11. Serakah
Jadi orang jangan terlalu pintar. Karena semakin pintar, semakin
gampang dikelabui. Lihat saja para korban Kospin, Qsar, Gold Coin,
Ibist atau paguyuban tepu-tepu sejenisnya. Mereka semua orang-
orang pintar dan terpelajar. Malahan ada yang bergelar doktor dan
profesor segala. Sejumlah anggota parlemen juga termasuk di
dalamnya. Tak terhitung lagi para pejabat negara, petinggi tentara,
dan juga perwira polisi. Ibu rumah tangga, pensiunan, purnawirawan,
guru, dukun dan bidan.
Mereka semua dengan sukarela, dan bahkan bergembira
dengan wajah berseri merona, menyerahkan duitnya untuk diputar
dengan kecepatan delapan belas ribu rpm. Dua kali lebih kecepatan
putaran baling-baling helikopter. Dengan harapan mendapatkan
imbal balik fulus berkoper-koper. Kenyataannya, sebagian besar
uang itu lenyap ditelan pusaran. Jangan-jangan, sebenarnya mereka
memang tidak pintar.
Organisasi-organisasi tipika-tipiki itu, tipu kanan tipu kiri, tak
pernah sedikipun berminat untuk memperdayai orang bodoh. Di
samping kurang menantang, orang bego biasanya tak punya uang.
“Ndak level. Buang-buang waktu saja,” sesumbar mereka dengan
nada menang, sambil memasukkan lembaran-lembaran uang ke
dalam tas besar yang terus menggelembung.
Herannya, kejadian seperti ini terus berulang. Meninggalkan
korban-korban yang malang. Dibiarkan terkapar makan tulang.
Banyak orang meradang. Kaki serasa ingin menendang. Mulut
bau para petualang. Yang bebas melenggang. Apakah mereka
tak pernah mau belajar? Padahal mereka orang-orang terpelajar.
216
SERAKAH
Apakah mereka telah kehilangan nyala pijar? Yang tak mau lagi
berpendar. Untuk mengingatkan manusia agar selalu sadar. Bahwa
setiap orang harus bersabar. Dan itu pasti terbayar. Dasar! Manusia
memang tamak.
Anton, karib Sony di kampung halaman sana, juga pernah
jadi korban. Pohon berdaun emas meliuk-liuk seksi di hadapannya.
Dengan belahan dada yang dibiarkan sedikit terbuka. Dan rok mini
yang mengumbar paha. Menyapanya dengan kalimat-kalimat lembut
bermantra, “Kamu tinggal siapkan pupuknya. Selebihnya serahkan
sama saya. Ranting-ranting akan menjuntai. Daunnya melambai-
lambai. Bisa dipanen berhelai-helai. Berkilau tanpa pernah padam.
Suara gemerincing akan terdengar setiap malam.”
Bujuk rayu si empunya pohon emas itu, yang didendangkan
oleh Karjo, juga teman Sony semasa SMA, sebenarnya sama sekali
tak masuk akal. Bahkan sangat dangkal. Ketahuan jelas itu akal
kadal. Janji-janji sundal. Tapi tetap terdengar senikmat cokelat.
Keserakahan telah membungkam akal sehat.
Bapak, ibu, kakak, adik, pakde, bude, paklik, bulik, sepupu,
sepaha, ipar, semua pada ditawari. Diajak bergabung. Semua
kenalan dihubungi. Pak Lurah dan Pak Camat juga ikutan. Jadilah
Anton yang berperawakan pendek dan kecil itu pengepul pupuk.
“Boleh setor berapa saja. Nanti digabung jadi satu. Saya yang
tanggung jawab. Sampeyan tinggal duduk-duduk manis. Koin emas
akan menggelinding berlapis-lapis.”
Sedap benar kedengarannya. Semua orang pasti ngiler. Sekali
dua kali tegukan air berkilau sempat menyegarkan dahaga mereka.
Setelah itu tak ada lagi, setetes pun. Sudah kering. Ditunggu-tunggu
juga tak kunjung datang kabarnya. Rasa was-was mulai menyergap.
Jangan-jangan …. Jangan-jangan …, pikir Anton yang kian cemas
dan gagap. Dia merasa harus segera bertindak sigap.
“Jo, bagaimana ini? Apakah pohonnya sudah layu?” Anton
bertanya dengan curiga.
Namun Karjo terus berusaha menenangkannya dengan
alasan sekenanya. “Matahari lagi tertutup awan tebal. Jadi klorofil
217
ASBUN: Asal Bunyi
218
SERAKAH
219
ASBUN: Asal Bunyi
220
SERAKAH
221
ASBUN: Asal Bunyi
222
SERAKAH
223
ASBUN: Asal Bunyi
224
SERAKAH
225
ASBUN: Asal Bunyi
berkata-kata.
Candra tak percaya dengan penglihatannya. Tangannya
langsung meraba-raba. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Setelah
mengorek-ngorek tanah agak dalam lagi, dia temukan sepotong kayu
kecil berwana cokelat muda. Ukurannya persis sama. Bentuknya
serupa. Dengan latakan emas yang telah sirna. Hanya berbeda
warna. Dan, tentu saja, lain jenisnya.
“Minggu depan kita ulangi. Maharnya lebih tinggi. Dua ratus
gram,” kata mbah dukun yang berwajah garang itu.
Anehnya, mereka menurut saja. Berkali-kali nyaris belaka.
Dan maharnya semakin besar pula.
Seorang mantan pejabat pernah jadi korban. Rayuan gombal
menggiringnya masuk ke dalam sebuah jebakan. Meski tak terlalu
akrab, Sony cukup lama mengenalnya. Malang benar nasibnya. Pria
terhormat bergelar doktor itu harus kehilangan fulus. Sebanyak lima
kardus. Dalam jutaan, nilainya mencapai tujuh ratus. Hangus.
Petaka bermula dari hasrat yang membabi buta. Mengejar
harta durjana dengan cara-cara yang nista. Modalnya memang
sangat besar. Tapi dia haqul yakin duitnya bakal mekar. Sudah
disiapkan dua truk kekar. Diparkir di sela-sela belukar. Kendaraan
raksasa beroda sepuluh itu akan pulang dengan berkardus-kardus
uang. Setiap truk diberi tanda silang. Supirnya dikawal oleh dua orang
pawang. Masing-masing bersenjatakan pestol dan kelewang. Juga
cabe rawit dan bawang. Ditusuk-tusuk melintang. Untuk menangkal
tuyul jail dalam perjalanan pulang.
Di tengah hutan mereka berhimpun. Tanpa nyanyian-nyanyian
gembira ataupun api unggun. Tak seperti Pramuka yang ramai-
ramai berkemah sekali dalam setahun. Sebaliknya, hanya wajah-
wajah yang tekun. Dengan duduk bersila mereka melakukan ritual
dipimpin mbah dukun. Mengelilingi kardus-kardus berisi uang yang
telah disusun. Tertutup rapi di bawah tumpukan daun. Rapalan-
rapalan mantra segera mengalun. Tubuh sang dukun terayun-ayun.
Secara perlahan muncul kabut pekat. Sementara bau dupa
kian menyengat. Lingkaran manusia itu mulai merapat. Membentuk
226
SERAKAH
227
ASBUN: Asal Bunyi
228
SERAKAH
terasa sedikit panas. Sony jadi tidak mengerti, kok begini jadinya.
Agak rikuh juga dia.
“Kalau kamu, ndak mungkin dikasih. Lha wong kamu serakah,”
jawabnya dengan seenaknya sambil menyeruput kopi panas yang
baru saja dihidangkan Febriana.
Sialan, dibilang serakah. Terus terang saja, Sony benar-benar
tersinggung dikatain serakah. Dia sama sekali bukan orang yang
serakah. Cuma mata duitan.
Bukannya mbelain, Fadli yang duduk di sampingnya malah
ikut-ikutan memojokkannya. “Bisa saja kamu dikasih duit banyak,
tapi uang jin. Mau dipakai beli apa? Belanja di mana? Paling-paling
harus pergi dulu ke pasar jin.”
Benar juga apa yang dia bilang. Money changer pasti menolak
duit jin. Demikian pula bank. Di samping tidak tahu harus ditukar
pada nilai kurs berapa, pasti mereka juga kebingungan harus dijual
ke mana lagi uang jin itu.
Tapi, tunggu sebentar. Bagaimana, ya, kira-kira bentuk
uang jin? Apakah sama dengan duit manusia? Bisa jadi wujudnya
bermacam-macam. Segitiga, jajaran genjang, lingkaran, pita atau
bulatan-bulatan kecil seperti permen karet yang berwarna-warni.
Kalau memang demikian, berarti manusia selama ini kurang kreatif,
karena hanya mengenal alat tukar dalam bentuk koin dan kertas
yang dipotong-potong persegi panjang.
“Potong yang benar! Ukurannya harus sama persis. Kalau
perlu saya bayar lebih.” Candra memaki pegawai toko kertas itu.
Dia merasa tidak dihargai dan dilecehkan. Pemuda yang rambutnya
panjang dikelabang tersebut senyam-senyum melulu. Rekan kerja
di sebelahnya, yang membantunya menata dalam tumpukan-
tumpukan rapi potongan-potongan kecil kertas itu, juga demikian.
Mereka saling lempar kedipan. Dengan seulas senyuman kecil
yang tertahan.
Candra membeli kertas HVS 80 gram ukuran plano besar
sebanyak tiga rim. Dipotong-potong seukuran duit seratus ribu.
Selembar uang merah dijadikan mal untuk ditiru. Diukur secara teliti.
229
ASBUN: Asal Bunyi
Tak boleh meleset barang semili, apalagi sesenti. Dia periksa ulang
setiap sisi. Semuanya harus presisi. Kemudian dia bawa pergi ketiga
bungkusan besar itu dengan taksi.
Bahan baku sudah siap, pikirnya. Sekarang harus cari kongsi
untuk patungan beli minyak Jafaron. Ini bukan minyak sembarangan.
Didatangkan langsung dari Arab. Konon, parfum ini sangat disukai
bangsa jin dari kalangan atas, baik generasi tua maupun remaja.
Parfum pilihan. Sekelas Channel di dunia manusia. Satu tetes
harganya empat juta. Dibutuhkan satu ampul kecil agar jin sakti
mau datang untuk menyulap potongan-potongan kertas itu menjadi
lembaran-lembaran rupiah.
Candra mencoba menghubungi teman-temannya sesama
pemburu harta. Sebagian tinggal di luar kota. Namun banyak juga
yang berumah di Jakarta. Sungguh sial. Tak seorang pun memberi
sinyal. Mereka semua pada tiarap. Kehabisan cakap. Karena baru
dikerjain habis-habisan oleh seorang dukun keparat dari Cilacap.
Candra kebingungan. Duit yang ada di tangannya hanya lima
belas juta. Bahkan sudah berkurang lima puluh ribu. Dipakai beli
rokok dan makan siang. Ditimang-timangnya segepok uang lusuh
yang berikat karet gelang berwarna kuning mentah. Hasil penjualan
motor kesayangan adiknya dan semua perhiasan ibunya.
Sepuluh juta sudah dialokasikan untuk jasa mbah dukun.
Angka itu sama sekali tak bisa ditawar. Sedangkan yang satu juta
untuk biaya transport dan kelengkapan ritual. Berarti hanya bisa beli
satu tetes. Padahal satu ampul harusnya berisi dua puluh empat
tetes. Masih jauh. Tapi Candra tak kehilangan akal. Beli satu tetes
saja. Nanti dicampur alkohol. Jin yang kurang teliti pasti tidak tahu.
Beginilah, cara berpikir orang yang biasa beli parfum tembakan.
Candra segera berangkat ke rumah gurunya, Mbah Bardam,
di Sukabumi. Sang dukun ternyata tak tahu kalau minyak Jafaron
itu oplosan. Berarti aman, pikirnya. Tinggal syarat-syarat tambahan.
Kembang tujuh rupa. Air dari tujuh sumur yang berbeda. Tujuh butir
merica. Seekor ayam jantan putih mulus. Dan terakhir, sepotong
celana dalam gadis perawan, harus sudah dipakai tapi belum dicuci.
230
SERAKAH
231
ASBUN: Asal Bunyi
232
SERAKAH
233
ASBUN: Asal Bunyi
234
SERAKAH
235