Anda di halaman 1dari 290

PANJDI TENGKORAK DARAH (Ko Lo Hiat Ki) Oleh : SD.

Liong JILID 1 Di BAWAH sinar rembulan yang menyinari lembah gunung Hun-tiong-san, sesosok tubuh terhuyunghuyung mendaki tebing jurang. Ia sudah kehabisan tenaga, tetapi tetap paksakan diri merayap ke puncak gunung. Mukanya berlumuran debu, pakaian compang-camping terkait karang tajam. Kaki dan tangannyapun penuh gurat-gurat darah dari duri semak-semak yang jahil. Namun pemuda yang usianya ditaksir baru 17 tahun itu rupanya seorang yang berhati keras. Dan agaknya ia tengah melaksanakan suatu tugas penting sehingga mengharuskannya berkejar-kejaran dengan waktu. Sekalipun dalam keadaan yang tak keruan, kepribadian pemuda itu tetap menonjol. Wajahnya cakap berseri, lengkung alis lebat yang menaungi sepasang bola matanya menambah kesemarakan yang sedap dipandang. Sinar matanya tajam jernih, mencerminkan perangai hatinya yang polos jujur. Entah apa yang tengah dikerjakannya itu! Jerih payah pemuda itu akhirnya berhasil membuatnya tiba di hutan kuburan tak berapa jauh dari puncak gunung. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika tertumbuk pada sehelai panji merah yang berkibarkibar di atas puncak gunung Hun-tiong-san itu. Mata pemuda itu berkilat-kilat memancarkan api. Musuh besarnya sudah di depan mata. Menuntut balas! Serasa bergolaklah darah pemuda itu, semangatnya menyala kembali. Dengan membusungkan dada segera ia memaksakan diri menerobos ke dalam hutan. Tiba-tiba ia berhenti, termangu-mangu. Di muka hutan itu tampak cahaya lampu berkilauan. Semula merupakan berpuluh-puluh sinar lentera sebesar tinju. Tetapi lama kelamaan berubah merupakan sebuah pintu gerbang berbentuk tengkorak. Di atas pintu gerbang itu memancar sederet lampu merah yang merupakan huruf Kui-bun-kwan atau pintu akhirat ! Pemuda itu menenangkan kegoncangan hatinya. Geramnya disertai tertawa hambar, "Setiap orang berkunjung ke pintu akhirat, di akhirat tentu tambah penghuni baru ! " Hm, ia mendengus seraya mencabut pedang yang terselip di belakang punggung, lalu melangkah lebar ke pintu gerbang itu. Pintu gerbang lentera itu ternyata berisi dua baris lentera hijau yang memanjnag ke dalam hutan. Rupanya diperuntukkan sebagai petunjuk jalan bagi para tamu. Dari gundukan kuburan yang menghias seluruh hutan tiu, samar-samar seperti tertutup kabut tebal sehingga makin menambah kerawanan hutan. Hanya bayang-bayang pohon yang tampak dan makin ke dalam makin suram tampaknya deretan lentera hijau itu. Pemuda itu sudah membulatkan tekad. Dengan membusungkan dada ia melangkah maju. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara jeritan ngeri dari seorang yang tertusuk dadanya.. Betapapun ia tabahkan nyali, namun pada saat dan suasana seperti itu, mau tak mau berdirilah seluruh bulu kuduknya. Sesaat suara ngeri itu sirap, maka terdengarlah pula suara merintih seperti suasana penyiksaan dalam neraka. Dikobarkan lagi semangatnya. Sambil memanggul pedang, pemuda itu melangkah maju. Tetapi langkah kakinya sudah terhuyung-huyung, darah bergolak-golak dan pikirannyapun makin kusut. Pada saat ia tak kuat lagi mempertahankan diri, tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian ayat suci menggema. Nyanyian yang seola-olah berkumandang segar dalam telinganya. Semangatnya kembali segar pula. Beberapa saat kemudian suara rintihan iblis itupun sirap. Ia mendongak memandang ke muka. Di antara selimut kabut, tampak 9 orang paderi berjubah merah tengah berdiri berjajar kira-kira bebrapa tombak jaraknya. Paderi tua yang memimpin rombongan tampak melantangkan komando untuk menghentikan nyanyian rombongannya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 1 dari 290

O, kiranya sudah ada orang yang mendahului aku. Entah siapakah mereka itu? pikir si pemuda. Tiba-tiba terdengar suara retak yang dahsyat dan sebuah makam besar tiba-tiba terbuka. Segulung asap memyembur keluar, menyusul muncullah sesosok rangka manusia yang menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu, wajahnya seram, mengenakan pakaian longgar warna putih. Ia tertawa meringkik seperti burung hantu berbunyi di tengah malam, kemudian berseru dalam nada tinggi, Ah, tak kecewalah lo-siansu menjadi paderi suci dari kuil Siau-lim-si sehingga dapat bertahan menerima ilmu Mo-in-kiu-coan ( Sembilan suara iblis )! Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat, katanya lebih lanjut, Kami memang siap menanti kedatangan para tetamu. Silakan ikut! Pemuda tadi terkejut. Benarkah di dalam rombongan paderi itu terdapat ketua Siau-lim-si? Kalau benar, iblis pemilik panji tengkorak darah yang tersohor dengan julukan Hun-tiong-sin-mo ( Iblis sakti dari Huntiong-san) itu pasti hancur lebur! Tak ragu lagi, iapun segera mengikuti rombongan paderi itu melangkah masuk. Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya, mereka tiba di sebuah lapangan kosong yang luas. Lapangan ini tertutup oleh rumput halus dan diterangi oleh lampu yang terang-benderang. Jauh sekali bedanya dengan suasana makam di hutan tadi, apa yang merka hadapi ialah sebuah lapangan perayaan pesta! Sekalipun begitu, tempat ini yang sekeliling empat penjuru ditumbuhi pohon-pohon tinggi itu tetap memberi kesan yang seram, karena seolah-olah seperti berada di sebuah daerah iblis dan hantu. Di sudut lapangan muncullah dua rombongan orang yang wujudnya seperti orang yang menjadi penunuk jalan tadi. Rambutnya terurai ke bahu, berpakaian serba putih dan berwajah seram. Di belakang rombongan manusia-manusia seram itu muncullah seoprang dalam pakaian warna hitam, mengenakan kerudung muka warna biru. Perawakannya langsing kecil. Perlahan-lahan ia ayunkan langkah dan berhenti di tengah lapangan. Di luar dugaan, di belakang orang berbaju hitam itu ikut seorang dara berbaju merah darah. Sikapnya lincah, parasnya secantik bidadari, wajah berseri sesegar bunga mekar di pagi hari Namun pemuda tadi tidak terpengaruh oleh paras si dara. Darahnya tetap mendidih oleh api dendam kesumat. Diam-diam ia memaki, Hun-tiong-sin-mo, malam ini adalah hari terakhirmu! Sekalipun begitu tak urung timbul juga rasa herannya. Konon kabarnya Hun-tiong-sin-mo itu seorang iblis ganas, seorang tua yang tiada sanak saudara. Mengapa ia membawa seorang dara? Siapakah dara itu? Sesaat kemudian terdengar paderi tua yang rupanya menjdai pemimpin rombongannya mengucap salam keagamaan, ujarnya,Aku paderi Bu Ceng, bersama 8 tianglo (paderi tua) dari kuil Siau-lim-si mohon bertemu dengan Jun Ih sicu! Orang berbaju hitam itu tertawa kecil, serunya, Sungguh besar sekali peruntungan hari ini dapat menerima kunjungan para paderi suci dari Siau-limsi! Apakah sicu ini Jun Ih-hui yang bergelar Hun-tiong-sin-mo? penuh keheranan paderi Bu Ceng bertanya. Begitulah, orang berbaju hitam tertawa. Pemuda tadipun terbeliak heran. Mengapa yang begitu kondang sebagai momok ganas, ternyata bertubuh demikian kecil dan mempunyai nada suara seperti wanita? Hun-tiong-sin-mo tertawa berderai-derai, ujarnya, Berbahagialah aku malam ini karena bakal dapat menerima pelajaran dari ajaran guru agung Tat Mo yang mendirikan Siau-limsi. taysu adalah tetamuku, maka kupersilakan taysu mengatakan cara pertandingan yang taysu kehendaki! Bu Ceng merangkapkan kedua tangan, berseru nyaring, Kedatangan kami kemari bukan bermaksud hendak mebgikat permusuhan dengan sicu. Melainkan hanya sekedar hendak memberi nasehat agar sicu kembali ke jalan yang suci, jangan tersesat dalam penghidupan yang berlumur darah. Ketahuilah bahwa hukum karma itu selalu menuntut. Hun-tiong-sin-mo menukas dengan tertawa-tawa, Kata-kata emas dari taysu akan kuukir dalam hati sanubari tiba-tiba ia merubah nadanya menjadi garang, Tetapi sudah menjadi tradisi berpuluh tahun bahwa barang siapa yang masuk ke Gerbang Neraka sini tentu takkan keluar lagi. Karena taysu segan bertempur, maka silakan saja segera bunuh diri. Tentang jenazah taysu sekalian, nanti akan kusuruh orangku mengantarkan ke kuil Siau-lim-si!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 2 dari 290

Selesai berkata, ia perlahan-lahan mengacungkan tangan ke atas. Dari lapisan kabut, muncullah rombongan orang berpakaian putih. Setiap dua orang memanggul sebuah peti mati. Semua berjumlah 9 buah peti mati. Peti-peti itu ditaruh di tengah lapangan. Berubahlah seketika wajah paderi Bu Ceng dan rombongannya. Hampir tak dapat Bu Ceng mengusai amarahnya, seketika ia berseru, Jangan sicu terlalu mendesak padaku. Camkanlah, aku datang dengan itikad baik.! Hun-tiong-sin-mo melangkah maju tiga tindak, bentaknya, Taysu segan turun tangan, enggan pula membunuh diri. Terpaksa aku harus bertindak! Diangkatnya tinju perlahan-lahan, siap hendak dipukulkan. Bu Ceng mengucap doa, kemudian menghela napas, Karena sicu tetap tidak mau sadar, terpaksa aku hendak minta pengajaran barang 8 jurus. Sin-mo menurunkan tinjunya dan tertawa, Dalam 3 jurus jika tak dapat mengambil jiwamu, aku akan bunuh diri.! Bu Ceng terkesiap. Di dunia persilatan, yang mampu bertahan 9 jurus serangannya hanya berjumlah sedikit. Tetapi kini Sin-mo telah membuka mulut akan mengammbil jiwanya dalam 3 jurus. Benar-benar ia tak habis mengerti Ketua Siau-lim-si itu tersenyum lalu gerakkan tangan mendorong perlahan-lahan. Memang tampaknya tak bertenaga pukulan itu dilancarkan, tetapi hebatnya tiadatara . Itulah jurus Ngo-lui gui-san ( 5 petir membelah gunung) dari ilmu pukulan Tat-mo-ciang yang sakti. Angin bergemuruh laksana petir menyambar. Segulung tenaga dahsyat melanda . Iblis sakti itu tetap tegak berdiri di tempat, menyambut badai serangan. Heran, jangankan tubuhnya, bahkan pakaiannyapun tak berkibar oleh badai pukulan lawan. Seolah-olah gelombang tenaga lawan terbelah dua dan lalu di sampingnya Serasa terbanglah semangat Bu Ceng menyaksikan keanehan itu. Tubuhnyapun menggigil. Hun-tiongsin-mo tertawa mengejek. Tiba-tiba ia ulurkan tangan meutuk dengan sebuah jari. Cepat dan tepat sekali tutukan jari mengenai dada si paderi. Dan tergempurlah kuda-kuda Bu Ceng sehingga ia menyurut selangkah mundur. Segumpal darah segar menyembur dari mulutnya. Kedelapan paderi tianglo tak keburu memberi pertolongan lagi. Tiba-tiba Bu Ceng apungkan tubuhnya, ia merentangkan kelima jari dan mencengkeram dada lawan. Itulah yang disebut Tat-mo-ci atau Jari Tat-mo. Kelima jari itu dapat menembus batu yang bagaimanapun kerasnya. Karena dalam gebrakan pertama menderita luka dalam yang berat, maka Bu Ceng segera mengeluarkan ilmu simpanan, ia berusaha menebus kekalahannya. Tetapi momok dari gunung Hun-tiong itu memang luar biasa. Hanya dengan mengebutkan lengan bajunya saja, maka tekanan jari Bu Ceng dapat ditahan. Serempak dengan itu, suatu tenaga membal melontar keras dan terpentallah Bu Ceng sampai dua tombak jauhnya! Ketua Siau-lim-si itu merasakan bumi di sekelilingnya menjadi gelap gulita dan sesaat kemudian ia tak dapat berkutik lagi. Melihat ketuanya menderita luka parah, serempak ke delapan tianglo dari Siau-lim-si segera loncat menerjang Sin-mo. Berhenti! Aku paling benci main keroyokan. Kalian tentu takkan terkubur tanah lagi! bentak Hun-tiongsin-mo seraya mendorongkan kedua tangannya. Sinar merah berkilat dari kedua telapak tangannya. Jangan memandang dia bertubuh kecil, tetapi tenaga pukulannya amatlah hebat laksana petir menyambar. Sebelum kedelapan tianglo itu sempat membuka serangan, mereka serasa tersambar petir sehingga kocar-kacir terkapar malang-melintang di tanah. Sungguh mengerikan sekali, tubuh kedelapan tianglo itu hancur lebur di bawah pukulan Cek-kui-sin-ciang atau Pukulan sakti membunuh hantu. Hun-tiong-sin-mo menghampiri perlahan-lahan ke tempat Bu Ceng tergeletak, ujarnya, Telah kukatakan bahwa dalam tiga jurus tentu akan kucabut jiwamu. Nah, terimalah pukulan pengantar ke akhirat ini! Tangannya pun segera diulur untuk menutuk. Bu Ceng tak berdaya lagi, ia memeramkan matanya menunggu ajal. Sekonyong-konyong si pemuda baju biru tadi lompat menerjang Sin-mo. Jangan mengganas, setan tua !
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 3 dari 290

Hun-tiong-sin-mo menarik tubuhnya dan mendengus,Hm, kaupun hendak menantang aku? Karena tidak ditangkis, pemuda itu lipat gandakan tenaga tusukan pedangnya. Tetapi ketika hampir menyentuh tubuh Sin-mo, tiba-tiba pedangnya terpental balik. Sedemikian keras tenaga membalik yang keluar dari tubuh Sin-mo sehingga si pemuda terpental sampai setombak jauhnya, pedangnyapun melayang terlepas dari tangannya. Namun pemuda itu tetap ngotot, ia melompat bangun dan menyerang lagi. Jawab dulu pertanyaanku tadi! bentak Hun-tiong-sin-mo. Membalas sakit hati! teriak si pemuda. Apa aku bermusuhan denganmu? tegur Hun-tiong-sin-mo. Musuh besar! si pemuda menggeram penuh dendam. Tiga turunan keluarga yang terdiri dari 40 orang lebih telah kau binasakan sampai ludas. ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh isakan harunya. Di luar dugaan, Hun-tiong-sin-mo bukannya marah, malah tertarik, tanyanya, Kapan? 70 tahun yang lalu! Hun-tiong-sin-mo terkesiap,serunya, 70 tahun yang lalu Ah, aku tak ingat lagi! Kau yang biasa membunuh jiwa manusia mungkin sudah lupa. Tetapi hanya 3 hari yang lalu kau bunuh ibuku lagi! Ngaco! bentak Sin-mo, sudah 3 bulan tak keluar gunung, bagaimana aku dapat membunuh ibumu? Si pemuda tertawa menghina, Setan tua, begitu saja kau tak berani mengakui ? Marah sekali iblis itu, Berpuluh tahun ini, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang binasa di tanganku. Mengapa aku tak berani mengakui pembunuhan ibumu? Ia berhenti sejenak, serunya pula,Hai, siapakah namamu? Kang Thian-leng! sahut si pemuda seraya mengeluarkan sehelai bendera kecil terus dilontarkan ke muka Sin-mo, Itu milikmu bukan? Bendera itu berbentuk segi tiga, bentuknya seperti bendera besar yang berkibar di puncak gunung. Itulah bendera lencana yang ditinggalkan Hun-tiong-sin-mo sebelum atau sesudah membunuh orang. Dari mana kau peroleh bendera itu? Hun-tiong-sin-mo keheranan. Pada tiga hari yang lalu, berada di samping jenazah ibuku! geram pemuda itu. Aneh! Aneh sekali! Harus kuselidiki Sin-mo berhenti sejenak, lalu ia berseru tajam, Kali ini akan kubuat pengecualian. Mengingat kau masih begini muda, kurang pengertian, maka akan kuberi engkau kedudukan sebagai salah seorang penjagaku! Aku Kang Thian-leng ingin sekali mengunyah dagingmu, membeset kulitmu. Siapa sudi menjadi hambamu! teriak Kang Thian-leng kalap. Budak , apakah kau ingin mati? Sin-mo murka sekali. Kang Thian-leng tertawa geram, Kang Thian-leng sudah sedia mati, tetapi kaupun jangan harap hidup sampai besok pagi! Hun-tiong-sin-mo terkesiap. Sambil menuding mayat-mayat paderi Siau-limsi yang bergelimpangan di tanah, ia berseru,Apakah kau lebih lihay daripada mereka? Kang Thian-leng melangkahkan kaki ke muka, serunya, Dalam ilmu kepandaian, mungkin aku bukan tandinganmu. Tetapi saat ini aku membawa hadiah yang akan membuat kita berdua mati bersama! Kata-kata itu ditutup dengan sebuah gerakan mengebut lengan bajunya yang kiri. Seketika berhamburanlah asap hitam memenuhi lapangan. Kutu beracun..! Hun-tiong-sin-mo menjerit kaget. Cepat ia menampar dengan tangan kiri, Bangasat, kau berani membokong aku? Memang Thian-leng diam-diam telah membekal sebotol Pek-tok-jong ( kutu beracun). Ia sudah siap mati bersama musuhnya. Ia lontarkan botol itu kepada musuhnya, tapi iapun tak mau menghindar dari tamparan Sin-mo. Mulutnya terasa manis-manis amis, hidungnya menghisap suatu hawa apek yang menyerang ke ulu hati. Betapa girangnya tadi ketika melihat timpukan botolnya telah mengenai sasarannya. Baru ia hendak tertawa merayakan kemenangannya, tiba-tiba tamparan Sin-mo telah membuatnya terlempar ke udara. Begitu marahnya Sin-mo saat itu, sehingga ia loncat hendak menyongsong jatuhnya tubuh anak muda itu dengan pukulan maut yang akan mencerai-beraikan tubuh si anak muda.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 4 dari 290

Sekonyong-konyong darah Sin-mo tersirap kaget. Tangan yang sudah siap diluncurkan itu tidak dilanjutkan, melainkan dibuat menyambuti tubuh Thian-leng, terus dipondong dan dibawa lari Aneh....aneh.!. Ternyata iblis itu melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Ketika mendongak hendak menghancurkan Thian-leng, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah tahi lalat merah sebesar kedele. Itulah yang membuat dada Sin-mo berdebar keras, hatinya memukul sehingga ia merobah rencananya. Pada saat Hun-tiong-sin-mo sedang menghancurkan Bu Ceng dan rombongan paderi Siau-lim-si tadi, dara berbaju merah tertawa mengikik dan beberapa kali bicara bisik-bisik dengan bujang wanitanya yang berbaju kuning. Apa yang terjadi di tengah lapangan itu baginya merupakan sebuah pertunjukan yang menggembirakan. Barulah ia terkejut ketika Kang Thian-leng menimpuk botol kutu beracun dan Hun-tiong-sin-mo menghantam pemuda itu, tetapi tiba-tiba membawanya lari. Buru-buru dara itu bergegas mengikuti langkah Hun-tiong-sin-mo Hun-tiong-sin-mo membawa Thian-leng ke dalam sebuah ruangan batu yang terletak di bawah tanah istananya. Thian-leng diletakkan di sebuah ranjang yang beralaskan kasur empuk. Kemudian ia menyuruh si dara baju merah dan bujang baju kuning mengambil obat Tay-hoan-tan. Dara baju merah terkejut melihat tubuh Thian-leng berlumuran dara, namun ia tak berani banyak mulut. Dari dinding tembok ia mengeluarkan sebuah botol kecil terbuat dari batu kumala hijau. Hati-hati sekali ia berikan botol itu kepada Sin-mo. Botol kumala itu berisi hanya 5 butir pil warna merah. Hun-tiong-sin-mo mengambil sebutir lalu disisipkan ke mulut Thian-leng, setelah itu iapun menelan sebutir. Kedengaran ia menghela napas, Jika tak ada pil Tay-hoan-tan ini, entah bagaimana jadinya diriku malam ini. Pek-tok-jong merupakan benda mukjijat di dunia persilatan. Eh, entah mengapa budak ini bisa memperolehnya? Dar baju merah menyeletuk, Dia jahat sekali, lebih baik dilenyapkan saja. Mengapa kau malah memberinya pil mukjijat itu? Hun-tiong-sin-mo menggelengkan kepalanya, Nak, kau tak mengerti aku hendak menyelidiki dirinya.. kembali ia menghela napas seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Suatu hal yang baru pertama kali keluar dari mulut iblis ganas yang telah merajai dunia persilatan selama 60 tahun. Setelah minum pil Tay-hoan-tan, tak berapa lama kemudian Thian-leng pun sadar. Cepat-cepat ia meloncat bangun. Apa yang disaksikannya saat itu membuatnya terlongong-longong terkesima. Kaukau mengapa menolong aku? serunya setelah teringat apa yang telah terjadi tadi. Hun-tiong-sin-mo tak menyahut. Diambilnya sebutir pil lagi, ujarnya Pek-tok-jong yang kau bawa itu ganas sekali. Kalau masih merasa sakit, minumlah pil ini lagi tentu selamat.! Nada ucapannya mengandung pengaruh yang besar, sehingga Thian-leng tak kuasa menolak. Benaknya penuh diliputi oleh berbagai pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Siapakah sebenarnya Hun-tiong-sin-mo ini? Kau hendak melepaskan aku atau akan menjadikanku penjaga kuburan? tanyanya. Sahut Hun-tiong-sin-mo dengan nada tegas,Kali ini hendak kubuat pengecualian pada peraturan yang telah kujalankan selama 60 tahun. Ya, kau boleh tinggalkan gunung ini! Thian-leng, bahkan si dara baju merah terbeliak kaget. Malah si bujang baju kuning merintih perlahan. Mereka menatap ke arah wajah Sin-mo yang tertutup kerudung sutera hijau. Entah girang, entah sedih, tak tahulah Thian-leng perasaan yang berkecamuk dalam hatinya saat itu. Meluncurlah pertanyaan heran dari mulutnya, Kau tak kuatir aku akan melakukan pembalasan lagi? Hun-tiong-sin-mo ganda tertawa, Silakan saja kalau kau mempunyai kepandaian! Thian-leng membanting kakinya, Kang Thian-leng seorang manusia yang dapat membedakan budi dengan dendam. Pertama kali, tentu akankubalas budimu memberi obat padaku ini. Kemudian barulah kulaksanakan tujuanku melakukan pembalasan padamu, demi untuk melampiaskan sakit hati keluarga Kang. Tiba-tiba Hun-tiong-sin-mo melambaikan tangan, Bwe Hiang, antar dia keluar!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 5 dari 290

Si bujang baju kuning mengiyakan, lalu mengajak Thian-leng pergi. Belum lama berjalan, tiba-tiba Huntiong-sin-mo berseru, Berhenti! Setan tua, kau menyesal? Thian-leng tertawa mengejek. Tak pernah kusesali apa yang telah kulakukan, agak kurang senang Sin-mo menyahut, Aku tak mengharap balas atas pertolonganku tadi. Yang kuminta hanyalah, janganlah kau katakan sepatahpun juga apa yang kau lihat di sini kepada orang lain! Baik, kuberikan janjiku, sahut Thian-leng. Pergilah! seru Hun-tiong-sin-mo dengan nada garang kerontang, lalu ditutup dengan sebuah helaan napas panjang. Lama nian ia tegak mematung di ruangan itu. Sekalipun tidak dapat melihat perobahan kerut wajahnya yang terbungkus kain kerudung, namun dapat dipastikan bahwa iblis itu sedang dilanda oleh renungan hatinya. Si dara baju merah memberanikan diri menghampiri dan menempelkan diri ke bahu Sin-mo, ujarnya,Mengapa hari ini aneh sekali sikapmu? Sin-mo menghela napas perlahan. Tiba-tiba ia berbisik-bisik ke dekat telinga si dara. Tampak wajah dara itu membesit kerut kemarahan, keheranan dan kegelisahan. Akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepala, mulut menyungging senyuman Sementara itu Thian-leng yang mengikuti si bujang baju kuningpun keluar dari sebuah kuburan besar. Ternyata ia berada di lapangan tadi pula. Lapangan itu sunyi senyap, melainkan hanya terdapat 9 buah peti mati tadi yang berjajar di tengah-tengah lapangan. Ketika lewat di hadapan peti-peti mati itu, timbullah rasa duka di hati thian-leng. Peti-peti itu belum ditutup. Dalam setiap peti membujur sesosok mayat. Sekonyong-konyong mayat yang berada pada peti mati terakhir menggeliat-geliat berusaha duduk. Serasa terbanglah semangat Thian-leng melihat kejadian itu. Tapi demi dilihatnya mayat hidup itu ialah Bu Ceng Taysu, tenanglah hatinya. Bu Ceng memang menggeliat duduk. Wajahnya menghitam, sepasang matanya redup. Ia berusaha mengeluarkan sebelah tangannya, Tolongsicu sampaikan berita pada ..Siau-...lim-si. Melihat tangan paderi itu seperti menggenggam sebuah benda yang seperti hendak diberikan kepadanya, tergeraklah hati Thian-leng. Buru-buru ia menyambuti terus dimasukkan ke dalam baju. Bluk, rupanya setelah menyampaikan pesan terakhir Bu Ceng jatuh ke dalam peti mati lagi. Tiba-tiba Thian-leng tercekam oleh suatu perasaan ngeri. Nyata kematian paderi Siau-lim-si itu bukan dikarenakan pukulan Hun-tiong-sin-mo, tetapi oleh karena taburan Pek-tok-jong. Tolol, mengapa tak segera menariknya. lekas jalan! melihat Thian-leng berhenti, si bujang baju kuning

Thian-leng seperti ditarik oleh suatu tenaga yang kuat, sehingga di luar kehendaknya ia terseret ke muka Saat itu terdengar kentongan malam sayup-sayup bertalu 4 kali. Malam kelam, bintang-bintang bersembunyi, rembulan malu-malu mengintip di balik awan. Tiba di gerbang tengkorak, bujang baju kuning itu segera kibaskan tangannya, Silakan pergi sendiri, aku akan kembali! Bujang itu segera berputar tubuh dan lari . Thian-leng terlongong-longong. Sebenarnya ia hendak mengorek ketrangan dari mulut bujang itu, tapi kecele. Ia hanya dapat menghela napas dan ayunkan langkah. Sekalipun terkena Pek-tok-jong dan pukulan Hun-tiong-sin-mo, tapi karena sudah minum pil Tay-hoantan yang mukjijat, bukan saja tak merasa sakit, iapun merasa bertambah segar dan bersemangat. Gerak langkah kakinya tak dihiraukan karena pikirannya tengah melayang kembali pada peristiwa di dalam sarang Hun-tiong-sin-mo tadi. Bu Ceng adalah ketua kuil Siau-lim-si yang memiliki kesaktian tkuil termasyur. Namun hanya dalam 3 jurus saja sudah binasa di bawah pukulan Hun-tiong-sin-mo. Ah, apalagi dirinya dan bukankah ia berhutang budi pada iblis itu? Tiba-tiba ia ingat akan benda pemberian Bu Ceng. Segera dikeluarkannya benda itu, ah, sebuah giokpay (lencana kumala) sedikit lebih kecil dari kepalan tinju. Permukaan lencana berukirkan sebuah gambar Buddha yang indah. Kumala itu bersih dan berkilauan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 6 dari 290

Jika pihak Siau-lim-si menerima giok-pay ini, mereka tentu akan menyerang Sin-mo. Ya, hanya dengan mengharapkan turun tangannya pihak Siau-lim-si, dapatlah Hun-tiong-sin-mo tertumpas. Kalau hanya mengandalkan kepandaianku, mungkin seumur hidup tak nanti dapat kulampiaskan sakit hatiku, pikir Thian-leng. Setelah menetapkan rencana, Thian-lengpun segera melanjutkan perjalanan menuju ke gunung Ko-san. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang batuk-batuk, buru-buru ia berpaling. Kira-kira 2 3 meter jauhnya, tegak seorang tua berjubah biru. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, tubuhnya tinggi besar. Dia tengah memandang lekat-lekat pada Thian-leng dengan tersenyum. Teringat bahwa kedatangan orang tua itu sama sekali tidak menimbulkan suara, tergetarlah nyali Thianleng. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Namun karena sudah terlanjur beradu pandang, terpaksa Thian-lengpun mengamat-amati orang tua itu dengan tajam. Sepasang mata orang tua itu berkilat-kilat tajam. Kedua pelipisnya menonjol keluar, pertanda dari seorang ahli yang memiliki lwekang tinggi. Segera Thian-leng memberi hormat dan berseru, Lo-cianpwe Eh, siapakah namamu anak muda? orang tua itu tertawa sinis. Thian-leng tertegun, mohon tanya lo-cianpwe? sahutnya, Aku Kang Thian-leng,

Orang tua itu mengerutkan dahi, mengulang, Kang ..Thian..-.leng! kemudian ia tertawa sinis, ujarnya, Belum pernah terdengar nama semacam ini di dunia persilatan.! Memang aku seorang kerucuk yang tiada ternama, Thian-leng merendah. Tiba-tiba kedua mata orang tua itu memancarkan sinar ganas. Ditatapnya wajah Thian-leng dengan seram, serunya bengis,Di hadapan seorang tua jangan suka berbohong! Mengapa kau tak brani menyebutkan namamu yang asli? Serentak timbullah reaksi pada Kang Thian-leng, sahutnya dengan garang, Seorang lelaki jalan dengan menengadah, duduk dengan tegak. Putih kukatakan putih, hitam kubilang hitam. Aku memang Kang Thian-leng! Mengapa kau keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo!? bentak si orang tua dengan marah. Thian-leng terkesiap, ia balas bertanya, Mengapa lo-cianpwe tahu? Orang tua itu tertawa hina, Sudah sehari semalam aku menunggu di sini! Siapakah yang menyuruh lo-cianpwe ? kembali Thian-leng terbeliak. Wajah si orang tua mengerut gelap, Ini. aku tak bisa menerangkan !, setelah berhenti sejenak ia berkata pula, Kau tentu kaki tangan Hun-tiong-sin-mo! Thian-leng tertawa kecut, Kau salah paham. Benar aku dapat keluar dari sarang iblis itu, tetapi aku tak mempunyai kepandaian apa-apa dan sama sekali bukan kaki tangan iblis itu! Tiba-tiba Thian-leng teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo, cepat-cepat dia diam. Ceritakan pengalamanmu masuk ke sarang Hun-tiong-sin-mo! kembali orang tua itu mendesak. Thian-leng menggelengkan kepala, Maaf, aku tak dapat menceritakan hal itu. Mata orang tua itu memancarkan api keganasan, serunya dengan nada bengis, Tahukah kau siapa aku ini? Thian-leng sudah mempunyai kesan buruk terhadap orang tua liar itu, maka menyahutlah ia dengan tawar, Pengalamanku kurang, tidak.. Pernahkah kau mendengar tentang istana Sin-bu-kiong dan raja Sin-bu-te-kun yang termasyur itu? tukas si orang tua. Belum! Marah sekali orang tua itu. Tangan kanan diangkat ke atas dengan kelima jarinya terpentang. Lalu dicengkeramkan ke dada Thian-leng. Pucat wajah Thian-leng seketika. Pada saat ia masih terlongong-longong menghadapi ancaman maut, tiba-tiba terdengar derap langkah mendatangi. Dari balik gerombol pohon, muncullah beberapa sosok bayangan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 7 dari 290

Orang tua tadi terkejut dan menarik pulang pukulannya. Cepat sekali orang-orang itu muncul. Semuanya berjumlah 5 orang, dipimpin oleh seorang dara berbaju ungu. Usianya sekitar 20 tahun. Seorang dara jelita yang memikat hati. Pengiringnya terdiri dari 4 orang tua yang dandanannya serupa dengan orang tua yang menghadang Thian-leng itu. Orang tua yang pertama tadi segera maju memberi hormat kepada si dara jelita, serunya, Memberitahukan kepada ji-kongcu (tuan puteri kedua), orang ini menyebut dirinya kang Thian-leng. Sepatah katapun ia tak mau bicara sejujurnya. hanya mengaku memang telah keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo. Aku sudah tahu! si dara tertawa, lalu kisarkan pandangannya ke arah Kang Thian-leng, serunya dengan ramah, Kang tayhiap, berapakah usiamu sekarang? Delapan belas, sahut Thian-leng tawar. Dara itu kedipkan mata kepada Thian-leng dan tertawa, O, terpaut 2 tahun dengan aku. Panggillah taci padaku! Mana aku berani, dengus Thian-leng. Jangan sungkan..aku. si dara maju dua langkah, Namaku Ki Seng-wan, panggil saja namaku begitu. Thian-leng tertawa dingin dan menyurut mundur dua langkah, Aku masih mempunyai urusan penting, maaf! Thian-leng terus hendak berlalu, tapi tiba-tiba dara itu menghadangnya. Wajahnya berobah masam, Kau mau pergi? Aku masih ada lain urusan, harap nona suka memaafkan! Mau ke mana? Urusan apa itu! Ini tak dapat kuterangkan, sahut Thian-leng seraya berputar tubuh. Orang she Kang, apakah kau sungguh tak memandang muka padaku? Ki Seng-wan melengking marah dan kemarahannya itu ditumpahkan dengan sebuah cengkeraman ke dada Thian-leng. Pemuda itu terkejut sekali, cengkeraman itu luar biasa cepat dan hebatnya, sehingga sebelum ia sempat menghindar, dadanya sudah kena. Thian-leng rasakan dadanya seperti dihantam palu godam. Dadanya bergolak seketika, kakinya goyah dan tubuhpun terhuyung-huyung mundur 3 langkah Tetapi di luar dugaan, Ki Seng-wan pun kaget dan tersurut mundur sampai 3 4 langkah. Ia berseru tertahan, Kim-wi-sin-kang! Mendengar disebutnya Kim-wi-sin-kang atau ilmu lwekang sakti perut emas itu, kelima orang tua pengawal Ki Seng-wan pun mundur selangkah. Orang tua yang pertama kali mencegat Thian-leng segera berkata kepada Ki Seng-wan, Memang sejak tadi hamba sudah menduga dia tentu memiliki ilmu Bu-siang-sin-kang! Bu-siang-sin-kang ialah ilmu lwekang tanpa bayangan. Wajah Ki Seng-wan berobah dan serunya, Lekas pulang ke istana melapor kepada ayah baginda, bahwa Hun-tiong-sin-mo telah mengirim anak buahnya .. kata-kata selanjutnya diucapkan begitu perlahan sehingga Thian-leng tak dapat menangkapnya. Pengawal tua itupun segera memberi hormat dan melesat pergi. Thian-leng termangu-mangu. Tak tahu ia apa yang disebut istana Sin-bu-kiong itu. Dan siapakah orang yang menamakan dirinya baginda Sin-bu-te-kun. Namun melihat si dara Ki Seng-wan dan para pengawalnya itu memiliki kepandaian sakti, Sin-bu-te-kun tentulah seorang tokoh lihay. Mungkin tak di bawah kepandaian Hun-tiong-sin-mo. Suatu titik harapan melintas dalam hati Thian-leng tetapi secepat itupun lenyaplah. Gerak-gerik Ki Sengwan yang genit dan sikap para pengawalnya yang bengis, memberi kesan buruk pada Thian-leng. Ia duga Ki Seng-wan dan pengawalnya itu tentu sebangsa gerombolan liar. Habis membuat penilaian, diam-diam Thian-leng geli sendiri. Cengkeraman Ki Seng-wan tadi tepat mengenai giok-pay yang ditaruh di dada. Tak heran kalau si gadis menjadi kelabakan setengah mati. Namun Thian-leng tak mau memecahkan rahasianya, tanpa berkata apa-apa segera ia berputar dan angkat kaki.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 8 dari 290

Kecuali kau kembali ke dalam sarangmu Hun-tiong-san, jangan harap kau dapat melarikan diri malam ini! terdengar Ki Seng-wan berseru memberi ancaman. Thian-leng berpaling, dilihatnya Ki Seng-wan bersama keempat pengawalnya tengah mengejar. Mau tak mau gelisah juga Thian-leng. Sebenarnya ia tak mempunyai kepandaian yang berarti. Dalam ginkang ia kalah jauh dari mereka, ilmu silatpun sama saja. Adalah berkat giok-pay di dadanya itu maka ia beruntung dapat menyelamatkan diri dari cengkeraman si nona. Tetapi hal kebetulan ini tak mungkin terjadi lagi. Manakala Ki Seng-wan menyerangnya pula, ia pasti tertangkap. Tambahan pula pengawal tua yang disuruh melapor pada pemimpin mereka, tentu akan segera membawa bala bantuan. Apabila mereka datang, tak mungkin lagi ia dapat meloloskan diri! Sekilas ia mempunyai rencana. Sebelum bala bantuan datang, si nona dan ke empat pengawalnya itu tak berani turun tangan, karena mereka mengira ia memiliki ilmu sakti Kim-wi-sin-kang dan Bu-siangsin-kang. Ah, mengapa ia tak mau mempercepat larinya saja? Mungkin ia masih mempunyai harapan untuk lolos dari kejaran mereka. Keputusan itu segera dilaksanakan. Ia mengerahkan seluruh tenaga, berlari seperti orang diburu setan. Tetapi bagaimanapun juga, si nona dan keempat pengawalnya itu tetap membuntuti dalam jarak tertentu. Mereka tetap berada sekitar dua tombak di belakangnya. Mungkin sudah setengah jam lebih ia berlari mati-matian, sampai tulangnya seperti copot dari persendian. Paling sedikit ia sudah menempuh jarak dua tiga puluh li. Namun hatinya tetap kesal karena KiSeng-wan dan pengawalnya tetap mengikuti seperti bayangan. Saking jengkelnya, ia segera berlari menyusur sepanjang karang curam. Kala itu hampir menjelang fajar, namun kabut masih mengembang tebal. Thian-leng seperti orang kalap, ia berlari asal berlari. Tak dihiraukan pula arah tujuannya, tak dikenalnya lagi jalan-jalan yang harus ditempuh. Setelah berputarputar beberapa kali di lereng gunung, akhirnya ia limbung. Tak dapat diketahuinya lagi mana timur barat, mana selatan utara. Matanya semakin remang memandang kabut tebal. Terpaksa ia kendorkan larinya dan dengan begitu jarak Ki Seng-wan serta pengawalnya makin mendekat. Dari dua tombak kini hanya tinggal terpisah satu tombak saja. Thian-leng sudah mandi keringat. Napasnyapun sudah senin kemis. Hanya karena kekerasan hatinya maka ia masih nekad terus berlari Karena jaraknya semakin dekat dan kabutpun makin menipis, akhirnya rahasia diri anak muda itupun ketahuan oleh para pengejarnya. Hah, lihatlah dia! Apakah orang semacam ini sesuai dikatakan mempunyai ilmu Bu-siang-sin-kang? dengus Ki Seng-wan. Hambapun berpendapat demikian, sahut keempat pengawalnya. Ki Seng-wan tertawa mengikik, Hi,hi,hi , kita telah mempermainkannya. Lekas ringkus! Keempat pengawal itupun segera menyerbu. Thian-leng kaget sekali , perasaan ingin menyelamatkan diri telah membuat darahnya bergolak keras. Serasa timbul suatu tenaga yang luar biasa dan loncatlah ia ke samping Loncatan itu berhasil meloloskan dirinya dari sergapan keempat orang tua itu, tapi saat itu ia rasakan tubuhnya seperti terapung di udara dan makin lama makin meluncur ke bawah.. Ternyata ia telah terjerumus jatuh ke suatu jurang yang beratus-ratus meter dalamnya. Habislah riwayatku.! keluhnya. Namun sebelum ajal berpantang maut, ia meronta-ronta dan bergeliat-geliat. Tiba-tiba usahanya itu berhasil. Ia seperti mencengkeram sebuah karang menonjol dan dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia menekan tonjolan karang itu dan mengayunkan tubuhnya ke atas. Itulah satu-satunya harapan baginya. Di atas batu menonjol itu ternyata merupakan sebuah pintu goa. Ayunan tubuh Thian-leng itu tepat jatuh ke dalam mulut goa. Blek .. kembali ia tersirap kaget. Ia merasa tidak jatuh pada karang keras, tetapi menjatuhi segumpal daging manusia yang lunak. Rasa terkejutnya meledak ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh manusia yang berdiri dengan berjungkir balik, kepala di bawah , kaki di atas. Ternyata di dalam doa itu terdapat seorang manusia aneh yang tengah ebrtapa. Rambut terurai kusut masai, muka penuh ditumbuhi brewok lebat dan pakaian compang-camping tak keruan. Benturan tadi membuat Thian-leng terkapar jatuh, sedang orang tua aneh itupun terjungkir balik. Sepasang mata orang aneh itu berapi-api penuh dendam kebencian, seolah-olah hendak menelan Thian-leng.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 9 dari 290

Thian-leng merasa bersalah, buru-buru ia bangkit hendak memberi penjelasan. Tiba-tiba orang aneh itu bergeliat loncat berdiri dan menghantamnya. Sudah tentu Thian-leng tak kepalang terkejutnya, buruburu ia menggelinding menyingkir beberapa langkah. Buum hantaman orang aneh itu menghancurkan dinding goa, sehingga menimbulkan suara gemuruh dan hamburan keping-keping karang. Goa terasa bergoncang keras. Dan yang lebih mengejutkan lagi, terasa suatu hawa panas yang meranggas memenuhi ruang goa. Sebelum Thian-leng sempat bangun, orang aneh itu sudah menyusuli lagi pukulan kedua. Tetapi ketika tinjunya hendak dilayangkan, sekonyong-konyong tubuhnya tergetar dan mulutnya menyemburkan darah segar dan bluk.. iapun jatuh terduduk.! Thian-leng makin terkejut, Lo-cianpwe.. apakah kau terluka olehku? Kini barulah ia melihat jelas wajah orang aneh itu. Mukanya penuh tertutup rambut dan jenggot, tubuhnya kate, tetapi kedua lengannya amat panjang hingga dapat menyentuh tanah. Ia hanya mengenakan cawat, sehingga mirip orang hutan. Dengan napas terengah-engah, orang aneh itu memaki, Binatang, kau telah mencelakai aku. Sayang tak dapat kuganyang dagingmu! Suaranya gemerontang bagai geledek. Aku tergelincir jatuh ke dalam jurang ini dan sekali-kali tak sengaja Jerih payahku selama 30 tahun meyakinkan ilmu sakti yang hampir selesai itu, telah kau rusak berantakan. Organ dalam tubuhkupun morat marit, bahkan jiwaku turut kaurenggut! Orang kate itu terengah-engah hendak bangun dan memukul lagi. Melihat itu, Thian-leng buru-buru mencegah, Jangan bergerak lo-cianpwe, kau sudah Cau-hwe-jip-mo Cau-hwe-jip-mo ialah istilah dalam ilmu silat yang berarti sesat napas dan salah jalan. Seorang yang meyakinkan ilmu lwekang sakti, apabila sampai terganggu atau keliru, akan terjerumus dalam keadaan begitu. Organ tubuh bagian dalamnya akan terguncang tak keruan, aliran darahnya akan simpang siur dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Aku hendak mengadu jiwa denganmu.huak! si orang kate berseru, tetapi mulutnya kembali menyemburkan darah dan jatuhlah ia ke tanah pula. Thian-leng cemas sekali, tiba-tiba ia teringat akan sebutir pil Tay-hoan-tan pemberian Hun-tiong-sin-mo. Tanpa sangsi lagi segera ia mengambil pil mukjijat itu dan diberikan kepada si orang kate, Harap locianpwe minum pil Tay-hoan-tan ini ! Orang aneh itu terbelalak kaget. Wut, cepat ia menyambar pil itu dari tangan si anak muda,Tay- hoan.-tan.. Sejenak ia mengamat-amati pil itu, lalu berpaling menatap Thian-leng pula, Kau berikan pil ini padaku? Ya, harap lo-cianpwe lekas minum. Pil ini luar biasa khasiatnya! sahut Orang kate itu tertawa mengikik, Hi,hi,hi, tapi setelah sembuh ..kau tentu kubunuh! Thian-leng tertawa hambar, Aku telah mencelakai gunung Hun-tiong-san ini. Bangsat Song-hun Kui-mo itu jeri terhadap Hun-tiong-sin-mo, dia tentu tak berani datang kemari. Dengan begitu dapatlah aku meyakinkan ilmu sakti Lui-hwe-ciang dengan aman. tiba-tiba ia berhenti dan menghela napas. Sekalipun tak dinyatakan, tetapi Thian-leng sudah dapat menangkap ke mana arah tujuan kata-kata Ohse Gong-mo itu. Tentulah tak lain dari suatu penyesalan tentang gagalnya meyakinkan ilmu Lui-hweciang yang dijalankan selama 30 tahun ini. Thian-lengpun menyesal sekali. Sayang kepandaianku tak berguna, kalau tidak aku tentu dapat mewakili lo-cianpwe membasmi durjana itu dan merebut kembali kitab pusaka lo-cianpwe! ia menghela napas. Tercengang Gong-mo mendengar pernyataan anak muda itu. Dipandangnya anak muda itu sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia bertepuk tangan dan tertawa tergelak-gelak. Thian-leng kaget! Ah, mengapa aku tak memikir sampai di sini. Buyung, jika kau sungguh-sungguh mau membalaskan sakit hatiku, tentu akan kugembleng kau menjadi manusia sakti! Aku bukan seorang kerdil, asal aku memperoleh kesaktian, tentu akan kulaksanakan pesan locianpwe! sahut Thian-leng dengan tegas. Sekali lagi Gong-mo memandang Thian-leng dengan seksama, katanya dengan nada puas, Sebuah bahan yang bagus, sukar ditemukan. Ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang kuyakinkan selama 30 tahun ini hendak kuberikan padamu dalam sehari.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 10 dari 290

Thian-leng.

Thian-leng girang-girang kaget, ia menyangsikan pernyataan Oh-se Gong-mo, tetapi tak mau ia banyak memikir lagi, segera ia berlutut menghaturkan sembah hormatnya, Guru! Buru-buru Gong-mo menariknya bangun, Tak usah., sekalipun kuajarkan ilmu kepandaian padamu, tetapi tak dapat kuterima engkau sebagai murid. Karena. meskipun kau sudah mendapat ilmu pukulan Lui-hwe-ciang tetapi belum tentu kau dapat mengalahkan Song-bun Kui-mo. Selama 30 tahun ini, diapun tentu meyakinkan isi pelajaran dalam kitab pusaka itu. Maka hendak kupersiapkan kau dengan cara lain lagi Ia berhenti sejenak, katanya pula, Ilmu pukulan Lui-hwe-ciang kuterima dari seorang tokoh aneh. Tiga puluh tahun yang lalu, beliau tinggal di dalam lembah Sing-sim-kiap di gunung Thay-heng-san. Beliau berpesan jika aku sudah menyelesaikan pelajaran Lui-hwe-caing supaya datang ke Thay-heng-san lagi. Bila dapat memperoleh pemberiannya sebutir pil mKong-yang-sin-tan, barulah ilmu pukulan Lui-hweciang itu menjadi sebuah ilmu sakti yang tiada tandingannya di dunia! Agak kecewa Thian-leng, Entah siapa nama tokoh sakti itu. Aku belum mengenalnya. Oh-se Gong-mo tertawa, Beliau she Sip bernama Uh-jong. Jarang muncul di dunia persilatan, maka namanyapun tak terkenal. Asal kau katakan tentang pertemuanmu denganku, serta memohon supaya kau diterima menjadi murid, berkat bahan tulangmu yang bagus, tentulah besar harapan akan diterima! Begitu yakin Oh-se Gong-mo dengan ucapannya sehingga asal Thian-leng dapat menjumpaitokoh Sip Uh-jong, tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang dapat melaksanakan cita-cita untuk melakukan pembalasan kepada Song-bun Kui-mo. Bagaimana kepandaian Sip lo-cianpwe itu jika dibandingkan dengan Hun-tiong-sin-mo. rupanya Thian-leng masih meragu. Bahkan sakit hatimu tentu dapat terbalas juga tukas Oh-se Gong-mo,tetapi aku hendak meminta kesanggupanmu. Setelah kau memahami ilmu sakti itu, pertama kau harus melakukan pembalasan untuku, kemudian barulah kau melakukan urusanmu yang lain-lain.! Baik locinpwe. Akan kubunuh Song-bun Kui-mo dulu, baru nanti Hun-tiong-sin-mo! cepat Thian-leng memberi pernyataan. Tiba-tiba terkilas sesuatu dalam pikirannya, tanyanya, Tentulah lo-cianpwe pernah bertemu muka dengan Hun-tiong-sin-mo? Ya Bagaimanakah orang itu? Seorang tinggi besar yang mempunyai suara seperti geledek.. Ah, salah.. di luar kesadaran Thian-leng berseru. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada Hun-tiongSin-mo. Maka tak mau ia melanjutkan kata-katanya lagi. Mengapa salah? tegur Oh-se Gong-mo. Ah, tak apa-apa.. Thian-leng tergugu. Untung Oh-se Gong-mo tak mau mendesak. Ia merogoh ke sebuah lubang pada dinding goa dan mengeluarkan secarik kain warna kuning. Hati-hati sekali ia menyerahkannya pada Thian-leng, Inilah peta letak lembah Sing-sip-kiap. Tempat tinggal tokoh aneh itu adalah yang kutandai dengan lingkaran merah.! Buru-buru Thian-leng menyimpannya dalam baju. Buyung, sekarang aku hendak mulai mengajarkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang secara lisan. Dengarkanlah baik-baik! Oh-se Gong-mo , si kate yang pernah menggemparkan dunia persilatan saat itu mulai menerangkan tentanag gerakan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang. Thian-leng mendengarkan dengan penuh perhatian. Diam-diam ia membatin, Sekalipun aku sudah dapat mengerti jelas ilmu itu, tetapi tanpa peryakinan berpuluh tahun, tentu takkan berarti apa-apa! Apakah juga harus mengasingkan diri selama 30 tahun seperti Oh-se Gong-mo ? Demikian pertanyaan yang meresahkan pikiran Thian-leng. Karena kuatir Thian-leng tak dapat menerima jelas, maka Oh-se Gong-mo mengulang sekali lagi keterangannya. Sebenarnya Thian-leng yang berotak cerdas sudah dapat menerima seluruhnya. Begitulah kira-kira tiga jam lamanya, barulah Oh-se Gong-mo hentikan uraiannya. Untuk menyempurnakan latihan Lui-hwe-ciang tentu akan menggunakan waktu tahunan Tak perlu, dalam sekejap mata akan kujadikan kau seperti tingkatanku! tukas Oh-se Gong-mo. Tibatiba ia membentak, Lekas pusatkan napasmu, hendak kuturunkan lwekangku selama 80 tahun..! Thian-leng terkejut, Tidak lo-cianpwe, jangan kau.!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 11 dari 290

Tapi Gong-mo tak menghiraukan lagi. Segera ia mencengkeram jalan darah Khi-hay-hiat di perut Thianleng yang tak dapat berkutik lagi.! Serangkum arus tenaga dalam segera mengalir ke tubuh Thian-leng dengan derasnya. Terpaksa Thian-lengpun pusatkan tenaganya untuk menyambut. Ia harus mengerutkan giginya kencang-kencang untuk menahan rasa nyeri dari rasa panas yang merangsang hebat di tubuhnya. Ia seperti digodog dalam kuali, seluruh ruas-ruas tulang persendiannya seperti berantakan dan akhirnya seperti terjadi ledakan hawa panas yang hebat sehingga membuatnya pingsan. Entah berselang berapa lama, barulah ia tersadar kembali. Ketika teringat apa yang telah terjadi tadi, serentak ia meloncat bangun. Ah, betapa hancur hatinya manakala tampak Oh-se Gong-mo meringkuk di tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dia telah kehabisan tenaga dalam. Di sampingnya terdapat beberapa guratan huruf, Jangan bersedih, lekas pergi ke Thay-heng-san Rupanya karena kehabisan tenaga, tak dapat lagi Oh-se Gong-mo melanjutkan tulisannya. Menangislah Thian-leng tersedu-sedan.. Setelah puas mengalirkan air mata, ia berlutut di hadapan jenazah jago tua itu dan bersumpah, Setelah selesai menuntut ilmu kesaktian dan membalaskan dendam, tentulah aku datang lagi kemari untuk menguburkan jenazah lo-cianpwe.! Melongok keluar, kira-kira beberapa tombak dari goa itu terdapat sebuah batu yang menonjol. Terkilas suatu rencana untuk melompat ke arah batu itu, kemudian baru mengenjot tubuhnya melambung ke atas. Tetapi ia lupa bahwa setelah menerima saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo, kini dirinya sudah jauh berlainan dari yang tadi. Maka lompatannya itu bukan saja dapat mencapai, bahkan melampaui batu itu beberapa meter jauhnya, sehingga tubuhnya meluncur turun ke bawah jurang. Ia menjerit, tapi secepat itu pula ia tenangkan dirinya. Ada sesuatu yang dirasanya aneh, tubuhnya terasa ringan sekali. Ia coba menjejakkan ujung kakinya ke dinding karang dan serentak menggeliatkan tubuh, ah. ia berhasil melambung ke atas tepi jurang. Bukan main lega hatinya. Saat itu matahari sudah terbenam, bergegas ia turun gunung. Thay-heng-san terpisah beberapa ratus li dari Hun-tiong-san, tapi dengan kepandaian yang dimiliki sekarang, dapatlah ia mencapai tempat itu dalam dua hari. Hari makin malam, tak tahu sudah berapa jauh ia berjalan, saat itu ia tiba di sebuah hutan lebat. Sekonyong-konyong ia mencium angin berbau amis. Ia berhenti dan menghampiri arah bau amis itu. Di ujung hutan ia menyaksikan suatu pemandangan yang mengerikan. DI atas sebuah jalan kecil yang berada di luar hutan, terkapar malang-melintang belasan mayat. Tubuh mereka hancur, tulang berserakan. Sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga menancap di batang pohon di dekatnya. Astaga. itulah Panji tengkorak darah, lambang kebesaran Hun-tiong-sin-mo.! Melihat dandanan mayat-mayat yang mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedang, mereka tentu kaum persilatan. Dan dari mayat mereka yang masih segar, mungkin mereka baru saja dibunuh setengah jam yang lalu. Meluap darah Thian-leng menyaksikan kebuasan Hun-tiong-sin-mo, segera ia menerobos ke dalam hutan.Jika iblis itu masih berada di dalam hutan ia bertekad hendak mengadu jiwa. Tetapi hutan sepi senyap, betapapun ia menjelajahi seluruh pelosok, tetap tidak menemukan seeorang. Untuk melampiaskan kemarahan, berserulah ia sekuat-kuatnya, Setan tua Hun-tiong, ganas sekali kau! Pada suatu hari kaupun bakal menjadi seperti korban-korbanmu ini. Mayatmu akan hancur berkepingkeping! Ia terkejut sekali ketika mendapatkan suara jeritannya itu sekeras geledek, sehingga pohon-pohon tergetar dan burung-burung terbang berhamburan. Benarkah sekarang ia mempunyai lwekang yang hebat? Dicobanya sekali lagi untuk menghantam sebatang pohon sebesar lengan. Brak.... pohon itupun berderak-derak tumbang dan bekas kutungannya hangus seperti habis dibakar! Suatu hal yang benar-beanr membuatnya terkejut dan girang.! Tetapi kegirangannya itu berobah menjadi kesedihan lagi manakala ia kembali ke tempat mayat-mayat tadi. Betapa sedih hati keluarga mereka. Ah, teringat akan keluarga, iapun terkenang akan seluruh keluarganya yang dibasmi oleh Hun-tiong-sin-mo. Kematian ibunya pada 3 hari yang lalu hampir membuatnya menangis lagi Karena tak tahan, cepat ia hendak berlalu. Tetapi sekonyong-konyong ia kasihan akan mayat-mayat itu. Segera ia kembali untuk membuat liang. Pada saat hendak mengubur mayat-mayat itu, tiba-tiba terdengar derap langkah orang mendatangi. Berpaling ke arah datangnya suara, ia terkejut bukan kepalang. Belasan orang muncul dari balik hutan. Thian-leng batalkan penguburan dan bersiap sedia.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 12 dari 290

Ternyata yang datang itu ialah si nona baju ungu Ki Seng-wan dan seorang baju hijau. Mereka membawa pengiring 8 orang tua berjubah biru. O, Kang Tayhiap, sungguh tak nyana kita berjumpa pula! Ki Seng-wan tertawa genit. Thian-leng hanya mendengus dingin. Apakah ini orangnya yang kaukatakan itu? tanya si nona baju biru. Ya, Ki Seng-wan mengiyakan, dia luar biasa anehnya. Sebentar bisa ilmu Kim-wi-sin-kang, sebentar bisa ilmu Bu-siang-sin-kang dan sebentar berobah seperti seekor kerbau gila. Pendek kata segala apa dia bisa.Semalam dia jatuh ke dalam jurang, tetapi tak meninggal dan sekarang hendak menghilangkan jejak perbuatannya membunuh sekian banyak jiwa manusia! Jangan menghambur fitnah! Siapa yang membunuh korban-korban itu? bentak Thian-leng. Siapa lagi kalau bukan kau! Ki Seng-wan tertawa mengikik. Bagaimana kau tahu kalau aku yang membunuh? tanya Thian-leng. Kalau bukan kau yang membunuh, mengapa kau hendak menguburnya? Aku tak kenal padamu, jangan terus menerus mengganggu! Urusan semalampun takkan kutarik panjang lagi! Makin Thian-leng marah, makin keras Ki Seng-wan tertawa, Enak saja kau omong. Kemarin malam kau sudah mendapat kemurahan, tetapi jangan harap sekarang kau bisa lolos lagi! Ji-moay, perlu apa berbantah dengan dia? Ringkus saja nanti kita periksa! nona baju hijau berseru. Ia mengangkat tangan dan 8 pengawal segera mengurung Thian-leng. Dua orang pengawal membuka serangan dari kanan-kiri. Thian-leng marah dan balas memukul. Kedua orang itu terpental beberapa langkah ke belakang. Yang seorang menjerit ngeri karena sebelah lengannya putus. Pakaian keduanya berlubang seperti terbakar. Hai, dia bisa ilmu pukulan Lui-hwe-ciang, awas .! Ki Seng-wan berseru kaget. tetapi Thian-leng tak mau menyerang lagi karena ia tak bermaksud melukai orang. Kau benar-benar bukan orang sembarangan, tetapi tetap jangan harap bisa lolos! seru Ki Seng-wan seraya maju menutuk. Thian-leng jengkel dan balas menghantam. Tetapi tutukan Ki Seng-wan itu hanya sebuah siasat, sambil menyelinap ke samping ia melepaskan sebuah pukulan. Tetapi Thian-leng juga tak mau kalah, begitu pukulannya luput, ia segera berkisar dan menangkis. Kali ini adu pukulan tak dapat dihindari lagi. Aneh, tiada terdengar suara apa-apa, tetapi kedua-duanya sama-sama tersurut mundur selangkah. Ki Seng-wan mendengus, Hm, sifat lunak menundukkan sifat keras.Lwekang lunakku ternyata dapat menindas lwekang kerasmu! Thian-leng tersirap kaget. Ia menggunakan 8 bagian tenaganya dlam pukulan tadi, tetapi dapat ditindas lawan, bahkan lwekang si nona dapat juga mebuatnya terpental. Thian-leng merasakan darahnya mendebur keras. Sifat keras yang sempurna tentu dapat menundukkan sifat lunak. Betapapun kau gunakan lwekang lunak, tetap akan hancur ! dengusnya. Sifat lunak yang sempurna tentu dapat mengatasi sifat keras. Betapa hebat lwekang kerasmu, aku tetap dapat menundukkan. Apalagi . Ki Seng-wan berkata dengan tekanan nada keras, Kau tak sempat mempelajari lwekang keas yang sempurna! Ki Seng-wan menutup kata-katanya dengan sebuah serangan. Si nona baju hijau tak sabar lagi, bersama ke 8 pengawalnya ia segera menyerbu Thian-leng. Pertempuran berlangsung seru. Ki Seng-wan dan si nona baju hijau melancarkan ilmu lwekang Im-jikang yang bersifat lunak. Pukulannya tak mengeluarkan suara tetapi mengandung tekanan hebat. Mereka berdua menyerang dengan kompak, sebentar dari kanan kiri, lain saat dari muka belakang. Thian-leng benar-benar tak berdaya. Kedua nona itu menyerang secara rapat, sehingga ia tak dapat mengembangkan kedahsyatan ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya. Kedelapan pengawal membentuk lingkaran untuk mengepung rapat. Mereka bersorak-sorak memberi semangat kepada kedua nona, bahkan sekali dua kali mereka ikut menyerang. Thian-leng makin terdesak, permainannya mulai kacau. Beberapa kali hampir saja ia terancam bahaya. Orang she Kang, sebaiknya kau menyerah saja. Jika kau suka menyerah, maka aku dan taciku takkan membunuhmu! tiba-tiba Ki Seng-wan berseru. Hm, karena tak mempunyai dendam apa-apa, maka aku tak mau menyerang kalian sungguhhttp://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 13 dari 290

sungguhsambil menjawab Thian-leng dorongkan kedua tangannya. Ki Seng-wan terdesak mundur beberapa langkah karena tertekan hawa panas dari pukulan Thian-leng. Melihat itu si nona baju hijau segera memberi perintah, Selesaikan dia hidup atau mati. Ia sendiri segera menyerang dengan gencar. Amukan si nona itu dapat menggagalkan kedudukan Thian-leng yang hampir saja di atas angin. Pada saat ke 8 pengawal itu ikut maju menyerang, kembali Thian-leng di pihak yang terdesak lagi. Pada detik-detik berbahaya, sesosok bayangan biru menerobos ke dalam lingkaran pertempuran. Dengan pedang pendek semacam badik, orang itu menyerang Ki Seng-wan dan si nona baju hijau. Thian-leng terkesiap heran. Gerakan pendatang itu luar biasa cepatnya, sesaat kemudian terdengar Ki Seng-wan menjerit tajam. Orang itupun menghentikan serangannya dan berdiri tegak. Tampak wajah kedua nona itu berobah. Ki Seng-wan mendekap lengan kanan, darah bercucuran dari lengan itu. Ternyata lengannya kena dilukai. Sedangkan si nona baju hijaupun mengalami malu yang hebat, baju di bagian dadanya kena tergurat robek, sehingga para pengawalnya melongo. Thian-leng saat itu baru melihat jelas. Pendatang tak dikenal itu berumur kurang lebih 20 tahun, memakai kain ikat kepala dan jubah warna biru muda. Tubuhnya langsing, wajahnya kuning pucat macam orang sakit. Hanya sepasang matanya yang berkilat-kilat memancarkan sinar tajam. Orang itu sejenak berpaling ke arah Thian-leng dan memberi senyuman tawar. Setelah itu berpaling lagi ke muka. Tersirap darah Thian-leng ketika beradu pandang, Ah, ia ingat-ingat lupa , seperti pernah mengenalnya. Ia memandang pula dengan seksama. Ah, rasanya ia belum pernah kenal. Akhirnya ia memberi hormat menghaturkan terima kasih, Banyak terima kasih atas bantuan saudara. Aku. Nanti kita bicara lagi setelah kuhalau mereka! orang itu cepat menukas. Si nona baju hijau sambil mendekap dadanya, berseru,Mengapa kau menyerang ? Apakah hendak memusuhi kami berdua ? Aku paling benci pada orang yang main keroyokan. Setiap melihat perbuatan yang tak adil, aku tentu campur tangan, sahut pemuda itu. Siapakah namamu? tanya si nona. Pemuda itu sejenak meragu, lalu menyahut, Cu Siau-bun, setiap saat kalian boleh mencari balas padaku ! Cu Siau-bun. ah seorang tak ternama! si nona baju hijau mendengus hina. Cu Siau-bun tertawa keras, Memang aku tak ternama. Sebenarnya mudah untuk mengangkat nama. Asal kubunuhi tokoh-tokoh persilatan, tentu namaku cepat termasyhur. sekonyong-konyong ia mengebutkan lengan bajunya. Serangkum sinar kemilau meluncur ke arah 4 orang pengawal. Mereka mengerang dan rubuh! Tenang sekali si nona baju hijau memandang keempat pengawalnya yang rubuh itu, ujarnya, Ah, selain ilmu pedang, Cu tayhiap juga mahir menimpukkan senjata rahasia! Kembali Cu Siau-bun tertawa, Jangan kuatir, senjata rahasia Tui-hong-kiong (passer pengejar angin) itu tak beracun. Tetapi dapat menembus jantung orang. Jauh lebih ganas dari segala racun. ! Habis berkata kembali Cu Siau-hun mengangkat tangan hendak menabur lagi, tetapi cepat-cepat dicegah oleh Thian-leng, Saudar Cu, jangan !" Tetapi sudah terlambat. Salah seorang pengawal menjerit rubuh.! Dan Cu Siau-bun tertawa kepada Thian-leng. Rupanya pemuda itu menganggap membunuh jiwa orang seperti suatu permainan yang menggembirakan. Agaknya Cu tayhiap juga tak mau melepaskan kami berdua kakak beradik? tegur nona baju hijau. Cu Siau-bun tertawa, Kebalikannya, silakan nona pergi agar aku tak merobah keputusanku! Kata nona baju hijau itu lagi, Sekalipun kami bukan tandinganmu, tetapi pihakku tentu akan membuat perhitungan padamu! ia terus ajak Ki Seng-wan angkat kaki. Thian-leng menanyakan apakah pemuda Cu itu juga mempunyai dendam permusuhan dengan kedua nona. Aneh, Cu Siau-bun tertawa dingin, aku tak kenal siapa mereka dan hanya semata-mata membantumu saja!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 14 dari 290

Terima kasih atas bantuan saudara, Thian-leng menghela napas, tetapi caramu melakukan pembunuhan itu sungguh keterlaluan sekali! Sambil memungut kayu, kembali ia teruskan membuat liang kuburan lagi. Hei, mau bikin apa kau? tegur Cu Siau-bun. Ketika Thian-leng menyatakan hendak mengubur mayat-mayat itu, Cu Siau-bun menertawakannya, Ah, sifat seorang wanita. bukan seperti orang jago persilatan ! Thian-leng tidak menghiraukan dan tetap meneruskan galiannya. Selesai mengubur segera melangkah pergi. Tiba-tiba dilihatnya Cu Siau-bun masih enak-enak duduk di menghampiri anak muda itu, Cu-heng, mengapa kau Menunggumu! Cu Siau-bun tertawa Aku. Thian-leng tergugu. Ia tak senang dengan keganasan pemuda itu dan mengajak kawan dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san. semua mayat, ia bawah pohon. Ia tak pergi? tawar. juga ia tak mau

Eh, apakah kau tak suka bersahabat dengan aku? teriak Cu Siau-bun. Aku hendak berkelana tanpa tujuan, bagaimana saudara hendak ikut? Itu bagus, memang akupun sedang mengembara. Senang sekali aku dapat mengawanimu kemana saja ! Thian-leng mati kutu. Tak dapat ia menolak. Cu Siau-bun segan-seganan bangkit. Tiba-tiba ia mencabut panji tengkorak darah yang tertancap di pohon. Hm, pintar sekali orang yang membuat ini sehingga menyerupai yang tulen ! dengusnya. Tetapi itu terang panji dari Hun-tiong-sin-mo. ! teriak Thian-leng. Palsu! bentak Cu Siau-hun. Thian-leng tersentak mundur, serunya,Bagaimana kau tahu kalau palsu? Cu Siau-hun terkesiap, serunya,Sudah beberapa hari aku mondar mandir di kaki gunung Hun-tiongsan. Selama itu tak kupergoki dia pergi kemana-mana. Terang ada orang yang memalsunya! Iblis itu sakti sekali, gerak-geriknya sukar diduga. Dia pergi atau tidak, bagaimana kau tahu? Hanya..akupun mempunyai dugaan, bahkan Hun-tiong-sin-mo itu sendiri juga palsu..! tiba-tiba Thian-leng menghentikan kata-katanya, karena teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo. Bagaimana kau tahu kalau iblis Hun-tiong-sin-mo itu palsu? sekarang giliran Cu Siau-bun yang menegur tajam. Thian-leng tersentak mundur dan berkata dengan tergagap, Akuaku hanya menduga saja Dengan cepat iapun mengalihkan pembicaraan, Aku masih mempunyai urusan penting, maaf saudara Cu silakan kau pergi sendiri! Ia memberi hormat lalu melangkah pergi. Tetapi Cu Siau-bun tertawa dingin dan membuntutinya! Terpaksa Thian-leng berhenti. Aku hendak pulang ke pondokku dulu. Sayang karena pondokku itu kecil tak dapat menerima tetamu, Cu-heng Tak usah kau usir aku, karena sebenarnya akupun tak berniat mengikutimu, melainkan.,Cu Siaubun sejenak memandang Thian-leng, ujarnya pula,Akupun tiada jalan lain! Maksud saudara? Thian-leng heran. Aku berasal dari Lamciang, asing dengan daerah ini. Kulihat Kang-heng seorang yang baik hati dan juga sendirian, maka ingin kumengikat persahabatan. Tapi ah, mengapa Kang-heng begitu getas menolak diriku! Thian-leng kehabisan alasan, terpaksa ia menerima. Apalagi jika pemuda itu tak membantunya, mungkin ia sudah tertangkap rombongan Ki Seng-wan. Siapa lagi yang berada di rumah Kang-heng? tanya Cu Siau-bun setelah mengetahui orang tak menolak. Thian-leng menghela napas, Sejak kecil aku bernasib malang. Hidup bersama sorang ibu di lembah Pek-hun-koh yang terpencil di gunung Lu-liang-san Apakah ibu Kang-heng sudah menutup mata? Ya, baru tiga hari yang lalu, dibunuh Hun-tiong-sin-mo! Thian-leng menggeram. O, kiranya Kang-heng hendak melakukan pembalasan !? Bagaimana saudara mengetahui ? Thian-leng heran. Bukankah beberapa hari yang lalu Hun-tiong-sin-mo membuka pertandingan terbuka untuk kaum persilatan? Jika tak berniat melakukan pembalasan, bagaimana kau menuju ke sana? sahut Cu Siaubun.Tanpa menanyakan pengalaman Thian-leng selama hadir di pertandingan itu, Cu Siau-bun
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 15 dari 290

melanjutkan pertanyaannya, Sudah terlanjur mengembara jauh, mengapa sekarang Kang-heng terburu-buru pulag? Mendiang ibuku telah meninggal dengan dada tertusuk pedang. Sebelum menutup mata, beliau pesan supaya jenazahnya jangan dikubur, tetapi ditaruh dalam sebuah goa tertutup! Aneh! Cu Siau-bun menggerutu heran. Tetapi kurasa lebih aman kalau kutanam saja. Setelah itu baru kuberdaya melakukan pembalasan pada Hun-tiong-sin-mo! Cu Siau-bun menyetujui dan memuji Thian-leng seorang anak berbakti. Demikianlah keduanya segera melanjutkan perjalanan. Dua hari kemudian, tibalah mereka di muka lembah Pek-hun-koh yang terletak di daerah pedalaman gunung Lu-liang-san. Mulut lembah ditimbuni batu oleh Thian-leng. Sudah hampir 10 tahun lamanya Thian-leng dan ibunya tinggal di situ. Ketika memasuki lembah, pemandangan yang pertama menumbuk mata Cu Siau-bun adalah sebuah lapangan kuburan yang dihuni oleh empat puluhan makam. Wajah Thian-leng berobah pucat, matanya berkaca-kaca. Ia cepat berlari menuju ke sebuah gubug yang berada di tengah kuburan itu. Gubug itu pendek sekali, pintunya ditutup dengan rantai. Senja di kuburan dalam lembah yang sunyi, menimbulkan suatu pemandangan yang menyeramkan. Tenggoret mulai berbunyi nyaring, angin menghembus dingin, mau tak mau Cu Siau-bun merasa seram juga. Setelah membuka kunci, Thian-leng segera menerobos masuk. Tetapi seketika itu dia lantas tegak seperti patung, darahnya serasa berhenti. Sampai sekian lama barulah mulutnya berseru terputusputus, Jenazah .. ibuku. lenyap. ! Matanya berkunang-kunang, bumi yang dipijaknya serasa berputar dan robohlah pemuda itu. Untung Cu Siau-bun cepat menyambutnya, ia mengulum senyum sinis. Setelah ketenangannya pulih, Thian-leng membanting-banting kaki, mengeluh, Sudah belasan tahun tempat ini tak pernah kedatangan tamu. Mulut lembah kututup dan gubug kukunci, mengapa jenazah ibuku. ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat isak tangis. Cu Siau-bun mondar-mandir dalam gubug untuk memeriksa. Wajahnya tetap memancarkan senyuman tawar. Beberapa saat kemudian baru ia menghampiri Thian-leng. Semasa hidupnya, ibumu itu tentu berwatak aneh, keras dan ganas. Tentu tak mempunyai kasih sayang sebagai ibu kepadamu Pada saat itu Thian-leng duduk di atas sebuah kursi bambu. Hatinya sudah agak tenang, tetapi demi mendengar ucapan Cu Siau-bun, bangkitlah ia serentak, bentaknya,Kau kau tak layak menghina ibuku! Cu Siau-bun tersurut mundur selangkah, ia tertawa dingin, Yang menjalani memang bingung, tetapi yang melihat akan lebih jelas. Aku kan hanya bermaksud membantumu mencari kebenaran, mengapa sedemikian bengis sikapmu? tiba-tiba ia berhenti sejenak, katanya pula, Aku hanya ingin tahu, apakah keadaanmu benar seperti yang kutanyakan itu? Pemuda itu memandang wajah Thian-leng dengan ramah. Seri wajahnya seolah-olah mengunjukkan rasa mesra dan simpati kepada Thian-leng. Thian-leng menghela napas, Tujuh belas tahun yang lampau, tak lama setelah aku dilahirkan, Huntiong-sin-mo mengganas di keluargaku. Empat puluh orang keluargaku dibunuh semua. Mungkin penderitaan batin itu merobah perangai ibuku Apakah gundukan tanah di luar itu kuburan dari keluargamu? tanya Cu Siau-bun. Thian-leng mengangguk dengan mata berllinang. Tiba-tiba Siau-bun tertawa terkekeh, serunya,Ah, saudara Kang, kau telah masuk dalam perangkap yang lihay. Kasihan kau tak mengetahui. Jika tak berjumpa denganku, mungkin sampai matipun kau tak sadar. Kemudian ia berkata seorang diri, Hebat betul tipu siasat orang ini. Sedemikian halus dan licin, sehingga orang tak menyadari Aku tak mengerti maksudmu. Memang kau tak mengerti, tukas Cu Siau-bun, hatimu polos dan jujur, maka mudah ditipu orang. Ya, aku berani mengatakan, bahwa selama ini kau tentu tak pernah mencurigai ibumu itu.. Thian-leng serentak bangun dan menjerit geram, Cu-heng Cu Siau-bun memandangnya dengan rasa simpati dan ditepuknya bahu pemuda itu, ujarnya,Memang
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 16 dari 290

soal ini berbelit-belit, tetapi apakah sedikitpun kau tak menaruh kecurigaan? Misalnya kematian ibumu yang begitu aneh dan pesannya yang tak wajar. Apakah kau terima begitu saja? Tergerak pikiran Thian-leng. Ya, memang kata-kata Cu Siau-bun itu masuk akal. Tetapi ia tak tahu bahwa di balik diri ibunya itu tersembunyi sesuatu rahasia. Kau mengatakan bahwa seluruh keluargamu telah dibasmi oleh Hun-tiong-sin-mo. Tetapi mengapa hanya ibumu dan kau yang selamat? Karena dengan memondong aku, beliau bersembunyi dalam sebuah sumur mati! Kau masih bayi, tentunya ibumu yang menceritakan hal itu bukan? Beliau bukan seorang ibu yang suka berbohong! Thian-leng berseru geram. Cu Siau-bun tertawa sinis,Baik, taruh kata hal itu benar, tetapi masih ada lagi hal yang menyangsikan. Kau mengatakan ibumu dibunuh oleh Hun-tiong-sin-mo, tetapi mengapa dia tak membunuhmu sekalian? Karena waktu itu aku tidur di rumah belakang, mungkin iblis itu tak mengetahui. Tujuan Hun-tiong-sin-mo ke lembah terpencil ini, adalah semata-mata hendak membunuh kalian ibu dan anak. Masakan dia tak mencarimu ke rumah belakang.! Kali ini Thian-leng tergagap tak dapat menjawab. Apabila penilaianku tak salah, pembunuhan itu tentu dilakukan pada malam hari. Jeritan ngeri dari ibumu telah membangunkan kau. Kau segera bergegas lari menghampiri dan mendapatkan ibumu rebah dengan dada tertancap pedang, di samping tempat tidurnya terdapat panji tengkorak. Saat itu ibumu masih dapat berkata-kata memberi pesan terakhir, setelah itu baru menutup mata. Thian-leng terlongong memandang pemuda itu. Ia heran mengapa Cu Siau-bun dapat menceritakan peristiwa itu dengan tepat, seperti menyaksikan sendiri. Cu Siau-bun tersenyum ewa. Tetapi dia tidak mati, dia pergi! tiba-tiba pemuda itu berseru nyaring. Seketika mengigillah tubuh Thian-leng mendengar ucapan yang seperti halilintar pecah di tengah hari itu. Wajahnya berobah pucat, mulutnya tergugu, Bagaimana mungkin, itu. Di atas tempat tidur maupun di bawahnya tentu tak terdapat bekas-bekas darah. Dia menggunakan ilmu menutuk tubuh dengan senjata. Orang lain mungkin kena dikelabui, tetapi prmainan anak kecil semacam itu mana dapat menipu aku Cu Siau-bun berhenti sejenak, katanya pula, Dia telah mengatur siasat sedemikian indah Dipilihnya 3 hari sebelum Hun-tiong-sin-mo menerima tantangan kaum persilatan. Tempo 3 hari itu cukup untuk menyuruhmu ke Hun-tiong-san.. Tetapi beliau pesan agar aku menyingkir pergi sejauh mungkin, jangan melakukan pembalasan. Beliau tahu bahwa aku bukan tandingan iblis itu bantah Thian-leng. Kembali Cu Siau-bun tertawa sinis,Tiada seorangpun yang lebih mengenal puteranya daripada seorang ibu. Entah apakah dia itu sungguh ibumu atau bukan, tetapi dia sudah tinggal bersamamu selama belasan tahun. Masakah dia tak kenal tabiatmu. Melarang kau melakukan pembalasan, berarti mendesak batinmu supaya melakukan pembalasan. Waktu 3 hari dari pertempuran di Hun-tiong-san itu tak memberimu kesempatan untuk berpikir lagi. Kau tentu nekad akan melakukan pembalasan. Menunjuk pada sebuah peti kayu yang terbuka di atas meja, berkatalah Cu Siau-bun, Diam-diam ia menyembunyikan sebotol Pek-tok-jong, tetapi sengaja ia perlihatkan. Di dalam peti itu terdapat keterangan tentang penggunaan racun yang luar biasa ganasnya itu. Telah diperhitungkannya bahwa kau tentu membawanya untuk menempur Hun-tiong-sin-mo. Syukur Hun-tiong-sin-mo dapat dibinasakan dengan racun itu. Apabila dia tidak mati, sekurang-kurangnya kaulah yang akan dibunuh iblis itu. Karena selama 60 tahun ini, tak pernah ada orang yang keluar dari Hun-tiong-san dengan hidup! Cu Siau-bun tertawa geli, Ha, ha, hebat sekali dia mengatur rencananya, tetapi masih ada kelemahannya. Ia tak menyangka akan timbul hal-hal di luar perhitungannya! Saat itu Thian-leng seperti jago yang sudah keok. Ia menundukkan kepala dan mengeluh sedih, Tetapi mengapa ibuku berbuat begitu, apakah alasannya Ho, kau tetap belum menyadari bahwa dia itu bukan ibumu! teriak Cu Siau-bun. Merahlah sepasang mata Thian-leng. Ia memandang Cu Siau-bun dengan terlongong-longong. Kasihan juga Cu Siau-bun melihat diri anak muda itu, katanya dengan berbisik, Mungkin kau masih belum yakin.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 17 dari 290

Baiklah, hendak kuberikan lagi sebuah bukti yang kuat! Ia melangkah keluar pondok. Thian-leng segera mengikutinya. Apabila kuburan-kuburan itu sungguh berisi jenazah keluargamu, Cu Siau-bun menunjuk ke arah gundukan kuburan, anggaplah bahwa keteranganku semua tadi bogong belaka. Silakan gali kuburan itu! Kembali Thian-leng terbelalak. Namun hal itu penting sekali baginya. Segera ia mencari cangkul dan mulai menggali sebuah kuburan. Menurut batu nisan yang terpancang di muka kuburan, yang digali itu adalah kuburan pamannya. Cepat sekali ia sudah menggali sampai 2 meter lebih dalamnya. Darahnya serasa berhenti ketika tak didapatinya barang satu peti mati dalam liang kubur itu. Masih dia penasaran, digalinya 5 buah kuburan lagi ah kosong melompong semua ! Thian-leng terhuyung-huyung jatuh terduduk akibat pukulan yang mendera batinnya. Apa yang dikatakan Cu Siau-bun itu nyata semua. Wanita itu bukan ibunya dan ternyata tidak mati.Tetapi siapakah gerangan dia itu? Dan siapakah ibunya yang sejati? Mati atau masih hidupkah ? Mengapa sejak kecil ia dipelihara wanita itu? Hanya dalam beberapa detik saja, Thian-leng merasa dirinya tercebur ke dalam lembah teka-teki yang penuh rahasia. Apa yang dirasa benar selama ini ternyata salah semua. Ia kehilangan paham paham akan keadaan dirinya sendiri. Ah, kalau begitu Hun-tiong-sin-mo itu bukanlah musuhnya! Kemungkinan wanita yang mengaku jadi ibunya selama 17 tahun itulah yang menjadi musuh sebenarnya. Tetapi mustahil, aneh, tak masuk akal. demikian benak thian-leng berbantah sendiri. Perlu apa wanita itu memeliharanya sampai besar? Bukankah kalau mau, dapat membunuhnya dengan mudah? Tetapi mengapa tidak? Kalau wanita itu mempunyai dendam pada Hun-tiong-sin-mo, bukankah dapat mencari rencana lain dan tak perlu memelihara dirinya sampai 17 tahun lamanya! Mengapa , ya , mengapa.? Tiba-tiba thian-leng teringat pada Hun-tiong-sin-mo. Iblis itu jelas tak sesuai seperti yang dikatakan Ohse Gong-mo. Kalau begitu Hun-tiong-sin-mo yang menguasai gunung Hun-tiong-san itu bukanlah iblis Hun-tiong-sin-mo yang asli. Benar suatu teka-teki yang luar biasa. Nyata bahwa dunia persilatan itu merupakan panggung sandiwara yang besar. Dan nasib telah menbuat Thian-leng dilahirkan dalam kancah pergolakan dunia persilatan yang penuh keanehan! Mengapa? Mengapa? Mengapa.? karena terhimpit oleh rasa sesak, mulut Thian-leng menjerit-jerit kalap. Tiba-tiba sebuah tangan yang halus telah menjamah bahunya dan terdengarlah suara yang lemah lembut di telinganya, Mengapa? Itulah yang harus kita pecahkan.. Thian-leng mengangkat kepala. Matanyapun segera tertumbuk pada sepasang mata halus dari wajah Cu Siau-bun yang mengandung rasa simpati. Tiba-tiba Thian-leng mendekap sepasang tangan Cu Siau-bun, serunya, Terima kasih saudara Cu! Jika bukan kau yang membuka rahasia ini, aku tentu masih terbenam dalam kegelapan! Wajah Cu Siau-bun yang pucat kekuning-kuningan tampak memerah. Tersipu-sipu ia menarik tangannya, Aku tak suka campur tangan urusan orang lain. Tetapi sekali sudah campur tangan, tentu akan kubantu engkau menyelesaikan urusan ini sampai jelas ! Thian-leng berterima kasih dan mengagumi kecerdikan Cu Siau-bun. Sayang ia tak pandai bicara, sehingga sukar untuk mengucapkan rasa terima kasihnya. Ah, sudah lewat tengah malam, marilah kita beristirahat, kata Cu Siau-bun, Besok pagi kita lanjutkan lagi penyelidikan kita. Thian-leng tidur di rumah belakang. Karena lelah, cepat ia tertidur pulas. Tetapi Cu Siau-bun tak dapat tidur, ia mondar-mandir dalam gubug itu, pikirannya melayang-layang. Ia merasa aneh kepada dirinya sendiri/ Mengapa ia paksakan diri untuk membantu urusan Thian-leng? Mengapa ia rela memomong pemuda itu? Thian-leng seorang yang polos hatinya sehingga tampaknya seperti ketolol-toloan. Semula ia tak ambil pusing tetapi, lama kelamaan timbullah rasa sukanya kepada pemuda itu. Aneh, aneh.. Setelah letih dalam lamunan, akhirnya dapat juga ia tertidur beberapa jam. Tetapi tiba-tiba ia tersentak bangun. Lapat-lapat di luar jendela terdengar suara angin berhembus perlahan. Sekalipun hampir tak kedengaran, namun telinganya yang tajam dapat juga menangkap suar yang mencurigakan itu. Diamdiam ia siapkan tiga batang jarum Tui-hong-jiong di tangan. Setelah memperhatikan arahnya, segera ia taburkan keluar jendela.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 18 dari 290

Jarum Tui-hong-kiong (pengejar angin) itu sehalus siong-ciam (jarum daun cemara). Sedikitpun tidak mengeluarkan suara, kecuali warnanya yang mengkilap di dalam kegelapan malam! Tring, tring, tring.. terdengar kerincing halus dari 3 batang jarum yang berhamburan jatuh. Menyusul sebuah ketawa mengejek berkumandang perlahan. Cu Siau-bun terkejut, pikirnya, Ah, wanita yang mengaku ibu Thian-leng itu ternyata lihay sekali, taburan jarumku dapat dikebutnya! Sekali bergerak ia melesat keluar jendela. Rembulan bersinar, langit berhias bintang-bintang. Di antara gundukan kuburan itu, tampak tegak seorang wanita pertengahan umur, mukanya ditutupi selubung kain sutera tipis. Dengan gusar Cu Siau-bun segera lompat menyerangnya. Tetapi wanita berkerudung itu memutar tubuh dan loncat lari ke mulut lembah. Cu Siau-bun mengejarnya. Kira-kira berlari dua puluhan tombak, tiba-tiba wanita itu tertawa terus berputar dan menghantamnya. Cu Siau-bun berhenti tegak. Dia tak menghindar maupun menangkis. Tetapi anehnya pukulan wanita itu terbelah menghambur di kedua samping tubuhnya. Tanah muncrat berhamburan, namun kecuali pakaiannya yang berkibar-kibar, sama sekali Cu Siau-bun tak terluka apa-apa. Ia tertawa menghina ! Wanita berkerudung itu terkesiap kaget, serunya, Kau bisa ilmu melicinkan tubuh? Matamu tajam juga! Cu Siau-bun tertawa mengejek. Tiba-tiba ia mencabut sebilah pedang pendek yang panjangnya hanya setengah meter. Begitu dikibatkan segera ia menyerang. Pedang yang begitu pendek ternyata dapat berobah menjadi lingkaran cahaya pedang sepanjang dua meter. Tubuh wanita itu seolah-olah terbungkus oleh sinar pedang. Wanita itu semakin kaget, namun iapun dapat mengelak dengan gesit sekali. Tiga buah serangan Cu Siau-bun tak mampu mengenainya. Pemuda itupun terkejut. Ia tarik pedangnya dan tegak berdiri di muka wanita itu. Sepasang mata si wanita berkilat-kilat tajam memandang wajah Cu Siau-bun, tiba-tiba ia berseru dengan nada agak bergetar, Ilmu pedang Hui-hun-kiam! Apakah kau.?

JILID 2 Lingkaran Kabut Kau tahu riwayatku? Cu Siau-bun tertawa dingin. Telah kuduga semula, sekarang hanya untuk membuktikan saja! sahut si wanita berkerudung. Cu Siau-bun tertegun sesaat, kembali ia tertawa dingin,Hun-tiong-sin-mo masih tidak mati, puteramupun tak binasa! Hm, sia-sia saja jerih payahmu! Apakah maksudmu yang sebenarnya? Aku hanya lengah sedikit, tak mengira kalau Hun-tiong-sin-mo masih mempunyai pil Tay-hoan-tan. kalau tidak, saat ini dia tentu sudah mampus! sahut si wanita. Bagaimana kau tahu.....? Cu Siau-bun terbeliak. Wanita berkerudung itu tertawa hambar, Sudah tentu tahu. Tiada yang tahu lebih jelas asal-usul Hun-tiong-sin-mo kecuali aku. Dari mana pil Tay-hoantan itupun aku juga tahu. Hm, aku lupa bahwa pil itulah satu-satunya obat yang dpat menolak segala macam racun..... Sebuah langkah kecil yang salah, menghancurkan seluruh rencanamu. Puteramu yang kau asuh selama tujuh belas tahun itupun telah mengetahui siasatmu. Dia membenci dan hendak menbunuh. Tak mau dia mengakuimu sebagai ibu lagi! dengus Cu Siau-bun. Kalau bukan gara-garamu, tentu dia masih belum tahu. kau seharusnya dilenyapkan....... ! tiba-tiba wanita berkerudung itu menghentikan kata-katanya sejenak, lalu berkata lagi dengan bengis, Tetapi tak nanti dia bisa lolos dari cengkeramanku. Setiap saat aku dapat membunuhnya. Hanya saja untuk sementara waktu ini aku masih belum berniat membunuhnya. Hendak kugunakan tenaganya untuk membunuh Hun-tiong-sin-mo!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 19 dari 290

Cu Siau-bun tegakkan pedangnya, ia berseru, Betapapun kau hendak memasang perangkap apa saja, akhirnya tetap akan gagal. Mari kita putuskan siapa yang berhak hidup malam ini! Wanita berkerudung tertawa menghina, Baiklah tetapi lebih dulu aku hendak mengetahui dengan jelas mengenai suatu hal! Kau ingin mengetahui bagaimana dapat kubuka kedokmu kepada puteramu itu? Bukan! Aku ingin tahu kau ini pria atau wanita? seru wanita berkerudung. Pertanyaannya itu dibarengi dengan loncatan ke muka. Cu Siau-bun kibatkan pedangnya dalam jurus Hun-hay-thun-gwat atau Awan laut menelan bulan, untuk menghalangi serangan orang. Tetapi wanita itu luar biasa cepatnya. Ia menerobos ke dalam lingkaran sinar pedang dan menjambret kain ikat kepala Cu Siau-bun. Seuntai rambut hitam legam berhamburan menjurai ke atas bahu Cu Siau-bun. Wahai....kiranya dia seorang nona! Wanita berkerudung mengerang kaget dan menyurut mundur, Kau ...memang..... benar .... Sebelum dapat melanjutkan kata-katanya, Cu Siau-bun sudah menghantamnya. ia menyalurkan kemarahannya ke arah telapak tangan, sehingga berobah merah warnanya. Namun wanita itu menggelengkan kepala, Kau bukan tandinganku. Jika mau membunuhmu, itulah semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi , aku.... tak dapat membunuhmu....! Nada suara wanita itu berobah rawan, sehingga Cu Siau-bun terkesiap. Pukulannya berhenti setengah jalan! Mengapa wanita itu mengucapkan kata-kata begitu? Sekonyong-konyongwanita itu tutukkan sebuah jarinya ke arah sebuah batu besar. Tampaknya batu besar itu tak retak atau berlubang. Tetapi ketika sesudah menutuk itu ia mengebutkan lengan bajunya, maka berhamburanlah batu itu menjadi debu yang beterbangan ke empat penjuru..... Cu Siau-bun tercengang melihatnya. Itulah ilmu tutukan Hian-im-ci ( Jari hawa negatip) yang telah mencapai tingkat kesempurnaan! Apa yang diucapkan wanita itu memang bukan obrolan kosong. Jika mau, wanita itu mudah sekali membunuhnya, tetapi mengapa tidak mau? Ya, mengapa? Berbagai kenangan melintas dalam benak Cu Siau-bun, tetapi kesemuanya itu tak ada yang merupakan jawaban dari pertanyaannya. Untuk pertama kali, baru saat inilah Cu Siau-bun merasa seperti orang dungu yang tak mengerti apa-apa! Namun perangainya yang keras dan suka membawa kemauannya sendiri menuruhnya berlaku garang, Perempuan siluman, betapa licinpun dirimu tetap akan kubeset kulit rasemu. Akan kuselidiki sampai jelas baru nanti kuhancurkan tubuhmu untuk membalas hinaan yang kuterima malam ini! Tak mungkin kau dapat menyelidiki. Kau tak tahu siapa diriku dan kelak kitapun takkan berjumpa lagi! sahut wanita itu. Hm, kau terlalu memandang rendah padaku, Cu Siau-bun tertawa mengejek, Sekarangpun sedikitsedikit telah kuketahui siapa dirimu ini. Bukankah kau ini Te-it-ong-hui ( permaisuri pertama ) dalam istana Sin-bu-kiong ! Gemetarlah tubuh wanita berkerudung itu demi mendengar ucapan Cu Siau-bun, sehingga sampai mundur selangkah. Kau sungguh cerdik, serunya dengan nada keras. Tetapi kunasehatkan padamu, lebih baik jangan campur tangan dan jangan menyebut-nyebut hal itu.... ini demi untuk kebaikanmu sendiri, karena.... Tidak! Aku mesti campur tangan ! bentak Cu Siau-bun, Pertama-tama hendak kuselidiki diri puteramu itu. Kemudian akan kubeberkan rahasia ini kepada seluruh kaum persilatan! Wanita berkerudung itu menghela napas, ujarnya Ah, pintarmu keblinger! Sekali lagi kunasehati, jangan ikut campur urusan ini demi untuk kebaikanmu sendiri. Jika tidak, kau tentu akan menyesal di kemudian hari.... Habis berkata, wanita itu berputar diri dan melesat pergi. Gerakannya tak ubahnya seperti bayangan melintas, sekejap saja sudah menghilang Hm, aku harus ikut campur tangan . Apapun yang akan terjadi aku tak akan menyesal. Cu Siau-bun berteriak mengantar kepergian wanita itu. namun orangnya sudah lenyap dari pandangan.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 20 dari 290

Cu Siau-bun memungut kain kepalanya dan dipakainya lagi. Kemudian ia bergegas kembali ke dalam gubug. Saat itu sudah menjelang fajar. perlahan-lahan ia menghampiri pintu rumah belakang dan berseru memanggil, Kang-heng! Kang-heng!.... Eh, tiada sahutan. Buru-buru ia menerobos masuk dan astaga....... kamar belakang itu ternyata kosong melompong. Yang tampak hanya seonggok rumput kering. Thian-leng sudah lenyap. Tak ada bekasbekas perkelahian, seolah-olah seperti Thian-leng sendiri yang keluar dari kamar itu. Cu Siau-bun melesat ke ruang tengah, juaga tak menjumpai suatu apapun, akhirnya ia menghela napas. Ah, kembali aku harus menerima kekalahan yang menusuk hati..... Cu Siau-bun , Cu Siau-bun ... bagaimanakah keteranganmu pada ibu nanti? keluhnya. Sunyi senyap di lembah Pek-hun-koh. Lapat-lapat terdengar isak tangis penuh dendam kecewa.... oo0oo Di tengah-tengah sungai Huang-ho tampak meluncur sebuah perahu. Tukang perahunya seorang lelaki brewok yang mengenakan pakaian ringkas warna biru. Ia mendayung dengan sebelah tangan, namun karena kemahirannya mendayung dan menurut aliran sungai, maka perahunya meluncur amat laju. Juragan perahu terdapat seorang dara cantik berbaju ungu yang tengah melepaskan pandangannya ke permukaan sungai yang luas. Tiba-tiba ia berseru, Ah, dalam sehari saja sudah mencapai lima ratusan li. Mungkin tak sampai seminggu saja kita sudah dapat mencapai lembah Tiang-ceng-koh... Ternyata ia bukan seorang diri, melainkan masih mempunyai seorang kawan, seorang nona berbaju hijau yang usianya lebih tua sedikit. Eh, mengapa kau menghela napas? tegur nona baju hijau itu. Tak apa-apa. sahut si dara baju ungu, Aku hanya merasa bahwa jagad kita ini sungguh luas sekali. Coba lihatlah, betapa kecil kita apabila dibandingkan dengan gunung-gunung yang menjulang ke langit dan sungai yang begini dahsyat. Budak tolol, jangan mengoceh yang tidak-tidak, nona baju hijau membentak dengan tertawa. Kabut malam makin menebal. Permukaan sungai makin suram. Seorang budak perempuan muncul membawa lilin, sehingga ruang perahu itu terang. Tiba-tiba terdengar suara orang mengrang . Si nona baju hijau serentak bangkit menghampiri ke sudut ruang perahu dan menyingkap sehelai kain tenda. Seorang pemuda cakap tengah berbaring di atas tempat tidur. Dialah yang mengrang itu. Hm, obatnya sudah hampir hilang dayanya.. dengus nona itu. Ia mengangkat tangan kanannya ke atas. Cici, kau hendak.. si dara baju ungu terkejut mencegahnya., Onghui pesan supaya jangan dibunuh. Kau .. Nona baju hijau meliriknya dengan heran, Siapa bilang aku hendak membunuhnya! Bukankah aku akan dimintai pertanggung jawab oleh Onghui? Uh, mengapa kau begitu tegang..? Dara baju ungu terkesiap. Pipinya merah. Diam-diam ia malu dalam hati. Betapapun besar nyali tacinya, tetapi mana bernai melanggar perintah Onghui. Benar Onghui tak memperbolehkan membunuhnya, tetapi tak melarang membuatnya cacat. hendak kuputuskan urat nadi kedua kakinya agar kepandaiannya punah, menjadi cacad seumur hidup! tiba-tiba nona baju hijau berkata seraya mengangkat tangannya pula. Dan lagi-lagi si dara baju ungu tersentak dan cepat menarik tangan tacinya,Mengapa kau hendak mencelakainya? Apakah kau mempunyai permusuhan padanya ? Si nona baju hijau tertawa dingin, Kau lupa atas hinaan di gunung Hun-tiong-san itu? Seumur hidup aku tak dapat melupakannya! Tetapi itu perbuatan orang she Cu, tak ada sangkut pautnya dengan dengan dia! bantah si dara. Tetapi dialah yang menjadi gara-garanya. Masih murah kalau hanya dipotong urat kakinya saja ! Si dara makin gelisah dan dipeluknya tangan sang kakak kencang-kencang, ratapnya, Cici, jangan Dengus si nona baju hijau, Kalau tiada berada-ada, masakah burung tempua terbang rendah ? Apakah kau mencintainya?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 21 dari 290

Pipi si dara makin merah, bantahnya, Dia memang orang yang tak kenal budi, hanya saja aku tak sampai hati. Jebloskan saja ke penjara Tiang-ceng-koh, kiranya sudah cukup menyiksanya. Perlu apa kita sendiri turun tangan.? Ih, tak nyana kau berobah menjadi manusia yang begitu baik hati! si nona baju hijau tertawa menyingkir. Tiba-tiba si pemuda mulai mengigau, Cu-heng. Cu-heng Ho, di sini tak ada Cu-heng atau Gu-heng, yang ada hanya kedua taci beradik Ki..! nona hijau menertawakan. Kemudian berkata kepada adiknya, Rupanya pengaruh obat sudah hampir hilang. Dia memiliki ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang berbahaya. Bagaimana tindakan kita? APakah kita tunggu sampai dia sudah sadar baru kita ajak bertempur? Terserah padamu ! sahut si dara. Secepat kilat jari si nona baju hijau menutuk tangan dan kaki si pemuda. Pemuda itu tersadar. Begitu membuka mata, mulutnya segera berseru memanggil Cu Siau-bun, kemudian bangkit, tetapiahkaki tangannya terasa kaku sekali tak dapat digerakkan. Dan sesaat itu terdengarlah suara tertawa mengikik. Kini pemuda itu yang bukan lain adalah Thian-leng, sadar apa yang dihadapinya. Tetapi ia tak gentar melainkan cemas memikirkan nasib Cu Siau-bun, sang kawan yang berwajah pucat itu. Tiba-tiba tempat tidurnya bergoncang dan berobahlah wajah kedua kakak beradik Ki seketika. Si nona baju hijau yang ternyata bernama Ki Gwat-wan buru-buru padamkan lilin, terus ajak Ki Seng-wan keluar ke geladak, Kembali terasa goncangan hebat. Lebih mengejutkan hati kedua nona itu ialah kenyataan bahwa perahu itu tengah menuju ke pantai. Si tukang perahu tak berdaya sama sekali. Betapapun ia mendayung sekuat tenaganya, namun perahu tetap berputar menuju ke pantai. Pucat seketika wajah kedua nona itu. Belum pernah mereka mengalami peristiwa yang mengherankan seperti itu. Tiba-tiba terdengar lengking suara kecil yang menyusup ke telingan kedua nona itu, Turunkan anak muda she Kang itu dari perahumu, baru kalian tak kuganggu.! Kedua nona itu saling berpandangan, mereka sadar berhadapan dengan seorang sakti. Adalah demi menjaga gangguan dari musuh, maka Onghui memerintahkan supaya Thian-leng disimpan dalam penjara rahasia di Tiang-ceng-pia-kiong. Siapa tahu kini di tengah perjalanan dicegat orang. Saat itu kedua nona itupun melihat sesosok bayangan hitam tengah duduk di gerombol semak yang tumbuh di tepi pantai. Kedua tangannya dicakar-cakarkan ke atas seperti orang menarik. Adalah karena gerakan itu maka perahu macet dan menghampiri ke arahnya. Ki Gwat-wan tertawa rawan, bisiknya kepada sang adik.Tugas gagal, Onghui tentu memberi hukuman mati. Orang itu hendak menolong budak Kang ini, tentu tak ingin melihatnya mati. Jiwa anak muda ini berada di tangan kita. Kecuali menggunakan siasat tekanan, kemungkinan kita bisa selamat. Kalau tidak , celakalah kita! Ki Seng-wan mengangguk, ia memberi isyarat mata ke pada si tukang perahu. Dengan sekuat tenaga, kakak beradik she Ki itu mendorongkan kedua tangannya ke pesisir. Dan serempak dengan itu si tukang perahu mendayung sekuatnya, Seketika perahu meluncur ke tengah sungai lagi! Rupanya orang di tepi pesisir itu marah. Ia menggerakkan sebuah tangannya memukul ke tengai sungai. Krak.. trdengar ledakan dan perahupun pecah berantakan! Orang berbaju hitam itu mendengus. Kembali ia mencakar-cakar dengan kedua tangannya. Seperti tersedot tenaga yang kuat, tubuh penumpang-penumpang perahu mencelat ke pesisir. Thian-leng tepat jatuh di muka si orang aneh.. Kedua nona Ki, tukang perahu dan bujang perempuan berhamburan tumpang tindih. Tubuh mereka menggigil kedinginan, tetapi aneh, tak ada yang terluka. Orang berbaju hitam itu tetap duduk di muka semak. Tubuhnya kecil, rambut putih dan muka penuh keriput. Selintas pandang seperti seorang nenek tua. Tetapi kedua saudara Ki segera mengetahui bahwa wajah si nenek itu bukan wajah yang sebenarnya, melainkan memakai topeng. Silakan kalian pergi, jangan sampai aku berobah pikiran! dengus nenek tua itu. Setelah terengah-engah beberapa saat, barulah Ki Gwat-wan dapat berkata, Toh serupa bakal mati, silakan lo-cianpwe membunuh kami saja! Kalian sudah jemu hidup dan ingin mati? nenek itu menjengek.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 22 dari 290

Sekalipun tidak ingin mati, tetapi majikan kamipun tentu takkan mengampuni kami. Dicincang pisau atau disiksa sampai mati! Bukalah jalan hidup, lepaskan dirimu dari cengkeraman maut. Masakan kalian tak dapat melarikan diri jauh-jauh dan hanya mandah menjadi budak seumur hidup ! nenek aneh itu tertawa. Ki Gwat-wan menggelengkan kepala tertawa rawan, Percuma, ke liang semutpun kita tentu akan tertangkap lagi olehnya! Benarkah Sin-bu-kiong mempunyai pengaruh sedemikian hebatnya? nenek tua itu terkesiap. Masakah kami berani membohongi lo-cianpwe! kedua nona itu berseru serempak. Nenek itu tertawa dingin. Ia mengeluarkan sebuah benda lalu dilemparkan ke muka kedua nona, Pulang dan tunjukkan benda itu kepada majikanmu. Tak nanti dia berani menghukummu! Ketika Ki Seng-wan mengambil benda itu, pucatlah seketika wajahnya, Kiranya.lo-cianpwe .. ini. Lekas enyah! bentak nenek baju hitam. Sekali kebutkan lengan bajunya, Ki Gwat-wan, Ki Seng-wan, tukang perahu dan si bujang terpental sampai dua tombak jauhnya. Hebat benar tenaga yang dipancarkan si nenek. Tetapi yang lebih mengagumkan bahwa keempat orang itu sama sekali tak ada yang terluka. Saat itu Thian-leng masih menggeletak di hadapan si nenek. Kedua kaki tangannya tertutuk tak dapat berkutik. Ia mendengar pembicaraan tetapi tak dapat melihat apa yang terjadi. Ia juga tak tahu benda apa yang dilemparkan oleh si nenek tadi. Satu-satunya yang diketahui bahwa kepandaian nenek itu sungguh hebat sekali. Mungkin di dunia persilatan tiada yang menandinginya lagi. Wut ,tiba-tiba nenek itu kebutkan tangannya. Seketika itu Thian-leng merasakan darahnya lancar kembali. Buru-buru ia bangun. Ternyata kebutan tangan si nenek itu dapat membuka jalan darah thianleng yang tertutuk. Terima kasih atas pertolongan lo-cianpwe. Entah lo-cianpwe Kebetulan aku lewat di sini dan melihat dari jendela kau hendak dicelakai kedua budak peremputuan tadi. Maka terpaksa aku turun tangan, tukas si nenek. Masih tak mengerti THian-leng mengapa si nenek begitu baik hati menolongnya. Hendak menanyakan lebih jauh, ia merasa jeri terhadap sikap si nenek yang begitu angker. Siapa namamu? tiba-tiba nenek itu bertanya. Wan-pwe bernama Kang.. baru berkata sampai di situ, tiba-tiba Thian-leng berhenti dan berganti nada, Sebenarnya aku bukan orang she Kang. Aneh, setiap orang tentu mempunyai she, siapakah she keturunanmu? Siapa namamu? nenek itu bertanya heran. Mestinya akupun mempunyai nama, tetapi nama itu ternyata nama palsu. Aku benci pada nama itu ! Tak tahu aku ini orang she apa dan namaku. Thian-leng tertegun sejenak, lalu berkata pula, Karena sekarang aku tak mempunyai she dan nama, baiklah lo-cianpwe panggil diriku Bu-beng-jin sajalah! Bu-beng-jin artinya orang yang tak bernama. Baiklah, nenek itu tersenyum, rupanya kau tentu mempunyai riwayat yang menyedihkan, mengapa tak mau menceritakan padaku? Thian-leng mempunyai kesan baik terhadap nenek itu. Maka iapun segera menceritakan riwayat dirinya. Hanya pengalamannya bertemu dengan Hun-tiong-sin-mo tak dituturkan. Si nenek mengerutkan dahi, rupanya ia menaruh perhatian sekali. Selesai penuturan, berkatalah ia,Apakah ceritamu sudah benar semua? Apa yang wan-pwe ketahui hanya begitu. Selanjutnya sejak saqat ini wan-pwe hendak berusaha untuk menyelidiki rahasia diri wan-pwe, sahut Thian-leng. Ingatkah kau waktu kecilmu mempunyai seorang ayah? tanya nenek itu. Thian-leng gelengkan kepala, Tidak. Yang kuingat hanya sejak kecil aku hidup bersama seorang ibu yang mengaku bernama Liok Po-bwe dan tinggal di lembah Pek-hun-koh. Menurut keterangannya,
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 23 dari 290

ayahku bernama Kang Siang-liong. Sudah mati sejak 17 tahun yang lalu. tetapi aku percaya keterangannya itu tentu bohong! Sejenak Thian-leng memandang si nenek dengan tegang, serunya;Apakah lo-cianpwe tahu sedikit tentang keadaan diriku.? Ceritamu itu mengingatkan aku pada seorang sahabat lama. tetapi dengan yang kau ceritakan orang itu tidak sesuai. si nenek sejenak menatap wajah Thian-leng, lalu melanjutkan kata-katanya. Kalau benar seperti yang kuduga, ibumu itu tentulah orang she Ma dan kau masih mempunyai seorang ayah she Nyo. Kau memang benar anak mereka! Thian-leng menggeleng kecewa, Sama sekali tidak cocok! Si nenekpun tertawa hambar, Mungkin kau bukan orang yang kubayangkan itu. tiba-tiba ia berganti nada, Tetapi bagaimanapun juga kau berjodoh denganku. Hendak kuberikan kau sebuah bingkisan Budi pertolongan lo-cianpwe masih belum dapat kubalas, mana aku berani menerima hadiah locianpwe lagi? buru-buru Thian-leng menolak. Si nenek tersenyum, Liku-liku kehidupan dunia persilatan itu penuh bahaya. Jika tak mempunyai kepandaian apa-apa, setiap saat tentu terancam bahaya. Kupikir hendak memberimu tiga jurus ilmu pedang Bukan main girangnya Thian-leng, serunya, Jika lo-cianpwe tak menampik, wan-pwe mohon supaya diterima menjadi murid.! Habis berkata Thian-leng terus hendak berlutut memberi hormat. Jangan! nenek itu tertawa, telah menjadi peraturan kaumku, selain ahli waris, tak boleh menerima murid lagi. Tak usah kita terikat sebagai murid dan guru! Heran Thian-leng dibuatnya. Jelas nenek itu tak mengadakan gerakan apa-apa, tetapi maksudnya hendak berlutut itu kandas karena dirinya seperti tertarik oleh tenaga yang tak terlihat. Apakah lo-cianpwe sudah mempunyai pewaris? tanyanya putus asa. Nenek itu mengangguk, Masing-masing orang mempunyai rejeki sendiri, tak boleh mengiri. Mungkin kelak kau akan bertemu orang yang lebih sakti dari diriku! Tidak mungkin, Thian-leng tertawa tawar, Di kolong langit mana ada orang yang mampu menandingi kesaktian lo-cianpwe lagi? Di atas gunung masih ada langit, di atas langit masih ada langit lagi. Dalam jagad yang begini luasnya, masih banyak orang yang lebih sakti dari diriku. Soalnya mereka itu tak mau diketahui orang ! Tergerak hati Thian-leng atas ucapan nenek itu. Terlintas suatu pertanyaan dalam hati, serunya, Entah siapa yang lebih sakti antara lo-cianpwe dengan Hun-tiong-sin-mo? Nenek itu tertegun, tertawa, Sukar dikatakan karena selama ini aku belum pernah bertempur dengannya. Hanya saja. ia berhenti sejenak baru melanjutkan berkata pula, Hun-tiong-sin-mo juga bukan jago nomor satu di dunia. Di dunia ini masih ada tokoh yang lebih sakti. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Memang selama 60 tahun ini Hun-tiong-sin-mo tak pernah dikalahkan orang. Tetapi penantang-penantangnya itu bukanlah tokoh-tokoh yang benarbenar sakti.! Thian-leng heran. Kalau memang ada orang yang lebih sakti, mengapa selama 60 tahun Hun-tiong-sinmo dapat sewenang-wenang merajai dunia persilatan? Nenek itu berkata pula dengan agak rawan, Ah, pertumpahan darah besar-besaran memang sukar dihindari. Tak lama tentu bakal terjadi suatu peristiwa luar biasa. Dunia persilatan akan mengalami banjir darah besar, tetapi setelah itu akan berganti suasana yang lain Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya. Dari lengan bajunya dikeluarkan sebatang pendang pendek yang amat tajam. Begitu dikibatkan, pedang itu menghamburkan sinar dingin yang meliputi setombak lebih luasnya. Pada lain saat terdengar bunyi berderak dahsyat disusul oleh tumbangnya sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa. Thian-leng terbeliak kaget. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu. Ia Yakin, nenek itu tentu tokoh nomor satu di dunia. Ya, siapa lagi yang mampu menandingi kesaktian sedahsyat itu. Tetapi

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 24 dari 290

aneh, mengapa si nenek mengatkan bahwa di dunia masih banyak orang yang lebih sakti daripada dirinya ? Rupanya si nenek agak riang hatinya, ia bangkit dan berkata, Tiga jurus ilmu pedang ini penuh dengan perobahan ayng sukar diduga. Terserah pada kecerdasan otakmu, sampai di mana kau mampu menyelaminya ! Ia maju ke sebidang tanah lapang di tepi sungai dan mulai mengajarkan ilmu pedang pada Thian-leng. Di bawah sinar rembulan, pedang itu berobah menjadi hamparan sinar perak yang berhawa dingin. Sepintas mirip dengan ribuan bintang yang berhamburan jatuh dari langit. Kemudian ia menyuruh Thian-leng menirukan. Thian-lengpun segera memainkan ajaran si nenek. Bagus, bagus! si nenek bertepuk tangan memuji, bakatmu tak jelek! Meskipun belum sepenuhnya kau selami ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam (Tiga pedang perenggut nyawa), tapi cukuplah memadai! Thian-leng hentikan permainan pedangnya, tersipu-sipu ia berlutut menghaturkan terima kasih di hadapan nenek ini, Entah bagaimana aku dapat membalas budi lo-cianpwe yang sedemikian besarnya? Si nenek merenung sejenak, ujarnya ,Baiklah, aku hendak minta tolong sebuah hal! Silakan lo-cianpwe mengatakan, sekalipun masuk kedalam lautan api, wanpwe tentu akan melaksanakan! Agak lama nenek itu berdiam diri, baru setelah itu ia berkata pula, Aku mempunyai seorang sahabat lama. Karena belasan tahun yang lalu pernah bentrok mengenai suatu hal yang tak menyenangkan hati, maka ia menganggap aku sebagai musuhnya. Sejak saat itu ia memutuskan hubungan.. ia behenti sejenak untuk menghela napas panjang, lalu ujarnya lebih lanjut, Tetapi setelah mengasingkan diri selama belasan tahun, aku merasa menyesal dengan peristiwa itu. Tetapi selama ini aku tak mendengar beritanya lagi. Apakah lo-cianpwe hendak suruh wanpwe mencarinya? Thian-leng menanggapi. Nenek tua itu tertawa getir, Di dunia yang begini luasnya, mana dapat kau mencarinya? Tetapi cobalah kau mencari beritanya di kalangan kaum persilatan. Kalau sifatnya belum berubah, dia memang gemar menimbulkan kegemparan! Siapakah nama orang itu? Tentu seorang tokoh yang ternama bukan? tanya Thian-leng. Di luar dugaan nenek itu menggeleng, Sukar kukatakan padamu. Yang jelas dia sudah menghilang selama 16 tahun lebih. Taruh kata pada masa itu dia seorang tokoh ternama, tetapi lewat waktu yang sedemikian lama, mungkin sudah dilupakan orang hm,,.., dia bernama Thiat Beng bergelar Pendekar Pedang bebas. Sekarang dia berumur 37 tahun! Thian-leng melongo. Menilik pembicaraan si nenek, jelas kalau orang ini mempunyai hubungan baik kepadanya. Thian-leng mengira orang itu tentulah seorang tua yang sebaya umurnya dengan si nenek. Ai, mengapa hanya berumur 37 an tahun? Namun Thian-leng sungkan untuk menanyakan hal itu. Ujarnya, Baik, wanpwe akan mengingatnya.Tetapi andaikata dapat menjumpainya, bagaimana harus kukatakan. Wajah si nenek agak menegang sesaat, katanya dengan nada agak gemetar, Kau dapat menjumpainya? Apaka dia dapat kembali? Cepat si nenek itu menyadari keterlepasan bicara, tertawalah ia dengan rawan,Bila kau dapat berjumpa dengannya, katakanlah bahwa aku mengundangnya datang ke puncak Giok-lo-hong gunung hengsan.Asal dia mau mebuang sifatnya yang lama, tentu akan datang. Namun, tidakpun tak apalah! Masih Thian-leng menegas, Sebaiknya ditetapkan waktu pertemuan itu. Dan. di manakah tempat tinggal lo-cianpwe? Mengapa tak mengundang ke rumah lo-cianpwe saja? Si nenek tertawa hambar, Asal kau menurut apa yang kukatakan tadi, dia tentu sudah mengerti sendiri. Aku suka berkelana, tak punya tempat tinggal tertentu. ! Sudikah lo-cianpwe memberitahukan nama lo-cianpwe yang mulia? Thian-leng makin mendesak. Kembali keriput di wajah nenek itu menegang, jawabnya, Namaku sudah lama tak disebut orang. Dan lebih baik begitulah. . Tiba-tiba dengan nada rendah setengah berbisik, si nenek berdendang, Di kala dikau pulang, di saat itulah istreimu patah hati. Ya, namaku Toan-jong-jin sajalah!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 25 dari 290

Toanjong.jin, Thian-leng tersekat-sekat mengulang. Toan-jong-jin artinya Orang yang patah hati. Thian-leng makin terbenam dalam kabut rahasia. Jelas bahwa pendekar Pedang bebas Thiat Beng itu tentulah kekasih dari si nenek. Tetapi ah, hal itu tak masuk akal. Masakah seorang nenek berumur tujuh delapan puluh tahun mempunyai kekasih seorang pria umur 37 tahun. Apalagi peristiwa asmara itu terjalin pada 17 tahun yang lampau, yaitu waktu Thiat Beng masih berumur 20 tahun dan si nenek sudah 5-6 puluh tahun usianya. Bu-beng-jin! tiba-tiba nenek itu berseru, Pergilah sekarang. Pedang itu kuberikan padamu! Thian-leng seperti orang mimpi. Serta-merta ia berlutut, Bagaimana wanpwe berani menerima budi locianpwe yang demikian besarnya? Ternyata pedang pendek itu sebuah pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat dipakai membelah segala macam logam. Sehabis melakukan ajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, Thian-leng lupa mengembalikan pedang ini kepada si nenek. Habis berkata nenek aneh itupun sudah lantas pergi. Ketika tak mendapat jawaban, Thian-leng mengangkat muka, ah ternyata si nenek sudah lenyap dari hadapannya. Jadi tadi ia hanya berlutut memberi hormat pada angin saja. Terlongong-longong Thian-leng memikirkan kesaktian yang dimiliki nenek itu. Muncul perginya seperti angin saja. Sampai beberapa saat barulah ia tersadar. Telah beberapa hari ini, ia selalu mengalami beberapa peristiwa yang mengherankan. Hampir tak masuk akal namun merupakan kenyataan. Angin behembus dingin, hari menjelang fajar. Setelah menyelipkan pedang, Thian-leng segera berjalan menyusur tepi sungai. Dia telah menetapkan tujuannya, hendak menyelidiki rahasia asal usul dirinya, mencari kedua ayah bundanya dan menuju ke gunung Thay-heng-san mencari guru. Setelah dapat menguasai ilmu pukulan Lui-hwe-ciang baru membuat perhitungan dengan Song-bun-kui-mo. Dan yang terakhir ia akan melaksanakan pesan si nenek Toan-jong-jin untuk mencari pendekar Pedang bebas Thiat Beng dan tak lupa iapun hendak mencari Liok Po-bwe, wanita yang telah mengaku dan memalsu sebagai ibunya. Eh, iapun akan mencari Cu Siau-bun! Banyak nian tugas dan pekerjaan yang membebani benaknya. Sedemikian banyaknya, hingga tak tahu ia bagaimana harus memulainya! Mengenai asal-usulnya yang begitu misterius, ternyata sukar untuk diusut. Langkah pertama ialah harus mencari si ibu palsu Liok Po-bwe. Tetapi kemanakah perginya wanita itu ? Dan seandainya dapat menemukan wanita itu, belum berarti bahwa ia tentu berhasil mendapat keterangan siapakah ayah bundanya yang asli ! Terbayang pula akan tugas yang diminta oleh si nenek Toan-jong-jin. Ia harus melaksanakan pesan wanita yang telah banyak memberi budi kepadanya itu. Tetapi ke manakah ia harus mencari Pendekar Pedang bebas Thiat Beng? Satu-satunya cara yang akan ditempuh ialah, dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san itu, ia akan mencoba untuk mencari berita mengenai tokoh itu serta Liok Po-bwe wanita yang memalsu sebagai ibunya. Tak tahu saat itu ia berada di mana, iapun tak kenal jalan. Yang diketahuinya ialah gunung Thay-hengsan terletak di sebelah timur. Karena baru pertama kali keluar mengembara di dunia persilatan, maka thian-leng selalu tertarik dan memperhatikan segala yang ditemuinya dalam perjalanan. Tak mau ia berjalan cepat-cepat. Ia selalu mempelajari sesuatu dan mencari berita ketiga orang yang hendak dicarinya itu, yakniThiat Beng, Liok Po-bwe dan Cu Siau-bun. Hari itu adalah hari yang ke 12 ketika menjelang magrib ia tiba di tepi sebuah sungai Tan Ho. Sebenarnya ia hendak mencari penginapan, tetapi saat itu ia berada di tengah sebuah hutan belantara jauh dari pedesaan. Namun ia tak bingung, paling-paling tidur di udara terbuka, demikian pikirnya sambil mengayunkan langkahnya. Tiba-tiba angin malam membawa suara gemerincing senjata beradu. Itulah jelas suatu pertempuran. Tapi pertempuran itu berlangsung singkat sekali. Pada lain saat terdengarlah jerit yang menyeramkan. Tak ayal lagi Thian-leng segera mengenjot tubuhnya menerobos ke arah datangnya suara itu. Cepat
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 26 dari 290

sekali ia bergerak, namun masih terlambat juga. Melintasi sebuah puncak yang tandus, segera ia menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan. Tujuh sosok manusia bergelimpangan menjadi mayat di atas rumput. Dua orang paderi, lima imam. Tubuh mereka hancur lebur akibat hantaman tenaga berat atau Ciong-chiu-hwat! Pada dahi salah seorang imam yang rebah terlentang, tertancap sebatang panji kecil Tengkorak darah, lambang keganasan Hun-tiong-sin-mo Thian-leng cepat menerobos ke seluruh pelosok. Pikirnya, karena peristiwa itu baru saja terjadi tentu ia dapat mengejar iblis ganas itu. Tetapi nyatanya ia tak melihat sesuatupun. Algojo ganas itu sudah lenyap! Terpaksa ia kembali. Dicabutnya panji kecil itu dan diperiksanya dengan teliti. Teringat ia akan pembicaraan dengan Cu Siau-bun tempo hari. Pemuda Cu itu pernah mengatkan dengan yakin bahwa ada orang yang memalsu menjadi Hun-tiong-sin-mo untuk melakukan pembunuhan ganas dan memakai juga Panji tengkorak darah palsu. Tetapi Thian-leng tak dapat membedakan palsu tidaknya panji yang tengah diperiksa itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh derap kaki yang begemuruh. Dan pada lain saat muncullah berpuluh-puluh orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah 20 orang lebih, dan terdiri dari bermacam golongan; paderi, imam dan orang biasa. Melihat langkah kaki yang berat dan mata mereka yang berkilat-kilat tajam, terang mereka itu tentu jago-jago silat yang berilmu tinggi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka bersikap bengis dan bermusuhan kepada Thian-leng..! Dengan masih mencekal panji kecil, Thian-leng menyapa heran, Apakah cuwi. Benda apakah yang kau cekal itu? bentak seorang tua yang tampil ke muka. Panji Tengkorak Darah belum habis Thian-leng menyahut, seorang berjenggot panjang sudah menukasnya, Omitohud! Hun-tiong-sin-mo pembunuh ganas tanpa bayangan itu ternyata tak mempunyai 3 kepala 6 lengan Ia behenti sejenak mengerlingkan mata, lalu berkata pula, Apa kedudukanmu dalam kawanan anak buah Hun-tiong-sin-mo? Thian-leng mengkerutkan dahi, sahutnya, Cuwi (tuan-tuan) salah paham. Aku hanya kebetulan lewat di sini Bukti sudah jelas, mengapa masih menyangkal! bentak si orang tua tadi, Darah para korban masih belum kering. Kami cepat datang kemari tiada orang lain kecuali engkau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau? Sementara beberapa paderi dan imam segera mengerumuni mayat-mayat itu untuk mengenali. Kemudian mereka membaca ayat-ayat doa dan bersembahyang. Terang beberapa korban itu kawan mereka. Mungkin mereka berjalan berpencar sehingga terlambat untuk memberi pertolongan. Thian-leng heran melihat rombongan orang yang begini banyak. Terang mereka adalah rombongan partai besar. Namun karena sikap mereka yang tak memberi kesempatan membantah, telah menimbulkan reaksi Thian-leng. Katanya, Jika cuwi tetap tidak percaya, akupun tak dapat berbuat apaapa Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Buru-buru ia bergeser ke arah seorang paderi tua, serunya, Dapatkah lo-siansu memberitahu partai lo-siansu yang terhormat? Lo-hu dari kuil Siau-lim-si, rupanya paderi itu agak sabar dari kawan-kawannya. Girang Thian-leng bukan kepalang. Buru-buru ia mengeluarkan Giok-pay dan diserahkan kepada paderi tua itu, Inilah benda dari Bu Ceng taysu yang diberikan padaku agar diserahkan pada kuil Siau-lim-.. Thian-leng yang berhati polos sedikitpun tidak menduga bahwa penyerahan giok-pay itu bahkan akan makin menimbulkan salah paham. Sejak 60 tahun lamanya, tak pernah ada orang yang keluar dari markas Hun-tiong-sin-mo dengan masih hidup. Jelas sudah bahwa Thian-leng tentu anak buah Huntiong-sin-mo, apalagi dia dapat membawa giok-pay yang dibawa Bu Ceng. Dengan gemetar paderi tua itu menyambuti giok-pay , ujarnya, Ketua dan kedelapan Tiang-lo kami Thian-leng menanggapi dengan helaan napas, Mereka tak beruntung telah binasa di tangan Hun-tiongsin-mo! Paderi tua itu segera berdoa beberapa kali , lalu berkata, Memang hal itu telah kami duga. Karena berselang 10 hari ketua dan kedelapan tiang-lo kami tak pulang, maka kami duga tentu binasa di sarang Hun-tiong-sin-mo.. terima kasih atas kebaikanmu mengantar tanda pusaka dari kuil kami ini!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 27 dari 290

Thian-leng tertegun, ujarnya, Secara kebetulan saja aku dapat melarikan diri dari sarang Hun-tiong-sinmo. Aku menerima permintaan dari lo-siansu., ia tak dapat melanjutkan perkataannya. Ia merasa urusan itu makin dijelaskan makin tak dipercaya. Tak tahu ia bagaimana baiknya. Paderi itu tertawa dingin, Tak perlu sicu banyak-banyak memberi penjelasan. Kalau ketua dan ke 8 tiang-lo saja tetap kalah dengan Hun-tiong-sin-mo, apalagi sicu yang masih begitu muda Tak perlu kiranya taysu membuang waktu dengannya, tiba-tiba imam tua yang tampil ke depan tadi menukas. Terang dia itu kaki tangan Sin-mo. Dapat membunuh kelima sute kami dan dua orang paderi Siau-lim-si, jelas kalau dia mempunyai kepandaian sakti. Baiklah kita tak usah menurutkan segala macam peraturan dunia persilatan untuk menghadapi manusia yang seganas ini. Marilah kita beramairamai meringkusnya. Benar, sahut seorang paderi muda, Andaikata kita mati ditangannya, pun tetap ada saudara kita yang akan membalasnya. Ketiga Cun-cia ( paderi yang berkedudukan tinggi) telah mengirimkan undangan ke berbagai tempat. Tak lama lagi partai-partai persilatan akan mengerahkan orangnya untuk meluruk ke Hun-tiong-san. Betapapun saktinya Sin-mo, jangan harap dapat lolos lagi. Dan kau boleh menerima kematianmu dulu!, ucapan itu ditutup dengan sebuah serangan kepada Thian-leng. Serempak ke duapuluh orangpun segera turut menyerang. Thian-leng benar-benar marah sekali. Sia-sia saja semua penjelasannya, toh mereka tetap menuduhnya sebagai kaki tangan Hun-tiong-sin-mo. Ia dengan lincah menghindar, namun serangan pedang dan pukulan yang segencar hujan itu benar-benar membuatnya tak berdaya. Akhirnya karena terpepet, Thian-lengpun terpaksa menyerang sampai tiga kali. Hawa panas meranggas dan terdengar jeritan kaget di sana sini. Seranganpun agak reda. Cek-kui-sin-ciang, itulah ilmu keistimewaan Hun-tiong-sin-mo! teriak beberapa orang. Thian-leng tersenyum mengkal. Sekalipun ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya itu sejenis dengan ilmu pukulan Cek-kui-sin-ciang (pukulan merah sakti ), namun kedua ilmu pukulan itu berlainan jurusnya. Tetapi celakanya, salah terka itu makin menambah salah paham mereka!. Kemampuan Lui-hwe-ciang Thian-leng masih belum sempurna, maka tenaga pukulannyapun belum seberapa dahsyat. Apalagi ia sibuk harus menghindari serangan mereka. Sejenak kemudian para penyerangnya itupun mulai menyerang lagi. Rupanya mereka mengetahui tingkat kepandaian Thian-leng. Asal bersatu, tentu dapat meringkus anak muda itu. Thian-leng makin terjepit. Keadaannya benar-benar dalam bahaya. Dia sungguh penasaran sekali. Mati dibunuh Hun-tiong-sin-mo ataupun musuh lainnya, ia akan puas. Tetapi mati karena diduga sebagai anak buah Sin-mo sungguh membuatnya penasaran sekali. Tiba-tiba bahu kirinya terasa sakit. Sebuah sambaran pukulan musuh mengenainya. Dia terkejut dan serentak menyalalah kemarahannya. Selintas teringatlah ia akan pedang pusaka pemberian nenek Toan-jong-jin. Sekali cabut, segera ia mainkan salah satu jurus dari ilmu pedang Tohbeng-sam-kiam yang disebut Nok-hay-keng-liong atau Gelombang dahsyat mengejutkan naga. Seketika berhamburanlah percikan cahaya perak yang menyilaukan mata.. Sesaat kemudian terdengar jeritan ngeri dan teriakan terkejut. Para pengeroyoknyapun berhamburan menyurut mundur! Thian-leng menghentikan pedangnya. Iapun tersirap kaget. Enam sosok mayat tampak bergelimpangan di tanah. Tiga orang imam dan dua paderi tewas, serta seorang jago biasa. Kepala mereka pecah berhamburan, perut robek dan darah menggenangi tanah. Hampir Thian-leng tak percaya, namun benar-benar ke enam mayat itu adalah korban dari pedang pusakanya. Ia tahu bahwa ilmu pedang Tohbeng-sam-kiam memang sakti, tapi tidak menduga sama sekali bahwa hanya dengan sebuah jurus saja, ternyata hasilnya sedemikian dahsyatnya!. Thian-leng menyesal sekali. Ia tegak termangu Sicu terlalu ganas sekali! terdengar paderi tua dari Siau-lim-si Thian-leng tak dapat menyahut kecuali hanya menghela napas. seperti patung. tadi mendampratnya.

Salah seorang imam berseru, Mengapa sicu tak melanjutkan keganasan lagi? Ayo , masakah sicu mau memberi ampun kepada kami sekalian! Kembali Thian-leng menarik napas. Ia menyelipkan pedang ke pinggang lalu melangkah pergi. Sekalian orang terbeliak heran.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 28 dari 290

Ya, memang Thian-leng terpaksa berbuat begitu. Ia tak dapat memberi penjelasan, maka dibiarkan saja mereka menyangka begitu. Adalah karena tak tega menyaksikan korban-korban tadi, maka ia segera angkat kaki. Tiada seorangpun yang berani menghadang. Tiba-tiba salah seorang paderi muda berseru, Harap sicu tinggalkan nama dulu sebelum pergi! Thian-leng hentikan langkah, sahutnya, Aku bernama.. Bu-beng-jin! Bu.beng . jin terdengar beberapa suara mengulang terputus-putus nama aneh itu. Baik, Bu-beng-jin! Ingatlah hutang darah hari ini.Tak lama kau harus membayarnya! seru paderi muda itu. Thian-leng tak menyahut. Cepat ia ayunkan langkah lagi. Tak berapa lama kembali ia berada seorang diri di tengah kepekatan kabut malam yang menyelubungi tepi sungai. Sepuluh hari kemudian tibalah ia di lembah Sing-sim-kiap di wilayah gunung Thay-heng-san. Sebuah lembah yang mamat berbahaya. Karang dan tebing curam menjulang ke langit. Dengan menurutkan peta pemberian Oh-se-gong-mo, ia menyusup ke dalam lembah itu. Teringat ia akan kata-kata paderi muda yang turut dalam pengeroyokan tempo hari, bahwa para Cun-cia dari kuil Siau-lim-si telah mengirimkan undangan kepada seluruh partai persilatan agar datang dalam pertemuan di gunung Thay-heng-san. Kalau tujuan pertama itu ialah diperuntukkan menyatukan langkah menghadapi Hun-tiong-sin-mo, itu sih tak mengapa. Tapi anehnya mengapa tempat pertemuan di pilih di gunung Thay-heng-san? Dan di daerah pegunungan Thay-heng-san yang beratus-ratus li luasnya itu, tak tahu ia dimana pertemuan kaum persilatan itu diadakan. Ada sebuah hal yang menggelorakan perasaannya. Yakni selama dalam perjalanan itu, ia tak menemui rintangan apa-apa. Namun hatinya tetap memikirkan pada dirinya yang belum ketahuan asal-usulnya serta bermacam-macam peristiwa aneh yang dialami selama ini. Setelah menyusur tikunan dan kelokan yang berliku-liku, akhirnya tibalah ia di muka sebuah sungai yang deras airnya. Menurut peta, sungai itu disebut Pek-long-ho (sungai arus putih ). Terjadi dari kumpulan aliran-aliran air yang terdapat di atas gunung. Karena saat itu sedang musim hujan, maka arus sungaipun kencang sekali. Setelah melintasi sungai itu dan menikung di sebuah barisan karang curam, hatinyapun berdebar keras. Ya, menurut keterangan peta, tempat yang ditandai dengan lingkaran merah itu merupakan tempat tinggal dari si orang sakti Sip-Uh-jong, tokoh yang hendak dicarinya itu. Apakah tokoh itu masih berada di situ? Demikian pertanyaan yang timbul di hati Thian-leng. Oh-se-gong-mo mengadakan perjanjian dengan tokoh itu pada 30 tahun berselang. Ya, 30 tahun bukanlah waktu yang singkat. Apakah dalam waktu yang sedemikian lama tokoh itu masih hidup? Masih ada sebuah pertanyaan lagi. Apakah tokoh itu mau menerimanya sebagai wakil dari Oh-se-gongmo, kemudian mau memberikan pil Kong-yang-sin-tan kepadanya? Thian-leng berjalan dengan seribu satu kegelisahan. Tak berapa lama tampaklah sebuah goa dari batu karang yang menjulang tinggi. Timbullah kegirangan pada Thian-leng karena goa itu mungkin goa kediaman Sip-Uh-jong. Tetapi dalam sekejap api kegirangan itupun padam kembali. Karena di muka goa itu penuh ditumbuhi rumput liar setinggi dada orang. Suatu tanda bahwa goa itu tentu sudah lama tak dihuni orang. Melangkah ke dalam goa, didapatinya goa itu penuh dengan sarang laba-laba. Suatu hal yang membuatnya kecewa. Ia menghibur hatinya sendiri, sekalipun tak berhasil memperdalam ilmu Lui-hweciang, namun ia masih mempunyai ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang sakti. Kiranya ilmu pedang itu cukup untuk menghadapi Song-bun-kui-mo nanti. Ketika ia memutar tubuh hendak meninggalkan goa itu, tiba-tiba matanya tertumbuk akan segunduk benda yang mirip dengan tubuh manusia melingkar di sudut ruang. Ia tertegun, pikirnya,Hm, Sip locianpwe itu memang seorang manusia luar biasa yang berwatak aneh. Mungkin dia masih tinggal di goa yang tak pernah dibersihkan ini! Makin diperhatikan, makin jelaslah bahwa benda itu memang seorang manusia yang tengah melingkar tidur di sebuah bale-bale batu. Karena mukanya ditutupi dengan kedua lengan baju, maka tak jelaslah bagaimana wajahnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 29 dari 290

Ya, siapa lagi kalau bukan Sip-Uh-jong. Dengan pemikiran itu, segera Thian-leng melangkah maju kemudian berlutut di depan bale-bale batu, ujarnya, Sip lo-cianpwe... Orang itu menggeliat balikkan tubuh danThian-leng melonjak kaget seperti dipagut ular demi melihat siapa yang tidur di tempat yang sejorok itu, Cu-heng kau.! Ya, memang yang tidur melingkar itu bukan tokoh sakti Sip Uh-jong, tetapi Cu Siau-bun si pemuda berwajah pucat. Cu Siau-bun tertawa hambar, Menantikan kau. Menantikan aku ? kembali Thian-leng tercengang, Bagaimana kau tahu aku akan datang ke sini? Cu Siau-bun hendak membuka mulut tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahi dan batuk-batuk. Napasnya memburu keras, tangan dan kakinya dingin, keringat dinginpun mengucur membasahi mukanya. Diamdiam Thian-leng kasihan padanya. Masih semuda itu, mengapa Cu Siau-bun sudah menderita penyakit paru-paru yang berat. Masih Cu Siau-bun batuk-batuk dan beberapa kali mengeluarkan darah, tubuhnyapun menggigil. Buruburu Thian-leng mencekalnya, Cu-heng, sakitmu cukup berat, tak seharusnya kau tinggal di goa sekotor ini ! Cu Siau-bun menyandarkan kepalanya ke bahu Thian-leng, sahutnya Penyakitku ini boleh dikata suatu penyakit, boleh dikata bukan! Thian-leng terharu sehingga hidungnya mulai lembab menahan air mata. Apa yang kau derita Cuheng? katanya dengan terharu. Cu Siau-bun menghela napas: Sudah setengah bulan aku tinggal di goa ini. Bermula kurasakan badanku kurang enak, kemudian baru kuketahui kalau aku terkena kabut beracun Kalau begitu seharusnya Cu-heng lekas-lekas tinggalkan goa ini mencari obat! Cu Siau-bun makin rapatkan kepalanya ke dada Thian-leng. Ia tertawa tawar: Karena kuperhitungkan kau segera akan datang, maka kutangguhkan sehari lagi di sini Sejenak dipandangnya redup-redup Thian-leng, ujarnya: Tak usah heran. Sewaktu berada di lembah Pek-hun-koh, kulihat kau menyembunyikan sebuah peta. Tetapi malang, aku kena dipancing keluar oleh musuh sehingga kau kena diculik Diam-diam Thian-leng mengagumi kecerdasan pemuda itu. Hanya dalam waktu yang singkat saja Cu Siau-bun sudah dapat mengingat di luar kepala isi peta itu. Setelah sesaat menghela napas, kembali Cu Siau-bun berkata: Karena kemana-mana tak dapat kutemukan kau, maka kuduga kau tentu datang kemari. Lalu aku bergegas2 menunggumu di sini! Ketika baru berjumpa, Thian-leng mengira Cu Siau-bun itu seorang penjahat, maka ia tak mau berkawan dengannya. Ternyata dia seorang sahabat yang setia. Adalah karena hendak menunggu kedatangannya, Cu Siau-bun tinggal di goa itu sampai setengah bulan sehingga akibatnya terkena hawa beracun. Dijabatnya kedua tangan pemuda itu dengan rasa syukur yang tak terhingga: Cuheng, entah bagaimana aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu Cu Siau-bun menarik tangannya dari dekapan Thian-leng. Tapi pada lain saat tiba-tiba ia merangkul leher Thian-leng, ujarnya: Apakah kau mau meluluskan sebuah permintaanku? Silahkan, aku tentu melaksanakan perintahmu! Kelak apabila segala urusan sudah selesai, kita mencari tempat yang sepi dan jauh dari masyarakat ramai. Kita dirikan gubuk, menanam ladang. Tiap sore kita duduk minum arak, malam kita ngobrol di dekat perapian. Kita nikmati kehidupan yang tenteram bahagia, jangan campur urusan dunia persilatan yang kotor lagi. Maukah kau? Thian-leng terpesona, ujarnya: Itulah kehidupan yang kuidam-idamkan, tetapi entah bilakah hari itu akan tiba? Cu Siau-bun tertawa sedap: Asal kau mau, hari itu pasti akan tiba. Harap kau jangan ingkar janji! Asal Cu-heng tak menampik, tentu aku takkan berkhianat. Cu Siau-bun tertawa riang: Baik, tempat ini tiada orang saktinya, pun peta itu tak ada gunanya. Mari
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 30 dari 290

kita tinggalkan tempat ini. Makin lekas kita menyingkap tabir rahasia riwayatmu dan menuntaskan dendam sakit hati, makin lekas kita melaksanakan cita-cita kehidupan bahagia yang kita ikrarkan tadi! Benar, lebih dulu kita pergi ke kota yang terdekat dari sini untuk mengobati lukamu! sahut Thian-leng. Itu tak penting, sahut Cu Siau-bun, asal aku nanti beristirahat dua hari saja, penyakitku itu tentu sembuh sendiri. Thian-leng segera memapahnya keluar dari goa. Tetapi ia terkejut karena Cu Siau-bun berjalan dengan sempoyongan seperti mau jatuh. Ah, tak kira hawa dalam goa itu sedemikian jahatnya. Terpaksa ia panggul pemuda itu. Cu Siau-bun tak menolak, bahkan semesra anak domba, ia susupkan kepalanya ke dada Thian-leng. Tak lama tibalah mereka di tepi sungai Pek-long-ho. Sekonyong-konyong Thianleng tersirap kaget dan menghentikan langkah. Dari balik jajaran batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai, bermunculan belasan orang. Paderi, imam dan orang-orang biasa. Bu-beng-jin, apa katamu sekarang? seru salah seorang paderi muda. Thian-leng gelisah. Tak mau ia bentrok lebih lanjut dengan partai-partai persilatan dan memperdalam jurang kesalah pahaman. Apalagi Cu Siau-bun sedang sakit. Kalau sampai terjadi pertempuran dan mengakibatkan Cu Siau-bun menderita lebih parah, Thian-leng benar-benar penasaran sekali. Rombongan penghadang yang muncul itu bukan saja terdiri dari orang-orang yang pernah bertempur dengannya di hutan tempo hari, bahkan bertambah lagi dengan belasan paderi dan imam. Terang mereka itu masih penasaran dengan kekalahannya dulu dan mengundang bala-bantuan untuk mencari Thian-leng. Situasi itu menyadarkan Thian-leng bahwa suatu kesulitan sukar dihindarkan lagi. Segera ia letakkan Cu Siau-bun di atas tanah: Biar kuhadapi mereka dulu! katanya dengan tenang sekalipun hatinya berdebar keras. Cu-Siau-bun hendak bicara tetapi tiba-tiba ia muntah darah lagi. Ia sandarkan kepalanya ke batu. Dengan geram Thian-leng bangkit menghadapi rombongan penghadangnya itu. Yang melangkah maju lebih dulu ialah 3 orang paderi tubuh kurus. Mata mereka berkilat-kilat tajam, langkah berat dan kuat. Tentulah cuwi bertiga ini ko-jin dari partai persilatan ternama. Apakah cuwi ijinkan aku berbicara? seru Thian-leng. Salah seorang paderi itu menyahut dengan suara nyaring: Lohu tak ingin mendengar bantahan dari orang yang tangannya berlumuran darah manusia! Lalu maksudmu? seru Thian-leng. Menyempurnakan dirimu? sahut paderi itu dalam nada berat. Simpan golok pembantai dan segera bersujud di hadapan Buddha? Andaikata aku benar seperti yang kau tuduh menjadi anak buah Hun-tiong Sin-mo, bukankah pintu sudah tertutup bagi aku untuk kembali ke jalan terang? seru Thian-leng dengan sinis. Lain orang diperbolehkan, kecuali kau! bentak paderi itu, keputusan dari rapat para kaum persilatan memutuskan untuk melenyapkan Hun-tiong Sin-mo dan antek-anteknya. Di dunia tak boleh terdapat kutu busuk yang merusak ketenteraman rakyat! Ucapan itu ditutup dengan sebuah pukulan. Thian-leng terpaksa menangkis. Benturan itu membuat keduanya sama-sama tersurut mundur selangkah. Pada lain saat kedua paderi dan keempat imam bertubuh kurus itu berseru dan serempak menyerang berbareng. Thian-leng cukup menyadari kesaktian ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Maka ia enggan untuk mengeluarkan permainan itu, apalagi ia tak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya. Serangan ketiga paderi dan empat imam itu segencar badai, sehingga dalam 10 jurus kemudian Thian-leng rubuh ke tanah muntah darah! Melihat itu Cu Siau-bun, paksakan diri berseru: Mohon kalian ja ngan membunuhnya Tetapi tak seorangpun yang menghiraukannya. Seorang paderi tua tampil dengan sebuah hantaman, Thian-leng mencelat sampai dua tombak jauhnya, tubuhnya mandi darah! Seorang imam menyusuli lagi dengan sebuah hantaman sehingga untuk yang kedua kalinya tubuh Thian-leng mencelat ke udara dan blung ia tercebur ke dalam sungai. Pada lain kejap, tubuhnyapun hilang ditelan arus yang deras
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 31 dari 290

Cu Siau-bun pingsan seketika! Entah berapa lamanya, ketika ia tersadar di hadapannja tampak seorang paderi tua. Kata paderi tua: Kaupun tentu anak buah Hun-tiong Sin-mo. Sekali-kali bukan karena kau sedang menderita sakit lantas dibebaskan dari kematian. Tetapi karena kami hendak menyuruhmu menyampaikan berita pada Huntiong Sin-mo. Katakan padanya bahwa sembilan partai besar mengundangnya supaya datang ke puncak Sin-li-hong gunung Bu-san pada bulan satu tanggal 15. Diminta dia datang memenuhi undangan kami itu. Kalau tidak ia akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia pengecut! Hati Cu Siau-bun seperti disayat sembilu, namun ia masih paksakan diri berseru keras: Tak perlu tunggu sampai bulan satu tanggal 15, sekarang juga aku hendak membalas dendam pada kalian. Semua orang dari sembilan partai besar itu akan kuhancurkan aku hendak membalaskan dendam untuknya Lengking jeritan itu penuh dengan bara dendam yang merintih-rintih. Namun hanya gemuruh arus sungai yang menyambutnya, karena sekalian jago-jago itupun sudah angkat kaki. Mereka tak mempedulikan lagi kepada pemuda yang tengah memaki-maki dengan suara yang makin lemah Suasana di tepi sungai Pek-long-ho tenang kembali. Arusnyapun kembali bersuka-ria berkejar-kejaran di tengah sungai. Cu Siau-bun tersadar dari pingsannya. Dengan langkah terhuyung-huyung ia menyusur tepi sungai menuju ke hulu. Ternyata hawa beracun dalam goha, telah meracuni tubuhnya sedemikian rupa hingga tenaganya hampir lenyap. Peristiwa pengeroyokan terhadap Thian-leng yang begitu ngeri sehingga anak muda itu tercebur ke dalam sungai, makin menggoncangkan batinnya. Andaikata bukan seorang yang keras hati, tentu seketika itu juga Cu Siau-bun sudah buang diri mencebur ke sungai! Mungkin kalau tidak seperti saat itu, tentu ia dapat melompati sungai yang lebarnya hanya setombak lebih. Tetapi dalam keadaan separah itu, ia hanja dapat menghela napas saja. Duduklah ia bersandar pada sebuah batu besar. Sambil beristirahat, ia merenungkan apa yang telah dialami selama beberapa hari ini. Sebenarnya ia seorang yang berhati tinggi. Biasanya ia suka tak memandang mata pada orang lain. Tapi kali ini benar-benar ia mendapat pelajaran yang pahit! Suatu perasaan aneh mengetuk hatinya. Mengapa, ya mengapa ia begitu mudah mencurahkan kasihnya kepada seorang pemuda macam Kang Thian-leng? Di manakah letak kelebihan Thian-leng? Ah, tak tahulah ia. Ia hanya merasa, Kang Thian-leng ialah Kang Thian-leng. Kasihnya terhadap pemuda itu adalah suatu perasaan kasih yang timbul dari nuraninya Dipandangnya arus air yang berkecamuk di tengah sungai. Tak terasa mengalirlah air matanja Ah, Thian-leng sudah mati, mati tanpa meninggalkan bekas. Bahkan mayat pemuda itupun tak tertinggal lagi untuk dikenangkan! Serentak timbullah suatu pertanyaan dalam sanubarinya. Dapatkah ia melupakan pemuda Thian-leng itu? Dapatkah kelak ia mencurahkan kasihnya kepada pemuda lain? Sang batin menyahut serentak: tidak! Thian-leng telah mencuri segenap isi hatinya. Pemuda itu mati dengan membawa kasih hatinya juga. Tidak, ia tak dapat hidup lagi. Seluruh impiannya, cita-citanya dan kebahagiaan hidupnya telah terbawa hanyut oleh Thian-leng. Lalu-lalang kenangan itu bertemu dalam suatu titik, kemudian meletus menjadi suatu tekad yang bulat: Balaslah! Ya, ia harus membalaskan sakit hati Kang Thian-leng! Diam-diam ia bersumpah dalam hati. Selama hayat masih dikandung badan, ia bersumpah hendak membunuh semua jago-jago dari sembilan partai. Setelah hal itu terlaksana, ia lalu hendak bunuh diri menyusul arwah Thian-leng! Sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat tiba di hadapannya. Seorang wanita tua yang berambut putih mengenakan pakaian warna biru tiba-tiba muncul tanpa mengeluarkan suara sedikitpun jua. Mah ! serentak menjeritlah Cu Siau-bun dengan girang-girang rawan. Ia merangkak lalu menubruk ke dada wanita itu. Wanita tua perlahan-lahan membelai kepala Cu Siau-bun, sepasang alisnya mengerut: Nak, mengapa kau berobah begini rupa? Cu Siau-bun paksakan diri mengangkat kepala. Air matanya membasahi muka. Berobah? Berobah bagaimana, mah?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 32 dari 290

Wanita itu tertawa mesra: Nak, sering kukatakan bahwa kau ini adalah orang yang paling keras kepala dan tinggi hati. Tetapi apa sebab sekarang kau menangis begitu sedih ? Cu Siau-bun terkesiap. Mengusap air mata, ia menjerit: Mah, dia dia sudah mati! Si wanita tuapun terkejut, serunya: Dia mati? Cu Siau-bun mengerutkan gigi, sahutnya: Mah, kau harus membantu aku untuk membalaskan sakit hatinya! Sejenak wanita tua itu mengerutkan kening, kemudian tertawa hambar: Ceritakan dulu bagaimana ia sampai mati itu! Rombongan sembilan partai telah membunuhnya. Mayatnya terlempar ke dalam sungai. Yang paling menjengkelkan adalah ketiga Cuncia dari Siau-lim-si "Mengapa sembilan partai membunuhnya?" Mereka salah duga, menyangka dia itu anak Wanita tua itu mengeluh ujarnya: O, akulah yang mencelakainya ! tanya si buah Hun-tiong wanita. Sin-mo!

Kemudian ia menggumam seakan-akan bicara pada dirinya sendiri: Ah, kalau anak itu sampai meninggal, persoalan yang menjadi kecurigaanku itu tentu tak dapat kuselidiki lagi Mengapa ditengkuk anak itu terdapat sebuah tahi lalat? Mengapa hatiku tak sampai hati membunuhnya ? Dikala ia terbenam dalam renungan itu tiba-tiba angin berhembus dan leher bajunyapun tersikap sedikit. Ah, walaupun wajahnya tampak seperti seorang nenek yang sudah berumur 80-an tahun tapi kulit lehernya putih segar seperti yang dimiliki oleh wanita di antara 30 tahun lebih umurnya. Dan yang paling mengesankan adalah terdapatnya sebuah tahi lalat merah pada lehernya itu. Mah, apa yang kau katakan? tiba-tiba Cu Siau-bun menyela. Wanita itu tersirap, tertawa: Tidak apa-apa, mari kita pergi! ia mengeluarkan sebutir pil diberikan pada Cu Siau-bun: Makanlah, hawa racun dalam tubuhmu tentu hilang Setelah menelan pil itu, Cu Siau-bun tetap enggan pergi: Aku tak ikut! Mengapa? wanita tua terbeliak Selesaikan dulu pembicaraan baru kita Anak itu sudah mati, apa boleh buat. Apalagi yang harus dibicarakan? heran. pergi.

Tidak! Aku tetap hendak membalaskan sakit hatinya! seru Cu Siau-bun. Wanita itu tersirap kaget: Eh, apakah kau jatuh cinta padanya? Bukan begitu maksudku menyuruhmu rnengikuti jejaknya! Wajah Cu Siau-bun yang kepucat-pucatan tampak merah, bibirnya mencibir: Mah, kaulah yang bertanggung-jawab! Jika kau tak suruh aku mengikutinya tentu takkan terjadi peristiwa ini. Sekarang sesal tiada gunanya Kau apakah sudah ! makin getas suara wanita itu. Tidak! Sampai matinya dia belum mengetahui aku ini seorang perempuan! Cu Siau-bun tersipu merah. Wanita itu menghembus napas longgar, ujarnya: Jangan kau resahkan hal itu. Lewat beberapa waktu, kau tentu melupakannya. Cu Siau-bun membelalakkan matanya: Tidak mungkin! Seumur hidup tak nanti aku dapat melupakannya. Dalam hidupku aku hanya dapat mencintai dia seorang. Kematiannya telah membuatku sengsara. Aku hendak melakukan pembalasan, baru nanti menyusulnya ke alam baka! Mata wanita itu berkaca-kacaa. Ah, Siau-bun, ia menghela napas. Mengapa kau begitu tolol. Sedangkan dia belum tahu kau ini seorang gadis, mengapa kau hendak bela-mati untuknya? Kuminta kau membantuku menghancurkan orang-orang dari 9 partai itu! Cu Siau-bun tetap kukuh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, serunya: Mereka minta aku menyampaikan undangan padamu, supaya hadir menerima tantangan mereka di gunung Bu-san pada nanti bulan 1 tanggal 15! Wanita itu menggeleng: Aku masih mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Tak usah hiraukan ocehan mereka! Aku telah bersumpah dalam hati, sebelum tanggal itu akan menghancurkan mereka.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 33 dari 290

Wanita itu mengerutkan dahi, ujarnya: Dewasa ini di dunia persilatan timbul kekacauan. Tiap hari terjadi pembunuhan keji. Dan setiap pembunuhan tentu meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah palsu. Sedangkan peristiwa ini belum dibikin terang, lalu sekarang akan membasmi 9 partai lagi. Bukankah hal itu akan menambah berat beban penderitaanku? Selama yang tulen dan yang palsu itu belum dibikin terang, bukankah mamahmu ini tetap akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia berdosa? Telah kuselidiki hal itu, buru-buru Cu Siau-bun berkata, hasilnya telah kuketemukan. Yang memalsukan Panji Tengkorak Darah bukan lain ialah orang Sin-bu-kiong Sin-bu-kiong ? wanita itu merenung beberapa jenak, katanya heran, tetapi aku merasa tak mengikat permusuhan dengan pihak Sin-bu-kiong! Bukan sadja telah kuperoleh bukti bahwa pembunuh ganas dan pemalsu Panji Tengkorak Darah itu orang Sin-bu-kiong, pun telah kuketahui juga bahwa yang memalsu jadi ibunya Kang Thian-leng itu ialah Te-it Ong-hui dari Sin-bu-kiong ! Ai ! Ibu dari Thian-leng itu bukan saja tidak meninggal, pun ternyata bukan ibunya yang sejati! Cu Siau-bun lanjutkan keterangannya. Bukan Benar! ibunya? si wanita menegas.

Makin dalam kerut dahi ibu Cu Siau-bun, sengaunya: Ini makin aneh ! tiba-tiba ia tertegun lalu gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi membisiki Cu Siau-bun: Jangan bicara, ada orang! Berapa jauhnya dari sini? Cu Siau-bun gunakan Coan-im jip-bi. Paling tidak 3 li jauhnya. Jumlahnya lebih dari 20 orang, di antaranya ia tak melanjutkan katakatanya. Bagaimana? desak Di antaranya terdapat seorang Masakan dia mampu menandingimu, mah! yang Cu berilmu tinggi, kata Siau-bun. ibunya.

Ibunya menggeleng. Sekalipun begitu, tetapi kita harus ingat bahwa di atas langit masih ada langit. Orang yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Mamahmu ini bukanlah tokoh nomor satu di dunia! cepat ia tarik puterinya dibawa melesat pergi. Mereka lenyap di antara gundukan batu yang menyela di semak pepohonan. Tak lama rombongan yang dikatakan wanita itupun tiba. Mereka bukan lain ialah rombongan 9 partai tadi. Entah apa sebabnya mereka kembali lagi. Malah sekarang ditambah dengan seorang tua berjenggot putih, berjubah ungu. Tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sikapnya congkak. Ia berjalan dengan langkah lebar, mengikuti ketiga Cuncia dari Siau-lim-si yang menjadi penunjuk jalan. Tampaknya biasa saja ia berjalan dengan rombongan jago-jago 9 partai. Tetapi apabila orang memperhatikan, tentu akan terbelalak kaget. Rumput-rumput yang bekas dilaluinya, tak ada sebatangpun yang rebah terpijak. Jadi orang itu seolah-olah berjalan melayang di atas tanah rumput. Tiba di tepi sungai rombonganpun berhenti. Salah seorang cuncia yang bergelar Hang Liong cuncia berseru nyaring: Melintasi sungai itu kita mencapai ujung terakhir dari lembah ini. Tetapi tak menemukan apa-apa. Kemungkinan si orangtua Sip Lojin itu tentu sudah meninggal dunia Tertawalah orang tua bertubuh tinggi besar. Nadanya gemerontang macam lonceng bertalu: Aku si orang tua ini telah memahami ilmu pengobatan dan menguasai ilmu meramal. Aneh, mengapa dia sudah mati lebih dulu? Tentulah karena memperhitungkan kita sekalian bakal datang kemari maka diam-diam ia tentu lari bersembunyi Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: Tetapi hal itu tak berapa penting. Memang aku telah mendapat tugas dari Te-kun untuk mencari jejak Sip Lojin itu. Tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk mengajak saudara-saudara sekalian merundingkan rencana menghancurkan Hun-tiong Sin-mo! Hang Liong bukan saja menjadi tetua dari ketiga Cuncia kuil Siau-lim-si, pun dia juga merupakan pemimpin dari rombongan jago-jago 9 partai. Ia memberi sambutan atas pernyataan orang tua gagah itu: Sungguh suatu rejeki besar bisa memperoleh bantuan dari pihak Sin-bu-kiong. Harap Ni Cong-houhoat suka bantu membicarakan perserikatan ini di hadapan Te-kun. Kiranya orang tua bertubuh tinggi besar itu menjabat sebagai cong-hou-hoat (kepala pengawal) dari istana Sin-bu-kiong. Namanya Ni Jin-hiong bergelar Ci-chiu-hoan-thian (tangan mengaduk langit).
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 34 dari 290

Ni Jin-hiong tertawa sinis: Hun-tiong Sin-mo sudah 60 tahun merajai duna persilatan. Dia mempunyai banyak anak buah yang sakti. Tak dapat diremehkan. Dengan memberi bantuan pada ke 9 partai ini, sudah tentu pihak kami akan memberi pengorbanan yang tak sedikit. Bahkan mungkin juga pihak Sinbu-kiong akan mengalami kekalahan dan kehancuran. Tetapi andaikata bisa berhasil, entah bagaimanakah saudara-saudara sekalian hendak menghaturkan terima kasih kepada pihak Sin-bukiong? Sejenak mata Hang Liong Cuncia menyapu ke arah rombongannya, katanya kemudian: Jika Hun-tiong Sin-mo dapat dihancurkan dan dunia persilatan terbebas dari cengkeraman momok ganas, 9 partai akan menggerakkan seluruh orang gagah di kolong dunia untuk menobatkan Sin-bu-kiong sebagai partai pemimpin dunia persilatan dan Sin-bu Te-kun sebagai kepala tokoh persilatan! Sekalian orang tak ada yang menyanggah dan mengangguk setuju, Ni Jin-hiong tertawa puas, serunya: Kalau demikian dapatlah kulaporkan pada Te-kun, hanya saja Lohu telah menurutkan rencana Ni Cong-hou-hoat, mengundang Hun-tiong Sin-mo supaya datang kepuncak Sin-li-hong besok pertengahan bulan satu tahun depan! tukas Hang Liong Cuncia. Ni Jin-hiong mengelus-elus jenggot tertawa: Bagus, selekas aku pulang tentu akan segera kukirim orang, untuk mengadakan persiapan. Kalau Hun-tiong Sin-mo berani datang dapat dipastikan dia bakal hancur sejenak ia kerlingkan mata, katanya pula: Tetapi ingat, kecuali tokoh-tokoh penting di kalangan kalian 9 partai, jangan sampai rahasia Sin-bu-kiong akan ikut hadir dalam pertemuan di Busan itu bocor keluar! Atau kemungkinan Hun-tioug Sin-mo takkan datang! Hang Liong Cuncia mengiyakan. Kembali orang she Ni utusan Sin-bu-kiong itu tertawa congkak kemudian ia minta diri. Bagaimana pendapat saudara-saudara tentang tindakanku tadi? tanya Hang Liong Cuncia kepada rombongan 9 partai. Tak seorangpun yang menyahut kecuali seorang setengah tua yang mengenakan dandanan sebagai pelajar. Ia menyelinap ke muka, serunya: Menurut hematku, tindakan siansu tadi kurang bijaksana! Hang Liong Cuncia terkesiap. Ketika mengetahui bahwa yang bicara itu Poh-ih-siu-su (pelajar baju katun) Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay, Hang Liong Cuncia mengerutkan alis. Bagaimana menurut pendapat Li Ciangbun? tanyanya. Kiranya di dalam persekutuan 9 partai itu, partai Tiam-jong-pay termasuk partai yang paling lemah sendiri. Sekalipun namanya sejajar dengan 8 partai besar, namun pada hakekatnya kekuatan partai Tiam-jong-pay itu kalah dengan sebuah Pang (cabang) saja. Bahkan dengan Kau (perkumpulan agama) saja tak menang. Ketiga cuncia itu adalah golongan paderi yang paling tinggi kedudukannya dalam partai Siau-lim-si, maka di dunia persilatan mereka mendapat penghormatan yang tinggi. Sudah tentu mereka tak memandang mata kepada Li Cu-liong. Itulah sebabnya maka Hang Liong Cuncia mengunjuk sikap kurang senang kepada ketua Tiam-jong-pay. Poh-ih-siu-su Li Cu-liong tertawa tawar: Meskipun Hun-tiong Sin-mo itu seorang algojo buas, tetapi kaum Sin-bu-kiong itu juga bukan golongan baik. Tindakan losiansu tadi berarti lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya. Sekali Sin-bun Te-kun menjadi kepala dunia persilatan ia menghela napas tak melanjutkan kata-katanya pula. Semula memang Hang Liong Cuncia tak senang, tetapi dia seorang paderi yang telah berpuluh-puluh tahun menghisap sari pelajaran agama. Peribadinya kuat, toleransinya penuh. Ia mengangguk perlahan. Lohu-pun sudah tahu. Adalah karena tak tega mendengar tiap hari Hun-tiong Sin-mo melakukan pembunuhan ganas, maka kecuali dengan jalan itu rasanya tiada lain daya lagi ia berhenti sejenak, katanya pula: Supaya cuwi sekalian mengetahui bahwa tindakan lohu sekali-kali bukan karena hendak menuntut balas atas kematian ketua dan kedelapan tianglo kami. Tetapi yang penting ialah demi memikirkan keselamatan dunia persilatan! Li Cu-liong menjura, serunya:Sungguh mulia cita-cita losiansu itu, tetapi ia berganti nada setengah berbisik: Maafkan, Tiam-jong-pay hendak mengundurkan diri dari persekutuan ini! Sekalian tokoh terkejut mendengar keputusan ketua Tiam-jong-pay itu. Hang Liong Cuncia menatap tajam-tajam pada diri ketua Tiam-jong-pay itu, kemudian tertawa hina: Silahkan kalau Li Ciangbun mau
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 35 dari 290

mengundurkan diri. Tetapi kaum persilatan di Tionggoan takkan merobah haluannya karena penarikan diri dari Tiam-jong-pay! Li Cu-liong tak mau banyak bicara. Setelah memberi hormat segera ia angkat kaki diikuti oleh kedua pengawalnya. Pada lain kejap mereka sudah lenyap dari pandangan. Sekalian tokoh terlongong-longong mengantar kepergian ketua Tiam-jong-pay itu. Baru setahun yang lalu Li Cu-liong mendjabat ketua Tiam-jong-pay. Sebagai sebuah partai lemah, mengapa dia berani menarik diri dari persekutuan 9 partai? Dan berani menentang kehendak golongan Siau-lim-pay? Apakah dia mempunyai rencana sendiri. Demikian pertanyaan yang timbul di hati setiap orang. Akhirnya Hang Liong Cuncia-lah yang membuka pembicaraan: Keputusan telah ditetapkan, harap cuwi sekalian pulang ke tempat cuwi masing-masing. Sebelum akhir tahun ini harap sudah mengirim wakil ke puntjak Sin-li-hong di gunung Bu-san Sekalian tokoh mengiyakan. Demikianlah mereka segera bubar dan pulang ke daerahnya masingmasing. Keheningan kembali menyelubungi tepi Pek-long-ho. Beberapa waktu kemudian terdengar suara bicara bisik-bisik dari balik sebuah batu besar. Itulah Cu Siau-bun dan ibunya, yang sejak tadi ternyata masih bersembunyi mendengarkan pembicaraan rombongan 9 partai. Mah, jika tadi tak kau halangi, di sini tentu sudah timbul tumpukan bangkai mereka toh hendak merencanakan mencelakai kau, mengapa kau diam saja? Cu Siau-bun menggeram. Setelah menelan pil dari ibunya, maka racun dalam tubuh Cu Siau-bun pun sudah lenyap. Kini tenaganya sudah pulih. Wanita tua itu tertawa hambar: Jika tak tahan menderita soal kecil, tentu akan membikin terlantar urusan besar. Apalagi ke 9 partai itu sebenarnya tak berdosa. Mereka telah masuk dalam perangkap orang. Si kepala gedung Sin-bu-kiong yang menamakan dirinya sebagai Te-kun (raja) itulah biangkeladi yang sebenarnya Cu Siau-bun tertegun sejenak. Katanya: Mah, mengapa mendadak kau berobah begini welas-asih? Wanita itupun terkesiap juga: Apakah mamahmu ini Cu Siau-bun tertawa:Sekaligus membunuh ketua Siau-lim-si dan 8 tianglo seorang ganas?

Kau tak tahu ! kata wanita itu. Setelah merenung sesaat, ia berkata pula: Pertama, aku hendak menjaga peraturan mendiang guruku. Yakni tak membiarkan orang yang menantang, keluar dari Mo-hu (sarang hantu) dengan masih hidup! Kedua, ke 9 paderi itu memang cari mati sendiri Cu Siau-bun melengking: Masakan mereka Tiba-tiba wajah wanita itu berobah bengis: Jangan banyak bicara, ayo lekas berangkat! Mah, apakah kita langsung menggempur Sin-bu-kiong? seru si nona dengan bersemangat. Tidak! Akan kuajak kau ke gunung Tiam-jong-san dulu! Cu Siau-bun terbeliak heran: Tiam-jong-san? Perlu apa kita ke gunung yang tandus itu? Ketua Tiam-jong-pay, Poh-ih-siu-su Li Cu-liong seorang yang aneh wataknya. Aku hendak menjumpainya! sahut sang ibu. Cu Siau-bun tak berani membantah. Segera mengikuti sang ibu melintasi sungai terus keluar dari lembah. Namun mulut nona itu masih menyumpah-nyumpah: 9 partai adalah musuh besarku, termasuk Tiam-jong-pay pun hendak kubasmi! Wanita itu entah dengar entah memang tak mau menghiraukan gerutu puterinya, tetap berjalan terus oo00oo Bagaimana dengan Kang Thian-leng yang kecebur di dalam sungai? Apakah dia binasa? Tidak, ternyata dia memang belum ditakdirkan mati, masih harus melanjutkan perdjalanan hidupnya yang penuh cerita petualangan. Begitu kecemplung ke dalam sungai, iapun sudah pingsan sehingga dibawa hanyut oleh arus. Pukulan yang dilancarkan oleh paderi dan imam dari 9 partai itu hebatnya bukan kepalang. Tapi untunglah sebelumnya Thian-leng sudah mendapat saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo sehingga tenaga dalamnya kuat sekali. Benar ia terluka parah tetapi tak sampai binasa. Malah ketika terendam dalam air, iapun agak tersadar dari pingsannya. Lapat-lapat ia merasa seperti membentur sebuah benda dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke tepi pesisir. Lemparan itu kuat sekali
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 36 dari 290

sehingga tulang persendiannya serasa remuk, kepala pening, mata berkunang-kunang. Sedemikian nyerinya sakit yang diderita saat itu sampai-sampai ia hampir pingsan lagi! Untung tempat jatuhnya itu di atas pasir, andaikata di atas batu karang tentulah tubuhnya sudah hancur. Sesaat ia berusaha untuk menyalurkan darah dan membuka matanya pelahan-lahan. Apa yang dilihatnya saat itu, membuat semangatnya serasa terbang. Seorang manusia aneh yang menyerupai mayat hidup tengah memandangnya dengan tertawa mengikik Kedua matanya sebesar kelinting, pipinya kempot dan mukanya berwarna pucat kebiru-biruan. Sekalipun panca-inderanya lengkap tapi tak mirip dengan seorang manusia! Dia mencekal sebatang kail, batang kail terbuat dari bambu sebesar lengan bayi. Kini orang aneh itu tengah melepaskan kait yang menyantol di baju Thian-leng. Astaga serentak tersiraplah darah Thian-leng ketika mengetahui apa yang terjadi. Ternyata tadi dia dipancing orang aneh itu! Ia hendak membuka mulut, tetapi napasnya terengah sehingga terpaksa tak bisa bicara. Orang aneh itu tertawa mengikik dan berkata seorang diri: Besar nian rejeki hari ini, dapat memancing seekor manusia-ikan ia menjilat-jilat lidah, katanja: Eh, mana lebih lezat, dimasak atau dibakar ? Sudah tentu Thian-leng berjingkat kaget. Terhindar dari mati tenggelam, jatuh ke tangan seorang manusia aneh. Bukan mustahil orang aneh itu suka makan daging orang! Ia paksakan diri berteriak: Aku bukan ikan tetapi bangsa manusia seperti kau. Jangan kau karena lukanya parah sekali, sekalipun sudah menggunakan sekuat tenaga tetapi teriakannya itu lemah sekali dan akhirnya malah tak kedengaran lagi. Kau bukan ikan? Mengapa kau berada dalam air? orang aneh itu tetap cekikikan. Setelah memulangkan napas, Thian-leng menyahut dalam suara lemah: Aku dianiaya orang dan dipukul jatuh ke dalam sungai! O, jadi kalau tidak kupancing, kau tentu sudah mati, bukan? orang aneh itu mengikik. Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Kelak wanpwe tentu akan membalasnya. Selama hidup aku tak pernah berminat menolong orang. Ransumku sudah habis 3 hari yang lalu, terpaksa kujadikan kau sebagai ikan. Anggap saja kau tadi sudah mati tenggelam dalam sungai itu! sambil masih tertawa mengikik sekonyong-konyong orang aneh itu menampar. Mati aku! keluh Thian-leng yang tak berdaya menyingkir karena tenaganya lumpuh. Terpaksa ia meramkan mata menunggu kematian. Plak, keajaiban terjadi! Berat kedengaran tangan orang aneh itu. menampar tubuh Thian-leng tetapi ternyata jatuhnya lunak sekali dan yang ditampar ialah bagian bawah perut. Seketika itu Thian-leng rasakan tubuhnya dialiri arus hawa yang hangat. Thian-leng memberi reaksi spontan (serentak). Ia segera pusatkan seluruh lwekangnya untuk menyambut hawa hangat itu Kira-kira sepeminum teh lamanya, orang aneh itupun perlahan-lahan melepaskan tangannya. Girang Thian-leng tak terkata. Ternyata orang aneh itu memberinya saluran lwekang sehingga saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Buru-buru ia merangkak dan berlutut di hadapan si orang aneh. Tetapi orang aneh itu menolak dan menyingkir, serunya: Aku paling benci dengan segala macam peradatan. Tak usahlah! Thian-leng bangkit, ujarnya: Oh, kiranya locianpwe seorang sakti terpendam, wanpwe tadi Apa itu orang sakti terpendam! Adanya aku mengasingkan diri di tempat ini karena aku masih senang hidup dan takut mati. Aku tak keluar ke dunia persilatan karena kepandaianku tak memadai Tampak wajah orang aneh itu tegang. Rupanya ada sesuatu perasaan dalam hatinya yang tersinggung oleh kata-kata Thian-leng tadi sehingga meledak. Thian-leng terbeliak. Orang yang mampu menyalurkan 1wekang untuk mengobati luka dalam, terang tentu seorang sakti. Sekalipun bukan hal yang jarang terdapat di dunia persilatan, tetapi tokoh semacam itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu. Heran Thian-leng mendengar kata-kata orang aneh itu. Kalau begitu, apakah locianpwe juga seorang yang menderita kekecewaan ia tak mau lanjutkan kata-katanya karena kuatir menyinggung perasaan orang lagi dan mengalihkan dengan pertanyaan: Sukalah locianpwe memberitahukan nama locianpwe yang mulia?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 37 dari 290

Orang aneh itu tertegun, tiba-tiba ia tertawa: Buyung, mungkin karena sudah berpuluh-puluh tahun tak ketemu orang maka aku senang bicara padamu. Ya, terus terang saja aku ini ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok) yang dahulu mengangkangi dunia persilatan ! ia tertawa mengikik: Pernahkah kau mendengar nama keempat momok itu? Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan pesan Oh-se Gong-mo untuk menumpas si Song-bun Kui-mo yang jahat. Adakah orang aneh yang dihadapinya saat itu Song-bun Kui-mo?! Untuk menghadapi segala kemungkinan diam-diam Thian-leng kerahkan tenaga dalam. Ah, ia menghela napas longgar karena lwekangnya sebagian besar sudah pulih. Apakah cianpwe Song-bun Kui-mo? serunya. Tiba-tiba orang aneh itu menggeram: Song-bun Kui-mo? Uh, aku membencinya setengah mati. Ingin benar kumakan dagingnya Thian-leng menghela napas longgar: Kalau begitu tentulah Tui-hun Hui-mo! Hm, benarlah! sahut orang aneh itu. Tanpa diberi keterangan, Thian-leng telah mengetahui apa sebab tokoh Tui-hun Hui-mo (Iblis pengejar maut) sampai sedemikian mengenaskan keadaannya. Di dalam apa yang disebut Su-mo (4 iblis), Huntiong Sin-molah yang paling tinggi kepandaiannya. Kemudian setelah Song-bun Kui-mo berhasil merebut kitab pusaka Im-hu-po-kip, kesaktiannyapun bertambah hebat. Dengan begitu hanja Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo yang terbelakang sehingga mereka lari menyembunjikan diri. Dan kau, siapa namamu? tegur Tui-hun Hui-mo. Thian-leng tertegun, sahutnya: Wanpwe bernama Bu-beng-jin! Bu-beng-jin? Tui-hun Hui-mo terkejut. Kau tak mau mengatakan namamu yang sebenarnya? Sekalipun semula wanpwe mempunyai nama, tetapi ternyata nama itu palsu, karena dengan terus terang Thian-leng segera tuturkan riwayatnya. Tetapi peristiwa masuk ke sarang Hun-tiong-san tidak diceritakannya. Terpikat perhatian Tui-hun Hui-mo. Ketika mendengar tentang kematian Oh-se Gong-mo, tokoh aneh itupun mengucurkan air mata dan menghela napas berulang-ulang. Sampai beberapa saat Tui-hun Huimo termenung. Tiba-tiba ia bertepuk tangan tertawa: Buyung, kita harus kerja sama. Sip-loji itu Apakah locianpwe mengetahui jejaknya? Apakah beliau masih hidup? tukas Thian-leng. Tui-hun Huimo tertawa aneh: Ketahuilah, sudah hampir 3 tahun aku mengejar jejaknya, tetapi setiap kali ia tentu dapat lolos. Dia benar-benar seorang manusia aneh, dapat meramal Mengapa locianpwe hendak mengejarnya? Aku juga untuk pil Kong-yang-sin-tan itu. Pil itu bukan saja akan membuatmu mencapai kesempurnaan ilmu Lui-hwe-ciang, pun setiap orang yang minum tentu akan bertambah dahsyat lwekang-nya. Thian-leng termenung sejenak, ujarnya: Karena locianpwe sudah lebih dulu 3 tahun, maka pil itu locianpwe saja yang minum, wanpwe Tidak! bentak Tui-hun Hui-mo, kalau Oh-se Gong-mo rela memberikan lwekang peryakinannya selama 80 tahun kepadamu, masakan aku sudi mengangkangi pil itu? Minumlah pil itu, buyung, agar kau dapat membasmi Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-mo kedua keparat itu! Thian-leng terlongong. Memang Song-bun Kui-mo harus ia basmi. Tetapi Hun-tiong Sin-mo? Bukankah Hun-tiong Sin-mo itu jelas bukan musuhnya? Bukankah momok itu telah melepas budi kepadanya? Ah Hai, buyung, tahukah kau siapa Song-bun Kui-mo itu? tiba-tiba Tui-hun Hui-mo berseru. Justru wanpwe bingung mencari tempat tinggalnya Tui-hun Hui-mo tertawa: Tempat tinggal? Saat ini dia ibarat matahari yang muncul di langit, sinarnya memenuhi jagad. Dia hendak menguasai dunia persilatan, menundukkan tokoh-tokoh silat. Masakan kau tak tahu tempat tinggalnya Dia ?! Dia ialah manusia yang mengangkat diri sebagai raja Sin-bu Te-kun dalam sarang istananya Sin-bukiong! Sin-bu Te-kun? Thian-leng tergagap. Sungguh tak diduganya sama sekali. Segera ia teringat akan dua taci-adik Ki, si orang tua baju biru. Dan Cu Siau-bun yang entah berada di mana sekarang!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 38 dari 290

Tui-hun Hui-mo heran memandang anak muda yang tampak termenung itu, tegurnya: Hai, apa-apaan kau ini? Tak apa-apa, Thian-leng gelagapan, kita Ya, kita cari tempat persembunyian Sip-loji tukas Tui-hun Hui-mo. Ia menerangkan bahwa tokoh aneh itu memang suka berpindah-pindah tempat. Tetapi untungnya hanya di sekitar gunung Thay-hengsan saja. Tiga hari yang lalu dia pindah di lembah Hong-lim-koh berapa kali setiap aku hampir berhasil menyergapnya, apabila terpisah 10 li, ia tentu sudah mengetahui dan lari! Kalau begitu selamanya tentu tak dapat dipergoki! seru Thian-leng. Tidak! Dengan bantuanmu, tentu lain halnya, Tui-hun Hui-mo tertawa. Segera ia mencari sebatang dahan kayu kering dan menggambar di tanah: Ia di lembah Hong lim-koh. Di tengah lembah terdapat sebuah jalanan, satu di sebelah timur dan satu di selatan. Kau mengambil jalan yang timur dan aku dari selatan. Kali ini masakan dia mau lari ke langit! Setelah selesai memberi petunjuk, Tui-hun Hu-mo segera ajak Thian-leng berangkat. Dengan menurutkan peta guratan Tui-hun Hui-mo tadi, tak lama kemudian tibalah ia di muka mulut jalanan lembah Hong-lim-koh yang sebelah timur. Lembah itu merupakan sebuah tempat yang terpencil sekali. Penuh batu-batu yang curam dan hutan lebat. Setelah beberapa saat memandang keadaan lembah itu, barulah Thian-leng mulai memasukinya. Tibatiba ia berhenti terlongong-longong *** JILID 3 Tertangkap Basah JILID 3 Tertangkap basah. Di kaki puncak gunung, terdapat sebuah gubuk. Tak jauh di belakang gubuk itu, sebuah air terjun tengah mencurah, dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Sekilas alam pemandangan di situ mirip dengan sebuah lukisan. Ah, tentulah itu tempat kediaman Sip-locianpwe, Thian-leng menduga-duga. Dan segera ia menghampiri. Karena hiruk-pikuknya gemuruh air terjun maka kedatangannya tak menimbulkan kecurigaan orang. Begitu tiba di gubuk segera ia melongok ke dalam jendela. Sebuah gubuk yang reyot. Di sana-sini tampak celah-celah lubang. Di dalam ruangan hanya terdapat sebuah meja dan sebuah bale-bale terbuat dari papan. Di atas rumput kering diperuntukkan alas balebale itu, duduklah seorang tua yang sudah putih rambutnya. Paling tidak dia tentu sudah berumur 80 tahun. Tubuhnya kurus tetapi seri wajahnya masih segar kemerah-merahan. Agak curiga Thian-leng dibuatnya. Tui-hun Hui-mo mengatakan bahwa pendengaran Sip U-jong itu luar biasa tajamnya. Setiap orang berada pada jarak 10 li jauhnya, tentu sudah diketahuinya. Tetapi mengapa sampai ia menghampiri jendela, tetap tak diketahui? Tiba-tiba penghuni gubuk tersenyum. Ia menarik meja di hadapannya dan dari tumpukan rumput ia mengambil beberapa benda mirip potongan kulit dan tulang kura-kura. Benda-benda itu diletakkan di atas meja. Itulah mirip dengan barang permainan kanak-kanak dan Thian-leng pun mengerutkan kening keheranan. Orang tua itu sibuk menjalankan benda-bendanya, sebentar ke timur sebentar dipindah ke barat. Tibatiba ia mengerutkan alis dan berkata seorang diri: Satu ke timur satu ke selatan. Dua setan menghadang jalan ah, habislah permainan kali ini Thian-leng terbeliak kaget. Swan (tenggara) putus, Khian (barat laut) kering. Li (selatan) berair, Khun (timur laut) banjir. Mengejutkan tetapi tak berbahaya kata orang tua itu pula. Kemudian berhenti diam lagi. Tiba-tiba ia berseru kaget: Macan putih muncul di Te-hu (gedung residen). Naga sembunyi di ujung langit. Di dalam bahaya melahirkan gajah jahat, ah, mungkin urusan besar kapiran! Thian-leng mendengarkan ocehan orang tua aneh itu setengah mengerti setengah tidak. Ketika hampir menemukan pemecahan artinya, tiba-tiba orang tua berambut putih itu melambaikan tangannya berseru: Masuklah, anak muda!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 39 dari 290

Bukan main kejutnya Thian-leng. Karena jelas bahwa orang tua itu melambai kepadanya. Akhirnya dengan berdebar-debar ia melangkah masuk. Nak, telah lama kutunggu engkau! orang tua itu Thian-leng tersipu-sipu memberi homat: Apakah locianpwe Sip Benar, aku memang Sip U-jong. Telah kuketahui maksud kedatanganmu .. Locianpwe seorang penjelmaan dewa? Bukan, aku hanya mengerti ilmu perbintangan (falak) saja, bukan dewa ia mengeluarkan sebuah holou (buli-buli) warna kuning emas. Dengan hati-hati sekali dituangnya sebutir pil sebesar ujung jempol tangan, warnanya merah. Pil itu diberikan kepada Thian-leng. Inilah pil Kong-yan-sin-tan yang dibuat rebutan orang persilatan. Lekas telanlah! Tidak, tidak! Wanpwe Thian-leng menolak. Ia terkejut dengan peruntungan yang diperolehnya begitu mudah. Dan diapun tak mau merebut Tui-hun Hui-mo yang sudah 3 tahun mengejar pil itu. Sip U-jong tertawa tergelak-gelak: Tiga puluh tahun yang lalu aku mengadakan perjanjian dengan Ohse Gong-mo. Kuperhitungkan waktu perjanjian itu ialah hari ini Apakah 30 tahun yang lalu locianpwe sudah mengetahui kedatangan wanpwe hari ini? Bukan begitu. Hanya kala itu sudah kuketahui aku tak berjodoh dengan Oh-se Gong-mo tetapi berjodoh dengan pewarisnya O, memang aku datang kemari untuk pil ini, tetapi Tadi biji Kwa-jio (papan untuk meramal) mengunjukkan bahwa banyak bahaya segera akan muncul, setiap saat akan terjadi perobahan. Lekas minumlah pil itu! Wanpwe masih Thian-leng bersangsi. Tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang. Ia hendak berputar diri tetapi sudah terlambat. Punggungnya sudah ditutuk orang. Seketika tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Di luar dugaan Sip U-jong tetap tenang-tenang saja. Mengejar aku 3 tahun, maksudmu hanya untuk pil itu! serunya tawar. Pendatang itu tertawa tergelak-gelak: Benar, tetapi aku bukan manusia yang temaha. Saat ini aku sudah merobah pikiran ia berhenti sejenak. Kau dan aku sepaham, lekas berikan pil itu kepadanya! Kiranya pendatang itu ialah Tui-hun Hui-mo! Sip U-jong tertegun, ujarnya: Sekalipun ramalanku tepat, tetapi hati orang sukar diduga. Sungguh tak kusangka-sangka ia gelengkan kepala menghela napas: Buyung ini lapang dada, dia hendak menyerahkan pil itu kepadamu dan tetap menolak tak mau menelannya. Aku tak berdaya memaksanya Mudah! sahut Tui-hun Hui-mo seraya menutuk tenggorokan Thian-leng sehingga mulut anak muda itu menganga. Sip U-jong cepat memasukkan pil ke mulut Thian-leng. Setelah itu Tui-hun Hui-mo baru membuka lagi jalan darah Thian-leng yang tertutuk. Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali berlutut menghaturkan terima kasih kepada kedua orang aneh itu. Tiba-tiba ia menjerit, loncat beberapa meter ke udara dan jatuh berguling-guling mendekap perutnya. Kiranya pil itu mulai bekerda. Perut Thian-leng serasa terbakar api, organ dalam tubuhnya serasa disayati sehingga ia menjerit- jerit seperti babi disembelih! Pil itu telah kubuat selama 50 tahun. Untuk menjaga pil itu aku sampai menelantarkan ilmu silat. Montang-manting lari ke mana-mana sehingga hampir kehilangan jiwa! Ah, tak kira pil itu sedemikian mencelakakan orang Tui-hun Hui-mo tertawa: Tetapi kuharap kau membuat 2 butir, biar aku turut merasakan bagaimana sakitnya! Sip U-jong tertawa perlahan: Kau dan aku sudah ibarat senja hari, biarlah kita titipkan harapan kita di atas bahunya saja ! ia berhenti untuk menghitung-hitung dengan jarinya. Tiba-tiba ia terkejut: Celaka, musuh mendesak, jalanan lembah sudah tertutup! Bagaimana ini! Apakah mereka orang Sin-bu-kiong? Tui-hun Hui-mo terkejut juga. Ini sukar diperkirakan, hanya dalam ramalanku mengunjuk bahaya keludasan menunjuk pada Thian-leng, ia berkata pula: Sekalipun dia sudah minum pil itu, tetapi dalam waktu sejam belum dapat
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 40 dari 290

menghadapi musuh. Jika tak beruntung, mungkin kita sukar lolos dari kehancuran. Jerih-payahku selama berpuluh-puluh tahun akan ludas dalam sehari saja Kau mengerti ramalan, mengapa tak mengetahui keadaan mereka? kata Tui-hun Hui-mo. Hai, benar, mengapa aku begini limbung Sip U-jong seperti orang disadarkan. Segera ia memeriksa wajah Thian-leng. Saat itu Thian-leng sudah tak menggeliat-geliat, hanja keningnya masih bercucuran keringat panas. Sebenarnya jalan darah utama Seng-si-hian-kwan dalam tubuh Thian-leng sudah tertembus. Jalan darah ini merupakan pintu terakhir dari suksesnya suatu peryakinan lwekang. Selama jalan darah itu tak dapat terbuka, orang tetap tak mampu mencapai kesempurnaan lwekang. Tidak banyak tokoh-tokoh persilatan yang telah tertembus bagian jalan darah Seng-si-hian-kwan. Ah, mungkin pilihanku salah. Seumur hidup aku menderita kekecewaan! sesaat kemudian Sip U-jong berseru sambil membanting-banting kaki. Apakah usianya tak panjang? Tui-hun Hui-mo terkejut. Sip U-jong gelengkan kepala: Ini sukar dikatakan. Hanya perjalanan hidupnya memang penuh kesulitan, selalu tertimpa bahaya maut. Jika tak ketemu bintang penolong mungkin dia takkan hidup panjang ia berhenti sejenak, katanya: tetapi yang kukuatrkan bukan hal itu. Dia seorang anak keras kepala, mungkin tak dapat memenuhi harapanku dengan lancar Aku tak tahu apa isi harapanmu itu, tetapi tentulah ada hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-mo! seru Tui-hun Hui-mo. Sip U-jong menggeram: Isteri dan puteriku telah dibunuh Song-bun Kui-mo, masakan kau tak mendengar hal itu! Tui-hun Kui-mo tertawa: Asal anak itu masih bisa hidup saja, jangan kau kuatirkan hal itu Tiba-tiba ia bertanya: Kelinci yang licin masih punya 3 liang. Selain timur, selatan, apakah tak ada lain jalan lagi? Kau takut mati? Sip U-jong tertawa. Tui-hun Hui-mo mendengus: Yang mengerti gelagat dan bertindak tepat barulah seorang gagah. Berani mati atau takut mati, bukanlah halangan. Sip U-jong gelengkan kepala: Tetapi sekarang sudah terlambat baru ia mengucap, tiba-tiba terdengar lengking suara seperti denging nyamuk menyusup telinga: Benar, memang sekarang sudah terlambat! Kejut Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo tak kepalang. Melihat ke arah datangnya suara, tampak seorang wanita mengenakan kerudung muka sudah memasuki pintu gubuk. Di belakangnya diiring oleh 4 bujang wanita berbaju biru. Mereka datang tanpa menimbulkan suara apa-apa. Bahwa seorang tokoh sakti macam Tui-hun Hui-mo sampai tak mengetahui sama sekali kedatangan rombongan wanita itu, memang mengherankan sekali! Cepat Tui-hun Hui-mo menghadang di muka Thian-leng, tegurnya dengan nada bengis: Siapa kalian ini? Perlu apa kemari? Wanita berkerudung itu tertawa dingin: Matamu buta, sampai tak kenal siapa aku Persetan kau ini siapa, lekas keluar dari pondok ini, atau Atau bagaimana? tantang wanta itu. Mayatmu jadi bubur daging! Mengapa kau tak lekas turun tangan? wanita itu mengikik. Peta Telaga Zamrud. Memang Tui-hun Hui-mo sudah memutuskan. Rombongan wanita itu terang bukan manusia baik. Lebih cepat ia turun tangan, lebih baik. Tak usah mengalami pertempuran yang lama. Ia menggerung keras dan mendorong ke muka. Wanita berkerudung itu tetap berdiri. Kedua tangan disembunyikan dalam lengan baju. Sikapnya tenang-tenang saja. Begitu Tui-hun Hui-mo bergerak, iapun segera ulurkan jarinya menutuk.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 41 dari 290

Sebagai tokoh kedua dari Su-mo dahulu, ia malang-melintang tanpa tanding. Setiap pukulan Tui-hunsin-ciang (pukulan sakti pengejar nyawa) meluncur tentu ada orang yang terluka. Yang rubuh di tangannya entah sudah berapa banyak. Tahu bahwa wanita yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan, maka sekali gebrak Tui-hun Huimo pun gunakan ilmu simpanan Tui-hun-sinciang dalam jurus yang paling dahsyat, yakni Ngo-gak-kiepheng (5 gunung berbareng meletus). Pukulan dahsyat dilambari dengan tenaga penuh. Dahsyatnya bagaikan gunung Thay-san rubuh Menurut perkiraannya, pukulan itu tentu akan menghancurkan si wanita, sekurang-kurangnya tentu dapat melukainya, paling tidak pasti membuatnya terpental mundur beberapa langkah. Kemudian ia akan menyusuli dengan Lian-hoan-sam-ciang (3 pukulan berantai). Tanggung tentu menang! Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar tak diduganya sama sekali. Wanita berkerudung itu gunakan jarinya untuk menyambut. Gilakah barang kali wanita itu. Memang tenaga tutukan jari itu tajam sekali tetapi mana dapat diadu dengan tenaga pukulan. Kecuali memang wanita itu bermaksud hendak berjibaku atau sama-sama remuk. Tetapi anehnya wanita itu tak mengunjuk sikap hendak mengadu jiwa. Di saat Tui-hun Hui-mo tercengang, angin tutukan jari dan angin pukulannya telah beradu! Aneh, aneh angin keras yang menghambur dari pukulannya itu ketika beradu dengan tutukan jari, berobahlah seperti api disiram air. Hilang lenyap segala daya tenaga pukulan itu. Bahkan tak berhenti sampai di situ saja. Tui-hun Hui-mo merasa tersembur oleh aliran hawa dingin yang keras sekali sehingga darahnya serasa bergolak. Pemusatan tenaganya seolah-olah buyar ambyar Hian-im-ci! serentak berteriaklah Tui-hun Hui-mo dengan wajah Wanita itu menarik jarinya, tertawa: Setan tua, sekarang kau sudah tahu siapa aku? pucat.

Tui-hun Hui-mo mengerut gigi kencang-kencang, geramnya: Sin-bu-kiong! Kau Song-bun Kui-mo punya Kau berani menyebut nama Te-kun yang dulu? Dosamu sudah tak dapat diberi ampun! seru wanita berkerudung itu. Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo tertawa keras: Tekun? Ha, ha, kau tentulah permaisuri Ong-hui-nya? Te-it Ong-hui! sahut wanita itu dengan nada Tui-hun Hui-mo berhenti tertawa, serunya: Bilang apa maksudmu kemari? angkuh, bangga.

Kesatu, untuk mengambil jiwa kalian berdua setan tua! jawab Te-it Ong-hui atau isteri pertama dari Song-bun Kui-mo yang berganti gelar menjadi Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-bu-kiong. Kedua, membawa anak itu! Tiba-tiba Sip U-jong yang sedjak tadi masih tetap duduk di atas bale-bale, berseru: Ah, tak semudah itu! Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: Sebelum Te-kun mendapat kitab Im-hu-po-kip saja kau sudah dipukulnya terkencing-kencing sehingga kepandaianmu lenyap. Apa yang hendak kau andalkan berani menolak perintah Te-kun sekarang? Habis berkata Te-it Ong-hui segera menghampiri bale-bale. Seketika itu timbullah kenekadan Tui-hun Hui-mo. Pada saat wanita itu bergerak ke tempat Sip U-jong, iapun segera lepaskan hantaman dari samping. Tetapi Te-it Ong-hui acuh tak acuh. Setan bernyali besar, kau berani kurang ajar kepada Ong-hui? dua orang bujang wanita segera membentak seraya kebutkan Hud-tim. Sekalipun mengetahui gerakan kedua bujang wanita itu luar biasa cepat dan aneh, tetapi karena mereka hanya bujang, Tui-hun Hui-mo tak memandang mata. Dia tetap menyerang Te-it Ong-hui. Tetapi untuk itu ia harus membayar mahal. Kebutan kedua bujang itu ternyata seperti ribuan anak panah menyambar. Bukan saja tenaga pukulan Tui-hun Hui-mo buyar, pun dia malah tersambar hawa dingin yang menyerang masuk ke tulang-tulang sehingga tak dapat menguasai diri lagi terhuyunghuyung tiga - empat langkah! Dalam pada itu Sip U-jong pun berbareng timpukkan sebuah benda bersinar merah kepada muka si wanita berkerudung. Meski tenaganya sudah punah, tetapi ia masih mahir menimpuk.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 42 dari 290

Te-it Ong-hui tertawa mengikik seraya ulurkan jarinya menjepit. Enak dan mudah sekali ia menyambut timpukan itu. Benda merah terjepit dengan tepat. Tetapi seketika itu Te-it Ong-hui menjerit kesakitan Kiranya benda merah itu bukan senjata rahasia apa-apa, melainkan seekor ular kecil yang berwarna merah. Panjangnya hanya 3 dim. Begitu dijepit dengan jari, ular itu melingkar lalu mematuk telapak jari Te-it Ong-hui! Te-it Ong-hui kebaskan ular yang mematuknya dan menutuk hingga mati. Dan cepat-cepat ia tutuk jarinya sendiri karena tahu bahwa ular itu berbisa. Setan tua, kau mempunyai nyali! bentaknja dengan gusar. Sip U-jong tertawa nyaring: Itu adalah ratu ular. Betapa hebat kepandaianmu jangan harap kau bisa hidup! Te-it Ong-hui menggeram: Kalau mati aku akan mati dengan meram. Di dalam kitab Im-hu-po-kip, terdapat pelajaran tentang ilmu racun. Betapa hebatnya ilmu racun dari Hwat-hun-nio, namun tak nanti mampu membunuh aku Hwat-hun-nio artinya Dewi Awan Merah, sejenis ular kecil yang luar biasa berbisanya. Sekali gigit tentu matilah korbannya! Sip U-jong, seru Te-it Ong-hui pula, tahukah kau selain kedua benda itu, apalagi yang hendak kuganjar padamu? Sip U-jong terkejut namun ia berlaku tenang. Toh paling banyak hanya mati. Entah, aku tak tahu apa rencana keganasanmu itu? Te-it Ong-hui tertawa dingin: Sebelum mati kau harus menyerahkan sebuah benda padaku! Benda apa, aku seorang jembel, apa yang dapat kuberikan kepadamu! dengus Sip U-jong. Berikan peta Giok ti tho (Telaga Zamrud )? Te-it Ong-hui berseru bengis Giok ......ti ........tho bagaimana kau tahu .. Sip U-jong menyahut. Te-it Ong-hui tertawa: Soal sepenting itu mana mungkin mengelabui Sin-bu-kiong lalu ia melanjutkan pula: Baik Sin-bu-kiong maupun Hun-tiong Sin-mo atau tokoh-tokoh persilatan lain, mengetahui bahwa engkau mendapat peta mustika itu dari seorang cianpwe yang aneh, sekarang peta harus menjadi milik Sin-bu-kiong! Sip U-jong mendengus: Memang peta itu pernah jatuh di tanganku, tetapi karena seumur hidup aku tak mempunyai harapan meyakinkan ilmu silat lagi, maka untuk menghindarkan tangan orang jahat kubakar saja peta itu! Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: Dibakar ? Jika kau mau menyerahkan dengan baik-baik, akan kuberi kemurahan agar mayatmu tetap utuh, jika tidak Kalau begitu, tunggulah sebentar seru Sip U-jong seraya merogoh sebuah bungkusan kain dari kantongnya. Setelah dibuka, di antaranya terdapat sehelai kertas putih yang kumal. Mungkin karena tuanya maka kertas itu berobah kuning. Te-it Ong-hui puas. Baru ia hendak ulurkan tangan, tiba-tiba secepat kilat Sip U-jong merobek-robek kertas itu menjadi berkeping-keping. Tetapi Te-it Ong-hui pun dapat bergerak sebat. Cepat luar biasa, ia merebut sisa peta itu dari Sip U-jong. Setan tua licik, bentaknya dengan geram sembari menampar, Bum Sip U-jong terpental serta bale-balenya hancur berantakan! Hati-hati sekali Te-it Ong-hui mengumpulkan robekan kertas tadi. Setelah diperiksa sejenak lalu dibungkus dan disimpan dalam bajunya. Tetapi di saat ia hendak memasukkan robekan peta ke baju, kedua bahunya gemetar. Kejutnya bukan kepalang. Ketika memeriksa ternyata jari yang digigit ular Hwat-hun-nio itu sudah melepuh (bengkak) dan berwarna ungu gelap. Ia mengerut geram. Cepat ia menelan sebutir pil lalu meramkan mata menjalankan peredaran darahnya. Di lain pihak, Tui-hun Hui-mo telah didesak ke pojok oleh kedua bujang perempuan. Tui-hun Hui-mo keluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya, tetapi tiap kali tentu dihapus oleh kebutan hud-tim kedua bujang itu. Makin Tui-hun Hui-mo kalap dan menggerung-gerung seperti macan mencium darah, makin dia kelabakan tak keruan!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 43 dari 290

Untung juga karena agaknya kedua bujang itu belum menerima perintah Te-it Ong-hui, maka sampai sekian lama mereka belum mau melukai lawan. Kedua bujang yang lain, melihat Te-it Ong-hui terluka, segera menghampiri dan menjaga di sampingnya. Sementara Sip U-jong saat itu menggeletak berlumuran darah. Mati tidak hidup pun tidak. Ia keraskan hati mengerahkan seluruh sisa tenaganja untuk menggelinding ke dekat Thian-leng. Sejenak ia mengembalikan napasnya yang terengah-engah dan sekalian melihat suasana. Tampaknya Te-it Onghui sedang bersemedhi dan keempat bujangnya sedang sibuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Jadi tak ada orang yang memperhatikannya. Tiba-tiba ia merogoh sehelai bungkusan kain. Ia mengusap darah di mulut dengan kain itu lalu menulisnja dengan beberapa kata. Setelah itu cepat-cepat ia masukkan kain itu ke dalam baju Thian-leng. Rupanya pekerjaan-pekerjaan itu telah memakan tenaganya yang terakhir. Karena setelah selesai iapun lantas terkulai rubuh di tanah Kira-kira sepeminum teh lamanya, Te-it Ong-hui pun bangkit. Serunya: Jun-hong, He-liok, bawalah anak itu! Kedua bujangpun segera mengangkat Thian-leng lalu diseretnya keluar. Tiba-tiba Thian-leng meronta. Keringatnya sudah berkurang dan layap-layap ia sudah mendapat kesadaran pikirannya kembali. Kedua bujang itu tak menyangka-nyangka bahwa pemuda yang tampaknja tak berkutik itu akan berontak sehebat itu. Meskipun kedua bujang itu anak buah Te-it Ong-hui yang paling terpercaya, tetapi toh tak kuat menahan tenaga si anak muda. Mereka melengking kaget dan terlempar di tanah.Cepat mereka merangkak bangun tetapi tenaganya sudah lemah. Menandakan bahwa mereka menderita luka dalam yang tak ringan. Penghamburan tenaga itu, sebaliknya malah membuat Thian-leng makin sadar. Ia celingukan memandang ke sekeliling. Ini ini bagaimana? katanya penuh keheranan. Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo yang terpojok di sudut ruangan, berteriak keras: Bu-beng-jin, bunuh Ia tak dapat melanjutkan ucapannya karena saat itu Te-it Ong-hui sudah mendahului menutuk dada Thian-leng. Pemuda itu baru saja mulai tersadar tetapi belum pulih ingatannya. Tahu-tahu ia rasakan dadanya ampek dan bluk jatuhlah pula ia ke tanah! Lekas bawa dia pergi! seru Te-it Ong-hui. Kedua bujang segera menyeret lagi pemuda itu. Setelah mereka pergi barulah Te-it Ong-hui loncat ke muka Tui-hun Hui-mo. Jui-kiok, Tong Jing, mundurlah! serunya. Kedua bujang itupun segera mundur. Kini berhadapan Tui-hun Hui-mo dengan Te-it Ong-hui. Menghadapi bahaya yang lebih besar, sebaliknya Tui-hun Hui-mo malah lebih tenang. Tertawalah ia nyaring-nyaring: Siluman perempuan, mungkin hari ini kau dapat bersuka-ria, tetapi lambat atau cepat kau tentu takkan terlepas dari kehancuran? Murka benar Te-it Ong-hui, dampratnya: Sebenarnya mengingat hubunganmu dengan Sin-bu Te-kun pada masa dahulu hendak kuberimu ampun. Tetapi ternyata kau cari mati sendiri. Baiklah, akan kusempurnakan engkau! Tui-hun Hui-mo menyahut dengan menggerung keras, menghantam sekuat-kuatnya dengan kedua tangannya. Tetapi Te-it Ong-hui ulurkan jarinya seraya membentak: Hai, setan tua, mengapa tak kenal gelagat! Tidak terdengar suara letupan apa-apa, tidak pula benturan pukulan. Tetapi tahu-tahu tenaga pukulan Tui-hun Hui-mo buyar dan tubuh tokoh itupun terkulai. Hanya sebuah erang tertahan yang terdengar, kemudian putuslah jiwa Tui-hun Hui-mo. Ternyata Te-it Ong-hui telah melancarkan jurus Ngo-hian-ki-poh atau lima utas sutera berhamburan. Salah sebuah jurus yang paling maut dari ilmu Hian-im-ci. Jangankan tubuh manusia, batupun tentu hancur menjadi tepung Te-it Ong-hui menyongsong kematian Tui-hun Hui-mo dengan tertawa dingin. Setelah itu ia menutuk Sip U-jong. Tubuh tokoh itupun terguling-guling seperti bola. Diapun menerima kematian yang mengenaskan!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 44 dari 290

Begitu melangkah keluar, Te-it Ong-hui melihat keempat bujang kepercayaan sudah berjajar-jajar sambil mencekal Thian-leng. Sebelum pergi Te-it Ong-hui membakar gubuk itu. Ia tersenyum menyaksikan kedua sosok mayat yang menggeletak dalam gubuk itu. Setelah puas barulah ia ajak keempat bujangnya pulang. Tetapi ketika tiba di mulut lembah, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam hutan: Ong-hui berhentilah! Sesosok bayangan laksana burung elang, melayang keluar Te-it Ong-hui tertegun kaget. Pendatang itu seorang bertubuh tinggi besar, jubah warna ungu, menyanggul mantel warna kuning. Jenggotnya menjulai sampai ke dada, romannya gagah-perkasa. Cong-hou-hwat Ni Jin-hiong menghaturkan hormat kepada Ong-hui, seru orang itu. Mengapa kau kemari? tegur Te-it Ong-hui. Ni Jin-hiong tertawa sinis: Te-kun memerintahkan begitu! Te-it Ong-hui agak tergetar. Ia terkejut namun ia berlaku setenang mungkin: Mengapa dia tahu aku kemari? Kembali Ni Jin-hiong tertawa sinis: Terus terang saja, hambalah yang melaporkan! Manusia bosan hidup! damprat Te-it Ong-hui marah sekali, mengapa kau memberitahu padanya? Ong-hui tinggalkan istana, bukan hal yang biasa. Karena tugas, hamba tak berani Rubah yang licin! tukas Te-it Ong-hui, lekas katakan apa maksudmu? Sejenak Ni Jin-hiong sapukan mata ke arah empat bujang, ujarnya: Bolehkah aku mendapat kebebasan bicara? Mereka adalah orang kepercayaanku. Segala urusanku, mereka tahu. Masakan kau tak tahu? Kali ini Ni Jin-hiong tertawa keras: Baiklah. Terlebih dahulu aku hendak menghaturkan selamat kepadamu! Dalam hal apa? Te-it Ong-hui kerutkan alis. Kau sudah mendapatkah peta Telaga Zamrud, apakah itu tak layak mendapat pemberian selamat? Ah, kau Dapatkah kau mengelabui aku? ejek Ni Jin-hiong. Di luar dugaan tiba-tiba ia menyambar siku lengan kiri Te-it Ong-hui, kemudian tangan kirinya menarik kain kerudung yang menutupi wajah Te-it Ong-hui. Sebuah wajah tersembul. Sebuah wajah yang cantik sekali. Sayang sudah agak setengah tua. Kira-kira berumur 35-an tahun lebih. Keempat bujang terbeliak kaget. Cepat mereka mengepung Ni Jin-hiong. Ni Jin-hiong tersenyum dingin dan perkeras cengkeramannya. Karena menahan kesakitan, Te-it Ong-hui pucat wajahnya. Segera ia memberi perintah supaya keempat bujangnya mundur. Terpaksa keempat bujang itupun mundur. Ma Hong-ing, sekarang kau tentu mau mengatakan! Te-it Ong-hui merandek sejenak, sahutnya: Benar, memang peta itu telah berada dalam tanganku! Ni Jin-hiong kendorkan cengkeramannya, tertawa: Sejak saat ini, dunia persilatan bakal menjadi milikmu dan milikku Tetapi Te-kun Asal sudah menyimpan kitab pusaka dari It Bi Sianjin itu, masakan kau takut dimakan Te-kun? Ni Jinhiong mendengus. Tetapi masih Te-it Ong-hui atau Ma Hong-ing bersangsi. Ni Jin-hiong deliki mata: Tetapi apa? Apakah kau masih sayang dengan kedudukanmu sebagai Onghui? Mengapa kau menuduh begitu? Kita

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 45 dari 290

Ni Jin-hiong tertawa meloroh: Adik Ing, jangan kuatir. Aku Ni Jin-hiong bukan Song-bun Kui-mo yang memelihara tiga sampai empat orang isteri Masakan kau berani! dengus Ma Hong-ing. Masih Ni Jin-hiong lanjutkan rayuannya: Adik Ing, sebenarnya aku hanya mencintaimu seorang. Apabila aku sampai berhasil merajai dunia persilatan, hanya kau seorang yang kujadikan isteriku! Merah selebar wajah Ma Hong-ing. Sambil menunjuk ujung hidungnya ia melengking: Kutu busuk, mulutmu selalu berbalut gula Berikan! Ni Jin-hiong angsurkan tangan. Apa? Ma Hong-ing terkesiap. Apa lagi kalau bukan peta Telaga Zamrud! Apakah kau menyuruh kuserahkan padamu? Ni Jin-hiong tertawa berat: Paling tidak kita harus memeriksanya dan mempelajari letak tempat itu! Ma Hong-ing merenung sejenak kemudian mengeluarkan bungkusan kain yang berisi robekan peta Giok-ti-tho. Mereka berdua segera asyik memeriksa peta itu. Tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong berobah. Palsu! serunya dengan putus asa. Juga Ma Hong-ing mengerut gigi, menggeram sengit: Bangsat tua itu sungguh menjengkelkan sekali, aku termakan tipunya Celaka, kitab pusaka It Bi Sianjin takkan muncul di dunia lagi! Ma Hong-ing membanting-banting kaki. Mengapa? tanya Ni Jin-hiong. Bangsat tua Sip U-jong telah menipu aku dengan menyerahkan peta yang palsu. Yang tulen tentu masih berada padanya! Ya, benar. Lekas tangkap si tua celaka itu, peta tentu masih berada di tangannya! Dia telah kubunuh! Ma Hong-ing gelengkan kepala. Kalau begitu carilah mayatnya! Sahut Ma Hong-ing dengan nada lemah: Mayatnya sudah hangus jadi abu! Kau bakar? Hampir pingsan Ma Hong-ing mengalami kegoncangan batin yang sedemikian hebatnya. Plak Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menampar pipi Ma Hong-ing. Lima buah telapak jari darah segera menghias pipi wanita itu. Namun ia tak mau berusaha membalas melainkan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Untung dua bujangnya cepat menyanggapi. Wanita busuk bagus sekali kerjaanmu Ni Jin-hiong masih marah. Ma Hong-ing agak meramkan mata tak mau menyahut. Ni Jin-hiong menghela napas panjang, ujarnya pula: Kau dan aku rupanya memang sudah ditakdirkan menjadi budak. Dengan hilangnya kesempatan kali ini, seumur hidup jangan harap kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman Song-bun Kui-mo Berhenti sejenak, ia membentak pula: Mengapa tak lekas kembali ke istana? Jika dia mengetahui hubungan kita, mungkin kedudukan jadi hamba sajapun kita tak dapat menikmati! Ma Hong-ing menghela napas kecewa, serunya lemah kepada bujang yang berada di belakangnya: Bawa budak itu lekas! Dua bujang segera menyeret Thian-leng. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak marah: Berhenti ! Tanyanya kepada Ma Hong-ing: Apakah itu budak Kang Thian-leng yang kau pelihara selama 17 tahun? Ma Hong-ing mengangguk. Budak itu sudah tak berharga lagi, perlu apa kau bawa pulang? Hun-tiong Sin-mo pernah membebaskan dan menolongnya, mungkin tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti sejenak, gelengkan kepala, ah, tetapi terserah padamulah. Aku tak peduli!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 46 dari 290

Lepaskan saja! tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak keras kepada kedua bujang. Kedua bujang yang mencekal Thian-leng itupun segera lepaskan tawanannya dan loncat menyingkir. Karena jalan darahnya masih tertutuk, ketika dilepaskan, Thian-leng hendak rubuh lagi. Tetapi pada saat tubuhnya melorot jatuh, Ni Jin-hiong telah membarengi dengan sebuah hantaman dahsyat Hantaman itu disertai dendam kebencian! Bum karena tak dapat berkutik, maka Thian-leng terlempar seperti layang-layang putus. Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali lalu jatuh dua puluhan tombak jauhnya! Ni Jin-hiong yakin anak muda itu tentu sudah mati, maka iapun tak mau memeriksanya lagi. Ma Hong-ing atau isteri dari Sin-bu Te-kun yang ternyata main gila dengan Ni Jin-hiong, mengawasi kesemua itu dengan menghela napas perlahan. Ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap kepala penjaga Sin-bu-kiong itu. Demikian dengan diantar oleh keempat bujang kepercayaannya, Ma Hong-ing atau Te-it Ong-hui segera tinggalkan tempat itu. Sejenak Ni Jin-hiong kerutkan alis. Kemudian iapun turun gunung juga *** Pengorbanan. Keesokan hari menjjelang magrib, tampak dua buah tandu melintas di muka lembah Hong-lim-koh. Tandu yang dipikul oleh berpuluh orang tua baju biru, berjalan perlahan-lahan menyusur lamping gunung. Tiba-tiba dari tandu yang di sebelah muka terdengar perintah berhenti. Seorang gadis berpakaian hijau keluar dari tandu itu. Ia menghampiri sebuah semak pohon. Tandu yang di belakangpun berhenti. Yang keluarpun seorang dara yang lebih muda dari gadis tadi. Bajunya warna ungu. Ci, kau melihat apa? serunya. Lihatlah kemari! seru gadis baju hijau yang dipanggil taci itu. Ketika menghampiri, dara itu melihat seorang pemuda baju biru menggeletak di tengah semak dengan tubuh berlumuran darah. Tampaknya pemuda itu sudah mati beberapa waktu yang lalu. Perlu apa kita nonton sebuah mayat? kembali dara itu menggerutu. Gadis baju hijau tersenyum: Sudahkah kau melihat jelas wajahnya? Rupanya dara itu muak melihat mayat. Serunya: Perlu apa melihat mayat yang begitu ngeri? Eh, kita pernah kenal, cobalah periksa! seru si gadis. Adiknya terkejut. Ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: Hai dia ! ia terus lari menghampiri. Dara itu ialah puteri kedua dari Sin-bu Te-kun yakni Ki Seng-wan. Dan si gadis ialah tacinya Ki Gwatwan. Dan pemuda yang terkapar mati itu bukan lain Kang Thian-leng. Beberapa kali Ki Seng-wan berjumpa dengan pemuda itu. Walaupun dalam kedudukan bermusuhan tetapi dalam sanubari dara itu telah bersemi suatu bibit perasaan cinta. Maka betapalah kejut dan sedih hatinya ketika menyaksikan pemuda idam-idamannya itu mati. Oh, mengapa kau mati begini mengenaskan dara itu berjongkok menangis di samping mayat Thianleng. Budak tolol, apa-apaan kau ini? Apakah kau benar-benar mencintainya? Ki Gwat-wan kerutkan dahi. Namun dara itu diam mematung. Matanya tak berkedip memandang tubuh Thian-leng yang berlumuran darah itu. Ia tak menghiraukan ucapan kakaknya. Hm, ternyata budak ini sungguh-sungguh telah gerutu Ki Gwat-wan. Ia gelengkan kepala menghela napas kemudian menarik lengan baju Ki Seng-wan. Ajo, kita pergi Ki Seng-wan gelagapan: Tidak, aku tak pergi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 47 dari 290

Ki Gwat-wan kaget: Tidak berangkat? Lalu hendak mengapa kau ? Eh, apakah kau hendak turut bela pati? Sekurang-kurangnya aku harus menguburnya dengan baik, sahut Ki Seng-wan. Dipandangnya sang kakak. Ci, maukah kau berjalan lebih dulu Dulu ketika terjadi peristiwa di Hong-ho, jika bukan berhasil merampas panji tengkorak dari tangannya (Thian-leng), kita berdua tentu sudah diganyang Hun-tiong Sin-mo. Sekarang kalau kita melanggar peraturan lagi, ayah tentu marah pada kita Tiba-tiba Ki Seng-wan menangis: Aku tak peduli. Biarlah segala apa aku sendiri yang menanggung, takkan merembet taci! Ki Gwat-wan mendengus: Budak tolol, bukan karena aku takut terembet, tetapi ia berhenti sebentar: Ong-hui dan cong-hou-hwat tidak berada dalam istana. Kemungkinan besar mereka memergoki kita di sini, tentu hebat akbatnya. Lebih baik kita segera berangkat saja! Ki Seng-wan tetap dengan kemauannya sendiri. Dengan sebilah dahan kayu segera ia menggali liang. Ki Gwat-wan jengkel sekali, tetapi terhadap adiknya yang begitu keras kepala, ia tak dapat berbuat apaapa. Ki Gwat-wan memandang wajah pemuda itu. Ah, memang seorang pemuda yang cakap. Sebenarnya sayang kalau mati. Pun Hun-tiong Sin-mo pernah menolongnya? Mengapa sekarang mati di sini? Siapa pembunuhnya? Apa hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo? Tiba-tiba ia terbeliak kaget. Bahu Thian-leng tampak bergerak-gerak. Bukankah pemuda itu sudah mati? Ia tak percaya pada matanya dan memandang dengan tak berkedip. Tiba-tiba ia berteriak kaget: Hai, dia hidup! Apa? Ki Seng-wan tertegun. Dia agaknya bisa bergerak! Berdebar keras hati Ki Seng-wan mendengar keterangan itu. Segera ia menghampiri dan mengamatamati dengan penuh perhatian. Ah, benar, benar. Thian-leng tampak menggeliat-geliat, hidungnya kedengaran bernapas. Bukan kepalang girang dara itu. Kang Kang Siangkong, Kang Siangkong cepat ia berjongkok membisiki telinga pemuda itu. Namun Thian-leng diam saja. Benar dia belum mati tetapipun tak dapat hidup lebih lama lagi lebih baik lekas menguburnya saja! seru Ki Gwat-wan. Tiba-tiba Ki Seng-wan berlutut di hadapan tacinya, menangis: Cici, tolonglah dia! Mana bisa? Di dalam Sin-bu-kiong, selain ayah, hanya kaulah yang mengerti ilmu pengobatan Ki Gwat-wan menyurut mundur, bentaknya: Budak gila, cukup sudah kau merecoki aku. Dalam urusan ini aku tak dapat meluluskanmu! Walaupun bagaimana aku meminta, kau tetap tak mau meluluskan? Ki Seng-wan mengusap air mata. Tidak ada kompromi lagi! sahut Ki Gwat-wan dengan tegas. Baik, toh aku juga sudah bosan hidup sejenak Ki Seng-wan menarik napas lalu berseru pula: Cici, harap kau menjaga diri baik-baik ! Budak tolol, hendak mengapa kau? teriak Ki Gwat-wan terkejut. Ki Seng-wan tak menyahut melainkan ayunkan tangannya ke batok kepalanya sendiri. Cepat Ki Gwatwan mencekal tangan adiknya: Seng-wan, kau memang terlalu! Ci, apakah kau meluluskan? Ki Seng-wan berlinang air mata. Ki Gwat-wan menghela napas. Ia berpaling kepada pengawalnya: Dua puluh li ke selatan ialah desa Liu-ke-ci. Tunggulah kalian di sana! Sebelum pengawal itu berlalu, ia memberi pesan supaya jangan menguwarkan kepada siapapun apa yang terjadi saat itu. Adikku, kita makin mendalam di lingkungan bahaya! katanya kepada Ki Seng-wan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 48 dari 290

Semua kemarahan dan hukuman ayah, biarlah aku yang menanggung! sahut Ki Seng-wan. Sudahlah, kata Ki Gwat-wan, tetapi menolong pemuda itu bukan hal yang mudah Tetapi aku sanggup melakukan apa saja, seru si dara. Begitu mati-matian kau mencintainya. Tetapi setelah dia hidup kembali, apakah dia akan membalas cintamu? Hm, mungkin dia akan membalikkan muka padamu! Hal itu tak kuhiraukan. Yang penting, dia harus ditolong! sahut Ki Seng-wan dengan mantep. Baik, angkatlah! Ki Seng-wan segera mengangkat tubuh Thian-leng mengikuti Ki Gwat-wan. Ternyata Ki Gwat-wan menuju ke sebuah kuil rusak yang terletak di kaki puncak. Ia menyuruh adiknya meletakkan si pemuda dalam sebuah ruangan gelap. Kemudian ia sendiri duduk di ambang pintu dengan membelakangi tubuh. Apakah cici merobah keputusan? tegur Ki Seng-wan. Ki Gwat-wan tertawa getir: Kalau mau menolong, hanya kau sendiri yang harus turun tangan. Aku tak dapat ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan mengangsurkan kepada Ki Seng-wan. Pakailah ketiga jarum ini! Cici Lepaskan pakaiannya! Apa? Melepaskan pakaiannya? Ki Seng-wan kaget. Ya! Kau harus menusuk ke 72 jalan darahnya. Kalau tidak, walaupun sembuh, dia bakal jadi seorang invalid! Aku tidak bisa! Kalau begitu, mari tinggalkan saja! terus Ki Gwat-wan hendak bangkit pergi. Ci ci apakah tak ada lain jalan lagi? Ki Seng-wan berseru kebingungan. Tidak ada katanya dengan serius: Telah kukatakan tadi bahwa memang tak mudah untuk menolongnya. Karena nantinya akan meminta pengorbanan dirimu. Lebih baik jangan Ki Seng-wan tak menyahut tetapi terdengar suara pakaian dibuka. Ci ci seru dara itu dengan gemetar. Apakah sudah kau lepaskan semua? Su dah ! Baik, rebahkan dengan terlentang. Siapkan tusukan jarum pertama Tusuk jalan darah Kian-li-hiat di dadanya, kemudian jalan darah Gi-tay-hiat di perutnya. Setelah keluar darah baru berhenti Yang ketiga, tusuk jalan darah than-tiong-hiat. Cabut jarum kesatu dan tusuk 3 kali jalan darah Ciang-tay-hat. Jika mengalirkan darah hitam, barulah kau berhenti Dengan gemetar Ki Seng-wan melaksanakan petunjuk-petunjuk tacinya. Untung karena ia mengerti letak jalan darah pada tubuh manusia, dengan menahan rasa malu dan jengah, terpaksa ia kerjakan. Kira-kira setengah jam selesailah ke 72 buah jalan darah Thian-leng ditusuki jarum. Kalau semula tubuhnya pucat lesi seperti mayat, kini sudah tampak kemerah-merahan. Coba periksa apakah mulutnja berbusa! kembali Ki Gwat-wan berseru. Ada keningnya berkeringat juga! sahut Ki Seng-wan. Tetapi mengapa ia masih belum tersadar? Tadi hanya membuka jalan darahnya yang tertutuk, agar darahnya mengalir. Dia menderita luka dalam yang parah, mana bisa sembuh begitu cepat! djawab Ki Gwat-wan. Lalu ? Buka pakaianmu juga! tiba-tiba Ki Gwat-wan memberi perintah. Ai pakaianku? Ki Seng-wan menjerit kaget. Kecuali menggunakan cara Tay-hwe-yang-sut dalam ilmu Hian-im-kiu-coan, tak ada lain cara lagi. Sudah terlanjur begini, apakah kau hendak membatalkan?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 49 dari 290

Tetapi aku Untuk menolongnya, tak ada lain jalan kecuali harus mengorbankan diri! tukas Ki Gwat-wan. Akhirnya terpaksa Ki Seng-wan menurut. Yang disebut pengobatan menurut Hian-im-kiu-coan itu ialah menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh si sakit melalui anggauta kelamin. Memang ilmu pengobatan cara kuno, aneh tetapi mustajab. Dan Ki Seng-wan seorang dara yang masih suci terpaksa harus mengorbankan kesuciannya demi menolong pemuda yang dikasihinya. Setengah jam kemudian, berserulah Ki Gwat-wan: Cukup, biarkan dia beristirahat! Memang saat itu wajah Thian-leng tampak berobah agak segar dan hidungnya mulai bernapas. Ki Seng-wan buru-buru mengenakan pakaian dan memakaikan pakaian si anak muda lagi. Setelah itu dipapahnya pemuda itu duduk. Memang dahi Thian-leng mulai mengucurkan keringat. Dia sudah dapat melakukan pernapasan sendiri, tetapi matanya masih meram. Sebenarnya pukulan Ni Jin-hiong tadi pasti menghancur-luluhkan tubuh Thian-leng. Untunglah karena sudah mendapat saluran lwekang dari mendiang Oh-se Gong-mo dan menelan pil Kong-yan-sin-tan, dia dapat terlindung dari bahaya kematian. Tusuk jarum dan pengobatan Hian-im-kiu-coan makin melancarkan darahnya. Sekalipun pikirannya masih belum sadar tetapi ia sudah dapat bernapas dengan baik. Kang Thian-leng, telah kuserahkan kehormatanku kepadamu. Seluruh kebahagiaan hdupku tergantung padamu diam-diam Ki Seng-wan berdoa. Ia menghampiri tacinya dan menanyakan keadaan pemuda itu: Bukankah dia sudah tak berbahaya? Dia telah memperoleh rejeki yang luar biasa. Mungkin orang yang seumur hidup meyakinkan ilmu silat, belum tentu bisa mencapai kesempurnaan lwekang seperti dia. Masakan begitu cepatnya ia sembuh ! sahut Ki Gwat-wan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa paling banyak dalam waktu sejam lagi Thian-leng tentu sudah dapat bergerak seperti biasa. Ci, mari kita pergi! tiba-tiba Ki Seng-wan berkata. Pergi? Ki Gwat-wan heran. Setelah kau korbankan kesucianmu, lalu begitu saja meninggalkannya? Kalau kau memang mencintainya, mengapa tak kau nyatakan kepadanya agar memperisteri kau? Memperisteri aku ? Ki Seng-wan tersenyum redup, dia adalah musuh dari Ong-hui. Meskipun kita ini anak angkat dari ayah tetapi tak lain tak bukan hanya sebagai budak saja. Coba pikirkan, layakkah itu? Hm, baru sekarang kau sadar tetapi sudah terlambat, Ki Gwat-wan mengeluh. Ki Seng-wan tundukkan kepala berbisik: Telah lama kuketahui hal itu, tetapi aku tak dapat tak menolongnya. Ci, kau tak mungkin dapat mengerti hal itu! Tak mungkin mengerti? Hm, kau benar-benar budak yang paling tolol di dunia! Sudahlah, mari kita pergi! Ki Seng-wan menahan air mata. Apa boleh buat, terpaksa Ki Gwat-wan bangkit dan mengikuti sang adik melangkah keluar. Sekonjongkonyong ia tertegun. Cepat ia menarik tangan adiknya: Sst, lekas sembunyi di belakang arca itu! Ki Seng-wan juga kaget. Cepat ia mengikuti tacinya loncat ke belakang patung besar yang menempel pada meja sembahyang di ruang tengah. Arca malaekat itu tinggi dan besar, cukup melindungi kedua gadis itu dari penglihatan orang. Sesaat kedua gadis itu bersembunyi, beberapa sosok bayangan melesat masuk. Empat orang yang masuk lebih dulu, ialah kawanan bujang perempuan baju biru. Cepat-cepat mereka menyapu ruang tengah lalu berjajar di kedua samping sambil mencekal kebut hudtim. Tak lama masuklah seorang wanita memakai kerudung muka. Ah, itulah Te-it-ong-hui atau Ma Honging. Kedua taci-adik Ki melihat jelas. Mereka gelisah sekali. Apalagi kalau memikirkan keadaan Thianleng yang tengah menjalankan pernapasan itu. Sekali diketahui Ma Hong-ing, pasti akan dibunuh. Kedua gadis itu tak dapat berbuat-apa-apa kecuali menantikan perkembangan dengan hati berdebardebar ***
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 50 dari 290

Rahasia di balik rahasia. Rupanya Te-it Ong-hui Ma Hong-ing sedang gelisah menunggu kedatangan seseorang. Kegelisahan itu menyebabkan perhatiannya tak sampai pada tindakan memeriksa ruang situ. Sehingga dengan demikian, ia tak mengetahui bahwa di dalam ruang itu terdapat tiga insan lainnya. Tak berapa lama tiba-tiba di luar terdengar suitan panjang berasal dari jarak beberapa li jauhnya. Tetapi ketika suitan kedua terdengar lagi, ternyata sudah berada di depan kuil. Kecepatan gerak orang itu sungguh hebat sekali! Seorang tua berjenggot putih dengan jubah warna ungu, melangkah masuk. Bagaimana kabarnya? Te-it Ong-hui serentak menyambutnya dengan pertanyaan. Orang tua itu ternyata Ni Jin-hiong, kepala pegawal Sin-bu-kiong. Ia tertawa sinis, ujarnya: Coba katakan dulu, bagaimana kau akan berterima kasih padaku? Gila, masakan hal itu perlu meminta pernyataanku lagi? Apa yang harus kuterima kasihi? Tubuhku dan hatiku seluruhnya telah kuserahkan padamu, mengapa masih meminta aku berterima kasih lagi Berhenti sejenak, Te-it Ong-hui berkata pula: Jika orang-orang Thiat-hiat-bun (partai Darah Besi) benar-benar masuk ke daerah Tionggoan, tentu dapat menjumpai Sin-bu Te-kun. Kita berdua jangan harap dapat lolos dari tangan maut Te-kun! Tersirap darah kedua taci-beradik Ki mendengar pembicaraan itu. Sungguh tak terlintas dalam pemikiran mereka bahwa ternyata Te-it Ong-hui dan cong-hou-hwat Ni Jin-hiong mempunyai hubungan rahasia. Tetapi siapakah yang disebut partai Thiat-hiat-bun itu? Apa hubungannya dengan Ong-hui? Eh, apa-apaan kau begini gelisah? terdengar Ni Jin-hiong Apakah kabar itu tidak benar dan Thiat-hiat-bun belum masuk ke Tionggoan? seru Ong-hui. berkata.

Thiat-hiat-bun benar memang masuk ke Tionggoan tetapi tak terdengar bahwa orang she Pok itu juga ikut serta. Mungkin hendak menyelidiki tentang keadaan dunia persilatan di Tionggoan Bukan begitu! Meskipun Siau-yau-kiam-khek (pendekar pedang bebas) Pok Thiat-bing belum pergi ke markas Thiat-hiat-bun dan Thiat-hiat-bun sendiripun juga bukan datang kemari karena urusan itu, tetapi toh kedatangannya ke Tionggoan itu akan membangkitkan lagi kejadian pada 17 tahun yang lalu Adik Ing, Ni Jin-hiong tertawa, kau terlalu meremehkan diriku. Jika kuminta kau jangan kuatir, sudah tentu aku telah menyiapkan rencana yang tepat Coba katakanlah rencanamu itu! Sebaiknyalah kalau Thiat-hiat-bun tidak masuk ke Tionggoan. Tetapi kalau mereka datang, tentu akan mengalami kehancuran total sehingga partai itu pasti akan lenyap selamanya Apakah kau mempunyai rencana sedemikian hebatnya? Ni Jin-hiong tertawa bangga: Kau sudah tak percaya lagi kepadaku? tanya Ong-hui.

Te-it Ong-hui Ma Hong-ing menghela napas: Bukan tak percaya lagi melainkan urusan ini maha penting, sekali salah tindak, akibatnya jika peta Telaga Zamrud belum terbakar, tak sampai kita begini resah ia menghela napas lalu membisiki ke dekat telinga Ma Hong-ing. Wanita itu mengangguk dan mengulum seri kegirangan. Teserah padamu, sudah beberapa hari aku pergi, harus lekas-lekas pulang, katanya. Ia bangkit tetapi tiba-tiba hentikan langkah lagi. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling ruang lalu membentak kepada keempat pelayannya. Apakah kalian sudah memeriksa seluruh sudut kuil ini? Salah seorang dayang yang bernama Jun Hong tampil ke muka dan menjatakan bahwa karena sudah terlalu rusak, merekapun menduga tentu tak terdapat penghuninya. Kiranya Ma Hong-ing telah melihat bekas-bekas gurat lukisan pada lantai di ambang pintu. Itulah perbuatan Ki Gwat-wan yang pada waktu keisengan menunggu Ki Seng-wan mengobati Thian-leng dengan ilmu Hian-im-kiu-coan, telah mencorat-coret lantai. Kelengahan kecil berarti malapetaka besar! Jika di dalam ruang ini terdapat orang. Te-kun tentu bakal mendengar. Kita sekalian tentu akan hancur-lebur!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 51 dari 290

Sesaat Ni Jin-hiong terkejut tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: Kau memang terlalu berhatihati, tetapi peristiwa di sini tak nanti sampai bocor keluar! Ni Jin-hiong tertawa sinis lalu melangkah ke ruang dalam. Sekonyong-konyong dua bayangan melesat keluar dari balik arca. Aha, kiranya kalian berdua, Ni Jin-hiong menyurut kaget. Seketika dahinya mengerut kebuasan tetapi pada lain saat ia segera memberi hormat kepada kedua nona yang menjadi puteri dari majikannya itu. Te-it Ong-hui Ma Hong-ing merah-padam selebar wajahnya. Dan kedua taci-beradik Ki pucat lesi. Menghaturkan hormat kepada Ong-hui, mereka berdua segera maju dan berlutut di hadapan Ma Hong-ing. Kepala menunduk tak berani memandang. Ke 10 jari tangan Ma Hong-ing bergetaran gemetar. Sampai beberapa saat baru ia berkata: Kalian berani mati, berani mencuri dengar aku tetapi karena ia merasa bertindak serong, maka terpaksa ia tahan kemarahannya. Anak memang bersalah, sahut kedua taci-beradik Ki. Karena kebetulan lewat di sini kami hendak melepaskan lelah. Tak tahu Ong-hui Ki Gwat-wan mengangkat kepala memandang Ma Hong-ing, serunya dengan lemah: Ong-hui senantiasa menyayang pada anak berdua. Kami berdua adalah buah hati Ong-hui Ucapan itu mengandung maksud bahwa mereka berjanji takkan memberitahukan kepada Te-kun. Ma Hong-ing agak bersangsi. Sebenarnya ia tak menyayang sungguh-sungguh kepada kedua puterinya itu, maka iapun tak percaya kedua gadis itu akan menyimpan rahasia. Tetapi jika membunuh mereka, Te-kun tentu akan marah sekali. Ni Jin-hiong juga gelisah. Tiba-tiba ia memberi kedipan mata kepada Ma Hong-ing kemudian gunakan ilmu menyusup suara: Adik Ing, kita harus bertindak cepat dan tepat. Perlukah mereka dibiarkan hidup? Tetapi kalau dibunuh, Te-kun tentu bisa menyelidiki. Sekali ketahuan sahut Ma Hong-ing. Mengapa pikiranmu selimbung itu? Limbung bagaimana? Aku tak mengerti! Kabarnya Hun-tiong Sin-mo sudah meninggalkan gunung, mengapa kita tak gunakan siasat adu domba? Tetapi aku tak mempunyai panji Tengkorak Darah yang asli! Kebetulan sekali aku memperoleh sebuah! kata Ni Jin-hiong. Ma Hong-ing girang sekali. Kemudian ia memberi perintah kepada kakak-beradik Ki dengan nada bengis: Kalian membunuh diri sendiri atau perlu dibantu orang! Terserah pada Ong-hui! seru kedua nona. Ma Hong-ing berseru bengis: Ni Cong-hou-hwat! Ni Jin-hiong tertawa meloroh: Hamba siap! Toa-kongcu dan ji-kongcu melanggar kesalahan yang tak berampun. Siaplah melaksanakan hukuman Kedua gadis saling berpandangan. Mereka insyaf kalau tak mungkin lolos dari kematian. Tiba-tiba Ki Gwat-wan loncat bangun dan tertawa nyaring penuh kerawanan. Dipandangnya Ma Hong-ing si ibu angkat dengan tajam, serunya menantang: Apakah Ong-hui tetap hendak menghukum mati kami berdua? Kami tak berani membangkang, tetapi apakah dosa kami? Berobah seketika wajah Ma Hong-ing. Kau berani menantang aku ? tiba-tiba ia menampar muka Ki Gwat-wan. Plak pipi kiri nona itu membengkak merah, darahnya mengucur. Ni Jin-hiong tertawa mengekeh. Segera ia melesat hendak turun tangan. Merah-padam selebar muka Ki Gwat-wan menerima tamparan itu. Dadanya berombak-ombak menahan dendam kemarahan.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 52 dari 290

Segera Ki Seng-wan merangkak maju dan menangis merintih-rintih. Harap Ong-hui jangan marah. Biarlah anak membunuh diri saja untuk membalas budi ia berhenti sejenak, katanya pula: Tetapi mohon Ong-hui suka memberi kelonggaran untuk anak menggali liang kubur sendiri! Kiranya nona itu hendak memancing Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing keluar dari kuil agar jangan mengetahui diri Thian-leng. Ma Hong-ing memandang kepada Ni Jin-hiong, meminta pendapatnya. Kepala pengawal Sin-bu-kiong itu tertawa hambar: Usah ji-kongcu kuatir. Kedua kongcu adalah puteri Te-kun yang kami hormati. Sudah tentu nanti jenazah kongcu berdua akan kami bawa pulang ke Sin-bukiong dengan segala upacara! Benar, nanti akan kita atur selayaknya! kata Te-it Ong-hui. Ki Gwat-wan memberi lirikan kepada adiknya. Matanya memancar pembunuhan. Maksudnya mengajak sang adik bersama-sama turun tangan. Lebih baik melawan daripada mati konyol. Tetapi Ki Seng-wan membalas dengan pandangan putus asa dan pasrah nasib. Ki Gwat-wan menghela napas. Tiba-tiba ia berteriak dengan marah: Aku Ki Gwat-wan, sebagai puteraputeri persilatan tak takut mati. Tetapi kalau harus mati di tangan kalian, penghianat dan wanita cabul, benar-benar penasaran sekali! Ia menutup kata-katanya dengan sebuah loncatan menerjang Te-it Ong-hui. Cici ! Ki Seng-wan menjerit kaget. Namun Ki Gwat-wan sudah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Seluruh tenaganya ditumpahkan pada pukulan yang diterjangkan itu. Sekalipun ia menginsyafi bahwa kepandaiannya masih kalah, namun ia masih mempunyai harapan. Selagi Te-it Ong-hui belum bersiap, hendak diterjangnya. Jika berhasil melukainya, matipun puas. Tetapi Te-it Ong-hui Ma Hong-ing hanya mendengus. Secepat kilat ia kebutkan lengan baju. Pukulan dan terjangan Ki Gwat-wan serasa terbentur ke dalam sebuah jaring yang lunak sehingga buyarlah dayanja. Tubuh nona itu terpental mundur, bum ia membentur kaki tembok! Ma Hong-ing segera hendak menyusuli pula dengan sebuah hantaman dan Ni Jin-hiong pun membarengi memukul dari samping. Mereka berdua merupakan jago kelas satu dalam Sin-bu-kiong. Sekonjong-konyong sewaktu jiwa Ki Gwat-wan terancam maut, sesosok bayangan hitam melesat ke dalam ruangan dan tahu-tahu setiup tenaga dahsyat melanda pukulan kedua tokoh itu. Bum terdengar ledakan keras. Tiang bergetar, atap berhamburan jatuh dan seketika ruangan itu terasa panas sekali! Bukan main kagetnya Ma Hong-ing dan Ni jin-hiong. Mereka serempak menyurut tiga langkah ke belakang. Lebih besar lagi kaget mereka setelah mengetahui siapa penyerangnya itu. Hampir mereka tak percaya pada matanya. Mulut mereka ternganga Kiranya pendatang itu ialah Kang Thian-leng, pemuda yang telah mati dibunuh Ni Jin-hiong. Bukan saja pemuda itu hidup kembali bahkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya sudah jadi. Kiranya tadi, penyaluran napas Thian-leng telah berhasil menormalkan darahnya pula. Cepat-cepat ia bangun. Ketika hendak menyelidiki di mana ia berada saat itu, tiba-tiba ia melihat Ni jin-hiong dan Ma Hong-ing tengah melancarkan pukulan maut kepada Ki Gwat-wan. Tanpa berayal lagi segera ia loncat menerjang. Dan hasil dari pada pukulannya membuatnya heran sendiri. Ia dapatkan pukulannya sepuluh kali lipat dari semula. Tentu diketahui jelas bahwa yang dihadapinya itu ialah ibu palsunya. Ibu palsu yang pura-pura meninggal dunia dan menyuruhnya membalaskan sakit hati kepada Hun-tiong Sin-mo. Ibu palsu yang menutuk jalan darahnya dan menyerahkannya kepada Ni Jin-hiong untuk dibunuh. Kejut Te-it Ong-hui Ma Hong-ing tak kalah dengan Thian-leng. Tujuh belas tahun memelihara lalu memberi Pek-to-jong dalam rangka rencananya untuk membunuh Hun-tiong Sin-mo ternyata gagal. Hun-tiong Sin-mo tak terduga-duga telah melepaskan anak itu. Juga hukuman mati yang dijatuhkan Ni jin-hiong ternyata tak membuat pemuda itu mati. Bahkan sebaliknya kini anak itu malah bertambah hebat lwekangnya. Benar-benar Ma Hong-ing tak dapat membayangkan. Budak, ternyata umurmu masih panjang! seru Ni Jin-hiong. Thian-leng tak menggubrisnya. Ia melangkah maju selangkah ke hadapan Ma Hong-ing, serunya: Tak tahu aku siapa sebenarnya kau ini? Tetapi biarlah kupanggilmu untuk yang terakhir kalinya dengan sebutan mamah
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 53 dari 290

Ma Hong-ing menyurut mundur, mukanya merah. Toh kau sudah tahu bahwa aku bukan ibumu Lalu siapakah kau ini? Mengapa kau memelihara aku sejak kecil tetapi kemudian menipu aku dengan pura-pura mati? Siapakah ayah-bundaku yang sesungguhnya? Hendak kau apakan diriku ? Aku aku tak dapat memberitahukan padamu! Ma Hong-ing melengking, kemudian berseru: Ni Jinhiong, mengapa tak lekas-lekas membunuhnya? Ni Jin-hiong tertawa hambar: Mudah sekali untuk membunuhnya, tetapi rupanya dia mempunyai hubungan dengan kedua kongcu. Biarlah kita membikin terang hal ini dulu tiba-tiba ia berhenti berkata lalu gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi kepada Ma Hong-ing: Aku mempunyai kecurigaan. Sebelum kau tiba di lembah Hong-lim-koh, budak itu sudah berjumpa dengan Sip U-jong. Buktinya, ada tanda-tanda bahwa dia makan pil Kong-yang-sin-tan dari Sip U-jong. Kemungkinan peta Telaga Zamrud itupun sudah diberikan kepadanya. Paling tidak, dia tentu mengetahui di mana beradanya peta itu Tersirap darah Ma Hong-ing. Sekonyong-konyong ia hendak mencengkeram dada Thian-leng dengan jurus Ngo-hian-ki-poh (lima busur meluncur). Jurus ini merupakan jurus yang paling ganas dalam ilmu jari Hian-im-ci. Thian-leng rasakan tubuhnya terlanda hawa dingin. Buru-buru ia balas memukul. Terdengar suara letupan dan keduanya sama mundur selangkah. Ilmu Hian-im-ci bukan saja dapat meleburkan segala macam benda, pun dapat menghapus serangan tanaga lawan. Tetapi ternyata Thian-leng mampu menembus. Tujuh bagian tenaga pukulan Lui-hweciang terhapus, tiga bagian masih dapat mengenai tubuh Ma Hong-ing Hanya tiga bagian tenaga, tetapi cukup membuat darah wanita itu bergolak-golak dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Pun Thanleng juga menderita serupa, wajahnya pucat lesi! Kedua taci-beradik Ki terlongong-longong, Berbagai perasaan mencengkam hati mereka: kaget, sangsi, cemas, gelisah. Mereka tak menduga bahwa Ma Hong-ing dan Thian-leng ternyata pernah menjadi ibu dan anak. Di lain pihak Ma Hong-ing memberi lirikan kepada Ni Jin-hiong supaya menyerang lagi. Kemudian ia sendiri segera mulai bergerak. Tetapi ketika hendak mengangkat tangan, ternyata lemah tak bertenaga. Jangan kuatir, silahkan menanyainya! Ni Jin-hiong tak mau menyerang melainkan tertawa. Thian-leng tak kenal siapa Ni Jin-hiong, pun karena pingsan ia tak tahu kalau orang she Ni itulah yang memberi pukulan maut ketika di lembah Hong-lim-koh. Sampai di mana kepandaian Ni Jin-hiong, juga tak diketahuinya. Yang penting bagi Thian-leng saat itu, ialah hendak mengorek keterangan dari Ma Hong-ing, siapakah sebenarnya ayah-bundanya itu. Mengingat budimu memelihara aku selama 17 tahun, sekalipun jelas kau bukan ibuku dan pernah menipu aku mengantar kematian kepada Hun-tiong Sin-mo, akupun tak mau membunuhmu! seru Thian-leng. Huh, masakan kau mampu! bentak Ma Hong-ing. Lekas beritahukan, siapakah ayah-bundaku? Apakah sudah kau bunuh? Ngaco! Kau tak punya orang tua! Kuketemukan kau di tengah hutan Jangan bohong! Jika kau tetap menolak, terpaksa kuhapus budimu selama 17 tahun itu, teriak Thianleng marah. Perlu apa kau memelihara aku sampai 17 tahun? Mengapa tak kau bunuh saja? Perlu apa kau menipu aku mengantar kematian kepada Hun-tiong Sin-mo? Kau mempunyai permusuhan apa dengan Hun-tiong Sin-mo? Hujan pertanyaan itu membuat Ma Hong-ing tergugu tak dapat berkata. Hatinya gelisah menampung berbagai perasaan. Thian-leng perlahan-lahan ajukan langkah serta siapkan tinjunya. Tiba-tiba Ni Jin-hiong maju: Bolehkah aku bicara sepatah kata? Siapa kau? Thian-leng berpaling. Aku kepala pengawal Sin-bu-kiong, Ci-chiu-hoan-thian Ni Jin-hiong! Besar juga namamu! Apakah yang akan kau katakan?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 54 dari 290

Jika kau mau menjawab beberapa pertanyaanku, kutanggung ibumu itu tentu akan menerangkan asalusul dirimu dan orang tuamu Ngaco! Aku tak dapat mengatakan hal itu! tiba-tiba Ma Hong-ing melengking. Ni Jin-hiong memandangnya tajam, lalu berkata pula kepada Thian-leng: Kau telah menelan pil Kongyang-sin-tan dari Sip U-jong, tentulah kau mendapat lain hadiah lagi darinya! Hadiah apa? Thian-leng tertegun. Peta Telaga Zamrud! Telaga Zamrud ? Tidak tahu! Ni Jin-hiong tertawa sinis: Penderitaan batin yang paling menyiksa, ialah apabila kita tak tahu asal-usul diri kita. Jika kau mau mengorbankan peta itu segera kau akan jelas akan asal-usul dirimu. Bukankah itu lebih berharga bagimu? Diam-diam Thian-leng menimang. Ia tak percaya orang akan menetapi janji. Baiklah ia gunakan siasat untuk melawan siasat. Memang benar Sip-locianpwe itu pernah mengatakan hendak memberi aku sebuah peta, katanya, tetapi Tetapi bagaimana? teriak Ni Jin-hiong dengan tegang. Juga Ma Hong-ing tak kurang kagetnya. Tetapi beliau belum memberikan padaku dan hanya suruh aku mengambil ke sebuah tempat! Di mana? Ni Jin-hiong makin bernapsu. Untuk sementara tak leluasa kukatakan. Asal kalian lebih dulu mengatakan asal-usul diriku, segera akan kubawa kalian ke sana. Tempat itu tak jauh dari sini! Hm, masakan kau mampu lolos dari tanganku, gerutu Ni Jin-hiong. Kemudian berpaling kepada Ma Hong-ing: Kasih tahu padanya! Ma Hong-ing gugup, serunya: Tidak, aku tak dapat mengatakan. Aku tak tahu apa-apa Thian-leng sedih-sedih gusar. Maju selangkah segera ia mencengkeram leher baju Ma Hong-ing. Saat itu Ma Hong-ing sedang limbung pikirannya. Ia diam saja ketika dicengkeram Thian-leng. Ni Jin-hiong terkejut dan hendak turun tangan. Tetapi ketika dilihatnya Thian-leng tak melakukan pemukulan, iapun tak jadi menyerang juga. Kau bilang atau tidak? teriak Thian-leng. Bilang apa? Ma Hong-ing tergugu. Siapakah ayah-bundaku? Ma Hong-ing tergetar hatinya. Ia deliki mata membentak murka: Ayah-bundamu ialah musuh besarku! Aku hendak mencincang tubuh mereka ! Rasa dendam kemarahan yang menumpah dari sanubari Te-it Ong-hui itu telah memancarkan lwekangnya keluar. Lwekang Im-han-keng yang bersifat dingin meluncur keluar dari lubang jalan darahnya. Sama sekali Thian-leng tak menduga akan menderita serangan semacam itu. Seketika ia rasakan tangan kirinya yang mencengkeram leher baju Ma Hong-ing sakit sekali seperti dipatah-patahkan tulangnya. Ia lepaskan cengkeramannya dan mundur tiga langkah Perempuan siluman, apakah kau benar menyuruh aku membunuhmu? teriaknya seraya mengangkat tinju kanannya. Ma Hong-ing kertek gigi: Sia-sia jerih-payahku selama 17 tahun. Sekarang lebih baik kulenyapkan saja! Sepasang tangannya dikencangkan. Ia hendak gunakan ilmu pukulan Hian-im-ciang untuk menghancurkan Thian-leng. Kurang toleransi akan menggagalkan rencana besar! Janganlah adik Ing tiba-tiba Ni Jin-hiong menghadang di tengah dan gunakan ilmu menyusup suara kepada Ma Hong-ing. Setelah itu ia berpaling ke arah Thian-leng: Telah kujanjikan padamu, harapanmu tentu terlaksana. Apalagi
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 55 dari 290

berkumpul selama 17 tahun itu, walaupun bukan ibu dan anak tetapi seharusnya juga mempunyai ikatan rasa. Perlu apa harus saling bunuh-membunuh? Thian-leng menghela napas, serunya pula: Di manakah ayah-bundaku? Apakah sudah kau bunuh? Ma Hong-ing tertawa mengekeh: Sudah 17 tahun lamanya orang tuamu tak ada beritanya. Akupun juga mencari mereka kemana-mana untuk membalaskan sakit hatiku! Kau mempunyai dendam permusuhan apa dengan Hun-tiong Sin-mo? tanya Thian-leng. Dia juga musuhku besar! sahut Ma Hong-ing. Hati Thian-leng resah tak keruan. Berbagai pertanyaan memenuhi hatinya. Tetapi saat itu tak tahu ia bagaimana harus bertindak untuk mencari keterangan tentang asal-usul dirinya. Siapakah namamu yang sesungguhnya? tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan pula. Sejenak Ma Hong-ing tertegun lalu menyahut: Ma Hong-ing! Ma Hong-ing ? Thian-leng mengulang: Siapakah suamimu? Nyo Sam-koan! Eh, bukankah dahulu kau mengatakan namamu Liok Boh-bwe dan suamimu Kang Siang-liong yang telah mati dibunuh Hun-tiong Sin-mo pada 17 tahun yang lalu? Ma Hong-ing tertawa nyaring: Sudah tentu nama itu palsu. Untuk mengelabui musuhku terpaksa kupakai nama palsu Suamiku juga belum mati tetapi hilang 17 tahun yang lalu! tiba-tiba Ma Hong-ing menggeram dengan nada penuh kemurkaan. Thian-leng makin tenggelam ke dalam lembah kebingungan. Serentak ia teringat akan wanita yang menolongnya di tepi sungai Hong-ho dan kemudian memberinya sebatang pedang, Wanita itu menamakan dirinya sebagai Toan-jong-jin. Agaknya wanita itulah yang mengetahui asal-usul dirinya. Bukankah wanita itu pernah mengatakan bahwa dirinya (Thian-leng) memang seperti orang yang dicurigai, tetapi seharusnya dia (Thian-leng) beribu orang she Ma dan berayah orang she Nyo! Toan-jong-jin yakin bahwa Thian-leng itu adalah putera kandung dari orang she Ma dan orang she Nyo. Dan kini wanita yang merawatnya selama 17 tahun itu juga mengaku sebagai orang she Ma dan mengatakan suaminya orang she Nyo. Ah Tetapi tiba-tiba Thian-leng tersentak. Apakah tidak mungkin Ma Hong-ing itu memang sengaja memakai nama ibu Thian-leng yang sesungguhnya. Karena sukar menerangkan, maka wanita itu selanjutnya terus memakai nama itu sekali. Benak Thian-leng serasa berdenyut-denyut pusing Siapakah nama dan she dari orang tuaku itu? Ma Hong-ing tergetar dan terhuyung-huyung. Tak dapat kukatakan, aku bentaknya pula.

Wut, kembali Thian-leng menyambar leher baju wanita itu. Tetapi kali ini Ma Hong-ing sudah berjaga. Secepat kilat ia menyambar siku kiri Thian-leng yang merasakan separoh tubuhnya kesemutan dan serempak jatuhlah ia dalam kekuasaan Ma Hong-ing! Tetapi Ma Hong-ing salah duga, Thian-leng yang dicekalnya saat ini bukanlah Thian-leng yang dirawatnya selama 17 tahun yang lalu. Lwekang-nya Lui-hwat-ciang sudah mencapai tingkat yang hampir dapat dikuasai semau hatinya. Pada saat Ma Hong-ing mencengkeram, pada saat itu pula Lui-hwe-sin-kang menyalur ke lengan. Ma Honging tersentak mundur tiga langkah! Kang Thian-leng hendak memburu, tiba-tiba kedua nona Ki meneriaki: Kang-siangkong, hati-hatilah! Thian-leng merasa belakang tubuhnya tersambar angin. Buru-buru ia berputar dan menghantam. Itulah Ni Jin-hiong yang menyerang. Karena melihat Ma Hong-ing tak dapat menguasai ketenangan pikiran, terpaksa Ni Jin-hiong turun tangan. Ia hendak meringkus Thian-leng dulu baru diperiksa lagi. Ia yakin sekali bergerak tentu mampu menjatuhkan si anak muda. Tak terduga kedua taci-beradik Ki berseru memberi peringatan pada Thian-leng sehingga pemuda itu cepat menyambut. Des terdengar suara benturan yang aneh, macam api tersiram minyak.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 56 dari 290

Thian-leng kaget, Ni Jin-hiong pucat. Masing-masing terkejut atas kesaktian lawan. Tetapi secepat itu Thian-leng sudah mengirim pukulan pula: Aku tak kenal padamu, harap jangan campur tangan! Kini Ni Jin-hiong tak berani memandang rendah. Ia kerahkan delapan bagian tenaga dalam menyongsong sebuah pukulan. Ces, Ces, ces Thian-leng terhuyung mundur tiga langkah. Ternyata ilmu Lui-hwe-ciang itu berlawanan dengan ilmu Hian-im-ciang Ni Jin-hiong. Yang satu bersifat keras, yang satu lunak. Masingmasing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Ketika beradu, maka keduanyapun sama-sama terhapus. Hanya karena belum mampu menguasai , maka darah Thian-leng bergolak dan tubuhnya terhuyung. Meskipun Ni Jin-hiong juga bergolak darahnya tetapi ia tetap dapat berdiri tegak. Budak, lekas katakan di mana peta itu? Kalau berkeras kepala, jiwamu tentu hilang! serunya. Thian-leng mendengus tertawa dingin. Sebagai jawaban ia mencabut sebatang pedang pendek. Seketika ruangan terpancar oleh sinar kemilau. Ma Hong-ing terkejut, demikian Ni Jin-hiong. Rupanya kau memang tak dapat diberi hidup! masih Ni Jin-hiong berlaku setenang mungkin. Thian-leng menyahut dengan tusukan ke dadanya. Bukannya mundur sebaliknya Ni Jin-hiong malah menyongsong maju hendak merebut. Ia yakin sekali gerak, pedang lawan tentu kena dirampas. Tetapi alangkah kejutnya ketika pedang Thian-leng menyambar-nyambar seperti petir memecah angkasa. Sedemikian aneh dan dahsyat sehingga Ni Jin-hiong ketakutan dan loncat mundur. Ternyata yang dilancarkan Thian-leng itu ialah jurus Hong-ki-hun-yong (angin meniup awan bertebar), salah sebuah jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran Toan-jong-jin, si wanita misterius. Thian-leng tak mau memberi hati. Dengan jurus kedua yang disebut Nok-hay-keng-liong atau Laut bergolak mengejutkan naga, ia mengejar. Ni Jin-hiong makin gentar. Kepalanya serasa diselubungi deru sinar pedang sedahsyat ombak mendampar. Betapa sakti dan luas pengalamannya namun kali ini benar-benar ia tercengang kaget. Belum pernah ia menyaksikan permainan pedang yang sedemikian aneh dan dahsyatnya. Kembali ia loncat mundur. Thian-leng terus memburunya dengan jurus ketiga Liu-hun-cek-thian atau Awan menebar menutup langit! Ni Jin-hiong benar-benar tak berdaya. Saat itu ia sudah terpojok di sudut ruang, tak dapat loncat mundur lagi, untuk menangkis, ia jeri. Karena permainan pedang si anak muda itu selain aneh sekali juga sambarannya kuat. Di dalam kebingungan akhirnja ia menempuh jalan nekad. Wut, seketika ia lontjat melambung dua tombak tingginya dan lekatkan tubuhnya pada tiang penglari. Bret mantelnya kena terbabat robek. Untung tak sampai melukai tubuh! Murka sekali kepala pengawal istana Sin-bu-kiong itu. Sejak keluar dari perguruan, belum pernah ia mengalami hinaan semacam itu. Apalagi dari seorang anak muda yang tak ternama. Namun ia sabarkan hati menunggu sampai si anak muda sudah menyelesaikan jurus permainannya. Sesaat kemudian Thian-leng berhenti. Tiga jurus permainan pedang Toh-beng-kiam telah habis dimainkan. Tetapi tak berhasil mengenai karena musuh melekat pada tiang penglari. Ia tercengang heran. Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menggerung keras dan meluncur turun sambil menghantam. Gerakannya cepat dan dahsyat macam burung garuda menukik dari udara. Thian-leng menyongsong dengan pukulan Lui-hwe-ciang. Tetapi saat itu ia rasakan punggungnya disambar angin. Itulah Ma Hong-ing yang melakukan. Awas belakang baru kedua taci-beradik Ki berseru, mereka terputus oleh gempuran angin. Marah sekali Thian-leng akan tindakan ganas dan licik dari Ma Hong-ing. Ia insyaf betapa gawat situasi yang dihadapinya saat itu. Kalau pecah tenaga menghadapi kedua lawan itu, terang ia bakal celaka. Ia nekad. Lebih baik hancur bersama-sama. Maka tanpa menghiraukan ancaman Ma Hong-ing, ia segera kerahkan lwekang-nya untuk menyongsong Ni Jin-hiong, dess sepercik asap menghambur dari benturan kedua tenaga. Ni Jin-hiong mencelat ke belakang sampai lima langkah, dadanya berombak dan kedua bahunya bergemetaran. Jelas ia menderita luka dalam yang parah!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 57 dari 290

Tetapi Thian-leng pun tak kurang menderitanya. Ia terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Darahnya bergolak. Buru-buru ia telan ludah ketika merasa darahnya hendak menyembur dari mulut. Wajahnya pucat, dadanya sesak sekali. Tetapi ada suatu keanehan. Ialah tutukan jari Ma Hong-ing tadi, entah apa sebabnya, tahu-tahu lenyap! Serentak Thian-leng berputar diri untuk mencari tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Tetapi apa yang dilihatnya hanya membuatnya terbelalak kaget sekali. Ya, Ki Seng-wan ngelumpruk jatuh di tanah, wajahnja pucat seperti kertas dan mulutnya mengucurkan darah. Jelas dara itu menderita luka parah. Memang dara itu tak henti-hentinya memberi pengorbanan. Pertama, ia menyerahkan kesuciannya demi mengobati luka Thian-leng. Dan kini ia loncat menyambuti serangan ganas dari Ma Hong-ing yang diarahkan kepada Thian-leng Ki Gwat-wan buru-buru menolong adiknya. Ia tekan jalan darah gi-hay-hiat Ki Seng-wan dan salurkan lwekang-nya untuk mengobati. Tiba-tiba Ma Hong-ing melengking marah: Budak hina, kau berani ucapannya itu diteruskan dengan sebuah hantaman Hian-im-ciang yang ganas. Kedua gadis anak-angkatnya itu hendak dibunuhnya! Dess tiba-tiba Thian-leng sadar apa yang telah terjadi. Tanpa ayal segera ia lontarkan pukulan kepada Ma Hong-ing. Ma Hong-ing tersurut mundur tiga langkah Jelas bahwa sekarang tenaga Thian-leng sudah berimbang dengan Ni Jin-hiong maupun Ma Hong-ng. Hanya karena tadi ia sudah menderita luka dalam, maka habis memukul ia tak dapat menahan darahnya yang menyembur keluar dari mulut. Tubuhnyapun terhuyung-huyung hendak jatuh! Ma Hong-ing juga terhuyung-huyung. Darahnya bergolak hebat. Buru-buru ia menyalurkan napasnya. Namun karena melihat Thian-leng juga sempoyongan, cepat ia berseru memerintahkan Ni Jin-hiong supaya turun tangan. Tetapi kepala penjaga Sin-bu-kiong saat itupun sedang menjalanan peredaran darah. Setelah agak baik, barulah ia tertawa gelak-gelak: Masakan dia mampu lolos lagi? Lima jari yang direntang kencang macam cakar burung garuda, segera diulurkan untuk mencengkeram Thian-leng. Thian-leng masih berusaha untuk menyabet dengan pedangnya. Namun karena tenaganya sudah lemah sekali, gerakan tangan Ni jin-hiong dapat lolos dari tebasan lalu nyelonong mencengkeram bahu Thian-leng yang kiri. Maksudnya bukan hendak membunuh anak muda itu, melainkan hendak menangkapnya karena perlu menanyai keterangan tentang peta Telaga Zamrud. Thian-leng tak mampu berbuat apa-apa, tenaganya sudah habis. Tiba-tiba pada saat bahunya tercengkeram tangan Ni Jin-hiong, kepala pengawal Sin-bu-kiong itu menjerit kaget dan loncat mundur. Ia memeriksa mantel yang menggelantung di punggung. Astaga sebatang passer kecil yang runcing menancap di mantelnya. Tangkai passer itu berukir lukisan seekor burung cendrawasih yang berkilaukilauan indah sekali! Ni Jin-hiong terkesima, tetapi secepat itu segera ia berseru kepada Ma Hong-ing dengan ilmu menyusup suara: Celaka, orang Thiat-hiat-bun Ma Hong-ing pun telah mendapat firasat. Cepat ia menukas dengan ilmu menyusup suara Coan-im-jipbi: Bukankah kau mengatakan Tak ada tempo untuk menerangkan, urusan ini memang di luar dugaan Ni Jin-hiong mendesak, mengajak sang kekasih melarikan diri. Te-it Ong-hui terkejut. Melirik pada sebuah jendela yang terbuka, segera ia enjot tubuhnya melayang keluar. Keempat bujangnya segera mengikuti, Ni Jin-hiong menyusul di belakang. Dalam sekejap mata, kelima orang dari Sin-bu-kiong itu sudah lenyap. Thian-leng mengawasi kesemua itu dengan terkesima. Tak tahu ia mengapa mendadak mereka melarikan diri. Pada hal saat itu ia sudah tak berdaya. Teringat pada pembicaraan dengan Ma Hong-ing tadi, hatinya makin resah. Siapa dirinya dan siapa orang tuanya, tetap masih gelap. Mereka telah pergi! sekonyong-konyong Ki Gwat-wan berkata. Thian-leng terkesiap, sahutnya: Benar, telah pergi Sesaat teringat ia akan keadaan Ki Seng-wan yang terluka tadi, buru-buru ia bertanya: Bagaimana dengan luka adikmu? Ki Gwat-wan menghela napas: Ia terluka dalam dan tulang-tulangnya telah tersusup hawa Im-han, mungkin sukar tertolong!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 58 dari 290

Sukar ditolong? Akulah yang mencelakainya, aku harus ! Thiat-leng menggeram. Ia tahu Ki Sengwan telah menolong jiwanya dengan menyambuti pukulan Te-it Ong-hui Ma Hong-ing, tetapi ia tak tahu bahwa nona itupun telah mengorbankan kehormatannya dalam pengobatan Hian-im-kiu-coan. Tetapi kau kau juga terluka ! kata Ki Gwat-wan. Lukaku tak berapa berat, tetapi adikmu wajah Thian-leng mengerut. Tak tahu ia mengapa Ki Seng-wan rela menolongnya. Bukankah kedua nona itu selalu mengejar dan bersikap memusuhinya? Bukankah mereka puteri Song-bun Kui-mo dari Sin-bu-kiong, durjana yang hendak ditumpasnya? Ah, budi dan dendam harus dipisahkan. Yang penting sekarang ini ia harus berdaya untuk membalas budi si nona yang telah menolong jiwanya. Mengapa mereka mendadak lari? tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya pula. Ya, aku sendiripun tak tahu ! jawab si anak muda, tetapi bukankah nona berdua ini puteri dari Sinbu-kiong? Mengapa bentrok dengan mereka? Ki Gwat-wan menghela napas, memandangnya lekat-lekat: Apa lagi kalau bukan karena kau? Ah jika adikku ini sampai meninggal, bagaimana bagaimana pertanggungan jawabku kepada arwah ibu di alam baka? Air mata Ki Gwat-wan berderai turun. Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia bertanya: Tahukah nona siapa Ma Hong-ing itu Ia adalah Te-it Ong-hui (isteri pertama) dari Hu-ong (ayah). Kecuali itu, kita tak tahu apa-apa lagi tentang dirinya Eh, tetapi pembicaraanmu dengannya tadi juga mengherankan! baru Ki Gwat-wan berkata begitu, ia dikejutkan oleh tindakan Thian-leng yang tiba-tiba mengangkat tubuh Ki Seng-wan. Hai mengapa kau? Dia menolong aku dan akupun hendak berdaya menolongnya! Ki Gwat-wan tertawa getir: Maksudmu mulia, tetapi dia sudah tak dapat ditolong lagi! Kudengar di gunung Thay-gak terdapat seorang tabib sakti Thay-gak-sian-ong ? Ya, aku hendak mencari tabib itu Ah Ki Gwat-wan menghela napas, dia tak mau sembarangan menolong orang. Malah kabarnya dia sudah pindah ke lain tempat. Apalagi hawa Im-han sudah menyusup ke dalam tulang Seng-wan, paling lama dalam tiga jam lagi darahnya tentu sudah beku. Sekalipun kau berhasil mendapatkan Thay-gaksian-ong pun sudah terlambat! Sekonyong-konyong di luar kuil terdengar suara orang tertawa mengekeh. Thian-leng dan si nona terbeliak. Seorang dara berbaju kuning tampak muncul di ambang pintu. Di belakang bahunya tersembul sebatang pedang pusaka. Kemunculan seorang dara di tengah malam dalam sebuah kuil tua, sungguh mengherankan sekali. Thian-leng duga dara itu tentu seorang dara persilatan. Sejenak mengejapkan matanya yang bagus, dara itu menggerutu: Eh, mana ada pertempuran berdarah di sini. Kedua momok itu sungguh menggelikan Tiba-tiba ia menegur: Hai, siapakah kalian ini? Thian-leng tak mau buang tempo. Ia harus lekas-lekas membawa Ki Seng-wan. Maka acuh tak acuh ia mengatakan bahwa iapun hanya singgah sebentar di kuil itu. Habis berkata terus memanggul Ki Sengwan keluar kuil. Dara baju kuning itu kerutkan alis, mendamprat: Kau benar-benar seorang manusia yang tak tahu budi, tadi jika bukan Karena ada urusan penting, maaf, aku tak dapat melayani nona! tukas Thian-leng. Nyalimu besar sekali si dara loncat menghadang. Thian-leng terkejut. Sungguh tak terduga dara yang masih semuda itu ternyata memiliki gerakan yang sedemikian hebatnya. Namun Thian-leng tak puas dengan tindakan si dara. Aku tak kenal padamu, mengapa nona menghadang? serunya. Dara itu tertegun. Ia tak dapat menjawab melainkan menatap Thian-leng dengan kemerah-merahan malu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 59 dari 290

Kalau nona tak mempunyai urusan apa-apa, maaf aku hendak meneruskan perjalanan! kata Thianleng pula seraya terus melangkah pergi. Dara itu malu dan marah. Sekali melesat ia mencegat lagi: Berhenti! Ki Gwat-wan yang mengikuti di belakang Thian-leng terpaksa tampil ke muka: Siapakah adik ini? Mengapa Siapa yang kau panggil sebagai adikmu itu? Aku tak kenal padamu ! bentak dara itu. Ki Gwat-wan menyeringai malu: Aku bermaksud baik Dara itu deliki mata: Aku tak bicara padamu, perlu apa kau banyak mulut! Melihat sikap si dara yang begitu ketus, marah juga Ki Gwat-wan: Jangan keliwat menghina orang Kalau aku menghina, kau mau apa ? bentak si dara. Ia kedipkan mata lalu menantangnya, bukan hanya menghina saja, pun akan kupukul engkau juga Dara itu serempakkan ucapannya dengan mengayun tangan ke pipi Ki Gwat-wan. Plak karena tak mengira orang akan berbuat segarang itu, Ki Gwat-wan tak bersiap. Pipinya kena tertampar dan tubuhnya terhuung-huyung beberapa langkah ke belakang. Rupanya dara itu masih belum puas. Ia memburu maju dan hendak menampar lagi. Melihat itu Thianleng segera letakkan Ki Seng-wan di tanah lalu loncat menghadang si dara: Jangan terlalu galak! Kalau ia tidak terima, boleh coba-coba dengan aku! si dara deliki mata kepada Ki Gwat-wan. Sebenarnya Ki Gwat-wan sudah hendak menerjang tetapi karena dihadang Thian-leng, terpaksa ia berhenti. Thian-leng menghela napas: Tiada dendam tiada permusuhan, perlu apa harus berkelahi? Anggap aku bersalah dan harap nona suka maafkan! Adalah karena perlu menolong Ki Seng-wan maka Thian-leng berlaku luar biasa sabarnya. Ia memberi hormat lalu hendak memanggul Ki Seng-wan lagi. Karena mendapat muka terang, nada dara itu berobah lunak: Ini baru ucapan orang terhormat. Eh, siapakah namamu? Thian-leng kerutkan alis, sahutnya: Aku bernama Bu-beng-jin! Bu-beng-jin ? dara itu cebikan bibir, katanya dengan ewah: Anjing dan kucingpun mempunyai nama, mengapa kau tak punya nama! Sayang, kau bukan seorang lelaki! bentak Kalau lelaki lalu bagaimana? Kalau lelaki, tentu sudah kutampar mulutmu! Thian-leng dengus dengan si kesal. dara.

Dara baju kuning kerutkan kening, mengejek: Coba lihat saja siapa yang akan ditampar mulutnya! Plak tiba-tiba dara itu sudah menampar pipi Thian-leng. Gerakan dara itu luar biasa aneh dan cepatnya. Sekalipun andaikata Thian-leng sudah mengetahui, juga sukar rasanya untuk menghindar. Thian-leng tertegun. Tinju dikepal siap hendak diayunkan. Tetapi ia masih menahan kemarahannya sekuat mungkin. Sejenak menatap wajah si dara, segera ia berputar tubuh dan mengangkat Ki Sengwan. Mari kita berangkat! ajaknya kepada Ki Gwat-wan. Ki Gwat-wan mengiyakan. Tanpa mengacuhkan si dara lagi, ia segera mengikuti langkah Thian-leng. Tetapi belum berapa langkah, terdengar si dara baju kuning melengking: Bu-beng-jin, kau berani menghina aku aku hendak mengadu jiwa padamu! Thian-leng serahkan Ki Seng-wan pada Ki Gwat-wan: Tolong pondongkan sebentar, aku hendak menghajar budak liar itu Si dara melesat ke depan mereka, malah sudah mencabut pedang. Nona sudah cukup puas memaki dan memukul, mengapa masih menuduh aku menghinamu? jangan terlalu bicara seenakmu saja! Ketahuilah bahwa aku Mau marah? Hm, jika bukan aku, kau tentu sudah mati! lengking si dara. Kalau begitu kuhaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tiba-tiba dengan nada bengis Thianleng membentak: Lalu apakah maksud nona? Kau pakai senjata apa? teriak si dara. Apakah nona tetap hendak
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 60 dari 290

Kau yang mati atau aku yang mati! Aku tak punya dendam suatu apa Lekas cabut senjatamu! bentak dara itu. Karena didesak terus akhirnya Thian-leng mencabut pedang pendek, ujarnya: Karena nona terus mendesak, baiklah kita main-main barang tiga jurus. Bagaimana kalau kau kalah? Aku rela menyatakan kalah Tidak! si dara menolak. Lalu apa kemauanmu? tanya Thian-leng. Menyerah dan terima hukuman mati ! *** JILID 4 Harimau Betina

JILID Harimau betina. Apakah nona yakin tentu menang? Thian- leng tertawa dingin. Dara baju kuning itu mendengus: Meskipun menang-kalah belum ketentuan, tetapi aku tetap menghendaki begitu! Marahlah Thian-leng: Terserah, silahkan nona mulai! Dara baju kuning tertawa mengikik. Sekali gerakkan pedang, ia menusuk ke arah dada. Sekalipun ajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kian dari wanita aneh Toan-jong-jin membuktikan kesaktiannya, namun karena tadi si dara dapat menamparnya begitu mudah, maka Thian-leng pun tak berani memandang rendah. Ia biarkan saja sampai ujung pedang si dara hampir mengenai dadanya, barulah ia menangkis. Setelah itu ia hendak gunakan jurus pertama dari ilmu pedang Toh-beng-samkiam yang disebut Hong-ji-hun-yong (angin meniup awan buyar) untuk secepatnya mengakhiri pertempuran itu. Memang ia tak mau terlibat lama-lama karena perlu lekas-lekas menolong Ki Sengwan. Tetapi betapa terkejutnya ketika tangkisannya itu luput. Tusukan si dara itu hanya sebuah gertakan kosong belaka. Thian-leng tercengang. Dua hal yang membuatnya heran. Dalam gebrak pertama, si dara sudah menggunakan jurus kosong. Ini tidak umum. Dan yang paling mengejutkan ialah gerakan si dara yang luar biasa cepatnya. Matanya sampai tak dapat menangkap bagaimana lenyapnya pedang si dara itu tadi. Rasa kejut membangkitkan kesadaran Thian-leng bahwa yang dihadapinya itu bukan dara sembarang dara, melainkan seorang dara yang lihay sekali. Segera ia mainkan jurus Hong-ji-hun-yong itu dengan sungguh-sungguh. Tetapi baru separoh bagian jurus itu ia kembangkan, tiba-tiba ia rasakan sekujur tubuhnya kedinginan dan hujan sinar pelangipun sudah mencurah ke arah kepalanya. Ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam memang hebat, tetapi berhadapan dengan ilmu pedang si dara yang luar biasa itu, tak sempat lagi Thian-leng mengembangkan permainannya. Bret baju dada Thian-leng telah tergurat robek sampai panjang. Untung dagingnya tak sampai terluka. Ah Ki Gwat-wan mengeluh putus asa dan tundukkan kepala. Sementara Thian-leng pucat wajahnya, bungkam seribu bahasa. Sebaliknya si dara itu angkuh menegur: Bagaimana apa kau menyerah kalah! ya, aku menyerah kalah tetapi masih penasaran dengan kekalahan itu!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 61 dari 290

Si dara deliki mata: Kau hendak menyangkal? Dalam soal kepandaian, aku tak kalah padamu! Tetapi dalam soal siasat licik, kau lebih pintar. Maka sekalipun kau menang, tetapi bukan kemenangan yang gemilang! Saking marahnya alis si dara menjungkit dan berteriaklah ia: Menggunakan pedang tak ubah seperti mengatur barisan. Keistimewaan terletak pada seni mempedayakan musuh yang tak mudah menduga isi-kosongnya serangan kita. Kau harus malu pada dirimu sendiri yang tak mengerti intisari ilmu pedang! Aku tetap tak puas dengan cara-cara begitu Thian-leng mendengus, aku sudah kalah, silahkan nona bertindak! Ia meramkan kedua mata menunggu kematian dengan ikhlas. Si dara terkesiap. Pedang di tangan hanya dicekal saja, tak tahu ia bagaimana harus bertindak. Sebenarnya kegelisahan berkecamuk dalam hati Thian-leng. Benar kekalahan itu dikarenakan pengetahuannya kurang luas, tetapi karena licinnya mulut si dara maka ia membuat pernyataan sebelum bertanding. Mau tak mau ia terpaksa harus mentaati. Tetapi sampai sekian saat tak juga si dara itu turun tangan. Ia membuka mata, ah, dara itu tengah menatapnya dengan penuh perhatian. Nona, silahkan turun tangan! kembali Thian-leng berseru. Turun tangan bagaimana? Bukankah tadi nona hendak menghukum mati aku? Sekarang silahkan! Wajah dara itu sebentar pucat sebentar merah dan akhirnya menggigit bibir keras-keras. Sebelum kubunuh, hendak kusuruh kau benar-benar menyerah setulusnya! Sambil kiblatkan pedangnya, dara itu berseru: Mari kita bertanding lagi. Silahkan kau mulai dulu! Thian-leng tertawa menghina: Jika bertempur lagi, mungkin kau tak dapat menggunakan akalan! Merah-padam wajah dara itu, lengkingnya: Jangan banyak mulut, lekas mulai! Thian-leng mendongkol sekali atas kecongkakkan si dara. Sambil kiblatkan pedang pendeknya berserulah ia: Karena nona yang menghendaki, terpaksa aku menurut saja. Jurus pertama Hong-ji-hun-yong dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, segera dilandaskan. Pedangnya yang pendek itu seketika berobah panjang. Hawanya sampai bertebaran seluas satu tombak keliling. Si dara tak tinggal diam. Iapun kembangkan pedangnya. Tring, tring, tring, dalam sekejap mata terdengarlah tiga kali beradunya pedang mereka. Thian-leng terkejut. Sikap congkak si dara itu ternyata karena mengandalkan kepandaiannya yang sakti. Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa aneh, pun memiliki tenaga-dalam yang hebat. Tak jauh terpaut dengan tenaga dalamnya. Pada hal ia (Thian-leng) telah mendapat penyaluran tenaga dalam dari Oh-se Gong-mo dan minum pil Kong-yang-sin-tan. Dara itu usianya tak lebih dari 18 tahun. Taruh kata sejak lahir ia sudah berlatih, pun tak nanti dapat mencapai kesempurnaan yang sedemikian hebatnya. Apakah dara itu juga mendapat rejeki luar biasa? Demikian Thian-leng bertanya-tanya dalam hati. Selesainya jurus pertama terus dilanjutkan dengan jurus kedua yang disebut Nok-hay-keng-liong (laut marah mengejutkan naga). Sambaran angin yang menerbitkan lengking tajam segera berhamburan seluas dua tombak. Rupanya dara itu juga terkedjut, serunya: Bagus, ternyata boleh juga! Ia taburkan pedangnya menjadi gumpalan sinar untuk menahan serangan lawan. Tiba-tiba Thian-leng tertawa nyaring, serunya: Hati-hatilah nona! Serempak dengan peringatan itu tiba-tiba permainan pedang Thian-leng berganti dengan jurus ketiga yang disebut Liu-hun-ci-thian atau awan berarak menutup langit. Jurus ini jauh berlainan dengan jurus pertama dan kedua tadi. Sinar pedang tiba-tiba melambung naik ke atas, berobah laksana ribuan bintang. Sesaat ribuan bintang itupun mencurah ke arah kepala si dara. Kali ini benar-benar si dara itu terkejut sekali. Cepat ia loncat mundur. Karena tak bermaksud hendak membunuh, maka Thian-leng tak mau mengejar. Segera ia tarik pedang dan berdiri tegak, serunya sambil tersenyum: Terima kasih atas kesungkanan nona!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 62 dari 290

Wajah dara itu berobah gelap. Ternyata dua jemput rambut di kanan-kiri keningnya kena terpapas! Thian-leng pun melongo sendiri. Dara itu memang congkak sekali, tetapi memapas rambut seorang anak perempuan adalah perbuatan yang keliwat garis Si dara terlongong-longong mengawasi rambutnya yang terkupas tadi. Tiba-tiba ia menutup muka dan menangis Thian-leng tak enak sendiri. Setelah menghela napas, ia melangkah menghampiri, ujarnya: Adalah karena nona suka mengalah maka aku beruntung bisa menang. Harap nona jangan taruh di hati Maaf, karena ada urusan penting, terpaksa aku mohon diri! Dara baju kuning itu tetap menangis tersedu-sedu Ketika tertumbuk pada gumpalan rambut si dara yang jatuh di tanah, Thian-leng hentikan langkah. Sungguh aku tak sengadja, nona ia hendak minta maaf, tetapi tiba-tiba si dara berhenti menangis dan membentaknya: Jangan jual lagak kau! Jika sungguh mau membunuhmu adalah semudah membalikkan tanganku! Thian-leng tertawa kecut. Pikirnya, dara itu benar-benar centil sekali. Masakan ia minta maaf malah diberi semprotan yang menusuk hati! Namun tak mau ia meladeni. Berpaling ia mengajak Ki Gwat-wan pergi. Tanpa diulang, nona itupun segera memanggul Ki Seng-wan. Thian-leng pun segera mengikuti. Tiba-tiba dara itu taburkan tangannya ke punggung Thian-leng, serunya: Bu-beng-jin, awas kau! Thian-leng tertegun. Punggungnya tersambar angin tajam. Ia tahu si dara tentu gunakan senjata rahasia, namun tak sempat lagi ia menghindar. Senjata rahasia itu meluncur dengan luar biasa cepatnya. Tubuh Thian-leng tergetar. Rasanya seperti tersusup oleh beberapa batang senjata rahasia! Kang-siangkong, kau terluka ! Ki Gwat-wan berseru kaget. Thian-leng terkesiap. Ia merasa memang telah terkena senjata rahasia, tetapi anehnya ia tak merasa sakit sama sekali. Tetapi ketika memeriksa, kejutnya bukan kepalang. Kedua bahunya kanan-kiri dan punggung, tertancap 3 batang passer (anak panah kecil) yang tangkainya berukir kepala burung hong. Tiga batang passer itu berjajar merupakan bentuk segi-tiga. Yang membuat Thian-leng hampir tak percaya pada penglihatan matanya ialah bahwasanya ke 3 passer itu hanya menancap pada bajunya saja, sedikitpun tak menyentuh kulit. Ilmu kepandaian serupa itu benar-benar mempesonakan sekali! Setelah mencabut ke tiga passer itu, terlongong-longonglah Thian-leng. Benar-benar ia kehilangan paham kepada dara itu. Seorang dara yang muda-belia, mengapa memiliki beberapa kepandaian yang tiada taranya! Si dara tertawa mengikik: Bu-beng-jin, telah kukatakan tadi bahwa kalau hendak membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tangan. Apakah sekarang kau sungguh tunduk? Thian-leng mengangguk, sahutnya serta merta: Ya, sekarang aku tunduk sungguh atas kesaktian nona! Ia segera memberi hormat kepada dara itu lalu berputar tubuh dan terus berlalu. Kali ini si dara tak mau merintangi lagi. Dipandangnya si anak muda yang berjalan mengikuti Ki Gwat-wan. Setelah itu ia memungut gumpalan rambutnya yang jatuh di tanah dan menghela napas panjang. Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa gelak-gelak. Niu-niu, apakah kau setuju dengan budak itu? menyusul terdengar suara lantang nyaring. Sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah karang. Seorang lelaki tua yang berambut putih tetapi wajahnya segar kemerah-merahan seperti seorang anak. Usianya lebih dari 70 tahun namun masih tampak gagah. Ayah, kembali kau mengoceh yang tidak-tidak! sambil berpaling si dara melengking manja. Kurang ajar kau, Niu-niu, berani memaki ayahmu! bentak lelaki tua itu. Si dara tertawa mengikik: Mengapa ayah mengolok aku? Lelaki tua tertawa meloroh: Niu-niu, ayah tahu kau suka padanya. Tetapi caramu tadi dapat menimbulkan salah pahamnya, mungkin Mungkin bagaimana, yah? Lelaki tua menggeleng-geleng: Mungkin malah meletus. Budak itu tampaknya juga keras kepala
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 63 dari 290

Peduli dengan dia! Sayang tadi tak kubunuh saja dia keliwat menghina padaku! Amboi, apakah dia berani menghina puteri kesayanganku? sengaja nada si lelaki tua dibuat-buat. Dengan berlinang-linang dara itu berseru manja: Lihatlah sendiri ini. Sekali goyangkan bahunya maka berhamburan gumpalan rambutnya yang terkupas tadi. Kurang ajar, Niu-niu, tunggulah. Paling lama setengah jam ayah tentu akan menghancurkan kepala budak liar itu! habis berkata, lelaki tua segera melesat pergi. Yah, kau hendak tiba-tiba si dara berseru kaget. Lelaki tua deliki mata: Ayah hendak membalaskan penasaranmu. Hendak kubunuh budak itu! Seorang budak tak bernama masakan layak kau ajak berkelahi. Sudahlah, yah! di luar dugaan dara itu mencegah. Apa? Apa kau hendak berikan rambutmu digunduli olehnya? Si dara merah wajahnya. Kelak kalau berjumpa padanya, tentu kubuat perhitungan! Sejenak memandang sang puteri, tertawalah lelaki tua itu: Kelak kalau kau berjumpa padanya, mungkin dia sudah jadi suami orang Niu-niu, lebih baik kita kejar dia sekarang saja! Sepasang pipi si dara merah jambu. Segera ia susupkan kepalanya ke dada ayahnya: Yah, kau memang suka mengolok-olok, bagaimana hukumannya? Lelaki tua tertawa: Hukumannya mudah saja, suruhlah aku minum secawan arak kebahagiaanmu! Tiba-tiba tubuhnya mencelat sampai beberapa tombak jauhnya. Dia hendak mengejar Thian-leng. Yah, awas kau! si dara berkaok-kaok seraya menyusul. Sementara itu Thian-leng dan Ki Gwat-wan yang memanggul adiknya sudah berjalan beberapa li jauhnya. Kala itu sudah hampir terang tanah. Tiba-tiba Ki Gwat-wan menghela napas dan hentikan langkah. Thian-leng terkejut, serunya: Ah, karena mendongkol pada anak perempuan tadi, aku sampai lupa membiarkan kau ia ulurkan tangan hendak menyambuti tubuh Ki Seng-wan. Ia kira Ki Gwat-wan letih memanggul. Di luar dugaan Ki Gwat-wan gelengkan kepala: Mungkin tak keburu menolongnya lagi! Thian-leng kaget dan buru-buru memeriksa. Tampak wajah K Seng-wan pucat seperti mayat, mulut terkancing rapat dan napasnya makin lemah seperti orang yang tengah meregang jiwa. Budak itulah yang mencelakai, kalau tidak Thian-leng menggeram sedih. Ki Gwat-wan tertawa hambar: Thay-gak-san terpisah ribuan li jauhnya. Betapapun cepatnya kita berjalan juga harus memakan waktu lebih dari satu hari padahal adikku yang malang ini hanya mampu bertahan paling lama satu jam saja. Thian-leng banting-banting kaki: Biarlah kusalurkan seluruh tenaga dalamku, mungkin dia dapat bertahan beberapa jam. Asal kita percepat perjalanan, mungkin Percuma, Ki Gwat-wan gelengkan kepala, hawa Im-han telah menyusup ke dalam sumsumnya. jika kau hendak salurkan tenaga dalam, darahnya pasti bergolak dan berarti malah mempercepat kematiannya beberapa butir air mata menetes dari mata Ki Gwat-wan. Setelah itu berkata pula: Di dalam Sin-bu-kiong, kecuali ayah, akulah yang paling mahir dalam ilmu pengobatan. Jika masih ada daya menolongnya masakan aku tak berusaha? Thian-leng kucurkan air mata terharu, ujarnya rawan: Apakah kita berpeluk tangan saja melihat ia meninggal Kita tak berdaya lagi, sahut Ki Gwat-wan. Segera ia angsurkan tubuh Ki Seng-wan kepada Thianleng: Adikku ini terhadap kau Ki Gwat-wan segera menceritakan bagaimana sang adik telah mengorbankan kesuciannya untuk menolong jiwa pemuda itu. Tetapi baru bercerita sampai separoh bagian, tiba-tiba dari jauh terdengar derap kaki orang berlari-lari mendatangi. Beberapa saat kemudian tampak beberapa sosok bayangan melesat bermunculan. Ki Gwat-wan terkesiap kaget. Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng. Celaka, mereka datang kembali
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 64 dari 290

Thian-leng segera mengajak bersembunyi di dalam hutan. Diketahui pendatang-pendatang itu ialah rombongan orang Sin-bu-kiong, yakni Te-it Ong-hui Ma hong-ing, Ci-chiu-hoan-thian Ni Jin-hiong, 4 orang dayang wanita dan sejumlah besar jago-jago persilatan yang bermuka bengis. Apakah mereka dapat menyusul kemari? kata Ni Jin-hiong dengan wajah tegang. Salah seorang rombongan jago silat yang sudah berambut putih segera menjawab: Lereng Gan-bengpoh biasanya menjadi tempat pertemuan kita, sudah tentu dapat mencari Kata-kata itu diganggu oleh terdengarnya derap kaki yang berlari-lari mendatangi. Seorang lelaki bertubuh kekar muncul terus memberi hormat kepada orang tua itu: Melapor pada bengcu (ketua), bahwa menurut laporan mata-mata, sampai seluas 30 li belum tampak tanda-tanda jejak musuh! Ternjata lelaki kekar itu adalah salah seorang kepala cabang suatu perserikatan partai-partai persilatan. Dan lelaki tua itu ialah Suma Beng, ketua perserikatan partai-partai persilatan dari 13 propinsi. Suma Beng bergelar Tok-bok-sin-tiau atau Kokok-beluk sakti bermata satu. Entah kapan si Kokok-beluk itu menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong. Tanya Ni Jin-hiong dengan gelisah: Kalau orang Thiat-hiat-bun belum muncul, apakah kalian menemukan jejak budak she Kang dengan kedua puteri ketua kami eh, apakah biara tua itu sudah diselidiki? Lelaki kekar itu mengatakan bahwa semua tempat dan biara tua tu sudah dijelajahi, tetapi tak menemukan suatu apa. Hanya saja caranya bicara itu tak lancar seperti menyembunyikan sesuatu. Melihat itu dengan membawa sikap sebagai seorang Ong-hui (ratu), Ma Hong-ing membentak Suma Beng: Tadi di dalam biara rusak jelas terdapat tanda-tanda munculnya orang Thiat-hiat-bun dan kedua puteri itu juga berada di dalam situ. Mengapa mengatakan tak ada jejak apa-apa. Kalian membanggakan diri sebagai kaum persilatan yang palng pandai mencari berita, mengapa ternyata tak berguna sama sekali? Kokok-beluk sakti Suma Beng terbata-bata: Entah kapankah Ong-hui mengetahui mengapa Sebenarnya ia hendak menegur Ong-hui, kalau memang tahu mengapa membiarkan mereka lolos. Tetapi ia merasa ucapan itu kurang layak, maka ditelannya kembali. Merahlah wajah Ma Hong-ing. Ia deliki mata kepada Ni Jin-hiong lalu mendengus. Itulah suatu dampratan halus kepada Ni Jin-hiong yang belum-belum sudah panik karena mengira orang Thiat-hiatbun muncul. Ni Jin-hiong pun kerutkan alisnya. Ia menginsyafi gawatnya urusan saat itu. Tentang Kang Thian-leng itu tak menjadi soal, tetapi yang menggelisahkan adalah kedua kakak-beradik Ki itu. Jika kedua nona itu sampai melapor pada ayahnya (Sin-bu-te-kun) tentang hubungan gelap antara Ma Hong-ing dengannya (Ni Jin-hiong), pasti mereka akan dibunuh. Sejenak merenung, berkatalah Ni Jin-hiong kepada Kokok-beluk hantu Suma Beng: Tolong Sumabengcu suka mengirim berita dengan burung, memberi tahukan tokoh-tokoh persilatan yang tinggal di sekitar 100 li jaraknya, agar mengerahkan tenaga untuk mencari jejak kepada kedua puteri ketua kami itu. Begitu tahu, harus segera menyampaikan laporan! Suma Beng mengiyakan dan lalu memberi perintah kepada si lelaki bertubuh kekar: Urusan ini harus kusampaikan sendiri pada cabang di daerah selatan. Kalian harus hati-hati menjaga di sini! Jago tua bermata satu itu segera melesat pergi. Ma Hong-ing mondar-mandir dengan gelisah dan Ni Jin-hiong pun cemas sekali. Thian-leng dan Ki Gwat-wan yang bersembunyi beberapa tombak jauhnya, tak kurang cemasnya. Jarak begitu dekat dan Ni Jin-hiong seorang tokoh yang berkepandaian tinggi. Sedikit gerakan saja pasti diketahuinya. Apalagi Thian-leng saat itu mewajibkan diri untuk melndungi kedua nona Ki. Mereka berdua tak berani bergerak sedikitpun juga. Berapa lama kemudian, tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong mengerut kejut. Ia melirik ke arah Ma Hong-ing dan bibirnya bergerak-gerak, seperti orang menggunakan ilmu menyusup suara. Ma Hong-ing tegang seketika. Segera ia memberi isyarat kepada ke 4 dayangnya dan beberapa jagojago persilatan untuk bersembunyi di balik gundukan batu di belakang gerumbul pohon.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 65 dari 290

Thian-leng pun kaget. Tetapi ia tak mendengar suatu suara apapun. Namun ia percaya Ni Jin-hiong tentu bukan pura-pura. Tentu ada sesuatu yang dicurigai. Thian-leng pun tumpahkan perhatian menanti perkembangan selanjutnya Ah, ternyata benar. Tak berapa lama terdengarlah derap kaki ringan dan dari jarak 10 tombak jauhnya muncullah 3 orang imam bertubuh kurus. Begitu kurus hingga mirip dengan orang-orangan bambu yang diberi pakaian jubah. Punggung mereka masing-masing menyelinap hud-tim (kebut yang dipakai kaum paderi atau imam). Tak tahu Thian-leng siapa ketiga imam itu. Hanya diduganya tentulah orang dari salah satu 9 partai besar di dunia persilatan. Secara kebetulan ketiga imam itu melalui tempat persembunyian Thian-leng. Kuatir dipergoki, terpaksa Thian-leng menyandar pada sebatang pohon. Siapa tahu, tubuhnya membentur sebatang ranting kering. Ranting patah dan jatuh berkeresekan Ketiga imam itu menghentikan langkah, menyebut doa O-mi-to-hut. Yang di tengah, seorang imam tua berambut puth segera melengking: Hai, siapakah yang malam-malam bersembunyi di sini? Wut, ia kebutkan lengan jubahnya menampar ke arah tempat persembunyian Thian-leng. Saking kaget dan kuatir atas keselamatan Ki Seng-wan yang sudah terluka parah itu, tanpa banyak pikir Thian-leng segera lepaskan pukulan Lui-hwe-sin-ciang. Dar si imam tua itupun terhuyung-huyung ke belakang Kedua imam lainnya segera mundur ke samping seraya mencabut hud-tim nya. Demikianpun si imam tua yang terhuyung ke belakang tadi. Ah, tak nyana di sini aku bertemu dengan orang sakti, serunya seraya mencabut hudtim. Tetapi seruannya segera mendapat sambutan dari suara orang tertawa gelak: Ah, kiranya ketiga totiang dari Lo-san ! Ketiga imam itu tersirap kaget. Ketika berpaling tampak beberapa sosok tubuh melesat dari balik gerumbul pohon. Heran ketiga orang itu dibuatnya. Tetapi segera imam itu tertawa menegur: Bukankah sicu ini kepala penjaga istana Sin-bu-kiong? Memang yang keluar itu adalah Ni Jin-hiong dan rombongannya. Kepala penjaga Sin-bu-kiong ini menjawab: Sungguh kuat sekali ingatan totiang, ia keliarkan mata sejenak. Ah, jika bukan totiang yang kebetulan lewat di sini, mungkin beberapa budak murtad itu dapat mengelabui aku! Imam berjenggot putih itu berseru heran: Ini ini bagaimana duduk perkaranya? Wajah Ni Jin-hiong membesi: Hendak kuhaturkan pertanyaan pada totiang bertiga. Bagaimanakah sikap totiang bertiga terhadap Sin-bu-kiong Terus terang saja, kami memang hendak menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong! tukas ketiga imam dari Lo-san itu. Ni Jin-hiong tertawa sinis: Menggabung pada Sin-bu-kiong Imam tua itu menghela napas perlahan, ujarnya: Walaupun sudah mendekati hari-hari tua, tapi rupanya Hun-tiong Sin-mo itu masih gemar menjagal manusia. Peristiwa pembunuhan ketua kuil Siau-lim-si dan ke delapan paderi tinggi, telah menggemparkan dunia persilatan. Sejak itu dunia persilatan menjadi gelisah. Panji Tengkorak Darah muncul di mana-mana. Ratusan jiwa telah melayang. Sebenarnya gunung Lo-san merupakan daerah yang suci, tetapi beberapa hari yang lalu Panji Tengkorak Darahpun muncul di situ Siapakah yang menjadi korban? seru Ni Jin hiong. Imam tua menggeram: Kalau yang dijagal itu kaum persilatan, itu dapat dimengerti Apa? Apakah Hun-tiong Sin-mo membunuh orang yang tak mengerti ilmu silat? Ni Jin-hiong pura-pura kaget. Benar! imam tua itu makin merah matanya, beberapa hari yang lalu terdapat dua belas pemburu yang mati dibunuh di bawah puncak Ou-lay-hong. Di samping mayat mereka terdapat panji berlukis tengkorak darah ia berhenti sejenak, katanya pula: kami dengar para pemimpin sembilan partai besar telah meminta bantuan pada Sin-bu Te-kun dan Te-kun pun sudah menerima baik untuk memimpin gerakan membasmi Hun-tiong Sin-mo. Maka jauh-jauh kami perlukan menuju ke Sin-bu-kiong!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 66 dari 290

Serta merta Ni Jin-hiong memberi pujian atas sikap ketiga imam dari Lo-san yang sedia berjoang untuk peri-kemanusiaan. Tiba-tiba ia beralih pembicaraan: Tetapi baiklah hal itu kita bicarakan lagi setelah menangkap ketiga murid murtad ini Imam tua menatap pada Thian-leng, serunya: Rupanya budak itu memiliki ilmu pukulan bagus, tenaga dalamnyapun tinggi, tadi kamipun hampir teringat akan peristiwa tadi, ia tak jadi lanjutkan katakatanya. Mukanya merah-padam. Lo-san Sam-to atau tiga imam dari Lo-san, meskipun bukan termasuk tokoh-tokoh sembilan partai, tetapi juga tergolong tokoh yang dimalui. Beberapa puluh yang lalu banyak juga jago-jago yang dijatuhkan. Maka ia merasa malu, kalau ketahuan orang bahwa dirinya sampai dipukul sempoyongan oleh seseorang anak yang tak terkenal! Setelah dirinya dipergoki dan mengetahui bahwa ketiga imam itu hendak menggabung diri pada Sin-bukiong, terpaksa Thian-leng ambil putusan nekad. Dengan melindungi Gwat-wan yang memondong adiknya, Thian-leng tegak bersiap sambil menghunus pedang pendeknya. Pada saat itu Ma Hong-ing dengan beberapa jago-jago persilatanpun menyusul datang. Mereka segera mengepung Thian-leng. Thian-leng hanya tertawa dingin saja. Dipandangnya wanita itu dengan tatapan kemarahan dan kekecewaan. Tiba-tiba Ni Jin-hiong berseru: Budak, menyerahlah. Jika kau mau membunuh diri sendiri, mayatmu kubiarkan utuh. Tetapi kalau membangkang, hm, aku bukan orang yang suka memberi ampun! Namun sekalipun mulut berkata begitu garang, diam-diam hati Ni Jin-hiong cemas juga. Permainan pedang si anak muda yang dapat menggurat robek mantelnya tadi, cukup membuat nyalinya nanar. Maka iapun memberi isyarat mata kepada Ma Hong-ing supaya siap-siap menyerang dari belakang anak itu. Justru Ma Hong-ing memang mempunyai rencana begitu. Mengisar ke belakang Thian-leng segera ia mengancam Ki Gwat-wan: Budak hina, mengapa tak lekas menyerah menerima hukuman? Karena tengah memondong adiknya maka Ki Gwat-wan tak berdaya melawan. Thian-leng juga tak kurang gelisahnya. Ia tahu seorang Ni Jin-hiong saja sudah cukup berat, apalagi harus melindungi kedua nona itu. Malah keempat pelayan Ma Hong-ing pun menghunus kebutannya. Dan untuk mendirikan jasa pada Sin-bu-kiong, ketiga imam dari Lo-san pun siap dengan tinjunya, Thian-leng diamdiam mengeluh. Setelah melihat kepungan yang sedemikian rapat tertawalah Ni Jin-hiong mengejek. Tiba-tiba ia memberi perintah: Serang! Ia sendiri segera mempelopori dengan sebuah hantaman. Ia memutuskan untuk membunuh Thian-leng agar jangan menimbulkan bahaya di kemudian hari, maka sekali gebrak iapun lantas gunakan ilmu pukulan Hian-im-ciang yang dilambari dengan tenaga penuh. Ma Hong-ing pun taburkan kelima jarinya. Keempat dayangnya menampar dengan kebutan, sedang ketiga imam dari Lo-san menghujankan pukulan. Tak ketinggalan pula dengan jago-jago silat anak buah Kokok-beluk Suma Beng yang menghujankan pukulan. Situasi berobah ngeri sekali Sambil mencekal pedang di tangan kiri, Thian-leng pun siapkan ilmu pukulan Lui-hwe-sin-ciang. Dia siap bertempur mati-matian. Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa meloroh dan belasan jago-jago yang mengepung Thianleng itu, menjerit kaget. Tinju mereka yang sudah diluncurkan terpaksa ditarik setengah jalan dan loncatlah mereka mundur Thian-leng juga kaget. Ketika mengawasi, kiranya di sebelah muka muncul seorang tua yang jenggotnya menjulai sampai ke dada, bermuka merah, tengah memandang dirinya dengan tertawa. Kiranya serempak dengan suara ketawa yang menggetarkan urat jantung itu, juga tangan Ni Jin-hiong serta kawannya yang dihantamkan kepada Thian-leng itu, terasa sakit sekali. Tangan mereka masingmasing, tertusuk sebatang passer kecil yang berkepala burung hong. Ujung passer kecil runcing sekali dan tepat menyusup di sela jari. Itulah yang menyebabkan mereka menjerit kaget dan loncat mundur. Hebat dan luar biasa sekali kepandaian orang yang menimpukkan passer kecil itu. Belasan jago-jago yang menyerang Thian-leng, tidak seorangpun yang mampu menghindar. Bahkan ke empat dayang pelayan Ma Hong-ing pun menderita senjata rahasia itu. Orang tua itu mengusap-usap jenggotnya yang putih mengkilap seperti perak seraya tertawa terkekehkekeh. Rupanya ia gembira sekali.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 67 dari 290

Ni Jin-hiong cepat mencabut passer kecil yang menancap di punggung telapak tangannya. Demi mengetahui siapa orang tua itu, mukanya pun segera berobah seperti orang dicekik setan. Mulutnya terbata-bata berseru: Kau bukankah Gin-hi-sin-soh Lu Liang-ong? Gin-hi-sin-soh artinja Jenggot perak si kurus sakti. Orang tua berjenggot perak itu tertawa: Selama hidup aku belum pernah masuk ke daerah Tionggoan, mengapa kau kenal padaku! Makin pucat wajah Ni Jin-hiong, ujarnya: Kalau begitu kau lo-ciangbun (pemimpin) perkumpulan Thiathiat-bun (Darah besi). Orang tua berjenggot perak itu mengangguk tertawa: Benar, memang aku ini ia keliarkan matanya ke sekeliling, serunya: Melihat kamu begini banyak mengeroyok seorang anak muda, mataku tak tahan maka tadi kuberi peringatan Ucapan sedap, wajah berseri tertawa. Enak sekali tampaknya orang tua jenggot perak itu bicara seolaholah menghadapi anak kecil saja. Sebenarnya dada Ni Jin-hiong sudah seperti mau meledak, tetapi karena mengetahui riwayat ketua partai Darah Besi, terpaksa ia menyumbat kemarahannya. Kemunculan ketua partai Darah Besi itu menimbulkan kecemasan hebat dalam hati Ni Jin-hiong. Ia kuatir suatu peristiwa ngeri tak mungkin dihindari lagi. Segera ia memberi isyarat mata kepada Ma Hong-ing. Kemudian bertanyalah ia kepada Jenggot perak Lu Liang-ong: Kabarnya Siau-yau-kiam-khek Pok Thiat-beng kembali pula pada partai Thiat-hiat-bun, entah Siapa kau? Perlu apa kau tanyakan hal itu? tukas Lu Liang-ong tak lupa dengan ketawanya. Ni Jin-hiong terkesiap, serunja: Aku Ni Jin-hong karena mengagumi pribadi Pok-tayhiap, maka ingin mengetahui hal itu! Lu Liang-ong tertawa: Entahlah, aku juga sudah beberapa tahun tak ketemu dengan dia! Mendengar itu longgarlah perasaan Ni Jin-hiong. Ia percaya keterangan orang tua berjenggot perak itu tentu benar. Kini berobah nadanya menjadi nyaring, serunya: Entah apakah maksud saudara berkunjung ke Tionggoan ini? Tiba-tiba wajah Lu Liang-ong mengerut bengis: Apakah Tionggoan ini tanah milikmu? Apakah aku tak boleh datang kemari? Tersipu-sipu Ni Jin-hiong dibuatnya, segera ia menyahut: Saudara sudah melukai orang masih omong besar. Janganlah keliwat menghina orang! Ketahuilah, aku juga bukan bangsa kerucuk tak bernama. Adalah karena mengindahkan nama partai Thiat-hiat-bun maka aku masih menaruh kesungkanan padamu! Ketua Thiat-hiat-bun tertawa tergelak-gelak: Bagus, bagus, jika kau penasaran, silahkan turun tangan saja ia tertegun sejenak lalu berkata pula: Ya, ya, tiada halangan kuberitahukan padamu bahwa aku memang kekurangan lawan di daerah Lam-hong sehingga tanganku gatal. Kedatanganku ke Tionggoan ini tak lain karena hendak menguji kepandaian dengan datuk-datuk persilatan di sini. Aku ingin sekali berjumpa dengan seorang lawan yang berimbang agar sisa hidupku tak kecewa Lagi-lagi Ni Jin-hiong terperanjat. Tetapi secepat itu ia tutupi dengan tertawa, ujarnya: Maksud saudara tentu akan mendapat sambutan gembira, tetapi Tetapi bagaimana? Ni Jin-hiong tertawa sinis: Melintasi pagar baja harus dipatahkan, apalagi negara Tionggoan adalah kandang naga dan harimau Kamipun menghormati partai Thiat-hiat-bun yang termasyhur, ketiga imam dari Lo-san menyeletuk, tokoh yang berkepandaian paling tinggi di daerah Tionggoan adalah Hun-tiong Sin-mo! Jika lo-sicu dapat melenyapkan momok itu, semua kaum persilatan daerah Tionggoan Mengetahui betapa tinggi kepandaian ketua Thiat-hiat-bun, ketiga imam dari Lo-san itu hendak gunakan siasat memprovokasi (membakar) hati Lu Liang-ong agar menempur Hun-tiong Sin-mo. Pikirnya, siasat adu domba itu adalah yang paling tepat. Tetapi demi diperhatikan Ni Jin-hiong tak mengajukan siasat itu, maka ketiga imampun tak dapat menahan kesabarannya lagi. Di luar dugaan Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing berobah wajahnya ketika mendengar ucapan itu. Cepatcepat Ni Jin-hiong menukasnya: Jangan janganlah Lu locianpwe menempur Hun-tiong Sin-mo!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 68 dari 290

Mengapa? tanya ketua Thiat-hiat-bun. Ni Jin-hiong menyahut tersekal-sekal, Karena karena Hun-tiong Sin-mo itu manusia licik yang banyak muslihatnya. Kini tokoh-tokoh sembilan partai persilatan di Tionggoan sudah bersatu-padu untuk menghancurkan momok itu. Jika saudara menempur Hun-tiong Sin-mo, dikuatirkan malah menganggu rencana sembilan partai persilatan itu Kalau begitu, aku tak usah pergi saja! ketua partai Thiat-hiat-bun tersenyum. Ni Jin-hiong menghela napas longgar. Tetapi baik kiranya saudara pesiar menikmati alam pemandangan Tionggoan dulu, kemudian Hm, kau hendak mengusir aku? dengus orang tua berjenggot perak itu. Mana aku berani Ni Jin-hiong tersipu-sipu menerangkan. Eh, masakan kalian tak marah karena kulukai tadi? Si Jenggot perak tertawa. Memang mata sekalian jago pada merah, tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Ni Jin-hiong memaksa tertawa: Ah, itu hanya sedikit salah paham. Hanya luka tak berarti saja! Eh, tadi pertanyaanku belum terjawab! Mengapa kalian mengeroyok kedua anak itu! tiba-tiba ketua partai Thiat-hiat-bun berganti pembicaraan. Itu juga urusan salah paham! buru-buru Ni Jin-hiong menjelaskan. Kemudian ia melirik Thian-leng dan Ki Gwat-wan, serunya: Mereka adalah murid-murid Sin-bu-kiong yang murtad, maka hendak kami tangkap. Kiranya locianpwe tentu tak suka mengurus hal-hal semacam begitu bukan? Thian-leng menyaksikan beberapa hal yang tak diduga-duga. Jelas bahwa Ni Jjin-hiong merasa takut dengan orang tua jenggot perak yang sakti itu. Dan nyata pula bahwa orang tua itu bukan tokoh golongan hitam melainkan pendekar yang suka membela kebenaran. Ada titik terang yang memantul dalam harapan Thian-leng. Tetapi harapan itu juga tercampur kecemasan. Passer kecil berkepala burung hong yang mengenai tangan orang-orang itu, serupa benar dengan passer yang ditimpukkan si dara baju kuning ke padanya. Dan juga caranya menimpuk terdapat persamaan. Apakah si dara dan orang tua berjenggot perak itu sekaum? Karena belum mendapat kesimpulan jelas maka Thian-leng pun hanya diam saja, menunggu perkembangan selanjutnya. Tetapi ketika mendengar Ni Jin-hiong mengatakan dia murid Sin-bu-kiong yang murtad, tak dapat lagi ia menahan kemurkaannya. Ngaco! Siapa sudi mengaku guru kepada bangsa penjahat! bentaknya, lalu berpaling menghadap si Jenggot perak, serunya: Harap locianpwe jangan percaya omongannya. Aku adalah musuh dari gerombolan Sin-bu-kiong tiba-tiba ia merasa bahwa permusuhannya dengan orang Sin-bu-kiong berbelit-belit, tak dapat sepatah dua patah dapat dijelaskan. Ni Jin-hiong tertawa sinis: Meskipun kau bukan anak murid Sin-bu-kiong, tetapi kau telah melarikan kedua puteri Sin-bu Te-kun. Tentunya kau tak menyangkal ia menunjuk pada nona Ki Gwat-wan yang berada di belakang Thian-leng, lalu berkata kepada ketua Thiat-hiat-bun: Silahkan locianpwe tanyakan, benar tidak? Karena tak dapat memberi jawaban, Thian-leng merah-padam mukanya. Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa: Aku tak punya tempo mengurusi soal tetek-bengek begitu, tetapi ia berhenti sejenak, katanya pula: Anak ini rupanya berjodoh padaku, kalau tidak tentu tak ketemu dengan aku. Sekali bertemu tak dapat kutinggal diam saja Wajah Ni Jin-hiong berobah pucat, buru-buru serunya: Habis, locianpwe hendak berbuat apa! Tinggalkan anak itu! Ni Jin-hiong mengeluh tertahan, serunja cemas: Tetapi kedua puteri Tinggalkan juga! tukas Jenggot perak Lu Liang-ong. Ini Apa? Tidak boleh ?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 69 dari 290

Ni Jin-hiong meringis seperti kera termakan getah. Ia tertawa menyeringai: Kalau begitu apakah locianpwe hendak bermusuhan dengan Sin-bu-kiong? Biarlah! Eh apa jabatanmu dalam Sin-bu-kiong? seru Jenggot perak Lu Liang-ong. Kepala penjaga istana Pergi kau beritahukan pada Sin-bu Te-kun, aku akan tinggal di Tionggoan selama beberapa bulan. Di mana dan kapan saja dia boleh mencari aku kalau minta orang! Ni Jin-hiong alihkan pandangannya kepada Ma Hong-ing seperti hendak minta keterangan. Tetapi wanita itu hanya kerutkan alis tak dapat berkata apa-apa. Pergilah kalian! tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun membentak seraya menampar. Ni Jin-hiong serasa terbang semangatnya. Ia hendak menangkis, tetapi, ah, kiranya jago Thiat-hiat-bun itutidak menamparnya melainkan menghantam ke arah sebatang pohon cemara yang beberapa tombak jauhnya! Pukulannya itu tampak lemah dan tak mengeluarkan deru angin apa-apa. Mengira kalau orang tua itu hanya main gertak, Ni Jin-hiong terlongong-longong, dalam batin ia malu-malu mendongkol. Tetapi selagi sekalian orang tertegun, tiba-tiba terdengar bunyi benda berhamburan riuh gemuruh. Ketika melihat apa yang terjadi, kejut sekalian jago-jago bukan alang-kepalang! Daun dari pohon cemara yang sebesar dua pemeluk tangan orang, rontok berguguran akibat pukulan kosong dari jago tua Thiat-hiat-bun. Suara gemuruh tadi berasal dari ribuan daun yang berhamburan ke tanah. Kini pohon cemara itu berobah gundul. Seluas-luas pengalaman dan sehebat-hebat kepandaian Ni Jin-hiong, namun baru pertama kali itu ia menyaksikan ilmu kepandaian yang luar biasa. Di luar kesadarannya, lidahnya bercekat menelan ludahnya. Ho ho, kali ini pukulanku kutujukan pada batang pohon, tetapi lain kali tentu pada orang! Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh. Mendengar itu serasa terbanglah semangat jago-jago, baik dari rombongan Sin-bu-kiong maupun anak buah Kokok-beluk bermata satu Suma Beng. Pertama-tama adalah Ma Hong-ing yang angkat kaki diiring oleh ke empat dayangnya, setelah itu menyusul Ni Jin-hiong, ketiga imam dari Lo-san dan berpuluh anak buah Suma Beng, berbondong-bondong tinggalkan tempat itu Istana Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan orang tua berjenggot perak itu. Hantu.

Memang jitu, tepat! Mata Niu-niu memang tajam sekali ha, ha, ha! ketua Thiat-hiat-bun tertawa sambil mengawasi Thian-leng. Thian-leng tak mengerti apa yang diucapkan orang tua berjenggot perak itu. Sejenak ia berpaling ke arah Ki Seng-wan. Ah, kedua mata nona itu meram. Keadaannya sedemikian parah seperti pelita yang sudah hampir padam sinarnya. Taci-nya bercucuran air mata. Nona itupun menghaturkan terima kasih kepada ketua Thiat-hiat-bun tetapi tak berkata suatu apa. Maaf, sekiranya locianpwe tak keberatan, aku hendak mohon diri! akhirnya Thian-leng memberanikan diri berkata kepada orang tua itu. Jenggot perak Lu Liang-ong tiba-tiba mengerutkan wajah, dengusnya: Nanti dulu ! Locianpwe hendak memberi petunjuk apa lagi? Siapa namamu? tanya si Jenggot perak. Thian-leng tertegun, sahutnya: Bu-beng-jin! Bu-beng-jin ? dengus Jenggot perak, kau tak mau mengatakan namamu atau memang tak punya nama? Masakan aku berani mempermainkan locianpwe? Memang Thian-leng tak dapat melanjutkan katakatanya karena sukar untuk menerangkan. Beberapa jenak kemudian baru ia berkata pula: Sedari kecil aku bernasibmalang . Sampai sekarang tak tahu siapa ayah-bundaku, maka O, kiranya kau bernasib begitumalang ! jago Thiat-hiat-bun mengangguk-angguk.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 70 dari 290

Locianpwe, sesungguhnya aku perlu sekali harus cepat-cepat menuju ke gunung Gak-san Perlu apa? tukas Jenggot perak. Nona itu, kata Thian-leng sembari melirik ke arah Ki Seng-wan yang pingsan, menderita luka parah sekali. Kecuali Thay-gak Sian-ong, siapa lagi yang dapat menolongnya. Maka terpaksa aku harus cepatcepat ke sana! Pernah apa kau dengan nona itu? tanya Lu Liang-ong. Sebenarnya bukan apa-apa, tetapi lukanya itu karena ia hendak menolong aku, maka akupun harus membalas budi Eh, andaikata tadi aku tak muncul, apakah kau mampu melanjutkan perjalananmu ke Gak-san? Thian-leng tergagap-gagap: Ini ia tak dapat menemukan kata-kata untuk diucapkan lagi. Ayo, coba jawablah sebuah pertanyaanku lagi! kembali ketua Thiat-hiat-bun itu berkata. Silahkan! Jiwa kalian bertiga, bukankah aku yang menyelamatkan? Sudah tentu, budi locianpwe itu takkan kulupakan. Tetapi aku Aku tak suka berpura-pura.Ada ubi ada talas. Kau sudah hutang budi, sekarang harus membayar! ketua Thiat-hiat-bun tertawa. Thian-leng tertegun mendengar ucapan yang tak diduga-duga itu. Cepat-cepat ia menyahut: Asal locianpwe yang memerintah, aku sanggup menerjang ke dalam lautan api, barisan golok! Ketua Thiat-hiat-bun tertawa: Ah, bukan meminta kau harus menerjang bahaya, hanya ia berhenti sejenak lalu berganti nada berat, kuminta kau meluluskan sebuah hal! Silahkan locianpwe mengatakan! Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa renyah: Urusan itu tak memerlukan kau buru-buru melaksanakan, tetapi cukup kau mengatakan janji dulu. Mengapa locianpwe tak mengatakan sejelas-jelasnya? Jadi kau tak mau meluluskan? nada ketua That-hiat-bun berobah berat. Mana aku berani menolak? Sekalipun locianpwe meminta kepalaku, tentu akan kuberikan. Hanya Hanya bagaimana? tegas si Jenggot perak. Aku merasa heran, mengapa locianpwe tak mau segera mengatakan apakah urusan yang locianpwe kehendaki itu apalagi aku seorang kelana yang tak punya tempat tinggal menentu. Mungkin kelak sukar berjumpa dengan locianpwe, apakah itu tak akan mengecewakan Tak usah kau resahkan hal itu. Pokoknya sekarang kau harus menyatakan persetujuanmu dulu. Thian-leng menimang sejenak, lalu serentak memberi pernyataan: Baik, aku meluluskan! Belum cukup hanya mengucapkan pernyataan saja, kaupun harus bersumpah pada langit! seru LuLiang-ong dengan serius. Aku seorang yang taat akan janji, kiranya janganlah locianpwe meragukan pernyataanku tadi! Selama kau tak bersumpah, tetap aku tak mempercayai! seru Jenggot perak Lu-liang-ong. Thian-leng tertawa masam. Ia anggap orang tua sakti itu memang aneh. Namun karena sudah berhutang budi, akhirnya Thian-leng pun segera berlutut dan menyatakan sumpahnya. Bagus, sekarang bolehlah kau pergi! ketua Thiat-hiat-bun tertawa puas sambil mengusap-usap jenggotnya yang putih seperti perak. Nona Ki, marilah belum habis Thian-leng berkata mengajak pergi Ki Gwat-wan, tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun sudah membentaknya: Kau sendiri yang pergi, kedua anak perempuan ini tinggalkan padaku! Locianpwe Thian-leng berseru kaget.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 71 dari 290

Luka budak perempuan itu keliwat parahnya. Sebelum kau dapat mencapai gunung Gak-san, tentu ia sudah mati di tengah jalan! Terserah pada nasibnya, tetapi aku harus berusaha! Mendengar itu Ki Gwat-wan segera berlutut meminta pada ketua Thiat-hiat-bun: Mohon locianpwe suka menolong adikku yang bernasib malang ini! Jenggot perak Lu Liang-ong mengeluarkan sebuah botol kecil dan menuang sebutir pil warna hijau. Segera ia menyusupkan pil itu ke mulut Ki Seng-wan. Sungguh ajaib, tak berapa lama muka nona itu mulai merah dan napasnya makin deras. Thian-leng dan Ki Gwat-wan girang sekali. Rupanya kau juga banyak urusan, kata ketua Thiat-hiat-bun kepada Thian-leng, nona itu masih perlu mendapat perawatan. Maka jika kau hendak menyelidiki asal-usul dirimu, silahkan pergi. Jangan kuatir, tinggalkan saja nona itu padaku! Sebenarnya Thian-leng memang tak punya perasaan apa-apa terhadap kedua nona kecuali hanya hendak membalas budi. Ucapan orang tua Jenggot perak itu dirasa memang tepat. Dia masih mempunyai beberapa urusan penting mencari tahu asal-usul dirinya dan melaksanakan pesan Oh-se Gong-mo untuk membunuh Song-bun Kui-mo dan merebut kitab pusaka. Tak ketinggalan Cu Siau-bun, pemuda yang baik budi itu Kemanakah locianpwe hendak pergi dan di mana kiranya kelak aku dapat menjumpai? tanyanya. Jangan hiraukan hal itu. Jika aku hendak mencarimu, sekalipun kau berada di ujung langit, setiap saat aku dapat menemukan juga ! Kalau begitu, aku mohon diri, Thian-leng segera pamit. Melihat itu Ki Gwat-wan seperti kehilangan sesuatu. Buru-buru ia menghampiri pemuda itu dan berbisik rawan: Harap Kang-siangkong baik-baik menjaga adikku ini Tak dapat nona itu melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun melesat di tengah mereka dan memberi isyarat agar Thian-leng segera angkat kaki. Terpaksa anak muda itu melangkah pergi. Setelah pemuda itu jauh, tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun tertawa keras: Niu-niu, mengapa kau tak lekas muncul! Sesosok tubuh kecil melayang turun dari sebatang pohon yang beberapa tombak jauhnya. Gerakannya gesit seperti burung walet. Sedikitpun tak mengeluarkan suara ketika kakinya menginjak tanah. Itulah si dara baju kuning Niu-niu. Melihat itu segera Ki Gwat-wan tahu apa sesungguhnya maksud yang tersembunyi dalam percakapan si Jenggot perak tadi. Seketika luluhlah hatinya. Ia membungkuk membisiki ke dekat telinga adiknya yang masih belum sadar, perlahan: Oh, adikku, malang benar nasibmu Niu-niu, bagus tidak caraku bekerja tadi! seru Jenggot perak Lu Liang-ong. Uh, masih bertanya begitu? Apa ingin aku mati kaku? dengus Niu-niu. Mati kaku? ayahnya melongo. Karena kau selalu mengolok saja! Lu Liang-ong membelai-belai rambut puterinya, tertawa: Budak tolol, ayah tahu hatimu. Jangan kuatir, urusan itu tentu beres. Lain kali kau ketemu dengannya, dia adalah milikmu! Wajah Niu-niu merah: Lain kali? Siapa tahu bagaimana dengan lain kali itu ! Lu Liang-ong mencekal dagu si dara, tertawa: Niu-niu, masakan kau begitu terburu-buru? Niu-niu menampar dada ayahnya: Yah, kau benar-benar hendak membuat aku mati kaku! Lu Liang-ong tertawa tergelak-gelak, kemudian berseru kepada Ki Gwat-wan: Bawa adikmu dan ikutlah aku. Dalam dua belas jam tanggung adikmu akan waras kembali! Ketua Thiat-hiat-bun itu segera ayunkan langkah. Niu-niu melirik kedua saudara Ki, tiba-tiba ia gunakan ilmu menyusup suara berkata kepada ayahnya: Yah, kedua anak perempuan itu tak boleh dibiarkan! Liu Liang-ong kerut alis dan menjawab dengan ilmu menyusup suara juga: Habis, kemauanmu?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 72 dari 290

Niu-niu terkesiap, lalu menggeram: Bunuh saja. Aku benci kepada mereka! Membunuh mereka berarti kau akan kehilangan budak laki itu selama-lamanya ! ketua Thiat-hiatbun merenung sejenak, katanya pula: Ketahuilah Niu-niu. Ayah memang cinta dan sayang sekali padamu. Tetapi pun takkan membiarkan kau melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang alam! Niu-niu si dara manja, terkejut sekali mendengar kata-kata sang ayah. Biasanya ayah itu tentu suka bergurau dan memanjakannya sekali. Tetapi kali ini sampai berkata dengan nada yang begitu serius dan bengis! Niu-niu tak Demikianlah *** berani banyak bicara keempat orang itu lagi. Iapun mengikuti saja di belakang ayahnya. segera lenyap dalam kepekatan malam

Entah berapa jauh sudah, hanya ketika cuaca di ufuk timur sudah mulai terang, Thian-leng pun kendorkan langkahnya. Ia menghela napas panjang. Ia bingung apa yang harus dilakukan lebih dulu. Ni Jin-hiong tadi menyebut-nyebut tentang Siau-yau-kiam-kek (Pendekar Pedang Kelana) Pok Thianbeng, tetapi ketua Thiat-hiat-bun mengatakan bahwa sudah belasan tahun tak berjumpa dengan tokoh itu. Ah, bukankah Pok Thian-beng itu orang yang wanita tua Toan-jong-jin menyuruh ia mencari? Dari percakapan tadi, jelas bahwa ketua Thiat-hiat-bun bersahabat baik dengan jago pedang itu. Tetapi mengapa Ni Jin-hiong menanyakan orang itu? Hubungan apakah yang menyelak di antara mereka? Thian-leng benar-benar tak dapat menganalisa persoalan itu. Dan terutama, asal-usul dirinya sendiripun masih merupakan teka-teki besar Tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Ya, ia memutuskan untuk menyelidiki istana Sinbu-kiong di gunung Hun-san saja. Disana ia akan mendapatkan Ma Hong-ing, wanita yang telah mengaku menjadi ibunya dan memelihara selama tujuh belas tahun. Dan Sin-bu Te-kun ialah Song-bu Kui-mo, orang yang dikehendaki Oh-se Gong-mo untuk dibunuh! Sekali tepuk dua lalat. Dapat menyelidiki asal-usulnya dan membunuh momok itu. Memang Sin-bu-kiong penuh bahaya maut, tetapi jika tak berani masuk ke sarang harimau, mana ia akan memperoleh anak harimau? Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, pada hari kedua ia sudah tiba di kaki gunung Hun-san. Sebuah gunung yang tinggi penuh dengan tebing curam dan hutan lebat. Ketika mencapai puncak, bertemulah ia dengan sebuah tempat alam yang strategis sekali. Di atas puncak terdapat sebuah lembah yang empat penjuru dikelilingi karang tinggi. Di tengah lembah terdapat beratus-ratus bangunan gedung. Diam-diam Thian-leng terpaksa memikir-mikir lagi. Istana Sin-bu-kiong yang seolah-olah seperti benteng itu tentu penuh dengan alat-alat rahasia dan penjagaan yang kuat. Teringat akan rejeki yang diperolehnya selama ini, antara lain mendapat saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo, pelajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-jin dan minum pil mujijat Kong-yang-sin-tan dari Sip U-jong, serta ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang sudah hampir sempurna diyakinkan itu, timbullah keberaniannya. Seketika iapun lari menuju ke gedung Sin-bu-kiong. Cepat sekali ia sudah tiba di kaki tembok istana. Tembok yang memagari istana, tak kurang dari tiga tombak tingginya, terbuat dari tumpukan batu-batu besar. Thian-leng gunakan ilmu Ciam-liong-seng-thian (naga muncul ke atas) untuk loncat ke atas tembok. Ia mencekal pedang dan siapkan pukulan Lui-hwe-ciang pada tangan kiri. Tetapi keadaan di sekeliling, sunyi-senyap saja. Hanya lampu yang menyinari menembus atap gedung-gedung itu. Ah, apakah penghuni gedung sudah tidur semua? Demikian sambil berjalan di sepanjang tembok, pikirannya bertanja-tanya. Sekonyong-konyong ia tersentak kaget. Dua sosok tubuh rebah melintang di tanah. Ketika dihampiri, ah, ternyata dua sosok mayat. Dua lelaki berpakaian biru, tangan masing-masing masih mencekal pedang yang menancap pada bahu mereka. Rupanya mereka berusaha hendak mencabut tetapi sudah keburu dihantam lagi oleh musuh. Dari pemeriksaannya, Thian-leng tak mendapatkan suatu luka apapun di tubuh mereka. Tapi jelas bahwa mereka sudah mati beberapa waktu yang lalu. Thian-leng makin waspada. Ia teruskan langkahnya. Hai kembali ia bertemu dua sosok mayat yang keadaannya persis seperti tadi. Berturutturut Thian-leng mendapatkan belasan mayat begitu. Karena baik pakaian maupun cara kematiannya sama, Thian-leng duga mereka tentu rombongan penjaga Sin-bu-kiong. Dengan begitu jelas bahwa
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 73 dari 290

telah ada orang yang mendahului masuk ke Sin-bu-kiong. Tetapi siapakah gerangan orang itu? Jenggot perak Lu Liang-ong? Ah tak mungkin! Tetapi kalau bukan dia siapa lagi yang mempunyai kepandaian begitu sakti? Tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh munculnya sesosok bayangan orang berkelebat di antara jajaran gedung-gedung. Tanpa berayal lagi, Thian-leng segera loncat memburu. Begitu melayang turun ke tanah, ia dapatkan dirinya berada di sebuah taman kecil. Tamanpenuh ditumbuhi pohon-pohon bunga yang harum. Bayangan itupun telah lenyap. Thian-leng terkejut atas kegesitan orang itu. Sejak tadi ia ikuti dengan lekat, tahu-tahu orang itu sudah menghilang di luar pengetahuannya! Hai tiba-tiba ia tersirap demi menangkap derap kaki ringan menghampiri. Ah, ternyata seorang bujang perempuan muncul dari pintu dengan membawa pelita tanduk kambing. Bujang itu melalui taman hendak menuju ke ruang besar. Cepat Thian-leng bersembunyi di balik sebatang pohon. Begitu bujang itu lewat, segera ia tutuk jalan darahnya. Jangan menjerit nanti kubuka jalan darahmu, mau? bentak Thian-leng. Bujang itu mengangguk dan Thian-leng pun segera membuka jalan darahnya. Setelah menghela napas bujang itu berkata terbata-bata: Kau kau Asal kau mau menjawab pertanyaanku, tentu takkan kuapa-apakan! ancam Thian-leng. Silahkan! sahut budak perempuan itu dengan tenang. Rupanya ia sudah mempunyai pengalaman dalam menghadapi bahaya. Apakah Te-it Ong-hui sudah pulang? tanya Thian-leng. Sudah, kemarin dulu! Dan Te-kun? Te-kun tak pernah pergi, sudah tentu tetap berada di istana. Di mana dia sekarang? Di Pek-bong-lo (pagoda seratus impian)! Apakah tinggal bersama dengan Ong-hui? Budak itu agak mengerut alis, ujarnya: Sudah tiga hari ini Te-kun tak pernah berkunjung ke ruang Ingjun-wan. Mungkin Ong-hui akan kesepian. Bawa aku ke sana! seru Thian-leng. Semula budak itu terkejut, tetapi sesaat kemudian ia bertanya: Siapa yang akan kau cari, Te-kun atau Te-it Ong-hui? Te-it Ong-hui dulu! kata Thian-leng. Ia hendak bicara empat mata dengan Ma Hong-ing untuk menjelaskan teka-teki yang selama ini menyelubungi asal-usul dirinya. Tetapi dia lupa bahwa saat itu ia berada di dalam sarang harimau. Setiap saat dan setiap sudut merupakan bencana maut. Baik, mari kuantarkan! tanpa bersangsi budak itupun menyahut. Berputar tubuh iapun balik menuju ke pintu tadi lagi. Thian-leng lekatkan ujung pedang di punggung budak itu dan mengancam: Awas, kalau berani bohong, jiwamu tentu melayang! Setelah melalui belasan pintu bundar dan melintasi lorong yang berbelok-belok, tiba-tiba budak itu berhenti. Ternyata mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi gedung-gedung tinggi berpagar tembok. Kemana kau hendak membawa aku? tegur Thian-leng. Bukankah kau hendak ke gedung Ing-jun-wan menemui Te-it Ong-hui? Thian-leng malu dalam hati mengapa ia begitu menguatirkan seorang budak saja. Kemudian ia bertanya lebih lanjut: Apakah masih jauh? Tidak, tetapi kalau berjalan lurus, mungkin kepergok penjaga. Maka lebih baik mengitar saja, meskipun sedikit jauh.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 74 dari 290

Melihat budak itu ramah-tamah, hilanglah kecurigaan Thian-leng. Demikian mereka meneruskan perjalanan lagi. Kira-kira dua puluhan tombak setelah membeluk pada sebuah gang kecil dan melintasi sebuah lorong sempit, tibalah mereka pada sebuah gedung yang pintunya tertutup. Inilah gedung Ing-jun-wan, kata budak itu. Gedung itu luas sekali, karena temboknya tinggi maka tak dapat Thian-leng memperkirakan dalamnya. Halaman gedung ditumbuhi pohon cemara yang tinggi-tinggi sehingga menambah seram suasana. Benarkah ini Ing-jun-wan? tegas Thian-leng. Budak itu mengangguk: Perlukah kumintakan pintu? Tak usah ... sahut Thian-leng, ingat, jangan mengatakan kepada siapapun atau kau Masakan aku sudah jemu hidup, celetuk budak itu. Kata-kata budak itu menghilangkan keraguan Thian-leng. Sekali loncat ia melesat ke dalam ruangan, hai pada saat tubuhnya melayang, tiba-tiba seperti ada suatu tenaga kuat yang menariknya balik. Berbareng itu terdengar suara orang tertahan. Astaga budak perempuan itu rubuh di tanah tak berkutik lagi! Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia kembali untuk menghampiri. Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh warna biru tegak berdiri di muka segerombol semak yang tumbuh pada tiga langkah jauhnya. Ketika mengetahui siapa orang itu, bukan main girang Thian-leng. Segera ia lari menghampiri dan berseru perlahan: Toan-jong-jin locianpwe, kau di sini ! Kiranya orang itu memang si wanita sakti Toan-jong-jin. Wanita itu cepat-cepat gunakan ilmu menyusup suara: Di sini banyak jago-jago lihay, jangan membikin kaget mereka... Locianpwe, mengapa kau juga baru Thian-leng gunakan ilmu menyusup suara bertanya, Toanjong-jin pun sudah menghela napas: Aku mempunyai beberapa persoalan yang masih gelap, maka hendak kuselidiki kemari Kabarnya kau, ketika di lembah Sing-sim-kiap di gunung Thay-heng-san telah di Mungkin nasibku masih belum ditakdirkan mati, sahut Thian-leng, di dalam bahaya selalu mendapat penolong. Untuk mencari asal-usul diriku, maka akupun Kau benar membereskan hal itu? Locianpwe, ternyata Te-it Ong-hui lah yang memelihara aku selama tujuh belas tahun. Maka aku sengaja kemari hendak Kau sudah ketemu dengannya? Sudah dua kali, tetapi ia Bagaimana? Bukan saja ia tak mau menerangkan asal-usulku, bahkan malah hendak membunuhku. Jika tiada orang sakti yang menolong, mungkin aku sudah binasa di tangannya! Toan-jong-jin kerutkan alis: Betapapun buasnya seekor harimau takkan memakan anaknya. Tetapi mengapa ia Thian-leng tergetar hatinya: Locianpwe, kau maksudkan? Seharusnya ia adalah ibu kandungmu! Bagaimana locianpwe tahu? Bukankah ia bernama Ma Hong-ing? Bukankah ayahmu bernama Nyo Sam-koan? Toan-jong-jin balas bertanya. Thian-leng mengangguk: Benar! Ia memang telah mengakui hal itu, tetapi selama selama tahun ia mengaku bernama Liok Poh-bwe dan mengatakan ayahku bernama Kang Siang-liong Toan-jong-jin tertawa getir: Itu bohong, mungkin karena takut aku nanti mencari mereka! Kembali jantung Thian-leng berdenyut keras, serunya: Locianpwe, sebenarnya apakah kau kenal dengan dia? Mengapa tahu
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 75 dari 290

Toan-jong-jin menghela napas: Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing itu pernah menjadi bujangku selama delapan tahun. Tujuh belas tahun yang lalu baru berpisah. Thian-leng mengeluh tertahan. Ia tak menyangka kalau Toan-jong-jin dan Ma Hong-ing mempunyai hubungan sedemikian erat. Tetapi dalam pada itu Thian-leng pun kecewa sekali. Kalau Ma Hong-ing itu benar ibu kandungnya mengapa sedikitpun tak punya kasih-sayang? Mengapa selalu berusaha hendak mencelakainya? Tidak, tak mungkin Ma Hong-ing itu ibuku! akhirnya Thian-leng mengambil kesimpulan dalam hati. Locianpwe Thian-leng menunjuk ke arah gedung mewah, ibuku berada dalam gedung Ing-junwan, aku hendak menyelidiki soal itu. Toan-jong-jin kerutkan kening tertawa hambar: Itu bukan gedung Ing-jun-wan. Kalau kau masuk, bukan saja kau takkan menjumpai ibumu selama-lamanya, pun kau bakal menjadi setan tanpa kepala Thian-leng seperti disengat kalajengking kejutnya. Baru ia hendak minta keterangan tiba-tiba wajah Toan-jong-jin berobah gelap dan menarik ujung baju Thian-leng untuk diajak bersembunyi di balik gerombolan pohon. Thian-leng cepat mengikuti tindakan wanita sakti itu. Tetapi sampai beberapa saat, keadaan di sekelilingnya tetap sunyi saja. Karena heran, iapun segera bertanya dengan ilmu menyusup suara: Tampaknya tidak ada apa-apa, mengapa locianpwe Berapa jauh jarak pendengaranmu? Seluas 50 tombak jauhnya, aku dapat mendengar daun yang rontok ke tanah! sahut Thian-leng dengan bangga. Kalau kukerahkan perhatian, dalam lingkaran 10 li jauhnya aku tak kena dikelabui oleh suara apapun juga! Hampir tak percaya Thian-leng akan keterangan itu, namun karena tampaknya Toan-jong-jin serius, iapun tak berani menyangsikan hal itu. Apa yang locianpwe dengar saat ini? tanyanya. Tak lama lagi tentu ada orang datang! Than-leng tak mau banyak bicara lagi. Segera ia pusatkan perhatiannya menunggu apa yang akan terjadi Sin-bu Te-kun. Tak lama kemudian, memang terdengarlah derap kaki orang. Pada lain saat muncul serombongan orang. Dua orang yang berjalan di sebelah muka, rupanya menjadi pembuka jalan. Mereka membolangbalingkan pedang ke kanan-kiri dengan sikap yang mengerikan. Kemudian di belakangnya tampak seorang berjubah merah darah. Tubuhnya pendek sekali, kurus dan kecil. Memelihara segumpal jenggot seperti jenggot kambing. Gerakannya bersemangat, matanya bersinar tajam. Mempunyai perbawa yang memaksa orang menaruh rasa hormat! Di belakang mengiring Ni Jin-hiong, kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang bertubuh tinggi besar, ia mengepalai serombongan lelaki tua yang mengenakan jubah warna ungu. Thian-leng menyingkap sebatang ranting kecil. Ketika matanya melihat rombongan orang itu, segera ia gunakan ilmu menyusup suara berkata kepada Toan-jong-jin: Orang itu tentu Song-bun Kui-mo, juga Sin-bu Te-kun yang belakangan ini memalsu sebagai Hun-tiong Sin-mo untuk membunuhi jiwa manusia dan meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah! Saat itu rombongan Sin-bu Te-kun hanya terpisah satu tombak dari persembunyian Thian-leng. Darah Thian-leng mendidih. Digenggamnya pedang pemberian Toan-jong-jin erat-erat. Urat syarafnya tegang sekali. Sin-bu Te-kun alias Song-bun Kui-mo ialah musuh dari Oh-se Gong-mo. Sekalipun bukan guru, tetapi Thian-leng berhutang budi besar sekali kepada Oh-se Gong-mo. Saat itu Song-bun Kui-mo berada di hadapannya, apakah hendak ia biarkan saja kesempatan sebagus itu? Di samping membalaskan sakit hati Oh-se Gong-mo, juga untuk membalas budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo. Karena Song-bun Kui-mo telah memfitnah nama baik Hun-tiong Sin-mo. Dan dan juga untuk kepentingannya sendiri. Ma Hong-ing menjadi Ong-hui (isteri) dari Song-bun Kuimo. Jika keterangan Toan-jong-jin tadi benar, Ma Hong-ing itu adalah ibu kandungnya. Relakah hatinya membiarkan sang ibu diperisteri seorang manusia serigala ?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 76 dari 290

Pikiran Thian-leng melayang lebih jauh Ya, berobahnya watak ibunya sehingga sampai tega hendak membunuhnya serta perbuatannya berlaku serong dengan Ni Jin-hiong, mungkin karena akibat dijadikan isteri oleh Sin-bu Te-kun. Kalau tidak, mungkin ibunya itu tentu masih hidup bersamanya di lembah Pek-hun-koh yang tenteram. Mendadak Thian-leng menganggap Song-bun Kui-mo itu sebagai musuh besarnya! Dan cepat sekali Thian-leng mengambil putusan Lelaki pendek kurus yang memelihara jenggot kambing itu memang Song-bun Kui-mo yang kini berganti gelar sebagai Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-bu-kiong. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti dan memandang ke sekeliling. Jaraknya dengan gerumbul pohon tempat persembunyian Thian-leng hanya 2-3 meter saja. Mayat budak perempuan yang terkapar di muka pintupun hanya dua tombak jaraknya. Sudah tentu Sin-bu Te-kun dan rombongannya tahu. Tetapi di luar dugaan mereka seperti acuh tak acuh. Tetapi selagi Thian-leng terbenam dalam keheranan, sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun memberi isyarat kepada rombongannya: Singkirkan budak itu! Keheranan Thian-leng pecah menjadi rasa kaget. Kiranya Sin-bu Te-kun telah mengetahui mayat si budak. Tetapi mengapa dia bersikap diam saja? Thian-leng palingkan muka ke arah Toan-jong-jin. Tampak wanita sakti itu tenang sekali. Perintah Sin-bu Te-kun segera dilakukan. Dua lelaki berjubah biru menyeret mayat si budak. Sesaat kemudian Sin-bu Te-kun mengusap-usap jenggot kambingnya dengan kelima jarinya yang kurus kering macam cakar. Sekonyong-konyong ia menengadah ke langit dan tertawa nyaring. Orangnya pendek kurus tetapi suara tertawanya ternyata seperti singa meraung. Jantung Thian-leng berdetak keras, darahnya bergolak. Buru-buru ia kerahkan semangat untuk menenangkan darahnya. Berhenti tertawa, tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru: Ni Cong-hou-hwat! Buru-buru Ni Jin-hiong menyahut dengan hormat. Sin-bu-kiong telah mempersiapkan diri untuk menguasai dunia persilatan. Tetapi belum lagi pahlawanpahlawan kita muncul menjalankan tugas, istana kita telah kebobolan musuh. Jika hal ini sampai tersiar Mendengar ucapan itu pucatlah seketika wajah Ni Jin-hiong, ujarnya dengan gemetar: Hamba telah alpa, mohon Te-kun memberi hukuman. Siapa orangnya itu? seru Sin-bu Te-kun. Hamba telah kerahkan penjagaan kuat, tentu dapat Apakah sudah kau ketahui berapa jumlahnya dan dari golongan apa mereka itu? bentak Sin-bu Te-kun dengan gusar. Ini ini hamba segera dapat mengetahui. Segera mereka tentu dapat ditangkap! Ni Jin-hiong makin gugup. Seorang saja dari mereka sampai lolos, awas batang kepalamu! Sin-bu Te-kun berseru bengis. Baik, baik Ni Jin-hiong terbata-bata. Sebelum tengah malam, datang ke Pek-bong-loh terima perintah lagi! seru Sin-bu Te-kun seraya berputar diri hendak berlalu. Sekonyong-konyong sesosok tubuh meloncat dari balik gerumbul pohon dan terus menikamnya. Itulah Than-leng yang sudah tak dapat mengendalikan diri lagi. Bukan saja Sin-bu Te-kun, pun Toan-jong-jin juga terkejut melihat tindakan pemuda itu. Thian-leng telah mengerahkan seluruh tenaganya menyerang. Pukulan kiri melancarkan ilmu Lui-hweciang dan tangan kanan gunakan jurus Liu-hun-ci-thian (awan menutup langit) dari ilmu pedang Tohbeng-sam-kiam. Sin-bu Te-kun terperanjat dan Ni Jin-hiong sekalipun tahu juga, namun karena menurut peraturan Sinbu Te-kun tak beranilah ia sembarangan bergerak. Maka terpaksa ia diam saja.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 77 dari 290

Sin-bu Te-kun kebutkan kedua lengan jubahnya, tersebar asap berhamburan. Dalam batin Thian-leng mengejek. Masakan momok Sin-bu-kiong itu mampu menerima sebuah pukulan dan serangan pedang yang dilambari seluruh tenaganya. Ia hendak menjadikan serangan itu sebagai suatu duel mati atau hidup. Dar terdengar suara menggelegar perlahan. Thian-leng sepert membentur segumpal tembok keras. Matanya berkunang-kunang, pedang hampir terlepas dan tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Untung lwekang-nya cukup kuat, serta lwekang yang dilontarkan Sin-bu Te-kun itu lwekang lunak, sehingga pemuda itu tak sampai menderita luka dalam. Namun sekalipun demikian, cukuplah membuatnya terkejut sekali. Ya, betapa tidak, Sin-bu Te-kun tidak menangkis, melainkan hanya mengebut dengan lengan jubah dan toh cukup untuk membuatnya pusing tujuh keliling Ketika memandang ke muka tampak Sin-bu Te-kun tegak seperti karang, wajahnya beringas murka! Setelah memulangkan napas, Thian-leng pun segera menyerang lagi. Mohon Te-kun memberi perintah kepada hamba untuk menghajarnya bisik Ni Jin-hiong meminta izin. Ia kuatir pemuda itu akan membuka rahasia hubungan gelapnya dengan Ma Hong-ing. Lebih baik dilenyapkan dulu. Hendak kubunuh sendiri, kau mundur saja! dengus Sin-bu Te-kun. Mendengar itu pucatlah wajah Ni Jin-hiong. Keringat dingin membasahi keningnya, namun tak berani membantah. Ia memberi tanda kepada rombongan anak buahnya untuk mundur. Kau membawa berapa konco? tegur Sin-bu Te-kun kepada Thian-leng. Hanya tuanmu ini seorang! Thian-leng menyahut nyaring. Sin-bu Te-kun gusar, segera ia gerakkan jari kanannya untuk menutuk. Ilmu kepandaian yang dibuat andalan Thian-leng ialah pukulan Lui-hwe-sin-ciang dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Tetapi karena serangan pertama tadi gagal, hampir saja nyalinya menurun. Cepat ia siapkan pedang di tangan kiri untuk menyambut. Melihat itu Sin-bu Te-kun turunkan pula tangannya. Siapa namamu? serunya. Bu-beng-jin! Terkesiap Sin-bu Te-kun mendengar jawaban itu, tetapi pada lain kilas ia tertawa: Oh, kiranya orang yang tak bernama Mengapa kau berani masuk ke istana ini? Song-bun Kui-mo, malam ini tuanmu akan mengambil jiwamu! bentak Thian-leng. Wut, kemarahan Sin-bu Te-kun telah ditumpahkan dalam tamparannya. Thian-leng segera menyambut serangan itu dengan pukulan dan tebasan. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun merobah pukulannya, diarahkan ke sebelah kanan. Tampaknya lemah dan tak mengeluarkan suara, tetapi tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh. Sebuah paviliun hancur, atapnya berhamburan ke mana-mana. Itulah akibat dari pukulan Sin-bu Te-kun! Di samping itu, akibat lwekang pertahanan diri dari Sin-bu Te-kun, maka kembali Thian-leng tersurut mundur sampai tujuh delapan langkah Bahkan kali ini, lebih hebat. Bukan saja mata Thian-leng berkunang-kunang, pun tulangbelulangnya terasa sakit, tenaganya serasa lunglai. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam. Lebih baik bunuh diri saja daripada mati di tangan momok jahat itu. Dalam pada itu diam-diam ia heran mengapa Toan-jong-jin tak muncul? Apakah wanita itu marah karena ia bertindak tanpa meminta persetujuan wanita itu? Apakah wanita itu hendak biarkan ia mati di tangan Song-bun Kui-mo? Tetapi mengapa Sinbu Te-kun pun tak jadi menghantamnya? Keheranan itu membuatnya memandang kepada Sin-bu Te-kun. Tampaknya momok itu dingin-dingin saja. Tadi jika sungguh-sungguh kuhantam, kau tentu sudah jadi gumpalan darah! beberapa saat kemudian kedengaran Sin-bu Te-kun berseru. Tuanmu sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi. Hanya aku kecewa kalau mati di tanganmu! bentak Thian-leng. Wajah Sin-bu Te-kun berseri dan tersenyum, nadanyapun lebih ramah. Serunya: Kau tak takut mati? Tak ada kata-kata takut mati dalam hati tuanmu!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 78 dari 290

Sin-bu Te-kun tertawa: Di dunia tak ada orang yang tak takut mati. Sekalipun mulut mengatakan tak takut mati, tetapi dalam hati tentu takut! Mungkin kau hendak berlagak sebagai ksatria gagah Setan tua, itu anggapanmu sendiri. Seorang lelaki, mati boleh hiduppun baik. Tidak seperti manusia tak tahu malu macam kau Amarah Sin-bu Te-kun tak terkendalikan lagi. Kelima jarinya segera ditamparkan ke muka Thian-leng. Jaraknya tak begitu jauh dan Thian-leng pun segera menyabet dengan pedang. Plak entah bagaimana, tahu-tahu tangan Sin-bu Te-kun sudah lebih cepat menampar muka Thian-leng. Pipi pemuda itu merah membara, mulutnya mengucur darah. Thian-leng kaget-kaget marah. Tubuhnya menggigil gemetar dan wajahnya muram membesi. Dengan sisa tenaganya, ia hendak menimpukkan pedang itu kepada lawan. Tahan! Tamparan tadi, hanya sebagai hukuman kecil atas penghinaanmu Sin-bu Te-kun tersenyum, sekarang marilah bicara perlahan-lahan. Tak sudi aku berunding denganmu! Masih tetap tersenyum Sin-bu Te-kun bertanya: Kau mempunyai dendam apa sehingga hendak membunuh aku? Hm, apakah kau tak mengakui bahwa kau ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok)? tanya Thianleng. Aku tak pernah menyangkal dan semua orang persilatan memang sudah mengetahui! Bagaimana hubunganmu dengan Oh-se Gong-mo? Sin-bu Te-kun kerutkan alis, namun dengan nada masih ramah ia menyahut: Bersama-sama menjadi Su-mo dan bersahabat lama, hanya itu ia kerlingkan mata, ujarnya pula: Perlu apa kau tanyakan hal itu? Agar kau tahu alasanku hendak membunuhmu terpaksa harus menyebut hal itu. Tentunya hal itu mencemarkan kau dan kau tentu menyesal! Kurang ajar, aku tak pernah menyesali apa yang kuperbuat, masakan kau Kau telah merebut kitab Im-hu-po-kip milik Oh-se Gong-mo Locianpwe secara licik! Beranikah kau menerangkan secara blak-blakan Apakah kau mempunyai hubungan dengan Oh-se Gong-mo! tukas Sin-bu Te-kun dengan wajah berobah muram. Tidak ada hubungan apa-apa! sahut Thian-leng, tetapi di kala Oh-se Gong-mo hendak menutup mata aku, telah mendapat perintahnya supaya membunuh musuhnya dan merebut kembali kitab pusaka itu! Rupanya kau hanya mendengar keterangan sepihak dari dia saja! sejenak matanya berkeliaran, serunya, karena memandang usiamu masih muda sehingga kena dipergunakan orang, maka aku tak mau membunuhmu. Ketahuilah, bahwa aku hendak membangun kesejahteraan bagi umat manusia, sudah tentu aku tak mau melakukan hal-hal yang hina. Jika kau masih berani menghina namaku, awas, akan kubuat mayatmu tiada tempat berkubur lagi! Thian-leng tak jeri dengan ancaman itu, dengusnya: Selain ini, tuanmu ini masih mempunyi lain alasan lagi untuk membunuhmu! Katakanlah! Sin-bu Te-kun terkesiap heran. Dewasa ini di unia persilatan telah terjadi pembunuhan, dan di mana-mana muncullah Panji Tengkorak Darah. Tetapi kesemuanya itu palsu belaka Thian-leng berhenti untuk memperhatikan wajah Sin-bu Te-kun, kemudian katanya pula: Panji Tengkorak Darah itu sumbernya ialah dari istana Sin-bu-kiong ini. Kau bermaksud hendak membangkitkan kemarahan dunia persilatan terhadap diri Hun-tiong Sin-mo agar kau dapat mencapai tujuanmu menguasai dunia persilatan. Karena satu-satunya orang yang kau takuti ialah Hun-tiong Sin-mo. Jika dia lenyap, kau tentu mudah menguasai dunia persilatan dan malang-melintang di dunia. Tetapi kau salah Semula wajah Sin-bu Te-kun marah tetapi akhirnya tenang kembali, malah lalu berseri-seri. Bagaimana salahnya, serunya. Thian-leng tertawa nyaring: Andaikata Hun-tiong Sin-mo mati, tetapi masih ada lagi Thiat-hiat-bun !
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 79 dari 290

Sebenarnya Thian-leng belum kenal jelas pada Jenggot perak Lu Liang-ong, tetapi karena menyaksikan kepandaian dan perbawa jago berjenggot perak itu sedemikian hebatnya, maka ia mendapat kesimpulan bahwa partai Thiat-hiat-bun tentulah sebuah partai yang paling lihay sendiri. Mendengar itu teganglah seketika kerut muka Sin-bu Te-kun. Mulutnya tergagap-gagap: Thiat-hiat-bun Thiat hiat bun Thian-leng kembali tertawa gelak-gelak: Dan andaikata Thiat-hiat-bun pun dapat kau lenyapkan, tetap masih ada sebuah benda yang akan menghancurkan kau. Lambat atau cepat, kelak kau pasti akan berlutut di hadapan benda itu Apa itu? bentak Sin-bu Te-kun. Bu-lim-ceng-gi! seru Thian-leng tak mau kalah nyaring. Bu-lim-ceng-gi artinya Demi kebenaran dunia persilatan. Bu lim ceng gi ulang Sin-bu Te-kun tersekat-sekat. Tiba-tiba ia tertawa sekeras-kerasnya. Thian-leng tunggu sampai orang berhenti tertawa, baru berkata: Sejak dahulu sampai sekarang, kecongkakan kesewenang-wenangan, kelicikan dan kejahatan, hanya dapat berjalan sementara waktu. Karena pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang! *** Pertaruhan. Budak, bukan saja kau bertulang dan berotak bagus, pun kau pandai berdebat, sungguh hebat! Di luar dugaan Sin-bu Te-kun malah memberi pujian. Hal itu mengejutkan Thian-leng yang bermaksud hendak membikin marah orang. Diam-diam ia maki momok itu sebagai manusia yang licin dan bermuka tebal. Terlintas dalam benak Thian-leng tentang kedudukannya pada saat itu. Ia berada dalam keadaan serba sukar. Tidak dapat mengalahkan lawan, tetapipun tak mampu lolos. Hanya ada dua pilihan baginya: Menyerah atau bunuh dri! Diam-diam ia mempersiapkan diri, daripada malu jatuh di tangan musuh, lebih baik ia bunuh diri saja. Perobahan air muka Thian-leng yang seolah-olah menahan gelombang kemarahan itu, tak luput dari perhatian Sin-bu Te-kun juga. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memandang Ni Jin-hiong dan anak buahnya. Ni Jin-hiong dan sekalian anak buahnya pucat seketika. Mereka cukup kenal akan perangai tuannya itu. Betapa keganasan Sin-bu Te-kun telah diketahuinya. Maka heranlah mereka mengapa Te-kun begitu sabar terhadap pemuda yang berani memaki-makinya. Namun Ni Jin-hiong tak berani mengatakan apaapa. Kalian keluar dulu dari halaman ini, sebelum mendapat perintah jangan masuk! tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru. Tanpa banyak bicara, Ni Jin-hiong pun segera mengajak anak buahnya keluar. Juga Thian-leng sendiripun tak kurang herannya. Namun karena sudah mantap, iapun tak acuh apa yang akan dilakukan oleh si momok. Ia besarkan nyalinya dengan tertawa dingin dan sikap congkak. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghampiri. Dengan seri wajah yang ramah, ia berkata: Lwekang-mu kuat dan ilmu pedangmu luar biasa. Menilik usiamu yang masih muda, tak mungkin hal itu mampu kau yakinkan kecuali kau memperoleh suatu rejeki yang luar biasa! Mungkin! sahut Thian-leng tawar. Apakah kau diterima murid oleh Oh-se Gong-mo? Sin-bu Te-kun tersenyum. Tidak! Sin-bu Te-kun tertegun, ujarnya pula: Oh-se Gong-mo pernah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang di goa Toan-hun-tong. Dan jelas ilmu pukulanmu tadi Tuanmu tak perlu bicara banyak dengan kau! bentak Thian-leng. Kembali Sin-bu Te-kun terkesiap. Namun secepat itu ia menghapus mukanya dengan tertawa: Sejak mengangkat nama di dunia, belum pernah ada orang yang berani menghina diriku. Sejak berpuluh tahun baru kali ini yang pertama kalinya

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 80 dari 290

Ditatapnya wajah Thian-leng dengan tajam, lalu katanya pula: Tetapi kupuji juga keberanianmu itu! Meskipun kau telah memperoleh rejeki luar biasa dan kepandaian yang kau miliki itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu, tetapi bagiku hal itu tetap tak berarti apa-apa! Telah kukatakan, aku tak menghiraukan mati atau hidup. Kalah bertempur dan mati, sudah selayaknya. Momok tua, silahkan kau turun tangan! Thian-leng menantang. Sin-bu Te-kun geleng-gelengkan kepala: Tidak, itu tidak adil! Thian-leng heran, namun ia tahu bahwa manusia licik yang ganas itu tentu menyembunyikan apa-apa dalam keramahannya. Segera ia berseru: Bagaimana maksudmu? Sin-bu Te-kun tersenyum: Baik kita mengadakan taruhan! Taruhan bagaimana? Akan kubuat sebuah lingkaran di tanah. Aku berada dalam lingkaran itu untuk menerima 100 jurus seranganmu! Cara baru yang menarik! Aku hanya bertahan, tak balas menyerang. Silahkan kau gunakan tinju, pedang, jari atau apa saja. Jangankan kau dapat melukai aku, cukup asal kau mampu membuat aku keluar dari lingkaran itu, kau menang! Mau tak mau Thian-leng leletkan lidah. Ia anggap hal itu tak mungkin. Pada lain saat, marahlah ia karena dirinya diremehkan sebagai anak kecil. Setan tua, katakan terus terang saja ilmu sulap apa yang hendak kau pertunjukkan di hadapanku! bentaknya. Akan kutundukkan hati dan mulutmu! bentak Sin-bu Te-kun marah, berani tidak kau? Diam-diam Thian-leng menimbang. Sekalipun pertanyaan itu merendahkan dirinya, namun terhadap momok yang begitu jahat, perlu apa ia harus memegang peraturan persilatan lagi? Apalagi momok itu sendiri yang mengatakan. Karena kau yang menghendaki sendiri, baik kuterima! sahutnya. Kita adakan perjanjian dulu, Sin-bu Te-kun tersenyum. Tuanmu tak punya perjanjian apa-apa. Terserah padamu saja! Kata Sin-bu Te-kun: Kalau dalam 100 jurus kau dapat melukai atau mendesak aku keluar dari lingkaran, aku mengaku kalah dan segera membubarkan istana Sin-bu-kiong. Aku sendiripun akan bunuh diri di hadapanmu. Puaskah kau? Jangan-jangan kau nanti ingkar! seru Thian-leng yang tak percaya akan ucapan itu. Tetapi kalau kau yang kalah, kau harus menyerahkan mati-hidupmu kepadaku. Entah apa yang akan kujatuhkan kepadamu, kau tak boleh membantah! kata Sin-bu Te-kun lebih lanjut. Baik, kuterima! serentak Thian-leng menyambut. Sin-bu Te-kun tertawa meloroh: Tetapi akupun seperti kau tadi, tak dapat mempercayai keteranganmu! Thian-leng terkesiap: Apa syarat kepercayaanmu itu? Sin-bu Te-kun bergontaian melangkah, sejenak kemudian berseru seenaknya: Hanya dengan sebuah cara Cara bagaimana? Bersumpah pada Thian! Bersumpah pada Thian ? Thian-leng menatap tajam pada Sin-bu Te-kun. Ia bingung dibuatnya. Sebenarnya ia tak dapat percaya penuh pada momok itu, namun karena melihat kesungguhannya dan bahkan menurut sumpah, kecurigaannyapun mulai goyah. Ia coba merenungkan apa yang tersirat dalam maksud tuntutan itu. Kemudian tanpa ragu-ragu segera berseru: Tuanmu menerima tuntutanmu itu!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 81 dari 290

Sin-bu Te-kun menyambut dengan gelak tertawa yang gembira. Tiba-tiba ia berteriak memanggil anak buahnya, Ni Jin-hiong muncul dengan dua lelaki baju biru: Te-kun hendak memberi perintah apa? Siapkan meja sembahyang! seru Te-kun. Jin-hiong melongo, tetapi terpaksa ia lakukan perintah juga. Tak lama meja sembahyangpun disiapkan. Setelah dupa disulut maka suasanapun berobah seram. Ni Jin-hiong pun disuruh keluar lagi, Sin-bu Tekun segera mendahului berlutut di muka meja dan mengucapkan sumpah berat. Thian-leng heran melihatnya. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun bangkit dan suruh Thian-leng juga mengucapkan sumpah. Terpaksa Thian-leng menurut juga. Sesaat kemudian Sin-bu Te-kun menggurat sebuah lingkaran kecil di tanah, lalu melangkah masuk ke dalamnya, serunya: Pertandingan boleh dimulai sekarang! Thian-leng menyeringai. Kau sendiri yang mengusulkan pertandingan ini, jangan salahkan tuanmu berhati jahat! Ha, ha, Sin-bu Te-kun tertawa menghina, silahkan tumplak seluruh kepandaianmu, jangan sungkansungkan! Baik, hati-hatilah! seru Than-leng seraya menusuk lurus ke muka. Itulah jurus pertama dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut Hong-jin-hun-yong. Tetapi tusukan itu digerakkan perlahan dan menggunakan 4 bagian tenaganya saja, karena ia hendak menjajaki tenaga lawannya. Sin-bu Te-kun tegak dengan tenangnya. Begitu ujung pedang hampir menyentuh dada, tiba-tiba ia kempiskan dadanya. Ujung pedang tak dapat mengenai, tetapi tampaknya Sin-bu Te-kun seolah-olah seperti tak bergerak apa-apa. Momok itu tertawa sinis, serunya: Satu! Thian-leng terbeliak. Cara penghindaran Sin-bu Te-kun itu sungguh enak sekali, walaupun sebenarnya amat berbahaya sekali. Karena ujung pedang hanya terpisah selembar rambut dari dada. Tetapi Thian-leng tak gentar. Serangannya itu hanya percobaan untuk menjajaki tenaga lawan. Apalagi baru satu jurus, masih ada 99 jurus. Ia yakin tentu dapat sekurang-kurangnya melukai lawan. Nok-hay-keng-liong atau Laut marah mengejutkan naga, jurus kedua dari ilmu pedang Toh-beng-samkiam secepat kilat segera dilancarkan. Seketika tampak segulung sinar pedang seperti ombak besar, mendampar ke tubuh Sin-bu Te-kun. Dan tenaga yang digunakanpun ditambah menjadi sembilan bagian, sehingga menimbulkan deru angin yang dahsyat Dua! tiba-tiba terdengar Sin-bu Te-kun berseru hambar. Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia tarik pulang pedangnya. Tak tahu ia bagaimana cara Sin-bu Te-kun menghindar tadi. Tetapi yang jelas momok itu masih tegak berdiri dengan tenang. Thian-leng menggembor keras dan menyerang dengan jurus ketiga, Liu-hun-ci-thian atau Awan berarak menutup langit. Jurus ini merupakan yang teristimewa dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Seluas tiga tombak keliling, telah diliputi oleh gulungan sinar pedang. Sin-bu Te-kun pun seolah-olah tertelan dalam gulungan sinar pedang. Tetapi heran gulungan sinar pedang yang tak dapat tertembus air hujan itu, sedikitpun tak dapat menyentuh secarik pakaian Sin-bu Te-kun! Tiga! terdengar Sin-bu Te-kun berseru tawar. Thian-leng pucat seketika. Mimpipun tidak ia, bahwa ternyata Sin-bu Te-kun itu seorang sakti yang luar biasa. Kedua kakinya tetap terpaku namun mampu menghindari gelombang sinar pedang yang sedemikian gencarnya. Di lain pihak, Sin-bu Te-kun saat itu tampak berseri-seri memandang kepadanya. Sekonyong-konyong Thian-leng meraung. Laksana seekor harimau kelaparan, ia menerjang lawan. Kali ini ia menyerang dengan kedua tangannya. Tangan kiri menghantam dengan pukulan Lui-hwe-sinciang dan tangan kanan menyerang dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kian. Tinju dan pedang serempak digunakan bersama. Walaupun tubuh Sin-bu Te-kun itu terbuat dari daging baja dan tulang besi, namun tak mungkin ia dapat terhindar dari luka-luka. Empat! tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru pula, ia tampak tegak di dalam lingkaran. Sedikitpun kakinya tak berkisar

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 82 dari 290

JILID 5 Ilmu Melawan Otak JILID 5 Ilmu melawan otak Nyali Thian-leng turun dengan drastis. Jurus yang paling istimewa telah digunakan, namun tak dapat menyentuh secarik pakaianpun dari Sin-bu Te-kun. Iblis itu seakan-akan memiliki kesaktian dapat membuka langit menyusup bumi. Suatu gambaran muram terlintas dalam benak Thian-leng. Kekalahan mulai membayang di mukanya, dan apakah hukuman yang akan dijatuhkan Sin-bu Te-kun kepadanya nanti.. Namun karena sudah mengucapkan sumpah, apapun hukuman itu, ia harus menerima dengan rela, dan untuk itu ia tak menyesal sedikitpun juga. Tetapi ada suatu hal yang menjadi pemikirannya. Dengan kesaktian itu, jelas bahwa Sin-bu Te-kun mudah sekali untuk membunuhnya. Mengapa ia perlu mengusulkan pertaruhan seganjil itu? Apakah yang tersembunyi di balik tindakan Sin-bu Te-kun yang aneh itu? Tetapi ah, apa pedulinya dengan itu. Toh ia sudah mengambil keputusan. Apabila dalam jurus ke sembilan puluh sembilan nanti ia tetap gagal, segera ia hendak bunuh diri.... Hai budak, masih ada sembilan puluh enam jurus lagi, mengapa tak lekas menyerang? tiba-tiba Thianleng dikejutkan oleh tertawa mengejekdari Sin-bu Te-kun. Tertawa itu membangkitkan kemarahan Thian-leng. Serentak ia menyerang lagi dengan pukulan dan pedang. Lima! kembali terdengar Sin-bu Te-kun menghitung. Disusul lagi dengan seruan berturut-turut, Enam ! . Tujuh ! .Delapan ! .Sembilan ! ..Sepuluh ! Thian-leng seperti orang kalap. Tinju dan pedang dilancarkan sederas-derasnya. Cepat sekalilima puluh jurus sudah berlangsung. Pukulannya memang sedahsyat gunung rubuh, dan tebasan pedangnya segencar hujan mencurah. Namun Sin-bu Te-kun yang bertubuh pendek kurus itu tetap seperti bayangan saja. Jelas tampaknya ujung pedang sudah menusuk kena, tetapi entah bagaimana tiba-tiba meleset lagi ke samping. Kedua kaki momok itu seolah-olah berakar di tanah ! Thian-leng tersentak kaget demi mendengar Sin-bu te-kun menghitung sampailima puluh jurus. Serempak ia menghentikan serangannya. Kini jelas seperti burung dara terbang di siang hari, bahwa ia akan kalah. Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Separoh dari seratus jurus telah selesai, ternyata harapanmu memang tipis sekali ! Thian-leng mengkal dan gusar sekali, gelisah dan gugup. Badannya terasa dijepit oleh dua buah batu karang yang membuatnya tak dapat bicara lagi. Tiba-tiba ia menyadari suatu kekeliruan. Serangan secara kilat memang hebat sekali. Tetapi ia tak dapat melihat bagaimana cara lawan menghindarkan diri. Masih ada kesempatan lima puluh jurus untuk mengganti siasat baru. Keputusan itu dimulai dengan sebuah serangan perlahan menusuk ke dada lawan. Bahkan kali ini tidak menurut tata cara ilmu pedang lagi. toh Sin-bu Te-kun hanya membela diri dan tak boleh balas menyerang ! Perobahan siasat itu telah memberinya hasil seperti yang diharapkan. Pada saat ujung pedang menuju ke dada, tampak tubuh Sin-bu Te-kun bergeliatan dan pada saat itu mengeluarkan semacam tenaga lwekang lunak untuk mendorong ujung pedang ke samping, sehingga pedang itu lewat di sisinya dan orangnya berkisar ke samping! Kini jelaslah bagi Thian-leng! Tadi karena ia menyerang secara cepat sehingga tak mengetahui gerak lawan. Kiranya kini ketahuanlah bahwa Sin-bu Te-kun bukan malaikat atau menggunakan ilmu sihir, melainkan menggunakan gerakan tubuh dan tenaga lwekang juga. Hanya gerakan dan lwekang itu memang tepat sekali digunakannya. Lima puluh satu. seru Sin-bu Te-kun. Hai budak, kau sungguh cerdik ! Thian-leng seolah-olah tak mendengar pujiannya, seluruh perhatiannya terpesona melihat keindahan jurus-jurus gerakan Sin-bu Te-kun yang luar biasa. Habis menyerang, diam-diam Thian-leng mencatatnya dalam hati.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 83 dari 290

Selanjutnya menyeranglah ia dengan perlahan-lahan. Baik memukul maupun menusukkan pedang, ia gunakan gerakan perlahan sekali. Begitu pula arah dan bagian tubuh lawan yang diserang, selalu diganti-ganti. Dengan demikian dapatlah ia mengetahui lebih banyak lagi tentang jurus-jurus Sin-bu tekun yang ajaib. Thian-leng tak menghiraukan lagi bahwa berturut-turut Sin-bu Te-kun terus menghitung dari lima puluh dua, limapuluh tiga , terus naik .nalk sehingga menjadi jurus ke sembilan puluh. Thian-leng seakan-akan mabuk dan lupa segalanya. Seluruh pikirannya tertumpah mengikuti gerakgerik Sin-bu Te kun yang aneh itu. Memang demikianlah orang yang mempelajari ilmu silat. Apabila menyaksikan suatu ilmu silat baru yang luar biasa anehnya, tentu akan tertarik perhatiannya. Dan Thian-leng pun seperti orang yang kena sihir! Ia lupa bahwa sepuluh jurus lagi akan selesailah pertandingan itu dengan membawa kekalahan baginya. Tiba-tiba terdengar suara bentakan lantang di tengah udara, Budak tolol, masih tak berhenti? Sesosok bayangan kuning melesat dan tahu-tahu muncullah seorang dara yang cantik sekali. Kemunculannya yang begitu mendadak dan cepat itu bukan saja mengejutkan Thian-leng, juga Sin-bu te-kun tercengang. Bagi Thian-leng merupakan suatu keuntungan karena saat itu tersadarlah ia dari pesonanya. Ia gelagapan. Ya, sepuluh jurus lagi dan ia harus bunuh diri karena menderita kekalahan! Dipandangnya dara itu, amboi. itulah dara yang dijumpainya di biara tempo hari. Ya, si dara baju kuning yang angkuh dan menjengkelkan! Dan serempak dengan itu, teringatlah Thian-leng pada wanita sakti Toan-jong-jin. Kemanakah gerangan perginya wanita itu. Mengapa sampai sekian lama tak juga wanita itu unjuk diri? Tiba-tiba ia berpaling ke arah gerombolan pohon. Ah, gerombol itu sunyi senyap saja. Hanya ada dua kemungkinan, Toan-jong-jin masih bersembunyi di situ tapi tak berani bergerak atau memang sudah pergi. Si dara melirik Thian-leng dan tersenyum tawa. Bagus, dalam satu malam ini rupanya banyak tamu berkunjung. Entah bagaimana harus. tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa. Apakah kalian datang bersama?" tiba-tiba ia memebentak. Hm, siapa kenal padanya? Siapa datang bersamanya? dengus dara itu. Mendengar itu Thian-leng kerutkan alis. Ia mendongkol dengan sikap acuh tak acuh dara angkuh itu, namun diam-diam ia berterima kasih juga. Karena kemunculan dara itu telah membuatnya menyadari kenyataan yang dihadapi saat itu. Namamu? seru Sin-bu Te-kun pula. Lu Bu-song ! sahut si dara. Sin-bu Te-kun kedipkan mata, serunya tersekat, Lu Bu-song ?.... Kau ini. Kalau tak dapat mengingat, baik tutup saja mulutmu ! lengking si dara. Sin-bu Te-kun tersenyum, Tetapi dari gerakan-gerakanmu datang kemari, tentulah kau seorang yang mempunyai nama besar juga, mungkin. Sin-bu Te-kun sengaja tak mau melanjutkan kata-katanya dan segera mengganti dengan pertanyaan, Katakan maksud kedatanganmu ! Untuk menelanjangi akal bulusmu ! seru si dara. Sin-bu Te-kun marah, Aku selalu bertindak dengan terang-teranga, mengapa. Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena terputus oleh ketawa Lu Bu-song yang nyaring dan panjang. Apa yang kau tertawakan ? tegur Sin-bu Te-kun. Lu Bu-song berhenti tertawa dan menyahut, Katakan saja apa rencanamu terhadap dirinya. ? Di kala mengucapkan kata-kata terakhir si dara kembali melirik ke arah Thian-leng. Setelah itu cepat-cepat berpaling ke muka lagi. Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Apakah kau dengan dia ? Aku hanya membicarakan persoalan, jangan banyak bicara yang tak berguna ! bentak si dara.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 84 dari 290

Sin-bu Te-kun tertawa, Dia berani masuk ke Sin-bu-kiong dan membunuh belasan penjaga. Menurut peraturan Sin-bu-kiong, harus dijatuhi hukuman mati. Tetapi aku justru membebaskannya dari hukuman itu dan melainkan mengajaknya taruhan bertanding dalam seratus jurus. Itulah suatu kemurahan besar. Bu-song cebikan bibirnya, Ucapan yang indah merdu, sayang keluar dari mulutmu ! Kecuali budak goblok itu, siapapun tentu tak percaya ! Thian-leng mendelik, mukanya merah padam. Menurutmu, bagaimanakah muslihatku itu ? Sin-bu Te-kun berseru marah. Tangkas sekali dara baju kuning itu menjawab. Sebelumnya kau sudah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Meskipun kuat, tapi tidak dahsyat. Meskipun aneh, tapi tidak sempurna. Dengan kepandaianmu, terang kau dapat mengalahkannya dalam seratus jurus. itulah maka kau lantas purapura jual kemurahan hati. Aku dapat membunuhnya dengan seketika, perlu apa harus mengatur tipu muslihat! Justru di situlah letak rahasia muslihatmu! Jelaskan! Untuk menundukkan orang, harus menundukkan hatinya. Sekalipun kau tak dapat menundukkan hatinya, tapi kau akan membuatnya menyerah tanpa syarat, karena kau tahu dia tentu tak mau ingkar janji, seorang yang keras hati. Aku tak mengerti omonganmu! Melakukan sumpah, mengadakan pertandingan seratus jurus. Ya, entah apa saja yang kau usulkan dia tentu menerima, karena dia tak mau menjilat ludahnya. Apalagi selama pertandingan seratus jurus itu berlangsung, sengaja kau memberi pelajaran, sehingga dia makin jinak dalam cengkeramanmu ! Perlu apa aku membutuhkannya? Bakat bagus, sukar dicari. Mungkin kau hendak mengambilnya sebagai murid untuk menjadi pewarismu! Tiba-tiba Sin-bu te-kun tertawa keras. Lama kumandangnya bergema di seluruh istana. Salahkah bicaraku? tegur Bu-song. Benar.benar. tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti tertawa dan maju selangkah, kemudian tertawa sinis, kecerdasanmu menggembirakan hatiku. Akupun ingin sekalian memungutmu menjadi putri angkat! Tak sudi! dengus si dara. Wajah Sin-bu Te-kun membesi seketika, serunya bengis. Apa yang kuhendaki harus tercapai, kalau tidak, lebih baik kuhancurkan saja. Membiarkan seorang seperti kau hidup di dunia, berarti menanam bahaya di kemudian hari. Jika kau tak mau menjadi anak pungutku, lebih baik kuhancur-leburkan tubuhmu saja ! Masakah kau berani! lengking Bu-song. Masakah kau mampu bertanding dengan aku? Sin-bu Te-kun marah. Bu-song tertawa hina, Mungkin aku tak menang, tetapi sekalipun bisa menang, akupun tak sudi mengotorkan tangan bertanding dengan manusia semacam kau sejenak ia kedipkan mata, serunya pula, Barangkali kau lupa namaku! Sin-bu Te-kun terkesiap, ujarnya, Tidak, aku tak lupa, tetapi karena kau berani masuk ke istanaku, kalau kubunuhpun kakekmu yang tersayang itu juga tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku! Lu Bu-song tetap tertawa hina, Kakekku seorang memang tak perlu kau takuti. Tetapi beliau adalah ketua dari sebuah perkumpulan besar. Dan saat ini beliau mengajak rombongan tokoh-tokoh sakti masuk ke Tionggoan. Mungkin dalam waktu yang singkat akan menyelenggarakan suatu Eng-hiong-tayhwee ( pertemuan besar para orang gagah), untuk menguji kepandaian dengan jago-jago persilatan dari daerah Tionggoan. Nah, hal itu besar sekali pengaruhnya terhadap kewibawaanmu. Menjadi musuh atau menjadi kawan, tergantung pada tindakanmu ia berhenti sejenak, lalu berkata pula. Jika berhasil mendapat dukungan partai Thiat-hiat-bun, tentu mudah sekali hendak
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 85 dari 290

menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Namun jika menempatkan Thiat-hiat-bun sebagai musuh, mungkin namamu akan hancur di dalam sampah. Paling tidak kedua-duanya tentu sama menderita kerugian besar! Thian-leng tergetar hatinya. Kini baru ia tersadar kalau hampir saja masuk ke dalam perangkap Sin-bu Te-kun. Jika ia melaksanakan keputusannya untuk bunuh diri, bukankah akan sia-sia saja pengorbanannya itu? Dan kini tahu juga ia bahwa orang tua jenggot perak yang menjadi ketua partai Thiat-hiat-bun itu ternyata kakek si dara baju kuning. Eh, mengapa dara itu juga menyelundup ke Sin-bu-kiong? Ia mempunyai rencana sendiri atau memang hanya hendak menolongnya? Mengapa? Ya, Mengapa? Apakah dara itu..? Dan yang paling meresahkan hatinya ialah, bahwa penyaluran lwekang 18 tahun dari Oh-se Gong-mo dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-jin, ternyata tak dapat mengapa-apakan Sin-bu Te-kun. Taruh kata nanti ia dapat keluar dari Sin-bu-kiong, tetapi cita-citanya untuk melakukan pembalasan akan kabur selama-lamanya. Tampak Sin-bu Te-kun mengerutkan alisnya, merenungkan ucapan si dara. Beberapa jenak kemudian tiba-tiba ia tertawa sinis, Ha, budak perempuan, meskipun otakmu cerdas sekali, bicaramu sangat tajam, tetapi kali ini kau salah hitung! Salah hitung!? Bu-song terkesiap. Sin-bu Te-kun tertawa keras, Kakekmu itu menyayangi dirimu melebihi jiwanya sendiri. Segala permintaanmu tentu dituruti! Boleh dikata begitulah! sahut Bu-song. Sin-bu te-kun makin gembira, Kalau begitu akupun tak mau membunuh, tetapi juga tak akan melepaskanmu. Hendak kukurung kau dalam istanaku sini. Bu-song tersentak kaget. Memang ia tak memperhitungkan kemungkinan itu. Melihat perubahan wajah si dara, tertawalah Sin-bu te-kun, Dengan barang tanggungan dirimu, masakah kukuatir kakekmu takkan menurut perintahku! Sejenak saja mengedipkan mata, Bu-song sudah mendapat ketenangannya lagi, serunya tawar, Jika kemungkinan itu aku tak dapat memperhitungkan, aku benar-benar seorang goblok! Andaikata dapat memikirkan, pun apa gunanya. Asal kau terkurung dalam istana ini, sekalipun kakekmu mempunyai tiga kepala dan enam lengan, juga tentu takkan berani main-main mempertaruhkan jiwamu ! Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Untuk menghadapi kemungkinan itu, aku telah mengatur persiapan! dengus Bu-song. Sin-bu Te-kun tertegun, serunya, Coba katakanlah ! Senaknya saja Bu-song berkata, Pertama, jika kau berani menyerang aku, akupun segera memberikankan tanda.. Begitu kakekmu tiba, kau sudah menjadi tawananku! Sin-bu Te-kun tertawa. Tentulah kau kenal pada Thiat-hiat Su-kiat dari Thiat-hiat-bun? Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat tokoh gagah dari partai Thiat-hiat. Kalau tahu lalu bagaimana ? jawab Sin-bu Te-kun. Sedang aku yang masuk ke sini orang-orangmu tak mengetahui, apalagi Thia-hiat Su-kiat yang jauh lebih lihay dari aku, mungkin.. Kali ini Sin-bu Te-kun terbeliak, serunya, Kau maksudkan. Thia-hiat Su-kiat datang bersama aku. Mereka menjaga keselamatanku secara diam-diam. Asal kau berani bertindak, merekapun tentu akan turun tangan! Hm, Thiat-hiat Su-kiat mau menggertak aku? tukas Sin-bu Te-kun. Mungkin tidak mampu. Tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu melibat kau dalam pertempuran seru mengobrak-abrik istanamu. Selain itu. sejenak Bu-song kerlingkan ekor mata, katanya pula, Kakekku akan memimpin rombongan tiga puluh enam Thian-kong dari tujuh puluh dua Te-sat ( namahttp://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 86 dari 290

seru

Bu-song.

nama tingkatan tokoh-tokoh dalam Thiat-hiat-bun ) untuk mengurung istana Sin-bu-kiong. Begitu di dalam istana timbul gerakan, mereka tentu segera menerjang masuk. Siapa tahu istanamu ini akan diratakan, paling tidak tentu akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangunnya lagi. Dan kemungkinan juga akan meludaskan jiwamu sekali Tampaknya Sin-bu Te-kun percaya akan ancaman si dara. Hatinya gelisah. Mengingat bahwa kedua anak muda itu toh mampu menyelundup dari penjagaan Sin-bu-kiong, Sin-bu Te-kun jengkel dan marah. Namun sebagai rase tua yang berpengalaman, ia tak mau menunjukkan kegentarannya. Segera ia berpaling dan berseru kepada Thian-leng, Pertandingan kita tadi, masih kurang sepuluh jurus. Ayo, lekas selesaikan, karena aku hendak segera membereskan budak perempuan itu. Sin-bu Te-kun melangkah ke dalam lingkaran dan tegak menunggu serangan. Hal itu menggelisahkan Thian-leng. Ia sudah melakukan sumpah dan menyatakan janji. Tak dapat ia menarik omongan lagi. Apalagi pertandingan sudah berjalan sembilan puluh jurus. Tetapi jika melanjutkan pertandingan, hasilnya sudah jelas. Thian-leng seperti limbung, namun ia tetap maju menghampiri dan siap menyerang Sin-bu Te-kun lagi. Bu-song mengikuti gerak-gerik pemuda itu. Setelah Thian-leng hendak menyerang, barulah ia berteriak, Bu-beng-jin, apakah kau sungguh hendak jadi budaknya seumur hidup! Thian-leng tertegun serunya, Janji sudah diucapkan, laksana kuda terlepas dari kendali. Bagaimana akibatnya, bukan soal. Aku hanya hendak melaksanakan janji! Bu-song mendengus, Goblok, apakah kau tak dapat tak melanjutkan pertandingan itu? Ini. ini. kening Thian-leng mengerut. Sin-bu Te-kun tertawa hina, Hm, menolak melanjutkan pertandingan berarti ingkar janji. Sebagai putra persilatan, sudah tentu dia tak mau ingkar janji menolak pertandingan! sahut Bu-song. Habis mengapa kau banyak mulut! bentak Sin-bu Te-kun. Bu-song tertawa dingin, Aku hanya menganggap dia goblok sekali. Toh bisa saja dia minta pertandingan itu diundur! Thian-leng seperti orang tersadar dari mimpinya. Cepat ia menanggapi, Benar, di dalam perjanjian tak disebut bahwa pertandingan itu harus selesai dalam saat itu juga. Maka sisa sepuluh jurus, lain hari saja kita lanjutkan. Tuanmu hendak pergi dulu! Jenggot kambing Sin-bu Te-kun menjengit , bentaknya, Ngaco..! jubahnya mengembung, darahnya memancar keras. Ia marah sekali dan hendak menghantam Thian-leng. Eh, kau mau naik pitam ? Lupa malu mau menyerang ? Bu-song menertawakan. Gemetar tubuh Sin-bu Te-kun karena marahnya. Ya, aku tak peduli bagaimana akibatnya, malam ini aku hendak membunuhmu budak ! Habis berkata segera ia mengangkat lengannya. Hai, jika urusan kecil tak dapat menahan hati, urusan besar tentu kapiran. Apakah kau benar-benar mau turun tangan tanpa pertimbangan lagi? Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika. Ia termangu-mangu. Tiba-tiba terdengar tiga kali lengking genta bertalu. Seketika berserilah wajah Bu-song, serunya, Nah, itulah kakekku sudah datang. Seketika alis Sin-bu Te-kun mengerut cekung. Dengan mata berapi dibakar kemarahan dan kebencian dipandangnya si dara. Habis itu tanpa berkata apa-apa, ia terus melesat pergi. Rupanya tiga kali lengking genta tadi merupakan pertandaan penting. Maka tanpa menghiraukan kedua anak muda itu, Sin-bu te-kun segera meninggalkan mereka. Dengan muka tersipu-sipu malu, Thian-leng segera menghaturkan terima kasih, Terima kasih, nona. ooo0000ooo Si dara merah Pipi Bu-song bersemu merah. Diliriknya pemuda itu dengan setengah menyesali, Aku hanya secara kebetulan saja lewat di sini. Sekali-kali bukan sengaja datang untuk menolongmu... tiba-tiba ia hentikan

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 87 dari 290

kata-katanya. Ia merasa makin memberi penjelasan makin ketahuan kalau ia memang datang memberi pertolongan. Sebenarnya Thian-leng tak menaruh perhatian akan hal itu. Kini ia memandang ke arah gerumbul pohon tempat ia bersembunyi tadi. Cepat ia lari menghampiri. Ah, ternyata Toan-jong-jin tak berada di situ. Siapa yang kau cari? tegur Bu-song. Tidak apa-apa eh kalau nona datang bersama rombongan, mengapa Cepat Bu-song gunakan ilmu menyusup suara menukasnya, Apa yang kukatakan tadi hanya gertakan kosong saja. Thia-hiat Su-kiat dan kakekku tidak tahu kepergianku! Thian-leng kerutkan dahinya, Mengapa nona menempuh tempat yang berbahaya ini. Andaikan terjadi sesuatu Aku menuruti kesukaan hatiku, apa pedulimu! Bu-song tertawa. Thian-leng tertegun. Dara itu memang centil sekali, pintar mendamprat orang. Ujarnya, Kalau begitu, momok itu tentu akan kemari lagi, lebih baik nona lekas tinggalkan tempat ini. Aku sudah terlanjur masuk ke sarang hantu, tak mau kupergi tanpa hasil. Sekurang-kurangnya hendak kutemui Te-it Onghui itu! Bu-song tertawa dingin, Kalau kau tak pergi, perlu apa mengusir aku. tiba-tiba ia merasa kelepasan omong lagi, mukanya merah. Diam-diam ia jengkel terhadap dirinya sendiri. Ia seorang dara yang centil, tetapi mengapa selalu limbung terhadap pemuda itu. Syukur Thian-leng tak mengetahui hal itu. Ia mengerutkan sepasang alisnya, Aku memikirkan kepentingan nona, karena kakek nona Hampir Bu-song tak dapat menahan gelinya. Jika tadi ia terlambat datang menelanjangi muslihat Sin-bu Te-kun, mungkin pemuda itu sudah menjadi seorang budak belian yang terbelenggu kemerdekaannya. Sekalipun aku dapat menerobos penjagaan Sin-bu-kiong yang kuat, tetapi untuk keluar tidaklah semudah itu. Dikuatirkan momok itu sudah menyiapkan jago-jagonya untuk menutup semua jalan keluar! Maksud nona, apakah? Thian-leng mengerutkan kening. Lebih baik kutemui Te-it Ong-hui juga, mari kita bersama-sama mencarinya! dengus Bu-song. Thian-leng cukup kenal perangai si dara. Terpaksa ia menuruti saja. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia bersangsi. Gerumbul pohon cemara yang lebat dan gedung yang pintunya tertutup rapat itu, menurut Toan-jong-jin bukanlah wisma Ing-jun-wan, tetapi sebuah tempat yang berbahaya sekali. Thian-leng hentikan langkah, berdiri terlongong-longong! Bah, goblok, bagaimana kau? Bu-song tak dapat menahan tertawanya lagi. Sebenarnya jengkel juga Thian-leng selalu dimaki goblok itu. Namun karena mengingat budi terpaksa ia menahan sabar. Ujarnya, Aku hendak mencari tempat kediaman Te-it Ong-hui, tetapi tak tahu yang mana! Gedung dalam istana Sin-bu-kiong tak terhitung jumlahnya. Kamarnya ribuan buah. Sudah tentu sukar mencarinya, apalagi para penjaganya tentu tak akan membiarkan kau mencari satu persatu. Kalau demikian, bukankah.. Mumpung Sin-bu Te-kun menyambut tamu di luar, kita berusaha menerobos. Kalau tidak tentu sukar meloloskan diri! Thian-leng gelengkan kepala, Sudah terlanjur masuk ke sini, tak dapat aku pergi dengan begitu saja! Thian-leng mengucapkan kata-katanya dan lantas melangkah ke muka. Bu-song deliki mata dan menggeram. Namun terpaksa ia mengikuti juga. Mereka berjalan di sebuah lorong, tetapi belum setombak jauhnya, empat orang yang berjubah ungu menghalang dengan bentakan bengis. Thian-leng mencekal pedang erat-erat, bentaknya, Tahukah kau di mana wisma Ing-jun- wan?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 88 dari 290

Salah seorang baju ungu itu tertawa hina, Kami mendapat tugas untuk menjaga tempat ini. Sebelum Te-kun kembali, kalian tidak boleh pergi! Eh, kalian hendak mencari mati? Thian-leng berseru gusar. Ia kibatkan pedangnya, seketika berhamburanlah segulung sinar dingin. Keempat penghadang itu memelihara jenggot putih yang menjulai ke dada. Matanya bersinar tajam. Baik usia dan dandanannya serupa dengan Ni Jin-hiong. Tiba-tiba mereka mencabut pedang. Gerakannya serempak dan tangkas sekali sehingga Thian-leng terkesiap. Saat itu Bu-songpun tiba dengan dampratannya, Goblok, mengapa tertegun ia taburkan tangannya, serunya, Keadaan sudah mendesak, mengapa tak menempur? Keempat pengawal baju ungu itu agak terkejut ketika diri mereka tertusuk jarum kepala burung Hong ( Hong-thau-kiong) . Mereka mundur selangkah. Tetapi jarum itu tidak beracun dan tidak mengenai jalan darah penting. Apalagi mereka berempat berkepandaian tinggi, dengan serentak jarum itu dicabutnya. Sekalipun begitu, ilmu menebar jarum dari si dara cukup menggetarkan hati mereka. Saat itu Thianlengpun tak mau berayal lagi. Ilmu pedang toh-beng-sam-kiam dan pukulan Lui-hwe-sin-ciang, segera dilancarkan dengan gencar ! Ilmu pedang ke empat pengawal baju ungu itu hebat juga. Apalagi mereka maju bersama, selang beberapa jurus, pertandingan tetap berimbang. Bu-song marah bukan kepalang, dengan melengking nyaring ia menyerang dengan pedangnya. Seketika berobahlah jalannya pertempuran. Terdengar jeritan dari seorang pengawal baju ungu yang terpapas kutung sebelah tangannya! Mendapat angin, thian-leng menggerung dan melepaskan tiga buah pukulan danlima kali tebasan. Dengan bantuan Bu-song, sekejap saja mereka dapat mendesak mundur ketiga lawannya. Lekas lari! seru Bu-song seraya menerobos keluar. Tetapi baru beberapa langkah, ia sudah didampar oleh tenaga dahsyat dan bentakan keras, sehingga kepalanya pusing. Hampir saja dara itu tak dapat mempertahankan keseimbangan dirinya. Thian-leng yang menyusul tiba terkejut sekali. Ternyata yang menghadang kali ini adalah Ni Jin-hiong. Di Belakangnya tegak belasan anak buahnya dalam seragam warna ungu. Jelas mereka itu ialah rombongan jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong. Hm, apakah kalian hendak menghadang kami? bentak Bu-song. Bukan hanya menghadang, tapi hendak mencincang kalian berdua sahut Ni Jin-jiong dengan bengis. Kemudian ia memebri perintah kepada anak buahnya, Tangkap kedua budak itu hidup atau mati! Belasan jago-jago kelas satu itu mengiyakan. Serempak mereka menyerang. Thian-leng cepat menyrang Ni Jin-hiong. Karena pernah menderita kerugian menghadapi ilmu pedang Toh-beng-samkiam maka Ni Jin-hiong bertempur dengan hati-hati sekali, maka dapatlah Thian-leng mendesaknya mundur. Sambil menarik pulang serangan, Thian-leng berseru pada Bu-song dengan ilmu menyusup suara, Harap nona lekas lolos, biarlah aku yang menghadapi urusan di sini. Goblok! Jangan banyak bicara kosong, curahkan perhatianmu sepenuhnya untuk menghadapi musuh! tukas Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara. Thian-leng mengerutkan keningnya. Ia bertempur lagi dengan seru. Belasan jago-jago baju ungu itupun cepat menerjang. Kepandaian mereka memang hebat, apalagi jumlahnya banyak. Bu-song terkurung dan Thian-leng pun sibuk sekali. Bu-song menggunakan taktik, sambil memainkan pedang, tangan kirinya tak henti-hentinya menaburkan jarum Hong-thau-kiong. Setiap batang jarum tentu mendapat hasil, tetapi karena jarum itu tak beracun dan hanya dapat menimbulkan luka kecil, maka belasan jago baju ungu itupun tidak menderita apa-apa. Mereka tetap melancarkan serangan bertubi-tubi. Tak berapa lama, jalannya pertempuranpun berubah lagi. Ilmu pedang Bu-song tak sehebat ilmu pedang Thian-leng. Jarum Hong-thau-kiong pun telah dipakai habis. Berhadapan dengan Ni Jin-hiong saja, Thian-leng sudah payah, apalagi menghadapi serangan serempak dari belasan jago-jago lihay. Sudah tentu makin payah lagi. Kedua anak muda itu berada dalam keadaan berbahaya, sewaktu-waktu tentu akan celaka.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 89 dari 290

Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melayang tiba. Ketika masih berada di udara, orang itu menaburkan senjata rahasia. Seketika dua orang baju ungu terjungkal rubuh. Tiga orang lagi menderita luka parah dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah! Hebat sekali. Rombongan pengawal baju ungu itu adalah jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bukiong, bahwa sekali muncul, pendatang tak dikenal itu dapat merubuhkan lima orang baju ungu sungguh mengejutkan sekali. Ni Jin-hiong menjadi pucat dan terpaksa ia mundur serta menghentikan serangannnya. Ketika pendatang itu sudah melayang tiba di tanah , sekalian orang semakin terbeliak kaget. Bukan dewa bukan lelaki gagah perkasa, melainkan hanya seorang dara yang cantik jelita, segar meriah dalam pakaian merah menyala. Thian-leng terbelalak matanya. Ia seperti pernah melihat dara itu tapi entah di mana. Hai, siapa kau budak, teriak Ni Jin-hiong, kau berani mengganas dalam istana Sin-bu-kiong? Hm, tidakkah kau mengetahui bahwa istana ini mudah dimasuki tapi sukar keluarnya? Si dara merah itu tertawa hina, Kalau berani masuk tentu berani keluar! Tetapi Sin-bu-kiong toh tak bermusuhan padamu, mengapa kau menggunakan senjata rahasia mengganas anak buah kami ? Secepat kilat dara merah itu mencuri lirik ke arah Thian-leng dan Bu-song, lalu tertawa dingin, Senjata rahasia milikku itu tanggung tak beracun, tetapi dapat menembus ke jantung dan menyebabkan orang mati seketika ! Ni Jin-hiong menggertek gigi, Kalau tak dapat mencincang tubuhmu, aku segera akan bunuh diri di tempat ini ! Ih, mungkin kau tak mempunyai kemampuan melakukan hal itu, ejek si dara baju merah. Tiba-tiba menaburkan senjata rahasia jarum. Tetapi Ni Jin-hiong sudah siap. Ia mengerahkan lwekang untuk menutup seluruh jalan darahnya. Tring tring terdengar dering jarum terbentur benda keras dan jatuh berhamburan ke tanah. Si dara baju merah terbeliak kaget. Ia tak mengira bahwa kepala pengawal Sin-bu-kiong memiliki ilmu Thiat-poh-san ( ilmu baju besi) yang tak tembus jarum Tui-hong-kiong. Selagi dara itu masih terkesima, tiba-tiba Ni Jin-hiong menerkam dengan jurus Jip-hay-kin-kau (masuk ke laut menangkap naga ). Marah sekali kepala pengawal Sin-bu-kiong itu , maka serangannyapun dilakukan dengan cepat dan dahsyat sekali. Tiba-tiba terdengar lengking bentakan, Berhenti! Menyusul sesosok tubuh langsing melayang di udara. Ketika orang itu tiba di tanah, kembali sekalian orang terbeliak matanya.. Ternyata yang muncul itu ialah Te-it-ong-hui Hong-ing sendiri, diikuti oleh keempat dayangnya. Ni Jinhiong dan belasan pengawal baju ungu itu segera menghaturkan hormatnya. Sudahlah, jangan banyak peradatan! Ma Hong-ing melambaikan tangannya. Ni Jin-hiong segera menggunakan ilmu menyusup suara, Adik Ing, mengapa kau tak tahu gelagat? Mengapa kau mencampuri urusan ini. Kalau Te-kun sampai mengetahui hubungan kita berdua. Sahut Ma Hong-ing juga dengan ilmu menyusup suara, Lain-lainnya boleh kau bunuh, tetapi dara baju merah ini jangan kau apa-apakan! Wanita selalu lemah hati! Apakah kau tak takut membuat kapiran urusan besar? masih Ni Jin-hiong menyanggah. Ni cong-houhwat! bentak Ma Hong-ing dengan suara biasa. Tidak lagi menggunakan ilmu menyusup suara. Sekalipun marah sekali, namun di hadapan para pengawal baju ungu terpaksa Ni Jin-hiong berlaku hormat kepada permaisuri ini. Buru-buru ia mengiyakan. Dara baju merah itu hendak kubawa pergi. Ma Hong-ing menuding pada Thian-leng dan Bu-song. Mereka berdua terserah padamu hendak mengurusnya. Lain-lainnya harus segera melapor kepada Tekun.!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 90 dari 290

Baik, hamba segera mengerjakan! Ni Jin-hiong mengiyakan. Kemudian ia menggunakan ilmu menyusup suara, Hong-ing, kau gila! Jika Te-kun menyelidiki, bagaimana kau hendak menjawab. Jangan karena urusan kecil membikin kapiran urusan besar. Ada hubungan apa kau dengan budak perempuan ini hingga kau hendak melindunginya! Ma hong-ing pun menyahut dengan ilmu suara, Lain-lain urusan memang aku boleh berunding dengan kau. Tetapi urusan ini, janganlah kau bertanya. Jika takut urusan kita ketahuan Te-kun, bunuh saja budak laki itu. Lebih baik kalau dapat menemukan jejak kedua taci beradik Ki.. Entah bagaimana akibatnya, sekalipun harus mempertaruhkan jiwa di hadapan Te-kun, tetap aku harus menolong anak peremouan ini! Habis itu segera ia memberi anggukan kepada si dara baju merah, Ikutlah aku! Kemana? si dara baju merah tertawa dingin. Ma Hong-ing tertegun. Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, Hendak kutolong jiwamu dan mengantarkan engkau keluar dari istana ini! Lekas! Sudah tentu dara baju merah itu tertegun. Heran ia mengapa Te-it-ong-hui ini begitu baik hati kepadanya. Setelah merenung sejenak, segera ia memaberi isyarat mata kepada Thian-leng, serunya, Mengapa tak ikut! Karena ingin bicara berdua dengan Ma Hong-ing untuk meminta penjelasan tentang asal-usul dirinya, maka Thian-lengpun segera meloncat mengikuti. Lu Bu-song juga segera menyusul. Tetapi secepat itu Ni Jin-hiong dan rombongan pengawal segera menghadang, Tinggalkan jiwamu! Ni Jin-hiong memelopori. Ia mencengkeram dengan ke sepuluh jarinya. Thian-leng cepat menyabet siku lengannya. Karena gentar akan ilmu pedang si anak muda, Ni Jin-hiong menarik kembali cengkeramannya dan berganti menusuk dengan sebuah jarinya. Seketika itu dada Thian-leng seperti dilanda lwekang yang berat. Cepat-cepat ia menagkisnya dengan pukulan Lui-hwe-sin-ciang. Terjadi suatu benturan antara lwekang keras dan lwekang lunak. terdengar semacam suara mendesis, kedua macam lwekang itu hampir buyar kekuatannya. Thian-leng masih merasakan tubuhnya seperti terserap lwekang dingin sehingga ia menggigil dan terpaksa mundur selangkah. Kedua pihak bergerak cepat sekali. Dua jurus serangan hanya berlangsung dlam sekejap mata saja. Celakanya, ketika Thian-leng terhuyung mundur, belasan pengawal baju ungu itupun segera mengepungnya. Di lain pihak Lu Bu-song pun mendapat rintangan berat. Ia mainkan pedangnya dan berhasil mendesak dua pengawal baju ungu. Berbareng itu si dara berbalik dan menaburkan serangkum jarum Tui-hongkiong ke arah Ni Jin-hiong. Saat itu Ni Jin-hiong tengah memusatkan perhatiannyauntuk membinasakan Thian-leng. Serangan jarum dari belakang oleh si dara baju merah itu membuatnya sedikit lambat menangkis. Apalagi jarum si dara baju merah itu memang tak mengeluarkan suara. Betapapun Ni Jinhiong berusaha hendak menghindar, namun tak urung pahanya tertusuk juga. Sebatang jarum telah menembus pahanya. Sakitnya bukan kepalang. Karena marahnya ia berkaok-kaok seperti kerbau. Dengan berputar tubuh, cepat ia menyerang si dara baju merah. Kacaulah jalannya pertempuran, acakacakan tak keruan. Berhenti! tiba-tiba Te-it Ong-hui Ma Hong-ing membentak nyaring. Belasan pengawal baju ungu meloncat mundur. Ni Jin-hiong pun terpaksa mendengus dan mundur beberapa langkah. Apa kau sudah bosan hidup ? tatap Ma Hong-ing kepada si dara baju merah. Dara itu tertawa ringan, Belum tentu kalian dapat merenggut jiwaku! Ma Hong-ing membanting-banting kaki, Ah, sungguh tak nyana, kaupun menirukan perangainya.sekalipun mempunyai tiga kepala enam lengan, belum tentu kau dapat keluar dari istana Sin-bu-kiong! Dara baju merah itu mengerutkan alisnya keheranan.Bukan saja tingkah laku Ma Hong-ing itu tak wajar, tetapi ucapannya.tak nyana kaupun menirukan perangainya. makin membuatnya tak mengerti. Siapakah perempuan yang dimaksudkan dengan nya itu? Dan perlu apa ia harus mengucapkan kata-kata semacam itu? Tiba-tiba dari dalam gedung terdengar suara genta bertalu. Ma Hong-ing tegang wajahnya, buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, Budak perempuan, jika kau ingin hidup, lebih baik iktu aku tinggalkan
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 91 dari 290

tempat ini. Begitu Te-kun datang bersama anak buahnya, tentu sudah terlambat..! Kutanggung tentu dapat mengantarkan engkau keluar. Kalau kau masih penasaran, di kemudian hari bolehlah kau kemari lagi ! Rupanya kali ini termakan dalam hari si dara baju merah. Sahutnya dengan ilmu menyusup suara, Aku mau, tetapi pemuda she Kang itupun harus bersama-sama diantar keluar! Berobahlah wajah Ma Hong-ing sesaat. Diam-diam ia menghela napas, Keparat apakah kau juga jatuh hati kepadanya.. ia merenung sejenak, lalu cepat menjawab, Baik! Kuturuti permintaanmu! Wajah Ni Jin-hiong mengerut. Marah dan gelisah, mengkal dan cemas. Tetapi di hadapan rombongan pengawal anak buahnya, tak mau ia mengunjukkan reaksi apa-apa. Rombongan baju ungu yang menjadi jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong itupun tercengang heran. Mereka saling berpandangan. Mereka menyaksikan sendiri keeratan hubungan Ong-hui dengan si dara baju merah. Aneh, mengapa Ong-hui tak membunuhnya tetapi kebalikannya malah hendak mengantarnya keluar? Hubungan apakah antara Ong-hui dengan dara itu? Namun kedudukan Ong-hui dalam Sin-bu-kiong hanyalh di bawah Sin-bu Te-kun. Wanita itu merupakan orang kedua yang berpengaruh. Walaupun pengawal baju ungu itu tak keruan perasannya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa. Serahkan ketiga budak itu kepadaku. Silakan kalian mundur semua! tiba-tiba ma Hong-ing berseru keras kepada Ni Jin-hiong. Ni Jin-hiong gelagapan.. Ini hamba takut kepada Te-kun! Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara mendamprat, Ma Hong-ing, apa kau benar-benar sudah gila ? Wajah Ma Hong-ingpun menggelap beku, bentaknya,Te-kun belum hadir, akulah yang berkuasa. Apa kau berani membangkang perintah Ong-hui? Tetapi secepat itu juga ia segera menggunakan ilmu menyusup suara,Barisan Bi-hun-tin di belakang wisma Ing-jun-wan, cukup untuk menahan kedua budak laki perempuan itu. Saat itu bolehlah kau menghancurkan mereka, aku tak perduli. Tetapi anak perempuan baju merah ini harus kuantar keluar istana! Dengan mengerutkan gigi, terpaksa Ni Jin-hiong mengiyakan. Belasan pengawal baju ungu itupun meloncat mundur dan menghilang dalam kegelapan. Kaupun mundur juga! bentak Ma Hong-ing kepada Ni Jin-hiong. Lalu menyusuli kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, Hendak kubawa mereka melalui barisan Bi-hun-tin, pergilah kau mengatur persiapan dulu! Harap Ong-hui berhati-hati, hamba mohon diri, buru-buru Ni Jin-hiong memberi hormat dan ngeloyor pergi. Kini dalam halaman yang luas itu hanya tinggal empat orang saja. Tiba-tiba thian-leng melangkah menghampiri Ma Hong-ing. Mah.! serunya lirih. Ma Hong-ing terbeliak. Bu-song dan si dara baju merahpun terkesiap kaget! Tetapi pada lain saat wajah Ma hong-ing pun membeku! Tentulah kau sudah tahu bahwa aku bukan ibu kandungmu! Thian-leng mengakui Ma Hong-ing sebagai ibunya karena percaya akan keterangn wanita sakti Toanjong-jin. Tetapi sikap Ma Hong-ing yang sedemikian dingin membuatnya ngeri. Cepat-cepat Thian-leng menyusuli kata-katanya pula, Kutahu kau adalah ibu kandungku. Sekarang aku ingin tahu siapa ayahku dan sebab apa kau menetap di istana Sin-bu-kiong menjadi istri Sin-bu Te-kun, mengapa.? Aku tak butuh membohongimu! Aku tak butuh anak semacam engkau! Aku ingin mencacah-cacah tubuhmu agar puas penasaran hatiku! Hati Thian-leng seperti disayat-sayat. Dia tak berdaya mengetahui hal yang sebenarnya. Dan sesaat timbullah kesangsiannya akan ucapan wanita Toan-jong-jin. Menilik sikap Ma Hong-ing itu tak menyerupai seorang ibu kandung. Kasih tahu aku hal yang sebenarnya! teriak nya kalap. Namun Ma Hong-ing hanya tertawa sinis, Biarlah kau merasakan siksaan batin begitu. Selamanya tak sudi aku memberitahukan kepadamu! Thian-leng mengertek gigi, Tetapi aku sudah mendengar dari seseorang!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 92 dari 290

Siapa? Ma Hong-ing terbeliak. Toan-jong-jin! sahut thian-leng. Ia tertegun. Tak tahu ia siapa nama sebenarnya dari wanita sakti yang menggunakan nama samaran Toan-jong-jin atau si Patah hati itu. Toan-jong-jin. Ma Hong-ing tergugu. Bagaimana wajah orang itu? Seorang wanita tua yang sudah berambut putih! Kendor ketegangan di dahi Ma Hong-ing, ujarnya, Wanita tua. mungkin kau menjumpai seorang wanita edan! Si dara baju merah terkejut. Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Jelas bahwa ia menderita goncangan hati. Sekalipun aku tak tahu nama beliau, tetapi rupanya ia mempunyai hubungan erat dengan beliau. Tentunya kau dapat menduga siapa orangnya! seru Thian-leng. Apa hubunganku dengan dia? Ma Hong-ing terkesiap. Beliau mengatakan bahwa kau pernah menjadi budaknya pada tujuh belas tahun yang lalu! Mendengar itu seketika pucatlah wajah Ma Hong-ing. Tubuhnya gemetar dan terhuyung mau rubuh. Mulutnya meracau, Dia? Apakah dia hendak sungguh-sungguh menyelidiki urusan ini! Kata-katanya itu diucapkan seperti orang mengoceh tak keruan sehingga si dara baju merah yang berada di dekatnyapun tak mengerti maksudnya. Benar, memang dia! Dan saat ini beliaupun sudah berada dalam istana ini! seru Thian-leng. Ma Hong-ing melonjak kaget, serunya,Apa? Dia . msauk ke dalam istana ini, dia. berada di mana? Thian-leng mengerutkan alisnya. Diam-diam ia merasa aneh mengapa mendadak Ma Hong-ing begitu tegang ketika mendengar kisah tentang Toan-jong-jin. Ah, tentu ada sesuatu yang terselip di antara kedua wanita itu! Entah beliau berada di mana, tetapi tentu masih berada di dalam istana ini. Beliau seorang wanita yang memiliki kepandaian sakti. Mau datang bisa datang seketika. Mau pergipun dapat lenyap seketika. Istana Sin-bu-kiong yang begini kecil mana mampu menghalanginya? Tiba-tiba Ma Hong-ing mendongak dan tertawa nyaring, Baik, biarlah datang! Agar segala urusan dapat dibereskan! R upanya kau mempunyai hubungan yang berbelit-belit dengan Toan-jong-jin itu.! tiba-tiba si dara melengkingkan tawa ejekan kepada Ma Hong-ing. Aku tak kenal dengan segala macam Toan-jong-jin! bentak Ma Hong-ing. Berpaling pula kepada Thian-leng berserulah ia dengan menggertek gigi. Jangan coba memburuk-burukkan namaku. Masakah aku pernah menjadi budak orang. Lelucon yang edan.! Habis mengapa kau perlu memelihara aku selama tujuh belas tahun? Mengapa kau tak mau memberitahukan nama ayah bundaku ? Mengapa kau menjerumuskan aku supaya mati bersama Huntiong Sin-mo? Mengapa ? Aku tak punya waktu ribut-ribut dengan kau! Ma Hong-ing membentak bengis. Lekas! Kalau ayal tentu terlambat! Ma Hong-ing berseru kepada si dara baju merah. Tanpa menghiraukan reaksi Thian-leng dan si dara baju merah lagi, iapun terus mengayunkan langkah. Keempat bujangnya segera mengiringkan. Si dara baju merah memberi anggukan kepada Thian-leng lalu mengikuti Ma Hong-ing. Sementara itu Bu-song yang masih terlongong-longong mendengari percakapan itu, begitu melihat Ma Hong-ing pergi, segera menggamit Thian-leng, Goblok ! Mengapa tak lekas mengikuti wanita itu. Jika Te-kun sampai muncul kemari, tentu sukarlah lolos. Rupanya Ong-hui itu memang bersungguh hati hendak menolong si gadis baju merah itu tadi. Ayo , kita ikuti ! Thian-leng seperti tersadar dari mimpi. Cepat ia melesat. Ma Hong-ing diiringi keempat dayangnya berjalan di sebelah muka, menyusur lorong yang berliku-liku.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 93 dari 290

Tetapi mereka berjalan perlahan dan setiap kali berhenti, seolah-olah kuatir ketahuan orang. Si dara baju merah mengikuti di belakangnya. Tiap-tiap kali ia berpaling ke belakang menengok Thian-leng dan Bu-song. Karena pikirannya dipusatkan untuk mengungkap asal-usul dirinya, Thian-leng tak sempat memperhatikan diri si dara baju merah. Tetapi rasanya ia pernah kenal, tetapi entah di mana. Dia mengikuti di belakang si dara. Tiba-tiba timbul keinginannya bertanya, Terima kasih atas bantuan nona tadi, entah nona.. Apa yang hendak kau tanyakan? tukas dara baju merah itu. Rasanya aku pernah kenal dengan nona, tetapi entah di mana? kata Thian-leng. Benar? dara itu mengulum tawa, mengapa aku tak merasa? Thian-leng terpaksa menyeringai, Mungkin aku yang lupa.! Entah siapakah nama nona.. Cu Siau-bun..! Thian-leng seperti disengat lebah, ulangnya,Cu.Siau.bun! Apa kau sungguh kenal padaku? dara baju merah itu melengking. Thian-leng sejenak tertegun, lalu menggelengkan kepala, Tidak! Hanya karena mendengar nama nona, maka teringatlah aku akan seorang sahabat. Sejak berpisah, aku belum tahu rimbanya! Thian-leng menghela napas panjang. Apakah kau teringat padanya? Cu Siau-bun bertanya dengan nada bersemangat. Thian-leng mengangguk, Sudah tentu, dia banyak melepas budi padaku, dan lagi. Dan lagi bagaimana? tukas Cu Siau-bun. Thian-leng menghela napas sebelum menyahut, Dia pernah mengucap janji indah kepadaku. Dikuatirkan di dalam kehidupan sekarang hal itu sukar terlaksana, mungkin besok dalam penjelmaan yang akan datang! Wajah Cu Siau-bun berwarna merah, bisiknya, Mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu bisa terlaksana. Apabila aku dapat mencari orang itu, apakah kau masih bersedia memenuhi janji itu? Bersama-sama mengasingkan diri dari dunia keramaian dan hidup tenang sampai di hari tua. ? Sampai beberapa jenak Thian-leng tak menyahut. Dipandangnya dara itu lekat-lekat. Cu Siau-bun risih, buru-buru ia berpaling ke muka lagi. Di saat dan tempat seperti sekarang, mengapa nona mengemukakan hal itu? tanya Thian-leng. Cu Siau-bun menghela napas, ujarnya, Aku hanya menruh simpati kepada kalian. Tetapi mungkin aku dapat membantu kalian agar kalian dapat melaksanakan cita-cita kalian itu! Thian-leng menghela napas rawan. Ah, mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu sukar. Karena setiap saat jiwaku terancam maut, dan aku kuatir sahabatku itupun sudah. tiada di dunia lagi! Tiba-tiba Cu Siau-bun tertawa, Mengapa karena aku maka kau lantas teringat padanya? Karena nama nona sama dengan dia! Sahabatku itupun bernama Cu Siau-bun, dan lagi ia berhenti sejenak, maaf, meskipun tubuhnya lemah dan sakitan, tetapi mirip sekali dengan nona. inilah sebabnya kukatakan aku seperti pernah kenal dengan nona! Cu Siau-bun merah mukanya. Ia menundukkan kepalanya dan tidak mengatakan apa-apa. Pembicaraan kedua anak muda itu didengar jelas oleh Ma Hong-ing. Tetapi ia tak mau mencegah. Busong pun menangkap pembicaraan itu. Juga seperti Ma Hong-ing ia mengerutkan dahi. Tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti. Tibalah mereka di muka sebuah gedung. Meskipun kala itu sudah musim rontok, tetapi beberapa batang pohon dahlia masih menyiarkan bau yang harum. Pintu gedung yang bercat merah perlahan-lahan terbuka. Setelah melepaskan pandangan ke sekeliling penjuru, Ma Hong-ing pun segera melangkah masuk. Keempat dayang dan anak-anak muda itupun mengikuti di belakangnya.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 94 dari 290

Gedung itu sebuah gedung bertingkat yang luas dan indah. Lampunya terang benderang, kain jendela warna warni. Gedung itu adalah Ing-ju-wan (wisma menyambut musim semi) yang didiami oleh Te-it Ong-hui Ma Hong-ing. Ma Hong-ing segera membisiki keempat dayangnya. Keempat dayang itupun segera menuju ke ruang belakang. Thian-leng gelisah. Bukan karena menghadapi bahaya maut, bukan pula takut memikirkan bagaimana akibatnya nanti. Ia hanya merasa dadanya penuh sesak seolah-olah tertindih batu besar. Sesaat kemudian tampak Ma Hong-ing bergegas ke arah Cu Siau-bun, Dari belakang gedung kediamanku ini dapat menembus keluar. Sekarang tiada tempo lagi untuk menahan kalian lebih lama, segeralah kalian keluar dari istana ini.! Ma hong-ing segera mengitari sebuah loteng kecil lalu menuju ke bagian belakang. Setelah beberapa kali membelok, tibalah di sebuah lorong yang gelap. Rupanya lorong itu disanggah oleh tonggaktonggak balok besar. Tonggak-tonggak itu dipenuhi semak-semak lebat sehingga pada malam hari makin tampak gelap. Ma Hong-ing mempelopori di muka. Tiba-tiba Cu Siau-bun mendengus dingin, Jangan cepat-cepat! Ma Hong-ing menghentikan langkahnya, Mengapa? Katakan terus terang, kau hendak mengatur perangkap apa ? Cu Siau-bun berseru bengis. Mata Ma Hong-ing berkaca-kaca, katanya dnegan nada gemetar, Nak, aku tak memasang perangkap apa-apa, kecuali hendak menolongmu keluar dari bahaya Dua butir air mata keluar dari mata Ma Hong-ing, buru-buru ia melengos ke samping. Cu Siau-bun tergetar hatinya. Dari sinar matanya yang rawan, ia mendapat kesan bahwa air mata Ma Hong-ing itu sungguh-sungguh air mata kesedihan. Beberapa perkataan yang sedianya hendak dilontarkan kepada Ma hong-ing terpaksa tak jadi diucapkan. Sebagai gantinya kini timbullah berbagai macam perasaan heran. Betapapun ia membuat analisa, namun tetap tak memperoleh jawaban. betapapun kejam sikap Ma Hong-ing terhadap puteranya, namun mengapa wanita itu bersikap begitu sayang sekali kepadanya. Mengapa wanita itu mengucurkan air mata? Mengapa menyebutnya pula dengan kata-kataanak? Dan mengapa bertekad keras untuk menolong dirinya keluar dari Sin-bu-kiong? Ya , mengapa, mengapa..? Berdenyut-denyut otak Cu Siau-bun merenungkan sikap dan tindakan Ma Hong-ing yang begitu aneh. Namun tak jua ia dapat menyingkap tabir teka-teki yang menyelimuti diri Ma Hong-ing. Tiba-tiba pikirannya jauh melayang ke puncak lamunan yang ngeri. Ah, tidak, tidak ! Tak dapat ia mempunyai ikatan apa-apa dengan wanita yang ganas ini. Biar, biarlah .. tak mau Cu Siau-bun menyelidiki rahasia apa yang terselip antara Ma Hong-ing dengan dirinya. Biarlah hal itu terpendam. Ngeri ia membayangkan andaikata Ma Hong-ing itu benar-benar mempunyai ikatan hubungan darah dengan dirinya! Tiba-tiba ia menemukan suatu keputusan yang seram. Ya, tak ada jalan lain kecuali harus melenyapkan Ma Hong-ing. Asal wanita itu mati, maka segala rahasia-andaikan ada- biarlah turut lenyap selamalamanya. Saat itu tampak Ma Hong-ing membesut air matanya, kemudian berpaling ke arah Cu Siau-bun, Nak, percayalah kepadaku. Jika lambat tentu sudah kasip. Tetapi Cu Siau-bun sudah mempunyai keputusan. Sahutnya tertawa, Apakah kau sungguh hendak menolong kami dari bahaya? Perlukah aku bersumpah? Ma Hong-ing berkata dengan nada berat. Hal itu tak perlu, hanya saja. Cu Siau-bun sejenak kerlingkan pandangannya ke arah lorong gelap, katanya, Lorong segelap itu, masakah tak tada perkakas rahasianya? Nak, kau memang terlalu curiga, Ma Hong-ing banting-banting kaki, Di dalam istana Sin-bu-kiong terdapat lebih dari dua belas lorong yang segelap itu. Meskipun lorongnya berliku-liku dan sempit, tetapi dapat menembus keluar istana. , ia berhenti sejenak dan katanya pula, Memang lorong itu dijaga oleh jago-jago tangguh, tetapi asal aku mengantar kalian sampai di pintu istana, tentulah kalian selamat.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 95 dari 290

Cu Siau-bun tertawa dingin, Sin-bu-kiong dapat dimasuki dari empat penjuru. Ketika kami masuk, kami tak menemukan rintangan apa-apa. Perlu apa kau harus memilih jalan gelap yang begini berbahaya? Wajah Ma Hong-ing mengerut gelap, Memang Sin-bu-kiong bisa dimasuki, tetapi tak mungkin bisa keluar dari sini. Te-kun sendiri yang mengatur perlengkapan istana ini. Tak peduli tokoh-tokoh silat yang bagaimana saktipun, sekali berani masuk ke sini, jangan harap dia dapat keluar lagi.! Cu Siau-bun merenung sejenak, ujarnya,Baik, tolong kau tunjukkan jalannya! Ma Hong-ing menghela napas longgar. Segera ia memelopori jalan di muka. Lorong gelap itu memang penuh dengan lika-liku tikungan. Ada kalanya ke timur, adakalanya menikung ke barat dan setempo ke selatan , setempo ke utara. Atap dari lorong itu penuh tertutup semak-semak lebat, sehingga sukar melihat langit. Thian-leng dan Bu-song mengikuti di belakang. Berkat lwekangnya yang tinggi, sekalipun dalam malam gelap, mereka dapat melihat terang. Tetapi di dalam lorong yang rindang dengan semak-semak lebat itu, merekapun tak berdaya, hanya dapat melihat pada jarak beberapa meter saja. Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Di tempat sesempit itu, bentakan orang itu terdengar menggelegar sekali, Thian-leng terkejut dan cepat siap mencekal pedangnya. Sesosok bayangan hitam melesat keluar dari sebuah sudut lorong. dengan pedang terhunus, orang itu menghadang di tengah jalan. bentaknya, Siapa tengah malam berani melintasi Kian-koan? Apakah membawa perintah Te-kun? Aku Ong-hui yang datang, perlu apa harus membawa perintah Te-kun? Apakah matamu buta? Ma Hong-ing mendamprat. Orang itu mengeluh dan buru-buru berlutut minta maaf. Hamba tak tahu kalau Ong-hui yang datang ! Kemudian ia bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk. Ma Hong-ing mendengus sambil melangkah masuk diikuti oleh rombongan anak muda itu. Orang itu tetap tak berani mengangkat kepala. Setelah rombongan Ong-hui lewat, barulah ia bersembunyi lagi. Pada saat lewat di sisi pengawal itu, thian-leng memerhatikan wajah orang. Seorang tua berjubah ungu, mata bersinar-sinar tajam, pelipisnya menonjol, menandakan seorang ahli lwekang yang berilmu tinggi. Kira-kira berjalan lima-enam puluh tombak jauhnya dan sudah melalui tiga pos penjagaan yang semuanya dapat dilalui Ma Hong-ing dengan mudah, tiba-tiba cu Siau-bun berhenti, serunya, Masih berapa lama lagi kita harus menyusuri? Ma Hong-ing menghentikan langkah, Cepat, paling lama dua puluhan tombak lagi sudah tiba di luar istana! Apakah masih ada penjagaannya? Tidak asal. Ma Hong-ing bersangsi. Kalau begitu tolong lekas sedikit saja! buru-buru Cu Siau-bun meminta. Baru Ma Hong-ing pun berputar dan hendak melangkah, tiba-tiba Cu Siau-bun taburkan tangannya ke punggung Ma Hong-ing. Karena tak menduga, menjeritlah Ma Hong-ing dan rubuh di tanah.. ! Thian-leng dan Bu-song terkejut juga. Mereka tak menyangka bahwa Cu Siau-bun akan berbuat begitu. Mereka buru-buru menghampiri Ma Hong-ing. Cu Siau-bun sendiri walaupun sudah memutuskan untuk membunuh Ma Hong-ing, tetapi dikala melontarkan jarum entah bagaimana hatinya keder, tangannya lemas sehingga agak mencong. Sebelum Thian-leng dan Bu-song menolong, Ma Hong-ing sudah dapat berdiri sendiri. Meskipun punggungnya tertusuk tiga batang jarum hingga tembus sampai ke dada, tetapi karena tangan Cu Siaubun mencong, maka tidak sampai mengenai jalan darah yang berbahaya. Ma Hong-ing pucat seperti kertas, setelah terengah-engah sebentar, ia menatap Cu Siau-bun, Kau....... sungguh ganas......., tiba-tiba wajahnya berobah dan berkata pula tergagap, tetapi tak dapat mempersalahkan engkau. Aku ...aku memang pantas mati dan seharusnya mati di tanganmu .......! selanjutnya ia berbicara tak jelas sehingga Thian-leng dan Bu-song tak mendengar apa yang dikatakan itu.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 96 dari 290

Cu Siau-bun pun juga. Ia tak dapat berkata sepatahpun. Perasaan hatinya berkecamuk keras. Tak tahu ia apakah tindakannya itu benar atau salah. Ia hanya merasa mempunyai keharusan untuk membunuh wanita itu. Ia hanya menuruti suara hatinya, bahwa wanita itu tak boleh hidup bersama-sama di dunia! Tetapi mengapa pada detik-detik ia melaksanakan keputusannya itu mendadak sontak tangannya lemas, hatinya goncang? Hal itu ia tak tahu, tak mengerti apa sebabnya! Thian-leng menghela napas kecil, serunya tersekat, Kau..terluka? Tiba-tiba Ma Hong-ing membeliakkan matanya dan menyahut dingin, Aku tidak mati! Tak usah kau tanyakan! Thian-leng terkesiap. Ia tercengang. Wanita di hadapannya itu, sungguh seorang wanita yang misterius. Kalau menurut Toan-jong-jin, Ma Hong-ing adalah ibu kandungnya. Tetapi mengapa wanita itu sedemikian dingin sikapnya. Mengapa wanita itu menganggap dirinya seolah-olah sebagai musuh bebuyutan? Kapankah ia dapat menyingkap tabir yang menyelimuti dirinya? Thian-leng tercekam dalam kabut misterius yang makin gelap! Ma Hong-ing mendekap dada menahan sakit. Tetapi wajahnya kembali membesi, dengusnya, Ayo, jalan lagi.! Dengan terhuyung-huyung wanita itu melanjutkan perjalanan lagi. Diam-diam Cu Siau-bun menyesal. Tanpa bicara apa-apa, ia mengikuti. Tak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah pintu besi yang menutup jalanan. Ma Hong-ing segera memijat sebuah alat yang berbentuk seperti gelang kecil. Terdengarlah bunyi berderak-derak dan terbukalah seketika sebuah pintu kecil. Pintu itu hanya cukup dimasuki seorang. Pun tidak bisa masuk dengan tegak, tetapi harus membungkuk. Sekeluarnya dari lorong berdinding besi ini kita bakal tiba di luar istana yang gelap pintunya! kata Ma Hong-ing sambil mendahului jalan. Kali Cu Siau-bun tak bersangsi. Ia terus mengikuti saja. Tetapi baru ia melangkah melalui pintu besi itu, tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan! Habis melalui pintu besi, Ma Hong-ing segera berhenti menjaga di samping pintu. Karena mengira Onghui hendak melindungi sampai rombongan muda-mudi itu selamat melalui pintu besi, maka tanpa curiga apa-apa Cu Siau-bun pun segera ayunkan langkah. Demikianlah Thian-leng dan Bu-songpun segera mengikuti tindakan dara baju merah itu. Begitu Cu Siau-bun sudah masuk, maka Thian-leng dan Bu-song pun melangkah maju ke pintu. Sekonyongkonyong Ma Hong-ing mengangkat tangannya menghantam kepada kedua muda-mudi itu. Daarr. karena tak menyangka, Thian-leng dan Bu-song termakan pukulan Hian-im-ciang dari Ma Hong-ing dengan jitu. Tubuh kedua anak muda itu serasa dilanda oleh hawa dingin, darah merekapun bergolak sehingga terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Dan pada saat itu tiba-tiba pintu besi tertutup pula. Thian-leng dan Bu-song baru hendak berusaha memperbaiki keseimbangan tubuh, sekonyong-konyong tanah yang mereka injak itu amblas dan terceburlah mereka ke dalam sebuah lubang jebakan yang gelap. Cu Siau-bun kaget sekali. Buru-buru ia hendak menerjang keluar untuk menolong Thian-leng, tapi sudah terlambat. Pintu besi itu sudah tertutup. Ternyata pintu itu ditutup oleh dua orang penjaga. Pada saat melontarkan pukulan, Ma Hong-ing memberi isyarat kepada kedua penjaga supaya segera menutup pintu. Kini Ma Hong-ing mendekap dadanya yang terluka dengan kedua tangannya. Rupanya karena menggunakan banyak tenaga untuk memukul, maka lukanyapun goncang. Mulutnya gemetar dan tibatiba ia muntahkan segumpal darah segar! Apakah Ong-hui masih ada perintah? kedua pengawal baju biru segera menanya. Ma Hong-ing mengembalikan napasnya dulu. Ia paksakan untuk berdiri tegak, serunya. Cabut pedang! Kedua pengawal saling berpandangan. Tampaknya mereka tekejut, tetapi tak berani membantah. Keduanya segera mencabut pedang masing-masing. Bunuh diri kalian sendiri! Kembali Ma Hong-ing memberi perintah singkat. Berobahlah wajah kedua pengawal itu. Mereka kembali berpandangan satu sama lain.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 97 dari 290

Kalian berani membantah? bentak Ma Hong-ing. Kedua pengawal itu mengangkat kepala, serunya dengan gemetar, Hamba merasa tak berdosa, mohon Ong-hui suka melimpahkan ampun! Ma Hong-ing mendengus, Membunuh kalian mengapa harus membuktikan kesalahanmu.. berkilauan mata Ma Hong-ing memancarkan hawa pembunuhan, bentaknya, Jika kesabaranku habis, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk melakukan perintah bunuh diri lagi! Wajah kedua pengawal itu pucat pasi. Namun tanpa ayal lagi mereka segera menusukkan pedang ke dadanya sendiri. Terdengar dua sosok tubuh mengelepar jatuh ke tanah. Kedua pengawal itupun melayang jiwanya. Ma Hong-ing terengah mengembalikan napasnya, lalu menunjuk ke muka, Kita jalan lagi! Di sanalah pintu Kian-kwan yang gelap! Lewat pintu itu sudah di luar istana Sin-bu-kiong. Tiba-tiba Cu Siau-bun mencabut pedang dan diancamkan ke dada Ma Hong-ing, bentaknya, Lekas buka pintu besi itu! Dingin-dingin Ma Hong-ing menyahut, Dibukapun tak ada gunanya. Anak itu sudah terjerumus ke dalam neraka di bawah tanah. Mungkin saat ini kedua budak itu sudah mati! Kalau masih hiduppun tentu sudah dibunuh penjaga di situ! Perempuan siluman, mengapa kau begitu ganas? saking geramnya geraham Cu Siau-bun sampai bercatrukan. Sebaliknya Ma Hong-ing malah tenang sekali sahutnya, Tidak kenapa-kenapa! Tak kuijinkan kau mencintai budak lelaki itu. Kecuali membunuhnya rasanya tiada cara lain lagi Cu Siau-bun tiba-tiba memutar tubuhnya. Ia memukul dan menebas pintu besi itu. Tetapi betapapun ia habiskan tenaganya, pintu besi itu tak bergeming sedikitpun jua. Matanya yang mengembang air mata menyinarkan gelora pembunuhan yang menyala-nyala. Cepat ia berputar dan mengancamkan pedangnya ke dada Ma Hong-ing lagi, bentaknya, Jika kau tak mau membuka pintu besi ini, segera akan kubunuh! Ma Hong-ing tak mau melawan. Ia memeramkan mata dan menantang, Kalau mau membunuh, silakan ! Tetapi jangan harap kau dapat menyuruh aku membuka pintu itu, ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya lagi, kemudian berseru pula, Mungkin aku sudah diharuskan mati di tanganmu. Dan memang hanya mati di tanganmu baru tenteram hatiku.. Lagi-lagi Cu Siau-bun tekejut. Tampaknya wanita itu memang mempunyai hubungan rahasia dengan dirinya. Membayangkan hal itu, ngerilah hatinya. Benaknya penuh lalu lalang renunganAh, lebih baik kubunuh saja! Hanya kalau wanita ini mati, maka barulah rahasia itu terkubur selama-lamanya, Akhirnya keputusan untuk melenyapkan wanita itu timbul kuat kembali. Sebenarnya ia tak tahu apakah rahasia terpendam itu. Hanya ia merasa bahwa hal itu tentu tak menguntungkan dirinya, Bunuh, bunuhlah saja.! demikian sang hati meronta-ronta mendesak sang pikiran yang masih ayal. Tiba-tiba dengan sekuat tenaga, ia menusuk dada Ma Hong-ing sekuat-kuatnya. Dan Ma Hong-ingpun hanya memeramkan mata menyerahkan jiwanya. Sekonyong-konyong pada detik ujung pedang menyentuh dada Ma Hong-ing, Cu Siau-bun merasa lengannya seperti ditarik oleh suatu tenaga kuat yang tak kelihatan. Terkejutnya bukan kepalang. Cepatcepat ia berpaling ke belakang dan lemas lunglailah api pembunuhan yang membakar hatinya itu. Entah kapan dan bagaimana caranya, tahu-tahu seorang wanita tua berambut putih dan wajahnya sudah keriput tampak tegak berdiri di belakangnya. Seperti seekor domba yang melihat induknya, maka Cu Siau-bunpun segera loncat menubruk ke dada wanita itu seraya menangis, Mah. Wanita itu membelai rambut Cu Siau-bun. Apakah kau menderita kesukaran nak? Dia dia mungkin telah dicelakai mereka! Cu Siau-bun tersedu-sedu. Dia.. dia siapa? Kang Thian-leng, sahut Cu Siau-bun. Mah kemanakah kau tadi? Mengapa tak membantu kami?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 98 dari 290

Wanita itu mengerutkan dahi, Sekarang belum saatnya aku menunjukkan diri. Aku hendak menyelidiki secara diam-diam, baru nanti turun tangan menyelesaikan seluruh persoalan. Tetapi karena kau tak mengamat-amati kami, Kang Thian-lengpun mati.., tenggorokannya tersekat isak tangisnya sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya. Kemudian ia menyusupkan kepalanya ke dada sang ibu dan meratap iba. Kalau dia mati, akupun tak mau hidup lagi! Nak, janganlah kau mengucapkan kata-kata yang melemahkan semangat hidupmu. Apalagi budak itu belum tentu terus begitu cepat mati.! Bagaimana mamah tahu? Lupakah kau bahwa aku mengerti juga tentang ilmu meramal ? Apakah kau telah melihat nasibnya? Wanita itu paksakan tertawa, Tak usah diramal lagi, jelas bahwa wajahnya tak memantulkan tanda kenaasan! Agak longgar hati Cu Siau-bun, namun ia tetap mendesak ibunya, Kalau begitu baiklah kita lekas menolongnya! Tak perlu, karena tentu sudah ada orang yang menolongnya! wanita itu tersenyum. Aku tak percaya, Siau-bun menyengit, mungkin saat ini dia sudah meninggal! Percayalah omonganku, nak! Tadi aku telah berjumpa dengan seseorang! Siapa? Kakekmu! Kakek.? Siau-bun tertegun, Mengapa mamah tak pernah mengatakan sebelumnya? Apakah beliau sakti? Ibunya tak suka banyak omong. Ia menghela napas perlahan. Mamah mempunyai alasan yang sukar diutarakan. Baiklah kau jangan banyak tanya lagi! Apakah kakek yang menolongnya? Tidak, tetapi aku dan kekekmu telah mempersiapkan rencana untuk menolongnya. Jangan kuatir! Siau-bun tertegun diam. Sekalipun hatinya belum longgar seluruhnya, tetapi terhadap ibunya ia menaruh kepercayaan besar. Ia percaya setiap patah kata dari ibunya seperti orang memuja dewa. Ibunya seorang wanita yang keras tetapi mengasihinya dan terutama sang ibu itu tak pernah berbohong. Sekalipun manja tetapi Siau-bun mengindahkan ibunya. Wanita itu menghela napas. Tiba-tiba ia melangkah maju menghampiri Ma Hong-ing. Betaknya, Apakah kau masih kenal padaku? ooo000oooo Sejak wanita itu muncul, Ma Hong-ing terlongong-longong berdiri di samping. Ditatapnya wanita tua itu dengan penuh perhatian. Diam-diam ia terkejut. Kalau tak salah ia seperti kenal siapa wanita itu. Namun tak dapat ia membuktikan dugaannya itu. Baru setelah wanita itu membentaknya, Ma Hong-ing gelagapan, serunya, Kaukau..ini! Wanita tua itu mendengus dingin. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Hai.. kulit mukanya bergulung seperti dikupas. Ah.. , kiranya ia memakai kedok dari kulit orang. Dan hilangnya muka orang tua berwajah keriput itu, tampaklah wajahnya yang asli. Seorang wanita yang cantik sekali. Walaupun usianya sudah mendekati tiga puluh enam-tiga puluh tujuh tahun, namun kecantikannya masih memancar gilang-gemilang. Ma Hong-ing terbeliak kaget, serunya tergugu, Ah, kiranya memang kau .Cu Giok-bun! Wanita yang ternyata bernama Cu Giok-bun itu terpukau dalam badai perasaan yang melanda hatinya. Dia tegang, hatinya bergolak-golak!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 99 dari 290

Tujuh belas tahun tak bertemu, ternyata kau masih dapat mengenali diriku, akhirnya meluncurlah katakata dari mulutnya. Jangankan tujuh belas tahun, tujuh puluh tahunpun aku tetap mengenalimu. Siang malam aku selalu terkenang padamu. Ma Hong-ing menjerit geram. Ya, ingin sekali kumakan dagingmu, membeset kulitmu! tiba-tiba Ma Hong-ing menjerit pula dengan kalap. Cu Giok-bun mengerutkan alisnya, Itulah sebabnya aku sengaja datang kemari! Mengapa kau membenci aku? Mengapa kau tak sayang menyuruh puteramu mati bersamaku sejenak ia menggerakkan matanya, kemudian melanjutkan berkata pula, Ingatlah, bahwa kita pernah tinggal bersama selama delapan tahun. Hubungan kita selama itu cukup baik, aku tak pernah memperlakukan kau secara tak baik dan kaupun tak pernah mendendam padaku. Mengapa.. Kata-katanya terputus oleh derai tertawa Ma Hong-ing yang melengking panjang penuh kecongkakan. Mengapa? Karena hendak membalas sakit hati! bentak Ma Hong-ing, selama delapan tahun kusiksa diriku menjadi budakmu karena hendak mencari kesempatan membalas sakit hati. Sayang selama itu tak pernah kudapatkan kesempatan itu Sebelum menjadi pelayanku, kau toh belum kenal padaku? Mengapa kau mempunyai dendam sakit hati? Cu Giok-bun mengerutkan dahi. Kembali Ma Hong-ing tertawa menyombong. Mungkin kau memang lupa. Kau telah membunuh ratusan jiwa manusia, sudah tentu tak teringat akan peristiwa kecil itu.. seru Ma Hong-ing,tetapi yang jelas, seluruh empat belas jiwa keluargaku, telah mati di tanganmu! Wajah Cu Giok-bun mengerut gelap, serunya sengit, Meskipun sejak kecil aku sudah belajar silat, tetapi belum pernah membunuh seorang manusia. Apalagi ketika kau menjadi pelayanku, aku masih kecil, mana dapat membunuh orang! Memang bukan tanganmu yang membunuh! teriak Ma Hong-ing makin sengit, tetapi ketahuilah bahwa lidah itu lebih tajam daripada pedang. Mungkin keluargaku mati karena pengaruh lidahmu! Cu Giok-bun makin heran, serunya, Aku sungguh tak ingat hal itu. Lebih baik segera jelaskan. Jika benar aku yang membunuh keluargamu, silakan kau melakukan pembalasan dendam sesukamu! Ma Hong-ing tertawa hina, Aku tak suka bicara yang tak berguna! Saat ini aku jatuh di tanganmu, adalah nasibku yang jelek. Jika kau takut terancam bahaya di kemudian hari, lekas bunuh aku! Cu Giok-bun tertawa getir, Telah kukatakan, tak tahu aku di mana letaknya permusuhan kita ini. Perlu apa aku harus membunuhmu matanya berkilat-kilat dan nadanya berubah serius. Aku ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Apakah dendammu kepadaku itu ? Mengapa kau matimatian hendak mencari balas padaku? Mengapa kau tahu bahwa aku adalah Hun-tiong., tiba-tiba ia mengganti kata-katanya, Tuduhanmu aku takut menerima pembalasanmu, sungguh menggelikan. Asal kau mau mengatakan sejujurnya, segera aku angkat kaki dari sini. Silakan kau mengatur rencana pembalasanmu. Aku Cu Giok-bun setiap saat dan di manapun saja selalu bersedia menerima kedatanganmu! Lagi-lag Ma Hong-ing tertawa angkuh, Karena tak dapat melakukan pembalasan, maka biarlah urusan yang kau ingin tahu itu menyiksa batinmu. Betapapun kau hendak bertanya, jangan harap aku sudi mengatakan ! Alis yang melengkung indah di dahi Cu Giok-bun menjungkat ke atas. Bentaknya, Aku tak mau membunuhmu, tetapi hendak menyuruhmu merasakan siksaan. Coba saja sampai berapa lama kau mampu bertahan. Tiba-tiba Cu Giok-bun mencengkeram bahu Ma Hong-ing. Ma Hong-ing tetap diam saja tak mau menghindar. Hanya tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntah darah. Ia menjamah sebatang pohon kecil untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Dengan susah payah barulah ia dapat berdiri tegak pula. Tangan Cu Giok-bun yang sudah diulur terpaksa ditarik kembali. Siau-bun , apakah kau melukainya. ? serunya kepada si dara baju merah. Siau-bun mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kasihan kepada Ma Hong-ing. Timbullah rasa simpatinya kepada wanita yang terluka itu. Mah, ampunilah dia! serentak ia mintakan kebebasan kepada ibunya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 100 dari 290

Cu Giok-bun merenung. Sejenak kemudian berseru bengis, Kalau begitu terang Thian-leng adalah puteramu. Tetapi mengapa kau begitu tega menyuruhnya mati? Mah, dia bukan putera wanita ini. Aku mempunyai beberapa bukti! tiba-tiba Siau-bun menyeletuk. Siau-bun, jangan banyak mulut! bentak Cu Giok-bun dengan suara tegang. Sambil menahan rasa sakit, Ma Hong-ing kertak giginya memaksakan diri berseru, Puteraku sendiri atau bukan , bukanlah urusanmu! Cu Giok-bun menghela napas longgar. Kalau begitu pemuda itu benar-benar anak kandungmu sendiri? serunya. Ma Hong-ing menengadahkan kepalanya dan tertawa congkak. Serunya, Kalau benar, mau apa? Cu Giok-bun tertawa dingin, Kalau begitu, pertanyaanku cukup sampai sekian saja. Apakah dendammu kepadaku itu tepat atau palsu, aku tak mau membunuhmu. Aku hendak menunggu kau datang untuk menuntut balas. Siau-bun , mari kita pergi, ia berpaling dan ajak si dara baju merah. Pergi..? Siau-bun cebikan bibir, Apakah tak dapat menolongnya dan membawanya keluar bersama? Cu Giok-bun berobah dingin wajahnya, Nak, kau jangan terlalu manja. Mamah sudah mengatur.. Kata-kata Cu Giok-bun terputus oleh munculnya tiga sosok bayangan yang melayang dari atas. Cu Siau-bun terkejut. Ternyata yang datang itu ialah Ni Jin-hiong dengan kedua orang pengawal baju ungu. Ketiga orang itu sama menghunus pedang. Ketika melihat seorang wanita cantik, Ni Jin-hiong terkesiap. Tetapi pada lain saat ia membentak, Siapa kau.? Cu Giok-bun mendengus hina, Kau tak layak bertanya! Ni Jin-hiong mengerutkan alis, berpaling kepada Ma Hong-ing, Hai, apakah Ong-hui terluka? Ma Hong-ing tampak gugup, Lepaskan mereka, kau .. mengapa datang . kemari? Hamba mendapat perintah Te-kun, tak boleh melepaskan orang. Karena tugas, terpaksa hamba tak dapat meluluskan perintah Ong-hui, sahut Ni Jin-hiong. Habis itu ia mengumpulkan tenaga dan sekoyong-konyong menghantam. Kedua pengawal baju ungupun , yang satu hendak menyerang punggung Cu Giok-bun, yang satu hendak menerjang Cu Siau-bun. Berhenti! Kalian bukan tandingannya! tiba-tiba Ma Hong-ing membentak keras. Ni Jin-hiong tertawa congkak, Tak peduli dia orang bagaimana, sekali jatuh ke dalam tanganku, tentu tamat riwayatnya. Di dalam tertawa itu, ia sudah mengerahkan lwekang ke tangannya. Dengan sekuat tenaga ia menghantam. Sebagai kepala penjaga istana Sin-bu-kiong, sudah tentu Ni Jin-hiong terpilih sebagai jago yang paling tinggi sendiri kepandaiannya. Ilmu pukulan lwekang dingin Hian-im-ciang telah diyakinkan dengan sempurna. Ia tak kenal siapa wanita pertengahn umur yang cantik itu. Tetapi ia yakin wanita itu tentu tak kuat bertahan dalam tiga buah jurus serangannya. Bahkan mungkin sekali pukulan saja, wanita itu sudah mampus. Maka dengan keyakinan itulah ia tak menghiraukan peringatan Ma Hong-ing. Cu Giok-bun hanya tertawa dingin. Sikapnya acuh tak acuh. Diam-diam Ni Jin-hiong terkesiap. Buru-buru ia melipatgandakan lwekang yang dilontarkan pada pukulannya itu. Seketika berhamburan semacam hawa dingin-dingin seram. Adalah ketika tenaga dingin itu menyambar ke muka Cu Giok-bun, barulah wanita itu menggerakkan tangan menyongsong ke muka. Berbareng dengan itu tangan kirinya dibalikkan ke belakang untuk menutuk kedua pengawal baju ungu yang menyerang dari belakang itu. Seketika terdengar erang rintihan perlahan dan timbullah beberapa peristiwa mengejutkan!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 101 dari 290

Sama sekali Ni Jin-hiong tak mengetahui ilmu pukulan apa dan tenaga apa yang dilancarkan si wanita itu, tetapi ia merasa suatu aliran hawa panas melanda semacam banjir lahar. Bukan saja lwekang dingin Hian-im-sicang sirna seketika, bahkan hawa panas itu masih menembus menyerang dadanya! Ia terkejut sekali. Saat itu baru ia menginsyafi kalau berhadapan dengan seorang wanita sakti. Buru-buru ia hendak menghindar, tetapi sudah tak keburu lagi. Dadanya merasa di tampar taufan panas, darahnya bergolak dan tubuhnya serasa dibakar. Tak mampu lagi ia berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah. Huak. segumpal darah panas muntah dari mulutnya.. Kedua pengawal baju ungu lebih mengenaskan lagi keadaannya. Keduanya hanya dapat mengerang perlahan sebentar, karena batok kepalanya keburu pecah. Otaknya berhamburan kemana-mana. Mereka rubuh menjadi setan tanpa kepala. Ternyata sebelum pukulan mereka melayang, tutukan jari Cu Giok-bun tadi telah menghamburkan angin keras. Sekeras palu besi yang menghantam kepala mereka. Betapapun kerasnya batok kepala, tetapi tetap hancur diadu dengan palu besi! Sekali gerak Cu Giok-bun dapat melukai kepala penjaga Sin-bu-kiong dan membunuh dua orang pengawal, benar-benar menakjubkan. Wanita cantik itu tampak tegak berdiri, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tanpa menghiraukan bagaimana jadinya, Ni Jin-hiong segera memeramkan mata menyalurkan darahnya. Untung Cu Giok-bun tak mau berlaku ganas. Dipandangnya kepala penjaga istana Sin-bukiong itu dengan tertawa hina. Beberapa kejap kemudian, Ni Jin-hiong merasakan darahnya sudah normal kembali. Begitu membuka mata ia segera berseru, Terima kasih atas kemurahan hatimu tak mau menyerang lagi. Tetapi hinaan hari ini kelak pasti aku membalasnya. Harap tinggalkan namamu! Cu Giok-bun hanya perdengarkan tawa hina tak mau menyahut. Tiba-tiba Ma Hong-ing menghela napas dan menyeletuk, Dia adalah tokoh terkenal jaman ini, Huntiong Sin-mo! Hun-tiong Sin-mo..! Ni Jin-hiong menjerit kaget. Ia terhuyung-huyung beberapa langkah lagi. Hun-tiong Sin-mo, mengapa dia. Hari ini kuberi ampun kalian, tetapi. tiba-tiba Cu Giok-bun berseru bengis, jika berani membocorkan rahasia ini, segera akan kuhancur leburkan tubuh kalian! Ni Jin-hiong seketika lemas lunglai macam balon kempes. Hampir saja ia putus jantungnya. Ia sadar bahwa cita-citanya untuk menuntut balas tentu hanya menjadi lamunan kosong belaka. Kembali Cu Giok-bun perdengarkan tawa hina. Ia menarik Siau-bun,Ayo, kita pergi! Walaupun segan, namun Siau-bun tak dapat membantah lagi. Sekali enjot tubuh, kedua ibu dan anak itu lenyap dari pandangan ! Ni Jin-hiong melirik ke arah kedua pengawal yang sudah menjadi mayat itu, mulutnya mengoceh seorang diri, Hun-tiong Sin-mo.mengapa hanya seorang wanita yang begitu cantik. ? Tiba-tiba ia berpaling ke arah Ma Hong-ing, Benarkah keteranganmu ini? Ma Hong-ing menyahut hambar, Bukankah dulu pernah kukatakan padamu? Ni Jin-hiong mengerutkan alis, Kau hanya mengatakan kalau mempunyai dendam permusuhan besar dengan Hun-tiong Sin-mo, tetapi tak pernah menerangkan bahwa Hun-tiong Sin-mo itu hanya seorang wanita, apalagi masih muda Ia termenung sejenak, ujarnya pula, Menurut cerita, Hun-tiong Sin-mo itu sudah berusia sembilan puluhan tahun dan lagi dia itu seorang lelaki. Adik Ing, bagaimanakah hal ini... Agak tak sabar Ma Hong-ing menjawab, Hal itu sekarang enggan aku menceritakan. Apalagi sekalipun kuterangkan juga tak dapat sejelas-jelasnya. Ia tertawa rawan, serunya, Apakah anak itu sudah kau bunuh? Belum .Ni Jin-hiong terkejut, pada saat hendak kubunuh, tiba-tiba Te-kun mengirim perintah anak itu harus ditangkap hidup-hidup dan tak boleh dibunuh, maka.. Seketika pucat pasilah wajah Ma Hong-ing, serunya gugup, Di mana dia sekarang?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 102 dari 290

Di dalam penjara Cui-lo (penjara air). tetapi Te-kun telah menitahkan kedua Su-cia untuk melihatnya ! Celaka! Urusan kita tentu bakal ketahuan Te-kun Ma Hong-ing menghela napas. Mendengar itu pucatlah wajah Ni Jin-hiong, ia menggelengkan kepalanya, Sekalipun budak itu tidak menceritakan urusan kita kepada Te-kun. Tetapi peristiwa malam ini, tentu sukar kita pertanggung jawabkan kepada Te-kun. Menilik gelagat, dikuatirkan ia tak melanjutkan kata-katanya melainkan menghela napas panjang. Kalau begitu kita harus mencari akal, masakah kita mandah saja menunggu hukuman Te-kun.. kata Ma Hong-ing. Tiba-tiba mata Ni Jin-hiong berkilat, serunya, Sekarang hanya ada sebuah akal. Kita tinggalkan istana ini! Kau maksudkan melarikan diri? Benar, kita lari sejauh-jauhnya. Tinggalkan segala dendam permusuhan, mencari tempat yang sunyi, jauh dari masyarakat ramai Mungkin tidak leluasa! Apalagi aku.. Adik Ing, kalau terlambat tentu kasip. Mungkin Te-kun akan keluar sendiri percayalah, adik Ing, marilah kita lewatkan sisa hidup kita.. Tiba-tiba kata-kata Ni Jin-hiong itu terputus oleh sebuah suara yang bernada dingin, Siapa yang kau sebut adik Ing itu? ****** Penjara Air Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing terkejut. Tubuh mereka menggigil gemetaran. Suara itu datangnya secara tiba-tiba sekali. Baru sekejap mata Ni Jin-hiong tadi berpaling ke belakang, tetapi tak melihat suatu apappun. Baru ia bicara dengan Ma Hong-ing tahu-tahu terdengarlah suara dari sampingnya. Ketika Ni Jin-hiong memandang dengan seksama, kejutnya bukan alang kepalang ! Seorang pendek kurus, berjenggot kambing dan mengenakan jubah warna merah, tengah berdiri tak jauh di sebelahnya! Itulah Sin-bu Te-kun! Mata Sin-bu Te-kun berkilat-kilat memancarkan api memandang kepada Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing. Tiba-tiba ia membentak, Mengapa tak menjawab pertanyaanku itu? Semangat Ni Jin-hiong serasa terbang, mukanya pucat seperti mayat. Serta merta ia berlutut dan meratap, Hamba pantas dibunuh.! Ma Hong-ing pun wajahnya seputih kertas. Ia segera berlutut di hadapan Sin-bu Te-kun dan meratap tangis, Hamba . tersesat. Mohon demi mengingat kecintaan sebagai suami isteri, sukalah mengampuni jiwaku ! Selanjutnya aku. Wajah Te-kun membesi, Bukankah kalian hendak melarikan diri ke tempat jauh? Ayo, pergilah sekarang juga! Ni Jin-hiong yang masih berlutut tak henti-hentinya merintih-rintih, Hamba memang harus mati.! Ma Hong-ingpun segera memeluk kaki kanan Sin-bu te-kun dan menangis tersedu-sedu, meratap memohon ampun. Sin-bu Te-kun sejenak menengadahkan kepala, serunya, Dengan kesaktian yang merajai empat lautan, aku bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Tetapi tak terduga, peristiwa yang memalukan ini telah menimpa diriku ! Dipandangnya kedua lelaki perempuan itu. Serunya geram, Yang satu permaisuri tersayang dari Tekun, yang satu kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang paling kupercaya. Ah, ternyata mereka telah melakukan perbuatan zinah. Kedua-duanya telah menghianati aku. Tiba-tiba ia menutup dampratannya itu dengan sebuah tendangan. Terdengar jeritan ngeri dari tubuh Ma Hong-ing yang terlempar di udara. Bum. ia jatuh dua tombak jauhnya, sejenak meronta lalu tak berkutik lagi.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 103 dari 290

Sin-bu Te-kun rupanya masih belum puas. Ia kibatkan dua buah jari tangannya, yang satu ke arah Ni Jin-hiong, yang satu pada Ma Hong-ing. Ni Jin-hiong tak berani begerak. Ia mandah punggungnya ditutuk. Seketika ia merasakan tubuhnya kesemutan lalu terkapar di tanah! Bawa kedua anjing ini ke dalam penjara Si-lo. lain hari aku sendiri yang hendak memberi hukuman kepada mereka! Dua pengawal baju ungu segera tampil. Mereka mengangkut tubuh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing menuju ke pintu besi. Pada lain saat, pintu besi itupun tertutup lagi. Suasana di luar pintu besi kembali diselubungi oleh kesunyian. Mayat dari kedua pengawal baju biru yang disuruh bunuh diri oleh Ma Hong-ing dan dua pengawal baju ungu yang dibunuh oleh Cu Giok-bun masih malang melintang di tanah.. Sekarang marilah kita ikuti Thian-leng dan Bu-song yang jatuh ke dalam liang jebakan itu. Akibat pukulan Ma Hong-ing, kedua anak muda itu telah menderita luka yang tak ringan. Darah mereka serasa bergolak-golak. Untung lwekang mereka cukup kokoh. Pada saat menerima pukulan, mereka segera mengerahkan tenaga untuk menahan, sehingga pukulan lwekang Ma Hong-ing yang mengandung racun Im-han (dingin) itu tak sampai menembus ke dalam tulang. Lubang perangkap itu cukup dalam. Adalah karena lwekangnya buyar, Thian-leng tak dapat memusatkan pertahanan diri lagi. Ia coba kerahkan sisa tenaga untuk memusatkan ketenangan pikirannya ketika sang tubuh meluncur turun ke bawah. Diam-diam ia menghitung jarak luncurannya itu. Kira-kira limapuluhan tombak, tiba-tiba kakinya menginjak tanah lunak, macam gundukan pasir. Sekalipun begitu, toh ia masih merasakan kepalanya pening sekali. Sampai beberapa saat ia tak dapat bangkit. Api kebencian membakar hatinya. Tak mungkin Ma Hong-ing itu ibunya. Macan yang buaspun tak akan memakan anaknya. Ma Hong-ing ternyata lebih buas dari macan. Apalagi selama berkumpul tujuh belas tahun itu, seingatnya ia tak pernah berbuat salah terhadap ibunya itu. Ah, benarkah wanita itu ibunya.? Tiba-tiba ia teringat kepada Bu-song. Bukankah tadi nona itu juga terkena pukulan Ma Hong-ing dan bersama-sama jatuh ke dalam lubang jebakan ini? Nona Lu, serentak berteriaklah ia memanggil. Tiada suatu sahutan. Thian-leng tergetar. Ia mengulangi lagi berteriak lebih keras, Nona Lu! Nona..Lu..! Tetap tiada sahutan. Mulailah Thian-leng memandang ke sekeliling tempatnya. Agaknya ia berada di dalam sebuah sumur besar yang dalam sekali. Di sekeliling penjuru tak tampak barang sepercik sinar. Gelap, gelap sekali di sekelilingnya. Bahkan ketika memandang ke tangannya, tak dapat ia melihat jari tangannya sendiri. Beberapa saat kemudian, lapat-lapat ia seperti mendengar suara napas orang merintih. Ia terkejut girang. Buru-buru ia paksakan diri merangkak menghampiri. Kira-kira setombak jauhnya, dilihatnya memang Bu-song adanya. Tetapi betapa terkejutnya ia ketika diperhatikannya tubuh nona itu mandi darah. Rupanya ia menderita luka yang lebih parah lagi. Ternyata tempat nona itu jatuh selain pasir juga terdapat kerikil yang tajam. Pinggang dan kaki nona itu pecah-pecah berdarah. Untung hanya luka luar, namun cukup membuatnya pingsan beberapa saat sehingga tak mendengar panggilan Thian-leng. Nona Lu! kembali Thian-leng memanggilnya. Bu-song berusaha untuk mengangkat kepalanya dan menyahut limbung. Di manakah kita sekarang? Dalam sebuah lubang jebakan yang berpuluh-puluh tombak dalamnya! Ah, mungkin kita akan mati di sini, " Bu-song menghela napas. Thian-lengpun rawan hatinya. Meskipun tak takut mati, tetapi ia kecewa dengan kematian cara begitu.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 104 dari 290

Ia masih belum mengetahui asal-usul dirinya. Tugas yang diletakkan oleh beberapa tokoh kepadanya,belum terpenuhi. Kalau harus mati pada saat dan seperti itu, bagaimana ia tak kecewa? Bayang-bayang dari Oh-se Gong-mo, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun, Tui-hong Hui-mo, Sip uh-jong, kedua taci beradik Ki, mulai berlalu-lalang di benaknya. Mereka telah melimpahkan budi dan menitipkan harapan kepadanya agar membalaskan sakit hati terhadap Sin-bu Te-kun. Belum cita-cita itu terlaksana, kini ia sudah terjeblos dalam lubang jebakan maut. Dan yang mencelakainya ialah Ma Hong-ing! Siapakah Ma Hong-in Apakah Wanita itu ibunya atau bukan ? itu sebenarnya

JILID 6 Kenangan JILID 6 Kenangan Bayangan orang-orang itu lalu-lalang di benak Thian-leng. Kepada mereka ia mempunyai budi dan dendam yang belum lunas. Akhirnya setelah hatinya tenteram, ia tersenyum kepada Bu-song, Bagaimana luka nona? Bu-song tertawa getir, Lukaku tak menguatirkan, tetapi yang penting bagaimana kita keluar dari tempat ini...? Tak usah nona kuatir, Thian-leng paksakan tertawa menghiburnya, lebih baik kita beristirahat mengembalikan semangat dulu. Setelah itu baru kita berusaha! Bu-song mengiyakan, kemudian balas menanyakan luka pemuda itu, Thian-leng mengatakan tak berbahaya. Biji mata Bu-song yang berkilau-kilau laksana bintang kejora menatap tajam pada Thian-leng, ujarnya,Mungkin kau........masih mendongkol padaku? Thian-leng tertegun, Eh, mengapa nona mengatakan begitu, mana aku berani.... Sewaktu di biara rusak, aku memang agak galak, tetapi...... tiba-tiba ia menghambur tertawa tak melanjutkan ucapannya lagi. Thian-leng menyeringai. Untung karena gelap kerut wajahnya tak kelihatab Bu-song. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu menjawab, Nona tak bersalah, memang aku sendiripun juga tidak benar! Ih, kau ini kiranya...... seorang yang lemah lembut.. Thian-leng tersipu-sipu . Buru-buru ia mengulang anjurannya agar nona itu suka mengumpulkan semangatnya. Tak perlu menyalurkan lwekang, nanti saja setelah berada di neraka kalian boleh melakukan hal itu! tiba-tiba terdengar suara tertawa sinis. Thian-leng terbeliak kaget! Walaupun tak tampak orangnya, tapi ia kenal suara ketawa itu sebagai suara Ni Jin-hiong. Buru-buru Thian-leng kerahkan lwekangnya siap sedia. Tetapi ia menderita luka parah, geraknya agak ayal. Seketika ia rasakan punggungnya kesemutan dan tahu-tahu jalan darahnya kena tersambar angin tutukan jari Ni Jin-hiong. Bu-songpun mengalami nasib serupa. Pada lain saat Ni Jin-hiong muncul. Sambil menyambar pedang salah seorang pengikutnya, segera ia tebaskan kepada kedua anak muda itu......... Sekonyong-konyong pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa kedua anak muda itu, terdengarlah derap kaki bergegas mendatangi. Berbareng dengan itu terdengar suara bentakan nyaring, Te-kun memberi perintah, semua orang yang menyelundup ke dalam istana harus ditangkap hidup-hidup, tak boleh dibunuh. Tawanan harus segera dijebloskan ke dalam penjara Cui-lo. Kedua penjaga Co-yu sucia diwajibkan mengawasi! Ni Jin-hiong terpaksa menarik pulang pedangnya dan banting-banting kaki. Namun ia tak berani membantah. Sesaat kemudian orang itu terdengar menyelinap pergi lagi. Jebloskan ke dalam penjara Cui-lo! Ni Jin-hiong berseru dengan tak bersemangat.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 105 dari 290

Beberapa penjaga tampil menjerat Thian-leng dan Bu-song. Karena jalan darahnya tertutuk, Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa. Lapat-lapat ia mendengar Ni Jin-hiong memberi perintah kepada salah seorang pengawal, Aku hendak melapor pada Te-kun. Kalian harus hati-hati menyerahkan kedua tawanan ini kepada Co dan Yu kedua sucia! Pada lain saat Ni Jin-hiongpun lenyap. Tampak di sebelah muka terdapat sebuah pintu batu yang tertutup rapat. Di kedua sampingnya diterangi oleh empat batang lilin yang sebesar lengan anak kecil. Apakah yang kau bawa itu kedua tawanan tadi? tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Dua penjaga tua yang bertubuh kurus dan gemuk muncul dari kiri-kanan pintu. Rombongan yang membawa Thian-leng dan Bu-song serempak menyahut, Benar, atas perintah Tekun, tawanan ini supaya diserahkan kepada su-cia berdua! Penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus itu berseru, Baik, jebloskan ke dalam! Terdengar suara berdrak-derak dan kedua daun pintu batu itupun perlahan-lahan terbuka. Di dalam pintu ternyata merupakan sebuah kubangan seluas sepuluh tombak, penuh digenangi air busuk. Baunya menusuk hidung. Di tengah kubangan terdapat beberapa tiang batu yang ujungnya diberi gelang baja besar. Rombongan pengawal segera mengikat Thian-leng dan Bu-song. Kedua anak itu diikat pada gelang baja. Dengan demikian Thian-leng dan Bu-song dibenam dalam kubangan air itu sebatas dada. Kedua tangan mereka diikat pada tiang batu. Keadaannya tak berdaya sama sekali karena jalan darah mereka tertutuk. Selesai mengikat, rombongan pengawal segera pergi dan pintu batupun tertutup pula. Kini di dalam penjara Cui-lo hanya tertinggal kedua anak muda itu. Lama sekali keduanya tak dapat bicara. Akhirnya Thian-lenglah yang mulai membuka mulut, Nona Lu lukamu.. Bu-song tertawa getir, Jiwapun belum tentu selamat, mengapa masih menyibuki luka! Pedih hati Thian-leng, katanya dengan rawan, Mati tak kusayangkan, tetapi tak seharusnya kurembet nona.. Bu-song menghela napas, Aku tak sesalkan kau, biarlah kita serahkan pada nasib! Habis berkata dara itu pejamkan mata, Thian-lengpun ikut terbenam dalam renungan. Sesaat sunyi senyap dalam penjara air. Dari berpuluh-puluh tonggak batu yang berada dalam kubangan air busuk itu, semua kosong kecuali terisi mereka berdua. Dinding tembok penjara itu terbuat dari batu yang tebal, hanya bagian wuwungan atas diberi berpuluh lubang kecil untuk udara. Penjara air yang sekokoh itu masih dijaga pula oleh dua penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus.. Gelap makin gelap! Perlahan-lahan Thian-leng mengedarkan pandangannya memandang sekeliling tempat itu. Diam-diam ia mengeluh. Jangankan dirinya diikat pada tonggak batu, sekalipun dibebaskan tetap sukar sekali untuk lolos dari penjara air yang sedemikian kokohnya. Kubangan air busuk sekali hawanya. Sedemikian busuk sampai membuat orang hampir muntah. Busong mengkertak gigi, dahinya mengerut dan tak henti-hentinya tubuhnya bergetar. Jelas dara itu tengah berjuang menahan derita kesakitan. Melihat itu Thian-leng makin pedih, serunya, Nona Lu.. Bu-song menghela napas, menyahut perlahan, Hmm Thian-leng hendak menghibur dara itu, tetapi sesaat tak tahulah ia bagaimana hendak mengucapkan kata-katanya. Mulutnya bergerak-gerak, tetapi tak jelas apa yang dikatakan. Kau hendak berkata apa, mengapa tak jadi? dengus Bu-song. Kini Thian-leng yang menghela napas, Semua adalah salahku, sehingga menyebabkan nona ikut menderita. Aku....minta maaf! Apakah cukup dengan permintaan maaf saja? dengus Bu-song pula. Thian-leng tertegun ujarnya, Jika berhasil lolos dari neraka ini, kelak aku tentu akan membalas budi nona. tetapi jika tak beruntung mati di sini, biarlah dalam penjelmaan kelak kubalas budi nona!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 106 dari 290

Mendengar ucapan itu lupalah sejenak Bu-song akan penderitaannya. Matanya berkilat-kilat menatap Thian-leng. Jika kita tidak mati, bagaimana kau hendak membalas budi padaku? Setitikpun Thian-leng tak menyangka bahwa si dara akan mengutarakan pertanyaan semacam itu. Ia tertawa rawan dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, Yang penting sekarang kita harus berdaya mencari jalan lolos. Entah bagaimana dengan luka nona sekarang...? Tidak, kau harus mengatakan hal itu. Setelah itu baru kita bicarakan lain-lainnya! si dara bersikukuh. Thian-leng kerutkan alis, Jika beruntung tak mati di sini, apapun yang nona hendak perintahkan padaku, tentu aku sanggup melaksanakan, sekalipun harus terjun ke dalam lautan api ! Hanya begitu? Bu-song agak kurang puas. Diam-diam Thian-leng membatin. Anak perawan ini aneh sekali. Budi dibalas budi adalah sudah layak. Mengapa masih ngotot, apa yang dikehendaki lagi? Maaf, aku tak dapat memikirkan, bagaimana cara membalas budi yang memuaskan nona, hanya saja.......aaa, tak peduli nona akan menitahkan apapun, tentu kululuskan! Kini barulah Bu-song tersenyum puas, ujarnya, Mulutmu yang mengatakan sendiri, kelak janganlah menyesal! Apakah aku ini orang yang tak pegang janji? Nona...... Aku percaya padamu. Tak usah berkata lagi..... tukas Bu-song. Coba terka, apa yang hendak kuminta darimu? Kembali Thian-leng tertegun, Bagaimana aku tahu hati nona? Tetapi pokoknya apapun yang nona katakan, pasti kulakukan dengan sepenuh tenaga. Tentu takkan mengecewakan! Tiba-tiba mata Bu-song berkilat-kilat penuh sinar harapan hidup dan mulutnya tersekat-sekat berkata, Aku ....... menghendaki kau seumur hidup............. Sekonyong-konyong terdengar pintu batu berderak-derak terbuka sehingga Bu-song tak dapat melanjutkan kata-katanya. Kedua anak muda itu cepat berpaling. Ternyata pintu penjara air itu terbuka lebar. Penjaga gemuk dan kurus yang disebut Co sucia dan Yu sucia itu tegak berdiri di ambang pintu. Bawa anak perempuan itu! serunya dengan bengis. Dua penjaga berpakaian hitam muncul menghampiri Bu-song. Mereka membuka ikatan si nona lalu menyeretnya pergi. Kalian hendak membawa aku kemana? karena jalan darahnya tertutuk, Bu-song tak dapat berbuat apa-apa kecuali menjerit-jerit. Jangan ribut! bentak kedua pengawal gemuk dan kurus, sebentar kau tentu tahu sendiri! Aku tak mau pergi! Bu-song menjerit-jerit, kalau mau membawa aku, bawalah pemuda itu juga.... Si gemuk dan si kurus tertawa tergelak-gelak, Aneh, apakah enaknya dibenam dalam air busuk dengan tangan diikat? Sebentar kau akan ke tempat bahagia........ Awas jangan sampai melukainya.........., kedua sucia memberi perintah bengis. Kedua anak buah baju hitam mengiyakan. Mereka menggusur Bu-song keluar. Lenyapnya suara tertawa dari kedua su-cia gemuk kurus dibarengi dengan tertutupnya pintu baru. Masih terdengar suara Bu-song yang penghabisan kalinya, Kang Thian-leng, jika aku tak mati, aku tentu datang menolongmu, kau....... Hanya itu suara yang dapat diteriakkan si dara karena sekejap kemudian suaranya telah lenyap ditelan tertutupnya pintu batu. Hati Thian-leng pun ikut tenggelam. Kemanakah mereka hendak membawa si dara? Akan dibunuh atau dilepaskan? BetapaThian-leng berusaha untuk menganalisa, namun tak dapat ia membuat kesimpulan. Penjara airpun kembali dalam kegelapan. Kini hanya berisi Thian-leng seorang. Badannya yang terikat dan rasa sakit pada luka-lukanya, tak dihiraukan sama sekali. Ia masih dapat bertahan. Tetapi derita batin memikirkan keselamatan Bu-song jauh lebih menyiksa hatinya. Dalam kemarahan yang tak berdaya itu, hampir putuslah segala harapan. Betapa inginnya saat itu ia segera mati saja! Ya, hanya kematianlah yang kiranya dapat membebaskannya dari penderitaan semacam itu.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 107 dari 290

Sekilas kemudian, terlintas suatu percikan sinar terang dalam otaknya. Mati, ya, kematian memang enak, memang satu-satunya cara untuk membebaskan penderitaan. Tetapi hal itu hanyalah suatu penghindaran diri dari kenyataan. Suatu pengelakan dari tanggung jawab. Suatu perbuatan pengecut dari manusia yang tak berani menghadapi kenyataan hidup. Bukankah ia seorang jantan ? Mengapa ia takut menanggung segala akibat perjalanan hidupnya ? Sesaat tenanglah pikirannya. tetapi ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Karena segera pikirannya terlintas pula oleh bayangan Lu Bu-song. Adalah karena hendak menolong dirinya, maka dara itu sampai menyelundup masuk ke dalam istana Sin-bu-kiong. Jika dara itu tak muncul, mungkin saat ini ia sudah menjadi budak pengikut Sin-bu Te-kun atau mungkin sudah menjadi mayat! Memang perangai dara itu agak kemanja-manjaan dan congkak. Tetapi betapapun ia telah menolong jiwanya. Telah mempertaruhkan jiwanya sendiri untuk melepaskannya dari belenggu perbudakan Sin-bu Te-kun. Adalah sudah menjadi kewajibannya untuk balas budi menolong si dara dari cengkeraman iblisiblis Sin-bu-kiong. Mengapa dara itu dibawa pergi kalau tidak akan dibunuh? Memikirkan hal itu kembali hati thian-leng tegang sekali. tetapi pada lain saat ia teringat bahwa Bu-song adalah cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun. Kakek berjenggot perak ketua partai Thiat-hiat-bun adalah seorang tokoh sakti. Mungkin tentu dapat menolong cucunya. Sesaat cemas, sesaat terhibur. Pikiran Thian-leng teraduk-aduk oleh berbagai lamunan. Entah berapa lama ia berada dalam gelombang kecemasan yang pasang surut tak henti-henti melanda batinnya. Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh suatu suara yang mencurigakan. Suara itu terdengar lemah sekali hingga hampir tak tertangkap oleh telinga andaikata tak secara kebetulan Thian-leng dapat mendengarnya. Suara itu lemah dan sebentar-sebentar lenyap. Cepat-cepat Thian-leng pusatkan seluruh perhatiannya. Ia memandang ke sekeliling penjara dengan seksama. Ah, dinding tembok itu terbuat dari batu yang kokoh dan licin. Tak tampak barang sedikitpun retakan ataupun liang. Tak mungkin suara orang dapat menembus ke dalam. ia mendongak memandang pada langit-langit ruangan, tak memungkinkan juga ditembus suara. Thian-leng pejamkan mata. Diam-diam ia menertawakan dirinya yang sudah kacau. Paling-paling suara itu tentu berombaknya air busuk dalam kubangan. Teringat akan air, iapun menunduk memandang ke permukaan air. Permukaan air tenang sekali, sedikitpun tidak beralun. Apalagi di dalam air yang sedemikian busuknya, tak mungkin terdapat mahluk hidup. Tiba-tiba ia tersentak kaget lagi. Mau tak mau ia harus mempercayai pendengaran telinganya. Ya, terdengar pula suara lemah itu. Malah kini lebih dari yang tadi. Ia yakin tentu tak salah dengar. Jelas bahwa suara itu merupakan suara erang seruan seseorang. Ah, tak salah lagi ! Satu-satunya jalan yang dapat ditembusi ialah dari lubang-lubang kecil pada langit-langit ruang penjara. Maka kali ini ia hentikan pernapasan dan mendongak ke atas mendengarkan dengan penuh perhatian. Ah, benarlah. Suara lemah itu terdengar jelas.. Sayup-sayup terdengar suara seorang tua yang parau, Nak, apakah kau mendengar suaraku.? Girang Thian-leng tak terkira, segera ia menyahut. Ya, mendengar. Siapa kau? karena meluapnya rasa girang, Thian-lengpun menghamburkan suaranya dengan keras sehingga ruang penjara air itu seolah-olah terselubung oleh suara kumandangnya yang bergema lama. Ketika suara Thian-leng sudah lenyap, terdengar pula suara parau itu, Nak, jangan keras-keras, aku tak dapat mendengar dan lagi akan menarik perhatian penjaga! Cianpwe, di manakah kau? Thian-leng segera merobah suaranya seperlahan mungkin. Orang tak dikenal itu menghela napas, Aku berada di ruang penjara Si-lo ( Penjara maut), di sebelah penjara air Penjara Si-lo ! Thian-leng berseru kaget, Bilakah cianpwe dijebloskan mereka? Orang itu mengerang sejenak, ujarnya, Tujuh belas tahun yang lalu Tujuh belas tahun yang lalu? kembali Thian-leng terkejut, siapakah nama locianpwe.. ? Kata-kata tujuh belas tahun itu memberi getaran keras pada perasaan Thian-leng. Ia mendapat firasat bahwa pada masa itu telah terjadi suatu peristiwa yang tak wajar dan peristiwa itu mempunyai sangkutpaut dengan dirinya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 108 dari 290

Orang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, Nak, jangan banyak tanya dulu. Bagaimana keadaanmu sekarang? Thian-leng tertawa getir, Jalan darahku tertutuk, kedua tanganku diikat dan aku dijebloskan dalam penjara air yang berdinding kokoh. Locianpwe, kiranya engkau tentu dapat membayangkan keadaanku itu! Yang kutanyakan ialah lukamu! cepat orang itu menyeletuk. Sekalipun menderita luka, tetapi aku telah mendapat peruntungan yang luar biasa dari seorang sakti. Tenaga dalamku telah digembleng sehingga luka yang kuderita ini tak menjadi soal. Dapatkah kau menguasai ilmu mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darah yang tertutuk? tanya orang itu pula. Thian-leng tertegun, ujarnya, Ini. ini aku belum pernah mencoba! Sekarang kau boleh mencobanya! Masih Thian-leng meragu, serunya, Locianpwe, sukakah kau memberitahukan namamu yang mulia? Jangan banyak mulut! orang itu membentak marah, lekas cobalah! Thian-leng tak berani banyak bicara lagi. Ia anggap perkataan orang tak dikenal itu memang benar. Siapa tahu jika memang dengan pengerahan tenaga lwekang dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk, bukankah itu suatu pertolongan yang besar? Segera ia mengerahkan semangat dan pusatkan seluruh perhatiannya. Setelah tenaga itu terpusat, segera ia salurkan ke arah jalan darahnya yang tertutuk. Tetapi secepat itu ia merasakan suatu penderitaan yang hebat. Tulang-tulangnya serasa ditusuk senjata tajam. Sakitnya bukan kepalang sehingga ia mengerang. Ah, aku tak dapat melakukan, rintihnya. Karena takut sakit? orang itu mengejek. Thian-leng tak dapat menyahut. Diam-diam ia malu dalam hati. Tiba-tiba terdengar keluh orang itu, Ah, mungkin aku salah menilai orang. Hm, kita sudahi saja pembicaraan sampai di sini! Bukan kepalang terkejutnya Thian-leng, serunya tersipu-sipu. Locianpwe. Locianpwe. , tetapi betapapun ia meneriaki, tak terdengar suara sahutan. Rupanya orang itu benar-benar marah, tak mau lagi bicara padanya. Terdorong oleh rasa malu dan gugup, ia segera menggertak gigi dan mengerahkan seluruh lwekangnya untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Sekali. dua kali tiga kali. ia tahan segala kesakitan, terus menggempurkan lwekangnya. Sampai pada putaran yang ke sembilan kali, terdengarlah tulang-tulangnya berkerotokan dan jalan darahnya yang tertutuk itupun terbuka! Girang Thian-leng bukan kepalang! Tetapi saat itu ia merasa letih sekali. Tulang-tulangnya serasa lunglai, kepalanya mandi keringat, napas terengah-engah. Sekonyong-konyong terdengar pula orang tak dikenal itu tertawa perlahan. Bagaimana nak? Aku berhasil melakukan sahut Thian-leng terengah-engah. Ah, nyata kau tak mengecewakan harapanku! Tetapi. Tetapi bagaimana? Karena terikat oleh kulit ular , sekalipun jalan darahku sudah terbuka, tetapi belum dapat memutuskan tali pengikat itu! Orang di dalam penjara air itu tertawa, Tak perlu kuatir! Cobalah kau ulangi lagi jurus-jurus yang kau pelajari dari Sin-bu Te-kun itu! Kembali Thian-leng terkejut. Memang selama bertanding dengan Sin-bu Te-kun, karena Sin-bu Te-kun bergerak perlahan, maka dapatlah ia mempelajari jurus gerakannya yang luar biasa. Tetapi yang membuat pemuda itu tak habis heran, orang yang telah dijebloskan ke dalam penjara maut selama tujuh belas tahun, mengapa tahu kalau ia habis bertempur dengan Sin-bu Te-kun?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 109 dari 290

Cianpwe, rupanya kau mengetahui segala apa, mengapa. Jangan banyak bicara ? tiba-tiba orang itu menukas, lekas turut perintahku ini! Thian-leng yang sudah mengenal akan perangai orang, terpaksa tak berani membantah. Segera ia ulangi menjalankan jurus-jurus dari permainan Sin-bu Te-kun. Makin lama makin terlelap ia dalam ilmu permainan yang luar biasa itu. Entah berapa lama ia terbenam dalam permainan itu. Satu demi satu, dari jurus ke jurus, telah dimainkan sampai selesai. Setelah inti pelajaran itu dicamkan benar-benar, barulah ia berkata, Locianpwe, telah kupelajari pelajaran itu dengan paham ! Dengan suara menghibur, orang aneh itu berseru, Bagus, sekarang kau boleh bertanya! Buru-buru Thian-leng menanyakan nama orang aneh itu. Nyo Sam-koan! sahut orang itu serentak. Ha.? Mohon locianpwe mengatakan sekali lagi! Dengan tegas orang itu mengulangi lagi ,Nyo Sam.. Koan Thian-leng merasakan jantungnya hampir melompat ke luar. Darahnya serasa membeku dan dengan suara lemah-lunglai ia berseru, Kalau begitu, locianpwe ini adalah Sin-bu-kiong Te-it Ong-hui punya Benar, Ma Hong-ing memang semula adalah istriku! Makin terengah napas Thian-leng seketika. Serunya , Pada tujuh belas tahun berselang, bukankah kau pernah mempunyai seorang putera? Mengapa kau sekarang dijebloskan dalam penjara maut ini? Nyo Sam-koan tertawa getir, Nak, akan kuceritakan padamu dengan perlahan-lahan. Tetapi yang jelas, aku bukanlah ayahmu! Siapa ayahmu aku sendiri tak jelas.! Mungkin kau anaka pungut Ma Hong-ing atau mungkin anak orang lain yang dicuri Dada Thian-leng berombak keras menahan gelombang perasaannya yang bergolak-golak. Namun ia tahankn diri tak mau menyambung bicara. Kata Nyo Sam-koan pula, Sekarang aku sudah berumur tujuh puluh lima tahun. Dahulu sejak kecil aku menjadi bujang dari keluarga Pok di Lulam. Keluarga Pok termasyhur sebagai tokoh silat yang dihormati orang. Aku disuruh melayani puteranya yang bernama Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng.. Pok Thiat-beng! menjeritlah Thian-leng dengan terkejut. Bukankah Pok Thiat-beng itu orang yang hendak dicari wanita sakti Toan-jong-jin? Apakah hubungan mereka berdua? Dan apa sangkut pautnya dengan dirinya Jangan keburu memutuskan omonganku dulu, nak. Dengarlah ceritaku lebih lanjut. kata Nyo Samkoan dengan suara lemah, Pok kongcu itu seorang pemuda yang gagah perwira. Ia bercita-cita hendak menjelajahi dunia, maka diajaknyalah aku mengembara, mengunjungi tempat-tempat termasyhur.. Peristiw itu terjadi pada delapan belas tahun yang lalu. Pada waktu itu, aku baru berumur enam puluh tahunan. Karena selama menjadi bujang keluarga Pok aku juga diajari ilmu silat, mak tubuhku masih tampak segar kuat. Dan kala itu Pok kongcu baru berumur duapuluh tahunan. Karena tertarik dengan kemasyhuran alam daerah selatan, maka kami segera menuju ke selatan. Sebulan kemudian tibalah kami di daerah Ling-lam. Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Lalu? desak Thian-leng. Mungkin seharusnya Pok kongcu jangan pesiar ke Ling-lam. Karena hal itulah maka sampai menimbulkan bermacam kejadian yang berbelit-belit! Memang Pok kongcu memiliki kepandaian silat yang hebat, sehingga dalam usia kurang dari dua puluh tahun saja dia sudah merupakan tokoh silat yang termasyhur di dunia persilatan Tiong-goan. Sebagai anak muda, tak lepas Pok kongcu dari rasa bangga. Julukan Siau-yau kiam-khek (Pendekar pedang bebas) itu dia sendirilah yang mengumumkan. Selama dalam pengembaraan itu, tak sedikit sahabatsahabat persilatan yang coba-coba hendak menjajal kepandaian Pok kongcu. Tetapi rata-rata mereka hanya mampu melayani Pok kongcu sampai sepuluh jurus saja. Tak seorangpun dari tokoh persilatan yang tak mengagumi ilmu pedang Pok kongcu! Tetapi setiba di Liang-lam, terjadilah suatu peristiwa yang luar biasa. Pok kongcu telah ketemu batunya. Apakah dia dikalahkan orang ? Thian-leng tak dapat menahan diri lagi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 110 dari 290

Benar! sahut Nyo Sam-koan. Bahkan menderita kekalahan yang mengenaskan. Baru bertempur tiga jurus saja, pedangnya telah dimentalkan jauh, lengan kanannya terluka. Sekalipun lawan tak bermaksud melukainya sungguh-sungguh, namun hal itu dianggapnya suatu penghinaa yang hebat! Thian-leng dapat memahami. Memang seorang tokoh persilatan, menganggap nama itu jauh lebih berharga dari jiwa. Apalagi seorang pemuda yang tinggi hati macam Pok Thian-beng. Tidak sampai tiga jurus sudah dikalahkan orang,benar-benar lebih baik mati saja. Siapa lawannya yang begitu lihai itu? tanya Thian-leng. Thiat-hiat-bun! sahut Nyo Sam-koan. Thiat-hiat-bun? untuk kesekian kalinya Thian-leng berjingkrak kaget. Lawannya itu hanya seorang dara yang baru kira-kira berumur enam belas tahun. Puteri kesayangan dari Lu Liang-ong, ketua partai Thiat-hiat-bun sendiri! kata Nyo Sam-koan lebih lanjut. Hati Thian-leng bergelombang keras. Seketika teringatlah dia akan si dara Bu-song. Bu-song ialah cucu si Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Thiat-hiat-bun. Kalau begitu bukankah yang mengalahkan Pok Thiat-beng itu ibu dari Bu-song? Sesaat kemudian Nyo Sam-koan berkata pula, Seteloah menderita kekalahan itu, Pok kongcu segera hendak membunuh diri. tetapi ah. rupanya masih panjang lelakonnya. Ternyata dara yang mengalahkan Pok kongcu itu malah jatuh cinta padanya.! Apakah mereka lalu menikah? seru Thian-leng. Ya, jawab Nyo Sam-koan, tiga hari kemudian disaksikan oleh ketua Thiat-hiat-bun Lu Liang-ong, mereka terangkap menjadi suami isteri, bersumpah sehidup semati..! Kembali pikiran Thian-leng melayang-layang. Wanita sakti Toan-jong-jin minta padanya supaya mencarikan jejak Pedang bebas Pok Thiat-beng. Dalam ucapan wanita itu seperti tersimpan urusan cinta. Tetapi si Patah hati itu kini sudah merupakan seorang nenek berumur tujuh-delapan puluh tahun. Rasanya tentu bukan puteri dari ketua Thiat-hiat-bun. Memikir sampai di situ, peninglah kepala Thianleng.. Siapa nama gadis yang menikah dengan Pok Thian-beng itu? tanyanya. Lu Giok-bun ! jawab Nyo Sam-koan. Thian-leng hanya mendesis. Ia tetap merasa terbungkus dalam halimun kegelapan Dua gembong bertemu. Meskipun Pok kongcu sudah menikah dengan nona Lu, tetapi ia tak mau menetap di daerah Ling-lam. Setelah beberapa bulan kemudian ia pamit pada ayah mertuanya dan membawa isterinya pulang ke utara. Nona Lu mempunyai seorang pelayan perempuan yang semestinya ditinggal di rumah untuk melayani Lu Liang-ong. Tetapi bujang perempuan itu dengan sangat meminta pada nona Lu supaya diperbolehkan mengikutinya. Katanya ia ingin melayani nona majikannya selama-lamanya. Sekalipun terharu atas kesetiaan bujang itu, namun nona Lu tak meluluskan, karena mengingat kepentingan ayahnya nanti. Di luar dugaan bujang itu menyatakn bahwa ia jatuh cinta padaku dan ingin menjadi isteriku.. Sungguh baik sekali! seru Thian-leng. Baik sih baik, tetapi akhirnya menjadi buruk.. Apakah budak perempuan itu.. Ialah Ma Hong-ing yang menjadi Teit Ong-hui dari Sin-bu Te-kun sekarang! ia menutup kata-katanya dengan helaan napas. Lo-cianpwe, lekas lanjutkan ceritamu! Thian-leng tak sabar lagi. Baik, kata Nyo Sam-koan, atas permintaan yang sangat dari Ma Hong-ing, akhirnya nona Lu meluluskan Ma Hong-ing jadi dinikahkan dengan aku lalu diajak pulang ke rumah Pok kongcu. Tetapi sebelum sempat pulang ke Lu-lam, di tengah jalan telah timbul peristiwa. Karena tujuan semula Pok kongcu hendak pesiar, maka iapun mengajak isterinya berbulan madu dahulu, pesiar ke berbagai tempat yang indah alamnya. Maka kurang lebih delapan bulan lamanya,
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 111 dari 290

barulah kami tiba di daerah Su-chuan. Waktu itu nona Lu dan Ma Hong-ing masing-masing sudah mengancdung. Karena kuatir tak keburu mencapai rumah , maka Pok kongcu segera mengutus aku untuk memberi kabar dulu ke lu-lam. Pok kongcu dan isteri terpaksa tinggal di Su-chuan menunggu kelahiran. Pergi pulang ke Lu-lam itu memakan waktu delapan bulan lebih. Ketika aku kembali ke Su-chuan, nona Lu dan Ma Hong-ing pun telah melahirkan anak. Nona Lu melahirkan seorang puteri dan Ma Hong-ing seorang lelaki. Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tiba-tiba ia berseru, Anak lelaki itu ialah Kau! Jantung Thian-leng berdebar keras, serunya, Kalau begitu apakah kesemuanya ini benar? Ma Honging adalah ibu kandungku dan kau..... adalah ayahku.... Nyo Sam-koan tertawa getir, Tidak, yang jelas aku bukanlah ayahmu! Hai, bagaimana kau begitu yakin? seru Thian-leng. Karena . karena aku tak pernah meniduri Ma Hong-ing! Hai.....! Bagaimana ia bisa hamil? Ini........ ada dua kemungkinan. Pertama, dia pura-pura hamil. Pada saatnya melahirkan, dia diam-diam menculik bayi dari salah seorang penduduk yang tinggal di dekat desa situ..... Ah, jadi ........ aku ini anak curian...........? Thian-leng mengeluh. Nyo Sam-koan menghela napas, ujarnya pula, Dan kemungkina kedua, Ma Hong-ing hamil sungguhan! Dengan siapa? seru Thian-leng. Dia berjinah dengan orang lain! Darah Thian-leng serasa membeku. Kalau benar begitu, ia seorang anak haram. Hai. tiba-tiba ia teringat akan tingkah laku Ma Hong-ing. Apakah ...... apakah dia berjinah dengan Ni Jin-hiong? Ah.... kalau begitu, Ni Jin-hiong itukah ayahnya...? Sungguh ngeri....! Kesimpulan ini lebih banyak mendapat tempat dalam pikiran Thian-leng. Karena kalau tidak, perlu apa Ma Hong-ing pura-pura hamil lalu mencuri bayi orang? Kemungkinan pertama itu, rasanya lebih tidak masuk akal. Mungkin Ma Hong-ing takkan berbuat begitu! Jika benar ia itu putera Ni Jin-hiong, ah.....! Tak tahu bagaimana perasaan Thian-leng saat itu. Yang nyata ia kepingin segera mati saat itu juga! Kembali suara parau dari Nyo Sam-koan terdengar pula, Nak, tak usah kau resah. Macan betina yang buas, tetap takkan memakan anaknya. Tetapi melihat tindakan Ma Hong-ing yang dengan berbagai tipu muslihat hendak membunuhmu, membuktikan bahwa kau bukanlah anak kandungnya.....! Thian-leng menghela napas, Namun andaikata benar mereka itu ayah bundaku, akupun .... Justru hal itulah yang harus kau selidiki sampai jelas! tukas Nyo Sam-koan. Thian-leng tertawa getir, Lo-cianpwe, silakan melanjutkan lagi! Nyo Sam-koan menarik napas, ujarnya, Pada saat aku kembali ke Su-chuan, terjadilah suatu peristiwa yang tak terduga-duga.. ia berhenti sejenak untuk menggali ingatan. Kemudian melanjutkan, Saat itu tengah malam buta. Tiba-tiba kudengar percekcokan mulut antara Pok kongcu dengan nona Lu. Baru pertama kali itu sejak menikah mereka cekcok. Yang pertama, tetapi juga yang terakhir! Semula hanya dengan suara perlahan, tetapi makin lama makin keras dan nyolot. Ketika aku menyadari bahwa keduanya sudah sama-sama naik darah, segera aku bergegas keluar hendak meramaikan. Tetapi sudah terlambat. Kedua suami isteri itu sudah bertempur! Mereka sama-sama memiliki kepandaian sakti. Betapapun usahaku hendak melerai, namun tak berdaya juga. Pok kongcu dapat melukai lengan kiri nona Lu, tetapi nona Lu pun dapat menusuk dadanya. Sepasang suami isteri yang saling mencintai satu sama lain, pada saat itu telah berobah menjadi dua musuh yang mendendam. Akibatnya telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan sekali.. Akhirnya Pok kongcu marah dan tinggalkan isterinya. Dan nona Lu pun membawa puterinya itu pergi. Sepasang burung merpati, kini saling terbang tercerai-berai.... Urusan apakah yang menyebabkan mereka sampai terpecah-belah begitu macam? tanya Thian-leng.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 112 dari 290

Kali ini Nyo Sam-koan menghela napas panjang, ujarnya, Semula aku sendiripun tak tahu persoalannya. Tetapi akhirnya ku ketahui juga. Kiranya wanita busuk Ma Hong-ing itulah yang menjadi gara-garanya. Dia telah mengatur siasat mengadu domba. Bagaimana caranya mengadu domba? Di hadapan Pok kongcu ia merangkai cerita bahwa sewaktu masih gadis di Liong-lam, nona Lu sudah mempunyai kekasih. Juga sebaliknya di depan nona Lu, Ma hOng-ing menggosok-gosok bahwa Pok kongcu itu sebenarnya sudah mempunyai isteri di rumah! Masakan kedua suami isteri itu begitu mudah saja memercayai cerita itu? seru Thian-leng. Ah, Pok kongcu dan nona Lu sama-sama masih muda. Darah mereka mudah meluap. Apalagi karena rasa cintanya, mereka mudah dihinggapi rasa cemburu. Pada saat masing-masing menganggap bahwa orang yang dicintainya itu ternyata sudah mempunyai kekasih, meletuslah perang mulut yang berakhir dengan pecahnya istana kasih yang mereka bentuk selama itu. Perempuan busuk Ma Hong-ing memang lihay. Selain cerita, iapun dapat menunjukkan beberapa bukti untuk memperkuat ceritanya itu. Demikianlah akhirnya kedua suami isteri itu berpisah Thian-leng termenung mendengar kisah-kasih yang tragis itu. Tiba-tiba ia teringat pada si wanita Patah Hati. Mengapa wanita aneh itu memakai nama Toan-jong-jin? Bukan tidak ada sebabnya ia menggunakan nama itu! Dan kalau menilik gerak-geriknya, kecuali hanya umurnya yang berbeda, wanita itu menyerupai benar dengan Lu Giok-bun. Hal ini........ Begitu mengetahui persoalannya, tiba-tiba lamunan Thian-leng terbuyar oleh kata-kata Nyo Sam-koan pula, segera kususul Pok kongcu. Kepadanya kujelaskan bahwa sebenarnya nona Lu tak bersalah, tetapi...... Nyo Sam-koan tertawa rawan dan tak melanjutkan kata-katanya. Thian-leng dapat meraba apa yang telah terjadi. Namun dicobanya berkata juga, Bukankah akhirnya kau kena diringkus Ma Hong-ing dan dijebloskan ke dalam Sin-bu-kiong sini Benar! sahut Nyo Sam-koan, ternyata orang-orang Sin-bu-kiong sudah memasang pengaruh sampai di Suchuan. Mereka diam-diam sudah mengepung tempat tinggal Pok kongcu. ia berhenti sejenak, katanya pula, tetapi sampai sekarang ini aku belum jelas kapankah Ma Hong-ing itu mulai mengadakan hubungan rahasia dengan Sin-bu Te-kun dan akhirnya menjadi Te-it Ong-hui? Cerita itu telah memberi banyak pengetahuan pada Thian-leng. Tetapi juga lebih mempertebal kabut rahasia yang menyelimuti asal-usul dirinya. Lo cianpwe, apakah selama tujuh belas tahun ini kau dijebloskan dalam penjara air ini? tanyanya. Ya, Nyo Sam-koan mengiyakan, mereka telah melumpuhkan kepandaianku. Kedua kakiku dirantai sehingga setapakpun aku tak dapat keluar dari penjara air ini. Selama tujuh belas tahun aku tak pernah melihat sinar matahari lagi! Tetapi mengapa lo-cianpwe tahu semua kejadian dalam istana Sin-bu-kiong ini? Mengapa lo-cianpwe tahu aku.... Nyo Sam-koan menukas tertawa, Memang sudah selayaknya kau heran! Dahulu aku pernah menerima ajaran ilmu gaib dari nona Lu yang disebut ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi Melihat langit mendengarkan bumi? Thian-leng menegas. Apabila ilmu itu diyakinkan sampai sempurna, maka apa yang terjadi di daerah seluas sepuluh li, apakah itu angin meniup atau rumput bergoyang, kita dapat mendengarkan dengan jelas! Tetapi bukankah kepandaian lo-cianpwe sudah dilumpuhkan? Mengapa bisa meyakinkan ilmu itu? Ilmi itu tak memerlukan suatu tenaga dalam, melainkan hanya konsentrasi hati, pikiran dan indra. Selama tujuh belas tahun disekap di sini, tak henti-hentinya kulatih ilmu itu. Baru setahun yang lalu aku berhasil mencapai kesempurnaan. Tetapi penangkapan pendengarankupun hanya mencapai seluas satu li saja. Maka apa yang terjadi dalam istana ini tentu tak terluput dari pendengaranku. Di luar istana, aku masih belum mampu menangkapnya! Kata Thian-leng dengan tegas, Apabila aku berhasil lolos dari penjara air sini, aku tentu berdaya menolong lo cianpwe. Tetapi bagaimana cara memecahkan penjara Si-lo itu? Apakah di situ tak dipasangi alat rahasia?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 113 dari 290

Jangan! sahut Nyo Sam-koan, jika kau berhasil lolos, harus segera tinggalkan Sin-bu-kiong untuk menyiapkan rencana menghancurkan Sin-bu Te-kun. Yang perlu kau ketahui, penjara Si-lo ini adalah pos terpenting dalam istana Sin-bu-kiong. Bukan hanya penuh dengan alat rahasia, tapi juga dijaga keras oleh sejumlah besar jago-jago tangguh. Jangan sekali-kali gegabah ke tempat berbahaya ini....! Nyo Sam-koan berhenti untuk menghela napas, ujarnya pula, Apalagi selama disiksa tujuh belas tahun ini, kini diriku hanya tinggal serangka tulang. Sekali melihat sinar matahari, mungkin aku tak tahan. Bisa buta atau mati seketika! Thian-leng hendak menyambung, tetapi Nyo Sam-koan meneruskan kata-katanya, Eh, ada orang datang! Mungkin ada bintang penolong datang. Ingat-kata-kataku tadi. Segera tinggalkan tempat ini dan teruskan usahamu untuk menumpas Sin-bu Te-kun. Setelah itu barulah kau perlahan-lahan menyelidiki asal-usulmu..! Serentak Thian-leng meminta agar Nyo Sam-koan menceritakan bagaimana ia dapat dijebloskan ke dalam penjara Si-lo, tetapi Nyo Sam-koan sudah menukasnya. Orang yang datang itu sudah tiba di luar penjara air, sudahlah, jangan banyak cakap lagi! serunya. Kata-kata Nyo Sam-koan terputus oleh bunyi berderak-derak dari pintu batu yang terpentang. Thian-leng pura-pura meramkan mata, napas terengah-engah macam orang yang sudah lemas-lunglai. tetapi diam-diam ia siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan! Begitu pintu batu terbuka, maka empat orang penjaga berpakaian ungu segera menerobos masuk. Dua diantaranya segera terjun ke dalam air dan melepaskan tali pengikat kedua tangan Thian-leng. Kemudian tanpa berkata apa-apa, kedua penjaga itu segera memapah Thian-leng keluar. Thian-leng masih pura-pura seperti orang yang tertutuk jalan darahnya. Ia menggelendot pada kedua penjaga itu. Tetapi begitu tiba di depan kedua penjaga yang lain, tiba-tiba ia melepaskan dua buah pukulan. Karena jaraknya teramat dekat, apalagi tak mengira sama sekali, maka kedua penjaga itupun tak sempat menghindar lagi. Kedua penjaga itupun bagaikan layang-layang yang putus talinya mencelat keluar. Sebelum kedua penjaga itu sempat mengerang, kepala mereka terbentur pada tembok. Benak mereka berhamburan keluar karena dinding kepalanya hancur...... Dan yang lebih menyeramkan lagi, pukulan Lui-hwe-ciang yang yang dilepaskan Thain-leng itu telah membakar hangus tubuh kedua korbannya. Serentak terhamburlah bau daging terbakar yang menusuk hidung! Kedua pengawal yang menyeret Thian-leng tadi terperanjat sekali. Tetapi cepat sekali Thian-leng sudah mencabut pedangnya. Sebelum kedua penjaga itu sempat menyerang, tahu-tahu tubuh mereka sudah tertebas. Dalam sekejap mata saja, keempat penjaga itupun sudah menjadi setan penghuni penjara air! Setelah membereskan keempat penjaga, Thian-leng segera hendak loncat keluar. Tetapi sekonyongkonyong terdengar bentakan keras. Dari sebelah kanan dan kiri pintu batu, muncullah dua penjaga lagi yang serentak menerkamnya. Tetapi pada saat itu Thian-leng sudah mendapat hati. Ia tak mau menghindar, sebaliknya malah membolang-balingkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Kedua penjaga itu menggembor keras, namun mereka terpaksa loncat mundur seraya merogoh ke dalam bajunya. Rupanya mereka mengambil senjata rahasia. Thian-leng tak gentar. Ia serang kedua lawannya itu. Tahan! tiba-tiba sebelum Thian-leng menerjang, terdengar sebuah bentakan dahsyat. Nadanya berat penuh dengan hamburan tenaga dalam yang hebat. Kedua penjaga itupun mundur. Juga Thian-leng tertegun dan membatalkan serangannya. Ketika mengawasi siapa pendatang baru itu, kejutnya bukan kepalang. Ternyata di sebelah luar dari penjara air, tampak muncul serombongan orang yang dikepalai oleh Sin-bu Te-kun sendiri! Yang membuat Thian-leng terkejut bukanlah kepala dari Sin-bu-kiong itu, melainkan munculnya seorang tua berjenggot putih yang berada di samping Sin-bu Te-kun. Itulah Lu Ling-ong , ketua Thiat-hiat-bun yang bergelar si Jenggot Perak. Tersipu-sipu Thian-leng memberi horamat kepada jago tua itu, Locianpwe. Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, Ah, tak usah banyak peradatan! Mana cucu perempuanku?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 114 dari 290

Ia bersama diriku telah dijebloskan ke dalam penjara air, tetapi diambil pergi oleh dua penjaga lagi, entah di mana.. sahut Thian-leng. Bagaimana, apakah kau tetap menyangkal? segera Jenggot Perak Lu Liang-ong menegur Sin-bu Tekun. Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Sejak semula memang tak kusangkal hal itu. Cucumu telah mendapat pelayanan istimewa dari istana kami. Makan dan oakaian tak kekurangan, harap Lu lo-hiapsu jangan kuatir! Lu Liang-ong mendengus, Hm, jika tak salah anak itu tentu sudah dimasukkan ke dalam penjara Si-lo, kaki tangannya dirantai. Apakah itu yang kausebut sebagai pelayanan istimewa? Sin-bu Te-kun tampak agak terkejut, namun segera menghamburkan tawa sinis. Memang begitu. Tetapi bagaimana lo-hiapsu tahu? Lu Liang-ong tertawa dingin, Salahmu sendiri, mengapa kurang luas pengalaman. Apakah kau tak pernah mendengar tentang ilmu melihat ke langit-mendengar bumi dari Thiat-hiat-bun.....? Jago tua itu sejenak keliarkan matanya, lalu berkata pula, Terus terang, segala sesuatu yang terjadi dalam istana sekecil ini, tentu tak terlepas dari pengetahuanku! Sin-bu Te-kun tertawa lepas, Di dalam kitab Im-hu-po-coan juga terdapat semacam ilmu begitu, hanya namanya yang berlainan, ialah Liok-ji-thong-leng ( enam telinga menembus alam ). Rasanya tak lebih rendah dari ilmu Lu lo-hiapsu.... Ketua Thia-hiat-bun tertawa misterius, Berapa jauhnya ilmu Liok-ji-thong-leng itu dapat menangkap suara? Seluas tiga li dapat membedakan langkah kaki orang! jawab Sin-bu Te-kun dengan bangga. Lu Liang-ong tertawa tergelak-gelak. Lama sekali belum berhenti, Sin-bu Te-kun memgerutkan alis. Mengapa? Apakah lo-hiapsu terserang penyakit? Ketua Thiat-hiat-bun terpaksa berhenti tertawa, ujarnya, Aku tak sakit melainkan menertawakan pengalamanmu yang sedemikian dangkal itu. Hanya dapat menangkap suara sejauh tiga li saja mengapa sudah dibanggakan? Merah padam muka Sin-bu Te-kun atas hinaan itu. Rasa malu merobah menjadi gusar, Coba katakan sampai di mana kelihayan ilmu Melihat langit mendengar bumi mu itu? Seluas lima belas li aku dapat mendengarkan angin berhembus, rumput bergoyang dan serangga beringsut! sahut ketua Thiat-hiat-bun. Seketika berobahlah wajah Sin-bu Te-kun, namun ia masih bersikap tenang. Serunya dengan tertawa dingin, Kata-kata besar itu biasanya hanya untuk menggertak orang saja! Tiba-tiba Jenggot Perak Lu Liang-ong picingkan matanya sehingga menjadi selarik garis kecil. Ia memandang dinding penjara air lalu berkata dengan perlahan, Saat ini aku dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling delapan li Apa yang kau lihat? tanya Sin-bu Te-kun dengan nada mengejek. Ada dua anak buahmu yang saat ini tengah bertempur dengan orang sakti. Yang seorang terbunuh dan yang seorang lari Omong kosong! teriak Sin-bu Te-kun. Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, Omong kosong atau benar, nanti dapat dibuktikan! Untung masih ada seorang yang hidup. Asal kakinya panjang (bisa lari cepat), tentu dia bisa selamat kembali ke istana Sin-bu-kiong! Muka Sin-bu Te-kun sebentar pucat sebentar merah. Mulutnya tak dapat berkata apa-apa. Thian-leng pun hanya tercengang-cengang saja mendengarkan percakapan itu. Ketua Thiat-hiat-bun hanya ganda tertawa. Sebentar-bentar mengedipkan mata ke arah Thian-leng. Sikapnya lucu sekali. Karena sampai sekian lama Sin-bu Te-kun tak bersuara, akhirnya ketua thiat-hiatbun itu tertawa, Dari ribuan li jauhnya aku sengaja perlukan datang mengunjungi Sin-bu-kiong. Entah apakah saudara bermaksud hendak bersahabat atau bermusuhan dengan pihakku?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 115 dari 290

Sin-bu Te-kun menjawab dengan nada dingin, Bersahabat bagaimana? Bermusuhan bagaimana? Jika menghendaki permusuhan, partai Thiat-hiat-bun pun tak takut kepada istana Sin-bu-kiong! Anggota-anggota Thiat-hiat-bun saat ini sedang berbondong-bondong kemari. Sekali kau sudah memaklumkan permusuhan, segera orang-orangku siap bertempur sampai ludas. Kalau Sin-bu-kiong sudah berani memikul tanggung jawab mempersatukan dunia persilatan, sudah tentu tak gentar terhadap sebuah gerombolan di daerah perbatasan yang menyebut dirinya sebagai partai Thiat-hiat-bun. Sin-bu Te-kun berhenti sejenak, katanya pula, Hanya saja, telah kuperhitungkan bahwa Lu lo-hiapsu tak nanti berbuat demikian. Karena cucu kesayanganmu itu saat ini berada dalam tanganku. Jika kau sungguh mengandung masksud bermusuhan, lebih dahulu cucumu yang tersayang itu. Sin-bu Te-kun tertawa meloroh. Ia tak menyelesaikan perkataannya, karena sudah cukup jelas. Si dara Bu-song akan dijadikan barang tanggungan untuk menggertak Jenggot Perak Lu Liang-ong. Di luar dugaan, ketua Thiat-hiat-bun yang berjenggot putih mengilap itu tertawa lebar, serunya, Aku tak ambil pusing dengan cucuku itu. Anak itu memang besar kepala dan manja, biarlah ada orang yang memebrinya hajaran. Andaikata sampai dibunuh orangpun malah meringankan bebanku dari rongrongannya. Bunuhlah, aku malah berterima kasih padamu ! Sin-bu Te-kun terkejut mendengar ucapan jago tua itu. Serunya sesaat kemudian, Kalau bersahabat lalu bagaimana ? Sambil mengusap-usap jenggotnya yang putih mengilat, Lu Liang-ong tertawa, Kalau bersahabat, baiklah kau adakan perjamuan untukku dan anak ini. Aku telah memutuskan untuk mengadakan sebuah Eng-hiong-tay-hwe ( pertemuan besar orang gagah ) di gunung Tiam-jong-san. Akan kuundang seluruh sahabat persilatan untuk hadir. Kemudian pada saat itu tentu kubantu usahamu untuk merebut kedudukan sebagai Bu-lim-beng-cu ( pemimpin kaum persilatan ). Setelah selesai barulah aku pulang ke King-lam. Bukankah hal itu sesuai dengan kehendakmu ? Tiam-jong-san? Sin-bu Te-kun menegas. Ketua partai Tiam-jong-pay adalah sahabat lamaku. Karena aku tak punya banyak kenalan di tionggoan, maka terpaksa aku hendak pinjam tempatnya di gunung Tiam-jong-san .inimengapa tak leluasa? Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Sekalipun kurang leluasa, tetapi mengapa aku takut? Jika Lo-hiapsu bermaksud sungguh-sungguh hendak mengadakan pertemuan besar itu, sudah tentu aku akan hadir. Entah kapankah kiranya pertemuan itu akan diadakan? Tahun depan tanggal lima belas bulan satu. Pertengahan bulan satu? gumam Sin-bu Te-kun, mengapa harus pada tanggal itu? Mengapa tak boleh pada tanggal itu ? balas Lu Liang-ong tertawa. Rupanya Sin-bu Te-kun merasa kelepasan omong. Buru-buru ia batuk-batuk dan berkata. Bulan satu tanggal lima belas adalah hari dari sembilan partai besar mengundang Hun-tiong Sin-mo untuk mengadu kepandaian di puncak Sin-li-hong gunung Busan. Pada saat itu semua tokoh persilatan sama berkumpul di Jwan-tang. Kemungkinan besar tentu tak ada yang memenuhi undangan ke Tiam-jongsan! Ketua Thiat-hiat-bun tertawa lebar. Tak usah saudara meresahkan hal itu. Ke sembilan partai besar itu pasti akan merobah tanggal undangannya kepada Hun-tiong Sin-mo! Kenapa? Sin-bu Te-kun tertegun. Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, Karena Hun-tiong Sin-mo sudah menerima undanganku! Kembali Sin-bu Te-kun tersentak kaget, serunya, Bagaimana dengan ke sembilan partai besar? Bagaimana kalau kuserahkan kepada saudara untuk mengundang mereka? Lu Liang-ong tertawa. Lagi-lagi wajah Sin-bu Te-kun berobah, ujarnya, Selama ini Sin-bu-kiong tak mempunyai hubungan dengan ke sembilan partai besar. Msing-masing menuntut jalannya sendiri-sendiri. Permintaan lo-hiapsu ini, aku Ah janganlah menolak, Lu Liang-ong tertawa, tentang hubungan Sin-bu-kiong dengan ke sembilan partai besar.... tak perlu disinggung-singgung......
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 116 dari 290

Dan belum lagi Sin-bu Te-kun menyahut, ketua Thia-hiat-bun itu sudah menyeletuk pula, Eh, bagaimana sikap kita ini? Bermusuhan atau bersahabat? Sin-bu Te-kun mendengus dengan geram. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memberi perintah kepada anak buahnya supaya menyiapkan perjamuan. Kemudian tanpa menghiraukan Lu Liang-ong dan Thianleng serta keempat penjaga yang terbunuh mati dalam penjara air, ia segera melangkah pergi...... Buyung, kau tentu lapar, mari kita suruh dia menjamu dulu! Jenggot Perak Lu Liang-ong menarik tangan Thian-leng. oooo0000ooooo Mengadu Kesaktian Ketika menghadapi meja perjamuan yang tumpah ruah penuh dengan segala macam hidangan lezat, Jenggot perak Lu Liang-ong segera gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, Buyung, tak usah sungkan. Hidangan tak ada racunnya, makanlah sepuasnya. Habis makan baru kita pergi.. Kala itu mereka berada dalam sebuah ruangan yang indah hiasannya, menghadapi meja yang penuh hidangan dan dilayani oleh berpuluh bujang wanita. Lu Liang-ong bersikap sebebas-bebasnya. Tanpa dipersilakan oleh Sin-bu Te-kun lagi, segera ia menyambar cawan arak, terus diteguk habis. Melihat sikap jago tua itu, diam-diam Thian-leng gelisah. Iapun gunakan ilmu menyusup suara, Locianpwe, cucumu nona Lu. Hai, apakah kalian berdua..? Lu Liang-ong tertawa mengikik lalu meneguk cawannya lagi. Melihat kedua tamunya saling menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap, timbullah kecurigaan Sin-bu Te-kun. Namun ia pura-pura tak melihatnya. Seolah-olah tak terjadi suatu apapun, ia tetap perintahkan pelayan-pelayan untuk menuangkan arak dan menghidangkan makanan yang lezatlezat. Nona Lu masih berada dalam penjara Si-lo, bagaimana kita bisa tinggalkan tempat ini? kembali Thianleng bertanya dengan ilmu menyusup suara. Budak itu memang kelewat liar, biarlah ia rasakan sedikit penderitaan! Lu Liang-ong tetap acuh tak acuh. Jawaban itu membuat Thian-leng heran sekali. Sikap manja dari dara itu tenttulah karena jago tua itu kelewat menyayangnya. Mengapa tiba-tiba sekarang tak dipedulikan? Tatkala ia hendak membuka mulutnya lagi, tiba-tiba seorang penjaga istana masuk menghadap Sin-bu te-kun. Dengan tergagap-gagap orang itu memberi hormat kepada pemimpinnya. Ada urusan apa? bentak Sin-bu Te-kun. Penjaga tua waju ungu itu memandang sejenak kepada Thian-leng dan Lu Liang-ong, tampaknya ia kurang leluasa bicara. Melihat itu Lu Ling-ong mengulum tawa. Ia meneruskan makan dan minum seenaknya. Tak apa-apa, katakanlah! kembali Sin-bu Te-kun berseru. Mendengar perintah barulah si baju ungu berani berkata dengan suara perlahan, Dua orang murid dari paseban Hian-tian telah bertempur dengan musuh di luar istana, satu meninggal satu terluka. Serentak bangkitlah Sin-bu Te-kun dari tempat duduknya, Di mana terjadinya peristiwa itu? serunya dengan gusar. kira-kira tiga belas li jauhnya Tiba-tiba Lu Liang-ong menyeletuk, Berita yang kau bawa itu bukan hal yang baru! Tadi akupun sudah mengatakan kepada Te-kun kalian! Wajah Sin-bu Te-kun seperti direbus, serunya nyaring, Siapakah orang yang berani mencabut kumis harimau itu? ..Tiam-jong-pay. sahut pengawal baju ungu dengan tergagap. Tiam-jong-pay! Sin-bu te-kun berseru tertahan. Kemudian ia berpaling kepada Lu Liang-ong, Bukankah tadi Lu lohiapsu mengatakan bahwa nanti bulan satu tanggal lima belas akan mengadakan

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 117 dari 290

rapat besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san? Mengapa sekarang mendadak orang Tiam-jong-pay berani mengganggu istanaku ini.? Lu Liang-ong tertawa, Apakah kau menuduh aku hendak mengadu domba? Memang sukar untuk dikata. sahut Sin-bu Te-kun, namun sekali Sin-bu-kiong sudah berani mencitacitakan menguasai dunia persilatan, sudah tentu tak takut pada siapa saja. Lu Liang-ong hanya tertawa hambar. Dia tak mau menyahut tetapi gunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng, Buyung, sudahlah, jangan pikirkan apa-apa. Makanlah sekenyangmu, habis itu kita pergi! Memang Thian-leng merasa lapar. Iapun segera menurut perintah jago tua itu. Masih penjaga baju ungu itu berkata dengan terbata-bata, Karena hal ini.... menyangkut ke sembilan partai, maka hamba mohon Te-kun sudi memberi petunjuk... Sin-bu Te-kun mendengus, ujarnya sambil mengerutkan dahi, Segera lepaskan burung merpati supaya membawa surat kepada ketua Tiam-jong-pay Poh-ih-siau-su Li Cu-liong agar dalam waktu tiga hari mengantarkan anak buahnya yang bersalah itu kemari menerima hukuman. Kalau tidak, akan kukerahkan anak buah Sin-bu-kiong untuk meratakan markas Tiam-jong-pay! Serta merta pengawal baju ungu itu mengiyakan dan minta diri. Pada saat itu Jenggot Perak Lu Liangong pun sudah kenyang melalap hidangan. Sambil mengusap-usap mulut, ia berkata, Jangan lupa bahwa aku sudah meminjam tempat Tiam-jong-san untuk mengadakan pertemuan besar. Takkan kubiarkan tempat itu dirusak orang. Jika saudara sungguh-sungguh.... Kalau begitu Lu lo-hiapsu hendak mewakili pihak Tiam-jong-pay untuk mempertanggung jawabkan peristiwa itu? tukas Sin-bu Te-kun. Maksudku, kata Lu Liang-ong, kalau hendak membikin perhitungan, baiklah ditangguhkan sampai pertemuan besar itu selesai diadakan. Jika aku tak setuju? Sekali partai Thia-hiat-bun masuk ke daerah iong-goan, tentu takkan membiarkan namanya jatuh! Dimulai dari aku si orang tua, seluruh anggota Thiat-hiat-bun menyatakan berdiri di belakang Tiam-jongpay! Mata Sin-bu Te-kun meliar buas, serunya, Jangan lupa bahwa hidup matinya cucumu itu masih berada dalam tanganku! Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, Telah kukatakan tadi, membunuh budak perempuan itu berarti mengurangi bebanku. Silakan bunuh saja..................... ketua Thai-hiat-bun itu berpaling kepada Thian-leng, ujarnya, Buyung, apa sudah kenyang? Mari kita kita pergi! Mimik Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya, Kuhormati pribadi Lu lo-hiapsu, tetapi hal itu bukan berarti aku takut padamu atau gentar terhadap partai Thiat-hiat-bun..... Ah, kau keliwat merendah! Lu Liang-ong tertawa sambil mengurut jenggot peraknya yang putih mengkilap. Ia bangkit hendak angkat kaki. Thian-leng pun mengikuti tindakan jago tua itu. Ia berdiri tetapi diam-diam salurkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga. Wajah Sin-bu Te-kun makin merah, bentaknya dengan bengis, Tua bangka Lu, jika dalam waktu tiga hari Tiam-jong-pay tak menyerahkan orangnya, bukan saja cucu perempuanmu akan kubunuh, gunung Tiam-jong-san pun akan kubumi-hanguskan! Enak saja ketua Thiat-hiat-bun itu menyahut, Akan kusampaikan ucapanmu itu kepada Tiam-jong-pay. Mau bersikap musuh atau sahabat, terserah saja padamu. Atau menyelesaikan dulu pertentangan antara Sin-bu-kiong dengan Tiam-jong-pay, kemudian baru mengadakan pertemuan besar tokoh-tokoh persilatan pun baik saja...... Atas kerepotanmu menjamu hidangan tadi, nanti Tiam-jong-san tetntu akan membalasnya, nah, selamat tinggal! Habis berkata jago tua itupun segera melangkah pergi. Nanti dulu! tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghadang. Apa ? Apakah sekarang mau menantang berkelahi ? tegur Lu Liang-ong dengan nada berat.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 118 dari 290

Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Aku bukanlah orang yang tak menghormati peraturan, tetapi Ia menunjuk pada Thian-leng, Anak muda itu telah mengucap sumpah, akan bertempur melawan aku sampai seratus jurus. Sekarang masih kurang sepuluh jurus yang belum diselesaikan. Tambahan pula, tindakannya membunuh ke empat anak buahku tadipun memerlukan ia harus tinggal di sini dulu ! Mata Jenggot perak Lu Liang-ong berputar sebentar, lalu katanya, Selain paham dalam ilmu melihatlangit-mendengar-bumi, aku si orang tua ini juga mempunyai semacam kesaktian. Apakah kau ingin mengenalnya ? Sin-bu Te-kun terbeliak mendengar jawaban orang yang menyimpang dari pertanyaan tadi, serunya , Masakah kau hendak mengunjuk kepandaian di hadapanku ? Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, Benar, aku si orang tua memang bermaksud demikian ia mengedipkan mata, Hanya pertunjukan itu memerlukan lapangan yang luas ! Sampai berapa jauh kesaktian jago Thiat-hiat-bun itu, ingin juga Sin-bu Te-kun untuk menjajakinya. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia, Halaman di ruang muka luasnya duapuluhan tombak, bagaimana kalau kau berikan pelajaran padaku di situ saja ? Lu Liang-ong melirik ke arah ruang dalam, ujarnya, Dua puluh tombak cukuplah. ia tarik tangan Thian-leng, Untuk mempertunjukkan ilmu gaib itu, harus ada seorang pembantu. Tolong kau bantu! Terpaksa Thian-leng mengiyakan. Sin-bu Te-kun makin heran. Segera ia ayunkan langkah menuju keluar halaman. Sekeliling halaman penuh dengan anak buah Sin-bu-kiong yang siap sedia dengan senjatanya. Jelas bahwa sebelumnya memang Sin-bu Te-kun sudah mempersiapkan penjagaan yang kuat. Setelah tiba di tengah halaman, dengan masih memimpin tangan Thian-leng, berserulah Jenggot perak Lu Liang-ong dengan nyaring, Aku si orang tua hendak mempertunjukkan sebuah ilmu permainan yang cukup memesonakan. Nanti semua serangga yang berada seluas sepuluh tombak tentu mati. Maka kuharap kalian menyingkir agak jauh sedikit! Sin-bu Tekun ganda tersenyum, tetapi diam-diam hatinya kebat-kebit. Segera ia memberi perintah supaya anak buahnya mundur sedikit. Merekapun menyingkir sampai batas sepuluh tombak. Dengan penuh perhatian ia mengikuti apa yang akan terjadi. Ketua Thiat-hiat-bun tertawa riang, serunya, Apa yang kupertunjukkan disebut Sin-liong-sam-sian ( naga sakti tiga kali muncul ), suatu ilmu meringankan tubuh yang istimewa Tiba-tiba ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng, Perhatikanlah pohon besar yang berada di sebelah selatan tiga puluh tombak dari sini itu! Itulah tempat pertama munculnya Sin-liong sam-sian Thian-leng sudah mempunyai rabaan, ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, Tetapi kepandaianku masih rendah, dikuatirkan tak dapat mengikuti lo-cianpwe Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru dengan agak marah, Bagaimanakah kehebatannya ilmu meringankan tubuh itu! Lu lo-hiapsu, apakah kau hendak menggunakan kesempatan Jenggot perak Lu Liang-ong tidak memperdulikan kata-kata Sin-bu Te-kun. Segera ia menarik Thianleng seraya membentaknya, Naiklah! Thian-leng sudah dapat menagkap maksud Lu Liang-ong. Maka diam-diam ia sudah kerahkan seluruh tenaganya. Begitu ditarik segera ia enjot tubuhnya ke udara. Ditambah dengan tarikan Lu Liang-ong tadi, maka meluncurlah tubuh keduanya bagai meteor yang melesat di udara. Tepat mereka hinggap di puncak pohon yang berada tiga puluh tombak jauhnya seperti yang ditunjuk si Jenggot perak tadi. Bukan kepalang marahnya Sin-bu te-kun mengetahui dirinya ditipu mentah-menatah. Segera ia menggerung keras dan hendak enjot tubuhnya mengejar. Tetapi secepat itu terdengarlah Lu Liang-ong membentaknya, Awas, panah Hong-thau-kiong ku akan mengambil kedua matamu! Ketua Thiat-hiat-bun itupun mengayunkan tangan kanannya. Walapun kemarahannya menyala-nyala, tetapi Sin-bu Te-kun cukup mengetahui kelihayan panah Hong-thau-kiong dari Thiat-hiat-bun yang tak pernah luput. Segera ia mendorong dengan kedua tangannya dan dengan meminjam tenaga dorongan itu ia apungkan tubuhnya sampai beberapa meter ke udara. Di luar dugaan, taburan Lu Liang-ong itu hanya gertakan kosong. Kembali Sin-bu te-kun termakan tipu. Ia harus berjumpalitan di udara untuk menghindari angin kosong !

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 119 dari 290

Dalam pada itu Lu Liang-ong pun tertawa geli. Katanya kepada Thian-leng, Buyung, tempat munculnya Sin-liong-sam-sian yang kedua ialah pada puncak lereng yang tinggi itu. Kali ini kita harus loncat sampai empat puluhan tombak. Slain tenagaku, kau sendiripun harus gunakan tenaga! Thian-leng kerahkan seluruh tenaga ke arah kedua kakinya. Begitu ditarik Lu Liang-ong segera ia loncat mengikutinya. Pada saat itu Sin-bu Te-kun menyadari dirinya tertipu, segera ia enjot tubuhnya mengejar ke puncak pohon, tetapi saat itu Lu Liang-ong dan Thian-leng sudah berada di puncak tingkat ( loteng ) yang tinggi. Loteng itu merupakan tingkat yang tertinggi dari gedung Sin-bu-kiong. Dari situ dapat melihat seluruh bangunan istana Sin-bu-kiong. Di sebelah selatan kira-kira lima puluh tombak, terdapat dinding tembok. Apabila melintasi dinding tembok itu, maka sudah dapat keluar dari Sin-bu-kiong. Diam-diam Thian-leng gelisah. Lima puluh tombak bukan jarak yang mudah dilompati. Apalagi seluruh anak buah Sin-bu-kiong pun sudah beramai-ramai mengepung dengan membawa obor. Bahkan saat itu Sin-bu te-kun sendiri juga sudah mengejar. Buyung, tempat ketiga dari munculnya Sin-liong-sam-sian ialah dinding tembok sebelah selatan itu. Kali ini kita harus loncat lima puluh tombak jauhnya Lo-cianpwe, ini tak mungkin.. Di dunia tiada hal yang tak mungkin! Apakah kau hendak suruh aku si orang tua begini menggendongmu! bentak ketua Thiat-hiat-bun dengan murka. Berabreng dengan itu terdengar gemboran keras dari Sin-bu Te-kun yang melayang mengejar. Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa mengejek, Tolol, lihatlah Hong-thau-kiong makan kedua matamu! ia ayunkan tangan kanannya. Sin-bu Te-kun tak percaya kalau orang benar-benar hendak menimpuknya. Dan kedua kalinya ia sedang dirangsang kemarahan, maka tanpa menghiraukan suatu apapun, ia terus melayang. Dan memang selama itu tak terjadi apa-apa. Bahkan ketika hampir dekat ia seilangkan kedua tangannya untuk melindungi mata. Begitu tiba segera ia hendak menghantam remuk lawan! Tiba-tiba terdengar Lu linag-ong tertawa gelak-gelak. Ternyata ancamannya kali ini bukan gertakan kosong tetapi sungguh-sungguh. Hanya saja yang diarah bukan mata melainkan kedua bahu orang. Panah rahasia yang berkepala burung Hong dari partai Thiat-hiat-bun itu sudah bertahun-tahun menggetarkan dunia persilatan. Tak pernah panah itu gagal memenuhi tugasnya. Cikal bakal pendiri Thiat-hiat-bun yang dulu merendam panah itu dalam racun. Setiap korban tentu binasa. Tetapi untunglah ketua Thiat-hiat-bun yang sekarang tak mau melanjutkan warisan itu. Ia melarang panah diberi racun dan tak boleh sembarangan digunakan. Maka sekalipun panah Hong-thau-kiong termasuk salah satu dari tiga-senjata-rahasia ampuh dalam dunia persilatan, tetapi yang binasa karena panah itu boleh dikata tak ada! Setelah menghisap ilmu kepandaian dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, Sin-bu Te-kun bercita-cita hendak menguasai dunia persilatan. Memang telah didengarnya juga tentang panah sakti dari Thiathiat-bun itu, tetapi dalam hati ia tak tunduk. Adalah karena hendak menggunakan tenaga partai Thiathiat-bun, maka ia tetap bersabar terhadap tingkah laku ketua Thiat-hiat-bun. Tetapi kini setelah dirinya dipermainkan begitu rupa oleh Lu Liang-ong, tak dapat lagi ia menahan kemarahannya. Persetan dengan panah hong-thau-kiong! Alangkah terkejutnya ketika menghadapai tipu orang yang licin. Ia tak menyangka bahwa yang di arah lawan bukan kedua matanya, melainkan bahu. Dalam keadaan di dirinya melayang di udar, betapapun lincahnya namun Sin-bu te-kun tak berdaya menghindari timpukan jago thiat-hiat-bun. Juga ternyata cara Lu Liang-ong menimpukkan panahnya itu luar biasa anehnya. Aum suaranya berada di sebelah barat, tetapi yang diserang di sebelah timur. Terpaksa Sin-bu Te-kun hanya kerutkan gigi untuk menerimanya! Seketika ketua Sin-bu-kiong itu merasakan bahunya sakit sekali. Dua batang Hong-thaukiong tepat menyusup ke jalan darah bahu kanan kirinya! Saat itu Sin-bu Te-kun hanya terpisah dua tombak dari puncak loteng tertinggi. Walaupun panah Hongthau-kiong itu tak sampai membuatnya tak dapat berkutik, namun karena jalan daranya terkena, maka mau tak mau sekujur tubuhnya terasa kesemutan, tangannyapun tak leluasa digerakkan lagi. Tak ampun lagi ia meluncur turun bagaikan seekor burung alap-alap yang terkena anak panah. Jenggot perak Lu Liang-ong mengantar kejatuhan lawan dengan gelak tertawa. Segera ia menarik Thian-leng untuk diajak loncat lagi. Diam-diam Thian-leng putus asa.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 120 dari 290

Dua kali mengadakan gerak loncatan yang demikian tinggi, telah membuat tenaganya hampir habis. Kalau harus loncat lagi sejauh lima pukuh tombak, rasanya ia tentu tak kuat. Tetapi aneh bin ajaib. Ketika ditarik Lu Liang-ong ia rasakan tubuhnya sudah melambung sampai sepuluh tombak. Buyung, ayo gunakan tenagamu! tiba-tiba Jenggot perak membentaknya. Thian-leng gelagapan. Buru-buru ia kerahkan sisa tenaganya dan ah ternyata berhasillah ia mencapai jarak lima puluh tombak itu. Saat itu ternyata ia sudah hinggap di atas tembok istana Sin-bukiong sebelah luar. Hampir Thian-leng tak percaya apa yang telah dialami saat itu. Sejak berdiri, belum pernah ada orang yang mampu keluar dari istana Sin-bu-kiong. Tetapi hari ini, kita dapat memecahkan hal itu! Lu Liang-ong tertawa. Rasanya hanya locianpwe seorang yang mampu! Thian-leng menyatakan kekagumannya. Tidak begitu, sahut ketua Thiat-hiat-bun. Di dunia terdapat banyak orang-orang sakti. Misalnya malam ini, yang bebas keluar masuk ke istana Sin-bu-kiong bukan hanya aku seorang saja! Siapa? Thian-leng terkejut. Hun-tiong Sin-mo! Ha? Thian-leng tercengang, Hun-tiong Sin-mo juga masuk ke istana Sin-bu-kiong? Sebagai jawaban Lu Liang-ong menarik tangan pemuda itu untuk diajak loncat keluar dari lingkungan Sin-bu-kiong. Dalam Hati dara sukar diduga laut dapat diukur

Kala itu sudah menjelang fajar. Di dalam istana Sin-bui-kiong masih terdengar suara hiruk pikuk, tetapi tak lama kemudian sunyi kembali. Tiada seorang pun anak buah Sin-bu-kiong yang mengejar keluar. Rupanya Sin-bu Te-kun sudah menerima kekalahannya. Setelah berjalan dua li, Lu Liang-ong berhenti di sebuah lereng gunung yang landai. Di bawah lereng tampak sebuah biara yang masih memancarkan lampu. Agaknya para imam dalam biara itu sedang melakukan sembahyang subuh. Teringat akan diri si dara Bu-song, serentak Thian-leng berseru terbata-bata, Lo-cianpwe., ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tak tahu bagaimana harus menyatakan. Kiranya ia hendak menyatakan isi hatinya kepada jago Thiat-hiat-bun itu. Sedangkan ia yang baru dikenal saja toh ditolong, mengapa Lu Bu-song dibiarkan saja menderita dalam penjara Sin-bu-kiong. Bukankah Busong itu cucu ketua Thiat-hiat-bun itu sendiri ? Buyung, apa katamu ? Lu Liang-ong tertawa. Walaupun lo-cianpwe telah menolong diriku, tetapi Sin-bu Te-kun itu seorang momok yang ganas sekali. Kalau dia menurunkan tangan jahat kepada nona Lu, bukankah . Eh, bukankah telah kukatakan tadi bahwa budak perempuan itu telah rusak karena kumanjakan? Biarlah dia merasakan sedikit rasa pahit agar dapat menjinakkan keliarannya, besok mungkin. Tetapi kata-katanya itu terputus oleh sosok bayangan yang melesat datang. Thian-leng cepat-cepat berpaling, ah.. si dara Bu-song.! Wajah dara itu tampak merengut. Sejenak melirik pada Thian-leng, tangannya menyambar jenggot kakeknya, lengkingnya, Kek, kau bilang apa? Lu Liang-ong membiarkan jenggotnya ditarik-tarik si dara, Aku bilang apa? Kali ini aku tak dapat memberi ampun. Kek, kau hendak menyuruh aku mati! Bu-song merajuk. Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, Ho, ho, masakah kau masih mempunyai lain kakek yang lebih buruk dari aku..eh, kakek menyakiti kau apa? Bu song lepaskan cekalannya, tetapi tiba-tiba tangannya merogoh dan mencubit dada kakeknya. Thianleng hanya terlongong-longong saja mengawasi. Saat itu pikirannya tengah melayang-layang, Mengapa Lu Bu-song bisa keluar dari penjara Sin-bu-kiong. Tetapi dari nada ucapan Lu Liang-ong jelas bahwa

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 121 dari 290

ketua Thiat-hiat-bun atau seorang tokoh partai itu yang menolong si dara. Namun ketua Thiat-hiat-bun itu masih berlagak tidak tahu untuk menggoda cucunya. Kek, apakah kau tak menghajar iblis tua itu? seru si dara dengan aleman. Wajah ketua Thia-hiat-bun berobah serius, Lumayan saja, tetapi karena hal itu bakal menimbulkan kesukaran besar Kesukaran besar apa? Bu-song cibirkan bibirnya. Lu Liang-ong merenung sejenak, katanya, Eh, budak, coba katakan dulu apa rencanamu? Rencanaku.? dara itu melongo. Sesaat kemudian ia berseru dengan nada sungguh-sungguh, Bukankah kakek meluluskan aku berkelana di dunia persilatan untuk mencari pengalaman? Lu Liang-ong tertegun. Buru-buru ia gelengkan kepalanya, Bukan, bukan. Kakek maksudkan, kau suka menemani aku atau....... ketua Thiat-hiat-bun itu tiba-tiba melirik kepada Thian-leng, sambungnya , atau bersama dia! Merah padam seketika selebar wajah dara itu. Ia tundukkan kepala memandang ujung baju. Sepatahpun tak berkata. Thian-leng terbeliak! Tak tahu ia mengapa ketua Thiat-hiat-bun itu mengajukan pertanyaan seaneh itu pada cucunya. Bukankah tak layak kalau seorang gadis mengadakan perjalanan bersama seorang pemuda? Tetapi Thian-leng menghibur hatinya sendiri. Ah,, Bu-song tentu menolak bersama dia. Dara itu tentu lebih suka bersama dengan kakeknya. Tetapi ternyata dugaannya meleset. Eh, budak, lekas katakan, turut kakek atau anak muda itu? Kakek tak punya tempo menunggu lamalama lagi! tiba-tiba Lu Liang-ong mendesak pula. Setelah berdiam diri sejenak, dengan tersipu-sipu malu dara itu menyahut, Kek, hendak kemana kau? Tiam-jong-san! sahut Lu Liang-ong. Uh, siap sudi ke gunung setan itu? gumam Bu-song. Lu Laing-ong tertawa gelak-gelak, Kalau begitu, berarti kau ingin.. ia menutup kata-katanya dengan tertawa keras. Wajah Bu-song semakin merah. Ia mencubit dada kakeknya pula, Aku tak mau bersama siapa-siapa! Masakah aku takut berjalan seorang diri? Habis berkata dara itupun sudah melesat beberapa tombak jauhnya. Hai, budak..! bukannya mengejar cucunya, sebaliknya Lu Liang-ong berputar tubuh membentak Thian-leng. Lo-cianpwe tersipu-sipu Thian-leng menyahut terbata-bata, sesaat kemudian berganti nada bersungguh-sungguh, Jika lo-cianpwe hendak menyuruh, sekalipun masuk lautan api menerjang hutan golok, aku tentu akan mengerjakan! Lu Liang-ong tertawa puas, Sekarang aku hendak menyuruhmu melakukan sebuah hal! Silakan lo-cianpwe mengatakan, tentu kulaksanakan! Jagalah cucu perempuanku itu....! Ini....ini....... Bukan hanya untuk sekarang, tetapi selama-lamanya. Ya, ambillah dia sebagi isterimu! Ini...... Ini , ini apa? Apakah kau menolak? Aku...., karena tak menyangka-nyangka orang akan mengatkan begitu, maka untuk sesaat tak dapatlah Thian-leng berkata-kata. Eh, rupanya kau hendak berbalik haluan? tiba-tiba Lu Liang-ong menegur dengan nada tajam. Bukan begitu! buru-buru Thian-leng menerangkan.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 122 dari 290

dengan nada sungguh-sungguh, Bukankah Habis mengapa kau tak lekas menyusul? Jagalah dia baikbaik, kelak apabila urusanku sudah selesai segera akan kulangsungkan pernikahan kalian.. Tetapi.. Tetapi bagaimana ? Nona Lu telah pergi dengan marah, aku kuatir tak dapat menyusulnya! Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, Kau sungguh tolol! Dia kan tentu menunggumu, kalau tak percaya silakan membuktikan sendiri. ia berhenti sejenak, lalu katanya pula, Aku masih mempunyai urusan penting, nah, aku hendak pergi dulu! Berbareng dengan kata-kata terakhirnya, jago Thiat-hiat-bun itupun sudah melayang ke udara dan turun tujuh delapan tombak jauhnya. Thian-leng tertawa meringis. Dia tak dapat melanggar sumpahnya. Tak mau ia memikirkan bagaiman akibatnya di belakang hari. Pokoknya sekarang ia harus melakukan perintah ketua Thiat-hiat-bun. terpaksa ia menyusul si dara. Ditilik dari sikapnya tadi. Bu-song tentu pergi dengan marah-marah. Saat itu tentulah dara itu sudah jauh berpuluh-puluh li. Tetapi di luar dgaan, ketika Thian-leng melintasi tikungan di lereng gunung, ia terkejut. Tak jauh di sebelah muka tampak si dara berjalan dengan lenggangnya. Dengan berdebar-debar segera Thian-leng menyusulnya. Nona Lu... Bu-song berpaling. Dengan nada acuh tak acuh ia menjawab, Ada apa? Jawaban itu membuat Thian-leng tertegun. Sahutnya gugup, Tidak a..apa-apa. hanya kakek nona menyuruh aku.. ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Bu-song kerutkan sepasang alis, Kakekku menyuruhmu apa? Thian-leng paksakan tertawa meringis, Beliau suruh aku menjaga nona! Tiba-tiba Bu-song mendengus, Hm, masakan kau mampu? ia memutar tubuh terus melesat pergi. Hai, nona Lu! Nona Lu.! Thian-leng kaget dan buru-buru mengejar. Kira-kira satu li jauhnya barulah Bu-song berhenti. Serunya dingin, Eh, kau ini bagaimana? Mengapa mengikuti aku saja? Aku sungguh menerima perintah dari kakek nona suapaya menjaga nona..... Uh, telah kukatakan tadi, kau tak mampu! dengus si dara. Betapapun juga Thian-leng itu seorang pemuda yang masih berdarah panas. Walaupun karena sumpah ia harus mengikat diri tunduk pada perintah, tetapi sebagai seporang pemuda sudah tentu ia tak mandah dihina oleh seorang anak perempuan. Kalau begitu baiklah. Akan kucari kakekmu dan minta beliau supaya menarik kembali perintahnya! kali ini Thian-leng benar-benar unjuk gigi. Pikirnya kalau mempunyai istri macam dara yang tinggi hati itu, kelak tentu ia menerima cemoohan saja. Maka habis berkata segera ia memutar tubuh dan melesat pergi. Dan sebaliknya sekarang Bu-songlah yang mendapat giliran terkejut. Ia tak menyangka bahwa Thianleng akan bersikap tegas juga. Berhenti! Cepat ia berseru kepada si anak muda yang sudah enam tujuh tombak jauhnya. Thian-leng terpaksa hentikan langkah. Tetapi tanpa berpaling ke belakang ia berseru, Nona hendak memesan apa? Beberapa saat Bu-song tak berkata apa-apa. Tiba-tiba terdengar suara terisak-isak. Thian-leng tercengang. Bukankah tadi dara itu bersikap sedemikian garang. Beberapa kali menghinanya tak akan mampu menjaga? Mengapa ketika ditinggal pergi malah menangis? Terpaksa Thian-leng berganti dengan nada sabar, Bagaimana nona? Apakah aku.... Mengapa kau memperlakukan aku begitu? Bu-song deliki mata. Thian-leng tertawa masam, Karena nona mengatakan aku tak mampu menjaga nona, maka akupun terpaksa pergi!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 123 dari 290

Kakekku telah memberi perintah padamu, masakah menerima sedikit cemoohan saja kau sudah marah? Bu-song mengomel. Bukankah nona muak kepadaku? Sekalipun aku sanggup menerima cemoohan, tetapi kalau nona memang tak suka, bukankah sia-sia saja aku menemani nona? Tolol, kau membuat aku mati penasaran! Bu-song membanting-banting kaki. Thian-leng kerutkan alis. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi dara semacam itu. Ah, hati wanita sungguh aneh! gerutunya. Meliaht si anak muda meringis, tertawalah Bu-song, Kau gagu? Thian-leng yang sedang merenung, gelagapan mendengar pertanyaan itu. Tanpa disadari ia segera menurutkan apa yang ditanyakan, Tidak, tidak gagu! Tetapi pada lain saat ia segera menyadari bahwa kata-katanya itu seperti anak kecil saja. Warna merah segera menebar di seluruh mukanya. Si dara tertawa mengikik sampai lama. Serunya kemudian, Cobalah katakan apakah perintah kakek kepadamu itu? Merah padam wajah Thian-leng seketika. Namun terpaksa ia menjawab juga, beliau mengatakan aku harus menjaga nona.. Hanya begitu saja..? tegas si dara. Masih ada lagi...ada..... Ada lagi apa! bentak Bu-song. Beliau suruh aku menjaga nona selama-lamanya, mengambil nona sebagi isteri!.. Thian-leng terpaksa mengulang apa yang dikatakan Lu Liang-ong tadi. Tetapi karena likat, habis berkata ia lalu tundukkan kepala. Wajah Bu-song pun kemerah-merahan seperti buah jambu. Ia tundukkan kepala memainkan ujung baju. Dengan suara tak lampias ia berseru, Lalu kau mau atau tidak? Thian-leng terhenyak, Demi mentaati sumpah, aku tak dapat menolak lagi! Artinya kau tak mau? Mau karena terpaksa? Kurasa diriku..... tak pantas menjadi pasangan nona..... Memang sebenarnya kau tak pantas! Bu-song menertawakan. Dan lagi asal-usul diriku masih belum terang. Aku masih mempunyai tugas berat. Sebagai seorang pemuda persilatan, jiwaku setiap saat belum ketentuan nasibnya. Mungkin akan mengecewakan hati nona, maka..... Bu-song tertawa. Kali ini tertawanya merdu meresap, Mungkin kata-katamu itu benar, tetapi aku ingin tahu....bagaimana anggapanmu terhadap diriku? Apakah kau mempunyai sedikit .... rasa suka kepadaku? Thian-leng membatin, Kau seorang dara manja. Jika mengambilmu sebagai isteri tentu runyam. Untung kakekmu melepas budi besar kepadaku. Apalagi aku telah mengucapkan sumpah. Apa boleh buat, untung celaka terpaksa kuterima! Nona mempunyai ilmu sakti dan rupa yang cantik. Pula menjadi cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun yang termasyhur. Jika aku beruntung mendapat isteri sebagai nona, sungguh...... Kalau begitu kau suka kepadaku? si dara tertawa riang. Su.....dah.....tentu.....tetapi..... Tetapi apa? Perangai nona itu .....agak kelewat manja, sehingga orang tak berani mendekati! Baik, baik, kalau begitu aku akan berlaku ramah kepadamu ya! si dara tetap tertawa. Thian-leng mengeluh dalam hati. Ah, rupanya seumur hidup ia akan ditakdirkan untuk menerima kocokan dari si dara manja itu. Ia kerutkan alis tak dapat berkata apa-apa lagi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 124 dari 290

Eh, sekarang kemana kita hendak pergi? tiba-tiba Bu-song menegur. Tetapi belum dijawab, ia sudah berkata lagi, Kukira begini saja. Lebih baik kita pesiar menikmati alam pemandangan indah dari gunung Thay-san! Pesiar.? Thian-leng melongo. Ya, apakah kau tak suka? Thian-leng gelengkan kepala tertawa rawan, Tidak! Aku tak mempunyai selera dan tak punya waktu luang untuk pesiar. Maaf, aku tak dapat menemani nona.. Kalau tak mau, tak apalah! Perlu apa harus minta maaf ? tukas Bu-song. Ia kerutkan kening, sesaat kemudian berseru pula, Eh, kau tadi memanggil aku dengan sebutan apa ? No..na.. Bagaimanakah ikatan hubungan kita sekarang ? Thian-leng terpaksa menyahut, namun tak dapat ia melanjutkan kata-kata kecuali dua patah kata, Adik Song. Namun jawaban itu telah membuat hati Bu-song bahagia. Kalau tak mau pesiar terserah. Kemanapun kau pergi, aku tentu ikut padamu! katanya dengan nada lemah lembut. Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian hal yang hendak dilakukan, namun tak tahu ia bagaimana harus memulai. Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian hal yang hendak dilakukan, namun tak tahu ia bagaimana harus memulai. Dan kekalahannya di istana Sin-bu-kiong telah memukul batinnya. Ia merasa kepandaiannya masih jauh dari memadai. Ia menghela napas, ketika Oh-se Gong-mo lo cianpwe menutup mata, beliau telah meninggalkan pesan kepadaku supaya melakukan pembalasan kepada Sonh-bun Kui-mo. Tetapi karena kepandaianku masih dangkal maka tak dapatlah kulaksanakan pesannya itu. Kini antara partai Tiamjong-pay dan Sin-bu-kiong telah timbul permusuhan. Sin-bu Te-kun mengatakan, apabila dalam tiga hari Tiam-jong-pay tak menyerahkan anak buahnya yang membunuh penjaga Sin-bu-kiong, maka dia hendak menyerang Tiam-jong-san. Lu Lo-cianpwe juga ke sana. Kurasa lebih baik kita ke gunung itu. Sedikit banyak dapat menyumbangkan tenaganya untuk menghancurkan Sin-bu Te-kun. Dengan begitu dapatlah sekurang-kurangnya kupenuhi pesan Oh-se Gong-mo lo-cianpwe. Baik, acuh tak acuh Bu-song mengiyakan, kita ke Tiam-jong-san. Tetapi jika dugaanku tak salah, untuk sementara ini Sin-bu Te-kun tentu tak berani ke sana. Dia tak mau mengurus soal kecil yang dapat merugikan cita-citanya menguasai dunia persilatan! Maksud adik Song Sin-bu Te-kun tentu tak berani bermusuhan dengan partai Thiat-hiat-bun karena akibatnya keduanya tentu sama remuk. Ia berani buka mulut besar di hadapan kakekku karena aku menjadi orang tawanannya. Tetapi siap tahu.. Ya, ya , bagaimana adik bisa keluar dari penjara itu? tanya Thian-leng. Bu-song tertawa,Ingatkah kau, aku pernah mengatakan tentang keempat Su-liat (orang gagah) dari Thiat-hiat-bun? Ya, ya, aku ingat. Tetapi bukankah kemudian kau mengatakan bahwa hal itu hanya obrolan kosong dari Sin-bu Te-kun saja? Bu-song tertawa riang, Memang apa yang kukatakan kala itu sungguh-sungguh, karena kepergianku ke Sin-bu-kiong itu di luar tahu kakekku. Saat itu kakek sedang sibuk mengobati budak perempuan dari Sin-bu-kiong. sejenak Bu-song melirik tajam kepada Thian-leng, ujarnya pula, tetapi ilmu Melihatlangit-mendengar-bumi dari kakek dapat melingkupi seluas sepuluh li. Maka gerak-gerikku tak luput dari pengetahuannya. Selain mengirim keempat Su-kiat, ia sendiripun segera menyusul ke istana Sin-bukiong! Bagaimana dengan luka nona itu? tiba-tiba Thian-leng teringat akan kedua taci beradik Ki Seng-wan dan Ki Gwat-wan.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 125 dari 290

Mati! sahut Bu-song dingin-dingin. Thian-leng tersentak kaget. Ia tak yakin tetapi ketika hendak menanyakan lebih lanjut, Bu-song mendengus, memutar tubuh terus pergi Thian-leng tercengang. Ia berseru seraya mengejar. Sepuluh tombak jauhnya, Bu-song berhenti. Sesosok tubuh tiba-tiba melesat menghadangnya seraya menegur dengan tertawa dingin, Adik Lu, perlu apa memaki-maki orang? Bu-song kerutkan alis: Siapa yang suruh kau mengurus lain orang, siapa yang kau sebut adikmu itu Ia mendengus lalu melesat pergi. Thiang leng terkejut girang. Orang yang mengenakan baju merah itu bukan lain Cu Siao-Bun. Buru-buru ia memberi hormat, Nona Cu, sungguh beruntung bisa berjumpa Mendengar ini, bukan main marahnya Bu-song, lengkingnya, Apa-apaan kau!? Jalan! Thian-leng serba salah. Kecongkakan Bu-song sungguh membuat orang muak. Cu Siao-bun pernah melepas budi kepadanya, bagaimana ia dapat bersikap sedingin itu? Akhirnya tanpa memperdulikan kata-kata keras dari Bu-song, Thian-leng tetap menyapa kepada Cu Siao-bun, Bilakah nona terlepas dari bahaya? Sekarang hendak kemanakah? Melihat dirinya tak dipedulikan, amarah Bu-song meluap. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya menampar muka Thian-leng. Plak karena tak menyangka-nyangka, pipi kiri Thian-leng kena. Pipi melepuh, darah mengucur dari ujung mulut. Cu Siao-bun mengawasi kedua muda-mudi itu dengan senyum ewa. Sedang Thian-leng sendiri masih terlongong-longong karena kepalanya pusing, mata berkunang-kunang. Tamparan itu tak menyebabkannya menderita luka , tidak pula membuatnya sakit. Tetapi yang terluka adalah perasaan hatinya. Kepribadiannya sebagai seorang lelaki. Diam-diam ia menyesal dalam hati. Tetapi si dara yang sudah biasa dimanja, malah membentak-bentak lagi, Kau hendak kasak-kusuk apa dengannya? Ayo, jalan tidak? Sekalipun tidak ada orang lain, kata-kata itu juga tak pantas diucapkan. Apalagi Cu Siao-bun ada di situ. Darah panas Thian-leng menggelora dan lupalah ia seketika. Plak.. ia balas menampar pipi Bu-song sekeras-kerasnya. Bu-song mengerang. Pipinya membenjul besar, darah dari mulutnya mengucur membasahi dadanya. rupanya ia lebih menderita dari Thian-leng. Kau .. kau berani memukul.. Bu-song melengking, ia memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung. Thian-leng melongo. Sesaat kemudian ia hendak mengejar. Tetapi tiba-tiba Cu Siao-bun menertawainya. Mau minta ampun ya.....? Thian-leng tertegun. Ia berhenti, mukanya merah padam. Sahutnya, Aku belum serendah itu, hanya.. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena merasa sukar untuk menjelaskan hubungannya dengan Bu-song. Dan ia anggap tak perlu menerangkan hal itu kepada Cu Siao-bun. Tentunya kau masih ada lain urusan lagi? tegur Cu Siao-bun dengan tetap tertawa. Terpaksa Thian-leng menjelaskan, Karena aku telah menyanggupi kakeknya untuk menjaga dara itu, maka hendak kuserahkan kembali ia kepada kakeknya saja agar jangan menimbulkan perkara di perjalanan! Cu Siao-bun tertawa mengikik, Jangankan sudah mendapat perintah dari kakeknya, sekalipun tidak, bukankah kau juga senang untuk menjaganya? Eh, tetapi bagaimana caramu menjaganya? Thian-leng tak biasa berbohong. Maka merahlah mukanya. Kembali rasa gelisah mencengkam hatinya. Betapapun kesalahan si dara Bu-song, tetapi karena kakeknya telah melepas budi besar, seharusnya ia tak boleh mengimbangi sikap dara itu. Bukankah ia sudah mengangkat sumpah? Bagaimana nanti pertanggung jawabannya kepada Jenggot perak Lu Liang-ong? Jika nona tiada pesan lain lagi, maaf, aku hendak berangkat dulu! akhirnya ia paksakan berkata. Ah, mana berani aku memberi perintah? Tetapi aku hanya hendak menyerahkan sepucuk surat dari seorang sahabat..... Siapa? Thian-leng terbeliak.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 126 dari 290

Cu Siau-bun.....!

JILID 7 Pengemis Bulu Besi JILID 7 Pengemis Bulu besi. Dia? Thian-leng berseru kaget, bukankah dia mendapat kecelakaan di gunung Thay-heng-san..... Tidak, dia masih hidup.... sahut Cu Siao-bun dengan nada rawan. ( Catatan: Cu Siao-bun adalah gadis baju merah yang bercakap-cakap dengan Thian-leng saat itu. Sedang Cu Siau-bun adalah pemuda berwajah pucat yang dijumpai Thian-leng ketika keluar dari gunung Hun-tiong-san. Agar tidak membingungkan, maka digunakan ejaan Siao untuk si gadis dan Siau untuk si pemuda Pen). Tiba-tiba terlintaslah sesuatu dalam benak Thian-leng, Cu Siao-bun dan Cu Siau-bun. Namanya hampir sama dan wajahnya serupa. Mengapa gadis Siao-bun membawakan surat pemuda Siau-bun? Aneh.... Mungkin kau merasa heran, bukan ? tegur Cu Siao-bun. Ya,...... apakah nona....... Siao-bun tertawa, Sebenarnya tiada hal yang perlu diherankan. Cu Siau-bun adalah engkoh. jadi wajar kalau sama wajahnya. O, kiranya nona adik dari saudara Cu, maaf! Thian-leng seperti tersadar. Selanjutnya Thian-leng segera menanyakan berita pemuda Cu Siau-bun. Dia masih hidup di dunia, tetapi..... Siao-bun tak melanjutkan kata-katanya. Dengan pandangan rawan ia menatap Thian-leng. Dia... dia bagaimana? Thian-leng gelisah. Segera akan mati! Hai....! thian-leng menjerit, Di mana sekarang ia? Apakah kau ingin menemuinya? tanya Siao-bun. Ya, engkoh nona itu telah banyak melepas budi padaku. Sudah tentu aku harus menjenguknya! Rupanya engkohku juga selalu teringat padamu. Kini ia berada dalam rumah penginapan Ih-hian di kota Ceng-liong-tin. Kira-kira dua ratus li dari sini.... Jangankan hanya dua ratus li, sekalipun ribuan li aku tetap akan menjumpainya, sahut Thian-leng. Tampak wajah Siao-bun tertawa girang, ujarnya dengan tertawa, Jika kau memang bermaksud begitu, silakan lekas ke sana. Kalau tidak dikuatirkan kau tak dapat bertemu dengan engkohku lagi selamalamanya! Maaf, aku segera hendak ke sana! Thian-leng terus memutar tubuh melesat pergi. Siao-bun memandang bayangan pemuda itu dengan terlongong-longong. Tiba-tiba wajahnya mengerut keras, ujarnya seorang diri, Lu Bu-song, sekalipun kau ini adik misanku, tetapi dalam hal ini aku tak dapat mengalah padamu! ooooo00000ooooo Thian-leng menggunakan ilmu lari cepat. Ia ingin segera dapat menyusul si dara Bu-song, kemudian baru menuju ke kota Ceng-liong-tin menjenguk Cu Siau-bun yang sakit keras. Kepada pemuda wajah pucat itu, Thian-leng juga berhutang budi. Adalah pemuda itu yang membebaskan dirinya dari kepungan delapan anak buah Sin-bu-kiong ketika Thian-leng baru keluar dari markas Hun-tiong Sin-mo. Adalah pemuda itu juga yang menunjukkan tentang tipu muslihat Ma Hong-ing yang mengaku jadi ibunya itu.. Masih banyaklah kebaikan-kebaikan yang diunjukkan pemuda Cu Siau-bun itu kepadanya. Kini pemuda itu menderita sakit berat, entah besok entah sore akan meninggal dunia. Ia ingin sekali menemui pemuda itu. Tetapi ah, ia mendongkol benar kepada Bu-song. Ia segera perkencang larinya seraya berteriak-teriak, Adik Song.. Lu. Bu..song..!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 127 dari 290

Namun bayangan dara itu tak tampak sama sekali. Seluas puluhan li telah dijelajahi, tetapi ia tak berhasil mencari dara itu. Celaka, dia tentu marah dan pulang melapor pada kakeknya! diam-diam ia mengeluh. Ketika ia sedang gelisah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara helaan napas panjang. Dan matanya segera melihat sesosok tubuh manusia tengah berlutut di bawah sebuah pohon besar. Ketika dihampiri, ternyata hanya seorang pengemis tua yang sudah putih rambutnya. Wajahnya kumal penuh debu. Pengemis itu duduk bersandar pada batang pohon, sebatang tongkat bambu terletak di sampingnya. Sekalipun lelah, namun terpaksa ditegurnya juga pengemis itu. Mengapa lo-cianpwe seorang diri berada di hutan sunyi ini, apakah.... Thian-leng bersedia memberi pertolongan apabila pengemis tua itu memerlukan bantuan. Tetapi katakatanya itu terputus oleh rasa kaget. Pengemis tua itu tiba-tiba membuka matanya. Dua larik sinar berkilat-kilat tajam memancar. Itulah pancaran sinar mata dari seorang ahli tenaga dalam yang hebat. Maaf, kalau aku mengganggu lo-cianpwe! buru-buru Thian-leng berseru seraya memberi hormat lalu pergi. Tunggu! sekonyong-konyong pengemis itu berseru. Thian-leng terpaksa hentikan langkahnya. Berjam-jam kudengar kau menjerit-jerit seperti anak ayam mencari induknya. Sekarang baru kau minta maaf, apakah tidak terlambat? dengus pengemis tua itu. Thian-leng mengerutkan kening. Pikirnya, pengemis ini benar-beanr liar sekali. Ia bermaksud baik, mengapa malah disemprot? Aku tak tahu kalau lo-cianpwe sedang beristirahat di sini, maaf! terpaksa Thian-leng meminta maaf lagi, lalu melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah, kembali pengemis tua itu membentaknya, Kembali! Kali ini Thian-leng tak mau. Ia hanya menyahut tawar, Aku toh sudah minta maaf padamu! Pengemis tua itu tertawa gelak-gelak, Dalam satu perahu sama-sama mendayung, adalah sudah menjadi suatu keharusan. Kita bertemu di sini, boleh dikata mempunyai jodoh. Paling tidak harus saling memberitahukan nama, baru kau pergi pengemis tua itu berhenti sejenak dari ocehannya. Sebelum Thian-leng menyahut, ia sudah lanjutkan kata-katanya lagi, Aku si pengemis tua ini orang she Auyong, bernama tunggal Beng. Atas kecintaan dari sahabat-sahabat persilatan, aku diberi gelar Thiatik Sin-kay ( Pengemis sakti berbulu besi ). Dan kau? Thian-leng tertegun, serunya, Aku yang rendah sampai sekarang belum mempunyai nama. Untuk sementara aku memakai nama Bu-beng-jin! Bu-beng-jin artinya Orang yang tak punya nama. Auyong Beng tertawa gelak-gelak, Bu-beng-jin, ah, bagus juga nama itu Thian-leng hanya tertawa masam. Sambil berputar ia terus hendak berlalu lagi. Sebenarnya aku hendak tidur, tetapi terganggu dengan jerat-jeritmu tadi. Karena sudah terlanjur terjaga, mari kita omong-omong! Thian-leng menolak, Tidak-tidak! Karena masih mempunyai urusan penting, maaf, aku tak dapat menemanimu! Pengemis sakti tertawa meloroh, Meskipun kau tetap hendak pergi, tetapi juga tak perlu terburu-buru begitu. Kalau kita omong-omong barang dua tiga patah kata lagi, toh takkan membuatmu rugi bukan? Thian-leng kerutkan dahi, serunya, Lo-cianpwe hendak memberi pesan apa, silakan lekas mengatakan saja! Tadi kau jerat-jerit tak keruan itu hendak mencari siapa saja? Ini . seorang adik perempuan adik angkatku! Adik angkat...? Berpuluh-puluh tahun si pengemis tua ini berkelana di dunia persilatan, tak pernah aku bicara bohong, tak pernah aku menyombongkan diri. Dengan begitu barulah aku dapat memenangkan .... Merah padam seketika wajah Thian-leng, Itu urusanku pribadi, harap lo-canpwe jangan mendesak!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 128 dari 290

Kembali pengemis tua itu tertawa keras, Baik, aku takkan menanyakan urusan pribadi. Bu-beng-jin, rupanya jodoh kita hanya sampai di sini saja. Karena kau mempunyai urusan lain, silakan pergi! Thian-leng tak mau banyak cakap. Setelah memberi hormat, segera ia memutar diri dan melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia harus berhenti lagi. Kiranya ia mendengar pengemis tua itu berkata seorang diri, Ah, Sip Uh-jong, Sip Uh-jong, kematianmu sungguh mengenaskan sekali. Buru-buru Thian-leng balik dan bertanya, Apakah lo-cianpwe kenal pada Sip lo-cianpwe? Apakah dia.... Mengapa kau tanyakan dia? wajah Pengemis sakti mengerut gelap. Terus terang beliau telah banyak melepas budi padaku! O, kiranya kau masih ingat budi? Sayang sahabatku itu sudah mati! Benarkah? Thian-leng menegas. Aku pengemis tua tak pernah bohong! sahut si pengemis. Namun Thian-leng masih tetap meminta keterangan yang jelas. Sahabatku itu dan Tui-hun Hui-mo telah ditutuk jalan darahnya oleh isteri Sin-bu Te-kun. Setelah mereka tak berdaya lalu dibakar! Thian-leng pening kepalanya mendengar cerita itu. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang telah lalu. Ia anggap keterangan si pengemis itu tentu benar. Agaknya lo-cianpwe tahu banyak perihal beliau, apakah lo-cianpwe Aku tak punya keistimewaan apa-apa. Tetapi segala peristiwa di dunia persilatan, baik kecil maupun besar, tak nanti luput dari pendengaranku. Maukah kau mendengar peristiwa-peritiwa itu semua? Tak usah, aku percaya penuh pada lo-cianpwe. Aku hanya mengutuk diriku sendiri yang tak punya kepandaian tinggi hingga tak mampu membalaskan sakit hati Sip lo-cianpwe.... Pengemis sakti menghela napas, Benar, meskipun kau sudah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-sinciang dengan hebat, tetapi hawa dalammu masih kalah jauh dari Sin-bu Te-kun, si Jenggot perak Lu Liang-ong, Hun-tiong Sin-mo dan lain-lain, kecuali..... Kecuali bagaimana? Mengapa Lo-cianpwe tak melanjutkan kata-kata? Pengemis sakti perdengarkan tawa yang dalam, ujarnya, Sip U-jong paham ilmu meramal. Tak nanti ia biarkan peta telaga Zamrut itu terbakar bersamanya. Jika sudah memberimu pil Kong-yang-sin-tan, masakah tidak peta itu sekalian? Apa kata lo-cianpwe? ulang Thian-leng. Aku tahu segala apa, tetapi soal peta itu benar-benar aku masih gelap. Sip U-jong memiliki selembar peta Telaga Zamrut. Sebelum ia menutup mata apakah tak diserahkan padamu? Thian-leng pun kerutkan dahi. Sesaat setelah meminum pil Kong-yang-sin-tan, karena tak kuat menahan rasa panas, akupun pingsan sampai lama. Bagaimana dengan nasib Sip lo-cianpwe saat itu aku tak tahu. Begitu pula dengan peta itu! Aneh, masakah peta itu turut terbakar? gumam pengemis sakti. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula, Beberapa tahun yang lalu di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh baru yang mengejutkan. Kepandaiannya luar biasa. Tokoh-tokoh kelas satu yang berhadapan dengan orang itu hanya seperti anai-anai yang menerjang api. Belum pernah ada seorangpun jago persilatan yang mampu melayani lebih dari tiga jurus. Siapakah tokoh itu? seru Thian-leng serentak. It Bi siangjin! sahut si pengemis. It Bi siangjin.. ? Thian-leng mengulang heran. Ia tak tahu siapa tokoh itu. It Bi siangjin adalah seorang pertapa aneh. Tak suka bergaul dengan orang. Sudah berpuluh tahun ia berkelana untuk mencari seorang yang dipandang dapat menjadi murid penggantinya. Tetapi tak ada yang dicocoki, sehingga karena putus asa, ia menguburkan kitab dan pedang pusaka Liong-coan-pokiam . O, jadi Telaga Zamrut itu tempat kuburan pusaka! seru Thian-leng.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 129 dari 290

Benar, asal mendapat petanya, tentu dapat mencari pusaka-pusaka terpendam itu. Pengemis sakti mengatakan, kitab pusaka itu ditulis sendiri oleh It Bi siangjin, berisi seluruh ilmu kepandaiannya. Kalau berhasil meyakinkan , Sin-bu te-kun, Hun-tiong Sin-mo, Lu Liang-ong, ya pendek kata siapapun tentu tak menang, sayang sekali kalau sampai turut terbakar ! Bagaimana lo-cianpwe tahu peta itu berada pada Sip lo-cianpwe ? Dan mengapa Sip lo-cianpwe tak berusaha mencari pusaka itu? Berita itu sudah lama tersiar di dunia persilatan, jadi tak mungkin bohong. Sip U-jong sudah dipunahkan kepandaiannya oleh musuh, maka percuma ia mendapat kitab itu, toh tak dapat meyakinkan lagi. Ia hendak menyerahkan kitab itu kepada orang yang dianggapnya berbakat bagus, agar dapat membalaskan sakit hatinya. Sip U-jong seorang yang pandai meramal, licin dan pandai tentang obatobatan beracun. Sekalipun ilmu silatnya sudah punah, tetapi bertahun-tahun ia dapat mempertahankan peta itu dari sergapan orang. Ditilik dari akal muslihatnya, tak mungkin peta itu sampai jatuh di tangan Te-it Ong-hui. Maka kusangka kaulah yang diberi peta itu ! Tetapi aku tak tahu menahu tentang peta itu dan Sip lo-cianpwe pun tak pernah mengatakannya ! sahut Thian-leng. Pengemis sakti tercengang. Menilik kesungguhan wajah si anak muda, ia percaya Thian-leng tentu tak bohong. Sampai beberapa lama ia berdiam diri. Hai, apakah kau pernah memeriksa tubuhmu ? tiba-tiba ia tersadar. Memeriksa tubuh ? Perlu apa ? Thian-leng melongo. Setelah minum pil, bukankah kau lantas pingsan? Pun pada saat Te-it Ong-hui tiba, ia tak sempat menggeledah badanmu. Siapa tahu Sip U-jong diam-diam menyelinapkan peta itu dalam tubuhmu! Walaupun kurang percaya, tetapi Thian-leng anggap tiada jeleknya ia memeriksa tubuhnya. Dan memang sejak meninggalkan lembah Hong-lim-koh, tak pernah ia memeriksa pakaiannya. Pun ketika Ki Seng-wan melakukan pengobatan Hiam-im-kiu-coan, meskipun pakaian Thian-leng itu dibuka tetapi nona itupun tak sempat memeriksa. Hai,! tiba-tiba Thian-leng berseru tertahan. Ketika tangannya merogoh kantong, ia menyentuh sebuah bungkusan kertas. Buru-buru ditariknya keluar. Oho, tepat sekali dugaanku! Pengemis sakti berteriak kaget. Thian-leng tegang sekali. Ia tak tahu bahwa kantongnya berisi sebuah bungkusan kain yang sudah kumal. Dengan berdebar-debar ia membuka lipatan kain itu. Ah. hampir ia menjerit kegirangan. Sebuah peta yang penuh dengan jalur-jalur goresan. Di sebelahnya tertulis tiga buah huruf Giok-ti-tho ( peta telaga zamrut)! Tetapi yang membuat Thian-leng terkejut ialah sebaris tulisan di balik peta itu. Tulisan itu ditulis dengan darah, berbunyi : Hun-tiong dan Song-bun kedua durjana, adalah musuh bebuyutanku. Aku mati dibunuh Ma Hong-ing, supaya membalaskan sakit hatiku. Jangan lupa Thian-leng menggigit gigi kencang-kencang. Bu-beng-jin, kuhaturkan selamat padamu! tiba-tiba pengemis sakti berseru asal kau memperoleh pusaka itu, kelak kau tentu menjadi tokoh utama di dunia persilatan. Untuk menuntut balas sakit hati Sip U-jong adalah semudah orang membalikkan telapak tangan! Thian-leng tak berkata-kata. Hatinya penuh dengan rasa haru dan dendam. Sip U-jong bukan saja memberinya minum pil Kong-yang-sin-tan, tetapi juga menyerahkan peta. Ia harus menunaikan pesan tokoh yang bernasib malang itu, menuntut balas pada Hun-tiong Sin-mo, Song-bun Kui-mo dan Ma Hong-ing. Dan memang Song-bun Kui-mo yang kini menjelma menjadi Sin-bu Te-kun itu adalah manusia yang harus dilenyapkan demi keselamatan dunia persilatan! Tetapi yang dua orang itu.. ya, Hun-tiong Sin-mo telah menyembuhkan lukanya, Ma Hong-ing kemungkinan adalah ibunya sendiri! Hendak dibunuhkah kedua orang itu? Tidak..! Ia tak dapat membunuh orang yang telah melepas budi padanya. Dan sebelum asal-usul dirinya diketahui, ia tak dapat membunuh Ma Hong-ing dulu. Karena kalau-kalau wanita itu benar ibu kandungnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 130 dari 290

Benak Thian-leng penuh dengan berbagai persoalan yang rumit, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya tegak terlongong-longong saja. Lekas simpan peta itu! Kalau aku seorang temaha, mungkin peta itu tentu sudah pindah ke tanganku!tiba-tiba Pengemis sakti memperingatkan. Tetapi di luar dugaan Thian-leng malah mengangsurkan peta itu kepada si pengemis, Aku tak tertarik dengan peta ini. Kalau lo-cianpwe menghendaki, ambillah! Kalau tak mengambil peta itu berarti bebas dari kewajiban melaksanakan pesan Sip U-jong. Dmeikianlah jalan pikiran Thian-leng. Kau gila..? teriak si pengemis. Jika memperoleh pusaka kau bakal menjadi tokoh silat nomor satu! Tak seorang persilatan pun yang tak mengiler dengan peta itu, tetapi mengapa kau..... Thian-leng hanya menghela napas, Aku masih muda dan kurang pengalaman, mungkin tak layak mendapat kitab pusaka itu. Lo-cianpwe lebih ternama dan lebih berpengalaman, bukankah..... Tidak! Tidak! Pengemis sakti menolak tegas. Aku si pengemis tua tak mau melanggar kemauan alam! Apalagi pilihan Sip U-jong tentu tak salah. Dia tentu sudah memperhitungkan bahwa bukan saja kau dapat melaksanakan pesannya, juga dapat pula memikul beban kewajiban menjaga keselamatan dunia persilatan. Aku si pengmis tua ini tak punya rejeki sedemikian besar ! Thian-leng terpaksa menyimpan lagi peta itu, kemudian ia minta diri. Apakah kau hendak mencari adik angkatmu itu lagi? tanya si pengemis. Thian-leng mengiyakan. Aku si pengemis tua bersedia mewakili pekerjaanmu itu tetapi .... kau .....harus segera menjenguk sahabatmu yang sakit keras itu. Sudah, jangan membuang waktu lagi.... Thian-leng tersirap kaget. Mengapa pengemis itu tahu urusan itu pula? Apakah lo-cianpwe yakin berhasil mencari nona Lu itu? Jangankan dia, sekalipun kau suruh cari seekor semut di ujung langit, aku tentu sanggup mengerjakannya! Aku seorang yang tahu membalas budi dan dendam. Atas budi lo-cianpwe kelak aku tentu membalasnya. Sekalipun lo-cianpwe suruh aku menyebur ke dalam lautan api, tentu aku tak menolak ! Bagus, bagus. si pengemis tua tertawa, aku memang tak mau bekerja percuma. Setiap bantuan yang kuberikan, tentu kuminta balas. Sekarangpun aku hendak minta balas padamu! Lo-cianpwe hendak suruh apa? Thian-leng tercengang. Tidak menyuruh melainkan hanya meminta kau meluluskan dua buah hal! Silakan mengatakan. Seketika wajah Pengemis sakti berobah serius, ujarnya dengan nada sungguh-sungguh, Pertama, mulai saat ini jangan kau berbahasa lo-cianpwe lagi kepadaku. Aku akan memanggilmu laote (adik) dan kau panggil aku laoko(kakak)! Aku terpaksa menurut, laoko, segera Thian-leng mengganti panggilannya, dan apakah permintaan laoko yang kedua itu ? Pengemis sakti tertawa aneh, Yang kedua, kuminta kau menyimpan sebuah barangku. Harus kau pakai selama-lamanya dan jangan sampai hilang ! Diam-diam Thian-leng geli-geli heran. Mengapa memberi barang saja harus pakai perjanjian? Dan mengapa harus suruh memakai seumur hidup? Baiklah , laoko! sahut Thian-leng. Pengemis sakti tersenyum. Segera ia mengeluarkan sebuah benda. Dengan hati-hati benda itu dikalungkan pada leher Thian-leng. Lencana ini, meskipun tak berharga, tetapi merupakan barang pusakaku. Harap jangan dibuang! pesannya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 131 dari 290

Benda itu ternyata sebuah lencana berukirkan beberapa batang bambu yang malang-melintang. Lencana itu diikat dengan sebuah kalung kecil. Thian-leng tak tahu apa guna dan arti lencana bergambar bambu itu. Namun karena sudah berjanji ia biarkan saja lencana itu dipasangkan si pengemis pada lehernya. Sebelum pamit pergi, Thian-leng sekali lagi menyampaikan permintaan supaya si Pengemis Sakti bulubesi suka mengusahakan mencari Lu Bu-song. Si Pengemis sakti menyanggupi. ooo000ooo Ah, kau.......! Dengan menggunakan ilmu lari cepat, dalam setengah hari saja dapatlah Thian-leng mencapai seratus li. Pikirannya masih penuh dengan bermacam perasaan. Ia tak mengira Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo mati begitu mengenaskan. Lebih-lebih tak menyangka kalau Sip U-jong diam-diam menyerahkan peta pusaka kepadanya. Jika berhasil mendapatkan kitab pusaka dan meyakinkannya, kelak ia bakal menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan. Dengan begitu dapatlah ia melakukan segala rencananya. Hari kedua tibalah ia di kota Ceng-liong-tin, sebuah kota yang terletak di tepi sungai Hong-ho. Kota itu merupakan lalu lintas perdagangan yang ramai. Pertama-tama Thian-leng mencari keterangan tentang rumah penginapan Ih-hian. Ternyata rumah penginapan itu terletak di sebuah jalan kecil yang sepi. Rumah itu sepi tetamu. Diam-diam ia heran mengapa Cu Siau-bun memilih rumah penginapan yang sedemikian jorok dan kecil Apakah sahabatnya itu kehabisan uang? Ketika ia masuk, ruangan suram penerangannya. Setelah bertanya pada pelayan, ia segera menghampiri sebuah kamar. Di dalam kamar itu hanya terdapat meja dengan sebuah kursi dan sebuah ranjang bambu. Di antara lampu yang redup tampak sesosok tubuh pemuda membujur di atas ranjang. Wajah pemuda itu pucat. Begitu melihat kedatangan Thian-leng, pemuda itu berusaha menggeliat bangun. Tetapi ia mengerutkan dahi dan rebah lagi, rupanya ia tak kuat bangun. Melihat itu Thian-leng terharu sampai menitikkan dua tetes air mata, serunya teriba-iba, Cu-heng, Cuheng kau masih ingat padaku! Pemuda itu yang bukan lain memang Cu Siau-bun, memaksakan diri memandang Thian-leng, Kau. Kang-heng.. aku menunggumu setengah mati! Thian-leng menghela napas, Aku bukan she Kang, Cu-heng tentunya tahu. Sampai saat inipun aku belum tahu asal-usulku, tetapi bagaimana dengan penyakit Cu-heng? Ah, mungkin tiada pengharapan lagi..! Cu Siau-bun tersenyum hambar, dalam saat-saat terakhir dapat melihat kau. dapatlah aku mati dengan puas! Tidak, akan kuusahakan sekuat tenaga untuk menyembuhkan Cu-heng.. Thian mendekap kedua bahu sahabatnya. Tiba-tiba ia teringat, Apakah Cu-heng tahu tentang tabib Thay-gak Sian-ong di gunung Thay-san? Kabarnya ia seorang tabib yang pandai. Mari kuantar Cu-heng ke sana! Tetapi Cu Siau-bun menolak, Percuma, penyakitku ini sudah bertahun-tahun. Obat dari tabib itu takkan menolong jiwaku! Lu lo-hiapsu ketua Thiat-hiat-bun juga pandai ilmu pengobatan. Aku kenal baik padanya, kalau dia mau tentu dapat menyembuhkan Cu-heng! Sekalipun mulut mengatakan begitu, tapi dalam hati Thian-leng gelisah. Ia belum yakin si Pengemis sakti dapat mencari Lu Bu-song. Kalau dara itu belum diketemukan, ketua Thiat-hiat-bun tentu marah. Selain itu iapun memikirkan tentang pernyataan Sin-bu Te-kun yang hendak menggempur Tiam-jongsan. Belum tentu dugaan Lu Bu-song bahwa Sin-bu Te-kun tentu tak berani menyerang Tiam-jong-san itu yang benar. Kalau Sin-bu Te-kun benar-benar membuktikan ancamannya, bukankah berabe membawa orang sakit kepada ketua Thiat-hiat-bun yang sedang bertempur dengan Sin-bu-kiong itu ? Itupun sia-sia saja, tiba-tiba kedengaran Cu Siau-bun menolak. Telah kukatakan bahwa penyakit ini telah kuidap lama sekali. Tiada seorangpun yang dapat mengobati, kecuali.... Kecuali bagaimana harap Cu-heng katakan. Asalkan dapat menyembuhkan penyakit Cuheng, apapun aku sanggup melakukan! Wajah Cu Siau-bun menebar warna merah, serunya, Apakah.. kau. sungguh.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 132 dari 290

Seorang lelaki rela berkorban untuk sahabatnya! seru Thian-leng dengan tegas. Asal Cu-heng bisa sembuh aku rela mengorbankan apa saja.!Eh, apakah Cu-heng masih ingat perjanjian kita di lembah Sing-sim-kiap dahulu? Tiada sedetikpun aku melupakan perjanjian itu. Hanya mungkin bisa terlaksana besok pada penitisan kita lagi! Kembali Thian-leng menghiburnya dan memberi pernyataan lagi. Kemudian dengan suara berbisik-bisik ia menerangkan bahwa ia telah mendapat peta Telaga zamrut. Apabila ia berhasil menemukan kitab pusaka itu, tentulah cita-cita mereka berdua bakal tercapai! Benarkah ucapanmu itu? Cu Siau-bun menegaskan girang-girang kaget. Segera Thian-leng mengeluarkan peta, serunya, Lihatlah peta ini, Cu-heng..! serunya. Cu Siau-bun memperingatkan supaya sahabatnya itu jangan bicara keras-keras, karena dinding itu bertelinga. Kemudian ia menyuruh Thian-leng menyimpannya lagi. Tadi Cu-heng mengatakan ada cara yang dapat menyembuhkan penyakitmu, entah apakah.. Wajah Cu Siau-bun berobah merah, ujarnya tersipu-sipu, Sekalipun ada, tetapi tentu membuat kau menderita.. Thian-leng menyatakan bahwa ia bersedia melakukan apa saja asal penyakit sahabatnya itu sembuh. Akhirnya Cu Siau-bun terpaksa berkata dengan nada jengah, Sejak kecil tubuhku telah terkena semacam racun. Racun itu kecuali dengan cara pengobatan Goan-yang-sam-hwe ialah menggunakan sari perjakamu untukmu mengenyahkan racun, tiada lain jalan lagi! Thian-leng pun merah mukanya. Ia tahu bahwa Goan-yang-sam-hwe itu memang suatu cara pengobatan yang mujarab. Ibarat dapat merebut jiwa manusia dari cengkeraman iblis maut. Tetapi cara itu berarti suatu pengorbanan kehilangan perjakanya. Namun dalam menghadapi saat-saat seperti itu, pikirannya hanya ditujukan untuk menolong sang sahabat saja, maka iapun terpaksa meluluskan juga. Demikian kedua pemuda itu hendak melakukan pengobatan istimewa. Pada detik-detik di mana keduanya sudah siap melaksanakan, terdengar Cu Siau-bun menghela napas, Apakah kau bersungguh hati hendak menolong jiwaku? Eh, mengapa Cu-heng masih berkata begitu? Apakah kau takkan menyesal? Menyesal? Mengapa harus menyesal? Jika kau mengetahui bahwa aku. Cu Siau-bun berhenti sejenak, andaikata kau mendapatkan ada sesuatu yang mengejutkan pada diriku, apakah kau tetap Ah, mengapa Cu-heng masih tak percaya! Thian-leng heran. Bukan tak percaya, tetapi kuatir kau.. tiba-tiba suara dan tubuh Cu Siau-bun gemetar, ujarnya, Aku..aku.sebenarnya Kau seorang .. gadis! Thian-leng menjerit kaget, kau ini Cu Siao-bun, kau ternyata tak sakit! Ya, benar, aku.., Cu Siau-bun menangis sedih. Sementara Thian-leng tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia kehilangan kata-kata. Seharusnya ia pagi-pagi tahu bahwa Cu Siau-bun itu ialah Cu Siaobun juga. Mengapa ia begitu naif sampai kena dikelabui? Tetapi haruskah ia mendamprat gadis itu? Tidak! Walaupun bagaimana yang telah terjadi, ia tak dapat menyalahkan nona itu. Adalah karena dirundung oleh badai asmara, maka nona itu sampai nekat melakukan hal-hal yang sebenarnya kurang senonoh. Ya, tak sangsi lagi. Adalah karena pengaruh asmara terpendam yang meledak di sanubari nona itu. Jelas sudah bahwa nona itu memang sangat mencintainya...... Baik rupa maupun kepandaian, memang Cu Siau-bun merupakan gadis idaman yang sukar dicari keduanya. Ia tentu bahagia mempunyai seorang isteri yang begitu menyayang. tetapi dapatkah ia memperisterikannya? Tidak! Ia telah meluluskan pada si Jenggot Perak Lu Liang-ong untuk mengambil Lu Bu-song sebagai isteri. Ia tak dapat melanggar sumpahnya. Tetapi, tetapi.... ah, ia telah melanggar kesucian Cu Siau-bun.... dapatkah hal itu dipertanggung-jawabkan???

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 133 dari 290

Kau ...... benci padaku? karena melihat Thian-leng membisu, Cu Siau-bun memberanikan diri menegur. Thian-leng gelagapan menyahut, Tidak! Aku merasa mengecewakan kau. ia menghela napas panjang, Karena aku tak dapat memperisteri kau! Cu Siau-bun tertawa rawan, Kutahu, tak dapat kusesalimu! Tetapi dalam hati nona itu telah memutuskan. Ia hendak berjuang mengalahkan Lu Bu-song untuk merebut Thian-leng. Dan kini dalam babak pertama, ia sudah menang.. Sekonyong-konyong sebuah benda berkelap-kelip macam seekor kunang-kunang menghampiri tempat lilin dan tiba-tiba membentur sumbu lilin. Seketika lilinpun menyala dan serentak dengan itu terdengar suara berbisik, Menghadapi seorang nona cantik, mengapa kasak-kusuk dalam kegelapan! Thian-leng dan Siau-bun tersentak kaget! Utusan Neraka Siau-bun menjulurkan sebuah jarinya dan lilin itupun padam. Keduanya segera mengemasi pakaiannya. Awas, jaga baik-baik petamu, mungkin orang ini hendak mengarah petamu itu! bisiknya kepada Thianleng. Thian-leng mendorong jendela dan loncat keluar. Dengan sebuah loncatan yang indah ia hinggap di atas penglari rumah. Rumah penginapan seolah-olah terbungkus oleh kegelapan, sunyi dan senyap. Apakah kau melihat sesuatu? tanya Siau-bun ketika menyusul loncat ke atas rumah. Thian-leng hanya menggeleng. Mungkin waktu berpakaian tadi orang sudah menyingkir pergi. Apa tujuan orang itu? Mengapa ia terus melarikan diri? Siau-bun pun heran. Ia masih mengenakan pakaian laki-laki, wajahnya yang pucat kini tampak kemerah-merahan. Thian-leng melirik padanya dan tertawa. Kau menrtawakan aku? dengus Siau-bun. Jangan salah paham, engkoh Cu...eh.....nona Cu..... Siau-bun menggumam, Bagaimanapun pandanganmu terhadap diriku, tetapi kita telah...... tidur bersama. Dengan masih memanggil nona, apakah tidak terlalu....., ia tak dapat melanjutkan katakatanya karena terisak-isak. Terpaksa Thian-leng menghiburnya, Adik Bun, ya..., akulah .... yang salah..... Ah, sudahlah. Yang sudah biarlah lampau.... sahut Siau-bun rawan. Sekonyong-konyong terdengar sebuah tertawa mengejek. Thian-leng segera mengenali suara itu seperti suara orang yang mengganggu tadi. Berbareng dengan itu tampak sesosok tubuh melesat keluar dari sudut rumah penginapan dan terus melarikan diri. Hai, siapa itu berani mengganggu tak berani berhadapan muka? Thian-leng berseru seraya loncat mengejar. Biarkan saja, jangan kena tertipu. Siau-bun mencegah. Tetapi Thian-leng yang sudah dirangsang kemarahan sudah terlanjur melambung ke atas wuwungan. Terpaksa Siau-bun pun mengikuti. Orang itu hebat sekali. Betapapaun Thian-leng lari sekencang-kencangnya, tetapi tetap ketinggalan berpuluh tombak jauhnya. Bisa melihat orangnya tapi tak bisa mendekati. Mereka sudah berada di luar kota. Orang itu berlari menyusur sepanjang pantai sungai Hongho. Air bengawan yang mengkilap gelap di malam pekat, makin menambah keseraman suasana. Pernahkah kau melihat orang itu? tanya Siau-bun. Thian-leng menggeleng. Tiba-tiba Siau-bun loncat menghadang di muka, Sudahlah , tak usah mengejar lagi.! Mengapa? Thian-leng terkejut. Kita masih mempunyai urusan. Kalau kau tak tahu siapa orang itu, perlu apa mati-matian mengejarnya? Kemungkinan besar ia hendak gunakan tipu untuk memancing kita! Thian-leng menghentikan langkahnya. Ia pikir alasan Siau-bun itu benar. Ya, perlu apa ia harus mengejar orang yang tak dikenal itu?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 134 dari 290

Baiklah, mari kita balik ke pondok lagi. katanya. Tetapi pada saat keduanya memutar tubuh, tiba-tiba terdengar orang itu menggunakan ilmu menyusup suara berseru kepada Thian-leng. Bu-beng-jin, bukankah kau hendak mencari tahu asal-usulmu? Sudah tentu Thian-leng tersentak kaget dan cepat-cepat memutar tubuh lagi. Orang itu melanjutkan kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, Ketahuilah bahwa aku bermaksud baik. Aku tak punya dendam apa-apa kepadamu, jangan kau menguatirkan diriku. Jika ingin tahu asal-usul dirimu, bebaskanlah dirimu dari libatan kawanmu itu dan ikutlah aku ke dalam sarangku. Jika tak mau, maaf aku tak dapat menunggumu lebih lama lagi.... Hati Thian-leng berdebar keras. Hal yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang asal-usul dirinya. Apalagi orang itu memang tak bermusuhahn padanya. Ditilik dari caranya menyalakan lilin dari kejauhan dan ilmu lari cepatnya, jelask kalau seorang sakti. Mungkin orang itu memang sungguh-sungguh bermaksud baik hendak memberi petunjuk padanya! Seketika tergeraklah hati Thian-leng. Ia hendak menurut seruan orang itu. tetapi pada lain saat, timbullah suatu prasangka. Nada suara orang itu memang tak pernah didenagrnya, tetapi mengapa dia tahu tentang riwayat dirinya? Mengapa orang itu begitu menaruh perhatian padanya? Kaki Thian-leng yang sedianya di ayun, kembali terhenti pula. Lekas, mengapa kau ini? melihat Thian-leng berhenti, Siau-bun menegur heran. Thian-leng termangu-mangu tak dapat mengambil keputusan. Tiba-tiba orang tak dikenal itu kembali menggunakan ilmu menyusup suara, Kau mau ikut atau tidak terserah! Tetapi sekarang aku tak dapat menunggu lagi! Belum Thian-leng sempat menimbang, tiba-tiba Siau-bun sudah menepuk bahunya, Hai, mengapa kau ini? Thian-leng gelagapan. Dalam gugupnya ia segera mengambil keputusan. Segera ia mengambil keluar peta Telaga zamrud dan diberikan kepada si nona, Harap adik Bun pulang dulu ke pondok, aku hendak menemui seorang sahabat dulu! Kau kenal dengan orang itu? tanya Siau-bun. Tidak, aku tak kenal! Mengapa kau hendak menemuinya? Apakah kau tak kuatir terjebak tipunya? Thian-leng menggeleng,Tidak, aku harus pergi, harap adik Bun jangan kuatir! tanpa menunggu sahutan si nona lagi, Thian-leng pun segera loncat mengejar orang aneh tadi. Siau-bun heran atas tindakan pemuda itu. Setelah menyimpan peta ke dalam baju, iapun segera menyusul. Bayangan hitam itu tetap berada pada jarak dua puluhan tombak. Melihat Thian-leng menyusul, ia tertawa gelak-gelak dan melanjutkan larinya lagi. Betapapun Thian-leng hendak menyusulnya tetap tak mampu. Tiba di puncak bukit yang sunyi, tiba-tiba orang aneh itu berhenti. Sekeliling bukit itu penuh ditumbuhi huatan pohon Yang dan Siong yang rindang. Secepat Thian-leng dan Siau-bun tiba, kejut mereka bukan kepalang ketika melihat wajah orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar, mata sebesar kelereng, dahinya menonjol, wajahnya mengerikan. Punggungnya menyelip sebatang kipas besi. Begitu melihat Thian-leng, berserulah orang itu dengan bengis, Hai, telah ukatkan supaya jangan membawa kawanmu, mengapa.. Sebutkan namamu dulu! Asal kau menerangkan maksudmu mengi=undang dia kemari, tentu aku segera mengundurkan diri sendiri, kalau tidak. Siau-bun cepat-cepat menyambuti. Sejenak ia melirik ke arah Thian-leng, ia berkata pula, Kami berdua datang bersama pergi berdua! Betapapun hendak gunakan tipu muslihat memikatnya, tak akan kubiarkan dia termakan tipumu. Ya, aku belum meminta keterangan nama cianpwe? sambung Thian-leng. Orang aneh itu tertawa seram, Aku mempunyai she ganda Tok-ko dan nama Sing. Atas perintah tuanku, aku disuruh mengundang Be-beng tayhiap untuk diberitahukan sebuah rahasia penting! Thian-leng tertegun, O, kiranya cianpwe mempunyai majikan?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 135 dari 290

Ia anggap orang itu mempunyai kepandaian sakti dan umurnyapun sudah enam puluhan tahun, masakah masih berhamba pada orang. Kalau orang itu saja sudah dapat digolongkan sebagai tokoh kelas satu, bagaimana dengan majikannya! Boleh aku bertanya siapa tuanmu itu? seru Siau-bun. Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, Tuanku juga mempunyai she ganda Kong-sun dan nama gnda Bu-wi. Siau-bun mendengus, Ah, apakah kepala dari Hek-gak (Neraka hitam)? Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, Hek-gak sudah melenyapkan diri dari dunia persilatan selama enam tujuh tahun. Sungguh tak nyana nona bisa mengetahuinya dengan jelas! Siau-bun memandang Thian-leng, Jangan kena jebakannya, ayo kita pergi saja! Kembali Thian-leng ragu. Ia tak tahu siapa yang disebut Hek-gak itu, tetapi dari ucapan Siau-bun yang begitu serius, tentu Hek-gak itu sebuah tempat yang misterius. Tetapi ia tertarik dengan undangan Tokko Sing tadi.. Eh, apakah kau masih berkeras tak mau mendengar kata-kataku? Siau-bun banting-banting kaki. Baru Thian-leng hendak menyahut, Tok-ko Sing sudah mendahului tertawa sinis, Apakah nona marah karena aku mengganggu kesenangan kalian tadi sehingga nona melarang dia memenuhi undanganku? Ngaco! bentak Siau-bun. Wajahnya tersipu-sipu merah. Tak mau ia menghalanagi Thian-leng lagi. Karena sudah datang, maka harap cianpwe suka membawa aku ke sana! akhirnya Thian-leng pun mengambil keputusan. Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, Aha, ternyata kau tak mengecewakan sebagai seorang pendekar muda. Pandangan tuanku itu maha tajam dalam menilai pribadi seorang ksatria. Habis berkata orang aneh itupun segera ayun langkah menuju ke dalam hutan. Thian-leng pun tak ragu-ragu lagi segera mengikutinya. Siau-bun mendengus, tetapi iapun terpaksa mengikuti juga....... ooooo000000000oooo Neraka Hitam Tak lama mereka sudah menyusup berpuluh-puluh tombak ke dalam hutan. Saat itu hari makin malam. Hutan Siong dan jati makin pekat. Sedemikian gelap sehingga tak dapat melihat jari sendiri. Namun karena lwekang Thian-leng dan Siau-bun cukup tinggi, maka dapatlah mereka menembus kegelapan itu. Sejauh beberapa tombak mereka masih dapat melihat jelas. Sekalipun demikian tak urung kedua muda-mudi itu tercekat juga hatinya. Sambil menarik tangan Thian-leng, berkatalah Siau-bun dengan ilmu menyusup suara, Mungkin kita masuk dalam jebakan. Masih keburu jika kita balik keluar! Putusanku telah bulat. Biarpun masuk ke dalam sarang harimau telaga naga, aku tetap tak gentar, sahut Thian-leng, sekiranya adik Bun kuatir, baiklah pulang lebih dahulu! Apakah kau anggap aku tega membiarkan kau seorang diri menempuh bahaya? gumam Siau-bun. Sederhana kedengarannya ucapan itu, tetapi penuh dengan kasih sayang yang mesra. Mau tak mau tergeraklah nurani Thian-leng. Apa katanya kepadamu sehingga kau begitu terpikat? Siau-bun setengah menyesali. Aku tak dapat melepaskan kesempatan untuk mencari tahu asal-usul diriku.! O, jadi dia hendak memberitahukan tentang asal-usulmu? tanya SIau-bun pula. Thian-leng mengiyakan. Siau-bun geleng-geleng kepala, Kau termakan tipunya. Tahukah kau tempat apa Neraka Hitam ini? Thian-leng mengangkat bahu. Pemilik dari Neraka Hitam ini ialah Kongsun Bu-wi, seorang durjana besar pada enam tujuh puluh tahun yang lalu. Dia membunuh jiwa manusia seperti membunuh lalat. Tak ada kejahatan yang tak dilakukan.. Tetapi mengapa ia menyembuhkan diri? tanya Thian-leng.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 136 dari 290

Karena waktu itu ia dikalahkan Hun-tiong Sin-mo dan sejak itu kekuasaan dunia persilatan pindah ke tangan Hun-tiong Sin-mo. Kongsun Bu-wi beruntung masih dapat melarikan diri! Thian-leng terkejut. Ia tak pernah mendengar tentang peristiwa itu. Sejenak kemudian ia bertanya mengapa Siau-bun tahu tentang hal itu. Pertanyaan itu membuat Siau-bun tertegun tetapi cepat-cepat ia menyahut, Sudah tentu aku hanya mendengar cerita ibuku saja! Kalau begitu ibumu itu tentulah seorang pendekar wanita yang ternama? tiba-tiba Thian-leng mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Siau-bun tertegun. Apakah kau benar-benar tak mau merobah keputusan? cepat-cepat nona itu mengalihkan pembicaraan. Thian-leng menghela napas, Hal yang paling menyiksa batin orang ialah kalau tak tahu asal-usul dirinya. Itulah sebabnya maka aku menggunakan nama Bu-beng-jin. Setiap kesempatan mencari tahu hal itu sudah tentu takkan kulepaskan! Siau-bun menghela napas, Soalnya, bukan saja kau tak berhasil mencapai tujuanmu pun bahkan malah terjebak dalam bahaya. Kau tak pernah mendengar betapa keganasan momok Kongsun Bu-wi! Dia lebih ganas daripada Sin-bu Te-kun! Thian-leng batuk-batuk, Selama Hun-tiong Sin-mo masih menguasai dunia persilatan, mengapa Kongsun Bu-wi berani berkutik lagi? Siau-bun tertawa getir, Ilmu kepandaian itu sukar diukur dalamnya. Tiada ujung tiada pangkal kecuali It Bi siangjin seorang, mungkin tiada seorang tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh tanpa tandingan. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula, Rupanya dalam persembunyiannya selama enam puluh tahun itu, Kongsun Bu-wi telah meyakinkan suatu ilmu kesaktian untuk menebus kekalahannya yang dahulu. Dikuatirkan tak lama lagi dunia persialtan tentu akan timbul suatu huru-hara hebat! Thian-leng anggap ulasan nona itu mendekati kebenaran. Ia tak memberi komentar suatu apa. Dalam pada itu, mereka sudah melintasi berpuluh tombak lagi, namun hutan itu tampaknya tiada berujung. Apakah Bu-beng tayhiap tetap hendak bersama dengan sahabatmu itu? tiba-tiba Tok-ko Sing berhenti dan memutar tubuh. Sebelum Thian-leng sempat menyahut, Siau-bun sudah mendahului lagi, Apakah majikanmu tak mau menerima kedatanganku? Tok-mo Sing batuk-batuk, Inisekalipun aku tak berani memastikan, tetapi biasanya perintah beliau teramat keras. Karena beliau hanya perintahkan aku mengundang Bu-beng tayhiap, maka tak beranilah aku membawa nona! Siau-bun tertawa datar, Begini sajalah. Aku tak kan menyusahkan kau. Nanti apabila berhadapan dengan majikanmu, akan kukatakan bahwa aku datang sendiri bukan karena ikut kau! Tok-ko Sing memandang Siau-bun dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa sinis, Baiklah, harap nona jangan sesalkan aku! Terserah bagaimana kau hendak mengaturnya, Siau-bun balas tertawa tak acuh. Kata-katanya juga mengandung berbagai tafsiran. Segera Tok-ko Sing ayunkan tangannya ke atas. Terdengarlah letupan keras disertai hamburan sinar berkilat di udara. Rupanya utusan Neraka Hitam itu melepaskan api pertandaan. Beberapa jenak kemudian, terdengarlah tiga kali genderang bertalu. Semula perlahan tetapi lama kelamaan gemanya berkumandang keras....... Tok-ko Sing tertawa, Pintu gerbang tengah dalam Neraka Hitam sudah dibuka, menunggu kedatangan tetamu! Thian-leng dan Siau-bun segera mengikuti orang itu melintasi gerombol pohon yang lebar. Tiba-tiba mata kedua muda-mudi itu tertumbuk pada selarik sinar penerangan yang melingkar-lingkar dalam warna hijau kebiru-biruan. Ketika mengawasi dengan seksama, terkejutlah kedua anak muda itu. Kiranya lingkaran sinar hijau itu tergantung di atas puncak sebuah gedung dan berbentuk dua buah huruf Hek Gak.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 137 dari 290

Pada kedua samping tembok pintu, tergantung berpuluh mayat manusia yang perutnya pecah, usus berhamburan keluar dan darah bercucuran! Thian-leng memekik tertahan dan berhenti. Ha, ha, masakah Bu-beng tayhiap takut? Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak. Thian-leng mendengus geram, Sejak lahir, aku tak kenal dengan kata-kata takut! Tetapi mengapa Bu-beng tayhiap berhenti? Tok-ko Sing tertawa mengejek. Kuanggap majikanmu kelewat ganas.. sahut Thian-leng. Menunjuk pada deretan mayat pada tembok, ia berkata, Orang-orang itu sudah dibunuh begitu kejam, mengapa masih dipaku pada tembok! Kepada manusia yang sedemikian kejamnya, aku akan pikir-pikir dulu untuk menjumpainya atau tidak! Kembali Tok-ko Sing tertawa keras. Sedemikian keras, hingga daun-daun di sekeliling bergoyanggoyang. Dan sampai lama sekali baru ia berhenti tertawa. Bu-beng tayhiap, kau salah tafsir! serunya. Salah tafsir? Thian-leng terbeliak, Apakah mereka bukan dibunuh oleh orang Neraka Hitam? Apakah pembunuhan itu tiada sangkut pautnya dengan majikanmu? Tok-ko Sing tertawa,Sayang indera penglihatanmu itu kurang tajam. Cobalah periksa yang jelas mayatmayat itu lagi! Selama Thian-leng mengadakan percakapan dengan Tok-ko Sing, Siau-bun hanya diam saja. Ia hanya memperhatikan suasana sekeliling tempat itu. Thian-leng segera menghampiri ke tembok. Ketika dekat, ia menjerit kaget! Ah kiranya mayat-mayat itu bukan manusia melainkan hanya orang-orangan yang terbuat dari lilin. Adalah karena pembuatannya sedemikian pandai sehingga menyerupai benar dengan manusia. Diam-diam Thian-leng malu sendiri. Namun masih ia tak mengerti mengapa Kongsun Bu-wi membuat orang-orangan lilin seperti itu. Apakah untuk menambah keseraman nerakanya atau ada lain maksud lagi? Rupanya Tok-ko Sing mengetahui isi hatinya, ia tertawa, Bu-beng tayhiap tentu heran melihat orangorangan itu bukan? Thian-leng mengangguk, Ya, memang aneh! Tok-ko Sing tertawa, Orang-orangan lilin itu ialah sasaran yang hendak dituju majikanku pada saat ia keluar ke dunia persilatan lagi Sambil menunjuk pada mayat lilin yang tergantung di tengahtengah, ia berkata pula. Itulah lambang Hun-tiong Sin-mo dan itu Song-bun Kui-mo. Sebenarnya masih ada dua orang-orangan lilin lagi, tetapi karena orangnya sudah mati, maka tak dipasang lagi. Memang Thian-leng melihat bahwa ada dua tempat yang kosong. Diam-diam ia menduga bahwa yang diambil itu tentulah orang-orangan lilin lambang Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo. Karena kedua tokoh itu sudah meninggal. Kembali Tok-ko Sing menunjuk ke arah kanan, Tahukah Bu-beng tayhiap siapa orang-orangan itu? Thian-leng memperhatikan bahwa yang ditunjuk oleh Tok-ko Sing itu berjumlah sembilan buah orangorangan lilin terdiri dari lambang paderi, imam, rahib dan ada orang biasa. Apakah mereka bukan melambangkan tokoh sembilan partai? Thian-leng balas menanya. Benar! sahut Tok-ko Sing. Kemudian ia menunjuk ke arah kiri pada empat lima puluh mayat orangorangan lilin. Dan yang sana itu lebih banyak lagi jumlahnya, tahukah Bu-beng tayhiap siapa mereka itu? Aku masih hijau, tak mengerti banyak! Thian-leng agak mengkal menyahut. Mereka itu juga tokoh-tokoh yang terkenal, antara lain ketua Thiat-hiat-bun Jenggot Perak Lu Liangong, ketua Bu-siong-hwe yang bernama Hun-bin Bu-siong, ketua perkumpulan agama Pek-tok-kau yang bernama Ha-Lui, ketua perkumpulan pengemis Kay-pang. Siau-bun hanya ganda tersenyum saja. Sepatahpun ia tak berkata. Tetapi lama-kelamaan ia tak tahan lagi. Tukasnya dengan tawar, Sudahlah, tak usah cerita terus. Memang cita-cita majikanmu besar sekali, tetapi sayang ia melalaikan sebuah hal!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 138 dari 290

Melalaikan hal apa? tertariklah perhatian Tok-ko Sing. Dia tak kenal dirinya sendiri! Siau-bun tertawa dingin. Tok-ko Sing tertegun, ujarnya, Hal ini tak dapat kukatakan. Coba saja buktikan nanti! Diam-diam Thian-leng merenung dalam-dalam. Dari pameran mayat-mayat lilin itu dapatlah diketahui sampai di mana ambisi Kongsun Bu-wi. Jelas orang itu hendak menimbulkan pemberontakan dalam dunia persilatan. Sekarang terserah pada Bu-beng tayhiap apakah tetap hendak masuk ke dalam Neraka Hitam ataukah mundur.. kata Tok-ko Sing. Sambil melirik kepada Siau-bun, berkatalah Thian-leng dengan gagahnya, Dengan pameran serupa itu masakah dapat menggertak aku. Silakan membawa kami terus! Tok-ko Sing tertawa sinis. Segera ia memberi isyarat tangan mempersilakan kedua muda-mudi itu. Thian-leng dan Siau-bun terkejut. Serentak dengan gerakan Tok-ko Sing itu maka terdengarlah suara berdrak-derak dari pintu gerbang besi yang terpentang. Thian-leng sejenak termangu tetapi pada lain saat ia segera melangkah masuk diikuti oleh Siau-bun. Dua deret rombongan penjaga yang mengenakan pakaian ringkas dan senjata lengkap tampak menjaga di sepanjang jalan masuk. Deretan terakhir terdiri dari dua orang bujang perempuan dalam pakaian sederhana. Kedua bujang itu menghadang di tengah dan menyambut kedatanagn sang tetamu, Selamat datang Bu-beng tayhiap! Tetapi kedua bujang itu segera tersirap kaget demi melihat Siau-bun. Heran mereka mengapa Thianleng membawa kawan. Tok-ko Sing segera memberi keterangan, Walaupun berpakaian lelaki, tetapi tamu kita ini seorang nona. Sambutlah mereka berdua ke dalam ruang tamu......! Kemudian ia menyatakan hendak menemui Kongsun Bu-wi. Ruangan dalam gedung itu tinggi-tinggi, tetapi semuanya dicat hitam sehingga seram tampaknya. Kedua bujang itu membawa Thian-leng dan Siau-bun masuk. Selama melalui jalan kecil dan tikungan-tikungan gang, diam-diam Thian-leng mencatat dalam hati. Kira-kira empat puluh tombak jauhnya setelah melintasi dua buah halaman, tibalah mereka di ruang tamu. Sebuah ruangan yang luas, penuh dengan kamar-kamar tetapi sepi-sepi semua. Juga kamarkamar itu dicat warna hitam, tanpa lampu sama sekali. Tetapi ketika Thian-leng dan Siau-bun dipersilakan masuk ke dalam kamar sebelah utara, kedua bujang itupun menyulut juga sebuah pelita. Setelah menghidangkan dua cawan the wangi, kedua bujang itupun meninggalkan ruangan. Begitu mereka pergi, Thian-leng cepat-cepat mengunci pintu. Ia periksa seluruh ruangan itu dengan teliti. Di situ terdapat tiga buah kamar. Ruangan dihias indah, tetapi serba sederhana. Sekilas pandang seperti tak ada sesuatu alat rahasia. Adik Bun, jangan minum teh itu! habis memeriksa ruangan, Thian-leng terkejut melihat Siau-bun tengah mengangkat cawan arak. Mengapa? Siau-bun tertawa datar. Kita berada dalam tempat berbahaya. Segala tindak tanduk kita harus hati-hati. Kalau teh itu diberi obat, bukankah.... Teh ini tiada racunnya dan ternyata teh dari Liong-keng yang termasyhur. Ayo, kita nikmati saja! Siaubun tertawa. Bagaimana kau memastikan mereka tak menyampuri obat? Sebabnya sederhana saja. Pertama, gedung ini berdinding sangat tinggi, berpintu besi dan penuh alat rahasia. Sekali kau sudah masuk tak nanti kau mampu keluar lagi. Kedua, pemilik Neraka Hitam ini sudah enam-tujuh puluh tahun menyembunyikan diri. Begitu hendak muncul lagi sudah tentu harus menjaga gengsi. Tak nanti mau merendahkan diri membunuh kita dengan racun. Masih banyak lagi alasan-alasannya, tetapi pada pokoknya untuk sementara ini tentu takkan bertindak curang.... Thian-leng anggap analisa nona itu tepat, namun ia tetap merasa cemas. Ia masih sangsi akan keterangan Tok-ko Sing bahwa pemilik Neraka Hitam itu akan memberi keterangan tentang asal-usul dirinya. Mengapa Kongsun Bu-wi begitu menaruh perhatian besar kepadanya? Apakah maksudnya.......

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 139 dari 290

Tolol, apa yang kau pikirkan....? tiba-tiba Siau-bun menegurnya, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Thian-leng mengatakan bahwa tampaknya ruang itu tiada diberi barang suatu perkakas rahasia. Gila kau! Siau-bun tertawa hambar, ruangan ini justru penuh dengan perkakas rahasia.! Kalau begitu kita ini berada dalam jebakan mereka? Thian-leng terkejut. Boleh dikata begitulah..... Siau-bun tersenyum, ujarnya pula, Tetapi telah kukatakan tadi, dalam waktu singkat ini mereka takkan mencelakai kita. Maka untuk sementara ini kita aman, tak usah kuatir apaapa! Bagaimana dengan kata-kata Tok-ko Sing tadi? tanya Thian-leng. Bukankah aku pernah menganjurkan kau supaya jangan ikut padanya? sahut Siau-bun hambar. Jadi kau sudah mengetahui kalau dia hendak mengelabui? Thian-leng terbeliak kaget. Si nona hanya mengangguk lesu. Thian-leng tersipu-sipu menundukkan kepala dengan penuh sesal. Tiba-tiba Siau-bun tertawa hambar, ia menjentik dengan sebuah jari memadamkan pelita. Seketika ruangan itupun gelap gulita. Ha, apakah adik Bun mendengar sesuatu? Thian-leng bertanya kaget. Tidak! Habis mengapa memadamkan pelita? Segera Siau-bun menggunakan ilmu mnyusup suara, Kita toh dapat melihat dlam kegelapan, jadi tak perlu dengan penerangan macam kunang-kunang begitu. Siapa tahu diam-diam ada orang tengah mengawasi gerak-gerik kita. Dalam kegelapan tentu sukarlah dia melakukan pengintaiannya! Beberapa kali nona itu telah mengemukakan analisa yang dapat diterima akal. Diam-diam Thian-leng kagum. Mereka segera duduk bersamadi. Tak berapa lama tiba-tiba Siau-bun berseru dengan ilmu menyusup suara. Ada orang datang, lekas...! nona itu menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan loncat ke atas tiang penglari. Tanpa banyak bicara Thian-leng pun segera mengikuti. Benar juga, sesaat kemudian terdengar langkah kaki seorang berjalan dengan perlahan-lahan. Aneh, apakah di luar dugaanku? Siau-bun menggumam heran. Apa yang kau duga? Kuduga pemilik gedung ini tentu akan datang sendiri. Dengan menawarkan keterangan tentang asalusulmu, dia akan minta peta Telaga zamrud. Jika kau menolak, dia akan menggunakan keerasan. Peta direbut dan kau akan dibunuh untuk menghilangkan jejak.. Apakah dia sudah tahu peta itu ada padaku? Thian-leng tersirap kaget. Kalau tidak masakah dia begitu baik mengundangmu kemari? Kalau begitu soal asal-usul diriku itu.? Hal itu memang berliku-liku, sayang kau mudah tertipu! tukas Siau-bun. Thian-leng menghela napas penyesalan. Langkah kaki itu makin dekat tapi makin perlahan. Apa yang kau maksud dengan di luar dugaan tadi? Thian-leng bertanya pula. Langkah kaki seperlahan itu menunjukkan bahwa orang berjalan dengan penuh hati-hati. Mungkin takut diketahui orang. Apakah di dalam Neraka hitam ini telah kemasukan orang lagi? Mendengar itu Thian-leng makin bingung. Saat itu langkah kaki sudah berada di luar pintu, menyusul terdengar suara ketukan pintu perlahan-lahan dan orang berseru lirih, Bu-beng tayhiap..! Thian-leng memandang Siau-bun, bagaimana adik Bun, kita bukakan pintu tidak? Siau-bun merenung sejenak, lalu mengatakan, Bukalah pintu. Dengan sebuah gerakan seperti kucing, Thian-leng loncat turun dan membukan palang pintu. Siau-bun menyiapkan senjata rahasia tui-hong-kiong. Juga Thian-leng telah siap dengan pukulan Lui-hwe-ciang.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 140 dari 290

Tetapi apa yang muncul hampir membuat si anak muda menjerit kaget. ternyata hanya seoarang dara baju hijau. Wajahnya memancarkan seri kecemasan. Nona ini..? Apakah kau Bu-beng tayhiap? tukas dara itu dengan berbisik. Baru Thian-leng mengiyakan. Siau-bun sudah berseru supaya menyuruh dara itu masuk dan segera menutup pintu lagi. ternyata Siau-bun pun sudah loncat turun di belakang Thian-leng. Mungkin kau ini nona Cu yang bersama dengan Bu-beng tayhiap? tanya si dara itu setelah masuk. Kau ini sebagai apa di dalam Neraka Hitam? Mengapa tengah malam datang kemari? Mengapa kau tahu kami berdua berada di sini? Di Neraka Hitam ini kedudukanku cukup tinggi. Namanya saja aku ini majikan dari Hong-kiong (istana burung Hong), tetapi sebenarnya tak lebih dari seorang tawanan.kecuali pada saat berada di samping ayahku! Ucapan itu membuat Thian-leng dan Siau-bun bingung karena tak mengerti apa maksudnya. Katkan apa maksud kedatangnmu ini? seru Siau-bun. Hendak mophon bantuan tuan berdua agar menolong kakekku! sahut si dara. Asal kami dapat tentu dengan senang hati membantu nona, sahut Thian-leng serempak. Dara baju hijau itu tertegun, Kakekku itu tidak dipenjarakan karena dia.. dia bukan saja Cong-houhwat (kepala penjaga) Neraka Hitam, juga merupakan guru dari Kongsun Bu-wi..! Astaga! Thian-leng mengeluh kaget. Ia memperhatikan lagi wajah nona itu, tetapi nyata kalau nona itu bukan seorang gila. tetapi mengapa ucapannya begitu aneh? Kakek nona itu menjabat kedudukan yang sedemikian tinggi, perlu apa ia minta pertolongan pada orang asing? Juga nona itu sendiri menjabat sebagai kepala Hong-kiong. Mengapa dia begitu ketakutan dan minta tolong pada lain orang? Secerdas-cerdasnya otak Siau-bun, kali ini benar-beanr ia tak mengerti. Maukah nona menceritakan yang jelas? segera Siau-bun meminta. Nona itu menyadari bahwa keterangannya tadi memang membingungkan, maka iapun segera memberi penjelasan. Ya, ya, memang harus kuceritakan dari awal. Lima tahun yang lalu kakekku itu datang kemari atas undangan kepala Neraka Hitam. Sebelum itu kakek tinggal di gunung Kiu-kong. Kakekmu itu bernama? tukas Siau-bun. Kami keluarga she Bok. Kakekku itu bernama Bok Sam-pi, bergelar Ang-tim Cong-khek. Bok Sam-pi.! Siau-bun berseru kaget sekali. Bok Sam-pi walaupun tak begitu terkenal, tetapi juga seorang tokoh sakti. Ilmu kepandaiannya sukar diukur. Memang jarang orang persilatan yang tahu dia, tetapi orang yang kenal padanya tentu mengindahkan. Malah ada yang menganggap bahwa Bok Sam-pi itu tokoh kedua setelah It Bi siangjin! Tetapi Bok Sam-pi itu juga lebih senang mengasingkan diri. Itulah sebabnya maka angkatan muda jarang yang tahu namanya. Tetapi rupanya Siau-bun yang masih muda itu tahu banyak sekali tentang seluk-beluk dunia persilatan. Nama nona. tiba-tiba Thian-leng menyeletuk. Bok Ceng-ceng sahut si dara perlahan. Kemudian ia mengulangi lagi permintaannya tadi, Apakah tuan berdua suka menolong kakekku? Siau-bun tertawa getir, Kepandaian kakek nona ini sukar dicari tandingannya. Bukankah dia menjadi guru dari Kongsun Bu-wi? Bagaimana kami dapat menolongnya.? ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, Apalagi kami sendiripun terjebak kemari, bagaimana dapat memberi pertolongan pada kakek nona? Jadi tuan berdua tak mau membantu kesusahanku? kata nona itu dengan nada terisak. Harap nona bercerita yang jelas. Asal kami dapat melakukan, tentu akan berusaha sekuat tenaga! Apa yang telah terjadi dengan kakek nona
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 141 dari 290

Baru Thian-leng bertanya begitu, tiba-tiba Siau-bun menukasnya, Celaka, kali ini kepala Neraka yang datang, lekas! ia suruh Bok Ceng-ceng bersembunyi. Ceng-ceng gugup sekali. Cepat ia menyusup ke bawah kolong ranjang. Sesaat kemudian terdengar derap kaki riuh. Paling tidak tentu ada lima orang yang datang. Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara supaya Thian-leng bertindak menurut isyarat matanya. Jangan bertindak sekehendak sendiri. Masih begini sore mengapa kalian sudah sama tidur? segera terdengar suara orang berkata-kata bercampur tawa. Nadanya berat, mengiang keras di telinga. Thian-leng pun tertawa seraya membuka palang pintu. Serombongan lima orang melangkah masuk. Pelopornya seorang lelaki bongkok, kaki pincang, tangan kutung sebelah. Jenggotnya putih mengkilap, wajahnya penuh keriput. Umurnya ditaksir tentu sudah seratusan tahun. Rombongan pengiringanya, kecuali Tok-ko Sing masih ada empat orang yang mengenakan pakaian seragam. Tok-ko Sing segera melangkah maju, memperkenalkan orang cacat itu kepada Thian-leng, Inilah pemimpin kami.......! Thian-leng tersipu-sipu memberi hormat, Kongsun cianpwe Ketua Hek-gak itu tertawa, Bu-beng tayhiap benar-benar tak bernama kosong. Seorang berbakat yang hebat dan berwibawa. Tetapi wajah ketua Hek-gak itu cepat berobah kurang senang ketika melihat Siau-bun. Sebaliknya Siaubun acuh tak acuh. Sekiranya penyambutan kami kurang memuaskan, jangan Bu beng tayhiap ambil di hati, kata ketua Hek Gak pula. Thian-leng menyatakan terima kasih atas kebaikan tuan rumah hendak memberitahukan asal-usul dirinya. Ah, adalah karena kebetulan bertemu dengan seorang kawan lama yang tahu jelas tentang riwayat tayhiap, maka. ketua Hek Gak tiba-tiba tak melanjutkan ucapannya. Mohon Gak-cu (kepala neraka) sudi memberitahukan. Untuk itu takkan kulupakan budi Gak-cu seumur hidup, Thian-leng mendesaknya. Kongsun Bu-wi mengangguk, Sudah tentu, hanya saja..... ia berhenti sejenak lalu menyambung pula, Sebelum menceritakan riwayat tayhiap, bolehkah aku bertanya dulu tentang suatu hal? Thian-leng mempersilakan. Tiba-tiba Siau-bun membisikinya dengan ilmu menyusup suara. Tuh, dia sudah mulai....... ingat! Betapapun ia mendesakmu, janganlah sekali-kali kau mengaku! Kudengar tayhiap memiliki sebuah peta Telaga zamrut, benarkah itu? sesuai dengan dugaan Siaubun, ketua Hek gak itu menyatakan maksudnya. Hampir meledak dada Thian-leng. Namun ia tetap bersabar dan pura-pura tak mengerti. Peta Telaga zamrut? Aku tak pernah mendengarnya apalagi memiliki! Ketua Hek Gak tetap tertawa, Peta itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya. Tetapi pun bisa dianggap tak berharga sepeser juga! Entah bagaimanakah wujud peta itu, harap cianpwe suka menjelaskan. Kelak apabila berkelana, aku tentu berusaha untuk mencarikan ! Thian-leng tetap membodoh. Eh, kabarnya kau ini seorang kstria yang suka berterus terang, tak pernah bohong! Tetapi mengapa kau tak mau berlaku jujur? Wajah Thian-leng tampak agak berubah, ujarnya, Taruh kata aku memiliki peta itu, tetapi cara cianpwe hendak merebut dengan siasat serendah ini, tentu tak kuserahkan! Apalagi sesungguhnya peta itu tak berada padaku! Wajah Kongsun Bu-wi pun berobah juga, serunya, Jadi kau tak mau mengaku? Tok-ko Sing tertawa sinis dan segera menyeletuk, Walaupun tayhiap telah mendapatkan peta itu secara rahasia sekali, tetapi beritanya sudah tersiar luas di dunia persilatan. Kalau kau tak mau menyerahkan peta itu kepada ketua kami, dikuatirkan kau tak dapat mempertahankannya lebih lama dari tiga hari, apalagi...... tempat persembunyian pusaka itu telah diketahui di gunung Thay-heng-san!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 142 dari 290

Seluruh wilayah gunung itu kini berada dalam pengawasan kami. Jangan harap kau bisa menggali tempat itu. Maka daripada melakukan pekerjaan yang sia-sia, lebih baik kau tukarkan saja dengan keterangan tentang asal-usul dirimu! Saking marahnya, menggigillah tubuh Kalian tuan dan budak adalah manusia hina semua, tak malu sama sekali.. Thian-leng.

Tetapi secepat itu Siau-bun segera berseru, Jangan keburu nafsu dulu memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Jika kau memang memiliki peta, tak beda seperti secarik kertas tak berharga saja! Thian-leng melongo. Tak tahu ia mengapa mendadak Siau-bun mengatakan begitu. Tok-ko Sing tertawa sinis. Ha, benar! Kiranya nona Cu lebih mengerti persoalan.! tiba-tiba ia memutar tubuh dan berbisik-bisik kepada Kongsun Bu-wi. Ketua Hek Gak itu mengangguk, Baik, kita beri waktu dua jam lagi untuk mereka pikir-pikir. Nanti tengah malam aku akan kembali kesini lagi minta jawaban..... Sebelum pergi ketua Hek Gak itu melontarkan pandangan tajam pada Thian-leng, serunya tandas, Ingin mati atau hidup, terserah padamu! Baru ketua itu memutar tubuh hendak berlalu, tiba-tiba ia memutar diri lagi. Thian-leng dan Siau-bun terkejut. Merekapun bersiap-siap. Tetapi ternyata ketua Hek Gak itu tak mengacuhkan kedua anak muda itu. Dengan suatu gerakan yang tak terduga, tiba-tiba ia mencengkeramkan tangannya ke arah kamar. Cengkeraman itu dilakukan dari jauh dan tampaknya lemah-lemah saja, tetapi hasilnya sungguh tak terduga, Bok Ceng-ceng yang bersembunyi di kolong ranjang telah tertarik keluar! Kejut Thian-leng tak kepalang. Cepat ia meraih pedangnya, tetapi Siau-bun menepuk bahunya perlahan-lahan, bisiknya dengan ilmu menyusup suara, Sebelum terpaksa jangan bertindak gegabah! Thian-leng menurut. Ceng-ceng yang terseret keluar itu, bagaikan seekor ikan dalam jaring. Serta merta ia memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi. Ketua Hek Gak tertawa meloroh, O, kukira ada penjahat masuk ke sini, ternyata kepala dari Hongkiong. tiba-tiba ia berganti nada bengis. Mengapa kau tidur di kamar tamu? Bukankah kau tak mempunyai kebiasaan jalan-jalan di waktu tidur? Hamba. hamba.. tak dapat Ceng-ceng memberi jawaban yang tepat. Mana Si-hwat? teriak Kongsun Bu-wi. Si-hwat adalah algojo. Segera Tok-ko Sing Kepala Hong-kiong telah melanggar peraturan, bagaiman hukumannya? seru Kongsun Bu-wi. Mati! sahut Tok-ko Sing. Kongsun Bu-wi kerutkan dahi, ujarnya, Tetapi dia adalah cucu tunggal dari guruku, boleh diperingan hukumannya. melirik pada Ceng-ceng ketua Hek Gak itu berseru pula. Potong kedua paha saja, jiwanya tetap diampuni! Tok-ko Sing mengiyakan terus hendak turun tangan. Ceng-ceng gemetar tubuhnya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa, kecuali meramkan matanya yang basah dengan air mata. Sambil mencabut sebatang badik, Tok-ko Sing membentak, Kau diberi ampun tak dihukum mati, mengapa tak lekas menghaturkan terima kasih kepada Gak-cu! Segera Ceng-ceng memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi seraya menghaturkan terima kasih . Setelah itu ia rebah di tanah. Tok-ko Sing menyeringai senyum iblis, terus mengayunkan badiknya. Petunjukan ngeri tak dapat dibiarkan saja oleh Thian-leng. Ia tak tahan melihat kebuasan orang Neraka Hitam. Sekonyong-konyong ia menggembor keras dan melepaskan pukulan Lui-hwe-sin-ciang ke arah Tokko Sing. Seketika terhambur angin keras yang panas sekali. Tok-ko Sing tak menyangka sama sekali. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk menyambut. Das.. badik mencelat lepas ke udara, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Namun Thian-leng sendiri juga tak kurang terkejutnya. Ternyata tenaga dalam Tok-ko Sing hebat sekali, sehingga ia rasakan separoh tangannya yang digunakan memukul tadi kesemutan. Darah bergolakgolak.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 143 dari 290

tampil.

Setelah dapat berdiri tegak, wajah Tok-ko Sing merah padam. Ditatapnya anak muda itu, Bu-beng tayhiap mempunyai hubungan apa dengan kepala Hong-kiong itu? serunya bengis. Tidak kenal mengenal, tidak ada sangkut pautnya! Thian-leng menjawab lantang. Tok-ko Sing tertawa sinis. Kalau tiada sangkut pautnya mengapa tayhiap hendak menolongnya? Mengapa tayhiap menghalangi hukuman tadi? Sahut Thian-leng, Aku tak tahan melihat cara-cara yang sekeji itu. Hanya karena sedikit kesalahan saja lantas mau memotong kaki seorang gadis. O, kiranya tayhiap jatuh cinta padanya.. Ngaco! bentak Thian-leng, aku bukan pemuda beriman begitu rendah Apakah Gak-cu percaya omongannya itu? tanpa mengacuhkan Thian-leng, Tok-ko Sing tiba-tiba menghadap ke arah Kongsun Bu-wi. Wajah Kongsun Bu-wi mengerut gelap, serunya, Bok Ceng-ceng telah mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar, ini jelas. Bagaimana hukumannya? Mati digigit lima binatang berbisa, sahut Tok-ko Sing. Ini bukan urusan kecil, harus memberi tahu pada guru! seru Kongsun Bu-wi. Lalu ia menyuruh keempat pengawalnya pergi ke istana Yang-sim-kiong. Coba jenguklah apakah Cong-hou-hwat sudah tidur atau belum. Kasih tahu aku hendak bertemu padanya! Salah seorang pengawal segera melakukan perintah itu. Setelah itu Kongsun Bu-wi berkata pula kepada Ceng-ceng, Aku tak berani gegabah menghukummu nanti. Hal itu akan kurundingkan dengan guru dulu, kau tentu tak keberatan. Thian-leng mendengus lega, karena ia tahu guru Kongsun Bu-wi itu ialah kakek dari Ceng-ceng. Tidak demikian dengan Ceng-ceng. Wajah dara itu pucat pasi. Tiba-tiba ia merangkak ke hadapan Kongsun Bu-wi dan meratap, Mohon Gak-cu memberi hukuman potong kaki saja. Thian-leng kaget sekali mendengar permintaan nona itu. Mengingat kau ini cucu tunggal dari guru, maka hendak kuserahkan hukumanmu itu kepadanya, Kong sun Bu-wi tetap menolak. Ceng-ceng pun tetap meminta dengan ratap tangis. Neraka Hitam ternyata sesuai dengan kenyataannya.... Thian-leng tertawa dingin. Hek Gak mempunyai peraturan keras. Sekalipun aku sendiri yang bersalah juga harus dihukum. Adalah karena Ceng-cengmu itu cucu guruku, maka kuadakan pengecualian. Apakah itu ganjil? Mungkin persoalannya bukan begitu sederhana saja! seru Thian-leng. Ceng-ceng telah ditutuk kedua bahunya. tetapi ia masih dapat bicara. Segera ia berseru kepada Thianleng dan Siau-bun, Mohon kalian berdua menyelamatkan jiwaku dan kakekku. Bukan main marahnya Kongsun Bu-wi. Cepat-cepat ia tutuk rubuh dara itu. Belum Thian-leng hilang herannya, tiba-tiba pengawal yang disuruh tadi muncul lagi dan memberitahukan bahwa cong-hou-hwat menunggu di istana Yang-sim-kiong. Bawa dia! Kongsun Bu-wi memberi perintah, dan Ceng-ceng segera diseret oleh dua pengawal. Bu-beng tayhiap silakan menimbang lagi. Nanti lewat tengah malam aku akan datang minta jawaban, saat itu.......... kepala Hek Gak menutup kata-katanya dengan tertawa dan melangkah keluar. Thian-leng mencabut pedang dan hendak mengejarnya, tetapi dicegah Siau-bun, Kita harus menahan diri. Paling tidak sampai nanti lewat tengah malam kita aman. Baiklah kita gunakan tempo ini untuk beunding! Selain menghadapi dengan kekerasan, rasanya tiada jalan lain lagi, Thian-leng menggeram. Ah, barangkali akan terjadi perobahan, Siau-bun mengerutkan kening, tetapi gerak-gerik Bok Cengceng itu sungguh mencurigakan. Ya, mungkin Kongsun Bu-wi tak membawa gadis itu ke tempat kakeknya melainkan ke lain tempat untuk dihukum mati

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 144 dari 290

Bukan itu yang kucurigai, sahut Siu-bun, mungkin kau tak tahu riwayat kakek nona itu. Ang Tim Gong-khek selain sakti pun cerdik sekali. Masakah tokoh seperti dia sudi berhamba pada Kongsun Buwi? Dan mengapa ia biarkan cucunya disiksa orang? Kemudian yang lebih aneh lagi, mengapa Cengceng begitu sungguh-sungguh minta kita menolong kakeknya. Tokoh semacam Ang Tim masakah perlu ditolong orang lain.? Thian-leng hanya termenung tak dapat memberi pandangan. Hanya ada satu cara untuk menyelidiki kesemuanya itu, Siau-bun tersenyum. Bagaimana? Kita harus mengikuti mereka! Thian-leng tertegun, serunya, Ah, mungkin tak mudah! Mengapa tak mudah? Di dalam Hek Gak ini tentu penuh dnegan perkakas rahasia. Setiap sudut, setiap lantai merupakan bahaya. Jika kita sampai terperosok dalam jebakan, bukankah akan celaka? Mungkin benar begitu, tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu takkan bergerak mencelakai kita sampai nanti lewat tengah malam! bantah Siau-bun. Tetapi mereka sudah jauh. Jalanan di sini berkelok-kelok rumit sekali. Mungkin sukar untuk mengejar mereka.... Jangan kuatir, Siau-bun menghibur, aku pernah mempelajari ilmu melihat langit mendengarkan bumi. Meskipun belum sempurna, tetapi dalam jarak seratus tombak aku masih dapat menangkap derap kaki orang. Dengan menurutkan derap kaki itu, tentulah tak sukar mengikuti mereka! Thian-leng tersirap kaget. Ketika dalam penjara air di istana Sin-bu-kiong, Nyo Sam-koan pernah menceritakan tentang ilmu itu. Dan kemudian ia pernah menyaksikan ketua Thia-hiat-bun menggunakan ilmu itu. Mengapa Siau-bun mengerti juga ilmu sakti itu? Sejak kenal memang ia tak banyak mengetahui tentang diri nona itu. Dan memang ia tak pernah menanyakan hal itu kepada Siau-bun. Kini tiba-tiba timbullah kecurigaannya. Apakah nona itu mempunyai hubungan juga dengan partai Thia-hiat-bun? Eh, kau melamun apa? Siau-bun tertawa melihat Thian-leng terlongong-longong. Thian-leng gelagapan. Eh, dari manakah adik Bun mempelajari ilmu itu? Siau-bun tersentak kaget, tetapi cepat-cepat ia alihkan pembicaraan, Panjang sekali untuk menceritakannya. Sekarang baik kita putuskan dulu. Hendak mengejar jejak mereka atau tidak? Thian-leng tak mau mendesak. Ia menyatakan supaya mengejar saja. Demikianlah kedua anak muda itu segera meninggalkan kamar. Di luar gelap sekali. Siau-bun sebentar-sebentar berhenti untuk pasang telinga. Setelah melintasi beberapa tikungan, tak berapa lama mereka harus melalui beberapa halaman luas. Thian-leng siap sedia. Tetapi selama itu mereka tidak menjumpai barang seorangpun. Gedung itu seolah-olah tanpa penghuni. Tiba-tiba Siau-bun berhenti, serunya, Setelah melintasi tembok tinggi ini kita akan tiba di istana Yansin-kiong! Kedua anak muda itu loncat ke atas tembok. Mereka agak terkesima. Di sebelah luar tembok itu terdapat sebuah halaman luas penuh ditumbuhi pohon bunga. Tiga buah paseban besar terangbenderang dengan penerangan. Di ruang paseban itu penuh sesak orang. Tampak Kongsun Bu-wi diiringai oleh para pengawalnya tengah menyeret Bok Ceng-ceng. Rupanya mereka baru tiba. Kita sembunyi di luar jendela dalam kebun belakang agar dapat melihat dengan jelas, Siau-bun mengajak. Anehnya tempat yang dituju kedua anak muda itu tiada penjaganya sama sekali. Daun jendela besar sekali tertutup dengan kertas lilin yang sudah penuh lubang. Untung karena di sebelah luar gelap, maka jejak kedua anak muda itu tak sampai ketahuan oleh orang di dalam ruangan. Dari lubang kertas jendela, mereka mengintai apa yang sedang terjadi di dalam. Di tengah ruang terdapat sebuah ranjang kayu yang besar sekali dan dicat merah. Di situ rebah seorang tua yang aneh. Kepalanya gundul kelimis. Wajahnya putih bersih, tetapi yang aneh ialah hidungnya. Hidungnya besar dan merah, penuh dengan tonjolan bintil. Dia hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, shingga perutnya yang buncit tampak menonjol jelas. Di belakang ranjang terdapat empat bujang perempuan yang masih muda.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 145 dari 290

Dia tentu Ang Tim Gong-khek? tanya Thian-leng dengan ilmu menyusup suara. Benar, apakah kau tak melihat hidungnya? sahut Siau-bun. Thian-leng hampir tertawa, Bok Sam-pi ( Bok si hidung tiga ) memang sesuai dengan namanya. Bukan saja besar sekali, tetapi hidungnya itu seperti terbelah jadi tiga. Begitu tiba di hadapan ranjang, Kongsun Bu-wi segera berlutut memberi hormat. Bok Sam-pi mempersilakan dia bangun. Tetapi tiba-tiba Ang Tim Gong-khek itu loncat bangun dan berlutut di hadapan Kongsun Bu-wi juga, Hamba menghaturkan hormat kepada Gak-cu! Pertama, Kongsun Bu-wi memberi hormat kepada Ang Tim Gong-khek dalam kedudukan sebagai gurunya. Tetapi Ang Tim Gong-khek pun balas memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi dalam kedudukan sebagai kepala Hek Gak. Habis memberi hormat Bok Sam-pi pun rebah lagi di atas ranjang. Thian-leng heran mengapa Bok Sam-pi acuh tak acuh melihat cucunya dalam keadaan ditutuk jalan darahnya. Tengah malam menemui aku, ada urusan apa? tegur Bok Sam-pi. Jika tidak penting, masakah murid berani mengganggu guru. Adalah karena Nanti dulu! Bok Sam-pi cepat menukas, aku tak mau menjalankan peradatan sebagai cong-hou-hwat lagi. Jangan membicarakan urusan dalam Hek Gak Kembali ketua Hek Gak menjura, Murid tak berani kurang adat, silakan suhu rebahan saja. Bok Sam-pi tertawa dan suruh Kongsun Bu-wi mengutarakan keperluannya. Ada seorang murid yang mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar, kata ketua Hek Gak. Bok Sam-pi terkejut marah, Siapa? Kepala istana Hong-kiong, cucu suhu sendiri Bok Ceng-ceng! Dia? Bok Sam-pi menuding ke arah Ceng-ceng dan Kongsun Bu-wi mengiyakan. Kemari kau! serunya. tetapi karena tertutuk jalan darahnya, sudah tentu Ceng-ceng tak dapat berjalan. Kongsun Bu-wi memberi isyarat mata kepada kedua pengawal. Kedua pengawal itu segera membuka jalan darah si dara. Kek! Ceng-ceng loncat menghampiri kakeknya seraya menangis. Saat ini kakek sebagai cong-hou-hwat, lekas haturkan hormat! bentak Bok Sam-pi. Ceng-ceng terpaksa berlutut. Ia tak menangis lagi. Mulutnya terkancing, sikapnya seperti sebuah patung. Benarkah kau mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar? seru Bok Sam-pi. Ceng-ceng diam saja. Tahukah apa hukuman yang harus dijatuhkan? dengus Bok Sam-pi pula. Ketua Hek Gak segera melangkah maju. Menurut undang-undang Hek Gak, harus menerima hukuman digigit lima binatang beracun, tetapi. Tetapi bagaimana? Bok Sam-pi berseru gusar. Tetapi Ceng-ceng adalah . Tak peduli apaku, sebagai cong-hou-hwat, aku harus bertindak menurut hukum. Kalau hukum tak dipegang, rusaklah peraturan! teriak Bok Sam-pi, Lekas jalankan hukuman! Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera memanggil Tok-ko Sing yang menjabat sebagai pelaksana hukum atau algojo. Tok-ko Sing pun segera bertindak. Ia hendak mencengkeram bahu kanan dara itu dan Ceng-ceng tak mengadakan perlawanan apa-apa. Tunggu! tiba-tiba Bok Sam-pi mengebutkan tangannya. Tok-ko Sing menarik pulang cengkeramannya, tetapi kebutan tangan Bok Sam-pi itu membuatnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Mengapa suhu..? Kongsun Bu-wi berseru kaget. Apakah ada buktinya Bok Ceng-ceng melakukan hubungan itu? tegur Bok Sam-pi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 146 dari 290

Orang itu masih berada di ruang tamu. Apakah suhu perlu suruh mereka menghadap? Tiba-tiba Bok Sam-pi tertawa keras-keras. Tak usah, lebih baik kau lihat saja kutangkap mereka! Kongsun Bu-wi terkejut, Maksud suhu. Tiba-tiba Bok Sam-pi menampar ke jendela belakang, bingkai jendela yang hampir satu tombak besarnya itu serentak hancur berantakan. Thian-leng dan Siau-bun pun tak sempat lagi menjaga diri. Serentak mereka seperti digulung oleh tenaga tarik yang tak dapat dilawan. Bersama dengan keping jendela, kedua anak muda itupun tersedot ke dalam ruang dan jatuh tepat di muka ranjang Bok Sam-pi. Untung tak sampai terluka. Thian-leng dan Siau-bun menginsyafi betapa hebat kesaktian orang she Bok itu. Maka merekapun tak mau bertindak sembarangan. Apakah kedua orang ini? tanya Bok Sam-pi. Benar , buru-buru ketua Hek Gak menjawab, dengan baik-baik murid melayani mereka di ruang tamu, tetapi ternyata mereka telah bersekongkol dengan Bok Ceng-ceng. Dan ternyata juga diam-diam mengikuti murid kemari hendak mencelakai suhu. Bagaimana hukumannya? seru Bok Sam-pi. Mereka bukan murid kita, sudah tentu boleh dihukum apa saja.. mata ketua Hek Gak itu berkedipkedip, sudah lama suhu kesepian. Baiklah kedua orang ini dijadikan hiburan saja, entah bagaimana kehendak suhu. Tiba-tiba Bok Sam-pi bangkit duduk serunya, Ya, ya, aku ingin menyaksikan hukuman Toa-gi-pat-kui, lakukanlah sekarang! Thian-leng mengeluh putus asa. Ia melirik kepada Siau-bun yang berada di sampingnya. Adik Bun, akulah yang bersalah mencelakaimu......aku tak menyesal mati, tapi kalau sampai membuatmu ikut menderita, aku tak dapat mati dengan meram. Di luar dugaan Siau-bun tenang sekali. Bahkan bibirnya menyungging senyuman. Segera ia menjawab dengan ilmu menyusup suara, Takutkah kau? Thian-leng tertegun, Tidak, aku tak takut mati. Hanya yang kusesalkan ialah tindakanku yang sembrono hingga merembet dirimu.. Mati atau hidup masih belum ketahuan. Perlu apa kau sudah putus asa? Sentilan si nona membuat Thian-leng malu hati. Segera ia menjamah pedangnya dan dengan ilmu menyusup suara ia berkata tegas, Akan kuserang tua bangka itu, adik Bun.. Jangan gegabah. Melawan si tua itu berarti seperti ana-anai melanda api, telur membentur tanduk. Kalau kita bertindak begitu, tentu mereka segera menjalankan hukuman Toa-gi-pat-kui itu! cegah Siaubun. Pada saat kedua anak muda itu bercakap-cakap, Kongsun Bu-wi sudah perintahkan pengawalnya mengambil sebuah tiang kayu yang besar, tali dan beberapa batang golok tajam. Alat-alat itu dibawa ke tengah, sedang Bok Sam-pi tetap menunggu di ranjang kayu. Dengan tenang ia menunggu dilaksanakannya hukuman Toa-gi-pat-kui. Sebenarnya Siau-bun pun berdebar-debar hatinya. Namun dara itu sudah biasa menghadapi ancaman bahaya. Maka sikapnyapun tenang-tenang saja. Tidak demikian halnya dengan Thian-leng yang sudah gelisah tak keruan. Sedang terhadap cucunya sendiri saja Bok Sam-pi begitu kejam, apalagi terhadap orang luar! Jalankan dulu hukuman Toa-gi-pat-kui pada kedua mata-mata itu, baru kemudian menghukum budak ini, seru Bok Sam-pi. Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera menyuruh orang mengikat Thian-leng dan Siau-bun pada tiang. Empat pengawal maju menghampiri Thian-leng. Thian-leng menyiapkan pedangnya hendak menempur. Tiba-tiba Siau-bun tertawa dingin, Tunggu! Eh, apakah kau hendak meninggalkan pesan? tanya Kongsun Bu-wi. Tidak. aku tak butuh memesan apa-apa, nona itu tertawa. Aneh, mengapa kau masih berani tertawa? tegur Bong Sam-pi.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 147 dari 290

Siau-bun makin perkeras tawanya, Karena aku tak dapat mati. Tiada seorangpun di ruang ini yang mampu membunuhku! Wajah Bok Sam-pi berobah seketika dan bangkitlah ia serentak. Di antara kalian siapakah yang paling sakti? tegur Siau-bun dengan senyum tak acuh. Aku! Bok Sam-pi menggerung. Siau-bun mendengus hina, Apakah kau berani bertanding melawan aku? Bok Sam-pi tertawa gusar. Tiba-tiba ia melesat maju ke arah si nona

JILID 8 Mustika Naga JILID 8 MUSTIKA NAGA Bok Sam-pi tegak di hadapan Siau-bun. Perutnya yang gendut terkial-kial karena menahan kemarahan. Biji matanya yang sebesar kelereng menyala tajam. Kau hendak menantang berkelahi denganku? serunya. Benar, Siau-bun tertawa, aku ingin bermain-main beberapa jurus dengan kau. Bok Sam-pi menggerung seperti harimau mencium mangsa. Berpuluh-puluh tahun belum pernah ada manusia yang berani berkata begitu di hadapanku. Toa-gi-pat-kui masih terlalu ringan. Akan kutambahi hukumanmu dengan Sam-sing-ka-sim dan Ngo-tok-ya-thi! Bagus, sayang kau tak mampu.. Siau-bun mengedipkan mata sejenak, eh, bagaimana? Apakah kau mau adu kepandaian denganku? Bok Sam-pi memekik, Budak perempuan, kalau mau adu kepandaian lekaslah! Kalau ayal-ayalan mungkin kau tak sempat lagi! Menunjuk pada perutnya yang buncit, ia berseru pula, Boleh kau gunakan senjata tajam atau senjata rahasia, pukulan, kaki, jari ataupun apa saja. Kalau mampu merontokkan selembar buluku saja, aku menyerah kalah dan terserah hendak kau apakan.. Siau-bun tertawa nyaring, Cara itu tidak adil. Jika kau menghendaki cara berkelahi mati-matian macam benggolan penjahat.., maaf, aku tak sudi melayani! Bagaimana kalau adu lwekang? seru Bok Sam-pi. Kasar! Biji mata Bok Sam-pi yang besar berkilat-kilat. Katakanlah, teresrah kau hendak memakai cara apa, aku menurut saja! Siau-bun mondar-mandir sejenak, tersenyum, Begini saja ! Aku mempunyai sebutir mutiara Ban-lianliong-cu ( mutiara naga ribuan tahun ). Jika kau mampu memijatnya hancur dengan dua buah jari tanganmu, aku mengaku kalah.... Bok Sam-pi hendak menyahut, tetapi Kongsun Bu-wi sudah mendahului, Suhu, budak perempuan ini banyak akal, jangan kena dia kali! Bok Sam-pi merengut kurang senang, Apakah aku anak kemarin sore? Kau pandang aku ini orang apa? Harap suhu jangan marah. Murid hendak mengatakan tentang mustika Ban-lian-liong-cu Persetan dengan Ban-lian-liong-cu! Apakah kau kira aku tak dapat memijatnya hancur? Kongsun Bu-wi gelengkan kepala, Bukan maksud murid mengatakan suhu tak dapat meremasnya. Melainkan hanya mengatakan bahwa Ban-lian-liong-cu itu adalah mustika yang jarang terdapat di dunia. Kemungkina tentu dia tak punya. Dan andaikan punya pun, bagaimana hendak suruh suhu menghancurkannya? Ya, benar! Bok Sam-pi gelagapan. Ban-lian-liong-cu adalah sebuah pusaka ajaib, mengapa kau suruh aku menghancurkan!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 148 dari 290

Benda yang paling keras di dunia, apakah dapat menandingi kekerasan Ban-lian-liong-cu? Siau-bun tertawa dingin. Mungkin tidak ada! Kongsun Bu-wi menanggapi. JIka gurumu dapat memijat hancur Ban-lian-liong-cu, kalau kuberikan yang palsu, bukankah akan lebih cepat lagi? Dengan begitu bukankah aku kalah dan akan menerima hukuman Toa-gi-pat-kui atau apa itu Sam-sing-ka-sim atau Ngo-tok-ya-thi? Apakah aku dapat mengingkari perjanjian lagi? Sahutan nona itu membuat ketua Hek Gak gelagapan dan hanya dapat menjawab sekenanya, Siapa yang tahu permainan setan itu? Siau-bun tertawa dingin, Dalam hal main setan-setanan, mungkin kau lebih ahli. Dengan menipu orang untuk diberi tahu tentang asal-usulnya, kau menjebaknya kemari. Perlunya tak lain hanya hendak merampas peta pusakanya.! Sambil menunjuk pada Bok Sam-pi, ia berseru pula, dan dia seorang cianpwe persilatan yang sakti, telah kau cekoki dengan obat yang membuatnya berobah linglung tak sehat pikirannya! Bukankah perbuatanmu itu sangat keji..! Keparat! teriak ketua Hek Gak kalap, kalau kau berani mengoceh tak keruan tentu akan kucincang tubuhmu! Siau-bun acuh tak acuh menyahut, Sayang saat ini kau tak dapat bertindak semaumu ia berhenti sejenak. Kepintaran yang digunakan untuk menipu orang, akhirnya keblinger sendiri. Mungkin kau akan menyesal atas perbuatanmu itu! Budak perempuan, dengan mengandal akal muslihatmu itu jangan harap kau mampu lolos dari sini kecuali kau dapat membujuk Bubeng tayhiap supaya menyerahkan peta padaku! Siau-bun tetap tertawa dingin. Kalau benar punya Ban-lian-liong-cu, ayo, lekas keluarkan! Coba lihat saja aku dapat memijatnya hancur atau tidak? teriak Bok Sam-pi yang rupanya tidak sabar lagi. Sahut Siau-bun tenang-tenang, Jangan terburu nafsu dulu. Akan kujelaskan dulu palsu tidaknya mustika Ban-lian-liong-cu itu. Toh akhirnya nanti kau tentu akan memijatnya! Ia berpaling ke arah ketua Hek Gak, Apakah kau tahu khasiat Ban-lian-liong-cu dan dapat membedakan palsu tidaknya ? Kongsun Bu-wi tertawa nyaring, Ban-lian-liong-cu kira-kira sebesar biji lengkeng, warnanya merah tua. Begitu dimasukkan dalam air dingin maka hilanglah dingin air. Dimasukkan dalam api, maka hilanglah panas api. Khasiatnya untuk menolak air dan api, merupakan mustika yang tiada nilainya di dunia! Siau-bun tertawa tawar, Kalau begitu harap sediakan air dan api, kita buktikan saja! Ia mengeluarkan sebuah kotak emas lalu mengambil sebuah bungkusan sutera merah. Dengan hati-hati Siau-bun membuka bungkusan itu dan tampaklah sebutir mutiara sebesar lengkeng. Thian-leng dan orang-orang yang berada dalam ruangan itu berteriak kaget. Tepat seperti yang dikatakan ketua Hek Gak tadi, memang mustika itu berwarna merah tua berkilaukilauan memancarkan sinar terang-benderang yang menyilaukan mata. Seketika berhamburan semacam hawa dingin. Begitu dingin sehingga membuat keempat pengawal Hek Gak yang berdiri pada jarak beberapa tombak sampai gemetar badannya. Juga Bok Sam-pi ternganga, serunya dengan terbata-bata, Mustika yang hebat, mustika yang hebat, benar-benar mustika yang tiada tandingannya.! Siau-bun hanya mengulum senyum. Dengan angkuh ia berkata kepada ketua Hek Gak, Apakah seumur hidupmu kau pernah melihat mustika semacam ini? Mulut ketua Hek Gak tersekat, Kalau menilik ujudnya saja, memang belum dapat dibuktikan palsu tidaknya ia berpaling kepada pengawalnya menyuruh siapkan air dan api. Empat pengawal Hek Gak segera mengiyakan. Thian-leng segera menggunakan ilmu menyusup suara menegur Siau-bun, Apakah itu Ban-lian-liongcu yang tulen? Sudah tentu! sahut Siau-bun. Ha !? Kalau sampai dipijat hancur oleh setan tua itu, bukankah
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 149 dari 290

Kita ini perlu mempertahankan jiwa atau memberatkan mustika. Jawaban si nona itu membuat Thian-leng kemalu-maluan. Diam-diam ia menyesal karena menyebabkan Siau-bun sampai mengorbankan mustikanya. Tetapi dengan mengorbankan mustika itu apakah kita pasti dapat lolos ? ia masih penasaran. Ya, sekalipun Ban-lian-liong-cu itu mustika yang keras sekali, tetapi bukannya mustahil dihancurkan. Kepandaian setan tua itu memang tinggi Thian-leng cemas, Kalau begitu bukankah . ? Segala apa kita harus menyesuaikan dengan gelagat, tak usah kau cemas! tukas Siau-bun. Pada saat itu dua orang pengawal Hek Gak muncul dengan membawa baskom air dan tempat api. Siau-bun dengan tertawa-tawa segera menyerahkan Ban-lian-liong-cu kepada Kongsun Bu-wi, ujarnya, Silakan mencobanya di hadapan hadirin! Kongsun Bu-wi menyambuti. Matanya tak berkedip memandang mustika itu. Wajahnya menampilkan nafsu memiliki. Rupanya ada rasa dalam hatimu untuk memiliki mustika itu, eh? Siau-bun tertawa mengolok. Kongsun BU-wi merah mukanya, Jangan mengukur baju orang menurut ukuranmu sendiri! serunya. Siau-bun tertawa gelak-gelak, Jika kau tak mendustai batinmu, saat ini kau merasa gelisah kalau mustika itu sampai teremas hancur oleh gurumu. Karena dengan begitu kau tentu tak dapat memilikinya! Karena malu, marahlah Kongsun Bu-wi, Ngaco! Orang macam apakah diriku? Masakah sebutir mustika macam begitu saja dapat menggerakkan keinginanku!? Alis Siau-bun menjungkit, Sudahlah , jangan coba sangkal isi hatimu, toh tiada yang tahu! Wajah ketua Hek Gak berobah makin gelap. Segera ia lemparkan Ban-lian-liong-cu ke dalam baskom air. Serentak terdengarlah pekik kaget dari sekalian orang. Begitu tercebur air, mustika itu seperti membelah air. Di Sekeliling mustika air sama menyiah beberapa dim jauhnya. Wajah Kongsun Bu-wi makin gelap. Ia ambil mustika keluar. Jelas ketika memasukkan tangan ke dalam basko, ujung bajunya itu terendam air. Tetapi anehnya setetes airpun ujung bajunya tak basah dan mustika Ban-lian-liong-cu kering kerontang. Bagaimana.. ujar Siau-bun seraya maju menghampiri. Kongsun Bu-wi terpukau tak dapat menjawab. Serentak ia lemparkan mustika ke dalam anglo api. Kembali mata ketua Hek Gak terbelalak. Anglo yang penuh dengan api membara, tersiak oleh Ban-lianliong-cu. Ujung baju Kongsun Bu-wi yang masuk ke dalam api tidak terbakar sama sekali. Bahkan tangannya yang memegang anglo itu sedikitpun tak terasa panas. Akhirnya ketua Hek Gak menarik pulang tangannya. Sejenak ia memuaskan pandangannya ke arah mustika itu, baru diberikan lagi kepada Siau-bun, ujarnya, Mustika ini memang benar Ban-lian-liong-cu yang asli, sekarang boleh kau serahkan kepada suhu! Dengan tersenyum Siau-bun menyambutnya. Serahkan padaku, lekas. Aku tak sabar lagi menunggu! tiba-tiba Bok Sam-pi berteriak. Siau-bun memutar dirinya menghadapi, ujarnya, Baik, kita bicarakan dahulu secara jelas. Barang siapa kalah tak boleh ingkar janji! Kurang ajar, kau anggap aku ini orang apa? Masakah aku sudi ingkar janji padamu ! Bok Sam-pi marah-marah. Namun si nonan masih tetap tersenyum simpul, ujarnya. Pertanyaan lo-cianpwe itu sudah cukup menjadi jaminan! Ia segera angsurkan mustika Ban-lian-liong-cu kepada Bok Sam-pit. Begitu menyambuti mustika, sejenak Bok Sam-pi memepermainkannya. kemudian tiba-tiba ia menjepit mustika itu dengan jari tengah dan jari telunjuk, lalu tertawa gelak-gelak, Sebenarnya aku tak sampai hati menghancurkan mustika ini.!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 150 dari 290

Thian-leng seperti disadarkan. Ia merasa dapat menduga rencana yang dijalankan Siau-bun. Jika Bok Sam-pi sampai tak rela meremas hancur mustika itu, berarti ia kalah dan dapatlah Siau-bun lolos dari neraka Hek Gak. Demikianlah dugaannya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset Tetapi jika tak kuremas hancur, berarti aku menyerah kalah padamu,budak perempuan! dengan begitu bukankah aku..bukankah . tiba-tiba Bok Sam-pi bersungut-sungut. Ia tak melanjutkan kata-katanya lebih jauh, tetapi mulai kencangkan kedua jari yang menjepit Ban-lian-liong-cu. Wajah thian-leng berobah seketika. Sejenak ia berpaling memandang Siau-bun tetapi nona itu tampak tenang-tenang saja. Sedikitpun tak menunjukkan rasa cemas. Saat itu tampak wajah Bok Sam-pi agak mengeras tegang. Sepasang matanya terpentang lebar. Kedua tulang pelipisnya mulai menonjol, begitu pula dahinya. Jelas menunkukkan bahwa ia menghadapi kesukaran! Melihat itu Kongsun Bu-wi dan sekalian anak buahnya tampak tegang. Mata mereka mengikuti lekatlekat pada mustika yang terjepit di tengah kedua jari tangan Bok Sam-pi. Wajah Bok Sam-pi makin tegang. Warnanya berobah merah seperti darah, giginya mengerut kencang. Inilah yang pertama kali ia menghadapi kesulitan besar dan kekalahan. Siau-bun tersenyum datar. Ia acuh tak acuh. Dalam pada itu, sang waktupun merayap terus dengan cepat. Tak terasa sudah sejam lamanya Bok Sam-pi melakukan taruhannya. Tangan kanannya tampak gemetar, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar biji kedele. Warna wajahnya yang merah padam berobah biru gelap. Nyata dia sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk meremas Ban-lian-liong-cu. Akhirnya ia menghela napas, Aku tak dapat memijat hancur mustika ini. Ya, aku menyerah kalah! ujarnya disertai helaan napas rawan. Kongsun Bu-wi seperti mendengar halilintar berbunyi di tengah hari. Buru-buru ia maju melangkah, Tidak, suhu belum kalah! Bok Sam-pi menghela napas, Bagaimana tidak kalah? Karena mustika itu memang luar biasa kerasnya.... ia lepaskan lirikan tajam kepada Siau-bun, katanya pula, Jika dia mampu meremasnya hancur, barulah benar-benar dia menang. Tetapi jika dia tak dapat, berarti seri. Pertandingan ini tiada yang kalah atau menang dan boleh diganti dengan cara lain. Benar, benar. Bok Sam-pi seperti disadarkan. Segera ia berikan Ban-lian-liong-cu kepada Siau-bun. Sekarang kau yang meremasnya! Siau-bun tak ragu-ragu menyambuti mustika itu. Ia tertawa mengejek Kongsun Bu-wi. Memang telah kuduga kau akan mengajukan usul ini! Sejenak Siau-bun mengepal-ngepal mustika di dalam telapak tangan, setelah itu dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengah. Serunya kepada Bom Sam-pi, Silakan Cianpwe melihat dengan betul! Tentu, ayo pijitlah! Bok Sam-pi mengangguk, mengira nona itu tentu tidak dapat. Kongsun Bu-wi tertawa yakin. Tetapi pada lain kejap, suara tertawanya sirap ditelan kekagetan........ Ketua Hek Gak itu terlongong-longong melongo... lutnya ternganga! Jelas terngiang di telinganya suatu suara letupan kecil. Mustika Ban-lian-liong-cu yang terjepit di jari Siau-bun itu pecah berhamburan...... Sekalian orang menjerit kaget! Benar-benar sukar dipercaya. Ketua Hek Gak berdenyut-denyut kepalanya, bumi yang dipijaknya serasa berputar. Ceng-ceng yang tengah belutut di depan ranjang, bangkit serentak! Wajahnya penuh diliputi seri kegirangan. Dipandangnya Siau-bun dengan lekat. Tiba-tiba Bok Sam-pi menjerit, Sudahlah, sudahlah, aku kalah.. Tidak suhu, kau tetap belum kalah! Kongsun Bu-wi berseru. Mengapa tidak? sahut Bok Sam-pi. Ketua Hek Gak tertaw sinis. Dengan susah payah suhu memijat, tetapi gagal. Mengapa dia hanya sekali pijat saja sudah dapat menghancurkan? Bukankah kau lebih sakti dari dia? Bukankah dia tentu menggunakan tipu muslihat!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 151 dari 290

Perut Bok Sam-pi yang gendut tampak terkial-kial karena menahan gejolak perasaan. tetapi tak tahu bagaimana hendak menumpahkan. Marahkah atau sedihkah? Siau-bun tertawa dingin, ujarnya kepada Bok Sam-pi, Ketika kupijit Ban-lian-liong-cu bukankah cianpwe mengawasi dengan jelas? Benar.. Bok Sam-pi menyahut terpaksa. Apakah aku menggunakan ilmu sihir? Rasanya eh. tidak Dengan begitu lo-cianpwe rela mengaku kalah? kata Siau-bun dengan nada serius. Ya, aku menyrah kalah! Tidak , suhu tak boleh menyerah kalah, jika..... cepat-cepat ketua Hek Gak menukas. Tetapi secepat itu pula Siau-bun segera berseru keras kepada Bok Sam-pi, Jika lo-cianpwe tak suka mengaku kalah, sayapun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi bagi martabat lo-cianpwe dalam dunia persilatan, tidaklah layak untuk menelan ludah lagi! Siapa bilang aku menelan ludah? Bok Sam-pi murka. O, kalau benar cianpwe tak ingkar janji, marilah sekarang kita laksanakan perjanjian kita! desak Siaubun. Perjanjian apa ? Bok Sam-pi mengerutkan dahi, Ah, apakah lo-cianpwe benar-benar pelupa sekali? Bok Sam-pi mendengus, Karena kau yang menang, maka segala macam hukuman yang hendak kujatuhkan padamu itu batal semua. Kalian boleh keluar dari istana Hek Gak sini. Apakah ini tidak cukup? Apakah masih hendak suruh aku menganar kalian? Cepat Siau-bun menanggapi, Itulah! Memang ada dua buah urusan kecil yang memerlukan persetujuan lo-cianpwe! Bok Sam-pi mendengus lagi, Tidak bisa, aku ini orang macam apa, masakah kau suruh mengantarkan! Siau-bun tertawa dingin, Jika cianpwe menganggap dirimu sebagai ksatria sejati, haruslah berjiwa ksatria! Marah Bok Sam-pi tak tertahan lagi. Segera ia mengangkat tangannya hendak menghantam. Tetapi Siau-bun acuh tak acuh. Melihat itu Bok Sam-pi menghentikan tinjunya dan perlahan-lahan menurunkan lagi. Keriput kemarahannya perlahan-lahan kendor, berganti kerawanan. Akhirnya menghela napaslah ia, Baik, akan kuantar kalian keluar dan sebutkanlah kedua tuntutanmu itu. Kesatu, serahkan cucumu Bok Ceng-ceng itu kubawa pergi. Kedua , minumlah sebutir pil dariku. Kau hendak suruh aku minum pil? Perlu apa? Bok Sam-pi melongo. Supaya jiwamu lekas melayang, sahut Siau-bun tenang. Hm, apakah tiada jalan lain lagi? dengus Bok Sam-pi. Perangaiku sama dengan perangaimu. Apa yang kukehendaki, tentu harus kulaksanakan. Atau lebih baik kau ingkar janji dan bertempur dengan aku lagikah? Siau-bun mengejek. Bok Sam-pi menggelengkan, Baik, kuterima kedua syaratmu itu. Akan kuantarkan kalian keluar dari sini dan kuminum pil mautmu itu.! Tunggu ! sekonyong-konyong Kongsun Bu-wi menjerit. Siau-bun melirik tajam kepada ketua Hek Gak itu serunya, Telah kukatakan padamu tadi bahwa ada suatu saat kau pasti menyesali perbuatanmu selama ini, nah, bagaimana sekarang? Tak mudah kaulaksanakan kemauanmu itu! ketua Hek Gak menggeram. Ah, belum tentu. Segala apa yang akan terjadi semua di luar dugaanmu...... Menjeritlah ketua Hek Gak itu dengan kalap, Jika kau sampai mampu keluar dari istana ini akan kurayakan dengan bunuh diri!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 152 dari 290

Tiba-tiba ketua Hek Gak itu berpaling ke arah Bok Sam-pi dan membentak, Bok conghouhwat! Mendengar itu kejut Bok Sam-pi bukan kepalang. Segera ia hendak berlutut memberi hormat. Tetapi secepat itu juga Siau-bun sudah membentaknya, Nanti dulu! Jangan menjual muslihat! bentak ketua Hek Gak murka. Siau-bun menyambutnya dengan tertawa dingin, Justru kebalikannya! Aku hanya hendak melucuti kedokmu selama ini, hanya sayang. ia tertawa mengikik, ujarnya pula, Segala tipu muslihatmu itu gagal semua! Apa maksudmu! bentak ketua Hek Gak. Kau hendak menggunakan pengaruhmu sebagai ketua untuk memaksa Bok Lo-cianpwe tunduk kepadamu bukan? Istana Hek Gak mempunyai tata tertib yang keras. Walaupun beliau menjadi guruku, tetapi karena beliau menjabat sebagai Conghouhwat, maka wajib menurut perintahku! sahut ketua Hek Gak dengan congkak. Tanpa kau sadari, dalam babak ini kau sudah mengaku kalah! Siau-bun tertawa. Bagaiman kalahnya? Tadi Bok-locianpwe sudah menyatakan bahwa malam ini tiada lagi garis pemisah antara ketua dan anak buah, melainkan beliau berbicara dalam kedudukan sebagai guru dengan murid. Bukankah hal itu sudah merupakan kekalahan bagimu? Benar, benar! Malam ini kaulah yang seharusnya mendengar perintahku! Bok Sam-pi seperti disadarkan. Serentak berobahlah cahaya muka Kongsun Bu-wi. Giginya terdengar bercatrukan menahan kemarahan. Tetapi ia tak dapat membantah sepatah pun juga. Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan si nona. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara berseru kepadanya, Siap-siaplah, kita segera akan angkat kaki dari sini! Thian-leng terkesiap. Cepat ia bersiap dengan pedang dan mengerahkan tenaga Lui-hwe-ciang. Apabila anak buah Hek Gak berani merintangi, ia hendak adu jiwa dengan mereka. Siau-bun perlahan-lahan menghampiri kehadapan Bok Sam-pi, ujarnya, Lo cianpwe marilah kita pergi! Baik, Bok Sam-pi tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengiyakan. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara kepada si jago tua itu, Muridmu itu sukar diraba hatinya. Jika lo-cianpwe tak siap sedia, dia tentu diam-diam akan memerintahkan supaya menutup jalan dan menggerakkan perkakas rahasia. Mati bagi kami anak-anak yang tak bernama ini tak mengapa. Tetapi betapa besar akibatnya bagi kebesaran nama lo-cianpwe! Beralasan juga , dengus Bok Sam-pi. Apa kata mereka kepada suhu? ketua Hek Gak berseru kaget. Bok Sam-pi deliki mata, teriaknya, Kemarilah! Suhu hendak memberi pesan apa? Kongsun Bu-wi makin kaget. Aku kuatir kau nanti diam-diam menyuruh orang menjalankan perkakas rahasia, hal itu pasti akan menjatuhkan namaku! Apakah suhu percaya? ketua Hek Gak kaget bercampur marah. Bok Sam-pi tertegun. Tetapi pada lain saat ia menjawab tanpa ragu-ragu. Percaya saja. Kutahu apa yang dapat kaulakukan. ia berhenti sejenak lau melanjutkan pula. Karena itu hendak kupelintir dulu urat pergelangan tanganmu agar hatiku tenteram! Seketika berobahlah wajah ketua Hek Gak. Kakinya terhuyung mundur beberapa langkah. Maksudnya ia akan loncat keluar ruangan. Tetapi Siau-bun cepat menyentaknya, Eh, jangan coba kabur, ya! Bok lo-cianpwe sepuluh kali lipat dari kepandaianmu. Dalam jarak seratus tombak, beliau masih dapat menangkapmu!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 153 dari 290

Bok Sam-pi tokoh yang sudah limbung otaknya seperti disadarkan. Bentaknya murka, Apa? Kau hendak lari? Berbareng itu ia ulurkan tangan mencengkeram. Rencana Kongsun Bu-wi untuk melarikan diri dan mempersiapkan perkakas rahasia dalam istana itu menjadi berantakan. Selagi ia termangu, Bok Sam-pi sudah menamparnya. Sebagai murid ia tahu sampai di mana kesaktian gurunya itu. Tak berani ia menangkis melainkan mandah mengikuti gerak cengkeraman gurunya, mencelat ke hadapan Bok Sam-pi. Gemuk sekalipun potongan tubuhnya, tetapi tangan Bok Sam-pi tangkas bukan kepalang. Secepat kilat ia sudah mendcengkeram pergelangan tangan Kongsun Bu-wi. Ketua Hek Gak itu menumpahkan kemarahannya kepada Siau-bun, Cu Siau-bun, ingatlah, lambat atau cepat ada suatu hari tulang belulangmu tentu akan kuremukkan! Cu Siau-bun hanya ganda tertawa, Nanti saja kita bicara lagi apabila hari itu sudah tiba... Setelah itu ia berpaling kepada Ceng-ceng yang masih tercengang-cengang, Nona Bok, marilah kita pergi! Ceng-ceng seperti orang dibangunkan dari mimpi, serta merta ia mengikuti di belakang Cu Siau-bun yang berjalan keluar. Sementara itu Bok Sam-pi tampak seperti orang yang limbung. Dengan masih mencekal lengan Kongsun Bu-wi, ia tak berkata sepatahpun juga. Ia juga tak sejenakpun melihat pada cucunya. Ia berjalan seperti orang kehilangan semangat. Demikianlah kelima orang itu segera beriringan melintasi jalanan istana yang penuh liku-liku. Tok-ko Sing dan berpuluh-puluh pengawal baju hitam hanya mengawasi saja. Mereka tak berani bertindak apaapa, karena tahu ketuanya sudah dalam penguasaan. Tak lama kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Hek Gak. Siau-bun berseru kepada Bok Sampi, Bok Lo-cianpwe, kini sudah berada di luar istana. Boleh suruh mereka pulang! Hm, ya benar, kata-kata itu beralasan... sahut Bok Sam-pi seperti membeo saja. Segera ia melepaskan cekalan dan menyuruh Kongsun Bu-wi pergi. Tanpa disadari, Bok Sam-pi sudah dikuasai oleh Siau-bum. Ia menurut saja apa yang dikatakan nona itu. Kongsun Bu-wi menghamburkan napas untuk melonggarkan dadanya yang sesak dengan kemarahan. Setelah melirik buas ke arah Thian-leng , Siaubun dan Ceng-ceng, tanpa berkata apa-apa ia segera ayunkan tubuhnya melesat pergi. Setelah ketua Hek Gak itu lenyap, Siau-bun menghela napas lega. Ia segera keluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambil sebutir pil berwarna putih seperti salju. Lo-cianpwe, silakan minum! serunya. Bok Sam-pi tersentak kaget, Pil beracun? Dengan wajah bersungguh-sungguh, berkatalah Siau-bun, Karena lo-cianpwe tak beruntung kalah dengan aku, janganlah menghiraukan lagi pil ini obat beracun atau bukan, tetapi makanlah saja! Bok Sam-pi mengangguk-angguk, Benar, benar, kata-kata itu memang beralasan! Menyambut pil, terus ditelannya. Melihat itu Ceng-ceng mengucurkan air mata, ratapnya, Apakah kau benar-benar hendak meracuni kakekku! Sebenarnya kakek itu seorang baik. Adalah sejak menjadi Cong-houhwat dari Hek Gak, barulah ia berobah seperti orang limbung begitu! Siau-bun menjawab dengan ilmu menyusup suara. Kesemuanya itu telah kuketahui. Pil itu bukan pil beracun, tetapi pil penenang urat syaraf. Mudah-mudahan ia akan mendapatkan kesadaran pikirannya lagi! Silakan lo-cianpwe pulang kalau mau pulang, kata Siau-bun sesaat kemudian. Pulang? Bok Sam-pi gelagapan. Tiba-tiba ia duduk di tanah, ujarnya. Aku hendak menunggu kematian di sini! Siau-bun tak dapat menahan gelinya, Terserah kalau kau tahan menunggu di sini! Bok Sam-pi terbelalak, teriaknya, Apakah bekerjanya racunmu itu perlahan-lahan?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 154 dari 290

Mungkin sekitar 10 hari baru terasa! Sepuluh hari ? Bok Sam-pi mengerutkan dahi. Jika kepandaianmu memang tinggi sekali, mungkin dua puluh sampai tiga puluh hari baru bisa bekerja. Atau mungkin juga seumur hidup takkan bekerja! Bok Sam-pi menghela napas, Budak perempuan, kau sangat menyiksa diriku. Siau-bun ganda tertawa, Menurut pendapatku, lebih baik cianpwe pulang ke dalam istana lagi tentu lebih leluasa. Bok Sam-pi benar-benar seperti seekor ayam jago yang jinak! Dengan langkah berat dan menundukkan kepala ia melangkah kembali ke istana Hek Gak. Eh, mengapa adik Bun melepaskannya? Thian-leng terheran-heran. Penyakit apa yang sebenarnya diderita itu dalam waktu yang singkat tak mungkin kuketahui. Yang kuberikan padanya tadi hanyalah pil biasa. Dapat tidaknya pil itu menyembuhkannya, aku atk berani memastikan. Sesudah minum pil itu memang seharusnya ia beristirahat beberapa hari barulah terasa khasiatnya. Maka kurasa lebih baik kulepaskan pulang saja! Selanjutnya Siau-bun menerangkan bahwa apabila pikiran jago tua itu sudah pulih kembali, tanpa harus diberi petunjuk, tentu akan menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya selama ini. Dia tentu akan membuat perhitungan dengan Kongsun Bu-wi! kata Siau-bun. Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan nona itu. Tetapi bagaimana dengan mutiara Ban-lian-liong-cu itu...? Siau-bun merogoh ke dalam baju mengeluarkan kotak berisi mutiara itu. Apakah kau ingin melihat mutiara ini lagi! katanya. Memang aku tak percaya kalau adik rela menyerahkan mutiara itu kepadanya. Kupercaya mutiara itu tentu masih berada dalam tempatnya, bukan? Tentu, tetapi.... Siau-bun tertawa, sungguh berbahaya sekali pertunjukan tadi. Sekali mereka mengetahui permainanku itu, kita tentu akan menjalani hkuman ngeri! Tetapi memang benar-benar aku tak tahu permainan apa yang adik pertunjukkan tadi? Siau-bun tertawa geli, Sebenarnya jika kuterangkan tentu tak ada hal yang patut diherankan! Selain mustika Ban-lian-liong-cu itu, aku masih mempunyai sebutir mutiara yang serupa besar dan warnanya dengan Ban-lian-liong-cu itu. Pun kudapatnya juga berbarengan waktunya, hanya saja mutiara itu tak berharga sama sekali. Hanya bedanya yang asli itu licin dan yang palsu suram. Mustika yang licin kuberi minyak dan kupasang pada rambutku. Sekalipun Bok lo-cianpwe itu sakti tetapi dia sudah dibikin limbung pikirannya oleh ketua Hek Gak, sehingga tak dapat memperhatikan palsu tidaknya mustika itu. Pada saat kuterima Ban-lian-liong-cu dari tangan Bok lo-cianpwe, segera kutukar dengan mustika yang palsu. Maka sekali pijat saja hancurlah mutiara itu.....! Kini mengertilah Thian-leng mengapa Siau-bun dapat memijat hancur mutiara yang dikira Ban-lian-liongcu. Makin dalam rasa kagum dan hormat Thian-leng terhadap si nona yang dalam saat-saat menghadapi bencana maut dapat bersikap tenang sekali. Siau-bun lalu berkata kepada Bok Ceng-ceng, Adik Ceng, tahukah kau mengapa kubawa kau keluar dari istana Hek Gak.? Ceng-ceng mengangguk, Kini aku tahu apa sebab kakek tak menghiraukan diriku bahkan ada kala begitu membenci dan ingin membunuhku. Setelah terjadi peristiwa ini, ketua Hek Gak tentu akan benci padaku, kemungkinan besar tentu akan membereskan diriku... habis bekata dara itu segera berlutut di depan Siau-bun dan Thian-leng, ujarnya, Terimalah hormat dan terima kasihku atas pertolongan tuan berdua! Siau-bun buru-buru menilakan bangun, Jangan terlalu banyak peradatan, aku tak berani menerima kehormatan yang demikian besar. Sejenak dara itu melirik pada Thian-leng lalu menanyakan apakah hubungan antara Siau-bun dengan Thian-leng. Tiba-tiba Siau-bun mencopot kain kepalanya dan tersenyum, Adik Ceng, lihatlah, aku juga seorang anak perempuan seperti engkau!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 155 dari 290

Ceng-ceng memekik kaget dan terlongong-longong. Kita berjumpa dalam keadaan menderita kesusahan, berarti kita ini mempunyai jodoh, Siau-bun tertawa ramah, sekiranya adik tak menolak, aku ingin mengangkat saudara denganmu, entah.. Kalau taci tak menolak diriku, sungguh besar sekali rejekiku! Bok Ceng-ceng berteriak menukas. Begitulah maka kedua nona itu segera melakukan upacara sederhana mengangkat saudara. Siau-bun lebih tua setahun dari Ceng-ceng. Selanjutnya kedua nona itu berbahasa taci dan adik. Thian-leng memberi selamat kepada mereka. Perkenalan singkat yang berakhir dengan angkat saudara itu ternyata memuaskan kedua nona itu. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Tak putus-putusnya mereka saling menuturkan tentang riwayat hidupnya selama ini. Begitu uplek mereka bercakap-cakap sehingga Thian-leng seolah-olah tak diacuhkan Adik Ceng, apakah kau suka melakukan sebuah hal untukku? tanya Siau-bun. Ceng-ceng terbeliak, Mengapa taci begitu sungkan terhadapku? Silakan taci mengatakan, tentu akan kulakukan sekalipun harus menerjang lautan api! Siau-bun tertawa, Ah, urusan itu tak begitu menyeramkan! Aku hanya minta tolong supaya kau mengantarkan suratku kepada seorang keluarga yang sudah berpisah selama dua tahun! Di mana tempat tinggalnya? tanya Ceng-ceng. Siau-bun mendekat dan membisiki telinga adik angkatnya, Ceng-ceng mengangguk. Sampai berjumpa, ia mengambil selamat berpisah dan tanpa mengacuhkan Thian-leng, terus saja ia melangkah pergi. Thian-leng tercengang, tetapi ia tak mau bertanya. Siau-bun melirik tertawa, Aku mempunyai rencana supaya ia pergi. Kau takkan menyalahkan aku bukan? Ah, mengapa adik Bun mengatkan begitu. Aku selalu mengagumi apa yang kau lakukan, apalagi aku tak mempunyai hubungan apa-apa dengan nona itu! Fui, jangan berlagak. Masakah kau dapat melupakannya? olok Siau-bun. Diam-diam Thian-leng menghela napas. Ah, wanita, wanita. Masakah baru saja berkenalan sudah dicemburui. Kalau seorang nona yang berpandangan luas seperti Siau-bun masih dihinggapi perasaan begitu, apalagi nona-nona lainnya. Ah, aku hanya berolok-olok saja, mengapa kau begitu sungguh-sungguh? Siau-bun tertawa. Nona itu segera mengangsurkan sebuah benda. Ketika Thian-leng menyambuti, ia mengerang tertahan. Kiranya Giok-ti-tho atau peta Telaga Zamrud! Sebelum masuk ke dalam istana Hek Gak, peta itu diserahkan kepada Siau-bun. Maksudnya agar si nona jangan turut masuk ke dlam istana. Apabila dirinya sampai tertimpa musibah. peta itu tetap berada di tangan Siau-bun. Tetapi ternyata si nona nekat ikut. Kini badai telah berlalu. Mereka selamat dan peta pun kembali...... ooo0000oooo Lenyap tanpa bekas Terserah kau, kata Siau-bun ketika menjawab pertanyaan Thian-leng tentang tempat tujuan yang hendak mereka tempuh. Tetapi sekalipun mulut mengatakan begitu, nona itu sudah mendahului ayunkan langkah. Agak bingung rupanya Siau-bun mengenai tempat yang hendak dituju. Ada tempat yang ia merasa tak leluasa kalau mengajak pemuda itu. Ada pula tempat yang ia sendiri tak suka pergi. Dan yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang Lu Bu-song. Bagaimanakah ia nanti menghadapi dara itu apabila bersua kembali..... Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang merintih. Tidakkah adik Bun mendengar suara rintihan...?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 156 dari 290

Eh, kau ini bagaimana. Dengan ilmu Melihat langit-mendengar bumi, bukan saja mendengar jelas, akupun bahkan dapat melihatnya. Itu kan hanya seorang yang kebetulan lewat di sini merasa tak enak badan maka beristirahat di bawah pohon. Mengapa kita ribut-ribut? sahut Siau-bun. Thian-leng tersentak diam. Tetapi baru beberapa tombak jauhnya, ia melihat seorang tua bersandar pada sebatang pohon. Orang itu mendekap perutnya sambil merintih-rintih. Tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Siau-bun lagi, terus saja Thian-leng menghampiri tempat orang itu. Apakah lo-cianpwe sakit? Perlukah kubantu? tanyanya. Orang tua itu terus merintih-rintih. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak kuat lagi menyandar pada pohon. Buru-buru Thian-leng memapahnya, Lo-cianpwe, maukah kuajak ke kota terdekat mencari tabib? Tiba-tiba orang tua itu meronta dari pegangan si anak muda, Tak usah., penyakitku ini memang sering kumat, sebentar tentu sembuh! Thian-leng mengerutkan dahi. Ia merasa kasihan melihat seorang tua berpenyakitan berjalan seorang diri di malam buta. Tetapi ia terpaksa tak dapat memikirkan diri orang tua itu lebih lanjut, karena Siaubun tak mengacuhkan sama sekali dan tetap berjalan terus. Sebentar saja nona itu sudah belasan tombak jauhnya. Terima kasih.... atasperhatian ..tuan.. kepadaku si orang tua ini! kata si orang tua dengan suara lemah. Thian-leng hanya dapat menghela napas dan segera meninggalkan orang tua itu. Ternyata Siau-bun lambat sekali jalannya, seperti sengaja hendak menunggunya. Begitu si anak muda tiba, segera ia cebikan bibir dan menertawakannya, Uh, ternyata kau seorang manusia yang berhati mulia! Tak tahu Thian-leng bagaimana harus menanggapi ucapan si nona. Artinya seperti orang memuji tetapi nadanya sinis sekali. Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Angin terasa dingin. Sesaat kemudian Thian-leng menanyakan apakah si nona tidak dingin. Badan memang dingin, tetapi hatiku terasa hangat, Siau-bun memberi sebuah lirikan kepada pemuda itu. Gelora darah muda telah mendorong si nona menghampiri Thian-leng dan terus menjatuhkan diri di dada. Thian-leng terpaksa menyanggapi. Mereka berjalan sambil berpelukan. Fajar hampir tiba. Tiba-tiba Thian-leng menjerit kaget, Celaka! Mengapa? Siau-bun tersentak kaget. Wajah Thian-leng tampak pucat, suaranya terbata-bata, Pe.ta i.itu... ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena sibuk menggerayangi seluruh pakaiannya. Tenang, Siau-bun kerutkan dahi, katakanlah perlahan-lahan. Masih Thian-leng banting-banting kaki, Peta Telaga zamrut.... Apa? bagaimana dengan peta itu? Bukankah telah kau simpan dalam bajumu? Siau-bun gugup. Thian-leng menghela napas, Benar, tetapi sekarang tak ada lagi! Apa? Peta itu hilang? Siau-bun melonjak kaget. Tentu jatuh, mari kita balik mencarinya, seru Thian-leng. Demikianlah keduanya segera balik menyusur sepanjang jalan yang dilaluinya tadi. Kalau thian-leng mati-matian mengamat-amati setiap benda yang tampak menggeletak di jalan, tidak demikian dengan Siau-bun. Nona itu diam-diam sudah membatin. Ia tahu bahwa pencariannya itu tentu akan sia-sia. Tak mungkin sebuah peta pusaka yang sudah disimpan sedemikian hati-hati, dapat jatuh di jalan. Dan andaikata benar-benar jatuh, tentulah juga sudah ditiup angin. Kurang lebih dua jam lamanya mereka mencari, tetapi tetap tidak berhasil menemukan apa-apa. Saking jengkelnya Thian-leng hendak nekad mati. Siau-bun juga tak kurang gelisahnya. Kalau peta pusaka itu sampai jatuh di tangan orang Hek Gak atau Sin-bu Te-kun, hebatlah akibatnya. Tiba-tiba Siau-bun mebanting-banting kaki, Celaka, peta itu tidak jatuh tetapi terang dicuri orang! HA? Dicuri orang? Thian-leng tercengang. Sejak keluar dari istana Hek Gak, kita toh belum berjumpa dengan siapa-siapa. Apalagi peta itu kusimpan hati-hati di dalam bajuku, bagaimana bisa dicuri orang...
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 157 dari 290

ia berhenti seketika, seolah-olah seperti orang tersadar, Adik Bun maksudkan si orang tua berpenyakitan itu tadi? Siapa lagi kecuali dia! kata Siau-bun dengan nada berat. Thian-leng pucat. Kalau benar dicuri orang tua itu tentulah sukar mencarinya. Ia tak ingat lagi bagaimana potongan mukanya, kecuali hanya jenggot orang tua itu sudah putih, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, berpakaian seperti orang pertapaan. Tetapi siapa nama dan tempat tinggalnya, sama sekali tak diketahuinya. Jaraknya sudah berselang tiga jam, kemanakah harus mencarinya? Makin terang pikiran Thian-leng menyoroti diri orang tua itu lebih jauh. Jelas orang itu seorang kaum persilatan yang sengaja berpura-pura sakit. Ia kena dipancing mentah-mentah. Celaka! Jika orang itu kaki tangan Sin-bu Te-kun atau golongan jahat, bukankah ia berdosa terhadap Itbi siang-jin pencipta peta itu? Makin merenung makin kalaplah Thian-leng... Siau-bun menghela napas, Sekarang bukan saatnya mengeluh. Yang penting kita harus berdaya! Bagaimana caranya? Thian-leng menukas. Kalau begitu apakah kau hendak mati saja? Siau-bun menyentil tajam, putus asa berarti membunuh semua daya upaya! Kata-kata itu membuat Thian-leng tergerak. Ia membenarkan si nona. Sekalipun bunuh diri, urusan itu tetap tak tertolong. Akhirnya ia menanyakan pendapat si nona. Kata Siau-bun, Bahwa It-bi siangjin telah meninggal di gunung Thay-heng-san menyembunyikan kitab pusakanya, telah diketahui lama oleh orang persilatan! dengan

Thian-leng mengiyakan, Benar, tetapi Thay-heng-san demikian luasnya, apakah kita harus menggali tiap jengkal tanahnya! Kalau tidak sesukar itu, tentulah kitab itu tak berharga! Apakah tujuan orang yang mencuri peta itu? tiba-tiba Siau-bun menyeletuk. Sudah tentu hendak meyakinkan isinya! Kalau begitu, dia tentu akan menuju ke gunung Thay-heng-san.. Oh. Thian-leng mengerang. Masih ingatkah kau akan wajahnya? Hanya samar-samar, tetapi kalau berjumpa muka tentu dapat mengenalnya! Siau-bun menghela napas, Sekalipun tipis harapannya, tetapi tiada jalan lain! Jadi adik Bun Juga..... Sudah tentu aku pergi, ayo berangkat sekarang juga! oo000oo Liu-ke-cip merupakan sebuah kota kecil di kaki gunung Thay-heng-san. Perdagangan kota itu cukup ramai karena merupakan pusat lalu lintas keluar masuk gunung Thay-heng-san. Sepasang muda-mudi tampak berjalan perlahan-lahan memasuki Liu-ke-cip. Kecakapan si pemuda dan kecantikan si pemudi memikat orang-orang yang berada di jalan. Tetapi mereka tak menghiraukan perhatian orang-orang. Si pemuda tampak murung wajahnya, si pemudi bersikap diam. Mata si pemuda tak henti-hentinya berkeliaran memandang orang-orang yang ditemuinya. Tetapi selalu kecewa. Tiba-tiba seorang pengemis tua lewat di samping pemuda itu dan berhenti. Ketika pengemis itu melihat thong-pay (lencana tembaga) yang terpampang pada dada si pemuda, ia terbeliak kaget. Setelah memandang ke sekeliling, barulah pengemis itu mendekati si pemuda, bisiknya, Bolehkan aku bicara sebentar pada tuan? Gerak-gerik pengemis itu memang telah diperhatikan si pemuda. Si pemudipun serentak gunakan ilmu menyusup sura bertanya kepada kawannya, Apakah orang ini? Bukan, pemuda itu gelengkan kepala. Kemudian ia minta si pengemis menjelaskan semuanya. Pengemis tua tampak gelisah, ujarnya, Tetapi di sini kurang leluasa bicara, sebaiknya......

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 158 dari 290

Sejenak pemuda itu melirik ke arah si pemudi, lalu anggukkan kepala, Baiklah silakan menunjukkan tempatnya. Pengemis itu bersikap menghormat sekali. Ia segera berjalan lebih dahulu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di luar kota dan masuk ke dalam sebuah biara tua. Karena terlantar, biara itu menjadi pusat tempat tinggal kaum pengemis. Arca-arca dalam biara itu jungkir balik berserakan tak teratur. Sarang galagasi tampak di mana-mana, tetapi pada meja sembahyang terdapat sebuah lampu yang masih memancarkan cahaya redup. Katakanlah apa maksud bapak ini, kata si pemuda. Terlebih dahulu hamba mohon tanya nama tuan? jawab si pengemis dengan nada menghormat. Aku Bu-beng-jin, sahut si pemuda yang bukan lain ialah Thian-leng. Pengemis itu terbeliak, Lencana Kiu-pang tong pay yang Bu-beng siauhiap bawa itu, entah berasal dari mana? Jadi bapak membawa kami kemari ini, untuk urusan itu? tegur Thian-leng. Lencana yang tergantung pada lehernya itu adalah pemberian Thiat-ik-sin-kay ( pengemis sakti berbulu besi ) Auyang Beng. dia tak menaruh perhatian kepada benda itu, maka tanpa disadari digantungnya lencana itu pada lehernya. Sama sekali tak disangkanya bahwa benda itu telah menimbulkan perhatian pengemis tua itu. Seketika wajah pengemis tua itu berobah gelap, serunya, Ya, harap siauhiap.... Lencana ini pemberian seorang cianpwe. Jika bapak suka pada benda ini, ambillah... Tidak.. .tidak! pengemis tua itu tersipu-sipu menolak. Hamba tak berani mengambilnya.. tetapi sukalah siauhiap memberitahukan nama cianpwe itu? Orang she Auyang bernama Beng, Orang persilatan memberi gelar nama Thiat-ik-sin-kay. Kenalkah bapak padanya? Tiba-tiba pengemis itu bercucuran air mata dan serentak jatuhkan diri berlutut seraya berseru nyaring, Murid Kay-bun yang menjabat ketua Letong, yakni Lau Gik-siu menghaturkan hormat kepada ketua! Apa?.... jangan berolok-olok! Thian-leng berseru kaget. Pengemis tua itu tak menghiraukan jeritan si anak muda dan berseru dengan nada bengis, Ketua telah datang, mengapa kalian tak lekas-lekas memberi hormat! Terdengarlah suara pekik bergemuruh dan berpuluh-puluh pengmis tampak muncul dari balik ruang, mereka serempak berlutut di hadapan Thian-leng dan berseru, Kami sekalian menghaturkan hormat kepada ketua! Thian-leng bingung tak keruan. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi puluhan pengemis itu. Ia banting-banting kaki. Ah, wajiblah kuberi selamat padamu, ih, ternyata kau juga seorang ketua!Siau-bun tertawa ringan. Hai, mengapa kau juga memperolok diriku. Thian-leng makin kelabakan. Tiba-tiba ia ingat akan kecerdikan si nona. Ditatapnya nona itu dengan pandangan minta bantuan, Bagaimana nih, ia tertawa masam. Kan baik? Siau-bun tertawa Melihat si nona tetap berolok, segera Thian-leng menarik Lau Gik-siu bangun, bentaknya, Apa-apaan ini? Lekas terangkan yang jelas, atau aku segera tinggalkan tempat ini! Lau Gik-siu kembali menjura dengan hormat sekali, ujarnya.Apakah ketua tahu di mana berjumpa dengan Thiat-ik-sin-kay? Tolol, aku bukan ketua kalian. Aku tak peduli siapa itu Thiat-ik sin-kay! Tetapi sekarang kau adalah ketua kami! Lau Gik-siu berkata dengan yakin. Mengapa? Karena kau sudah menerima lencana Kiu-pang thong-pay dari kakek guru kami!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 159 dari 290

Kiu-pang-thong-pay Thiat-ik Sin-kay, aku tak peduli! Jika karena gara-gara lencana ini, sekarang aku kembalikan saja kepadamu! Thian-leng terus menarik lencana dari lehernya, diberikan kepada Lau Giksiu. Tiba-tiba Siau-bun menepuk bahu Thian-leng,Tak dapatkah kau menimbang lagi? Thian-leng menarik pulang tangannya. Dilihatnya nona itu memberinya sebuah lirikan yang memperbesar semangat. Rupanya nona itu tak menentang atas dijadikannya Thian-leng sebagai ketua partai pengemis. Akhirnya ia geleng-geleng kepala dan menghela napas. Gerutunya seorang diri, Mengapa nasibku penuh dnegan peristiwa-peristiwa aneh.... Eh, apa kau hendak membairkan mereka berlutut terus? tegur Siau-bun. Memang saat itu berpuluh-puluh pengemis masih berlutut di hadapannya. Terpaksa ia menyuruh mereka bangkit. Merekapun menurut dan berdiri di samping. Murid telah menerima berita rahasia yang dibawa burung. Kakek guru Thiat-ik-sin-kay menyuruh kami beramai-ramai menunggu di sini untuk menyambut kedatangan ketua baru. Ternyata hal itu benar. kata Lau Gik-siu. Apakah kedudukan Thiat-ik-sin-kay dalam partai kay-pang? buru-buru Thian-leng minta keterangan. Ahli waris dari angkatan yang dulu, tetapi kini menjadi kakek guru kaum kami! Lalu kemana ketuamu itu? Beberapa hari yang lalu telah menigngal dunia di bawah lambaian Panji Tengkorak Darah! Panji Tengkorak Darah? Ya, atau berarti mati di tangan Hun-tiong Sin-mo! Kaum jembel tersebar di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu besar, masakah tak dapat memeriksa berita yang palsu dan benar? Lau Gik-siu tertegun, Maksud nona...? Panji Tengkorak darah itu palsu! Siau-bun berseru pula dengan tegas. Palsu? Ya. Hanya bikinan dari orang Sin-bu-kiong belaka. Untuk mengelabui mata dunia persilatan. Dia memfitnah Hun-tiong Sin-mo agar dibenci oleh dunia. Kemudian dapatlah ia mengeduk keuntungan dari kekeruhan itu. Memang dia telah mainkan sebuah tipu muslihat yang luar biasa pintarnya! Seluruh mata pengemis ditumpahkan ke arah Thian-leng. Seolah-olah mereka hendak meminta tanggapan Thian-leng. Ya, memang benar! tanpa ragu-ragu Thian-leng serentak memberi pernyataan. Terdengar gemuruh sorak para pengemis, Mohon ketua suka memberi keputusan untuk membalaskan sakit hati mendiang pangcu! Tentu. tiba-tiba ia tertegun sejenak, atas kepercayaan Thiat-ik-sin-kay dan dukungan saudarasaudara sekalian, aku akan mencurahkan segenap tenaga untuk membalaskan sakit hati almarhum ketua kalian! Terdengar tempik sorak gegap gempita. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa Thian-leng sudah menerima pengangkatannya sebagai ketua Kaypang. Ternyata pengemis-pengemis yang berkumpul di situ adalah ketua-ketua daerah dari berbagai tempat. Atas petunjuk Thiat-ik-sin-kay, mereka berbondong-bondong menuju ke gunung Thay-heng-san menunggu kedatangan ketua baru. Tetapi perhitungan Thiat-ik-sin-kay itu meleset sedikit. Dia memperhitungkan di kala Thian-leng tiba di gunung Thay-heng-san itu tentu sudah memperoleh kitab pusaka dan harta karun. Siapa tahu ternyata peta itu telah hilang dan kedatangan Thian-leng hanyalah hendak menyelidiki jejak si orang tua yang telah mencuri peta. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, Anggota Kay-pang tersebar luas di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu luas sekali. Oleh karena kini kau telah menjadi ketua mereka,
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 160 dari 290

mengapa tak memberitahukan kehilangan peta itu kepada mereka dan memerintahkan mereka mencarinya? Thian-leng anggap pernyataan nona itu tepat. Segera ia menarik Lau Gik-siu ke samping dan membisikinya perlahan-lahan. Wajah Lau Gik-siu berobah membesi. Pengemis tua itu menganggukangguk, Murid segera akan menyebar pengumuman ke seluruh daerah. Begitu ada berita tentu akan segera memberi laporan pada pangcu.... Tetapi saat ini pangcu hendak pergi ke.....? Aku hendak menjelajahi gunung ini. Urusan partai yang penting-penting untuk sementara ini kaulah yang mengurusi. sahut Thian-leng. Serta-meta Lau Gik-siu mengiyakan. Ia berlutut di hadapan Thian-leng diikuti oleh berpuluh-puluh pimpinan cabang kay-pang di daerah-daerah. Memujikan pangcu selalu diberkahi keselamatan dalam perjalanan! Thian-leng tak tahu harus bertindak bagaimana menyambut penghormatan itu. Akhirnya ia mnyuruh mereka bangun, kemudian mengajak Siau-bun meninggalkan biara itu. Mereka hendak buru-buru mencapai puncak gunung untuk menikmati pemandangan matahari terbit. Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat ke dalam hutan. Gerakannya gesit sekali, pasti seorang tokoh persilatan. Adik Bun, tolong gunakan ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi. Hanya karena seorang ya-heng-jin ( orang persilatan yang berjalan tengah malam) lantas menggunakan ilmu tersebut, sungguh keterlaluan. Tetapi kata-katanya itu terputus oleh terdengarnya jeritan ngeri menyayat hati yang berasal dari arah hutan. Itulah jerit pembunuhan! Cepat sekali Thian-leng segera ajak Siau-bun. Bahkan ia sudah mendahului loncat menuju ke dalam hutan. Begitu tiba, hidungnya mencium bau darah.. Jangan kesusu! Hati-hati terhadap perangkap orang! Siau-bun memberi peringatan dengan ilmu menyusup suara. Thian-leng mencabut pedang dan berjalan dengan hati-hati. Apa yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri. Di tengah hutan situ tampak belasan mayat berserakan mengerikan. Hampir Thian-leng muntah karena tak tahan baunya. Mayat-mayat itu tak utuh, tangan, kaki, lengan, paha, badan dan kepala mereka hancur lebur, ada yang terpisah badan. Usus dan otak berhamburan keluar. Ya, pendeknya mayatmayat itu seperti dicincang-cincang sehingga tak dapat dikenali lagi. Tiba-tiba Thian-leng melihat ada seorang yang sekalipun tubuhnya sudah tak keruan tapi dadanya masih berkembang kempis tanda masih bernapas. Buru-buru dihampirinya orang itu. Seorang muda yang cakap. Keadaannya payah sekali, tetapi ia masih dapat paksakan dirinya brseru, Di muka puncak Co-gan-hong..! Habis mengucapkan, orang itu pingsan tak ingat diri lagi. Thian-leng menempelkan tangannya ke perut orang itu. Ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong. Tak berapa lama orang itupun dapat menghela napas lagi. Apa maksudmu tadi? tegur Thian-leng. Dengan susah payah, orang itu berkata, Pertempuran besar segera terjadi. Ketua kami di kurung oleh beberapa orang tak dikenallekas.lekas bantu! Thian-leng tercengang. Ia berpaling kepada Siau-bun. Nona itupun tampak mengerutkan dahi. Thianleng menyalurkan tenaga dalamnya lagi kepada orang itu. Setelah orang itu sadar lagi, buru-buru ditanyanya, Siapakah mayat-mayat ini. Siapa yang membunuhnya? Orang-orang partaiku.... Apa partai perguruanmu itu? tanya Thian-leng. Orang itu sudah tak kuat lagi, namun hatinya keras sekali. Dengan seluruh sisa tenaganya, ia membuka mata dan memandang Thian-leng. Thian-leng tak tahu apakah orang itu dapat melihatnya jelas, tetapi yang jelas ia mendengar mulut orang itu mengucapkan beberapa patah kata lemah, Tiam...jong.....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 161 dari 290

Tiam-jong? tiba-tiba Siau-bun melonjak kaget. Demikian pula Thian-lengpun tak kurang kagetnya. Teringat ia akan si Jenggot Perak ketua Thiat-hiat-bun yang mengundang sekalian orang gagah datang ke gunung Tiam-jong-san. Teringat juga betapa ketua Sin-bu-kiong telah menyatakan bahwa dalam tiga hari nanti ia akan ngeluruk ke Tiam-jong-san. Dan saat ini anak buah Tiam-jong-pay telah dibunuh musuh yang tak dikenal dan ketua merekapun telah dikurung oleh orang! Thian-leng meminta penjelasan lagi, tapi ternyata orang itu sudah putus nyawanya...... Wajah Siau-bun berobah pucat sekali. Jelas bahwa ia sangat dipengaruhi oleh kejadian saat itu. Buruburu ia mengajak Thian-leng, Ayo, cepat ke Co-gan-hong! Di manakah letak puncak itu? tanya Thian-leng. Masakah kau lupa akan ilmuku Melihat-langit-mendengar-bumi.. dan tanpa menunggu jawaban si anak muda lagi, Siau-bun terus lari mendahului. Tampaknya Siau-bun paham sekali akan jalan di gunung itu. Kira-kira berlari satu li, tampak sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit. Tentu puncak Co-gan-hong, kata Siau-bun. Thian-leng melihat puncak itu penuh dengan lereng dan tebing yang curam, tetapi tak tampak barang seorangpun di sana. Siau-bun membaringkan diri memasang telinga. Bagaimana? tanya Thian-leng. Siau-bun mengerutkan dahi, Aneh, seluas limapuluhan tombak tak terdengar suara orang! Tetapi ucapannya itu terputus oleh suara tertawa nyaring bernada sinis. Siau-bun dan Thian-leng tersentak kaget. Orang itu muncul tanpa suara sama sekali. Dan serentak dengan tertawa itu, orangnya pun terdengar berseru mengejek, Oho, jangan-jangan ilmumu Melihat langit mendengar bumi tak mempan lagi! Kedua muda mudi itu cepat memutar ke arah datangnya suara. Ah, seorang lelaki bertubuh kurus pendek dalam pakaian merah yang berlapis mantel biru. Dia memelihara jenggot kambing. Sin-bu Te-kun! Thian-leng segera meraba pedangnya. Ia siap sedia menghadapi momok itu. Namun Sin-bu Te-kun hanya ganda tertawa, Buyung, apakah hal yang paling dihormati kaum persilatan? Thian-leng malu dan marah sekali. Tahulah ia di mana jatuhnya perkataan orang. Seketika merah padamlah air mukanya..... oooo00000oooo Empat Serangkai Siau-bun tertawa hina, Baiklah aku mewakilinya berbicara. Yang paling dihormati kaum persilatan ialah kepercayaan dan kebajikan. Benar tidak? Sin-bu Te-kun tertegun. Matanya berkilat-kilat menyapu si nona. Pada lain kilas ia tertawa membatu, Nona seorang yang tangkas bicara, tak kecewa menjadi ratu kembang, pendekar wanita. Ah, jangan kelewat memuji Tiba-tiba Sin-bu Te-kun alihkan pandangan ke arah Thian-leng, Buyung, eh, Bu-beng-tay-hiap, setujukah kau dengan kata-kata nona tadi? Wajah Thian-leng membesi. Rasa malu bercampur marah membuatnya tak dapat bicara. Bu-beng-tay-hiap tak suka menerima budi orang, anggaplah aku yang mewakilinya bicara! Siau-bun tertawa tawar. Akan kudengarkan dengan khidmat! ejek Sin-bu Te-kun. Sejenak Siau-bun melirik Thian-leng lalu berkata dengan tenang, Bukan saja menjunjung kepercayaan dan kebajikan, Bu-beng-tay-hiap pun paling konsekwen melaksanakan kedua hal itu! Sin-bu Te-kun mendelikkan mata kepada Thian-leng. Tiba-tiba ia tertawa nyaring. Seketika berhamburan dering ringkik bagai petir menyambar anak telinga. Kumandangnya menggelegar ke seluruh lembah..
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 162 dari 290

Setan tua, pertandingan seratus jurus itu hanya tipu muslihatmu belaka.! tiba-tiba Thian-leng membentaknya. Taruh kata benar suatu tipu muslihat, mengapa kau sampai kena tertipu? Apakah kau seorang anak kecil atau kau menyesal sekarang? Sin-bu Te-kun tertawa hina. Apakah aku menyatakan menyesal? Seorang lelaki sekali berkata tentu tak mau menjilatnya lagi. Apalagi aku sudah bersumpah kepada langit. Kalau begitu, sepuluh jurus yang terakhir.? Kau sudah sedia melanjutkan ? Thian-leng menjamah pedangnya. Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Ia lingkarkan jari telunjuknya ke arah tanah dan terbentuklah sebuah lingkaran di tanah. Tubuhnya yang kecil kurus berada di tengah lingkaran. Aku sudah siap! Diam-diam Thian-leng telah mengambil keputusan. Jika dalam sembilan jurus ia tak berhasil merebut kemenangan, maka satu jurus terakhir akan digunakan untuk membunuh diri. Betapapun halnya, ia tak sudi jatuh ke tangan Sin-bu Te-kun. Tiba-tiba terdengar suara Sin-bu Te-kun dalam ilmu menyusup suara, melengking di telinga Thian-leng, Buyung, hendak kugunakan sepuluh jurus ilmu silat yang paling sakti untuk menghindari seranganmu. Harap kau perhatikan dengan seksama. Mungkin di kemudian hari akan banyak berguna padamu! Thian-leng tergerak hatinya. Teringat ia ketika melakukan pertempuran sembilan puluh jurus dengan Sin-bu Te-kun tempo hari. Banyak sekali ilmu pelajaran silat yang aneh dan sakti telah didapatnya dari raja Sin-bu-kiong itu. Dan ketika berada dalam penjara Cui-lo, Nyo Sam-kui berpesan dengan wantiwanti agar ia suka melatih ilmu pelajaran dari Sin-bu Te-kun itu. Dan kini kembali Sin-bu Te-kun menyuruh ia memperhatikan jurus-jurusnya. Jelas bahwa momok itu sengaja hendak menurunkan pelajaran padanya. Ah, sungguh aneh! Tiba-tiba ia teringat bagaimana Lu Bu-song memutuskan perundingannya dengan Sin-bu Te-kun untuk menetapkan perjanjian seratus jurus pertempuran itu. Apakah Sin-bu Te-kun benar-benar bermaksud hendak mengambilnya sebagai ahli waris? Ah, tidak, tidak Ayo, mulailah buyung! tiba-tiba Sin-bu Te-kun membentaknya. Thian-leng tersentak kaget dari lamunan. Ternyata walapun tangan sudah menjamah pedang, tetapi tak segera dicabut. Cepat ia mencabut pedang dan segera hendak menyerang. Tetapi secepat itu juga Siau-bun membentaknya perlahan. Hai, perlu apa kau turut campur? bentak Sin-bu Te-kun dengan murka. Siau-bun tersenyum, Memang tak ada hubungan apa-apa. Aku tak mau merintangi kalian melanjutkan pertempuran, tetapi aku perlu memperingatkan dulu pada Bu-beng-tay-hiap! Thian-leng tertegun, serunya kemudian, Seorang lelaki tak serakah hidup, tak gentar mati. Karena aku sudah terlanjur berjanji, maka tak ada jalan lain kecuali harus menempurnya. Jika gagal kematianlah yang menjadi bagianku. Tak nanti aku sudi jatuh ke tangan setan tua itu! Siau-bun gelengkan kepala, Justru hal itu yang hendak kuingatkan kepadamu. Sekalipun kau sudah bertekad begitu, tetap kau tak kenal siapa lawanmu itu. Sekali sudah menghendaki mengambil kau sebagai murid, maukah ia membiarkan kau bunuh diri? Nona itu berpaling kepada Sin-bu Te-kun, Maaf karena menelanjangi rencanamu. Kau tentu tahu ia tak sudi menjadi muridmu dan akan bunuh diri. Tetapi dengan kepandaianmu kau pasti dapat mencegahnya. Dengan selesainya pertandingan seratus jurus itu, tentu kau yakin dia akan menurut perintahmu. Thian-leng tersentuh hatinya. Diam-diam ia mengakui ucapan si nona itu memang benar. Memang mudah sekali bagi Sin-bu te-kun hendak mencegah ia bunuh diri. Dalam pada itu tampak Sin-bu Te-kun marah sekali, serunya mengekeh, Anggaplah ucapanmu itu benar, lalu bagaimana ia melirik tajam kepada Thian-leng, serunya, Apakah kau hendak membatalkan pertandinagn ini?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 163 dari 290

Thian-leng terpaku tak dapat bicara. Siau-bun tertawa mengejek, Kau mau menghabiskan urusan ini atau tidak, Bu-beng-tay-hiap kelak tetap akan mencarimu untuk membikin perhitungan . Tergerak sekali semangat Thian-leng mendengar ucapan itu. Dia telah menyanggupi Oh-se Gong-mo untuk menuntut balas pada Song-bun-kui-mo atau Sin-bu Te-kun sekarang. Tetapi ia kalah sakti dengan musuh itu dan kini masuk ke dalam perangkapnya. Tidak hidup juga tidak mati. He, he Sin-bu te-kun mengekeh tertawa, Ucapan nona memang tepat sekali, lalu. Sisa pertandingan ini diundur lagi sampai lain waktu! Siau-bun cepat menanggapi. Thian-leng terkesiap. Tempo hari Lu Bu-song pun mencegah diteruskannya sisa sepuluh jurus itu. Sekarang Siau-bun pun demikian. Sin-bu te-kun marah sekali, Seharusnya pertandingan seratus jurus itu diselesaikan pada saat itu juga. Toh sudah diundur sekali, rasanya sukar untuk menundanya lagi..... cepat ia berpaling kepada Thianleng dan berseru menantang, Hai, Bu-beng-tay-hiap, mengapa tak segera menyerang? Merah padam muka Thian-leng tetapi segera ia menyahut lantang, Saat ini aku tak mempunyai selera bertempur, maka harus.... Toh baru diundur satu kali masakah tak boleh sekali lagi.... Siau-bun tertawa. Salahmu Siau-bun. mengapa kau lalai pada waktu permulaannnya! kata Sin-bu Te-kun kepada

Dalam sumpah, tak diterangkan bahwa pertandingan harus diselesaikan dalam satu saat. Tak disebutkan pula kalau hanya boleh diundur satu kali! sahut Siau-bun. Marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Ia tertawa meringkik, Kalau begitu, jangan salahkan aku seorang yang ganas Mau apa kau? tegur Siau-bun. Sin-bu Te-kun mendesah. Akan kucincang tubuhmu lebih dahulu, baru nanti kulanjutkan pertempuran dengan budak itu! Siau-bun tertawa nyaring. Oh, jadi kau hendak bertempur melawan aku! Terhadap seorang budak perempuan seperti kau, tak perlu menggunakan kata-kata bertempur. Jika mau membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku ini! seru Sin-bu Te-kun dan tanpa tampak bergerak, tiba-tiba ia sudah melesat ke hadapan Siau-bun. Kelima jari tangannya segera dicakarkan. Bukan main terkejutnya Thian-leng. Sekalipun ia tahu kepandaiannya kalah jauh dengan Sin-bu Te-kun, namun untuk menolong Siau-bun ia tak segan mengadu jiwa. Dengan sepenuh tenaga ia siapkan Luihwe-sin-ciang dengan tangan kiri, sedang tangan kanan siap mencabut pedang. Tetapi anehnya Siau-bun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tak mengacuhkan Sin-bu Tekun. Nona itu tertawa hambar, Sayang saat ini aku tak gembira bertempur dengan engkau. Apalagi kuperhitungkan kau tentu tak berani membunuhku! Kata-kata gagah itu membuat Sin-bu Te-kun tertegun, serunya geram,Kau sudah yakin? Bagaimana kau tahu aku akan memberi ampun kepadamu? Siapa sudi menerima pengampunanmu? Aku hanya mengatakan bahwa pada saat ini kau tentu tak berani membunuhku! kata Siau-bun. Ucapan nona itu ditutup dengan menaburkan tangannya ke udara. Seutas sinar merah segera menghambur. Cepat sekali Sin-bu Te-kun sudah menyambut benda yang dilontarkan si nona itu. Hanya yang jelas benda itu bukanlah sejenis senjata rahasia. Tetapi untuk keheranannya begitu memeriksa benda itu terbeliak mata Sin-bu Te-kun.. Kau ternyata...... mulutnya terbuka. Thian-leng tak dapat mendengar apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun lebih jauh, karena pada saat itu juga Siau-bun segera mengajaknya pergi, Jangan lupa tujuan kita, ayo kita berangkat!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 164 dari 290

Sekalipun menurut ajakan si nona, namun Thian-leng tak mau tinggalkan kewaspadaan. Ia terus memandang lekat-lekat kepada Sin-bu Te-kun sembari melangkah mundur. Aneh sekali Sin-bu Te-kun sama sekali tak merintanginya. Tiba-tiba raja Sin-bu-kiong itu berseru sinis, Kasih tahu pada ibumu, keputusanku untuk menguasai dunia persilatan sudah lenyap! Jika dia mau bekerja sama, tentu kubagi rata kedudukan itu, tetapi kalau tidak..... Thian-leng hanya samar-samar menangkap arti kata-kata itu, tapi ia tak sempat merenungkan lebih jauh karena ia sudah diseret sampai tujuh delapan tombak jauhnya oleh Siau-bun. Apakah yang kau lemparkan tadi sehingga membuat ia...... ia hendak minta keterangan. Saat ini kita berada dalam kepungan orang Sin-bu-kiong, Siau-bun memutus, iblis tua itu setiap saat dapat berobah haluan. Lebih baik kita lekas pergi dari sini! Thian-leng terpaksa menurut. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah tiba di dalam sebuah hutan di kaki gunung. Suasana malam sunyi sekali. Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara,Tempat ini tampaknya sunyi senyap, tetapi sebenarnya penuh dengan naga dan harimau! Diajaknya Thian-leng bersembunyi di sebuah gerumbulan pohon. Diam-diam Thian-leng heran mengapa ia tak melihat barang seorangpun manusia. Apakah tempat ini benar Co-gan-hong? tanyanya. Siau-bun mengiyakan. Katanya ketua Tiam-jong-pay dikepung di sini, tetapi mengapa sepi-sepi saja, apakah. Memang seperti orang Sin-bu-kiong yang mengepung, tetapi kurasa pertempuran ini tidak terbatas hanya antara Tiam-jong-pay dengan Sin-bu-kiong saja.. Oo, masih ada lain partay Tunggu saja sebentar lagi! Thian-leng tak habis herannya. Banyak nian keanehan yang dijumpainya. Tiba-tiba dari dalam hutan muncul lima sosok bayangan hitam. Gerakan mereka gesit sekali, tentulah jago-jago silat yang sakti. Karena mencurahkan pandangannya kepada Sin-bu Te-kun, maka Thian-leng tak dapat melihat jelas kelima bayangan itu. Ia menanyakannya kepada Siau-bun. Akupun tak tahu golongan mana mereka itu, jawab Siau-bun, tetapi yang jelas di hutan ini penuh tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru dunia.... Mengapa aku tak dengar apa-apa? Apakah karena kau menggunakan ilmu Melihat-langit-mendengar bumi.. Tetapi sampai saat inipun aku tak mendengar apa-apa, sahut Siau-bun, ini membuktikan mereka itu memiliki kepandaian sakti. Dan lagi karena terhalang lamping gunung, sehingga tak mudah tertangkap suaranya. Bagaimana, apa sudah kedengaran apa-apa? tanya Thian-leng sesaat kemudian. Sekeliling penjuru ini penuh dengan orang. Entah apakah yang mereka tunggu, kata Siau-bun, Celaka, kedatangan kita mungkin sudah diketahui, lebih baik.. Belum selesai ucapannya, tiba-tiba kelima sosok bayangan tadi melesat keluar dari hutan. rupanya mereka bertemu rintangan. Sahabat manakah yang di depan itu? salah seorang berseru dengan nada berat. Terdengar suara sahutan disertai tawa dingin, Mengapa bukan kau yang melapor dirimu terlebih dahulu? Kelima orang itu terbeliak. Orang yang berseru tadi kembali berseru pula, Kami adalah orang Sin-bukiong, mohon tanya siapa saudara? Thiat-hiat-bun! sahut suara itu. Kelima orang itu mengeluh kaget dan menyurut langkah, Thiat-hiat-bun sudah datang?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 165 dari 290

Sebagai jawaban, sebuah pukulan dilayangkan. Kelima orang itu sama sekali tak menyangka. Mereka menangkis kalang kabut, namun tetap harus terhuyung-huyung beberapa langkah. Pukulan orang Thiathiat-bun itu keras sekali. Ha,ha, ha,, murid-murid Sin-bu-kiong hanya gentong kosong semua. Masakah dengan kepandaian begitu berani unjuk muka di sini? orang Thiat-hiat-bun itu tertawa mengejek. Thian-leng dan Siau-bun terkejut girang. Buru-buru mereka mencuri lihat. Di sebelah sana tampak kelima orang Sin-bu-kiong itu tengah berhadapan dengan seorang lawan yang menyebut dirinya Thiathiat-bun. Dia seorang tua dalam jubah pertapaan. Sikapnya berwibawa. Tiba-tiba dari dalam hutan melesat keluar lagi tiga orang yang menggabung di sebelah orang tua itu. Salah seorang segera menegur rombongan orang Sin-bu-kiong. Di mana Poh-ih-siu Li ciangbun sekarang? Setelah menenangkan diri, kelima orang Sin-bu-kiong itu segera menyahut. Sayang kalian datang terlambat. Dia sudah menyerah! Marah sekali keempat orang Thiat-hiat-bun itu. Serempak mereka membentak seraya menghantam, Kalau begitu kamu harus mengganti jiwa! Seorang Thiat-hiat-bun saja sudah cukup ngeri, apalagi empat orang. Kelima orang Sin-bu-kiong mundur seraya memberi isyarat tangan, Tahan dulu! Keempat orang Thiat-hiat-bun itu hentikan pukulannya, Lekas bilang! Mohon tanya nama saudara-saudara? Orang Thiat-hiat-bun tertawa, Pernahkah kamu dengar tentang Thiat-hiat Su-kiat? Thiat-hiat Su-kiat? kelima orang Sin-bu-kiong menjerit kaget dan buru-buru hendak melarikan diri. Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat pahlawan partai Thiat-hiat-bun. Tetapi Thiat-hiat Su-kiat bergerak secepat kilat. Terdengar deru angin bagai gunung roboh menyambar kelima orang itu. Orang Sin-bu-kiong pun terpaksa mengadakan perlawan. Mereka sebenarnya juga jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong. Tetapi terhadap keempat Su-kiat, jauhlah kepandaiannya. Dalam waktu singkat, kelima orang Sin-bu-kiong itupun tercancam maut. Tiba-tiba sesosok bayangan merah melesat. Seorang tua bertubuh kecil kurus melayang dari udara dan menangkis serangan keempat Su-kiat. Bum.terdengarlah letusan dahsyat dan debu berhamburan. Keempat Su-kiat itu tersentak kaget. Mereka dapatkan selain luar biasa kuatnya, tenaga pukulan orang tua pendek itupun mengandung tenaga Imhan ( dingin ), yang menusuk sampai ke tulang, sehingga menyurutkan tenaga keempat Su-kiat sampai beberapa bagian. Penyurutan tenaga itu membuat kudakuda kaki mereka tergempur mundur beberapa langkah. Pendatang baru itu bukan lain Sin-bu Te-kun sendiri. Tetapi dia juga tak terlepas dari rasa kaget. Sejak mempelajari ilmu kesaktian dari kitab Im-hu-po-tian, ia anggap dirinya tiada yang menandingi lagi. Tetapi diam-diam ia masih kuatir terhadap partai Thiat-hiat-bun. Peristiwa si jenggot Perak Lu Liang-ong mengacau istana Sin-bu-kiong belum cukup meyakinkan Sin-bu Te-kun tentang kepandaian orang Thiat-hiat-bun. Dia belum bertempur resmi dengan ketua Thiat-hiatbun. Bahwa ternyata keempat Thiat-hiat Su-kiat yang tentunya lebih rendah kepandaiannya dari ketua Thiat-hiat-bun, mampu menahan pukulannya dan bahkan adu pukulan itu membuat darahnya bergolakgolak, benar-benar membuat Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang. Seketika berkobarlah nafsu membunuh dalam hatinya. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam dan berdiri tegak. Begitu keempat Su-kiat maju menyerang, hendak ia sambut dengan pukulan Hiam-imciang yang ganas sekali. Thiat-hiat Su-kiat pun termangu heran. Mereka diperintahkan oleh ketua Thiat-hiat-bun untuk menolong Lu Bu-song yang ditawan dalam penjara istana Sin-bu-kiong. Memang telah diketahui bahwa istana Sinbu-kiong itu penuh dengan naga dan harimau, juga ketua Sin-bu-kiong itu memiliki kepandaian yang tiada taranya. Tetapi mereka tak sampai membayangkan kalau raja Sin-bu-kiong itu ternyata sedemikian saktinya. Tenaga pukulan mereka berempat dapat ditolak mundur olehnya. Namun keempat Su-kiat itu juga tokoh-tokoh kenamaan. Setelah saling memberi isyarat, mereka serempak maju memukul.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 166 dari 290

Tahan! sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari udara. oo000oo Bahasa Singa dan Naga Bentakan itu bagaikan petir menyambar pecah anak telinga. Sin-bu Te-kun terkejut juga. Sedang keempat Su-kiat mundur beberapa langkah. Seorang tua bertubuh kokoh kekar dengan jenggot berkelap-kelip seperti perak melayang turun dari udara. Dia tegak di tengah-tengah kedua pihak yang hendak bertempur. Girang Thian-leng bukan kepalang. Itulah si Jenggot Perak Lu Liang-ong , ketua Thiat-hiat-bun. Adu tenaga yang tadi sudah cukup! jago Thiat-hiat-bun itu tertawa meloroh. Ia mengurut-urut jenggot dan menatap Sin-bu Te-kun. Cukuplah kiranya kau menikmati rasanya orang Thiat-hiat-bun! Wajah Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya dengan geram. Lu tua, jangan terlalu menghina orang! Ia menengadah sambil bersuit panjang. Nadanya aneh dan seram. Begitu berhenti bersuit, tiba-tiba muncullah serombongan orang Sin-bu-kiong, antara lain Co sucia dan Yu sucia. Kepala Cong houhwat yang baru dan berpuluh-puluh pengawal baju ungu. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun. Aha, apakah semua kochiu Sin-bu-kiong sudah lengkap? Jenggot perak tertawa. Sahut Sin-bu Te-kun sinis, Lengkap atau tidak, tetapi rasanya cukup sudah untuk menghadapi Thiathiat-bun! Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, Kukuatir kau salah hitung tiba-tiba ia bertepuk tangan. Seketika dari dalam hutan samping berbondong-bondong muncul puluhan orang Thiat-hiat-bun. Di antaranya terdapat juga ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiatbun. Thian-kong dan Te-sat merupakan kedudukan yang tinggi dalam partai Thiat-hiat-bun. Ke tiga puluh enam Thian-kong itu mengenakan pakaian ringkas warna biru dan ke tujuh puluh dua tokoh Te-sat berpakaian kuning. Masing-masing bersabuk kong-pian atau ruyung emas seperti cemeti. Sin-bu Te-kun terbelalak, serunya, Lu tua, kiranya kau merencanakan hendak menancapkan kaki di Tiong-goan ! Jenggot perak tertawa datar. Daerah di Lam-hong sudah cukup luas, perlu apa aku menginginkan daerah Tiong-goan lagi Kalau tidak bermaksud begitu, mengapa jauh-jauh datang kemari dengan membawa seluruh anak buahmu? Bukankah hendak memusuhi pihak Sin-bu-kiong? tukas Sin-bu Te-kun. Jenggot perak tertawa nyaring, Telah kukatakan bahwa aku ingin pesiar menikmati pemandangan alam di sini. Kalau kau katakan memusuhi pihak Sin-bu-kiong, mungkin itu hanya kebetulan saja. Bagaimana kau katakan kebetulan saja? Kebetulan karena mengetahui perbuatan-perbuatan Sin-bu-kiong yang melampaui batas hendak menguasai dunia persilatan. Aku si orang tua merasa gatal. Inilah yang kumaksud dengan secara kebetulan itu! Rambut Sin-bu Te-kun menjinggrak. Mulutnya memekik makian, Lu tua yang licik! Terang kau hendak menancapkan kaki di Tiong-goan, sebaliknya malah menuduh pihakku yang salah! Ia berhenti sejenak, serunya pula, Bukankah kau hendak ke Tiam-jong-san? Mengapa datang ke Thay-heng-san sini? Jenggot perak tertawa keras, Pertanyaan itu seharusnya kuajukan kepadamu. Bukankah kau hendak membalas sakit hati ke Tiam-jong-san? Mengapa kau datang kemari? Aku mengejar jejak ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong. Kini dia sudah kutawan dan hendak kutuntut dosanya mengapa berani membunuh orang Sin-bu-kiong! Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa tenang. Akupun kemari karena hendak membebaskan ketua Tiamjong-pay itu. Jika tak kau bebaskan, jangan harap ada seorangpun Sin-bu-kiong yang dapat meninggalkan tempat ini!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 167 dari 290

Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa sekeras-kerasnya. Lu tua, terlebih dahulu aku hendak minta penjelasan padamu! Silakan! Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong itu pernah apa dengan engkau? Mengapa kau begitu ngotot hendak melindunginya? Jenggot perak tertegun. Sampai beberapa saat barulah ia menjawab. Telah kukatakan tadi bahwa aku bertindak semata-mata demi keadilan. Apalagi aku hendak meminjam markas Tiam-jong-san untuk menjamu sekalian orang gagah di Tiong-goan. Sudah tentu tak dapat kubiarkan tuan rumah dicelakai orang lain! Huh, belangmu telah kuketahui sejak semula. Perlukah kukatakan sejelas-jelasnya? ejek Sin-bu Tekun tajam. Lu Liang-ong tertegun. Ditatapnya Sin-bu Te-kun tajam-tajam. Sin-bu Te-kun melanjutkan ucapannya dengan riang, Siapakah ketua Tiam-jong-pay itu? Oh, tak lain tak bukan anak asuh Thiat-hiat-bun, putera angkat Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun! Tiga tahun yang lalu ia diselundupkan ke Tiong-goan, masuk ke dalam partai Tiam-jong-pay. Setahun lalu berhasillah dia diangkat sebagai ketua Tiam-jong-pay. Benar tidak? Jenggot perak mengangguk, Apa yang benar takkan kusangkal. Kau memiliki sumber berita yang hebat! Sin-bu Te-kun tertawa gembira,Pengakuanmu merupakan bukti yang tak dapat dibantah lagi. Lebih dahulu kau suruh muridmu merebut kedudukan salah sebuah partai besar Tiong-goan, kemudian menjadikan Tiam-jong-san sebagai markas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Jelas bukan? Di luar dugaan Jenggot Perak tertawa dan menghela napas longgar. Diam-diam ia girang karena yang diketahui Sin-bu Te-kun hanyalah sampai di situ saja. Apakah tuduhanmu itu benar atau tidak, aku takkan mewajibkan diriku untuk membantahnya. ia berhenti sejenak lalu berkata pula. Sekarang kita selesaikan dulu persoalan ini. Jika kau mau percaya padaku, hapuslah permusuhan dengan persahabatan. Kelak dalam perjamuan para orang gagah di Tiam-jong-pay, akan kubantu engkau untuk mencapai kedudukan ketua dunia persilatan Tionggoan! Ooo, Lu tua, betapapun lincah lidahmu, tak nanti aku jatuh ke dalam perrangkapmu lagi! dengus Sinbu Te-kun. Jadi kau menghendaki kekerasan? Sebenarnya tidak! sahut Sin-bu Te-kun, asal kau segera ajak anak buahmu pulang ke Lam-hong, akupun takkan memusuhi Thiat-hiat-bun lagi! Jika aku keberatan? Terpaksa kita selesaikan dengan pedang! Jenggot perak tertegun. Tiba-tiba ia tertawa, Oho, makanya kau begitu bernyali besar. Kiranya sahabatmu datang juga! Berbareng dengan ucapan itu muncullah serombongan orang. Pemimpinnya seorang bungkuk, kakinya pincang dan lengan buntung, tetapi gerakannya lincah sekali. Ia tertawa mengekeh tak jauh dari tempat Sin-bu Te-kun. Pemilik Hek Gak, Kongsun Bu-wi! Dia datang bersama puluhan su-cia Hek Gak. tetapi yang paling mengejutkan orang ialah ikut sertanya Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi! Di tempat persembunyiannya, Thian-leng tegang sekali. Ia tahu sampai di mana kesaktian Bok Sam-pi. Ngeri ia membayangkan bagaimana akibatnya kalau Jenggot Perak Lu Liang-ong sampai kena diadu dengan Bok Sam-pi Ketua Hek Gak tertawa tajam, Maaf, maaf, aku datang terlambat! Kalau mataku si orang tua ini tak salah lihat, kaulah yang datang paling pagi di sini. Hanya saja kau tak mau unjuk diri, melainkan bersembunyi dulu. Jenggot perak tertawa.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 168 dari 290

Merah padam wajah ketua Hek Gak, serunya, Jangan jual ketuaanmu di sini! Setiap berkata tentu tak lupa menyebut aku si orang tua! Kau hendak menakut-nakuti atau menjual lagak? Jenggot perak tetap tertawa, Dalam hal umur sebenarnya kau lebih tua dari aku. Tetapi dalam sejarah hidupku, aku tak pernah jatuh di tangan orang. Tak seperti kau seorang tua yang sudah hidup tujuh puluhan tahun masih tak berani unjuk muka! Marah ketua Hek Gak bukan kepalang. Sampai rambutnya jigrak, mata mendelik. Seoarng lelaki tak mau bergerak sembarangan. Akan menunggu sampai saatnya baru bertindak. Asal dapat mencuci bersih hinaan yang lampau, tetap berharga sebagai insan persilatan sejati.! Sayang dalam kehidupanmu sekarang kau tak sempat mencuci hinaan itu! dengus jenggot Perak. Cong houhwat! teriak ketua Hek Gak serentak. Ya, aku di sini! Bok Sam-pi tampil menyahut. Jenggot perak terkejut melihat perawakan orang yang gendut perutnya tapi tangkas sekali. Hajar orang tua yang tak tahu adat itu! teriak ketua Hek Gak. Hamba menuruuut., Bok Sam-pi mengucapkan katamenurut itu dengan panjang karena matanya memandang wajah Jenggot Perak tajam-tajam. Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba sudah berganti nada. Murid! serunya. Ketua Hek Gak tercengang, tegurnya, Hai, mengapa kau memanggilku begitu? Bok Sam-pi mendengus, Mengapa tak boleh? Panggilan murid dan guru hanya apabila kita berdua saja. Atau di kala sedang mengajar kepandaian. Saat ini aku sebagai ketua hek Gak yang sedang ngeluruk keluar. Yang ada hanyalah antara pemimpin dan anak buah. Kaupun harus berbahasa begitu! sahut ketua Hek Gak. Bok Sam-pi kurang senang, Persetan, di dalam dan di luar Hek Gak apa bedanya? Ketua Hek Gak Kongsun Bu-wi menghela napas. Kejayaan Hek Gak memang tergantung tenaga suhu, tetapi.. Murid! Bok Sam-pi berteriak menukas. Eh, suhu hendak memberi pesan apa? terpaksa ketua Hek Gak mengalah. Bok Sam-pi menuding pada Jenggot Perak, serunya, Orang tua itu berwajah terang. Kita harus bersahabat dengannya, mengapa kau hendak memusuhi? Kongsun Bu-wi mengerutkan dahi, Tetapi hati orang siapa tahu, suhu.... Masakah suhu bisa salah lihat? Kau berani membantah perintahku? Bok Sam-pi memekik. Ya, ya, murid menurut. ketua Hek gak tak berdaya lagi. Ia memberi isyarat kepada Tokko Sing yang berdiri di belakang, serunya, Sudah saatnya suhu minum arak. Apakah minumannya dibawa? Tokko Sing segera mengatakan bahwa hidangan untuk guru besar Bok Sam-pi sudah disiapkan. Bagus, aku hendak minum tiga cawan dulu, baru istirahat sebentar. Urusan di sini kuserahkan padamu! mendengar arak, selera Bok Sam-pi pun berontak. Dengan khidmat ketua Hek Gak mengiyakan. Tokko Sing pun segera mengiring Bok Sam-pi untuk minum arak. Begitu jago tua itu angkat kaki, ketua Hek Gak segera mengambil sebutir pil hitam dan menyerahkan pada salah seorang pengawal. Ia membisiki beberapa patah kata. Pengawal itu mengangguk dan segera pergi. Selama itu Jenggot perak hanya diam saja mengawasi gerak-gerik kedua suhu dan murid itu. Setelah Bok Sam-pi pergi, barulah ia tertawa gelak-gelak, Apakah artinya pertunjukan ini? Wajah ketua Hek Gak memerah, Jangan banyak bicara, sebentar kau tentu merasakan sendiri! Bagaimana andaikata pil hitammu itu tak manjur? Jenggot perak tertawa mengolok. Berobahlah seketika wajah ketua Hek Gak , Pil itu adalah penguat tubuh. Setiap minum arak tentu dicampurkan. Jangan mengoceh tak keruan! bentaknya murka.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 169 dari 290

Aneh, aneh, Jenggot perak tertawa sinis, aku toh tidak mengatakan pil itu obat bius atau obat kuat. Mengapa kau kalang kabut memberikan penjelasan. ia tertawa meloroh, siapa berbuat tentu merasa. Kira-kira tentu begitulah keadaanmu! Menyala mata ketua Hek Gak. rupanya ia hendak menyerang. Namun si Jenggot Perak tetap acuh tak acuh. Sebaliknya para anggota rombongannya, keempat Thiat-hiat Su-kiat dan ke tiga puluh enam Thian-kong serta ke tujuh puluh dua Te-sat sudah mengepal-ngepal tinju siap hendak menyerang. Suasana menjadi tegang! Tiba-tiba ketua Hek Gak mendapat pikiran. Ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun dan memberi anggukan kepala. Ah, sahabatku, sudah lama kita tak berjumpa! Sin-bu Te-kun yang sejak tadi hanya mengawasi ramai-rami itu balas tertawa, Berpuluh tahun tak bertemu, tentulah kepandaian saudara makin sakti. Ah, mana dapat menyamai Te-kun. ketua Hek Gak merendah. Aha, tak usah main sandiwara, Jenggot perak menyeletuk tertawa, rasanya memang sudah ada sekongkolan di antara kalian berdua. Lu tua, jangan memfitnah orang! bentak Sin-bu Te-kun. Lu Liang-ong mengurut-urut jenggotnya yang putih mengkilap. Ia tertawa riang, Sin-bu-kiong dan Hek Gak masing-masing mempunyai cita-cita hendak mencaplok dunia persilatan. Kalau dua ekor srigala saling berebut tulang, akhirnya tentu cakar-cakaran sendiri! Tua bangka Lu, jangan mengadu domba! bentak ketua Hek Gak, Jangan bermimpi kau dapat menipu kami. ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun. Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tiong-goan, ini suatu penghinaan bagi kita. Tidakkah kita bersatu mengusirnya? Sin-bu Te-kun mengangguk, Baik, silakan Kongsun-heng menghajarnya, aku bersumpah membantu sepenuh tenaga. Malam ini jangan sampai ada seorang Thiat-hiat-bun yang lolos ! Bagus, bagus! Jenggot perak tertawa gelak-gelak, maju keroyokan atau satu lawan satu, Thiat-hiatbun siap melayani. Tetapi sayang tidak semudah itu kawan.. ! JILID 9 Barisan Darah Besi BARISAN DARAH BESI. Sin-bu Te-kun mengekeh tertawa, Apa ? Pihakku tak mampu melawan? Jenggot perak tertawa, Mampu atau tidak soal kedua. Hanya dikuatirkan tak ada orang yang berani bertempur! Kembali kepala Hek Gak memperdengarkan tertawa sinis, Aku tak percaya Thiat-hiat-bun sedemikian menyeramkan. Toh kau juga tak memiliki tiga buah kepala dan enam lengan ! Percaya bahwa orangorangku tentu dapat melenyapkan partai Thiat-hiat-bun! Jenggot perak maju selangkah, tertawa mengejek, Mengapa kau tak turun tangan? iapun bersiap menunggu serangan. Dengan sebelah tangan yang tinggal satu, ketua Hek Gak segera hendak menyerang. tetapi secepat itu pula segera menurunkan tangannya lagi. Tertawa sinis dan mundur selangkah! Jenggot perak menyambutnya dengan tertawa panjang. Telah kuperhitungkan dengan masak. Kalau Hek Gak berani bertempur dengan Thiat-hiat-bun, keduanya pasti hancur. Dengan begitu cita-citamu hendak merajai dunia persilatan tentu berantakan. Jenggot perak menatap wajah kepala Hek Gak dengan tajam, serunya pula, Tetapi aku si orang tua mengerti tentang ilmu melihat tampang orang. Telah kuketahui isi hatimu. Tak nanti kau mau menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri. Tak nanti kau sudi menyerahkan kekuasaan dunia persilatan kepada Sin-bu-kiong. Itulah sebabnya maka kutahu kau pasti tak berani menempur aku! Ngaco! serentak ketua Hek Gak membentak dengan wajah pucat.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 170 dari 290

Tetapi Jenggot perak tak menghiraukan. Kembali ia beralih memandang Sin-bu Te-kun, serunya, Sekalipun siasatmu mengadu domba berhasil dijalankan. Thiat-hiat-bun dan Hek Gak hancur keduaduanya, tetapi Sin-bu-kiong pun masih tak dapat menguasai dunia persilatan, karena kau masih mempunyai seorang musuh besar! Sekarang giliran Sin-bu Te-kun yang mendelik. Memekiklah ia, Sin-bu-kiong bersumpah tak mau hidup sekolong langit dengan Thiat-hiat-bun! Andaikata saudara Kongsun ketua Hek Gak mau melepaskan engkau, tetapi aku Sin-bu Te-kun tetap akan menghancurkanmu! Jenggot perak tertawa, Inginkah kau mendengar siapakah musuhmu itu? Sebutkan! teriak Sin-bu Te-kun gusar. Hun-tiong Sin-mo! Huh, Hun-tiong Sin-mo sudah ibarat ikan dalam jaring. Pasti segera mampus! Sin-bu Te-kun menggeram. Jenggot Perak tertawa nyaring, Ah, kata-katamu ini agak sombong. ia berhenti sejenak, serunya pula, Kau telah membuat Panji Tengkorak Darah palsu untuk melakukan pembunuhan besar-besaran. Fitnah itu telah menimbulkan kemarahan besar pada sembilan partai, sehingga mereka menantang Hun-tiong Sin-mo untuk bertempur di puncak Sin-li-hong. Hal ini membuktikan bahwa kau jeri terhadap Hun-tiong Sin-mo! Ngaco! Seumur hidup aku tak pernah takut kepada siapapun juga! teriak Sin-bu Te-kun. Jenggot Perak geleng-geleng kepala, Jika kau tak takut, sejak dulu-dulu kau tentu sudah ke Hun-tiongsan menantangnya! Perlu apa kau gunakan siasat memfitnah sehingga menimbulkan kemarahan sembilan partai.? Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa seram, serunya sengit, Apakah hubunganmu dengan Hun-tiong Sinmo? Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun tak mau melanjutkan kata-katanya, tetapi diam-diam ia gunakan ilmu menyusup suara kepada Jenggot Perak, Ho, tua bangka, jangan kira aku tak tahu bahwa Huntiong Sin-mo sudah mati karena diracun anak perempuanmu. Mungkin aku tahu lebih banyak dari kau.. Jenggot perak berobah wajahnya. Tetapi pada lain saat ia sudah tertawa lagi. Kau tahu atau tidak, itu tak ada kepentingannya. Sekarang aku hendak minta kepadamu menyerahkan dua orang budak Thiathiat-bun yang melarikan diri, yaitu Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing. Jika bukan karena mereka berdua, tak nanti kau tahu tentang urusan ini! Kata-kata Jenggot Perak itu tidak diucapkan dengan ilmu menyusup suara, melainkan dengan suara biasa. Sudah tentu hal itu terdengar jelas oleh Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak. Tetapi ketua Hek Gak ini tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Maka iapun hanya terlongong-longong saja! Wajah Sin-bu Te-kun membesi, segera ia berseru kepada ketua Hek Gak, Selama Thiat-hiat-bun masih ada, kita tak dapat hidup tenang. Marilah kita bersatu padu untuk membasminya! Diam-diam ketua Hek gak sudah mempunyai rencana sendiri. Segera ia menyahuti, Memang akupun sudah mempunyai pikiran begitu, maka silakan Te-kun segera memberi perintah! Tetapi Sin-bu Te-kun tak segera bertindak, ia hanya memandang ke sekeliling penjuru dengan sikap meragu. Sebaliknya ketua Hek Gak juga hanya mulutnya saja yang setuju akan ajakan Sin-bu Te-kun, tetapi iapun tak mau memerintahkan kepada anak buahnya menyerang. Dengan begitu kedua-duanya saling tunggu menunggu..... Setelah menunggu sekian lama tiada yang menyerang, Jenggot Perak tertawa nyaring, Aha, ramalanku selalu manjur! Sudah kuketahui bahwa baik Sin-bu-kiong maupun Hek Gak tentu tak ada yang berani membentur perutku....... sejenak ia kedipkan mata, katanya pula, Aku masih memepunyai sebuah pertanyaan lagi pada kalian. Karena kelemahannya diketahui, Sin-bu Te-kun dan Hek Gak hanya meringis saja. Maju gentar, mundurpun sukar. Katakanlah! seru mereka serempak.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 171 dari 290

Tanpa bersepakat, kalian datang ke gunung Thay-heng-san sini, Jenggot perak tertawa, Apakah maksudnya? Pertanyaan ini membuat Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak melongo. Tak lain tak bukan adalah karena peta Telaga Zamrut dan kitab pusaka It Bi Siangjin! seru Jenggot Perak dengan suara datar. Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak seperti disengat kalajengking kagetnya. Baru mereka hendak membuka mulut, tiba-tiba dari kejauhan terdengar berisik suara orang. Jenggot perak masih tetap tertawa, Dewasa ini di dunia persilatan timbul beberapa panji kekuatan yang hebat. Masing-masing belum diketahui siapakah yang paling unggul ! Hun-tiong- san, Sin-bu-kiong, Hek Gak dan pihakku Thiat-hiat-bun serta partai-partai besar di dunia Tiong-goan. Masing-masing mempunyai sumber kepandaian sakti yang berlain-lainan. Boleh dikata mutu kepandaian mereka hampir berimbang, maka tak ada pihak manapun yang dapat merajai dunia persilatan. Hanya ada satu jalan yang dapat mengatasi. Barang siapa yang berhasil mendapatkan kitab pelajaran dari It Bi siangjin barulah dia akan menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia persilatan Jenggot Perak tertawa mengekeh, serunya pula, Kita saling bertempur, sebenarnya termasuk urusan kecil. Yang penting ialah mencari kitab pusaka itu. Peta Telaga zamrud telah muncul kembali di dunia dan tempat persembunyian kitab pusaka itu ialah di gunung ini. Kalian tentu mendengar suara orang berisik tadi bukan ? Nah, itulah rombongan orang yang mencari kitab pusaka. Apabila kitab sampai jatuh di tangan mereka, dikuatirkan Sin-bu-kiong maupun Hek Gak akan lenyap dari dunia persilatan selamalamanya! Mendengar uraian itu, pucatlah seketika wajah Sin-bu Sin-bu Te-kun berusaha untuk menenangkan kegelisahannya. Te-kun dan ketua Hek Gak.

Lu loji, ia tertawa sinis, Apakah kedatanganmu juga bukan karena hendak mencari kitab pusaka itu? Aku? sahut Jenggot Perak dengan dingin, jika aku memang bermaksud hendak mengambil kitab itu, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk mendapatkannya lagi! Heh, heh, ketua Hek Gak tertawa mengekeh, Lu tua, kau terlalu memandang tinggi dirimu! Sambil berkata itu diam-diam lengan tunggal ketua Hek Gak itu dilambaikan ke belakang. Empat orang sucia (jago) Hek gak yang berada di belakang ketuanya mengerti isyarat itu. Segera mereka menyelinap pergi. Tetapi perbuatan itu tak lepas dari mata Sin-bu Te-kun. Eh, apa maksud saudara Kongsun menyuruh anak buahmu pergi? tegurnya. Wajah Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak memerah, serunya, Suruh mereka lihat apakah suhuku sudah minum arak atau belum? Namun jawaban itu disambut dengan tertawa sinis oleh Sin-bu Te-kun. Kepala istana Sin-bu-kiong itupun segera lambaikan tangannya. Dua orang sucia yang berada di kanan kirinya segera mengundurkan diri. Mereka mengajak belasan anak buah baju ungu pergi menyusul keempat sucia Hek Gak. Jenggot Perak tertawa berderai-derai sampai lama, serunya, Hanya mengirim sekian orang untuk menjaga pihak yang mencari kitab, mungkin takkan berhasil. Kecuali kalian mengerahkan anak buah secara besar-besaran, mungkin ada harapan. Hanya saja..... Tiba-tiba jago Thiat-hiat-bun itu melambaikan tangannya dan berseru, Hanya saja, ah, kalian saat ini sukar untuk meloloskan diri. ooo00000ooo Barisan Thiat-hiat-tin Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tercengang! Tiba-tiba Jenggot perak lambaikan tangan. Dari empat penjuru segera muncul Empat Su-kiat, tiga puluh enam Thian-kong dan tujuh puluh dua Te-sat. Mereka memecah diri membentuk sebuah lingkaran seluas berpuluh tombak. Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak terkepung di tengah-tengah. Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, Aha, Lu tua, kau hendak main apa ini ?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 172 dari 290

Jenggot perak balas tertawa, Cuma akan meminta kalian merasakan kenikmatan barisan Thiat-hiat-tin! Oh, hanya sebuah barisan sekecil ini mana dapat mengepung rombongan Hek Gak dan Sin-bu-kiong! ketua Hek Gak berseru mengejek. Jenggot perak ganda tertawa, Sekurang-kurangnya dalam waktu dua puluh empat jam, kalian tak dapat lolos dari tempat ini! Semula Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak mengacuhkan. Pikir mereka tentu dapat menerobos dari barisan Thiat-hiat-tin. Tetapi apa yang tampak di hadapannya, membuat mereka terkejut. Memang tampaknya barisan itu tiada yang aneh. Tetapi setelah persiapan selesai, semua orang Thiathiat-bun itu sama mengeluarkan asap kuning. Asap itu keluar dari lengan baju, celana dan leher baju mereka. Rupanya obat telah disimpan dalam dadanya lebih dahulu, kemudian ditekan keluar dengan tenaga dalam. Asap kuning makin lama makin tebal. Di bawah teriakan-teriakan Jenggot perak, anggota-anggota Thiat-hiat-bun itu segera berputar-putar membuat lingkaran. Asap bergulung-gulung menghambur ke tengah. Sin-bu Te-kun gugup dan segera memerintahkan anak buahnya, Terobos keluar! dan ia sendiri mendahului menerobos keluar barisan. Tetapi serempak dengan gerakan Sin-bu Te-kun, terdengarlah lengking tertawa panjang. Serangkum tenaga kuat segera menghambur. Kiranya tenaga kuat itu berasal dari Jenggot Perak yang segera mendorong dengan kedua tangannya. Marahlah Sin-bu Te-kun. Sewaktu masih melayang di udara, ia geliatkan kedua tangannya memukul dengan pukulan Hiam-im-ciang. Hiam-im-ciang yang telah diyakinkannya dengan sempurna. Jauh sekali bedanya dengan Hiam-im-ciang yang digunakan oleh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing. Tetapi sebelum kedua tenaga pukulan itu beradu, sekonyong-konyong Jenggot Perak melambung ke udara sampai beberapa tombak. Dengan tertawa meloroh, ia membentak, Awas, kedua matamu! Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, ia timpukkan dua buah benda mengkilap ke arah Sin-bu Te-kun. Sin-bu Te-kun hendak menjajalkan tenaga Hiam-im-ciangnya dengan tenaga lawan. Tetapi di luar dugaan, lawan telah menarik balik pukulannya. Ia terkejut dan buru-buru menukik ke bawah, tetapi teriakan Jenggot Perak itu, telah membuatnya kaget sekali. Ia tahu bahwa ilmu kepandaian orang Thiat-hiat-bun menimpuk senjata rahasia, hebat sekali. Seratus kali menimpuk, seratus kali tentu kena. Apalagi saat itu ia tengah menukik di udara. Sukar sekali untuk menghindari ancaman musuh. Serentak teringat ia akan peristiwa di istana Sin-bu-kiong yang lalu. Jenggot perak pernah melepaskan dua buah panah yang menembus kedua bahunya! Dalam keadaan yang tak berdaya itu Sin-bu Te-kun hanya dapat menutupkan kedua tangannya untuk melindungi mukanya. Untung Jenggot Perak tak menggunakan ilmu Penyesat suara, yakni suaranya terdengar di sebelah timur, tetapi orangnya berada di barat. Dan timpukannya itu memang hanya ditujukan ke arah muka orang. Maka terhindarlah muka Sin-bu Te-kun dari dua buah panah Hong-thaukiong. Sin-bu Te-kun rasakan tangannya seperti digigit ular. Begitu menginjak tanah segera ia kibaskan panah itu. Lu tua, aku bersumpah tak mau hidup bersama engkau! Hari ini kau atau aku yang mati! teriaknya dengan marah. Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan, ia bertekad hendak adu jiwa dengan ketua Thiat-hiat-bun. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu benar-benar membuatnya kaget seperti patung! Bukan saja Jenggot Perak lenyap dari pandangan, juga seluruh anggota Sin-bu kiong dan ketua Hek Gak serta rombongannya pun tak kelihatan lagi bayangannya! Sin-bu Te-kun dapatkan dirinya seolah-olah hanya seorang diri dalam lautan asap warna kuning. Sedemikian tebal asap itu mengembang sehingga tak dapat lagi ia melihat jari-jari tangannya. Dan yang lebih mengerikan lagi ialah saat itu hidungnya mencium bau wangi. Karena curiga kalau-kalau bau itu mengandung racun, buru-buru ia menutup jalan darah penting pada tubuhnya. Kemudian ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengetahui apakah tubuhnya sudah kemasukan racun atau belum.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 173 dari 290

Tengah ia meramkan mata menyalurkan tenaga dalam, tiba-tiba terdengar suara tertawa memanjang. Digoda begitu, meluaplah amarah Sin-bu Te-kun. Ia meloncat ke udara sampai tiga tombak tingginya dan menggerung seperti harimau kelaparan, Lu tua, keluarlah, mari kita bertanding selaksa jurus! Jenggot perak tertawa nyaring, Aku sudah tua tak punya selera lagi untuk berkelahi. Yang kusuka ialah melihat orang kelabakan seperti ikan dalam jaring... ia berhenti sejenak lalu berseru pula, Ki Pek-lam, bukankah kau sudah mempelajari kitab Im-hu-po-kip sampai paham? Dalam dunia persilatan jarang terdapat orang yang dapat menandingimu! Barisan sekecil ini masakah mampu mengepungmu? Ayo, mengapa kau tak gunakan kesaktianmu membobolkan barisan ini? Sin-bu Te-kun berkeliaran memandang empat penjuru. Tetapi asap yang demikian tebal tak dapat ditembus dengan matanya. Ia tak tahu di mana Jenggot Perak berada! Dan yang menjengkelkan, suara Jenggot Perak itu sebentar terdengar dekat sebentar jauh. Sukar diduga tempatnya yang pasti. Tetapi Sin-bu Te-kun sudah terlanjur mengumbar kemarahan. Dengan meraung keras ia berseru, Lu tua, kau kira aku benar-benar tak dapat lolos dari barisanmu ini? Sin-bu Te-kun menumpahkan kemarahannya dengan sepuluh kali pukulan yang dilontarkan berturut-turut! Pukulan itu ditujukan ke empat penjuru. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang! Angin menderu-deru laksana badai meniup, tetapi yang mengejutkan, ke sepuluh pukulan dahsyat itu malah membuat asap bergulung-gulung deras. Kecuali itu tak ada lain-lain hasil lagi. Hi, hi, hi. Terdengar Jenggot Perak tertawa mengikik. Semenjak mengangkat panji di dunia persilatan jauh sebelum ia mendapatkan kitab pusaka Im-hu-pokip, belum pernah ia menelan hinaan sedemikian rupa. Dadanya serasa hangus dibakar api kemarahan. Ia bersiap-siap hendak menerjang ke muka. Sin-bu Te-kun memiliki apa yang disebut Liok-ji-thong-leng ( enam telinga ajaib), yakni ilmu pendengaran yang sakti. Tetapi pada saat itu ilmu tersebut tak dapat digunakan lagi. Asap yang makin tebal itu seakan mempunyai kekuatan untuk menyumbat telinga, Bukan saja yang terjadi di luar barisan tak dapat didengarnya, bahkan orang-orang yang terkepung dalam barisan itu sedikitpun tak kedengaran suaranya. Ilmunya melihat di tempat gelappun mengalami nasib serupa. Asap kuning telah menyerang mata sedemikian pedas, sehingga tak dapat dibuka. Dan yang mengejutkan lagi bahwa ilmu menyusup suara yang dicobanya untuk menghubungi ketua Hek Gak dan anak buahnya sendiri, pun tak ada hasilnya alias melempem. Ia benar-benar merasa sebatang kara dalam barisan asap. Selain ilmu silat sakti, iapun mengerti segala macam ilmu barisan. Tetapi terhadap barisan asap ini, benar-benar ia asing sama sekali. Asal arahkan langkah ke muka, tentu akan dapat menerobos keluar, katanya dalam hati. Ia percaya dengan ilmunya Hian-im-ciang-ci yang sakti, segala rintangan tentu dapat dihancurkan. Diam-diam ia menghitung. Sudah tiga puluh tombak jauhnya ia melangkah ke muka. tetapi ah....... terpaksa ia hentikan langkah. Ia merasa bahwa ia sedang berjalan berkeliling sebuah lingkaran. Apabila diteruskan, sehari semalam kakinya pasti letih tanpa hasil apa-apa. Gigi Sin-bu Te-kun bercatrukan keras. Ingin ia memakan daging Jenggot perak dan minum darahnya, tetapi aah, apa daya..... Setelah ia dalam keadaan seperti semut dipanggang di atas kuali panas, tiba-tiba terdengar si Jenggot Perak berseru pula , Ki Pek-lam, mengapa kau sibuk. Aku toh hendak memberimu istirahat! Setelah duapuluhempat jam, barisan ini akan buyar sendiri. Sekarang menyerah sajalah! Lu tua, aku tak peduli dengan segala macam peta Telaga zamrud atau nafsu menguasai dunia persilatan lagi. Asal barisan ini buyar, segera kau akan mengetahui apa yang hendak kulakukan! Heh, heh, tentu akan mengadu jiwa denganku ? Jenggot perak tertawa mengejek. Asal kau tahu saja, cukuplah! Sin-bu Te-kun meraung. Ki Pek-lam, jagalah kedua biji matamu, aku hendak membidiknya! seru Jenggot perak. Kejut dan marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Tetapi ia tak berani berayal. Segera ia menutupi matanya dengan tangan. Begitu pula ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi kelima indranya.....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 174 dari 290

Bagaimana dengan ketua Hek Gak? Diapun serupa nasibnya dengan Sin-bu Te-kun. Hanya bedanya yang menjaga ialah keempat Su-kiat. Ketika ketua Hek Gak hendak berusaha menerobos keluar barisan, keempat Su-kiat dari partai Thiat-hiat-bun serempak menghantamnya. Berbareng itu timpukan empat batang panah Hong-thau-kiong ke dada dan punggung ketua Hek gak. Panah-panah itu dak dapat membinasakan, tetapi cukup untuk menggagalkan rencana Kongsun Bu-wi. Keadaannya senasib dengan Sin-bu te-kun. Bagaikan harimau yang terkurung dalam perangkap meraung-raung di tengah lautan asap kuning. Sekalipun belum larut, tetapi malam terasa sepi sekali. Tabir asap seluas berpuluh-puluh tombak itu tampak seperti gulungan awan yang menyelubungi puncak gunung.... oo000ooo Kini kita jenguk keadaan Siau-bun dan Thian-leng yang bersembunyi di dalam hutan. Mereka tak berani bergerak. Apa yang terjadi di luar hutan diikuti dengan seksama. Adalah ketika barisan Thiat-hiat-tin menghamburkan asap tebal, begitulah mereka kehilangan pandangan. Untunglah kedua anak muda itu berada di luar lingkungan asap. Hai, kemanakah gerangan Lu Bu-song? Meangapa ia belum menggabungkan diri dengan kakeknya? Celaka, kalau dara yang suka ngambek itu sampai mengalami apa-apa, bagaimana ia nanti hendak memberi jawaban kepada Jenggot Perak? demikian pertanyaan dalam hati Thian-leng yang menimbulkan kegelisahan. Dan apa yang paling menggelisahkan hatinya ialah tentang peta Telaga zamrud. Bukankah tokoh-tokoh yang berkumpul di gunung situ datang untuk mencari kitab pusaka itu ? Jelas didengarnya dari percakapan mereka, bahwa siapa yang dapat memiliki kitab itu akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Dan bukankah peta yang sudah di tangannya itu hilang ? Thian-leng melanjutkan lamunannya. Mengapa Jenggot perak mengepung Sin-bu Te-kun dan Hek Gak ? Apakah bukan karena jago Thiat-hiat-bun itu mengetahui bahwa malam itu ia tentu datang ke gunung Thay-heng untuk mencari pusaka, maka sengaja jago Thiat-hiat-bun itu merintangi orang Sin-bu-kiong dan Hek Gak, agar ia aman mencari pusaka ? Ah, betapalah kecewanya Jenggot Perak nanti apabila mengetahui bahwa peta pusaka itu ia hilangkan ? Lu Bu-song tak bersamanya, sudah cukup membuat Jenggot perak marah, apalagi ditambah pula dengan menghilangkan peta Telaga zamrud.. Seketika berhamburan airmata Thian-leng karena dilanda gelombang kemengkalan! Sementara Siau-bun yang sejak tadi menumpahkan perhatiannya pada ketegangan ketiga gembong, ketika barisan Thiat-hiat-bun menghamburkan asap, ia menghela napas, Hebat barisan Thiat-hiat-tin ! Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak sukar meloloskan diri, kita tak perlu kuatir! Thian-leng gelagapan dari lamunannya, Adik Bun, kita... belum sampai ia melanjutkan kata-katanya, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat dan tahu-tahu di sebelah mereka muncul seorang wanita berambut putih! Mah! serentak Siau-bun brseru girang seraya menubruknya. Thian-lengpun terkejut girang. Wanita tua itu bukan lain ialah Toan-jong-jin, wanita sakti yang pernah memberinya pedang pusaka. Tetapi yang membuatnya heran, mengapa Siau-bun memanggil mamah. Thian-leng terlongong-longong heran. Tiba-tiba terlintaslah sesuatu pada pikirannya dan cepat ia membuat kesimpulan. Nada suara wanita itu bening dan terang, tak menyerupai nada perempuan tua. Dan kerut wajahnya pun tidak wajar. Jelas dia menggunakan topeng kuit. Dan dari panggilan Siau-bun tadi makin menguatkan dugaannya bahwa wanita itu bukan seorang wanita tua! Usia Siau-bun baru tujuh-delapan belas tahun, tak nanti ia mempunyai seorang ibu yang sudah tua sekali. Pun ketika wanita itu menolongnya di tepi sungai Huang-ho, sehabis menurunkan ilmu pedang, dia memesan padanya untuk mencari seorang yang bernama Pok Thiat-beng yang bergelar Si Pedang bebas. Toan-jong-jin atau Si Patah hati, nama samaran yang dipakai wanita itu serta nada ucapannya yang penuh kepedihan, membuktikan adanya suatu rngkaian hubungan antara wanita itu dengan pendekar Pok Thiat-beng. Sekurang-kurangnya mereka itu tentulah sejoli kekasih. Dan teringatlah juga Thian-beng akan keterangan Nyo Sam-koan di dalam penjara Cui-lo tempo hari. Ya, jelas, jelas.!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 175 dari 290

Toan-jong-jin tentulah isteri tercinta dari Pok Thiat-beng. Dan toan-jong-jin bukan lain ialah puteri kesayangan Jenggot Perak Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun. toan-jong-jin sebenarnya ialah Cu Giokbun ibu dari si dara Cu Siau-bun! Otak Thian-leng bernanaran diamuk badai lamunan..... Toan-jong-jin pernah dengan tandas mengatakan bahwa Thian-leng benar putera dari Ma Hong-ing dan Nyo Sam-koan. Tetapi anehnya, Nyo Sam-koan menyangkal keras. Thian-lengpun bukan putera Nyo Sam-koan dan bukan anak Ma Hong-ing! Teringat akan semuanya ini, Thian-leng benar-benar seperti terkungkup dalam awan gelap. Siapakah ayah bundanya? Apakah memang ia manusia tanpa ayah ibu? Mengapa orang-orang yang diduganya menjadi orang tuanya, sama menyangkal dan saling melontarkan tanggung jawab. Apakah ia anak haram? Sekalipun anak haram, juga sang orang tua tentu mau mengakuinya. Tiba-tiba pikiran Thian-leng tertuju pada Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun. Benarkah kedua orang itu mempunyai hubungan suami ister? Dan apakah hubungannya dengan mereka berdua? Jenggot Perak telah menyerahkan Lu Bu-song menjadi isterinya. Sedangkan Cu Siau-bun an pun tampaknya menaruh hati padanya. Tempo di hotel Hian-gek-can di kota Ceng-liong tempo hari, ia dengan dara itu telah melakukan hubungan....... Ah, otak Thian-leng benar-benar nanar mengingat peristiwa yang dihadapinya saat itu, begitu berbelit-belit sampai-sampai ia lupa apa yang dihadapinya saat ini. Bu-beng-jin, apa kabar? tiba-tiba Toan-jong-jin menegur. Thian-leng gelagapan. Tersipu-sipu ia memberi hormat, Ah, locianpwe, tak kira berjumpa di sini! Lebih tak kusangka lagi bahwa lo-cianpwe ternyata nona Cu.. punya..... O, tak menduga kalau ibu dan anak? Toan-jong-jin tersenyum. Be. nar, sungguh tak kuduga sama sekali, Thian-leng terbata-bata. Ia memandang Siau-bun lalu menunduk dengan muka merah. Tahukah kau sekarang siapa aku? beberapa jenak kemudian toan-jong-jin bertanya. Dipandangnya anak muda itu dengan seksama. Jika cianpwe tak menyalahkan, kini aku sudah dapat menduga, sahut Thian-leng. Coba katakanlah! Sejenak Thian-leng merenung, katanya, Tempo itu dalam penjara Cui-lo di Sin-bu-kiong, aku telah bertemu dengan seseorang. Siapa? Nyo Sam-koan! Toan-jong-jin menghela napas, serunya, Itulah ayahmu! Bukan! jawab Thian-leng tegas. Jawaban itu membuat Toan-jong-jin terbeliak. Bagaimana kau begitu yakin? Toan-jong-jin memandangnya heran. Karena Nyo Sam-koan menyangkal keras. Dia bilang.. sampai di sini Thian-leng berhenti dalam kesangsian. Baik ia lanjutkan keterangannya atau tidak. Toan-jong-jin mengerutkan kening, ujarnya,Apapun alasannya, silakan kau bilang saja! Dengan nada berat berkatalah Thian-leng, Nyo Sam-koan menerangkan bahwa selama mengawini Ma Hong-ing itu, ia belum pernah tidur bersamanya! Ih! tiba-tiba Toan-jong-jin mendesis ngeri. Tubuhnya terhuyung-huyung hampir pingsan. Mah! teriak Siau-bun, Telah kukatakan bahwa dia bukan anak Ma Hong-ing! Toan-jong-jin tenangkan kegoncangan Beberapa saat kemudian baru ia membuka mulut, Habis, anak siapakah dia itu? hatinya.

Tiba-tiba mata Toan-jong-jin memandang lekat-lekat ke tengkuk Thian-leng. Ia terbeliak. Jelas tampak pada tengkuk anak muda itu terdapat sebuah tahi lalat merah. Amboi, mengapa begitu? Toan-jong-jin benar-benar kehilangan akal.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 176 dari 290

Siau-bun pun berdiam diri tenggelam dalam renungan. Jelas masih segar dalam ingatannya. Ketika berada dalam istana Sin-bu-kiong tempo hari, Ma Hong-ing memanggilnya dengan kata-kata nak. Mengapa? Mengapa.....? Thian-leng juga lelap dalam lautan kegelisahan. Siapakah ayah bundanya? Mengapa tiada orang yang sudi mengakuinya sebagai anak....? Apakah ia lahir tanpa ibu bapak..? Sam-chiu Sin-kun Bu-beng-jin, kau belum mengatakan siapa diriku! sesaat kemudian Toan-jong-jin berseru. Thian-leng tersipu-sipu dan segera mungkin.memakai kedok kulit! menghaturkan hormat, Kalau tak salah, cianpwe

Toan-jong-jin tersenyum. Tiba-tiba ia merenggut kulit mukanya sendiri. Ah..... sebuah kedok kulit tersingkap dan sebagai ganti dari rambut putih dan kulit muka keriput dari seorang wanita tua, kini muncullah sebuah wajah cantik berseri dari seorang wanita yang baru berumur 35 an tahun. Ijinkanlah wanpwe berkata sepatah lagi, kata Thian-leng pula, Cianpwe tentulah wanita yang dikatakan Nyo Sam-koan, ialah Pedang bebas Pok.... cianpwe... sampai di sini Thian-leng tergagap tak dapat melanjutkan kata-katanya. Toan-jong-jin memakai kedok lagi, sahutnya tertawa, Benar, memang aku adalah isteri dari Pok Thiatbeng. Hanya sayang kami suami ister...... Toan-jong-jin tak melanjutkan keterangannya lebih jauh. Thian-leng buru-buru memberi hormat lagi, ujarnya Atas pemberian cianpwe sebatang pedang pusaka itu, sampai matipun aku takkan melupakan. Tetapi..... ia berhenti meragu sejenak, lalu menyambung lagi dengan nada menyesal, Tetapi sampai saat ini wanpwe belum dapat menemukan setitikpun jejak Pok lo-cianpwe! Toan-jong-jin tertawa rawan, ujarnya, Hal itu tak dapat menyalahkanmu. Memang dia sukar dicari jejaknya. Mungkin sudah melenyapkan diri jauh ke luar perbatasan. Mungkin dalam kehidupan sekarang takkan dapat berjumpa lgi.... Tiba-tiba Toan-jong-jin alihkan ucapannya pada sebuah pertanyaan, Apakah yang kau ketahui lagi tentang diriku? Thian-leng tertegun, sahutnya tergagap, Hanya itulah yang kuketahui. Kembali Toan-jong-jin tersenyum. Dengan penuh misterius ia memandang Siau-bun. Si darapun balas memandangnya dengan tersenyum. Thian-leng seperti terbungkus dalam kabut rahasia.Tak tahu ia apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun ia tak mau banyak tanya. Memang yang diketahui hanya hal-hal yang telah dikatakan tadi. Tak tahu ia apa lagi yang tersembunyi di balik diri wanita Toan-jong-jin yang serba misterius itu. Sebenarnya Thian-leng telah lengah. Lengah tentang diri Toan-jong-jin. Karena sampai saat itu, ia belum menyadari bahwa wanita Toan-jong-jin yang dihadapinya itu bukan lain ialah momok ganas yang merajai dunia persilatan yakni Hun-tiong Sin-mo! Tiba-tiba Toan-jong-jin bangkit, Karena terlibat percakapan , hampir membikin terlantar urusan kalian yang penting! Memandang ke langit, ia berkata pula, Sudah saatnya orang itu harus datang! Mah, siapa yang kaumaksudkan? tukas Siau-bun. Pun karena ingin mengetahui, Thian-leng diam untuk mendengarkan. Tetapi Toan-jong-jin hanya tersenyum misterius. Nanti kalian tentu tahu sendiri, tunggu saja sebentar! Habis bicara, tiba-tiba ia melesat lima - enam tombak jauhnya. Saat itu asap kuning dari barisan Thiathiat-tin masih menghambur tebal. Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak tetapa tenggelam di dalamnya. Siau-bun menarik lengan Thian-leng diajak memburu Toan-jong-jin. Tegurnya, Eh, mah, mengapa kau menyimpan rahasia terhadap aku? Tetapi Toan-jong-jin hanya mengerut sebuah senyum kecil, lalu melesat sepuluh tombak lagi. Siau-bun dan Thian-leng tetap mengejar. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah mencapai satu li jauhnya. Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri. Jeritan orang yang bunuh membunuh!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 177 dari 290

Thian-leng terkejut sekali. Sebaliknya Toan-jong-jin masih tetap berjalan tenang. Tampaknya perlahan, tetapi cepatnya bukan main. Malah pada lain saat, ia percepat jalannya sampai seperti angin meniup. Ilmu ginkang dari Siau-bun dan Thian-leng sebenarnya sudah tergolong tingkat kelas satu. Tetapi ketika mengejar Toan-jong-jin tampak jelas sekali bedanya. Hanya dalam beberapa saat saja mereka sudah tertinggal setengah li di belakang. Dan ketika kedua anak muda itu tiba di tempat yang dituju, di situ sudah terjadi peristiwa yang mengerikan! Belasan jago-jago baju ungu tampak bergelimpangan tersebar di tanah. Tubuh mereka hancur dan gosong seperti terbakar. Jelas mereka telah dibunuh orang dengan ilmu Ciong-chin-hoat atau tenaga dalam keras. Di samping mereka terdepat tiga sosok mayat pengemis. Belasan pengmis tengah tegak terlongong-longong seperti patung.... Thian-leng cepat mengerti apa yang telah terjadi. Belasan pengemis itu telah dianiaya oleh orang Sinbu-kiong dan ketika Toan-jong-jin tiba ia hanya berhasil membunuh tiga orang Sin-bu-kiong. Yang lainlain tentu sudah melarikan diri. Beberapa saat kemudian rombongan pengemis itu gelagapan seperti orang tersadar dari mimpi. Tersipu-sipu mereka memberi hormat kepada Toan-jong-jin serta menghaturkan terima kasih. Setelah itu mereka juga memberi hormat kepada Thian-leng, seru mereka, Murid menghaturkan hormat kepada pangcu! Thian-leng tersipu-sipu dan buru-buru menyuruh mereka bangun. Eh, aku sampai lupa menghaturkan selamat padamu yang dalam usia begitu muda sudah menjadi ketua Kay-pang.. tiba-tiba Toan-jong-jin berseru tertawa, hanya.....ah, pengemis-pengemis itu baunya sungguh tak tahan...... ia berpaling kepada Siau-bun, Nak, apakah kau juga bersedia menemaninya seumur hidup makan nasi sisa dan sayur sisa? Siau-bun bersungut, Mah, mengapa kau menggoda aku? Tetapi Toan-jong-jin tak menghiraukan urusan itu lagi dan berkata cepat, Ah, aku masih mempunyai urusan lain. Aku hendak pergi dulu, kalian boleh bersama melanjutkan perjalanan. Siau-bun terkejut dan menyambar ujung baju ibunya, Mah, kami ikut bersamamu! Toan-jong-jin mengerutkan kening, Tetapi aku masih mempunyai urusan penting. Kalian tak perlu ikut! Coba katakan dulu urusan apa? bantah Siau-bun. Toan-jong-jin mendengus perlahan, Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay, sudah jatuh di tangan orang Sinbu-kiong, mamah harus n=menolongnya! Lalu kemana kita mencarimu? Tak usah kalian cari. Begitu urusan selesai aku tentu dapat mencarimu! sahut Toan-jong-jin. Akhirnya terpaksa Siau-bun melepaskan mamahnya. Bagaikan burung garuda melayang, dalam beberapa kejap saja bayangan Toan-jong-jin pun lenyap dalam kegelapan malam. Sebenarnya Thian-leng masih ingin menanyakan beberapa hal kepada Toan-jong-jin. Tetapi karena cepat sekali wanita itu bergerak, pada saat Thian-leng hendak mengajukan pertanyaannya, Toan-jongjin pun sudah lenyap. Siau-bun menghela napas, ujarnya, Bu-beng pangcu, mamahku sudah pergi. Marilah kita selesaikan urusan di depan mata ini. Thian-leng seperti disadarkan. Di hadapannya tampak belasan pengemis masih tetap dalam sikap menghormat kepadanya. Mereka dipimpin oleh Lau Gik-siu, ketua cabang partai Kay-pang. Mengapa saudara-saudara datang kemari? Apakah ada urusan penting? Lau Gik-siu segera menyahut dengan hormat, Sejak pangcu pergi, muridpun mengirim berita dengan burung. Ada sebuah berita yang kami terima, bahwa ada seorang misterius yang masuk secara mencurigakan di wilayah gunung Thay-heng-san.... Diam-diam Thian-leng membatin,Sin-bu-kiong, Hek Gak, Tiam-jong-pay dan orang Thiat-hiat-bun semuanya telah masuk ke daerah Thay-heng-san. Jumlah mereka sedemikian besarnya, mengapa hanya seorang saja yang dicurigai?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 178 dari 290

Dewasa ini di gunung Thay-heng-san penuh dengan jago-jago persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Mengapa kalian hanya mementingkan seorang pendatang saja? Tetapi orang itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang termashyur, buru-buru Lau Gik-siu menjelaskan, dan jejaknya memang sangat mencurigakan. Karena itu kami segera mengikutinya! Mengapa mencurigakan? tanya Thian-leng. Kemungkinan dialah yang mencui peta Telaga zamrut milik pangcu, sahut Lau Gik-siu dengan perlahan. Seketika teganglah Thian-leng, serunya, Siapakah orang itu? Cia Bu-sin bergelar Sam-chiu sin-kun ( Malaikat bertangan tiga)! Di mana ia sekarang? Menuju ke arah selat Pak-bong-kiap. Tetapi ketika kami sampai di tempat ini, telah bertemu dengan anak buah Sin-bu-kiong. Dalam pertempuran , kami kehilangan tiga orang anggota! Tinggalkan dua orang anggota untuk mengurus mayat-mayat itu. Dan harap Lau-tongcu memimpin rombongan untuk mengejar Sam-chiu sin-kun! Thian-leng memberi perintah. Lau Gik-siu segera melakukan perintah ketuanya. Setelah menyuruh dua orang pengmis tinggal di situ untuk mengubur mayat, ia segera ajak rombongannya meneruskan pengejaran. Thian-leng ajak Siau-bun mengikuti rombongan Kay-pang. Setelah meintasi dua buah jalanan, tibalah mereka di sebuah lembah. Lembah itu aneh dan seram. Kedua belah dindingnya menjulang ke langit, penuh hutan cemara yang lebat dan batu-batu besar yang berserakan. Sepintas pandang mirip dengan kuburan. Lau Gik-siu dan rombongannya berhenti, katanya, Inilah Pak-bong-kiap, tetpai mengapa Sam-chiu Sinkun tak berada di dalam lembah? Thian-lengpun tak melihat barang seorangpun juga. Sesaat kemudian tiba-tiba Siau-bun menggapai anak muda itu, bisiknya, Lekas kejar, dia memang memasuki lembah ini! Girang Thian-leng tak pelang, katanya, Apakah ilmumu Melihat-langit-mendengar bumi . Siau-bun menjawab dengan menarik lengan baju anak muda itu terus diajak loncat ke atas batu karang yang tinggi. Karang itu tepat di samping lembah, sehingga dari situ dapat melihat jelas ke dalam lembah. Tetapi hutan cemara yang lebat tetap menutupi pandangan mata. Apakah adik Bun tak salah dengar? tanya Thian-leng dengan menggunakan ilmu menyusup suara Meskipun ilmu mendengar bumi ada kalanya menerima rintangan dari hutan, hujan dan angin, tetapi tetap takkan salah dengar! sahut Siau-bun. Kalau begitu tentulah Sam-chiu Sin-kun berada di sini! Siau-bun tak menghiraukan anak muda itu. Dia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mendengar dan memandang ke seluruh lembah. Rombongan pengemis tua yang mengikuti di belakang mereka, tak dapat mendengar apa yang dipercakapkan kedua anak muda itu. Lau Gik-siu yang melihat ketuanya tegak beradu bahu dengan seorang gadis tanpa bicara apa-apa , segera memberanikan diri untuk berseru perlahan,Pangcu. Apa? sahut Thian-leng. Kami telah menemukan jejak Sam-chiu Sin-kun. Dia memang benar telah memasuki lembah. Harap pangcu lekas mengejar.. Lau Gik-siu berhenti sejenak, lalu berkata pula, Sam-chiu Sin-kun memang mempunyai kepandaian istimewa dalam mencuri dan banyak tipu muslihatnya pula! Thian-leng sejenak melirik Siau-bun. Nona itu tampak mengerutkan kening seperti tengah memikirkan persoalan yang rumit, sepertinya tak mengacuhkan anak muda itu. Ya, aku tahu.. terpaksa Thian-leng menjawab Lau Gik-siu. Tetapi walaupun begitu, ia tetap tak bergerak melainkan hanya memandang Siau-bun saja. Beberapa saat kemudian baru kelihatan Siau-bun mengangguk dan loncat turun. Apakah adik sudah mengetahui tempat orang itu? tanya Thian-leng.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 179 dari 290

Tanyakan Lau tongcu, apakah di belakang lembah ini terdapat jalan tembus? kata Siau-bun. Mendengar itu Lau Gik-siu segera memberi keterangan, Lembah Pak-bong-kiap ini terkenal berbahaya sekali. Belum pernah aku menyuruh orang menjelajahinya. Maka apakah di belakang lembah ada jalan tembus atau tidak aku..kurang tahu kemudian ia menanyakan Siau-bun perlukah menyuruh orang menyelidiki. Terlambat, kita terjang saja! Siau-bun terus hendak menyerbu ke dalam lembah. tetapi dicegah Thianleng, Nanti dulu, apa sajakah yang kau dengar ? Aku sendiri belum dapat memastikannya, kata Siau-bun, di dalam lembah memang ada seorang yang tengah berjalan dengan langkah aneh. Dia seorang sakti, umurnya di antara tujuhpuluhan tahun, jenggot melambai sampai dada. Dia berjalan perlahan sekali seakan mencari jalan. Dan saat ini sudah memasuki lembah sejauh seratus tombak, menuju ke belakang lembah. Itulah Sam-chiu Sin-kun! Lau Gik-siu menyeletuk. Kemudian ia mendesak Thian-leng supaya lekas mengejar. Tetapi segera ia menutup mulut demi melihat wajah kedua anak muda itu tampak serius sekali. Tentulah sedang menghadapi persoalan yang genting. Kalau pendengaranku tak salah, Sam-chiu Sin-kun diam-diam sedang diikuti oleh lima orang! Tetapi bukankah kau tadi mengatakan belum dapat memastikan? tanya Thian-leng. Itulah yang membingungkan aku, kata Siau-bun, kelima pengejarnya itu tidak mengambil jalan dari tengah lembah, tetapi muncul dari empat penjuru lembah. Padahal jalan di situ sukarnya bukan main. Dan yang lebih hebat, langkah mereka hampir tak tertangkap ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi Oh, mereka tentu orang-orang yang berilmu sakti, Thian-leng berseru kaget, Kecuali Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak, tentu tak ada lainnya lagi. Kita beresi dulu kedua durjana itu baru kemudian membekuk Sam-chiu Sin-kun. Tidak, tukas Siau-bun, Menurut dugaanku, kalau orang itu memang bangsa manusia, tentu bukanlah Sin-bu Te-kun ataupun ketua Hek Gak! Bagaimana kau dapat memastikan? Sin-bu Te-kun dan rombongan Hek Gak masih dikepung oleh Thiat-hiat-tin. Lain orang tentu tak ada yang memiliki ilmu sehebat itu! Thian-leng terbeliak. Habis siapakah kelima orang pengejar yang sakti itu? Jelas tujuan mereka ialah hendak merebut peta Telaga zamrud. Dengan munculnya secara terpencar itu, jelaslah bahwa mereka bukan segolongan. Jika kita dapat mencegat di belakang lembah, kita dapat merebut dulu peta itu dari tangan Sam-chiu Sin-kun. Tetapi apa boleh buat, sekarang kita terpaksa aharus menerjang dari sini! Baik, aku yang menjadi pembuka jalan! kata Thian-leng seraya terus melangkah ke dalam lembah. Hai, tahukan kau di mana beradanya Sam-chiu Sin-kun? Siau-bun berseru seraya mengejar. Thian-leng tertegun, Serunya. Dia toh berada dlam lembah, masakah kita tak dapat menemukannya? Uh, lebih baik kau ikut aku saja! Siau-bun tertawa hambar. Thian-leng menurut. Dengan pedang terhunus ia mengikuti di belakang si nona. Begitu pula Lau Gik-siu beserta anak buahnya. Mereka siap dengan senjata masing-masing. Lembah itu tiada jalannya. Hanya sebuah lembah mati yang penuh batu-batu besar dan hutan lebat. Baru berjalan sepuluhan tombak, Thian-leng merasa kehilangan arah. Coba tak ada Siau-bun yang menjadi penunjuk jalan, tentu ia sedah tersesat. Siau-bun berjalan dengan hati-hati sekali. Setiap kali ia berhenti untuk memasang telinga. Belum tujuh puluh tombak jauhnya, tiba-tiba nona itu berhenti. Ia gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thianleng, Sam-chiu Sin-kun berada pada jarak tiga puluh tombak. Para pengejarnyapun sudah muncul mengepungnya. Mereka berilmu tinggi semua. Kita harus menjaga jangan sampai ketahuan mereka.! Thian-leng mengiyakan dan segera menyuruh rombongan Lau Gik-siu menunggu di situ. Tidak, bagaimana kami disuruh tinggal diam saja melhat pangcu terancam bahaya.... bantah Lau Giksiu. Tetapi ini harus dilakukan secara bersembunyi. Kalau kalian ikut, lebih besar bahayanya!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 180 dari 290

Lau Gik-siu tetap menolak, Pesan mendiang cikal bakal kaum Kay-pang, murid-murid Kay-pang harus perintah ketuanya dan melindumginya. Thian-leng gugup. Tiba-tiba ia mendapat akal. Diambilnya lencana Kiu-pang-tong-pay dari lehernya, Lau tongcu, dengarlah perintahku! Hamba siap! tergesa-gesa Lau Gik-siu menyahut dengan hermat. Untuk sementara ini kuserahkan kekuasaan partai kepadamu. Kau jaga di sini. Jika terjadi sesuatu, bertindaklah menurut gelagat! Walaupun ragu, tapi Lau Gik-siu terpaksa menerima perintah itu. Thian-leng segera gunakan ilmu menyusup suara untuk mengajak Siau-bun melanjutkan perjalanan lagi. Jalan semakin sukar. Hampir sejam mereka baru mencapai lima puluh tombak. Tiba-tiba Siau-bun berkata, Kalau pendengaranku tak salah, sudah sepenanakan nasi lamanya Sam-chiu Sin-kun berhenti di sebelah muka..... Di mana? Apakah kau melihat tiga batang pohon jati di sebelah muka itu? tanya Siau-bun. Memang benar. Thian-leng melihat tiga batang pohon jati tumbuh menggerumbul. Setiap batang besarnya sepelukan tangan orang. Karena berjajar rapat pohon itu seperti tembok tinggi. Ya, memang kelihatan. sahutnya. Nah, di situlah ia bersembunyi! Lalu pengejar-pengejarnya itu? tanya Thian-leng. Berada di sekeliling tempat ini sekitar sepuluhan tombak jauhnya. Sebenarnya kita sudah masuk dalam kepungan mereka! Thian-leng terkejut, Apakah mereka sudah mengetahui jejak mereka? Entahlah, Siau-bun mengerutkan dahi, aku tak tahu apakah mereka juga mempunyai ilmu gaib seperti Melihat langit mendengar bumi. Tetapi yang jelas mereka tak dapat bertahan menyembunyikan diri lagi! Apakah Sam-chiu Sin-kun benar-benar bersembunyi di belakang ketiga pohon itu? Thian-leng menegas, rupanya ia mempunyai rencana. Masakah aku hendak membohongimu? Bagus, kalau begitu kita harus membekuknya lebih dahulu! Tetapi tahukah kau bahwa di belakang pohon itu penuh dengan batu-batu besar? Tahu! sahut Thian-leng, mengapa kau tanyakan hal itu? Sahut Siau-bun dengan nada bersungguh-sungguh, Berapa jumlahnya dan dari golongan mana kawanan pengejar itu, kita belum tahu. Tetapi yang jelas mereka itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan dan tujuannya sudah jelas hendak merebut peta pusaka. Maka barang siapa berani turun tangan lebih dahulu, dia bakal menjadi korban bulan-bulan orang yang lain! Tetapi bagaimana dapat menghindari pertempuran? bantah Thian-leng, kalah memang toh kita belum tahu! Tanpa berani mengambil resiko mana mungkin kita dapat merebut peta itu kembali? Apakah kau mempunyai cara lain kecuali gunakan kekerasan? Siau-bun mengerutkan dahi, ujarnya Segala apa dapat dipecahkan. Soalnya bukan masalahnya yang tak dapat dipecahkan, tapi kita yang tak mampu memecahkan! Thian-leng meringis. Ia tahu sampai di mana kelihayan otak si nona itu. Cara-cara meloloskan diri dan mengocok Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak dengan gurunya si Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi, cukup membuktikan betapa cerdas nona itu. Setelah kedua anak muda itu merenung lama, barulah tiba-tiba Siau-bun berkata pula, Sam-chiu-Sinkun pasti bersembunyi di balik pohon, kuyakin pendengaranku tak salah. Menurut pendapatku, kepandaiannya tak ungkul dari kau. Dapatkah kau dalam tiga jurus serangan mendadak, membuatnya tak berdaya?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 181 dari 290

Dian-diam Thian-leng memperhitungkan. Jaraknya dengan pohon itu hanya sepuluhan tombak. Dua kali lompatan ia dapat mencapai. Dengan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, rasanya ia tentu mampu mengatasi Sam-chiu Sin-kun. Kalau perlu bunuh saja orang itu, karena ia benci dengan perbuatannya! Baik, aku sanggup! Tetapi .. ia meragu, tetapi bagaimana kalau orang-orang itu menyerang aku Sudah tentu mereka akan menyerangmu. Tetapi janganlah kau hiraukan mereka. jawab Siau-bun, yang penting kau harus segera melukai Sam-chiu Sin-kun dan menyeretnya ke tengah tumpukan batu dan mengambil peta lalu memasukkan ke dalam sepatu Ya, ya, hal itu mudah. tetapi.. Ilmuku menimpuk panah Tui-hong-kiong dan ilmu pedang, mungkin masih dapat menghalangi mereka. Begitu kau berhasil mendapat peta itu, berhasillah kita! Masih Thian-leng bersangsi, ujarnya, Pengejar-pengejar itu tentu bertekat mati-matian merebut peta. Apabila kita berdua tak sanggup melawan mereka, apakah akhirnya Kekuatiranmu memang beralasan. Menurut peneropongan yang kulakukan dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, mereka masing-masing memiliki ilmu yang tinggi dan mungkin kita tak mampu menandingi.. Kalau begitu apa gunanya!? Siau-bun tertawa, Tetap ada gunanya. Segala sesuatu bukanlah tergantung kenyataan semata-mata, tetapi pada kecerdikan! Ia berhenti sejenak, melepaskan pandangan mata, kemudian berkata pula, Kita akan membentuk barisan, menjebak mereka agar saling bunuh sendiri! Oh, Thian-leng melongo, tetapi bagaimana caranya? Siau-bun tersenyum simpul, Biarkan mereka saling merebut peta itu sendiri seperti anjing merebut tulang..... ia segera mengeluarkan sehelai kain. Setelah dilipat lalu diberikan kepada Thian-leng. Begitu kau berhasil mengambil peta dan menyusupkan ke dalam sepatu, segera kau lemparkan kain itu kepadaku Bagus! Teriak Thian-leng girang, bukankah maksudmu supaya mereka mengira buntalan kain itu berisi peta, sehingga mereka lalu rebutan sendiri? Siau-bun mengangguk, Begitulah! Setelah mereka saling merebut, kita angkat kaki dengan lenggang kangkung, tapi kau. dipandangnya anak muda itu dengan cemas. Jangan kuatir, kata Thian-leng dengan tenang, asal Sam-chiu Sin-kun benar-benar berada di balik pohon, tentu aku akan dapat melakukan rencana kita itu dengan berhasil! Siau-bun menyuruh anak muda itu segera bersiap-siap. Thian-leng menyisipkan kain ke lengan baju, menyiapkan pedang dan mengerahkan seluruh semangatnya. Begitu Siau-bun memberi perintah, segera anak muda itu mengenjot kakinya, bagaikan seekor burung alap-alap, ia melayang ke arah pohon! Berebut peta! Memang tepat sekali dugaan Siau-bun. Di belakang ketiga pohon besar tampak sesosok bayangan putih. Punggung orang itu menempel pada batang pohon. Walaupun belum jelas apakah orang itu benar Sam-chiu Sin-kun yang mencuri petanya, Thian-leng segera melancarkan pukulan dahsyat dan serangan pedang secepat-cepatnya dan sedahsyatdahsyatnya. Sungguh aneh sekali. Orang itu tak menghindar maupun menangkis. Sebuah pukulan dan tiga tebasan pedang Thian-leng tepat jatuh di tubuhnya. Dan tanpa mengerang serta menggeliat, rubuhlah orang itu. Walaupun heran, tetapi Thian-leng tiada tempo untuk memeriksa, Cepat-cepat ia mengangkat tubuh orang itu terus dibawa loncat ke tengah gundukan batu. Thian-leng telah menunaikan tugas sesuai rencana! Tetapi pada saat Thian-leng menginjak batu dan hendak menggeledah, kejutnya bukan kepalang. Tiga sosok tubuh serempak bersuit dan mencelat keluar dari tiga penjuru. Siau-bun sudah memperhitungkan hal itu. Maka berbareng dengan tibanya orang-orang itu, iapun sudah menyerang dengan pukulan dan timpukan panah Tui-hong-kiong.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 182 dari 290

Ketiga orang itu rupanya tahu jelas dengan kelihayan Tui-hong-kiong. Mereka menyurut mundur dan mengebut dengan lengan bajunya. Adalah karena sedetik rintangan itu, cukuplah sudah bagi Thian-leng untuk menyelinap ke tengah gundukan karang. Dalam pada itu Siau-bun sudah melolos pedang dan menyerang dua orang musuh. Pedang nona itu merupakan pasangan dari pedang Thian-leng. Walaupun pendek, tetapi sinarnya dapat memancar sampai beberapa meter. Juga ilmu pedang yang dimainkan adalah Toh-beng-sam-kiam. Hanya bedanya Siau-bun lebih unggul setingkat dalam peryakinan. Dua orang yang menyerang dari samping kiri terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita. Umurnya di antara empat puluh tahun. Wajahnya buruk. Yang lelaki beralis tebal, mata besar mulut lebar. Yang perempuan daging mukanya menonjol macam setan malam. Kedua orang itu mengebutkan lengan bajunya menampar pedang Siau-bun. Seketika Siau-bun merasa seperti ditiup angin dingin. Terpaksa ia menarik pulang pedangnya dan berputar menyerang lawan yang dari samping kanan. Orang itu seorang tua berjenggot kuning. Orang tua itu sebenarnya hendak memburu Thian-leng , tetapi karena dihalangi Siau-bun terpaksa berhenti. Marahlah orang tua itu. Budak perempuan, apa kau bosan hidup? serunya seraya menusukkan sebuah jari ke pedang si nona. Siau-bun terkejut. Tusukan jari itu hebatnya bukan kepalang, sampai mengeluarkan suara mendesing yang tajam sekali. Siau-bun hendak menarik pulang pedangnya, tetapi tusukan jari orang tua berjenggot cepatnya bukan main. Tring.. ujung pedang mendering keras dan seketika itu Siau-bun rasakan lengan kanannya kesemutan. Pedangnya hampir mencelat ke udara. Kuda-kuda kakinya tergempur dan terhuyunglah ia sampai 3-4 langkah ke belakang. Di sebelah belakang ia disambut oleh seorang paderi dan seorang imam. Si paderi membawa pedang dan si imam mencekal senjata sekop. Siau-bun tak berdaya merintangi lagi. Lelaki dan wanita jelek tadipun sudah memburu Thian-leng. Thian-leng terancam bahaya! Adegan itu berlangsung hanya dalam sekejap saja. Pada saat Thian-leng melemparkan tubuh tawanannya ke tengah gundukan batu, penyerang-penyerangnyapun sudah tiba. Thian-leng tercengang. Tolol, mana peta itu! serentak Siau-bun meneriaki si anak muda. Thianleng gelagapan. Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia melemparkan bungkusan kain, Adik Bun, lekas sambutlah! Si paderi dan si imam yang sudah tiba di muka Siau-bun tertegun. Adalah si imam yang lebih dulu tertawa gelak-gelak, terus mengenjot tubuhnya melayang di udara dan segera menyambar bungkusan kain. Begitu menyambuti bungkusan, ia melambung terus sampai setinggi-tingginya, bergeliatan dan meluncur sampai beberapa tombak jauhnya. Dia yakin peta Telaga zamrud sudah dikuasainya! Hai, to-heng, tunggulah! si paderipun mengenjot tubuhnya ke udara mengejar si imam. Si orang tua berjenggot kuning dan sepasang lelaki perempuan berwajah buruk tadi, sebenarnya sudah tiba di muka Thian-leng dan hendak menyambarnya. tetapi timbulnya perobahan yang mendadak itu membuat mereka kaget bukan kepalang. Si orang tua jenggot kuning secepat kilat menarik pulang tangannya terus mencelat ke udara, Coba saja kalau kau mampu lepas dari tangan Thian-san Siu-sin ( Dewa hewan dari gunung Thian-san)! Juga sepasang lelaki perempuan berwajah buruk yang agaknya seperti sepasang suami istri itu bergerak aneh sekali. Mereka tak menghiraukan Thian-leng lagi. Tiba-tiba si lelaki menyambar paha kiri si perempuan, terus dilemparkan ke udara seraya berseru, Di hadapan Im-yang Song-sat, kalian berani main gila! Tubuh wanita itu meluncur laksana anak panah. Dalam sekejap saja sudah melampaui si orang tua berjenggot kuning, terus mengejar si paderi dan si imam. Setelah melemparkan tubuh si perempuan, lelaki itupun melambung ke udara. Demikian timbullah kejar mengejar di antara lima orang. Dalam sekejap saja mereka sudah meluncur enam puluhan tombak jauhnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 183 dari 290

Sesaat kemudian terdengarlah suara letupan dari pukulan beradu, disusul dengan gemuruh pohon tumbang dan batu meledak pecah. Jelas bahwa mereka telah saling memukul. Siau-bun cepat meloncat ke hadapan Thian-leng, Lekas lari, mereka.. Tetapi Thian-leng tetap tegak seperti patung. Hai bagaimana? Apakah peta itu........ belum kau dapatkan? Thian-leng menghela napas panjang, Silakan lihat sendiri! Ia menunjuk pada tubuh tawanannya yang sudah terkapar tak bernyawa di antara gundukan batu. Cepat Siau-bun memeriksa dan secepat itu pula ia termangu terkesima. Ternyata yang dibunuh Thianleng itu bukan Sam-chiu Sin-kun, bukan pula manusia, melainkan orang-orangan dari batu dan dahan pohon, tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai seorang manusia, lengkap dengan panca indra dan jenggot panjang. Di tempat segelap itu, apalagi pada malam hari, orang tentu keliru menyangkanya sebagai manusia! Dan yang istimewa lagi, orang-orangan itu dibalut dengan tali sutera yang ulet sekali. Maka tiga buah tusukan pedang Thian-leng dan sebuah pukulannya tadi tak berhasil menghancurkan orang-orangan itu! Rase tua yang licin sekali. Dia-benar-benar lihay mengatur siasat! Siau-bun membanting-banting kaki. Tetapi dari mana ia membuat orang-orangan ini? Apakah sebelumnya kau tak mengetahui? Siau-bun hanya menghela napas, Setan tua itu memang licin sekali. Bodoh sekali kalau ia membuat orang-orangan itu dari lain tempat...... eh, apakah kau tak memperhatikan kaki pohon itu? Di situlah ia mempersiapkan orang-orangannya! Memang di bawah ketiga pohon tua tadi tampak ranting dan dahan pohon berhamburan. Dia sudah tahu kalau dikejar orang, maka sengaja ia berhenti di sini. Diapun sudah memperhitungkan bahwa pengejar-pengejarnya itu tentu saling menunggu siapa yang berani bergerak dulu. Hal itu tentu memakan waktu cukup lama. Maka enak saja ia membuat orang-orangan itu. Karena kesemuanya itu sudah diperhitungkan lebih dahulu, maka sebelumnya iapun sudah membawa pakaian, rambut dan jenggot palsu! Pengejar-pengejarnya itu hanya terpisah sepuluhan tombak jauhnya. Apakah ia tak takut dipergoki? Sudah tentu ia menyembunyikan diri sedemikian rupa agar jangan sampai ketahuan kalau sedang membuat orang-orangan. Ilmu sakti apapun juga hanya terbatas mengetahui bahwa ia bersembunyi di balik pohon. Tetapi apa yang tengah dikerjakan tentu tak dapat diketahui. Setelah selesai, orangorangan itu disandarkan ke batang pohon dan ia sendiri diam-diam sudah menyelinap pergi. Benarbenar hebat rase tua itu! Thian-leng heran dan menanyakan apakah ilmu Melihat-langit mendengar-bumi si nona tak dapat mengetahui kalau pencuri itu lolos. Ah, akupun kena dikelabui. Kukira orang-orangan itu adalah dia, maka yang kuperhatikan hanya itu saja, Siau-bun menghela napas lagi. Thian-leng meringis. Sekarang soal yang harus dipecahkan ialah ke manakah gerangan larinya penjahat itu? Menilik kelihayan Sam-chiu Sin-kun mencopet peta dan meloloskan diri dari kepungan , jelas bahwa orang itu memiliki otak luar biasa. Kalau ia berhasil mendapatkan kitab pusaka, tentulah dalam waktu singkat ia sudah berhasil mempelajari isinya. Apabila hal itu sampai terjadi, betapa besar bencana yang bakal menimpa dunia persilatan! Pikiran Thian-leng melayang-layang dilanda badai kegelisahan. Sementara itu Siau-bun mondar-mandir memeriksa bekas-bekas di bawah pohon. Yang dapat diketemukan hanyalah hamburan ranting-ranting dan daun pohon, tetapi bekas telapak kaki orang sama sekali tak tampak. Beberapa saat kemudian Thian-leng bertanya apakah Siau-bun mendengar sesuatu. Nona itu termenung sebentar lalu menggelengkan kepala, Ah, mungkin bangsat tua itu sukar diketemukan lagi! Ah, kitab pusaka It Bi siangjain tentu akan dimilikinya! Thian-leng berteriak kaget. Habis? Siau-bun mengangkat bahu, dengan kecerdikannya bangsat tua itu tentu berhasil menemukan tempat kitab itu!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 184 dari 290

Thian-leng membanting-banting kaki, Celaka, kalau kitab pusaka itu didapat manusia semacam itu, berarti malapetaka bagi dunia persilatan! Apa mau dikata, mungkin sudah suratan takdir, sahut Siau-bun lesu, mungkin dunia persilatan memang harus mengalami banjir darah! Thian-leng merasakan bumi yang dipijaknya seperti bergoyang. Ingin ia mati saja saat itu. Bayangbayang Oh-se Gong-mo, Tui-hun Hui-mo dan tabib Sip U-jong bermunculan di kalbunya. Mereka menuding-nuding kepada Thian-leng, seolah hendak menuntut janji pemuda itu. Pada lain saat terbayang pula budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo memberinya obat dahulu, Toan-jong-jin memberi pedang dan ilmu pedang, pengangkatannya sebagai ketua partai Pengemis, serta budi kebaikan yang dilimpahkan si Jenggot perak dan cucu perempuannya Lu Bu-song. Untuk membalas budi dan melaksanakan harapan mereka yang telah memberi kepercayaan kepadanya hanyalah disandarkan pada kitab pusaka. Tetapi.. ah peta itu telah hilang. Dia adalah manusia yang berdosa. Berdosa karena menghancurkan harapan mereka. Ia harus mati untuk menebus dosa itu.. Ayo, kita pergi! tiba-tiba Siau-bun menarik lengannya. Apakah kau sudah mendapatkan ssesuatu jejak? Tidak.. tetapi kalau tidak pergi kita tentu terancam bahaya! Kenapa? Thian-leng masih bertanya. Suara pertempuran sudah berhenti, jelas bahwa mereka tentu sudah mengetahui bahwa buntalan kain itu bukan peta. Sebentar lagi mereka tentu kembali mencari kita Tetapi kita sendiri juga tertipu. Asal kita terus terang menceritakan.......... Mereka jago-jago sakti dan belum ketahuan dari golongan mana. Paling tidak mereka tetap akan menuntut karena kau telah menipunya. Jika bertempur, kita tentu menderita. Lebih baik kita lari dulu baru nanti kita mengatur rencana lagi! Baik, marilah......, baru Thian-leng mengucapkan itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan bengis, Huh, kalian mau lari? Kejut Thian-leng dan Siau-bun bukan kepalang. Di empat penjuru telah mengepung kelima orang yang merebut kain tadi. Budak bernyali besar! bentak si imam sembari menimpukkan kain kepada Thian-leng, Kau berani menipu aku berarti bosan hidup! Kau belum mendengar siapa Tiang Pek cinjin? Thian-leng menyahut dengan angkuh, Sekali-kali aku tak bermaksud menipumu. Apalagi aku sendiri juga kena ditipu orang! Ia menunjuk pada orang-orangan yang terkapar di tanah, serunya, Silakan lihat! Tiang Pek cinjin melemparkan pandangan ke benda itu. Di luar dugaan ia berpaling kepada si paderi, Bagaimana ini? Paderi Ko Bok juga seorang paderi ganas yang berpuluh tahun memendam diri. Ia menggaruk-garuk telinga, Aneh, memang aneh. Kemana si tua Sam chiu Sin kun itu? Rupanya ia mempunyai hubungan baik dengan Tiang Pek cinjin. Siau-bun tertawa getir, Cuwi tentulah para cianpwe dari dunia persilatan. Sebaiknya segera melakukan pengejaran pada Sam chiu Sin-kun, jangan buang waktu! Thian-san Siu sin si tua jenggot kuning mendengus, Hm, jangan kira kau dapat mengelabui kami lagi! Dengan tipu muslihatmu yang licik, kau telah menipu kita, kemudian di sini kau lakukan sulapan. Aku sudah tua, masakah kena diingusi seperti anak kecil! Sepasang suami isteri berwajah buruk segera ikut membentak, Memang benar! Lekas serahkan peta itu, nanti kalian boleh bebas pergi! Turut campurnya kedua suami isteri yang bergelar Im Yang song-sat itu membuat si paderi dan si imam gusar sekali.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 185 dari 290

Jika peta telaga zamrut sampai jatuh ke tangan kalian, aku paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek segera akan bunuh diri saja! bentak paderi Ko Bok. Mau bunuh diri atau tidak, itu urusanmu sendiri. Tetapi peta itu harus menjadi milik kami suami isteri! sahut Im Yang song-sat. Mungkin keinginanmu itu sukar terlaksana! Silakan saja kalau mau mencoba! sahut Im Yang song-sat. Ketegangan merebak. Kedua pihak saling bersiap. Nanti dulu! tiba-tiba si jenggot kuning Thian-san Siu-sin mencegah. Jenggot kuning, tak usah kau campur mulut, kau tak berhak ikut menginginkan peta! bentak Im Yang song-sat. Juga paderi Ko Bok mengenyahkan jenggot kuning, Menyingkir sajalah kau ini. Atau akan kuremukkan dulu tulang-belulangmu yang bangkotan itu! Didamprat kedua belah pihak, Thian-san Siu-sin tertawa sinis, Kalian begitu congkak terlalu tak memandang mata padaku Thian-san Siu-sin. Aku bukan seorang pengecut, tetapi sejenak ia memandang Thian-leng, lalu berseru pula, Coba jawab, di mana peta itu sekarang? Tentu pada budak itu! sahut Im Yang song-sat. Thian-san Siu-sin tertawa, Kalau begitu mengapa tak tunggu setelah peta ketemu baru kalian bertempur lagi? Paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek saling tukar isyarat mata. Ko Bok berseru, Baik, kami setuju dengan usulmu itu! Begitu peta diketemukan, segera kita rundingkan cara pertempuran. Siapa yang menang paling akhir, dialah yang berhak memiliki peta itu! imam Tiang Pek menambah. Baik, kami suami isteri yang menggeledah budak itu! tiba-tiba Im Yang song-sat mencelat ke arah Thian-leng. Siau-bun yang tengah memutar otak mencari akal terkejut sekali. Cepat ia menimpukkan dua buah tuihong-kiong. Tetapi Im Yang song-sat sudah melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Mereka tak mengacuhkan tui-hong-kiong si nona dan tetap hendak mencengkeram Thian-leng. Tring.... tring.... tui-hong-kiong berdenting mencelat ke udara. Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia memukul dengan tangan kiri dan menyabet dengan pedang di tangan kanan. Seluruh tenaga ditumpahkan pada serangan itu. Terdengar letupan dahsyat dan tiba-tiba terjadilah peristiwa yang mengejutkan. Pemilik Peta Thian-leng sudah nekad. Bahwa timpukan panah Siau-bun dapat dipentalkan begitu mudah, sadarlah ia bahwa kedua suami isteri itu jago-jago sakti yang luar biasa. Iapun menyadari bahwa serangannya itu mungkin akan mengalami nasib serupa. Tetapi biarlah Daripada mati konyol, lebih baik ia hancur lebur melawan. Tetapi di luar dugaan, timbul suatu hal yang menggemparkan. Terdengar letupan keras, disusul dengan mencelatnya kedua suami isteri jahat itu sampai beberapa meter jauhnya. Thian-leng terkejut. Jelas ia merasa bahwa ujung pedangnya belum menyentuh tubuh lawan. Dan jelas bahwa tadi ada serangkum tenaga dahsyat meniup sepasang suami isteri itu. Tetapi ia tak tahu siapa dan tenaga apa yang sedemikian luar biasa itu. Bahkan karena terjadi begitu mendadak serta secepat kilat, Thian-san Siu sin, Ko Bok dan Tiang Pek pun tak tahu apa yang telah terjadi. Momok-momok itu terlongong-longong terkesima. Dan kejut mereka makin menjadi, ketika tahu-tahu di belakang Thian-leng muncul seorang tua dengan dandanan seperti pertapa. Rambut dan jenggotnya yang menjulai panjang berwarna putih seperti salju. Jubahnya berwarna kuning menyentuh sampai ke tanah. Kemunculan pertapa itu benar-benar seperti dewa turun ke bumi.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 186 dari 290

Terjungkalnya kedua suami isteri Im Yang song-sat tadi hanyalah karena dikebut dengan lengan jubahnya. Dan kedatangannya yang sama sekali tak diketahui oleh jago-jago yang berada di situ benarbenar menggemparkan sekali. Im Yang song-sat babak belur. Untung mereka tinggi kepandaiannya. Secepat itupun sudah loncat berdiri lagi. Tetapi mereka masih terlongong-longong terkesima. Mereka tak mengerti mengapa tahutahu bisa mencelat jatuh bangun. Pertapa jubah kuning itu tertawa meloroh, Siapa lagi yang tidak terima? Sekalian orang terbeliak. Sesaat kemudian paderi Ko Bok mengucapkan salam keagamaan, Omitohud! Siapakah kau? Apakah hendak ikut campur dalam urusan ini? Aku hanya perlu meminta keterangan, kalian terima atau tidak? pertapa jubah kuning itu menyahut lain. Merahlah mata paderi Ko Bok mendapat hinaan semacam itu, bentaknya, Selama keluar dari pertapaan, belum pernah aku menyerah pada orang lain. Kata-kata itu ditutup dengan tusukan ujung tongkatnya kepada si pertapa jubah kuning. Ia insyaf bahwa pertapa itu bukan tokoh sembarangan, maka serangannyapun harus yang istimewa. Tusukan ujung tongkat disaluri dengan tenaga dalam penuh! Tetapi ia hanya memperhitungkan kekuatan sendiri. Tadi kekalahan Im Yang song-sat adalah karena mereka belum bersiap dan tak menduga atas serangan gelap tersebut. Tetapi serangannya dengan jurus Ting-hong-koan-jit ( bianglala menutup mentari) ini, telah dilampiri dengan tenaga dalam dahsyat dan dilancarkan dengan keras. Sekali ia dapat menjatuhkan pertapa itu, dapatlah ia menguasai semua tokoh-tokoh di situ dan peta itupun tentu menjadi miliknya! Ujung tongkat sudah meluncur ke arah dada si pertapa. tetapi anehnya pertapa itu tetap diam saja, seolah-olah membiarkan ujung tongkat menusuk dadanya. Melihat itu diam-diam paderi Ko Bok girang sekali. Ia melipat gandakan saluran tenaga dalamnya. Hidung kerbau, serahkanlah jiwamu! serunya dengan garang. Tetapi belum habis kata-katanya ia sudah mendelik kaget. Ujung tongkat yang tepat mengenai dada si pertapa, tiba-tiba menemui tempat kosong. Padahal jelas dilihatnya pertapa itu tadi tetap tegak berdiri di hadapannya. Dan karena menusuk angin, paderi Ko Bok terdorong ke muka. Buru-buru ia hendak membalik tubuh. Tetapi bukan main kagetnya ketika dilihatnya pertapa itu tegak lagi di hadapannya dan mendorongkan tangannya. Ilmu siluman.! Ko Bok memekik kaget. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya mencelat ke udara. Dan serupa dengan Im Yang song-sat, iapun terbanting sampai dua tombak jauhnya! Bantingan itu jauh lebih hebat dari Im Yang song-sat. Kalau suami isteri Im Yang song-sat hanya babak belur, paderi Ko Bok harus meringis seperti monyet makan terasi. Mata berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling dan tulang-tulang seperti remuk-redam. Masih untung pertapa jubah kuning itu tak mau menggunakan tenaga besar, sehingga Ko Bok terhindar dari luka dalam. Ia terpaksa bangun perlahan-lahan. Pertapa tua itu tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba ia melesat ke tempat Thian-san Siu-sin, tegurnya, Mungkin kau agak penasara? Thian-san Siu-sin melongo dan menyahut tergagap, Aku... belum sempat ia melanjutkan jawaban, tiba-tiba pertapa itu mengebutkan lengan jubahnya, bret.. Thian-san Siu-sin terkejut, cepat-cepat ia menangkis dengan tangan kanan. Uh..kebutan lengan jubah pertapa itu menerbitkan tenaga luar biasa. Bukan saja tangkisan Thian-san Siu-sin lenyap tenaganya, pun tubuh jago Thian-san itu mencelat terbanting ke tanah! Thian-leng dan Siau-bun tercengang terkesima. hampir mereka tak percaya apa yang disaksikannya. Im Yang song-sat, paderi Ko Bok dan Thian-san Siu-sin adalah tokoh-tokoh persilatan yang sakti. Kesaktian mereka hampir menyamai Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi berhadapan dengan pertapa jubah kuning, mereka diperlakukan seperti anak-anak kecil saja. Sungguh ajaib sekali! Setelah memberi hajaran kepada ke empat orang itu, pertapa baju kuning itu segera menghampiri Tiang-Pek cinjin. Paderi itu tegak berdiri seperti patung. Nyalinya sudah hancur berantakan ketika pertapa itu mendatanginya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 187 dari 290

Pertapa itu tertawa tergelak-gelak, Kau dan aku sama-sama murid Sam Ceng. Perlukah kita mengukur kepandaian? Tiang Pek cinjin gelagapan. Serunya Telaga zamrud silakan kau ambil. tergugu, Tidak tidak usahlah. Pe..ta

Kau pandai melihat gelagat! pertapa itu tertawa. Tiba-tiba ia ajukan langkah seraya berseru kepada Thian-leng, Ikut aku! Thian-leng tak kenal siapa pertapa ajaib itu dan apakah maksud kedatangannya. Jika pertapa itu juga bertujuan merebut peta telaga zamrud, habislah segala harapannya. Ia tegak termangu-mangu. Mari kita pergi! tiba-tiba Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara. Dan sekali melesat nona itu sudah mendahului. Thian-leng tertegun. Buru-buru ia menyahut dengan ilmu menyusup suara, Jika pertapa itu bermaksud buruk, jangan harap kita dapat lolos! Tetapi bagaimanapun tetap lebih baik daripada kita menunggu kematian di sini! Thian-leng anggap kata-kata si nona itu tepat, peristiwa saat itu tentu akan menambah kebencian Im Yang song-sat dan lain-lain kepadanya. Begitu pertapa itu pergi, mereka tentu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Apalagi tadi jelas didengarnya pertapa itu mengajaknya pergi. Tanpa bersangsi lagi, iapun segera mengikuti Siau-bun. Im Yang song-sat, Thian-san Siu-sin, Ko Bok dan Tiang Pek cinjin tak berani berkutik merintangi Thianleng. Begitu pertapa itu sudah lenyap dari pandangan mata, barulah kelima tokoh itu saling berpandangan. Kemudian merekapun melangkah ke dalam lembah. Lembah itu penuh dengan jalan berliku-liku yang panjang. Diselimuti dengan kabut malam yang tebal, sukar mengetahui arah yang harus dituju. Kelima tokoh itu tak mengerti di mana mereka berada. Pertapa jubah kuning itu berjalan dengan melenggang, tetapi cepatnya bukan main. Thian-leng dan Siau-bun mengerahkan seluruh kepandaiannya berjalan cepat barulah mereka dapat mengejar pertapa itu. Kejut kedua anak muda itu tak terperikan. Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba dari kejauhan tampak selarik sinar lampu dan pertapa itupun berseru, Sudah sampai! Sekonyong-konyong ia enjot tubuhnya melambung dan melayang seperti seekor burung garuda. Hanya dalam dua tiga lompatan, pertapa itu sudah berada pada jarak tiga empat tombak jauhnya. Apakah kita berjumpa dengan dewa? tanya Thian-leng dengan heran. Jangan melantur, sahut Siau-bun, cepatkan langkah mengejarnya, tentu tahu jelas tentang dirinya! Thian-leng dan Siau-bun segera percepat larinya. Dalam sekejap saja mereka sudah mencapai tempat yang berlampu itu. Semula Thian-leng kira tempat itu tentu sebuah biara. Kemungkinan tentulah tempat tinggal pertapa jubah kuning. Tetapi ternyata tempat itu merupakan sebuah gubuk kecil. Pintunya terbuka lebar. Di tengah ruangan terdapat sebuah lampu, selembar permadani dan pertapa itu sudah tampak duduk bersila di atasnya. Begitu masuk, Thian-leng dan Siau-bun segera menghaturkan terima kasih kepadanya. Terima kasih atas budi pertolongan to-tiang. Aku.. Pertapa itu tertawa tergelak-gelak. Sepasang matanya dipentang lebar-lebar. Dua larik sinar tajam segera tertuju pada kedua anak muda itu. Akhirnya pertapa itu melekatkan pandangannya pada Thianleng, Apakah peta itu kau terima dari Sip U jong? tegurnya. Thian-leng tertegun, ujarnya, Benar, tetapi peta itu dicopet orang, tak berada padaku lagi! Pertapa itu memandang tajam. Sekujur tubuh Thian-leng dijelajahinya. Beberapa saat kemudian terdengar ia berbicara seorang diri, Ah, Sip tua itu benar-benar jeli matanya! Thian-leng tidak mengerti apa yang dikatakan si pertapa. Saking tak tahan ia memberanikan diri bertanya, Mohon to-tiang suka memberitahukan nama gelaran to- tiang. Terhadap peta itu. Ia tak melanjutkan kata-katanya. Kedatangan pertapa itu terang dapat menyelamatkan jiwanya dari ancaman kelima pengejarnya. Mengapa ia harus menanyakan lagi? Perta itu hanya ganda tertawa dan menyahut seenaknya, Aku It Bi..
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 188 dari 290

Thian-leng dan Siau-bun seperti mendengar petir menyambar di tengah hari, serunya, Jadi to-tiang ini It Bi siangjin..! Tetapi ah, tak mungkin. It Bi siangjin tentu sudah tidak ada di dunia lagi. Kedua anak muda itu tak melanjutkan lagi kata-katanya. Mereka malu sendiri. Pertapa itu tetap ganda tertawa, It Bi siangjin sudah beratus tahun wafat. Mana orang mati bisa hidup kembali? Aku........ Siau-bun pun tertawa, serunya, Kiranya karena mengagumi kepribadian It Bi siangjin maka to-tiang pun memakai nama itu..... Pertapa itu melirik sejenak kepada Siau-bun, ujarnya, Benar, kau pandai sekali. Memang karena aku adalah pemuja yang mengagumi sekali riwayat It Bi siangjin. Untuk mengabadikan, kupakai nama It Bi..... Tetapi kepandaian dan perbawa to-tiang rasanya tak kalah dengan It Bi siangjin..... Pertapa itu menghela napas, Ah, tetapi ada beberapa hal yang kalian tak tahu.... Cepat Siau-bun pun menukas, Kalau tak salah, di sekitar tempat ini tentulah merupakan telaga zamrud seperti yang dimaksud dalam peta. Usaha Sam-chiu Sin-kun Ki Bu-sin mencuri peta dan menyelundup kemari, juga telah kau ringkus! Thian-leng terbeliak kaget. Juga It Bi berobah wajahnya, Kau mengetahui banyak hal, darimana kau tahu? Siau-bun tersenyum, Terus terang saja , aku hanya menebak. Menebak? Ya, sahut Siau-bun, toh soal itu sudah jelas. Menilik keadaan lembah Pak-bong-kiap yang begini seram, tak mungkin dijadikan tempat tinggal. To-tiang menyebut diri sebagai It Bi, tetapi di sini tak ada pusaranya. To-tiang membuat rumah di sini tentulah ada maksudnya. Sesudah mencuri peta, Samchiu Sin-kun terus menuju kemari. Kesemuanya itu cukup membuktikan bahwa tempat ini merupakan tempat penyimpanan kitab pusaka It Bi siangjin. Totiang tepat pada waktunya datang menolong kami berdua, tentulah telah dapat meringkus Sam chiu Sin-kun..... Thian-leng terkesiap dan berpaling. Tampak di balik tirai penutup pintu kamar, dua buah paha orang menjulur di tanah. Tentu orangnya sudah ditutuk jalan darahnya, dan jelas orang itu tentu Sam-chiu Sinkun. Siau-bun tertawa tawar, Benar, karena Sam-chiu Sin-kun kena kau tutuk, barulah aku dapat menduga tempat ini. Tetapi ada beberapa hal yang tak kumengerti. Dalam hal apa, silakan bertanya! Yang kuherankan, mengapa kau sebarkan peta itu ke dunia sehingga menimbulkan perebutan....... Kitab itu mungkin sejak dulu sudah berada di tanganmu....eh, ilmu sakti yang kau pertunjukkan tadi, mungkin termasuk salah satu ilmu dalam kitab itu? It Bi kerutkan kening menghela napas, Hm, sekalipun otakmu cerdas, tetapi kau tetap tak dapat menerka hal itu! Apakah kau belum mendapatkan kitab It Bi siangjin itu? Sudah! sahut It Bi. Mendengar itu hampir saja Thian-leng pingsan. Harapan untuk mendapatkan kitabitu hilanglah sudah. Dia tak mempunyai harapan lagi untuk mengalahkan Sin-bu te-kun dan ketua Hek Gak. Setelah mendapat kitab itu, mengapa totiang perlu mengadakan lelucon lagi? Perlu apakah totiang memikat orang datang kemari..... Dengan wajah membesi It Bi menyahut, Telah kukatakan bahwa ada beberapa hal yang kalian tak mengerti.. ia berhenti sebentar, ujarnya pula, Berpuluh tahun yang lalu, aku bersama Sip U jong telah mendapatkan peta itu. Kami kemari dan berhasil mendapatkan tempat penyimpanan kitab. Tetapi kabarnya Sip U-jong telah dianiaya Sin-bu Te-kun sehingga kepandaiannya hilang. Kalau benar sudah mendapatkan kitab itu, masakah Sin-bu Te-kun dapat melukainya?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 189 dari 290

It Bi mengerutkan alis, Itu terjadi sebelumnya. Memang Sip U-jong menaruh harapan dapat menuntut balas. Ia meyakinkan isi kitab dengan sungguh-sungguh, tetapi pada akhirnya ia menyadari bahwa peryakinannya itu keliru semua.... Keliru bagaimana? Thian-leng terkejut. It Bi tertawa masam, Ilmu ajaran It Bi siangjin itu dalam sekali, tak mudah dipelajari sembarang orang. Baru tiga hari berlatih Sip U-jong telah mengalami co-hwe-jip-mo ( salah latihan dan merusak diri), sehingga menyebabkan ia kehilangan semua kepandaiannya. Tetapi ia akhirnya dapat mempelajari sedikit ilmu meramal Kini tergeraklah hati Thian-leng, Ilmu apakah yang tertulis dalam kitab pusaka itu? It Bi melanjutkan penuturannya, Aku lebih beruntung sedikit dari Sip U-jong. Sedikit banyak aku berhasil mempelajari kepandaian istimewa. Karena merawat Sip U-jong, kuhentikan latihanku. Dan secara kebetulan hal itu Berapa lamakah totiang mempelajari? tukas Thian-leng. Satu hari! Satu hari? Thian-leng berteriak kaget, berapakah hasil dari pelajaran sehari saja? Tetapi ilmu kepandaian yang totiang miliki It Bi tertawa, Jika aku temaha dan belajar ngotot seperti Sip U-jong, tentu akupun akan mengalami nasib seperti dia, menjadi orang yang cacat! Heran Thian-leng tak terkira. Masakah belajar sehari saja sudah dapat memiliki kepandaian sesakti itu. Berapa bagiankah yang totiang dapat pelajari? tanyanya. Hanya sepersepuluh bagian saja! Thian-leng dan Siau-bun hampir tak dapat mengendalikan kekagetannya. Benar-benar sukar dapat dipercaya. Hanya mempelajari sepersepuluh bagian saja sudah sedemikian hebatnya. Bagaimanakah kalau sudah mempelajari seluruhnya. Sudahlah, jangan mengganggu , biarkan totiang melanjutkan ceritanya, kata Siau-bun. It Bi tertawa, tuturnya, Ilmu pelajaran dalam kitab It Bi bu-cui itu sekalipun tak sukar dipelajari, tetapi setiap bagian mempunyai keistimewaan sendiri. Jika tidak mempunyai tulang yang bagus, tak mungkin dapat mempelajari. Setelah Sip U-jong menyadari hal itu, dia menjadi putus asa. Tetapi dia tak dapat berdaya apa-apa lagi It Bi berhenti sejenak menghela napas, lalu meneruskan lagi, Akhirnya kita mencapai persetujuan. Peta dia yang membawa untuk mencari orang yang dapat menerima warisan It Bi siangjin. Agar jerih payah pertapa itu jangan terbuang sia-sia, tetapi terus menerus dapat berkembang di dunia! Sementara aku yang telah beruntung mendapatkan sebuah ilmu dari kitab itu, menjaga tempat penyimpanan kitab di sini. Pertama , menjaga jangan sampai tempat ini diketahui orang. Kedua, andaikata peta yang dibawa Sip U-jong itu dirampas orang, aku dapat mengejar penjahat itu lagi! Ah, tak kira belasan tahun kita berpisah, sampai sekarang. It Bi berhenti sejenak untuk mengambil napas, katanya pula, Beruntunglah akhirnya Sip U-jong telah berhasil menyelesaikan harapan kita berdua. Dia dapat memilih orang yang tepat. Ketahuilah, bagiku mengalahkan tiga barisan tentara adalah mudah. tetapi untuk mencari tunas yang sungguh-sungguh berbakat, sukarnya seperti mencari jarum di lautan. Tulang rangka seperti yang kau miliki itu, barulah benar-benar dapat menerima pelajaran sakti dari kitab It Bi bu-cui! It Bi menutup penuturannya dengan melepaskan pandangan mata menatap wajah Thian-leng. Kemudian ia tertawa gelak-gelak. Tersipu-sipu Thian-leng menyahut dengan rendah hati, Wan-pwe hanya seorang pemuda biasa, mungkin tak dapat memenuhi harapan totiang dan Sip lo-cianpwe. Dan lagi wanpwe. ia berpaling memandang Siau-bun, Jika bukan.. nona Cu yang menolong, mungkin saat ini wanpwe sudah mati. Maka paling tidak wanpwe minta supaya nona Cu juga diperbolehkan mempelajari kitab itu bersama-sama.. Siau-bun tertawa mengikik, Sudahlah, jangan ngelantur. Bukankah tadi totiang sudah mengatakan, Ilmu itu tak boleh dipelajari sembarang orang. Apalagi mendiang It Bi siangjin tentu menghendaki bahwa setiap jaman hanya seorang ahli waris saja..
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 190 dari 290

Benarlah, It Bi tertawa, tetapi kaupun termasuk tunas yang berbakat hebat. Hanya sayang.. Sayang bagaimana? buru-buru Thian-leng merebut pertanyaan. Adalah karena ia merasa berhutang budi kepada Siau-bun, maka sedapat mungkin ia hendak membagi rejeki besar itu kepada si nonan. Ia gembira kalau Siau-bun juga mendapat ilmu kesaktian yang hebat. It Bi menghela napas, Ah, ilmu pelajaran dalam kitab itu tidak sesuai diyakinkan oleh kaum wanita! Thian-leng melongo. Siau-bun tertawa acuh tak acuh, Huh, andaikata sesuai untuk kaum wanita, akupun tak ngiler. Karena aku sudah mengangkat sumpah di hadapan suhu bahwa aku akan bersetia kepada sumber ajarannya. Tak boleh berguru pada lain orang, Siau-bun melanjutkan pula. JILID 10 KAMAR RAHASIA. It Bi tertawa gelak-gelak, Bagus,.. kalau begitu. Tetapi kau belum memberitahukan namamu lho! serunya kepada Thian-leng. Thian-leng tertegun, jawabnya, Maaf, aku masih bernama Bu-beng-jin....... Hai, aneh, It Bi terbelalak, Apakah kau seorang anak yatim piatu? Thian-leng menghela napas. Iapun lalu menuturkan rahasia yang menyangkut dirinya. It Bi mengerutkan dahi. Ia hanya geleng-geleng kepala saja. Kemudian menghela napas. Kelak apabiila kau sudah berhasil meyakinkan ilmu kesaktian itu, tentu kau dapat mengusut riwayat dirimu! Ia bangkit dan mengajak mereka mengikutinya. Pertapa aneh itu menuju ke ruang sebelah kiri. Thianleng dan Siau-bun pun segera ikut. Kamar itu gelap gulita, tetapi berkat lwekangnya yang tinggi, dapatlah kedua anak muda itu melihat jelas. Di tengah ruangan seperti terdapat sebuah lubang terowongan selebar dua meter. Itulah pintu masuk dari apa yang dihebohkan orang dalam peta Telaga zamrud. Dulu setelah kubuka, aku terus tinggal di sini , tak pernah pergi kemanapun juga, kata It Bi seraya masuk ke dalam terowongan itu. Thian-leng dan Siau-bun tetap mengikuti. Terowongan itu dalamnya seperti sumur, mempunyai titian batu yang menurun. Diam-diam Thian-leng menghitung titian itu. Jumlahnya tak kurang dari 200 buah undakan. Dasar terowongan itu merupakan sebuah dataran yang terang. Luasnya puluhan tombak. Baik atap maupun lantainya terbuat dari batu seluruhnya. Benar-benar merupakan sebuah bangunan yang besar dan megah. Diam-diam Thian-leng mengagumi kehebatan mendiang yang telah menciptakan bangunan sedemikian hebatnya. Menurut catatan dalam kitabnya. Ruangan ini dibuat sendiri oleh mendiang It Bi siangjin dalam waktu tiga hari! tiba-tiba It Bi berkata. Hai.... tak mungkin! Thian-leng berseru kaget. Seorang yang berilmu sakti, apapun dapat dilakukan. Mungkin batu-batu raksasa ini hanya sebagai benda tak berarti bagi almarhum, tukans Siau-bun. Benar, It Bi tertawa, baginya ruang ini masih belum menyulitkan eh, tahukah kalian apa guna ruangan ini? Thian-leng menggelengkan kepala. Tetapi Siau-bun segera menanggapi, Ruang rahasia ini tentu mempunyai alat dan pintu rahasia. Tanpa melihat pada peta, tak mungkin orang bisa keluar. Rupanya It Bi siangjin seorang ahli bangunan yang cerdik! Benarlah, seru It Bi, ruang ini mempunyai delapan buah pintu rahasia. Hanya ada sebuah pintu hidup yang boleh dimasuki. ia menutukkan jari pada ujung dinding batu yang sebelah kanan. Terdengarlah bunyi berdrak-derak dan terbukalah sebuah lubang pintu, It Bi melangkah masuk, Thian-leng dan Siaubun mengikuti terus. Melintasi pintu itu, mereka berada di sebuah ruang batu yang terang benderang. Sekeliling dindingnya penuh brtaburan mutiara. Mutiara-mutiara itulah yang memancarkan cahaya cemerlang.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 191 dari 290

Thian-leng dan Siau-bun terkejut ketika matanya tertumbuk pada sebuah peti mati yang terletak di tengah ruangan. Peti mati itu terbuat dari batu mustika. Di depannya tercantum sebuah tong-pay ( nisan dari logam). Tong-pay itu bertuliskan beberapa huruf yang ditulis dengan guratan jari.Tempat arwah It Bi siangjin. It Bi segera berlutut dan menyuruh kedua anak muda itu berlutut juga. Mereka bersujud dengan khidmat. It Bi bangkit, tetapi ketika Thian-leng hendak bangkit, It Bi melarangnya. Mendiang It Bi siangjin telah meninggalkan pesan, bahwa barang siapa mendapat harta peninggalannya, harus menjaga seumur hidup dan melaksanakan cita-citanya. kata It Bi dengan nada bersungguh-sungguh. Surat pesanan itu ditanam di bawah. Karena kurang hati-hati ketika menggalinya, surat itu hancur. Tetapi yang penting, ada dua hal dalam surat itu..... It Bi berhenti sejenak, katanya pula, Lebih dulu kau harus mengangkat sumpah untuk menjaga dan melaksanakan pesan almarhum, barulah kau dapat menjadi pewaris It Bi siangjin yang nomor dua dan menjadi muridnya.. Tetapi totianglah yang menemukan suratnya. Seharusnya totianglah yang menjadi pewarisnya yang kedua. Aku rela menjadi pewaris nomor tiga. Tidak! tukas it Bi. Sekalipun aku beruntung menemukan peninggalannya, tetapi aku bukanlah pewaris seperti yang dikehendakinya. Apalagi yang kupelajari hanya sepersepuluh kepandaiannya, mana berani mengaku sebagai pewarisnya. Memang akupun sudah mengangkat sumpah di hadapan jenasahnya. Tetapi bersumpah untuk menjaga tempat ini sampai nanti mendapatkan orang yang tepat. Setelah kuserahkan semua peninggalannya, barulah aku pergi. Aku beruntung Sip U-jong akhirnya menemukan kau.. Thian-leng mendengarkan dengan tegang. Dua buah pesan penting itu, pertama harus orang yang jujur, berjiwa ksatria dan mempunyai cita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua, dia harus memilih pewaris dengan hati-hati, agar ilmu pelajaran It Bi siangjin akan terus berkembang selama-lamanya! Serta merta Thian-leng mengucapkan sumpah, Tecu (murid) bersumpah di hadapan arwah siangjin, akan taat melaksanakan pesan sampai mati. Kalau sampai berkhianat dan ingkar, biarlah mendapat kutukan yang berat dari Tuhan! Cukup! Bebanku kini sudah impas separoh.... mari ikut! kata It Bi terus menuju ke belakang peti mati. Di situ terdapat sebuah meja dan ranjang, serta beberapa kursi. Tempatnya bersih. Pada dinding tengah terdapat dua buah gelang batu mustika. It Bi menarik gelang sebelah kanan dan terbukalah sebuah pintu rahasia. Ternyata di situ terdapat pula sebuah kamar rahasia. Kamar ini adalah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin, masuklah!,seru It Bi yang tegak berdiri di ambang pintu rahasia. Tanpa bersanggsi lagi Thian-leng segera melangkah masuk. Tetapi baru kakinya melalui pintu, sekonyong-konyong pintu itu menutup. It Bi telah menggerakkkan alat penutup pintu. Kejut Thian-leng bukan buatan, Totiang! Totiang! ia berteriak sekuat-kuatnya, tetapi tiada sahutan sama sekali. Dicobanya untuk mendorong pintu itu, tetapi..ah pintu itu tak bergeming sama sekali. Walaupun mendorong sekuat tenagapun tetap tak berhasil. Pada lain saat ia sadar. Mungkin It Bi memang sengaja menutup pintu agar Siau-bun tak ikut masuk. Karena yang diperbolehkan mempelajari ilmu kitab pusaka itu hanya dia seorang. Tetapi ia memikirkan nona itu. Siau-bun telah menemaninya menempuh bahaya, sekarang setelah mendapat rejeki, ditinggal begitu saja di luar. Ah. namun ia tak berdaya.! Ruang itu tak seberapa luasnya, kira-kira hanya seluas dua tombak. Empat dinding ruang dilekati belasan mutiara yang cukup memancarkan terang. Tetapi yang membuat Thian-leng heran ialah, ruang itu tak terdapat apa-apa. Sebuah ruang yang kosong melompong tanpa isi. Setelah merenung beberapa saat, barulah Thian-leng tersadar. Kiranya pada empat dinding ruang itu terdapat guratan lukisan dan huruf. Ah, kini barulah ia menyadari. Kitab pusaka It bi-bu-cui itu bukanlah semacam kitab yang dapat dibawa kemana-mana, melainkan tulisan-tulisan yang diguratkan pada tembok!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 192 dari 290

Thian-leng segera memulai meneliti tulisan di tembok itu. Makin lama ia makin seperti tenggelam dalam lautan yang tiada dasarnya. Dipelajarinya gerak kaki dan tangan sesuai dengan petunjuk-petunjuk tulisan di tembok. Entah berapa lama ia terbenam dalam keasyikan belajar itu, ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak dan pintu batu terbuka....... Sudah dua hari, berapa bagiankah yang sudah kau pelajari? It Bi tegak di ambang pintu dengan tersenyum. Ah, mungkin baru seperempat bagian! Memang Thian-leng baru dapat mempelajari sebuah dinding saja. Masih ada tiga buah dinding yang belum dipelajari. Cukup dengan sebuah dinding saja, mungkin kau sudah tak ada tandingannya! seru Siau-bun yang berdiri di belakang It Bi. Memang, kepandaianmu sekarang sudah lebih unggul setingkat daripadaku. kata It Bi. Ah, mana mungkin. Aku hanya mempelajari dua hari, masakah sudah sedemikian rupa hebatnya, Thian-leng tak percaya. Sebentar kau tentu mengetahui sendiri. Sekarang aku hendak bicara padamu, mari kita keluar! Thian-leng keluar dan It Bi pun menutup pintu rahasia itu lagi. Kemudian Thian-leng menanyakan apa yang hendak ditanyakan It Bi. It Bi berkata, Sejak kau mengangkat sumpah di hadapan arwah It Bi siangjin, kau sudah menjadi murid pewaris kedua. Saat ini aku kalah tingkatan dan tunduk pada perintahmu. Maka tak usah kau berlaku menghormat lagi padaku....... Ah, tanpa bantuan totiang mana aku dapat menemui rejeki yang sedemikian besarnya ini, buru-buru Thian-leng merendahkan diri. Siau-bun juga turut memperkuat pernyataan Thian-leng dan menganggap pertapa itu adalah penolong yang berbudi. Aku bukan menolong, tetapi melaksanakan tugas dalam pesan It Bi siangjin, kata It Bi kemudian dengan nada bersungguh-sungguh. Jadi sesungguhnya akulah yang harus berterima kasih padamu. Tetapi bagaimanapun aku tetap menghormat totiang sebagai guru, Thian-leng membantah. Keduanya sama tak mau mengalah. Siau-bun tertawa geli, Ah, kalau terus menerus berdebat tentu takkan putus-putusnya. Aku mempunyai usul. Ya, ya silakan nona bilang. Kusulkan baiklah kalian berbahasa sebagai kakak dan adik saja, kata Siau-bun. Masih It Bi kurang puas dan mengatakan hal itu masih melanggar tata tertib. Tetapi Thian-leng segera menjura memberi hormat dan menyebutnya totiang toako atau engkoh imam. Akhirnya It Bi terpaksa menerima. Sejak saat itu keduanya sling memanggil kakak adik. Tadi aku sedang mempelajari ilmu pelajaran It Bi siangjin, mengapa toako memanggilku keluar? tanya Thian-leng. Sudah dua hari kau berada di situ, apakah kau tak lapar? It Bi tersenyum. Peringatan itu serentak membuat perut Thian-leng berkeruyuk. Sudahlah, makan dulu baru nanti sambung bicara lagi! seru Siau-bun. Nanti dulu, ijinkanlah aku merenungkan sekali lagi pelajaran dalam ruang itu agar tak lupa. Tunggu, buru-buru It Bi mencegah, walaupun hanya seperempat bagian, tetapi isinya sudah mencakup ilmu yang sakti. Yang tiga bagian itu kebanyakan hanya ilmu meramal dan ilmu perbintangan saja. Baiklah kau berhenti dulu. Setelah meyakinkan sempurna, barulah kau mulai mempelajari lanjutannya.! Setelah berunding banyak tentang rencana yang akan datang, akhirnya diputuskan, Thian-leng boleh pergi. Setahun kemudian harus kembali lagi ke goa itu. Mereka segera keluar ke dalam pondok lagi. Sam-chiu Sin-kun masih menggeletak di lantai tak berkutik.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 193 dari 290

Ketika keluar dari Telaga zamrud, haripun sudah tengah malam. Kiranya sudah dua hari dua malam Thian-leng masuk ke dalam goa Telaga zamrud. Ia masih belum yakin bahwa kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu akan dapat mengalahkan Sin-bu Te-kun dan kepala Hek Gak. Menurut ukuran kepandaianmu sekarang, kau lebih sakti beberapa kali dari dua hari yang lalu. Apakah saat ini kau tak mendengar atau melihat sesuatu? tiba-tiba Siau-bun menegur. Thian-leng seperti disadarkan. Ia kaget-kaget girang ketika merasakan lembah yang diselimuti kepekatan kabut malam itu, tidaklah segelap dalam pandangannya. Seluas satu li, ia dapat melihat dan mendengarkan suara yang betapa kecilpun. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ilmu menyusup suara. Apakah kau dapat mendengar pada jarak duapuluhan tombak. Lupakah kau akan ilmuku Melihat langit mendengarkan bumi? Siau-bun tersenyum. Orang yang diam-diam menguntit kita ini tentulah... Sudah tentu Im Yang songsat dan lainnya. Mungkin selama dua hari ini mereka tetap berkeliaran di sekeliling lembah, tetapi mereka takut kepada It Bi..... kata Siau-bun. Thian-leng berkobar nyalinya. Inilah saatnya ia hendak menguji ilmunya. Segera mereka meneruskan perjalanan. Tak berapa lama tibalah mereka di mulut lembah Pak-bong-kiap. Thian-leng segera mempercepat langkahnya. Ia ingin segera bertemu dengan rombongan Kay-pang. Baru melintasi mulut lembah, tiba-tiba muncullah lima orang yang mengepung mereka dari lima jurusan. Mereka ialah Im Yang song-sat suami isteri, Thian-san Siu-sin, paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek cinjin. Thian-leng pun lantas bersiap diri. Eh, belum pergi? acuh tak acuh Siau-bun menegur mereka. Berikan! bentak paderi Ko Bok. Berikan apa? sahut Siau-bun. Kitab pusaka It Bi siangjin! Si pertapa busuk itu telah membawa kalian ke dalam sarangnya sampai dua hari. Tentulah memberikan kitab itu kepadamu! teriak Thian-san Siu-sin. Dia hanya menjamu kita dengan hidangan yang lezat. Maksudnya begitu kalian sudah pergi, barulah melepaskan kita lagi. jawab Siau-bun. Ngaco! bentak Tiang Pek cinjin, Sam-chiu Sin-kun ditutuk jalan darahnya. Terowongan goa dalam sekali, tentulah Telaga zamrud berada di situ! Kau masih menyangkal! Oh, kiranya kalian telah menjenguk pondok itu? Siau-bun tertawa. Benar di situ tentulah tempat penyimpanan pusaka It Bi siangjin! seru Tiang Pek cinjin. Kalau sudah menduga begitu, mengapa kalian tak mengambilnya? Mengapa menunggu di situ saja? Merahlah wajah pertapa Tiang Pek, ia berpaling kepada paderi Ko Bok , Budak perempuan ini bermulut tajam, tak perlu berdebat dengannya. Kita mulai menggeledahnya saja! Benar, mari mulai sekarang juga! paderi Ko Bok menggerung. Jangan terburu-buru.... teriak Siau-bun sehingga kelima jari Ko Bok yang sudah direntang hendak mencengkeram si nona itu terpaksa dihentikan. Asal kalian mau menyerahkan dengan baik, tentu kami lepaskan kalian pergi.... Apakah kalian tentu harus mendapatkan benda itu? Siau-bun tertawa terpaksa. Sudah tentu! Tiba-tiba Siau-bun menuding ke arah Thian-leng, serunya. Kitab pusaka berada padanya. Minta saja! Thian-leng terkesiap, serunya.Mengapa adik Bun Siau-bun tertawa mengikik, Kau mengaku atau tidak, mereka tetap menghendaki.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 194 dari 290

Benar, kita harus mendapatkan sekarang juga! bentak paderi Ko Bok seraya berputar merangsek Thian-leng. Melihat itu kedua suami isteri Im Yang song-sat, Tiang Pek cinjin dan Thian-san Siu-sin pun menyerbu Thian-leng. Adik Bun, kau tahu jelas aku tak membawa apa-apa, mengapa kau katakan kitab itu berada padaku? Thian-leng menyesali Siau-bun. Namun nona itu hanya tertawa, Kita berada selama dua hari dalam goa telaga zamrud, apakah mereka mau percaya kita tak membawa apa-apa? Sudah tentu tidak percaya! teriak paderi Ko Bok. Pun Thian-san Siu-sin mengancam, Budak, rupanya kau memang ingin menjadi penghuni peti mati. Kalau tak diberi sedikit rasa tentu belum kapok.. kemudian ia berseru kepada lainnya. Harap saudara-saudara menyingkir dulu, biar aku yang membekuk budak ini! Tiang Pek cinjin tertawa sinis dan loncat merintangi, Tak usah saudara mencapekan diri, aku sendiri cukup membereskannya! Ternyata tokoh-tokoh itu sama mengerti. Mereka tahu jelas sampai di mana kepandaian Thian-leng dan Siau-bun ini. Salah seorang dari mereka itu sudah cukup untuk meringkus anak muda itu. Hal itu menimbulkan perebutan. Mereka saling berebut hendak menangkap Thian-leng yang dikira tentu menyimpan kitab pusaka. Thian-leng masih meragu. Ia hendak segera meloloskan diri dan yang kedua ia masih belum yakin akan kepandaian yang dipelajarinya selama dua hari itu. Eh, mengapa kau masih ragu-ragu? Inilah saat yang tepat untuk menguji kepandaianmu! teriak Siaubun. Thian-leng tertawa meringis. Kalau kepandaiannya ternyata gagal menghadapi kelima durjana itu, paling banyak itu hanya mati. Baginya kematian tak terlalu dipersoalkan. Tetapi bagaimana dengan tugas yang diletakkan di bahunya oleh para cianpwe yang melepas budi kepadanya itu? Bagaimana dengan warisan dari It Bi saingjin dan sebagainya! Tetapi ia tak diberi kesempatan untuk bersangsi lagi. Sekonyong-konyong paderi Ko Bok menyelonong maju mencengkeram dadanya. Seketika marahlah Thian-leng. Pedang dilintangkan ke dada untuk menjaga diri, dengan tangan kiri ia balas menghantam Ko Bok. Mempelajari ilmu silat It Bi siangjin yang luar biasa dalamnya itu, tak mungkin selesai dalam waktu dua hari saja. Untunglah berkat otaknya yang terang, Thian-leng dapat mengingat semua pelajaran itu. Kini dicobanya menggunakan salah satu jurus dari It bi bu-cui. Paderi Ko Bok termasuk tokoh yang jarang tandingannya. Dia yakin cengkeramannya itu tentu berhasil meremukkan dada si anak muda. Tetapi apa yang diperolehnya benar-benar di luar dugaannya! Memang diketahuinya juga Thian-leng balas memukul. Tetapi gerakannya itu adalah sebuah gerakan ilmu silat yang sederhana saja. Diam-diam ia geli dan melipatgandakan tenaga cengkeramannya. Tamparan Thian-leng tepat sekali mengenai siku lengan lawan. Cepat dan aneh sekali gerak tamparan itu sehingga musuh tak sempat menghindar lagi. Menjeritlah paderi Ko Bok seperti babi yang disembelih. Lengannya serasa putus dan tubuhnyapun terlempar Sekalian orang terbeliak kaget. Bahkan Thian-leng sendiripun terkesima. Sebenarnya ia hendak menggunakan ilmu pukulan Lui hwe ciang. Adalah karena paderi Ko Bok menyerang secara cepat, ia tak sempat mengembangkan Lui hwe caing dan terpaksa mainkan gerakan menampar itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa ia dapat menggulingkan lawannya secara begitu gemilang. Ayo, siapa lagi yang berani maju? Siau-bun melengking. Sepasang suami isteri Im Yang songsat menyambut dengan gemboran keras dan bergerak menerjang. Keduanya tahu apa yang diderita paderi Ko Bok, tetapi mereka masih tetap yakin, apabila menyerang secara cepat tentu dapat membuat si anak muda tak berkutik. Dan telah menjadi tekad mereka, lebih baik mati daripada tak mendapatkan kitab pusaka. Thian-leng menyapu dengan pedangnya. Ia menggunakan jurus Hong-ki-hun-yong atau Angin meniup awan berkembang. Sebuah jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran wanita sakti Toan-jongjin. Tetapi di luar kemauannya, ia telah mainkan salah sebuah jurus dari ilmu ajaran It Bi siangjin.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 195 dari 290

Tampak segumpal sinar pedang berhamburan memenuhi udara. Sesaat kemudian terdengar jeritan dan Im Yang songsat pun tehuyung-huyung mandi darah. Si lelaki yang bernama Go Goan-pa, lengan kirinya tergores ujung pedang dan si perempuan yang bernama Po Giok-kang pun menderita luka di perutnya. Dalam beberapa detik saja Thian-leng telah berhasil mengalahkan tiga orang tokoh persilatan yang ternama. Thian-leng makin heran. Ia mengkombinasikan jurus ilmu pedang Toh beng-sam-kiam dengan sedikit jurus It bi-bu-cui. Ia merasa selama dua hari ini tak ada perobahan yang menyolok. Tetapi apa yang dihasilkan, benar-benar membuatnya seperti bermimpi. Thian-san Siu-sin diam-diam menyadari apa yang terjadi pada anak muda itu. Ia mencuri lirik pada Tiang Pek cinjin. Pertapa itupun mengetahui apa yang dipikirkan Thian-san Siu-sin. Jelas si anak muda telah mendapat ilmu pelajaran dari It Bi. Mundur malu, maju gentar. Tetapi, ah anak muda itu baru mempelajari dua hari saja. Bagaimanapun tentu belum sempurna latihannya. Kalau tak segera ditumpas, kelak tentu semakin sukar. Tiang Pek cinjin membalas isyarat Thian-san Siu-sin dengan tatapan mata. Segera Thian-san Siu-sin tertawa sinis dan melangkah maju ke hadapan Thian-leng. Sebenarnya aku tak mau bermusuhan dengan orang. Baiklah saudara jangan mendesak, benar-benar aku tak membawa kitab pusaka itu! Thian-leng memberi peringatan. Ah, Bu Beng tayhiap salah paham. Thian-san Siu-sin kedipkan mata, setiap pusaka tentu mencari pemilik yang tepat. Aku tahu diriku tak berjodoh, takkan melanggar garis alam. Mulutnya berbicara begitu, tetapi dia tetap melangkah maju. Siau-bun yang berdiri di samping, tahu maksud orang, namun ia hanya ganda tertawa saja. Kalau cunkia tak bermaksud begitu, baiklah segera tinggalkan tempat ini. Thian-san Siu-sin cepat-cepat menukas, Aku hanya akan bertanya padamu ia sudah berada dua meter di hadapan Thian-leng. Juga Tiang Pek cinjin yang berada di belakang Thian-leng, berkisar merapat di belakang Thian-leng. Aku tak bermusuhan kepada kalian berdua. Sedapat mungkin jangan kita bertempur lagi. Silakan bertanya, akupun segera angkat kaki dari sini! sahut Thian-leng. Tiba-tiba Tiang Pek cinjin memberi isyarat mata kepada Thian-san Siu-sin. Aku ingin bertanya apakah Bu Beng tayhiap sudah mendapatkan kitab pusaka itu atau belum? tanya Thian-san Siu-sin pula. Walaupun aku sudah mendapat ilmu ajaran It Bi siansu, tetapi..... Thian-leng mengerutkan alis. Suami isteri Im Yang songsat dan paderi Ko Bok yang masih duduk di tanah, mengerang kaget mendengar kata-kata si anak muda. Serentak Thian-san Siu-sin menyeletuk, Siansu , apakah....? Aku sudah bersumpah di hadapan layon It Bi siangjin untuk menjadi murid pewaris angkatan kedua, maka................. Oh, jadi tadi Bu Beng tayhiap telah menggunakan ajaran It bi-bu-cui? Thian-san Siu-sin berseru kaget. Thian-leng seorang pemuda yang jujur. Karena melihat keramahan Thian-san Siu-sin, iapun menjawab dengan terus terang. Tetapi di luar dugaan, sekonyong-konyong Thian-san Siu-sin memukulkan kedua tangannya. Seluruh tenaganya ditumpahkan dalam pukulan dahsyat yang di arahkan ke dada si anak muda! Berbareng dengan itu Tiang Pek cinjin segera bergerak secepat kilat menyerang punggung Thian-leng. Dua tokoh kenamaan, pada jarak yang dekat dan waktu yang bersamaan telah menyerang dengan seluruh tenaganya. Bagaimana akibatnya benar-benar tak dapat dibayangkan! Thian-leng kaget sekali. Di luar kesadarannya, rasa kaget itu telah membangkitkan tenaga dalam. Dua hari belajar dalam goa rahasia telaga zamrud benar-benar membuat Thian-leng seorang manusia baru. Kini ia telah memiliki semacam tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga setiap saat daapt dikembangkan. Serangkum hawa hangat serentak menghambur dari tubuhnya. Uh. terdengar jeritan tertahan dari kedua orang itu ketika pukulan mereka terpental oleh tenaga dorongan yang tak tampak. Dan serentak dengan itu, Thian-leng pun membalas. Ia memukul Thian-san Siu-sin dengan pukulan Lui-hwe-ciang dan menebas Tiang Pek cinjin dengan ilmu pedang Toh-benghttp://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 196 dari 290

sam-kiam. Terdengar jeritan ngeri dari tiga sosok tubuh yang terlempar sampai setombak jauhnya. Tiang Pek cinjin pecah perutnya, ususnya berhamburan keluar. Thian-san Siu-sin terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Dan yang ketiga ialah paderi Ko Bok yang remuk lengannya. Waktu melihat Thian-san Siu-sin dan Tiang Pek cinjin menyerang Thian-leng, ia yakin anak muda itu tentu akan terbekuk dan kitab pusaka pasti jatuh ke tangan kedua tokoh itu. Dalam keadaan lengannya masih kesemutan, ia tetap bernafsu untuk ikut merebut kitab. Segera ia menghantam Thian-leng dengan tinju kirinya. Tetapi akibatnya mengerikan sekali. Thian-leng berputar dan menyongsong dengan pukulan. Tubuh paderi Ko Bok laksana layang-layang putus talinya, ia terlempar sampai setombak lebih. Separoh badan gosong, tulang remuk dan jiwanyapun melayang. Sepasang suami isteri Im Yang songsat menjerit ngeri dan mundur beberapa langkah. Thian-leng memandang terlongong-longong ke arah ketiga mayat yang menjadi korbannya itu. Ia benar-benar seperti bermimpi. Adik Bun, apakah .. ini benar-benar terjadi? beberapa saat kemudian ia bertanya. Siau-bun tertawa sedap.Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, kau sudah tergolong jago nomor satu atau dua dalam dunia persilatan! Kau tentu sudah mengetahui apa manfaat pelajaran yang kau yakinkan dalam dua hari itu! Di luar dugaan Thian-leng malah menghela napas dan segera mengajak Siau-bun berjalan. Ia tak tahu apakah ia harus bergembira atau bersedih. Apa yang dicita-citakan selama ini telah tercapai. Seharusnya ia bergembira, tetapi entah bagaimana terharu sekali. Hampir tak dapat ia menahan air matanya. Ah, masih ada dua orang pengganggu lagi! tiba-tiba Siau-bun berseru seraya melirik kepada sepasang suami isteri Im Yang songsat yang berlumuran darah. Thian-leng tak setuju atas tindakan Siau-bun yang sering main bunuh orang. Ia tak mau mengganggu jiwa suami isteri itu. Tiga jiwa tadi sudah cukup mengerikan. Eh, apa mereka mau melepaskan engkau? Siau-bun tertawa ketika Thian-leng hendak melanjutkan langkah. Sudah tiga jiwa melayang, apakah belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, kedua suami isteri Im Yang menghampirinya. Bluk, serta merta kedua suami isteri ganas itu berlutut di hadapan Thianleng. Silakan pergi, aku bukan orang yang suka mengganas! Thian-leng berseru heran. Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Si wanita berseru, Kami berdua sekali-kali bukan takut mati. Tetapi kami mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami. Menerima apa? Sebagai murid? Thian-leng heran. Ia duga kedua suami isteri itu masih tak mau mundur untuk mencari kitab pusaka. Yang-sat Go Goan-pa cepat berseru, Seumur hidup kami suami isteri belum pernah tunduk pada orang lain, tetapi terhadap Bu Beng tayhiap kami benar-benar kagum sekali. Mohon Bu Beng tayhiap suka menerima kami sebagai budak. Kami rela melayani tayhiap seumur hidup! Ah jangan! buru-buru Thian-leng berseru, aku masih muda dan masih mempunyai tugas berat. Aku tiada tempat tinggal menentu dan tak mau kuseret kalian turut menderita. Dan yang ketiga...... Jika tayhiap menolak, lebih baik kami bunuh diri saja... tiba-tiba kedua suami isteri itu menukas dan berbareng bersikap hendak menghantam ubun-ubun kepala mereka. Tunggu! Thian-leng cepat mencegah, kita bicara dulu! Ia berpaling kepada Siau-bun dan menegur, Adik Bun, mengapa tak mau mencegah mereka? Nona itu tertawa menyengir,Segala urusan aku bersedia memberi pendapat, kecuali dalam hal ini, ia deliki mata kepada anak muda itu, serunya lebih lanjut,Mereka menyatakan bersungguh hati hendak menghamba, menerima atau tidak terserah padamu. Jika kukatakan supaya ditolak saja, mereka tentu akan mendendam padaku, hal ini..... Nona mengerti jelas, buru-buru suami isteri itu menghadap ke arah Siau-bun, bahwa kami bersungguh hati hendak menjadi hamba tayhiap. Kami harap bantuan nona untuk menganjurkan tayhiap
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 197 dari 290

supaya sudi menerima permintaan kami. Dahulu kami telah bersumpah, kalau tak dapat menjadi jago nomor satu di dunia, kami rela menjadi budaknya saja atau lebih baik mati! Telah kukatakan, Siau-bun tertawa sinis, aku tak mau campur urusan ini. Lebih baik kalian langsung menanyakan padanya, mungkin....... Bu Beng tayhiap bukan orang yang suka mengecewakan harapan orang, mungkin saja...... ia tertawa. Dengan girang kedua suami isteri itu segera mendesak Thian-leng pula. Aku mempunyai kesulitan yang sukar kukatakan, akhirnya Thian-leng menyahut. Yang-sat Go Goan-po menghela napas panjang. Ah, kalau begitu, hambapun tak berani memaksa. Ah, ia berpaling kepada isterinya, kita terpaksa harus melaksanakan sumpah kita dahulu! Sahut si isteri Im-sat dengan menghela napas, Apa boleh buat, kita tak dapat berbuat apa-apa! Yang jelek adalah nasib kita, kata Yang-sat Go Goan-po dengan nada rawan, ia mengangkat tinjunya lagi ke atas. Selamat tinggal isteriku, kutunggu kau di pintu akhirat! Ia segera ayunkan tinjunya. Benar-benar Thianleng kaget tak terkira. Ia tak mau melihat korban yang keempat. Tanpa disadari, ia ulurkan tangannya menyambar lengan Yang-sat Go Goan-po. Go Goan-po meronta-ronta, Lepaskan tayhiap, karena tayhiap tak mau menerima permintaan kami lebih baik kami mati saja. Apa artinya kami hidup di dunia lagi, lebih baik.. ia meronta-ronta seperti orang kalap hendak bunuh diri. Mengapa kau begitu keras kepala. Ketahuilah kalau kalian ikut padaku, lebih banyak menderita daripada bahagia.... Tetapi itu sudah menjadi sumpah kami. Untung celaka kami sudah bersedia! si wanita Im-sat menyeletuk. Kembali Thian-leng memandang ke arah Siau-bun, tapi nona itu hanya tertawa mengikik tak mengacuhkan. Akhirnya Thian-leng mengalah, Baiklah, kuterima permintaan kalian, tetapi.......... tibatiba ia berobah nada bengis, Lebih dahulu kalian harus berjanji tak boleh melakukan kejahatan lagi. Segala hal harus berunding padaku......... Sudah tentu hamba tak berani bertindak sendiri. Dalam segala hal, biar kecil maupun besar tentu akan menjalankan perintah tuan! buru-buru kedua suami isteri itu menyatakan. Thian-leng menghela napas. Terpaksa ia menerima kedua suami isteri itu menjadi budaknya, walaupun sebenarnya ia tak suka. Aku harus memberi selamat padamu...... Siau-bun tertawa, pertama atas pengangkatanmu sebagai ketua partai pengemis dan kini mendapat pengabdian dari dua orang tokoh berilmu.. Kau harus memaklumi keadaanku.. Thian-leng tertawa meringis dan terus melanjutkan langkah. Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat mengikuti. Di luar lembah rombongan pengemis yang dipimpin Lau Gik-siu tentu akan menyambut kedatangannya dengan gembira. Demikian pikir Thian-leng. Tetapi ternyata ia tak melihat barang seorangpun pengemis. Lau tongcu....Lau ......tong....cu, demikian Thian-leng meneriaki Lau Gik-siu. Tetapi suaranya tak menyahut, orangpun tak tampak. Thian-leng gelisah. Eh, mengapa kau ini? tegur Siau-bun. Sebagai ketua kaypang, aku belum pernah mendirikan jasa apa-apa terhadap partai. Kini kelihatannya malah membuat mereka tertimpa bahaya. Bukankah perbuatanku ini merugikan Kay-pang? Thian-leng membanting-banting kaki. Bagaimana kau tahu mereka terancam bahaya? Siau-bun balas bertanya. Kalau tidak terserang bahaya, mengapa mereka tak berada di sini? Siau-bun tertawa, Sudah dua hari kita meninggalkan tempat ini. Apakah kau kira mereka mau menunggu di sini? Siapa tahu mereka sudah pulang ke sarangnya!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 198 dari 290

Ah, kau tak mengetahui tata tertib Kay-pang! Thian-leng penasaran, ketua memerintahkan mereka menunggu di sini, biarpun menghadapi bahaya apa saja, mereka tentu tetap menunggu di sini. Itulah sebabnya.... Sekalipun benar mereka tertimpa bahaya, apakah penyesalanmu ini dapat menolong ? Apalagi di sekitar sini tiada terdapat sesosok mayatpun. Juga tidak ada tanda-tanda bekas pertempuran. sejenak Siau-bun memandang Thian-leng dengan tajam, serunya pula, Mungkin mereka ditipu anak buah Sinbu-kiong supaya pergi ke lain tempat atau mungkin anak buah Kay-pang itu memang sudah tertangkap musuh. Tak perlu bingung-bingung, yang penting kita harus mencari jejak mereka! Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia menarik tangan si nona terus diajak berlari menuju ke tempat barisan partai Thiat-hiat-bun......... Penyelesaian. Kini Thian-leng bukanlahThian-leng pada dua hari yang lalu. Betapapun Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat hendak menyusul, tetapi tetap ketinggalan beberapa tombak di belakang anak muda itu. Pada saat itu barisan partai Thiat-hiat-bun terlihat. Teganglah hati Thian-leng. Sekalipun masih terpisah pada jarak puluhan tombak, tetapi Thian-leng dapat melihat jelas. Sesaat kemudian Siau-bun dan Im Yang song-satpun tiba. Merekapun mengetahui apa yang telah terjadi di dalam barisan Thiat-hiat-bun saat itu. Tokoh-tokoh sakti dari partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek Gak, semua lengkap berkumpul di tengah lapangan. Dari wajah mereka terlihat rupanya mereka sedang menghadapi suatu masalah berat. Tiba-tiba Thianleng dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang mengherankan. Si gendut Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi berada di samping Tokko Sing ( algojo Hek Gak). Adik Bun, bukankah Bok cianpwe telah kau beri minum pil? Mengapa dia....... baru Thian-leng bertanya dengan ilmu menyusup suara, Siau-bun sudah menukas. Mestinya pil itu dapat menyembuhkan ingatannya yang linglung. Hanya ada dua kemungkinan. Dia telah diberi racun ganas, atau entah diapakan oleh ketua Hek Gak! Thian-leng menghela napas. Kalau ketua Hek Gak benar-benar telah merusak urat syaraf jago tua itu, sukarlah untuk menyembuhkannya lagi. Ketiga partai yang hadir di lapangan itu tak kurang dari dua tiga ratus orang banyaknya. Sekalipun belum ada tanda-tanda petempuran tetapi suasananya tegang sekali. Telah membuat saudara menunggu sampai dua hari dua malam. Sekarang ...... apakah hendak bubaran? tiba-tiba Jenggot perak Lu Liang-ong berseru. Sin-bu Te-kun segera menggembor, Lu loji, tak kuhiraukan segala apa lagi kecuali hendak bertempur denganmu. Di dunia persilatan hanya terdapat satu, ada Thiat-hiat-bun tak ada Sin-bu-kiong, ada Sinbu-kiong tak ada Thiat-hiat-bun! Lu Liang-ong tertawa acuh tak acuh, Oh, jadi kedatanganmu ke gunung Thay-heng-san sini untuk hal itu? Sin-bu Te-kun terbeliak diam. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling. Dilihatnya rombongan Hek Gak hadir lengkap. Agak legalah hati Sin-bu Te-kun. Apakah maksud kedatanganku kemari, tak perlu kauresahkan. Yang jelas, sekarang kita selesaikan dulu persoalan kita! serunya dengan dingin. Bagaimana dengan kitab pusaka It Bi siangjin? Tidak kuatir didahului orang lain? Jenggot perak tertawa mengejek. Dengarlah! seru Sin-bu Te-kun dengan suara mantap, sekalipun orang yang mempunyai peta telaga zamrud itu sudah berhasil mendapatkan kitab pusaka, tetapi jangan harap dia bisa lolos dari gunung ini! Ucapan itu mengandung maksud bahwa Sin-bu Te-kun telah memerintahkan anak buahnya untuk menghadang semua jalan di Thay-heng-san. Karena ketua Hek Gak juga mempunyai kepentingan dalam memburu kitab itu, ia hanya mendengus saja. Rupanya ia mempunyai rencana juga.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 199 dari 290

Jenggot perak Lu Liang-ong tetap ganda ketawa, Berulang kali kukatakan, aku tak bermaksud bermusuhan padamu. Juga telah kujanjikan akan membantumu dalam rapat tokoh persilatan nanti supaya kau berhasil melaksanakan cita-citamu. Tetapi eh, mengapa kau selalu bersikap memusuhi aku saja? Hm, aku sudah kenyang makan tipu muslihatmu! Jangan harap kau dapat meninabobokan aku lagi! Sin-bu Te-kun menggerung. Jadi kau tetap hendak bermusuhan dengan Thiat-hiat-bun? Sedikitpun tak salah! Jika tak dapat menahan diri dalam urusan kecil, tentu akan menderita kerugian dalam urusan besar. Apakah kau tak akan menyesal? Sin-bu Te-kun benci setengah mati kepada ketua Thiat-hiat-bun itu. Seolah-olah kalap hendak menempur Thiat-hiat-bun. Tetapi di kala mendengar penegasan Lu Liang-ong itu hatinya berdebar keras. Di sampingnya ialah Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak yang berambisi besar. Bukan saja dia hendak memburu kitab pusaka, tetapi juga hendak merebut kedudukan kepala dunia persilatan. Jika ia bertempur dengan ketua Thiat-hiat-bun, tentulah keduanya menderita kehancuran. Dan...ah..... siapa lagi yang akan memperoleh keuntungan kalau tidak ketua Hek Gak yang licin dan ganas itu.... Aku bertekad hendak menempur Thiat-hiat-bun, bagaimana dengan saudara Kongsun......, baru ia hendak mencari penegasan pada Kongsun Bu-wi, ketua Hek Gak itu sudah menegas,Aku bersedia berdiri di belakangmu saudara Ki! Diam-diam ketua Hek Gak itu girang dan mengharapkan agar Sin-bu-kiong lekas bertempur dengan Thiat-hiat-bun. Kebalikannya hati Sin-bu Te-kun seperti disiram air. Kemarahannya pun mereda. Kalau toh hendak bertempur, paling tidak ia harus menarik supaya pihak Hek Gak ikut serta dengan serempak. Rupanya jenggot perak dapat membaca isi hati kedua tokoh itu. Tiba-tiba ia berseru dengan nada bengis, Aku si orang tua tak suka ribut-ribut, kalau kalian memang belum mengambil keputusan, silakan merundingkan kembali! Habis berkata ia memberi isyarat dengan kebutan lengan baju. Jagojago Thiat-hiat-bun yang terdiri dari empat su-kiat, tigapuluh enam Thian-kong dan tujuhpuluhdua Te-sat segera pecahkan diri dalam dua formasi deretan. Mereka berjajar mengawal ketuanya. Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak terkejut. Merekapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya supaya bersiap. Rombongan jago Sin-bu-kiong dan Hek Gak segera berbondong-bondong merintangi rombongan Thiat-hiat-bun. Jenggot perak tertawa meloroh. Ia mengebutkan lengan bajunya lagi dan rombongan anakbuahnya segera berhenti. Gerakan mereka rapih sekali. Jelas mereka telah terlatih baik. Seratus orang lebih dapat bergerak dengan serempak. Lu loji, aku tak sudi menelan tipumu lagi. Barisanmu itu mungkin tak sempat main-main lagi di hadapanku! seru Sin-bu Te-kun. Andaikan barisan itu hancur, tetap kau ini kuanggap sepi.... seru Lu Liang-ong sambil menatap tajam kepada Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Kita akan bertempur satu lawan satu atau secara keroyokan? Silakan kau memilih, kalau tidak.......ah, aku tak punya waktu lagi menemani kalian! Kau mau pergi? seru Sin-bu Te-kun. Tidak semudah itu kawan! ketua Hek Gak pun menambahi. Namun Jenggot perak tetap sabar, serunya,Kalau begitu harap kalian segera mengatakan caranya bertempur. Aku si orang tua tentu takkan mengecewakan harapan kalian! Aku mempunyai rencana, entah saudara Kongsun.... kata Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak. Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tionggoan, tentu tak bermaksud baik..... Salah! Jenggot perak menukas. Penyelenggaraan rapat orang gagah itu adalah sebagai suatu penghormatan kepada ksatria-ksatria Tionggoan...... ia tertawa. Tetapi sayang, di antaranya masih terdapat tokoh yang tak kupandang sebelah mata. Yang satu dari Sin-bu-kiong dan yang satu dari Hek Gak!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 200 dari 290

Bukan kepalang marahnya Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Seru Sin-bu Te-kun kepada ketua Hek Gak, Kita berdua masing-masing menempur si Lo tua itu satu jurus, kemudian .... silakan cong-houhwat Ang-tim gong-khek ( Bok Sam pi) menempurnya sejurus. Jadi tua bangka itu harus bertempur tiga jurus. Kalau dia kalah dua jurus...... Sengaja kata-kata itu diucapkan dengan keras agar Jenggot perak mendengar. Sebelum selesai, Jenggot perak sudah menukas, Jika aku si tua ini sampai kalah dua kali, aku segera meninggalkan Tionggoan dan Thiat-hiat-bun takkan muncul lagi di masyarakat..... Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Aku setuju dengan cara itu, tetapi.bagaimana kalau aku yang menang? Sin-bu Te-kun gelagapan. Buru-buru ia berpaling kepada ketua Hek Gak, Bagaimana pendapat saudara Kongsun? Sebenarnya ketua Hek Gak tak menyetujui usul Sin-bu Te-kun. Tetapi ia tiba-tiba mendapat pikiran. Ia merasa kepandaiannya masih kalah dengan Sin-bu Te-kun. Ia harus mengadu Sin-bu Te-kun dengan Jenggot perak. Andaikata Sin-bu Te-kun yang menang, ia akan mengajukan gurunya. Tetapi kalau Jenggot perak yang menang, ia nanti akan mencari alasan untuk membatalkan perjanjian. Tertawalah ia dengan sinis, Lo tua berjanji akan pergi dari Tionggoan kalau sampai kalah. Kitapun juga demikian. Kalau sampai kalah, kita harus mengasingkan diri takkan muncul lagi di dunia persilatan. Adil bukan? Jenggot perak mengangguk-angguk tertawa puas, Aku tak berani meminta lebih dari itu. Perjanjian itu kita resmikan.. ia mengisar maju selangkah, serunya, Aku si orang tua harus menghadapi tiga lawan. Siapakah yang lebih dulu hendak menjadi lawanku? Cepat ketua Hek Gak menyahut, Nama Sin-bu-kiong sudah termasyhur di dunia persilatan, sudah tentu aku tak berani melancangi! Diam-diam Sin-bu Te-kun mendamprat kelicikan ketua Hek Gak. Namun iapun sgera melangkah ke hadapan jago Thiat-hiat-bun, serunya, Baiklah, aku akan mohon sejurus pelajaran darimu! Dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, ilmu jari Hiat-im-ci termasuk yang paling hebat sendiri. Dan ilmu itu telah dilatihnya dengan sempurna. Apabila kelima jarinya digerakkan, hebatnya bukan kepalang. Betapapun lihaynya Jenggot perak, pun tentu akan kalah. Sin-bu Te-kun menutup kata-katanya dengan sebuah jurus jurus Ngo-hian-ki-hwat atau lima jari serentak menyambar. Jenggot perak tertawa. Ia menamparkan tangannya ke kanan. Tar.......... Keduanya adalah tokoh kelas satu. Gerakan mereka cepat dan dahsyat. Dalam lingkungan satu tombak, bumi terasa bergetar! Tetapi ketika kedua jago itu belum beradu pukulan, sekonyong-konyong terdengar lengking bentakan orang, Tahan! Sesosok tubuh menyela di tengah kedua tokoh itu. Jenggot perak dan Sin-bu Te-kun serentak menyurut mundur beberapa langkah. Seorang pemuda berbaju biru tegak berdiri dengan gagahnya. Jenggot perak girang, Sin-bu Te-kun terkejut dan sekalian orang berteriak kaget. Itulah Thian-leng! Mereka melihat gerakan pemuda itu jauh bedanya dengan dua hari yang lalu. Hai budak, apakah kau hendak melanjutkan pertempuran kita lagi? teriak Sin-bu Te-kun. Benar, memang aku hendak melanjutkan pertempuran kita yang belum selesai itu, seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun membelalakkan matanya, Eh, rupanya dalam dua hari ini kegagahanmu bertambah Tahu sendiri sajalah, Thian-leng tertawa dingin, lalu memberi hormat kepada Jenggot perak, Wanpwe telah berjumpa ..... Maksudnya hendak menjelaskan tentang si dara Lu Bu-song, tetapi Jenggot perak segera menukas dengan ilmu menyusup suara, Mengapa kau mengganggu pertempuranku dengan iblis tua ini? Thian-leng menyahut juga dengan ilmu menyusup suara, Wanpwe hendak mewakili.... Mana kau sanggup menandinginya? Terus terang, wanpwe telah mendapatkan ilmu ajaran It Bi siangjin! Jenggot perak tersentak kaget, Apakah kitab itu ada padamu?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 201 dari 290

Tidak, pelajaran itu dilukis di tembok! Tetapi kau hanya belajar dua hari, mana dapat mempelajari dengan mahir? Jenggot perak menegas, walaupun tadi telah diketahui jelas betapa jauh bedanya gerakan pemuda itu sekarang. Harap locianpwe jangan kuatir, wanpwe sanggup menandinginya, sahut Thian-leng dengan yakin. Baik, cobalah, Jenggot perak tertawa riang. Di antara sekalian orang yang berada di situ, adalah Ang-tim gong-khek Bok Sam-pi yang paling tegang. Ia masih ingat ketika di dalam Hek Gak dijatuhkan oleh anak perempuan kawan pemuda itu. Segera ia hendak melangkah maju, tetapi ketua Hek Gak cepat-cepat membisikinya. Bok Sam-pi terpaksa menahan kemarahannya. Di manakah Siau-bu dan kedua suami isteri Im Yang song-sat? Ternyata mereka bersembunyi untuk menunggu perkembangan. Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman. Sin-bu Te-kun sudah menaruh kecurigaan atas sikap Thian-leng yang begitu garang. tentu pemuda itu telah mendapat apa-apa yang luar biasa. Namun ia tak percaya bahwa hanya dalam dua hari saja, pemuda itu dapat berganti tulang. Bagaimanapun ia tentu dapat menguasainya. Lu tua, hendak menerencanakan apa kau dengan budak hina itu? Bagaimana dengan acara kita? tegurnya ketika melihat Jenggot perak bertukar cakap dengan Thian-leng. Jenggot perak tertawa, Aku hendak menarik diri! Menarik diri? Sin-bu Te-kun terkejut, hai, apakah kau menyesal karena takut mati di tangan orang Sinbu-kiong? Kuwakilkan pada anak muda ini, aku cukup menonton di samping saja. sahut Jenggot perak. Budak itu? Sin-bu Te-kun tertawa mengejek. Iblis tua, jangan temberang! bentak Thian-leng seraya melangkah maju. Baiklah, takkan kutolak maksudmu, tetapi.... Sin-bu Te-kun tertawa. Ia berkata kepada ketua Hek Gak, dengan anak itu aku mempunyai taruhan seratus jurus. Masih sepuluh jurus belum selesai. Maksudku hendak menyelesaikan perjanjian itu, baru kemudian memberesi Lu tua....... Terserah saja pada saudara Ki, aku menurut, tukas ketua Hek Gak. Justru itulah yang dikehendakinya. Serentak ia mundur ke samping. Sin-bu Te-kun membuat garis lingkaran lagi di tanah, kemudian ia berdiri di tengah-tengahnya. Budak, ayo seranglah! Aku tak sudi bertanding dengan cara begitu lagi! Thian-leng tertawa hina. Apa ? Kau hendak menunda lagi? teriak Sin-bu Te-kun gusar. Sama sekali tidak! Aku menghendaki pertempuran secara adil! Adil? Benar, kita adu pukulan atau senjata secara berimbang! Kau gila! teriak Sin-bu Te-kun. Thian-leng berseru nyaring, Di hadapan sekalian orang gagah pada malam ini, jika dalam sepuluh jurus aku kalah, aku akan tetap melaksanakan perjanjian tempo hari. Tetapi jika kau yang kalah, janganlah menyesal! Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Tak habis herannya melihat sikap pemuda itu, tetapi cepat ia merobah dugaan. Kemunculan Thian-leng dalam gerakan yang sebat sekali tadi dan kasak-kusuknya dengan Jenggot perak, tentu mengandung sesuatu yang luar biasa. Tetapi betapapun juga, hanya dalam dua hari saja masakah pemuda itu dapat berobah menjadi sakti sekali. Andaikata Thian-leng benar-benar telah mendapatkan warisan kitab pusaka It Bi siangjin, pun dalam waktu dua hari saja apa yang dapat dicapainya. Baik, baik, aku menurut saja kehendakmu budak! ia segera tertawa mengejek. Segera ia melangkah keluar dari garis lingkaran , serunya, Seranglah!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 202 dari 290

Thian-leng mendengus hina, Hm, iblis tua, jangan sombong kau, hati-hatilah! Peringatan itu ditutup dengan sebuah gerakan menampar. Tamparan itu menggunakan jurus Lui-hweciang. Jurus yang sudah diketahui jelas oleh Sin-bu Te-kun. Karena waktu pertandingan sembilan pulu jurus yang lalu, tanpa balas menyerang, Sin-bu Te-kun dapat menghindari seluruh serangan Lui-hweciang dari Thian-leng. Oho, permainan lama kau keluarkan lagi. Apakah kau sudah bosan hidup.... ejeknya. Ia yakin sekali gerak tentu dapat memunahkan serangan anak muda itu. Ia hendak membunuh pemuda itu. Maka sekali gerak ia menggunakan ilmu Kin-na-chiu. Pil Pahit! Kin-na-chiu adalah ilmu tangan kosong untuk merampas senjata atau meringkus lawan. Sin-bu Te-kun sekali gerak hendak mencengkeram lengan kanan Thian-leng. Tetapi baru tangannya bergerak setengah jalan, ia terkejut. Ia merasakan jarinya seperti tercengkam api dan lengannya seperti dirayapi aliran tenaga panas yang menyerang dadanya Sebagai seorang tokoh sakti, ia cukup paham apa artinya itu. Nyata kepandaian anak muda itu sepuluh kali lipat dari yang dulu! Ya, memang demikianlah. Ilmu Lui-hwe-ciang memang dapat membakar hangus organ dalam tubuh orang dan dapat memusnahkan tenaga lawan. Gerakan Kin-na-chiu Sin-bu Te-kun tadi telah menimbulkan reaksi hebat. Dia seperti membentur tenaga membalik yang hebat, sehingga di luar kehendaknya, tubuhnya terhuyung. Untunglah ia cepat-cepat loncat ke samping. Karena gerakannya itu secepat angin, maka pukulan Thian-leng menghantam tempat kosong dan Bum. Sebuah batu besar yang berada beberapa langkah di sebelah depan berguguran hancur. Dan serentak dengan itu berhembuslah angin panas keseluruh penjuru. Sekalian orang sama terkejut! Pukulan Thian-leng itu memancarkan hawa panas. Sedemikian panasnya hingga batupun berguguran lumer. Budak, dalam dua hari ini apa yang kau ketemukan? teriak Sin-bu Te-kun dengan wajah pucat. Thian-leng sendiri juga terkejut atas hasil pukulannya itu. Hampir ia sendiri tak percaya. Memang yang dilancarkan itu ialah pukulan Lui-hwe-ciang ( api geledek). Tetapi perbawanya jauh sekali bedanya dengan yang dulu. Tak perlu kau tanyakan.......... Jurus kesatu....................! Jenggot perak tertawa menghitung. Ya, masih ada sembilan jurus lagi. Dan kali ini silakan kau yang menyerang dulu! seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun masih tercekam dalam keheranannya. Ia sudah terlanjur mengumbar kata-kata besar. Terpaksa ia harus bertindak. Setelah menenangkan semangat, ia mengembor dan mendorongkan kedua tangannya. Itulah baru pertama kali ia menggunakan pukulan dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip dengan sepasang tangan. Biasanya dengan satu tangan saja, cukuplah ia mengalahkan lawan. Kali ini ia gemas sekali. Tetapi Thian-leng sudah mendapat kepercayaan atas kemampuannya. Iapun juga segera menyongsong dengan kedua tangannya. Dess.. ketika dua pasang tinju saling beradu, bukan ledakan keras yang terdengar, melainkan suara mendesis macam api tersiram air. Tinju mereka saling melekat. Sampai lama barulah mereka sama menarik diri, menyurut tiga langkah ke belakang. Dua! kembali jenggot perak menghitung. Wajah Sin-bu Te-kun pucat seperti kertas. Darahnya serasa bergolak. Matanya berkunang-kunang gelap. Bumi yang dipijaknya serasa berputar, bluk, akhirnya ia jatuh ke tanah. Juga Thian-leng tak kurang penderitaannya. Wajahnya menguning pucat, darahnya bergolak dan hampir saja ia rubuh. Untunglah ia dapat mempertahankan diri. Setelah menyalurkan napas beberapa saat, ia sudah pulih kembali. Maju lagi ke muka Sin-bu Te-kun, ia menantang , Ayo, serang lagi! Adu tenaga tadi menghasilkan keduanya sama-sama menderita luka dalam. Seharusnya mereka perlu beristirahat beberapa saat untuk memulihkan diri. Bahwa Thian-leng dalam beberapa kejap saja sudah
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 203 dari 290

berani menantang lagi, benar-benar mengejutkan orang. Bahkan Sin-bu Te-kun sendiri juga seperti melihat hantu di siang hari. Ia mundur beberapa langkah..... Iblis tua, masih delapan jurus lagi, ayo silakan menyerang lagi! seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun paksakan tertawa, Aku hendak mengajukan sebuah usul... Katakan! Thian-leng heran. Sisa delapan jurus supaya ditangguhkan dulu, karena........ kaupun pernah meminta begitu! kata Sinbu Te-kun dengan kemalu-maluan. Thian-leng kaget. Jelas bahwa sekarang Sin-bu Te-kun jeri padanya. Sebenarnya ia ingin menghancurkan si iblis saat itu juga. Tetapi dulu ia pernah mengajukan usul begitu. Di hadapan sekalian orang gagah, terpaksa ia meluluskan usul Sin-bu Te-kun. Baiklah, aku setuju. Pergilah........! akhirnya ia memberi jawaban. Sin-bu Te-kun seperti jago keok, tetapi dari kerut wajahnya, ia tetap menyungging senyum mesterius. Ia tak mau segera angkat kaki, tetapi masih bertanya pula : Aku masih hendak bertanya lagi! Silakan! Dalam dua hari ini, kau memperoleh Ini Suatu rahasia yang tak dapat kau katakan? sin-bu te kun menengas. apa sudah? ........

Thian-leng tertawa menghamburkan kemarahannya. Aku tak takut mengatakan padamu. Dengarlah! Aku sudah memperoleh ajaran It Bi sian-su! Kejut Sin-bu Te-kun seperti disambar petir sehingga ia terhuyung? Dua langkah kebelakang. Juga sekalian orang yang hadir disitu kecuali jengot perak Lu Liang Ong, memekik kaget. Kau sudah menyebut dirimu sebagai muridnya seru Sin-bu Te-kun. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa gelak, baiklah hari ini aku mengaku kalah, sisa yang delapan jurus itu kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kong. Tetapi apabila kau tak datang, tetap akan kucari kemana saja! Hm, sekalipun tanpa bertanding seratus jurus itu, akupun akan tetap menuntut balas untuk Au se-gongmo cianpwe. Sin-bu-kiong akan kuratakan dengan tanah! Sin-bu Te-kun tak mau banyak bicara lagi. Ia berputar tubuh terus melesat pergi tanpa mengucapkan apa-apa kepada Hek Gak. Rombongan orang Sin-bu-kiong segera mengikuti. Kepergian mereka diantar oleh gelak tertawa jenggot perak yang dalam keheningan malam seperti menjemabar-nmyambar diangkasa, puas ia menegur ketua Hek Gak!Eh, Kong-sun lojin, kaupun harusnya angkat kaki juga! Tidak! diluar dugaan ketua Hek Gak tertawa sinis. Jawaban itu membuat jengot Perak terbelalak : jadi kaua aaatetap hendak bertanding? Ketua Hek Gak menyahut dengan congkak : kiranya belum perlu kuturun tangan sendiri! Kini sadarlah jenggot perak Hm, kau pintar sekali mainkan swipomu, tetapi .......? Cong-houhwat! ketua Hek Gak tersentak berteriak memanggil Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi. Ya! Bok sam-pi cepat tampil kemuka. Saat itu ia sedang dirangsang oleh obat pembius ingatan. Matanya berapi-api tetapi terhadap ketua Hek Gak ia bersikap patuh. Thian-leng pun sadar, ketua Hek Gak tak berani menghadapinya tetapi hendak menyuruh Bok sam-pi yang maju. Hajar budak kurang ajar itu! tiba-tiba ketua Hek Gak memberi perintah, tetapi ingat hanya boleh bertempur satu jurus. Tanpa perintah, jangan lanjutkan jurus kedua! Hamba mengerti! sahut Bok Sam-pi. Dengan perutnya yang buncit, jago tua itu loncat kemuka Thian-leng, bentaknya : Mana budak perempuan itu? Thian-leng tertegun, serunya : perlu apa kau tangkap ia? Thian-leng tertawa dingin Kalahkan dulu aku baru kau dapat menemuinya. Jika tidak, silakan kau tunggu dipintu akhirat saja!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 204 dari 290

Marah Bok Sam-pi bukan kepalang sehingga wajahnya gelap seperti besi. Ia ulurkan tangan kanannya. Telapak tangannya yang bundar seperti kipas mulai diangkat keatas. Seketika daun-daun pada pohon tergerak dua tombak jauhnya dan bergoyangan keras. Diam-diam Thian-leng terkejut, pikirnya : Ah, kepandaian orang tua ini lebih hebat dari Sin-bu Te-kun. Segera ia memasang kuda-kuda. Tanganpun mempersiapkan pedang. Ia tak berani memandang ringan lawannya. Melihat sikap dan perwakannya, Bok sam-pi seperti gendut yang tak pandai silat. Tiba-tiba ia hentikan tinjunya diatas. Jika kau menyerahkan budak perempuan itu, kau kubebaskan dari pertempuran ini! serunya. Kalah menang belum pasti, bagaimana kalau aku kalah padamu? seru Thian-leng dengan garang. Di kolong langit siapakah yang dapat menandingmu? Apakah kau berani ? teriak Bok Sam-pi. Thian-leng tertawa getir. Memang kata-kata Bok Sam-pi itu benar. Di zaman ini, jangankan dapat mengalahkan sedang orang yang yang dapat melayani Bo sam-pi samapai 2 atau 3 jurus saja, sudah jarang ada yang mampu. Sayang jago yang sedemikian sakti itu kini hilang ingatannya sehingga kepandaiannya digunakan orang untuk melakukan kejahatan. Diam-diam Thian-leng telah membulatkan tekad. Pertempuran saat itu merupakan mati hidup baginya. Daripada mati konyol, lebih baik menyerang dulu. Siapa tahu, ia dapat menguasai keadan. Karena lo-cianpwe tetap hendak menempurku, maaf, aku hendak menyerang dulu! teriak Thian-leng seraya menutup dengan serangan. Memukul dengan tangan kiri dan menebas dengan pedang ditangan kanan. Pukulan kiri untuk menahan gerakan Bok sam-pi dan pedang untuk menusuknya. Tetapi, hasil serangannya itu, tak seperti yang diharapkan. Begitu pukulan salaing beradu, tangan Thian-leng lekat dengan tinju Bok sam-pi. Berhamburan gelombang tenaga dalam yang hebat. Masingmasing berusaha untuk menindas lawan. Dan ini menggagalkan rencana Thian-leng untuk menggunakan pedang. Ia harus mencurahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi tekanan Bok Sampi. Walaupun mencekal pedang, tetapi tak berguna. Dan karena ia menggunakan tangan kiri menghadapi tangan kanan Bok Sam-pi, ia menderita. Melihat itu jenggot perak kerutkan dahi. Ia merasa gelisah sekali. Adu tenaga dalam merupakan pertandingan yang ngeri. Lebih hebat dari pertempuran biasa. Sekali tenaga dalam beradu, sukar dihentikan sebelum ada salah satu yang remuk. Dari posisinya, jelas bahwa Thian leng dibawah angin. Tetapi apa daya, ia tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong ....... Juga kejut ketua Hek Gak tak kurang besarnya. Adany tadi membatasi Bok Sam-pi supaya bertempur satu jurus saja, adalah karena takut terjadi pertandingan adu tenaga dalam. Dan ternyata kekuatirannya itu terjadi. Kalau Bok sam-pi menang, bahkan dapat saja menindas partai Thiat-hiat-bun sekaligus dapat merebut kitab pusaka It bi siangjin. Hek Gak menjagoi dunia persilatan! Tetapi apabila kalah, akibatnya tak dapat dibayangkan. Hek Gak dilenyapkan dan Thiat-hiat-bun akan menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Sakit hati Hek Gak kepada Hun-tiong sin-mo, takan terbalskan selam-lamanya. Rombongan Sin-bu kiong sudah mengundurkan diri. Kini tinggal Hek Gak berhadapan dengan Thiathiat-bun. Dan kitab pusaka It Bi siangjin jelas jatuh ditangan pemuda itu. Diam-diam ketua Hek Gak membuat kesimpulan : pertempuran sat itu akan membawa akibat luar biasa. Mati hidup tergantung dari hasil pertempuran saat itu. .....Dahi ketua Hek Gak bercucuran keringat. Matanya tak berkedip mengawasi Bo Sam-pi. Juga Sianbun dan Im Yang sangat, yang bersembunyi dibalik gerombolan pohon, gelisah sekali. Seketika disegenap penjuru menjadi hening. Wajah Bok Sam-pi dan Thian-leng berubah menjadi gelap. Tubuh mereka mengepulkan asap tipis, tanda begitu dasyat adu tenaga dalam itu berlangsung. Masing-masing telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Selang sepeminuman teh lamanya, wajah merekaa berubah biru gelap. Kemudian hijau lalu pucat lesi. Tubuh mereka mandi keringat, mata berkunang-kunang dan bahu bergetaran. Demikian detik demi detik berlangsung. Keadan mereka makin seram. Rupanya mereka bertekad untuk hancur bersamasama. ...... Sekonyong-konyong diudara terdengar bunyi genderang datangnya tiba-tiba, nadanya tak begitu keras. Tapi talu genderang itu mengandung kekuatan gaib yang dapat menyedot pikiran, dan semangat orang. Termasuk jenggot perak, ketua Hek Gak dan Siau-bun serta Im Yang songsat tak kuasa membebaskan
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 205 dari 290

diri dari pengaruh suara genderang itu. Buru-buru jenggot perak menyalurkan tenaga dalam untuk menenangkan pikirannya. Tung .... terdengar pula genderang itu meletup. Kali ini lebih hebat dari tadi. Celaka, malam ini habislah riwayat kita diam-diam jenggot perak menghela nafas. Betapun ia berusaha untuk menolak, namun talu genderang itu tetap melengking tajam menembus dinding pertahanannya. Dadanya terasa sesak, darah bergolak keras hingga kakinyapun terhuyung. Orang yang tak tinggi kepandaian, pasti akan binasa seketika itu juga. Thian-leng dan Bok Sam-pi masih terbenam dalam adu tenaga dalam. Rupanya mereka tak menghiraukan perubahan yang terjadi disekelilingnya. Tiba-tiba genderang itu makin gencar : Tung, tung, tung, tung .........ngg deras bagaikan hujan mencurah. Bluk, bluk, bluk satu demi satu anak buah Thiat hiat-bun dan Hek Gak susul menyusul roboh ke tanah. Dan paling akhir adalah ketua Hek Gak sendiri serta jenggot perak yang masih betahan. Keduanya jatuh duduk ditanah. Bagaimana keadaan Bok sam-pi dan Thian-leng, tak dapatlah mengetahui lebih jauh. Ternyata Bok Sam-pi dan Thian-leng pun mengalami nasib yang hebat. Pada saat genderang bertalu gencar, keduanya terlempar sampai dua tombak jatuhnya dan tak sadarkan diri. Sebenarnya mereka sudah tak kuat lagi. Tetapi mereka memaksakan diri untuk bertempur terus. Sampai akhirnya, habislah pertahanan mereka. Kekuatan tenaga dalam mereka menimbulkan tenaga membanting membuat mereka berdua terpental ....... Pada saat lapangan penuh dengan tubuh orang-orang yang pinsan, sososk tubuh kecil melesat keluar dari dalam hutan. Orang itu mengenakan pakaian warna merah. Dandananya seperti seorang wanita. Dibelakang punggungnya mengemblok sebuah genderang kecil. Sepintas pandanga ia mirip dengan rombongan main silat yang suka mempertunjukan permainan di jalan-kalan. Usianya paling banyak sebelas atau dua belas tahun, seorang dara belia yang berwajah cantik. Dalam pakaian warna merah makin menonjollah kecantikannya. Begitu lari ketengah lapangan, ia celingukkan kian kemari. Orang-orang yang mengeletak itu tak dihiraukan. Begitu mata tertumbuk pada Thian-leng segera ia menyambar tubuh pemuda itu terus dibawa lari. Hanya dalam dua lompatan saja, dara tak dikenal itu sudah lenyap dalam kegelapan malam ...... Selagi orang tak mengetahui apa yang terjadipada saat itu. Satu-satunya yang masih melihat ialah jenggot perak Lu Liang-ong. Namun karena tenaganya punah dan kaki tangannya lemas, ia tak dapat berbuat apa-apa. Berselang beberapa saat, jenggot perak loncat bangun. Dialah orang pertama yang dapat bangun. Kemudian ketua Hek Gak lalu keempat Su-kiat dari partai Thiat-hiat-bun. Satu jam kemudian barulah anak buah Thiat-hiat-bun dan Hek Gak. Jenggot perak tegak berdiam diri. Tampaknya seperti menyalurkan tenaga dalam untuk memulihkan tenaganya. Tetapi sebenarnya ia tengah merenung keras, pikirannya bekerja keras untuk mencari tahu siapakah dara baju merah itu. Jelas bahwa bunyi genderang itu mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali. Dan yang paling istimewa, dara itu pandai sekali menyusupkan bunyi genderangannga dikala pikiran orang sedang kosong. Andaikata dalam keadaan pikiran tidak mencurahkan perhatian pada Bok sam-pi dan Thian-leng yang adu tenaga dalam, mungkin ia dan jaho-jago Thiat hait-bun tak semudah itu dijatuhkan oleh genderang si dara. Namun tetap ia mengagumi si dara. Dara itu hanya berumur dua belas tahunan tetapi sudah sedemikian hebat, apalagi orang tuanya tentulah sakti luar biasa. Betapapun jenggot perak menggali ingatannya, namun tak dapat juga mengetahui siapa gerangan dara itu. Saat itu sekalian orangpun sudah lama sadar. Tetapi mereka terkesima. Tiba-tiba ketua Hek Gak lari menubruk tubuh Bok Sam-pi. Bok cong houhwat suhu... in-su .... melihat keadan gurunya ia tak tahan lagi berteriak-teriak seperti orang kalap. Kaki tangan jago tua itu kaku. Daya menolak dari tenaga dalam tubuhnya Thian-leng telah membuat dalam tubuhnya terluka parah. Keadaannya skeliling yang tertiup angin ....... Ketua Hek Gak berbalik diri menatap jenggot perak. Serunya : mana orangmu?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 206 dari 290

Lenyap! sahut jenggot perak lesu Leyap? ketua Hek Gak sersentak kaget. Gurunya terluka parah dan pemuda itu lenyap. Apalagi pemuda itu benar-benar lebih sakti dari Bok Sam-pi? Dan .... dan bunyi genderang tadi? Mengapa begitu hebatperbawanya sehingga dapat merubuhkan sekalian orang. Gaib sekali! Siapakah yang membunyikannya? Ketua Hek Gak tak lepas dari mencari tahu tetapi tidak dapat menduga-duga siapakah gerangan yang memukul genderang ajaib itu. Hanya satu yang melegakan hatinya ialah orang itu terang tak bermusuhan dengan pihak Thiat hiat-bun maupun Hek Gak. Kelegaan itu hanya sesaat pada lain saat timbullah kecemasannya pula. Tiang andalannya ialah Bok Sam-pi. Kini gurunya itu terluka parah, apabila jenggot perak memerintahkan anak buahnya menyerang, bukankah ....... Apa yang terjadi malam itu benar-benar diluar dugaan! ia tutup kecemasan hatinya dengan tertawa paksa. Benar-benar, tak diduga-dua, sahut jenggot perak dengan tertawa jua. Tiba-tiba ia menyadari maksud ketua Hek Gak. Buru-buru ia menyusuli kata-kata : aku menyerang mau menyerang secara hina, silakan kalian pergi! Legalah ketua Hek Gak, serunya : bagaimanapun juga Hek Gak dan Thiat-hiat-bun tak dapat hidup bersama. Kelak kita selesaikan perhitungan lagi! Jenggot perak tertawa hambar Berani masuk daerah Tiong-goan berarti berani menanggung resikonya. Dimana dan kapan saja aku selalu melayani kehendakmu! Ingat, kelak Hek Gak tentu akan mencuci bersih hinaan dua hari dua malam ini! Ketua Hek Gak Tertawa dingin. Habis itu ia segera mengajak anak buahnya pulang. Bok Sam-pi disuruhnya mengotong. Tunggu! tiba-tiba jenggot EH, apakah kau menyesal? ketua Hek Gak mendesah geram. perak membentak.

Jenggot perak tertawa : Kau ukur baju orang dengan bajumu sendiri! sekali kukatakan boleh pergi, tentu takkan kurintangi lagi. Tetapi ............,Ia tertegun sejenak, katanya pula : Tahun muka bulan satu tanggal 15, aku hendak menyelenggarakan rapat besar yang gagah di gunung Tiam-cong san. Hendak kuundang sahabat-sahabat dunia persilatan Tiong-goan. Kuharap kau juga hadir! Ketua Hek Gak tertegun, ujarnya : Asal kau masih dapat hidup sampai saat itu, aku pasti datang! jenggot perak tertawa : Akan kuberi kesempatan besar, tentulah kau datang! Kesempatan apa yang kauberikan padaku itu, ketua Hek Gak Heran. Kabarnya kau mempunyai rencana hendak melenyapkan 9 partai dan semua tokoh-tokoh dunia persilatan. Apabila kuundang mereka semua, bukankah kau mempunyai kesempatan untuk melaksanakan cita-citamu itu? Kau kira aku tak mampu melaksanakan?merah muka ketua Hek Gak. Jenggot perak tertawa : Mampu atau tidak, saat itu baru dapat dibuktikan. Silakan pergi, jangan tunggu lama-lama disini. Siapa tahu hatiku nanti berubah! Dengan menahan kemarahan, ketua Hek Gak pun segera lanjutkan perjalanan. Kini yang masih tertinggal di lapangan hanyalah rombongan Thian-thiat-bun. Setelah merenung beberapa saat jenggot perak pun hendak mengajak rombongannya pergi. Tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan. Walapupun terpisah berpuluh-puluh tombak jauhnya, namun dengan ilmu melihat langit mendengar bumi dapatlah ia menangkap gerak-gerik mereka seharusnya ia tahu bahwa ketiga orang itu sian-bun dan kedua suami isteri Im Yang Songsat. Tetapi karena seluruh perhatiannya menumpahkan pada kejadian dilapangan, maka ia tak mengetahui tempat persembunyian mereka. Siu-bun melangkah perlahan-lahan kehadapan ketua Thiat-hiat-bun. Jenggot perak risih dibuatnya, ia tahu Siu-bun itu cucunya tetapi tak pernah sang cucu menatapnya begitu rupa. Belum sempat ia memikirkan bagaimana menghadapi cucu itu, tiba-tiba Siausun sudah berlutut dihadapaannya : Kek ...... Jenggot perak tertawa meloroh dan segera mengangkat bangun nona itu, Ah, kau .... sudah tahu bukan?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 207 dari 290

Aku bukan seorang tolol. Tetapi ....., selama kakek tak mau mengakui diriku akupun tak mau minta kasihan! Tetapi mengapa sekarang kau menmui aku? jenggot perak tertawa. Ah, karena kakek tak suka melihatku, akupun hendak pergi saja! Siau-bun terus hendak membalikan badan. Jenggot perak terkejut dan buru-buru kibaskan tangannya. Segulung tenaga lunak seperti menahan langkah Siau-bun. Siau-bun tak dapat bergerak dan memang sebenarnya ia tak bersungguh-sungguh pergi. Kakek tak mau mengakui aku, perlu apa menahan? lengkingnya dengan sikap mengancam. Siapa bilang kakek tidak mau mengakui kau? jenggot perak tertawa. Tiba-tiba ia menarik nona dalam pelukannya. Dibelai-belainyaa rambut dara itu dengan penuh kemesraan. Dan tanpa dapat ditahan dua butir air mata mengucur keluar dari kelopak mata jago tua itu ..... Pada saat itu anak buah Thiat-hiat-bun dan kedua suami isteri Im Yang Son-sat hanya mengawasi adegan itu tanpa berani berkata apa-apa. Sampai beberapa lama kemudian barulah Siau-bun lepaskan diri dari pelukan kakekny. Kek ....., serunya lembut. Hm ......, Aku mau bertanya padamu? Bilanglah! Kemanakah Bu beng-jin? Bu beng-jin? jenggot perak terbeliak, mengapa kau menaruh perhatian kepadanya? Merahlah seketika wajah Siau-bun, Aku ...... aku sudah berjanji untuk sehidup semati dengannya ........ Jenggot perak seperti disengat kalajengking. Wajahnya berubah seketika. Aha? Katakan sekalai lagi! teriaknya. ****** Dara Baju Merah Dia .... dia telah setuju memperistriku. Sudah selayaknya aku menanyakannya ........! Siau bun menjawab terbata-bata, dengan kepandaian kakek yang sakti, tentulah tahu kemana perginya tadi? Wajah jenggot perak pucat pasi, serunya agak gugup. Dia ..... dibawa lari oleh seorang dara baju merah! Siau-bunpun terbeliak kaget : Apa? Dibawa lari orang? Benar, dia telah dilarikan ..... tetapi rupanya orang itu tak bermaksud jahat dan memang bermaksud menolong ............. Dengan ilmu mendengar bumi bukankah kakek dapat mengetahui kemana larinya? Siapakah dara itu? Kakekpun telah menyelidiki ...... tetapi genderang dara itu menghanyutkan pikiran kakek sehingga dia sempat melaksanakan rencananya. Ketika aku sadar dara itu sudah jauh sekalai ........ Lantas kau hiraukan lagi nasibnya? Kutanggung pemuda itu tentu takan mati ......, jangan banyak bertanaya ini itu dulu. Aku hendak bertanya padamu ...... tetapi jangan bohong! Silakan! Bilakah pemuda itu mengadakan perjanjian hidup dengan kau? Beberapa hari yang lalu....Siau-bun menutup mata menggelandot didada jenggot perak sambil mengenang peristiwa malam sumpah hidup bersama dengan Thian-leng, nona itu berkata dengan bisikbisik. Pada malam itu kami menginap di hotel Bu Khek-Can. Karena kamar tinggal satu, terpaksa kami pakai ...... Hai, kalian sudah tidur sekamar? jenggot perak berteriak kaget. Siau-bun hanya mendengus, bukan sekamar melainkan seranjang ...... Rambut jenggot perak jigrak seketika. Ia menggeram keras : Celaka! Mengapa celaka? Apakah kakek tak suka? Siau-bun heran. Jangan memutus omonganku! bentak jenggot perak, Kau yang memikat pemuda itu atau ia yang memikatmu, bilanglah dengan jujur! Wajah Siau-bun merah, kau anggap aku anak perempuan yang bagaimana? Bagaimana kau tak sungkan menanyakan begitu? Aku ..... tak mau hidup lagi, kek! tiba-tiba ia menangis dan ayunkan tinju hendak menampar batok kepalanya sendiri.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 208 dari 290

Sudah tentu jenggot perak gelagapan dan cepat mencegahnyaa. Siau-bun menangis tersedu-sedu. .....Aku lah yang bersalah. Kukuatir kelak akan timbul kesulitan lagi! jenggot perak menghela napas. Sambil meronta dari pelukan kakeknya Siau-bun berseru : Kakek bersalah? Akan timbul kesulitan? Kembali jenggot perak menghela napas. Mulutnya berkemak-kemik berkata seorang diri : Kenal orangnya tak kenal hatinya. Tak kira anak itu ternyata seorang pemuda hidung belang! Siau-bun pura-pura tidak mendengar. Tiba-tiba bertanya. Apakah kakek tahu dimana ibu berada? Jenggot perak gelagapan : Kemarin malam ia mengantarkan Ketua Tiam-Jong-Pay Li-Cu-Liong pulang ke Tiam-cong-san! Apakah kakek tahu jelas? Pada saat Thiat-hiat-bun mengepung Sin-bu kiong dan Hek Gak, ibumu masih sempat menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap dengan aku. kalau begitu aku hendak mencarinya! kata Siau-bun. Sejenak jenggot perak melirik Im Yang Song-sat lalu gunakan ilmu menyusup suara kepada Siau-bun : Saai ini jago-jago HunLiong-mo-hu sudah berbondong-bondong menuju ke Tiam-Cong-san. Kakek bermaksud untuk menyelesaikan pergolakan dunia persilatan Tiong-goan dalam rapat besar yang akan kuadakan tahun depan bulan satu tanggal 15. baiklah kau kalau hendak menyusul ibumu kesana. Beritahukan kepadanya tentang urusanmu itu, terserah bagaimana ia memberi keputusan. Kakek tak dapat mengurusi kesulitan-kesulitan, begitu .......jenggot perak berhenti sejenak, katanya pula : ... tentulah kau belum memberitahukan hal itu kepada ibumu? Siau-bun tertawa mengikik : beliau sudah tahu! Sudah tahu? kembali jenggot perak berteriak kaget, dia setuju? Masakan kakek tak kenal perangai ibu? jika dia tak setuju masakan aku berani ......? Ya, ya, mungkin ini sudah takdir takut kukuatir kalian akan menghadapi kehebohan! jenggot perak tertawa tawar. Apa? Aku tak mengerti maksud kakek ......? Sudahlah, jangan banyak tanya lagi, berangkatlah sekarang juga! buru-buru jenggot perak membentak untuk menutupi kekagetannya. Diam-diam Siau-bun girng, dalam gelanggang asmara, ia telah berhasil memakan jurus kedua. Betapun jenggot perak sudah mengikut Thian-leng supaya bersumpah memperisterikan Lu Bu Song tetapi sampai babak itu, mau tak mau jenggot perak tentu terpaksa harus menyerahkan Thian-leng padanya. Tetapi saat itu Siau-bun gelisah. Siapakah dara baju merah yang melarikan Thian-leng itu. Apakah maaksudnya? Namun ada sedikit hal yang melonggarkan perasaan Siau-bun ialah Thian-leng tentu tak mati. Dengan dengan terpilihnya pemuda itu sebagai pewaris It bi Siangjin, tentulah sudah diramalkan jelas bahwaa pemuda itu tak berumur pendek ....... selamat tinggal kek, harap kakek baik-baik menjaga diri. Siau-bun terus melangkah pergi. Im yang song-sat pun segera mengikuti. Tunggu! Tiba-tiba jenggot perak berseru. Siau-bun terpaksa berhenti. Jenggot perak melesat kedepannya. Kakek hendak memberi pesan apa lagi? Wajah jenggot perak mengerut tegang :Adik Misanmu Lu Bu-song sat ini juga berada di gunung TiamJong-sam! Sejak kecil kita tak pernah berjumpa. Kali ini kita tentu dapat bermain-main dengan gembira! Sejak kecil dia sudah kehilangan ayah bunda dan ikut aku sampai besar. Dia ..... sungguh kasian sekali! kata jenggot perak berkata dengan nada berat. Siau-bun tertegun. Tak tahu ia apa yang tersembunyi dalam kata-kata itu. Namun ia segera menjawab dengan hati lapang, harap kakek jangan kuatir, aku tentu memperlakukannya dengan baik sebagai adikku sendiri! Jenggot perak mengangguk-angguk Selain itu, kau ......., ia bersangsi sejenak, katanya pula, Urusan dengan budak kali ini jangan kaukatakan kepadanya! mengapa? Siau-bun kaget. Jenggot perak menghela napas : Jangan mendesak aku, pokoknya kau harus ingat permintaanku ini! Siau-bun tak mau mendesak. Ia pura-pura mengerti, Baik, kek. Apakah masih ada pesan lagi?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 209 dari 290

Masih, kata jenggot perak, karena sejak kecil adik misanmu itu kumanjakan, perangainyapun kurang baik. Kau lebih besar sebagai taci harap kau mengalah sedikit ...... Tentu kek, sahut Siau-bun. Jenggot perak menghela napas lagi sudahlah, kau boleh pergi! Dengan diikuti kedua suami isteri Im yang Song-sat, Siau-bun segera pamit. Dalam beberapa loncatan saja mereka sudah lenyap. Jenggot perak menghela napas. Iapun segera memberi isyarat kepada ank buahnya. Tetapi langkah kakinya terasa berat. Selangkah demi selangkah ia berjalan seperti orang yang kehilangan semangat. Keempat sukiat, ke 36 Thian-kong, ke 72 Ta-san dan anak buah Thiat-hiat-bun tahu juga akan kesulitan yang dihadapi ketuannya. Tetapi mereka tak berani mengucapkan kata-kata. Rombongan Thiat-hiat-bun berbondong-bondong menuju gunung Thay-heng-san. Saat itu haripun sudah fajar.

JILID 11 Pedang Bebas Thian-leng yang pingsan karena terluka dalam itu setelah berselang beberapa lama, barulah dapat sadar. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang dialaminya tadi. Pada saat tenaga dalamnya hampir habis, tiba-tiba terdengar genderang dipukul dan tank ingatlah ia lagi apa yang terjadi selanjutnya ....... Tubuhnya terasa panas ketika sinar matahari menumpah kemukannya. Ia paksakan membuka mata tetapi pandangannya masih sayup. Tenaganya seperti lenyap. Sekonyong-konyong ia loncat hendak bangun, ah ...... kepalanya terasa berat sekali dan iapun terpaksa harus telentang di pembaringan lagi. Tulang-tulangnya sakit sekali, laju nadinya lumpuh. Tak tahu ia saat itu berada dimana. Ia paksakan diri merentangkan mata lebar-lebar. Walaupun keadaan sekelilingnya masih gelap, tetapi lama-kelamaan dapat juga ia melihat agak terangng. Didapati dirinya berada di sebuah gubug yang serba sederhana alat perabotnya tetapi cukup bersih. Ia sedang terlentang diatas sebuah ranjang kayu. Sinar matahari pagi tumpah ruah menyinari matanya, ah, itulah sebabnya ia merasa panas seperti terbakar. Gubuk ini tertutup rapat. Tiada seorangpun berada disitu, heran, siapakah yang menolongku ? demikian pertanyaan yang meliputi pikirannya. Tiba-tiba ia terkejut sekali. Matanya tertumbuk pada sebuah genderang kecil yang tergantung disudut dinding. Pikirannya segera melayang-layang. apakah pemilik gubug ini, benar-benar dia ......., Saat ia berpikir samapai disitu, tiba-tiba pintu dibuka orang. Samar-samar Thian-leng melihat sorang dara berbaju merah menerobos masuk. Usianya barubelasan tahun, rambut dikuncir, kulit mukanya berwarna merah segar. Dalam pakaian warna merah dara itu tampak menyala sekali. Kau sudah bangun? dara itu terkejut begitu melihat Thian-leng tersadar. Adik kecil, dimakah aku ini, aku ...... Jangan banyak bicara dulu, minumlah obat kata si dara itu seraya menghampiri. Ternyata ia membawa sebutir pil putih dan disusupkan kemulut Thian-leng. Dara itu lincah dan ramah. Thian-leng menerima saja pil terus ditelannya. Eh, kau minum oil tanpa air? dari iru tertawa bertepuk tangan. Jam berapa kah ini? tanya Hampir tengah :Sudah berapa lama aku tidur disini ....? tanya Thian-leng sambil menggeliat bangun. Thian-leng. hari!

Berapa lama....kau sudah hampir sebulan lebih disini. Dan baru sekarang kau dapat membuka mata. Sebulan leih? teriak Thian-leng.....jangan bergurau! ia merasa pertempurannya lawan Bo Sam-pi baru kemarin malam. Sungguh, kata dara itu dengan nada bersungguh-sungguh. Sekarang sudah akhir bulan 11, sebulan lagi bakal tahun baru..... Tiba-tiba wajah dara itu berseri girang, srunya Tahun baru yang lalu, hanya
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 210 dari 290

aku dan ayah yang merayakan. Tetapi sekarang kita bisa merayakan dengan ramai. Selain kau, pun kedua CI Ki juga ...... Maaf, aku tak dapat lewatkan tahun baru disini, Aku masih punya banyak urusan dan harus lekas pergi, tukas Thian-leng. mana bisa dara itu tertawa, lukamu masih belum sembuh. Lewat tahun baru baru kau sembuh sama sekali. Kembali Thian-leng terbeliak kaget. Ia menghela napas, Apakah ayahmu yang menolong aku? Aku sendiri! Kau? Thian-leng menatap dara itu tajam-tajam lalu melirik pada alat genderang, Genderang itu kepunyaanmu? Ya, peninggalan dari nenekku.....eh, tahukah kau siapa nenekku? Thian-leng menggeleng kepala. Dulu semasa hidupnya, nenek mempunyai nama yang termasyur sekali, digelari sebagai Sin-Ko-Sian poh ...... dara itu memandang sejenak wajah Thian-leng. Rupanya ia yakin Thian-leng tentu akan mengunjuk kekaguman tetapi diluar dugaan Thian-leng gelengkan kepala. Ia tak kenal Sin-ko-Sian-poh (Dewi Genderang Sakti) itu. Ibuku juga sudah meninggal, kata dara itu dengan rawan, Aku hanya hidup bersama kakek, kakek membawaku ke Tiong-goan.! O, kau bukan Han? Bukan, tetapi kakek bangsa Han..... aku berasal dari daerah jauh, dipadang sahara yang tak dihuni orang. Dari sana kemari memerlukan perjalanan 3 hari 3 malam. Mendengar cerita itu, diam-diam timbullah rasa kasian Thian-leng pada si dara. Neneknya mati kemudian ibunya. Dia kini hidup sebatang kara ikut pada kakeknya, Ah, nyata didunia ini banyak sekali manusia-manusia yang menderita. Ayahmu? Tanyanya Dia sedang keluar mengurus suatu hal, mungkin juga segera pulang, dara itu menyahut. Eh siapakah namamu? Bagaimana seharusnya kau kupanggil. Thian-leng kerutkan alis, Aku tak punya nama panggil Lh, mengapa orang tak punya nama, bohong! dara itu melengking. saja Bu-beng-jin....

Thian-leng menghela napas, tidak aku tak bohong. Memang dulu aku punya nama, tetapi nama itu palsu.....ah, jika kututurkan hal itu kaupun tentu tak mengerti juga .... lh, mengapa nama ada yang palsu? Siapkah namamu palsu itu? Si dara makin heran. namaku yang palsu itu Kang Thian-leng Kang Thian-leng? Ah, merdu juga kedengarannya...... tiba-tiba dara itu berseru gembira, begini saja, kuanggap kau sebagai kakak angkatku. Kau pakai saja she keluargaku, mau? Tentu saja aku suka mendapat seorang adik seperti kau, baiklah. Tapi siapakah namamu? Kau setuju? dara itu melonjak-lonjak girang seperti anak kecil mendapat permen, keluargaku orang she Pok. Namuku Pok Lian-Ci, tetapi ayah selalu memanggilku Ang-ko (Si merah). Kau pun boleh panggil Ang-ko saja! Baru Thian-leng hendak membuka mulut tiba-tiba seorang sasterawan melangkah masuk. Kau sudah pulang, yah! teriak ang-ko serya menubruk dada sasterawan setengah umur itu, Dia sudah sadar dan kuangkat sebagai engkoh. Kau tentu suka, bukan? Satrawan setengah umur itu tertawa. Dibelainya rambut dara itu dengan penuh kasih. Sudahlah jangan ribut-ribut..... Mata sastrawan itu tertuju kepada Thian-leng yang gagal bangun. Terpaksa ia rebah lagi. Pok Cianpwe, maaf aku tak dapat bangun menghaturkan hormat ..... serunya Sastrawan itu melangkah kemuka pembaringan dan memberi isyarat tangan Tak apa, tidurlah saja! kini barulah Thian-leng dapat memandang jelas wajah sastrawan itu. Seorang lelaki cakap dan berwibawa. Hidung mancung, mulut lebar, mata bundar diselubungi sepasang alis tebal. Hanya sayang pada gumpalan alisnya terdapat lekik warna gelap dan kerut-kerut tanda ketuaan. Seri wajahnya sunyi
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 211 dari 290

dan Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan si dara.

rawan.

Aku paling tak suka dengan peradatan-peradatan kesungkanan .... sahut sastrawan itu. Ditatapnya wajah Thian-leng, tegurnya Siapakah namamu? Dia bernama Kang Thian-leng, tetapi katanya namanya palsu dan tak dipakai lagi. Karena sudah jadi engkoh angkat, diapun pakai she Pok keluarga kita sidara menyelutuk. Jangan ribut saja, nak ...ayahnya mendamprat halus. Ia minta maaf kepada Thian-leng atas keliaran Ang-ko. Tetapi wanpwe sendiri menerima dengan senang Ah, kau tentu terpaksa karena sungkan, tukas sastrawan itu. Tidak, memang wanpwe sendiri senang dengan stulusnya. Kalau Pok Cianpwe mengatakan begitu berarti cianpwe tak mau menerima diri wanpwe! Sastrawan itu terpaksa mengalah. Kemudian menanyakan diri anak muda itu. Thian-leng menuturkan riwayat dirinya dengan terus terang. Dulu aku sedih karena tak punya she, tetapi kini aku girang sekali memakai she Pok, Pok Thian-leng! kata Thian-leng. Sastrawan setengah tua itu menghela napas dalam-dalam Nak, tahukah kau siapa aku .......? Aku pendekar pedang bebas Pek Thiat-bing! tanpa menunggu jawaban Thian-leng, sastrawan itu memberi keterangan sendiri. O ........., Thian-leng mendesah, seharusnya aku dapat menduga ....... ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Sanubarinya sesak dengan rasa kaget dan girang. Ia teringat akan pesan Toan-Jong-jin Cu-Giok-bun untuk mencari pendekar pedang itu. Kini bukan saja telah bertemu, pun bahkan dipungut sebagai anak angkat. Dengan begitu Toan-Jong-Jinpun menjadi ibu angkatnya. Tak tahu bagaimna perasaan hatinya kala itu. Menurut keterangan Nyo Sam Koan, sepasang suami isteri Pok Thiat-bing dan Toan-Jong-Jin itu retak hubungannya akibat salah paham. Dan hal itu akibat rencana busuk yang dilakukan M Hong-Ing. Kini jelaslah sudah bahwa setelah meninggalkan Toan-jong-jin, Pok Thiat-bing mengembara keluar perbatasan (daerah Tibet), bertemu Sin-ko-Sian-lo (Dewi Tambur, nenek si dara Ang-ko), menikah dengan anak perempuannya dan mendapat seorang puteri yakni si Ang-ko, setelah Sin-Ko Sian-lo dan ibu si Ang-ko meninggal dunia maka Pok Thiat-bing pun lalu membawa anaknya kembali ke Tiong-goan pula. Timbul pertanyaan dalam hati Thian-leng. Apakah Pok Thiat-bing mengetahui tentang drama salah paham antara ia dengan Toan-Jong-jin? Dan kembalinya jago pedang itu ke Tiong-goan apakah karena teringat akan Toan-jong-jin atau hendak menundukan dunia persilatan Tiong-goan lagi?. Sejenak Thian-leng memandang Ang-ko. Wajah dara yang sedemikian kekanak-kanakan itu tak mungkin mengetahui sekian banyak rahasia dalam diri ayahnya. Pesan dari Toan-jong-jin yang sedianya hendak dikatakan kepada Pok Thiat bing, entah bagaimana, Thian-leng ragu-ragu mengatakan. Gihu (ayah angkat), aku hendak bertanya sedikit hal! akhirnya Thian-leng membuka mulut. Silakan! pernahkah gihu mengunjungi puncak Giok-lo-hong di gunung Heng-san? Mendengar itu Ang-ko tercengang. Tak tahu ia apa maksud pertanyaan engkoh angkatnya itu. Pun Pok Thiat-bing terkesiap lalu menyahut dengan tersekat-sekat : Giok .... lo ..... hong ........... Aneh sekali pertanyaanmu nak! serunya pula. Dengan wajah dan nada bersungguh-sungguh Thianleng menyusuli pertanyaan pula : Apakah dahulu gihu pernah berjanji dengan seorang shabat untuk pesiar ke puncak Gio-lo-hong? habis berkata Thian-leng diam-diam melirik kepada Ang-ko. Seketika berubah wajah Pok Thiat-bing. Segera ia mengerti maksud Thian-leng. Merenung sejenak dan berpaling kepada Ang-ko yang terbengong-bengong : coba tengoklah kedua kedua taji beradik, apakah nasi sudah masak? Ja, ya, kalian hendak bicara rahasia yang tak boleh kudengarkan ...... Ang-ko cibirkan bibir. Dara yang masih kekanak-kanakan itu tiba-tiba bertepuk tangan dan tertawa : Ai, benar. Aku memang hendak memberitahukan kedua cici itu! Setelah sudah puterinya berapa pergi, Pok Thiat-bing segera minta Thian-leng bicara. kali aku bertemu dengan Gibo (Ibu angkat) ....
Halaman 212 dari 290

http://goldyoceanta.wordpress.com

Maksudmu Giok-bun, apakah dia tak kurang suatu apa? belum Thian-leng menyelesaikan katakatanya, Pok Thiat-leng sudah menukasnya. Beliau baik-baik saja, buru-buru Thian-leng menyahut, hanya saja beliau setiap saat selalu mengenangkan gihu. Karena kejadian yang lalu itu ternyata hanya suatu kesalah-pahaman.... Bagaimana kau tahu? Pok Thiat-bing kerutkan dahi. Aku pernah bertemu dengan Nyo Sam-koan didalam penjara Sin-bu-kiong. Dialah yang menceritakan hal ini, jawab Thian-leng. Pok Thiat-bing diam. Hatinya bergolak-golak. Gi-bo suruh aku, mencari berita dimana gihu berada. Kata Thian-leng pula : apabila bertemu supaya menemuinya dipuncak Giok-lo-hong.....Thian-leng berhenti sejenak, katanya pula Gibo tak mau mengatakan dirinya terus terang dan menyamar sebagai seorang nenek berambut putih yang bernama Toan-jong-jin. Tetapi dari pesan itu dapatlah kuketahui bahwa beliau memang sungguh-sungguh terkenang pada gihu! Pok thiat-bing tundukkan kepala karena ia malu diketahui bahwa dua butir air mata telah mengucur dari pelupuknya. Apakah ia benar melupakan peristiwa yang lampau? katanya dengan suara sekat. Apakah gihu masih menyangsikan hati gi-bo? Pok Thiat-bing menghela napas. Tidak, aku tak menyangsikannya. Pada waktu itu aku ..... telah berbuat kesalahan. Pada wktu itu seharusnya aku menyelidiki dulu dan selama 17 tahun itu seharusnya aku mencarinya ...... dan, dan .... akupun telah menikah lagi .... Setelah berhenti sampai sekian lama barulah jago pedang itu berkata pula : karena itu maka aku tak berani bertemu muka dengannya! Aku berani memastikan bahwa tak sedikitpun gi-bo pernah melupakan Gi-hu. Sudah tentu beliau tak marah pada gihu. Tahukah gihu bahwa beliau tinggal .....Tiba-tiba Thian-leng tak melanjutkan katakatanya. Karena ia merasa salah omong. Dia sendiri tak tahu dimana tempat tinggal Toan-jong-jin dan Cu Siau-bun. Teringat nona itu, hatinya terasa tersayat. Dan pikirannya segera melayang ke peristiwa yang dialami baru-baru ini. Ketika ia pingsan dalam adu tenaga dalam dengan Bok Sam=pi, ia ingat si jenggot perak masih tantang-tangan dengan ketua Hek Gak. Siau-bun dan kedua suami istri Im Yang Song-sat bersembunyi disekitar tempat itu. Tetapi ia sadar, orang-orang itu sudah lenyap. Setelah kuajak Ang-ko kembali ke Tiong-goan, aku menetap di gunung Thay-heng-san. Meskipun mendengar juga sedikit tentang diri gibomu tetapi belum mendapat bukti-bukti yang jelas. Karena itulah aku tak menemuinya! Apakah disini masih termasuk lingkungan Thay heng-san? Pok Thiat-bing mengangguk :Gunung Thay heng-san luasnya sampai beratus-ratus li. Tempat ini termasuk daerah pinggirannya! Apakah gihu tak pernah berjumpa dengan ketua Thiat-hiat-bun si jenggot perak itu? tanya Thian-leng. Aku tak tahu bagaimana pandangannya terhadap diriku. Tetapi karena aku menikah dengan gi-ho mu hanya setahun lalu berpisah, mungkin dia tak dapat memaafkan aku ..... Asal dapat bertemu dengan orang tua itu, tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya gi-bo. Dan jika gihu dapat bersatu lagi dengan gibo, jenggot perak tentu girang dan takan membencimu! kata Thianleng. Pok Thiat-bing mondar-mondir dalam ruangan sambil menggendong tangan. Ah, temponya terlalu lama delapan bulan siapa tahu ......, tiba-tiba Thian-leng membuka mulut lagi tetapi secepat itu pula ia berhenti. Rupanya ia merasa kelepasan omong. Selain itu, masih ada satu daya .....Tiba-tiba Pok Thiat-beng berkata sambil tertawa rawan. Bagaimana? tanya Thian-leng. Pok Thiat beng menghela napas, Turut apa yang kuketahui, gibo mu telah pergi ke gunung Tiam jong san ..... Diam-diam Thian-leng mengakui ketepatan kata-kata ayah angkatnya. Jika aku ke Tiam-jong-san, mungkin tentu dapat menjumpai gi-bomu. Akan kujelaskan salah paham yang dahulu dan melepaskan rinduku kepada puteri Siau-bun. Tetapi .....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 213 dari 290

Mendengar itu hati Thian-leng gelisah sekali. Ternyata Pok Thiat beng sudah mengetahui tentang kejadian diluar. Dan menyebut-nyebut juga diri Cu Siau-bun. Apakah jago pedang itu mengetahu juga tentang hubungannya dengan Siau-bun? Kalau begitu silakan gihu segera menuju Tiam-jong-san saja, Thian-leng tak menghiraukan dirinya. Pokoknya asal kedua suami isteri itu dapat bersatu padu lagi. Pok Thiat beng menghela napas, tetapi aku masih meresahkan tentang Ang-ko.... selama ini dia tak kuberitahukan hal itu bahkan memandang mamanyapun tidak tahu. Mungkin perasaan anak itu tersinggung ...... Ang-ko cerdas dan lapang hati. Biarlah aku memberitahukan hal itu, rasanya dia tentu ......, belum Thian-leng selesai berkata Pok Hiat-beng sudah menukas : baik, aku akan ke Tiam-jong-san, tetapi ..... ah, nanti saja bila lukamu sudah sembuh. Sesudah tahun baru aku berangkat! Tak usah Gi-hu tunggu aku, silakan berangkat sendiri ,........ Keputusan sudah tetap, jangan banyak bicara! sahut Pok Thiat beng, Kau menderita luka dalam yang hebat, masih memerlukan perawatan yang teratur..... mereka datang! tiba-tiba Pok Thiat beng berseru. Ayah, nasi sudah masak .... hari ini engkoh boleh makan nasi! masih diluar kamar si dara Ang-ko sudah berteriak. Dan sesaat kemudian muncullah ia bersama 2 orang nona yang membawa hidangan. Kejut Thian-leng bukan kepalang. Kedua nona itu bukan lain ialah Ki Gwat-wan dan Ki lang-wan. Dan kedua Nona itupun girang karena Thian-Sing sudah sadar. Mereka mencuri lirik sejenak lalu menunduk tersipu-sipu. Thian-leng yang menegur dulu, menanyakan keadaan mereka selama ini dan luka Ki Siang-wan. Ki-Siang-wan tak mau menjawab ia mengunjuk sikap dingin. Ki Gwat-wan yang menuturkan bahwa mereka ditolong dan disembuhkan jenggot perak tetapi ditinggalkan begitu saja sehingga diketemukan dan dibawa pulang Pok Thiat-beng. untunglah Pok tayhiap memungut kami sebagai anak angkat sehingga kini kami mempunyai tempat berteduh yang tetap. Oleh karena usia kami lebih tua baiklah kau panggil taci kepada kami! kata Ki Gwat-wan lebih lanjut. Baiklah,Thian-leng tertawa meringis, nanti setelah lukaku sembuh tentu akan kuberi hormat kepada taci berdua! Dia percaya keterangan nona itu tentu tak bohong. Dulu aku seorang diri, sekarang aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci. Ang-ko berseru dengan melonjak-lonjak kegirangan. Ia mendekap dada ayahnya, Yah, kaupun harus bergembira! Sekalipun berseri girang, namun lekuk alis jago pedang itu mengerut kedukaan yang dalam. Setelah berpisah, apakah kau masih ingat kepada kami berdua? tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya. Aku....uh, siaote (adik)..... Thian-leng berkata tersekat-sekat. Hai, mengapa kau tersendat-sendat? Lekas bilang, kau pernah teringat kedua taci ini atau tidak? tibatiba Ang-ko membentak. Thian-leng sebenarnya sukar untuk mengutarakan hal itu. Terus terang sejak berpisah, ia tak ingat lagi kepada kedua nona Ki itu. Sejak berpisah, aku selalu menghadapi bahaya maut, sehingga tak pernah mengingat mereka lagi.. akhirnya Thian-leng terpaksa menerangkan. Ki Gwat-wan tertawa dingin, Sekalipun tidak menghadapi bahaya maut, masakah kau mau mengingat kita berdua. karena kami berdua ialah anak angkat dari Song-bun-Kui-mo Ki Pek-lam! Ah, janganlah terlalu menyiksa diriku.. Gwat-wan tak menghiraukan anak muda itu. Tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pok Thiat-beng. Sudah tentu Pok Thiat-beng tersipu-sipu mengangkatnya bangun, Kalau ada persoalan, katakanlah.. Dengan masih berlutut Ki Gwat-wan menyurut mundur selangkah, serunya, Ada sebuah hal tak penting yang anak hendak mohon gi-hu memberi keputusan! Katakanlah! Ki Seng-wan yang sedang mengemasi piring mangkok, kaget tak terkira, Cici.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 214 dari 290

Mengapa? Apakah tak boleh kukatakan? balas Ki Gwat-wan. Ki Seng-wan tersipu-sipu malu, ujarnya rawan, Perlu apa mengungkit hal yang sudah lampau? Apa? Hal yang sudah lampau? Tetapi hal itu menyangkut nasibmu. Sekalipun kau sanggup menderita, tetapi aku sebagai taci tak dapat melihat kau tersiksa! Ki Seng-wan jengah dan menundukkan kepala. Eh, apa saja? Bilanglah, nanti dapat kuputuskan! desak Pok Thiat-beng. Tentang diri adik Seng-wan itu. Pada suatu hari ketika lewat di lembah Hong-lim-koh, kami melihat sesosok....... ia berhenti sejenak, melirik ke arah Thian-leng, katanya pula, dikata mayat, tapi sebenarnya masih hidup. Hanya orang itu sudah sehari semalam menggeletak di muka lembah. Kaki tangannya kaku, napasnya hampir habis. Paling banyak dia hanya dapat hidup sejam dua jam lagi..... Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan peristiwa dahulu itu. Orang itu ternyata menderita pukulan dahsyat dari Cong-hou-hwat Sin-bu-kiong yang brnama Ni Jinhiong. Organ dalamnya goncang, darah bergolak, napas hampir putus. Benar keadaannya menyedihkan sekali! kata Ki Gwat-wan pula. Tiba-tiba ia menuding pada Thian-leng, Orang itu adalah dia! Jadi kalian berdua yang menolong aku? Thian-leng tersekat-sekat. Memang pada saat itu ketika tersadar ia mendapatkan dirinya berada dalam biara rusak. Karena tubuhnya tertutuk, ia tak tahu kalau dihantam Ni Jin-hiong. Aku sih tak punya hati sebaik itu. Jika menurut kehendakku mungkin saat ini kau sudah menjadi tumpukan tulang..... Gwat-wan tertawa dingin. Lalu siapakah yang menolongku? Thian-leng heran. Adikku..... sahut Gwat-wan dengan nada berat, dengan ilmu Hian-im-kiu-coan adikku telah mengorbankan kesuciannya hingga dapat menolong jiwamu! Thian-leng mendengus. Wajahnya pucat, serentak ia hampir pingsan. Hian-im-kiu-coan? Pok Thiat-beng mengerutkan kening. Apakah gi-hu tahu cara pertolongan dengan ilmu Hian-im-kiu-coan itu? tanya Ki Gwat-wan. Pok Thiat-beng mengangguk, Sudah tentu..aku tahu! Adik Seng-wan telah menolong jiwanya, untuk itu ia tak berkeberatan menyerahkan kehormatannya. Bagaimanakah baiknya, harap gi-hu suka memberikan pertimbangan, kata Gwat-wan pula. Ki Seng-wan meringkuk di ujung dinding. Wajahnya merah sekali. Sedang Ang-ko melongo, sebentar memandang ke sana, sebentar melihat ke sini. Ia tak tahu apa itu Hian-im-kiu-coan. Thian-leng seperti dipalu kepalanya. Matanya berkunang-kunang, dadanya serasa sesak, napas sukar dihembus. Benar-benar ia tak percaya apa yang diceritakan nona itu. Lu Bu-song dan Cu Siau-bun, sudah membuatnya pusing. Sekarang tampil lagi seorang Ki Seng-wan, amboi Ki Seng-wan masih tetap berlutut dan Pok Thiat-beng terdiam. Ruangan hening lelap. Gwat-wan . bangunlah! beberapa saat kemudian Pok Thiat-beng berseru. Sebelum gi-hu memberi keputusan, aku takkan bangkit, sahut Gwan-wan. Pok Thiat-beng mengerang, Ah..kaumenyiksa aku.. ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena pikirannya benar-benar limbung. Cici, hidangan sudah dingin, engkoh akan kuberi makan! tiba-tiba Ang-ko melengking. Tak usah, mungkin dia tak bernapsu makan malam ini. Mari kita ke ruang belakang! sahut Ki Gwatwan. Ia terus ajak dara itu menuju keluar. Tak berapa lama, ruangan itu menjadi sunyi. ********* Waktu berjalan laksana anak panah terlepas dari busur. Cepat sekali tahun barupun sudah tiba. Sejak partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek gak berhadapan di gunung Thay-heng-san tanpa hasil apa-apa, dunia persilatan aman tenang.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 215 dari 290

Pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh misterius yang selalu meninggalkan tanda panji tengkorak darah pun sudah dua bulan lebih tak mengganas lagi. Tetapi benarkah begitu? Tidak, tidak! Ketenangan itu hanyalah suatu persiapan dari banjir darah yang akan melanda dunia persilatan! Sebenarnya kaum persilatan sedang membayang-bayangkan suatu malapetaka besar. Cemas mereka membayangkan, sekali peristiwa itu meletus, maka dunia persilatan akan dilanda oleh gempa hebat yang mungkin akan merobah wajah dunia persilatan seluruhnya. Ah, benarlah. Bayang-bayang itu akhirnya menjadi kenyataan Rencana dari ke sembilan partai persilatan, untuk menantang Hun-tiong Sin-mo bertempur di puncak gunung Bu-san telah dibatalkan. Tetapi sebagai gantinya, mereka telah menerima undangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun untuk menghadiri rapat-besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san. Undangan itu tersebar luas. Bukan hanya terbatas pada ke sembilan partai persialtan saja, bahkan kelompok perguruan yang ternama dan berpengaruh di setiap daerah sama mendapat undangan. Rapat pertemuan orang gagah itu akan diselenggarakan di markas partai Tiam-jong-pay pada bulan satu tanggal lima belas. Disebut perjamuan, tetapi tak ada acara hidangannya. Baru pertama kali itu dalam sejarah dunia persilatan menerima undangan yang seaneh itu. Dan perhatian kaum persilatan segera tertumpah pada markas Hun-tiong-hu! Apakah tokoh Hun-tiong Sin-mo yang menjagoi dunia persilatan selama enam puluh tahun itu juga menerima undangan? Dan kalau menerima apakah dia akan menghadiri? Pecah berita yang menambah keseraman suasana. Yakni ada orang yang menyaksikan sendiri pihak Hun-tiong-hu telah menyebar anak buahnya berbondong-bondong menuju ke gunung Tiam-jong-san. Rombongan anak buah Hun-tiong-hu itu mengenakan pakaian aneh dari berbagai corak. Inilah yang menimbulkan berbagai tafsiran. Kalau Hun-tiong Sin-mo benar-benar mau menghadiri pertemuan di Tiam-jong-san itu, mengapa tak datang saja dengan terang-terangan, tetapi mengirim anak buahnya secara rahasia. Berita yang lebih mengejutkan lagi telah tersiar, bahwa rombongan Hun-tiong-hu itu telah disambut dengan penuh penghormatan oleh pihak Tiam-jong-pay. Memang telah diduga semula bahwa antara Hun-tiong-hu, Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay mempunyai hubungan yang erat. Dunia persilatan hiruk-pikuk dalam topan desas-desus. Tetapi anehnya ke sembilan partai persilatan tampaknya tenang-tenang saja dan tak mengadakan reaksi apapun. Setelah Hun-tiong-hu, sasaran kedua yang diperhatikan kaum persilatan ialah Sin-bu-kiong. Peristiwa Sin-bu Te-kun dihajar oleh Bu-beng-jin di gunung Thay-heng-san telah menjadi buah pembicaraan luas di kalangan persilatan. Bahwa Bu-beng-jin telah menerima ilmu pelajaran dalam kitab peninggalan It Bi siangjin pun telah diketahui oleh kaum persilatan. Dengan adanya peristiwa itu, kaum persilatan menganggap bahwa undangan Thiat-hiat-bun untuk mengadakan pertemuan orang gagah di gunung Tiam-jong-san itu, bagi Sin-bu-kiong benar-benar suatu tamparan yang hebat! Apakah Sin-bu-kiong akan menghadiri rapat itu? Ah, kali ini Sin-bu-kiong benar-benar dihadapkan pada persoalan yang pahit. Kalau tak hadir, tentu dianggap menyerah kalah. Namun kalau hadir, tentu akan menghadapi bahaya kekalahan yang fatal. Pihak pengundang ialah Thiat-hiat-bun, sebuah partai persilatan yang kuat dan berpengaruh. Apa lagi dibantu oleh Hun-tiong Sin-mo, ah, benar-benar ngeri. Seluruh perhatian dunia persilatan tercurah pada pertemuan besar Walaupun lambat, tetapi akhirnya haripun merayap terus. Akhirnya. Bulan satu tanggal lima belas telah tiba. Hari itu adalah malam widadari ( malam sehari sebelumnya ) dari rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Heboh! di Tiam-jong-san.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 216 dari 290

Tanggal satu bulan satu. Gunung Tiam-jong-san ramai sekali. Orang datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru. Kesibukan tampak nyata. Mulai dari markas besar Tiam-jong-pay yang terletak di muka puncak Lok-hehong sampai turun ke kaki gunung, telah dihias dengan lampu warna-warni yang gilang-gemilang. Di muka markas Tiam-jong-pay, juga didirikan bangsal penginapan untuk para tetamu. Tiam-jong-san saat itu benar-benar tenggelam dalam lautan kesibukan yang luar biasa. Perjamuan atau pertemuan orang gagah yang diselenggarakan saat itu, bukan saja merupakan lembaran baru dari sejarah partai Tiam-jong-pay, tapi juga merupakan peristiwa besar yang terjadi di dunia persilatan! Para tokoh-tokoh gagah dari empat penjuru gunung dan delapan pelosok daerah di seluruh negeri, sama datang hadir. Anak buah Tiam-jong-pay bekerja keras dan teratur, sehingga banjir tamu itu dapat diatur rapi. Yang datang termasuk ke sembilan partai persilatan, kelompok-kelompok perguruan dari tiap-tiap daerah, pemimpin-pemimpin piau-kiok (pengantar barang), jago-jago ternama sampai pada pendekarpendekar yang tak begitu terkenal. Mereka terdiri dari segala lapisan. Kaum paderi, biarawati (nikoh), imam, pengemis, lelaki, perempuan, tua dan muda. Telah dituturkan bahwa sekalipun tempat pertemuan diadakan di gunung Tiam-jong-san, tetapi yang menjadi tuan rumah ialah partai Thiat-hiat-bun yang dipimpin oleh Jenggot perak Lu Liang-ong. Ketua Tiam-jong-pay, yakni Poh-ih siu-su Li Cu-liong hanya merupakan salah seorang anak buah dari Jenggot perak. Banyak tafsiran dan dugaan telah dilontarkan. Tetapi sedikit orang yang tahu bagaimana sesungguhnya hubungan antara ketua Thiat-hiat-bun dengan ketua Tiam-jong-pay itu. Mengapa Li Cu-liong begitu menghormat sekali terhadap Jenggot perak Lu Liang-ong. Yang tahu akan rahasia mereka hanyalah sedikit sekali, bahwa Li Cu-liong itu sebenarnya adalah anak angkat dari Lu Liang-ong. Partai Thiat-hiat-bun ternyata mengerahkan seluruh anak buahnya. Selain ke empat Su-kiat, ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat, masih ada juga ratusan jago-jagonya yang berada di Tiam-jong-san. Mereka ikut dalam mendirikan perkemahan, menjaga keamanan dan menyambut tamu. Sekilas pandang, pertemuan itu merupakan suatu perjamuan besar. Suatu pesta ria antara kaum persilatan. Tetapi sebenarnya pertemuan itu membawa arti yang besar. Merupakan suatu pertemuan yang memastikan. Barangsiapa yang berhasil merajai pertemuan itu, dialah yang akan dinobatkan sebagai yang dipertuan dalam dunia persilatan! Untuk menjaga keamanan , selain petugas-petugas yang mengadakan perondaan, dibentuk pula sebuah regu rahasia. Regu ini mengenakan pakaian serba putih, rambut terurai dan serba menyeramkan. Gerak-gerik merekapun serba misterius. Sebentar tampak, sebentar lenyap. Mereka tak ditempatkan di suatu tempat tertentu dan tak diketahui jumlahnya. Tetapi setiap orang merasa bahwa setiap sudut dari daerah Tiam-jong-san, selalu terdapat bayangan mereka. Siapakah regu rahasia itu? Bagi setiap orang persilatan yang hadir dalam pertemuan itu segera mencium bau. Regu rahasia itu bukan lain adalah jago-jago dari Hun-tiong-hu yang berilmu tinggi. Apakah Hun-tiong Sin-mo juga hadir? Adanya regu rahasia dari Hun-tiong-hu itu menyebabkan setiap tamu tak berani sembarangan bergerak kemana-mana. Mereka takut menghadapi hal-hal yang tak diinginkan. Perhatian para tamu beraalih pada lain Mengapa sampai detik itu pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak tampak Soal Sin-bu Te-kun dan Hek Gak telah menjadi bahan pembicaraan para tamu. sasarn. muncul?

Hjek Gak muncul kembali setelah memendam diri selama enam puluh - tujuh puluh tahun. Kembalinya Hek Gak di dunia persilatan itu tentu dengan tujuan besar, dan tujuan besar itu jelas ditunjukkan pada hiasan pagar tembok markasnya. Di sekeliling pagar tembok markas Hek Gak, penuh digantung patung-patung tokoh persilatan yang ternama. Tokoh-tokoh itulah yang hendak dilenyapkan. Dan sekali muncul, ketua Hek Gak tentu sudah
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 217 dari 290

mempersenjatai diri dengan ilmu kepandaian yang sakti. Antara lain misalnya, cukup dengan mengandalkan tenaga dari Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi yang menjabat sebagai Cong-hou-hwat Hek Gak saja, cukuplah sudah menundukkan jago-jago persilatan yang manapun juga. Munculnya Hek Gak benar-benar merupakan ancaman besar di dunia persilatan.! Sementara mengenai diri Sin-bu Te-kun, dia sebenarnya adalah Song-bun Kui-mo, salah seorang dari kui-mo yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Di samping Hek Gak, Sin-bu-kiong pun merupakan momok yang menyita perhatian besar. Membicarakan Hek Gak dan Sin-bu Te-kun, orang tak dapat lepas dari membicarkan Hun-tiong Sin-mo. Selama lebih dari enam puluh tahun lamanya, setiap bulan sembilan tanggal lima belas, markas Huntiong-hu selalu menerima kedatangan jago-jago yang hendak menantang bertempur. Selama enam puluh tahun, entah sudah berapa banyak jago-jago yang harus menderita kekalahan pahit. Mereka yang berani datang, tentu tak pernah pulang lagi! Selama enam puluh tahun, hun-tiong Sin-mo telah menjagoi dunia persilatan. Beberpa bulan yang lalu, di dunia persilatan telah timbul kehebohan. Di sana-sini timbul pembunuhan dan pembunuhnya meninggalkan Panji tengkorak darah. Rakyat dan dunia persilatan gentar. Mereka membendi Hun-tiong Sin-mo yang diduga tentu melakukan keganasan itu. Adalah karena pernah dikalahkan Hun-tiong Sin-mo, maka Hek Gak segera bertapa selama enam puluh tahun. Dia hendak menuntut balas atas kekalahannya dari Hun-tiong Sin-mo yang telah membuat cacat tubuhnya. Pihak Sin-bu-kiong selalu menjaga perdamaian dengan kaum persilatan. Beberapa bulan yang lalu, mereka telah menerima undangan dari pihak Siu-lim-pay untuk bersama-sama mengeroyok Hun-tiong Sin-mo. Sekalipun akhirnya rencana itu batal karena adanya undangan rapat orang gagah oleh Thiat-hiat-bun ini, namun takkan berobah sifatnya. Dalam pertemuan maut kali ini, tentu akan terjadi pertempuran maut yang menentukan. Ditinjau dari prkembangan selama ini, posisi Hun-tiong Sin-mo tidak menguntungkan. Ke sembilan partai besar, Sin-bu-kiong dan Hek Gak memusuhinya. Tetapi diluar dugaan kini uncul Thiat-hiat-bun. Partai dari luar Tiong-goan ini muncul di wialayah Tionggoan dan rupanya bersekutu dengan Hun-tiong sin-mo. Semua orang menduga, bahwa pihak Huntiong-hu tentu sudah berada lebih dulu di Tiam-Jong-san. Tidak mengunjukkan muka kepada para tamu, mungkin telah direncanakan oleh Hin tiong sin-mo dan Thiat-hiat-bun. Sekaligus mereka mau menjebak seluruh tokoh-tokoh silat untuk dilenyapkan. Samapai pada kesimpulan itu mau tidak mau bergidiklah bulu roma para tamu. Dan yang lebih mencemaskan hati mereka, mengapa sampai detik ini Sin-bu dan Ketua Hek Gak tak muncul! Takutkah kedua tokoh itu? Menurut perhitungan, tanpa hadirnya ketua Sin-bu kiong dan Hek-Gak, pasti merupakan kehilangan besar. Sekalipun seluruh tokoh persilatan hadir di Tiam-jong-san itu bersatu padu menghadapi tantangan tuan rumah di Hun-tiong sin-mo, namun mereka tetap seperti telur beradu dengan tanduk. Pasti mereka akan hancur lebur oleh gembong un-tiong Sin-mo. Bayang-bayang dunia persilatan bakal dikuasai oleh gembong Hun-tiong Sin-mo makin jelas. Suatu hal yang lebih merontokkan nyali para tamu, ialah tentang pemuda Bu-beng-jin yang konon telah mendapat ajaran kitab pusaka It bing sianjin. Pemuda itu memang sakti sekali. Pernah bertempur belum selesai dengan Sin-bu te-kun dan bertempur tiada yang kalah dan menang mereka sama-sama terluka melawan Bok Sam-pi. Kemanakah beradanya pemuda itu sekarang: apakah sudah mati atau masih hidup. Demikianlah yang menjadi pembicaraan penting bagi para tetamu. Kebanyakan tamu itu tak tahu jelas bagaimana berlangsungnya pertarungan di Gunung Thay-heng-san yang lalu. Karena mereka membenci Hung Tiong-Sin-mo. Simpati merekapun tertuju pada Hek Gak dan Sin-bu-kiong. Karena bubeng-jin (Thian-leng) dianggap bermusuhan dengan Sin-bu Te-kun dan Hek-gak, maka para tamu berharap agar pemuda itu sudah mati dan tidak muncul lagi di dunia persilatan. Pemuda itu pernah membunuh orang-orang dari ke-9 partai persilatan, dan ke-9 partai persilatan menganggap pemuda itu sebagai anak buah Hun-tiong Sin-mo, sehingga dipukul dan dilempar kedalam
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 218 dari 290

sungai. Jelas pemuda itu tentu mendendam. Jika ia muncul lagi di Tiam-Jong-san, hebatlah akibatnya bagi ke-9 partai persilatan. Ramai dan sibuk sekalai para tamu memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan bakal mereka hadapi besok pagi. Tetapi dilihat semuanya tampak tidak tenang dan gelisah darpada yang berbesar hati. Sampai jauh malam masih terdengar orang bercakap-cakap membicarakan masalah itu ..... Pembukaan Dibawah naungan kabut rahasia yang penuh teka-teji, tibalah hari pembukaan rapat orang gagah di gunung Tiam-Jong-san. Rapat yang sangat dinanti-nantikan dengan penuh perhatian oleh seluruh kaum persilatan. Jelas sudah bahwa maksud ketua Thiat-hiat-bun menyelenggarakan rapat itu bukan untuk menjamu dalam rangka perkenalannya dengan kaum persilatan daerah Tiong-goan. Apakah maksud ketua Thiathiat-bun dibalik undangannya itu, belum diketahui jelas! Dimuka halaman markas Tiam-Jong-pay telah dibuat lapangan yang sangat luas. Tanahnya dibuat rata sekali dan licin sehingga tepat dijadikan gelanggang adu kepandaian. Gunung Tiam-jong-san seolah-olah bermandikan cahaya lampu warna-warni. Beberapa pos penjagaan didirikan, petugas-petugas yang melakukan ronda keamananpun dilipat gandakan jumlahnya. Dibalik dari kesibukan dan ketegangan suasana yang meliputi medan perjamuan, di dalam sebuah kamar rahasia markas Tiam-jong-pay, sedang berlangsung perundingan rahasia juga. Lima puluh jago Huntiong-hu golongan Pek-ih-tiang-hwat (orang tua jenggot putih berbaju putih) jangan hrap orang dapat mendekati kamar rahasia itu. Siapakah yang sedang mengadakan perundingan rahasia disitu? Didlam kamar rahasia terdapat beberapa kursi. Yang duduk dikursi kehormatan si jenggot perak Lu Liong-ong, kemudian Li-cu-liong ketua Tiam-jong-pay. Duduk disebelah jenggot perak, seorang wanita setengah umur yakni puteri semata wayang dari jenggot perak atau isteri yang ditelantarkan oleh pedang bebas Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun..... Gembong Hun-tiong Sin-mo yang menggetarkan dunia persilatan itu tak lain tak bukan ialah Cu Giok bun sendiri. Mengapa Giok-bun memakai she Cu dan mengapa ia menjadi Hun tiong Sin-mo, memang diketahui jelas. Duduk disamping Cu Giok-bun adalah puterinya yakni Cu Siau-bun. Selain keempat orang itu tampak juga seorang pengemis tua mendapat kehormatan diajak berunding oleh tokoh-tokoh semacam Hun tiong Sin-mo dan jenggot perak, tentulah bukan pengemis sembarangan. Dan memang pengemis itu adalah Thiat-ik Sin-kay atau pengemis sankti sayap besi. Cousou (guru besar) angktan tua dari partai pengemis. Kiranya sewaktu Thian-leng memerintahkan Lau Gik-siu supaya menjaga diluar lembah Pak liong kiap dahulu, Thiat-ik Sin-kay tiba-tiba muncul. Dengan kedudukannya sebagai sorang guru besar, ia suruh Lau sin-siu ajak rombongan pulang kemarkas kay-pang sementara ia sendiri menuju ke Tiam-Jong-san. Perundingan dalam kamar rahasia itu berlangsung dalam suasana yang hening, rupanya mereka tengah menghadapi masalah berat. Beberapa saat kemudian Li-cu-liong membuka mulut : Dari regu pengintai yang pulang melaporkan pihak si-bu-kiong dan Hek gak tak memperlihatkan gerakan apa-apa. Kemungkinan besar mereka tak menghadiri rapat ini! Jenggot perak menghela napas perlahan pintar sekali tindakan mereka itu, tetapi ........ ia tertawa datar, mungkin perhitunganmu meleset? Merah padam wajah L Cu-Liong. menurut pendapatku, bukan saja mereka akan datang, juga mereka mempunyai niat jahat. Mungkin ....... tiba-tiba Cu Siau-bun menyelutuk, tetapi belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, ibunya (Cu Giok-bun atau Hun-tiong Sin-mo) sudah menukasnya Eh, apakah kau berhak bicara disini? Siau-bun bungkam. Giok-bun, mengapa kau begitu keras terhadap anakmu! jenggot perak tertawa. Kemudian dengan pandangan ramah ia menatap siau-bun, ujarnya Sebenarnya dugaanmu tadi benar. Mereka pasti datang dengan rencana jahat. Tetapi eh, mengapa kau dapat menduga begitu?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 219 dari 290

Siau-bun hendak menyahut tetapi didahului Lu-bu-song Itu mudah saja! Kalau tidak masakan kakek tegang sekali sehingga memerintahkan supaya Tiam-jong-san dijaga seketat ini? Kembali jenggot perak tertawa keras Benar-benar jugalah. Kalian berdua memang anak perempuan keranjingan ..........ketika memandang Cu Siau-bun, tiba-tiba jenggot perak berhenti bicara. Teringatlah ia akan kata-kata Siau-bun ketika berada digunung Thay-hen-san tempo hari. Jenggot perak telah meluluskan untuk menjodohkan Bu-song dengan bu-beng-jin. Siapa tahu ternyata sebelumnya bu-bengjin telah mengadakan hubungan luar biasa dengan Siau-bun. Jenggot perak pedih hatinya atas tindakan bu-beng-jin yang beriman tipis itu. Bagaimana nanti dengan Lu bu-song apabila dara itu mengetahuinya. Karena dipuji sang kakek, Bu-song girang sekali. Dengan busungkan dada ia memandang Siau-bun sejenak, Siau-bun pun balas memandang adik misannya itu. Karena tak tahu apa yang sedang dipikirkan jenggot perak sat itu, begitu tampak wajah orang tua itu bermuram durja, diam-diam Li Cu-liong terkejut. Sejak kecil semula ia dipungut anak oleh jenggot perak maka tahulah ia bagaimna perangai ayah angkatnya itu. Menghadapi persoalan yang bagaimanapun beratnya, selalu jenggot perak itu acuh tak acuh. Tetapi kalau saat itu nampak begitu gelisah, terang masalahnya genting sekali. Si-bu-kiong dan Hek Gak sudah menderita kekalahan di gunung Thay-heng-san. Kegarangan mereka tentu sudah merosot. Maksud gihu menyelenggarakan rapat orang gagah ini, selain untuk berkenalan dengan kaum persilatan Tiong-goan juga hendak membantu mereka melenyapkan kedua momok jahat itu. Dalam hal ini mungkin pihak Si-bu-kiong dan Hek Gak sudah mencium maksudnya, maka kemungkinan besar mereka tentu tidak datang ........ Mereka datang atau tidak, aku tak peduli. Begitu perjamuan ini selesai aku ajak Bu-song datang ke Lin Lam lagi...... ia menghela napas, dunia persilatan Tiong-goan apa yang terjadi ia tak sudi mengurus lagi! kata-kata terakhir diucapkan dengan nada rawan. Li Cu-liong melongo. Ia tak tahu apa yang dimaksud ucapan ayah angkatnya itu. Suasana kamar rahasia itu liputi oleh kerawanan. Kek ..... apa katamu? teriak bu-song. Beberapa bulan yang lalu karena marah-marah, ia berpisah dengan Thian-leng. Tetapi hatinya selalu senang pada anak muda itu. Diam-diam ia menyesal atas tingkah lakunya sendiri. Karena tak tahu kemana perginya Thian-leng, terpaksa dia bersama dengan kakeknya lagi. Jenggot perak menghibur cucunya dan memberi jaminan bahwa Thian-leng pasti berkumpul lagi dengan dara itu. Karena mendapat jaminan, barulah dara itu mau ikut ke Tiam-jong san. Tetapi dalam perjalanan jenggot perak telah mengetahui hubungan Thian-leng dengan Cu Siau-bun. Sikap jenggot perak pun serentak berubah 180 derajat. Hanya saja ia mendapat kesulitan menceritakan hal itu kepada Bu-song. Apakah kata-kataku tadi belum jelas? jenggot perak menyeringai kepada Bu-song. Bu-song terkejut. Selama ini belum pernah kakeknya bersikap begitu kepadanya. Kek, kuminta kau mengatakan lagi! serunya Besok lusa, kita pulang ke Ling-lam dan takkan datang ke Tiong-goan selama-lamanya! kata ajenggot perak dengan suara sarat. Mengapa ......? wajah bu-song berubah seketika Tidak apa-apa kata jenggot perak dengan tetap sarat, kudapatkan dunia ini kotor dan palsu, hati manusia banyak yang culas. Aku tak mau keluar kedunia ramai lagi selama-lamanya! Eh, kek, mengapa hari ini? serempak Bu-song bangkit kaget, apakah yang terjadi? Apakah ......? cepat sekali dara itu menduga jangan-jangan Bu-beng-jin mendapat bahaya. Bukankah tempo hari kakeknya itu pernah mengatakan bahwa pemuda itu lenyap di gunung Thay-heng-san? Jenggot perak menghela napas pula, ujarnya Nak, jangan mendesak pertanyaan. Aku aku mau pulang ke Ling-lam adalah demi kebaikanmu! Bu-song makin bingung. Segera ia menubruk kepada kakeknya dan merajuk Kek, kau harus mengatakan yang sebenarnya. Apakah dia ....... bagaimana? Siau-bun mengulum ludah dan tertawa dingin, ...Eh, Bu-song, siapakah yang kaumaksudkan, dia itu? Tetapi Bu-song tak menghiraukan, ia tetap menggendoni bahu kakeknya, Bilanglah kek, bagaimana ini?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 220 dari 290

Sejenak jenggot perak melirik kepada Siau-bun, mau berkata tetapi tidak jadi. Kek, aku bukan anak kecil yang tak than menerima siksaan batin. Bilanglah, apakah dia mati? kembali bu-song mendesak dengan garang. Dengan gerakan yang perlahan, jenggot perak mengganggukan kepala, benar, dia .... dia .... dia..... mati! Mendengar kabar itu hati Siau-bun pilu. Ia tundukkan kepala. Kedukan kakek dan cucunya itu benar menyayat sanubari. Tiba-tiba Bu-song mengusap airmatanya dan berkata dengan suara gagah lebih baik mati, dia ..... memang seharusnya dulu-dulu sudah mati! Kata-kata dara itu mengejutkan sekalian orang. Jenggot perak mengelus-elus bahu Bu-song dan berkata dengan lemah nak, kau ....... Aku benci padanya. Sebenarnya akan kubunuh, syukur dia sudah mati! Bu-song tertawa. Benarkah itu? jenggot perak terbelalak. Mengapa tidak? Setelah rapat besok pagi selesai, kita segera pulang saja! Bagus, besok lusa kita segera pulang! Tetapi ..... siapakah yang membunuhnya? tiba-tiba Bu-song bertanya. Kau toh sudah benci, perlu apa menanyakannya? sahut jenggot perak yang sebenarnyatak tahu bagaimana keadaan Bu-beng-jin. Ah, aku hanya ingin tahu saja. Siapa tahu aku akan berterima kasih padanya. Terpaksa jenggot perak memberitahukan : Bok-sam-pi, tetapi dia sendiripun terluka parah! Apakah besok pagi dia datang? Bu-song tertawa. Jenggot perak terkejut melihat sikap cucunya tak wajar. Ia tertawa getir, Bok Sam-pi menjabat Conghouhwat dari Hek Gak. Jika hek Gak berani datang, diapun tentu ikut serta! Bu-song menggangguk, baik akupun ingin tau saja. Sekarang silakan membicarakan hal-hal lain yang penting. Ia kembali duduk ditempatnya semula. Wajahnya menyunggingkan senyum yang aneh. Sebenarnya Cu Siau-bun hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Sedang Thian-ik-sinkay pun terbengong-bengong mengawasi jenggot perak saja. Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk pelahan tiga kali ....... Masuk! seru jenggot perak. Li Cu-liong segera bangkit dan membukkan pintu. Seorang anggota rombongan Pek-ih-tiang-hwat rombongan jago-jago Hun-tiong-hu yang berjanggut dan berbaju putih memberi hormat diambang pintu.

JILID 12 Tambur Mukjijat Seorang murid Kay-pang mohon menghadap! serunya. Jenggot perakpun menyuruhnya membawa masuk. Seorang pengemis melangkah masuk dan setelah memberi hormat kepadanya serta Jenggot perak, lalu berlutut di hadapan Thiat-ik Sin-kay. Murid Nyo Bu-hiong kepala cabang Liang-ci, mohon menghadap cousu! Lekas katakan berita yang kau bawa kepada Lu lo-cianpwe! perintah Thia-ik Sin-kay. Nyo Bu-hiong mengiyakan, lalu menghadapi Jenggot perak, ujarnya, Kami mendapat berita dari anggota kami yang sedang bertugas Katakanlah terus! seru Jenggot perak Pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak telah mulai mengunjukkan tanda-tanda bergerak. Tetapi yang keluar hanya beberapa orang saja.. Ah, dugaanku tak meleset! Jenggot perak menepuk perlahan-lahan, mereka akan bergerak secara bergelombang. Apakah mereka itu terdiri dari orang-orang Sin-bu-kiong atau Hek gak semua? Benar, Sin-bu-kiong dan Hek Gak mengeluarkan beberapa jago-jago desa yang sudah lama tak muncul, sahut Nyo Bu-hiong. Apakah mengetahui siapa mereka itu?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 221 dari 290

Nyo Bu-hiong menyahut agak gugup, Ini.maaf, tecu kurang cermat, sehingga tak menyelidiki asalusul mereka. Hanya salah satu dikenal sebagai Cian-bin cuncia. Cukup! tiba-tiba Jenggot perak bangkit lalu mondar-mandir di dalam kamar rahasia. Rupanya persoalan memang genting sekali. Kecuali Thiat-ik Sin-kay, sekalian orang yang berada dalam kamar rahasia itu sama tercengang. Cianbin cun-cia atau paderi seribu wajah, memang asing bagi mereka. Namun dari reaksi Jenggot perak, jelas bahwa Cian-bin cuncia itu tentu bukan tokoh sembarangan. Sampai beberapa lama kemudian barulah jenggot perak menyuruh Nyo Bu-hiong keluar. Anak tak kenal siapa Cian-bin cuncia itu Gihu baru Li Cu-liong bertanya begitu Jenggot perak sudah menukas. Gelar Cian-bin cuncia itu diperoleh karena orang itu benar-benar dapat berobah dalam seribu macam wajah. Sebentar menyaru jadi pengemis, sebentar imam tua. Jadi pendek kata menyaru jadi orang apa saja dia bisa. Ilmu kepandaian itu benar-benar menyesatkan orang..... Ah, kalau begitu pertempuran besok pagi sudah tentu akan membuat Lu lohiap sibuk sekali, seru Thiat-ik Sin-kay. Tetapi telah kukatakan tadi, begitu rapat besok pagi itu selesai, aku segera kembali ke Ling-lam. Tetapi menilik gelagatnya, Sin-bu-kiong telah berhasil menarik manusia belut itu dalam pihaknya. Siapa tahu rencanaku pulang akan mengalami kegagalan, karen atulang-tulangku yang bangkotan ini bakal terkubur di sini! Thiat-ik Sin-kay tertawa, Ah, ucapan Lu lohiap itu terlalu meremehkan diri sendiri. Jangankan Cian-bin cuncia belum tentu berani menghadapi engkau secara terang-terangan, sekalipun berani tetap takkan menang. Kekuatiran Lu lohiap tak beralasan...., ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, Sekalipun aku si pengemis tak berguna ini, juga belum tentu begitu mudah menyerah! Tetapi yang aku kuatirkan bukan Cian-bin cuncia itu melainkan mengenai hidup matinya seseorang. Ketahuilah, kalau Sin-bu-kiong berhasil menarik Cian-bin cuncia, mungkin Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (orang aneh utara) Bu Te suseng dan lainnya telah dapat dikuasai Sin-bu-kiong. Jika kawanan pentolan itu bersatu, tentu sukar ditundukkan. Dalam pertempuran besok pagi, tentu akan timbul pertumpahan darah yang hebat.... Thiat-ik Sin-kay pun tegang wajahnya. Apa yang menjadi kekuatiran Jengot perak , memang bukan mustahil. Kawanan Cian-bin cuncia itu merupakan momok-momok termashyur di dunia persilatan. Munculnya mereka tentu akan mempergenting suasana rapat besok pagi.! Siau-bun diam saja. Wajahnya mengerut, hatinya bergolak. Demikian juga Bu-song. Kedua gadis ini sama gelisah memikirkan Bu-beng-jin. Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara jenggot perak yang bertanya kepada Li Cu-liong, Apakah tamu-tamu yang hadir itu telah diketahui asal-usulnya? Li Cu-liong tersentak kaget. Serentak ia bangkit, Setiap tamu tentu membawa undangan. Kebanyakan pemimpin-pemimpin partai persilatan yang terkenal. Sampai sebegitu jauh belum terdapat orang yang mencurigakan.... Apakah kau sudah memeriksa sendiri? Ah, ini..... Bagaimana? desak Jenggot perak. Karena banyak pekerjaan, anak sampai tak melakukan hal itu, wajah Li Cu-liong berobah pucat. Jenggot perak menghela napas. Kelalaian sedetik dapat menyebabkan mala petaka seumur hidup.... tetapi tak dapat kusalahkan engkau. Akulah yang lalai.. Anak segera akan melakukan pemeriksaan, entah..... Kini para tamu sudah hadir, masakah engkau hendak memeriksanya satu persatu? tukas Jenggot perak. Tidak! Thiat-ik Sin-kay menyeletuk, hal ini dapat dianggap menghina kaum persilatan.... Li Cu-liong bungkam. Memang memreiksa tamu satu persatu, tidak dapat dibenarkan.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 222 dari 290

Akhirnya Cu Giok-bun menghela napas. Katanya kepada Jengot perak, Kalau begitu biarlah li-ji (anak perempuan) saja yang melakukan tugas itu! Jenggot perak tertawa mengangguk. Kalau kau yang bertindak itulah bagus. Tetapi ayahmu mempunyai rencana yang lebih bagus! Apakah itu, kek?Cu Siau-bun menyeletuk. Sebaiknya kita pergi beramai-ramai agar mudah menghadapi sesuatu! sahut Jenggot perak. Cu Giok-bun mngerutkan kening, Apakah memang berat sekali? Jenggot perak mengelengkan kepala, Mungkin kecurigaanku berlebihan. tetapi tiada jeleknya kita berhati-hati! Ia bangkit dan menyuruh Li Cu-liong segera membukakan pintu. Demi melihat pemimpin mereka keluar, rombongan Thiat-ik Sin-kay serentak mengundurkan diri bersembunyi dalam kegelapan malam. Li Cu-liong menjadi penunjuk jalan. Mereka menuju ke lapangan di luar markas. Walaupun malam gelap tiada bintang, tetapi karena empat penjuru dihias lentera warna-warni, lapangan terang-benderang seperti siang hari. Dengan ilmu Memandang langit mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui persiapanpersiapan yang telah dilakukan oleh anak buahnya. Anak buah Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan jagojago Hun-tiong-hu mengadakan penjagaan dengan ketat. Bangsal penginapan untuk para tamu telah dijaga rapat. Diam-diam jago tua itu mengangguk puas. Dia mengikuti Li Cu-liong menuju ke bangsal penginapan para tamu. Bangsal penginapan para tamu didirikan tepat di muka markas tiam-jong-pay. Meskipun terbuat dari bambu, tetapi dibuat indah sekali. Dari pintu bangsal, terbentang sebuah jalan panjang yang masuk ke dalam. Di dalam penuh dengan ruangan-ruang untuk para tamu. Meskipun belum larut malam, tetapi pintu-pintu kamar sudah tertutup semua. Keadaan sunyi senyap. Kiranya para tamu mempunyai perhitungan sama. Dalam tempat dan suasana yang sedemikian gawat, lebih baik mereka jangan gegabah keluar kemana-mana. Kalau tidak tidur, mereka lebih suka menyekap diri bersemedhi memelihara tenaga. Kurang lebih setengah jam, rombongan Jenggot perak sudah menjelajahi seluruh kamar-kamar para tamu. Li Cu-liong berhenti di ujung bangsal dan dengan suara berbisik-bisik menanyakan pada Jenggot perak apakah melihat sesuatu yang mencurigakan. Selain bangsal ini, apakah tak ada tempat untuk menampung para tamu lagi? Jenggot perak mengerutkan kening. Anak hanya menurut semua petunjuk gi-hu. Selain di sini, memang tak ada lain tempat penampungan lagi. Jenggot perak tersenyum, lalu berpaling kepada Cu Giok-bun, Mungkin ayahmu sekarang sudah tua, sehingga tadi tak mendengar dan melihat sesuatu yang menimbulkan kecurigaan. Tetapi entah bagaimana kesanmu? Sahut hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, Li-ji pun tak mendapatkan sesuatu hal yang mencurigakan, hanya...... ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, li-ji telah menemukan sesuatu hal yang agak aneh! Coba katakanlah! Sekarang baru kurang lebih jam sepuluh malam, mengapa tak seorangpun yang keluar? Apakah mereka sudah tidur semua? Mungkin mereka tak mau terlibat hal-hal yang tak diinginkan, maka lebih baik mengeram diri dalam kamar saja..... Akupun semula mempunyai kesimpulan begitu. Memang kalau lain-lain partai berbuat begitu, dapatlah dimaklumi. Tetapi lain halnya dengan Siau-lim-pay.... tukas Cu Giok-bun. Tetapi belum ia menyelesaikan pendapatnya, Jenggot perak sudah balas menukas, Benar! Siau-lim-pay adalah pemimpin dari ke sembilan parta persilatan. Ketiga cuncia Siau-lim-pay pernah mengajak sembilan partai dan mengundang Sin-bu-kiong untuk menempurmu di puncak Giok-li-hong. Seharusnya sekarang ia tak bertindak begini aneh....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 223 dari 290

Jenggot perak merenung sejenak, serunya kemudian, Apakah kecurigaanmu tertumpah pada kamar Siau-lim-pay? Belum Cu Giok-bun menyahut, tiba-tiba Cu Siau-bun menyeletuk, Mungkin tidak! Cu Giok-bun memberi isyarat mata kepada puterinya itu, tetapi tak mengatakan apa-apa. Cobalah terangkan mengapa tidak? seru Jenggot perak. Sambil tersenyum kecil, Cu Siau-bun berkata, Aku tak mengatakan kamar Siau-lim-pay tak boleh dicurigai, melainkan mengatakan bahwa kecurigaan itu dapat ditujukan pada semua kamar tamu! ia berhenti sejenak, lalu mengedipkan mata. Kakek seorang cerdik, tentu mengetahui apa sebabnya! Senang juga hati Jenggot perak mendapat pujian itu. Dan berbareng itu diapun menyadari. Sambil mengelus-elus jenggotnya, ia tertawa, Benar, memang Siau-lim-pay patut dicurigai, tetapi lain-lain partai yang tak keluar dari kamar itupun juga harus mendapat perhatian kita. Karena kalau tidak, masakah mereka tak mau keluar semua! Meliha tSiu-bun mendapat angin, Bu-song resah hatinya. Segera iapun berseru, Kek, bolehkah aku buka suara? Bu-song mencibirkan bibir, serunya, Dari segala jenis racun yang beredar di dunia persilatan, kabarnya racun Peh-tok-jong ( kutu beracun) yang paling ganas sendiri. Benarkah itu? Jenggot perak terkesiap, tanyanya, Bukan saja Peh-tok-jong itu merupakan rajanya racun, juga merupakan raja kutu beracun. Tetapi mengapa kau menanyakan hal itu? Bagaiana keganasan kutu itu? Korbannya segera meleleh menjadi cairan darah. Tak ada obatnya lagi! Siapa yang pertama mendapatkan kutu itu? Raja kutu beracun Coh Sing! Bu-song menghela napas, Agaknya kita telah mendapat ancaman hebat! Bukan hanya Jenggot perak, juga Cu Siau-bun terheran-heran memandang Bu-song. Nak, mengapa kau main goda dengan kakek? Katakanlah lekas! Akhirnya Jenggot perak berseru. Masakah kakek belum tahu? Dara itu segera melirikkan matanya ke ujung kamar yang terakhir. tanya Bu-song.

Sekalian orangpun ikut memandang ke sana. Di belakang kamar tamu itu, tampak berserakan selongsong kulit ular, kaki laba-laba, betis tonggeret dan lain-lain. Sayup-sayup seperti terbaur hawa anyir. Kamar tamu itu ditempati oleh partai Ji-tok-kau, Jenggot perak tertawa hambar, karena kuatir lain tamu tak puas dengan adat kebiasaan Ji-tok-kau, maka kuperintahkan supaya rombongan Ji-tok-kau ditempatkan di kamar yang paling belakang sendiri... apakah hubungannya dengan Peh-tok-jong? Bu-song tertawa, Coh Sing si raja kutu beracun itu mungkin berada di sini! Mustahil! teriak Jenggot perak, apakah kau tahu sendiri? Sekalipun Peh-tok-jong itu memerlukan ramuan macam-macam binatang beracun, tetapi yang paling penting adalah sejenis Lok-bi-ciat ( kalajengking hijau) dan ular Ang-sian-nio ( ular merah). Bukankah kakek pernah menceritakan hal itu? kata Bu-song. Ya, kakek memang pernah bercerita begitu.... Jenggot perak mengerang perlahan. Sekalian orangpun segera menyadari tentang hal yang mencurigakan itu. Kosongan kulit kutu yang berhamburan di tanah itu memang layak dicurigai. Yang paling menarik perhatian ialah selongsongan kulit ular berwarna merah dan seekor kalajengking warna hijau. Kedua binatang beracun itu merupakan unsur utama dari racun Peh-tok-jong. Partai Ji-tok-kau termashyur dalam ilmu racun, sudah tentu takkan membawanya kemana-mana! Jenggot perak merenung, ujarnya, Nak, kau memang teliti sekali. Kalau tidak, perjamuan besok pagi tentu gagal berantakan!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 224 dari 290

Bersihkan kotoran ini! Jenggot perak memberi perintah kepada Li Cu-liong. Ketua Tiam-jong-pay itu mengiyakan dan segera hendak keluar. Nanti dulu, kek! tiba-tiba Cu Siau-bun berseru. Eh, kau mau apa lagi? Siau-bun cebikan bibir tertawa, Aku hendak unjuk ketololan di hadapanmu, tidak secerdik adik Song. Tetapi cobalah kakek pikirkan. Di dalam perumahan para tamu ini penuh dengan jago-jago ulung yang membawa rombongan anak buahnya. Bagaimana juga gerak-gerik Coh Seng tentu akan ketahuan. Tetapi ada dua hal yang patut menjadi perhatian.... Apakah itu?tanya Jenggot perak dengan segan. Siau-bun tertawa, Pertama, agar kawanan penjaga dapat mempertinggi kewaspadaan. Siapa tahu bakal menghadapi hal-hal yang genting. Kedua, menjaga jangan samapai menimbulkan kesalahpahaman partai-partai persilatan... Lalu bagaimnana menurut pendapatmu? Jenggot perak bertanya. Siau-bun tertawa pula, Hanya beberapa anak buah partai Ji-tok-kau dan ditambah seorang Raja kutu beracun Coh Seng, dapat berbuat apa? Asal kita dapat menjaga jangan sampai mereka sempat menggunakan racun, tentulah pertemuan besok dapat diselamatkan. Masakah kakek tak mampu menindak mereka? Baik, biarlah aku sendiri yang turun tangan! kata Jenggot perak seraya loncat ke udara, melayang ke dalam ruang tamu. Thiat-ik Sin-kay, Li Cu-liong , Cu Giok-bun, Cu Siau-bun dan Bu-song segera mengikuti. Mereka melesat ke tengah ruang tamu. Tempat mereka omong-omong tadi tak berapa jauh dari ruang tamu. Bagi tamu yang tinggi ilmu lwekangnya, tentulah dapat menangkap pembicaraan Jenggot perak tadi. Tetapi ternyata keadaan sepisepi saja. Bahkan setibanya di dalam ruanga tamu, Jenggot perak sudah disambut oleh bau anyir darah. Dan segera jago tua itu menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Di ruang tamu kamar tengah, tampak empat sosok tubuh manusia tergeletak di lantai. Ketika dihampiri, kiranya mereka adalah anak buahTiam-jong-pay yang bertugas melayani keperluan para tamu. Wajah mereka menjadi hitam, jelas terkena racun. Biadab sekali....... Li Cu-liong menggertak gigi, lalu menggunakan ilmu menyusup suara kepada Jenggot perak. Anak hendak menuntut balas atas kematian merek! Sebelum Jenggot perak membuka mulut, Li Cu-liong sudah menggeliat melesat ke ruangan tengah. Jenggot perak terkejut sekali. Buru-buru ia memanggil. Tahan dulu! Tetapi seruannya agak terlambat. Li Cu-liong menghantam daun pintu kamar dan menerobos masuk. Karena kamar-kamar itu terbuat dari bambu, maka sekali hantam dapatlah Li Cu-liong menjebolnya. Karena dia sendiri yang mengawasi pembuatan bangsal penginapan para tamu, maka pahamlah ia akan keadaan di situ. Setiap ruang terdiri dari empat buah kamar yang di jajar empat jurusan. Di tengahtengahnya sebuah ruang tamu dan dua buah kamar tidur. Di luar dugaan, kamar-kamar di situ sunyi senyap saja. Dan ketika ia mendorong pintu sebuah kamar, serangkum asap hitam membaur ke luar. Buru-buru ia menutup pernapasan dan melepaskan sebuah pukulan. Brak.... terdengar suara benda berhamburan jatuh, tetapi anehnya tak seorangpun manusia yang muncul. Pukulan itu menghembus asap hitam ke samping. Li Cu-liong terkejut. Secepat kilat ia mengayunkan tubuhnya mencelat kembali ke tengah ruangan. Ia tahu bahwa asap itu tentulah asap beracun. Asal menghentikan pernapasan, tentulah takkan kemasukan racun. Tetapi perhitungannya meleset. Asap beracun itu luar biasa cara kerjanya. Begitu menyentuh tubuh manusia, terus merembes masuk melalui lubang pori-pori. Terjangannya melalui taburan asap, cukup membuatnya celaka. Begitu berada di luar, seketika ia merasakan sendi-sendi tulangnya sakit sekali, dada sesak dan kepala serasa berputar. Bluk.... jatuhlah ia terkapar di lantai.....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 225 dari 290

Kagt dan marah sekali Jenggot perak, serunya, Memang racun Peh-tok-jong! Kau.... Pil Tay-hoan-tan masih tinggal dua butir, untung kubawa! seru Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Segera Li Cu-liong diberinya minum sebutir. Ketua Tiam-jong-pay itu muntah-muntah dan tersadar. Suasana di bangsal penginapan para tamu itu sunyi saja. Seolah-olah tak ada orang yang mendengar apapun yang terjadi di luar ruangan. Jenggot perak tertawa datar, Kalau samapai jatuh di tangan tikus kecil itu, kami ayah dan anak tentu mendapat malu besar. Bagaimana dengan pertemuan besok pagi? Mengapa ayah masih bersikap seperti dulu, begitu mengindahkan kepada mereka? kata Cu Giok-bun. Jenggot perak mengepal-ngepal tinju seraya menggeram, Kalau sudah ganas biarlah ganas habishabisan. Coba saja lihat nanti apakah mereka mampu menerima tinjuku ini! Begitu marahnya Jenggot perak saat itu sehingga dari tubuhnya menghambur semacam hawa panas yang mendesis-desis. Nanti dulu kek! tiba-tiba Cu Siau-bun mencegah kakeknya yang bersiap hendak menghantam. Jenggot perak mengakui kecerdikan kedua anak perempuan itu. Mendengar Siau-bun mencegahnya, iapun berhenti. Apa lagi? Sahut Siau-bun dengan perlahan. Gerombolan Ji-tok-kau mahir sekali dalam ilmu racun. Tadi Li ciangbun telah terkena racun Peh-tok-jong. Ini menandakan bahwa si raja racun Coh Seng tentu berada di sini. Pukulan kakek luar biasa hebatnya. Seluruh isi ruang gerombolan Ji-tok-kau tentu hancur binasa. Tetapi tidakkah dengan begitu racun mereka akan berhamburan kemana-mana. Mereka dapat dibinasakan, tetapi kitapun tentu celaka...... Ah, benar! Tetapi...apakah membiarkan saja mereka berbuat sesuka hatinya? Apakah kita rela mengundurkan diri? Jenggot perak membantah. Tidak, perbuatan merekapun harus mendapat hukuman yang setimpal! Siau-bun tertawa, segala jenis racun tak ada yang dapat melawan api. Pukulan Cek-ih-ciang dari mamahku, mungkin ada gunanya! Cu giok-bun mendengus, Hm, budak, kau berani mempamerkan ibumu! walaupun mulutnya mengatakan begitu tetapi ia segera bertindak. Tangannya diangkat, seketika menghamburlah serangan sinar merah. Tenaga tamparan segera menghambur ke dalam jendela. Seketika sekeliling tiga tombak terasa panas. Menyusul terdengar bunyi berkeretekan bambu yang termakan api. Susul menyusul jeritan ngeri dari beberapa orang di dalam kamarpun berhamburan mengaduh. Ruang yang terbuat dari bambu itu terbakar oleh pukulan Cu Giok-bun. Asap mengepul membawa bau daging gosong. Selain bau bangkai manusia, juga tercampur dengan bau anyir dari binatang-binatang beracun yang mati terbakar. Jenggot perak mengerutkan alis, Meskipun cara ini baik, tetapi bagaimana pertanggungan jawab kita terhadap sekalian tamu? Bukankah tindakan kita ini akan menjadi buah ejekan dari para tamu besok pagi? Tidakkah mereka akan mengatakan kita sebagai tuan rumah telah menindas tamu? Cu Siau-bun mengerutkan kening, Kakek terlalu baik. Tetapi bukankah setiap kejahatan harus diberantas habis? Jika bangsa manusia ganas semacam ini dibiarkan hidup, dunia akan terancam bahaya! Cara kita tadi, rasanya tepat! Kek, aku mempunyai cara untuk menundukkan sekalian tamu besok pagi! tiba-tiba Bu-song menyeletuk. Ia melirik Siau-bun. Mengapa tak lekas bilang? dengus Jenggot perak. Bu-song tertawa mengikik, Keempat orang Tiam-jong-pay yang menjadi korban itu cukup menjadi bukti. Apabila besok pagi keempat mayat mereka ditunjukkan dalam pertemuan, tentulah mereka akan mengerti dan memaklumi tindakan kita! Jenggot perak bertepuk tangan, Benar, tepat sekali....ayo, lekas pindahkan mayat anggota Tiam-jongpay itu! Li Cu-liong yang sudah sembuh segera memerintahkan anggotanya mengangkut keempat mayat itu keluar.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 226 dari 290

Bangsal penginapan para tamu tetap sunyi-sunyi saja. Hanya sebuah kamar, yakni tempoat menginap gerombolan partai Ji-tok-kau yang terbakar. Dan sekalian tamu tetap berdiam diri dalam kamar tak berani menjenguk keluar. Memang dari dalam kamar Ji-tok-kau telah menghambur keluar bau manusia terbakar, tetapi apakah si Raja racun Coh Seng juga turut terbakar, masih belum diketahui. Api makin menjalar besar. Jika tak dipadamkan tentu akan memakan seluruh abngsal. Api ini seharusnya ..... baru Siau-bun berseru begitu, Jenggot perak sudah menukasnya, Api yang menyulut ibumu, bagaimana kau hendak suruh kakek yang memadamkan? Sekalipun mulutnya mengatakan begitu, tetapi jago tua itu segera menampar beberapa kali. Serangkum hawa dingin segera menghambur keluar. Api makin lama makin menyurut kecil. Di dalam kejadian itu, sukar diketahui berapa jumlah korban yang terbakar. Tetapi dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui bahwa tak seorangpun yang ada dalam kamar Ji-tok-kau dapat meloloskan diri. Bagaimana sekarang? tanya Li cu-liong kepada Jenggot perak. Terpaksa kita harus minta ibu melepas pukulan lagi, biar seluruh orang ji-tok-kau mati semua! Cu Siau-bun menyeletuk. Ah, tetapi tindakan itu agak terlalu ganas, Jenggot perak mengerutkan dahi. Bu-song menyeletuk, Ganas atau tidak ganas, tak usah dibicarakan dulu. Tetapi dalam hal ini memang masih ada hal-hal yang mencurigakan.... ia berhenti sejenak lalu berkata pula, Tiga buah kamar yang dihuni rombongan Ji-tok-kau tentulah bukan terdiri dari orang-orang tuli semua. Apakah mereka begitu saja mau menerima kematian tanpa memberi perlawanan apa-apa? Apakah tak ada seorangpun yang mempunyai pikiran untuk lolos? Benar-benar, akupun mempunyai pikiran begitu.... sambung Jenggot perak, ruangan penuh orang, tetapi sedikitpun tak tampak suatu gerakan apa-apa! Kek, bolehkah aku masuk memeriksa salah sebuah kamar mereka?akhirnya Siau-bun berseru. Jenggot perak tergopoh-gopoh menolak. Siau-bun tertawa gelak-gelak, Kek, kecurigaanmu berlebihan. Meskipun aku nanti terkena racun Pehtok-jong, tetapi ibu masih mempunyai pil Tay-hoan-tan yang mukjijat! Tanpa menunggu ijin kakeknya, gadis itu sudah mencelat masuk ke dalam sebuah kamar. Gadis liar! bentak Cu Giok-bun yang menyusul puterinya. Jenggot perak sedianya hendak menyusul, tetapi setelah melihat Cu Giok-bun sudah bertindak, ia membatalkan maksudnya. Kek, kemarilah lekas! tiba-tiba terdengar Siau-bun berseru dari dalam kamar. Ketua Thiat-hiat-bun itu terkejut bukan kepalang. Sekali loncat ia menerjang ke dalam. Thiat-ik Sin-kay, Bu-song dan Li Cu-liong pun mengikuti. Apa yang mereka lihat di dalam kamar benar-benar membuat mereka tercengang. Di dalam kamar itu tampak tujuh-delapan orang Ji-tok-kau. Sekilas pandang mereka seperti orang yang duduk bersemedhi dengan mata merem melek. tetapi setelah diperhatikan lagi kiranya mereka sudah tak bernyawa lagi. Seperti telah dikatakan di atas, ketiga ruangan itu khusus ditinggali oleh rombongan Ji-tok-kau. Di luar bangsal dijaga keras oleh para penjaga, baik yang terang maupun yang meronda secara gelap. Ketatnya penjagaan begitu rupa, sehingga umpama lalat terbang masukpun tentu diketahui. Jenggot perak mengerutkan alis. Selama hidup baru sekali itu menyaksikan perbuatan yang sedemikian kejamnya. Kek, mereka mati keracunan semua! kata Bu-song sehabis memeriksa orang-orang itu. Kali ini mungkin kau salah raba! Jenggot perak menggelengkan kepala. Ternyata korban-korban itu wajahnya seperti biasa, seperti orang yang hanya ditutuk jalan darahnya saja. Baik alis maupun bibir mereka sedikitpun tak tampak tanda-tanda keracunan. Thiat-ik Sin-kay dan lain-lain yang banyak pengalamanpun, tak dapat memberi komentar apa-apa. Segala sesuatu yang mereka hadapi memang sukar diduga.... Budak, mengapa kau diam saja? tegur Jenggot perak kepada Siau-bun.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 227 dari 290

Nona itu menggelengkan kepala, Adik Song sudah mengatakan tepat. Mereka memang mati keracunan, apa yang masih harus kukatakan lagi? Jenggot perak tercengang, Mengapa kau juga berpendapat begitu? Kalau memang mati keracunan, mengapa tak ada tanda-tandanya? Siau-bun tertawa, Kek, apakah kau memang berpura-pura hendak menguji kami! Pertama, mereka telah terlatih dan kebal terhadap racun. Begitu kena racun, sudah tentu tubuhnya biasa saja. Kedua, jika tidak mati keracunan, mengapa mereka duduk begitu rapi? Dan ketiga, karena raja racun Coh Seng berada di sini, siapa lagi yang berbuat begitu kalau bukan dia........ kakek kaya pengalaman, dalam halhal sekecil ini, bagaimana aku dapat mengelabuimu? Benar atau salahkah kata-kataku ini? Kalau dapat menganalisa sedemikian rinci, mungkin ibumu belum tentu menang.... Jenggot perak memuji. Siapa tahu Bu-song mendengus karena Siau-bun mendapat pujian. Ayo, kaupun juga ikut menyatakan pendapat! seru Jenggot perak kepada Cu Giok-bun, Si Raja racun Coh Seng diundang partai Ji-tok-kau untuk membantu meracuni jago-jago yang kita undang. Tetapi mengapa mendadak sontak ia malah meracuni orang-orang Ji-tok-kau sendiri? Bu-song tertawa dingin, Tak usah kakek memuji aku, aku tak secerdas cici Bun... dara itu agak merajuk, tetapi pada lain kejap ia menyusuli pula, Itupun sebenarnya sederhana saja. Tentulah kakek mengetahui bahwa sekalipun kutu dengan racun itu berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai kegunaan yang sama. Raja racun Coh Seng memang hebat dalam menggunakan kutu, tetapi ia tak mampu melawan kepandaian orang Ji-tok-kau dalam menggunakan racun. Kalau tidak, tentulah duludulu kedua orang itu sudah bersatu. Mengapa Ji-tok-kau tak mau berdaya menyelidiki penggunaan kutu itu. Akibatnya undangan Ji-tok-kau kepada Coh Seng itu suatu kesalahan besar. Coh Seng mendapat kesempatan untuk menghancurkan saingannya. Rombongan partai Ji-tok-kau yang datang kesini antara lain termasuk ketuanya, yakni Ti Bo dan jagojago pilihan mereka. Apabila dapat melenyapkan mereka, mudahlah bagi Coh Seng untuk menguasai Jitok-kau dan mengambil alih partai itu! Nah, cukup dengan hal-hal yang kusebutkan ini, jelas menunjukkan bahwa kebinasaan orang-orang Jitok-kau itu adalah dilakukan oleh Coh Seng. Si Wajah Seribu Jenggot perak tercengang. Apa yang dikatakan Bu-Song memang mungkin. Meskipun ada Thiat-hiatbun, Hun Tiong Sin-mo, Tiam-jong-pay dan jago-jago sakti, tetapi tiada pimpinan yang cakap. Jika menderita serangan dari luar tentu markas akan kacau balau. Jika sampai terjadi hal itu, bagaimana nanti pertanggungjawaban mereka dalam pertemuan besok pagi? Bukankah mereka akan kehilangan muka? Karena gugup, tanpa menunggu perintah jenggot perak lagi, sekalian orang segera lari berserabutan menuju ke markas. Jenggot perak hendak menyusul tetapi tiba-tiba terdengar suara mengiang lagi ditelinganya :, ah, sudah terlambat Lu Tua! Namun kali ini tentu akan hancur lebur! Menyusul kata-kata itu terdengar ledakan keras di barengi dengan muncratnya nyala api ke udara. Celaka, kekalahan kali ini benar-benar hebat .................... jenggot perak menghela napas. Ia segera mencelat keluar sambil meninjukan kedua tangannya. Serangkum hawa dingin berhamburan dan api pun mulai reda. Tetapi ledakan itu rupanya berasal dari bahan peledak. Sekalipun api dapat dipadamkan tetapi sebagian besar dari markas telah hancur berantakan. Jenggot perak menghela napas dalam dan banting-banting kaki, Ah, tak kira aku bakal mengalami kekalahan di Tiong-goan. Kemana hendak kutaruh mukaku besok dihadapan sekalian orang gagah? Kek, siapakah dia? Manusia atau setan Bu-song berseru kaget. Jenggot perak sendiripun tertegun. Cepat-cepat ia berpandangan sejenak dengan Thiat-it-sin-kay ia membalas tertawa nyaring. Serunya : Ah, saudara Lin-jong benar. Belum sempat keluar menyambut, saudara sudah tiba! Perempuan tua tertawa mengekeh O, kau kenal juga diruu? Jenggot perak tertawa : Sekalipun kenalanku tidak banyak tetapi terhadap tokoh ternama seperti daudara, mungkin aku tentu kenal ......, kalau tak salah saudara itu tentu Cian-bin-cun-cia Auyang Teng .......
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 228 dari 290

Perempuan tua bertubuh gemuk pendek itu memang Cian-bin-cun-cia atau rahib wajah seribu Auyang Teng. Ah, matamu ternyata masih awas Lu Tua! rahib wajah seribu tertawa. Bu-song, Siau-bun terkejut mendengar nama rahaib tua itu. Jua Li Cu-liong dan Cu Giok Hun-tiong tak terkecuali. Baru saja tadi mereka mendapat berita dari dara pos atau dalam sekejap saja rahib seribu wajah sudah muncul. Dan ilmu berjalan ditengah api yang dipertunjukkan tadi benar-benar menakjubkan. Maaf karena sesuatu dan lain hal aku tak dapat menyambutnya dengan penuh kehormatan, jenggot perak tertawa. Disambut atau tidak akau tak ambil pusing. Tetapi apakah sesuatu dan lain hal tu yang kau maksukan? Katakanlah! seru wajah seribu. Pertama, sesorang lelaki jantan mengapa memakai pakaian wanita, orang begitu aku paling muak. Kedua, kalau toh datang, datanglah dengan terang-terangan tak perlu main sembunyi macam bangsa perampok yang membakari rumah rakyat! Terhadap orang semacam itu, aku paling benci sekali. Ketiga, kabarnya kau sudah bergabung dengan Sin-bu-kiong, rela menjadi anak buah Song-bun Kui-mo. Ah, dalam hal ini aku tak berani campur tangan ....... Cukup! Terhadap orang aku mengapa kau berani berkata begitu keterlaluan! marah wajah seribu seketika. Jenggot perak tertawa mengejek, Sebenarnya gerak-gerikmu banyak sekali memalukan, tetapi enggan kukatakan. Cukup dengan beberapa pasal yang kukatakan tadi, cukuplah sudah untuk meremehkanmu. Maka selain tak memberi penyambutan yang pantas pun malam ini aku hendak adu kekuatan denganmu, siap yang nanti lebih kuat!: Wajah seribu tertawa mengekeh Baiklah, memang aku selalu bertindak menurut kemauanku sendiri tak perduli orang senang atau tidak. Jika kau menghendaki begitu, aku pun tak keberatan! Habis berkata ia mencelat sampai 7-8 tombak dan dalam sekejap lenyap dari pandangan mata. Kek, iblis itu memuakan sekali, mengapa kau biarkan ia pergi? teriak Bu-song. Jenggot perak tertawa : Mungkin tak semudah itu kita tundukkan ia! Baru berkata begitu tiba-tiba terdengar suara orang mengucap doa keagamaan. Berasal dari arah sebelah kiri. Dan pada saat itu muncullah imam tua bertubuh kurus kering. Kembali Bu-song dan Siau-bun menjerit kaget. Hai, Imam hidung kerbau darimana kau? serentak Bu-song berseru Eh, budak perempuan, apa kau lupa? imam tua itu tertawa meloroh. Jenggot perak tertawa dingin : cian-bin-cun-cia, betapapun kau hendak unjuk kepandaianmu menyaru, jangan harap dapat mengelabui mataku! Hai, apakah dia si wajah seribu? Bu-song menjerit kaget. Benar,kata jenggot perak, dia memang mahir dalam hal itu. Sebentar menjadi lelaki sebentar jadi perempuan atau sesaat seorang paderi pada lain waktu menjadi rahib. Tubuhnya pun gemuk-pendek, kurus-kering, tinggi besar menurut kemauannya! Tetapi kakekmu tak dapat dikelabui! Memang imam tua itu adalah si wajah seribu. Ia tertawa terkial-kial :Lu tua, kau memang hebat dapat mengenali diriku! Bu-song, Siau-bun dan Li Cu-liong terkesiap. Jika bukan jangget perak yang mengatakan, tentu mereka takan percaya. Apa yang dilihat memang berbeda sama sekali. Yang tadi seorang perempuan pendek, kini seorang imam tua bertubuh tinggi kurus. Kalau tadi seorang rahib, kini seorang imam .............. Kebakaran dari bahan peledak itu telah menimbulkan kerusakan besar. Beberapa bagian dari gerbang markas Tiam-jong-pay telah ambruk. Kamar rahasia untuk berunding oleh jenggot perak tadipun hancur. Beberapa penjaga regu Pik-ih-tiong-hiat (orang tua berjenggot dan berpakaian putih) dari Hun-tiong-bu, menjadi korban. Semuanya atas perbuatan si wajah seribu. Dengan gusar berserulah jenggot perak, Ayo suruh kawan-kawanmu keluar. Kita putuskan dulu siap diantara kita yang lebih unggul ...... Wajah seribu tertawa keras Kawan? Hm, masakan kau tak mendengar bahwa aku selalu bergerak seorang diri? Baik, katakan apa tujuanmu kemari! Aku senang melihat keramaian yang bakal diadakan disini. Sekalipun kau lupa mengundang, aku tetap
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 229 dari 290

akan datang sendiri ..... kebakaran markasmu itu adalah sebagai hukuman kecil untuk kelalaianmu mengundang aku! Ketua Tiam-jong-pay tak dapat menahan amarahnya lagi. Loncat kemuka ia mendamprat Iblis tua, jangan ngaco belo disini, serahkan jiwamu! kata-katanya ditutup dengan sebuah pukulan. Bukannya menghindar atau menangkis atau balas memukul sebaliknya wajah seribu itu hanya tertawa gelak. Tetapi pada saat tinju Li Cu-liong tiba, entah bagaimana tiba-tiba wajah seribu hilang lenyap. Kejut ketua Tiam-jong-pay itu bukan kepalang dan terbengong-bengong seperti melihat hantu. Dan alangkah kagetnya ketika sesaat kemudian ia melihat dua orang wajah seribu berdiri di kanan dan kirinya! LiCu-liong kucek-kucek matanya. Dikiranya salah pandang. Tetapi sekalai memandang lagi ah ...... benar-benar tak salah lihat. Dua orang wajah seribu memang benar-benar berdiri disebelah kanan kirinya ...... Ketua Tiam-jong-pany tak mau dibuat main. Dia ayunkan kedua tinjunya memukul kekanan dan kekiri. Terdengar kedua wajah seribu tertawa gelak dan sekonyong-konyong lenyap! Li-Cu-liong tertegun. Hai ...... tib-tiba ia terbeliak kaget sekali. Kini bukan melainkan dia. Tetapi empat orang wajah seribu yang berdiri mengepungnya dari empat penjuru ......! Li-Cu-Liong menyadari bahwa diantara keempat wajah seribu hanya satu yang asli. Yang tiga hanya bayangan kosong. Tetapi pengertian itupun tak banyak membantunya karena ia tak tahu yan mana yang asli dan yang palsu. Selagi ia bingung, tiba-tiba keempat wajah seribu sudah menyerangnya. Li cu-liong kaget. Serentak iapun menghantam mereka. Ia gunakan seluruh tenaganya untuk menyambut serangan mereka. Pikirnya, asal dihantam serempak saja, tentu beres. Yang asli kena atau yang palsu lenyap. Ketua Tiam-jong-pay itu tak sempat memikirkan apa-apa lagi. Kemarahannya makin meluap-luap dengan berlipat ganda. Ah ..... segera ia menyadari kalau termakan tipu muslihat wajah seribu. Ketika musuh yang dihantamnya itu hanya bayangan belaka. Dengan demikian tenaga hantamannya hanya mengenai tempat kosong belaka dan sia-sia belaka. Karena memukul sasaran yang kosong mau tak mau keseimbangan tubuhnyapun goyah. Ia menjorok kemuka. Dan sebelum ia sempat memperbaiki posisinya, ssesosok tubuh sudah melesat sambil menghantamnya. Itulah wajah seribu asli! Pada saat L Cu-liong teranjam maut, dalam sekejap bertindaklah Cu Giok-bun Hun-tiong Sin-mo, sambil totokan jarinya kemuka, ia membentak siluman, jangan kelewat meliar! Mengira orang sudah tak berdaya, wajah seribu segera hendak memberi hantaman maut. Kepada Li Cu-liong. Pukulannya dilancarkan cepat dan ganas. Tetapi totokan jari maut Hun-tiong Sin-mo sakti sekali. Wlaupun dari jauh, tetapi angin tenaganya bagaikan kilat cepatnya. Wajah seribu kaget. Untuk menyelamatkan jiwanya terpaksa ia loncat menghindar. Li cu-liong mengeluh. Dengan keringat bercucuran ia loncat mundur. Wajahnya tersipu-sipu merah. Sampai beberapa saat ia terlongong-longong. Seumur hidup belum pernah mengalami peristiwa aneh sedemikian rupa. Sementara Hun-tiong Sin-mo pun agak terkesiap. Meskipun totokan jari maut itu bukan merupakan ilmu simpanannya, tetapi wajah seribu dapat menghindar dengan mudah, mau tak mau membuat Hun tiong Sin-mo tercengang juga. Sejak belasan tahun belum pernah ada orang yang dapat lolos dari totokan jarinya. Dan belum pernah ada yang selamat. Kalau tidajk mati tentu menderita luka parah ...... Tetapi kekagetan wajah seribupun tak kalah besarnya. Didalam dunia persilatan, tak ada orang yang sekali gebrak dapat memundurkannya. Sebelumnya ia tak percaya tetapi apa yang di alaminya saat itu, benar-benar membuatnya seperti orang yang bermimpi! Hun-tiong Sin-mo bersikap seperti tak niat bertempur, sehabis berhasil menolong Li Cu-liong iapun segera loncat mundur pula. Tetapi sikap itu bahkan membangkitkan kemarahan wajah seribu. Dengan murka ia membentak perempuan hina, jika malam ini tak kuhancurkan tubuhmu aku tak mau meninggalkan Tiam-jong-san sini! Oh, mungkin tak mudah untukmu meninggalkan gunung ini! Hun-tiong Sin-mo membalas.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 230 dari 290

Wajah seribu segera merangsang. Tubuhnya pecah menjadi 7-8 sosok bayangan. Hun-tiong Sin-mo tak gentar. Ia hendak menyambut tetapi disanggah jenggot perak, Giok-bun. Belum saatnya kau turun tangan ayah masih dapat melayaninya! Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan. Terdengar suara ledakan keras, pasir dan batu berhamburan. Ke 7-8 sosok bayangan itupun lenyap. Yang nampak kini hanya seorang wajah seribu terhuyung melangkah kebelakang. Kiranya jenggot perak berhasil menghantam dadanya. Tetapi dia sendiripun menderita juga. Tenaga tolakan yang dilancarkan wajah seribu membuat jenggot perak juga terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Jago Thiat-hiat-bun itu tertegun. Ia merasa benar-benar mendapat lawan tanding yang seimbang. Dengan penasaran jenggot perak maju pula mengirim sebuah pukulan kepunggung lawan! Wajah seribu mengeluh kaget. Cepat ia liukan tubuh, seketika pecahlah tubuhnya menjadi beberapa sosok bayangan yang bagaikan pinang dibelah dua. Mereka bergerak-gerak mengepung jenggot perak. Jenggot perak mendengus. Ia tarik pukulannya untuk melindungi tubuh. Ia tegak berdiri tak mau bergerak lagi tetapi diam-diam kerahkan seluruh tenaga dalam untuk melapis diri. Dalam sekekap, belasan sosok bayangan wajah seribu itu lenyap. Kini tampaklah ia tegak berdiri beberapa langkah dihadapan jenggot perak. Dengan mata berkilat-kilat wajah seribu manatap orang : Lu tua, mengpa kau diam saja? Takutkah kau padaku? Jenggot perak tertawa keras Pernahkah kau mendengar cerita orang, kepada siapa aku pernah merasa gentar? Wajah seribu berubah gelap kalau begutu, mengapa kau tak bergerak? Lebih bai kau menyerah saja! memang aku sengaja mengalah supaya kau menyerang dulu! sahut jenggot perak. Binatang tua jangan sombong, kau berani menghina aku! wajah seribu teriak seraya gerakkan kedua tangannya. Gayanya mirip hendak menampar tatapi juga seperti hendak meotok. Tampaknya hendak mencengkeram tetapi juga menyerupai orang hendak meremas. Secepat jilat tangannya sudah menjulur kemuka jenggot perak. Berbarengan itu sekonyong-konyong pecah menjadi 3-4 sosok bayangan. Seketika itu jenggot perak seperti diseran g oleh wajah seribu. Sukar dibedakan mana yang palsu dan yang sungguhan. Jago Thiat-hiat-bun itu tegak tenang laksana sebuah gunung. Pada saat serangan tiba barulah ia bergerak dengan tak terduga-duga. Sekonyong-konyong ia menamparkan tangan kesenlah kanaan dan kiri. Tar, tar terdengar letupan keras dan bayangan yang menyerupai wajah seribu itupun lenyap seketika berganti dengan wajah serbu yang asli terhuyung-huyung sampai 4-5 langkah. Jenggot perakpun terhuyung sampai tiga langkah kebelakang. Ia merasa darah dalam tubuhnya agak bergolak. Sepintas pandang memang tampaknya jenggot perak lebih unggul. Wajah seribu kerutkan dahi dan termanggu sejenak, serunya kemudian Setan tua, bagaimana kau dapat membedakan diriku dengan bayanganku? Hm, masakan permainan anak kecil semacam itu dapat mengelabui aku ......jenggot perak tertawa terbahak-bahak, tetapi ilmu gingkanmu, patut dipuji! Ilmuku Pek-pian-mo-ing (Bayangan setan seratus macam), tiada keduanya didunia persilatan. Mana hanya mengandalkan ilmu ginkang saja? Jenggot perak tertawa pula, serunya mungkin aku belum tahu bahwa si tua ini memiliki ilmu mendengar bumi melihat langit? Betapun kau hendak merubah dirimu menjadi apa saja, memang pada detik permulaan mungkin dapat mengelabui mataku sekejap telah kuketahui juga .... Melihat langit mendengar bumi? wajah seribu kaget. Ho, kau belum pernah mendengar ilmu itu? Tetapi ilmu itu hanya tertuju pada jarak luas dan jauh, bagaimana kau dapat meneropong ilmu sakti Pek-pian-mo-ing. Sebenarnya ilmu Pek-pian-mo-ing itu hanya ilmu ginkang yang tinggi. Bayangan-bayanganmu itu hanya kosong. Dengan ilmu melihat langit mendengar bumi sudah tentu kuteropong mana dirimu yang asli mana yang palsu, mengapa kau heran ....... Wajah seribu meringkik tawa hatinya. Silakan kau kerahkan seluruh kepandaianmu. Tetapi malam ini adalah malam kejatuhanmu. Besok pagi jangan harap kau dapat membuka rapat para orang gagah ...............!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 231 dari 290

JILID 12 Tambur Mukjijat (2) Tambur Mukjizat Oh, Mungkin kau tak mempunyai kemampuan begitu! sahut jenggot perak. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo Tju Giok-bun, tak ikut bicara. Mereka berdiri di samping mendengarkan percakapan. Jenggot perak dan si wajah seribu dengan penuh perhatian. Kebakaran di markas besar Tiam-jong-pay pun sudah reda. Tetapi asap masih bergulung-gulung memekatkan udara. Banyak anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-tiong-san dan Tiam-jong-pay yang menjadi korban. Tetapi sebagian yang dapat lolos keluar, segera tenang kembali. Saat itu sudah terang tanah. Pertemuan besar para orang gagah, segera akan tiba waktunya. Menilik barak pesanggrahan tempat menginap tetamu-tetamu itu tak jauh dimuka markas Tiam-jong-pay, maka kebakaran dimuka markas itu tentu diketahui oleh parta tetamu. Tetapi anehnya, pesanggrahan para tetamu itu tampak sunyi-sunyi saja. Ketua Tiam jong-pay Li Cu-liong gelisah. Ia mencuri kesempatan untuk bertanya pada jenggot perak dengan ilmu menyusup suara .....hari sudah terang tanah, pertemuan akan segera dimulai. Rupanya durjana ini (wajah seribu) hendak mengulur waktu supaya pertemuan tak dapat berlangsung tepat pada waktunya ........ ___ia berkeliaran memandang ketempat penjuru, lalu berkata, pula Turut pendapat anak, lebih baik kita lekas bertindak menyingkirkan durjana ini. Tak perlu kita menghiraukan tata kehormatan (etika) kaum persilatan lagi! Pertemuan tetap akan dibuka tepat pada waktunya! Serahkan momok ini padaku, kau lekas atur persiapan pertemuan-pertemuan itu, apakah meja kursi sudah diatur menurut rencan! sahut jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga. Li Cu-liong kerutkan alis, ujarnya : Tetapi durjana ini licin sekali, apakah ayah ............ Jangan banyak tanya lagi, aku dapat mengatasinya! tukas jenggot perak dengan ilmu menyusup suara. Kemudian ia berganti nada dengan bentakan biasa : Lekas kerjakan persiapan yang diperlukan! Li Cu-liong mengiayakan lalu pergi. Wajah seribu berpaling memandang markas Tiam jong-pay yang menderita kerusakan ia tertawa mengejek. Sejenak melirik pengemis Thiat-ik-sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, tiba-tiba jenggot perak membentak lawan : hai, iblis tua, kalau membawa kawan, suruh mereka unjuk diri! Wajah seribu terbeliak teriaknya : Aku selalu bekerja seorang diri, tak pernah kubersekongkol dengan orang. Jangan banyak curiga! Kek, bolehkah aku bicara? mendadak Bu-Song maju selangkah. Jenggot perak berpaling, Eh, kau lihat hantu apa lagi? Dara itu tertawa melengking Durjana ini seolah-olah membanggakan keagungan diri tetapi sebenarnya dia seorang hina! Percuma kau tanya ini itu padanya, bunuh sajalah! Bukan kepalang marahnya wajah seribu, teriaknya kau berani menghina aku, budak? Kaupun takkan menjadi mayat utuh ....... tiba-tiba ia menampar. Iblis hina kau tak malu mengganas seorang anak perempuan! Ia pun songsongkan pukulan. Karena ilmu Pek-pian-mo-ing (seratus bayangan iblis) tak mempan, wajah seribu gunakan pukulan biasa. Plak ..... terdengar letupan keras dari dua pukulan yang beradu, debu dan tanah berhamburan. Kedua tokoh itu mundur beberapa langkah. Sekalipun tampaknya jenggok perak menang angin tetapi kekuatan mereka berimbang. Sesaat berdiri tegak wajah seribu tertawa nyaring, setan tua, kecuali kalian maju berbarengan, jangan harap dapat memenangkan aku! Aku paling benci main keroyok. Mari kita bertanding satu lawan satu! jenggot perak marah sekali.. Wajah seribu tertawa Aku tak suka menggunkan kekerasan. Membunuhmu pun tak ada gunanya. Cukup asal nyawamu tentram, aku sudah puas! Kau benar, iblis! tiba-tiba Bu-song menyelutuk. Hanya sayang tipu muslihatmu tak berguna. Pertemuan orang gagah takkan terpengaruh oleh pengacau sepertimu! Wajah seribu tertawa sinis Orangnya kecil tetapi mulutmu besar! Coba katakan, siasatku apa yang gagal? Bu-song tertawa dingin Menghadapi manusia rendah semacam kau, perlu apa memakai akal! Tiba-tiba
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 232 dari 290

ia menantang Apakah kau berani bertempur sejurus saja dengan aku? Kau berani menantang aku? wajah seribu tertawa menghina kau sudah mendapat kehormatan! Bu-song mengejek Wajah seribu melangkah selangkah, bentaknya mengepul asap tipis. Ia bersikap menerima serangan. Bu-songpun dengan tenang segera mencabut pedang dari belakang bahunya. Budak, kakekmu disini, jangan lancang! serentak jenggot perak membentak si dara. Iblis tua ini kelewat sombong. Aku hendak mewakili kakek meghajar adat padanya! Jangan ngaco, lekas enyah! bentak jenggot perak. Kemudian ia menyusuli dengan ilmu menyusup suara Dia seorang tak perlu dikuatirkan tetapi Lam-yau (Siluman dari selatan), Pek-koay (manusia naeh dari utara) dan Bu-kiu-sut seng (Pelajar tak berdosa) tentu juga berada disekitar tempat ini ............. Benar, sahut jenggot perak, Orang itu dapat meluputkan diri dari ilmu melihat langit mendengar-bumi, tentulah sakti sekali. Jauh beberapa kali saktinya dari puluhan tahun yang lalu. Kakek harus hati-hati menghadapi mereka. Mengapa kau hendak bentindak sembrono, ajo lekas menyingkir! Bagaimana kakek hendak menghadapi mereka! tanya Bu-song Jenggot perak tertegun. Memang pertanyaan sang cucu itu tepat sekalai. Baru ilmu Pek-pian mo-ing atau iblis seratus kali hilang dari wajah seribu saja sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah dengan beberapa tokoh pentolan lagi. Tetapi bagaimanapun ia harus bertindak. Pertarungan tadi menunjukkan bahwa kekuatannya berimbang dengan wajah seribu. Untuk menundukkan tokoh itu, ia harus menggunakan waktu sedikitnya sejam Ah, trlalu lama. Jangan kuatir, kakek mempunyai rencana Akhirnya ia menghibur si dara. Bu-song mencibirkan bibirnya Tindakan ku ini justeru hendak membantu kakek. Hendak kupancing mereka keluar baru kita hancurkan! Ia tahu jelas situasi saat itu. Pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, CU Siaubun dan tokoh lainnya, terpancang oleh kenggot perak. Tanpa perintah jago tua itu, mereka tak berani bertindak. Tetapi tampaknya jenggot perak tak punya rencana apa-apa. Kalu terus menerus hanya tantangtantangan begitu saja, tentulah pertemuan para orang gagah tak dapat berlangsung! Bagaimana akalmu hendak memancing mereka? tanya jenggot perak. Bu-song tertawa : Ini ...... sekarang tak dapat kuberitahukan dulu! Tetapi, paling tidak hendak kuberi pelajaran dulu pada momok ini, syukur kalau dapat membunuhnya! Dengan begitu gerombolan mereka tentu keluar semua! Jenggot perak mengurut-urut jenggotnya. Beberapa saat ia tak dapat bicara. Ia percaya akan kecerdasan bocah perempuan itu. Sekalipun tindakannya kali ini sangat berbahaya, tetapi ia berada dekat situ. Setiap saat dapat memberikan pertolongan apabila diperlukan. Melihat jenggot perak dan Bu-song bicara dengan ilmu menyusup suara, wajah seribu hanya tersenyum saja. Setelah beberapa saat, baru ia melengking : Eh, sudah berunding berdua atau belum? Jenggot perak menyahut dingin :Karena cucuku ingin sekali mendapat pelajaran darimu, maka kali ini aku memberi kelonggaran padanya! Wajah seribu tertawa gelak-gelak :aku seorang ganas. Sekali turun tangan kalau sampai cucumu mati, harap jangan salahkan aku! Iblis tua, mungkin kau tak mempunyai kemampuan berbuat begitu! Bu-song melengking marah. Silakan kau mulai! wajah seribu tertawa mengejek. Bu-song tertawa gemerincing. Ia putar pedangnya, tetapi berpaling melirik Siau-bun. Siau-bun tegak berdiri ditempat. Hanya mulutnya menyunggingkan senyum. Diam-diam ia gunakan ilmu menyusupkan suara kepada si dara :Hendaklah jangan kuatir! Aku tahu maksud mu! Kau pintar juga! sahut Bu-song dengan ilmu menyusup suara. Dan mulailah ia melancarkan serangan ........... Wajah seribu tertawa mengekeh. Sekali kedua bahunya bergoyang, terpecahlah dirinya menjadi 3-4 sosok bayangan yang menyerangnya dari empat jurusan. Bu-song seorang dara yang cerdik. Serangannya hanya serangan kosong. Ia tahu bahwa menghadapi si Wajah seribu tak boleh gunakan kekerasan melulu, tetapi harus pakai tipu. Maka ia gunakan ilmu
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 233 dari 290

suara-ditimur-serangan dari barat. Begitu perhatian lawan tercurah pada serangan pedang, secepat kilat tangan kiri Bu-song menabur dengan senjata rahasia Hon-Tahu-kiong (Paser kepala burung Hong). Sekalipun Bu-song tak dapat membedakan mana bayangan lawan yang asli mana yang palsu, tetapi 4 batang paser yang ditaburkan itu kiranya cukup untuk menghancurkan keempat sosok bayangan untuk memperoleh hasil yang maksimal, ia gunakan ilmu menimpuk yang paling ganas. Tiap-tiap paser itu sengaja diarahkan kemata kiri si bayangan. Seketika terdengar raung kemarahan yang hebat dan lenyaplah ke 4 sosok bayangan itu. Sama sekali wajah seribu tak menduga bahwa Bu-song akan gunakan senjata rahasia, karena itu ia agak lengah. Dan kedua kalinya ia tahu bahwa ilmu timpuk Hong-thau-kiong dari partai Thiat-biat bun hebat sekali. Seratus kali timpuk tentu seratus tentu seratus kali kena. Dan masih ada kelemahan bagi Wajah seribu ialah telinga, mata. Hidung dan lubang-lubang tubuh manusia itu paling sukar untuk disaluri tenaga dalam. Betapa lihay si wajah seribu, namun ia tak dapat menggrekkan tenaga dalamnya kebagian-bagian itu. Untung dia banyaka pengalaman, pada detik-detik maut hendak merenggut ia masih dapat miringkan kepalanya sedikit Kesamping Sehingga matanya terhindar dari kehancuran. Namun tak urung, sudut matanya tetap paser sidara,.................... Wajah seribu mengerung laksana harimau terluka. Sebelum ia sempat mencabut passer yang menancap diujung matanya, sekonyong-konyong angin berkesiuran dan serangkum benda mengkilap menyambar mukanya! Ketua Tiam jong-pay Li Cu-liong gelisah. Ia mencuri kesempatan untuk bertanya pada jenggot perak dengan ilmu menyusup suara .....hari sudah terang tanah, pertemuan akan segera dimulai. Rupanya durjana ini (wajah seribu) hendak mengulur waktu supaya pertemuan tak dapat berlangsung tepat pada waktunya ........ ___ia berkeliaran memandang ketempat penjuru, lalu berkata, pula Turut pendapat anak, lebih baik kita lekas bertindak menyingkirkan durjana ini. Tak perlu kita menghiraukan tata kehormatan (etika) kaum persilatan lagi! Pertemuan tetap akan dibuka tepat pada waktunya! Serahkan momok ini padaku, kau lekas atur persiapan pertemuan-pertemuan itu, apakah meja kursi sudah diatur menurut rencan! sahut jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga. Li Cu-liong kerutkan alis, ujarnya : Tetapi durjana ini licin sekali, apakah ayah ............ Jangan banyak tanya lagi, aku dapat mengatasinya! tukas jenggot perak dengan ilmu menyusup suara. Kemudian ia berganti nada dengan bentakan biasa : Lekas kerjakan persiapan yang diperlukan! Li Cu-liong mengiayakan lalu pergi. Wajah seribu berpaling memandang markas Tiam jong-pay yang menderita kerusakan ia tertawa mengejek. Sejenak melirik pengemis Thiat-ik-sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, tiba-tiba jenggot perak membentak lawan : hai, iblis tua, kalau membawa kawan, suruh mereka unjuk diri! Wajah seribu terbeliak teriaknya : Aku selalu bekerja seorang diri, tak pernah kubersekongkol dengan orang. Jangan banyak curiga! Kek, bolehkah aku bicara? mendadak Bu-Song maju selangkah. Jenggot perak berpaling, Eh, kau lihat hantu apa lagi? Dara itu tertawa melengking Durjana ini seolah-olah membanggakan keagungan diri tetapi sebenarnya dia seorang hina! Percuma kau tanya ini itu padanya, bunuh sajalah! Bukan kepalang marahnya wajah seribu, teriaknya kau berani menghina aku, budak? Kaupun takkan menjadi mayat utuh ....... tiba-tiba ia menampar. Iblis hina kau tak malu mengganas seorang anak perempuan! Ia pun songsongkan pukulan. Karena ilmu Pek-pian-mo-ing (seratus bayangan iblis) tak mempan, wajah seribu gunakan pukulan biasa. Plak ..... terdengar letupan keras dari dua pukulan yang beradu, debu dan tanah berhamburan. Kedua tokoh itu mundur beberapa langkah. Sekalipun tampaknya jenggok perak menang angin tetapi kekuatan mereka berimbang. Sesaat berdiri tegak wajah seribu tertawa nyaring, setan tua, kecuali kalian maju berbarengan, jangan harap dapat memenangkan aku! Aku paling benci main keroyok. Mari kita bertanding satu lawan satu! jenggot perak marah sekali.. Wajah seribu tertawa Aku tak suka menggunkan kekerasan. Membunuhmu pun tak ada gunanya. Cukup asal nyawamu tentram, aku sudah puas!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 234 dari 290

Kau benar, iblis! tiba-tiba Bu-song menyelutuk. Hanya sayang tipu muslihatmu tak berguna. Pertemuan orang gagah takkan terpengaruh oleh pengacau sepertimu! Wajah seribu tertawa sinis Orangnya kecil tetapi mulutmu besar! Coba katakan, siasatku apa yang gagal? Bu-song tertawa dingin Menghadapi manusia rendah semacam kau, perlu apa memakai akal! Tiba-tiba ia menantang Apakah kau berani bertempur sejurus saja dengan aku? Kau berani menantang aku? wajah seribu tertawa menghina kau sudah mendapat kehormatan! Bu-song mengejek Wajah seribu melangkah selangkah, bentaknya mengepul asap tipis. Ia bersikap menerima serangan. Bu-songpun dengan tenang segera mencabut pedang dari belakang bahunya. Budak, kakekmu disini, jangan lancang! serentak jenggot perak membentak si dara. Iblis tua ini kelewat sombong. Aku hendak mewakili kakek meghajar adat padanya! Jangan ngaco, lekas enyah! bentak jenggot perak. Kemudian ia menyusuli dengan ilmu menyusup suara Dia seorang tak perlu dikuatirkan tetapi Lam-yau (Siluman dari selatan), Pek-koay (manusia naeh dari utara) dan Bu-kiu-sut seng (Pelajar tak berdosa) tentu juga berada disekitar tempat ini ............. Benar, sahut jenggot perak, Orang itu dapat meluputkan diri dari ilmu melihat langit mendengar-bumi, tentulah sakti sekali. Jauh beberapa kali saktinya dari puluhan tahun yang lalu. Kakek harus hati-hati menghadapi mereka. Mengapa kau hendak bentindak sembrono, ajo lekas menyingkir! Bagaimana kakek hendak menghadapi mereka! tanya Bu-song Jenggot perak tertegun. Memang pertanyaan sang cucu itu tepat sekalai. Baru ilmu Pek-pian mo-ing atau iblis seratus kali hilang dari wajah seribu saja sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah dengan beberapa tokoh pentolan lagi. Tetapi bagaimanapun ia harus bertindak. Pertarungan tadi menunjukkan bahwa kekuatannya berimbang dengan wajah seribu. Untuk menundukkan tokoh itu, ia harus menggunakan waktu sedikitnya sejam Ah, trlalu lama. Jangan kuatir, kakek mempunyai rencana Akhirnya ia menghibur si dara. Bu-song mencibirkan bibirnya Tindakan ku ini justeru hendak membantu kakek. Hendak kupancing mereka keluar baru kita hancurkan! Ia tahu jelas situasi saat itu. Pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, CU Siaubun dan tokoh lainnya, terpancang oleh kenggot perak. Tanpa perintah jago tua itu, mereka tak berani bertindak. Tetapi tampaknya jenggot perak tak punya rencana apa-apa. Kalu terus menerus hanya tantangtantangan begitu saja, tentulah pertemuan para orang gagah tak dapat berlangsung! Bagaimana akalmu hendak memancing mereka? tanya jenggot perak. Bu-song tertawa : Ini ...... sekarang tak dapat kuberitahukan dulu! Tetapi, paling tidak hendak kuberi pelajaran dulu pada momok ini, syukur kalau dapat membunuhnya! Dengan begitu gerombolan mereka tentu keluar semua! Jenggot perak mengurut-urut jenggotnya. Beberapa saat ia tak dapat bicara. Ia percaya akan kecerdasan bocah perempuan itu. Sekalipun tindakannya kali ini sangat berbahaya, tetapi ia berada dekat situ. Setiap saat dapat memberikan pertolongan apabila diperlukan. Melihat jenggot perak dan Bu-song bicara dengan ilmu menyusup suara, wajah seribu hanya tersenyum saja. Setelah beberapa saat, baru ia melengking : Eh, sudah berunding berdua atau belum? Jenggot perak menyahut dingin :Karena cucuku ingin sekali mendapat pelajaran darimu, maka kali ini aku memberi kelonggaran padanya! Wajah seribu tertawa gelak-gelak :aku seorang ganas. Sekali turun tangan kalau sampai cucumu mati, harap jangan salahkan aku! Iblis tua, mungkin kau tak mempunyai kemampuan berbuat begitu! Bu-song melengking marah. Silakan kau mulai! wajah seribu tertawa mengejek. Bu-song tertawa gemerincing. Ia putar pedangnya, tetapi berpaling melirik Siau-bun. Siau-bun tegak berdiri ditempat. Hanya mulutnya menyunggingkan senyum. Diam-diam ia gunakan ilmu menyusupkan suara kepada si dara :Hendaklah jangan kuatir! Aku tahu maksud mu! Kau pintar juga! sahut Bu-song dengan ilmu menyusup suara. Dan mulailah ia melancarkan serangan ...........
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 235 dari 290

Wajah seribu tertawa mengekeh. Sekali kedua bahunya bergoyang, terpecahlah dirinya menjadi 3-4 sosok bayangan yang menyerangnya dari empat jurusan. Bu-song seorang dara yang cerdik. Serangannya hanya serangan kosong. Ia tahu bahwa menghadapi si Wajah seribu tak boleh gunakan kekerasan melulu, tetapi harus pakai tipu. Maka ia gunakan ilmu suara-ditimur-serangan dari barat. Begitu perhatian lawan tercurah pada serangan pedang, secepat kilat tangan kiri Bu-song menabur dengan senjata rahasia Hon-Tahu-kiong (Paser kepala burung Hong). Sekalipun Bu-song tak dapat membedakan mana bayangan lawan yang asli mana yang palsu, tetapi 4 batang paser yang ditaburkan itu kiranya cukup untuk menghancurkan keempat sosok bayangan untuk memperoleh hasil yang maksimal, ia gunakan ilmu menimpuk yang paling ganas. Tiap-tiap paser itu sengaja diarahkan kemata kiri si bayangan. Seketika terdengar raung kemarahan yang hebat dan lenyaplah ke 4 sosok bayangan itu. Sama sekali wajah seribu tak menduga bahwa Bu-song akan gunakan senjata rahasia, karena itu ia agak lengah. Dan kedua kalinya ia tahu bahwa ilmu timpuk Hong-thau-kiong dari partai Thiat-biat bun hebat sekali. Seratus kali timpuk tentu seratus tentu seratus kali kena. Dan masih ada kelemahan bagi Wajah seribu ialah telinga, mata. Hidung dan lubang-lubang tubuh manusia itu paling sukar untuk disaluri tenaga dalam. Betapa lihay si wajah seribu, namun ia tak dapat menggrekkan tenaga dalamnya kebagian-bagian itu. Untung dia banyaka pengalaman, pada detik-detik maut hendak merenggut ia masih dapat miringkan kepalanya sedikit Kesamping Sehingga matanya terhindar dari kehancuran. Namun tak urung, sudut matanya tetap paser sidara,.................... Wajah seribu mengerung laksana harimau terluka. Sebelum ia sempat mencabut passer yang menancap diujung matanya, sekonyong-konyong angin berkesiuran dan serangkum benda mengkilap menyambar mukanya! Tetapi yang menyambitkan senjata rahasia kali ini bukan Bu-song, melainkan Siau-bun. Nona itupun tak mau ketinggalan. Ia sambitkan 3 batang passer Tui-hong-kiong pemburu angin. Sebelum wajah seribu berdiri tegak, Siau-bun sudah membarengi. Dalam hal ilmu menyambitkan senjata rahasia tak kalah sebatnya dengan Bu-song. Betapun lihaynya wajah seribu, namun sukar untuknya menyingkir. Usaha terakhir, ia masih dapat menyelamatkan bagian berbahaya dari tubuhnya. Bahu sebelah kanan menjadi sasaran Tui hong-kiong. Sakitnya bukan kepalang sehingga hampir saja ia terjungkal roboh. Ia terhuyung-huyung sebanyak 5 langkah kebelakang. Bahu kanannya tak dapat digerakkan lagi...... Tui-hong-kiong merupakan senjata pusaka hun-tiong san. Sekalipun tak dilumuri racun, tetapi senjata rahasia itu dibut sehalus rambut. Begitu menyusup kedalam jalan darah sang korban pasti mati seketika! Setitikpun wajah seribu tak pernah bermimpi bahwa hari itu bakal jatuh itangan dua orang anak perempuan. Saking marahnya tubuhnya menggil dan mulutnya meraung-raung. Tetapi sudut matanya yang kiri sakit, begitu pula bahunya yang kanan seperti putus rasanya. Sasaran tepat, sayang tak dapat menembus ulu hatinya! Bu-song berpaling dan berseru kepada Siaubun. Apa perlu saya tambah lagi? sahut Siau-bun tertawa. Buru-buru Bu-song menggunakan ilmu menyusup suara. Tadi saja sudah menyalahi peraturan kakekku. Kalau tak percaya boleh coba lagi, lihat saja kakek menghajarmu atau tidak! Siau-bun terkejut. Tetapi secepatnya ia insyaf. Mungkin yang dikatakan si dara itu benar. Jenggot perak kakek mereka memang seorang tua yang aneh perangainya. Siau-bun tertawa tawar, serunya dengan ilmu menyusup suara :Tadi aku hanya bermaksud membantumu saja. Jika aku tak turun tangan, iblis tua itu tentu dingin saja menghadapi passer Hongthau-kiongmu. Mungkin ...... Tak usah kau bicara semerdu itu, aku tak menerima bantuanmu! sahut Bu-song dengan dingin. HM, kuterangkan sedikit Sahut Siau-bun, sebelum kau turun tangan tentulah kau sudah mengetahui bahwa aku tentu membantumu. Dengan begitu barulah kau berani berkata besar kepala didepan kakekmu! Benar, Bu-song tertawa, hal ini didasarkan pada waktumu. Kutahu kau tentu takkan melepaskan kesempatan untuk memberikan pahala!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 236 dari 290

Salah! Siau-bun tertawa. Ha? Bu-song terkesiap. Kau lupakan Lam-yau, Pak-koay, Bu-kiu-sut-seng dan Raja-kutu Coh Seng? seru Siau-bun. Bu-song tertegun. Diam-diam ia mengakui kelalainya. Kalau tokoh-tokoh itu memang datang dan bersembunyi, setelah tahu kawannya terluka tentulah segera akan muncul. Tetapi mengapa mereka tak menampakkan diri? Merosotlah ambisi Bu-song. Tadi ia berapi-api membuka mulut besar dihadapan Jenggot perak, tentu dapat memikat gerombolan wajah seribu keluar, tetapi buktinya, tak seorangpun dari gerombolan lawan yang muncul ...... Tampak wajah seribu berkeliaran memandang keempat penjuru. Serta dilihatnya jenggot perak dan tokoh-tokoh lainnya tak bergerak, barulah ia agak tentram dan segera meramkan mata menyalurkan tenaga dalam. Ia hendak memulihkan bahunya yang mati rasa itu. Bu-song memandang Lawan dengan tajam, Tiba-tiba ia melengking dan menerjangnya. Eh, bocah perempuan, partai Thiat-hiat-bun tak pernah menyerang orang yang sedang terluka. Tak boleh mencari kemenagan secara curang......! tiba-tiba jenggot perak berseru. Kek, sekarang aku tak sempat memberi penjelasan padamu! teriak si dara yang terus lanjutkan serangan ********* Dara Baju Merah Jenggot perak berteriak mencegah tetapi tak berbuat apa-apa sementara wajah seribu masih menyalurkan tenaga dalam. Tampaknya ia tak akan melawan ... Pada saat pedang akan menusuk tubuh wajah seribu sekonyong-konyong bayangan melayang dari udara. Seorang yang bertubuh pendek seperti semangka. Tetapi luar biasa cepatnya sekali ulurkan tangan, ia mencengkeram pedang si dara. Bu-song seorang dara yang cekat dan cerdas. Msekipun tengah menusuk, tetapi diam-diam ia sudah memperhitungkan, bahwa pasti ada orang yang akan menolong wajah seribu. Secepat kilat ia geliatkan mata pedang membabat pergelangan tangan orang itu. Berbarengan tangan kiri menyambitkan 3 batang passer. Orang itu tertawa seraya turun ketanah. Sepasang tangannya mengibas. Terdengar dering passer berhamburan jatuh!. Kejut Bu-song bukan kepalang, ia mundur tiga langkah. Terhindar dar maut, marah wajah seribu bukan kepalang. Pada saat Bu-song menyurut mundur, sekonyong-konyong wajah seribu ayun tubuhnya untuk mencengkeram si dara dengan sepuluh jarinya yang dipentang. Kali ini ia tak gunakan ilmu Pek-pian-mo-ing, melainkan gunakan ilmu nyata. Sekali gerak ingin menghancurkan tulang belulang si dara. Memang bukan main kepandaian wajah seribu. Jika orang lain, tentu sudah lumpuh akibat bahunya terkena passer. Ia sudah tahu bahwa dalam saat-saat genting, kawannya akan muncul. Dan dugaannya ternyata benar, begitu si pendek muncul dan mengundurkan Bu-song, terus disusuli lagi dengan taburan asap hitam. Kini keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau tadi wajah seribu yang terancam, sekarang Bu-songlah yang terancam. Du tokoh sakti berbarengan menyerangnya. Melihat itu, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun tidak dapat tinggal diam. Segera ia lepaskan pukulan Cekkoay-ciang kepada si pendek. Demikianpun jenggot perak. Ia hantam wajah seribu. Terdengar suara mendesis macam api merangus. Itulah suara dari pukulan Cek-koay-ciang. Asap yang dihamburkan orang pendek itu adalah asap beracun. Tetapi ketika terhantam pukulan panas Cek-koayciang seketika asap itu menjadi hangus dan membubung keudara. Tidak cukup membuyarkan asap saja, tenaga pukulan Cek-koay-ciang masih dapat membuat si pendek terpental sampai delapan langkah jauhnya. Jenggot peraakpun berhasil. Sekalipun luka wajah seribu sudah sembuh, tetapi menghadapi pukulan maut dari ketua Thiat-hiat-bun, ia harus menelan pil pahit. Memang kepandaiannya kalah setingkat dengan jenggot perak, apalagi ia baru saja sembuh dari luka bahunya. Wajah seribu terhuyung sampai 5 langkah. Wajahnya pucat pasi, darah dalam tubuhnya bergolak-golak.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 237 dari 290

Jenggot perak hanya tersurut mundur selangkah sikapnya biasa seperti tak mengalami apa-apa. Kini jelaslah kekuatan mereka. Wajah seribu dan orang pendek itu salaing berpandangan. Coh seng, sungguh beruntung dapat berjumpa! tiba-tiba jenggot perak tertawa. Ah, kiranya orang pendek itu si Raja-kutu Coh Seng. Selain mahir dalam ilmu pengetahuan jenis kutukutu beracun, Coh Seng pun memeiliki ilmu yang dapat membuat tulang-belulangnya sekeras baja. Itulah sebabnya passer Hong-thau-kiong yang dilepaskan Bu-Song tak mempan. Pada saat Coh seng hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara seruling melengking diudara. Jenggot perak terkesiap. Buru-buru ia berpaling dan menyuruh rombongannya menyalurkan tenaga dalam melawan lengkingan seruling. Kedengarannya, suara seruling itu seperti alunan seruling biasa. Tetapi lagu yang ditiupnya memikat hati. Tentulah Bu-Ciu Su-seng yang meniup seruling. Awas, jangan sampai terpikat oleh seruling..... pengemis Thiat-ik Sin-kay pun memberi peringatan kepada rombongannya. Semua orang menurut. Jenggot perak memang hebat. Selain dapat membentengi diri dari lengkingan seruling, ia masih dapat membagi perhatian untuk menjaga gerak-gerik Coh Seng dan wajah seribu. Suara seruling tetap melengking-lengking. Tiba-tiba suaranya berubah seram, macam burung hantu berbunyi ditengah malam. Rupanya si peniup memainkan ilmu Cian li-yang-seng (dari ribuan li meniup seruling). Betapa lihay ilmu melihat langit mendengar bumi dari jenggot perak, namun tak tahu dimana beradanya peniup seruling. Jenggot perak, Thiat-hiat Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun masih dapat bertahan. Tetapi Busong, Siau-bun harus menderita. Beberapa saat kemudian, kedua nona itu hampir tak tahan. Kedua anak perempuan itu mulai berkunang-kenang matanya, semangatnya mulai limbung. Suara seruling itu serasa menembus kedalam ulu hati, meremas-remas jantung. Menangis tak dapat mengeluarkan air mata, tertawa tak dapat bersuara. Jenggot perak tahu keadaan kedua anak perempuan itu ia tak berdaya menolong. Ia sendiri pu berjuang mempertahankan diri. Hari makin terang perjamuan makin mendesak waktunya. Tuan rumah terancam kemusnahan! Sekonyong-konyong terdengar tambur bertalu nyaring. Jenggot perak mengerang. Ia kaget-kaget gembira. Suara genderang (tambur) tak asing baginya. Teringatlah ia ketika melihat Bu-beng-jin bertempur dengan Bok-sam-pi di gunung Thay-heng-san, tambur itupun terdengar. Hanya bedanya bunyi tambur itu keras sekali. Jauh lebih nyaring dari ketika di Thay-heng-san. Aneh! Begitu tambur menderu, serulingpun sirna seketika. Raja-kutu Coh Seng, wajah seribu pucat. Setelah saling berpandangan, mereka terhuyung-huyung mundur. Genderang itu mempunyai pengaruh besar terhadap mereka. Dengan terhuyung-huyung kedua durjana itu lari menyembunyikan diri dalam kegelapan. Setelah seruling sirap sirna dan kedua durjana itu mundur, tamburpun lenyap. Suasana jadi hening. Jenggot perak kerutkan kening, serunyatergagap : Siapa ......? Siapakah yang membunyikan tambur itu? tanya Bu-song. Jenggot perak hanya menggeleng. Masakan kakek yang banyak pengalaman sedikit pun tak dapat meraba? desak Bu-song. Setelah merenung sejenak, berkatalah jenggot perak : Beberapa tahun yang lalu, kudengar di daerah Se-ik (Tibet) terdapat seorang tokoh wanita bergelar Sin-Ku-Siaulo (Dewi Tambur). Mungkin tambur itu mempunyai hubungan dengan wanita sakti itu. Tetapi kakek belum pernah mendengarnya! Diam-diam jenggot perak teringat akan Bu-beng-jin. Nasib pemuda itu berada ditangan si pemilik tambur. Karena jelas ketika digunung Thay-heng-san, tambur itu tak lain tak bukan hanyalah digunakan oleh dara berbaju merah yang berumur belasan tahun. Tetapi ah, mengapa dara itu tak muncul? Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun dan pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay bingung juga. Suara tambur itu terdengar dan lenyap secara mesterius. Tetapi yang jelas, suaranya hebat sekali, menggetarkan uraturat jantung orang. Kek, dimana orang itu? seru Bu-song pula. Mungkin ia tak mau menemui kita ..... atau mungkin ia mendapat perintah jangan menemui kita, kata jenggot perak. Kau kenal padanya? Bu-song terkesiap. Jenggot perak tertegun : Baru pertama ini kakek mendengar tambur, bagamana aku tahu?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 238 dari 290

Kalau kenal mengapa kakek bisa mengatakan dia mendapat perintah orang? tanya Bu-song Ah ...... kakek hanya menduga saja, jenggot perak kewalahan Lalu dia dimana? Mengapa tak mencarinya? Bagaimana kakek bisa tahu? Toh kakek mempunyai ilmu melihat-langit-mendengar-bumi? desak si dara. Dia gunakan ilmu Cian-li-yang-seng, ilmuku melihat-langit-mendengar-bumi percuma saja! Bu-song tertawa dingin : Ah, tak kira malam ini kita ketemu tokoh-tokoh sakti. Tetapi sayang mereka tak mau unjuk diri! dengan kata-kata itu ia hendak memancing supaya pemukul tambur unjuk diri. Ia yakin kata-katanya tentu terdengar sampai beberapa puluh tombak. Tetapi tetap tiada reaksi apa-apa. Sudahlah, budak, jangan ribu-ribu saja! akhirnya jenggot perak membentak. Sebaliknya Bu-song malah penasaran. Dengan sekeras-kerasnya ia berteriak : Huh, apa-apan itu. Hanya ilmu memukul tambur saja masa hendak dibanggakan! Pemilik tambur sebenarnya masih bersembunyi disekitar tempat itu. Waktu mendengar hinaan Bu-song, ia tak dapat tahan lagi. Serentak ia loncat melayang keluar dan muncul dihadapan Bu-song. Kejut Bu-song tak kepalang. Ternyata yang mencul dihadapannya itu hanya seorang dara belasan tahun memakai pakaian serba merah. Rambutnya dikepang dua, sepasang matanya yang bendar melotot marah kepada Bu-song. Sambil menepuk-nempuk tambur kecil yang digandeng dibelakang punggung, dara itu melengking congkak : Memang tamburku yang butut ini tak berguna, tetapi ........ia kerutkan hidungnya menyengir, tiba-tiba membentak-bentak ..... kau mempunyai beberapa muka! Walaupun bernada marah tetapi sikap dara itu wajar kekanak-kanakan sekali. Memang usianya kira-kira 12-13 tahun. O, aku tak menyangka kalau yang memukul tambur kau, seru Bu-song setelah hilang rasa terkejutnya. Kau sangka siapa? lengking si dara. Kukira seorang yang tua, seorang kakek yang berwajah bengis. Ah, tak kira ternyata seorang adik yang manis dan lincah! Eh, benarkah aku ini manis? seru si dara. Bu-song tertawa :, Benar, aku tak pernah memuji orang. Kalau kau mau bolehlah aku mengakuimu sebagai adik! Dara itu memandang Bu-song dari ujung kaki sampai keatas kepala, kemudian tertawa : bagus, sekarang aku mempunyai 3 orang Taci, seorang engkoh..... setelah memainkan matanya yang bundar, dara itu berseru pula : Taci, aku bersama Pok lian-Ci. Siapakah namumu? Bu-song kerutkan kening : hai, apakah ibumu, Sudah meninggal .....! sahut Pok Lian-Ci dengan rawan. Meninggal? Bu-song terharu juga. Masakan seorang dara yang masih begitu kecil sudah tak beribu lagi. Dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri. Ayahbundanya sudah meninggal. Bu-Beng-jin juga sudah berjanji pada kakeknya untuk dijodohkan padanya, ternyata hilang di gunung Thay-heng-san. Bu-song berlinang-linang ...... Eh, mengapa kau? Bagaimana aku harus memanggilmu? seru si dara pula. Bu-song tertawa rawan, Tak apa-apa! Aku bernama Lu Bu-song, kita senasib sejak kecil akupun sudah kehilangan ayah bunda dan ikut kakek ......... ia menunjuk pada jenggot perak kenalkan, ini kakekku! Pok Lian-Ci maju kehadapan jenggot perak serunya : Kek ..... eh, bagaimana kupanggil Ya? Jenggot perak tertawa meloroh ya, ya..... dengan siapa kau datang ke Tiong-Goan? Dengan ayah! sahut si dara. Apakah ayahmu orang Monggol? Bukan dia seorang Han! Ayahmu kah yang mengajarkan kau memukul tambur? Tidak, nenekku! Nenekmu ? jenggot perak terkesiap, Kalau begitu, nenekmu tentulah Dewi Tambur! Pok Lian-Ci bertepuk tangan Tepat sekali dugaanmu, kek! Selain tambur, nenek juga pandai meniup seruling, memainkan harpa dan lain-lain ..... eh, apakah kakek kenal padanya? Jenggot perak gelengkan kepala. Telah lama kudengar namanya tetapi tak pernah berjumpa. Apakah dia sehat-sehat saja? Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berseru : Ayahmu?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 239 dari 290

Dia..... dia datang bersama aku ...... katanya tergagap. Dara itu tak dapat berbohong. Walaupun sebenarnya ia mau mengatakan hall itu namun tak dapat juga ia menyimpan rahasia. Diman Ayahmu? mengapa tak ajak ia menjumpai aku! jenggot perak berseru tegang. Tidak! seru Pok Lian-Ci, Ayah mengatakan jika tak perlu ia tak mau menemui kakek. Sebenarnya aku tak boleh mengatakan tentang dirinya karena kuatir kakek mendampratnya! Kalau begitu ayahmu Juga tak boleh mengatakan namanya! tuka Pok Lian-Ci. itu .....

Mendengar Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun segera menghampiri. Dengan lemah lembut dibelainya rambut Pok Lian-ci. Katanya dengan halus, Nah, jika kau mengaku mempunyai taci, mempunyai kakak, akulah bibimu! Bibi! seru Bu-song tertawa riang. Hun Tiong Sin-mo Cu Giok-bun sejenak bertkar pandan dengan Jenggot perak, lalu berkata kepada Busong : Nak, katakan siapa nama ayahmu. Kita sekarang orang sendiri! Pok Lian-ci memeramkan matanya beberapa kali. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Akhirnya ia gelengkan kepala : Tidak, aku tak boleh melanggar pesan ayah! Cu Giok-bun kewalahan. Katanya pula : Bukankah ayahmu itu tokoh yang gemar memakai pedang besi yang batangnya digantungi kantong kecil berbentuk hati ...... Benar! teriak Pok Lian-Ci serentak, Apakah bibi kenal padanya? Seketika berubahlah wajah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun Tidak, aku tak kenal ..... mungkin dulu pernah kenal tetapi sekarang tidak! Pok Lian-ci memandang bibi itu dengan heran. Namun ia tak berani mengatakan apa-apa. Siau-bun telah melihat perubahan air muka ibunya. Begitupun pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan LuBu-song. Tetapi mereka tak berani bertanya. Jenggot perak yang memecah kebuntuan dengan terbatuk-batuk, ujarnya Eh, kau mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci? Lian-ci tertawa, Sekarang tambah dengan seorang taci lagi ....... tetapi ibuku hanya melahirkan seorang anak saja. Yang lain adalah setelah aku datang ke Tiong-goan, aku mendapat engkoh dan taci angkat ....... Apakah engkoh angkatmu itu kau dapatkan di gunung Thay-heng-san? tanya jenggot perak. Lian-ci mengangguk. Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Giok-bun Urusan ini masih penuh tabir kegelapan, kau ........ Tujuh belas tahun lalu, masakan aku masih mendendam hal itu? Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun tertawa. Jenggot perak tertawa juga : Itulah baik, apabila dia benar Thiat-bing, tentulah dia juga menderita. Jika bertemu muka, kau harus mengalah ........ kata-kata itu ia ucapkan dengan ilmu menyusup suara sehingga orang lain tak mendengarnya. Cu Giok-bun tertawa rawan : Memang, kini aku tahu bahwa dia bukan orang yang ytak setia. Karena perbuatan Ma Hong-ing yang mengadu domba sehingga kami suami isteri menjadi retak... Ia tak dapat melanjutkan kata-katana karena tersekat rasa haru. Pok Lian-ci bergantian memandang pada jenggot perak dan Cu Giok-bun, serunya terbata-bata : Bibi ..... kau kenapa? Apakah kau juga mempunyai kesedihan? Cu Giok-bun menghela napas, Nak, bibi hendak bertanya padamu, maukah kau menjawab dengan terus terang? Lian-ci mengangguk, Asal jangan menanyakan nama ayahku, tentulah akan kuberi keterangan sejujurnya Tak usah kaukatakan hal itu. Cukup asal kau jawab apakah yang kukatakan itu benar atau tidak! Cu Giok-bun sejenak lalu berkata pula, Bukankah ayahmu bernama Pedang bebas Pok Thiat-bing? Gemetar tubuh si dara mendengar pertanyaan itu. Serunya terkejut : Bibi, kau ..... Apa yang kukatakan itu benar atau tidak? Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun mendesak. Lian-ci terengah-engah napasnya seperti orang menghadapi soal sulit. Benar sih benar, tetapi ayah melarang aku mengatakan! sahutnya.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 240 dari 290

Cu Giok-bun menghela napas, Kalau kata-kataku itu benar, janganlah kau memanggilku bibi lagi, nak ..... Eh, habis bagaimana aku harus menyebut? si dara gugup. Panggil aku mama! seru Cu Giok-bun dengan nada mantap. Bukan saja Lian-ci tetapi Siau-bun, Bu-songpun terbeliak kaget. Siau-bun menarik ujung baju ibunya dan bertanya dengan tegang, Ma, apakah ayah ....... Mungkin tak salah ......,Cu Giok-bun menghela napas. Kalau datang mengapa tak lekas menemui aku! Mengapa aku harus menyebutmu mama? Mama ... sudah meninggal! teriak Lian-Ci. Cu Giok-bun tertegun Apakah ayahmu tak pernah menceritakan? Tidak! Lian-ci gelengkan kepala. Ia merenung sejenak lalu berkata pula : Memang ibuku dulu pernah bercerita bahwa ketika tiba di daerah Se-hon ayah sakit berat. Tubuhnya kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. Sudah 3 hari menggeletak di tepi telaga. Jika tak ketemu ibu, ayah tentu sudah mati! Cu-Giok-bun menghela napas. Ia bayangkan keadaan Pok Thiat-bing kala itu. Karena salah faham, Thiat-bing merantau ke Se-hek (Tibet). Bukan mustahil keadaannya menderita, jatuh sakit tiada yang merawat. Tentulah ia merasa berhutang budi pada puteri Dewi tambur (ibu Lin-ci) yang menolongnya. Kemudian mereka tentu menikah. Hal itu mungkin juga karena Thiat-bing tentu masih mendendam kepadanya. Kemungkinan Thiat-bing tak mau mengatakan bahwa ia sebenarnya sudah beristeri Cu Giok-bun. ************ Eng-Hiong-Tay-hwe Bebarapa saat Cu Giok-bun, Lian-ci, jenggot perak dan lain-lain, berdiam diri. Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dan tambur. Itulah tanda pembukaan rapat Eng-hiong-tayhwe (Rapat besar orang gagah) akan dimulai. Jenggot perak gelagapan Bun-ji, dalam beberapa hal Thiat-bing patut dikasihani. Dalam Eng-hiongtayhwe nanti mungkin kau bisa berjumpa .... Ia berhenti sejenak, katanya pula ; Dahulu ayah yang menjodohkan sekarang ayahpun tetap hendak berusaha supaya kalian berkumpul kembali sebagai suami isteri. Tiba-tiba seorang lelaki berlari=lari mendatangi dan memberi hormat dihadapan Jenggot perak : Subuh sudah lewat, apakah rapat akan dibuka menurut jadwal yang telah ditetapkan? Seorang Satria harus pegang janji. Apalagi mengenai urusan yang sedemikian pentingnya. Rapat tetap dibuka tepat pada waktu yang telah ditetapkan! Li Cu-liong tersipu-sipu mengiakan. Ia menerangkan bahwa saat itulah rapat sudah harus dimulai. Apakah para tetamu sudah hadir? Sudah 7-8 bagian yang hadir, tapi ......... ketua Tiam-jong-pay itu sejenak memicingkan matanya, katanya : Rombongan Sin-bu-kiong dengan Hek Gak belum nampak! Jenggot perak tertawa meloroh : Jika mereka sungguh tak datang. Setelah mendapat persetujuan rapat, aku hendak mengajak sekalian tetamu untuk ngeluruk ke Sin-bu-kiong dan Hek Gak ....... Jenggot perak segera ajak rombongan ke lapangan : Ayo, kita bertemu dengan para kasatria-kasatria delapan penjuru angin! Bangsal pertemuan penuh dengan orang. Meja berhias hidangan-hidangan minuman arak dan makanan yang lezat. Perjamuan itu benar-benar merupakan pertemuan yang jarang terjadi beberapa puluh tahun. Sekalian orang gagah dari seluruh penjuru berkumpul jadi satu, sama lain menikmati hidangan dan menguji kesaktian. Tetapi suasana perjamuan bukan diliputi kegembiraan melainkan kecemasan. Sekalian beberapa ratus orang yang hadir, tetapi suasananya sunyi-sunyi saja. Pok Lian-ci memang masih kekanak-kanakan. Kalau-kalau orang-orang gelisah, sebaliknya dia malah gembira sekali. Sambil melonjak-lonjak seperti anak kecil, ia bertanya kepada jenggot perak : Kek, apakah hari ini kau mengadakan ulang tahun? Ia teringat, dulu ketika neneknya (dewi tambur) merayakan ulang tahun, juga menyelenggarakan pesta besar. Bukan ulang tahunku tetapi kakek sedang mengundang tamu! jenggot perak tertawa. Mengundang tetamu? Lian-Ci heran.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 241 dari 290

Jenggot perak menyahut dengan nada mantap Karena mengundang tetamu ini maka kakek sampai perlu datang dari tempat yang jauh..... Walaupun kata-kata itu ditujukan pada Lin-Ci tetapi sebenarnya jenggot perak hendak menumpahkan keresahan hatinya. Yang paling menjadi pikirannya ialah diri Bu-Beng-jin. Jika pemuda itu muncul dalam perjamuan nanti, bagaimana ia akan menyelesaikan mereka? Dari keterangan Lian-ci, jelas bahwa Bu-beng-jin telah ditolongnya. Kemungkinan pemuda itu akan datang bersama dengan Pok Thiat-bing. Saat itu jenggot perak sudah memasuki ruang pertemuan dan diantar Li Cu-liong ketempat duduk yang disediakan untuknya. Tempat itu adalah kursi pimpinan rapat. Letaknya ditengah. Disebelah kanan dan kiri, terdapat dua buah kursi yang kosong. Itulah kursi yang diperuntukan bagi Sin-bu Te-kun dan Ketua Hek Gak. Tetapi saat itu kedua tokoh tersebut belum juga mucul. Sambil mengambil tempat duduk, bertanyalah jago tua itu kepada Li CU-liong : Karena gara-gara partai Ji-tok-kau, wajah seribu sampai muncul selain itu apakah masih terdapat orangorang yang patut dicurigai lagi? Li Cu-liong buru-buru menyahut : Dalam rombongan Partai Go-bi-pay terdapat 2 orang paderi yang tak diketahui asal usulnya. Rombongan lain tak sempat diselidiki.... Rapat akan segera dimulai! seru jenggot perak. Serentak Li Cu-liong loncat keatas sebuah meja kosong dan mengumumkan bahwa rapat Eng-hiongtayhwe dibuka. Atas nama tuan rumah ia menghaturkan selamat datang kepada sekalian orang gagah. Ketua Tiam-jong-pay itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Suaranya terdengar nyaring dan jelas. Pidatonya mendapat sambutan hangat dari hadirin. Tetapi tidak semua orang gagah yang hadir disitu, simpati kepada Tiam-jong-pay. Mereka mempunyai prasangka yang jelek terhadap Hun-tiong Sin-mo yang ganas. Hubungan yang intim antara Hun-tiong Sin-mo dengan Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay, menimbulkan kecuriagan dalam hati mereka. Dibawah meja tempat Li Cu-Liong berdiri, tampak 4 sosok mayat membujur. Ketika Li Cu-liong menerangkan bahwa korban-korban itu adalah anak buah partai Tiam-jong-pay yang diracuni oleh partai Ji-tok-kau, hadirin terdiam semua. Ada yang percaya ada juga yang takut memberi pernyataan karena kuatir membikin marah salah satu pihak. Setelah Li Cu-liong turun, jenggot perak bangkit dan mengangkat cawan arak mengajak hadirin yang hadir untuk bersulang : Inilah yang pertama kali aku mengunjungi Tiong-goan. Pertama kepingin menyaksikan keindahan tanah Tiong-goan yanag termasyur dan kedua kalinya hendak mengikat persahabatan dengan para kasatria Tiong-goan. Maka dengan meminjam tempat di markas Tiam-jongpay sini, kuselenggarakan perjamuan besar guna menghorma sekalian sahabat, atas kesudian dan penghagaan saudara-saudara untuk memenuhi undaganku, kuhaturkan banyak-banyak terima kasih dan marilah kita minum untuk keselamatan kita bersama! Jenggot perak hendak meminum arak dicawannya tetapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak Tunggu! Suara lantang dan nyaring bagaikan genta bertalu, sekalian hadirin tersentak kaget. Jenggot perakpun melirik. Seorang paderi gemuk bangkit ditengah-tengah para hadirin dan berjalan kemuka. Toa-suhu hendak memberi pelajaran apa? tegur, jenggot perak. Paderi itu tertawa dingin, Ada beberapa hal yang loni yang tak mengerti dan mohon saudara memberikan penjelasan. Dalam hal apa, silakan Toa-suhu mengatakan, kata jenggot perak. Saudara adalah partai dari luar daerah. Tetapi saudara berani mengundang kasatria Tiong-goan berkumpul disini. Ini sudah tak menghormat. dan pula pada malam sebelum pembukaan rapat, saudara telaha membunuhi 40 orang partai Ji-to-kau. Tindakan itu jelas hendak saudara tunjukkan sebagai unjuk kekuatan. Untuk mematahkan nyali sekalian kasatria. Cara-cara serendah itu, apakah alasan yang hendak saudara kemukankan? Jenggot perak tertawa nyaring Akupun hendak bertanya sepatah kata padamu, apakah kau bukan si wajah seribu? Memang paderi gemuk itu bukan lain adalah wajah seribu yang telah menyamar. Setelah dipukul mundur oleh ilmu Tambur dara Pok Lian-ci, dia terus menyusup kedalam rombongan partai Go-bi-pay.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 242 dari 290

Wajah seribu tertawa congkak, Benar, matamu memang tajam. Kalau sudah mengenal aku, mengapa kau masih berlagak.... Ia berkeliaran memandang keempat penjuru lalu berseru keras Ho, apakah kau hendak mengelak dari pertanyanku tadi? kalau kau sudah mengakui sebagai wajah seribu, aku hendak bertanya lagi! sahut jenggot perak. Silakan! Dimanakah Sin-bu Te-kun sekarang? mana aku tahu! jawab wajah seribu. Ada orang menyaksikan sendiri bahwa kau bernama Lam-yau, Pak-koay dan Bu-kiu-su-seng telah menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong! Entah yang keji! siapakah yang berani menghina begitu? teriak wajah seribu. Aku....! tiba-tiba terdengar suara nyaring disusul dengan melesatnya ssesosok bayangan berkelebat ketengah gelanggang. Semua hadirin terkejut. Itulah pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay. Sekalipun dalam dunia persilatan partai Kay-pang itu tidak tinggi kedudukannya tetapi terkenal sebagai partai yang jujur dan adil. Thiat-ik-sinkay adalah ketua angkatan tua dari Kay-pang. Mereka yakinkesaksian ketua Kay-pang itu tentu tidak bohong. Tetapi anehnya, soal masuknya wajah seribu kedalam Sin-bu-kiong itu tak membuat terperanjat sekalian hadirin. Hal itu dikarenakan sebagian tokoh-tokoh yang hadir tak mempunyai dendam permusuhan dengan Sin-bu-kiong. Wajah seribu tertawa, Nah, sekarang kau harus menjawab pertanyanku tadi! Berseru jenggot perak dengan nyaring. Sekalipun kebinasaan rombongan partai Ji-to-kau itu karena perbuatan raja-kutu Coh seng, tetapi kaulah yang menjadi biang keladinya. Coh-seng hanya menerima perintahmu saja. Adapun mengenai kedatangaanku ke Tiong-goan sini, memang mempunyai dua tujuan. Pertama, hendak mengikat persahabatan dengan kaum kasatria daerah Tiong-goan dan kedua hendak membantu kasatria Tiong-goan membasmi dua benggolan yang mengancam keselamatan dunia persilatan. Siapakah yang kau maksud dua benggolan itu? Hek Gak dan Sin-bu-kiong .....sahut jenggot perak, yang pertama adalah seorang durjana ganas. Sepak terjangnya pada 60 tahun berselang tak mudah dilupakan kaum persilatan. Kini dengan tipu daya dia berhasil mengikat Ang-tim khong khek Bok Sam-pi. Membangun markasnya di gunung Tang-san dan bermaksud menguasai dunia persilatan. Sedang Sin-bu-kiongpun lebih licik dan hina lagi. Dia memfitnah memalsukan tanda panji Tengkorak darah agar kaum persilatan membenci Hun-tiong Sinmo. Dengan memperoleh dukungan sekalian kaum persilatan dia hendak membasmi Hun-tiong Sin-mo kemudian merajai dunia persilatan. Apabila kedua durjana berhasil melaksanakan rencana, kaum persilatan pasti akan melewati hari-hari yang menyedihkan! Mata wajah seribu berkeliaran keempat penjuru. Ia tertawa senyaring-nyaringnya Apakah sekalian hadirin percaya pada ocehan si tua bangka ini? Para hadirin tak berani menjawab. Mereka takut menderita akibat yang tak diinginkan. Seketika berubahlah muka wajah seribu Soal ini baiklah kita tangguhkan dulu. Sekarang aku hendak bertanya padamu .....Ia berhenti dan tertawa, kemudian melanjutkan pertanyaannya Apakah kau mengundang Hun Tiong Sin-mo? Jenggot perak terkesiap kemudian menyahut samar-samar Benar! Apakah saat ini dia juga hadir? Tentu saja! sahut jenggot perak. Keterangan ketua Thiat-hiat-bun itu menimbulkan kegemparan dalam rapat. Sekalian orang saling berpandang-pandangan, tetapi tak tahu mereka yang manakah tokoh Hun-tiong Sin-mo itu. Kecuali beberapa gelintir tokoh persilatan boleh dikata kaum persilatan pada umumnya menganggap Hun-tiong Sin-mo itu sebagai tokoh dalam mitos yang ajaib. Tak seorangpun yang pernah melihat wajahnya. Juga wajah seribu tak henti-hentinya menyapukan mata keempat penjuru. Serunya pula Kalau dia benar sudah hadir mengapa tak diperkenalkan dengan sekalian hadirin? Apa gunanya diperkenalkan? Apakah kau bersedia bertempur dengan sampai mati? sahut jenggot perak.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 243 dari 290

Wajah seribu berubah air mukanya. Disaat lain ia tertawa congkak, serunya Memang aku mempunyai maksud begitu! karena kau sendiri yang minta, biarlah kukabulkan permintaanmu itu! tiba-tiba terdengar lengkin suara wanita. Dan pada saat itu Hun-tiong Sin-mo Cu-Giok-bun melayang dihadapan wajah seribu. Terdengar seruan tertahan dari mulut wajah seribu dan teriakan gemuruh dari para hadirin. Hampir tak percaya bahwa momok yang begitu dimasyurkan karena keganasannya ternyata hanya seorang wanita yang bertubuh langsing kecil. Sesaat terbanguna dari ketertegunan, wajah seribu menghambur tawa nyaring Siap kau? Anak perempuan dari Hun-tiong-Sin-mo, atau cucunya atau .....? Aku ini Hun-tiong Sin-Mo! bentak Cu Giok-bun. Ketika wajah seribu masih tertawa gelak Aneh, siapakah yang tak tahu bahwa Hun-tiong Sin-mo seorang lelaki tinggi besar? Mengapa kini berubah menjadi seorang wanita.... Cu-Giok-bun tertawa dindin Dihadapan sekalian kasatria seluruh penjuru, biarlah kusingkapkan rahasia ini. Hun-tiong Sin-mo Teng lh hui adalah mendiang guruku. Sebelum menutup mata beliau telah menurunkan seluruh kepandaianya kepadaku. Beliau meninggalkan pesan bahwa turun temurun kaum Hun-tiong-san hanya boleh mempunyai seorang murid tunggal dan pewaris itu harus tetap memakai nama Hun Tiong Sin-Mo serta tinggal di gunung Hun-Tiong-san. Maka ..... Sekalian orang gagah tebengong-bengong mendengar keterangan itu. Mereka setengah tak percaya. Ngaco belo, keterangan itu sukar kupercaya! teriak wajah seribu Kalau tak Percaya, mengapa kau tk coba-coba? Cu Giok-bun tertawa dingin. Baik, memang aku ingin menguji kesaktian kaum Hun-tiong-san yang disohorkan itu! wajah seribu tertawa seraya beringsut maju. Ia tetap tak percaya bahwa dihadapannya adalah Hun-ting Sin-Mo, maka ipun bersikap acuh tak acuh. Tetapi Hun-tionghu mempunyai sebuah anggar-anggar jika bertempur dengan orang, tak pernah membiarkan orang itu hidup! Asal kau mempunyai kemampuan begitu, mati akupun rela! teriak wajah seribu. Tiba-tiba ia tamparkan tangannya dan serentak dengan itu tubuhnya berhamburan menjadi beberapa sosok bayangan. Sekalian hadirin tercengang kaget. Baik akan kupenuhi keinginanmu! teriak Hun-tiong Sin-mo seraya mengahntam yang dihantam hanya bayangan saja. Padahal beberapa bayangan berhamburan menerjangnya, sehingga sekalian hadirin mengucurkan keringat dingin. Dess..... terdengar bunyi mendesi dan beberapa sosok bayangan itupun lenyap. Cu Giok-bun dan wajah seribu sama-sama tegak ditempat tampaknya pertemuan pukulan itu berimbang kekuatannya. Wajah Cu Giok-bun dingin membeku, serunya Enam puluh tahun lamanya belum pernah anggaranggar Hun-tiong-hu dilanggar. Coba saja apakah kau mampu anggar-anggar itu! Kelima jari dipentang dan cengkeramkan kepada lawan ..... Wajah seribu baru saja beradu pukulan dan insyaflah ia kan tenaga lawan. Meskipun pukulan lawan tak membuatnya mundur tetapi ia cukup tergetar hatinya. Jelas tenagaa pukulan lawan itu mengandung daya dorong tarik yang luar biasa. Sebelum ia sempat menilai lebih jauh, cengkeraman jari Cu Giok-bun sudah merangsangnya. Tampaknya gerakan wanita itu biasa dan perlahan, tetaapi sebenarnya u-Giok-bun tengah melanjutkan jurus yang sangat ganas. Wajah seribu tak berani berayal. Cepat ia hendak menangkis, tetapi dia terlambat. Ilmu yang paling diandalkan hanyalah Pek-pian-mo-Ing, merubah diri menjadi seratus bayangan. Tetapi ia lupa bahwa lawan mahir juga ilmu melihat langit-mender-bumi, Pek-pian mo-ing tak berdaya sama sekali. Cu Giok-bun telah melancarkan serangan sangat telengas sekali. Jauh lebih hebat dari pukulanpukulan yang dilepaskan jenggot perak tadi. Seketika wajah seribu rasakan dadanya sakit sekali. Tak dapat ia bertahan lagi. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan sempoyongan mau jatuh.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 244 dari 290

Hun-tiong sin-mo Cu Giok-bun loncat maju dan menyusuli pula dengan sebuah tamparan. Segumpal sinar merah menghambur, disusul dengan segulungan asap. Sebelum wajah seribu sempat mengerang dia sudah roboh ditanh menjadi sesosok tubuh yang telah hangus.... Hun tiong sin-mo telah gunakan ilmu pukulan Cek-Koay-ciang yang dilambari tenaga penuh. Pukulan pusaka hun-tiong-bu yang tak pernah gagal dalam 60 tahun. Sebenarnya Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun sudah gemas dengan tingkah laku wajah seribu yang membakar markas besar Tiam-jong-pay. Tetapi karena selama itu ayahnya (jenggot perak) yang menghadapinya, ia tak mau menyinggung perasaan ayahnya dan biarkan sang ayah yang menyelesaikannya. Tetapi kini dihadapan ratusan kasatria dari seluruh penjuru, wajah seribu berani meremehkan dirinya, benar-benar Tak dapat diberi ampun lagi. Untuk menegakkan kewibawaan. Hun tiong-hu yang sudah 60 tahun merajai dunia persilatan Cu Giok-bun terpaksa harus membunuh lawan. Pemandangan yang sengeri itu membuat sekalian hadirin serentak berdiri. Mereka terkejut menyaksikan kesaktian Hun-tiong Sin-mo yang sedemikian hebatnya. Kini mereka baru terbuka matanya bahwa Hun tiong Sin-mo yang disohorkan itu ternyata memeang tak bernama kosong. Jerit teriakan-teriakan ngeri, berkumandang memenuhi gelanggang pertemuan! Bahkan jenggot perak sendiripun tak urung terkesiap dalam hati. Ia sangka bahwa anak perempuan memiliki ilmu pukulan yang sedemikian saktinya. Ayah tak kira kalau Hun-tiong Sin-mo memiliki pukulan yang sedemikian saktinya ,,,,,,.....! ********** JILID 12 Lam-yau dan Pak-Koay Lam-yau dan Pak-Koay KINI BARULAH sekalian hadirin percaya bahwa wanita yan tegak ditengah gelanggang itu memang Hun-tiong Sin-mo. Sekonyong-konyong terdengar serangkum gelak tawa yang riuh. Sekalian hadirin gempar. Sesat kemudian tampak serombongan orang masuk. Yang mengantar adalah beberapa anak buah Thiat-hiatbun dan Tiam-Jong-pay. Dan yang diantar ternyata rombongan Sin-bu-kiong dan Gak Hek. Berpulu-puluh anak buah Sin-bu-kiong dan Hek Gak dengan dipimpin sendiri oleh ketuanya, telah tiab! Jelas bahwa kedua partai memang telah bersepakat untuk datang bersama-sama. Dan jelas pula, bahwa kedua partai itu telah bertekad hendak menghadapi Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan Huntiong-hu. Sesaat masuk diruangan pertemuan, ketua Hek Gak dan Sin-bu Te-kun segera memberi salam kepada hadirin, karena ada urusan, kami terlambat datang, harap hadirin sekalian memafkan! Ucapan itu mendapat sambutan gemuruh dari hadirin. Karena rata-rata mereka ngeri dan benci melihat keganasan Hun-ting Sin-mo tadi. Jenggot perak tertawa gelak Kami kira saudara berdua tak sudi datang. Apabila demikian, sebenarnya kami hendak mengunjungi istana saudara. Siapa tahu ternyata sudara sudi memenuhi undangan kami sehingga kami tak perlu bersusah payah mengadakan perjalanan lagi! Marah besar Sin-bu Te-kun mendapat sambutan begitu serunya Menekan kaum persilatan, mengganas partai Ji-Tok-kau dan merangkul momok Hun tiong- Sin-mo yang bergelimpangan darah. Hm, kedatanganku kemari adalah hendak membasmi baksil berbahaya dalam dunia persilatan! Jenggot perak melantang Memalsu panji Tengkorak darah, memfitnah orang, membujuk kaum persilatan untuk mencapai tujuan menguasai dunia persilatan, itulah akal busukmu, hai setan laknat! Percuma banyak bicara! Pepatah mengatakan kalau kau menang menjadi raja kalau kalah menjadi pecundang. Lebih dulu lenyapkan mereka saja ..... tukas Hek Gak. Kau benar, Saudara Kong Sun ......Sin-bu Te-kun cepat balas memutus omongan, kemudian ia menuding pada Cu Giok-bun Hun Tiong Sin-Mo Teng Lh-hui sudah mampus. Jika Saudara Kong-sun hendak membalas hinaan dulu, balaslah pada wanita itu!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 245 dari 290

Siapakah dia? ketua Hek Gak terkesiap. Sin-bu Te-kun tertawa Dia adalah murid pewaris Hun-tiong Sin-mo Teng Lh-hui, atau anak perempuan ketua Thiat-hiat-bun! Tiba-tiba ketua Hek Gak tertawa mengekeh Heh, heh, kiranya si tua Teng lh-hui itu sudah mapus? Ketua Hek Gak mendengus Tentu! Setelah membunuh aku aku tetap masih akan ke gunung Hun-tiongsan untuk merangket mayat Teng Lh-hui sampai 300 kali ....Tiba-tiba ia menuding pada Cu Giok-bun dan berseru memberi perintah Lekas ringkus perempuan itu dan cincang dagingnya! Dua lelaki yang berdiri dibelakang, yang satu Bok-Sam-pi dan yang satu seorang tuan bertubuh kurus, segera melesat maju. Cu Giok-bun tertawa datar. Menghadapi Bok Sam-pi dan si tua kurus ia berseru Jika kalian tak ingin cari mati, harap tinggalkan tempat ini sekarang juga! Mah, hati-hatilah terhadap si gemuk. Dia adalah Ang-tim gong-kek Bok Sam-pi ..... Buru-buru Siau-bun memberi peringatan kepada ibunya, Dia diberi obat bius oleh Hek Gak hingga lupa ingatan! Aku sudah tahu, kau urus dirimu sendiri sajalah! sahut Cu Giok-bun dingin. Bok Sam-pi tak mau bicara. Diam-diam ia kerahkan Iwekang dan tiba-tiba menghantam. Juga si tua kurus tak bicara. Sepuluh jarinya yang runcing macam cakar segera dicengkeramkan. Gerakan itu menimbulkan angin mendesi-desi. Menandakan ilmu orang kurus itu telah mencapai tingkat yang tinggi. Cu Giok-bun hanya mendengus. Ia gunakan telunjuk jari kiri dan pukulan tangan kanan untuk menagkis. Sekaligus ia menyambut dua buah serangan dari tokoh sakti itu. Tiga tokoh yang berilmu sakti, berbarengan adu tenaga. Sekalian hadirin mengira bakal menyaksikan kejadian yang hebat. Tetapi alangkah terkejut mereka. Ketika tenaga ketiga orang itu salaing berbenturan diluar dugaan sebgain besar buyar lenyap. Tampaknya gerakan ketiga tokoh itu tidak menggunakan tenaga. Tetapi dari wajah mereka bertiga berubah gelap, bahwa sebenarnya mereka sedang melakukan pertempuran yang dasyat. Dibanding dengan adu pukulan yang mengeluarkan suara dasyat lebih hebat beberapa kali. Sebagian besar dari hadirin adalah jao-jago silat yang memilki Iwekang. Serentak mereka berdiri dan memperhatikan dengan seksama pada ketigaa tokoh yang sedang adu kekuatan itu. Sin-bu Te-kun mengekeh sinis Lu tua, kitapun jangan jadi penonton saja. Aku telah mengundang dua orang sahabat untuk mengadu kepandaian dengan kau! Jenggot perak tertawa karena ada tamu agung, aku tentu akan melayani! Sin-bu Te-kun tertawa meloroh lalu memberi isyarat kepada rombongannya Orang tua ini adalah Thiathiat-bun. Jika kedua saudara suka, boleh bermain-main dengannya! Dua lelaki berwajah buruk macam siluman, melangkah kedepan. Mereka memberi hormat kepada jenggot perak, Sebenarnya hasrat kami berdua saudara hendak mengukur kepandaian dengan Huntiong Sin-mo, demi membalas kematian wajah seribu. Tetapi karena Hun-tiong Sin-mo sudah ada yang melayani maka kami ingin bermain-main dengan saudara saja! Kedua orang perawakannya sama. Hanya yang satu berpakaian warna putih dan yang satu berwarna hitam. Sepasang mata mereka menonjol keluar rambutnya terurai sampai kebahu, sepintas pandang mirip dengan setan. Jenggot perak tertawa nyaring, serunya Lam-yau, Pak-koay, sungguh beruntung dapat berjumpa dengan kalian ! Memang kedua orang itu berwajah seram adalah Lam-yau (Siluman Selatan) dan Pak-koay(manusia naeh dari utara). Jenggot perak maju selangkah jarnya Karena saudara berdua mendapat perintah dari Sin-bu Te-kun, silakan saja..... aku tentu dengan senang hati melayani! Merah wajah kedua orang itu. Serempak mereka melengking, Ngaco! Cukup mengenal nama kami berdua kakak beradik saja masakan dapat diperintah orang! Sin-bu Te-kun tertawa nyaring Harap saudara jangan pedulikan ocehan yang memanaskan dari setan tua itu. Aku pasti membantu saudara! Lam-yau dan Pak-Koay saling berpandangan. Sekejap merekapun menyerang berbarengan. Gaya serangan mereka aneh sekali. Yang satu seperti cakar baja. Yang satu hendak menyerang dengan jari atau tinju tetapi dengan siku lengan. Keduanya mirip seperti orang tolol.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 246 dari 290

Jenggot perak tak berani menggunakan ilmu silat yang istimewa. Iapun serempak gerakkan kedua tangannya menyambut kedua lawan. Dar ..... terdengar getaran keras dan ketiga tokoh-tokoh itu masing-masing mundur 3-4 langkah. Jelas bahwa kekuatan mereka berimbang. Lam-yau dan Pak-Koay mengembor keras lalu ayunkan tubuh menerjang lagi. Jenggot perak pun tak mau kalah, ia juga mengerung keras dan menyosongsong serangan mereka. Saat itu di gelanggang rapat Eng-hiong tay-hwe telah terjadi dua kelompok pertempuran yang dasyat. Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun dikeroyok Bok Sam-pi dan Situa kurus. Jenggot perak dikerubuti lam-yau dan Pak-koay. Pertempuran yang dilakukan oleh tokoh-tokoh itu, lain dari yang lain. Begitu dasyat dan rapat hingga sukar dipisahkan dan dibedakan datu dari yang lain. Kesempatan itu tak disia-siakn ketua Hek Gak, ia segera menghampiri Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay karena tak ada musuh, maka kaulah yang akan kuganyang! Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dasyat. Li cu-liong tak berani berayal. Ia menyonsong dengan dua tangannya. Bum .... terdengar letupan keras dan Li Cu-liong terhuyung-huyung kebelakang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa tenaga kedua ketua Tiam-jong-pay masih kalah dengan ketua Hekgak. Ketua Hek Gak tertawa mengekeh Ho, kantong nasi yang tak berguna lekas serahkan jiwamu! Berbarengan dengan itu ia loncat sengan mengirim pukulan. Pada saat Li Cu-liong terancam maut, sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring dan meluncur 4 sosok tubuh yang serempak menangkis pukulan ketua Hek Gak. Keempat orang itu ternyata Thiat-hiat Su-kiat atau 4 pahlawan Thiat-hiat-bun. Betapun sakti ketua Hek Gak, namun ia tak mampu menahan tenaga 4 jago sakti dari Thiat-hiat-bun. Seketika ketua Hek Gak terhuyung-huyung kebelakang hampir saja ia roboh. Melihat itu empat orang sucia dari Hek Gak pun tak mau tinggal diam. Mereka cepat loncat menerjang 4 sukiat Thiat-hiat-bun. Seketika suasana menjadi gaduh dengan pertempuran yang berkecamuk. Sin-bu Te-kun tertawa mengekeh pula. Sekali lambaikan tangan, terdengar tambur berbunyi menggeuruh. Ternyata di dalam rombongannya pun terdapat bebarapa tokoh yang memilki ilmu Im-Im Sin-kang (suara sakti) delapan orang duduk sambil memukul tambur. Nadanya makin tinggi dan hati setiap orang yang berda disitu seperti dipalu.... Dara Pok Lian-ci sejak tadi terlongong-longong mengawasi ribut-ribut itu, tampak gelagapan. Buru-buru ia mengeluarkan tambur kecil dibelakang bahunya terus ditabuhnya. Sekalipun hanya sebuah tambur kecil tapi nadanya hebat sekali. Udara seolah-olah penuh dengan kumandang bunyi tambur dan bumi serasa bergetar-getar. Kedelapan orang penabuh tambur dari rombongan Hek Gak tadi, segera hentikan pukulannya. Meskipun mereka tak dapat menahan desakan bunyi tambur si dara. Pertempuran secra massal segera berlangsung. Ke 36 Tian-kong, 72 Te-sat dari Thiat-hiat-bun segera terjun dalam gelanggang, disambut oleh jago-jago Hek gak dan Sin-bu-kiong. Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun memekik keras. Tubuhnya mencelat keudara dan dengan gaya Jiphau-kin-kau ((masuk kelaut menangkap naga), ia meluncur kearah Bu-song dan Siau-bun. Cici Bu, lekas Tui-hong-kiongmu! seru Bu-song kepada Siau-bun. Dan ia sendiri sudah sambitkan 3 batang Hong-tahu-kiong (passer berkepala burung hong). Siau-bun cepat melakukan seruan si dara. Serangkum passer Tui-hong-kiong (Pemburu angin) segera disambitkan. Sin-bu-te-kun hanya mengekeh, Ho, budak perempuan, kalian hari ini tentu mati ditanganku! Tubuhnya bergetaran diudara disusul oleh dering gerincing dari passer Hong-thau-kiong dan Tui-hongkiong yang berhamburan, jatuh ketanah. Medan perjamuan kacau seketika. Hadirin serempak bubar. Meja berantakan, hidangan tumpah ruah. Mereka menyingkir karena tak mau ikut bertempur. Saat itu Bu-song dan Siau-bun terkesiap kaget. Untung saat itu pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay segera bertindak menolong. Ia loncat menghantam Sin-bu Te-kun.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 247 dari 290

Tetapi Sin-bu-Te-kun bukan tokoh sembarangan. Pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay terpental satu tombak jauhnya. Bu-song dan Siau-bun mundur belasan langkah. Sin-bu Te-kun makin merangsang. Ia lepaskan sebuah pukulan lagi kepada kedua nona itu. Tiba-tiba diudara terdengar suara gemboran keras dan sesosok tubuh melayang. Ditengah udara orang itu lontarkan pukulan kepada Sin-bu Te-kun. ******** Reuni Sin-bu Te-kun terkejut. Yang paling ditakutinya Thian-leng. Tetapi yang menyerangnya itu seorang yan tak dikenal iapun tak gentar. Menyerang dengan gemboran keras, ia memapakknya. Iwekang yang dimiliki Sin-bu Te-kun sudah mencapai tingkat yang hebat. Jarang ada orang yang kuat menerima pukulannya. Apalagi pukulannya saat itu dilakukan dengan cepat dan keras. Kalau tak mati atau luka berat, tentulah orang akan mencelat belasan lagkah. Tetapi orang itu hanya tertawa mengejek. Tidak mengkis melainkan melayang menghindar kesamping dan tetap melayang kesamping. Kejut Sin-bu Te-kun bukan main. Ilmu pelajaran Im-hu Po-kip, mengutamakan kecepatan. Tak mungkin orang akan dapat menghindar. Tetapi lawannya dengan mudah dan leluasa menghindari, benarbenartak disangkanya. Siau-bun dan Bu-song pun terkejut, mereka tak kenal siapa pendatang itu. Pengemis Thiat-ik-sin-kay sebenarnya handak mengur tetapi tak jadi. Siapa kau? bentak Sin-bu Te-kun Masakan kau tak dapat menduga! sahut orang itu dengan nyaring. Sin-bu te-kun terbeliak. Ia hendak menjawab tetapi suasana pertempuran tiba-tiba berubah. Yang pertama loncat mundur ialah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Tetapi setelah loncat mundur ia hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ia sangsi, berhenti dan berpaling. Sebenarnya pertempuran Bok Sam-pi dan si tua kurus lawan Cu Giok-bun, masih berjalan seimbang. Sebenarnya kedua pengeroyk itu kewalahan. Melihat Cu Giok-bun tiba-tiba mundur, merekapun mendapat kesempatan untuk mengatur napas kembali. Juga wajah jenggot perak berubah. Secepat kilat ia lontarkan 3 buah pukulan untuk mendesak mundur Lam-yau dan pak-koay, lalu jago Thiat-hiat-bun itu mengenjotkan tubuhnya keudara melayang disamping pendatang itu. Lam-yau dan Pak-koay terkesiap. Merekapun memandang kepada pendatang dengan tercengang. Pok Lian-ci juga hentikan tamburnya. Rombongan penabur dari sin-bu-kiong sudah tak kuat. Dara itupun tak mau mendesak. Anak buah Thiat-hiat-bun, hung-tiong-san, Tiam-jong-pay Hek gak dan Sin-bu-kiong yang bertempur, karena melihat pemimpinya berhenti, ikut pula berhenti. Kini seluruh mata ditumpahkan kearah pendatang tak dikenal itu. Thiat-bing .....! tiba-tiba jenggot perak berseru perlahan, nadanya rawan, mata berlinang-linang. Memang orang itu ialah Pok Thiat-bing si pedang bebas. Juga Thiat-bing berkaca-kaca menyambut Gak-hu...... Nak berapa tahun ini ......... panjang sekali ceritanya, tetapi siausay (anak-mantu) memang bersalah ........Tukas Thait-bing. Jenggot perak goyangkan tangan sudahlah jangan kau ungkit masalah yang sudah berlalu. Asal kau tak kurang suatupun, sudahlah .... ia berpaling memandang Cu Giok-bun Apakah kau tahu Giokbun........ Ya, aku bersalah padanya, aku .... Yhiat-bing tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Sin-bu Tekun tiba-tiba mendur selangkah dan menukas O, kiranya kau pedang bebas Pok Thiat-bing....! Kau baru tahu sekarang? thiat-bing menertawakan. Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Tahu atau tidak penting. Aku hanya merasa kasihan padamu! Ki Pek-lam! bentak Thiat-bing Aku tak kenal padamu. Bagaimana si Ma Hong-ing bisa menjadi Gundikmu?

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 248 dari 290

Si-bu Te-kun tertawa mengekeh Itulah yang kukatakan kasihan! Banyak sekali yang hal yang tak kau ketahui. Sekalipun kau merengek-rengek samapi mati, jangan harap kuberitahukan ... ia sejenak kecupkan mata dan menyambung pula Kasihan puluhan tahun kau telah menderita ..... Tutup mulutmu! bentak Thiat-bing. O,o, apakah kata-kataku, menyinggung hatimu? Sin-bu te-kun mengejek. Thiat-bing kerutkan kening Asal kauserahkan Ma Hong-Ing, aku takkan memusuhimu! Seumur hidup aku tak pernah menerima tekanan orang. Batapun pribadi Ma Hong-Ing, tetapi dia adalah permaisuri Sin-bu-kiong. Mana dapat kuserahkan padamu! O, kalau begitu kau hendak bermusuhan padaku? Bukan melainkan musuh, tetapi kita harus memutuskan siapa yang harus mati dan hidup . ia tampil selangkah, mendengus Pok Tayhiap, ayolah mulai! Thiat-bing tertawa dingin bukan karena kau tak sudi bertempur dengan kau, sebenarnya ... Sin-bu Te-kun tertegun, serunya Bagaimana? Kecuali kau sudah menginsafi bahwa percuma untuk melawan, Thiat-bing tertawa Aku kuatir sekali turun tangan nyawamu amblas. Pada hal jiwamu hendak kuserahkan pada orang lain ,..... Pok Thiat-bing jangan kelewat sombong! bentak Sin-bu te-kun dengan murka, cepat ia mengahntam dengan pukulan Him-im Ciang. Ilmu Pukulan Him-im-ciang sebenarnya tergolong Im-ki-han-sin-kang (ilmu sakti iwekang dingin). Sin-bu Te-kun telah mempelajari isi kitab im-hu-po-kip. Dan ia gunakan tenaga penuh dalam pukulannya itu. Sekaipun tampaknya tidak begitu dasyat, tetapi dayanya bukan main. Sekaligus dapat meremukkan 10 jago sakti. Selingkaran dua tombak luasnya, saat itu terbaur oleh hawa dingin yang menusuk tulang sehingga semua orang yang berada disitu menggigil. Thiat bing kerutkan dahi, ia tahu pukulan lawan sukar dihindari. Ia harus menangkisnya. Tetapi sebelum bertindak tiba-tiba terdengar getaran keras dan Sin-bu Te-kun terhuyung-huyung samapi 7-8 langkah jauhnya. Kiranya serangkum tenaga kuat tiba-tiba meluncur dari udara dan membentur pukulan Sin-bu Te-kun. Itulah itulah tenaga pukulan Hian-im-ciang yang hebat. Datangnya pukulan itu benar-benar tak terdugaduga sama sekali. Sin-bu Te-kun tak mampu mendengarkan sama sekali. Untuk menghantam Thiatbing ia sudah memperhitungkan bahwa takkan ada orang yang membantu lawan. Jenggot perak yang berada disamping thiat-bing pun tak nanti dapat mengimbangi kecepatan serangannya itu! Tidak saja Sin-bu Te-kun, tetapi semua yang hadirpun kaget. Mereka menjerit terkejut. Sesosok bayangan biru meluncur turun dari udara, tegak berdiri ditengah-tengah Sin-bu Te-kun dan Thiat-bing. Kang Thian-leng ..... Bu-beng-jin, memang telah kuduga tentu kau! teriak Sin-bu Te-kun dengan murka. Thian-leng telah melayang dari jarak 10 tombak jauhnya. Tetapi ia dapat menghantam Sin-bu Te-kun samapai beberapa langkah. Aku bukan Bu-beng-jin lagi sahut pemuda itu. Lh, apakah kau sekarang sudah mempunyai nama? Siapakah namamu? ejek Sin-bu Te-kun. Ha ha, h hahahaha Si-bu Te-kun tertawa gelak, Oh, kiranya begitu, kau .... Memakai nama ayah angkatku, apa salah? baik, taruh kata kau Pok Thian-leng, tetapi ayah bunda kandungmu..... Setan tua, kau berani mengoceh tak karuan? Hari ini hendak kucincang tubuhmu sampai lebur! bentak Thian-leng dengan bengis walaupun diam-diam hatinya pedih. Karena apa yang dikatakan Sin-bu-tekun memang nyata. Sampai saat itu ia belum mengetahui asal usul dirnya. Begitu pula Sin-bu Te-kun. Sebenarnya ia juga kebat-kebit mendengar ancaman Thian-leng. Ia ingat kepandaiannya sekarang kalah dengan pemuda itu. Dan pula melihat pertempuran tadi, tak memberi keuntungan baginya. Rupanya kau mengandalkan ilmu dari It-bi siangjin! serunya. Begitulah! sahut Thian-leng. kalau begitu pukulanmu tadi ... Ya, benar! Itulah yang disebut Coan-hun-kang (pukulan menmbus awan). Dalam jarak 10 tombak dapat menghantam mati orang. Ilmu lainnya kau tak pernah mendengar!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 249 dari 290

Sin-bu te-kun terkesiap tetapi cepat ia tertawa jangan membual! sekalipun ilmu pelajatan It-bi Siangjin tinggi, tetapi belum yentu sesakti itu paling-paling kamu hanya mempelajari beberapa jurus permainan saja! Hm, sejak dulu kala siapakah yang dapat mencapai kesempurnaan? Thian-leng tertawa mengejek. Ya, memang hanya It-bi siangjin seorang, Sin-bu Te-kun menghela napas. Sejenak menyapu pandangan se sekeliling medan perjamuan, berkatalah Thian-leng Aku tak mau banyak bicara dengan kau. Pertaruhan 100 juruskita dulu, masih kurang 8 jurus. Sekarang dihadapan para tokoh-tokoh persilatan, seharusnya kita selesaikan! Wajah Sin-bu Te-kun berubah, Dahulu kau pun pernah minta-minta supaya diundurkn, bukan? Jika kau minta mundur, akupun tak keberatan! sahut Thian-leng. Tetapi sebutlah waktu dan tempatnya! Sin-bu Te-kun tertawa Baiklah, nanti 10 hari lagi kutunggu kedatanganmu di istana si-bu-kiong ? dan menyelesaikan sisa 8 jurus itu? Bukan melainkan 8 jurus itu saja, pun semua kepandaianmu boleh kau keluarkan ! seru Sin-bu Te-kun dengan garang. Thian-leng tertawa mengejek Baik, kali ini kau ku ampuni jiwamu! ia melirik tajam kepada lawan, serunya Tetapi apakah Cianpwe2 mau memberimu ampun atau tidak, terserah saja, aku tak berani mencampuri! Jenggot perak memandang sejenak kepada Pok Thiat-bing, Cu Giok-bun dan lain-lain, lalu tertawa terbahak-bahak dalam hal ini aku tidak dapat memberikan keputusan. Kita setujui 10 hari lagi ke Sinbu-kiong, bahkan aku bersedia jadi saksi! Semua orang terdiam. Thiat-bing dan Cu Giok-bun diam-diam mengerti bahwa ayah mereka tentu sudah mempunyai rencana. Pertama supaya mereka segera berkumpul lagi sebagai suami isteri. Kedua, supaya lekas dapat mencari Ma Hong Ing. Karena hanya wanita yang beracun lidahnya itu dapat diketahui duduk perkara yang sesungguhnya. Dan ketiga, soal Thian-leng dengan Siau-bun dan Bu-song harus segera diselesaikan juga. Diantara selkalian orang, Bu-songlah yang mempunyai pikiran tersendiri. Setelah mendapat keterangan dari jenggot perak bahwa Thian-leng mati di tangan Bo Sam-pi, bencinya terhadap Bok Sam-pi meluapluap. Bu-song memutuskan, apabila Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun dapat membunuh Bok Sam-pi, ia hendak mencincang tubuh si gemuk itu. Tetapi andaikata Cu Giok-bun kalah, Bu-song bertekad hendak mengadu jiwa dengan Bo Sam-pi. Diluar dugaan Thian-leng telah muncul tak kurang suatupun, bahkan membawa kesaktian yan mengagumkan, Bu-song sampai termenung-menung tak dapat bicara. Juga siau-bun tak kurang girangnya. Hampir saja ia tak dapat mengendalikan diri untuk menghampiri pemuda itu. Tetapi karena malu dengan sekian banyak orang, terpaksa ia hanya berdiam diri. Palingpaling ia mencuri kesempatan melirik pemuda itu. kalau begitu aku pulang dulu! dengan gaya garang Sin-bu Te-kun untuk menggunakan kesempatan menghindar. Jenggot perak tertawa dari jauh-jauh saudara datang kemari, mengapa buru-buru pulang? Sin-bu Te-kun terbeliak Apkah kau hendak mengajukan acara lain lagi? Jenggot perak tertawa jangan kuatir, sahabat! Sekali sudah kusetujui pengunduran 10 hari itu tak nanti aku berubah pikiran ia berhenti sejenak lalu berkata pula Meskipun medan perjamuan ini sudah moratmarit tetapi dalam setengah jam saja dapat diatur rapi lagi. Mengapa saudara tak mau menghadiri perjamuan para kasatria ini? Kerut wjah Sin-bu Te-kun agak mengendor, ujarnya Terima kasih, tetapi lebih baik aku pulang saja! tanpa menunggu sahutan dari orang lagi segera ia melangkah pergi, berhenti didepan ketua Hek Gak, ia gunakan ilmu menyusup suara Situasi berubah begini, apakah saudara Kon-sun masih mempunyai rencana lagi? Tiang andalan ketua Hek Gak hanyalah Bok-sam-pi. Tetapi ternyata walaupun Bok Sam-pi maju bersama dengan si tua kurus, tetap tak dapat mengalahkan Hun Tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Diam-diam hati ketua Hek Gak sudah tergetar. Apalagi Pok Thiat-bing dan Thian-leng berturut-turut muncul. Nyali ketua Hek Gak makin kecut dan rontok.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 250 dari 290

Saudara masih mempunyai penyakit dari 60 tahun berselang Sin-bu Te-kun tertawa Nafsu besar tetapi nyali kecil. Jika mempunyai rencana untuk menguasai dunia persiltan, tak boleh tanggungtanggung dalam menghadapi kesulitan! Merah muka ketua Hek Gak, serunya Bagaimanakah pendapat saudara Ki? Terus terang, aku sudah mempunyai rencana untuk mati bersama-sama mereka! Mendengar itu ketua Hek Gak terbeliak, tetapi cepat-cepat ia mengas Bagaimana caranya? Telah dapat kumundurkan pertempuran kita sampai 10 hari lagi dan tempatnyapun kupilih di Sin-bukiong. Lihat saja apakah mereka nanti dapat keluar dari Sin-bu-kiong masih bernyawa! sahut Sin-bu Te-kun dengan bangga. Apakah saudara maksud... Harap saudara Kongsun jangan mendesak pertanyaan lagi. Maksudku hanya hendak membantu saudara membuka jalan hidup! terserah pada kebijaksanaan sudara! buru-buru ketu Hek Gak menbut dengan nada setengah merintih kasihan. Sin-bu Te-kun tersenyum Asal saudara Konsun mau meluluskan sebuah syaratku, kutanggung Hek Gak tentu takkan hancur bahkan dapat bangkit kembali menegakkan keharuman nama di dunia persilatan! Jangan kan hanya itu sepuluh buah permintaan aku sedia menyanggupi! sahut ketua Hek Gak Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berganti nada serius Asal suka mengajak anak buah saudara berkumpul di Sinbu-kiong, kutanggung harapanmu tentu terlaksana.... ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Asal kita bersatu, siapakah yang mampu menandingi? Harap saudara memberi keputusan! Ke ua Hek Gak Kerutkan wajah dan menyahut terkait-kait Ini ..... sebagai ketua Hek Gak aku ...... Permintaan Sin-bu Te-kun itu berarti Ketua Hek Gak takluk pada Sin-bu Kiong. Suatu hal yang terlampau berat bagi Ketua Hek Gak. bagaimana? Apakah saudara keberatan? Sin-bu Te-kun mendesak. Ya,ya, setuju, setuju ..... Akhirnya dengan wajah meringis ketua Hek Gak menyahut memang seharusnya kubantu kesulitan saudara dalam pertempuran di Sin-bu-kiong nanti! Sekalipun kedudukannya terpojok, namun tentu Ketua Hek Gak masih berusaha untuk menjaga gengsi dengan ulasan kata-kata garang. Tiba-tiba wajah Sin-bu-Te-kun mengerut gelap, ujarnya Mungkin saudara belum menangkap katakataku. Maksudku agar saudara menggabung pada Sin-bu-kiong atau jelasnya supaya Hek Gak masuk menjadi anak buah Sin-bu-kiong. Segala apa harus menurut perintahku ..... ia berhenti sejenak, katanya pula Tetapi hendaknya saudara Kong-sun jangan cemas. Semuanya hanya rencana semnetara. Begitu sudah berhasil dunia persilatan akan menjadi kekuasaan Hek Gak dan Sin-bu-kiong! Aku pasti taka akan .... Walaupun dalam hati benci sekali namun ia tak berdaya dan terpaksa batuk-batuk, Ya, ya, aku menurut saja! Percakapan yang dilakukan oleh kedua tokoh itu menggunakan ilmu menyusup suara. Sehingga orang lain tak mendengar sama sekali. Tetapi dikarenakan memakan waktu lama, Thian-leng pun tak sabar lagi, bentaknya Kalau tetap tak lekas enyah, jangan menyesal kalau keputusanku berbalik tak menguntungkan dirimu! Ia menutup peringatannya dengan sebuah tamparan, terdengar seru angin menggelegar dan teriakan kaget adari hadirin.... Kiranya tamparan yang ditujukan pada Sin-bu- te-kun itu tidak langsung dikenakan orangnya melainkan pada sebelahnya. Seketika tanah seluas 2 meter disi dari Sin-bu-te-kun meranggas hangus. Sampau beberapa lama api baru padam. Kejut sekalian orang bukan kepalang pukulan yang dapat membakar tanah .... Di dunia persilatan tak mungkin ada orang lain yang mempunyai pukulan semacam itu. Sin bu Te-kun mundur beberapa langkah. Wajahnya pucat tenangkan hatinya. Dengn dengusan mengejek yang sengaja untuk menutupi ketakutannya, segera ia putar badan dan melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar raungan macam singa. Sesosok tubuh gendut loncat kemuka Thian-leng. Thian-leng terkesiap, serunya Lo-cianpwe apakah kau sudah sembuh? Kiranya yang tegak dihadapannya itu adalah Bok Sam-pi, tokoh yang bertubuh gemuk.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 251 dari 290

Buyung, ayo kita bertanding sejurus lagi! Bok Sam-pi menggerung. Walaupun limbung tetapi ia masih ingat akan pertempuran di gunung Thay-heng-san tempo hari. Walaupun karena memperdalam ilmu ajaran It-bi siangjin sehingga Thian-leng lebih parah lukanya, tetapi Bok Sam-pi juga harus beristirahat lebih dari sebulan untuk memulihkan lukanya. Bok Cong-Houhwat! cepat-cepat ketua Hek Gak meneriaki. Ya, hamba disini! Bok Sam-pi tertegun. Sebelum mendapat perintahku, tak boleh bertindak sendiri, mengapa kau ...... alam kedudukan sebagai guru dan murid, siapakah yang harus mendengar perintah? diluar dugaan Bok Sam-pi marah. Jago tua itu semalam hidup jarang menderita kekalahan. Benci terhadap Thian-leng benar-benar merasuk ketulang ia tak menghiraukan peringatan ketua Hek Gak Lagi. Ketua Hek Gak makin gelisah. Ia tahu bahwa jika kalian Bok Sam-pi berani menmpur Thian-leng tentu akan kalah. Andalan satu-satunya hanyalah pada Bok Sm-pi. Jika Bok Sam-pi sampai kena apa-apa ia tentu kehilangan andalan. LO-cianpwe apakah kau tak ingat pada cucumu Bok Ceng-ceng? masih thian leng bersabar. Dia berusaha hendak menyadarkan ingatan jago tua itu. Mungkin dengan mengemukakan Ceng-ceng, Bok Sam-pi akan pulih kesadarannya. Diluar dugaan usaha Thian-leng itu malah menimbulkan kebalikan. Bok sam-pi marah sekali dan membentak-bentak Siapa suruh mengatakan anak perempuan itu! sekonyong-konyong ia menghantam. Thian-leng tahu bahwa orang tua itu masih limbung ingatannya. Maka ia tak mau menandingi dan hanya menghindar kesamping saja. Bo sam-pi terkesiap. Ia kaget menyaksikan kegesitan si anak muda itu menghindar. Tubuh Thian-leng berputar-putar seperti angin dan tahu-tahu sudah beberapa meter disebelah kirinya. Suhu! kembali Hetua Hek Gak berteriak dengan cemas. Tetapi Bo sam-pi tetap tak menghiraukan dan membentak Thian-leng Buyung, mengapa kau tak berani menyambut pukulanku! Lo-cianpwe aku tak bermusuhan denganmu. Mengapa li-cianpwe berkeras hendak membunuhku? Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah melangkah pergi tetapi Bok Sam-pi menantang Thian-leng, ia hentikan langkahnya dan mengikuti perkelahian itu. Ketika melihat ketua Hek Gak gelisah, segera ia menghampirinya. Saudara Kong-sun, apakah obat pembius sudah punah dayanya? tegurnya dengan ilmu menyusup suara. Ketua Hek Gak Menggeleng Tak mungkin! Kekuatan obat dapat bertahan sampai petang hari! kalau begitu ............ **************** bersambung ........... bagaimakah kisah selanjutnya, apakah Thiat-bing dan Cu- giok-bun akan bersatu lagi, bagaimana nantinya pertemuan antara Thian-leng, Bu-song dan Siau-bun dengan kisah cinta mereka dan rencana ketua Sin-bu-kiong dan Ketu Hek Gak akan terlaksana nantikan jilid selanjutnya Antara Suami Isteri DENGAN beberapa patah kata, aku dapat menguasainya! Apakah Saudara Ki bergurau ketua Hek Gak menengas girang. seru Sin-bu Te-kun.

Wajah Sin-bu Te-kun mengerut serius. Masakan dalam saat seperti sekarang aku bergurau?

JILID 13 Antara Suami dan Isteri DENGAN beberapa patah kata, aku dapat menguasainya! Apakah Saudara Ki bergurau ketua Hek Gak menengas girang. seru Sin-bu Te-kun.

Wajah Sin-bu Te-kun mengerut serius. Masakan saat seperti sekarang aku bergurau? Kalau benar, aku taat dan ikhlas untuk menjadi orang bawahan Sin-bu-kiong!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 252 dari 290

Sin-bu-Te-kun tertawa sinis. Tiba-tiba ia gunakan ilmu menyusup suara kepada Bok Sam-pi Tahukah Bok Lo-cianpwe saat ini berada di tempat apa? Bok Sam-pi sebenarnya hendak melontarkan pukulan lagi, tiba-tiba tertegun mendengar kata-kata Sinbu Te-kun. Sesaat kemudian ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga Apa hubungannya dengan diriku? Banyak sekali lo-cianpwe, kata Sin-bu-te-kun perlukah kukatan! katakanlah! Pertama, dihadapan sekian banyak jago-jago dari seluruh penjuru, kemarahan Cianpwe untuk bertempur dengan anak muda, dapat menurunkan derajat lo-cianpwe. Kedua, pertempuran di gunung Thay-heng-san antara Locianpwe dengan budak liar itu belum banyak yang tahu. Kalau sekarang cianpwe hendak mengulangi lagi, apakah tidak berarti memberitahukan orang ? ketiga 10 hari lagi budak itu tentu datang ke Sin-bu-kiong, akan kuatur supaya cianpwe dapat menghajarnya dan kusiapkan segala sesuatu agar budak itu jangan sampai dapat lolos dan keempat ..... Bok sam-pi yang semula terlongong-longong itu tertawa mengekeh serunya Benar! Benar! Kuterima usulmu ....... kemudian ia berpaling kepada Thian-leng Budak, kuberimu hidup 10 hari lagi! Dan tanpa menghiraukan ucapan orang lagi, jago tua itu embalikakn tubuhnya terus melangkah pergi dengan kepala menengadah. Thian-leng meringis. Sekalipun ia tak tahu apa yang dibicarakan antara Sin-bu-Te-kun dengan Bok Sam-pi tadi, tetapi ia menduga bahwa Bok Sam-pi tentu kena ditipu. Diam-diam ia kasihan dengan Cianpwe tua yang hilang ingatannya itu. Sayang ia belum dapat mempelajari ilmu pengobatan dari kitab It-bi Siangjin, sehingga tak dapat menolong jago tua itu. Bo Sam-pi tak menghiraukan semua orang. Dia terus melangkah keluar. Ketua Hek Gak segera memberi isyarat kepada anak buahnya. Seluruh rombongan Hek Gak pun segera mengikuti Bok Sampi. Sin-bu Te-kun, Lam-yau, Pak-koay, Bu-ciu suseng dan rombongan Sin-bu-kiong pun segera angkat kaki. Karena pemimpin mereka tak memberi komando, anak buah Tiam-jong-pay dan Thiat-hiat-bun pun tak berani mencegah mereka. Saat itu fajar mulai menyisingsing. Hanya kurang lebih setengah jam lamanya, Sin-bu-Te-kun dan ketua Hek Gak datang dengan semangat bernyala tetapi pergi dengan nyali ciut. Sekalipun hadirin menyaksikan kejadian itu tetapi mereka tak berani bicara hanya dalam hati saja. Ada sebagian besar yang masih menganggap bahwa pihak Sin-bu-kiong adalah bintang penolong yang akan menyelamatkan dunia persilatan Tiong-goan dari kekejaman Hun-tiong Sin-mo dan Thiat-hiat-bun. Kepergian jago-jago yang mereka harapkan kemenagannya itu, meninggalkan kegelisahan dikalangan hadirin. Lebih-lebih ketiga Cuncia dari Siau-lim-si dan rombongan ke-9 partai. Mereka kenal Thian-leng. Mereka merasa berbuat salah pada pemuda itu karena telah melemparnya ke sungai. Rasa ketakutan segera mencengkram mereka. Biasanya anak muda tentu berdarah pana, pasti akan mendendam. Apabila pemuda itu akan menuntut balas, ah .... ngeri mereka membayangkan! Tetapi apa yang terjadi benar-benar diluar dugaan mereka. Thian-leng sama sekali tak menghiraukan rombongan ke -9 partai. Tampaknya pemuda itu sudah lupa apa yang telah terjadi di selat Sing-sim-kiap dahulu,. Dia hanya sibuk berbicara dengan ketua Thiat-hiat-bun saja. Yang lucu adalah kedua tokoh Im-yang songsat. Mulanya kedua orang itu ikut Cu Siau-bun tetapi ketika Thian-leng muncul, mereka segera melarikan diri terbirit-birit. Sejenak menyapu pandangan keseluruh tempat perjamuan, jenggot perak tertawa serunya nyaring. Berhubung ada sedikit keributan, maka sampai mengganggu tempat perjamuan ini, kuharap saudarasaudara suka memaafkan! Pernyataan ketua Thiat-hiat-bun itu benar-benar melonggarkan perasaan sesak di dada para tamu yang datang. Mereka tersipu-sipu membalas hormat kepada tuan rumah, suasanapun menjadi agak reda. Li Cian-bun! Tiba-tiba jenggot perak berseru kepada Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay. L Cu-liong buru-buru maju Apakah pesan gihu? kata ketua Thiat-hiat-bun dengan nada keren Tempat pesta telah berubah menjadi ajang pertarungan. Kegembiraan tamu kita jadi terganggu ... entah makan waktu berapa lama untuk membersihkan tempat dan kursi yang berantakan kesana kemari? Setengah jam cukup! sahut Li Cu-liong. kalau begitu harap Li Cian-bun menyuruh orangmu mengatur lagi! Li Cu-liong mengiyaka.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 253 dari 290

Jenggot perak menatap Thian-leng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Tiba-tiba ia membalikan badan berjalan menuju markas Tiam-jong-pay. Walaupun kebakaran cukup besar tetapi di dalam markas masih terdapat banyak ruangan yang masih ut. Jenggot perak tak menuju ke ruangan besar tetapi kebelakang markas. Disitu terdapat sebuah hutan kecil, walaupun tak lebat namun cukup sepi. Ketika berada di tengah hutan. Ia berhenti, tanpa memalingkan tubuh ia sudah tahu bahwa Pok Thian-bing, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, Siau-bun, Busong serta si pengemis sakti Thiat-ik-sin-kay mengikutinya. Thiat-beng ....! serunya tanpa berpaling kepala. Gakhu (ayah mertua), apakah selama ini kau baik-baik saja? Thiat-beng tertegun menghela napas. Ngaco, apakah aku tak sehat? lengking si jenggot perak. Thiat-beng kemerah-merahan wajahnya. Jenggot perak tertawa, Anak tolol, mengapa seorang yang sudah berumur 40-an tahun masih seperti kanak-kanak. Apakah tak mau mengakui kesalahan dulu? Thait-beng segera mendekati rombongan yang berada disitu, sesaat mukanya memerah. Tetapi tanpa ragu-ragu segera ia menghampiri Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Giok-bun, dahulu .... akulah yang bersalah! serunya dengan pelan-pelan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun merasa bergetar dan malu-malu, namun karena dihadapan ada anaknya dan orang-orang yang telah bersamanya tadi, ia akhirnya menguatkan hati. Tujuh belas tahun lamanya! tiba-tiba mulutnya meluncurkan kata-kata Ya, ya, tujuh belas tahun ....Thiat-beng menyahut, keduanya tenggelam dalam kenangan masa itu. Salah faham pada saat itu, menimbulkan berbagai duka nestapa. Banyak sekali hal-hal yang telah terjadi selama itu. Setelah berpisah, kini mereka bertemu. Lama mereka terdiam larut dalam kenangan mereka di masa lalu. Thiat-beng, menyeka dua butir air matanya yang mengalir disela matanya Giok-bun, aku ..... berdosa padamu, aku .... Ah, kau tak salah, semua itu, akulah yang paling bersalah .... Tidak! Thiat-beng memotong kumaksudkan ... sejak kutinggalkan kau .... Teringat akan ibu dan anaknya? Oh, kau sudah tahu? Aku tak menyesalinya, kata Giok-bun Aku tahu waktu itu kau kesepian? Bukan maksudku untuk menghianatimu, selama tujuh belasa tahun itu telah banyak mengalami perubahan namun hatiku tidak setitikpun berubah. Walaupun kepergianku membawa semua kemarahan, kegalauan dan bermaksud untuk mengasingkan diri karena kekecewan hati ditambah aku beristeri lagi. Tak pernah aku melupakan dirimu. Sebenarnya kau berniat pulang, namun aku merasa takut kalau kau membenciku, maka ..... Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun tundukkan kepala penuh haru dan katanya Akupun begitu juga, tetapi tak sekeras hatimu. Andaikata kutahu tempat tinggalmu tentu akan segera kususl! Thiat-beng menatap isterinya dengan penuh kasi Giok-bun, maafkanlah aku, marilah kita susun kembali tali kasih kita dan mambangun kembali mahligai rumah tangga kita yang telah berantakan. Marilah kita ... Tiba-tiba terdengah isak tangis tersedu-sedan. Ah, kiranya Pok Lian-ci yang menggelandot di sebatang pohon. Thiat-beng pun menghampiri Ang-ko tetapi dara itu tak menghiraukan dan terus menangis. Pada saat itu Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun turut menghampirisambil tersenyum iapun berkata dangan ramah Nak, apakah kau tak suka mempunyai ibu seprti aku? Tiba-tiba Pok Lian-ci mengangkat kepala dan tangan berserabutan menolak Tidak, aku tak bermaksud begitu Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun melangkah selangkah lagi kemudian memeluk Ang-ko Nak, mengapa kau menangis? seharusnya dahulu ayah tak membohongi aku! Kuteringat akan mendiang ibuku! Hati Pok Thiat-beng seperti disayat. Dua butir air mata mengalir dipelupuknya. Sampai lama mereka tak dapat berkata-kata apapun. Tiba-tiba Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun memcah kesunyian Siau-bun, mari kita pergi! Pergi? Me...ngapa? Siau-bun tergagap. Thait-beng terbelalak ketika ia mendengar bahwa puteri yang cantik dihadapannya adalah puterinya sendiri.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 254 dari 290

Kau Siau-bun? serunya gugup Tiba-tiba Siau-bun melengking serta merta menagis Ayah, kau kejam ... dan menyiksa mama... Thiat-beng gelagapan, dan berpaling kepada Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun Adakah karena Lian-ci, kau lantas mau pergi? Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun gelengkan kepala Sebagian memang begitu dan masih ada lagi yang mengganjal memaksaku harus pergi! Beritahukanalah? Tahukah kau bahwa kau adalah ahli waris dari Hun-tiong Sin-mo? Ku .... tahu! Tahukah kau mengapa aku memakai she CU? Ini .... Thiant-beng terkesiap sesaat, aku tak tahu! Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menghela napas, ujarnya Kalau diceritakan panjang sekali. Saat ini hanya dapat kututurkan secara singkat. Jika dahulu tak berjumpa dengan seorang penolong ber she CU, mungkin kami ibu dan anak tentu sudah mati! Eh, mengapa kau tak memberitahukan hal itu kepadaku? Apakah kau mendapat ayah angkat? tibatiba jenggot perak menyelutuk. Hubungannya tidak samapai disitu saja! sahut Cu Giok-bun dengan tegas. lalu .... Yah, kau hatus memafkan orang tua she Cu itu. Ia telah melepas budi sebesar lautan kepadaku. Dia tak ubah seperti ayah kandungku sendiri. Kalau tak ada dia, mungkin aku sudah mati dan tak akan mendapat suhu serta ahli waris dari Hun-tiong-hu. Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula karena itu maka aku telah mengucapkan sumpah dihadapannya, untuk merawatnya sampai mati dan megganti she dengan she Cu, menganggapnya sebagai ayah kandung sendiri. Hai, bukankah dia tabib Sakti Cu Thian-hoan? celutuk jenggot perak. Cu Giok-bun kerutkan alis Benar, memang dia. Dia .. adalah sahabatku juga! Sekarang .. apakah dia sehat-sehat saja? Cu Giok-bun tertawa rawan, seorang yang banyak menolong jiwa manusia dan selalu berbuat kebajikan, pada hari tuanya malah menderita sakait Eh, apakah sakitnya> Entahlah, aku tidak tahu. Hanya kaki tangannya terasa lentuk tak bertenaga sama sekali. Bangun dan bergerak harus dibantu orang! Dimana dia sekarang? Di Hun-tiong-hu! Jenggot perak mengurut-urut jenggotnya, tertawa Nak, meskipun kau berganti she CU, aku tak menyalahkanmu. Membalas budi adalah perbuatan yang mulia. Apalagi Cu Thian-hoan itu juga sahabatku sendiri. setelah urusan ini selesai, mungkin aku hendak menjenguk ke Hun-tiong-san menyambangi si tua itu lanjutnyalagi. Kalau begitu, maaf aku hendak pulang dulu! kata Cu Giok-bun. Pulang ke Hung-tiong-san? Ya, aku harus lekas-lekas menjenguk ayahku, sahut Cu Giok-bun, kemudian ia memandang Thiatbeng, ujarnya Tetapi nanti 10 hari lagi, aku hendak ke Sin-bu-kiong mencari budak hina Ma Hong-ing agar apa yang terjadi dahulu menjadi jelas semua! Thiat-beng hendak membuka mulut tetapi sukar untuk bicara. Siau-bun, apakah kau tak ikut mama? lalu dipandangnya Thian-leng dengan tatapan tajam. Thian-leng tersipu-sipu tundukan kepala. Banyak nian yang berkecamuk dalam hatinya sehingga sesaat tak dapat berkata-kata apa-apa. Walaupun mulutnya mengiakan tetapi berat sekali kaki Siau-bun bergerak. Juga wajah jenggot perak tegang. Cu Giok-bun telah menceritakan kepadanya tentang hubungan Siau-bun dengan Thian-leng dan janji hidup mereka. Bahkan hubungan lebih lanjut, siau-bun sudah tak mau pergi. Hanya Bu-song yang merasa agak tenang, ia yakin dan tak kuatir Thian-leng akan meninggalkannya karena Thian-leng dengan dirinya telah mengikat pertunagan dengannya. Biar Siau-bun berusaha setengah mati untuk merebut, tentu tak mungkin dapat merubah iakatan itu. Sayang, ia tak tahu apa yang terjadi antara Siau-bun dan tunanganya itu. Begitu pula hubungan Thian-leng dengan kedua taci beradik Ki, Bu-song sama sekali tidak tahu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 255 dari 290

Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun tak sabar lagi. Memang sebenarnya ia tak bermaksud sungguh-sungguh mengajak putrinya pergi. Tetapi itu hanya siasat saja agar Thian-leng bereaksi. Tak disangka, diluar dugaan Thian-leng tak bereaksi apapun dan Siau-bun pun enggan pergi. Sesuatu yang membuat Huntiong Sin-mo Cu Giok-bun risih. Siau-bun, karena kau tak suka ikut, terpaksa aku akan pergi sendiri! serunya sesaat kemudian. Siau-bun tergopoh-gopoh menyusul, serunya dengan rawan Ma, silakan berjalan dulu aku tentu akan menyusul! Sesukamulah kata Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun seraya melesat pergi. Thiat-beng hendak mencegah, tetapi mulutnya serasa berat. Suasana hening seketika. Hanya angin pagi yang berhembus terasa menusuk dikulit. Lian-ci sudah berhenti menagis. Kedua kelopak matanya bengkak. Kesunyian itu dikejutkan kedatangan sesosok bayangan, ternyata bayangan itu Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay yang melapor kepada jenggot perak bahwa perjamuan telah selesai dibereskan lagi. Apakah hidangan sudah disajikan tanya jenggot perak. Suadah! Bagaimana sikap para tamu kita? Ini ... bagaimana tegur Jenggot perak tampaknya mereka diliputi kecemasan Apapun yang Gihu rencanakan rupanya mereka hanya menurut saja, jawab Li Cu-liong. Jenggot perak melirik Bu-song. Thiat-beng dan lainnya. Ia paksakan tertawa sebagai tuan rumah sudah tentu aku tak mau mengecewakan mereka. Thiat-beng mempersilakan ayah mertuanya. Walaupun memikirkan puterinya dan anak menatunya, namun jenggot perak terpaksa juga menjamu para tamunya. Sepeninggal jenggot perak membuat tempat itu menjadi sepi. Siau-bun perlahan-lahan menghampiri Thian-leng, serunya lirih Ling-koko! Baru pertama kali ia memanggil Thian-leng seperti itu. Suaranya bergetar. Wajah Thian-leng agak berubah. Ia menyurut mundur dua langkah. Mulutnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengucapkan kata-kata. Pok thiat-beng pun kerutkan dahi, serunya Siau-bun! Tahu Pok Thiat-beng itu ayahnya, tetapi karena sejak kecil tak pernah berkumpul jadi perasaan, Siaubun biasa saja seperti ayahnya adalah orang asing. Ayah hendak berkata apa? serunya hambar Thiat-beng sedikit banyak dapat mengetahui hubungan kedua anak muda itu, serunya dengan tegang Thian-leng sekarang menjadi putera angkatku. Kalian harus memanggil kakak-adik! memanggil kakak dan adik? ********** Dendam dan Kasih berbahasa engkoh dan adik? tiba-tiba Siau-bun tertawa ricuh. Sudah selayaknya! sahut Thiat-beng. Siau-bun tertawa manja Yah, tahukah kau siapa diantara kami berdua lebih tua, bagaimana aku harus memanggilnya? Thiat-beng tertegun, ia ternyata puterinya orang yang lincah dan pandai bicara. Sudah tentu ayahmu tahu, panggillah ia engkoh! Tetapi siau-bun seorang gadis yang berhati keras, untuk menumpahkan kemengkalan, ia berseru dengan nada sinis O, engkoj leng, kuhaturkan selamat padamu. Adik ... Adik ....Thian leng tergagap-gagap. Apa yang hendak kau katakan? Sia-bun tertawa dingin. Merah seketika telingga Thian-leng Mana aku berani memberi perintah padamu, hanya .... ada sesuatu yang akan kuberitahukan padamu! Katakan saja! Baru Thian-leng hendak berkata, Bu-song sudah mendahului Piauci, bolehkah aku bicara beberapa patah padamu? Siau-bun meliriknya Tentu, apa halangan bicara sepatah-dua patah kata saja? Bu-song muramkan wajah Apakah kau tahu dia berhubungan dengan aku?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 256 dari 290

Siau-bun tertawa dingin Mengapa tidak? Kakek telah menidodohkannya dengan kau, bukan? Wajah Bu-song merah Kalau sudah tahu ya sudah. Tetapi mengapa kau terus mengodanya? Seketika merahlah wajah Sia-bun, lengkingnya Ngaco! Jika tak memandang muka kakek, tentu sudah kutampar mulutmu! Dan bertengkarlah kedua dara itu mereka sama-sama ngotot, tiada orangpun yang tahu apa persoalannya. Berhenti! tiba-tiba Thiat-beng membentak Bu-song yang hendak bicara. Nadanya menggeledek penuh wibawa. Kedua dara itupun bungkam. Mereka saling berpandangan dengan mata melotot. Thiat-beng kerutkan dahi. Ditatapnya Siau-bun dengan tajam, Apa katamu tadi ? Siau-bun tertegun. Sahutnya terbata-bata Mengapa ayah tak langsung menanyainya? katanya seraya melirik pada Bu-song. Bu-song merah pipinya dan menunduk. Setelah memandang pada Thian-leng, Pok Thiat-beng pun menghamapiri Bu-song, serunya dengan tertawa Bilanglah, putera-puteri persilatan pantang bersikap malu! Bu-song tenangkan hatinya lalu mengangkat muk. Tak lama ini atas kehendak kakek, aku telah dijodohkan padanya! Benarkah itu? Thiat-beng terkejut Silakan paman bertanya pada kaek! Thiat-beng menyurut mundur, keningnya agak mengerut dan mulutnya berkemak-kemik Celaka! Celaka! Ini .... ia berpaling kepada Thian-leng serunya Benarkah itu? Thiat-beng banting-banting kaki Mengapa tak kau katakan dari dulu? Semula memang anak hendak menceritakan kepada gihu. Tetapi karena gihu melarang aku banyak bicara, jadi sampai sekarang belum ... Memang Thian-leng teringat hal itu dan bahkan pernah memaksa pemuda itu menikah dengan Ki Sengwan. Ah, aku salah, akulah yang mencelakai kalian .... Akhirnya ia menghela napas. Paman, apa kesalahanmu? Ini, apa artinya? Seru Bu-song dengan heran. Tahukah kau bahwa Thian-leng sudah menjadi suami orang? seru Thiat-beng. Bu-song mendesak kaget Apa? Thian-leng sudah mempunyai Isteri! Benarkah ...? Bu-song melengking kaget, seperti mendengar halilintar disiang bolong. Tubuhnya gemetar hampir tak kuat berdiri lagi. Ia tekan keras supaya darahnya jangan meluap-luap keluar dari mulut. Juga Siau-bun gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas. Hatinya terguncang tak kalah dengan Bu-song. Sudah tentu sungguh! jawab Thiat-beng. Bu-song segera alihkan matanya menatap Thian-leng, serunya kalap Kau .... terlalu.... dia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena tersekat oleh tangis. Tak dapat menyalahkannya, akulah yang bersalah! Thiat-beng menghela napas. Bu-song mengusap air mtanya, ujarnya Kalau begitu perkawinannya itu atas kehendak paman? ben..... nar .... Siapa isterinya? Ki Seng-wan! Ki Seng-wan? .... eh, puteri kedua dari Sin-bu-kiong? Ya, tetapi mereka berdua itu baik-baik, dan pula .... Paman, aku benci pada paman tiba-tiba Bu-song menjerit. Thiat-beng kerutkan dahi tak bicara. Dia tak tahu peristiwa Thian-leng dengan Bu-song. Jika tahu tentu takan dipaksanya Thian-leng menikah dengan Ki Seng-wan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, Bu-song jadi membenciny, Thiat-beng tak dapat berbuat apa-apa. Sebenarnya Bu-song hendak menghambur kemarahannya tetapi ketika melihat Thiat-beng terbengongbengong diam, kemarahannya pun mereda. Tiba-tiba ia membalikkan diri dan melesat pergi.. Bu-song, kembalilah! Thiat-beng berseru kaget. Tetapi dara itu tak mau memperdulikan, bahkan berteriak Aku takkan kembali selama-lamanya bahkan takkan menemui kalian lagi!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 257 dari 290

Sembari berlari dara itu sudah menyelinap jauh. Thiat-beng termangu-mangu tak dapat berbuat apaapa. Mau mengejar tak enak, tidak mengejarpun tak enak. Bagaimana ia harus bertanggung jawab kepada Jenggot perak apabila dara itu mengalami musibah. Adik Song, tunggulah!! tiba-tiba Siau-bun berteriak. Bu-song yang sudah jauh terpaksa berhenti. Dan Berpaling ia tertawa sinis, perlu apa kau menyusulku ku? Apakah kau hendak menuduh aku melarikannya? Sebentar saja Siau-bun telah tiba dihadapan Bu-song Adik Song, sekarang kita harus bersatu padau! Apa gunanya? toh dia sudah menikah dengan orang lain! Siau-bun tertawa getir Lalu bagaimana kalau menurut pendapatmu? Kita aduk sampai kacau balau baru kemudian mencukur rambuk masuk jadi rahib! Apakah cara itu tepat? Siau-bun tertawa tawar Lalu bagaimana pendapatmu? Kalau tak dapat memperolehnya, jangan sampai orang lain bida mendapatkannya! sahut Siau-bun Tetapi orang sudah mendapatkannya, nasi sudah menjadi bubur, apa daya kita? Hancurkan mereka! Siau-bun menjerit sengit Hancurkan ..... Bu-song kerutkan dahi, lalu berseru Bags, pikiranmu tepat! Siau-bun berseru gembira Suami iateri yang berantakan jauh lebih menderita dari kekasih yang patah hati! Tiba-tiba Bu-song kerutkan kening Rencana sih bagus bagaimana pelaksanaannya? Eh, kau biasanya cerdik mengapa sekarang tak dapat memikirkan hal itu? Siau-bun tertawa. Bu-song tersipu malu Kalau kau hanya mengolok-olokku, lebih baik jangan menghabiskan waktuku! Siau-bun tersenyum lalu membisiki Bu-song, wajah Bu-song segera girang Benar, siasatmu itu memang tepat. Kita memang bukan orang baik-baik. Jika tak suruh mereka merasakan pil pahit tentulah hati kita tak akan tentram. Demikianlah apabila hati sudah tercemar oleh nafsu dan dendampun membara bagai api dalam sekam. Kedua dara itu segera beranjak dari situ dan beberapa kali loncatan keduanya telah lenyap. Thian-leng, lekas kejar! serunya Gihu ... baru Thian-leng hendak berkata. Thiat-beng sudah membentak Lekas kejar! gelaagapan.

Thian-leng segera suruh kedua suami isteri Im yang songsat agar menunggu disitu dan iapun terus loncat menyusul. ********** Menjerat Kerbau Bu-song dan Siau-bun tahu Thian-leng bakal mengejar mereka berdua, namun mereka ternyata hanya pura-pura tak menghiraukan dan lari sekencang-kencangnya. Hei, kalian berhenti dulu Teriak Thian-leng. Piauci, rencana berhasil manusia Lupa budi itu mengejar! Bu-song berseru kepada Siau-bun dengan ilmu menyusup suara. Siau-bun punya menyahut dengan ilmu yang sama Asal rencana pertama berhasil, kemungkinan besar kita tentu berhasil! Kedua gadis itu mempercepat larinya. Sebenarnya Thian-leng dapat menyusul tetapi ia tahu watak kedua gadis yang keras kepala itu. Maka sengaja ia memperlambat larinya, agar kedua gadis itu tidak merasa direndahkan. Dalam skejap saja mereka telah berlarian sejauh 3 4 li jauhnya. Kedua gadis itu lari sekuat-kuatnya tanpa menghiraukan teriakan Thian-leng lagi. Akhirnya Thian-leng tak tahan lagi. Sekali empos semngat, ia melesat mendahului kedua gadis itu dan menghadang mereka Harap kalian suka memandang mukaku Orang She Pok, hendak apa kau! tukas Siau-bun. Kau hendank merintangai kami? lengking Bu-song. Thian-leng tertawa hambar Aku mempunyai kesukaran yang sulit untuk diceritakan, harap nona berdua suka memafkan ... sejak saat ini aku berjanji hendak meperlakaukan kalian berdua sebagai adik kandung. Untung .... jangan Banyak bicara, lekas menyingkir! bentak Bu-song. Siau-bun ikut menyelutuk Menempuh beribu kesullitan sayang hanya bersua dengn orang yang tak bertanggung jawab. Adik song, mari kita ambil jalan lain saja!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 258 dari 290

Ya, ya mari kita belok jalan ini ! sahut Bu-song seraya melesat kejurusan lain. Thian-leng cepat ayunkan diri menghadang mereka lagi harap nona berdua berpikir masak-masak jangan hanya menuruti hawa nafsu Tetapi kedua nona itu tidak menghiraukannya dan tetap berjalan maju. Thian-leng terpaksa melintangkan kedua tangananya Andaikata aku bersalah, harap nona suka ... Eh, apakah kau hendak berkelahi? Teriak Siau-bun. Tidak! buru-buru Thian-leng menyahut. Kalau tidak mengapa kau gerakkan kaki dan tanganmu? teriak Bu-song. Thian-leng tertawa meringis Eh, mengapa kalian begitu pemarah? Kedua gadis itu tertawa dingin dan tetap melesat dari samping Thian-leng. Karena gugup, Thian-leng lintangkan lagi tangannya. Pui, laki dan perempuan tak boleh bersentuhan. Mengapa kau begitu tak tahu aturan? bentak Siaubun. Tiba-tiba ia yaunkan tangannya. Plak .... karena tak menduga, pipi Thian-leng kena tampar. Tampak ada gambar lima jari di pipinya. Dan diujung mulutnya mengalir darah. Bu-song tertegun. Ia tak mengira kalau Siau-bun bertidandak sedemikian rupa. Tetapi melihat keadan Thian-leng yang meringis-ringsi, ia tertawa geli. Thian-leng malu dan menyesal tetapi ia tak berani berkata apa-apa. Dilepasnya kedua gadis itu dengan penuh kebingungan. Beberapa saat kemudian, barulah ia melangkah mengikuti dari belakang. Ia tahu bahwa kedua nona itu tentu mendendam sekali padanya. Mereka rela berkorban segalanya. Maka dapat dimengerti bagaimana kecewanya hati mereka ketika mendengar ia sudah menikah dengan orang lain. Melihat watak mereka, bukan mustahil mereka akan bertindak sesuatu yang tak diharapkan. Dan andaikata terjadi sesuatu pada mereka, bukan saja ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan Jenggot perak dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, ia sendiri akan tersiksa seumur hidup. Kalau yang mengikuti dicengkeram kecemasan. Lain halnya yang dikuti malah riang gembira berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Bagaikan tingkah pemburu, mereka mengambil jalan di lereng gunung curam. Thian-leng benar-benar tersiksa perasannya tetapi tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti saja kurang lebih 20-an tombak dibelakang mereka. Ketika matahari tenggelam barulah kedua nona itu berhenti disebuah kuil kecil. Taci, hari sudah malam, kita bermalam di kuil ini saja ! kat Bu-song. Siau-bun mengangguk Baik, seharian suntuk perut kita tak diisi. Mari kita buat sate kelinci yang kutangkap di hutan tadi, Sahut Siau-bun. Sambil bercakap-cakap diseling tertawa-tawa, kedua nona itu membuat api dan membakar kelinci. Tampaknya mereka riang gembira. Thian-leng yang bersembunyi di luar kuil, hanya mengigit jari saja. Bau sate kelinci yang dibawa oleh angin malam, benar-benar menglitik perutnya. Air liurnya beberapakali terpaksa ditelannya. Tetapi karena sikap kedua nona yang begitu dingin, ia tak berani menghampiri kuil. Terpaksa ia mengawasi mereka dari luar. Menjelang tengah malam, tak terdengar lagi percakapan kedua nona. Rupanya mereka tidur nyenyak di dekat api unggun. Sebaliknya Thian-leng tak berani memejamkan mata karena kuatir kedua nona itu lenyap. Tiba-tiba dari dalam kuil terdengar suara ahelaan naps Bu-song. Benar-benar ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia memberanikan diri menghampiri kedalam kuil. Melangkah kedalam ruangan kuil, barulah hatinya lega. Kedua nona itu tidur disamping api unggun. Adik Bun .... Song, Thian-leng membangunkan dengan perlahan-lahan. Siau-bun menggeliat bangun Eh, Orang she Pok, mengapa kau kemari lagi? Apakah adik Song Sakit? sahut Thian-leng. Tiba-tiba dara itu mencelat bangun Aku sakit tau tidak, apa pedulimu ia tengkurap lagi. Thian-leng terkesiap, serunya Adik berdua ... mengapa kalian ini? Siau-bun tertawa tawar Apakah kau benar-benar menaruh perhatian kepada kami? Biarlah langit dan bumi menjadi saksi isi hatiku. Mengapa kaak dapat memaafkan aku? Lalu mengapa kau....? Thian-leng menghela napas Mengapa bisa terjadi hal itu, ah ....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 259 dari 290

Thian-leng masih menanyakan keadaan Bu-son. Jangan kuatir, dia hanya masuk angin karena mendongkol, Jawab Siau-bun. Ia memberi minum dara itu sebutir pil. Tak berapa lama dara itupun sudah dapat bangun. Tetapi ketika melihat Thian-leng ia segera melengos. Sampai sekian lama Thian-leng terlongong-longong, baru ia dapat berkata Apakah kalian masih marah kepadaku? Seumur hidup membencimu, takkan kulupakan selam-lamanya! teriak Bu-song marah. Sekarang jangan ikut campur urusan kami lagi! celutuk Siau-bun. Thian-leng menghela napas Jika kalian tak mau pulang, akupun takut menemui Lu dan Cu Cianpwe dan ikut kalian terus! Siau-bun tertawa mengikik, Percuma kau ikut, toh takan kupedulikan... Apakah kalian benar-benar membenci aku sedemikian rupa? Thian-leng tertawa getir. Coba katakan apa maksudmu mengintai aku? Siau-bun tertawa dingin. Untu minta kalian pulang! Boleh tetapi paling tidak harus memenuhi sebuah syarat! kata Siau-bun. Jangankan hanya sebuah 7-8 bahkan 10 syarat pun aku sanggup memenuhi! sahut Thian-leng serempak. Siau-bun tertawa Ah, sebenarnya bukan syarat yang sulit. Hanya asal kau mengatakan dengan sejujurnya! Ah, aku tak pernah bohong. Silakan adik bun bertanya? Siau-bun melirik kepada Bu-song, ujarnya Apakah pernikahanmu dengan Ki Seng-wan itu keluar dari hati yang tulus? Bukan, karena didesak oleh ayahmu! sahut Thian-leng tegas. kau cinta padanya? Ini .... dia pernah menolong jiwaku dengan ilmu Hian-im-kiu-coan dan karena itu ia telah kehilangan kehormatannya, maka ... Dimana ia sekarang? Di rumah ayahmu di Gunung Thay-heng-san! Siau-bun tertawa datar dan berpaling kepada Bu-song Adik, pertanyaanku sudah selesai. Bu-song mendengus serunya Eh, sampai berapa jauh kau pelajari ilmu dari Kitab It-bi Siangjin itu? Ah, belum seberapa, sahut Thian-leng Apakah ada ilmu mengobati binatang beracun jenis Tok-jong! Ada, tetapi aku belum sempat mempelajarinya Hm, pertanyaanku selesai .... tu ada sisa sate kelinci, silakan dimakan! Aku tak lapar! Kau takut sate itu beracun? Bu-song delikan mata. Ah, adik Song keliwat menghina? Kata Thian-leng terus menyambar paha kelinci dan dimakannya. Tetapi begitu daging kelinci masuk dalam perut, perutnya seperti diudek. Serangkum hawa muak menghambur keatas. Kepalanya serasa pusing dan bluk ..... jatuhlah ia dan tak sadarkan diri. Hola, Taci, rencana kedua, berhasil! Bu-songpun tertawa Jangan lagi kedua, sampai habispun tentu berhasil! sahut Siau-bun, Mana ayam alasnya? mengikik.

Bu-song mengambil seeokor ayam hutan dari meja. Kaki ayam itu diikat kencang. Siau-bun menyambut dengan gembira. Dirobeknya baju Thian-leng sedikit dibagian dada. Rencana ketiga mungkin berhasil! tiba-tiba Apa sebabbnya? Siau-bun heran. Jika aku, tentu tak mau kemari! Siau-bun tertawa sayang wanita itu tak secerdas kau. Jika ia datang. Aku berani memberikan batang kepalaku kepadamu! Apa yang hendak kau tulis? Sederhana saja, lihatlah! Siau-bun segera menusuk ayam hutan dan memote kepalanya. Kemudian ia gunakan darah ayam itu untuk menulis dibaju Thian-leng : Kepada Isteriku Seng-wan Aku kena racun, Entah siang entah Harap lekas datang Gunung Tiam-jong-san di kuil gunung.
http://goldyoceanta.wordpress.com

jiwaku ke

tak malam puncak

dapat tentu

tertolong. mati. Ceng-liong-ma

Halaman 260 dari 290

Thian-leng Dibelakanh baju itu ditulis pula kata-kata penting Wanita hina itu jika menerima surat ini tentu segera datang dan tentu menangis sedih, kata Siau-bun. Ya,ya, kita lihat pertunjukkan itu disini. Kemudian kita cari akal lagi untuk menyiksanya lebih lanjut. Ah, Taci cerdik.... eh, tetapi bagaimana mengirimkan surat ini? Dia sekarang adalah ketua Kay-pang. Anak buah Partai Kay-pang banyak sekali. Asal kita mencari seorang anakbuahnya, surat berdarah ini tentu segera disampaikan pada penerimanya.... Thy-heng-san jauh sekali. Taruh kata wanita itu segera berangkat paling tidak juga memakan waktu seminggu. Dalam jangka waktu sekian lama apakah takkan terjadi sesuatu? Bu-song merasa kuatir. setelah menerima surat ini, dia tentu segera berangkat dan menempuh perjalanan siang dan malam. Mungkin dalam waktu 3-4 hari tentu tiba di gunung Thay-heng-san. Terjadinya perubahan, memang sukar diduga. Tetapi paling tidak pemuda ini tetap berada dalam tangan kita! benar, benar, Bu-song tertawa tetapi sampai berapa lama kekuatan obat tidur itu? Jika orang biasa tentu tertidur selama 10 jam. Tetapi karena dia yang makan, mungkin hanya atahan dua jam saja Bu-song tertawa. Tiba-tiba ia mainkan jarinya menotok seluruh tubuh Thian-leng, Nah, begini dia tentu tak berdaya lagi. Biarlah dia bangun tak jadi soal! Mengapa? Seluruh jalan darah di tubuhnya telah ku totok, hanya kutinggalkan jalan darah pembisu. Nanti kalau bangun, dia hanya dapat mendengar dan bicara tetapi tak dapat bergerak ... Mungkin tak semudah itu....Diluar dugaan Siau-bun membantah. Eh, mengapa? Bu-song terkejut, apakah ada orang yang hendak melindunginya? Bukan begitu maksudku, Siaubun tertawa Kukuatir ilmu totokanmu tak mempan kepadanya! Bu-song terkejut : Ya, Ya, benar. Dia sudah mendapatkan pelajaran sakti dari It-bi Siangjin. Mungkin tentu dapat mengatasi totokanku dengan mudah. Kedua nona itu bingung. Jika tak dapat melumpuhkan kepandaiannya atau memotong kedua kakinya, rasanya sukar untuk menguasai pemuda ini, akhirnya Bu-song berkata. Ah, tidak perlu begitu, Siau-bun menghibur, meskipun kepandaiannya telah sempurna sehingga ia kebal di tootok jalan darahnya, tetapi dia tentu tak berdaya pabila diikat dengan semacam tali istimewa. Misalnya tali dari urat ular atau ulat sutera dan sebagainya. Tetapi benda itu sukar di dapat. Dan saat ini kita berada di tengah gunung yang terpencil. Kemana hendak kita cari? bantah Bu-song. Kalau kau dapat menyulap? Menyulap? Bu-song terkejut heran... Apakah kau sudah membawanya? Dari bajunya Siau-bun mengeluarkan dua kerat otot ular besar, serunya Telah lama kusimpang benda ini. Bukan karena khusus untuk menangkap pemuda ini tetapi memang menjadi alat-alat yang kubekal. Ah, tk kira hari ini ada gunanya! Memang banyak hal-hal yang tadk terduka. Ayo, kita ikat saja dia! seru Bu-song. Dara itu segera menyambar tali dari Siau-bun terus diikatnya tubuh Thian-leng sekencang-kencangnya. Sekarang kita harus cari anggota Kay-pang untuk mengirimkan surat ini kepada perempuan hina itu ...Kata Siau-bun. Aku yang menunggu disini, silakan taci yang mencari! kata Bu-song. Setelah menyimpan robekan baju yang bertuliskan darah. Siau-bun segera pergi. Ia tak faham jalan digunung situ apalagi di tengah malam. Hampir sejam lamanya baru ia dapat mencapai kaki gunung dan berhasil menemukan seorang anak buah Kay-pang. Demi mendengar ketuanya sakit, pengemis itu pucat. Segera ia menyerahkan surat darah itu kepada kepalanya. Siau-bunpun tergesa-gesa bergegas kembali ke gunung. Tiba di kuil, hari sudah hampir terang tanah. Thian-leng pun sudah terjaga tetapi matanya tetap meram dan terdiam. Kedua belah pipinya terdapat jalur-jalur bekas merah biru, mulutnyapun berdarah. Bekas itu adalah hasil tamparan dari Bu-song. Siau-bun kerutkan dahi, Perempuan hina itu tentu beberapa ari baru dapat tiba disini. Tak perlu buruburu menyiksanya. Jika dia sampai mati, urusan malah menjadi .... Dia pernah berjanji mengikat jodoh dengan aku. Sedang aku tak merasa kasihan sedikitpun kepadanya mengapa kau berbalik hendak membelanya? Bu-song melengking.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 261 dari 290

Siau-bun tertawa dingin, Banyak sekala hal-hal di dunia diluar dugaan manusia. Memang hati manusia sukar diduga. Dia sudah berjanji menikah dengan kau mengapa bisa jatuh dipelukan oran lain. Sejak ini mungkin ...... Dada Bu-song berdegup kencang, Tunggu kalau perempuan hina itu sudah datang, dihadapannya nanti tentu kubunuh lalu kucincang perempuan hina itu, barulah hatiku puas!. Begitulah hati manusia pabila diselimuti rasa dendam, kecewa sehingga tidak lagi berpikir panjang, dengan pikiran sempit itu dia gunakan untuk melampiaskan nafsunya. Nafsu yang berlebihan akan menimbulkan sengsara dan selanjutnya dihadapan orang dia buka lagi manusia, tetapi manusia yang dikuasai nafsu. Apa katamu? sekonyong-konyong Thian-leng membuka mata dan berteriak. Bu-song terkesiap. Katanya pada saat ini aku tak mau bicara padamu, mengapa kau bertanya? Jika kalian benci padaku, bunuhlah segera tetapi jangan memaki aku sebagai orang yang yak kenal budi, sahut Thian-leng. Kemudian lantas ia berkata lagi ketahuilai .... ia berhenti sejenak, Walaupun jagad raya tak terbatas luasnya tetapi kekuasan Allah tiada barasnya. Jangan nona berdua lekas berputus asa! Apakah kau hendak menasehati kami? bentak Bu-song dengan marah. Plak .... ia memberi sebuah tamparan lagi. Pipi Thian-leng makin begap. Pemuda itu tak dapat menahan kemarahannya lagi, Akulah yang buta sehingga tak dapat mengetahui bahwa kalian ternyata beini buas! Hm, kau toh sudah mendapat ilmu sakti dari It-bi Siangjin, mengapa tak mampu melepaskan diri dari tali itu saja? ayo, mari kita bertempur! Thian-leng benar-benar marah sekali. Ia mulai meronta-ronta, mengerahkan tenaganya. Hi, Hi, hiiiiiiiihi ..hi Siau-bun tertawa, tali itu walaupun tampaknya kecil tetapi tak mudah putus. Asal kau mampu memutuskannya, tak perlu bertempur lagi aku dan adik song segera akan bunuh diri! Thian-leng hentikan usahanya. Memang tak perlu dinasehati, ia sudah mencoba kekuatan tali itu. Jika bukan tali dari urat ular tentulah dari ulat Thian-jan yang jarang terdapat di dunia. Betapun saktinya tentu tak mungkin dapat memutuskan tali itu. Ia menghela napas, serunya perlahan , katakan, apa maksud kalin ini? Pada saatnya tentu kau tahu sendiri. Sekarang kau harus menderita beberapa hari dulu! seru Bu-song. Adik Song, kasih tahu dong! Siau-bun tertawa Mengapa? Adik Song, kau toh seorang cerdik, mengapa harus kuterangkan lagi, Dia toh sat ini menjadi tawanan kita. Takut apa kita beritahu padanya? Bu-song bertepuk tangan serunya Ya, ya, benar, Tih perempuan hina itu baru 4 -5 hari lagi datang. Kita beritahukan dia agar dia bisa merenungkan! Hati Thian-leng seperti disayat, serunya Katakanlah, sebenarnya ...... Bu-song tertawa, Biarlah kukatakan sekarang. Ki-seng-wan dalam 4 -5 hari tentu datang kemari. Thian-leng terkejut, bagaimana kau tahu? Kami yang memanggilnya! sahut Bu-song tidak akan dia datang bila itu perintahmu, jawab Thian-leng. Jika ia tk datang, kau akan kubebaskan dan aku akan bunuh diri! seru Bu-song. Apa yang kalain rencanakan? O, kau sungguh tak mengerti? Bu-song tertawa. Dipandangnya baju Thian-leng yang robek dan bangkai ayam hutan lalu tertawa mengikik, kami telah membuat surat palsu yang ditulis dengan darah ayam. Dan telah menyerahkan surat itu kepada anak buah Kay-pang supaya diantarkan ke Tahay-heng-san. Dalam surat itu kukatakan bahwa kau tengah meregang nyawa karena keracunan dan minta perempuan hina itu segera datang. Keji sekali! damprat Thian-leng. Terhadap manusia rendah budi semacam kau terpaksa harus dihadapi dengan siasat begitu. Tunggu saja pertunjukan yang lebih bagus bila perempuan hina itu datang nanti.! Thian leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa keganasan kedu nona itu disebabkan kekecewaan hatinya. Patah hatinya karena merasa dihiati cintanya. Haripun makin terang. Akhirnya Siau-bun menghela napas, Dik,song aku lelah. Harap kau yang jaga dulu.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 262 dari 290

Memang Siau-bun letih. Letih tenaga dan hati. Sekalipun saat itu ia mendapat kemenangan, tetapi hatinya rawan sekali. Tak beberapa lama iapun tertidur pulas. Setelah memberi tamparan beberapa kali, hati Bu-songpun longgar sekali. Karena mengingat kuil disitu sunyi senyap dan tak mungkin terjadi apa-apa maka iapun mulai mengantuk dan sayup-sayup mulai meremkan mata. Tiba-tiba pada saat itu, serangkum angin dingin menghambur dari belakang. Ia terkejut dan cepat loncat bangun tetapi terlambat. Angin itu merupakan angin tenaga totokan jari yang tak bersuara. Pada saat ia hendak menggeliat bangun, jalan darah bagian Ciang-tay-hiat sudah terkena. Bum,/.... iapun jatuh terkulai. Suara benda jatuh itu membangunkan Siau-bun. Jelas dilihatnya bahwa seorang manusia aneh yang bermuka hitam sekali dan berambut putih, berpakaian warna merah tengah menotok roboh Bu-song. Dan kini orang itu tengah menyerangnya. Kejut Siau-bun bukan kepalang. Walaupun tengah tidur, tetapi suara yang ditimbulkan dari beberapa puluh tombak ia dapat mengetahuinya. Anehnya orang itu muncul tanpa suara sama sekali, dan caracara serangannyapun luar biasa sekali. Kalau Bu-song tak roboh tentu dia tak tahu sama sekali. Cepat-cepat Siau-bun berjumpalitan sampai 5 meter jauhnya sehingga ia dapat terhindar dari serangan orang aneh itu. Lekas bukakan ikatan ku. Kau bukan tandingan orang itu! terdengar Thian-leng berseru kepada Siaubun. Tetapi siau-bun tak menghirauka. Ia tahu bahwa manusia aneh itu tentulah seorang tokoh sakti. Cepat ia sambitkan passer Tui-hong-kiong. Kaki, perut dan tenggorokan orang itu diserangnya sekaligus. Tring, tring tring ..... terdengar orang aneh itu mengekeh dan menangkis jatuh tui-hong-kiam. Menyusul ia gerakkan tangan kiri. Dari lima jarinya terdengar angin mendesis-desis menyambar ke arah Siau-bun. Siau-bun terkejut dan tergopoh-gopoh loncat menghindar. Hanya sedikit memakai tenaga kaki, orang aneh itu sudah melesat ketengah-tengah Siau-bun dan Thian-leng. Karena tak berkutik Thian-leng hanya dapat mengawasi kejadian itu dengan mata melotot. Siau-bun mencabut pedang. Tiga jurus dilancarkan kearah orang aneh itu. Suaranya menderu-deru, sinarnya berkiblatan laksan kilat menyambar. Jurus itu dinamakan Toh beng sam-kiam atau Pedang pencabut nyawa. Sejak kecil Siau-bun sudah meyakinkan sehingga sudah mendarah daging. Orang aneh itu tetap tak memakai senjata. Dengan sepuluh jari yang runcing seperti cakar besi ia menyambar pedang Siau-bun. Siluman, kau hendak cari mapus! teriak Siau-bun. Ia percepat gerak permainannya. Segulung sinar perak berhamburan menyilaukan mata. Orang aneh itu tetap tak berkisar. Matanya berapi-api membentaknya Serahkan! ******* bagaimanakah nasib Thian-leng, siau-bun dan Bu-song setelah dikuil itu... kedatangan Hok Mo Tongcu ???? JILID 13 Hok Mo Tong-cu Tring, Tring .... tahu-tahu pedang Siau-bun sudah berpindah ke tangan si orang aneh. Kepandaian orang aneh itu benar-benar mengagumkan. Bukan hanya Siau-bun, Thian-leng yang masih terikat kaki dan tangannya itupun tercengang-cengang. Budak perempuan, ayo keluarkan kepandaianmu lagi! seru orang aneh itu seraya tertawa mengikik. Siau-bun kaget dan marah sekali. Dengan berteriak kalap macam orng gila, sambitkan tui-hong-kiam lagi. Eh, mainan anak kecil itu hendak kau pertunjukan dihadapanku? orang aneh itu tertawa gelak. Seraya menyapu dengan tangannya. Tring, tring, Tui-hong-kiam berhamburan jatuh. Siapkah kau? Siau-bun bengong keget. Aku adlah naganya manusia, mengapa kau katakan siluman? orang aneh berbaju merah itu tertawa. Siapa kau? siau-bun membentak lagi Aku adalah Hok Mo tongcu .... pernahkah kau mendengarnya? Apa itu? Siap akenal dengan bangsa manusia tak bernama! teriak Siau-bun
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 263 dari 290

Hok-mo-tong-cu atau kepala dari goa Ho-mo tong tertawa dingin Benar memang aku bukan manusia ternama. Tetapi banyak sudah tokoh-tokoh terkenal yang menyembah kakiku ... ia pendaangannya diarahkan ke nona lalu berkata pula Jadi kau tak memandang mata kepalaku? Siau-bun belalkan matanya. Thian-leng masih terikat sedang Bu-song sudah tertotok jalan darahnya. Menghadapi manusia setengah siluman yang berkepandaian sakti it, ia benar-benar bingung. O, jadi kau menganggap dirimu sebagai tokoh nomor satu di dunia? serunya sesaat kemudian. Lalu apa maksudmu datang kemari? Orang aneh itu kembali tertegun. Tiba-tiba ia membentak keras Budak perempuan, kau terlalu lancang! Siau-bun tak menghiraukan melanjutkan kata-katanya Kalau kau menganggap dirimu tokoh nomor satu di dunia beranikah kau bertanding dengan jagoku? cukup 3 jurus saja, asal kau mempu menerima pukulannya, aku sedia menyerah padamu! Siapa? dengus Hok-mo-tong-cu Dia! siaubun menunjuk pada Thian-leng. Wajah si orang aneh yang hitam seperti pantat kuali, tampak berubah pada lain saat ia tertawa nyaring. Dia seorang pemuda yang lemah, bagaimana aku sudi bertanding dengannya?Jangan pakai alasan iniitu pokoknya, kau berani atau tidak? Teriak Siau-bun. Mata Hok-mo-tong-cu berkeliaran, serunya mengejek Jika dia sakti, mengapa diringkus orang sampai tak berkutik? Siau-bun hendak membikin panas hati orang aneh itu sehingga memberi kesempatan padanya untuk membuka ikatan Thian-leng. Tetapi ternyata walaupun tampaknya ketolol-tololan, orang aneh itu cerdik juga. Dia tak kenaa diakali. Thian-leng tak kurang gelisahnya. Tetapi karena masih terikat. Ia tak dpat berbuat apa-apa. Pada saat itu Bu-songpun sudah berusaha keras untuk menyalurkantenaga dalamnya. Tetapi sampai detik ituia belum berhasil membuka jalan darah yang tertotok. Heh, heh, budak perempuan, kau tunduk atau tidak kepadaku? tiba-tiba manusia aneh itu tertawa mengekeh. Huh, siapa sudi mendengar ocehanmu.... dengus Siau-bun. Ia terus mengulur waktu sambil mencari akal. Orang aneh itu menatap Siau-bun tajam-tajam. Tiba-tiba ia tertwa mengikik Budak perempuan, aku hendak bertnaya padamu. Asal kau jawab sejujurnya tentu takkan kubikin susah. Tetapi kalau berani bohong, kalian tentu akan kusiksa satu demi satu! katakanlah! jawab Siau-bun. Hok motong-cu melirik Thian-leng, serunya Apakah dia benar Bu-beng-jin yang telah mendapat ilmu pelajaran dari It-bi siangjin itu? Hm, kini kau mulai membuka kartu, kata Siau-bun kalau benar bagaimana, kalau bukan bagaimana? Ho-mo-tong-cu membentak, kuhanya minta kau menjawab sejujurnya. Jika kau banyak mulut jangan menyesal bila aku bertindak telengas. Tntu kuberimu sedikit hajaran.... lekas bilang, apakah dia benar Bu-bung-jin? Benar! Siau-bun terkejut. Hok mo Tong-cu tertawa puas. Benda apapun di dunia ingin kudapat kecuali satu ialah kitab pusaka peninggalan It-bi Siangjin. Ia berhenti sejenak lalu menyambung kata pula. Apakah kitab itu berada padanya? Tanya saja sendiri padanya? balas Siau-bun. Hok-mo-tong-cu tersenyum, Kukira wanita mudah bicara terus terang Mungkin kau buta! Siau-bun tertawa mengikik. Jangan-jangan aku memang tidak tahu, jangan kau harap dapat mencari keterangan dariku. Hok mo-tong-cu marah, Rupanya tulangmu keras sekali, budak! Jika tak kuberi hajaran tentu tak mau berkata terus terang! tiba-tiba ia mencengkeram bahu Siau-bun. Karena pedang dan senjata rahasianya tak mampu melawan Siau-bun putus asa. Dengan berteriak seperti orang gila ia menerjang manusia aneh itu. Tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tenaganya hilang. Yang dirasakan hanya angin dingin yang menghambur dari kelima jari Hok mo-tong-cu, tahutahu tenaganya terbawa hanyut. Dan yang lebih mengejutkan, jari-jari berhawa dingin dari Ho-mo-tongcu itu langsung menusuknya. Siau-bun sudah kehilangan daya perlawanan. Ia kerahkan tenaganya untuk berguling ke tanah. Keadaannya benar-benar pontang-panting.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 264 dari 290

Sebenarnya Hok-mo-tong-cu tak bersungguh-sungguh melakukannya. Tetapi ia sengaja menggembor dan melesat mendekati. Tangannya diangkat hendak dihantamkan. Berhenti! teriak Thian-leng. Ho-mo-ton-cu tertawa sinis. Ia hentikan tinjunya, Heh, heh, kau hendak mengaku Thian-leng berteriak kau seornag tong-cu, mengapa kau hendak menganiaya anak perempuanapakah kau tak malu? selamanya aku mementingkan tujuanku! Hok-mo tong-cu tertawa. Manusia rendah! damptar Thian-leng. Kesempatan itu digunakan oleh Siau-bun ketika mereka sedang beradu mulut, diam-diam dia beringsut kedekat Thian-leng. Secepat kilat ia hendak membuka tali pengikat pemuda itu. Tetapi niatnya itu tidak terlepas dari mata Ho Mo-tong-cu. Dengan tertawa mengekeh, ia balikkan tangannya. Serangkum asap putih mentyambar kearah Siau-bun. Krek, ..... jalan darah Ciang-thay-hiat terkenan totok. Robohlah Siau-bun seketika. Iblis tua, jangan melukainya! teriak Thian-leng. Heh, heh, erat sekali hubungan kalian. Mereka berdua telah mengikatmu dan menyiksamu masih begitu sayang kepada merka, hm, jarang sekali ada orang semacama kau..... Hok mo-ton-cu tertawa mengejek. Sejenak dia pandanagi ketiga anak muda itu, tokoh itu kembali berseru : Karena kau begitu sayang kepada mereka, baiklah hendak kusiksa mereka supaya kau dapat menikmati! Ia menutup kata-katanya dengan mencengkeram bahu Siau-bun. Karena jalan darahnya tertotok, Siaubun tak dapat berbuat apa-apa. Ia meramkan mata menerima nasib. Jangan menyiksanya, baik, akan kuberitahukan! teriak Thian-leng. Kau bawa? Hok mo-tong-cu hentikan tangannya. Tidak, tetapi aku dapat mengantar kau! Hok-mo-tong-cu sangsi Tetapi, ingat jangan kau berani menipuku atau kalian bertiga akan kusiksa sampai mati! Bagaimana agar kau percya? Bersumpahlah! Tanpa ragu-ragu Thian-leng segera mengucapkan sumpah berat. Dimana tempatnya? Hok-mo-tong-cu tertawa pusa. Sudah tentu berada di gunung Thay-heng-san! Hok-mo-tong-cu merenu ng sejenak, ujarnya. Kalau siang malam menempuh perjalanan, lima hari baru sampai, hm, tak palah, karena kau sudah bersumpah, akaibatnya kau tentu dapat membayangkan sendiri. Thian-leng tertawa Sekali meluluskan sudah tentu takan bohong. Lekas lepaskan aku dan marilah kita berangkat! Ho-mo-tong-cu tertawa mengekeh, Budak enak sekali kau bicara. Selai kulepas, habislah segala jerih payahku Ia mengeluarkan sebuah karuung dari kain hitam, serunya Biarlah dalam beberapa hari aku memeras tenaga dan kaupun perlu menderita sedikit. Habis berkata, ia terus menjinjing Thian-leng dan dimasukkan kedalam karung. Lalu dipanggulnya. Dalam keadaan begitu, tiada seorangpun yang mengira iblis itu membawa karung berisi manusia. Siau-bun dan Bu-song walaupun tak berkutik, tetapi pikiran mereka masih sadar. Mereka menyaksikan sendiri apa yang terjadi pada diri Thian-leng. Diam-diam timbullah rasa sesalnya. Tiba-tiba Hok-mo-Tong-cu hentikan langkah dan berbalik. Ia mengambil 2 butir pil merah, serunya JIKA gagal mendapatkan kitab pusaka It-bi Siangjin, aku akan kembali menyembelih kalian. Tetapi pulang pergi kesana paling tidak memakan waktu 10 harian. Agar kalian jangan sampai mati kelaparan, kuberi masing-masing sebutir pil tahan lapar. Ia susupkan pil itu kemulut Siau-bun dan Bu-song Kuil yang kalin pilih ini memang tepat. Tak akan ada orang yang datang kemari, takkan ada orang yang mengetahui kalian! Hok-mo-tong-cu pun lenyap. Tak berapa lama haripun terang. Sinar matahari mulai merembes di celahcelah retakan dinding kuil, seolah berusaha menerobos masuk untuk membantu mengeringkan air mata yang membasahi pipi kedua dara itu. Siau-bun dan Bu-song membasuh muka mereka dengan kucuran air mata. Beberapa saat mereka bungkam dibenam penyesalan. Taci, kita salah perhitungan! Kata Bu-song.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 265 dari 290

Siau-bun mendengus Bukan rencana kita yang salah tetapi karena diganggu oleh kejadian yang tak diduga-duga! Bu-song menhela naps Bagaimana juga, kita mencelakai orang akhirnya diri kita sendiri... Kau menyesal? Bu-song tertegun, serunya Aku tak menyesal. Yang penting sekarang kita harus cari akal bagaimana supaya jangan tersiksa begini! jangan takut! Kata siau-bun, Dia hanya menotok jalan darah kita. Beberapa sat lagi kita tentu dapat terlepas! Bu-song tersenyum tawar Ah, percuma. Ilmu totok iblis itu berbeda dengan yang lain. Kalau tak percaya boleh kau coba! Siau-bun diam-diam kerahkan tenaganya. Tetapi sampai sepeminuman teh lamanya belum juga ia berhasil membuka jalan darahnya. Bagaimana? Bu-song tertawa rawan. Rupanya kita harus menunggu ajal dengan perlahan! Siau-bun pun tertawa sinis Ah, belum tentu kita toh masih mempunyai waktu lima hari. Perempuan hina Ki-seng-wan itu tentu datang kemari. Siau-bun menghela napas. Apa boleh buat kalau memang harus begitu! Manusia berdaya, tuhan yang kuasa. Taci, bun. Kutetap menganggap rencana kita ini gagal. Siau-bun tak menyahut. Dan memang ia tak mempunyai bahan yang dapat dikatakan lagi. Adalah karena munculnya iblis Hok mo-tong cu itu maka rencananya gagal total bahkan dirinya sendiripun celaka. Kembali mereka terdiam. Daerah gunung Ceng-liong-nia memang daerah terpencil jarang didatangi masuisa. Meskipun siang hari. Tak tampak manusia atau binatang yang berkeliaran. Dan haripun berganti malam, berarti mereka telah tersiksa sehari. Hari keduapun tak ada perubahan. Demikian ketika dan keempat hari yang kelimapun tiba. Menjelang magrib, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki orang berlari-lari mendatangi. Dia datang....Bisik Siau-bun. Tetapi agaknya bukan seorang, apakah tidak .....baru Bu-song berkata sampai disitu. Sesosok bayangan warna ungu dan hijau menerobos dalam kuil. Ah, pendatang itu bukan lain kakak beradik Ki Gwat-wan dan Ki-Seng-wan. Wajah mereka kumal penuh debu dan tampaknya letih sekali. Serunya adik apa yang kukatakan benar, kok siangkong mempunyai kepandaian yang sakti, mungkin sat ini ia terhitung jago nomor satu. Tetapi mengapa bisa keracunan. Dan taruh kata keracunan mengapa tidak diangkut pulang oleh anak buah Kay-pang? Melainkan hanya mengirim surat memanggil kau kemari. Dan lagi, bukanlah dia bersama gihu menuju gunung Tiam-jong-san? Sekarang mengapa gihu tak tampak.? Ki-Seng-wan menghela napas, Kita harus percaya apa yang terjadi. Memang aku tak pernah pikir begitu jauh. Ia melirik kerah Bu-song dan Siau-bun lalu tertawa dingin. Bangunlah! Karena kalian sudah berhasil menipu kami berdua kemari, ayo bangun dan bereskan perhitungan. Mengapa kalian pura-pura menggeletak disitu? Tetapi Siau-bun dan BU-song tak menyahut dan tak bergerak. Suatu hal yang menimbulkan keheranan kedua kakak beradik KI itu. Apa kalian bisu? tegur Ki Seng-wan. Siau-bun dan Bu-song tetap membisu. Walaupun marah tetapi diam-diam hati ki Seng-wan kasihan juga. Ia tahu bahwa dirinya telah dijebak kedua dara itu. Tetapi karena Thian-leng tak berada disitu, berarti tentu selamat. Bahwa pemuda itu terkena racun, tentu isapan jempol saja. takkan kubenci kalian asal kalian mau mengatakan dia sekarang? Katanya Siaubun dan Bu-song. Tetapi Gwat-wan cepat menarik adiknya Tak perlu tanya mereka, masakan kita tak mampu mencari sendiri? Tetapi dunia begini luas, kemana kita harus mencarinya? Seng-wan meragu. Gwat-wan tertawa dingin, Dia toh hadir dalam rapat Eng-hiong tay-hwe digunung Tiam-jong-san. Kita kesana tentu dapat menemuinya. Paling tidak kita dapat bertanya pada orang! Bebar, benar, ayo, kita kesana! seru Sen g-wan seraya terus hendak melangkah pergi. Tunggu! tiba-tiba Siaubun berseru Eh, mengapa? Apa dia sudah pergi? ditatapnya kedua dara itu tajam-tajam
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 266 dari 290

Hai, mengapa kalian terus menerus berbaring dilantai saja? Bu-song mendengus Jika kami dapat bangun tentu tak mau membuang waktu bicara dengan kau! Lh, coba kau tolong bukakan jalan darah Ciang-thay-hiat ini! Kini baru kedua kakak beradik itu tahu keadaan mereka berdua. Ki Seng-wan hendak memberi penjelasan. Tunggu dulu, tiba-tiba Gwat-wan mencegah, Mereka membencimu setengah mati. Mereka telah menipu supaya kau datang kemari. Jika kau tolong mereka, bukankah seperti melepas naga kedalam lautan? Apakah kita berdua dapat hidup? Setelah merenung beberapa saat, berkatalah Ki Seng-wan Kita harus dapat memaafkan orang, jangan orang yang memaafkan kita. Bermusuhan atau bersahabat tergantung dari anggapan mereka sendiri! Tanpa menghiraukan peringatan Tacinya, Seng-wan segera menghampiri kedua dara itu. Gwat-wan menghela napas seraya gelengkan kepala. Ia tahu wattak adiknya yang sukar dicegah. Dua buah tamparan berhasil membuka jalan darah Bu-song dan Siau-bun. Apakah adik berdua tahu dimana dia sekarang? Jika ingin menemuinya, harap ikut kami! sahut Bu-song dingin. Terus ia hendak bangkit. Ah....walaupun jalan darahnya suda terbuka tetapi masih tak dapat berkutik, seolah-olah seperti terikat tali. Juga Yang dialami Siau-bun sama keadaannya. ******* Air Susu dibalas Ait Tuba Percuma, kata Ki Gwat-wan, Ilmu totokannya istimewa sekali. Kepandaian kita tak mampu membukanya. Lebih baik kita tinggalkan saja! Seng-wan menghela napas Bukan karena aku tak mau menolong kalian, tetapi benar-benar habis berkata ia mengikuti Gwat-wan pergi. Jangan terburu-buru, Tiba-tiba Siau-bun berseru, Tahukh kau kemana perginya? Dan Tahukah kau bagaimana keadaannya sekarang? Seng-wan berhenti. Mungkin kau pun tak tahu ! ujarnya Hm, kita tahu sejelas-jelasnya tetapi tak semudah begini memberitahuakan padamu! Apa syaratnya? tanya Seng-wan Paling tidak kau harus berusaha membuka jalan darahku sahut Siau-bun. Seng-wan kerutkan dahi, kalau dapat membukanya tentu saat ini kalian sudah sembuh. Bukan karena tak mau membantu kalian, tetapi sesungguhnya aku tak mampu..... Aku ada akal! seru Siau-bun. Lekas katakan ! Asal aku mampu tentu tak menolak! Kata Seng-wan. Sejenak Siau-bun berdiam diri, ujarnya : sebelum kukatakan dimana Thian-leng berada, kau bukakan dulu totokan ini dan satu lagi sebelumnya aku bertanya dulu, apa kau kenal dengan Hok-mo-tong-cu? Seng-wan tertegun Tidak! Jangankan kenal, mendengarpun baru kali ini! Kata Siaubu Dia mempunyai pukulan dan totokan jari yang berhawa dingin. Dibanding dengan Sin-bute-kun, Hok-mo-tong-cu lebih tinggi kepandaiannya. Apakah kau berkata dengan sesungguhnya? seng-wan makin heran. Masakan aku berbohong ! Seng-wan melirik Gwat-wan, serunya : Sin-bu Te-kun mendapat kesaktian dari kitab Im-hu-po-coan yang berinti tenaga Im-ham (dingin). Kuingat dulu Sin-bu-te-kun pernah mengatakan bahwa dia hanya mendapat kitab Im hu-po-tong-cu. Hai, benar ! teriak Siau-bun, dengan begitu ilmu kepandaian kalian sesumber dengan iblis itu.... tentlah sedikit banyaknya Sin-bu-te-kun telah memberi kalian pelajaran-pelajaran dasar? Tetapi, hanya kulitnya saja !: Sahut seng-wan. Tidak apa, kata Siau-bun, kuberitahulah. Tiap hari tolong mengurut-urut jalan darahku yang tetotok itu sampai 3 jam. Paling lama dalam 3 hari, betapapun hebatnya ilmu totokan itu akan terbuka juga. Maukah kalian meluluskan permintaan ini? Seng-wan kerutkan dahi, ujarnya Jika permintaan itu keluar dari hati yang tulus, aku mau tetapi kalau hanya siasat, aku ................? Adik, maukah kau dengar nasihatku? Tiba-tiba Gwat-wan menyelutuk. Silakan, masakan aku tak mau mendengar?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 267 dari 290

Gwat-wan geleng-gelengkan kepala : Kedua budak perempuan ini, hatinya sekejam ular menolong mereka mungkin akan mendatangkan bahaya. Menurutku, lebih baik kita .... Siau-bun berteriak : Walaupun kalian sebagai kakak beradik, tetapi dengan kami kalian adalah ipar. Jangan kau mengadu domba untuk meretakkan rumah tangga kami.... Ensoh, teriak Siau-bun kepada Seng-wan. Pok Thian-leng mengaku ayah kepada Pok Thiat-beng ayahku, sebagai gihu dan ikut memakai she Pok. Dengan demikian kau adalah ensohku...! Akupun saudara misan, jadi kau ensoh misanku. Apakah kau tega hendak meninggalkan tempat ini? Bu-songpun ikut berseru Seng-wan memandang kakaknya Karena ada jalan untuk menolong, aku harus berusaha melakukannya. Kalau tidak, bagaimna aku harus mempertanggungjawabkan apabila bertemu dengan Thian-leng? Gwat-wan menghela napas dan tak berkata apa-apa lagi. Tak berani lagi ia berbicara. Ia lebih tua dari Seng-wan, tetapi karena Seng-wan sudah menikah dengan Thian-leng, iapun tak berani campur tangan menguasai adiknya. Ia tak dapat mencegah Seng-wan menolong Siau-bun dan Bu-song yang merupakan adik Thian-leng. Seng-wan segera menghampiri Siau-bun, ujarnya Sekarang aku mau mulai menggunakan ilmu Hianim-chiu-hwat untuk mengurut jalan darahmu yang tertotok itu. Tetapi kau sendiripun harus kerahkan iwekangmu untuk membantu dari dalam! Siau-bun tersenyum kemenagan. Sambil melirik kepada Gwat-wan, ia segera mengucapkan terima kasih kepada Seng-wan. Dan mulailah Seng-wan melakukan pengurutan. Siau-bunpun kerahkan Iwekang untuk membantu menerobos jalan darahnya yang tertotok itu. Dengan bermuram durja, Gwat-wanpun terpaksa mengurut Bu-song. Setelah hampir tiga jam lamanya barulah pengurutan dihentikan. Kedua kakak beradik itu mandi keringat, napasnya terengah-engah. Tiga jam mengurut, cukup menghabiskan tenaga. Bagaimana sekarang? tanya Seng-wan. Siau-bun tersenyum manis Boleh juga! Bagus! seru Seng-wan Tak perlu tunggu besok pagi, nanti saja akan kuurut lagi. Hanya harapanku jangan kau mendendam! Ah, ensoh jangan mencurigai aku! kata Siau-bun. Ki Seng-wan tak menyahut. Ia pejamkan mata mengatur pernapasan. Lewat lohor. Ia mendusin. Taci, mari kita mengurut lagi! katanya. Gwat-wan tersenyum tawar : Budak perempuan, kau benar-benar meletihkan aku! Namun sekalipun mulutnya bersungut, iapun segera mengurut Bu-ong lagi. Kali ini pengurutan berjalan lebih payah. Selang sejam kemudian, kedua Ki bersaudara itu sudah mandi keringat. Dua jam lagi, haripun sudah malam. Duluar angin malam menderu-deru menambah keseraman suasana. Wajah kedua saudara itupun pucat, kedua bahunya gemetar. Jelas bahwa mereka telah menguras seluruh tenaga dalamnya. Hampir mendekati tiga jam, rupanya Seng-wan tak kuat. Mulutnya gemetar dan tubuhnya terjerembab roboh. Adik! Adik .... kau .... ! Gwat-wan hentikan urutananya lalu merangkak menghampiri adiknya. Tetapi belum sampai tiba di tempat Seng-wan, ia pun juga terjungkal roboh. Suasana dalam kuil menjadi sunyi senyap. Entah berselang beberapa lama, tampak Siau-bun menggeliat duduk. Setelah pejamkan mata sambil mengambil napas, ia tersenyum girang, memandang kedua saudara Ki lalu bangkit. Ia sudah dapat berdiri karena jalan darahnya telah terbuka. Semula Bu-song masih menggeletak di tanah. Tetapi ketika melihat Siau-bun berdiri, ia pun ikut bergerak. Ah, ternyata ia juga sudah sembuh. Ci bun, kita sudah sembuh! serunya girang Siau-bun tertawa : Rencan a kita semula menipu mereka supaya datang kemari lalu kita siksa, baru kemudian dibunuh. Ah, siapa kira mereka malah berbalik menjadi penolong kita! Bu-song kerutkan alis : Lalu bagaimana tindakan kita sekarang? Sejenak Siau-bun merenung, ujarnya : karena mereka melepas budi, kita terpaksa memberi ampun jiwanya! Bu-song mendengus Uh, sayang aku tak pemurah hati seperti engkau ! dia telah merebut tunanganku. Kuanggap dia musuh bebuyutan. Dia tau aku yang berhak hidup di dunia! Walaupun kehabisan tenaga tetapi panca indera kedua saudara Ki masih baik. Mereka terkejut mendengar ucapan kedua gadis itu. Seng-wan paksanakan diri berseru Taciku memang benar. Kalian
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 268 dari 290

memang bangsa ular bibisa. Jika tak kami berdua yang menolong masakan kamu bisa hidup. Kalau tidak dimakan binatang buas tentu mati kelaparan! Sia-bun tertawa : Ah, tidak begitu mengerikan! Sebelum pergi Iblis Hok Mo Tong-cu telah memakankan sebutir pil kepada kami. Pil itu dapat menahan lapar sampai 10 hari! kalau begitu kalian mau apa terhadap kami? Seng-wan tertawa getir. Kau adalah ensohku. Aku tak akan mengapa-apankan kamu. Tetapi ..... ia melirikanan mata, berkata pula Sebelum menikah dengan kau, Pok Thian-leng sudah bertunangan dengan adik misanku ini. Sakit hati direbut direbut calon suaminya, termasuk dendam yang hebat. Hal ini biarlah adiku yang mengambil keputusan ! Bu-song tertawa : Akupun bukan orang yang haus darah. Apalagi kalian sudah melepas budi kepadaku. Sedikit banyak tentu akan kubalas ...... ia berhenti sejenak, ujarnya lagi : sebenarnya kau harus kuhukum mati. Tetapi hukuman itu kutiadakan. Hanya akan kusuruh kalain menderita hukuman hidup ! Seng-wan terkejut, serunya : Jika hal itu dianggap salah, akulah yang menanggung sendiri. Taciku ini tidak ada sangkut paut dengannya. Hendak kaubunuh atau siksa, aku rela menerima asal jangan kau ganggu taciku ini! Bu-song terdiam sejenak. Sia-bun tersenyum : Eh, jika ditinjau sedalam-dalamnya, tacimulah yang berdosa ! Ngaco! teriak Seng-wan. Taciku menolong nona Lu dan belum pernah melakukan kesalahan kepada kalian. Jangan mengada-ada apalagi segala kesalahan juga ditimpakan kepadanya! Siau-bun tertawa : Segala rencana adalah dia yang mengeluarkan. Masakan dia tak bersalah ..... ia melirik Bu-song, katanya pula Sungguh, biang keladinya tacimu. Dalam hal hukuman, dia juga harus menerima ...... Gadis busuk! damprat Seng-wan marah sekalai, jangan memfitnah orang sesuka hatimu! Coba saja kelak kau akan Mepertanggungjawabkan perbuatanmu kepada kakekmu dan Pok Thian-beng? Siau-bun tertawa mengikik : tak usaha kau memikirkan diriku. Akupun hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Mengenai hukuman padamu, tetap kuserahkan pada adikku! baik, anggap saja aku buta. Tetapi ingat, jika tak membunuhku suatu saat aku akan membalas dendam ..... Seng-wan berteriak nyaring. Gwat-wan tertawa rawan : Adik, sudahlah jangan banyak bicara. Jatuh ditangan gaids sebuas itu, masakan kita dapat bicara tentang budi welas asih ? Kemarah Seg-wan seperti mau meledak sekuat-kuatnya, ingin ia tumpahkan tetapi walaupun sekuat tenaga bergerak namun ah ..... tangan dan kedua kakinya terasa lemas tidak bertenaga lagi. Akhirnya ia pejamkan mata saja penuh kepasrahan. Adik Song, aku sudah memberi siksaan batin kepada mereka. Sekarang silakan kau memberi hukuman badan ! Kata Siau-bun. Bagaimana pendapatmu, apakah iblis Hok Mo tong-cu itu akan kembali lagi kemari ata tidak? yanya Bu-song. Siau-bun gelengkan kepala dan menyahut dengan yakin : Tidak bisa! bagaimana kau bisa berkata begitu? Bukankah Thian-leng mengatakankitab pusaka itu berada di gunung Thay-heng-san ? kuduga Hok Motong-cu takkan balik kesini lagi! Mengapa? tanya Bu-song Mungkin kau masih belum jelas. Apa yang disebut kitab pusaka peninggalan It-bi Siangjin itu terukir pada dinding goa rahasia di dalam telaga zamrud...... jadi dia akan mengajak iblis itu kedalam goa? Ya! Bu-song terkejut sekali, serunya : Tetapi tangan dan kaki Thian-leng terikata dengan tali urat naga jika Hok Mo- tong-cu berhasil masuk kedalam goa telaga Zamrud dan dapat meyakinkan lukisan di dinding goa, bukankah ...... Siau-bun tertawa : kau tau, tapi tak tau semuanya. Di dalam tekaga zamrut masih di jaga seorang tokoh aneh. Dia juga telah mempelajari ilmu p[eninggalan It-bi siangjin. Dia sudah mengikat saudara dengan
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 269 dari 290

Thian-leng. Begitu masuk goa, Hok-mo Tong-cu bakal dibekuk murit It-bi siangjn itu. Maka kita tak perlu kuatir lagi. Bu-song tertawa riang : kalau begitu iblis Hok Mo Tong-cu itu pasti mampus dan takkan kesini lagi. Disini jarang di datangi orang. Bagaimana kalau kita tiru saja tinddakan Hok-mo-tong-cu untuk menghukum mereka? Siau-bun tertwa : Sayang kita tak mampu menotok seperti Hok-mo Tong-cu! Bu-song mendengus :Sekalipun bisa, tetapi kita takkan suruh mereka enak-enakan tidur dilantai. Aku sudah mempersiapkan suatu rencana bagus .... kita lakukan totokan Tiam-bong-kian-jin-yok (menotok angin menyusupkan kedaging orang) ! Siau-bun tertegun, Apakah itu? Apakah yang hendak kau rencanakan ? Bu-song tak menyahut, melainkan mengeluarkan dua utas tali sebesar ibu jari. Direntangnya tali itu di hadapan Siau-bun. Tali ini terbuat dari sutera asli. Walaupun tak sesakti tali urat ularmu, tetapi dapat menahan tenaga meeka. Tiang penglari di atas itu rasanya tempat yang cocok untuk mereka beristirahat! Tak lama Bu-song telah melaksanakan rencananya. Kedua taci beradik Ki dikerek ke atas dan digantung pada tiang penglari dengan tubuh terikat. Tubuh mereka bergelantungan kian kemari mirip daging yang digantung di warung. Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan memejamkan matanya. Tak sepatahpun mereka keluarkan erangan. Setelah puas menertawakan pemandangan yang dianggap lucu, Siau-bun dan Bu-song segera menutup pintu dan melangkah keluar. Kala itu sudah lewat tengah malam. ******* Tantangan Taci Bun, kemakah sekarang kita hendak pergi? tanya Bu-song setengah menguap. Eng-hiong-tayhwe sudah lewat beberapa hari, saat ini kakek dan ayah tentu sudah meninggalkan Tiam-jong-san Sin-bu Te-kun sudah menantang, 10 hari lagi akan menunggu mereka di Sin-bu-kiong. Mungkin mereka saja, Thian-leng pun akan kesana juga. .....Eh, kalau berjumpa dengannya, kita harus merangkai cerita bohong untuk mengelabuinya! Tetapi ia sudah tahu sendiri, bagaimana kita dapat membohonginya? tanya Bu-song. Siau-bun tertawa lagi. Tiba-tiba ia mendekati telinga Bu-song dan membisikinya. Bu-song serentak bertepuk tangan dan tertawa riang, Bagus, kau sungguh pintar benar.. ayo kita cepat ke sana. Kini waktunya hanya tinggal satu hari saja! Menjelang tengah hari baru mereka tiba di kaki gunung Ceng-hun-san. Gunung itu tak berbahaya, tetapi puncak-puncaknya saling berdekatan. Sambil memandang ke atas puncak, berkatalah Bu-song, Pintar juga Sin-bu Te-kun memilih tempat. Jika dia tak temaha hendak merajai dunia persilatan, tentulah sudah hidup enak di tempat setenang ini! Siau-bun tertawa, Eh, mengapa kau tiba-tiba punya lamunan begitu? Bu-song hanya tertawa dan terus berlari. Karena paham jalannya dan dengan menggunakan ilmu berlari cepat, mereka segera tiba di Sin-bu-kiong. Celaka tiba-tiba Siau-bun berhenti. Mengapa? Thian-leng bukan pemuda yang berhati sempit. Walaupun kita bertindak terlalu kejam padanya, tetapi kita pernah menolong jiwanya. Dia tentu tetap memperhatikan keselamatan kita! Bukankah itu lebih baik? seru Bu-song. Siau-bun menghela napas, Kalau sudah lolos dari Thay-heng-san, dia tentu segera ke Tiam-jong-san untuk menolong kita.. Ai, benar! Bu-song membanting-banting kaki, begitu tiba di puncak Ceng-liong-nia, dia tentu akan mendapatkan perempuan hina itu. Dan perbuatan kita tentu akan diketahuinya.kita balik ke sana saja! Siau-bun menghela napas, Ke sana paling tidak tentu memakan waktu empat hari. Dan lagi dia dengan kedua dara Ki itu, belum tentu masih ada di sana!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 270 dari 290

Bu-song bingung, Kalau begitu, bagaimana tindakan kita sekarang? Ai, harap kau cari rencana lagilah! Tetapi sudah begini, tak ada jalan lain lagi.. Siau-bun tertawa tertawa getir. Eh, kakekku....... Sekalipun kuminta bintang di langit, kakek tentu akan menuruti! kata Bu-song dengan aleman. Siau-bun bertepuk tangan, Kalau begitu jadilah.... segera ia membisiki telinga Bu-song. Wajah si dara tampak berseri. Ayo, kita lekas cari kakek! serunya. Kedua gadis itu segera meneruskan larinya. Tetapi mereka tidak menuju ke pintu gerbang Sin-bu-kiong, melainkan menyelinap ke dalam gerombol di samping gedung itu. Baru saja hari mulai gelap, istana Sin-bu-kiong sudah terang benderang dengan penerangan yang gemilang. Memang malam itu adalah hari ke sepuluh dari tantangan Sin-bu Te-kun kepada Thian-leng dan rombongannya. Tetapi suasana dalam istana itu tampak sunyi saja. Berpuluh-puluh penjaga dengan menyelipkan senjata di pinggang tampak mondar-mandir berseliweran kian kemari. Seolah-olah sedang menghadapi kesibukan. Tetapi mereka diam, tidak menimbulkan suara berisik.... Di ruang tengah, penerangannya paling terang. Hanya sunyinya luar biasa. Sehingga apabila ada sebatang jarum jatuh ke lantai, pasti terdengar juga. Di luar ruangan, berjajar dua deret pengawal tua berseragam baju ungu. Mereka membentuk diri dalam formasi burung garuda. Dengan senjata terhunus di pinggang masing-masing, tampaknya mereka gagah sekali. Di dalam ruangan besar, tak tampak barang seorangpun juga. Tetapi di dalam bilik, sedang berkumpul belasan orang. Wajah mereka tampak tegang sekali. Rupanya mereka tengah berunding dengan suara seperlahan mungkin. Di antara orang-orang yang tengah rapat itu, terdapat Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak, Bu Cui suseng, kedua Lam-yau dan Pak-koay, Ko Liu siangjin, Bok Sam-pi dan lain-lain. Di antara sekian hadirin, hanya Bok Sam-pi yang tetap tenang wajahnya. Dia duduk dengan kepala menengadah. Tangannya memegang sebuah cawan arak yang tak hentinya diteguk. Yang istimewa, jago tua itu tidak lagi telanjang badan, tetapi sudah mengenakan baju kapas yang kedombrongan, sehingga menutupi kedua lengannya. Walaupun tenang, tetapi sebenarnya sikap dan tingkah laku Bok Sam-pi saat itu jauh lebih linglung dari beberapa hari yang lalu. Selain orang itu, masih terdapat juga tiga orang aneh yang wajahnya mirip satu sama lain. Sama mengenakan pakaian putih, berambut merah. Tiga bagian seperti manusia, tujuh bagian menyerupai setan. Ketua Hek Gak duduk di sudut dengan lunglai. Tiba-tiba ia bangkit dan mondar-mondir, kemudian berkata perlahan-lahan kepada Sin-bu Te-kun, Rencana kita hari ini harus berhasil, jangan sampai gagal. Apakah saudara Ki menganggap persiapanpersiapan sekarang ini sudah sempurna? Karena kalau sampai gagal, entah bagaimana kedudukan kita di hari-hari yang akan datang! Sin-bu Te-kun tertawa meloroh, Seorang lelaki, hanya mempunyai dua pilihan. Gagal atau berhasil. Berhasil kita mulia, gagal kita binasa. Kalau yakin takkan berhasil, lebih baik kita lekas-lekas sediakan peti mati saja. Mengapa kau begitu kuatir.......... Sin-bu Te-kun berhenti sejenak, kemudian tertawa iblis, Sebenarnya saudara Kongsun tak usah kuatir lagi. Sekalipun si tua Lu itu mengundang seluruh jago-jago persilatan, jangan harap mereka mampu keluar dari istanaku ini.........!

JILID 14 Perjanjian Sin-bu Te-kun "Yang kutakuti bukan jago-jago persilatan lainnya, melainkan hanya Pok Thian-leng seorang! kata ketua Hek Gak, ..... asal dia sudah lenyap barulah kita dapat melaksanakan cita-cita ........
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 271 dari 290

Sin-bu Te-kun mengangguk. Benar. Tetapi ruang Thiau-hui-thia (pencuci dosa) yang telah dipersiapkan itu memakan waktu berpuluh-puluh tahun. D ibangun atas dasar Ngo-heng ki-bun (ilmu ajaib Lima unsur bumi). Biar dia ataupun malaikat, asal berani masuk kedalam ruangan itu tentu akan melayang nyawanya .... Ketua Hek Gak mengerustkan Rupanya saudara Ki mempunyai keyakinan besar, kita pasti menang! alisnya

Tetapi wajah Sin-bu Te-kun mengerut, ujarnya, Menang atau kalah lebih baik jangan kita bicarakan dulu. Lebih dulu aku hendak memperingatkan engkau! Silakan! Sinbu Te-kun tertawa iblis, Kuperingatkan padamu agar engkau jangan melupakan perjanjian kita di Tiam-jong-san. Raja Sin-bu-kiong batuk-batuk sebentar, lalu katanya pula, Apakah layak kalau sekarang kita menggunakan panggilan saudara? Ketua Hek Gak terkejut bukan kepalang. Tubuhnya menggigil seperti terserang demam. Harap Te-kun suka memberi ampun kesalahan hamba! tersipu-sipu ia mengerang karena menahan kemarahan. Sin-bu Te-kun tertawa meloroh. Tahu akan kesalahan dan dapat merobah, adalah suatu berkah. Aku bukan manusia yang berhati sempit. Terima kasih Te-kun! buru-buru ketua Hek Gak menyambut. Ia memberi hormat lalu mengundurkan diri. Sambil mencekal serulingnya yang panjang, Bu Cui suseng tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Walaupun kita menderita kekalahan di Tiam-jong-san, tetapi saat ini kedudukannya sudah berobah. Aku berani mengatakan dengan bangga, seklaipun tak ada persiapan alat-alat rahasia dari Saudara Ki, tetapi jangan harap Pok Thian-leng dan gerombolan Lu tua itu dapat meninggalkan istana Sin-bukiong..... katanya dengan tersenyum. Sejenak mengedarkan pandangan matanya, ia berkata pula, Mopak-sam-cat mana mau membiarkan orang terlepas dari cengkeramannya? Kiranya ketiga orang aneh yang berpakaian putih dan rambut merah itu adalah yang disebut Mo-paksam-cat ( tiga durjana dari padang pasir utara). Mereka adalah orang-orang yang dibawa oleh Bu-cui suseng. Karena itulah maka Bu Cuui suseng berani menepuk dada. Diagulkannya kesaktian Mo-pak sam-cat yang garang untuk menonjolkan pahalanya dalam menghadapi kawanan Thiat-hiat-bun. Mo-pak sam-cat menyambut dengan tertawa tajam. Serempak mereka berseru dengan nada yang menusuk, Harap saudara-saudara jangan kuatir! Asal kami bertiga saudara ada di sini, sekalipun yang datang barisan dewa dari langit, tentu dapat tertangkap hidup. Kalau sampai mati, jangan anggap kami orang berilmu! Sin-bu Te-kun tersipu-sipu memberi hormat. Tentu, tentu! Begitu saudara bertiga berada di sini, hatiku setenang laut. Dan memang telah kupersiapkan perjamuan besar untuk merayakan jasa-jasa saudara! katanya. Setelah disentil secara halus oleh Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak tak berani membuka suara lagi. Tetapi diam-diam ia mendekati Bok Sam-pi. Bagaimana keadaan in-su sekarang? tanyanya perlahan. Bok Sam-pi mendengus, Hm, aku tak kurang suatu apapun. Hanya jubah yang kupakai ini amat ketat! Meskipun ketat, tetapi besar gunanya. Baiklah suhu suka tahankan diri dulu! kata ketua Hek Gak. Bok Sam-pi mengangguk dan tetap enak-enak mengganyang makanannya. Sekonyong-konyong.. Genta bertalu nyaring. Semua orang yang sedang berkumpul dalam ruangan itu saling berpandangan. Mereka hening seketika. Tak berapa lama terdengar derap orang masuk. Seorang anak buah Sin-bu-kiong dengan dandannya yang ringkas, melangkah masuk ke ambang pintu. Anak buah itu bejongkok dan berseru dengan suara lantang, Ingin memberi tahu kepada Te-kun bahwa tamu telah tiba! Sebutkan siapa namanya! teriak Sin-bu Te-kun. Serentak anak buah itu menyahut dengan nyaring, menyebut nama-nama tetamu ynag datang:
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 272 dari 290

Lu Liang-ong ketua partai Thiat-hiat-bun. Pedang bebas Pok Thiat-beng. Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Li Cu-liong ketua partai Tiam jong-pay. Thiat-ik Sin-kay Auyang Beng..... Cukup! bentak Sin-bu Te-kun, Katakan aku sendiri yang segera akan keluar menyambut! Anak buah Sin-bu-kiong itu memberi hormat dan segera berlalu. Sin-bu Te-kun memandang kepada hadirin dan mengulum senyum, Kuminta sekalian saudara untuk menyertai aku menyambut tetamu kita! Sin-bu Te-kun segera mendahului melangkah keluar. Sekalian hadirin pun segera mengikutinya. Dari ruang yang mereka tempati tadi sampai ke pintu gerbang istana Sin-bu-kiong, tak kurang dari seratus tombak jauhnya. Sepanjang lorong yang mereka lalui tampak penjagaan yang kuat dari anak buah Sinbu-kiong. Pintu gerbang dibuka dan yang pertama kali melangkah masuk ialah si Jenggot perak! Di belakangnya mengikuti Pedang bebas Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, ketua Tiam-jong-pay Li Culiong, Thiat-ik Sin-kay, si dara Pok Lian-ci, kedua Im Yang songsat dan beberapa pengikut. Sin-bu Te-kun tertawa. Sambil memberi hormat berserulah Sin-bu Te-kun dengan nyaring, Kalian benar-benar orang yang dapat dipercaya. Kuhaturkan selamat datang kepada tuan-tuan sekalian. Jenggot perak balas tertawa keras. Ah, suatu kata sambutan yang terlalu berat bagi kami. Memang aku si orang tua ini senantiasa menjunjung kepercayaan. Pula..... Ia berhenti sejenak untuk mengedarkan matanya lalu berkata pula dengan perlahan, Jika kami hari ini tak datang, dunia persilatan Tiong-goan tentu bakal menjadi duniamu! Wajah Sin-bu Te-kun agak berobah. Dengan penuh kehormatan telah kuberi sambutan, kuharap Lu lohiapsu suka berlaku sungkuan sedikit! Jenggot perak tertawa lebar. Memang perangaiku sejak dulu selalu begitu, terus terang secara blakblakan. Bicaraku selalu gamblang. Meskipun mungkin tak enak bagi pendengaran, tetapi...... Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek, Tutup mulutmu! Dengan mengandalkan usia tuamu, kau berani memandang rendah kepada kami tiga bersaudara? Yang berseru itu ialah Sitho Hong, saudara tertua dari tiga serangkai Mo-pak-sam-cat. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun. Jenggot perak meliriknya dengan dingin, serunya, Kukira siapa, kiranya saudara Sitho dari Mo-pak sam-cat yang termashyur......! Kalau sudah tahu nama kami, seharusnya kau berlaku sopan sedikit! tukas Sitho Hong. Jenggot perak tertawa datar, Justru kebalikannya. Aku tak doyan kepada kawanan manusia dari padang pasir..... Sejenak matanya menegang, lalu berteriak sekeras-kerasnya. Di hadapan kalian bertiga, jangan menganggap aku mengandalkan usia tua. Sekalipun setan-setan leluhurmu kau seret kemari, aku tetap akan menghajarnya..... Bukan kepalang marahnya ketiga Mo-pak-sam-cat. Bangsat tua, jangan menghamburkan lidah tajam! Kami bertigalah yang hendak menghajarmu lebih dulu! serentak ketiga durjana itu mengapungkan tubuh. Begitu tiba di hadapan Jenggot perak, mereka serentak mengangkat tinju hendak menghantam. Tahan! buru-buru Sin-bu Te-kun berseru dan menghadang di muka ketiga Mo-pak-sam-cat. Harap saudara bertiga jangan berkelahi dahulu! Dengan congkak ketiga durjana itu menyahut, Beta sabarnyapun tetap tak tahan mendengar ocehannya. Apakah saudara Ki hendak menyuruh kami menelan hinaan anjing tua itu? Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Buru-buru ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada ketiga orang itu. Urusan kecil tak dapat menahan diri, bisa mengakibatkan urusan besar terlantar! Harap saudara bersabar sedikit. Tunggu setelah mereka dapat ditangkap, kuserahkan kepada saudara yang menghukunnya. Masakah saudara takkan puas? Mo-pak Sam-cat mendengus, tetapi kerut di wajah mereka mulai longgar. Tanpa bicara apa-apa merekapun mundur dan berdiri di samping.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 273 dari 290

Jenggot perak hanya mengulum senyum saja. Dipandangnya ketiga Mo-pak-sam-cat itu dingin-dingin. Seolah-olah tak memandang mata sama sekali. Sin-bu Te-kun memaksakan diri berlaku hormat selaku tuan rumah, ujarnya, Pada pertemuan di gunung Tiam-jong-san, karena satu sama lain salah paham, maka tak menghasilkan apa-apa. Kita bubar dengan persaan tak puas. Hari ini akulah yang berganti menjadi tuan rumah. Harap tuan-tuan suka menghadiri dengan sepenuh hati. Kita sama-sama melaksanakan peraturan dunia persilatan, menjunjung kelakuan kaum berilmu Ah, tak usah bicara terlalu muluk-muluk! tukas Jenggot perak, mengapa tak meniru saja aku si orang tua yang suka bicara secara blak-blakan. Sin-bu Te-kun menelan kemarahannya. Lu lohiapsu memang seorang manusia bebas yang tak mau terikat peradatan. Sungguh sesuai dengan tingkah laku bangsa Ko-jin ( orang sakti) seru Sin-bu Te-kun, tetapi ai, di sini bukan tempat yang layak untuk menyambut tamu. Mari silakan masuk! Ia terus menyisih ke samping untuk memberi jalan kepada rombongan tamu. Tetapi di luar dugaan, Jenggot perak hanya tertawa nyaring. Tak usah! Aku tak suka merepotkan kalian. Lebih baik tak masuk saja, serunya. Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika. Karena tuan-tuan sudah memberi muka padaku, maka sudah kusiapkan perjamuan sekedarnya untuk menyambut kunjungan tuan-tuan, Lu lohiapsu menolak? Telah kukatakan tadi. Aku selalu bicara secara blak-blakan, kata Jenggot perak, ruang Thiau-kui-thia dalam istanamu itu penuh dengan alat perangkap dan perkakas rahasia. Sekali masuk tentu menemui kesukaran. Maka lebih baik aku tak masuk saja! Seketika wajah Sin-bu Te-kun berobah seperti kertas. Buru-buru ia batuk-batuk, ujarnya, Lu lohiapsu mengolok-olok.... ia berhenti sejenak, mengedipkan mata, lalu berkata pula, adalah karena tuan-tuan mencurigai adanya alat-alat perangkap dalam Thiau-hui-thia , maka silakan tuan mengutus orang untuk memeriksanya dulu! Kembali Jenggot perak tertawa keras, Tak usah mengutus orang, tetapi aku sendiri cukup tahu tentang alat-alat rahasia! Bagus, seru Sin-bu Te-kun, kalau begitu silakan Lu lohiapsu saja yang memeriksanya..... Jenggot perak menggeleng, Sekalipun aku sudah kenyang dengan segala macam alat perangkap, tapi tentu tak berhasil mendapatkan jejak dalam ruang Thiau-hui-thia itu.... Sin-bu Te-kun mulai meradang, serunya, Kalau begitu Lu lohiapsu sengaja hendak menghina dan memfitnah! Jenggot perak mengidarkan matanya memandang Mo-pak sam-cat, Lam-yau pak-koay, Ko liu sianjin, ketua Hek Gak dan Ang tim-gong-khek Bok Sam-pi. Apakah orang yang kau undang membantu sudah siap datang semuanya? akhirnya ia berseru. Wajah Sin-bu Te-kun benar-benar merah padam. Diantara saudara ini adalah orang-orang persilatan yang ternama. Mereka sengaja kuundang untuk ikut merundingkan kedudukan dunia persilatan. Mengapa kau menuduh mereka sebagai orang-orangku? serunya. Jenggot perak tertawa nyaring, Membantumupun boleh, ikut merundingkan kedudukan dunia persilatanpun boleh. Yang kutanyakan, apakah mereka sudah berkumpul di sini semua? Ini....aku tak suka menjawab! Sin-bu Te-kun menjawab ketus. Jenggot perak mendengus, lalu berpaling kepada rombongannya, ia berkata, Apakah saudara-saudara kenal akan seorang ahli banguna bernama Cukat Jin, bergelar si Cakar langit.? Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay tampil ke muka, Aku si pengemis tua ini termasuk orang yang tak punya kepandaian apa-apa. Tetapi aku kenal banyak sekali orang-orang yang ternama. Cukat Jin si Cakar langit itu memang tak terkenal di dunia persilatan. Kebanyakan orang tentu tak kenal. Tetapi bagiku si pengemis tua ini, dia bukanlah orang asing lagi! Kalau saudara kenal, sukakah menceritakan dirinya dengan singkat? seru Jenggot perak. Thiat-ik Sinkay mengangguk.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 274 dari 290

Cukat jin seorang yang berwatak aneh. Semasa mudanya pernah bertemu dengan orang sakti yang memberinya pelajaran tentang berbagai ilmu Ngo-heng-tun-kah ( ilmu lima unsur bumi), bangunanbangunan rahasia. Pernah membuat goa di bawah gunung Lian-hoa-san yang diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari saja. Padahal goa itu cukup untuk dimasuki lima ribu orang. Oleh karena itu ia digelari sebagai Pencakar langit atau jelmaasn dari Lu pan. Tentang dirinya....... Cukuplah, terima kasih........ tukas Jenggot perak dengan tertawa. Apakah Cukat Jin sianseng itu saat ini juga berada di sini? tanyanya kepada Sin-bu Te-kun. Sin-bu Te-kun paksakan menelan kemarahan, sahutnya, Cukat Jin sianseng memang di sini. Tetapi karena perangainya aneh, tak suka menerima balas jasa dan tak senang mencampuri urusan dunia persilatan, maka dia tak mau keluar menyambut! Jenggot perak kembali berkata kepada Thiat-ik Sin-kay, Jika Cukat Jin yang membuat alat perangkap dalam ruang Thiau-hui-thia di sini, dapatkah kita semua mengetahuinya? Tanpa ragu-ragu Thiat-ik Sin-kay menjawab, Dia mempunyai kepandaian yang luar biasa. Karyanya diatur sedemikian rupa sehingga tak mungkin diketahui orang. Kepandaian engkau dan aku tentang alat-alat rahasia yang hanya di kulit saja, tak mungkin mengetahui buatannya! Andaikata kita terjebak di situ, apakah kita mampu lolos? tanya Jenggot perak pula. Thiat-ik Sin-kay menggelengkan kepalanya, Dikuatirkan sukar, sukar sekali..... Sekalian orang mendengar jelas percakapan antara kedua tokoh itu. Mau tak mau tergetar juga hati mereka. Yang paling risih sendiri adalah Sin-bu Te-kun. Dia tak berhasil memikat rombongan tamunya masuk dan tak dapat juga mencegah percakapan mereka. Benar-benar ia sibuk seperti semut di atas kuali panas. Paling-paling ia hanya tertawa meringis seperti monyet makan terasi.... Akhirnya Jenggot perak menatap tajam kepadanya, Jelaslah kini apa rencanamu. Hei, tak heran walaupun sudah menderita kekalahan di Tiam-jong-san, kau masih berani menantang lagi. Bahkan kaupun mengundang banyak bala bantuan. Kiranya kau sudah mempunyai tiang andalan yang hebat. Kau menyuruh Cukat Jin membuat alat-alat perangkap dalam Thiau-hui-thia untuk menjebak rombonganku. Dengan begitu jelas isi hatimu yang seganas serigala! Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah akan meledak marah, tetapi ia masih dapat menekan dan memaksakan tertawa, Jika Lu lohiapsu tetap mengatakan begitu, akupun tak dapat berbuat apaapa...... Ketika di Tiam-jong-san, yang kutantang ialah Pok Thian-leng. Apakah Lu Lohiapsu akan menjadi saksi? Tetapi karena dia tak datang, maka tantangan ini mungkin akan diundur sampai lain kali.... Tak perlu ! bentak jenggot perak. Sin-bu Te-kun terkesiap. Karena Thian-leng tak kelihatan maka ia berani mengatakan seperti tadi. Tetapi mengapa Jenggot perak menolak. Ditelitinya kearah rombongan para tamu. Ah, tak salah lagi, Thian-leng tak berada diantara mereka. Hatinyapun tegang. Serunya sambil tertawa : Apakah pemuda itu sudah datang? Belum! Sahut Jenggot perak dengan tegas. Apakah Lu Lohiap tak mengikut sertakannya? Sin-bu Te-kun coba-coba menyelidiki lebih lanjut. Tidak ! Hai , mengapa dia tak memenuhi perjanjian? Mungkin dia dia sudah lebih berpengalaman tentang keadaan Sin-bu-kiong sehingga dipikir-pikir lebih baik mengundurkan diri saja! kata Sin-bu Tek-kun Jangan takabur! bentak Jenggot perak, anak itu bukan manusia yang ingkar janji. Kecuali menghadapai halangan besar, tentu dia akan datangtepat pada waktunya! Ah, langit memang sukar diukur tingginya. Orang yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Meskipun dia sudah mendapat ilmu warisan dari It-bi Siangjin tetapi kemungkinan dia ketemu dengan batunya, seorang yang lebih sakti lagi. Kemungkinan dia dikalahkan dan bahkan .... sudah amblas nyawanya ..... Mati hidup, kay miskin sudah suratan takdir, seru Jenggot perak dengan nada serius, Andaikata dia bernasib seperti yang kau bayangkan, itulah sudah ditentukan oleh takdir. Aku tak kecewa ...... Dengan begitu pertandinganku 100 jurus dengan dia itu sudah dapat dianggap selesai! seru Sin-bu Te-kun.Tetapi dia datang atau tidak, belum ada kepastiannya!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 275 dari 290

Apabila sampai jam 5 pagi dia tetap tak muncul, maka pertandingan ini kuanggap selesai! Seru Sin-bu Te-kun Jenggot perak tertawa lebar : Tetapi sekarang toh baru 10-an! Percakapan itu menimbulkan berbagai tafsiran dalam hati Sin-bu Te-kun. Dari kata-kata Jenggot Perak, ia benar-benar tak jelas mengenai keadaan yang sesungguhnya dari rombongan tetamu. Benarkah Pok Thian-leng mendapat kesukaran? Kalau tidak mengapa ia tak ikut serta? Tetapi sikap dan kata-kata Jenggot perak yang berhias tawa, menimbulkan kecurigaan jangan-jangan Thian-leng memang sengaja disembunyikan supaya jangan muncul disitu. Ruang Thiau-hui-thia memang dibuat oleh ahli bangunan Cakar langit cukat jin. Dia memasang alat-alat rahasia dibawah tanah. Asal rombongan Jenggot perak dapat dibujuk masuk, tak nanti mereka mampu keluar lagi. Pada waktu memasang alat-alat perangkap iu, penjagan dilakukan sedemikian ketatnya. Hanya beberapa anak buah Sin-bu-kiong saja yang mengetahui. Sudah tentu Jenggot perak sukar juga untuk melakukan penyelidikan. Memang jenggot perak seekor rusa tua yang licin. Tak mudah untuk memikatnya masuk jebakan. Dan dengan terbongkarnya rahasia Thiau-hui-thia itu, berarti pihak Sin-bu-kiong sudah menderita kekalahan separu bagian..... Bagi Sin-bu Te-kun saat itu hanya ada dua harapan. Pertama, ia mengharap agar Thian-leng benarbenar ketemu lawan yang lebih sakti. Anak muda itu dapat dikalahkan, syukur terbunuh mati. Harapan kedua, mengandalkan tenaga jago-jago lihay seperti Pok Pak sam Coat dan mengerahkan alat-alat rahasia dalam istana Sin-bu-kiong untuk menghancurkan musuh. Tetapi harapan itu hanya harapan. Boleh diharap tetapi tak dapat dipastikan. Sin-bu Te-kun gelisah. Wajahnya pucat pasi tak tentu arah. Rupanya isi hati Sin-bu Te-kun diketahui Jenggot Perak yang dapat melihat perubahan paras mukanya. Anda mempunyai cita-cita menguasai dunia persilatan, menjagoi kaum persilatan. Apakah kau sudah mempunyai pegangan untuk melaksanakan cita-cita itu? Jika tak salah, anda ....... Baru Jenggot perak berkata sampai disitu, Sin-bu Te-kun cepat mendengus : Kepergianku dari Tiamjong-pay memang sengaja hendak menantang Thian-leng melanjutkan sisa pertandingan yang belum selesai itu. Tetapi oleh karena dai belum datang, terpaksa akupun tak dapat menerima kunjungan lain tetamu. Maafkan, aku tak dapat menemani kalian lebih lama lagi ..... Ia terus berputar diri hendak masuk kedalam. Memang Sin-bu Te-kun sudah mempunyai rencana. Dengan alasan karena thian-leng tak datang, dia hendak masuk kedalam istana. Jika Jenggot perak tak merintangi, nanti dia hendak mengajak Bok-PakSam-coat dan lain-lainnya merundingkan rencana lagi. Tetapi jika Jenggot perak merintangi, dapatlah ia menjebak mereka agar masuk kedalam istana. Biarlah mereka hati-hati supaya jangan tersesat memasuki ruangan Thiau-hui-thia, tetapi tempat lainnya dalam istana penuh dengan alat-alat rahasia yang cukup mampu menangkap mereka. Tetapi untuk kesekian kalinya, Sin-bu Te-kun terkejut. Baru ia hendak melangkah tiba-tiba terdengar orang berseru dan mencoba menghalang jalannya. Makin terkejut Sin-bu Te-kun ketika mengetahui siapa penghadangnya itu. Pok Thiat-beng si Jago Pedang bebas dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun sepasang suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan! Di belakang kedua suami isteri itu tampak pula Pok Lian-ci si dara tambur sakti dan Cu Siau-bun, dua saudara tunggal ayah lain ibu. Tujuh belas tahun sepasang suami isteri itu berpisah atau lebih tepat dipisahkan oleh mulut berbisa. Kini mereka telah bersatu padu pula dan tegak mencegat dihadapan Sin Bu-te-kun dengan wajah serius. Walaupun tampak tenang-tenang saja, tetapi jelas suami isteri sedang mengerahkan seluruh perhatiannya. Sekali bergerak tentu dasyat sekali ...... Mau tak mau Sin bu te-kun tergetar juga hatinya. Namun ia paksakan tertawa. Ah, aku turut prihatin atas nasib kalian berdua. Tujuh belas tahun berpisah, kini dapat bersatu kembali. Aku merasa bersyukur sekalai .....
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 276 dari 290

Song Bun-kui-mo Ki Pek-lam ! seru Pedang bebas Pok Thiat-beng dengan nyaring Aku tak perlu dapat simpatimu. Hanya satu hal yang hendak kutanyakan padamu. Mengapa Ma Hong-ing menjadi isterimu? Cukup kau katakan dengan jujur dan kuakhiri semua kesalahanmu ! Saat itu Thiat-beng dan Cu Giok-bun berdiri di tengah-tengah Sin-bu Te-kun dengan rombongan Bok Pak Sam-coat dan Ketua Hek Gak. Posisi yang diambil kedua suami isteri itu memang berbahaya. Tetapi justeru karena tindakan yang luar biasa beraninya itu, Bok-pak dan kawan-kawannya tergetar nyalinya. Mereka tak berani betindak sembarangan dan hanya termangu melihat saja..... Sin-bu Te-kun seorang yang pandai melihat gelagat. Sejenak memperhatikan suasana, tahulah ia apa yang harus dilakukan. Melihat Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun menggunting di tengah dan toh Mo-paksam-cat, ketua Hek Gak dan lainnya tak bertindak apa-apa, Sin-bu Te-kun tersinggung. Namun dia juga seorang rase tua yang licik, dipaksanya sang mulut tertawa.... Karena Pok Tayhiap tetap ingin tahu hal itu, dengan segala kerendahan hati aku akan memberitahukan, katanya, sebelumnya aku tak pernah mempunyai ikatan apa-apa dengan Ma Honging, waktu kuambil ia sebagai Te-it ong-hui ( permaisuri). Kesemuanya itu adalah atas perkenalan Conghou-hwat Ni Jin-hiong yang mengaturnya.... Jadi kau tak mabuk oleh kecantikannya? tegur Pok Thiat-beng. Sin-bu Te-kun tertawa menyeringai, Sudah tentu ti...... sebenarnya aku sudah mempunyai delapan isteri. Jadi dia termasuk isteri yang ke sembilan. Tetapi karena ia...... Tak usah kau lanjutkan.....! tiba-tiba Jenggot perak menukas. Mengapa tidak? sahut Jenggot perak nyaring. Ma Hong-ing adalah budak tersayang dari Thiat-hiat-bun, sudah tentu ia tahu banyak sekali tentang rahasia partai itu. Oleh karena itu maka kau tak segan-segan mengangkatnya sebagai permaisuri, yaitu agar kau dapat menyelidiki rahasia partai Thiat-hiat-bun. Jadi jelaslah bahwa kau memang sudah lama mengidamkan rencana untuk menindas Thiat-hiat-bun! Sin-bu Te-kun tertawa sinis, He,h, heh, boleh juga kau mau mengatkan begitu. Tetapi masih ada sebab-sebab lain lagi! Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya dan tertawa, Aha, dalam hal ini perlukah kuminta petunjuk padamu! Mata Sin-bu Te-kun berkilat-kilat, serunya, Ceritanya harus dijelaskan sejak permulaan. Pada masa Pok Tayhiap mengembara ke daerah selatan, diam-diam kuperhatikan gerak-geriknya. Dengan keluarga Pok yang termashyur dan nama Pok tayhiap yang menggetarkan seluruh dunia persilatan, aku merasa mendapat rintangan. Bagiku mereka adalah duri dalam benak.... He, ternyata kau juga suka bercerita secara jujur. Sungguh patut dipuji! Seru Jenggot perak. Sin-bu Te-kun hanya tertawa dingin, ia melanjutkan ceritanya, Pada waktu itu juga, aku pun mengutus orang untuk mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh daerah..... Iblis tua, kau tak malu menceritakan urusan itu lagi! tiba-tiba Thiat-beng membentak bengis. Rupanya Sin-bu Te-kun sudah membulatkan hati. Biarlah ia dihina atau dicaci, tak mau ia marah. Tetapi waktu itu Pok Tayhiap berkeras menolak uluran tanganku. Sedikitpun ia tak tertarik menggabungkan diri dalam persekutuan yang kubentuk itu. Tetapi sekalipun begitu, aku tak pernah berputus asa untuk mengambil hatinya. Pada waktu akhirnya Pok Tayhiap menikah dengan nona Lu, aku benar-benar seperti mendapat tamparan yang hebat...... Ki tua, kiranya peristiwa itu kaulah yang merencanakan.......! teriak hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun yang tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Gerahamnya sampai berkeretekan. Sin-bu Te-kun menggelengkan kepala, Aku belum menyelesaikan ceritaku. Janganlah memutus dulu! Lekas lanjutkan! bentak Hun-tiong Sin-mo. Sin-bu Te-kun tertawa tawar. Ia segera melanjutkan penuturannya. Pada saat pikiranku ruwet untuk mencari jejak Pok tayhiap, kudengar bahwa Pok Tayhiap suami isteri menetap di daerah Secuan. Ni Jin-hiong, cong hou-hwat kami yang dulu, telah memberi usul supaya memikat budak perempuan dari Pok tayhiap saja. Berulang kali kutandaskan bahwa usul semacam itu pada hakekatnya tentu akan gagal. Tetapi Ni Jin-hiong tetap yakin pasti berhasil. Akhirnya kusetujui dengan menandaskan bahwa Ni Jinhionglah yang harus melaksanakan. Diapun sanggup, tetapi di luar dugaan......
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 277 dari 290

Sejenak Sin-bu Te-kun menghentikan penuturannya. Ia mengedipkan mata, lalu berkata, Akhirnya Ni Jin-hiong dapat melaksanakan dengan berhasil. Tetapi ternyata dalam peristiwa itu terselip sesuatu... Jenggot perak tiba-tiba tertawa, Sungguh terperinci sekali ceritamu kali ini.Tetapi di antaranya kau telah melewatkan sedikit. Perlukah kuperingatkan kepadamu. Memang Ni Jin-hiong berhasil memikat budak perempuan itu dengan cara merayunya. Walaupun usia mereka terpaut jauh, tetapi nyatanya Ni Jin-hiong itu adalah kekasih dari Ma Hong-ing sendiri. Kau ambil Ma Hong-ing sebagai Te-it ong-hui, berarti kau dikelabui secara terang-terangan....... ha, ha, ha, Jenggot perak tertawa mencemooh. Seketika wajah Sin-bu Te-kun pucat pasi. Akupun sudah mencium tentang itu.... Apakah kalian masih suka mendengarkan lanjutan ceritaku ini? Jenggot perak tertawa, Kau mau melanjutkan atau tidak, pada hakekatnya serupa saja. Tak begitu penting artinya. Karena andaikata kucegah kau bercerita, toh kau tentu berkeras melanjutkan juga. Karena kau memang hendak menggunakan siasat mengulur waktu, agar anak buahmu sempat mengatur persiapan-persiapan dalam istana! Kembali wajah Sin-bu Te-kun berobah. Namun ia masih memaksakan diri untuk tertawa. Terserah kau hendak mengatakan apa saja! Tetapi karena aku sudah berjanji hendak menceritakan, maka tentu akan kuceritakan sampai jelas. Ma Hong-ing rela menikah dengan Nyo Sam-kui agar dapat ikut pada nona Lu, guna melaksanakan rencana membalas dendam... Yang dimaksud nona lu di atas ialah Cu Giok-bun. Seperti diterangkan terdahulu, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun itu adalah puteri dari Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun. Tetapi karena Giok-bun dipungut anak oleh tabib sakti Cu Thian-hoan, maka ia mengganti she dengan she Cu. Sahut Cu Giok-bun, Sebagai permaisurimu, kau tentu mengetahui apa sakit hati Ma Hong-ing kepadaku itu? Mata Sin-bu Te-kun berkilat, ujarnya, Tiada halangan untuk memberitahukan hal itu kepadamu sekarang. Eh, apakah kau masih ingat akan seorang yang bernama Ma Beng-seng? Cu Giok-bun merenung beberapa saat. Apa itu Ma Beng-seng! serunya heran, rasanya aku belum pernah mendengar nama itu. Apakah hubungan Ma Beng-seng dengan Ma Hong-ing? Apakah ia.... Tiba-tiba Jenggot perak bertepuk tangan, Benar, aku ingat sekarang..... Yah, bagaimana? seru Cu Giok-bun serentak. Ma Beng-seng adalah salah seorang dari rombongan tiga puluh enam Thian-kong partai Thiat-hiat-bun. Karena dia bersekongkol dengan gerombolan Ngo-tok-bun dan hendak berkhianat pada partai Thiathiat-bun ..... Ya, ya, sekarang aku ingat, tukas Cu Giok-bun, Ma Beng-seng berkhianat kepada Thiat-hiat-bun. Dosanya tak terampunkan. Sebenarnya kala itu ayah tak mau memperbanyak dosa, tetapi akulah yang kelepasan omong sehingga akhirnya Ma Beng-seng dijatuhi hukuman tumpas seluruh keluarganya yang terdiri dari empat belas jiwa....... Kalau tak salah peristiwa itu terjadi pada dua puluh tahun yang lalu, bukan? Sin-bu Te-kun menyela, Benar! Sudah dua puluh lima tahun yang lalu. Ma Hong-ing adalah anak ketiga dari Ma Beng-seng. Pada saat keluarganya dibunuh, dia kebetulan sedang berada di tempat neneknya, sehingga tak turut terbunuh. Pembunuhan keluarganya itu, benar-benar menghancurkan seluruh jiwa raganya. Ia bertekad untuk melakukan pembalasan. Diam-diam ia masuk dalam partai Thiat-hiat-bun, menjadi pelayanmu. Sudah tentu tiada seoarangpun yang tahu siapa dirinya........ Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menggertak giginya dan berkata seorang diri. Hm, tak heran kalau ia mendendam sekali padaku. Tetapi anaknya itu........... Sayang Pok Thian-leng bukan puterinya! Sin-bu Te-kun tertawa tajam. Eh, tahukah kau bagaimana hubungan antara Pok Thian-leng dengan Ma Hong-ing itu? Cu Giok-bun gugup. Tentang itu maaf, aku tak dapat mengatakan, sahut Sin-bu Te-kun. Kau tak mau mengatakan? teriak Cu Giok-bun. Aku tak tahu..... teriak Sin-bu Te-kun dengan nyaring. Kemudian ia menghela napas lalu berkata pula, Hal itu telah terikat dalam perjanjian kita. Ni Jin-hiong membawa keterangan bahwa Ma Hong-ing mau
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 278 dari 290

menerima kedudukan sebagai Te-it Ong-hui dengan syarat, ia memeinta tinggal di lembah Pek-hun-koh di gunung Lu Liang-san untuk merawat anak lelaki yang bukan anaknya itu hingga besar.... Apakah sama sekali ia tak pernah kelepasan omong tentang anak itu? Cu Giok-bun mendesak. Sin-bu Te-kun menggelengkan kepala. Sampai saat ini, tiada gunanya aku berbohong padamu. Syarat Ma Hong-ing itu kuterima. Selama ia dapat mengatur rencana menceraikan kalian, apapun syarat yang diajukan aku sanggup meluluskan! Rencana keji! Untuk mencapai tujuan, segala jalan harus ditempuh. Inilah menjadi pendirianku! sahut Sin-bu Te-kun. ********* Detik penentuan Jenggot perak menatap Sin-bu Te-kun dengan tajam, serunya, Barangsiapa menepuk air di dulang, tentu terpercik muka sendiri! Rencanamu untuk menceraikan rumah tangga mereka, agar menghilangkan duri dalam dagingmumemang semula tampaknya lancar. Tetapi ketahuilah! Barangsiapa yang mencelakai orang lain, tentu akan celaka sendiri. Sekarang nyata kau sendiripun harus mengenyam buah perbuatanmu! Sin-bu Te-kun mendengus, Tak lama setelah itu akupun mengetahui tentang peristiwa yang mengejutkan! Benar! tukas Cu Giok-bun, tentu peristiwa nona Lu.. Sin-bu Te-kun batuk-batuk, lalu melanjutkan, Meskipun Ma Hong-ing berhasil memisahkan kalian, namun aku belum tenteram. Pok Tayhiap yang lenyap ke luar perbatasan, tak kuketahui jejaknya. Tetapi gerak-gerik nona Lu tetap tak terlepas dari pengawasanku.. Sejenak ia berhenti untuk memandang ke arah Cu Giok-bun, katanya, Kau menderita luka parah yang hampir membawa ajalmu. Kemudian beruntung bertemu tabib sakti Cu Thian-hoan dan akhirnya diambil murid oleh Hun-tiong Sin-mo Theng Ih-hui, telah kuketahui semua. Hm, rencana Ma Hong-ing untuk membesarkan Thian-leng agar melakukan pembalasan padaku, tentu keluar dari rencanamu juga! seru Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Sin-bu Te-kun tertawa, Boleh dikata begitu, boleh dikata tidak Apa artinya? teriak Cu Giok-bun. Bersumpah memelihara Pok Thian-leng sampai besar agar melakukan pembalasan padamu, adalah rencana Ma Hong-ing sendiri. Tetapi tentang Hun-tiong Sin-mo pada saat hendak menutup mata mengambil engkau sebagai murid, adalah sesuai dengan rencanaku yang kuberitahukan pada Ma Hong-ing! Cukup! Mana perempuan hina itu! teriak Cu Giok-bun Sin-bu Te-kun tertawa, Sudah tentu berada dalam istana Sin-bu-kiong ini! dengan murka.

Serahkan perempuan hina itu kepadaku dan segala dendam permusuhan antara kita, akan kuhabiskan sampai di sini! Sin-bu Te-kun tertawa sinis, Ini. Mengajukan usul begitu, seperti menyulitkan kau tampaknya.... tiba-tiba Jenggot perak menyeletuk. Ia berpaling memandang Cu Giok-bun, serunya, Menurut pendapatku, hal mencari perempuan hina itu kita tangguhkan nanti saja. Sekarang..... Terserah bagaimana ayah hendak mengatur! cepat-cepat Cu Giok-bun menanggapi. Jenggot perak tertawa meloroh, serunya, Ki Pek-lam, dalam pertemuan di Tiam-jong-san, meskipun kau dapat meloloskan diri, tetapi rapat besar itu tidak lantas bubar! Sin-bu Te-kun terkesiap, Apakah kalian bermaksud hendak melanjutkan lagi? Jenggot perak mengangguk tertawa, Benar, dan masih ada lagi suatu penyelesaian yang memuaskan! Penyelesaian bagaimana? Sin-bu Te-kun mengerutkan dahi. Diam-diam hatinya kebat-kebit. Ada satu hal yang menghiburnya. Dalam rapat di Tiam-jong-san tempo hari, jelas bahwa partai-partai persilatan masih menaruh respek pada Sin-bu-kiong dan tak senang kepada Thiat-hiat-bun, serta Hun-tiong Sinmo. Kesemuanya itu harus dijaga dan ditumbuhkan. Kalau rahasia Sin-bu-kiong sampai dibongkar di depan sekalian kaum persilatan, hebat sekali akibatnya bagi kehidupan Sin-bu-kiong!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 279 dari 290

Hal itu sepantasnya bukan aku yang mengatakan....... Jenggot perak tertawa lalu berpaling kepada rombongannya, harap saudara-saudara masuk! Memang percakapan antara tuan rumah dan rombongan tamu itu terjadi di depan pintu gerbang Sin-bukiong. Rombongan Jenggot perak sebagian masih berada di luar pintu. Maka tak dapatlah Sin-bu Tekun mengetahui berapa besar jumlah rombongan yang dibawa Jenggot perak saat itu! Serentak dengan seruan Jenggot perak, rombongan yang berada di luar pintu itu segera bergerak masuk. Sin-bu Te-kun terbeliak kaget. Kiranya dalam rombongan itu ikut serta ke sembilan partai dan semua partai persilatan yang hadir di Tiam-jong-san. Bahwa partai-partai persilatan ternyata mau ikut pada Thiat-hiat-bun, terang tentu takkan menguntungkan Sin-bu-kiong. Namun Sin-bu Te-kun masih dapat menahan diri dan memaksa tertawa memberi selamat datang kepada para tamu itu. Tetapi alangkah kaget Sin-bu Te-kun ketika sambutannya itu mendapat tanggapan dingin dari sekalian partai persilatan. Sepatahpun mereka tak mau bicara. Tiba-tiba seorang imam berambut putih loncat dari tengah rombongan dan berseru lantang, Ki sicu, betapa pahit derita yang telah kurasakan dari kebohonganmu! Sin-bu Te-kun kenal imam itu sebagai Ki Tim totiang, ketua dari partai Hoa-san-pay. Di belakangnya ikut serta empat tothong yang memanggul pedang. Apakah maksud totiang? tegur Sin-bu To-tiang. Ki Tim menghela napas panjang, Jika Lu lohiap dari Thiat-hiat-bun tak membongkar rahasia itu, entah bagaimana jadinya kami sekalian akibat perbuatanmu........ ia berhenti sejenak menyapukan mata ke sekeliling, lalu berkata pula, Kami sekalian sekarang sudah mengetahui kedokmu. Kiranya yang menimbulkan hujan darah dan menyamar menjadi Hun-tiong Sin-mo bukan lain adalah pihak Sin-bukiong sendiri! Berobahlah wajah Sin-bu Te-kun seketika. Di depan sekalian saudara persilatan totiang berani menghina padaku, apakah maksud totiang? Aku adalah seorang ketua partai yang terang. Tidak seperti engkau yang suka mencelakai orang secara menggelap. Bukti sudah nyata, tak mungkin kau menyangkal lagi! seru si imam dengan sengit. Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Ki Tim mendengus, Bukan hanya mewakili ke sembilan partai, tetapi mewakili seluruh kaum persilatan yang menjunjung kebenaran........... Imam itu berhenti sejenak, lalu berkata pula, Dalam pertemuan di Tiam-jong-san, atas kepercayaan seluruh kaum persilatan, aku telah diangkat menjadi Bu-lim bengcu! Bu-lim bengcu? Sin-bu Te-kun menegas. Bu-lim bengcu artinya kepala atau pemimpin kaum persilatan. Sin-bu Te-kun hampir tak percaya pendengarannya. Sungguh ia tak dapat mempercayai pendengarannya. Sungguh-sungguh tak dapat dipercaya..... Kedudukan pemimpin dunia persilatan yang siang malam diimpikan, ternyata direbut oleh sebuah partai kecil seperti Hoa-san-pay. Disapunya seluruh rombongan itu dengan tatapan mata yang tajam. Jelas sikap sekalian orang gagah menunjang pernyataan imam Ki Tim. Sampai beberapa detik Sin-bu Te-kun terpaku diam. Cita-citanya yang dikandung beberapa tahun dan hampir menjadi kenyataan, kini telah buyar laksana awan ditiup angin. Bahkan yang lebih mengerikan, saat itu keadaan Sin-bu Te-kun dalam bahaya. Siasatnya telah terbongkar, kedoknya terbuka. Apakah Sin-bu-kiong yang berpuluh tahun didirikan akan hancur dalam sekejap mata saja? Menjadi Bu-lim bengcu bukan suatu kebanggan, tetapi suatu beban kewajiban yang maha berat. Sebenarnya aku berat menerimanya, kata imam Ki Tim, sepak terjangmu menghina dunia persilatan dan mencelakai jiwa manusia, merupakan bencana bagi dunia persilatan. Di antara satu beban berat dari Bu-lim bengcu adalah memberantas kejahatan semacam yang kau lakukan selama ini. Di bahuku kini terletak kewajiban melenyapkan gerombolanmu! Masih Sin-bu Te-kun tak dapat bicara apa-apa. Hanya air mukanya yang sebentar pucat sebentar gelap. Tiba-tiba ia berpaling kepada Mo-pak sam-cat dan Bu-cui suseng, serunya, Suasana malam ini sudah jelas. Siapa kuat menang, yang kalah menjadi buronan. Karena saudara-saudara sudah sedia membantu tenaga padaku, kumohon saudara suka berjoang mati-matian!

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 280 dari 290

Sin-bu Te-kun telah membulatkan tekad. Bersama-sama orang undangannya, antara lain Mo-pak samcat, Bu-cui suseng dan lain-lain, ia hendak mengadu jiwa dengan Thiat-hiat-bun dan imam Ki Tim. Maka sehabis berkata, ia lantas menyambar Ki Tim. Tahan! sekonyong-konyong terdengar bentakan keras. Nadanya menggeledek memecahkan telinga. Bukan hanya Sin-bu Te-kun saja yang serentak menghentikan cengkeramannya, juga sekalian jagojago yang berada di situ terbeliak kaget mendengar suara mengguntur itu. Sesosok bayangan biru, tahu-tahu sudah tegak berdiri di hadapan Sin-bu Te-kun. Ki Pek-lam, perjanjian sepuluh hari telah tiba. Tuan mudamu sekarang telah datang! seru bayangan itu. Serasa terbanglah semangat Sin-bu Te-kun demi mengetahui siapa yang berada di hadapannya itu. Kau....kau.... ia berseru tersendat-sendat. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lebih jauh. Karena tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Rencana menjebak musuh dalam ruang Thiau-hui-thia telah dibongkar. Pemuda yang paling ditakutipun sudah muncul. Habis, habislah sudah segala harapannya........... Pemuda yang menggetarkan nyali Sin-bu Te-kun itu bukan lain adalah Thian-leng sendiri. Aku datang memenuhi janji! seru Thian-leng. Setelah menenangkan semangat, barulah Sin-bu Te-kun dapat berkata, Aku hendak mengusulkan pengunduran waktu lagi. Pertempuran yang sedianya berlangsung hari ini, dibatalkan! Thian-leng tertawa dingin, Memang, memang kau tentu akan mengundurkan pertempuran lagi. Aku tak keberatan, tetapi.... ia berhenti sejenak untuk mengedipkan mata, lalu berkata pula, Tetapi selain untuk pertempuran itu, akupun memang hendak mencarimu untuk suatu hal! Soal apa lagi? Tak lain tak bukan adalah untuk meminta ganti rugi jiwa atas kematian Oh-se gong-mo, Tui-hun-hui-mo dan Sip U-jong locianpwe! seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang, sehingga ia sampai menyurut mundur beberapa langkah. Thian-leng tertawa hambar. Kuberi engkau dua jalan. Terserah kau hendak memilih yang mana. Pertama, kau boleh mempertahankan diri melawan aku mati-matian. Kita bertempur sampai ada salah satu yang mati. Kedua, kita lanjutkan lagi sisa pertandingan yang kurang delapan jurus itu. Setelah pertempuran itu selesai, akan kuanggap habis dan tak akan mengungkit-ungkit lagi atas kematian beberapa cianpwe yang kusebutkan tadi! Mata Sin-bu Te-kun memancarkan sinar iblis. Ujarnya, Setelah kita bertempur, apakah ayah angkatmu dan yang lainnya tetap hendak mencari perkara padaku? Thian-leng mendengus, Kata-kata cari perkara itu tidak tepat digunakan. Lebih tepat kalau disebut membasmi kejahatan. Baik, mungkin ayah angkatku tentu suka menghentikan gerakannya membersihkan Sin-bu-kiong..Dan lagi dalam menyelesaikan sisa delapan jurus itu, akupun hendak meniru perbuatanmu. Aku hendak membuat garis lingkaran di sekelilingku, kau boleh menyerang dan aku tetap bertahan saja! Hai,. sungguhkah itu! Sin-bu Te-kun tertegun. Thian-leng membentak, Di hadapan para cianpwe dan jago-jago dunia persilatan, masakah tuanmu hendak menipu! Sin-bu Te-kun mengusap mukanya dan batuk-batuk, Baik, aku menurut saja! ujarnya. Wajah Thian-leng tampak serius. Ia berpaling menghadap ke Jenggot perak, Pok Thiat-beng , Cu Giokbun dan lain-lain, lalu memberi hormat, ujarnya, Apakah para cianpwe sekalian mengijinkan aku unjuk kecongkakan kepadanya! Jenggot perak tertawa meloroh, Tampaknya kau memperoleh kemajuan lagi. Kalau tidak masakah kau berani begitu garang! Thian-leng agak merah mukanya. Segera ia membuat garis lingkaran di sekelilingnya. Setelah itu lalu berseru nyaring, Iblis tua, ayo mulailah.! Meskipun hanya tinggal delapan jurus, tetapi kalau kau belum puas, kau boleh melanjutkan seranganmu sampai berapa saja yang kau kehendaki. Aku sedia menerimanya. Tetapi ingat setelah delapan jurus, terpaksa aku akn menggunakan tenaga tolakan untuk menghancurkan urat-uratmu!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 281 dari 290

Sin-bu Te-kun seperti orang yang disadarkan. Mau tak mau ia terkesiap melihat kegarangan pemuda itu. Apakah benar kau memiliki kesaktian yang berlebih-lebihan? tegurnya. Sin-bu Te-kun menganggap ilmu dalam kitab Im-hu-po-kip yang telah dipelajarinya itu, benar-benar sakti tanpa tandingan. Walaupun ilmu ajaran It Bi siangjin sakti sekali, tetapi ia tak percaya kalau Im-hu-pokip kalah sampai begitu jauh dengan ajaran It Bi siangjin. Thian-leng tertawa dingin, Sekali meludah, tak kan kujilat kembali. Jika aku sampai kalah, segera aku bunuh diri! BAgus! seru Sin-bu Te-kun dengan girang, aku hanya menurut saja. Awas, hati-hatilah! Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat. Ia bermaksud sekali pukul dapat menghantam mati anak muda itu, maka seluruh tenaganya telah dilampirkan dalam pukulannya itu. Pukulan dengan tenaga Im-han ( lwekang dingin) dapat membuat orang yang terpisah beberapa tombak gemetar kedinginan. Namun Thian-leng tetap tegak dengan tenangnya. Dengan sebuah gerakan yang bergaya melindungi tubuh, ia dapat melenyapkan pukulan Im-han dari lawan. Satu jurus! serunya. Hati Sin-bu Te-kun seperti disayat. Hanya dalam waktu yang singkat, ternyata pemuda itu telah memiliki kepandaian yang sedemikian sakti. Dengan tubuh gemetaran, ia menghentikan serangannya. Masih ada tujuh jurus! seru Thian-leng. Terdengar Sin-bu Te-kun menghela napas kecil. Sekonyong-konyong ia merangsek dengan jari. Cepat sekali enam jurus telah dilancarkan. Ilmu cengkeraman jari kepala Sin-bu-kiong itu memang hebat bukan kepalang. Sekalian orang gagah yang menyaksikan serasa kabur pandangannya. Yang tampak hanya bayangan berhamburan. Tubuh Sin-bu Te-kun sudah tak kelihatan bentuknya lagi. Keenam jurus ilmu jari yang dilancarkan Sin-bu Te-kun itu adalah jurus yang paling ganas dari pelajaran dalam kitab Im-hu-po-kip. Semenjak ia menjadi raja Sin-bu-kiong, belum pernah ia menggunakannya. Karena belum sampai menggunakan, musuh tentu sudah kalah. Sin-bu Te-kun tak menyangka sama sekali, bahwa ilmu yang paling diandalkan ternyata tak dapat berbuat apa-apa terhadap Thian-leng. Padahal pemuda itu hanya menangkis, tak balas menyerang... Sin-bu Te-kun menghentikan serangannya. tampak Thian-leng tetap dalam lingkaran dengan sikap tenang. Sepasang kakinya seperti terpaku di tanah. Bergetarlah jantung Sin-bu Te-kun. Ia menyadari, satu jurus lagi akan menentukan nasibnya. Thian-leng akan melancarkan tenaga tolak untuk menghancurkan urat-uratnya. Sudah tujuh jurus, masih tinggal sejurus lagi. Ayo, mengapa tak lekas menyerang! seru Thian-leng. Sin-bu Te-kun menatapnya tajam-tajam. Aku hendak mengucapkan beberapa kata terakhir yang akan kukatakan sejelas-jelasnya! Thian-leng terkesiap, Pesan terakhir..? Kau sudah tahu akan mati? Aku tak mau mengingkari janji......... ia tertawa kecut, tetapi kemudian mengekeh, Meskipun aku mati, tetapi aku tak penasaran. Thian-leng mengerutkan dahi, Asal kau dapat merobah jalan hidupmu yang sesat, aku tak keberatan membiarkan kau hidup! Sin-bu Te-kun menolak dengan tangannya, Bukan karena aku tak mau menerima kebaikanmu, tetapi dahulu jika bukan karena aku suka pada bakatmu dan berminat menerimamu sebagai murid, tentu aku takkan menerima nasib seperti saat ini..... Mau tak mau tergeraklah hati Thian-leng. Memang apa yang dikatakan momok itu benar. Pertama kali ditawan pihak Sin-bu-kiong, kepandaiannya kalah jauh dengan Sin-bu Te-kun. Kalau saat itu Sin-bu Tekun mau, tentu sudah dapat membunuhnya.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 282 dari 290

Sejak berhasil memiliki kesaktian, kata Sin-bu Te-kun pula, aku telah malang melintang di dunia persilatan dengan mendapat kehormatan dan nama yang gilang-gemilang. Matipun aku tak penasaran, tetapi..... ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, Aku tak punya anak yang dapat meneruskan citacitaku. Maka aku hendak mengajukan permintaan padamu! Silakan! seru Thian-leng. ******* Lenyapnya awan Carikan aku pewaris yang dapat melanjutkan kebangkitan Sin-bu-kiong! seru Sin-bu Te-kun dengan nada rawan. Thian-leng tertegun. Beberapa saat ia tak tahu bagaimana harus menjawab. Sin-bu Te-kun tetap tak menyesal atas perjalanan hidupnya selama ini. Tetapi dalam saat-saat seperti itu Thian-leng tak sampai hatinya. Hal itu serahkan saja kepadaku. Kau tak usah sibuk memikirkan! tiba-tiba Jenggot perak berseru kepada Thian-leng. Sin-bu Te-kun terbeliak. Tiba-tiba ia memberi hormat kepada ketua Thiat-hiat-bun. Bagaimana hendak kau atur hal itu? Jenggot perak menyahut dengan nada bersungguh-sungguh, Sin-bu-kiong tetap takkan diganggu. Anak buah Sin-bu-kiong boleh memilih. Yang ingin tinggal, boleh tinggal. Yang mau pergi silakan pergi. Akan kupilih orang yang boleh dipercaya untuk melanjutkan usahamu ini. Sin-bu-kiong takkan lenyap, ilmu pelajaran Im-hu-po-kip takkan hilang. Sebelum Sin-bu Te-kun membuka mulut, Thian-leng sudah mendahului, Tetapi almarhum Oh-se gongmo telah memberi pesan kepadaku untuk mengambil kembali kitab itu. Karena kitab itu sebenarnya menjadi miliknya, tetapi direbut secara licik oleh Song-bun Kui-mo Ki Pek-lam ini.. Jenggot perak tertawa, Sayang Oh-se gong-mo sudah meninggal dan tak mempunyai pewaris. Lalu perlu apa menghendaki kitab itu? Sekurang-kurangnya harus dikubur dalam liang kuburnya! seru Thian-leng. Ah, cara yang tolol! Jenggot perak tertawa pula, ketahuilah bahwa maksud Oh-se gong-mo waktu itu, tak lain tentu menghendaki supaya kau yang memiliki kitab itu. Tetapi kini kau sudah memiliki ilmu ajaran It-Bi siangjin. Perlu apa mempelajari Im-hu-po-kip lagi? Terserah saja bagaimana locianpwe hendak mengatur, akhirnya Thian-leng mengalah. Bagus, keputusan seperti itu saja, Jenggot perak tertawa. Sin-bu Te-kun mengerutkan alis, Tentang siapa yang akan menjadi pewarisku itu, sebelum mati ingin aku mendengar namanya! Jenggot perak tertawa, Tak usah kau kuatir. Sebelumnya memang sudah kusiapkan untukmu! Siapa? seru Sin-bu Te-kun. Ki Gwat-wan! Puaskah kau? Tiba-tiba Sin-bu Te-kun mengucurkan air mata, serunya terharu, Anak angkatku itu, dia.apa masih hidup? Bukan saja masih hidup dan sehat, juga masih ada lain hal yang perlu kuberitahukan padamu. Adiknya, Ki Seng-wan Adiknya itu bagaimana? Apakah dia.... Sin-bu Te-kun menukas cemas. Menunjuk pada Thian-leng, berkatalah Jenggot perak, Dia adalah suaminya! Hampir pingsan Sin-Te-kun mendengar keterangan itu. Tetapi bagaimanapun halnya, ia kejut-kejut girang. Kalau begitu, aku Ki Pek-lam takkan mati penasaran lagi. ia menghela napas. Tiba-tiba ia mengayunkan tangannya menampar ubun-ubun kepalanya sendiri. Ki Pek-lam, jangan setolol itu! Mo-pak-sam-cat berteriak kaget, apakah kedatangan kami ini kau undang untuk menyaksikan kau bunuh diri? Ketiga tokoh dari padang pasir itu serentak loncat untuk menghalangi, tetapi Sin-bu Te-kun bergerak terlalu cepat. Plak.. batok kepalanya hancur serempak dengan hamburan otak. tubuhnyapun terkulai roboh. Seorang durjana besar yang menggemparkan dunia persilatan, akhirnya harus menerima kematian dari tangannya sendiri..
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 283 dari 290

Thian-leng tak sampai hati menyaksikan kejadian yang sedemikian tragis. Ia melengos ke belakang. Orang mengira dengan kematian Sin-bu Te-kun, ramai-ramai akan selesai. Tetapi di luar dugaan ketegangan tetap tak mereda. Mo-pak-sam-cat, ketua Hek Gak dan lainnya, tak puas dengan kekalahan begitu. Serempak mereka mengamuk, menyerang dengan dahsyat! Pertempuran pecah, hiruk-pikuk teriakan perintah menyerang berhamburan memekakkan telinga. Ketua Hek Gak menyuruh Bok Sam-pi menyerang Jenggot perak. Melihat itu Thian-leng pun tak mau berpeluk tangan. Ia mendahului menyerang Mo-pak-sam-cat. Pok Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun pun ikut bagian. Si dara Lian-ci juga tak mau ketinggalan menabuh tamburnya. Suasana penuh ketegangan, penuh hawa pembunuhan. Tetapi amuk-amukan itu tak berlangsung lama. Hanya dalam beberapa kejap saja sudah sirap kembali. Kekalapan Mo-pak-sam-cat dan ketua Hek Gak untuk mengadu jiwa, tidaklah dapat membalikkan keadaan. Thian-leng, Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo, Jenggot perak dan kawan-kawannya dapat menumpas mereka. Mo-pak-sam-cat mengandalkan kepandaiannya, mengira tentu tak ada yang mampu melawan. Tetapi begitu beradu dengan Thian-leng, barulah diketahui kalau terpaut terlalu jauh. Jago-jago padang pasir itu menyesal dan hendak meloloskan diri, tetapi sudah terlambat. Tiga buah jeritan ngeri terdengar. Dua orang Mo-pak-sam-cat roboh binasa dan seorang lagi terluka! Ketua Hek Gak menerima kematian yang lebih mengerikan. Separoh dari tubuhnya yang memang sudah tak utuh, terbakar hangus oleh pukulan Ceng-koay-ciang ( pukulan lwekang panas) dari Huntiong Sin-mo. Seruling besi dari tokoh pelajar Bu-cui- su-seng telah dibungkam oleh gema tambur si dara Lian-ci. Kemudian dada pelajar itu ditembus oleh ujung pedang Pok Thiat-beng. Sebenarnya Lam-yau Pak-koay dan Mo-pak-sam-cat hendak serempak menyerbu Thian-leng. tetapi gerakan anak muda itu terlalu cepat. Sekali hantam ia membinasakan dua anggota Mo-pak dan melukai yang seorang. Setelah itu ganti menghantam kedua Lam-yau dan Pak-koay. Lam-yau Pak-koay serentak menangkis. Mereka yakin tenaga gabungan dua orang, walaupun tidak menang tapi sekurang-kurangnya tentu dapat melindungi diri dan kemudian kabur. Tetapi begitu terjadi benturan, kedua Lam-yau Pak-koay menjerit ngeri. Tubuh mereka laksana layang-layang putus talinya, berhamburan jatuh tak bernyawa lagi! Yang paling beruntung adalah Bok Sam-pi. Dia mendapat lawan Jenggot perak. Karena melihat serangannya sedemikian dahsyat, Jenggot perak terpaksa menghindar. Tetapi ia tak mengira bahwa pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay berada di belakangnya. Karena ia menghindar, maka Thiat-ik Sin-kay lah yang menjadi sasaran Bok Sam-pi. Thiat-ik Sin-kay tak keburu menghindar lagi. Dalam gugupnya terpaksa ia menangkis. Sebenarnya kekuatan kedua tokoh itu tak terpaut jauh. Thiat-ik Sin-kay tak sampai binasa karena adu pukulan itu. Tetapi di luar dugaan ketika tangan saling bertemu, ia merasakan siku lengannya seperti ditusuk jarum. Itulah tipu muslihat ketua Hek Gak dan Sin-bu Te-kun. Bok Sam-pi sengaja diberi pakaian jubah gedombrongan. Bagian ujung lengan, bawah kaki, dada dan punggung pakaiannya, diberi berpuluh-puluh jarum beracun. Asal lawan tertusuk jarum itu, dalam waktu setengah jam saja racun itu pasti akan mengganyang tubuhnya. Tiada obat yang dapat menolong lagi Seketika Thiat-ik Sin-kay merasakan lengannya nyeri sekali dan separoh tubuhnya kesemutan. Tahu dirinya kena racun, cepat-cepat ia mundur beberapa langkah. Si linglung Bok Sam-pi sama sekali tak menghiraukan perobahan apa yang terjadi di sekelilingnya. Apakah kawan-kawannya sudah mati atau masih bertempur, ia tak ambil peduli. Pokoknya menyerang Thiat-ik Sin-kay lagi. Tetapi baru ia hendak bergerak, tiba-tiba terdengar jeritan melengking dari seorang dara, Kek! Bok Sam-pi tertegun. Cucu perempuannya Bok Ceng-ceng muncul dari pintu gerbang. Di belakangnya ikut serta seorang tua berambut putih. Hai, budak, mengapa kau kemari? tegur Bok Sam-pi. Jelas bahwa ia masih terpengaruh obat bius. Ah, kek, mengapa kau masih begitu? lengking si dara.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 284 dari 290

Bok Sam-pi deliki mata. Sekonyong-konyong ia mengangkat tinjunya. Aku tak sudi dengan anak perempuan yang berkhianat! Ucapan itu ditutup dengan ayunan tinju, tetapi tiba-tiba orang tua berambut putih mengayunkan lengan bajunya. Segulung asap putih menyembur ke arah Bok Sam-pi. Sebenarnya Thian-lengpun sudah siap menolong si dara, tetapi kalah cepat dengan hembusan asap itu. Aneh.....begitu tersembur asap, tubuh Bok Sam-pi seperti balon karet yang kempes. Serentak ia jatuh terduduk di tanah. Orang tua berambut putih itu menghela napas. Muridku, lekas kasih dia minum rumput Liong-yan-cohkuo! Bok Ceng-ceng mengiyakan. Ia mengambil pil merah dari dalam bajunya dan disusupkan ke mulut sang kakek. Bok Sam-pi serta merta membuka mulutnya menelan. Beberapa saat kemudian, perut Bok Sampi berkeruyukan keras. Tak lama ia mengucurkan airmata dan memandang sekelilingnya. Bagai orang bangun dari tidur, ia mengeluh kaget. Tangannya merangkul Ceng-ceng. Ceng-ceng menjerit terharu dan menyusupkan kepala ke dada sang kakek. Karena pertempuran sudah berhenti, maka semua mata ditujukan pada Bok Sam-pi dan cucunya. Di kala suasan hening sunyi, dua sosok tubuh langsung menerobos dari luar pintu. Kemunculan dua orang itu menimbulkan bisikan gempar. Kedua orang itu bukan lain Bu-song dan Siau-bun. Ternyata kedua gadis itu bersembunyi di luar Sin-bukiong. Siau-bun tahu bahwa Thiat-hiat-bun telah mengerahkan rombongan besar menuju ke Sin-bukiong. Ia memutuskan lebih baik menunggu di luar istana saja. Apabila ada anak buah Thiat-hiat-bun atau Tiam-jong-pay atau Hun-tiong-hu yang dijumpainya, ia hendak menyuruhnya membawa surat kepada Jenggot perak. Ia hendak merangkai cerita bahwa ia dengan Bu-song telah dicelakai orang. Apabila Jenggot perak dan rombongannya datang, ia hendak merangkai cerita palsu. Mengatakan kalau dicelakai oleh kedua taci beradik Ki. Ia hendak mendesak kakeknya supaya menekan Thian-leng, agar membatalkan perkawainannya dengan Ki Seng-wan. Siau-bun menganggap rencananya itu tentu memberi hasil baik. Dan apabila Thian-leng tak ikut serta dalam rombongan Thiat-hiat-bun, juga tak apa-apa. Setidaknya rencana itu sudah berhasil separoh bagian. Di luar dugaan, sampai setengah hari menunggu, tetap tak berjumpa dengan seorangpun anak buah Thiat-hiat-bun. Yang dijumpai malah Bok Ceng-ceng dengan orang tua berambut putih. Siau-bun pernah menolong Ceng-ceng sebelumnya, tetapi karena kuatir Ceng-ceng bergaul rapat dengan Thian-leng, ia menyuruh dara itu menuju ke Hun-tiong-san saja. Mudah-mudahan dara itu tertangkap oleh salah satu penjaga Hun-tiong-hu..... Tetapi dara yang hendak dicelakai itu ternyata beruntung berjumpa dengan si orang tua berambut putih. Orang tua itu bukan lain adalah Ko Gwat lojin, juga seorang tokoh sakti yang mahir dalam ilmu pengobatan. Ia setingkat dengan tabib sakti Cu Thian-hoan yang pernah menolong jiwa Cu Giok-bun. Ko Gwat lojin senang dengan Ceng-ceng dan mengangkatnya sebagai murid. Setelah mendengar cerita Ceng-ceng tentang peristiwa rapat di Tiam-jong-san dan perjanjian di Sin-bukiong, Ko Gwat lojin segera mengajak muridnya menuju ke Sin-bu-kiong. Tujuannya hendak mengobati Bok Sam-pi. Hai, budak perempuan, kalian memuaskan diri bermain-main kemana saja? tegur Jenggot perak kepada Siau-bun dan Bu-song. Dengan sikap manja Bu-song segera memeluk dada kakeknya, Kek, aku dihina orang. Ayo, tolong kakek yang menyelesaikan! Siapa berani menghinamu? Kedua taci beradik she Ki.! Mereka telah mencelakai kami berdua dengan racun! Berobahlah airmuka Jenggot perak seketika, Apa katamu? ia menegas. Belum sampai Bu-song merangkai cerita, Thian-leng sudah tampil ke hadapannya dan memberi hormat kepada Bu-song dan Siau-bun, Lebih dulu aku hendak mengaturkan maaf kepada adik berdua. Sukalah mendengar sepatah kataku Bu-song mencibirkan bibirnya, Huh, apa yang hendak kau katakan lagi? Bukankah kau sudah tahu ia hendak mencelakai kami berdua?
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 285 dari 290

Siau-bun merah wajahnya. Ia tak mau ikut bicara. Akhirnya Jenggot peraklah yang menengahi, Baik, ceritakanlah! katanya kepada Thian-leng. Thianleng tersipu-sipu memberi hormat lagi. Kemudian ia bercerita tentang pengalamannya selama beberapa hari itu. Ketika ditawan Hok-mo-tong-cu dan dibawa ke gunung Thay-heng-san. Seperti yang diperkirakan oleh Siau-bun, di sana It-bi-cu berhasil mengalahkan momok dari Hok-mo-tong itu. Momok itu tidak dibunuh, tetapi ilmu kepandaiannya dilumpuhkan selama-lamanya dan kemudain dilepaskan pergi. Karena teringat akan kedua dara yang masih tertawan di kuil tua, Thian-leng bergegas kembali ke puncak Ceng-liong-nia. Terdorong oleh rasa tanggung jawabnya, Thian-leng mengerahkan seluruh kepandaiannya. Perjalanan yang sedemikian jauh dapat ditempuh hanya dalam waktu dua hari saja. Tetapi yang dijumpai dalam kuil itu bukan Bu-song dan Siau-bun, melainkan kedua kakak beradik Ki yang digantung di tiang penglari. Kedua taci beradik itu menuturkan apa yang telah terjadi. Mengingat bahwa waktu perjanjian di Sin-bu-kiong hanya tinggal dua hari saja, maka Thian-leng menyuruh kedua nona itu beristirahat, sedangkan ia sendiri segera menuju ke Sin-bu-kiong. Semua kejadian telah dituturkan dengan jelas, kecuali bagian Siau-bun dan Bu-song menyiksanya di dalam biara tua. Sekalipun demikian Jenggot perak dan sekalian orang tua juga tahu. Atas desakan Jenggot perak, Thian-leng tak mampu menghindar lagi. Terpaksa ia menceritakan juga. Budak, kakeklah yang merusakmu. Perbuatanmu itu memang keterlaluan sekali! Jenggot perak menegur Bu-song. Si dara hanya mengucurkan air mata. Juga Hun-tiong Sin-mo menegur puterinya, Nak, bagaimana mamah mendidikmu? Mah, aku merasa salah! Siau-bun merintih. Hun-tiong Sin-mo menghela napas. Dalam kedudukan sebagi Bu-lim Bengcu, imam Ki Tim segera bertindak. Ia menyuruh supaya mayatmayat dikubur sebagai mana mestinya. Kepada anak buah Sin-bu-kiong dan Hek Gak diberi penjelasan. Yang ingin pulang boleh pulang, yang tetap hendak tinggal, pun tak dilarang. Boleh dikata tokoh-tokoh durjana telah tersapu. Tetapi dalam rombongan Jenggot perakpun terdapat seorang korban, yakni pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay. Walaupun Ko Gwat lojin sudah meminumkan beberapa pil mukjijat, tetapi karena racun sudah menyusup ke dalam darah, tak dapatlah pengemis itu ditolong lagi. Sewaktu hendak menghembuskan napas terakhir, Thiat-ik Sin-kay memberi pesan kepada Thian-leng supaya berusaha mengembangkan perhimpunan Kay-pang. Untuk menenteramkan hati jago tua yang hendak berangkat ke alam baka itu, Thian-leng pun bersumpah selama ia masih hidup tentu akan bekerja keras untuk kepentingan kay-pang. Bok Sam-pi yang sudah pulih kesadarannya, menangis di hadapan jenasah Thiat-ik Sin-kay. Kemarahannya hendak ditumpahkan kepada ketua Hek Gak yang selama ini telah menjadikan dirinya seperti boneka hidup. Tetapi sayang ketua Hek Gak pun sudah mati. Ia kalap karena tak dapat menumpahkan amarahnya. Akhirnya ia kena juga dibujuk oleh cucunya Bok Ceng-ceng. Jenggot perak berkata, Karena aku sudah meluluskan permintaan Ki Pek-lam, maka istana Sin-bukiong takkan kuhancurkan. Tetapi alat-alat rahasia dalam istana ini harus dibongkar. Sayang sukar mencari siapa. Sesosok tubuh kurus meloncat keluar dari dalam istana dan menghampiri Jenggot perak, ujarnya, Aku si orang tua, sanggup melakukan pembongkaran itu! Siapakah saudara baru Jenggot perak hendak bertanya, orang itu sudah menyahut, Aku si Cakar langit Cukat Jin! Ya, akupun sudah menduga, Jenggot perak tertawa. Dengan wajah merah, Cukat Jin menerangkan bahwa ia terpaksa membuat alat-alat rahasia itu karena ditekan oleh Sin-bu Te-kun. Jenggot perakpun tak mempersalahkan. Segera ia menyerahkan pembongkaran itu kepada Cukat Jin. Cukat Jin lalu membawa rombongan mereka ke dalam istana. Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun sudah baik kembali. Setelah meninggalkan Tiam-jong-san dengan perasaan mendongkol karena tersinggung oleh ucapan anak tirinya ( Lian-ci), tetapi ketika tiba di Huntiong san, diam-diam Cu Giok-bun menyesal. Tak seharusnya ia bertindak demikian seperti anak kecil.
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 286 dari 290

Tiga hari kemudian ia berangkat kembali menggabungkan diri dengan Jenggot perak. Beramai-ramai mereka segera menuju ke Sin-bu-kiong di gunung Ceng-hun-san. Di antara suami isteri Thiat-beng dan Giok-bun masih ada sebuah ganjalan. Ialah tentang diri Nyo Samkui dan Ma Hong-ing. Dari kedua orang itulah mereka hendak mencari keterangan yang sejelasjelasnya, tentang apa yang sebenarnya telah terjadi selama ini. Keterangan itu dapat membuka semua kesalah-pahaman yang terjadi. Thian-leng tak kurang tegangnya. Ia benar-benar hendak mengetahui asal-usul dirinya. Maka begitu masuk Sin-bu-kiong, ia terus mencari bagian penjara. Cukat Jin membawa mereka ke penjara. Tiba di muka pintu, mereka sudah disambut bau amis dan rintihan seram. Dan begitu masuk, mata mereka disuguhi oleh tulang-belulang yang digantung. Setiap korban tentu digantung sampai menjadi tengkorak. Penjara itu cukup luas. Dengan hati kebat-kebit Thian-leng segera masuk. Tiba-tiba. ******* Penyelesaian Thian-leng mendengus dan lari memburu ke muka . Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun serta Jenggot perak dan rombongannya terkejut. Mereka segera menyusul Thian-leng. Pada tiang batu yang terletak di bagian belakang penjara itu, terdapat dua orang yang diikat tubuhnya dengan rantai besi. Mereka ialah Nyo Sam-kui dan Ma Hong-ing. Hal itu memang telah diduga oleh sekalian orang. Tetapi yang mengejutkan hati mereka ialah, wajah Nyo Sam-kui dan Ma Hong-ing berwarna hitam. Beberapa bagian dari wajah mereka sudah rusak dan mengalirkan nanah busuk. Jelaslah sudah. Sebelum diikat di situ, mereka telah diberi racun oleh Sin-bu Te-kun. Racun yang bekerja secara perlahan, agar kedua orang itu mati tersiksa secara perlahan. Thian-leng segera memutuskan rantai mereka. Tetapi Nyo Sam-kui sudah mati dan Ma Hong-ing hanya tinggal menunggu saatnya saja. Betapapun kebencian Ma Hong-ing kepada Thian-leng, tapi jerih payah selama tujuh belas tahun memelihara anak muda itu, telah menumbuhkan akar kasih sayang yang dalam. Thian-leng terharu melihat keadaan wanita yang pernah mengaku sebagai ibunya itu! Ternyata kesadaran Ma Hong-ing masih terang dan dapat melihat jelas kedatangan Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun dan rombongan yang lain. Ma Hong-ing, masih kenalkah kau akan diriku? seru Jenggot perak dengan mengerutkan wajah. Pipi Ma Hong-ing yang sudah peyot tampak bekernyit. Sahutnya dengan suara lemah, Kenal.kau ..adalah ..majikan tua.. Jenggot perak menghela napas dalam-dalam, Apa sebabnya kau sampai menjadi seperti begini? Ma Hong-ing menghela napas. Tiba-tiba dengan bersemangat ia menyahut, Aku tak dapat bercerita panjang lebar, lekas.... ia menunjuk kepada Thian-leng, Aku hendak berkata beberapa patah kata kepadamu.... Buru-buru Thian-leng berjongkok ke dekat wanita yang sedang meregang jiwa itu. Sahutnya dengan rawan, Mah, bilanglah.....! Ma Hong-ing menghela napas panjang, Ah, janganlah memanggil aku mamah. Ayah bundamu yang sebenarnya, adalah..... Siapa.............? Thian-leng tegang sekali. Sekali lagi Ma Hong-ing mengangkat tangannya dan menunjuk pada Pedang bebas Pok Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, Merekalah..... Pernyataan itu disambut dengan rasa kaget oleh semua orang. Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun serempak menjerit kaget. Apa katamu? Thian-leng menegas. Ma Hong-ing menghela napas lagi, Ketika kau dilahirkan, aku segera mengganti lain bayi..... Kau
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 287 dari 290

kubawa pergi dan bayiku kutinggal........ Siau-bun adalah anakku yang sebenarnya. Tahi lalat merah pada tengkukmu......menjadi bukti yang nyata! Kata-kata dari seorang yang tengah meregang jiwa, tentu sesungguhnya. Apalagi kata-kata itu diucapkan dengan nada yang ramah. Tiada seorangpun yang tak percaya atas keterangan yang diucpkan Ma hong-ing itu. Sambil memutar tubuh, berserulah Thian-leng kepada Pok Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo, Yah, mah! nadanya penuh haru, dan tersekat putus oleh isak tangis .. Cu Siau-bun. Memang Siau-bun telah mendapat firasat bahwa ia bakal mendapatkan hal-hal yang tak baik. Tetapi entah kapan dan bagaimana kejadian malang itu, tak tahulah ia. Bahwa kemalangan itu ternyata sedemikian tragisnya, benar-benar ia tak menduganya sama sekali. Dengan kalap ia menerkam tubuh Ma Hong-ing dan menggoncang-goncangkannya, Ngaco, jangan bohong! Airmata Ma Hong-ing mengucur deras. Ujarnya dengan rawan, Nak, telah kupertimbangkan semuanya itu. Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu bagi kita. Jangan kau coba menghindar. Aku segera akan berangkat ke alam baka, mengapa aku harus menambah dosa membohongi engkau? Nak, kau memang anak kandungku sendiri.....! Tiba-tiba Siau-bun seperti tersadar dari impian. Yubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Dan siapakah ayahku..........? Ni........... Jin-hiong .........tetapi dia tak tahu! sahut Ma Hong-ing dengan nada gemetar. Oh, Thian! Mengapa nasibku begini mengerikan? serentak menjeritlah Siau-bun tersedu-sedu. Dimana sekarang dia? sejenak kemudian Siau-bun bertanya. Keadaan Ma Hong-ing benar-benar ibarat pelita yang sudah kehabisan minyak. Dengan nada setengah berbisik ia menyahut, Dia telah mati dibunuh Sin-bu Te-kun, mayatnya dibuang! Suasana dalam penjara maut itu hening sesaat. Tak seorangpun yang dapat mengucapkan apa-apa. Sunyi senyap sehingga suara orang bernapas pun terdengar. Ma Hong-ing menghela napas, katanya, Nak, jika kau mau memaafkan aku, panggillah aku dengan sepatah kata mama! Siau-bun hanya diam bagaikan patung. Hanya kelopak matanya yang mengucurkan air mata berderaiderai.Nak, apakah kau tak mau memaafkan aku? dengan penuh harap Ma Hong-ing menanti.Siau-bun tetap membisu. Air muka Ma Hong-ing semakin gelap. Sinar matanya makin redup. Jelas bahwa jiwanya hampir mendekati akhirnya. Betapapun semasa hidupnya ia telah melakukan berbagai kejahatan dan dosa yang mengerikan, tetapi keadaannya pada saat itu benar-benar mengetuk rasa kasihan orang.. Ditatapnya wajah Siau-bun bagaikan musafir yang mengharapkan tetesan air. Akhirnya terketuklah hati nurani Siau-bun. Betapapun muaknya kepada wanita itu, tetap dia adalah ibunya. Ibu yang telah melahirkannya ke dunia. Dan ibu itu kini hampir menutup mata. Apakah dia masih ngotot membencinya? Tiba-tiba Siau-bun mengulurkan tangannya dan dijabatnya tangan Ma Hong-ing erat-erat. Dengan perlahan penuh keharuan, ia memanggil, Mamah Tubuh Ma Hong-ing menggigil keras. Matanya yang sudah redup tampak berkilat-kilat memancarkan sinar lagi. Wajahnya tampak berseri tenteram. tetapi ibarat pelita yang hampir padam, pancaran terang itu merupakan pancaran yang terakhir. Begitu pula Ma Hong-ing, hanya sekejap ia menghamburkan cahaya hidup. Cahaya yang merupakan ujung kehidupannya. Setelah itu mengatuplah kedua matanya perlahan-lahan. Mengatup selamalamanya.Siau-bun menangis tersedu-sedu. Melihat itu, tak sampailah hati Thian-leng. Dihampirinya nona itu dan dipanggilnya dengan halus, Adik Bun! Adik Bun Tetapi Siau-bun seolah-olah tak menghiraukan apa-apa lagi. Ia menumpahkan seluruh kedukaan hatinya dengan tangis yang melimpah ruah. Setelah suaranya parau, barulah ia berhenti dan mengusap air matanya.

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 288 dari 290

Ia menghampiri Hun-tiong Sin-mo dan menjatuhkan diri berlutut, Gibo.. atas budi kebaikanmu merawat aku selama tujuh belas tahun, sungguh aku tak dapat membalasnya meski dengan jiwa ragaku. Tetapi karena sekarang asal-usulku telah diketahui, tak layak lagi aku bernaung pada Gibo. Sejak saat ini. Ia tersekat oleh rasa haru yang mencengkam perasaannya. Namun dipaksakannya juga untuk melanjutkan, Sejak saat ini, anak bersumpah hendak mengembara. Mudah-mudahan pada suatu hari nanti, anak dapat membalas budi gibo yang sebesar lautan itu! Habis berkata, tanpa menunggu Nak, apa katamu? Hun-tiong Anak hendak pergi! Pergi? Kau hendak pergi kemana? sahutan Sin-mo sahut lagi, ia segera bangkit berdiri. Cu Giok-bun mengerutkan alis. Siau-bun sambil menunduk.

Entahlah, anak tak tahu, tetapi.dunia yang begini luas tentu akan kuperoleh tempat meneduh yang sesuai bagiku! Cu Giok-bun menghela napas, Nak, janganlah kau teruskan niatmu yang tak tepat itu. apapun yang terjadi, bagiku kau tetap sama. Akan kuanggap dan kuperlakukan seperti anakku dahulu. Ingatlah Siaubun, kau tetap anakku. Air mata Siau-bun membanjir seperti air bah. Rasa haru yang meluap-luap menyebabkan Siau-bun segera memeluk Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Rintihnya, Mah, kau kuanggap sebagai ibuku yang kucintai segenap hati! Cu Giok-bun membelai-belai rambut gadis itu. Tiba-tiba tangannya menyambar Lian-ci dan didekapnya juga. Nak, kaupun serupa juga...! Mah.. Lian-ci pun menangis tersedu-sedu. Hun-tiong Sin-mo mengulum senyum. Tetapi dari sudut matanya ia mengucurkan air mata..... Sejenak merenung, berkatalah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun dengan ilmu menyusup suara, Yah, ada kesulitan! Benar, memang kesulitan itu sudah beberapa waktu timbulnya, sahut Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga. Aku mempunyai rencana yang sekali dayung tiga tepian tercapai, kata Cu Giok-bun. Sekali dayung tiga tepian? ulang Jenggot perak. Ya, sahut Cu Giok-bun, Thian-leng sudah memperisteri Seng-wan, tapi Bu-song dan Siau-bun mencintainya. Satu-satunya jalan ialah menikahkan mereka menjadi satu..... Apa? Jeenggot perak mengulang, kau hendak menikahkan Siau-bun dan Bu-song kepada budak itu juga? Benar! Cu Giok-bun mengiyakan. Ini............ Apakah ayah anggap tak layak? Tiba-tiba Jenggot perak tertawa lebar, Tepat, sungguh tepat sekali, tetapiaku seorang tua yang paling takut menghadapi kerewelan. Sebaiknya urusan ini kuserahkan padamu sajalah! Baik, aku bersedia mengurusnya! Hun-tiong Sin-mo mengiyakan. Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya dengan gembira. Kemudian ia berpaling kepada Thian-leng, Ayo, katakanlah, bagaimana rencanamu di kemudian hari? Thian-leng merenung beberapa saat. Terlebih dahulu aku hendak kembali ke goa Giok-ti-tong di gunung Thay-heng-san, untuk melanjutkan pelajaran dalam kitab It Bi siangjin. Setelah berhasil barulah kulaksanakan pesan mendiang Thiat-ik Sinkay cianpwe, menyempurnakan partai Kay-pang, mengemban tugas sebagai ketua partai itu. Kemudian.. Uruslah hal yang kau anggap penting itu dulu, baru kau nanti pulang ke Hun-tiong-san, maukah kau? tukas Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Serta merta Thian-leng menyahut, Sudah tentu anak akan mengunjukkan bakti kepada ayah ibu berdua. Setelah urusan-urusan itu selesai, aku tentu akan segera pulang ke Hun-tiong-san! Cu Giok-bun tersenyum, Baiklah, sekarang kau boleh berangkat.....ingat, harus lekas-lekas pulang!
http://goldyoceanta.wordpress.com Halaman 289 dari 290

Walaupun agak heran, namun Thian-leng tak mau banyak bertanya lagi. Setelah memberi hormat kepada sekalian orang tua, ia segera meninggalkan Sin-bu-kiong. Puas mengantar keberangkatan sang cucu dengan pandangan mata, Jenggot perak tertawa keras. Kira-kira sebulan lagi, aku si orang tua bakal minum arak kegirangan, ha, haa, ha....! serunya. Melihat Thian-leng pergi, sebenarnya Bu-song gelisah sekali. Kek, mengapa kau begitu girang? tegurnya kepada Jenggot perak. Sudahlah, jangan banyak tanya. Nanti pada waktunya kau tentu akan tahu sendiri! sahut Jenggot perak. Kemudain ia berpaling dan membisiki telinga mantunya. Apa? Bu-song dan Siau-bun henak dinikahkan kepadanya? Pok Thiat-beng terbelalak. Tiba-tiba ia tertegun karena merasa telah kelepasan omong. Namun hal itu cukup didengar oleh Bu-song dan Siaubun. Merah padam wajah kedua gadis itu. Tetapi mereka berdua memang cerdik, pura-pura tak mendengar. Jenggot perak tertawa, tegurnya kepada Cu Hiok-bun, Eh, Hun-tiong-hu melulu sebuah kuburan, tak tepat dijadikan tempat pesta kawin. Baiklah aku kembali dulu ke Tiam-jong-san. Kau tunggu Thian-leng di Hun-tiong-san. Begitu dia pulang, kalian segera menuju ke Tiam-jong-san.... Tanpa menunggu jawaban Cu Giok-bun, Jenggot perak kembali memberi perintah kepada Li Cu-liong, ketua Tiam-jong-pay, Seorang tamu tak mau merepotkan dua orang tuan rumah. Kali ini adalah pesta perkawinan yang meriah. Ayo, kita lekas pulang membuat persiapan! Walaupun tak mengerti, tetapi Li Cu-liong hanya menurut saja. Yang terakhir, Jenggot perak berkata kepada Ki Tim totiang, Totiang, sebagai Bu-lim beng-cu, kuserahkan urusan di sini kepada totiang! Ki Tim tersipu-sipu mengiyakan. Sudah tentu ini menjadi kewajibanku. Silakan Lu lohiapsu mengurus keperluan Lu lohiapsu sendiri. Setelah urusan di sini selesai, akupun tentu beramai-ramai akan mengunjungi Tiam-jong-san untuk minta arak kegirangan dari lohiapsu! Jenggot perak menggerutu seorang diri, Ai, memang aku ditakdirkan untuk menjadi tukang urus orang. Setelah urusan Thian-leng selesai, masih ada Ki Gwat-wan yang harus menerima warisan istana Sinbu-kiong.... Jago tua itu segera mengajak Bu-song, Li Cu-liong serta Im Yang songsat, Bok Sam-pi dan Ceng-ceng serta rombongannya menuju ke Tiam-jong-san. Pok Thiat-beng dengan isterinya Cu Giok-bun serta kedua gadisnya Siau-bun dan Lian-ci berangkat ke Hun-tiong-san. Pada saat mereka keluar dari Sin-bu-kiong, fajarpun memancarkan sinarnya yang gemilang.Dunia persilatan mulai dengan lembaran baru lagi..... Tamat

http://goldyoceanta.wordpress.com

Halaman 290 dari 290

Anda mungkin juga menyukai