Anda di halaman 1dari 4

Tujuh Dewa Sesat itu lalu menghampiri Cung Bun yang masih duduk bersila seperti

sebuah arca. Hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.

"Cung Bun yang baik. Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh.
Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai
anak. Aku mendengar bahwa engkau pun sebatang-kara, tidak mempunyai ayah-bunda
lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, maka aku akan menjadi pengganti
ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang pangeran
di istanaku, di Rawa Mayat, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia.
Marilah Cung Bun, anakku!"

Cung Bun mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk
dan tidak menjawab, juga tidak bergerak. Hatinya makin sakit karena dia dengan
jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apa lagi kalau dia
mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa
enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.

"Cung Bun, aku adalah ketua dari Partai Pengemis Delapan Dewa di Delapan Dewa.
Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat
engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Cung Bun, dan
kelak engkau akan menjadi Raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang?
Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup
sengsara. Kau ikutlah dengan aku, dan Pengemis Delapan Dewa akan menjadikan engkau
seorang yang paling gagah di dunia ini!"

Kembali Cung Bun memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat
membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan
kepadanya untuk menjadi Raja Pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali
menundukkan mukanya.

"Anak Jenius, anak baik, Cung Bun, dengarlah aku. Aku adalah Dewa Sastra, seorang
sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Gunung Ayam. Selama hidupku
aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun
menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali
mengangkat engkau sebagai muridku, Cung Bun."

"Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Cung Bun. Biar pun aku seorang yang kasar, namun
hatiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan
sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan
kecewa menjadi murid Dewa Racun Bumi. Pilihlah aku menjadi gurumu, Cung Bun."

"Tidak, aku saja! Aku Abin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapa pun dan
sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu.
Akulah keturunan dari Dewa Sakti Sun Gokong, akulah yang mewarisi ilmu Kera Sakti.
Kau jadilah murid Dewa Racun Langit dan kelak kau akan merajai dunia persilatan,
Cung Bun."

"Lebih baik menjadi muridku. Aku Dewa Dunia Aciang, di kolong dunia nomor satu dan
ketua dari Tombak Besi di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia
terpandai di kolong langit!"

"Hoho...! Hoho...! Kau dengarlah mereka semua itu, Cung Bun. Semua hendak
mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorang pun yang
hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi hamba ingin sekali mengambil
murid kepadamu, hendak hamba jadikan engkau seorang calon guru besar kebatinan. Kau
berbakat untuk itu! Siapa tahu kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar
seperti Nabi Lo cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid
Dewa Laut Selatan, Cung Bun!"
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti
arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang
orang yang membujuknya.

Terdengarlah suara sang bocah yang halus menggetar dan penuh duka. "Terima kasih
kepada Kalian Tetua Senior. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapa pun juga di
antara Kalian karena di balik semua kebaikan Kalian terdapat kekerasan dan nafsu
membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapa pun. Saya lebih senang
tinggal di sini, di tempat sunyi ini. Harap Kalian sekalian tinggalkan saya, saya
akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini."

"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Dewa Racun Bumi yang
berwatak berangasan dan kasar.

"Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Dewa Racun Langit.

"Hoho... sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah jenius ini tidak mau memilih seorang
di antara kita secara sukarela. Karena itu tentu kita semua ingin merampasnya
secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-
kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya
kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang
keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak memiliki Cung Bun," kata Dewa Laut
Selatan yang lebih sabar daripada yang lain.

"Mana bisa diatur begitu?" bantah Pengemis Delapan Dewa yang khawatir kalau-kalau
lima orang itu akan mengeroyok dia dan Dewi Utara. "Lebih baik seorang lawan
seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah
beristirahat. Begitu baru adil!"

"Tidak!" bantah Dewi Utara. Wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang
menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Dewa
Laut Selatan. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai
pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh
mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu-
satunya orang yang keluar sebagai pemenang jelas dia lebih lihai dari-pada yang
lain."

Akhirnya Pengemis Delapan Dewa kalah suara. Ketujuh orang itu telah mengeluarkan
senjata masing-masing, membentuk lingkaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling
lirik, siap untuk menghantam siapa yang mendekat dan menangkis serangan dari mana
pun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau-balau dan aneh!

Cung Bun yang masih duduk bersila memandang dengan mata terbelalak, dan dia menjadi
silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk
menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya, sehingga bagi Cung Bun
yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang
berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.

Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap
orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Dewa
Racun Bumi menyerang Pengemis Delapan Dewa dengan pedang kembarnya, sepasang
pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pengemis Delapan Dewa terkejut karena pada
saat itu dia sedang menyerang Dewa Laut Selatan yang di lain pihak juga sedang
menyerang Dewa Sastra! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang
Dewa Racun Bumi itu bertemu dengan tombak di tangan Dewa Dunia dan tongkat Dewa
Racun Langit, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pengemis Delapan Dewa.

Pertandingan sungguh kacau-balau dan hanya Dewi Utara yang benar-benar amat
cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar.
Ia selalu menghindarkan serangan lawan yang mana pun juga dan dia pun tidak
menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk
membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang di
antara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang
dengan jalan mengeroyok tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang.

Namun mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah
mudah dibokong oleh Dewi Utara, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah
mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu
terseret ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri
dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan
kemarahan meluap-luap.

Cung Bun menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang
laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan
pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata
terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan
tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di
atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan
sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Cung Bun yang
terheran-heran itu pun memperhatikan lebih seksama.

Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya. Pakaiannya seperti
seorang pelajar, akan tetapi di bagian dada bajunya yang merah muda itu ada lukisan
seekor Naga Emas, Harimau Perak dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan
baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot. Pakaiannya juga
bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru
atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap. Rambutnya memakai kopyah
sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia
mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu.

Cung Bun makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan
hampir tak tampak itu? Cung Bun tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya
memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu
bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka.

Dewa Dunia telah terkena hantaman tongkat Dewa Racun Langit di pahanya sehingga
terasa nyeri sekali. Pengemis Delapan Dewa juga kena serempet pundaknya sehingga
berdarah oleh sebatang di antara pedang kembar di tangan Dewa Racun Bumi, sedangkan
Dewa Laut Selatan dan Dewa Sastra juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar
sampai muntahkan darah, namun berkat tenaga dalam murni mereka, kedua orang ini
tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.

Cung Bun melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum. Orang itu
menghentikan coretannya, lalu menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi
tergantung di ranting pohon. Setelah memakai jubah, lelaki itu kemudian mengantongi
gambar yang telah digulungnya dan akhirnya tubuhnya melayang turun.

"Tontonan tidak bagus!" terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila
memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil, benar-benar tak tahu malu sama
sekali!"

Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung
mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki tenaga dalam dan
tenaga dalam murni yang amat kuat sehingga dapat mengatur suaranya, langsung
dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Cung Bun
yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan
masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagah
yang baru muncul itu. Namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang
mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.

�Bangsat kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?!"
bentak Pengemis Delapan Dewa sambil mengusap pundaknya yang berdarah.

�Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?" bentak pula
Dewa Dunia yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tidak patah
tulangnya.

Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap sama
sekali tidak
takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seorang demi seorang.
Setelah berada di tengah-tengah sehingga terkurung, kemudian dia berkata, " Tadinya
aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam oleh perebutan orang-orang
pandai di dunia persilatan. Ketika tiba di sini dan melihat lagak kalian, mau tidak
mau aku masuk karena hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang
sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Tongkat Delapan Dewa yang
berdasarkan Ilmu Pedang Delapan Dewa," katanya sambil menuding ke arah Pengemis
Delapan Dewa.

Dewa Pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu tongkatnya. Padahal
tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan luar biasa, bagaimana orang ini
dapat mengenal ilmu tongkatnya?

"Dan ilmu tongkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Sun Gokong Si
Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raja Monyet,
pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus!� katanya pula sambil menuding ke arah Dewa
Racun Langit.

"Brakkk!!" batu besar yang berada di samping Dewa Racun Langit hancur berantakan
karena dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya
menghina itu.

"Manusia lancang, berani kau menghina Dewa Racun Langit?" bentaknya dan tongkatnya
sudah diputar hendak menyerang.

Akan tetapi orang itu membentak, "Berhenti!"

Dan aneh, suaranya demikian berwibawa sehingga Dewa Racun Langit sendiri sampai
tergetar dan menghentikan gerakan tongkatnya.

"Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih mentah
semua. Aku tidak berbohong, dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju seorang
demi seorang. Akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat kalian yang kalian
pergunakan dalam pertandingan kacau-balau tadi. Hayo siapa yang maju lebih dulu,
akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!"

Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya dari-pada kemarahan.
Maka Pengemis Delapan Dewa melupakan pundaknya yang terluka. Cepat dia sudah
meloncat ke depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba
kau buktikan kementahan ilmu tongkatku!"

Anda mungkin juga menyukai