Yun Tai ketika memungut salah satu jarum berwarna merah. "Bangsat!!! Sungguh kejam!" Teriak Kho Sa. "Jarum-jarum itu bukan dari arah pohon persik itu. Tapi dari balik tembok sebelahnya." Lie Yang berkata. Ada sesuatu makna yang hebat di dalamnya. Seakan-akan ia ingin berkata, "untung bukan orang yang di balik pohon persik itu yang melempar senjata rahasia ini. Seandaianya dia, apa mungkin kita masih hidup!" Sekitar sepuluh ornag yang ada di depan mereka tidaka da satu pun yang hidup. Semuanya mati mengenaskan. Belasan jarum merah menancap tepat di nadi-nadi penting mereka. "Sungguh berat musuh yang kita hadapi ke depan! Tidak ada jalan lagi... tidak ada jalan lain lagi!" Lie Yang seperti sedang berbicara sendiri. "Saudara Yun Tai, Kwe Kong dan paman Chi, tolong batu aku mengubur mayat-mayat itu! Kwat Lin, istriku, sebaiknya engkau masuk rumah bersama Shi Lan dan kalian berdua. Siapkan makanan untuk tiga tamu kita malam ini. Aku dan Kho Sa ada urusan sebentar!" Lie Yang menjejakkan kakinya. Tubuhnya seketika melayang ringan. Kho Sa mengikuti di belakangnya. Yun Tai dan Kwe Kong saling berpandangan. "Luar biasa!" ucap Yun Tai hampir tidak percaya bisa melihat ilmu peringan tubuh yang sehebat itu. Keragu-raguannya sedikit mulai hilang. Tadi ia mengira, Lie Yang tidak mempunyai kehebatan yang tinggi. Dugaannya itu meleset. Hatinya menjadi tenang. Ia mulai bergerak dengan perasaan puas. <><><><><>()<><><><><><> Bab Sesudah: Jiwa-jiwa yang Terpanggil! (2) “Saudara Kim-tiok-kiam, sepertinya ilmu Kim-tiok-kiam-sut-mu sudah mencapai tingkatan sempurna? Karena kesempurnaan inilah, sehingga engkau bisa sampai di sini.” Kata Giok-liong-to sambil memandang tahjub kepada potongan tubuh lelaki di depannya. “Hahahaha... Oiy-kongcu, aku juga berani bertaruh kalau ilmu Giok-liong-to-sut-mu sudah mencapai taraf kesempurnaan juga. Kalau begitu, aku juga berani bertaruh, engkau adalah generasi wisma Oiy yang paling gemilang.” Kim-tiok-kiam menyahut sambil tertawa kencang. Tubuhnya yang disandarkan di pohon itu berguncang-guncang. “Ya, itulah sebabnya aku sampai di sini juga. Sepertinya, cerita tahayul itu benar adanya. Kalau engkau sudah datang juga, mungkin juga Kim-ciang-cu (Si Tangan Kuning) dari wisma Han dan Bi- san-cu (Si Kipas Cantik) dari Jeng-hwa-lim (Hutan Seribu Bunga) akan segera menyusul.”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 77 dari 114
“Benar! Mereka sebenarnya sudah mendahuluiku. Aku menemukan jejak Kim-ciang-cu dan Bi-san-cu di beberapa tempat dalam perjalananku ke sini.” “Eh, apa benar itu? Wah, wah, pasti hari-hari ini akan muncul sesuatu yang hebat! Eh, saudara Kim- tiok-kiam, bagaimana perjalananmu ke nergeri seberang sana? Apakah engkau bisa menceritakannya kepadaku hal-hal yang unik?” Giok-liong-to mendekat. “Hahahah... aneh, engkau yang mempunyai kekayaan yang melimpah tidak mampu mengelilingi dunia sepertiku, sedangkan aku yang miskin ini mampu berkeliling ke tempat lain. Perjalananku, sungguh unik kali ini. Selama belasan tahun aku sudah mencapai sudut-sudut negara orang lain. Di Timur, yaitu Jepang, di sana aku dapat mengalahkan ratusan samurai. Lalu, di Barat, hal-hal membingungkan mulai kudapatkan. Hmm... sungguh penasaran. Di perbatasan Barat sana, banyak kutemukan jejak-jejak orang sakti. Di dalam suku-suku Kazak, Persia, Tibet, India dan Hmalaya. Wah, banyak sekali orang-orang sakti berkeliaran di sana. Bahkan ilmunya, aku yakin sangat jauh melampui di atasku. Di sanalah, aku dapat menyempurnakan ilmu pedangku. Lalu di Utara, aku berhasil mengalahkan ratusan pegulat dari Mongol dan Khitan. Yang unik lagi adalah, di Selatan. Di sebuah negeri bernama Thai, aku mendapatkan banyak pelajaran. Ilmu yang dipelajari mereka sangat unik. Di sana aku dapat menciptakan satu ilmu tangan kosong yang sangat aneh. Apa kamu ingin mencobanya? Hahahah...!” “Wah, kalau aku tahu seperti itu, seharusnya aku dahulu ikut denganmu? Usul yang bagus, sudah lama aku tidak berolah raga. Generasi saat ini sungguh payah, hingga saat ini belum ada yang mampu megalahkan ilmu golokku ini! Terus, apa kebiasaanmu bertarung dan membunuh orang itu masih engkau lakukan?” Tiba-tiba Kim-tiok-kiam menjadi diam. Ada sesuatu yang bergejolak di hatinya. “Itulah yang mengherankan, sesungguhnya, kebiasaan burukku dahulu hanyalah efek dari ilmu yang kupelajari. Di tingkatan ke lima ilmuku, ada tiga teorinya yang hilang, ketika kupaksakan untuk melatihnya tanpa kelengkapan teori, ilmu ini malah membuat pikiranku tidak waras. Untung ada seorang kakek-kakek di Barat sana yang dapat memberiku petunjuk. Selama lima tahun penuh aku bertempat tinggal di sana, dan di sanalah aku dapat mencapai tingkatan ke delapan. Saat ini, aku telah mampu mencapai tingkatan ke sebelas...” “Ke sebelas? Apakah benar ada tingkatan sampai setinggi itu?” Giok-liong-to memotong ucapan Kim- tiok-kiam. Hatinya bergetar mendengar teman lamanya itu sudah mencapai tingkatan yang begitu tinggi. “Sesungguhnya aku tidak yakin dengan hal itu, tapi menurut kakek yang baru kutemui lima bulan lalu. Ilmuku sudah sampai pada tingkatan ke sebelas, sebuah tingkatan tertinggi dan maha dahsyat.” “Sungguh susah membayangkannya! Menurut cerita kakekku, ilmu pedangmu hanya mempunyai tingkatan sembilan, begitu juga yang lainnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Tunggu... lalu kakek itu siapa, sehingga dapat memberi teori ilmu pedangmu yang hilang?” “Itulah yang memusingkan. Setiap kutanya, kakek tua itu selalu menghindar. Ia hanya memintaku untuk datang ke sini. Membantu perguruan leluhurku, Kim-liong-pay. Katanya, semua ilmu yang kupelajari berasal dari ilmu-ilmu kim-liong-pay.” “Hmmm, aneh... sungguh aneh! Akhir-akhir ini, ketika aku sedang bersemadi, aku sering merasakan getaran aneh, getaran itu sepertinya menyuruhku untuk ke tempat ini. Aku sungguh tidak tahu, hanya saja, menurut cerita leluhurku dahulu, getaran ini muncul akibat Giok-ceng sedang memanggil. Pernahkah engkau mendengar kisah ini?” “Ya, kakek tua itu juga bilang seperti itu. Sungguh aneh! Dia bahkan bercerita panjang lebar tentang asal mula ilmu dari empat keluarga besar Tionggoan. Ilmu keluargaku, keluargamu, dan keluarga wisma Han dan keluarga perguruan Bi-san di Jeng-hwa-lim. Ilmu kita berasal dari satu aliran sebenarnya. Nenek moyang kita mendapatkannya dari seorang Kaisar Ilmu Silat, kakek itu memanggilnya Sabzavar. Konon, Sabzavar adalah orang Persia yang telah menguasai inti ilmu silat di dunia. Dialah pendiri Kim-liong-pay.” “Oh, sungguh hebat manusia itu! Dan benarkah engkau juga merasakan getaran itu juga?” “Ya, getaran itu dapat kurasakan ketika memegang pedangku ini!” “Kalau begitu, dua saudara lama kita juga merasakannya...” “Mereka akan merasakan getaran itu, kalau mereka telah mencapai tingkatan sempurna dalam ilmu mereka...” http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 78 dari 114 “Apa maksudmu?” “Getaran itu akan terasa, manakala ilmu yang dipelajari sampai pada taraf kesempurnaan. Kalau belum, getaran itu tidak akan terasa.” “Oh, ya itulah yang terjadi sesungguhnya...” Dua lelaki setengah baya itu terdiam sebentar. "Dia telah datang!" Kata Kim-tiok-kiam. Ia memandang ke arah samping kanannya. Di depannya sana, kegelapan sudah mengambil tempatnya. Hewan- hewan malam mulai bersumbar, hingar. Udara menjadi semakin dingin. Inginnya sampai menusuk tulang. "Ya, suara senandungnya masih sama dengan dahulu..." Jawab Giok-liong-to setengah diam. Suara senandung yang sangat bersih itu mengalun meratapi udara. Menggesek-gesek dedaunan yang sudah tidak kelihatan warna hijauhnya itu. "Dia masih seperti dahulu, tidak berubah..." Kata Kim-tiok-kiam sekali lagi. Suara senandung itu semakin dekat. Semakin merdu dan renyah isinya. Hidup itu ada... Lalu kemana yang berada...??? Hidup itu maju... Lalu siapa yang mundur...??? Manusia hidup untuk maju Kemankah hidup yang kucari selama ini??? Apakah ia sedang tidur dengan sang kekasih. Menemani di atas dipan empuk, seempuk awan putih Oh, inilah yang kucari... Menemui teman dalam mimpi... Mencari musuh tak kunjung tergapai... "Dia semakin gila!" Kata Giok-liong-to untuk kesekali lagi. Ada senyuman di balik kegelapan yang menutupinya. Wahai, jiwa-jiwa yang terpanggil! Di ujung sana ada tawon sedang buat kekacuan. Ini saatnya engkau memenuhi kesetiaan. "Hahaha... siapa yang bilang aku gila tadi? Apakah si pemuda tak pernah tua Giok-liong-to? Atau si jelek dan jorok Kim-tiok-kiam?" Tiba-tiba terdengar suara dari arah lain. Dari sebelah kiri Kim-tiok- kiam. "Wah, ilmu menghilangnya masih tidak luntur, jangan-jangan pukulan hawa dinginnya semakin hebat juga!??" Ujar Giok-liong-to. "O-o-o, ternyata benar si tampan dan si jelek sudah di sini. Sungguh aku takut kalian tidak akan datang!!! Hahahahha..." "Wah, orang ini masih suka usil. Bagaimana dengan wisma Han? Apakah Han-twako sudah diberi cucu?" Sapa Kim-tiok-kiam sambil tertawa. "Mana dia punya cucu, kalau istri saja belum punya! Hahhahaha.... Tidak seperti aku yang tahun ini tambah bini." Tiga sosok itu tertawa tergelak. "Engkau salah kalau mengira aku belum beristri. Setelah pertarungan lima belas tahun yang lalu, aku tidak hanya mendapatkan luka yang parah. Akan tetapi, istri yang cantik juga!" Laki-laki baru datang itu memperlihatkan cincin di jarinya. "Benarkah? Wah, seharusnya kita rayakan dulu kabar baik ini. Kita minum dan makan sepuasnya baru melakukan pibu." Giok-liong-to memicingkan matanya. "Hahah... usul yang bagus! Aku akan menteraktir kalain sepuas mungkin. Apalagi, sebulan lagi, istriku akan melahirkan anakku yang ke lima!" "Ha? Lima? Hebat kau!" Giok-ling-to tidak menyangka teman lamanya itu mendapatkan rizki yang begitu banyak. Tidak seperti dirinya yang punya istri banyak tapi baru dikaruniai seornag putra saja.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 79 dari 114
Apalagi Kim-tiok-kiam yang memandang dua sahabatnya bergantian. Ada sesuatu yang bersinar redup di matanya. Ia tiba-tiba merasakan angin semakin dingin. "Maaf, saudaraku Kim-tiok-kiam, bukan maksud kami mengingatkanmu luka 20 tahun yang lalu. Kami hanya terlalu senang, sehingga lupa dengan kejadian itu!" Kata lelaki baru datang itu. "Tidak apa-apa saudara Han. Itu sudah lama berlalu. Aku senang dengan keadaan kalian. Bagaimana dengan urusan kita sekarang, apakah kita lakukan sekarang juga. Ataukah kita harus menunggu hingga bulan purnama datang?" Jawab Kim-tiok-kiam sambil tersenyum. Senyum yang terlalu dipaksakan. "Kita masih punya waktu dua hari untuk menunggu bulan purnama muncul. Apalagi, si Kipas Cantik dari Jeng-hwa-lim belum datang. Sebaiknya kita minum-minum dulu. Sudah lama kita tidak bertemu. Kita gunakan waktu dua hari ini untuk bersenang-senang dulu. Bagimana, saudara Giok-liong-to dan kamu saudara Kim-tiok-kiam?" "Usul yang bagus! Heran aku, kenapa wanita genit itu masih belum juga datang. Padahal biasanya ia selalu muncul lebih dulu." Kata Giok-liong-to sepakat. Kim-tiok-kiam hanya mengangguk menyetujuinya. Mereka lalu pergi dengan berjalan kaki. Seperti orang biasa. Tanpa menggunakan sedikit pun kekuatan mereka. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Pasukan Jubah Putih (1) Binatang mulai mengeluarkan suaranya masing-masing. Bulan yang sedang tergantung di sudut cakrawala itu bersinar. Bersinar cukup terang sehingga dapat menerangi kegelapan. Walaupun belum sempurna ternagnya. "Pangcu, sebenarnya siapakah orang-orang berjubah putih itu? Melihat pakaian mereka, sepertinya bukan orang-orang Ang-hong-pay!" Kata Kho Sa tanpa mengurangi berlarinya. Lie Yang tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Dua matanya masih terarah ke depan. Lima berjubah yang sedang dibuntutinya sedang berlari cepat. Gerakan mereka sangat gesit. Sekali lompat puluhan langkah kaki biasa bisa dicapai. Ilmu peringan tubuh lima sosok berjubah di depannya itu pun tidak bisa dianggap remeh. Mereka melompat-lompat seperti tupai. Kadang-kadang mereka berhenti. Sepertinya mereka sedang menunggu Lie Yang dan Kho Sa yang masih jauh. "Kalau bukan orang-orang Ang-hong-pay, mungkin ini adalah siasat orang lain untuk memancing harimau keluar dari sarangnya. Pangcu, sebaiknya kita kembali, aku tidak yakin dengan hal ini!!!" Kata Kho Sa ragu. Lie Yang tetap tidak berbicara. Bahkan tiba-tiba saja ia memberi isyarat untuk berhenti menggunakan tangannya. Sejenak ia menoleh ke arah kiri dan berlindung di belakang pohon. "Jangan khuatir! Semuanya sudah kupertimbangkan baik-baik. Sebenarnya, bukan lima sosok berjubah itu yang sedang kuincar. Ada satu sosok penting lainnya yang lebih berbahaya. Aku yakin, ilmu orang itu tidak dibawah Kim-liong-pay Ji-sian. Bahkan mungkin diatas mereka. Aku hanya ingin tahu, apakah dia lawan atau kawan!" Lie Yang berbisik. Kho Sa mengiyakan. Hatinya sedikit berdesir. Walaupun ia masih belum mengerti benar apa yang sedang berlaku di depannya. Ia tetap diam. Mengikuti perintah ketuanya. Lima sosok berjubah itu berdiri berbaris rapi. Mereka diam tidak bergerak. Tiba-tiba dari atas pohon muncul begitu saja sosok berjubah putih juga. Sosok itu memakai tutup kepala seperti kerudung. Hanya dua matanya yang kelihatan mencorong. Sosok itu tinggi besar. Ia berdiri di depan lima sosok berjubah putih lainnya. Membelakangi mereka dengan menggendong dua tangannya di belakang. "Engkau harus berhati-hati, Kho Sa. Jangan keluarkan hawa saktimu, orang itu akan tahu keberadaan kita!" Bisik Lie Yang menggunakan ilmu pengirim suara. Kho Sa menganggukkan kepala. Sambil berlindung di belakang pohon mereka mengintai. "Apakah pekerjaan kalian sudah diselesaikan?" Sosok berkerudung itu membuka suara dengan pertanyaan sangat sederhana. "Sudah, pangcu! Hanya..." "Hanya apa? Jawab! Apakah ada misi kalian yang gagal?" Sergap sosok berkerudung putih itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 80 dari 114
"Tidak, pangcu! Hanya menurut pengintaian kami selama ini, Giok-ceng tidak ada di rumah itu. Anak muda bernama Lie Yang itu sepertinya tidak bohong. Bahkan kami mendapatkan jejak Giok-ceng berada di tempat lain." Jawab salah satu dari lima berjubah putih itu. "Giok-ceng berada di tempat lain? Di mana?" "Benar, pangcu! Kami berhasil mendapatkan informasi dari mata-mata di utara. Menurut mata-mata itu, Giok-ceng sekarang ada di tangan Thian-long-cu." "Thian-long-cu? Kalau sudah menemukan keberadaan Giok-ceng, kenapa tidak segera diambil?" "Ini... kami mengalami ke...susahan, pangcu!" Nada orang itu sedikit lemah karena ketakutan. "Jangan bertele-tele! Jawab! Kalau aku mau membunuh kalian, mudah saja. Cepat jawab!" Bentak sosok berkerudung itu. Lima orang berjubah putih itu masih diam menata nafas. Tidak ada yang berani menjawab. "Kenapa masih diam? Huh!! Dasar Ang-hong-pay tidak berguna." "Kami selalu dihalang-halangi oleh pihak Ngo-eng Pek-sianli. Belum lagi, menembus Thian-long-hu (Istana Serigala Langit) sungguh susah. Berbagai jebakan telah mereka siapkan. Khususnya ratusan serigala berkeliaran melindungi lembah serigala itu. Kami berlima sepertinya tidak akan cukup untuk menghadapi mereka." "Hmmm, itu karena kalian tidak berguna. Dasar Ngo-eng Pek-sianli. Selalu saja tidak mau bekerja sama denganku. Lalu, untuk apa mata-mata yang kalian sebarkan di sana itu?" "Lima mata-mata yang kami sebarkan di sana telah mati. Mereka dapat diketahui identitasnya oleh pihak Thian-long-pay." "Hmmm, hebat juga Thian-long-cu! Siapa saja yang ada di sampingya?" "Sebenarnya tidak ada yang kuat. Hanya saja, ia didukung oleh para perampok dan beberapa murid utamanya seperti Sam-thian-long (Tiga Serigala Langit), Tiat-jiau-long (Serigala Berkuku Besi) dan Thi-jiau-long (Serigala Bergigi Besi)." "Baiklah! Aku bisa merabanya. Sepertinya aku sendiri yang harus mengerjakan pekerjaan kecil ini. Kalian tetap pada posisi di sini. Jangan sampai gagal lagi!" “Siap, pangcu!” Kata mereka serempak. “Siapa itu? Keluar!!!” Tiba-tiba sosok berkerudung itu membentak. Sekali tangannya bergerak lurus ke samping. Pohon di depannya meledak. Sebuah pukulan jarak jauh itu menghancurkan sebuah pohon sampai bercerai-berai. “Hihihihi...!!! Ini aku, pangcu!” Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu. “Akhirnya engkau datang juga! Hmmm, aku tak perlu lagi menghamburkan tenaga dan waktu secara sia-sia.” “Hihihihi...! Apakah pangcu lagi rindu kepadaku, sehingga ingin menemuiku! Aku di sini!” “Hmmm, dasar nenek tua. Reot! Siapa bilang mau rindu-rinduan denganmu, hah? Cepat keluar!” Hanya suara tertawa merdu yang keluar. Hingga dua mata sosok berkerudung putih itu membara. “Siapa lagi yang datang itu, pangcu?” Tanya Kho Sa kepada Lie Yang di balik pohon. Sungguh tak disangkanya, ia bisa melihat banyak keganjilan di malam ini. “Aku masih belum tahu, Kho Sa, mungkin...” Ucapan Lie Yang terputus. Tiba-tiba saja sebuah pusaran angin topan muncul di depannya. Beberapa detik kemudian, di depan sosok berkerudung itu telah berdiri enam sosok berpakaian putih. Enam sosok itu tidak terlihat sama sekali warna kulitnya. Karena semua tubuh mereka dibalut oleh kain putih. Kecuali dua mata mereka yang tampak berkilauan. “Pek-sianli, kenapa engkau selalu mengganggu pekerjaan kami? Kalau engkau ingin mendapatkan kehormatan dari Pangcu pusat, jangan mengganggu anggota lainnya. Kita bersaing dengan adil untuk mendapatkan Giok-ceng!” Kata sosok berkerudung itu dengan bahasa lain. Bahasa yang mungkin hanya dipahami oleh sekelompok orang itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 81 dari 114
“Bahasa Persi????” Ucap Kho Sa tanpa sadar. Lie Yang menganggukkan kepala. Seperinya Lie Yang juga mengerti bahasa itu. Kho Sa mau bertanya lagi, namun Lie Yang memberinya isyarat untuk diam. “Siapa yang mengganggumu? Aku tidak merasa melakukannya!” Pek-sianli, sosok bercadar itu maju selangkah. “Apakah perbuatanmu menyamar sebagai utusan dari pusat itu bukan sebuah kesalahan? Siapa yang bekerja sama dengan Ang-hong-pay? Apakah kamu dengan murid-muridmu itu? Atau kami? Apalagi pekerjaanmu yang suka usil terhadap pasukanku? Apa itu tidak bisa dikatakan mengganggu??!!” “Oh, jadi itu maksudmu aku dibilang pengganggu. Siapapun boleh dunk bekerja sama dengan Ang- hong-pay. Kamu melakukan itu, kami juga melakukannya. Itu sah-sah saja. Tentang anak buahmu itu, itu semua karena mereka tidak becus dalam melakukan penyamaran. Kemampuan mereka di bawah standar!”
Bab Sesudah: Pasukan Jubah Putih (2)
“Kamu masih tidak merasa bersalah dalam hal ini. Baik, lihat nanti dalam sidang anggota nanti. Semua ini akan kulaporkan kepada pangcu pusat.” “Hmmm, dasar anak ingusan!” “Apa kamu bilang? Berani kamu menghinaku di sini?!!” “Hmmm, anak kecil pun akan berani menghinamu. Kamu siapa? Kamu hanya anak kemarin sore saja. Jangan sok-sokan di tempat ini, apalagi di markas pusat nanti. Belum tentu engkau akan mampu hidup besok. Ingat, musuh paling berat kita sudah mulai muncul. Manusia Suci dari BU-eng-hu telah muncul. Apakah engkau mampu menandingi mereka. Padahal gurumu sendiri belum tentu dapat menandinginya.” “Apa kamu bilang? Jadi kamu meragukan kemampuanku. Baik, jangan anggap aku lancang,” Belum sempat ucapan itu selesai. Sebuah pukulan jarak jauh meluncur ke arah Pek-sianli. Pek-sianli hanya memutar lengannya. Dan pukulan itu segera memudar tanpa bekas. “Hmmm, jadi kamu ingin bermain kekerasan anak muda.” Jengak Pek-sianli sudah mulai marah. “Terserah anggapanmu. Engkau sudah keterlaluan menghinaku. Apalagi kesalahanmu yang terakhir, menghina guruku yang suci.” Sosok berkerudung itu menyerang kembali. Kali ini ia sudah tidak lagi beradu tenaga sakti. Lebih dari pada itu, tenaga dalam dan adu kesaktian dipertontonkan. Akibat pertarungan yang hebat itu, pohon- pohon di sekitar sampai bergoyang. Debu berhamburan, melayang seperti hantu. “Itu ilmu silat khas Persia, pangcu! Sepertinya mereka orang Persia. Kalau tidak salah, mereka pasti dari Thian-liong-pay pusat. Konon, menurut suhu, mereka bekerja sama dengan beberapa partai dan perguruan di Tionggoan. Ternyata, dugaan suhu tidak meleset.” Bisik Kho Sa. “Lihat, Kho Sa, Pek-sianli itu memakai ilmu Ban-liong Sin-ciang (Pukulan Sakti Selaksa Naga). Lawannya akan kewalahan. Lihat, betapa jernihnya ilmu itu. Sayang, tenaga Yang milik Pek-sianli itu kurang memadai. Coba, seandanya dia mempunyai tenaga itu sedikit lagi, hanya dengan sepuluh jurus saja, lawannya itu akan jatuh di bawah angin olehnya.” Kho Sa memandang muka Lie Yang tanpa berkedip. Bukan ke arah pertarungan di depan mereka. Sungguh, hati Kho Sa saat ini sedang terkesiap mendengar ucapan Lie Yang. Tak disangkanya, orang di sampingnya mempunyai wawasan yang lebih daripadanya. “Apa benar ramalan kakek dulu tentang munculnya Kaisar Ilmu Silat. Manusia paling jenius yang akan mampu merajai orang-orang kang-ouw. Manusia yang diberi kelebihan oleh Tuhan. Dan manusia paling terhormat dan suci kelak. Titisan sang Mani Agung!!! Benarkah dia...?” Hati Kho Sa Berdetak lebih kencang. Sepertinya ia merasakan ada yang aneh dengan orang di sampingnya itu. Ia mencium keharuman istimewa. Dan baru kali ini ia merasakannya. Tentang Ban-liong Sin-ciang, sungguh ia tidak banyak tahu. Ia hanya pernah mendengar gurunya dahulu menyebut ilmu itu. Ilmu yang dimiliki oleh para penjaga dan pengawal khusus Sang Syah yang Agung (Kaisar Persia). Dan kali ini dapat melihatnya. Sungguh persoalan yang rumit.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 82 dari 114
“Kenapa ilmu ini muncul di sini? Partai apa sebenarnya Thian-liong-pay itu? Sungguh rumit persoalannya kali ini.” Kata mata hati Kho Sa sekali lagi. “Kenapa Pek-sianli selalu mengulang-ulang jurus itu? Kenapa dia tidak memakai jurus ke 11 sampai terakhir. Hmmm, bahaya, sungguh bahaya!!!” Tiba-tiba Lie Yang berucap lagi. Hati Kho Sa bertambah terkesiap. “Mungkinkah...???” Ucapnya tanpa sengaja. “Mungkinkah apa, Kho Sa?” Tanya Lie Yang tanpa harus menolehkan kepalanya. “Tidak,” Jawabnya agak gugup. Keringat di kepalanya keluar. Sungguh, aura Lie Yang membuatnya harus gugup dan berkeringat. Wibawanya terasa menusuk-nusuk dadanya. “Bahaya!” Ucap Lie Yang setengah tercekik. Di depannya. Pek-sianli berhasil memukul dada lawannya. Lawannya itu terpental sampai puluhan meter. Serempak, lima sosok berjubah putih yang tadi diam menyerang Pek-sianli. Namun, hanya dengan kibasan tangan saja, lima sosok berjubah itu terpental. “Hihihihi..., makanya jangan main-main denganku. Masih untung aku mengasihanimu. Kalau tidak? Apakah engkau mampu hidup saat ini.” Ancam Pek-sianli. Sosok berkerudung itu mencoba berdiri. Luka yang dideritanya sepertinya tidaklah ringan. Di pojok bibirnya keluar darah segar. Baru saja ia berhasil berdiri walaupun dengan keadan yang memprihatinkan. Darah segar langsung keluar dari mulutnya begitu banyak. Pek-sianli tetap tertawa melihat musuhnya terjatuh kembali. Sambil memberi isyarat kepada anak buahnya. Ia melangkah pergi. Namun, langkahnya segera berhenti. Di depannya telah berdiri tiga orang laki-laki. Satu orang berpakaian compang-camping, satunya lagi berpakaian parlente dan terakhir berjubah dengan warna biru tua. Melihat tiga orang di depannya. Tidak dipungkiri lagi. Hati Pek-sianli sedikit bergetar. Biasanya, telinganya selalu tajam. Dapat mendengar suara yang paling kecil pun. Namun, saat ini telinganya tidak dapat mendengar suara langkah kaki tiga pendatang baru itu. Apakah ada yang salah dengan telinganya saat ini, atau memang begitu hebat peringan tubuh tiga orang itu? “Siapa kalian?!!!” Tanya Pek-sianli. Nadanya berubah mengancam. Yang ditanya tetap dia. Beberapa lama mereka diam, bahkan Pek-sianli juga menutup mulutnya. Hanya sorot matanya yang terlihat tambah mengancam. “Akhirnya, aku dapat menemukanmu di sini. Aku tidak perlu lagi mencarimu jauh-jauh ke Persia.” Jawab orang berpakaian parlente yang bukan lain adalah Si Giok-liong-to, Oiy-kongcu. Kim-tiok-kiam pun menyahut, “Ya, aku pun tidak perlu mengulangi pengembaraanku ke Persia hanya untuk mencarinya. Benar kata kakek tua itu, kalau aku akan menemukanmu di Tionggoan. Kepulanganku kali ini tidak sia-sia. Tidak sia-sia juga aku percaya pada omongannya itu.” “Aku juga ingin tahu, kata orang-orang, Pek-sianli itu bermuka jelek. Apa benar cerita itu?” Kim-ciang- cu berkata juga. “Berani kalian menghina Pek-sianli? Apakah kalian sudah bosan hidup. Hmmm, sebut nama kalian, supaya aku dapat menuliskannya ditubuh kalian yang sudah menjadi mayat.” “Sebenarnya engkau sudah mengenal kami. Hanya matamu yang sudah tua itu yang sudah tidak bisa melihat. Apalagi ingatanmu itu, aku kira tidak jauh bedanya dengan matamu itu. Akan sia-sia saja, kami menyebut nama, karena engkau bakalan tidak akan mengingatnya lagi.” Kim-tiok-kiam berseru dengan lantang. Tangan kanannya begitu erat memegang tongkatnya. Sepertinya ia sudah siap tempur. “Hahaha..., baik! Tidak perlu aku menanya nama kalian lagi. Aku juga tidak perlu lagi repot-repot mengurus mayat kalian. Sebentar lagi kalian akan mati dan menjadi mayat tanpa nama!” “Ngo-eng, kalian tunggu aku di tempat biasa. Biarkan aku bermain-main dengan tiga manusia tanpa nama itu!” Sambung Pek-sianli memerintah kepada lima pasukannya yang berbaris rapi di belakangnya. “Baik pangcu!” Jawab mereka berbarengan. Lalu mereka meloncat berhamburan. Menghilang ditelan kegelapan dan rerimbunan pepohonan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 83 dari 114
Bab Sesudah: Pasukan Jubah Putih (3) Baru saja Ngo-eng Pek-sianli menghilang. Tiga laki-laki yang berdiri tenang itu meloncat. Mereka mengelilingi Pek-sianli. Mereka diam. Tanpa gerakan. Hanya detak jantung mereka yang memburu kencang. Suara burung hantu mendesah tidak tenang. Angin mengalir deras. Udara berubah panas. Tiba-tiba saja kayu bambu yang dipegang Kim-tiok-kiam melayang-layang di depannya. Bambu itu merekah. Cahaya berwarna kuning terbayang tajam di mata. Sebuah pedang bercahaya kuning muncul. Sangat indah. Bentuknya lurus. Tajam laksana maut. “Selama sepuluh tahun ini, belum pernah aku mengeluarkan pedangku ini dari sarungnya. Pedangku ini belum pernah meminum darah secara langsung. Aku ingin dia meminum darahmu, sebagai tumbal dan pembalasan rasa sakit yang pernah dideritanya. Karena engkau, pedang ini harus berpisah dari tuannya, ayahku. Ingatkah engkau lima belas tahun yang lalu, ketika engkau membunuh Zang Ming? Malam ini adalah pembalasan untuk semua sakit hati yang pernah kuderita. Rasakan ini!” Kim-tiok-kiam menyerang dengan pedang tipisnya. Serangannya tampak biasa. Serangan lurus. Lamban. Namun dibalik kelambanan itu terdapat hawa membunuh. Serangan lurus seperti itu sangat berbahaya. Karena yang menyerang adalah ahli pedang paling hebat. Bukan serangan anak kecil yang dapat dipatahakan dengan mudah. Serangan seperti itu bisa bercabang menjadi ribuan gerakan dan tipuan yang tidak akan dapat disangka-sangka. Pek-sianli tidak sempat lagi menjawab. Sesunguhnya ia ingin menjawab. Tidak ada kesempatan untuknya menghindar lagi. Ia hanya boleh menyerang atau mati tertikam. Menghindar lebih berbahaya daripada memapaki serangan lawan. Dengan sekali teriakan ia maju selangkah ke depan. Di tangannya sudah tergenggam sebelah pedang juga. Pedang itu memiliki keunikan yang khas. Pedang itu mempunyai bentuk seperti ular. Berlapis emas. Pedang itu juga lemas seperti ular. Namun, sekali tebas, baja yang begitu kuatnya pun akan patah. Ketajamannya seperti lirikan setan yang dapat meruntuhkan nyali harimau sekalipun. Pek-sianli meloncat dan mengawang di udara seperti bidadari. Gerakannya seperti kilat. Begitu cepat. Sekali meloncat, mengawang, lalu bergerak memutar, melintir dan menyerang dengan seribu tusukan dan sabetan dalam hitungan detik. Kim-tiok-kiam hanya bisa menghindari amukan dahsyat itu. Tidak hanya itu, dari mulut Pek-sianli juga terdengar teriakan-teriakan aneh. Namun, kali ini lawannnya itu bukan anak kemarin sore yang mudah ditaklukan. Pemegang Pedang kuning itu seorang ahli pedang nomor satu. Di masa mudanya pernah sekali menebas kepala Ciangbujin (Ketua) Taishan-pay (Partai Taishan). Lantaran masalah sepele saja. Dua manusia itu masih bertarung dengan dahsyatnya. Mereka beradu ilmu pedang di tingkatan tinggi. Kim-tiok-kiam menggunakan ilmu pedang khasnya Kim-tiok-kiam-sut. Sedangkan lawannya menggunakan ilmu pedang yang tidak kalah dahsyatnya. Ilmu pedang yang dimainkan lawannya itu sungguh aneh. Banyak gerakan yang tidak masuk akal. Setelah bermain selama puluhan jurus, dua orang itu tidak ada yang mengalah. Bahkan penyerangan satu sama lainnya diperkeras. “Tring...!!!” Berkali-kali terjadi benturan antara keduanya. Percikan api berpijar. Membuat daerah pertempuran sepertinya menyala. Keteguhan dan keuletan Kim-tiok-kiam dalam memainkan pedang tidak bisa dirobohkan hanya dnegan kecepatan permaianan Pek-sianli dengan ribuan serangannya. “Menurut pangcu, siapakah yang akan menang?” Bisik Kho Sa kepada Lie Yang. Lie Yang tampak menoleh. Lalu ia menggelengkan kepalanya. “Susah menebaknya. Kalau diteruskan mungkin akan sama-sama robohnya. Ilmu pedang keduanya sudah pada puncak masing-masing. Belum lagi, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang saling mengisi. Misalnya, Kim-tiok-kiam dengan kekokohan dan keteguhannya, sedangkan Pek-sianli dengan kecepatan gerakannya.” Kho Sa menggut-manggut. Pemahamannya tentang ilmu pedang mulai berkembang. “Menurut pangcu, kira-kira sudah berpa persenkah ilmu yang mereka kuasai?” Kho Sa masih mengejar dengan pertanan lain. Sepertinya ia memang sangat haus pengetahuan tentang ilmu pedang. “Sudah kukatakan tadi. Ilmu mereka sudah mencapai puncak kesempurnaan. Bukan tidak mungkin, kalau pertarungan ini terus-menerus dilakukan, mungkin tiga hari baru akan selesai. Itu pun kedua- duanya akan mengalami luka yang sama seriusnya. Bukankah engkau ingin tahu ilmu apa yang mereka gunakan?” Lie Yang mengakhirinya dengan senyuman. “Gila! Dia bisa membaca pikiranku sepertinya?” Teriak hati Kho Sa. Kho Sa menganggukkan kepala; terpaksa. http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 84 dari 114 “Sepertinya engkau ingin mempelajari ilmu-ilmu itu? Aku tidak berjanji, tapi besok lusa, aku akan menunjukkan ilmu Pek-sianli itu kepadamu. Ilmu-ilmu yang dipakai oleh mereka sebenarnya milik Kim- liong-pay. Aku tidak mengerti, kenapa mereka dapat memainkannya?” Lie Yang berhenti sejenak. Dua mata Kho Sa terbelalak lebar. Tidak disangkanya, ilmu-ilmu yang baru dilihatnya itu adalah milik perguruannya. Tidak pernah terlintas dipikirannya akan itu, apalagi akan mempelajari ilmu-ilmu dahsyat itu dari Lie Yang. “Ilmu yang dipakai oleh Pek-sianli itu disebut Nu-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Amarah Naga). Tingkatan ilmu itu sampai sembilan. Barag siapa dapat menguasai ilmu itu sampai puncaknya. Dia akan mampu memainkan pedang secepat kilat dengan serangan seperti 100 orang memainkan pedang secara bersamaan. Permainan pedang itu kelebihannya terletak pada kecepatan dan daya serangannya yang terus menerus. Seperti orang kesurupan. Sedangkan Kim-tiok-kiam menggunakan ilmu pedang Kim-tiok-kiam-sut. Puncak tingkatan ilmu ini samai sebelas. Puncak maha dahsyat. Siapa yang bisa mencapai puncak ini, dia bakal mampu mengontrol sebila pedang tanpa menyentuhnya. Pedang itu akan dapat digerakkan sesuka hatinya. Bahkan, orang itu akan mampu memainkan ilmu pedang tanpa menggunakan pedangnya,” “Memainkan ilmu pedang tanpa pedang?” Tanya Kho Sa balik hampir tidak percaya. “Ya, seperti ilmu Sin-hong Sin-kang ditingkatan ke-tiga, Kim-liong Hong-kiam-sut.” Lie Yang lalu diam. Baginya sudah cukup untuk menjelaskan kepada Kho Sa tentang dua ilmu pedang itu. Pertempuran di depannya semakin seru. Kilatan cahaya terpejar. Giok-liong-to dengan Kim-ciang- cu sudah menjauh dari lingkaran pertempuran. Lingkaran itu semakin lebar. Kim-tiok-kiam sudah tidak memegang pednagnya lagi. Pedangnya itu lebih sering bergerak sendiri. Terbang seperti mempunyai sepasang sayap dan hati saja. Bergerak dengan kontrolan Kim-tiok-kiam. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kisah Terpendam (1) “Hmmm, apakah dengan ini engkau akan dapat mengalahkanku? Setinggi apapun ilmu yang kau pakai itu, tidak akan dapat melemahkan daya seranganku. Semakin engkau banyak menyerang, akan semakin tambah dahsyat ilmu yang kugunakan ini. Hihihihi... sayang sekali!” Pek-sianli masih bergerak dengan kecepatannya. Ucapan itu seperti cabe yang pedas. Menambah nafsu membunuh Kim-liok-kiam. Gerakannya semakin dikukuhkan. “Iyaaaaaaaa!” Ia berteriak kencang. Segala daya dikerahkannya. “Hihihi... engkau tidak akan dapat mengalahkanku! Semakin engkau mengeluarkan tenaga, semakin lemah daya tempurmu.” Teriak Pek-sianli. “Cringgggg... cring...cring...!!!” Dua pedang itu melekat sebentar, lalu mengendur. Dan mereka sudah saling menjauh kembali dengan lompatan kijang. “Hihihihi... sayang aku tidak punya kesempatan untuk meladeni kalian semuanya. Lain kali kita akan bermain-main lagi.” Tiba-tiba hanya terdengar gema saja. Sosok Pek-sianli tiba-tiba lenyap. “Jangan dikejar saudara Kim-ciang-cu!” Teriak Kim-tiok-kiam kepada saudara lamanya itu. “Lain kali aku akan menghabisinya!” Teriak Kim-ciang-cu gregetan karena musuh bebuyutannya menghilang di depannya begitu mudahnya. “Dia lari karena tidak berani melawan kita bertiga.” Kata Giok-liong-to. “Hahahah...!!!” Tiba-tiba saja Kim-tiok-kiam yang masih berdiri itu tertawa tergelak. Setelah tertawa dia diam. Tidak bergerak. “Ada apa saudara Kim-tiok-kiam?” Tanya Giok-liong-to tidak mengerti apa yang lucu sehingga temannya itu tertawa begitu senangnya. “Ahhhh...!!!” Teriak Giok-liong-to setelah menyentuh pundak temannya yang diam itu. “Ada apa?” Tanya Kim-ciang-cu lebih tidak mengerti lagi. Belum sempat Giok-liong-to menjawab, tubuh Kim-tiok-kiam terjatuh. “Uwahhhhhhhh!!!” Ia muntah darah. Tubuhnya menggigil. Lalu, membeku dalam diam.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 85 dari 114
“Kenapa dia?” Kim-ciang-cu masih bertanya. Ia segera membantu Giok-liong-to mengangkat tubuh Kim-tiok-kiam untuk duduk. Setelah diraba-raba tubuhnya. Memang tidak ada luka yang tampak. Sungguh aneh. Kim-tiok-kiam pingsan dan muntah darah tanpa diketahui penyebabnya. “Kim-tiok-kam-cianpwee terluka oleh pukulan Pek-sianli.” Segelombang suara lembut terdengar. Giok- liong-to dan Kim-ciang-cu menoleh berbarengan. Di belakang mereka sudah berdiri Lie Yang dengan tenangnya. Sedangkan Kho Sa baru keluar dari tempat persembunyiannya. “Siapa engkau?” Tanya Kim-ciang-cu galak kepada Lie Yang. “Ah, aku tahu siapa kamu. Engkau adalah anak muda yang tadi sore didatangi oleh oranag-orang Kang-ouw itu. Ya, engkau itu!” Kata Giok-liong-to setelah melihat wajah Lie Yang. “Benar, cianpwee. Nama saya Lie Yang bermarga Giok. Kalau cianpwee tidak berkeberatan, biar boanpwee yang mencoba mengobati Kim-tiok-kiam-cianpwee.” “Jangan engkau main-main, anak muda? Saudara kami ini terluka parah. Organ dalamnya terguncang. Tidak mudah mengobatinya. Hanya dengan tenaga dalam tingkat tinggi baru bisa mengobatinya.” Kata Giok-liong-to tanpa berkedip. “Saya tidak main-main. Malahan, kalau cara penyembuhannya menggunakan cara seperti yang cianpwee katakan, luka Kim-tiok-kiam-cianpwee tidak akan sembuh. Bahkan malah semakin parah.” Dua laki-laki di depan Lie Yang itu diam sejenak. Mereka saling melirik. “Baiklah, kami serahkan kepadamu temanku ini. Tapi ingat, kalau sampai lukanya bertambah parah, engkau akan menggantinya dengan nyawamu itu.” Kim-ciang-cu mengancam. “Dengan senang hati, cianpwee!” Lie Yang memulai dengan pengobatan. Baju luar dan dalam Kim-tiok-kiam cicopot terlebih dahulu. Dan dengan ilmu Sin-hong Sin-kang ia menotok beberapa titik nadi Kim-tiok-kiam dari jarak dua meter. Dengan tingkatan ke-sembilan dari ilmu itu, ia mengobati luka dalam yang diderita oleh Kim- tiok-kiam. Setelah selesai membuang unsur dingin di dalam tubuh Kim-tiok-kiam, Lie Yang lalu menggores dada Kim-tiok-kiam dengan pedang. Goresan itu untuk mengeluarkan darah hitam, darah yang sudah tercemar racun. “Biarkan Kim-tiok-kiam-cianpwee istirahat. Tiga hari kemudian, beliau baru akan siuman. Menurut saran saya, sebaiknya Kim-tiok-kiam-cianpwee dibawa ke tempat yang aman. Kalau tidak keberatan, saya menawarkan rumah kami untuk tempat istirahat. Saya yakin, Sam-cianpwee baru datang dari tempat yang jauh.” Kata Lie Yang ramah setelah selesai mengobati. “Hmmm, bagaimana Kim-ciang-cu?” Tanya Giok-liong-to kepada teman lamanya itu. “Sebaiknya begitu, lagi pula kita masih harus mengejar perempuan iblis itu. Ingin aku mencincang tubuhnya itu.” “Sebaiknya, Jin-cianpwee melupakan mengejar Pek-sianli.” Lie Yang berkata lagi. “Kenapa, anak muda?” Tanya dua orang tua itu berbarengan. Mereka sudah mulai suka dengan keramahan Lie Yang. “Kalau tidak salah lihat, Pek-sianli juga mengalami luka yang tidak ringan.” “Bagaimana mungkin? Sedangkan di pedang saudara Kim-tiok-kiam sendiri tidak terlihat noda darahnya sedikit pun?” Tanya Giok-liong-to. “Di pedang itu memang tidak akan ditemukan noda darah sedikit pun. Karena yang melukai tubuh Pek-sianli adalah hawa pedang itu. Hawa pedang dari ilmu yang dimainkan oleh Kim-tiok-kiam- cianpwee itu lebih tajam dari pedang aslinya. Hakkatnya, bukan pedangnya yang berbahaya, tapi hawa pedang itu sendiri. Nyawa pedang itulah yang melukai Pek-sianli.” Dua orang tua itu saling menoleh. Mereka tidak menyangka bahwa ada anak muda yang dapat menguraikan rahasia pedang sedetail itu. “Siapa sebenarnya engkau anak muda? Kelihatannya ilmu silatmu tidak rendah?” Tanya Giok-liong-to kagum. “Sungguh memalukan ilmu silat saya, cianpwee. Sebaiknya kita cepat-cepat bawa Kim-tiok-kiam- cianpwee ke rumah kami. Lukanya akan semakin parah kalau terkena hawa dingin lagi.”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 86 dari 114
Diingatkan begitu, dua orang tua itu langsung bergerak. Dua orang itu paham bahwa Lie Yang dengan kata-katanya itu juga sedang menghindar. Semakin Lie Yang menghindari pertanyaan-pertanyaan mereka, dua orang tua itu semakin yakin akan kemampuan Lie Yang. Akhirnya, mereka tidak bertanya-tanya lagi hingga sampai di rumah Lie Yang. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Kisah terpendam (2) Pagi itu, udara mengalir begitu sejuk. Sepertinya, kerusuhan sore kemarin tidak membuat kondisi rumah Lie Yang dan sekitarnya menjadi seram. Banyak para penduduk yang melewati rumah Lie Yang tanpa rasa takut. Di depan rumah Lie Yang pagi-pagi sekali, terdengar suara gerakan orang bersilat. Sudah hampir seminggu ini, hampir setiap pagi dan malam hari, tiga perempuan muda itu berlatih keras. Diajar langsung oleh Lie Yang dan istrinya. Kali ini, mereka berlatih ilmu pedang. Di depan tiga pelayan perempuan itu, ikut berlatih juga istri Lie Yang. Gerakan mereka sangat lembut, hampir-hampir bisa disebut menari. Gerakan ilmu silat itu didesain sesuai dengan keindahan dan kelembutan perempuan. Namun, di dalam keindahan dan kelembutan itu menyimpan ketajaman, kekerasan, dan kekuatan sebuah pedang. Di dalam rumah Lie Yang, Giok-liong-to, Kim-ciang-cu dan tiga pendekar muda; Kho Sa, Kwee Kong dan Kim Yun Tai terbengong-bengong melihat gerakan empat bidadari yang sedang menari-nari di pelataran rumah itu. “Ilmu pedang apa yang sedang dimainkan mereka itu, sungguh indah! Selama hidupku ini, baru kali ini aku melihat gerakan seindah itu.” Ujar Giok-liong-to setengah sadar. “Ya, juga bagiku, ini pertama kalinya, aku melihat gerakan begitu feminim!” Sahut Kim-ciang-cu sambil manggut-manggut. Tiga pendekar muda yang terbengong-bengong ikut menyahut dengan senyuman mereka. Apalagi Kim Yun Tai, hingga dua matanya tidak berkedip sekalipun. “Alangkah indahnya gerakan Shi Lan Moi-moi!” Dua matanya berbinar-binar. “Sejak kapan engkau memanggilnya dengan sebutan moi-moi?” Tanya Kho Sa sembari melirik adik seperguruannya itu. “Mulai sekarang!” “Kamu hanya berani di sini. Aku ingin mencoba, apakah engkau berani memanggilnya di depan hidungnya.” Kho Sa menantang. Kim Yun Tai diam membeku. Memang benar. Ia hanya berani karena jauh. “Paling-paling engkau akan berganti menyebutnya menjadi ‘nona’, bukan ‘moi-moi’!” Kho Sa tertawa tergelak. “Saudara kecil, Yun Tai, engkau tidak akan pernah mendapatkan hati seorang perempuan tanpa keberanian. Seperti pertarungan, perlu tekad yang membaja dan keberanian, baru engkau memenagkan pertarungan itu!” Tiba-tiba Kim-ciang-cu ikut berkomentar. “Betul itu, cianpwe!” Kho Sa bertepuk girang. “Pertempuran dengan percintaan ada sedikit perbedaan. Engkau memerlukan pengorbanan juga. Engkau berani itulah pengorbananmu, karena dengan memaksakan kepada memberanikan diri, engkau telah melepaskan baju kegoanmu.” Giok-liong-to menambahi. Semuanya diam. Merenungi perkataan itu. “Baik. Aku akan mencobanya!” Tiba-tiba Yun Tai berkata. Membuat semuanya tersentak. Ia juga mulai melangkah keluar. Entah apa yang ingin dilakukan oleh pendekar yang kadang-kadang angin-anginan itu. <><><><><>()<><><><><> “Giok-kongcu, selamat pagi, bolehkah aku ikut berlatih ilmu pedang???” Lie Yang menghentikan hitungan perintahnya. “Selamat pagi, Yun-te! Kalau kamu mau, coba perlihatkan ilmu pedang yang telah engkau pelajari.” “Shi Lan, boleh engkau mencoba-coba ilmu pedang Yun-te!” Perintah Lie Yang kepada Shi Lan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 87 dari 114
“Aku, kongcu???” Tanya Shi Lan sambil menunjuk hidungnya. Ia tak menyangka kalau dirinya yang akan ditunjuk. Lie Yang menganggukkan kepalanya dengan pasti. “Aku kira, engkau akan cocok jika ber-pibu dengan Yun-te. Bukankah begitu, Yun-te?” Lie Yang melirik Yun Tai yang sedang menenangkan hatinya. “Gila, apa dia sudah tahu maksudku?” Bertanya-tanya hati Yun Tai. Tiba-tiba ia ingat cerita Kho Sa tadi malam. Kho Sa pernah berkata, kalau Lie Yang bukan tipe manusia seperi umumnya. “... dia mungkin bisa membaca pikiran orang. Segala gerak hati makhluk di sampingnya tidak akan luput dari penglihatan dan pendengaran mata hatinya. Makanya, jangan pernah meremehkan ketua kita yang masih muda itu, ...” Shi Lan langsung meloncat dengan ringan di depan Yun Tai. Sambil menjura, ia menebarkan senyuman. “Yun-ko, mari!!!” Yun Tai kebingungan, karena ia sendiri tidak membawa pedang. Sedangkan, di tangan Shi Lan sudah tergenggam pedang yang mengkilat-kilat. Yun Tai merasa ragu. Sungguh sial, akhirnya ia sendiri yang terkena batunya. Lie Yang merasakan getaran keragu-raguan Yun Tai. Sambil mendesah dan melangkah beberapa langkah ke samping, dua tangannya disodorkan ke depan. Tenaga dalam tak nampak meluncur ke depan. Di samping tembok sebelah utara, di tumpukan kayu yang sudah tidak hijau lagi itu, meluncur begitu saja dua potong ke arahnya. Sepertinya, ada kekuatan seperti magnet yang dapat menarik potongan kayu dengan panjang setengah meter itu. Kayu bambu yang hanya sebesar pergelangan tangan itu melayang-layang di depan Lie Yang. Tak terbendung, hati Yun Tai terkesiap dengan kejutan tak terduga itu. “Ilmu apakah itu?” Hati Yun Tai bertanya-tanya. “Suatu saat nanti, engkau akan mampu melakukannya, Yun-te,” Lie Yang menyahut. Seakan-akan ia menjawab teka-teki di hati Yun Tai begitu saja. “Kalian gunakan kayu ini dulu.” Yun Tai tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Sekali loncat, kayu di depan Lie Yang itu sudah berada di tangan kanannya. Begitu pun Shi Lan. Ia tak mau kalah dengan peringan tubuh Yun Tai. Yun Tai dan Shi Lan sudah saling berhadapan. Dua mata sipit Yun Tai menyorot tangan kanan Shi Lan yang sedang memegang kayu. Kayu itu tadak ditarik lurus ke depan seperti para pemain pedang pada umumnya. Melainkan lurus ke bawah, seperti memegang golok. Di awal saja, Yun Tai sudah kebingungan menebak arah mana ujung pedang itu akan melesat. “Lihat pedang, Yun-ko!” Tiba-tiba Shi Lan berteriak kencang. Gerakannya tak terduga. Terlalu cepat untuk sebuah permulaan. Yun Tai yang sedang menerka-nerka itu, akhirnya tidak mampu membendung serangan pertama yang mengagetkan itu. Ia hanya mampu menangkis semampunya. Gerakan badannya yang menghindar seadanya itu pun tidak mampu menghindari ujung kayu milik Shi Lan. Ujung kayu itu memang tertangkis, akan tetapi tetap dapat menyentuh pundak Yun Tai. Yun Tai tidak mau dipermalukan untuk kedua kalinya. Ia hanya terbengong sebentar saja. Sesudah dapat menguasai diri dan perasaannya. Walaupun tidak seratus persen. Ia mulai melancarkan serangan balikan. Gencaran demi gencaran, jurus pilihan langsung dikeluarkan. Ia mampu menduga bahwa ilmu pednag Shi Lan tidak cetek. Dengan permulaan yang tak terduga-duga seperti tadi, ia bisa merasakan kemampuan khusus Shi Lan. Begitu pun Shi Lan. Ia tahu, bagaimana hebatnya pemuda yang dihadapinya itu, walaupun cuma main-main saja. Ia tidak mau membuat pelatih mudanya itu malu. Pengalaman tempur sudah sering didapatinya, walaupun itu cuma latihan. Ia menjadi begitu bersemangat ketika melihat kelincahan Yun Tai. Gaya khas ilmu peringan tubuhnya yang didapatkan dari Lie Yang digunakan dengan sedemikian hebatnya. Nafasnya juga diatur. Perasannya disatukan dengan pednagnya. “Pedang dan perasaan harus bersatu. Tanpa menyatukan dua hal itu, kalian tidak akan dapat memainkan ilmu pedang yang hebat. Gunakan mata hati pedang untuk melihat sasaran kosong. Pedang akan bergerak lincah, jika hati kalian terbebas dari nafsu ingin mengalahkan lawan. Yang terpenting, hilangkan nafsu ingin mengalahkan lawan, apalagi membunuh lawan. Ikuti nafas dan desah pedang itu sendiri. Maka, ruh pedang itu akan keluar begitu saja. Tangan, hati dan pedang akan menyatu menjadi gerakan tanpa batas.”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 88 dari 114
Shi Lan ingat pesan Lie Yang hari kemarin. Dan benar saja, ketika ia menggerakkan pedangnya dengan melepaskan beban pikiran, ia menjadi begitu lancar mengeluarkan jurus-jurusnya. Bahkan ia tak perlu mengingat jurus apa yang akan dikeluarkannya. Jurus itu mengalir. Sepertinya, ruh pedang telah muncul dan menuntunnya dengan begitu mudah. Kali ini Yun Tai yang mengalami kepayahan, walaupun tak bisa dikatakan kalah. Belum pernah selama ini ia bertempur melawan ilmu pedang seperti yang dimainkan Shi Lan. Ilmu pedang itu gerakannya begitu cepat, bertenaga dan tidak melepaskan faktor keindahannya. Shi Lan seperti main akrobat. Setiap serangan, selalu saja Shi Lan mampu menggagalkan, sepertinya kayu yang dipegangnya itu mempunya mata juga. Serangan Shi Lan selalu berbobot dan tak terduga-duga. Setiap serangannya bisa berubah menjadi puluhan serangan, bahkan mungkin ratusan kembangan jurus berbalik. Dan memang serangan Shi Lan selalu berubah-ubah. Beberapa kali, Yun Tai harus mundur untuk menghindari serangan Shi Lan yang begitu hebat. “Terpaksa aku harus menggunakan Liong-bwee-kiamsut (Ilmu Pedang Ekor Naga)!” Baru ia selesai berpikir. Dua kakinya dihentakkan. Ia meloncat, bukan ke depan, melainkan ke belakang. Shi Lan memburu dengan sangat bernafsu. Peluh di dahinya terlihat berkilauan. Seperti dua matanya yang tak pernah terpejam, berkilauan seperti mata elang yang sedang mengintai mangsanya. Hanya sedikit sekali Yun Tai mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan Lwekang. Dua tangannya dibentangkan seperti sayap rajawali. Kayu yang berada di tangan kanannya bergetar. Sambil berteriak nyaring, ia memapaki serangan Shi Lan. Delapan puluh persen tenaganya sudah dikeluarkan. Sudah puluhan jurus ia keluarkan. Kali ini ia mengeluarkan ilmu simpanannya. Lie Yang tersenyum melihat perubahan Yun Tai. Istrinya Kwat Lan yang sudah ada di sampingnya ikut senang dengan perubahan itu. Giok-liong-to, Kim-ciang-cu dan dua saudara perguruannya pun sudah berada di luar lingkaran pibu. Mereka tampak serius melihat perkembangan itu. Gerakan Yun Tai menjadi bertambah cepat, walaupun masih kalah cepat gerakan Shi Lan. Tenaga dalamnya pun sudah seimbang. “Pwaaakkkk!!!” Dua kayu saling tabrak dan bergetar. Seandainya kayu itu tidak diisi oleh lwekang mereka. Mungkin saja akan pecah berantakan. Setiap lowongan yang ada di dalam diri Shi Lan, hampir selalu bisa ditutup olehnya dengan gerakan-gerakan aneh. Hingga saat ini, Yun Tai belum bisa meraba setiap detik serangan lawan permainannya. Ia hanya dapat berkosentrasi melihat kedua pundak Shi Lan. Sambil merasakan getaran Sin-kang dan Lwekang-nya yang begitu memesona yang keluar dari dalam diri Shi Lan. Alangkah herannya Yun Tai, ketika permainan itu sudah menghabiskan ratusan jurus, namun Shi Lan tidak menunjukkan rasa lelahnya. Pernapasannya masih teratur, hanya keringat di dahi dan bajunya saja yang terlihat seperti kehujanan. Ia sendiri sudah mulai lemah. Ilmu Liong-bwee-kiamsut terlalu berat untuknya. Hakikatnya, ia belum menguasai betul ilmu pedang itu. Walaupun, sudah hampir lima tahun ia melatihnya. Padahal ilmunya ini cukup hebat, namun belum mampu mengalahkan ilmu Shi Lan yang tampak sederhana itu. Konon, ilmu pedang itu hanya diturunkan kepada pangcu Kim-liong-pay dan para penasehat Kim- liong-pay saja. Tak pernah ilmu ini dipakai oleh orang lain. Seperti halnya ilmu Sin-hong Sin-kang, ilmu khusus ketua Kim-liong-pay turun-temurun. “Yaaaaa...” Tiba-tiba Shi Lan berteriak geregetan. Sejak dari tadi, ia belum pula sanggup mengalahkan Yun Tai. Semangatnya bertambah berkobar-kobar. Nafsu ingin mengalahkan sampai mau meledak lewat kepalanya. Rasanya ia ingin mengalahkan Yun Tai secepatnya, agar tidak memalukan pengajarnya. Ia ingin memberikan penghargaan kemenangan kepada Lie Yang. Dan inilah yang malah membuat gerakannya agak kacau. Lie Yang melihat perubahan itu. Kepalanya bergerak seperti kecewa, walaupun tidak kecewa. Ia hanya merasa penasaran, bagaimana mungkin Shi Lan lupa dengan pesannya yang dikatakannya berkali-kali setiap berlatih itu. “Lan-moi memang keras kepala, perasaan Yang-ko sudah bilang berkali-kali untuk berkosentrasi. Sungguh keras kepala!” Kwat Lin berucap begitu saja. Sepertinya ia bisa membaca gerakan kepala suaminya itu. “Ambisinya untuk menang itulah yang membuatnya lemah. Engkau harus mengingatkan kesalahannya itu. Apalagi, ini adalah pibu dimana bukan tempat untuk menang dan kalah. Akan tetapi
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 89 dari 114
gimana saling memberi pengalaman baru antara satu sama lainnya.” Lie Yang menyahut ucapan istrinya tanpa menoleh. “Lebih baik Yang-ko menyuruh mereka untuk mengakhiri permainan ini. Sebelum keras kepala Lan- moi beranak pinak. Aku tahu betul wataknya yang tidak mau mengalah itu. Sangat berbahaya terhadap saudara Yun.” Lie Yang menganggukkan kepalanya sangat pelan. Sepertinya ia sepakat dengan istrinya. “Aku kira keras kepalanya tidak sekeras apa yang engkau miliki. Engkau lebih memusingkan dan susah diatur malahan.” Lie Yang tersenyum lebar. “Aihh, memang benar aku keras kepala. Tapi, setidaknya aku masih mempunyai prinsip tidak akan pernah melawanmu, walaupun bagaimana pun kondisinya. Aku akan hanya dapat tunduk tenggelam dalam suaramu.” “Hahahah... Memang benar pepatah mengatakan; Jika seorang pria dapat menguasai emosi seorang wanita, maka wanita tersebut akan melakukan apa saja demi pria itu.” “Sungguh betul ucapan itu!” Kata Kwat Lin sambil menoleh ke arah suaminya. Lie Yang akhirnya menoleh juga. Hanya sebentar saja. Sejak tadi ia mencari peluang untuk menghentikan dua pendekar muda yang sedang ber-pibu itu. Kali ini peluang itu datang. Tampaknya mereka sudah merasa kelelahan. Setelah saling bentrok dengan sangat ketat. Akhirnya mereka saling menjauh untuk mengisi paruh-paruh mereka dengan udara baru. “Hentikan pertarungan kalian!” Lie Yang menjatuhkan perintah. Dua pendekar muda itu menoleh dan menganggukkan kepala. Walaupun sesungguhnya Shi Lan belum begitu puas. Akhirnya ia menurut juga. “Bagaimana menurut Oiy-cianpwe dan Han-cianpwe dengan permainan ini?”
Bab Sesudah: Kisah Terpendam (3)
"Omongan kentut!” Tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah. Semua orang berpaling untuk melihat siapa yang bicara itu. Wajah setengah tua Kim-tiok-kiam Tay Hiap tampak begitu pucat. Sambil menahan sakit ia berjalan tertatih-tatih. Semua orang tampak terkejut. “Dasar! Apa kamu ingin cepat mati? Mana boleh orang berpenyakitan sepertimu seenaknya keluar kamar? Hah, apa kamu ingin kami menjadi pecundang dengan kekerasan kepalamu itu?” Oiy-cianpwe berteriak kecang melihat kenekatan teman karibnya itu. “Kalau aku sudah ditakdirkan mati, mungkin sudah sejak dulu aku sudah mati. Berkali-kali kesempatan itu datang menagih kematianku. Tapi, jiwa ini milikku sendiri, tak akan ada yang bisa mengambilnya kecuali aku merelakannya,” Kim-tiok-kiam Tay Hiap berkata sambil memukul dadanya pelan. Segera batuk memaksanya untuk diam. Karena batuk, hampir saja ia terjatuh. Namun untung, Oiy-cianpwe segera memapanya. “Sebenarnya apa sih yang engkau inginkan? Bukankah lebih baik engkau beristirahat. Lukamu masih belum sembuh betul. Apa engkau tidak mau membalas dendam?” “Hawa ilmu pedang yang dimainkan oleh dua anak muda itu lah yang membuatku bangun. Hawa itu sungguh memikatku!” Jawabnya disela-sela batuknya yang semakin keras. “Gila kau!” Kata Oiy-cianpwe. “Apa benar engkau dapat merasakannya?” “Pasti!” Wajah itu semakin pucat. Di pojok bibirnya menetes darah segar. Sambil menahan batuk yang seketika datang. Dua matanya mnyorot seperti elang. Raut wajah yang pucat pasi itu, hanya dua matanya yang terlihat seperti nyala api. Dua mata itulah yang paling ditakuti orang. Apalagi kalau sudah berubah merah membara. Dua mata itu pernah membakar hangus semangat pendekar- pendekar ternama puluhan tahun yang lalu. Kali ini dua mata itu hamper mmercikan api. Ketika melihat Shi Lan dan Yun Tai. Dan dua mata itu tiba-tiba berbelok. Seperti ada kekuatan rahasia yang menariknya. Tatapannya sampai pada wajah teduh Lie Yang dan berpindah pada wajah cantik Kwat Lin. Lalu berpindah lagi ke orang-orang di depannya. Setiap orang dilihatnya tanpa luput.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 90 dari 114
“Siapa sebenarnya kalian? Apa mau kalian?” Kata-kata itu tiba-tiba terlontar keluar dari mulutnya begitu saja. “Saudara, Kim-tiok-kiam, mereka, anak-anak muda, yang telah menyelamatkanmu.” Han-cianpwe membuka mulut. Ia melangkah dan menepuk pundak Kim-tiok-kiam Tay Hiap. Layaknya saudara sangat dekat. “Mereka? Yya, benar, dia,” Matanya terbuka lebih lebar. Lalu melemah kembali setelah tatapan matanya membentur dua mata Lie Yang. Entah kenapa degupan jantungnya semakin kencang. Ia tak mengerti. Wibawa pemuda tak dikenalnya itu begitu kuat menguasainya. “Shi Lan, tolong berikan pil ini kepada Kim-tiok-kiam Tay Hiap! Setidaknya ini akan membantu mempercepat penyembuhannya.” Lie Yang memerintah kepada Shi Lan yang diam. Ia mengambil pil berwarna kuning emas itu dari tangan Lie Lang. Hanya sebentar saja ia melihat pil sebesar isi kacang tanah itu. “Obat apakah ini, Yang Tay Hiap?” Tanya Han-cianpwe ketika menerima pil itu. Baginya menanyakan obat apakah yang akan diberikan kepada saudara lamanya itu penting. Ia tak ingin memberikan racun kepada saudaranya. Menambah penyakit di dalam tubuh saudaranya. “Pernakah Han-cianpwe mendengar Pil Naga Emas?” Lie Yang bertanya balik. “Pil Naga Emas?” Alis mata sebelah kiri Han-cianpwe terangkat. Nadanya mempertanyakan. Ia tidak tahu. Atau mungkin sudah lupa. “Konon, ratusan tahun yang lalu. Di sekitar gunung Thai-san tersiar sebuah dongeng. Konon, ada seorang manusia setengah dewa pernah membuat obat mujarab dari darah seekor naga yang didewakan. Darah suci naga itu didapatkannya dari pertarungannya selama berbulan-bulan lamanya. Obat dari darah naga itu dibuat menjadi tiga bentuk pil. Pil berwarna merah, konon menurut cerita, siapa yang bisa meminum pil ini tidak akan pernah mengalami ketuaan. Wajah akan tetap segar walaupun sudah berumur ratusan tahun. Pil berwarna putih, untuk menambah lwekang dan sinking. Siapa yang dapat meminum pil ini, akan dilipat-gandakan tenaga dalamnya. Dia akan mampu mendapatkan kekuatan ratusan tahun dari kekuatan naga. Lalu terakhir, pil berwarna kuning. Pil ini untuk mengobati segala penyakit dan racun. Pil berwarna kuning keemasan ini juga dapat menambah tenaga seseorang,” Oiy-cianpwe berhenti bercerita. Ceritanya sunggu singkat. Sambil menghirup udara. Ia melirik Lie Yang yang sedang tersenyum. Kwat Lin yang ada di sampingnya itu melihat ikut melihat suaminya. Mereka saling pandang sebentar. Sambil mengangkat mukanya ke langit. Oiy-cianpwe mendesah sekali dan melihat setiap orang. Satu persatu. Hati setiap orang yang dipandanginya berdebar keras. Sepertinya mereka sudah mampu menebak arah pembicaraan Oiy-cianpwe yang selalu blak-blakan. “Bukankah itu pil naga seperti yang diceritakan dongeng itu?” Tebakan setiap orang benar. Akhirnya Oiy-cianpwe akan bertanya ke Lie Yang. “Hahahah… Dongeng itu pernah kudengar juga. Mungkin saja benar. Pil itu mungkin saja buatan dari darah naga suci di lereng gunung Thai-san.” Lie Yang menjawab sambil bergurau. Namun nada bicaranya terdenagr begitu serius di telinga setiap pendengarnya. “Kalau Kim-tiok-kiam Tay Hiap meminumnya. Nanti sore, aku jamin akan segera sembuh. Bahkan tenaga dalamnya akan segera kembali seratus persen dalam seminggu.” “Baiklah. Aku akan meminumnya. Bawa kemari pil emas itu!” Kim-tiok-kiam Tay Hiap menepis semua keraguan yanga da di dalam dirinya. Oiy-cianpwe agak ragu memberikannya kepada saudaranya itu. “Cepet!” Teriaknya memaksa. Setelah menelan pil berwarna kuning keemas-emasan itu. Kim-tiok-kiam Tay Hiap duduk sambil bermeditasi. Beberapa saat kemudian, dari atas kepalanya menguap uap berwarna kuning. Uapnya semakin tebal. Hampir semua orang yang melihatnya melotot tidak percaya. Wajah Kim-tiok-kiam Tay Hiap selalu berubah-ubah. Warna hitam, merah, kuning, cokelat, dan merah lagi telah dilaluinya. Saat ini wajahnya sudah tidak berwarna. Dan berubah lagi menjadi merah muda. “Terima kasih anak muda atas pertolonganmu. Pil ini sungguh mujarab. Lihat, batukku sudah hilang. Dan aku merasa lebih segar,” Ucap Kim-tiok-kiam Tay Hiap setelah berdiri. “Alangkah baiknya jika Kim-tiok-kiam Tay Hiap beristirahat dengan bermeditasi. Biar nanti para pelayan memasakkan sup gingseng untuk memperkuat daya tahan tubuh.” Ucap Lie Yang sambil
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 91 dari 114
mempersilahkan semuanya masuk rumah. Namun Kim-tiok-kiam Tay Hiap tetap bergeming di tempatnya. Ia diam, sedang tatapan matanya berpindah dari Lie Yang ke Shi Lan. “Siapa namamu?” Tanyanya tiba-tiba. Sepertinya ia tidak merespon ucapan Lie Yang. “Apa kamu tuli?” Teriaknya, berang. Shi Lan masih diam. Sejak tadi ia diam. Ada banyak hal yang sedang dipikirkannya. Khususnya ketakutannya melihat mata merah Kim-tiok-kiam Tay Hiap, walaupun saat ini tidak semerah tadi. Menurutnya, orang did epannya tidak pantas dipanggil Tay Hiap (Pendekar Sejati). Lebih tepat dipanggil iblis. Atau gelandnagan. Mukanya yang sangar. Badannya yang tinggi besar. Belum lagi dua matanya yang merah seperti api. Sungguh menakutkan. Belum lagi nada bicaranya yang selalu keras. “Tecu Shi Lan,” Jawabnya hamper jatuh pingsan. “Hmmm, dan kamu anak muda?” Tanyanya lagi. Kali ini pertanyaan itu ditujukan kepada Yun Tai. “Tecu Kim Yun Tai,” Yun Tai mengangkat kedua tangannya di depan dadanya. “Dan kalian?” Ia menunjuk Kho Sa dan Kwee Kong yang tak membuka mulutnya sejak tadi. Mereka memang sepakat berdiam. Mereka tidak akan berani sembarangan berbicara di depan Lie Yang. Kecuali dengan izinnya. “Tecu Kho Sa dan ini adik seperguruan tecu Kwee Kong.” Jawab Kho Sa sekalian mewakili adiknya memperkenalkan diri. “Melihat logat dan wajahmu, kamu bukan orang Han (China). Orang mana dan siapa gurumu?” Tanya Kim-tiok-kiam Tay Hiap sekali lagi. Kho Sa melirik Lie Yang. Lirikannya meminta persetujuan kepada Lie Yang. Lie Yang bisa membaca lirikan itu dan segera ia menganggukkan kepala. “Penglihatan Kim-tiok-kiam Tay Hiap sungguh awas! Salut. Tecu memang bukan orang Han, tapi orang Persia. Tecu dibimbing oleh Jit Fu-hoat Kim-liong- pay.” “Ohhh, sebab itukah engkau kemarin memakai topeng naga?” Kim-tiok-kiam Tay Hiap masih mengejar dengan ekor pertanyaan. Gak akan berhenti samapi pertanyaan-pertanyaan di otaknya habis. “Ya,” Jawab Kho Sa singkat. “Sekarang giliranmu anak muda? Aku tahu engkau tidak memerlukan ucapan terima kasihku. Namun, perlu engkau ketahui. Kim-tiok-kiam selama hidup belum pernah mengucapkan kata ‘terima kasih’ kepada orang banyak. Seingatku hanya dua kali aku pernah mengucapkannya. Kedua kalinya kepadamu. Dan tidak sembarang orang kukasih ucapan itu. Aku tahu, banyak hal yang misterius di rumah ini, khususnya dari dalam dirimu. Aku ingin tahu banyak tentangmu. Kamu harus menceritakannya semuanya kepadaku. Kalau tidak, aku akan mengambil ucapan terima kasihku itu beserta nyawamu.” Sungguh keren ucapannya itu. Tidak tanggung-tanggung. Selalu blak-blakan. Itulah cirri khas Kim- tiok-kiam Tay Hiap. Keras kepala dan mau seenaknya sendiri. Mau bunuh orang tak perlu alasan. Mau menolong orang tidak perlu mengungkit budi. Itulah dia. Lie Yang tetap tenang, walaupun semua orang merasakan hamper lenyap nyalinya. Bahkan Lie Yang masih tetap tersenyum. “Tidak ada yang khusus dariku, Kim-tiok-kiam Tay Hiap. Biasanya aku dipanggil Yang Kongcu oleh penduduk sini. Kim-tiok-kiam Tay Hiap boleh memanggilnya seperti itu.” “Apa mungkin orang biasa tanpa latar belakang yang agung bisa mempunyai pil naga? Kalau tidak salah dugaanku, pasti engkau memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Lebih tinggi dari apa yang bisa dikumpulkan dari anak-anak muda seusiamu yang ada di sini ini. Tidak sembarangan orang mempunyai ketenangan sepertimu.” “Kim-tiok-kiam Tay Hiap terlalu menyanjung dan menilaiku terlalu tinggi.”
Bab Sesudah: Kisah Terpendam! (4)
“Ini bukan sanjungan. Setidaknya ada empat perkara yang masih membingungkan. Engkau harus menjelaskannya kepadaku. Kalau tidak, sungguh demi iblis, aku akan menyobek mulutmu!” Tangan kanannnya sudah menggenggam erat pedangnya. Ini bukan sekedar ancaman, atau marahan, makian atau hardikan untuk kelinci. Ini ucapan dari kekerasan dan keingintahuan orang tua.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 92 dari 114
“Kalau memang Kim-tiok-kiam Tay Hiap ingin jawaban yang pasti. Apa boleh buat. Kita bisa membicarakannya berdua saja. Biarkan yang lainnya istirahat. Khusunya untuk istriku yang sedang mengandung.” Lie Yang melirik ke arah istrinya. Sambil melirik, ia mengirim suara dengan ilmu pengirim suara khasnya. “Kau ajak Shi Lan dan lainnya masuk. Buatkan amsakan yang enak untuk kami.” Hanya dengan anggukan kepala saja. Kwat Lin mengajak tiga wanita yang selalu membantunya itu masuk. Sedangkan, Kho Sa juga diperintahkan untuk masuk. Perintah-perintah hanya dengan sorotan mata ini tidak luput dari pengamatan Kim-tiok-kiam Tay Hiap. Hatinya diguncang rasa penasaran. Ia juga akhirnya menyuruh dua saudara akrabnya untuk masuk. Beberapa saat saja, mereka sudah menghilang dari hadapan Lie Yang dan Kim-tiok-kiam Tay Hiap. “Apa penjelasanmu tentang ini, anak muda?” Kim-tiok-kiam Tay Hiap membuka pembicaraan empat mata. “Penjelasan apa lagi, Tay Hiap? Bukankah Tay Hiap belum mengajukan empat pertanyaan itu,” “Kalau begitu aku tambah satu lagi pertanyaannya, menjadi lima.” Potongnya dengan wajah tetap datar dan angker. “Hahaha, kenapa tidak sekalian pertanyaan-pertanyaan itu disimpan dan dilengkapkan menjadi seratus pertanyaan atau seribu?” Baru saat ini, Lie Yang ingin tertawa. Selama berminggu-minggu setelah keluar dari gua di bawa lereng gunung Shaolin. Begitu lucu orang tua yang dihadapinya saat ini. Ia tahu betapa keras watak orang tua yang ada di sampingnya itu. Berbuat semauanya sendiri. Pantas kalau banyak orang menanam ketakutan untuk orang tua yang sedang sakit ini. “Engkau terlalu menghinaku, ank muda. Aku memang pernah engkau selamatkan. Namun, aku tak pernah paham istilah balas budi. Tak ada kamus istilah untuk itu.” “Itu sudah kuketahui sejak awal, dan aku pun tahu kalau Tay Hiap hanya mengenal balas dendam. Balas dendam dan watak keras kepala itu hakikatnya hanyalah topeng. Topeng dari kekecewaan dan kesedihan yang pernah sampai pada hati Tay Hiap. Dan malahan, dua sifat itulah yang menyebabkan Tay Hiap tak pernah mampu menguasai jiwa pedang yang Tay Hiap pegang saat ini. Ilmu yang Tay Hiap pelajari puluhan tahun pun, tak pernah membuahkan hasil sampai tahap kesempurnaan. Jalan yang Tay Hiap tempuh salah.” “Bajingan! Engkau mengataiku salah jalan? Berani engkau mengutukiku seperti itu, apakah engkau tahu siapa aku? Aku yakin, semua pendekar akan lari terkencing-kencing mendenagr namaku,” “Ya, siapa yang tidak tahu dengan Kim-tiok-kiam Tay Hiap. Seorang yang dulunya selalu membela kebenaran, namun menyeleweng menjadi pembantai ratusan pendekar lantaran seorang wanita. Aku tahu betul siapa Tay Hiap. Bahkan seandainya aku disuruh menyebutkan siapa leluhur Tay Hiap, aku pasti mampu menyebutkannya.” Kim-tiok-kiam Tay Hiap melengak mendengar uraian sederhana Lie Yang. Dua matanya membara. Otaknya hampir meledak berhamburan. “Lau Cu Kang, murid ke dua dari Sabzavar, leluhur keluarga Giok. Lau Cu Kang menetap bersama dengan istrinya Giok Mei Lan yang bukan lain adalah puteri dari Kaisar Ilmu Silat itu di Tibet. Di sana ia menjadi raja-diraja ilmu silat. Mengembangkannya menjadi ratusan variasi. Dari perguruan kecil dan keras itu, muncullah pendekar-pendekar seperti Lau Kiang lee, Lau Sam Poe, dan Lau Ren See. Lalu ilmu-ilmu silat, kegagahan dan kejujuran mereka hanya bisa bersembunyi ketakutan di dalam diri Tay Hiap. Sungguh akan merana, cianpwe Lau Ren See di alam baka itu kalau melihat keganasan dan kekerasan hati Tay Hiap.” Berkeping-keping sudah hati Kim-tiok-kiam. Rahasia yang disembunyikannya telah terbongkar. Lie Yang hampir menelanjanginya. Ini baru awal penelanjangan sebuah riwayat kelam. Keluarga sendiri Lie Yang masih berhubungan dekat dengan keluarga Lau, ini rahasia. “Dari mana engkau tahu semua itu, anak muda?” Kim-tiok-kiam Tay Hiap tiba-tiba meraung setelah terdiam membisu. “Apakah ini salah satu dari lima pertanyaan itu?” “Anggap saja begitu?!” Ucapnya datar. Wajahnya benar-benar membara. “Lo-cianpwe Lau Sam Poe yang menceritakan semuanya. Bahkan beliau mengajariku beberapa ilmu silat. Sudah bertahun-tahun orang tua suci itu mencarimu, Tay Hiap. “Tak mungkin! Ini gila.” Serocohnya memungkiri perkataan Lie Yang. “Engkau jangan mengada- ngada, anak muda. Kakekku sudah meninggal sejak lama. Bahkan kuburannya masih ada di Tibet sana, bersanding dengan kuburan kedua orang tuaku.” http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 93 dari 114 “Terserah, Tay Hiap mau percaya apa tidak. Kuburan di Tibet itu hanya semacam simbol saja,” “Simbol? Sudah. Jangan teruskan igauanmu itu. Sumpah, seandainya engkau tak pernah menyelamatkanku. Aku pasti telah membunuhmu. Sekali lagi engkau menghinaku, aku akan cabut nyawamu. Sekarang, sebaiknya engkau jawab pertanyaanku yang lainnya,” “Kenyataan Tay Hiap sombong sungguh benar. Padahal aku sendiri ingin menceritakan cerita yang tak pernah keluarga Tay Hiap dengar, bahkan siapa un tak pernah mendengarnya. Kenyataan Lo- cianpwe masih hidup itu nyata. Sekarang beliau sedang menyucikan diri di Istana Tanpa Bayangan. Pernakah Tay Hiap mendengar tempat itu?” Lie Yang masih tetap berkata. Menyebut Bu Eng Hu adalah salah satu taktik jitu untuk membangkitkan minat raja pedang itu. Wajah laki-laki itu berubah secara tiba-tiba. Berkali-kali Kim- tiok-kiam merasakan hatinya bergetar oleh Lie Yang. Kali ini ia tak mampu lagi menahan emosinya untuk diam mendengarkan kelanjutan cerita Lie Yang. Ia diam untuk menunggu, namun Lie Yang tak juga mengeluarkan suara. Ia tetap menunggu. Namun sepertinya jiwa Lie yang telah melayang entah kemana. “Siapa yang tak pernah mendengar nama paling mengetarkan itu. Tempat itulah, konon sebagai istananya para manusia setengah dewa. Menurut dongeng yang tersiar di dunia kang-ouw, istana itu dapat membuat penghuninya panjang umur. Jadi, benarkah bahwa kakekku masih hidup, anak muda? Dan bagaimana mungkin, kakek bisa di sana, bukankah tempat itu khusus untuk anak murid Kim- liong-pay saja, sedangkan kakekku tak pernah mengikatkan dirinya pada Kim-liong-pay?” “Akhirnya Tay Hiap dapat menghapus sifat ego yang berdiam di dalam diri sendiri. Itu bagus. Setidaknya ini akan menjadi dasar kembalinya jiwa yang Tay Hiap miliki. Jiwa yang sedang takut oleh keganasan itu akan bersinar kembali. Lau Sin Ban ! Bukankah itu nama asli Lau Tay Hiap? Sejak saat ini, aku akan memanggil paman Lau kepadamu saja. Biarkan nama Kim-tiok-kiam menghilang untuk sementara, hingga muncul kembali dengan jiwa baru.” “Terserah engkau, anak muda! Engkau benar kalau aku terlalu egois, kejam, ganas dan sebenarnya seorang penjahat besar. Engkau benar kalau semua itu bermula dari seorang wanita. Aku tak pernah menolak kenyataan itu, aku mengakuinya. Selama ini, aku hanya mau berlindung dengan kekerasan dan keganasan. Semua yang engkau katakana benar. Ini hanya sebuah pelarian dan semoga bukan pelarian selamanya,” “Paman Lau, jadikan cinta itu untuk mencintai semuanya. Jangan biarkan rasa benci itu menempati sedikitpun tempatnya cinta. Kalau paman sudah mampu mencintai semuanya, pasti kekecewaan tak akan pernah menyapamu. Ini hanya pesanku untuk perjalanan paman yang masih sangat panjang,” Perkataan Lie Yang mulai melembut. Ada rasa tak enak terdengar dari nada bicaranya. “Semoga, anak muda. Aku akan coba mengingatnya. Ceritakan tentang kakekku, anak muda. Dan apakah aku bisa bertemu dengannya?” Laki-laki yang sudah dipanggil ‘paman Lau’ oleh Lie Yang itu memotong. Nadanya mengiba, memohon dengan sangat.
Bab Sesudah: Misteri Manusia Bejubah Putih (1)
“Mungkin, suatu saat nanti dia akan menemuimu, Paman Lau. Lau Lo-cianpwe hanya memberi pesan, supaya paman Lau pergi ke gua Seribu Naga yang berada di puncak Tai-shan. Di sanalah, paman Lau akan mendapatkan petunjuk selanjutnya. Waktu yang ditetapkan adalah bulan purnama yang akan datang. Lau Lo-cianpwe hanya menitipkan pesan itu saja, selain memberi nasehat kepada paman Lau melalui mulutku ini.” “Oh, baiklah kalau begitu. Bulan purnama yang akan datang, aku akan pergi ke sana. Anak muda, apa besok engkau bisa datang melihat pesta kami berempat?” “Oh, tidak tahu paman. Menurutku, sebaiknya pesta itu ditunda pada bulan purnama di awal musim dingin. Menunggu kesembuhan luka paman dan mendapatkan petunjuk Lau Lo-cianpwe.” “Tetapi, pesta pibu ini dilaksanakan setiap awal bulan di musm semi dan sudah ditunda lima tahun karena aku juga. Apakah aku akan menundanya lagi?” “Aku kira Oiy dan Han cianpwe akan memahaminya. Aku yang akan berbicara dengan mereka. Untuk Bi-san-cu dari Jeng-hwa-lim, biar paman dan Ji-cianpwe (Dua Orang Gagah) yang memberitahukannya. Apalagi, besok kami akan segera pindah.”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 94 dari 114
“Pindah? Kemana?” Tanya Lu Tay Hiap agak kaget. Setidaknya ia mulai menyukai sesuatu yang aneh dalam diri Lie Yang. Sebelum Lie Yang menjawabnya, wajahnya mendongak ke langit. Nafasnya terdengar berat. “Kim- liong San-cung (Perkampungan Naga Emas).” “Kim-liong San-cung?” “Ya, aku juga akan sekalian menjawab semua rasa penasaran paman Lau. Namun ada syaratnya? Entah paman akan dapat menepatinya apa tidak?” Lie Yang melirik ke sampingnya. Lalu menghadap ke arah pohon Persik yang ada di pojok rumahnya itu. “Katakan. Apa itu?” Akhirnya Lau Tay Hiap mengiyakan. “Jangan katakan ke siapa pun tentang masalah ini.” “Hanya itu saja? Kalau itu masalahnya, aku sanggup menjaganya.” “Hmmm…” Tiba-tiba mata Lie Yang bercahaya aneh. Ia diam tak menyahut perkataan Lau Tay Hiap untuk jangka waktu yang agak lama. “Ada apa, Lie Yang?” Tanya kemudian Lau Tay Hiap merasakan gelagat aneh. Ia sudah tidak menyebut Lie Yang dengan sebutan ‘anak muda’ seperti biasanya lagi. Menandakan bahwa ia tak meremehkan anak muda yang ada di depannya itu lagi. Dan mulai merasakan ada suatu hibungan dengan Lie Yang. Entah apa itu? Baru saja Lau Tay Hiap selesai berucap. Terdengar desingan aneh dari arah depan. Tiba-tiba saja Lie Yang membentangkan dua lengannya. Ia sedikit bergeser menghalangi tubuh Lau Tay Hiap. Dan dengan kecepatan tak terduga, ia dapat memegang beberapa potong daun sebagai penyebab desingan halus itu. Tiga potong daun di telapak tangan kanan, dua digenggaman tangan kiri dan satu daun terjepit oleh giginya. “Siapa berani macam-macam di depan hidung Kim-tiok-kiam, ha? Keluar!” Teriak Lau Tay Hiap berang. Lau Tay Hiap segera menghunuskan pedangnya. Hampir saja Lau Tay Hiap berlalu untuk mencari siapa penjahat licik yang berani membelakanginya itu. Ia berhanti ketika tanpa sengaja matanya melihat cahaya aneh memantul dari tubuh Lie Yang. Cahaya kuning senja yang sangat halus menyelimuti tubuh Lie Yang. Ketika Lau Tay Hiap mencoba melihatnya dengan teliti, baru ia dapat melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Tiga daun pohon Persik melayang-layang di depan dada Lie Yang. Keadaan Lie Yang tak berubah. Ia diam dengan memejamkan dua matanya. Lau Tay Hiap merasa penasaran, apa yang sedang dilakukan oleh anak ini. Namun, ketika ia mencoba untuk maju sedikit ke depan Lie Yang. Ia merasakan gelombang dahsyat menghantamnya. Ia terjungkal tanpa perlawanan sama sekali. “Gila! Ilmu apa ini? Sihir! Auwgh…” Teriaknya hingga tersumpal muntah darah. Mendengar teriakan itu, Lie Yang membuka matanya dan hanya sekali lirik ia sudah tahu apa yang telah terjadi terhadap Lau Tay Hiap. Lau Tay Hiap terduduk sambil tersengal-sengal antara hidup dan mati. Luka yang masih belum sembuh kembali semakin parah akibat hantaman gelombang Sin-kang aneh. “Hmmm..” Lie Yang bergumam sendiri. “Hanya Sin-hong Sin-kang tingkatan delapan yang mampu melawan lweekang dan sin-kang orang-orang ini. Ya, hanya Hui-im Hong-sinkang saja yang mampu membuat mereka melepaskan cengkeraman ini.” Ia menimbang-nimbang dengan ilmu apakah ia dapat melepaskan perisai tak terlihat itu. Ia memang mampu menahan sin-kang lawan tidak menembus badannya. Bahkan ia mampu menahan serangan senjata rahasia berupa tiga daun Persik yang siap membobol dadanya. Ini pertama kalinya ia menggunakan ilmu barunya Jit-goat Hoat-lek Sin-kang yang baru dilatihnya sampai tingkatan ke-empat. Jit-goat Hoat-lek Sin-kang dapat digunakan untuk memperisai diri dari tajamnya Sin-kang, lwekang ataupun bahkan senjata tajam. Ini adalah salah satu ilmu tertinggi para orang suci. Tak sembarang orang mampu melatihnya. Setahunya, bahkan dialah satu-satunya orang yang mampu melatihnya tanpa harus menjadi orang suci. Atau pun hidup menyepi dan memutuskan semua tali nafsu. Hidup menyuci bersama alam yang hakikatnya suci juga.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 95 dari 114
“Semoga Sang Suci Abadi mengampuniku!” Sambil berdoa, ia mulai mengeluarkan ilmu Sin-Hong Sin-kang tingkatan kedelapan. Dengan pelan-pelan mengeluarkan hawa murni, ia juga mulai menggerakkan kedua tangannya. Diarapatkan dan ditarik ke belakang. Tiga daun di depan dadanya mulai berubah menjadi cokelat dan menjadi rapuh seiring sin-kang panas dari dalam tubuh Lie Yang keluar. Bahkan tiga daun itu akhirnya hancur menjadi abu karena kepanggang sin-kang panas Lie Yang. Seper-lima tenaganya sudah dikeluarkan, hingga di jitak Lie Yang menetes keringat sebesar biji kacang kedelai. Hanya dengan sekali hentakan, ia melemparkan tenaga dalam sekaligus hawa saktinya itu. Di ujung sana terdengar teriakan menyayat hati. Hingga Kho Sa yang mempunyai pendengaran paling tajam keluar dari dalam rumah. Ia berhenti di depan pintu, ketika Lie Yang dengan pelan-pelan menghirup udara segar. Setelah Kho Sa keluar, dua adik seperguruannya; Kwee Kong dan Kim Yun Tai juga keluar. Bahkan Kwat Lin, istri Lie Yang dan tiga pembantunya pun ikut keluar. “Bangsat, kuseset kulit kalian!” Kim Yun Tai tiba-tiba berteriak kencang. Pedang di tangannya sudah setenga dicabut dari sarungnya. Hampir ia ikut menempur lima orang berpakaian putih dengan topeng Tawon Merah. Dua diantaranya sudah mati karena kalah adu tenaga. Tiga diantaranya masih berdiri dengan pakaian tersumabr darah. Kho Sa menahan adik seperguruannya itu untuk menambah masalah.
Bab Sesudah: Misteri Manusia Bejubah Putih (2)
“Biarkan Pangcu sendiri yang membereskannya. Sebaiknya kita membantu Kim-tiok-kiam Tay Hiap yang sedang terluka itu.” Sambil menahan marah, Kim Yun Tai pun mengikuti kakak seperguruannya membantu Lau Tay Hiap yang sedang pingsan. Shi Lan juga hampir mencak-mencak jika tidak dipaksa diam oleh Kwat Lin. Kwat Lin tahu betul betapa hebat ilmu Lie Yang dan tak perlu dikhuwatirkan. Malah, Kwat Lin membisiki tiga pembantunya sesuatu. “Kalian diamlah dan jangan berisik. Lihatlah, bagaimana Yang-ko menggunakan Ilmu Bi-kiam Ban-bin Kiam-sut tanpa menggunakan pedang.” Tiga orang bertopeng merah itu menyerang Lie Yang yang masih dapat mengampuni mereka. Bahkan ia sempat mau menasehati mereka untuk menyerah dan mengaku siapa sebenarnya yang menyuruh mereka menyerang dirinya. Namun, nasehat itu dibalas dengan serangan bertubi-tubi. Serangan yang sangat kasar. Ilmu pedang yang dimainkan oleh tiga orang itu sebenarnya sudah lemah, hanya saja karena mereka menyerang bersamaan dan agak teratur, mereka dapat membuat Lie Yang sedikit kewalahan di awal penyerangan. Ilmu Pedang Bi-kiam Ban-bin Kiam-sut sengaja dipilihnya untuk memperlihatkan kepada tiga pelayannya yang baru dididiknya, bahwa ilmu pedang yang mereka pelajari amatlah hebat. Lie Yang bahkan tak menggunakan pedang dalam pertarungan itu. Ia hanya menggunakan hawa saktinya untuk membentuk sebuah pedang kasat mata. Ilmu Sin-hong Sin-kang yang telah dikuasainya sampai tingkatan kesembilan dapat memudahkannya menggunakan sin-kang istimewa itu. Setiap sentuhan pedang ‘tak terlihat’ itu membawa getaran yang amat kuat ke dalam hati lawannya. Getaran tak biasa inilah yang sesungguhnya sangat menyakitkan, bahkan lebih sakit dari pada akibat goresan pedang yang sebenarnya. Mereka tak mampu menghindari setiap sentuhan pedang Lie yang dengan pedang mereka sendiri. Setiap tebasan, selalu saja Lie Yang dapat menggores tubuh lawannya. Akibatnya, baju lawannya terkoyak-koyak. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Lie Yang tak kalah indahnya dengan apa yang dimainkan oleh Shi Lan tadi pagi. Bahkan keindahannya tak mengurangi keganasan serangannya. Setiap meluncur, pedang itu bisa saja membelok dan berubah arah kemana saja. Teorinya sangat memusingkan bagi lawan Lie Yang. Setelah hampir 20 jurus telah dikeluarkan oleh Lie Yang. Ia ingin segera menyudahi permainannya itu. Ingin rasanya ia mengorek siapa dibalik kejadian ini. Dan siapa sebenarnya orang yang membantu mereka menyerangnya. Menurutnya, masih ada beberapa orang lagi yang masih berada di balik pohon Persik itu. Orang itulah yang membantu lima orang bertopeng itu beradu tenaga dalam lewat jarak jauh. Mungkin orang itu masih berada di sana dan sedang mengawasi dirinya disaat sedang bertempur. Orang itulah baru lawan seimbangnya. “Bagaimana menurutmu dengan kemampuan kongcu? Apakah masih meragukanmu?” Tiba-tiba saja Shi Lan melontarkan kata-kata ke arah Kim Yun Tai yang sedang melewatinya. Kim Yun Tai langsung berhenti, sedang tubuh Lau Tay Hiap dibawa masuk oleh Kho Sa dan Kwee Kong. Sindiran itu bukan http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 96 dari 114 lain hanya sebuah jawaban dari keraguan Yun Tai atas kemampuan Lie Yang. Baru saja, Shi Lan mendengarnya tanpa sengaja dari obrolan Yun Tai dengan Kho Sa, dan Kwee Kong saat berada di kamar mereka. Yun Tai diam tak menanggapi. Ia hanya bisa menikmati gerakan indah Lie Yang. “Lihat, hanya dengan kurang lebih 20 gerakan, aku yakin kongcu akan mampu menyudahinya.” Shi Lan masih saja melanjutkan olok-olokannya. Bibirnya dimonyongkan. Betapa sinisnya Shi Lan. “Sayang sekali, bibir seindah itu menyimpan bisa yang sangat mematikan,” Kata hati Yun Tai sambil melihat reaksi selanjutnya dari Shi Lan. Benar saja apa yang ditebak oleh Shi Lan. Lie Yang mampu menguasai musuh-musuhnya hanya dengan 22 gerakan saja. Namun, sebelum Lie Yang mampu mengorek keterangan dari mulut tiga orang itu, mereka bunuh diri dengan menelan racun yang sudah tersimpan di dalam mulut mereka sendiri. “Apa yang terjadi, Yang-ko?” Tanya Kwat Lin mendekat. Shi Lan dan dua pembantu lainnya pun ikut mendekat. Termasuk Yun Tai. “Organisasi yang keji!” Kata Yun Tai sambil menatap Lie Yang. Lie Yang menunjuk ke mulut tiga mayat itu untuk menunjukkan ke istrinya. Kwat Lin langsung mengerti, apalagi setelah mendengar komentar Yun Tai. “Ini tak bisa disalahkan. Keorganisasian mereka sungguh berbahaya. Sia-sia aku bermain dengan mereka. Bahkan gerakan mereka tak bisa kutebak. Aku tak dapat mengetahui asal perguruan atau organisasi dari mana mereka.” Lie Yang masih mencari-cari sesuatu dari lima mayat itu. “Menurut dugaanku, mereka dikirim oleh Ang-hong-pay. Coba lihat topeng mereka bergambar apa dan warnanya,” Kwat Lin mencoba memberi sedikit kemungkinan. Namun cepat-cepat Lie Yang memotongnya. “Sejak awal tadi aku juga menduga begitu, hanya saja ilmu yang mereka gunakan bukan seperti pasukan Merah Ang-hong-pay. Ini agak berbeda. Apakah ini termasuk pasukan khusus mereka? Kalau dilihat dari kehebatan mereka, tingkatan perorangan orang berpakain putih ini lebih hebat daripada pasukan merah Ang-hong-pay.” “Atau mungkin saja mereka termasuk dari penasehat atau pelindung Ang-hng-pay,” Yun Tai ikut menerka-nerka. “Bagaimana keadaan paman Lau, Kho Sa?” Tanya Lie Yang kepada Kho Sa yang baru datang. “Paman Lau?” Kho Sa belum mengerti, bahkan yang lain pun sama. “Maksudku Kim-tiok-kiam Tay Hiap. Kalian boleh memanggilnya Lau Tay Hiap atau dengan sebutan ‘paman’ saja. Apa lukanya parah?” Lie Yang membetulkan sekaligus memberitahu siapa yang dimaksud. “Oh, keadaannya kurang begitu bagus. Luka dalamnya bertambah parah. Saat ini dia sedang diobati Kwee Kong setelah kuberi Pil Naga Emas lagi. Sebenarnya apa yang sedang terjadi tadi, kongcu?” “Bahaya tak akan pernah berakhir di tempat ini. Ketika aku dan paman Lau sedang berbicara serius, dari pohon Persik itu, dengan tiba-tiba kami diserang senjata rahasia. Senjata rahasia berhasil kami elakkan, namun tenaga dalam mereka membuat paman Lau terluka. Ah, ini salahku, coba aku tadi langsung menyerang mereka, mungkin ‘orang hebat’ itu bisa dimintai keterangan.” “Maksud, kongcu, mereka menyerang selain dengan senjata tajam, juga menyerang menggunakan tenaga dalam dari jarak jauh? Dan masih ada yang berhasil lolos?” Sukar sekali Kho Sa membayangkan ada orang mampu menyerang hanya dengan menggunakan tenaga dalam jarak yang cukup jauh itu. Bahkan kalau ditanya apakah dia mampu, akan sulit menjawabnya. Apalagi orang itu berhasil melukai organ dalam Lau Tay Hiap. Sungguh sukar untuk membayangkannya. Lie Yang hanya bisa menganggukkan kepala. Sebaliknya, mereka yang mendengarkannya menggelengkan kepala. “Lalu dengan senjata rahasia apa mereka menyerang, aku tak melihat ada senjata rahasia di sini. Apakah dengan jarum, seperti halnya kemarin itu?” Kali ini Yun Tai menggantikan Kho Sa bertanya. “Dengan ini,” Lie Yang mengeluarkan daun Persik yang masih sempat dipegangnya. Daun Persik di tangannya tinggal satu. Lainnya dibuat untuk menotok lawannya ketika bertarung tadi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 97 dari 114
“Tak mungkin!” Jawab Yun Tai. Ia benar-benar tak bisa memikirkan, bagaimana mungkin daun yang masih basah bisa digunakan untuk menyerang. Tiba-tiba Lie Yang menggerakkan tangannya dan daun itu melayang jauh. Daun Persik itu menancap di tiang kayu rumah. Hampir setengahnya. “Bagi mereka yang sudah mempunyai kemampuan hebat, bukan tak mungkin hanya dengan daun saja bisa memenggal kepala orang. Bahkan mungkin bisa merobohkan ruma sekalipun.” “Sekarang aku mempercayainya,” Yun Tai malu dengan perkataannya tadi. Ia merasa bahwa kemampuannya belum apa-apa. Apakah aku bisa mempunyai kemampuan seperti itu, tiba-tiba terpikirkan olehnya angan-angan itu. “He... he... he... benar omongan itu. Aku tambahi keterangannya ya. Bahkan ada yang memakainya untuk mencopoti pakaian mangsanya.” Tiba-tiba ada suara menggema. Baru saja suara itu selesai, Lie Yang sudah melecit, melemparkan tubuhnya ke pohon Persik. Di dalam pohon Persik yang sangat rindang itu, Lie Yang dan orang yang mengirimkan suaranya itu bertarung dengan sengit. “Jangan serang aku, dasar anak jadah!” Orang itu memaki-maki sambil menghindari pukulan Lie Yang. “Aku bukan orang-orang busuk itu. Aku ini anak Ibu, oh ibu!”
Bab Sesudah: Bu-tek Siauw-sin-tong Saudara Lie Yang (1)
Dan orang itu keluar dari dalam pohon Persik dengan tersengal-sengal akibat rentetan pukulan Lie Yang. Orang itu turun setelah bersalto di udara seperti burung, ringan sekali. Di punggungnya ada tubuh laki-laki tanpa baju. Tubuh bertelanjang dada itu dilemparkan begitu saja. “Bukkkkkk!!!” Suaranya terdengar keras ketika tubuh itu menyentuh tanah. Tak ada suara aduan atau rintihan terdengar dari dalam mulut tubuh itu. “Ahhhh....!!! Ih.....hh..!!” Kwat Lin dan tiga pelayannya menjerit karena melihat tubuh bertelanjang itu. “Sial, gara-gara tubuh berat ini, aku kewalahan menghadapinya. Dasar anak bajingan! Oh ibu, anak itu kurang ajar benar!” Laki-laki cebol itu masih mengutuki Lie Yang. Ia mengumpat-umpat sambil berjingkrak-jingkrak gak karuan. “Bu-tek Siauw-sin-tong?!!!” Teriak Kim Yun Tai hampir tak percaya. Bocah cebol itu memang bukan lain Bu-tek Siauw-sin-tong yang pernah membantu Kho Sa, Kwee Kong dan Kim Yun Tai di dalam hutan kemarin. Bu-tek Siauw-sin-tong menengok agak terkejut. “Oh ibu, ada yang mengenal namaku. Hahaha.... ternyata kalian, anak muda. Kita akhirnya bertemu kembali. He...he...” Bu-tek Siauw-sin-tong menyeringai. “Cianpwee maafkan kami yang tak menyambut kedatanganmu dan salah paham terhdapmu,” Kho Sa cepat-cepat minta maaf atas kesalah-pahaman Lie Yang. “Sudahlah, memandang rupa kalian berdua, aku maafkan kesalahan ini. Oh ibu, padahal Bu-tek Siauw-sin-tong kesini untuk membantu!” Katanya sambil berputar-putar mengitari Kho Sa dan Kim Yun Tai. “Empat gadis itu kenapa pergi, apa yang mereka takutkan? Oh ibu, mereka takut terhadap Bu-tek Siauw-sin-tong!” Ia menyambung kembali omongnya sambil menghentak-hentakkan kaki kirinya seperti anak kecil. Di bawah pohon Persik, Kwat Lin dan tiga pembantunya mengutuki perilaku Bu-tek Siauw-sin-tong. “Dasar orang gila, datang-datang buat masalah!” Kata Shi Lan tak henti-hentinya ikut mencerocos. “Hujin (Nyonya), kemana perginya kongcu? Sepertinya di atas tak ada,” Shi Lan mencari-cari bayangan Lie Yang. Namun tak ada. “Aku juga gak tahu,” Jawab Kwat Lin, bingung. “Yang-ko! Dimana engkau? Yang-koooooo!!!” Kwat Lin berteriak-teriak. Shi Lan dan dua pelayan lainnya juga ikut memanggil. “Kongcu!!!” “Kongcu, dimana engaku?”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 98 dari 114
“Eihhh... jangan teriak-teriak begitu! Membuat telingaku tak nyaman tahu. Engkau cari-cari tak akan ketemu. Pemuda sialan tadi dibawa malaikat maut!” Teriak Bu-tek Siauw-sin-tong kencang. “Apa???” Teriak Kwat Lin menghambur ke arah Bu-tek Siauw-sin-tong. “Apa kau bilang? Coba ketakan sekali lagi, kubeset mulutmu. Dasar kerdil udik!” Maki Kwat Lin. “Hmmm... dibilangin dia pergi sama malaikat maut. Malaikat itu serba putih. Pakaian putih, wajah putih seperti awan yang cerah dan jenggotnya sangat panjang berwarna putih. Ia pergi dengannya entah kemana?” Jawab Bu-tek Siauw-sin-tong setengah berteriak. Mendengar itu, dua mata Kwat Lin berputar. “Mungkinkah ia pergi bersama Orang Tua Suci atau buyut Giok?” “Eih... kenapa engkau diam. Apa engkau tahu siapa malaikat itu?” Bu-tek Siauw-sin-tong mendekat sambil mengamat-ngamati wajah Kwat Lin. “Sebenarnya siapakah malaikat maut yang cianpwee maksudkan itu?” Kho Sa bertanya, tak mengerti. “Aku juga tidak tahu. Ilmu peringan tubuhnya luar biasa hebatnya. Sebanding dengan guruku. Sayang aku punya tujuan khusus ke sini, kalau tidak pasti aku akan membuntutinya. Ke liang lahat pun akan kukejar. Hehehhe..” “Apa tujuanmu ke sini, apa hanya membawa masalah? Apa kalian berdua mengenal orang sinting ini?” Kwat Lin sudah tak mencemaskan lagi Lie Yang. Menurutnya, hanya salah satu dari Orang Tua Suci atau buyut Giok yang bisa mengajak Lie Yang pergi. Atau musuh? “Apa hujin bisa menebak siapa orang itu?” Kho Sa bertanya sambil mendekati nyonya muda itu. “Hanya beberapa orang yang mampu membangkitkan selera Yang-ko untuk pergi. Mungkin...” Ucapan Kwat Lin terputus. Ekor matanya meirik ke arah Bu-tek Siauw-sin-tong. “Hmmm dasar!” Dengus kesal Bu-tek Siauw-sin-tong. Ia merasa sedang diawasi. “Katakan dulu apa tujuanmu kemari? Sehingga aku bisa mempertimbangkan jawaban itu bisa kuucapkan apa tidak,” Kata Kwat Lin dengan nada meninggi. Kegalakannya mulai muncul lagi. “Kutu busuk!” Bu-tek Siauw-sin-tong mendengus sekali lagi. Memaki-maki tak karuan arahnya. “Aku mencari orang yang berhasil menguasai ilmu Sin-hong Sin-kang tingkatan kesembilan. Apa engkau tahu siapa dia?” “Kenapa engkau mencari orang yang berhasil menyakinkan ilmu rahasia itu?” Kwat Lin masih bertanya. Nadanya bertambah kasar. “Yeeee... berarti engkau tahu siapa orangnya. Horeee... akhirnya aku menemukannya. Anak baik. Anak cantik. Coba katakan kepada Bu-tek Siauw-sin-tong siapa dia?” Bu-tek Siauw-sin-tong meloncat-loncat seperti anak kecil. Ia mengitari tubuh Kwat Lin. Kwat Lin melototkan dua matanya. “Dasar laki-laki cebol! Tadi memaki-maki, sekarang merayu-rayu. Tak akan kukatakan siapa orangnya, sebelum engkau mencium kakiku untuk minta maaf.” Bu-tek Siauw-sin-tong berhenti berputar. Dua matanya berputaran. Dua tangannya ditaruh dipinggang. Lalu berjalan pelan sambil mengangkat tangan kananya ke kepala. Tangan kanannya itu digebukkan ke batok kepalanya berkali-kali. “Baik! Aku akan meminta maaf kepadamu.” Jawabnya akhirnya. Ia meloncat ke depan Kwat Lin. Tiga pelayan Kwat Lin sudah siap untuk menerjang Bu-tek Siauw-sin-tong kalau bermain licik. Bahkan diam-diam Kho Sa dan Kim Yun Tai pun sudah sia-siap. Namun, ketika Bu-tek Siauw-sin-tong sudah bersujud di depan Kwat Lin sambil benar-benar mencium kedua kaki Kwat Lin. Hati mereka dihinggapi rasa kasian terhadap Bocah Ajaib itu. “Seandainya aku tak berjanji kepada guruku. Aku tak bakalan merendahkan diriku seperti ini. Bagaimana pun kecilnya bentuk tubuhku, aku tetap laki-laki sejati!” Kwat Lin merasa kasian terhadap Bu-tek Siauw-sin-tong. Ia merasa sudah keterlaluan terhadap orang tua yang berwajah kekanak- kanakan itu. Tiba-tiba ia ingin menaksir berapa umur sebenarnya Bu-tek Siauw-sin-tong. Mungkin sudah seumuran ayahnya atau paman-pamannya seandainya ia punya paman. “Sungguh keterlaluan engkau, istriku. Tak seharusnya engkau seperti itu terhadap orang tua.” Tiba- tiba ada suara dari jauh menegur perilaku Kwat Lin.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 99 dari 114
Semua orang menoleh ke arah Lie Yang. Ia muncul dari pintu luar. Wajahnya terlihat begitu aneh. Baisanya wajahnya selalu dihiasi senyum atau datar tak ada ekspresi. Namun kali ini, wajah itu terasa beku. Ada garis-garis kesedihan di wajahnya. Ia berjalan sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Ia berjalan sangat pelan. Seperti orang pemalas. Ditegur seperti itu, Kwat Lin menunduk malu. “Hmmm... sudahlah. Sebaiknya engkau meminta maaf kepada cianpwee. Cianpwee aku juga berlaku salah terhadapmu. Membuatmu marah dan kesal lantaran langsung menyerangmu tanpa bertanya lagi. Aku dan istriku mohon maaf kepadamu.” “Cianpwee semoga sudi memaafkan kongcu dan hujin!” Kho Sa juga memintakan maaf. Ia memahami karakter Lie Yang. Pasti ada sesuatu yang khusus terhadap Bu-tek Siauw-sin-tong sehingga Lie Yang sampai seperti itu. Apalagi Lie Yang tak hanya berucap. Ia juga menekuk kedua kakinya sampai ke tanah. Bu-tek Siauw-sin-tong bangun dari sujudnya di hadapan Kwat Lin. Kwat Lin akhirnya ikut bersimpuh seperti suaminya. “Aku akan memafkanmu, kalau engkau mau menyebutkan siapa orang itu? Jangan katakan engkau mempermainkanku. Aku tak akan memafkanmu.” Bu-tek Siauw-sin-tong akhirnya buka mulut. Dua tangannya dirapatkan di depan dadanya. Ia bersendekap sambil mengalihkan pandnagannya ke langit. Sangat sombong sekali gayanya.
Bab Sesudah: Bu-tek Siauw-sin-tong Saudara Lie Yang (2)
“Kenapa cianpwee mencariku?” Lie Yang bertanya dan membuat kaget Bu-tek Siauw-sin-tong. “Engkau? Maksudnya engkau yang telah berhasil menyakinkan ilmu suci itu? Ah, tak mungkin. Jangan bergurau engkau, anak muda.” Bu-tek Siauw-sin-tong tak percaya. “Cianpwee boleh mencobanya,” “Baik!” Teriak Bu-tek Siauw-sin-tong cepat. Dan dia sudah mengangkat dua tangannya ke atas. “Jangan salahkan aku, anak muda jika engkau terluka.” “Silahkan, cianpwee!” Bu-tek Siauw-sin-tong berputar dengan gerakan sangat sukar dilihat pandnagan mata. Ia tak sekedar berputar, memutari tubuh Lie Yang. Ia juga mencercah tubuh Lie Yang dengan pukulan berantai. Pukulan itu terus meluncur dengan kekuatan berton-ton besi beratnya. Sekali hantam, pohon sebesar perut kerbau pasti tumbang. Bahkan jika dihantamkan ke batu sebesar kerbau bunting pun akan tercerai-berai. Namun, ia tak mampu menyentuh tubuh Lie Yang. Kali ini, Lie Yang mengeluarkan tenaga hampir setengahnya dari dalam tubuhnya. Ia mengeluarkan dua ilmus ekaligus. Sungguh berat baginya. Ilmu Sin-hong Sin-kang tingkatan kedelapan dan kesembilan. Hawa panas dan dingin bergantian memantul dari dalam tubuhnya. Dan hawa sakti Bu-tek Siauw-sin-tong melorot pelan-pelan ke tubuhnya. Bahkan hawa sakti itu malah digunakannnya untuk memperisai dirinya. Hawa sakti Bu-tek Siauw-sin-tong diubahnya sebagai perisai dengan menggunakan ilmu barunya Jit-goat Hoat-lek Sin- kang. Tubuhnya berkeringat. Semua orang yang memandang kejadian ini terbelalak kedua matanya. Shi Lan tak kuasa menutup mulutnya. Ia ingin menjerit melihat hal aneh itu. Ia tak melihat tubuh Bu-tek Siauw-sin-tong. Ia hanya melihat ada berderetan cahaya mengitari tubuh Lie Yang. Hanya Kho Sa dan Kwat Lin yang mampu melihat dengan jelas gerakan Bu-tek Siauw-sin-tong. “Ilmu setan apakah yang digunakan Bu-tek Siauw-sin-tong itu, hujian? Dan juga ilmu apa yang digunakan oleh kongcu itu?” Shi Lan akhirnya bertanya ke Kwat Lin yang amsih duduk. Ia tak akan bangun sebelum suaminya bangun. “Itulah ilmu Sin-hong Sin-kang tingkatan paling sempurna. Entahlah kalau Bu-tek Siauw-sin-tong. Itu seperti ilmu Sin-hong Sin-kang juga, cuma berbeda. Entahlah.” Jawaban Kwat Lin sangat sederhana. Begitu juga dengan Shi Lan, Yun Tai juga tak sanggup untuk tak bertanya kepada Kho Sa. “Benarkah itu ilmu Sin-hong Sin-kang tingkatan akhir, suheng?” “Benar. Itu dia. Karakternya bisa menyerap sinkang lawan. Itulah Kim-liong Bu-hong-kun (Pukulan Tanpa Angin Naga Emas). Namun, hakikat ilmu itu sebenarnya belum keluar. Pukulannya belum
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 100 dari 114
dikeluarkan. Itu baru hawanya yang keluar, sehingga membuat lawan sepertinya kehilangan tenaga dan hawa saktinya. Semakin lawan mengeluarkan tenaga dan menyerang, ia akan semakin melemah, sedangkan yang pangcu akan semakin kuat. Setelah tenaga dan hawa sakti lawan tersedot habis, tenaga dan hawa sakti curian itu akan membalik menyerang pemiliknya sendiri. Di saat itulah pukulan tak berwujud mengalir. Menurut suhu, hawa pukulan itu ketika membalik akan mengantarkan hawa listrik. Memasuki badan lawan dan menjadikan tubuh lawan setengah hangus dan beku.” Kho Sa menjawabnya sambil tak henti-hentinya melirik wajah Lie Yang. “Gila!” Ucap Yun Tai hampir tak percaya ada ilmu macam itu. “Apa engkau bisa melihat gerakan Bu-tek Siauw-sin-tong?” Tanya Kho Sa kepada adik seperguruannya. “Tidak dapat. Namun aku bisa melihat cahaya dan debu yang berputaran itu.” “Coba engkau konsentrasikan pikiranmu. Engkau pusatkan semuanya ke pendengaranmu, setelah mendengar gerakan Bu-tek Siauw-sin-tong. Engkau alihkan ke matamu. Pusatkan semuanya ke kedua matamu.” Kim Yun Tai mengikuti saran kakak seerguruannya. Ketika akhirnya ia mampu melihat gerakan Bu-tek Siauw-sin-tong. Hatinya bersorak gembira. Ia melihat sosok Bu-tek Siauw-sin-tong memukul terus- menerus tubuh Lie Yang. Bahkan ia mampu melihat aura kekuning-kuningan yang melindungi tubuh Lie Yang. “Itu ilmu apa yang melindungi tubuh pangcu dari serangan bertubi-tubi Bu-tek Siauw-sin-tong?” Tanya lagi Kim Yun Tai kepada kakak seperguruannya. “Engkau bisa melihatnya?” Kim Yun Tai menjawab dengan anggukan kepala. Sedangkan Kho Sa menjawab dengan gelengan kepala. “Suheng, ilmu apakah yang dipakai oleh Bu-tek Siauw-sin-tong itu?” Sekali lagi Kho Sa menggelengkan kepalanya dnegan terpaksa. Ia sendiri terheran-heran melihat gerakan super-cepat itu. Apalagi aura yang terpancar dari dalam tubuh Lie Yang. Tak pernah ia mendengar suhunya menceritakan ada ilmu seperti itu. Di gelanggang pertempuran. Bu-tek Siauw-sin-tong semakin melemah serangannya. Sedangkan wajah Lie Yang sudah berubah kekuning-kuningan setelah melewati warna merah. Akhirnya Bu-tek Siauw-sin-tong menyerah dengan ambruk di tanah. Tubuhnya banjir pelu. Bajunya basah. Dadanya terasa panas hampir meledak. Suara tarikan nafasnya sungguh menakutkan. “Oh ibu, apakah aku akan mati? Benar-benar ilmu tak ada tandingannya. Benar kata suhu, kalau ilmu ini mirip ilmu dedemit.” Nafasnya tak teratur. Lie Yang membuka matanya. Baru saja dua matanya dibuka, ia tiba-tiba melambung tinggi. Badannya kali ini sudah terisi dengan hawa sakti. Badannya seperti balon yang terlalu banyak menyimpan udara, kapan saja bisa meledak. “Cianpwee, buka semua titik nadi tubuhmu. Akan kukembalikan apa yang telah kupinjam.” Teriak Lie Yang sambil mengambang di udara. Layaknya burung. Dengan gerakan masih cepat. Bu-tek Siauw-sin-tong mulai duduk bersila. Semua nadinya hampir seluruhnya terbuka. Ia sudah paham apa yang akan dilakukan oleh Lie Yang. Setelah masa di bawa alam sadar. Lie Yang langsung menukik ke bawah dan dengan tangan kanannya ia mengalirkan seluruh hawa sakti itu ke tubuh Bu-tek Siauw-sin-tong lewat kepalanya. Lie Yang berjungkir balik di atas kepala Bu-tek Siauw-sin-tong. Proses pengembalian hawa sakti yang tersedot oleh Lie Yang sangat unik. Setelah melakukan proses pengembalian sekitar setengah jam. Lie Yang melempar tubuhnya ke udara lagi. Ia melakukan proses pengembalian terakhir sambil membantu membuka beberapa titik nadi yang tersumbat di dalam badan Bu-tek Siauw-sin-tong. Dan dengan sebuah pukulan halus di pundak Bu-tek Siauw-sin-tong ia berhasil membukanya. Setelah semua proses selesai. Lie Yang bersalto di udara kembali dan akhirnya hinggap di atas tanah. Mukanya agak pucat. Sedangkan wajah Bu-tek Siauw-sin-tong terlihat sedikit bercahaya. Matanya terpejam. Seperti orang yang sedang tidur nyenyak. “Apa Yang-ko baik-baik saja?” Tanya Kwat Lin kuatir ketika melihat wajah pucat suaminya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 101 dari 114
“Tak apa-apa, istriku.” Jawabnya singkat. Ia lalu tersenyum. “Orang Tua Cebol itu kenapa, Yang-ko?” Tanya Kwat Lin. Dari dalam nadanya terlihat masih tak senang dengan Bu-tek Siauw-sin-tong.
Bab Sesudah: Bu-tek Siauw-sin-tong Saudara Lie Yang (3)
“Apakah engkau masih marah terhadap cianpwee itu, istriku?” Lie Yang tersenyum. Tangan kanannya membelai rambut Kwat Lin. “Aku hanya kesal saja dengannya. Habis ia menjengkelkan.” Lie Yang tertawa mendengar jawaban istrinya itu. “Sudahlah. Orang tua itu memang gayanya seperti itu. Lihat, bagaimana ia telah menjadi kupu-kupu indah setelah merasakan menjadi kepompong.” “Apa yang sedang dilakukannya itu sebenarnya?” “Saat ini ia sedang menyempurnakan ilmunya. Menurutku, hanya dengan ilmu Sin-hong Sin-kang dua titik nadinya baru bisa dibuka. Dan dengan terbukanya dua titik nadi penting ini, ia akan dapat menyempurnakan ilmu pukulan saktinya itu.” “Jadi, ia mencari Yang-ko hanya untuk meminta bantuan membukakan dua titik nadi itu?” Tanya kembali Kwat Lin. “Ya. Kurang lebih itu dugaanku. Ilmu yang digunakannya masih sealiran dengan perguruan Kim-ling- pay. Makanya, setiap ilmu baru bisa sempurna hanya dengan berhubungan dengan ilmu lainnya. Penyempurna ilmu-ilmu itu ada pada ilmu lainnya.” “Ouhhh!!!” “Horeeeee... aku telah menguasainya. Hehhehe... terima kasih, Yang-ko!” Tiba-tiba Bu-tek Siauw-sin- tong berteriak kencang. Tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah. Setelah kakinya menginjak tanah, ia menari-nari tak karuan. “Eittt... engkau memanggil aku apa tadi?” Tanya Lie Yang juga gembira. “Yang-ko. Kenapa? Apa tak boleh?” Bu-tek Siauw-sin-tong berhenti menari. Tiba-tiba ia menjadi serius. “Cianpwee, apa kata orang kalau engkau memanggilku seperti itu. Mana ada aturan di dunia ini, seorang kakak lebih muda dari adiknya puluhan tahun. Sekarang umur cianpwee berapa?” Bu-tek Siauw-sin-tong menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Lalu dengan jari-jemarinya yang kecil-kecil ia mencoba menghitung. “Tak betul... tak betul... 40... juga tak betul... berapa ya?” “Berapa cianpwee?” Kwat Lin ikut geli melihat tingkah laku Bu-tek Siauw-sin-tong. Ia bertanya lagi untuk membingungkannya. “Sepertinya umur Bu-tek Siauw-sin-tong baru 10 tahun.” Semua orang tertawa geli mendengar ucapan Kwat Lin. “Entahlah! Aku lupa dengan umurku. Anggap saja baru 10 tahun. Kalau begitu aku masih ingin minum susu. Hahahhahah....” Bu-tek Siauw-sin-tong tertawa terpingkal-pingkal. Tak karuan Lie Yang juga ikut tertawa. “Bagaimana kalau kita mengangkat menjadi saudara angkat saja. Aku mau kita belima menjadi saudara angkat. Bagaimana?” Tiba-tiba Bu-tek Siauw-sin-tong menjadi orang yang sangat cerdas. Kebodohannya hilang. Begitu juga kebandelannya. Ia menunjuk Kho Sa dan Kim Yun Tai. “Itu baik sekali. Baik. Aku menyetujuinya. Bagaimana denganmu Kho Sa dan Yun Tai?” Lie Yang menerima usul baik Bu-tek Siauw-sin-tong. Bu-tek Siauw-sin-tong tampak nyengar-nyengir. “Awas kalian kalau tak mau. Aku potong rambut kalian biar jadi biksu sekalian.” Teriak Bu-tek Siauw- sin-tong ngawur. “Terserah kongcu saja,” “Kemana anak muda yang agak gendut yang bersama kalian itu?” Bu-tek Siauw-sin-tong bertanya kepada Kho Sa dan Yun Tai. “Maksud cianpwee Kwee Kong?”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 102 dari 114
“Ya, Kwee Kong. Kita akan melakukan upacaranya sekarang juga. Aku tidak mau menunggu lama- lama. Menunggu itu sangat membosankan.” “Dia sedang mengobati Kim-tiok-kiam Tay Hiap.” Jawab Lie Yang cepat. “Kim-tiok-kiam? Sejak kapan bajingan tengik itu menjadi Tay Hiap (Pendekar). Tay Hiap kentut busuk. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Aku paling suka menginjak-nginjak kepalanya. Hahhah....” “Cianpwee mengenalnya?” Kho Sa mencoba menebak-nebak apa hubungan orang cebol ini dengan raja pedang itu dahulu. “Kami bermusuhan. Sering aku mengejeknya karena tak pernah mampu menyentuh bajuku. Sebaliknya aku selalu berhasil menjetak kepalanya. Pedang cacingnya itu masih dibawanya kan? Eh tunggu, engkau bilang dia sakit tadi? Apa benar?” Bu-tek Siauw-sin-tong berjingkrak-jingkrak senang. Orang tua cebol ini selalu bergerak. Tak pernah berhenti walaupun sejenak. “Paman Lau habis bertarung dengan Pek-sianli.” “Pek-sianli? Ya, ya, itu adalah dendam belasan tahun yang lalu. Ayahnya yang bernama Lau Ren See dan keluarganya dibantai oleh beberapa orang misterius. Semua pusaka dan kitab silat perguruannya raib beserta rumahnya. Rumahnya beserta isinya termasuk puluhan muridnya terbakar habis. Waktu itu, Lau Sin Ban, nama kecil Kim-liok-kiam dan Lau Sam Poe, kakeknya sedang berada di luar. Sebulan setelah musibah itu, Lau Sam Poe baru pulang dan baru saja mengetahui tentang keluarganya. Sejak itu, Lau yang masih muda dikirim ke Thaisan-pay untuk berguru di sana. Sedangkan kakeknya mengembara mencari siapa pelaku pembunuh keluarganya. Belakangan diketahui, bahwa salah satu pembunuhnya adalah Pek-sianli. Namun Pek-sianli hanyalah nama. Tak seorang pun pernah melihat bagaimana wujudnya.” Mungkin ini pembicaraan pertama Orang Tua Cebol itu. Semuanya mendengarkan tanpa berkedip. Sungguh teragis hidup Lau Tay Hiap. “Padahal, ayahanya Lau Ren See, siapa yang tak menegnalnya. Kemampuannya memainkan pedang lebih hebat dari pada Cianbujin Thaisan-pay. Nama pengelananya dulu adalah Lau Zang Ming. Orang-orang kang-ouw barangkali cuma dapat mengingat nama itu. Konon, menurut cerita yang tersebar. Nama Zang Ming adalah nama saudara kembar Lau Ren See. Sosok saudara kembarnya itulah yang menjadi inspiratif perjalanan hidup Lau Ren See. Dan nama itu diharumkan oleh Lau Ren See.” “Lalu bagaimana ceritanya, sampai Paman Lau terkenal sebagai pembantai paling sadis orang-orang kang-ouw?” Lie Yang ingin menggali pengetahuan Orang Tua Cebol di depannya itu. Sambil berjongkok, Orang Tua Cebol itu meneruskan ceritanya. “Itu karena percintaannya dengan putri Cianbujin Taishan-pay. Setahuku, ini bermula atas kekecewaan Kim-liok-kiam terhadap gurunya sendiri, cianbujin Taishan-pay. Kata orang-orang, gurunya memancing Kim-tiok-kiam untuk mengeluarkan ilmu rahasia pedang keluarganya kepada putri gurunya itu. Karena kecewa atas cinta palsu putri gurunya. Ia mengajak duel gurunya sendiri untuk memperlihatkan secara terus terang ilmu keluarganya. Dan dalam duel antara guru-murid itulah cianbujin Taishan-pay terpenggal kepalanya. Sejak itu, Kim-tiok-kiam menjadi kutukan bagi setiap orang. Semua pendekar ingin membalaskan dendam atas kematian Cianbujin Taishan-pay. Dan pertarungan satu orang melawan ratusan orang pun tak terelakkan lagi. Dalam pertempuran dahsyat itulah Kim-tiok-kiam berhasil memenggal ratusan pendekar. Tiba-tiba saja namanya menjadi setan diantara setiap orang. Banyak pendekar yang merasa penasaran terhadap ilmu pedang keluarga Lau. Di sisi lain, orang-orang merasa ngeri dan ketakutan hanya lantaran mendengar namanya disebut. Saat ini dia muncul kembali setelah belasan tahun menghilang.” Orang Tua Cebol itu mengakhiri ceritanya dengan desahan berat. Ceritu tentang Lau Tay Hiap sebenarnya sudah pernah didengar Lie Yang langsung dari kakek Lau sendiri. Ia ikut mendengarkan hanya untuk menghormati Orang Tua Cebol itu. Setelah mengakhiri kisahnya itu. Bu-tek Siauw-sin-tong mengajak Lie Yang, Kho Sa dan Kim Yun Tai untuk melakukan ritual pengangkatan saudara angkat. Mereka termasuk juga menyebut nama Kwee Kong dalam ritual itu. Bu-tek Siauw-sin-tong menjadi saudara angkat tertua pertama, Lie Yang; kedua, Kho Sa; ketiga, Kwee Kong; keempat, dan Kim Yun Tai; kelima. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Perintah Rahasia Pangcu Kim-liong-pay (1)
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 103 dari 114
“Ko...!!!” Lie Yang, Kho Sa dan Kim Yun Tai memanggil Bu-tek Siauw-sin-tong dengan panggilan ‘kakak’ berbarengan. Mereka memberi selamat satu sama lainnya. “Twa-ko, sejak tadi kami belum mengetahui nama aslimu. Bolehkah kami mengetahuinya?” Lie Yang berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Hehehe... sebenarnya aku ingin menyembunyikan nama keluargaku. Sudah sejak ratusan tahun keluargaku tak pernah ikut campur masalah dunia kang-ouw. Mungkin tak akan pernah ada yang mengingatnya. Nama kecilku adalah Siuw Li bermarga The.” Bu-tek Siauw-sin-tong akhirnya mau menyebut namanya sendiri. Ketika menyebut nama keluarganya, dari nada suaranya sepertinya ada rasa bangga tersendiri baginya. Semua manggut-manggut puas. Namun bagi Lie Yang, nama keluarga itu sepertinya agak familiar di telinganya. Tiba-tiba ia dapat mengingat sesuatu. Waktu masih kecil dulu ia pernah membaca sebuah catatan. Catatan itu berisi tentang silsilah keluarganya dan perguruan Kim-liong-pay. Tiba-tiba ada sesuatu yang menusuk-nusuk dadanya. “Ada apa denganmu, Yang-te? Kenapa engkau diam saja.” Bu-tek Siauw-sin-tong menegur Lie Yang. “Entahlah. Tiba-tiba aku jadi ingat buyut Giok Kong. Sebenarnya ada kabar tak enak berhubungan dengan buyut Giok Kong,” Lie Yang merasa tak enak untuk mengatakannya. “Engkau memanggil Orang Tua Suci itu buyut, berarti engkau... ayaaaaa... betapa goblognya diriku ini. Hahahaha... aku senang sekali dapat menjadi saudara angkatmu, Yang-te. Ternyata engkaulah yang sering disebut guruku itu. Engkaulah keturunan terakhir keluarga Giok. Hahhah...” Bu-tek Siauw- sin-tong menari-nari lagi. Ia berputar-putar mengitari Lie Yang dan Kwat Lin. “Yang-ko, tadi katanya ada kabar tak enak tentang buyut Giok Kong. Sebenarnya kabar apakah itu?” Kwat Lin menanyakan sesuatu yang tak dipikirkan oleh orang lain. “Baru saja salah satu Orang Tua Suci Bu-eng-hu memberi kabar kalau buyut Giok Kong tel... ah... meni... nggal.” Mendengar itu, Bu-tek Siauw-sin-tong segera berhenti mengitari Lie Yang. Tiba-tiba saja hawa pagi menjadi terasa begitu dingin. Hawa itu sangat menyesakkan dada. Lie Yang dilanda kesedihan untuk kedua kalinya. Dalam dua minggu ini, ada banyak orang yang disayang meninggalkannya. Kwat Lin juga merasakan sangat sedih. Ia ingat dua hari kemarin ketika kakek yang sudah sangat tua itu mengajarinya teori ilmu silat. Kakek tua itu kerap bercerita banyak tentang para pendekar dahulu. Lie Yang kali ini benar-benar tak bisa menahan untuk tak meneteskan air mata. Sejak tadi ia sudah menahan air mata itu. Ia merasa bersala terhadap orang tua renta itu. Seandainya malam kemarin orang tua itu tak menyalurkan delapan puluh persen tenaga dalamnya. Mungkin orang tua itu tak akan meninggal secepat itu. Ia ingat betul betapa kakek tua itu memberi pesan terakhirnya. “Sebaiknya engkau pindah dari rumah ini untuk sementara waktu. Tinggallah di Perkampungan Naga Emas dan dirikan kembali Kim-liong- pay untuk membasmi segala kemungkaran dan ketidak-adilan. Ketentraman dunia kang-ouw tergantung pada tiang-tiang Kim-liong-pay. Setelah aku tak bisa memberi bimbingan lagi. Akan ada Orang-Orang Tua Suci lainnya yang menggantikan tempatku. Jangan disesalkan apa yang telah terjadi. Kematian adalah awal kehidupan selanjutnya, cicitku....” “Guru pasti sedih mendengar kabar ini. Seandainya tak ada Manusia Setengah Dewa itu, mungkin keluarga The tak bakalan ada. Aku kira engkau sudah tahu hubungan antara keluarga The dengan Giok Kong, Yang-te?” Bu-tek Siauw-sin-tong juga agak merasa terpukul. Biasanya ia selalu cerah. Kali ini matanya juga sembab. “Istri buyut Giok Kong berasal dari keluarga The. Dan keluarga The secara turun-temurun telah menjadi penasehat Kim-liong-pay. The Kim Bwee nama istri buyut Giok Kong.” Bu-tek Siauw-sin-tong manggut-manggut puas. Ia puas dengan pengetahuan silsilah keluarga yang diketahui oleh Lie Yang. “Aku masih tak mengerti. Siapa sebenarnya pasukan putih itu. Diantara mereka bahkan ada yang bisa berbahasa Persia. Kalau dugaanku benar, mereka adalah sebuah partai rahasia yang bersekongkol dengan Ang-hong-pay. Tujuan utama mereka mencari Giok-ceng. Untuk apakah Giok-ceng bagi mereka sebenarnya?”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 104 dari 114
Tiba-tiba Lie Yang mencoba mengalihkan ke pembicaraan lainnya. Ia tak ingin kesedihan ini berlarut- larut menghantuinya. Ia masih mempunyai banyak urusan dan janji terhadap buyutnya yang belum terselesaikan. Ia tak mau buyutnya mengutukinya di alam baka. “Ohooo, kita lupa dengan ‘tubuh setengah telanjang itu’? Aku kira kita bisa mendapatkan petunjuk di sana.” Bu-tek Siauw-sin-tong tiba-tiba melengak. Orang Tua Cebol yang sering pura-pura bodoh ini sebenarnya sangat cerdik dan jenius. Semua orang menengok ke arah tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Kecuali para perempuan, Bu-tek Siauw-sin-tong, Lie Yang, Kho Sa dan Yun Tai mendekatinya. Bu-tek Siauw-sin-tong membalikkan tubuh itu yang tengkurap. “Lihatlah, kira-kira itu tato apaan? Apakah itu bukan sebuah petunjuk,” Bu-tek Siauw-sin-tong menunjuk ke arah dada mayat yang bertato itu. Di dadanya itu ada sebuah gambar api menyala- nyala. Api itu berada dalam tungku yang sangat aneh. Api menyala itu dilihat sepintas seperti berbantuk gambar seekor burung. “Burung api, kira-kira seperti itu gambarnya,” Kata Lie Yang. “Tidak, seperti api di dalam tungku yang sedang menyala-nyala,” Kata Bu-tek Siauw-sin-tong. “Api itu seperti lidah naga,” Ucap Yun Tai. “Aku melihatnya seperti burung, seperti apa yang dikatakan Yang-ko.” Kho Sa sepakat dengan Lie Yang. “Apapun itu, kita belum tahu apa makna dibalik tato itu. Aku juga tak pernah tahu ada satu perguruan pun yang mempunyai lambang seperti itu. Biarkan kita cari sumbernya nanti. Sebaiknya kita beristirahat. Masih banyak lagi yang perlu kita bicarakan. Mari masuk ke dalam rumah.” Lie Yang mengajak saudara-saudaranya untuk masuk. “Bagaimana dengan mayat ini, apakah akan dibiarkan begitu saja.” Kim Yun Tai bertanya. Ia merasa kasihan dengan mayat itu. “Siapa suruh bunuh diri dengan meminum racun. Biarkan saja membusuk di situ tanpa kuburan. Hahaha...” Bu-tek Siauw-sin-tong sudah ngeluyur masuk. “Adik ipar, apakah engkau punya makanan, aku lapar!” Bu-tek Siauw-sin-tong berteriak dari dalam rumah. Kwat Lin hanya menggerutu di dalam hati. Ia dan tiga pelayannya sudah masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. “Shi Lan, tolong panggilkan paman Chi di belakang.” Lie Yang berteriak meminta. “Baik kongcu!” Jawab Shi Lan dari dalam. “Biarkan paman Chi yang menguburkannya. Sebaiknya kita beristirahat.” Ajak Lie Yang kepada dua saudara angkatnya. Ketika Lie Yang baru masuk. Paman Chi tergopoh-gopoh menemuinya. Bajunya basah karena keringat. “Bagaimana paman Chi, apakah sudah ada kemajuan?” Tanya Lie Yang kepada orang sudah setengah umur itu. Sejak pagi tadi, ia menyuruh laki-laki gagah itu untuk berlatih ilmu pedang. “Sepertinya tak ada kemajuan sama sekali, kongcu. Aku sudah tua.” Jawabnya sambil tersenyum. “Nanti sore aku akan melihat ketidak-majuan itu, paman. Oh ya, bisakah paman Chi membantu kami menguburkan mayat di depan rumah itu. Tadi sedikit ada kegaduhan lagi. Setelah mengubur, paman Chi bisa istirahat. Nanti tengah hari kita akan membicarakan sesuatu hal yang sangat penting.” “Oh,” Paman Chi langsung pergi. Di luar sana ia menggerutu. Bukan karena pekerjaan menguburkan mayat, namun penyerangan musuh yang terus-menerus itu. “Kehidupan kang-ouw sungguh menakutkan. Bunuh-membunuh seenak hatinya. Nyawa yang berharga kenapa dibuat main-main seperti ini.” Ia mengomel sendirian. <><><><><>()<><><><><> Bab Sesudah: Perintah Rahasia Pangcu Kim-liong-pay (2) “Saat ini tinggal Siauw-lim-sie yang tersisa! Tiashan-pay, Bu-tong-pay, Hoa-san-pay, Go-bi-pay, Pek- tiauw-pay, Pek-houw-pay dan Kim-hoa-bwee berantakan. Banyak tetuanya yang mati! Menurut kabar beberapa partai dan perguruan yang sudah hancur itu akan bergabung dengan Thian-long-pay untuk
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 105 dari 114
menggempur Ang-hong-pay. Hanya Kay-pang yang susah dilihat kemana mereka akan bergabung. Partai terbesar ini walaupun sudah berantakan, anggotanya tercecer tanpa pemimpin, namun masih bisa bangkit kembali kapan saja. Karena ketua Kay-pang masih ada. Ang-hong-pay memang hebat!” “Kemungkinan Kay-pang akan berpihak kepada Siauw-lim-sie, melihat hubungan erat mereka. Kalau memang itu yang terjadi, setidaknya kang-ouw akan terpecah menjadi tiga; Siauw-lim-sie, Ang-hong- pay dan Thian-long-pay!” Kata Lie Yang sambil menarik alisnya ke atas. Kabar yang dibawa oleh Bu- tek Siauw-sin-tong sesuai dengan kabar yang didengarnya dari Kho Sa dan salah satu dari Orang Tua Suci tadi pagi. Dari kabar ini, ia bisa mengambil tindakan yang tepat. “Kira-kira diantara dua partai besar itu, partai manakah yang akan dihantam duluan oleh Ang-hong- pay?” Lie Yang berkata lagi. Sangat pelan, hampir seperti orang mengigau. Bu-tek Siauw-sin-tong, Kho Sa, Kwee Kong, Kim Yun Tai, Kwat Lin, tiga pelayan, dan paman Chi berpikir keras. Mereka terpengaruh oleh ketegangan yang sedang melanda dunia kang-ouw. “Menurutku Ang-hong-pay akan segera menerjang Thian-long-pay dalam waktu dekat. Apa lagi, Thian-long-pay memegang benda yang sedang dicari-cari oleh Ang-hong-pay. Hanya saja, aku tak mengerti kenapa Thian-long-pay mengundurkan waktu pesta ulang tahun partai mereka sebulan lagi. Apakah ini sebuah siasat?” Kho Sa tak mampu memastikan beberapa persolan yang melanda dunia Kang-ouw. “Itu sangat mungkin!” Kwat Lin sepertinya sepakat dengan Kho Sa. “Ahhh, Tuhan Yang Agung! Suatu saat nanti, ketegangan ini akan segera berakhir!” Lie Yang mendesah resah. “Yang-te, aku ingin tahu kemana arah Kim-liong-pay akan engkau bawa?” Bu-tek Siauw-sin-tong yang sebenarnya pintar benar-benar membuat ekspresi lawan bicaranya terperangah. “Kita akan menjadi angin, hujan, dan bila perlu badai yang menghapus debu!” Lie Yang tersenyum melihat Bu-tek Siauw-sin-tong memikirkan kata-katanya. “Aku tak bisa katakan sekarang, Li-ko!” “Lalu, kita akan memainkan peran yang bagaimana, aku sudah tak sabar lagi ingin membuka topeng Ang-hong-pay!” Bu-tek Siauw-sin-tong mencak-mencak. “Ada satu hal yang belum pasti dalam perkiraanku? Kenapa Ang-hong-pay sangat ingin Giok-ceng?” “Hmmm... aku kira hanya untuk koleksi saja. Lihat pedang dan tanda pengenal ketua beberapa partai hilang dicuri Ang-hong-pay. Bahkan kalau dugaanku tak meleset, Liong-ko (Buah Naga) mereka yang mencuri. Gara-gara buah itu hilang, aku dimarahin guru habis-habisan.” “Liong-ko? Buah apa itu?” Tanya Kho Sa kepada Bu-tek Siauw-sin-tong. “Konon, menurut guruku, pohon itu hanya dapat ditemui di pegunungan berapi di negeri Hu-sang (Jepang). Pastinya aku tak tahu untuk apa buahnya. Lagian setahuku, pohon itu hanya berbuah 25 tahun sekali. Ngurusnya saja memusingkan, ia hanya mau tumbuh di tanah yang panas dan disiram dengan arak merah setiap sore. Sedikit pun tak boleh terkena air. Sekali terkena air, ia akan langsung mati. Aku menanamnya sampai ratusan batang, tapi yang berhasil hidup dan berbuah hanya satu. Wuahhhh memuakkan hidup harus mengurusi pohon aneh itu!” Semua orang hanya bisa melongo. Teresona. Dan membayangkan bagaimana bentuk pohon aneh dengan buah yang diberi nama Buah Naga itu. Pastinya bukan buah sembarangan, bahkan Ang- hong-pay saja mencurinya. “Buyut Giok Kong pernah menceritakan tentang pohon, bunga, jamur dan teratai yang bisa tumbuh subur di Bu-eng-hu. Tanaman-tanaman itu mempunyai keanehan dan dapat dijadikan obat mujarab untuk tubuh. Tanaman-tanaman itu tak bisa tumbuh di tempat lain, selain di Bu-eng-hu. Salah satu pohoh aneh itu adalah Pohon Naga. Aku yakin, pohon itu sengaja ditanam di tempat lain hanya sebagai percobaan. Kalau benar seperti itu, bagaimana mungkin Ang-hong-pay tahu?” Semua orang menatap serius wajah Lie Yang. Seperti sulap, tiba-tiba saja di telapak tangan Lie Yang sudah ada sebutir biji aneh. Biji itu panjang menyerupai pedang bergerigi kecil-kecil. Warnanya putih seperti tulang. Biji yang sangat aneh. “Ini adalah biji dari Liong-ko yang sudah kering! Buyut Giok Kong hanya meninggalkan lima biji kepadaku. Kalian semua akan mencoba kedahsyatan obat ini.”
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 106 dari 114
Bu-tek Siauw-sin-tong cepat-cepat meraihnya. Pikiran cerdasnya melesit-lesit. Ada sesuatu yang aneh dengan perintah gurunya. Kalau buah itu bisa didapat dengan mudah di istana tak terlihat itu, kenapa gurunya susah-susah menyuruhnya mencari jejak siapa pencurinya dan mengambil kembali buah itu? Bu-tek Siauw-sin-tong meneliti biji kering itu. Sepintas biji itu memang seperti kadal. Ia ingat betul bagaimana bentuk buah naga, warnanya hijau bergerigi, panjang hampir setengah meter, padahal pohonnya sangat pendek. Sekali lagi biji itu dilihatnya dengan puas, baru kali ini ia dapat melihat bijinya. Ia kira buahnya yang dapat diambil kasiatnya, ternyata yang penting adalah bijinya. Selagi Lie Yang menunggu paman Chi mengambil arak merah. Ia meneruskan perkataanya, “setelah meminum arak yang dicampur dengan biji buah naga ini. Kalian akan dapat menambah kekebalan badan dan menambah hawa Yang di dalam tubuh kalian. Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir kita berkumpul. Sebulan kemudian, kita akan berkumpul di Utara.” Lie Yang menatap satu per satu wajah yang menyiratkan pertanyaan dan kaget itu. Hanya wajah istrinya yang tampak biasa saja. Istrinya sudah tahu tentang rencananya itu. “Aku akan membagi tugas untuk kalian. Kho Sa! Aku perintahkan engkau pergi menyelidiki Bu-tong- pay dan Hoa-san-pay! Kim Yun Tai, kuperintahkan engkau menyelidiki Pek-tiauw-pay dan Pek-houw- pay di perbatasan Tibet. Kwee Kong, untukmu aku ingin engkau di sini menjaga paman Lau sampai sembuh. Sekiranya dia bisa sembuh dalam minggu-minggu ini, engkau bisa langsung pergi ke Utara. Lihat perkembangan Thian-long-pay! Dan kuperintahkan Bu-tek Siauw-sin-tong mengantar Kwat Lin dan rombongan termasuk para pelayan dan paman Chi pergi ke Perkampungan Naga! Apakah kalian sudah mengerti?” Bu-tek Siauw-sin-tong, Kho Sa, Kwee Kong, Kim Yun Tai dan tiga pelayang menerima perintah itu. Ini pertama kalinya Lie Yang menggunakan perintah pangcu Kim-liong-pay. Di tangannya tergenggam tergenggam pelat emas, tanda ketua Kim-liong-pay. Dan dengan perintah ini, semua orang yang ada di sampingnya telah resmi menjadi anggota baru Kim-liong-pay. Mereka adalah anggota-anggota yang dipercayai Lie Yang. “Bu-tek Siauw-sin-tong aku harap engkau segera menemuiku di Lok Yang minggu depan! Kita akan mencari markas Ang-hong-pay di Nan-king bersama-sama. Kho Sa, Kwee Kong dan Kim Yun Tai aku harap kita akan bertemu kembali di Utara setelah tugas ini selesai. Kita akan melihat bersama-sama bagaimana pesta ulang tahun Thian-long-pay itu.” Selesai memberi perintah. Lie Yang menghancurkan biji buah naga itu dan dicampur dengan arak merah yang sudah disiapkan di atas meja. Ketika botol arak itu telah dicampur dengan biji aneh itu, tiba-tiba saja arak itu mengeluarkan uap hangat. Ketika disentuh, arak itu menjadi mendidih. Lie Ynag tersenyum melihat reaksi cepat arak itu. Sedangkan saudara-saudaranya hanya bisa bengong tak mengerti. Lie Yang menuangkan arak itu di tiga belas gelas. Setiap orang mendapatkan bagian, termasuk Lau Tay Hiap yang belum siuman, Han Cianpwee dan Oiy Cianpwee yang sedang pergi. Han dan Oiy Cianpwee pergi mengejar seorang penyusup ketika Lie Yang sedang bentrok tadi pagi. Dua orang tua itu hanya meninggalkan pesan singkat di tembok belakang rumah saja. Hingga saat ini dua orang sakti itu belum pulang. Sebenarnya Kho Sa ingin menyusul mereka, cuma Lie Yang mencegahnya. “Sebelum kita meminumnya, perlu diketahui bahwa di perut kita nanti akan terkumpul hawa panas yang sangat besar. Dengan sin-kang masing-masing, aku kira bisa menyebarkan hawa panas itu ke seluruh tubuh. Hawa panas ini akan menjadikan tubuh kita kuat!” Lie Yang meminum duluan segelas arak itu. Setiap orang mengikutinya dengan seklai teguk habis. Hanya berselang beberapa detik saja, wajah setiap orang telah berubah merah membara. Setiap orang tiba-tiba hening dengan meditasinya masing-masing. Hanya Lie Yang yang dengan cekatan membantu istrinya membuyarkan hawa panas di dalam perutnya. Setelah istrinya dapat mengontrol penambahan kekuatan itu, Lie Yang membantu tiga pelayan sekaligus dan paman Chi. Untuk melebur hawa panas ke seluruh tubuh diperlukan sejam meditasi. Lie Yang pun akhirnya bisa tenang dengan meditasinya setelah membantu istrinya, tiga pelayan dan paman Chi. <><><><><><>()<><><><><><> Bab Sesudah: Perintah Rahasia Pangcu Kim-liong-pay (3)
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 107 dari 114
“Istriku, jaga diri dan bayi kita baik-baik! Ingat pesan-pesanku. Kita akan bertemu kembali di Perkampungan Naga Emas bulan depan. Selamat tinggal!” Lie Yang meninggalkan istrinya yang sedang berdiri di depan pintu. “Hati-hati, Yang-ko!” Kwat Lin melambaikan tangannya. Perpisahan untuk sementara ini sungguh menyakitkan. Selama hampir tiga tahun mereka bersama dan malam ini mereka berpisah untuk pertama kalinya. Bagaimanapun juga ia harus merelakan suaminya pergi. Ditatapnya bayangan Lie Yang yang menghilang ditelan gelapnya malam. Lie Yang harus pergi malam itu juga. Ia sudah berpamitan kepada setiap orang siang tadi. Ia tahu istrinya tak menitikkan air mata ketika mengantarkan kepergiannya. Namun, ia tahu betapa berat iastrinya harus menanggung perpisahan ini. Ia juga merasakan beratnya berpisah. Sambil melompat-lompat ringan di atas atap rumah penduduk ia mengingat kembali tujuannnya. Tujuannya adalah mencari Paman Sun yang sudah lama tak ditemuinya. Mungkin dari tokoh Kay- pang itu ia bisa mendapatkan kabar terbaru tentang sepak terjang Ang-hong-pay. Ia tahu dimana ia harus mencarinya. Hanya dua tempat yang bisa ia duga tempat paman Sun tinggal; Lok Yang dan Siauw-lim-sie. Pakaiannya yang berwarna emas memancarkan kilauan indah ketika bulan menyinarinya. Pakaian yang dirancanag khusus untuk seorang ketua Kim-liong-pay ini mempunyai banyak keistimewaan. Pakaiannya memang sangat berat, 50 kati. Namun ia bisa merasakan kelembutan dan kelenturan pakaiannya. Pakaian ini tak bakalan bisa tembus pedang, panah ataupun kebakar api. Ketika memakai pakaian ini untuk latihan, ia bisa meningkatkan kemampuannya berkali-kali lipat. Bahkan keringanan tubuhnya saat ini tak terpengaruhi oleh berat bajunya. Ia tak merasakan beratnya sama sekali. Lalu topeng emasnya yang lembut seeprti sutera. Ia bisa merasakan hangatnya topeng di wajahnya itu. Pedangnya yang baru dipegangnya terasa sangat dingin. Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) yang tajam membuatnya benar-benar berbeda. Kim-liong-ki (Panji Naga Emas) dan Kim-liong-tiap (Kartu Naga Emas) yang ada di dalam bajunya sebelah dalam membuatnya benar-benar merasakan menjadi pangcu Kim-liong-pay. Ia bisa merasakan kekuatan leluhurnya memberi berkahnya kepadanya. Ketika ia berada di tepi hutan paling Selatan desanya. Ia mendesah. Dengan satu gerakan lincah dan ringan ia naik ke atas pohon. Ia mengintai kesetiap penjuru arah angin. Telinganya yang terlatih tak mendengar suara apapun kecuali suara binatang malam. Seekor kuda hitam kekar seperti sedang tidur berdiri tak jauh darinya. Ia tetap diam. Ia ingin melihat apakah ada orang di sekitarnya. Ia tersenyum ketika cuping telinga kuda itu bergerak-gerak. Kuda itu mendusin dan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Hidung kuda itu bergerak-gerak mencari bau yang sangat familiar baginya. Lie Yang tak tega mengerjai kudanya sendiri. Kuda hitam itu memang miliknya. Sengaja kuda itu ditambatkan di pinggir hutan untuk memudahkannya pergi malam-malam. Sore tadi, ia menyuruh paman Chi untuk membawa kuda kesayangannya itu ke tepi hutan ini. Kali ini kuda itu seperti hidup. Ia hampir meronta-ronta karena merasakan kehadiran Lie Yang. “Kuda hebat! Engkau tahu juga kalau aku di sini!” Batin Lie Yang senang. Melihat keadaan kudanya pertama kali, ia sangat percaya bahwa tak ada orang di sekitar sini. Ia sangat paham dengan kudanya. Penciuman dan pendengaran kudanya itu snagat istimewa. Sekali lompat ia sudah berdiri di atas tanah. Ia berjalan tenang sekali. Kudanya menyapanya dengan suaranya yang paling disukai Lie Yang. Ia merenggut tali kuda itu dan melompat di punggung kuda jantan itu. Sekali tarik tali kekangnya, kuda itu berlari sekencang angin. Kuda itu mendengus beberapa kali dan meringkih senang. Kuda itu adalah hadiah terindah dari ayahnya hartawan Song. Saat itu ia baru berumur lima belas tahun. Kuda itu jauh-jauh dibeli dari Mongolia dalam. Waktu itu kudanya masih sangat muda sepertinya. Sejak ada kuda istimewa itu, para bandit dan pencuri seringkali terlihat di rumahnya. Kuda itu akan snagat mahal sekali jika dijual. Kalau dijadikan untuk pacuan kuda, akan mampu melawan ratusan kuda-kuda hebat. Kuda itupun tak akan pernah mau dijamah setiap orang. Bahkan ayahnya pun tak bisa mengendalikan kuda itu. Setahunya hanya dirinya dan paman Chi yang bersahabat baik dengan kuda itu. Istrinya, Kwat Lin pun tak mampu menunggangi kuda hitam jelaga itu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 108 dari 114
Kuda berpeluh darah ini biasa dipanggilnya Koai Ma (Kuda Siluman) karena tak bisa diatur sembarang orang. Koai-ma tak pernah mau minum air sejak kedatangannya di rumah Lie Yang. Dulu, ia hampir gila melihat kuda tangkas ini hampir mati lantaran selama seminggu tak mau minum. Hingga tetangganya yang pernah mengurusi kuda di gurun Gobi itu menyuruhnya memberi minum arak merah. Dan benar saja, Koai Ma minum arak sampai perutnya buncit. Lie Yang tersenyum mengingat kenangan dengan kudanya itu. Ada satu persoalan tentang kudanya yang sampai saat ini tak dimengerti. Koai Ma tak pernah mau menyentuh kuda betina. Setiap ada kuda betina di sampingnya, selalu saja kuda itu menghindar, bahkan menyepak sampai terbanting. Lagian keanehan kudanya itu tak pernah mau dikekang dengan tali. Ia dibiarkan bebas di belakang rumah Lie Yang. Setiap sore hari, kuda pintar itu akan masuk sendiri ke dalam kandangnya. Ia baru bisa dikekang kalau Lie Yang sendiri yang memasangnya. Sudah belasan mil ditempuh Lie Yang. Desanya sudah begitu jauh. Nafas Koai Ma masih teratur, tak ada tanda-tanda kelelahan terdengar dari nafasnya itu. Bahkan empat kakinya masih lincah dan kencang menapaki berbagai bentuk tanah, kadang becek, penuh batu atau melewati sungai kecil. Naik bukit atau masuk ke dalam hutan. Kuda itu sepertinya mempunyai penglihatan yang sangat terang. Ia dapat membaca jalan dengan tepat. Lie Yang hanya membiarkan Koai Ma membawanya ke selatan. Ia bahkan sesungguhnya tak tahu begitu tepat jalan yang diambilnya. Ia hanya perlu mempercayakan petunjuk jalan kepada kuda kesayangannya. “Koai Ma, apakah engkau tak capek berlari terus?” Lie Yang bertanya kepada kudanya. Ia begitu santai. Tak pernah ada di pikirannya pertanyaan apakah kudanya itu mampu mendengarkan perkataannya. Namun ia percaya kalau kudanya dapat mengerti setiap keinginannya. Koai Ma malah mempercepat larinya. Ia meringkih berkali-kali seperti menjawab pertanyaan Lie Yang, bahwa ia masih sanggup berlari sekencang angin. “Dasar, kuda edan! Jangan salahkan aku kalau engkau tiba-tiba roboh.” Lie Yang asyik mengobrol dengan kudanya. Kaoi Ma menjawab dengan ringkihan lagi. Sebenanrya ia kasihan kepada Koai Ma. Beban tubuhnya sangatlah berat. Melihat ketangguhan kudanya itu, ia merasakan bangga juga. 120 kati berat yang ditanggung Koai Ma di punggungnya, namun kuda itu tak merasakannya. Sungguh luar biasa. Ingin rasanya ia bertanya, apa yang membuat Koai Ma menjadi sekuat itu. Apakah arak merah yang diminumnya setiap hari, ataukah cabe rawit yang dimakannya setiap pagi dan sore hari. Koai Ma memang aneh. Minumannya arak merah dan makanan kesukaannya adalah cabe rawit. Ia tak habis pikir ada hewan seaneh Koai Ma. “Koai Ma, engkau berlarilah sesuka hati, kalau sudah lelah engkau boleh berhenti. Aku akan bermeditasi di atas punggungmu. Kalau ada bahaya engkau beritahu padaku ya?!” Dan Koai Ma menjawab dengan ringkihan tiga kali. Larinya dipercepat lagi. Ini bukan pertama kali Lie Yang bermeditasi di atas kuda. Sering kali Lie Yang mengajak kudanya berlarian di hutan belakang rumahnya dan ia bermeditasi di atas punggungnya. Ia berjalan-jalan ke dalam hutan dengan kudanya dulu hanyalah alasannya untuk dapat bermeditasi tanpa diganggu orang lain. Rahasia belasan tahun tentang kemampuan bela dirinya hanyalah Koai Ma yang tahu. Sering kali ia berlatih dengan Koai Ma ilmu silat. Di atas punggung Koai Ma Lie Yang benar-benar dalam keadaan setengah tidur. Dua matanya terpejam, pikirannya menjadi satu dan telingnya mampu mengintai segala penjuru. Saat bermeditasi seperti ini, telinganya akan sangat peka. Desahan napas seseorang akan dapat didengarnya. Koai Ma tetap berlari dan berlari. Ia menuntun tuannya yang sudah menganggap saudara ke selatan. Koai Ma tahu apa yang diinginkan Lie Yang. Ke selatan, desa Lok Yang. <><><><><><>()<><><><><><> Bab Sesudah: Badai di Siauw-lim-sie (1) Lie Yang meloncati pagar kuil Siauw-lim-sie. Tengah malam saat bulan dan bintang-bintang menampakkan diri. Hampir di setiap sudut anak murid Siauw-lim-sie menjaga dengan ketat. Kali ini Lie Yang membawa perlengkapan lengkap. Ilmu peringan tubuhnya menjadikan dirinya seperti angin dan bayangan setan. Ia tersenyum melihat dua anak murid Siauw-lim-sie terkantuk-kantuk menjaga pintu paling dalam.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 109 dari 114
Sudah seminggu ia di Lok Yang menunggu Bu-tek Siauw-sin-tong yang tak muncul-muncul menemuinya. Kemarin malam, ketika ia sedang memberi minum Koai Ma di kandang. Ia mendengar gerakan orang berpakaian serba putih. Ia menduga orang berpakaian seperti ninja itu adalah seorang pencuri. Ketika ia membuntuti orang itu sampai keluar desa, ia abru tahu ternyata orang itu termasuk anak buah Ang-hong-pay. Tak menyangka ia akan menemukan jejeak Ang-hong-pay di sini ia terus memburu. Di dalam sebuah hutan ada ratusan anak buah Ang-hong-pay berkumpul. Ada berwarna- warni pakaian mereka. Ada hitam, merah dan putih. Di sana ia mendengar mereka akan menyerbu Siauw-lim-sie malam ini. Tujuannya ke Siauw-lim-sie adalah untuk memberi peringatan kepada pihak Siauw-lim-sie atas serbuan itu. Ia juga ingin mencari Sun Kay (Pengemis Sun). Di Lok Yang ia tak menemukan jejek Sun Kay. Firasatnya menuntunnya sampai ke sini. Siauw-lim-sie sungguh luas. Lie Yang meloncat ke setiap atap pemondokan Siauw-lim-sie dengan hati-hati. Ia tahu betul sarang apa Siauw-lim-sie ini. Pendekar-pendekar besar dengan ilmu silat sedalam samudra ada di tempat ini. Sekali ia salah pijak, ia akan tertangkap. Ang-hong-pay saja harus menimang-nimang jika mau menyerang Siauw-lim-sie. Kalau diitung-itung, sepertinya ada dua ratusan pasukan yang akan dikerahkan Ang-hong-pay. Dan ia tahu benar bagaimana kekuatan pasukan per-orangannya. Ia meloncat lagi dan berjalan dengan sangat hati-hati. Ilmu peringan tubuhnya memeang sudah sangat tinggi, walaupun begitu pendengaran orang yang sudah terlatih tetap akan dapat meangkap suaranya. Ketika ia sampai di sebuah ujung pemondokan yang sangat panjang. Ia berhenti. Di depannya ada tiga orang sedang main catur. Tiba-tiba Lie Yang tersenyum. Salah satu dari tiga orang itu ia kenal. Sun Kay terlihat tertawa di sana. Dua orang di depan Sun Kay adalah seorang biksu yang sudah sangat tua. Mungkin sudah berumur 70 tahun. Dan di sampingnya seorang laki-laki berumur 50 tahun dengan pakaian pengemis menjadi lawan bermain catur biksu tua itu. Tiba-tiba Lie Yang mendongakkan kepalanya ke langit. Di atas sana, nan jauh, bulan tampak indah. “Memang menyenangkan bermain catur di bawa sinar bulan purnama! Kwat Lin, apa yang sedang engkau lakukan malam ini? Apakah engkau sedang merindukanku?” Batin Lie Yang berkata merdu. Bibirnya tersumbul senyum tipis. “Tuan, mari turun dan bermain catur bersama kami! Lihatlah indahnya bulan purnama itu!” Hampir saja Lie Yang terjatuh karena kaget. Pendengaran biksu tua itu sungguh menakjubkan. Isu tentang kehebatan Siauw-lim-sie benar-benar tak isapan jempol. Lie Yang tertawa renyah. Menyenangkan sekali tawaran itu. Lie Yang turun dengan senang hati. “Terima kasih atas undangan, Siansu! Maaf kalau malam-malam yang indah Boanpwe (Aku yang rendah) mengganggu kesenangan, Siansu!” “Duduklah, sianseng! Kita bermain catur bersama!” Biksu tua itu menatap Lie Yang. Sungguh lembut pancaran dua mata tua itu. Lie Yang melangkah dengan tenang ke padepokan kecil itu. Di dalam masih ada satu kursi dari batu yang kosong. Ia merasa kedatangannya sudah dirasakan oleh biksu tua ini. “Sun Kay, bagaimana kabarmu? Ingatkah engkau denganku?” Sambil duduk di samping Sun Kay ia menyapanya. Sejenak Sun Kay mengekspresikan kekagetannya. Sebenarnya, biksu tua itu lebih terkejut lagi dari pada kekagetan Sun Kay. Bahkan pengemis lainnya tak bisa menutupi kekagetannya. Dua orang itu kaget melihat jubah emas Lie Yang, apalagi topeng naganya. Biksu tua itu sepertinya menemukan penerang di antara kegelapan malam. “Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya dan dimana, cianpwe? Aku tak bisa mengingatnya.” Sun Kay bertanya. Ia masih tak ingat kapan ia bertemu dengan Lie Yang. Memang saat ini suara Lie Yang telah diubah menjadi suara agak tua. Dibalik topengnya Lie Yang tersenyum. Sopan santun yang dimiliki oleh Sun Kay masih ada. Itulah yang paling disukai dari peribadi Sun Kay. “Ingatkah dengan peristiwa tiga tahun yang lalu, ketika Sun Kay diserang anak buah Ang-hong-pay.” “Ah, ingat. Apakah cianpwe adalah penolong kami itu?” Sun Kay tersenyum gembira. “Ya, aku yang waktu itu memakai pakaian hitam kedodoran itu.” Lie Yang tertawa mengingat pakaiannya dulu. Pakaiannya dulu memang sangat besar. Sun Kay ikut tertawa juga. Lie Yang
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 110 dari 114
merasa geli ketika Sun Kay memanggilnya ‘cianpwe’. Coba kalau Sun Kay tahu tentang dirinya dengan sebenarnya. Pasti lebih lucuh lagi. “Bolehkah boanpwe tahu siapa nama, Siansu dan Sianseng?” Lie Yang mengangkat dua tangannya menghormat. “Beliau adalah Thian Hun Siansu, Kauwcu (Ketua Agama) Siauw-lim-sie dan Lau Pi bermarga Thio, pangcu Kay-pang!” Sun Kay memperkenalkan dua orang di depannya. “Sungguh kebetulan boanpwe bisa bertemu dengan Sam-wi! Sebenarnya sudah lama sekali boanpwe ingin bertemu.” “Ada urusan apakah sianseng mencari kami?” Thian Hun Siansu bertanya dengan nada sangat lembut sekali. “Dan siapakah sebenarnya sianseng?” “Apakah siansu mengenal benda ini?” Lie Yang bertanya dengan mengangkat Kim-liong-ki. Thian Hun Siansu manggut-manggut begitu juga dengan pangcu Kay-pang yang sejak tadi diam. “Boanpwe adalah pangcu Kim-liong-pay! Boanpwe datang ke sini untuk memberi peringatan kepada Siauw-lim-sie, bahwa Ang-hong-pay akan menyerbu tengah malam nanti.” “Bagaimana mungkin Kim-liong-pay masih ada. Jangan engkau memalsukan diri di tempat ini. Ang- hong-pay tak akan mampu menyerang Siauw-lim-sie. Sudah puluhan kali mereka gagal!” Pangcu Kay- pang tiba-tiba angkat suara. Nadanya sangat meremehkan. Mendengar ini, Lie Yang segera bangkit berdiri. Ia hanya ingin mengatakan itu. Percaya tak percaya, ia sudah menyampaikan peringatannya kepada Siauw-lim-sie. Baru saja ia berjalan lima langkah, telinganya yang terlatih mendengar dengungan aneh. Ia tahu apa itu. Ia segera membalikkan badan. Ia mengeluarkan ilmu Sin-hong Sin-kang tingkatan kedelapan yang telah digabung dengan ilmu Jit- goat Hoat-lek Sin-kang. Gelas yang terbuat dari kayu bambu itu melayang di depannya. Gelas itu tak sampai menyentuh tubuhnya lantaran tertahan oleh Jit-goat Hoat-lek Sin-kang. Dan dengan tangan kanannya ia mengeluarkan ilmu Sin-hong Sin-kang tingkatan kedelapan. Setelah yakin ia berhasil melakukan sesuatu terhadap gelas itu. Ia lalu pergi dengan sekali loncatan setelah menyerahkan kembali ke pemiliknya. Gelas kayu itu sampai di tangan pangcu Kay Pang. Di genggamannya gelas itu seharusnya tak apa- apa. Namun beberapa detik kemudian menjadi sangat aneh. Air di dalam gelas itu menjadi es. Wajah pangcu Kay Pang itu tiba-tiba pucat. Tak sembarangan orang bisa merubah air menjadi es. Hanya orang-orang khusus yang mempunyai sin-kang khusus yang bisa melakukannya. Air menjadi es inilah yang menjadikan hatinya terkesiap dan tak jadi mengejar Lie Yang. Thian Hun Siansu juga mencegah pangcu Kay-pang mengejarnya. Setelah diletakkan di atas meja. Tak seberapa lama setelah es itu mencair, gelas kayu itu tiba-tiba saja hancur berantakan. Di atas meja itu hanya tersisa tumpahan air yang berwarna hitam. Gelas kayu itu hilang. “Sin-kang luar biasa! Hawa sakti panas dan dinginya manusia bertopeng itu sudah berada di tingkatan sempurna. Hanya dengan mengerahkan hawa sakti api, ia bisa menghanguskan gelas kayu ini. Dan dengan hawa sakti dingin, ia mampu membekukan air. Luar biasa.” Thian Hun Siansu terkagum- kagum. “Siansu, apakah benar orang itu ketua Kim-liong-pay?” Pangcu Kay-pang masih meragukan identitas Lie Yang sebagai ketua Kim-liong-pay. Thian Hun Siansu tersenyum. “Aku sangat yakin! Ini akan menjadi jalan bagi kita untuk menentramkan dunia Kang-ouw. Hanya saja, siapakah identitas asli manusia bertopeng itu, pinceng tak tahu. Siapa pun dia, pasti sudah mempunyai banyak persiapan.” “Mungkinkah kabar munculnya manusia setengah dewa itu benar?” “Mungkin,” Sekali lagi Thian Hun Siansu tersenyum lembut. “Siapkan saudara-saudara kita untuk menyambut tamu agung Ang-hong-pay!” Thian Hun Siansu beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin menyiapkan saudara-saudaranya. Pangcu Kay-pang dan Sun Kay mengikutinya dari belakang. <><><><><><>()<><><><><><>
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 111 dari 114
Bab Sesudah: Badai di Siauw-lim-sie (2) Lie Yang berada dalam hening meditasi. Baginya tak ada waktu tersia-sia tanpa mengolah kemampuannya. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan meditasi. Kakek buyutnya yang dulu tak diketahuinya telah mengajarkan banyak sekali cara meditasi. Bahkan di usianya yang ke 15 ia sudah mampu bermeditasi dengan berjalan. Kakinya memang bergerak, namun seluruh daya pikir dan hatinya bersatu di dalam meditasi diri. Melalui meditasi, ia banyak mendapatkan manfaat. Ia bisa mempertajam daya pikir, membersihkan hati, menajamkan semua indra yang dimilikinya, bahkan ia bisa menambah sinkangnya. Sebab itulah, sinkang yang dilatihnya sejak kecil sudah berbuah banyak, apalagi setelah tubuhnya dialiri oleh sinkang 70 tahun kakek buyutnya itu. Sinkangnya berkembang pesat dan menjadi sinkang maha dahsyat. Kali ini, waktu menunggu kedatangan para perusuh, ia tetap mencoba bermeditasi. Malam semakin larut, namun yang ia tunggu tak kunjung datang. Menurut pikirannya, anggota Ang-hong-pay mungkin baru bertindak tengah malam ini, namun dugaannya itu ternyata meleset. Hingga saat ini, pasukan merah itu tak kunjung juga muncul. “Sepertinya, ada sesuatu yang tak beres,” Pikir Lie Yang. Ia tak tahu. Sebenarnya, di tengah hutan dekat kuil Siauw-lim-sie sudah memercik api pertempuran. Pasukan Ang-hong-pay tanpa menyangka sesuatu sebelumnya tiba-tiba saja diserbu oleh sekelompok orang. Ada ratusan orang memakai pakaian cokelat mendadak menyerang mereka tanpa berkata apapun. Serangan tak disangka-sangka itu berkobar sedemikian besarnya hingga tak dapat ditahan lagi. Jarak tempat pertempuran dua kelompok dunia persilatan itu dengan kuil Siauw-lim-sie ada sekitar lima mil jauhnya. Tak heran kalau Lie Yang tak mendengarnya. Berbeda dengan anak murid Siauw- lim-sie yang menjaga di jarak dekat pertempuran itu. Seorang anak murid berlari kencang menuju kuil untuk mengabarkan berita ke kuil. Sambil menyeka keringat, murid gundul itu menyampaikan berita pertempuran langsung ke hadapan Thian Hun Siansu langsung. “Sepertinya ada pihak yang membatu kita, Siansu,” Kata Thio Pangcu kepada Thian Hun Siansu. “Apakah kita tak sebaiknya ikut turun tangan membantu mereka?” “Sebaiknya memang begitu, Pinceng ingin melihat siapa sebenarnya para pemimpin Ang-hong-pay itu.” Kali ini ketua Siauw-lim-sie langsung yang turun tangan. Biasanya semua urusan yang berhubungan dengan dunia persilatan ditangani oleh adik seperguruannya yang mengetuai murid Lo Han. Namun, tiga adik seperguurannya itu saat ini sedang sakit. Mereka mengalami luka dalam saat Siauw-lim-sie diserang oleh Ang-hong-pay tiga bulan yang lalu. Walaupun dipihak Siauw-lim-sie tak banyak jatuh korban, namun kerugian akibat bentrokan dulu membuat ketua kuil yang sudah tua itu harus bertindak sendirian. Di depannya sudah berdiri berbaris seratus delapan pasukan Lo Han dan tiga puluh tujuh murid bukan dari golongan pendeta. Dan masih ada puluhan anggota Kay-pang yang memakai kantong tiga ke atas. “Lima puluh empat murid Lo Han dan kalian semuanya ikut aku turun gunung. Sisanya tetap berjaga di sini!” Thian Hun Siansu memberi perintah tegas. Tak tanggung-tanggung. Hampir setengah murid Siauw-lim-sie diajakanya. Bahkan murid Siauw-lim-sie yang bukan pendeta diajaknya semuanya. Laporan yang diterimanya barusan sudah dipertibangkannya. Kalau pihak Ang-hong-pay berani membawa pasukannya sampai dua ratus lebih, penyernagan ini memang bukan main-main. Ia juga harus membawa lebih banyak lagi anak muridnya. Belum dihitung anggota Kay-pang dan orang-orang yang mendahuluinya menyerang Ang-hong-pay di bawah gunung sana. “Menurut Siansu, siapakah pihak lawan Ang-hong-pay yang membantu kita ini? Apakah mereka anggota Kim-liong-pay ataukah anggota partai silat lainnya?” Sambil menuruni jalan setapak, Thio- pangcu bertanya. “Aku belum begitu yakin, apakah mereka anggota Kim-liong-pay. Kita akan tahu secepatnya, siapa saudara-saudara yang membantu kita itu.” Jawab Thian Hun Siansu tanpa berhenti berjalan mengawali rombongan. <><><><><><>()<><><><><><>
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 112 dari 114
Lie Yang berlari sangat kencang. Saat berlari seperti ini, sungguh perasaanya begitu senang. Ia merasakan begitu bebas beraksi dan berekspresi. Selama berhari-hari ini, baru kali ini ia merasakan betapa nikmatnya menggemban amant nenk moyangnya. Melakukan semuanya untuk orang lain. Menolang orang lemah, meluruskan yang bengkok dan memberi kedamaian kepada semua orang. Ingin ia sesegera mungkin sampai di gelanggang pertempuran dan melihat bagaimana sepak terjang Ang-hong-pay yang sebenarnya. Kalau bisa, ia tak perlu turun tangan. Ia tahu betul, di tempat ini ia hanay sendirian, tanpa pasukan dan teman. Tujuan utama perjalanannya kali ini sebenarnya ingin mencari teman dan mengumpulkan anggota Kim-liong-pay yang telah tercerai berai oleh pertumpahan darah puluhan tahun yang lalu. Tiba-tiba saja ia merasakan ada sesuatu di depannya. Belum sempat ia menghentikan larinya, tiba- tiba saja di depannya muncul sosok memakai pakaian putih bersulam naga di depannya. Bukan main terkejutnya Lie Yang. Bukan hanya karena kemunculan orang berpakaian jubah putih secara tiba-tiba di depannya, akan tetapi ilmu peringan tubuh orang itu sungguh hebat. Apalagi pakaian dan topeng yang dipakainya sungguh mirip dengan pakaian yang dimilikinya. Topeng berwarna kuning emas itu sungguh sama dengan apa yang dipakainya saat ini. Setelah berhenti di depan orang bertopeng itu. Ia merasakan ada yang aneh dengan sosok di depannya. Ia menaksir orang itu sebentar sebelum membuka mulut. Orang di depannya tak setinggi dirinya, rambutnya diiarkan terurai tanpa diikat. Ia tak membawa senjata, kecuali sebuah suling perak yang terlihat di pinggang kanannya. “Siapa sebenarnya saudara, kenapa saudara menghalangi perjalananku?” Sosok bertopeng naga masih diam. Tak menjawab. Bahkan badannya tak bergerak. Sorot matanya menatap rapat Lie Yang. Bahkan bola mata itu pun tak bergerak sama sekali. Mengerikan! Namun Lie Yang tak gentar seandainya orang di depannya adalah musuh. “Sebaiknya engkau kembali. Tak akan ada pekerjaan untukmu di belakang sana!” Jawaban sosok bertopeng itu begitu datar. Sulit bagi Lie Yang untuk menentukan apakah nada itu adalah ucapan seorang teman atau musuh. Ia bahkan tak mengerti kenapa ia disuruh balik. “Apa maksud saudara menyuruhku balik?” “Tak perlu banyak tanya! Kembalilah. Atau engkau akan menjadi orang yang paling berdosa karena memiarkan banyak nyawa melayang dengan sia-sia,” “Bukankah di belakang sana terjadi pertempuran?” “Itu bukan apa-apa. Itu hanya umpan,” “Hanya umpan?” “Pernahkah engkau mendengar istilah memancing singa keluar dari huta?” “Maksud saudara, pertempuran di belakang sana hanya umpan untuk memancing para pendekar Siauw-lim-sie keluar kuil?” “Begitulah menurutku.” “Lalu...” “Tak ada waktu untuk berdebat, pangcu! Di belakang sana, saudara kita dari Kim-liong-pay tak akan kewalahan melawan anak buah Ang-hong-pay. Apalagi ada ratusan pendekar yang membantu. Ditambah puluhan anggota Pek-tiauw-pay. Ang-hong-pay tak akan mampu membendung badai besar itu.” Selesai berkata, sosok bertopeng itu bersalto belakang dan segera menghilang dari hadapan Lie Yang. Sebenarnya Lie Yang masih ingin bertanya, namun ia tak mampu mencegah kepergian sosok bertopeng itu. “Sebaiknya aku kembali ke kuil Siauw-lim-sie saja,” Berpikir seperti itu ia lantas menggenjot kakinya berbalik arah. Setelah Lie Yang pergi. Tiga sosok manusia bertopeng kelaur dari balik pohon. Sepertinya mereka sudah berada di balik sana sejak lama. “Pangcu kita terlalu muda,” “Ya, tampaknya pengalamannya terlau cetek di dunia kang-ouw,” Kata satunya. “Aku meragukan ilmunya juga, apakah ia benar-benar mampu memimpin Kim-liong-pay dan mengumpulkan anggota Kim-liong-pay yang telah tercerai-berai itu,” Lainnya merasa ragu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 113 dari 114
“Bagaimanapun juga, di dalam dirinya mengalir darah biru. Darah bangsawan Tionggoan dan Persia. Darah biru itulah yang akan membangkitkan segala kekuatan di dalam dirinya. Darah biru itulah yang akan menuntunnya kelak menjadi manusia sempurna.” “Kalau bukan kita yang mengajarinya dan menuntunnya, pangcu muda kita tak akan mampu membangun kembali Kim-liong-pay yang telah runtuh. Bukankah itu tugas kita bertujuh??!!!” Tiba-tiba muncul soosk lainnya. “Lebih baik kita mengikutinya!” Ajak lainnya. Dan dengan kecepatan kaki, mereka sudah berlari mengejar bayangan Lie Yang. Dalam perjalanan balik ke kuil Siauw-lim-sie, Lie Yang masih merasakan penasaran dengan sosok yang menemuinya itu. Tak henti-hentinya ia mencoba menebak siapa sosok manusia bertopeng itu. “Topeng dan baju yang dipaainya sangat mirip dengan milikku. Apakah dia anggota Kim-liong-pay? Kalau memang benar, siapa sebenarnya dia?” Tiba-tiba ia merasakan betapa rindunya ia dengan kakek buyutnya yang baru meninngal. Seandainya kakek buyutnya masih ada, mungkin ia bisa menanyakannya. Bahkan sampai saat ini ia masih belum bertemu dengan Dua Pelindung Kim-liong-pay. Sejak berpisah dua minggu yang lalu, ia belum mendapatkan kabar tentang mereka. Terakhir kali ia mendengar kabar mereka dari mulut Kho Sa, katanya Dua Pelindung sedang pergi menemui seseornag. Namun Kho Sa tak tahu siapa yang akan ditemui oleh Dua Pelindungnya. Semakin ia memikirkan hal-hal itu, ia semakin bingung dan tak mengerti. “Sebenarnya, apa yang harus kulakukan?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul kembali. Dan entah berapa kali ia sudah bertanya kepada dirinya dengan pertanyaan itu. “Mungkinkah orang itu yang ingin ditemui oleh Dua Pelindung?” Pikiran itu muncul dengan tiba-tiba ketika ia memikirkan keterlibatan Pek-tiauw-pay di tempat ini. Perguruan milik mertuanya itu pun ternyata ikut bergerak. Kalau begitu Dua Pelindung saat ini mungkin berada di tempat ini.
Bersambung ….
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 114 dari 114