Anda di halaman 1dari 20

ASBUN: Asal Bunyi

11. Serakah
Jadi orang jangan terlalu pintar. Karena semakin pintar, semakin
gampang dikelabui. Lihat saja para korban Kospin, Qsar, Gold Coin,
Ibist atau paguyuban tepu-tepu sejenisnya. Mereka semua orang-
orang pintar dan terpelajar. Malahan ada yang bergelar doktor dan
profesor segala. Sejumlah anggota parlemen juga termasuk di
dalamnya. Tak terhitung lagi para pejabat negara, petinggi tentara,
dan juga perwira polisi. Ibu rumah tangga, pensiunan, purnawirawan,
guru, dukun dan bidan.
Mereka semua dengan sukarela, dan bahkan bergembira
dengan wajah berseri merona, menyerahkan duitnya untuk diputar
dengan kecepatan delapan belas ribu rpm. Dua kali lebih kecepatan
putaran baling-baling helikopter. Dengan harapan mendapatkan
imbal balik fulus berkoper-koper. Kenyataannya, sebagian besar
uang itu lenyap ditelan pusaran. Jangan-jangan, sebenarnya mereka
memang tidak pintar.
Organisasi-organisasi tipika-tipiki itu, tipu kanan tipu kiri, tak
pernah sedikipun berminat untuk memperdayai orang bodoh. Di
samping kurang menantang, orang bego biasanya tak punya uang.
“Ndak level. Buang-buang waktu saja,” sesumbar mereka dengan
nada menang, sambil memasukkan lembaran-lembaran uang ke
dalam tas besar yang terus menggelembung.
Herannya, kejadian seperti ini terus berulang. Meninggalkan
korban-korban yang malang. Dibiarkan terkapar makan tulang.
Banyak orang meradang. Kaki serasa ingin menendang. Mulut
bau para petualang. Yang bebas melenggang. Apakah mereka
tak pernah mau belajar? Padahal mereka orang-orang terpelajar.

216
SERAKAH

Apakah mereka telah kehilangan nyala pijar? Yang tak mau lagi
berpendar. Untuk mengingatkan manusia agar selalu sadar. Bahwa
setiap orang harus bersabar. Dan itu pasti terbayar. Dasar! Manusia
memang tamak.
Anton, karib Sony di kampung halaman sana, juga pernah
jadi korban. Pohon berdaun emas meliuk-liuk seksi di hadapannya.
Dengan belahan dada yang dibiarkan sedikit terbuka. Dan rok mini
yang mengumbar paha. Menyapanya dengan kalimat-kalimat lembut
bermantra, “Kamu tinggal siapkan pupuknya. Selebihnya serahkan
sama saya. Ranting-ranting akan menjuntai. Daunnya melambai-
lambai. Bisa dipanen berhelai-helai. Berkilau tanpa pernah padam.
Suara gemerincing akan terdengar setiap malam.”
Bujuk rayu si empunya pohon emas itu, yang didendangkan
oleh Karjo, juga teman Sony semasa SMA, sebenarnya sama sekali
tak masuk akal. Bahkan sangat dangkal. Ketahuan jelas itu akal
kadal. Janji-janji sundal. Tapi tetap terdengar senikmat cokelat.
Keserakahan telah membungkam akal sehat.
Bapak, ibu, kakak, adik, pakde, bude, paklik, bulik, sepupu,
sepaha, ipar, semua pada ditawari. Diajak bergabung. Semua
kenalan dihubungi. Pak Lurah dan Pak Camat juga ikutan. Jadilah
Anton yang berperawakan pendek dan kecil itu pengepul pupuk.
“Boleh setor berapa saja. Nanti digabung jadi satu. Saya yang
tanggung jawab. Sampeyan tinggal duduk-duduk manis. Koin emas
akan menggelinding berlapis-lapis.”
Sedap benar kedengarannya. Semua orang pasti ngiler. Sekali
dua kali tegukan air berkilau sempat menyegarkan dahaga mereka.
Setelah itu tak ada lagi, setetes pun. Sudah kering. Ditunggu-tunggu
juga tak kunjung datang kabarnya. Rasa was-was mulai menyergap.
Jangan-jangan …. Jangan-jangan …, pikir Anton yang kian cemas
dan gagap. Dia merasa harus segera bertindak sigap.
“Jo, bagaimana ini? Apakah pohonnya sudah layu?” Anton
bertanya dengan curiga.
Namun Karjo terus berusaha menenangkannya dengan
alasan sekenanya. “Matahari lagi tertutup awan tebal. Jadi klorofil

217
ASBUN: Asal Bunyi

tidak bekerja maksimal. Sabar. Jangan dulu gusar. Sebentar lagi


awan akan pergi. Daun akan rimbun kembali.”
Namun awan gelap itu tak juga mau beranjak. Pohon itu
layu bagai tonggak. Daunnya berguguran. Warnanya memudar.
Yang tersisa hanyalah duri-duri tajam. Setajam silet, kata pembawa
acara gosip di TV. Ribuan kepala langsung tertunduk lesu. Tatapan
mata mereka sayu. Nafas Anton menderu-nderu. Tenggorokannya
terasa kaku. Kepalanya seperti digetok palu. Dadanya serasa
ditusuk-tusuk paku. Istrinya menangis tesedu-sedu. Keluarganya
menanggung malu.
Karjo menghilang tanpa meninggalkan selembar pesan.
Keluarganya masa bodoh dan terkesan lepas tangan. “Tidak tahu,”
jawab mereka, tanpa berani menatap muka. Sony jadi teringat
sebaris syair lagu mendayu-dayu yang dilantunkan Ratih Purwasih,
“Jangankan menulis surat, menitip salam pun aku tak boleh ….”
Karjo. Karjo. Dua tahun kemudian Sony ketemu adiknya
dalam acara halal bihalal sebuah partai politik di Jakarta. Maka dia
tanyakan kabar kakaknya itu. “Bagaimana keadaan Karjo? Sudah
lama tak terdengar kabarnya.”
Ichwan tampak kurang antusias menanggapi pertanyaan
Sony. Sepertinya dia tak terlalu berminat untuk bercerita mengenai
kakaknya. Maka Sony mengalihkan pembicaraan, berganti ke
soal pekerjaan. Obrolan mereka semakin seru ketika nyerempet-
nyerempet ke soal hantu.
“Karjo sekarang lebih banyak tinggal di rumah,” tiba-tiba
Ichwan mengubah arah pembicaraan.
Maka mengalirlah cerita itu. Setelah terhempas oleh kasus
koin emas, Karjo kehilangan gairah hidupnya. Setiap malam kerjanya
cuma ngobrol ngalor-ngidul dengan pemuda-pemuda pengangguran
di pos ronda. Subuh baru pulang. Kemudian tidur hingga tengah
hari. Berubah dari makhluk diurnal menjadi nocturnal. Ngumpet di
saat terang, keluyuran di kegelapan malam. Persis seperti kalong.
Saudara-saudaranya cemas. Tapi, anehnya, istri dan anak-
anaknya tidak protes sama sekali. Mereka menganggap hal itu

218
SERAKAH

normal-normal saja. Bahkan mereka tetap menjalani hidup dengan


gaya sok kaya. Kakak-kakak dan adiknya pun patungan modal bikin
warung sembako, agar Karjo punya penghasilan. Ternyata tak juga
jalan. Malahan, aset-aset warung habis dia jual. “Buat beli rokok,”
katanya, tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Jengkel saya. Ini orang benar-benar susah dikasih tahu,”
keluh Ichwan, seolah ingin mencurahkan semua kegalauan hatinya
kepada Sony. Curhat.
Sony hanya mendengarkan keluh kesahnya, tanpa memberi
komentar. Sungguh tak terbayangkan, Karjo yang pintar beradu
argumentasi itu telah berubah total. Dari cerita yang disampaikan
adiknya, Sony merasa tak mengenal Karjo lagi. Sudah lain. Bukan
lagi Karjo yang suka bercanda dan bernyanyi, dan selalu gigih
mewujudkan keinginannya.
“Son, kamu kan kawan baiknya. Tolong kasih tahu dia. Jangan
keluyuran malam. Bangun pagi. Kerja apa saja. Pokoknya hidup
normal. Masalah uang gampang. Keluarga bisa bantu,” imbuhnya
dengan tatapan mata berharap.
“Saya akan coba,” Sony mengiyakan.
“Sementara ini,” kata Ichwan menutup pembicaraan, “memang
tak ada jalan lain. Secara bergantian keluarga memberikan subsidi
untuk biaya hidup Karjo dan keluarganya.”
Maka, siang itu Sony menelpon Karjo. Namun dia harus
menelan kecewa. Tadinya dia berharap bisa mengobrol seperti
teman lama. Sony jadi keki. Omongan Karjo selalu tinggi-tinggi.
Nyerocos tanpa henti. Sangat jauh dari kenyataan hidupnya sehari-
hari. Makanya, sengaja dia biarkan Karjo ngomong apa saja dalam
percakapan satu arah itu. “Udahan ya Jo, pulsaku habis.”
Ketika besoknya mau menelepon Karjo lagi, Sony malah
ragu-ragu. Tanpa sadar ibujarinya justru memencet nomor HP
Anton. “Hey, Ton, aku sudah ketemu Karjo. Ada salam untukmu.
Dia bilang sekantong koin emas sudah dikuburkan di halaman
belakang rumahmu. Malam Jum’at coba kamu congkel pakai kayu.
Pasti ketemu.”

219
ASBUN: Asal Bunyi

Anton hanya cengengesan mendengar ledekan Sony. “Ya,


Son. Saya coba malam Jum’at nanti. Tolong bantu doa. Salam
buat Karjo.”
Tapi Sony penasaran, mengapa Karjo suka tidur sampai
tengah hari. Jadi bangsawan. Bangsane tangi awan. Tanpa sengaja
dia menemukan jawabannya pada waktu melakukan hal serupa
di hari libur. Mimpinya bagus-bagus. Gila. Dia terbuai mimpi cinta
pertamanya, dan Bethany juga datang menghampirinya. Kali lain,
dia mimpi jadi milyuner, orang terkenal, bisa terbang, bisa ngilang,
dan yang asyik-asyik lainnya. Day dream. Bikin ketagihan. Don’t try
this at home.
Rupanya, ketika hari terang, di mana dunia sedang berada
pada puncak aktivitasnya, demikian pula lingkungan sekitar,
rangsangan-rangsangan dari luar berseliweran memicu aktivitas
otak orang yang sedang tidur. Makanya, orang suka dibilang mimpi
di siang bolong apabila ngomongnya muluk-muluk dan berkhayal
yang bukan-bukan. Ya, benar. Mimpi di siang bolong.
“Siang, Bos. Lagi banyak kerjaan kayaknya.”
Sony agak pangling dengan penampilan tamu yang datang
pada saat dia sedang bersiap makan siang di kantornya, di Mampang.
Berdasi dan pakai jas segala. Rambutnya yang agak panjang diikat
rapi membentuk ekor kuda buntung. Tubuhnya yang tak seberapa
kekar menebar wangi jantan yang khas. Sepertinya dia kenal parfum
itu. Ya, Hugo Boss. Sungguh lain dari biasanya.
“Hey, Drus, keren sekali kamu hari ini. Kerja di mana sekarang?
Banyak uang, ya? Bagi-bagi, dong. Oh, ya, sudah makan? Kita
makan bareng, yuk.”
Sony segera memanggil Usep, office boy kepercayaannya
itu. “Sep, tolong belikan soto sulungnya satu lagi. Ada tamu penting.
Kamu masih ingat kan, sama Pak Idrus? Sekalian, tambah krupuk
udangnya.”
Usep hanya mengangguk. Dan langsung pergi.
Idrus adalah kawan lama. Pekerja freelance ketika Sony
baru memulai usaha kembali setelah perusahaannya terjengkang

220
SERAKAH

dihempas krisis ekonomi. Idrus. Kreativitasnya memang luar biasa.


Banyak klien yang suka dan puas dengan hasil kerjanya. Dulu,
ketika Sony menawarkan kepadanya untuk bergabung saja, Idrus
langsung menolak mentah-mentah.
“Mas, saya nggak mau merepotkan. Sampeyan kan sudah tahu.
Bagaimana bila tiba-tiba saya ngilang enam bulan untuk bertapa?
Mendinginkan bara di dada. Ngunduh ilmu sambil cari pusaka.”
Kecenderungan supranatural orang Purwokerto itu memang
tampak jelas dari caranya berpakaian dan bahan obrolannya. Bahkan
Sony pernah mendengar Idrus membeli seekor burung perkutut sakti
seharga dua puluh juta. Tak disangka-sangka, besoknya burung itu
mati begitu saja. Jagat klenik pula yang membawanya masuk ke
dalam lingkaran pergaulan yang sangat luas. Idrus punya banyak
kawan. Mulai dari kalangan selebriti hingga petinggi tentara.
“Saya jadi salesman sekarang,” katanya, tanpa menatap mata
Sony. Lelaki berjenggot dan berkumis itu sedang sibuk berjoget lidah
dengan semangkuk soto. Sendok di tangan kanan, krupuk di tangan
kiri. Garpu dia biarkan merana di meja. Tanpa pernah disentuhnya.
Idrus menyeruput kuah soto yang panas itu dengan lahapnya. Keringat
mulai menitik di keningnya. Garis bibirnya agak bergetar memerah.
Dari caranya mengunyah, Sony tahu kawan lamanya itu
sangat menikmati makanan kegemarannya. “Jualan apa, Drus?”
tanya Sony, sambil menyelesaikan satu gigitan lagi krupuk udang
yang renyah.
“Begini. Saya disuruh Jenderal Kancil menukarkan uangnya.
Dari rupiah ke dolar Amerika. Dia mau terima dolar minimal satu
juta. Harganya dua puluh persen lebih murah.”
Kemudian dia bercerita mengenai kenalannya. Sesama pemburu
pusaka. Seorang tentara yang kaya raya. Uang berjibun disimpan di
rumahnya. Hingga dua kamar banyaknya. Dalam tumpukan-tumpukan
kardus yang tertata. Semuanya pecahan lima puluh ribu rupiah. Dia
takut bank bertanya. Dari mana duit itu asalnya.
“Kenapa tidak pergi ke money changer saja?” tanya Sony
asal bunyi. Sebab, bila Idrus mau menawarkan uang segede itu

221
ASBUN: Asal Bunyi

kepadanya, jelas dia tak punya.


“Ya tidak mungkin kita jual ke pedagang valuta. Terlalu besar
jumlahnya. Mereka akan curiga. Kita bisa celaka. Makanya saya
datang ke sini. Kalau ada kawan yang mau, tolong saya dikasih
rekomendasi.”
Rupanya sudah hampir empat bulan dia pergi kesana-kemari.
Tapi belum ada satu pun yang tergenggam jemari. Kemudian dia
bercerita lagi bahwa duit seabrek itu dijaga oleh empat orang tentara.
Tapi si empunya masih was-was hatinya. Sehingga harus ditambahkan
sepeleton jin untuk mengawalnya. Sudrun nama komandannya.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, tiba-tiba Idrus melontarkan
sebuah ajakan maut yang tak pernah sedikit pun terlintas dalam
benak Sony. “Mas, bagaimana kalau sebagian uang itu kita colong
saja. Hasilnya kita bagi dua. Saya pernah bicara sama Sudrun. Dia
bilang mau bantu.”
Edan. Beginilah cara berpikir orang yang sudah putus asa.
Atau, memang sudah sifat manusia untuk menjadi serakah. Dengan
menghalalkan segala cara. Asalkan tercapai tujuannya. Tapi, aneh
bin ajaib, Sony terpancing oleh ajakannya. “Bagaimana caranya,
Drus?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Idrus pun membeberkan rencananya. “Kita pakai kantor ini. Di
sini. Ya, di sini. Di ruangan ini,” katanya, seraya memperhatikan dengan
seksama setiap jengkal ruang kerja Sony. Dia tampak tersenyum
setelah melihat ada jendela kaca yang dapat dibuka-tutup.
Tapi Sony masih belum mengerti maksudnya. Kalau
mau nyolong, kan harus pergi ke rumah Jenderal Kancil. Pakai
kostum hitam dan menyelinap di malam hari. Mengendap-endap
membongkar kunci. “Maksudnya bagaimana, Drus?” tanya Sony
dengan tak sabar.
“Begini, malam Jum’at nanti, tengah malam, kita di sini. Tinggal
menunggu saja. Sudrun dan anak buahnya akan membawa uang itu
ke sini. Yang penting jendela dibuka. Maka uang akan melayang-
layang dan masuk. Bertumpuk-tumpuk. Besok saya temui Sudrun,
untuk membicarakan rencana ini.”

222
SERAKAH

Tak berapa lama kemudian Idrus pamit pulang. Sony menyuruh


Tukijan mengantarnya. Ini tamu yang sangat penting. VVIP. Harus
diservis habis-habisan.
Sony benar-benar termakan oleh rencana jahat itu.
Khayalannya langsung melayang-layang. Paling tidak bisa beli
Jaguar barang sebiji. Tapi, tunggu dulu. Bagaimana mungkin hasilnya
dibagi dua? Kan ada pihak ketiga? Sudrun dan konco-konco-nya.
Emangnya dia mau kerja gratisan. Mana mungkin? Bagaimana
kalau dia minta imbalan nyawa?
Sony jadi ketakutan sendiri memikirkannya. Gamang hatinya.
Tapi ini urusan duit besar. Sayang kalau dilepas begitu saja. Lama
sekali dia terpekur memikirkan jalan keluar yang paling mungkin dan
aman, sampai akhirnya dia temukan solusi yang tokcer. Bila Sudrun
benar-benar minta imbalan nyawa, itu tak masalah. Asal jangan
nyawanya. Ambil saja salah satu nyawa dari kantor sebelah. Karena
mereka suka menyerobot tempat parkirnya. Beres sudah.
Kamis sore, langit temaram. Pukul setengah enam. Semua
karyawan sudah pada menghilang. Tukijan sudah duluan dia suruh
pulang. “Ada pekerjaan penting yang harus saya selesaikan malam
ini,” kata Sony kepada Usep, yang tampak agak bingung.
Office boy itu dia tahan hingga pukul delapan. Sony
menghabiskan waktu dengan main games di laptop. Menunggu
Idrus datang berselop. Tapi, hingga pukul sepuluh, pintu belum juga
ada yang mengetuk. Sementara Sony mulai diserang rasa kantuk.
Sambil menguap dia menengok jam di dinding. Jarum-jarumnya
runcing menuding. Bulu kuduknya terasa agak merinding.
“Drus …. Idrus …. Di mana kamu? Ini sudah jam dua belas
malam. Aku takut Sudrun keburu bertandang.”
Tak ada yang menjawab. Senyap. Dan tidak pula ada yang
datang. Panggilan telepon tak berjawab. SMS tak bertanggap. Sony
pun merebahkan diri di sofa. Langsung pulas.
Keesokan paginya Sony buru-buru menghubungi Idrus. Tapi
HP-nya mati terus. Dia berusaha tanpa putus. Hingga panggilan
keseratus. Tak juga tembus. Gagal sudah rencana dapat fulus. Kini

223
ASBUN: Asal Bunyi

saatnya pergi ke kakus. Membuang isi usus. Ampas nasi bungkus.


Sambil nongkrong, pikirannya berputar-putar dalam beberapa jurus.
Jangan-jangan Idrus telah dikhianati oleh Sudrun. Bisa jadi jin
plin-plan itu melapor kepada majikannya mengenai rencana konspirasi
kelas kakap. Sehingga Idrus langsung ditangkap. Pergelangan
tangannya digari. Sementara di keningnya sepucuk pestol menari-
nari. Pelatuknya tinggal menunggu ditekan dengan jari.
Sudah. Sudah. Sony membuang jauh-jauh pikiran buruk itu.
Tak mau lagi dia berhubungan dengan Idrus. Bikin perut murus. Otak
kobong. Tolooong … tolooong … tolooong ….
“Mas, tolong Candra. Saya tak tahu harus bagaimana. Barang-
barang di rumah sudah ludes semua. Dijual paksa. Sebagian lagi
disita. Keluarga sudah pasrah. Nyerah.”
Perempuan tua itu terisak di kantor Sony. Suaranya terbata-
bata. Tersendat-sendat mengalirkan kata. Berkali-kali dia menyeka
matanya yang berkaca-kaca. Dengan sapu tangan yang terbuat dari
kain perca. Di lehernya menggantung kacamata baca.
Candra, putra kebanggaannya itu, keranjingan berburu harta
karun. Ke mana-mana yang dicari selalu dukun. Kalau diajak bicara
lagaknya seperti orang pilun. Menyeringai sambil mengelus jakun.
Meski kadang-kadang memasang muka tekun. Lehernya bergoyang-
goyang seperti ayam kalkun.
Candra sahabat Sony semasa kuliah. Pernah bersama-sama
dalam senang dan susah. Rasanya sudah lama dia tak bersua
dengannya. Semenjak Candra melanjutkan studinya ke Australia.
Memang, setahun sebelumnya Candra pernah datang ke kantornya.
Sekali saja. Hanya sempat bertukar beberapa kata. Tampaknya dia
sedang tergesa-gesa. Saat pamit pulang dia mengutarakan niatnya.
Mau pinjam fulus seratus juta. Dengan jaminan selembar sertifikat
tanah. Ditambah sebaris sumpah. Katanya sedang urus bisnis
permata. Batu merah delima.
Sony tak bisa memenuhi permintaannya. “Sorry, Ndra. Aku
nggak bisa kasih, karena uang saya harus terus diputar. Tapi, kalau
kamu ada kesulitan, aku bisa bantu,” katanya sambil memberikan

224
SERAKAH

amplop berisi uang dua juta.


Candra. Candra. Candra. Dulu Sony mengenalnya sebagai
mahasiswa yang pintar. Gemar memetik gitar. Memelihara seekor
ular. Meski omongannya kadang berputar-putar. Tapi tak pernah
kehilangan kelakar. Senyumnya lebar. Raut mukanya selalu bersinar.
Dahinya bundar. Dengan aura terang yang senantiasa memancar.
Tutur katanya halus dan mengalir lancar. Setahun sekali dia ganti
pacar. Cewek-cewek yang naksir pada ngantri berjajar. Dengan hati
yang bergetar. Sony iri kepadanya.
Tapi kini Candra telah banyak berubah. Garis wajahnya kaku
seperti muka kuda. Bajunya dekil berwarna ungu muda. Jaketnya
tengil berlubang di dada. Dalam usianya sudah tak lagi muda, dia
hidup melajang tak berkeluarga. Sehari-hari numpang di rumah
orangtuanya. Sony pernah mendengar Candra sudah menduda.
Candra menerlantarkan bisnisnya dengan sumpah serapah.
Akibat rencana yang mentah. Rugi segede gajah. Merasa masa
depannya patah-patah. Dia beralih mengejar harta dari antah
berantah. Dengan pancingan sepotong emas dan asap dupa.
Berharap akan berjatuhan latakan-latakan kuning menyala. Dari
langit yang tak berwarna. Di tengah orang-orang yang duduk bersila.
Wajah-wajah serius mengadu asa. Siapa tahu keberuntungan
segera tiba. Dan impian jadi nyata. Dengan merapalkan mantra.
Tanpa pernah tahu apa maknanya.
Mulut mbah dukun komat-kamit. Mengunyah kunyit.
Tangannya mengayun-ayunkan sendal jepit. Mencoba memanggil
demit. Ditunggu hingga bermenit-menit. Belum juga muncul pertanda
barang sekelumit.
“Ada yang belum ikhlas hatinya,” kilah Mbah Cokro yang alis
matanya putih menjuntai itu.
Lempengan emas seberat seratus gram, yang dibeli secara
patungan oleh Candra bersama ketiga orang temannya, lenyap
begitu saja. Sedikit pun tak bersisa. Ini bukan tipuan mata. Tapi
sesuatu yang nyata. Padahal tadi jelas-jelas ditanam di hadapan
mereka. Oleh dua orang asisten dukun celaka. Yang bekerja tanpa

225
ASBUN: Asal Bunyi

berkata-kata.
Candra tak percaya dengan penglihatannya. Tangannya
langsung meraba-raba. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Setelah
mengorek-ngorek tanah agak dalam lagi, dia temukan sepotong kayu
kecil berwana cokelat muda. Ukurannya persis sama. Bentuknya
serupa. Dengan latakan emas yang telah sirna. Hanya berbeda
warna. Dan, tentu saja, lain jenisnya.
“Minggu depan kita ulangi. Maharnya lebih tinggi. Dua ratus
gram,” kata mbah dukun yang berwajah garang itu.
Anehnya, mereka menurut saja. Berkali-kali nyaris belaka.
Dan maharnya semakin besar pula.
Seorang mantan pejabat pernah jadi korban. Rayuan gombal
menggiringnya masuk ke dalam sebuah jebakan. Meski tak terlalu
akrab, Sony cukup lama mengenalnya. Malang benar nasibnya. Pria
terhormat bergelar doktor itu harus kehilangan fulus. Sebanyak lima
kardus. Dalam jutaan, nilainya mencapai tujuh ratus. Hangus.
Petaka bermula dari hasrat yang membabi buta. Mengejar
harta durjana dengan cara-cara yang nista. Modalnya memang
sangat besar. Tapi dia haqul yakin duitnya bakal mekar. Sudah
disiapkan dua truk kekar. Diparkir di sela-sela belukar. Kendaraan
raksasa beroda sepuluh itu akan pulang dengan berkardus-kardus
uang. Setiap truk diberi tanda silang. Supirnya dikawal oleh dua orang
pawang. Masing-masing bersenjatakan pestol dan kelewang. Juga
cabe rawit dan bawang. Ditusuk-tusuk melintang. Untuk menangkal
tuyul jail dalam perjalanan pulang.
Di tengah hutan mereka berhimpun. Tanpa nyanyian-nyanyian
gembira ataupun api unggun. Tak seperti Pramuka yang ramai-
ramai berkemah sekali dalam setahun. Sebaliknya, hanya wajah-
wajah yang tekun. Dengan duduk bersila mereka melakukan ritual
dipimpin mbah dukun. Mengelilingi kardus-kardus berisi uang yang
telah disusun. Tertutup rapi di bawah tumpukan daun. Rapalan-
rapalan mantra segera mengalun. Tubuh sang dukun terayun-ayun.
Secara perlahan muncul kabut pekat. Sementara bau dupa
kian menyengat. Lingkaran manusia itu mulai merapat. Membentuk

226
SERAKAH

segi empat. Mantra-mantra dilafalkan dengan penuh semangat.


Dalam hentakan nada cepat. Untuk mengundang arwah jahat. Yang
datang tanpa pakai cawat. Maka setan-setan besepakat. Membawa
mereka ke jalan sesat.
Psssttt …. Terdengar bunyi mendesis dari dalam tumpukan
daun. Tangan mbah dukun langsung berhenti mengayun. Kepala
diangkat, mata menatap langit. Keningnya sedikit berkernyit. Ini
dia. Mantra itu sudah bekerja. Angan-angan sudah di depan mata.
Kardus-kardus itu pasti akan segera menggunung seperti tumpukan
batu bata.
Namun, segaris api yang berkilat tiba-tiba menyambar. Anak-
anaknya yang menyengat berlarian berkobar-berkobar. Tanpa
banyak koar-koar. Langsung berbuat makar. Kardus-kardus berisi
uang itu habis terbakar. Keenam kaki-tangan mbah dukun saling
melirik dengan lobang hidung yang mekar. Karena sesungguhnya
kardus-kardus itu telah mereka tukar. Di dalamnya ditaruh potongan
koran berlembar-lembar. Ditetesi sedikit minyak ketumbar. Penanda
yang baunya samar. Agar tak salah kamar. Pasti mereka dapat
persenan besar.
Dukun Sumo yang perutnya buncit itu berjalan menghampiri
Pak Doktor. Tatapan matanya begitu kotor. Dengan nada tinggi
dia menghardik pria baya yang sedang kebingungan tersebut,
“Sampeyan tidak ikhlas. Akibatnya, mahar amblas.” Sambil
membuang muka, tangannya mengibas-ngibas. Bergerak-gerak
seperti kipas. Mengusir hawa panas. Diteguknya air putih segelas.
Ini orang benar-benar raja tega. Tabiat celaka. Sony
menduga mbah dukun pernah bergabung dalam sebuah teater.
Terlihat benar dia piawai memainkan karakter. Sekalipun harus
berperan sebagai dokter.
Kasihan Pak Doktor yang badannya pendek gemuk seperti
Semar. Dia terduduk lesu dengan hati memar. Perasaannya hambar.
Matanya nanar. Otaknya serasa terbakar. Sudah kehilangan uang,
dicaci maki pula.
Sony jadi bertanya-tanya, benarkah jin bisa kasih manusia

227
ASBUN: Asal Bunyi

harta berlimpah? Banyak orang yang percaya begitu. Seperti Pak


Doktor itu. Sony sendiri tak tahu. “Seandainya saja ketemu jin, akan
aku tanyakan masalah itu. Tapi hingga hari ini, belum pernah ketemu.
Tak tahu jin itu rupanya kayak apa, baunya seperti apa, kesaktiannya
setinggi apa,” kata Sony kepada Heru, yang terlihat bosan karena
diajak ngobrol terus sedari siang. Sampai lupa makan.
“Kalau Bapak ingin lihat jin, ada orang yang bisa bantu.” Sony
teringat perkataan Pak RT dua bulan lalu. Ketika mereka sedang
kerja bakti di hari Minggu. “Biayanya tiga juta. Tidak pakai syarat
puasa,” dia menambahkan sambil menyebutkan nama seorang kyai
yang tinggal di Jakarta Timur.
Kalau harus pakai biaya, Sony pasti ogah. Sebaliknya, dia
akan minta uang sama jin. Akan ditolaknya bila hanya dikasih nomor
togel. Terlalu banyak ketidakpastian. Harus diramesi dulu. Dan itu
pun belum tentu tepat. Karena jin menyebutkan angka-angka dalam
bahasanya sendiri. Sementara orang harus menafsirkannya ke
dalam bahasa manusia.
“Met, memangnya ada orang yang pernah dikasih duit sama
jin?” tanya Sony kepada Slamet, kakaknya yang dukun itu, ketika
dia sedang berkunjung ke rumahnya, mengantarkan mangga hasil
panen di kampung halaman sana.
“Ada. Di Bogor. Diberi dua karung.”
Sony jadi bertanya-tanya. Duit kok ukurannya karung, bukan
juta atau milyar. Dan lagi, tidak dirinci apakah karungnya besar atau
kecil. Bekas atau baru. Kalau isinya pecahan logam seratus rupiah
semua, atau duit seribuan, sama juga bo’ong. Berapa nilainya?
“Bagaimana caranya agar jin mau kasih saya duit?” Sony
mulai melemparkan pancingan iseng.
Anehnya, kali ini Slamet tidak langsung menyambar umpan
yang renyah itu. Sebaliknya, dia menatap mata Sony dalam-dalam.
Dari matanya mengalir seutas cahaya tipis berwarna biru yang
menembus syaraf-syaraf penglihatan Sony, mengalir ke otaknya
dengan berkelok-kelok dan kemudian turun menyusuri ruas-ruas
tulang belakang, berhenti dan mentok di tulang ekor. Bokongnya

228
SERAKAH

terasa sedikit panas. Sony jadi tidak mengerti, kok begini jadinya.
Agak rikuh juga dia.
“Kalau kamu, ndak mungkin dikasih. Lha wong kamu serakah,”
jawabnya dengan seenaknya sambil menyeruput kopi panas yang
baru saja dihidangkan Febriana.
Sialan, dibilang serakah. Terus terang saja, Sony benar-benar
tersinggung dikatain serakah. Dia sama sekali bukan orang yang
serakah. Cuma mata duitan.
Bukannya mbelain, Fadli yang duduk di sampingnya malah
ikut-ikutan memojokkannya. “Bisa saja kamu dikasih duit banyak,
tapi uang jin. Mau dipakai beli apa? Belanja di mana? Paling-paling
harus pergi dulu ke pasar jin.”
Benar juga apa yang dia bilang. Money changer pasti menolak
duit jin. Demikian pula bank. Di samping tidak tahu harus ditukar
pada nilai kurs berapa, pasti mereka juga kebingungan harus dijual
ke mana lagi uang jin itu.
Tapi, tunggu sebentar. Bagaimana, ya, kira-kira bentuk
uang jin? Apakah sama dengan duit manusia? Bisa jadi wujudnya
bermacam-macam. Segitiga, jajaran genjang, lingkaran, pita atau
bulatan-bulatan kecil seperti permen karet yang berwarna-warni.
Kalau memang demikian, berarti manusia selama ini kurang kreatif,
karena hanya mengenal alat tukar dalam bentuk koin dan kertas
yang dipotong-potong persegi panjang.
“Potong yang benar! Ukurannya harus sama persis. Kalau
perlu saya bayar lebih.” Candra memaki pegawai toko kertas itu.
Dia merasa tidak dihargai dan dilecehkan. Pemuda yang rambutnya
panjang dikelabang tersebut senyam-senyum melulu. Rekan kerja
di sebelahnya, yang membantunya menata dalam tumpukan-
tumpukan rapi potongan-potongan kecil kertas itu, juga demikian.
Mereka saling lempar kedipan. Dengan seulas senyuman kecil
yang tertahan.
Candra membeli kertas HVS 80 gram ukuran plano besar
sebanyak tiga rim. Dipotong-potong seukuran duit seratus ribu.
Selembar uang merah dijadikan mal untuk ditiru. Diukur secara teliti.

229
ASBUN: Asal Bunyi

Tak boleh meleset barang semili, apalagi sesenti. Dia periksa ulang
setiap sisi. Semuanya harus presisi. Kemudian dia bawa pergi ketiga
bungkusan besar itu dengan taksi.
Bahan baku sudah siap, pikirnya. Sekarang harus cari kongsi
untuk patungan beli minyak Jafaron. Ini bukan minyak sembarangan.
Didatangkan langsung dari Arab. Konon, parfum ini sangat disukai
bangsa jin dari kalangan atas, baik generasi tua maupun remaja.
Parfum pilihan. Sekelas Channel di dunia manusia. Satu tetes
harganya empat juta. Dibutuhkan satu ampul kecil agar jin sakti
mau datang untuk menyulap potongan-potongan kertas itu menjadi
lembaran-lembaran rupiah.
Candra mencoba menghubungi teman-temannya sesama
pemburu harta. Sebagian tinggal di luar kota. Namun banyak juga
yang berumah di Jakarta. Sungguh sial. Tak seorang pun memberi
sinyal. Mereka semua pada tiarap. Kehabisan cakap. Karena baru
dikerjain habis-habisan oleh seorang dukun keparat dari Cilacap.
Candra kebingungan. Duit yang ada di tangannya hanya lima
belas juta. Bahkan sudah berkurang lima puluh ribu. Dipakai beli
rokok dan makan siang. Ditimang-timangnya segepok uang lusuh
yang berikat karet gelang berwarna kuning mentah. Hasil penjualan
motor kesayangan adiknya dan semua perhiasan ibunya.
Sepuluh juta sudah dialokasikan untuk jasa mbah dukun.
Angka itu sama sekali tak bisa ditawar. Sedangkan yang satu juta
untuk biaya transport dan kelengkapan ritual. Berarti hanya bisa beli
satu tetes. Padahal satu ampul harusnya berisi dua puluh empat
tetes. Masih jauh. Tapi Candra tak kehilangan akal. Beli satu tetes
saja. Nanti dicampur alkohol. Jin yang kurang teliti pasti tidak tahu.
Beginilah, cara berpikir orang yang biasa beli parfum tembakan.
Candra segera berangkat ke rumah gurunya, Mbah Bardam,
di Sukabumi. Sang dukun ternyata tak tahu kalau minyak Jafaron
itu oplosan. Berarti aman, pikirnya. Tinggal syarat-syarat tambahan.
Kembang tujuh rupa. Air dari tujuh sumur yang berbeda. Tujuh butir
merica. Seekor ayam jantan putih mulus. Dan terakhir, sepotong
celana dalam gadis perawan, harus sudah dipakai tapi belum dicuci.

230
SERAKAH

Lebih afdol lagi kalau ada sedikit bekas pipis.


Sudah siap semua sekarang. Kertas bahan baku bersama
kelengkapan lainnya kemudian dibungkus dengan tiga lapis kain
kafan. Kecuali ayam jago, yang dipotong dan digoreng dengan
bumbu kuning. Bagian dada dan brutu disantap Mbah Bardam.
Paha dan sayap sudah diembat duluan sama istrinya di dapur. Leher
hingga kerongkongan khusus dipersembahkan untuk Timung, kucing
belang kesayangan sang dukun. Candra cuma kebagian ceker.
Tak apalah, pikirnya. Sesekali ngalah sama kucing. Lihat saja
nanti. Kalau duitnya sudah jadi, akan dia belikan kucing malas itu
seratus ekor ayam potong. Biar overweight, dan kolesterolnya naik.
Stroke, kemudian mati. We lha, balas dendam kok sama kucing.
“Dung dung pret, ada kodok disangka kampret.”
Setelah tuntas dijampi-jampi selama tiga hari tiga malam
di sebuah kamar yang gelap dan pengap, bungkusan itu harus
diperam dulu selama tiga minggu. Tak boleh dikutak-katik. Apalagi
diintip. Biar cepat matang. Pasukan jin akan melukis kertas-kertas
itu menjadi uang.
“Tanggal lima belas kamu datang lagi ke sini. Bawa pengawal.
Biar pulangnya aman,” ujar Mbah Bardam sambil mengulurkan
bungkusan kecil yang terbuat dari kain kasar berwarna hitam kepada
Candra. “Ini jengger ayam jago. Simpan baik-baik. Warnanya harus
tetap merah. Jangan lupa, setiap tengah malam kamu bacakan
mantranya. Seribu kali banyaknya. Sudah hapal belum?” sekali lagi
dukun sakti itu mengingatkannya.
“Ya, Mbah, sudah tahu. Dung dung pret, ada kodok disangka
kampret. Gitu, kan?”
Mbah Bardam menangguk sambil tersenyum.
Maka, pada hari yang telah ditentukan, Candra sudah siap
menjadi orang kaya. Dia pinjam baju dan sepatu adiknya. Agak
kekecilan memang. Tapi terlihat lebih seksi. Mobil angkot sengaja
disewa dari tetangga sebelah. Dua orang preman menemani. Yang
satu berbadan ceking dan wajahnya penuh dengan jerawat besar-
besar, sedangkan yang satunya lagi gendut luar biasa. Persis seperti

231
ASBUN: Asal Bunyi

angka sepuluh bila mereka berjalan bersama.


Sobar, si gendut itu, badannya penuh lukisan. Di dadanya
tergambar tato besar sendok dan garpu menyilang di atas sebuah
mangkuk. Sebagai penanda bahwa dia seorang jagoan. Jago
makan. Memang, Sobar sohib kental Benu Buloe si jurumakan.
Mereka berkenalan di rumah sakit MMC ketika sama-sama hendak
melakukan operasi tambah lambung. Sobar baru pertama kali,
sedangkan si Benu kedua kali. Jadi, lambung Benu Buloe sekarang
ada tiga. “Biar tambah kuat makan,” katanya.
“Maaf ya, tidak ada makanan. Istri saya lagi pulang ke rumah
bapaknya,” kata Mbah Bardam seraya mengajak tamunya masuk ke
dalam rumah.
Candra sama sekali tak terpikir soal makan. “Bagaimana,
Mbah, sudah bisa dibuka?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja
bahkan sebelum dia dipersilahkan duduk oleh si empunya rumah.
Kelihatan sekali, Candra sudah tak sabaran.
“Kalau begitu, mari kita buka sama-sama.”
Mereka pun berjalan beriring menuju kamar di mana
bungkusan itu disimpan. Lampu segera menyala dan tali pengikat
dibuka. Weesssss …. Candra melonjak kegirangan melihat duit
merah bertumpuk-tumpuk. Kesampaian sudah impiannya. Pikirannya
langsung melayang-layang. Mau beli ini beli itu. Pokoknya bela-beli.
“Ini bonusnya, Mbah,” katanya sambil memberikan tiga gepok
uang kepada mbah dukun. “Tapi Mbah Bardam jangan kawin lagi,
ya,” tambahnya sambil bercanda. Bahkan, si Timung, kucing belang
kesayangan mbah dukun, yang saat itu anguk-anguk di depan pintu,
dia kasih dua lembar.
“Baaaaarrr …. Duuuuulll …, sini …. Bantu saya angkat ini.”
Bungkusan yang cukup berat itu pun mereka gotong bertiga
dan dimasukkan ke dalam mobil.
“Sudah beres? Aman?”
Sekali lagi Candra memastikan semuanya aman dan
terkendali. Dengan teropong besar bermotif loreng bikinan Cina dia
mengawasi lingkungan sekitar. Sambil berputar-putar, dia perhatikan

232
SERAKAH

dengan seksama setiap rimbun pepohonan. Siapa tahu, ada orang


jahat yang sedang mengintai dari balik dedaunan. Dia tak ingin
kecolongan kali ini. Karena duit itu sudah benar-benar menjelma.
“Ini jatah kalian.”
Masing-masing preman mendapat segepok uang. Gembira
benar mereka. Belum pernah pegang fulus sebanyak itu. Saking
gembiranya, Sobar melemparkan duit itu ke atas sehingga
beterbangan dan jatuh berceceran di tanah. Hujan uang. Kayak di
filem-filem.
“Lha, Bos, uang apaan ini? Masa gambarnya hanya sebelah?”
Dengan berjongkok, Sobar terus membolak-balik uang yang
berserakan di tanah. Sementara Adul langsung memeriksa uang
yang ada di tangannya. Sialan. Sama saja. Maka dicampakkannya
uang merah bermuka satu itu ke tanah. Makin luas saja hamparan
karpet dengan kombinasi warna merah putih di tanah yang berdebu
itu. Sebagian malah terbang terbawa angin.
Candra tertegun. Berdegup keras jantungnya. Ubun-ubunnya
terasa mendidih. Nafasnya tersengal. Matanya gatal. Benar. Duit
itu bergambar satu muka. Balikannya kosong melompong. Putih
bersih. Tidak ada gambar apapun. Candra langsung melompat ke
dalam mobil dan buru-buru membuka bungkusan kain kafan. Dia
bongkar tumpukan duit itu. Cilaka. Semuanya cuma bergambar satu
muka. Lututnya terasa lemas. Dadanya panas. Susah bernafas.
Impiannya kandas.
Mendengar keributan itu, mbah dukun tergopoh-gopoh
mendatangi mereka. Dia ikut-ikutan memeriksa tumpukan uang
tersebut. Dibolak-balik. Dikibas-kibaskan. Dibacakan mantra. Tetap
saja tak berubah. Semuanya satu muka.
“Kalau dipakai beli sepatu dapat sebelah.” Adul yang sedari
tadi membisu tiba-tiba nyeletuk.
Mbah dukun langsung berlari ke dalam rumah. Tiga gepok
uang yang diterimanya tadi ternyata juga sama. Segera dia balik
lagi ke mobil. Dia periksa sekali lagi tumpukan uang setengah jadi
itu. Dibantu Sobar dan Adul, dia turunkan bungkusan tersebut.

233
ASBUN: Asal Bunyi

Diletakkan di tanah. Dia teliti sisa-sisa sesaji. Merica masih utuh.


Air tujuh sumur tinggal sedikit, mungkin menguap. Celana dalam
gadis perawan juga tidak robek, dan masih bau pesing. Kembang
tujuh rupa kering semua. Terakhir, hidungnya mengendus-endus
tumpukan sesajen.
“Ndra, kamu pakai minyak Jafaron palsu, ya? Beli di mana?
Masa tidak ada sisa baunya sama sekali.”
Candra diam saja. Bergerak pun dia tak kuasa.
“Kita lem saja. Biar jadi dua muka.” Rupanya Sobar punya
usulan jitu. Dia mencoba menempelkan dua lembar uang setengah
jadi itu menjadi satu. Dilem dengan ludahnya. Dicampur sedikit ingus.
Biar tidak terlalu encer. Di samping kirinya, Adul memperhatikan
dengan seksama usaha keras kawannya itu. Dia rebut uang hasil
rekayasa tersebut dari tangan Sobar. Dia bolak-balik.
“Betul Bar. Dua muka. Depan belakang sama. Dipakai beli
sepatu dapat dua. Kiri semua,” kata Adul, sambil melemparkan uang
yang bau jigong itu ke tanah. Dia sangat kecewa. Karena tidak jadi
beli sepatu yang sudah lama diidam-idamkannya.
Sementara dari dalam rumah, si belang Timung berjalan
gontai menghampiri mereka, dengan dua lembar uang merah di
mulutnya. Diletakkannya uang itu di atas sepatu Candra. Dia ingin
mengembalikannya.
Empat bulan berlalu semenjak kejadian uang satu muka,
Candra datang ke kantor Sony ditemani ibunya.
“Ya sudah, Ndra. Kamu kerja di sini saja,” kata Sony.
Sesungguhnya, Sony dan ibu Candra sudah mengatur
pertemuan itu dua minggu sebelumnya. Pada mulanya memang
agak kaku. Tapi soto sulung berhasil mencairkan suasana. Mereka
mengobrol sambil tertawa-tawa lepas. Sampai mulas. Bernostalgia,
mengingat masa-masa jaya ketika kuliah.
Senang melihat Candra bisa tertawa lagi. Sepertinya sebagian
beban berat itu telah terangkat dari pikirannya. Sony ingin membantu
Candra. Keluar dari dunia khayal para pemburu. Sehingga tak perlu
lagi keluar masuk hutan tanpa bekal peluru. Hanya untuk ditipu.

234
SERAKAH

Candra seorang pekerja luar biasa. Pintar dan cepat mengerti.


Sony mempercayakan beberapa klien kepadanya. Untuk diurus
dan dilayani. Dia bekerja sama lumayan padu dengan Heru, yang
mendapat tugas khusus dari Sony untuk membimbingnya.
Hampir setahun, banyak kemajuan yang diraih, bagi Candra
maupun bagi Sony. Hingga pada suatu sore Candra menghadap
Sony, dengan mata berkaca-kaca. “Saya mengundurkan diri.”
Sony masih tak mempercayai pendengarannya. “Apa?”
“Mengundurkan diri,” sahut Candra, sekali lagi.
Sony akhirnya mengiyakan, walaupun sedikit khawatir. Takut
kalau-kalau Candra kambuh lagi. Bergelut dengan dunia gaib
kembali. Kekhawatiran Sony ternyata tak terbukti. Lega hatinya,
mendengar kabar Candra sudah bikin usaha sendiri. Bergabung
dengan Jupri, mantan karyawannya. Beberapa klien Sony dia ambil.
Biar saja. Sony tak terlalu pusing. Bisa dicari lagi.
Tapi dia benar-benar gundah ketika delapan bulan kemudian
mendapat berita kurang sedap. Candra dicari-cari orang. Beberapa
pemasoknya ngamuk-ngamuk, karena belum pernah dibayar.
Di mana kamu, Ndra? HP-nya mati. Tak pernah bisa dihubungi.
Akhirnya Jupri ditangkap polisi. Candra menghilang ditelan bumi.
Dung dung pret, ada kodok disangka kampret.

235

Anda mungkin juga menyukai