Jilid 1 Negeri kacau banyak perjodohan terhalang Laut dan gunung saling merindu jumpa Gelegah menanti sang embun mencurah sayang Duhai, siapa yang membelai tusuk kondai pusaka? Tahun ke tahun penjuru buana habis dilalang Kepada siapa gerangan kurayukan bisikan jiwa Syukurlah angin timur meniup hujan membayang Bulan surut angin mengembus belibis terjaga. Malam sunyi. Suasana di sebuah hotel di suatu kota kecil dekat Lo-ciu tenggelam dalam keheningan malam. Di suatu kamar hotel itu lagi duduk termenung-menung seorang anak muda, terkadang terdengar juga mulutnya menggumam sendiri. Tusuk kondaiku ini berukiran Liong dan tusuk kondainya berukiran Hong, keduanya adalah satu pasangan. Aku suaminya, ia isteriku. Perjodohan ini telah ditetapkan sejak lahir. Ai, tapi bagaimana harus kukatakan kepadanya? Apakah begitu berjumpa, terus saja kukatakan: Aku ini suamimu, maka aku datang menemuimu! Ah, tidak, tidak, berat rasanya mulutku mengucap begitu. Mungkin ia akan menganggap aku seorang gila. Aku pun belum pernah bertemu muka dengan dia, entah ia suka padaku atau tidak, entah apakah ia sudi menerima aku sebagai suaminya? Ai, sukar nian mengerjakan urusan yang memalukan ini. Tetapi ini adalah pesang mendiang ayah-bundaku, tak dapat aku mengingkarinya. Apakah ia mengetahui juga urusan ini? Jika sudah, itu sih mudah. Cukup jika kuminta dia mengunjukkan Hong-ja untuk dipadu dengan punyaku Liong-ja. Sepasang tusuk kondai pusaka serupa bentuk buatannya. Hm, tolol benar aku ini! Bukankah saat itu aku tak perlu mengucap apa-apa lagi dan dengan sendirinya iapun sudah mengerti? Tetapi sesudah itu, lalu bagaimana? Jika aku tak bernyali untuk mengatakan apa-apa, masakan ia berani berkata dulu : Ya, benar sejak ini kita menjadi sepasang suami isteri. Suami isteri tentu akan selalu berkumpul bersama. Dari pagi sampai petang aku tentu akan selalu berhadapan padanya. Bagaimanakah perangainya? Dapatkah aku menyukainya? Dan andaikata ia tak tahu menahu tentang urusan ini, habis bagaimana? Apakah aku harus tebalkan kulit muka untuk menuturkan riwayat sepasang tusuk kondai pusaka itu? Kemudian mengatakan : Aku ialah si anak lelaki dan kaulah si anak perempuan yang dimaksudkan itu. Tapi ia tak kenal padaku, apakah ia mau mendengar ceritaku? Dan setelah mendengar, apakah ia mau percaya ....? Ai, ai, benar-benar pusing dan akan pecah rasanya kepalaku! Demikianlah lalu-lang keterangan yang mengejangkan urat syaraf Toan Khik-ya di kala ia mondar-mandir di kamar hotelnya sembari menggenggam sebuah tusuk kondai kemala. Saking tegangnya, sampai-sampai ia mengoceh sendirian. Kini ia sudah menginjak usia 16 tahun. Setelah 8 tahun lamanya negara menderita kekacauan akibat pemberontakan Ang Lok-san dan Su Su-bing, kini keamanan berangsur-angsur pulih kembali. Bibi He (namanya He Leng-soang, isteri dari Lam-ce-bun) yang mengasuhnya seperti ibunya sendiri, mengatakan bahwa karena ia sudah dewasa maka disuruhnyalah ia pergi ke Lo- ciu menemui tunangannya. Tunangannya itu adalah puteri pungut dari Sik Ko yang menjabat Ciat-to su (panglima yang bertugas menjaga perbatasan). Bibi He menerangkan pula bahwa Sik Ko itu seorang keras, ia melarang seisi rumahnya membocorkan asal usul puteri pungutnya itu. Oleh karena itu, mungkin sampai sekarang gadis itu tentu belum mengetahui siapa ayah bundanya yang asli. Jadi Toan Khik-ya berangkat menemui seorang tunangan yang belum pernah dikenalnya, seorang gadis yang tak tahu akan asal-usul dirinya sendiri. Lazimnya dalam umur 15-16 tahun itulah anak mulai mengerti urusan duniawi. Dalam usia begitu seorang dara tentu akan kemerah-merahan pipinya bila bertemu dengan seorang jejaka, begitu pun sebaliknya. Lebih-lebih seperti keadaan Toan Khik-ya saat itu, disuruh seorang diri menjumpai seorang tunangan yang belum pernah dilihatnya. Itulah sebabnya, makin dekat ke kota Lo-ciu, hati Toan Khik-ya makin risau, malu, berdebar-debar, gembira dan penuh harapan .... Ketegangan perasaannya itu, tepat seperti yang digambarkannya serasa membuat kepala pecah. Tiba-tiba ada semacam bau wangi berembus masuk dari jendela. Ketegangan benaknya makin menjadi-jadi, seketika ia rasakan kepalanya pening ingin tidur. Celaka! sekonyong-konyong ia mengeluh. Selintas terbayanglah olehnya akan kejadian yang dialaminya siang tadi. Seorang lelaki yang memelihara kumis pendek, entah bilamana, telah mengikutinya dari belakang. Karena di jalanan pada siang hari banyak orang berlalu-lalang, jadi ia tak leluasa menggunakan ilmu gin-kang. Sengaja ia lambatkan langkahnya, tapi ternyata orang itu pun kendorkan jalannya. Ketika ia berjalan ceat sedikit, orang itu pun cepatkan langkahnya. Toan Khik-ya menaruh kepercayaan pada ilmu kepandaiannya sendiri. Meskipun ia menaruh kecurigaan, tapi ia tak memandang serius pada orang itu, hanya merasa jengkel saja. Setelah tiba di jalanan yang sepi, ia sengaja unjukkan sedikit demonstrasi. Sekali hantam ia patahkan sebuah dahan pohon sebesar paha orang lalu dibuat memikul buntalan barangnya. Entah bagaimana, orang itu lantas menghilang. Apakah orang itu seorang penjahat yang karena siang hari tak leluasa turun tangan, tapi malam sekarang mau menggerayang kemari? demikian pikirnya. Plak, terdengar suara sebuah kerikil melayang masuk dari jendela. Itulah cara melempar batu menanyakan jalan yang biasa dilakukan oleh kaum penjahat bilamana hendak mencari keterangan tentang keadaan sasarannya. Karena suhengnya, Gong-Gong-ji, bergelar Pencuri Sakti Nomor Satu di Kolong Jagat, jadi Toan Khik-ya mengerti juga tentang cara itu. Hm, kiranya bangsa penjahat picisan saja. Seorang penjahat ulung tentu tak perlu menggunakan cara bertanya jalan begitu. Baik, coba saja bagaimana ia hendak mencuri barangku nanti, diam-diam ia mentertawakan. Tring, Liong-ji kemala yang digenggamnya itu jatuh di atas meja, menyusul kepala Toan Khik-ya pun terantuk pada meja seperti orang yang terkulai pulas. Daun pintu kedengaran terdorong, sesaat kemudian terdengar lengking seruan kaget seseorang, Eh, lihatlah tusuk kondai kemala itu! Itulah suara seorang perempuan. Dan yang lebih mengherankan lagi, mengapa ia melengking begitu nyaring? Bukankah biasanya bangsa pencuri itu pantang menerbitkan suara? Ssst, jangan bersuara keras-keras, seru lain suara yang bernada kasar lantang, sekarang kau mengakui ketajaman mataku tidak? Kuyakin mataku takkan salah melihat kalau bocah ini mempunyai sebuah benda berharga, hanya saja aku tak menyangka sama sekali kalau bendanya itu sebuah pusaka. Ha, melulu mestika ya-beng-cu yang tercantum di atas tusuk kondai itu saja nilainya tak kurang dari beberapa puluh ribu tahil perak! Nilainya itu tak penting, sahut orang pertama yang bernada seperti perempuan, yang kuherankan mengapa barang itu serupa benar dengan kepunyaan nona kita! Apa? Nonamu juga mempunyai tusuk kondai kemala seperti ini? seru si lelaki. Ya, hanya saja lukisannya tak sama. Tusuk kondai nonaku berukir seekor burung Hong (cendrawasih) yang tengah mementang sayapnya hendak terbang! Ha, engkoh Bo, rupanya peruntunganmu sudah tiba, kata si perempuan. Benar, ini namanya seperti mendapat durian runtuh, sahut si lelaki, Aku mempunyai beberapa kenalan pedagang intan berlian, tak kuatir tak bisa mendapat harga. Setelah mempunyai
beberapa puluh ribu tahil perak, kita cari sebuah tempat yang sunyi untuk mendirikan rumah tangga yang bahagia. Engkoh Bo, aku tidak mempunyai maksud begitu, di luar dugaan si perempuan telah menyanggah. Oh, habis bagaimana rencanamu? tanya si lelaki. Menyembunyikan diri dan lewatkan hari-hari dengan penuh kecemasan, bukanlah cara yang benar! Apalagi Tayswe (panglima) tentu akan menyebar perintah penangkapan kemana-mana, mana kita dapat bersembunyi dengan aman? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan tusuk kondai ini kepada nona, kebetulan beliau juga mempunyai sebuah tusuk kondai yang serupa, dengan demikian tanggung beliau pasti akan gembira sekali. Kemudian jika kuminta tolong kepada nona supaya memintakan pengampunan pada Tayswe, kemungkinan besar bukan saja kita dibebaskan dari penangkapan, bahkan Tayswe akan menghadiahkan kau suatu pangkat pula. Bukankah cara demikian adalah terlebih bagus? Masih si lelaki menegas dengan kesangsian, Apakah kau yakin dapat membujuk nona? Aku adalah dayang kesayangannya. Kali ini jika bukan gara-garamu, masakan aku tega berpisah dengan nona. Bila aku meminta ampun, ia tentu meluluskan, apalagi aku membawa barang persembahan yang berharga! jawab si perempuan. Tapi jika ia menanyakan dari mana kau peroleh barang itu, bagaimana jawabmu? Tentang itu, itu ..... sekali ini si perempuan tak dapat menemukan jawaban yang tepat. Melihat itu si lelaki buru-buru menyatakan, Kurasa lebih baik kita langsung persembahkan benda pusaka ini pada Tayswe saja. Mungkin kau tak tahu bahwa Tayswe itu asal-usulnya juga dari kalangan Lok-lim (penyamun). Asal beliau sudah menerima barang pusaka, tak nanti ia mendesakmu untuk memberi keterangan dari mana kau peroleh. Tidak demikian dengan nona. Ai, tapi makin kupandang benda ini makin besar rasa sayangku. Sebenarnya kita rugi kalau menyerahkannya kepada Tayswe! Kau tentu cukup kenal perangai Tayswe, maka lebih baik kita serahkan saja. Oh, ya, teringat aku sekarang. Bulan muka tanggal 15 ini, nona akan merayakan hari pernikahannya! Itu suatu kesempatan bagus bagi kita. Dengan persembahan kita itu, masakan Tayswe takkan dimabuk kegirangan. Hai, kenapa kau ini? Jawab si lelaki, Bocah ini mengerti ilmu silat, lebih baik sekali bacok kumampuskan dia saja daripada kelak menimbulkan urusan. Menyingkirlah, jangan kau merintangi aku! Kiranya lelaki itu hendak membunuh Toan Khik-ya, tapi dihadang oleh kawannya perempuan. Jangan, jangan, masakan kita tak berperikemanusiaan. Sudah merampas barangnya masih mau mengambil jiwanya. Turutlah permintaanku, lepaskan dia. Jika kau membangkang, aku tak sudi mengikut kau! seru si perempuan. Ai, mengapa hatimu selemah ini? si lelaki mengomel, Baiklah, kuturut permintaanmu, apa boleh buat, ya siapa yang suruh aku suka padamu? Nah, berikanlah tusuk kondai itu padaku dan ayo kita lekas pergi dari sini. Ha, ha, sungguh benda pusaka bagus! Baru lelaki itu mendorong daun jendela hendak loncat keluar, belum suara ketawanya sirna, tahu-tahu tubuhnya bergoncang dan sebagai tonggak, ia berdiri tegak seperti patung. Tring, tusuk kondai yang digenggamnya itupun jatuh ke lantai. Berbareng itu Toan Khik-ya pun loncat menghadang si perempuan. Ternyata walaupun baru berumur 16 tahun, tapi kepandaian Toan Khik-ya sudah bukan olaholah hebatnya. Sewaktu mencium bau wangi tadi, segera ia sudah curiga. Buru-buru ia gunakan ilmu pernapasan Pit-hi-hoan-gi untuk menutup hidungnya. Obat bius Ke-bing-ngo-ko-hoan- hunhiang yang biasa digunakan oleh kaum persilatang itu, sudah tentu tak mempan terhadap dia. Ia tadi hanya pura-pura saja pingsan untuk melihat perkembangan. Dan kedua penyatron itu ternyata kena diingusi. Si perempuan tadi terkejut dan hendak menerobos lari, tapi kena disambar Toan Khik-ya. Bukan urusannya, lepaskan dia! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku! si lelaki buru-buru berteriak. Ternyata si lelaki itu kena tertutuk jalan darahnya oleh tutukan Keh-gong-tiam-hiat (menutuk
dari kejauhan) yang dilepas Toan Khik-ya. Tubuhnya tak dapat bergerak, tapi mulutnya masih bisa bersuara. Ini disebabkan karena Toan Khik-ya masing kurang pengalaman. Karena terburu-buru, ia sampai lupa untuk menutuk jalan darah pembisu orang. Biasanya, adalah si maling yang takut bersuara, sebaliknya kini Toan Khik-ya yang takut si maling bersuara. Setelah membikin bisu si lelaki, barulah Toan Khik-ya lepaskan perempuan itu. Jangan takut, mengingat kau tadi melindungi jiwaku, akupun takkan membunuh suamimu itu. Hanya saja tusuk kondai pusaka itu adalah warisan keluargaku, jangan kalian ambil, kata Toan Khik-ya dengan tertawa. Perempuan itu tertegun, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih, Terima kasih atas kelapangan hati Siangkong. Sudah tentu kami tak berani mengambil barangmu. Harap Siangkong lepaskan kami saja! Toan Khik-ya menyahut dengan tertawa, Nanti dulu, kalau mau pergi mudah saja, asal kau memberi keterangan yang jujur. Dari pembicaraanmu tadi, rupanya kau ini bujang perempuan dari keluarga pembesar. Siapakah nona majikanmu itu, lekas bilang! Merah padam muka si perempuan, setelah bersangsi sejenak, barulah ia berkata, Dengan sejujurnya aku ini adalah budak dari puteri Ciat-tok-su daerah Lo-ciu sini. Oh, kiranya kau ini pelayan dari nona Sik Hong-sian, puteri Sik Ko itu? Tapi mengapa kau berkawan dengan bangsat itu hendak mencuri barangku? tegur Toan Khik-ya. Mendengar Toan Khik-ya menyebut nama nona majikannya, perempuan itu makin terkesiap. Katanya pula, Ya, karena aku diam-diam pergi dengan dia. Dia menjabat sebagai wi-su (pengawal) dari Sik-tayjin, dan kami .... kami ..... Ha, kiranya begitulah. Kau suka padanya, lalu minggat bersama, bukan? Toan Khik-ya menegas. Perempuan itu tersipu kemalu-maluan. Huh, kekasihmu itu boleh juga. Rupanya ia pun suka padamu. Baiklah, kuampuni dia, kata Toan Khik-ya. Perempuan itu hendak menghaturkan terima kasih, tapi Toan Khik-ya mencegahnya, Nanti dulu, tadi kau katakan hendak menyerahkan tusuk kondaiku ini kepada nona majikanmu sebagai barang persembahan. Entah mempunyai kerja apa nonamu itu? Bulan muka tanggal 15 nona hendak keluar pintu, sahut si perempuan. Mendengar itu Toan Khik-ya melongo. Apa? Nonamu hendak keluar pintu? ia menegur. Menduga Toan Khik-ya tak mengerti maksud kata-kata itu, si bujang perempuan memberi keterangan, Benar, keluar pintu artinya menikah. Nona majikanku hendak menjadi pengantin! Toan Khik-ya tercengang, katanya dengan tergagap-gagap, Jadi, jadi ia akan kawin? Tiba-tiba saat itu di sebelah luar terdengar derap kaki orang, menyusul ada orang berteriakteriak, Ada pencuri, ayo bangun tangkap pencuri! Seketika terdengarlah suara berisik dan langkah orang berderap-derap. Hotel itu ternyata memegang teguh ketertiban. Setiap malam ada orang jaga. Jaga malam itu kaget mendengar ributribut dari kamar Toan Khik-ya. Karena jeri seorang diri tak berani menangkap pencuri, maka ia berteriak-teriak memanggil kawan. Wajah bujang perempuan tadi menjadi pucat. Tergopoh-gopoh ia meminta pada Toan Khik-ya, Mohon, mohon Siangkong sukalah lepaskan dia! Toan Khik-ya juga gugup. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka jalan darah bekas wisu itu. Begitu dapat bergerak, bekas wi-su itu segera ajak kekasihnya loncat keluar jendela. Dari situ loncat ke atas rumah terus melenyapkan diri. Melihat di atas wuwungan rumah ada tubuh orang, jaga malam itu menyurut ketakutan. Berselang beberapa jenak, baru ia berseru kepada orang-orang yang mendatangi, Aman, sudah aman, pencurinya sudah melarikan diri. Toan Khik-ya menyimpan tusuk-kondainya lalu tutup kepala dengan selimut, pura-pura tidur lagi. Tak berselang berapa lama, terdengar pintu kamarnya diketuk. Ternyata yang datang adalah pengurus hotel yang menanyakan keterangan kalau-kalau barangnya ada yang tercuri maling. Toan
Khik-ya pura-pura terkejut dan tak mengetahui apa-apa. Barang bekalannya sederhana sekali, setelah pura-pura memeriksanya sebentar, ia mengatakan tiada kehilangan apa-apa. Dengan bangga, si penjaga malam menepuk dada, Untung ada aku hingga si pencuri ketakutan lari! Habis itu ia minta persen pada Toan Khik-ya. Toan Khik-ya memberi sedikit uang dan kawanan jaga malam itupun lantas ngeloyor pergi. Semalam itu Toan Khik-ya tak dapat tidur. Pikirannya selalu bertanya-tanya, Ia mau kawin, kawin dengan siapa? Ah, sayang tadi aku tak keburu menanyakan keterangan Itu kemauan Sik Ko atau ia sendiri yang menyetujuinya? .... Ai, karena ia toh bakal menjadi pengantin, apakah aku masih perlu menjumpainya untuk menceritakan tentang tusuk-kondai pusaka ini? Ayahku dan ayahnya, semasa masih hidup sama mengikat persaudaraan, sekali pun tidak dikarenakan urusan perjodohan itu, aku harus datang kepadanya dan memberitahukan asal-usulnya ..... Ya, benar, dalam pertemuan nanti untuk sementara takkan kukemukakan perjodohan itu. Demikian setelah mendapat keputusan, dapatlah Toan Khik-ya meramkan mata barang beberapa jenak. Tapi hanya beberapa saat saja, haripun sudah mulai terang tanah. Ia berkemas dan meneruskan perjalanannya Ke Lo-ciu lagi. Berjalan tak berapa lama, tiba-tiba didengarnya di sebelah muka ada sorak-sorai gegap gempita. Buru-buru ia cepatkan langkahnya. Setelah membelok di sebuah tikungan gunung, dilihatnya di jalanan ada dua rombongan orang tengah bertempur. Dari corak pakaiannya, partai yang satu terdiri dari tentara negeri dan partai lawan adalah kawanan begal. Di belakang mereka tampak berjajar belasan buah kereta. Para kusirnya sama angkat tangan ke atas pertanda menyerah. Turut peraturan golongan Hek-to, yaitu kaum bandit, apabila tiada perlawanan maka pemilik dari barang-barang yang akan dirampasnya itu, tidak boleh dibunuh. Dari dalam hutan pohong siong, makin banyaklah kawanan penyamun yang keluar. Karena kalah banyak jumlahnya, lama kelamaan pihak tentara negeri menjadi keteter. Saat itu kawanan penyamun sudah siap hendak membawa pergi kereta-kereta barang itu. Sungguh banyak dan brutal (kurang ajar) sekali kawanan penyamun itu. Masakah di siang hari bolong mereka berani merampok. Hm, jika kereta-kereta itu terampas mereka, bukankah pasukan yang menunggu rangsum itu akan mati kelaparan? pikir Toan Khik-ya. Ia duga belasan kereta itu memuat bekal rangsum. Ketika berumur 10 tahun, Toan Khik-ya pernah ikut ayahnya membantu perjuangan Thay-siu (setingkat gubernur) Thio Sun menjaga kota Sui-yang. Dengan mata kepala sendiri, kala itu ia saksikan bagaimana ngenasnya kawanan serdadu yang kehabisan rangsum. Kesan itu sampai sekarang tak pernah ia lupakan. Aku pun tak mau membunuh kawanan penyamun itu, asal dihalau pergi, cukuplah! pikirnya. Setelah mengambil keputusan, ia lari menghampiri mereka dan berseru lantang-lantang, Hai, tengah hari bolong mengapa kalian berani merampas barang orang. Ayo, lekas enyah dari sini! Kawanan penyamun itu tertawa keras. Mereka tak mengacuh sama sekali pada seorang bocah seperti Khik-sia. Hai, kacung yang masih ingusan apa kau mau ikut-ikutan cari perkara? bentak mereka dengan serempak. Lekas pulang minta netek ibumu saja, awas golokku tak bermata, tahu! Kepala penyamun rupanya cukup berpengalaman. Melihat gerakan Toan Khik-sia yang gesit tadi, ia terperanjat. Hati-hati, bocah itu tak boleh dipandang enteng! serunya segera. Belum habis ia memperingatkan kawan-kawannya, Toan Khik-sia sudah menerjang ke dalam gelanggang. Tanpa membalas ejekan mereka, Toan Khik-sia mencabut pedang tinggalan mendiang ayahnya, terus dibolang-balingkan kian kemari. Tring, tring, terdengar beberapa kali suara gemerincing. Kejut si kepala penyamun bukan kepalang. Golok, pedang, tombak, sama berhamburan kutung di tanah demi terbentur pedang Toan Khik-sia. Mendadak pemimpin penyamun itu timpukkan bandringan rantai Liu-sing-juinya untuk menghantam po-kiam Toan Khik-sia. Namun sempat Khik-sia menghindar dan secepat kilat disambarnya bandul bandringan itu terus disambitkan kembali. Trang, tepat sekali bandul itu menghantam bandul yang kedua. Suaranya berderang memecah telinga. Kedua bandul itu
melayang ke udara. Cepat Khik-sia menyambuti yang sebuah lagi dengan tangannya kiri, kemudian diiring dengan gerakan pedang di tangan kanan, ia menari-nari lagi. Tring, tring, kembali beberapa batang tombak dan golok lawan tergempur kutung! Jika kalian tetap tak mau enyah, jangan salahkan kalau aku melukai orang. Po-kiamku ini juga tak bermata, awaslah, lebih baik kalian lekas menyingkir saja! untuk yang kedua kalinya Khik- sia memberi peringatan. Kepala penyamun itu menahan nafas, serunya dengan nyaring: Baik, terima kasih atas kebaikan saudara. Selama gunung masih menghijau, lain kali kami tentu akan minta pengajaran lagi padamu! Dan sekali memberi komando, kawanan penyamun itu berbondong-bondong pergi. Datangnya cepat, perginya pun lekas, persis seperti gelombang laut yang pasang surut. Sebentar saja mereka sudah lenyap dari pemandangan. Opsir pasukan tentara bergegas-gegas lantas datang menghaturkan terima kasih kepada Toan Khik-sia. Ah, untuk urusan kecil itu tak usah begitu sungkan, sahut Khik-sia sembari hendak berlalu. Siau enghiong (ksatria cilik), kau sudah membuat pahala besar, apakah tak berminat mendapat hadiah dan pangkat? buru-buru opsir itu berseru. Acuh tak acuh Khik-sia menjawab: Aku masih kecil, tak inginkan pangkat. Aku pun tak kekurangan uang, tak butuh hadiah apa-apa. Nah, selamat tinggal! Opsir itu tercengang, sesaat kemudian ia acungkan jempolnya berseru memuji: Inilah ksatria gagah sejati! Ai, Siauenghiong, tunggu dulu, tunggu dulu, aku belum menanyakan namamu yang mulia dan kemana tujuanmu? Dengan acuh tak acuh Khik-sia memberitahukan namanya dan menyatakan hendak menuju ke Lo-ciu. Opsir itu tertawa gelak-gelak: Kamipun justru kebetulan hendak menuju ke Lo-ciu juga. Kita sama seperjalanan. Ha, ha, Toan-siauhiap, tahukah kau untuk apa kami pergi ke Lo-ciu ini? Dalam saat itu, kawanan serdadu sudah mengangkat benderanya yang jatuh tadi. Disitu tersulam huruf-huruf: Gui-pok-ciat-tok-su Tian. Mana aku tahu? sahut Khik-sia dengan tertawa. Menunjuk ke arah bendera, berkatalah opsir itu: Berkata dengan sejujurnya, kami ini dititahkan Gui-pok-ciat-tok-su Tian tayciangkun untuk mengirim barang bingkisan ke Lo-ciu. Tian tayciangkun itu dahulu adalah bekas Hou-kun-thong-leng (panglima) dari An Lok-san. Dia dengan Sik Ko, sama-sama menjadi panglima sebawahan dari An Lok-san. Keduanya akrab sekali hubungannya. Setelah Sik Ko menakluk pada kerajaan Tong, tak lama kemudian Tian tayciangkun pun menyusul tindakannya. Kini mereka berdua sama menjabat sebagai Ciat-tok-su. Sekalipun daerah kekuasaannya lebih kecil dari Sik Ko, tapi beliau terus-menerus membentuk pasukannya dan memperkuat perlengkapannya. Dalam hal kekuatan tentara, kini ia lebih kuat dari Sik Ko. Pula hati Khik-sia tergetar hatinya: Oh, jadi kalian ini hendak mengantar Lap-jay (bingkisan, emas kawin) ke Lo-ciu? Apakah kedua keluarga itu hendak mengikat pernikahan? Benar, Tian-tayciangkun hendak menikahkan puteranya yang sulung. Yang menerima bingkisan perkawinan itu, ialah puteri dari Sik ciat-tok-su. Mereka akan melangsungkan pernikahan pada nanti bulan muka tanggal 15. Keduanya sahabat karib dan sama-sama menjabat pangkat tinggi, sudah tentu barang-barang bingkisannya berharga mahal. Jika pembesar tinggi mempunyai hajat kerja, kami kaum bawahannya inilah yang lari pontang-panting. Dalam perjalanan, sudah dua kali kami berhantam dengan kawanan penyamun, kata opsir itu pula, sungguh tak nyana gerombolan penyamun yang tadi begitu lihaynya. Untung mendapat bantuanmu hingga barang bingkisan itu dapat diselamatkan. Jika tidak, ah, mungkin batang kepala kami sudah menggelinding! Toan-siauhiap, terangkah kau sekarang, betapa besar pahalamu terhadap Ciat-tok-su kami itu? Ha, ha, jika kau kepingin kaya sajam pangkat apa dan hadiah yang bagaimana, asal kau membuka mulut, Tayciangkun tentu akan meluluskan! Oho, begitu kiranya? Semula kukira kalian ini mengawal rangsum, kata Khik-sia. Tertawa opsir itu: Barang ini lebih penting dari rangsum. Karena kita sama-sama bertujuan ke
Lo-ciu, itulah bagus sekali. Diam-diam Khik-sia geli, pikirnya: Sudah tentu kamu mengatakan bagus karena dapat menggunakan aku sebagai tukang kawal dengan gratis. Huh, aku sendiri yang sial, masakah disuruh orang mengantar bingkisan untuk calon isteriku! Tanpa tunggu penyahutan Toan Khik-sia lagi, opsir itu segera suruh orangnya menyediakan kuda untuk anak muda itu. Sementara itu Khik-sia baru mengetahui bahwa kereta pengangkut barang-barang itu semua berjumlah 12 buah. Hm, entah berapa banyak darah dan keringat rakyat yang diperas untuk membeli barangbarang ini! Jika dibelikan rangsum, entah cukup untuk memelihara berapa puluh ribu serdadu! pikir Khik-sia. Dalam perjalanan itu tak henti-hentinya pikiran Khik-sia melayang. Sekonyong-konyong terdengar suara mendesing, dua batang anak panah yang dilengkapi dengan suitan, melayang keluar dari dalam hutan. Karena ada Toan Khik-sia, nyali opsir itu jadi besar. Segera ia keluarkan perintah untuk menyusun barisan guna menghadapi musuh. Segerombolan penyamun berkuda segera menerobos keluar dari hutan. Pemimpinnya berwajah putih licin, seorang dari pertengahan umur yang bergaya seperti sasterawan. Melihat jumlah mereka tak banyak, opsir itu makin congkak. Ia segera menganjurkan Toan Khik-sia: Hm, kawanan manusia yang ingin cari mampus itu datang lagi. Toan-siauhiap, kali ini sebaiknya kau jangan beri ampun lagi, paling tidak kau harus basmi benggolan-benggolannya! Tanpa disadari, Khik-sia keprak kudanya maju menyongsong. Menatap sejenak pada anak muda itu, si kepala penyamun berseru: Apakah kau tadi yang jual jasa pada kawanan budak itu? Urusan tadi hanya secara kebetulan saja berjumpa. Kata-kata jual jasa itu sungguh tak tepat. Tolong tanya, apa maksud kedatangan Cecu ini? sahut Toan Khik-sia. Oh, begitu! Tapi tahukah kau barang apa yang mereka bawa itu? tanya si kepala penyamun pula. Barang bingkisan emas kawin dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian Seng-su untuk Sik Ko di Lo-ciu, jawab Khik-sia. Tepat, toh sudah tahu mengapa kau masih sudi jual jiwa pada Tian Seng-su? Harta benda yang tidak halal ini setiap orang berhak mengambilnya. Mereka adalah kawanan budak dari Tian Sengsu, karena mendapat tugas dan ingin kenaikan pangkat, jadi terpaksa mereka melakukan tugas itu. Tapi kau, kepandaianmu cukup tinggi, tentunya seorang Enghiong muda, masakan tak mau menghargakan diri dan sudi menjadi budak pembesar bejat? Toan Khik-ya terkesiap mendengar teguran kepala penyamun yang tajam itu. Dilihatnya di belakang kepala penyamun itu berkibar selembar bendera besar yang bersulam gambar seekor ayam jago, yang tengah menengadahkan kepalanya dengan gagahnya. Tergerak hati Toan Khik-sia. Apakah kalian ini rombongan Hohan (orang gagah) dari gunung Kim-ke-nia? Tolong tanya, bagaimana kabarnya dengan Shin cecu? Dan bagaimana pula dengan Thiat-tayhiap Thiat-mo-lek kenalkah kau? tanyanya. Kepala penyamun itu berjengit kaget, serunya: Siapa kau? Ai, darimana kau peroleh pedangmu itu? Kiranya ia dapat mengenali pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh mendiang ayah Toan Khik-sia, Toan Kui-ciang. Po-kiam ini adalah warisan dari ayahku! sahut Khik-sia. Kepala penyamun itu makin terperanjat, serunya: Jadi kau ini, kau ... Benar, aku adalah putera ayahku. Tak nanti aku mencemarkan nama ayahku, jangan kuatir. Tolong tanya siapakah namamu, Cecu? kata Khik-sia. Berjalan tak merubah nama, duduk tak mengganti she. Kim-kiam-deng-long To Peh-ing, ialah aku ini. Dahulu mendiang ayahmu itu seperti saudara sekandung dengan aku! Hai, kiranya To siok-siok, terimalah hormat Siautit ini, kata Khik-sia sembari memberi hormat. Mendengar percakapan itu, keruan semangat opsir tadi serasa terbang dibuatnya. Buru-buru ia berseru: Toan-siauhiap, tolong mintakan kelonggaran bagi kami! To Peh-ing buru-buru mencegah Toan Khik-sia: Jangan berlaku begitu sungkan, kemudian ia
bertanya: Bagaimana hiantit hendak menyelesaikan urusan ini? Harap sioksiok menanti di samping saja, biarlah siautit mewakili untuk menyelesaikan, kata Khik-sia yang terus berpaling ke belakang. Menuding dengan pokiamnya, ia berkata kepada si opsir: Tian Seng-su memeras keringat rakyat untuk membeli barang bingkisan perkawinan ini, kurasa kalian tak layak menjual jiwa padanya. Apa yang dikatakan To sioksiok-ku tadi memang tepat. Harta benda yang tidak halal, setiap orang boleh mengambilnya. Nah, sekarang turunkan barang-barang itu! Opsir itu gemetar dan berkata dengan tergagap-gagap: Toan-siauhiap ini, ini .... Tak usah takut, turunkan barang-barang itulah. Telah kumintakan kelonggaran, tak nanti jiwa kalian diganggu. To sioksiok, orang-orang ini hanya melakukan kewajiban saja, harap kau luluskan permintaanku. Baik, dengan memandang muka Hiantit, aku takkan mengganggu mereka. Hai, mengapa kalian tak mau menerima pengampunan ini, apa masih mau berkelahi? Mengapa tak menyingkir? seru To Peh-ing. Opsir dan kawanan serdadu itu sudah menyaksikan kelihayan Toan Khik-sia. Apalagi seorang tokoh macam Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing yang namanya tenar di dunia persilatan. Sudah tentu mereka merasa gentar. Hohan, meskipun sudah mengampuni jiwa kami, tapi dengan kehilangan barang antaran itu, masakan nanti sepulangnya di rumah kami masih bisa diberi hidup lagi? kata si opsir dengan kuatir. Kalian tak perlu kuatir. Setelah kusuruh kalian turunkan barang-barang antaran itu, sudah tentu akulah yang bertanggung jawab. Jika Tian Seng-su berani melakukan pengejaran, akan kusuruh ia menjadi setan tanpa kepala! kata Toan Khik-sia. Kemudian ia berpaling kepada To Peh-ing: Menjadi orang jangan kepalang tanggung, mengantar Buddha harus sampai di Se-thian, To-sioksiok, aku hendak mohon pinjam beberapa perak padamu untuk beramal. To Peh-ing tertawa: Ini juga miliknya Tian Seng-su, Hiantit boleh pakai sesukamu. Ia suruh anak buahnya untuk memeriksa kereta-kereta itu. Benar juga isinya penuh dengan mas intan yang tak ternilai. Toan Khik-sia mengambil 10 kong perak, ditumpah di tanah. (Pada jaman ahala Tung-tiau, uang kas negara itu dijadikan semacam bentuk goan-po, lalu dimasukkan ke dalam kong (guci), agar mudah disimpan dan dibawa kemana-mana. Kong dibuat dari kayu yang kedua ujungnya berlubang. Sebelah diisi dengan 50 buah goan-po, setiap buah beratnya 10 tail perak, lalu kedua ujungnya ditutup. Dan jadilah sebuah kong. Itu, lihatlah, semua kong ada capnya. Nyata Tian Seng-su menggunakan uang negara untuk keperluannya sendiri, pakai uang negara untuk hadiah pernikahan, kata To Peh-ing. Khik-sia suruh seorang anak buah To Peh-ing membuka kong itu, katanya: Kau bakal dilepas dari pekerjaan, berarti mangkuk nasimu akan hancur. Hal itu memang pantas disesalkan. Tadi telah kuhitung, kalian anak tentara ini, semua berjumlah 100 orang. Nah, baik golongan opsir maupun serdadu biasa, masing-masing boleh mengambil 5 goan-po. Dengan uang itu rasanya cukup untuk modal kecil-kecilan. Hal itu rasanya lebih berbahagia daripada hidup di bawah tindasan Tian Sengsu. Sekalian serdadu bergirang, pun kawanan opsirnya diam-diam menimang: Untuk melawan terang tak mungkinlah, mau tak mau kita harus tunduk juga. Dapat menyelamatkan jiwa itu sudah baik. Apakah omongan anak muda itu dapat dipercaya bahwa Tian Seng-su tak akan mengusutnya, itulah urusan besok. Begitulah kawanan serdadu itu setelah menerima uang, lalu menghaturkan terima kasih dan pergi. Melihat penyelesaian itu, To Peh-ing tertawa puas: Hiantit masih berumur muda, tapi dapat bekerja dengan bagus dan bertindak secara bijaksana, sungguh membuat orang kagum. Ah, jangan sioksiok memperolok begitu. Tadi karena limbung, siautit telah keliru mengira bingkisan Tian Seng-su sebagai rangsum. Aku sungguh menyesal sekali karena telah menyalahi sahabat-sahabat dari Lok-lim, kata Khik-sia. Yang menghadang tadi ialah anak buah dari Im-ma-joan Tian Ma-cu. Biar nanti kukirimkan
satu bagian kepadanya sekalian menjelaskan salah paham ini. Kau tak perlu cemas, ujar To Pehing. Toan Khik-sia memberi salam pada sekalian thau-bak dari Kim-ke-nia, setelah itu ia menanyakan perihal Thiat-mo-lek lagi. Ada sebuah kabar girang bagimu, hiantit, Thiat-mo-lek bakal menjadi Beng-cu (ketua) dari kaum Lok-lim (penyamun), kata Peh-ing. Benarkah? Ai, ya teringat sekarang aku. Suhengku pernah mengatakan, ia akan menyerahkan cap dan surat tanda Lok-lim-beng-cu peninggalan dari Ong Peh-thong padanya. Rasanya suheng tentu sudah mengerjakan hal itu, kata Toan Khik-sia. Kini barulah Peh-ing tahu bahwa anak muda itu adalah sute dari Gong-gong-ji. Diam-diam ia membatin, itulah sebabnya maka Toan Khik-sia begitu lihaynya. Cap dan surat pertandaan itu sudah diterima oleh Thiat-mo-lek. Tapi di samping itu Gonggong- ji pun menyampaikan juga sebuah pesan dari almarhum ayahmu. Adalah karena pesan itu maka Thiat-mo-lek menjadi ragu-ragu untuk menerima jabatan Beng-cu. Tapi karena keadaan memaksa, jadi terpaksa ia menerimanya juga, demikian Peh-ing menerangkan. Mengapa? tanya Khik-sia. Almarhum ayahmu menyampaikan pesan, bahwa jabatan Beng-cu itu tidak berarti. Sebenarnya Thiat-mo-lek pun menurut, karena ia sudah tak mau cari permusuhan lagi di kalangan Lok-lim. Tapi kenyataan, setelah ia menolak jabatan itu banyaklah orang yang menginginkannya. Dalam beberapa tahun ini, karena hendak memperebutkan kedudukan Beng-cu, banyak tokoh Loklim yang saling gontokan. Di samping itu, Thiat-mo-lek selalu diganggu oleh orang-orang yang hendak meminta cap dan surat mandat itu. Sudah tentu ia tak mentah-mentah menyerahkan pada sembarang orang. Disebabkan hal itu, ia tak dapat menghindar lagi tantangan-tantangan mereka. Uh, sungguh runyam. Seorang bawahan dari ayah angkatnya, segera menganjurkan supaya ia terima saja kedudukan Beng-cu itu. Beberapa kali ia mengadakan perundingan dengan kami akhirnya setelah kami desak, ia terpaksa suka menerima kedudukan itu, demikian panjang lebar Peh-ing menutur. Dengan dasar apa kalian menganjurkan padanya? tanya Toan Khik-sia. To Peh-ing menghela nafas, ujarnya: Mungkin Hiantit tidak mengetahui. Soalnya terletak pada waktu yang makin berlarut-larut. Kala itu aku dan almarhum ayahmu mengira setelah pemberontakan An Su (An Lok-san, Su Su-bing) padam, negara tentu aman. Siapa tahu pembesarpembesar daerah telah meminta status otonom. Setiap Ciat-tok-su memperoleh bagian sebuah daerah kekuasaan. Mereka bertindak seolah-olah raja kecil (war lord) di daerahnya. Keadaan rakyat di daerah-daerah lebih payah dari semula. Karena penderitaannya, rakyat seakan-akan dipaksa menjadi penyamun. Dari hari ke hari, jumlah mereka bertambah banyak. Kami berpendapat, daripada kedudukan Beng-cu jatuh ke tangan seorang jahat, lebih baik Thiat-mo- lek saja yang menjabatnya. Setelah bulat sepakat, kami minta Shin-cecu yang keluar untuk mengundang para orang gagah dari segala aliran di dunia Lok-lim untuk menghadiri permusyawarahan besar yang akan diadakan pada nanti hari Peh-cun di gunung Kim-ke-san. Pada hari itulah nanti kami dengan resmi akan memilih Thiat-mo-lek menjadi Lok-lim-beng-cu. Hari ini baru tanggal 8 bulan 2, jadi masih ada waktu tiga bulan lagi. Mungkin aku dapat menghadiri keramaian itu, kata Khik-sia. He, jadi sekarang Hiantit tidak ikut kami naik ke Kim-ke-san? tanya Peh-ing. Maaf, aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai. Nanti saja apabila urusan itu sudah beres, aku tentu akan datang menjenguk sekalian paman, kata Khik-sia. Oh, ya, tadi kau sudah berjanji pada kawanan opsir untuk memperingatkan Tian Seng-su supaya jangan mengganggu mereka. Ya, memang Hiantit harus pergi ke Lo-ciu dulu, tapi urusan itu kan mudah, mengapa perlu memakan waktu sampai hari Peh-cun? Khik-sia menerangkan, bahwa selain itu memang ia masih ada lain urusan lagi hendak menjenguk seorang sahabatnya di Lok-ciu. Ia berjanji akan berusaha sedapat mungkin untuk menghadiri rapat besar di Kem-ke-san nanti. Baiklah kalau begitu, kata Peh-ing, jika nanti tiba di Lo-ciu, tolong Hiantit cari berita
bilamana Sik Ko hendak mengirimkan barang-barang bingkisan kawin itu. Biar kami nanti menggasaknya lagi. Di Lo-ciu kami pun mempunyai orang. Hiantit boleh mencari orang itu. Begitu sudah mendengar berita, Hiantit boleh suruh dia menyampaikan pada kami. Habis berkata, Peh-ing menyerahkan sebuah alamat pada Khik-sia dan memberitahukan tentang kode pengenal. Ternyata informan (colok) Kim-ke-san yang ditempatkan di Lo-ciu itu bernama Tio Peh-liong. Sebenarnya ia adalah Hu-pangcu (wakil ketua) dari kaum Kay-pang di Lo-ciu. Begitulah Toan Khik-sia segera ambil selamat berpisah dengan rombongan To Peh-ing, lalu bergegas-gegas menuju ke Lo-ciu. Setibanya di kota itu ia langsung menuju ke tempat Tio Pehliong dan tinggal di situ. Tio Peh-liong lama tinggal di kota Lo-ciu. Sehari suntuk ia ajak Khik-sia putar kayun di dalam kota serta meninjau letak tempat kediaman Ciat-tok-su Sik Ko. Besok malamnya, Toan Khik-sia berganti pakaian ya-heng-ih (pakaian ringkas peranti berjalan malam), lalu menuju ke gedung Ciattok- su. Sudah tentu kepada Tio Peh-liong ia hanya mengatakan hendak menyirapi berita tentang pengiriman bingkisan kawin Sik Ko dan tak mau menerangkan kalau sekalian hendak menyelidiki keadaan tunangannya. Tepat dikala Toan Khik-sia masuk ke dalam gedung Ciat-tok-hu, kala itu Sik Ko tengah bertengkar mulut dengan isterinya dalam kamar rahasia. Pertengakaran itu mengenai urusan perkawinan puteri mereka. Isteri Sik Ko itu, telah menerima pesan terakhir dari mendiang ibu Hong-sian, sewaktu ibu kandung nona itu hendak menutup mata. Ibu Hong-sian itu telah memberikan dua pesan, pertama, supaya mengasuh puterinya dengan baik, kedua, supaya Hong-sian itu dijodohkan pada putera keluarga Toan yang semenjak kecil sudah ditunangkan. Sebenarnya Sik-hujin (isteri Sik Ko) sudah beberapa kali bermaksud hendak memberitahukan Hong-sian tentang asal-usulnya, tapi dikarenakan takut kepada sang suami, jadi hal itu tetap masih disimpan dalam hatinya saja. Tapi kini urusan sudah memuncak, kabarnya Tian Seng-su sudah suruh orang-orangnya mengirim bingkisan. Karena cemas dan gelisah, nyonya itu menjadi nekat. Ia ajak suaminya bercekcok. Semenjak lahir, ayah-bunda Hong-sian sudah menetapkan perjodohannya dengan putera Toan Kui-ciang. Kini mengapa kau hendak menikahkan pada lain orang? Demikian Sik-hujin menegur suaminya. Orang tua Hong-sian kan sudah menutup mata, pun Toan Kui-ciang juga sudah gugur dalam peperangan. Jika kau tak bilang, siapa yang tahu akan perjodohan Hong-sian dengan keluarga Toan itu? sahut Sik Ko. Sik-hujin membantah: Jadi orang harus mempunyai liang-sim (nurani). Tempo dulu Toan Kuiciang pernah menolong seisi rumah keluargamu, sebaliknya kini kau hendak menyerahkan menantunya pada lain orang. Coba tanyalah pada perasaan hatimu sendiri! Dan lagi coba renungkan. Ayah Hong-siang, Su Ih-ji, adalah seorang cin-su (cendekia) yang termasyhur. Kala itu ia dicelakai oleh An Lok-san dan ditangkapnya. Sekalipun pada masa itu kau dan Tian Seng-su hanya melakukan tugas sebagai orang sebawahan An Lok-san, tapi perbuatanmu itu sungguh menyakiti keluarga Su .! Diam! bentak Sik Ko dengan gusarnya. Apakah kau hendak menceritakan kejadian itu pada Hong-sian agar anak itu memusuhi aku? Kata Sik-hujin: Mana aku mempunyai pikiran begitu. Aku hanya memikirkan .... Lagi-lagi Sik Ko memutus omongan isterinya: Sekalipun aku dianggap berdosa terhadap keluarga Su, tapi aku telah merawat anak isterinya, dan sekarang mengusahakan supaya anaknya dapat jodoh yang genah, seorang keturunan keluarga yang keadaannya seratus kali lebih baik dari keluarga Toan, masakah arwah Su Ih-ji takkan merasa berbahagia di alam baka? Sik Ko masih kuatir isterinya akan membocorkan rahasia itu. Maka ia segera berganti sikap bahasanya, dari main gertak menjadi ramah membujuk. Soalnya bukan begitulah, sanggah Sik-hujin, Lu-hujin tinggal di rumah kita ini hanya sebagai mak-inang (wanita yang memberikan air susunya). Sampai pada ajalnya, ia tetap tak dapat mengenalkan diri pada anaknya. Jika kita sampai mengingkari pesannya, ia tentu tak dapat
mengaso dengan tenteram di alam baka. Ya, selain itu, dahulu ketika hendak membasmi An Loksan, semuanya ialah yang merencanakan, hingga anak buah An Lok-san berontak dan puteranya saling membunuh sendiri. Dalam hal mencapai pangkat Ciat-tok-su yang kau peroleh sekarang ini, ia mempunyai andil juga. Suami isteri Toan itu melepaskan budi besar sekali kepada kita, sekarang adalah saatnya kau harus membalasnya. Turut pendapatku, batalkan saja pernikahan dengan keluarga Tian itu! Muka Sik Ko sebentar merah sebentar pucat. Dengan kertak gigi ia menggeram: Kau hanya tahu soal balas budi saja tapi tak mengerti akan soal lain yang teramat penting. Jika Hong-sian tidak jadi dinikahkan dengan keluarga Tian, jiwaku pun sukar dipertahankan! Sik-hujin tersentak kaget, serunya: Masakah sampai begitu? Tian-ciangkun adalah sahabat baikmu, masakah karena batal berbesan lantas membunuh kau? Dan kau toh bukan seorang panglima yang tak berdaya! Hah, kau seorang wanita masakah mengerti urusan negara. Tian Seng-su itu mempunyai citacita hendak mencaplok daerah Lo-ciu. Sudah lama ia mengandung cita-cita itu. Pada tahun-tahun belakangan ini ia terserang penyakit jiat-tok-hong (demam panas). Setiap musin panas tiba, tentu kambuh .... Ia mempunyai penyakit jiat-tok-hong, apa hubungannya dengan urusan negara? tukas Sikhujin. Ah, hujin, kau tak tahukah, kata Sik Ko, karena tersiksa dengan penyakitnya itu, ia lantas timbul ingatan hendak merampas daerah kita sini. Ada orang memberitahukan padaku, ia sering bilang kepada orang-orang bahwa daerah Gui-ciu itu terlalu panas sekali, makanya ia bermaksud hendak pindah ke wilayah Shoa-tang yang lebih nyaman iklimnya. Shoa-tang adalah wilayah propinsi dan ibu kotanya ialah Lo-ciu kita ini. Ah, itu hanya suatu alasan belaka, kata Sik-hujin. Benar, tapi dikarenakan ia mengandung cita-cita begitu, tidak dengan alasan tadipun ia bisa cari alasan lain. Ya, telah kuselidiki betul-betul. Dalam beberapa tahun terakhir ini ia sudah mengumpulkan anak tentara sebanyak 3000 orang. Dengan pasukan yang diberi nama Gwe- thoklan itu ia hendak menyerang kita! Ha, makanya kau lantas serahkan Hong-sian, supaya ia jinak dan batalkan rencananya. Tapi kalau memangnya ia mempunyai nafsu jahat itu, sekalipun sudah terikat famili, masakan ia tak melaksanakannya? tanya Sik-hujin. Kalau sudah menjadi famili, masakah ia tidak merasa rikuh? Dan lagi selama ini kita perlakukan Hong-sian sebagai anak kandung sendiri. Setelah menjadi anggota keluarga Tian, masakah ia takkan melindungi kita? Ia bukannya seorang gadis biasa .... Ya, mengertilah aku, tukas Sik-hujin, kamu mau jadikan Hong-sian sebagai orangmu dalam keluarga Tian, makanya kau begitu ketakutan kalau aku sampai membocorkan rahasianya. Tentunya kau kuatir kalau ia tahu kau bukan ayah kandungnya, lalu tak mau mati-matian membelamu. Memang begitu, tapi akupun tak mau 100% mengandalkan pada budak perempuan itu, kata Sik Ko, Di samping itu, akupun bermaksud hendak mengikat pernikahan dengan Leng Ho- ciang, Ciat-tok-su dari Hwat-ciu. Dengna pernikahan segitiga itu, rasanya keamanan masing-masing dapat terjamin. Sayang anak perempuan dari Leng Ho-ciang dan anak lelaki kita masih kecil, jadi urusan pernikahan ini harus menunggu dulu. Sekarang yang paling perlu, kita harus lekas menjadikan pernikahan Hong-sian dengan keluarga Tian itu. Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: Kini kau menjabat kedudukan sebagai pembesar tinggi, suatu peruntungan yang tak sembarang orang dapat menikmati. Tapi kenyataan, kau selalu hidup dalam kegelisahan, hari-hari kau lewatkan dengan penuh kekuatiran. Itu artinya percuma saja. Turut pendapatku, lebih baik kau minta pensiun saja pulang ke kampung halaman. Tian Seng-su mau mencaplok daerah Shoa-tang atau tidak, biarkan sajalah. Pernikahan ini tetap kita batalkan! Pikiran wanita yang cupat! teriak Sik Ko dengan marahnya, dengan susah payah kurebut kedudukan Ciat-to-su ini, sekarang kau mau suruh aku lepaskan kedudukan ini untuk orang lain. Hm, hm, tanpa pangkat dan nama apa bisa mendapat kekayaan?
Tapi bagaimana kau hendak mempertanggungjawabkan apabila kelah putera Toan Kui-ciang bertanya padamu? Ingat, Toan Kui-caing pun pernah melepas budi besar kepadamu. Dan urusan ini lambat atau laun tentu tak dapat mengelabui Hong-sian, biarpun aku tak bilang, kelak jika putera Toan Kui-ciang datang kemari, ia tentu akan mengatakannya juga. Dan bila Hong-sian sudah mengetahui, ia tentu akan mengutuk kau! Air muka Sik Ko menjadi gelap, hawa pembunuhan merangsangnya. Dengan keras ia berseru: Jika bocah dari keluarga Toan itu berani datang kemari menunjukkan hal itu, tentu akan kubunuhnya! Kejut Sik-hujin bukan kepalang, serunya: Ciangkun, itu melanggar perikemanusiaan! Apa yang kau lakukan ini barulah benar-benar memikirkan kepentingan anak kita! Persetan dengan perikemanusiaan segala! sahut Sik Ko dengan gusar, aku berbuat demi kepentingan anak kita! Kau hendak bunuh bakal suaminya, apakah hal itu kau anggap memikirkan kepentingan anak? sahut Sik-hujin. Sik Ko tertawa ejek: Kau hanya memandang Toan Kui-ciang itu seorang baik-baik, tapi kau tak meneliti bagaimana asal keturunannya! Semasa hidupnya, orang-orang menyebutnya sebagai Toan-tayhiap! kata Sik-hujin. Berapakah harganya sebutan Tayhiap itu per katinya? Sik Ko mengejek, Tayhiap atau Siauhiap hanya merk kosong yang diberikan oleh orang persilatan saja. Paling-paling mereka itu hanyalah bangsa manusia yang bergelandangan di dunia persilatan! Jangan kau memandang begitu rendah pada Toan-tayhiap. Taruh kata kau lupa akan budinya, tapi kau seharusnya ingat bahwa ia pernah membantu Tio Sun mempertahankan kota Sui-yang, jadi ia seorang yang berjasa kepada negara! nyonya itu tetap tak mau kalah bicara. Sik Ko tertawa, katanya: Ai, Hujin, mengapa kau begitu kolot? Dalam jaman kacau begini, siapa yang dapat merebut nama dan kekayaan, itulah yang disebut orang gagah. Apa itu segala macam teori kosong tentang tiong-gi (kesetiaan dan kebajikan)? Apa sih yang dikatakan kejujuran? Tio Sun seorang pembesar yang setia, tapi buktinya sampai sekarang ia tak lebih hanya menjabat sebagai Thay-siu dari kota Sui-yang saja. Sejak menakluk pada kerajaan Tong, aku belum pernah menghadapi pertempuran besar, tapi aku tahu apa yang harus kuperbuat. Kuperjuangkan daerah kekuasaan, kukumpulkan anak buah tentaraku, hasilnya kini aku dapat menjabat sebagai Ciat-tok-su! Untuk sesaat Sik-hujin tak dapat menjawab, dengan berseri girang Sik Ko lanjutkan ocehannya: Anggap sajalah Toan Kui-ciangitu benar-benar seorang Tayhiap yang gagah dan setia kepada negara, ya, tetapi bagaimana seorang Tayhiap dapat menandingi kedudukan Tiang Seng-su sebagai Ciat-tok-su itu? Apalagi Toan Kui-ciang itu toh sudah meninggal, jangan-jangan puteranya yang tiada beribu-bapa itu sudah jadi seorang gelandangan! Hm, hm, kita tidak menjodohkan puteri kita dengan putera seorang Ciat-tok-su, masakah kita malah memberikannya kepada seorang bocah gelandangan! Hm, hm, jika ia berani datang kemari, ya, demi untuk kepentingan anak kita, terpaksa kubunuh dia nanti! Karena dirangsang oleh kemarahan lagi takut, sesaat Sik-hujin tak dapat membantah kata-kata suaminya itu. Ia hanya menggerutu panjang pendek: Ai, Ciangkun, karena matamu silau pada harta kekayaan dan gila pangkat, lalu kau menghina pada orang. Tapi kurasa sifat anak kita itu tak seperti perangaimu! Mendadak Sik Ko tertawa gelak-gelak, katanya kemudian: Sampai saat ini, ia tetap menganggap aku sebagai ayah kandungnya sendiri. Apa yang kuperintahkan, ia tentu menurut. Mengapa kau katakan ia tak berperangai seperti aku? Jika tak percaya, biarlah sekarang kupanggilnya kemari, biar kusuruh ia mencaci-maki Toan Kui-ciang agar kau dapat mendengarnya! Begitulah Sik Ko bergirang bukan kepalang karena merasa dapat menundukkan sang isteri. Sudah tentu ia tak duga sama sekali, bahwa yang dimakinya sebagai bocah gelandangan, putera Toan Kui-ciang yang bernama Toan Khik-sia itu, sebenarnya pada saat itu berada di luar jendela kamarnya.
Tapi Toan Khik-sia tak mendengar seluruh percakapan suami isteri itu. Ia agak terlambat datangnya, jadi hanya dapat mendengar sebagian yakni ketika Sik Ko memaki kalang-kabut pada mendiang ayahnya. Tapi hal itu cukup membuat Toan Khik-sia naik pitam, hampir saja ia mau menerjang masuk, tapi syukur pikiran jernih dapat menguasai dirinya: Tiada gunanya juga kubunuh dia. Mengingat ia adalah ayah angkat Su Yak-bwe, untuk sementara ini biarlah kuampuni jiwanya, coba saja bagaimana ia nanti di kemudian hari. Memang sudah lazimlah kalau kaum pembesar negeri itu tentu korup dan mementingkan diri sendiri, mana aku dapat membunuh mereka yang berjumlah begitu banyak? Semasa hidupnya mendiang ayahku juga tak suka mendendam. Dengan segala lapang hati beliau telah menolong keluarga Sik Ko. Aku hendak meneladani kepribadian ayah itu, tak bolehlah aku berlaku sempit dada! Memikir sampai di sini, redalah kemarahan Toan Khik-sia. Tapi pada lain saat ia menimang pula: Tadi ia katakan kalau Yak-bwe itu perangainya serupa dengan dia, benarkah ini? Ai, celaka, siapa yang dekat gincu tentu merah, yang dekat tinta tentu menjadi hitam. Diasuh oleh seorang ayah begitu macam, mungkin Yak-bwe akan memandang rendah padaku seorang bocah gelandangan ini! Memang benarlah, ia sekarang adalah puteri dari seorang Ciat-tok-su. Untuk menjaga kehormatan, sudah selayaknya kalau menikah dengan putera seorang Ciat-tok-su juga! Tiba pada dugaan semacam itu, perasaan Toan Khik-sia makin bertambah suatu beban kegelisahan. Dengan susah payah kudatang kemari untuk mencarinya. Jika ia sampai memicingkan mata, menjebitkan vivir, memandang sebelah mata padaku dan mendamprat aku dengan getas, bukankah diriku ini seperti dibanting kedalam jurang kehinaan? Pikiran anak muda itu makin melayang jauh. Ia membayangkan bagaimana tunangannya itu tiba-tiba muncul di hadapannya dengan tingkah laku yang congkak. Sembari berkacak pinggang, gadis itu memakinya: Hah, bocah gelandangan dari mana ini? Mengapa berani mati merangkai cerita kalau aku ini tunangannya sejak kecil? Hm,masakan bocah gelandangan seperti macammu itu layak menjadi suamiku? Tiba-tiba lamunan Toan Khik-sia itu tersentak buyar oleh seruan Sik-hujin yang memanggil seorang bujang perempuannya. Nyonya itu suruh si bujang memanggil Hong-sian. Bagus, lebih baik kuikuti budak itu ke tempat Yak-bwe. Bagaimanakah keadaannya? Hm, jika benar karena salah asuhan dan kini ia mewarisi perangai jahat seperti Sik Ko, maka aku pun takkan menghiraukannya lagi. Ya, lebih baik begini! pikir Khik-sia. Benar ilmu gin-kangnya belum memadai suhengnya yang dapat muncul lenyap seperti bayangan saja, namun ia pun sudah dapat mencapai tingkatan cepat laksana angin. Demikian diam-diam ia menguntit budak perempuan itu, siapa sudah tentu tak merasa dikuntit. Di sebuah kamar yang indah, berhentilah budak itu. Di dalam kamar itu memancarkan sinar penerangan. Pada kain jendela, tampaklah sesosok bayangan dari seorang gadis. Hati Toan Khiksia menjadi dag-dig-dug, berdebar-debar tak karuan. Untuk pertama kali itulah ia bakal melihat wajah sang tunangan. Dengan gunakan Gin-kang, Khik-sia berindap-indap melesat ke belakang jendela dan bersembunyi di dalam semak-semak pohon. Ia mengintip di celah kain gordin jendela yang setengah tersingkap itu dan, duhai, matanya segera tertumbuk pada seorang nona yang amat cantik dalam pakaiannya yang serba menyedapkan. Tapi yang mengherankan, wajah nona jelita itu suram muram seperti tertutup oleh awan kedukaan. Tangan nona itu sedang menggenggam sebuah tusuk kondai kemala yang bentuknya serupa benar dengan kepunyaannya. Jantung Toan Khik-sia mendebar keras, pikirnya: Mengapa ia menghadapi tusuk kondai kemala itu dengan merenung? Apakah ia sudah mengetahui tentang riwayat tusuk kondai itu? Saat itu terdengar mulut si jelita berkata seorang diri: Ai, aneh, mengapa mamah suruh aku mengeluarkan tusuk kondai ini dan selanjutnya suruh aku memakainya terus, tak boleh ditanggalkan lagi? Dan mengapa ia mengucurkan air mata di hadapan tusuk kondai ini? Apakah ia tetap terkenang akan Lu-ma? Ya, memang Lu-ma selalu meninggalkan kesan pada kita, tapi bukankah ia hanya seorang mak-inang saja? Mengapa mamah begitu memandang tinggi pada barang peninggalan Lu-ma? Walaupun kata-katanya itu diucapkan dengan pelahan, namun dapatlah Toan Khik-sia
mendengarnya dengan jelas: Oh, kiranya benar-benar seorang nona angkuh dan suka memandang rendah pada lain orang, demikian pikirnya. Sudah tentu apa yang dinilai Toan Khik-sia itu hanya apa yang dilihatnya saja. Padahal Hongsian itu memperlakukan mak-inangnya itu sebagai ibunya, walaupun ia tak tahu bahwa sebenarnya memang wanita itu adalah ibu kandungnya sendiri. Tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh bujang perempuan tadi. Apakah itu Jun-bwe? Mengapa malam-malam datang kemari? tegur si nona. Sambil melangkah masuk, budak itu berkata: Nona, kau ini benar-benar seorang yang menghargai kecintaan. Lu-ma sudah meninggal beberapa tahun, tapi kau masih mengenangkannya. Apakah kau sedih melihat tusuk kondai peninggalannya itu? Ah, sudahlah, baik nona jangan bersedih, aku membawa kabar girang bagimu. Mulutnya menghibur, tapi anehnya tiba-tiba budak itu tampak muram wajahnya sendiri. Ia menghela nafas, kemudian berkata lagi: Ah, jika Lu-ma masih hidup, ia tentu akan girang sekali. Hong-sian tertegun, ujarnya: Jangan mengoceh tak keruan kau! Mengapa kau katakan aku akan girang? Budak itu tertawa: Ai, nona masih belum mengetahui bahwa bingkisan orang sudah di dalam perjalanan. Bingkisan apa? seru Hong-sian keheranan. Bingkisan apa lagi kalau bukan dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian-ciangkun. Loya telah menjodohkan nona pada putera Tian-ciangkun, kabarnya nanti bulan muka tanggal 15 hari kebahagiaan nona akan dilangsungkan! Hong-sian menunduk kemerah-merahan wajahnya. Diam-diam ia membatin: Oh, makanya dalam waktu terakhir ini ayah sering memuji-muji putera Tian-ciangkun di hadapanku. Katanya anak muda itu adalah keturunan dari seorang panglima, seorang pemuda gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. ..........(tulisan tak terbaca) aku! Sementara itu si budak sedang berkata pula dengan tertawa: Seorang jejaka kalau sudah besar tentu berumah tangga, seorang gadis jika sudah dewasa tentu keluar pintu. Anak harimau dengan anak harimau, itulah sembabat sekali. Nona, jangan malu-malulah, mari silahkan ikut aku, Hujin sudah menantimu! Apakah mamah memanggil aku? tanya Hong-sian. Bujang itu mengiyakan: Kurasa hujin tentu akan membicarakan urusan pernikahan padamu. Nona, akulah yang pertama yang menyampaikan berita girang ini, nanti aku akan minta hadiah pada nona. Hadiah apa? Minta hadiah sebuah tamparanku? kata si nona. Budak itu tertawa cekikikan, serunya: Aduh, celaka aku, biar nanti kuadukan Hujin bahwa nona tak dapat membedakan mana yang harus diberi hadiah dan mana yang diberi hukuman. Jika kedua majikan dan bujangnya itu tengah berkelakar dalam kamar, adalah di luar sana Toan Khik-sia seperti disayat sembilu hatinya. Pikirnya: Tampaknya ia tak menentang urusan pernikahan itu! Lagi-lagi Toan Khik-sia tidak bijaksana didalam menjatuhkan prasangka. Pada masa itu, gadis tidak mempunyai hak untuk memilih pasangannya. Semuanya diatur oleh pihak orang tua yang mengambil keputusan dari keterangan kaum bah-tau (comblang). Hong-sian sama sekali tak tahu siapa dan bagaimanakah putera Tian Seng-su itu. Baikkah atau jelekkah? Lebih-lebih ia tak tahu bahwa dirinya sejak kecil sudah dipasangkan dengan Toan Khik-sia. Jadi terhadap urusan pernikahan itu, ia tak mempunyai pendirian apa-apa. Tiba-tiba Hong-sian berseru: Hai, Jun-bwe, dengan siapa kau datang kemari ini, mengapa tak suruh dia masuk? Ternyata karena getaran sang hati, tanpa sadar Khik-sia telah menyentuh tangkai bunga hingga mengeluarkan suara berkeresekan. Budak itu tersentak heran, jawabnya: Hanya aku seorang diri, masakan membawa kawan? Belum habis kata-kata bujang itu, Hong-sian sudah mendorong daun jendela dan sebat sekali ia sudah loncat keluar. Hai, siapakah yang bersembunyi di situ? bentaknya.
Karena sudah kepergok, Toan Khik-sia pun tak mau main sembunyi lagi. Ia loncat keluar dari semak pohon, lalu berkata dengan mengejek: Kuhaturkan selamat pada nona yang akan mendapat jodoh seorang baik-baik! Tapi kukuatir ayah-bundamu yang berada di alam baka itu akan berduka hatinya! Mendadak ada seorang pemuda tak dikenal berdiri di hadapannya, kejut Hong-sian bukan kepalang. Buru-buru ia cabut pedangnya dan membentak: Apa katamu? Siapa kau ini, mengapa tengah malam buta berani menyelundup masuk kemari? Rasanya kau ini tentu bukan orang baikbaik, bukan bangsat tentu pencuri! Toan Khik-sia tertawa lebar, sahutnya: Aku bukan orang baik-baik, bukan penjahat tentu pencuri? Ha, ha, puaskanlah hatimu untuk memaki aku dengan kata-kata apa saja! Nah, biar kuberitahukan padamu, aku ini putera dari Toan Kui-ciang! Sepasang alis Hong-sian berjungkat lalu mendamprat lagi: Ha, benar, bukan orang baik-baik. Maling kecil, lihat pedangku! Bagus, menyebut diriku maling kecil, maling kecil lebih buruk lagi dari gelandangan kecil, pikir Khik-sia sembari menghindar. Berturut-turut ia menghindari tiga kali serangan pedang, setelah itu baru menegur: Nona besar, mengapa kau mengecap diriku sebagai seorang penjahat? Hong-sian tertawa dingin, menyahut: Naga tentu beranak naga, dan burung hong tentu beranak burung hong. Anak perampok kemana parannya lagi? Marahlah Toan Khik-sia dengan hinaan itu. Kau menghina aku itu masih mending, tapi kau berani juga memaki orang tuamu, kau punya ..... hm, memaki ayahku. Hampir saja mulutnya mengatakan kau punya mertua. Untung ia teringat agar lebih baik jangan mengatakan hal itu dulu. Hong-sianpun gusar, pikirnya: Bangsat kecil ini benar-benar kurang ajar, masakan arwah ayahnya seorang perampok, dijadikan orang tuaku. Seketika ia berseru semakin bernafsu: Menteri pemberontak, anak perampok, tidak layakkah dimaki? Tetap akan kumaki ayahmu pejabat itu, nah kau mau apa? Sudah tentu Khik-sia tak mengetahui mengapa Hong-sian memaki ayahnya perampok dan dirinya sebagai keturunan penjahat itu. Padahal bukan tak ada sebabnya Hong-sian berbuat begitu. Itulah Sik Ko yang menjadi gara-garanya. Kuatir keluarga Toan akan mengutus orang untuk menarik janji pernikahan dengan Hong-sian, maka Sik Ko lantas merangkai cerita. Kepada puterinya, Sik Ko sering menceritakan tentang kejadian-kejadian di dunia persilatan. Ia katakan: Toan Kui-ciang itu seorang penjahat yang ganas, kemudian dapat ditangkap oleh tentara negeri dan dihukum mati. Sik-hujin karena takut akan suaminya, jadi tak pernah menyebut-nyebut nama Toan Kui-ciang di hadapanputerinya itu. Jadi dalam pengetahuan Hong-sian, Toan Kui-ciang itu adalah tokoh jahat seperti apa yang digambarkan Sik Ko. Sudah tentu terhadap sang ayah itu, Hong- sian tak ada alasan untuk tak mempercayainya. Saking gusarnya panca-indera Toan Khik-sia seperti mengeluarkan asap. Jika masih memaki lagi, tentu kutampar mulutmu! bentaknya sembari secepat kilat merapat maju, terus ulurkan tangannya ke muka si nona. Hong-sian terperanjat. Ia bermaksud menarik pedangnya untuk menghalau tapi sudah tak keburu. Untung Toan Khik-sia tiba-tiba merubah ingatannya. Pikirnya: Ah, tidak boleh. Walaupun ia belum menikah padaku, tapi ia sudah dijodohkan menjadi isteriku. Sebelum janji perjodohan itu dibatalkan, turut kesopanan aku tak boleh memukulnya. Apalagi aku tak boleh dipengaruhi oleh nafsu amarah seketika, lantas melupakan hubungan akrab dari keluarga Toan dan Su pada masa yang lampau. Ternyata ilmu silat Hong-sian pun tidak lemah. Hanya sekejap saja Toan Khik-sia ragu-ragu tadi, Hong-siang sudah lantas menyabat tangan si anak muda. Jika Toan Khik-sia tak cepat-cepat menarik tangannya, jarinya tentu sudah terpapas kutung. Bermula karena melihat orang hanya bertangan kosong saja, Hong-sian hanya bermaksud akan meringkusnya saja untuk diserahkan kepada ayahnya. Tapi setelah tadi hampir saja ia termakan tamparan si anak muda, dari malu menjadi gusar. Pikirnya: Ha, anak perampok ini lihay juga! Ah, tolol benar aku ini mengapa akan memberi kelonggaran pada bangsa penjahat. Jika tak kuberi
hajaran, seumur hidup aku tak dapat mencuci hinaan tadi! Hong-sian mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni. Dalam gusarnya, Hong-sian mainkan pedangnya dengan gencar untuk mengarah jalan darah yang berbahaya dari si anak muda. Benar ilmu gin-kang Toan Khik-sia sudah cukup sempurna, tapi dengan gunakan ilmu gong-chiu-jip- pekjim (dengan tangan kosong merampas senjata), ia tetap tak mampu merebut pedang ceng-kongkiam Hong-sian. Paling-paling Toan Khik-sia hanya dapat menjaga diri agar jangan sampai termakan pedang saja. Seperti diketahui, sebenarnya anak muda itu mempunyai ribuan kata-kata hendak diucapkan di hadapan si jelita itu (termasuk keputusannya yang datangnya secara tiba-tiba, yakni hendak membatalkan saja janji perjodohan itu! Tapi berhadapan dengan si nona yang se..... (tidak terbaca) untuk bicara? Pada saat itu mendadak Toan Khik-sia balikkan tubuh sambil kebatkan lengan baju si anak muda tapi pedangnyapun segera tergubat oleh lengan baju lawan. Dicobanya untuk menarik, tapi tak berhasil. Toan Khik-sia menghela nafas longgar, kemudian tertawa gelak-gelak: Nona, kau keliru! Sebenarnya Hong-sian sudah kuatir kalau-kalau si anak muda akan balas memukul, maka ia pun menjadi tertegun demi anak muda itu hanya mulutnya saja yang berkata-kata. Bagaimana kesalahanku? serunya. Turut ucapanmu tadi, air tentu mengalir ke bawah, artinya bagaimana orang tuanya tentu bagaimana itu pula anaknya. Dalil itu salah. Dirimu sendiri itu, menjadi bukti yang nyata! kata Khik-sia. Sudah tentu Hong-siang tersentak heran, tanyanya: Apa maksud kata-katamu itu? Ayah kandungmu sendiri adalah seorang manusia terpelajar, gagah perwira dan arif bijaksana. Beliau adalah seorang lelaki jantan yang pantang perbuatan haram, tak gentar menghadapi ancaman, seorang yang berhati lurus dan mulia! Kau adalah puterinya, tapi mengapa sedikitpun kau tak mewarisi sifat-sifatnya yang mulia itu? Setelah diangkat menjadi panglima daerah, Sik Ko mempunyai kekuasaan besar. Sejak itu dirinya seolah-olah dipagari oleh orang-orang yang pandai menjilatnya. Sampai-sampai Hong- sian sendiri sudah merasa jemu mendengar puji sanjung dari kawanan penjilat itu. Tapi selama itu, tak pernah ia mendengar ada orang yang memuji-muji seperti apa yang diucapkan Toan Khik-sia itu. Ayahku seorang Bu (militer), ia jarang sekali membaca buku. Pelajaran ilmu surat dan syair yang kupelajari di waktu kecil, adalah Lu-ma yang mengajarkan padaku. Sebagai seorang Ciat- toksu, setiap hari ayah sibuk dengan urusan kantor, jadi tak sempat mengenal segala macam filsafat budi pekerti. Kata-kata pujiannya tadi, tak tepat bagi ayah, pikir Hong-sian. Tapi dalam pada itu diam-diam ia terperanjat juga melihat tutur kata si penjahat kecil itu. Tanpa disadari ia bertanya: Turut katamu tadi aku ini tak sepadan dengan ayahku, habis dalam pandanganmu, bagaimanakah diriku ini? Kau? Ai, kau sudah diracuni Sik Ko. Turut penglihatanku, kau sudah berubah menjadi seorang siau-jin yang temaha kekayaan. Kalau tidak, tak nanti kau berpeluk tangan menunggununggu jadi menantu seorang Ciat-tok-su, pula tak nanti kau memaki aku sebagai maling kecil! jawab Toan Khik-sia. Selebar muka Hong-sian merah padam dibuatnya. Dengan gusarnya ia menyemprot: Bicaramu ini pagi hitam, sore putih. Baru saja mulutmu memuji ayah, kini lidahmu sudah berganti nada memakinya! Memang benar, yang kupuji itu ialah ayah kandungmu yang asli, dan yang kumaki ialah si Sik Ko! Bukankah tadi kau memaki ayahku? Kau memaki ayahku sebagai menteri pemberontak dan perampok. Padahal seharusnya kata-kata itu adalah buat alamatnya Sik Ko! Dia pernah bertekuk lutut menghamba pada An Lok-san dan lagi ia justeru berasal dari kalangan Lok-lim! Marah Hong-sian tak dapat dikendalikan lagi. Tak tunggu si anak muda menghabiskan katakatanya, ia sudah mendampratnya: Ngaco belo! Kalau bukan gila, tentulah kau memang sengaja hendak menghina kami ayah dan anak, lihat pedangku! Dan sekali gentakkan pedangnya dari libatan lengan baju, ia lantas menusuk. Toan Khik-sia
menghindar lagi, serunya lantang-lantang: Apakah kau masih tak jelas? Kau akui seorang penjahat sebagai ayah! Jika kau masih begitu limbung, ayah bundamu yang sudah meninggal itu tentu tak dapat meram di alam baka! Dengan ucapan itu sudah dua kali Toan Khik-sia memperingatkan Hong-sian kalau ayah bundanya sudah meninggal. Pertama tadi, ketika ia memergoki Toan Khik-sia bersembunyi di luar kamar. Mungkin karena terkejut melihat seorang asing muncul dengan tiba-tiba, Hong-sian buruburu mencabut pedang dan tak menghiraukan kata-kata anak muda itu. Tapi untuk ucapan Toan Khik-sia yang terakhir ini, benar-benar ia mendengarnya dengan jelas. Hatinya tergetar malu, gusar dan heran. Sambil menusuk, ia memaki: Kurang ajar, dah mengaku penjahat sebagai ayahmu! Khik-sia tetap tertawa dingin dan menegaskan lagi: Ya, kau sudah mengaku penjahat sebagai ayahmu! Sudah tentu Hong-sian tak percaya. Dalam gusarnya, ia putar pedangnya makin gencar. Oleh karena sibuk melayani, jadi Toan Khik-sia tak sempat berbicara lagi. Sekonyong-konyong terdengar suara Sik Ko membentak: Hai, siapa itu? Berani mati menyelundup ke dalam gedung Ciat-to-hu sini? Kiranya karena sampai sekian lama Hong-sian tak datang, Sik Ko lantas lari menjenguknya. Demi melihat Hong-sian menghunus senjata dan tengah bertempur dengan seorang asing, kejutnya bukan kepalang. Yah, lekas kemarilah! Ini ada seorang gila yang mengaku sebagai anaknya Toan Kui-ciang! seru Hong-sian. (Halaman 34-35 kosong !!!!) Ada pula yang menerangkan: Loya tadi bertempur dengan si penjahat, mungkin Loya kelewat capek menggunakan tenaganya. Mendengar laporan itu Sik-hujin terperanjat dan marah, dampratnya: Kalian semua ini hanya kawanan tukang gegares belaka. Masakan ada penjahat masuk ke sini, kalian tak tahu sama sekali hingga bikin kaget nona dan Loya saja! Ma, mereka tak dapat dipersalahkan. Penjahat itu lihay sekali! kata Hong-sian. Siapa penjahat yang bernyali besar itu? Apakah kau masih ingat bentuk rupanya? Panggil kepala pengawal untuk menangkapnya! Penjahat itu adalah anaknya Toan Kui-ciang. Ia amat tangguh sekali, dapat muncul lenyap menurut sesuka hatinya. Percuma panggil pengawal .... Belum habis si nona menutur, Sik-hujin tampak seperti orang yang tiba-tiba terserang penyakit demam, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat lesi. Dengan nada sember ia berkata: Ah, ia benarbenar datang memenuhi janji! Hong-sian buru-buru memapak Sik-hujin. Pikirannya menjadi gundah, tanyanya: Mah, apa maksud katamu itu? Sik-hujin tenangkan goncangan hatinya. Sesaat ia tersadar akan kata-katanya yang terluncur dari mulutnya tadi. Ia anggap urusan itu tak boleh diceritakan di hadapan orang banyak. Katanya: Ah, tidak apa-apa. Tadi karena ketakutan, aku sampai mengoceh tak keruan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah memegang kekuasaan militer, ayahmu telah membunuh banyak jiwa. Aku kuatir ada roh penasaran yang menagih jiwa padanya. Lekas angkut ayahmu ke dalam! Di dalam Ciat-to-hu ada seorang tabib. Selekasnya tabib itu segera dipanggil. Setelah memeriksa nadi pernafasannya, si tabib memberi keterangan bahwa pembesar itu tidak apa-apa hanya apa yang disebut golakan hawa panas menyerang ulu hati. Tetapi harus beristirahat secukupnya. Kemudian tabib itu menulis resep. Sik-hujin lega hatinya mendengar keterangan tabib itu. Ia segera suruh orang-orang berlalu dan hanya tinggalkan seorang budak perempuan untuk menjaga suaminya. Setelah itu ia berkata kepada Hong-sian: Pergi ke kamar, aku hendak bicara padamu! Dengan hati tak tenteram, Hong-sian mengikuti Sik-hujin menuju ke kamar rahasia. Setelah mengancing pintunya, Sik-hujin lalu bertanya dengan pelahan-lahan: Apa yang dikatakan oleh
putera Toan Kui-ciang kepadamu tadi? Hong-sian menerangkan: Banyak sekali yang dikatakannya kepadaku, tapi kata-katanya ini aneh-aneh seperti orang gila. Huh, lebih baik kau jangan dengarkanlah. Tidak, karena toh urusan sudah berlarut, aku pun tak takut mendengarkannya. Ya, apa katanya? kata Sik-hujin. Apa boleh buat Hong-sian menuturkan: Ia bilang ayah dan mamah ini bukan orang tuaku yang asli. Ayah dan ibu kandungku sudah meninggal dunia. Mah, apakah hal itu benar? Sik-hujin menggigit bibir, wajahnya tampak gelap. Sekonyong-konyong ia pegang tangan Hong-sian untuk menjaga kalau dirinya jatuh, kemudian dengan suara berat berkata: Memang benar! Kejut Hong-sian tak terkatakan dan menjeritlah ia: Apa benar? Mah, mengapa dulu-dulu kau tak memberitahukan padaku? Siapakah orang tuaku yang asli, bilamana mereka meninggal? Sik-hujin mulai dapat menenangkan hati. Katanya dengan pelahan: Akan kuberitahukan padamu, tapi kau harus lebih dulu kasih tahu padaku apa lagi yang dikatakan Toan-kongcu tadi? Mendengar Sik-hujin berganti bahasa menyebut Toan-kongcu, keheranan Hong-sian makin menjadi-jadi. Pikirnya: Ia memukul ayah, tetapi mengapa mamah masih begitu mengindahkannya? Ah, disitu tentu terselip sesuatu! Sekalipun saat itu sudah tahu bahwa Sik-ko dan isterinya itu bukan ayah-bunda kandungnya, namun Hong-sian masih tetap membahasakan ayah-mamah kepada mereka. Setelah merenung sejenak, wajah Hong-siang tiba-tiba memerah, katanya: Mah, ia memaki aku .... Ha, ia memaki padamu? Memaki apa saja? tanya Sik-hujin. Ia memaki aku ..... memaki aku menanti-nanti menjadi nyonya mantu Ciat-tok-su. Mah, apakah benar-benar ayah hendak menjodohkan aku dengan putera Tian-pehpeh? Hong-sian seorang nona yang memiliki ilmu silat, jadi nyalinya besar. Namun membicarakan tentang masalah perkawinan, tak urung wajahnya merah kemalu-maluan juga. Sebelum menjawab, lebih dulu Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: Oh, makanya Toan-kongcu begitu marah, memang ayahmu telah berbuat salah. Untung kita belum menerima panjar dari keluarga Tian. Mendengar di dalam kata-kata Sik-hujin itu ada sesuatu hal, Hong-sian bertanya pula: Mah, aku masih belum berminat kawin. Tetapi ada sangkut-paut apa dengan orang she Toan itu? (Halaman 38-39 kosong .....!!!) ...... kecil. Ah, makanya dia telah memaki aku sebagai anak yang tak berbakti! diam-diam ia teringat akan ucapan Toan Khik-sia. Ia menghapus air matanya, memakai tusuk kondai kemalanya lagi terus berjalan keluar. Sikhujin menghela nafas dalam. Ia insyaf bahwa sejak itu ia bakal kehilangan seorang anak yang sudah dianggapnya sebagai puterinya sendiri. Tapi iapun merasa terhibur karena sejak saat itu, hatinya bebas dari kutukan liang-simnya (nurani) sendiri. oooooOOOOOooooo Tak berapa lama Sik Ko pun tersadar dari pingsannya. Begitu membuka mata ia segera menampak puterinya Yak-bwe berdiri di depan tempat tidurnya. Apakah penjahat tadi sudah lari? Bagaimana mamahmu? tanya Sik Ko dengan gelisah. Mamah berada di kamar belakang. Ayah, anak tidak berbakti, maafkanlah aku tak dapat merawatimu, kata Yak-bwe. Sik Ko berjengat kaget dan loncat bangun. Apa .... apa katamu? Kali ini anak sengaja datang menghaturkan selamat tinggal! Mendengar itu naiklah darah Sik Ko: Kau mau ikut pada maling kecil itu? Dia bilang apa
padamu? Sian-ji, jangan sekali-kali kau percaya pada ocehannya! Tenang-tenang Yak-bwe menjawab: Janganlah ayah marah. Anak sekali-kali takkan ikut padanya. Tapi yang benar, dia itu bukan maling atau penjahat. Yah, semuanya anak sudah tahu, jangan kau sembarangan memaki orang. Saking gusarnya tubuh Sik Ko sampai menggigil. Tapi ia insyaf, bahwa kedudukannya hanya tergantung pada puterinya itu. Ia berusaha untuk menekan kemarahannya, katanya dengan nada gentar: Sian-ji, apa saja yang telah kau ketahui itu? Yang sudah lampau, janganlah kita bicarakan lagi. Yah, kutahu kau sedang meresahkan sesuatu hal. Kau takut Tian-pehpeh akan merampas daerah Lo-ciu ini, bukan? oh, jadi mamahmu sudah memberitahukan padamu tentang urusan pernikahanmu? Tak mengapalah, Sian-ji, meskipun kau bukan anak kandungku, tapi sejak kecil kau kuperlakukan sebagai darah dagingku sendiri, kan? Sekarang aku sedang dalam kesulitan. Di atas pundakmu hendak kuletakkan sebagian beban kesulitan itu. Dengan menikah pada keluarga Tian, pertama hubungan kedua keluarrga menjadi baik yang berarti juga akan lenyapnya ancaman itu. Kedua, bagimupun ada baiknya. Baik buruk Tian Seng-su itu juga seorang Ciat-tok-su. Suamimu adalah puteranya yang sulung. Setelah nanti Tian Seng-su mengundurkan diri, sudah tentu kedudukannya akan diserahkan puteranya itu. Pada waktu itu kau tentu menjadi It-bin-hujin (nyonya agung). Kekayaan dan keagungan akan kau miliki semuanya. Sian-ji, jangan kau bimbang-bimbang lagi! Yak-bwe tahankan amarahnya untuk mendengarkan ceramah Sik Ko. Setelah itu barulah ia bicara: Adalah karena hendak membalas budi ayah terhadap diriku selama bertahun-tahun itu, maka aku sengaja datang kemari untuk turut memikul beban kesusahanmu .... Girang Sik Ko bukan buatan. Belum Yak-bwe habis bicara, ia sudah lantas menyeletuk: Jadi dengan begitu, berarti kau setuju akan pernikahan itu. Bagus, kau benar-benar puteriku yang manis! Yah, membantu kesukaran dengan urusan pernikahan adalah dua perkara. Ayah boleh legakan pikiran, aku mempunyai daya untuk membuat Tian-pepeh tak berani mengganggu Lo-ciu, tapi untuk itu aku perlu pinjam cap kebesaran Ciat-tok-su. Sik Ko kembali tersentak kaget, serunya: Perlu apa kau pinjam capku itu? Sian-ji, aku tak memperlakukan kau buruk ..... Yak-bwe mengambil keluar sepucuk surat, katanya: Adalah karena hendak membantu kesukaran ayah, maka aku hendak pinjam cap itu untuk dibubuhkan pada surat ini. Surat apa itu? tanya Sik Ko. Dengan mencontoh gaya ucapan ayah, aku telah menyiapkan sepucuk surat kepada Tianpepeh. Surat ini surat biasa saja, isinya hanya menanyakan kewarasan Tian-pepeh. Apakah ayah kepingin kubacakan? Sik Ko terheran-heran, tanyanya: Apa artinya itu? Tak hujan tak angin mengapa menanyakan kewarasannya? Memang surat biasa itu tak ada artinya jika diantar oleh seorang pegawai kita. Tapi akan berubah maknanya, jika aku sendiri yang akan mengantarkannya, kata Yak-bwe. Sik Ko berasal dari kalangan Lok-lim. Segera ia mengetahui persoalannya. Ho, jadi kau mau menggunakan siasat kirim golok meninggalkan surat! Hanya meninggalkan surat tak perlu menitipkan golok. Tapi cukup untuk mematahkan nyali Tian-pepeh juga. Hanya saja bila ayah masih menganggap kurang cukup, biarlah nanti kuunjukkan sedikit gaya padanya! Tersipu-sipu Sik Ko goyangkan tangannya: Jangan, jangan, masih belum perlu! Kau, kau .... Sebenarnya Sik Ko hendak mengatakan kau sudah menjadi anggota keluarga Tian. Tapi denganwajah membaja Yak-bwe sudah lantas menukasnya: Kau setuju rencanaku itulah baik, tidak pun boleh. Tapi yang pasti, tak nanti aku menikah dengan keluarga Tian. Kini aku sudah mengetahui bagaimana asal-usul keturunanku. Bagaimana kelak seharusnya aku menjadi manusia, aku sudah mempunyai pendirian sendiri, tak usah ayah kesal-keal memikirkan diriku lagi. Sik Ko cukup paham akan puterinya itu. Pikirnya: Jika ia memaksa akan pergi, apa dayaku untuk menghalanginya? Bahwa ia datang mengajak berunding padaku itu membuktikan bahwa ia
masih tak melupakan budiku, ia masih menganggap aku sebagai ayah. Tapi dengan rencananya itu, terang akan menyalahi keluarga Tian. Jika caranya melaksanakana kurang pandai, tentu akan menimbulkan bencana! Ia merenung sebentar, pikirnya pula: Tapi jika tak menurut kehendaknya, ia tentu mengambek dan tinggal pergi. Kalau sampai pihak keluarga Tian datang menjemput mempelainya, bagaimana akan kujawabnya? Ini juga dapat mengundang bahaya. Ah, celaka, kabarnya bingkisan keluarga Tian sudah berada dalam perjalanan, kukuatir dalam 2-3 hari ini tentu sudah datang. Selagi Sik Ko dalam kebingungan, tiba-tiba di luar terdengar suara orang ribut mulut. Ketika didengarjanya ternyata salah seorang pengawalnya yang menjabat Koan-su (pengurus rumah tangga) tengah ribut dengan bujang perempuan yang menjaga kamar situ. Aku hendak melaporkan suatu urusan penting pada Tayswe, mengapa kau menghalangi? kata Koan-su itu. Jawab si budak perempuan Malam ini Tayswe mengalami kaget, harus beristirahat. Jangan keras-keras bicara nanti membikin kaget Tayswe pula. Mendengar itu Sik Ko berseru keras-keras: Aku sudah bangun, ada urusan apa itu, suruh dia masuk! Kemudian ia membisiki Yak-bwe: Coba kau bersembunyi di belakang pintu angin sana dulu! Koan=su malam-malam datang melapor, tentu ada kejadian yang buruk. Demikian Sik Ko menimang-nimang dalam hati. Saat itu masuklah si koan-su. Setelah memberi hormat, ia melapor: Sebenarnya hamba tak berani mengganggu Tayswe, tapi karena sebuah urusan yang luar biasa pentingnya, jadi terpaksa datang kemari juga. Sik Ko kerutkan keningnya lalu memberi perintah: Jangan banyak ini itu, lekas ceritakan! Dengan naga gemetar koan-su itu berkata: Barang bingkisan yang dikirimkan Tian-ciangkun, di tengah jalan telah dirampas orang! Sik Ko terbeliak, kaget, serunya: Di mana? Dalam daerah Lo-ciu! Siapa yang merampasnya? tanya Sik Ko. Koan-su menerangkan: Kabarnya adalah gerombolan penyamun dari gunung Kim-ke-san dan seorang pemuda yang menurut desas-desus puternya Toan Kuui-ciang .... Sik Ko marah sekali. Hm, lagi-lagi maling kecil itu! ia menggeram. Si koan-su melongo, ia melanjutkan laporannya: Tian-ciangkung mengutus orangnya kemari memberitahukan bahwa perampasan itu terjadi dalam daerah kekuasaan kita, maka Tian- ciangkun minta Tayswe menangkap penjahatnya. Tian-ciangkun mengatakan pula, apabila Tayswe kekurangan tenaga, ia suka mengirimkan pasukannya yang disebut Gwe-thok-lam yang terdiri dari 3000 orang, untuk membantu Tayswe. Wajah Sik Ko berubah membesi. Ia memberi isyarat tangan pada Koan-su itu: Ya, aku sudah mengerti, kau boleh pergi! Mengapa tiba-tiba wajah Sik Ko berubah membesi itu? Kiranya pasukan Gwe-thok-lam itu, memang khusus dibentuk Tian Seng-su untuk menyerang daerah Lo-ciu. Kebetulan terjadi peristiwa pembegalan barang bingkisan. Dengan alasan hendak membantu Sik Ko, Tian Seng-su akan mengirim pasukan itu ke Lo-ciu. Ini berarti mengundang harimau ke dalam rumah. Sik Ko menginsyafi hal itu. Maka marah tapipun keder juga. Begitu koan-su pergi, Yak-bwe lantas keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan muka berseri girang ia berseru: Yah, ini kebetulan sekali! Sik Ko makin gusar, geramnya: Bencana bakal datang, mengapa kau katakan kebetulan? Apakah kau tak dengar laporan koan-su tadi yang mengatakan bahwa Tian Seng-su akan mengirim pasukannya Gwe-thok-lam kemari? Yak-bwe tertawa: Barang antaran itu dirampas orang, apakah itu bukan kebetulan sekali? Dengan tak menerima barang antarannya, tentu mudahlah kelak kau membatalkan urusan pernikahan itu. Tanpa repot-repot mengangkut barang-barang itu kesana-sini, dan aku dapat pergi dengan leluasa. Sik Ko meringis dibuatnya. Sampai beberapa saat baru ia berkata: Sian-ji, kau tak suka
menikah dengan keluarga Tian, tak usah kau mengucapkan kata-kata begitu. Coba kau pikirkan saja, setelah barang antarannya hilang, mana ia merasa puas padaku? Ia mengatakan hendak membantu aku membekuk penjahatnya, tapi itu hanya alasan kosong. Menangkap penjahat itu hanya pelabi saja, yang benar ia hendak menduduki daerah Lo-ciu kita ini. Nah, bagaimana kau hendak suruh aku menghadapinya? Justru karena itulah, maka ayah tak usah takut menyalahinya. Mengapa kau tak ijinkan aku mencoba rencanaku tadi, siapa tahu kalau bencana akan dapat dilenyapkan. Sekarang barulah Sik Ko mulai tergerak hatinya, pikirnya: Ya, ia benar. Jika berhasil, Tian Seng-su tentu dapat dipaksa tak berani mengganggu Lo-ciu. Kalau gagal, pun paling-paling hanya mengorbankan jiwa seorang Hong-sian saja, toh anak itu bukan anak kandungku sendiri. Habis mengambil ketetapan, ia segera mengeluarkan cap Ciat-tok-sunya. Namun ia masih purapura prihatin, ujarnya: Sian-ji, gedung Tian Seng-su itu dijaga ketat sekali, kau harus hati-hati. Ai, jika ada lain daya, sungguh aku tak merelakan kau pergi ke sana! Yak-bwe membubuhkan cap itu ke atas suratnya, katanya: Aku dapat menyesuaikan gelagat, harap ayah lepaskan pikiran. Atas budi kebaikan ayah yang sudah memelihara aku sampai sekian besar ini, sudilah ayah menerima sembah baktiku! Habis memberi hormat, Yak-bwe terus tinggalkan gedung Ciat-tok-su. Sik Ko seperti kehilangan sesuatu. Ia tahu bahwa sejak saat itu, sang puteri tentu tak kembali lagi. Tapi iapun merasa terhibur juga: Anak itu cukup berbakti. Sudah tahu akan asal-usulnya, namun toh ia masih tak lupa untuk membalas budiku. Dalam renungannya, tiba-tiba ia teringat akan perbuatannya yang lampau. Sungguh ia menyesal demi teringat akan perlakuannya terhadap ayah-bunda Yak-bwe dahulu ..... Sekeluarnya dari gedung Ciat-to-su, Yak-bwe rasakan dirinya bebas di alam raya. Girang dan terkenang juga akan bayang-bayang kehidupannya yang lampau. Sejak ini, akupun juga seorang gadis dunia persilatan, pikirnya. Sesaat terlintas bayangan Toan Khik-sia dalam kalbunya, pikirnya pula: Kelak apa bila berjumpa lagi, mungkin ia tak memandang rendah diriku lagi! Teringat ia akan Sik-hujin yang menanyai apakah ia menyukai calon suaminya itu? Kala itu ia elakkan pertanyaan dengan menjawab masih belum memikirkan soal perkawinan. Padahal sejak mengetahui bahwa Toan Khik-sia itu adalah bakal suaminya, sesaatpun pikirannya tak pernah lepas pada anak muda itu! Sebentar ia bergirang, sebentar gelisah, pikirnya: Ia seorang pemuda yang baik pribadinya, berilmu silat tinggi dan gagah serta cakap parasnya. Pemuda seperti itu sungguh jarang terdapat di dunia. Tiba pada renungan bahwa pemuda itu ternyata menjadi calon suaminya, muka Yak-bwe menjadi merah. Diam-diam hatinya bergirang. Tapi demi mengingat dalam perjumpaan pertama itu ia sudah bertengkar dengan pemuda itu, ia kuatir pernikahan mereka akan gagal. Mau tak mau Yak-bwe merasa gundah hatinya. Setelah menempuh perjalanan selama tujuh hari, tibalah Yak-bwe di wilayah Gui-pok (sekarang Tay-beng-koan di propinsi Ho-pak). Dalam masyarakat kerajaan Tong pada masa itu, pergaulan antara pria dan wanita agak bebas, tidak sekolot seperti sesudah ahala-ahala belakangan. (menurut penyelidikan ahli sejarah Tan In-kho, Li Yan pendiri ahala Tong itu berasal dari keturunan suku Ih, sebuah suku yang tak terlalu kukuh pada adat istiadat. Terjadinya aliran kolot yang membuat adat istiadat feodal, baru dimulai pada ahala Song). Pada jaman Tong itu, terutama di daerah utara, soal kaum pria bergaul dengan wanita dan wanita berkelana di luaran, adalah sudah jamak. Begitupun Yak-bwe yang kala itu menyaru sebagai kaum kelana, setibanya di daerah Gui-pok, pun tak menimbulkan perhatian orang sama sekali. Malamnya, Yak-bwe ganti pakaian ringkas, lalu menuju ke gedung Ciat-tok-su. Ia seorang nona yang memiliki Gin-kang sempurna dan ilmu pedang lihay. Sekalipun begitu karena baru pertama kali itu berkelana, tak urung hatinya berdebaran juga. Aku telah menepuk dada di hadapan ayah. Kalau sampai pulang dengan hampa tangan, wah, malulah! demikian pikirnya. Kemudian ia merasa geli sendiri. Beberapa hari yang lalu, ia (Toan
Khik-sia) secara diam-diam masuk ke gedung ayah dan aku memakinya sebagai pencuri kecil. Ah, tak nyana kalau sekarang akupun juga memasuki gedung Tian-pehpeh secara diam-diam dan menjadi pencuri kecil juga. Setelah melewati tembok, masuklah ia ke taman belakang dari Ciat-tok-hu. Ternyata di bagian taman situ sunyi senyap keadaannya, tak tampak barang seorang penjaganya sama sekali. Ia menunggu beberapa saat. Jangankan kawanan penjaga, sedangkan kentongan ronda pun tak kedengaran bunyinya. Konon kabarnya Ciat-tok-su Tian-pehpeh itu dijaga kuat sekali. Tiga ribu anak buah pasukan Gwe-thok-lam, tiap-tiap malam bergiliran menjaga gedung ini. Tapi mengapa tak ada apa- apanya? Apakah kabar itu hanya kabar bohong belaka? Jika begini naga-naganya penjagaan di gedung ayah itu lebih baik dari sini! pikirnya. Nyali Yak-bwe menjadi besar. Dari taman itu ia terus masuk ke dalam. Belum berapa saat ia berjalan, tiba-tiba ia menampak ada dua orang Bu-su berdiri di samping sebuah gunung- gunungan palsu. Satu di pinggir sini, satu di sana. Mereka tegak berdiri seperti patung, sedikitpun tak bergerak. Sekalipun tidak gugup, namun Yak-bwe juga berjaga-jaga. Tiba-tiba ia ragu-ragu apa lebih baik menyergap dan menutuk jalan darah mereka atau menghindari mereka? Beberapa jenak kemudian, perhatiannya tergugah. Sikap kedua Bu-su itu mencurigakan sekali. Posisi mereka sejak tadi tidak berubah, yang satu tengah mengacungkan tombak dan yang satunya lagi mengangkat pukul besi. Sikapnya seperti orang-orangan batu yang dibuat menghiasi gunung-gunungan palsu disitu. Manusiakah itu atau orang-orangan saja? tanya Yak-bwe dalam hati. Ia tabahkan hati dan maju menghampiri. Astaga, kiranya mereka itu memang benar manusia hidup, hanya saja tak berkutik karena sudah tertutuk jalan darahnya. Diam-diam Yak-bwe terkejut dan girang. Oh, ternyata ada lain orang yang lebih dulu dari aku masuk kemari. Siapakah dia? tanyanya pada diri sendiri. Dari situ ia maju terus. Dan kembali ia melihat pemandangan yang serupa. Ada 18 orang Bu-su tak berkutik karena tertutuk jalan darahnya. Yak-bwe makin bertambah herannya. Pikirnya: Jika semua ini dilakukan oleh satu orang saja, wah hebat sekali dia! Suhu sering mengatakan, sepandaipandai orang masih ada yang lebih pandai lagi. Ucapan itu benar sekali. Rupanya orang itu memusuhi Tian-pehpeh, tentunya takkan mengganggu aku. Ah, tak peduli siapakah dianya, lebih baik kukerjakan urusanku sendiri! Gedung Ciat-tok-hu dari Tian Seng-su itu lebih luas dari gedung Sik Ko. Kamarnya berderetderet tinggi rendah, sedikitnya ada beberapa ratus buah. Selagi Yak-bwe bingung bagaimana akan mencari kamar Tian Seng-su, tak terduga-duga ia telah mendapatkan apa yang dicarinya tanpa harus berjerih payah lagi. Bermula ia naik ke tengah wuwungan, dari situ ia memandang ke empat penjuru. Tiba-tiba ia mendengar suara: harr-hurr yang aneh. Yak-bwe segera menghampiri ke tempat datangnya suara aneh itu. Ia tiba di sebuah gedung besar yang terusan dengan halamannya. Waktu memandang ke bawah, kembali ia merasa mengkal dan geli lagi. Apa yang disaksikan di sebelah bawah itu, adalah sebuah pemandangan yang aneh dan lucu. Pada kedua samping serambi dari halaman itu, bertumpukan beberapa sosok tubuh dari kawanan Bu-su yang tidur pulas. Sana setumpuk sini setumpuk. Suara aneh tadi ternyata adalah suara dengkuran dari kawanan Bu-su yang menggeros seperti babi. Ah, ini tentu perbuatan orang itu lagi. Tapi entah ilmu apa yang digunakannya hingga kawanan Bu-su itu dapat dibikin tidur pulas seperti orang mati? Dengan adanya kawanan Bu-su yang begitu banyak jumlahnya, tentunya disini adalah tempat kediaman Tian-pehpeh, demikian ia membatin. Yak-bwe ambil putusan untuk turun ke bawah. Ia melayang turun, menyelinap kian kemari untuk menghindari kawanan Bu-su dan akhirnya berhasillah ia mendapatkan kamar Tian Seng- su. Itulah sebuah kamar yang besar, tapi pemandangan di dalam kamar itu menggelikan sekali. Lilin masih memancar-mancar, perapian dupa mengepul-ngepul, di sana-sini dayang-dayang tegak berpencaran. Adegan di situ mirip dalam sandiwara. Belasan bujang-bujang perempuan itu
melakukan posenya masing-masing, ada yang menyandar ke dinding, ada yang tengah mengipasngipas, ada yang tundukkan kepala terkulai dan ada pula yang menengadah ke belakang. Mereka sama tidur mendengkur dengan pulasnya..... Hm, benar-benar nikmat sekali hidup Tian-pehpeh itu, masakan tidur saja diladeni oleh sekian banyak bujang gadis-gadis. Manusia yang begitu mesum, seharusnya diberi sedikit pengajaran! diam-diam Yak-bwe membatin. Yak-bwe ingin sekali mengetahui bagaimana keadaan Ciat-tok-su itu. Melesat masuk, ia lantas menyingkap kain kelambu. Di atas ranjang yang indah hiasannya itu, berbaringlah Tian Seng-su, Ciat-tok-su dari daerah Gui-pok. Bantalnya disulam indah dengan benang emas, di muka bantal itu menonjol sebatang pedang Chit-sing-kiam dan di muka pedang itu menggeletak sebuah kotak emas yang tutupnya terbuka. Di dalamnya terdapat tulisan-tulisan dari nama para malaikat Pak-tou-sin. Kiranya Tian Seng-su itu amat takhyul sekali. Ia percaya dengan Hu yang bertuliskan nama- nama malaikat itu akan dapat mengusir segala bahaya. Selain itu, terdapat juga wangi-wangian dan permata-permata yang indah permai. Biar kuambil kotak ini untuk kuberikan pada ayah (Sik Ko) selaku bukti, akhirnya Yak-bwe mendapat pikiran. Diambilnya kotak itu, sebagai gantinya ia letakkan sampul suratnya yang sudah dibubuhi dengan cap Sik Ko. Setelah habis melakukan itu, ia terus hendak berlalu. Tapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah sampul surat yang terletak di atas meja. Surat itu dilekatkan dengan sebilah belati kecil. Yak-bwe terkesiap, pikirnya: Oh, kiranya orang itu juga serupa tujuannya dengan aku, yakni hendak mengirim golok meninggalkan surat. Mengirim golok meninggalkan surat adalah sebuah istilah dunia persilatan yang berarti memberi ancaman pada penerimanya. Terdorong oleh rasa kepingin tahu, Yak-bwe menghampiri meja itu dan lantas mencabut belati pemaku surat. Waktu membaca surat itu, girangnya bukan kepalang. Ia terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat! Kiranya pada surat itu hanya bertuliskan 6 kalimat yang terdiri dari 24 huruf. Bunyinya ialah: Semaunya mengambil kas negara, menghamburkan untuk bingkisan kawin, harta yang tidak halal, segala orang boleh mengambilnya. Jika berani coba menyelidiki, batang kepalamu akan kuambil. Susunan kalimatnya bagus, maksudnya jelas. Tapi yang lebih mengejutkan Yak-bwe, ialah tanda tangan yang dibubuhkan di bawahnya. Ketiga huruf dari tanda tangan yang mendebarkan jantung Yak-bwe itu, bukan lain berbunyi Toan Khik-sia. Hai, kiranya dia! Entah apakah ia sudah berlalu dari sini? Baik aku menjumpanya atau tidak? demikian Yak-bwe bertanya pada dirinya sendiri. Selagi ia masih terbenam dalam pemikiran, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tiupan terompet. Menyusul terdengar suara orang berteriak-teriak: Celaka, ada penjahat menyelundup masuk! Dalam beberapa saat kemudian, suara orang makin berisik sekali. Sana sini pada ribut tak keruan. Ada yang berseru: Hai, ini ada dua kawan yang tertutuk jalan darahnya, aku tak dapat menolongnya, lekas undang Suhu kemari! Ada yang menjerit kaget: Astagafirullah! Ada setan, ada setan! Mengapa orang-orang ini sama tidur semua, dibangunkan tidak mau bangun? Tolol, mereka terkena dupa bius bi-hiang! Biarkan dulu mereka, lekas lindungi Tayswe! Diam-diam Yak-bwe mengambil keputusan untuk lolos saat itu juga. Sembari putar pedang, ia menerobos keluar dari jendela. Kawanan Bu-su yang tengah mendatangi itu, serempak berseru kaget: Penjahatnya datang, penjahatnya datang! Ada yang segera lari masuk ke dalam kamar untuk melindungi Tayswe mereka (Tian Seng-su), ada yang mengejar Yak-bwe. Paser, hui-piau dan bermacam-macam senjata rahasia berhamburan melayang ke arah Yak-bwe. Tapi Yak-bwe gunakan gin-kang pat-poh-kam-sian, dalam beberapa loncatan ia sudah dapat melampaui tiga buah gunung-gunungan palsu. Jangankan kawanan bu-su itu, sedangkan segala macam senjata rahasia yang menghujaninya dari belakang, tak dapat menyentuh tubuh nona itu. Di bawah sinar rembulan remang, kawanan Bu-su itu hanya menampak sesosok bayangan hitam lari seperti angin puyuh. Dalam sekejap mata, bayangan itu sudah lenyap ditelan kegelapan.
Dengan begitu kawanan Bu-su itu tak dapat melihat jelas keadaan penjahat yang diburunya itu. Penjahat lari kesana, penjahat lari kesana! hiruk-pikuk mereka berkaok-kaok sendiri. Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: Ha, pasukan Gwe-thok-lam yang dibentuk Tianpehpeh itu ternyata hanya kawanan gentong nasi belaka! Baru ia berpikir sampai disitu, tiba-tiba terdengar orang berseru: Penjahatnya berada di sini! Wut, mendadak sebatang hui-piau menyambar kearah Yak-bwe. Yak-bwe dapatkan desing hui-piau ini jauh berlainan perbawanya dengan hui-piau yang dilepas kawanan Bu-su tadi. Ia tak berani memandang rendah, terus putar pedang menyampoknya jatuh. Tapi hui-piau yang kedua dan ketiga berturut-turut menyusul datang. Yak-bwe mendongkol hatinya: Hm, jika tak diberi hajaran, tentu kamu tak kapok! Ia mengisar ke samping untuk menghindari hui-piau yang kedua. Tapi untuk hui-piau yang ketiga, ia ulurkan tangan untuk menyambutnya, lalu kontan timpukkan kembali kepada pengirimnya. Orang itu sudah hendak melepaskan hui-piau keempat, tapi tahu-tahu ada benda berkilat menyambar. Ia tak keburu menghindar, ujung keningnya termakan sampai ke atas kepala. Kepalanya segera mengucurkan darah. Untung kalau ia hanya terluka begitu karena Yak-bwe memang tak bermaksud melukai orang. Coba nona itu mau mengganas, masakan dia masih bernyawa! Penjahat amat lihay, Suhu, lekaslah datang! Di sini, di sini! seru orang itu. Menyusul dengan itu terdengar suara orang menyahut: Kalian jangan takut, aku segera datang! Bermula suaranya masih jauh, tapi berbareng dengan selesainya berkata-kata, orang itupun sudah dekat sekali. Nada suaranya gemerontang seperti logam dipalu dan memekakkan telinga. Yak-bwe terkesiap kaget, pikirnya: Mengapa iblis tua itu berada di gedung Tian-pehpeh? Celaka, aku bukan tandingannya! Ternyata Yak-bwe cukup paham akan suara itu. Orang yang bergegas-gegas mendatangi itu bukan lain ialah seorang benggolan besar yang tenar sekali namanya di dunia persilatan. Beberapa tahun lamanya, ia pernah menjadi Tayhwe-cong-koan (pemimpin pengawal istana) dari An Lok- san. Namanya Yo Bok-lo, digelari orang sebagai Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah memburu nyawa. Bukan melainkan tahu namanya saja, pun Yak-bwe pernah merasakan kelihayan Yo Bok-lo itu. Peristiwa itu terjadi ketika Yak-bwe berusia 10-an tahun. Pada masa itu ayah pungutnya (Sik Ko) masih menjadi salah seorang panglima dari An Lok-san. Pada suatu hari, An Lok-san telah mengadakan perjamuan besar di istananya Li-san-heng-kiong. Yang diundang dalam perjamuan itu ialah menteri-menteri, panglima-panglima dan utusan-utusan daerah. Sik Ko dan Huciangkunnya (wakil panglima) Sip Hong juga mendapat undangan. Yak-bwe dengan kawannya, yakni anak perempuan Sip Hong yang bernama Sip In-nio, ikut serta dengan menyaru sebagai anak lelaki. Pun anak perempuan dari Ong Peh-thong, Lok-lim-beng-cu (ketua perserikatan penyamun) pada masa itu, ikut sang ayah menyelundup ke dalam istana. Bocah perempuan yang kepingin melihat keramaian itu bernama Ong Yan-ik. Di tengah perjamuan berlangsung, Thiat-mo-lek, seorang pendekar besar, telah menimbulkan kegaduhan. Thiat-mo-lek berhadapan dengan Yo Bok-lo dan Ong Yak-ik membantu Thiat-mo- ek untuk mengeroyok jagoan istana itu. Dasar bocah, Yak-bwe dan Sip In-nio tak mau berpeluk tangan, mereka membantu Ong Yan-ik. Ketiga anak perempuan itu berhasil melukai beberapa wisu (pengawal istana) An Lok-san, tapi hampir saja mereka celaka di dalam tangan Yo Bok-lo yang ganas itu. Akibat dari peristiwa itu, Sik Ko menjadi ketakutan dan terpaksa membaliki muka pada An Lok-san dan takluk kepada kerajaan Tong. Waktu Yak-bwe mencium gelagat akan datangnya Yo Bok-lo, ia sudah merasa gentar: Jika kesamplokan dengan iblis itu, sukarlah aku meloloskan diri! Di muka tergencet, dari belakang dikejar. Dalam keadaan yang terjepit ini, tiba-tiba timbullah pikiran Yak-bwe. Sebelum Yo Bok-lo datang, ia buru-buru loncat melampaui sebuah tembok lalu bersembunyi dalam sebuah kamar. Gedung Diat-tok-hu itu luas sekali, kamarnya beratus buah masakan mereka dapat menggeledah semuanya. Untuk sementara, biar aku bersembunyi dulu untuk menunggu
kesempatan, pikirnya. Tiba-tiba di dalam kamar terdengar suara seorang wanita berkata: Toa-kongcu, mengapa kau tak lekas-lekas bangun? Coba dengarkan, di luar begitu ributnya, tentu terjadi apa-apa! Seorang lelaki yang suaranya kemalas-malasan menyahut: Peduli apa dengan ribut-ribut itu? Kau temani aku tidur lagilah, kita jarang sekali berkumpul. He, celaka! Dengarkan, mereka berteriak-teriak akan menangkap penjahat! kembali wanita itu berseru. Sebaliknya si lelaki malah tertawa: Jika ada kebakaran mungkin aku akan cemas. Kalau ada penjahat atau pencuri, perlu apa takut? Ayahku mempunyai pasukan Gwe-thok-lam yang terdiri dari 3000 orang dan akhir-akhir ini telah mengundang Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo kemari. Ai, nona manis, ibu tercinta, kasihanlah pada diriku. Baru hendak kupeluk, kau lantas suruh aku bangun! Fui, demikian wanita itu menyemprot, katanya dengan genit: Ah, memang sudah ditakdirkan rupanya dalam penghidupanku ini mesti selalu kau gerecoki saja. Jika kawanan pengawal menggeledah kemari, hendak kutaruh di manakah mukaku nanti? Apabila ayahmu sampai mengetahui, lebih-lebih celaka kita. Kau panggil aku sebagai ibu, aku sungguh keberatan. Namun baik atau buruk, aku memang juga seorang Ih-niomu (ibu tiri). Takut ketahuan mereka? Baiklah, lekas sembunyi dalam sini, Ih-nio yang baik, jangan kuatir, jika aku yang melarangnya, siapa yang berani masuk kemari? kembali lelaki itu tertawa. Mendengar itu merah padamlah selebar muka Yak-bwe. Ia baru mengetahui siapa kedua lakiperempuan yang bicara itu. Yang perempuan adalah gundiknya Tian Seng-su, sedang si lelaki bukan lain ialah putera Tian Seng-su yang manis, yaitu Tian-toakongcu yang dipuji setinggi langit oleh Sik Ko. Mereka adalah sepasang anjing laki-perempuan yang tak tahu malu. Cis, untung aku keburu mengambil putusan sendiri hingga tak jatuh dalam perangkap mereka. Jika sampai menikah dengan manusia semacam binatang itu, lebih baik mati saja, bisik batin Yak-bwe dengan muaknya. Dalam pada itu kedengaran si wanita lagi tertawa genit: Oh, anakku, tambatan hatiku, sekarang kau begitu tergila-gila padaku, tetapi setelah nanti mempelaimu datang, apakah kau masih ingat padaku? Jika sampai lupa padamu, biarlah aku mati dengan sengsara. Aku pun bukan seorang lelaki yang takut pada bini, sahut si lelaki. Aah, jangan buru-buru menyatakan janji dulu! Ketahuilah, calon mempelaimu itu adalah puterinya Sik ciat-tok-su! Apa yang luar biasa dengan puteri seorang Ciat-tok-su? Akupun puteranya seorang Ciat-toksu juga, jawab si lelaki. Kabarnya puteri dari Sik Ciat-tok-su itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Kau, tentu kau bukan tandingannya! Ngaco! Jangan pandang rendah diriku, akupun seorang Bun-bu-coan-cay (mengerti ilmu surat dan silat). Mungkin karena mendapat pelajaran sedikit ilmu pedang dari ayahnya, orang-orang lalu menyohorkan nona itu lihay. Aku tak percaya sama sekali seorang nona lemah seperti itu benarbenar lihay ilmunya silat. Baiklah, kau boleh lihat sendiri nanti, begitu nona itu melangkah masuk pintu kita, aku segera akan menyambutnya dengan sebuah pukulan! Wanita itu tertawa: Ha, kau ini, masakan hari pertama sudah mau menghajar isterimu? Ya, lihat sajalah! Jika tak dapat menghajarnya sampai meratap minta ampun, jangan panggil aku seorang lelaki, seorang jantan! Mendengar itu Yak-bwe mendongkol dan geli, pikirnya: Jika tak kuberi hajaran, sepasang anjing itu tentu menggonggong tak keruan dan terus menghina diriku! Segera ia sabet putus palang jendela, terus loncat masuk. Karena Tian Seng-su itu asalnya dari seorang penyamun besar jadi puteranya itupun mengerti juga beberapa jurus ilmu silat. Tapi mana mampu menandingi Yak-bwe? Baru pemuda itu berteriak kaget dan hendak loncat bangun dari tempat tidur, ia sudah dibikin tak berdaya oleh Yak-bwe yang menutuk jalan darahnya. Kongculah yang memaksa aku, bukan kemauanku sendiri! demikian wanita itu segera
meratap. Karena gelap, ia kira perbuatan mesum mereka telah tertangkap basah dan menyangka Yak-bwe adalah orang suruhan Tian Seng-su. Supaya jangan berteriak, Yak-bwe segera menutuk jalan darah wanita itu. Tapi ia menjadi kaget dan gusar demi jarinya menyentuh tubuh si wanita yang ternyata tak memakai barang selembar pakaianpun. Benar-benar sepasang anjing yang tak tahu malu! dampratnya sembari tendang wanita itu ke bawah kolong ranjang. Baru Yak-bwe hendak memberi giliran pada anaknya Tian Seng-su, tiba-tiba di luar terdengar suara teriakan Yo Bok-lo: Bangsat, hendak lari kemana kau? Heran Yak-bwe dibuatnya: Apakah matanya dapat menembus tembok hingga dapat melihat aku disini? tanyanya dalam hati. Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa keras dari seorang anak muda: Bangsat tua, sebenarnya aku hendak berlalu, tapi karena kau ada di sini, aku sengaja berhenti! Bangsat tua, pentanglah lebar-lebar matamu yang tinggal satu itu, masih kenalkah padaku? Darah Yak-bwe tersirap jantungnya melonjakk girang. Suara itu, ya, suara itu, adalah suara Toan Khik-sia. Segera anaknya Tian Seng-su didorongnya roboh lalu diinjaknya dipakai sebagai ancik-ancik untuk melongok keluar jendela. Ia lihat dua sosok bayangan laksana dua ekor burung yang terbang dari dua jurusan, tiba-tiba saling berbentur, bum ..... yang dari sebelah kanan berperawakan tinggi besar dan terhuyunghuyung beberapa langkah ke belakang. Sebaliknya yang dari sebelah kiri bertubuh kurus dan terpental ke udara dan berjumpalitan kemudian turun ke bumi dengan gaya yang indah sekali. Bagus, bangsat kecil she Toan, aku justeru sedang mencarimu! seru bayangan hitam yang tinggi besar, itulah Yo Bok-lo adanya. Ternyata benggolan itu memang matanya buta satu. Tujuh tahun berselang ia pernah bertempur dengan Toan Kui-ciang dan puteranya (Toan Khik-sia). Dalam pertempuran itu Toan Khik-sia telah mencukil sebuah biji mata Yo Bok-lo. Bertemu dengan musuh lama, sudah tentu mata Yo Bok-lo menjadi merah membara. Hai, bangsat tua, jika kau ingin buta kedua matamu, majulah! Toan Khik-sia menantangnya. Jangan kurang ajar, serahkan jiwamu! Yo Bok-lo menggerung sambil menerjang dengan kedua tinjunya. Tapi ia bukannya menyerang secara kalap, karena dalam benturan tadi, ia dapatkan tenaga si anak muda sudah jauh lebih maju dari dulu. Ho, mungkin kau tak mampu berbuat begitu, coba lihat saja siapa yang akan menyerahkan jiwanya! sahut Khik-sia dengan dingin. Ia melangkah maju dalam posisi tiong-kiong dan tusukkan pedangnya ke jalan darah hian-ki-hiat di dada si iblis. Dalam ilmu pelajaran silat ada sebuah dalil: golok berjalan ke putih, pedang berjalan ke hitam. Artinya golok itu harus digunakan untuk membacok dari sebelah muka dan pedang untuk menyerang dari samping. Tapi, Toan Khik-sia sangat mengandalkan akan ilmunya gin-kang. Apalagi dalam tubrukan tadi, ia merasa tak kalah. Nyalinya pun semakin besar. Sekali serang, ia merapat maju, seolah-olah lawannya tak dipandang sebelah mata. Julukan Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun, sebuah julukan yang tak kosong karena dalam ilmu pukulan dan gerakan kaki memang ia memiliki keistimewaan. Pun dalam hal tenaga, sebenarnya ia lebih tinggi setingkat dari Toan Khik-sia. Mengapa dalam tubrukan tadi Toan Khik-sia sampai tak menderita apa-apa, itulah karena ia mengandalkan ilmu gin-kang yang lihay. Dalam serangan saat itu, Yo Bok-lo gunakan siasat menyerang sambil menjaga diri. Bagaimana reaksi lawan, tetap akan dapat diikutinya. Sebuah siasat yang mudah berubah tapi sukar diduga perubahannya. Serangan merapat maju dari Toan Khik-sia, justeru itulah yang diharapkan. Ia mundur selangkah dan menarik tangannya untuk melindungi dada. Seketika Toan Khik-sia merasa ujung pedangnya itu tertumbuk dengan sebuah tenaga keras yang tak kelihatan. Ujung pedang hanya terpisah satu-dua senti saja dari ulu hati Yo Bok-lo, tapi macet tertahan kekuatan aneh itu. Karena macet, permainan pedang Toan Khik-sia tak dapat berkembang lagi. Inilah saat yang dinanti-nanti Yo Bok-lo. Sekonyong-konyong ia menggerung keras, kedua tangannya didorongkan kemuka sekuat-kuatnya. Perbawanya seperti gunung roboh menimpa
lautan! Saat itu sejumlah besar kawanan Bu-su dan bujang-bujang Ciat-tok-su sudah datang dengan membawa obor. Mereka beramai-ramai hendak melakukan penggeledahan. Dari jendela tadilah Yak-bwe, meskipun tak jelas sekali, dapat melihat jalannya pertempuran antara Toan Khik-sia dan Yo Bok-lo. Sewaktu Khik-sia seenaknya maju merapat, diam-diam Yak-bwe sudah mengeluh. Dan pada saat pedang si anak muda macet, Yak-bwe kaget sekali. Lebih-lebih ketika Yo Bok-lo memukul dengan kedua tinjunya, hampir saja Yak-bwe menjerit. Untung ia tak melakukan hal itu karena dalam saat-saat yang berbahaya itu, Toan Khik-sia telah mengunjukkan suatu gerakan gin-kang yang luar biasa indahnya. Anak muda itu mencelat ke udara dan loloslah ia dari lubang jarum. Plak. Luput menghantam Toan Khik-sia, pukulan Yo Bok-lo itu telah mendapat sasaran baru, sebuah batu besar segera hancur lebur. Kepingan batu itu muncrat kemana-mana. Ada beberapa anggota pasukan Gwe-thok-lam terluka karena kecipratan. Kawanan Bu-su itu menjadi jeri dan sama menyingkir jauh-jauh. Di udara Toan Khik-sia gunakan gerakan Kok-cu-hoan-sin (burung merpati membalik tubuh). Ia berjumpalitan dan sambil melayang turun ia sudah tujukan ujung pedang ke arah beberapa jalan darah di belakang batok kepala si iblis. Yo Bok-lo pun bukan jago empuk. Sebat sekali ia berputar tubuh dan tutukkan tiga jarinya ke pergelangan tangan si anak muda. Bret, lengan baju si iblis itu terpapas kutung tapi pedang Toan Khik-sia pun menjadi mencong arahnya. Yo Bok-lo kehilangan secarik lengan baju, Toan Khik-sia gagal mendapat sasaran. Untuk menghindari tutukan lawan, Toan Khik-saia terpaksa melayang ke samping. Setiba kakinya di tanah ia rasakan pergelangan tangannya agak sedikit sakit. Diam-diam ia berjengit dalam hati: Pukulan iblis itu benar-benar lihay, tak boleh kupandang rendah! Jilid 2 Waktu bergebrak lagi, Khik-ya keluarkan ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat ajaran suhunya. Ia bergerak dengan lincah dan gesit. Menyerang maju seperti seekor kera menerobos semak pohon, mundur laksana ular menyurut ke dalam lubang, melayang ke udara bagaikan garuda membubung ke langit dan loncat menerjang seolah-olah harimau menerkam. Maju menyerang mundur bertahan, berputar-putar seperti angin, setiap gerakannya serba cepat seperti kilat. Empat penjuru seolah- olah penuh dengan bayangannya. Yo Bok-lo menang dalam tenaga, tapi kalah dalam ilmu ginkang. Ia dapat memukul serangan pedang menjadi mencong tapi tak mampu mengenakan tubuh si anak muda. Kekuatan mereka tampak berimbang. Karena Yo Bok-lo dengan pukulan sakti itu tak dapat mengapa-apakan lawan, maka dalam penilaian, Toan Khik-sialah yang berada di atas angin. Ialah yang memegang inisiatif penyerangan. Ini hanya penilaian saja karena kenyataannya anak muda itupun tak dapat membobolkan pertahanan diri dari si iblis yang kukuh bagaikan benteng baja itu. Menyaksikan pertempuran itu, terbukalah hati Yak-bwe, pikirnya: Usianya sebaya dengan aku, tapi sudah sedemikian lihaynya, ah, sungguh membuat orang kagum sekali! Dan melayanglah pikirannya pada malam pertemuan dengan anak muda itu: Ah, kiranya sewaktu bertempur dengan aku, ia masih mengalah. Paling-paling ia hanya mengeluarkan separuh kepandaiannya saja. Ah, sayang aku kelewat ceroboh dan hanya tahu memaki-makinya saja! Berpikir sampai di sini, ia merasa girang dan menyesal. Girang karena calon suaminya ternyata seorang jago muda, menyesal sebab ia telah salah memperlakukannya. Karena terpengaruh oleh getaran perasaannya, tanpa terasa ia keraskan injakannya. Putera Tian Seng-su itu tertutuk jalan darahnya, jadi walaupun kesakitan sekali ia tak dapat menjerit, paling-paling mulutnya hanya ngosngosan seperti kerbau hendak disembelih. Tiba-tiba di sebelah luar terdengar kawanan Bu-su berteriak-teriak: Go thong-leng datang, Go thong-leng datang! Segera kawanan Bu-su itu menyiah ke samping dan muncullah seorang lelaki tegar ke muka.
Kepalanya bundar besar macam kepala harimau kumbang; tubuhnya besar dan langkahnya pun lebar. Kiranya orang itu ialah thong-leng (pemimpin) dari pasukan Gwe-thok-lam yang bernama Go Beng-yang. Datangnya sang pemimpin itu telah disambut dengan penuh harapan oleh kawanan Bu-su. Malam itu mereka sakit hati karena dihajar Toan Khik-sia dan dipandang rendah oleh Yo Bok-lo. Maka begitu sang pemimpin datang, seorang Bu-su segera sengaja berseru: Go thongleng, bangsat kecil itu lihay benar, Yo-losiansing mungkin tak mampu mengatasinya! Go Beng-yang mendengus, serunya: Seorang maling kecil yang bisanya cuma menggunakan obat bi-hiang, sampai dimana lihaynya. Menyingkirlah kalian, lihat caraku meringkusnya! Dengan lagak macan lapar, ia tampil ke depan dan berseru nyaring Yo-losiansing, jangan kuatirlah, aku datang membantumu! Memang apa yang dikatakan Thong-leng Gwe-tho-lam itu benar. Toan Khik-sia memang menggunakan dupa bi-hiang untuk membikin pulas kawanan penjaga di gedung Ciat-tok-su situ. Ia mempunyai dupa pembius itu karena diberi oleh suhengnya, Gong-gong-ji. Gong-gong-ji adalah maling nomor satu di dunia persilatan. Dupa bi-hiang yang dibuatnya sendiri, juga merajai seluruh dupa bius yang terdapat di dunia persilatan. Dibanding dengan dupa bius yang banyak digunakan oleh kaum persilatan yakni dupa Ke-bing-ngo-ko hoan-hun-hiang, dupa bi-hiang dari Gong-gong-ji itu jauh lebih hebat beberapa kali. Kedudukan Yo Bok-lo beserta ke-7 orang muridnya itu adalah sebagai jago undangan dari Tian Seng-su, jadi mereka tak bertugas melakukan penjagaan malam. Itulah sebabnya maka mereka tak terkena dupa bius itu. Yang memergoki Toan Khik-sia dan Yak-bwe lebih dulu adalah murid- murid dari Yo Bok-lo, setelah itu baru anggota pasukan Gwe-thok-lam dan kawanan bujang. Jadi seluruh anggota Gwe-thok-lam yang bertugas jaga malam itu kecuali Go Beng-yang, semuanya telah tertidur pulas. Kau maki aku sebagai bangsat kecil yang melakukan perbuatan rendah? Hm, jika aku mau berbuat begitu masakan kau masih bernyawa? Apa kau tahu mengapa kugunakan bi-hiang? Hm, kusayangkan karena kalian makan gaji dari Tian Seng-su, lantas kalian akan jual jiwa padanya. Jika kalian tidak dibikin tidur, karena sungkan pada majikan, kalian tentu menempur aku. Pedangku ini tak bermata, salah-salah tentu melukai kalian. Tapi sayang seorang tolol sebagai kau ini, tak dapat mengerti kebaikan orang, bahkan masih membanggakan diri sebagai Hohan. Sebenarnya kau boleh berpura-pura tidur saja, mengapa cari sakit ingin menemani si iblis tua ke akhirat? Hm, sungguh goblok benar! Toan Khik-sia baru berumur 16-17 tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang. Hatinya ingin mengatakan apa, kontan sang mulut lantas menumpahkan. Sudah tentu Go Beng- yan yang berjingkrak-jingkrak seperti orang yang pantatnya tertusuk jarum. Ha, ha, bocah yang bermulut besar, berani benar kau menghina orang-orang. Apa yang kau andalkan untuk melawan aku? Baiklah, akupun tak mau buru-buru mencabut jiwamu, tetapi akan kuberikan 300 kali gebukan dulu! Habis berkata ia lantas maju dan menyerang dengan ilmu silat Hun-kin-jo-kut-chiu. Sebagai ahli silat ternama, bukan ia tak tahu bahwa permainan pedang Toan Khik-sia itu luar biasa indahnya, tapi dikarenakan ia terlalu yakin akan ilmunya Hun-kin-jo-hut-chiu yang tiada tandingannya di dunia dan ilmu Iwekang Khun-goan-it-bu-kang yang sudah dilatih sempurna, maka iapun tak gentar. Memang selama ini, ia belum pernah kalah dalam setiap pertandingan. Di samping itu, iapun mempunyai alasan lain mengapa hendak mengunjuk kegagahan di hadapan Yo Bok-lo itu. Ia merasa iri hati akan nama Yo Bok-lo yang lebih tenar dari ia sendiri dan merasa tak puas karena Tian Seng-su lebih menghargai orang she Yo itu. Diam-diam ia kuatir kedudukannya akan direbut oleh Yo Bok-lo. Justru Yo Bok-lo pun mengandung pikiran yang sama dengan Go Beng-yang. Ia mendongkol sekali mendengar ucapan besar dari orang she Go tadi. Hm, orang macam apa kau ini Go Bengyang, berani memandang rendah padaku? Baik, biar kumenyingkir ke samping untuk melihat bagaimana ia hendak unjuk aksi. Memang beginilah mentalitetnya kaum budak. Coba mereka berdua bersatu padu untuk mengerubut Toan Khik-sia, sekalipun tak dapat menangkap hidup-hidup anak muda itu, sekurangKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ kurangna dapat juga memenangkan pertandingan itu. Oleh karena akan melihat kepandaian Go Beng-yang, maka Yo Bok-lo pun tak mau menyerang sungguh-sungguh. Ini berarti memberi kemurahan pada Toan Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia juga panas mendengar kecongkakan orang. Bagus! serunya demi Beng-yang mulai menyerang. Ia tabaskan pedang dan tinju kirinya menyusul menghantam. Ternyata Beng-yang juga tak bernama kosong. Miringkan tubuh ke samping, ia segera mencengkeram bahu si anak muda. Sebenarnya tulang pi-peh di bahu orang itu adalah bagian yang paling sukar untuk dilatih. Sekali bagian bahu dicengkeram, tentu orang menjadi lumpuh tak berdaya lagi. Tapi kepandaian yang dimiliki Toan Khik-sia itu berasal dari partai Ciang-leng-cu. Ilmu silat dari Ciang-leng-cu itu berbeda sama sekali dengan aliran silat di Tiong-goan. Lwekang dari Ciang-leng-cu itu dapat dilatih sampai ke bagian bahu, sehingga bahu berubah menjadi keras seperti baja. Itulah sebabnya mengapa waktu jari Beng-yang menyentuk bahu Toan Khik-sia, ia seperti membentur dinding baja. Jari terpental dan sakitnya bukan buatan. Baik Beng-yang maupun Khik-sia sama-sama bergerak dengan cepatnya. Bersamaan waktnya ketika jari Beng-yang membentur bahu Toan Khik-sia, pun tinju kiri Khik-sia sudah membentur tangan lawan juga. Bluk, masih Beng-yang coba menyelamatkan diri dengan sebuah gerak jungkir balik, tapi bagaikan bayangan yang selalu mengikuti orang, pedang Khik-sia sudah merangsangnya. Kena! berbareng mulut pemuda itu berseru. Ujung pedangnya pun sudah memakan paha lawan. Masih untung anak muda itu merasa kasihan, jadi ia hanya mengguratnya saja. Coba ia mau berlaku kejam, Beng-yang pasti sudah kehilangan sebelah pahanya. Sekalipun begitu, diam-diam Khik-sia juga terperanjat. Ia dapatkan orang she Go itu juga lihay sekali. Jika bertempur satu sama satu, walaupun berkat gin-kangnya kemungkinan besar ia dapat menang, tapi kemenangan itupun tak dapat mudah diperolehnya. Mengapa dalam sekali gebrak saja Toan Khik-sia sudah dapat melukai lawan adalah karena: kesatu, Go Beng-yang memandang rendah lawan, kedua, Yo Bok-lo sengaja berpangku tangan; ketiga, termakan tipu si anak muda yang sengaja membiarkan bahunya dicengkeram; keempat, karena pemusatan tenaga Beng-yang dipencar dalam Hun-kin-jo-kut-chiu dan Khun-goan-it- bukang. Karena pemencaran tenaga itu, maka sekali pukul dapatlah Toan Khikya menghantam dan menusuknya. Musuh yang sebenarnya dari Toan Khik-sia ialah Yo Bok-lo. Maka demi Beng-yang roboh, ia segera alihkan serangannya pada orang she Yo itu. Baru Yo Bok-lo girang melihat si temberang Beng-yang mendapat hajaran, tahu-tahu pedang si anak muda sudah merangsangnya. Entah bagaimana luka Go Beng-yang itu, biar bagaimana juga ia adalah orangku sendiri. Karena menuruti kemendongkolan hati, bangsat cilik ini mendapat kemurahan besar, diam-diam Bok-lo menyesal telah membiarkan kepala Gwe-thok-lam itu roboh. Go Beng-yang adalah pemimpin dari pasukan istimewa Gwe-thok-lam. Di hadapan Yo Bok-lo sekali gebrak ia dibikin jungkir balik oleh Toan Khik-sia, walaupun ia tahu bahwa anak muda itu cukup bermurah hati, namun ia tetap marah sekali. Menggerung seperti harimau terluka, ia jungkir balik dengan gerak le-hi-ta-ting (ikan lele berjumpalitan), lalu menyerang si anak muda lagi. Kali ini ia tak berani gegabah merapat si anak muda. Ia menyerang dengan ruyung Ca- liongpiannya. Itulah senjata yang paling diandalkan. Ruyung itu lebih dari satu tombak panjangnya, ujungnya penuh dipasangi duri-duri kecil macam rambut, gunanya untuk menggaruk kulit orang. Itulah maka diberi nama Ca-liong-pian atau pian berewok naga. Karena gemas, ia serentak menyerang dengan 3 jurus hwe-hong-soh-liu atau angin puyuh menyapu pohon liu. Ruyung itu menderu hebat seperti angin puyuh. Tapi Khik-sia tetap andalkan gin-kangnya yang lihay untuk melayani. Laksana kupu-kupu ia menari-nari di antara taburan hujan ruyung. Tampaklah seperti kena, padahal masih terpisah satu dim. Tapi ini kali Yo Bok-lo tak mau tinggal diam lagi. Pada waktu Toan Khik-sia menghindari ruyung, cepat laksana kilat ia menerkam kedua siku lengan Toan Khik-sia dengan gerakan jong- ingtian- ki (garuda pentang sayap). Untung Khik-sia waspada. Tak kalah cepatnya ia berputar dan mainkan tinju serta pukulannya dalam gerak hiat-koa-tan-pian. Tinju kirinya dibuat menghantam
tangan Yo Bok-lo sedang pedangnya dipakai menangkis pian Go Beng-yang. Tapi bagaimanapun juga, Yo Bok-lo dan Go Beng-yang itu adalah jago-jago kelas satu. Mereka masing-masing memiliki kepandaian istimewa. Dengan mengandalkan keunggulan gin-kang, memang Khik-sia dapat melayani, tapi hanya untuk dua-tiga puluh jurus saja. Selewatnya itu, tenaganyapun mulai berkurang, gerakannya mulai kendur, daya tahannya mulai berkurang. Sekaligus Yo Bok-lo telah mendapat kemenangan moral yaitu dapat mengembalikan serangan pada Toan Khik-sia dan dapat menghancurkan kecongkakan Go Beng-yang. Itulah sebabnya walaupun masih ada ganjalan dengan orang she Go, tapi saat itu ia ngepiah betul-betul untuk menyerang Toan khik-sia. Beberapa kali Toan Khik-sia hendak mematahkan bagian penyerangan musuh yang lemah, yaitu Go Beng-yang, tapi selalu dihadang oleh Yo Bok-lo. Bagus, Go-heng, teruskan siasatmu itu, kita tak usah terlalu peras tenaga. Kita boleh bergantian maju merapat, bangsat kecil itu tentu tak dapat lolos! seru Yo Bok-lo. Pada saat itu barulah Go Beng-yang melek bahwa kepandaian Yo Bok-lo itu memang lebih unggul setingkat dari dirinya. Ia pun tak mau membawa maunya sendiri, tak ingin pula untuk merebut jasa. Serta-merta ia turuti perintah Yo Bok-lo, ia mainkan piannya menyerang dari jarak 2 tombak. Benar ia lebih lemah dari Yo Bok-lo, tapi ilmu permainan Ca-liong-pian-hoatnya yang terdiri dari 81 jurus itu juga bukan main hebatnya. Cepatnya seperti angin, kerasnya seperti baja dan gencarnya bagai hujan lebat. Tubuh Toan Khik-sia seolah-olah diselubungi oleh bayangan pian. Yo Bok-lo pun juga lantas keluarkan ilmu pukulannya Chit-poh-tui-hun-ciang-hoat (pukulan maut dari 7 langkah). Bagaikan bayangan, pukulannya selalu membayangi si anak muda dan yang diarah selalu bagian-bagian yang berbahaya. Melihat jalannya pertempuran itu, Yak-bwe menjadi gelisah. Tiba-tiba terdengar orang berseru: Bagus, Sip-ciangkun datang! Biarpun bangsat kecil itu mempunyai 3 kepala dan 6 tangan masakah ia bisa lolos! Segera seseorang yang mengenakan pakaian pembesar militer, lengkap dengan pedang di pinggang, tampak muncul ke muka. Melihat Ciang-kun itu, Yak-bwe berubah girang. Kiranya jenderal itu bukan lain ialah Sip Hong. Sip Hong adalah adik misan dari Sik Ko. Ia menjabat Tinsiu- su dari kota Pok-ong yang terletak di tengah perbatasan Gui-pok dengan Lo-ciu. Untuk mengambil hati Tian Seng-su, Sik Ko rela menyerahkan kota Pok-ong itu ke dalam kekuasaan Tian Seng-su. Di samping itu dapatlah Sik Ko menggunakan adik misannya itu untuk memata-matai gerak-gerik Tian Seng-su. Dengan begitu dapatlah Sik Ko memasang sebuah pion dalam pemerintahan Tian Seng-su. Kali ini karena urusan perkawinan keluarga Tian dan Sik, Tian Seng-su telah memanggil Sip Hong. Mengingat Sip Hong masih ada ikatan famili dengan pihak mempelai perempuan, maka Tian Seng-su hendak minta ia mengantar puteranya ke Lo-ciu menjemput mempelai perempuan. Sebelum menjadi Ciat-tok-su, dulu Sik Ko itu bertetangga dengan Sip Hong. Anak perempuan Sip Hong yang bernama Sip In-nio, akrab sekali dengan Yak-bwe seolah-olah seperti saudara sekandung. Sejak kecil sama-sama memain dan sama-sama belajar ilmu silat. Ilmu pedang Sip piau-siok itu lihay sekali, jika ia turun tangan, ah, jiwanya (Toan Khik-sia) pasti terancam! pikir Yak-bwe. Kemudian ia menimbang pula: Apakah enci In-nio ikut juga? Sip piau-siok seorang baik, enci In-nio lebih baik lagi terhadap aku. Jika kutemui dan minta mereka dengan memandang mukaku supaya melepaskan dia, rasanya mereka tentu meluluskan .... tapi bagaimana aku hendak membuka mulut? Di hadapan sekian banyak orang, bagaimana aku akan mengakuinya sebagai bakal suami? Selagi Yak-bwe masih terbenam dalam keraguan, Sip Hong sudah tiba di gelanggang pertempuran. Melihat Toan Khik-sia yang baru berumur 16-17 tahun dapat melayani Yo Bok-lo dan Go Beng-yang, heranlah Sip Hong dibuatnya. Ia hentikan langkah dan bertanya: Hai, siapa kau dan siapa ayahmu? Mengapa menyelundup ke gedung Tian-tayjin sini? Dari bibi He, Khik-sia sudah mendapat keterangan tentang pribadi Sip Hong. Dahulu Sip Hong itu bersahabat baik dengan ayahnya. Segera ia menjawab: Ayahku bernama Toan Kui-ciang dan aku Toan Khik-sia. Karena Tian Seng-su suka memeras rakyat dan menggunakan uang negara untuk mas kawin, maka lantas kurampasnya. Dan malam ini sengaja kudatang untuk mengirim
golok meninggalkan surat. Konon kabarnya sebagai pembesar kau berkelakuan baik, masakan kau hendak membantu padanya? Sip Hong terbeliak kaget, pikirnya: Ai, kiranya putera dari Toan Kui-ciang. Toan tayhiap adalah seorang yang membaktikan hidupnya untuk rakyat dan negara, bagaimana aku tega untuk mencelakai puteranya? Tapi jika aku diam berpeluk tangan, apakah tidak akan dituduh membelakangi Tian Seng-su? Ya, bagaimanakah dayaku untuk diam-diam membantu anak muda ini? Dalam batin Ciangkun itu timbul pertentangan sendiri antara budi dan kewajiban. Karena itu untuk beberapa saat ia tampak kebingungan. Saat itu Yak-bwe sudah berniat hendak loncat keluar, tapi lagi-lagi ada orang berteriak: Masih ada seorang penjahat lainnya yang berada di dalam taman! Tayswe memberi perintah jangan sampai mereka dapat lolos! Yang dimaksud dengan Tayswe itu, bukan lain ialah Tian Seng-su. Ternyata ia sudah ditolong oleh orang sebawahannya. Setelah tersadar, pertama-tama yang dilihatnya ialah surat yang ditaruh Yak-bwe di atas bantalnya. Kemudian didapatnya peti emaspun lenyap sudah tentu ia terkejut sekali. Karena surat itu memakai stempel Sik Ko, jadi ia menduga kalau Sik Ko telah mengirim Ko-chiu (jago lihay) untuk menyampaikan. Sedikitpun ia tak mengira bahwa yang membawa surat itu ialah Yak-bwe. Sesaat kemudian orang sebawahannya telah melihat surat Toan Khik-sia yang dipaku dengan belati pada meja. Surat berikut belati itu segera dibacakan pada Tian Seng-su. Lagi-lagi Ciat-to- su itu tersirap kaget. Ia tahu kalau putera Toan Kui-ciang itu bernama Toan Khik-sia karena Yo Bok-lo pernah menceritakannya. Tulisan dalam kedua surat ini berbeda gayanya, entah apakah dibuatnya oleh seorang saja? menurut keterangan Yo Bok-lo, Toan Khik-sia itu memiliki kepandaian silat tinggi. Jika ia merampas barang-barang kirimanku itu dalam kedudukan sebagai kepala penyamun kemudian datang kemari hendak memberi ancaman padaku, itu masih dapat dimengerti. Tapi apabila ia menjadi kaki-tangan Sik Ko, ini tak boleh dibuat main-main. Mengapa Tian Seng-su mempunyai dugaan begitu, bukan tidak ada sebabnya. Ia sendiri merancang rencana begitu, jadi ia kuatir orang lain pun begitu terhadap dirinya. Dan kalau dugaannya itu benar, terang kalau Sik Ko itu sudah mulai mengumpulkan tenaga-tenaga kosen dan bersiap-siap hendak menyerangnya (Tian Seng-su). Pada lain saat datanglah Bu-su melaporkan bahwa penjahat sudah kepergok di taman dan tengah dihantam Yo Bok-lo dan Go Beng-yang. Menurut gelagatnya, penjahat itu tentu dapat tertangkap. Mendengar itu Tian Seng-su agak lega. Tadi karena ia menduga Sik Ko tentu mengirim bukan melainkan seorang Ko-chiu saja, maka ia segera perintahkan orang-orangnya mencari lagi kalaukalau penjahat itu masih ada kawannya yang lain. Tian Seng-su telah menetapkan keputusan: jika kawanan penjahat dari Sik Ko itu dapat dikalahkan oleh orang-orangnya, ia segera menuntut pertanggungan jawab dari Sik Ko. Namun kalau orang-orang yang dikirim Sik Ko itu ternyata lebih kuat dari jago-jagonya, terpaksa ia akan minta damai dengan Sik Ko. Kembali pada Yak-bwe yang masih bimbang mengambil putusan baik keluar atau tidak, sekonyong-konyong didengarnya derap kaki yang riuh ke dalam halaman. Sesaat kemudian di luar pintu kamar tempat sembunyi Yak-bwe itu terdengar orang berseru: Toa kongcu, kita kemasukan pembunuh gelap, kau jangan keluar, kami akan menjaga di luar kamarmu! Karena Toa-kongcu mereka tak berkutik di bawah injakan kaki Yak-bwem jadi tak dapat menyahut. Ini menimbulkan keheranan kawanan serdadu itu. Di luar begitu gaduhnya, tapi aneh, mengapa Toa-kongcu masih enak-enak tidur? demikian mereka itu ramai memperbincangkan. Tiba-tiba pintu diketuk dan Yak-bwe pun segera bertindak. Diangkatnya putera Tian Seng-su itu dan serentak dibukanyalah pintu kamar: Siapa yang berani menghampiri maju, Kongcumu ini tentu kubunuh! teriaknya sambil acungkan ujung pedang ke punggung putera Tian Seng-su. Diantara serdadu pengawal itu, ada seorang yang sudah bertahun-tahun ikut pada Tian Seng-su. Sewaktu masih sama menjadi orang sebawahan An Lok-san, Tian Seng-su dan Sik ko itu sering kunjung-mengunjungi. Itulah sebabnya maka serdadu tua itu segera mengenali Yak-bwe.
kau ... apakah kau ini bukan toa-siocia keluarga Sik? serunya dengan nada gemetar kaget. Benar, lekas bilang pada Tian Seng-su supaya perintahkan Go Beng-yang dan Yo Bok-lo mundur, jika tidak puteranya tentu akan kubunuh! kata Yak-bwe. Hai, nona Sik, mengapa kau berbuat begitu? Bukankah bulan muka ini kau bakal menjadi menantu keluarga Tian sini? seru serdadu tua itu. Dengan gusar Yak-bwe membentaknya: Jika kau masih tetap mengoceh tak karuan, jiwamu segera akan kucabut juga! Semangat orang itu serasa terbang. Ia lari terbirit-birit untuk melapor kepada Tian Seng-su. Toh aku sudah terlanjur kepergok, takut apa! selekas menetapkan keputusan begitu, Yak-bwe lantas berseru: Ayo, menyingkir! Habis itu ia lantas menggusur putera Tian Seng-su keluar. Di gelanggang sana setelah tertegun beberapa saat, tiba-tiba Sip Hong lantas mencabut pedangnya dan berseru: Bocah she Toan, jangan coba-coba mengadu domba! Aku Sip Hong hanya taat pada orang atasanku. Jika kau unjuk kegarangan di lain tempat, aku tidak peduli. Tapi karena kau berani mengaduk di gedung Tian tayjin sini, aku tak dapat tinggal diam! Hm, beginilah mentaliteitnya manusianya. Jika sudah menjadi pembesar, orang baik-baik pun menjadi jahat! demikian Khik-sia berkesan di dalam hati. Melihat Sip Hong menghampiri dengan menghunus pedang, Toan Khik-sia tak dapat mengendalikan marahnya lagi: hm, mendiang ayahku sudah keliru menilai orang! katanya dengan dingin. Dengan gerak poan-liong-sian-poh ia menghindari pukulan Yo Bok-lo, lalu menusuk Sip Hong. Melihat kesempatan itu, Go Geng-yang ayunkan piannya menyerang dari sebelah kiri. Dengan begitu terkepunglah Toan Khik-sia dari tiga jurusan. Di sebelah muka ada Sip Hong, sebelah kanan ada Yo Bok-lo dan dari sebelah kiri diserang Go Beng-yang. Betapapun lihaynya, tetap sukar bagi Toan Khik-sia untuk melayani ketiga lawannya yang lihay itu. Meskipun serangan Toan Khik-sia tadi cukup keras, sebenarnya Sip Hong masih dapat menangkis. Tapi entah bagaimana, orang she Sip itu sudah lantas menjerit kaget dan buru-buru menyurut mundur. Dan seperti disengaja, gerakannya mundur itu tepat seperti menyongsong pian yang dilayangkan Go Beng-yang. Sudah tentu pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu terperanjat sekali. Kuatir akan melukai Sip Hong, Go Beng-yang buru-buru menarik pulang piannya. Dan memang dalam ilmu permainan pian, orang she Go itu sudah dapat menguasai gerakan pian menurut sesuka hatinya. Dalam pertempuran antara jago-jago yang disebut Ko-chiu, segala gerak-terjang selalu dilakukan dengan serba cepat. Menang atau kalah hanya tergntung dalam sekejapan mata saja. Sedikit ragu-ragu atau berayal, itu berarti kehilangan kesempatan untuk menang. Demikianlah yang terjadi pada saat itu. Go Beng-yang menarik kembali piannya itu sebenarnya hanya berlangsung dalam sekejap mata saja, namun kejadian itu sudah cukup besar artinya bagi Toan Khik-sia untuk merebut kemenangan. Berbareng orang menarik piannya, Khik-sia pun sudah enjot tubuhnya melompati kepala Sip Hong. Sebelum Go Beng-yang sempat memainkan piannya lagi, tahu-tahu matanya sudah disilaukan oleh taburan sinar gemerlap. Dan sebelum ia tahu apa yang harus dilakukan, ujung pedang Toan Khik-sia sudah membuat tujuh liang luka pada tubuhnya. Keruan Yo Bok-lo terbeliak kaget dan buru-buru melancarkan tiga kali pukulan berturut-turut ke arah Toan Khik-sia. Pertolongan itu berhasil menahan serangan si anak muda dan tertolonglah jiwa Go Beng-yang. Pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu buang dirinya bergelundungan di tanah sampai beberapa tombak jauhnya. Anak buahnya segera cepat-cepat mengangkatnya. Walaupun bukan pada bagian yang mematikan, namun tujuh liang luka itu cukup membuat Go Beng-yang merintih-rintih kesakitan. Sampai Yo Bok-lo yang mendengarnya, turut tersirap kaget. Sip Hong telah melakukan peranannya dengan bagus sekali. Sampai seorang benggolan kawakan macam Yo Bok-lo yang kenyang dengan segala macam tipu muslihat, tak dapat mengetahui perbuatan Sip Hong. Paling-paling orang she Yo itu hanya dapat memaki-maki dalam hati pada Sip Hong yang dianggap bernyali kecil sehingga bukan saja telah menghilangkan suatu kesempatan bagus, pun sebaliknya malah membikin celaka kawan sendiri. Tapi Toan Khik-sia yang cerdas, cukup mengerti akan kebaikan Sip Hong tadi. Diam-diam ia menyesal mengapa tadi sudah memakinya.
Karena terikat oleh kewajiban, jadi ia harus pura-pura bersikap memusuhi aku. Karena kurang pikir, maka aku telah memakinya, ah, sungguh tolol! pikir Khik-sia. Setelah tahu maksud Sip Hong, Toan Khik-sia segera bertindak. Ia segera keluarkan ilmu pedang simpanannya. Ia serang Yo Bok-lo dan Sip Hong dengan gencar sekali. Tampaknya memang tiada perbedaan, tapi ternyata yang dilancarkan ke arah Sip Hong itu hanya serangan kosong, sedang yang ditaburkan kepada Yo Bok-lo itu serangan sungguh-sungguh. Karena serangan itu dilakukan serba cepat, kecuali pihak yang diserang itu sendiri yang dapat merasakan, orang-orang yang melihatnya tak tahu sama sekali. Dan karena Yo Bok-lo pontang-panting membela diri, jadi ia tak sempat lagi untuk meninjau sandiwara yang dimainkan anak muda itu. Karena beberapa kali hampir kena, mau tak mau bergetarlah hati Yo Bok-lo. Pikirnya: Ai, sungguh tak nyana kalau bocah ini sedemikian lihaynya. Rasanya malam ini aku sukar mendapat kemenangan! Tapi dalam pada itu, diam-diam ia merasa heran juga. Tadi sewaktu bertempur satu lawan satu, anak muda itu tak dapat merangsek. Kini setelah Sip Hong turut membantu, musuh malah dapat mendesaknya. Tapi ia tak dapat mengetahui rahasia permainan Toan Khik-sia, paling-paling ia hanya dapat menarik kesimpulan bahwa tadi si anak muda belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan masih bersikap simpan tenaga. Karena mempunyai kesimpulan begitu, rasa takut Yo Bok-lo makin besar. Selagi Khik-sia gembira dengan permainannya itu, tiba-tiba dari ruangan sebelah muka, berbondong-bondong keluar beberapa orang. Jumlah mereka ternyata banyak juga. Menyusul dengan itu, kawanan Bu-su yang sedang menyaksikan pertempuran itu sama menyiah minggir. Mereka sama berbisik-bisik seraya menuding-nuding. Suasana menjadi berisik sekali. Samarsamar Toan Khik-sia mendengar salah seorang dari Bu-su itu berseru: Hai, bukankah itu puteri dari Sik Ciat-to-su? Ia belum menikah, mengapa berada bersama Kongcu? Amboi, bilakah ia datang dari Lo-ciu. Mengapa kita tak mengetahui? Demikian kasak-kusuk kawanan Bu-su itu. Sebenarnya Yak-bwe menggusur putera Tian Sengsu itu dengan mengancam pedang di punggung orang. Tapi karena didahului kawanan penjaga dan obor-obor yang dibawa kawanan Bu-su itu tak cukup terang, jadi sepintas pandang Yak-bwe itu dikira jalan bergandengan tandan dengan Kongcu mereka. Mereka tak melihat ujung pedang yang diancamkan oleh Yak-bwe. Sebenarnya mata Toan Khik-sia lebih tajam dari orang biasa. Tapi karena ia tengah sibuk melayani Yo Bok-lo, jadi ia tak sempat memperhatikan dengan seksama. Bagaimana mimik wajah putera Tian Seng-su yang digusur seperti orang tawanan itu, iapun tak dapat melihat jelas. Reaksi pertama yang terbit dalam hati Toan Khik-sia ialah gusar dan sedih. Padang belantara tumbuh rumput busuk, di dalam tanah emas tentu bercampur pasir. Demikian ia teringat akan sebuah pepatah dan diam-diam mengakui kebenarannya. Ia pikir tunangannya itu dibesarkan dalam keluarga Ciat-to-su, sudah tentu tetap menjadi orang mereka. Apakah aku masih dapat mengharapnya? Sebelum dijemput oleh bakal suaminya ia sudah datang sendiri, tentulah karena kuatir janganjangan perkawinan itu akan rewel setelah bingkisan perkawinannya kurampas. Ya, tentulah begitu. Tanpa malu-malu lagi, ia lantas datang kemari untuk memberitahukan peristiwa itu. Kalau tidak, masakan setelah mempunyai pasukan Gwe-thok-lam, Tian Seng-su masih perlu mengundang seorang Ko-chiu macam Yo Bok-lo lagi? demikian pikir Khik-sia. Sebenarnya Toan Khik-sia itu seorang pemuda cerdas, tapi dikarenakan ia sudah mempunyai purbasangka terhadap Yak-bwe, jadi pandangannya selalu menjurus kesalah paham. Dan jeleknya ia tak mau meninjau lagi anggapannya itu. Karena terpengaruh oleh kejadian itu, hati Khik-sia pun tergetar. Pantangan dalam pertempuran ialah bercabang hati. Kepandaian Toan Khik-sia itu berimbang dengan Yo Bok-lo, malah dalam hal tenaga dalam orang she Yo itu lebih unggul setingkat dari dirinya. Sedikit keayalan dari pemuda itu sudah lantas dipergunakan sebaik-baiknya oleh Yo Boklo untuk merubah posisi pertempuran. Dari diserang kini jagoan itu berganti melakukan tekanan.
Sedikit Toan Khik-sia kurang cepat bergerak, bahunya kena dicengkeram lawan. Untung ia dapat cepat-cepat menghindar. Sekalipun begitu, tak urung bahunya kena dicengkeram robek juga. Melihat si anak muda hampir celaka, tanpa disadari menjeritlah Yak-bwe. Tapi bersamaan waktunya juga, murid-murid Yo Bok-lo itupun sama bersorak memuji suhunya. Dengan begitu suara Yak-bwe pun terbenam. Betul nada seorang gadis itu berbeda dengan nada kaum lelaki, tapi karena teriakan Yak-bwe itu bernada kaget, jadi sepintas lalu hampir menyerupai dengan orang bersorak. Kembali hal itu menambah salah paham Toan Khik-sia. Mendengar dalam sorakan itu terdapat suara Yak-bwe, makin besarlah kedukaan dan kemarahan pemuda itu. Karena ia begitu senang, maka ia bersorak kegirangan Yo Bok-lo dapat memukul aku! ia menggeram. Kasihan Yak-bwe! Begitu mesra ia tumpahkan perhatiannya kepada Toan Khik-sia, tapi oleh si anak muda malah diterima salah .... Tiba-tiba pada saat itu di udara tampak meluncur sejalur sinar api dan menyusul pada lain saat terdengarlah ledakan. Benda bersinar itu meletus di udara. Kawanan Bu-su segera menjerit kaget: Celaka, kawanan perampok datang dengan jumlah besar! Memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Yang datang itu memang To Peh-ing dan kawankawan. Sebelum berpisah, Toh Peh-ing tahu kalau Toan Khik-sia hendak menuju ke gedung Tian Seng-su untuk mengirim golok meninggalkan surat. Kuatir kalau anak muda itu terancam bahaya, diam-diam Peh-ing membawa belasan anak buahnya masuk ke dalam Gui-pok. Ia bersembunyi di rumah seorang penduduk yang tinggal di dekat gedung Ciat-to-hu. Siang malam ia memperhatikan gerak-gerik gedung Ciat-to-hu itu. Pada malam itu, benar juga ia telah mendengar suara ramai-ramai yang bertempur di gedung Ciat-to-hu itu. Ia yakin Toan Khik-sia tentu sudah datang mengaduk. Ia terus akan bertindak membantu, tapi jumlah anak buahnya hanya belasan saja, padahal pasukan Gwe-thok-lam itu terdiri dari 3000-an orang. Untuk melawan mereka, terang sebagai telur hendak beradu dengan tanduk. Tapi Peh-ing pantang mundur. Ia sudah siap dengan sebuah siasat yang bagus. Siang-siang ia sudah menyiapkan banyak sekali anak panah berapi. Demikian ia segera memimpin anak buahnya menerjang ke gedung Ciat-to-hu. Sembari loncat turun mereka lepaskan anak panah berapi. Siasat itu berhasil. Kawanan Bu-su itu melihat ada beberapa bayangan berloncatan turun dari tembok, mereka lantas menduga kalau kedatangan perampok dalam jumlah banyak sekali. Laksana kembang api, panah api itu bertaburan kemana-mana. Sini padam sana berkobar lagi, sana reda sini timbul pula. Dua buah istal kuda yang terbuat dari papan kayu, tertimpa api dan terbakar. Di dalam taman yang menjadi gelanggang pertempuran itu, segera menjadi panik suasananya. Urusanku sudah selesai, perlu apa aku terus bertempur? Ai, lebih baik aku lekas-lekas tinggalkan tempat ini supaya tidak bertemu dengan dia, nanti hatiku panas lagi! demikian pikir khik-sia. Setelah mengambil keputusan, Khik-sia lalu bertindak. Karena Sip Hong hanya main-main saja, mudahlah baginya untuk meninggalkan Yo Bok-lo. Laksana burung elang, ia melayang melampaui kepala kawanan Bu-su itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Oleh karena di manamana terdapat orang, maka Bu-su regu pemanah tak berani membidikkan panah. Mereka kuatir akan melukai kawannya sendiri. Dalam beberapa kejap saja Toan Khik-sia sudah loncat melampaui tembok. Saat itu barulah kawanan Bu-su berteriak-teriak melepaskan anak panah. Sekalipun tahu kalau bakal tak mengenai, namun mereka hamburkan juga anak panahnya untuk menghidupkan kembali semangat pasukannya. Melihat si anak muda sudah berhasil meloloskan diri, Yak-bwe girang sekali. Tiba-tiba ia teringat: Astaga, ia sudah pergi, akupun harus lekas-lekas menyingkir dari sini! Sebenarnya mudah sekali baginya untuk lolos. Dengan mempunyai sandera berupa puteranya Tian Seng-su, ia dapat menggertak kawanan Bu-su itu untuk memberi jalan padanya. Tapi karena kurang pengalaman, jadi ia sudah tak dapat memikirkan siasat itu. Tanpa berpikir panjang lagi,
puteranya Tian Seng-su segera dibanting ke tanah, lalu ia menerjang keluar. Untung karena tahu kalau Yak-bwe itu puteri Sik Ciat-to-su yang bakal menjadi calon menantu majikan mereka (Tian Seng-su), maka kawanan Bu-su itupun tak berani merintanginya. Tak perduli siapa dia itu, tangkaplah! demikianlah perintah dari Tian Seng-su sementara itu. Kala itu setelah mendapat laporan dari si serdadu tua bahwa puteranya telah diringkus oleh puterinya Sik Ko, kemudian nona itu minta supaya ia lepaskan Toan Khik-sia dan kalau tidak puteranya bakal dibunuh, Tian Seng-su segera bergegas-gegas menuju keluar. Dilihatnya suasana dalam taman situ kacau balau, ada yang sibuk memadamkan api, ada yang berteriak-teriak menangkap penjahat dan ada pula yang pontang-panting lari kian kemari. Salah seorang dari Bu- su itu menghadap Tian Seng-su dan memberi laporan bahwa si penjahat sudah lolos. Sedang puteri Sik Ciat-to-su entah bagaimana telah melukai kongcu dan kini tengah berusaha meloloskan diri. Mendengar itu Tian Seng-su serentak memberi perintah tadi. Bagus, karena kau tak mau memandang persahabatan, akupun takkan berlaku sungkan lagi terhadap anak buahmu, demikian pikir Yak-bwe. Sebenarnya tiada maksudnya sama sekali hendak melukai orang, tapi karena gusarnya ia mainkan edangnya dengan gencar. Barangsiapa yang berani mendekati, tentu diberinya sekali tusukan. Ia mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni, gerakannya cepat dan tepat. Setiap tusukannya tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Sudah tentu anggota pasukan Gwe-thok-lam itu bukan tandingannya. Dalam beberapa kejap saja, sudah ada beberapa belas orang yang roboh dan mengerang-erang kesakitan. Nona Sik, jika kau tak kembali, maaf kalau aku terpaksa berlaku kurang hormat, teriak Yo Bok-lo. Sekali melesat ia mengejar Yak-bwe dan terus ulurkan tangan untuk mencengkeram. Tiba-tiba pada saat tangannya hendak menyentuh tubuh si nona, entah dari mana datangnya, tahu-tahu dua batang jarum Bwe-hoa-ciam menyambar dari samping. Sebenarnya kalau tak lengah, tak nanti Yo Bok-lo sampai kena dibokong. Pertama, karena Toan Khik-sia sudah lolos dan kedua, ia pikir hanya berhadapan dengan Yak-bwe, jika nona itu hnedak menaburkan senjata rahasia ia tentu dapat mengetahuinya. Oleh karena itu ia tak mau menjaga kemungkinan lainnya lagi. Sungguh di luar dugaan kalau ada seorang musuh gelap yang menyembunyikan diri di dalam orang banyak. Dalam kekacauan, orang itu diam-diam telah menimpukkan jarum Bwe-hoa-ciam yang tak mengeluarkan suara. Sekali lututnya kesemutan, jagoan itu hampir saja terkulai roboh! Berbareng dengan Yo Bok-lo terkena jarum, Yak-bwe balikkan pedang menghantam sekuatkuatnya. Nona itu insyaf kalau bukan tandingan si orang she Yo, jadi ia gunakan serangan yang paling dahsyat, suatu serangan yang disertai tekad: mati atau terluka bersama. Sambaran pedangnya itu justru berbareng pada waktu Yo Bok-lo terhuyung mau roboh. Cret, ujung pedang memakan pahanya dan menghiasnya dengan sebuah luka sepanjang belasan senti. Dari mengerang terkena jarum, Yo Bok-lo menggerung keras karena sakitnya. Masih ia mencoba untuk membalas si nona dengan sekali sapukan kaki kiri, tetapi luput. Sudah tentu dengan sebelah kaki ia sukar menahan tubuhnya lagi. Bluk, robohlah jago kawakan itu. Tapi Yak-bwe tak berani menabasnya lagi. Dengan mata kepala ia saksikan walaupun sudah terkena jarum Bwe-hoa-ciam, jago she Yo itu masih dapat balas menyerang. Ini menandakan tangguhnya orang itu. Takut kalau dikejar orang she Yo itu lagi, Yak-bwe segera melarikan diri. Begitu roboh, Yo Bok-lo segera bergelundungan di tanah. Kuatir kalau Yak-bw menyerangnya lagi, ia berusaha untuk menggelundung sejauh mungkin. Memang tindakannya itu benar, tapi itupun berarti suatu keuntungan bagi Yak-bwe untuk lolos. Melihat orang undangannya juga terluka, walaupun marah tapi tak urung Tian Seng-su jeri juga. Pikirnya: Ai, sudah, sudah, aku terpaksa harus mengubur rencanaku untuk menelan Lo-ciu dan menerima perdamaian dengan Sik Ko. Perkawinan itupun terpaksa batal. Kawanan Gwe-thok-lam yang dengan gagah berani mengejar penjahat tadi pun balik kembali ke dalam taman. Mereka melapor: Di tembok kota sebelah depan itu, terdapat segerombolan penjahat. Dari atas tembok kota itu mereka melepaskan panah-panah api tadi. Sewaktu kami mengejar keluar, mereka sudah menggabungkan diri dengan si bangsat kecil she Toan itu. Tampak kami datang, mereka lalu loncat turun ke sebelah sana. Karena kuatir mereka mengadakan bay- hok (barisan pendam), kami tak berani mengejar terus. Mohon Tayswe memberi petunjuk, apakah perlu
mengirim pasukan berkuda untuk mengejarnya? Sebenarnya kawanan Gwe-thok-lam itu hanya menghias diri saja. Mereka jeri sekali kepada Toan Khik-sia. Yang dimaksud dengan mengejar itu hanyalah keluar dari pintu taman, melihat- lihat sebentar lalu masuk kembali. Kamu sekalian ini hanya bangsa kantong nasi semua. Masakah sekian banyak orang tak mampu menangkap dua orang penjahat kecil saja. Lekas enyah! Tian Seng-su marah-marah. Habis menumpahkan kemarahannya, Tian Seng-su teringat pada puteranya. Ia segera bertanya: Bagaimana toa-kongcu? Karena ditutuk jalan darahnya oleh Yak-bwe, putera Ciat-to-su itu tak dapat berkutik dan bicara. Kawanan bu-su itu hanya mengerti beberapa jurus ilmu silat saja, sudah tentu mereka tak dapat menolong. Malah karena tak mengerti kalau toa-kongcunya tertutuk jalan darahnya, mereka menjadi sibuk tak keruan sendiri. Akhirnya adalah Tian Seng-su sendiri yang mengetahui hal itu. Ia dahulu berasal dari kalangan Lok-lim, jadi tahulah kalau puteranya itu kena ditutuk orang. Namun ilmu tutukan Yak-bwe itu adalah ilmu tutukan istimewa dari Biau Hui Sin-ni. Walaupun tahu tapi Tian Seng-su juga tak berdaya menolongnya. Coba kau lihat bagaimana dengan keadaan Yo-siansing. Jika lukanya tak berat, undang ia kemari untuk menolong toa-kongcu, ia segera perintahkan orangnya mengundang Yo Bok-lo dan mengangkut puteranya ke dalam kamar. Yo Bok-lo memiliki lwekang tinggi. Begitu kena jarum Bwe-hoa-ciam ia segera menutup seluruh jalan darahnya, agar jarum itu jangan sampai menembus ke jantung. Kemudian ia berusaha mengeluarkan jarum itu, lalu dilumuri obat. Karena lukanya itu tak berat, setelah diberi obat, iapun sudah dapat berjalan pula. Waktu mendapat panggilan dari Tian Seng-su ia segera bergegas- gegas mendatangi. Waktu berhadapan dengan Tian Seng-su, ia merasa malu. Tapi mengingat luka Go Beng-yang itu lebih berat lagi, ia merasa tak kelewat malu. Dan berkat kepandaiannya yang tinggi, walaupun tak mengerti ilmu tutukan yang dipergunakan Yak-bwem, namun ia dapat juga membukanya. Selagi Tian Seng-su kegirangan karena puteranya tertolong, tiba-tiba terdengar orang berteriak: Hei, di bawah kolong ranjang seperti ada orangnya! Tian Seng-su mendengar juga ada suara berkeresekan: Siapa itu, lekas seret keluar! perintahnya. Si serdadu tua membungkuk ke bawah. Matanya segera tertumbuk pada sepasang betis putih. Astaga! Seorang penjahat perempuan! serunya seraya menyeretnya keluar. Tapi wkatu melihat wajah orang itu, seperti terkena stroom, ia segera lepaskan tangannya dan menjublek seperti patung. Kiranya yang diseret keluar itu bukan lain ialah gundik kesayangan dari Tian Seng-su. Gundik yang main pat-pat-gulipat dengan puteranya sendiri. Pada saat itu di kamar situ penuh dengan kawanan Bu-su, sudah tentu mereka saling berpandangan satu sama lain. Hanya saja mereka tak berani buka suara. Rahasianya terbongkar, pucatlah wajah putera yang manis itu. Serunya dengan meratap: Yah, ampunilah jiwaku! Melihat kejadian yang memalukan itu, Tian Seng-su rasakan kepalanya seperti berputar-putar. Saking tak tahannya, ia menampar puteranya: Binatang, binatang! Kau, kau ..... bagus sekali perbuatanmu ini! Saking gusarnya dadanya serasa sesak dan pingsanlah Ciat-to-su itu! Sekarang marilah kita tinggalkan Tian Seng-su yang tak ingat orang itu untuk mengikuti perjalanan Yak-bwe. Setelah berhasil melompati pagar tembok gedung Ciat-to-hu, Yak-bwe dapatkan di luar sana hanya ada sebuah jalan besar. Pikirnya: Mungkin dia belum jauh! Memikir sampai di situ, ia jengah sendiri dan girang juga. Namun sesudah berjalan sampai 10- an li, ia tetap tak dapat melihat bayangan Toan Khik-sia. Sesaat ia menjadi putus asa. Apakah tadi ia tak melihat diriku? Apakah ia tak tahu kalau diam-diam aku membantunya? Tapi mengapa ia tak mau menunggu aku? Selagi ia berbicara dalam hatinya sendiri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki
orang memburu. Ia buru-buru berpaling ke belakang, ah, itulah seorang pemuda, tapi bukan Toan Khik-sia pemuda pujaannya itu. Tapi Yak-bwe merasa seperti sudah pernah mengenal pemuda itu. Ia tertegun. Sembari meraba tangkai pedangnya ia menegur: Siapa kau ini? Mengapa mengejar aku? Pemuda itu tertawa mengikiki, serunya: Adik Hong-sian, masakan kau lupa padaku? Mendengar suara orang itu, girang Yak-bwe bukan kepalang, teriaknya: Cici In-nio, kiranya kaulah. Mengapa kau menyaru menjadi seorang pemuda? Kiranya pemuda itu adalah Sip Innio, puterinya Sip Hong. Sejak kecil ia dengan Sip In-nio selalu berkumpul bersama. Bahkan keduanya bersama-sama belajar silat pada Biau Hui Sin-ni, hubungan mereka sudah seperti saudara putusan perut saja. Adalah karena ayah mereka sama-sama mendapat jabatan sebagai panglima perbatasan, terpaksalah mereka berpisah. Bahwa di tempat dan saat seperti itu dapat berjumpa kembali, girang mereka tak terperikan lagi. Ha, jangan menghujani diriku dengan pertanyaan dulu. Biar aku yang harus memeriksa kau dulu! demikian In-nio tertawa. Aku melakukan kejahatan apa maka cici hendak memeriksa diriku? sahut Yak-bwe. Kata In-nio pula: Bukankah kau sudah dijodohkan dengan putera Tian Seng-su? Mengapa sebelum dijemput kau sudah pergi ke rumahnya? Ai, enci In, jangan menghina padaku. Tadi kau tentunya berada di dalam taman, masakan kau tak melihat bagaimana aku telah memperlakukan si katak buduk itu? sahut Yak-bwe dengan tertawa. Ha, kukira sebelum keluar pintu dengan resmi, kau sudah mengunjunginya, In-nio menggoda pula. Mendengar cemooh itu Yak-bwe terus maju akan menampar mulut orang, tapi In-nio cepat mencegahnya: Ai, jangan ribut, jangan ribut. Ya, anggaplah aku salah omong, biar kuhaturkan maaf padamu. Ia seorang katak buduk dan kau seekor angsa cantik. Bukankah katak buduk itu gemar makan daging angsa? Oi, makanya kau suka padanya? Jangan membikin keseleo kata-kata orang, ya? Bukan aku hendak menaikkan harga diriku, tapi putera Tian Seng-su itu memang benar bukan manusia, kata Yak-bwe yang lalu menceritakan tentang pengalamannya di gedung Ciat-to-hu di mana karena menghindari kejaran Yo Bok-lo ia sudah keliru masuk ke dalam kamar orang yang lagi berbuat mesum. Waktu mendengar cerita tentang perbuatan putera Tian Seng-su itu, wajah In-nio merah kemalumaluan. Tapi ia pun tak kuat lagi menahan gelinya. Ya, ya, aku mengertilah. Kau tak suka pada si katak buduk karena kau sudah jatuh hati pada pemuda she Toan, bukan? In-nio biasa berkelakar, tapi kali ini kelakar itu telah membuat Yak-bwe merah padam dan tundukkan kepala. Ci In, apakah kau melihat jejaknya? Apa yang kulakukan malam ini, adalah untuk kepentingannya, kata Yak-bwe. In-nio terkesiap, ujarnya dengan nada bersungguh: Ai, kiranya kau benar-benar suka padanya! Kata Yak-bwe: Cici, meskipun kita ini tidak seibu tapi rasanya kita sudah seperti saudara sekandung. Segala urusanku, takkan kurahasiakan. Dia, ya, dia itu sebenarnya calon suamiku! In-nio terbelalak kaget, serunya: Bilakah kau bertunangan dengan dia? Jika sudah ditunangkan padanya, mengapa ayah-bundamu hendak menikahkan kau pada keluarga Tian? Atas pertanyaan In-nio yang bertubi-tubi itu, tenang-tenang Yak-bwe menerangkan: Yang menjodohkan aku sejak lahir dengan dia adalah orang tuaku yang asli. Ayah ibuku yang sekarang ini bukan ayah bundaku kandung. Namaku sebenarnya Su Yak-bwe. Nama Sik Hong-sian itu sejak saat ini tak kupakai lagi! Demikianlah Yak-bwe menuturkan riwayat hidupnya dari awal sampai akhir. Berbagai perasaan timbul dalam hati In-nio di kala mendengar kisah itu, rasa sedih, girang, simpatik dan gairah. Oh, makanya ayahku sering memuji Toan Kui-ciang tayhiap sebagai seorang pendekar yang gagah perwira serta berbudi luhur. Ayah mengatakan bahw Toan-tayhiap itu mempunyai beberapa
putra, tapi entah kemana beradanya. Beberapa kali ayah bermaksud hendak menyuruh orang mencari jejak dari putera-putera Toan tayhiap itu. Dan setiap kali membicarakan tentang hal itu, ayah seperti memberi kisikan padaku supaya menanyakan asal-usul dirimu. Kali ini setelah mendengar kau bakal dinikahkan dengan keluarga Tian, untuk beberapa hari ayah tampak uringuringan belaka. Kiranya disitu terselip sesuatu hal. Ai, jadi ayahmu juga memuji-muji Toan-tayhiap, seru Yak-bwe. Kalau memang baik, habis mau dikatakan bagaimana? Toan-tayhiap adalah orang yang paling dikagumi oleh ayahku, In-nio menandaskan. Mendengar itu diam-diam Yak-bwe mengutuk Sik Ko: Kalau begitu, terang ayah angkatku itu bukan orang baik-baik. Ah, bertahun-tahun ia mengelabuhi aku. Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali malam ini dapat membantu kalian berdua lolos dari bahaya, kata In-nio. Kini barulah Yak-bwe tahu persoalannya, katanya: Oh, jadi ayahmu tadi memang sengaja mengalah padanya. Tentunya kaulah juga yang secara diam-diam membantu hingga aku dapat melukai Yo Bok-lo. Benar, dalam kekacauan tadi diam-diam aku telah menimpuknya dengan Bwe-hoa-ciam, Innio mengiyakan. Setelah itu ia menuturkan pengalamannya. In-nio dapatkan ayahnya tak senang waktu mendengar pernikahan Yak-bwe. Mengapa ayah tak senang? Apakah putera Tian Seng-su itu tak sembabat dijodohkan pada adik Sian? Ah, biar kuikut ayah ke gedung Ciat-to-hu, hendak kulihat bagaimana macamnya putera Tian Seng-su itu dulu. Jika memang buruk, aku akan memberitahukan pada adik Sian supaya minggat saja, demikian ia ambil keputusan ketika ayahnya diminta Tian Seng-su untuk turut menjemput mempelai perempuan. Sudah tentu ia tak mau kasih tahu pada ayahnya tentang rencananya itu, melainakan mengatakan hendak melihat-lihat bagaimana gedung Ciat-to-hu tempat kediaman Tian Seng-su itu. Ayahnya, Sip Hong, juga setuju karena sebetulnya ia jeri juga datang seorang diri ke tempat Ciat-to-su itu. Ia kenal siapa Tian Seng-su itu. Maka ia segera suruh puterinya mengenakan pakaian lelaki menjadi seorang pengikutnya. Sudah dua hari aku tinggal di gedung Ciat-to-hu, tapi tetap belum pernah melihat bagaimana tampang muka putera Tian Seng-su itu. Tak terduga kau sendiri juga sudah datang, jadi aku tak perlu capek-capek lagi, kata In-nio dengan tertawa. Yak-bwe menghaturkan terima kasih, namun tampaknya ia masih bermuram durja. Eh, mengapa lagi kau ini? tegur In-nio. Yak-bwe tak menyahut dan hanya mengutik ikat pinggangnya. Ha, biar kutebaknya. Kau tentu sedang memikirkan si Toan kecil itu. Ya, ia memang keterlaluan mengapa tak menunggumu, In-nio menggodanya. Ia merenung sejenak, tiba-tiba berkata pula: Adik Sian, eh tidak, seharusnya kupanggil kau adik Bwe. Ya, adik Bwe, apakah kau kepingin menjumpainya, aku mempunyai akal. Tanpa malu-malu lagi Yak-bwe segera minta petunjuk. Baik, sekarang ikutlah padaku, kata In-nio. Yak-bwe keheran-heranan, serunya: Apa kau tahu tempatnya? Akan kubawa kau ke suatu tempat untuk menjumpai seseorang! Siapa? Tak usah kau tanya, pokoknya aku tak nanti menipumu, sahut In-nio. Dalam berkata-kata itu wajahnya berseri-seri, bibirnya mengulum senyum dan pipinya pun kemerah-merahan. Sikapnya sungguh aneh. Yak-bwe penasaran: Segala apa kuberitahu padamu, sebaliknya kau main gelap-gelapan tak mau mengatakan terus terang. Tak usah terburu-buru, nanti tentu kuberitahu. Ayo, ikutlah! sahut In-nio. Terpaksa Yak-bwe mengikutinya lari. Ternyata In-nio menuju ke sebuah gunung. Lagi-lagi Yak-bwe menegurnya: Ai, tengah malam begini mengapa kau bawa aku ke atas gunung? Apakah orang itu berada di sini? Apakah kau sudah berjanji padanya? In-nio hanya tertawa saja: Bagaimana penyamaranku sebagai ini, mirip tidak?
Mendapat jawaban yang bukan ditanyakan itu, Yak-bwe makin heran. Tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: Mirip sekali. Tadi hampir saja aku tak dapat mengenalmu. Mungkin memang kau tak mengetahui, bahwa sejak kita berpisah, dalam beberapa tahun ini aku sering menyaru jadi lelaki untuk pesiar kemana-mana. Ayah tak begitu mengurusi diriku. Kau bilang peniruanku itu persis sekali tapi pada suatu kali aku telah diketahui orang. Ai, sungguh berbahaya, mereka adalah orang-orang jahat dari Kim-hong-pang, kata In-nio. Eh, rupanya kau ini sedang menyembunyikan udang di balik batu. Pertanyaan yang kuajukan, sepatahpun tak kau jawab, sebaliknya kau merangkai cerita lain. Memang aku senang sekali mendengar ceritamu itu, tapi rasanya lebih baik pada lain hari saja. Hhu, kau jahat benar karena sengaja membikin tegang urat syarafku. Tertawalah In-nio menjawab: Pohon mempunyai akar dan urusan juga ada ikhwalnya. Bagaimana jadinya kalau aku tak menceritakan dari permulaan? Baik, karena rupanya kau begitu bernafsu, kita menjumpai orang itu dulu baru nanti kuceritakan lagi. Lalu ia mendongak ke atas puncak gunung. Ai, rembulan sudah berada di tengah langit, ia tentunya sudah datang, katanya kemudian. dia, dia, sekali lagi dia! Siapakah sebenarnya dia itu? seru Yak-bwe. Sekonyong-konyong In-nio bersuit panjang. Sesaat kemudian dari arah puncak gunung terdengar suitan balasan. Kalau suitan In-nio bernada kecil bening, adalah suitan orang dari puncak gunung itu bernada nyaring kuat, mirip dengan ringkikan naga atau aum harimau. Hai, lwekang orang itu hebat sekali, tak kalah dengan Toan Khik-sia. Orang yang hendak kau pertemukan padaku apakah itu orangnya? tanya Yak-bwe. Benar, memang itulah orangnya, sahut In-nio. Habis itu, ia mendekam dan tempelkan telinganya pada tanah. Cici, mengapa kau berbuat begitu? tanya Yak-bwe. Musuh-musuhnya sudah banyak yang datang, jadi ia tak dapat menyambut kita, sahut In-nio. Apa-apaan artinya ini? Yak-bwe makin keberatan. Malam ini ia telah mengundang beberapa musuh untuk bertemu di gunung Pak-bong-san sini. Sekarang mumpung mereka masih belum bertempur, kita lekas-lekas kesana untuk melihat ramairamai, kata In-nio. Sip In-nio ternyata sering berkelanan di dunia persilatan, jadi pengalamannyapun lebih banyak dari Yak-bwe yang selalu dikungkung dalam gedung ciat-toa-hu. Nona itu sudah dapat mempelajari ilmu menempel tanah mendengarkan suara. Didengarnya di atas puncak gunung sana ada 7-8 orang tengah bertengkar. Kini Yak-bwe agak mengerti, ujarnya: Ha, orang itu tentu sahabat baikmu dan kau hendak mengajak aku membantu padanya, bukan? In-nio tertawa: Tidak, selamanya ia tak mau dibantu orang. Sekalipun lawan berjumlah seratus atau seribu orang, ia tetap menghadapinya seorang diri! Malam itu cuaca terang. Setelah berlari beberapa saat, jauh-jauh kedua nona itu sudah dapat melihat keadaan di atas puncak gunung itu. Dilihatnya ada seorang pemuda yang berperawakan tinggi tengah berdiri menghadap rembulan. Di sekelilingnya dikerumuni oleh sekelompok orang. Waktu menghitung, Yak-bwe dapatkan orang-orang itu berjumlah delapan. In-nio loncat ke atas sebuah batu karang yang besar bundar, ujarnya: Tempat ini sesuai sekali, dari sini kita dapat melihat jelas pertempuran mereka. Apakah yang membalas suitanmu tadi pemuda itu? tanya Yak-bwe. Benar! Sudah kalu lihat bukan orang-orang yang mengepungnya itu? In-nio menyahut dan bertanya. Dari nada ucapannya ia seperti membanggakan pemuda itu. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran Yak-bwe. Diam-diam ia tertawa: Kali ini dugaanku tentu tak salah. Ci In-nio tentu suka pada pemuda itu. Ha, jadi ia juga sudah punya pilihan. Tapi serta dilihatnya In-nio tengah mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, terpaksa Yakbwe tak jadi menggodanya. Tiba-tiba di gelanggang pertempuran sana terdengar seorang berseru: Hai, orang she Bo,
berapa banyak orangkah yang kau undang membantumu? Tunggu setelah mereka datang semua, baru kita mulai bertempur, agar kau tak menuduh aku sebagai orang yang menindas si lemah dengan main keroyok. Kata-kata itu menyatakan kalau suitan In-nio tadi, telah didengar mereka. Yang bicara itu ialah Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Dialah yang mengetahui penyamaranku kala itu. Karena mereka berjumlah banyak, jadi aku tak mampu melawannya, syukur ada pemuda she Bo itu yang menolongku, demikian In-nio memberi keterangan pada Yak-bwe. Dalam pada itu terdengar pemuda she Bo itu sedang menyahut dengan dingin: Sebaliknya akulah yang hendak menanyakan padamu, apakah orang-orangmu sudah lengkap semua? Apa maksudmu? Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu balas bertanya. Aku tak mengundang barang seorang pembantupun, melainkan ada seorang sahabatku yang mungkin kepingin melihat pertempuran ini. Kalian tak usah kuatir. Mendengar keterangan si pemuda, kawanan Kim-liong-pang itu serempak tertawa mengejek: Apa yang kami kuatirkan? Kuatir kau dapat melarikan dirikah? Ha, jangan ngimpi kau! Sekalipun kau tumbuh sayap juga tak nanti kau dapat lolos! Tapi pemuda itu tak mengacuh dan hanya menegas lagi: Sekali lagi aku akan bertanya, apakah orang-orangmu itu sudah lengkap? Kalau sudah lalu bagaimana? tanya si Hu-pangcu balas bertanya. Kalau sudah, barulah aku enak turun tangan agar tidak repot-repot harus mengejar satu persatu. Ha, jika memang belum lengkap, aku bersedia menunggu beberapa saat lagi, kata si pemuda. Mendengar kata-kata itu, kawanan Kim-liong-pang itu sama berjingkrak-jingkrak marah. Berserulah salah seorang yang bertubuh tinggi besar: Kau ini benar-benar seorang bocah yang congkak. Baik, biar kuajar adat padamu dan akupun tak mau dibantu siapapun juga. Tapi sebelum si tinggi besar itu tampil kemuka, dua orang yang baik perawakannya maupun pakaiannya serupa coraknya, sudah melangkah maju, seru mereka dengan lantanga: Nyo-toako, sukalah kiranya kau tunggu dulu. Kami kaum Thay-ou-pang mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan dengan bocah itu. Habis berkata mereka berdua lalu mencabut senjatanya yang berupa sebatang poan-koan-pit dan berseru: Sekalian saudara yang hadir di sini rasanya maklum akan peraturan dari persaudaraan Cin. Baik lawan kami itu seorang atau seratus orang, kami berdua saudara ini tentu selalu maju berbareng. Ini perlu kami kemukakan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main keroyokan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main keroyokan. Hai, dengarlah bocah she Bo! Asal kau dapat bertahan menghadapi 50 jurus permainan pit kami, maka kami berdua bersedia untuk menyembah padamu! Pemuda she Bo itu hanya miringkan kepala, melihat dengan melirik hina. Ia tak tampak mencabut pedang pun tak menyambut tantangan kedua saudara itu. Hu-pangcu dari Kim-liong-pang mencegahnya: Harap saudara berdua jangan berebut dulu. Bagaimana bocah itu dapat bertahan sampai 50 jurus? Paling banyak 30 jurus saja ia tentu sudah mampus. Kalau ia belum-belum sudah mati, habis apa dayaku untuk melampiaskan kemendongkolan hatiku? Ah, lebih baik saudara berdua mengalah dulu, biar aku yang maju. Tiba-tiba ada seorang yang berpakaian seperti opsir tentara melangkah kemuka dan berseru dengan nyaring: Hai, kalian tak boleh berebutan! Bocah itu telah merampas pesakitan penting, aku hendak meringkusnya dan membawanya ke kota raja. Ayo, kalian mundur semua, biar aku seorang diri yang menangkapnya! Yak-bwe berbisik pada In-nio: Aku kenal opsir itu. Ialah Hou-ya-to-wi Ut-ti Lam, menjabat sebagai thong-leng (pemimpin) dari pasukan Kim-wi-kun di istana. Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak adalah kakaknya. Mereka berdua memiliki kepandaian silat tinggi, namanya tersohor di dalam dan luar negeri. Perangai kedua saudara itu hampir sama. In-nio menertawakan: Pemimpin pasukan istana bersekutu dengan pemimpin partai persilatan, sama-sama maukan diri seorang pemuda, ai, sungguh mengherankan. Tapi dari ucapan opsir itu, rupanya ia tak ada janji sama sekali dengan kawanan orang Kim-liong-pang. Mereka hanya kebetulan berjumpa di sini saja.
Ah, sayang! tiba-tiba Yak-bwe menyelutuk. Sayang apa? tanya In-nio dengan heran. Ut-ti Lam adalah seorang lelaki gagah. Dipandang dari kedudukannya, walaupun hanya kebetulan berjumpa dengan orang-orang Kim-liong-pang, namun tetap merosotkan harga dirinya, kata Yak-bwe. Dan bagaimana reaksi orang-orang yang dihardik Ut-ti Lam itu ternyata mereka terkesiap kaget. Tapi si tinggi besar itu juga berwatak berangasan. Iapun tak peduli bahwa opsir yang mengenakan seragam hitam itu ialah Ut-ti Lam. Serentak ia pun balas mendamprat: Orang macam pantat kuali seperti kau ini juga berani berlagak pembesar? Berada di sini, kau harus menurut peraturan dunia persilatan, jangan sok aksi seperti dalam kantormu, tahu. Jika sampai membangkitkan amarahku, awas, nanti tentu kuberi makan bogem mentahku! dengan gusarnya. Wut, ia lantas menyabat dengan piannya. Hu-pangcu dari Kim-liong-pang rupanya kenal akan Ut-ti Lam. Sudah tentu ia menjadi terkejut dan tergopoh-gopoh memburu maju dan mendorong si tinggi besar ke samping. Kemudian ia haturkan maaf: Ut-ti ciangkun, harap jangan marah. Malam ini kita sama-sama menemukan seorang musuh, segala apa dapat kita bicarakan. Saudara Nyo ini tidak pandai bicara, harap Ciangkun bersabar sedikit! Untung Hu-pangcu itu cepat-cepat mendorong si tinggi besar sehingga terluput dari pian Ut-ti Lam, maka pian itu telah menghantam sebuah batu besar hingga hancur berantakan. Melihat itu, bagaimanapun berangasannya, si tinggi besar tak berani bercuit lagi. Harap kalian jangan ribut-ribut, sudilah dengarkan kata-kataku, tiba-tiba anak muda tadi berkata. Dari sikapnya pemuda itu seperti tak mengandung permusuhan kepada mereka dan bahkan hendak melerai. Ut-ti Lam juga merasa heran, sahutnya: Baik, cobalah kau akan berkata apa? Ut-ti ciangkun, kunasihatkan lebih baik biarkan mereka bertempur dulu dengan aku. Kau nanti jatuh pada giliran yang terakhir saja, kata anak muda itu. Apa-apaan itu, kau bocah ini malah akan mengeloni mereka, demikian Ut-ti Lam berteriak dengan marah-marah. Tertawalah pemuda itu: Biarlah kuterangkan alasannya, Ut-ti ciangkun, dengarkan dulu! Ia menunjuk pada kedua saudara yang bergelar Cin-keh-siang-pit, lalu katanya: Kalian tadi mengatakan mempunyai dendam sedalam laut padaku, tapi aku sendiri bingung, permusuhan apakah yang kita ikat itu? Kedua saudara Cin itu mendengus, sahutnya: Ha, kau budak kecil ini pandai berpura-pura. Baiklah, biar kuterangkan. Keterangan ini bukan untukmu, melainkan supaya dapat diketahui oleh saudara-saudara yang hadir di sini. Selesai mendengari keteranganku, kalian tentu tahu apa sebabnya kami berkeras hendak melabrak bocah ini lebih dulu. Si Cin yang tua merandek sejenak, lalu melanjutkan berkata: Bulan yang lalu kami bercekcok rebutan bandar (pangkalan perahu) dengan orang Hay-yang-pang. Bocah itu sebenarnya orang luar, tapi suka usil. Ia membantu pihak Hay-yang-pang hingga mengalahkan orang-orangku dan menghancurkan 17 buah perahu kami yang berada di perairan telaga Thay-ou. Tidakkah hal ini berarti dendam sedalam lautan? Lalu adiknya menambahkan: Kala itu kami berdua saudara tak ada di situ, hingga pihak kami menderita kerugian. Sebenarnya kami harus menuntut balas pada pihak Hay-yang-pang, tapi setelah kami selidiki, 8-9 bagian dari orang-orang kami itu dilukai oleh bocah ini. Maka kami kesampingkan urusan terhadap Hay-yang-pang dan membikin perhitungan pada bocah ini lebih dulu. Anak muda itu tiba-tiba menyahut: Memang sebagian besar hal itu benar, hanya saja masih kelewatan sedikit mengenai sebab-sebabnya kalian bercekcok dengan pihak Hay-yang-pang. Biarlah aku yang memberi tambahan keterangan. Hay-yang-pang adalah sebuah organisasi nelayan di sepanjang pantai Thay-ou. Kalian dari Thay-ou-pang itu lantas mau memungut pajak pada mereka. Para nelayan itu sudah berat membayar pajak pada pembesar negeri setempat, apakah
mereka dapat memikul lagi beban yang makin memberatkan itu? Untuk membela kepentingannya maka Hay-yang-pang terpaksa melawan kalian. Salahkah jika aku berdiri di pihak Hay-yang- pang? Atau apakah seharusnya aku membantu pada pihakmu untuk menindas kaum nelayan itu? Berkata pula anak muda itu: Walaupun jadi perampok atau bajak, pun seyogyanya jangan menanggalkan sifat-sifat keperwiraan. Di tempat di mana kaum nelayan sudah menderita, kalian masih hendak merebut nasi mereka, apakah kalian tidak malu! Itulah sebabnya maka aku memberi sedikit hajaran pada orang-orang Thay-ou-pang itu, pertama untuk meringankan kemengkalan hati kaum nelayan dan kedua supaya mereka ingat betul-betul bahwa aku sudah bermurah hati tidak membunuh barang seorangpun dari kawan mereka. Mengapa kalian masih menuduh aku berbuat salah? Malu dan geram bercampur aduk dalam perasaan kedua saudara Cin itu. Belum mereka menyatakan apa-apa, Ut-ti Lam sudah berseru memuji: Benar, ucapanmu itu cukup ceng-li dan perbuatanmu itu tepat sekali! Sebenarnya kedua saudara Cin sudah mau menumpahkan kemarahannya, tapi demi Ut-ti Lam mengatakan begitu, mereka agak kurang enak untuk turun tangan. Kemudian si pemuda itu menuding pada si tinggi besar, katanya: Dan kau? Apakah kita juga mempunyai permusuhan sedalam lautan? Meskipun dendam itu tak menyamai membunuh ayah atau merampas isteri, tapi rasanya juga tak jauh dari itu. Barang-barang antaran piau yang hendak kami rampas, ibarat kue bak-pau sudah berada di mulut, tapi mengapa kau mengadu biru dan membantu mereka dan menggagalkan usaha kami? demikian seru si tinggi besar. Si pemuda menyahut: Mungkin saudara tak mengetahui bahwa barang-barang itu adalah uang perak untuk Li Yang-ceng yang menjabat sebagai Ti-ho congkoan (pembesar urusan irigasi). Kantor pengangkutan Tiang-an-piau-kiok telah diserahi untuk mengantarkannya. Barang antaran itu tak boleh dirampas. Mengapa? tanya si tinggi besar. Karena uang itu diperuntukkan membelanjai pekerja-pekerja. Tentang pembesar she Li itu, aku pun sudah menyelidikinya, dapat dikata seorang pembesar yang baik, tutur si anak muda. Persetan ia pembesar baik atau jahat dan bagaimana ia akan menggunakan uang itu! Pendek kata, yang kuketahui hanyalah uang perak yang bergemerlapan saja, bagi kami yang menuntut penghidupan sebagai orang Hek-to, jika tak merampas uang masakan disuruh makan angin saja? sahut si tinggi besar dengan gusar. Tertawalah anak muda itu: Ucapan saudara itu tidak tepat. Jika kau mengganyang uang kaum pembesar korup, aku tentu tak berani unjuk diri. Tapi dengan merampas uang tadi, bukan saja rakyat pekerja akan kelaparan pun proyek bendungan sungai Hong-ho akan terbengkalai, akibatnya ribuan jiwa rakyat akan menderita mala petaka, rumah tangga tercerai berai. Karena tak dapat merampas uang itu paling-paling kau hanya makan angin, tapi apakah kau tahu bahwa ribuan rakyat itu kini benar-benar sudah makan angin? Kutahu kalau saudara itu juga dari keturunan keluarga miskin, mengapa saudara hanya mementingkan diri sendiri saja? Si tinggi besar itu ternyata seorang jujur juga. Ia garuk-garuk kepalanya, katanya: Eh, ucapanmu itu rada ceng-li juga. Tapi hal itu rasanya tak sesuai dengan peraturan yang sudah mendarah daging di kalangan Lok-lim. Coba beri aku tempo untuk memikirkannya. Baiklah, kau boleh merenungkan dulu, kata si pemuda. Mendengar anak muda itu telah menyelamatkan uang antaran untuk Ti-ho-congkoan, Ut-ti Lam menjadi terkesiap. Tidak demikian dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang yang lantas membentaknya: Kedatangan kita di sini ini untuk bertempur atau akan mendengarkan ceramah tentang ceng-li? Perlu apa ributribut begitu? Mari, ayo, marilah, kami bertiga Hiangcu dari Kim-liong-pang akan minta pelajaran ilmu pedang lagi padamu! Ia menjabat sebagai Hu-pangcu (wakil pemimpin) merangkap Seng-tong-hiangcu (ketua bagian hukum) dari Kim-liong-pang. Ia membawa serta dua orang Hiangcu lagi kesitu. Dari bicaranya, ia seperti hendak mengajak kawannya maju mengeroyok.
Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: Kalau dengar pembicaraan bocah itu, rasanya berarti sekali, apa halangannya untuk mendengarkan terus! Anak muda itu sekonyong-konyong tertawa memanjang lalu menuding pada Hu-pangcu Kimliong- pang: Makinkau takut kubuka borokmu, makin aku bernafsu mengatakannya! Dengarkanlah, sewaktu di jalan Lo-pok kau hendak merampas seorang gadis tapi karena kau dikalahkan, kau lantas panggil kambrat-kambratmu untuk merampasnya di samping secara diamdiam kau gunakan dupa bi-hiang. Perbuatanmu itu bahkan lebih memalukan daripada perbuatanperbuatan rendah kaum Lok-lim. Jika hanya kuiris sebelah daun telingamu, itu sudah kelewat murah karena kuharap kau dapat merubah kesalahanmu. Tetapi mengapa kau masih tak tahu diri dan berani mencari balas padaku? Mendengar itu bukan main gusar Ut-ti Lam kepada orang Kim-liong-pang itu, serunya: Ha, bagus, bangsat terkutuk, rasakanlah lebih dulu pianku ini! Si anak muda buru-buru kebutkan lengan bajunya untuk menyingkirkan pian Ciangkun yang hendak diserangkan pada Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu. Ut-ti ciangkun, harap jangan mencampuri urusanku. Kalau mereka hendak menantang berkelahi, aku sanggup melayani sendiri. Dan lagi Ciangkun toh masih terhitung lawan dengan aku. Sahut Ut-ti Lam: Benar, aku memang hendak bertempur padamu nanti! Baik, sekarang rasanya kau tentu sudah mengetahui mengapa kutaruhkan dirimu pada urutan yang terakhir, kata si anak muda. Ut-ti Lam juga seorang yang lurus. Apa yang dipikirnya tentu lantas diucapkan. Tanpa banyak berpikir lagi, ia lantas menyahut: Ha, aku sudah tahu sekarang, tentu kau takut kalau kutangkapmu lebih dulu hingga kau tak sempat untuk menghajar mereka. Tidak apalah, aku, aku ..... Sebenarnya ia ingin mengatakan: Orang-orang itu kutu busuk semua, aku akan mewakilkanmu menghajar mereka. Tapi tiba-tiba pikirannya berubah: Tidak, tidak, jika aku mengatakan begitu, tentu kawanan kutu busuk dan perampok itu akan lari sipat kuping nanti. Maka tertawalah si anak muda, serunya: Tak usah kau katakan juga aku sudah mengerti maksudmu itu. Tapi Ut-ti ciangkun, apakah kau sudah memperhitungkan kalau dapat memenangkan aku? Ut-ti Lam tertegun. Ia melihat jelas bagaimana dengan kebutan lengan baju tadi, si anak muda telah dapat mengisar serangan piannya ke samping. Tanpa bimbang lagi ia segera menyahut: Hal itu baru dapat diketahui kalau sudah bertempur. Tepat! Kau belum yakin dapat mengalahkan aku, akupun tak pasti dapat menundukkan kau. Andaikan salah satu akan menang juga nanti sudah kehabisan tenaga. Itu waktu mungkin kita sudah loyo untuk menghadapi pertempuran lagi! kata si anak muda. Dipikir-pikir omongan itu memang benar. Ya, ya, benar juga dia. Jika aku dan dia sama-sama terluka, kawanan penjahat itu yang mendapat keuntungan nanti, diam-diam opsir itu membatin. Kata pula si anak muda: Ut-ti ciangkun, jika kau ingin menangkan aku, ada sebuah cara, ialah kau boleh ikut maju bersama mereka untuk mengeroyok aku. Ini mungkin ada harapan. Hah, kau menilai diriku ini orang macam apa? Aku, Ut-ti Lam, masakah sudi menggabung dengan kaum perampok dan kawanan telur busuk itu! teriak Ut-ti Lam dengan murka. Karena mendongkol, ia sudah menghamburkan kata-kata kawanan telur busuk dan perampok. Sudah tentu orang-orang yang dimaki itu melotot gusar. Ut-ti ciangkun, begitu selesai memberesi budak itu, kami nanti pasti akan minta pengajaran padamu, seru kedua saudara Cin. Tanpa menghiraukan kedua jagoan itu, si anak muda berkata pula kepada Ut-ti Lam: Bagus, Ut-ti ciangkun, karena kau sudah tahu manusia macam apa mereka itu dan karenanya kau tak sudi mendekati mereka, maka sekarang silakan minggir dulu sajalah. Ciangkun yang ketolol-tololan tapi jujur itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba ia berseru: Ai, masih sedikit enggan aku! Harap ciangkun jangan mengkuatirkan diriku. Orang itu, sekalipun ditambah lagi jumlahnya, masih belum kupandang sebelah mata. Setelah menghajar mereka, aku masih ada tenaga cukup
untuk menemani kau berkelahi. Tapi kalau bertempur dulu padamu kemudian baru menghajar mereka, meskipun masih dapat menang tapi agak makan tenaga pula, kata si anak muda. Dijunjung begitu, kemarahan Ut-ti Lam berganti menjadi kegirangan. Serunya: Benar, omonganmu itu memang beralasan. Baik, biar aku jatuh pada giliran terakhir! Mendengar dirinya dijadikan bulan-bulanan percakapan itu, marahlah orang-orang itu. Memang kecuali Hu-pangcu dari Kim-liong-pang yang sudah pernah merasakan tangan si anak muda, lainlainnya belum kenal siapa anak muda itu. Sekalipun mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh persilatan yang ada nama, tapi karena ditantang supaya maju semua oleh si anak muda, mereka sebaliknya malah bersangsi. Tiba-tiba kedua Hiang-cu dari Kim-liong-pang itu membuka suara: Ada orang bersembunyi di sana, mungkin komplotan budak kecil itu. Biar kugeropyoknya dulu mereka itu. Kiranya mereka sudah mengetahui kalau In-nio dan Yak-bwe berada di atas batu tempat persembunyiannya. Kedua Hiang-cu itu licin benar. Dengan alasan mau menggeropyok, mereka hendak menyingkir dulu dari si anak muda yang telah diketahui kelihayannya. Biar kedua saudara Cin dan kawan-kawan bertempur dulu dengan si anak muda, baru nanti mereka hendak melihat perkembangannya. Tapi mereka licin, si anak muda lebih cerdik lagi. Baru saja kaki mereka melangkah beberapa tindak atau tahu-tahu kaki mereka terasa lemas dan bluk-bluk, jatuhlah keduanya terkulai di tanah. He, jangan lari kemana-mana, kembalilah! Apakah kalian tak mendengar permintaanku tadi supaya kalian maju berbareng semua? seru si pemuda. Ternyata anak muda itu sudah gunakan Kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari kejauhan untuk merubuhkan kedua Hiang-cu Kim-liong-pang itu. Tapi sungguh lacur, kedua saudara Cin itu sudah tak kenal akan ilmu tutukan yang sakti itu. Mereka kira si anak muda itu sudah mulai turun tangan, maka tanpa berpikir panjang lagi kedua saudara Cin itu sudah maju menyerang dengan Poan-koan-pit mereka. Yang satu dari sebelah kanan, yang lain dari kiri. Tiba-tiba si tinggi besar menggerung: Keparat! Tuanmu belum bergerak, kau sudah mendahului turun tangan, ya? Si tinggi besar yang berangasan inipun tak mengerti ilmu apa yang digunakan si anak muda untuk menjatuhkan kedua Hiang-cu tadi. Ia mengira anak muda itu sudah gunakan senjata rahasia, maka habis mendamprat ia lantas maju menjotos. Dengan kedua buah jarinya, si anak muda pentalkan senjata pit dari kedua saudara Cin, kemudian balikkan telapak tangannya untuk tangkis tinju si tinggi besar, serunya dengan tertawa: Mengapa kau begitu terburu-buru? Tunggu sampai kawan-kawanmu sudah datang semua, bukankah masih belum terlambat? Sekali ini aku memang mengalah, supaya kau jangan menuduh aku tak pegang janji. Ingat, jika sebelum kawan-kawanmu lengkap kau sudah bergebrak, kau tentu akan menderita kerugian besar! Di sana kedua Hiang-cu Kim-liong-pang tadi tampak sedang merangkak bangun. Dengan mata gusar, mereka terpaksa kembali dan mempersatukan diri dengan sekalian orang. Dalam pada itu si anak muda sedang ulur tangannya untuk mendorong si tinggi besar, serunya: Bagus, kalau kawankawanmu sudah lengkap, baru boleh maju lagi, ya! Melihat kepandaian anak muda itu begitu sakti, tanpa malu-malu lagi, kawanan penjahat itu segera menyerbu berbareng. Mendadak anak muda itu berputar tubuh, tahu-tahu tangannya sudah mencekal pedang dan dalam sabetan pertama ia sudah dapat membabat putus Lian-cu-chui (bandul besi berantai) dari salah seorang penyerangnya. Sabetan kedua, sebuah golok musuh terpental ke udara. Kemudian begitu sang tubuh bergerak, ia sudah tiba di sisi si tinggi besar. Celaka! mulut si tinggi besar berteriak, tapi ia tak berdaya untuk menyingkir dari pedang si anak muda yang sudah melayang datang. Mau tak mau menjadi nekat juga. Aku akan mengadu jiwa dengan kau! teriaknya sambil mengangkat sepasang pedangnya ke atas, mirip dengan sepasang tanduk kerbau. Ia hendak menerjang maju, tapi ternyata si anak muda itu hanya tepuk pundaknya: Kau sudah memikir jelas, belum? Tadi kau sudah berjanji padaku untuk memikir masak-masak-masak!
Ketika si tinggi besar membuka matanya, ternyata si anak muda itu telah melesat lewat di sisinya dan sudah menempur Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Si tinggi besar tampak melongo, lalu berteriak: He, kau ini rada-rada cengli juga, aku tunduk padamu dan tak mau berkelahi lagi dengan kau! Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan lari pergi menuruni gunung. Melihat itu tertawalah si anak muda: Baik, Nyo-toako, aku suka bersahabat padamu. Kita nanti berjumpa pula di Kim- kenia! Waktu Hu-pangcu Kim-liong-pang menyerang dengan tongkatnya, si anak muda berhenti tertawa dan berseru: Terhadap dirimu seorang penjahat pengrusak wanita ini, aku tak dapat memberi ampun. Jiwamu kutinggalkan tapi kepandaian silatmu kuambil! Cret, berbareng dengan selesai kata-katanya, ujung pedangnya pun sudah menyusup ke tulang pi-peh-kut, di pundak orang. Suatu hal yang membikin kejut keawanan perampok, lebih-lebih kedua Hiangcu dari Kim-liong-pang tadi, mereka serasa terbang semangatnya. Hu-pangcu itu bukan tokoh silat sembarangan. Adanya dia dapat menjabat sebagai wakil ketua, karena kepandaiannya itu termasuk yang nomor tiga dalam hirarki (urutan) Kim-liong-pang. Ia hanya di sebelah bawah dari Jui-tianglo dan Su-pangcu. Permainan ilmu tongkat dari Hu-pangcu itu juga termasyhur. Tapi anehnya belum lagi ia sempat memainkan jurus yang ketiga, tulang pundaknya sudah kena terpanggang pedang si anak muda. Kiranya ia benar-benar masih berlaku murah dengan hanya memotong sebelah telinga Hupangcu tempo hari. Kalau Hu-pangcu saja sudah keok, apa daya kita? demikian barulah timbul rasa gentar dalam hati kedua Hiangcu itu. Serta merta mereka lempar senjatanya dan terus hendak menurutkan peraturan kaum persilatan untuk meminta ampun. Tiba-tiba anak muda itu tertawa: Mengingat walaupun kalian berdosa tapi mau bertobat, maka akan kuberi hukuman ringan saja! Sret, sret, pedang si anak muda tampak berkelebat, dan tahu-tahu telinga kedua Hiang-cu itu masing-masing sudah hilang satu. Yang seorang telinga kiri dan yang seorang telinga kanan. Nah, biarlah kalian juga merasakan sedikit kesakitan agar dikemudian harinya dapat mengingat baik-baik. Nah, enyahlah! seru si anak muda. Karena tidak sampai dibikin lenyap kepandaiannya seperti Hu-pangcu mereka, girang kedua Hiangcu itu bukan kepalang. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera memanggul Hu-pangcunya dan dibawa lari ke bawah gunung. Kini yang masih segar bugar ialah kedua saudara Cin itu. Memang kepandaian mereka lebih unggul setingkat dari Hu-pangcu Kim-liong-pang. Biasanya merekapun congkak. Walaupun menyaksikan kejadian itu dengan rasa terkejut, namun mereka tak mau mencontoh perbuatan kedua Hiangcu untuk meminta belas kasihan orang. Mereka bulatkan tekad untuk mengadu jiwa, apabila perlu mereka siap untuk sama-sama binasa dengan si anak muda. Dengan ketekadan itu mereka menyerang rapat-rapat kepada anak muda itu. Setiap serangan mereka selalu mengarah bagianbagian yang mematikan. Karena sejak kecil kedua saudara itu sama-sama belajar silat, jadi mereka dapat mengadakan kerja sama permainan yang rapat. Sepasang senjata poan-koan-pit mereka dapat bergerak dengan indah laksana burung hong dan naga menari. Kanan-kiri, muka-belakang anak muda itu selalu dibayangi dengan pagutan poan-koan-pit. Sedikit saja si anak muda berayal atau salah jalan, pasti tubuhnya kena tertutuk. Di atas batu besar sana, Yak-bwe menyaksikan pertempuran dengan tegangnya. Iabertanya dengan bisik-bisik kepada sahabatnya: Mengapa kawanmu itu hanya bertahan dan tak mau menyerang? Padahal ia mampu untuk menyerang lawan. In-nio tertawa: Memang setiap gerak-geriknya sukar diraba orang. Entahlah, aku sendiri tak mengerti apa maksudnya karena hanya ia sendiri yang mengetahui alasannya. Tiba-tiba kedengaran anak muda itu berseru lantang: Kalian menindas rakyat nelayan, suatu dosa yang sebenarnya tidak kecil. Tapi kulihat kepandaian kalian agaknya masih kalah setingkat dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang tadi, jadi kalau dipanggang tulang pi-peh-kutmu, rasanya masih kelewat berat. Hm, biar kupikirkan dulu, hukuman apakah yang sekiranya cocok untuk kalian ini?
Ia omong sendiri seperti berunding seorang diri. Serangan maut dari kedua saudara Cin itu seolah-olah tak dihiraukan sama sekali. Kedua saudara Cin itu marah sekali, tapi apa daya. Seumur hidup mereka belum pernah ketemu dengan musuh setangguh anak muda itu. Mereka tak berani tumpahkan kemarahan, karena kuatir sedikit saja perhatian terpencar, tentu tubuh mereka akan tertutuk oleh lawan. Hai, ada, sudah ada. Ya, kuingat tadi kalian mengatakan kalau aku dapat melayani serangan kalian sampai 30 jurus, kalian lantas mau menjura kepadaku. Kiranya sekarang sudah ada 30-an jurus, bukan? tiba-tiba anak muda itu berseru pula. Tiga puluh jurus sudah lebih sejak tadi-tadi! tiba-tiba Ut-ti Lam turut berseru. Hai, jadi sudah lebih 30 jurus? Wah, kalian mau pegang janji tidak? Mau memberi hormat padaku tidak? kata si anak muda. Sudah tentu kedua saudara Cin itu tak mau menurut. Mereka malah memperhebat serangannya. Menjadi bangsa penjahat itu selain harus mengingat tentang keluhuran pun harus memegang kepercayaan. Apakah kalian tidak tahu? si anak muda tertawa dingin. Aha, jadi bangsa penjahat itu juga harus memiliki kesopanan? Tapi terhadap mereka, rasanya sia-sia saja kau katakan begitu. Kulihat, kecuali dihajar mereka sampai bertekuk lutut, mereka tentu tak mau menganggukkan kepala kepadamu, ujar Ut-ti Lam. Benar, karena kalian berdua ini penjahat-penjahat rendah yang tak pegang janji, aku terpaksa gunakan kekerasan, kata si anak muda. Tiba-tiba ia jungkirkan Ceng-hong-kiamnya, begitu membentur senjata lawan, tahu-tahu si Lo Toa (kakak) dari saudara Cin menjerit, terus bertekuk lutut. Si Lo Ji (nomor dua) dari saudara Cin terkejut, tapi belum lagi ia keburu menyingkir, lututnya sudah kena ditendang si anak muda. Tanpa dikehendakinya, iapun bertekuk lutut ke tanah. Karena jatuh ke tanah, tubuhnya bergoncang dan kepala mereka pun turut melentuk hampir mencium tanah. Dan karena mereka buru-buru mengangkat lagi kepalanya, sepintas lalu menjadi benar-benar seperti orang yang memberi hormat dengan menganggukkan kepala. Tertawalah si anak muda gelak-gelak: Karena kalian sudah mengangguk, nah, kubebaskan kalian dari hukuman. Tapi ingat, jika lain kali masih berani menindas rakyat lemah, apabila jatuh ke dalam tanganku lagi, maka bukan saja kusuruh kalian mengangguk lagi, pun tulang Pi-peh- kut kalian akan kuremukkan. Nah, ingat baik-baik dan enyahlah sekarang! Cepat kedua saudara Cin itu merangkak bangun. Wajah mereka merah padam. Diam-diam mereka menyesal tidak punya sayap agar dapat lekas-lekas terbang pergi. Karena sang kepala ngacir, kawanan keroconya pun segera kabur semua. Dalam sekejap saja merka sudah tak kelihatan lagi. Kini yang tinggal di gelanggang situ, hanya Ut-ti Lam dan si anak muda. Bagus, bagus! Orang she Bo, nyata kau juga seorang jantan! Ut-ti Lam acungkan jempolnya memuji. Maaf, sebenarnya aku tak layak menerima pujian begitu dari Ciangkun, sahut si anak muda dengan tertawa. Tiba-tiba Ut-ti Lam deliki kedua matanya dan berseru: Tapi sayang, sungguh sayang! Sayang apa? tanya si anak muda. Sayang karena seorang pemuda jantan seperti kau ini, aku terpaksa harus menangkap kau untuk kubawa ke kota raja! kata Ut-ti Lam. Sayang, sayang, sungguh sayang! tiba-tiba anak muda itu juga menirukan ucapan Ut-ti Lam. Sayang apa? kini Ciangkun itu yang berbalik tanya. Dengan menempatkan kau pada giliran terakhir, sebenarnya aku bermaksud kita tak usah bertempur lagi. Tapi karena kau ternyata tetap berkeras akan menangkap diriku, tiada lain jalan bagiku kecuali harus bertempur lagi. Hati dengan kemauan saling bertentangan, apakah itu tidak sayang? Ut-ti Lam kerutkan keningnya. Katanya: Dalam masalah permusuhan antara kau dengan kawanan penjahat tadi, rupanya kaulah yang berada di pihak yang benar dan merekalah yang salah .... Setiap tindakan yang kulakukan tentu berdasar alasan-alasan yang benar! si anak muda
memutus omongan orang. Baik, kalau begitu ingin juga aku mendengarkan apa alasanmu merampas 300 ekor kuda kepunyaan baginda. Kuda-kuda itu adalah barang upeti dari negeri Gong-ki-kok. Baginda akan menghadiahkan kuda-kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun. Apakah kau tahu akan hal itu? kata Ut-ti Lam. Cukup tahu, karena sebelumnya aku juga sudah menyelidiki dengan jelas, sahut si anak muda. Maka marahlah Ut-ti Lam, bentaknya: Kalau sudah tahu mengapa masih merampas? Coba terangkan apa alasanmu! Bukankah Thong-leng dari pasukan Gi-lim-kun sekarang itu adalah Liong-ki-to-wi Cing Siang? tanya si pemuda. Benar, memang Cin Siang toako. Apa perlunya kau tanyakan itu? Kiranya kau kenal juga padanya? Kalau begitu lebih-lebih tak semestinya kau merampas kuda itu! Konon kabarnya Cin-ciangkun itu ahli dalam hal menilai kuda. Kuda tunggangannya sendiri juga seekor kuda Cian-li-ma. Hai, kuminta kau terangkan alasanmu merampas barang antaran, masakan mau ajak aku mengobrol yang bukan-bukan? teriak Ut-ti Lam dengan tak seranti. Si anak muda tertawa geli: Harap Ciangkun suka bersabar sebentar. Sekarang sudah menginjak acara pokoknya. Nah, karena Cin ciangkun itu ahli memilih kuda, pasukan Gi-lim- kun itu tentulah terdiri dari perwira gagah dengan kuda yang tegar-tegar, bukan? Sudah tentu! Anggota pasukan Gi-lim-kun itu terdiri dari perwira pilihan semua. Orangnya orang pilihan, kudanya kuda pilihan. Gi-lim-kun memang bukan sembarang pasukan! sahut Ut- ti Lam. Jumlah anggota Gi-lim-kun hanya 3000 orang, sedang persediaan kudanya berjumlah 4000 ekor, benarkah ini? tanya si anak muda pula. Eh, mengapa kau tahu begitu jelas? seru Ut-ti Lam. Si anak muda ganda tertawa dan melanjutkan kata-katanya: Jika begitu, artinya tepat dugaanku. Baiklah, sekarang akan kuberikan alasanku. Tadi kaukatakan bahwa baginda hendak menghadiahkan kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun, tetapi kenyataannya pasukan Gi-lim-kun itu tak kekurangan kuda! Bahkan mereka itu masih ada kelebihannya! Dengan kuambil 300 ekor kuda itu, rasanya mereka takkan menderita apa-apa! Marahlah Ut-ti Lam, serunya: Alasanmu itu terlalu dibuat-buat! Banyak atau sedikit jumlah kuda yang dimiliki oleh pasukan Gi-lim-kun itu bukan soal. Pokok, kuda itu adalah barang upeti yang dipersembahkan kepada baginda, kau seharusnya tak boleh mengganggu! Si anak muda tertawa gelak-gelak: karena kau bekeja pada raja, jadi sudah selayaknya kau mengatakan begitu. Tapi kedudukanku berlainan dengan kau, jadi caranya berpikirpun tidak sama. Yang kutanyakan padamu hanyalah layak tidaknya kelebihan itu kuambil? Tentang siapa pemiliknya, rajakah atau rakyatkah, itu bukan soal. Ya, baik, kita boleh kesampingkan tentang pemiliknya itu. Tapi bukankah kau telah merampas barang orang, mengapa kau masih hendak membela kebenaran? Kuda dari pasukan Gi-lim-kun sudah berlebih-lebihan. Hadiah 300 ekor kuda itu, tidak banyak berguna bagi mereka. Malah kemungkinan mereka akan menelantarkan kuda-kuda bagus itu. Tapi bagi pihakku, kuda itu besar sekali artinya. Kami hanya punay anak buah gagah, tapi kekurangan kuda-kuda tegar! Ah, jelas aku sekarang. Kiranya kau ini juga benggolan perampok, bukan? seru Ut-ti Lam. Sekarang aku masih belum resmi mendirikan markas, jadi tak boleh dianggap sebagai pemimpin begal. Tapi aku sudah siap menceburkan diri menjadi penyamun. Terus terang saja kuberitahukan padamu, tak lama kemudian bakal ada Lok-lim-tay-hwe (musyawarah besar kaum penyamun). Sekalian orang gagah dari segala aliran siap akan mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Bengcu. Tiga ratus ekor kuda itu kurampas hendak kusumbangkan pada Thiat-mo-lek selaku bingkisan perkenalan. Ut-ti ciangkun, kau tak dapat meminta kembali barang itu! Selapang-lapangnya hati Ut-ti Lam, namun ia tetap seorang pembesar kerajaan. Mendengar kata-kata si anak muda itu, sudah tentu panaslah hatinya. Serunya: Hai, kiranya kalian ini adalah
penjahat-penjahat yang hendak memusuhi kerajaan. Sudah tentu aku tak dapat melepaskan kau! Masih si anak muda tertawa: Ciangkun, ucapanmu itu lagi-lagi hanya benar separuh bagian saja. Ai, mengapa hanya separuh bagian saja? Ut-ti Lam keheranan. Kami benar menjadi penyamun, tapi belum tentu memusuhi kerajaan. Yang nyata sekarang ini, kami tidak bersikap begitu. Dengan kurampas kuda itu, bahkan ada segi-segi kebaikannya kepada kerajaan, sekali-kali tidak ada keburukannya! Ut-ti Lam makin heran: Ai, ai, ucapanmu benar-benar hebat sekali. Maka berkatalah si anak muda: Tolong tanya, di dalam daerah Gui-pok sini, siapakah yang mempunyai pengaruh paling besar? Mengapa bertanya pula? Sudah tentu Ciat-to-su Tiang Seng-su! jawab Ut-ti Lam. Dan di daerah Lo-ciu? Ciat-to-su Sik Ko! sahut Ut-ti Lam. Jika begitu, Tiang Seng-su di Gui-pok, Sik-ko di Lo-ciu, mereka itulah raja-raja daerah tersebut! kata si anak muda. Bolehlah dikata begitu, mereka berdua ialah raja daerahnya, Ut-ti Lam mengiyakan. Tertawalah si anak muda: Menurut pendapatku, di dalam daerah kekuasaannya, hak mereka itu lebih besar dari raja. Rakyat hanya takut pada Ciat-to-su tapi tidak kepada raja! Ut-ti Lam terdiam tak menyahut. Sia anak muda tertawa dan berkata lagi: Pasukan Gi-lim-kun dalam keraton hanya berjumlah 3000 orang, sedang Tian Seng-su pun membentuk apa yang dinamakan pasukan Gwe-thok-lam yang terdiri dari 3000 orang juga. Pasukan itu merupakan pasukan tandingan bagi Gi-lim-kun. Ini sebenarnya menyalahi undang-undang, tapi mengapa pihak kerajaan tinggal diam saja? Tentang ini .... ini, ai, mengapa kau mengurus? Kau toh bukan perdana menteri, karena kehabisan jawaban, Ut-ti Lam balas bertanya. Kata-katamu itu salah lagi, kalau raja saja tak mau mengurus apalagi seorang perdana menteri? Kerajaan mempunyai undang-undang, tentara memiliki peraturan. Tetapi siapakah diantara Ciat- tosu itu yang memerintah dengan menurut undang-undang? Siapakah mereka itu yang tidak korup, tidak menindas rakyat? Pajak yang dipungut oleh Tiang Seng-su, lipat tiga kali dari apa yang ditetapkan oleh pihak kerajaan. Paling akhir ini untuk mengawinkan anak lelakinya, Tian Seng- su telah menggunakan uang negara membeli bingkisan kawin. Apakah kau tahu akan hal itu? Baik, aku tak seharusnya mengurusi, tapi apakah raja sudah mengurusnya? Ut-ti Lam menghela nafas, ujarnya: Hatikupun berontak-rontak seperti perasaanmu, tapi apa daya. Mereka mempunyai tentara, karena itu, karena itu ..... Karena itu maka pihak kerajaan tak dapat bertindak. Yang dapat ditindak hanya kawanan begal kuda macam aku ini, bukan? Ha, jangan berputar terlalu jauh, kita kembali pada persoalan semula saja. Kau tadi hendak menjelaskan alasanmu merampas antaran kuda, mengapa lantas membelok memaki-maki pada Coat-to-su? akhirnya Ut-ti Lam memberi peringatan. Kata si anak muda: Rupanya kau masih tak mengerti. Apa yang kukatakan tadi, adalah merupakan alasanku. Coba renungkan, dalam suasana dimana para Ciat-to-su berebutan minta daerah otonom agar mereka dapat merajai daerahnya, terus terang saja, perintah-perintah dari rajamu itu tak laku lagi di luaran. Kami adalah kawanan penyamun yang menjalankan amanat penderitaan rakyat, apakah hal itu merugikan pada rajamu? Jika ada yang merasa dirugikan karena tindakan kami itu, paling-paling hanya para Ciat-to-su setempat dan anak buah mereka saja. Bukankah hal itu malah menguntungkan bagi kerajaan? Pasukan Gi-lim-kunnya tidak berani menempur mereka, tetapi kami berani. Tiga ratus ekor kudamu yang kurampas itu, sekarang sudah kugunakan untuk menempur 'pasukan' Gui-pok dan Lo-ciu. Secara tak langsung, kami membantu rajamu untuk mematahkan kekuatan Tian Seng-su dan Sik Ko. Jika rajamu mengetahui, seharusnya berterima kasih kepada kami, bukan? Ut-ti Lam terlongong-longong sejenak. Katanya: Meskipun keteranganmu itu agak berbelitbelit dan mendekati kebenaran, maka akupun takkan menyampaikan pada baginda. Aku hanya
menerima perintah dari Cin-toako untuk menangkapmu! Bagus, asal kau sudah mengakui kalau aku benar, itu sudah cukup. Tentang kita harus bertempur, itu lain perkara lagi, kata si anak muda. Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: Hai, aku mempunyai sebuah cara. Kita tak usah berkelahi, entah apa kau suka mendengarkannya? Dengan segala senang hati aku bersedia mendengar perintah Ciang-kun, sahut si anak muda dengan cekatnya. Lebih baik kau bawa anak buahmu menakluk pada kerajaan, itu lebih tepat. Aku sedia memberi bantuan agar Cin-toako dapat memasukkan kalian semua ke dalam pasukan Gi-lim- kun. Dengan begitu 300 ekor kuda itu anggap saja sebagai dihadiahkan padamu, takkan diusut lagi. Kelak apabila kerajaan hendak bertindak pada kawanan panglima daerah itu, kalianpun harus maju, kata Ut-ti Lam. Anak muda itu menengadah ke atas dan tertawa nyaring: Apakah kau pandang aku ini pantas menjadi pembesar negeri? Dahulu Thiat-mo-lek pun pernah juga menjabat sebagai San-ki-to-wi. Tapi akhirnya karena tak kuat menahan hinaan para menteri dorna, ia lantas melarikan diri. Aku ini seorang yang biasa menikmati kebebasan, mungkin lebih tak kuat menahan hati daripada Thiat- molek. Ciang-kun, aku hendak menghaturkan banyak terima kasih atas maksud baikmu itu! Ut-ti Lam tertegun beberapa jenak. Ia pun tahu juga akan riwayat Thiat-mo-lek. Jadi ia tak berani membujuk anak muda itu lagi. Pada lain saat ia menghela nafas, ujarnya: Sebenarnya aku ingin sekali mengikat persahabatan dengan kau, tapi karena aku diperintahkan untuk menangkapmu, apa boleh buat, marilah kita mulai. Silahkan mencabut pedangmu! Sebaliknya si anak muda malah menyarungkan pedangnya. Lalu tertawa: Terhadap musuh atau orang yang kubenci, aku baru menggunakan pedang. Karena kau berniat mengikat persahabatan dengan aku, mana aku tega melawanmu dengan pedang? Aku hendak bertangan kosong saja untuk menemani kau main-main barang dua tiga jurus! Hai, ini bukan main-main! seru Ut-ti Lam kebingungan. Ya, iya, aku tahu. Kau boleh menyerang sesukanya untuk melukai aku. Kalau sampai ketangkap, akupun takkan menyesali kau, tenang-tenang si anak muda menyahut. Ut-ti Lam menjadi agak dongkol, pikirnya: Tahu bahwa aku hendak menyerangmu dengan pian, kau masih mau melawan dengan tangan kosong. Bukankah itu berarti kau hendak memandang rendah padaku? Baik, baik, kusaksikan sampai dimana kepandaianmu dalam ilmu tangan kosong 'Gong-thinjip- peh-jim' itu, katanya kemudian. Wutt, ia lantas menyabat. Tapi dikarenakan ia 'sayang' pada anak muda itu jadi serangannyapun tak dengan tenaga penuh. Anak muda itu menggerakkan tubuh, punggung telapak tangannya menangkis pada batang pian, kemudian kedua jarinya menarik, katanya: Telah lama kudengar ilmu pian Ciangkun itu ternasyhur sekali, mengapa tak dikeluarkan? Tarikan jari itu telah membuat tubuh Ut-ti Lam terseret dua langkah. Sudah tentu bukan kepalang kejut Ciangkun itu, pikirnya: Bocah ini benar-benar berisi. Jika aku menyerang setengah hati, mungkin akan merugikan kemasyhuran ilmu pian dari keluarga Ut-ti. Segera Ut-ti Lam menyentakkan piannya dan anak muda itu pun tak kuat menyanggahnya lagi. Dengan To-jay-chit-seng-poh, ia menghindari sabetan pian. Diam-diam ia mengagumi: Ilmu pian warisan dari Ut-ti Kiong, benar-benar tak bernama kosong! Ut-ti Lam adalah keturunan dari Ut-ti Kiong, itu pahlawan yang termasyhur dari kerajaan Tongtiau. Dahulu sewaktu membantu baginda Li Si Bin untuk menaklukan daerah selatan dan utara, entah berapa banyak pahlawan-pahlawan musuh yang jatuh di bawah pian Ut-ti Kiong itu. Ilmu pian dari Ut-ti Lam itu berasal dari warisan pusaka keluarganya. Ilmu permainan pian Cui- mopian- hoat itu terdiri dari 64 jurus, semuanya bergaya dahsyat dan sebat. Di tempat sembunyinya In-nio mengikuti dengan penuh perhatian akan pertempuran itu. Walaupun ia percaya akan kepandaian dari pemuda tambatan hatinya itu tentu dapat mengatasi lawan, tapi tak urung hatinya turut kebat-kebit juga.
Ut-ti Lam juga terperanjat. Berulang-ulang mulut anak muda itu memuji ilmu pian hebat, namun sampai sebegitu jauh piannya itu belum berhasil menyentuh ujung baju si anak muda. Dari kakeknya (Ut-ti Kiong), Ut-ti Lam telah mewarisi dua macam ilmu kepandaian, Ilmu Cuimo- pian-hoat dan ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Dahulu kakeknya itu, ketika di Thing-ma-kau dengan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim telah berhasil merebut senjata Thiat-sok milik Tan Hiong Sin, itu pahlawan Hwa-kang-cat. Dengan begitu ia telah menyelamatkan jiwa baginda Li Si Bin sehingga namanya tersohor harum di seluruh negeri. Karena Ut-ti Lam agak lamban (tidak cerdas), maka ia balum dapat menyakinkan dengan sempurna ilmu warisan keluarganya itu. Ia kalah dengan kakaknya, Ut-ti Pak. Tapi itu bukan berarti ia tak lihay, karena bagaimanapun ia juga tergolong jago yang kosen. Bermula ia menertawakan si anak muda yang dianggap congkak sekali karena berani melawan ilmu pian dengan tangan kosong. Tapi setelah 10 jurus berlangsung, barulah Ut-ti Lam terbuka matanya bahwa ternyata 'di atas langit itu masih ada langit lagi' atau orang yang pandai masih ada yang lebih pandai lagi. Bukan saja dengan tangkas dan gesit si anak muda menghindar dari serangan pian, pun masih dalam kesempatan-kesempatan ternteutu ia dapat balas menyerang. Ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim dari si anak muda itu, ada beberapa bagian yang ia (Ut-ti Lam) belumpernah mempelajarinya. Diam-diam ia menilai kepandaian anak muda itu tak di sebelah bawah dari engkohnya, Ut-ti Pak. Tiba-tiba terlintas dalam ingatanya: Tiap-tiap kali engkoh gunakan Gong-chiu-jip-peh-jim untuk berlatih dengan aku, kira-kira pada jurus yang ke-50 ia tentu dapat merampas pianku. Tapi ia pernah memberi petunjuk padaku, begini: dalam keadaan terdesak bolehlah memikat lawan supaya mendesak maju dari tengah. Kemudian kita harus gunakan jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu untuk menghajar musuh. Bagaimana saktinya ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim musuh, asal ia bukan keturunan keluarga Ut-ti, pasti tak dapat menangkis serangan itu! Tapi pada lain kilas, ia berpikir lagi: Tapi jika kugunakan jurus yang ganas itu, anak muda itu pasti celaka, kalau tidak mati tentu terluka berat. Ah, sayang, bagaimanapun ia adalah seorang pemuda jantan! Karena rasa suka kepada si anak muda, untuk sekian saat sampai ia tak dapat mengambil keputusan. Tapi anak muda itu makin lama makin mendesak dan sekejap pula permainan sudah berlangsung sampai jurus yang ke-30-an lebih. Diam-diam Ut-ti Lam menjadi sibuk, pikirnya: Celaka, akan segera meningkat jurus yang ke-50. Kepandaian anak itu nyata lebih tinggi dari engkohku. Jika tak gunakan jurus itu, pianku pasti kena direbutnya nanti. Wah, runyam ini! Melihat sampai jurus ke-40 serangan pian lawan tetap tak terdapat lubang kelemahannya, anak muda itu makin kagum. Sekonyong-konyong dilihatnya Ut-ti Lam terhuyung-huyung dan di bagian tengah terbukalah suatu lubang. Terlintaslah pikiran si anak muda. Kalau terhadap orang lain, mungkin ia tak berani. Tapi ia cukup tahu Ut-ti Lam itu seorang gagah yang ketolol-tololan, ia mengambil keputusan hendak merebut pian tanpa melukai orangnya. Baru ia berpikir begitu, tiba-tiba Ut-ti lam berteriak: Awas! -- Pian disapukan dengan cepat sehingga seketika itu berubah menjadi ribuan sinar yang mengurung tubuh si anak muda. Sebatang Cui-mo-kong-pian yang beratnya tak kurang dari 64 kati, pada saat itu telah berubah menjadi sebatang pian lemas yang bergeliatan laksana seekor ular. Di dalam kelemahan mengandung kekerasan, di dalam kekerasan mengandung kelemasan. Sungguh sebuah permainan yang sukar diduga perubahannya. Itulah jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu yang sakti! Jurus itu diciptakan Ut-ti Kiong semasa ia sudah berusia tua. Permainan itu khusus diciptakan untuk menghancurkan ilmu bertangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Tidak termasuk dalam 64 jurus ilmu pian Cui-mo-pian-hoat. Mengenai hal itu ada sebuah kisahnya sebagai berikut. Setelah dengan tangan kosong Ut-ti Kiong dapat merampas senjata Thiat-sok dari panglima Wakong- cat yang bernama Tan Hiong-sin, kemudian berhasil juga menangkap hidup-hidup panglima itu maka termasyhurlah nama Ut-ti Kiong. Pada suatu hari ketika diadakan perjamuan besar di istana, Cin Siok-po bertanya padanya: Meskipun ilmu pianmu itu deras seperti air hujan, tapi masakan orang dengan tangan kosong tak dapat merampasnya?
Sudah tentu tak mungkin! sahut Ut-ti Kiong. Dan ilmumu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim, konon juga tiada yang menandingi di seluruh dunia. Apakah ilmu bertangan kosong itu benar-benar sakti dan dapat kaugunakan merampas senjata apa saja dari musuh? tanya Cin Siok-po pula. Kau adalah Toako-ku, sudah tentu aku tak berani membohongimu. Ilmu itu memang tiada orang yang dapat menandingi. Tapi aku sendiri sayang belum menyakinkan sampai sempurna. Jika bertemu dengan musuh yang sakti, belum tentu aku dapat merebut senjatanya. Misalnya sepasang Siang-kan toako itu, jika digunakan terhadap diriku, akupun tak berani menghadapi dengan tangan kosong saja, kata Ut-ti Kiong dengan terus terang. Ya, tapi bagaimana setelah kaudapat menyakinkan dengan sempurna? tanya Cin Siok-po. Ilmu itu sudah berabad usianya dan tiada habis sumber keindahannya. Jika memang sungguhsungguh sudah dapat mempelajari sampai sempurna, betapa lihaynya lawan, tetap akan terebut juga senjatanya. sahut Ut-ti Kiong dengan pasti. Maka tertawalah Cin Siok-po: Bagus, sekarang kalau umpamanya ada seorang yang paham akan ilmu permainan Cui-mo-kang-pian dan seorang lagi mahir akan ilmu Gong-jiu-jip-peh-jim itu, lalu siapakah yang akan menang apabila saling bertempur? Ut-ti Kiong garuk-garuk kepala dan menyahut: Aku sendiripun tak tahu! Sejak itu Ut-ti Kiong mengasah otak untuk menjawab pertanyaan Cin Siok-po yang sebenarnya hanya untuk mengolok-oloknya saja. Akhirnya ia berhasil menciptakan jurus Pat-hong-hong-i- hwetiong- ciu itu. Dan karena ia sendiri ahli dalam ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim, jadi ia dapat mengisi ciptaan baru itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan oleh Gong-chiu-jip- pehjim itu. Oleh karena bila jurus itu dikeluarkan musuh tentu terluka atau binasa, maka tadi Ut-ti Lam agak bersangsi. Dan setelah terpaksa mengeluarkan, si anak muda menjadi terperanjat juga. Ilmu permainan pian yang hebat! ia berseru memuji. Iapun mengeluarkan juga ilmu Gin-kangnya. Wut, ia enjot tubuhnya melambung ke udara, tapi sudah kasip. Pian telah menggubat paha kanannya dan oleh pemiliknya terus ditarik ke bawah. Ayo, jatuh, jatuhlah! teriak Ut-ti Lam. Ai, mungkin tidak! sahut si anak muda dengan tertawa. Sekonyong-kkonyong ia gunakan kaki kiri untuk mendepak lengan Ut-ti Lam. Suatu hal yang tak terduga sama sekali oleh Ut-ti Lam. Kaki sudah tergubat pian, mengapa masih dapat mendepak pula? Karena tak bersiaga, ujung kaki si anak muda tepat mengenai sasarannya. Seketika Ut-ti Lam rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pian dari tangannya. Dengan paha masih tergubat pian, anak muda itu berjumpalitan di udara dan dengan indahnya melayang turun ke tanah. Dengan berseri-seri tawa ia melepaskan ikatannya lalu menyerahkan pian itu kepada Ut-ti Lam. Merah padam wajah Ciangkun itu ketika menerima piannya. Sampai beberapa saat ia terlongong-longong. Orang she Bo, kali ini aku menyerah padamu! tiba-tiba ia berseru. Terima kasih atas kemurahan hati Ciangkun. Jika tidak, pahaku pasti sudah pincang. Pertandingan ini kita anggap seri saja, kata si anak muda. Tapi dengan sportif sekali Ut-ti Lam mengakui kekalahannya: Tidak, kaulah yang menang. Tadi aku tak menggunakan tenaga penuh untuk menarik pian, tapi kau pun dapat mendepak lenganku. Jika kau mendepak sungguh-sungguh, aku tentu terluka berat. Ya, aku cukup tahu akan hal itu, maka aku sungguh tunduk padamu dan mengaku kalah! Siapa kalah atau menang, tak usah kiranya kita perbincangkan. Yang penting dan menggirangkan ialah jika kita tak bertempur kita tentu tak saling kenal, sahut si anak muda. Seru Ut-ti Lam: Benar, mengikat persahabatan dengan seseorang seperti kau, aku merasa girang sekali. Walaupun karena itu harus kehilangan pangkat sampai tiga tingkat, tapi biarlah, tak apa! Si anak muda tertawa: Oh, jadi ketika menitahkan kau keluar kota Cin-ut telah mengatakan begitu padamu? Tapi rasanya tak perlu kau kuatir .....
Mengapa kuatir? Saudara Bo, rupanya kau menilai diriku kelewat rendah. Jadi pembesar negeri atau tidak, bukan halangan bagiku. Hanya saja karena keluargaku itu keturunan menteri yang banyak menerima budi kerajaan, jadi aku pun terpaksa tak dapat ikut kau menjadi penyamun, kata Ut-ti Lam. Ai, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku tahu kau ini bukan orang yang kemaruk harta dan gila pangkat. Tapi pada hematku, tak nanti Cin to-ut benar-benar akan mengajukan laporan pada pihak kerajaan untuk menurunkan pangkatmu, menerangkan si anak muda. Mengapa tidak? Ketahuilah bahwa Cin-toako itu seorang yang berhati besi. Jika kali ini aku pulang dengan hampa tangan, mana bisa ia tak menghukumku? Oh, mungkin kau tak mengetahui bahwa engkohmu dan Cin toako-mu itu mempunyai seorang sahabat karib yang bernama Thiat-mo-lek. Nanti jika pulang, bilang terus terang saja pada Cin to-ut bahwa kuda yang kurampas itu hendak kupersembahkan pada Thiat-mo-lek. Coba saja masakan dia berani mengirim laporan kepada kerajaan, kata si anak muda. Maksudmu dia lebih memberatkan persahabatannya dengan Thiat-mo-lek? tanya Ut-ti Lam. Bukan hanya itu saja. Jika ia berani mengirim laporan, pihak kerajaan tentu akan menitahkan ia untuk menumpas Thiat-mo-lek. Pihak kerajaan sudah tahu kalau ia bersahabat dengan Thiat- molek. Kalau ia melapor apakah ia tak takut rahasianya diketahui? Jika sampai terjadi hal itu, berarti ia akan terjepit dalam dua kesulitan, maju salah mundur keliru. Maka asal kau bilang terus terang, dia pasti takkan menghukummu, bahkan akan berusaha untuk melindungi kesalahanmu itu. Dalam kalangan pembesar, kenal akan istilah 'mengulur'. Sekarang kawanan berandal tumbuh dimanamana laksana cendawan di musim hujan. Asal ia mengatakan tak dapat menyelidiki golongan penjahat mana yang merampas kuda itu, masakan pihak kerajaan bisa berbuat apa-apa. Dan dengan berlalunya sang waktu, lama kelamaan peristiwa itu tentu sudah terlupakan. Ut-ti Lam seperti orang yang disadarkan dari mimpinya. Serta merta ia menyatakan terima kasih: Terima kasih atas advismu itu, sekarang aku hendak kembali. Kelak bila datang ke Tiangan, silahkan mampir ke rumahku, nanti kita minum arak sampai puas! Tapi tiba-tiba perwira itu teringat sesuatu, serunya: Tapi bagaimana kau dapat datang ke Tiangan? Ah, ya, hampir saja kulupa bahwa kau ini seorang penyamun. Si anak muda tertawa: Urusan di dunia ini sukar diduga lebih dulu. Siapa tahu pada suatu hari aku akan pesiar ke Tiang-an. Asal ciangkun tak kuatir menerima tetamu seorang penyamun, aku tentu akan berkunjung ke rumah Ciangkun! Ut-ti Lam tak menyahut melainkan terus berlalu. In-nio segera ajak Yak-bwe turun dari atas batu. Si anak muda buru-buru menyongsong mereka. Terima kasih kau datang kemari. Kukira ayahmu melarangmu karena tadi sampai sekian lama kutunggu kau tak datang, kata si anak muda dengan tertawa. Demi melihat Yak-bwe, ia lantas tanyakan diri nona itu. Ayahku tak pernah melarang aku. Adanya aku sampai datang terlambat itu karena di gedung Tian Seng-su telah terbit peristiwa besar, sahut In-nio. Peristiwa apa? tanya si anak muda. Nanti kuceritakan, sekarang lebih dulu akan kuperkenalkan kalian satu sama lain, jawab Innio. Kemudian ia perkenalkan Yak-bwe pada si anak muda. Setelah itu baru ia kenalkan si anak muda dengan Yak-bwe. Engkoh ini orang she Bo, namanya Se-kiat. Dia adalah anak murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek. Pamannya yang bernama Bo Jong Long, sembilan tahun yang lalu pernah datang ke tionggoan, pernah punya sedikit hubungan dengan Toan Khik-sia. Kini pamannya adalah To-cu (pemimpin pulau) dari pulau Hu-siang-to. Kedua anak muda itu tersipu-sipu saling memberi salam perkenalan. Kata Se-kiat: Apakah nona Su kenal pada Toan Khik-sia? Tertawalah In-nio: Tidak hanya terbatas dalam kenalan saja, bahkan dia .... Merah padam selebar muka Yak-bwe. Diam-diam ia mencubit In-nio. Nona ini segera berganti nada: Bukan hanya kenal saja, mereka berdua itu sahabat karib. Terus terang saja .... Mendengar In-nio berkata begitu, Yak-bwe menjadi sibuk lagi. Untuk mencegahnya sudah tak
keburu. Tapi untung In-nio lain tujuannya: Terus terang saja, kedatanganku kemari ini bukan karena hendak membantu semangatmu pada pertempuran tadi, melainkan karena hendak minta bantuanmu untuk urusan adik Yak-bwe ini. Silahkan berkata, asal aku dapat mengerjakan, tentu aku merasa senang sekali membantu, Sekiat menyahut dengan serempak. Urusan ini tidak memerlukan sedikit tenagamupun, kata In-nio, Dia hanya akan menanyakan keterangan tentang seseorang padamu. Siapa? Apakah Toan Khik-sia? tanya Se-kiat. Mendengar itu tertawalah In-nio: Tepat sekali! Memang Toan Khik-sia. Se-kiat agak heran, pikirnya: Kalau sudah kenal pada Toan Khik-sia, mengapa masih bertanya padaku pula? Rupanya In-nio sudah dapat membaca isi hati si anak muda, ujarnya: Kau pintar tapi keblinger. Adik yak-bwe kan seorang anak perempuan, meskipun kenal pada Toan Khik-sia, tapi juga tetap tak leluasa untuk bertanya pada sembarang orang. Ha, jadi kalian ini tak tahu akan alamat Toan siauhiap itu lalu minta tolong aku supaya bantu mencarikan! Tapi dengan sejujurnya saja, walaupun sudah lama kenal akan namanya, namun aku juga belum pernah bertemu muka dengan Toan siauhiap itu, kata Se-kiat. Yak-bwe agak kecewa oleh keterangan itu. Tapi urusan itu mudah saja dikerjakan. Kira-kira sepuluh hari lagi, para orang gagah dari dunia lok-lim bakal mengadakan pertemuan besar di puncak Kim-ke-nia. Di situ mereka hendak mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Beng-cu. Dengan Thiat-mo-lek, sudah sejak dua turunan Toan siauhiap mengikat persahabatan. Konon kabarnya masih ada sedikit hubungan famili. Sudah tentu pada waktu itu dia akan hadir. Nah, asal kalian ke sana kan bakal berjumpa dengan Toan- siauhiap, kata Se-kiat pula. Tapi kami tak leluasa untuk datang ke pertemuan besar itu, ujar In-nio. Ah, mudah saja. Asal kalian suka menyaru jadi pria dan pura-pura menjadi pengikutku, mengapa tak dapat masuk ke sana? kata Se-kiat. Tapi, jika sampai ketahuan orang, bagaimana? tanya In-nio. Banyaklah larangan-larangan yang digaris oleh kaum Hek-to, antaranya ialah terhadap bangsa hamba negeri yang coba menyelundup masuk ke dalam kalangan mereka. Tapi bukankah kau ini sahabatku dan nona Su itu kawan Toan Khik-sia? Taruh kata sampai ketahuan, Thiat-mo-lek pun pasti takkan menghalau kalian pergi. Malah siapa tahu dia bakal kegirangan sekali karena sudah kedatangan dua orang nona yang kosen. Rasanya tiada halangan untuk kalian datang kesana, menerangkan Se-kiat. In-nio menanyakan bagaimana pendapat Yak-bwe atas usul Se-kiat itu. Yak-bwe yang sudah sejak tadi tak buka suara, kini terpaksa bicara: Siasat itu memang bagus, tapi terpaksa memerlukan bantuan Bo-toako. Ah, jangan sungkan-sungkan. Apa yang perlu, bilanglah padaku, sahut Se-kiat. Kuterima usul Bo-toako tadi, tapi harap pegang teguh rahasia, akhirnya Yak-bwe mau menerimanya. Apakah Toan Khik-sia juga tak perlu diberitahukan rahasia itu, In-nio kembali menggodanya. Paling baik jangan memberitahukan padanya. Nanti saja bila aku ada kesempatan berjumpa padanya, aku, aku, ..... Ya, urusan kalian berdua itu memang sebaiknya kau sendiri yang menjelaskan padanya, kata In-nio. Se-kiat tampak melongo, rupanya kini ia sudah paham sedikit akan hubungan Yak-bwe dengan Toan Khik-sia. Harap nona jangan kuatir. Aku ini orang yang paling tak suka sembarang omong. Nah, baiklah, aku yang bertugas untuk memasukkan kalian ke sana. Urusan-urusan lainnya, terserah pada nona berdua, kata Se-kiat. Lalu sambungnya pula: Pamanku amat mengagumi Toan siauhiap. Setelah menginjak di bumi Tiong-goan sini, sebenarnya ingin sekali kumencarinya. Tapi karena tak tahu alamatnya, maka kutunda sampai sekarang. Kelak dalam gelanggang pertemuan
besar itu, kuharap nona Su suka memperkenalkan aku dengan Toan-siauhiap! Sayang malam ini kau tak pergi ke gedung Tiang Seng-su. Jika ke sana tentu dapat memberi bantuan pada Toan-siauhiap, kata In-nio. Oh, jadi peristiwa yang kaukatakan terjadi dalam gedung Tian Seng-su itu adalah perbuatan Toan-siauhiap? tanya Se-kiat. Ya, ia hendak memberi ancaman dan terpaksa berhantam dengan Yo Bok-lo, sahut In-nio. Kemudian ia menuturkan jalannya peristiwa itu. Se-kiat amat terpikat, serunya: Memang telah kudengar bahwa antaran mas-kawin Tian Sengsu ke Lo-ciu itu dibegal orang. Kiranya Toan-siauhiaplah yang melakukannya. Ha, sungguh hebat! In-nio tertawa: Eh, rupanya kau belum mengetahui bahwa nona yang akan dipinang Tian Sengsu untuk puteranya itu adalah adikku ini! Lalu In-nio menceritakan lagi tentang riwayat Yak-bwe dan lagi-lagi Se-kiat amat kagum. Sungguh jarang terdapat seorang nona yang berpambek luhur seperti nona Su ini. Ia tak kemaruk harta dan tak silau dengan kedudukan tinggi! pemuda itu memuji. Yak-bwe mengucapkan kata-kata merendah. Ia menerangkan harus kembali ke Lo-ciu dulu untuk menyerahkan kotak emas kepada ayah angkatnya (Sik Ko). Setelah itu baru ia dapat mengikut kedua anak muda itu ke gunung Kim-ke-san. Kalau begitu nanti sehari sebelum pertemuan itu berlangsung, kutunggu kalian di dusun Hu-liki di kaki gunung Kim-ke-nia sana. Dalam beberapa hari ini akupun masih akan mengerjakan sedikit urusan, kata Se-kiat. Demikian setelah saling berjanji, mereka lalu berpisah. In-nio mengawani Yak-bwe berjalan beberapa li. Dalam perjalanan itu, In-nio menuturkan tentang perkenalannya dengan pemuda Sekiat. Kini barulah Yak-bwe mengetahui bahwa kepergian sang sahabat ke Gui-pok itu selain menemani ayahnya (Sip Hong) pun memang hendak menemui Se-kiat. Pemuda itu telah memberitahukan kepada In-nio akan tantangan pertempurannya dengan beberapa orang tadi di gunung Pak-bong-san. Akhirnya dengan tak malu-malu lagi, In-nio mengatakan bahwa ia dengan Se-kiat itu sudah saling jatuh hati. Mendengar itu teringat Yak-bwe akan sesuatu, ujarnya: Tadi Bo-toako bermaksud hendak mengajak kita ke Kim-ke-nia, tapi bagaimana nanti kalau sampai kepergok? Ai, kau ini bagaimana? Tadi kan Bo-toako sudah mengatakan kalau sampai ketahuan, dia akan menerangkan pada Thiat-mo-lek bahwa aku ini seorang sahabatnya dan kau adalah kawan dari Toan Khik-sia. Jangan kuatir, tentu tak ada urusannya! sahut In-nio. Yak-bwe tertawa kecut: Ya, bo-toako tentu suka mengaku kau sebagai sahabatnya, tapi mana Toan Khik-sia suka mengakui aku sebagai kawannya? Sudah tentu ia tak suka mengaku kau sebagai kawan, karena kau adalah calon isterinya yang sudah dipancangkan sejak dalam kandungan! Ah, adik Bwe, sudahlah jangan berbanyak hati lagi. Pemuda idam-idamanmu itu adalah ibarat itik panggang, tak nanti ia dapat terban kemana-mana lagi! In-nio menggodanya. Huh, apa kau tahu dia telah salah paham padaku? bantah Yak-bwe dalam hati. Namun ia seorang nona yang keras kepala, jadi ia tak mau menceritakan peristiwa salah paham yang terjadi antara ia dengan anak muda itu. Setelah berjalan sementara li, In-nio terpaksa ambil selamat berpisah. Lebih dulu ia minta Yakbwe, setelah menyelesaikan urusannya, supaya terus datang ke rumahnya (In-nio) untuk bersamasama menuju ke dusun Hu-li-ki. Demikianlah Yak-bwe segera meneruskan perjalanan pulang seorang diri. Setibanya di gedung ayah angkatnya, Yak-bwe segera menyerahkan kotak-mas itu kepada sang ayah. Girang Sik Ko bukan kepalang. Tentang kepergian puteri angkatnya itu lagi, tak begitu dihiraukan. Hanya Sik hujin yang masih berat hati untuk berpisah dengan puterinya itu. Dikala hendak berpisah, nyonya yang baik itu bercucuran air matanya. Setelah susah payah membujuk dan berjanji kelak akan datang menjenguk lagi, barulah Yak-bwe dapat meredakan kesedihan ibu angkatnya itu.
Setelah periksa isinya, Sik Ko lalu menutup kotak-mas itu rapat-rapat, kemudian suruh juru tulisnya menulis sepucuk surat kepada Tian Seng-su. Surat itu dibubuhi stempel namanya (Sik Ko) dan berbunyi ringkas saja: Kemarin ada tetamu datang dari Gui, mendapatkan sebuah kotak- mas di dekat bantal Goan-swe. Kami tak berani menyimpannya lama-lama dan dengan ini kami haturkan kembali. Sik Ko suruh seorang kurir (pesuruh) untuk mengantarkan surat dan kotak-mas itu kepada Tian Seng-su. Menerima kiriman itu, pecahlah nyali Tian Seng-su. Sejak itu ia tak berani merencanakan untuk mencaplok daerah Lo-ciu. Bahkan, ia malah mempererat hubungannya dengan Sik Ko. Setelah tinggalkan gedung Ciat-to-su dan Lo-ciu, Yak-bwe terus menuju ke tempat kediaman In-nio. Kala itu ayah In-nio (Sip Hong) pun sudah pulang dari Gui-pok. In-nio telah menceritakan kepada sang ayah apa yang telah terjadi. Sip Hong girang sekali dengan kejadian itu. Biasanya orang yang paling dipujanya ialah Toan Kui-ciang. Bahwa Yak-bwe telah tinggalkan ayah angkatnya karena hendak mencari tunangannya yang ternyata adalah putera dari Toan Kui-ciang, sudah tetnu hal ini membuat Sip Hong amat gembira sekali. Ia ijinkan puterinya pergi ke Kim-ke-nia bersama Yak-bwe. Malah disamping itu ia menyampaikan juga sebuah berita kepada Yak-bwe, bahwa Yo Bok-lo sudah sembuh dari lukanya dan dengan beberapa anak buahnya sedang siap-siap mencari jejak Toan Khik-sia. Hal itu ia minta Yak-bwe sampaikan pada Khik-sia nanti. Kedua, Tian Seng-su sudah membatalkan urusan pernikahan puteranya dengan keluarga Sik Ko dan lap-jay (bingkisan kawin) yang dirampas orang itu tak diusutnya lebih jauh. Yak-bwe girang mendengar berita itu. Kemudian kedua gadis itu mulai berkemas. Karena tak berpengalaman, jadi In-nio yang mengajarkan Yak-bwe bagaimana caranya berdandan dan membawa sikap sebagai seorang pria. Sebentar saja Yak-bwe sudah dapat memahami. Waktu menghadap Sip Hong, ia menjadi terkejut dan tertawa gelak-gelak demi melihat kedua gadis itu berubah menjadi pemuda-pemuda yang bagus. Malam itu Yak-bwe tidur di rumah In-nio. Keesokan harinya mereka berangkat. Karena telah diperhitungkan, maka tepat pada waktunya, ialah sehari sebelum pertemuan di gunung Kim-ke- nia itu dilangsungkan, tibalah kedua pemudi itu di dusun Hu-li-ki. Di situ Se-kiat sudah menunggunya. Ia membawa banyak pengikut. Begitulah mereka segera mendaki ke atas gunung. Ce-cu atau pemimpin markas, Shin Thian-hiong, menyambut rombongan Se-kiat itu dengan istimewa. Dia sendiri yang perlukan menyongsong keluar dan memperlakukan mereka dengan hormat serta ramah sekali. Dari rombongan pengikut Se-kiat itu, In-nio memperoleh keterangan kalau mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh dari kalangan Hek-to. Malah ada beberapa orang yang mempunyai kedudukan sebagai Ce-cu. Diam-diam In-nio merasa girang. Baru setahun menginjak bumi Tionggoan, ia sudah berhasil menundukkan sekian banyak orang-orang gagah, sungguh hebat sekali! demikian diam-diam ia memuji Se-kiat. Maafkan kalau mataku sudah lamur, tapi rasanya kedua saudara ini belum pernah kukenal, kata Thian-hiong waktu menyambut rombongan Se-kiat. Yang dimaksudkan itu ialah In-nio dan Yak-bwe. Dengan tangkasnya Se-kiat memberi keterangan: kedua saudara ini adalah sahabat-sahabatku yang baru. Malah saudara Su ini juga menjadi kenalan Toan-siauhiap. Memang keduanya belum pernah mengembara keluar dan baru pertama kali ini ikut serta menghadiri rapat orang gagah dari dunia Lok-lim. Ai, sungguh beruntung sekali. Kita kaum Lok-lim adalah sekeluarga. Meskipun saudara berdua ini baru pertama kali datang, tapi kita anggap sebagai sahabat lama. Harap jangan sungkan, demikian Thian-hiong mengunjukkan keramah-tamahannya sebagai tuan rumah. Namun sekalipun mulutnya mengucap begitu, hati Ce-cu itu berpendapat lain. Pikirnya: Dalam dunia Lok-lim, jarang sekali terdapat tokoh-tokoh semacam mereka. Dari sikap dan wajahnya mereka berdua itu lebih pantas menjadi pelajar daripada kaum persilatan! Hanya saja karena Se-kiat yang membawanya, jadi Thian-hiong pun tak menaruh curiga apaapa. Sebaliknya bagi Yak-bwe, ia bermula mengira Thian-hiong tentu akan mengatakan apa-apa
tentang Khik-sia, tapi ternyata tidak. Karena tetamu-tetamu yang datang kelewat banyak jadi tuan rumah itu sibuk menyambut mereka dan tak membicarakan lagi perihal Khik-sia. Diam-diam Yakbwe merasa kecewa. Beberapa saat kemudian penuh sesaklah ruangan situ dengan orang-orang gagah dari segala aliran. Diantaranya tak sedikit yang sudah termasyhur namanya. Suasana pada saat itu tampak meriah sekali, sekalian orang sama bercakap-cakap dengan gembira. Hanya In-nio dan Yak-bwe sendiri yang merasa rikuh dalam penyamarannya itu. Mereka berdua duduk berdiam diri di sudut. Sampai sekian saat Yak-bwe memperhatikan setiap tetamu yang datang, namun belum juga kelihatan Toan Khik-sia muncul. Tiba-tiba ada seorang tetamu membicarakan diri Toan Khik-sia: Kabarnya Toan Khik-sia telah membuat geger di gedung Ciat-to-su Gui-pok. Benar-benar dia itu seorang jago muda yang jempol. Tapi heran, mengapa ia belum kelihatan datang? Mendengar itu buru-buru Yak-bwe alihkan perhatiannya untuk memasang telinga. Saat itu ada seorang tetamu lain yang berkata: Kabarnya ia seorang diri hendak menempur Hong-ho-ngo-pah, entah apakah ia keburu datang kemari atau tidak? Jangan kuatir saudara! kata seorang tetamu pula, Toan siauhiap telah bilang padaku, kalau tidak hari ini tentu besok pagi ia akan datang. Yang bicara paling akhir itu ternyata adalah tokoh persilatan yang termasyhur, Kim-kiam- cenglong To Peh-ing. Hong-ho-ngo-pah juga lihay. Apakah dengan maju seorang diri itu Toan-siauhiap tidak terlalu memandang rendah mereka? kata seorang lain. To Peh-ing tertawa: Kepandaian dari Hiantit-ku itu jarang sekali dicari keduanya. Turut pendapatku, ia lebih tangguh dari orang-orang yang lebih tua. Jangan lagi hanya lima benggolan Hong-ho (Hong-ho-ngo-pah), sekalipun ada sepuluh benggolan, rasanya ia masih dapat menanggulangi. Kalau ia bilang akan datang kemari, tentu datang! Ada beberapa tetamu yang tak kenal siapa Toan Khik-sia itu sama menanyakan pada To Pehing. Waktu mendengar bahwa Khik-sia itu putera dari almarhum pendekar termasyhur Toan Kuiciang, semua orang sama menyanjung puji. Kemudian waktu To Peh-ing menceritakan tentang peristiwa perampasan antaran mas-kawin dari Tian Seng-su, semua orang gagah yang berada di situ tak habis-habis memuji dan mengagumi. Ingin benar mereka melihat wajah jago muda itu. Yak-bwe girang sekali melihat bakal suaminya disanjung puji sedemikian hebatnya. Tapi dalam pada itu, ia pun memperhatikan juga bahwa ada sementara orang gagah yang tak puas dan iri hati pada Toan Khik-sia. Tiba-tiba terdengar orang berseru keras: Thiat ce-cu datang! Seorang lelaki yang bertubuh kekar gagah, bermata besar dan alis tebal, tampak melangkah masuk. Begitu melangkah pintu, ia segera berseru nyaring: Yang manakah Bo-tayhiap? Harap maafkan aku Thiat-mo-lek telah datang terlambat. In-nio dan Yak-bwe terkejut melihat Thiat-mo-lek itu. Kiranya dahulu Thiat-mo-lek itu pernah berkunjung ke rumah Sip Hong untuk mengobati lukanya. Pada waktu itu ia memakai nama Ong Siau-hek dan atas perantaraan Sip Hong telah mengaku sebagai orang sedesa dengan Sik Ko. Sik Ko percaya saja pada Sip Hong, tanpa menyelidiki lebih lanjut, ia terima Thiat-mo-lek menjadi wisu (pengawal). Pada masa itu Yak-bwe baru berumur 10 tahun. Boleh dikata setiap hari ia bersama In-nio mendapat pelajaran silat dari Thiat-mo-lek. Bahwa hari ini dapat berjumpa kembali dengan Thiatmo- lek, sudah tentu mereka menjadi girang. Ah, kiranya Thiat-mo-lek itu Ong Siau-hek dahulu. Jika siang-siang tahu akan dianya, tak perlu orang perantara lagi juga kita dapat datang kemari, pikir mereka. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat itu sudah lama saling mengagumi kemasyhuran nama masingmasing, tapi baru pertama kali itu mereka bertemu muka. Maka berbangkitlah Bo Se-kiat dengan serentak: Siaute adalah Bo Se-kiat itu. Untuk pujian 'tayhiap' tadi, siaute sungguh tak berani menerimanya! Thiat-mo-lek tertawa: Apakah menjadi penyamun itu tak dapat berbareng menjadi Tayhiap
juga? Bo-heng, dalam kalangan Lok-lim namamu sudah amat menonjol. Setiap sepak terjangmu, telah membangkitkan rasa kagum pada sekalian orang. Meskipun Bo-heng dianggap sebagai penyamun, tapi rasanya pantas disanjung sebagai pendekar yang menjalankan budi kebaikan. Tak terhingga rasa kagumku kepada Bo-heng! Peristiwa Se-kiat merampas iring-iringan kuda, telah menggemparkan dunia Lok-lim. Kini barulah semua orang mengetahui bahwa Se-kiat telah mempersembahkan kuda rampasan itu kepada Thiat-mo-lek selaku perkenalan. Sudah tentu semua hadirin sama memberi selamat kepada kedua pendekar itu. Jilid 3 Berkata Se-kiat: Berbicara tentang iring-iringan kuda itu, karena hal itulah maka aku berkenalan dengan seorang sahabat lagi. Kurasa Thiat-heng tentu kenal juga padanya. Se-kiat lalu menuturkan tentang pertempurannya dengan Ut-ti Lam yang berakhir dengan persahabatan itu. Mendengar itu Thiat-mo-lek bertanya. Se-kiat melambaikan tangan memanggil In-nio dan Yak-bwe, kemudian memperkenalkan kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek terkesiap, rasanya ia pernah kenal dengan kedua pemuda itu. Tapi untuk sesaat ia tak dapat membayangkan kemungkinan puteri-puteri dari Sik Ko dan Sip Hong akan menyaru jadi lelaki dan datang ke markas gunung situ. Sebaliknya In-nio dan Yak-bwe secara sembarangan saja telah memberitahukan nama samaran mereka. Eh, rasanya kita pernah bertemu, bukan? kata Thiat-mo-lek. In-nio tertawa: Ai, Thiat ce-cu mungkin sedikit khilaf. Kami berdua baru pertama kali ini keluar. Jika tak ada perjamuan besar ini, kami tentu tak mempunyai rejeki untuk bertemu dengan Thiat ce-cu! Ai, saudara terlalu sungkan. Kalian adalah sahabat Toan-hiante, berarti sahabatku juga. Jangan sebut-sebut tentang siapa Cianpwe dan siapa wanpwe segala, kata Thiat-mo-lek. Akupun sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan Khik-sia. Eh, bagaimana kalian dapat berkenalan dengan dia? Wajah Yak-bwe bersemu merah. Suatu hal yang membuat Thiat-mo-lek heran, pikirnya: Huh, mengapa pemuda ini begitu pemalu seperti anak perempuan? Belum membuka mulut sudah kemerah-merahan wajahnya! Melihat gelagat yang kaku itu, buru-buru In-nio yang lebih tua dan lebih banyak pengalamannya, merangkai suatu cerita kosong untuk mewakilkan Yak-bwe: Perkenalan kami dengan Toan siauhiap itu baru kira-kira sepuluhan hari lamanya. Itu waktu kami berpapasan dengan kawanan Bu-su dari Tian Seng-su. Karena mereka coba menggertak, maka kamipun segera melawannya. Mereka berjumlah banyak dan kami hanya berdua, sudah tentu kami kewalahan. Untung Toan-siauhiap kebetulan lewat disitu dan membantu kami untuk melabrak kawanan Bu- su itu. Dari keterangan yang kami peroleh, kawanan Bu-su itu memang diperintahkan Tian Seng-su untuk mengusut gerombolan yang merampas antaran mas-kawinnya. Setiap bertemu dengan orang asing, mereka tentu segera menahannya. Walaupun baru saja berkenalan tapi kami merasa cocok dengan Toansiauhiap. Dia mengatakan juga bahwa barang antaran mas-kawin Tian Seng-su itu dia dan kawanan orang gagah dari Kim-ke-nia yang merampasnya. Kemudian ia memberitahukan kami bahwa dia akan menuju ke gedung Tian Seng-su untuk meninggalkan ancaman. Sayang, karena kami masih ada lain urusan, jadi tak dapat membantu padanya. Tentang peristiwa Toan Khik-sia menyatroni gedung Tian Seng-su, memang Thiat-mo-lek sudah mendengarnya. Karena itu maka ia percaya akan keterangan In-nio tadi. Pada malam Toan-siauhiap menyerbu gedung Tian Seng-su, aku pun berada di Gui-pok. Sayang karena malam itu aku harus memenuhi tantangan Ut-ti Lam, jadi belakangan saja baru mendengarnya. Kabarnya malam itu Toan-siauhiap dapat melukai Yo Bok-lo, kata Se-kiat. Setelah mengacaukan gedung Tian Seng-su, Toan Khik-sia terus pergi ke lain tempat. Karena selama itu belum datang lagi ke Kim-ke-nia, jadi Thiat-mo-lek belum jelas akan jalannya
pertempuran malam itu. Ha, kiranya iblis tua itu masih belum mati. Dia adalah pembunuh ayahku, aku memang hendak mencarinya, kata Thiat-mo-lek kemudian dengan geram. Karena ia sibuk berbicara dengan Se-kiat tentang diri Yo Bok-lo, jadi lupalah sudah ia akan diri In-nio dan Yak-bwe. Demikianlah malam itu, di markas gunung Kim-ke-nia telah diselenggarakan suatu pesta perjamuan besar yang dihadiri oleh segenap orang gagah dari pelbagai aliran. Setelah perjamuan selesai, sekalian orang gagah itu dipersilahkan beristirahat. Oleh karena rombongan pengikut Sekiat itu berjumlah banyak, maka tuan rumah Shin Thian-hiong khusus menyediakan 10 buah kamar untuk mereka. Se-kiat pun memperlakukan istimewa kepada kedua nona itu. Untuk mereka berdua saja, diberinya sebuah kamar. Lain-lainnya setiap rombongan 4-5 orang diberi satu kamar. Karena pelayanan yang istimewa itu, rombongan pengikut Se-kiat itu sama menduga kalau In-nio dan Yakbwe itu tentu bukan tokoh sembarangan. Malam itu Yak-bwe gulak-gulik di atas ranjang, tapi tak dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi, Se-kiat mengetuk pintu kamar kedua nona dan menyuruh mereka bangun. Setelah cuci muka dan berdandan, kedua nona itupun keluar dari kamarnya. Masakan hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah akan dimulai? tanya In-nio. Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk menikmati keindahan matahari terbit, setelah itu Tay-hwe akan segera dibuka, menerangkan Se-kiat. Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: Tampaknya Shin ce-cu itu seorang yang kasar, tapi ternyata juga suka akan seni-keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya menikmati matahari terbit, itu menandakan seleranya akan seni. Yang dijadikan medan pertemuan itu, adalah sebuah padang dataran yang luas. Ketika In-nio dan Yak-bwe tiba, di medan pertemuan itu sudah penuh sesak dengan orang. Kala itu rembulan sudah condong ke barat dan fajar remang-remang mulai memancar. Beberapa jenak kemudian, gumpalan awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit di ufuk timur mulai memancarkan cahaya kemrah-merahan. Dan ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan. Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara mulai unjukkan wajahnya. Kabut awan yang berarak-arak buyar itu, karena ditingkah oleh sinar sang surya, memantulkan cahaya warna-warni bagai untaian pelangi. Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit di pagi hari itu. Kini barulah tahu Yak-bwe apa maksud Shin Thian-hiong mengundang sekalian tetamunya untuk menikmati matahari terbit itu. Kiranya pemimpin perjamuan itu hendak menghidangkan suatu pemandangan yang sesuai dengan nama gunung itu: Kim-ke-nia atau puncak ayam emas. Saat itu Thian-hiong menghadap ke arah barat, lalu menjura. Setelah itu berserulah ia dengan suara nyaring: Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan datang ke markas kami. Aku adalah seorang kasar dan tak pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja kuucapkan. Benar tidaknya, harap saudara-saudara sekalian suka memberi petunjuk. Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa. Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan itu? Kita adalah kaum yang berbicara dengan bahasa golok. Jika ingin mengatakan sesuatu, silahkan berbicara dengan terus terang, tak usah jual mahal seperti kaum wanita! Maka berkatalah Thian-hiong: Sejak saudara Ong Pek-thong menutup mata, dalam sepuluhan tahun ini perserikatan Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa saudara Ong itu menjabat pimpinan Lok-lim, akulah orang pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama kaum dan tidak tepat menjalankan kebijaksanaannya. Yang paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Lok-lim agar mengangkatnya setinggi langit. Rupanya diangkat menjadi pemimpin saja ia masih kurang merasa puas. Ia masih bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Lok-san untuk mendapat kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu, rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak perlu kubicara panjang lebar lagi. Hanya saja, tentang kesalahan saudara Ong menjadi pimpinan itu suatu hal, sedang tentang perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal lagi.
Turut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang pemimpin. Dalam masa sepuluhan tahun ini, karena tiada pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas kehilangan koordinasi untuk bantu-membantu. Kita banyak menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi, karena kita terdiri dari kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi seringkali tak terhindar dari bentrokan saling berebut daerah kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu sudah sering terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan, pun memperlemah persatuan, hingga memudahkan tentara negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati kita merasa sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah karena kita tak mempunyai pimpinan. Dengan alasan yang kukemukakan tadi, maka kuundang saudara-saudara sekalian hadir dalam pertemuan ini guna menyarankan seorang calon yang akan kita angkat menjadi pemimpin Lok- lim. Entah bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian? Bagus, Shin-toako, pidato pembukaanmu hebat benar. Hanya sayang sekali calon itu sukar didapatkan. Jika salah pilih, bukankah akan terulang lagi lelako Ong Pek-thong kedua? seru sementara hadirin. Mereka adalah golongan orang-orang yang liar atau bebas, maka dari itu mereka tak menyukai adanya pemimpin dan berusaha untuk 'mengguyur air dingin' atas pernyataan tuan rumah tadi. Tapi ada pula serombongan orang yang menyetujui: Memang kesukaran tentu ada, tapi itu bukan alasan untuk mundur. Pimpinan harus ada, untuk itu kita harus berhati-hati memilihnya. Shin-toako yang mengambil inisiatif menyelenggarakan pertemuan ini, jadi kebanyakan ia tentu sudah mempunyai pilihan calon yang tepat. Nah, suruh saja dia mengemukakannya! seru sementara orang pula. Terang golongan ini menunjang Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong, maka mereka pun berdaya untuk menindas golongan yang menentang tadi. Memang dalam rapat kawanan penyamun itu, tiada apa yang dinamakan tata tertib persidangan, misalnya pemungutan suara dan sebagainya. Karena tak ada suara yang menentang lagi, maka usul memilih calon pemimpin itu dianggap sudah diterima baik oleh sebagian besar hadirin. Kini semua mata ditujukan pada pimpinan rapat (Shing Thian-hiong). Suasana yang berisik tadipun mulai sirap. Maka berkata pula Thian-hiong: Benar, memang kita harus memilih orang yang tepat. Pada hematku, syaratnya ialah: pertama, harus lapang dada mengabdi kepentingan orang banyak; kedua, harus yang mempunyai kewibawaan; ketiga, mempunyai ilmu silat yang sakti dan keempat, harus ditinjau dari keturunan keluarganya. Yang kumaksud dengan keluarga di sini bukan golongan keturunan keluarga pembesar-pembesar korup, akan tetapi keturunan dari keluarga penyamun. Dalam anggapanku, hanya ada seorang yang mencukupi keempat syarat itu. Dia adalah Thiatmo- lek. Nah, saudara-saudara, aku majukan Thiat-mo-lek sebagai calon pemimpin Lok-lim! Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing segera menanggapi: Saudara-saudara, bukan maksudku hendak mengeloni Thiat-mo-lek hiantitku itu, tapi aku hendak berbicara apa adanya saja. Meskipun dia tergolong seorang dari angkatan muda, tapi ketenaran namanya sudah berkumandang di seluruh negeri. Pribadinya jujur dan bertanggung jawab. Tentang ilmu silatnya, ia telah mendapat pelajaran dari tokoh-tokoh yang termasyhur, misalnya Mo Kia Lojin dan mendiang Toan Kui-ciang. Tentang asal keturunannya, rasanya tak perlu diragukan lagi. Siapakah yang tak kenal akan nama Thiat- gunlun, ayah Thiat-mo-lek itu? Sewaktu Thiat-gun-lun masih berkecimpung dalam dunia persilatan, meskipun benar belum pernah menjadi pemimpin Lok-lim, tapi kemasyhuran namanya tidak dibawah kedua jago she Ong dan she Tou. Keempat syarat yang disebut-sebut Shin-toako tadi, Hiantitku Thiat-mo-lek itu memiliki semuanya. Apalagi pada masa ini ia sedang gagah- gagahnya, jadi pantaslah untuk menjabat pemimpin Lok-lim kita! Thiat-mo-lek mempunyai pergaulan luas sekali. Sebagian besar dari thau-bak Kim-ke-nia sama menunjangnya. Maka begitu Shing Thiang-hiong dan To Peh-ing selesai menyatakan pendapatnya, dari empat penjuru segera terdengar tempik sorak yang gegap-gempita. Tapi dalam pada itu, juga masih tak sedikit orang yang diam-diam sama kasak-kusuk. Mendadak ada seorang lelaki yang bermuka ungu berbangkit dan berseru keras: Masih ada satu hal yang saudara To lupa mengatakan, pada hal semua orang sudah sama mengetahuinya. Ialah
Thiat-mo-lek itu putera angkat dari Tou-leng pemimpin Lok-lim yang sudah almarhum. Jadi boleh dikata, Thiat-mo-lek itu berasal dari keturunan keluarga Lok-lim. Tetapi kiranya para saudara yang hadir di sini tentu sudah maklum bahwa antara orang she Ong dengan orang she Tou itu adalah musuh bebuyutan. Meskipun Ong Pek-thong sudah lama meninggal dunia, tapi sampai sekarang anak buahnya masih banyak. Walaupun semasa hidupnya Ong Pek-thong pernah berbuat kesalahan, tapi pada masa itu ia menjadi pemimpin Lok-lim, sudah tentu orang yang taat padanya juga banyak. Orang-orang itu sebenarnya tak ikut-ikutan bersalah. Apalagi kejadian itu sudah lampau, kalau diungkit-ungkit lagi tiada membawa manfaat apa-apa .... Belum ia menyelesaikan kata-katanya, Thian-hiong sudah serentak berbangkit dan menyeletuk: Memang tak ada orang yang hendak mengungkit hal itu! Tujuan dari pertemuan hari ini ialah hendak membuang kesalahan lama dan membangun lagi semangat persatuan baru. Apa perlunya kau menyinggung-nyinggung soal lama itu? Berkata si muka ungu tadi: Jangan Shin ce-cu keburu marah-marah dulu, bolehkah aku menyelesaikan kata-kataku tadi? Memang kurasa perlu untuk mengungkit hal tadi. Pada hematku, memang kuanggap Thiat-mo-lek itu pantas menjadi pemimpin kita. Tapi harap saudara-saudara suka merenungkan sebentar. Andaikata Thiat-mo-lek dapat menjalankan kewajibannya dengan bijaksana, hal itu baru belakangan dapat diketahui. Tapi yang nyata pada saat ini para pengikut Ong Pek-thong tentu sudah mempunyai ganjalan di dalam hati! Ucapan itu telah menimbulkan reaksi hebat dari golongan yang pro Thiat-mo-lek. Sudah tentu Thiat-mo-lek merasa tak enak sendiri. Sebenarnya ia pun sudah menduga tentang hal itu, tapi ia tak menyangka sama sekali bahwa akan ada orang yang akan mengatakan di depan umum. Hal itu menandakan bahwa pengaruh Ong Pek-thong itu masih kuat. Diam-diam Thiat- molek timbul niatan untuk mengundurkan diri dari pencalonan itu. Tapi baru ia hendak berbangkit untuk menyatakan penolakannya, tiba-tiba ada seorang lelaki menghampirinya dan menyuruhnya duduk kembali. Orang itu bukan lain ternyata adalah menantu dari Ong Pek-thong yang bernama Can Goan-siu. Isterinya atau anak perempuan dari Ong Pekthong yang bernama Ong Yan-ih dan sekarang pun menyertai suaminya datang ke tempat itu. Selagi Goan-siu mendudukkan Thiat-mo-lek, Yan-ih sudah berbangkit dari tempat duduknya dan berseru: Aku adalah anak perempuan dari Ong Pek-thong. Pada saat ayah menutup mata, aku selalu berada di sampingnya. Ayah menyatakan sendiri padaku bahwa ia merasa menyesal atas perjalanan hidupnya selama ini. Beliau meninggalkan pesan supaya kami seturunan menghapuskan permusuhan dengan keluarga Tou. Sekarang atas nama dari Ong Pek-thong dengan ini aku menyatakan menunjang sepenuhnya usul Shin ce-cu tadi. Aku setuju akan pengangkatan Thiat- molek menjadi pemimpin Lok-lim. Oh, kiranya bibi Ong juga turut datang kemari. Dengan pernyataannya itu tentu tiada orang yang menentang Thiat-mo-lek lagi, pikir Yak-bwe. Yak-bwe memang masih bersih pikirannya. Tetapi persoalan saat itu tak sederhana seperti apa yang dipikirnya. Benar dengan pernyataan Yan-ih tadi golongan oposisi dapat ditindas, namun hal itu bukan berarti sudah aman lancar dan tak ada oposisi lagi. Kembali si muka ungu tadi berbangkit lagi, ujarnya: Pesang yang ditinggalkan Ong Pek-thong pada detik-detik terakhir itu, hanya nona Ong saja yang mendengarnya. Aku tak berani mengatakan tak percaya, tapi setiap orang mempunyai cara berpikir sendiri-sendiri. Aku pun tak berani memberi jaminan bahwa pengikut-pengikut Ong Pek-thong dapat menerima keterangan nona Ong tadi dengan hati terbuka dan bebas dari ganjalan. Dalam pemilihan ketika ini, tak dapat hanya didasarkan persahabatan, lebih tak boleh hanya memandang akan ketenaran nama. Tetapi harus ditilik dari segala segi. Shin dan To kedua toako tadi mengusulkan Thiat-mo-lek, bukannya aku menentang, tapi alangkah baiknya jika diajukan lagi beberapa calon, agar sekalian hadirin dapat memilihnya. Dengan cara demikian rasanya mungkin pilihan itu akan memperoleh hasil yang memuaskan! Sampai dimana perhubungan Yan-ih dengan Thiat-mo-lek, semua orang sudah mengetahui. Ucapan si muka ungu itu terang hendak menyindir Yan-ih yang dituduh terpengaruh oleh hubungannya dengan Thiat-mo-lek. Sudah tentu Yan-ih gusar sekali, namun ia masih kuatkan
hatinya untuk menahan diri. Berkata Thian-hiong: Pada pertemuan ini, para saudara dipersilahkan menyatakan pendapat dengan bebas. Harap mengajukan calon sendiri-sendiri yang memiliki sifar-sifat pintar dan bijaksana, agar kita sekalian betul-betul taat. Memang dalam pemilihan ini, jangan hanya tergantung pada pencalonan seorang saja. Han-toako, siapakah yang hendak kau usulkan, silahkan mengajukannya! Segera ada seseorang berseru nyaring: Benar! Punya omongan harus diucapkan, ingin kentut lekas dihembuskan, tak usah eco-eco seperti ular kembang! Si muka ungu itu seorang yang tenang dan dingin. Apapun perasaan dalam hatinya, selalu tak kentara di wajahnya. Terhadap ucapan kasar dan cemoohan tadi, sama sekali ia tak menghiraukannya. Baiklah, sekarang aku hendak mengajukan seorang calon yaitu Thiat-koay Li. Nama Li-toako itu sudah bergema jauh di daerah utara dan selatan sungai, rasanya sekalian saudara tentu sudah mengetahui, bukan? demikian kemudian si muka ungu itu berkata. Dengan berbisik Yak-bwe menanyakan tentang tokoh Thiat-koay Li (Li si Tongkat Besi) yang disebut itu kepada In-nio, tapi In-nio gelengkan kepala tanda tidak tahu. Adalah seorang tetamu yang duduk di sebelah dan mendengar pertanyaan Yak-bwe itulah menjadi heran, katanya: Kalian tak kenal akan Thiat-koay Li? Dia adalah Li Thian-go, Congthaubak dari tujuh Ce (sarang bandit) di daerah Hopak. Sudah dua puluh tahun lamanya ia menjagoi dunia Lok-lim dengan ilmu permainan tongkatnya Loan-bi-hong-koay-hwat dari 72 jurus. Saudara berdua ini tentunya baru pertama kali ini keluar, bukan? Yak-bwe tertawa dan menghaturkan terima kasih pada orang itu. Sementara itu si muka ungu berhenti sebentar untuk menunggu reaksi dari para hadirin. Sesaat kemudian ia melanjutkan berkata: Dalam empat syarat yang disebutkan Shin-toako tadi, Li-toako itu telah memenuhi tiga. Sudah beberapa tahun Li-toako menjadi Congthaubak dari tujuh San-ce, selama itu dalam soal pembagian hasil ia tak pernah merugikan salah satu pihak. Terhadap orang sekaum, ia selalu memperlakukan dengan kebaikan dan keadilan. Boleh dikata ia dapat mengabdi pada kepentingan umum dan jauh dari mementingkan diri sendiri. Dalam soal kewibawaan dan kebijaksanaan, ia telah memiliki. Tentang ilmu silatnya, dengan ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat ia telah menjagoi daerah selatan dan utara sungai. Dalam hal ini rasanya tak perlu banyak memberi komentar lagi. Hanya sebuah syarat yang sayangnya ia tak menemui yaitu tentang keturunan keluarganya. Kakek dan ayahnya tak pernah menuntut penghidupan sebagai 'pedagang tanpa modal' (penyamun), jadi dia bukan dari keturunan keluarga Lok-lim. Kedudukannya dalam kalangan Loklim diperolehnya dari tongkat besinya itu, sekali-kali bukan warisan dari leluhurnya. Hanya saja menurut alam pikiranku yang dangkal ini, memilih seorang pemimpin Lok-lim tidaklah sama seperti raja hendak memilih menantu, harus meneliti keturunan keluarga apa segala. Dari keturunan Lok-lim atau bukan, rasanya bukan soal yang penting. Jika bicaraku ini keliru, harap Shin ce-cu memberi maaf. Dengan menunjukkan perbedaan antara pemilihan ketua Lok-lim dengan pemilihan seorang menantu raja, si muka ungu bermaksud hendak meniadakan syarat yang diajukan Shin Thian- hiong dalam hal keturunan. Di samping itu, ia singgung-singgung juga diri Thiat-mo-lek karena membonceng pada soal keturunan keluarga. Sekalian hadirin tak dapat menyelami maksud yang tersembunyi dalam ucapan si muka ungu itu. Yang diketahui mereka, karena kata-kta si muka ungu itu diucapkan dengan menarik sekali, maka mereka sama tertawa. Sebaliknya merah padamlah wajah Thian-hiong. Baru ia hendak berbangkit akan mengangkat bicara, To Peh-ing sudah membisiki telinganya: Shin-toako, harap kendalikan diri, jangan merusak suasana pertemuan ini! Kiranya Thiat-koay Li Thian-go itu termasuk golongan orangnya Ong Pek-thong, malah menjadi saudara angkat Ong Pek-thong. Hanya saja sewaktu Ong Pek-thong bersekongkol dengan An Lok-san, Thiat-koay Li tak mau ikut serta. Ini bukan karena ia gentar, melainkan ia akan
menunggu saat-saat yang tepat untuk bergerak. Memang ia lebih cerdik dari Ong Pek-thong. Kala itu ia sudah nebgetahui bahwa tindakan Ong Pek-thong yang salah itu tentu bakal membangkitkan rasa tidak puas di kalangan orang gagah. Kedudukan Ong Pek-thong sebagai pemimpin Lok-lim pasti tak dapat dipertahankan lagi. Maka ia mengambil sikap pasif saja dan memperkuat kedudukannya sebagai Congthaubak dari ketujuh San-ce. Baik kepada tentara negeri maupun kepada kerajaan Wi-yan (merk kerajaan yang akan didirikan oleh An Lok-san), ia tak mau membantu. Tapi sekalipun begitu, pada masa An Lok-san lagi jaya-jayanya, diam-diam Thiat- koay Li mengadakan kontak dengan Ong Pek-thong secara sembunyi-sembunyi. Kedatangannya ke pertemuan di gunung Kim-ke-nia sekarang dengan membawa harapan penuh bahwa ia niscaya akan memperoleh kedudukan sebagai pemimpin Lok-lim. Pada hakikatnya orang yang mencalonkan dirinya itu, adalah konco-konconya sendiri. ShinThian-hiong sudah mempunyai keterangan-keterangan lengkap tentang diri orang she Li itu. Sebenarnya Thian-hiong pun akan membeberkan rahasia hubungan gelap antara Thiat-koay Li dengan Ong Pek-thong, tapi To Peh-ing yang sudah kenal baik karakternya, buru-buru mencegahnya. Thian-hiong seperti orang disadarkan, pikirnya: Ya, benarlah. Aku tadi pun sudah menyatakan, bahwa urusan lama sebaiknya jangan dibawa-bawa lagi. Aku tak boleh memusuhinya hanya dikarenakan ia dahulu mempunyai hubungan rapat dengan Ong Pek-thong. Apalagi pada masa itu ia tak terang-terangan ikut pada Ong Pek-thong, jadi sukar untuk membuktikan jejaknya itu. Jika aku berkeras menentangnya, hadirin tentu menuduh aku menimbang berat sebelah. Hal ini sebaliknya tak menguntungkan diri Thiat-mo-lek. Tapi sekalipun Thian-hiong tak membeberkan, namun lain orang pun tahu akan gerak-gerik Li Thian-go itu. Seketika sekalian yang hadir sama hiruk membicarakan. Yang berdiri dari tempat duduknya dan berteriak-teriak adalah dari golongan Thiat-koay Li. Tapi kalau dibanding dengan penyokong Thiat-mo-lek, mereka itu masih belum seberapa. Setelah suara teriakan mereda, kembali ada seorang berbangkit dan berseru: Aku pun hendak mengajukan seorang calon. Yang hendak kucalonkan itu ialah Thiat-pi-kim-to Tang lo-ya-cu yang dalam Lok-lim namanya juga tak asing lagi bagi kita. Seorang tua bermuka merah yang tangkas segera berbangkit dan berkata: Ai, harap Nyo-lote jangan membuat buah tertawaan orang. Aku seorang tua yang sudah lama cuci tangan, mengapa mencalonkan diriku? Orang yang dipanggil she Nyo itu menyahut: Jahe makin tua makin pedas. Justru karena kau sudah tua dan sudah cuci tangan, maka tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kedua keluarga Tou dan Ong. Dalam menjalankan kewajiban tentu lebih adil bijaksana. Saudara-saudara sekalian, maafkan aku hendak bicara terus terang. Kulihat, pada masa ini sahabat-sahabat dari kalangan Hekto tak mempunyai kebulatan hati, jadi sukarlah rasanya untuk memilih calon yang benar-benar ditunjang dengan suara bulat. Maka daripada begitu, lebih baik kita meminta seorang tokoh yang sudah tua usinya untuk menjadi pemimpin kita. Thiat-pi-kim-to Tang kiam memang cukup ternama, maka kata-kata orang she Nyo tadi mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak-sorai yang gegap gempita. Mereka menyatakan mendukung. Tapi usia Tang Kiam itu sudah tua, maka ada beberapa orang yang sangsi apakah jago tua itu masih dapat memikul kewajiban. Mereka kuatir jangan-jangan orang tua itu nanti cuma menjadi semacam boneka saja. Maka karena itu jumlah penyokong-penyokongnya masih tetap kalah banyak dibandingkan dengan penyokong Thiat-mo-lek. Tang Kiam tetap menolak lagi, tapi karena terus-menerus didesak orang, akhirnya ia mau menerima juga dengan pertimbangan supaya dapat mendamaikan pertentangan di antara kedua golongan yang pro dan kontra itu. Baiklah, terserah saja pada sekalian hadirin. Tapi aku sendiri menganggap Thiat-mo-lek lah yang paling tepat! katanya. Dalam suasana berisik dari orang-orang yang sama memperbincangkan itu, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar dan tinggi hampir dua meter tampak berbangkit. Dengan suara nyaring seperti lonceng bertalu. Ia berseru: Aku pun hendak mengajukan seorang calon!
Waktu sekalian hadirin memandang ke arahnya, ternyata ia itu pemimpin kaum Lok-lim di pantai selatan sungai Tiangkang yang bernama Kay Thian-ho. Sekalian orang sama terperanjat. Pikir mereka: Kay Thian-ho itu seorang congkak, tak pernah tunduk pada orang. Ketika dahulu orang she Ong dan she Tou menjabat pemimpin Lok-lim, Kay Thian-ho itupun tak menjual muka. Kini ia hendak mengajukan seorang calon, entah siapakah tokoh itu? Rupanya Kay Thian-ho tahu apa yang dipikirkan sekalian orang itu. Ia tertawa nyaring: Harap saudara sekalian jangan meragukan. Walaupun ia baru setahun muncul di dunia persilatan, tapi ia sudah melakukan perbuatan-perbuatan yang menggemparkan! Berbagai reaksi timbul di kalangan hadirin. Ada yang menduga-duga siapa tokoh itu, ada pula yang tak mau main menduga tapi segera berseru menanyakan pada Thian-ho: Kay-toako, bilanglah lekas siapa calonmu itu! Sahut Kay Thian-ho: Pemuda gagah itu bernama Bo Se-kiat. Kiranya para saudara yang hadir di sini tentu sudah maklum bahwa aku orang she Kay ini tak mudah sembarangan memuji orang. Tapi hari ini aku benar-benar hendak berkata dengan sungguh-sungguh. Bo-hengte itu benar- benar tergolong tokoh sakti dalam jaman ini! Dia adalah murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek dan keponakan dari Tocu (pemimpin pulau) Hu-siang-to, Bo Jong-siang. Walaupun mereka tinggal di luar lautan yang amat jauh, tapi juga dapat digolongkan sebagai keturunan keluarga Lok-lim. Kiu-si-khek adalah seorang Koay-kiat (pendekar aneh) dari dunia Lok-lim pada masa permulaan kerajaan Tong. Karena baginda Sui-yang-te seorang raja yang Bu-to (lalim), maka sekalian orang gagah di seluruh negeri sama berontak. Kabarnya Kiu-si-khek itu juga bermaksud menceburkan diri sebagai raja. Tapi kemudian seorang sahabatnya yang bernama Li Ceng datang mengunjunginya dan memuji-muji kecakapan Li Si-bin. Sahabat Kiu-si-khek itu lebih lanjut mengatakan bahwa kegagahan, kecerdasan dan kewibawaan pemuda Li Si-bin itu benar-benar luar biasa. Dengan saingan seperti itu, impian Kiu-si-khek untuk mendapatkan tahta kerajaan tentu akan gagal. Mendengar itu Kiu-si-khek lalu ajak Li Ceng masuk ke daerah Thay-goan (Li Si-bin adalah putera Li Yan; Liu-siu dari Thay-goan). Di Thay-goan, Kiu-si-khek juga mempunyai seorang sahabat yang bernama Lau Bun-cing. Lau Bun-ding kenal juga pada Li Si-bin. Kiu-si-khek lalu minta pada Bun-cing supaya mengundang Li Si-bin berkunjung ke rumahnya. Ia (Kiu-si-khek) ingin bertemu muka dengan pemuda calon kaisar itu. Sambil menunggu kedatangan Li Si-bin, Kiu-si-khek main catur dengan Ui-san-khek, seorang tosu dari biara Thay-hi-kwan. Ui-san-khek itu juga seorang berilmu yang terpendam. Kebetulan pada waktu itu ia mertamu ke rumah Bun-cing. Waktu Li Si-bin datang, kedua orang itu terbeliak kaget. Li Si-bin ternyata seorang pemuda yang berparas agung, gagah dan berwibawa. Ketika Li Si-bin duduk melihat permainan catur itu, Ui-san-khek yang melihat tanda-tanda luar biasa pada pemuda itu, permainannya segera menjadi kacau. Serentak berdirilah ia, ujarnya: Aku menyerah kalah, aneh, posisiku tak dapat tertolong lagi! Tapi Kiu-si-khek juga menjadi lesu dan berbangkit menuju ke ruang belakang. Katanya kepada Li Ceng: Dia seorang cing-beng-thian-cu, sukar dilawan! Cin-beng-thian-cu artinya orang yang sudah ditakdirkan menjadi raja. Kemudian ia menyerahkan seluruh harta simpanannya kepada Li Ceng agar yang tersebut belakangan itu membantu sekuat-kuatnya pada perjuangan Li Si-bin. Ia sendiri akan menurut nasihat Ui-san- khek untuk menyingkir jauh ke seberang lautan, menjadi raja pulau Hu-siang-to. Kalangan Lok-lim juga kenal akan kisah Kiu-si-khek menyerahkan tahta kerajaan pada Li Sibin itu. Meskipun peristiwa itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu, namun kaum Lok-lim tetap masih menghormati pribadi Kiu-si-khek. Untuk sekedar mengemukakan ukuran nilainya, kedudukan Kiu-si-khek di dunia Lok-lim serupa dengan derajat Khong Cu dalam dunia sastrawan. Maka demi mendengar bahwa Bo Se-kiat itu anak murid turunan keempat dari Kiu-si-khek, sekalian hadirin sama membuka mata lebar-lebar. Berkata pula Kay Thian-ho: Dewasa ini para ciat-to-su berebutan daerah kekuasaan, keadaan rakyat amat menderita. Para orang gagah serempak bangun kembali, keamanan terganggu di sanaKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ sini timbul kekacauan. Dahulu dengan rela hati Kiu-si-khek menyerahkan gunung dan sungai (negara) pada Li Si-bin, siapa duga anak cucu orang she Li itu ternyata tak becus untuk menjaga warisan kerajaan leluhurnya! Mendengar pidato orang she Kay itu, sekalian orang gagah menjadi tergugah semangatnya. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan. Sesaat hening lelaplah suasana dalam medan pertemuan itu. Kay Thian-ho tertawa lalu melanjutkan pidatonya: Didalam suasana negara kalut ini, kita kaum Lok-lim juga harus memiliki pambek (cita-cita) dan pandangan yang luas. Sekali-kali jangan hanya berebutan daerah kekuasaan atau pembagian hasil rampasan saja. Yang akan menjabat sebagai pimpinan Lok-lim juga tak terbatas hanya cakap menghadapi serangan tentara negeri dan mampu mengatasi pertentangan di dalam kalangan kita saja. Lebih dari itu, kita masih harus melindungi rakyat jelata, membasmi kawanan raja kecil yang berupa panglima-panglima daerah itu. Makin besar kekacauan negara berlangsung, makin keraslah seharusnya kita gelorakan perjuangan kita. Ha, ha, peribahasa mengatakan: 'Yang berhasil akan menjadi raja, yang kalah lantas menjadi perampok'. Nanti apabila suasana sudah kembali aman, kita pun jangan terus-terusan menjadi penyamun! Bo-hengte adalah ahli waris dari Kiu-si-khek. Orangnya gagah dan pintar, mempunyai kewibawaan untuk mengemban amanat leluhurnya. Tahun ini saja dari apa yang dia lakukan, misalnya merampas antaran kuda, menyerbu Teng-ciu, menundukkan kawanan orang gagah dari 12 cui-ce (markas bajak) di telaga Thay-oh membantu meringankan penderitaan rakyat di daerah sungai Hong-ho yang dilanda banjir dan lain-lain, semua itu sudah cukup menggemparkan dan membuat orang kagum sekali. Maka menurut hematku, jika kita ingin melaksanakan suatu pekerjaan besar, haruslah kita memilih Bo-hengte itu menjadi pemimpin kita! Bergeloralah darah sekalian hadirin. Ada seorang lelaki berdiri dan berseru: Kami rombongan dari Im-ma-jwan ini pernah dijungkir-balikkan oleh Bo Se-kiat. Sementara aku sendiri orang she Nyo ini, juga pernah merasakan pil pahit (hajaran) dari dia. Tapi meskipun dikalahkan, aku tunduk setulus hati padanya. Karena dalam urusan tempo hari itu, pihak kamilah yang bersalah. Ia dapat mengemukakan alasan-alasan yang tepat hingga mau tak mau aku harus tunduk. Orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan kata-katanya pula: Kini atas nama segenap warga Im-ma-jwan, aku menyatakan dukungan sepenuhnya pada pencalonan Bo Se-kiat. Apakah nanti ia hanya menjadi pemimpin atau akan menjadi kaisar, kami akan taat padanya! Yak-bwe dan In-nio kenal orang itu sebagai si tinggi besar she Nyo yang bertempur dengan Sekiat di gunung Pak-bong-san tempo hari, tapi baru setengah jalan si tinggi besar itu lantas mengakui kesalahannya. Setelah kedua orang she Nyo dan Kay itu berbicara, hati sekalian orang meluap-luap penuh semangat. Tapi ada sementara orang juga yang gelisah, pikir mereka: Apakah ini bukan pemberontakan? Memang kaum penyamun itu terdiri dari dua golongan. Ada yang menjadi penyamun karena melihat ketidak-adilan dan kekacauan negara, jadi mereka terdiri dari orang-orang yang mempunyai pambek besar. Pun ada yang menjadi penyamun karena dorongan penghidupan. Untuk golongan yang terakhir ini, kebanyakan selalu menurut saja, tak berani memberontak. Maka berbangkitlah Se-kiat dari tempat duduknya. Kay-toako telah menjunjung begitu tinggi padaku, aku sungguh tak berani menerimanya. Apa yang diucapkan Nyo-toako tentang mau jadi raja apa segala itu lebih merupakan lelucon saja. Memang sekarang ini negara sedang mengalami kekacauan dan inilah saatnya bagi putra-putra ibu pertiwi untuk tampil membuat jasa. Kewajiban sebagai Bengcu (pemimpin) itu terlampau berat, aku tak dapat memikulnya. Tapi aku berjanji akan taat dan memberi bantuan sepenuh tenaga kepada Toako lain yang akan menjabat kedudukan pemimpin itu! Ucapan itu dinyatakan dengan nada yang gagah, tapi mengandung penolakan. Kaulah orangnya pemimpin itu! Ya, jangan menolak lagi! seru Kay Thian-ho dan beberapa orang. Didesak begitu keras, apa boleh buat Se-kiat tak mau membantah lagi. Ia terpaksa menerima
pencalonan itu. Jantung In-nio berdenyut keras, ia girang-girang kaget. Ya, mengapa tidak? Sekiat adalah jantung hatinya. Bahwa sang jantung hati menerima sekian besar dukungan, ia merasa girang. Tapi bila mengingat nanti bakal berebut melawan Thiat-mo-lek, In-nio merasa tak enak hatinya. Siapa lagi yang akan mengajukan calon? tanya Thian-hiong kemudian. Ia mengulangi beberapa kali tawaran itu, tapi tak ada yang menyahut. Baiklah. Sekarang ada empat calon Beng-cu yang diajukan. Thiat-mo-lek siau-cecu dari Yansan, Li Thian-go Congthaubak dari Ho-pak-chit-ce, Thiat-pi-kim-to Tang Kiam locianpwe dan Bo Se-kiat siau-tocu dari Hu-siang-to. Sekarang kita adakan pemilihan lagi yang manakah di antara keempat calon itu yang akan kita pilih menjadi Bengcu! kata Thian-hiong akhirnya. Tapi dengan cara bagaimanakah pemilihan itu dilakukan, ia sendiri bingung. Menurut cara yang sederhana, pilihan itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara. Siapa yang mendapat suara terbanyak, itulah yang menang. Tapi dengan cara begitu, akan makin tajamlah garis pertentangan antara golongan-golongan yang pro dan kontra. Benar suara terbanyak akan dapat menindas suara sedikit, tapi sifat-sifat kaum Lok-lim itu suka membandel. Jika mereka cuma tunduk dilahirnya saja, kelak kemudian hari tentu akan terbit perkara yang tidak-tidak. Di samping itu Thian-hiong sendiri mempunyai keinginan ialah mengharap Thiat-mo-lek yang menang. Tapi jika menilik gelagatnya, penyokong-penyokong Se-kiat itu tak kalah jumlahnya dengan pendukung-pendukung Thiat-mo-lek. Akhirnya tampillah seorang tua, Hiong Ki-goan locecu dari gunung Hok-gu-san. Serunya: Sekarang kita menghadapi empat calon yang sama-sama mempunyai dukungan kuat. Berbicara tentang soal kemasyhuran nama dan keluhuran pribadi, kesemuanya itu sukar untuk dinilai. Jika menilai buruk-baiknya atau kuat-lemahnya ilmu kepandaian mereka, pun dapat menyinggung perasaan. Turut pendapatku si orang tua ini, lebih baik diputuskan menurut cara lama saja. Pemimpin dari Hok-gu-san itu sudah berusia 70-an tahun. Ia sudah pernah turut dalam pemilihan Beng-cu sampai tiga kali, jadi sudah paham akan peraturan lama mengenai hal itu. Kalau begitu harap locianpwe memberi petunjuk pada kmi! seru Thian-hiong. Hiong Ki-goan berdehem sekali, lalu berseru: Sederhana saja, caranya ialah mengadu kepandaian. Sekarang ada 4 orang calon, maka harus bertanding 3 kali. Pertandingan- pertandingan itu diatur secara berturut-turut. Dalam setiap babak keluar tiga orang. Yang kalah akan kehilangan hak dipilih menjadi Beng-cu. Yang menang terus bertanding lagi dalam babak kedua. Pemenang dari babak kedua ini baru boleh memanggil pengganti atau boleh juga tak memerlukan penggantinya. Tetapi calon Bengcu yang berkepentingan itu sedikitnya harus keluar bertanding satu kali. Demikianlah peraturan itu, jelaskah? Thian-hiong berpendapat hal itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan saat itu. Meski bertanding itu dapat merusak hubungan, tapi kaum Lok-lim itu memang hanya menjunjung ilmu kepandaian saja. Bagi pemenang yang memiliki kepandaian sakti, orang-orang yang bermula menentang pencalonannya itu, tentu akan tunduk juga. Sekalian hadirin tak ada yang menentang usul Hiong Ki-goan itu. Karena itu Thian-hiong segera mengadakan pengundian. Hasilnya, dalam babak pertama Bo Se-kiat melawan Li Thian- go. Siapa yang menang akan maju dalam babak kedua melawan Tang Kiam. Thiat-mo-lek mendapat giliran yang terakhir. Segera Li Thian-go suruh wakilnya, Hucecu Tho Hou, untuk maju dalam babak pertama itu. To Hou mempunyai kepandaian istimewa dalam ilmu golok kilat. Perangainya kasar, dunia persilatan menjulukinya dengan sebutan Si Jagal. Dari golongan yang pro Bo Se-kiat, sebenarnya Kay Thian-ho yang akan maju tapi melihat pihak lawan hanya mengeluarkan seorang wakil cecu saja, maka iapun tak mau turun ke gelanggang. Tiba-tiba ada seorang tetamu menerobos keluar dan berseru dengan lantang: Lama nian kukagumi permainan golok kilat dari To-toako yang tiada tandingannya itu. Hari ini ingin sekali aku mendapat pelajaran barang beberapa jurus sajalah. Sekalian orang mengenal orang itu sebagai Li Beng, Cecu dari gunung Tong-pik-san. Seorang
tokoh yang termasyhur dengan permainan golok Pat-kwa-to. Bersama dengan To Hou, ia menikmati kemasyhuran nama sebagai jago golok dari daerah selatan dan utara. Sekalian hadirin tersirap kaget melihat jago Pat-kwa-to itu sengaja hendak menempur jago Gway-to (golok kilat). Tapi To Hou tertawa gelak-gelak, ujarnya: Aha, Li-cecu terlalu sungkan. Siapakah yang tak tahu bahwa golok Pat-kwa-to Li-toako itu merajai dunia persilatan? Aku merasa beruntung bahwa hari ini dapat berjumpa dengan Li-toako. Maka sudilah nanti Li-toako jangan pelit memberi pelajaran padaku! Suara yang bernada ramah itu sesungguhnya berisi suatu peringatan keras. Bahwasanya nanti jago she To itu akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih jempol dalam ilmu golok. Karenanya ia minta pada Li Beng supaya jangan sungkan-sungkan lagi. Sebagai jago kawakan, sudah tentu Li Beng mengerti kemana jatuhnya perkataan jago golok kilat itu. Selekas mencabut golol, iapun lalu mempersilahkan: To-toako adalah seorang tetamu dari jauh, harap mulai lebih dulu! Permainan To Hou itu disebut golok kilat karena ia menitikberatkan selalu turun tangan lebih dulu dengan cepat. Maka setelah mengucapkan sepatah kata minta maaf, iapun segera membuka serangan. Tring, tring, tring, dalam sekejap saja To Hou sudah berturut-turut melancarkan tujuh kali serangan. Sekalian orang yang melihat perkelahian itu menjadi berkunang-kunang matanya. Diamdiam mereka sama memuji dan mengakui kemasyhuran ilmu golok kilat To Hou. Sebaliknya permainan golok Pat-kwa-to dari Li Beng itu menitikberatkan pada kerapatan. Dengan menggunakan posisi kuda-kuda kaki Ngo-heng-pat-kwa, goloknya berkelebatan naik turun laksana hujan mencurah rapatnya. Empat-lima puluh kali serangan golok To Hou semua kena ditangkisnya. Demikianlah kedua jago gglok itu terlibat dalam suatu pertempuran yang dahsyat dan menarik sekali hingga berulang-ulang terdengarlah teriak-pujian dari sekalian hadirin. Li Beng mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah ujung goloknya, seolah-olah ujung goloknya itu dibanduli dengan benda yang beratnya seribu kati. Makin lama permainannya makin lambat, namun anehnya serangan kilat yang dilancarkan To Hou dengan bertubi-tubi itu tak mampu menembus lingkaran pertahanan golok Li Beng. Melihat itu Li Thian-go mulai merasakan gelagat tidak baik. Celaka! diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru ia mengeluh begitu, disana sudah terdengar Li Beng membentak keras: Kena! Li Beng gunakan jurus Hoan-chiu-liau-hun, yaitu balikkan tangan untuk memapas, ketika To Hou melintangkan goloknya hendak menangkis, tapi siku lengannya sudah kena termakan golok lawan. Jago golok kilat itu menggerung keras, golok dipindah ke tangan kirinya dan dengan kecepatan luar biasa, ia menghantam lawan. Setelah dapat melukai lawan, Li Beng menjadi kegirangan. Sedikitpun ia tak menyangka sama sekali bahwa lawan begitu bandel dan galak, baru saja lengannya terluka sudah balas menyerang dengan hebatnya. Dan memang tak kecewa To Hou mendapat gelaran Golok Kilat itu. Bagaimanapun Li Beng hendak berusaha menghindar, namun sudah terlambat. Bahunya pun kena termakan tabasan golok lawan, darah segera bercucuran keluar. To Hou dengan beringas masih akan menyerbunya lagi. Tapi syukur demi melihat lengan kanan Li Beng hampir putus, serentak berserulah Thian-hiong dan Thian-go: Berhenti, berhenti! To Hou deliki mata: Menang-kalah belum ketahuan, mengapa disuruh berhenti? Tapi setelah berkata begitu, ia rasakan lengan sendiri sakit sekali. Tadi karena getaran amarahnya, ia tak merasa apa-apa. Tapi setelah berlangsung beberapa menit kemudian, nyeri pada lengan kanannya itu menyerang dengan hebat. Bagaimanapun gagahnya, ia tetap seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging juga. Rasa sakit itu sampai menusuk ke ulu hati. Pertandingan ini adalah antara sesama kawan sendiri, sudah cukup bila ada yang kalah atau menang. Tapi babak ini anggap seri, perlu apa harus sampai ada yang mati? kata Thian-hiong. Li Thian-go mengangguk setuju: Ucapan Shin-toako itu bijak sekali. Babak ini anggap saja serilah. Menurut penilaian, kedua jago tadi sama-sama terluka. Tapi luka Li Beng hanya dibagian
pundak, tidak begitu berat. Sebaliknya To Hou terkutung lengan kanannya, suatu halangan besar baginya karena ia tak mahir bermain dengan tangan kiri. Jika pertandingan itu dilanjutkan, kemungkinan besar ia tentu akan kalah. Bermula Li Thian-go kuatir kalau pihak Se-kiat (Li Beng) tak setuju pertandingan itu dihentikan, sebab sudah jelas ia pasti akan menderita kekalahan dalam babak permulaan itu. Maka setelah Thian-hiong memberi pertimbangan seri, iapun lekas-lekas menyatakan persetujuannya. Karena menahan kesakitan, saat itu To Hou sudah mandi keringat dingin. Bila tak malu akan ditertawai oleh sekalian orang gagah dari berbagai penjuru, ia tentu sudah menjerit-jerit. Gelarannya ialah Si Jagal dan memang perangainya berangasan dan kasar. Tapi pada saat itu, terpaksa ia tak berani unjuk kegarangan lagi. Setelah dikeluarkannya keputusan seri, maka dari kedua belah pihak segera ada beberapa orang yang maju menghampiri kedua jago itu untuk mengobati dan menggotongnya keluar. Baru kedua jago yang terluka dibawa pergi, majulah di gelanggan situ si muka ungu tadi. Ia mencekal sebatang Tok-kah-tang-jin (orang-orangan tembaga berkaki satu). Saudara-saudara sekaum Lok-lim! Siapakah diantara kita yang tak pernah terguling di bawah ujung golok? Kita selalu menjunjung kebajikan dan keadilan. Kalau dalam pertempuran kita hanya terluka saja, itulah masih mujur dan kita tetap bersahabat. Aku disini hendak membantu pihak Li toako, sahabat manakah yang suka memberi pelajaran padaku? Biar nanti tubuhku berhias dengan beberapa liang darah juga aku akan tetap berterima kasih. Ternyata si muka ungu itu bernama Han Wi, seorang benggolan begal besar yang bekerja seorang diri. Karena ia seorang kuat peribadinya, marah girang tak kentara, maka orang persilatan menjulukinya dengan nama Leng-bin-hou atau Macan Bermuka Dingin. Senjata Tok-kah-tang-jin yang digunakan itu, beratnya ada 48 kati. Sebenarnya termasuk senjata berat juga. Tapi istimewanya sepasang lengan dari orang-orangan tembaga itu dapat digunakan untuk menutuk jalan darah orang. Senjata itu mempunyai tiga macam ciri yang khas, yakni: Berat, kasar, dan tangkas. Dan pemiliknya orang she Han itu, tentunya lebih lihay dari To Hou. Ucapannya tadi amat menusuk perasaan orang. Dari pihak Se-kiat sebenarnya sudah ada beberapa orang yang sedianya akan maju, tapi sama mengkeret nyalinya karena gertakan orang she Han itu. Adalah Kay Thian-ho yang tak dapat mengendalikan diri lagi. Tapi baru ia hendak tampil ke muka, tiba-tiba ada seorang lelaki tinggi besar dan berwajah gemilang seperti batu kemala, berbangkit dari duduknya dan berseru nyaring: Biarlah aku yang mohon pelajaran ilmu tutuk dari Han-toako! Orang-orang dari pihak Se-kiat terbeliak kaget melihat orang itu. Orang itu masih muda tapi bukan termasuk golongan mereka. Dia ialah Tian Goan-sin, suami Ong Yan-ih (puterinya Ong Pekthong). He, mengapa kau tak mau bersabar untuk membantu Thiat-mo-lek nanti? bisik Yan-ih kepada sang suami. Goan-siu mengepal tangan isterinya dan menyahut dengan pelahan: Demi untuk kepentinganmu! Yan-ih dapat memaklumi maksud suaminya. Kiranya ucapan orang she Han tadi samar-samar mengandung hinaan pada Yan-ih. Itulah sebabnya Goan-sin hendak membalaskan kemengkalan isterinya. Ia anggap pihak orang-orangnya Thiat-mo-lek sudah cukup jago-jagonya yang tangguh, kurang dia seorang rasanya tak terpengaruh. Dan lagi kalau ia memenangkan pertandingan ini, benar secara langsung Bo Se-kiat lah yang mendapat keuntungan, tapi secara tak langsung, karena pihak Li Thian-go kalah, jadi pihak Thiat-mo-lek pun mendapat keringanan juga. Han Wi kenal pemuda itu sebagai putera dari Li-mo-thau Tian Toa-nio. Diam-diam ia tergetar hatinya: Tian-toako, bilakah kau mengikat persahabatan dengan kaum Hu-siang-to? segera serunya dengan tertawa. Goan-siu menjawab: Hari ini adalah hari pemilihan Bengcu dan bukan untuk membicarakan hubungan persahabatan. Aku suka membantu siapa, itu urusanku sendiri, tak perlu kau hiraukan.
Bagaimana, apa kau hendak memilih seorang lawan lain? Amarah Han Wi menjadi meluap, pikirnya: Aku hanya takut pada ibumu, bukan kepadamu! Namun ia masih menguasai kerut wajahnya dan berkata dengan tenang: Ah, Tian-toako bergurau ini. Seorang yang membuka kedai nasi masakan takut didatangi pembeli-pembeli yang lapar. Hanya saja kita berdua ini cuma membantu pada sahabat saja, jadi urusan ini menjadi tanggung jawab kita berdua. Jelaskah kiranya Tian-toako akan kata-kataku ini? Goan-siu tertawa dingin: Jangan kuatir! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu untuk membunuh aku, tak nanti ada orang yang minta ganti jiwa padamu! Ah, bukan begitu, sahut Han Wi, Aku hanya hendak mengatakan bahwa dalam pertempuran itu nanti tentu sukar terhindar dari salah satu yang menderita. Maka lebih dulu kutegaskan di muka. Harap Tian-toako memberi maaf atas kekurang-ajaranku! Wut, begitu angkat Tok-kah-tong-jin ia lantas menghantam kepala Goan-siu. Goan-siu gunakan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala melintas matahari), ia berkelit sambil menusuk ke dada lawan. Tapi Han Wi juga tidak lemah. Trang, ia cepat menangkisnya. Kemudian tong-jin disapukan, lengan orang-orangan itu menutuk jalan darah di pinggang Goan-siu. Goan-siu miringkan tubuhnya sembari kirim tiga kali tusukan. Semuanya mengarah jalan darah yang berbahaya. Han Wi menjadi kelabakan melihat permainan pedang lawan yang begitu cepatdahsyat itu. Posisinya menjadi terdesak, dari menyerang kini ia berganti menjaga diri. Tok-kahtang- jin diputar dengan keras sekali. Tring, tring, tring, dalam sekejap saja tubuh orang-orangan tembaga itu penuh dengan lubang tusukan pedang. Bagian-bagian yang tertusuk itu banyak yang gempil tapi karena berat senjata itu ada 48 kati dan tebalnya beberapa dim, jadi pedangpun tak dapat menembusnya. Apalagi pedang yang digunakan Goan-siu itu hanya pedang Ceng-kong-kiam biasa. Ujung pedang itupun menjadi tumpul juga. Ilmu pedang dari Goan-siu itu dititik-beratkan pada kecepatan dan kekerasan. Sebenarnya bukan maksudnya hendak adu senjata. Sedapat mungkin ia hendak menusk tubuh lawan tanpa terbentur dengan senjatanya (Han Wi). Tapi permainan Han Wi itu tangkas sekali. Kemana Goansiu menusuk, disitu tentu sudah disongsong dengan Tok-kah-tang-jin. Orang ini menggunakan Tang-jin sebagai perisai, aku tak mampu melukainya, ah, bagaimana aku dapat membalaskan kemengkalan Yan-moay? akhirnya Goan-siu merasa putus asa. Sebaliknya diam-diam Han Wi bergirang hati, pikirnya: Ilmu pedangmu meskipun hebat, tapi kau ini hanya seorang berani tapi tanpa punya siasat. Bagus, akan kubiarkan kau unjuk kegarangan menusuk sepuas-puasmu. Nanti setelah pedangmu putus, awaslah jiwamu! Tengah Han Wi membayangkan kemenangan itu, tiba-tiba Goan-siu menggerung keras. Begitu menyarungkan pedang, mendadak pemuda itu lantas menghantam dengan tinjunya. Pukulan itu tepat mengenai punggung Tok-kak-tang-jin. Blak, terdengar suara keras dari logam yang dipalu. Saking dahsyatnya pukulan itu, tok-kah-tang-jin terpental balik ke arah pemiliknya. Begitu keras pukulan itu hingga Han Wi tak dapat menguasai senjatanya lagi. Tok-kah-tang-jin berbalik menghantam keningnya sendiri. Darah memuncrat, robohlah jago she Han itu .... Sepintas pandang tindakan Goan-siu itu amat berbahaya sekali. Tapi sebenarnya ia bertindak dengan memakai perhitungan yang tepat. Jelas dilihatnya bahwa dalam hal tenaga, Han Wi kalah dengan dia. Itulah sebabnya ia lantas memutuskan untuk menghantam. Tapi sekalipun ia berhasil merobohkan Han Wi, tinjunya juga melepuh begap. Masih Goan-siu belum reda kemarahannya. Sebelum Han Wi sempat loncat bangun, Goan-siu sudah injak punggungnya. Tian-toako, janganlah! Thiat-mo-lek buru-buru mencegahnya. Goan-siu tertawa dingin: Mengingat ada orang memintakan kasihan bagimu, kali ini biar kuampuni kau! Tapi waktu ia angkat kakinya, Han Wi sudah pingsan. Kiranya walaupun Goan-siu tak jadi mencabut jiwa pecundangnya, tapi ia sudah menginjak remuk perkakas dalam orang she Han itu. Nanti apabila Han Wi sembuh, pun ia bakal menjadi seorang cacad yang tak berguna lagi. Melihat itu gusar Li Thian-go bukan kepalang. Tanpa tunggu ada orang dalam rombongannya
yang maju, ia sudah lantas loncat kemuka: Orang she Tian, aku pun hendak minta pelajaran dari kau! Se-kiat tertawa: Ai, rupanya Li-cecu telah melupakan peraturan. Karena Tian-toako itu mewakili rombonganku, maka menurut peraturan pertandingan, ia hanya boleh bertanding satu kali saja! Kemarahan Li Thian-go sekarang beralih pada jago itu, tantangnya segera: Baik, kalau begitu biarlah sekarang aku meminta pelajaran padamu saja. Pihak Hu-siang-to kalian tentu berilmu sangat sakti! Se-kiat menyahut: Aku tinggal di lautan yang terasing, maka dalam pengetahuan amat dangkal sekali. Juga dalam ilmu kepandaian perguruanku, aku hanya memperoleh sedikit kulitnya saja. Mana aku berani menerima pujian Li-cecu itu? Kedatanganku kemari hanya untuk menambah pengetahuan tentang kepandaian yang mengagumkan dari sekalian sahabat-sahabat gagah. Telah lama kudengar ilmu permainan tongkat Li-cecu yang disebut Loan-bi-hong-kuay-hwat itu merupakan ilmu sakti yang tiada taranya di dunia persilatan. Sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat berjumpa dengan Li-cecu, maka hendaknya sukalah Li-cecu memberi pelajaran barang beberapa jurus saja dari permainan tongkat yang sakti itu. Habis berkata ia lemparkan pedangnya lalu menghampiri sebatang pohon besar. Dengan tangan kosong ia tabas sebuah dahan, lalu dipotong-potongnya sehingga merupakan sebuah tongkat dari satu setengah meter panjangnya. Sekalian orang yang menyaksikan tenaga pukulan anak muda itu sedemikian hebatnya, sama tercengang-cengang. Lalu Se-kiat kembali ke tengah gelanggang dan tegak berdiri menghadapi Thian-go, serunya: Silahkan Li-cecu memulai! Kini baru mengertilah Li Thian-go bahwa si anak muda itu hendak melawannya dengan tongkat kayu saja. Seketika meluaplah amarahnya, anfsu pembunuhan menyala-nyala di wajahnya. Sebagian dari penyamun-penyamun yang hadir dalam pertemuan itu belum pernah kenal siapa Se-kiat itu, mereka bersangsi dalam hati: Meskipun anak muda itu anak murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek, tapi usianya masih begitu muda. Taruh kata begitu lahir ia sudah belajar silat, masakan ia dapat mengatasi Thiat-koay Li. Apalagi ia begtu congkak hanya memakai dahan pohon untuk melawan tongkat besi. Bukankah ia seperti ular cari gebuk? Selagi sekalian hadirin mengkuatirkan diri Se-kiat, disana Thian-go kedengaran membuka suara dengan dingin: Karena Bo-heng hendak menguji permainan tongkatku, terpaksa akupun akan mengunjuk permainan yang jelek itu! Thian-go benci kepada si anak muda yang begitu memandang rendah padanya. Maka begitu membuka serangan, ia sudah gunakan jurus yang keras sekali. Sekejap saja tongkat besi itu sudah berubah menjadi lingkaran sinar yang menderu-deru seperti badai. Se-kiat tak mau menghindar, sebaliknya ia angkat tongkat kayunya untuk menangkis. Sekalian orang hampir menjerit kaget. Mereka yakin tongkat anak muda pasti hancur dan orangnya tentu kena terhantam. Tapi aneh bin ajaib, bukan tongkat kayu si anak muda yang patah, sebaliknya tongkat besi Thian-go yang terpental. Thiat-koay Li penasaran dan ulangi hantamannya sampai tiga kali, tapi setiap kali tongkat besinya itu selalu terpental waktu berbenturan dengan tongkat kayu si anak muda. Serangan Thiat-koay Li yang dilancarkan dengan ngotot itu hanya ditangkis seenaknya saja oleh si anak muda. Setiap serangan selalu dapat dipatahkan dan kalau tongkat besi terpental adalah tongkat kayu itu tetap utuh tak kurang suatu apa. Hal itu telah menimbulkan kegemparan hebat di kalangan hadirin. Mereka tak habis-habisnya menyatakan keheranannya. Jangan-jangan anak itu mempunyai ilmu sihir. Tongkat besi dari Thiat-koay Li dapat menghancurkan batu dan meremukkan kepala orang. Mengapa tongkat kayu anak muda itu tak kena apa-apa? kata sementara hadirin. Benarkah Se-kiat menggunakan ilmu sihir? Tidak! Ia hanya mahir dalam ilmu lwekang. Semuda itu usinya namun ia sudah dapat menyakinkan lwekang dengan sempurna. Tadi ia telah gunakan apa yang disebut tenaga menyedot. Memang tampaknya ia adu kekerasan tapi sebenarnya ia telah dapat memperhitungkan datangnya serangan lawan dengan tepat. Begitu meerima pukulan,
ia terus saja 'menyedot' tenaga lawan. Paling sedikit 7-8 bagian dari tenaga Thiat-koay Li telah kena disedot, sehingga tak heranlah kalau tongkat kayu si anak muda tak menderita apa-apa. Kau mengatakan hendak adu ilmu tongkat, tapi mengapa tak balas menyerang? seru Thiatkoay Li. Se-kiat tertawa: Aku adalah tetamu dari jauh, sudah sepantasnya mengalah sampai tiga jurus. Habis itu ia lantas putar tongkat kayunya untuk menyerang. Dan jurus yang digunakannya juga ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat bagian it-lat-ciang-cap-hwe (tenaga satu menindih sepuluh). Sudah tentu kepandaian Thiat-koay Li lebih tinggi dari kawanan tetamu yang berteriak-teriak keheranan tadi. Tahu kalau lwekang si anak muda lebih tinggi, sengaja ia menyuruh lawan balas menyerang. Dan bahwa si anak muda mau menyerang, apalagi gunakan jurus Loan-bi-hong- koayhwat, diam-diam ia heran tapi girang juga. Jurus it-lat-ciang-cap-hwe itu, adalah jurus untuk adu kekuatan. Thiat-koay Li bertenaga besar, jadi ia girang dengan serangan itu, maka ia pun segera gunakan jurus serupa it-lat-ciang-cap-hwe untuk menyambutnya. Trang, terdengar benturan keras. Anehnya, tongkat kayu Se-kiat tetap tak patah, sebaliknya tongkat besi Thiat-koay Li tak dapat dikuasainya lagi, turut berputar-putar dibawa tongkat si anak muda. Kiranya tenaga Se-kiat yang keras itu mengandung kelemasan, jauh lebih tinggi dari kepandaian Thiat-koay Li. Setelah berbentur, Se-kiat lalu ganti menggunakan lwekang 'memutar'. Ia melancarkan tenaga, kemudian meminjam tenaga lawan untuk mengendalikan lagi, cara ini adalah termasuk lwekang sakti yang disebut 'pinjam tenaga mengembalikan tenaga'. Sudah tentu Thiat-koay Li tak berdaya lagi. Masih untung Se-kiat tak mau membikin celaka lawan. Setelah memutar beberapa kali, ia lantas tarik pulang tongkatnya. Ujarnya dengan tertawa: Loan-bi-hong-koay-hwat dari Li-cecu benar-benar luar biasa, aku hendak mohon pelajaran lainnya lagi. Sebenarnya Thiat-koay Lo harus mengakui kekalahannya. Tapi kalau ia berbuat begitu, berarti habislah harapannya untuk maju ke babak kedua. Apa boleh buat ia tebalkan muka dan pantang menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia lantas menyerang lagi dengan permainan Loan-bi-hong- koayhwat. Se-kiat memang bermaksud hendak menggodanya. Lawan gunakan jurus apa, ia pun gunakan jurus itu. Ilmu permainan Thiat-koay Li disebut 'loan-bi-hong' atau angin puyuh, sudah tentu gerakannya amat cepat sekali. Tapi ternyata Se-kiat dapat memainkan lebih cepat lagi dari dia. Jangan lagi dapat melukai atau menghantam tongkat kayu lawan, sedang ujung baju si anak muda itu saja Thiat-koay Li sudah tak mampun menyentuhnya. Selagi mata sekalian penonton puder karena gerak-gerik kedua jago itu secepat bayangan, tibatiba Thiat-koay Li loncat keluar dari gelanggang. Bluk, tongkat besinya dibuang ke tanah, lalu memberi hormat dengan kedua tangannya: Terima kasih atas kemurahan hati Bo-heng, aku orang she Li menyerah dengan sepenuh hormat! Se-kiat buru-buru membalas hormat. Diambilnya tongkat besi, lalu diserahkan kepada si pemilik Thiat-koay Li. Memang kecuali Thiat-mo-lek, To Peh-ing, Tang Kiam, Kay Thian-ho dan beberapa tamu yang lihay, lain-lain orang tak mengerti mengapa Thiat-koay Li lompat keluar dan menyerah kalah itu. Kiranya setelah Thiat-koay Li habis memainkan jurus permainan tongkatnya sampai jurus yang terakhir, dengan kecepatan luar biasa Se-kiat segera menusuk robek dada bajunya. Coba anak muda itu mau berlaku kejam, dada Thiat-koay Li pasti amblong. Sampai disitu barulah Thiat-koay Li insyaf bahwa kepandaian lawan memang jauh beberapa kali lebih lihay dari dirinya. Mau tak mau senang tak senang terpaksa ia harus menyerah kalah juga. Menurut peraturan pertandingan, babak kedua nanti akan dimajukan oleh pihak jago tua Thiatpi- kim-to Tang Kiam lawan pemenang dari babak kes atu yakni pihak Se-kiat. Pendukungpendukung dari Tang Kiam kebanyakan adalah golongan Locianpwe (jago tua) yang sudah ternama di dunia persilatan. Untuk pertandingan pertama dari babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam mengajukan Wi-tin- hoKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ sok Ban Liu-tong, sedang di pihak Se-kiat menampilkan Kay Thian-ho. Ban Liu-tong bergelar 'Wi-tin-ho-sok' atau perbawa menggetarkan utara sungai. Sudah tentu ia memiliki kepandaian yang istimewa. Tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebatang tombak ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan. Di dalam dunia Lok-lim ia termasuk tokoh kelas berat. Tetapi sayang ia sudah berusia tua, lebih tua dua tahun dari Tang Kiam. Sebaliknya lawannya: Kay Thian-ho, dalam usia sedang gagah-gagahnya. Dalam kekuatan tenaga, Thian-ho jauh lebih menang dari lawan. Maka waktu pertandingan mencapai jurus yang ketiga puluh, dengan jurus Latbi- hoa-san (dengan tenaga penuh menghantam gunung Hoa-san) ia hantam Liu-tong. Jago tua itu tak kuat menangkis, hampir saja ia terhuyung jatuh. Thian-ho tetap menghormati sang lawan itu sebagai seorang cianpwe. Buru-buru ia buang goloknya terus merangkul lawannya supaya jangan jatuh. Tapi Liu-tong juga seorang jago tua yang sportif. Ia mengatakan tadi memang Thian-ho sengaja jatuhkan senjatanya sendiri, bukannya kalah. Dengan serta merta jago tua itu menyatakan dirinyalah yang kalah. Sekalian orang gagah yang menyaksikan kesudahan pertempuran itu sama memuji keperwiraan kedua jago itu. Untuk pertandingan kedua dalam babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam sebetulnya akan keluar Say-coan-cu Siong Kam, seorang jago tua dari Beng-ciu. Tapi tiba-tiba Tang Kiam berbangkit mencegahnya: Siong-lote, akulah yang mengajakmu datang kemari. Masih ingatkah kau akan pembicaraan kita itu? Sahut Siong Kam: Itu waktu sebenarnya kau tak berhasrat datang kemari, kemudian kukatakan bahwa kita berdua itu sudah tua, sedikitpun tak mempunyai keinginan untuk kedudukan pemimpin Lok-lim itu. Tapi tak ada jeleknya kita hadir kemari untuk meninjau apakah di dunia Lok-lim dewasa ini terdapat tunas-tunas muda yang lihay. Tang Kiam tertawa: Benar! Oleh sebab itu maka kuminta sukalah kau duduk lagi untuk menonton saja! Tang-toako, sebenarnya memang harus begitu, tapi aku tak menyangka sama sekali bahwa ternyata masih terdapat banyak sekali sahabat-sahabat yang mengajukan dirimu. Jika sekarang kau hendak undurkan diri, bukankah akan membikin kecewa hari mereka? bantah Siong Kam. Tang Kiam menggeleng kepala, ujarnya: Setelah menyaksikan tadi bahwa tunas-tunas muda kita itu mampu mengganti dan bahkan lebih jempol dari kita angkatan tua, aku merasa girang sekali. Masakah aku masih mempunyai nafsu untuk turut berebut lagi? Tapi seperti kau katakan tadi, kitapun tak boleh mengecewakan harapan sahabat-sahabat kita itu maka baiknya begini sajalah. Untuk pertandingan ini, akan kuminta Bo-siauhiap mengunjuk kepandaian lagi. Coba saja aku si tua ini masih dapat melayani sampai berapa jurus? Dengan begitu, biarlah babak terakhir yang tentunya lebih menarik ini dapat segera dimulai dan lekas selesai pula. Ucapannya itu mengandung dua macam arti. Pertama, sebagai seorang angkatan tua ia akan menguji seorang angkatan muda. Ya, hanya menguji saja bukan hendak merebut menang atau kalah. Kedua, ia hendak mengunjuk kerendahan hati (mengalah). Jika Siong Kam yang maju, apabila sampai menang, tentu pertandingan ketiga harus dimainkan lagi. Ini berarti akan memakan waktu. Maka ia ambil putusan untuk maju sendiri dengan membawa keyakinan, pasti kalah. Dengan begitu, biarlah babak ketiga, yakni pertandingan antara Bo Se-kiat lawan Thiat-mo-lek, segera dapat dimulaikan. Dari sini dapat diketahui, sampai dimana kebijaksanaan jago tua itu. Seperti telah diterangkan di muka, menurut tata tertib pertandingan, pemenang pertandingan tadi boleh minta diganti orangnya, pun boleh melanjutkan bertempur terus sendiri. Maka bertanyalah Thian-hiong kepada Se-kiat: Tang-locianpwe bermaksud hendak berkenalan dengan jago-jago muda saja, maka ia minta kau saja yang terus melanjutkan pertandingan. Bagaimana kehendakmu? Se-kiat buru-buru memberi hormat kepada Tang Kiam: Atas perhatian Locianpwe, aku menghaturkan terima kasih. Dengan segala senang hati kuturut perintah Locianpwe! Tang Kiam tertawa gelak-gelak: Bagus, bagus! Kau hendak pakai senjata apa? Kiranya Se-kiat tak membawa senjata apa-apa dan hanya bertangan kosong saja, itulah sebabnya maka Tang Kiam menanyainya.
Se-kiat menjura, ujarnya: Di hadapan locianpwe masakan aku berani kurang ajar memakai senjata! Tang Kiam tertegun, lalu tertawa lagi: Baik, kalau begitu biarlah aku bertambah pengalaman lagi untuk menyaksikan permainan tangan kosong Siauhiap ini! Di kalangan orang persilatan, memang masih menjunjung perbedaan antara kaum tua dengan kaum muda. Jika berhadapan dengan lawan yang sama derajatnya, apabila salah seorang ada yang tak memakai senjata, itu berarti menghina lawan. Tapi terhadap angkatan yang lebih tua, hal itu malah berarti kebalikannya. Tidak menggunakan senjata, itu menandakan menghormat, mengunjukkan bahwa dirinya (kaum muda) tak berani memusuhi seorang Locianpwe. Biarpun dirinya terluka, tapi tetap tak mau melukai Locianpwe itu. Mendengar percakapan itu, sekalian hadirin sama memuji Se-kiat. Tapi mereka diam-diam menguatirkan anak muda itu: Thiat-pi-kim-to dari Tang Kiam itu jauh lebih hebat dari tongkat besi Thiat-koay Li. Jika Se-kiat memakai pedang, dengan mengandalkan tenaganya yang masih muda itu, ia tentu menang. Tapi kalau hanya dengan tangan kosong saja, karena tenaganya itu tak banyak berguna, maka sukar ditentukan kalah menangnya. Tapi anak muda itu memang perwira sekali, rupanya ia lebih suka kehilangan kesempatan mendapat kedudukan Beng-cu daripada dikatakan tak menghormat seorang Cianpwe! Tang Kiam penyelentik sekali punggung goloknya, lalu menyuruh siap lawan: Baiklah, kalau begitu harap Siauhiap terima seranganku ini! Golok kim-to segera ditabaskan miring. Se-kiat rangkapkan kedua tangan selaku memberi hormat sembari tundukkan kepalanya ke bawah untuk menghindari tabasan golok. Sebagai seorang angkatan muda, untuk serangan pertama itu ia tak mau membalas. Malah ia sengaja berikan suatu kesempatan bagus kepada Tang Kiam. Ai, janganlah Bo-siauhiap berlaku sungkan! Tang Kiam tertawa. Begitu tubuhnya membalik, ia melancarkan serangan yang lihay. Golok di tangan kanan ditabaskan dari samping dan tinju kirinya pun menyusuli dengan sebuah hantaman. Seketika itu kanan, kiri dan bagian tengah dari si anak muda terkurung rapat. Sama sekali Se-kiat tak menyangka bahwa jago tua yang usianya sudah mendekati 70-an tahun itu, masih begitu hebat dalam permainan golok dan pukulan. Tanpa terasa mulut Se-kiat memujinya: Bagus! Sekalian hadirin menghormat Tang Kiam sebagai seorang cianpwe. Serempak mereka berseru memuji permainan jago tua itu. Diam-diam mereka membatin: Dalam taburan sinar golok dan pukulan semacam itu, mungkin lalatpun tak mampu terbang menerobos keluar. Ha, bagaimanakah anak muda she Bo itu akan menghindarkan dirinya? Sesaat itu terdengar suara berdering dan Se-kiatpun sudah kisarkan kakinya ke samping Tang Kiam. Hanya pakaiannya yang tampak berkibar-kibar tertiup sambaran golok lawan, tapi orangnya masih tetap tak kurang suatu apa! Kiranya Se-kiat telah gunakan It-cin-sing-kang (jari sakti) untuk mementalkan golok sedikit lalu menyelundup keluar dari bawah sambaran mata golok itu. Melihat permainan silat si anak muda yang belum pernah disaksikan selama itu, sekalian penonton terhening diam menahan nafas. Begitu Se-kiat sudah lolos dengan selamat, pecahlah tepuk sorak mereka menggemparkan tanah datar situ. Sorak pujian kali ini, jauh lebih gempar dari pujian kepada si jago tua Tang Kiam tadi. Tang Kiam sendiripun turut memuji: Sungguh hebat! Setengah abad lamanya golokku ini malang melintang dan baru sekarang ketemu tandingannya! Dengan gagahnya jago tua itu putar lagi kim-tonya, diimbangi dengan tinjunya yang menhantam seperti angin. Perbawa serangan jago tua itu, dapat dilukiskan seperti gelombang sungai Tiang-kang yang mendampar dengan dahsyatnya. Diam-diam Se-kiat memuji juga: Orang tua ini benar-benar tak bernama kosong. Jika pada tiga puluh tahun yang lalu di kala ia masih muda, tentu aku tak dapat menghadapinya dengan tangan kosong! Ia pun tak berani berayal dan lalu keluarkan ilmu gin-kangnya. Dengan mengandalkan kelincahan ia hadapi serangan lawan. Dengan tinju menyambut tinju, dengan pukulan menghantam
golok. Begitulah makin lama, ke-2 jago tua dan muda itu bertempur makin seru. Sekalian hadirin yang menyaksikan pertempuran itu sama menahan napas dan memandang dengan mata tak berkesip. Se-kiat menyelinap ke kanan, menerobos ke kiri. Gerakannya mirip dengan seekor kupu-kupu menyusup kelompok bunga. Empat pelosok delapan penjuru, yang tampak hanyalah bayangan si anak muda itu. Walaupun yang bertempur di gelanggang itu hanya dua orang saja, tapi tampaknya seperti ribuan tentara yang tengah bergumul dengan rapat. Gerakan Se-kiat makin cepat hingga beberapa penonton, sama berkunang-kunang matanya. Saking tak tahan, mereka buru-buru pejamkan mata tak berani melihatnya lagi. Tiba-tiba sinar golok berputar melingkar seperti bianglala dan tahu-tahu kedua jago yang bertempur itu loncat mundur bersama. Dan secepat itu Se-kiat lantas rangkapkan kedua tangan memberi hormat: Locianpwe, maafkanlah! Tang Kiam sarungkan goloknya ke dalam kerangka dan tertawa gelak-gelak. Sekalian hadirin kesima heran tak tahu apa yang telah terjadi. Sana-sini sama bertanya: Sebetulnya siapakah yang menang itu? Tang Kiam tampak acungkan jempolnya dan berseru: Golok kim-to ini telah kupakai selama 50 tahun, baru pertama kali ini terasa puntul. Tapipun selama hidupku, belum pernah aku begini gembira seperti hari ini. Bahwa di dunia Lok-lim telah muncul seorang bintang cemerlang seperti Bo-lote, sungguh pantas dibuat girang dan diberi ucapan selamat! Mendengar itu barulah sekalian hadirin tahu bahwa Se-kiatlah yang menang. Kiranya dengan kecepatan yang luar biasa, Se-kiat telah berhasil merebut golok lawan kemudian dengan tak kurang sebatnya ia mengembalikannya lagi. Merebut dan mengembalikan golok itu, telah berlangsung dalam tempo yang cepat sekali, lebih cepat dari kejapan mata orang. Itu sebabnya maka tadi para hadirin melihat bayangan seperti pelangi melingkar lalu tahu-tahu kedua jago itu petal mundur. Kecuali beberapa tokoh lihai, kebanyakan dari para penonton di situ tak dapat melihat kejadian yang sebenarnya. Karena pihak Tang Kiam sudah dua kali mengalami kekalahan, jadi babak kedua itu diakhiri sampai di situ dengan pihak Se-kiat sebagai pemenangnya. Untuk babak ketiga atau yang terakhir, akan muncullah golongan Se-kiat melawan jago-jago dari golongan Thiat-mo-lek. Pertandingan ini pasti akan berjalan lebih seru dan menarik. Kalau dalam babak kesatu dan kedua pihak Se-kiat bakal memperoleh kemenangan, itu sudah dapat diduga lebih dulu. Tapi untuk pertandingan babak yang terakhir ini, semua orang tak berani mengira-kirakan lagi. Thian-hiong selaku juru bicara telah mengumumkan dimulaikannya babak ketiga dengan keterangan bahwa pemenangnya nanti adalah yang berhak menjadi Bengcu. Seketika suasana dalam gelanggang situ menjadi hening. Orang-orang dari kedua rombongan yang akan bertempur itupun sama berkelompok berunding untuk memilih jagonya masing-masing. Tampak Thiat-mo-lek mengerutkan alisnya seperti memikirkan sesuatu. To Peh-ing yang berada di samping segera membisik: Tidak boleh! Apa yang tidak boleh? tanya Tian Goan-siu. Tidak boleh menyerah padanya! sahut Peh-ing. Mengapa tidak boleh? Bo Se-kiat memiliki kepandaian silat yang hebat dan kecerdasan otak yang jempol. Bukankah amat baik sekali jika menyerahkan kedudukan Bengcu padanya? kata Thiat-mo-lek. Kata Peh-ing: Dia datang dari luar lautan, baru setahun menginjak bumi Tionggoan sudah lantas mengikat persahbatan dengan banyak orang gagah. Kuanggap dia memang bermaksud hendak merebut kedudukan Bengcu ini. Itu kebetulan sekali! Memang aku sebenarnya tak ingin menjadi Beng-cu, kata Thiat-mo-lek. Adalah justeru karena sifat-sifat kecerdasannya itu amat menonjol sekali, jadi sukar orang hendak menduganya. Siapa tahu ia bakal memimpin saudara-saudara kita ke arah mana? Kuharap kecurigaanku ini berlebih-lebihan, tapi bagaimanapun aku tak dapat menghilangkan kekuatiran hatiku, ya aku kuatir setelah ia menjadi Beng-cu belum tentu dunia Lok-lim akan berbahagia! kata Peh-ing.
Dalam kalangan Lok-lim, To Peh-ing itu dijuluki sebagai Siau-cu-kat atau Cukat Liang-kecil. Cukat Liang atau Khong Bing adalah seorang Kunsu (penasihat militer) yang cemerlang dalam jaman Sam Kok. Dalam meneliti ucapan Peh-ing itu, Thiat-mo-lek seperti merasa ada sesuatu maksud yang dalam. Maka ia merasa kaget dan lantas tak berani buka suara lagi. Shin Thian-hiong seorang lelaki berwatak blak-blakan. Takut kalau Thiat-mo-lek akan undurkan diri, maka cepat ia acungkan sepasang kapak terus lari ke dalam gelanggang. Aku seorang pendukung Thiat-mo-lek. Sekarang dengan memberanikan diri, aku akan tampil yang pertama. Siapa diantara saudara-saudara yang akan memberi pelajaran padaku? Sebagai tuan rumah, tampilnya Thian-hiong itu telah menarik perhatian semua orang. Anggotaanggota kelompok penyokong Thiat-mo-lek, bangkit semangatnya. Riuh rendah mereka bertepuk tangan dan berseru membantu moril jagonya. Dari pihak Se-kiat, tampak Kay Thian-ho yang maju. Ha, ha, Shin-cecu, kita adalah sahabat kental. Selama ini entah sudah berapa banyak kali kita bertanding minum arak. Bertanding kepandaian, baru pertama kali ini. Kita sama-sama membantu sahabat. Tentunya sebagai seorang kakak, kau takkan menyesali adikmu ini, bukan? kata Thian- ho tertawa. Thian-hiong tertawa juga: Baiklah kita anggap pertandingan ini semacam pertandingan arak saja. Siapa kalah siapa menang, harus menerimanya dengan gelak tertawa. Jika kau yang menang, akan kupersilakan kau minum tiga puluh cawan besar! Kedua tokoh itu, sama tinggi besarnya, sama jujurnya dan sama pula kedudukan namanya dalam dunia Lok-lim. Inilah yang dibilang 'berdiri sama tinggi, duduk sama rendah'. Para hadirin tidak ada yang pro mana-mana. Mereka bertepuk memuji Thian-hiong, pun bersorak menyanjung Thian-ho. In-nio kerutkan alisnya: Eh, mereka benar-benar akan berkelahi? Sudah tentu berkelahi sungguh-sungguh, masakan hanya bergurau saja? Eh, apakah kau menguatirkan mereka? Takut orang she Kay yang terluka atau kuatir orang she Shin yang bonyok? tanya Yak-bwe tertawa. Mereka adalah sahabat karib, maka tak perlulah aku menguatirkan. Aku .... ak ... suara In-nio terputus-putus waktu akan menentukan pilihannya. Yak-bwe mengerti, ujarnya: O, kau kuatirkan Shin-toako dan Thiat-mo-lek. Yang satu kekasihmu, yang satu kenalan kita yang baik. Kemarin mereka masih bercakap-cakap mesra sebagai sahabat lama, tak nyana hari ini mereka saling berebut kedudukan Beng-cu. Siapakah yang kau harapkan akan menang? In-nio tundukkan kepala berdiam. Beberapa saat kemudian baru menyahut: Entahlah, aku tak tahu, aku tak tahu. Hm, aku sungguh tak mengerti mengapa ia tak mau mengalah untuk Thiat- molek? In-nio mengindahkan Thiat-mo-lek, ia anggap Thiat-mo-lek lebih tepat yang menjadi Bengcu. Tapi dalam pada itu, iapun berharap supaya Se-kiat dapat menundukkan para orang gagah dan dapat mengangkat nama. Itulah sebabnya ia kebat-kebit melihat pertandingan antara banteng dan harimau itu dan hatinya gelisah sendiri. Tiba-tiba Shin Thian-hiong kedengaran berteriak keras hingga In-nio sampai tersentak kaget. Ternyata kedua jago itu sudah bertempur seru dan berteriak-teriak. Tapi pertempuran mereka itu lebih banyak seperti orang adu tenaga. Thian-ho menghantam goloknya dan Thian-hiong menangkis dengan kapaknya. Adu senjata itu telah menimbulkan lengking dering yang memekakkan telinga. Kay-lote, hebat sungguh tenagamu! seru Thian-hiong. Shin-toako, sepasang kapakmu itu berat bukan main! Thian-ko balas memuji. Mereka berdua sama terbahak-bahak. Tiba-tiba mereka sama menggembor terus berbaku hantam dengan golok dan kapak lagi. Mereka itu kawan akrab, tetapi di waktu berkelahi, samasama tak mengalah. Karena tenaga mereka kuat, maka gelanggang pertempuran itu sampai terasa bergoncang! Waktu melayani Wi-tin-ho-sio Ban Liu-tong tadi, karena jago itu sudah tua, Thian-ho tak
banyak mengeluarkan tenaga. Kini baru ia keluarkan seluruh kekuatannya. Goloknya berputar menderu-deru. Sedikit saja menyerempet pohon atau batu, tentu benda-benda itu akan hancur. Anak buah Kim-ke-nia tahu bagaimana kepandaian Cecunya (Thian-hiong), tapi tak urung mereka merasa kuatir juga. Dan ternyata Thian-hiong tak mengecewakan harapan mereka. Demi untuk kepentingan Thiatmo- lek, ia bertempur dengan mati-matian. Sepasang kapaknya itu masing-masing tak kurang dari 50 kati beratnya. Jadi lebih berat dari golok Thian-ho. Waktu dimainkan, sepasang kapak itu seperti dua ekor naga yang tengah berebut mestika. Perbawanya dapat melekahkan gunung, menghancurkan batu. Juga anak buah Thian-ho tak terluput dari perasaan kuatir seperti anak buah Kim-ke-nia. Mereka tahu dan percaya akan kegagahan Cecu-nya masing-masing, tetapi tetap merasa kuatir juga. Saking hebatnya pertempuran itu, para penonton yang tadinya bersorak memberi semangat, kini makin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Mereka sama menahan napas. Dahsyatnya pertarungan kedua jago itulah yang membuat suasana berubah menjadi hening tegang. Mereka berdua sama-sama berangasan dan bersahabat baik. Siapa yang terluka, mereka tentu merasa menyesal seumur hidup, demikian semua orang sama membatin. Sekonyong-konyong keduanya berbareng menggembor keras. Thian-ho lintangkan goloknya dan trang .... dua buah logam beradu keras, menghamburkan letikan api. Sepasang kapak Thianhiong dan golok Thian-ho sama-sama terpental ke udara. Dan orangnyapun sama-sama terjungkir balik. Sekalian hadirin terkejut. Beberapa orang sudah cepat-cepat memburu masuk ke gelanggang. Ada yang menolong Thian-hiong ada yang mau mengangkat Thian-ho. Tiba-tiba kedua orang itu sama menghambur tertawa gelak-gelak dan hampir bersamaan saatnya mereka sama-sama gunakan gerak Le-hi-tang-ing atau ikan lele berjumpalitan, mereka loncat berdiri. Kay-lote, kau memang hebat. Sepasang kapakku itu sekarang hanya dapat digunakan untuk menebang kayu bakar saja! seru Thian-hiong. Sama-sama! Golokku itupun nantinya hanya dapat digunakan untuk memotong sayur saja! sahut Thian-ho. Keduanya sama menjemput senjatanya masing-masing. Sepasang kapak Thian-hiong rompalrompal, golok Thian-ho ujungnya juga melingkar. Keduanya sama tertawa kegirangan. Bagaimana ini? seru Thian-hiong, Kita berdua seperti pengemis yang kematian ular, samasama nihil tak dapat apa-apa! Kalau begitu kita bertanding minum arak sajalah! sahut Thian-ho. Karena senjatanya sama-sama terpental jatuh dan orangnya tak terluka, maka pertandingan itu berakhir seri. Seorang juri tampil kemuka dan mengumumkan pertandingan itu seri. Melihat kesudahan pertempuran itu, kedua belah pihak sama gembira puas. Baru kedua jago tua itu dengan diantar oleh tepuk sorak yang riuh meninggalkan gelanggang, tiba-tiba terdengar gemerincing kelinting kuda. Kuda itu mendatang dengan pesat sekali. Toan-siauhiap datang! sekonyong-konyong ada orang berteriak. Hai, ia bersama seorang nona, siapa nona itu? kata seorang lain. Jantung Yak-bwe mendebur keras. Waktu mendongak mengawasi, memang benar ada dua penunggang kuda berlari mendatangi. Yang berada di muka ialah Toan Khik-sia dan di belakangnya seorang nona baju merah. Sesudah melihat terang, sekalian orang gagah sama bersorak: Hai, nona Lu, kau datang juga? Mana engkohmu? Begitu loncat turun dari kudanya, nona baju merah itu segera menjura ke empat jurusan. Serunya: Engkohku suruh aku menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian. Dia tak datang. Nona itu cantik sekali, tapi gagah juga. Di bawah sorotan mata dari sekian banyak orang gagah, sedikitpun ia tak jengah. Sikapnya wajar seperti seorang pemuda. Rasanya nona Lu itu tak asing bagiku, tetapi mengapa ia datang bersama Toan-long? Entah
apakah hanya secara kebetulan bertemu saja atau memang ajak-ajakan? demikian Yak-bwe membatin. Begitu tiba di hadapan Thian-hiong, Khik-sia lantas memberi keterangan: Shin-sioksiok, maafkan aku terlambat datang. Inilah surat dari Hong-ho-ngo-pa. Dalam menundukkan Hong- hongo- pa kali ini, aku banyak mendapat bantuan dari nona Lu. Ia membuka sebuah bungkusan dan menyerahkan lima buah sampul besar warna merah kepada Thian-hiong. Bagus, bagus. Setelah Bengcu yang baru dilantik resmi, nanti akan kuhaturkan arak pernyataan selamat padamu! kata Thian-hiong. Nona baju merah itupun menghampiri dan berkata: Shin-cecu tentu takkan mengusir aku, bukan? Ai, mana, mana! Sebenarnya sudah kusiapkan surat undangan kepada kalian kakak beradik, tapi karena tak tahu alamatnya, jadi sayang tak dapat diterimakan. Harap nona suka maafkan. Kedatangan nona kemari ini, telah memberi muka terang kepada kami semua. Barusan saja aku habis bertempur dengan seorang sahabat karib, jadi rupaku tentu tak keruan, harap nona jangan menertawakan aku, kata Thian-hiong. Memang Cecu dari gunung Kim-ke-nia itu mukanya kotor kena lumpur, pakaiannya ada yang koyak. Ya, benar-benar lucu kelihatannya. Nona baju merah itu tak dapat menahan gelinya lagi. Ia mengikik tertawa, sahutnya: Sayang aku datang terlambat, tak dapat menyaksikan Cecu main kunthau tadi. Tapi ah, janganlah aku mengganggu urusan di sini. Silahkan kalian melanjutkan pertandingan lagi. Toan-hiantit, kebenaran sekali kau datang! seru To Peh-ing seraya menarik tangan pemuda itu ke arah pihaknya. Nona baju merah itu juga ikut berdiri di samping Khik-sia. Melihat pergaulan mereka yang begitu akrab, hati Yak-bwe menjadi gundah. Malah ada dua orang tetamu yang berada di dekat situ, saling membicarakan tentang Khik-sia dengan si nona baju merah. Adik perempuan dari Sin-cian-chiu Lu Hong-jun itu, jika dipasangkan dengan putera dari Toan-tayhiap, sungguh merupakan sejoli yang sembabat sekali! demikian kata seorang diantaranya. Maka sahut orang yang lain: Tapi puteri dari keluarga Lu itu tampaknya lebih tua beberapa tahun dari putera keluarga Toan. Kata orang yang pertama tadi: Apa halangannya? Bukankah di desa kami banyak mempelaimempelai perempuan yang jauh lebih tua dari lakinya? Di Tiongkok dulu ada kebiasaan, mengambil menantu perempuan sejak masih kecil. Orang tua dari pihak lelaki, mengambil dan memelihara calon menantu bagi puteranya yang masih kecil. Setelah gadis itu dewasa, barulah dinikahkan dengan resmi. Ini hampir sama dengan kebiasaan di Indonesia yang disebut nikah pacul. Bedanya, kalau di sana calon menantu perempuan yang dipelihara mertuanya, tapi kalau di sini calon menantu laki yang dipelihara mertuanya. Lalu ada seorang lagi yang turut bicara: Benar, mereka adalah keturunan kaum persilatan. Di dunia persilatan mereka mempunyai kedudukan sebagai ksatria-ksatria angkatan muda. Keduanya sama-sama rupawan, jika saling berjajar, wah, sungguh seperti sepasang dewa-dewi. Jika mereka dapat terangkap menjadi suami isteri, pasti akan menjadi buah sanjungan dunia persilatan. Hati Yak-bwe makin kecut. Diam-diam ia membatin: Turut ucapan Khik-sia tadi, mereka berdua itu bukan secara kebetulan bersua di jalan. Malah nona she Lu itu katanya pernah membantu dia menundukkan Hong-ho-ngo-pa. Wah, hubungan mereka tentu sudah mendalam! Tiba-tiba In-nio membisiki telinganya: Pemuda-pemudi persilatan itu umumnya bergaul secara bebas. Adik yang baik, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik kau tutup telingamu, jangan mendengar ocehan mereka. Setitikpun aku tak gelisah. Jika dia berbalik pikiran, akupun tak merasa kecewa, sahut Yakbwe. Walaupun sang telinga tak ingin mendengar, namun tak urung sang hati kepingin mengetahui. Tanpa dapat dicegah lagi, bertanyalah Yak-bwe kepada orang tadi: Siapakah sebenarnya kakakKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ beradik she Lu itu? Orang itu tertawa, sahutnya: Kakak-beradik she Lu adalah bintang-bintang cemerlang dalam kalangan persilatan, masakan kau tak mengetahui? Mereka menuntut penghidupan sebagai maling haguna (mulia). Memang jarang sekali mereka melakukan pekerjaan, tapi sekali turun tangan tentu 'ikan besar' yang ditangkapnya. Hasil yang diperolehnya, tentu didermakan pada rakyat yang menderita. Mereka benar-benar layak disebut pendekar-pendekar budiman yang dermawan. Kedua kakak-beradik itu memiliki kepandaian istimewa. Kakaknya disebut Sin-cian-chiu Lu Hong-jun yang malang melintang di daerah selatan-utara dengan sebatang busur besinya. Di dunia persilatan sukar dicari orang kedua yang dapat memanah begitu tepat seperti dia. Adiknya, Lu Hong-jiu lebih lihay lagi. Selain ilmu goloknya amat lihay, pun ia mempunyai kelinting Sip-hun-leng. Apakah Sip-hun-leng itu? tanya Yak-bwe dengan heran. Orang itu tertawa: Sewaktu berjalan bukankah ia kedengaran bergemerincing seperti suara kelinting? Pakaiannya itu dipasangi banyak sekali kelinting emas kecil-kecil sebesar jari. Sewaktu bertempur dengan musuh, kelinting-kelinting itu dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia. Kelinting itu khusus dipakai untuk menghantam jalan darah berbahaya dari orang. Seratus kali timpuk, seratus kali kena. Maka banyaklah musuh-musuhnya yang sudah lari terbirit-birit jika mendengar suara kelintingnya itu. Selain itu, pun ada lain kegunaannya. Karena orangnya amat cantik dan jika berjalan berkelintingan seperti diiringi musik, maka banyaklah orang-orang yang tak mengetahui siapa nona itu, tentu akan terpikat semangatnya. Mendengar orang begitu memuji-muji Lu Hong-jiu, hati Yak-bwe makin tak tenteram. Pikirnya: Seperjalanan dengan nona itu, entah apakah Khik-sia tidak akan dipikat semangatnya, diraih jiwanya? Ah, sudahlah jangan membicarakan Sip-hun-leng lagi. Lihat saja bagaimana mereka akan mengadu jiwa itu. Hai, lihatlah, Toan Khik-sia maju ke muka. Baru saja datang, apa ia sudah lantas mau membantu Thiat-mo-lek memperebutkan kedudukan Bengcu? demikian seorang yang berada di sebelah segera menyeletuk tertawa. Dan begitu berada di tengah gelanggang, Khik-sia lantas berseru nyaring: Bok-toako! Se-kiat yang dengan sebatnya sudah menyongsong, pun berteriak keras: Hai, Toan-hiante! Kedua jago muda itu segera saling berjabatan tangan dan tertawa gelak-gelak. Begitu mendengar kau datang ke Tiong-goan, siang-siang aku lantas ingin menjumpaimu. Apakah leng-siok (pamanmu) baik-baik saja? Dahulu aku banyak menerima petunjuknya yang berharga, kata Khik-sia. Pada waktu kembali dari Tiong-goan, dalam membicarakan tentang tokoh-tokoh Bu-lim dewasa ini, pamanmu juga tak putus-putusnya memuji kau. Beliau masih ingat, pada waktu itu kau baru berumur 10-an tahun, tapi sudah dapat digolongkan sebagai salah seorang tunas muda yang paling menonjol dalam angkatan muda. Beliau amat terkenang padamu. Begitu datang di Tionggoan aku dititahkan segera mencarimu. Sayang karena mondar-mandir kian-kemari, baru sekarang aku dapat bertemu muka dengan kau, sahut Se-kiat. Kata Khik-sia: Aku sendiripun sayang sekali terlambat sedikit, tak dapat menikmati pelajaran yang Bo-toako unjukkan dalam pertempuran tadi. Beberapa orang yang sudah kepingin menyaksikan pertempuran ramai, segera berteriak: Sekarang masih belum malam. Omong-omong nanti saja dilanjutkan, sekarang adu kepandaian dulu agar mata kita dapat terbuka lebih lebar! Khik-sia tertawa: Bo-toako, sebenarnya aku tak berani jual aksi di hadapanmu. Tapi setelah menerima beberapa petunjuk dari leng-siok, berselang beberapa tahun kemudian, entah kemajuanku sampai dimana. Hari ini beruntung aku dapat berjumpa dengan toako. Jika toako sudi memberi petunjuk, aku sungguh merasa beruntung sekali. Ah, janganlah Toan-hengte begitu merendah. Memberi petunjuk, aku mana berani. Sekarang baiklah kita bermain-main untuk saling menguji kepandaian kita saja! kata Se-kiat. Mendengar itu jago tua Hiong Ki-gwan segera menyeletuk dengan tertawa: Ah, tak usah kalian berdua saling sungkan. Ini adalah pertandingan resmi, bukannya hanya sekedar saing menguji kepandaian secara biasa saja. Baiklah, sebelumnya hendak kutegaskan lagi, silakan kalian
mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh. Apa yang diucapkan saudara Hiong Ki-gwan itu memang benar! sekalian hadirin sama tertawa memberi komentarnya. Khik-sia tertawa: Masakan aku tahu sungkan? Apa yang kukatakan tadi memang berasal dari lubuk hatiku. Memang saat ini aku membantu Thiat-sioksiok untuk merebut kemenangan dan berusaha keras supaya jangan sampai kalah. Tapi bagaimanapun halnya aku harus bersedia kalah juga. Maka akupun hanya dapat mengatakan kepada Bo-toako untuk meminta petunjuk saja. Habis itu ia siapkan pedang di tangn dan berkata: Bo-toako, maafkan aku berlaku kurang ajar akan menyerang lebih dulu! Padahal yang dikata 'kurang ajar' itu pada hakikatnya bersikap menghormat orang. Karena ia dengan Se-kiat itu sama tingkatannya. Bertempur dengan orang yang sama tingkatannya, jika menyerang dulu, itu berarti merendahkan kedudukan diri sendiri dan mengangkat derajat lawan. Maka bahu Se-kiat sedikit bergerak dan tubuhnya segera mundur sampai 7-8 langkah. Ia pn sudah lantas melolos pedang, ujarnya: Bagus, Hiante, silakanlah! Dalam pertandingan yang terdahulu, ia tak mau gunakan senjata. Bahwa kini ia memakai pedang itu berarti memandang tinggi juga kepada Khik-sia. Melihat kedua pemuda itu sudah siap akan bertempur, Yak-bwe dan In-nio tumpahkan seluruh perhatiannya. Hati kedua gadis itu kebat-kebit tak keruan. Tampak Khik-sia lintangkan pedang di dada. Sebelum bergerak, lebih dulu ia menatap sejenak kepada Se-kiat. Ia lihat Se-kiat mengambil sikap (kuda-kuda) yang disebut Bu-kek-hap-it-gi. Sebuah jurus ilmu pedang yang memusatkan seluruh tenaga dan pikiran menjadi satu. Sepasang tangan menjulai, mata memandang ke ujung pedang dan kuda-kuda kakinya mengapung tegak. Keadaan anak muda itu benar-benar angker seperti gunung, tenang laksana telaga. Tergetar hati Khik-sia melihat perbawa lawan, pikirnya: Jurus yang diambilnya itu sungguh kukuh sekali, aku harus mencari siasat untuk membobolkannya. Jika kaum Ko-chiu (jago sakti) bertanding, setitik kesempatan saja sudah dapat menentukan kalah menangnya. Kalau dalam jurus pertama tak dapat menguasai pertandingan, tentu berbalik akan dikuasai lawan. Tapi dasar masih muda, maka Khik-sia tak terhindar dari watak ingin menang. Meskipun ia tahu tak mempunyai modal untuk mengalahkan Se-kiat, namun ia merasa enggan kalau sampai kalah. Maka ia amat memperhatikan sekali akan jurus pembukaan dari lawan. Se-kiat tertawa: Toan-hengte, mengapa belum menyerang? Khik-sia sudah menetapkan rencana. Tiba-tiba ia berseru: Lihat pedang! -- terus saja ia mulai mainkan pedangnya. Tapi anehnya, pedang bukan diserangkan langsung ke tubuh Se-kiat, melainkan berputar-putar mengelilingi orang. Sinar pedang berhamburan laksana hujan mencurah. Sepintas pandang seolah-olah ada berpuluh-puluh Khik-sia menyerang Se-kiat. Serangan itu sukar dilukiskan kecepatannya. Semua penonton hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung, sedang bayangan orangnya tak tampak sama sekali! Kiranya Khik-sia menggunakan siasat memakai kelebihan dirinya untuk menyerang kelemahan lawan. Teringat ia akan paman Se-kiat yang bernama Bo Jong-long. Pada waktu itu Bo Jong- long pernah menguji kepandaian dengan suheng Khik-sia, yakni Gong-gong-ji. Dalam segala kepandaian, Bo Jong-long lebih unggul. Hanya dalam ilmu gin-kang, ia kalah setingkat dengan Gong-gong-ji. Khik-sia merasa, dalam ilmu gin-kang sekarang ia sudah hampir menyamai suhengnya. Sebaliknya ia memperhitungkan, kepandaian Se-kiat itu diperoleh dari pamannya, sudah tentu tak dapat menyamai benar-benar dengan sang paman. Maka Khik-sia ambil putusan gunakan serangan kilat. Ia harap Se-kiat akan menjadi keripuhan. Beradu. Se-kiat dengan masih tegak laksana gunung, setapak pun kakinya tak berkisar, telah dapat menghalau tiga puluh jurus lebih serangan Khik-sia. Tapi sekalipun begitu, dalam libatan serangan kilat berantai dari Khik-sia itu, Se-kiat pun tak berdaya untuk balas menyerang. Ia telah menguasai dengan sempurna ilmu menghapus tenaga serangan lawan. Baik, akan kuserbu ia dengan siasat 'sembilan kali kosong, satu kali sungguh'. Dengan pedang pusaka, masakan ia tak kelabakan, diam-diam Khik-sia mengatur rencana.
Kiranya pedang yang berada di tangan Khik-sia itu, adalah pedang pusaka warisan mendiang ayahnya. Pedang pusaka itu dapat menabas logam seperti menabas kapuk. Tapi dikarenakan dalam setiap bergerak, Se-kiat selalu dengan tepatnya dapat menghapus tenaga lawan, maka pedang pusakanya itupun tak dapat berkembang perbawanya. Coba kalau tenaga keduanya berimbang atau setidak-tidaknya hanya terpaut sedikit saja, tentu tenaga menghapus itu tak nanti mempan. Memang siasat menyerang kilat yang digunakan Khik-sia tadi, tepat sekali. Tapi bahkan karena terlampau cepatnya ia melontarkan serangan, begitu merapat lantas mundur, maka perbawa pedangnya tak dapat menggabungkan kombinasi antara kedahsyatan dengan kecepatan. Karena itu mudah dihapus kekuatannya oleh lawan. Kini Khik-sia mengganti siasat 'sembilan kosong satu kali sungguh'. Gerakannya tetap serba cepat bahkan lebih cepat dari tadi. Hanya saja dalam kesepuluh kali serangan itu, tak seluruhnya dilontar dengan cepat. Yang sembilan kali serangan kosong memang dilancarkan amat cepat. Yang satu kali serangan sungguh, agak lambat tapi keras. Tapi karena serangan yang cepat lebih besar jumlahnya, jadi keseluruhannya merupakan serangan cepat semua. Dan yang lebih lihay lagi, walaupun serangan kosong, tapi apabila lawan kelihatan ayal, dapat juga berubah menjadi serangan sungguh-sungguh. Dalam ilmu pedang Se-kiat sudah mempunyai peyakinan yang sempurna. Namun menghadapi bertubi-tubi serangan kosong dari Khik-sia itu, tak urung ia heran juga. Tiba-tiba saat itu Khik- sia maju merapat dan melancarkan serangan sungguh. Anginnya menderu keras. Serangan kali ini, indahnya bukan buatan, hebatnya bukan kepalang. Sekalian orang gagah yang menyaksikan sampai terkesiap kaget. In-nio sampai menjerit tertahan dan si berangasan Kay Thian-ho pun berjingkrak ke atas. Dalam detik-detik yang menegangkan urat syaraf itu, sebelum sekalian penonton melihat jelas, tiba-tiba terdengar Se-kiat berseru memuji: Ilmu pedang yang hebat, sambutlah serangan ini! -- Dan tampaklah ia kebaskan pedangnya dalam jurus Bian-chiu-te-sing atau tangan indah memetik bintang. Tepat sekali pedangnya itu sudah dapat melekat pedang pusaka Khik-sia. Kemudian sekali dipelintirkan kemuka, ujung pedang lantas mengancam jalan darah Hian-ki-hiat di dada Khik-sia. Waktu melancarkan serangan berisi (sungguh), karena memakai tenaga lebih besar, jadi kecepatan serangan Khik-sia pun berkurang. Se-kiat adalah seorang ahli pedang yang menguasai segala gerak-gerik lawan. Sedikit perubahan dari gerakan Khik-sia itu tak terluput dari pandangan matanya yang jeli. Segera ia menguasai kesempatan itu, kecepatan dilawan dengan kecepatan, menyerang untuk menghalau serangan. Perubahan siasat dari bertahan berganti menyerang itu, datangnya secara tak terduga-duga. Kalau tadi In-nio yang menjerit tertahan karena Se-kiat terancam, adalah sekarang giliran Yak- bwe yang berteriak tertahan sebab Khik-sia terserang! Sekonyong-konyong Toan Khik-sia bersuit, tubuhnya mencelat ke udara dan serupa dengan Sekiat tadi, ia pun berseru: Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini! Bagaikan burung melayang, anak muda itu melampaui kepala Se-kiat dan dengan jurus Engkik- tiang-gong atau burung elang menghantam udara, laksana selarik pelangi pedangnya menusuk ke bawah. Se-kiat putar pedangnya melingkar. Dua kali ia berputar tubuh dan serangan Khik-sia tadi dapat dipecahkan. Detik demi detik diperebutkan oleh mereka berdua untuk mendahului menyerang. Bagaimana tegang dan runcingnya pertempuran itu, sukar dilukiskan. Setiap perubahan situasi, sukar diduga sama sekali. Sekalian hadirin hanya menampak gelanggang pertempuran itu penuh dengan sinar pedang. Sinar pedang yang bentuknya menyerupai sepasang naga saling berebut mutiara! Mana Se-kiat dan mana Khik-sia sudah tak dapat dibedakan lagi! Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tampak permainan pedang kedua anak muda itu mulai lambat gerakannya. Bagi orang yang tajam pendengarannya, akan dapat mendengar bahwa di dalam deru sambaran pedang itu, juga terdapat hamburan napas yang bergolak-golak. Diam-diam Thiat-mo-lek berbisik-bisik kepada To Peh-ing: Sebenarnya Khik-sia Hiantit itu
masih kurang pengalaman, tapi ia bernafsu sekali untuk menang. Kiranya pertempuran itu berlangsung dengan seimbang. Masing-masing mengeluarkan keistimewaannya sendiri-sendiri. Khik-sia menang unggul dalam hal gin-kang, sedang Se-kiat menang kuat dalam ilmu lwekang. Dalam babak permulaan, Khik-sia secara cerdik telah menetapkan rencana 'menggunakan kelebihan kepandaiannya untuk menundukkan kelemahan lawan'. Tapi karena siasat itu sampai sekian lama tak memberi hasil, ia lantas berganti siasat dengan 'sembilan kali serangan kosong, satu kali serangan berisi'. Berkat ketajaman pedang pusakanya, memang ia dapat menang angin sedikit. Tapi Se-kiat ternyata seorang ahli pedang yang sudah kenyang pengalaman. Menggunakan kesempatan sewaktu Khik-sia agak lambat gerakannya, Se-kiat cepat balas menyerang. Dengan begitu selalu dapat merubah situasi dari diserang menjadi penyerang. Saat itu, ia salurkan lwekangnya ke ujung pedang. Hamburan suara yang bergolak-golak tadi, ialah berasal dari arus hawa dalam tubuhnya sewaktu memainkan pedang. Makin lama permainan pedang Se-kiat makin pelahan. Pada akhirnya, tampak sepasang matanya memandang lekat-lekat ke ujung pedang. Seolah-olah pedangnya itu seperti diganduli benda yang beratnya seribu kati. Lambat-lambat ia menunjuk ke timur, menggurat ke barat. Jauh sekali perbedaannya dengan permainannya dalam babak-babak permulaan tadi. Namun bagi mata seorang ahli silat, hal itu sebaliknya malah lebih dahsyat dari yang tadi. Khik-sia merasa pedang ceng-kong-kiam lawan, beratnya seperti sebuah gunung. Daya tindihnya makin lama makin berat sekali. Apa boleh buat, ia pun lalu kerahkan lwekangnya untuk melayani. Kini rencananya semula menjadi buyar semua. Kelincahan gin-kang dan kecepatan permainan pedangnya, tak dapat digunakan sama sekali. Tring, tiba-tiba kedengaran suara bergemerincing dan melengketlah kedua pedang anak muda itu menjadi satu, diam tak bergerak lagi. Beberapa jenak kemudian, tubuh kedua anak muda itu tampak menurun sampai separuh bagian. Astaga, kiranya kaki mereka itu menyurup ke dalam tanah! Sewaktu sekalian hadirin sama terperanjat, sekonyong-konyong Thiat-mo-lek loncat ke tengah gelanggang dan berseru: Sudah, berhentilah bertempur. Pertandingan ini adalah Bo-toako yang menang! Trang, berbareng dengan seruan itu, terdengarlah suara bergemerancang keras. Pedang pusaka Khik-sia mencelat terlepas dari tangan, sedang ceng-hong-kiam Se-kiat pun terkutung separuh. Kiranya pertandingan yang terakhir itu, merupakan pertandingan adu lwekang. Sudah tentu Sekiat unggul. Tepat di kala Thiat-mo-lek loncat sambil berseru tadi, Se-kiat telah berhasil mencungkit pedang Khik-sia sampai mencelat ke udara. Tapi dikarenakan lwekangnya tak terpaut banyak sekali dengan Khik-sia dan lagi pedang Khik-sia itu sebuah pedang pusaka, maka sewaktu Khik-sia mengerahkan lwekang sekuatnya, segera pedang pusaka itu mulai unjuk gigi. Berbareng pedang Khik-sia terpental, pun pedang Se-kiat terkutung. Begitu loncat maju, Thiat-mo-lek segera ulurkan sepasang tangan untuk menyiah kedua pemuda itu. Dan berbareng itu, ia membuyarkan tekanan tenaga lwekang masing-masing, agar jangan ada salah satu yang terluka. Para tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dalam kalangan hadirin, sama memuji tindakan Thiat-mo-lek. Mereka memuji Thiat-mo-lek sebagai orang yang adil, tidak semata mementingkan keuntungan pihaknya. Seperti diketahui, ia dengan Se-kiat itu terhitung pihak yang berlawanan. Dengan mengakui pihaknya yang kalah, sebenarnya ia boleh menarik Khik-sia seorang saja. Apakah Se-kiat terluka atau tidak karena tekanan lwekang Khik-sia nanti, ia boleh tak usah memperdulikan. Tapi ternyata ia rela mengambil resiko menerima tekanan lwekang dari kedua belah pihak. Tanpa memandang mana kawan mana lawan, ia perlakukan sama rata. Kedua-duanya ia tarik dengan berbareng. Kejujurannya itu menimbulkan rasa kagum dan perindahan dalam hati sekalian hadirin. Khik-sia memungut pedangnya. Dengan muka kemerah-merahan ia berkata: Lwekang Botoako sungguh hebat sekali. Dengan tulus hati, aku mengaku kalah! Se-kiat tersipu-sipu goyangkan tangan: Tidak! Kau sudah mengutungkan pedangku. Sebenarnya akulah yang harus dianggap kalah!
Mana bisa! bantah Khik-sia, aku dapat mengutungkan pedangmu karena mengandalkan ketajaman pedang pusakaku. Tapi berkat ilmu kepandaian yang sesungguhnyalah kau dapat membikin terlepas pedangku. Sudah tentu aku harus mengaku kalah. Mendengar perdebatan saling berebut mengaku kalah itu, sekalian orang gagah merasa heran tapipun kagum. Maka berkatalah Thiat-pi-kim-to Tang Kiam: Tadi sewaktu bertanding, sejengkalpun kalian tak mau saling mengalah. Sekarang malah rebutan mengaku kalah. Aku sudah hidup beberapa puluh tahun, tapi baru sekali ini melihat peristiwa yang begini istimewanya. Pecahlah mulut sekalian hadirin dengan gelak tertawa yang gemuruh. Jago tua Hiong Ki-gwan yang menjadi juri segera tampil kemuka: Ah, sudahlah, jangan kalian berbantah. Menurut peraturan pertandingan, belum ada ketetapan yang menyatakan senjata- senjata apa yang tak diperbolehkan dipakai. Pedang pusakakah atau kapak penebang kayukah, semua boleh dipakai. Pendek kata yang menang tetap dianggap menang. Menurut penilaian pertandingan tadi, yang satu senjatanya terlepas jatuh, yang lain pedangnya kutung. Terlepasnya pedang Khik- sia memang terjadi lebih dulu, tapi kerusakan yang diderita pedang Se-kiat itu lebih besar. Karena kedua belah pihak tak mau melanjutkan bertanding dengan tangan kosong, maka menurut peraturan, pertandingan ini hanya dapat dianggap seri. Sekalian hadirin menyetujui putusan juri itu. Apa boleh buat, Se-kiat dan Khik-sia tak mau berbantah lagi dan masing-masing saling menyatakan maaf. Selanjutnya berseru pula Hiong Ki-gwan: Menurut peraturan pertandingan, bagi setiap calon Beng-cu diharuskan bertempur satu kali. Babak ketiga ini sudah berlangsung dua kali pertandingan. Dari pihak Thiat-mo-lek yang maju pada pertandingan pertama ialah Thian-hiong. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Toan Khik-sia. Maka untuk pertandingan yang terakhir, haruslah Thiat-mo-lek sendiri yang tampil. Pihak Bo se-kiat, yang maju untuk pertandingan pertama ialah Kay Thian-ho. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Se-kiat sendiri. Untuk pertandingan terakhir, menurut peraturan pertandingan, Se-kiat boleh menyuruh lain kawannya yang maju, pun boleh juga ia sendiri lagi yang tampil. Juri itu berhetnti sejenak, lalu bertanya kepada Se-kiat: Bo-siauhiap, apakah kau akan keluar sendiri atau suruh lain kawan yang maju? Se-kiat memberi hormat kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: Kepandaian dari Thiat-cecu melebihi lain-lain orang. Keharuman nama Thiat-cecu termasyhur sampai jauh. Dengan setulus hati aku merasa kagum. Bahwa dapat memperoleh rejeki seperti saat ini, aku merasa beruntung sekali. Jika tak menampik, aku hendak mohon pengajaran pada Thiat-cecu. Ah, kepandaian Bo-heng begitu sakti. Apa yang kusaksikan tadi, benar-benar sesuai dengan kenyataan yang disohorkan orang. Bahwa Bo-heng sudi memberi pengajaran, sudah tentu aku tak berani menampiknya. Hanya saja, aku mempunyai suatu pengharapan. Jika Bo-heng dapat meluluskan, barulah hatiku merasa tenteram, kata Thiat-mo-lek. Sahut Se-kiat: Apabila Thiat-cecu yang menitahkan, tak ada alasan bagiku untuk tak mentaati. Sekalian orang gagah yang hadir di situ sama kenal bagaimana pribadi Thiat-mo-lek yang penuh dengan kebajikan dan luhur budi. Harapan atau permintaan yang akan diajukan, tentu takkan bernada merugikan orang dan menguntungkan diri sendiri. Tetapi sikap Se-kiat yang ragu-ragu menyatakaan kesediaannya itu pun mendapat pujian tinggi dari sekalian hadirin. Serentak berserulah Thiat-mo-lek dengan suara sungguh-sungguh: Baiklah, sekali seorang ksatria sudah berkata .... Laksana kuda dicambuk berlari cepat! buru-buru Se-kiat menyanggapi. Pada saat itu salah seorang anak buah Se-kiat telah mengantarkan sebatang pedang ceng- kongkiam kepadanya. Maksudnya hendak minta Se-kiat berganti pedang baru karena pedangnya yang tadi sudah kutung. Tapi karena melihat pemimpinnya (Se-kiat) sedang berbicara dengan Thiat- molek, maka orang itupun tak berani mengganggu dan hanya tegak menunggu di samping saja. Tiba-tiba Thiat-mo-lek lambaikan tangan kearah Khik-sia: Toan-hiantit, berikanlah pedangmu itu kepadaku! Orang-orang di pihak Se-kiat terkejut. Pikir mereka: Tidak sari-sarinya Thiat-mo-lek berbuat
begitu. Apakah karena hendak berebut kedudukan Bengcu, maka ia tak menghiraukan harga diri lagi? Apakah ia hendak gunakan pedang pusaka untuk menempur Bo Se-kiat yang sudah lelah? Khik-sia sendiri pun tampak ragu-ragu. Tapi terpaksa ia serahkan pedangnya juga. Setelah menerima pedang berkatalah Thiat-mo-lek dengan tenang: Bp-hengte, harap maafkan atas kelancanganku ini. Harap kau sudi memakai pokiam ini! Apa artinya ini? Kau, kau ..... sahut Se-kiat dengan tergagap-gagap. Thiat-mo-lek cepat menyela: Harap Bo-heng jangan salah paham. Sekali-kali aku tak bermaksud memandang rendah Bo-heng. Kau tadi sudah bertanding melawan Khik-sia, ini berarti aku mendapat kemurahan. Dengan berganti pakai pokiam, barulah pertandingan ini akan menjadi adil! Sekarang barulah orang-orang di pihak Se-kiat mengerti maksud Thiat-mo-lek. Mereka merasa malu sendiri, malu karena mengukur pribadi seorang ksatria dengan ukuran seorang siaujin (manusia rendah). Se-kiat tertawa gelak-gelak: Terima kasih atas kebaikan Thiat-cecu. Tapi maafkan, aku tak dapat menerimanya. Ia sengaja hendak pamerkan lwekangnya. Maka ketawanya itu bergemerontang seperti batu logam terbentur. Kumandangnya jauh sampai menyusur ke lembah. Dengan ketawa itu, Se-kiat hendak mengunjukkan bahwa ia masih mempunyai tenaga cukup untuk melayani Thiat-mo-lek, tak memerlukan suatu senjata apapun lagi. Benar juga, kelihayan anak muda itu telah mengejutkan seluruh hadirin. Thiat-mo-lek sendiri tetap tenang. Dengan tersenyum simpul ia berkata: Kita kaum persilatan, selalu pegang teguh akan setiap patah ucapan. Masakan kita mau ingkar? Tampak Se-kiat kerutkan dahi. Setelah bersangsi sebentar, dengan enggannya terpaksa ia menyambuti pedang dari Thiat-mo-lek itu. Dalam detik-detik tadi, batinya mengalami pertentangan-pertentangan. Pertama ia membatin: Sifat kesatriaan Thiat-mo-lek ini amat menonjol sekali, menawan hati orang. Lebih baik aku mengalah, menyerahkan kedudukan Bengcu kepadanya. Tetapi bisikan hatinya yang lain lagi menentang: Dari ribuan li aku datang kemari, apakah tujuanku? Seorang lelaki sejati yang mencita-citakan usaha besar, masakah goyah pendirian karena urusan kecil? Baru ia merenung begitu, tiba-tiba Thiat-mo-lek sudah mulai mempersilahkannya: Bo-heng adalah seorang tetamu dari jauh. Harap mulai menyerang dulu! Kening Se-kiat mengerut. Ia sudah mengambil ketetapan. Segera ia mengucapkan maafkanlah dan terus ayun pedangnya menyerang. Waktu Thiat-mo-lek lintangkan pedang menangkis, Se- kiat memburunya lagi dengan tiga buah serangan berantai. Begitu menyerang lantas mundur, lalu maju merapat lagi dan mundur pula. Thiat-mo-lek juga seorang jago kawak. Ia tahu gerakan anak muda itu dimaksud untuk mengalah sampai tiga jurus. Hal itu selaku pernyataan terima kasih atas budi pinjaman pedang pusaka tadi. Harap Bo-heng jangan sungkan-sungkan, katanya. Dengan jurus Tiat-soh-heng-kang atau rantai besi melintang sungai ia halau pedang Se-kiat keluar garis pertahanannya. Jurus itu mengandung dua gaya: menyerang dan bertahan. Memiliki gerak lanjutan yang membahayakan lawan. Jika Se-kiat masih main sungkan tak mau menyerang sungguh-sungguh, ia tentu bakal terjirat dalam kedudukan sulit. Se-kiat mengerti bahwa ia dipaksa lawan supaya menyerang sungguh-sungguh. Ya, apa boleh buat. Ia segera gunakan jurus pek-hong-koan-jit atau bianglala putih menyilang matahari. Pedangnya menerobos masuk ke dalam lingkaran pertahanan Thiat-mo-lek. Perbawa jurus pekhong- koan-jit itu dahsyat sekali. Menusuk ke atas dan memapas ke bawah. Pedang pusaka milik Toan Khik-sia itu, kali ini benar-benar dapat kesempatan untuk mengembangkan perbawanya. Bagus! saking kagumnya, Thiat-mo-lek sampai berseru memuji. Tapi iapun tak berani berayal. Tiba-tiba pedangnya diputar berlingkar seperti gaya gerakan golok besar. Kemudian baru melancar sebuah tabasan. Tapi tabasan itu bergaya istimewa sekali, lain dari yang lain. Ujung
pedang dari bawah melibat ke atas, lalu dijungkirkan untuk memapas lengan kanan Se-kiat. Ilmu permainan itu adalah buah ciptaan Thiat-mo-lek sendiri yang mengkombinasikan kelincahan ilmu pedang dengan kedahsyatan ilmu golok. Hebatnya bukan kepalang. Sudah tentu Se-kiat tak kenal akan permainan itu. Hanya dalam meninjau kedahsyatan serangan lawan itu, diam-diam ia membatin: Jelas ia mengetahui aku memakai pedang pusaka, tapi mengapa ia sengaja mau main bentur? Trang, baru menimang begitu, sudah terdengar suara senjata beradu. Dan melengketlah kedua pedang itu. Tapi pada saat itu tahu-tahu Thiat-mo-lek sudah balikkan punggung pedang untuk hantam pedang lawan sekeras-kerasnya. Begitu hebat tekanan tenaga yang dilontarkan Thiat- molek, hingga pedang Se-kiat menjadi condong, tangannyapun terasa sakit sekali. Betapa ia hendak gunakan ilmu menghapusm namun hanya dapat menghapus tiga bagian tenaga lawan saja. Kini barulah Se-kiat insaf akan tenaga Thiat-mo-lek yang luar biasa kuatnya itu. Itulah sebabnya maka Thiat-mo-lek tak gentar menghadapi pedang pusaka. Di pihak Thiat-mo-lek pun tak kurang kejutnya. Bahwa hantamannya tadi tak mampu membuat pedang si anak muda terlepas jatuh, telah menimbulkan rasa kekaguman. Perlu dikemukakan disini, bahwa Thiat-mo-lek itu memang dilahirkan sebagai anak lelaki yang memiliki tenaga luar biasa. Kemudian diperhebat pula dengan latihan ilmu silat yang tinggi. Kini ia sudah menginjak usia setengah umur, sudah tentu kepandaiannya makin sempurna. Bagaimana dahsyat permainan pedangnya dapat dibayangkan. Jika tempat Se-kiat diganti lain orang, tentu sudah tak kuat menahan gempurannya tadi. Se-kiat baru berumur 20 tahun lebih. Ia tak memiliki tenaga pembawaan yang sakti. Dapat menerima gempuran Thiat-mo-lek itu saja sudah cukup membuktikan sampai dimana kesempurnaan lwekangnya. Nyata dalam ilmu lwekang ia tak di bawah Thiat-mo-lek. Berbicara tentang pedang pusaka atau pokiam, memang pokiam Khik-sia yang dipakai Se-kiat itu tajamnya bukan buatan. Tapi pedang itu tak dapat menabas benda jika tak digerakkan oleh tangan pemakainya. Apalagi untuk mengutungkan pedang Thiat-mo-lek, pedangnya itu berubah menjadi sebuah benda yang amat berat sekali. Jika hendak memapasnya. Se-kiat harus mengerahkan segenap lwekangnya. Dan hal itu tak cukup dengan sekali dua tekan saja, melainkan harus dilakukan beberapa kali pada posisi yang berbeda-beda. Tapi dikuatirkan sebelum pedang Thiat-mo-lek dapat ditabasnya kutung, pedangnya sendiri sudah akan terpukul jatuh oleh gempuran tenaga lawan yang maha kuat itu. Kini berputar- putarlah anak muda itu memainkan pedangnya ke kanan kiri. Gerakannya amat aneh dan berbahaya. Jurus apa yang digunakan itu, sukar diketahui. Tapi yang nyata, ia selalu menjaga jangan sampai berbenturan dengan pedang Thiat-mo-lek. Rupanya ia hendak mencari lubang lemah dari pertahanan orang. Tujuh kali serangan pedang ia lontarkan berturut-turut. Saking gencarnya permainan pedang anak muda itu, sekalian penonton sampai berkunang-kunang matanya. Thiat-mo-lek mengambil posisi menurut perhitungan kiu-kiong-pat-kwa untuk menghadapi serangan si anak muda. Satu demi satu dapatlah ia memecahkan ketujuh serangan Se-kiat. Sekonyong-konyong Thiat-mo-lek menggembor keras dan menusuk dengan cepat sekali. Anginnya sampai menderu-deru. Jurus itu disebut Toa-moh-ko-yan-tit atau asap membubung di padang pasir. Sebenarnya hanya jurus ilmu pedang yang biasa saja, tapi di tangan Thiat-mo-lek, jurus itu hebatnya tak terkira. Beberapa penonton yang berada di dekat gelanggang situ, sampai menggigil dingin karena mukanya tersambar angin pedang itu. Se-kiat putar tubuhnya dan putar pedangnya melingkar bundar. Gerakan itu tepat sekali dapat mengurung pedang lawan. Tring, tring, kembali pedang mereka beradu dan cepat sekali pedang itu berpisah lagi. Pedang Thiat-mo-lek berhias sebuah rompalan, sebaliknya, Se-kiat tersurut mundur beberapa langkah. Jurus yang digunakan Se-kiat itu disebut Tiang-ho-lok-jit-wan atau matahari terbenam di sungai Tiang-ho. Dengan jurus toa-moh-ko-yan-tit yang dipakai Thiat-mo-lek itu merupakan dua jurus ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat. Pertarungan kedua jago tadi, sepintas pandang tampaknya seperti dua orang saudara seperguruan saling berlatih. Tapi gerak keindahannya, inti kekerasan dan
kelemasan dari ilmu pedang, rahasia-rahasia dari ilmu melepaskan diri dan mematikan lawan, semuanya telah tercangkup dalam kedua jurus permainan tadi. Nyata kedua jurus itu telah diperkembangkan secara sempurna oleh kedua jago tersebut. Kalau di tengah gelanggang kedua jago itu telah menumplak seluruh kemampuannya, adalah para hadirin yang menyaksikan di sekeliling gelanggang itu yang menjadi tegang. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah, napas naik turun tak berketentuan. Setelah kedua jago saling pencar, sekalian orang gagah itu sama berpandangan satu sama lain sendiri. Tokoh-tokoh kelas satu atau yang disebut ko-chiu, saat itu merasa dirinya kecil. Mereka mengakui kepandaiannya masih jauh terpautnya dengan kedua jago yang bertanding itu. Dan ketegangan suasana yang menyesakkan napas sekalian penonton itu kemudian telah dipecahkan dengan sorak-sorai yang menggemparkan. Kalau dalam babak pertempuran Se-kiat lawan Khik-sia tadi, para hadirin sudah sama leletkan lidah, adalah kini sama sekali mereka tak menyangka bakal menyaksikan suatu pertempuran yang lebih tinggi mutunya. Memang tampaknya pertempuran itu tak sehebat pertandingan Se-kiat lawan Khik-sia tadi. Tapi bagi mata seorang ahli, pertandingan Se-kiat lawan Thiat-mo-lek sekarang inilah baru tepat disebut pertandingan ilmu pedang yang sesungguhnya. Tadi Khik-sia mengkombinasikan ilmu gin-kang dengan ilmu pedang, maka gayanya pun berjenis ragam dan dilakukan serba cepat. Bagi pandangan mata sudah tentu cara bertempur seperti itu menyenangkan sekali. Tapi dalam hal keindahan ilmu pedang, kalah dengan partai yang terakhir ini. Thiat-mo-lek kembangkan lagi permainan pedangnya. Kali ini lebih menghebat. Cepat dan dahsyatnya seperti harimau mengamuk, tapi tenang dan kokohnya bagaikan gunung. Setiap jurus yang digunakan selalu ilmu pedang 'terang', tak mau ia memakai jurus-jurus aneh dan berbahaya untuk nyelonong menyerang ke bagian lemah dari lawan. Sekalipun begitu karena setiap jurus itu mengandung perbawa yang dahsyat, lawan pun menjadi gentar juga. Untuk menghadapi kekerasan lawan, Se-kiat gunakan inti 'kelemasan menundukkan kekerasan' dari ilmu pedang. Baik gerak tubuh maupun permainan pedangnya, semua ringan bagaikan air mengalir atau awan bertebaran di udara. Kedua jago itu yang satu gagah perkasa, yang lain lemah gemulai. Kedua-duanya sama-sama menguasai pokok-pokok sari keindahan dari ilmu pedang. Sampai detik itu pertempuran sudah berlangsung setengah jam, namun masih belum ada yang kalah atau menang. Para jago pedang dalam kalangan hadirin itu sama terpesona seperti orang dimabuk arak. Sementara sebagian besar dari hadirin, karena pertandingan itu merupakan babak final untuk menetapkan Bengcu, mereka sama tegang urat syarafnya. Pendukung-pendukung Thiatmo- lek dan penunjang-penunjang Se-kiat, sama sibuk kerupukan sendiri. Mereka kebanyakan tak mengerti ilmu pedang, maka apabila ada salah seorang jago yang terdesak, reaksinya tentu disambut dengan kegirangan atau kecemasan oleh kaum pendukungnya. Disamping itu ada lain golongan yang tidak pro sana-sini alias netral, mereka saling bertaruh. Ada yang memegang Se-kiat dan ada yang memegang Thiat-mo-lek. Merekapun tak kalah berisiknya sewaktu bersorak-sorak dan berteriak-teriak mendorong semangat jagonya masing-masing. Walaupun lagi bertempur, namun Thiat-mo-lek tetap pasang mata dan telinga akan keadaan di sekitar gelanggang situ. Jelas dilihatnya, apabila ia menang angin, maka pihak Li Thian-go dan kawan-kawan sama-sama berjingkrak-jingkrak marah. Sebaliknya golongan Kay Thian-ho dan kawan-kawan tampak bermuram durja. Walaupun tangan Thiat-mo-lek tak pernah berayal untuk menghalau serangan dan memecahkan tipu lawan, namun batinnya bergolak, pikirnya: Ucapan Han Wi tadi memang benar. Aku adalah anak angkat keluarga Tou. Perselisihan antara kedua keluarga Ong dan Tou itu sudah berjalan hampir seabad. Sekalipun Ong Pek-thong sudah meninggal dan puterinya sudah menyatakan suka menghapuskan dendam keluarganya, tapi anak buah Ong Pek-thong masih banyak sekali. Belum tentu mereka mau taat padaku. Ditilik dari gerak-gerik Li Thian-go dan kawan-kawan itu terang mereak itu tak suka aku menjadi Bengcu. Taruh kata aku menjabat Bengcu dan kuperlakukan mereka dengan sama rata, mungkin mereka akan berbalik pikiran. Tapi hal itu urusan di belakang hari, yang nyata pada waktu sekarang ini mereka mempunyai hati menentang lebih dulu. Kalau
begitu, kedudukan Beng-cu tak ada manfaatnya bagiku, bahkan dapat meretakkan persatuan. Kemudian pikirnya lebih jauh: Shin-toako dan To-siok-siok menasihati supaya aku merebut kedudukan Bengcu, maksudnya tak lain tak bukan ialah mengharap aku dapat mendamaikan silangsengketa di dunia Lok-lim. Dengan ada satu pimpinan, masalah rebutan daerah operasi dan barang rampasan tentu akan berkurang. Selain itu sebagai Bengcu ia berhak untuk memberi komando agar anggota-anggota di daerah-daerah suka saling membantu, kemudian dipersatukan untuk melawan tentara negeri. Memang maksud tujuan kedua orang itu baik sekali, tapi karena ternyata aku tak mempunyai kewibawaan untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan itu, maka tak berguna aku ikut bercokol menjadi raja gunung dan menentang kerajaan. Ah, mengapa saat ini aku ngotot hendak merebut kedudukan Bengcu? Mengapa tak mengalah saja? Baru Thiat-mo-lek menimang sampai disitu, Se-kiat kembali melancarkan 7-8 kali serangan berantai. Serangan-serangan itu hebat dan indah sekali. Meskipun Thiat-mo-lek dapat menghalaunya satu demi satu, namun tak urung hatinya merasa kagum juga. Kembali pikirannya melayang: Bo Se-kiat ini selain berkepandaian tinggi pun selama berkelana di dunia persilatan itu ia selalu dapat menundukkan orang dengan bijaksana. Perilakunya itu dapat digolongkan sebagai ksatria yang berbudi luhur. To-sioksiok kuatir anak itu mempunyai hati serong. Kuatir bila dia menjadi Bengcu akan membawa kawan-kawan Lok-lim ke jalan yang nyeleweng. Memang hal itu pantas menjadi pemikiran. Tapi apakah benar dia akan berbuat begitu, itulah kelak baru dapat diketahui. Andaikata kemudian hari negara terjadi kekalutan, dan anak muda itu benar-benar mempunyai ambisi untuk menjadi raja, itupun apa salahnya? Lalu ia berpikir pula: Sekarang banyaklah orang yang mendukung Bo Se-kiat. Memang kalau dihitung jumlahnya, pendukungku tetap lebih besar dari dia. Tapi Li Thian-go dan kawankawannya itu adalah pengikut-pengikut setia dari Ong Pek-thong. Kalau disuruh memilih antara aku dengan Se-kiat, sudah tentu mereka akan memilih Bo Se-kiat. Setelah ia menjadi Bengcu, aku akan dapat mengusahakan supaya pengikut-pengikut Ong Pekthong dan anak buah Kim-ke-nia, taat padanya. Tapi jika aku yang menjadi Bengcu, tentu tak ada orang yang akan membantu aku supaya kawan-kawan Lok-lim itu tunduk padaku. Ditilik dari sudut ini, untung ruginya sudah jelas. Demi untuk persatuan, demi pergerakan, mengapa aku tak memberikan kedudukan Bengcu kepada Bo Se-kiat saja? Berpikir begitu, makin mantaplah keputusannya. Tepat pada saat itu Se-kiat gunakan jurus beng-pok-kiu-siau. Tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun sambil menusuk. Setelah mempunyai ketetapan untuk mengalah, maka Thiat-mo-lek sengaja luruskan pedangnya kemuka pura-pura menangkis. Bret, tahu-tahu lengan bajunya robek karena terpapas secabik oleh pedang Se-kiat. Jilid 4 Cepat jago budiman itu loncat keluar gelanggang. Begitu pedang disarungkan ia segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat. Serunya dengan lantang: Bo-hengte benar- benar sakti, aku mengaku kalahlah. Selamat kuhaturkan kepada Bo-hengte sebagai Bengcu baru. Aku si orang she Thiat rela menjadi pengiringmu saja! Ucapan Thiat-mo-lek itu seperti bunyi halilintar di siang bolong. Saking kejutnya akan kejadian yang tak disangka-sangka itu, sekalian hadirin menjadi bungkam semua. Siapapun tak percaya bahwa Thiat-mo-lek secara tiba-tiba dikalahkan Se-kiat. Dan pula hanya terpapas secabik lengan bajunya, masakan begitu mudah sudah mengaku kalah. Se-kiat sendiripun merasa heran. Tapi dikarenakan serangan Se-kiat itu memang luar biasa bagusnya dan tipu daya Thiat-mo-lek untuk berpura-pura kalah itu pun teramat indahnya, maka tiada seorangpun yang mengetahui siasatnya itu. Bahkan Se-kiat sendiripun kena dikelabuhi. Ia mengira bahwa secara beruntung sekali dapat mengalahkan lawan. Jurus peng-pok-kiu-siau yang kugunakan tadi adalah jurus yang mengandung resiko besar. Jika ia gunakan gerak ki-hwe-lian-thian (mengangkat api, menyuluh langit), karena tubuhku
mengapung di udara aku tentu sukar menghindar. Kesalahannya tadi ialah ia tak seharusnya menjulurkan pedang lempang ke muka. Ah, menilik ilmu pedangnya yang amat sakti itu, mengapa tiba-tiba ia bisa berbuat kekeliruan? Apakah memang diriku sudah diberkahi untuk menjadi Bengcu hingga dalam saat-saat yang genting itu lawan berbuat kesalahan? Demikian Se-kiat mengadakan analisa dalam hatinya. Hal itu disebabkan karena ia tahu bahwa serupa dengan dirinya sendiri, tadi tampaknya Thiat-mo-lek itu amat bernafsu sekali untuk merebut kedudukan Bengcu. Sudah tentu ia tak mengetahui, kalau Thiat-mo-lek itu memang sengaja mengambil putusan untuk mengalah. Setelah tersadar dari termenungnya, sekalian orang gagah sama membatin: Ya, dalam kedudukannya itu, jika karena kealpaan kecil sampai menyebabkan kekalahannya, sudah tentu Thiat-mo-lek sungkan untuk melanjutkan pertempuran. Sebagai seorang ksatria tentu ia mengaku kalah. Lama sekali para orang gagah itu sama merasa gegetun atas kekalahan Thiat-mo-lek. Malah ada juga yang penasaran, mengapa Thiat-mo-lek sampai gunakan jurus yang begitu tololnya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, Thiat-mo-lek sudah mengaku kalah dan pengangkatan Se-kiat menjadi Bengcu itu sudah pasti. Suasana sunyi yang meliputi gelanggang pertempuran itu, tiba-tiba dipecahkan oleh hiruk-pikuk dan sorak-sorai yang gempar. Rombongan Kay Thian-ho dan rombongan Li Thian-go sama berbondong-bondong datang memberi selamat kepada Se-kiat. Pihak rombongan Kim-ke-nia, walaupun masgul, tapi atas dorongan Thiat-mo-lek pun maju untuk memberi selamat kepada anak muda itu. Melihat itu, diam-diam Thiat-mo-lek bergirang dalam hati. Pikirnya: Pengalahanku itu ternyata tepat. Jika aku yang menjadi Bengcu, tak mungkin segenap hadirin akan memberi selamat dengan tulus hati sebagaimana sekarang terhadap Se-kiat. Toan Khik-siapun tak ketinggalan maju memberi selamat. Se-kiat segera mengembalikan pokiam kepadanya sambil menghaturkan terima kasih. Kemudian Bengcu baru itu berkata: Toanhiante, ada dua orang sahabatmu juga datang kemari. Apakah kau sudah menjumpai mereka? Belum. Tapi entah sahabat yang mana? Khik-sia balas bertanya. Berbareng dengan kata-katanya itu, Ang-ih-li-hiap Lu Hong-jiu ikut pada Shin Thian-hiong datang memberi selamat kepada Se-kiat. Memandang sejenak kepada nona baju merah itu, tiba- tiba terkilas sesuatu dalam hati Se-kiat. Sungguh tak kunyana sama sekali bahwa aku bisa berhasil menjadi Bengcu. Dan sekalian kawan-kawan sama memberi dukungan. Mereka begitu hiruk-pikuk kacau. Entah dimanakah kedua sahabatmu tadi? Tapi jangan gelisah, sebentar mereka berdua tentu akan mencarimu juga! kata Se-kiat kemudian kepada Khik-sia. Di sana Yak-bwe sedang berbisik perlahan-lahan kepada In-nio: Cici In, kiong-hi, kionghi! Kiong-hi artinya memberi selamat. Sudah tentu muka In-nio menjadi merah dibuatnya. Ia berseru: Kiong-hi untuk apa? Si dia telah menjadi Bengcu tanpa merusak perhubungan dengan Thiat-sioksiok. Apakah ini tak layak kuberi kiong-hi? sahut Yak-bwe. Kong-hi, kiong-hi juga kepadamu! In-nio balas menghaturkan hormat. Apa yang kau kiong-hikan? tanya Yak-bwe dengan keheranan. Kiong-hi untuk pergabungan kalian berdua pada hari ini. Itu lihatlah, dia mu juga sedang memberi selamat pada Se-kiat. Mengapa kau tak lekas-lekas menjumpai dia kesana? kata In- nio. Tapi waktu Yak-bwe arahkan matanya kesana, dilihatnya si nona baju merah tengah berdiri merapat pada Khik-sia, Yak-bwe segera jebikan bibir dengan marahnya. Aku tak sudi kesana! serunya dengan banting-banting kaki. In-nio tertawa: Kau adalah tunangannya yang sah, yang resmi, mengapa takut pada nona itu? Siapa bilang aku takut padanya! Yak-bwe menggeram. Habis mengapa kau tak berani menemui dia? kata In-nio dengan setengah mengejek setengah membakar hatinya. Benar juga Yak-bwe kena dibikin panas hatinya. Ia biarkan saja ditarik berjalan oleh In-nio. Nona Lu itu berhati lapang, ramah terhadap orang. Belum tentu ia mempunyai apa-apa dengan
Se-kiat. Harap kau jangan terburu ngambek dulu, kata In-nio pula sambil tertawa. Saat itu di tengah gelanggang sudah ramai sekali. Penuh dengan orang yang mondar-mandir kian kemari mengelilingi Se-kiat. Belum In-nio dan Yak-bwe berhasil mendekati ke tempat Se- kiat, tiba-tiba terdengar ada orang berseru, Hai, cuaca begini cerah, di langit tiada awan sama sekali, mengapa mendadak ada suara guntur? Kedua nona itu turut mendengarkan. Benar juga lapat-lapat seperti ada guntur menggelegar. Tidak, itu bukan suara guntur, tapi seperti bunyi genderang tentara negeri! tiba-tiba Hiong Kigwan, jago tua yang menjadi juri dalam pertandingan babak terakhir tadi, menyeletuk. Dia seorang veteran (jago kawak) yang kenyang dengan pengalaman bertempur melawan tentara negeri. Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Segumpal asap yang berwarna hitam kebiru-biruan melayang ke udara. Datangnya bola asap itu dari kaki gunung. Itulah coa-yam-cian atau panah ular api yang dilepas oleh kawanan kaulo ( anak buah) dari gunung Kim-ke-nia. Coa-yam-cian itu diperuntukkan memberi tanda jika ada bahaya datang. Selagi sekalian orang menduga-duga, dua orang thaubak (kepala liaulo) berlari-lari datang sambil melambai-lambaikan bendera merah. Celaka, pasukan tentara negeri menyerbu kemari! teriak mereka. Seketika gemparlah orang-orang gagah di gelanggang situ. Mereka sama menggertek gigi dengan marah. Di sana sini segera terdengar orang memaki-maki. Tentu ada pengkhianat yang membocorkan tentang rapat kita ini! seru seseorang. Jahanam, mereka hendak mengadakan razia untuk menangkap kita! ada seorang lain yang mendamprat. Bagus, kebetulan sekali mereka datang! Kita cincang mereka sampai hancur lebur untuk selamatan hari pengangkatan Bengcu kita!teriak seorang lagi dengan gagahnya. Se-kiat segera meredakan mereka: Harap saudara-saudara jangan panik. Kita lihat dulu keadaan mereka, baru nanti kita atur perlawanan! Sementara itu genderang berbunyi memecah angkasa. Bendera berkibar-kibar seperti lautan pelangi. Tentara negeri bagaikan air bah sudah menyerbu datang. Se-kiat dan Thiat-mo-lek memperhatikan dengan seksama. Tentara yang datang itu ternyata bukan serdadu biasa. Mereka sama mengenakan baju perang yang lengkap. Garang dan tegar-tegar tampaknya. Jelas mereka itu terdiri dari empat buah pasukan. Mereka melakukan penyerangan dalam formasi mengurung bersama. Pasukan mereka amat rapi, bergelombang datangnya, tapi tidak kacau. Pimpinannya tentu seorang yang mempunyai bakat tay-ciang (jenderal) cemerlang! Sekalian orang gagah yang berkumpul di atas gunung Kim-ke-nia itu memang rata-rata mempunyai kepandaian silat tinggi, pun sudah beberapa kali bertempur dengan tentara negeri. Tapi rasanya mereka belum pernah menghadapi gelombang serangan dari pasukan negeri yang begitu besar jumlahnya dan bagus disiplinnya. Walaupun ada beberapa orang yang masih gembar- gembor mengumpat caci, tapi diam-diam mereka itu sebenarnya gentar juga. Kawan-kawan, kita yang hadir sekarang benar gagah berani, tapi mereka hanya mengandalkan keberanian saja. Kebanyakan belum pernah mendapat latihan kemiliteran. Dikuatirkan sukar menghadapi serangan tentara negeri seperti kali ini, diam-diam Se-kiat membuat analisa dalam hati. Baru ia membayangkan hal itu, tentara negeri sudah maju. Kini mereka sudah berhasil mencapai setengah bagian gunung. Thiat-mo-lek terbeliak kaget. Pasukan yang datang dari sebelah utara dan selatan itu, yang satu membawa bendera bertuliskan huruf Cin dan yang lain membawa bendera berhuruf Ut-ti. Nyata kedua pasukan itu adalah pasukan Gi-lim-kun (istana) yang dipimpin oleh Cin Siang dan Ut-ti Lam. Diam-diam Thiat-mo-lek mengeluh. Dahulu sewaktu ia masih bekerja sebagai Wi-su (pengawal istana), ia bersahabat baik sekali dengan Ut-ti Lam dan Cin Siang. Siapa nyana kini ia harus berhadapan dengan mereka sebagai musuh! Se-kiat kerutkan alis. Ujarnya kepada Thiat-mo-lek: Ah, ternyata mereka itu adalah pasukan Gi-lim-kun dari Tiang-an. Menilik gerakan mereka yang sedemikian besarnya itu, pastilah ada pengkhianat yang membocorkan pertemuan kita kepada pihak kerajaan.
Anak muda itu berhenti sejenak lalu menyambung pula: Karena musuh dipersiapkan rapi, turut pendapatku lebih baik kita mundur saja. Meskipun dengan berbuat begitu kita akan korbankan markas Shin-toako di sini, tetapi kekuatan induk kita masih dapat diselamatkan. Setelah nanti kekuatan kita tersusun kuat, kita akan gempur mereka lagi. Bagaimanakah pendapat Toako? Thiat-mo-lek juga mempunyai pikiran begitu. Ia menyatakan persetujuannya. Tapi belum saja kata-katanya selesai, pasukan musuh dari arah timur dan barat sudah menyerbu datang. Pasukan dari sebelah timur itu bukan pasukan Gi-lim-kun. Pemimpinnya seorang tua yang berwajah merah, itulah Yo Bok-lo, musuh besar dari Thiat-mo-lek. Ayah Thiat-mo-lek dibunuh oleh orang she Yo itu. Sementara pemimpin pasukan dari sebelah barat adalah Gou Beng-yang, thongleng atau pemimpin pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su. Jika bertemu musuh besar, orang tentu menjadi beringas. Walaupun setuju untuk mundur, namun begitu melihat Yo Bok-lo, Thiat-mo-lek menjadi lupa segala. Serentak ia memburu maju dan berseru: Bagus, bangsat tua, kiranya kau belum mampus! Aku Thiat-mo-lek memang hendak mencarimu! Thiat-toako, kembalilah! dengan terkejut Se-kiat buru-buru memanggilnya. Tapi Thiat-molek tak mau menghiraukan lagi. Yang tiba lebih dahulu ternyata pasukan berkuda dari Cin Siang. Kuda mereka kuda pilihan, maka dapat mendaki naik dengan cepat. Serta tiba, mereka lalu menghambat jalannya Thiat- molek. Kedatangan Cin Siang kesitu itu, sebenarnya bukan atas kehendaknya sendiri. Tian Seng-su mengirim laporan rahasia kepada pihak kerajaan, mengatakan bahwa pada hari itu benggolanbenggolan perampok dan penyamun dari berbagai aliran akan mengadakan pertemuan di gunung Kim-ke-nia. Hal itu merupakan suatu ketika baik untuk merazia mereka. Agar gerakan razia itu berhasil bagus, Tian Seng-su minta pihak kerajaan suka mengirimkan pasukan Gi-lim-kun untuk membantunya. Pihak kerajaan terpaksa meluluskan. Pertama, untuk merebut hati Tian Seng-su, seorang war lord (panglima daerah yang berkuasa besar). Kedua, karena kawanan penyamun itu merupakan pengganggu keamanan negeri. Dengan mengadakan pertemuan besar, mereka tentu akan mengadakan gerakan rahasia yang membahayakan negara. Dengan pertimbangan itu, mau tak mau pihak kerajaan lalu mengirim pasukan pilihan, Gi-lim-kun. Dan memang jalannya kehidupan manusia itu serba aneh. Seperti sudah suratan nasib, Cin Siang dan Ut-ti Lam yang diwajibkan untuk memimpin pasukan Gi-lim-kun itu. Sudah hampir 10- an tahun, Cin Siang tak pernah bertemu dengan Thiat-mo-lek. Maka mereka menyangka sama sekali kalau bakal berjumpa lagi dalam keadaan yang begitu. Keduanya sama merasa tak enak hatinya. Dengan suara pelahan mungkin, Cin Siang berseru: Thiat-hengte, mengapa kau menyiksa diri di dalam kawanan penyamun? Kini kawanan dorna sudah dibersihkan dalam kalangan kerajaan. Lebih baik kau ikut aku kembali ke Tiang-an lagi. Dengan segenap jiwa raga, aku sanggup melindungi dirimu. Sahut Thiat-mo-lek: Masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri-sendiri. Maaf, siaute tak dapat meluluskan titah toako itu. Apabila Toako suka mengingat akan persaudaraan kita yang lalu, harap Toako suka beri jalan pada Siaute. Nanti bila Siaute sudah dapat melakukan pembalasan sakit hati, Siaute rela menyerahkan diri untuk memenuhi harapan Toako. Saat itu pun Jo Bok-lo sudah tampak mendatangi. Masih jauh ia sudah berteriak: Bangsat itu adalah kepala penyamun Kim-ke-nia, Thiat-mo-lek. Cin-towi, jangan lepaskan dia, aku segera datang! Apa boleh buat terpaksa Cin Siang pura-pura marah, bentaknya: Baik, karena kau tolak nasehatku yang baik, lihatlah senjataku! Pemimpin Gi-lim-kun itu segera ayunkan sepasang kan, senjata gada bersegi banyak. Waktu Thiat-mo-lek menangkis, barulah ia mendusin bahwa sahabatnya itu sebenarnya tak bermaksud menyerang sungguh-sungguh. Nyata Cin Siang hanya gunakan lima bagian dari kepandaiannya saja.
Thiat-mo-lek juga bukan orang yang lupa sahabat. Ia tak mau menyerang sungguh-sungguh. Hatinya merasa gundah. Pun Cin Siang serupa perasaannya. Ia tak kurang sulitnya. Tak mau melepaskan Thiat-mo-lek, juga tak ingin melukainya. Sungguh suatu kedudukan yang serba sulit. Dalam pada itu, Ut-ti Pak, saudara Ut-ti Lam, sedang congklangkan kudanya mendatangi. Sembari angkat pian, ia berseru: Kepala penyamun yang merampok kuda negara berada di sana. Ha, Tecu dari Kim-ke-nia juga di sana. Cin-toako, ringkus bangsat itu! Si berangasan Ut-ti Pak itu ternyata bukan orang tolol. Dalam saat-saat yang genting dapat juga ia menemukan akal. Dengan seruan itu, ia kasih jalan pada Cin Siang agar Thiat-mo-lek bisa bebas. Rupanya Cin Siang tahu juga akan maksud si berangasan itu. Ya, ya, kita lebih penting tangkap tawanan itu. Yo lo-siansing, kuserahkan orang ini kepadamu supaya kau mendapat pahala. Ia pura-pura hantamkan senjatanya, lalu bersama Ut-ti Pak maju kemuka, menerjang barisan penyamun. Kini Thiat-mo-lek mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan musuh besarnya. Dengan menggerung keras, ia menyongsong Yo Bok-lo dengan serangan jurus lat-bik-hoa-san atau menhantam sekuat-kuatnya gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus lat-bik-hoa-san itu merupakan jurus ilmu permainan golok. Bahwa Thiat-mo-lek sudah gunakan pedang dengan jurus ilmu golok, adalah karena ia sangat bernafsu sekali untuk menyerang musuh itu. Yo Bok-lo menghadapinya dengan tangan kosong. Sekali kakinya berputar, ia lantas mainkan ilmu pukulan chit-poh-tui-hun-ciang-hoat. Tangan kiri merangsang untuk menampar gigir golok lawan, berbareng tangan kanan menghantam dada Thiat-mo-lek. Jika senjata orang tertampar, Yo Bok-lo sedianya terus akan gunakan gong-chiu-jip-peh-jin, dengan tangan kosong merebut senjata lawan. Tapi serta tenaga keduanya saling beradu, tangan Yo Bok-lo segera berdarah. Dan sekali ujung pedang Thiat-mo-lek diputar, kembali telapak kaki Yo Bok-lo tergurat luka. Untung tadi pedang Thiat-mo-lek sedikit condong karena kena ditampar lawan, jadi posisi pedangnyapun mendoyong. Jika tidak, telapak kaki orang she Yo itu tentu sudah kutung! Dahulu sudah beberapa kali Yo Bok-lo bertempur dengan Thiat-mo-lek. Dan setiap kali tentu dialah yang menang angin. Maka mimpipun tidak dia bahwa dalam gebrak pembukaan saja ia sudah menderita luka. Kejut orang she Yo itu tak terperikan. Beberapa tahun tak berjumpa, ternyata kemajuan anak ini bertambah pesat sekali! diam-diam ia harus mengakui. Tapi Thiat-mo-lek juga tak kurang getarnya: Bangsat tua ini umurnya sudah mendekati 70-an tahun, tapi ia sanggup menyambut serangan pedangku dengan tangan kosong. Jika aku tak menang dari tenaga kemudaanku, mungkin aku benar-benar bukan tandingannya! Waktu bertempur lagi, keduanya sama-sama tak berani memandang rendah. Karena menderita luka lebih dulu, Yo Bok-lo tetap yang rugi. Waktu Gou Beng-yang datang dengan pasukannya, ia lantas membantu Yo Bok-lo. Betapapun lihaynya Thiat-mo-lek, namun karena musuh banyak jumlahnya, jadi ia tetap terkepung. Tapi Se-kiat sudah keluarkan perintah untuk mundur. Tapi karena melihat Thiat-mo-lek terkepung, orang-orang sebawahan lama dari keluarga Tou dan anak buah Kim-ke-nia, tak mau berpeluk tangan. Dengan gagah berani mereka menyerbu tentara negeri. Tapi anak buah pasukan Gi-lim-kun itu sama mengenakan baju perang dari besi. Pula mereka itu sudah terlatih baik untuk berperang secara massal (gelombang besar). Sebaliknya kawanan orang gagah dari Lok-lim itu hanya mahir dalam ilmu silat perseorangan. Sekalipun setiap orang sanggup melawan sepuluh musuh, namun menghadapi gelombang serangan dari empat jurusan, mereka tetap kewalahan juga. Toan-hiante, lekas bantu Thiat-sioksiokmu keluar dari kepungan. Minta dia supaya suka memikirkan keadaan keseluruhannya dan lekas turut kita mundur! buru-buru Se-kiat meneriaki Khik-sia. Habis itu ia berseru keras, Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak memperoleh kayu bakar! Teng-locianpwe, To-toasiok, harap kalian pimpin kawan-kawan dari lain-lain tempat
dan mundur ke belakang gunung. Shin-cecu, pimpinlah anak buah Kim-ke-nia melawan di bagian tengah, Kay Thian-ho, kau dan aku yang memotong di bagian belakang! Sekalian orang gagah yang mendengar perintah itu, sama taat. Mereka anggap komando Bengcu baru itu tepat sekali. Tetapi masih ada beberapa orang yang bawa maunya sendiri, bertempur secara perseorangan. Lebih-lebih anak buah dari gunung Hui-hou-san, Yan-san-ce dan Kim-ke-nia. Mereka baik sekali dengan Thiat-mo-lek, seperti saudara sehidup semati. Mereka hanya curahkan perhatian untuk menolong Thiat-mo-lek. Perintah Se-kiat tadi dianggapnya sepi saja. Melihat itu hati Se-kiat merasa kecewa dan girang. Kecewa karena ia masih kalah berwibawa dengan Thiat-mo-lek. Ya, maklum, karena baru saja menjabat Bengcu. Girang sebab ia mengetahui ciri kelemahan Thiat-mo-lek, yakni kekurangan toleransi (kesabaran), Thiat-mo-lek masih mudah dipengaruhi oleh rasa sentimen kemarahan. Ini bukan martabat dari seorang pemimpin besar. Selintas timbul dalam hati Se-kiat untuk melepas budi, maka begitu mencemplak seekor kuda tegar, ia lantas menerjang maju. Anak buah Kim-ke-nia saat itu tengah dikepung pasukan Gi-lim-kun. Mereka dicerai-beraikan oleh tentara kerajaan itu sehingga tak dapat saling bantu. Kesitulah Se-kiat menyerbu. Pakaian baja dari Gi-lim-kun berat dan tak tembus senjata tajam, tapi dengan permainan pedang yang lihay, Se-kiat selalu dapat menusuk tepat ke bagian tenggorokan mereka yang tak terlindung itu. Dalam beberapa kejap saja robohlah berpulu-puluh anggota Gi-lim-kun. Dengan begitu dapatlah Se-kiat menolong anak buah penyamun yang sudah tercerai-berai itu. Bukankah kau ini Bo Se-kiat yang merampas kuda milik kerajaan! tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Menyusul seekor kuda putih menerjang tiba. Penunggangnya seorang opsir bermuka hitam. Orang dengan kudanya, merupakan suatu warna yang amat kontras sekali. Opsir itu bukan lain ialah kakak dari Ut-ti Lam, Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak. Serta saling merapat, Ut-ti Pak segera ayunkan piannya menyabat, Se-kiat berseru memuji dan balas menusuk dengan pedang. Waktu Ut-ti Pak hendak menangkis, secepat kilat Se-kiat putar arah pedangnya, menusuk kuda putih lawan. Jurus serangan itu disebut Li-kong-sia-ciok (Li Kong memanah batu). Ujung pedang menusuk kepala kuda. Tapi Ut-ti Pak pun bergerak sebat sekali. Hampir pada waktu berbareng, iapun sudah balikkan pian menampar leher kuda Se-kiat. Kuda terjungkal roboh dan Se-kiat terlempar. Kini keduaduanya sama-sama tak berkuda lagi. Sayang, sayang! Kepandaianmu begitu hebat, mengapa mau jadi penyamun? teriak Ut-ti Pak. Memang aku tak berhasratkan pangkat. Hal itu pernah kukatakan kepada adikmu! sahut Sekiat. Ya, pertempuranmu dengan adikku di gunung Pak-bong-san telah kuketahui. Terima kasih atas kemurahan hatimu kepadanya. Turut kepantasan, seharusnya aku lepaskan kau, tapi aku masih ada sedikit ketidakpuasan. Tempo hari dengan tangan kosong kau dapat merebut senjata pian adikku. Maka kini jika aku tak menempur kau sampai beberapa puluh jurus, kau tentu menganggap ilmu permainan pian dari keluarga Ut-ti hanya sebegitu saja! kata Ut-ti Pak. Se-kiat mengucapkan beberapa patah kata merendah. Segera Ut-ti Pak mainkan piannya untuk mengurung tubuh Se-kiat. Terpaksa Se-kiat melayani dengan hati-hati. Ternyata permainan ilmu pian dari Ut-ti Pak itu jauh lebih lihay dari adiknya. Kalau sewaktu berhadapan dengan Ut-ti Lam, Se-kiat dapat menang dengan hanya memakai tangan kosong. Tapi sekarang walaupun menggunakan pedang, namun ia hanya dapat bermain seri saja melawan Ut-ti Pak. Kedua jago itu bertempur dengan serunya. Kalau Ut-ti Pak beringas dan tangkas, adalah Se-kiat bermain dengan tenangnya. Sinar-sinar pedangnya seperti mata rantai yang melingkar-lingkar laksana hujan deras. Keduanya sama kuat dan gagah. Melihat jalannya pertempuran itu, diamdiam Se-kiat menjadi sibuk sendiri. Di sana Toan Khik-sia pun mengamuk laksana banteng ketaton. Ia berlincahan dengan ginkangnya yang hebat. Menusuk kesana, menabas kesini. Pagar berlapis yang merupakan pasukan musuh itu, tak dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda itu. Setempo ia menyelinap masuk di antara barisan tentara, lain waktu ia berloncatan melampaui kepala para opsir musuh.
Dalam beberapa kejap saja ia sudah berhasil menerjang masuk ke dalam kepungan tentara yang memagari Thiat-mo-lek itu. Di dalam barisan yang mengepung Thiat-mo-lek itu terdapat Yo bok-lo, Gou Beng-yang dan belasan bu-su kelas satu yang menjadi orang sebawahan Tian Seng-su. Menurut penilaian, pasukan pengepung itu jauh lebih kuat dari pasukan Gi-lim-kun. Dalam kesempatan waktu Toan Khik-sia melambung ke udara, ia segera gunakan jurus gin- hosia- ing atau Bima Sakti (sungai bintang) meluncurkan bayangan. Ujung pedangnya langsung mengancam Yo bok-lo. Waktu Yo Bok-lo menghindar ke samping, terdengarlah dua kali jerit ngeri. Dua orang Busu yang berada di kanan-kiri Yo Bok-lo, sudah tembus tenggorokannya. Kiranya jurus Gin-ho-sia-ing itu mempunyai tiga gerakan berisi tenaga penuh. Sinar pedang berubah menjadi lingkaran jaring yang tertebar. Dalam lingkaran seluas satu tombak persegi, musuh tentu akan termakan binasa. Lihaynya bukan kepalang. Yo Bok-lo menggeram marah. Sekaligus ia menghantam kedua pelipis Khik-sia dengan sepasang tangan. Saat itu Khik-sia baru saja turun ke tanah. Sudah tentu Thiat-mo-lek menjerit kuatir, cepat ia hantankan pedangnya ke tengah untuk menahan pukulan Yo Bok-lo itu. Tapi ternyata Khik-sia dapat bergerak luar biasa sebatnya. Ia sudah secepat kilat menyerang tiga kali. Angin sambatan pedangnya menampar ke muka lawan. Tapi ternyata Yo Bok-lo itu seorang jago kawakan yang kenyang pengalaman. Dengan tenang sekali, ia gerakkan kedua tangannya untuk membela diri dan menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah dapat memecahkan serangan Khik-sia tadi. Gou Beng-yang buru-buru menghampiri. Lo-chiu-poan-kin atau pohon tua melingkarkan akar, adalah jurus yang dimainkan Gou Beng-yang untuk menyapu kaki Khik-sia. Tetapi dengan berlincahan macam anak kecil main loncat tali, tiga kali serangan pian beruntung dari Gou Bengyang itu selalu hanya menyambar lewat di bawah sepatu Khik-sia saja. Dalam pada itu Khik-sia telah berputar diri dan membentaknya: Bagus, kau benar-benar kaum budak yang ganas, biar kubunuhmu dulu! Cik-ci-thian-lam atau lurus menuding ke arah langit selatan, adalah jurus yang ditusukkan Khik-sia. Ujung pedangnya menyusup ke dalam lingkaran pian dan terus menusuk ke muka orang. Gou Beng-yang tersipu-sipu gunakan gerak lengkungkan pinggang menanam pohon-liau. Sembari tekuk pinggang ia gelincirkan kakinya. Dengan susah payah barulah ia dapat lolos dari tusukan Khik-sia. Namun bagaikan bayangan melekat, Khik-sia memburu dan menyusuli pula dengan serangan yang bertubi-tubi. Beng-yang menjadi sibuk bukan buatan. Sebagai Thong-leng dari pasukan Gwe-thok-lam, sudah tentu Beng-yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi. Hanya karena pernah kecundang satu kali oleh anak muda itu, maka belum-belum ia sudah mempeuyai rasa takut terhadap Khik-sia. Rasa takut merupakan halangan besar bagi orang tengah bertempur. Karena takut, permainannya menjadi tak wajar. Terhadap serangan Khik-sia itu, ia hanya dapat menangkis, sama sekali tak mampu balas menyerang. Melihat itu, Yo Bok-lo buru-buru berteriak: Gunakan Te-hong-to dan Liu-sing-ji untuk menghadapinya! Te-tong-to artinya ilmu permainan golok dengan bergelundungan di tanah. Sedang Liu-sing-jui adalah senjata bandringan yang diikat dengan rantai. Te-tong-to khusus untuk membabat kaki orang, sedang Liu-sing-jui menyambar-nyambar di udara untuk menghantam batok kepala musuh. Ternyata dalam rombongan Bu-su itu, ada empat orang murid Yo Bok-lo. Berkat dilatih Yo Bok-lo, ada dua orang muridnya yang mahir dalam ilmu Te-tong-to dan dua orang lagi yang pandai menggunakan Liu-sing-jui. Terhadap musuh yang lihay ginkangnya, kedua senjata itu paling cocok digunakan. Tapi ginkang Khik-sia terlalu tinggi untuk diserang oleh kedua senjata itu. Dari bawah golok tak dapat mengenai kakinya, dari atas Liu-sing-jui tak mampu menghantamnya. Tapi sekalipun begitu, Khik-sia terpaksa harus menjaga diri. Dan karena itu tekanan yang diderita Gou Beng- yang menjadi kendur juga. Kini rasa takut Beng-yangpun mulai hilang. Tiang-pian atau ruyung panjang segera dikembangkan dengan hebat. Dibawah teriakan dan bantuan para Bu-su, kini ia berbalik menjadi
menang angin. Tiba-tiba di barisan tentara negeri terbit kekacauan. Dua orang pemuda menerjang maju. Menyusul terdengar suara kelintingan. Seorang nona baju merah tampak berlarian datang. Itulah Sip-hun-leng Lu Hong-jiu. Orangnya belum tiba, senjata rahasianya sudah melayang. Seperti telah disebutkan di atas, senjata rahasianya itu berupa kelintingan emas yang besarnya hanya seperti jari telunjuk. Jika tak digunakan, dipasang pada ujung bajunya sebagai perhiasan. Kini ia timpukkan kelinting-kelinting emas itu sebagai senjata rahasia. Suaranya berkelintingan menusuk telinga. Timpukan Lu Hong-jiu bukan sembarang timpukan melainkan mengarah jalan darah orang. Seketika beberapa orang Bu-su sudah bergelimpangan roboh. Celaka, Si-hun-leng dari keluarga Lu! beberapa Bu-su yang kenal akan kelintingan istimewa itu segera berteriak kaget. Mendengar itu, paniklah barisan Bu-su. Mereka desak-mendesak lari kian kemari untuk menyelamatkan diri. Pada lain kejap, kedua pemuda tadipun sudah menerjang datang. Kiranya mereka bukan lain ialah Yak-bwe dan In-nio yang menyaru sebagai lelaki. Yak-bwe yang tiba lebih daulu, segera membabat ke bawah. Salah seorang yang menyerang Khik-sia dengan ilmu golok Te-tong-to tadi, segera tak berkutik lagi. Kini setelah berkurang tekanannya, Khik-sia segera kisarkan kaki dalam gerak Ih-hing-hoan-wi (pindah bentuk ganti tempat). Begitu sang kaki melangkah, orang satunya yang menyerang dengan Te-tong-to tadi ikut terpijat remuk tulang punggungnya. Terima kasih! Khik-sia berpaling ke arah Yak-bwe seraya berseru. Dan saat itu Yak-bwe pun tengah memandangnya. Empat mata saling beradu. Khik-sia terkesiap. Rasanya ia seperti sudah pernah bertemu dengan pemuda itu, tapi lupalupa ingat ia dimana. Apalagi di medan pertempuran yang dahsyat seperti kala itu, tak sempat lagi ia menggali ingatannya. Wut, wut, tiba-tiba terdengar bandringan menyambar kepala Khik-sia. Walaupun sekarang ia tak perlu kuatir lagi, namun tak boleh ia tinggal diam saja. Ia enjot tubuhnya ke atas untuk menyambar rantai Liu-sing-jui. Sudah tentu orang itu tak dapat menandingi tenaga Khik-sia. Sekalai dibetot, Liu-sing-jui itu terlepas dari tangannya. Setelah merebut Liu-sing-jui musuh, Khik-sia segera timpukkan ke arah Liu-sing-jui musuh kedua yang tengah menyambar datang, Trang! saking kerasnya hantaman Khik-sia, orang kedua yang menyerang dengan Liu-sing-jui itu sampai jungkir-balik. Begitu merangkak bangun cepatcepat ia lantas ikut jejak kawannya untuk melarikan diri. In-nio dan Yak-bwe lintangkan pedang untuk menyambuti sebatang pian Beng-yang. Dengan begitu dapatlah Khik-sia kesempatan untuk menghajar kedua penyerangnya yang menggunakan Liu-sing-jui tadi. Kemudian anak muda itu berputar diri dan menyerang Beng-yang kembali. Satu persatu saja sebenarnya Gou Beng-yang itu bukan tandingan Khik-sia, apalagi ditambah dengan Innio dan Yak-bwe berdua. Cret, pantat Beng-yang termakan sebuah tusukan pedang. Tanpa banyak pikir lagi, orang she Gou segera angkat kaki seribu. Bagus, Toan siauko, ilmu pedangmu sungguh hebat. Jurus kim-cian-tok-kiap tadi indah sekali! tiba-tiba Lu Hong-jiu kedengaran memuji. Ternyata nona itupun sudah dapat menerjang ke dekat Khik-sia. Tadi waktu pertama kali mendengar mulut Khik-sia mengucapkan terima kasih kepadanya, perasaan hati Yak-bwe seperti dimabuk sarinya madu. Apakah ia belum mengetahui diriku? Ai, kali ini kau tentu tahu betapa kesetiaan hatiku padamu! pikirnya. Tapi kini demi Lu Hong-jiu muncul ke dekat Toan Khik-sia dan bahu merapat bahu bertempur melawan musuh, sejenakpun Khik-sia tak mau berpaling kemari lagi. Hati Yak-bwe mendongkol sekali. Bagus, kau masih pura-pura tak kenal padaku! diam-diam ia mendamprat. Namun saat itu masih dalam pertempuran, maka Yak-bwe pun tak dapat menumpahkan kemarahannya dan terpaksa hanya mengikut di belakang anak muda itu untuk menggempur musuh.
Hong-jiu kembali memetik 3 buah kelinting emas. Sekali ayunkan tangan, ketiga kelinting itu segera melayang merupakan bentuk huruf V. Yang atas menghantam jalan darah thay-yang- hiat di pelipis Yo Bok-lo, yang di tengah mengarah jalan darah hian-ki-hiat di dadanya dan yang bawah mengancam jalan darah hoan-thiam-hiat di ujung paha orang itu. Tetapi iblis she Yo itu hanya tertawa dingin saja, Hh, mutiara sebesar biji beras, masakan dapat memancarkan sinar terang! Dua buah jari tangannya dijentikkan, kakinya ditendangkan dua buah kelinting yang melayang ke arah pelipis serta paha segera terpental balik. Sedang kelinting yang menghantam ke dadanya dibiarkan saja. Tring, kelinting itu membentur dada tapi bukan Yo Bok-lo yang roboh melainkan kelinting itu sendiri yang membal balik. Kiranya Yo Bok-lo telah menyakinkan ilmu lindung kim-ciong-toh. Jangan kata hanya sebuah kelinting kecil, sekalipun pedang dan lain-lain senjata tajam, tak nanti mampu melukai dirinya. Kalau tadi Hong-jiu mengirim ketiga buah kelintingnya dalam bentuk huruf V ( satu di atas, dua di bawah), pun kini Yo Bok-lo mengirimnya kembali juga dalam bentuk huruf tersebut. Tapi bedanya, timpukan Hong-jiu tadi hanya mengeluarkan bunyi kelintingan, adalah sekarang tamparan Yo Bok-lo itu sampai membuat kelinting-kelinting itu bersuara riuh sekali. Entah berapa kali lipat kerasnya dari timpukan si nona tadi. Selagi Hong-jiu masih meragu tak berani lekas-lekas menyambuti kelinting itu, dengan tangkas sekali Khik-sia sudah ulurkan tangannya dan menyanggapi terus diterimakan kepada yang empunya. Wajah Hong-jiu kemerah-merahan, serta merta ia berbisik mengucapkan terima kasih. Yak-bwe yang mengikuti di belakang mereka, tahu akan kejadian itu. Ia merasa girang tapi pun agak kecut hatinya. Girang karena Hong-jiu sudah memperlihatkan isinya yang sebenarnya. Nyata kepandaian nona itu tak jauh bedanya dengan dirinya. Tapi mendongkol karena Khik-sia telah menolong nona itu dengan mesranya. Sebenarnya senjata rahasia kelinting emas dari Lu Hong-jiu itu termasuk golongan tokoh persilatan kelas satu. Tapi celakanya, kali ini ia bertemu dengan Yo Bok-lo. Ilmu kim-ciong-toh yang diyakinkan orang she Yo itu merupakan ilmu penunduk dari senjata rahasia termasuk yang dimiliki Hong-jiu itu. Namun walaupun tak takut akan senjata kelinting dari Hong-jiu, Yo Bok-lo tetap gentar akan serangan pedang Thiat-mo-lek. Di saat ia bergerak untuk menghalau serangan kelinting tadi, Thiatmo- lek sudah membarengi dengan sebuah tabasan. Hampir saja ia kena tertabas. Adalah setelah pontang-panting berjungkir balik sampai tiga kali, barulah ia dapat menyelamatkan diri. Thiat-mo-lek hendak mengejarnya tapi Khik-sia segera meneriaki: Thiat- toako, Se-kiat menyuruhmu kembali. Jika kau tak mau balik, saudara-saudara kita tak mau mundur! Thiat-mo-lek tersadar, serunya Ya, benar, tak boleh karena diriku seorang sampai membikin celaka semua saudara-saudara! Ia berputar diri untuk membuka jalan keluar. Karena Yo Bok-lo dan Gou Beng-yang sudah menyingkir, tak ada lain orang lagi yang mampun menahan terjangan Thiat-mo-lek. Dalam beberapa kejap saja kepungan dari kawanan Bu-su itu telah menjadi bobol. Pada saat itu, Se-kiat dan Ut-ti Pak telah bertempur sampai 30 jurus lebih. Melihat Thiat-molek sudah meloloskan diri, Se-kiat menjadi sibuk. Ut-ti Pak selalu mendesaknya dengan seru. Awas, terimalah pianku! bahkan tiba-tiba Ut-ti Pak membentak keras seraya menyerang hebat. Ternyata ia mainkan salah satu jurus yang paling ganas dari ilmu permainan pian Cui- mopian- hwat, yakni yang disebut pat-hong-ih-hwe-tiong-ciu atau hujan dan angin dari delapan penjuru bertemu di Tiong-ciu. Ribuan sinar pian, benar-benar seperti badai menderu gelombang mendampar. Bagus! seru Se-kiat. Ujung pedang dijungkatkan ke atas, tiba-tiba ia melambung ke udara dan gunakan jurus tian-thian-cu-hiang atau mendonga ke langit membakar dupa. Sinarnya segera berubah menjadi seperti rantai, memagut-magut ke dalam sinar pian. Krak ... bret ... terdengar dua kali suara. Lengan baju Se-kiat robek terkena pian, sedang leher baju Ut-ti Pak pun berlubang termakan pedang Se-kiat. Dua-duanya menderita kerugian alias seri.
Ut-ti Pak tertawa gelak-gelak, serunya: Kau benar-benar lihay. Lain kali kita bertempur lagi sampai 300 jurus! Kiranya karena tahu Thiat-mo-lek sudah lolos, maka Ut-ti Pak pun tak mau melibat anak muda itu. Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak sengaja mengalah, maka dapatlah Se-kiat dan Thiat-mo-lek bergabung menjadi satu lagi. Beberapa kelompok anak buah penyamun yang masih terkepung, dapat juga ditolong mereka. Sekalipun diam-diam Cin Siang dan Ut-ti Pak memberi kelonggaran pada Thiat-mo-lek, namun mereka tak kuasa mencegah pasukan Gi-lim-kun yang menggempur barisan penyamun. Anak buah penyamun itu tidak menerima didikan kemiliteran, mereka bertempur sambil mundur. Digempur hebat oleh pasukan Gi-lim-kun, barisan penyamun itu berceceran kalang kabut. Tidak lagi mereka merupakan suatu formasi kesatuan, melainkan masing-masing sama lari pontang-panting menyelamatkan jiwanya sendiri-sendiri. Untung masih ada Thiat-mo-lek dan beberapa tokoh lain yang melindungi, hingga kerusakan yang dideritanya tidak begitu besar. Pada saat itu kawanan liaulo dari markas Kim-ke-nia sudah menghilang semua. Sebelum mundur, dengan memimpin beberapa anak buahnya, Shin Thian-hiong membakari belasan tempat di dalam dan di luar markasnya. Api cepat berkobar dengan hebatnya. Thian-hiong mempunyai dua maksud dengan melepas api itu. Pertama, jangan sampai tentara negeri mendapatkan barangbarang yang berada di markas. Kedua, kebakarang itu akan dapat menghalangi serbuan mereka. Thiat-mo-lek, Se-kiat, dan lain-lain bertugas untuk melindungi anak buahnya. Setelah anak buah mereka sudah sama lolos, barulah mereka mundur. Thiat-mo-lek memandangi api yang berkobar-kobar itu dengan hati kecewa. Akulah yang menjadi gara-garanya hingga markas Shin toako menjadi korban, katanya. Se-kiat menghiburinya: Api perjuangan kita takkan padam. Begitu angin musim semi meniup tentu akan berkobar lagi. Asal kita dapat bersatu padu, masakan dikelak kemudian hari kita takkan punya pangkalan yang lebih megah lagi. Mengapa toako lekas berputus asa? Thiat-mo-lek mengiyakan. Saat itu api makin besar dan menjalar luas. Hutan yang terletak di muka markas itu, dalam beberapa kejap tentu akan terjilat. Itu berarti jalanan akan putus. Tiba-tiba maka Thiat-mo-lek tertumbuk akan pemandangan yang mengejutkan. Jago tua Ban Liu-tong bersama 7-8 muridnya masih terkepung tentara negeri. Tempat mereka bertempur itu ialah di sebuah tikungan gunung, maka tadi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan tak melihat mereka. Ban Liu-tong menggunakan senjata hou-than-jiang (tombak berkepala harimau) yang beratnya tak kurang dari 50-an kati. Usianya sudah hampir 70-an tahun, namun masih begitu gagah sekali. Sudah belasan serdadu Gi-lim-kun yang binasa di tangan jago tua itu. Melihat itu Cin Siang menjadi murka. Segera ia keprak kudanya menghampiri. Celaka! Thiat-mo-lek mengeluh kaget. Cepat ia menyambar busur besi dari seorang thaubak, terus lari ke sana. Kuda tunggangan Cin Siang itu pesat sekali. Dalam sekejap saja, sudah tiba di tikungan. Belum orangnya tiba, sepasang kan-nya sudah menghantam. Ban Liu-tong coba menangkis dengan tombaknya. Cin Siang juga memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa kuatnya. Tenaganya tak di bawah Thiat-mo-lek. Sudah tentu jago tua she Ban itu tak kuat menahannya. Krak, begitu berbentur, ujung tombak segera putus. Kan di tangan kiri Cin Siang didorongkan dan senjata di tangan kanan menghantam lagi. Jangan mencelakai jiwa Ban lo-enghiong! tiba-tiba terdengar Thiat-mo-lek berteriak keras. Menyusul ia lepaskan sebatang anak panah. Anak panah itu menderu-deru menerobos di tengahtengah tombak dan Kan. Itu berarti seperti melerai mereka. Cara ilmu memanah yang lihay disertai tenaga yang luar biasa hebatnya itu, telah menimbulkan kegemparan. Sampaipun kawanan tentara negeri turut bersorak memuji. Melihat lawan tua, yang sudah beruban itu masih dapat menyambut serangannya, Cin Siang pun tak tega membunuhnya. Apalagi Thiat-mo-lek turut memintakan kelonggaran, maka ia memutuskan untuk sekali lagi membeli hati sahabatnya (Thiat-mo-lek) itu. Cin Siang pura-pura hendak menunjukkan bahwa kudanya kaget karena bidikan panah tadi, maka ia lantas jepitkan
kedua kakinya keras-keras ke pinggang kuda. Binatang itu sudah terlatih baik. Begitu pinggangnya dijepit oleh sang tuan, ia lantas berputar dan mencongklang keras ke lain jurusan. Dengan begitu, Ban Liu-tong dan murid-muridnya terhindar dari kehancuran. Kini jago tua itu bersama anak muridnya segera berjuang keras untuk mengundurkan anak buah pasukan Gi-lim-kun. Tapi celakanya dari arah belakang, pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng- su pun menyerang. Pasukan itu dipimpin oleh tangan kanan Beng-yang yang bernama Pek Siat. Ban Liu-tong menjadi beringas. Tombaknya yang kutung separoh tadi, kini digunakan sebagai toya (tongkat). Sepasang golok dari Pek Liat, kena dihantam jatuh. Tapi tiba-tiba jago tua itu menguak. Ia muntahkan segumpal darah segar. Kiranya tadi sewaktu menyambut hantaman Cin Siang, ia sudah terluka dalam. Beberapa anak muridnya buru-buru menyanggapinya. Sudah tentu Thiat-mo-lek tak dapat berpeluk tangan mengawasi kejadian yang mengenaskan itu. Untuk kedua kalinya, ia kembali menerjang masuk ke dalam barisan tentara negeri. Dalam medan pertempuran, yang masih bertempur hanyalah partai Ban Liu-tong yang terkepung itu saja. Lain-lain rombongan penyamun, ada yang sudah mundur ke belakang gunung, ada yang lolos dari kejaran musuh. Di sana-sini tampak orang berserabutan lari kian kemari. Suasana di gunung situ, jauh berlainan dengan sebelum pasukan negeri menyerbu ke atas. Toan hiante, silahkan kau berangkat dulu. Aku hendak menyongsong Ban lo-enghiong. Nanti aku segera menyusul! kata Se-kiat. Aku mau ikut! sahut Khik-sia. Ah, kawan-kawan kita yang masih terkepung hanya beberapa orang saja. Tak usah kita banyak buang tenaga. Lu lihiap dan beberapa saudara itu baru pertama kali ini datang ke Kim-ke-nia, mereka tentu tak paham jalanan di sini. Silahkan kau pimpin mereka meloloskan diri dulu. Jangan kuatir, Toan hiante, sekalipun musuh berjumlah besar, tetapi belum tentu mereka mampu menghadang aku dan Thiat toako! kata Se-kiat. Mendengar itu, terpaksa Khik-sia mengiyakan: Baiklah, kutunggu kalian di sebelah muka sana! Di dalam lautan api yang menggenangi puncak Kim-ke-nia itu, Khik-sia pimpin kawankawannya untuk mencari jalan keluar. Dengan mengitari lautan api itu, ia ajak rombongannya ke belakang gunung. Pasukan Gi-lim-kun coba mengejar, tapi dibikin kocar-kacir oleh senjata rahasia yang ditimpukkan Lu Hong-jiu. Pohon-pohon di dalam hutan yang termakan api itu, tumbang bergelundungan ke bawah. Ini merupakan rintangan bagi musuh. Ditambah pula dengan api yang meranggas maju, pasukan Gi-lim-kun itu terpaksa hentikan pengejarannya. Setelah terlepas dari pengejaran, rombongan Toan Khik-sia tiba di sebuah selat yang terletak di bagian belakang dari gunung itu. Waktu menoleh ke belakang, dilihatnya api menjulang ke langit, tetapi hiruk-pikuk teriakan orang sudah tak kedengaran lagi. Memandang sejenak kepada rombongannya, Hung-jiu tertawa: Ha, kita semua berubah menjadi setan hitam ini! Kiranya karena menerobos di sebelah lautan api, muka orang-orang itu menjadi hitam terkena asap. Kebetulan di dekat situ ada sebuah aliran sungai. Khik-sia segera ajak kawan-kawannya: Ayo, kita cuci muka dulu ke sana, kemudian kita tunggu kedatangan Thiat-toako dan Bo-heng di sini! Di sungai situ terdapat dua buah batu yang dapat digunakan untuk tempat membasuh muka. Dasar anak perempuan, maka Hong-jiulah yang buru-buru lantas membersihkan mukanya. Khik-sia duduk di atas salah sebuah batu itu dan melambaikan tangannya kepada In-nio dan Yak-bwe. Ai, disini masih ada tempat. Siapa di antara kalian yang mau kemari, silahkanlah, jangan sungkan. Kita semua adalah kaum lelaki, tak usah rikuh-rikuh. Ternyata kedua batu itu saling berdekatan. Jadi kalau orang duduk membasuh muka, tentu akan duduk saling merapat. Karena itu maka Khik-sia tadi tak mau bersama-sama cuci muka dengan Hong-jiu. Fui, berapakah usiamu, berani kau memberi ceramah tentang pergaulan wanita pria? Kuanggap kau ini hanya sebagai seorang adik kecil saja. Tetapi sebaliknya kau tak berani bersama aku mencuci muka! Hong-jiu mendengus tertawa.
Bukannya tak berani, melainkan biar kau lebih leluasa. Mengapa kau tak berterima kasih kepadaku? bantah Khik-sia. Huh, selalu kau ini mengatakan aku masih kecil saja. Toh kalau berdiri, aku lebih tinggi setengah kepala dari kau! Yak-bwe hanya tertawa dingin mendengar pembicaraan mereka itu. Hai, saudara yang itu! Muka kita semua seperti pantat kuali, jangan menertawakan orang. Ayo, sini lekas cuci mukamu! tiba-tiba Khik-sia meneriaki Yak-bwe. Khik-sia baru berusia 17-an tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang. Ia kira Yak-bwe tadi menertawakan orang-orang. Sebaliknya telinga Hong-jiu yang tajam, dapat menangkap nada tertawa Yak-bwe tadi agak aneh. Ia menjadi kurang senang dan deliki mata kepada Yak-bwe. Juga Yak-bwe mendongkol terhadap Khik-sia. In-nio buru-buru membisikinya: Itu Khik-sia memanggilmu, pergilah! Pergi ya pergi, masakah aku takut kepadanya! jawab Yak-bwe dengan aseran. Khik-sia mendengar juga ucapan Yak-bwe itu. Diam-diam ia merasa heran, Omongan orang ini aneh benar. Kusuruh cuci muka bersama aku, masakah mengigau tidak takut segala? Hanya karena dalam medan pertempuran tadi, pemuda itu membantu sekuat tenaganya, apalagi ia belum mengetahui siapakah sebenarnya pemuda itu, maka Khik-sia hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat baru saja. Walaupun hatinya merasa heran, namun ia sungkan untuk meminta keterangan juga. Begitulah kedua anak muda itu duduk berjajar di batu itu. Sambil cuci muka, Khik-sia bertanya: Terima kasih atas bantuan saudara tadi. Tapi maaf, aku belum mengetahui nama saudara yang mulia ini? Dan saudara ini dari golongan mana? Saat itu muka mereka sudah tercuci bersih. Kecantikan Yak-bwe tampak memancar jelas. Saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak: Kau, kau adalah . Tak tahu bagaimana Khik-sia hendak mengucapkan sebutannya. Maka sampai pada kata-kata adalah mulutnya hanya ternganga saja. Jantungnya berdetak keras, darahnya mengalir kencang. Siapakah dia? buru-buru Hong-jiu bertanya. Cepat-cepat Khik-sia katupkan mulut lalu berseru keras: Dia adalah toasiocia dari Sik Ko, ciatto- su Lo-ciu. Dia menjadi menantu kesayangan dari Gui-pok-ciat-to-su Tian Seng-su! Hong-jiu itu seorang nona yang beradat keras. Begitu mendengar keterangan itu, ia segera naik pitam. Bentaknya: hm, kiranya kaulah perempuan hina ini yang menjadi cumi-cumi dalam selimut! Kejadian yang tak disangka-sangka itu hampir saja membuat dada Yak-bwe meledak. Kontan ia balas mendamprat: Kau sendirilah perempuan hina yang tak tahu malu! Wut, ia serentak menampar mulut Hong-jiu. Tapi ternyata tenaga Hong-jiu lebih kuat. Sekali ia dorongkan kedua tangan, Yak-bwe terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia tergelincir jatuh ke dalam sungai. Tring, Hong-jiu cepat mencabut hu-yap-to (pisau belati yang tipis seperti daun pohon liu), lalu memaki pedas: Pengkhianat yang bernyali besar, jika tak kubunuh sungguh membikin kecewa saudara-saudara kita yang gugur dalam pertempuran tadi! Yak-bwe tertawa mengejek: Ya, kalian begitu bernafsu hendak mengambil jiwaku supaya citacita kalian dapat terkabul, bukan? Hm, tidak semudah itu kawan! Tring, iapun segera melolos pedang untuk menyambut serangan Hong-jiu. Yak-bwe sudah mewarisi seluruh ilmu pedang dari Biau Hun sin-ni, Sret, sret, sret, tiga kali serangan dilancarkan berturut-turut. Dirangsang oleh api kemarahan, serangan Yak-bwe itu luar biasa dahsyatnya. Kepandaian istimewa dari Hong-jiu ialah terletak dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Sekalipun dalam ilmu permainan golok ia juga tak lemah, namun tetap kewalahan juga menghadapi serangan Yak-bwe yang sedahsyat itu. Seketika situasi menjadi berubah. Dari pihak penyerang, kini Hong-jiu menjadi pihak yang diserang. Hampir saja ia tergelimpang jatuh dalam air karena didesak Yak-bwe. Toan Khik-sia, mengapa kau diam saja? Terhadap seorang pengkhianat, mengapa kau masih tetap memegang peraturan Kangouw?
Nyata ia telah salah sangka. Melihat Khik-sia hanya diam saja tak mau memberi bantuan padanya, ia kira anak muda itu enggan main keroyok. Khik-sia gelisah bukan buatan. Waktu mendengar teriakan Hong-jiu tadi, ia gelagapan. Pikirnya: Ya, kali ini mengapa pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su dapat bergabung dengan pasukan Gi-lim-kun menyerang kemari? Dengan mata kepala sendiri aku pernah melihat ia bergandengan tangan mesra sekali dengan anak lelaki Tian Seng-su. Hm, hari ini ia berani menyelundup ke Kim-ke-nia. Jika bukan seorang cumi-cumi, paling tidak ia itu seorang musuh juga! Tali pertunangan siang-siang sudah kuputuskan, perlu apa aku memberatkannya lagi? Berpikir sampai di situ, Khik-sia segera mengambil ketetapan. Tepat pada saat itu, terdengar suara bret. Baju Hong-jiu kena tertembus oleh ujung pedang Yak-bwe. Kini nona yang tersebut di muka itu ungkang-ungkang dengan satu kakinya di tepi sungai, tubuhnya bergoyang-goyang hendak jatuh. Yak-bwe tak mau kasih hati. Waktu ia hendak melancarkan serangan lagi untuk mendesak lawan jatuh ke dalam sungai, tiba-tiba ada serangkum angin keras menyambar. Kiranya Khik-sia sudah lantas loncat maju. Dengan gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merebut senjata musuh), ia hendak merebut pedang Yak-bwe. Yak-bwe makin berkobar marahnya. Bagus, tuan Khik-sia, bunuhklah aku! teriaknya. Dengan kalap ia menusuk anak muda itu. Kepandaian Khik-sia sebenarnya jauh lebih lihay dari nona itu. Tetapi karena serangan Yakbwe itu keliwat dahsyatnya, Khik-sia terpaksa tak dapat memilih lain jalan lagi. Ia harus melukai Yak-bwe atau ia akan gagal merebut senjatanya. Akhirnya ia terpaksa keraskan hati dan gunakan Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) untuk menampar. Jika sampai kena, Yak-bwe pasti akan terluka parah. Tangan Khik-sia sudah menempel pada kulit Yak-bwe. Sewaktu hendak melancarkan lwekangnya, tiba-tiba pikiran Khik-sia terlintas: Benar aku sudah putus tunangan dengannya, tapi ayahnya telah melepas budi besar kepada keluargaku. Jika aku sampai melukainya, di alam baka ayahku tentu akan menyesali perbuatanku. Secepat berpikir begitu, secepat itu pula ia sedot kembali lwekangnya. Sekalipun begitu, angin pukulannya tadi telah membuat tubuh Yak-bwe terhuyung juga. Saat itu Hong-jiu sudah dapat memperbaiki posisinya. Sret, ia mengisar maju dan ayunkan goloknya. Karena saat itu Yak-bwe sedang terhuyung, jadi ia tak sempat lagi untuk menangkis. Untung dalam detik-detik yang berbahaya itu, dengan sebat sekali, Khik-sia segera loncat kemuka, tepat menghadang di tengahtengah kedua nona itu. Di satu pihak ia menahan serangan golok Hong-jiu, di lain pihak ia mendorong pelahan-lahan hingga Yak-bwe tertolak mundur beberapa langkah. Caranya ia menolong Yak-bwe itu, pintar sekali. Loncat sembari gerakan tangan tadi, dilakukan berbareng. Sepintas pandang tampaknya ia seperti memburu Yak-bwe dan menghantamnya. Sudah tentu Hong-jiu tak dapat melihat ukal si anak muda yang lihay itu. Pun ia tak menyangka sama sekali, bahwa Khik-sia akan melindungi nona yang dianggapnya sebagai cumi-cumi itu. Salah paham di gedung Tian Seng-su tempo hari itu, hanya Khik-sia sendiri yang mengetahui. Dan salah paham itu hanya anggapannya sendiri saja. Yak-bwe sama sekali tak merasa, bahwa tindakannya untuk menolong anak muda itu malah dianggap menyakiti hatinya. Kalau Yak-bwe sendiri saja tak merasa, apalagi In-nio. Melihat perubahan sikap Khik-sia yang tak terduga-duga itu, In-nio menjadi kelabakan seperti semut di atas kuali panas. Ia sudah mengenali adik Bwe tapi mengapa berbalik muka? Apakah ia sungguh sudah berbalik hati kepada adik Bwe? pikirnya dengan cemas. Baru ia berpikir begitu, disana kedengaran Yak-bwe berseru marah-marah. Toan Khik-sia, sungguh bagus perbuatanmu! Baiklah, aku akan mengalah supaya kalian berdua dapat melaksanakan idam-idamanmu. Mulai saat ini, aku tak sudi melihat tampangmu seorang yang tak kenal budi itu! Begitu berputar tubuh, Yak-bwe lantas lari pergi ..... Yak-bwe, Yak-bwe! Ai, kalian seharusnya bicara baik-baik, mengapa bertengkar begitu! Innio terkejut dan cepat-cepat meneriakinya. Bukankah kau melihat sendiri, dia begitu tipis budinya, perlu apa banyak bicara lagi? Ayo, kita
pergi saja! sahut Yak-bwe. In-nio menjadi serba salah. Ia tak mampu menasehati tapipun enggan ikut Yak-bwe. Ia percaya di antara kedua anak muda itu tentu terjadi suatu kesalahpahaman. Tapi dalam saat-saat itu ia pun bingung, jadi tak dapat memberi penjelasan pada Khik-sia. Waktu mendengar kata-kata yang terakhir dari Yak-bwe tadi, Hong-jiu menjadi jengah dan gusar. Hai, perempuan siluman, kau mengaco-belo apa itu? bentaknya dengan marah sekali. Diambilnya dua buah kelinting lalu mengejar Yak-bwe dan terus menimpuknya. Sudahlah, sudahlah, biarkan dia pergi! seru Khik-sia seraya lontarkan dua buah thiat-lian-cu. Dengan tepat sekali thiat-lian-cu itu dapat menghantam jatuh kedua kelinting Hong-jiu. Hong-jiu tertegun, serunya, Hai, mengapa kau malah hendak mengeloni seorang pengkhianat? Seorang thaubak yang kebetulan berada di dekat situ, waktu mendengar suara ramai-ramai tangkap pengkhianat, buru-buru putar kudanya mengejar Yak-bwe. Tanpa banyak bicara, ia lantas tusukkan tombaknya. Yak-bwe saat itu sedang dirangsang kemarahan. Ia sambar tombak thau-bak itu terus digelandangnya ke bawah. Begitu thau-bak itu jatuh, Yak-bwe segera enjot tubuhnya loncat ke punggung kuda. Kuda itu adalah salah seekor milik Gi-lim-kun yang dirampas Se-kiat dahulu. Begitu duduk di punggung kuda, Yak-bwe lantas menconglang pesat. Waktu Hong-jiu memburu datang, Yak-bwe sudah jauh sekali. Sekalipun Hong-jiu itu gampang naik darah, tapi ia seorang nona yang cerdas. Saat itu kemarahannya sudah mulai reda. Seketika timbullah sesuatu dalam pikirannya, tanyanya: Toan hiante, bilanglah terus terang. Bukankah nona tadi mempunyai hubungan padamu? Wajah Khik-sia menjadi merah, lidahnya terkait tak dapat berkata. Untung In-nio menghampiri dan tertawa tawar: Kau tanyakan hubungan mereka? Mereka hanya baru berjumpa dua tiga kali saja, maka hubungannya pun tak begitu erat. Tetapi mereka itu sejak kecil sudah dijodohkan! Kejut Hong-jiu tak terkira. Ia membelalakkan sepasang matanya memandang kepada Khik-sia. Lu cici, jangan percaya omongannya! Khik-sia membantah dengan gugup. In-nio tertawa mengejek: Kecewalah kau sebagai puteranya Toan tayhiap, peribudimu begitu tipis! Apa salahnya Yak-bwe? Mengapa kau tak mau mengakuinya? Jangan mengoceh tak keruan! Ia sudah menjadi menantu perempuan dari keluarga Tian, dengan aku tak ada hubungan lagi! Khik-sia berjingkrak. In-nio marah juga, ia balas mendamprat: Kau sendiri yang ngaco belo! Bilakah ia menjadi menantu keluarga Tian? Bingkisan kawin dari keluarga Tian, akulah yang merampasnya. Siapakah orang Lok-lim yang tak mengetahui peristiwa itu? Khik-sia tak mau kalah. Jawab In-nio: Hal itu adalah urusan Sik Ko dan Tian Seng-su, tetapi Yak-bwe tak setuju. Yang hendak dinikahkan Sik Ko ialah puterinya yang bernama Sik Hong-sian, tapi kini Sik Hong-sian itu sudah tak ada lagi. Yang ada sekarang ialah Su Yak-bwe, puteri mendiang Su Ih-ji! Su Yak-bwe bukanlah Sik Hong-sian. Apakah kau masih belum jelas? Kini Khik-sia menjadi bimbang. Ditatapnya In-nio dan bertanyalah ia: Siapa kau? Apakah kau tahu akan urusan itu? Tak perlu kau tanya siapa aku ini. Lebih dulu jawablah pertanyaanku, kau mau mengakui atau tidak bakal isterimu itu? In-nio balas bertanya. Tiba-tiba Hong-jiu menyeletuk: He, mengapa kau begitu jelas akan urusan orang? Calon isteri Khik-sia, mengapa kau diberitahukan segala-galanya? Mungkin hubunganmu baik sekali dengan dia, bukan? Pada saat itu In-nio masih menyaru jadi seorang pria. Bukan saja Hong-jiu, pun Khik-sia juga curiga. Tapi In-nio memang sengaja hendak mempermainkan mereka. Ia hanya menyahut sambil tertawa: Sudah tentu aku erat sekali hubungannya dengan dia. Paling sedikit tak kalah dengan hubunganmu dengan Khik-sia! Selama Hong-jiu mengangkat nama di dunia persilatan sebagai seorang lihiap (pendekar wanita) belum pernah ia diejek orang seperti itu. Serentak marahlah ia: Bagus, karena kau baik sekali
dengan dia, coba jawablah. Ia seorang anak perempuan dari Ciat-to-su, apa maksudnya menyelundup ke dalam sarang penyamun? Kau seharusnya tahu akan hal itu. Toan siauhiap, apakah kau masih perlu minta keterangan lagi tentang perbuatan khianat itu? In-nio marah sekali: Memang pertama kali membuka mulut, kalian sudah mencap orang sebagai cumi-cumi, nah, perlu apa minta penjelasan lagi? Saat itu Khik-sia tak tahan lagi, ia berseru: Siapa kau? Jika tetap tak mau mengaku, aku, aku .... Kau mau apa?! tukas In-nio dengan sikap menantang. Baru Khik-sia hendak mengatakan bahwa ia nanti terpaksa akan bertindak, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda riuh mendatangi. Ternyata yang datang itu ialah Thiat-mo-lek dan Se-kiat. Malah masih jauh, Se-kiat sudah kedengaran berteriak: Hai, mengapa kalian ribut-ribut itu? Setelah berhasil menolong Bang Liu-tong, kedua jago itu terpaksa harus berjalan memutari lautan api dan rintangan-rintangan yang malang melintang di jalanan. Maka saat itu barulah mereka dapat tiba di tempat Khik-sia menunggu. Khik-sia tersentak girang. Bergegas-gegas ia lari menyongsong. Bo toako, kau adalah seorang Bengcu. Urusan ini kuserahkan padamu! serunya. Urusan apa? tanya Se-kiat. Ada dua orang yang kami curigai sebagai cumi-cumi musuh. Yang seorang sudah melarikan diri, yang seorang masih di sini. Ini, inilah orangnya. Apakah kau mau menanyainya? kata Khiksia. Se-kiat terkesiap, serunya: Yang mana yang melarikan diri? Astaga! Jadi kau tak mengetahui siapa dia itu? In-nio, adik Yak-bwe tentu sungkan mengatakan, mengapa kau tak mau mewakilinya menjelaskan? Sudah kuberitahukan tetapi mereka tak mau mengakui perjodohan itu, apa dayaku? In-nio membuat pembelaan. Mendengar itu kini Se-kiat mendamprat Khik-sia: Toan hiante, kiranya kaulah yang salah. Mengapa kau tak mau mengakui dia? Khik-sia menjadi gelagapan, ia menjerit: Bo toako, kau tak tahu. Dia, dia bukan orang golongan kita. Bagaimana aku dapat menerimanya? Tadi sewaktu mendengar Khik-sia memanggil nama In-nio, Thiat-mo-lek merasa seperti tak asing lagi. Tapi sama sekali ia tak teringat bahwa In-nio itu adalah puteri dari Sip Hong. Ia menghampiri nona itu dan bertanya: Siapakah nama saudara? Dimanakah kita pernah berjumpa? Ya, benar, bukankah kemarin kita sudah berjumpa? Ingatkah bahwa aku sudah memberitahukan namaku? sahut In-nio. Tidak! Kemarin kau memakai lain nama. Dan kemarin kau katakan dahulu kita belum pernah bertemu muka. Rupanya jika bukan kau yang berbohong, akulah yang jelek ingatanku. Saudara, apakah kau tak mau menganggap Thiat-mo-lek sebagai saudara?! kata Thiat-mo-lek. In-nio tertawa mengikik. Sret, cepat ia mencabut kain pembungkus kepalanya, dan seuntai rambut hitam segera menjulai terurai. Ong toako, lupakah kau kepadaku? serunya. Khik-sia dan Hong-jiu terbeliak kaget. Mereka tak mengira sama sekali bahwa 'pemuda' yang mengajaknya berbantah tadi ternyata seorang gadis. Dan lebih terperanjat lagi mereka demi mendengar nona itu memanggil 'Ong toako' kepada Thiat-mo-lek. Jika Khik-sia dan Hong-jiu termangu keheranan, adalah Thiat-mo-lek kedengaran tertawa gelak-gelak. Serunya: Oho, makanya kau masih ingat pada Ong Siau-hek. Kiranya kau si dara kecil yang nakal itu kini sudah sedemikian besarnya. Jika kau tak memanggil Ong toako, sungguh mati aku tentu tak kenal padamu. Apakah ayahmu sehat-sehat saja? Mengapa kau datang ke gunung sini? Akulah yang membawa mereka berdua kemari. Aku tak tahu bahwa Thiat-toako adalah kenalan lama dengan mereka, kata Se-kiat dengan tertawa. Ia adalah puteri kesayangan dari Sip Hong ciangkun. Meskipun Sip-ciangkun itu menjadi
pembesar negeri, tapi dia seorang lelaki jantan. Dahulu aku pernah menerima budinya. Toan hiante, ketika ayahmu dahulu masih hidup, ia juga bersahabat baik sekali dengan Sip ciangkun. Ayo, kalian berdua lekas menyambutnya lagi, seru Thiat-mo-lek kepada Khik-sia. Ya, ketika aku mengaduk gedung Tiang Seng-su, diam-diam Sip-ciangkun juga memberi bantuan kepadaku, untuk itu aku belum menghaturkan terima kasih. Cici In, sudilah kau sampaikan ucapan terima kasihku kepada beliau, kata Khik-sia sambil menjura. Dengan kerutkan air muka In-nio menyahut: Ah, tak berani kami menerima hormatmu itu. Cukup asal kau tak menuduh lagi aku dan adik Bwe sebagai cumi-cumi, aku sudah merasa berterima kasih sekali! Kini Hong-jiulah yang meringis. Apa boleh buat terpaksa ia menghampiri In-nio dan menghaturkan maaf: Karena salah paham, aku telah berlaku kurang adat pada cici, harap cici suka maafkan! Kemarahan In-nio sudah reda. Kini ia merasa suka dengan nona itu. Ujarnya: Karena aku bersama adik Bwe menyaru jadi lelaki datang kemari, apalagi mengingat adik Bwe itu adalah puteri dari seorang Ciat-to-su maka sudah selayaknya menimbulkan kecurigaan kalian tadi. Ho, kiranya yang kabur tadi adalah puteri dari Sik Ko! Apakah ia sudah mengetahui asal-usul dirinya? menyelutuk Thiat-mo-lek. Benar, memang siang-siang ia sudah berganti lagi dengan namanya yang asli .... Su Yak-bwe! sahut In-nio. Khik-sia, ketika ayah-bundamu gugur untuk negara, itu waktu aku tak berada di situ. Tapi kutahu mereka mempunyai pesan terakhir. Sewaktu mereka menutup mata, pesan itu telah diberikan kepada Bibi Lam (He Leng-sian) agar supaya apabila kau sudah dewasa, supaya disampaikan padamu. Apakah Bibi Lam belum memberitahu padamu? tanya Thiat-mo-lek. Khik-sia tundukkan kepala, jawabnya: Bibi He sudah memberitahu padaku. Kalau begitu ceritakanlah padaku, kata Thiat-mo-lek pula. Aku diharap menjadi seorang lelaki yang berguna untuk nusa dan bangsa, sahut Khik-sia. Selain itu? Thiat-mo-lek menegas. Selebar wajah Khik-sia berwarna merah, kemudian baru ia berkata dengan suara rendah: Minta aku supaya dengan membawa tusuk kondai berukir Liong ini, mencari anak perempuan Su pehpeh! Untuk apa? desak Thiat-mo-lek. Dengan tusuk kondai itu sebagai barang pertandaan, mengambil nona Su sebagai isteri. Memang sengaja Thiat-mo-lek maukan supaya Khik-sia mengatakan hal itu dengan mulutnya sendiri. Setelah itu barulah ia berkata dengan nada keras: Tepatlah! Kiranya kau tak lupa akan pesan ayah-bundamu, tetapi mengapa kau tak mau mengakui nona Su sebagai bakal isterimu? Didesak begitu, Khik-sia memberi reaksi juga, serunya: Dia adalah puteri dari seorang Ciattosu, diriku tidak sepadan! Jangan kau bicara keras di hadapanku. Sebaliknya, karena ia hanya puteri dari seorang Ciat-tosu maka tak sepadan menjadi isterimu seorang hohan (jantan) yang termasyhur, bukan? ujar Thiatmo- lek. Aku bukannya memandang rendah padanya, tetapi dia bukan segolongan dengan aku, bantah Khik-sia. Kau keliru, Sik Ko itu hanya ayah angkatnya saja. Ayah bundanya yang asli adalah manusia utama, setia kepada negara luhur budi pekertinya. Siapa orangnya yang tak taruh perindahan pada mereka? Jika orang tuanya manusia yang begitu macam, masakan anaknya akan menyeleweng ke lain jurusan? Bilang saja sekarang ini tidak segolongan, tapi jika sudah menikah apakah takkan ikut pada suaminya? Tapi celakalah, rupanya siang-siang kau sudah takut akan bayanganmu sendiri! Thiat-mo-lek menindas bantahan anak muda itu. Khik-sia diam tak dapat menyahut. Apalagi walaupun ia menjadi puteri angkat dari Sik Ko, tapi sejak kecil dipelihara oleh ibu kandungnya sendiri. Aku pernah tinggal di rumah keluarga Sip. Kutahu ibu kandungnya itu menjadi inang pengasuh dalam keluarga Sik. Tiap hari ibunya itu mengajarkan ilmu sastera
padanya. Sejak kecil nona itu sudah lain perangainya dengan Sik Ko. Turut penilaianku, nona itu seorang gadis yang mencocoki idaman seleraku. Jangan kuatirlah! kata Thiat-mo-lek pula. Khik-sia masih tundukkan kepala berdiam diri. Thiat-mo-lek agak marah. Dengan kerutkan wajah ia berkata lagi: Bukankah kau bercita-cita hendak menjadi lelaki jantang yang termasyhur? Tidak menurut pesan orang tua, tidak memegang janji suami isteri, tidak mengingat tali persaudaraan, itulah yang dibilang tidak berbakti, tidak berbakti dan tidak berbudi! Pantaskah seorang hohan berbuat begitu? Ayah bundamu sudah menutup mata, urusanmu aku tak dapat tinggal diam saja. Katakanlah, apa alasanmu hendak merobek janji perkawinanmu itu? Ayah angkat dari Thiat-mo-lek adalah kakak dari ibu Khik-sia. Dengan begitu Thiat-mo-lek masih terhitung kakak misan (piauko) dengan Khik-sia. Khik-sia sudah sebatang kara, ia tak mempunyai sanak famili lagi kecuali kakak misannya itu. Maka kakak misannya (Thiat-mo-lek) itu ia anggap sebagai engkoh kandungnya sendiri. Dalam hubungan itulah maka Thiat-mo-lek berani mengata-ngatai keras kepadanya. Karena didamprat habis-habisan oleh Thiat-mo-lek, Khik-sia menjadi bingung tak keruan. Semestinya ia masih mempunyai rahasia yang sungkan dikatakan. Tapi kini apa boleh buat ia terpaksa menerangkan juga. Dengan suara terkait-kait berkatalah ia: Toako, kau tak tahu. Sewaktu di gedung Tian Seng-su, dengan mata kepala sendiri, kulihat nona Su itu, ia, ia, ..... Dia mengapa? tanya Thiat-mo-lek. Dia dengan anak lelaki Tian Seng-su sangat mesra ..... Thiat-mo-lek belalakkan sepasang matanya yang bundar dan menegas: Benarkah itu? Hai, bilang yang jelas sedikit! Bagaimana yang kau anggap mesra itu? In-nio menyela. Kelihatannya mereka itu bergandengan tangan! sahut Khik-sia. Kelihatannya? Jadi nyata kau tak melihat jelas dan hanya kelihatannya saja, bukan? Berada dimanakah kau pada waktu itu? tanya In-nio. Aku berada di dalam kebun keluarga Tian tengah bertempur mati-matian dengan Yo Bok-lo. Dibawah sorak-sorai dan lindungan dari kawanan bu-su, nona Su dan putera Tian Seng-su saling bergandengan tangan berjalan keluar dari ruangan. Ya, mataku tak salah lihat lagi. Nona In, cobalah kau pikirkan. Belum lagi keluarga Tian menyambutnya, ia sudah lari ke rumah mempelai lelaki. Mengapa? Tentulah karena ia sudah mengetahui bahwa aku bakal mengganggu pada keluarga Tian, maka sebelum dijemput ia sudah datang ke rumah bakal mertuanya untuk memberi kabar. Timbanglah saja, ia begitu setia kepada keluarga Tian, apakah aku harus disuruh mengakunya sebagai isteri lagi? Khik-sia memberi penjelasan panjang lebar. In-nio mendongkol tapi pun geli juga. Ujarnya: Ho, mengapa kau menilai begitu rendah pada nona Su? Untung waktu itu aku juga berada disitu hingga semua kejadian itu dapat kusaksikan dengan jelas. Jika tidak, hm, nona Su tentu akan hancur hatinya karena kau bikin penasaran! Terang kulihat sendiri, masakan bisa keliru? bantak Khik-sia. Ya, memang tak salah, malam itu ia berjalan keluar bersama putera Tian Seng-su. Tetapi mereka bukan bergandengan tangan, melainkan nona Su menyembunyikan sebilah pisau belati di lengan bajunya dan belati itu dilekatkannya pada punggung anak lelaki Tian Seng-su. Nona Su bermaksud hendak menolongmu, sebaliknya kau anggap kebaikannya itu sebagai suatu kenistaan, cis, kurang ajar betul! Mendengar itu Khik-sia tertegun diam seperti terpaku. Berkata pula In-nio: Tahukah kau apa sebabnya malam itu ia pergi ke rumah keluarga Tian? Kepergiannya itu tak lain tak bukan karena hendak membatalkan perkawinan itu! Ia lalu menuturkan tentang riwayat Yak-bwe sejak tinggalkan rumah Sik-ko lalu pergi ke gedung Tian seng-su, mengambil kotak emas ciat-to-su itu hingga dia (Tiang Seng-su) tak berani mengganggu daerah Lo-ciu lagi dan terpaksa membatalkan pernikahan puterinya dengan Yak- bwe. Kesemuanya itu satu persatu diuraikan dengan jelas oleh In-nio. Karena In-nio dapat menuturkan kejadian malam pertempuran di gedung Tian Seng-su dengan lancar, mau tak mau Khik-sia harus percaya semuanya. Bagus, nona su itu ternyata seorang gadis idaman setiap pria. Ia berani dan cerdik, setia serta
berbudi! Khik-sia, apa katamu lagi sekarang? seru Thiat-mo-lek. Khik-sia malu dan menyesal. Sejenak kemudian barulah ia dapat membuka mulut: Aku merasa salah, aku berdosa terhadap nona Su. Cukupkah kesalahanmu itu kau tebus dengan sepatah kata pengakuan saja? tanya Thiat-molek. Jawab Khik-sia: Aku akan mencarinya sampai ketemu dan menghaturkan maaf padanya. Hanya saja .... Thiat-mo-lek tahu apa yang dikandung Khik-sia. Serentak ia mengerat omongan anak muda itu. Urusan disini tak usah kau pikirkan. Patah tumbuh hilang berganti.. Kim-ke-nia hilang, kita masih mempunyai lain pangkalan lagi. Gi-lim-kun takkan lama tinggal disini. Ada Bo bengcu dan sekalian saudara-saudara disini, masakan tentara negeri dapat mencelakai kita? Lekas cari nona Su dan bawalah ia pulang kemari, nanti akulah yang meresmikan perjodohan kalian. Selebar wajah Khik-sia merah padam. Katanya: Usia siaute masih muda, urusan perkawinan boleh ditunda dulu. Tetapi, perintah toako tadi tentu akan kulaksanakan. Nona Su tentu akan kuajak pulang. Bagaikan awan tersapu angin, kini segala kesalahan paham sudah terang. Sekalian orang merasa girang, hanya seorang yang agak merasa masygul yakni Lu Hong-jiu. Kedatanganku ke pertemuan orang gagah kali ini, tiada dengan setahu engkohku. Mungkin ia sedang sibuk mencari aku maka aku terpaksa hendak minta diri pulang. Harap bengcu suka maafkan, akhirnya ia menemukan jalan keluar. Ah, harap nona jangan kelewat sungkan. Tolong sampaikan hormatku kepada engkoh nona, sahut Se-kiat. Karena sewaktu menundukkan lima jagoan Hong-ho-ngo-pah pernah mendapat bantuan nona itu, maka Khik-sia pun segera tampil kemuka dan menghaturkan terima kasih kepada Hong-jiu. Ah, masak aku membantumu? Malah aku merasa membikin sukar kau saja, asal kau tak menyalahkan aku, itu sudah cukup baik, sahut Hong-jiu. Aku sendiri yang limbung, taci tak ada sangkut pautnya. Taci, kau berdua dengan engkohmu, mempunyai pergaulan luas di dunia persilatan. Aku hendak mohon bantuanmu untuk suatu urusan, kata Khik-sia. Tak usah kau katakan, aku sudah mengerti. Begitu ada kabar tentang diri nona Su, tentu akan segera kusuruh orang menyampaikan padamu. Kau hendak minta tolong tentang urusan itu, bukan? tanya Hong-jiu. Khik-sia hanya ganda tertawa saja selaku mengiakan. Sebaliknya Hong-jiu mengalum kepahitan. Kiranya ia hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Khik-sia. Selama dalam perjalanan dengan anak muda itu, ia memang mulai menaruh hati. Untung ia seorang nona persilatan yang berjiwa lapang. Setitik bayangan dalam hatinya itu, dapatlah segera ia hapus dengan tanpa meninggalkan luka apa-apa. Ah, akupun hendak pulang juga karena sudah lama keluar. Bo toako, terima kasih atas kebaikanmu membawa kami ke pertemuan besar ini. Kelak bilah toako lewat di kotaku, ijinkanlah aku menjamumu, In-nio juga menyatakan maksudnya akan pulang. Se-kiat tertawa: Ah, kini aku benar-benar menjadi kepala penyamun. Jika keluargamu tak takut kedatangan tetamu penyamun, tentu aku senang sekali datang berkunjung. Hati In-nio terasa getar, wajahnya tampak rawan namun ia paksakan menghias senyum: Ayahku gemar sekali bersahabat dengan kaum enghiong. Dan beliau pun amat sayang kepadaku. Silahkan kalian datang, kutanggung beliau takkan mencelakai kalian. Walaupun mulut mengucap begitu, namun bukan tak tahu In-nio bahwa kini ayahnya itu sudah menjadi punggawa kerajaan. Orang atasannya ialah Tian Seng-su, tokoh yang paling dibenci dan membenci kawanan penyamun. Se-kiat kini menjadi kepala penyamun. Betapa ayahnya itu mencintai dirinya, namun paling banyak ia tentu hanya akan berusaha supaya jangan sampai bentrok dengan Se-kiat itu saja. Jika melangkah ke soal pernikahan, ayahnya itu tentu takkan mengijinkan ia menikah dengan seorang kepala penyamun. Khik-sia, antarkanlah nona In dan nona Lu. Setelah itu kau harus segera mencari nona Su.
Jangan bertemu aku jika belum membawa nona Su pulang! kata Thiat-mo-lek. Setelah tiba di selat lembah, Hong-jiu segera minta diri menuju ke barat. Sementara Khik-sia dan In-nio masih meneruskan lagi perjalanannya. Bagaimana rencanamu hendak mencari adik Bwe? tanya In-nio. Dengan masygul Khik-sia menyahut: Entahlah. Dalam dunia yang begini luas, kemana hendak kucarinya? Kupasrahkan saja pada nasib. Ia tiada sanak keluarga, pun belum pernah berkelana keluar. Jika sementara waktu kau tak berhasil mendapatkannya, datanglah ke rumahku untuk menanyakan kabar. Hubunganku dengan Yak-bwe sudah seperti saudara kandung. Jika tak pergi ke lain tempat, kebanyakan ia tentu ke rumahku, kata In-nio pula. Khik-sia haturkan terima kasih. Tetapi sayang ia tak tahu bilamana aku pulang. Apalagi ia sedang marah, mungkin ia akan pergi mengembara menurutkan ayun kakinya. Ah, yang kukuatirkan kalau ia sampai membikin onar di luaran. Ia belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Kebanyakan ia tentu berjalan di sepanjang jalan raya lama, kembali In-nio berkata. Sewaktu berpisah dengan In-nio, Khik-sia membawa hati, yang gundah kalana. Ia mencemaskan nasib calon isterinya itu. Terpaksa ia menuruti petunjuk In-nio untuk mengambil jalan raya saja. Dan memang apa yang diduga In-nio tepat. Setelah congklangkan kudanya keluar dari selat lembah, Yak-bwe menimang dalam hati: Karena mereka menuduh aku sebagai cumi-cumi (kaki tangan musuh), maka akupun tak sudi ketemu lagi pada mereka. Padahal ia hanya tak sudi berjumpa lagi dengan Khik-sia. Namun karena dirangsang oleh kemarahannya, segalah yang menyangkut dengan anak muda itu, ia lempat ke samping semua. Nama Khik-sia, sahabat-sahabatnya sampaipun orang-orang yang berhubungan dengan anak muda itu, ia tak mau bertemu lagi. Ia tahu kawanan penyamun itu tentu tak mau kesamplokan dengan tentara negeri. Mereka tentu mengambil jalan yang sunyi. Itulah sebabnya maka ia lantas mengambil jalan besar saja. Saat itu Yak-bwe masih menyaru sebagai seorang pria. Dandanannya menyerupai anak orang hartawan. Apalagi kuda yang dinaiki itu, seekor kuda tegar yang jarang terdapat. Maka orang tentu bakal tak menduga bahwa ia itu seorang pelarian dari sarang penyamun gunung Kim-ke-nia. Tapi rakyat di sekitar Kim-ke-nia itu masih kolot. Dandanannya semacam itu, telah menimbulkan perhatian di kalangan mereka. Tetapi karena sedang dilanda kemarahan, ia tak mengacuhkan mereka. Ia keprak kudanya kencang-kencang. Pun ia berusaha untuk menghapuskan kenangannya terhadap Khik-sia. Tapi ah, makin keras ia coba menekan sang hati, makin jelas bayang-bayang anak muda itu dalam pikirannya. Sejak ini aku laksana seekor burung yang bebas di udara. Tetapi walaupun jagad ini amat luas, kemanakah aku akan menempatkan diri? pikirnya. Teringat akan sang nasib, ia merasa pedih sekali. Beberapa butir air mata bercucuran membasahi sepasang pipinya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar seseorang berseru: Hai, alangkah eloknya kuda itu! Eh, aneh sekali budak itu. Coba dengarkan, apakah ia bukan lagi menangis? Nada orang itu tak begitu keras. Tapi karena sejak kecil Yak-bwe sudah biasa berlatih ilmu senjata rahasia, maka pendengarannya menjadi tajam sekali. Ia dapat menangkap kata-kata orang itu dengan jelas. Cepat-cepat Yak-bwe usap air matanya dan ketika berpaling kebelakang, dilihatnya kira-kira pada jarak setengah li di sebelah sana, ada dua orang lelaki bermuka bengis tengah mencongklangkan kudanya. Cis, sungguh memuakkan. Aku menangis sendiri, mengapa kalian ngerasani (membicarakan) aku, ia mendamprat orang itu dalam hati. Ia cepat keprak kudanya supaya lari lebih pesat. Sekejap saja, ia sudah tinggalkan kedua orang itu jauh di belakang. Memang ia masih kurang pengalaman. Ia sama sekali tak memikir, kalau pada jarak setengah li jauhnya orang dapat mendengar suara tangisnya, orang itu tentu bangsa kaum persilatan yang
berilmu tinggi. Paling tidak mereka itu, seperti dirinya sendiri, tentu pernah berlatih ilmu senjata rahasia. Bagaimanapun juga Yak-bwe itu diasuh dalam kalangan keluarga seorang pembesar tinggi. Ia biasa hidup sebagai seorang puteri Ciat-to-su yang manja. Benar ia memiliki ilmu silat yang tinggi dan mahir juga dalam ilmu naik kuda. Tapi sebegitu jauh ia masih belum mempunyai pengalaman praktek. Berselang tak berapa lama dilarikan oleh sang kuda, lebih-lebih ketika menyusur jalan di daerah selat pegunungan yang naik turun, mau tak mau ia menjadi meringis juga karena tak tahan digoncang-gontaikan di atas pelana. Tulang-tulangnya terasa kaku kesakitan. Ia berpaling lagi ke belakang. Karena kedua lelaki tadi sudah tak kelihatan, barulah ia tahan les kudanya dan mulai berkuda pelahan-lahan. Kini pikirannya mulai bekerja lagi: Pulang ke rumah keluarga Sik terang aku tak mau. Baiklah, mulai saat ini aku 4/20 4/29 bikin terpental oleh kipas si pelajar. Sedangkan golok satunya telah disedot melekat oleh kipas untuk ditarik ke samping. Memang dalam dunia Kangouw sebenarnya terdapat apa yang disebut senjata that-thiat-san atau kipas pelengket besi melain dari bambu biasa. Hanya saja kipas itu dibuat oleh tukang pandai dan diberi ukir-ukiran gambar yang indah sekali. Memang pada masa itu, sebagian besar kaum bun- su (sasterawan) yang berada, suka menggunakan kipas semacam itu. Itu untuk mewujudkan daya perbawanya. Maka kipas bambu itu sebenarnya hanya dipakai sebagai perhiasan bukan senjata. Sepasang golok dari Hau Pheng itu terbuat daripada bahan baja murni, tajamnya bukan kepalang. Dia yakin bahwa dengan sekali tebas tentu dapat menghancurkan kipas lawan. Siapa tahu gerakan si pelajar itu bukan buatan lihaynya. Tahu-tahu kipas sudah melekat di punggung golok. Waktu si pemuda memutar kipasnya, golok Hau Pheng pun ikut berputar. Hampir saja golok itu terlepas dari tangan karena seperti dipelintir. Walaupun tengah bertempur, tapi Cin-gi dapat melihat dengan jelas gerakan si pelajar itu. Ia insyaf pemuda pelajar itu seorang tokoh silat yang berilmu tinggi. Ia ambil putusan harus lekaslekas merubuhkan Yak-bwe dulu. Maka tanpa menghiraukan pantangan memilih jalan darah apa, ia
segera merangsang maju dengan jurus sian-sing-kia-hwe atau sepasang bintang kebetulan berjumpa. Ke atas menutuk jalan darah hoa-kay di ubun kepala, ke bawah menutuk jalan darah tiang-jiang di pantat. Hoa-kay-hiat adalah salah sebuah jalan darah utama dari tubuh manusia. Jika kena tertutuk, kalau tidak binasa tentu akan menjadi invalid. Yak-bwe buru-buru gunakan jurus ki-hwe-liau-thian atau angkat api membakar langit. Ia angkat pedang ke atas, seluruh perhatiannya ditumpahkan untuk menolak poan-koan-pit yang menyerang kepalanya. Siapa tahu, justru itulah yang dikehendaki Cin-gi. Secepat kilat, poan-koan-pit di tangan kirinya mengincar tiang-jiang-hiat di bawah. Meski Tiang-jiang-hiat bukan merupakan jalan darah maut atau pemingsan, tapi jika sampai tertutuk, kaki orang pasti akan lumpuh atau pincang karena urat-uratnya menyurut. Kalau kubikin pincang sebelah kaki nona ini, rasanya takkan membikin marah Lo Hau. Ya, aku terpaksa harus berbuat begitu karena pemuda itu lihay sekali. Lo Hau pasti takkan cari alasan untuk membatalkan perjanjiannya tadi, demikian pikir Hong Cin-gi. Pada saat ia berpikir begitu, ujung poan-koan-pitnya sudah menyentuh ujung baju Yak-bwe. Tapi berbareng itu iapun merasa disambar oleh serangkum angin keras. Celaka! demikian ia mengeluh seraya gelincirkan sang kaki untuk menghindar, namun sudah terlambat sedikit. Plak, bahunya kena ditampar oleh si pemuda pelajar. Ternyata pemuda pelajar itu telah berhasil menolong Yak-bwe dalam saat-saat yang berbahaya. Tapi dengan berbuat begitu, berarti si pemuda pelajar memberi kelonggaran bagi Hau Pheng. Tapi yang tersebut belakangan ini rupanya tak tahu diri. Begitu longgar ia segera mengajak kawannya: Hong-toako, ayo kita beresi bocah kurang ajar ini! Ha, bagus, bagus! Memang aku kepingin tahu bagaimana kalian hendak memberesi diriku ini! si pemuda pelajar tertawa mengejek. Ia tebarkan kipasnya sehingga sepasang golok Hau Pheng tersiak. Setelah itu secepat kilat ia katupkan pula kipasnya untuk dipakai menutuk seperti poan-koan-pit. Kau, adalah seorang ahli tutuk, nah, aku hendak unjukkan sedikit permainan itu, tolong kauberi petunjuk! dalam pada berkata-kata itu si pemuda sudah meluncurkan tiga kali serangan yang ditujukan ke arah jalan darah yo-kiong-hiat, thiat-cu-hiat, tiang-jiang-hiat, ih-gi-hiat dan suan- kihiat di tubuh Hong Cin-gi. Sudah tentu Cin-gi menjadi kelabakan setengah mati. Mati-matian ia berusaha untuk menghalau serangan-serangan itu sehingga sampai mandi keringat. Ia terperanjat sekali. Nyata ilmu kepandaian menutuk dari pemuda pelajar itu jauh lebih lihay dari dirinya. Sebatang kipasnya jauh lebih berbahaya dari sepasang poan-koan-pit orang she Hong. Yak-bwe benci setengah mati pada Hau Pheng. Setelah Hong Cin-gi dapat dicegat oleh si pemuda pelajar, kini ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Cepat ia cabut pedangnya dan lari menerjang Hau Pheng. Jika tak melukaimu, jiwaku sendiri yang terancam. Ya, apa boleh buat, seorang jelita pincang ada lebih baik daripada tidak ada sama sekali, demikian pikir Hau Pheng sambil gigit giginya eraterat seraya mainkan sepasang goloknya untuk menahan serangan Yak-bwe. Yang atas untuk menangkis dan yang bawah untuk memapas lutut Yak-bwe. Jurus yang dimainkan itu adalah jurus yang paling diandalkan kelihayannya. Telah dikatakan di bagian muka, bahwa Yak-bwe adalah murid dari Biau Hui Sin-ni. Ia telah mewarisi ilmu pedang dari rahib sakti itu. Jika dinilai dari mutunya, sebenarnya kepandaian Yakbwe itu lebih tinggi dari Hau Pheng. Benar dua buah serangan golok dari orang she Hau itu cukup berbahaya, tetapi jika Yak-bwe dapat berlaku tenang, ia pasti dapat menghadapinya. Tapi disebabkan karena ia kurang pengalaman dan kehabisan tenaga setelah bertempur hampir setengah harian itu, maka hampir saja ia tercelaka. Seharusnya, sewaktu lawan tengah pentang kedua goloknya ke atas dan ke bawah itu, ia segera menusuk ke dada lawan saja karena bagian itu terbuka. Dengan berbuat begitu, berarti ia menghalau serangan dengan serangan, kemungkinan besar malah dapat menang. Tapi ternyata ia tidak bertindak begitu. Melihat lawan menghantam dengan ganas, Yak-bwe menjadi marah sekali. Ia pun mengimbangi untuk memapas sekuat-kuatnya. Ini suatu kesalahan
besar, karena dalam hal kekuatan ia kalah dengan lawan. Trang, pedangnya dapat ditahan oleh salah sebuah golok Hau Pheng, sementara golok yang satu dapat langsung menabas lutut dengan lancarnya. Untung Yak-bwe masih dapat menyelamatkan diri. Dengan gunakan gin-kang ih-song-hoan-wi, ia berloncatan sampai tiga kali untuk menghindari serangan berantai dari Hau Pheng. Hau Pheng cerdik sekali. Ia biarkan saja si nona berlincahan kian kemari, namun goloknya yang sebelah atas tetap menekan erat-erat pedang nona itu supaya jangan sempat ditarik pulang. Ia terus bolangbalingkan goloknya membabat kaki. Untuk menghindar terpaksa Yak-bwe berloncatan terus dan karena terus-menerus berloncatan itu, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mandi keringat. Jilid 5 Melihat itu, si pemuda pelajar mengerut kening, pikirnya: Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang bermutu tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak mampu menggunakan dengan selayaknya. Ia ambil putusan menolongnya lagi. Cepat ia lancarkan tiga kali serangan. Setelah Cin-gi dapat didesak dengan menggelap. Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap menerima serangannya. Tapi hal itu cukup membuat Hau Pheng terkejut setengah mati. Buru-buru ia kebaskan goloknya yang di bawah itu untuk membacok si pemuda. Tapi lagi-lagi pemuda pelajar itu unjukkan kepandaian yang mengagumkan. Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan kipasnya. Crek, begitu berbentur, golok itu seperti melekat saja pada kipas. Dan begitu si pemuda pelajar memutarmutar kipasnya, mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan goloknya. Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kaupakai sendiri sajalah! tiba-tiba kedengaran Hong Cingi berseru. Kiranya ia dapat mengenal gelagat. Demi mengetahui pemuda pelajar itu kelewat tangguh. Begitu ada kesempatan ia lantas angkat kaki panjang alias kabur. Hau Pheng serasa terbang semangatnya. Karena semangatnya hilang, nyalinyapun pecah. Sudah tentu ia tak dapat menahan pedang Yak-bwe lagi. Trang, goloknya pun segera jatuh karena didorong Yak-bwe. No, no ...., demikian sebenarnya ia hendak meratap, Nona, ampunilah jiwaku. Tapi baru mulutnya berseru No ., ujung pedang Yak-bwe sudah bersarang ke ulu hatinya hingga tembus ke punggung. Teriakan No itu sudah tentu tidak terdengar jelas artinya sehingga si pemuda pelajarpun hanya menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir mati. Setitikpun tidak terkilas dalam pikiran pemuda itu bahwa kata no itu sebenarnya potongan dari kata nona. Yak-bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu. Aku mempunyai she dobel Tok-ko dengan nama tunggal U. Dan siapakah nama saudara yang mulia ini? Mengapa bermusuhan dengan kedua bangsat itu? kata pelajar itu. Sembarangan saja Yak-bwe memakai sebuah nama samaran, ujarnya: Aku sendiripun tak mengetahui mengapa mereka memusuhi padaku. Mungkin karena hendak merampas harta bendaku. Apakah Su-heng tak pernah berkelana di dunia Kangouw? Apakah Su-heng membawa sebuah benda pusaka? tanya Tok-ko U pula. Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu, sebaliknya Yak-bwe malah tertegun. Pikirnya: Hm, apakah pemuda ini juga hendak menyelidiki diriku? Tapi ia dapatkan sikap pemuda itu amat sopan, sedikitpun tak ada tanda-tanda seorang penjahat. Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak-bwe dengan sejujurnya: Aku hanya membawa segenggam kim-tau saja. Ini, semua berada di sini. Dengan ucapan itu terang Yak-bwe mengira kalau pemuda pelajar itu hendak minta upah. Tapi karena melihat pemuda itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan-jangan dugaannya itu meleset, salah-salah bisa ditertawai orang. Lebih berbahaya lagi jika orang sampai menganggap perbuatannya itu (memberi persen) tak ubah seperti tingkah laku kaum wanita. Maka akhirnya ia menemukan akal. Diambilnya keluar emasnya, tapi tak mau ia mengatakan apa-apa. Ia
hendak menunggu sampai orang membuka mulut dulu. Sudah tentu rencana Yak-bwe itu gagal, karena si pemuda pelajar itu sama sekali bukan macam orang seperti yang diduga Yak-bwe. Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya: Ha, kalau begitu, kedua penjahat tadi sudah salah mata! Apa? seru Yak-bwe dengan terkesiap. Mungkin Su-heng tak tahu akan asal-usul kedua penjahat itu. Kemarin waktu baru tiba di rumah penginapan, memang aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui. Apakah tadi kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling menyebut Hau-toako dan Hong-toako? Coba kau pikirkan, penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas di dunia Lok-lim, siapa lagi kalau bukan mereka? kata pemuda itu. Wajah Yak-bwe bersemu merah. Sahutnya: Ya, terus terang saja, aku baru pertama kali ini mengembara keluar. Bagaimana seluk-beluk urusan Lok-lim sedikitpun aku tak tahu. Harap saudara suka memberi petunjuk-petunjuk. Kata Tok-ko U: Kedua penjahat tadi, kupastikan sembilan puluh sembilan persen tentulah Hau Pheng dan Hong Cin-gi! Siapakah sebenarnya mereka itu? tanya Yak-bwe. Hau Pheng adalah penjahat yang termasyhur tukang petik bunga, sedang Hong Cin-gi adalah seorang benggolan perampok yang bekerja seorang diri. Di kalangan Lok-lim, kepandaian mereka berdua itu juga termasuk golongan kelas satu. Selain gemar merampas wanita-wanita muda yang cantik, Hau Pheng itupun juga suka merampas harta benda. Tapi ia selalu memilih, jika bukan dagangan besar, ia tak mau turun tangan. Hong Cin-gi lebih-lebih lagi. Ia selalu mengincar pada kaum hartawan besar. Terhadap yang hanya punya belasan tahil emas saja, ia tak memandang sebelah mata. Berkata sampai di sini, pemuda pelajar itu berhenti sejenak. Kemudian, dengan tersenyum ia melanjutkan pula berkata: Harap Su-heng simpan lagi kim-tau itu. Memang kim-tau Su-heng itu tidak sedikit jumlahnya, tapi paling banyak hanya berjumlah sepuluh sampai dua puluh tahil emas, bukan? Maka tadi telah kukatakan bahwa kedua penjahat itu sudah salah mata. Sekalipun begitu, ada baiknya juga selanjutnya Su-heng berhati-hati sedikit. Emas dan uang jangan sampai diperlihatkan orang agar jangan menimbulkan akibat-akibat yang tak menyenangkan. Misalnya, tindakan Su-heng yang begitu royal semalam itu, tak mengherankan kalau dapat menarik perhatian kedua penjahat itu. Kukira mereka tentu menduga bahwa Su-heng masih mempunyai barangbarang berharga lainnya. Ha, ha, akhirnya yang satu mati dan yang lain terluka. Sudah sepantasnya mereka mendapat ganjaran itu. Mengetahui bahwa Hau Pheng itu seorang penjahat tukang petik bunga, wajah Yak-bwe makin merah. Ditendangnya pula mayat Hau Pheng itu, serunya dengan geram: Kiranya seorang penjahat jahanam. Aku kepingin menusukmu lagi! Dengan membunuh penjahat itu, berarti Su-heng telah melenyapkan sebuah bisul dalam dunia kangouw, sungguh pantas diberi selamat, puji Tok-ko U. Ia masih mengira bahwa Yak-bwe itu seorang pemuda yang benci akan kejahatan. Sedikitpun ia tak mimpi bahwa pemuda di hadapannya itu ternyata seorang nona. Ah, kesemuanya tadi berkat bantuan saudara, masakan aku berhak mengangkangi pahala, sahut Yak-bwe merendah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanyalah: Semalam ada orang bersembunyi di atas pohon halaman hotel, kemudian ada lain orang yang menghalaunya pergi dengan timpukan batu. Apakah itu perbuatan saudara sendiri? Tok-ko U tertawa: Benar, memang aku. Yang bersembunyi di atas pohon itu ialah Hau Pheng ini. Tiba-tiba kuda Yak-bwe meringkik kesakitan. Tok-ko U melirik dan mengerut heran. Suheng, kudamu telah dikerjai orang. Oh, makanya ia tak mau jalan, kukira binatang ini sakit. Tapi entah bagian apanya yang terluka? tanya Yak-bwe. Tok-ko U menyatakan hendak memeriksanya. Kaki depan binatang itu terangkat ke atas, tak
berani ditapakkan di tanah. Setelah melihat sebentar, berkatalah Tok-ko U: Benarlah, dia terkena jarum bwe-hoa-ciam. Dikeluarkanlah sebuah batu semberani, lalu ditepuknya kuda itu pelahan-lahan: Jangan takut, nanti kuobati lukamu. Su-heng, tolong kau pegangi dia dan pinjamkan pedangmu. Dengan ujung pedang Tok-ko U menyukil sedikit daging kaki binatang itu yang sudah busuk, kemudian ditempeli dengan batu semberani tadi. Benar juga dari dua buah kuku kaki kuda itu keluar sebatang jarum perak yang berkilat-kilat. Habis itu lalu dilumuri dengan obat. Selesailah. Kuda ini amat tegar, setelah beristirahat sebentar tentu sudah bisa jalan lagi. Hanya saja belum dapat berlari cepat, mungkin besok pagi baru dapat sembuh seperti sedia kala, katanya. Girang Yak-bwe bukan kepalang. Kembali ia haturkan terima kasih. Diam-diam ia membatin: Ah, orang ini amat baik sekali. Tapi entah dari golongan apa? Usianya lebih tua sedikit dari aku, tapi segala apa ia tahu dan membekal macam-macam obat. Sudah jamak bagi kaum kelana itu untuk saling tolong. Sedikit bantuanku yang tak berarti itu mana berharga untuk menerima ucapan terima kasih Su-heng? Sebaliknya aku malah merasa menyesal, kata Tok-ko U. Menyesal apa? tanya Yak-bwe. Ah, tak perlu bertanya tentu juga sudah mengerti sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan tentang perbuatan si Hau Pheng itu. Semalam sudah kuketahui bahwa dia mengandung maksud jelek terhadap Su-heng dan untuk itu aku hanya mengawasi gerak-geriknya saja, sama sekali tak menduga bahwa mereka bakal mencelakai kudamu juga. Bukankah ini pantas disesalkan? Ah, memang tipu muslihat orang di dunia persilatan itu sukar diduga, Yak-bwe coba menghiburnya. Kalau Yak-bwe mempunyai rasa curiga terhadap diri Tok-ko U, pun pemuda pelajar itu juga mempunyai rasa demikian terhadap Yak-bwe. Selesai mengobati kuda, bertanyalah pemuda itu: Rupanya kuda ini sejenis kuda dari luar daerah, benarkah? Mungkin, sahut Yak-bwe, Karena aku sendiri bukan seorang ahli kuda. Dimanakah Su-heng membelinya? Kuda sejenis ini, jarang terdapat di daerah Tiong-goan sini, kata Tok-ko U. Pemberian seorang sahabat, sahut Yak-bwe dengan agak gelagapan. Karena tak biasa berbohong, jadi kata-kata Yak-bwe itu tidak wajar. Pikir Tok-ko U: Ah, seorang yang rela menyerahkan seekor kuda macam begini, tentu sorang sahabat yang karib sekali. Seharusnya orang itu menceritakan juga tentang asal-usul dan keistimewaan binatang ini. Aneh, mengapa jenis kuda yang berasal dari luar daerah saja, ia tak tahu. Tapi karena baru berkenalan, jadi Tok-ko U tak leluasa untuk bertanya dengan melilit. Hanya dalam hati saja ia tetap mempunyai rasa curiga. Dia sudah banyak pengalaman dalam dunia Kangouw, sepintas pandang tahulah bahwa Yak-bwe itu masih hijau, sekali-kali bukan pemuda jahat. Menilik bagaimana tadi ia serta merta mengeluarkan bekal kim-taunya, hal ini membuktikan bahwa dia seorang pemuda jujur. Jika ia tak mau menceritakan urusannya, mengapa aku harus mendesaknya? akhirnya Tok-ko U tiba pada kesimpulan begitu. Terima kasih atas budi bantuan saudara, kelak aku tentu membalasnya, kata Yak-bwe sembari memberi hormat perpisahan. Su-heng hendak menuju kemana? tanya Tok-ko U. Aku, aku tak mempunyai tujuan tetap, sahut Yak-bwe. Apakah Su-heng mempunyai urusan penting? tanya pemuda itu pula. Juga tidak, jawab Yak-bwe. Jika begitu, pondokku tak berapa jauh dari sini, dengan berkuda kira-kira hanya makan waktu setengah hari saja. Entah apakah Su-heng sudi memberi muka padaku untuk menjamu Su-heng selama beberapa hari saja? Yak-bwe terkesiap. Sahutnya dengan terputus-putus, Ini, ini .... maaf aku tak dapat menerima
budi kehormatan saudara, namun aku berterima kasih sekali. Apakah Su-heng menganggap aku keliwat lancang? tanya Tok-ko U dengan kurang senang. Bukan, bukan! Tadi aku lupa bahwa aku masih mempunyai sedikit urusan lain. Ya, meskipun bukan urusan penting, tapi harus kulakukan juga. Budi kebaikan Tok-ko-heng tadi, lain hari tentu kubalas. Harap sudi memaafkan, aku terpaksa tak dapat lama-lama menemani Tok-ko-heng, kata Yak-bwe. Melihat tingkah orang yang kikuk-kikuk itu, tahulah Tok-ko U bahwa Yak-bwe menolak undangannya. Sudah tentu ia merasa kurang puas, pikirnya: Ah, orang ini aneh sekali perangainya. Setempo terus terang tanpa tedeng aling-aling, setempo kemalu-maluan seperti anak perawan. Memang renungan Tok-ko U itu tepat sekali. Sayang ia tak mengetahui bahwa pemuda di hadapannya itu ternyata memang seorang gadis. ah, karena Su-heng ada urusan lain, akupun tak berani memaksa. Ke jurusan mana Su-heng hendak mengambil jalan? tanyanya. Dimanakah letak kediaman Tok-ko-heng itu? Yak-bwe balas bertanya. Aku tinggal di Pek-ciok-kong sebelah timur dari kota Hun-tay-tin, sahut Tok-ko U. Kalau begitu tentu mengambil jalanan yang menjurus ke timur ini? tanya Yak-bwe. Tok-ko U mengiakan. Baru ia hendak menanyakan apakah orang juga akan mengambil jalan yang sama, Yak-bwe sudah mendahului: Sungguh sayang, aku hendak menuju ke jurusan barat. Lain hari bila ada jodoh untuk bertemu lagi, tentu akan kuperlukan berkunjung ke tempat Tok- koheng. Dengan tergesa-gesa seolah-olah kuatir kalau Tok-ko U sampai menahannya lagi, ia segera memberi hormat perpisahan. Tok-ko U makin kurang senang, batinnya: Ah, orang ini benar- benar tak punya rasa persahabatan. Benar ia tak kenal padaku, tapi aku telah menolongnya dari kesukaran. Hm, rupanya ia tidak seperti orang kangouw, tapi anehnya kata-katanya begitu cemerlang, ilmu pedangnya bukan olah-olah dan memiliki kuda bagus dari benua barat. Ah, orang apakah ia itu, sungguh membuat orang tak mengerti! Makin merenung, makin besar kecurigaannya. Setelah berjalan beberapa saat, diam-diam ia memotong jalan singkat berganti arah ke sebelah barat .... Sekarang mari kita ikuti Yak-bwe yang berjalan seorang diri menuju ke sebelah barat itu. Memangnya ia tak mempunyai arah tujuan yang tertentu. Kemanapun ia bebas lepas. Hanya karena tadi Tok-ko U mengatakan hendak mengambil jalan sebelah timur, ia lantas sengaja mengambil arah barat. Jalanan yang menjurus ke barat itu ternyata adalah sebuah jalan kecil yang menjurus ke jalan raya kota Ping-lu. Dari kota Ping-lu terus menuju ke barat, dapat tiba di kota Tiang-an. Baru mencongklang kudanya tak berapa lama, dari belakang tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang riuh. Malah berbareng itu terdengar ada seseorang berteriak: Hai, bangsat kecil, hendak kemana kau? Yak-bwe marah. Ia kira tentu konco-konco Hau Pheng yang mengejarnya. Tapi alangkah kejutnya ketika ia berpaling ke belakang. Ternyata yang mengejar itu serombongan tentara Gi- limkun yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang. Mereka adalah rombongan depan atau semacam perintis dari suatu pasukan Gi-lim-kun yang besar. Setiap tiba di daerah atau kabupaten, mereka minta diadakan penyambutan. Maka lebih dahulu dikirimlah sebuah regu anak buah Gilim- kun untuk memberi warta pada pembesar setempat agar mereka mempersiapkan penyambutan. Adanya Yak-bwe mengambil jalan besar, adalah karena hendak menyingkir dari gangguan bangsa penyamun. Siapa tahu kini ia berpapasan dengan rombongan tentara negeri. Ini berarti lebih besar bahayanya. Sebenarnya pakaian yang dikenakan Yak-bwe itu cukup mewah, memadai bangsa putera pembesar negeri. Hal itu takkan menimbulkan kecurigaan tentara Gi-lim-kun itu. Tetapi kuda yang dinaikinya itu adalah kuda tegar yang dipersembahkan oleh raja daerah Ceng-hay kepada kerajaan Tong. Jika bersua dengan tentara negeri biasa, tentu takkan ketahuan. Tapi celakanya Yak-bwe telah kesamplokan dengan pasukan Gi-lim-kun. Pasukan istimewa yang bertugas khusus untuk
menjaga keselamatan istana, mempunyai perlengkapan yang paling sempurna dan kuda-kuda ternama dari luar daerah. Walaupun dari jauh, tapi sepintas pandang saja regu Gi-lim-kun itu sudah dapat mengenali kuda Yak-bwe. Pemimpin regu Gi-lim-kun itu seorang opsir yang bernama An Ting-wan. Pangkatnya sebagai Hou-ya-to-wi. Di dalam hirarki (urut-urutan pangkat) tentara Gi-lim-kun, yang tertinggi adalah opsir yang berpangkat Liong-ki-to-wi, nomor dua barulah Hou-ya-to-wi. An Ting-wan adalah kochiu (jago kosen) nomor lima dalam Gi-lim-kun. Yang nomor satu adalah Cin Siang, lalu Ut-ti Pak (berpangkat Liong-ki-to-wi), Ut-ti Lam (berpangkat Hou-ya-wi) dan seorang Hou-ya-to-wi lain yang bernama Gong Pan. An Ting-wan adalah seorang opsir yang gagah dan mahir berperang. Kaget sekali ketika An Ting-wan melihat kuda yang dinaiki Yak-bwe itu, serunya: Itu dia penjahat Kim-ke-nia yang lolos! - Dengan acungkan tombak, ia segera pimpin anak buahnya mengejar. Kuda An Ting-wan pesat sekali, ialah yang lebih dulu tiba. Bentaknya dengan keras: Bangsat bernyali besar, berani naik kuda rampasan di jalan besar? Ha, sungguh hebat! Ayo, lekas turun serahkan diri atau tidak? Seruan itu ditutup dengan sebuah tusukan ke ulu panggung dalam jurus 'tok-liong-jut-tong' (naga keluar dari gua). Yak-bwe balikkan pedangnya untuk menangkis. Tetapi ia tak biasa bertempur di atas kuda, tenaganyapun kalah dengan lawan. Begitu berbenturan, tubuh Yak-bwe tergetar, hampir saja ia terjungkal dari kudanya. Dan berbareng itu terdengarlah suara menderu. Seorang anak buah Gi-lim-kun yang mahir dalam ilmu laso, setelah sejenak memutar-mutar tali terus dilontarkan ke arah Yak-bwe. Yak-bwe terjepit, ia harus pilih menyelamatkan diri atau menolong kudanya. Cret, kepala kuda itu tepat kena terlaso, keempat kakinya segera menjulai ke bawah. Berbareng itupun An Ting-wan menusuk pula. Jika menghendaki kuda ini, ambillah! Mengapa berlaku begini kurang ajar! teriak Yak-bwe dengan gusar. Ujung kakinya sekali menginjak pelan, tubuhnya Yak-bwe segera melayang ke udara. An Ting-wan memburu maju dengan sebuah tusukan. Yak-bwe berteriak dengan marahnya: Ayo, kaupun harus turun juga! Tapi belum lagi sebelah kaki Yak-bwe menginjk tanah, An Ting-wan sudah menusuk ke arah dadanya. Yak-bwe tak mau menangkis, melainkan lengkungkan pinggangnya. Begitu terhindar dari tusukan, ia membabat sebuah kaki kuda An Ting-wan. Opsir itu menggerung keras dan terpaksa loncat turun. Hai, mengapa kau berkeras menuduh aku seorang penjahat? bentak Yak-bwe. An Ting-wan tertawa dingin: Kalau bukan penjahat, dari mana kau peroleh kuda bagus itu? Sahabatku yang memberi, aku tak tahu kalau kuda ini milik pemerintah, sahut Yak-bwe. Siapa yang memberimu itu? tanya An Ting-wan pula. Yak-bwe gelagapan, ia hanya dapat menyahut: Pendek kata, aku ini bukan penjahat atau penyamun, percaya tidak terserahlah! Kalau bukan bangsa penyamun, habis siapakah kau ini? An Ting-wan menegas. Sudah tentu Yak-bwe tak mau menerangkan dirinya itu 'puteri Ciat-to-su dari Luciu'. Ia tak dapat menyahut melainkan deliki mata saja. Kembali An Ting-wan tertawa dingin: Kukira kawanan penjahat Kim-ke-nia itu semuanya jantan-jantan yang kepala batu, kiranya juga ada orang punya 'tulang lemas' seperti kau. Sudah berani menjadi penyamun tapi tak berani mengaku. Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong sungguh harus malu mempunyai anak buah semacam kau! Sebenarnya An Ting-wan itu tak punya hubungan baik dengan Thiat-mo-lek dan Shin Thianhiong. Tetapi terhadap kedua orang gagah itu, ia menaruh perindahan juga. Itulah sebabnya ia mengeluarkan kata-kata tadi. Memang Yak-bwe itu tak ingin bertempur dengan tentara negeri. Tetapi karena selama dalam gedung Ciat-to-su, ia selalu disanjung hormat orang, jadi sifat-sifatnya sebagai Siocia (puteri pembesar) masih tebal. Sudah tentu ia tak kuat menerima hinaan si opsir semacam itu. Pada saat An Ting-wan mengacungkan tombaknya ke arah Yak-bwe sebagai isyarat agar anak
buahnya segera meringkus nona itu, tiba-tiba terdengar suara berdering. Yak-bwe sudah mencabut pedangnya dan berkata dengan dingin: Jika pembesar negeri menindas, tentu rakyat memberontak. Baik, karena kau berkeras mengatakan aku seorang penyamun, aku sekarang benar-benar menjadi penyamun. Nah, lihat pedangku! Giok-li-tho-soh atau bidadari lemparkan tali adalah jurus yang segera digunakan Yak-bwe untuk menusuk si opsir. An Ting-wan mendengus pelahan, pikirnya: Kukira seorang penjahat keroco yang takut mati, ternyata ilmu pedangnya boleh juga. Tapi ia bukannya jeri, melainkan hanya terkejut saja. Sembari berseru 'bagus', ia segera getarkan ujung tombaknya. Begitu ujung tombak itu berkembang menjadi lingkaran sinar, terus ditusukkan ke dada Yak-bwe dalam gaya 'tiong-ping-jiang'. Yak-bwe tahu kalau lawan bertenaga besar. Ia ambil putusan tak mau adu senjata. Pedangnya segera memutar, tubuhnya pun ikut maju dengan sang pedang. Dengan begitu ia menghindari muka berhadapan muka. Sekonyong-konyong ujung pedangnya disusupkan, menyusul tubuhnya pun ikut menyelinap masuk ke dalam lingkaran sinar tombak. Setelah itu ia gunakan gerak hong-hong- canki (burung hong pentang sayap), begitu ujung pedang melekat pada batang tombak, ia segera membentak: Lepas! -- Pedang itu digelincirkan untuk memapas jari An Ting-wan. An Ting-wan adalah seorang perwira yang sudah kenyang pengalaman perang. Dalam keadaan yang bagaimana bahayanyapun ia tak menjadi gugup. Begitu ujung pedang hampir tiba di tangan tiba-tiba tombak diputarnya sehingga pedang Yak-bwe terpental ke samping. Berbareng ia pun membentak: Lepas! Tombak digunakan sebagai toya, terus disapukan ke pinggang Yak-bwe. Dengan gerak wan-yau-ja-liu atau lengkungkan pinggang menancap pohon liu. Hanya terpisah seujung rambut saja, dapatlah ia menghindar dari serangan maut itu. Kemudian dengan gerakan Hong-hong-tim-thau atau burung hong mengangguk kepala, ia menghindar dari ujung tombak lawan yang masih mengubernya. Dengan begitu kedua pihak sama-sama tak terluka dan sama-sama tak lepas senjatanya. Siapa kau? Lekas kasih tahu namamu! bentak An Ting-wan. Aku hanya seorang keroco yang tak bernama, lihat pedang! An Ting-wan diam-diam merasa heran, pikirnya: Kepandaiannya lihay, terang dia bukan keroco. Tetapi Cin to-wi tak pernah mengatakan bahwa di kalangan penyamun Kim-ke-nia terdapat tokoh semacam dia. Memang Cin Siang itu kenal baik dengan pemimpin-pemimpin gunung Kim-ke-nia, seperti Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, To Peh-ing dan lain-lain. Sebelum menyerbu, orang she Cin itu sudah menerangkan jelas kepada An Ting-wan, suruh yang tersebut belakangan itu berhati-hati terhadap mereka. Jika dapat bertahan boleh bertahan. Jika sekiranya kewalahan, harus lekas- lekas mundur. Dengan berbuat begitu, Cin Siang berbuat dua macam kebaikan. Melindungi anak buahnya (An Ting-wan), dan sekaligus juga membantu pada Thiat-mo-lek. Waktu Yak-bwe tak mau mengatakan namanya itu, diam-diam An Ting-wan menduga kalau Yak-bwe itu tentu seorang thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan Kim- kenia. Dengan anggapan itu, An Ting-wan ambil putusan tak mau memberi ampun lagi. Begitulah ia segera mainkan tombaknya dengan gencar. Pertempuran telah berjalan dengan seru. Melihat bahwa An Ting-wan sebagai jenderal hanya bertempur melawan seorang penyamun kecil, anak buah Gi-lim-kun itu tak mau membantu. Mereka hanya berjajar-jajar melingkari gelanggang. An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang panjangnya hampir satu tombak (lebih kurang 3 meter). Di atas kuda memang amat dahsyat sekali perbawanya. Tapi serta bertempur di tanah, pedang Yak-bwe lebih tangkas geraknya. Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak-bwe kembangkan permainan pedang dengan penuh semangat hingga akhirnya ia sedikit lebih menang angin. Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat, namun ujung baju lawan saja ia tak mampu menyentuhnya. Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan. Karena tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu dimainkan senjata itu menerbitkan angin yang
menderu-deru, gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk. Yak-bwe tak berani adu kekerasan. Ia gunakan siasat berlincahan kian kemari, sewaktu-waktu mencuri kesempatan untuk menusuk. Tapi bagaimanapun ia kalah tenaga dengan lawan. Apalagi ia baru saja habis bertempur. Bermula memang menang angin, tapi setelah lewat 30-an jurus, pelahan-lahan tenaganya mulai berkurang, keringatnya mengucur deras. Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui tentang perubahan situasi itu. Sebaliknya mereka malah merasa kagum heran. An Ting-wan adalah ko-chiu nomor lima dari pasukan Gi-lim-kun. Bermula anak buah Gi-lim-kun itu menduga, dalam 2-3 jurus saja An Tingwan tentu sudah dapat membekuk lawan itu. Maka betapalah heran dan kaget mereka demi sampai puluhan jurus keroco itu masih tetap dapat balas menyerang. An to-wi, kita masih harus lekas-lekas mencari penginapan. Tak usah harus menangkapnya hidup-hidup, teriak seorang opsir. An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah tengah hari. Diam-diam ia berpikir: Sebentar lagi ia tentu sudah kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hidup-hidupan. Tapi paling sedikit masih harus menggunakan waktu setengah jam ini, tentu membikin kapiran lain-lain urusan. Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin-cian-chiu atau ahli panah dalam pasukan Gi-limkun. Dengan seruannya tadi sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An Ting-wan memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau tidak? An Ting-wan mengerti juga isyarat itu. Cepat ia putar tombaknya untuk mengurung Yak-bwe, lalu berseru: Baiklah, tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuhnya yang tak berbahaya. Tapi kalau sampai terpanah mati, ya biarlah. Yak-bwe tetap berlincahan kian kemari dengan tangkasnya, jadi tak mungkin orang akan dapat memanahnya dengan memilih bagian-bagian yang tak berbahaya. Tapi karena sang jenderal sudah menghendaki supaya dapat menangkap hidup-hidupan, maka opsir itupun sengaja hendak mempamerkan kepandaiannya di hadapan sang atasan. Akhirnya ia mendapat akal bagus. Wut, ia lepaskan sebatang anak panah di sisi kanan Yak-bwe. Menyusul ia lepaskan lagi sebatang di sisi kirinya. Kedua batang itu sengaja dilayangkan hanya beberapa dim dari sisi tubuh Yak-bwe. Kemudian ia lepaskan lagi anak panah yang ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur saja yang ditarik tapi tak ada anak panahnya. Yak-bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia lian-cu-cian-hwat. Biasanya ilmu liancu- cian-hwat itu dilepaskan tiga kali beruntun-runtun, yakni diarahkan di sisi kanan, kiri dan tengah. Tadi karena ia bergeliatan menghindari anak panah yang pertama dan kedua, posisi tubuhnya berada di tempat yang sudah diduga oleh musuh. Waktu didengarnya lawan menggetarkan tali busur, ia yakin tentu akan mengarah bagian tengah. Dan untuk itu, ia harus menghindari dengan meloncat ke udara. Tapi dengan cerdiknya si opsir sudah mendahului lepaskan panahnya setinggi satu meter ke udara. Dengan begitu gerak loncatan dari Yak-bwe tadi berarti 'anjing cari gebuk'. Cret, lengannya termakan panah, darah mengucur deras. Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil jiwamu. Lekas buang senjatamu dan menyerah saja! buru-buru An Ting-wan menyerukan. Yak-bwe kertek gigi dan menyahut getas: Jantan dari Kim-ke-nia tak kenal kata-kata menyerah! Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak-bwe nekad hendak mengadu jiwa. Ia kuatkan diri menangkis tombak An Ting-wan. Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah, sudah tentu ia tak dapat menangkis dengan jitu. Segera ia rasakan lengannya linu, mata berkunang-kunang dan kakinya lemas. Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang pedang. Dalam keadaan begitu, asal An Ting-wan memberi tekanan lagi, pedang Yak-bwe pasti terlepas jatuh. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyong-konyong terdengar suara benda mendesing. Sebatang passer melayang, bukan ke arah Yak-bwe melainkan menuju ke An Ting-wan. An Tingwan terbeliak kaget, pikirnya: Ha, mengapa anak panah dari Hwe poh-hu bisa nyasar?
Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul menyusul menyambarnya. Apa boleh buat, terpaksa An Ting-wan lepaskan Yak-bwe. Ia putar tombaknya untuk menangkis passer liancu- cian itu. Setelah itu barulah ia mengetahui bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan si opsir tadi melainkan lain orang lagi. Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terletak di tepi jalan, menerobos keluar seekor kuda tegar. Penunggangnya mengenakan kerudung muka. Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu-cian. Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah dahsyatnya daripada dilepaskan dari busur. Pun selain keras timpukannya, juga arahnya amat jitu. Untuk melindungi diri, An Ting-wan putar tombaknya gencar sekali. Namun sekalipun begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah. Kebetulan sekali mengenai lengannya juga, darahnya mengucur deras, Yak-bwe mempunyai kawan sependeritaan. Setelah mengetahui An Ting-wan terluka, orang berkerudung itu tak mau mencecernya lagi. Kini ia beralih sasaran. Tujuh delapan batang anak panah ditimpukkan ke arah pasukan berkuda Gi-lim-kun. Setiap batang tentu membawa korban seekor kuda. Karena terluka, kuda pasukan Ginlim- kun itu menjadi binal dan mencongklang lari. Yak-bwe menjadi terlepas dari kepungan anak buah Gi-lim-kun. Pemimpin regu panah dari Gi-lim-kun menjadi murka, serunya: Bangsat, jangan kurang ajar! Terimalah panahku! Tapi baru ia bidikkan sebuah anak panah, lawan pun melepaskan sebuah passer untuk membenturnya. Ternyata orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari opsir pemimpin regu panah. Si opsir coba akan mengembangkan ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cian-hwat. Tapi baru ia menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkertakan. Sebuah passer dari seorang berkerudung dengan tepat sekali telah menghantam bagian tengah dari busur sampai patah. Dan lebih celaka lagi, si orang berkerudung sudah susuli passernya yang kedua yang dengan jitu telah mengenai paha si opsir. Kontan si opsir itu terjungkal. Su-heng, lekas lari! teriak orang berkerudung itu. Melihat kejadian itu, marah An Ting-wan bukan kepalang. Begitu tombak dipindah ke tangan kiri, ia lantas menerjang. Tapi dengan tahan rasa sakit, Yak-bwe sudah loncat ke punggung kuda si opsir. Karena anak buah Gi-lim-kun yang masih belum terluka hanya 6-7 orang saja, sudah tentu tak mampu menahan Yak-bwe. Sekejap saja Yak-bwe sudah larikan kudanya ikut si orang berkerudung masuk ke dalam hutan. Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan passer dari si muka berkerudung dan kuatir kalau di dalam hutan bersembunyi barisan musuh, terpaksa An Ting-wan menggigit jari saja. Setelah mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun lantas meneruskan perjalanan lagi. Selama membawa Yak-bwe menyusup hutan dan kemudian berjalan di sebuah jalan terpencil, orang berkerudung itu tak mengatakan sepatahpun jua. Waktu menengok ke belakang legalah perasaan Yak-bwe karena musuh tak mengejar. Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin. Hampir-hampir saja ia tak kuat bertahan diri duduk di atas pelana kuda. Ia tahan sakit dan hendak mencabut panah yang tertancap di lengannya itu, tapi keburu dicegah oleh si muka berkerudung: Jangan, jangan! Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak: Su-heng, sungguh tak nyana kita bakal berjumpa lagi. -- Bret, terus dicabutnya kain kerudung yang menutupi mukanya itu. Hai, kiranya kau! teriak Yak-bwe dengan kaget. Kiranya si orang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda pelajar yang belum lama berpisah dengan Yak-bwe, yaitu Tok-ko U. Aku tak tahu sama sekali kalau Su-heng ini juga salah seorang ksatria Kim-ke-nia. Maaf, tadi aku telah berlaku tak menghormat, kata Tok-ko U. Dengan gunakan bahasa kangouw yang baru dipelajari bertanyalah Yak-bwe: Dari golongan manakah saudara ini? Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya: Aku sebenarnya bukan orang loklim, tetapi aku
gemar bersahabat dengan kaum enghiong ho-kiat. Siapakah orangnya yang tak kenal akan Thiatmo- lek, pemimpin Kim-ke-nia itu? Sungguh sayang sekali, sampai sekarang aku belum mempunyai rejeki untuk berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan besarbesaran ke gunung Kim-ke-nia, bagaimanakah dengan Thiat-mo-lek? Karena dirinya dianggap sebagai hohan (orang gagah) dari Kim-ke-nia, Yak-bwe membiarkannya saja. Ia menyahut: Thiat cecu siang-siang sudah dapat meloloskan diri. Karena kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak Thiat cecu sehingga aku tercecer dari barisan. Jangan kuatir, Su-heng. Jika sekiranya tak menampik, sukalah kiranya Su-heng untuk sementara menetap di pondokku, kata Tok-ko U. Terima kasih, tapi nanti merembet saudara, sahut Yak-bwe. Dulu, kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika Su-heng tetap menolak, berarti menghina diriku, ujar Tok-ko U. Yak-bwe bimbang hatinya. Sesaat ia tak dapat mengambil putusan. Pikirnya: Rupanya orang ini seorang gagah budiman. Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal di tempat seorang pemuda yang belum kukenal? Maka dengan ragu-ragu ia menjawab: Kurasa, lukaku ini tak apa-apa. Baru ia berkata begitu, lukanya itu sudah mengucur darah pula. Tok-ko U cepat turun dari kudanya. Nih, aku membawa obat kim-jong-yok. Obatilah dulu lukamu itu, baru kita nanti sambung bicara lagi, katanya sembari menghampiri terus hendak memondong Yak-bwe turun dari kuda. Sudah tentu Yak-bwe terperanjat sekali. Dengan menahan sakit, ia mendahului loncat sendiri. Hampir saja ia terjerembab jatuh. Tok-ko U hendak ulurkan tangan menahannya, tapi Yak-bwe cepat-cepat menghindar, serunya: Tak apa, tak apa. Tolong berikan obatmu itu padaku, aku dapat mengobati sendiri. Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak-bwe. Masakan seorang hohan dari loklim begitu pemaluan sikapnya. Tapi ia segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak-bwe. Karena sudah hampir setengah jam lengannya tertancap panah, kucuran darah telah membasahi bajunya. Dengan tahan sakit Yak-bwe merobek bajunya itu dan terus hendak mencabut anak panah. Jangan, Su-heng! Harus dicuci bersih dengan air dulu, dilumuri obat dan dibungkus kain pembalut. Paling sedikit lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur baru boleh panah itu dicabut. Jika sekarang dicabut, darah tentu mengalir tak berhenti. Dikuatirkan darah itu mengandung racun. Obatku kim-jong-yok ini pasti tak dapat menolong apa-apa. Di rumah aku mempunyai persediaan obat-obatan yang lengkap. Besok pagi dicabut, rasanyapun masih belum terlambat, buru-buru Tok-ko U mencegah. Yak-bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kim-jong-yok pada lukanya. Tapi ia tak mempunyai pengalaman sama sekali. Jari-jarinya bergemetaran. Ketika melumurkan obat dan kena pada tulang, saking sakitnya hampir saja ia menjerit. Keringat dingin mengucur deras. Tok-ko U makin heran. Pikirnya: Pekerjaannya selalu berhubungan dengan golok dan darah, tetapi mengapa mengobati luka saja ia tak mengerti. Sudah diperingatkan satu kali supaya jangan mencabut panah, ia masih bermaksud mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga tak tahu. Sungguh mengherankan bahwa di dunia loklim terdapat seorang hohan seperti dia. Tetapi ketika melihat Yak-bwe menahan kesakitan hebat, Tok-ko U tak tega melihat saja. Dan lagi-lagi ia bermaksud hendak membantunya melumuri obat. Yak-bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukkan kepala. Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri ke sampingnya. Pun terdorong oleh rasa kasihan, tanpa bilang lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya. Waktu tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Serentak timbul juga reaksinya sebagai seorang gadis. Cepat ia mendorong dan berteriak: Mau apa kau? -- Karena gerakan itu, bungkusan obat yang dipegangnya pun turut jatuh ke tanah. Tok-ko U terbeliak kaget: Su-heng, aku mau membantumu, kau ini bagaimana sih? Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak-bwe akan maksudnya. Wajahnya segera
berubah kemerah-merahan. Ia paksakan tertawa: Aku sudah melumurinya, terima kasih. Mana, biar kubantu balutkan, kata Tok-ko U. Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa, Yak-bwe goyangkan tangannya. Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, batinnya: Aneh benar orang ini. Dia lebih pemaluan dari seorang toa-siocia. Yak-bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut lengan kirinya yang terluka itu. Tapi ia tak mengerti caranya membalut luka. Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak keruan bentuknya. Tok-ko U kerutkan alis. Beberapa kali ia bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi selalu 'mundur teratur' karena sikap Yak-bwe yang janggal itu. Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tak terlalu terkekang dengan adat istiadat pergaulan. Pergaulan antara wanita dan pria agak bebas. Adalah karena Yak-bwe itu dibesarkan sebagai siocia (nona) keluarga pembesar, ibu kandungnya sendiripun berasal dari keluarga terhormat, maka watak perangainyapun berbeda dengan gadis kebanyakan. Terhadap pria yang belum dikenalnya, ia tak berani bergaul terlalu rapat. Justru karena sifat-sifatnya yang berbeda dengan kaum gadis umumnya, Tok-ko U tak bercuriga kalau ia itu seorang gadis. Pada umumnya kaum wanita, terutama wanita kangouw, sewaktu mendapat luka tentu tak menolak mendapat bantuan kaum pria. Tok-ko U anggap Yak-bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh saja. Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk mengatakannya. Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak-bwe mulai timbul sedikit. Ia paksakan diri untuk naik ke atas pelana kudanya. Su-heng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan sungkan lagi, beristirahatlah untuk sementara hari di rumahku, kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia menawarkan jasa baiknya. Waktu Yak-bwe masih meragu, Tok-ko sudah berkata lagi: Sejak dari perjalanan di sini, seterusnya di mana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh kata kau mempunyai urusan penting yang harus dikerjakan, namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau seorang diri dan dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu akan mencurigai dirimu. Yak-bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak dapat mengambil keputusan dengan segera. Pikirnya: Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah budiman). Dalam keadaan seperti sekarang, apa boleh buat aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya orang ini tentu takkan berbuat jahat terhadap diriku. Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang, biarlah kutebalkan muka untuk menerimanya. Ah, sungguh bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merepotkan dirimu, akhirnya Yak-bwe menerima juga. Jawab Tok-ko U: Harap Su-heng jangan cemas. Desa kediamanku itu terpencil di tempat pegunungan sunyi. Orang luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit menguatirkan .... Apa yang kau kuatirkan? tukas Yak-bwe. Karena menderita luka, mungkin Su-heng akan susah naik kuda. Lebih baik kita boncengan saja, naiklah di kuda sini, kata Tok-ko U. Jantung Yak-bwe mendebur lagi, pikirnya: Mungkinkah ia sudah mengetahui diriku lalu mengandung maksud buruk? Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan bersungguh-sungguh, ia membantah dugaannya yang tidak-tidak itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut: Walaupun lenganku terluka, tapi kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu. Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun sikapnya tetap tak wajar. Tok-ko u menggerutu dalam hatinya: Coba kalau kau bukan ksatria Kim-ke-nia tak nanti aku mau gubris padamu. Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri. Tok-ko U mengambil sebuah jalanan kecil di tepi gunung. Jalan disitu berlekuk-lekuk, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan. Dengan tahan rasa sakit. Yak-bwe tetap mempertahankan diri naik kuda sendiri. Untung kediaman Tok- ko U itu hanya terpisah jarak 40-an li. Tak berapa lama, tibalah sudah mereka di desa kediaman TokKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ ko U. Kediaman Tok-ko U itu terletak di bawah puncak Pek-ho-nia, depan rumah ada sebuah empang teratai dan keduanya tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon liu. Atap rumah merah yang menonjol di antara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti pemandangan dalam sebuah lukisan. Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman firdaus di luar dunia, Yak-bwe memuji. Ah, Su-heng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih mendekati seorang seniman, Tok-ko U tertawa. Pujian Su-heng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah. Aku tentu akan minta Su-heng untuk tinggal lebih lama di sini. Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari-lari keluar. Masih jauh dara itu sudah berteriak: Koko, kau sudah pulanglah! Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda yang terluka lengannya, dara itu terkesiap. Tok-ko U tertawa menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat. Kemudian ia memperkenalkan: Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran yang dipakai Yak-bwe). Dan ini adalah adik perempuanku Tok-ko Ing. Su-toako ini sunggguh seorang tetamu yang jarang kita jumpai. Ing-moay, tolong kau melayaninya baik-baik. Hai, Su-toako, mengapa kau terluka itu? tanya Tok-ko Ing. Tiba-tiba Tok-ko U berkata: Moaymoay, tentu kau akan gembira .... Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain terluka? Tok-ko Ing mengomelinya. Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak menuturkan tentang riwayat Su toako. Harap kau jangan mencampur-adukkan. Ing-moay, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau hanya kagum kepada tiga tokoh dalam jaman ini? kata Tok-ko U. Ya, benar. Yang satu Thiat-mo-lek, yang kedua Bo Se-kiat dan yang ketiga Toan Khik-sia, kata Tok-ko Ing. Nah, begitulah, Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga tokoh itu. Ia adalah salah seorang hohan dari Kim-ke-nia, ujar Tok-ko U. Memang hubungan Se-kiat dan Khik-sia dengan Thiat-mo-lek itu sudah diketahui oleh kaum Bu-lim. Oleh karena itu walaupun Yak-bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan kedua pemuda itu, namun dengan spontan (serentak)Tok-ko U yakin Yak-bwe tentu mengenalnya. Dan ini terang mengangkat diri yak-bwe di mata Tok-ko Ing. Tertawalah Yak-bwe menyahut: Aku hanya seorang keroco dari Kim-ke-nia, mana dapat digolongkan sebagai sahabat dari ketiga tokoh itu? Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu tentara negeri telah mengadakan sergapan ke Kim-ke-nia. Bukankah kau terluka kena panah mereka? tanya Tok-ko Ing. Ah, ia barusan saja terluka itu, sahut Tok-ko U. Ia lantas menceritakan tentang pertemuannya dengan Yak-bwe sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun. Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang menderita luka sebaliknya kau hanya enak-enak mengobrol saja. Ayo, lekas sediakan tempat untuk Su toako, tiba-tiba Tok-ko Ing menyeletuk. Memang kala itu Yak-bwe amat lelah sekali. Kedua kakinya serasa mati rasa, seolah-olah seperti bukan kakinya sendiri. Ternyata gedung kediaman keluarga Tok-ko itu agak terletak di atas, jadi mereka harus melalui sebuah lamping gunung yang menanjak. Ketika melihat Yak-bwe turun dari kuda dan berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah tentu harus berhenti sejenak, Tok-ko Ing serentak menghampiri hendak menolong memapahnya. Sedang mulut dara itu tetap mengomel sang engkoh: Kau sendiri tadi yang minta supaya aku melayani tetamu baik- baik, masakan kau sendiri tak mengerti bagaimana harus melayani orang? Walaupun dalam hati Yak-bwe benci kepada Khik-sia, tapi entah bagaimana, kepada orang yang memuji sang tunangan itu, ia merasa senang sekali. Apalagi Tok-ko Ing itu seorang dara. Seketika lupalah yak-bwe bahwa dirinya pada saat itu sedang menjadi seorang 'pria'. Bukan hanya membiarkan saja Tok-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia lantas menggelondoti tubuh sang dara. Tersentuh dengan hangatnya tubuh Yak-bwe dan membaui harum dari napas dan rambut Yakbwe, seketika mendeburlah darah Tok-ko Ing. Tapi ia seorang dara yang lapang dada.
Didiamkannya perbuatan 'pemuda' itu, dengan wajah tenang ia tetap menggandeng tangan Yak- bwe untuk diajak masuk ke dalam rumah. Semula Tok-ko U kuatir kalau-kalau adiknya bakal mendapat 'kopi pahit' (sikap getas) dari Yakbwe. Siapa tahu ternyata pemuda gadungan itu telah mengunjukkan sikap yang di luar dugaannya. Pikirnya: Kukira ia itu seorang yang amat pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing- moay. Aneh benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu enggan berdekatan. Sebaliknya dengan seorang yang berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam aku belum mengetahui jelas bagaimana peribadinya tentu kusangka ia seorang pemuda hidung belang. Ketika mendengar napas Yak-bwe tersengal-sengal, Tok-ko Ing merasa kasihan, ujarnya: Su toako, kau benar-benar seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih dapat naik kuda mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka Su toako ini lebih dulu, kemudian biar ia mengaso di kamarmu, ya? Yak-bwe terkejut, buru-buru ia berkata: Ah, jangan sampai merepot! Tok-ko-heng, aku memang mempunyai adat aneh, yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang tidur seorang diri di sebuah kamar yang sunyi. Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya seorang tetamu itu tentu menurut peraturan tuan rumah, sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah, rupanya ia tak mau membikin repot tuan rumah, pikir Tok-ko Ing. Aku mempunyai sebuah kamar buku yang lumayan bersihnya. Entah mencocoki tidak selera Su toako? katanya sembari memapah Yak-bwe menuju ke sebuah kamar buku. Ternyata kamar buku itu indah dan rajin. Di atas dinding dari rak buku digantungi lukisan. Sementara pada tepi jendela di mana sebuah meja tulis, pun dijajar vaas-vaas bunga. Dupa wangi di perapian masih mengepulkan hawa yang harum. Berhadapan dengan lemari buku, terdapat sebuah dipan yang tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja. Rupanya dipan itu dibuat tempat Tok-ko Ing berbaring di kala ia membaca. Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah kusiapkan kasur, kata dara itu. Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga seorang penggemar buku. Di kamar sini terdapat sekian banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat sekali ekspresinya. Aha, kiranya syair gubahan Tu Fu! demikian Yak-bwe memuji. Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung pada jaman itu. Setiap buah karya mereka keluar, tentu segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang. Tetapi buah sajak yang ditulis oleh tangan kedua penyair termasyhur itu, jarang sekali dapat diperoleh. Syair yang tergantung di dinding kamar buku Tok-ko Ing itu ternyata buah tulisan dari penyair Tu Fu. Yak-bwe pernah melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk mendeklamasikan sajak itu. Kiranya sajak itu digubah oleh Tu Fu ketika ia di kota Lim-pin melihat anak murid dari Kong-sun toa-nio yang bernama Li Sip-ji-nio memainkan pedang. Tertarik oleh permainan pedang si nona yang sedemikian indahnya, penyair itu telah menarikan pit, mempersembahkan sebuah sajak pujian..... Syair indah, syair indah! Datangnya bagaikan halilintar mengumbar kemarahan, gemuruh laksana ombak laut memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah mencapai tingkatan semacam itu, sungguh tak dapat dibayangkan oleh pikiran, Yak-bwe memuji. Tapi dalam pada itu ia merasa heran juga dan bertanya: Syair ini digubah oleh Tu Fu untuk dipersembahkan kepada Li Sip-ji Nio. Mengapa bisa berada di tempat nona sini? Tok-ko U tertawa menyahut: Adikku itu adalah sumoay dari Li Sip-ji Nio. Kami kakak beradik berlainan suhu. Yak-bwe terbeliak kaget, tegasnya: Apakah Kong-sun toanio masih hidup? Bukankah beliau sudah hampir berusia ratusan tahun? Beberapa tahun yang lalu suhuku sudah menutup mata. Benar Li Sip-ji Nio itu toa-suciku, tapi kepandaianku itu adalah toa-suci yang mengajarkannya. Toa-suci amat memanjakan sekali kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci lewat di sini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu, maka serangkai syair gubahan Tu Fu itu diberikan kepadaku, kata Tok-ko Ing. Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan heran: Menilik Su-heng begitu gemar
akan syair, rasanya tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa ceburkan diri dalam kalangan loklim? Sahut Yak-bwe: Ya, begitulah kalau mau dikata, memang aku pernah membaca sedikit sajak. Tok-ko-heng tanya kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah, hal itu lebih baik tak kukatakan saja. Sebenarnya Yak-bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi dikarenakan ia tak biasa berbohong, dalam saat-saat yang mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya. Sebaliknya Tok-ko U mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang sukar dikatakan. Ia pun tak mau mendesak lebih jauh. Buru-buru ia alihkan pembicaraan: Su-heng seorang yang pandai ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dikagumi. Di dalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan bermunculan dari kalangan loklim. Mengapa Suheng mengatakan terjerumus? Habis berkata kembali Tok-ko U membatin: Ah, kiranya ia seorang pendatang baru di dunia loklim, makanya ia begitu hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat, tetapi lebih mirip dengan seorang sasterawan. Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa kasur. Setelah mengatur tempat tidur bagi sang tamu, lalu berkatalah Tok-ko Ing: Sudahlah, jangan tarik lidah lebih lanjut. Ayo, kira rawat luka Su toako. -- Setelah itu ia minta Yak-bwe supaya berbaring di atas pembaringan darurat itu. Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati luka Su-toako, aku terpaksa harus minta bantuanmu, kata Tok-ko U. Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukkan kepala tapi tiba-tiba mulutnya pecah tertawa: Huh, koko, rupanya kau cerdik juga karena tahu diri. Akupun tak mau mempersalahkanmu. Tuh, lihatlah, apa-apaan caramu membalut luka orang begitu macam? Malang melintang tak keruan, sampai lengan Su toako menjadi seperti buah semangka saja! Merahlah wajah Yak-bwe mendengar itu, katanya: Aku sendirilah yang membalutnya. Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata-ngatai, walaupun likat tapi terpaksa ia tertawa juga. Memang anak lelaki itu kebanyakan tak dapat mengurus diri sendiri. Su toako, tidurlah, biar kulumuri obat pada lukamu. Darah dari luka Yak-bwe itu sudah mengental dan melekat pada pakaiannya. Tok-ko Ing menanyakan kalau-kalau Yak-bwe membawa ganti pakaian. Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru kemarin kubeli, entah cocok tidak ukurannya, kata Yak-bwe. Kau tak tahu bahwa Su-toako itu royal sekali. Kedua stel pakaiannya itu dibelinya dengan memakai biji emas. Tok-ko U tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi di rumah penginapan. Su toako, kau balikkan tubuhmulah, biar kulepas bajumu. Koko, tolong ambilkan semangkuk air hangat, kata Tok-ko Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak-bwe dengan air hangat, baru kemudian dilumur obat dan dibalut. Sebaliknya wajah Yak-bwe menjadi merah. Katanya dengan berbisik: Ah, tak usah begitu repot-repot. Apakah kau punya gunting? Gunting? Mau buat apa? sudah tentu Tok-ko Ing menjadi heran. Cukup gunting saja lengan baju di dekat luka itu, kan dengan begitu boleh lantas dicuci dan dilumuri obat, jawab Yak-bwe. Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati: Katanya seorang hohan dari loklim, tapi ternyata lebih pemaluan dari seorang gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan akan pergaulan wanita dan pria. Tapi ia pun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan permintaan Yak-bwe tadi. Setelah mencuci bersih, barulah ia melumuri luka itu dengan obat lagi. Tok-ko U datang dengan membawa poci teh-som, katanya: Kau sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, tentu merasa haus. Poci yang berisi teh-som ini, akan dapat menghentikan hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan ini.
Yak-bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia menghaturkan terima kasih dan mempersilahkan supaya kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat. Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam memerlukan apa-apa, panggil saja, jangan sungkan-sungkan, kata Tok-ko U. Kembali Yak-bwe menghaturkan terima kasihnya. Setelah kedua saudara itu tinggalkan kamar situ, timbullah kekuatiran pada hati Yak-bwe jangan-jangan nanti tengah malam Tok-ko U benarbenar berkunjung ke situ lagi. Ia menggeliat bangun untuk menutup jendela. Setelah itu barulah ia leluasa ganti pakaian lalu masuk tidur. Bermula hatinya memang masih kebat-kebit, tapi karena letihnya, tak lama kemudian ia sudah jatuh pulas. Entah sudah berapa lama ia kelelap dalam impiannya di pulau kapuk itu, hanya ketika ia sadar segera ia dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Buru-buru ia bangun. Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa-apa, silakan tidur kembali, buru-buru ia berseru. Di luar kamar terdengar suara ketawa mengikik: Akulah, Su toako. Hari sudah terang, ini kubawakan santapan pagi untukmu. Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok-ko Ing. Waktu Yak-bwe membukakan pintu, dara itu tertawa: Mengapa jendelanya juga kau tutup rapat-rapat? Apakah tidak kepanasan hawanya? - - Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan sinar matahari pagi. Di waktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi kebiasaanku untuk menutup jendela kamar rapat-rapat. Harap kau jangan menertawakannya, dengan pintarnya Yak-bwe mencari jawaban. Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar penjelasan itu ia menjadi geli juga, ujarnya: Kurasa hanya anak perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian kaum gagah dari loklim juga jeri. Baiklah, sekarang sudah terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah makan santapan pagi. Tok-ko Ing menghidangkan makanan yang dibawanya itu di atas meja. Isinya terdiri dari empat macam masakan lezat dan semangkuk besar bubur. Nikmat sekali tampaknya Yak-bwe makan. Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan-jangan kau tidak doyan, kata Tok-ko Ing. Yak-bwe tertawa dan berkata: Nona Tok-ko benar-benar serba pandai. Pandai sastera, mahir ilmu silat dan ahli masak. Entah siapakah di kemudian hari yang beruntung .... Wajah Tok-ko Ing merah jengah lalu cepat-cepat menyelanya: Su toako, apa katamu?! Kini barulah Yak-bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya sedang menjalankan rol sebagai seorang pemuda. Buru-buru ia telan kembali separuh ucapannya yang sedianya berbunyi menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu. Cepat ia tertawa meringis dan mengalihkan haluannya. Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari aku, tapi segala apa kau dapat mengerjakan, sebaliknya aku tak mengerti apa-apa. Terus terang kukatakan, aku sungguh ingin seperti dirimu! katanya. Yak-bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sebagai seorang gadis. Sebaliknya Tok-ko Ing telah menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi lebih merah lagi. Celaka! Aku salah omong lagi, Yak-bwe mengeluh dalam hati, menyaru jadi anak lelaki, kiranya bukan hal yang mudah. Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur untuk menutupi perubahan kerut wajahnya. Selama beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi. Demi melihat sorot mata Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu tak mengandung kemarahan, legalah perasaan Yak- bwe. Su toako, kau masih terlalu merendah diri. Kaulah yang pantas disebut seorang bun-bu-coancay (pandai sastera dan ilmu silat), tiba-tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum. Kesempatan itu telah digunakan Yak-bwe untuk mengalihkan persoalan, katanya: Dulu hanyalah Li Pai itu saja yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang gagah) dan mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu mempersembahkan syairnya kepada suci-mu, barulah terbuka mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang ahli pedang juga yang jempol. Bagaimana kau ketahui ia seorang ahli? tanya Tok-ko Ing.
Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan pedang suci-mu itu sedemikian indahnya? balas Yak-bwe. Tok-ko Ing tertawa: Menurut pendapatku, Tu Fu tak mengerti ilmu pedang tapi tahu menikmatinya. Ya, memang begitulah. Tahu menikmati, itulah juga seorang ahli, sahut Yak-bwe. Su-toako, kenal baik aku dengan Toan Khik-sia? tiba-tiba Tok-ko Ing mengajukan pertanyaan. Jantung Yak-bwe berdetak keras dan tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Sahutnya: Tak begitu akrab. Mengapa kau tanyakan hal itu? Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul dengan kaum hiap-su, teringatlah aku. Li Pai dengan Toan Kui-ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali. Rasanya kau tentu sudah mengetahui hal itu. Sayang Toan tayhiap itu siang-siang sudah menutup mata hingga kita dari angkatan muda ini tak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah sampai dimanakah kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu? Belum Yak-bwe menyahut, Tok-ko Ing sudah melanjutkan kata-katanya pula: Kabarnya ilmu pedang dari Toan Khik-sia itu lebih lihay lagi dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya? Mendengar Toan Khik-sia dipuji-puji, diam-diam Yak-bwe girang dalam hatinya. Tapi purapura ia bersikap dingin dalam memberi jawaban. Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah menyaksikannya. Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya: Menilik gelagatnya, mungkin pergaulannya dengan Toan Khik-sia itu hanya biasa saja. Ini aneh juga, biasanya peribahasa mengatakan 'warna itu tentu mencari warna'. Tapi rupanya hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal di satu markas dengan Toan Khik-sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan untuk bergaul rapat? Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari engkohnya (Tok-ko U) yang berada di sebelah muka sudah terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa-tawa: Moaymoay, kiranya kau sudah lebih pagi datang kemari. Siapa yang mau meniru kemalasanmu? Hari sudah begini siang kau masih dekam di pembaringan. Sikap begitu berarti tak mempedulikan tetamu, Tok-ko Ing jebikan bibirnya. Mempunyai seorang adik rajin seperti kau, masakan aku masih perlu membanting tulang? Tok-ko U membantah disertai tertawa. Mendengar dalam nada ketawa engkohnya itu mengandung sesuatu yang dalam artinya, tanpa terasa berdebarlah hati Tok-ko Ing. Bagaimana Su toako, apa sudah baikan? tanya Tok-ko U. Yak-bwe mengiakan: Ya, sudah banyak baik. Lihat, aku sudah makan begini banyak. Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing-moay, kau cermat dan tangkas. Mencabut panah di lengan Su toako nanti lagi-lagi mesti minta tolong padamu, kata Tok-ko U. Tok-ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja supaya ia bergaul rapat dengan 'pemuda cakap' itu. Iapun sungkan menolaknya: Koko, kau memang cari enak saja, segala apa suruh aku yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus bekerja sedikit. Harap kau sediakan obat-obat yang akan dipakai. Siang-siang aku sudah menyediakannya, sahut Tok-ko U. Yak-bwe merasa tak enak hatinya: Nona Tok-ko, aku sungguh banyak merepoti kau saja. Tok-ko Ing tertawa: Su toako, aku hanya bergurau dengan koko, harap kau jangan menaruh di hati. Kau adalah sahabat baik dari koko, kau terluka dan sudah seharusnya aku merawati. Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga kepadaku, Tok-ko U menggoda. Terima kasih? Jangan ngaco! teriak Tok-ko Ing. Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau belajar pedang pada suci-mu, tetapi selama ini tak ada lain orang yang mengujimu. Su-toako adalah seorang ahli pedang yang jempol, nanti kau boleh banyak belajar padanya, kata Tok-ko U. Bermula Tok-ko Ing kuatir kalau sang koko akan menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar keterangan itu, ia bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak mendekati Yak-bwe. Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu. Mudah-mudahan Su-toako lekas sembuh, sahut Tok-ko Ing.
Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah yang selayaknya mengangkat guru padamu. Mengapa kau begitu sungkan padaku? kata Yak-bwe. Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti Su-toako sudah sembuh, kalian boleh saling uji kepandaian, agar aku pun dapat menikmati, Tok-ko U menengahi. Walaupun kurang pengalaman, namun Yak-bwe tahu juga akan gelagat, sikap dan ucapan orang. Diam-diam ia geli dalam hati: Agaknya nona ini ada maksud kepadaku. Engkohnyapun setuju, malah mendorong. Tapi sayang, mereka salah alamat. Yak-bwe kuatir kalau sampai rahasianya ketahuan oleh kedua kakak beradik itu. Tapi setelah mendengar pembicaraan kedua saudara itu, ia merasa lega. Walaupun geli, tapi ia merasa terhibur juga. Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai mencabut panah yang mengeram di lengan Yak-bwe. Karena kepalanya menunduk, rambut si dara pun terurai jatuh ke muka Yak-bwe. Begitu dekat sehingga keduanya sama mendengarkan denyut napas masing-masing. Pipi si dara makin merah dan berbisiklah ia: Sakitkah, Su-toako? Tidak, terima kasih, sahut Yak-bwe. Tok-ko Ing merasa bahagia. Ia mempunyai perasaan yang sukar dilukiskan. Padahal pujian Yak-bwe itu bukan karena sungkan, melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu seorang dara yang cekatan. Setelah mencabut panah lantas melumuri obat. Yak-bwe tak merasa sakit dan amat berterima kasih kepada dara itu. Sejak itu, berhari-hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah berpisah dengan Yak-bwe. Sebaliknya Tok-ko U jarang kelihatan. Hubungan Yak-bwe dengan Tok-ko Ing makin akrab. Luka Yak-bwe itu sebenarnya memang tak berat. Mendapat perawatan istimewa dari Tok-ko Ing, sembuhnya amat cepat. Pada suatu hari ketika bangun, Yak-bwe coba gerak-gerakan lengannya. Ternyata sudah pulih seperti sediakala. Tok-ko Ing merasa girang, serunya: Su toako, dalam beberapa hari ini tentu kau merasa kegerahan. Mari, kuantar jalan-jalan ke kebun bunga. Ya, Su-toako, nanti kau boleh memberi petunjuk tentang ilmu pedang padaku. Kala itu adalah pada permulaan musim semi. Ketika Yak-bwe ikut Tok-ko Ing ke dalam kebun bunga, dilihatnya bunga-bunga sama mekar. Taman di situ tak seberapa besar, tapi diatur indah sekali. Di sana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat peristirahatan dan jalanan-jalanan yang melingkar-lingkar. Setiap kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk baru diatur dengan sangat serasi. Pabila orang berjalan-jalan di dalam taman tampaknya mirip dengan orang di dalam lukisan. Sudah beberapa hari Yak-bwe terkurung di dalam kamar. Berada di dalam taman yang seindah itu, seketika longgarlah perasaannya, semangatnya nyaman segar. Dasar Yak-bwe itu seorang nona rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia kelihatan makin cantik lagi. Ketika keduanya lewat di empang teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi yang cakap. Tok-ko Ing mengawasi 'lukisan' yang terpantul dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang 'pemuda' cakap yang berada di dampingnya itu. Pikirannya melayang-layang: Ia benar-benar seorang pemuda yang serba cakap. Tak nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh semacam dia. Poa An yang disanjung orang sebagai tokoh Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan seperti dia. Nona Tok-ko, apakah yang sedang kaupikirkan? tiba-tiba Yak-bwe menegur sambil tertawa. Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru-buru menyahut: Aku menimbang-nimbang akan minta kau mengajarkan ilmu pedang, entah maukah kau? Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona yang bermain dulu, kata Yak-bwe. Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat dulu, biar aku yang memulai, Tok-ko Ing mengiakan. Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh. Sinar pedangnya tampak mengembang seperti untaian tali. Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak burung kuntul yang tersentak kaget, lincahnya seperti naga bermain. Gerakannya menimbulkan angin dingin yang menderu-deru hingga bunga-bunga sama bertaburan jatuh terbawanya. Benar-benar hebat, indah
dan mempesonakan. Yak-bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera mendeklamasikan syair Tu Fu yang menyanjung puji keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu .... Tok-ko Ing menghentikan permainannya. Dengan setengah girang setengah aleman, ia berseru: Ilmu pedang suci-ku mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi aku, mana bisa memadai! Aku belum pernah melihat permainan pedang suci-mu. Tapi menyaksikan permainanmu tadi saja, mataku sudah berkunang-kunang dan semangatku serasa terbang! Yak-bwe tertawa. Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk menyenangkan hati orang saja. Koko mengatakan, permainan pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah mengunjuk permainan jelek, masakah kau masih tak mau memberi pelajaran? Tok-ko Ing mengomel. Yak-bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun ingin mengunjukkan kepandaiannya. Katanya: Sebenarnya tak ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip itu akan berhamburan, maka terpaksa aku akan menuruti juga. Nona Tok-ko, biar kuberi jurus umpan padamu, tapi harap kau menaruh kasihan. Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masing-masing berdiri tiga tombak jauhnya, kemudian saling melontarkan serangan. Dengan begitu kita dapat menghindari salah melukai. Kita boleh keluarkan seluruh kepandaian masing-masing. Nah, bagaimana? kata Tok-ko Ing. Yak-bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya yang baru saja sembuh. Diam-diam Yak-bwe berterima kasih akan nona yang bijaksana itu. Ya, silahkan memulai lebih dulu, katanya. Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi. Segera ia lancarkan jurus giok-li-thosoh atau bidadari lemparkan tali. Untuk itu Yak-bwe menyambut dengan jurus tho-thau-po-li atau lemparkan buah tho membalas buah peer. Ah, Su-toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan sungkan-sungkanlah, seru Tok-ko Ing tertawa. Memang jurus tho-thau-po-li itu, mengandung maksud menghaturkan terima kasih atas kebaikan tuan rumah dan menyatakan hendak membalas budi. Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah pedangnya. Sikapnya itu mirip seperti orang yang bertempur secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus serangan yang lihay untuk melukai musuh. Ganas betul! seru Yak-bwe dengan tertawa. Ia pun mengisar ke samping dan bolangbalingkan pedangnya. Sekali sang ujung kaki berputar, ia kembali ke tempatnya yang semula. Bagus, indah benar tangkisanmu itu! Tok-ko Ing berteriak memuji. Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak, saling menyerang. Keduanya sama mengeluarkan jurus-jurus permainan pedang yang istimewa. Sekalipun terpisah jauh, tapi mereka sama bermain dengan sungguh-sungguh, seperti orang yang bertempur mati-matian. Dan justeru karena terpisah itu, keindahan gerak permainan mereka dapat kelihatan dengan jelas. Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai 30-an jurus. Yak-bwe merasa heran demi melihat wajah Tok-ko Ing seperti orang melamun. Pikirnya: Saat ini sudah menginjak detik- detik yang meruncing. Mengapa ia tak pusatkan perhatian dan seperti orang melamun? Awas serangan ini! cepat ia membentak. Pedang ceng-kong-kiam diguratkan ke udara. Begitu ujungnya tergetar, sinar pedang segera berubah menjadi berkuntum-kuntum rangkaian bunga. Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar Budha memancar luas). Jurus ini merupakan jurus yang paling lihay dari ajaran ilmu pedang Bian Hui sin-ni. Tok-ko Ing tersentak kaget. Ia mundur sampai tiga langkah. Tiba-tiba ia berseru: Hati-hati, serangan ini! Tubuhnya melambung ke udara, pedangnya berkembang menjadi sebuah lingkaran untuk mengurung tubuh Yak-bwe. Ilmu pedang yang indah! mulut Yak-bwe meluncur pujian, tubuhnya pun berdiri tegak. Ia ganti permainannya dengan jurus ciau-thian-it-cut-hiang atau menghadap ke langit dengan sebatang dupa. Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar.
Tok-ko Ing melayang ke tanah lagi. Kini keduanya tegak berhadapan. Pedang masing-masing saling ditudingkan tapi tidak melanjutkan serangannya lagi. Kiranya sampai pada babak itu, apabila dalam pertempuran sesungguhnya, pedang mereka tentu saling menempel dan di situlah pertandingan adu lwekang dimulai. Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul, dialah yang menang. Sebaliknya barang siapa yang coba berusaha merubah gerakannya, ia tentu akan menderita. Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum dan rela menyerah kalah, kata Yak-bwe. Mana bisa. Kau seorang lelaki, dalam hal tenaga tentu lebih kuat dari aku. Jika dalam pertempuran sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini, akulah yang seharusnya kalah, sahut Tok-ko Ing. Keduanya segera sama menyimpan pedangnya. Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya: Su toako, siapakah suhumu itu? Yak-bwe terkesiap, sahutnya: Pelajaranku tak becus, malu aku untuk mengatakan nama suhuku. Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku, kata Tok-ko Ing. Dalam hal apa? tanya Yak-bwe. Konon kabarnya Biau Hui sin-ni itu tak mau menerima murid lelaki, mengapa beliau mau melanggar pantangan itu? kata Tok-ko Ing. Diam-diam Yak-bwe terperanjat sekali. Kini baru ia insyaf bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui aliran sumber perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri: Ah, benera-benar limbung aku ini. Ia adalah anak murid Kong-sun toanio, sudah tentu ahli dalam ilmu pedang. Mengapa tadi aku sampai terlepas menggunakan permainan pedang sehingga ia dapat mengetahui? Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis, ia berkata: Nona Tok-ko, matamu itu sungguh jeli sekali. Kalau begitu, mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah berasal dari ajaran Biau Hui sin-ni. Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya: Aneh sekali ucapanmu itu. Masakan kau tak tahu sendiri ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi? Yak-bwe tetap tertawa: Ya, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu kuperoleh dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui sin-ni. Siapakah wanita itu? desak si dara. Taci misanku yang bernama Sip In-nio, jawab Yak-bwe. Dalam hal ini ia memang tak berdusta seratus persen. In-nio lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar pada Biau Hui sin-ni. Ilmu pedang Yak-bwe sebagian besar memang In-nio yang mengajarkan. Karena In-nio sering berkelana di dunia kangouw maka meskipun belum pernah berjumpa tapi Tok-ko Ing mendengar juga akan namanya. Tahu ia pula bahwa In-nio itu adalah anak murid Biau Hui sin-ni. Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In-nio. Ah, tak heran kiranya, kata dara itu dengan tiba-tiba nadanya berubah rawan, hatinya kecewa dan sikapnya berubah tak wajar. Aku adik misannya yang jauh urut-urutannya. Sejak masih kecil ayah bundaku meninggal, maka aku lantas tinggal pada keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci misan) itu mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari samping saja, tapi lama kelamaan akupun bisa juga. Pernah piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu didapatnya dari seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau rahib tua itu ternyata Biau Hui sin-ni adanya, Yakbwe memberi penjelasan. Dingin-dingin si dara berkata: Baik benar piauci-mu itu kepadamu. Ia sampai berani mengajarkan ilmu pedang padamu di luar tahu suhunya. Kabarnya piauci-mu itu adalah puteri dari seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal di tempat kediamannya, mengapa tega meninggalkannya? Aku tak ingin selama hidupku menjadi benalu (mengandalkan orang). Itulah makanya aku pergi dari rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku berkenalan dengan thaubak dari Kim-ke-nia. Kutahu bahwa pemimpin Kim-ke-nia ialah Thiat-mo-lek itu bukan penyamun biasa.
Lalu aku masuk ke dalam perserikatan mereka, kata Yak-bwe. Masih dengan nada tawar, Tok-ko Ing mengoloknya: Kau mempunyai cita-cita tinggi, tapi tidakkah dengan berbuat begitu berarti kau telah mengabaikan kebaikan piauci-mu? Sebenarnya Yak-bwe hendak menggodanya lebih lanjut yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia sudah bertunangan dengan In-nio tapi demi melihat mata si dara mulai mengembeng air mata, ya, tinggal tunggu saatnya saja tentu akan hujan (menangis), ia merasa tak sampai hati. Pikirnya: Biarlah nanti kalau diam-diam kupergi dari sini, kutinggalkan surat untuk menjelaskan diriku yang asli. Tapi kalau sekarang keuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa bagiku. Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan piauci adalah ibarat loyang dengan mas. Aku hanya seorang kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana aku layak dituduh 'mengabaikan kebaikannya'? katanya. Dengan bantahan itu, hati si dara agak longgar, katanya: Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik sekali hubungannya dengan Biau Hui sin-ni. Dua jurus paling akhir yang kau mainkan tadi, adalah jurus-jurus yang dikeluarkan ketika mereka berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar dari cerita suci-ku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui sin-ni. Oh, makanya tadi ia tampak melamun, kiranya aku dengan suhunya masih ada sedikit ikatan, demikian pikir Yak-bwe. Tok-ko Ing berkata pula: Su toako, jika kelak ada kesempatan, ingin benar aku berkenalan dengan piauci-mu itu. Ah, betapakah senangnya melihat seorang jelita yang memiliki ilmu pedang sakti! Dalam berkata-kata itu nada si dara terdengar risau, beberapa butir air mata menetes turun. Yakbwe tahu bahwa dara itu mengandung hati cemburu. Diam-diam ia merasa geli sendiri. Tiba-tiba seorang bujang perempuan datang. Setelah memberi hormat kepada Tok-ko Ing dan Yak-bwe, lalu melapor: Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia dan Su siangkong suka keluar menyambutnya. Diam-diam Yak-bwe merasa heran. Dan Tok-ko Ing lantas menanyakan siapakah tetamu itu. Seorang lelaki yang bertubuh tegar. Kongcu memanggilnya Lu tayhiap, sahut si bujang. Ai, tak peduli siapa, asal orang Kangouw tentu disebut tayhiap atau siauhiap, Tok-ko Ing tertawa, Su-toako, mari kita melihat-lihat 'tayhiap' itu bagaimana orangnya. Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi mengapa juga minta aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tak kenal dengan orang she Lu itu, pikir Yak-bwe. Rupanya Tok-ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak-bwe. Ujarnya: Koko itu seorang yang cermat. Kalau ia minta kau keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa. Bermula Yak-bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan si dara itu, ia merasa kalau tak ikut tentu bisa menimbulkan kecurigaan tuan rumah. Apa boleh buat terpaksa diapun segera ikut. Di ruangan tetamu tampak Tok-ko U sedang menemani seorang lelaki pertengahan umur. Begitu tampak Tok-ko Ing dan Yak-bwe datang, buru-buru ia berbangkit. Ini adalah tokoh termasyhur di dunia kangouw, Sin-cian-chiu Lu Hong-jan tayhiap. Dan ini adalah Su Ceng-to toako dan adikku Tok-ko Ing, kata Tok-ko U memperkenalkan mereka satu sama lain. Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong-chiu yang kau kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu tayhiap ini, kata Tok-ko U lebih lanjut. Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu. Kalau berdua kakak beradik barulah pantas disebut sepasang pendekar yang dikagumi orang, buru-buru Lu Hong-jun merendah. Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun, pantaslah kalau mendapat kehormatan disebut hiap (pendekar). Hanya saja sorot matanya itu sungguh memuakkan orang, diam-diam Tok-ko Ing membatin. Ya, memang tak salah si dara mengatakan sang tetamu tidak sopan. Tapi siapakah orangnya yang tak terkesiap melihat kecantikan dara itu? Pun tak terkecuali dengan Sin-cian-chiu Lu Hongjun. Sampai dua kali ia memandang lekat-lekat pada Tok-ko Ing. Waktu si dara melirik kepadanya, buru-buru ia membetulkan tempat duduk lagi.
Lain Tok-ko Ing, lain penerimaan Yak-bwe. Kalau si dara tak senang dengan sikap si tetamu, adalah Yak-bwe terperanjat melihat siapa yang datang itu. Pikirnya: Ah, kiranya dia itu engkoh dari Lu Hong-chiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan adiknya, entah apakah engkohnya ini sudah mengetahui jejakku, lalu suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya? Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta? tanya Tok-ko Ing pada tetamunya. Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama barang kemana perginya. Itulah sebabnya maka Tok-ko Ing menanyakannya. Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari adikku itu, jawab Lu Hong-jun. Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak-bwe. Nyata Hong-jun itu belum bertemu dengan adiknya. Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong-chiu, kata Tok-ko Ing. Bulan yang lalu ia hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Kabarnya pada waktu itu tentara negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya aku menjadi kuatir, menerangkan Hong-jun. Ha, kebenaran sekali Su-toako ini seorang hohan dari Kim-ke-nia juga, seru Tok-ko U. Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya kepadaku, pikir Yak-bwe. Buruburu ia berkata: Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia. Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana aku berharga untuk melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu sering bersamasama dengan Toan Khik-sia. Ya, benar. Ia berjumpa dengan Toan-siauhiap di kota Tong-Kwan. Karena ia membantu sedikit kerepotan Toan siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke Kim-ke-nia, sahut Hong-jun. Turut keterangan Su toako tadi, Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, Toan Khik-sia dan beberapa pemimpin Kim-ke-nia telah berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong-chiu tentu juga sudah lolos, kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara itu telah disambut dengan buah tertawa dari sang engkoh. Salahkah omonganku tadi? sudah tentu Tok-ko Ing heran dan bertanya. Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan, sebaliknya ia malah hendak memberi kabar pada kita, kata Tok-ko U. Ai, kabar apa? tanya Tok-ko Ing. Dia telah bertemu dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat, sahut Tok-ko U. Kejut Yak-bwe bukan kepalang. Kalau ia sudah bertemu dengan mereka, berarti tentu sudah mengetahui rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya untuk mencari aku? pikirnya. Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan urat syarafnya dan berkata: Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ingin sekali mengetahui tempat tinggal Thiat cecu, agar lekas-lekas dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat cecu memberitahukan pada Lu tayhiap? Benar aku bersahabat baik dengan Thiat-mo-lek, tapi aku ini bukan orang loklim. Kemana pergi mereka, tak leluasa bagiku menanyakannya, katanya. Dalam pada itu itu timbul kecurigaannya terhadap Yak-bwe: Aneh, dia seorang thau-bak dari Kim-ke-nia, mengapa tak mengerti sama sekali akan pantangan kaum loklim? Tapi segera ia melanjutkan ceritanya: Setelah berjumpa dengan mereka, barulah kuketahui, bahwa adikku tak kurang suatu apa. Itu sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lain-lain urusan, aku tak punya banyak waktu untuk menanyakan. Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su toako, bahwa sekalipun markas Kim-ke-nia pecah, namun kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar. Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik-sia, tiba-tiba Tok-ko U mengajukan pertanyaan. Memang walaupun belum lama muncul di dunia kangouw, tapi nama Toan Khik-sia itu sudah cukup tenar, ya, boleh dikata menjadi buah bibir tiap orang lok-lim. Dalam hubungan itulah maka Tok-ko U mengajukan pertanyaannya. Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal isterinya, sahut Hong-jun.
Siapakah calon isterinya itu? tanya Tok-ko Ing. Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa bakal isterinyaitu adalah puteri dari Sik-ko, ciat-to-su dari Lo-cu, jawab Hong-jun dengan tertawa. Ya, memang di luar dugaan. Toan Khik-sia adalah seorang lok-lim, mengapa bisa tersangkut dalam perkawinan semacam itu? kata Tok-ko Ing dengan heran. Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik-ko. Dahulu ayah bunda nona itu bersahabat baik dengan orang tua Toan Khik-sia, maka mereka lalu menetapkan perjodohan anakanak mereka. Nona itu sekarang sudah tinggalkan rumah Sik Ko dan berkelana di dunia kangouw. Turut cerita Thiat-mo-lek, tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian-kejadian yang mengherankan. Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu malam rasanya takkan habis. Karena waktu itu kita tak mempunyai banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas, menerangkan Hong-jun. Sejak awal, Yak-bwe menjublek saja dengan perasaan kebat-kebit. Demi Hong-jun sudah mengakhiri keterangannya, barulah ia longgar napasnya. Pikirnya: Ya, ketika aku ribut-ribut dengan Khik-sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu). Rupanya Thiat-toako dan Se-kiat sungkan menceritakan padanya. Khik-sia mencari aku? Hm, apakah hal itu bukan alasan kosong agar ia dapat meninggalkan rombongan supaya dapat menemani Lu Hong-chiu? Hm, bukan sekali dua Khik-sia selalu menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali kekhilafannya, akupun tak sudi menghiraukannya lagi, demikian pikirnya pula. Namun dalam hati kecilnya sebenarnya ia mengharap agar benarbenar Toan Khik-sia itu sedang mencarinya. Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan dua pasang kakak-beradik yang terkenal di dunia kangouw. Satu sama lain saling mengagumi. Sebenarnya pertemuan dua pasang pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan sekali, tetapi sayang Lu Hong-chiu tak ikut serta. Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan mereka. Rupanya Tok-ko U cocok sekali dengan Hong-jun. Mereka berbicara dengan asyik sekali. Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian bertiga dengarkan. Soal itu timbul dari soal perkawinan Toan Khik-sia, kata Hong-jun. Kembali Yak-bwe terkesiap kaget dan buru-buru menanyakan hal itu. Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat-mo-lek mengenai pernikahan Toan Khiksia itu? Pada waktu itu tiba-tiba Thiat-mo-lek berhenti bercerita. Ini bukan melainkan karena panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia minta tolong akan bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua jam. Kuatir waktunya tak cukup, maka Thiat-mo-lek terpaksa menunda cerita tentang Toan Khik-sia dan mengganti dengan lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi. Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang urusan pernikahan orang. Maka cepat-cepat ia menanya: Urusan pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada Lutayhiap itu? Bo Se-kiat, sahut Hong-jun. Hal itu juga tak kurang menariknya. Ya, entah bagaimana secara kebetulan terdapat persamaan dengan pernikahan Toan Khik-sia. Gadis yang menjadi idaman Se-kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun kerajaan. Walaupun kedudukan ciangkun itu tak setinggi Sik ciat-to-su, tetapi juga tak seberapa terpautnya. Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah siapakah gadis itu? Tok-ko Ing mendesak. Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin-siu-su dari Pok-ong-seng. Dalam dunia Kangouw nama nona itu sudah tak asing lagi, yaitu Sip In-nio. Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun, tapi ia lebih banyak berkelana di luaran, jadi juga termasuk golongan puteri Kangouw, sepadan dengan diri Bo Se-kiat, kata Tok-ko U. Tetapi bagaimanapun kenyataannya ia itu puteri seorang ciangkun dan Se-kiat kuatir kalau ciangkun itu tak menyetujui pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik dengan Sipciangkun, malah pernah berbuat suatu kebaikan kepada ciangkun itu. Thiat-mo-lek tahu akan hal itu, maka ia lantas mendapat akal minta tolong aku supaya menjadi orang perantaranya. Coba kalian pikir, bukankah hal itu cukup menarik? tanya Hong-jun.
Hebat, sungguh menarik sekali! entah apa sebabnya Tok-ko Ing serentak berseru girang. Hai, mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan orang lain? Tok-ko U menjadi keheranan melihat sikap adiknya yang kurang layak itu. Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa di dalam taman bunga tadi adiknya itu telah 'minum cuka' alias cemburu kepada Sip In-nio. Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya dibohongi oleh Yak-bwe yang begitu pandai merangkai cerita. Ia cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan dengan Yak-bwe. Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se-kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang setengah mati. Harapannya untuk merebut kasih si pemuda cakap Yak-bwe, menjadi besar. Menarik sih cukup menarik. Tetapi akulah yang runyam. Pertama, aku tak mempunyai pengalaman menjadi comblang. Kedua kali, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua dengan adikku berkelana di dunia kangouw. Setitikpun tak ada minat menginjak lantai gedung kaum pembesar lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip sebenarnya sudah lama terputus, kata Hong-jun. Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan: Ah, Lu toako, itu adalah suatu perbuatan mulia. Sekalipun menghadapi rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur. Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal sebagai comblang saja, sahut Hongjun. Tok-ko U tertawa: Ing-moay, dalam urusan pernikahan ini rupanya kau begitu ngotot seperti Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat sendiri! Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya: Hai, Su toako, kau adalah adik misan Sip Innio. Agar Lu toako mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau ceritakan tentang kegemaran nona Sip itu. Lu Hong-jun tertegun, ujarnya: Kiranya Su toako itu adik misan dari Sip In-nio? Kalau begitu kuserahkan saja tugasku kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa? Jangan begitu ah! Su-toako justeru diam-diam tinggalkan rumah keluarga Sip, kalau pulang tentu kurang enak. Dan lagi ia pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip-ciangkun, cepat-cepat Tok-ko Ing menyanggapi. Ia lalu menuturkan cerita yang dirangkai oleh Yak-bwe di dalam taman bunga tadi. Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu. Sebelum pernikahan Sip In-nio berlangsung dengan Se-kiat, ia tak menghendaki 'pemuda' Yak-bwe itu bertemu muka dengan In-nio. Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa curiga dalam hati Hong-jun. Tetapi ia tak mau mengatakan. Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Karena kuatir rahasianya akan ketahuan, buru-buru Yak-bwe memutuskan ocehan Tok-ko Ing, ujarnya: Sip paiupeh-ku itu seorang yang lapang dada, perangainya pun penurut. Jika berhadapan padanya, lebih baik jangan mengajukan tentang urusan pernikahan itu lebih dulu. Tetapi banyak-banyaklah menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se-kiat selama ini. Setelah Sip piaupeh mempunyai kesan baik, barulah kau bicarakan urusan selanjutnya. Ai, Thiat-mo-lek juga menasihati aku begitu. Malah ia menambahkan bahwa Sip Hong itu seorang yang setia akan budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas budi padanya, dirasa ia tentu suka mendengarkan kata-kataku, kata Hong-jun. Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu, seru Tok-ko Ing. Ai, mengapa kau mendesak orang begitu rupa? Untung Lu toako itu bukan orang yang sempit dada, kalau tidak ia tentu mengira kau seperti hendak mengusirnya, Tok-ko U menegur sang adik. Ah, memang sudah lama mengobrol di sini, sudah seharusnya aku pergi, kata Hong-jun. Mendapat teguran sang koko, Tok-ko Ing merasa tak enak. Buru-buru ia mencegahnya: Lu toako, mendengar kata-kataku tadi kau lantas mau pergi. Bukankah itu menandakan kau sempit dada? Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah kepada kami tentang beberapa peristiwa yang menarik di dunia kangouw. Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong-jun, malah ia merasa jemu melihat sikap anak muda yang plintat-plintut suka melirik muka orang itu. Tapi setelah mengetahui kalau Hong-jun hendak menjadi orang perantara dalam pernikahan Se-kiat In-nio, sikapnya lantas berubah seratus delapan puluh derajat. Dari tak suka menjadi suka.
Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah bagaimana, nyamanlah rasanya perasaan Hong-jun. Sungkan juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi. Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah pulang ke Tiang-an, Cin Siang, itu panglima dari pasukan Gi-lim-kun juga berniat hendak mengadakan Eng-hiong-hwe. Katanya, niatnya itu timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Rencananya itu mengandung maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia kangouw agar jangan sampai terjerumus dalam kalangan lok-lim, kata Hong-jun. Sekarang ini kekuasaan berada di dalam tangan para panglima daerah. Kerajaan dalam keadaan gelap. Bagi kaum kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau bekerja untuk kerajaan, demikian Tok-ko U memberi pandangannya. Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku, kini kaum persilatan dapat digolongkan dalam empat kategori (golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita luhur. Golongan inipun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas. Kesatu, yang tak mau bekerja untuk kerajaan dan benci kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu mereka terpaksa masuk ke dalam loklim menjadi penyamun. Dalam hal itu. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat adalah contohnya. Kedua, ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia kangouw. Misalnya, kalau dulu ialah mendiang Toan Kui-cing tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat, Gong-gong-ji yang termasyhur itu, dapat juga dimasukkan dalam kelas ini .... Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari jahat menuju ke jalan yang lurus? Tokko Ing menyeletuk. Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik-sia. Perangai orang itu memang aneh sekali. Juga sepak terjangnya dahulu itu bukan termasuk jahat, melainkan di tengah-tengah antara jahat dan baik. Kabarnya dalam beberapa tahun terakhir ini, kejahatannya itu sudah banyak berkurang. Dia sudah dapat digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap, Hong-jun menerangkan. Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambung lagi: Dalam kalangan tokoh-tokoh aliran Cengpay itu masih terdapat lagi golongan yang kedua yaitu yang suka bekerja pada kerajaan. Tujuan mereka bukan karena hendak merebut kedudukan menjadi pembesar negeri, melainkan dengan mendapat kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak mengembangkan cita-cita mereka. Mungkin juga mereka itu hendak membantu pihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan Gi-lim-kun, tak sedikit jumlahnya tokoh-tokoh seperti itu. Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu An Tingwan, adalah juga dari golongan itu. Tok-ko U tertawa: Ya, memang kutahu sebelum masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, An Ting-wan itu seorang tokoh hiap-gi. Itulah sebabnya ketika menolong Su toako dalam kesulitan tempo hari, aku hanya melukainya ringan-ringan saja. kiranya sebelum Tok-ko Ing dan Yak-bwe keluar, Tok-ko U telah menceritakan hal pertempuran Yak-bwe dengan pasukan Gi-lim-kun pada Hong-jun. Golongan kedua dari kaum bulim itu walaupun takmempunyai cita-cita suatu apa, tapipun termasuk golongan Ceng-pay. Mereka itu kebanyakan berasal dari perguruan atau keluarga bulim, mungkin ada juga yang mengandalakan belajar ilmu silat untuk mengangkat nama. Golongan itu termasuk apa yang dinamakan 'belajar silat untuk dijual pada kerajaan'. Tapi apakah pihak kerajaan mau memakai, mereka pun tak terlalu memusingkan. Tokoh-tokoh yang mewakili golongan ini antara lain ialah seperti Cin Siang dan Ut-ti Pak, kata Hong-jun melanjutkan analisanya. Tapi katanya kedua orang itu amat menjunjung cita-cita luhur, tidak seperti kaum pembesar pada umumnya. Kabarnya banyak kaum loklim yang menghargai sikap kedua orang itu, kata Tokko U. Benar, boleh dikata bahwa kedua jenderal itu benar-benar tokoh yang cemerlang. Jika mereka bukan keturunan panglima-panglima kerajaan yang termasyhur, mungkin mereka sudah menjadi kaum yu-hiap, kata Hong-jun. Karena kini mereka menjadi pembesar tinggi, jadi sudah selayaknya setia menjalankan tuga-tugas negara. Selain kedua orang itu, ayah Sip In-nio, yaitu Sip Hong, juga termasuk golongan tokoh-tokoh semacam itu. Tok-ko U mengangguk: Kiranya jumlah tokoh-tokoh dari golongan seperti itu, tak sedikit
jumlahnya. Golongan ketiga, ialah tokoh-tokoh bulim jahat yang mengandalkan kepandaian silat untuk melakukan kejahatan. Pada golongan ini juga dapat dibagi menjadi dua: pertama, bangsa pencoleng loklim yang tahunya hanya merampok dan membunuh. Dalam hal ini tak perlu kusebutkan contohcontohnya. Kelompok kedua ialah yang berhamba menjadi kaki tangan dari kaum panglima daerah. Misalnya Goh Beng-yang, itu pemimpin dari pasukan Gwe-tho-lam yang dibentuk Tian Seng- su. Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo si iblis tua itu, juga termasuk kelompok tersebut. Bermula ia menjadi begal tunggal, sekarang kabarnya menjadi tetamu undangan dari Tian Seng-su, menyeletuk Tok-ko U. Di samping itu masih ada segolongan lain, yakni kaum Bu-lim-in-su (tokoh-tokoh bulim yang mengasingkan diri). Karena putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari masyarakat ramai. Mo Kia lojin dan Se-gak-sin-liong Hong-hu Ko locianpwe, adalah contohnya, kata Hong-jun. Diam-diam Tok-ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh tetamunya itu, ujarnya: Pengetahuan Lu toako ternyata amat luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong-hwe (rapat para orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga pentingkah? Hong-jun mengucap kata merendah hati lalu menyahut: Pada hematku, menilik kedudukan dan kewibawaan Cin Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan Bu-lim-in-ih, ketiga golongan kaum bulim yang lain itu, tentu akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan lebih mendapat sambutan hebat dari Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan di gunung Kim-ke-nia itu. Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya? tanya Tok-ko U. Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong-ciu tahun ini di istana Li-san-hing-kiong, kata Hong-jun. Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku seorang gadis jadi tak leluasa datang kesana. Apakah Lu toako bermaksud kesana juga? tiba-tiba Tok-Ko ing menyeletuk. Hong-jun tertawa: Aku hendak ke Poh-ong dulu menemui Sip Hong untuk menyelesaikan urusan Bo Se-kiat. Setelah itu pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat-lihat keramaian itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang, tetapi jika kalian engkoh adik mempunyai minat, besok kita boleh sama-sama pergi. Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu kepandaian silat. Tentang yang boleh menghadiri itu siapa, baik wanitakah atau priakah, semua diperbolehkan. Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun. Walaupun pada waktu itu aku memakai kerudung muka, tapi rasanya tentu diketahui juga, kata Tok-ko U. Jawab Hong-jun: Cin Siang mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat kangouw. Sudah tentu ia mengetahui juga tentang pantangan-pantangan orang kangouw. Kabarnya untuk Eng-hiong- hwe itu ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan diselidiki tentang perbuatanperbuatannya yang sudah-sudah, sekalipun andaikata pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya hanyalah mereka itu jangan sekali-kali membuat onar di kota Tiang-an. Dalam pertandingan silat, tak ada paksaan bahwa yang menang nanti akan diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk pemenang pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah sebatang golok pusaka dan seekor kuda pilihan. Aku sih tak menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah pengalaman saja. Ya, nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi, sahut Tok-ko U. Mendengar itu tampaknya Hong-jun agak kecewa. Ia mendongak ke langit dan tertawa: Ai, tanpa terasa sudah terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi. Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tok-ko U pun tak mau mencegahnya lagi. Koko, apakah kau benar-benar berhasrat hadir dalam Eng-hiong-hwe di Tiang-an itu? tanya Tok-ko Ing kepada kokonya setelah Hong-jun pergi. Dan kau bagaimana? balas bertanya Tok-ko U. Aku kepingin sekali menambah penglihatan, ai, sayang .... Sayang apa? tukas Tok-ko U. Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak ingin pergi juga. Menghadiri semacam pertemuan begitu, baru menggembirakan kalau banyak kawan, kata si dara.
Yak-bwe tertawa: Bukankah tadi Lu Hong-jun mengajak kalian? Aku tak begitu kenal dengan dia, sahut Tok-ko Ing. Tok-ko U mengolok tertawa: Oh, jadi kalau Su toako tak pergi, kaupun tak mau pergi? Kalau begitu, karena kau tak pergi akupun juga tak pergi. Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi, mereka lalu sama masuk tidur. Ketika berada di kamarnya, hati Yak-bwe menjadi gelisah. Bukan disebabkan karena tak dapat menghadiri pertemuan di Tiang-an itu, melainkan karena memikirkan Toan Khik-sia. Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan Khik-sia itu selalu terjadi salah paham, diam-diam Yak-bwe menghela napas, keluhnya: Kalau aku memang tak berjodoh padanya mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia. Dan begitu lahir lantas dijodohkan? Tapi jika berjodoh, mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar? Ataukah hanya karena ia tak berani melanggar pesan mendiang orang tuanya saja? Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku, mengapa ia marah-marah ketika mendengar aku dipasangkan pada putera Tian Seng-su? Namun bila ia benar-benar menaruh hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia sudah mengetahui bahwa aku sudah tinggalkan keluarga Sik! .... Keterangan Lu Hong-jun tadi bahwa kini ia sedang mencari aku, apakah boleh dipercaya? Bagaimanakah hubungannya dengan Lu Hong-chiu? Sudah menginjak perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan semata-mata.... Hm, Yak-bwe, Yak- bwe! Jangan kau pikirkan dia lagilah. Tidakkah ia sudah cukup banyak menghina padamu? Persetan dengan pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu macam, masakan kau sudi tunduk padanya? Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak-bwe. Tapi makin ia berusaha untuk menghapus bayangan Toan Khik-sia dalam hatinya, makin bayangan anak muda itu tergores jelas. Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam, namun ia tak merasa ngantuk sama sekali. Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu, kebetulan menghadap ke arah taman. Dari jendela itu melongok keluar, dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang. Taman bunga seolah-olah bermandikan cahaya rembulan. Permukaan empang bening laksana kaca, pohon-pohon, batu-batu dan bunga-bunga bersemarak bagaikan terbungkus dalam kabut perak. Sungguh suatu pemandangan yang permai. Di ruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak penerangannya. Itulah kamar yang ditempati Tok-ko Ing. Kiranya ia masih belum tidur, kata Yak-bwe seorang diri. Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak-bwe akan diri dara itu. Ya, teringat akan sikap dara itu kepadanya. Diam-diam ia merasa geli sendiri: Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona Tok- ko itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi. Sayang aku ini sekaum dengannya .... Mereka berdua kakak-adik amat baik sekali kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa tak dapat lama- lama tinggal di sini. Hm, kini lukaku sudah sembuh. Seharusnya kutinggalkan tempat ini. Sebenarnya Yak-bwe merencanakan untuk pergi dengan diam-diam. Ia akan tinggalkan sepucuk surat menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Tapi demi teringat akan budi kebaikan Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat begitu. Setelah beberapa hari bergaul, timbullah rasa sukanya kepada dara itu. Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna. Tiba-tiba ia mendapat akal. Hanya saja akal itu sedikit bersifat nakal. Lebih baik sekarang aku menjenguk ke kamarnya. Melihat kedatanganku pada tengah malam begini, ia tentu terkejut. Pada saat ia murka, aku segera menerangkan diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau girangkah ia? demikian akal yang direkanya itu. Membayangkan akan reaksi si dara nanti, ia merasa gembira sekali. Ia melangkah keluar menuju ke kamar cat merah itu. Tapi waktu hampir dekat, tiba-tiba dari kain jendela kamar itu tampak dua buah bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang pria adalah Tok-ko U. Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko U berada di dalam, aku tak leluasa masuk, pikirnya. Waktu Yak-bwe hendak angkat kaki, tiba-tiba kedengaran Tok-ko U berkata: Ing-moay, hal ini menyangkut nasibmu seumur hidup. Harap kau pikir semasak-masaknya.
Geli Yak-bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa yang dipercakapkan kedua saudara itu, ia batalkan maksudnya pergi. Tok-ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian kedengaran Tok-ko U berkata pula: Kiranya sudah lebih dari layak apabila kau berjodoh dengan ...... Hong-jun. Seperti kau ketahui, ilmu silat Lu Hong-jun itu amat tinggi dan orangnya pun baik. Yak-bwe terkesiap mendengar ucapan itu. Kiranya bukan memperbincangkan diriku. Kokonya hendak menjodohkan dia pada Lu Hong-jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya sayang sekalipun Lu Hong-jun itu orangnya baik, tapi adiknya itu seorang gadik yang katak. Kalau Tok-ko Ing jadi menikah dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan iparnya itu, pikirnya. Apa? Jadi kedatangan Lu Hong-jun kemari tadi, akan meminang sendiri? tiba-tiba Tok-ko Ing berseru. Bukan meminang melainkan berkenalan, Tok-ko U tertawa. Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru: Kau mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan datang-datang lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu? Jika tahu, sudah tentu aku tak sudi keluar! Ai, memang sebelumnya ia sudah mengatakan, tetapi aku tak memberitahukan padamu. Ketika aku bepergian baru-baru ini, aku telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe ini seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol panjang lebar dan menanyakan juga tentang dirimu. Ia mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar. Keluarga Lu pun sepasang saudara pendekar. Jika dapat terangkap dalam perjodohan, tentulah bakal menjadi buah pujian dunia, bu-lim. Lu Hong-jun kan mempunyai seorang adik, pinang sajalah! Tok-ko Ing menyeletuk. Wajah Tok-ko U berubah merah. Memang pada waktu itu Hong-git Wi Gwat juga mengatakan hal itu, yaitu agar sepasang saudara itu saling mengikat jodoh. Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan pernikahanmu, perlu apa menyangkutnyangkut diriku? Tok-ko U cepat membantah. Kata Tok-ko U lebih jauh: Locianpwe itu mengatakan, apabila kita setuju, ia segera akan mencari Lu Hong-jun, suruh ia datang ke rumah kita untuk berkenalan dengan kau. Biasanya locianpwe itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani pastikan sungguh tidaknya omongannya itu. Jawabanku pada itu waktu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri. Maksud kunjungan Hong-jun, kita sambut dengan senang hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tak boleh dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan. Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya: Benarlah, kau telah memberi jawaban yang tepat. Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata-kata lo-cianpwe itu, maka waktu pulang aku pun tak mau buru-buru mengatakan padamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su toako, jadi tak keburu memberitahukan. Sungguh tak terduga bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang kemari. Sebelum kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang dirimu. Sebenarnya ia itu seorang yang berwatak terus terang, tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat-likat. Sudah tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-gi Wi Gwat telah menyuruhnya datang kemari. Ing-moay, apakah kau tak mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik padamu? Ya, justeru sinar matanya itulah yang kubenci! sahut Tok-ko Ing. Tok-ko U tertawa: Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau benci. Dan diapun suka bergaul dengan kau! Su toako sedang dalam sakit. Ia adalah tetamu yang kau undang kemari. Bahwa jerih payahku mewakili kau untuk merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau malah mengejek padaku, demikian Tok-ko Ing mengomel. Kaulah yang harus berterima kasih padaku, moaymoay, jangan kira aku tak tahu isi hatimu, ya? Memang aneh ini. Aku yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak dapat bergaul dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu padamu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi kehendak nasib. Hanya saja, hanya saja .... Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi begitu mendengar ucapan sang engkoh
itu, serentak ia dongakkan kepala Hanya apa?! ia tanya dengan cepat. Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut: Meskipun Su toako itu tiada tercela, tetapi asalusulnya tak ketahuan. Bagaimana keturunan keluarga Lu, rasanya kita sudah cukup mengetahui. Apanya yang tak jelas. Ia sudah menuturkan asal-usul dirinya kepadaku, cepat-cepat Tok-ko Ing menukas. Tapi aku tetap bercuriga, sahut Tok-ko U. Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh kepercayaan penuh padanya! bantah Tok-ko Ing. Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata: Moaymoay, urusan pernikahan itu suatu hal yang serius. Coba kau bilang terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi keterangan pada orang. Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan membilang .... dengan membilang .... Membilang bagaimana? tukas Tok-ko U. Selebar wajah Tok-ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba berhamburanlah kata-kata dari mulutnya: Bilang sajalah padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang. Pemuda she Lu itu terlambat datangnya. Dan habis perkara! Tok-ko U terbeliak, tanyanya dengan suara berbisik: Apakah kau sudah mengikat janji dengan Su-toako? Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan kau tolol, itu hanya karena keserentakan dari pikiranku saja. Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda she Lu itu, ujar Tok-ko Ing. Moaymoay, kau lebih suka menikah dengan Su-toako. Sayang tiada comblang yang memperantarakan. Turut katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang masak. Kau tentu bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun, kata Tok- ko U. Tok-ko Ing berkobar semangatnya: Ilmu sastera dan ilmu silat dari Su-toako amat menonjol, belum tentu kalah daripada Lu Hong-jun. Sekalipun taruh kata, ia tak nempil dengan Lu Hong- jun, tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok dengan perangainya. Biarpun Lu Hong-jun sepuluh kali lebih lihay dari dia, aku .... aku..... Kau tetap akan memilih Su-toako bukan? Tok-ko U menukas dengan tertawa. Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap begitu berarti ia diam-diam menerimanya. Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su-toako itu lihay? Ah, mungkin ketika kalian berdua keluar untuk menyambut kedatangan Lu Hong-jun, kalian sama-sama menyelipkan pedang. Apakah kalian sebelumnya sudah menguji kepandaian di dalam taman? tanya Tok-ko U. Benar, kau tentunya hanya mengetahui bahwa ilmu pedangnya lihay, tapi tentu belum mengerti siapa suhunya. Dengarlah, ilmu pedangnya lihay, ajaran dari Biau Hui sin-ni! sahut Tok-ko Ing. Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang permainan pedang Yak-bwe. Setiap gerak dan setiap jurus dari ilmu pedang Su-toakonya, ia lukiskan dengan gairah sekali. O, o, hm, hm, selama mendengarkan cerita sang adik, mulut Tok-ko U selalu menghamburkan nada heran dan kagum. Mengapa ilmu pedang Biau Hui sin-ni dapat diturunkan kepada seorang lelaki, itu sungguh mengherankan sekali! akhirnya Tok-ko U menyatakan keheranannya. Piaucinya yang bernama Sip In-nio yang mengajarkannya, Tok-ko Ing memberi keterangan. Ia lantas menceritakan keterangan yang dirangkai oleh Yak-bwe. Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada wajahnya. Ai, kau ini bagaimana, koko? Apakah kau curiga Su toako mencintai piauci-nya? tanya Tokko Ing. Tok-ko U tertawa: Omitohud, berdosa, berdosa! Tidakkah kau mendengar ucapan Lu Hongjun? Sip In-nio sudah tertambat hatinya dengan Bo Se-kiat. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, maka Thiat-mo-lek sudah minta tolong Lu Hong- jun menjadi comblangnya. Sip In-nio seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia
bermoral tipis? Ya, habis mengapa wajahmu lain? Terus terang aku sendiripun bermula juga menaruh kecurigaan. Tapi setelah mendengar keterangan Lu Hong-jun, hilanglah segala prasangkaku, kata Tok-ko Ing. Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata tenang-tenang: Moay-moay, percayakah kau akan omongannya? Tok-ko Ing membeliakkan matanya lebar-lebar dan menyentak: Apa? Kulihat di dalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan, kata Tok-ko U. Apanya yang mencurigakan? cepat-cepat Tok-ko Ing mendesak. Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui sin-ni itu hanya diajarkan pda kaum wanita dan tidak boleh kepada kaum pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya. Sekalipun Sip In-nio mempunyai ikatan keluarga dengan Su-toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar pantangan suhunya secara diam-diam mengajarkannya pada Su-toako, kata Tok-ko U. Mendengar itu, timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan ragu-ragu ia berkata: Mungkin, ya mungkin karena Sip In-nio itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya. Terdorong rasa kegembiraannya bermain-main dengan Su-toako, sesaat ia sampai lupa akan pantangan itu. Tok-ko U gelengkan kepala: Meskipun aku belum pernah bertemu pada Sip In-nio, tapi kabarnya ia itu seorang nona yang bijaksana, kalau tidak masakan Bo Se-kiat penuju padanya. Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang penting. Meskipun usianya masih muda, pun tak nanti ia naif akal itu. Ha, aku sampai lupa. Su-toako mengatakan, pada setiap hari Sip In-nio berlatih pedang, ia tentu melihat di samping, kata Tok-ko Ing. Ilmu pedang ajaran Biau Hui Sin-ni itu bukan olah-olah sukar dan anehnya. Tanpa ada guru yang memberi petunjuk, bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu mencuri belajar. Apakah ia mengatakan padamu kalau ilmu pedangnya itu bolehnya mencuri? tanya Tokko U. Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang. Ia cukup mengetahui bagaimana sukarnya orang belajar ilmu pedang itu. Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran kalbunya, ia main telan saja akan obrolan Su Yak-bwe tadi. Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu, barulah ia timbul rasa kecurigaannya. Tiba-tiba dengan suara menggumam Tok-ko U berkata: Jangan-jangan, hm, jangan-jangan .... Jangan-jangan apa? cepat Tok-ko Ing menyeletuk. Jangan-jangan ia itu seorang gadis, sahut Tok-ko U. Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak sang engkoh: Ngaco saja kau ini! Mana bisa ia seorang gadis?! Ah, aku kan hanya meraba-raba dalam dugaan saja. Jangan kesusu marah dulu, sahut Tok-ko U. Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko Ing merasa menyesal juga tadi sudah membentak sang enkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa: Jika ia memang benar seorang gadis, itu malah kebenaran sekali. Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau kujodohkan padanya? Sebenarnya olok-olok Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk memperbaiki kesalahannya tadi. Siapa tahu, waktu mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat kemudian baru ia dapat berkata: Kalau ia benar seorang gadis, itulah seorang gadis istimewa yang jarang terdapat di dalam dunia. Mana aku layak menjadi pasangannya? Ai, kalau begitu, kau anggap dirimu itu lebih rendah dari aku? tanya si dara. Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko U dapat berkata: Ah, sudah tentu ia itu bukan seorang gadis. Ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan dugaan secara serampangan. Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga Su Yak-bwe di tempat persembunyian, seolah-olah mendapat kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena Su-toako itu seorang lelaki. Yak-bwe berpikir: Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan. Kalau aku sampai
menceritakan kepadanya bahwa aku ini seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan kerunyaman. Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku dapat menolaknya? Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari Tok-ko Ing, lalu katanya: Ah, memang sungguh sayang bahwa Su-toako bukan seorang nona. Kalau pembicaraan kita saat ini didengar Su-toako, wah, tentu runyam sekali. Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang gadis yang menyaru jadi lelaki? tanya Tok-ko U. Sahut Tok-ko Ing, Sudah tentu aku mengetahui. Ia .... ia ... Tok-ko U terbeliak kaget, serunya: Moaymoay, moaymoay, kau, kau, kau dengan dia .... Koko, jangan menduga sembarangan. Ia hanya menyatakan padaku, menyatakan .... Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan? tanya Tok-ko U. Kedua belah pipi si dara bersemu merah. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala kemalu-maluan sambil memainkan ikat pinggangnya. Yak-bwe juga terkesiap, pikirnya: Bilakah aku menyatakan isi hatiku kepadanya? -- Tiba-tiba ia teringat ketika si dara menjenguk sakitnya, ia telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar kerja. Ya, ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing: Siapakah hai, gerangan yang berbahagia mempersuntingkan nona? Ah, apakah ia kira aku menaruh hati padanya? Demikian pikir Yak-bwe lebih lanjut. Di dalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa: Su-toako bukan seorang wanita, ah, itulah memang rezekimu. Baiklah, biarlah kujadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar dirimu mendapat tempat. Nah, tidurlah baik-baik, aku hendak pergi. Mengapa aku gelisah? Asal kau tak menggerecoki aku dengan urusan Lu Hong-jun, aku pun tak punya keresahan apa-apa lagi, sahut Tok-ko Ing. Karena Tok-ko U hendak tinggalkan ruangan itu, Yak-bwe pun segera mendahului pergi. Tapi baru ia melangkah sampai di rumpun pohon bunga, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam loncat melampaui tembok dan melayang tepat di atas batu gunung-gunungan yang berada di sebelahnya. Ketika mengawasi, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Saking kagetnya, tubuhnya sampai gemetar dan bunga-bunga yang tersentuhnya menjadi berhamburan jatuh. Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia yang dibencinya tapipun yang paling dirindukannya. Toan Khik-sia! Kiranya Khik-sia telah menempuh jarak 700 li menyusur jalan raya Tiang-an, tapi tetap tak dapat menemukan Yak-bwe. Ia terpaksa kembali dan hendak membalik haluan ke arah selatan. Kebetulan ia berjumpa dengan Lu Hong-jun. Sebenarnya Lu Hong-jun sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yak-bwe. Dalam pembicaraan selanjutnya, ia pun menceritakan juga diri Yak-bwe itu kepada Khik-sia. Demi mendengar bahwa pemuda itu orang she Su dan mengaku masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik-sia bukan kepalang. Ya, siapa lagi pemuda gadungan itu kalau bukan Yak-bwe! Cepat-cepat Khik-sia minta alamat tempat tinggal Tok-ko U dan malam itu juga ia segera berangkat. Ketika tiba di pintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah lewat tengah malam. Menurut peraturan, jika hendak mertamu itu seharusnya pada siang hari. Tapi Khik-sia sudah tak tahan lagi. Apalagi Lu Hong-jun juga menyinggung-nyinggung tentang hubungan rapat antara pemuda she Su itu dengan adik perempuan Tok-ko U. Maka tanpa dapat mengendalikan diri lagi, Khik-sia segera mengambil keputusan. Lebih dulu masuk menyelundup ke dalam gedung untuk mencari Yak- bwe sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah. Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk ke atas batu gunung-gunungan, ia kesamplokan dengan orang yang dicari-carinya. Karena tertangkap muka, Yak-bwe menjadi gelagapan, sebaliknya Khik-sia pun terkejut dan girang sekali! Adik Yak-bwe ....! tanpa ragu-ragu lagi Khik-sia meluncurkan tegur salam yang manis. Tapi wajah Yak-bwe sedingin es. Tanpa memandangnya lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya dan pergi. Khik-sia memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak-bwe, bisiknya dengan lirih: Adik Bwe, kau dengarkanlah perkataanku ....
Yak-bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin: Tahulah sopan sedikit! Siapa adikmu itu? Rasa cinta Khik-sia itu hangat membara, tapi kulit mukanya tipis. Dibentak sedingin begitu, merahlah telinganya, ribuan kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau lagi. Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak mengebut pohon liu, Yak-bwe lanjutkan langkahnya. Khik-sia makin bingung. Dengan besarkan nyali ia tekan ujung tumitnya. Dengan gerak ginkang istimewa teng-hun-jong, ia melambung melampaui kepala Yak-bwe dan melayang jatuh di hadapan si nona untuk menghadangnya. Minggir! bentak Yak-bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia terus maju menerjang. Tapi Khik-sia lantas mengadangkan kedua tangannya. Bagaimanapun Yak-bwe hendak coba menerobos, tetap kena terhadang. Toan Khik-sia, kau terlalu menghina orang! akhirnya meluncurlah kata-kata kemarahan dari mulut Yak-bwe. Yak-bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu. Harap kau mengingat akan hubungan antara keluarga kita dahulu, demikian buru-buru Khik-sia berkata. Bagaimana? Yak-bwe menegas. Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas .... ah, sudahlah jika kita sampai tak rukun, arwah ayah bunda kita di alam baka tentu tak dapat tenteram, Khik-sia melanjutkan kata-katanya. Sebenarnya betapa ingin Yak-bwe rujuk dengan pemuda yang dikenangkan itu. Tapi ia sudah biasa dibesarkan sebagai seorang siocia yang beradat tinggi. Teringat beberapa kali Khik-sia pernah menghinanya, api amarah Yak-bwe masih belum reda. Jika sedatangnya tadi Khik-sia lantas meminta maaf, mungkin Yak-bwe dapat diredakan kemarahannya. Adalah karena Khik-sia itu memang tak pandai merangkai kata-kata, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya tetap tak seperti yang diharapkan. Ia kira dengan mengingatkan Yak-bwe akan hubungan keluarga mereka dahulu, dapatlah ia mendinginkan hati si nona. Siapa tahu sebaliknya Yak-bwe malah lain penerimaannya. Pikirnya: Ha, kiranya kau hanya karena takut dicap tak berbakti kepada orang tua, maka terpaksa mencari aku. Jadi sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku. Thiat-toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia pesan wanti-wanti kepadaku harus mengajakmu pulang. Adik Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah agar dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita lantas berangkat pulang, demikian kata Khik-sia pula. Jilid 7 Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan keras! seru Khik-sia. Sret,sret, sret, tiga kali ia bolang-balingkan pedang untuk mendesak mundur nona itu. Ia menyerang dengan gencar. Lepaskan golokmu! tiba-tiba ia membentak. Ia yakin lawan tentu sudah tak dapat bertahan lagi. Siapa tahu nona itu malah maju selangkah. Sebenarnya Khik-sia memang tak bermaksud mengambil jiwa si nona. Permainan pedang Khik-sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa hingga dapat dilancarkan dan dihentikan menurut sekehendak hatinya. Tadi ia miringkan ujung pedangnya untuk menutuk siku si nona supaya lepaskan goloknya. Tapi tak nyana, nona itu hanya tertawa mengejek seraya berseru: Jangan kesusu, bung!.... Sepasang goloknya dilingkarkan dan dengan tenaga lwekang lunak, ia menarik pedang Khik-sia ke samping. Kiranya walaupun tenaga nona itu kalah dengan Khik-sia, tapi ilmu kepandaiannya tak di bawah Khik-sia. Di samping itu matanya amat celi sekali dan pikirannya tajam pula. Begitu melihat gerakan Khik-sia, ia segera mengetahui kalau anak muda itu takkan mengambil jiwanya. Itulah sebabnya maka ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik-sia ke samping. Dengan begitu tenaga Khik-sia berkurang separuh. Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu golok dengan lwekang lunak untuk menundukkan kekerasan lawan. Sudah tentu dalam hal itu, cara si nona mengambil timing (waktu) yang tepat, adalah faktor yang menentukan.
Diam-diam Khik-sia merasa kagum juga. Kalau di sini ia masih belum merebut kemenangan adalah di partai sana Hong-kay Wi Wat sudah mulai menang angin. Dengan ngacirnya Ceng-ceng-ji karena ketakutan digertak Khik-sia, lawan Wi Wat hanya tinggal Pok Yang-kau dan Liu Bun-siong. Sekalipun Wi Wat tadi kena tertutuk, tapi lwekang Pok Yang-kau pun menderita besar, maka meskipun ditambah dengan seorang Liu Bun-siong, tetap Wi Wat dapat mengatasinya. Di saat Bun-siong tusukkan pedangnya kemuka Wi Wat, tiba-tiba yang tersebut belakangan ini menggembor keras sehingga saking kagetnya Bun-siong sampai tergetar dan tusukannyapun menemui tempat kosong. Dan secepat kilat Wi Wat segera merebut pedang lawan seraya menendang musuhnya yang satu (Pok Yang-kau) sampai terjungkir balik. Wi Wat seorang pembenci kejahatan. Benar Pok Yang-kau da Liu Bun-siong itu benggolanbenggolan penjahat, tapi keduanya mempunyai ciri-ciri kejahatan yang berlainan. Kalau Pok Yangkau hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya, adalah Liu Bun-siong itu termasyhur sebagai tukang petik bunga alias pengrusak kaum wanita. Diantara kedua orang itu, Wi Wat lebih benci kepada Bun-siong. Pedang yang dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she Liu itu. Sebenarnya ilmu ginkang Liu Bun-siong cukup lihay dan lagi saat itu ia sudah menyingkir sampai belasan tindak. Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat juga. Ujung pedang dari punggung menembus sampai ke dada. Poh Yang-kau cerdik sekali. Pada saat Wi Wat tengah mengincar jiwa Bun-siong, ia gunakan kesempatan itu untuk loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para pengemis. Ciok Ceng-yang pun juga sudah dapat merobohkan Han Ciat. Sedang saat itu tongkat kekuasaan jatuh di atas altar batu. Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan mengambilnya. Melihat itu, Uh-bun Jui hendak loncat membantu Ma tianglo. Tapi Ceng-yang datang. Ma tianglo dan Uh-bun Jui tak berani menyerangnya. Mereka putar tubuh terus ngacir. Ceng-yang pun segera mengambil tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang tersebut. Bintang penolong yang diharapkan Uh-bun Jui, si nona pemimpin barisan wanita baju merah, ternyata saat itu tampak keripuhan menghadapi serangan Khik-sia. Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit: Urusan besar telah dirusakkan bangsat kecil itu. Nona Su, aku telah menelantarkan maksudmu yang baik. Sahut nona itu dengan hati besar: Selama gunung masih menghijau, masa takut tak mendapat kayu bakar. Kalah menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi apalah. Ia lancarkan sebuah serangan kosong, kemudian mundur dari gelanggang. Tapi rupanya ia masih belum puas karena tiba-tiba ia menoleh dan berseru kepada Khik-sia: Hai, siapa kau? Harap beritahukan namamu! Tiba-tiba dari bawah altar batu, ada seorang menyahut: Bangsat kecil itu adalah Toan Khiksia! Kiranya orang yang membuka rahasia Khik-sia itu, bukan lain adalah Ping-tat, jago yang patah tulang lengannya karena dipelintir Khik-sia tadi. Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik-sia. Tapi ia kenal lama dengan Ceng-ceng-ji. Tentang ilmu kepandaian Ceng-ceng-ji, ia cukup paham. Tapi ia perhatikan bahwa gerakan Khik-sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng-ji. Ia tahu bahwa sahabatnya itu (Ceng-ceng-ji) mempunyai seorang suheng dan seorang sute. Pengemis muda yang memelintir tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng-ceng-ji. Sudah tentu bukan suheng dari Ceng-ceng-ji, melainkan sutenya. Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia hendak gunakan siasat pinjam pisau membunuh orang. Ia harap setelah mengetahui nama Toan Khik-sia, nona itu akan mencari balas. Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik-sia, tapi ia mempunyai backing (andalan) kuat serta mempunyai anak buah banyak. Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas. Dan benar juga di kemudian hari Khik-sia akan mendapat beberapa kesulitan dari nona itu. Tapi karena belum sampai waktunya, baiklah kita pertangguhkan dulu. Demi mendengar nama Khik-sia, nona itu tercengang. Pada lain saat ia tertawa: Oh, kiranya Toan siauhiap, sungguh tak bernama kosong! Walaupun aku kalah, tapi puaslah! Dengan putar sepasang goloknya, ia lindungi Uh-bun Jui. Dengan diikuti oleh barisan wanita
merah dan anak buah Uh-bun Jui, mereka menerobos pergi. Ciok Ceng-yang tak mau menimbulkan pertumpahan darah besar. Buru-buru ia acungkan tongkat untuk anggota-anggota Kay-pang yang hendak mengejar mereka. Khik-sia menghapus arang di mukanya dan menjumpai Hong-kay Wi Wat. Jago tua dari Kay-pang itu tertawa riang: Sungguh tak kecewa menjadi putera Toan tayhiap. Ayahmu tentu akan tersenyum gembira di alam baka. Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo pun menghampiri untuk menghaturkan terima kasih kepada Khik-sia. Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira kematian Ciu pangcu kita tentu ada sangkut pautnya dengan mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka rancang itu? kata Ji tianglo. Kata Wi Wat: Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk mengacau Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang. Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada urusan ini, terpaksa aku harus ke sana. Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya ke Tiang-an. Kiranya Thio Kam-lok menganiaya Wi hiangcu itu terjadi pada tengah malam. Tempatnya diatur di paseban dalam dari hun-tho (anak cabang) Kay-pang di Tiang-an. Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian rupa. Siangnya ia cari-cari alasan merobek surat untuk Wi hiangcu. Ia percaya rencananya itu pasti takkan ketahuan orang. Tapi tak nyana, seorang anak buah Kay-pang telah tak sengaja mempergokinya. Pengemis itu menjadi pencuri dan dikejar alat negara. Ia tahu dirinya tak dapat berdiam di Tiang-an lagi. Maka malam-malam ia pergi ke tempat Wi hiangcu. Maksudnya, hendak minta perlindungan dari hiangcu itu. Ia hendak serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu dengan permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya. Secara kebetulan sekali, ia mengetahui rencana keji dari Thio Kam-lok. Pengemis pencuri itu sembunyi di dalam tumpukan genteng di bawah jendela. Mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan, kejutnya bukan kepalang. Ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap tak berani bicara pada lain orang. Baru setelah Ciok Ceng-yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-yang pasti dapat melindungi dirinya, pengemis itu berani membuka rahasia. Tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan suhengku itu, adalah dua buah perkara. Tapi besar kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain, kata Ceng-yang. Betul! Wi hiangcu itu adalah pengikut setia dari Ciu pangcu. Pengkhianat-pengkhianat itu menganggap jika tak melenyapkan Wi hiangcu, tentulah sukar buat Uh-bun Jui merangkai cerita sandiwaranya, kata Ji tianglo. Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke Tiang-an? tanya Lok-san, Lwe- santong- hiang-cu. Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan-jangan suheng masih hidup di dunia, tiba-tiba Ceng-yang berseru. Katanya lebih lanjut: Pada hakekatnya Cin Siang belum berjumpa dengan suheng. Menilik kedudukan dan pribadinya, kupercaya ia tak berdusta. Waktu kubikin penyelidikan di Tiang-an, anak buah Kay-pang di Tiang-an juga tak pernah bertemu dengan Ciu pangcu. Ji tianglo menyeletuk: Ya, memang aku sudah menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh-bun Jui menuturkan tentang peristiwa dicelakainya Ciu pangcu, tapi tak ada saksinya sama sekali. Paling-paling mengatakan Thio Kam-lok yang menyaksikan. Tetapi kini setelah nyata Thio Kamlok lah yang membunuh Wi hiangcu, cerita Uh-bun Jui tadi tak dapat dipercaya lagi. Turut pendapatku, 90 persen tentulah Uh-bun Jui itu bersekongkol dengan Thio Kam-lok. Dengan membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui. Tetapi setiap kebohongan itu tentu bakal ketahuan. Ciok Ceng-yang melanjutkan kata-katanya lagi: Jika peristiwa terbunuhnya suheng itu hanya karangan saja, menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang-an, maka sekalipun Uh-bu Jui begitu bernafsu merebut kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh suhunya. Ji tianglo mengangguk, ujarnya: Mudah-mudahan begitulah. Ditinjau dari peristiwa hari ini, rasanya Uh-bun Jui tentu mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak, masakan ia berani
berbuat begitu. Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi? Tampaknya baik sekali hubungannya dengan Uh-bun Jui. Apakah kalian tahu? tanya Ceng-yang. Para Tiang-lo dan Hiang-cu saling berpandangan. Tapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui. Budak busuk itu jahat benar, biar kuselidiki asal-usulnya. Tapi sekarang ini, baik kita jangan hiraukan ia dulu, masih ada lain urusan yang lebih penting, kata Wi Wat. Ji tianglo menyetujui: Ya, benar, sekarang kedudukan pangcu jangan diberikan pada Uh-bun Jui. Wi susiok, pengangkatan pangcu baru, tak boleh ditunda-tunda lebih lama. Harap kau orang tua yang memutuskan, sekalian harap membatalkan pengangkatan Uh-bun Jui tadi. Ceng-yang, kau adalah orang satu-satunya yang diharapkan oleh seluruh anggota Kay-pang. Kau sajalah yang menjabat pangcu, jangan menolak lagi, kata Wi Wat. Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan, masakan aku lantas menduduki jabatan itu? bantah Ceng-yang. Jawab Wi Wat dengan tandas: Negeri tak boleh satu haripun tak ada kepalanya, begitu pula dalam partai kita tak boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang harus kita selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin. Jika keadaan suhengmu belum jelas dan kau sungkan menjadi pangcu, biarlah untuk sementara kau menjabat sebagai wakil pangcu saja. Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa yang ia ucapkan tadi benar-benar jitu sekali. Ciok Ceng-yang tak dapat menolak lagi. Begitulah Wi Wat segera mengadakan persidangan anggota lagi dan mengumumkan tentang hal itu. Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang saat itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu telah disambut dengan persetujuan aklamasi atau suara bulat. Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada Khik-sia: Toan siauhiap, pengemis tua masih hendak minta bantuanmu untuk sebuah urusan. Khik-sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu mengatakan. Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah muncul seorang pengkhianat semacam Uh-bun Jui itu. Dia bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan rapat dari Cin Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan itu, sekarangmasih belum jelas. Tapi bagaimanapun, rencana mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya. Sekarang aku si pengemis tua ini masih belum dapat berangkat. Kau mempunyai ilmu gin-kang yang tinggi, apakah suka mewakili aku berangkat ke Tiang-an lebih dulu untuk memberitahukan Cin Siang? Khik-sia berpikir sejenak, berkata: Aku sanggup mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi akupun mempunyai sebuah hal yang akan mohon bantuan lo-cianpwe juga. Katakanlah, kata Wi Wat. Tentulah lo-cianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa tentara negeri menggempur gunung Kim-ke-nia. Toako-ku Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju ke Ho-se. Di sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi. Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk mencari seseorang. Orang itu telah kutemukan, tapi menolak kuajak pulang. Terpaksa sekarang aku hendak pulang melapor pada Thiat toako. Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa 'orang' yang dicari Khik-sia itu ternyata seorang nona yang bakal menjadi isterinya, maka bertanyalah pengemis tua itu: Siapakah orang itu? Apakah penting sekali? Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang ..... seorang sahabatku yang baik, sahut Khiksia dengan terputus-putus. Oh, tahulah aku. Kalian sekarang sedang giat mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak minta orang itu masuk ke dalam perserikatan kalian, seru Wi Wat. Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah sahabat Khik-sia itu pria atau wanita. Dengan sembarangan saja, ia menduga-duga semaunya. Khik-sia berduka, ia tertawa getir: Bagaimana pendirian orang itu, telah kuketahui jelas. Tak nanti ia mau bergabung pada kita. Tapi tak apalah .... Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia memberi komentar: Betul,
toakomu Thiat-mo-lek itu luas sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan mudah akan mendapat sambutan baik dari orang gagah di empat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi apa. Benar, lo-cianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang tentulah Thiat toako amat mengharap-harap. Oleh karena itu, hendak kumohon kepada lo-cianpwe agar menyuruh seorang anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako bahwa aku sedang pergi ke Tiang-an. Selain itu, meskipun Kim-ke-nia diserang oleh tentara Gi-lim-kun, tapi hubungan pribadi toako dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap Thiat toako mengetahuinya. Wi Wat tertawa: Thiat-mo-lek memimpin kaum enghiong. Pun Bo Se-kiat itu juga seorang loklim bengcu yang baru. Tak usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal itu kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi laporan. Karena waktunya rapat di Tiangan itu sudah mendesak, maka baiklah kau lekas-lekas berangkat. Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian tugas, Khik-sia segera berangkat ke Tiang-an. Dengan gunakan gin-kang, pada hari pertama Khik-sia dapat menempuh jarak 300-an li lebih. Hari kedua ia sudah tiba di Gui-cia (sekarang propinsi Ho-pak). Tiba-tiba ia berpapasan dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki perempuan, tua muda dan besar kecil. Dari wajah dan dandanan serta keadaan, teranglah mereka itu tengah mengungsi. Waktu Khik-sia menanyakan, pak tua yang menjadi pemimpin rombongan itu menyahut dengan heran: Engkoh kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita kekalahan. Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pok-yap. Di mana tempat yang dilalui, mereka merampok rakyat. Mengapa kau hendak kesana? Kau masih begini muda, baik ketemu tentara negeri maupun tentara perampok, kau tentu dipaksa turut mereka. Yang dikatakan 'Su Tiau-gi' oleh pak tua itu, adalah putera dari Su Su-bing, itu jenderal dari An Lok-san. Setelah An Lok-san dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak buah An Loksan menjadi terpecah belah. Panglima Kwe Cu-gi dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat membasmi mereka. Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada kerajaan Tong. Tapi tak lama kemudian ia dapat menyusun kekuatan lagi, dan berontak. Setelah berhasil mengalahkan tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia mulai menyerang Lok-yang. Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan hongte. Tapi tak lama kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi. Kerajaan Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su Tiaugi. Akhirnya pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762 Masehi, Li Kong-pik berhasil masuk ke Lok-yang dan mengejar tentara Su Tiau-gi. Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya menuju ke daerah Pok-yap dengan maksud hendak menggabung pada suku He. Rombongan rakyat dipimpin oleh pak tua itu adalah rakyat di daerah yang mengungsi karena takut dirampok tentara Su Tiau-gi. Khik-sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi sebatang kara karena akibat peperangan. Teringat akan kematian sang ayah di medan pertempuran dan ibunya yang akibat melarikan diri lalu menderita luka dan akhirnya juga meninggal, diam-diam Khik-sia menjadi ngeri. Ngeri karena peperangan atau huru-hara itu sampai sekarang masih belum padam. Engkoh kecil, kembalilah saja. Di sebelah depan sana sudah kosong semua, kata pak tua itu pula. Khik-sia menghaturkan terima kasih: Terima kasih, lo-tio. Tapi aku mempunyai urusan penting, terpaksa harus kesana. Terserahlah pada nasib. Karena Khik-sia tak mau mendengar nasihatnya, pak tua itu hanya menghela napas panjang. Dan Khik-sia lalu meneruskan perjalanan pula. Belum berapa jauh, di sebelah depan tampak debu mengepul tinggi. Benar juga ia berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang. Di dalam pasukan itu terdapat belasan buah kereta. Mereka membawa panji-panji, tapi keadaan pasukan tiu tak mirip dengan susunan tentara lagi. Ketika Khik-sia sedang pertimbangkan baik tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu, tiba-tiba terdengar suara orang menggembor keras. Seorang tua yang bertubuh tinggi besar menyerbu ke tengah pasukan itu dan membentak keras-keras: Siapa yang sayang jiwanya, harus
lekas-lekas pergi. Tinggalkan kereta pesakitan! Khik-sia tersentak kaget. Pikirnya: Siapakah orang tua itu? Mengapa seorang diri ia berani menyerbu kawanan 'serigala'? Dari suara bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi, tidak di bawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang, ia sudah terluka dalam. Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi. Trang, ia hantam golok seorang opsir sampai mencelat ke udara. Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang opsir lain yang tak keburu menangkis dengan senjatanya lung-ya-pang, telah terhantam remuk. Melihat opsirnya mati, kawanan tentara perampok itu sama lari kalang-kabut. Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka tak berpakaian opsir. Serempak keduanya berseru: Hai, Hong-hu Ko, jiwamu sudah berada di ujung rambut, mengapa masih berani merampas kereta pesakitan? Baiklah, jika kau ingin lekas-lekas menghadap raja akhirat, biarlah kami bantu! Orang tua yang dipanggil Hong-hu Ko itu tak menyahut dengan mulut melainkan dengan pukulan tongkat besinya. Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka hanya kuat bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas kalah. Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat mengejar mereka. Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas berusaha membuka kereta pesakitan. Kereta pesakitan itu merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat. Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang tua itu tak sabar lagi. Bruk, ia hantamkan tongkat besinya ke kerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang. Jago tua itu menjenguk ke dalamnya, tapi segera ia berseru: Bukan! -- Ia lantas berganti sasaran kerangkeng yang kedua. Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik-sia terkejut sekali. Tiba-tiba ia teringat: Astaga! Kiranya tokoh yang kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gak- sinliong (Naga Sakti gunung barat) Hong-hu Ko locianpwe. Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh semacam orang tua ini? Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan? Khik-sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi sudah mendengar kemasyhuran namanya. Kiranya Hong-hu Ko itu selain bersahabat baik dengan mendiang ayak Khik-sia juga pernah menerima budi dari bibi Khik-sia yang bernama He leng-siang itu (He Leng-siang adalah isteri dari Lam Ce-hun. Sejak umur 10 tahun, Khik-sia lantas ikut pada bibinya itu pen). Khik-sia menimang dalam hati: Meskipun lo-cianpwe itu mampu menandingi kawanan tentara perampok, tapi setelah kutahu kalau dia, masakan aku tinggal diam tak mau memberi bantuan? Pada saat itu Hong-hu Ko sudah menghantam terbukan 7 buah kereta pesakitan, tapi tetap belum mendapatkan orang yang dicarinya. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang mendatangi dengan gemuruh sekali. Penunggang kuda yang paling depan sendiri, seorang tua yang berwajah jelek keja, tubuhnya kekar dan matanya hanya tinggal satu. Astaga! Khik-sia tersirap kaget. Itulah Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo! Iblik itu tertawa nyaring: Hai, Hong-hu Ko, nyawamu sendiri sudah di ujung rambut, masih mau menolong orang? Mari biar kuantarmu ke akhirat! Wut, iblis itu loncat dari kudanya. Dengan gerak can-liong-chiu atau gerak menabas naga, ia berjumpalitan di udara terus menghantam lawan. Hong-hu Ko menyambutnya dengan jurus kihwe- liau-thian atau mengangkat api membakar langit. Tongkat diarahkan ke dada Yo bok-lo. Brak, pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil mementalkan tongkat Hong-hu Ko ke samping. Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi karena sebelumnya ia sudah terluka dalam lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng besi, tenaganya berkurang banyak sekali. Maka dalam adu kekuatan yang pertama itu, Yo Bok-lo lah yang menang angin. Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati. Baru kakinya turun ke bumi, ia sudah enjot lagi menerjang. Hong-hu Ko membabat ke arah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui- hun (tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok-lo itu lihay sekali kakinya. Tendangannya tadi ternyata hanya pancingan, begitu Hon-hu Ko menghantam, dengan berdiri di sebelah kaki ia putar tubuh ke samping Hong-hu Ko. Di situ secepat kilat ia menyambar tong-kut orang. Dengan meminjam tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu ia mencengkeram tongkat, terus membentak
keras: Lepaskan! Hong-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak: Lepaskan! - Sesosok tubuh melayang datang terus menusuk jalan darah li-yan-hiat di punggung telapak tangan Yo Bok-lo. Itulah Toan Khik-sia. Ia datang tepat pada waktunya. Yo Bok-lo segera mengenali musuhnya besar itu. Sebuah matanya buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun bencinya kepada anak muda itu menyusup sampai ke tulang, namun kedatangan Khik-sia secara begitu mendadak itu, membuatnya tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti sasaran untuk menangkis tusukan Khiksia. Ilmu kim-na-chin atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu, sudah mencapai tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu lihay ilmu gin-kangnya, tambahan pula menggunakan pedang pusaka, maka Yo Bok-lo tak berdaya untuk merapatinya. Malah dalam serangan tiga kali berturut-turut, iblis itu dipaksa mundur tiga langkah. Hong-hu Ko tak kenal pada Khik-sia. Melihat anak semuda itu dapat melayani seorang jago kolotan seperti Yo Bok-lo, ia merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada anak muda itu, tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih menolong orang yang dicarinya itu dulu. Dengan kertek gigi, ia gunakan sisa tenaganya untuk menghantam kereta pesakitan. Namun sudah dua buah kereta yang dirusaknya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu tak kelihatan. Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut di belakangnya tadi pun sudah tiba. Dua orang opsir penunggang kuda, loncat turun. Yang seorang mencekal ruyung cui-mo-pian, yang seorang seorang membekal sam-ciat-kun atau tongka tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik- sia, tapi dengan sigapnya Khik-sia menghindari cambukan pian untuk kemudian membabat sam- ciatkun. Hati-hati! saking terkejutnya Hong-hu Ko berteriak memperingatkan Khik-sia. Tapi pedang Khik-sia itu bukan sembarang pedang. Trang, terdengar bunyi mendering dan tahu-tahu tongkat sam-ciat-kun sudah kutung sebuah ruasnya. Tiba-tiba tampak sebuah sinar putih berkelebat. Ternyata bagian tengah dari sam-ciat-kun itu berlubang dan di dalam lubang itu dipasangi senjata rahasia hu-ku-ting atau paku pembusuk tulang yang amat beracun sekali. Paku beracun itu mendadak keluarnya dan tidak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Jaraknya pun amat dekat sekali. Syukur tadi Hong-hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, Khik-sia unjukkan kepandaian gin-kangnya yang istimewa. Ia buang tubuhnya mendatar seraya putar pedangnya menyampok paku itu. Yang sebuah kena ditampar jatuh yang dua buah menyambar di bawah kakinya. Sedikitpun ia tak terluka. Tapi di sebelahkanya masih ada Yo Bok-lo. Laksana harimau buas yang siap menerkam sang korban, pada saat Khik-sia tengah menghindar dari serangan paku tadi, iblis itu segera lontarkan sebuah hantaman dahsyat. Tubuh Khik-sia masih terapung di udara jadi sukar untuk menghindar. Hong-hu Ko berseru keras. Cepat ia timpukkan tongkat besinya, kemudian menyusuli menghantam. Opsir yang bersenjata ruyung cui-mo-pian hendak menyerbu, tapi kena timpukan tongkat Hong-hu Ko. Seketika kepala pecah, otaknya berlumuran keluar dan jiwanya melayang. Hong-hu Ko gunakan sisa tenaga untuk adu pukulan dengan pukulan biat gong-ciang dari Yo Bok-lo. Begitu kuat Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus keras. Plak, Yo Boklo tersurut mundur sampai beberapa tindak. Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak berdiri tak apa-apa. Sesaat Khik-sia turun ke tanah, begitu ia memandang ke arah Hong-hu Ko, kejutnya bukan kepalang. Ternyata jago tua itu wajahnya pucat seperti kertas, sepasang matanya merah. Khik-sia tak mau merangsang Yo Bok-lo lagi, melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu. Huak .... mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah. Ternyata jago tua itu sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Benar Yo Bok-lo kena dihantam mundur, tapi jago tua yang sudah terluka dalam itu, kini makin bertambah parah lukanya. Ia kehabisan tenaga betul-betul. Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata sam-ciat-kun tadi cepat timpukkan dua buah paku hu-kut-ting lagi ke arah Hong-hu Ko. Tapi kali ini Khik-sia sudah siap siaga tak nanti ia kena dibokong. Cepat ia melejit ke muka untuk melindungi Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya
untuk menyampok jatuh hu-kut-ting. Pada saat itu Yo Bok-lo sudah dapat memperbaiki posisinya dan mulai menyerang lagi. Khiksia cepat memanggul Hong-hu Ko sembari putar pedangnya. Anak muda itu bertahan diri sembari maju menghampiri Yo Bok-lo. Yo Bok-lo heran dibuatnya, pikirnya: Anak itu sungguh gila, mengapa ia senekad itu? Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya sekali bagi Khik-sia untuk bertempur dengan Yo Bok-lo. Salah-salah keduanya (Khik-sia dan Hong-hu Ko) akan binasa semua. Memang Yo Bok-lo sendiri juga tak terluput dari luka berat. Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan kenekatan si anak muda itu. Sebenarnya ia pasti menang, tapi sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan. Ia miringkan tubuh dan dengan gerak chit-poh-tui-hun, ia menyelinap ke samping Khik-sia. Di sini ia memberikan Hong-hu Ko sebuah hantaman. Sekonyong-konyong Khik-sia berganti arah. Tubuh meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya: Rebahlah! mulutnya kedengaran membentak. Kiranya Khik-sia telah gunakan siasat suaranya di timur tapi yang diserang arah barat'. Dengan andalkan ilmu gin-kangnya yang jempol, ia menyergap ke tempat si opsir dan tahu-tahu punggung si opsir itu sudah berhias sebuah tusukan pedang yang cukup membuat nyawanya melayang. Dengan berhasil membunuh opsir itu, berarti Khik-sia mendapat keringanan. Gusar Yo Bok-lo bukan olah-olah. Tapi demi melihat walaupun dengan memanggul orang namun anak muda itu masih dapat lari secepat kuda bedal, diam-diam Yo Bok-lo menjadi kaget juga. Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat merobohkan bangsat kecil itu, akhirnya setelah menimang-nimang sejenak, Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar. Khik-sia membawa Hong-hu Ko ke atas gunung yang di sebelah muka. Di situ ia letakkan orang tua yang terluka berat itu. Dilihat jago tua itu sudah tersengal-sengal napasnya, wajahnya berwarna gelap. Khik-sia terkejut, buru-buru ia tempelkan telapak tangannya ke punggung Honghu Ko. Ia salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu. Lewat beberapa menit kemudian, Hong-hu Ko dapat membuka mata dan bertanya: Siapakah kau? Wanpwe Toan Khik-sia. Toan Kui-ciang pernah apamu? tanya Hong-hu Ko pula. Ayah wanpwe, sahut Khik-sia. Mendengar itu Hong-hu Ko tertawa gelak-gelak: Sungguh jaman itu selalu maju. Aku si pengemis tua dalam hari-hari terakhir dapat berjumpa dengan putera seorang sahabat karibku, sungguh berbahagia sekali! Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula: Hiantit, aku sudah tak berguna lagi, harap kau jangan buang tenaga sia-sia. Tapi mana Khik-sia mau menurut, ujarnya: Lo-cianpwe, tolong kau salurkan pernapasan, biar kubantu melancarkan darahmu. Aku pun membekal pil leng-tan yang mustajab. Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun ada pil siok-beng-sian-tan (pil dewa penyambung jiwa), rasanya tak bergunalah. Jangan membuang waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah urusan untukku? Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat kaki tangan Hong-hu Ko makin kaku, Khik-sia percaya akan keterangan jago tua itu. Adanya pengemis tua itu masih dapat bicara, adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja. Terpaksa dengan menahan kepiluan hati, Khik-sia menyatakan kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang. Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang. Tahukah kau kepada Ciu Ko itu? tanya Hong-hu Ko. Khik-sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat Kay-pang yang menghebohkan peristiwa terbunuhnya Ciu Ko. Tidak, Ciu Ko belum mati. Dia ditawan oleh anak buah Su Tiau-gi, menerangkan Hong-hu Ko.
Khik-sia tersentak kaget. Herang ia dibuatnya. Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada hubungannya apa dengan Ciu Ko? Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su Tiau-gi menawannya. Kemarin barulah aku mendapat berita bahwa tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak. Keterangan jelas tentang hal itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan. Cukup asal kau suka menyampaikan berita ini ke suatu tempat, aku sudah sangat berterima kasih padamu, kata Hong-hu Ko. Sampai di situ, suara pengemis tua itu sudah makin lemah. Buru-buru Khik-sia tahan tangannya yang masih menempel di punggung Hong-hu Ko itu dan menyalurkan lagi lwekangnya. Dengan sisa pasukannya Su Tiau-gi hendak menggabung pada Kahan, kepala suku He. Pesakitan-pesakitan pentingpun dibawanya ke sana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko. Hal ini harus lekas dilaksanakan. Jika mereka sudah keburu tiba di daerah Kaham, sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira-kira lima puluh li dari sini, ada sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah gua, di depannya tumbuh lima batang pohon siong tua. Tempat itu menjadi markas dari hun-tho (cabang) Kay-pang. Setelah mendapatkan tempat itu, kau harus minta bertemu dengan Hwe Tay-yap, tho-cu kay-pang di situ. Sampaikan padanya berita ini supaya ia lekas-lekas mengadakan pencegatan dan merampas pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok-ong. Aku telah mendapa janji bantuan dari dua orang sahabat. Paling lambat besok pagi, mereka tentu sudah datang. Kau minta Hwe thocu supaya kirim orangnya menunggu kedua sahabatku itu di pagoda yang terletak di kaki gunung itu. Kedua sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka bawalah barangku ini ..... Hong-hu Ko melolos sebentuk cincin besi dari jarinya, lalu diserahkan pada Khik-sia, ujarnya: Berikan cincin ini pada Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh menyambut sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal. Sudah jelaskah? Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat mengingatnya dengan sungguh-sungguh. jawab Khik-sia. Hong-hu Ko tertawa getir: Delapan belas tahun yang lalu, aku pernah memberikan sebuah cincin kepada ayahmu karena hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana, delapan belas tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin lagi kepadamu, juga untuk minta bantuan. Dengan kalian ayah dan anak, rupanya aku memang berjodoh! Suara tertawa reda, sepasang kakinya berkelojotan dan Hong-hu Ko menarik napas yang penghabisan ..... Khik-sia amat berduka. Seorang pengemis luar biasa dari dunia persilatan, seorang tokoh persilatan yang sakti, telah meninggal secara menyedihkan di sebuah gunung belantara. Dengan pedang pusakanya, Khik-sia menggali sebuah liang dan mengubur Hong-hu Ko. Kemudian ia meletakkan sebuah batu besar selaku pertandaan. Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran air mata, Khik-sia dengan hati berat meninggalkan tempat itu. Untuk jarak 50 li itu, Khik-sia hanya menggunakan waktu kurang dari satu jam. Ternyata gunung itu tak berapa lagi. Mendaki ke atas dan mencari dengan teliti, cepat ia sudah dapatkan kelima batang pohon siong itu. Tapi heran ia tak melihat suatu guapun. Aneh, apakah aku keliru? pikirnya. Tapi ia hendak mencoba sebuah cara. Wanpwe Toan Khik-sia, mendapat perintah dari cianpwe Kay-pang Hong-hu Ko untuk minta bertemu dengan Hwe thocu! demikian ia lantas berseru nyaring. Tiba-tiba tanah yang di bawah pohon siong yang di tengah-tengah sendiri, mengungkap ke atas dan pada lain kejap berubah menjadi sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru: Apakah membawa bukti penandaan? Kiranya gua itu dibuat di bawah tanah, atasnya ditutupi dengan tanah yang bertumbuh rumput. Jika tidak menyelidiki dengan seksama orang luar pasti sukar mengetahuinya. Ada sebuah cincin besi dari Hong-hu locianpwe, sahut Khik-sia. Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa, seru orang itu. Khik-sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang itu berseru: Aku ini Hwe Tay-yap sendiri,
silahkan masuklah. Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar untuk menyambut orang yang dimintai tolong oleh ketua Kay-pang. Sebaliknya malah Khik-sia yang disuruh masuk. Meskipun Khik-sia seorang pemuda yang tak menghiraukan segala macam peradatan tetek bengek, namun tak urung ia merasa kurang senang juga. Diam-diam ia menganggap Hwe thocu itu seorang yang angkuh. Namun karena berat melakukan pesan Hong-hu Ko, terpaksalah ia mengalah juga. Di dalam gua itu amat gelap. Lebih-lebih Khik-sia baru datang dari tempat terang. Samarsamar ia hanya melihat beberapa sosok bayangan orang. Kembali Khik-sia menggerutu: Hm, mengapa tahu ada tetamu, mereka tetap takmau nyalakan lampu? Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah. Tiba-tiba ia hentikan langkahnya dan timbul pikirannya hendak bertanya. Tapi sekonyong-konyong ia mendengar bunyi senjata rahasia mengaum di udara dan berbareng itu tersiar bau yang harum. Untuk Khik-sia selalu siap sedia. Cepat ia cabut pedangnya dan bolang-balingkan kian kemari untuk menjaga diri. Dua buah thi- cijong, dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah belati. Kena ditampar jatuh semua. Dalam sinar yang terpancar dari kelebat pedangnya itu, Khik-sia melihat ada tiga orang maju menyerangnya. Salah seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri: Ceng-ceng-ji! Setan cilik, kau telah memperdayai aku, sekarang akupun juga menyelomotimu. Lihat pedangku! Ceng-ceng-ji tertawa dingin seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan serangannya itu. Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali. Khik-sia gunakan gerakan kaki i-poh-hoan-sing untuk berloncatan menghindar. Serunya: Jisuheng, jangan salah paham. Kau bermusuhan dengan Kay-pang itu, bisa menimbulkan bahaya. Maka meskipun aku telah menipumu tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku? Ceng-ceng-ji memaki: Kurang ajar! Kau seorang anak kemarin sore berani menasihati aku? Dulu karena ada tiang pengandal su-niomu itu, aku biarkan saja dirimu. Tapi kini setelah jatuh ke dalam tanganku, kau tentu kuhajar! Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng-ceng-ji tetap lancarkan pedangnya dengan serangan-serangan yang berbahaya. Khik-sia naik darah juga. Pikirnya: Dia berani mengkhianati perguruan dan sekarang hendak membunuh aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi? Karena Ji-suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siau-te melanggar adat! serunya sambil kembangkan pedang dalam jurus tiang-ho-lok-jit atau matahari terbenam di sungai panjang. Trang, pedang Ceng-ceng-ji yang terbuat dari emas murni itu, kena dipentalkan ke samping. Pedang keduanya sama-sama pedang pusaka, maka sama-sama tak gempil serambutpun juga. Tapi sekalipun begitu, tangan Ceng-ceng-ji merasa kesakitan. Dalam hal gin-kang terang kalau Khik-sia lebih unggul dari bekas ji-suhengnya itu. Pun dalam ilmu lwekang, setelah mendapat gemblengan dari Bo Jong-long, ayah Bo Se-kiat yang menjadi kepala pulau Hu-siang-to, lebih atas juga dari Ceng-ceng-ji. Pada saat itu Khik-sia tak mau mengalah lagi. Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian-liong-kiam-hwat dari warisan keluarganya. Ilmu permainan Thian-liong-kiam-hwat itu mengutamakan kekerasan. Ini sesuai dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik-sia sekarang. Maka kalau Ceng-ceng-ji menjadi tersirap kaget, itulah sudah jamak. Dari rasa mengiri, timbullah pikiran buas dari Ceng-ceng-ji untuk membunuh sutenya itu. Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu berisi tiga orang. Sewaktu Khik-sia menghalau mundur Ceng-ceng-ji, tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping dengan senjata tongkat. Orang itu bukan lain adalah murid pemberontak dari Kay-pang, yaitu Uh-bun Jui. Aku adalah pangcu dari Kay-pang. Ceng-ceng cianpwe membantu partai kami, mengapa kau mengadu biru memutar balik hitam putihnya. Urusan partai Kay-pang kami, tak perlu kau campur tangan! seru Uh-bun Jui. Beradanya Uh-bun Jui di situ, telah membuat Khik-sia menjadi terang persoalannya. Uh-bun Jui tentu menduga bahwa Hong-hu Ko akan datang ke markas gua situ, itulah sebabnya maka Uhbun Jui mendudukinya lebih dulu. Tetapi mengapa ia berbuat begitu? Apakah benar-benar ia sudah berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung pada pemberontak Su Tiau-gi?
Memikir sampai di sini, berkobarlah amarah Khik-sia. Sudah tentu Uh-bun Jui bukan tandingan Khik-sia. Hanya sekali gebrak saja, tongkat Uh-bun Jui sudah kena dipapas kutung oleh Khik- sia. Untung Ceng-ceng-ji cepat-cepat menyerang sehingga Uh-bun Jui terlepas dari serangan Khik- sia yang kedua. Bentak Khik-sia: Benar, memang aku tak berhak campur urusan partaimu Kay-pang. Tetapi Hong-hu Ko lo-cianpwe berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai binasa, tahu tidak kau? Beliau suruh aku kemari untuk menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum pemberontak, tahukah kau? Asal kau masih punya setitik rasa nurani (liangsim), tentu akan berdaya untuk menolong suhumu. Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa maksudmu? Semprotan Khik-sia itu telah membuat Uh-bun Jui terlongong-longong. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: Telah kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhan bantuanmu. Untuk melakukan karya besar harus menyampingkan urusan tetek bengek, kau tahu apa, hai, budak kecil? Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay-pang. Aku melarangmu ikut campur! Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat. Khik-sia masih mempunyai pikiran panjang. Bagaimanapun halnya, Uh-bun Jui itu adalah masih anak murid Kay-pang. Segala kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan. Maka ia ambil putusan tak mau membunuhnya. Ia gunakan jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum, yakni sebuah gerak serangan yang memakai lwekang lunak, untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat di siku lengan orang. Khik-sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup. Pertama, dapat digunakan sebagai barang tanggungan agar ia dapat keluar dari gua itu. Kedua, demi menghormati kewibawaan pimpinan Kay-pang untuk mengurusnya sendiri. Tapi ternyata Uh-bun Jui itu cukup licin. Ia cukup tahu kelihayan Khik-sia, sudah tentu ia tak berani bertempur sesungguhnya. Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah kesini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan membuat supaya ia mudah mundur setiap saat. Untuk tusukan Khik-sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah dihindarinya dengan loncatan ke samping. Saat itu Ceng-ceng-ji pun sudah menyerang lagi dengan pedangnya. Benar Khik-sia lebih unggul setingkat dengan ji-suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah kembangkan permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia mementalkan pedang Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng- ji gunakan ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah. Tapi dengan tangkasnya dapatlah Khik- sia menangkisnya dengan tepat. Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang perguruannya. Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat. Dalam beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling berbentur. Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita suatu apa. Heng-liong-koay-hwat atau permainan tongkat menundukkan naga yang digunakan Uh-bun Jui itu adalah berasal dari ilmu pusaka Kay-pang. Tapi dikarenakan Khik-sia kelewat tangguh, maka ia tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dikeroyok dua itu, Khik-sia masih menang angin, tapi untuk merebut kemenangan dalam waktu yang singkat, juga tak mudah. Demikian mereka bertempur dengan makin serunya. Sekonyong-konyong Khik-sia rasakan kepalanya pusing, mata berkunang-kunang. Memang sejak masuk ke dalam gua situ, ia sudah tercium bau wangi. Ia pun sudah curiga, tetapi karena secepatnya ia sudah mendapat serangan, jadi ia tak sempat memikirkannya lagi. Tetapi wangian itu berasal dari bungan Asulo atau dalam nama bangsa Tionghoa disebut bunga Mo-kui-hoa (bunga setan). Bunga itu diperoleh Ceng-ceng-ji ketika ia mendaki di puncak gunung Himalaya. Kemudian bunga itu diramu dengan istimewa sekali, hingga menjadi suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat dari bi-hiang kepunyaan Gong-gong-ji. Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang itupun makin bekerja. Khik-sia dapatkan tenaganya makin berkurang. Diam-diam ia mengeluh. Akhirnya dengan menahan napas, ia rubah permainannya menjadi ilmu permainan golok. Dengan jurus no-hay-to-liong atau ngaduk laut membunuh naga, ia hantam kepala Ceng-ceng-ji. Jurus itu adalah jurus yang terganas dari ilmu pedang keluarganya. Ketrampilan pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok. Ceng-ceng-ji kenal lihay. Tak berani ia menangkis, melainkan cepat-cepat menghindar. Tapi Uh-bun Jui agak lambat, kembali tongkatnya kena terpapas kutung. Trang, mencelatlah tongkatnya
itu dari tangannya. Khik-sia berputar hendak berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin menggerang: Masih ada aku di sini! Seperti telah diterangkan tadi, di dalam gua situ terdapat tiga orang. Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui dan seorang paderi asing berbaju merah. Paderi tua itu berdiri di mulut gua. Sejak tadi ia hanya berpeluk tangan mengawasi saja. Ia hendak tunggu sampai Khik-sia sudah kehabisan tenaga, baru nanti turun tangan. Hoan-ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata sepasang kecer (plat logam berbentuk bundar, dipukulkan satu sama lain untuk tetabuhan). Ketika Khik-sia menusuk, paderi itu kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya sehingga menimbulkan suara gempar yang mengalun sampai jauh ke lembah. Khik-sia terperanjat, pikirnya: Lihay benar paderi ini, tenaganya tak di bawahku! Tapi itu hanya penilaian Khik-sia sendiri karena pada hakekatnya lwekang paderi itu masih kalah setingkat dengan Ceng-ceng-ji. Adanya Khik-sia mempunyai anggapan demikian karena saat itu tenaganya sudah berkurang banyak. Mulut gua dihadang si paderi, tiga kali Khik-sia coba menerjang tapi kena dihalau oleh sepasang kecer si paderi. Tiba-tiba dari belakang terdengar deru senjata menyambar. Ceng-ceng- ji kembali sudah datang menyerang. Khik-sia menyabat ke belakang. Sabatan pedangnya ia dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Kedua pedang mereka muncratkan letikan api, tetapi bukannya mundur sebaliknya Ceng-ceng-ji malah maju dua langkah. Ujung pedang Kim-ceng-toan- kiamnya ditujukan ke muka Khik-sia, tapi pemuda itu sempat menghindar. Melihat Khik-sia mulai kehabisan tenaga, segera Uh-bun Jui berani menyerang lagi. Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga Khik-sia tak dapat bertahan lama. Kembali ia harus mengambil napas, tapi dengan berbuat begitu ia seperti orang yang mabuk minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali. Khik-sia mengeluh, dengan kuatkan semangat ia tangkis pedang Ceng-ceng-ji. Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku yang mengajar kau! Ceng-ceng-ji tertawa mengejek. Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan lagi. Sabatan pertama memapas kopiah Khik-sia, yang kedua memutuskan ikat pinggang dan yang ketiga melubangi baju si anak muda. Ia tak mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja. Khik-sia gigit lidahnya. Pada saat Ceng-ceng-ji tertawa, sekonyong-konyong Khik-sia kiblatkan pedangnya. Begitu pedang Ceng-cengo terpental ke samping, ia lantas teruskan menggurat lengan orang hingga terluka. Bluk, kakinya menendang Uh-bun Jui sampai jatuh jumpalitan. Dengan menggigit lidahnya tadi, Khik-sia merasa kesakitan. Tapi dengan begitu semangatnya menjadi tergugah dan dengan perangsang sakitnya itu, tenaganyapun malah bertambah. Malah lebih kuat dari tenaganya semula. Ceng-ceng-ji tersentak kaget. Buru-buru ia pindah pedangnya ke tangan kiri. Kini ia menyerang dengan pedang tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan. Ia gabungkan serangan keras dan lunak ganti berganti. Ilmu itu adala ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia ikut pada Coan Lun hwat-ong. Dengan begitu Khik-sia pun tak mengetahui cara memecahkannya. Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi, kini sudah reda. Ketambahan lagi Khik-sia harus menghadapi ilmu serangan yang tak dikenalnya. Kepalanya makin pusing, bingung ia bagaimana harus menghadapi. Ia dapat menghindari pedang Ceng-ceng-ji tapi tak mampu menyingkir dari pukulan dan tutukan jarinya. Akhirnya sebuah pukulan Ceng-ceng-ji telah membikin rubuh anak muda itu. Ceng-ceng-ji menambahi lagi dengan sebuah tutukan pada jalan darah pelemas. Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak? Ceng-ceng-ji mendengus dingin. Ia terus hendak menutuk tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia untuk membikin lenyap kepandaian anak muda itu. Saat itu Uh-bun Jui pun sudah tengel-tengel bangun. Terhadap anak muda yang membikin kacau urusannya itu, Uh-bun Jui benci setengah mati. Cepat diambilnya potongan tongkat terus hendak disabatkan ke kaki Khik-sia. Trang, trang, si paderi menghadang dengan sepasang kecernya hingga pedang Ceng-ceng-ji dan
tongkat Uh-bun Jui terhalang. Dengan suara keren paderi itu berseru: Tuan puteri maukan hidup, tidak boleh melukainya! Mendapat tutukan berat dari Ceng-ceng-ji dan menghirup obat bi-hiang yang keras, maka pikiran Khik-sia jadi limbung. Samar-samar ia mendengar kata-kata 'tuan puteri' (kongcu) tadi. Pikirnya: Siapakah tuan puteri itu? Tapi ia tak sempat memikirkan lagi karena saat itu si paderi sudah lantas menjinjingnya. Karena banyak menyedot bi-hiang, seketika Khik-sia menjadi pingsan. Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik-sia membuka mata, kejutnya bukan kepalang. Kiranya saat itu ia tengah berbaring di sebuah ranjang yang berkasur empuk dari sebuah kamar yang dihias indah. Pantasnya kamar itu adalah kamar dari seorang gadis orang berada. Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah tenaganya tak ada sama sekali. Ia bingung mengapa dirinya berada di situ. Tapi setelah merenung tenang-tenang, ingatannya berangsur-angsur kembali. Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh si paderi hoan-ceng. Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar lengking tawa macam bunyi kelinting. Seorang dara muncul dan berkata: Bagaimana, apakah di sini kurang enak? Maaf, telah membuat kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat, melainkan hendak mengundangmu sungguh-sungguh. Kuatir kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan begitu. Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan wanita baju merah yang dipanggil Uh-bun Jui dengan sebutan Nona Su itu. Siapa kau? Aku belum kenal padamu, mengapa kau hendak mengundang aku? Tempat apa ini? tanya Khik-sia. Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik perempuan dari Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah mengatakan nama engkohku itu? Waktu ini kami menjadi pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang? kata nona itu. Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing. Ia bunuh ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja Wi Yan. Tentang hal itu Khik-sia sudah mengetahui. Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil 'tuan puteri' oleh paderi hoan-ceng itu adalah Su Tiau-ing ini. Khik-sia tertawa tawar: Aku seorang rakyat jelata, tak berani bergaul dengan kaum ningrat. Apa maksudmu mendatangkan aku kemari ini? Dara itu tertawa: Jangan marah dulu, maukah? Siapa dirimu, aku sudah tahu jelas. Terus terang, kita semua adalah kaum penyamun. Hanya saja ayahku lebih bernyali besar, berani melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu menjadi raja, tetapi kalau kalah dinamakan berandal. Itulah sudah jamak. Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak mengandung maksud buruk terhadap Khik-sia. Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan kuterangkan pelahan-lahan. Singkatnya saja, aku hendak minta bantuanmu untuk sebuah hal, kata Tiau-ing. Mendiang ayah Khik-sia dahulu telah gugur dalam medang pertempuran melawan pasukan Su Su-bing. Jenderal Leng Ho-tiau adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota Ciau- yang yang dipertahankan Toan Kui-ciang. Meskipun Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su Su-bing, tapi secara tidak langsung ada hubungannya juga. Maka setelah mengetahui dara itu puteri Su Su-bing, belum-belum Khik-sia sudah mempunyai rasa antipati. Maka tanpa banyak pikir lagi, ia segera menyahut: Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti kamu orang. Aku ini seorang penyamun yang tak punya cita-cita muluk, aku tak mampu membantu urusanmu. Gadis itu tertawa: Jangan kelewat merendah diri dululah! Khik-sia tertawa rawan: Dan lagi, akupun tak suka membantumu. Terserah bagaimana kau hendak mengapakan diriku! Tiba-tiba gadis itu tertawa nyaring. Apa yang kau tertawakan? teriak Khik-sia dengan marah. Aku menertawai dirimu seorang lelaki, tapi tidak lapang dada! sahut Su Tiau-ing.
Khik-sia terkesiap: Dalam hal apa aku tidak lapang dada? tanyanya. Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih teringat akan peristiwa pertempuran di Sui-yang, bukan? Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan ayahkulah yang menjadi pihak lawannya. Sudah sewajarnya kalau kau mendendam. Tetapi mana ada pertempuran tanpa ada korban yang jatuh? Jika dua pihak saling bertempur, tentu sukar terhindar dari korban- korban yang luka dan mati. Apalagi ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya dendam sakit hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak mau menghapus rasa dendammu itu, pun seharusnya hanya tertuju kepada ayahku saja. Pada masa itu aku masih seorang anak perempuan kecil yang tak tahu apa-apa. Mengapa diriku turut dibawa-bawa? Dengan setulus hati kuundang kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu. Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas kepadaku. Apakah ini bukannya menandakan hatimu sempit? dengan tepat sekali Tiau-ing telah menelanjangi isi hati Khik-sia. Nona itu telah memberikan uraian yang jitu. Diam-diam Khik-sia mengagumi kecerdikan nona itu. Meskipun perasaannya masih tetap tawar terhadap nona itu, namun sikapnya tidak segetas tadi lagi. Sahutnya: Memang aku tak bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan berbeda tujuan, aku tak dapat membantu kerepotanmu! Toh aku belum mengatakan bagaimana kau tahu tak dapat membantu? Dan mungkin juga kita sehaluan, Tiau-ing tertawa. Khik-sia kalah separuh, akhirnya terpaksa ia mengalah: Baiklah, silahkan mengatakan saja urusanmu itu. Aku bermaksud hendak berserikat dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama membagi rata kerajaan dan negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka? kata Tiauing. Tidak! tukas Khik-sia dengan tegas. Mengapa? tanya Tiau-ing. Tidak ya tidak! Siapa Thiat toako-ku itu, rasanya kau tentu tak mengetahui, sahut Khik-sia. Mengapa tak tahu? Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai si-wi di istana, kemudian difitnah oleh kaum dorna sehingga keluar. Tetapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong. Dengan An Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam anggapannya, pihakku itu kawanan pemberontak. Berdasarkan hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi berserikat dengan aku. Betul tidak? Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup, sahut Khik-sia. Dengan komentarnya yang terakhir itu, Khik-sia hendak memutuskan pembicaraan. Ia duga nona itu tentu tak dapat berkata lagi. Siapa tahu, Tiau-ing malah tertawa gelak-gelak. Mengapa kau tertawa lagi? Khik-sia heran dibuatnya. Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah kerajaan Tong dan tak menyesuaikannya dengan suasana perubahan jaman, sahut Tiau-ing. Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman, harap nona katakan, kata Khik-sia. Lain dulu lain sekarang. An Lok-san adalah suku Oh (utara). Ia ingin menjadi kaisar Tiongkok. Jika sekalian patriot Tiong-goan tak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she Su adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar, mengapa kami orang she Su, orang she Thiat, orang she Bo dan kau she Toan, tidak boleh? Ini dalil pertama. Dahulu Thiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong, sekarang menjadi pemimpin Lok-lim (begal). Bo Se-kiat itu seorang yang punya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin Thiat-mo-lek tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah berkembang sedemikian rupa, mau tak mau ia harus menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak, pihak kerajaan tetap takkan memberi ampun padanya. Markasnya di Kim-ke-nia sudah dihancurkan tentara pemerintah, kini ia melarikan diri entah ke mana. Rasanya sukar untuk menginjakkan kakinya lagi. Jika mau berserikat dengan kami, tentu sama-sama ada kebaikannya. Mengapa tak mau? Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata-kata. Sebaliknya Khik-sia tak pandai bicara. Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk mengatakan. Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum? tanya nona itu.
Diam-diam Khik-sia membatin: Meskipun An Lok-san adalah suku Oh dan Su Su-bing suku Han, tapi dua-duanya merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama saja. Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiau-gi membunuh ayahnya sendiri karena hendak merebut kedudukan, ini lebih biadab lagi. Su Tiau-ing ini adalah adik perempuannya, rasanya tentu tak berbeda banyak dengan engkohnya. Walaupun batinnya begitu, tapi lahirnya Khik-sia tetap bersikap ramah kepada nona itu. Kemudian ia mengambil ketetapan, ujarnya: Kau minta aku mengatakan sejujurnya? Tiau-ing mengiakan. Taruh kata Bo Se-kiat mau bersekutu dengan kau, akupun tak mau menjadi orang perantaraannya, kata Khik-sia. Mengapa? Kau memandang hina pada kami? seru Tiau-ing. Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek kata, apa yang aku tak ingin, takkan kukerjakan. Jika mau mengirim orang perantara, silahkan cari lain orang saja, sahut Khik-sia. Dengan tawar Tiau-ing berkata: Jika ada orang yang lebih sesuai dari kau, sudah tentu kamipun takkan berjerih payah untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, akupun tak dapat memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kami mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah kau hendak pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan? Nah, silahkan menimbang lagi, mau meluluskan atau tidak? Khik-sia tertawa dingin: Apakah kau menghendaki aku pura-pura meluluskan permintaanmu? Sebenarnya aku dapat berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang janji begitu, bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah kau? Nah, rasanya sudah cukup, jika hendak membunuh aku, silahkan saja. Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak. Mengapa kau tertawa? lagi-lagi Khik-sia kesima. Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai engkohku yang sudah salah lihat orang. Ternyata mataku lebih tajam dari dia, sahut Tiau-ing. Bagaimana? tanya Khik-sia. Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan membujuk, dapatlah tentu menundukkan kau. Tetapi pendapatku bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang berkepribadian kuat, jujur dan perwira. Apa yang kau pikirkan, tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri, pun tak mau menipu orang. Bagus, benar- benar dapat digolongkan perilaku seorang laki-laki utama. Disanjung puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang. Tanpa merasa Khik-sia pun tergerak hatinya. Pikirnya: Nona ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat digolongkan sebagai pahlawan wanita. Sayang seorang nona begitu, rela menjadi pemberontak. Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara berkeresekan pelahan sekali. Obat bius yang dihirup Khik-sia masih belum hilang khasiatnya. Tenaganya lenyap tapi pendengarannya masih tajam. Jika lain orang tentu sukar menangkap suara berkeresekan yang sedemikian pelahannya itu. siapakah orang yang lihay gin-kangnya ini? Menilik Su Tiau-ing itu sebagai seorang kongcu (puteri0, tentulah orang itu anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa berani mencuri dengar. Hm, apakah musuhnya ? Khik-sia menimang-nimang dalam hati. Tapi ditunggu sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa lagi. Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata: Biarlah kubukakan jendela, ya? Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata di luar tak kelihatan suatu apa. Tapi dengan telinganya yang tajam itu, dapatlah Khik-sia menangkap bahwa suara itu hilang berbareng pada saat Tiau-ing membuka jendela. Orang itu tentu sudah kabur. Diam-diam Khik-sia terkejut, pikirnya: Hebat benar gin-kang orang itu. Apakah toa-suhengku yang datang? Tiau-ing berputar tubuh lagi dan menghela napas pelahan-lahan. Ujarnya: Toan kongcu, aku tak mau memaksa kau, tapi juga tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku? Dingin-dingin Khik-sia menjawab: Aku adalah orang tawananmu. Hendak kau apakan, terserah saja. Masakah aku dapat membantah.
Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi bagaimana sikapmu kepadaku? tiba-tiba nona itu bertanya. Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tak membikin susah padaku, sudah tentu aku takkan bikin perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua ganjelan selama inipun takkan kutarik panjang, sahut Khik-sia. Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya meluluskan takkan membenci aku saja? kata Tiau-ing. Kau masih menghendaki apa lagi? Apakah minta aku bertekuk lutut minta maaf padamu? Tiau-ing kedipkan matanya kepada anak muda itu sejenak, lalu tertawa: Ah, mana aku berani menerima kehormatan begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon belas kasihan padamu. Khik-sia duga nona itu hendak mengungkat lagi pembicaraan tadi. Buru-buru ia menyahut: Seorang laki-laki lebih baik mati dari menyerah. Telah kukatakan tadi, baik kau lepaskan aku atau tidak, aku tetap tak dapat membantu padamu. Nah, kiranya sudah cukup, terserah bagaimana kau hendak memutuskan. Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang dipikirkan. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba ia menghela napas lagi, katanya: Toan kongcu, sebenarnya ingin sekali kulepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja dulu, aku hendak pergi. Pikiran Khik-sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan kata-kata Su Tiau-ing tadi, melainkan pengintai yang memiliki ilmu ginkang hebat itu. Bermula ia duga kalau toa-suhengnya, Gonggong- ji, yang datang itu. Kalau benar ia, mengapa takut? Toh tak ada orang yang mampu menghalanginya? Dan mengapa sampai sekarang tak muncul lagi? Namun bila pengintai itu orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal juga. Mana ada orang sebawahan berani mencuri dengar pembicaraan 'tuan puterinya'? Memikir bolak-balik, tetap Khik-sia tak menemukan jawabannya. Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam yang berisi semangkuk besar bubur dan beberapa mangkuk masakan. Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan hidangan ini untukmu, kata budak itu. Pikir Khik-sia: Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu memberi racun dalam makanan. Khik-sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus ia gasak hidangan itu sampai habis. Setelah budak itu pergi, Khik-sia duduk sendirian di dalam kamar situ. Sampai sekian lama tak kelihatan orang datang. Timbullah ingatannya: Daripada menunggu pertolongan orang, lebih baik berusaha sendiri. Ia lantas duduk bersila menyalurkan lwekangnya. Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa murni (cin-gi) masih sukar dipusatkan. Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu mulai bergerak tapi pun hanya terbatas sampai ke arah tangan kakinya saja. Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya, itulah masih sukar. Tiba-tiba di luar terdengar suara orang berbicara. Suara orang lelaki berkata: Apakah ia sudah menyanggupi? Aku sedang membujuknya, sahut suara seorang anak perempuan yang bukan lain ialah Su Tiau-ing. Lelaki itu tertawa dingin: Moay-moay, lebih baik jangan buang tenaga. Memang sudah kuduga ia tentu menolak. Tidak, beri ia waktu dua hari lagilah, bantah Tiau-ing. Kata lelaki itu: Apa yang kau bicarakan padanya, telah kudengar semua. Kalau toh ia menolak, kau bisa berbuat apa? Hm, apakahh kau hendak gunakan siasat 'memikat dengan kecantikan'? Marahlah Tiau-ing: Koko, jangan ngaco belo! Kau anggap aku ini orang macam apa? Khik-sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi. Pikirnya: Benar-benar pribadi Su Tiau-gi itu hina dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan tergolong kaum Ceng-pay (lurus), tapi ia lebih baik dari engkohnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu: Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya
menganggap aku dapat ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku sebagai orang perantara itu? Baru berpikir begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak, serunya: Moaymoay, kalau begitu nyata kau tak jatuh hati kepada badak itu? Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu rupa? Tiau-ing bersungut-sungut. Badak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat-mo-lek. Asal ia mau membantu kita, kelak kau menikah padanyapun tiada jeleknya, kata Su Tiau-gi. Tiau-ing makin meradang: Koko, makin lama kata-katamu itu makin rendah. Jika kau tetap bicara begitu, aku tak mau mempedulikan kau lagi. kembali Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak: Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguhsungguh. Dengarlah: toh budak itu menolak membantu kita, serta kaupun tak ada minat menikah padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar jangan sampai menerbitkan bahaya di kemudian hari. Apa? Kau hendak membunuhnya? seru Tiau-ing. Su Tiau-gi tertawa mengejek: Apa? Kau hendak melepaskannya? Tahukah kau bahwa 'menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar'? Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasihatinya lagi, tetap Tiau-ing meminta waktu. Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi .... ha, ha, ha, ha, hm! Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku? Tiau-ing tak mau mundur. Ya, benar, memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berpihak kita, mengapa kau tetap keberatan untuk membunuhnya, jawab Su Tiau-gi. Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh sekali aku ini! Su Tiau-gi tertawa mengejek: Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hm, jangan kira aku tak berani membunuhmu! Tiau-ing balas tertawa menghina: Ayah saja tega kau bunuh, apalagi membunuh aku. Tapi kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah! Su Tiau-gi menggembor keras: Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada setan tua itu, bukan? Lihat golokku! Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya: Pengawal, kemarilah! Kiranya Tiau-ing lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih tinggi dari Tiau-gi, pun ia turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya. Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam-diam Khik-sia mengeluh. Tiba-tiba saat itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk. Toan Khik-sia, selama ini kau selalu tak memandang mata pada kau ji-suhengmu. Sekarang jangan sesalkan aku seorang kejam! kedengaran orang itu tertawa dingin. Orang itu bukan lain ialah Ceng-ceng-ji. Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok Khiksia. Kini barulah Khik-sia tersadar siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah Ceng-ceng-ji itu memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi. Tapi pengertian Khik-sia itu sudah kasip karena saat itu pedang Ceng-ceng-ji sudah mengancam ke arah dadanya. Tring .... Ceng-ceng-ji rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai. Kiranya saat itu Khik-sia sudah dapat menggerakkan lwekangnya, walaupun baru 2-3 bagian saja. Dalam menghadapi saat-saat yang berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga ke arah ujung jari dan dengan sekuatnya ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-thong. Sekali menutuk dengan jari tengahnya, dapatlah ia membuat tangan Ceng-ceng-ji kesemutan. Berhasilnya tutukan Khik-sia itu, benar-benar secara kebetulan sekali. Pertama, karena Cengceng- ji kelewat bernafsu sekali. Ia kira Khik-sia sudah takmampu berkutik, apalagi balas menyerang. Kedua kalinya karena posisi Khik-sia itu amat menguntungkan. Sebenarnya dengan berbaring di atas ranjang itu, posisi Khik-sia amat berbahaya. Tapi dengan kecerdikannya, ia dapat
merubah posisi yang berbahaya menjadi menguntungkan baginya. Kepandaian Ceng-ceng-ji hanya terpaut tak banyak dengan Khik-sia. Dalam keadaan seperti saat itu, Khik-sia pasti kalah melawan ji-suhengnya itu. Tapi ada beberapa hal yang menguntungkan bagi Khik-sia. Kesatu; Ceng-ceng-ji datang dari tempat yang terang dan melongok ke dalam pembaringan yang gelap. Khik-sia tahu gerakan tangannya, sebaliknya Ceng-ceng-ji tak tahu akan gerakan Khik-sia. Inilah faktor-faktor yang menguntungkan. Kejut Ceng-ceng-ji bukan kepalang, pikirnya: Jangan-jangan ia sudah mendapat obat penawar, dan sengaja memancing aku untuk dibokongnya, ha? Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali. Begitu mendapat tutukan tadi, secara otomatis ia sudah lantas loncat ke belakang untuk bersiap. Tapi hal itu justeru suatu keuntungan bagi Khik-sia. Coba Ceng-ceng-ji menghantamnya lagi, Khik-sia tentu sudah binasa. Celakanya Ceng-ceng-ji sudah pecah nyalinya. Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak nampak Khik-sia turun dari pembaringan, mulailah timbullah kecurigaannya. Tiba-tiba terdengar aum senjata rahasia, melayang di udara. Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga batang passer sembari mendamprat: Ceng-ceng-ji, besar sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan pembunuhan! Makian nona itu malah menimbulkan perubahan pada dugaan Ceng-ceng-ji, pikirnya: Jika Su Tiau-ing telah memberikan obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup hendak menolongnya. Sudah tentu ketiga batang passer Tiau-ing itu tak dapat mengenai Ceng-ceng-ji. Senjata itu dapat dikebas jatuh olehnya semua. Maaf, kongcu. Suteku bersembunyi di dalam kamarmu, biar kuberi pelajaran, maka terpaksa aku lancang masuk ke kamarmu, serunya dengan tertawa. Mendengar suara Ceng-ceng-ji, Su Tiau-gi segera meneriakinya: Ceng-ceng-ji, bunuh saja budak perempuan hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau! Hubungan Ceng-ceng-ji dengan keluarga Su kakak-beradik itu, hanyalah berdasarkan saling menguntungkan saja. Sudah tentu ia tak begitu menaruh penghormatan terhadap 'kaisar' palsu dan 'tuan puteri' tiruan itu. Maka tanpa mendapat perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh Su Tiau-ing, ia lantas menyerbu ke tempat Khik-sia lagi. Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng-ceng-ji, namun kepandaian nona itu cukup lihay. Begitupun ketiga passernya itu tentu tak dapat melukai Ceng-ceng-ji, tapi sekurang-kurangnya dapat menghalanginya untuk beberapa jenak. Dan dalam beberapa jenak itu, cukuplah sudah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos masuk. Baru Ceng-ceng-ji tiba di muka ranjang, punggungnya sudah disambar angin tabasan golok kim-to. Ceng-ceng-ji balikkan tangannya, dengan jurus wan- kongsia- tiau, ia tutuk jalan darah kiok-ti-hiat di lengan Tiau-ing. Su Tiau-ing malah merangsang maju dan tabaskan goloknya di tangan kiri. Serangan itu dilakukan dengan keras. Nona itu melakukan pertempuran nekad, biar dua-duanya menderita luka. Jika Ceng-ceng-ji tak menarik pulang tangannya, paling banyak ia hanya dapat membikin invalid sebelah tangan Tiau-ing. Tapi dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun pasti kena tertabas kutung oleh golok Su Tiau-ing. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan sebuah lengannya. Memang gerakannya pun luar biasa gesitnya. Dengan miringkan tubuh ia menggelincir ke samping. Dengan begitu tabasan Su Tiau-ing itu menemui tempat kosong. Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak memaksa lawan menyingkir saja. Begitu Ceng-ceng-ji menghindar ke samping, Su Tiau-ing cepat menduduki tempat Ceng-ceng-ji berdiri tadi, yakni di depan ranjang Khik-sia. Di situ cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan. Bluk, terus dilemparkan ke dalam ranjang, serunya: Ini obat penawar, lekas minumlah! Sekarang kutolong kau, nanti aku yang akan minta tolong padamu! Ceng-ceng-ji terkejut. Buru-buru ia hendak merebutnya, tapi Su Tiau-ing cepat lancarkan tiga kali tabasan, tiap serangannya dilancarkan dengan nekad dan dahsyat. Sepasang goloknya berebutrebutan maju. Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul maju. Tak seperti permainan golok tunggal yang harus berganti jurus lebih dulu. Ceng-ceng-ji gunakan ilmu merebut senjata gong-chiu-jip-peh-jim. Tapi hanya dapat menghindar dari tertabas saja, dan tak mampu merebut senjata si nona.
Khik-sia mendapat kesempatan minum obat penawar. Seperti oran yang tersadar dari maboknya, bermula kepalanya pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali. Biarpun begitu, lwekangnya masih belum pulih. Dicobanya untuk melakukan pernapasan agar hawa murninya bergerak. Benar darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih belum dapat dipusatkan. Kiranya memang begitulah jalannya obat penawar itu. Kalau caranya menyalurkan darah tepat, juga harus menungguh sampai setengah jam, baru bisa pulih tenaganya. Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik-sia, buru-buru ia meneriaki: Jangan turun dari pembaringan dulu. Jika turun, kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah darahmu terus! Sudah tentu Ceng-ceng-ji tahu bagaimana berkerjanya obat penawar itu. Ia makin gugup karena dalam setengah jam ini ia sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik-sia tentu sudah bangun. Tapi main gugup, makin celakalah ia. Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan rapat sekali. Betapapun Ceng-ceng-ji melancarkan serangan yang dahsyat, paling-paling ia hanya dapat merebut, sebuah golok Tiau-ing tapi berbareng itu iapun tentu menderita luka kena golok si nona yang satunya. Sebenarnya jika Ceng-ceng-ji tak gugup, ia boleh gunakan siasat membikin lelah. Untuk mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu memakan waktu sampai setengah jam. Justeru karena gugup itu, hampir saja Ceng-ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing. Berulang kali Ceng-ceng-ji terpaksa menghindar mundur. Dan kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Tiba-tiba mata Ceng-ceng-ji tertumbuk akan benda yang berkilau-kilauan di lantai. Ah, sungguh limbung sekali aku ini. Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh di lantai itu? pikirnya menyesali diri sendiri. Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su Tiau-ing. Nona itu celi sekali matanya. Demi melihat mata Ceng-ceng-ji tertuju akan pedangnya yang menggeletak di lantai itu, tahulah ia maksudnya. Baru Ceng-ceng-ji hendak bergerak, ia sudah lantas mendahuluinya menyerang: Lihat golok! Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira-kira setengah meter di depan ranjang. Dengan gerak kek-cit-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, Ceng-ceng-ji sudah lantas ulurkan tangan hendak menyambarnya. Kala itu jaraknya dekat dengan pedang. Tahu bakal kalah dulu, Su Tiau-ing timpukkan lagi tiga batang passer. Yang dua ditujukan pada Ceng-ceng-ji yang sebatang ke arah pedang itu. Benar Ceng-ceng-ji tak jeri, tapi sedikitnya ia pun harus gerakkan tangan untuk menyambutinya. Layang ketiga passer itu berlainan arahnya. Dua batang yang hendak menyambar dirinya, dapatlah ia sambuti. Tapi yang sebatang lagi telah lolos lewat di sampingnya. Yang ini ia tak berhasil menyambarnya. Justeru passer inilah yang menuju ke arah pedang. Passer yang melayang turun dari atas, sebenarnya sukar untuk membikin mencelat sasarannya. Tapi Su Tiau-ing gunakan ilmu lincah. Begitu mengenai tangkai pedang, pedang itu menjadi terbalik miring. Karena lantai amat licin, maka pedang itupun menggelincir ke muka. Meskipun hanya meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk ke bawah kolong ranjang. Kini sukarlah bagi Ceng-ceng-ji hendak mengambil pedangya itu, kecuali ia masuk ke bawah kolong. Ceng-ceng-ji marah sekali, ia batalkan rencana menyambar pedang, kini ia berganti menyambar orang. Dengan menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi kepada Su Tiau-ing, kemudian dengan sebat sekali ia lantas membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik-sia. Khik-sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia dapat melawan. Pun ketika Su Tiauing dapat menghindari timpukan passer tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak mencengkeram Khik-sia. Nona itu mengeluh. Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan. Tapi anehnya, bukan suara Khik-sia, melainkan Ceng-ceng-ji. Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi, Khik-sia dapat mengisar ke samping hingga tangan Ceng-ceng-ji itu hanya mencengkeram kasur saja. Celakanya pedang pusaka milik Khik-sia disembunyikan di dalam selimut dan pedang itu sudah dilolos dari sarungnya. Begitu menyentuh benda dingin, Ceng-ceng-ji sudah kaget dan cepat-cepat tarik pulang tangannya, namun tak urung dua buah jarinya kena tergurat pecah oleh ujung pokiam Khi-sia. Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi. Tapi demi melihat Ceng-ceng-ji yang menjerit sembari
tarik pulang tangannya, tahulah ia kalau terjadi perubahan. Cepat ia sudah lantas loncat maju sembari babatkan sepasang goloknya. Ceng-ceng-ji tak dapat berbuat apa-apa, kecuali membiarkan Khik-sia duduk tepekur di dalam ranjang karena ia harus menghindari babatan golok Su Tiau- ing. Pada saat itu keadaan Khik-sia mencapai titik yang genting. Jika ia lantas loncat turun dari ranjang, sekali peredaran darahnya tersesat, pasti celakalah ia. Bukan saja jerih payahnya tadi akan sia-sia, pun ia bakal rusak jasmaninya atau dalam istilahnya disebut co-hwe-jip-mo (terbakar api kemasukan setan). Syukur Su Tiau-ing juga seorang ahli lwekang. Tahu ia bagimana keadaan Khik-sia nanti. Buru-buru ia meneriakinya: Toan kongcu, meramkanlah matamu! Ia kuatir jika membuka mata, Khik-sia tentu melihat bagaimana ia sedang bertempur matimatian dengan Ceng-ceng-ji. Kebanyakan pemuda itu tentu akan loncat turun membantunya. Dan ini berbahaya sekali. Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi. Dengan mati-matian Su Tiau-ing mendesaknya terus, sehingga setindak demi setindak Ceng- ceng-ji dapat dihalau mundur dari muka ranjang. Adalah pada saat itu, tiba-tiba paderi berjubah merah itu muncul. Di luar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki: Harap taysu jangan beri ampun lagi. Bunuh saja budak perempuan hina itu! Su Tiau-ing juga berseru: Suhu, monyet tua ini menghina padaku, lekaslah bantu padaku. Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong, kepala dari biara Oh-gik-mi-si do Cenghay. Pada ketika Su Su-bing menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka pada paderi itu, ia sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya. Hanya saja kala itu Su Tiau-ing masih kecil, tak pernah belajar silat padanya, maka paling-paling ia hanya dapat disebut calon murid saja. Oh-gik-mi-si sebenarnya adalah tinggalan dari kaum agama Pek-kau dari Tibet. Adalah karena beberapa partai agama di Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurusi sehingga dapat diduduki oleh Hoan Gong. Lebih dari 10 tahun Hoan Gong menempati biara itu. Kala itu pertentangan agama di daerah Tibet sudah sirap. Ketua Pek-kau mengirim beberapa utusan ke Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu. Karena tahu tak dapat melawan, akhirnya Hoan Gong pergi. Waktu itu Su Su-bing sudah meninggal, Su Tian-gi lalu mengundangnya dan mengangkat menjadi kok-su atau penasehat agung. Su Tiau-gi dan Su Tiau-ing itu berlainan ibu. Umur Tiau-gi lebih tua lima tahun dari adiknya. Pada masa itu, Su Tiau-gi pernah belajar silat pada Hoan Gong setengah tahun lamanya. Sebenarnya Su Tiau-ing punya guru lain. Tetapi sejak Hoan Ging datang, sedikit banyak ia juga pernah mendapat pelajaran silat dari paderi itu. Jika menurut hubungan guru dan murid, Hoan Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi daripada dengan Su Tiau-ing. Tetapi karena dalam hal bakat, Su Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih suka pada gadis itu. Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh gelap, maka buru-buru ia datang. Setelah mengetahui bagaimana keadaannya, ia menjadi serba salah. Akhirnya ia mendapat suatu pemecahan, serunya: Sama saudara sendiri mengapa bertengkar? Kongcu, haturkanlah maaf kepada engkohmu! Di luar kedengaran Su Tiau-gi berteriak-teriak: Budak hina itu telah bersekongkol mengundang orang luar untuk melawan aku. Suhu, bunuh saja dia. Aku tak sudi mengakui adik lagi padanya. Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku. Bagaimana kau suruh aku menghaturkan maaf padanya? seru Su Tiau-ing. Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya, sahut Hoan Gong. Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani membunuh, apalagi terhadap aku. Percuma saja kau akan menasehatinya, bantah Su Tiau-ing. Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri, Hoan Gong belum mengetahui. Meskipun ia juga seorang jahat, tapi setelah mendengar hal itu, berdirilah bulu romanya juga. Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja dia! teriak Su Tiau-gi. Suhu, kau dengar tidak itu? Ia begitu bernafsu untuk lekas-lekas melenyapkan aku supaya rahasianya jangan sampai ketahuan, Su Tiau-ing tetap ngotot. Hoan Gong lebih cenderung dengan kata-kata Su Tiau-ing. Ya, mengapa Su Tiau-gi begitu
bernafsu sekali menyuruhnya membunuh adik perempuannya itu? Aku tak mau mengeloni siapa-siapa, karena kalian adalah saudara kandung sendiri, akhirnya Hoan Gong memberi pernyataan. Ceng-ceng-ji turut berkata juga: Akupun juga tak sengaja hendak melukai kongcu. Tetapi bangsat itu adalah seorang pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar dengan baginda. Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat itu, kedua belah pihak tentu akan puas. Hoan Gong menimbang kata-kata Ceng-ceng-ji itu beralasan juga. Tapi ketika ia hendak turun tangan pada Khik-sia, Su Tiau-ing sudah lantas meneriakinya: Suhu, jangan kena ditipu. Pemuda she Toan ini adalah sutenya. Toa-suhengnya, Gong-gong-ji, sayang sekali kepadanya. Sebaliknya monyet tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya. Jika kau bunuh orang she Toan itu, berarti kau hanya bantu menghimpaskan dendam pribadi monyet tua itu. Tetapi resikonya, Gonggong- ji tentu akan membikin perhitungan padamu. Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya: Apakah keterangan itu benar atau salah, yang terang Gong-gong-ji itu tak boleh dimusuhi. Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat pergi. Baru Su Tiau-ing dapat bernafas longgar, sekonyong-konyong Uh-bun Jui muncul. Hai, Uh-bun Jui, hendak mengapa kau? Jangan lupa, tanganku masih mencekal golok! teriak Su Tiau-ing. Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak: Uh-bun Jui, itu lihatlah siapa yang berbaring di dalam ranjangnya itu. Burung merpatimu sudah didahului orang, lho! Kiranya adanya Uh-bun Jui sampai mengkhianati perguruannya dan mengadakan perebutan pangcu Kay-pang, adalah karena bujukan Su Tiau-ing. Su Tiau-ing hendak menggunakan tenaga partai Kay-pang untuk melawan tentara kerajaan Tong. Sementara Uh-bun Jui juga hendak pinjam tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu Kay-pang. Tapi faktor yang terutama, ialah karena ia tergila-gila akan kecantikan Su Tiau-ing. Memang paras cantik itu sering membikin orang lupa daratan. Kalau tidak, masakan Uh-bun Jui berani bertindak begitu rupa. Rupanya Ceng-ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu. Sekali berkata, ia dapat menusuk perasaan Uh-bun Jui. Terdorong oleh rasa cemburu, berkobarlah mafsu membunuh dalam sanubari Uh- bun Jui. Kongcu, aku sekali-kali tak berani melawan kau. Tapi demi untuk menjaga nama kehormatanmu, aku takkan membiarkan kau terpikat oleh bangsat itu, kata Uh-bun Jui. Su Tiau-ing mendampratnya: Jangan ngaco belo tak keruan, enyahlah! Kembali Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: Uh-bun Jui, apakah kau masih punya setitik pambek lelaki jantan? Dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur di pembaringannya, masakan kau lantas diam-diam mau ngacir? Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan tongkatnya, ia berlarian menghampiri ranjang. Kongcu, maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku tetap harus membinasakan bangsat ini! teriaknya dengan keras. Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Ceng-ceng-ji tak mau memberi kesempatan. Ia merangsek seru, sehingga nona itu tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi. Memang kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng-ceng-ji. Karena bingung, permainan goloknyapun menjadi rancu. Dengan beberapa rangsangan, dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona itu terpisah lebih jauh dari ranjang. Seperti diterangkan di atas, saat itu Khik-sia sedang berada dalam keadaan yang kritis (genting). Ia tak dapat menangkis serangan Uh-bun Jui itu. Tongkat Uh-bun Jui tepat mengenai pundaknya. Khik-sia cepat putar tubuhnya, sehingga membelakangi Uh-bun Jui. Uh-bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya. Pikirnya hendak hantam pecah kepala Khik-sia. Dan anehnya, Khik-sia malah gunakan jurus hong-tiam-thau (burung hong mengangguk), ia sodorkan punggungnya ke belakang. Dess .... terdengar bunyi macam rumput dipotong. Punggung Khik-sia terpukul tongkat, tapi seketika itu Uh-bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas, hampir
saja tongkatnya terlepas jatuh. Kiranya saat itu sudah lewat agak lama. Meskipun jalan darah Cap-ji-ciong-lo di tubuh Khiksia belum tertembus, tapi ia sudah mendapat kembali 6-7 bagian tenaganya. Dengan tenaga itu saja, cukup sudah baginya untuk menyengkelit Uh-bun Jui. Tapi kuatir usahanya tadi akan gagal seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak, maka ia tak mau turun tangan. Sekalipun begitu, dengan paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya ke arah punggung. Sudah tentu pukulan Uh-bun Jui tadi sedikitpun tak menjadikan soal. Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati Su Tiau-ing menjadi guncang. Ia tahu bahwa bekerjanya obat penawarnya itu harus menunggu sampai setengah jam, atau sama dengan 2 batang dupa terbakar habis. Kini, kira-kira temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis. Ia duga Khik-sia tentu belum dapat melawan, jadi keadaannya tentu berbahaya. Hal itu disebabkan karena ia belum mengetahui sampai di mana kesempurnaan lwekang Khik-sia. Tidak demikian dengan Ceng-ceng-ji yang sudah kawakan. Demi mendengar bunyi tongkat itu agak lain, ia sudah menduga jelek. Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau-ing. Buru-buru ia merangsek Su Tiau-ing dengan jurus pay-hun-chiu. Su Tiau-ing masih belum banyak pengalamannya bertempur. Saat itu karena memikirkan keselamatan Khik-sia, pikirannya menjadi kacau sehingga permainannyapun rancu. Golok di tangan kirinya kena ditampar oleh Ceng-ceng-ji sampai terlepas jatuh. Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendornya permainan Su Tiau-ing. Musuh utama bagi Ceng-ceng-ji adalah Khik-sia. Selain itu memang ia tak berniat hendak melukai Su Tiau-ing. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyelinap dari halangan si nona menuju ke muka ranjang. Setelah mendorong Uh-bun Jui ke samping, ia lantas menghantam Khiksia. Tiba-tiba seperti bola, tubuh Khik-sia melambung ke atas. Brak .... bukan tubuh Khik-sia tetapi ranjanglah yang menjadi sasaran hantaman Ceng-ceng-ji itu hingga remuk. Po-kiam Khik-sia jatuh ke lantai, sementara pedang Ceng-ceng-ji yang menyurup ke bawah kolong tadi, kini teruruk oleh ranjang. Untung tidak seluruhnya karena tangkainya masih kelihatan menonjol di luar. Su Tiau-ing memburu datang dengan sebuah tabasan. Ceng-ceng-ji memiliki ilmu thing- hongpian- ki atau dengar anginnya mengetahui senjata. Tanpa menolek, ia tamparkan tangannya ke belakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing. Sedang tangannya yang lain hendak menyambar pedangnya. Su Tiau-ing tanpa mempedulikan jiwanya lagi, terus mencecar Ceng-ceng-ji. Uh-bun Jui, lekas rebut pokiam! serunya. Pada saat Su tiau-ing mengirim tabasan yang keempat, Ceng-ceng-ji sudah berhasil memperoleh pedangnya. Begitu berputar tubuh, ia lantas membacok Su Tiau-ing. Setelah mendapat peringatan dari Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui cepat memungut pokiam Khik-sia. Girangnya bukan kepalang. Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, juga tubuhmu itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakah tak mempan ditusuk senjata, pikirnya. Ketika mengawasi ke muka, dilihatnya tubuh Khik-sia sudah turun di lantai dan tetap masih duduk bersila seperti tadi. Habis menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk. Yang diarah ialah tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia. Jika kena, Khik-sia tentu akan menjadi cacat seumur hidup. Tapi Khik-sia cepat miringkan tubuhnya ke samping. Cret, yang kena hanyalah secarik pakaiannya saja, sedang ujung pokiam lalu di atas pundaknya. Khik-sia gunakan lwekang untuk menyedot. Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun Jui sampai separuh bagian sehingga anak muda she Uh-bun itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi. Hampir saja ia menyeruduk tubuh Khik-sia. Uh-bun Jui juga seorang ahli silat. Pada saat itu ia tahu kalau Khik-sia juga dapat menggunakan ilmu lwekang tinggi. Kejutnya bukan main. Takut kalau dibalas, saking gugupnya, ia lantas susuli menghantamkan tongkatnya. Memang pukulannya itu tepat mengenai bahu Khik-sia, tapi akibatnya malah lebih runyam. Daya membal yang dipancarkan bahu Khik-sia lebih besar dari tadi. Krek ..... tongkat Uh-bun Jui kutung menjadi dua. Sedang Uh-bun Jui sendiri terpental mundur sampai beberapa langkah. Untung karena kencang-kencang mencekalnya, pokiam tak sampai jatuh terlepas dari tangannya. Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir dari serangan pedang ini! ia
berteriak keras seraya tusukkan ujung pokiam ke punggung lawan. Lepaskan! tiba-tiba kedengaran Khik-sia buka suara. Dengan dua buah jarinya ia menjepit batang pokiam itu. Jepitannya itu tepat benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja. Kejut Uh-bun Jui tak terperikan. Baru saja ia hendak memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan dua buah jarinya saja, pokiam sudah berpindah ke tangan yang empunya (Khik-sia). Dan tiba- tiba Khik-sia loncat bangun. Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang! seru pemuda itu. Uh-bun Jui gunakan separuh kutungan tongkatnya tadi sebagai senjata. Tapi dengan mudahnya, dapatlah Khik-sia memapas lagi tongkatnya itu hingga hanya ketinggalan sedikit di bagian tangkai yang dicekalnya. Coba Uh-bun Jui tak cepat menarik tangannya, mungkin pergelangan tangannya juga ikut hilang. Ternyata serangan kalap Uh-bun Jui dengan tongkatnya tadi, bukannya melukai Khik-sia sebaliknya malah memberi bantuan besar kepadanya. Seperti diketahui, penyaluran lwekang Khiksia pada saat itu sedang dalam tingkat yang genting. Kebetulan Uh-bun Jui menggebuknya, ini ia pergunakan untuk mempercepat pengaliran darahnya. Setelah bagian Cap-ji-ciong-lo dapat menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam lamanya, tenaganya dengan cepat sudah dapat pulih kembali. Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang indah. Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh-bun Jui terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia, kejut Uh-bun Jui serasa terbang semangatnya. Saat itu asal Khik-sia mau menusuk lagi, jiwa Uhbun Jui pasti melayang. Tapi tiba-tiba terdengar suara logam jatuh berkerontangan di lantai. Kiranya golok di tangan kanan Su Tiau-ing juga kena dipapas kutung oleh pedang Ceng-ceng-ji. Saat itu hubungan Su tiau-ing dengan Khik-sia bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai sahabat. Si nona terancam bahaya, sudah tentu Khik-sia tak mau berpeluk tangan mengawasi saja. Dalam pada itu Khik-sia juga berpendapat bahwa Uh-bun Jui itu adalah anak murid Kay-pang. Sebaiknya ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi hukuman. Dengan keputusan itu, secepat kilat ia sudah meluncur ke muka Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji cepat lancarkan jurus istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar rembulan. Tiga serangan sekaligus ia balingkan ke kiri untuk menusuk jalan darah peh-hay-hiat, ke kanan menusuk jalan darah hu-tho-hiat dan ke tengah menusuk jalan darah suan-ki-hiat. Tiga serangan dalam satu jurus itu, adalah jurus mematikan yang paling ia andalkan. Hebatnya bukan olah-olah. Melihat ji-suhengnya sedemikian buasnya, marahlah Khik-sia. Ia berseru nyaring: Ceng-cengji, karena kau begitu keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku yang tak mau mengakui kau sebagai saudara seperguruan lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng dan sute, putus sampai di sini! Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan. Berulang kali terdengar bunyi mendering yang memekakkan telinga. Keduanya sama bergerak cepat. Dalam waktu Khik-sia mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah beberapa kali saling beradu. Pedang pendek dari emas murni Ceng-ceng-ji, sebenarnya tak kalah dengan pedang pusaka peninggalan keluarga Toan. Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu. Dalam beberapa benturan senjata itu, kalau Khik-sia masih tak merasa apa-apa, adalah Ceng-ceng-ji yang sudah rasakan tangannya panas kesakitan. Pedangnya hampir saja terlepas. Kini Ceng-ceng-ji tak berani adu kekerasan. Ia ganti siasat gunakan kelincahan. Mereka adalah seperguruan. Keduanya saling mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing. Diam- diam Khik-sia membatin: Dapat kukalahkan dia, tapi pun harus melalui seratus jurus. Musuh berjumlah banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang, sukarlah untukku lolos lagi. Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong-jip-hay atau naga sakti menyusup ke dalam laut. Pokiam diputar naik turun ke kanan-kiri sehingga mau tak mau Ceng-ceng-ji harus mundur. Maafkan, aku hendak pergi dululah! ia lontarkan pukulan biat-gong-ciang untuk menghancurkan jendela dan terus hendak loncat keluar. Hai, apakah aku masih dapat tinggal di sini?! teriak Su Tiau-ing. Sebenarnya separuh tubuh Khik-sia sudah menyusup keluar jendela. Tapi begitu mendengar jerit keluhan si nona tadi, ia segera hentikan tubuhnya. Dengan gaetkan sebelah kakinya ke pinggir
jendela, ia berpaling melongok ke belakang. Dilihatnya Su Tiau-ing pun ternyata mengikuti di belakangnya. Sedang Ceng-ceng-ji sudah tusukkan pedangnya ke pinggang gadis itu. Bermula Khik-sia kira kalau Ceng-ceng-ji tentu tak berani membunuh Su Tiau-ing. Tapi apa yang dilihatnya itu, ternyata berlainan. Ceng-ceng-ji benar-benar tak mau kasih ampun lagi. Terkilas dalam pikiran Khik-sia: Ya, benarlah, seorang lelaki harus menarik garis tajam antara budi dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong jiwaku. Masakan aku takkan mempedulikannya. Persatuan gerak tubuh Khik-sia dengan pedangnya, telah mencapai suatu tingkat yang dapat digerakkan menurut sekehendak hatinya. Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada ujung jendela, ia segera ayunkan tubuhnya ke muka. Tangan kirinya menusuk pada Ceng-ceng-ji. Pedang pusaka Toan Khik-sia itu lebih dari setengah meter panjangnya. Sedangkan pedang Ceng-ceng-ji hanya 9 inci, jadi pokiam Khik-sia lebih panjang hampir setengah meter. Dengan keuntungan itu, meskipun Khik-sia bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia menghalangi Ceng-ceng-ji. Tapi kerugiannya karena bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Begitu kedua pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik-sia hampir mau jatuh. Tapi dengan cepat ia lengkungkan tubuhnya ke bawah untuk menyambar Su Tiau-ing terus dibawa loncat keluar. Gerakan Khik-sia itu termasuk ilmu gin-kang yang hebat. Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su (pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar. Tapi karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi karena di dalam sudah ada Cengceng- ji, mereka anggap belum perlu turun tangan. Mereka tidak masuk ke dalam kamar Su Tiauing dan hanya menunggu di luar saja. Saat itu demi Khik-sia lolos keluar dan Su Tiau-gi pun sudah memberi perintah untuk membunuh, maka menyerbulah mereka. Ketika Khik-sia masih melayang di udara, puluhan tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya. Khik-sia berseru keras sembari mainkan pedangnya dalam jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang 8 penjuru. Tring, tring, terdengar suara mendering susul menyusul. Sembari melayang turun, Khik-sia sudah memapasi kutung senjata kawanan busu itu. Kala itu Ceng-ceng-ji pun sudah mengejar loncat dari jendela. Melihat itu Khik-sia segera berikan pokiamnya kepada Su Tiau-ing. Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan keluar dan biarlah aku yang menahan mereka. Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut-kejut girang. Benar juga dalam lain kejap saja, Ceng-ceng-ji sudah menyerang dengan pedangnya. Begitu merasa belakang kepalanaya ada angin menyambar, tiba-tiba Khik-sia balikkan tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk telapak tangan Ceng-ceng-ji. Kejut Ceng-ceng-ji tak terkira, pikirnya: Suhu ternyata berat sebelah. Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu, dahulu suhu tak mau mengajarkan padaku. Tetapi telah memberikan kepada anak itu. Di tengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang disebut lau-kiong-hiat, merupakan salah satu bagian yang mematikan orang. Saking gugupnya, Cng-ceng-ji cepat-cepat ganti gerakannya. Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh Khik-sia untuk menusuk bagian bawah iga Khik-sia. Tapi saat itu Khik-sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh menghadapi lawan. Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya. Yang satu untuk menghantam pedang Ceng-ceng-ji, yang satunya untuk memukul lutut Ceng-ceng-ji. Pukulan yang dilancarkan secara tiba-tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng-ceng-ji tak sempat menghindar lagi. Ia terpelanting jatuh pedangnyapun mencelat ke udara. Khik-sia sambar tubuh bu-su itu. Sementara dalam detik-detik itu juga Khik-sia sudah menyingkir ke samping. Melihat Khik-sia dan Ceng-ceng-ji bertempur begitu seru, kawanan bu-su itu berteriak-teriak sembari berpencaran ke empat penjuru. Tak berani lagi rupanya mereka hendak mengganggu Khiksia. Khik-sia hanya dengan tangan kosong. Ceng-ceng-ji gunakan pedang. Untuk itu Khik-sia hanya andalkan kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kiong-ci-hwat. Mereka bertempur dengan rapat. Sembari melawan, Khik-sia terus main mundur. Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini mendadak garang. Kini kawanan bu-su yang
biasanya amat garang, saat itupun tak berani menghalangi Su Tiau-ing. Tengah Su Tiau-ing kegirangan, sekonyong-konyong ada sebatang tombak meluncur ke arahnya. Ia cepat tabaskan pokiam, tring, sinar api terpercik dan batang tombak itu tergurat melowek, tapi tidak putus. Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit kesemutan sekali hingga hampir tak kuat mencekal pedangnya lagi. Berpaling ke belakang ia melihat seorang bertubuh tinggi besar (tingginya sampai 2 meteran), mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bertancap bunga. Dari dandanannya yang aneh itu, ia benar-benar menyerupai Hek-sat-sin atau Malaikat Maut Hitam. Orang itulah yang menghadang Su Tiau-ing sembari ketawa meringis. Su Tiau-ing terkejut dan diam-diam mengeluh. Kiranya orang itu adalah putera dari raja pribumi suku Ki namanya Chomulun. Sejak Su Tiaugi tiba di daerah situ, Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau-ing. Acapkali ia mengikuti nona itu. Su Tiau-ing benci kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga ayah dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya. Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Dengan tangan kosong ia dapat memukul mati harimau. Tombaknya itu beratnya 72 kati. Dimainkannya kekuatannya sama dengan puluhan orang. Tusukannya tadi hanya menggunakan 2-3 bagian tenaganya saja, coba tidak, Su Tiau-ing tentu sudah hancur. Yan Khan (raja Yan), adikmu itu cantik benar, sayang kalau dibunuh, lebih baik kasih aku saja, serunya kepada Su Tiau-gi. Bunuh dulu bangsat itu, baru nanti kuserahkan ia padamu, sahut Su Tiau-gi. Apanya yang sukar? teriak pangeran itu. Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik-sia, tapi kuatir Su Tiau-ing akan merat lolos, ia lantas bersuara: Hai, buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja! Engkohmu sudah meluluskan. Tak mampu memapas kutung tombak si 'raksasa' dan tak dapat menerobos hadangannya, Su Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Dalam keadaan berbahaya, timbul akalnya. Pura-pura ia lantas tertawa kepada Chomulun. Girang si raksasa bukan main, serunya: Orang cantik, apakah kau meluluskan? Sahut Su Tiau-ing: Yang kupuja adalah kaum pahlawan gagah perkasa. Asal kau dapat menangkan dia (ia menunjuk Khik-sia), mau aku menikah padamu. Benarkah? Kau tak lari? Chomulun menegas. Tak nanti aku melarikan diri. Tapi kau harus bertanding satu lawan satu. Jika menang, barulah kuanggap gagah perkasa, seru Su Tiau-ing. Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa: Sudah tentu begitu, mengapa aku harus minta bantuan orang? Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua itu. Jika monyet tua itu sampai melukai aku, bagaimana nanti? Chomulun berseru keras: Kau adalah orangku. Siapa yang berani mengganggu selembar rambutmu saja, tentu akan kubunuhnya. Dengan mainkan tombak besinya, benar juga Chomulun lantas menghampiri Khik-sia. Teriaknya dengan suara menggeledek: Hai, monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur budak ini. Yang disebut-sebut 'monyet tua' itu adalah Ceng-ceng-ji. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak terima dihina begitu. Sahutnya dengan tertawa mengejek: Siau-ong-ya, jangan termakan tipunya (Su Tiau-ing). Budak itu lihay sekali. Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan di dunia ini. Mendengar ejekan Cengceng- ji, marahnya bukan main: Bagaimana lihaynya? Apakah lebih lihay dari singa? Apakah lebih buas dari harimau? Kau sendirilah yang tak berguna, tak mampu mengalahkan lalu memujimujinya setinggi langit! Saking marahnya ubun-ubun kepala Ceng-ceng-ji sampai keluar asap. Sebenarnya, ia tak mau menyingkir, tapi demi hasil pertempurannya dengan Khik-sia tadi berimbang saja jika Chomulun si raksasa limbung itu benar-benar akan menombaknya, tentu akan berbahaya sekali. Akhirnya
terpaksa ia kendalikan kemarahannya dan tertawa dingin: Bagus, kau benar-benar tak tahu gelagat. Karena kau hendak maju mengantarkan jiwa, silahkan majulah! Chomulun membentak keras: Monyet tua, kau berani menghina aku? Tunggulah setelah kuselesaikan budah ini tentu kubikin perhitungan padamu! Ceng-ceng-ji tertawa mengejek dan mengundurkan diri. Maju dua langkah, Chomulun lantas putar tombaknya sehingga menerbitkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik-sia: Kau minta senjata apa, biar kusuruh orang mengambilkan agar kau jangan mati penasaran. Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan kegagahannya di hadapan Su Tiau-ing. Menandaskan bahwa ia tak mau membunuh orang yang tak bersenjata. Khik-sia tak ada waktu untuk meladeni orang limbung itu. Berbareng mulutnya berseru: Aku minta tombakmu ini, lepaslah! -- Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar ujung tombak orang. Hai, budak ini kuat sekali! teriak Chomulun dengan kaget. Ia gunakan kedua tangannya untuk memegang kencang-kencang tangkai tombaknya. Khik-sia menariknya, tapi tak berhasil merebut dari tangan raksasa itu. Kau tak mau melepaskan? Hm, kau sendiri yang minta sakit! teriak Khik-sia yang lantas hantamkan tangan kirinya ke arah batang tombak. Tar, seperti bunyi halilintar menyambar memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang tombaknya terus menghantam ke dadanya. Darahnya serasa bergolak dan gedebuk .... ia jatuh terbalik dengan kaki di atas. Sudah tentu tombaknya beralih ke tangan Khik-sia. Kiranya Khik-sia telah gunakan pukulan lwekang kek-but-coan-kang. Ia salurkan lwekang melalui batang tombak terus menghantam tubuh lawan. Betapapun kuatnya tenaga Chomulun itu, tapi mana ia kuat menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian kuatnya? Sekonyong-konyong terdengar dua kali deru angin menyambar dari kanan-kiri Khik-sia. Cengceng- ji dan Ma tianglo dari partai Kay-pang telah serempak menyerang Khik-sia. Selagi Khik-sia merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus diserangnya saja. Memang tombak itu senjata yang sukar untuk digunakan bertempur secara rapat. Tapi ilmu ginkang Khik-sia itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa. Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, ia cepat lemparkan tombaknya ke udara, kemudian ia enjot tubuhnya untuk melambung. Sambil menyambar tombak, ia melayang turun tiga tombak jauhnya. Kini ia mempunyai jarak yang lapang dengan Ceng-ceng-ji dan Ma tianglo. Dengan tangkasnya, mulailah ia kembangkan permainan tombak. Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak Khik-sia. Tianglo itu lekas-lekas mundur. Seperti telah diterangkan di atas, tombak itu beratnya 72 kati. Pedang Ceng-ceng-ji pun tak mampu memapas kutung. Khik-sia mainkan tombaknya sedemikian rupa hingga ibarat percikan airpun tak dapat menerobos masuk. Dalam keadaan begini, Ceng-ceng-ji tak berdaya untuk merangseknya. Chomulun pun membawa pengawal sejumlah 50 orang. Pengawalnya itu disebut pasukan Thing-pay-chiu atau pasukan perisai rotan. Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri berjajar menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan sampai Su Tiau-ing lolos. Begitu Chomulun terbanting ke tanah, Su Tiau-ing lantas tertawa mengejek: Tuh, lihat, siau-ong-ya kalian sudah menang, aku sekarang hendak pergi. Anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu masing-masing memegang golok dan perisai rotan. Perisai itu dapat menahan bacokan senjata tajam. Benar pokiam Su Tiau-ing dapat menghancurkan perisai mereka itu, tapi jumlah mereka banyak. Satu hancur, dua maju. Dua hancur, empat maju, demikian seterusnya. Lima puluh anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu seperti kumbang, mengepung Su Tiau-ing dari delapan penjuru. Kepungan mereka itu makin lama makin rapat. Sulitlah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos keluar. Khik-sia tak mau mengorbankan banyak jiwa. Tiba-tiba ia putar tombaknya dan menggembor keras. Ditusukkannya tombak pada sebuah tiang batu. Krek, bum ..... pecahlah batu berhamburan kemana-mana dan pilar batu itu telah kena tertusuk sampai berlubang. Setelah itu ia putar tombaknya sampai seperti kitiran dan berseru nyaring: Siapa yang menghadang tentu mati, yang
menyingkir akan hidup. Coba saja kalian tanya pada diri kalian sendiri. Apakah kepala kalian itu lebih keras dari pilar batu ini? Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya bangsa jagoan yang buas dan tak takut mati. Tapi demi melihat Khik-sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali mereka. Dengan berteriak-teriak keras, mereka sama lari tunggang langgang ke empat jurusan. Sebetulnya mereka itu bukan takut mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik-sia yang mengamuk seperti banteng ketaton itu. Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau-gi memanggil adiknya: Moaymoay, apakah kau sungguh-sungguh hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu? Su Tiau-ing tertawa mengejek: Ho, jadi kau masih menganggap aku sebagai adik? Sejak saat ini, hubungan kita sebagai kakak-adik, putuslah. Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru, Uh-bun Jui menerobos maju dan berseru: Nona Su, jika siang-siang tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah? Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab: Kebaikanmu, tetap kuingat. Kini aku telah mengambil ketetapan untuk tinggalkan tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku. Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas. Uh-bun Jui berteriak, lalu ngacir pergi. Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu, dapatlah Khik-sia dalam waktu yang singkat membuka jalan lolos. Ia terus menerjang ke pintu besar. Su Tiau-gi perintahkan pasukan panahnya untuk mengejar dan lepaskan anak panah. Ceng-ceng-ji pun ikut memburu. Bagaikan kawanan belalang, ribuan batang panah segera menghujani Khik-sia dan Su Tiau-ing. Tapi Khik-sia tetap putar tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiau-ing di dalam membuka jalan lari itu. Tiba-tiba di antara hujang anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar perak bergemerlapan. Pada lain kejap sekonyong-konyong Su Tiau-ing berteriak mengaduh: Celaka, aku terkena senjata rahasia! Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak. Kiranya dialah yang melepaskan jarum rahasia bwe-hoaciam itu. Timpukannya itu dapat mencapai jarak tiga tombak lebih. Yang lebih hebat lagi, jarum rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Daripada panah, jarum itu jauh lebih sukar dijaganya. Khik-sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti 19 batang anak panah. Kemudian dengan gunakan ilmu timpukan Thian-li-sam-hoa atau bidadari menabur bunga, ia timpukkan anak panah itu ke arah Ceng-ceng-ji. Karena lwekangnya tinggi, maka timpukannya itu tak kalah lihaynya dengan kekuatan busur. Ana-anak panah yang ditimpukkan itu mendengung-dengung di udara. Ceng-ceng-ji tak berani menyambutinya, buru-buru ia putar pedang untuk melindungi diri sembari menyingkir ke samping. Luput mendapat sasaran Ceng-ceng-ji, anak-anak panah itu telah mengganyang beberapa orang anggota pasukan pemanah. Pasukan pemanah itupun tak berani merangsek dekat-dekat lagi. Di bagian mana yang terluka? tanya Khik-sia. Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki, sahut Su Tiau-ing. Ia teringsut-ingsut, larinya susah sekali. Sejenak Khik-sia kerutkan alis, terus memimpinnya diajak berlari. Tiba-tiba di muka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu datang. Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah aku? Su Tiau-ing menegur opsir pemimpin barisan itu. Ah, aku tak berani mengganggu kongcu. Harap kongcu menyingkir, aku hanya akan membunuh maling kecil itu, sahut opsir itu. Dan pada waktu ia berkata itu, dengan menunggang kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik-sia dengan tombaknya. Ciangkun atau jenderal orang she Ong itu, mahir dalam ilmu permainan pat-coa-un (tombak delapan ular). Di antara orang sebawahan Su Tiau-gi, ia termasuk opsir yang gagah perkasa. Tapi apa lacur, berhadapan dengan Khik-sia, benar-benar ia ketemu dengan batunya. Bagus! seru Khik-sia sembari tusukkan tombaknya. Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit jatuh opsir itu. Kuda opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran. Tuannya jatuh, binatang itu tetap menyerbu ke muka untuk meloloskan diri. Tapi dengan tangkas, Khik-sia cepat menguasainya. Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya sudah kelewat mendesak, apa boleh buat,
Khik-sia segera boncengkan nona itu di atas kuda. Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah. Khik-sia menghadapi mereka dengan sebuah taktik. Ia tak mau mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda tunggangannya. Dalam beberapa kejap saja, ia sudah berhasil melukai belasan ekor kuda. Karena terluka, kuda itu menjadi binal dan lari mencongklang keras. Kepanikan mereka itu telah menyebabkan pasukan kawannya yang berada di belakang, menjadi terhalang. Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya lagi memutar pokiam untuk melindungi anak muda itu dari serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan kirinya). Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu timbul hiruk pikuk yang menggemparkan. Ketika Khik-sia berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul ke atas. Khik-sia girang-girang terkejut, pikirnya: Cepat sekali datangnya api itu bagiku. Tapi entah siapakah yang diam-diam membantu aku itu? Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu sudah gentar melihat kegagahan Khiksia. Kedua kalinya, mereka kaget menampak di markas besarnya timbul bahaya kebakaran. Tanpa banyak pikir lagi, mereka tinggalkan pengejarannya kepada Khik-sia, terus memburu ke arah kebakaran. Kini lepaslah Khik-sia dari kepungan. Ia congklangkan kudanya pesat-pesat. Ada belasan anak buah Su Tiau-gi yang masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat dihalau taburan anak panah Khik-sia. Yang masih mengejar, kini tinggal Ceng-ceng-ji seorang. Sebenarnya dengan gingkang yang dipunyai itu dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng-ji menyandak larinya kuda. Tapi karena ia hanya sendirian saja, nyalinya menjadi kecil juga. Setelah kejar beberapa saat, waktu mengetahui belakang tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng-cneg-ji, kalau-kalau Khik-sia akan balik dan menyerangnya. Terpaksa iapun putar langkahnya dan lari balik. Selolosnya Khik-sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah mengeluh dalam hati: Kalau nona ini tak terluka, itulah mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan lagi, sebenarnya juga tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka. Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya dengan engkohnya. Bagaimana aku tega tak menghiraukannya lagi? Waktu masih bertempur tadi, Su Tiau-ing tak merasa kesakitan. Tapi kini setelah lolos dari bahaya, ia mulai mengerang kesakitan. Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya itu, ia peluk pinggang si anak muda erat-erat. Khik-sia kerutkan alis dan menanyainya: Bagaimana, apakah kau merasa sakit sekali? Kumerasa jarum itu seperti bergerak-gerak ke atas, makin lama makin menyusup lebih dalam, jawab Su Tiau-ing. Khik-sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana kepandaian bekas ji-suhengnya itu. Pikirnya: Jika tak dicabut, dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang ke jantung. Pada waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekalipun tidak kena jantung dan hanya menyusup ke dalam jalan darah saja, juga akan menyebabkan invalid. Ah, tak nyana Ceng-ceng-ji itu sedemikian ganasnya. Terhadap nona Su, ia juga gunakan jarum rahasia. Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik-sia tak dapat meninggalkannya. Katanya: Kau tahan dulu sebentar, biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu. Ia lari sampai 20-an li, mendaki sebuah gunung. Di situ ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun dari kuda. Mereka masuk ke dalam sebuah hutan. Maaf, aku telah membikin capek kau, kata Su Tiau-ing. Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas menolongmu. Aku tak berterima kasih kepadamu dan kaupun tak usah berterima kasih kepadaku, jawab Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa: Kiranya kau berniat hendak tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha untuk mengobati lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya sandaran siapa-siapa lagi, tapi tak nanti aku membayangi kau. Apalagi kau punya ginkang yang hebat. Setiap waktu kau tinggalkan aku, masakan aku dapat mengejarmu lagi. Khik-sia termekmek dengan kata-kata si nona yang membuka isi hatinya itu. Merahlah wajahnya. Sampai sekian lama baru dapat berkata lagi: Aku bukan bermaksud begitu. Seorang lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak suka menerima budi kebaikan orang.
Su Tiau-ing menjawab dengan sungguh-sungguh: Mana aku telah melepas budi padamu? Adalah karena kau tidak baik, maka sampai hampir mencelakai dirimu. Kuberimu obat penawar, itu sudah selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah merasa berterima kasih tak terhingga. Khik-sia putuskan pembicaraan: Perkara lama, janganlah diungkat lagi. Sekarang, harap kau duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu menyusup ke bagian mana? Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya: Sepertinya menyusup sampai di betis, di sebelah jalan darah sam-kwat-hiat. Khik-sia bersangsi sebentar lalu berkata: Nona, maafkan kekurangajaranku. -- Tiba-tiba ia pegang ujung kaki Su Tiau-ing, terus melepaskan sepatunya. Akan kuambil jarum di kakimu itu, sahut Khik-sia. Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan: Ai, kau ini memang ... Omong saja tak jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan begitu kan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau menyebutnyebut soal kurang ajar atau tidak. Kau tahankan, ya, sakitnya! Hendak kucabut keluar jarum itu. kata Khik-sia. Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis si nona, kemudian mencekal kencang ujung kakinya. Diam-diam ia kerahkan lwekangnya. Serangkum arus lwekang menyalur dan mendorong jarum itu keluar. Begitu ujung jarum menonjol, terus dipijat Khik-sia. Saking sakitnya Su Tiau- ing sampai mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar. Tanpa terasa, karena menahan kesakitan itu, Su Tiau-ing menyandar pada tubuh Khik-sia. Ketika melirik, didapatinya kedua belah pipi Khik-sia merah padam, napasnya memburu. Memang sebesar itu, belum pernah Khik-sia berjajar rapat dengan seorang gadis. Meskipun saat itu untuk keperluan pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis yang harum baunya, mau tak mau jantung Khik-sia berdebur keras. Sebaliknya Su Tiau-ing diam-diam merasa geli: Kiranya anak muda ini lebih pemaluan dari aku. Dalam derita kesakitannya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia. Bahkan ia malah mengharap kesakitannya itu bisa panjang waktunya. Dengan lwekang yang lihay, dalam sekejap saja dapatlah Khik-sia menekan jarum itu turun ke telapak kaki Su Tiau-ing. Begitu ujungnya menonjol keluar, Khik-sia gunakan dua buah jari untuk menariknya. Aduh! Su Tiau-ing menjerit kesakitan. Tapi jarum itu sudah dapat dikeluarkan Khik-sia. Setelah itu Khik-sia lalu melumuri obat. Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan napas tersengalsengal, sedangkan Khik-sia juga mandi keringat. Kala itu hari sudah gelap. Di celah gunung sang dewi malam sudah mulai mengintip. Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau bagaimana, apa sekarang mau pergi? seru Su Tiau-ing. Beristirahatlah dulu di sini sebentar. Aku hendak mencari makanan. Lukamu sudah sembuh. Tenagamu lemas, karena kau tentu lapar, kata Khik-sia. Ia sendiri hanya makan semangkuk bubur pagi tadi. Dalam pertempuran tadi ia sudah gunakan tenaga tak sedikit. Kemudian mencabut jarum di kaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga. Benar di hutan situ banyak binatangnya, tapi di waktu malam hari sukarlah untuk mencarinya. Apalagi Khik-sia tak punya pengalaman berburu. Dengan susah payah, akhirnya ia hanya dapat menangkap dua ekor kelinci hutan saja. Jilid 8 Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan menyambutnya dengan senyum tertawa: Kukira kau tak balik lagi! Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku tentu sudah pergi, demikian Khiksia membatin. Tapi Su Tiau-ing rupanya tahu apa yang dibatin anak muda itu, serunya tawar: Di dunia tiada perjamuan yang tiada berakhir. Baiklah, kurangkai bunga untuk kupesembahkan Hud. Biarlah
kusiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan kita. Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula unggun api lalu mulai membakar kelinci itu. Ditingkah oleh cahaya api, wajah nona itu tampak kemerah-merahan, suatu warna yang makin menambah kecantikan wajahnya. Hati Khik-sia berdebar-debar, pikirnya: Jika sehabis makan lantas kutinggalkan, apakah tidak kelewat menyolok. Seorang gadis yang lukanya masih belum sembuh, berada seorang diri di tengah hutan belantara, apakah tidak berbahaya? Jangan kata engkohnya akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau-kalau sampai berjumpa dengan binatang buas saja, apakah jiwanya tak terancam nanti? Ai, tetapi .... tetapi .... apakah malam ini aku harus menemaninya di sini? Rembulan makin naik tinggi. Sinarnya menerobos di sela-sela daun pohon yang rindang membawakan suatu suasana yang rawan. Angin malam berhembus mengantar bau bunga hutan yang wangi. Keindahan suasana malam kala itu diperkaya dengan hadirnya seorang gadis jelita. Pikiran Khik-sia melayang-layang .... Tiba-tiba ia teringat akan diri Yak-bwe. Pada malam yang sedemikian indah inilah ia bertemu dengan nona itu. Di taman bunga gedung Sik Ko, untuk pertama kali ia berjumpa dengan calon isterinya itu. Ai, wktu itu perjumpaan kita diramaikan dengan pertengkaran. Dan ia malah memaki aku sebagai pencuri. Tapi aku sendiri juga tidak baik, karena sikapku kepadanya juga getas-getas mengejek. Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik-sia. Adegan yang terjadi pada lain malam di lain taman bunga pula yaitu di taman bunga Tok-ko U. --- Seorang diri ia mondar-mandir di taman bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U... Teringat sampai di sini, hati Khik-sia merasa pilu. Buru-buru ia putuskan lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak-tidak. Di dahului dengan pecahnya sang mulut karena tertawa, berserulah Su Tiau-ing: Apa yang kau pikirkan? Kau tampak asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang. Khik-sia gelagapan. Tiba-tiba teringat olehnya: Pada malam dua bulan yang lalu, aku juga berjumpa empat mata dengan Su Yak-bwe. Tak nyana kalau malam ini juga menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su tapi bukan Su Yak-bwe. Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak-bwe) kan sudah mendapat orang yang dipenujuinya. Tersipu-sipu Khik-sia menyambuti kelinci bakar itu. Karena tak hati-hati, tangannya terbentur dengan ranting yang dimasukkan ke dalam api oleh Su Tiau-ing tadi. Buru-buru ia tarik pulang tangannya. Ai, bagaimana kau ini? Apa yang kau pikirkan? Su Tiau-ing tertawa. Cepat Khik-sia bersikap sungguh-sungguh dan bertanya: Aku hendak menanya suatu hal padamu. Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama? tanya Su Tiau-ing. Ia menatap pemuda itu tajam-tajam. Khik-sia batuk sebentar baru berkata: Kau sudah tinggalkan sarang kaum pemberontak. Sebenarnya aku takkan mengungkat peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat terlepas dari itu. Su Tiau-ing tersirat hatinya, pikirnya: Ia memandang kerajaan Tay Yan sebagai sarang pemberontak. Ia sendiri juga bangsa penyamun, mengapa begitu memandang rendah kepada kaum pemberontak? Apalagi keluargaku itu bukan bangsa pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu menjadi raja, kalau gagal menjadi perampok. Masakah hal itu saja ia tak mengerti. Ia paksakan tersenyum dan bertanya: Bilanglah, tentang hal apa? Ciu Ko, pangcu dari Kay-pang apakah masih kalian tawan? tanya Khik-sia. Oh, kiranya tentang hal itu. Jangan kuatir, bukankah tadi kau melihat di markas engkohku itu terbit kebakaran? Su Tiau-ing balas bertanya. Ha? Jadi kau tahu siapa yang melepas api itu? Apakah hubungan api itu dengan Ciu pangcu? seru Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa: Kau begini pintarnya, masakan tak dapat menerka? Api itu aku yang melepaskannya. Tempat yang terbakar itu adalah kamar tahanan Ciu pangcu.
Apa? Kau yang membakar? Apakah kau mempunyai ilmu Hun-sin-hwat (membagi diri)? Khik-sia berseru kaget. Su Tiau-ing menertawakannya: Apakah masih belum jelas? Benar aku tak punya ilmu hun- sinhwat, tapi toh aku punya budak kepercayaan? Si nona masih tetap tertawa: Lama sudah kuduga, bahwa lambat atau lekas, engkohku itu tentu bentrok dengan aku. Karena itu siang-siang telah kupesan orang-orang bila terjadi apa-apa harus lekas menyulut api. Pertama, agar Ciu pangcu jangan sampai jatuh ke tangan engkohku. Kedua, juga menguntungkan kita untuk lolos. Masihkah kau tak mengerti? Kalau begitu, Ciu pangcu juga sudah lolos? Sudah tentu. Memang sebenarnya aku tak berniat membunuhnya. Dengan susah payah kutawannya, masakan lantas gampang-gampang mau membakarnya mati? sahut Su Tiau-ing. Khik-sia seperti terlepas dari tindihan batu. Namun ia masih belum yakin, pikirnya: Agaknya nona Su ini menjadi otak dari engkohnya di dalam merencanakan sesuatu. Merancang tipu siasat, rupanya ia pandai sekali. Menawan Ciu pangcu itu, tentu juga ia yang mengatur. Tak terluput diriku yang ditawan dan dijadikan orang perantara untuk menyampaikan maksudnya kepada Thiat toako tentu juga buah pikirannya. Tapi mengapa mendadak sontak ia merubah haluan, melepaskan Ciu pangcu dan putuskan hubungan dengan engkohnya? Apakah kesemuanya itu untuk diriku semata-mata? Su Tiau-ing tertawa: Pertanyaanmu telah kujawab. Ciu pangcu tidak binasa. Seharusnya kau tak usah gelisah, tapi mengapa kau masih memikirkan apa-apa lagi? Apakah kau tak menyesal putuskan hubungan dengan engkohmu? tanya Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa menyahut: Aku sebenarnya berlainan ibu dengan dia. Ia telah berbuat khianat membunuh ayah kami dan telah menyebabkan ibuku meninggal karena marah. Coba kau pikirkan, apakah aku masih dapat menganggapnya sebagai engkoh lagi? Kalau begitu, sebenarnya kau sudah lama benci kepadanya? Tetapi, mengapa, mengapa .... Kau hendak menanyakan mengapa sebelum aku melarikan diri aku mau membantu engkohku itu, bukan? Tiau-ing menegas. Sebenarnya tak suka aku mengungkat urusanmu yang lama. Jika kau tak suka menceritakan, ya, sudahlah. Su Tiau-ing tertawa: Kutahu kau ini seorang anak lelaki yang kasar. Siapa nyana agaknya kau juga mengerti soal etiket (tata susila). Padahal sekalipun tak kau tanyakan, aku tentu akan memberitahukan padamu juga. Apa kau kira aku tulus ikhlas membantu engkohku? Hanya karena belum tiba saatnya, aku belum dapat melakukan pembalasan padanya. Kekuasaan engkohku lebih besar, anak buahnya lebih banyak dari anak buahku. Dari itu aku tak dapat sembarangan bergerak?! Kini teranglah Khik-sia, katanya: Kiranya kau memperalat Uh-bun-jui karena hendak memakai tenaga kaum Kay-pang untuk menghadapi engkohmu? Sebenarnya Khik-sia masih menahan sebuah pertanyaan lagi, yakni: Kau bersikap begitu juga kepadaku, apakah bukan serupa maksud tindakanmu terhadap Uh-bun Jui? Dengan tegas Su Tiau-ing menjawab: Benar, jika tak bermaksud menggunakan tenaga kaum Kay-pang, masakan aku sudi berkenalan dengan Uh-bun Jui. Sayang meskipun telah kugunakan bermacam jalan, namun ia tetap gagal menjadi pangcu. Dingin-dingin Khik-sia berkata: Akulah yang merusak usahamu itu. Kala itu jika aku tak muncul melawan kalian, kemungkinan besar Uh-bun Jui tentu sudah menjadi pangcu. Su Tiau-ing tertawa lebar: Memang kala itu aku benci benar-benar padamu. Tapi kemudian tidak lagi. Telah kunilai, meskipun Uh-bun Jui itu memiliki sedikit kepandaian, tapi ia tak dapat digembleng menjadi bahan yang bagus. Untuk mengangkatnya, juga sukar. Ada apa? Apa kau masih tak mau mengampuni dia? Aku tak punya sangkut paut dengan dia. Diberi ampun atau tidak itu urusan partai Kay-pang, sahut Khik-sia. Mata Su Tiau-ing berkeliaran. Dengan tertawa ia menatap Khik-sia, lalu berkata pelahan-lahan: Kukira kau masih mengandung permusuhan padanya.
Tidak, sebaliknya aku malah agak merasa kasihan padanya, kata Khik-sia. Sampai beberapa saat, Su Tiau-ing berdiam saja. Lewat beberapa saat lagi, barulah ia berkata lagi: Tentang bentrokanku dengan engkoh itu, memang suatu hal yang sukar dihindari. Hanya aku tak menyangka kalau secepat ini terjadinya. Aku belum siap betul-betul, sudah didesak harus mengadakan pilihan. Diam-diam tergetar hati Khik-sia, pikirnya: Kiranya kakak beradik itu diam-diam sudah mendendam permusuhan. Nona ini masih muda sekali umurnya, tapi ternyata hatinya amat besar. Pikirnya pula: Su Su-bing mati memang sudah selayaknya. Tapi tak seharusnya ia mati di tangan puteranya sendiri. Rupanya nona itu hendak membalas pada engkohnya, bukan semata- mata karena hendak menuntutkan balas kematian ayahnya. Katanya kepada Su Tiau-ing: Kalau begitu, lagi-lagi akulah yang merusakkan rencanamu itu, bukan? Tapi dengan begitu malah lebih baik. Hm, apakah kau suka membantu aku? tanya Su Tiauing. Telah kukatakan dari tadi, kau sudah menolong aku dan akupun juga sudah menolongmu. Kita tak usah merasa saling menerima budi. Besok apabila fajar sudah tiba, kita bakal sudah berpisah. Aku tak dapat membantumu, jawab Khik-sia. Dalam pada itu ia membatin: Kamu saling bunuh dengan keluargamu sendiri dalam hal itu aku tak boleh ikut campur. Su Tiau-ing tertawa: Aku belum bicara selesai. Bukan saja hanya membantu urusanku, pun bagimu juga ada kebaikannya. Kebaikan apa saja pun aku tak memikirkan, Khik-sia tetap menolak. Apakah setitik saja kau tak mempunyai cita-cita untuk melakukan suatu pekerjaan besar? tanya Su Tiau-ing. Kulihat dulu, pekerjaan apa? kata Khik-sia. Meskipun engkohku itu menderita kekalahan, tapi ia masih punya berpuluh ribu anak buah. Selain itu aku sendiri juga punya tiga ribu pasukan wanita. Mereka hanya mendengar perintahku saja. Engkohku tak punya kekuasaan untuk memerintah mereka. Tapi jika engkohku itu meninggal, sebaliknya aku dapat menguasai anak buahnya. Jadi kau mau hilangkan dia dan menggantinya? Tetapi hal itu tak ada sangkut pautnya dengan diriku. Telah kukatakan berulang-ulang, bahwa aku tak dapat membantu urusanmu, kata Khik- sia. Tidak, hal itu justeru ada sangkut pautnya padamu. Coba dengarlah. Aku juga tak menghendaki kau mewakili aku membalas sakit hati karena toh sekarang ini kau sudah 'putus arang' (hubungan yang tak mungkin balik lagi) dengan Ceng-ceng-ji. Kita pulang secara diam-diam. Pasukanku itu dapat menghadapi anak buah engkohku. Engkohku itu juga bukan tandinganku. Aku hendak melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Urusan itu tanggung berhasil. Yang kukuatiri ialah beberapa ko-chiu (jago lihay) yang diundangnya itu. Tapi diantara mereka itu, Hoan Gong siang jin terang berdiri netral. Dalam kalangan orang Kay-pang ada Ma-tianglo dan Uh- bun Jui, tapi Uh-bun Jui tak berani berbuat apa-apa terhadap aku. Yang masih perlu dikuatirkan hanya Ceng-ceng-ji seorang. Aku hanya minta padamu, jika Ceng-ceng-ji itu sampai merintangi, harap kau bunuh saja dia itu. Jika urusanku itu selesai, kuangkat kau menjadi raja! Seluruh anak buah engkohku akan kuserahkan padamu. Mendengar itu Khik-sia tertawa gelak-gelak. Mengapa kau tertawa? tanya Su Tiau-ing. Sahut Khik-sia: Kau salah memilih orang. Aku bukan manusia yang setimpal menjadi raja. Sejak dulu sampai sekarang, kerajaan mana yang tidak terdiri dari orang yang mempertaruhkan jiwanya, menang jadi raja, kalah jadi perampok? Apa kau kira seorang raja itu memang sudah ditakdirkan? Jawab Khik-sia: Setiap orang mempunyai cita-citanya sendiri. Karena kau bercita-citakan menjadi raja, nah, jadilah! Su Tiau-ing tertawa mengikik: Sayang, aku ini seorang anak perempuan. Khik-sia bersikap sungguh, katanya: Apakah seorang perempuan tak boleh menjadi raja? Apakah Bu Cek-thian itu bukan seorang kaisar wanita? Ia telah mengganti kerajaan Tong menjadi
kerajaan Ciu dan bukankah ia berhasil menikmati tahta kerajaan selama 19 tahun lamanya? Su Tiau-ing kerutkan sepasang alisnya. Biji matanya berseri-seri dan tertawalah ia: Kaisar Cek-thian itu seorang wanita yang pandai lagi berani. Kaisar Thay Cong saja tak lebih pintar daripadanya, mana aku dapat dipersamakan dengannya? Dan lagi jangan dilupakan bahwa kaisar Cek-thian itu juga mempunyai pembantu-pembantu yang jempol seperti Tek Jin-kiat. Khik-sia tertawa: Sayang aku tak mampu menjadi Tek Jin-kiat. Jika kau mau jadi raja, pilihlah lain Tek Jin-kiat yang dapat membantumu. Su Tiau-ing menunduk dengan rasa kecewa, tapi pada lain saat tiba-tiba ia tertawa lagi. Ha, kau tertawa lagi? seru Khik-sia. Aku hanya omong guyon kau lantas anggap sesungguhnya. Kau adalah seorang gagah, seorang pendekar, tapi takut berangan-angankan menjadi raja. Coba pikirkan, aku seorang anak perempuan mana berani tak tahu diri? Tadi hanya sekedar guyonan saja jangan kau anggap sungguh-sungguh. Pada hal ia mengatakan hal itu dengan tertawa untuk memulas maksudnya yang sesungguhnya. Benar-benar nona itu licin sekali. Katanya pula: Engkohku rasanya juga takkan lama menjadi raja. Tapi ia masih mempunyai puluhan ribu anak buah. Apabila orang yang pegang kekuasaan itu tidak bijaksana, akibatnya hanya akan membahayakan rakyat saja. Jika kau sendiri tak mau menindaknya, toh bukan suatu hal jelek jika kau suka membantu aku merobohkannya? Dengan begitu berarti bisa basmi perbuatannya yang merugikan kepentingan rakyat, bukan? Tergerak juga hati Khik-sia mendengar ucapan nona itu. Tapi segera ia berkata: Ini masalah kerajaan, tak perlu aku yang mengurusi. Rupanya Khik-sia sungkan untuk mengutarakan selanjutnya, bahwa Urusanmu aku tak mau turut campur. Su Tiau-ing putus asa, tapi tak mengentarakan. Tak mau ia unjukkan kepada Khik-sia. Lewat beberapa jenak, ia menatap Khik-sia dan tertawa: Ai, kau ini tidak itupun tidak. Habis kau mau jadi apa? Aku hanya bercita-cita menjadi orang seperti ayahku, jawab Khik-sia. Oh, kau ingin menjadi pendekar kelana? Yang menjadikan dunia ini rumah tinggalmu, yang akan menuntut keadilan bagi rakyat dunia yang tertindas? Atas pertanyaan itu, Khik-sia hanya ganda tertawa saja. Sikap itu dapat diartikan, secara diamdiam ia mengakuinya. Su Tiau-ing diam-diam menghela napas, katanya: Telah kukoreksi diriku sendiri, hati ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Aku ingin juga menjadi tokoh semacam itu, tapi kepandaianku tak mencapai. Tapi mungkin aku tetap tak dapat membiarkan engkoh berbuat kejahatan. Aku tentu harus membereskan urusan keluargaku dulu, baru dapat menurutkan citacitaku, bebas berkelana seperti burung yang bebas terbang di udara. Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, tak dapat dipaksa. Kau senang menjadi apa, tak usah kiranya berunding padaku, kata Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa: Sedikitpun kau tak menaruh perhatian pada urusanku. Bukan, aku justeru hendak bertanya padamu. Apakah semangatmu sudah pulih? Apakah luka di kakimu itu sudah sembuh? Apa besok sudah dapat lari? Baiklah sekarang kau beristirahat saja, kata Khik-sia. Su Tiau-ing bersungut-sungut: Inikah yang disebut 'perhatian'? Kau kuatir aku merepotimu saja. Baiklah, biar aku mati atau hidup tak perlu kau hiraukan. Bisa berjalan atau tidak, tak perlu kau pedulikan. Aku hendak tidur sekarang! - Ia lantas meramkan mata, tak mengacuhkan Khik- sia lagi. Meskipun Khik-sia tak punya kesan baik terhadap nona itu, namun tak tega juga hatinya untuk meninggalkannya seorang diri di dalam hutan dalam keadaan seperti saat itu. Diam-diam ia menghela napas, pikirnya: Perangai anak perempuan itu, memang sukar diraba. Jika menyalahi, tentu runyam. Untung kerunyaman itu hanya untuk satu malam ini saja. Besok pagi-pagi, kita sudah akan berpisah. Kelak belum tentu kita akan berjumpa lagi. Bencilah sepuas-puasmu,
biarlah. Karena kuatir kalau ada binatang buas datang, bukan saja Khik-sia tak menyingkir, malah iapun tak dapat tidur. Ia tak mau dekat, tapipun tak terpisah jauh dari nona itu. Ia mondar-mandir di bawah pohon, menjadi penjaga malamnya Su Tiau-ing. Berulang kali ia berpaling mengawasi nona itu. Beberapa saat kemudian rembulan makin tinggi, bintang-bintang bergemerlapan dan malam pun makin dingin. Su Tiau-ing pun rupanya sudah tidur pulas. Khik-sia berindap-indap menghampirinya. Lapat-lapat ia mendengar suara napas nona itu, bagaikan sekuntum bunga teratai yang tidur di bawah sinar rembulan, menyebarkan hawa nan harum. Serangkum angin berembus, tubuh si nona agak gemetar. Hati Khik-sia terkesiap, pikirnya: Dalam angin malam yang dingin, ia hanya memakai pakaian tipis, apakah tidak masuk angin nanti. - Tanpa terasa ia melolos bajunya lalu ditutupkan ke tubuh nona itu. Su Tiau-ing agak menggeliat, buru-buru Khik-sia menyingkir. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang halus tapi cukup jelas dalam telinga Khik-sia. Berbareng itu, tanpa ada angin sebuah biji siong jatuh mengenai jidatnya. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Cepat ia melolos pokiamnya dan gunakan ginkang it-ho-jong-thian (burung bangau menerobos langit), ia loncat ke atas pohon dan menusuknya. Memang ternyata di atas pohon itu bersembunyi seseorang. Hanya saja ketika Khik-sia menusuk, orang itu sudah menyelinap loncat ke lain pohon. Gerakannya luar biasa tangkasnya. Khik-sia hanya melihat sesosok bayangan saja, tapi siapa orangnya ia tak tahu sama sekali. Kejutnya makin menjadi-jadi. Pikirnya: Ginkangnya jauh lebih hebat dari aku. Jika orang itu suruhan engkohnya, sukarlah untuk menghadapinya. Setelah mengejar sampai tiga batang pohon, barulah orang itu melayang turun ke bumi dan melambaikan tangannya kepada Khik-sia. Serunya sambil tertawa: Turunlah, kita boleh omongomong di sini. Khik-sia terkesiap, keluhnya dalam hati: Ah, tolol benar aku ini. Seharusnya siang-siang aku ingat kepada suheng. Selain ia, siapa orangnya lagi yang memiliki ginkang sedemikian hebatnya itu? Kiranya orang yang muncul itu bukan lain adalah suheng dari Khik-sia sendiri, yakni Gonggong- ji. Walaupun sudah mengerti, namun pada saat itu Khik-sia tak enak hatinya. Mengapa suhengnya membawa ia jauh dari tempat Su Tiau-ing seolah-olah takut pembicaraannya nanti didengar nona itu? - Apa yang akan dikatakan sehingga tak mau didengar orang lain itu? pikirnya. Sudah beberapa tahun lamanya Khik-sia tak berjumpa dengan suhengnya itu. Sejak ayah bundanya meninggal, kecuali dengan Thiat-mo-lek, hanya dengan suhengnya itulah ia paling baik hubungannya. Sudah tentu pertemuan yang tak terduga-duga itu, ia merasa girang-girang terkejut. Walaupun mempunyai perasaan tak enak hati, namun ia tak mau mengurangkan kegirangannya itu. Suheng, mengapa tiba-tiba kau kemari? serunya dengan girang. Apalagi kalau bukan karena hendak menengok kalian. Sute, peruntunganmu sungguh besar! Gong-gong-ji tertawa. Selebar muka Khik-sia merah padam. Baru ia hendak membantah, Gong-gong-ji segera berkata dengan nada tegas: Memang paras cantik itu mudah memikat hati. Dalam hal ini tak dapat mempersalahkan kau. Hanya saja di kolong dunia itu banyak sekali gadis-gadis molek, tetapi mengapa pilihanmu jatuh kepada nona itu? Sute, dengar nasehatku, lebih baik jangan berhubungan dengan nona itu! Khik-sia gelagapan dan goyang-goyangkan tangannya, tapi mulutnya sukar untuk mencari permulaan pembelaannya. Akhirnya, ia hanya berteriak seperti orang kepedasan: Tidak! Tidak! Suheng, kau, kau salah paham! Gong-gong-ji gelengkan kepala: Ketika Ceng-ceng-ji mengatakan, bermula memang aku tak percaya. Tapi tadi aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apakah aku tak mempercayai mataku sendiri? Khik-sia kaget dan berseru: Ceng-ceng-ji membual apa di hadapanmu? Seketika wajah Gong-gong-ji tampak kurang senang, katanya: Ceng-ceng-ji tinggalkan
perguruan dan galang-gulung dengan kaum penjahat, memang tidak senonoh perbuatannya itu. Tetapi bagaimanapun dia adalah suhengmu, mengapa kau tak mengindahkan lagi padanya? Sampai panggilan 'ji-suheng' saja, kau sudah tak sudi menyebutkannya? Dan begitu bertanya kau lantas menuduh ia membual? Ceng-ceng-ji mau membunuh aku. Mengapa aku harus mengakuinya sebagai suheng lagi? bantah Khik-sia. Dia mau membunuhmu? Oh, kumengertilah. Tentulah karena kau tak mau mendengar nasihatnya maka ia lantas menggertakmu. Dada Khik-sia seperti mau meledak bahna marahnya, serunya: Suheng, tahukah kau tentang perbuatannya yang belakangan ini? Apa yang dia katakan padamu? Karena mendengar bahwa ia berada dengan Su Tiau-gi, maka baru aku datang menyelidiki. Ia sudah berjumpa padaku, tetapi ia mengatakan ia berbuat begitu karena terpaksa untuk kepentingan dirimu. Geli-geli jengkel Khik-sia dibuatnya, segera katanya: Mengapa karena diriku? Karena ia tahu kalau kau kena terpikat oleh nona siluman itu, setelah berulang kali gagal menasihati kau, barulah ia terpaksa menerima undangan Su Tiau-gi. Maksudnya tak lain karena hendak mengawas-awasi kau saja, agar jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang tak senonoh. Siapa tahu ternyata kau benar-benar melakukan hal itu. Kabarnya nona Su itu telah melarikan diri dengan kau, dicegah engkohnya tapi malah engkohnya itu ditusuk sampai terluka. Benarkah itu? Segala obrolan Ceng-ceng-ji itu bohong belaka. Suheng, mengapa kau percaya padanya? bantah Khik-sia. Gong-gong-ji kerutkan alisnya: Jadi kau katakan dia membohong? Tapi diam-diam aku telah menyelundup ke kamar Su Tiau-gi dan melihat dia memang betul-betul terluka. Benar, memang Su Tiau-gi dilukai adiknya itu, tapi sekali-kali bukan karena hendak melarikan diri dengan aku. Suheng, sayang siang-siang kau tak datang. Kalau tidak, tentu kau menyaksikan bagaimana aku bertempur dengan Ceng-ceng-ji. Kata Gong-gong-ji: Tidak melarikan diri? Mengapa kalian berdua bisa berada di sini pada malam begini? Hm, sebenarnya kau ini seorang anak baik, tapi karena persoalan seorang nona siluman kau lantas berubah begini jelek. Kau tak mau mendengar nasihat ji-suhengmu itulah sudah, tapi mengapa kau berkelahi padanya? Suheng, maukah kau juga mendengarkan keteranganku? saking bingungnya Khik-sia berteriak keras. Baik, bilanglah. Sejak kecil kau belum pernah berbohong kepadaku. Kini kau sudah dewasa, kuharap kau tetap seperti masa kecilmu itu, kata Gong-gong-ji yang dengan kata-kata itu seolaholah ia sudah tak begitu menaruh kepercayaan pada Khik-sia lagi. Tak enak sekali hati Khik-sia. Tapi teringat bagaimana pada saat itu ia berduaan dengan seorang nona dan pada saat ia menutupkan bajunya ke tubuh si nona, suhengnya itu kebenaran sekali telah melihatnya. Kalau Gong-gong-ji menganggapnya berbuat serong, itulah mudah dimengerti. Apakah aku atau Ceng-ceng-ji yang bohong, silahkan nanti suheng menilainya. Dan asal suheng suka menyelidiki tentu tak sukar untuk mendapat jawaban. Karena urusan Ciu pangcu, maka beberapa hari yang lalu partai itu mengadakan rapat besar. Entah apakah suheng sudah mendengar tentang hal itu, kata Khik-sia. Di tengah perjalanan, banyak aku berjumpa dengan kaum pengemis. Tentang rapat besar kaum Kay-pang, sudah lama kudengarnya. Tapi aku tak berminat mengurusi mereka. Tentang peristiwa apa yang menimpa Ciu pangcu mereka, apa hubungannya denganmu? Dengan mengandalkan pengaruh keluarga Su kakak-beradik, Uh-bun Jui melakukan pengkhianatan terhadap partainya. Ceng-ceng-ji menulang-punggungi Uh-bun Jui. Kala itu mereka telah melakukan sandiwara yang bagus. Pada saat itu kebetulan aku juga hadir. Aku tak setuju akan tindakan Ceng-ceng-ji sehingga terpaksa turun tangan membantu pihak Wi locianpwe. Demikian Khik-sia segera menuturkan semua kejadian, mulai dari peristiwa di Kay-pang,
kemudian sampai ia ditawan oleh Ceng-ceng-ji dengan obat bius, bagaimana Su Tiau-ing bentrok dengan Su Tiau-gi lalu lolos dari kepungan. Akhirnya ia berkata: Bukankah Ceng-ceng-ji mengatakan pada suheng bahwa ia terpaksa mau menerima undangan Su Tiau-gi karena hendak memata-matai perbuatanku dengan nona Su? Pada waktu Kay-pang mengadakan rapat besar, aku sama sekali tak kenal dengan Su Tiau-ing. Tapi Ceng-ceng-ji pada waktu itu sudah membantu pada Su Tiau-gi kakak-beradik. Peristiwa dalam rapat Kay-pang pada saat itu, disaksikan oleh ribuan anggotanya. Adakah aku yang bohong atau Ceng-ceng-ji yang dusta, mudahlah diketahui. Jadi kalau menurut keteranganmu, dalam rapat itu anak murid Kay-pang belum mengetahui bahwa Ciu pangcu mereka ditawan oleh kakak-beradik Su? kata Gong-gong-ji. Benar, mungkin begitulah, maka Ceng-ceng-ji baru berani berbohong padamu. Tetapi pada kala itu selain bertempur dengan Ceng-ceng-ji akupun berkelahi juga dengan nona Su itu. Jika siang-siang aku sudah ada hubungan baik dengan nona itu, mengapa aku merusakkan rencananya? bantah Khik-sia. Kini mulailah Gong-gong-ji tergerak kepercayaannya. Ah, tak kira kalau Ceng-ceng-ji sedemikian kurang ajarnya. Jika siang-siang sudah kutahu, tentu sudah kutangkapnya dan kuhukum dia suruh menghadap tembok sampai tiga tahun! akhirnya meluncurlah pengakuan Gong-gong-ji. Apakah ia sudah melarikan diri? tanya Khik-sia. Sebenarnya kuajaknya ia datang kemari untuk mencari kau. Tapi ia menolak dengan alasan tak enak meninggalkan Su Tiau-gi yang sedang terluka, karena ia sudah menerima penghormatan besar dari Su Tiau-gi itu. Nanti setelah Su Tiau-gi sembuh, barulah ia dapat pergi. Sekalipun begitu, karena ia merasa telah berdusta padaku dan takut kalau kutangkapnya, maka ia tentu sudah meloloskan diri, menerangkan Gong-gong-ji. Sebenarnya Gong-gong-ji itu masih ada setitik kecurigaan terhadap Khik-sia. Ia percaya bahwa Ceng-ceng-ji yang berbohong, tapi ia tetap belum percaya penuh kalau Khik-sia sama sekali tak ada hubungan apa-apa dengan Su Tiau-ing. Pikirnya: Kau benar pernah bertempur dengan dia (Su Tiau-ing) dalam rapat Kay-pang, tapi itu bukan suatu jaminan bahwa selanjutnya kau tak kena terpikat olehnya. Jika kau tak sayang padanya, mengapa kau begitu tekun menjadi penjaga malam dan menutupi tubuhnya dengan bajumu? Maka katanya kemudian: Kau tak terjerumus ke jalan sesat, itulah baik sekali. Bagaimanapun halnya, dara she Su itu jangan rapat-rapat didekat. Lebih baik kau lekas menyingkir dari dia, makin jauh makin baik. Khik-sia merasa agak jengkel tapipun agak geli juga. Pikirnya: Nona itukan bukan seekor ular berbisa, asal aku tak dekat toh sudah cukup. Mengapa harus begitu ditakuti? Namun sekalipun hatinya membantah, tapi Khik-sia tak mau adu bicara dengan suhengnya lagi. Katanya: Harap suheng jangan kuatir. Besok pagi-pagi aku tentu berpisah dengan dia. Akupun tak mau memperdulikan urusannya lagi. Gong-gong-ji mengangguk, tetapi ia bertanya pula: Kau hendak pergi kemana nanti? Lebih dulu aku hendak kembali melapor pada Kay-pang, setelah itu baru menuju ke Tiang-an, kata Khik-sia. Khik-sia mengiakan: Benar, yang melepas api ialah anak buah dari nona Su itu. Api berkobar besar sekali, apakah di tengah jalan kau tak melihat cahayanya? Ketika tiba, api baru mulai merangsang. Cahaya api sudah tentu kulihatnya tapi, huh, tapi sedikit aneh, kata Gong-gong-ji. Apanya yang aneh? tanya Khik-sia. Kata Gong-gong-ji: Ciu pangcu, Ma tianglo, Uh-bun Jui dan lain-lain orang Kay-pang, aku kenal semua. Tapi ..... -- Sampai disitu Gong-gong-ji hentikan kata-katanya. Baru Khik-sia hendak menanyakan mengapa suhengnya itu mendadak berhenti bicara, begitu ia mendongak, dilihatnya Su Tiau-ing tengah berjalan menghampiri mereka. Dingin-dingin nona itu menegurnya: Gong-gong-ji, bilakah kau datang? Mengapa tak memberi tahu padaku? Apa yang kalian suheng dan sute berdua omongkan secara bersembunyi di
belakangku itu? Bolehkan aku mendengarinya? Pikir Khik-sia bahwa suhengnya tentu akan marah, ternyata meleset. Dengan ramahnya Gonggong- ji menyahut: Jangan curiga, nona Su. Karena kau tidur, maka aku tak berani mengganggumu. Karena sudah beberapa tahun tak berjumpa dengan suteku ini, maka kami saling menuturkan pengalaman masing-masing, sekali-sekali tidak ngerasani kau di belakangmu. Dengan tawar Su Tiau-ing berkata: Benarkah? Tapi, Gong-gong-ji, aku tak terlalu percaya padamu. Khik-sia bilanglah, bukankah suhengmu mengatakan sesuatu tentang diriku? Khik-sia tak biasa berbohong. Tapi karena Su Tiau-ing bertanya begitu, iapun tak mau menjawabnya. Pikirnya: Suheng mengatakan kau ini seorang perempuan siluman, tapi tak mau kuberitahukan padamu. Maka sahutnya: Kau sudah tahu dia adalah suhengku, sudah tentu kami suheng dan sute banyak sekali yang dibicarakan. Tentang apa yang kita bicarakan, itu bukan urusanmu. Baik, rupanya kamu berdua suheng dan sute itu sudah saling bersepakat. Aku orang luar, tak boleh ikut campur. Tetapi, Gong-gong-ji, akan ada seseorang yang hendak mengurus dirimu. Dan orang itu segera akan tiba kemari. Memang kebetulan sekali kita berjumpa di sini, jangan kau ngacir dulu, lho! demikian Su Tiau-ing mencerocos. Nona Su, jangan membikin susah padaku. Aku masih ada lain urusan, ai, benar-benar ada urusan. Maaf, terpaksa harus pergi. -- Habis berkata, Gong-gong-ji pun segera melesat pergi, tanpa meninggalkan sepatah kata kepada Khik-sia. Pada lain kejap ia sudah lenyap dari pemandangan. Su Tiau-ing cibirkan bibirnya dan ketawa riang. Muncul dan perginya Gong-gong-ji itu sungguh di luar dugaan Khik-sia. Tapi cara ia pergi secara begitu mendadak, lebih mengherankan Khik-sia daripada ketika ia muncul tadi. Gong- gongji itu seorang manusia yang tak takut segala apa. Seumur hidupnya, kecuali terhadap suhu dan subonya, ia tak pernah tunduk kepada siapapun jua. Dahulu karena peristiwa diri Ceng-ceng-ji, ia pernah bertempur dengan Hong-kay Wi Wat, itu tokoh dari Kay-pang. Tapi heran, manusia yang tak punya takut itu kini ternyata lari terbirit-birit oleh beberapa patah kata Su Tiau-ing saja. Sungguh mengherankan sekali! Dengan penuh tanda tanya, diam-diam Khik-sia menimang dalam hati: Siapakah yang dikatakan oleh Su Tiau-ing itu? Pada masa ini tokoh-tokoh yang dapat mengalahkan suheng, hanya dapat dihitung dengan jari saja. Selain Bok Jong-long dari pulau Ho-siang-to di laut Tang-hay yang begitu jauhnya, mungkin hanya Kim Lun hwat-ong yang dapat menundukkan suheng. Lainlainnya, seperti Wi Wat, Mo Keng lojin dan Biau Hui sin-ni dan lain-lain, paling banyak hanya berimbang dengan dia. Sedangkan terhadap Kim Lun hwat-ong, suheng tak takut, masakan orang yang disebut Su Tiau-ing itu jauh lebih sakti dari Kim Lun hwat-ong itu? Su Tiau-ing tertawa: Suhengmu sudah lari jauh. Kukira ia tentu tak berani datang lagi. Mengapa kau masih mengawasi terlongong-longong saja? Bahwa tadi aku telah mengganggu pembicaraan kalian berdua suheng dan sute, sungguh aku merasa menyesal. Ha, aku sendiripun tak menyangka sama sekali bahwa Biau-chiu Gong-gong-ji begitu berjumpa padaku lantas lari terbiritbirit begitu rupa. Khik-sia tak dapat tiada berpikir: Sudah lama sekali suhengku termasyhur namanya, maka pambeknyapun tinggi. Ia muncul pergi tanpa terduga. Terhadap kaum rendahan, bagaimana ia mau meladeni? Nona Su ini masih muda umurnya, pun puteri dari Su Su-bing yang paling dibenci oleh suheng. Tapi mengapa ia kenal pada suheng? Dan keheranan hatiya itu segera disalurkan dalam sebuah pertanyaan: Nona Su, bilakah kau kenal pada suhengku itu? Mengapa suheng tak pernah mengatakan padaku? Amboi, belum pernah mengatakan? sahut Su Tiau-ing, Bukankah tadi di belakangku ia mengomongkan tentang diriku? Tergerak hati Khik-sia. Teringat tadi sikap suhengnya kala menasehatinya supaya jangan bergaul rapat dengan Su Tiau-ing. Ditilik naga-naganya, agaknya Gong-gong-ji itu memang sudah kenal dengan nona itu. Hanya saja mengapa ia begitu ketakutan terhadap nona itu? Kata Su Tiau-ing pula: Aku tak peduli apa yang kalian berdua bicarakan tadi. Kaupun tak usah
menghiraukan bagaimana aku kenal padanya. Pokoknya, kau takut pada suhengmu, tetapi aku tak takut sama sekali kepadanya. Sejak dulu Khik-sia selalu mengindahkan kepada suhengnya. Mendengar kata-kata Su Tiau-ing begitu, ia tak enak hatinya. Bagus, memang sebenarnya kita bukan sekaum maka tak perlu menghiraukan urusan masingmasing. Aku cukup akan bertanya padamu, apakah sekarang kau sudah sembuh sama sekali? Dapatkan kau berjalan seperti biasa lagi? Su Tiau-ing kerutkan alis dan menyahut: Ya, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Aku sudah sembuh. Kala itu rembulan sudah remang di ufuk barat. Fajar segera akan menerangi bumi. Kata Khiksia: Baik, sekarang kita akan berpisah. -- Ia terus ayunkan langkah pergi. Hai, mau kemana kau? Apakah bukan hendak melapor pada kaum Kay-pang? tiba-tiba Su Tiau-ing meneriakinya. Hm, bukankah telah kita katakan, kita tak boleh mengurusi urusan masing-masing? Aku hendak pergi kemana, perlu apa kau ingin tahu? sahut Khik-sia yang tanpa berpaling kepala lagi terus melangkah maju. Dari belakang kedengaran Su Tiau-ing tertawa: Sebenarnya aku malas untuk bertanya urusanmu itu. Aku hanya kuatirkan apabila orang Kay-pang bertanya tentang diri Ciu pangcu, bagaimana jawabmu? Dari ucapan Su Tiau-ing yang mencurigakan itu, teringatlah Khik-sia akan sesuatu. Tadi ketika ia menceritakan kepada suhengnya bahwa Ciu pangcu sudah lolos, sikap suhengnya agak aneh, malah mengatakan 'aneh' juga. Sayang suhengnya belum sempat menerangkan hal itu karena keburu Su Tiau-ing datang. Bahwa sekarang Su Tiau-ing mengungkat lagi hal itu, kecurigaan Khik-sia makin besar. Tanpa terasa ia hentikan langkah dan berpaling bertanya: Nona Su, bagaimana maksudmu? Bukankah tadi kau mengatakan Ciu pangcu sudah lolos? Tentang hal itu? Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak, sahut Su Tiau-ing dengan nada yang tawar. Ya bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa tak tegas begitu? Permainan apa yang kau lakukan ini, ha? tegur Khik-sia yang sudah mulai sengit. Tempat tahanan Ciu pangcu sudah musnah terbakar api. Engkohku tak mengetahui di mana Ciu pangcu itu sekarang berada. Dengan begitu ia tak dapat mencelakainya lagi, kata Su Tiau- ing. Tidakkah hal itu berarti ia sudah lolos? Benar, jawab Su Tiau-ing sambil tertawa, memang kau tak usah menguatirkan keselamatan jiwanya lagi. Tapi ..... ia masih berada dalam cengkeramanku! Bahaya sih sudah tidak, namun 'lolos' tetap belum. Maka untuk pertanyaanmu tentang lolosnya atau tidak, aku hanya dapat menjawab secara dualistis (dua-duanya). Jadi sekali lagi kuulangi, boleh dikata ya boleh dikata tidak. Bukankah kau sudah mengatakan kalau sudah melepaskannya? Jadi kalau begitu kau hendak menipu aku? teriak Khik-sia dengan marahnya. Tapi dingin-dingin saja Su Tiau-ing menjawab: Pikirlah yang terang sedikit. Bilakah kuberkata aku sudah melepaskannya? Aku kan hanya mengatakan padamu tentang kusuruh budakku melepas api? Menuduh aku sudah melepaskan dia, itulah anggapanmu sendiri. Khik-sia ingat-ingat kembali dan benar juga ia tak mendengar kalau Su Tiau-ing itu mengatakan sudah melepas Ciu pangcu. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Buru-buru ia bertanya: Bagaimana kejadian ini yang sebenarnya? Tapi aku ingat, kau mengatakan kalau tak membakar Ciu pangcu! Memang tidak membinasakannya. Dan mengapa aku harus membinasakan? Membiarkan ia hidup, gunanya jauh lebih besar. Dengarlah, aku hanya memindahkan tempat tahanannya saja ke lain tempat. Tempat itu, kecuali aku dan dua orang budak kepercayaanku, siapapun tak tahu. Khik-sia menghela napas, serunya: Oh, kiranya begitu. Tapi meskipun ia tak berbahaya, mengapa masih ditahan lagi? Untuk itu aku tetap kuatir. Kay-pang mempunyai hubungan dengan aku, harap kau suka memberitahukan tempat tahanannya itu dan tolong berikan obat penyembuh
untuknya agar segera dapat menolongnya. Su Tiau-ing tertawa dingin: Bukankah kau sudah mengatakan kalau kita masing-masing tak usah saling minta pertolongan? Sejak saat ini, kau ke timur aku ke barat, kau tak pedulikan aku, aku juga tak menghiraukan kau? Khik-sia terlongong-longong, serunya: Ini ... ini ... janganlah kau begitu kelewatan sekali. Kay-pang mempunyai hubungan padamu, tapi tak punya hubungan apa-apa dengan aku. Karena kau menganggap diriku orang asing, mengapa sekarang kau hendak minta pertolonganku supaya bebaskan Ciu pangcu? Bukankah ini juga kelewatan sekali? dengan lidahnya yang tajam, Tiau-ing dapat membalas serangan Khik-sia. Debatan itu membuat Khik-sia tersipu-sipu merah mukanya. Sampai sekian lama ia tak dapat bicara. Sudahlah, bicaraku sudah habis. Bukankah kau hendak pergi? Mengapa tak jadi? Su Tiauing menertawakannya. Khik-sia tegak seperti patung. Ia tak dapat berkutik sama sekali. Baik, demi memandang dirimu, jika mau menjenguk Ciu pangcu, mari ikut aku ke Tiang-an, kembali Su Tiau-ing berkata dengan tenang. Khik-sia terkesiap, serunya: Menemui Ciu pangcu ke Tiang-an? Benar, telah kupesan kepada budak kepercayaanku, kalau terjadi sesuatu perubahan harus lekas-lekas bawa Ciu pangcu ke Tiang-an, sahut nona itu. Teringat bahwa hari pembukaan dari Eng-hiong-tay-hwe di Tiang-an itu sudah dekat, karena toh ia juga memang hendak kesana, akhirnya ia menerima baik tawaran nona itu. Demikian mereka berdua lalu menuju ke Tiang-an. Belum lama berjalan, tiba-tiba dari sebelah muka tampak ada dua ekor kuda mencongklang datang. Ketika dekat, ternyata penunggangnya seorang laki dan seorang wanita. Khik-sia terkesiap kaget. Kiranya kedua penunggang kuda itu bukan lain adalah Tok-ko U dan Tok-ko Ing. Memandang dengan terlongong-longong ke arah kedua pemuda itu, hati Khik-sia serasa seperti diinjak-injak oleh kuda mereka. Namun ia tak dapat menahan keheranannya juga: Ai, mana Yakbwe? Mengapa ia tak kelihatan bersama kedua kakak adik itu? Timbul pikiran semacam itu pada Khik-sia karena ia menuduh Yak-bwe itu sudah jatuh hati pada Tok-ko U. Kalau begitu tentulah kemana-mana selalu ikut. Siapa tahu, karena Yak-bwe lenyap, maka kedua kakak beradik itu menjadi sibuk tak keruan. Kepergian mereka kali ini tujuannya ialah hendak mecncari jejak Yak-bwe. Kepergian Yak-bwe malam itu meskipun sudah meninggalkan surat, tapi suratnya itu tak jelas maksudnya alias samar-samar. Yak-bwe hanya menulis 'urusan ini kelak tentu jelas sendiri, sekarang masih sukar untuk memberitahukan'. Kata-kata dalam surat Yak-bwe itu, makin menambah kebingungan hati kedua kakak adik tersebut. Sebagaimana diketahui, Tok-ko Ing tetap belum tahu bahwa Yak-bwe itu sebenarnya seorang gadis. Untuh jangan membuat sedih hati sang adik, dan karena ia sendiri juga kepingin mengetahui persoalannya, maka Tok-ko U mau menemani adiknya pergi ke Tiang-an. Mereka duga Yak-bwe tentu hadir dalam pertemuan besar para enghiong yang sudah makin dekat waktunya itu. Jika Yak-bwe tak datang, pun mereka akan dapat bertanya kepada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan besar itu. Dengan begitu, mereka yakin tentu akan berhasil menemukan jejak Yak-bwe. Saat itu kedua kakab adik she Tok-ko itupun juga melihat Khik-sia. Merekapun terkesiap dan serempak sama meraba pedangnya. Pikirnya: Ah, sungguh sial, mungkin akan bertempur dengan dia! Jarak kedua pihak makin lama makin dekat. Rupanya Tok-ko U lebih berpengalaman. Ia melihat Khik-sia tak bersikap bermusuhan. Tapi Tok-ko Ing yang melihat Khik-sia tetap berjalan di tengah jalan seperti tak mau menyingkir ke pinggir, diam-diam merasa kuatir juga. Pikirnya: Entah siapakah bangsat itu. Hm, ditilik ia berjalan dengan seorang nona cantik, rupanya ia bukan kaki tangan pemerintah. Kebanyakan tentulah bangsa pengganggu wanita. Sebaliknya Su Tiau-ing tak kenal dengan kedua kakak beradik itu. Kala melihat mata Khik-sia tak terkesiap memandang ke arah nona itu (padahal sebenarnya Khik-sia hanya curahkan
perhatiannya ke arah Tok-ko U saja) dan nona itupun terus menerus memandang pada Khik-sia juga (sudah tentu ini hanya menurut anggapan Su Tiau-ing sendiri), diam-diam marahlah Su Tiau-ing. Siapakah budak perempuan yang berani jual lagak di tengah jalan itu? Baik, biarkan kuolokoloknya, suruh ia menelan pil pahit, demikian pikirnya. Dalam pada Su Tiau-ing berpikir itu, kedua penunggang kuda itupun sudah tiba di sebelahnya. Rupanya ilmu menunggang kuda dari Tok-ko U masih belum mahir, hingga tak dapat menguasai congklang kudanya yang menerjang maju. Begitupun Tok-ko Ing yang sudah tak dapat menguasai kudanya menjadi gelisah. Buru-buru ia meneriaki Khik-sia: Hai, minggirlah! Kau hendak mengapa itu? Khik-sia gelagapan dan buru-buru berseru: Maaf, aku sampai lupa memberi jalan. -- Ia segera menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan pada kuda Tok-ko Ing. Tapi tidak demikian dengan Su Tiau-ing. Tiba-tiba ia tamparkan tangannya. Dua batang jarum bwe-hwa-ciam telah menyusup ke dalam paha kuda Tok-ko Ing. Sekali meringkik keras, kaki depan kuda itu segera menekuk ke bawah. Hampir saja Tok-ko Ing dilemparkan ke bumi. Memang sebenarnya Tok-ko Ing sudah berjaga-jaga kalau diserang senjata rahasia. Tapi tak menyangka sama sekali bahwa serangan itu datangnya dari Su Tiau-ing. Adalah karena sudah siap sedia sebelumnya, maka dengan cepatnya Tok-ko Ing sudah lantas mencelat ke udara. Dalam melayang turun, ia sudah gunakan jurus kim-eng-tian-ki atau burung garuda pentang sayap. Pedangnya dikembangkan di udara kemudian meluncur turun menusuk Su Tiau-ing. Tok-ko Ing adalah anak murid dari Kong-sun toanio. Ilmu pedang Kong-sun toanio itu tiada lawannya di dunia persilatan. Meskipun sucinya, ialah Li Sip-ji-nio yang memberi pelajaran padanya, tapi Tok-ko Ing sudah dapat menyakinkan dengan sempurna. Keruan Su Tiau-ing kaget. Nona yang tak dipandang mata itu ternyata memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Kalau ia agak ayal menyingkir tentu sudah dimakan pedang Tok-ko Ing. Sekalipun dapat menghindar, tapi karena diserang secara cepat oleh lawan, Su Tiau-ing tak sempat lagi mencabut goloknya. Tok-ko Ing menyerang secara kilat. Sekaligus ia sudah lancarkan tiga serangan. Setiap serangannya tentu mengarah jalan darah Su Tiau-ing yang berbahaya. Su Tiau-ing menjadi keripuhan dan terdesak dalam bahaya. Sebenarnya Khik-sia mendongkol kepada Su Tiau-ing yang cari gara-gara itu. Tapi demi melihat Tok-ko Ing menyerang dengan jurus-jurus yang hebat, ia kerutkan dahi. Kalau terus berlangsung begitu, terang Su Tiau-ing takkan sempat mencabut senjatanya dan kemungkinan besar tentu binasa di ujung pedang Tok-ko Ing. apa boleh buat, terpaksa ia akan turun tangan untuk memberi kesempatan Su Tiau-ing bernapas. Pada saat Khik-sia menengahi, Tok-ko Ing justeru sedang lancarkan jurus yang keempat yakni giok-li-tho-soh atau bidadari melempar tali. Tampaknya Su Tiau-ing sukar menghindar lagi. Tapi sekali jari tengah Khik-sia menjentik, cring .... pedang Tok-ko Ing kena dipentalkan ke samping. Kaget dan marah Tok-ko Ing bukan kepalang, dampratnya: Bangsat jahanam, aku mengadu jiwa padamu! Meskipun jelas dilihatnya bahwa tadi Khik-sia tak mengandung maksud bermusuhan sungguhsungguh, namun untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, Tok-ko U cepat putar kudanya. Tepat pada saat itu Khik-sia menjentik pedang Tok-ko Ing. Anak muda itu berdiri berhadaphadapan dengan adiknya, jaraknya amat dekat sekali, dapat menyerang apabila Khik-sia mau. Sudah tentu Tok-ko U terperanjat. Kuatir kalau anak muda itu akan berbuat jahat terhadap adiknya, tanpa banyak pikir lagi, Tok-ko U juga ikut-ikutan memaki: Bangsat, lihatlah passerku! Khik-sia hendak memberi penjelasan, tapi dua batang passer Tok-ko U sudah menyambarnya. Cepat Khik-sia ulurkan tangan untuk menyambutinya. Pada saat ia berhasil menjepit passer itu, pedang Tok-ko Ing pun sudah tiba. Khik-sia segera gunakan passer itu untuk menangkis. Tring .... passer terpapas kutung, tangan Khik-sia hampir turut terluka juga. Karena Khik-sia berdiri menghadapi Tok-ko Ing, jadi Su Tiau-ing berada di belakangnya. Tokko Ing mencekal sebatang pedang pusaka, sedang Khik-sia hanya bertangan kosong saja. Makin
dekat jarak mereka, makin berbahaya bagi Khik-sia harus tumplek seluruh perhatian kepada pedang pusaka si nona itu. Dengan begitu ia tak sempat memperhatikan Su Tiau-ing lagi. Tadi telah dikatakan bahwa Tok-ko U telah timpukkan dua batang passer. Yang sebatang dapat disambuti Khik-sia, tapi yang sebatang lagi yang memang diarahkan oleh Tok-ko U untuk Su Tiauing dan tak mampu disambuti oleh gadis itu. Memang lain Khik-sia lain Su Tiau-ing, karena kalah lihay daripada pemuda itu, jalan satu-satunya bagi Su Tiau-ing ialah menghindar. Tapi meski ia sebat sekali dapat menghindar, toh tak urung tusuk kondainya yang terbuat dari batu kumala kena dihantam jatuh oleh passer itu. Inilah yang dinamakan 'jangan suka mengganggu anjing tidur', atau jangan suka cari perkara yang berarti mengundang bahaya. Kejut dan marahlah Su Tiau-ing. Cepat ia sudah siapkan jarum bwe-hoa-ciamnya. Ia bermaksud hendak gunakan siasat seperti menghadapi Tok-ko Ing tadi, yaitu merobohkan kuda tunggangan Tok-ko U. Tapi tiba-tiba Khik-sia putar tubuhnya dan dengan pukulan biat-gong- ciang ia hantam jarum Su Tiau-ing itu sampai tercerai berai. Setelah deliki mata, Khik-sia lantas menyikut dan aduh .... begitu sang mulut mengaduh, tubuh Su Tiau-ing pun sudah terlempar sampai tiga tombak jauhnya. Padahal sikutan Khik-sia itu hanya dengan gunakan tenaga kaiu-kin atau ketangkasan. Sebenarnya Su Tiau-ing tak menderita kesakitan apa-apa. Ia menjerit tadi, karena sama sekali tak menduga akan tindakan Khik-sia. Tapi pukuan biat-gong-ciang yang dilepas Khik-sia tadi, memang menggunakan lwekang penuh. Ia pernah bertempur dengan Tok-ko U dan tahu kalau Tok-ko U tak boleh dibuat main-main. Apalagi anak muda she Tok-ko itu jaraknya masih 6-7 tombak jauhnya. Taruh kata Su Tiau-ing benar lepaskan bwe-hoa-ciam, pun Tok-ko U tentu dapat mengatasinya. Jalan pikiran Khik-sia ialah mencegah Su Tiau-ing memperbesar perkara. Itulah sebabnya ia hantam jarum bwe- hoaciamnya sampai berceceran. Sayang dalam kesibukannya itu Khik-sia tak sempat memikir jauh. Ia bermaksud baik terhadap Tok-ko U, tapi karena tak memperhitungkan akibatnya, malah menjadikan salah pahamnya. Pukulan biat-gong-ciangnya tadi tak berarti bagi Tok-ko U, tapi kudanya, ya, kudanyalah yang tak kuat. Bukan saja kuda Tok-ko U yang tengah lari itu berhenti dengan tiba-tiba, pun bahkan tersurut mundur sampai beberapa langkah. Kuda menjadi kaget dan melonjak-lonjak sehingga Tok-ko U hampir dilemparkan ke tanah. Maksud baik dari Khik-sia, menjadi percuma saja. Bahkan hal itu diartikan sebaliknya oleh Tok-ko U. Dengan murkan anak muda itu loncat turun dari kudanya. Sekali ia rangsangkan kipasnya, jalan darah yang mematikan di tubuh Khik-sia segera diserangnya. Ilmu tutukan kipas dari Tok-ko U, sebenarnya merupakan ilmu sakti dalam dunia persilatan. Tapi ia kebentur dengan Khik-sia yang memiliki ginkang jempol. Tanpa menghiraukan Su Tiau- ing lagi, Khik-sia segera kembangkan ginkangnya untuk berlincahan kian kemari, naik turun menghindari tujuh buah serangan Tok-ko U. Jangankan kena, sedang menyentuh bajunya saja kipas Tok-ko U itu sudah tak mampu. Insyaf bahwa kepandaian lawan lebih tinggi dari dirinya, kini Tok-ko U menjadi kalap. Asal dapat menutuk saja, tak peduli apakah itu jalan darah yang fatal (mematikan) atau jalan darah yang tak berbahaya. Jadi ia menutuk asal menutuk saja. Kebencian Tok-ko Ing terhadap Khik-sia, jauh lebih besar dari engkohnya. Seperti engkohnya, sekali gebrak iapun sudah lancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Selain itu mulutnya terus nericis memaki-maki Khik-sia sebagai maling jahat. Menghadapi keroyokan kakak beradik itu, terpaksa Khik-sia keluarkan seluruh kebisaannya. Dalam pada itu, diam-diam ia mulai marah juga. Pikirnya: Taruh kata pihakku yang bersalah karena mengganggu kuda kalian, toh juga tak seharusnya kalian lantas menyerang secara begitu ganas. Sampai sekian saat, Khik-sia belum berhasil untuk membebaskan diri dari rangsangan kedua saudara itu. Akhirnya setelah berkutetan sekian lama, barulah ia memperoleh kesempatan itu. Ia menyelinap keluar dari samping Tok-ko Ing, sembari membentaknya: Berhenti!
Namun Tok-ko Ing sudah seperti orang kerangsekan setan. Ia terus menguber maju dan menusuk lagi: Bangsat, mau lari? Khik-sia tertawa dingin: Jika aku seorang bangsat, tentu tadi-tadi sudah kucabut nyawamu. Bukannya aku takut pada kalian, aku hanya memandang pada diri nona Su .... Siapa yang suruh kau memandang mukaku? Kedua bangsat kecil itu kurang ajar sekali, hajar sajalah mereka itu habis-habisan. Sedikitpun aku tak kasihan pada mereka! dengan serempak Su Tiau-ing sudah lantas menyahuti kata Khik-sia. Yang dimaksud oleh Khik-sia diri ' nona Su' itu, adalah Su Yak-bwe. Dalam mengucapkan katakatanya itu, hati Khik-sia amat ramah sekali. Siapa tahu, Su Tiau-ing sudah salah duga, mengira kalau dirinya yang dimaksudkan si anak muda itu. Sudah tentu Khik-sia menjadi meringis seperti monyet tertawa. Adalah Tok-ko Ing yang hampir mau meledak dadanya. Dengan lantang ia memaki: Kurang ajar, siapa yang minta kasihanmu? -- Pedang ceng-kong-kiamnya kembali merabu Khik-sia dalam hujan serangan sin-liong-jut-hay, leng-wan-hoan-ci, hian-niau-hwat-sat dan beng-ke-toh-li. Sekaligus ia lancarkan empat buah jurus yang semuanya mengarah jalan darah mematikan. Khik-sia tak mempunyai kesempatan untuk memberi penjelasan lagi dan lagi ia sendiripun tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Dalam penjelasan itu, tak urung ia harus mengatakan: Su Yak-bwe adalah calon isteriku yang batal. Kini ia tak mau padaku, tapi dengan masih memandang mukanya, aku tetap memberi ampun pada kalian. -- Ini runyam .... Tok-ko U lebih tenang dari adiknya, dalam pengalamannya iapun lebih banyak dari sang adik. Setelah mendengar kata-kata Khik-sia tadi, ia duga di situ tentu tersembunyi sesuatu. Belum lagi ia sempat merangkai dugaannya lebih jauh, Su Tiau-ing sudah menyelutuk tadi. Diam-diam Tok-ko U berpikir: Ah, kiranya nona siluman itu juga orang she Su. Kukira ucapan anak muda itu menyangkut diri Su hiante (Yak-bwe). Hm, lucu benar. Namun kecurigaan Tok-ko U masih tetap belum hilang sama sekali. Pikirnya pula: Dengan tanpa alasan, nona jahat itu menyerang Tok-ko Ing secara tiba-tiba. Anehnya mengapa bangsat kecil itu (Khik-sia) tak mengatakan karena 'memandang mukanya'? Dan rupanya bangsat kecil itu masih belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk bertempur. Setelah menutukkan kipasnya ke punggung Khik-sia, Tok-ko U tiba-tiba hentikan serangannya dan berseru: Siapakah kau ini? Kami tiada bermusuhan padamu, mengapa kau hendak memusuhi kami? Apa yang diucapkan Tok-ko U itu, hanya separuh bagian yang dimengerti Su Tiau-ing. Kiranya bukan saja Tok-ko U itu menganggap Khik-sia dan ia (Su Tiau-ing) itu sekawan, pun memandang serangan yang dilakukannya (Su Tiau-ing) itu juga berarti perbuatan Khik-sia. Lebih lanjut, Tok- ko U tetap mengira kalau perbuatan Khik-sia dulu menyelundup ke dalam rumahnya itu, tentu bermaksud jahat. Tapi Su Tiau-ing hanya tahu akan peristiwa saat itu. Sama sekali ia tak tahu menahu tentang peristiwa Khik-sia menyelundup ke gedung keluarga Tok-ko tempo hari. Sebenarnya Khik-sia hendak memberi penjelasan. Tapi karena ia tak tahu bagaimana harus memulai, maka walaupun mulutnya komat-kamit tapi tak keluar suaranya. Adalah Su Tiau-ing yang bermulut lancar, dengan sikap mengejek sudah lantas buka suara: Apakah kalian itu anak ayam yang baru pertama kali ini keluar dari kandang? Masakan pendekar muda Toan Khik-sia yang cemerlang namanya, kalian sudah tak mengetahui? Hm, apakah sekarang kalian masih berani kurang ajar padaku lagi? Apa? Benarkah kau Toan Khik-sia? teriak Tok-ko U dengan kaget. Saat itu Khik-sia merasa jengah dan mendongkol. Selagi Tok-ko U dan adiknya terkesiap, ia lantas gunakan gerak it-ho-jong-thian atau burung bangau menyusup ke udara, loncat keluar dari kepungan mereka. Di sana Khik-sia rangkap kedua tangannya memberi hormat: Urusan hari ini, adalah pihak kami yang bersalah, dengan ini kuhaturkan maaf. Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan terus menggelandang tangan Su Tiau-ing diajak pergi. Tindakan Khik-sia itu membuat Su Tiau-ing melonjak kaget, serunya: Hai, bagaimana kau ini? Tidak menghajar mereka, sebaliknya kau malah minta maaf? Dengan wajah keren Khik-sia mendengus dan berkata: Jangan membikin onar lagi! --
Ditariknya tangan si nona terus dibawa lari. Dicekal oleh Khik-sia erat-erat, mana Su Tiau-ing mampu berkutik. Kedua saudara Tok-ko saling berpandangan satu sama lain. Kemengkalan hati Tok-ko Ing masih belum reda, namun ia tak mau memaki-maki bangsat lagi kepada Khik-sia. Tok-ko Ing amat menyayang sekali akan kudanya itu. Walaupun kuda kesayangannya itu kena sebatang jarum bwe-hoa-ciam, ia duga tentu tak jadi halangan. Asal jarum itu lekas-lekas dikeluarkan dan kuda diberi obat seperlunya, tentulah akan sembuh. Apalagi ia selalu membawa batu sembrani untuk alat penyedot jarum bwe-hoa-ciam. Tapi alangkah kejutnya ketika ia menghampiri kuda itu ternyata binatang itu mulutnya mengeluarkan busa putih. Dan kalau dulunya kuda itu seekor kuda putih yang tegar, kini berubah menjadi seekor kuda hitam. Waktu sudah dekat, Tok-ko Ing tercium bau yang busuk. Itulah akibat dari kena jarum bwe-hoa-ciam yang beracun! seru Tok-ko U demi turut menghampiri. Kemarahan Tok-ko Ing tadi masih belum reda. Waktu mendengar keterangan engkohnya itu, berkobarlah lagi amarahnya itu. Betul-betul seorang wanita siluman yang ganas! Kurang ajar sekali, tanpa suatu alasan apa-apa ia sudah membunuh kuda kesayanganku dengan jarum beracun. Hm, Toan Khik-sia itu juga bukan orang baik. Tak peduli dia itu seorang pendekat kecil atau besar, pokok dengan galang-gulung bersama seorang perempuan jahat, ia tentu juga bukan manusia baik! nona itu memaki-maki untuk melampiaskan kemarahannya. Urusan ini memang agak aneh, kata Tok-ko U. Apanya yang aneh? tanya sang adik. Masih ingatkah kau kepada Sin-ciam-chiu Lu Hong-jun? tanya Tok-ko U. Tok-ko Ing merah mukanya dan bersungut: Perlu apa kau sebut-sebut namanya? Apa hubungannya dengan dia? Ah, jangan marah-marah dulu, toh aku belum selesai mengatakannya. Coba jawab, apakah kau masih ingat akan beberapa hal yang dikatakannya tempo hari itu? tanya Tok-ko U pula. Tentang apa? Bukankah ia pernah mengatakan tentang diri Toan Khik-sia yang katanya sudah mempunyai seorang tunangan, yaitu puteri angkat dari Sik Ko, ciat-to-su dari Lu-ciu. Dulu nona itu bernama Sik Hong-jun pula, bahwa nona Su itu juga seorang pendekar wanita. Tapi entah bagaimana, ia telah cekcok dengan Khik-sia terus lolos tak ketahuan tempat tinggalnya lagi. Kini Toan Khik- sia itu ubek-ubekan mencarinya kemana-mana. Benar, Lu Hong-jun memang pernah mengatakan begitu. Ai, kalau begitu, apakah nona jahat yang melepas bwe-hoa-ciam pada kudaku itu Su Yak-bwe? Lha, itulah makanya kukatakan kalau urusan ini agak aneh, kata Tok-ko U, Khik-sia berjalan bersama nona itu. Karena Khik-sia memanggilnya 'nona Su', teranglah kalau ia itu tentu Su Yakbwe. Jika mereka berdua sudah rukun kembali, biarlah, kita tak usah pedulikan. Tapi Su Yak-bwe itu seorang pendekar wanita dan seorang nona dari keluarga ternama. Mengapa tanpa suatu sebab ia membunuh kudamu dengan bwe-hoa-ciam? Ya, mengapa begitu melihat kami berdua, ia lantas bersikap memusuhi? Tidakkan hal ini aneh? Tok-ko Ing cibirkan bibirnya: Apa yang disohorkan orang tentang pendekar besar, pendekar kecil dan pendekar wanita itu, memang tak dapat dipercaya penuh. Siapa tahu kalau Toan Khik- sia dan Yak-bwe itu juga orang macam golongan begitu? Tok-ko U gelengkan kepala: Siapa yang tak tahu akan kemasyhuran nama Toan Khik-sia sebagai pendekar utama? Tentang Su Yak-bwe, walaupun tak setenar Toan Khik-sia, tapi Lu Hongjun pun mengatakan kalau ia itu seorang pendekar wanita, tentunya ia takkan berbuat hal-hal macam tingkah seorang perempuan siluman begitu. Tok-ko Ing tertawa menghina: Yang didengung-dengungkan orang itu adalah palsu, apa yang kita saksikan sendiri barulah tulen. Kalau mereka memang ternyata jahat, apakah kita tak mau percaya? Tapi masih ada lain hal yang mencurigakan. Jika dipikirkan, sampai sekarang aku masih belum mendapat jawabannya, kata Tok-ko U.
Apakah mengenai peristiwa malam itu? tanya Tok-ko Ing. Ya, benar. Tengah malam buta Toan Khik-sia menyelundup ke dalam rumah kita. Su toakolah yang pertama-tama mengetahuinya di dalam taman lalu menyerangnya. Itu waktu kita masih belum tahu kalau orang itu ternyata Toan Khik-sia. Kita hanya menduganya tentulah kaki tangan kerajaan yang mendapat tugas menangkap Su toako, kata Tok-ko U. Mendengar itu, mulailah timbul tanda tanya dalam hati Tok-ko Ing. Dengan seksama ia mendengari penuturan engkohnya. Setelah berhenti sejenak, Tok-ko U melanjutkan pula: Dalam hal itu ada tiga buah hal yang mencurigakan. Pertama, Su toako dan Toan Khik-sia itu sama- sama tinggal di markas Kim-ke-nia. Su toako sendiri pernah mengatakan bahwa sekalipun tak kenal baik, namun ia sudah kenal dengan Toan Khik-sia ketika berada di markas Kim-ke-nia. Tapi anehnya mengapa ia menyerang Toan Khik-sia dan memakinya? Kedua, sesuai dengan pribadi seorang pendekar seperti Toan Khik-sia, seharusnya ia menggunakan aturan untuk menjumpai kita. Anehnya lagi, mengapa ia harus menyelundup masuk pada tengah malam buta? Ketiga, setelah Toan Khik-sia pergi, mengapa Su toakopun lantas tinggalkan kita tanpa pamit? Entah kepergiannya itu dengan Toan Khik-sia, ada hubungan apa? Tok-ko Ing berdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata: Hal-hal aneh yang kau katakan itu memang sukar dipecahkan. Mungkin sebelumnya Su toako sudah tahu kalau Toan Khik-sia itu bukan orang baik-baik, maka ia tak mau mengenalnya. Tapi Tok-ko U gelengkan kepala: Belum tentu begitu. Jika benar ia tak mau kenal pada Toan Khik-sia, seharusnya ia mengatakan pada kita. Urusan ini hanya setelah kita bertemu dengan Su toako baru dapat dijelaskan, akhirnya hanya begitulah komentar Tok-ko Ing. Kata Tok-ko U lebih lanjut: Su toako orang she Su. Noan kawan Toan Khik-sia tadi juga she Su .... Wanita jahat macam Su Yak-bwe mana dapat disejajarkan dengan Su toako? Orang she Su, banyak jumlahnya. Sudah tentu ada yang baik ada yang jahat. Hm, aku sungguh tak puas, mengapa perempuan jahat tadi menyamai she Su toako, menyelutuk Tok-ko Ing dengan uringuringan. Di kala Tok-ko Ing mengucapkan kata-kata 'Su toako' itu, nadanya penuh dengan kemesraan. Mimpipun tidak kiranya ia, bahwa 'Su toakonya' itu ternyata seorang wanita. Dan makin jauh dari alam pikirannya bahwa 'Su toakonya' yang disanjung puji itu, bukan lain adalah 'si perempuan jahat Su Yak-bwe' itu sendiri ..... Sebenarnya Tok-ko U masih belum hilang kesangsiannya. Tapi karena Toan Khik-sia tadi tegas menyebut nona kawannya itu dengan panggilan 'nona Su', maka iapun keliru menduga Su Tiau- ing itu Su Yak-bwe. Karena itu, analisanya yang sudah hampir mendekati kebenarannya itu menjadi kalang kabut tak keruan lagi. ah, koko, sudahlah jangan dipikirkan lagi. Ayo, kita lekas-lekas ke kota membeli seekor kuda lagi, agar jangan sampai terlambat tiba di Tiang-an. Asal sudah bertemu dengan Su toako, segala apa tentu jelas, akhirnya Tok-ko Ing meneriaki sang engkoh yang termangu-mangu dalam dugaan itu. Pikir Tok-ko U: Jika Su Yak-bwe itu seorang lain lagi, dugaanku semula itu keliru semua. Su toako itu tentulah bukan seorang nona yang menyamar lelaki. Ah, semoga ia itu benar-benar seorang lelaki perwira, agar idam-idaman adikku itu terkabul. Walaupun bermula Tok-ko U menyangsikan bahwa Su toako itu seorang lelaki benar-benar, tapi selama itu belum pernah ia mengutarakannya kepada Tok-ko Ing. Tapi setelah terjadi peristiwa tadi, ia mulai menyangsikan 'kesangsiannya' tempo hari itu. Hal itu lebih-lebih ia tak berani mengatakan kepada adiknya karena kuatir ditertawainya. Ya, benar, hanya setelah bertemu dengan Su toako, kita baru mengetahui jelas persoalan ini, akhirnya ia menyetujui pendapat adiknya. Sekarang marilah kita tinggalkan kakak beradik she Tok-ko itu untuk mengikuti perjalanan Toan Khik-sia dengan Su Tiau-ing. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lari sejauh 6-7 li. Selama itu mereka tak saling bicara apa-apa.
Hai, apa kau hendak mematahkan tulang kakiku? Lepaskan tanganku, lepaskan tanganku! Su Tiau-ing menjerit-jerit. Khik-sia hentikan larinya dan lepaskan cekalannya. Tapi kembali Su Tiau-ing menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung hampir merubuhi dada Khik-sia. Hal itu bukan karena ia memang sengaja. Seperti diketahui, ia diseret lari oleh Khik-sia. Begitu tenaga penyeret itu dilepaskan, tubuhnya tentu kehilangan keseimbangannya dan lalu mau menjorok ke muak. Walaupun mendongkol namun tak tega juga Khik-sia mengawasi nona itu jatuh tersungkur. Cepat ia jambret nona itu supaya berdiri tegak. Setelah itu baru ia lepaskan tangannya lagi. Mengapa kau begini kasarnya? Coba lihat ini, lenganku sampai biru kau pijat! Su Tiau-ing mengomel. Dengan mendongkol Khik-sia menjawab: Siapa suruh kau tadi cari perkara? Hm, kalau lain kali begitu .... Su Tiau-ing kerutkan alisnya, menukas: Apa? Bukan saja hendak kuremas tulang lenganmu, pun akan kupatahkan kedua tanganmu nanti, kata Khik-sia. Sengaja Khik-sia berkata keras, agar cekcok dengan nona itu. Siapa tahu melihat ia marah sungguh-sungguh, Su Tiau-ing tak berani unjuk kekerasan kepala dan malah menghaturkan maaf: Baiklah, kali ini anggaplah aku yang kurang ajar berani menyalahi kawan-kawanmu hingga membikin kau marah. Kau marah-marah sebengis ini, lain kali aku tentu tak berani berbuat lagi. Karena sudah mengakui salah, kemarahan Khik-sia pun reda. Katanya: Memang kau yang salah, mengapa harus suruh 'menganggap salah'. Sekalipun aku tak kenal dengan mereka, tapi tak seharusnya kau berbuat begitu. Tiba-tiba mulut Su Tiau-ing tertawa mengikik: Sebenarnya akuun bukan tanpa alasan berbuat begitu. Huh, jadi kau mempunyai alasan? Orang berjalan baik-baik, apa mengganggu kau? Mengapa kau lepaskan bwe-hoa-ciam ke kuda mereka? Khik-sia mendengus. Sudah tentu aku mempunyai alasanku sendiri. Apakah kau mau mendengarnya? Bilanglah! kata Khik-sia dengan ketus. Su Tiau-ing jebikan mulutnya tertawa: Mengapa kau memandang tak berkesiap pada anak perempuan orang? Dan mengapa budak hina itu juga memandang terus menerus padamu? Aku tak senang melihat perbuatannya itu! Merah padam selebar muka Khik-sia mendengar kata-kata itu. Ia kerupukan, marah tak bisa, membantah tak dapat. Akhirnya ia hanya dapat membentak-bentak saja: Ngaco, ngaco belo! Sayang tadi aku lupa memberimu sebuah kaca cermin supaya kau dapat melihat, kata Su Tiau-ing. Huh, peduli apa kau? Aku memandanginya sekali atau dua kali, peduli apa kau? Su Tiau-ing tertawa: Ha, kiranya kau ini tak kenal susila. Aku ini kaum wanita, bukan? Kalau wanita lalu bagaimana? Kau berjalan bersama aku, tetapi mengincar gadis lain. Ini dikata tidak punya susila. Berarti kau menghina aku, tahu? Aku tak dapat menamparmu, maka mencari sasaran nona itu untuk melampiaskan kemengkalan hatiku, kata Su Tiau-ing. Pemutarbalikan Su Tiau-ing itu telah membuat Khik-sia bungkam. Pikirnya: Anak perempuan memang aneh. Sudahlah, sudahlah, aku tak mau adu mulut padamu. Khik-sia tak mau meladeninya lebih lanjut, tapi Su Tiau-ing tetap tak mau melepaskannya. Setelah berjalan beberapa langkah, ia bertanya pula: Siapa kakak beradik tadi? Kau katakan kenal, tapi mengapa mereka menanyakan siapa kau? Dan mengapa budak perempuan itu terus menerus memaki-maki kau sebagai pencuri? Mengapa ia begitu geram hendak membunuh kau? Bermula ia memandangku tanpa kesiap, kemudian tak henti-hentinya memakimu, hm, kau tentu pernah berbuat sesuatu yang menyalahi ia? Pertanyaan Su Tiau-ing menyebabkan hati Khik-sia merasa pilu lagi. Pikirnya: Ya, mengapa kakak beradik she Tok-ko itu benci sekali kepadaku? Sebelum kejadian tadi, mereka tak kenal aku ini siapa. Kalau mereka memaki-maki dan membenci aku, itulah disebabkan karena urusan Su YakKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ bwe. Yak-bwe memaki aku 'bangsat', mereka pun lantas ikut-ikutan memaki begitu. Ah, Yak- bwe, walau pun aku Toan Khik-sia mempunyai seribu satu kesalahan padamu, tapi kita toh pernah terikat dalam perjodohan sepasang tusuk kondai kumala. Mengapa kau begitu membenci padaku? Melihat si anak muda merenung diam. Su Tiau-ing tertawa kegirangan: Bagaimana? Katakataku itu tepat, bukan? Kau telah berbuat kesalahan apa kepadanya? Dirundung oleh kepiluan hatinya, sudah tentu Khik-sia tak bernafsu untuk banyak bicara. Apalagi ia anggap Su Tiau-ing itu bukan orang yang patut ia curahi perasaan hatinya. Maka iapun diam saja dan hanya menghela napas. Lewat beberapa saat kemudian, barulah ia dapat menjawab: Entahlah, aku sendiri tak tahu. Mungkin aku pernah berbuat salah kepada lain orang. Terserah saja bagaimana kau hendak mengatakan. Lagi-lagi mulut Su Tiau-ing mengikik tertawa: Apakah kau suka kepada nona itu? Jangan mengurusi perkara orang, bentak Khik-sia, Biar kukasih tahu padamu, aku tak suka kepada siapapun juga! Sungguh? Ah, sayang sekali! Sedikitpun kau tak mengerti hati anak perempuan, Su Tiau-ing menertawakan. Huh, jangan berkata yang tidak-tidak. Apanya yang disayangkan? kata Khik-sia. Nona itu mulutnya memaki kau bangsat, tapi hatinya suka padamu, mengerti? kata Su Tiauing. Khik-sia terkesiap dan membentak: Omonganmu makin lama makin melantur. Aku sama sekali tak kenal dengan nona itu. Ia begitu membenci aku, mengapa kau katakan suka? Su Tiau-ing tertawa: Kalau ia tak suka padamu, mengapa ia benci padamu? Makin ia benci, itu berarti ia makin merindukan kau. Apakah ini bukan menandakan ia suka padamu? Sedikitpun kau tak mengerti sehingga mengecewakan rasa kasih orang. Apakah itu tidak sayang sekali? Pikiran hati Khik-sia seperti terbuka. Ia kira kalau Su Yak-bwe itu sungguh sudah membencinya. Kiranya apa yang dikatakan Su Tiau-ing jauh sekali bedanya dengan jalan pikirannya. Diam-diam ia membatin: Benarkah hati seorang gadis itu begitu? Apakah kebencian Yak-bwe itu karena ia tak dapat melupakan aku? -- Pikirannya melayang-layang pada peristiwa yang lampau dan wajah calon isterinya itu terbayang-bayang di mukanya .... Sudah tentu Su Tiau-ing tak mengerti isi hati Khik-sia. Khik-sia berdebat tentang Tok-ko Ing, tapi ternyata hatinya mengenangkan Yak-bwe. Maka dugaan Su Tiau-ing pun tentulah kalau Khiksia itu mempunyai hubungan yang amat mesra dengan Tok-ko Ing. Demi melihat anak muda itu termenung-menung, diam-diam Su Tiau-ing pun merasa rawan. Kiranya rangkaian kata-katanya yang dibuat berdebat dengan Khik-sia itu, adalah untuk menjajaki apakah anak muda itu tahu akan perasaannya (Su Tiau-ing) kepadanya? Karena melamun, tanpa terasa Khik-siapun hentikan langkahnya. Tiba-tiba Su Tiau-ing berseru pelahan di dekat telinganya: Dan nona Su itu? Siapakah dia? Khik-sia terkesiap, serunya: Apa katamu? Su Tiau-ing tertawa: Kutanyakan siapakah nona Su itu? Apa? Jadi kau sebenarnya sudah tahu? Sudah tahu bahwa yang kusebut nona Su itu bukan kumaksudkan kau? Su Tiau-ing menyahut dengan tenang: Sudah tentu tahulah. Apakah kau kira aku tolol? Mana kau sudi memandang perasaan hatiku? Sudah tentu nona Su itu seorang lain lagi! Khik-sia mendongkol dan tersipu-sipu: Kalau sudah tahu, mengapa kau masih bingung dan mengira kalau dirimu? Su Tiau-ing tertawa getir: Kau memberatkan hubunganmu dengan nona Su, maka kau lantas bercidera dengan kakak beradik tadi. Tapi aku tak ada sangkut pautnya dengan mereka, maka memperolok-olokkannya. Mengapa? Apa kau tak suka hati? Mereka berdua hampir menghilangkan nyawaku, masakah aku tak boleh membalas? Diam-diam Khik-sia marah, namun tak mau ia menceritakan urusannya dengan Yak-bwe kepada Su Tiau-ing. Ho, sebenarnya kau suka yang mana? kembali Su Tiau-ing menggoda, Nona Su apa nona tadi? Hm, kulihat kau ini tak setia pada cinta, maka tak heran kalau orang marah-marah padamu.
Kau ngaco belo! bentak Khik-sia. Ngaco belo apa? Kau sendiri mengatakan kau tak punya kesetiaan hati? bantah Su Tiau-ing. Aku hanya mengatakan siapapun aku tak suka. Jangan tanya panjang lebar lagi. Hm, hm, jika masih ribut saja, aku aku ..... Kau mau apa? tukas Su Tiau-ing. Aku takkan peduli lagi padamu, kata Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa mengejek: Huh, siapa yang minta kau mengurusi diriku? Kau mau pergi, silahkan pergilah. Bukankah untuk kepentinganmu maka kau baru mau bersama aku ke Tiang-an ini? Pertama, kau tentu mempunyai kesempatan bertemu dengan kedua kakak beradik tadi. Kedua, karena kau tak mengerti isi hati seorang gadis, jika aku berada di sampingmu, tentu dapat memberi advis. Khik-sia tertawa meringis lalu memutus pembicaraan itu: Baik, aku tak mau bicara lagi padamu. Ayo, kita lekas berjalan. Sejak ini jangan membicarakan hal itu lagi. Walaupun mulut Khik-sia mengatakan begitu, tapi dalam hatinya ia masih tetap mengenangkan urusannya dengan Yak-bwe. Sebentar ia merasa heran 'mengapa Yak-bwe tak bersama-sama dengan Tok-ko U?' -- Sebentar lagi ia bertanya pada diri sendiri 'apakah karena terkenang padaku maka Yak-bwe benci padaku?' Kemudian sebentar lagi ia berpikir, 'Kepergian kedua engkoh adik ke Tiang-an itu, tentulah hendak hadir dalam rapat Eng-hiong-tay-hwe. Ya, memang aku mempunyai kesempatan berjumpa dengan mereka nanti. Meskipun sekarang Yak-bwe tak ikut, tapi tentulah ia sudah berjanji dengan kedua saudara itu untuk bertemu di Tiang-an.' -- Pikiran itu telah menyebabkan hatinya ingin lekas-lekas mencapai Tiang-an. Sekarang mari kita meninjau keadaan Yak-bwe. Seperginya dari rumah keluarga Tok-ko, hatinya merasa kecil. Tak tahu kemana harus mencari jejak Khik-sia. Akhirnya dalam kegelapan pikiran itu, ia teringat akan Sip In-nio. Pikirnya: Cici in itu lebih banyak pengalaman dari aku. Baik aku kesana minta advisnya, mungkin ia dapat memberi petunjuk. Demikian ia bergegas-gegas ayunkan langkah menuju ke tempat Sip In-nio. Pada hari itu ia tiba di sebuah kota kecil. Dari tempat kediaman In-nio, kota itu hanya terpisah kira-kira setengah hari perjalanan. Yak-bwe merasa lapar lalu singgah di sebuah warung yang letaknya di tepi sungai. Sebenarnya ia tak biasa minum arak, tapi karena pikirannya pepat ia hendak minum arak untuk melepaskan keruwetan hatinya itu. Sebelumnya ia periksa dulu isi kantongnya, setelah itu baru ia berani pesan ini itu. Seorang tetamu yang duduk di pinggir, rupanya memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Ia meliriknya tajam-tajam. Ketika Yak-bwe berpaling, dilihatnya orang itu seorang pemuda desa yang berbaju kain kasar. Dari sikapnya, menandakan ia itu seorang tolol, sama sekali bukan bangsa kaum persilatan. Yak-bwe tak pernah menaruh persangkaan apa-apa. Hanya ketika Yak-bwe berpaling tadi, buru-buru pemuda desa itu alihkan pandangannya. Teringat Yak-bwe akan pengalamannya ketika tempo hari di warung arak ia membayar dengan mas kim-to. Diam-diam ia merasa geli sendiri, pikirnya: Ah, sekali pernah digigit ular, lain kali kalau bertemu semak belukar tentu harus berhati-hati. Setiap kali aku masuk warung, tentu lebih dulu kuperiksa kantongku ada uangnya tidak. Ini memang lucu, tapi apa boleh buat. Pemuda desa itu tentulah bukan bangsa orang jahat. Pengalamannya di warung arak itu: karena membayar dengan kim-to ia telah kesamplokan dengan dua orang benggolan penjahat. Dan karena peristiwa itu kenallah ia dengan Tok-ko U. Terkenang akan peristiwa itu, ia geli tapi kemudian merasa berduka juga. Bayangan Khik-sia kembali terbayang-bayang di kalbunya. Dari Tok-ko U, ia kembali terkenang pada Khik-sia. Pertemuannya dengan Khik-sia di taman keluarga Tok-ko, terlintas lagi dalam kenangannya. Kata-kata Khik-sia yang meminta maaf kepadanya secara sungguh-sungguh itu, kembali mengiangngiang dalam telinganya. Bagaimana dengan rasa putus asa Khik-sia pergi, pun tak luput dari kenangannya. Diam-diam Yak-bwe menghela napas. Hatinya gundah dan menyesali dirinya sendiri: Ia begitu sungguh-sungguh kepadaku tetapi kuperlakukan ia begitu getas. Ai, seharusnya aku tak boleh bersikap demikian keterlaluan. Ah, Khik-sia, Khik-sia, tahukah kau bagaimana getaran hasratku untuk minta maaf padamu?
Karena kepekatan hatinya itu, tahu-tahu tanpa merasa ia sudah meneguk 5-6 cawan arak. Ia mulai mabuk. Ketika pikirannya melayang-layang dibuai oleh bekerjanya arak itu, tiba-tiba ada dua orang lelaki masuk ke dalam warung situ. Begitu berat langkah kaki kedua orang itu, hingga papan lantai sampai tergetar dan Yak-bwepun kaget dan tersadar. Bukan saja Yak-bwe, pun lain tetamu juga sama memandang ke arah kedua orang itu. Ternyata mereka itu, seorang hweshio dan seorang tosu. Orang pertapaan masuk ke dalam warung arak, itulah aneh. Begitu duduk, keduanya lantas pesan arak dan makanan barang berjiwa (daging) secara royal sekali. Diam-diam Yak-bwe mendamprat: Huh, memuakkan betul. Hweshio yang gemar makan daging minum arak, tentu bukan golongan baik. Habis itu ia lantas alihkan pandangan matanya, tak mau melihat mereka lagi. Tapi di luar dugaan, tanpa disengaja Yak-bwe telah mendengar pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa kang-ouw. Dulu memang ia tak mengerti, tapi setelah diajar oleh In-nio, Tok-ko U dan lainlain, kini ia sudah dapat menangkap walaupun belum seratus persen. Bermula ia tak begitu mengacuhkan tapi tiba-tiba terdengar hweshio itu berkata: Kalau bertemu dengan budak perempuan she Su itu, apakah to-heng bisa mengenalinya? Yak-bwe terkesiap, pikirnya: Siapakah yang dimaksudkan itu? Waktu masih kecilnya, aku pernah melihatnya. Tapi kebanyakan anak perempuan itu kalau sudah besar tentu berubah. Kalau sekarang bertemu muka, entahlah aku dapat mengenalinya tidak. Hanya saja, wanita yang lihay amat sedikit jumlahnya di dunia persilatan. Walaupun bagaimana juga, tentulah ia mempunyai ciri-ciri yang dapat kita gunakan sebagai tanda pengenal. sahut si imam (tosu). Berapakah umurnya sekarang? tanya si hweshio pula. Di antara 17-18 tahunan, jawab si imam, waktu kecilnya cantik, konon kabarnya ia sekarang lebih hebat lagi. Hweshio itu tertawa gelak-gelak, serunya: Aku tak peduli ia cantik atau tidak. Aku seorang pertapaan, tak ingin merusak kaum wanita. Cuma apa yang kau katakan bahwa ia berkepandaian tinggi itu, entah sampai dimana kelihayannya? Itu sih tak mengherankan, karena ia anak murid dari seorang tokoh kenamaan. Tentang siapa suhunya itu, meskipun belum pernah ketemu tapi rasanya kau tentu pernah mendengar namanya. Wanita tua itu benar-benar seorang tokoh yang jarang terdapat tandingannya. Oleh karena itu, sebaiknya kita harus berhati-hati dalam urusan ini, kata si imam. Tampak si hweshio itu kurang senang, katanya: Kau ternyata bersikap seperti anjing bercawat ekor (ketakutan). Terhadap seorang nona kecil saja kau ketakutan setengah mati. Apa peduli dengan suhunya yang lihay, apakah kita tak mampu mengatasi? Si imam tertawa: Jangan toheng marah-marah. Aku hanya bilang supaya kita berhati-hati dan sama sekali bukan jeri padanya. Dengan keangkeran nama partaimu Leng-san-pay itu, sekalipun suhunya keluar juga belum tentu dapat menang. Tapi daripada tambah sebuah urusan, kan lebih baik berkurang satu urusan. Bisa membuat supaya suhunya tak tahu, itulah lebih baik. Si hweshio menghirup secawan besar arak dan berkata: Nah, itu dapat diterima. Memang kita hanya diminta tolong menangkap nona itu saja. Jika dapat mengurangi urusan, sudah tentu itu lebih baik sekali. Tiba-tiba hweshio itu lirihkan (perlahankan) suaranya: Kabarnya nona itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang anak lelaki she Toan. Benarkah itu? Benar, justeru karena bertengkar itu, kukuatir apakah ia ikut melarikan diri dengan pemuda she Toan itu? kata si imam. Kembali si hweshio mengerut kurang senang, katanya: Tak usah kiranya kau banyak kekuatiran. Cukup kalau ada orang yang patut kau sangsikan kau terus bilang, tentu nanti aku yang turun tangan. Budak she Toan itu entah baik atau jahat, pokok akan kuringkusnya dulu, urusan belakang. Imam itu tertawa: Toheng, kau juga memandang rendah padaku. Meskipun anak she Toan itu lebih lihay dari budak tersebut, tapi sedikitpun aku tak gentar. Kukira anak she Toan itu belum
tentu bersama-sama dengan budak itu. Aku melainkan hanya mempertinggi kewaspadaan saja. Mengapa? Bukankah kau katakan budak itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang pemuda she Toan. Kemudian kalau budah itu melarikan diri, mengapa tak mungkin ikut pada pemuda itu? tanya si hweshio. Toheng, kau tahu satu tak tahu dua. Kabarnya budak laki itu sudah punya pacar lain, sahut si imam. Hweshio itu tertawa keras, serunya: Kalau begitu tindakan budak itu meninggalkan kenikmatan kedudukan, ternyata hanya memburu bayangan kosong saja. Ha, mendiang ayahnya yang sudah menjadi setan itu .... Toheng, minum, minumlah. Jangan sembarangan menyebut nama ayahnya itu, sekarang suasananya sedang genting, cepat-cepat si imam menukasnya dan kata-katanya yang terakhir itu diucapkan dengan berbisik-bisik. Sekalipun begitu, Yak-bwe tetap dapat mendengarnya dengan jelas. Makin mendengari, Yak-bwe makin terperanjat heran. Pembicaraan kedua orang pertapaan itu seolah-olahnya ditujukan kepadanya. 'Budak perempuan she Su' dan 'budak lelaki she Toan' yang dijadikan pokok pembicaraan mereka itu, siapa lagi kalau bukan ia dan Toan Khik-sia. Tapi Yakbwe merasa aneh akan beberapa hal yang diucapkan mereka itu tadi. Salah satu kalimat yang paling menusuk telinga, ialah tentang 'budak laki she Toan itu sudah punya pacar lain.' Entah benar entah tidak ucapan itu. Kalau benar, mengapa malam itu ia menumpahkan perasaan hatinya kepadaku? Ya, begitu sungguh-sungguh ia mengucapkan kata-katanya itu. Masakan dalam beberapa hari saja sekarang ia sudah mendapat lain gadis? Hal itu tak sesuai dengan keterangan si imam 'sudah lama'. Ah, urusan ini tentu salah urus, pikirnya. Tapi pada lain saat pikirannya membantah sendiri: Ada api tentu ada asap. Jika urusan ini hanya isapan jempol belaka, mengapa tersiar santer di dunia persilatan? Sampai pun kalangan penjahat juga mengetahui hal itu. Di samping hal-hal yang menyangsikan itu, masih ada lain hal yang menambah kesangsiannya menjadi makin kuat. Pertama, imam itu mengatakan kalau pernah melihatnya ketika ia masih kecil. Tapi betapapun Yak-bwe gali lubuk ingatanya, tetapi ia yakin kalau seumur hidup belum pernah bertemu dengan imam tersebut. Di tempat gedung kediaman ciat-to-su Sik-ko, tak pernah ada bangsa imam dan hweshio. Kedua, tadi si hweshio menyebut-nyebut 'mendiang ayahnya yang sudah menjadi setan'. Ini tentu menunjuk ayahnya (Yak-bwe) yang sudah meninggal dunia itu. Tentang asal-usul dirinya itu, kecuali hanya beberapa orang yang tahu, semua orang mengira kalau puterinya Sik-ko. Mengapa hweshio itu tahu kalau ayah sudah meninggal? Dan ayah itu seorang cin-su dari kerajaan Tay-tong. Beliau meninggal karena dicelakai An Lok-san. Pada masa An Lok-san jaya, memang tak boleh sembarangan menyebut-nyebut nama ayah. Tapi toh kini An Lok-san sudah hancur, mengapa tak boleh mengatakan nama ayah? Dan apakah yang dimaksud si imam bahwa suasana sekarang ini genting? Sebenarnya Yak-bwe itu seorang nona yang cerdas. Tapi terhadap soal-soal yang berbelit-belit, sepintas benar sepintas tidak itu, betapapun ia peras otaknya namun tetap tak dapat menemukan pemecahan yang memuaskan. Ya, memang dapat dimengerti kalau ia sampai bingung begitu. Karena yang dimaksud dalam pembicaraan kedua orang pertapaan itu bukan lain ialah Su Tiau-ing. Adalah karena Su Yak-bwe yang sudah mempunyai prasangka, maka 'budak perempuan she Su' itu dianggapnya tentu dirinya. Kebalikannya dikatakan oleh si imam dengan 'pacar budak she Toan' itu, dianggapnya lain gadis. Padahal, adalah dirinya itulah. Karena asyik mendengari, tanpa terasa Yak-bwe sampai hentikan sumpitnya, letakkan cawan araknya dan matanya terus diarahkan kepada kedua orang pertapaan itu. Sudah tentu sikapnya itu lekas menarik perhatian orang. Walaupun kala itu Yak-bwe berdandan sebagai seorang pelajar, tapi sebagai seorang kangouw yang berpengalaman, sepintas pandang tahulah mata si hweshio yang tajam siapa diri Yak-bwe yang sebenarnya itu. Kedua kaum agama itu saling memberi kicupan mata dan masing-masing saling berpikir dalam hati: Jangan-jangan budak perempuan ini sendiri, atau sekurang-kurangnya, ia tentu mempunyai
hubungan. Kalau tidak, tak nanti ia mendengari pembicaraan kita sedemikian asyiknya. Serempak hweshio dan imam itu berbangkit terus menghampiri ke tempat duduk Yak-bwe. Setelah memberi hormat si imam berkata: Siapa she siangkong yang mulia. Sukakah memberitahukan? Kalau si imam masih pakai aturan, adalah si hweshio lebih kasar lagi. Serentah ia menegur Yak-bwe: Hai, engkoh kecil, apakah kau she Su? Sudah tentu marahlah Yak-bwe. Bentaknya dengan keras: Aku tak kenal kalian, perlu apa tanya siapa she-ku? Hweshio itu terkesiap tapi pada lain saat ia lantas tertawa dingin: Kau tak sudi berkenalan dengan kami, baik. Sekarang jawablah, mengapa kau terus menerus mengawasi kami berdua saja? Mengapa kau mencuri dengar pembicaraan kami? Bagaimana kau tahu aku mengawasi kau? Di dalam rumah makan apakah orang dilarang melihat kau? Kau benar-benar tak tahu adat! bentak Yak-bwe. Tiba-tiba si pemuda desa yang duduk di dekat situ mengomel seorang diri: Hweshio yang minum arak makan daging, memang jarang ada. Tak heran kalau orang sama melihatinya. Kentut! Peduli apa dengan hweshio minum arak makan daging? Kau berani mengurusi Hudya, hai, babi kecil! si hweshio berseru marah. Buru-buru pemuda desa itu surutkan kepala dan mengoceh sendiri: Aku hanya mengatakan 'jarang ada' saja, apakah orang omong tidak boleh? Bagus, bagus, baguslah. Karena kau larang aku bicara, akupun takkan bicara lagi. Ah, mengapa suheng ladeni anak desa. Sebaiknya kita bicarakan urusan penting dengan si-cu ini dulu, buru-buru si imam mencegah. Kemudian ia berkata kepada Yak-bwe: Karena kedatangan kami, maka sicu sampai berhenti minum. Sekarang biarlah kupersembahkan arak padamu. -- Habis berkata ia lantas angkat poci arak dan terus hendak dituangkan pada Yak-bwe. Gerakan menyorong poci arak itu, termasuk sebuah jurus ilmu silat yang mengandung lwekang. Dengan itu ia hendak menjajaki adakah Yak-bwe itu mengerti silat. Kalau Yak-bwe pintar, seharusnya ia pura-pura kaget dan jangan menghiraukan. Dengan begitu, tentulah imam itu tak berani sembarangan melukainya. Tapi memang sejak tadi Yak-bwe sudah benci dengan tingkah laku kedua orang itu. Bahwa tiba-tiba dirinya hendak diguyur arak, sudah tentu ia marah sekali. Imam bangsat, jangan kurang ajar! bentaknya dan tutukkan sumpitnya ke arah jalan darah di tangan si imam. Sebenarnya imam itu lwekangnya lebih tinggi daripada Yak-bwe. Tapi karena gerakan Yak-bwe itu dilakukan amat cepat sekali, terpaksa imam itu tarik pulang tangannya. Namun tak urung tangannya terasa kesemutan dan terlepaslah poci itu dari cekalannya. Si hweshio kebetulan berada di sampingnya dan poci itu tepat sekali melayang ke arahnya. Meskipun tak tepat mengenai, tak urung ia meringis kesakitan juga karena kecipratan arak. Dengan murkanya ia menghantam. Kini poci itu terbang balik melayang ke arah Yak-bwe. Yak-bwe agak terkesiap, batinnya: Kedua hweshio jahat itu bermulut besar, tapi ternyata memang mempunyai kepandaian berisi. Takut tak kuat menyambuti hingga nanti menjadi buah tertawaan, buru-buru Yak-bwe menghindar saja. Brak, poci itu menghantam kaca jendela, terus melayang jatuh ke dalam sungai. Tapi araknya berhamburan kemana-mana, sampai Yak-bwe pun turut basah kuyub dengan percikannya. Sayang, sayang, poci arak baik-baik, terbuang dalam sungai, kedengaran si pemuda desa mengoceh sendirian. Si hweshio menggerung keras terus hendak mencengkeram Yak-bwe, tapi Yak-bwe cepat menyambutnya dengan tutukan sumpit. Krek, sumpit patah menjadi dua. Kiranya hweshio itu memiliki ilmu kim-ciong-oh dan thiat-po-san atau ilmu lindung yang kebal senjata. Sekalipun begitu karena tutukan sumpit Yak-bwe tadi tepat mengenai jalan darah tangannya, meskipun tak sampai rubuh, hweshio itu juga merasa sakit seperti ditusuk jarum. Saking sakitnya ia sampai loncat ke atas. Si imam biasanya selalu tenang. Karena tadi menderita kerugian kecil, untuk sementara waktu
ia hanya diam mengawasi di samping. Setelah menyaksikan Yak-bwe bertempur dengan kawannya (si hweshio), diam-diam ia merasa heran. Apakah yang menjadi keheranannya itu? Kiranya tutukan sumpit Yak-bwe tadi, belum mengenai lengannya. Ujung sumpit hanya baru menyentuh ujung bajunya, tapi anehnya ia rasakan lengannya sudah kesemutan sehingga tak kuat mencekal poci arak lagi. Dalam ilmu tutukan, yang paling lihay sendiri ialah apa yang disebut kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari kejauhan. Hanya orang yang sempurna lwekangnya, baru dapat menggunakan ilmu tutukan itu. Selain itu, masih ada pula lain macam ilmu tutukan yang tak kurang lihay, yakni tak usah menutuk tepat tapi dengan gunakan lwekang dapat menutup jalan darah orang. Ia duga Yak-bwe tentu memiliki salah satu dari dua macam ilmu tutuk yang hebat itu. Jarak ujung sumpit Yak-bwe dengan jalan darah di lengan si imam, hanya terpisah selembar kertas tebalnya. Jadi terang bukan termasuk ilmu tutukan kek-gong-tiam-hiat. Suatu keuntungan bagi Yak-bwe bahwa imam itu telah keliru menyangka kalau Yak-bwe memiliki kedua macam ilmu tutuk jalan darah yang lihay: kek-gong-tiam-hiat dan lwe-lat-pit- hiat (lwekang untuk menutup jalan darah). Karena persangkaan itu, si imam sudah tak berani sembarangan turun tangan dan mundur ke samping. Selama mengawasi permainan Yak-bwe tadi, ia telah melihat suatu lubang kelemahannya. Tapi tak urung ia makin keheranan. Jika Yak-bwe memiliki ilmu tutuk seperti yang diduganya itu, sekalipun hweshio memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh, pun tak nanti kuat bertahan. Tapi ternyata hweshio itu tak kena apa-apa, melainkan loncat berjingkrak-jingkrak, pula sumpit Yak-bwe pun patah dibuatnya. Jelas dilihatnya gerakan menutuk dari Yak-bwe tadi, meskipun hebat tapi kurang mahir, menandakan Yak-bwe itu masih trondol. Sudah tentu imam itu bingung memikirkannya. Pikirnya: Bagaimana ini? Apakah memang ia sengaja tak mau keluarkan kepandaiannya sungguh-sungguh? Tapi mengapa tadi sekali turun tangan kepadaku ia lantas gunakan ilmu tutuk yang hebat? Mari kita tengok kembali si hweshio. Ketika melambung di udara, dengan menggerung keras ia lantas menghantam dengan ilmu pukulan boh-pay-chiu. Dengan tangkasnya Yak-bwe berputarputar menghindar. Brak, bukan Yak-bwe yang kena melainkan meja yang terhantam jungkir balik. Melihat warung araknya dibuat medan perkelahian, si pemilik berkaok-kaok. Pun tetamutetamu lain, buru-buru menyingkir. Pukulan hweshio itu dahsyat sekali. Setiap kali ia memukul, anginnya menderu-deru, mangkuk piring pecah berantakan kemana-mana. Tring-tring, prang, prang .... Yak-bwe tetap gunakan ilmu kelincahan. Sebentar loncat ke atas meja, sebentar ke atas dingklik, mengusup ke bawah meja, menyelinap kesana memberosot kesini. Betapapun hweshio itu hendak umbar kemarahannya, namun tak dapat mengapa-apakan Yak-bwe. Yang nyata, pukulannya itu selalu mendapat sasaran meja, kursi atau mangkuk piring saja. Setelah mengikuti bagaimana selama bertempur itu Yak-bwe selalu menghindar dan sudah beberapa kali hampir saja termakan pukulan si hweshio, si imam mulai menarik kesimpulan bahwa memang Yak-bwe itu tidak pura-pura dan benar-benar bukan jago keras. Kini hilang kekuatirannya dan dengan tertawa ia berseru: Nona Su, berkelahi di dalam rumah makan sini, sungguh tak sedap dipandang. Lebih baik kita pergi ke lain tempat untuk berunding. Ternyata si hweshio dan si imam saat itu sudah yakin bahwa Yak-bwe tentulah Su Tiau-ing yang hendak dicarinya itu. Yak-bwe malu dan gusar sekali. Malah sehabis berkata imam itu sudah menerjangnya. Buruburu ia jumpalitkan sebuah meja untuk menahannya, kemudian segera mencabut pedangnya dan membentak: Berani maju selangkah lagi, pokiam-ku ini tak punya mata! Si imam tertawa: Pokiam-mu tak bermata, tapi aku punya mata. Habis berkata ia lantas kebutkan lengan jubahnya untuk menampar pokiam Yak-bwe. Berbareng itu si hweshio dengan menggembor keras sudah pentang kedua tangannya hendak merebut pedang Yak-bwe. Yak-bwe tusukkan pokiamnya ke tenggorokan si hweshio. Meskipun si hweshio punya ilmu lindung kim-ciong-toh, tapi tenggorokan adalah bagian yang dapat mematikan. Buru-buru ia sambar sebuah dingklik untuk menangkisnya.
Ternyata tusukan Yak-bwepun tak dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Begitu membentur dingklik, ia lantas putar arah menusuk si imam. Melihat gerakan ganti jurus itu dilakukan sedemikian cepatnya, diam-diam si imam merasa kagum. Pikirnya: Ilmu pedang budak ini jauh lebih hebat dari ilmu tutuknya. Sayang tenaganya masih belum memadai. Iapun tetap gunakan lengan bajunya untuk menampar, tapipun tak berani terlalu bernafsu hendak merebut pokiam Yak-bwe. Dengan ilmu kelincahannya dan dibantu oleh meja kursi yang malang melintang, ia mainkan pedangnya kian kemari. Dengan cara itu dapatlah ia melawan sampai 10-an jurus. Hweshio itu bertubuh gemuk. Meskipun ia memiliki ilmu gwakang yang hebat, namun ilmu lindungnya masih belum sempurna betul. Beberapa kali hampir saja ia termakan pedang Yak- bwe. Akhirnya marahlah hweshio itu. Ia lepaskan jubahnya dan berseru: To-heng, ayo, kita tangkap ikan. Ia mainkan jubahnya. Jubah itu berubah menjadi semacam awan merah yang mencangkup kepala Yak-bwe. Si imam tetap gunakan sepasang lengan bajunya untuk menampar. Setiap ada kesempatan tentu ia pergunakan sebaik-baiknya untuk melibat pedang Yak-bwe. Kepungan kedua orang itu makin lama makin rapat. Permainan pedang Yak-bwe pun mulai berkurang gayanya. Sekalian tetamu sudah sama ngacir pergi. Si pemilikpun juga sudah bersembunyi di kolong mejanya. Mangkuk piring pecah berantakan. Meja kursi sungsang sumbal, gederobkan tak hentihentinya. Ho, hendak lolos kemana kau? teriak si hweshio. Ia tetap perkeras permainan jubahnya yang mengancam kepala Yak-bwe. Tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh dan ada seorang mendekap paha si hweshio: Aduh, mati aku dipijaknya! teriak orang itu. Kiranya di ruangan situ masih ada seorang tetamu yang belum menyingkir. Orang itu bukan lain yakni si pemuda desa tadi. Marahlah si hweshio. Ia sepak pemuda desa itu sekuat-kuatnya sampai jungkir balik. Tapi pemuda itu sudah menggigit pahanya. Meskipun si hweshio punya ilmu lindung kim-ciong-toh, tapi tak urung pahanya kena digigit sampai berlumuran darah. Yak-bwe menghindari jaringan jubah si hweshio terus balas menusuk. Tusukannya itu tepat mengenai jalan darah ih-gi-hiat di perut si hweshio. Karena tusukan itu memakai tenaga penuh, maka akibatnya juga lebih hebat dari ilmu tutukan dengan jari. Betapapun hweshio itu seorang otot kawat tulang besi, namun tetap ia tak kuat menahan tusukan itu. Sekali menjerit, rubuhlah ia di lantai. Sewaktu ditendang jungkir balik tadi, si pemuda desa bergelundungan di lantai. Jatuhnya tepat menggelundung di samping si imam. Si imam segera angkat kakinya hendak memberi sebuah tendangan, tapi cepat pemuda desa itu mendekapnya sambil berteriak-teriak: Tolong, tolong! Karena dipeluk sekencang-kencangnya oleh si pemuda, hampir saja imam itu terjerembab jatuh. Sebenarnya kepandaian imam itu lebih tinggi dari si hweshio. Sekali kakinya diputar, pemuda desa itupun tak kuat mempertahankan dekapannya lagi, terpaksa ia lepaskan. Berbareng itu si imam cepat menendangnya. Pembunuhan, tolong, tolong! teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia jungkir balik dan terlempar keluar dari jendela. Sebenarnya tendangan si imam itu belum mengenai. Tapi entah mengapa, si pemuda desa sudah jumpalitan. Pada lain saat terdengar suara gedebuk yang keras. Rupanya pemuda desa itu terbanting jatuh sekeras-kerasnya. Masih Yak-bwe belum menginsyafi bahwa pemuda desa itu sebenarnya diam-diam telah memberi bantuan padanya. Ketika si pemuda menjerit-jerit minta tolong tadi, Yak-bwe menjadi gugup hendak menolongnya. Cepat ia tusuk si imam. Tadi beberapa kali pedang Yak-bwe kena disampok terpental oleh kebutan jubah si imam. Tapi kali itu sungguh aneh. Bret, lengan jubah si imam kena dipapas kutung. Dan ketika ujung pedang terus meluncur maju, lengan si imam tergurat luka sepanjang lima dim. Mengapa mendadak sontak si imam tak selihay tadi. Kiranya gigitan si pemuda desa yang menyebabkannya. Karena ujung kakinya digigit sampai terluka, bukan saja gerakan si imam itu tak setangkas tadi, pun tenaganya
menjadi berkurang. Jika saat itu Yak-bwe terus menyerang lagi, imam itu pasti binasa atau sekurang-kurangnya tentu terluka berat. Tapi Yak-bwe tak mau berbuat ganas. Ia hanya bermaksud memberi sedikit hajaran saja. Demi melihat kedua orang agama itu sudah pontang panting tak keruan, diam-diam ia sudah merasa senang. Kedua kalinya, ia tetap menguatirkan keadaan si pemuda yang terlempar keluar jendela itu. Maka setelah dapat melukai si imam, ia lantas tarik pulang pedangnya. Katamu kau punya mata. Tapi kulihat kau benar punya mata tapi tidak punya biji matanya. Jika lain kali berani kurang ajar lagi, apabila bertemu aku, tentu akan kukorek keluar biji matamu, kata Yak-bwe. Imam itu tahu kalau kepandaian lawan tak menang dengan dia. Tapi entah apa sebabnya, ternyata ia menderita kekalahan. Saking marahnya, dari tujuh lubang inderanya sampai mengeluarkan asap. Namun ia tak berani bercuwit lagi. Celaka adalah si hweshio gemuk. Ternyata ia menderita luka lebih parah. Ia tengah mengerang-erang menyalurkan jalan darahnya, sehingga tak dapat berkata-kata lagi. Baru Yak-bwe hendak melangkah keluar, tiba-tiba si pemilik warung menerobos keluar dari kolong mejanya dan menangis gerung-gerung. Kiranya ia sedi karena menderita kerugian besar, tapi ia tak berani minta ganti kerugian pada Yak-bwe. Ciang-kui sudahlah, jangan menangis. Nih, kuganti uang, kata Yak-bwe sembari mengeluarkan uang tembaga dan pecahan perak. Mendengar itu buru-buru si pemilik warung mengusap air matanya. Tapi serta dilihatnya Yakbwe hanya menyodorkan sejumlah uang tembaga dan pecahan perak, kecewalah ia. Serunya dengan terputus-putus: Tuan, ini, ini ..... Setelah mengatakan 'ini, ini', akhirnya ia beranikan juga untuk menerangkan bahwa uang Yakbwe itu masih belum cukup untuk mengganti kerusakan barang-barangnya. Diam-diam Yak-bwe geli sendiri: Ah, aku ini benar-benar limbung. Kali ini aku hampir merusakkan sebuah rumah makan, masakan hanya membayar dengan jumlah rekening makananku tadi. Akhirnya ia mengambil uang mas kim-tonya terus dilemparkan ke lantai, serunya: Ini emas murni, jangan kuatir kutipu. Cukuplah kiranya! Habis berkata ia lantas loncat keluar jendela. Melihat keroyalan Yak-bwe, imam dan hweshio tadi makin yakin kalau Yak-bwe itu tentulah Su Tiau-ing. Tampak pemuda desa tadi tengah berjalan di tepi sungai dengan langkah pincang. Hati Yak-bwe serasa longgar dibuatnya. Ia meneriaki pemuda desa itu: Hai bung, aku hendak menghaturkan maaf padamu. Dalam perkelahian tadi, aku telah membikin susah kau. Apakah kau terluka? Tidak, tidak apa-apa. Syukur Tuhan masih adil, tidak suruh aku menjadi makan ikan sungai. Hanya melecet sedikit saja dan terluka di bagian tumit kaki. Apa kau menang? Kiong-hi, kionghi, sahut si pemuda memberi selamat. Karena dapat berjalan, Yak-bwe menduga pemuda desa itu hanya terluka sedikit saja. Ia tak mau meladeni bicara lagi, terus mengeluarkan perak dan selembar sapu tangan serta obat. Katanya: Ini adalah obat kim-jong-yok yang jempolan, bubuhkanlah pada lukamu. Dalam dua hari saja tentu sudah baik. Dan perak ini, terimalah untuk ongkos keperluanmu. Mengingat selama dua hari nanti si pemuda tentu tak dapat bekerja, maka Yak-bwe memberinya sedikit ongkos. Ia duga pemuda itu tentu mau menerimanya dengan girang. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba wajah pemuda desa itu berubah. Serunya: Apa maksudmu ini? Apakah aku ini dianggap sebagai pengemis? Kemerah-merahanlah wajah Yak-bwe. Ia merasa serba salah apa mesti menyimpan kembali perak itu atau tidak. Kebetulan sekali saat itu ada seorang pengemis berjalan lalu di situ. Tiba- tiba si pemuda desa itu tertawa: Ya, sudahlah, mana perakmu itu, biar kuwakilkan kau memberi sedekah padanya. Diberi sekian banyak perak, pengemis itu melongo. Setelah tersadar, ia tersipu-sipu menyambutinya dan tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih. Perak itu kepunyaan tuan ini. Kau berterima kasihlah kepadanya. Ai, tubuhmu juga penuh
dengan luka-luka, ini, obat untukmu. Juga dari tuan itu, kata si pemuda desa. Yak-bwe tak dapat berbuat apa-apa kecuali tertawa meringis. Tanpa berkata apa-apa ia lantas pergi. Lewat beberapa jenak, keadaan menjadi hening. Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu: Hai, gerak gerik pemuda desa tadi sungguh luar biasa, pun wataknya juga aneh! Makin teringat akan pemuda desa itu, makin timbul kecurigaan. Tapi ketika ia berpaling ke belakang, ternyata pemuda desa itu sudah tak tampak bayangannya lagi. Sudah tentu Yak-bwe terbeliak kaget. Pikirnya: Kuejek imam tadi punya mata tapi tak punya biji mata. Ternyata aku sendiri juga salah lihat pada orang. Jika pemuda desa itu tak punya kepandaian tinggi, masakan ia tak sampai terluka parah dilempar keluar jendela begitu rupa? Ah, tak nyana aku kembali tak sengaja berbuat salah pada orang. Memang apa yang disesalkan Yak-bwe itu tepat sekali. Tapi iapun tetap masih belum insyaf bahwa adanya ia dapat memenangkan imam dan hweshio tadi adalah berkat bantuan secara diamdiam dari pemuda desa itu. Tengah hari lewat sedikit, tibalah sudah Yak-bwe di muka pintu gedung Sip Hong. Penjaga pintu yang sudah tua dengan keheranan mengawasi Yak-bwe, tegurnya: Kau hendak cari siapa? Yak-bwe tertawa mengikik, sahutnya: Ong tua, apakah kau tak kenal lagi padaku? Ai, kiranya nona Sik. Dalam dandanan begitu, apabila tak kau katakan, sudah tentu aku tak mengenal kau lagi, seru si penjaga pintu. Dahulu keluarga Sip dan Sik itu tinggal berdekatan. Sewaktu kecilnya, boleh dikata saban hari Yak-bwe tentu main-main dengan In-nio. Penjaga pintu tua itu sudah bekerja selama berpuluhpuluh tahun pada keluarga Sip. Ia mengikuti kedua nona itu dari kecil sampai berangkat dewasa. Maka sekali Yak-bwe buka suara, cepat ia sudah mengenalinya. Lo-ya sedang bepergian, tapi nona ada di rumah, sedang berlatih ilmu pedang di dalam taman. Mari kuantar kau ke sana, kata si penjaga. Tak usah, aku dapat kesana sendiri, sahut Yak-bwe. Ai, nona Sik, dalam dandanan sebagai pemuda, kau benar-benar tampak cakap sekali. Aku sampai tak mengenal kau sama sekali. Ah, sayang kau bukan pemuda sesungguhnya. Jika sungguh, tentu merupakan pasangan yang setimpal dengan nona majikanku, kata penjaga tua itu dengan bergurau. Yak-bwe girang karena penyaruannya itu telah dapat mengelabuhi mata pak tua itu, sahutnya: Jangan kuatir, nonamu itu sudah ada yang punya. Nona sudah mendapat jodoh? Mengapa aku tak tahu sama sekali? Sabarlah, nanti sedikit waktu tentu kau bakal tahu sendiri. Sekarang ini aku justeru hendak menjadi comblangnya, jawab Yak-bwe terus melangkah masuk. Tiba di taman, benar juga In-nio sedang asyik berlatih pedang. Dilihatnya sinar pedang In-nio itu berkelebatan pergi datang dengan cepatnya. Setiap kali pedang itu berkelebat, tentu meninggalkan percikan pedang berbentuk seperti taburan bunga. Ternyata In-nio tengah mainkan jurus hui-hoa-cui-yap atau bunga bertebaran memburu sang kupu-kupu. Jurus itu sebuah permainan dari ilmu pedang Hian-li-kiam-hwat. Apabila dilatih sampai tingkat sempurna, dapatlah dibuat memapas bunga tanpa merusak tangkainya sedikitpun juga. Dapat memapas sayap seekor kupukupu tapi tanpa menyebabkan kematiannya. In-nio belum dapat mencapai tingkatan itu, tapi sudah tak banyak terpautnya. Permainan pedang yang bagus! Yak-bwe memuji sembari menghampiri. Sebat sekali In-nio sudah tarik pulang pedangnya. Tapi iapun mengawasi Yak-bwe dengan pandangan yang lain dari biasanya. Hai,kau melihat apa saja? Apa kau juga tak mengenali aku? tegur Yak-bwe sambil tertawa. Lihatlah sendiri keadaanmu itu. Apakah kau barusan habis berkelahi dengan orang? seru Innio. Yak-bwe cepat menghampiri ke tepi empang teratai. Begitu melongok ke permukaan air, barulah ia tersadar. Katanya: Ah, makanya tadi pak tua penjaga pintu itu pentang mata lebar- lebar memandang aku. Kiranya rambut Yak-bwe kusut masai, pakaiannya kacau risau, banyak debu yang melekat.
Wajahnya tak keruan warnanya, banyak bekas-bekas noda arak, air kuah, kecap dan lain-lain. Yakbwe mendongkol tapi geli juga. Hm, pak tua itu memperolok-olok aku. Katanya aku ini seorang pemuda tampan, katanya. In-nio ambil sapu tangan, setelah dicelup air, ia lantas mengusapi noda-noda kotoran di wajah Yak-bwe. Ujarnya: Jangan buru-buru tukar pakaian dulu. Tuturkan ceritamu itu. Mengapa kau begitu nakal, sebelum datang kemari berkelahi dulu dengan orang? Ho, kau juga hendak memperolok-olok aku, ya? Bukan cerita yang baik, tapi menjengkelkan hati, sahut Yak-bwe. Ia lantas menuturkan kejadian yang dialaminya di warung arak itu. Aku tak kenal pada imam hidung kerbau dan si hweshio busuk itu, tapi entah bagaimana mereka itu hendak cari perkara padaku. Coba kau timbang, apakah itu tidak menjengkelkan? katanya. In-nio heran dibuatnya, tanyanya: Masa ada kejadian begitu, apakah kau tak salah dengar? Atau mungkin mereka mengatakan tentang lain orang? Meskipun aku tak paham seluruhnya akan bahasa kangouw, tapi aku dapat mendengarkannya dengan jelas. Coba pikirkan, mana di atas dunia ini ada seorang budak perempuan she Su yang galang-gulung dengan budak laki-laki she Toan itu? bantah Yak-bwe yang lantas menceritakan omongan si imam. Dalam bercerita itu, wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ah, hal itu benar-benar aneh. Siapakah yang membocorkan keluar? Mengapa dalam kalangan orang luar yang tak ada hubungannya sama sekali mengetahui bahwa kau tinggalkan rumahmu karena urusan Toan Khik-sia? In-nio tertawa. Malah mereka tahu juga akan sumber perguruanku dan tingkat kepandaianku. Tapi memang ada beberapa bagian yang tidak benar, kata Yak-bwe. Iapun menerangkan tentang hal-hal yang menimbulkan kecurigaannya kepada In-nio. In-nio memang lebih berpengalaman. Memang ia anggap dalam urusan itu tentu terselip sesuatu, tapi seperti halnya dengan Yak-bwe, iapun juga tak mengetahui tentang adanya seorang nona yang bernama Su Tiau-ing itu. Maka dugaannyapun, sama dengan Yak-bwe, yakni yang dimaksud si imam dengan 'budak perempuan she Su' itu, siapa lagi kalau bukan Yak-bwe. Dalam penuturannya itu, Yak-bwe sudah lupa menyebut tentang diri si pemuda desa. Ai, kau toh sudah memberi hajaran pada mereka, ini sudah cukup melonggarkan kemendongkolan hatimu. Rupanya mereka itu hanya bangsa jagoan kelas 2-3 saja. Masakan mereka berani mencari kau lagi. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi. Sekarang mari kita bicarakan soal Khik-sia. Sebetulnya kalian berdua ini bagaimana, ya? Dengan suara berbisik, Yak-bwe menyahut: Justeru aku hendak minta advismu .... Baru ia berkata begitu, tiba-tiba si penjaga pintu tadi bergegas-gegas mendatangi, serunya: Nona Sip, ada tetamu hendak minta bertemu loya. Waktu kuberitahukan kalau loya sedang pergi, ia lantas keluarkan karcis nama suruh aku berikan pada nona. Ia minta keterangan, apakah nona mau menjumpainyakah? Waktu menyambuti dan membaca karcis nama itu, In-nio berseru: Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun. Baik, silahkan dia duduk di ruangan tetamu. Sebentar aku ganti pakaian dulu. Yak-bwe tertawa mengikik. Hai, mengapa kau tertawa itu? tegur In-nio. Tahukah kau apa maksud kedatangan Lu Hong-jun kemari? Yak-bwe balas bertanya. Bagaimana aku mengetahui? Kalau begitu, rupanya kau tentu sudah tahu, bukan? Dia hendak menjadi comblang untukmu. Comblang datang, calon yang akan dipinang itu harus menyembunyikan diri tapi sebaliknya kau hendak menjumpainya. Lucu tidak ini? Kau memang pandai menggerakkan lidahmu. Masakan seorang pendekar muda dituduh menjadi comblang. Biar kutemuinya. Kebanyakan ia datang kemari karena kau. Kau telah menghina adiknya, ia tentu hendak mencarimu, sahut In-nio yang tak percaya akan keterangan Yak-bwe. Tidak, aku sungguh tak membohongimu. Lu Hong-jun dimintai tolong Thiat-mo-lek untuk melamar bagi Bo Se-kiat. Jika kau tak percaya, dengarkan saja bagaimana omongannya nanti. Sudahlah, jangan berolok-olok lagi. Lekas ganti pakaian dan ikut aku menemui tetamu itu,
tukas In-nio. Ah, aku bukan tuan rumah dan kedua kalinya, jika ada aku, ia tentu tak leluasa bicara, bantah Yak-bwe. Apa kau kuatir kalau ia sebenarnya hendak mencarimu? Baik, jika kau takut, biarlah aku sendiri yang menyambutnya. Aku tak mau terpengaruh oleh olok-olokmu tadi hingga sampai menelantarkan tetamu, kata In-nio. Yak-bwe tertawa: Ya! Memang, memang! Jauh-jauh orang datang hendak menjadi comblang, masakan tak disambut baik-baik. Lekas ganti pakaian dan tunggu di sini. Nanti aku hendak bikin perhitungan padamu, bentak In-nio. Setelah pesan seorang budak untuk melayani keperluan Yak-bwe, ia lantas ganti pakaian dan keluar menyambut sang tetamu. Yak-bwe pun lantas mandi dan berganti pakaian In-nio. Ternyata Yak-bwe itu lebih pendek dari In-nio. Bujang segera menyediakan pakaian In-nio yang dibuat pada dua tahun yang lalu. Ternyata ukurannya pas dengan Yak-bwe. Yak-bwe menunggu di dalam taman. Tak berapa lama kemudian, datanglah In-nio. Wajah nona itu agak berbeda dengan tadi. Kiranya benar apa yang dikatakan Yak-bwe kepadanya tadi. Hongjun telah membicarakan tentang diri Bo Se-kiat. Benar secara terang-terangan Hong-jun tidak menyatakan jadi comblang, tapi ia menuturkan tentang pertemuan dengan Bo Se-kiat dan Thiat- molek. Kemudian ia sampaikan salam Se-kiat kepada In-nio. Dalam pembicaraan selama itu, secara samar-samar Hong-jun menyatakan sudah mengetahui tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Pun tahu juga dia (Hong-jun) akan kemungkinan bahwa Sip Hong tak suka kepada Se-kiat. Selanjutnya Hong-jun menyatakan kesediaannya hendak membicarakan hal diri Se-kiat itu kepada Sip Hong. Nah, bagaimana? Kan aku tidak omong kosong doang? tegur Yak-bwe sambil tertawa. Heran, bilakah kau berjumpa dengan Lu Hong-jun itu? Mengapa tadi ia tak mengatakan sebaliknya malah menanyakan tentang dirimu? kata In-nio. Yak-bwe tetap tertawa saja: Aku bertemu padanya, tapi ia tak tahu kalau aku. Kejadian itu memang lucu sekali, nanti akan kuceriterakan juga padamu. Coba kau tuturkan dulu, apa saja yang ia tanyakan tentang diriku tadi? Kini ganti giliran In-nio yang tertawa: Dia juga membantu Thiat-mo-lek mencari jejakmu untuk kepentingan Khik-sia. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat juga sangat perihatin akan urusan kamu berdua itu. Kukatakan pada Lu Hong-jun bahwa kau sudah berada di sini dengan aku. Mendengar itu girangnya bukan kepalang. Ia mengatakan hendak lekas-lekas menyampaikan hal itu kepada Khik-sia dan Thiat-mo-lek, agar mereka terbebas dari kecemasan selama ini. Tadi sebenarnya aku berniat hendak memanggilmu keluar .... Aku sih tak suka menemuinya, sahut Yak-bwe. Itulah! Kutahu sudah bagaimana perangaimu. Menduga kau tentu tak suka menemuinya, akupun tak mengatakan hal itu juga, kata In-nio. Tiba-tiba Yak-bwe bertanya: Apakah ia tahu kalau baru hari ini aku tiba di sini? Tentang itu tak kuutarakan. Dengan Lu Hong-jun baru pertama kali ini aku bertemu muka. Waktu ia menanyakan dirimu, segera kuberitahukan kau berada di sini. Lain-lain hal aku tak mau mengatakan lagi. Mendinganlah. Kalau ia tahu baru hari ini aku tiba di sini, tentu ia menaruh kecurigaan. Diriku yang sebenarnya, tentu akan ketahuan olehnya, kata Yak-bwe. Ai, kau mainkan sandiwara apa saja? Mengapa kau takut dirimu ketahuan dia? tanya In-nio. Tentang diriku menyaru jadi pemuda itu, lho, kata Yak-bwe. Belum lama ini, aku berjumpa dengan Lu Hong-jun. Kuperhatikan kala itu ia sudah mencurigai diriku, tapi rupanya ia pun masih belum yakin betul bahwa aku ini seorang anak perempuan. Ia lalu menuturkan pengalamannya selama berpisah dengan In-nio. Bagaimana di tengah jalan terluka panah, bagaimana perkenalannya dengan Tok-ko U serta bagaimana pada suatu hari Lu Hong-jun datang berkunjung ke rumah Tok-ko U, diceritakan semua. Aku memakai nama palsu Su Ceng-to, berbohong mengaku salah seorang gagah dari Kim- keKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ nia. Tak kusangkah bahwa sebelum datang kesitu, Lu Hong-jun berjumpa dulu dengan Thiat- molek. Mungkin ia tentu merasa keteranganku itu sedikit mencurigakan. Tapi syukur, aku dapat mengatasi kesemuanya itu. Jika tadi ia tahu kalau baru hari ini aku datang kemari, mungkin ia tentu akan menghubungkan diri 'pemuda Su Ceng-to' itu. Dan diriku tentu bakal ketahuan. Habis mendengar, In-nio tampak kerutkan alisnya. Tegurnya: Perbuatanmu itu kurasa tidak tepat. Mengelabuhi mata Lu Hong-jun, itu sih tak mengapa. Tapi masakan kau juga mau menyelomoti Khik-sia juga? Tidak, siang-siang Khik-sia sudah tahu. Setelah Lu Hong-jun pergi, malamnya Khik-sia juga datang ke rumah Tok-ko U dan bertemu dengan aku, kata Yak-bwe. Bagus, bagus! Khik-sia tentu tahu dan apakah kau memberitahukan siapa dirimu itu kepadanya? Kupercaya ia tentu tak mencemburui kau. Kalian sudah berbaik, bukan? Celaka, karena kubikin marah, ia pergi dengan putus asa. Memang kala itu aku masih marah kepadanya, maka akupun tak mau berkata padanya. Waktu mendengar cerita Yak-bwe tentang pertemuannya dengan Khik-sia, In-nio bantingbanting kaki: Ai, mengapa kau berlaku kelewatan begitu? Yak-bwe menyatakan penyesalannya: Ya, sekarang aku sudah tahu kesalahanku. Jika nanti bertemu lagi, aku akan menghaturkan maaf padanya. Tapi entah sekarang ini dia berada di mana. Enci In, bagaimana adpismu? Apa sebaiknya cari dulu dianya, lalu kau katakan kepadanya. In-nio tertawa: Ya, enak saja kau mengomong. Dengan begitu tak perlulah kiranya kau minta maaf lagi kepadanya, bukan? Hanya saja, kau sudah membuat urusan itu kacau balau, dikuatirkan tak cukup dengan sepatah dua patah penjelasan dapat membuatnya mengerti. Mendengar itu angot pula perangai kaum siocia (gadis orang hartawan atau berpangkat) pada Yak-bwe. Ujarnya: Ya, aku memang berlaku kelewatan kepadanya. Tapi iapun juga berulang kali tanpa suatu alasan, menghina padaku. Kalau ditimbang-timbang, dua-duanya mempunyai kesalahan. Jika setelah kau nasehati, ia tetap tak mau menerima penjelasanku, akupun tak mengharap padanya lagi. In-nio tertawa: Ah, bukan begitulah. Tapi jawablah pertanyaanku ini. Apakah Tok-ko U pernah curiga padamu? Curiga apa? Curiga kalau aku ini seorang anak perempuankah? Kau tinggal hampir setengah bulan di rumahnya itu, tentunya setiap hari kau berjumpa padanya. Sebagai seorang yang suka berkelana dan banyak pengalaman, masakan ia tak melihat sedikitpun tanda-tanda yang mencurigakan pada dirimu? Dengan bangga, Yak-bwe menerangkan: Kepandaianku menyaru jadi pemuda, meskipun tak seperti kau, tapi rasanya lebih dari cukup untuk mengelabuhi mata kedua kakak beradik itu. Bukan saja kuberhasil mengelabuhi mereka, malah adiknya yang bernama Tok-koI Ing itu sudah jatuh hati padaku. Yak-bwe segera menceritakan tentang sikap Tok-ko Ing yang menyintainya itu. Sudah tentu dalam ceritanya itu, ia tambahi dengan bumbu secukupnya hingga In-nio tak kuat lagi menahan gelinya. Puas tertawa, berkatalah In-nio: Janganlah kau kelewat melanggar susila. Tidakkah perbuatanmu itu menyebabkan penderitaan seorang gadis? Nanti apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan memberi penjelasan padanya. Tapi pada waktu itupun aku hendak mengolok-olok Lu Hong-jun juga. Tahukah kau bahwa Lu Hong-jun itu sebenarnya juga akan meminang nona Tok-ko? Itu kan tak ada jeleknya, mengapa kau hendak mengolok-oloknya? Aku tak suka dengan adik perempuan dari Lu Hong-jun. Karena aku sayang akan Tok-ko Ing, maka aku tak suka kalau sampai ia mendapat ipar perempuan semacam itu. Gila, bila benar kau ini. Ia kan menikah dengan Lu Hong-jun, bukan dengan adik perempuannya. Sekalipun taruh kata kedua ipar itu tak rukun, toh tak ada sangkut pautnya dengan kau? Apalagi Lu Hong-jun itu seorang lelaki yang lapang dada, sekali-kali bukan orang busuk. Tak usah kau damprat, belakangan akupun tahu kesalahanku itu juga. Tadi kan telah kukatakan padamu, lambat atau laun aku tentu akan menjelaskan pada Tok-ko Ing. Hanya sekarang
ini belum tiba saatnya, ujar Yak-bwe tertawa. Sejak kecil In-nio sudah bergaul dengan Yak-bwe, jadi ia cukup kenal perangainya. Tertawalah ia: Saat yang kau pilih itu, terus terang saja tentulah setelah kau berbaik lagi dengan Khik-sia, agar jangan belum-belum apabila sampai ketahuan dirimu seorang anak perempuan, Tok-ko Ing akan mengutuk kau. Yak-bwe tertawa: Terhadap kau aku tak dapat menutup isi hatiku. Itulah makanya aku lekaslekas kemari, perlu minta adpismu. Dengan sungguh-sungguh In-nio berkata: Untunglah karena tak melihat penyaruanmu, Tok-ko U tak sampai merayu kau. Tapi halitu tak mengurangkan cemburunya Khik-sia. Apakah kau tak memikir sampai di situ? Yak-bwe terkesiap, serunya: Kau maksudkan Khik-sia akan mencemburui aku, aku .... Benar, ia mencemburui kau punya hubungan istimewa dengan Tok-ko U, tukas In-nio. Kurang ajar! Kalau ia benar mempunyai pikiran begitu, tandanya ia berhati serong sendiri, Yak-bwe menyeletuk sengit. Sebagai puteri dari pembesar tinggi, Yak-bwe biasa memandang segala hal secara subyektif atau menurut anggapannya sendiri. Itulah sebabnya maka ia tak memikirkan kemungkinan Khik-sia akan menaruh persangkaan jelek terhadap tindakannya di rumah keluarga Tok-ko. Mengapa menyalahkan Khik-sia? Andaikata aku, pun juga akan menaruh persangkaan begitu. Ketahuilah bahwa Tok-ko U itu termasuk golongan anak muda seperti kita. Dia jauh berlainan dengan 'putera manis' dari Tian peh-peh, bantah In-nio. Hm, kau masih mengungkat hal itu. Apakah tidak karena Tian-pepeh hendak memaksa kau menjadi menantunya, maka Khik-sia sampai marah-marah dan menghina habis-habisan padaku? Baik, jika karena peristiwa di rumah Tok-ko U itu ia sampai marah-marah lagi, biarkan sajalah, Yak-bwe makin sengit. In-nio menggeleng kepala, ujarnya: Apakah kau benar-benar hendak membikin dia marah? Kalau begitu, aku tak dapat mengurusi urusan kalian lagi. Wajah Yak-bwe berubah agak gelisah, katanya: Kelihatannya ketika ia tinggalkan aku, sikapnya amat sedih sekali. Maka, maka kemarahankupun berkuranglah separuh. Dengan menirukan gaya bicara Yak-bwe itu, In-nio berkata: Maka, maka kau pun lantas minta aku menjadi orang perantaranya. Jilid 9 Yak-bwe tertawa mengikik dan sandarkan diripada tubuh In-nio. Bisiknya: Siapakah Yang suruh kau menjadi ciciku? Aku sudah tak punya sanak kadang lagi, kalau tak minta tolong padamu habis minta tolong siapa?" Ucapanmu Yang menyajat hati itu, mau tak mengurus pun terpaksa harus mengurus. Baik, bangunlah," kata In-nio. Ia mengatur rambut Yak-bwe Yang terurai, kemudian berkata pula: Dalam pertengahan bulan ini, Cin Siang akan menjelenggarakan rapat besar kaum enghiong. Tentunya kau sudah mengetahui hal itu. Turut pendapatku, Khik-sia tentu akan datang untuk melihat-lihat. Taruh kata ia tak datang, pun disana kita tentu dapat bertemu dengan kawankawannya Yang bisa memberi keterangan." Kau artikan kita akan pergi juga? Tapi aku pernah bertempur dengan tentara negeri. Walaupun Cin Siang telah mengumumkan takkan menangkap orang-orang Yang pernah melanggar hukum, tapi kitapun tak boleh mempercajainya seratus persen. Dan jangan lupa, bahwa kita ini anak perempuan. ya, meskipun kita dapat menyaru sebagai anak lelaki dengan bagas, tapi ditempat dimana kaum persilatan Yang kasar sama berkumpul, rasanya gerak gerik kita tetap tak leluasa juga," bantah Yakbwe. In-nio menertawakan: Tak usah banyak kekuatiran. Hal itu telah kupikirkan semua. Aku dapat menjaminmu Ayahku sekarang sedang pergi ke Gui-pok. Nah, akan kuambil cap kebesarannya dan
kucapkan pada sepucuk surat keterangan. Kita akan menyaru jadi opsir sebawahannya Yang ditugaskan mengurus suatu pekerjaan ke Tiang-an. Siapa Yang berani mengganggu-usik pada kita lagi? Di Tiang-an, ayah mempunyai sebuah pesanggrahan. Kita tak perlu tinggal dihotel, tapi bermalam dipesanggrahan itu saja. Dengan selalu menjauhi kawanan orang persilatan itu, masakan kita takut apa lagi." Yak-bwe kegirangan dan menjetujui rencana itu. Jika berjumpa dengan Khik-sia, aku dapat memberi penjelasan padanya. Juga terhadap urusanmu dengan Tok-ko Ing, karena akupun kenal dengan kakak beradik she Lu, biarlah kuminta bantuan Lu Hong-jiu untuk menyampaikan halmu kepada Tok-ko Ing. Dengan demikian, dapatlah urusanmu itu dibebaskan." Yak-bwe makin girang dibuatnya. Mulutnya tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih. Tahukah kau mengapa ayahku pergi ke Gui-pok?" tanya In-nio. Bagaimana aku tahu?" sahut Yak-bwe. Ialah untuk urusanmu juga. Setelah kotak emas Tian pehpeh kauambil, ia menjad: ketakutan setengah mati. Bukan saja ia batalkan pernikahanmu itu. pun ia berjanji takkan mengganggu wilayah Lu-ciu lagi. Ia menyalakan mau menjadi serekat ayah angkatmu. Kepergian ayahku ke Guipok itu, ialah hendak menjadi orang perantara mereka. Ha, adik Bwe, kau sungguh hebat. Peristiwa kau merampas cap kebesaran Tian Pehpeh itu, kelak tentu bakal menjadi buah tutur Yang indah," kata In-nio. Jangan keliwat memuji setinggi langit," Yak-bwe tertawa, .......tentang kepandaian, aku tak nempil padamu. Ilmu permainanmu hui hoa-cu-tiap tadi, sampai membuat aku mengiler benar. Beberapa tahun aku belajar ilmu pedang, tetap tak mampu bermain sedemikian sempurnanya. Cici. dimasa kecil kau sering memberi petunjuk padaku, sekarang aku hendak minta petunjukmu lagi." Suasana pertemuan dan pembicaraan dgn In-nio itu, telah memberi banyak kegembiraan pada Yakbwe. Karena hari masih belum' gelap, ia lantas cabut pedangnya dan mainkan ilmu pedang hui-hoacu- tiap. la minta In-nio memberi petunjuk dibagian Yang masih kurang baik. Baru bermain sampai 10-an jurus lebih, tiba-tiba terdengar orang berseru: Ilmu pedang Yang bagus!" Cepat-cepat Yak-bwe hentikan permainannya. Dilihatnya di dalam taman muncul seorang pemuda. Dan pemuda Itu, astaga ........ kiranya sipemuda desa Yang dijumpainya dirumah makan itu. Pemuda itu tertawa berkata: Orang hidup tentu sering berjumpa. Sungguh tak nyana disini kita saling berjumpa lagi." Yak-bwe dekki mata dan membentaknya: Mengapa kau berani masuk kedalam taman Ini?" Tadi ketika diluar pagar, kudengar suaramu. Mengingat bahwa kau telah memberi persen aku setahil perak, ya. walaupun uang itu telah kuberikan pada pak pengemis, tapi aku tetap meiasa menerima sesuatu dari kau. Karena belum meniatakan terima kasih, maka aku masuk kemari. He, mengapa kau sekarang berubah menjadi seorang nona?" Walaupun Ya k bwe masih hijau pengalamannia, tapi pada saat itu, ia pun dapat merasa tingkah laku pemuda desa Itu bukan pemuda biasa. Cepat ia menghaturkan maaf: Tadi karena hilaf, aku telah memandang rendah padamu, maafkanlah. Tapi mengapa kau kenal akan ilmu pedang Yang kumainkan tadi?" Tertawalah sipemuda itu: Kau memberi persen perak, tetapi malah m'nta maaf, ini aku tak berani menerimanya. Ha. ha, aku hanya bahu mencangkul sawah saja, tak mengerti apa itu ilmu pedang atau ilmu golok"
Tapi mengapa kau berseru memuji?" tanya Yak-bwe. Karena selama hidup aku belum pernah melihat seorang nona bermain, pedang. Saking heran, tanpa terasa aku berseru memuji"," sahut sipemuda. Melihat orang berlagak pilon, Yak-bwe menjad: kuranp senang: Aku sudah minta maaf, tapi kau tetap hendak mengolok-olok ." Ia mendamprat dalam hati. Kau lancang masuk kemari, tetapi kubiarkan saja. Kau pun jangan mengurusi urusanku," ia menyelutuk. Kata-kata itu berarti menyuruh orang pergi. Tapi rupanya pemuda itu bandel sekali. Bukannya pergi, sebaliknya ia malah beringsut-ngsut menghampiri Yak-bwe. serunya: Ih, kata-katamu itu membingungkan aku. Bilakah aku menaurus: urusan nona?" Penyaruannya telah diketahui oleh sipemuda, Yak-bwe sudah kurang senang, tapi ia tak leluasa menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan urusan itu, ialah tentang hal itu. Sesaat hatinya bingung-bingung jengkel, tapi belum ia sempat meluapkan kejengkelannya itu, sipemuda itu sudah mengoceh seorang diri: Sebenarnya, orang Yang suka usil mengurusi urusan, juga bukannya tak baik. Tadi dirumah makan, jika tak ada orang Yang suka usilan, kurasa ah, nona ah. belum tentu menang dengan si imam busuk dan sikepala gundul itu." Tergerak hati Yak-bwe, diam-diam ia membatm: "Apakah diam-diam dia Yang membantu aku? Mengapa aku tak merasa sama sekali?" Baru ia menimang begitu, tiba-tiba In-nio kedengaran memaki seraya mencabut pedangnya: Berani lancang masuk kedalam tamanku, kau sungguh tak punya aturan sekali, ini rasakan pedangku!'' Berbareng dengan berkumandangnya kata-kata, orangnyapun sudah menyerang sipemuda dengan jurus giok-hi-joan-soh atau bidadari menyusup tali. Kejadian itu amat mengejutkan Yak-bwe. In- nio biasanya lebih sabar dari ia. Mengapa tanpa berkata sepatah pun jua, ia lantas menyerang orang. Bahkan serangannya itu menggunakan jurus Yang berbahaya. Benar Yak-bwe tak senang dengan pemuda itu, tapi ia belum sampai hati untuk menghajarnya sampai binasa. Tanpa terasa ia Segera berseru mencegah: Cici, cici, kau ......." Belum seruannya selesai, In-nio sudah lancarkan tiga kali serangan, sehingga Yak-bwe tak dapat meneruskan seruannya lagi. Tiga serangan berantai dari In-nio itu dengan indahnya telah dihindari oleh sipemuda. Jelas tampak oleh Yak-bwe, bahwa pemuda itu takkan terancam jiwanya. Diamdiam ia membatin: Kiranya orang ini lihay sekali dan hendak mengolok-olok kita." Pada lain saat ia berpikir lagi: Biasanya ci In itu sabar, tentu ada sebabnya ia sampai bertindak keras." Yak-bwe ambil putusan akan melihat dari samping dulu. Tak mau ia mencegah In-nio lagi. Dilihatnya setiap kali pedang In-nio menyambar, pemuda itu hanya menghindari dengan gerak langkah beringsut-ngsut . Beberapa kali pedang In-nio tampaknya sudahberhasil menusuk, tapi dalam jarak hanya seujung rambut saja selalu dapat dihindari oleh sipemuda. Kau berani menghina aku, ayo, loloslah senjatamu!" bentak In-nio. Habis berseru, tiba-tiba ia gantikan serangannya dengan jurus hong-biau-lok-hoa (angin meniup bunga berguguran). Jurus itu terdiri dari 7 buah serangan berturut-turut Yang sukar diduga isi kosongnya. Laksana bunga gugur, sinar pedang berhamburan jatuh menyilaukan kegelapan malam. Jurus itu merupakan timpalan dari ilmu permainan pedang hui-hoa-cu-tiap (bunga bertebar mengejar sang kupu-kupu). Diam-diam Yak-bwe malu pada dirinya sendiri. Ia pentang mata Lebar-lebar untuk melihat bagaimana sipemuda hendak melayaninya.
Aduh, celaka!" teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia tergelincir jatuh. Tapi baru Yak-bwe terkesiap kaget, dilihatnya pemuda itu dua kali berputaran ditanah, kemudian loncat berjumpalitan dan jaraknya dengan ujung pedang In-nio hanya sejari saja. Sepintas pandang, ia seperti terpontang-panting tapi sebenarnya ia telah mainkan gerak cui-pat-sian atau Delapan dewa mabuk, Yang indah sekali. Sebenarnya Yak-bwe jemu dengan, pemuda itu, tapi menyaksi-kan permainannya Yang sedemikian luar biasanya, mau tak mau ia berteriak memuji juga. In-nio juga tak kurang tangkasnya. Begitu tusukannya menemui tempat kosong, ia sudah susuk lagi dengan lain serangan. Rupanya pemuda itu tahu juga akan llhaynya ilmu pedang In-nio. Ja merasa jika melajani dengan tangan kosong, lama-lama tentu akan menderita juga ahirnya. Ketika In-nio kembangkan serangannya Yang kedua, tiba-tiba pemuda itu berseru: Karena tak dapat mengganti pedang dengan golok, terpaksa aku hendak gunakan kaju untuk melajani. Maaf, aku hendak merusak sebatang dahan pohon liu kepunyaanmu." Dalam berkata-kata itu,ia sudah memotes sebatang dahan liu, terus dimainkan. Dalam rangsangan pedang In-nio, daun-daun pada dahan pohon Yang dipakai sebagai sendiata oleh pemuda itu, berhamburan jatuh. Dalam sekcjab saja dahan itu sudah bersih menjadi sebatang tongkat. Anehnya, hanya daunnya saja Yang terkupas hilang, sedang batangnya tetap tak kena terpaKsa pedang In- nio. Kini pemuda itu mulai kembangkan permainannya. Dahan liu dimainkan dalam jurus permainan pedang. Ditangan sipemuda, dahan kaju itu berobah menjadi senjata Yang hebat perbawa-nya. Belum In-nio menghabiskan 7 jurus serangan berantainya, sudah kena disiak kesamping oleh dahan liu sipemuda. Diam-diam heranlah Yak-bwe. Bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi dari In-nio, itulah sudah terang. Tapi Yang lebih mengagumkan lagi, jurus permainan pedang dengan menggunakan dahan pohoa itu, juga luar biasa anehnya. Sampai sekian lama memperhatikan barulah Yak-bwe teringat, bahwa permainan pedang kayu sipemuda itu serupa dengan pertandingan pedang antara Thiat- molek dengan Bo Se-kiat digunung Kim-ke-nia tempo hari. Permainan ilmu pedang itu mengutamakan tenaga lwekang Yang tinggi baru dapat dikembangkan dengan baik. Walaupun hvekan pemuda itu cukup lihay, tapi terang kalau masih kalah dengan Thiet-mo-lek. Tempo hari Thiat-mo-lek gunakan pedang Yang berat, sedang pemuda itu kini gunakan dahan pohon Yang enteng untuk melawan pedang In-nio Yang berat. Ini juga bukan suatu hal Yang mudah. Oleh karena itu walaupun In-nio kalah dalam hal lwekang, tapi ia mendapat kemurahan dalam hal senjata. Permainan Yang d!imaiinikan In-nio, adalah ilmu pedang Yang paling diandalkan. Untuk menghadapi permainan pedang kayu dari sipemuda, ia memerluka waktu Yang agak lama. Begitulah Berselang beberapa saat, kira-kira setelah 20-an jurus lewat, pemuda itu mulai kendor permainannya. Berangsur-angur mulailah ia kalah angin. Diam-diam Yak-hwe girang: Kali ini rupanya ci In tentu akan memberi hajaran pada orang itu." Tapi kegirangannya itu mendadak berobah menjadi kekagetan ketika sekonyong-konyong dalam sebuah gerak menyongsong kemuka, dahan kayu sipemuda itu berhasil mendorong pedang In- nio kesamping. Kiranya gerak tamparan dari sipemuda itu juga menggunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang hui-hoa-cu-tiap. Bagusi" In-nio berseru seraya geliatkan pedangnya untuk lolos dari libatan dahan liu. Sret, sret, pedangnya berkilat kian kemari aksana kupu-kupu menari diantara bunga atau burung kenari menjusup kebawah daun. Isi kosongnya serangan itu sukar diduga sekali. Memang itulah jurus Yang disebut tiap-bu-ing-hui atau kupu-kupu menari burung kenari terbang.
Sambil memuji, pemuda itu putar dahan pohonnya berganti jurus ceng lo-siau-san, dahan liu dikiblatkan dan kakinya berlincahan. Gerakannya sungguh mirip dengan suasana Yang dilukiskan dalam sajak ceng-lo-siau-san-boh-liu-ing atau goyangkan kipas menangkap kunang-kunang: Indah sekali, ia pecahkan serangan In-nio. Jurus tiap-bu-ing-hui itu tak mengutamakan tenaga kekuatan. Dan memang Biau Hui Sin-ni telah menciptakannya kusus untuk wanita. Setiap gerakannya disesuaikan dengan keindahan gerak badan, maka bila dimainkan tak ubah seperti orang menari. Pemuda Yang mengenakan dandanan Seperti pemuda desa itu, dengan dahan kaju ikut menari- nari untuk menghalau serangan, sudah tentu gerakannya lucu sekali. Tapi dikarenakan luar biasanya jurus Yang dimainkan itu, maka dari merasa geli sebaliknja Yak-bwe malah mengikuti dengan penuh, perhatian. Pada waktu pertempuran mencapai klimaksnya, tampak bunga-bunga bertebaran gugur, suatu hal Yang lebih menyemarakkan suasana pertandingan. Pada lain saat pemuda itu juga menggunakan permainan ilmu pedang Yang serupa dengan In-nio. Pada saat itudah segera terdapat keseimbangan kekuatan. Dahan liu dimainkan tepat seperti sebatang pedang. Sedemikian mahir pemuda itu memainkannya sehingga dapat mengembangkan inti keindahan ilmu pedang, jari lemah gemulai laksana ujung tangkai itu, sigap beringas bagai burung hong kaget. Setiap jurus penuh mengandung perobahan-perobahan Yang sukar diduga. Yak-bwe tersensam sekali, ia begitu terpesona sekali ia sampai lupa soal kaiah menangnya. Pikirnya: Kiranya ilmu pedang dari suhu itu, mempunyai banyak perobahan Yang indah." Setelah mengikuti sekian lama, tiba-tiba ia seperti disadarkan: Aneh, mengapa pemuda itu mengerti akan ilmu pedang itu? Rupanya malah ia lebih faham dari ci In." Tiba-tiba pemuda itu tindihkan dahan pohonnya kepinggir pedang dan tertawa: Tak perlu bertempur terus, ya?" In-nio tarik kembali pedangnya. Apakah Pui suheng?" tegurnya. Pemuda itu lemparkan dahan kayunya dan lalu memberi hormat: Ya, memang benar, harap sute berdua memaafkan." Heran Yak-bwe dibuatnia, pikirnya: Bilakah suhu menerima seorang murid lelaki? Ha, suheng dari mana ini? In-nio segera melambainya supaya datang, katanya: Pui suheng ini, adalah tit-Ci (keponakan) dari suhu. Dia adalah murid dari Mo Kia lojin." Memang Yak-bwe tak begitu tahu tentang asal usul suhunya ketika belum menjadi nikoh (rahib). Kiranya Biau Hui Sinni itu orang she Pui. Ia mempunyai seorang adik lelaki Yang sudah meninggal. Adiknya itu mempunyai anak lelaki Yang bernama Pui Bik-hu. Biau Hui kasihan pada anak itu. Selain diserahkan pada Mo Kia Lojin untuk belajar silat, ia sendiripun menurunkan kepandaiannya kepada keponakannya itu. In-nio tahu akan hal itu karena ia lama bergaul dengan suhunya. Itulah sebabnya maka In-nio tahu tentang urusan itu, sebaliknya Yak-bwe tidak. Apakah suhu baik-baik saja?" tanya In-nio. Bulan Yang lalu beliau telah genap berusia 80 tahun Beliau ambil putusan akan menutup pintu meyakinkan pelajaran agama, selanjutnya tak mau keluar kedunia persilatan lagi. Beliau menitipkan sepucuk surat padaku supaya diberikan padamu," jawab Bik-hu.
In-nio melihat tulisan pada sampul itu benar buah tangan suhunya. Setelah memberi hormat, barulah ia membukanya. Trrnyata isi surat itu jalah hendak memperkenalkan Bik-hu kepada In- nio, Dika takan bahwa Bik-hu itu masih hijau baru saja menyelesaikan pelajaran silatnya dan hendak terjun kedunia persilatan. Oleh karena itu, sukalah In-nio memimpinnya dan menganggapnya sebagai adik dsb. Surat itu diberikan kepada Yak-bwe juga dan tertawalah In-nio: Ah. suhu terlalu sungkan. Kita kan seperti orang serumah, masakan perlu pelajaran khusus?" Waktu melihat dalam surat itu tertera hari dan tanggal lahir Bik-hu, tahulah Yak-bwe? kalau pemuda itu lebih muda beberapa bulan dari In-nio, tetapi lebih tua setahun lebih dari ia. Diam- diam Yak-bwe geli diibuatnya, pikirnya: Ai, suhu memang banyak ini itu. Cukup mengatakan Pui Bikhu ini pernah sute dan ci In itu sucinya. kan sudah jelas. Perlu apa menerangkan hari lahir, seperti orang hendak mencari hari untuk perjodoan." Memang Yak-bwe tak tahu kalau Biau Hui sin-ni itu justeru bermaksud begitu. Bik-hu itu adalah keponakannya sendiri, sudah tentu ia mengharap agar anak itu mendapat jodoh yang baik. Dua orang anak muridnya, Yak-bwe sudah ditunangkan pada Khik-sia, tinggal In-nio Yang masih bebas. Ini sudah diketahuinya. Menurut penilaiannya, In-nio itu lebih masak pikirannya, perangainyapun mencocoki seleranya (Biau Hui). Oleh karena itu ia mempunyai minat untuk menjodokan Bik-hu dengan In-nio. Hanya saja, Biau Hui pun tahu juga akan soal pernikahan. Pernikahan harus didasarkan rasa saling suka pada kedua fihak. Jika ia menggunakan kedudukannya sebagai suhu menjodokan mereka, dikuatirkan In-nio tak senahg dan mengatakan suhunya itu hendak menggunakan pengaruh untuk memaksanya. Maka dari itu, dalam surat iapun tak mau menjelaskan, melainkan titipkan keponakannya itu kepada In-nio. Maksudnya tak lain tak bukan, agar supaya kedua anak muda itu bisa berkenalan dari dekat dan dapat mengembangkan rasa suka mereka. In-nio seorang nona yang berhati lapang. Hatinya sudah terisi oleh Bo Se-kiat. Dalam membaca surat itu, walaupun agak merasa aneh atas sikap suhunya Yang begitu sungkan, tapi ia tak dapat meraba maksud suhunya itu. Pui sute, kau memiliki ilmu kepandaian dari dua aliran. Aku sebagai suci sungguh merasa malu sekali. Kelak aku tentu akan minta petujuk-petunjuk dari kau. Ucapan suhu itu seharusnya ditukarbalik, baru benar," katanya dengan tertawa. Yak-bwe pun tertawa: ........Kau kan masih punya toa-suheng Thiat-mo-lek, masakan takut tak ada orang Yang merawatimu?" Muka Bik-hu agak tersipu merah, sahutnya: ,.......Markas Kim-ke-nia dari Thiat suheng sudah dihancurkan tenteta negeri, untuk mencarinya sungguh tak mudah. Maka paling baik kudatang kemari menemui suci berdua dulu." Kiranya ia sudah tahu maksud dari bibinya (Biau Hui sin-ni). Adanya ia tak mau unjukkan diri dulu; dan bertempur dengan In-nio, adalah karena ia hendak menjajal sampai dimana ilmu sifat Innio Itu. Adakah nona itu layak menjadi pasangannya atau tidak. Ai, Pui suheng, kau pandai bicara. Sebenarnya kau kan hendak berkuojung pada ci In, mengapa diriku turut terbawa-bawa? Masakan kau dapat meramalkan bahwa. Hari ini aku juga datang kemari? Apa lagi aku ini bukan sucimu," Yak-bwe tertawa. Bik-hu tertawa gelak-gelak, ujarnya: Kalau begitu aku harus minta maaf padamu. Tadi ketika dirumah arak aku belum mengetahui kalau kau ini sumoayku. Perbuatanku tadi juga kurang pantas, membuat kau marah."
Pui suheng, sekarang aku sedikit jelas. Pertempuran Yang kumenangkan itu, tentulah karena mendapat bantuanmu secara diam-diam, bukan?" kata Yak bwe pula. Bik-hu ganda tertawa: Begitu kau turun tangan, aku segera tahu kalau kau ini tentu murid bibiku. Dan ketika habis menjengkelit kedua bangsat itu kau loncat kebawah, sebenarnya aku hendak menjelaskan padamu. Tapi karena kulihat kau sedang kegirangan maka akupun tak mau mengganggumu." Yak-bwe kemerah-merahan wayahnya. Demi In-nio mengetahui peristiwanya, ia tertawa geli juga. Su sumoay, mengapa kau mengikat permusuhan dengan kaum Leng-san-pay?" tanya Bik-hu. Pertanyaan itu diajukan oleh Bik-hu karena ia mendengar juga percakapan antara kedua iman dan hweshio itu. Ia kira mereka tentu benar hendak menangkap Yak-bwe. Aku sendiri juga tak tahu," sahut Yak-bwe. Hm, apakah Leng-san-pay itu? Pui suheng, rasannya kau tentu mengetahui tentang mereka itu." Aku baru saja keluar didunia kang-ouw. Orang Yang kukenal sedikit sekali. Aku tak tafiu asal usul kedua orang itu. Hanya saja, pernah kudengar dari suhu tentang kaum Leng-san-pay itu. Kau telah menggasak mereka, selanjutnya harus berhati-hati". kata Bik-hu. Apa? Apakah mereka itu tak dapat diganggu? Kulihat, walau kepandaian mereka itu lebih unggul setingkat dari aku, tapi rasanya tak begitu berlebih-lebihan, "Yak-bwe kurang puas. Dari pembicaraan hweshio itu, menunjukkan kalau ia anak murid Leng-san-pay. Benar dia itu biasa saja kepandaiannya, tapi suhunya Yang bernama Leng Ciu sangjin itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main, kata- Bik-hu. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan pula: Leng-san-pay adalah salah satu anak cabang dari partai agama Ang-Kau di Se-ik (Tibet). Ketuanya, Leng Ciu Siangjin, itu seorang suku Han. Murid-murid yang diterimanya campur baur, ada suku peribumi ada suku Han, ada kaum paderi dari Thian Hui-kong, Kabarnya Leng Ciu siangjin itu adalah suheng dari Tian Hui-liong, seorang tokoh persilatan Yang termasyhur pada zamannya. Karena tak dapat melaksanakan cita-cita d daerah Tiong-goan, maka ia lantas,kabur kedaerah Se-ik, mencukur rambut menjadi paderi dan mendirikan sebuah partai." In-nio terbeliak kaget, serunya: Apakah Tian Hui-Liong itu bukan suami dari Tian toanio, ayah dari Tian Goan-siu?" Bik-hu mengangguk Benar, pada masa itu tokoh-tokoh partai Ceng-pay (baik) telah mengepung Tian Hui-Liong, suhu dan bibiku juga turut. Dan dengan ikut sertanya juga Hong git Wi Gwat, segak- sin-liong Hong hu Ko dll...., barulah dapat mengalahkan orang She Tian itu. Apalagi Leng Ciu siangjin itu suheng dari Tian Hui Liong, tentunya lebih hebat lagi...... Tetapi Leng-san-pay itu jauh sekali didaerah Se-ik. Dan Yak-bwe itu seorang nona tak ternama Yang baru keluar didunia persilatan. Sudah tentu ia tak kenal mengenal dengan orang-orang Lengsan- pay, tetapi mengapa dapat terikat permusuhan? Baik Bik-hu, In-nio bahkan Yak-bwe sendiri tak tahu sebabnya. Ah, tak usah kita hiraukan hal itu lagi. Pui suheng, hendak kemana kau?" kata In-nio. Maksudku hendak ke Tiang-an untuk ikut dalam Eng-hiong-tay-hwenya Cin Siang. Ya, agar menambah pengalaman. In saci, apakah kalian juga berminat kesana? kata yang ditanya Ya, Memang tadi aku dan Su Sumoay sedang merunding tentang kepergian kami ke Tiang-an. Kebetulan Pui Sute juga setujuan, jadi kita boleh bersama-sama kesana, Katanya.
Maksud Yak-bwe ke Tiang-an itu ialah hendak menyirapi diri Khik-Sia. Sebenarnya ia tidak suka pergi bersama Bik-hu itu, tapi karena In-Nio sudah meluluskan apalagi Bik-hu itu masih saudara seperguruan, maka iapun tak enak untuk membantah. Begitulah malam itu itu Bik-hu menginap di rumah In-Nio, Keesokan harinya, mereka segera berangkat. In-nio dan Yak-bwe menyaru menjadi opsir tentara. Karena menganggap dalam pakaian sebagai pemuda desa itu, Bik-hu tak layak berjalan bersama mereka, maka In-nio minta Bik-hu menyaru menjadi seorang bu-koan pengawal. Dan mengajarinya juga sedikit tentang hal yang patut diketahui dan tingkah laku dari seorang anak tentara. Ho, selama ini aku selalu mengikuti suhu menjadi kacung pelayannya, kini tak nyana naik pangkat setinggi langit begini, menjadi anak militer. Tapi, ah, jadi seorang anak militer itu begini berabe, lebih baik jadi seorang kacung penggosok kaca sajan, Bik-hu tertawa geli. Kini barulah Yak-bwe mengerti bahwa adanya pemuda itu mengenakan pakaian -sebagai orang desa, bukan tak ada sebabnya. Ternyata Bik-hu selama itu, ikut pada suhunya Mo Kia tojin mengerjakan pekerjaan tersebut (gosok kaca). Setelah membuat surat dinas yang hendak dihaturkan kepada pihak kerajaan dan memberi sabuk lencana pada Bik-hu, maka In-nio segera ajak kedua sumoay dan sutenya itu berangkat ke Tiang- an. Dalam perjalanan itu, mereka bercakap-cakap tentang cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa didunia bulim. In-nio dapatkan, walaupun Bik-hu itu baru pertama keluar dari perguruan, tapi apa yang diketahui tentang keadaan, diluaran. tak kalah dengan ia. Kiranya Mo Kia lojin itu berlainan sekali caranya memberi pelajaran pada muridnya. Bukannya menyuruh murid tinggal di Gunung belajar silat seperti lazimnya guru-guru lain, tetapi suruh muridnya itu memikul pikulan dan ikut padanya menjelajahi kota dan desa-desa . (Gosok kaca, adalah sebuah mata pencaharian, pada jaman dahulu. Pada jaman dulu, orang memakai tong Kia (kaca tembaga) bukan kaca gelas, maka lewat beberapa waktu, tentu harus digosok sampai mengkilap). Itulah sebabnya maka pengalaman dan pengetahuan Bik-hu,cukup banyak. Diam-diam In-Nio menertawai suhunya. Bukan ia yang pantas mengurus Bik-hu, sebaliknya Bik-hu lah yang tepat mengurusnya. Tapi In-Nio hanya mengira kalau suhunya itu keliwat sayang pada kponakannya, maka keponakannya itu dikatakan sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa, haru diurusi orang. Ini menandakan bahwa sampai saat itu, In-Nio tetap belum mengetahui maksud yang sebenarnya terkandung dalam hati Biau Hui Sin-ni itu. Karena berkendaraan kuda, dalam tujuh hari saja,. tibalah sudah mereka dikota Hin-peng, sebuah kota yang ramai. Dari Hin-peng ke Tiang-an, kalau naik kuda hanya memerlukan waktu dua hari saja. Karena saat itu sudah menjelang petang, mereka bertiga lalu menginap disebuah hotel yang besar di Hin-Peng. Tiba dimuka pintu hotel, tiba-tiba Yak-bwe mendengus heran, uh, dari mana datangnya dua ekor kuda Yang begitu bagus u!" Ketika memandang, In-nio dapatkan pada tempat penambat kuda Yang terletak dihalaman hotel itu, sudah penuh dengan belasan ekor kuda. Diantaranya terdapat dua ekor kuda Yang menjolok mata. Yang seekor berbulu merah api, Yang seekor putih seperti salju. Sekali pandang, dapatlah diketahui bahwa Kedua binatang itu termasuk kuda bagus Yang mahal harganya. Itulah kuda ternama dari jenis keturunan Gong-ki. Yang dirampas oleh Bo Se-kiat tempo hari, juga sama dengan kuda itu. Aku pernah menunggangi, tapi kurasa, tetap tak mampu menandingi ketegangan kedua ekor itu, Yak-bwe berbisik-bisik.
In-nio terkesiap kaget, pikirnya: Apakah ada bangsa tay-lweko-Ciu disini?" Tay-lwe-ko-Ciu artinya jagoan istana Yang lihay. Setelah menambatkan kudanya. ln-nio berindap-indap menghampiri kedua ekor kuda bagus itu. Setiap kuda yang dipersembahkan untuk raja, tentu dicap pertandaan. Tapi kedua ekor kuda itu lak punya noda sama sekali, apalagi cap. Kuda itu perasa sekali. Begitu ada orang datang dan orang itu selalu mengimcarnya saja, iapun lantas beringas dan meringkik keras. Kakinya diangkat terus hendak disepakkan In-nio. In-nio cepat-cepat meniyingkir. Berbareng itu, terdengar orang miembentaknya!: Hai, apa kau mau cari mampus, berani mengganggu kuda tuanmu!" Dari ambang pintu hotel, seorang melongok keluar, tangan menuding mulut memaki, wayahnya aneh sekali mirip dengan tokoh Ti-pat-kay dalam dongeng Se Yu. Hidungnya mendongak seperti hidung babi, dahi rata dan rambut berwarna kuning diikat dengan Kim-hoan (gelang emas), mirip dengan bangsa thau-to (paderi) daerah Se-ik. Barangsiapa melihatnya tentu akan merasa muak. Yak-bwe tak dapat kendalikan kemarahannya lagi, ia segera balas mendamprat: Kurang ajar, apakah lihat saja tak boleh, mengapa mulutmu memaki-maki?" In-nio cepat menyetopnya. Ia tertawa menghaturkan maaf. Harap taysu jangan marah. Karena selama ini belum pernah melihat kuda sebagus itu, maka tak kusengaja melihatnya beberapa saat." Melihat In-nio dan yak-bwe dalam dandanan sebagai seorang opsir apalagi ln-nio memuji kudanya serta menghaturkan maaf, redalah kemarahan paderi itu. Tapi terhadap Yak-bwe ia masih mendongkol, matanya berkilat-kilat memandangnya. Ketika keduanya masih saling pencerengan (memandang dengan sorot bermusuhan), muncul pula seseoramg Yang terus menarik thau-to itu, kata orang itu dengun tertawa: Wah, tak sembarangan kedua tayjin itu mengagumi kuda kami, suheng, seharusnya kau bergirang." Orang iiu memberi isyarat mata kepada si thau-to. Si thauto tertegun, Tiba-tiba ia berobah kegirangan dan angkat tangan memberi hormat: Maaf, aku memang berangasan sehingga tak tahu kalau tayjin berdua. Kawan si thauto itu ternyata juga orang Se-ik, tapi mengenakan dandanan sebagai orang biasa. Hidung besar seperti singa, mulut lebar macam harimau, sepintas pandang tampaknya lebih gagah dari si thauto tadi. Ciri Yang menonjol pada orang itu jalan sepasang kelopak matanya menjusun kedalam. pertanda kalau dia seorang yang licin. Setelah memandang tajam-tajam kepada In-nio dan Yak-bwe, ia segera menyampaikan salam perkenalan: ...Siapakah nama tayjin berdua Yang mulai dan hendak menuju kemana saja?" Yak-bwe hendak mendampratnya tapi cepat-cepat In-nio menariknya. Dengan sembarangan saja, ln-nio memberikan, nama palsu kepada orang itu. Oh, kiranya tayjin berdua juga akan, menuju ke Tiang-an. Beberapa hari lagi, di Tiang-an bakal ada Eng-hiong-tay-hwe. Beruntung kita tentu dapat kesempatan, melihatnya" kata orang itu. Benar? Maafkan, k&mi sedang melakukan tugas, lak dapat bicara banyak-banyak", tawar- tawar saja In-nio memutuskan pembicarann. Terbentur tembok, orang itu meringis dan ngeloyor pergi. Ketika In-nio, Yak-bwe dan Bik-hu masuk kedalam ruangan dalam, dilihatnya si thauto tadi kembali ribut mulut dengan ciang-kui (pengurus). Ciang-kui itu kelihatan meminta maaf: Maaf, kamar kelas satu sudah ditempati orang. Tapi kamar Yang kusedediakan untuk taysu itu, juga menghadap kearah selatan. Dibanding dengan kamar kelas satu juga tak banyak bedanya. Baiklah taysu menginap disitu satu malam ini."
Ngaco! bentak thauto itu, Mengapa kau tak berikan kamar kelas satu itu padaku? Hm, kalau ada orangnya suruhlah dia pindah!"' Tampak kerut wayah ciang-kui itu menampil kesukaran, ujarnya,: Tetamu itu lebih dulu datangnya." Tapi peduli dia datang lebih dulu atau belakangan, kau berani membantah perintah?" bentak paderi itu dengan murkanya. Tiba-Tiba kedengaran nada seorang gadis melengking: Sungguh dilarang terdapat manusia Yang begitu kurang ajar!" Sekalian orang Yang berada disitu. terkesiap dan mencari" datangnya suara itu. Seorang nona Yang amat cantik, sudah tegak dihadapan thauto itu. Thauto itu melongo karena tak menyangka banwa Yang tinggal dikamar kelas satu itu temjata seorang nona jelita. Begitu kesima, ia melihat kecantikan Yang gemilang dari gadis itu, sehingga tak dapat marah-marah lagi. Hm, dengan alasan apa kau hendak mengusir aku dari kamar itu?" tegur nona itu. Thauto itu seperti terkancing mulutnya. Coba Yang berhadapan seorang lelaki, tentu sudah dilabraknya. Tapi Yang berdiri dihadapannya itu seorang jelita Yang molek. Sebesar-besar tinjunya namun masih nyalinya tak sebesar itu untuk menjatuhkan pukulannya" Seiorang hidung besar, kawan dari thauto itu, memandang dengan tak berkesiap kearah jelita itu. Pada lain saat ia menghampiri sithauto dan mengucapkan beberapa patah kata. Mungkin Yang diucapkan itu bahasa daerah Se-ik, jadi tiada seorangpun Yang mengerti. Jelita itu makin meradang, ia mendengus dan menantang: Hm, kalian kasak kusuk apa itu? Kalau mau berkelahi, sitohkan maju!" Sihidung besar tertawa: Ah, nona salah mengerti. Aku menasehati suhengku untuk menghaturkan maaf padamu." Sithauto agak terkesiap, wayahnya mengerunjut aneh. Tapi rupanya ia tak berani membantah perintah sutenya. Benar juga ia lantas memberi hormat kepada nona itu: Masakan, ada orang lelaki hendak minta kamar yang dipakai wanita? Tadi karena tak tahu kalau kamar ini sudah dipakai nona, maka aku telah mengucapkan kata-kata kasar, harap nona maafkan." Diam-diam Yak-bwe geli dibuatnya, pikirnya: Sepasang suheng dan sute ini, serasi sekali. Yang satu baik Yang satu jahat. Rupanya sithauto itu sudah biasa minta maaf pada orang." Setelah orang menghaturkan maaf, kemarahan jelita itu sudah berkurang, tapi masih mendongkol, la hanya ganda tertawa saja, dan tanpa membalas hormat sithauto ia lantas kembali masuk kedalam kamamja. Sambil .melangkah masuk, mululnya menjomel panjang pendek: Mau main-main dengan aku, ya? Hm, kurang ajar benar!" Kamar nona itu terletak diujung gang. Waktu ia melangkah masuk, dan menjingkap tirai, kebetulan Yak-bwepun mengawasi kesitu. Samar-samar ia seperti melihat ada bayangan orang lelaki Yang pernah dikenalnya. Tapi karena jaraknya amat jauh dan gang itu gelap, apalagi begitu masuk sinona lantas menutup pula kamarnya, maka Yak-bwepun tak dapat melihat dengan jeias. Hanya saja kedengaran lelaki itu rupanya tengah menasehati siinona, maka Yak-bwepun buru- buru pasang telinga. Pembicaraan. Yang bagian muka dilakukan dengan pelahan sekali hingga tak kedengaran jelas. Tapi pada ahirnya, karena silelaki agaknya marah, kata-katanyapun agak keras, jadi demikian 'mereka sudah tak mau cari setori, maka kaupun janganlah cari perkara lagi."
Dari pcmbicaraan itu jelaslah kiranya bahwa sinona bermaksud hendak melanjutkan persetoriannya dengan thauto tadi, tapi silaki anggap tak perlu karena urusan toh sudah selesai sampai disitu. Waktu dapat menangkap nada suara orang lelaki itu, terbeliaklah Yak-bwe. Ya, tak salah lagi, itulah nada suara Khik-sia. Sudah berulang kali ia bertengkar dengar. Khik-sia, maka ia pun tak asing lagi akan nada anak muda itu. Jangan lagi Kata-kata Khik-sia Yang diucapkan terahir itu, dapat didengarnya jelas. sekalipun hanya samar-samar saja, n,amun ia tetap akan dapat membedakannya sebagai nada suara pemuda itu. Sekalipun begitu, Yak-bwe belum berani yakin seratus persen. ia menimang-nimang dalam, hati: Masakan dia itu Khik-sia? Masakan dia berada dalam kamar dengan, seorang wanita? Apakah lain orang yang suaranya sama dengan dia? Tapi mengapa begitu persis sekali?" In-nio tidak ikut pasang telinga, jadi ia tak mendengar suara. pembicaraan Khik-sia tadi. Melihat Yak-hwe terbengong-bengong seperti orang Yang kehilangan semangat, ia segera menertawakannya: Nona itu sungguh cantik sekali. Tidakkah kau kesima melihatnya? Ah, sayang ia sudah bersuami. Kalau kau kurang ajar memandangnya dengan, lekat awas, suaminya tentu akan membikin perhitungan padamu. Sudahlah, jangan melamun, bereskan dulu kamar kita Baru. In- nio. hendak menghampiri ciang-kui (pengurus hotel), sihidung besar sudah mendahului. Sambil berdiri disebelah ciang-kui, sihidung besar tertawa cekikikan dan berbisik-bisik: Siapakah nama nona itu tadi? Pemuda itu apanya? Tahukah kau?" Peraturan hotel ini ialah, asal membayar saja siapapun boleh menginap. Dan kita tak berhak untuk menanyai keterangan tentang pekerjaan dari tiap-tiap tetamu. Pertanyaanmu tadi, maaf, aku tak dapat mengetahui, sahut Ciang-kui. Masakan nama mereka saja kau tak tahu? tanya sihidung besar. Nona itu Yang mencatatkan nama padaku, tapi sipemuda tak turut datang," kata ciangkui. Tu diai, justeru Yang kutanyakan memang lama nona itu. Sipemuda tak begitu perlu bagiku/'ujar sihidung besar. Karena aku berasal dari daerah Se-ik. mungkin kau tak begitu d jelas tentang adat istiadat didaerah Tiong-tho (Tiongkok) sin:. Apabila seorang nona tak lebih dulu mengatakan namanya, kita tak leluasa bertanya padanya." Sihidung besar kerutkan dahi, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah pundi uang, ujarnya: .Cukup kauketahui she sinona itu saja, uang ini akan menjadi milikmu." Pundi uang tak kurang dari sepuluh tail beratnya. Seketika berkilatlah mata siciangkui. Ia garukgaruk kepala, tiba-tiba berkata: Ah, teringat aku sekarang. Kudengar pemuda itu memanggil sinona, ah, apa itu ......... oh, ja, nona Su." Sithouto berteriak, matanya dipentang lebar-lebar, kerut wajahnya menampil kaget-kaget girang. Buru-buru sihidung besar menyikutnya. Bagus, uang ini untukmulah!" katanya dengan tertawa. Setelah memberikan uang pada ciangkui, ia lantas ajak suhengnya masuk kembali kekamarnya. Melihat sihidung besar menjogok uang kepada ciang-kui untuk menanyakan tenteng she dari sinona tadi, heranlah In-nio dibuatnya. Tapi ia tak mempunyai dugaan lebih panjang . Berbeda dengan Yak-bwe, Yang selain terperanjat pun terlintas dalam pikirannya akan peristiwa diwarung arak tempo hari dimana si iman mengoceh tentang diri Khik-sia. Ah sungguh kebetulan sekali. Nona itu orang she Su dan tempo hari imam itu mengatakan kalau Khik-sia mempunyai kawan akrab seorang nona. Apakah bukan nona itu Yang dimaksudkan? Tapi imam itu mengatakan kalau Khik-sia tak senang kepada sahabatnya wanita itu, tetapi mengapa
sekarang ia tinggal sekamar dengan nona itu? Damikian Yak-bwe menimang-nimang dalam hati. Makin memikir makin melantur tak keruan. Ia tak dapat menemukan jawabam Yang positip. Waktu In-nio pesan kamar, ciangkui menjadi gugup dibuatnya. Karena melihat In-nio dan Yak- bwe mengenakan pakaian opsir, ciangkui itu ketakutan. Buru-buru ia memberi hormat dan menerangkan bahwa hanya tinggal dua buah kamar Yang masih kosong, entah in-nio suka menempatinya tidak. Sungguh kebenaran, memang kita menghendaki dua buah kamar. Asal bersih, sudahlah. Kami bukan seperti paderi dari Se-ik itu, kalau tidak kamar kelas satu tidak mau," sahut In-nio. Belum pernah ciangkui itu berjumpa dengan seorang pembesar militer Yang seramah itu. Girangnya bukan main. Tersipu-sipu ia mengantar In-no dan Yak-bwe masuk. In-nio dan Yak- bwe satu kamar, sedang Bik-hu satu kamar. Lagi-lagi terjadi hal Yang kebetulan. Kamar mereka hanya terpisah satu kamar dengan sinona dan pemuda tadi. Setelah ciang-kui pergi, maka Bik-hu menghampiri ketempat In-nio, katanya: Gerak gerik kedua orang Se-ik itu aneh sekali. Malam ini kita harus waspada." Ja, memang kulihat mereka itu bukan orang baik. Tapi kita dalam penyaruan setega: opsir tentara, rasanya mereka tentu tak berani mengganggu kita." Bik-hu mengiakan. Setelah omong-omong beberapa saat, ia lantas kembali kedalam kamarnya sendiri Rupanya Yak-bwe mempunyai banyak pertanyaan, dalam hati. Setelah makan malam, hampir jam satu tengah malam tetap ia tak dapat tidur dan berdiri bersandar dimuka jendela. Beberapa kali In-nio mengeceknya tidur, namun Yek-bwe tetap membisu tak mau menyahut. Ai, siapa lagi Yang kaupikirkan?" tanya In-nio. Yak-bwe seperti tenggelam dalam lamunannya Tampaknya ia tak mengacuhkan pertanyaan In- nio itu. Saat itu diluar halaman turun hujan rintik-rintik. Angin malam berembus membawa hawa dingin. Dihalaman terdapat sebatang pohon gotong (sejenis jambu). Daun-daunnya sedang berguguran memenuhi halaman. Awan gelap menutup rembulan, melain pekat pukau, sang angin mengantar hujan gerimis. Yak-bwe merasa rawan hatinya. Tiba-tiba kedengaran ia merintih: Ah, laut nan bebas lepas, ujung langit bagai bertetangga." Meskipun nadanya pelahan sekali, tapi karena diantar dengan basadalam, dendang rintihan kalbu Yak-bwe itu kedengarannya nyaring tajam bagai dering kelinting. In-nio tertawa dan mengguncang-guncang tubuhnya, serunya: Oho, kiranya kau sedang melepas rindu disini. Sayang Khik-sia tak berada ddsebelah sini hingga mensia-siakan kiriman suara hatimu. Sudahlah, jangan melamun yang tidak-tidak, apakah tak kuatir mengganggu orang tidur?" Sudah tentu In-nio tak tahu bahwa sebenarnya memang Yak-bwe itu sengaja hendak mengganggu orang, tidur. Ia berharap Khik-sia mendengarkan suaranya. Tapi dalam batin Yak-bwe timbul kontradiksi (pertentangan) sendiri. Sebentar ia mengharap Khik-sia bisa mendengar dan datang. Tapi sebentar ia harap orang didalam kamar sebelah itu bukan Khik-sia saja dan mudah-mudan Khik-sia itu tidak berada dihotel situ. Laut merupakan kesatuan ujung langit saling bertetangga. Hebat benar dua baris syair Yang dirangkai oleh Ong Pok itu. Karena hatimu sudah bersatu dengan Khik-sia, walaupun orangnya berada diujung langit, niamun seperti dekat dihati, itu kan tak perlu gelisah lagi. Ayoh, tidur sajalah." Ia menarik tubuh Yak-bwe untuk disuruh masuk. Tapi ketika Yak-bwe berputar menghadapinya, temyata ujung mata nona itu mengembang dua titik air mata. In-nio merasa kasihan tapipun geli juga.
Kau memang mencamaskan hal Yang tak perlu dicemaskan. Kaku terus-terusan begitu, kukuatir kau akan menjadi senewen nanti," ujar In-nio. In-nio hanya bermaksud berolok-olok saja, siapa tahu kata-katanya itu menyentuh perastean Yakbwe sehingga menambah kedukaannya. Yak-bwe mengheki napas, katanya dengan sayu: Ci In, mana kau tahu. Dalam keadaan seperti malam ini, dua baris syair tadi harus ditafsirkan sebaliknya, baru benar. Jika dia beruar berada didekat sini, dia bukan orang yang menjadi tambatan hatiku." Tak tahu In-nio kerena tujuan kata-kata Yak-bwe itu. Ujarnya; Apakah kau sakit? Kedua baris sajak tadi hanya tamsil perumpamaan saja, mengapa pikiranmu kacau balau dan mengira kalau Khik-sia betul berada didekat sini?" Yak-bwe menggigit bibirnya: Ci In, aku bukan mengigau tak keruan, tapi jangan-jangan memang Khik-sia berada disini." In-nio tersentak kaget, serunya: Apa katamu? Mengapa dia berada disini? Ucapan ln-nio itu telah diputus dengan dering suara dua batang pedang beradu. Menjusul terdengar Bik-hu berseru: Mau apa kau, hai, bangsat kecil!" Mendengar itu pucatlah wayah Yak-hwe, In-nio dengan sebat mencabut pedang, mendorong jendela terus loncat keluar. Terpisah sebuah rumah, tampak ada dua sosok bayangan sedang bertempur diatas genting. yang menghadap kearah sini, terang adalah Pui Bik-hu. Sedang lawannya karena berdiri membelakangi, tak jelas siapa orangnya tapi rasanya In-no seperti sudah pernah tahu. Tring, tring. sinar pedang berkelebatan dan Bik-hu kena didesak mundur oleh lawannya. Karena habis hujan, gentingpun licin dan hampir saja Bik-hu tcrgelincir. Tapt lawannya itu bukannya mendesak, melainkan hentikan serangannya, berputar tubuh terus melesat pergi. Waktu melihat jurus serangan yang dilontarkan orang itu. In-nio terkesiap kaget. Siapa lagi dia kalau bukan Toan Khik-sia? Membayangkan hal itu, In-nio tegak terpaku. Mengapa Khik-sia dapat bertempur dengan Bik-hu. Hal itu ternyata terjadi secara kebetulan. Kamar yang ditempati Khik-sia Itu termasuk kamar besar, dibagian tengahnya terdapat sebuah pintu. Khiksia tahu juga kalau kedua orang Se-ik tadi bukan orang baik. Meskipun sudah memarahi Tiau-ing, tapi ia sendiri tetap berjaga-jaga. Sampai tengah malam ia tak tidur melainkan duduk bersemadhi diatas ranjangnya. Lewat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar dendang suara Yak-bwe. Terperanjat ia, terus loncat keluar memburu arah suara itu. Disana Bik-hupun juga menaruh kecurigaan terhadap kedua orang Se-ik tadi. Untuk menjagai sesuatu kemungkinan, siang-siang ia sudah mendekam diatas wuwungan. Begitu tampak Khik- sia loncat keluar dengan gerakan yang sebat sekali!, kuatir kalau tak dapat mengatasi, Bik-hu segera turun tangan lebih dulu. Begitu Khik-sia tiba didekatnya, ia segera menerjangnya dengan sebuah tabasan. Karena ilmu pedang Bik-hu itu berasal dari dua aliran, maka hebatnya bukan terkata. Hampir saja Khik-sia termakan. Terpaksa iapun segera mencabut pedang dan melayaninya. Begitu bertempur, keduanya sama tersentak kaget. Masing-masing sama mengagumi kepandaian lawan. Tapi Khik-sia ternyata lebih unggul setingkat. Dalam jurus yang ketujuh ia herhasil mendesak Bikhu yang terpaksa mundur dan hampir saja tergelincir tadi. Karena gerak geriknya diketahui orang, Khik-sia menjadi tak enak. Pikirnya: Kalau sampai ramairamai, tak baik dilihat orang. Dengan dilihat orang. Sekalipun bertemu dengan Yak-bwe, tapi tak leluasa untuk bicara. Dan masih belum dapat dipastikan, apakah yang bersenanjung tadi Yak- bwe atau bukan. Ah, lebih baik kukembali kedalam kamar dulu, besok pagi biar kutemui mereka lagi."
Tapi lain Khik-sia lain Bik-hu. Kalau yang tersebut duluan hendak menyingkir, Yang tersebut belakangan itu sebailiknya malah ngotot. Sejak keluar dari perguruan, baru pertama kali itu Bik- hu menderita kekalahan. Hal itulah Yang membuatnya penasaran. Apalagi saat itu In-niopun tampak keluar melihat. Dihadapan sang suci itu, lebih-lebih ia tak mau kehilangan muka. Maka segera ia membentak karas: Hai bangsat kecil, apa maksudmu mengintip kemari? Kalau tak mau bilang terus terang, jangan harap ngacir pergi!" Sekali enjot kakinya, ia terus loncat menerjang dengan gerak eng-ki-tiang-gong atau burung garuda melayang diudara. selagi masih melayang diudara ujung pedangnya sudah menusuk. Seragan itu telah membuat Khik-sia marah. Ia tak kenal siapa Bik-hu itu dan apa hubungannya dengan Yak-bwe. Sudah tentu ia segan memberitahukan tentang keluarnya dari kamar tadi. Seketika ia menegur: Ah, rupanya saudara suka usilan. Karena saudara keliwat mendesak, apa boleh buat aku terpaksa melayani!" Lintangkan pedang, ia tangkis serangan Bik-hu. Kali ini ia gunakan 8-9 bagian tenaga iwekangnya. Tubuh Bik-hu hanya tergetar tapi tak sampai jatuh. Cepat pemuda itu (Bik-hu) menjusul: dengan jurus serangan kedua yakni hi-siang-cian-te ? atau ikan menyelundup kedasar. Memang dalam hal lwekang, ia kalah dengan Khik-sia Tapi ilmu pedang yang dimainkan Ialah ilmu pedang istimewa warisan diri Biau Hui sin-ni. Ilmu pedang itu mengutamakan pokok dengan kelemasan menundukkan kekerasan, meminjam tenaga pukulan lawan untuk memukul lawan. Dengan kekalahannya yang tadi, kini Bik-hu makin berhati-hati. Saat itu mereka berdua bertempur diatas wuwungan rumah yang tak begitu licin seperti diatas genting atap:. Dengan begitu dapatlah ia mengatur keseimbangan kakinya lebih stabil. Tapi setelah berlangsung tiga jurus, kembali Bik- hu kalah angin. Hanya saja tidak serancu tadi, kini keadaan lebih baikan, dapat bertahan dapat pula menjerang. Pui sute, berhentilah, itu orang sendiri" tiba-tiba In-nio berseru. Bik-hu tertegun, cepat ia menghindar kesamping. Khik-sia merasa kenal dengan nada suara itu, tapi pikirannya tak sampai pada dugaan kalau In-nio. Selagi ia hendak bertanya, sekonyong-konyong terdengar letusan. Dari kamar sebelah sana terpantiar sinar api. Dalam pancaran api itu tampak Su Tiau-ing loncat keatas genting dan bertempur dengan si thau- to. Gerakan thau-to itu gesit sekali, tapi kena diuga ia kecipratan dengan letikan api hingga ada beberapa bagian kulitnya yang terbakar. ......Siluman perempuanyang tak kenal selatan. Disuruh minum arak manis tidak mau minta arak kecut, bahkan kurang ajar berani membakar hud-ya!" dengan marah-marah sitiau-to berseru seraya mencabut golok dan menahas Su Tiau-ing. Kiranya memang paderi itu hendak menculik Su Tiau-ing. Kebetulan saat itu Khik-sia sedang keluar hendak mencari Yak-bwe, jadi: dengan leluasa dapatlah thau-to itu menghampiri kamar Su Tiau-ing. Ia lak mau membikin kaget orang, maka dilubanginya kertas jendela, kemudian meniupkan dupa hius ke-bing-ngo-ko-hom-hun-hiang kedalam kamar. Tapi ternyata Su Tiau-ing itu juga tangkas sekali. Begitu mencium bau yang mencurigakan, ia segera bertindak. Kim-ciam-liat-yan-tin atau jarum emas peluru api. segera ditimpukkan. Kim- cian liat-yan-tan itu btrbentiik oval (bujur lonjong) dplamnya terisi obat pelsdak dan beberapa batang diarum bwe-hoa-ciam Yang hahiis. Untung tahu-to itu memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh. Cukup melindungi bagian mukanya saja, diarum-arum hwe-hoa-ciam itu tak dapat menembus bagian tubuhnya. Tapi sekalipun begitu, bahan peledaknya meletus dan membakar juga kulitnya.
Dari dering adu senjata. tadi, dengan kepandaiannya yang tajam dapatkah Khik-sia mengetahui bahwa Su Tiau-ing kalah unggul Sewaktu api muncrat tadi, Su Tiau- ingpun segera dapat melihat Khik-sia. Cepat ia meneriakinya: Khik-siia, lekas kemarilah!" Dalam saat seperti itu, Khik-sia tak sempat untuk mengamati siapa In-nio itu, karena ia harus menolong Su Tiau-ing lebih dahulu. Tapi selagi Khik,-siia loncat ketempat Su Tiau-ing, hidungnya tiba-tiba tersampok dengan angin yang berbau amis. Temjata sihidung besar, yakni kawan dari sithauto, sejak tadi sudah bersembunyi ditempat gelap. Begitu Khik-sia hendak membantu Su Tiaiing, iapun cepat menerjang keluar dengan sebuah hantaman. Dari angin yang amis itu, tahulah Khik-siai kalau sepasang tangan orang itu beracun. Marahlah ia dibuatnya. Ia ambil putusan hendak memberinya pengajaran. Setelah menutup jalan darah. Khik- sia kerahkan Iwekangnya dan menangkis pukulan beracun orang itu. Tar .... dua buah tinju saling beradu keras. Racun yang terdapat ditelapak tangan sihidung besar itu tak dapat menembus tubuh Khik-sia, sebaliknya malah kena dipentalkan kembali. Hidung besar itu coba gunakan ilmu Cian-kin-lui untuk menahan tubuhnya, namun tetiap terhuyung-huyung hendak rubuh. Tiba-tiba saat itu Su Tiau-ing menjerit "aduh, seperti orang yang terluka.Khik-siapun tak mau terlibat dengan sihidung besar itu lebih lama lagi. Cepat ia dorongkan tangannya kemuka hingga sihidung besar itu sempoyongan tersurut mundur Sampai keujung pahon. Untung kakinya dapat mengait tiang rusuk, hingga tak sampai terpelanting jatuh. Jeritan Su Tiau-ing tadi ternyata dapat menolong jiwa sihidung besar yang sudah diambang pintu ahirat. Karena jeritan itu maka Khik-sia lantas tinggalkan sihidung, besar untuk menghampiri ketempat Su Tiau-ing. Coba tidak begitu, tentu ia sudah memberi hajaran lagi pada hidung besair itu. Memang kepandaian hidung besar itu tetap kalah dengan Khik-sia. Racun yang sudah dikerahkan ditelapak tangannya tadi kena ditampar balik oleh pukulan Khik-sia. Itu masih untung kalau hanya begitu saja, coba racun itu mengalir balik kedalam tubuh terus menyerang jantungnya, dia pasti akan melayang jiwanya. Khik-sia telah menghantam sekuat-kuatnya tadi, tapi ternyata tak dapat menggulingkan si hidung besar. Hal ini membuatnya heran juga. Ternyata walaupun si thau-to itu pernah suheng, tapi kepandaiannya kalah dengan sutenya si hidung besar itu. Saat itu si thau-to rasakan belakang batok kepalanya tersambar angin, buru-buru ia hantamkan goloknya ke belakang. Tapi Khik-sia sudah mengisar, dengan jurus Kwan-ping-hong-in atau Kwan Ping mempersembahkan cap. Tangan kiri dibuat menyanggah siku orang, sedang tangan kanan dibuat mencengkeram pundaknya. Tapi pada saat-saat yang berbahaya bagi si thau-to itu, untung si hidung besr keburu datang. Secepat kilat orang itu segera menghantam punggung Khik-sia. Karena gangguan itu, Khik-sia terpaksa alihkan tangan kanannya untuk menyambut serangan si hidung besar. Terlepas dari ancaman, si thauto berputar-putar beberapa kali, baru ia berdiri tegak. Sebaliknya dalam adu pukulan dengan si hidung besar itu, Khik-sia menderita sedikit kekalahan dan terpaksa mundur tiga langkah. Perangai thau-to itu amat berangasan sekali. Selama mengembara, baru malam itu ia menderita kekalahan di tangan Khik-sia. Saking marahnya, ia sampai berkaok-kaok seperti babi hendak disembelih. Dan tanpa memperhitungkan bahwa tadi baru saja lolos dari lubang jarum, segera ia maju menyerang lagi. Tiau-ing, apakah kau terluka? tanya Khik-sia. Tak mengapalah. Tapi hinaan itu, sukar ditebus. Khik-sia, hajarlah mereka! Kuatir Khik-sia tak mau meluluskan, Su Tiau-ing kembali menguatkan alasannya: Mereka yang hendak mengganggu aku, bukan aku yang mencari perkara. Baik, kembalilah ke dalam kamar. Aku dapat mengurus mereka, tak perlu kau turut campur urusan di sini, sahut Khik-sia. Khik-sia berganti siasat bertempurnya. Seketika delapan penjuru penuh dengan bayangannya.
Kedua lawannya itu segera merasa seperti didera oleh angin yang menampar ke mukanya. Kiranya Khik-sia telah mengombinasikan ilmu gin-kang dengan pukulan yang penuh dengan variasi perubahan. Ia mengurung mereka rapat-rapat, begitu ada kesempatan terus hendak menangkapnya hidup-hidup. Sebetulnya jika kedua orang Se-ik itu bersatu menghadapi Khik-sia, rasanya kekuatan mereka tak di bawah lawan. Tapi dikarenakan Khik-sia menggunakan ilmu gin-kang yang luar biasa pesatnya, ditambah dengan cuaca malam yang gelap dan genting yang licin karena habis tersiram hujan, mereka menjadi panik dan tak dapat mengembangkan cara bertempur secara bersama. Dikocok pergi datang oleh arus serangan Khik-sia yang bertubi-tubi datangnya dari empat penjuru, dalam beberapa saat saja, mereka berdua sudah kepayahan sampai matanya berkunang-kunang dan beberapa kali hampir saja menghantam kawan sendiri. Sewaktu Khik-sia menegur Bik-hu tadi, In-nio tak ragu lagi. Tanpa terasa ia berseru: Hai, kiranya benar Toan Khik-sia! Yak-bwe, Yak-bwe, kemarilah lekas! Toan Khik-sia? Ha, mengapa tadi-tadi kau tak mengatakan? Bik-hu menanggapi dengan terperanjat. Sebaliknya Yak-bwe hanya tertawa dingin: Ci In, tak peduli dia itu siapa, tapi orang macam begitu aku tak sudi menghiraukan lagi! Kiranya sejak tadi Yak-bwe pun diam-diam pun sudah datang ke tempat ramai-ramai situ. Jelas didengarnya pembicaraan Khik-sia dengan Su Tiau-ing yang penuh dengan kemesraan itu. Rasa cemburu telah melahirkan kemarahan yang menyala-nyala di hati Yak-bwe. Pada saat itu Khik-sia tengah melancarkan jurus suan-kian-coan-gun atau berputar-putar mengelilingi dunia. Ia menyusup dan siakkan kedua tangannya ke arah kedua lawannya itu. Tangan kiri menampar muka si hidung besar, begitu sang kaki mengisar, tangan kanannya segera menyambar tulang pi-peh di bahu si thau-to. Kalau serangan tangan kiri tadi hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, adalah serangan tangan kanannya itu menggunakan tujuh bagian tenaganya. Maksudnya tak lain tak bukan ialah hendak mematahkan musuh yang lebih lebih lemah, yakni si thau-to. Sebenarnya rencana itu sudah mendekati berhasil atau tiba-tiba ia mendengar suara Yak-bwe yang menyahut seruan In-nio tadi. Dalam hari-hari yang terakhir ini, siang malam Khik-sia selalu memikirkan Yak-bwe saja. Bahwa pada saat itu ternyata Yak-bwe berada di tempat situ dan mengeluarkan kata-kata yang begitu sinis, telah membuat Khik-sia tergetar hatinya. Pikirannya buyar dan kuda-kuda kakinya pun menjadi kacau. Kembali kemenangan yang sudah di depan mata itu menjadi buyar. Sebaliknya bagi si hidung besar itulah suatu kesempatan yang sebagus-bagusnya. Baru mulut Khik-sia berseru memanggil 'Adik Yak-bwe .....', si hidung besar cepat mengirim sebuah tutukan berat ke arah jalan darah ji- khihiat di pinggang Khik-sia. Khik-sia menggerung keras dan terus menghantam. Tapi ketika ia hendak mengejar si hidung besar ternyata gerak langkahnya sudah tak tetap lagi. Malah pada lain saat tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang. Sekali sang kaki menginjkan tempat yang kosong, iapun segera terguling jatuh ke bawah. Si thau-to cepat mengeluarkan sebuah hui-jui (besi bandringan). Tapi baru ia hendak menimpukkan ke punggung Khik-sia, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang membentaknya: Bangsat, jangan kurang ajar! -- Aum senjata menyambar belakang batok kepalanya. Si thau-to cepat tangkiskan goloknya ke belakang. Tangkisannya itu tepat membentur pedang dari penyerangnya. Dan penyerangnya itu bukan lain adalah Yak-bwe. Ternyata walaupun marah, tapi dalam batinnya Yak-bwe tetap mencintai Khik-sia. Dan karena cintanya itu maka setiap kali ia sampai salah paham. Begitu melihat Khik-sia kena sodokan si hidung besar, ia tahu kalau anak pemuda itu bakal celaka. Buru-buru ia maju hendak menolongi tapi ternyata tetap terlambat. Khiksia sudah terguling rubuh dan tak sempat melihat Yak-bwe. Tapi pertolongan Yak-bwe itu juga tak sia-sia. Karena harus menangkis ke belakang, timpukkan si thau-to menjadi mencong. Hui-juinya tak mengenai Khik-sia melainkan jatuh ke tanah. Thau- to dari Se-ik itu bertenaga besar. Dalam adu senjata tadi, Yak-bwe rasakan tangannya kesemutan.
Tapi demi mengingat keselamatan Khik-sia, Yak-bwe tak menghiraukan kesakitannya itu. Dengan tahankan sakit, ia cepat kembangkan permainan pedang Hui-hoat-cui-tiap atau kembang beterbangan mengejar kupu-kupu. Menusuk ke kiri, menabas ke kanan. Serangan yang satu belum selesai sudah disusul dengan serangan yang berikutnya, sehinggai thau-to itu menjadi keripuhan. Karena terus dicecer dengan serangan gencar, akhirnya marah jugalah thau-to itu, bentaknya: Jangan mengandalkan sebagai pembesar lantas mau mengganggu orang agama. Sekalipun raja, kami pun tak peduli! Dengan gencarnya, thau-to itu segera mengirim beberapa bacokan. Selagi Yak-bwe tak kuat bertahan, In-nio pun datang. Kepandaian In-nio lebih tinggi setingkat dari Yak-bwe. Dengan mendapat bantuan In-nio, berhasillah kedua nona itu untuk mengatasi kegarangan si thau-to. Di partai sana si hidung besar sedang menghampiri Su Tiau-ing. Dengan cengar-cengir, ia tertawa: Nona Su, tak nanti kau mampu lolos. Apakah kau sungguh-sungguh menampik arak wangi dan minta arak kecut? Ah, lebih baik kau serta merta ikut padaku saja. Marahlah Bik-hu mendengar kekurang-ajaran orang itu, dampratnya: Kau mengandalkan apa berani menghina nona Su? Masih ada aku di sisi yang akan memberantasmu! Si hidung besar itu masih terpisah agak jauh dengan Su Tiau-ing. Bahwa di tengah jalan ia dihadang dan dimaki Bik-hu, hal ini membuatnya marah bukan kepalang. Tanpa berkata apa-apa, ia segera mengirim tabasan pedang. Mengapa Bik-hu hendak membela Su Tiau-ing? Ah, ternyata ia sudah salah paham. Dikiranya si hidung besar menyebut 'nona Su' itu adalah Yak-bwe yang dimaksudkan. Bik-hu tahu kalau Yakbwe adalah calon isteri dari Khik-sia. Bahwa tadi ia telah kesalahan berkelahi dengan Khik-sia itu, sudah membuatnya menyesal. Maka kali ini waktu si hidung besar hendak menangkap 'nona su', ia timbul pikirannya hendak menebus dosa. Pikirnya: Tadi Khik-sia hendak menjenguk bakal isterinya dan aku gegabah menyerangnya. Sungguh tak pantas tindakanku tadi. Sekarang aku harus melindungi Su sumoay dari gangguan orang. Orang hidung besar inilah yang melukai Khiksia, jika aku dapat membalaskan kelak aku tentu ada muka berjumpa dengan Khik-sia. Dengan keputusan 'mendirikan jasa untuk menebus dosa' itu, pula untuk unjuk kegagahan di hadapan In-nio, maka ia segera menerjang si hidung besar itu dengan serangan pedang yang gencar. Dalam penilaian, kepandaian si hidung besar itu lebih unggul setingkat dari Bik-hu. Tapi tadi ia habis adu pukulan dengan Khik-sia dan ketika ia memberi tutukan pada Khik-sia telah kena digetarkan oleh tenaga sin-kang dari tubuh Khik-sia sehingga tenaga dalamnya terluka sedikit. Maka dalam pertempuran dengan Bik-hu itu, ia hanya dapat bertahan saja atau berarti kalah angin dengan Bik-hu. Mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua tokoh yang kenamaan, permainan Bik-hu memang cukup mematahkan nyali lawan. Ia kembangkan permainannya sedemikian rupa, sebentar gunakan jurus-jurus yang keras, sebentar mainkan jurus-jurus yang mengutamakan kelemasan. Dua corak permainan pedang dikombinasikan silih berganti dalam jurus-jurus yang penuh dengan perubahan yang sukar diduga, telah membuat si hidung besar kelabakan setengah mati. Sekalipun ia menyakinkan sepasang pukulan tangan beracun, tapi tak berdaya dilancarkan sehingga tak berguna sama sekali. Kau pernah apa dengan budak perempuan itu? Mengapa kau begitu membelanya mati-matian? Hm, kau tahu aku ini siapa? Tak peduli kau ini siapa, tapi jangan coba menghina pada kami! bentak Bik-hu. Pernahkah kau mendengar kebesaran nama Leng Ciu siang-jin? Tahukah kau akan kelihayan partai Leng-sian-pay? kembali si hidung besar tertawa mengejek. Bik-hu hanya mendengus tak acuh, sahutnya: Kutahu partaimu Leng-sian-pay itu mempunyai pengikut banyak dan pengaruh besar. Dengan mengandalkan perlindungan dari Leng Ciu siang- jin, kalian lantas malang melintang melakukan kejahatan. Hm, sampai di mana kepandaian dari anak buah Leng-sian-pay itu, dulu ketika di Gui-pok aku sudah pernah mengujinya! Memang sejak tadi Bik-hu sudah menduga kalau kedua orang itu tentu anak buah Leng-san-pay. Ternyata dugaannya itu benar. Hal ini menyebabkan ia tak berani ayal. Dengan menggunakan posisinya yang menguntungkan itu, ia menyerang lebih hebat. Pikirnya: Ya, memang kaum LengKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ san-pay itu tak boleh dimusuhi. Tapi sekali sudah terlanjur bentrok, satu-satunya jalan ialah harus bertempur mati-matian. Karena gelap, si hidung besar itu tak dapat melihat wajah Bik-hu. Tapi demi mendengar mulut Bik-hu mendengus, iapun membentaknya: Apa katamu? Bik-hu sudah terlanjur kerangsokan setan, iapun balas menghardiknya: Aku sedang menantikan sampai dimana kelihayanmu tahu! Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan pedangnya dengan hebat. Si hidung besar makin kelabakan sampai napasnya tersengal-sengal dan tak dapat membuka mulut untuk bicara lagi. Sementara di sana, In-nio dan Yak-bwe pun telah berhasil menindas si thauto. Menghadapi serangan pedang dari kedua nona yang datangnya bertubi-tubi itu, si thau-to hanya dapat membela diri tak mampu balas menyerang lagi. Dalam suatu kesempatan, Yak-bwe melirik ke arah tempat Khik-sia. Ternyata tunangannya lenyap dan ketika memandang ke sekeliling penjuru ternyata si nona tadipun tak kelihatan bayangannya lagi. Tentu nona itu diam-diam telah ngacir pergi. Yak-bwe makin meluap marahnya, pikirnya: Aku menghadang musuhmu, tapi kau diam-diam mengurusi kecintaanmu. Yang dimaksud dengan 'kau', ialah Su Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, terdengarlah suara kuda meringkik. Suaranya ngeri, seperti kuda yang dipersakiti. Mendengar itu, si thau-to melonjak dan menggembor keras. Yak-bwe gunakan kesempatan itu untuk mengirimkan tusukan dan berhasil melukai bahunya. Darah segera mengucur dari bahu thau-to itu. Masih untung tusukan Yak-bwe itu agak mencong sedikit sehingga masih terpisah setengah dim dengan tulang pundak korbanya. Tapi suara ringkikan kuda itupun menggelisahkan hati Yak-bwe juga. Rupanya In-nio tahu isi hati Yak-bwe, tertawalah ia: Yak-bwe, lekas tengok Khik-sia sana! Melihat si thau-to sudah terluka, Yak-bwe percaya kalau In-nio dapat mengatasi, maka setelah menghaturkan terima kasih pada cicinya itu, ia segera loncat keluar dari gelanggang, terus melayang turun. Ketika tiba di lapangan yang berada di muka pintu hotel, dilihatnya nona tadi tengah memeluk Khik-sia hendak naik ke atas kuda, yaitu kuda putih kepunyaan kedua orang Se- ik tadi. Tunggu! cepat Yak-bwe meneriaki. Tapi belum seruannya habis, nona itu tampak ayunkan tangannya menimpuk ke arah Yak-bwe. Yak-bwe tahu bahaya. Sembari putar pedang untuk melindungi tubuhnya, ia menghindar ke samping. Kembang api itu tak sampai mengenainya dan beberapa batang jarum bwe-hoa-ciam pun kena dipukul jatuh. Tapi dengan gangguan itu, Yak-bwe tak berdaya untuk mencegah Su Tiau- ing yang saat itu sudah melarikan kuda putih dengan menggondol Khik-sia. Yak-bwe marah sekali. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya: Kedua ekor kuda orang Se-ik itu kuda pilihan semua. Setelah dibawa lari seekor, masih ada seekor lagi. Benar kuda putih itu lebih hebat, tapi dengan membawa dua orang, tentu dapat kususul. Setelah mengambil ketetapan Yak-bwe terus menghampiri istal kuda dan hendak melepaskan tali ikatan kuda itu. Tiba-tiba kuda bulu merah itu meringis kesakitan. Suaranya makin lama makin lemah. Melihat Yak-bwe datang, binatang itu lantas menyepak-nyepakkan kakinya, tapi tampaknya lemah tak bertenaga. Sebelum dapat menyepak Yak-bwe, kuda itu sudah rubuh sendiri. Yak-bwe cepat menyulut korek api. Astaga, ternyata kelopak mata kuda itu complong tak berbiji mata lagi. Malah darahnya masih bercucuran keluar. Kiranya biji mata kuda itu telah dikorek orang, paha kakinya juga luka tergurat-gurat senjata tajam sehingga sampai kelihatan tulangnya. Yak-bwe kaget dan gusar: Hm, siluman perempuan yang ganas sekali. Mengapa Khiksia bersama dengan ia? kata Yak-bwe dengan geram. Apa boleh buat Yak-bwe tak dapat mengejar. Ia kembali ke kamarnya. Ternyata kamar yang ditempai Khik-sia itu terdapat dua buah ruangan. Salah sebuah ruangan, masih belum padam lampunya. Ketika melihat di situ, Yak-bwe tertarik hatinya. Segera ia masuk ke dalam. Di situ barulah ia mengetahui kalau kamar besar itu dipisah dengan sebuah pintu tengah. Di bawah jendela yang terdapat pelitanya tadi, terdapat sebuah meja yang letaknya persis di muka ranjang. Di atas merja itu dilihatnya ada beberapa tulisan huruf 'Bwe' dengan air teh. Dahulu ketika di kamar Tian Seng-su, ia pernah melihat tulisan Khik-sia pada surat ancaman
yang ditujukan pada ciat-to-su itu. Maka sekali lihat, tahulah ia bahwa tulisan air teh pada meja itu adalah buah tangan Khik-sia. Ia duga ketika Khik-sia coret-coret di meja itu tentulah si nona kawannya itu (Su Tiau-ing) tak berada di situ. Kalau tidak, masakan Khik-sia sampai lupa diri (melamun) begitu rupa. Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Yak-bwe: Ah, ia selalu mengenangkan diriku sedemikian rupa, tapi mengapa bergaul begitu akrab dengan nona itu? Apakah terdapat apa-apa di dalamnya? Memikir sampai pada hal itu, redalah amarah. Adalah ketika Yak-bwe sedang menimangnimang dalam kamar, di atas rumah pertempuran telah mencapai klimaks yang menentukan. Dengan gunakan seluruh tenaganya, si hidung besar lontarkan sebuah pukulan sehingga sekektika itu timbullah desus angin yang berbau amis. Bik-hu merasa mau muntah, karena kuatir kena pukulan beracun, buru-buru ia sedikit mengisar sehingga gerakan pedangnya pun agak kendor. Si hidung besar mendapat kesempatan bernapas lalu buru-buru bertanya: Apa katamu tadi? Kau pernah bertempur dengan anak murid Leng-san-pay di Gui-pok? Ya, apa kau hendak menuntut balas bagi mereka? Yang melukai mereka adalah aku, bukan nona Su. Kau keliru, berhentilah! teriak si hidung besar. Bik-hu berada di tempat gelap. Kuatir kalau orang hendak membokongnya dengan pukulan beracun, ia tak berani hentikan serangannya. Tapi ia merasa bersangsi juga dengan kata-kata si hidung besar itu. Maka ia hanya batasi serangannya dngan bertahan diri saja dan tak menyerang untuk memberi kesempatan bicara pada orang. Berkata si hidung besar: Suteku itu juga keliru, ia hanya hendak menangkap budak perempuan she Su itu saja. Huh, beberapa kali kalian selalu hendak menyusahkan nona Su, mengapa mengatakan aku keliru? Bik-hu mendampratnya. Sret, kembali ia lancarkan serangan. Karena si hidung besar itu sudah kehabisan tenaga, tak dapat ia menangkis. Lengan kirinya termakan ujung pedang sampai terluka panjang. Cepat-cepat si hidung besar itu loncat keluar beberapa langkah. Sebenarnya ia marah sekali dengan Bik-hu, tapi karena tenaganya sudah habis dan kuatir kalau Bik-hu menyerang lagi, terpaksa ia telan kemarahannya dan segera berseru: Ya, kami yang salah. Aku sudah tahu sekarang. Bukankah kawanmu perempuan yang menyaru lelaki itu juga orang she Su? Sambil bolang-balingkan pedangnya, Bik-hu maju menghampiri dan membentaknya: Bagaimana? Apakah dengan menyaru lelaki itu ia menyalahi kau? Dengan menelan kemarahan, si hidung besar menyahut: Kawanmu perempuan itu bukan budak she Su yang kami maukan, jelaskah kau? Kami salah paham, kaupun salah wessel! Bik-hu tertegun, pikirnya: Kalau begitu benar-benar salah paham. -- Baru ia berpikir begitu, si hidung besar menggunakan kesempatan itu untuk loncat dua tombak jauhnya dengan gerak kimli- joan-bo atau ikan lehi menyusup ombak. Setelah terlolos dari lingkaran ancaman pedang Bik-hu, ia berada di sebelah In-nio. Sekonyong-konyong ia menghantam In-nio. Walaupun tenaga si hidung besar itu sudah berkurang sampai separuh tapi serangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh In-nio. Hampir saja In-nio celaka dengan pukulan beracun. Tapi untung gin-kang atau ilmu meringankan tubuh dari In-nio itu hebat. Begitu membau angin amis, segera ia loncat ke samping. Tapi sekalipun begitu, tak urung kepalanya terasa pusing, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Melihat itu, buru-buru Bik-hu menghampiri, sebaliknya si hidung besarpun sudah lantas loncat turun dan melarikan diri. Bik-hu tak sempat mengejarnya karena perlu menolong In-nio, ia tanya: Suci, bagaimana keadaanmu? In-nio menghembus napas, sahutnya: Tak apa, tidak kena racun. Saat itu dari kejauhan terdengar suara si thau-to berseru: Bagus, budak kecil, kau berani cari perkara dengan Leng-san-pay, lihat saja nanti! In-nio tertawa getir, ujarnya: Ah, tak nyana secara sembrono kita telah mengikat permusuhan dengan orang Leng-san-pay.
Tapi bukan kita yang bersalah. Jikalau sudah dianggap bermusuhan terserahlah pada mereka, bantah Bik-hu. In-nio tertawa: Kesalahan ini terjadi secara kebetulan sekali. Ayo, kita tengok apakah Su sumoay kita itu sudah dapat mencari si nona Su itu. Ketika loncat turun, In-nio melihat penerangan di kamar kelas satu yang ditempati Khik-sia tadi masih belum padam. Dari kertas jendela tampak bayangan seorang gadis. Tahu kalau gadis itu tentu Yak-bwe, In-nio mengira kalau Khik-sia tentu dibawa Yak-bwe ke dalam kamarnya, pikirnya: Bagus, sekarang kita sudah berkumpul lagi, tetapi mana si nona she Su itu? In-nio tak mau mengganggu Yak-bwe, tapi baru ia hendak menyingkir ternyata Yak-bwe sudah mengetahui dan memanggilnya masuk. Bik-hu pun hendak ikut masuk tapi dicegah oleh Yak- bwe: Pui suheng, tolong kau jaga di luar dulu, barangkali masih ada musuh yang akan datang. Bik-hu tertegun, pikirnya: Ah, aku ini benar-benar tolol. Toh Khik-sia sudah di dalam, mengapa aku terburu-buru hendak menjumpainya. Kiranya Bik-hupun berpendapat bahwa Khik-sia telah ditolong dan dibawa masuk ke kamar oleh Yak-bwe, maka tadi ia buru-buru hendak menjumpainya dan menghaturkan maaf atas perbuatannya tadi. Siapa tahu ternyata Yak-bwe hendak bicara empat mata dengan In-nio maka ia cegah Bik-hu turut masuk. Mana Khik-sia? demikian kata-kata pertama meluncur dari mulut In-nio ketika ia masuk ke dalam kamar dan tak melihat anak muda itu. Yak-bwe kerutkan alis dan berkata dengan geram: Nona siluman itu telah melarikannya! In-nio tersentak kaget, serunya: Ai, celaka, mengapa kau mendekam di dalam kamar saja? Setelah mendengar derap kaki Bik-hu sudah jauh, barulah Yak-bwe membisiki In-nio supaya datang dekat kepadanya. Ketika In-nio lihat tulisan 'bwe' dengan air teh di atas meja, ia tertawalah: Ha, jangan kuatir, hatinya hanya terisi kau, nona siluman itu tak nanti dapat merampasnya! Wajah Yak-bwe menjadi merah dadu. Ia hapus tulisan air teh itu, katanya: Tak mengerti aku, kalau toh hatinya tetap padaku, mengapa ia bergaul rapat dengan nona siluman itu? Ya, kawan seperjalanan dan tinggal sekamar? In-nio tertawa: Kau sendiri toh juga menginap beberapa malam di rumah keluarga Tok-ko? Dari merah dadu wajah Yak-bwe menjadi merah bara, serunya dengan sengit: Kemana tujuan kata-katamu itu? Aku berbuat secara terang-terangan, ya, batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang doyong! Jika ada orang yang mencurigai kau, kau marah tidak? tanya In-nio. Jika ada orang semacam itu, dia adalah orang yang bermentalitet rendah, tapi coba-coba hendak menilai orang lain, sahut Yak-bwe dengan murka. Itulah! Jika lain orang mencurigaimu, kau katakan dia itu orang yang rendah mentaliteitnya, tapi mengapa kau seenaknya sendiri menuduh Khik-sia yang bukan-bukan? Kini tersadarlah Yak-bwe, katanya: Oh, kiranya kau mengukur diriku untuk menilai dia. Bukankah kedua perbandingan itu tak berbeda? tanya In-nio. Setelah merenung sejenak, berkuranglah cemburu Yak-bwe, namun tetap ia membantah: Masalahnya memang sama, tapi orangnya berlainan. Tok-ko U seorang kun-cu, seperti langit dengan bumi bedanya dengan siluman perempuan kawan Khik-sia itu. Ia mengangkat Khik-sia dinaikkan kuda, kusuruh berhenti, bukannya menurut malah melepaskan senjata rahasia padaku! -- Ia lalu menceritakan kejadian tadi. Bukankah Khik-sia masih tak ingat diri? tanya In-nio. Tampaknya begitulah, kata Yak-bwe. Kalau begitu si nona siluman itu yang salah, bukan Khik-sia, kata In-nio. Katanya lebih jauh: Ucapanmu tadi memang tepat, 'batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang condong'. Asalkan Khik-sia itu seorang kun-cu sejati, itu sudah cukup. Memang urusan di dunia itu sering-sering di luar dugaan dan sukar dimengerti orang. Misalnya kau beristirahat merawat lukamu di rumah Tok-ko U itu, adalah salah sebuah contoh. Masakan kau tahu hal-hal yang sebenarnya dalam hubungan Khik-sia dengan nona siluman itu? Turut pendapatku, Khik-sia hanya
mencurahkan hatinya kepadamu, maka seharusnya kau pun harus menaruh kepercayaan padanya. Setelah mendapat penjelasan dari In-nio, walaupun masih menaruh sedikit keraguan, namun kemarahan Yak-bwe sudah reda. Sebagai gantinya, kini ia malah menaruh kekuatiran akan keselamatan Khik-sia. Entah bagaimana lukanya itu, berat atau tidak, ya? Di dalam tangan siluman perempuan itu, aku sungguh tak tega. Ah, mengapa ia bergaul dengan bangsa perempuan siluman begitu? katanya. In-nio tertawa: Jika tak tega, satu-satunya jalan hanyalah kalau kau lekas-lekas mengejarnya ke Tiang-an. Temui Khik-sia dan tanyalah padanya dengan jelas. Karena mereka menginap di hotel ini, tentulah tujuan mereka akan ke Tiang-an untuk hadir dalam pertemuan Eng-hiong-tay-hwe. Lwekang Khik-sia cukup tinggi, rasanya dengan hanya sedikit luka itu tentu takkan sampai membahayakan jiwanya. Tapi aku tetap merasa heran. Jelas kulihat habis terpukul oleh si hidung besar, ia masih punya tenaga untuk balas memukul. Tapi anehnya, ketika dipondong oleh siluman perempuan itu, ia hanya terpaut sepeminum teh lamanya, tapi ia malah dalam keadaan pingsan, kata Yak-bwe. Oh, itu mudah saja. Ketika Khik-sia terluka, si nona siluman lantas menutuk jalan darahnya sekali, sahut In-nio. Ganas benar siluman perempuan itu. Entah apakah ia hendak mencelakai Khik-sia? In-nio tertawa lagi: Jangan kuatir, nona siluman itu takut kau nanti merampas Khik-sia dan sebaliknya kau kuatir ia akan teledor merawat Khik-sia. Yak-bwe sedih sekali hatinya. Ia kuatir jangan-jangan Khik-sia akan jatuh dalam buaian si nona siluman tapi sebaliknya iapun berharap semoga nona siluman itu merawat Khik-sia dengan baik. Siapa? Lekas unjukkan diri! tiba-tiba In-nio dan Yak-bwe dikejutkan oleh teriakan Bik-hu yang berada di luar kamar. Dengan sebat kedua nona itu melesat keluar. Dilihatnya Bik-hu itu sudah meringkus seseorang. Orang itu meratap minta ampun: Akulah. Tay-ong ampunilah jiwaku! In-nio tertawa cekikikan sebaliknya Yak-bwe lantas menegur: Pui suheng, mengapa kau ringkus pengurus hotel? Kiranya ramai-ramai di atas rumah tadi telah membangunkan para tetamu yang menginap di hotel situ. Mereka kira kalau kedatangan kawanan perampok, maka mereka sangat ketakutan dan sama bersembunyi dan tak berani bersuara. Sebenarnya ciang-kui itu juga ketakutan, tapi sebagai pemilik dari hotel itu, setelah suara ribut-ribut tadi berhenti, ia beranikan diri keluar melihat- lihat. Tahu-tahu ia diringkus Bik-hu. Setelah mengetahui kekeliruannya, Bik-hupun geli juga, segera dilepaskannya ciang-kui itu, katanya: Aku bukan perampok, perampoknya sudah kuhajar lari. Tetamu yang menempati kamar kelas satu ini mengejar penjahat. Mereka adalah kedua orang Se-ik itu. Karena mungkin tetamu di kamar kelas satu itu tak kembali lagi, maka bagaimana dengan uang rekening mereka, apakah sudah dibayar? nyeletuk Yak-bwe. Rasa takut si ciang-kui menjadi berkurang, ujarnya: Memang kedua orang Se-ik itu buas sikapnya, telah kuketahui mereka bukan orang baik, dan ternyata benar bangsa perampok. Banyak terima kasih atas bantuan tay-jin sekalian yang telah melindungi hotel ini. Tetamu di kamar kelas satu ini, sungguh baik sekali. Rekeningnya sudah dibayar oleh si nona, malah kembalinya masih belum kuberikan padanya. Ciang-kui itu menyulur korek. Dilihatnya atap rumah terdapat beberapa lubang. Ia mengeluh panjang pendek. Yak-bwe, simpanan uangmu bolehlah digunakan, kata In-nio. Yak-bwe menerangkan bahwa kim-tau (emas perongkol) yang dibekalnya, tinggal tak seberapa jumlahnya karena sebagian besar sudah ditukarkan dengan perak. Ia mengambil dua biji kim-tau dan seuntai perak yang beratnya 10 tahil, katanya: Ini emas murni, jangan takut. Selain ini kutambahi pula dengan seuntai perak, nah, cukup tidak untuk membikin betul kerusakan atap rumahmu ini? Yak-bwe tak tahu nilai uang, sekali ambil dikeluarkannya emas dan perak. Hal itu membuat
ciang-kui melonjak kaget. Tetapi sebagai pengusaha hotel yang terletak di kota yang menuju ke kota raja, hotelnya itu tergolong hotel kelas satu, banyak kaum saudagar dan orang hartawan yang menginap di situ. Oleh karena itu, pengalamannya luas. Sekali lihat, tahulah ia kalau kim-tau itu memang emas murni. Pikirnya: Untuk membikin betul kerusakan atap yang rusak itu, seuntai perak itu sudah cukup banyak, apalagi ditambah dengan dua biji emas, ah, aku benar-benar ketimpa rejeki besar dari langit! Dengan berseri-seri girang, disambutinya pemberian Yak-bwe itu dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Saat itu sudah hampir terang tanah. In-nio segera ajak Yak-bwe lekas berangkat. Yak-bwe amat bersyukur sekali terhadap cici In-nio nya yang selalu memikirkan kepentingannya itu. Demikian mereka segera tinggalkan hotel itu. Selama dalam perjalanan menuju ke Tiang-an, Yak-bwe tampak bermuram durja. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Khik-sia. Memang apa yang diduga In-nio itu tak meleset. Ketika Khik-sia jatuh dari atas genteng, Su Tiau-ing segera menolongnya. Dalam kesempatan itu, Tiau-ing menutuk jalan darah Khik-sia supaya pingsan. Setelah itu ia segera mencuri kuda putih milik si thau-to untuk melarikan Khik-sia. Kuda putih itu memang bukan sembarang kuda. Dalam beberapa kejap saja, binatang itu sudah lari sampai empat-lima puluh li. Saat itupun baru terang tanah. Pikir Tiau-ing: Rasanya tak mungkin budak perempuan itu mampu mengejar lagi. Hm, dengan kubawa Khik-sia, budak perempuan itu tentu kelabakan. Di sebelah muka tampak sebuah hutan. Di situlah Tiau-ing menurunkan Khik-sia dan dibawa masuk ke dalam hutan, lalu dibukan jalan darahnya yang tertutuk. Begitu membuka mata, dalam keadaan yang masih limbung, Khik-sia segera menarik tangan Tiau-ing, serunya: Adik Bwe, adik Bwe! Tiau-ing melengking tertawa, serunya: Maafkan, aku bukan adik Bwe-mu itu. Lihatlah aku ini siapa? Khik-sia tenang semangatnya, barulah ia ketahui kalau yang dihadapannya itu Su Tiau-ing. Dengan tersipu-sipu merah mukanya, ia segera lepaskan cekalannya: Mengapa aku berada di sini? Apakah di sini hanya ada kau sendiri? Dengan siapa lagi, huh? Kau kira adik Bwe itu akan ikut kemari? sahut Tiau-ing. Tadi karena mendengar suaranya, hatiku tergetar maka sampai jatuh ke bawah. Saat itu kulihat ia lari menghampiri kepadaku. Mengapa, apakah kau tak melihat dia? Dia, dia, apakah si 'dia' yang kau maksudkan itu adalah orang banci yang kau sebut 'adik Bwe' itu? teriak Tiau-ing. Karena kepingin tahu bagaimana keadaan Yak-bwe, terpaksa Khik-sia sabarkan diri, ujarnya: Ya, benar. Dia adalah nona Su yang pernah kukatakan padamu. Dan yang satu adalah taci misannya, nona Sip. Mereka berdua sering berkelana di dunia persilatan dan gemar menyaru menjadi orang lelaki. Ketika aku terluka, bagaimana dengan mereka? Mengapa dalam saat-saat yang genting itu, kau tutuk jalan darahku? Tertawalah Su Tiau-ing: Kau benar-benar tak mau berpikir. Setelah menderita luka beracun, apakah pikiranmu masih sadar? Apalagi ketika itu musuh segera memburu, kecuali membawamu lari bagaimana aku harus bertindak? Kututuk jalan darahmu supaya kau dapat tidur jangan merasakan kesakitan lagi. Hm, tak kira sebaliknya kau malah menyesali aku. Khik-sia seorang ahli silat. Saat itu diam-diam ia salurkan darahnya. Didapatinya Su Tiau-ing telah gunakan ilmu tutuk yang lihay untuk mencegah menjalarnya racun, yaitu dengan menutuk jalan darah di bagian dada. Cara tutukan itu memang dapat mencegah mengalirnya racun ke bagian jantung, tapi orang yang ditutuk tak sampai menderita akibat apa-apa. Khik-sia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing, namun dalam hatinya tetap timbul pertanyaan: Oh, kiranya ilmu silat Tiau-ing itu jauh dari apa yang kuduga. Ternyata ia mahir juga dalam ilmu tutuk. Kalau begitu apakah nona Su dan nona Sip itu sudah bertempur dengan musuh kita? Dia, ya, apakah dia tak mengejarnya? tanya Khik-sia. Dari pertanyaan itu teranglah kalau Khik-sia
menaruh perhatian khusus terhadap Yak-bwe. Tiba-tiba Tiau-ing menghela napas, ujarnya: Sayang, kasihmu yang kau tumpahkan secara mati-matian kepadanya itu, telah dianggap sepi olehnya. Dia telah memakimu, tahu tidak kau? Ya, kudengar juga. Tapi pada saat aku terluka, jelas kulihat ia lari menghampiri ke tempatku, sahut Khik-sia. Tiau-ing tertawa ejek: Benar, ia memang menghampiri, tapi tahukah kau apa tujuannya? Apa tujuannya itu? tanya Khik-sia dengan serentak. Ia datang karena hendak menimpukkan sebatang bwe-hoa-ciam padamu! Khik-sia terhentak kaget: Benarkah itu? Apakah aku pernah berbohong padamu? sahut Tiau-ing dengan yakin. Lalu melanjutkan ceritanya pula: Untung saat itu aku sudah mengangkatmu ke atas kuda, ya, kuda milik si thau-to yang kucuri. Dengan begitu bwe-hoa-ciam tak kena dan iapun tak dapat mengejar kita. Khik-sia tergoyah pikirannya, namunia masih kurang percaya, pikirnya: Apakah ia masih mendendam padaku? -- Pikirannya segera melayang kembali ke gedung keluarga Tok-ko. Ya, ketika itu Yak-bwe dan kakak beradik Tok-ko telah mengerubuti dirinya. Renungan itu telah menambah besar kesangsian Khik-sia terhadap Yak-bwe. Kembali Tiau-ing menghela napas dalam, ujarnya: Ah, aku sungguh turut prihatin padamu. Coba pikirkan, ia bersikap begitu kepadamu, apa katamu jika kelak kau berjumpa padanya? Sebenarnya Khik-sia sudah gundah hatinya dengan keterangan itu. Dengan ditambahi bumbu yang begitu 'sedap' sekali, makin tersedulah hati Khik-sia dalam lautan kepiluan. Demi melihat Khik-sia tertegun seperti patung dan pucat lesi, terkejutlah Tiau-ing. Buru-buru ia menghiburnya: Khik-sia, jangan berduka, lapangkanlah hatimu. Tadi karena kuatir Khik-sia masih terkenang akan Yak-bwe, maka ia telah merangkai cerita untuk meretakkan perhubungan antara pemuda itu dengan Yak-bwe. Tapi demi melihat Khik-sia seperti orang yang kehilangan semangat diam-diam Tiau-ing menyesal, pikirnya: Celaka, sungguh tak kira kalau sedemikian besar kasihnya kepada nona Su itu. Omonganku malah sebaliknya telah membikin sedih hatinya. Saat ini ia masih menderita luka, jangan sampai perasaannya tergoncang. Terbit pertentangan dalam batin Tiau-ing. Sebenarnya dia hendak menceritakan saja kejadian yang sebenarnya, tapi lain perasaannya lagi menguasai batinnya, jangan-jangan setelah Khik-sia mengerti duduk perkara yang sebenarnya lalu tak mau memperdulikan dia (Tiau-ing) lagi. Hatinya bimbang tak dapat mengambil putusan. Sebenarnya searuh bagian yang terakhir dari cerita Tiau-ing tadi, Khik-sia tak menaruh perhatian karena saat itu pikirannya melayang-layang: Ya, benarlah, memang Yak-bwe masih mendendam padaku. Apalagi kini ia telah punya pilihan lain, apabila kelak bertemu padanya, apakah yang akan kukatakan lagi? Huak, tiba-tiba ia menguak dan muntah darah. Luapan kesedihannya telah menggelorakan darahnya. Tiau-ing menjadi sibuk sekali, pikirnya dengan keraskan hati: Lebih baik ia benci padaku, asal jiwanya tertolong. Karena keadaan menjadi begini rupa, lebih baik kukatakan padanya sajalah. Ia menghampiri perlahan-lahan menarik tangan Khik-sia. Dengan suara lembut yang gemetar, ia berkata: Khik-sia, janganlah berduka. Dengarkanlah keteranganku .... Tiba-tiba Khik-sia mengangkat kepalanya dan menukas: Benar, kata-katamu itu memang benar, tak usah kau menasehati lagi aku sudah dapat mengerti sendiri. Kuharap semoga ia berbahagia, agar hatikupun menjadi tenteram. Sejak saat ini, tak mau aku cari kesusahan lagi. Baiklah, anggap saja aku tak pernah berkenalan dengannya. Setelah muntahkan darah, perasaan hati Khik-sia terasa longgar. Apalagi setelah pikiranna dibulatkan, pikirannyapun menjadi tenteram. Sudah tentu Su Tiau-ing menjadi girang tak terhingga, pikirnya: Untung aku belum terlanjur menceritakan hal yang sebenarnya. Ya, jangan putus asa. Dunia bukan sedaun kelor, bukan hanya ada seorang nona Su itu saja. Karena ia tak cinta padamu, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri? Kesehatan badanmu, adalah yang terpenting. Nanti setelah lukamu sembuh, kita bicarakan lagi. Aku mempunyai obat penawar racun, tapi entah dapat digunakan atau tidak, kata Su Tiau-ing.
Tapi Khik-sia menolak dengan mengatakan bahwa lukanya keracunan itu tak berat jadi tak perlu obat penawar. Segera ia duduk bersila untuk menyalurkan lwekang. Racun itu berasal dari luka yang terdapat pada jalan darah lau-kiong-hiat di telapak tangannya. Tapi setelah ditutuk oleh Tiauing, racun itu hanya sampai di siku lengannya saja. Begitu jalan darahnya dibuka, racun itupun menjalar naik lagi, tapi untung belum mencapai ke bagian bahu. Dengan ilmu lwekangnya yang tinggi, dalam beberapa saat saja yang setelah ubun-ubun kepala Khik-sia mengeluarkan asap, dapat mengalirkan racun itu ke bawah lagi. Lewat sepenyulut dupa, racun itu dapat dihalau sampai ke telapak tangan pula. Kala itu sudah fajar. Mataharipun mulai pancarkan sinarnya di antara lebatan daun pohon yang rindang. Hawa pagi sejuk nyaman dan perasaan hati Tiau-ing pun menjadi riang gembira. Pikirnya: Ya, sebentar lagi, racun tentu sudah dapat diusirnya. Setelah lukanya sembuh baru nanti dengan pelahan-lahan akan kuhibur luka hatinya. Tiba-tiba kegirangannya itu dipecahkan oleh derap kaki kuda yang gemuruh suaranya. Rupanya ada belasan ekor kuda yang berlarian datang. Ah, lagi-lagi datang gangguan ..... Su Tiau-ing terkejut, pikirnya: Khik-sia sedang berkutetan menyelesaikan penyaluran lwekangnya. Kalau yang datang itu musuh, bagaimana nanti? Tepat pada pikirannya membayangkan hal itu, sekelompok orang menyusup masuk ke dalam hutan dan mengepung Khik-sia dan Tiau-ing. Ketika mengawasi, Tiau-ing dapatkan pengepungpengepungnya itu tak kurang dari tiga belas orang banyaknya. Dan astaga, si thau-to si hidung besar juga ada. Kiranya kedua orang itu telah mengajak kambrat-kambratnya untuk mengejar Tiauing. Seorang paderi yang memakai jubah warna merah kedengaran berkata: Apakah nona itu adik perempuan dari Su Tiau-gi? Apa kau tak keliru? Kali ini pasti tak keliru! sahut si hidung besar. Siapa anak muda itu? tanya paderi itu pula. Entahlah, tapi ia lihay sekali. Untung telah kuberinya sebuah hantaman hingga ia tak dapat berlari lagi, sahut si hidung besar dengan bangga. Si paderi hanya mendengus, ujarnya: Hm, sekali keluar kalian sudah mencemarkan kewibawaan partai Leng-san-pay, tapi masih berani buka mulut. Dampratan itu telah membuat si hidung besar dan si thau-to menjadi merah padam dan tak berani bercuwit lagi. Kutahu siapa anak muda itu. Dia bernama Toan Khik-sia, sute dari Gong-gong-ji, kata salah seorang rombongan pendatang itu, yakni seorang hweshio yang berdaun telinga besar. Hweshio inilah yang ketika di warung arak di Gui-pok telah keliru menyangka Su Yak-bwe sebagai Su Tiauing. Leng-san-pay telah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengejar jejak Su Tiau-ing. Dan kebetulanlah mereka berjumpa di tempat situ. Setelah mendapat hajaran, si hidung besar dan si thau-to melarikan diri. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan gerombolannya. Si hidung besar dan si thau-to segera diajak untuk mengejar Tiau-ing. Demi mendengar keterangan tentang diri Khik-sia, si paderi itu tampak tertegun, ujarnya: Oh, kiranya sute dari Gong-gong-ji. Baiklah, jangan hiraukan dia, cukup asal meringkus budak perempuan itu saja. Dari kata-katanya itu teranglah kalau paderi jubah merah itu menaruh perindahan terhadap Gong-gong-ji. Tapi bagaimana dengan kedua budak perempuan yang menyaru jadi opsir di hotel itu? tanya si hweshio telinga besar. Kembali si paderi jubah merah mendengus: Karena membikin ribut-ribut di Gui-pok, kau tentu mendapat pil pahit dari kedua nona itu, bukan? Hweshio telinga besar itu menyahut dengan berbisik: Ji-suheng, memang telah kuakui bahwa aku telah keliru menyangka orang. Tapi tadi jit-suheng mengatakan bahwa kemungkinan kedua anak perempuan itu adalah kawan dari budak perempuan ini. Apalagi apabila sampai teruwar bahwa anak buah Leng-san-pay dihajar oleh dua anak perempuan, bukankah memalukan?
Dikili begitu, akhirnya si paderi jubah merah itu mau juga meluluskan: Baiklah, kau kembali untuk mencegat mereka. Hm, jika bukan memandang nama baik partai kita, masakan aku sudi mengurusi urusanmu yang tak berguna itu? Rupanya rombongan pengepung-pengepung dari Leng-san-pay itu, menganggap Khik-sia dan Tiau-ing sebagai ikan yang sudah masuk ke dalam jaring. Mereka tak mau buru-buru turun tangan. Paderi jubah merah itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin. Karena toa-suhengnya tak mau keluar, maka terpaksalah ia sebagai suheng yang kedua, memimpin rombongan. Setelah cukup memberi dampratan pada sute-sutenya, barulah ia mulai mengurusi Su Tiau-ing. Nona Su, aku telah menerima perintah dari kakakmu dan raja suku Ki untuk mengantarkan kau pulang. Harap nona suka menurut saja. Kalau sampai kita didesak turun tangan, ah, sungguh tak menyedapkan pandangan, katanya. Sejak mengetahui siapa pengepung-pengepungnya itu, diam-diam Su Tiau-ing sudah merancang siasat untuk menghadapi mereka. Tiba-tiba ia tertawa: Oh, kiranya kalian adalah anak murid Leng-san-pay? Kalau begitu, kita ini bukan orang luar. Suhuku Shin Ci-koh dan Leng Ciu siangjin adalah sahabat. Ucapan itu telah membuat anak murid Leng-san-pay gelagapan. Ada beberapa orang yang saling berbisik mengatakan kalau Tiau-ing itu tak boleh dibuat main-main. Gerak-gerik mereka itu tak luput dari pengawasan Tiau-ing. Pikirnya: Dengan Gong-gong-ji saja kalian tak berani, apalagi dengan suhuku, masakan kalian tak lekas ngacir. Di luar dugaan si paderi jubah merah tadi mengerut gelap, katanya: Memang telah kuketahui siapa suhumu itu, tapi jangan harap dapat menakuti aku! Jawaban itu telah membuat Tiau-ing terbeliak kaget. Tapi ia teguhkan nyalinya dan tertawa dingin: Baiklah, siapa yang berani turun tangan silahkan maju! Tapi asal suhuku mengetahui, jangan harap kalian ada yang bisa hidup lagi! Masih Tiau-ing coba menggunakan nama suhunya untuk menggertak mereka. Dan memang ada beberapa anggota rombongan yang ketakutan. Tapi si paderi jubah merah itu cepat memberantas ketakutan sute-sutenya: Urusan itu seluruhnya menjadi pertanggungan jawab toa-suheng kita. Ayo, jangan takut meringkusnya! Karena tadi di hotel si hidung besar dan si thau-to telah mendapat hinaan dari Khik-sia dan Tiau-ing, kemudian mendapat dampratan dari ji-suhengnya pula, maka mereka hendak unjuk pahala untuk menebus dosa. Serempak kedua orang itu loncat maju menerjang Tiau-ing. Tiau-ing cepat mencabut pedang Khik-sia dan menghadang di muka anak muda itu. Nona Su, tadi dengan tak sengaja kami telah melukai kekasihmu itu. Janganlah nona coba melindunginya lagi tapi ikutlah pulang dengan kami, kata si hidung besar. Dari jarak tiga meteran, si hidung besar itu telah dorongkan kedua tangannya ke arah Tiau-ing. Seketika Tiau-ing seperti terdampar oleh angin kuat hingga tubuhnya terhuyung-huyung menyurut mundur dua langkah dan berada di belakang Khik-sia. Tertawalah si hidung besar dengan ejeknya: Tak nanti kau dapat melindunginya, pun dia tak nanti dapat melindungimu. Memutar ke samping Khik-sia, ia lantas menyambar Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, si thautopun ikut nimbrung menerjangnya. Tapi dia itu seorang yang berangasan. Walaupun ji-suhengnya sudah memerintahkan supaya hanya meringkus Tiau-ing saja, tapi karena tadi ia mendapat hajaran dari Khik-sia, maka sekarangpun ia hendak membalasnya. Hai, budak kecil, enyahlah kau! serunya sembari mengirim sebuah tendangan pada Khik-sia. Tetapi untuk itu sebaliknya ia harus membayar mahal. Seperti telah diterangkan, saat itu Khiksia sedang memusatkan seluruh lwekangnya untuk mengeluarkan racun yang mengeram di telapak tangannya. Tendang thau-to itu seperti mengenai sebuah bola karet saja yang mempunyai tenaga mementalkan. Karena tendangan itu dilakukan keras, maka makin keras juga reaksi pentalannya. Thau-to itu menjerit keras dan laksana sebuah satelit, tubuhnya terpelanting ke udara dan meluncur melalui atas kepala Khik-sia. Justru pada saat itu si hidung besar sedang ulurkan tangannya menyambar Tiau-ing. Tubuh si thau-to melayang dan tepat menubruk badan si hidung besar. Blek, kedua-duanya sama terjungkal
jatuh dan bergelundungan beberapa meter. Kejadian itu telah mengejutkan rombongan anak murid Leng-san-pay. Bagus, budak kecil, kita tak mau mengurusi kau, tapi sebaliknya kau berani cari perkara pada kami. Ayo, ringkus juga budak itu! teriak si paderi jubah merah. Ia mempelopori dengan sebuah terjangan dan pukulan biat-gong-cian kepada Khik-sia. Tubuh Khik-sia bergoyang, tapi tetap bersila. Pikirnya: Paderi ini lebih lihay dari si hidung besar. Pukulannya saja sudah sedemikian hebat. Ia empos lagi semangatnya untuk mengusir racun yang sudah terdesak di ujung jari tengahnya. Dalam lain kejab saja racun itu tentu sudah dapat disalurkan keluar, tapi jika sampai berkelahi tentu akan menggagalkan usahnya mengusir racun. Sekalipun tak kepalang kejut si paderi demi melihat pukulan biat-gong-ciangnya tak dapat mengapa-apakan Khik-sia, pikirnya: Karena toa-suheng yang menanggung urusan ini, aku tak peduli jika sampai mengikat permusuhan dengan Gong-gong-ji. Karena ia berkepandaian tinggi maka dapatlah ia mengetahui usaha Khik-sia menyalurkan lwekang menghalau racun itu sudah mencapai saat-saat yang menentukan dan karenanya tak dapat menggerakkan tubuh. Seketika timbullah pikirannya: Ayo, hujani ia dengan bacokan! serunya kepada para sutenya. Sudah tentu kawanan sute itu tak berani membangkang. Secepat menghunus golok mereka segera menerjang Khik-sia. Tapi ketika tubuh Khik-sia terancam hujan golok, sekonyong- konyong terdengar suara bentakan: Ayo, siapa yang berani turun tangan! Nadanya melengking nyaring tapi cukup lantang dan menandakan dari seorang wanita. Aneh untuk dikata, suara seruan itu bagaikan jarum yang menusuk anak telinga orang, hingga orang-orang sama tergetar hatinya. Otomatis mereka hentikan langkahnya. Ternyata di samping Su Tiau-ing telah muncul seorang wanita kira-kira berumur 30-an tahun. Rambutnya diikat dengan gelang emas, alisnya panjang dan bahunya menyanggul sebatang hud-tim (kebut pertapaan). Dandanan wanita itu terang bukan orang biasa tapipun bukan bangsa nikoh (rahib). Wajahnya cantik tapi sinar matanya memancarkan sorot dingin yang menyebabkan orang tak berani memandangnya. Ya, aneh benar wanita itu hingga sukar orang menduga keadaan dirinya. Setelah sapukan matanya sejenak, berserulah wanita cantik itu dengan dingin: Ah, kiranya serombongan anak emas dari Leng Ciu lo-koay. Hm, apakah hanya ini saja? Mana toa-suhengmu Ceng-bing-cu? Bermula anak murid Leng-san-pay itu kesima melihat kecantikan wanita itu, maka untuk beberapa saat mereka tak mempunyai rasa permusuhan. Tapi demi membuka mulut si wanita cantik itu lantas menghina suhu mereka sebagai lokoay atau makhluk tua aneh, maka marahlah rombongan murid Leng-san-pay itu. Tapi ketika mereka hendak bertindak, kembali mereka dikejutkan oleh kata-kata terakhir dari wanita cantik itu. Kiranya Ceng-bing-cu itu adalah murid paling disayang oleh Leng Ciu siangjin. Ceng-bing-cu telah mendapatkan tujuh bagian dari kepandaian suhunya. Dalam beberapa tahun yang terakhir ini, Leng Ciu siangjin sudah mengundurkan diri. Segala urusan partai Leng-san-pay diwakili oleh Ceng-bing-cu. Karena itu maka sekalian anak murid Leng-san-pay jeri dan mengindahkan sekali terhadap toa-suhengnya itu. Berserulah si paderi jubah merah: Siapa kau ini? Apakah kenal dengan toa-suheng kami? Kami diperintah toa-suheng untuk mengambil budak perempuan ini. Dalam pada ji-suheng (si paderi jubah merah) mereka berkata itu, para anak murid Leng-sanpay itu saling berkata kasak-kusuk sendiri. Ada yang bilang kalau wanita aneh itu dari golongan jahat. Ada pula yang mengatakan jangan-jangan wanita itu adalah kekasih dari toa-suheng mereka. Mendengar itu ada yang lantas memperingatkan supaya jangan ngerasani (mengatakan di belakang orangnya) toa-suhengnya. Kiranya toa-suheng mereka itu gemar dengan paras cantik. Banyaklah sahabat-sahabat wanitanya dari golongan jahat. Hal itu diketahui oleh para sutenya. Walaupun rombongan anak murid Leng-san-pay itu kasak-kusuk dengan suara pelahan namun rupanya tajam sekali pendengaran wanita cantik itu. Segera wajah wanita itu berubah gelap.
Pada saat itu Tiau-ing sudah hilang kejutnya dan berkatalah ia: Suhu, dengan mengandalkan pengaruh Leng Ciu lokoay, bukan saja mereka menghina padaku pun tak memandang mata juga kepada suhu! Telah kukatakan nama suhu kepada mereka, tapi apa kata mereka? Mereka mengatakan suhu sebagai wanita siluman dan menantang suhu tentu tak berani mencabut selembar bulu dari anak murid Leng-san-pay! Kata-kata Tiau-ing itu telah mengejutkan kawanan anak murid Leng-san-pay. Kini baru tahulah mereka kalau wanita cantik itu kiranya Shin Ci-koh, iblis wanita yang namanya setenar Leng Ciu siangjin di daerah utara. Gerak-gerik Shin Ci-koh itu amat misterius, muncul lenyapnya sukar diduga-duga. Barang siapa berani menyalahinya, jangan harap bisa hidup. Oleh karena itu walaupun tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya sehingga namanya cukup memecahkan nyali setiap orang persilatan, namun tak seorangpun yang dapat menerangkan bagaimana wajah wanita iblis itu. Shin Ci-koh tak punya barang seorang sahabatpun jua. Setiap orang yang menjadi musuhnya tentu sudah dilenyapkan. Karena keganasannya itu, timbullah cerita di kalangan kaum persilatan, bahwa wanita iblis itu tentu berwajah seperti burung kukukbeluk yang menyeramkan. Maka sungguh di luar dugaan rombongan anak murid Leng-san-pay bahwa ternyata iblis wanita itu ternyata seorang wanita cantik yang masih tak begitu tua usianya. Ayo, semua maju! teriak si paderi jubah merah memberi komando kepada sute-sutenya. Ia tahu Shin Ci-koh itu ganas sekali, tak nanti ia dapat lolos dengan selamat. Maka daripada mati konyol lebih baik adu jiwa saja. Ia memperhitungkan betapapun lihay Shin Ci-koh itu tapi kalau dikeroyok sekian banyak orang tentulah dapat dihalau juga. Plak, tiba-tiba terdengar suara tamparan. Ternyata salah seorang murid Leng-san-pay sudah ditampar pipinya oleh Shin Ci-koh. Tamparan itu cepat dan tak terduga-duga datangnya hingga orang yang ditampar itu tak dapat berbuat apa-apa. Yang dilihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pipinya sudah panas kesakitan. Matanya gelap, mulutnya mengerang tertahan dan berbareng dengan muncratnya darah rubuhlah ia tak bernyawa lagi. Orang yang menjadi korban itu bukan lain ialah orang yang mengatakan bahwa Shin Cik-koh itu adalah gula-gula dari toasuhengnya (Ceng-bing-cu). Menyusul cepat sekali Shin Ci-koh sudah ayunkan pula hud-timnya. Plak, kembali seorang anak murid Leng-san-pay hancur batok kepalanya. Si hidung besar maju dan lancarkan pukulan beracun. Pukulanmu yang beracun ini telah mencelakai banyak orang, nah, sekarang biar kau nikmati sendiri betapa rasanya racun itu! Segera Shin Ci-koh kebutkan hud-timnya, tahu-tahu si hidung besr rasakan ujung siku lengannya seperti tertusuk jarum. Tanpa dapat ditahan lagi, tangannya membengkok dan plak, ia memukul dirinya sendiri. Seketika itu juga rubuhlah ia. Shin Ci-koh tarikan hud-timnya. Ditingkah dengan ketawanya yang bernada dingin, beberapa murid Leng-san-pay silih berganti rubuh ke tanah. Lemah gemulai tampaknya gerakan hud-tim itu, tapi dengan saluran lwekang tinggi, hud-tim itu dapat berubah menjadi keras dan lunak. Sesaat kencang menjadi pangkal untai, sesaat buyar seperti tebaran ijuk. Apabila kencang (kempal), merupakan seperti thiat-pit (pit besi) yang dapat ditutukkan ke batok kepala, sedang apabila lepas bertebaran dapat digunakan sebagai jarum-jarum yang menusuk jalan darah. Maka orang-orang yang menjadi korbannya itu kalau tidak batok kepalanya pecah berhamburan tentulah jalan darahnya yang tertusuk. Jika batok kepalanya hancur, tentu seketika binasa. Tapi jikalau jalan darahnya tertusuk, tentu akan menderita siksaan yang ngeri, mati tidak hidup tidak. Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh korban itu, hanyalah mengerang-erang kesakitan dengan rintihan yang mengenaskan. Kawanan anak murid Leng-san-pay itu biasa merajalela dengan segala kecongkakannya. Tapi sekali berjumpa dengan seorang iblis wanita macam Shin Ci-koh, keganasan mereka itu ternyata masih kalah jauh. Dalam pertempuran maut itu, bergelimpangan tubuh-tubuh kawanan anak murid Leng-san-pay itu, ada yang tewas, ada yang terluka dan ada yang berusaha untuk melarikan diri. Sebagai murid kedua dari Leng Ciu siangjin, si paderi jubah merah itu tak tega melihat para sutenya didera begitu hebat. Dengan besarkan nyali, terpaksa ia maju menyerang. Kalau
dibandingkan dengan kawanan sutenya itu, sudah tentu kepandaiannya jauh lebih tinggi. Setelah lepaskan jubahnya, ia segera gunakan jubah itu untuk menghantam Shin Ci-koh. Wut. Wut, terdengarlah suara benda menderu dan tahu-tahu sebelum ia sempat mengetahui jubahnya itu terasa berat sekali dan tertekan ke bawah. Buru-buru ia kerahkan tenaganya untuk mengangkat ke atas. Bluk, bluk, terdengarlah dua sosok tubuh berjatuhan dari lipatan jubahnya itu. Dan berbareng itu terdengarlah dua buah jeritan ngeri. Kiranya Shin Ci-koh menyambar dua orang anak murid Leng-san-pay terus dilemparkan ke arah si paderi. Diayun-gontaikan oleh permainan jubahnya, sudah tentu kedua sutenya itu tak bernyawa lagi. Kau punya mata tapi tak ada gundunya, perlu apa? Shin Ci-koh tertawa mengejek. Baru si paderi jubah merah berhasil mengibarkan jubahnya ke atas, sebelum ia sempat berjagajaga, tahu-tahu kedua matanya terasa seperti disusupi jarum, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Seketika itu benda di sekelilingnya menjadi gelap gulita. Ternyata ia sudah buta. Buru-buru bolang-balingkan jubahnya terus melarikan diri sekencang-kencangnya. Shin Ci-koh mengejar. Sekali kebutkan hud-tim, belasan lembar bulu kebut itu melayang menyusup ke punggung empat lima anak murid yang melarikan diri bersama si paderi. Segera mereka bergulingan di tanah dan menjerit ngeri. Tapi si paderi yang sudah buta matanya itu, tak mendapat persen bulu kebut lagi. Tertawalah Shin Ci-koh: Hari ini aku melanggar peraturan, sengaja mengampuni jiwamu agar kau dapat pulang memberi kabar. Katakan pada Leng Ciu lokoay, lekas serahkan Ceng-bing-cu padaku. Kalau tidak aku akan datang sendiri mengorek biji mata Ceng-bing-cu kemudian membeset kulitnya. Mengapa Shin Ci-koh sangat membenci Ceng-bing-cu? Kiranya disitu terdapat persoalannya. Sebenarnya Shin Ci-koh itu sudah berumur 40-an tahun, tapi dasar orang cantik, tampaknya seperti masih belum mencapai umur 30 tahun. Apabila orang baru mengenalnya tentu tak mengira kalau ia adalah seorang iblis wanita yang termasyhur ganas. Pada suatu hari berpapasanlah Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh di tengah jalan. Dasar orang bermata keranjang dan belum kenal siapa Shin Ci-koh itu, maka Ceng-bing-cu sudah coba untuk menggodanya. Dalam marahnya Shin Ci-koh lantas menghajarnya. Untung karena memandang muka Leng Ciu siangjin, maka Shin Ci-koh memberinya ampun. Sudah tentu Ceng-bing-cu tak dapat melupakan hinaan itu. Tapi ia tak berani menceritakan kepada suhunya. Setelah merawat lukanya dan pulang ke gunung ia tetap menyimpan rahasia itu untuk menunggu kesempatan menuntut balas. Beberapa tahun kemudian, barulah kesempatan itu tiba. Kesempatan itu ada hubungannya dengan diri Su Tiau-ing. Seperti telah diketahui, setelah kalah perang, Su Tiau-gi dan adiknya menggabungkan diri pada raja pribumi suku Ki. Raja itu hanya mempunyai seorang putera, ialah Chomulun yang pernah dipecundangi oleh Khik-sia tempo hari. Chomulun jatuh hati pada Su Tiauing. Beberapa kali ia ajukan lamaran, tapi selalu ditolak oleh Tiau-ing. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa dimana Tiau-ing telah membelakangi engkohnya dan melarikan diri dengan Khik-sia. Kejadian itu telah menggoncangkan hati Chomulun. Pertama, kecongkakkannya telah dihancurkan oleh Khik-sia. Kedua kali gadis yang dirinduinya dilarikan oleh Khik-sia. Sudah tentu ia kelabakan seperti kebakaran jenggot. Dengan murkanya ia mendesak Tiau-gi supaya mencari adiknya sampai dapat, kalau tidak ia akan mengusir Tiau-gi. Su Tiau-gi menjadi sibuk juga. Pikir punya pikir, tetap ia tak berdaya. Akhirnya ia minta advis kepada Ceng-ceng-ji. Ternyata Ceng-ceng-ji juga jeri berhadapan dengan Khik-sia. Tapi ia teringat kepada Ceng-bing-cu yang gemar paras cantik itu. Diusulkannya kepada Su Tiau-gi untuk minta bantuan pada Ceng-bing-cu. Su Tiau-gi menerima baik dan atas nama ia dengan raja suku Ki, ia mengirim utusan untuk minta bantuan pada Leng-san-pay dengan membawa sejumlah bingkisan berharga. Setelah mendapat keterangan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid kesayangan dari Shin Ci-koh, timbullah suatu rencana pada Ceng-bing-cu. Dengan menggunakan kesempatan itu ia hendak mengadu domba suhunya dengan Shin Ci-koh. Waktu ia memberitahukan kepada suhunya tak disinggung-singgungkan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid dari Shin Ci-koh. Ia hanya
mengatakan bahwa Su Tiau-gi dan raja suku Ki minta bantuan supaya menangkapkan seseorang. Ceng-bing-cu tahu bahwa Leng Ciu siangjin itu mempunyai ambisi (hasrat) untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Ini menjadi bahan untuk mengobarkan hati suhunya. Dikatakannya bahwa Su Tiau-gi itu kelak tentu akan berhasil dalam usahanya besar. Apabila Leng-san-pay membantunya, kelak apa bila Su Tiau-gi berhasil menjadi raja, Leng-san-pay tentu akan diberi prioritas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Karena usianya yang sudah lanjut, pikiran Leng Ciu siangjin itu sudah tak terang lagi. Segala apa ia hanya menurut apa yang direncanakan oleh murid kepala itu. Akhirnya ia memutuskan supaya mengatur pengejaran. Sebenarnya Ceng-bing-cu sudah memperhitungkan bahwa nantinya Shin Ci-koh tentu akan tampil campur tangan. Tapi justru memang itulah yang dikehendakinya agar iblis wanita itu bentrok dengan Leng Ciu siangjin. Tentang kematian dari belasan anak murid Leng-san-pay itu, sama sekali tak dihiraukan oleh Ceng-bing-cu. Malah hal itu merupakan umpan. Apabila Shin Cikoh membunuh anak murid Leng-san-pay, kala itu sekalipun tahu bahwa pembunuhnya adalah Shin Ci-koh, namun Leng Ciu siangjin tentu pantang mundur dan tentu akan menggempur Shin Ci- koh. Pengerahan anak buah Leng-san-pay secara besar-besaran untuk mencari jejak Su Tiau-ing, telah menggerakkan hati Shin Ci-koh. Dan seperti yang sudah diperhitungkan Ceng-bing-cu, benar juga iblis wanita itu muncul dan membasmi sekawanan anak murid Leng-san-pay. Dalam pertempuran itu selain si paderi jubah merah yang buta matanya, dua belas orang anak murid Lengsan- pay telah binasa di tangan Shin Ci-koh. Berselang beberapa jenak, suasana hutan yang menjadi gelanggang pertumpahan darah itu kembali menjadi tenang. Beberapa korban yang tadi masih merintih-rintih kesakitan, kini sudah putus jiwanya. Mayat bergelimpangan di sana-sini, hawa busuk bertebaran dibawa angin. Pemandangan pada saat itu, sungguh mengerikan. Sampaipun Khik-sia yang menganggap kematian kawanan anak murid Leng-san-pay itu memang sudah selayaknya, namun hatinya tetap tergetar dengan apa yang disaksikan itu. Pikirnya: Suhu dari Su Tiau-ing ini memang sakti sekali, tapi kelewat ganas. Sungguh tak kira, seorang wanita yang sedemikian cantiknya, ternyata seorang iblis yang suka menghirup darah manusia. Tiba-tiba ia teringat akan peristiwa ketika Su Tiau-ing menggebah pergi toa-suhengnya (Gonggong- ji). Cukup dengan menyebutkan nama suhunya, Su Tiau-ing telah membikin Gong-gong-ji lari ketakutan. Diam-diam ia merasa heran dan bertanya dalam hati: Benar kepandaian suhu Tiauing itu jarang terdapat di dunia persilatan, tapi rasanya juga tak melebihi toa-suheng. Tapi mengapa toa-suheng begitu ketakutan mendengar namanya saja? Dan toa-suheng itu biasanya berhati tinggi tak takut pada siapapun juga. Heran, mengapa ia jeri terhadap iblis wanita ini? Saat itu Khik-sia dengan gunakan lwekang yang tinggi telah dapat melokalisir (mengumpulkan) racun di tubuhnya dan disalurkan ke ujung jari tengah. Sekali jari tengahnya digetarkan, racun yang sudah kental menjadi sebesar biji kedele mengucur keluar dari lubang lukanya. Tepat pada saat itu, Shin Ci-koh pun berpaling. Melihat perbuatan Khik-sia, diam-diam ia merasa kagum juga. Su Tiau-ing cepat mengeluarkan sapu tangan. Tapi ketika hendak membalut luka Khik-sia, anak muda itu sudah menolaknya dan terus angkat kaki. Hai, hendak kemana kau? teriak Tiau-ing. Sahut Khik-sia dengan tawar: Suhumu sudah datang, tak perlu kutemani kau lagi. Tentang urusan Kay-pang, kelak apabila aku sudah tiba di Tiang-an tentu kukabarkan padamu. Hai, kau ini bicara sungguh-sungguh atau main-main? seru Tiau-ing dengan sibuknya. Sekali tubuh Khik-sia bergerak, ia sudah melesat beberapa tombak jauhnya. Baru ia hendak menyahut, tiba-tiba terdengar sambaran angin. Ternyata Shin Ci-koh menyerang punggunnya dan mendamprat: Budak kecil yang tak tahu adat. Telah kutolong menghalaukan musuh, sepatahpun kau tak mengucapkan terima kasih. Bret, dalam pada ia berkata-kata itu, tangannya sudah menyentuh bahu Khik-sia. Tapi Khik-sia sudah meluncur pergi, yang kena disambar hanyalah bajunya saja hingga robek. Ia berpaling ke belakang dan dilihatnya Tiau-ing berseru kepada suhunya dengan cemas: Suhu, dia adalah Gong ....
Aku sudah tahu kalau dia sute dari Gong-gong-ji. Ilmu gin-kangnya juga hampir menyamai suhengnya itu, tukas Shin Ci-koh. Sebenarnya jika Khik-sia keluarkan seluruh ilmu gin-kangnya, dalam jarak sepuluh li, mungkin Shin Ci-koh masih dapat mengejarnya, tapi selewatnya jarak itu tentu tak mampu menyusulnya lagi. Khik-sia tahu juga akan hal itu. Sebenarnya ia bisa menyingkir saja tapi setelah mendengar dampratan Shin Ci-koh tadi, ia merasa dirinya memang kurang pantas. Walaupun tak senang kepada iblis wanita itu, tapi terpaksa ia berhenti juga dan memberi hormat: Baiklah, dengan ini aku menghaturkan terima kasih padamu. Jangan buru-buru pergi dulu, kata Shin Ci-koh. Kemudian ia bertanya kepada Su Tiau-ing: Pernah janji apa dia kepadamu? Ia pernah meluluskan mengawani aku ke Tiang-an, sahut Tiau-ing yang kemudian menuturkan tentang urusan Kay-pang. Berkata Shin ci-koh tawar-tawar kepada Khik-sia: Dalam hal ini kaulah yang salah. Kaum persilatan paling menjunjung janji, mengapa kau lantas mau pergi seenakmu sendiri saja? Hm, kau kira aku tak dapat menghadangmu? Hm, mengapa kau dengan suhengmu itu setali tiga uang? Tanpa menyerahkan tanggung jawab lantas mau ngacir pergi? Khik-sia memang mempunyai sifat ksatria. Bukan karena takut dengan gertakan Shin Ci-koh yang menggunakan alasan kuat itu. Terutama ketika wanita itu menyebut-nyebut nama toasuhengnya, tertariklah hati Khik-sia. Benar, memang aku telah berjanji bersama kau ke Tiang-an, tapi dari sini ke kota itu hanya dua hari perjalanan saja. Kamu berdua suhu dan murid saling berjumpa, tentunya mempunyai banyak hal yang akan dibicarakan. Aku hanya orang luar, jika mengikuti perjalananmu, bukankah hanya akan menimbulkan kejemuanmu saja? Itulah makanya aku akan pergi ke Tiang-an lebih dulu dan menunggu kalian di sana. Tentang pertentanganmu dengan kaum Kay-pang, setelah aku tiba di Tiang-an tentulah aku akan berusaha untuk mencari penyelesaiannya. Ini bukan berarti aku hendak mengingkari janji, bantah Khik-sia. Shin Ci-koh tertawa, tegurnya: Ing-ji, apakah kau benci kepadanya? Wajah Tiau-ing kemerah-merahan: Suhu, kau, kau tentu sudah mengerti sendiri. Aku, aku tak mau mengatakan. Kembali Shin Ci-koh tertawa: Benar, jika kau benci padanya, tak nanti kau suruh dia mengantarmu ke Tiang-an. Hanya saja, aku tak suka dengan budak itu. Tiau-ing terbeliak, tapi ia tak berani bersuara, melainkan mencuri lihat ke arah suhunya. Dilihatnya wajah sang suhu tak menampilkan kemarahan, maka bingung ia memikirkan apakah suhunya itu berkata sungguh-sungguh atau hanya bergurau saja. Baik, tapi mengapa kau tahan aku? demikian Khik-sia hendak mengejek Shin Ci-koh. Tapi belum sempat ia mengutarakan, Shin Ci-koh sudah mendahuluinya: Aku benci padanya karena dia sute dari Gong-gong-ji. Kubenci padanya karena ia serupa dengan suhengnya itu. Tapi karena bukan aku yang minta ditemani, asal kau tak benci padanya, tak apalah. Oh, bukankah suhu juga akan pergi ke Tiang-an? tanya Su Tiau-ing. Apa itu Eng-hiong-tay-hwe dari Cin Siang, masih belum masuk hitunganku. Aku tak berminat melihatnya, sahut Shin Ci-koh tawar-tawar. Tiau-ing menjunjung suhunya: Ya, benar, memang siapakah yang berani bertepuk dada di hadapan suhu? Bukan begitu, soalnya memang selama ini aku belum pernah berjumpa dengan seorang gagah sejati. Misalnya, Gong-gong-ji itu, bermula kuanggap ia sebagai seorang ksatria, siapa nyana nyalinya kecil sekali. Oh, berbicara tentang Gong-gong-ji, aku memang masih akan mencarinya untuk melampiaskan kemarahanku. Khik-sia senantiasa mengindahkan sekali kepada toa-suhengnya. Maka marahlah ia ketika mendengar Shin Ci-koh menghina toa-suhengnya itu: Apa buktinya kalau toa-suhengku bernyali kecil. Apakah kau mempunyai dendam kepadanya? Sebenarnya Khik-sia masih mempunyai beberapa patah kata yang hendak dikatakan kepada Shin Ci-koh, ialah: Tentang dendammu kepada suhengku itu, jika kau tak dapat mencarinya,
akulah yang akan mewakilinya. Tapi ia pikir, ucapan itu berarti menantang pada Shin Ci-koh. Meskipun Khik-sia tak takut kepada wanita iblis itu, tapi mengingat bahwa tadi ia telah memberi pertolongan, maka sungkanlah ia untuk menentangnya. Ia hendak pertimbangkan hal itu apabila sudah mendapat jawaban dari wanita itu. Melihat Khik-sia bicara begitu getas, diam-diam cemaslah Tiau-ing. Tapi di luar dugaan, dari marah sebaliknya suhunya itu malah menghela nafas, ujarnya: Meskipun kau sutenya, tapi urusannya tak dapat kau wakili, pun tak boleh kau turut campur. Kalau bukannya bernyali kecil, mengapa suhengmu selalu menghindari aku saja? Tapi bagaimanapun juga tak nanti seumur hidup ia dapat menghindarkan diri, dalam hal itu tak usah kau menguatirkan aku! Pikir Khik-sia: Uh, kalau kau tak mampu mencari suhengku, itulah urusanmu sendiri, perlu apa aku menguatirkan kau? Ia rasa ucapan Shin Ci-koh itu agak aneh, tapi yang nyata nadanya tak mengandung permusuhan terhadap Gong-gong-ji. Tiba-tiba wajah Shin ci-koh mengerut, ujarnya: Tak usah membicarakan suhengmu lagi dan sekarang tentang urusanmu saja. Kau telah mendengar jelas, pertama aku tak berniat ke Tiang-an maka aku pun segera berpisah dengan Tiau-ing lagi. Dan aku pun tak ada omongan apa-apa dengannya. Kedua: aku benci padamu, tapi Tiau-ing tidak. Ia masih menghendaki kau menemaninya ke Tiang-an. Kau sudah meluluskan, sekarang apa kau menyesal? Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa lagi, sahutnya: Karena kau tak menuju ke Tiang-an, biarlah aku yang mengantarkan nona Su kesana. Di udara terdengar suara berkaok-kaok. Ternyata beberapa burung elang karena melihat beberapa sosok mayat di tanah, lantas mau melayang turun. Kurang ajar! seru Shin Ci-koh seraya kibaskan hud-tim ke atas. Beberapa lembar bulu hudtim bertebaran di udara. Beberapa ekor burung elang itu sama berhamburan jatuh ke bumi. Kemudian menatap Khik-sia dengan sikap mengancam, berkatalah wanita iblis itu: Eh, budak kecil, kau harus memperlakukan muridku baik-baik. Jika kau berani menghinanya, sekalipun kau punya sepasang sayap, tapi jangan harap dapat lolos dari tanganku. Habis berkata, wanita itu lantas angkat kaki. Perut Khik-sia menjadi keras karena menahan kemarahan, pikirnya: Kepandaian wanita ini juga bukan yang nomor satu, tapi garangnya tiada bandingannya. Mungkin suhengku itu jeri akan kegarangannya, hanya karena ia seorang wanita maka suheng segan cari perkara padanya. Ayo, jalan! karena kemengkalannya belum reda, maka Khik-sia secara dingin segera menyuruh Tiau-ing diajak berangkat. Sambil putar tubuh, dengan nada yang tak kurang dinginnya Tiau-ing menyahut: Jalanlah sendiri! Eh, aneh. Bukankah tadi kau mendamprat aku karena tak mau menemanimu, mengapa sekarang suruh aku pergi? tegur Khik-sia. Mata Tiau-ing menjadi merah: Khik-sia, sekarang barulah aku tahu. Ternyata kau tak suka padaku! Khik-sia kerutkan alis: Mengapa kau katakan begitu? Tiau-ing tertawa: Jika bukan benci padaku, mengapa kau selalu hendak kau tinggalkan aku? Benar memang kita bukan sanak bukan kadang, tapi rasanya setelah bergaul beberapa hari ini, apakah tak pantas disebut sebagai sahabat? Jilid 10 Anggaplah aku bukan sahabatmu, tapi sekurang-kurangnya tadi aku telah menolong jiwamu. Mengingat itu saja, pantaskah kau bersikap sedingin itu kepadaku? Kutahu kau memang tak suka menemani aku, baiklah, silahkan kau pergi sendiri! kata Tiau-ing pula. Teringat akan kebaikan Tiau-ing, lemaslah hati Khik-sia. Ia anggap apa yang dikatakan Tiauing itu memang benar. Dari marah kini ia malah kuatir jangan-jangan Tiau-ing akan marah. Maka iapun segera minta maaf kepada nona itu. Kini tertawalah Tiau-ing: Baiklah, karena kau menyatakan suka menemani aku, naiklah ke atas
kuda. Khik-sia tertegun, serunya: Kau saja yang naik, biar aku berjalan. Kutahu kau memang bisa berjalan, tapi rasanya tak leluasa di perjalanan menggunakan ginkang. Bukankah tadi kita juga naik kuda berdua? Apalagi kau bukan bangsa pemuda desa mengapa sekarang main malu-maluan? Ketika tampak Khik-sia masih ragu-ragu. Tiau-ing lanjutkan kata-katanya: Tidakkah kau ingin lekas-lekas tiba di Tiang-an? Sesampainya di sana segera kau dapat tinggalkan aku, bukankah ini yang kau harap-harapkan? Masih ada satu hal lagi, segera setelah tiba di Tiang-an, kaupun lantas dapat mencari adikmu Bwe itu! Khik-sia kemerah-merahan dibuatnya, sahutnya: Telah kukatakan, sejak saat ini kuanggap aku tak kenal padanya, mengapa kau masih mengungkat hal itu pula? Baik, ayo, naik! Sebenarnya walaupun mulutnya mengatakan begitu tapi dalam hatinya Khik-sia ingin lekaslekas tiba di Tiang-an. Meskipun tak dapat berjumpa dengan Yak-bwe tapi paling tidak ia tentu dapat menyirapi kabarnya. Setitikpun ia tak mengira adanya Tiau-ing mendesaknya supaya boncengan naik kuda itu,maksudnya tak lain hanya supaya dapat menghindari pengejaran Yak- bwe. Pada waktu keduanya boncengan, Khik-sia segera membaui bau yang harum sehingga semangatnya melayang-layang. Diam-diam ia mengeluh: Urusan di dunia ini memang sukar diduga-duga. Su Tiau-ing ini tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, pun seorang dari golongan jahat, tapi bergaul begini rapat padaku. Sebaliknya sejak lahir aku dengan Yak-bwe itu sudah dipasangkan menjadi suami isteri, sekarang malah memusuhi aku. Terlintas pula dalam pikirannya: Perangaiku kasar sehingga sering menimbulkan kesalahan paham yang menyakiti hatinya. Kalau ia sampai tinggalkan aku itulah sudah selayaknya. Ah, sekarang ia sudah punya pilihan, kelak hubungan kita hanya terbatas seperti orang yang tak kenalmengenal. Ai, kau melamun apa lagi? tiba-tiba Su Tiau-ing menepuk bahu Khik-sia. Lekas pegang erat-erat kendali. Kuda ini terlampau pesat larinya, dapat tinggi loncatnya, hampir saja aku dilemparkan! Khik-sia tenangkan pikirannya, namun pikirannya tetap mengenangkan Yak-bwe saja: Meskipun aku dengan Yak-bwe tak dapat menjadi kawan hidup, tapi dalam kalbuku hanya ada dia seorang. Meskipun Tiau-ing itu baik sekali kepadaku, tapi aku tak dapat menerima hatinya. Kemudian ia teringat akan saat-saat Yak-bwe berteriak. Saat itu ia dalam keadaan hampir pingsan. Masih terngiang dalam telinganya kalau Yak-bwe berteriak kaget dan lari menghampirinya seraya memanggil namanya. Ya, jika ia sudah melupakan aku, mengapa ia berbuat begitu? Ah, bila Tiau-ing tak menutuk jalan darahku dan cepat-cepat membawa aku lari, aku tentu dapat berbicara dengan Yak-bwe. Tapi hal itupun tak dapat mempersalahkan Tiau-ing. Ia kan tak tahu bagaimana hubunganku dengan Yak-bwe. Tindakan Tiau-ing itu semata-mata karena hendak menyelamatkan jiwaku, pikirnya lebih lanjut. Ah, sungguh kasihan Khik-sia. Ia sudah menelan mentah-mentah cerita yang dikarang Tiau-ing. Padahal yang nyata, Yak-bwe ketika itu hendak menolong Khik-sia tapi ditabur bwe-hoa-ciam oleh Tiau-ing. Anak buah Leng-san-pay itu datang dari perbatasan Tibet, oleh karena itu kuda mereka adalah kuda istimewa jenis keturunan Tong-ki. Kuda putih yang dicuri Tiau-ing itu merupakan kuda pilihan yang istimewa. Larinya secepat angin hingga penunggangnya serasa terbang melalui tebaran awan. Toa-suheng masih dapat mengejar lari kuda ini tapi kurasa aku tak mampu, Khik-sia menilainilai ilmu gin-kangnya. Satu keuntungan lagi bagi Khik-sia adalah, meskipun lari kuda putih itu secepat angin, tapi melalui jalan besar yang penuh dengan orang-orang berjalan selama itu, kuda tersebut dapat menyelinap dengan tangkasnya hingga tak sampai menubruk mereka. Memang orang-orang yang berada di jalananan itu sama terbeliak kaget tapi perasaan mereka hanya terbatas dari rasa heran dan kagum atas kecepatan lari binatang itu. Bahwa penunggangnya ternyata sepasang muda-mudi yang boncengan, mereka tak sempat memperhatikan lagi. Karena itu, maka selama dalam perjalanan,
Khik-sia tak mengalami gangguan suatu apa. Dalam buaian lamunan yang tak keruan itu, tahu-tahu Khik-sia sudah tiba di kaki gunung Lusan. Setelah melalui gunung itu, kira-kira duapuluh li lagi akan tibalah sudah mereka di kota raja. Kala itu sudah lohor, dua jam kemudian baru petang hari tiba. Malam nanti kita akan makan di rumah makan ternama di Tiang-an. Betapalah girangnya! Tiau-ing membuka pembicaraan dengan tertawa. Kau toh bukan anak kecil, mengapa begitu rakus hanya memikirkan makan enak saja? sahut Khik-sia dengan tertawa juga. Sudah tentu Khik-sia tak tahu bahwa kegirangan Tiau-ing itu bukan disebabkan karena hendak makan enak melainkan karena dapat terlepas dari kejaran Yak-bwe. Ketika hampir tiba di Tiang-an, Khik-sia juga girang sekali hatinya. Baru ia hendak bergurau dengan Tiau-ing, tiba-tiba nona itu membentaknya keras: Lekas putar kuda balik kembali! Khik-sia terkejut melihat sikap Tiau-ing yang kelihatan gugup sekali itu. Pesat sekali lari kuda putih itu, untuk segera menghentikan dan memutar haluan tak mungkin dilakukan secara serentak. Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya lagi, barulah Khik-sia terkesiap kaget. Kiranya di sebelah depan sana tampak menghadang sebuah barisan pengemis. Mereka terdiri dari empat orang. Yang berdiri di tengah, Khik-sia lantas mengenalnya sebagai Hong-kay Wi Gwat. Sebelah kirinya yakni pengemis yang agak muda adalah ketua Kay-pang yang baru Ciok Ceng Yang. Sedang yang di sebelah kanan Wi Gwat adalah Ji tianglo. Tapi di sebelahnya lagi terdapat seorang pengemis tua yang Khik-sia tak mengenalnya. Wi lo-cianpwe, aku justru hendak mencarimu. Tak nyana kita dapat berjumpa di sini, teriak Khik-sia dengan kegirangan. Berbareng itu kuda Khik-sia pun tiba di hadapan kelompok jago-jago dari Kay-pang. Tiba-tiba Wi Gwat ngangakan mulutnya. Serangkum arak menyembur keluar. Rupanya kuda putih itu tajam sekali perasaannya. Cepat ia meramkan matanya. Tapi sekalipun begitu, mukanya kena juga oleh semburan arak yang panas sekali. Kuda itu meringkik keras dan melonjak-lonjak seperti kuda binal. Seketika itu juga Tiau-ing terlempar ke tanah. Khik-sia terkejut sekali, cepat iapun segera loncat turun dan lari menghampiri Wi Gwat, serunya: Wi lo-cianpwe, harap jangan turun tangan. Aku hendak menyampaikan berita padamu. Wi Gwat menyambar lengan Khik-sia dan seenaknya saja ia berkata: Siau Toan, jangan gugup, ayo minum arak dulu Ia membuka sumbat buli-buli araknya dan berkata pula: Ini adalah arak simpanan dua puluh tahun yang lalu, cobalah cium betapa wanginya. Hanya sayang buli-buliku merah tempo hari dirusakkan Ceng-ceng-ji. Buli-buli yang ini kwalitetnya masih kalah, coba bulibuliku merah itu masih, arak ini tentu lebih hebat lagi rasanya. Khik-sia gugup dibuatnya: Nanti saja minum arak masih tak terlambat .... Pada saat itu Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo sudah mengepung Tiau-ing dari muka belakang. Wajah nona itu menjadi pucat. Ia memandang pada Khik-sia tapi tak berani buka suara. Tahan dulu, jangan turun tangan. Wi lo-cianpwe, berita ini penting sekali, harap kau suka mendengarkan penuturanku lebih dulu. Wi Gwat si Pengemis Gila itu mengeliat lalu meneguk araknya. Kemudian tenang-tenang ia berkata: Berita apa, ha? Penting sekalikah? Baiklah, kau boleh katakan! Khik-sia cepat-cepat memberi keterangan: Aku sudah tahu akan tempat beradanya Ciu pangcu. Ia belum binasa tapi ditahan di sebuah tempat suku Ki. Hanya nona Su ini yang tahu akan letak tempat itu. Meskipun dahulu nona Su ini berbuat sesuatu yang kurang baik terhadap Ciu pangcu, tapi kali ini ia bersungguh hati hendak berunding dengan Kay-pang. Ia bersedia untuk melepaskan Ciu pangcu, harap lo-cianpwe sekalian jangan membikin susah dulu padanya. Kelopak mata Wi Gwat berbeliak, ujarnya: Mau berunding apa lagi? Apa yang hendak ia rundingkan padamu, aku tak tahu. Silahkan tanya sendiri padanya. Wi locianpwe, Ciok pangcu, hanya ia satu-satunya orang yang tahu tempat tahanan Ciu pangcu itu, harap jangan turun tangan dulu. Khik-sia perlu menegaskan hal itu sekali lagi karena dilihatnya saat itu Ciok Ceng-yang makin mendekati Tiau-ing. Sikapnya sudah menandakan hendak menyerang.
Siau Toan, ai, rupanya kau belum berkenalan dengan sutitku ini, nah, biar kuperkenalkan, Wi Gwat tertawa. Menunjuk pada pengemis tua yang berada di sisinya, berkatalah Wi Gwat: Inilah sutit-ku yang bernama Ciu Ko dan inilah sute dari Gong-gong-ji yang bernama Toan Khik-sia! Ciu Ko tertawa: Sudah lama kudengar namamu. Selama aku tak berada, Ciok sute memberitahukan padaku kalau kau banyak sekali membantu pada partai kami. Khik-sia tertegun. Diam-diam hatinya mengulangi nama Ciu Ko sampai beberapa kali. Sekonyong-konyong ia menjerit: Astaga! Kau ini Ciu pangcu? Jadi kau sudah bebas?! Ciu Ko tertawa: Benar, Ciu Ko memang aku ini dan aku adalah Ciu Ko. Terima kasih atas kebaikanmu hendak menolong aku. Khik-sia tercengang-cengang melongo. Kini barulah ia mengerti mengapa tadi Tiau-ing begitu gugup sekali suruh ia lekas-lekas putar haluan kudanya. Kiranya Ciu Ko sudah bebas, itu berarti bahwa modal Tiau-ing untuk berunding dengan kaum Kay-pang sudah lenyap. Atau lebih bagus lagi, dengan kesamplokan pada tokoh-tokoh Kay-pang saat itu, berarti Tiau-ing seperti ular cari pentung. Setelah mengucapkan terima kasihnya kepada Khik-sia, wajah Ciu Ko berubah serius. Beralih memandang kepada Tiau-ing, berserulah ketua Kay-pang dengan geramnya: Siluman perempuan, kau telah memikat muridku sehingga binasa. Selembar jiwaku yang tua ini, pun hampir melayang di tanganmu. Hari ini kau berhadapan dengan aku, apakah kau masih mengharap bisa lolos? Ciok sute, lekas ringkus dia! Aku hendak mengadakan upacara sembahyangan untuk menyajikan dagingnya kepada arwah Uh-bun Jui! Mengapa Ciu Ko tiba-tiba sudah bebas dan berada di situ? Marilah kita mundur sejenak. Kiranya sewaktu Tiau-ing memberi perintah kepada budak kepercayaannya untuk memindahkan tempat tahanan Ciu Ko, Uh-bun Jui masih berada di tempat Su Tiau-gi. Uh-bun Jui seorang pemuda yang cerdas. Melihat Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia secara begitu tergesa- gesa, ia duga nona itu tentu belum sempat membawa lari suhunya (Ciu Ko). Ia lantas gunakan akal, purapura menempel budak kepercayaan Tiau-ing itu. Dengan lagak lagunya yang merayu-rayu dapatlah ia memikat hati budak perempuan itu. Dasar Uh-bun Jui seorang pemuda cakap dan ganteng apalagi menjadi ketua Kay-pang, maka dalam waktu yang singkat saja dapatlah ia menjatuhkan hati budak itu dengan sebuah sumpah paduan kasih. Dalam keadaan begitu, tak ada alasan lagi bagi budak itu untuk tidak memberitahukan segala rahasia kepada Uh-bun Jui. Setelah mengetahui tempat tahanan suhunya dan mendapatkan obat penawar racun dari budak itu maka pada suatu malam ia diam-diam menyelundup masuk ke dalam gua tahanan. Setelah membunuh beberapa penjaganya, akhirnya dapatlah ia membebaskan Ciu Ko. Karena rayuan ular cantik Su Tiau-ing, Uh-bun Jui menjadi sesat pikiran. Akibatnya ia telah mencelakai suhunya dan dirinya sendiri juga kehilangan segala-galanya. Kedudukan pangcu gagal sebaliknya ia malah diusir dari Kay-pang. Kesudahannya, karena sudah tak berharga lagi, Tiau- ing telah membuangnya mentah-mentah. Nama hancur, badan binasa. Adakah dalam keadaan seperti itu ia masih ada muka melihat matahari lagi? Maka ia telah mengambil keputusan, setelah menolong suhunya ia segera akan membunuh diri. Dan Uh-bun Jui telah melaksanakan hal itu dengan konsekuen. Seperti diketahui pengaruh Kay-pang itu amat besar. Anak buahnya tersebar luas di manamana. Perjalanan Khik-sia dengan Tiau-ing itu, siang-siang sudah dapat diketahui oleh anak buah Kay-pang. Mereka gunakan burung dara pos untuk memberi tahu pada pos-pos yang lain. Dengan secara beranting, dapatlah berita itu disampaikan pada Wi Gwat di Tiang-an. Kebetulan pada saat itu Ciu Ko pun sudah bebas dan tiba di Tiang-an. Begitulah mereka segera siap menunggu kedatangan Khik-sia di situ. Uh-bun Jui adalah murid kesayangan Ciu Ko. Bahwa muridnya telah menderita kecemaran begitu hina, sudah tentu Ciu Ko dendam sekali kepada Tiau-ing. Tapi dikarenakan luka beracun dalam tubuhnya masih belum sembuh sama sekali, maka ia minta sutenya yaitu Ciok Ceng-yang yang turun tangan. Sedang Hong-kay Wi Gwat mengingat tingkat kedudukannya yang lebih tinggi, tak mau turut meringkus Tiau-ing.
Adalah ketika Khik-sia masih terlongong-longong tak tahu apa yang harus dilakukan, di sana Ciok Ceng-yang sudah bertempur dengan Tiau-ing. Pedang pusaka milik Khik-sia masih di tangan Tiau-ing. Karena terdesak, Tiau-ing keluarkan jurus-jurus yang ganas. Meskipun bagi Khik-sia ilmu permainan pedang Tiau-ing itu masih belum tinggi sekali, namun apa yang disaksikan pada saat itu, sungguh di luar dugaan Khik-sia. Ia tak mengira kalau ilmu kepandaian nona itu hebat, kini barulah ia tahu kalau dulu Tiau-ing ternyata belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Melihat permainan pedang Tiau-ing lihay sekali, ketambahan pula menggunakan po-kiam, maka dalam dua tiga puluh jurus, Ciok Ceng-yang belum dapat mengatasi. Malah Hong-kay Wi Gwat sendiri diam-diam merasa kagum dengan ilmu pedang nona itu. Tapi bagaimanapun Ciok Ceng-yang itu adalah jago utama dari murid Kay-pang angkatan kedua. Kepandaiannya hanya kalah setingkat dengan Wi Gwat yang menjadi paman gurunya itu. Tapi dengan suhengnya yakni Ciu Ko, ia tetap menang unggul. Menurut penilaian, sebenarnya kepandaian jago Kay-pang itu tak hanya setingkat lebih atas dari Tiau-ing. Lewat tiga puluh jurus kemudian, dapatlah sudah Ciok Ceng-yang mempelajari gerak permainan lawannya. Segera permainan tongkatnya dirubah dari bertahan kini menjadi penyerang. Hang-liong-tiang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan naga, adalah ilmu kebanggaan partai Kay-pang yang sakti. Apabila sudah dikembangkan, empat penjuru delapan angin diliputi oleh bayangan tongkat. Isi tidaknya serangannya sukar diduga-duga. Tampaknya menyerang dari sebelah timur, tiba-tiba datangnya serangan itu dari sebelah barat. Dan yang lebih mengagumkan, setiap pantulan ujung tongkat itu selalu mengarah jalan darah yang berbahaya. Ya, hanya dalam beberapa kejab saja, situasinya sudah terbalik. Kalau tadi Tiau-ing dapat menyerang dengan ganasnya, kini ia hanya dapat bertahan diri. Bahkan bertahan saja rupanya makin susah karena permainannya makin kendor. Khik-sia tetap melongo tak tahu apa yang harus diperbuat. Tiba-tiba kedengaran Tiau-ing menjerit aduh. Jalan darah kian-keng-hiat di bahunya kena ditutuk ujung tongkat. Tubuh Tiau-ing hanya bergetar dua kali tapi tak sampai rubuh. Melihat itu Ciok Ceng-yang agak terkejut. Hm, kiranya budak siluman ini mengenal ilmu menutuk jalan darah. Nyata tak boleh dipandang ringan, diam-diam Ciok Ceng-yang membatin. Iapun segera mengganti cara permainannya dengan ilmu tongkat ciong-chiu-hwat atau tutukan dengan tenaga berat. Tari tongkatnya segera menimbulkan angin menderu-deru. Di tangan jago Kay-pang, tongkat bambu berubah menjadi lebih dahsyat dari tongkat besi atau baja. Ketika mendengar teriakan mengaduh dari Tiau-ing tadi, hati Khik-sia serasa seperti ditutuk oleh tongkat bambu Ciok Ceng-yang. Tanpa dapat dikendalikan lagi, ia segera hendak memburu untuk mencegah Ciok Ceng-yang. Tapi baru saja keinginannya itu timbul, dan belum lagi sang kaki sempat bergerak, tahu-tahu Wi Gwat sudah menariknya erat-erat. Siau Toan, kau bagaimana ini? Mengapa kau tak mau minum arak yang kuberikan? dengan tertawa meringis Pengemis Gila Wi Gwat menegurnya. Khik-sia seperti semut di atas kuali panas, sahutnya: Wi lo-cianpwe, nona Su ini, nona Su ini ..... Nona Su ini akrab sekali dengan kau, bukan? Wi Gwat tertawa menukasnya. Merah padam Khik-sia dibuatnya. Tapi pada saat-saat seperti itu, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengakui dengan bersikap diam. Tiba-tiba Wi Gwat berubah keren (serius): Toan hiantit, kau seharusnya mengingat bahwa ayahmu itu seorang pendekar perwira. Budak siluman itu adalah anak perempuan dari Su Su- bing dan adik perempuan dari Su Tiau-gi. Sepak terjang mereka tidak baik, mengapa kau galang gulung dengan dia? Budak siluman itu telah mengadu-dombakan partai Kay-pang sehingga timbul perpecahan di kalangan kaum kami dan mencelakai Uh-bun Jui sampai binasa. Coba bilang, layak tidak kami menghukumnya? Pikir punya pikir, Khik-sia memang merasa Tiau-ing yang bersalah. Sukar baginya untuk membela nona itu. Tiba-tiba Wi Gwat tertawa lagi: Di dunia ini banyak sekali gadis yang cantik dan pintar. Kau suka yang mana, aku sanggup menjadi perantaranya. Tapi asal gadis pilihanmu itu golongan bulim,
ayahnya tentu mau memandang mukaku si pengemis tua ini. Benar Khik-sia dibuatnya meringis. Kedua telinganya menjadi merah dan ia paksakan juga untuk berkata: Wi lo-cianpwe, aku bukannya mempunyai hubungan pribadi dengan nona Su ini .... Wi Gwat tertawa gelak-gelak: Apalagi tidak punya hubungan apa-apa, itu lebih baik. Duduklah dan minum arak, sebaiknya tak usah kau melihatinya. Sudah tentu Khik-sia tak dapat minum arak dengan tenteram. Walaupun ia anggap Su Tiau-ing yang salah, tapi setelah bergaul beberapa hari dengan nona itu, sedikit banyak ia mempunyai hubungan batin juga. Bagaimana ia disuruh berpeluk tangan melihat Su Tiau-ing diringkus dan dibuat sesaji sembahyangan? Pada saat itu Ciok Ceng-yang sudah dapat memberi tekanan. Tongkatnya makin lama makin gencar bagaikan petir menyambar-nyambar dan badai menderu-deru. Permainan pedang Tiau-ing sudah dibikin kocar-kacir, namun nona itu masih bertahan matimatian pantang menyerah. Menurut gelagat, dalam beberapa jurus lagi, kalau tidak binasa di bawah hujan tongkat, sekurang-kurangnya nona itu tentu akan terluka. Melihat itu Khik-sia makin gugup, serunya: Wi lo-cianpwe, aku bersedia kau caci maki tapi kuminta kau suka mengampuni jiwanya! Siau Toan, katamu kau tak punya hubungan pribadi dengannya, tapi mengapa kau mintakan ampun padanya ....? Kegelisahan Khik-sia telah membuat kepalanya mandi keringat, urat-uratnya berkerenyotan. Tanpa menunggu Wi Gwat selesai bicara, ia segera menukasnya: Lepaskan ia dululah, untuk saat ini aku tak dapat menjelaskan. Aku lebih suka mewakilinya menerima hukuman, maukah? Kay-pang merasa berhutang budi besar kepada Khik-sia. Bahwa anak muda itu sedemikian gelisahnya, walaupun heran tapi diam-diam Wi Gwat menjadi ragu juga. Pikirnya: Dengan memandang muka Khik-sia, mengampuni jiwa budak siluman ini, rasanya juga tak keliwat keberatan. Tapi Wi Gwat itu seorang pendendam dan pemberantas kejahatan. Berpuluh tahun ia memperjuangkan cita-citanya itu dengan gigih. Walaupun dalam hati ia tergerak juga dengan permintaan Khik-sia tadi, namun mulutnya masih tak mau berganti nada, ujarnya: Tak dapat, budak siluman itu biar bagaimana harus ditangkap. Kalau Khik-sia meneliti dengan kepala dingin, tentulah ia akan merasakan bahwa nada ucapan pengemis aneh itu lebih lunak dari tadi. Wi Gwat hanya mengatakan ditangkap, bukannya menghendaki jiwa Tiau-ing. Tapi dalam saat-saat seperti ketika itu, mana Khik-sia dapat menggunakan otaknya yang terang? Dengan jurus ki-hwe-liau-thian atau mengacungkan api membakar langit, Ciok Ceng-yang ancamkan ujung tongkatnya ke lengan Tiau-ing. Karena mengandalkan kelihayan pedangnya, Tiauing gunakan jurus thiat-soh-heng-kiang atau rantai besi membentang di sungai, tongkat Ciok Cengyang hendak dipapasnya. Tiba-tiba Ciok Ceng-yang membentak supaya Tiau-ing lepaskan pedangnya. Ternyata dengan gunakan tenaga lwekang menempel, Ceng-yang lekatkan tongkatnya di batang pedang. Trang, sekali Ceng-yang geliatkan tongkatnya terlepaslah pedang Tiau-ing ke tanah. Tapi Ceng-yang tak berhasil menutuk jalan darah nona itu melainkan hanya menusuk pecah lengan bajunya saja. Ho, mau lari kemana? Biar kupunahkan ilmu kepandaianmu dulu! bentak ketua Kay-pang itu sembari angkat tangan kirinya untuk mencengkeram tulang pi-peh-kut di bahu Tiau-ing. Saat itu Khik-sia sedang dipegangi Wi Gwat. Serta melihat keadaan Tiau-ing, serentak Khik-sia segera menerjang kemuka sehingga Wi Gwat sampai keseret beberapa langkah. Lwekang yang diyakinkan Wi Gwat selama berpuluh tahun itu, bukan olah-olah hebatnya. Diseret oleh Khik- sia, seketika ia mengeluarkan reaksi. Cengkeramannya makin kuat hingga Khik-sia pun tak dapat melangkah maju lebih jauh. Khik-sia tahu dirinya sebagai angkatan muda, sudah tentu ia tak mau menggunakan kekerasan terhadap seorang cianpwe (angkatan tua). Dan andaikata ia menggunakan kekerasan, pun belum tentu segera dapat melepaskan diri.
Lo-cianpwe harap lepaskan! Tepat pada saat Khik-sia menyerukan begitu, sekonyong-konyong terdengar seseorang berseru: Tahan, jangan turun tangan dulu. Kata-kata yang pertama, kedengarannya jauh. Tapi ucapan yang terakhir kedengarannya sudah dekat, sehingga nadanya mengiang di telinga jago-jago Kay-pang. Hebat benar lwekang orang ini! baru Wi Gwat membatin begitu, seekor kuda sudah melesat tiba. Saat itu jari telunjuk Ciok Ceng-yang hampir menyentuh bahu Tiau-ing, tapi begitu mendengar nada suara orang itu, ia tertegun. Dan ketika kuda datang, ia menjadi lebih kaget pula demi melihat penunggangnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan berseru: Bo tayhiap, kau juga datang. Kiranya penunggang kuda yang datang itu adalah Bo Se-kiat. Bo Se-kiat adalah ketua dari perserikatan penyamun atau Lok-lim-beng-cu, sudah tentu Ciok Ceng-yang mau memandangnya. Di samping itu masih ada faktor lain, kaum Kay-pang harus membayar budi padanya. Hal itu nanti akan pembaca ketahui belakangan. Namun dalam menuruti permintaan Se-kiat itu, diam-diam Ceng-yang merasa heran juga. Tanyanya: Bo tayhiap, apakah kau juga akan memintakan keringanan untuk budak siluman ini? Kesemuanya telah kuketahui. Kedatanganku kemari ini memang justeru hendak menyelesaikan urusan ini dengan suhengmu, sahut Se-kiat. Setelah memberi hormat kepada Wi Gwat dan Ciu Ko, berkatalah Se-kiat lebih jauh: Nona Su itu telah menjerumuskan Uh-bun Jui ke arah tindakan sesat mengkhianati partai, memenjarakan Ciu pangcu dan memecah belah partai Kay-pang sehingga hampir terjadi bentrokan di dalam partai. Memang tak dapat disalahkan kalau partai Kay-pang akan memberesinya. Tapi di balik tindakannya itu menurut pendapatku, adalah karena ia mempunyai rencana hendak berserikat dengan Kay-pang guna melawan tentara negeri. Entah apakah dugaanku itu benar atau salah? Tiau-ing terkesiap kaget, pikirnya: Hebat benar anak muda ini. Dia belum kenal padaku tapi dapat mengetahui isi hatiku. Jawab Ciu Ko: Hal itu, Uh-bun Jui pun pernah mengatakan padaku. Kay-pang tak mau membanggakan diri dengan nama hiap-gi (menjalankan kebenaran), tapipun tak mau bertindak sembarangan sebagai kaum perampok. Bagaimana kami dapat kerja sama dengan pengkhianatpengkhianat yang mencelakakan negara dan menindas rakyat? Dan kami bangsa pengemis hanya menginginkan adanya tempat di mana kami dapat meminta nasi, masakan kami berani memimpikan hendak menduduki tahta singgasana? Tertawalah Se-kiat: Dunia ini memang kotor, yang mempunyai moral dia berhak hidup. Siapapun dapat menjadi raja. Pengemis menjadi raja, pun bukan suatu hal yang ajaib. Hanya, setiap orang mempunyai cita-cita sendiri. Bahwa Ciu pangcu tak menghasratkan singgasana kerajaan, baiklah, jangan kita ungkat lagi hal itu. Tapi dengan begitu, walaupun nona Su itu telah bersalah memenjarakan Ciu pangcu, namun sekali-kali tak bermaksud mengambil jiwa Ciu pangcu. Entah dalam hal ini apakah Ciu pangcu sudi berlapang dada memberi ampun jiwanya? Ciu Ko merenung diam. Se-kiat beralih tanya kepada Khik-sia: Kabarnya karena hendak menolong kau, nona Su telah membelakangi engkohnya, bemarkah itu? Kiranya Bi toako juga tahu? sahut Khik-sia. Bagaimana kau perlu minta tolong padanya, apakah dengan kepandaianmu kau kena ditawan engkohnya? tanya Wi Gwat dengam keheranan. Dalam hal ini, sebenarnya ialah yang lebih dulu bersalah padaku yaitu menangkap aku, tapi kemudian melepaskan lagi. Tapi aku tetap berterima kasih padanya, kata Khik-sia dengan sungguh-sungguh. Kemudian ia menuturkan pengalamannya. Kini baru mengertilah Wi Gwat mengapa Khik-sia sampai mintakan ampun untuk Tiau-ing. Kalau begitu meskipun ia puteri Su Su-bing dan adik perempuan Su Tiau-gi, tapi sepak terjang nona Su itu berlainan dengan ayah dan kakaknya. Tahu kesesatan segera berubah, itulah baik sekali. Adalah karena mengingat ia sudah kembali ke jalan lurus, maka barulah aku memberanikan diri untuk mintakan ampun pada Ciu pangcu. Entah apakah Ciu pangcu sudi memberi muka
padaku? Ciu Ko menghela napas, ujarnya: Ya, ya, ya, adalah muridku itu sendiri yang lemah imannya hingga tersesat. Kata peribahasa 'setiap benda itu baru timbul ulatnya apabila dalam benda itu sudah rusak sendiri'. Sebenarnya tak dapat mempersalahkan siapa-siapa dan akupun juga tak berniat membalaskan sakit hatinya. Bo tayhiap, jiwaku ini adalah kau yang merebut kembali, bagaimana kau dapat menolak permintaanmu? Baiklah, biarlah selembar jiwaku ini asal nona Su itu tak mengganggu aku, akupun tak mau mengganggunya juga! Mengapa Ciu Ko mengatakan berhutang jiwa pada Se-kiat? Kiranya disitu memang terselip sebuah kisah. Adalah pada saat Ciu Ko dilepaskan oleh Uh-bun Jui, ternyata ia jatuh lagi di tangan seorang musuh yang lebih ganas. Musuh itu bukan lain adalah Ceng-ceng-ji. Siasat Su Tiau-ing merayu Uh-bun Jui supaya mengkhianati suhunya, Ceng-ceng-ji pun ikut serta merancangkannya. Bahkan dialah yang tampil untuk membantu Uh-bun Jui merebut kedudukan pangcu dari Kay- pang. Sudah tentu ia bukan sungguh-sungguh sayang kepada Uh-bun Jui, melainkan ada maksud tersendiri, yakni serupa dengan Tiau-ing; menggunakan Uh-bun Jui untuk menguasai Kay-pang. Tetapi ketika tiba pada persoalan diri Ciu Ko, ia tak sependapat dengan Tiau-ing. Ceng-ceng-ji mengusulkan supaya Ciu Ko dibunuh saja agar jangan sampai menimbulkan bahaya di kemudian hari. Sebaliknya Tiau-ing tidak setuju, begitupun Uh-bun Jui berkeras mempertahankan suhunya jangan dibunuh. Oleh karena masih membutuhkan tenaga kedua orang itu, maka untuk sementara Ceng-ceng-ji terpaksa menurut. Ketika tiba saatnya Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia, ingatan Ceng-ceng-ji timbul kembali. Ia lebih pandai dari Uh-bun Jui, apa yang Uh-bun Jui pikirkan, sudah tentu iapun dapat memikirkannya juga. Ia yakin Tiau-ing tentu tak sempat membawa pergi Ciu Ko. Siasat Uh-bun Jui untuk merayu budak kepercayaan Tiau-ing, tak luput dari perhatian Ceng-ceng-ji. Memang siang-siang Ceng-ceng-ji sudah menaruh kecurigaan pada Uh-bun Jui, maka ia selalu mengawasi gerak-gerik anak muda itu. Inilah tepat seperti apa yang dikatakan oleh sebuah pepatah 'belalang menangkap jengkerik, burung gereja sudah siap di belakangnya'. Uh-bun Jui hendak menjalankan siasat merayu, tapi di luar tahunya, Ceng-ceng-ji juga diam-diam mengintainya. Begitulah setelah mengetahui tempat tahanan suhunya, diam-diam Uh-bun Jui segera menyelinap ke sana. Dengan cepat lenyapnya anak muda itu diketahui Ceng-ceng-ji. Ia segera mengompes (minta keterangan paksa) pada si budak perempuan, siapa karena takut akan ancamanancaman segera memberitahukan letak tempat tahanan Ciu Ko. Sehabis membebaskan suhunya dan memberikan obat penawar, Uh-bun Jui lalu menghabisi jiwanya sendiri, anak muda itu hendak menebus dosa selaku tanda kesetiaannya, tapi ia tak menduga bahwa racun di tubuh suhunya itu sedemikian hebatnya. Meskipun sudah minum obat penawar namun tak dapat seketika sembuh. Jangankan kepandaiannya, sedang tenaganya saja masih belum normal. Saat itu sebenarnya Ciu Ko masih membutuhkan perlindungan tapi sayang, Uh-bun Jui sudah keburu bunuh diri. Betapa kedukaan Ciu Ko dapatlah dibayangkan. Baru saja ia selesai mengubur muridnya, Ceng-ceng-jipun muncul. Ciu Ko mengambil putusan untuk adu jiwa. Ia gigit lidahnya sendiri agar dapat menghimpun seluruh tenaganya, kemudian dengan pukulan Thian-mo-ciat-te-toa-hwat ia hantam Ceng-ceng-ji sekuat-kuatnya. Benar Ceng-ceng-ji lumpuh separuh tenaganya, tapi ia dapat menghantam kaki Ciu Ko sampai patah. Dengan marahnya Ceng-ceng-ji segera akan menghabisi jiwa ketua Kay-pang itu, tap di luar dugaan Bo Se-kiat kebetulan lewat di situ. Karena tenaganya sudah berkurang, dengan mudah dapatlah Se-kiat menghalau lawan pergi. Se-kiat mengobati kaki Ciu Ko dan malah mengantarkannya sampai tiga ratus li jauhnya. Setelah menyerahkan ketua Kay-pang itu pada seorang pemimpin cabang setempat, barulah Se-kiat minta diri. Bahwa Se-kiat yang pernah melepas budi sedemikian besarnya, telah mintakan ampun untuk Tiau-ing, sudah tentu Ciu Ko sungkan menolaknya. Tapi baru Se-kiat hendak mengajukan permintaan itu lagi kepada Wi Gwat, jago itu cepat mendahuluinya: Bo tay-hiap, sudahlah, jangan membikin kami sekalian menjadi sungkan. Jawaban itu cukup membuat Se-kiat peringisan. Wi lo-cianpwe, aku rela menerima dampratan dan tetap mintakan ampun padamu, buru-buru
Khik-sia berseru. Pengemis tua itu gelengkan kepala, sahutnya: Percuma saja kau minta ampun padaku. Perangai si pengemis tua ini buruk dan keras. Aku tak punya sanak kadang, tak kenal budi kecintaan! Tiba-tiba Tiau-ing angkat pedangnya dan berseru: Ah, tak usah kalian mintakan ampun aku. Bagus, pengemis tua, karena kau tak mau melepaskan aku, mari majulah! Wi Gwat meneguk lagi buli-buli araknya. Setelah itu dengan tenang ia menjawab: Apakah kau menantang aku? Uh, masakan seorang budak perempuan seperti macammu pantas menjadi lawanku? Ia tertawa dan semburkan arak dari mulutnya, serunya: Si pengemis tua itu tak kenal budi kecintaan tapi tahu memandang muka orang. Sebenarnya dosamu itu harus dihukum. Kalau aku sampai membunuhmu, rasanya cukup pantas juga. Tapi Ceng-ceng-ji sekarang bukan kawan sehaluanmu, kau kini menjadi sebatang kara, kalau kubunuh kau pun tak ada orang yang tahu, tak ada orang yang bakal menuduh aku orang tua menghina orang muda. Ah, tidak, tidak, pengemis tua mana mau menghilangkan muka orang? Aku lebih suka tak membunuhmu! Kembali ia meneguk arak dan tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya pengemis tua itu bukannya tak mau bermurah hati tetapi memang ia sengaja hendak mengocok hati Se-kiat dan Khik-sia supaya gelisah. Sebagai pengemis tua yang berwatak aneh, ia tak mau mentah-mentah memberi ampun tanpa mengemukakan alasan yang teguh. Dan alasannya tadi memang tepat. Kini Tiau- ing menjadi sebatang kara dan karena dapat membebaskan diri dari pengaruh engkohnya dan kawankawan yang jahat, maka pengemis tua itu tak menganggapnya lagi sebagai musuh. Wi Gwat digelari sebagai Pengemis Gila dan memang tindakan dan ucapannya sukar diduga, tampaknya gila tapi tidak gila. Adalah nona Su itu memang cerdas karena dapat mengetahui perangai pengemis tua itu, pikir Khik-sia. Hai, ilmu pedangmu sungguh istimewa, budak perempuan. Siapakah suhumu? tanya Wi Gwat. Tiau-ing tertawa: Untung kau tak bunuh aku, coba kau berbuat begitu, kau tentu bakal merasakan kelihaian suhuku. Jika ingin mengetahui siapa suhuku itu, silahkan tanya pada Gonggong- ji. Bah, sekalipun kau tak mau bilang masakan aku tak tahu? Suhumu tentulah itu Shin Ci-koh yang bergelar Bu-ceng-kiam. Tiau-ing terbeliak kaget, pikirnya: Kurang ajar, lihay sekali pengemis tua ini. Mengapa ia kenal akan corak permainan suhu? Dengan melihat beberapa jurus permainanku saja, ia segera mengetahui nama suhu. Serentak menyahutlah ia dingin-dingin: Pengemis tua, kalau sudah tahu nama suhuku, ya sudah. Beliau lebih tak kenal kasihan dari kau. Jika kau bunuh aku, apakah kau kira beliau akan mengampuni jiwamu? Wi Gwat terbahak-bahak: Budak perempuan, sudah berapa tahunkah kau ikut pada suhumu? Ia bergelar Bu-ceng-kiam, tapi hati nuraninya berbudi tak berbudi, tentang hal itu kaupun tak usah mengetahui. Pengemis tua ini tak takut ia akan membunuh aku, tapi kuatir ia nanti akan minta tolong padaku. Bu-ceng-kiam artinya Pedang tak berperasaan. Apa? Beliau akan minta tolong padamu? teriak Tiau-ing. Wi Gwat tetap tertawa: Betul, ia akan minta aku menjadi comblang, apakah itu bukannya minta tolong? Ngaco belo! bentak Tiau-ing dengan jemu. Wi Gwat semakin terpingkal-pingkal: Percaya atau tidak, terserah padamu. Pengemis tua juga tak suka membuka rahasia pribadi seorang guru di depan muridnya. Baiklah, Ciu sutit, ayo kita pergi. Kalau terus bicara, mungkin orang akan memaki aku si pengemis tua ini tak senonoh. Kerut wajah dan sikap si pengemis gila yang sesaat garang dan sesaat riang peramah itu, membuat Su Tiau-ing meringis. Karena sudah dikenal sebagai pengemis kegila-gilaan, maka orang pun tak heran akan gerak-gerik Wi Gwat yang aneh itu.
Pengemis tua ini lihay benar. Ucapannyapun bukannya seperti orang gila. Apakah ia benarbenar mengetahui rahasia pribadi suhu? diam-diam Tiau-ing membatin. Seperginya tokoh-tokoh Kay-pang, maka berhadapanlah kini Khik-sia dengan Se-kiat. Teringat akan Thiat-mo-lek, Khik-sia segera menanyakan: Bo toako, mengapa kau kebetulan sekali datang kemari? Thiat toako apakah datang juga? Se-kiat tertawa: Bukannya secara kebetulan, memang aku sengaja menunggu kedatangan kalian di sini. Piauko-mu itu seorang sahabat lama dari Cin Siang. Dalam pertemuan para ksatria yang diselenggarakan oleh Cin-sian itu, sudah tentu piauko-mu datang, tapi karena masih ada sedikit urusan jadi ia agak lambat. Mungkin paling lambat besok lusa ia tentu sudah tiba kemari. Ia masih melanjutkan kata-katanya pula: Aku bersama Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing dan kawan-kawan, sudah datang lebih dulu beberapa hari di Tiang-an. Baru beberapa hari ini aku mengikat persahabatan dengan Ciu Ko, karena informasi (berita) di kalangan Kay-pang itu cepat sekali dilaksanakan, maka aku pun mengetahui semuanya. Siang-siang aku sudah tahu kalau kau bersama nona Su akan tiba di kemari hari ini, tahu pula aku bahwa Kay-pang hendak menangkap nona Su. Oleh karena di dalam Kay-pang cabang Tiang-an banyak sekali orangnya, maka akupun tak leluasa mencegah mereka. Maka aku terpaksa memburu kemari. Kini barulah Khik-sia mengerti duduk persoalannya. Diam-diam ia merasa heran: Bo Se-kiat tak kenal dengan Tiau-ing. Se-kiat tahu kalau Tiau-ing puteri dari Su Su-bing, tapi Se-kiat tak menganggapnya sebagai perempuan jahat. Ini saja sudah sukar terjadi. Apalagi Se-kiat masih mau berusaha untuk menolong nona itu, sungguh luar biasa sekali. Apakah kesemuanya itu demi untuk kepentinganku? Setelah bahaya lewat, barulah saat itu Tiau-ing tampil kemuka. Tapi anehnya ia bukan menghaturkan terima kasih kepada Se-kiat, tapi hanya mengunjukkan jempol tangannya berseru: Bo tayhiap, kau sungguh berdada lapang sekali, suka bekerja tanpa memikirkan jasa, kemanamana kau selalu mendamaikan pertengkaran. Benar-benar tak kecewa menjadi seorang pemimpin Lok-lim! Se-kiat tertawa: Konon kabarnya anak buah dari engkohmu amat patuh padamu. Setelah kalian menderita kekalahan, kabarnya juga kau yang mengatur sehingga tak sampai seluruh anak pasukanmu ludas. Nona Su, kau juga seorang pendekar wanita. Tiau-ing balas tertawa: Kiranya kau amat perhatikan urusanku. Tapi kabar yang kau dengar itu terlampau menyanjung diriku, aku tak mempunyai kecakapan sedemikian besarnya. Adalah karena aku berbeda dengan anak gadis pada umumny yang suka bersolek saja, maka engkohku merasa jengkel padaku. Oh, kukira pelarianmu itu disebabkan Khik-sia, ternyata kalian kakak beradik itu memang sudah punya perselisihan, kata Se-kiat. Khik-sia merah mukanya, serunya: Baik perangai maupun tindakan nona Su itu berlainan dengan engkohnya. Mereka saudara lain ibu. Engkohnya membunuh ayahnya dan bersimaharajalela sewenang-wenang, memang siang-siang nona Su sudah tak puas. Se-kiat mengangguk: Oh, kiranya begitu. -- Matanya beralih kepada Tiau-ing, seperti ada sesuatu yang dipikirkan. Kata Tiau-ing: Budi besar tak dibalas dengan ucapan terima kasih saja. Bo bengcu, kelak apabila kau memerlukan tenagaku, silahkan memberi perintah. Apa yang kau kehendaki, asal tenagaku mampu, tentu akan kukerjakan. -- Habis berkata dengan tertawa tajam ia melirik kepada Se-kiat. Pikir Khik-sia: Kata-kata Tiau-ing tak keruan juntrungannya. Di satu pihak menyatakan bersedia melakukan segala perintah Se-kiat. Hm, orang macam apakah Bo toako itu, masakan ia sudi menerima segala pemberianmu? Memang kalau suhengku yang mengatakan itu masih dapat dimengerti, tapi kau, hai Tiau-ing, mana kau mampu menandingi ilmu 'tangan kosong' yang istimewa dari suhengku? Tapi di luar persangkaan Khik-sia, ternyata reaksi Se-kiat itu tak terduga-duga. Sedikitpun ia (Se-kiat) tak mengunjuk rasa kurang senang mendengar ucapan Tiau-ing itu, bahkan sebaliknya malah berseri girang dan tersenyum simpul: Kalau begitu, lebih dulu aku menghaturkan terima
kasih kepada nona. Begitulah percakapan dari Tiau-ing dan Se-kiat itu tampaknya seperti sepasang muda mudi yang sudah rapat hubungannya dan serasi pendiriannya. Bahwa Khik-sia 'terasing' di pojok, rupanya Tiau-ing mengerti juga. Tiba-tiba ia hentikan bicaranya dengan Se-kiat dan menghampiri ke muka Khik-sia. Menyerahkan kembali po-kiam Khik-sia, berkatalah ia: Terima kasih atas bantuanmu selama di perjalanan. Kutahu kau tak suka padaku, tapi aku tetap berterima kasih kepadamu. Rupanya ucapan Tiau-ing keluar dari lubuk hati yang sesungguhnya karena nadanya agak gemetar. Sebagai reaksi secara spontan (serempak) Khik-siapun merasa sedikit rawan dengan perpisahan itu. Setelah menyambuti po-kiam, ia berkata: Urusan Kay-pang sudah selesai, apakah kau tak perlu kuantar sampai ke Tiang-an? Banyak sekali yang tengah direka dalam pikiran Tiau-ing. Mendengar pertanyaan Khik-sia itu, ia tertegun. Belum sempat ia memberi penyahutan, Se-kiat sudah mendahului bertanya: Oh, kiranya nona Su juga akan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe? Tiau-ing tenangkan pikirannya dan tertawa: Ah, masakan aku layak menghadiri pertemuan Eng-hiong (ksatria) itu. Di kolong langit ini hanya kalian, kau dan Thiat-mo-lek, yang pantas disebut ksatria. Hanya karena urusan dengan Kay-panglah maka aku sampai datang kemari. Memang aku boleh tak usah melanjutkan perjalanan ke Tiang-an, tapi karena toh sudah tiba di sini dan sudah dekat dengan Tiang-an, serentak timbullah hasratku untuk menyaksikan ramai-ramai. Nona Su, kau adalah pendekar kaum wanita, mengapa begitu merendah? Tapi kau hanya seorang diri, rasanya tentu kurang leluasa. Kurasa lebih baik kau pergi bersama-sama kita saja. Di Tiang-an kita mempunyai 'sarang' (istilah kaum loklim untuk suatu 'tempat rahasia'). Tempatnya besar sekali, ada kamar-kamar untuk wanita. Kurasa kau tentu leluasa menetap di sana, kata Sekiat. Khik-sia, apakah kau tak jemu padaku? tanya Tiau-ing. Dalam hal ini Bo-toako yang menjadi tuan rumah. Aku dan kau hanya sebagai tetamu saja, sahut Khik-sia. Tiau-ing tertawa: Bo-bengcu, kau tahu bahwa selama dalam perjalanan, ia (Khik-sia) selalu berusaha menghindarkan diri dari aku, mungkin takut kalau kujirat kakinya. Untung sekarang kau yang mengundang, kalau tidak, aku tentu tak berani bersama-sama dia lagi. Oh, mungkin ia berusaha menjunjung tata susila. Padahal pergaulan pria-wanita kaum persilatan itu bebas dari segala ikatan adat, kata Se-kiat. Ia lantas berpaling memandang Khik- sia: Piaukomu Thiat-mo-lek memperhatikan sekali hubunganmu dengan nona Su yang satunya. Bagaimana, apa kau sudah menemukannya? Lalu ia menerangkan kepada Tiau-ing: Ah, kebetulan sekali calon isteri Khik-sia itu tunggal she dengan kau. Sejak lahir mereka sudah dipasangkan. Tiau-ing sudah tahu bahwa Khik-sia mempunyai seorang kawan wanita she Su, tapi bahwasanya nona Su itu ternyata bakal isteri Khik-sia, baru sekarang Tiau-ing mengetahuinya. Tiau-ing dan Khik-sia sama-sama gelisah. Hanya saja kegelisahan mereka itu berbeda. Kalau Tiau-ing gelisah bahwa ternyata Khik-sia sudah punya bakal kawan hidup, adalah Khik-sia resah karena menduga Yak-bwe itu sekarang sudah punya pilihan pemuda lain. Tapi Khik-sia tak mengutarakan hal itu kepada Se-kiat. Ya, memang aneh sekali. Secara kebetulan semalam aku mendapatkannya di hotel, sayang tak sempat menjumpainya. Oh, ya, nona Sip bersama-sama dengan ia, kata Khik-sia pula. Ia tuturkan apa yang telah terjadi semalam. Hanya kecurigaannya terhadap Yak-bwe, tak diceritakannya. Tak perlu kau gelisah. Asal mereka berdua ke Tiang-an, masakan tak dapat diketahui jejaknya? Di Tiang-an kita mempunyai banyak kawan, kata Se-kiat. Khik-sia tahu kalau Se-kiat menghiburnya, tapi anehnya Se-kiat itu sepatahpun tak mengucapkan tentang diri In-nio. Hubungan Se-kiat In-nio berlainan dengan Khik-sia Yak- bwe. Kedua anak muda yang tersebut duluan itu bukan saja belum bertunangan, pun ikatan kasih mereka belum positif. Karena Khik-sia tak suka usil dan belum kenal dengan In-nio, dan karena Se-kiat tak mengatakan apa-apa, maka iapun sungkan untuk menanyakannya. Begitulah sambil berjalan sambil bercakap-cakap, tibalah mereka di jalan besar. Disitu
tertawalah Se-kiat bertanya: Khik-sia, kau mau membonceng aku atau tetap bersama dengan nona Su? Kemerah-merahanlah wajah Khik-sia, sahutnya: Tiang-an sudah tak berapa jauh, tinggal duatiga puluh li saja. Biarlah aku lari saja. Se-kiat terhitung lebih tua dari Khik-sia, maka tanpa sungkan lagi ia lantas berkuda bersamasama Tiau-ing, sedang Khik-sia mengikutinya dari belakang dengan berjalan kaki. Kalau Se-kiat dan Tiau-ing bercakap-cakap dengan riang gembira, adalah Khik-sia berdiam diri menggigit jari saja. Pikirannya melayang-layang pada Yak-bwe. Hari pertandingan masih kurang dari dua hari. Walaupun Cin Siang telah menyatakan dalam pengumumannya bahwa jago-jago yang ikut dalam pertandingan itu takkan diusut asal-usulnya, tapi dikarenakan Khik-sia itu merupakan seorang buronan penting yang merampas kuda pemerintah, sedang Tiau-ing adalah adik dari pemberontak Su Tiau-gi, maka keduanya pun termasuk golongan buronan kelas berat. Benar Khik-sia itu bukan seorang pemberontak seperti kedua saudara Su, tapi karena ia pernah merampas barang antaran untuk Tian Seng-su kemudian mengadu biru di gedung ciat-to-su, maka ia merupakan seorang gembong penyamun. Mengetahui tentang riwayat anak muda itu, setibanya di Tiang-an, Se-kiat menasehati agar Khik-sia jangan sembarangan keluar rumah. Rupanya Tiau-ing mengindahkan nasehat Se-kiat itu. Setibanya di sarang, jangankan keluar rumah sedang keluar ke halaman luar saja, ia tak mau. Ia tetap menyekap diri di dalam kamarnya saja. Sebaliknya Khik-sia tak betah mengalami 'tahanan' semacam itu. Meskipun Se-kiat telah menjanjikan akan menyuruh orang untuk menyirapi jejak Yak-bwe, namun Khik-sia tetap belum tentram hatinya. Pada hari kedua, ia tak dapat menahan diri lagi dan keluar untuk mencari berita. Memang dalam hati anak muda itu terbit perbantahan sendiri. Ia tak berani mengharap untuk berbaik kembali dengan Yak-bwe, namun suara hatinya memaksanya supaya ia menemui nona itu lagi. Sekalipun hanya melihat saja, bahkan mendengar beritanya saja, puaslah sudah rasa hatinya. Sebagai kota raja, Tiang-an itu amatlah luasnya. Luasnya tak kurang dari puluhan li, mempunyai sembilan jalan raya dan enam buah distrik. Penduduknya penuh sesak. Untuk mencari seseorang di kota Tiang-an, adalah seperti mencari jarum di dalam laut. Namun dengan untunguntungan Khik-sia ayunkan langkahnya mencari kemana-mana, Tiap saat ia selalu memperhatikan orang yang dijumpainya di jalanan, manakala orang itu mempunyai ciri-ciri sebagai kaum persilatan. Tak sengaja ia telah tiba di muka sebuah lapangan. Orang berjejal-jejal mengerumuni, genderang berbunyi riuh rendah. Sebuah bendera besar, terpancang di tengahnya, berkibar-kibar tertiup angin. Ternyata lapangan luas itu adalah tempat pertandingan silat, dimana seorang persilatan tengah menjajakan kepandaiannya untuk mencari uang. Memang hal itu sudah lazim terdapat di dunia persilatan. Memang ada yang khusus mengadakan demonstrasi kepandaian silat sambil menjual obat-obatan, tapi ada juga yang dilakukan oleh seorang persilatan apabila ia keputusan uang di jalanan. Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Tiba-tiba terdengar percakapan dari beberapa penonton yang berada di sebelahnya. Kata salah seorang: Ai, mungkin sekali ini lain dari yang lain. Seorang nona hendak membuka adu pertandingan silat untuk mencari jodoh! Kata kawannya: Untuk pertandingan Eng-hiong-tay-hwe besok pagi itu, rakyat tentu tak dapat masuk kemari. Tapi dengan adanya beberapa pertandingan sekarang ini, rasanya dapat menjadi obat pelipur kecele. Seluruh ahli di kolong jagad berkumpul di kota raja ini. Menggunakan kesempatan itu buat cari jodoh memang jalan paling tepat. Tapi entahlah, cantik tidak barang 'hadiah'nya itu, ya? menyeletuk kawannya yang lain. Tertawa seoran pula: Perlu apa sih kau ngiler? Kau toh tak mengerti silat, sekalipun nona itu secantik bunga, kaupun tak ada harapan menyuntingnya. Perlu apa kau pusingkan ia cantik atau tidak? Sebaliknya yang kupikirkan, bagaimanakan kepandaian silat nona itu. Jika begitu keluar dalam beberapa gebrak saja sudah rubuh, bukankah akan mengurangi kesenangan tontonan ini?
Yang pertama kali membuka mulut tadi, berkata pula: Dengan berani membuka pertandingan sehari di muka pertandingan Eng-hiong-tay-hwe ini, tentulah nona itu tidak rendah kepandaiannya. Ketika Khik-sia mendongak, dilihatnya memang pada bendera itu terdapat empat buah huruf yang berbunyi 'mencari jodoh dengan bertanding'. Pikirnya: Seorang nona yang betul-betul berisi, tentu tak sudi membuka pertandingan cari jodoh semacam begini. Mungkin hanya bangsa nona persilatan yang tengah keputusan bekal, untuk mencari tempat 'meneduh' ia lantas mencari jodoh. Tapi, iseng-iseng menonton juga tak apalah. Di tengah lapangan itu terdapat seorang gadis dan seorang lelaki tua. Rupanya mereka itu ayah dan anak. Potongan muka gadis itu menarik juga. Pada saat Khik-sia datang tadi, rupanya katakata pembukaan telah diucapkan oleh orang tua itu. Dan ada seorang berseru tanya: Jadi tua muda, buru bagus, asal dapat mengalahkan anak perempuanmu lantas boleh mengawininya? Benar, tapi hanya ada kecualiannya, ialah orang yang sudah beristeri tak boleh turut dalam pertandingan ini, sahut pak tua. Bagus, aku baru berumur tiga puluh, belum beristeri. Aku mau mencoba! belum habis pak tua memberi keterangan, seorang lelaki berteriak menukasnya. Dia seorang lelaki bermuka brewok, suaranya keras seperti guntur. Malah begitu tiba di tengah gelanggang, si brewok itu sudah lantas mengacungkan sepasang tinjunya dan berseru: Calon isteri, jika aku sampai terlalu keras memukulmu, kau harus lekas- lekas kasih tahu, ya? Silahkan memukul dengan sekuat-kuatnya, kukuatir kau tak dapat memukulku, sahut si nona. Tanpa banyak bicara, si brewok lantas ayunkan tinjunya, tapi dengan lincah dapatlah nona itu menghindarinya. Malah dengan gaya gerakan tubuh yang lemah gemulai, nona itu berputar dan sekali tangannya menyambar ke lambung, rubuhlah si brewok itu. Gegap gempita para penonton bertampik sorak karena gelinya. Nona itu lihay juga, bukan seperti nona penjaja silat yang kebanyakan. Gerakan kakinya entah dari aliran partai mana itu. Aku seperti pernah melihat gerakan semacam itu, tapi di mana, ya? Baiklah, kulihat lagi barang sekali dua jurus, pikir Khik-sia. Si brewok merangkak bangun dan berseru: Lihay benar, aku tak berani lagi mengambilmu sebagai isteri. Baru ia tinggalkan lapangan, seorang lain sudah tampil ke muka lagi. Dengan tertawa gelakgelak, orang itu berseru: Aku sih tak takut mempunyai isteri galak. Ayo, jadi isteriku sajalah. Rupanya ada seorang penonton yang kenal dengan orang yang masuk ke tengah gelanggang itu. Berkatalah penonton itu: Ini kan Siong suhu yang membuka rumah perguruan di pintu selatan sana. Ilmu silatnya tong-pi-kun hebat sekali. Kali ini pertandingan tentu ramai benar. Saat itu kedengaran si nona berkata: Jika bisa menangkan aku, nanti baru bicara lagi! Orang she Siong agak membungkuk ke bawah lalu tiba-tiba loncat menerjang dengan sepasang tangannya. Gayanya mirip benar dengan kera. Tapi bagaimana serunya ia menyerang, dalam sepuluh jurus saja iapun kena disengkelit oleh si nona sampai jatuh terlentang. Kini, mulailah tertarik perhatian Khik-sia. Tapi perhatiannya itu bukan karena mengagumi kepandaian si nona, melainkan aliran ilmu silat nona itu. Kalau kepandaian si nona, tetap Khik- sia pandang enteng. Yang Khik-sia herankan ialah gaya ilmu silat nona itu tak sama dengan cabang persilatan yang manapun di dunia Tiong-goan. Walaupun pertandingan itu diperuntukkan cari jodoh hingga tak perlu sampai harus ada yang binasa, tetapi nona itu selau menggunakan jurus- jurus yang ganas, seolah-olah hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Hanya saja jelas kelihatan oleh Khiksia, setiap kali menghantam, nona itu hanya menggunakan satu atau dua bagian tenaganya saja. Itulah sebabnya maka guru silat she Siong tadi, hanya tersengkelit jatuh tapi tak sampai terluka berat. Diam-diam timbullah pertanyaan dalam hati Khik-sia: Murid siapakah ia itu? Mengapa makin kuperhatikan, permainannya silat itu makin serupa dengan apa yang pernah kulihatnya? Baru ia berpikir begitu, ada pula seorang yang tampil ke tengah gelanggang. Ia seorang sasterawan yang berumur lebih kurang 30 tahun. Dengan menggoyang-goyangkan kipasnya, bergayalah sasterawan itu dengan tutur bahasanya yang sopan-santun: Siau-seng (hamba) Kim
Ceng-ho hendak mohon pengajaran barang beberapa jurus kepada nona. Anakku, hati-hatilah. Tuan ini adalah putera Kim Ting-gak, pemimpin dari gabungan kantor piau-kiok (pengangkutan barang) di Tiang-an yang terdiri dari 13 buah piau-kiok, kata si pak tua memperingatkan gadisnya. Kemudian ia mintakan kelonggaran kepada si pemuda itu: Mohon tuan suka memberi kemurahan hati. Kim Ceng-ho agak terkesiap: Ah, tak nyana pak tua itu tahu tentang diriku. -- Memang ia adalah putera tunggal dari Kim Ting-gak. Karena keliwat menyayang akan puteranya, maka meskipun Ceng-ho tlah diberi ilmu kepandaian warisan keluarga Kim dan umurnyapun sudah hampir 30, tapi selama ini belum pernah ditugaskan untuk mengawal barang antaran. Mengapa kali ini Ceng-ho mau unjuk diri adalah karena tergerak hatinya melihat paras si nona yang cantik. Di samping itu iapun ingin juga untuk mengukur kepandaiannya sendiri yang selama itu belum pernah digunakan. Kim Ting-gak termasyhur dan menggetarkan dunia persilatan. Ceng-ho tahu semua orang jeri kepada sang ayah, maka meskipun Ceng-ho itu sendiri belum pernah mengawal apa-apa, tapi semua piau-su (jago silat yang ditugaskan mengawal barang) sama mengindahkan padanya. Hal ini menyebabkan timbulnya kecongkakan Ceng-ho. Ia merasa telah mewarisi seluah kepandaian sang ayah, maka kalau ayahnya tak ada yang dapat menandingi, ia anggap iapun begitu juga. Siapa tahu bahwa di atas langit itu masih ada langit, orang yang pandai masih ada yang melebihi pandai lagi. Adanya Kim Ting-gak selalu sukses dalam perusahaannya itu, bukan disebabkan karena ia itu lihay tiada lawannya, tetapi karena supel dan luasnya pergaulannya dalam dunia persilatan. Kalau hanya mengandal kepandaian saja, masih banyak sekali jago-jago yang lebih lihay darinya. Tapi Kim Ceng-ho telah menafsirkan keliru. Bahwa pak tua itu mengenal dirinya dan memohonkan kasihan untuk anaknya, telah membuat Ceng-ho kegirangan sekali. Dengan menggoyang-goyangkan kipasnya, berkatalah ia: Ah, jangan terlalu merendah. Puterimu cantik dan gagah, aku sangat mengaguminya. Kita nanti hanya main-main sampai batas tertentu saja, tak sampai melukai puterimu. Diam-diam marahlah nona itu, namun wajahnya tetap tenang. Tawar-tawar ia berkata: Janganlah tuan Kim berlaku sungkan. Kaki dan tangan itu tiada bermata. Jika nanti aku sampai kesalahan tangan dan melukai tuan, harap tuan jangan ambil marah. Ha, sampai di mana kelihayanmu berani membuka mulut besar? Ayo, baik-baiklah kau minta pengajaran dari tuan Kim, si pak tua mendampratnya. Mana Ceng-ho tahu bahwa kata-kata pak tua itu sebenarnya dimaksud untuk memperingatkan si nona supaya jangan keliwat ganas terhadap Ceng-ho. Maka tertawalah ia gelak-gelak: Puterimu bicara dengan terus terang. Aku ingin berkenalan dengan kepandaian puterimu. Harap nona berkelahi dengan sungguh-sungguh. Ia yakin tentu menang. Soalnya bagaimana ia dapat merebut kemenangan itu dengan cara yang gemilang, jangan sampai melukai tapi dapat menundukkan betul-betul nona itu. Tapi apa nyatanya? Dalam beberapa jurus saja, Kim Ceng-ho segera terkejut sekali. Nona itu mempunyai gaya permainan yang aneh. Makin mendapat lawan yang lihay, makin ganas reaksinya. Tadi karena dua lawannya yang terdahulu hanya biasa saja kepandaiannya, maka nona itupun tak begitu kelihatan menyolok. Tapi kini berhadapan dengan Kim Ceng-ho, barulah berkembang betulbetul kepandaiannya. Tangan memukul, jari menusuk. Setiap serangannya selalu mengarah jalan darah berbahaya di tubuh Ceng-ho. Kini baru terbukalah mata Kim Ceng-ho bahwa nona itu ternyata lebih lihay daripadanya. Ia terperanjat tapi segera menjadi gusar. Pikirnya: Terang kau sudah tahu aku ini siapa, tetapi malah hendak membikin malu. Bagus, karena kau tak sungkan padaku, jangan salahkan akupun berlaku kejam padamu. Secepat kilat ia lantas mengambil kipas yang sebenarnya diselipkan di belakang punggung. Begitu nona itu tiba dengan pukulannya, Ceng-ho mengisar kakinya dan berputar tubuh. Tahu- tahu kipasnya sudah mengancam jalan darah lo-kion-hiat di telapak tangan si nona. Benar kepandaian silat dari Ceng-ho itu tak menang dengan si nona. Tapi ilmu tutuk yang diwarisi dari keluarganya, memang hebat sekali. Sebagai seorang ahli, demi mengetahui gerakan
Ceng-ho yang menutuk begitu cepat dan tepat pada sasarannya, diam-diam ia gentar juga. Buruburu ia tarik pulang tangannya. Tapi setelah mendapat angin, Ceng-ho tak mau memberi hati lagi. Kipas dimainkannya dengan gencar. Dalam beberapa saat nona itu kerepotan karena tak paham akan gerak serangan orang yang begitu aneh sehingga ia terpaksa mundur beberapa langkah. Kipas berbeda dengan pedang dan golok. Bagi orang biasa, kalau hanya memegang sebatang kipas saja, tentu tak dapat melukai orang. Tapi ditangan seorang ahli tutuk, kipas itu dapat berubaha menjadi suatu senjata yang hebat. Ilmu tutuk pada hakekatnya harus berada dekat atau lekat pada sasarannya. Dengan tambah memakai kipas, berarti lengan tangan bertambah panjang, jadi lebih leluasa daripada hanya dengan tangan kosong saja. Apalagi kipas Ceng-ho itu rangkanya terbuat dari pada batang baja murni, jauh berlainan dengan kipas kebanyakan. Dengan seorang nona penjual silat saja, Ceng-ho harus menggunakan kipas untuk menghadapinya, rupanya sekalian penonton sama berseru heran malah ada yang mengejek. Semua orang tahu bahwa Ceng-ho itu adalah putera dari Kim Ting-gak yang termasyhur. Sudah tentu Ceng-ho malu dan marah-marah. Pikirnya: Untung dalam pertandingan ini, mereka berdua (pak tua dan gadisnya) tak menyebut-nyebut larangan memakai senjata. Aku tak mau pedulikan bagaimana comelan orang-orang, pokok rubuhkan dulu nona ini baru bicara lagi. Hm, aku sih tak mengharap mendapakan ia sebagai isteri, tapi urusan ini sudah berlarut sedemikian rupa, aku harus menjaga mukaku. Dalam berisik dengusan para penonton, Ceng-ho gencarkan serangannya. Nona itu mundur beberapa langkah. Tiba-tiba entah karena kesandung batu atau karena gugup, nona itu terhuyunghuyung dan begitu kehilangan keseimbangan badan, ia lantas tersungkur jatuh. Ceng-ho girang sekali, cepat kipas ditutukkan ke arah jalan darah ih-gi-hiat si nona, brak .... astaga kipas pecah menjadi dua. Ternyata nona itu sengaja gunakan siasat menjatuhkan diri. Begitu kipas menyentuh pakaiannya, secepat kilat ia lantas menghantam dan menyambarnya. Si nona memungut pecahan kipas dan diberikan kepada Ceng-ho, katanya dengan tertawa: Tuan Kim, maaf beribu maaf, aku telah merusakkan kipasmu! Pecahlah seketika sorak-sorai pujian dari para penonton. Ceng-ho merah padam mukanya. Sungguh sayang tak ada lubang untuknya menyembunyikan diri dari adegan yang memalukan itu. Walaupun kipas itu terbuat dari lembaran baja tipis, namun dengan enak saja si nona dapat merobeknya, hal ini membuatnya melongo. Kepandaian yang dimiliki si nona itu sungguh mengejutkan orang. Seperti dikejar setan, Ceng-ho segera angkat kaki seribu di bawah tampik sorak para penonton. Kini mau tak mau terkesiap juga hati Khik-sia. Tapi kejutnya itu bukan kagum akan kepandaian si nona melainkan aliran ilmu silatnya. Setelah memperhatikan bagaimana dengan tangan kosong si nona menjatuhkan tiga orang penantangnya, kini barulah Khik-sia dapat menentukan bahwa aliran ilmu silat nona itu sama dengan Su Tiau-ing. Gerakan tangan kosong dari nona itu serupa dengan gerakan pedang Su Tiau-ing. Tiau-ing belum pernah mengatakan kalau ia mempunyai saudara seperguruan, tapi dari gaya permainan nona ini teranglah satu aliran dengan Tiau-ing. Malah dalam kemahiran, nona ini lebih unggul dari Tiau-ing. Dalam kalangan wanita persilatan angkatan muda, mungkin nona inilah yang nomor satu. Ia begitu lihay, perlu apa mengadakan pertandingan cari jodoh? pikir Khik-sia dengan heran. Karena mengira hanya menonton seorang nona persilatan biasa yang hendak mencari jodoh maka bermula Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Pikirnya, sebentar ia segera hendak pergi. Tapi setelah mendapatkan bahwa nona itu ternyata salah seorang murid dari Shin Ci-koh, ia batalkan rencananya. Akhirnya ia putuskan untuk mengikuti pertandingan itu sampai akhir dan tangguhkan rencananya untuk mencari Yak-bwe. Setelah dapat menjatuhkan pemimpin muda dari Cap-sa-ke-piau-kiok yakni Kim Ceng-ho, tiada seorangpun yang berani tampil ke muka lagi. Pak tua berkeliling mengitari lapangan lalu berseru: Ksatria mana lagi yang sudi memberi pelajaran pada anakku ini? Entah disengaja atau tidak, mata pak tua itu tertumbuk pada Khik-sia. Khik-sia pura-pura tak tahu dan tundukkan kepala, pikirnya: Jika bukan dengan hadiah puterimu, mungkin aku senang
untuk main-main. Aku sudah cukup banyak mendapat kesulitan, tak mau mencari gara-gara lagi. Saat itu si nona kedengaran berseru: Kabarnya besok pagi itu Eng-hiong-tay-hwe akan dibuka, sudah tentu para jago dari seluruh penjuru sudah berada di kota ini, tapi mengapa seorangpun tak kelihatan batang hidungnya? Memang di antara penonton itu terdapat beberapa jago yang akan turut dalam pertandingan Eng-hiong-tay-hwe besok pagi. Sudah tentu mereka merah dengan kata-kata si nona itu. Tapi pada umumnya mereka itu adalah tokoh-tokoh yang mempunyai nama. Kalau sampai dirubuhkan oleh si nona bagaimana mereka ada muka untuk turut dalam pertandingan besok? Maka walaupun marah, terpaksa mereka tak mau tampilkan diri. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dalam nada yang brengsek: Budak perempuan, jangan omong besar. Selama hidup di dunia 40 tahun, aku belum mendapat isteri. Rupanya sekarang jodohku sudah datang! Dari salah sebuah sudut penonton tampak menciak ke pinggir. Seorang lelaki bertubuh kokoh kekar menerobos masuk. Mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya melolo menghadap ke atas, berkumis kaku dan mempunyai dua buah taring (gigi) yang menonjol keluar pada bibirnya. Buruk sekali wajah orang itu. Si nona menyambutnya dengan tertawa menghina: Ah, mungkin kau salah alamat, lihat seranganku! Si hitam menangkis dan tertawa: Tidak salah lagi, kau benar-benar isteri idam-idamanku. Si nona gunakan kelincahannya untuk melejit ke samping si Hitam. Sambil menampar ia mendamprat: Kau seperti katak yang menginginkan angsa alias orang yang tak tahu diri! Tamparan itu diarahkan ke telinga, tapi rupanya si Hitam boleh juga. Dengan lengkungkan pinggang dapatlah ia menghindari, tapi dalam pada itu ia sengaja membelakangi si nona. Dengan demikian tamparan si nona bukan mengenai telinga, melainkan kena punggungnya. Ha, ha, gatal sekali punggungku. Keras lagi jika mengukur, ya? Kau kecewa karena aku bermuka buruk? Ha, ha, siapa yang suruh kau bertanding cari jodoh? Aku si katak jelek ini tentu akan berhasil mendapatkan kau! seru si Hitam tergelak-gelak. Melihat Si Hitam kasihkan punggungnya dihantam, para penonton mengira kalau ia tentu hendak membanyol. Tapi bagi si nona sendiri, hal itu telah menimbulkan kekagetannya. Ternyata tangannya yang mengenai punggung Si Hitam itu rasanya seperti membentur papan besi sehingga terasa kesakitan sekali. Kini barulah ia tahu bahwa Si Hitam itu memiliki ilmu lindung kim- ciongtoh. Aku harus menggunakan akal untuk mengalahkannya, tak boleh gunakan kekerasan, pikirnya. Seketika ia lantas rubah gaya serangannya. Pukulannya dilancarkan secepat angin puyuh. Tapi setiap pukulan sengaja dilewatkan di sisi sasarannya, tidak dikenakan. Makin lama gerakan nona itu makin kencang sehingga si Hitam seolah-olah seperti dikepung oleh bayangan si nona. Dalam rabuannya itu, disertai juga gerakan menutuk jalan darah. Hanya sebagaimana dengan pukulannya, pun tutukannya itu tidak dikenakan pada sasarannya. Para penonton menjadi kagum dengan gaya permainan si nona. Mereka menghamburkan pujian dengan sorak sorai. Sebaliknya diam-diam Khik-sia menguatirkan keadaan nona itu, pikirnya: jika bukan pertandingan cari jodoh, apabila memang tak ungkulan lantas boleh tinggalkan gelanggang. Tapi dalam hal seperti ini ia harus berkelahi sampai kalah atau menang. Si Hitam itu lihay sekali, sekalipun dapat memukul lubang kelemahan tubuhnya, tapi dengan kepandaian si nona yang dimilikinya, rasanya sukar untuk melukai orang itu. Jika pertempuran berjalan lama, nona itu tentu akan mengalami kerugian. Hanya dalam beberapa kejap saja, nona itu sudah menjamah rata ke-36 jalan darah di tubuh Si Hitam. Tiba-tiba Si Hitam tertawa gelak-gelak: Kau hendak mencari lubang kelemahan tubuhku? Nanti kalau sudah jadi suami isteri, tentu kuberitahukan. Kiranya ilmu lindung kim-ciong-toh itu serupa dengan thiat-poh-san. Tentu ada satu dua bagian jalan darah yang tak dapat ditutupi dengan ilmu itu. Lubang kelemahan itu dalam istilah persilatan disebut toh-bun. Jika dapat menemukannya, sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat (tutukan keras), tentu rubuhlah orang itu. Dengan menjamahi seluruh jalan darah Si Hitam tadi, si nona
memang hendak mencari dimana letak toh-bun itu. Tapi enak saja lagak Si Hitam itu, seolah- olah ia tak punya lubang kelemahan sama sekali. Oleh karena itu, maka betapapun usaha si nona hendak mencarinya, tetap tak berhasil. Diolok begitu macam oleh Si Hitam, marahlah si nona. Sekonyong-konyong ia maju merapat terus gunakan jurus ji-liong-tham-cu atau naga berebut mustika, untuk menutuk mata Si Hitam. Biar bagaimana masakan kau dapat melatih ilmu ki-ciong-toh sampai ke bagian matamu, pikirnya. Tapi diluar dugaan kali ini Si Hitam sudah siap sedia. Tiba-tiba ia ngangakan mulut, dua baris giginya yang besar-besar dan putih-putih segera menggigit ujung jari si nona. Kejut si nona bukan kepalang, buru-buru ia tarik pulang tangannya. Dengan begitu serangannya tadi pun kena dipatahkan oleh Si Hitam. Si Hitam tertawa geli: Bagus, sekarang kita berkenalan lebih dekat. -- Ia pentang kedua tangannya terus hendak memeluk tubuh si nona. Ternyata gerakannya tak kalah gesitnya dengan si nona. Benar gerak permainannya itu bukan suatu gerak yang lihay, tapi justeru gerakan ketololtololan itulah yang menyebabkan si nona mati kutu. Seperti telah diterangkan, sekeliling gelanggang itu dipagari dengan penonton yang berjubaljubal. Si nona hanya dapat main kucingan di dalam lingkungan situ karena tak berdaya untuk menerobos keluar dari pagar manusia. Dengan pentang kedua tangan seperti harimau hendak menubruk anak kambing, walaupun seketika tak dapat memperoleh hasil, tapi lama kelamaan apabila nona itu sudah kepayahan, tentulah akan kena dipeluknya. Benar juga beberapa saat kemudian, tampaknya nona itu sudah mandi keringat. Sekali sang kaki agak lambat, iapun segera kena ditubruk Si Hitam yang terus memeluk pinggangnya. Dengan tertawa gelak-gelak berserulah Si Hitam: Si katak berhasil menubruk angsa! Ayo kita menjura, menjura untuk menghadap pada bapak mertua, aduh! Entah apa sebabnya tiba-tiba mulut Si Hitam mengaduh kesakitan, kedua tangannya terkulai melepaskan pelukannya. Bermula si nona masih mengira kalau Si Hitam main aksi, maka segera ia memberi persen sebuah sikutan kepadanya. Di luar dugaan, Si Hitam menjerit: Kau, kau ganas sekali! -- Sekali mulutnya menguak, segumpal darah segar segera muncrat dari mulutnya, orangnya pun terus terjerembab jatuh! Memang sikutan si nona itu keras dan tepat sekali jatuhnya. Para penonton yang kebanyakan tak mengerti ilmu silat, demi melihat si nona dapat merebut kemenangan dalam kekalahannya, sama bersorak memuji. Tapi anehnya si nona sendiri termangu-mangu, pikirnya: Orang lihay siapakah yang diam-diam membantu aku tadi? Ia mempunyai kepandaian begitu lihay, mengpa tak mau maju ke dalam gelanggang sendiri? Siapakah gerangan yang menjatuhkan Si Hitam itu? Kiranya pembaca tentu sudah dapat menebak dengan segera. Ya, benar, memang Khik-sialah yang diam-diam telah gunakan ilmu kekgong- tiam-hwat atau menutuk jalan darah dari kejauhan, untuk menutuk jatuh Si Hitam. Kesatu, karena Khik-sia agak sebal melihat tingkah laku Si Hitam yang begitu jumawa. Kedua, karena setelah melihat bahwa nona itu tunggal seperguruan dengan Tiau-ing, diam-diam ia memang sudah bersiap untuk memberi bantuan. Khik-sia adalah seorang ahli silat besar. Dalam beberapa jurus saja dapatlah sudah ia mengetahui di mana letak toh-bun Si Hitam itu, yakni di tempat jalan darah wi-kiong-hiat di sela ketiak belakang Si Hitam. Kebetulan sekali ketika Si Hitam memeluk si nona tadi, ia berdiri membelakangi Khik-sia, apalagi jaraknya tak begitu jauh. Sekali lancarkan ilmu tutuk kek-gong-tiam-hwat, kenalah jaland arah wi-kiong-hiat Si Hitam. Ilmu tutukan itu jauh lebih lihay dari ilmu tutuk cong-chiu-hwat, sudah tentu Si Hitam tak kuat menahannya lagi. Tapi Khiksiapun sama sekali tak mengira bahwa si nona bakal membarengi dengan sebuah sikutan. Saat itu hawa murni Si Hitam sedang terluka akibat tutukan Khik-sia, maka begitu menerima sikutan si nona yang tepat mengenai jalan darah suan-ki-hiat di dadanya, dengan begitu muka belakang kena digempur, pecahlah ilmu lindung kim-ciong-toh dari Si Hitam. Terkapar di tanah, Si Hitam terus muntahkan darah. Melihat itu para penonton yang bernyali kecil sudah lantas ketakutan. Ada salah seorang yang berseru: Celaka, jangan-jangan bakal terjadi perkara berdarah nih! -- Beberapa kejap saja sudah separuh bagian dari penonton yang sama
tinggalkan lapangan itu. Rupanya si nona tadipun menjadi gugup. Buru-buru ia menghampiri dan menolongi Si Hitam sambil berseru kepada pak tua: Lekas ambil arak obat buat diminumkan. Saat itu Khik-sia pun berada di tengah para penonton hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tibatiba terdengar seseorang berseru menggeledek: Hai, siapakah yang melukai muridku? Seorang tua bertubuh tinggi besar dan pinggangnya agak bungkuk, masuk ke tengah gelanggang. Astaga, itulah dia si Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo. Khik-sia terperanjat, buru-buru ia hentikan langkah. Bukan karena takut pada Yo Bok-lo, melainkan Khik-sia tak mau terbitkan onar di kota raja situ. Untung Yo Bok-lo tadi dari luar masuk ke dalam, coba ia dari dalam berjalan keluar, tentu berpapasan dengan Khik-sia. Setelah berhenti, Khik-sia pun lantas menyusup ke tengah rombongan penonton. Pikirnya: Biar kulihat bagaimana iblis itu akan bertindak? Jika ia akan membikin susah nona itu, terpaksa aku akan unjuk diri! Rupanya Yo Bok-lo marah besar. Setelah memeriksa sejenak kearah Si Hitam, wajah iblis tua itu mengerut keheranan. Segera ia menutuki beberapa jalan darah di tubuh sang murid untuk menghentikan darahnya yang muntah keluar. Setelah berhenti muntah darah dengan mata mendelik Si Hitam angkat kepalanya dan berseru parau kepada suhunya: Suhu, harap balaskan sakit hati murid ini! Siapa yang melukaimu, tahukah? tanya Yo Bok-lo. Pertanyaan itu membuat sekalian penonton heran. Siapa lagi yang melukai kalau bukan si nona penjual silat itu, demikian pikir mereka. Si Hitam menerangkan tentang pertandingan dengan si nona tadi. Entah dengan cara bagaimana, wanita siluman itu telah pecahkan kim-ciong-toh murid, katanya. Apakah dia? tanya Yo Bok-lo dengan dingin sembari melirik tajam-tajam ke arah si nona. Si pak tua tertawa meminta maaf dengan nada yang lemah: Karena kesalahan tangan, anakku telah melukai muridmu. Terimalah maafku si orang tua ini. Yo Bok-lo tak mempedulikan, matanya tetap melekat ke arah si nona. Sudah tentu si nona menjadi tak suka, serunya: Telah diterangkan kalau bertanding silat, tinju kita tak bermata. Siapa suruh muridmu masuk gelanggang? Siapa yang mati atau luka, harus menerima nasib dengan senang hati! Melihat Yo Bok-lo bersikap garang, rupanya si pak tua menjadi kebingungan, serunya: Tuan Yo, harap sudi memandang muka suhunya! Yo Bok-lo terkesiap: Ho, kiranya kau juga kenal padaku? -- Siapakah suhunya? tiba-tiba ia membentak seraya menampar si nona. Rupanya si nona sudah berjaga-jaga. Ia segera keluarkan ilmu ajaran suhunya yakni dalam jurus heng-hun-toan-hong atau awan melintang memotong puncak. Sambil menangkis dan menyerang yakni dengan segera memotong ia menabas lengan Yo Bok-lo, sedang tangannya kiri menyusup ke bawah tangannya kanan untuk menutuk jalan darah kiok-ti-hiat di pergelangan siku lengan orang. Indah sekalipun jurus yang digunakan nona itu, namun tetap tak dapat menandingi kepandaian Yo Bok-lo. Belum lagi tangannya itu mengenai tubuh Yo Bok-lo, si nona merasa seperti didorong oleh suatu tenaga maha kuat sehingga tanpa dapat dikendalikan lagi tubuhnya mencelat ke udara! Bahwasanya Yo Bok-lo sebagai seorang cian-pwe persilatan telah menyerang secara tiba-tiba pada seorang nona, telah tak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Tapi karena ia berada di tengahtengah penonton, maka sudah tak keburu untuk mencegahnya. Lebih kaget lagi ia ketika si nona kena dilemparkan ke udara. Ia tahu sampai dimana kepandaian Yo Bok-lo dan nona itu tentu akan amblas jiwanya. Pada saat Khik-sia terperanjat dan hendak menobros maju, tiba-tiba dilihatnya tubuh nona itu berjumpalitan di udara dan terus melayang turun. Tiba di tanah berputar-putar seperti gasingan baru dapat berdiri tegak. Sebagai seorang ahli silat, Khik-sia cepat mengetahui bahwa nona itu selamat tak kurang suatu apa. Hanya karena tubuhnya masih diregut tenaga dorongan maka ia sengaja berputar-putar untuk menghilangkannya. Kini dapatlah Khik-sia menarik napas longgar, pikirnya: Kiranya iblis tua itu sengaja mau menjajal orang saja. Ia hanya gunakan tenaga dorong-tarik. Ha,
membikin kaget saja. Terdengar Yo Bok-lo tertawa gelak-gelak: Ho, kiranya kau ini murid Shin Ci-koh! -- Tiba-tiba ia berhenti tertawa dan berseru dengan keren: Tapi sekalipun murid Shin Ci-koh, dengan kapandaian yang kau miliki ini, tak nanti kau mampu melukai muridku tadi! Siapakah yang diamdiam membantumu? Ayo, lekas bilang dan kau boleh bebas. Ketahuilah bahwa bukannya aku takut kepada suhumu, tetapi penasaran harus ditumpahkan pada biang keladinya. Karena bukan kau yang berbuat maka akupun tak mau membikin perhitungan padamu! Ih, aneh ini. Jadi ada orang yang diam-diam membantuku? Aku sendiri tak tahu hal itu! sahut si nona itu. Tapi sebenarnya iapun sudah mengetahui tentang hal itu, hanya karena ia merasa berterima kasih dengan orang itu maka ia pura-pura tak tahu agar orang itu jangan terembet. Pun dari ucapan Yo Bok-lo tadi, sebenarnya iblis itu sedikit jeri juga terhadap suhunya (Shin Ci-koh). Kalau tidak begitu, perlu apa ia (Yo Bok-lo) mengemukakan alasan-alasan begitu? Rupanya iblis tua ini tak berani membikin susah padaku. Kalau penolongku tadi tak dapat diketemukan, tak nanti iblis tua itu menarik panjang urusan ini. Apalagi aku memang sungguhsungguh tak tahu siapa penolongku itu? pikirnya lebih lanjut. Rupanya Yo Bok-lo setengah percaya akan keterangan nona itu, pikirnya: Orang itu gunakan ilmu tutuk kek-gong-tiam-hiat. Jika sebelumnya budak perempuan ini tak bersekutu dengan orang itu, masakan ia tahu siapa orangnya. Dengan kesimpulan itu Yo Bok-lo tak mau mengorek keterangan dari si nona lagi. Ia melangkah maju dua tindak, matanya berkeliaran memperhatikan ke sekeliling penonton, serunya dingin-dingin: Plintat- plintut membokong orang secara gelap bukanlah laku seorang ksatria! Hm, sudah berani berbuat mengapa tak berani unjuk muka? Marahlah Khik-sia dihina begitu. Jika di lain tempat tentu ia segera maju ke muka. Tapi lapangan itu adalah tempat latihan berbaris dari kota raja. Selagi ia hampir tak kuat menahan kemarahannya, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya pesan Se-kiat supaya jangan timbulkan garagara. Pikirnya: Benar aku tak takut pada iblis tua itu. Tapi jika bertempur di sini tentu akan ketahuan juga. Malah kalau tak kebetulan bisa merembet Bo-toako nanti. Ah, biar, biarlah aku bersabar sementara waktu. Kelak tentu masih ada kesempatan untuk menghajarnya lagi. Terang kalau tak terpaksa, Khik-sia tak mau berkelahi dengan Yo Bok-lo. Setelah mengetahui bahwa Yo Bok-lo sudah tahu siapa suhu dari nona itu, Khik-sia memperhitungkan tentu iblis tua itu tak berani mengganggu si nona lagi. Maka iapun mengambil putusan tinggalkan tempat itu. Dengan pikiran itu tanpa disengaja Khik-sia sudah mengisar ke deretan muka, sedianya dari situ mudahlah ia untuk keluar. Siapa tahu tiba-tiba Yo Bok-lo berseru membentaknya: Bagus, kiranya kau bangsat kecil! Malah begitu membentak, tinjunya pun sudah dilayangkan ke arah kepala Khik-sia, bluk, bluk, .... terdengar suara tubuh yang jatuh gedebukan. Celaka! Penolongku kena dipukul mati oleh iblis tua itu! si nona tersentak kaget. Tapi baru ia menduga begitu, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok tubuh melambung ke udara, melayang melampaui kepala para penonton. Gerakannya ringan tangkas laksana seekor burung elang menerobos hutan. Di tengah udara orang itu berjumpalitan dan melayang turun belasan tombak jauhnya di tempat yang tiada orangnya. Itulah Khik-sia yang kuatir akan mencelakai para penonton lantas gunakan gin-kang untuk melayang keluar. Tapi sekalipun begitu tak urung dua orang penonton terkapar jatuh karena tersambar angin pukulan si iblis tua. Yang seorang patah dua buah tulang rusuknya, yang seorang patah lengannya. Untung tak sampai mengorbankan jiwanya. Sebenarnya si nona dan pak tua tadi sudah melihat Khik-sia di antara rombongan penonton. Memang sudah diduganya bahwa Khik-sia itu tentu bukan pemuda sembarangan. Tapi bahwasanya Khik-sia itu ternyta sedemikian lihaynya, sungguh tak diduga sama sekali oleh nona itu. Diamdiam nona itu terperanjat dan kagum, pikirnya: Oh, kiranya pemuda itu yang membantu aku tadi. Tapi ia aneh juga, sudah mau membantu secara diam-diam, mengapa tak mau tampil keluar. Budi kebaikannya itu entah bagaimana aku dapat membalasnya? Perubahan yang terjadi di gelanggang secara begitu tiba-tiba itu, telah membuat para penonton
lari berserabutan. Sebuah mata dari Yo Bok-lo tempo di luar kota Ciau-yang dulu, kena ditusuk sampai buta oleh Khik-sia. Sudah tentu kini Yo Bok-lo tak mau lepaskan musuhnya besar itu. Dia bergelar Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah penyambar nyawa. Dalam jarak pendek, ilmu ginkangnya dapat menandingi Khik-sia. Baru Khik-sia berdiri tegak, Yo Bok-lo sudah memburu datang dan berkuik-kuik: Bangsat kecil, mau lari? Siapa takut padamu? Khik-sia balas mendamprat. Begitu kedua tangan kedua seteru itu beradu, Khik-sia tersurut mundur selangkah, sedangkan Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Diam-diam iblis tua itu tersentak kaget, pikirnya: Baru berselang satu tahun, kepandaian budak ini maju pesat sekali. Jika sekarang tak dapat melenyapkannya, kelak jika hendak menuntut balas tentu akan lebih sukar lagi. Beberapa kali ketika bertempur dulu, Khik-sia lebih unggul dalam ilmu gin-kang, tapi dalam tenaga pukulan kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi tadi dalam adu pukulan, Yo Bok-lo dapatkan tenaga anak muda itu sudah menyamai dirinya. Yo Bok-lo bernafsu sekali untuk membunuh lawannya. Pukulannya dilipat-gandakan tenaganya. Sekali ia mengisar kaki, ia segera lontarkan dua buah pukulan yang dahsyat dari posisi yang tak diduga oleh Khik-sia. Pukulan kedua menyusul tapi datangnya lebih dulu dari pukulan pertama. Yang diarah ialah di bagian pinggang pada jalan darah ih-gi-hiat. Sebagai tokoh yang dimasyhurkan sebagai Penyambar jiwa, Yo Bok-lo mempunyai tujuh buah gerakan kaki dan pukulan yang berbeda satu sama lain. Setiap jurus, merupakan pukulan maut. Jago silat yang kebanyakan, tentu tak mampu lolos dari tujuh jurus pukulannya itu. Itulah makanya ia mendapat julukan Chit-poh-tui-hun atau Tujuh-tindak-penyambar-nyawa. Dalam beberapa tahun yang terakhir ini, ia berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu pukulannya itu. Diberinya pula tambahan beberapa gaya variasi yang lebih membingungkan lawan. Ia dapat menguasai permainannya itu menurut apa yang dikehendakinya. Begitu menghampiri dekat tubuh Khik-sia condong ke samping seperti orang yang terkena pukulan. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia meluncur datar macam anak panah dilepaskan ke muka. Karena melengkung itu, maka pukulan Yo bok-lo luput mengenai sasaran pinggang, sebaliknya menyentuh tongkak kaki Khik-sia. Bagi Khik-sia hal itu berarti mendapat panjatan. Dengan meminjam tenaga panjatan itu, ia pun meluncur ke muka. Yo Bok-lo terkejut. Kini baru ia menyadari bahwa sekalipun ilmu pukulannya bertambah hebat tapi ilmu gin-kang si anak mudapun bertambah lihay juga. Pukulan yang dilontarkan dalam posisi yang tak terduga-duga, pun ternyata masih dapat dihindari oleh Khik-sia. Masih Yo Bok-lo merasa penasaran. Sebelum si anak muda sempat berdiri tegak, ia segera memburu dan menyusuli pula dengan dua buah pukulan lwekang biat-gong-ciang. Sekali ini ia tentu akan terpelanting, pikirnya. Siapa tahu begitu Yo Bok-lo bergerak, Khik-sia pun bergerak. Sebelum tiba di tanah, ia sudah berjumpalitan di udara untuk berganti posisi. Dalam berjumpalitan itu tangannyapun sudah mencabut po-kiam. Dengan gerak pheng-pok-kin-siau atau burung alap-alap menukik awan, ia meluncur turun ke arah Yo Bok-lo. Di tengah udara dapat berjumpalitan dan masih dapat pula mencabut pedang untuk menyerang, beberapa gerakan yang istimewa itu sekaligus dapat dilakukan dengan indahnya, sungguh tak diduga sama sekali oleh Yo Bok-lo. Kini posisinya berbalik dari menyerang berganti diserang. Sekarang giliran si iblis tua yang sibuk menangkis serangan itu. Dengan serangan yang istimewa itu, Khik-sia dapat memaksa lawan sibuk berloncatan kian kemari untuk menghindar. Untung kepandaian iblis tua itu lebih tinggi. Segera ia gunakan ilmu selentikan tan-ci-sin-thong dan pukulan lwekang biat-gong-ciang untuk mengisarkan ujung pedang Khik-sia hingga tak sampai mengenai. Tapi Yo Bok-lo hanya lebih unggul sedikit dari Khik-sia, jadi meskipun dapat menangkis namun dengan susah payah sekali. Telah dikatakan di atas, bahwa tempat mereka bertempur itu adalah di muka lapangan Swan- bubun. Karena tempat itu besok pagi hendak dijadikan tempat pertandingan Eng-hiong-tay-hwe, maka sudah tentu diadakan penjagaan yang kuat. Inipun untuk menjagai segala kemungkinan karena pada saat itu di kota raja banyak sekali berkumpul tokoh-tokoh silat dari delapan penjuru.
Siu-wi atau kwanan penjaga di situ, ada beberapa yang kenal pada Yo Bok-lo. Memang dalam pertandingan cari jodoh tadi, kawanan siu-wi itu tak mengacuhkan. Tapi kini demi mengetahui Yo Bok-lo berkelahi dengan orang, merekapun tak mau tinggal diam lagi. Beberapa siu-wi segera lari mendatangi dan mendamprat Khik-sia: Bangsat kecil yang bernyali besar, berani bikin onar di Swan-bu-bun sini! Menurut fakta, yang membikin onar itu adalah kedua orang tadi. Jika dihukum, Yo Bok-lo pun harus ikut menerima hukuman juga. Tapi ternyata kawanan siu-wi itu hanya menuduh Khik-sia saja. Ada seorang siu-wi yang mahir menggunakan senjata rahasia sudah segera timpukkan dua batang siu-cian (passer) ke arah Khik-sia. Sudah tentu Khik-sia tak pandang mata pada kawanan siu-wi itu. Ia yakin nanti tentu dapat mengalahkan Yo Bok-lo tapi untuk itupun harus membutuhkan waktu beratus-ratus jurus. Dan sekalipun dapat menang, pun belum tentu dapat membunuh iblis tua itu. Dalam keadaan seperti kala itu, kalau sampai kawanan tay-lwe-ko-chiu (jago-jago pengawal istana) turut keluar, tentu akan lebih berabe lagi. Dalam pada itu passerpun sudah tiba. Khik-sia sengaja mau unjuk kepandaian, serunya: Kurang ajar, mengapa kau hanya membidik aku sendiri? -- Ia menjentik dengan jari tengahnya dan terbanglah passer itu kembali. Sring, passer itu melayang melalui kain kepala si siu-wi sehingga yang tersebut belakangan itu melonjak kaget. Toan Khik-sia besar sungguh nyalimu, berani melukai pengawal raja? teriak Yo Bok-lo sembari lontarkan sebuah hantaman. Tapi secepat itu pula Khik-sia melesat dan menyambar seorang wi-su terus dijorokkan ke arah Yo Bok-lo. Yo Bok-lo, kau berani melukai pengawal raja? serunya dengan meniru nada Yo Bok-lo. Kesigapan anak muda itu betul-betul di luar dugaan Yo Bok-lo. Karena cepatnya gerakan anak muda itu, Yo bok-lo sampai tak keburu menghindar. Bluk, tinjunya menjotos si wi-su. Untung kepandaian Yo Bok-lo sudah mencapai tingkat sempurna dimana segala gerakan dapat dikuasai menurut sekehendak hatinya. Sudah tentu Yo Bok-lo buru-buru menarik tangannya supaya jangan sampai melukai si wi-su. Ia ganti pukulannya itu dengan gaya menangkap untuk menerima tubuh si wi-su yang menjorok datang itu. Adegan itu telah membuat si iblis tua meringis. Sebaliknya di sana Khik-sia tertawa gelak-gelak: Ho, kau berkasih-kasihanlah dengan pengawal raja itu. Aku tak sempat untuk mengawani kalian! Memang dalam ilmu gin-kang, Yo Bok-lo tak menang dengan Khik-sia. Apalagi saat itu karena kagetnya, si wi-su memeluk erat-erat leher Yo Bok-lo, jadi orang she Yo itupun sungkan untuk mengentakkannya. Maka dengan melongo, ia hanya dapat mengawasi musuhnya itu lari dengan bebasnya. Dengan lincahnya Khik-sia loncat ke atas rumah penduduk. Dalam lain kejap, di sepanjang wuwungan rumah penduduk hanya tampak sebuah sinar putih meluncur pesat. Begitu pesatnya sampai kawanan wi-su itu tak sempat melepaskan panahnya lagi. Setelah tiba di sebuah gang kesil yang sepi, turunlah Khik-sia. Diam-diam ia merasa geli sendiri: Dengan kupermainkan begitu tadi, rasanya cukuplah sudah untuk meledakkan dada Yo Bok-lo! Sekalipun begitu tetap ia tak berani jalan di jalan besar, pikirnya: Dengan kegaduhan tadi, tentulah menimbulkan perhatian orang. Biar lambat asal selamat, hati-hati ada lebih baik. Hari ini rasanya tak baik untuk mencari berita Yak-bwe, lebih baik aku pulang saja. Biar kuberitahukan dan kutanyakan pada Tiau-ing apakah nona penjual silat tadi sumoaynya. Tiba di pos rahasia, haripun sudah menjelang magrib. Di situ terdapat beberapa pendatang baru. Karena memikir orang yang datang kesitu tentulah kawan sendiri, maka Khik-siapun tak menaruh kecurigaan, tetapi sebaliknya orang-orang itu sama menaruh perhatian kepadanya. Karena ingin lekas-lekas mendapatkan Tiau-ing maka Khik-sia pun terus langsung masuk ke kamarnya. Setelah tergesa-gesa membasuh muka ia lantas menuju ke tempat bagian wanita. oooooOOOOOooooo
Pada masa kerajaan Tong itu, pergaulan antara pria dan wanita tak begitu keras aturannya. Lebih-lebih dalam kalangan kaum persilatan, lazimlah sudah kalau pria dan wanita itu bergaul secara bebas. Itulah sebabnya maka berani saja Khik-sia langsung memasuki kamar wanita. Sekalipun begitu, namun Khik-sia merasa kikuk juga. Khik-sia tak tahu di mana letak kamar Tiauing itu. Jika setiap kamar diketuknya tentulah akan ditertawakan orang. Diam-diam Khik-sia bersangsi. Sarang atau tempat rahasia yang ditinggalin itu, sebenarnya merupakan sebuah gedung besar semacam kasteel dari seorang she Kau. Oleh karena anak cucunya tak dapat mempertahankan maka terpaksa gedung itu dijualnya. Luasnya beberapa bahu, dikelilingi oleh pagar tembok, mempunyai berpuluh-puluh buah kamar. Di bagian mukda dan belakang, terdapat kebun bunga. Kamar bagian wanita itu, terletak di kebun belakang. Kamar-kamarnya berserakan di antara gunung-gunungan palsu dan pohon-pohon bunga. Di halaman bagian dalam, sunyi senyap. Karena saat itu temponya makan malam, maka mungkin mereka sama berada di dalam untuk makan. Sambil berjalan, Khik-sia mengharap dapat berjumpa dengan orang untuk menanyakan di mana kamar Tiau-ing itu. Tetapi sampai sekian saat, belum juga ia menjumpai seseorang. Tanpa terasa tibalah ia di sebuah sudut dari kebun belakang itu. Pikirnya: Yang ini rasanya tak perlu tanya orang lagi, tapi entah siapakah yang berada di dalam rumah ini? Pada saat itu tiba-tiba didengarnya suara tertawa orang lelaki: Kukira kau suka pada Khik-sia, apakah bukan begitu? Walaupun suara itu pelahan sekali namun dapat didengar jelas oleh Khik-sia. Itulah nada suara Se-kiat. Khik-sia terperanjat dan merasa sungkan. Se-kiat adalah seorang kakak yang dihormatinya. Sungguh tak dikiranya kalau Se-kiat berada di kamar seorang nona macam Tiau- ing dan bercakap-cakap secara berbisik-bisik, malah membicarakan tentang dirinya (Khik-sia). Tangan Khik-sia yang sudah diulurkan hendak mengetuk daun pintu, buru-buru ditarik kembali. Tiau-ing kembali tertawa mengikik: Terus terang saja, memang bermula aku agak menaruh perhatian kepada anak muda itu. Tapi setelah mengetahui pribadinya, aku merasa kecewa dan tak suka lagi. Apakah bukan karena ia sudah bertunangan, kau lantas merasa kecewa? tanya Se-kiat. Bertunangan atau tidak, itu bukan soal. Aku suka padanya bukan mesti harus menikah dengannya. Sayang ia bukan pahlawan yang kucita-citakan, sahut Tiau-ing. Se-kiat membantah: Dalam kalangan jago muda, kepandaian Khik-sia itu sukar dicari tandingannya. Mengapa kau katakan dia bukan pahlawan? Ia tak mempunyai cita-cita besar dan angan-angan tinggi. Pendek kata, bukan batu mustika yang kemilau. Betapapun tinggi ilmu silatnya, juga tak berguna, kata Tiau-ing. Se-kiat berkata dengan bisik-bisik: Habis siapakah pahlawan yang menjadi pujaanmu? Tiau-ing tertawa melengking, serunya: Mengapa bertanya lagi? Sudah tentu kaulah! Se-kiat tertawa: Suatu kehormatan yang tak pantas diberikan padaku. Tiau-ing rendahkan suaranya sampai seperti orang berbisik-bisik hingga Khik-sia tak dapat mendengarnya. Diantaranya hanya samar-samar terdengar kata-kata nona itu: Kakakku masih mempunyai tiga puluh ribu pasukan berkuda ..... Daerah suku Ki itu strategis sekali, baik menyerang maupun bertahan .... Asal kau suka terima persembahanku ini berarti sudah menjadi milikmu ..... Sudahkah kau menetapkan rencanamu? Hm, apakah kau benar-benar suka padaku atau hanya pura-pura saja? Se-kiat menyahut agak keras: Seorang lelaki, apa yang sudah dikatakan tentu selalu dipegang teguh, tak perlu ragu-ragu lagi. Tentu aku sudah mengambil putusan yang positif. Tiau-ing, kau sungguh seorang pembantuku yang berharga, aku sungguh-sungguh suka padamu! Khik-sia yang selama itu berdiri di luar rumah, tanpa sengaja telah mendengarkan semua pembicaraan rahasia itu. Diam-diam ia tersentak kaget dan gelagapan. Beberapa saat kemudian barulah pikirannya menjadi tenang lagi. Kini barulah ia dapat mengadakan analisa. Bo toako jatuh cinta pada Tiau-ing? Apa-apaan ini, sungguh suatu hal yang tak dapat dipercayai! Bagaimana dengan nona Sip?
Apakah Bo toako tidak mencintainya? Semua orang mengira kalau ia dan nona Sip itu sudah mengikat janji, bahkan Thiat-mo-lek piauko berusaha hendak merangkapkan perjodohan mereka. Apakah semua orang salah kira? Atau apakah Bo toako sudah berganti haluan mengingkari janjinya? Bo toako adalah seorang bu-lim-beng-cu yang dihormati orang, ai, mengapa ia berbuat begitu? Ia berhenti sejenak kemudian merenung pula: Apa yang dikatakan barang persembahan Su Tiau-ing tadi? Ho, apakah Bo toako kepincut dengan tiga puluh ribu pasukan berkuda dari engkohnya (Su Tiau-gi) itu, lalu hendak berserikat dengan nona itu? Tapi, ah, gerakan besar apa yang mereka hendak lakukan itu? Apakah Bo toako mencita-citakan hendak menjadi kaisar? Ia bilang telah mengambil putusan apa saja itu? Apakah mengambil putusan memutuskan hubungannya dengan nona Sip? Siapa di luar itu? tiba-tiba terdengar Se-kiat menegur dari dalam ruangan. Adalah karena ketegangan hatinya tadi maka tubuh Khik-sia sampai tergetar dan tanpa sengaja telah menyentuh gerendel pintu. Tapi hal itu malah kebenaran karena dengan begitu Se-kiat dan Tiau-ing mengira kalau ada orang mengetuk pintu dan mereka tak menaruh kecurigaan apa-apa. Aku, sahut Khik-sia yang dalam itu diam-diam berpikir: Ai, hubungan pria wanita itu memang sukar dikata. Aku yang sejak lahir sudah ditunangkan pada Yak-bwe, toh masih ruwet tak keruan, apalagi dia (Se-kiat) dengan In-nio. Nona Su Tiau-ing tak suka padaku, itu malah meringankan aku. Perlu apa aku mengurusi dirinya lagi? Tapi Bo toako selama ini selalu membantu aku, aku tetap harus menganggapnya sebagai seorang kakak. -- Tapi sekalipun sudah mengambil ketetapan begitu, tak urung nada suaranya masih kedengaran agak gemetar juga. Sambil membuka pintu, berserulah Se-kiat dengan heran: Oh, kiranya kau. Ada apa? Mau cari aku atau nona Su? Dalam pada itu, Se-kiat membatin: Khik-sia anak ini tidak suka plintat-plintut mencuri dengar pembicaraan orang. Huh, siapa tahu karena agak lama bergaul dengan Tiau-ing, maklum antara pemuda dan pemudi yang seperjalanan, tentulah timbul rasa apa-apa. Dengan terus terang Khik-sia menyatakan bahwa ia hendak mencari Tiau-ing. Apakah aku boleh mendengarkan? Atau perlukah aku menyingkir dulu? Se-kiat paksakan tertawa. Tiau-ing juga terkesiap, pikirnya: Selama dalam perjalanan ia selalu kuatir kalau kurayu, mengapa sekarang hendak mencari aku? Apakah tingkah lakunya dulu itu hanya aksi belaka padahal hatinya tertarik padaku? Ai, sekarang sudah kasip. Pertanyaan Se-kiat tadi telah menimbulkan rasa enggan pada Khik-sia, dengan agak tegas ia berkata: Aku bukannya hendak bicara rahasia, melainkan hendak memberitahu pada nona Su tentang sebuah hal, habis itu aku segera akan pergi. Apakah itu? Tiau-ing tersenyum, bilanglah dan tak usah lantas buru-buru pergi. Khik-sia bercerita: Tadi siang aku telah berjumpa dengan seorang nona penjual silat. Agaknya ia adalah saudara seperguruanmu. Seketika berubahlah wajah Tiau-ing, serunya: Orangnya bagaimana? Mengapa kau tahu kalau saudara seperguruanku? Khik-sia segera menuturkan pengalamannya siang tadi. Mata Tiau-ing berkeliaran. Rupanya iapun merasa heran juga. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia: Kalau demikian halnya, teranglah kalau suci-ku. Mengapa tak pernah kau singgung? tanya Khik-sia. Tiba-tiba ia merasa Se-kiat memperhatikan dirinya. Merahlah wajah Khik-sia dibuatnya. Ia merasa menyesal dengan katakatanya tadi, pikirnya Mengapa aku begini bodoh menanyakan hal itu? Urusannya kenapa harus diceritakan padaku? Pertanyaan tadi tentu akan menimbulkan salah paham Bo toako. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan suci itu. Hanya kutahu bahwa aku mempunyai seorang suci tapi aku belum mengenalnya. Itulah makanya aku tak sempat memikirkannya. Kepada orang yang kupikirkan sudah tentu tak kuberitahukan padamu. Wajar saja nona itu berbicara sambil tertawa. Pun alasannya tepat sekali. Hal itu menandakan akrabnya hubungannya dengan Khik-sia. Dan justeru sikap yang dibawakan itu telah berhasil
menolong Khik-sia dari kesulitan. Jejakku telah ketahuan Yo Bok-lo, harap Bo toako suka meningkatkan kewaspadaan, kata Khik-sia. Ya, kutahu, sahut Se-kiat acuh tak acuh. Khik-sia akan segera pamitan tapi tiba-tiba Tiau-ing masih mengajukan pertanyaan lagi: Khiksia, tahukah kau apa sebabnya maka suci-ku itu mengadakan pertandingan cari jodoh? Bagaimana aku tahu? balas Khik-sia. Biarlah kutebaknya, Se-kiat tertawa menyela, Nah, begini, jodoh yang hendak dicari oleh suci-mu itu bukan lain ialah kau sendiri. Khik-sia tak mengerti dan terkesiap tanya dalam hati: Apa-apaan ini. Masakan sumoay dan suci mau berjodoh? Sebaliknya tampak Tiau-ing mengangguk: Benar, memang kupikir juga demikian. Aku tak kenal padanya, tapi tetap mengenal ilmu silatnya. Ia membuka pertandingan itu sehari di muka pertandingan Eng-hiong-tay-hwe. Hal itu tentu menggemparkan publik. Lama-lama aku tentu mendengarkan dan ikut menyaksikan pertandingan itu. Kini barulah terbuka pikiran Khik-sia, katanya: Oh, kiranya ia menggunakan cara begitu. Ia tentu berjumpa suhu di tengah jalan dan tahu kalau aku sudah tiba di kota raja. Memang pintar juga ia itu, gunakan cara begitu untuk memikat perhatianku, kata Tiau-ing. Habis kalau tidak begitu, tak nanti ia sembarangan mengunjukkan kepandaiannya. Dan andaikata sudah bertemupun tak nanti kalian saling mengenal. Cara itu memang berbahaya tapi rasanya tepat sekali, kata Se-kiat. Sebagai seorang pemuda yang berhati lapang, begitu melihat Se-kiat dan Tiau-ing bercakapcakap dengan bebas, ia pun segera tak kikuk lagi. Katanya dengan tertawa: Jika ada lelaki yang dapat mengalahkan dan menagih janjinya, lalu bagaimana jadinya? Tiau-ing balas tertawa: Jika benar ada pahlawan itu dan ia memang penuju, apa salahnya kalau ia menikah? Bukankah ini yang disebut main-main jadi sesungguhnya? Nona itu bertopang dagu seolah-olah seperti ada yang dipikirkan. Kemudian melanjutkan berkata: Kembali pada persoalan tadi. Kalau toh ia tanpa menghiraukan cemoohan orang telah menggunakan cara begitu mencari aku, tentulah membawa kabar penting. Ai, ia tak tahu kalau aku tak leluasa keluar kemana-mana? Habis berkata serentak ia berbangkit dan menghampiri kemuka Khik-sia. Di situ ia memberi hormat kepada si anak muda, katanya: Khik-sia, urusan ini aku hendak minta tolong padamu. Khik-sia balas memberi hormat dan tertawa: Mengapa kau begitu sungkan kepadaku? Kau sudah mengetahui suci-ku, maukah kau menolongi memanggilkannya? Karena dirinya barusan saja diketahui orang, sebenarnya tak leluasa bagi Khik-sia keluar lagi. Tapi karena ia berdarah mulia suka membantu orang, ketambahan pula sedikit banyak ia sudah bersahabat baik dengan Tiau-ing, permintaan nona itu tak dapat ditolaknya. Urusan sekecil itu mengapa perlu memakai kesungkanan yang berkelebihan. Biarlah kuundangnya kemari, sahut Khik-sia. Alis Se-kiat tampak mengerut seperti ada yang hendak dikatakan tapi urung. Sebenarnya ia hendak mencegah Khik-sia jangan keluar lagi, tapi pada lain saat terlintas dalam pikirannya: Tak apalah ia pergi lagi. Dengan ginkangnya yang lihay tentulah tak sampai jatuh di tangan musuh. Berkata Tiau-ing lagi: Suci-ku itu bernama Liong Seng-hiang. Jika bertemu ajaklah ia kemari saja. Pak tua itu ayah angkatnya, tak perlu diajak kemari. Khik-sia mengiyakan dan minta diri pada Se-kiat. Se-kiat memesannya supaya berhati-hati. Bo toako benar menganggap aku sebagai adiknya, pikir Khik-sia dengan perasaan terima kasih. Setelah melalui sebuah gunung-gunungan palsu yang terletak di depan rumah itu dan belum lagi keluar dari halaman belakang situ, samar-samar ia seperti melihat sesosok tubuh bergegas-gegas mendatangi. Begitu berpapasan, keduanya sama berseru kaget dan sama-sama berhenti. Khik-sia berteriak memanggil piauko, sedang orang itu berseru piau-te. Kiranya dia adalah Thiat-mo- lek. Girang Khik-sia bukan alang-kepalang, katanya: Piauko, kau juga datang kemari. Aku sedang
mengharap-harap kau. Juga Thiat-mo-lek girang sekali. Tapi setelah memangil piaute-nya tadi, tiba-tiba wajahnya mengerut gelap, ujarnya: Khik-sia, kabarnya kau datang dengan seorang nona Su. Bukankah ia itu puterinya Su Su-beng? Selebar muka Khik-sia merah padam, sahutnya dengan terkait-kait: Piau-ko, ini, ini ..... Nyata Khik-sia sukar untuk menerangkan. Kata Thiat-mo-lek: Sekarang aku tak punya tempo mengurusi persoalanmu itu, baiklah untuk sementara jangan dibicarakan dulu. Sekarang jawablah dulu pertanyaanku ini. Apakah nona Su itu juga tinggal di sini? Apakah kau barusan datang dari tempatnya? Ya, karena .... Tak usah kau terisak-isak memberi alasan, nanti kita bicarakan lagi dengan tenang. Apakah Bo Se-kiat juga sedang berada di kamar nona Su itu? kembali Thia-mo-lek menukasnya pula. Bahwa tiba-tiba Thiat-mo-lek menyebut diri Se-kiat, telah membuat Khik-sia terperanjat heran. Pikirnya: Mengapa baru datang saja toako lantas tahu tentang Se-kiat dan hendak mencarinya di kamar Tiau-ing? Ya, Bo toako memang di sana, sahutnya kemudian. Tak perlu mengejutkan lain orang, antarkan aku kesana. Aku hendak membicarakan suatu urusan penting dengan Se-kiat, kata Thiat-mo-lek. Khik-sia menganggap bahwa telat sedikit untuk mencari suci Tiau-ing, rasanya tak jadi apa. Begitulah segera ia membawa piauko-nya ke tempat Tiau-ing lagi. Tiba di sana Tiau-ing segera menegurnya: Hai, Khik-sia, mengapa kau kembali lagi? Begitu membukai pintu, nona itu segera berhadapan dengan Khik-sia dan Thiat-mo-lek. Tiauing terkesima. Tidak demikian dengan Se-kiat yang walaupun kedatangan Thiat-mo-lek itu secara tiba-tiba sekali, namun dengan riang gembira ia segera keluar menyambutnya. Thiat toako, kebetulan sekali kau datang. Besok pagi adalah hari pertandingan, kukuatir kau terlambat datang. Ini adalah nona Su. Khik-sia datang bersama-sama dengan nona Su, jadi kita semua adalah orang sendiri, kata Se-kiat. Tiau-ing cepat tampil kemuka memberi hormat, ujarnya: Telah lama kudengar kemasyhuran nama Thiat cecu yang gagah, aku yang rendah Su Tiau-ing menyampaikan hormat. Thiat-mo-lek tersipu-sipu memberi isyarat agar nona itu jangan kelewat merendah diri. Sebenarnya setelah perkenalan itu Tiau-ing hendak mengenali Thiat-mo-lek dengan rapat tapi demi melihat sikap orang yang begitu keren dan dingin tak berani ia banyak bicara lagi. Bo hiante, kau adalah Beng-cu, aku ada suatu urusan hendak meminta pertimbanganmu, kata Thiat-mo-lek. Ai, Thiat toako, kedudukanku itu adalah berkat mengandalkan kewibawaanmu. Kitakan sudah seperti saudara, mengapa toako begitu sungkan-sungkan. Harap toako mengatakan dengan bebas, kata Se-kiat. Thiat-mo-lek hanya melirik, tapi tak berkata apa-apa. Se-kiat tahu apa maksudnya dan kembali menegaskan bahwa Tiau-ing itu adalah orang sendiri. Baik, nona Su, aku hendak pinjam tempatmu untuk bercakap-cakap sebentar dengan beng-cu. Kurasa lebih baik kubicara empat mata dengan beng-cu. Khik-sia, kau tak ada urusan, keluarlah, kata Thiat-mo-lek. Walaupun hanya ditujukan pada Khik-sia, tapi jelas bahwa Thiat-mo-lek pun tak menghendaki Tiau-ing turut hadir di situ. Rupanya Tiau-ing tahu juga hal itu. Dengan cepat ia berseru: Thiat cecu, kau baru saja tiba, tentu belum makan. Biarlah kubuatkan hidangan untukmu. Ah, tak usah repot-repot, sahut Thiat-mo-lek. Apakah Thiat cecu kuatir aku tak dapat masak enak? Selama dalam perjalanan akupun sering memasakkan Khik-sia, kata Tiau-ing dengan tertawa. Thiat-mo-lek cepat berganti nada tegas: Huh, baiklah. Tetapi tak usah masak nasi. Nanti, nati .... Toh, tak usah membatasi temponya. Aku memerlukan tempo agak lama juga untuk memasak.
Ya, begini sajalah: bila kalian berdua sudah berunding selesai, harap suruh orang ke dapur memberitahukan padaku. Jika aku sudah siap, tentu segera akan kuhidangkan makanan, tetap Tiau-ing membantah. Nona ini benar-benar tangkas dan licin. Ia tetap hendak memegang alasan itu untuk menyingkir supaya tak kentara, pikir Thiat-mo-lek. Ia segera mengangguk dan selaku kepantasan iapun mengucapkan terima kasih atas kesediaan si nona. Nah, biar kumasakkan teh dulu, segera akan kusuruh orang mengantarkan kemari, kata Tiauing. Tatkala berjalan keluar bersama Khik-sia, Tiau-ing leletkan lidahnya dan berkata: Piauko-mu garang benar, sampai orang sukar untuk meladeninya. Sejak masuk ke dalam ruangan, tak pernah ia berseri wajahnya. Sebenarnya ia itu peramah, mungkin karena baru pertama kali berkenalan, maka kau anggap ia itu sukar diajak bergaul, sahut Khik-sia. Ai, untunglah aku juga tak berminat bergaul padanya. Khik-sia, aku tetap meminta bantuanmu untuk mencarikan suci-ku itu. Hm, hari sudah larut, kata Tiau-ing. Ya, segera akan kucari jejak suci-mu itu, sahut Khik-sia. Khik-sia menduga kebanyakan nona penjual silat itu tentu sudah pergi dari lapangan. Tapi untuk menyirapi jejaknya, terpaksa ia harus pergi ke lapangan itu juga. Saat itu ia membelok dan menyusuri sebuah gang kecil. Dalam pada itu pikirannya mengenangkan akan peristiwa yang dialaminya hari itu. Segala sesuatu sungguh di luar dugaannya. Pikir punya pikir, tibalah ia pada adegan tentang sikap Thiat-mo-lek terhadap Tiau-ing tadi, katanya dalam hati: Menurut pribadi piauko, biasanya ia tak bersikap begitu dingin terhadap seorang kenalan baru. Huh, mungkin piauko juga menganggap nona itu sebagai wanita siluman. Untung aku tak punya sedikit hubungan kasih dengan Tiau-ing. Pelahan-lahan nanti piauko tentu mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Tapi bagaimana sikap piauko bila mengetahui bahwa pemuda yang dipenujui Tiau-ing bukan aku melainkan Se-kiat? Piauko tentu sungkan mendamprat Bo toako. Paling-paling ia hanya dapat mengasihani nasib nona sip saja, demikian Khik-sia masih terbenam dalam dugaannya. Tetapi adakah Thiat piauko-nya itu betul-betul akan merasa kasihan kepada In-nio atau tidak, ia sendiri tak tahu. Hanya yang terang ia memang turut bersedih dengan nasib yang diderita In-nio itu. Selagi ia melamun, tiba-tiba dari sebuah gang kecil yang terletak di samping jalan menerobos keluar seorang lelaki. Malah orang itu lantas memanggilnya dengan berbisik, Toan hiantit, kaukah? Kala itu haripun sudah gelap. Di gang situ tiada tampak seorangpun lagi. Dari sinar lampu rumah-rumah yang berada di kedua tepi gang itu, tampak bahwa orang yang menegur Khik-sia itu seorang persilatan dari pertengahan umur yang mengenakan jubah hijau, berjenggot panjang dan mendukung sebuah yok-long atau kantong obat. Demi mengetahui siapa orang itu, girang Khik-sia tak terperikan, serunya: Oh, paman To, kau juga datang kemari? Tapi mengapa tak mengambil jalan besar? Ya, memang itu bukan lain adalah Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing, sahabat karib dari mendiang ayah Khik-sia. Sahut Peh-ing: Di jalan besar yang menuju ke lapangan Swan-bu-bun itu penuh dengan tentara, entah ada apa. Maka akupun terpaksa mengambil jalan kecil ini. Khik-sia terperanjat kaget, pikirnya: Jalan kecil ini tak dapat sampai ke sana. Kemanakah aku akan mencari berita? Ternyata keterangan yang diberikan To Peh-ing itu masih ada lagi. Bahkan berita yang kedua itu lebih mengejutkan Khik-sia lagi dari keterangan yang pertama tadi. Belum lagi Khik-sia menceritakan tentang keadaan dirinya, Peh-ing sudah mendahului bertanya: Bukankah kau tadi dari kebun bunga gedung keluarga Kau? Gedung keluarga Kau adalah sandi nama dari pos rahasia yang dipondoki Khik-sia itu. Maka Khik-sia telah mengangguk. Waktu kau keluar, apakah piauko-mu sudah tiba di sana? cepat Peh-ing menanya pula dengan wajah kecemasan.
Sudah, saat ini ia sedan berunding dengan Bo toako, sahut Khik-sia. Apakah kau sudah berjumpa padanya? Sudah, jawab Khik-sia. Apakah piauko-mu yang menyuruh kau keluar ini? Bukan, aku sendiri ada sedikit urusan. Mendengar jawaban itu gemetarlah tubuh Peh-ing. Katanya dengan gugup: Mengapa kau tak menemani piauko-mu? Lekas balik, lekas balik! Betapa penting urusanmu itu juga harus kau pertangguhkan juga! Khik-sia terlongong-longong keheranan, ujarnya: Paman To, kau kuatir di sana kita akan ketahuan? Tidak, tentara negeri .... Aku bukannya menguatirkan tentara negeri mengetahui tempat persembunyian kita itu. Ketahuilah, musuh dari luar mudah dihadapi tapi pengkhianat dari dalam sukar diketahui! Kejut Khik-sia bukan alang-kepalang. Paman To, apa maksudmu? tanyanya serentak. To Pek-ing banting-banting kakinya berseru: Singkat saja kuberitahukan padamu, aku kuatir kalau piauko-mu dicelakai Bo Se-kiat! Seperti halilintar menyambar di tengah hari, saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak. Jika bukan To Peh-ing yang mengatakan, ia tentu sudah mendampratnya habis-habisan. Mengapa Bo toako berbuat begitu? tanyanya tak habis mengerti. Hati orang sukar diduga. Dan lagi sekalipun Se-kiat tak mau turunkan tangan jahatnya, namun dapat juga ia lakukan secara menggelap, kata Peh-ing. Khik-sia menaruh perindahan sekali kepada Se-kiat. Meskipun yang mengatakan itu adalah sahbat baik dari mendiang ayahnya, tetapi ia tak mau lekas-lekas mempercayainya. Memang dua harimau sukar hidup rukun. Piauko-mu itu seorang jantan yang jujur dan tegas, bukan mustahil Se-kiat dengki kepadanya. Karena meskipun Se-kiat itu seorang beng-cu yang ditaati seluruh kaum lok-lim, tetapi pada hakekatnya tak memadai piauko-mu itu. Khik-sia merenung dalam, pikirnya: Hm, jangan-jangan orang tua ini menggunakan ukuran siau-jin (orang rendah) untuk mengukur seorang kun-cu (gentleman). Namun tak berani Khik-sia mengatakan perasaannya itu kepada Peh-ing. Berkata pula jago tua itu: Bo Se-kiat itu seorang yang ambisius (gila pangkat) sekali. Memang biasanya ia mengindahkan sekali kepada piauko-mu tapi dikuatirkan apabila sudah tiba saatnya, ia tentu tak segan lagi untuk membasmi orang. Apakah piauko-ku mempunyai bentrokan tajam dengan dia? tanya Khik-sia. Yang kuketahui, piauko-mu telah bergegas-gegas datang kemari karena perlu mencegah Sekiat dalam suatu hal yang hendak dikerjakannya, sahut Peh-ing. Selanjutnya ia menyatakan sayang ia tak tahu tindakan apa yang hendak dilakukan Se-kiat itu: Tetapi yang nyata hal itu mengenai urusan besar dan sekarang tak ada waktu bicara banyak-banyak lagi. Segera Khik-sia teringat betapa sikap piauko-nya yang tampak begitu tegang ketika berhadapan dengan Se-kiat tadi. Diam-diam ia berdebar juga. Sekalipun saat itu masih belum mau mempercayai sama sekali akan keterangan To Peh-ing, namun Thait-mo-lek itu adalah satu- satunya familinya di dunia. Kalau tak sungguh, masakan seorang tua macam Peh-ing mau bicara begitu sungguh-sungguh. Serentak ia menjadi gelisah dan mengatakan kalau hendak balik menengok keadaan piauko-nya. Bagus, gin-kangmu lebih cepat dari aku, lekaslah pulang. Kuharap di sana belum terjadi sesuatu, sahut Peh-ing. Dengan serempak, larilah Khik-sia pulang. Ketika hampir tiba, timbullah pikirannya: Urusan ini belum tentu benar tidaknya, aku tak boleh gegabah sehingga ditertawai orang. Mereka berdua tengah berunding di kamar rahasia, lain orang tak boleh mengganggu. Baiklah aku bersembunyi di tempat gelap untuk melindungi piauko secara diam-diam. Setelah mengambil ketetapan, ia tak mau masuk dari pintu besar melainkan lompati tembok belakang dan masuk dari belakang kebun. Rumah atau paviliun yang ditempati Tiau-ing itu terletak di sudut kebun belakang. Di sebelahnya kebetulan tumbuh sebatang pohon yang lebat daunnya. Dengan gin-kangnya yang lihay dengan mudah dapatlah Khik-sia loncat ke atas dahannya yang
tinggi. Dari situ melongok melalui jendela, dapatlah ia melihat keadaan dalam kamar itu dengan jelas. Ternyata di dalam ruangan itu tampak Thiat-mo-lek sedang berdebat dengan Se-kiat. Dengan memanggul kedua tangannya Thiat-mo-lek berjalan mondar-mandir. Tahulah Khik-sia kalau hal itu merupakan adat kebiasaan sang piauko di kala memikirkan suatu persoalan yang penting. Tiba-tiba dilihatnya sang piauko maju ke hadapan Se-kiat dan berseru keras: Tidak bisa! Se-kiat terkesiap sejenak lalu bertanya: Mengapa tidak? Ini adalah suatu kesempatan yang jarang terjadi, mengapa harus disia-siakan? Aku sudah mempersiapkan semuanya! Kau kira dengan mengirim sepasukan anak buah kita untuk menyerang istana, kita lantas berhasil menangkap kaisar itu? balas Thiat-mo-lek. Se-kiat tertawa: Besok pagi Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang sudah akan dimulai. Pasukan Gi-lim-kun (pengawal raja) dan si-wi (pengawal istana) kebanyakan tentu menjaga keamanan. Dengan begitu penjagaan di istana tentu berkurang. Sekali bergerak dan berhasil, bukankah suatu hal yang mengherankan. Aku pernah menjabat si-wi di istana. Istana mempunyai sembilan buah pintu besar, setiap pintu selalu dijaga oleh lima puluh orang si-wi. Tak nanti penjagaan itu dikurangi. Selain itu masih ada sebuah regu barisan panah yang selalu meronda. Berapakah jumlahnya orang yang hendak kau kirim untuk menyerang istana itu? Memang teorinya saja mudah. Dan lagi .... Ha, ha, Thiat toako, Se-kiat memutus omongan orang dengan menertawakannya, anak buah yang kukirim ke istana itu mempunyai kegunaan istimewa. Dapat menerobos masuk dan menangkap raja Li Heng hidup-hidup, itulah memang yang kuharap. Tapi seandainya tak dapat, tetap kita masih berhasil. Masakan kau tak ingat akan siasat sekali tepuk mendapat beberapa? Thiat-mo-lek kerutkan alisnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi baru sang mulut bergerak sudah dihentikan lagi. apa siasat 'sekali tepuk mendapat beberapa' itu? Sukalah menyebutkan, katanya sesaat kemudian. Sekalipun tak dapat menawan Li Heng, tapi sekurang-kurangnya kita dapat menghilangkan Cin Siang. Sebenarnya Kaisar Li Heng tak setuju dengan tindakan Cin Siang mengadakan Enghiong -tay-hwe dengan mengundang tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru itu. Tetapi di hadapan kaisar, Cin Siang telah memberi jaminan, bahwa jika sampai terjadi apa-apa, ialah yang akan menanggungnya. Dari hasil Eng-hiong-tay-hwe itu ia berharap dapat memilih jago-jago untuk memperkuat pasukannya Gi-lim-kun guna menghadapi panglima-panglima perbatasan. Itulah sebabnya maka akhirnya iapun menyetujui juga rencana Cin Siang. Dengan tindakan kita itu, paling tidak Li Heng tentu kana ketakutan setengah mati. Setelah itu, ia tentu akan meminta pertanggungan jawab dari Cin Siang. Kedudukan sebagai pemimpin Gi-lim-kun, pasti tak dapat dipertahankan oleh Cin Siang lagi, demikian Se-kiat panjang lebar menguraikan rencananya. Kembali Thiat-mo-lek kerutkan alisnya, berkata: Justeru aku adalah orang yang tak mau berbuat hal yang mencelakai seorang sahabat! Di kala Cin Siang mendapat tugas bersama pasukan Gwe-thiok-lam dari Tian Seng-su menggempur Kim-ke-nia, jika ia tidak secara diam-diam membantu pihak kita, mungkin kita tak dapat lolos lagi. Mengapa kita membalas budi orang dengan air tuba? Se-kiat tertawa: Toako, untuk melakukan pekerjaan besar masakan harus mengingat urusan persahabatan lagi? Toako, kau berpribudi seperti kaum wanita! Baik, anggap saja Cin Siang itu bukan seorang sahabat. Tapi masakan kita tak memikirkan kepentingan orang kita sendiri? Regu yang kau kirim ke istana itu, jumlahnya tentu tak dapat kelewat banyak. Di bawah hujan panah dari pasukan panah istana, apakah kau pikir dapat meloloskan diri? balas Thiat-mo-lek dengan suara berat. Se-kiat mengangkat bahunya: Toako, jika hendak menggoncangkan dunia, apa artinya kalau hanya kehilangan beberapa jiwa saja? Se-kiat, kulihat hatimu sekeras baja, sayang aku tak punya cita-cita untuk 'memburu rusa' (tinggi). Kurasa lebih baik berbuat menurut kehendak alam saja, membasmi kejahatan untuk mengamankan rakyat kiranya sudah cukup. Perlu apa kita mengharapkan kedudukan raja! kata Thiat-mo-lek.
Sucou-ku Hong Jiam-kek telah mengalah pada Li Si-bin. Karena sekarang kerajaan Tong menjadi bu-to (lalim), panglima-panglima saling berebut daerah kekuasaan, rakyat hidup dalam kegelisahan, rasanya sudahlah tiba saatnya aku harus merebut kembali bumi yang telah diberikan kepada Li Si-bin oleh sucou-ku itu! Kata-kata terakhir dari Se-kiat itu telah membuat Thiat-mo-lek bungkam. Rupanya dalam urusan itu, ia tak dapat mengambil keputusan yang positif. Kini tertawalah Se-kiat, serunya: Toako, tak usah bersangsi. Dalam rencanaku menyerang istana kali ini, akuun belum perlu memakai orang-orangmu. Cukup kugerakkan anak buahnya Kay Thian-hay saja. Yang kuminta, janganlah kau coba mencegahnya hingga dapat mempengaruhi moral tentara kami! Wajah Thiat-mo-lek mengerut gelap, ujarnya: Kita telah mengangkat saudara, mengapa kau adakan garis pemisahan begitu? Aku hanya hendak memperingatkan, layakkah kita lakukan gerakan itu? Kalau menurut toako bagaimana, layak atau tidak? Se-kiat mengembalikan pertanyaan. Se-kiat, biarlah kutanya padamu lebih dahulu. Tadi kau katakan bahwa kau telah mengatur pengunduran diri apabila pasukanmu itu gagal. Bagaimanakah jalannya? tanya Thiat-mo-lek pula. Se-kiat tampak meragu, tapi pada lain saat segera ia menerangkan: Toako, aku tak mau merahasiakan apa-apa kepadamu. Aku telah berunding dengan nona Su, setelah menyerang istana, kita segera akan tinggalkan kota Tiang-an ini. Sisa anak tentara engkohnya berada di darah suku Ki. Kesanalah kita akan mengundurkan diri. Jadi kau hendak berserikat dengan Su Tiau-gi? tanya Thiat-mo-lek. Nadanya sudah mulai berubah. Se-kiat tertawa: Thiat toako, rupanya kau juga memandang rendah pada pribadiku. Masakan aku suka berserikat dengan dia? Bukankah kau hendak mundur ke sana? Apakah ini bukan berarti mencari perlindungan padanya? Aku akan melenyapkan Su Tiau-gi dan menguasai pasukannya berkuda yang berjumlah tiga puluh ribu! Meskipun nona Su dan Su Tiau-gi bersaudara, tapi mereka tidak takut. Dalam hal ini nona Su telah menyanggupi padaku. Setelah mendapatkan anak pasukan Su Tiau-gi, kita lantas berserikat dengan suku Ki. Dengan begitu kita dapat menciptakan siasat 'dapat maju menyerang, dapat mundur bertahan.' Turut hematku, tak sampai sepuluh tahun lagi, kita pasti berhasil. Se-kiat, kau memang pandai tapi satu waktupun limbung juga, sahut Thiat-mo-lek. Mengapa limbung? Toako, menurut pandanganmu tak seharusnyakah aku memberontak? tanya Se-kiat. Sahut Thiat-mo-lek pula: Dahulu ketika aku menjabat si-wi, hampir saja aku dicelakai kaisar. Dari situ aku mendapat kesan, bahwa raja tidak punya liang-sim (peri kebajikan). Kau hendak berusaha mengganti seorang raja baru, sebenarnya hal itu bukan berarti memberontak. Itulah! seru Se-kiat, Kalau begitu mengapa kau tak mau menjadi teman perjuanganku? Karena aku harus melihat dahulu bagaimana dengan gerakan memberontak itu. Tiga puluh ribu pasukan berkuda dari Su Taiu-gi itu, sembilan puluh persen adalah suku Oh. Suku Ki itu adalah termasuk jenis suku Artar. Dalam seratus tahun yang terakhir ini, suku Tho-kwat (Artar) menjadi musuh besar dari Tiongkok. Apakah kau tak tahu? Ketika timbul huru-hara dari An Loksan dan Su Khik-hwat, kaisar Hian Cong yang tergila-gila pada selirnya Yang Kui-hui (Nyo Kuihui), telah memakai lagi kawanan dorna Nyo Kok-tiong. Rajanya buto (lalim), pemerintahannya bobrok akibatnya rakyatlah yang harus memikul penderitaan besar. Ketika An dan Su mengadakan gerakan berontak, sekalipun tahu kalau kaisarnya begitu bejat, toh rakyat tetap suka membantu pemerintah (raja Hian Cong) untuk melawan pemberontak itu. Tahukah kau apa sebabnya? Jika sekarang kau mau menggunakan orang Oh guna merebut negara, dikuatirkan belum-belum sudah tak mendapat simpati rakyat kita. Se-kiat, kau adalah seorang yang cerdik. Coba kau pikir-pikir lagi! Suku Oh adalah sebuah suku yang tinggal di bagian utara. Dahulu disebut suku Pak-tek. Mendengar itu tertawalah Se-kiat dengan lepasnya sehingga suaranya sampai menggetarkan genteng rumah.
Hiante, mengapa kau tertawa? tanya Thiat-mo-lek dengan keheranan. Toako, kau hanya tahu satu tapi tak tahu yang kedua. Memang An Lok-san itu sendiri adalah orang Oh. Ia tak punya kepintaran apa-apa tapi mau gegabah merebut tahta kerajaan. Kalau gagal, itulah sudah jamak. Sebaliknya aku sekarang mempunyai saudara-saudara lok-lim. Dan aku sama sekali bukang mengandalkan orang Oh, melainkan untuk sementara meminjam tenaga mereka. Begitu kekuasaan sudah beralih ke tanganku, mengapa kuatir akan mereka? Rencanaku ini jauh bedanya dengan tindakan An Lok-san! Tetap Thiat-mo-lek menyanggahnya: Meskipun demikian, memukul Tiongkok dengan tentara asing, tetap tak sesuai! Toako, ucapanmu ini agak salah. Meminjam serdadu asing untuk memukul dan orang asing memukul Tiongkok, adalah dua buah hal yang berlainan. Rasanya kau tentu paham dengan sejarah kerajaan Tong ini. Dahulu ketika Li Si-bin memulai gerakannya di Thay-goan, pernah mengirim Lau Bun-cing untuk menyerahkan surat pada Tho-kwat Khan (raja suku Artar) yang isinya menyatakan bahwa apabila gerakannya berhasil, Khan pun akan diberi bagian. Itulah sebabnya maka suku Tho-kwat suka membantu dan akhirnya berhasillah Li Si-bin menjadi raja. Kemudian tentang kejadian yang terakhir. Ketika memadamkan pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat, raja Tong pun meminjam tentara Hwe-hap lalu bersama dengan para jenderal Kwe Cu-gi dan Li Kong-bik, mengadakan serangan balasan. Akhirnya barulah ia dapat merebut kembali kota raja Tiang-an, Lok-yang. Apa yang kurencanakan sekarang, Li Si-bin dan Li Heng pun sudah pernah menjalankan juga. Kalau mereka dapat menjadi raja, masakan aku tak boleh? panjang lebar Se-kiat mengadakan pembelaan. Tidak boleh! Kukatakan, kaupun hanya tahu satu tak tahu yang kedua! bentak Thiat-mo-lek. Berubahlah seketika wajah Se-kiat namun ia coba tindas kemarahannya: Toako mempunyai pendapat apa? Jawab Thiat-mo-lek: Karena meminjam tentara Tho-kwat itu, maka berpuluh-puluh tahun lamanya rakyat Tiongkok tersiksa batinnya, hingga sampai sekarang tetap rakyat menganggap mereka itu sebagai suatu pasilan (penyakit). Syukur Li Si-bin itu seorang junjungan yang gagah perwira sehingga dengan kewibawaannya dapatlah ia menindas bangsa Tho-kwat itu tak sampai merebut kerajaan. Sekalipun begitu, tak urung di perbatasan masih sering kali mendapat gangguan mereka. Baginda Li Yen pernah mempertimbangkan untuk memindahkan kota raja. Sejak itu hingga tahun ketiga dari Ceng Koan (merk kerajaan), Li Si-bin telah mengutus Li Ceng menyerang Tho-kwat, dengan demikian barulah persengketaan perbatasan itu untuk sementara menjadi reda. Tetapi kedua pihak sama-sama menderita kerusakan besar. Kemudian setelah baginda Li Si-bin meninggal, pihak Tho -kwat kembali mengganggu perbatasan lagi hingga sampai sekarang. Pada hakekatnya kesemuanya itu terjadi dari hal mulanya. Meskipun Li Si-bin itu seorang gagah perwira tetapi karena ia meminjam tenaga asing (Tho-kwat), aku tetap menyalahkan dia! Thiat-molek berhenti sejenak, memandang Se-kiat lalu berkata pula: Mengenai sejarah yang terakhir yakni kerajaan Tong meminjam tentara Hwe-hap untuk memadamkan pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat, kuanggap lebih celaka lagi. Tentara Hwe-hap itu menduduki Tiang- an dan Lok-yang, membakar dan membunuh. Berpuluh-puluh ribu rakyat menjadi korban, rumahrumah mereka menjadi api. Maka meskipun kerajaan Tong mendapatkan kembali kedua kota itu, namun yang diperolehnya hanyalah dua buah kota dari runtuhan puing! Se-kiat tak mengira Thiat-mo-lek bukan saja seorang ahli sejarah pun seoran kritikus sejarah yang tajam. Diam-diam Se-kiat surut semangatnya dan tak dapat membantah lagi. Tapi ia seorang pemuda yang ambisius sekali. Walaupun apa yang dikatakan Thiat-mo-lek itu merupakan fakta sejarah, namun tetap ia berontak hatinya, pikirnya: Apakah bahaya itu benar-benar akan menimpa rakyat, itulah soal kelak. Mungkin tidak demikian. Meskipun Li Si-bin telah melakukan set (tindakan) yang salah, namun ia tetap terpuja sebagai seorang pahlawan besar dari jamannya. Dapat melakukan suatu sejarah seperti Li Si-bin, juga hebat sekali. -- Hatinya bimbang, sesaat tak dapat mengambil putusan. Setelah menguraikan panjang lebar, mulut Thiat-mo-lek merasa kering. Ia menjemput cawan teh terus diteguknya. Tiba-tiba cawan itu dibantingnya dan berteriak: Se-kiat, kau, kau, mengapa
berbuat sekeji ini? Cawan pecah berhamburan sehingga Se-kiat melonjak kaget dan berseru dengan nada tertahan: Toako, kau, kau bilang apa? Kata-kata Se-kiat itu telah diputuskan oleh suara kaca jendela yang hancur berantakan dan tahutahu Khik-sia menerobos masuk. Tanpa bilang ba atau bu, anak muda itu lantas menusuk Se-kiat. Yang tersebut belakangan ini menghindar ke samping dan hanya lengan bajunya saja yang kena tertembus. Untung ia cepat-cepat tarik mundur tangannya hingga tak sampai terluka. Tapi laksana banteng mengamuk, Khik-sia kembali menyerang dengan pedangnya lagi. Khik-sia, dengarlah bicaraku! teriak Se-kiat kembali menghindar ke samping. Tapi mana Khik-sia mau mendengar lagi. Kembali ia mengirim serangan yang ketiga. Se-kiat buru-buru mengangkat meja untuk dihadangkan. Brak, meja itu segera terbelah menjadi dua oleh pokiam Khik-sia. Sebenarnya Se-kiat juga membekal pednag, tapi ia tak mau mencabutnya. Ia hanya menghindar saja dari serangan Khik-sia yang ganas itu. Khik-sia berhenti! Kau mau berhenti atau tidak?! teriak Thiat-mo-lek. Dengan mata merah berapi-api Khik-sia deliki Se-kiat, sahutnya: Apakah toako masih suruh aku mengaku, mengakui manusia berhati ..... Sebenarnya Khik-sia hendak mencaci 'manusia berhati binatang', tapi sudah keburu dibentak oleh Thiat-mo-lek: Tutup mulutmu! Khik-sia tak berani buka suara lagi. Ia berganti memandang sang toako dengan tak mengerti. Jilid 11 Jika Bo toako bilang bukan dia yang menurunkan tangan jahat, itu tentu benar! kata Thiatmo- lek. Pada waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, nadanya sudah berubah parau, menandakan bahwa racun telah bekerja. Ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan lwekangnya. Mendengar bahwa Thiat-mo-lek mengatakan bukan dia yang meracuni, wajah Se-kiat agak berseri, pikirnya: Ah, tak kira kalau Thiat toako masih mempercayai aku! Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dan masuklah Tiau-ing ke dalam ruangan. Dengan tertawa mengikik nona itu berseru: Thiat cecu, kau benar-benar pandai melihat orang. Memang bukan Se-kiat tetapi akulah yang menaruh racun itu! Kata-kata itu bagaikan halilintar memecah bumi di siang bolong. Khik-sia sampai kaget terlongong-longong. Tiau-ing, kau .... seru Se-kiat dengan gemetar. Seorang jantan harus mempunyai ketetapan. Jika sekarang tak kau lenyapkan Thiat-mo-lek, kelak tentu bakal merupakan bahaya besar! sahut Tiau-ing dengan tegas. Tutup mulutmu! bentak Se-kiat. Tiau-ing tertawa mengejek: Menangkap harimau mudah, melepaskannya sukar. Kau mau menjadi raja, mengapa pusingkan urusan persaudaraan? Jika kau tak mendengarkan kataku, menyesal kelak tak berguna! Saat itu pikiran Khik-sia sudah sadar. Segera berkobarlah amarahnya. Tapi ketika ia hendak bertindak menyerang Tiau-ing, tiba-tiba didengarnya derap kaki mendatangi. Ia cepat berpaling dan menampak empat orang tak dikenal yang dilihatnya tadi. Kiranya mereka itu adalah pengawal dari Bo Jong-long di pulau Hu-siang-to (ayah Bo Se-kiat). Setelah mendapat kedudukan di Tiong- goan, barulah Bo Se-kiat memanggil keempat orangnya itu. Terkilas dalam pikiran Khik-sia bahwa saat itu piauko-nya sedang keracunan, maka iapun tak berani bertindak gegabah. Dengan pedang di tangan ia siap mengawal di samping Thiat-mo-lek. Pikirnya: Mati atau hidup, semuanya tergantung pada Bo Se-kiat! Hm, jika ia berani bertindak aku tentu akan mengadu jiwa. Lebih dulu akan kubunuh perempuan hina itu! Memang dalam hal ilmu silat, Se-kiat lebih tinggi sedikit dari Khik-sia. Apalagi ditambah dengan keempat pengawalnya itu serta Tiau-ing. Jika Se-kiat benar-benar mau berbalik muka, jangankan hendak melindungi jiwa sang piauko, sedang jiwanya sendiripun sukar dipastikan.
Wajah Se-kiat berubah-rubah tak berketentuan. Rupanya terbit pertentangan dalam batinnya. Sementara Khik-sia sambil mecekal pokiamnya dengan tangan yang basah keringat, matanya tak berkesiap memandang ke arah Se-kiat. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba mata Se-kiat terbeliak lalu berseru keras: Siapa yang suruh kalian datang kemari, hai! Lekas pergi! Keempat pengawal itupun saling berpandangan dan terpaksa ngeloyor pergi. Se-kiat apakah kau tak mengetahui bahwa orang yang berhati kecil itu bukan seorang ksatria, yang tak ganas bukan seorang jantan! seru Tiau-ing. Sebaliknya mengimbangi, dengan tegas Se-kiat membentaknya: Ambil obat penawarnya! Apa? teriak Tiau-ing. Berikan obat penawarnya padaku. Kalau tidak, hubungan kita putus sampai di sini! sahut Sekiat. Tiau-ing menghela napas. Dikeluarkannya obat penawar, ujarnya: Se-kiat, tak mengapa kuberikan obat ini, tapi kukuatir kau bakal kehilangan lagi bumi yang sudah berada di tanganmu! Se-kiat berseru nyaring: Bumi tetap akan kuambil. Tetapi seorang ksatria harus mengambilnya dengan cara gemilang. Aku tak mau mengkhianati saudara angkat! Segera ia menyambuti obat dari Tiau-ing terus diberikan kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: Thiat toako, sejak saat ini kita ambil jalan sendiri-sendiri. Aku akan membawa orang-orangku keluar dan kau jangan mengurusi aku lagi! Apakah kau tetap hendak menyerang istana? masih Thiat-mo-lek bertanya. Dengan memandang mukamu, kubatalkan rencanaku itu. Malam ini aku bersama nona Su hendak tinggalkan kota raja, sahut Se-kiat. Tentang bagaimana kejadiannya besok, biarlah kita masing-masing ambil jalan sendiri. Toako, mengingat tali persaudaraan kita, terimalah hormat perpisahan dari siaute! Tahu bahwa orang sudah tetap putusannya, Thiat-mo-lek pun tak mau mencegahnya lagi. Dengan berlinang air mata, ia membalas hormat, sahutnya: Se-kiat, harap kau baik-baik menjaga diri! Se-kiat berpaling dan berkata kepada Tiau-ing: Nona Su, maaf tadi aku tak mau menurut kau. Apakah kau masih suka bersama-sama aku? Tiau-ing menghela napas, ujarnya: Kita adalah ibarat anai-anai (rayap) di dalam lubang, harus tetap bersama-sama. Baik berhasil maupun gagal, biarlah kita bersama-sama mengenyam kebahagiaan dan kesukaran! Tergetar hati Khik-sia tapi tak tahu perasaan apa yang dikandungnya benci atau sayang. Tiauing pun segera mengikuti Se-kiat yang dengan pelahan-lahan berjalan lewat di sisi Khik-sia. Thiat-mo-lek seperti orang yang baru sadar dari impiannya. Beberapa jenak kemudian barulah ia kedengaran berkata: Se-kiat belum hilang nuraninya sama sekali. Sayang dalam kecerdikannya itu, satu waktu ia limbung. Habis berkata ia lantas hendak mengambil obat penawar, tapi cepat Khik-sia mencegahnya: Toako, apakah kau tak curiga perempuan siluman itu main gila? Adalah yang pertama kali itu Khik-sia mengucap kata 'wanita siluman'. Ia sendiri merasa tak enak mendengarnya. Teringat akan kejadian yang lampau, diam-diamia merasa berduka juga. Jangan kuatir. Sejak ini nona Su itu akan bersandar pada Se-kiat, sudah tentu ia tak berani memberi obat palsu padaku, sahut Thiat-mo-lek yang terus menelan obat itu. Sambil tertawa- tawa, ia berkata pula: Kesudahan begini ada baiknya juga. Aku seperti melepaskan beban sebuah batu yang menindih hatiku. Beberapa waktu yang lalu, kudengar kau bergalang-gulung dengan nona Su itu. Kucemas jangan-jangan kau terpikat olehnya. Sayang nona Su itu dilahirkan sebagai wanita, coba tidak, tentu akan menjadi seorang benggolan pengacau negara yang nomor wahid. Se-kiat cocok berpasangan dengannya, tetapi kau tidak sembabat! Wajah Khik-sia merah, bisiknya: Masakan aku dapat terpikat olehnya? -- Sekalipun mulut mengatakan begitu, namun dalam hati ia mengakui bahwa syukur dirinya dapat lolos dari lubang jarum rayuan Tiau-ing. Lwekang Thiat-mo-lek sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Keracunan itu tak nanti dapat membinasakan jiwanya, melainkan hanya memerlukan beristirahat sementara akan sudah sembuh.
Apalagi kini ia minum obat penawar. Dalam beberapa detik setelah banyak mengeluarkan keringat, racun itu turut mengalir keluar dan sembuhlah dia. Kala itu tengah malam. Tib-tiba terdengar derap kaki berlarian datang. Thiat-mo-lek kerutkan alis. Heran ia mengapa pada saat begitu malam ada orang berani datang ke kamar wanita. Ternyata Kim-kiam-cang-long Toh Pek-ing. Ia mendorong pintu dengan tergopoh-gopoh: Thiat cecu, kau tak kena apa-apa? Toh-sioksiok, bukankah aku segar bugar, mengapa kau begitu gelisah? Mari kita keluar omong-omong. Kita berdua melanggar kesopanan, Thiat-mo-lek tertawa. Kiranya walaupun mereka itu kaum persilatan, tapi tetap memegang teguh adat peraturan tentang pria-wanita. Pada petang hari, wanita dan pria itu harus terpisah tempatnya. Tapi sekarang Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing justeru berada di kamar Su Tiau-ing. Waktu tiba kemari, kulihat belasan penunggang kuda lari keluar. Kukenal mereka anak buah Bo Se-kiat, tapi anehnya mereka tak menegur-sapa padaku. Kukira tentu terjadi sesuatu, maka tanpa menghiraukan peraturan lagi terus masuk kemari. Mana Se-kiat? seru Toh Peh-ing. Dia pun sudah lari. Mari kita omong-omong di luar, kata Khik-sia sembari membawa Thiatmo- lek dan Toh Peh-ing ke kamarnya sendiri. Berbahaya, berbahaya! begitu pintu ditutup, Toh Peh-ing menghela napas. Toh-sioksiok, Se-kiat tidak seburuk yang kau duga. Apalagi kejadian sudah lewat. Khik-sia, kaupun jangan memakinya lagi, kata Thiat-mo-lek. Melirik sejenak pada Thiat-mo-lek, Peh-ing berseru: Thiat cecu, bukankah bangsat Se-kiat telah meracuni kau? Toh-sioksiok, tak kecewa kau mendapat gelaran Kim-kiam-ceng-long. Ilmu ketabibanmu sungguh mengagumkan orang! Kau dapat melihat aku kena keracunan tapi masakan tak dapat melihat bahwa aku sudah sembuh? Toh Peh-ing heran, mengapa Se-kiat meracuni dan memberi obat penawar pula? Thiat-mo-lek segera menuturkan apa yang terjadi tadi. Aku tak mengatakan kalau Bo Se-kiat sudah tak punya nurani lagi. Dia sebagai pemimpin Lok-lim, tapi galang-gulung dengan seorang wanita siluman, tentu akan mendatangkan bahaya bagi saudara-saudara Lok-lim. Thiat ce-cu, masih ingatkah ketika pertandingan di gunung Kim-ke-nia tempo hari? Kunasehatkan jangan kau mengalah pada Se-kiat, sayang kau tak mendengar kata. Thiat-mo-lek terdiam beberapa saat. Akhirnya ia menghela napas: Dalam hal kecerdikan, Sekiat sepuluh kali lebih pintar dari aku. Sayang dia ambisius dan angkara murka. Karena di luar jendela hari sudah mulai terang, maka Toh Peh-ing berkata: Hari sudah terang tanah. Thiat-cecu, kau jadi datang ke pertandingan atau tidak? Mengapa Toh-sioksiok bertanya begitu? Aku merasa sedikit cemas. Waktu Thiat-mo-lek menanyakan apa yang dicemaskan. Toh Peh-ing menjawab: Thiat-cecu, walaupun kau murah hati kepada Se-kiat, tetapi dikuatirkan hatinya tak serupa hatimu. Apalagi kini ia bersama anak perempuan Su Su-bing. Apa yang disungkani lagi? Aku tak percaya pada mereka. Walaupun Bo Se-kiat sudah membatalkan rencananya menyerbu istana, tetapi bukan berarti mereka tak dapat membuat lain kekacauan. Dan dirimu masih menjadi buronan negara ..... Justeru kalau aku datang, akan lebih baik. Karena kukuatir mereka akan mengacau dan merembet Cin Siang. Dan lagi Cin Siang serta Ut-ti Pak itu adalah sahabatku yang sudah seperti saudara. Walaupun dalam tempat yang tak memungkinkan aku bicara kepada mereka, tetapi biarlah asal dapat melihat mereka saja, karena kita sudah lama tak berjumpa. Toh Peh-ing cukup kenal pribadi Thiat-mo-lek yang menjunjung tinggi kejujuran dan kesetiaan. Tahu kalau tak mungkin dapat mencegah niat orang, Toh Peh-ing pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali meminta agar Thiat-mo-lek berlaku hati-hati. Thiat-mo-lek tertawa dan menyatakan dalam pertandingan orang gagah itu nanti ia akan berlaku sebagai penonton saja tak mau turun gelanggang. Yang datang ke pertandingan Eng-hiong-tay-hwe di Pakkhia itu, anak buah Bo Se-kiat kurang lebih 18-an orang. Sedang dari Kim-ke-nia, boleh dikata hanya Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing saja.
Karena anak buah Kim-ke-nia dan pembantu Thiat-mo-lek yang dahulu berasal dari anak buah ayahnya (Thiat-kun-lun), semua pindah ke gunung Hok-gu-san. Shin Thian-hiong dan kedua saudara Ma memimpin penjagaan gunung itu. Karena Bo Se-kiat kemarin sudah memisahkan diri dengan membawa anak buahnya, maka anak buah yang ikut Thiat-mo-lek hanya tinggal belasan orang saja. Dan itupun hanya golongan begal-begal kecil. Dalam perjalanan, mereka heran mengapa Se-kiat dan beberapa kawan, tak kelihatan. Memang tahu mereka bahwa kemarin malam Se-kiat keluar dengan beberapa anak buah, tapi karena Thiat-mo-lek diam saja tak mau memberi keterangan, maka orang-orang itupun tak berani bertanya. Gelanggang yang akan dijadikan medan pertempuran para orang gagah itu terletak di kaki bukit Li-san. Biasanya tempat itu dipakai upacara inspeksi ketentaraan yang dilakukan oleh baginda. Luasnya beberapa ratus bau, dapat menampung beberapa puluh ribu orang. Lapangan itu mempunyai enam buah pintu gerbang yang terbuka. Ketika Thiat-mo-lek dan pengikutnya ikut menggabungkan diri dengan rombongan orang yang masuk ke dalam gelanggang dilihatnya di sekitar lapangan itu dijaga oleh tentara. Sebagian dari tentara Gi-lim-kun, sebagian dari pasukan Kiu-seng-kun atau barisan penjaga kota raja, yang langsung di bawah pimpinan Kiu-seng-su-ma (pembesar tinggi yang bertanggung jawab keamanan ibu kota). Lapangan seolah-olah dipagari senjata tajam. Ujung tombak berjajar-jajar menyilaukan mata. Suasana di situ tampak seram seperti di medan perang. Thiat-mo-lek menganggap sudahlah wajar kalau penjagaan di lapangan situ dilakukan sedemikian kuatnya karena boleh dikata seluruh orang gagah dari segenap penjuru berkumpul di situ. Iapun tak menaruh kecurigaan apa-apa. Karena berebut memilih tempat yang enak, maka tata tertib agak kacau. Karena desak-desakan itu maka anak buah Thiat-mo-lek pun terpencar. Waktu Khik-sia hendak mengejar Thiat-mo-lek, tiba-tiba ia dibentur oleh seorang pemuda berpakaian bagus. Khik-sia ingat-ingat lupa pada orang itu. Toan siauhiap, masih ingat padaku? pemuda itu sudah mendahului menegur dengan tertawa. Mendengar nada suara orang, seketika teringatlah Khik-sia: Kau kemarin yang jual, jual ..... - - Teringat nona penjual silat itu kini menyaru jadi lelaki, Khik-sia buru-buru hentikan kata- katanya. Tak mau buka rahasia orang. Benar, kau tak lupa padaku. Terima kasih atas bantuanmu kemarin. Kemarin aku belum sempat menghaturkan terima kasih, kata nona itu. Nona itu adalah suci dari Su Tiau-ing. Karena Khik-sia masih mendongkol dengan Tiau-ing, maka sikapnya kepada nona itupun agak lain. Katanya dengan tawar: Itu hanya urusan kecil, perlu apa diingat-ingat. -- Habis berkata ia terus pergi. Toan siangkong, harap ikut aku. Aku hendak bicara padamu, nona itu buru-buru mencekal lengan Khik-sia. Kalau mau sebenarnya Khik-sia dapat melepaskan tangannya, tapi ia merasa tak enak berbuat begitu di hadapan orang banyak. Terpaksa ia berlaku sabar dan membiarkan dirinya ditarik ke samping. Aku adalah sucinya Tiau-ing. Bukankah kau datang bersama Tiau-ing? bisik nona itu. Tapi Khik-sia menyangkal dengan kurang senang. Mendapat jawaban tak bersahabat begitu, nona itu terkesiap. Memang ia tak tahu akan peristiwa yang terjadi semalam. Khik-sia hendak pergi lagi tapi cepat dicekal si nona. Marahlah Khik-sia: Aku tak mempunyai hubungan dengan sumoaymu. Aku tak tahu tentang urusannya. Sudah, jangan tanya lagi! Nona itu tersenyum. Diam-diam ia membatin. Khik-sia itu seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya tapi pemaluan. Ia kira Khik-sia tentu malu mengaku berhubungan dengan Tiau-ing. Maka iapun tak mau lepaskan cekalannya. Khik-sia diam-diam sudah akan bertindak kasar. Untung nona itu keburu berkata pula: Toan siangkong, ini soal penting sekali. Kau harus lekas memberi tahu padanya.
Menduga Tiau-ing tentu sedang merencanakan sesuatu, maka dengan tahankan sabar, Khik-sia terpaksa bertanya: Baik, lekas katakanlah! Para penonton terus berbondong maju. Tetapi Khik-sia dan nona itu berada di sudut di sekitarnya tiada orangnya. Namun dengan hati-hati sekali, nona itu tempelkan mulut ke dekat telinga Khik-sia dan berbisik: Suruh Tiau-ing lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Atau mungkin jiwanya terancam nanti. Walaupun sudah putus hubungan dengan Tiau-ing tapi mau tak mau terkejut juga Khik-sia. Serunya: Mengapa .... Dan kau pun harus segera tinggalkan tempat ini bersama Tiau-ing. Jangan ayal atau nanti terlambat, nona itu putuskan omongan Khik-sia. Kemarin kau .... Kemarin aku tak tahu kalau kau, mengerti? Lain-lain omongan besok kita bicarakan lagi. Lekas, lekaslah pergi! nona itu kembali mendesak dan habis itu ia lepaskan cekalannya terus pergi. Khik-sia tercengang. Apa yang dimaksudkan nona itu? Siapa musuhnya? Tapi jelaslah bahwa ada orang yang hendak mencelakai Tiau-ing. Malah ia (Khik-sia) pun ikut-ikutan terancam. Waktunya akan dilaksanakan sekarang. Tempatnya di sini. Rupanya hal itu banyak benar dari tidaknya. Rupanya bukan tak ada maksudnya nona itu mengembara ke dunia persilatan dengan menyaru sebagai penjual silat. Ia membuka pertandingan cari jodoh untuk memanggil sumoaynya. Setelah bertemu ia hendak menyampaikan berita penting itu. Sayang ia tak tahu kalau sumoaynya semalam telah pergi dari kotaraja bersama Se-kiat, demikian Khik-sia menimang dalam hati. Kemarahannya terhadap Tiau-ing mulai reda. Memang Khik-sia itu terlalu gampang perasa. Walaupun sudah putus hubungan, tapi demi mendengar berita itu, iapun masih mencemaskan keadaan Tiau-ing. Bahwa dirinya juga terancam, malah tak dihiraukannya. Ia lanjutkan langkahnya menuju ke bagian tengah. Ia celingukan kian kemari tapi dalam sekian banyak orang itu, Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing tak kelihatan. Tiba-tiba Khik-sia tersadar: Ah, mengapa aku hanya memikirkan kepentingan diri sendiri? Benar aku tak gentar menghadapi bahaya, tapi bagaimana dengan piau-ko dan paman Toh? Kalau sampai terjadi apa-apa pada diriku, mereka tentu takkan tinggal diam. Tetapi diri piauko dan paman Toh itu lebih berat dari aku. Jika orang dapat mencelakai diriku, mereka tentu lebih dapat mencelakai piauko dan Paman Toh! Memikir sampai di situ, ia gelisah sekali dan ubek-ubekan mencari Thiat-mo-lek berdua. Belum mendapatkan piaukonya, tiba-tiba ia terperanjat melihat tiga bayangan yang rasanya tak asing. Mereka berupa tiga orang perwira. Cepat Khik-sia segera mengenal mereka. Dua yang berjalan di depan, terang perwira palsu Su Yak-bwe dan Sip In-nio. Yang mengikuti di belakang mereka adalah Pui Bik-hu, pemuda yang pernah bertempur dengan Khik-sia di hotel tempo hari. Kejut dan girang Khik-sia bukan kepalang. Memang kedatangannya ke Eng-hiong-tay-hwe itu tak lain karena untuk menjumpai Yak-bwe. Kalau saat itu tak teringat berada di tengah lautan manusia, tentu ia sudah meneriakinya. Sebaliknya Yak-bwe dan In-nio tak tahu pada Khik-sia. Walaupun jarak mereka tak berapa jauh tapi dikarenakan begitu banyak orang, Khik-sia tak mudah untuk menghampiri. Tiba-tiba ada seorang pemuda dan pemudi meneriaki Yak-bwe. Kiranya sepasang muda-mudi itu adalah Tok- ko U kakak beradik. Semangat Khik-sia menurun beberapa derajat. Entah apakah mereka itu sudah lama berjanji, tapi yang nyata mereka itu sedan g bercakap-cakap, tak enak kalau aku menimbrung, pikir Khiksia. Malah ketika Khik-sia memandang lagi, dilihatnya Yak-bwe terkejut girang bertemu dengan kedua saudara Tok-ko itu. Hati Khik-sia makin kecut. Ia meragu dan tak berani maju. Aya, mengapa aku lupa pada piauko? Mencari piauko, lebih penting, tiba-tiba ia tersadar. Namun anehnya, walaupun pikirannya begitu namun kakinya serasa berat dan matanya tak lepasnya memandang Yak-bwe. Tiba-tiba terdengar genderang dan tambur dipalu. Keenam pintu besi segera ditutup. Ternyata pertandingan akan dimulai. Di tengah lapangan itu didirikan sebuah pangung tinggi untuk pertandingan. Khik-sia memandang ke muka dan tampak Cin Siang sudah muncul di atas
panggung. Ia berdiri di apit Utti Pak dan Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi. Cin Siang mulai mengucapkan kata-kata pembukaan. Ia mengucapkan terima kasih atas kedatangan para orang gagah dan menguraikan tentang maksud didirikannya panggung pertempuran adu silat itu, yakni karena pemerintah membutuhkan jago-jago pilihan untuk diharapkan suka menyumbangkan tenaga pada negara. Mengenai acara pertandingan, mengingat jumlahnya peserta banyak sekali, maka akan dibagi dalam beberapa regu. Waktu pertandingan pun akan diadakan sampai beberapa hari. Kepada setiap orang gagah yang hadir pada saat itu, akan diberi sebuah tong-pay (lencana tembaga). Menurut urutan nomor tiap sepuluh orang merupakan sebuah regu. Tiap hari akan dilangsungkan sepuluh partai pertandingan. Kalau diduga yang ikut dalam pertandingan itu lebih kurang seribu orang, maka pertandingan itu baru selesai dalam sepuluh hari. Dalam babak kedua yang akan dilakukan pada hari yang kesebelas, diantara seratus pemenang babak pertama itu akan diadu dan dipilih sepuluh orang pemenangnya. Yang lima orang akan nanti akan diberi jabatan sebagai Sam-bin-keng-ki-towi (perwira kavaleri). Sedang yang lima akan diangkat menjadi Su-bin-ki-ki-to-wi (perwira bagian kendaraan). Sisanya yang sembilan puluh orang itu akan diangkat menjadi anggota pasukan Gi-lim-kun. Habis pengumuman itu Cin Siang memberi penjelasan lagi: Yang tak mau menjabat pangkat ketentaraan, tak dipaksa. Mereka akan diberi hadiah berharga seekor kuda, sebatang golok pusaka dan kain sutera seratus blok. Di antara para hadirin itu, sebagian besar memang ingin mendapat pangkat dan hadiah-hadiah yang menarik itu. Hanya sebagian kecil yang tak begitu menghiraukan hal itu. Pidato Cin Siang itu mendapat sambutan gegap gempita dari para penonton. Ternyata pada saat itu Thiat-mo-lek berada di samping lapangan dan berhasil menempatkan diri di deretan muka dekat panggung. Ia merasa Cin Siang telah melihat dirinya. Karena Thiat-mo- lek tak ingin pangkat dan hadiah, maka iapun tak berminat ikut dalam pertandingan. Adalah setelah melihat kedua sahabatnya, Cin Siang dan Utti Pak, tak kurang suatu, iapun lega. Terutama yang melonggarkan perasaannya ialah tak didapatinya Bo Se-kiat di lapangan situ. Ia duga Se-kiat tentu pegang janji dan tinggalkan Tiang-an. Pertemuan besar ini telah dibuka dengan lancar. Hari ini kebanyakan tentu takkan terjadi peristiwa apa-apa. Sebaiknya tak kuterima tong-pay dan cepat-cepat pulang saja. Malah nanti akan kusuruh Khik-sia mengantarkan surat kepada Cin toako minta dia berhati-hati. Besok pagi segera akan kuajak Khik-sia tinggalkan Tiang-an, diam-diam ia mengambil putusan. Karena berada di barisan depan, Thiat-mo-lek tak mengetahui kalau keenam pintu gerbang sudah ditutup. Ketika berpaling dan tak melihat Khik-sia, diam-diam ia marah. Hm, anak itu benar-benar sembrono. Entah kemana dia? Di tempat semacam ini, mengapa pencar? Belum tong-pay diedarkan sampai padanya, tiba-tiba ada seorang penunggang kuda larikan kudanya di sepanjang jalur jalanan tanah kuning terus langsung ke muka panggung dan berhenti. Thiat-mo-lek tahu bahwa hanya goanswe (marsekal), ciangkun (jenderal), atau tiong-su (utusan kaisar, misalnya thaykam) baru boleh naik kuda di jalur kuning itu. Cin Siang lebih terkejut lagi. Ternyata yang datang itu adalah Liong-ki-to-wi Bu Wi-yang, kepala pasukan penjaga istana yang disebut Kiong-tiong-siu-wi. Ketika An Lok-san memberontak, kaisar yang sekarang yakni Li Heng, masih menjadi putera mahkota. Bu Wi-yang adalah jenderal yang mengawal Li Heng ketika lolos ke kota Lin-bu. Kemudian setelah Li Heng memproklamirkan diri menjadi raja, Bu Wi-yang makin mendapat kekuasaan. Kemudian setelah An Lok-san ditindas, barulah Li Heng kembali lagi ke kota raja Tiang-an. Atas jasanya itu Bu Wi-yang diangkat menjadi Liong-ki-to-wi atau kepala barisan berkuda. Tingkatannya sama dengan Cin Siang. Sebenarnya jabatan Kiong-tiong-su-wi itu dipimpin Utti Pak. Li Heng menggesernya jadi Hu-thong-leng atau wakil komandan pasukan Gi-lim-kun. Kedudukan komandan Kiong-tiong-su-wi diberikan pada Bu Wi-yang. Sebenarnya Bu Wi-yang kepingin menjadi komandan pasukan Gi-lim-kun. Tetapi karena Cin Siang besar pahalanya sebagai menteri inti yang membangun negara dan besar pengaruhnya, maka Li Heng pun sungkan untuk mengutik-utiknya dan terpaksa memindah Utti Pak saja. Sekalipun
begitu, dalam soal kepercayaan Bu Wi-yang itu lebih dipercaya kaisar daripada Cin Siang. Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang kali ini, Bu Wi-yang tak ambil peduli sama sekali. Pun Li Heng merencanakan, nanti pada hari penutupan baru hadir. Maka kedatangan Bu Wi-yang secara tak terduga-duga itu telah membuat Cin Siang terperanjat. Apakah kaisar yang mengutusnya? Sebelum Cin Siang menyongsong, Bu Wi-yang sudah loncat ke atas panggung. Mengapa Bu congkoan tinggalkan istana? tanya Cin Siang dengan terkejut. Ia duga di istana tentu terjadi sesuatu. Baginda ada perintah untukmu! seru Bu Wi-yang. Menurut adat kebiasaan, setiap kali datang surat perintah raja, raja lebih dulu tentu mengutus orang untuk memberitahukan agar orang yang akan menerima surat amanat itu menyiapkan meja sembahyang. Kemudian orang itu harus mendengarkan surat amanat itu dengan bertekuk lutut. Karena datangnya surat amanat yang dibawa Bu Wi-yang itu mendadak sekali, Cin Siang sudah tak keburu menyediakan penyambutan. Tersipu-sipu ia jatuhkan diri bertekuk lutut. Urusan ini penting sekali. Baginda menitahkan, tak usah Cin tayjin sibuk menyiapkan upacara penyambutan. Setelah menerima surat amanat ini, harus lekas-lekas melaksanakannya. Dan tak perlu kubacakan isinya, seru Bu Wi-yang. Dengan kedua tangan Cin Siang menyambuti surat amanat itu. Ketika dibuka, pucatlah wajahnya seketika. Tak dapat ia membaca lagi. Cin tayjin, kau berani membangkang titah baginda? bentak Bu Wi-yang. Amanat yang berupa secarik kertas itu, dirasakan Cin Siang laksana benda seribu kati beratnya. Tangannya gemetar keras dan jatuhkan surat itu. Cin Siang menjerit keras, tiba-tiba ia benturkan kepalanya ke tiang. Seluruh hadirin geger. Untung dengan sigapnya Utti Pak loncat memeluknya: Cin toako, kau kesalahan apa? Mari kita menghadap baginda. Lepaskan! Apa kau akan membiarkan aku jadi manusia yang tak berbudi tak setia? bentak Cin Siang. Mengapa? tanya Utti Pak. Kalau tak menurut surat amanat, aku dianggap tak setia. Tapi kalau menurut perintah, aku menjadi manusia tak berbudi! Kalau Budi dan Setia tak dapat dilakukan bersama, lebih baik Cin Siang mati saja, demi untuk sahabat! sahut Cin Siang. Walaupun belum jelas, tapi sedikit-sedikit Utti Pak mengerti juga bahwa Cin Siang tak mau menjalankan perintah itu. Yang jelas perintah raja itu bukan ditujukan untuk menghukum Cin Siang. Utti Pak makin tak mau lepaskan sang sahabat. Kepandaian mereka hampir berimbang. Dalam ilmu kepandaian memang Cin Siang lebih unggul. Tapi dalam soal tenaga, Utti Pak lebih kuat. Cin Siang tak kuasa meronta dari pelukan Utti Pak yang keras. Cin Siang membangkang perintah baginda, lekas tangkap! tiba-tiba Bu Wi-yang berseru. Baru perintah itu diserukan, dari belakang panggung loncat seorang tua yang tinggi besar. Orang itu perawakannya agak bungkuk. Secepat kilat ia menutuk lambung Cin Siang. Seketika Cin Siang jatuh ngelupruk. Kejut Thiat-mo-lek bukan kepalang. Si bungkuk tua itu bukan lain adalah Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo! Memang atas perintah Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, pagi-pagi ia sudah mengumpet di belakang panggung. Sebenarnya jika bertempur secara berhadapan, belum tentu Yo Bok-lo dapat mengalahkan Cin Siang. Tapi karena jenderal itu disekap kencang oleh Utti Pak dan ditutuk jalan darahnya dari belakang oleh Yo Bok-lo, maka iapun tak berdaya menghindar lagi. Yo Bok-lo tak mau kepalang tanggung. Ia menutuk Utti Pak juga. Kurang ajar! Siapa berani menangkap toako-ku?! bentak utti Pak. Ilmunya kin-na-chiu atau dengan tangan kosong merampas senjata lawan, adalah ilmu warisan keluarganya. Di dunia persilatan tiada tandingannya. Jarak Yo Bok-lo amat dekat sekali dengan Utti Pak. Belum jari orang she Yo itu menyentuh sasarannya, tahu-tahu lengannya sudah kena dipelintir. Dengan gerak ki-kian-si, tubuh Yo Bok- lo yang tinggi besar itu dibanting ke lantai panggung. Untung dengan gerak le-hi-ta-ting, Yo Bok-lo
cepat-cepat dapat loncat bangun. Tapi bagian lengannya yang dipelintir sakitnya bukan alang kepalang. Pada saat itu Cin Siang sudah diikat oleh pengikut Toh Hok-wi. Dengan mata berapi-api Utti Pak hendak menghajar kawanan bu-su itu, tapi Cin Siang cepat mencegahnya: Utti-heng, jangan. Mengapa kau berani melanggar sengci (amanat) kaisar? Kita berdua turunan menteri setia. Kita hanya boleh menyerah pada keputusan kerajaan, tak boleh menjadi manusia yang tak setia tak berbakti! Demi mendengar tentang kesetiaan dan kebaktian itu, kemarahan Utti Pak sirap seperti diguyur air. Baik, biar kubawa kim-pian (cemeti emas) bersama-sama menghadap baginda. Siapa yang berani mengganggu padamu, tentu kuhajar! sahut Utti Pak yang berangasan itu. Kemudian ia menghardik Bu Wi-yang: Hai, Bu Wi-yang, apakah kau yang menangkap Cin toako-ku? Ternyata Utti Pak itu adalah anak keturunan dari Utti Kiong yang besar sekali jasanya kepada Li Si-bin, pendiri kerajaan Tong. Karena jasanya itu Utti Kiong dihadiahi sebatang kim-pian oleh raja. Dengan kim-pian itu ia boleh memukul menteri-menteri kerajaan sampaipun keluarga raja, urusan belakang. Maka walaupun tak menduduki jabatan tinggi, namun Utti Kiong mempunyai kedudukan istimewa yang ditakuti orang. Tiba-tiba Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi serentak menyerang dari belakang. Dengan ilmu houjiau- chio (cakar macan), Toh Hok-wi mencengkeram tulang pundak dan secepat itupun Bu Wi-yang hendak memborgol tangan Utti Pak. Utti Pak menggerung keras, sekali ia gerakkan kedua tangannya, Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi terhuyung-huyung sampai sepuluhan langkah ke belakang. Hampir saja mereka jatuh. Tapi sebuah tulang pundak Utti Pak patah dan tangannyapun kena diborgol. Yo Bok-lo yang masih kuatir, loncat maju dan menutuk jalan darahnya. Ha, ha, bukan melainkan Cin Siang pun kau juga harus ditangkap! seru Bu Wi-yang. Marah Utti Pak bukan alang-kepalang. Ia menjerit keras: Ambilkan kim-pianku! Baik, baik tuan, Toh Hok-wi tertawa mengejeknya. Seorang bu-su menerobos keluar dari belakang panggung. Sepasang tangannya mengangkat sebatang kim-pian. Tapi bukan diserahkan kepada Utti Pak, melainkan kepada Toh Hok-wi: Inilah kim-pian Utti tayjin yang hamba ambil! Utti Pak terkejut dan memaki kalang-kabut: Toh Hok-wi, kau berani melanggar undangundang? Kau minta dihukum potong kepala seluruh keluargamu? Mengapa kau berani merampas kim-pian pemberian baginda kaisar? Menyambut kim-pian, Toh Hok-wi tertawa gelak-gelak: Baginda memang bijaksana. Siangsiang sudah menduga kau akan membangkang karena mengandalkan kim-pian. Baginda telah menitahkan padaku supaya merampas kim-pianmu. Ha, ha, ini lihatlah seng-ci dari baginda! Orang she Toh itu mengeluarkan sepucuk kertas dan dibentang di muka Utti Pak. Memang tulisan di atas kertas itu tulisan baginda yang memberi wewenang kepada Toh Hok-wi. Apabila Utti Pak membangkang, boleh dirampas kim-piannya. Utti Pak tak mengira sama sekali bahwa kaisar mau mengeluarkan amanat rahasia sedemikian rupa. Seketika murkalah Utti Pak: Kim-pian adalah pemberian dari baginda Thay Cong, Baginda yang sekarang tak boleh merampasnya! Ho, silahkan protes pada baginda saja! Toh Hok-wi tertawa mengejek. Utti Pak tak dapat bicara lagi. Ia biarkan dirinya digusur. Cin Siang membangkang perintah raja. Toh tayjin, Eng-hiong-tay-hwe ini, kaulah yang memimpin. Harap kau terima amanat ini dan segera mengumumkannya! Laksanakanlah perintah itu! kata Bu Wi-yang. Sejak Bu Wi-yang muncul, terjadilah sandiwara yang menarik. Lebih dulu Cin Siang ditangkap, kemudian Utti Pak dirampas kim-piannya. Semua-semuanya itu tercantum dalam surat perintah raja yang dibawanya. Suasana di bawah panggung geger tak keruan. Tapi begitu Toh Hokwi menerima surat perintah, suasana gempar itu sirap seketika. Sekalian orang sama mendengari dengan khidmat. Jago-jago dari lima penjuru yang hadir dalam Eng-hiong-tay-hwe itu sebagian besar orangorang kasar yang buta huruf. Toh Hok-wi tahu akan hal itu. Ia tak perlu membacakan isi surat perintah itu lagi. Supaya sekalian orang mengerti, ia maju kemuka panggung dan berseru dengan
kata-katanya sendiri: Yang Mulia Baginda Kaisar memberi perintah. Eng-hiong-tay-hwe sebenarnya bertujuan untuk memilih ksatria-ksatria gagah yang suka mengabdi kepada baginda. Maka asal bukan golongan pemberontak, orang-orang yang pernah melanggar undang-undang asal ia setia kepada raja, akan diberi kebebasan. Harap sekalian saudara tenang, tak perlu gelisah. Ia berhenti sejenak. Kemudian dengan berganti nada, ia meneruskan lagi: Yang tak diberi pengampunan hanya kaum pemberontak yang pernah melawan raja. Baginda sudah tentu tak berani memakainya! Rupanya sekalian penonton bingung dengan kata-kata Toh Hok-wi itu. Di sana-sini timbul hiruk-pikuk orang bertanya: Apakah yang dinamakan golongan pemberontak itu? Hm, apakah dia hendak menjebak kita? -- Kita datang kemari karena percaya akan omongan Cin Siang. Hm, tetapi rupanya kaisar tak mau menganggap omongan Cin Siang! Demikian pertanyaan yang timbul dari para hadirin. Malah ada beberapa orang yang berangasan, sudah serentak mencabut senjata siap hendak menghadapi segala kemungkinan. Suasana menjadi tegang. Melihat itu Toh Hok-wi buru-buru berteriak keras: Hai, harap saudara-saudara mendengar dengan tenang! Di dalam surat perintah baginda telah ditulis dengan jelas. Orang-orang yang dianggap sebagai kaum pemberontak itu hanya sepuluh orang. Kesepuluh orang itu adalah benggolan-benggolan yang menerbitkan keonaran besar dan memberontak terhadap kekuasaan raja. Yang lain-lainnya sekalipun sahabat atau anak buah mereka, tiada diapa-apakan. Surat perintah itu lebih jauh mengatakan, barang siapa membantu tentara negeri untuk menangkap pemberontakpemberontak itu, akan memperoleh jasa. Dapat menangkap seorang pemberontak, akan diangkat menjadi perwira To-wi dari Se-kip-ki-ki (barisan kavaleri) dan diberi hadiah sejumlah besar uang. Yang akan ditangkap pemerintah itu hanya sepuluh orang, maka harap kalian semua jangan gelisah! Siapakah mereka itu? Lekas umumkan! suara teriakan menyambut dari bawah panggung. Meskipun mereka masih berdebar-debar, namun tak gelisah seperti tadi lagi. Toh hok-wi mempesut keringatnya lalu berseru pula: Kesepuluh orang itu, kita ketahui jelas, sudah tiba di kotaraja sini. Saat ini kebanyakan tentu juga hadir di lapangan ini. Jika kalian hendak mendirikan pahala untuk negara, inilah saatnya! Paling baik dapat membekuk mereka hidup- hidup, tapi kalau terpaksa, boleh dibunuh saja. Mati atau hidup, hadiahnya sama. Sepuluh orang itu ialah .... (para penonton sama menahan napas) ..... Thiat-mo-lek, Bo Se-kiat, Toan Khik-sia, Su Tiau- ing, Kay Thian-hou, Toh Peh-ing, Li Thiat-ceng, Liong Theng, Ui Kiam dan Coh Ping-gwan! Thiat-mo-lek dan Tok Peh-ing adalah pemimpin begal gunung Kim-ke-nia. Toan Khik-sia karena mempunyai hubungan dengan orang Kim-ke-nia, boleh digolongkan orang Kim-ke-nia. Bo Se-kiat adalah pemimpin loklim. Kay Thian-hou, tangan kanan Se-kiat yang paling dipercayai, Su Tiau-ing dianggap pemberontak karena ia adiknya Su Tiau-gi. Sebenarnya ia bukan orang lok- lim. Li Thiat-ceng dan Liong Theng, keduanya adalah cecu dari suatu gerombolan penyamun. Mereka memimpin anak buahnya sendiri untuk mengganggu keamanan. Ui Kiam bekas benggol penjahat tunggal yang sudah cuci tangan. Tapi tetap dicap sebagai pemberontak. Dan masih ada seorang Coh Ping-gwan. Sebagian jago-jago yang berada di lapangan situ tak tahu akan asal-usul orang itu. Setiap kali Toh hok-wi habis mengumumkan sebuah nama, di bawah panggung tentu gempar. Ada yang berteriak kaget, ada yang bersorak-sorak menunjang tindakan Toh Hok-wi. Kini semua hadirin baru mengetahui mengapa Cin Siang hendak bunuh diri tadi. Ternyata dia kecewa dan putus asa. Tak mau menolak perintah kaisar tapi tak mau bermusuhan dengan sahabat- sahabatnya. Kiranya rencana pembasmian itu diatur oleh Yo Bok-lo, Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi. Dalam hal ini Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi mempunyai kepentingan besar. Kedua, Yo Bok-lo dapat membalas dendam kepada Thiat-mo-lek, supaya Thiat-mo-lek dan Toan Khik-sia dihukum mati. Ketiga, dapat membasmi benggolan-benggolan ternama dari loklim. Mereka kebanyakan menetap di daerah kekuasaan Tian Seng-su dan Sik Ko. Dengan lenyapnya benggolan loklim itu, Tian dan Sik serta para Ciat-to-su di perbatasan akan mendapat manfaat besar. Karena yang banyak diganggu oleh kawanan loklim itu bukan pemerintah pusat melainkan panglima-panglima di daerah perbatasan tersebut. Rencana Yo Bok-lo itu ditunjang oleh Tian dan Sik berdua. Malah Tian Seng-su sudah
memberi Yo Bok-lo dana sebesar seribu tail emas untuk biaya pergerakan itu. Karena Yo Bok-lo kenal baik dengan Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka tanpa mengeluarkan uang sepeser, rencananya itu segera diterima. Ya, hal itu disebabkan karena kebetulan mereka mempunyai kepentingan sama. Dengan begitu, uang dana dari Tiang Seng-su tadi semuanya masuk kantong Yo Bok-lo sendiri. Tentang Su Tiau-ing, sebenarnya nona itu tak mempunyai dendam permusuhan dengan Yo Bok-lo. Pun pribadi nona itu sebenarnya tak begitu penting. Tapi karena Li Heng, kaisar yang sekarang ini benci sekali pada Su Tiau-gi, maka Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi menghendaki nama nona itu dicantumkan dalam daftar pemberontak. Sebagaimana diketahui, ayah Su Tiau-gi, dengan An Lok-san pernah mengadakan pemberontakan hebat sampai-sampai Li Heng hampir kehilangan tahta kerajaannya. Orang yang menjadi raja tentu takut pada benggolan-benggolan pemberontak dari kalangan loklim. Maka begitu mendengar usul Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi yang antaranya mencantum nama Su Tiau-ing dalam daftar pemberontak, kaisar Siau Cong (Li Heng) segera menyetujui rencana itu. Kaisar itu tak ambil peduli bagaimana nasib Cin Siang yang tentu bakal kehilangan muka pada orang-orang gagah di seluruh negeri. Bahkan mati hidupnya Cin Siang, kaisar tiada menaruh keberatan apa-apa. Tepat pada saat Toh Hok-wi selesai mengumumkan nama-nama pemberontak, di antara hirukpikuk suara hadirin, tiba-tiba terdengar suara teriakan menggeledek. Thiat-mo-lek enjot tubuhnya melayang ke atas panggung. oooooOOOOOooooo Thiat-mo-lek di sini, siapa yang ada kepandaian boleh menangkapnya! teriak ksatria itu. Sekalian wi-su tak menyangka sama sekali bahwa Thiat-mo-lek yang dicap sebagai pemberontak nomor satu, berani unjukkan diri di muka umum. Saking kejutnya, kawanan wisu itu sampai terlongong-longong. Malah ada dua orang wi-su yang berdiri di tepi panggung, dari kagetnya mendengar suara menggeledek Thiat-mo-lek itu, sampai menggigil dan tergelincir jatuh ke bawah panggung. Sebelum kaki Thiat-mo-lek sempat menginjak lantai panggung, Yo Bok-lo sudah menyambutnya dengan sebuah hantaman. Tapi sambil berseru 'bagus', di atas udara Thiat-mo-lek sudah mencabut pedangnya. Dengan gerak ing-ki-tiang-gong atau burung elang menghantam udara, ia tusuk tenggorokan Yo Bok-lo. Yo Bok-lo miringkan tubuhnya, tangan kirinya cepat diulurkan untuk merampas pedang orang. Jika dinilai dalam ilmu silat, Thiat-mo-lek kini sudah lebih unggul dari Yo Bok-lo. Tapi karena saat itu ia tengah melambung di udara, jadi tak dapat ia menggunakan seluruh tenaganya. Ketika tusukannya luput sebelum sempat berganti jurus, Yo Bok-lo sudah berhasil mencengkeram tangkai pedangnya dan jari tengahnya menutuk pergelangan tangan. Karena memastikan bahwa kali ini Thiat-mo-lek tentu akan menderita kekalahan, maka banyak hadirin yang kenal padanya, serempak berteriak kaget. Thiat-mo-lek nekad. Ia gunakan gerak Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih wuwungan rumah. Tubuhnya meluncur turun. Benar Yo Bok-lo akan berhasil merampas pedangnya tapi dia nanti tentu akan tertunjang jatuh. Adalah karena di udara tak dapat leluasa bergerak maka Thiat-mo-lek terpaksa gunakan gerakan itu untuk 'jibaku' atau sama-sama terluka. Cara bertempur semacam itu memang berbahaya sekali. Dada Thiat-mo-lek terbuka dan sebenarnya Yo Bok-lo dapat menghantamnya. Thiat-mo-lek bersedia mengadu jiwa, Yo Bok-lo tidak. Ia tahu lwekang Thiat-mo-lek tinggi, pukulannya belum tentu dapat melukai. Jika sampai tergentus Thiat-mo-lek, celakalah. Di dalam bertempur, selain mengandal kepandaian pun juga keberanian. Karena jeri, Yo Boklo menyurut mundur. Dan secepat itu juga Thiat-mo-lek tabaskan pedangnya lagi. Begitu Yo Boklo mundur lagi, Thiat-mo-lek dapat berdiri tegak di lantai panggung. Tapi karena cepatnya tabasan Thiat-mo-lek, rambut kepala Yo Bok-lo kena terpapas.
Begitu memperoleh posisi, Thiat-mo-lek menyerang lagi dengan tiga kali tabasan. Yo Bok-lo terdesak dan sudah berniat lari ke belakang panggung. Amuk, amuk! teriak Bu Wi-yang dengan murka. Karena tak sempat mencabut senjatanya sendiri, ia mencambuk dengan kim-pian kepunyaan Utti Pak tadi. Sebagai to-wi dari pasukan Liong-ki, sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang itu juga hebat. Ia mahir menggunakan delapan macam senjata. Sabatannya dengan jurus hwe-hong-soh-liu itu juga hebat sekali. Thiat-mo-lek menangkis dengan pokiamnya. Tring, bunga api meletik. Bu Wi-yang terkejut. Ia tak kira Thiat-mo-lek berani menabas dengan pedangnya. Buru-buru ia tarik pulang kim-pian. Untung cambuk itu cukup berat dan hanya terpapas sedikit tak sampai putus. Suatu hal yang membuat Bu Wi-yang lega. Pada saat itu Toh Hok-wi pun menyerang. Kepandaiannya masih di bawah Bu Wi-yang, tapi golok gan-leng-to yang digunakan itu adalah pusaka anugerah kaisar. Walaupun ketika Thiat- molek menangkis ia (Toh Hok-wi) harus meringis karena tangannya kesakitan, namun goloknya tak kena apa-apa. Thiat-mo-lek, sekalipun kau punya tiga kepala enam lengan, jangan harap kau mampu lolos! teriak Yo Bok-lo. Dengan gunakan gerak chit-poh-tui-hun, ia hantam punggung Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek gunakan jurus ngo-ting-gui-san, balikkan tangan menghantam ke belakang. Plak, Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Thiat-mo-lek terhuyung-huyung hampir jatuh. Untung buru-buru ia gunakan gerak cian-kin-tui untuk mempertahankan keseimbangan badannya. Dalam pada itu ia masih dapat menangkis serangan gan-leng-to Toh Hok-wi dan sabatan kim-pian Bu Wiyang. Diam-diam Yo Bok-lo terperanjat. Thiat-mo-lek hanya menangkis dengan sebelah tangan sedang tadi ia menghantam dengan kedua tangan. Tapi ternyata tak dapat menang, paling-paling dapat membuat Thiat-mo-lek terhuyung-huyung saja. Ini menyatakan bahwa lwekang Thiat-mo- lek itu jauh lebih tinggi dari dia. Kalau kesempatan bagus seperti saat ini tak dapat menangkapnya, kelak tentu merupakan bahaya besar, diam-diam Yo Bok-lo membatin. Dan ia pun segera menyerang dengan pukulan tuihun- chit-ciang. Sepasang tangan tak dapat melawan tiga pasang tangan. Walaupun dalam beberapa saat Thiatmo- lek tak sampai kalah tapi toh keadaannya berbahaya sekali. Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Sesosok tubuh melayang dari tengahtengah penonton: Harap sekalian enghiong menyisih, Toan Khik-sia datang! Karena sebagian besar jago-jago yang hadir dalam pertandingan itu sama mengindahkan Thiatmo- lek, merekapun segera memberi jalan untuk Toan Khik-sia. Tapi di antara mereka ada juga beberapa orang yang bernafsu untuk mendapat hadiah kaisar. Apalagi mereka anggap Toan Khiksia yang masih muda itu tentu mudah ditindas. Mereka melolos senjata dan menghadang si anak muda. Tapi Khik-sia berdiri tak jauh dari Yak-bwe. Begitu anak muda itu melambung ke udara, Yakbwe pun segera melihatnya. Girang si nona bukan kepalang. Ci In, lekas bantu dia! serunya sambil menerobos maju. Kebetulan yang berada di sampingnya adalah Tok-ko U dan Tok-ko Ing. Malah karena Tok-ko Ing berdiri di dekat Yak-bwe, hampir saja ia terdampar jatuh. Kedua kakakadik itu sama tercengang. Mereka mengenali Khik-sia sebagai pemuda yang mencuri masuk ke dalam rumah mereka dan bertempur dengan Yak-bwe. Dan juga pemuda yang dijumpai mereka beberapa hari yang lalu di tengah jalan serta membantu si nona siluman she Su ketika bertempur dengan mereka. Ya, dia benar Toan Khik-sia! Tapi mengapa tempo hari Su toako memakinya sebagai penjahat kecil? Dan mengapa sekarang ia (Su toako) bingung hendak membantunya? Tok-ko Ing bingung melihat kejadian itu. Tetap sampai pada saat itu, ia masih menaruh hati pada Yak-bwe karena mengira nona itu seorang pemuda. Tidak demikian dengan Tok-ko U. Memang sudah lama ia menaruh kecurigaan terhadap diri 'pemuda' she Su itu. Ketika mendengar pada saat itu Yak-bwe memanggil 'ci In' pada In-nio, terbukalah ingatan Tok-ko U. Oh, kiranya perwira yang satunya itu adalah Sip In-nio li-hiap yang
termasyhur. Karena ia memanggil Sip lihiap 'ci In', tentulah ia sendiri juga seorang nona yang menyaru. Ah, kasihan adikku yang sudah merindukan seorang pemuda gadungan, katanya dalam hati. Ing-moay, janga kesima saja. Lekas bantu citpi Su! segera ia menyuruh Tok-ko Ing. Koko, apa katamu? Su toako itu, itu ....! teriak Tok-ko Ing dengan kagetnya hingga tak dapat melampiaskan kata-katanya. Untung suasana di situ hiruk tak keruan hingga orang-orang tak memperhatikan Tok-ko Ing. Apa kau masih belum mengerti? Dia bukan Su toako-mu, tetapi tunangan Toan Khik-sia yang bernama Su Yak-bwe! sahut Tok-ko U. Tok-ko Ing menjerit kaget dan tertegun seperti patung. Meskipun ia bukan lagi Su toako-mu, tapi karena ia menjadi sahabat kita dan sedang mendapat kesukaran, apakah kita tega berpeluk tangan melihat saja? seru Tok-ko U. Tok-ko Ing gelagapan. Dengan menindas kepedihan hatinya, ia menyahut: Benar, entah ia Su toako atau Su cici, aku telah mengikat kasih padanya. Begitulah kedua saudara Tok-ko itu mencabut senjata dan menerobos ke muka. Apakah kalian bukan kakak adik she Tok-ko? tiba-tiba terdengar teriakan. Ketika berpaling mengawasi, Tok-ko U melihat Lu Hong-jiu dan kakaknya Lu Hong-jun menghampiri datang. Diam-diam Tok-ko U girang, pikirnya: Setelah kecele dengan Su toako- nya, adik Ing tentu akan beralih perhatiannya kepada Lu Hong-jun. Kedua saudara Lu itu ternyata juga berhati ksatria tapi dikuatirkan mereka akan terseret dalam peristiwa ini. Seorang opsir yang bersenjata tok-kak-tong-jin (besi yang berbentuk macam orang-orangan berkaki satu), menghantam Tok-ko Ing dengan jurus Thay-san-ya-ting. Sebenarnya Tok-ko Ing mahir dalam ilmu pedang. Hanya karena tadi ia menderita kegoncangan hati yang hebat, maka permainannya pun rancu. Ketika pedangnya hampir terhantam tok-kang-tong-jin, tiba-tiba terdengar suara busur mengatup. Ternyata Lu Hong-jun lepaskan anak panah ke arah opsir itu. Anak panah masuk ke punggung si opsir menembus sampai ke dada. Opsir itu terjungkal, gada tokkak- tong-jinnya menghantam tanah sampai muncrat kemana-mana. Tok-ko Ing tersentak dan tersadar dari lamunannya. Lu Hong-jun lari menghampiri. Masih jauh sudah berseru: Apakah nona Ing terluka? Tok-ko Ing merah wajahnya dan menghaturkan terima kasih kepada pemuda itu. Demikianlah dua pasang kakak adik, maju membuka jalan. Sebelum Yak-bwe dan In-nio dapat mengejar Khik-sia, tiba-tiba mereka mendengar lengking suara yang menusuk telinga. Suhengmu di sini, apa kau masih berani kurang ajar!? Seorang yang wajahnya mirip kunyuk, melesat keluar dari tengah penonton. Itulah Ceng-cengji. Ternyata Ceng-ceng-ji memang sudah bersekongkol dengan Yo Bok-lo. Hanya ia yang bertugas untuk menyelinap di antara penonton. Begitu Toh Hok-wi mengumumkan nama kesepuluh pemberontak, iapun segera siap bertindak. Kuatir kalau tak keburu menghadang Khik-sia hingga anak muda itu nanti sempat membantu Thiat-mo-lek, maka dalam bingungnya tanpa minta permisi pada orang-orang lagi, Ceng-ceng-ji sudah enjot tubuhnya melayang melampaui kepala para penonton yang menghadang jalannya. Dengan gunakan lwekang isitmewa, ia injak kepala orang untuk melambung ke udara. Tapi injakan itu sedemikian rupa hingga tak sampai membuat sakit orang. Namun sekalipun begitu, karena orang-orang yang datang di pertemuan itu kebanyakan adalah jago-jago silat, jangankan sampai dipijak kepalanya, sedang dilampaui kepalanya saja mereka sudah merasa dihina. Seketika terbitlah hujan makian. Kalau tadi mereka hanya tak simpati kepada Ceng-ceng-ji, kini rasa itu meningkat jadi rasa kebencian. Saat itu Khik-sia sedang dihadang oleh beberapa orang. Melihat Ceng-ceng-ji muncul, marahlah anak muda itu. Sebaliknya orang-orang yang mengeroyoknya itu, tambah bersemangat. Sebenarnya mudah sekali Khik-sia membunuh mereka, tapi mengingat mereka itu juga sesama kaum persilatan, bagaimanapun Khik-sia tak tega juga. Bagus, kebetulan Ceng-ceng-ji datang. Biarkan dia berhantam dengan kawan-kawannya sendiri! secepat mendapat akal secepat itu Khik-sia menyambar seorang pengeroyoknya yang
bersenjata kapak, terus dilemparkan ke arah Ceng-ceng-ji. Lemparan Khik-sia itu hebat sekali. Kalau Ceng-ceng-ji tak mau menyambuti orang itu tentu mati, paling tidak kepalanya tentu bebodoran darah. Ketika mengawasi, dilihatnya orang yang dilempar Khik-sia itu adalah masih pamannya Ki Ping-hwat. Ki Ping-hwat seorang benggolan penjahat yang sudah seperti saudara dengan Ceng-ceng-ji. Di antara kaum ya-pay yang diundang Ceng-ceng-ji supaya datang ke pertemuan itu, antaranya juga Ki Ping-hwat. Sudah tentu Cengceng- ji terpaksa harus menyambut pamannya Ki Ping-hwat itu. Dalam melayang, orang itu masih mencekal kapaknya. Dan lemparan Khik-sia itu membuatnya pusing tujuh keliling. Begitu kakinya dicekal Ceng-ceng-ji, tanpa melihat lagi orang itu sudah lantas ayunkan kapaknya menghantam iblis, ia menerjang. Goblok, inilah aku! bentak Ceng-ceng-ji menutuk kapak orang dengan sebuah jarinya. Dan sekali ringkus, ia turunkan orang itu. Dia dapat diselamatkan tapi tangan Ceng-ceng-ji merasa kesemutan karena harus menyambuti sebuah 'daging' dari 100-an kati yang dilempar sekuat- kuatnya oleh Khik-sia. Ha, Ceng-ceng-ji, kau memang goblok! Khik-sia tertawa mengejek dan terus menyambar seorang lagi untuk dilemparkan pada Ceng-ceng-ji. Orang ini adalah murid kepala dari Pok Yang-kau, seorang sahabat baik Ceng-ceng-ji. Karena itu terpaksa Ceng-ceng-ji harus menyambutinya lagi. Tapi sekarang ia sudah punya pengalaman. Lebih dulu ia gunakan ilmu tutukand ari jauh kek-gong-tiam-hiat, kemudian baru disanggupi dan dibuka jalan darahnya. Tapi orang yang kedua ini jauh lebih gemuk dari yang ke satu. Maka waktu menyambuti pun Ceng-ceng-ji 'hos' napasnya. Demi melihat kegagahan Khik-sia, orang-orang yang hendak mengeroyoknya tadi kuncup nyalinya dan sama menyingkir. Khik-sia tertawa, terus menerobos ke muka. Dengan tersengalsengal, Ceng-ceng-ji mengejar. Tiba-tiba terdengar suara orang tua memakinya: Kunyuk kecil, gantilah buli-buliku! Yang memaki itu ternyata Hong-kay Wi Gwat. Seperti diketahui, buli-buli arak yang amat disayangi pengemis gila itu, ketika dalam rapat besar Kay-pang telah dipecahkan oleh Ceng- ceng-ji. Wi Gwat benci setengah mati pada Ceng-ceng-ji. Pengemis tua, jangan ngaco! Kita hendak menangkap pemberontak. Kau toh bukan termasuk pemberontak, mengapa ikut-ikutan campur? Ceng-ceng-ji marah. Aku tak peduli pemberontak atau bukan, pendek kata kau harus segera mengganti buli-buli yang persis seperti kepunyaanku tempo hari. Kalau tidak, mereka menangkap pemberontak, aku menangkap kau! Saking gusarnya Ceng-ceng-ji sampai meringis. Ia balas memaki: Kau benar-benar orang gila! Sekonyong-konyong Wi Gwat ngangakan mulut dan meluncurlah bianglala arak di udara, serunya: Coba cicipilah arak ini. Karena kutaruhkan dalam buli-buli baru, rasanya kurang enak. Kuminta ganti, itu sudah maha adil. Mengapa kau berani memaki aku orang gila? Ginkang Ceng-ceng-ji lebih unggul dari Wi Gwat. Tapi karena tadi dua kali ia menyambuti lemparan orang, tenaganya agak berkurang, ginkangnyapun terganggu. Semburan arak Wi Gwat itu tak diduga-duga, sehingga ia tak sempat menghindar lagi. Kepala dan mukanya tili-tili kena hujan arak. Panasnya bukan kepalang! Ceng-ceng-ji katupkan matanya. Tahu-tahu Wi Gwat sudah loncat dan memukul punggungnya. Mendengar sambaran anginnya, Ceng-ceng-ji sabatkan pedangnya ke belakang. Pedangnya itu tajam bukan buatan, di samping itu dilumuri racun juga. Wi Gwat juga jeri. Cepat-cepat ia tarik pulang tinjunya tapi berbareng itu ia kirim jotosan tangan kiri. Ceng-ceng-ji menghindar, namun slentikan jari Wi Gwat tak dapa dielakkan. Tring, pedang kena ditutuk. Karena sakitnya hampir saja tangan Ceng-ceng-ji tak kuat mencekal pedangnya lagi. Wi Gwat tertawa gelak-gelak. Kunyuk kecil, boleh tak usah ganti buli-buliku, asal kau berlutut mengangguk kepala padaku! -- Dalam berkata-kata itu, Wi Gwat sudah lancarkan tujuh buah pukulan. Sembari berlincahan menghindar, Ceng-ceng-ji mempesut arak pada mukanya. Setelah dapat
membuka mata, barulah ia balas menyerang. Karena dibuat mainan itu, Ceng-ceng-ji marah sekali. Kalau dapat ia hendak meremuk-remuk pengemis tua itu, namun tenaganya tak mampu. Kecuali hanya kalah dalam ilmu ginkang, lain-lain kepandaian Wi Gwat lebih lihay dari Cengceng- ji. Apalagi dalam hal kedahsyatan tenaga pukulan, benar-benar Ceng-ceng-ji ketinggalan jauh. Betapapun Ceng-ceng-ji mati-matian melawannya, tapi pedangnya tak mampu mendekati tubuh Wi Gwat, paling banyak masih terpisah tiga dim dari tubuh pengemis itu, sudah kena disisihkan oleh angin pukulannya. Sepuluh jurus kemudian, pukulan Wi Gwat makin gencar sehingga Ceng-ceng-ji seperti dipagari dengan tembok pukulan. Sekalipun Ceng-ceng-ji hendak gunakan ginkang, rasanya tetap tak mampu keluar dari kepungan itu. Tangan kanan dan tangan kiri Ceng-ceng-ji, yakni Ki Ping-hwat dan Po Yang-kau, buru-buru datang menolong. Long-ya-pang atau toya gigi serigala yang digunakan Ki Ping-hwat, termasuk senjata yang lihay. Dan Ki Ping-hwat itu dalam kalangan ya-pay (jahat), termasuk sepuluh tokoh yang menonjol. Ilmu lwekang khun-gwan-it-bu-kang dari Pok Yang-kau, termasuk ilmu istimewa dalam dunia persilatan. Memang tenaganya tak sehebat Wi Gwat, tapi andaikata ia bertempur sendirian dengan pengemis tua itu, ia masih dapat bertahan sampai dua-tiga puluh jurus. Karena dikerubuti oleh tokoh-tokoh begitu, dari menyerang sekarang Wi Gwat berbalik bertahan. Ciok Ceng-yang, murid keponakan Wi Gwat, memburu datang. Ciok Ceng-yang merupakan murid angkatan kedua dari Kay-pang yang paling tinggi kepandaiannya. Dengan gunakan hang-mo-ciang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan iblis, ia menerjang. Dengan masuknya tokoh Kay-pang itu, pertandingan menjadi berimbang. Kalau di bawah panggung pertempuran berlangsung hebat, pun di atas panggung tak kurang tegangnya. Menghadapi tiga musuh, Thiat-mo-lek bertempur dengan mati-matian. Munculnya Khik-sia, sungguh tepat sekali waktunya. Bangsat tua, lihat pedangku! teriak jago muda itu sembari menerjang Yo Bok-lo. Yo Bok-lo hantamkan sepasang tangannya, anginnya laksana prahara di lautan. Namun dengan menggeliat Khik-sia tetap merangsangnya dengan serangan pedang bertubi-tubi, sehingga tak dapat Yo Bok- lo menggunakan tenaga. Andaikata dapatpun tetap tak kuasa menahan arus serangan si anak muda. Akhirnya ia ambil putusan, lepaskan Thiat-mo-lek dan melayani Khik-sia dengan sepenuh tenaganya. Berkurang seorang lawan, ringanlah Thiat-mo-lek. Seketika bangkitlah semangatnya: Kalian mau menyingkir tidak? -- Ia putar pedangnya seperti orang membacok dengan golok. Itulah ilmu pedang yang diciptakannya sendiri. Hebatnya bukan kepalang. Toh Hok-wi yang kepandaiannya agak rendah, telah digetarkan hatinya oleh bentakan Thiatmo- lek tadi. Sebelum ia sadar pedang Thiat-mo-lek sudah menyambar ke arah kepalanya. Tergopoh-gopoh Toh Hok-wi menangkis dengan goloknya. Tring, Toh Hok-wi rasakan tangannya seperti pecah dan goloknyapun jatuh ke lantai. Tanpa malu-malu lagi dirinya sebagai pemimpin pasukan pengawal kota, Toh Hok-wi bergelundungan di atas panggung untuk menghindari pedang orang. Untung Thiat-mo-lek memang tak bermaksud hendak membunuhnya. Setelah dapat membobol kepungan, ia menyerukan Khik-sia supaya tinggalkan lawan dan ikut padanya. Khik-sia tahu maksud piaukonya ialah hendak menolong Cin Siang lebih dulu. Maka walaupun ia menang angin, tapi terpaksa tinggalkan Yo Bok-lo juga. Sebenarnya Yo Bok-lo sendiri juga kuatir terlibat dalam pertempuran. Namun ketika ia menghindar dari tusukan Khik-sia dan tampak anak muda itu loncat lari, ia masih pura-pura membentaknya: Bangsat kecil, jangan lari! Kalau berani, kejarlah aku! Khik-sia tertawa mengejeknya sambil ikut Thiat-mo-lek loncat turun panggung. Celaka, mereka hendak merampas Cin Siang! teriak Bu Wi-yang. Tapi tiba-tiba Yo Bok-lo mendapat pikiran, serunya: Toh tayjin, pimpinlah pasukan Theng-pay-kun meringkus pengemis tua itu. Biarkan Ceng-ceng-ji dapat membantu aku. Biar bagaimanapun, hari ini jangan sampai Thiatmo- lek dan Toan Khik-sia bisa lolos!
Dengan kekalahan tadi, Toh Hok-wi kehilangan muka benar-benar. Pikirnya: asal jangan disuruh berhadapan lagi dengan Thiat-mo-lek, ia tentu dapat menebus malu. Setitikpun ia tak mimpi bahwa Wi Gwat itu tak kalah lihay dengan Thiat-mo-lek. Suasana di lapangan ketentaraan itu, kacau balau. Walaupun yang akan ditangkap itu hanya sepuluh pemberontak, tapi mereka itu, kecuali Su Tiau-ing dan Coh Ping-gwan yang tak dikenal orang itu, semua adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Teristimewa Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Yang satu pemimpin loklim. Dengan sendirinya banyaklah orang gagah yang sedia membantunya. (Sekalian hadirin tak mengetahui bahwa Bo Se-kiat tak berada di situ). Tapi disamping itu tak kurang jumlahnya jago-jago yang karena temaha akan hadiah besar, telah membantu pada pihak tentara. Antara golongan pro dan kontra itu telah terbit pertempuran sendiri yang seru. Pasukan Gi-lim-kun dan pasukan penjaga kota dari Toh Hok-wi, itu waktu berada di samping gelanggang, segera siapkan senjata dan panah. Karena pertempuran kacau balau tak dapat mengetahui mana lawan mana kawan, maka pasukan-pasukan itu tak berani melepaskan anak panahnya. Mereka hanya mengepung rapat, supaya jangan ada orang yang bisa lolos. Tetapi terdapat perbedaan sikap antara kedua pasukan Gi-lim-kun dan Seng-hong-kun itu. Gi-lim-kun penasaran karena pemimpin mereka (Cin Siang) ditangkap. Hanya karena tak berani membangkang perintah raja, maka mereka tak berani melawan. Toh Hok-wi segera perintahkan Cin Siang dan Utti Pak yang sudah diborgol itu supaya lekas digusur pergi agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tapi karena di gelanggang situ penuh sesak dengan orang yang bertempur, jadi mereka tak dapat membawa kedua tahanan itu. Khik-sia, lindungi aku dari belakang! seru Thiat-mo-lek. Ia sendiri lantas membuka jalan darah. Siapa yang menghalangi tentu dihajarnya. Entah sudah berapa banyak golok, tombak dan pedang yang kena dibabat kutung olehnya. Sudah tentu kawanan pasukan pemerintah itu tak berani menghadapi kegagahan Thiat-mo-lek. Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras dan karena kejutnya kawanan tentara itu menyiak minggir. Thiat-mo-lek menerobos maju mengejar Cin Siang. Serunya: Cin toako, orang kuno mengatakan 'mengabdi raja seperti mengawani harimau'. Kerajaan tak mau memakaimu, mengapa kau tak mau ceburkan diri dalam dunia persilatan saja? Marilah ikut siaute! Ia hantam perwira yang memegangi Cin Siang dan memutuskan tali-tali yang mengikat tubuh Cin Siang. Tapi waktu ia hendak menghancurkan borgo, tiba-tiba Cin Siang membentaknya dengan murka: Berhenti! Belum tangan Thiat-mo-lek menyentuh borgolan, benda itu sudah putus sendiri. Thiat-mo-lek tertegun, serunya: Toako, harap suka mendengar kata-kata siaute .... Belum sempat Thiat-mo-lek menyelesaikan kata-katanya, Cin Siang sudah mendorongnya: Mo-lek, kau hendak menjerumuskan aku menjadi manusia yang tak setia dan tak berbudi? Jika aku mau melarikan diri, tak perlu harus kau tolong! Harap kau tinggalkan tempat ini dan persahabatan kita tetap. Tapi jika kau berani maju selangkah lagi, akan kuanggap kau sebagai musuhku! Kiranya sejak tadi Cin siang sudah menyalurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang ditutuk Yo Bok-lo. Cin Siang seorang gagah perkasa. Jika mau melarikan diri semudah orang balikkan telapak tangan. Tapi dia adalah keturunan dari menteri negara yang setia. Ajaran bahwa 'jika raja menghendaki menteri supaya mati, ia harus mati. Ayah suruh puteranya mati, pun putera itu harus mati', rupanya sudah berakar dalam sanubarinya. Sudah tentu ia tak mau berdosa kepada raja. Setelah dapat mendorong Thiat-mo-lek, ia berseru: Mari, ambil borgol lagi untuk aku! Perwira yang membawanya tadi baru saja merangkak bangun. Tubuhnya gemetar, kakinya lemas lunglai. Sebenarnya tak usah pakai borgol juga sama. Tapi karena peraturan kaisar harus begitu, maka harus diturut. Biarlah kupasangnya sendiri lagi, Cin Siang tertawa lalu memungut alat borgol yang jatuh di tanah tadi terus dipasang di tangannya sendiri. Alat borgol itu sudah putus karena kekuatan lwekangnya. Tapi sekalipun sudah tak kokoh, masih dapat dipakai lagi.
Asal sudah menurut perintah baginda, hatiku sudah tenang. Mari kita jalan! serunya. Melihat Cin siang memasang sendiri borgolannya lagi, girang si perwira tak terperikan. Kuatir akan timbul lain kejadian, buru-buru ia membawa Cin Siang pergi. Kepandaian Cin Siang dan Thiat-mo-lek itu berimbang, pun tenaganya sama kuat. Hanya tadi karena hendak membuka borgolan Cin Siang, Thiat-mo-lek sudah tak mengira kalau Cin Siang hendak mendorongnya. Karena Cin Siang menggunakan tenaga cukup, maka walaupun Thiat- molek tak sampai terlempar jatuh, pun tak urung ia terhuyung-huyung ke belakang sampai satu tombak lebih jauhnya. Waktu Thiat-mo-lek dapat berdiri tegak, rupanya Cin Siang tak mau diganggu lagi, maka dorongannya tadi disertai dengan tenaga lipat yang istimewa. Habis mendorong masih ada segelombang tenaga yang menyusul. Ilmu dorongan istimewa itu disebut Liong-bun-tiap-long, yakni ilmu warisan keluarga Cin yang termasyhur. Walaupun menjadi sahabat baik tapi Thiat-mo-lek belum pernah menyaksikan kepandaian Cin Siang. Tenaga susulan dari dorongan tadi telah membuat Thiat-mo-lek yang baru saja dapat berdiri tegak itu harus menyurut mundur tiga langkah lagi. Terpaksa Thiat-mo-lek harus berputar-putar tubuh dulu baru dapat menghapus arus tenaga Cin Siang. Ah, Cin toako, mengapa kau rela menderita! teriak Thiat-mo-lek. Tapi pada saat itu Bu Wi-yang sudah muncul. Melihat kesempatan sebagus itu, Bu Wi-yang terus menyabet Thiat-mo-lek dengan cambuk. Karena kakinya belum tegak, Thiat-mo-lek tak dapat menghindar. Tar, punggungnya berhias dengan guratan darah yang panjang. Bu Wi-yang lantas mencambuk lagi tapi dengan menggerung keras, Thiat-mo-lek menyambar tangkai cambuk. Sekali menyentak, Bu Wi-yang terseret hampir jatuh. Namun karena cambuk kim-pian, iapun mempertahankan mati-matian tak mau melepaskannya. Celaka, karena tergosok kim-pian, telapak tangannya pecah mengeluarkan darah. Utti Pak yang berjalan di muka Cin Siang, demi mendengar suara sabetan cambuk, cepat berpaling ke belakang. Matanya melotot dan mulutnya berseru menggeledek: Bu Wi-yang, kau berani menggunakan kim-pianku? Kalau baginda yang mengambil, aku tak berani membantah. Tapi jika kau hendak mempergunakan menghajar orang, aku tak dapat membiarkan! Sekali kerahkan tenaga, borgolannyapun lantas putus berantakan. Kiranya diapun tadi-tadi sudah mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Dalam hal tenaga, ia lebih kuat dari Cin Siang. Apalagi sedang marah besar. Melihat itu, Bu Wi-yang pun tersentak kaget. Buru-buru ia tarik kim-piannya dan berseru: Utti ciangkun, kau, kau .... -- Baru ia hendak memperlihatkan surat perintah raja, Cin Siang sudah melangkah maju dan membentak Utti Pak: Jite, jangan sembrono! Apa kau masih mau memupuk kedosaan lagi? Kita harus menyerah pada keputusan baginda, jangan sekali-kali bertindak sendiri. Lekas pasang lagi borgolanmu! Dalam hidupnya Utti Pak hanya menurut pada Cin Siang seorang. Apa boleh buat, ia terpaksa minta alat pemborgol baru pada si perwira tadi. Setelah memasangkan borgolannya sendiri, ia berseru: Toako, jika tak memandang kau, dia tentu sudah kurobek-robek tulangnya! Thiat hiante, tolong kau wakilkan aku menghajarnya! Cin Siang kerutkan alisnya: Thiat hiante, jika dapat pergi lekaslah pergi, jangan menerjang bahaya besar! Sambil berkata itu ia mendorong Utti Pak supaya jalan. Tak usah mendorong-dorong, aku toh menurut apa perintahmu. Urusan kerajaan toh aku bakal tak melihat lagi, terserah keputusan mereka, si berangasan Utti Pak mengomel. Ia kecewa. Dengan menyeret rantai borgolan ia terus berjalan. Begitu cepat jalannya hingga opsir yang membawanya itu sampai ketinggalan. Dalam pada itu karena kim-piannya terampas, Bu Wi-yang cepat mengeluarkan sepasang kait hou-thau-kau, terus menyerang: Thiat-mo-lek, kau berani merampas kim-pian dari baginda Thay Cong? Sebenarnya ia jeri juga menghadapi Thiat-mo-lek, tapi apa boleh buat karena menjalankan perintah raja. Jika kim-pian itu sampai hilang, tentu celaka ia. Ya, mungkin karena disayang raja, ia tak sampai dihukum mati, tetapi bagaimanapun juga kedudukannya pasti hilang. Kalau sampai
begitu, cita-citanya untuk menjadi pemimpin Gi-lim-kun tentu amblas. Maka dengan mati- matian ia berusaha merebut kim-pian lagi. Menggenggam kim-pian, hati Thiat-mo-lek merasa sayu. Dia yang dahulu begitu setia menjaga baginda Hiang Cong lolos dari bahaya, toh akhirnya difitnah oleh kawanan dorna hingga hampir saja jiwanya hilang. Utti Pak lebih menggenaskan lagi nasibnya. Padahal dia itu keturunan Utti Kiong, seorang menteri yang berjasa besar pada baginda Li Si-bin, pendiri ahala Tong. Dalam kesayuan itu, tiba-tiba Thiat-mo-lek tertawa sinis. Kim-pian diputarnya: Persetan dengan segala pitutur emas. Hm, hm, kiranya apa yang dikatakan kaisar itu tak boleh diganggu gugat! Utti toako, kim-pian ini kau anggap sebagai pelindungmu, tapi ternyata raja sudah tak menganggap lagi kepada leluhurnya. Ha, ha, meskipun kim-pian emas ini beratnya lebih dari sepuluh kati, tapi bagiku tak berharga sepeser buta. Kubawa tewas mengotori tanganku saja. Persetan dengan kim-pian, enyahlah! Sekali putar ia lepaskan kim-pian itu dan tertawa sinis pula: Bu Wi-yang, terimalah benda yang kau kehendaki ini! Kim-pian melayang, anginnya menderu-deru. Bu Wi-yang tak berani menyambuti. Buru-buru ia tundukkan kepala. Plak, opsir yang di belakangnya termakan perutnya. Dua buah tulangnya patah seketika. Setelah itu baru Bu Wi-yang berani loncat memungutnya. Takut kalau dirampas Thiat-mo-lek lagi, ia tak berani memakainya. Habis melampiaskan kemarahannya, Thiat-mo-lek mendongak tertawa keras. Nadanya penuh dengan kerawanan. Ketika memandang ke muka, dilihatnya Cin Siang dan Utti Pak sudah berjalan jauh. Betapa keras dan tegas biasanya dia itu, tetapi menyaksikan pemandangan yang menggenaskan itu, tak urung hatinya pedih juga. Sampai sekian saat ia termenung-menung. Cin toako berkeras ingin menjadi menteri yang setia. Dia relah mengorbankan jiwanya untuk aku, tetapi aku tak dapat menolongnya. Ah, bagaimana ini? demikian hatinya gundah. Sirapnya ketawa Thiat-mo-lek telah diganti dengan timbulnya suara ketawa sinis dari Yo Boklo: Thiat-mo-lek, jiwamu sendiri sukar dipertanggung-jawabkan, mengapa melamun hendak menolong sahabatmu? Bagimu seorang pemberontak memang harus menerima hukuman cincang, tapi mengapa kau merembet Cin Siang dan Utti Pak juga? Kau membanggakan dirimu sebagai seorang ksatria, apakah kau tak malu dengan perbuatanmu itu? Jika aku menjadi kau, tentu segera membunuh diri! Yo Bok-lo telah mengetahui isi hati Thiat-mo-lek dari nada ketawanya yang rawan tadi. Ia coba menggunakan kata-kata tajam untuk menusuk hati orang agar Thiat-mo-lek bunuh diri saja. Saat itu karena sedihnya Thiat-mo-lek sampai berlinang-linang air mata. Kesempatan itu tak disia-siakan Yo Bok-lo. Cepat ia gunakan gerakan chit-poh-tui-hun menyelinap ke belakang Thiatmo- lek. Maksudnya hendak membokongnya. Kentut! Kentut! dari jauh Khik-sia berteriak membentak. Kau sendiri hai bangsat tua, yang seharusnya bunuh diri. Lupakah bahwa dulu kau pernah menjadi anteknya An Lok-san? Hm, hm, mengapa kau berkulit muka tebal berani memaki-makin orang sebagai pemberontak! Karena ia sedang melindungi Thiat-mo-lek dari belakang, itu waktu ia sedang menggasak beberapa tay-hwe-wi-su, maka ia masih belum sempat menghampiri piaukonya. Thiat-mo-lek tersentak dan sadarlah pikirannya yang gelap tadi. Secepat merasa ada angin menyambar dari belakang, dengan menggerung keras ia balikkan tangannya menghantam ke belakang, bentaknya: Benar! Sebelum aku mati, harus membunuhmu seorang bangsat yang tak punya malu! Benturan pukulan itu telah menerbitkan suara keras. Dua-duanya menggunakan tenaga penuh. Tapi kesudahannya, Yo Bok-lo tersurut mundur beberapa langkah. Meskipun jeri tapi karena jumlahnya lebih banyak, maka setelah menyerahkan kim-pian pada orang kepercayaannya, Bu Ti-yang pun lantas menyerang Thiat-mo-lek dengan sepasang kaitan. Yob Bok-lo lebih-lebih tak mau lepaskan Thiat-mo-lek. Apalagi karena dilihatnya Ceng-ceng-ji sudah terlepas dari gangguan Wi Gwat dan tengah lari mendatangi. Cepat ia maju untuk mengeroyok Thiat-mo-lek. Sebenarnya kepandaian Yo Bok-lo itu terpaut tak banyak dengan Thiat-mo-lek. Ditambah
dengan Bu Wi-yang, dapatlah mereka mengimbangi Thiat-mo-lek. Sepasang kait hou-thau-kau atau kepala macan dari Bu Wi-yang itu sebenarnya khusus untuk menundukkan golok dan pedang. Karena Thiat-mo-lek harus menumpahkan sebagian besar perhatiannya kepada Yo Bok-lo, maka ia belum sempat menghancurkan kaitan Bu Wi-yang. Jika Bu Wi-yang belum patah nyalinya, mereka tentu menang angin. Khik-sia cepat mengundurkan kawanan opsir, tapi ketika ia hendak menghampiri piaukonya, Ceng-ceng-ji sudah mencegatnya: Budak kecil, hm, kau berani tak menurut pada suhengmu? Mengingat kau masih muda tak mengerti pengalaman, maka lepaskan senjatamu, biar kumintakan ampun pada Bu tayjin, mungkin kau dapat dibebaskan dari hukuman mati, seru Ceng-ceng-ji. Cis, tak tahu malu! Kau masih pantas menjadi suhengku? Untung tadi aku tak mati kau tipu. Lihat pedangku! Khik-sia murka. Ceng-ceng-ji melancarkan tujuh rangkai serangan, tapi Khik- sia membalasnya dengan delapan buah tabasan. Menurut penilaian, kepandaian Khik-sia sekarang lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji. Tapi karena sumbernya sama-sama dari satu perguruan apalagi Ceng-ceng-ji lebih menang dalam hal pedang (pusaka), maka sukar juga bagi Khik-sia untuk memenangkannya. Selagi pertempuran berlangsung seru, tiba-tiba terdengar suara teriakan gempar dari kawanan tentara. Begitu hiruk pikuk sampai suara beradunya senjata jago-jago yang bertempur itu tak kedengaran. Kiranya ketika si opsir berhasil membawa Cin Siang dan Utti Pak ke samping gelanggang, baru mereka hendak suruh pasukan penjaga membuka pintu, telah diketahui oleh sebagian anak buah Gi-lim-kun. Pasukan Gi-lim-kun sebenarnya tak bertugas menjaga pintu, tapi melihat pemimpinnya (Cin Siang dan Utti Pak) diborgol, mereka berbondong-bondong menghampiri dan mengepung opsir itu. Siapa yang berani menggusur Cin tayjin, akan kuremukkan kepalanya! -- Cin tayjin, kami takkan membiarkan tayjin dicelakai kawanan dorna. Jika mereka hendak membawa tayjin, kami akan mengawal juga! -- Lebih baik kami mengantar tayjin menghadap kaisar. Seluruh pasukan Gi-lim-kun akan menghadap dan minta baginda memberi penjelasan! Demikian suara hiruk pikuk yang menggemparkan tadi. Sana sini sama berteriak-teriak hendak membela Cin Siang. Yang satu lebih keras dari yang lain. Opsir yang membawa kedua jenderal itu sampai pucat dan mandi keringat dingin. Malah beberapa anak buah Gi-lim-kun yang menjadi pengikut lama dari Cin Siang sudah lantas mencabut senjata dan berseru: Bunuh dulu kedua jahanam ini! Kedua opsir itu terbang semangatnya. Mereka tersipu-sipu berlutut di hadapan Cin Siang dan merintih: Cin tayjin, tolonglah jiwa kami! Cin Siang gentakkan rantai borgolannya untuk menangkis senjata orangnya tadi, bentaknya: Mereka tak bersalah. Jangan saudara-saudara berbuat begitu. Dengarlah perintahku! Beberapa pengikutnya setia itu dipanggil maju lalu diberi penjelasan: Kalian semua telah ikut aku bertahun-tahun, apakah masih tak tahu akan watakku? Aku hanya menjunjung peraturan negara, tidak mementingkan kepentingan pribadi. Jika aku membangkang, masakan mereka dapat membawa aku? Apakah keputusan yang dijatuhkan pada diriku nanti adil atau tidak, terserah atas kebijaksanaan baginda. Kalian semua ribut-ribut begini berarti menyalahi peraturan negara. Bahwa kalian membela aku, aku amat berterima kasih sekali. Tapi apabila pembelaan kalian itu sampai menyalahi peraturan negara, aku tak mengijinkan! Siapa di antara kalian yang berani turun tangan, tentu kubunuh dulu baru kemudian aku bunuh diri selaku menghaturkan terima kasih atas budinya! Mendengar kata-kata pemimpinnya, anak buah Gi-lim-kun itu saling berpandangan satu sama lain. Suara hiruk pikuk, sirap seketika. Dan diam-diam mereka sama memberi jalan. Penjaga pintu adalah orangnya Toh Hok-wi. Mereka sudah siap dengan kereta pesakitan. Mereka segera mendorong keluar. Cin Siang menarik Utti Pak masuk ke dalam kereta itu. Sebelumnya ia memberi isyarat tangan kepada anak buahnya tadi: Di mana kalian ditugaskan tadi, lekas kembali ke posmu. Karena sekarang statusku menjadi orang tahanan, kekuasaanku pun gugur. Kalian selanjutnya harus mendengar perintah Bu dan Toh tayjin, tak boleh membangkang! Belasan anak buah Gi-lim-kun yang sudah bertahun-tahun mengikut Cin Siang itu, menangis terisak-isak. Dalam suasana yang merawankan itu, kereta pesakitanpun didorong keluar pintu
gerbang. Belum lagi pintu gerbang ditutup, sekonyon-konyong sesosok tubuh melesat ke arah kereta pesakitan. Orang itu longokkan kepalanya melihat ke dalam. Wanita siluman dari mana ini, enyahlah! Cin Siang membentaknya. Bum, laksana anak panah orang itu melayang ke dalam pintu, bergelundungan seperti bola. Kawanan serdadu yang menjaga pintu menjerit kaget. Kiranya orang itu adalah seorang wanita. Kedengaran wanita itu memaki seorang diri: Penasaran, sungguh penasaran sekali! Kukira muridku perempuan, kiranya pesakitan yang bertenaga besar! Anak buah Gi-lim-kun yang memberi jalan pada Cin Sian tadi masih belum sempat merapat lagi. Gerakan wanita itu tangkas sekali. Secepat kilat ia sudah menerobos di tengah-tengah mereka. Tahu-tahu beberapa opsir telah mandi darah. Kuatir kalau di luar masih ada kawan si wanita luar biasa lagi, maka kawanan penjaga buru-buru menutup pintu. Wanita aneh itu menyusup ke dalam gelanggang. Karena di gelanggang masih berlangsung pertempuran seru, maka sekejap saja wanita itu sudah tak kelihatan bayangannya. Kiranya wanita aneh itu bukan lain ialah suhu dari Su Tiau-ing yaitu Shin Ci-koh. Kiranya ia telah mendapat keterangan dari muridnya ke satu Liong Seng-hiang (nona penjual silat yang berhasil keluar sebelum pintu besi ditutup). Shin Ci-koh masuk ke dalam lapangan karena hendak menolong Su Tiau-ing yang dikiranya tentu berada di dalam. Shin Ci-koh mempunyai tiga anak murid. Di antara mereka yang paling disayang adalah Su Tiau-ing, muridnya yang nomor tiga. Begitu mendapat laporan dari Liong Seng-hiang, ia tergopohgopoh menuju ke lapangan. Tapi saat itu, keenam pintu besar dan sembilan pintu samping sudah ditutup. Pada waktu ia mencari akal untuk masuk, tiba-tiba pintu terbuka dan sebuah kereta pesakitan didorong keluar. Mengira Su Tiau-ing berada di dalamnya, Shin Ci-koh terus memeriksanya. Tapi alangkah kagetnya ketika disambut dengan pukulan oleh Cin Siang. Celakanya, untuk melampiaskan kemarahan, beberapa opsir yang menjaga pintu itu sudah dihajarnya. Hanya dalam sedetik gerakan kawanan opsir itu kena dilukainya dengan pedang. Selama ini Shin Ci-koh belum pernah ada yang menandingi karena itu ia menjadi angkuh. Bahwa hari itu ia kena dipukul Cin Siang, barulah yang pertama kali dalam sejarah hidupnya. Walaupun berkat lwekangnya yang tinggi, ia tak sampai terluka namun ia terkejut juga. Pikirnya: Kutahu kawanan opsir kerajaan itu bangsa guci arak kantong nasi semua, siapa tahu seorang opsir yang menjadi pesakitan ternyata begitu lihay sekali. Jangan-jangan Su Tiau-ing mendapat bahaya. Hm, jika berhasil menolong Su Tiau-ing, pertama yang akan kulakukan ialah mencari pesakitan itu untuk membikin perhitungan. Tapi entah dia melanggar kesalahan apa saja? Kuharap raja jangan buru-buru menghukumnya mati dulu, agar aku sempat membalas dendam padanya! Sebenarnya kepandaian Shin Ci-koh itu tak kalah dengan Cin Siang. Hanya dalam tenaga, Cin Siang lebih unggul sedikit. Karena tak menyangka bakal menerima pukulan, Shin Ci-koh yang tak bersiap ,telah menderita kerugian. Di antara gundukan manusia yang tengah bertempur itu, berulang kali Shin Ci-koh meneriaki Tiau-ing sambil mencari kian kemari. Ia tak menghiraukan orang-orang itu dan orang-orang itupun tak mempedulikan ia. Di antara yang bertempur itu, partai Thiat-mo-lek lah yang paling dahsyat. Dengan gagah perkasa Thiat-mo-lek mainkan pedangnya. Suaranya sampai menimbulkan angin menderu-deru. Dalam lingkaran beberapa tombak, pasir dan batu sama beterbangan. Dalam keadaan begitu, jangan lagi orang hendak coba memasuki lingkaran itu, sedangkan untuk berdiri tegak saja rasanya sukar. Menghadapi dua lawan berat, memang beberapa kali pedang Thiat-mo-lek tersiak oleh pukulan Yo Bok-lo, tapi Thiat-mo-lek menggerakkan seluruh anggota badannya. Tangan kiri untuk menghantam, menutuk, menebas. Kakinya menendang, mengait dan sikunya untuk menyodok. Kesemua gerakan itu untuk mengimbangi permainan pedangnya. Walaupun beberapa kali dapat menyiakkan pedang Thiat-mo-lek, namun Yo Bok-lo tetap tak berani gunakan tangan kosong untuk merampas pedang orang. Karena itu, begitu tersiak, begitu pula dengan cepat Thiat-mo-lek dapat merapatkan pedangnya lagi.
Sepasang kait hou-thau-kau dari Bu Wi-yang pun beberapa kali hampir terpapas kutung oleh pedang Thiat-mo-lek, untung karena Yo Bok-lo buru-buru menghantam, Thiat-mo-lek terpaksa tak dapat mengembangkan permainan pedangnya. Akhirnya, kedua belah pihak bermain dengan cepat. Beberapa kali senjata mereka beradu, tapi secepatnya lantas terpental lagi. Thiat-mo-lek tak dapat memapas kutung hou-thau-kau. Bu Wi-yang tak mampun menindas pedang. Pertempuran satu lawan dua itu berimbang, tiada yang kalah tiada yang menang. Shin Ci-koh ketarik dengan pertandingan itu. Tanpa disadari ia memasuki lingkaran mereka. Setelah menyaksikan sebentar, ia makin heran: Kukira Eng-hiong-tay-hwe ini tak berharga dilihat, ternyata ada beberapa orng yang berisi. Orang tua berwajah merah ini rupanya tentu Chit-poh- tuihun Yo Bok-lo. Orang tinggi besar ini entah siapa. Kepandaiannya lebih tinggi dari Yo Bok-lo. Ha, ha, iblis tua yang selalu membanggakan diri itu sekarang ketemu batunya. Dia tentu kehilangan muka nanti. Kiranya Yo Bok-lo itu sudah lebih dahulu termasyhur dari Shin Ci-koh. Daerah operasi iblis tua itu di bagian Se-pak. Shin Ci-koh memang ada ingatan hendak menjajal kepandaian si iblis, tapi mereka belum pernah berjumpa. Tapi karena Yo Bok-lo mempunyai potongan muka yang istimewa, pun ilmu gerakannya chit-poh-tui-hun itu juga jarang terdapat di dunia persilatan maka sekali lihat dapatlah Shin Ci-koh mengenalnya. Walaupun iblis itu tua itu hebat juga kepandaiannya, tapi aku tetap dapat mengatasinya. Tetapi dengan orang gagah yang menjadi lawannya itu, barangkali aku sukar mengalahkannya, pikirnya. Memang seseorang yang berkepandaian tinggi, bila melihat ada orang lain yang kepandaiannya seimbang dengannya tentu timbul niatan untuk menguji kepandaian. Pun Shin Ci-koh gatal tangannya. Ingin sekali ia menjajal orang gagah itu (Thiat-mo-lek), tapi sesaat ia teringat tujuannya mencari Tiau-ing. Tak mau ia cari perkara, namun tak mau ia tinggalkan tempat itu juga. Thiat-mo-lek, Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo mengetahui juga kalau ada seorang wanita yang mendekati mereka. Mereka heran juga. Tetapi dalam saat-saat mengadu jiwa itu, mereka tak mau mempedulikan wanita itu. Tiba-tiba Shin Ci-koh melangkah maju dan menepuk bahu Yo Bok-lo pelahan: Ha, kau tentu Yo Bok-lo, bukan? Mengapa kau berani menghina muridku? Gerakan Yo Bok-lo gesit sekali. Namun ia tak mampu menghindar. Buru-buru ia balas menghantam. Dengan tertawa mengikik Shin Ci-koh sudah menyurut sampai tiga tombak lebih. Serunya: Aku bukan bangsa manusia yang suka membokong orang. Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku. Kau belum kenal aku, seharusnya kau mengetahui namaku. Ya, mengapa kau mencelakai muridku? Yo Bok-lo tergetar nyalinya. Buru-buru ia menyahut: Ho, kiranya Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh. Maaf-maaf! Tak usah kau jual keramahan padaku. Apakah muridku kau tangkap? Bilang lekas! seru Shin Ci-koh. Apakah muridmu itu Su Tiau-ing? Yo Bok-lo balas bertanya. Benar. Ia dianggap pemberontak oleh pemerintah. Karena kau bersatu haluan dengan kawanan opsir, tentu kau hendak cari pangkat memburu harta dan tentu berdiri di pihak kaisar. Apa kau masih menyangkal tidak mencelakai muridku? Kau salah paham. Ya, memang. Karena pemerintah mengetahui muridmu itu adik perempuan Su Tiau-gi, terpaksa dimasukkan dalam golongan pemberontak. Tetapi takkan dianggap sebagai tawanan penting. Tawangan penting lain orang lagi. Telah kumintakan keringanan untuk muridmu. Jika kawanan tentara itu bertemu dengan muridmu, hanya boleh menggertak tak boleh menangkapnya sungguh-sungguh. Dan ini adalah Bu tayjin yang melaksanakan perintah kaisar. Jika tak percaya, boleh tanya padanya, sahut Yo Bok-lo. Bu Wi-yangpun buru-buru menerangkan: Benar! Telah kuperintahkan kepada anak buahku. Tak boleh menangkap muridmu itu. Diantara kesepuluh pemberontak yang dimasukkan daftar itu, hanya muridmu saja seorang wanita. Yang bertempur dengan kami berdua ini adalah pemimpin Lok-lim, Thiat-mo-lek. Hari ini yang hendak kita tangkap sebagai tawanan utama ialah dia. Dia banyak kawan di dunia persilatan
dan piauko dari Toan Khik-sia pula. Kuketahui, Khik-sia itu selalu bersama dengan muridmu. Jika mau tahu kabar muridmu, tanya saja pada Thiat-mo-lek atau Toan Khik-sia. Kurasa adanya muridmu sampai terlibat bahaya seperti sekarang, antara lain sebabnya ialah karena ia keliru bergaul dengan bangsa penjahat, kata Yo bok-lo pula. Ia tahu bahwa Shin Ci-koh itu aneh perangainya. Sok baik sok jahat menurut sekehendak hatinya sendiri. Maka ia hendak memprovokasi Shin Ci-koh supaya memusuhi Thiat-mo-lek. Tapi karena dengan bicara itu, perhatiannya bercabang, pada waktu mengatakan sampai 'penjahat' tadi, pedang Thiat-mo-lek dapat memapas rompal lengan bajunya. Untung tak sampai memapas tulangnya. Namun dagingnya kena juga. Darah muncrat dibawa sambaran pedang. Pikir Shin Ci-koh: Lama kudengar Thiat-mo-lek itu sebagai jago nomor satu nomor dua di dunia persilatan. Kiranya orang inilah. Memang tak bernama kosong. Sekali bergerak, ia sudah berada di sebelah Thiat-mo-lek, ujarnya: Thiat cecu, di manakah muridku? Sejak peristiwa Su Tiau-ing meracuni dirinya, Thiat-mo-lek benci kepada nona itu. Apalagi tadi didengarnya Yo Bok-lo bicara begitu ramah kepada Shin Ci-koh. Seketika timbullah kesan tak baik terhadap wanita itu. Pikirnya: Suhu dari nona siluman itu tentu bukan orang baik-baik. Siapa yang punya tempo mengurusi muridmu? sahutnya dingin. Bagus, kau memandang rendah padaku, bukan? Kau tak mengurus muridku tapi aku mau mengurus kau! seru Shin Ci-koh sembari menusuk dengan pedang. Saat itu Thiat-mo-lek tengah menangkis kaitan Bu Wi-yang. Untuk serangan Shin Ci-koh itu, ia sambut dengan hantaman tangan kiri. Melihat itu Yo Bok-lo girang sekali. Ia segera memasuki kekosongan itu dengan sebuah serangan. Brat, lengan baju Thiat-mo-lek juga kena terpapas oleh pedang Shin Ci-koh, tapi Shin Ci-koh pun terpental oleh angin pukulan Thiat-mo-lek. Buru-buru ia gunakan gerak hi-hiong-jiau- hoanhun untuk loncat ke belakang sampai beberapa tombak. Di sana ia berseru dingin: Yo Bok-lo, karena kau bicara padaku, tadi kau kehilangan lengan bajumu. Sekarang telah kubalaskan, kau tak boleh menyesali aku. Thiat-mo-lek, kelak kita bertanding lagi satu lawan satu. Jangan kuatir, aku bukan manusia rendah seperti Yo Bok-lo! Habis itu Shin Ci-koh lantas ngacir. Tapi belum jauh matanya tertumbuk pada Khik-sia. Saat itu Khik-sia masih terlibat pertempuran dengan Ceng-ceng-ji. Karena keduanya bermain dengan cepat, maka mereka sudah bertempur sampai beberapa ratus jurus. Ceng-ceng-ji mulai kehabisan tenaga, pikirnya: Jika sampai kalah pada seorang sute, mana aku ada muka muncul di dunia persilatan! Kegelisahan itu telah menimbulkan pikiran jahat. Tiba-tiba ia lancarkan serangan berbahaya. Sebenarnya Khik-sia juga jeri kepada pedang beracun bekas suhengnya itu. Maka ia tak mau bernafsu menyerang, hanya mematahkan setiap serangan lawan saja. Tapi sekali Khik-sia mainkan pedangnya, Ceng-ceng-ji segera terkurung. Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji jungkirkan ujung pedangnya untuk menusuk tenggorokannya sendiri! Suatu hal yang tak diduga Khik-sia. Sekilas, Khik-sia menganggap karena tahu bakal kalah, Ceng-ceng-ji malu dan hendak bunuh diri. Tanpa disadari, ia tertegun. Dan tanpa terasa ia ulurkan tangannya untuk merampas pedang Ceng-ceng-ji. Kalau lain orang, apabila melihat lawannya membunuh diri tentu girang. Malah yang berhati ganas, akan menambahi lagi dengan tusukan, baik lawan itu akan bunuh diri sungguh-sungguh atau hanya pura-pura saja. Paling perlu tusuk dulu, bicara belakang. Tapi Khik-sia itu memang berhati welas asih. Meskipun ia benci kepada Ceng-ceng-ji dan sudah putuskan hubungannya sebagai suheng. Namun melihat adegan yang mendadak itu, tergetarlah hatinya. Bukan saja hanya hentikan serangannya pun malah hendak mencegah. Inilah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia cukup paham akan budi pekerti Khik-sia maka ia berani memainkan sandiwara tadi. Baru jari Khik-sia menyentuh tangkai pedang, secepat kilat Ceng-ceng-ji balikkan pedangnya memapas siku lengan Khik-sia. Dalam saat-saat dimana lengan Khik-sia pasti akan terpapas kutung, tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu Shin Ci-koh sudah berada di sebelah mereka. Ia kebutkan lengan
bajunya ke tengah. Trang, lengan baju Shin Ci-koh terpapas, tapi pedang Ceng-ceng-ji pun terpental. Shin Ci-koh terhuyung sedang Khik-sia loncat mundur sampai beberapa tombak. Ia memaki dengan gusar sekali: Ceng-ceng-ji, kau ganas sekali! Ceng-ceng-ji juga marah besar. Mulutnya menghamburkan makian. Tetapi bukan kepada Khik-sia, melainkan Shin Ci-koh: Wanita jalang dari mana berani mengganggu? Kau tahu, siapa aku ini? Shin Ci-koh enggan menyahut. Ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-kang untuk menutuk lagi. Malah kali ini kekuatannya lebih besar. Sekalipun tak sampai melepaskan pedang, namun tangan Ceng-ceng-ji sakit sekali. Ia terkejut dan buru-buru mundur beberapa langkah. Sembari siapkan pedang di tangan, ia memandang Shin Ci-koh dengan mata melotot. Tapi untuk beberapa saat tak berani ia menyerang. Shin Ci-koh tertawa menghina: Tak peduli kau siapa, sekarang aku perlu bicara dengan Khiksia. Siapa berani mengganggu tentu akan kupotong lidahnya dan kukorek biji matanya. Kalau kau tak terima, nanti boleh bertempur dengan aku, lihat saja aku dapat melakukan ancamanku itu atau tidak? Tanpa menghiraukan orang lagi, Shin Ci-koh lantas berpaling menghadapi Khik-sia, serunya: Hai, mengapa Tiau-ing tidak bersamamu? Kemana saja ia? Mengapa dalam saat-saat begitu kau tinggalkan ia? Dalam bicaranya, wanita itu seperti menyalahkan Khik-sia. Khik-sia yang sedang marah, demi mendengar nama Su Tiau-ing makin mendongkol. Tapi karena Shin Ci-koh tadi telah menolongnya, terpaksa Khik-sia tak mau berlaku sekasar Thiat-mo-lek. Batinnya: Baik, biar kuberitahukan keadaan yang sebenarnya, agar ia jangan mengira aku selalu bersama muridnya saja. Shin lo-cianpwe, jika hendak bertanyakan muridmu, silahkan tanya pada Bo Se-kiat, akhirnya ia berkata. Ho, Bo Se-kiat? Bo Se-kiat pemimpin lok-lim baru itu? Shin Ci-koh menegas. Ia tinggal di daerah barat yang sepi, tapi karena nama Bo Se-kiat amat tenar, iapun tahu juga. Benar, memang Bo Se-kiat itu. sahut Khik-sia. Kenapa bertanya padanya? tanya Shin Ci-koh. Semalam ia sudah ikut pergi pada Bo Se-kiat. Shin Ci-koh terkesiap. Dengan kurang senang ia bertanya lagi: Mengapa ia lari dengan Bo Se-kiat? Apa kau menyalahinya? Khik-sia kerutkan wajahnya: Aku tak mau di hadapan seorang guru mengatakan keburukan muridnya. Shin Ci-koh salah terima. Ia kira Khik-sia penasaran kepada Tiau-ing karena Tiau-ing meninggalkannya. Tertawalah wanita aneh itu: Memang Tiau-ing itu berhati tinggi, sukar dilayani. Tapi ribut-ribut di dalam kalangan muda-mudi itu, sudah jamak. Kalau sudah hilang kemarahannya ia tentu baik lagi kepadamu. Khik-sia tertawa dingin: Aku tak mengharapkan hal itu, Bo Se-kiat baru setimpal betul dengan ia. Kesalahan paham Shin Ci-koh makin dalam. Ia agak sesalkan muridnya sendiri. Pikirnya: Apakah benar-benar Tiau-ing berbalik hati? Atau karena terpikat Bo Se-kiat? Hm, setelah bertemu baru aku dapat menanyakan padanya, siapakah sebenarnya yang dicintai? Sudahlah, jangan marah. Jika muridku betul yang salah, akan kuberinya hajaran. Tapi kemana saja mereka pergi itu? kata Shin Ci-koh. Mana aku tahu? Mereka sudah keluar dari kota Tiang-an ini, sahut Khik-sia. Hati Shin Ci-koh seperti terlepas dari ganjalan batu, ujarnya: Baik, minggirlah ke samping, jangan membantu aku. Biar kuhajarnya si kunyuk ini. Setelah itu baru kucarikan Tiau-ing. Ceng-ceng-ji tak kenal pada Shin Ci-koh. Tapi mendengar bahwa ia itu suhu dari Tiau-ing, diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut juga. Tapi ia sudah biasa bersikap congkak. Tak mau ia unjuk kelemahan. Segera ia menantang: Bagus, sebagai suhu Su Tiau-ing kau tentu bukan orang
sembarangan. Omonganmu yang tak keruan itu, merendahkan dirimu sendiri. Aku tak mau bertempur melainkan hendak menguji kepandaianmu saja! Shin Ci-koh tertawa: Kau tak tahu siapa aku, tetapi aku tahu siapa kau. Menilik rupamu yang 'bagus' ini, kau tentulah Ceng-ceng-ji. Memang wajah Ceng-ceng-ji itu mirip dengan seekor kera. Disindir oleh Shin Ci-koh, marahnya bukan main: Aku toh tak sudi mengambil isteri kau, peduli apa dengan mukaku bagus atau jelek! Shin Ci-koh berkata seorang diri: Pernah kudengar dari Gong-gong-ji bahwa ia mempunyai seorang sute bernama Ceng-ceng-ji yang tak keruan tingkah lakunya. Ternyata memang benar. Hm, sudah berani menggunakan tipu keji untuk mencelakai sutenya, masih berani banyak tingkah di hadapanku. Sebenarnya hendak kupotong lidahnya dan kukorek biji matanya, tapi mengingat Gong-gong-ji, biarlah hanya kuberi dua kali tamparan saja! Ceng-ceng-ji berjingkrak-jingkrak marah, teriaknya: Kurang ajar! Coba saja bagaimana kau hendak menampar mukaku! Begitu mencabut pedang ia mendahului menusuk. Shin Ci-koh seperti tak mengacuhkan. Enak saja ia menyambut dengan pukulan. Ceng-ceng-ji tahu kalau berhadapan dengan tokoh lihay. Maka biarpun marah tapi ia tetap bersikap 'sebelum mendapat kemenangan, harus menjaga kekalahan'. Di tengah jalan ia rubah gerakan pedang dan orangnyapun mengisar pindah. Tapi ternyata pukulan Shin Ci-koh itu mengandung tiga buah perubahan. Sebenarnya tadi kalau tangannya sampai ditabas pedang Cengceng- ji, ia akan bergerak untuk merebut senjatanya dan tangan kiri memberi tamparan. Karena Ceng-ceng-ji beralih ke samping dan menusukkan pedangnya, Shin Ci-koh pun segera mainkan perubahan yang kedua. Tangannya memagut merampas pedang, sedang jari kirinya menyusup ke bawah lengan untuk menutuk iga Ceng-ceng-ji. Menerima tanpa membalas tidaklah sopan, seru Ceng-ceng-ji sembari memutar ujung pedangnya untuk menusuk dada Shin Ci-koh. Tapi ternyata Shin Ci-koh masih punya perubahan yang ketiga. Plak, tahu-tahu muka Cengceng- ji tertampar angin pukulan sampai merah biru. Sakitnya bukan kepalang masih untung tidak kena tangannya. Dalam pertukaran serangan itu, Ceng-ceng-ji memberi dua buah serangan pedang, Shin Ci-koh sebuah tamparan. Kalau menurut penilaian, seharusnya Ceng-ceng-ji mengaku kalah. Tapi mana ia mau berbuat begitu. Shin Ci-koh marah sekali karena orang telah menyerangnya dengan tak sopan (di bagian dada). Jika dalam 50 jurus aku tak dapat menampar mukamu biarlah dunia persilatan tak ada nama Shin Ci-koh lagi! serunya. Ceng-ceng-ji tak kenal pada Shin Ci-koh, hanya pernah mendengar namanya saja. Kini ia baru terperanjat, pikirnya: Kiranya wanita siluman ini Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh, maka begitu lihay! Kabarnya ia mempunyai hubungan baik dengan suheng. Agaknya memang benar. Tapi dalam jerinya, diam-diam Ceng-ceng-ji girang juga batinnya: Kalau 100 jurus, aku tak berani memastikan. Tapi kalau hanya 50 jurus saja, hm, hm, belum tentu ia dapat menampar mukaku. Asal aku dapat menghindari lima puluh jurus itu coba saja bagaimana nanti ia menolong mukanya? Tokoh seperti ia, tentu tak dapat menjilat ludahnya. Dalam kesempatan itu, akan kupaksa ia tinggalkan dunia persilatan dan namaku Ceng-ceng-ji tentu lebih termasyhur lagi. Ginkang Ceng-ceng-ji memang jempol. Gerakannya cepat sekali. Ia segera gunakan siasat gerilya (berlincahan) untuk menghadapi kelima puluh jurus serangan. Sebenarnya lima puluh jurus itu akan berlangsung cepat sekali. Tapi Khik-sia tak sabar lagi menantinya. Ia masih ada tugas. Pertama, menolong Thiat-mo-lek. Dan kedua, mencari Yak- bwe. Ketika memandang ke sana, tampak Thiat-mo-lek menang angin. Hanya belum sempat keluar dari kepungan saja, tapi sudah tak berbahaya keadaannya. Saat itu, dari kejauhan terdengar seruan Yakbwe: Khik-sia, Khik-sia! Memang di dalam lapangan situ riuh rendah suaranya. Dari berisiknya senjata beradu dan teriakan orang-orang yang bertempur. Tapi karena seluruh perhatian Khik-sia memang ditujukan
untuk mencari Yak-bwe, maka suara panggilan Yak-bwe tadipun cepat didengarnya. Khik-sia segera menuju ke sana. Melihat Khik-sia pergi, longgarlah hati Ceng-ceng-ji. Ada kalanya ia balas menyerang juga. Dalam beberapa kejap saja 40-an jurus sudah berlalu. Sampai di sini, Ceng-ceng-ji pun mulai menghitung: 41, 42, ..... 44, 45, hi hi. Bagaimana kau akan menampar mukaku nanti? 47, 48 ..... Tiba-tiba Shin Ci-koh berputar tubuh dan pergi. Suatu hal yang tak disangka-sangka oleh Ceng-ceng-ji. Ia terkejut dan girang: Ha, karena mendapat kesukaran, ia lantas mundur! Ia hendak memburu untuk mengejeknya tapi merasa jeri sehingga detik-detik itu ia bersangsi. Tiba-tiba ada angin menyambar. Ternyata sekonyong-konyong Shin Ci-koh balik kembali. Cepatnya seperti kilat. Dalam sejarah pertempuran tak ada jago silat yang menempur lawan dengan membelakanginya. Maka Ceng-ceng-ji tak menyangka sama sekali bahwa Shin Ci-koh akan berbuat begitu. Malah caranya balik itu jauh lebih cepat dan lebih tak terduga-duga dari waktu perginya. Tergopoh-gopoh Ceng-ceng-ji pentang pedangnya. Kena! bentak Shin Ci-koh. Plak, muka Ceng-ceng-ji kena tertampar. Dan untuk tusukan Ceng-ceng-ji, Shin Ci-koh turunkan pundaknya. Pundak bajunya robek tapi tak sampai terluka. Kiranya karena merasa tak ada harapan mengalahkan orang dalam lima puluh jurus maka untuk menebus kata-katanya yang sudah terlanjur diucapkan itu, terpaksa Shin Ci-koh gunakan cara istimewa. Ia memang mahir dalam ilmu thing-thong-pian-ki (dengarkan angin dapat mengetahui arah senjata). Habis menghindari tusukan Ceng-ceng-ji, ia cepat maju menampar lagi. Tapi tamparan itu dapat dikelit Ceng-ceng-ji. Tamparan Shin Ci-koh yang pertama membuat separuh muka Ceng-ceng-ji begap matang biru. Giginya sakit sekali. Pecahlah nyalinya dan cepat-cepat ia menyusup ke dalam gerombolan orang. Karena pundak bajunya terlubangi, Shin Ci-koh merasa kemenangan yang diperolehnya itu tak begitu brilian (cemerlang0. Benar Ceng-ceng-ji sudah lari terbirit-birit, tetapi Shin Ci-koh masih penasaran. Ia menjerit-jerit: Aku hendak memberimu hadiah dua tamparan. Baru satu kali, mengapa mau lari? Seumur hidup Ceng-ceng-ji tak pernah mendapat hinaan begitu macam. Apalagi di hadapan jago-jago silat di seluruh negeri. Kalau ada, ia akan menyusup ke dalam liang saja. Ia takut dan benci kepada Shin Ci-koh. Tapi karena merasa kalah, terpaksa ia lari mati-matian. Beberapa orang yang tadi marah karena kepalanya dilompati Ceng-ceng-ji, sama bertepuk tangan kegirangan, mereka bersorak-sorak melihat Ceng-ceng-ji lari seperti tikus dikejar kucing. Waktu Shin Ci-koh mengejar, merekapun memberi jalan. Malah ada orang yang berseru mengejek: Tadi aku tak sempat melihat kunyuk ditampar. Kali ini aku harus melihat sampai puas! Orang itu sengaja berseru begitu karena kuatir Shin Ci-koh tak mau menghajar Ceng-ceng-ji lagi. Ternyata Shin Ci-koh kena terpancing. Baik, kalian boleh menyaksikan. Dalam ilmu ginkang sebenarnya Ceng-ceng-ji lebih unggul sedikit dari Shin Ci-koh. Tapi karena orang-orang sama memberi jalan kepada Shin Ci-koh, teapi merintangi dia (Ceng-ceng- ji), padahal Ceng-ceng-ji sekarang tak berani menyalahi mereka lagi, maka ia terpaksa berlincahan menyusup di mana lubang yang tak ada orangnya. Dengan begitu, makin lama jaraknya makin dekat dengan Shin Ci-koh. Lapangan yang luasnya beberapa li itu, dimana-mana terdapat orang bertempur. Khik-sia tak mau memperdulikan Shin Ci-koh main godak dengan Ceng-ceng-ji lagi. Karena pada saat itu ia dapat mengetahui tempat beradanya Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu bertiga, tengah berusah menerobos dari kepungan. Cici In, Su ... nona Su, siaute datang! teriak Khik-sia. Sebenarnya ia hendak memanggil 'Su moaymoay' (adik Su), tapi di depan sekian banyak orang ia merasa sungkan. Tertawalah In-nio: Adik bwe, tadi kau memanggilnya. Mengapa sekarang kau diam saja? Kami di sini, Toan hiante, lekas kemari! Khik-sia tak mau mengucurkan banyak darah. Ia hanya berusaha untuk memapas kutung senjata kawanan tentara itu saja. Tiap kali pedangnya berkiblat, tentu terdengar dering senjata kutung. Kutungan pedang, golok, tombak dan lain-lain senjata menumpuk bukit. Melihat
kegagahan pemuda itu, kawanan tentara berteriak-teriak dan sama menyingkir. Yak-bwe bertigapun dengan mudah dapat menerobos keluar. Setelah mengalami badai kesalahan paham, akhirnya bertemulah kedua sejoli Khik-sia Yakbwe. Hanya tempat pertemuan mereka itu di medan pertempuran. Sesaat kedua anak muda itu tak tahu bagaimana akan bicara. Khik-sia, apa kau sudah tahu kesalahanmu? In-nio menembus kemacetan. Khik-sia tak dapat menyatakan apa-apa. Ia tak peduli apakah In-nio hanya bergurau atau sungguh-sungguh, tapi ia turut saja apa yang diajarkan nona itu kepadanya. Ia maju ke hadapan Yak-bwe, lalu menjura, ujarnya: Nona Su, aku memang sembrono hingga beberapa kali berdosa padamu. Harap kau jangan marah lagi! Yak-bwe tak mengira sama sekali bahwa anak muda itu akan mau minta maaf padanya di hadapan umum. Iapun kemerah-merahan wajahnya dan terpaksa membalas hormat, sahutnya: Mungkin aku juga bersalah. Urusan yang lampau, tak perlu dipikirkan lagi. Kalian boleh lanjutkan omong-omong. Aku dan Pui-sute akan membuka jalan, tak perlu kalian memikirkan serangan musuh lagi, kata In-nio dengan tertawa. Meskipun di mulut Yak-bwe minta jangan membicarakan peristiwa yang telah lalu, namun dalam hati nona itu masih gatal. Tanpa disadari, ia bertanya: Temanmu nona Su itu, mengapa tak kelihatan? Kau menanyakan gadis siluman itu? Gagal mencelakai Thiat piauko, ia lantas lari dengan lain orang! sahut Khik-sia. Lari dengan siapa? Yak-bwe tersentak kaget. Melihat In-nio berada di situ, Khik-sia tak mau menyebut nama Bo Se-kiat. Tapi agar jangan dicurigai Yak-bwe, maka sekenanya saja ia menjawab: Adik Bwe, sedikitpun aku tak punya perhatian pada gadis siluman itu. Biarlah aku bersumpah, jika .... Selebar wajah Yak-bwe merah padam. Buru-buru ia mencegah: Aku tak peduli kau punya hubungan atau tidak dengan dia. Mengapa kau sembarangan mengangkat sumpah? Ah, jangan menjadi buah tertawaan orang! Walaupun nadanya agak sengit, tapi nyata kalau Yak-bwe bersikap lain kepada Khik-sia. Sebodoh-bodoh Khik-sia, mengetahui juga bahwa tunangannya itu menaruh kepercayaan padanya dan tak menghendaki ia bersumpah lagi. Yang hendak kutanyakan, dengan siapa ia lari itu? Mengapa kau menjawab yang bukanbukan? kembali Yak-bwe mendesak. Saat itu In-nio tengah lepaskan sebuah senjata rahasia. Seorang opsir yang naik kuda di sebelah muka, terjungkal jatuh. Khik-sia menghela napas pelahan, ujarnya: Ceritanya panjang sekali. Biarlah nanti setelah lolos dari bahaya, kuberi tahu padamu sendiri. Yak-bwe heran, pikirnya: Mengapa hanya aku yang akan diberitahu? Ada hubungan apa dengan ci In? Rupanya ia tak ingin ceritanya didengar ci In. Hm, dari kerut wajahnya terang kalau ia hendak bicara sendirian dengan aku. Ia tak tahu bahwa aku dengan ci In itu sudah seperti saudara kandung sendiri. Sebenarnya tak ada halangannya mengatakan di depan ci In. Setelah merubuhkan si opsir, In-nio berpaling dan tertawa: Silahkan kalian bicara sepuaspuasnya. Aku tak nanti mendengarkan. Yak-bwe tertawa: Ah, sungguh heran mengapa kau memaki nona Su itu sebagai gadis siluman? Bukankah kalian seperjalanan dan sepenginapan? Sekarang giliran Khik-sia yang merah padam mukanya. Mengangkat tangan, kembali ia hendak bersumpah. Tiba-tiba Yak-bwe tertawa geli dan menarik turun tangan Khik-sia. Sekarang rasanya kau tentu sudah mengerti. Sebelum tahu fakta yang sebenarnya, jangan suka menuduh yang bukan-bukan. Aku hanya berkata sepatah, tapi mengapa kau sibuk tak keruan? Coba pikirkan, begitu mesra hubunganmu dengan nona siluman itu, bagaimana pandangan orang lain? Benar, kau seorang lelaki ksatria. Tapi apakah di dunia ini tiada lain ksatria kecuali kau? Yak-bwe membawakan dampratannya itu dengan halus, sehingga Khik-sia seperti dikemplang kepalanya. Tapi kemplangan itu telah dapat menghilangkan keraguan hatinya. Sehijau-hijau KhikKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ sia namun mengerti juga kemana jatuhnya kata-kata Yak-bwe itu. Pikirnya: Kukira ia berubah hati, mencintai Tok-Ko U. Ternyata tidak! Ya, memang gerak-gerikku selama ini dengan Su Tiauing jauh lebih menimbulkan kecurigaan orang daripada ia dengan Tok-Ko U. Persoalan hanya kupandang dari segi pandanganku sendiri. Ternyata aku sendiri juga mempunyai kesalahan. Khik-sia menyesal dan merasa bahagia. Serentak ia mencekal tangan Yak-bwe dan berbisik: Memang akulah yang bersalah. Aku membuatmu penasaran. Tidak, akupun juga bersalah. Tak seharusnya aku membikin panas hatimu, jawab Yak-bwe. Keduanya saling mengakui kesalahannya. Dan apa yang dikatakan selanjutnya adalah seperti tadi lagi. Tapi sekalipun begitu ulangan itu lebih berarti dan lebih meresap. Keduanya sama membuang tuduhannya yang tidak-tidak memperbaharui kasih. Hai, mengapa kalian hanya rebutan mengaku salah saja? Bosan aku mendengarnya! In-nio berpaling dan tertawa. Kau bilang tidak mau mendengarkan tetapi ternyata mencuri dengar. Sekarang urusan kita sudah beres, kalau kau hendak bertanya apa-apa kepada Khik-sia, lekaslah! sahut Yak-bwe sambil mendorong Khik-sia maju dua langkah. Cici In, jangan bingung, tanyalah! seru Yak-bwe. Memang In-nio ingin menanyakan tentang diri Se-kiat. Tapi digoda oleh Yak-bwe, mulutnya sudah hendak menyebut nama Se-kiat, terpaksa diganti dengan pertanyaan lain: Ya, ya, Khik- sia, memang aku hendak bertanya padamu. Bukankah kau datang bersama Thiat-mo-lek? Benar, sekarang Thiat toako sedang bertempur dengan Yo Bok-lo. Mari kita menggabungkan diri, seru Khik-sia. Masih ada siapa lagi? kembali In-nio bertanya. Masih ada Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing. Celaka, aku tadi mengikuti Thiat toako, tapi entah sekarang bagaimana keadaannya? Bagaimana cici In, kita harus mencari siapa dulu? Yak-bwe serasa pecah mulutnya karena geli: Khik-sia, kau tolol benar! Yang ditanyakan ci In itu, bukan Thiat toakomu atau Coh sioksiokmu, melainkan seorang lain lagi. Mengapa kau lupa? Siapa? Khik-sia menegas. Yak-bwe mengetuk dahi Khik-sia dengan jarinya dan berkata: Kau benar-benar membikin perutku keras. Dia .... -- tiba-tiba berhenti lalu tertawa: Baiklah, kalau ci In tidak menanyakan, kau pun tak perlu bilang! In-nio lebih lapang hati. Pun ia benar-benar sudah tak sabar lagi. Maka berserulah ia dengan terang-terangan: Aku hendak menanyakan seorang kawan, perlu apa plintat-plintut. Bo Se-kiat, ya, dia datang tidak? Khik-sia memang sudah menduga In-nio bakal mengajukan pertanyaan begitu. Diam-diam ia merasa pilu. Terpaksa menerangkan dengan kata tak lampias bahwa Se-kiat tidak datang. Tidak datang? Tetapi kabarnya jauh-jauh hari ia sudah tiba di Tiang-an, ujar In-nio. Semalam ia sudah tinggalkan kota raja ini, sahut Khik-sia. Heran In-nio memikirkan: Se-kiat tentu datang bersama Thiat-mo-lek. Mengapa ia pergi sendirian? In-nio cerdas dan banyak pengalaman. Demi melihat kerut wajah Khik-sia agak lain, terbitlah kecurigaannya. Cepat-cepat ia bertanya pula: Khik-sia, kau tak perlu mengelabuhi aku. Apakah terjadi sesuatu dengan dia? Tidak, dia tak mendapat bahaya apa-apa. Melainkan .... Melainkan apa? tukas In-nio. Dia tak terluka, melainkan, melainkan, dia sudah berlainan haluan dengan kita, sahut Khiksia. Benarkah omonganmu ini? wajah In-nio berubah seketika. Setelah aku dan Thiat toako tiba di sini, ia bersama lain orang pergi ke lain tempat. Ih, lihatlah, apa itu bukan kedua saudara Tok-ko? Mari kita lepaskan mereka dari kepungan musuh dulu, baru nanti kita bicara lagi. Ci In, jangan gelisah, aku tentu akan menerangkan soal itu sampai jelas kepadamu. In-nio yang penuh diliputi dengan kecurigaan itu membatin: Selamanya Khik-sia ini tak
pandai bicara. Mungkin karena ada urusan Se-kiat lantas tinggalkan Tiang-an, sekali-kali tidak karena pecah dengan Thiat-mo-lek. Tapi ia merasa sikap Khik-sia memang lain dari biasanya, kata-katanya pun tak lampias. Ia gelisah. Tapi sesaat terlintaslah dalam pikirannya: Asal dia tak terluka saja, legalah sudah hatiku. Ya, lebih baik sekarang menolong kedua saudara Tok-ko itu dulu. Nanti perlahan-lahan aku dapat menanyakan lagi pada Khik-sia. Muda. Tapi selama itu Bik-hu hanya memendam asmaranya, ma- Ia memandang kemuka, tertawa: Kakak-beradik Tok-ko sudah berjumpa dengan kedua saudara Lu. Yak-bwe, persoalanmu dengan sendirinya beres, dah. Pada saat itu mereka masih di tengah gelanggang pertempuran. Hanya karena kawanan tentara tak berani mendekati mereka, maka mereka dapat bicara dengan leluasa walaupun tak hentihentinya mereka harus menangkis anak panah yang menyambarnya. Perhatian mereka tetap tak lengah. Ah, Pui-heng, kau mengapa? tiba-tiba Yak-bwe berseru. Kiranya sebatang anak panah menyambar Bik-hu, tetapi pemuda itu hanya tundukkan kepala seperti tak mengacuhkan. Untung Khik-sia segera lontarkan pukulan lwekang biat-gong-ciang menghantamnya. Bik-hu dongakkan muka. Matanya agak merah. Tak apa-apa, mataku kelilipan pasir, katanya dengan tersipu-sipu. Pemuda itu ternyata diam-diam telah cintai In-nio. Alangkah pilu hatinya demi mengetahui nona itu sudah mempunyai pandangan lain pemuda. Tapi selama itu Bikhu hanya memendam asmaranya maka baik Yak-bwe maupun In-nio sampai tak mengetahuinya. Sepasang kakak beradik Tok-ko dan Lu dikepung oleh sepasukan kecil. Sebagian memang tentara pemerintah, sebagian anak buah Ceng-ceng-ji. Mereka dipimpin oleh Ki Ping-hwat, seorang jagoan penjahat kelas satu. Ia menggunakan sepasang jit-gwat-lun (senjata yang bentuknya seperti roda, satu besar seperti matahari, satu kecil seperti rembulan). Jit-gwat-lun khusus untuk menggempur golok dan pedang. Memang kepandaian Ki Ping-hwat lihay juga. Sebenarnya ia dapat menghadapi kedua saudara Tok-ko tapi ia masih merangkap juga untuk menyerang kedua saudara Lu. Sebentar menyerang kesana, sebentar kesini. Sepasang kakak adik itu beberapa kali hendak menerobos keluar, tapi tetap gagal. Ceng-kong-kiam Tok-ko Ing beberapa kali hampir saja kena dirampas oleh jit-gwat-lun. Diantara rombongan Yak-bwe, adalah Khik-sia yang paling cepat tibanya. Secepat menerobos masuk, ia segera mainkan pedangnya. Terhadap kawanan tentara, ia membabat senjata mereka. Terhadap anak buah Ceng-ceng-ji, ia gunakan ujung pedang menutuk jalan darah mereka. Dalam sekejap saja, sudah ada tujuh delapan orang yang rubuh. Ki Ping-hwat yang sudah pernah merasakan kelihayan Khik-sia, terperanjat sekali melihat anak muda itu datang. Tak berani ia bertempur lama-lama terus melarikan diri. Pada lain saat Yak- bwe pun masuk. Bahu membahu dengan Khik-sia, ia mengganyang musuh. Nona Ing, apa masih kenal dengan Su-toakomu? dalam lain kesempatan Yak-bwe bertanya pada Tok-ko Ing. Cici Su, kau mengelabuhi aku sampai menderita sekali! Tok-ko Ing melengking. Sesaat teringat bagaimana ia begitu tolol tak dapat membedakan seorang gadis yang menyaru pemuda, tertawalah ia dengan getir, wajahnya merah padam. Yak-bwe tetap membanyol dengan gaya dan nada seperti seorang lelaki. Yak-bwe menghampiri dan menjura di hadapan Tok-ko Ing: Harap nona jangan marah. Biarlah toako menghaturkan maaf padamu! Tok-ko Ing terpingkal-pingkal sampai hampir jatuh, serunya: Cis, tak malu, masih ingin jadi lelaki lagi? Sungguh mati, aku tetap ingin menganggapmu sebagai toako, tapi sayang ada orang yang tak memperbolehkan. Ia berpaling dan berseru kepada Khik-sia: Sebenarnya aku harus meminta maaf padamu, karena aku begitu naif tak mengetahui bahwa kau ini bakal suaminya Su-toako. Karena biasa memanggil toako, maka saat itu tanpa disengaja kembali Tok-ko Ing menyebut toako lagi. Mendengar kata-kata yang lucu bakal suaminya Su toako itu, kawan-kawannya
tertawa gelak-gelak. Akupun harus meminta maaf kepada kalian berdua saudara, kata Khik-sia. Toan siauhiap, sudahlah, jangan main maaf saja. Cukup asal selanjutnya kau baik-baik memperlakukan cici Su saja. Dan ingat, kau hanya boleh mempunyai seorang nona Su, jangan beberapa nona Su lagi, sahut Tok-ko Ing. Ia teringat tempo hari dalam perjalanan telah berjumpa dengan Khik-sia bersama seorang nona Su lainnya (Su Tiau-ing). Mendapat seorang adik baru seperti kau, masakan aku berani kurang ajar terhadap Yak-bwe, kata Khik-sia tertawa. Lu Hong-jun dan Hong-jiu pun maju menemui Khik-sia. Tok-ko U sengaja mendekati Hongjin dan berdiri jajar dengan nona itu. Katanya: Hong-jin, kurasa salah pahammu dengan nona Su tentu sudah hilang sekarang. Adik Ing, tahukah kau bahwa bukan melainkan kau sendiri, pun nona Lu ini juga kena dikelabuhi oleh Su toako-mu. Oh, begitu? Mengapa cici Lu tak mengatakan padaku? seru Tok-ko Ing. Hong-jiu tertawa: Besaok akan kuceritakan padamu, kejadian-kejadian lucu yang kualami di Kim-ke-nia. Nona Su, apakah kau masih marah padaku? Dalam sikap dan bicaranya selama ini Tok-ko U mesra sekali kepada Hong-jiu. Kini baru nona itu mengetahui bahwa Tok-ko U ada hati kepadanya. Memang ia sendiri juga ada apa-apa kepada pemuda itu, maka diam-diam ia merasa girang. Sebenarnya Yak-bwe tak begitu senang kepada Hong-jiu, tapi karena nona itu menghaturkan maaf, iapun balas memberi hormat. Memang watakkulah yang jelek. Urusan yang lalu, bukan kesalahan cici. Setelah kedelapan pendekar muda mudi itu bersatu, mereka segera menerjang keluar dari kepungan. Ketika mengisarkan pandangan Khik-sia lihat Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang masih terkepung. Kata Khik-sia kepada teman-temannya: Opsir yang bertempur dengan Wi lo- cianpwe itu adalah pemimpin Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi. Mungkin karena berhadapan dengan pembesar kerajaan maka Wi lo-cianpwe agak sungkan. Tetapi orang she Toh itulah yang mencelakai Cin sian, sahabat karib Thiat toako. Wi lo-cianpwe dapat memberi ampun, tapi aku tak dapat memberinya kemurahan. Biar kuberinya sedikit hajaran. Memang yang diduga anak muda itu benar. Mengingat kedudukan Toh Hok-wi, Wi Gwat tak mau berlaku ganas. Tetapi Wi Gwat bukannya untuk kepentingan pribadinya. Ia kuatir bentrok dengan pemerintah adalah karena mengingat kepentingan partai Kay-pang. Anak buah Kay-pang tersebar di seluruh negeri jumlahnya besar sekali. Benar mereka tak sudi berhamba pada kerajaan, tetapi pun tak mau menyalahi undang-undang negara. Biarpun Wi Gwat itu seorang yang tak kenal takut pada siapa saja, tapi demi mengingat kedudukan Kay-pang di kota raja dan di lain daerah maka ia terpaksa berlaku sungkan. Karena dibatasi dengan hal itu posisi Wi Gwat sukar. Ia tak mau ditangkap tapi pun tak mau mengalahkan lawan. Ia hanya mengharap agar Toh Hok-wi tahu diri dan mundur sendiri. Tetapi ternyata karena hendak mengembalikan muka dan lagi dikipasi Ceng-ceng-ji, walaupun tahu bukan lawannya Toh Hok-wi tetap tak mau mundur, bahkan ia memberi perintah kepada pasukan Thengpay- kun untuk bantu mengepung Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang. Rombongan anak buah Kay-pang yang maju menghadang kena dihalau oleh Theng-pay-kun. Wi Gwat sambil putusan gunakan toa-kin-na-chiu (menangkap dengan tangan kosong) untuk menangkap Toh Hok-wi. Ia anggap Toh Hok-wi tentu tak terluka dan pemerintahpun tentu takkan marah. Tetapi ternyata walaupun tak selihat Wi Gwat, Toh Hok-wi itu juga bukan jago sembarangan. Apalagi ia mendapat bantuan dari Pok Yang-kau yang kepandaiannya tak kalah dengan Ceng-ceng-ji. Dulu orang she Pok itu pernah dipersen pukulan oleh Wi Gwat ketika dalam rapat besar Kay-pang. Maka dalam kesempatan sekarang ini, Pok-kun hendak membalas dendam. Kesemuanya itu mempengaruhi gerak-gerik Wi Gwat di dalam usahanya menangkap Toh Hokwi. Ia hendak melemparkan Toh Hok-wi keluar gelanggan, tapi belum mendapat kesempatan. Bahkan hampir saja beberapa kali ia terancam bahaya dari kedua pengeroyokannya Toh Hok-wi dan Pok Yang-kau itu. Namun kedua orang itupun tak mampu juga untuk menangkap Wi Gwat. Sebelum Khik-sia datang, Wi Gwat dan kedua lawannya itu sudah bertempur ratusan jurus. Wi
Gwat sungkan sebaliknya kedua lawannya bernafsu sekali. Lama-kelamaan panaslah hati pengemis itu. Penyakitnya gila angot lagi. Pada saat ia hendak mengganas, Khik-sia menerobos masuk. Anak muda itu tak mau kucurkan banyak darah. Terhadap benteng pasukan berlapis rotan (Theng-pay-kau) yang merintanginya dengan tombak ia hanya ganda tertawa: Aku tak mau melukai kalian. Sekarang hendak kulucuti bungkusan kalian dulu! Khik-sia mainkan pedangnya dengan indah sekali. Terdengar beberapa bunyi krak-krak. Setiap pedang Khik-sia berkiblat tentu ada sebuah theng-pay pecah. Dalam beberpa kejap saja, berpuluh-puluh Theng-pay pecah. Anak buah Kay-pang yang mengikuti Khik-sia dari belakang, pun turut menerobos masuk kepungan. Karena alat pelindung diri sudah pecah, pasukan Then- paykun itu kacau balau. Jangan membunuh jiwa orang. Jika anjing menggigit orang, cukup gebuk saja kaki binatang itu! buru-buru Wi Gwat meneriaki anak buahnya. Anak buah Kay-pang siapkan senjatanya yang terkenal ialah Bak-kau-ciang atau pentung pengecut anjing. Anak buah Theng-pay-kun yang lari dibiarkan lari, tapi yang coba-coba merintangi, tentu digebuk kakinya. Kaum Kay-pang termasyhur dengan ilmu tongkatnya. Anak buah Theng-pay-kun yang sudah pecah alat pelindung dirinya, dihajar kocar-kacir oleh anak- anak Kay-pang. Melihat Khik-sia datang, pecahlah nyali Pok Yang-kau. Setelah mengirim serangan kosong kepada Wi Gwat, ia lantas melarikan diri. Khik-sia menusuknya, tapi ujung pedangnya kena disisihkan oleh pukulan biat-gong-cang Pok Yang-kau. Bagus, aku ingin mencoba pukulan lwekangmu Khun-goan-ciang! seru Khik-sia. Ia menyerang dengan pedang dan pukulan. Blak, terdengar suara pukulan berbenturan keras. Keduanya sama-sama tergetar. Tadi Khiksia menyerang juga dengan pedang. Begitu tenaga pukulannya lenyap, ujung pedangnyapun masih menusuk Pok Yang-kau tak berdaya. Ia percepat larinya. Tetapi Khik-sia lebih cepat lagi. Pedangnya dapat menabas lutut Pok Yang-kau. To Hok-wi tetap bertempur gigih untuk mempertahankan namanya sebagai tay-ciangkun. Ia tak menyangka bahwa Pok Yang-kau bakal melarikan diri. Pada saat Pok Yang-kau berputar tubuh lari, Toh Hok-wi masih menyerang Wi Gwat dengan hebat. Hanya celakanya, kali ini Wi Gwat sudah tak kuat lagi menahan kesabarannya. Dibarengi dengan menggerung keras, ia dapat menjepit gigir golok Toh Hok-wi terus ditariknya. Tay-ciangkun, ambillah lagi golok pusaka dan mari main-main dengan aku si pengemis tua ini! Wi Gwat tertawa gelak-gelak. Ia lemmparkan golok orang ke udara. Wajah Toh Hok-wi pucat seperti kertas. Tanpa menghirauka martabat jenderal atau bukan jenderal (tay-ciangkun) lagi, ia lantas lari terbirit-birit. Sementara karena terbacok lututnya, Pok Yang-kau lari mati-matian dengan kaki pincang. Jika mau sebenarnya Khik-sia dapat mengejar, tapi pada saat itu matanya tertumbuk akan bayangan Toh Hok-wi yang belum berapa jauh. Tiba-tiba Khik-sia mendapat akal, pikirnya: Untuk lolos dari bahaya saat ini, harus meminjam tenaganya. Cepat ia tinggalkan Pok Yang-kau dan lari mengejar Toh Hok-wi. Baru Toh Hok-wi hendak menghampiri goloknya yang meluncur turun dari udara, tiba-tiba seorang opsir loncat mendahului menyambarnya. Toh Hok-wi mengira kalau opsir itu tentu orang sebawahannya. Baru ia hendak memanggil, Khik-sia sudah menusuk punggungnya. Khik-sia telah memperhitungkan bahwa orang tentu tak mungkin menghindar dari tusukannya. Tusukan itu ditujukan ke arah jalan darah, maka tak boleh terlalu keras. Tapi tiba-tiba si opsir yang sudah menyambuti golok Toh Hok-wi tadi membacaok pedang Khik-sia hingga sampai terdorong ke sisi. Tangan Khik-siapun terasa sakit. Usahanya yang sudah hampir berhasil digagalkan orang, murkalah Khik-sia. Secepat kilat ia babatkan pedangnya sampai tiga kali beruntun-runtun. Tapi tak kalah cepatnya si opsir itu juga membalas dengan dua buah bacokan. Benar gerakannya itu tak selincah Khik-sia. Namun karena permainan goloknya begitu rapat dan keras, Khik-sia pun tak dapat berbuat apa-apa. Hai, mengapa opsir ini sedemikian lihaynya. Rasanya Toh Hok-wi dan Bu Wi-yang sendiri
tak menang dengan dia! diam-diam Khik-sia heran. Telah dikatakan, gerakan opsir itu tak selincah Khik-sia, tapi rupanya dalam hal tenaga lwekang ia lebih unggul sedikit dari Khik-sia. Apalagi golok Gan-leng-to milik Toh Hok-wi itu juga golok pusaka, maka tak takut beradu dengan pedang pusaka Khik-sia. Setelah pertukaran tiga babatan pedang dengan dua bacokan golok tadi, opsir itu lontarkan hoan-chiu-to atau membacok dengan membalik golok. Begitu Khik-sia terpaksa mundur selangkah opsir itupun putar tubuh terus pergi. Bermula Khik-sia menduga orang tentu akan gunakan tipu siasat, tapi ternyata opsir itu angkat kaki tanpa menoleh lagi. Hai, belum ketahuan menang kalahnya, mengapa sudah lari? teriak Khik-sia. Sekali loncat ia memburunya. Tapi ia tak mau menyerang secara gelap, maka sebelumnya ia sudah meneriakinya dulu. Toh Hok-wi ternyata tak kenal dengan opsir itu. Tapi karena melihat kepandaian orang begitu lihay, diam-diam Toh Hok-wi girang sekali. Serunya: Bagus, lindungi aku dari belakang dan lekas menggabungkan diri dengan induk pasukan, kemudian kepung lagi kawanan pemberontak itu. Akan kucatat jasamu, kelak tentu akan kunaikkan pangkat. Terima kasih atas budi tayjin, sahut opsir itu seraya maju menghampiri. Sekonyong-konyong ia gunakan kin-na-chiu menangkap pergelangan tangan Toh Hok-wi. Seketika lemaslah Toh Hokwi tak dapat berkutik lagi. Kau, kau mau berbuat apa ini? serunya dengan cemas. Khik-sia yang memburu datang, terperanjat juga melihat kejadian itu. Buru-buru ia simpan pedangnya. Opsir itu tertawa: Jika kita mau lolos, jalan satu-satunya hanya dengan meminjam orang ini. Kenapa kau hendak membunuhnya? Sekarang barulah Khik-sia tahu bahwa opsir itu kawan seperjuangannya. Bahkan rencananya pun sama. Hanya karena salah mengerti saja maka opsir itu mengira tadi Khik-sia hendak membunuh Toh Hok-wi. Padahal ia hanya mau menusuk jalan darah orang saja. Siapakah saudara ini? Mengapa membantu aku? dalam girangnya Khik-sia buru-buru meminta penjelasan. Kembali opsir itu tertawa: Membantu kau berarti membantu diriku sendiri juga. Aku yang rendah ini mendapat kehormatan menduduki kursi terakhir dari Sepuluh Pemberontak, namaku Co Ping-gwan dari Keng-ciu. Menilik usiamu yang masih begitu muda, tentulah kau ini Toan Khik- sia siauhiap yang termasyhur! Mimpipun tidak Khik-sia bahwa pemberontak nomor sepuluh yang hendak ditangkap oleh pemerintah itu, ternyata muncul di gelanggang situ dalam pakaian sebagai seorang opsir kerajaan. Khik-sia menjawab memberi hormat: Tadi telah salah paham, mohon dimaafkan. Co toako memiliki kecerdasan dan keberanian, aku sungguh kagum sekali. Co Ping-gwan tertawa: Toh tayjin ini kuserahkan padamu, supaya kau lega. Waktu Khik-sia hendak menyahut, Co Ping-gwan sudah mendorong pembesar itu hingga Khiksia terpaksa menyambutnya. Sebenarnya ketika tangan Co Ping-gwan dilepas tadi, Toh Hok-wi hendak meronta, tapi Khik-sia cepat sudah menerkam punggungnya. Jika berani sembarangan bergerak, urat nadimu tentu kuputus. Celaka kau nanti! Wi Gwat, Tok-ko U dan kawan-kawan berdatangan menghampiri. Dengan menggusur Toh Hok-wi, mereka menerjang keluar dari kepungan. Barisan tentara kerajaan tak mampu menjaga pertahanannya lagi. Dalam beberapa kejap, rombongan Wi Gwat sudah tiba di pinggir lapangan. Ternyata di dalam lapangan ketentaraan itu, terdapat 3000 tentara Gi-lim-kun dan 2000 anak buah Toh Hok-wi. Mereka menjaga keras pintu besar, orang tak boleh sembarangan masuk keluar. Lima ribu tentara pilihan itu, siap dengan busur dan senjata. Benar Thiat-mo-lek dan Khik-sia serta jago-jago itu berkepandaian tinggi, tapi jika hendak berkeras menerjang tentara pemerintah tentu tak mungkin. Dalam menggusur Toh Hok-wi itu, Co Ping-gwan dengan tegas mengancam: Toh tayjin, jika kau ingin menyelamatkan kantong nasimu, lekas perintah orangmu membuka pintu! Pucatlah wajah Toh Hok-wi, batinya: Membuka pintu lepaskan tawanan, mereka tak membunuh aku, tetapi akupun tetap dijatuhi hukuman mati oleh raja. Membuka mati, tidak
membuka pun mati. Ah, lebih baik aku mati sebagai menteri setia saja. Baru ia berpikir begitu, Khik-sia sudah menekan punggungnya dan seketika ia rasakan tubuhnya seperti digigiti ribuan ular kecil. Benar-benar siksaan yang paling hebat di dunia. Hoha, lepaskanlah. Biar kuturut perintahmu! akhirnya ia meratap. Khik-sia tertawa dingin: Terserah saja kepadamu. Tapi, jika kau membangkang, aku masih mempunyai ilmu pijat istimewa untuk kau coba. Toh Hok-wi digusur kira-kira terpisah beberapa tombak dari pasukan pemerintah. Ketika memandang ke muka, Toh Hok-wi dapatkan yang di sebelah depan adalah anak buahnya sendiri dan yang di bagian belakang adalah pasukan Gi-lim-kun. Ia kuatir anak buah Gi-lim-kun tak mau mendengar perintahnya. Tapi ia tak mempunyai lain pilihan lagi. Begitu Khik-sia hendak memijatnya lagi, Toh Hok-wi buru-buru berteriak: Lekas buka pintu, lekas buka pintu! Anak tentara jelas melihat bahwa pemimpinnya itu sedang ditekan musuh. Karena perintah itu menyangkut urusan besar, sekalian anak buah pun tak berani mengambil putusan menurut atau menolak. Pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, terbagi menjadi dua golongan. Satu golongan menyatakan: Cin thong-leng membuka Eng-hiong-tay-hwe ini sebenarnya sudah mengatakan kepada orang gagah di seluruh negeri bahwa mereka takkan mendapat gangguan. Tapi karena Kaisar mendengarkan anjuran Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka mengeluarkan perintah menangkap sepuluh pemberontak tadi. Ini menyebabkan Cin thong-leng kehilangan muka pada seluruh orang gagah. Maka lebih baik kita buka pintu saja. Golongan kedua menentang: Jangan, jangan! Menangkap pemberontak adalah perintah dari raja. Kalau kita bukakan pintu dan lepaskan mereka, bukan saja kita semua anak buah Gi-lim- kun akan dihukum kaisar bahkan Cin tayjin pun tentu tambah berat dosanya. Orang she Toh itu memang sudah beberapa kali hendak mencelakai Cin tayjin. Biarkan sekarang dia mati disiksa kawanan pemberontak itu! Kedua pihak sama-sama ada alasan namun sampai sekian saat tiada keputusannya. Pada waktu biasa, Toh Hok-wi bersikap angker terhadap anak buahnya. Dia sering memberi putusan yang tak adil, kebanyakan tentu mengeloni orang-orang yang menjilatnya. Kewibawaan Toh Hok-wi di kalangan tentara kalah jauh dengan Cin Siang. Memang beberapa anak buah yang setia pada Toh Hok-wi, saat itu mau memberi jalan. Sementara partai Thiat-mo-lek lawan Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo, ternyata sampai saat itu masih belum ada kesudahannya. Hanya sekarang kedua orang itu gunakan siasat sambil bertempur sambil mundur. Sampai akhirnya datanglah pasukan Theng-pay-kun. Mereka bergabung dengan barisan Giau-kau-chiu membentuk suatu garis pertahanan untuk menghadang Thiat-mo-lek. Di saat itu barulah Bu Wi-yang dapat menyusup ke dalam barisan anak buahnya untuk beristirahat. Pada saat itu juga ia mengetahui tentang tindakan Khik-sia terhadap Toh Hok-wi. Cepat-cepat ia lari menghampiri dan meneriaki anak buah Toh Hok-wi: Toh tayjin telah ditawan pemberontak. Kalian sekarang harus mendengar perintahku. Lepaskan anak panah! Anak buah Toh Hok-wi bersangsi. Pasukan Gi-lim-kun, dengarlah! Kalian ingin tidak menolong Cin thong-leng kalian? kembali Bu Wi-yang berseru. Lwekang yang tinggi menimbulkan suara nyaring sekali hingga pasukan Gi-lim-kun yang tengah berisik itu diam seketika. Untuk menolong Cin tayjin, hanya harus menurut surat perintah baginda. Basmi kaum pemberontak itu dan mendirikan jasa untuk meringankan kedosaan Cin tayjin. Untuk itu aku bersedia memberi kesaksian kepada baginda. Tetapi jika kalian berani membukakan pintu, baginda tentu menuduh Cin tayjin menyuruh kalian berontak. Dengan demikian bukankah Cin tayjin akan lebih berat dosanya? Bu Wi-yang berseru dengan lantang sekali. Sebagian besar anak buah Gi-lim-kun memang mempunyai pendirian demikian. Maka anjuran Bu Wi-yang cepat diterima. Ribuan batang anak panah mengauk ke arah Toh Hok-wi. Jago-jago kelas satu seperti Khik-sia, Co Ping-gwan, Wi Gwat, Tok-ko U, dan lain-lain sibuk juga melindungi Toh Hok-wi. Memang pasukan Gi-lim-kun itu merupakan pasukan pilihan. Setiap calon harus diuji merentang busur berat, baru dapat diterima. Oleh karenanya mereka kuat dan gagah sekali
memanah. Begitu Gi-lim-kun bergerak, pasukan Hou-bin-kun pun mengikuti. Sebenarnya mereka adalah anak buah Toh Hok-wi sendiri. Tapi karena biasanya Toh Hok-wi memperlakukan mereka keras dan tak adil, banyak yang sakit hati. Dan kesempatan ini digunakan baik-baik oleh mereka. Mundur, lekas mundur ke lapangan lagi! teriak Co Ping-gwan. Toh Hok-wi kaget dan marah dengan pengkhianatan itu. Aku adalah pembesarmu, kamu tak menurut perintahku, tak apa. Tapi mengapa berani membidik aku? teriaknya dengan kalap. Namun dalam hujan anak panah yang sedemikian riuhnya, mana anak buah Hou-bin-kun menghiraukannya. Bu Wi-yang loncat ke atas kuda. Sembari pentang busur, berseru nyaring: Toh Hok-wi, karena kau mau menyerah pada pemberontak, jangan salahkan aku! Sret, sret, sret, ia lepaskan tiga batang anak panah berturut-turut. Tenaganya besar, apalabi dalam keadaan yang kacau, maka sukar untuk menjaganya. Terpaksa Khik-sia putar pedang dan berhasil menyampok dua batang. Anak panah yang ketiga ditampar dengan kipas oleh Tok-ko U. Sayang karena tenaganya kalah kuat dengan Bu Wi-yang, maka anak panah dapat menembus kipas, terus menyusup ke tenggorokan Toh Hok-wi. Seketika matilah pembesar itu. Bu Wi-yang tertawa gelak-gelak. Sekarang ia mengarah Khik-sia, Tok-ko U dan lain-lain. Melihat itu marahlah Hong-jun, teriaknyanya: Datang tidak disambut, tidak menghormat. Lihat panahku! Sret, sret, sret, ia pun lepaskan tiga batang anak panah berturut-turut. Lu Hong-jun adalah ahli panah yang digelari orang sebagai Sin-cian-chiu. Anak panah pertama mengenai kuda dan anak panah kedua mengarah tenggorokan Bu Wi-yang. Orang she Bu itu ternyata lihay juga. Ia cepat loncat turun dari kudanya yang sudah terjungkal tak bernyawa itu. Dan secepat itu ia menangkis dengan busurnya. Trang, busurnya pecah terhantam anak panah Hong-jun. Dan pada lain saat, anak panah yang ketiga sudah menyambar datang. Bu Wi-yang tak sempat menghindar lagi. Terpaksa ia ngangakan mulutnya dan menggigit. Kre, ujung anak panah dapat digigitnya dan tertolonglah jiwanya. Tapi dua buah gigi muka rompal. Bu Wi-yang lari terbirit-birit. Waktu Hong-jun menyusuli anak panah yang keempat, sudah tak keburu mengejarnya. Rombongan Khik-sia kembali lagi ke gelanggang. Karena disitu masih berlangsung pertempuran kacau, pasukan Gi-lim-kun pun tak berani melepaskan panah lagi. Di gelanggang situ, Shin Ci-koh masih main udak dengan Ceng-ceng-ji. Sambil mengejar, wanita aneh itu berteriak-teriak: Kunyuk kecil, kau masih hutang sebuah tamparan. Jangan ngimpi kau dapat melarikan diri! Kalau kenal selamat, baik kai menyerah saja daripada nanti kalau kecandak tentu kutampar lebih dari satu kali. Ceng-ceng-ji tak dapat melawan Shin Ci-koh dan tak berani balas memaki. Untung ia lebih unggul ginkangnya. Ia menyelinap masuk ke dalam kerumunan yang sedikit orangnya. Untuk beberapa saat Shin Ci-koh belum dapat menyandaknya. Tetapi karena banyak orang yang benci Ceng-ceng-ji, mereka memberi jalan pada Shin Di-koh dan sengaja merintangi Ceng-ceng-ji. Orang-orang itu sebenarnya tak berani pada Ceng-ceng-ji. Tapi karena Ceng-ceng-ji sedang diuber setan, iapun tak berani cari permusuhan lagi. Setiap ada orang merintangi, dengan menahan kemarahan, ia terpaksa mengitari dari samping. Karena dirintangi begitu, jarak Ceng-ceng-ji makin lama makin dekat dengan Shin Ci-koh. Pada saat Wi Gwat tiba di gelanggang, kebetulan Ceng-ceng-ji sedang berlarian mendatangi. Melihat congor Ceng-ceng-ji, meluaplah amarah Wi Gwat. Ia hadangkan kedua tangannya dan berseru: Bagus, kau masih di sini, kunyuk kecil? Lekas ganti buli-buliku! Saking gugupnya Ceng-ceng-ji enjot kakinya hendak melampaui Wi Gwat. Tapi tiba-tiba mulut Wi Gwat menyembur arak dan tangannya menghantam dengan biat-gong-ciang. Aduh .... diam-diam Ceng-ceng-ji berteriak tertahan. Muka dan tubuhnya kena kesemprot. Sakitnya seperti disiram air panas. Dan di samping itu, ia masih menerima lagi pukulan biat-gong-ciang. Hek, nafasnya serasa berhenti, untung ia cukup lihay dan tak sampai terluka dalam. Dengan ginkangnya yang jempol, dalam saat-saat yang berbahaya di mana Shin Ci-koh sudah hampir datang, ia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati balikkan tubuh, berjumpalitan di udara. Begitu tiba di tanah, kaki kiri diinjakkan ke kaki kanan terus loncat ke
samping sampai beberapa tombak jauhnya. Tapi alangkah kejutnya ketika berdiri jejak, ia lihat Khik-sia sudah berada di hadapannya. Toan sute, meskipun kita bermusuhan, tapi kita adalah saudara seperguruan. Apakah kau tega melihat aku dihina orang luar? tersipu-sipu ia mainkan diplomasi. Aku masih punya hubungan apalagi dengan kau? sahut Khik-sia. Habis itu ia lantas menyerang. Tapi lain mulut lain hati. Ternyata serangannya itu hanya kosong dan diatur sedemikian rupa untuk memberi jalan lolos pada Ceng-ceng-ji. Bawa kemari! tiba-tiba Co Ping-gwan membentak. Apa yang kauminta? tanya Ceng-ceng-ji. Ia terus menyelinap dari samping tapi golok Co Ping-gwan yang dimainkan dalam jurus liong-toh-liok-hap, memaksa Ceng-ceng-ji berhenti. Apa kau pura-pura tak tahu? Pedang pusaka kim-ceng-kiam yang kau pegang itu, adalah milik keluargaku. Lekas berikan padaku! bentak Co Ping-gwan. Oh, kiranya Co kongcu. Kau sudah merampas golok gan-leng-to kepunyaan Toh Hok-wi, mengapa masih meminta kim-ceng-toan-kiam lagi? Kurang ajar! Pedang pusaka warisan keluargaku, mana boleh kau gasak! damprat Co Pinggwan sembari mainkan golok dengan gencar. Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji tak kalah dengan Co Ping-gwan. Tapi karena ia letih bertempur sejak tadi, maka ia tak mampu membobolkan rintangan Co ping-gwan itu. Ha, ha, kunyuk kecil, coba sekarang kau mau lari kemana? Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak. Co ping-gwan, harap berhenti sebentar. Biar kutamparnya dulu kunyuk itu satu kali baru nanti kau boleh selesaikan perhitunganmu lagi! Dalam saat dimana Ceng-ceng-ji sudah seperti tikus yang dicegat oleh dua ekor kucing, tibatiba barisan tentara negeri menjadi gempar dan panik. Sesosok tubuh melayang melampaui kepala mereka dan pada lain kejab sudah tiba di tengah gelangang. Orang itu bukan lain ialah Gong- gongji. Gong-gong-ji, apa sekarang kau masih mau menyingkiri aku lagi? cepat-cepat Shin Ci-koh tinggalkan Ceng-ceng-ji dan lari menghampiri Gong-gong-ji. oooooOOOOOooooo Dilepas Shin Ci-koh, Ceng-ceng-ji agak longgar. Tapi kelonggarannya hanya sekejab mata saja. karena pada lain kejab semangatnya seperti terbang, demi melihat Gong-gong-ji datang. Pedang pusaka ini benar kepunyaan keluargamu, tapi yang memberikan kepadaku ialah suhengku. Sekarang suhengku sudah datang, jika hendak meminta kembali pedang ini, silahkan bilang padanya! serunya kepada Co Ping-gwan seraya menyerang. Dan ketika Co Ping-gwan menghindar, Ceng-ceng-ji lantas putar tubuh dan melarikan diri. Co Ping-gwan tak dapat mengejarnya. Pikirnya: Ya, Gong-gong-ji sudah datang. Aku harus menemuinya. Dua puluh tahun berselang pedang pusaka yang terbuat dari emas milik keluarga Co itu telah dicuri Gong-gong-ji. Karena sayang kepada Ceng-ceng-ji, pedang itu diberikan kepadanya. Setelah dewasa dan matang dalam gemblengan ilmu silat, Co Ping-gwan hendak mencari Gonggong- ji untuk meminta kembali pedangnya itu. Untung pada saat itu Gong-gong-ji sudah tersadar dari pengaruh Yu-pay dan kembali ke jalan yang lurus. Walaupun ia menang, tapi ia tak mau melayani tantangan Co Ping-gwan bahkan sebaliknya malah minta maaf dan berjanji akan mengembalikan pedang Co Ping-gwan. Dan sejak itu selama berkelana di dunia persilatan, banyak kali secara diam-diam Co Ping-gwan mendapat bantuan dari Gong-gong-ji. Akhirnya kedua orang itu bersahabat baik. Ceng-ceng-ji tahu tentang riwayat pedang pusaka itu. Maka kali ini adanya Co Ping-gwan dimasukkan dalam golongan pemberontak, adalah dari usulnya. Latar belakangnya karena Cengceng- ji hendak memiliki terus pedang itu. Karena bernafsu untuk menjumpai Gong-gong-ji, maka Shin Ci-koh tak menghiraukan siapapun. Yang menghadang jalannya, tak perduli dia itu anak tentara atau orang persilatan, tentu
disikat dengan kebut hud-timnya. Tapi karena lapisan tentara negeri itu banyak sekali, sudah tentu tak mudah baginya untuk menyapu bersih. Co Ping-gwan yang juga hendak menemui Gong-gong-ji dan kebetulan berada di belakang Shin Ci-koh, tiba-tiba mendapat pikiran: Aku hendak minta Gong-gong-ji mengembalikan pedangku, untuk itu akupun harus membantu kerepotannya. Dia tak senang menjumpai wanita ini. Biarlah kuhadangnya saja. Ia percepat larinya dan berseru: Shin lo-cianpwe, sungguh beruntung dapat berjumpa, terimalah hormatku! Shin Ci-koh tak senang kalau orang membahasakan dirinya sebagai locianpwe. Karena dengan begitu ia dianggap sebagai orang tua. Tapi mengingat ayah Co Ping-gwan, ia tak mau memukul anak muda itu. Ia deliki mata dan menyahut dingin: Tak usah banyak tingkah, aku tak punya waktu! Tapi Co Ping-gwan malah loncat kemuka dan berhadapan dengan wanita aneh itu, ujarnya: Jika membicarakan tentang ilmu pedang, ayah selalu menyatakan kekagumannya terhadap ilmu pedang lo-cianpwe. Sayang pada waktu lo-cianpwe lalu di rumahku, aku masih kecil tak mengerti apa-apa. Sekarang aku beruntung berjumpa, sudilah lo-cianpwe memberi petunjuk barang satu dua jurus locianpwe, mengapa hari ini kau memakai hud-tim bukan pedang? Marah Shin Ci-koh bukan kepalang dengusnya: Apa kau hendak menguji aku? Buru-buru Co Ping-gwan menjura: Tidak, lo-cianpwe. Aku hanya mohon pelajaran ilmu pedang, sekali-kali tak berani menguji lo-cianpwe. Tadi kau bertanya mengapa aku tak pakai pedang? Tahukah kau bahwa begitu bu-ceng-kiam itu keluar, tentu akan minta jiwa orang? Tahum tahu! Justeru ilmu pedang sakti itulah yang hendak kumohon, sahut Ping-gwan. Shin Ci-koh tertawa dingin: Untuk belajar ilmu pedangku tak boleh secara lisan. Kalau benarbenar kau ingin belajar, nah, lihatlah pedang ini! Ho, kau tak mau menyingkir? Co Ping-gwan gunakan jurus tiang-ho-lok-ji, atau sungai ho di senjakala, ia putar pedangnya. Trang, pedang Shin Ci-koh kena didorong ke sisi. Dan tertawalah ia: Ilmu pedang lo-cianpwe sungguh hebat. Apakah caraku menangkis tadi benar? Karena memandang muka ayahnya, maka Shin Ci-koh tak mau menyerang sungguh-sungguh. Tapi sebaliknya karena tahu wanita itu selalu bertindak ganas, maka Co Ping-gwan telah menangkis dengan sekuat tenaganya hingga tangan Shin Ci-koh menjadi kesakitan. Akhirnya marah juga Shin Ci-koh. Ia ambil putusan hendak memberi hajaran pada anak muda itu tak peduli ia itu putera siapa. Bagus, kalau tak kukeluarkan sungguh-sungguh kau tentu mengira ilmu pedangku Bu-ceng-kiam itu hanya bernama kosong, akhirnya ia tertawa dingin sembari kiblatkan pedangnya. Tampaknya berkiblat di kanan tahu-tahu sudah di kiri. Sungguh suatu ilmu pedang yang luar biasa, sukar diduga gerak perubahannya. Dalam beberapa jurus saja, Co Ping-gwan tak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya sibuk menangkis. Diam-diam ia jeri juga, batinnya: Ah, nyata-nyata Bu-ceng-kiam itu tak bernama kosong. Untung aku dapat merampas golok pusaka Gan-leng-to ini biarpun mati-matian, tapi dapat melayaninya. Shin Ci-koh juga terkejut melihat anak muda itu dapat melayani ilmu pedang Bu-ceng-kiam. Diam-diam ia kuatir jangan-jangan kemasyhuran Bu-ceng-kiam itu akan jatuh di tangan Ping- gwan. Jilid 12 Shin Ci-koh paling menjunjung nama. Begitu bertempur, entah dengan kawan atau lawan, ia tentu harus menang. Begitu ia pergencar serangannya, Co Ping-gwan menjadi kewalahan. Untung dalam saat-saat Ping-gwan akan menderita kekalahan itu, tiba-tiba terdengar gelak tertawa seorang tua: Shin Ci-koh, mengapa kau gunakan Bu-ceng-kiam terhadap seorang anak muda? Apakah tak takut ditertawai orang? Ai, ai, ai sudahlah jangan bertempur. Pengemis tua hendak mengundang kau minum arak! Itulah Wi Gwat. Ia pinjam tongkat bambu Ciok Ceng-yang dan sekali disodokkan, terpisahlah
golok Co Ping-gwan dengan pedang Shin Ci-koh. Ini bukan berarti bahwa kepandaian Wi Gwat jauh lebih lihay dari kedua orang itu. Tetapi dikarenakan kepandaian Shin Ci-koh tak terpaut banyak dengan Co Ping-gwan. Wi Gwat dapat mencari timing dan gunakan tenaga dengan tepat. Maka sekali gerak, ia berhasil pisahkan mereka tanpa melukai. Melihat si pengemis tua, terpaksa Shin Ci-koh mau mengalah. Apalagi si pengemis gila itu berkata dengan tepat, dapat menjunjung gengsi Shin Ci-koh. Amarah Shin Ci-koh menurun dan setelah menyimpan pedang ia berkata: Bukannya aku menghina kaum muda tetapi karena dia hendak merintangi urusanku. Wi Gwat mendorong Co Ping-gwan ke samping, ujarnya: Benar, urusan Shin Ci-koh hanya aku si pengemis tua ini yang dapat mengetahui. Kau budak kecil, jangan mengganggu kita bicara. Co Ping-gwan tahu kalau ditolong Wi Gwat, maka ia pun buru-buru undurkan diri menggabung pada Khik-sia. Pengemis tua, mengapa kau juga ikut-ikutan menggerecoki aku? Mana aku senggang minum arak dengan kau? seru Shin Ci-koh dengan agak kurang senang. Wi Gwat tertawa: Kalau kau tak mau minum arak, seharusnya kau undang aku minum arakmu! Pengemis tua, jangan ngaco, aku benar-benar tak punya tempo menemanimu. Mau minum arak, silahkan minum sendiri saja. Maaf, aku mau pergi, Shin Ci-koh mau pergi tapi dicekal tangannya oleh Wi Gwat. Ha, ha, apa kau belum mengerti? Yang kumaksudkan, kau supaya undang aku minum arak kegiranganmu. Tak perlu kau menemani aku. Ketahuilah, karena berkelahi aku bersahabat dengan Gong-gong-ji. Perangaiku sama dengan dia. Dia tak mau mendengarkan perkataan orang, tetapi perkataan pengemis tua ini, ha, ha, ia tak berani tak mendengarkan. Ci-koh, urusanmu dengan Gong-gong-ji serahkan saja padaku. Pengemis tua ini paling senang menjadi comblang! Walaupun Shin Ci-koh itu berlainan dengan wanita biasa, ialah tak mau sungkan-sungkan mengaku senang pada orang, tapi tak urung pada saat itu ia merah juga. Batinnya: Beberapa kali Gong-gong-ji selalu menyingkir dari aku. Tetapi kutahu bukannya ia sama sekali tak suka padaku. Melainkan ia memang sudah biasa hidup bebas, takut kalau sudah menikah akan terikat. Ah, rupanya ia tak tahu bahwa sekarang perangaiku sudah berubah. Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu, Gong-gong-ji sudah kenal dengan Shin Ci-koh. Mereka saling mencocoki. Shin Ci-koh suka sekali kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji pun mengagumi kepandaian Shin Ci-koh. Sebenarnya mereka dapat menjadi pasangan suami-isteri yang ideal. Tetapi Shin Ci-koh tak setuju dengan cara hidup Gong-gong-ji yang digelari sebagai Biau-chiu-sin-thou atau Pencuri Sakti. Ia anggap nama itu tidak baik. Gong-gong-ji pun takut akan watak Shin Ci-koh yang keras. Segala apa harus menurut perintahnya. Kalau sudah menjadi suami isteri, Gong-gong-ji kuatir akan diikat kebebasannya. Itulah sebabnya maka ia tak mau membicarakan soal pernikahan. Setelah Gong-gong-ji biasa hidup bebas menurut sekehendak hatinya, rasa takut kawin dengan Shin Ci-koh itu makin mendalam. Akhirnya ia hapus sama sekali pikiran itu. Pun dengan bertambahnya usia Shin Ci-koh makin kepingin mempunyai rumah tangga. Karena sudah kelewat umur belum menikah, pikirannya agak terganggu. Untuk melampiaskan kegelisahannya itu, seringkali ia mengganas. Dan karena keganasannya itu makin terkenal di dunia persilatan dan makin ditakuti orang pula. Semakin ditakuti orang, ia merasa makin terasing. Makin terasing, ia makin merasa kesepian. Makin kesepian, makin ia berusaha keras untuk mengejar Gong-gong-ji. Dengan begitu terjadilah hal yang lucu. Yang satu kepingin sekali berumah tangga, yang satu takut kawin. Untuk menghindarkan diri dari kejaran Shin Ci-koh, Gong-gong-ji berusaha agar jangan sampai berjumpa. Begitu mencium bau angin Shin Ci-koh ia sudah lari kalang kabut. Shin Ci-koh berpikir lebih lanjut: Kabarnya ia sudah banting stir ke jalan yang lurus. Tidak mau ugal-ugalan mencuri lagi. Sebenarnya kalau hanya sekali tempo ia berbuat begitu, akupun tak keberatan. Tapi soalnya ialah bagaimana ia dapat mengetahui pendirianku sekarang ini? Ah, dalam hal ini memang harus ada orang perantaranya. Membayangkan hal itu, merahlah wajahna. Ia berkata dengan pelahan: Wi lo-cianpwe, karena
kau sudah mengetahui urusan kami berdua, maka akupun tak mau menutup lagi. Lebih dulu aku menghaturkan terima kasih padamu. Asal separuh hidupku dapat mempunyai kawan hidup, tak nanti ayahku kehabisan arak. Wi Gwat tertawa gelak-gelak: Bagus, bagus, biar aku menjadi ayah-angkatmu. Sebagai ayahangkat sudah tentu aku akan berusaha mati-matian untuk kepentinganmu. Baik, sekarang juga aku hendak mendapatkan Gong-gong-ji. Hai, tapi sekarang ia sedang ada urusan penting, terpaksa harus menunggu dulu. Shin Ci-koh mendongak ke muka. Tampak Gong-gong-ji sedang menyusup ke dalam barisan pasukan Bu Wi-yang. Gerakannya luar biasa gesitnya. Menerjang sebuah pasukan besar, seperti masuk ke dalam hutan yang kosong saja. Di bawah sabetan pedang dan tombak, sehelai bulunya pun tak rontok. Secepat kilat ia sudah tiba di samping Bu Wi-yang. Wajah Gong-gong-ji memang luar biasa. Bu Wi-yang segera mengenali, walaupun terkejut tapi diam-diam ia membatin: Mau apa Gong-gong-ji ini? Masakan ia dapat mengapa-apakan aku di tengah barisan besar? Baru ia berpikir, begitu tubuh Gong-gong-ji sudah melayang datang. Buru-buru ia gunakan jurus liong-coa-ci-to, cepat ia tusukkan sepasang kait kepada bayangan hitam itu. Aduh ..... terdengar jeritan dan darah muncrat. Dada penyerangnya itu berlubang, tubuhnya terkulai. Ada segumpal dagingnya yang masih melekat di kait. Bu Wi-yang tak menyangka sama sekali Gong-gong-ji ternyata begitu tak punya guna. Tapi ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: Celaka! Sepasang kaitnya belum sempat ditarik keluar dari tubuh orang tadi, tahu-tahu Gong-gong-ji sudah mencekal pergelangan tangannya. Jangankan ia memang kalah tangguh dengan Gong- gongji, sekalipun andaikata menang, tapi kalau dikuasai pergelangan tangannya, tentu tak dapat berkutik lagi. Mengapa Gong-gong-ji dapat hidup lagi? Bukan, sebenarnya yang tertusuk kait Bu Wi-yang tadi bukan Gong-gong-ji. Waktu menyerbu dengan gerak cepat tadi, Gong-gong-ji menyambar seorang tentara terus dibuat menerjang Bu Wi-yang. Karena perawakan Gong-gong-ji pendek kecil maka ia dapat tertutup dengan perisai istimewa tadi. Bu Wi-yang salah melihat dan kena diakali. Hal ini disebabkan karena memang gerakan Gong-gong-ji luar biasa cepatnya sehingga Gong- gongji dengan opsir itu tampaknya seperti satu orang. Dan kedua kalinya, karena Bu Wi-yang kelewat tegang. Begitu ada orang menyerang, terus saja ia tusuk. Coba Bu Wi-yang berlaku tenang, walaupun kepandaian memang kalah dengan Gong-gong-ji, tapi sekurang-kurangnya ia masih dapat melayani sampai 10-an jurus juga. Begitu mencekal tangan Bu Wi-yang, Gong-gong-ji lantas melemparkannya ke udara. Dan secepat itu juga Gong-gong-ji melayang menyusulnya, melampaui kepala kawanan tentara. Begitu Bu Wi-yang melayang turun, Gong-gong-ji sudah menyambutinya, terus mencengkeram jalan darahnya. Saat itu mereka sudah berada di luar pagar kepungan barisan tentara. Gong-gong-ji, kau bukan orang Lok-lim dan tak ada sangkut pautnya dengan kawanan pemberontak. Kau bebas pergi kemana-mana, mengapa cari kesulitan? Lekas lepaskan Bu tayjin! teriak Yo Bok-lo. Tadi ia bersama Bu Wi-yang. Ketika melihat Bu Wi-yang ditangkap, ia cepat memburu tapi terlambat. Bu Wi-yang sudah diringkus Gong-gong-ji. Yo Bok-lo bergelar Chit-poh-tui-hun atau tujuh langkah mengejar jiwa. Meskipun ginkangnya tak selihat Gong-gong-ji, tapi dalam jarak pendek, ia hampir dapat menyamai kecepatan Gong-gong-ji. Pada saat Gong-gong-ji menyambuti Bu Wi-yang tadi, Yo Bok-lo pun sudah kira-kira tiga tombak di belakang Gong-gong-ji. Gong-gong-ji tertawa dingin: Justeru aku ingin tahu apa kesulitan itu? Tanpa berpaling lagi ia menjinjing Bu Wi-yang dan pergi. Yo Bok-lo sebenarnya jeri juga kepada Gong-gong-ji. Tapi untuk menolong bu Wi-yang, terpaksa ia bertindak juga. Kuatir tak dapat mengejar, lebih dulu Yo Bok-lo lepaskan pukulan biatgong- ciang ke punggung Gong-gong-ji. Bangsat, mau lari kemana kau? Aku hendak menempurmu sampai mati, sambutlah seranganku! tiba-tiba Thiat-mo-lek menghadang maju.
Kini Gong-gong-ji dapat tertawa lepas, serunya: Yo bok-lo, bukan aku yang mendapat kesusahan sebaliknya kau sendiri. Karena sudah ada yang hendak membalaskan hutangmu memukul aku, akupun tak mau turun tangan. Pukulan biat-gong-ciang tadi dilontarkan Yo Bok-lo dengan sekuat tenaganya. Tapi sedikitpun tak dapat melukai Gong-gong-ji. Malah Gong-gong-ji dapat pinjam tenaga pukulan itu untuk mempercepat larinya. Ketawanya masih berkumandang, tapi orangnya sudah lenyap dalam gundukan manusia. Bu Wi-yang tertawan dan Ceng-ceng-ji pun sudah bersembunyi karena ketakutan melihat suhengnya. Kini tinggal Yo Bok-lo seorang diri. Untung Thiat-mo-lek tetap berlaku sportif, sebelum menyerang memberi peringatan dulu. Dalam keadaan terpencil, kuncuplah nyali Yo Boklo. Sebagai penyambutan dari tantangan Thiat-mo-lek, ia melesat dan melarikan diri masuk ke dalam barisannya. Wi Gwat, Khik-sia, kedua saudara Tok-ko dan lain-lain sudah menerjang. Wi Gwat juga memimpin anak buah Kay-pang menggempur anak tentara. Melihat Wi Gwat, Yo Bok-lo putar haluan dan lari sipat kuping. Bangsat, kau masih hendak berlindung dalam barisanmu? Kemana kegaranganmu? teriak Thiat-mo-lek. Yo Bok-lo lari mati-matian. Tiba-tiba ada orang menghadangnya. Dengan mencekal pedang dan mata melotot, orang itu tertawa mengejeknya: Bangsat Yo, Toan Khik-sia sudah menunggumu di sini. Yo Bok-lo buntu jalannya. Dari muka dan belakang dikejar musuh. Sekonyong-konyong ia berputar ke belakang dan tertawa gelak-gelak: Thiat-mo-lek, kau mau mengandalkan jumlah banyak untuk mengalahkan aku? Khik-sia, jangan campur tangan, seru Thiat-mo-lek yang sebat sekali, sudah melesat ke muka Yo Bok-lo. Bangsat tua, hari ini aku hendak membalaskan sakit hati ayah. Siapa saja tak boleh membantu. Pendek kata kalau belum mati tidak boleh bubar. Darah mengalir baru berhenti! Khik-sia lintangkan pedangnya untuk menjaga kemungkinan Yo Bok-lo melarikan diri. Ia mengeluarkan ancaman: Siapa yang akan membantu akan kuhajar. Siapa yang hendak melarikan dirim juga akan kubacok! Bangsat Yo, asal kau dapat menyelamatkan batang kepalamu dari pedang Thiat toako, maka aku pun takkan menghadangmu! Baik, aku hendak minta pelajaran ilmu pedangmu yang tiada bandingannya di dunia, akhirnya Yo Bok-lo tabahkan hatinya. Tapi di luar dugaan Thiat-mo-lek malah menyimpan pedangnya. Serunya: Dahulu kau melukai ayahku dengan pukulan secara menggelap. Sekarang akupun hendak membalas kau dengan pukulan agar kau dapat mati dengan puas! Artinya, Thiat-mo-lek akan menghadapi Yo Bok-lo dengan tangan kosong. Sebenarnya Yo bok-lo jeri terhadap Thiat-mo-lek. Mendengar ucapan itu, diam-diam ia girang. Pikirnya: Kalau kau pakai pedang, aku tentu kalah. Tapi karena kau sendiri mengatakan tak mau pakai pedang dan hanya dengan sepasang tangan kosong, itu salahmu sendiri. Namun ia masih belum percaya dan menegas lagi: Artinya kita bertempur satu lawan satu dengan tangan kosong, bukan? Dengan tangan kosong menentukan mati-hidup! sahut Thit-mo-lek dengan tegas. Bagus, aku memang menghendaki janjimu itu. Ucapan seorang ksatria ..... Laksana kuda dicambuk! sahut Thiat-mo-lek. Ah, mana dia dapat digolongkan seorang ksatria, Khik-sia menyeletuk. Yo Bok-lo tertawa keras: Jangan kelewat memandang rendah orang, bocah! Thiat-mo-lek, hari ini raja akhirat akan mengundang tetamu. Entah siapa yang akan diundang, kau atau aku. Nih, terimalah pukulanku! Yo Bok-lo sengaja bersikap garang untuk membesarkan nyalinya. Namun nada tertawanya yang tergetar, tak dapat menutupi ketakutan hatinya. Dalam ketakutannya, ia memukul sekuatkuatnya. Krak. Thiat-mo-lek menangkis. Yang berbunyi bukan kepalan beradu melainkan hanya angin
pukulannya. Sekalipun begitu, suaranya sudah memekakkan telinga. Tubuh Yo Bok-lo menjulang ke atas. Dua buah jari tangan kirinya menusuk sepasang mata orang, tangan kanannya menabas kaki. Dua tangan menyerang dari atas dan bawah, gayanya mirip dengan Hek-hou-ciang (pukulan macan mendekam) dari Siau-lim-pay. Tetapi tenaganya kuat sekali, jauh lebih lihay dari pukulan Siau-lim-pay itu. Yo Bok-lo tahu kalau lwekangnya kalah dengan lawan. Maka ia gunakan siasat hendak mencuplik biji mata Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek mendak ke bawah dan gunakan jari tengah untuk menutuk telapak tangan lawan. Di situ terdapat jalan darah lo-kiong-hiat. Yo Bok-lo paling- paling hanya dapat meremukkan tulang bahu Thiat-mo-lek, tapi sekali jalan darah lo-kiong-hiat itu kena ditutuk, hancurlah jiwa Yo Bok-lo. Gelar Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun. Ia lincah dan cepat sekali menghadapi setiap perubahan. Ia enjot tubuhnya berjumpalitan di udara dan melayang turun di belakang lawan. Jalan darah thian-ku-hiat di punggung Thiat-mo-lek, cepat dihantamnya. Thiat-mo-lek mahir dalam ilmu thing-hong-pian-ki (mendengar suara membedakan senjata). Begitu terasa angin menyambar dari belakang, cepat ia putar tubuh dan hantamkan kedua tangannya ke perut orang. Yo Bok-lo telusupkan tangan kiri ke bawah siku lengan kanannya untuk menutuk siku lengan Thiat-mo-lek. Tapi Thiat-mo-lek sudah memperhitungkan hal itu. Ia maju selangkah dan menyambar iga Yo Bok-lo. Walaupun tak kena tapi Yo Bok-lo sudah mengucurkan keringat dingin. Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras. Tangannya dikepalkan dan menghantam dengan gerak heng-sim-bak-hou. Kerasnya bagai pukul besi menghancurkan batu. Yo Bok-lo tak berani menyambuti. Ia enjot tubuhnya melayang sampai satu tombak lebih dan meluncur turun, secepat kilat Yo Bok-lo sudah putar tubuh hingga pukulan lawan tak mengenainya. Khik-sia menahan nafas melihat jalannya pertempuran itu. Pikirnya:Thiat toako tak mau adu ilmu pedang, padahal ia tentu menang dengan senjata. Tapi toako memilih tangan kosong, ini tentu kurang leluasa. Kembali saat itu Thiat-mo-lek dan Yo Bok-lo bertempur dengan seru. Mereka dahulu mendahului untuk menindas lawan. Ilmu tangan kosong Yo Bok-lo benar-benar luar biasa, sukar diduga perubahannya. Tetapi gerak cepat pukulan yang dilancarkan Thiat-mo-lek itu, walaupun gayanya seperti orang main pedang, namun cepatnya bukan kepalang. Ilmu pukulan Thiat-mo- lek yang keras dan cepat itu, dapat juga mengimbangi permainan lawan. Bilakah Thiat-mo-lek menciptakan ilmu pukulan kilat itu? diam-diam Khik-sia heran sendiri. Yo Bok-lo sakti dalam ilmu pukulan tangan kosong. Dan Thiat-mo-lek sengaja hendak mengalahkannya dengan ilmu pukulan tangan kosong juga. Maka siang-siang ia sudah berusaha menciptakan sebuah ilmu pukulan untuk menandinginya. Ia menggabungkan ilmu pedang sakti dari Mo Kia lojin dan Toan Kui-ciang (ayak Khik-sia), dirubah dan dilebur menjadi sebuah ilmu pukulan tangan kosong. Saat itu adalah yang pertama kali Thiat-mo-lek gunakan ilmu pukulan ciptaannya itu. Maka sudah pada tempatnya kalau Khik-sia merasa terkejut. Bahkan Yo Bok-lo sendiri, seorang ahli ilmu silat tangan kosong, setelah melayani beberapa jurus, merasa kagum dan gentar. Walaupun terdesak namun posisi kaki Yo Bok-lo tetap teratur rapi menurut formasi pat-kwa dan ngo-heng. Berpuluh tahun lamanya Yo Bok-lo meyakinkan ilmu pukulannya itu, sehingga untuk beberapa waktu Thiat-mo-lek pun tad dapat berbuat apa-apa. Namun Thiat-mo-lek yang mempunyai tenaga pembawaan yang kuat, apalagi ia dalam usia di masa orang sedang gagahgagahnya, tetap dapat mengatasi lawan. Benar ia tak semahir Yo Bok-lo dalam ilmu pat-kwa dan ngo-heng, namun ia menang kuat dengan Yo Bok-lo. Setelah lewat belasan jurus, siapa kuat siapa lemah, mulai kelihatan. Di dalam kurungan hujan pukulan Thiat-mo-lek, gerakan Yo Bok-lo pun mulai tak lancar. Chit-si-ciang-hwat atau tujuh jurus pukulan, adalah ilmu pukulan yang mengangkat nama Yo Bok-lo. Tapi pukulan sudah habis dimainkan, bukan jiwa lawan yang diburu, sebaliknya malah ia yang didesak tak dapat bernafas. Gelaranmu Chit-poh-tui-hun, dan sekarang kau sudah bergerak sampai tujuh langkah. Baiklah, karena kau tak mampu memburu jiwaku, akulah yang akan mengejar jiwamu! Thiat-mo-lek
tertawa sinis. Habis berkata, ia memukulkan kedua tangannya ke muka. Dahsyatnya seperti gunung rubuh. Bagus, aku akan mengadu jiwa dengan kau! terpaksa Yo Bpk-lo menggarangkan suaranya dan merapatkan sepasang tangannya untuk kemudian dipentang ke kanan dan ke kiri. Dia keluarkan jurus terakhir yang paling ganas Im-yang-siang-jong-ciang. Thiat-mo-lek tabaskan tangannya dari samping. Jari tengahnya ditonjolkan seperti orang menabas. Dan memang ia gunakan jurus ilmu pedang heng-kiang-hui-to atau terbang melintasi sungai. Jari itu berubah menjadi semacam ujung pedang. Sebenarnya waktu menggunakan Im-yang-siang-jong-ciang tadi, Yo Bok-lo harus berganti posisi kaki agar dapat merubah gerak penyerangannya menjadi pertahanan. Tapi ternyata begitu Thiat-mo-lek mainkan habis serangannya, tenaga Yo Bok-lo pun sudah habis. Kakinya terhuyung hingga keliru menginjak posisi lain. Ini berarti dari seng-bun (pintu hidup), ia melangkah masuk sibun ( pintu mati). Dan justru karena itu ia berputar ke hadapan Thiat-mo-lek atau berarti ia memberikan dirinya disambar pukulan dan ditabas jari Thiat-mo-lek . Jari Thiat-mo-lek berhasil menghancurkan gi-kang (tenaga luar) Yo Bok-lo, sedang pukulannya telah membuat Yo Bok-lo terpental sampai beberapa tombak jauhnya. Yo Bok-lo yang remuk tulangnya masih coba hendak berbangkit, tapi Thiat-mo-lek sudah tiba di hadapannya dan mencengkeram sang korban. Dengan berlinang-linang air mata, berserulah ksatria itu: Yah, hari ini anak telah membalaskan sakit hatimu. Ia cabut pedangnya dan mengutungi kepala Yo Bok-lo, dimasukkan ke dalam kantong kulit. Selamat toako, akhirnya kau dapat membunuh bangsat tua ini! Khik-sia menghampiri. Meskipun sakit hati telah terbalas, namun untuk lolos dari kepungan musuh, bukannya mudah. Karena gara-garaku telah merembet saudara-saudara, hatiku sungguh tak enak, kata Thiat-mo- lek. Hai, toako, lihatlah! tiba-tiba Khik-sia berseru kaget. Dan saat itu barisan tentara pun gempar. Ternyata Gong-gong-ji dengan menjinjing Bu Wi-yang, tiba di bawah guat-ping-thay (panggung inspeksi). Sekali loncat, Gong-gong-ji sudah melayang ke atas panggung itu. Seorang panglima boleh dibunuh tak boleh dihina. Gong-gong-ji, kalau berani bunuhlah aku dengan segera! teriak Bu Wi-yang dengan nafas sengal-sengal. Gong-gong-ji meletakkan tubuh jenderal itu, sahutnya: Siapa yang mau membunuhmu? Aku hendak mengantarkan sengci (perintah raja) padamu! Mulut Bu Wi-yang ternganga dan berkata dengan gelagapan: Apa? Kau membawa sengci? Tiba-tiba Gong-gong-ji kerutkan wajah dan mengeluarkan secarik kertas. Serunya: Bu Wiyang, mengapa tak lekas-lekas berlutut menyambut? Ia rentang kertas itu di muka Bu Wi-yang. Astaga! Benar juga surat itu memakai stempel dari Li Heng, baginda kaisar yang sekarang. Aneh, mengapa baginda memberi sengci kepada Gonggong- ji? Aneh, mustahil dipercaya, diam-diam Wi-yang membatin. Namun percaya atau tidak, buktinya surat itu memakai stempel Kaisar. Mau tak mau ia terpaksa berlutut juga dan ulurkan sepasang tangannya menyambuti sengci itu dengan khidmat. Sengci itu berbunyi demikian: Thiat-mo-lek, Bo Se-kit, Toh Peh-ing, Toan Khik-sia, Co Pinggwan dan lain-lain sepuluh orang itu, perjalanan hidupnya tidak baik, beberapa kali melanggar undang-undang. Seharusnya ditangkap dan dihukum setimpal. Tetapi mengingat mereka masih ada hasrat untuk mengabdi pada kerajaan, maka mereka telah datang dalam pertandingan besar ini. Namun untuk memakai orang, pemerintah tak mau sembarangan. Oleh karena mereka yang tersebut di atas itu masih belum membuat jasa untuk menebus kedosaannya, maka belum dapat diterima. Kesepuluh orang itu harus lekas diusir dari lapangan ini, tak boleh turut dalam pertandingan. Orang gagah lain-lainnya boleh tinggal terus, menunggu pengumuman. Dalam sengci itu walaupun Thiat-mo-lek dan kawan-kawan sebagai rakyat yang sering melanggar undang-undang, tetapi dosanya tidak dianggap berat. Dan yang penting mereka itu atk dianggap sebagai pemberontak. Hukumannya hanyalah, mengusir mereka dari lapangan situ. Bukankah ini serupa dengan yang dikehendaki Thiat-mo-lek? tanya Bu Wi-yang dalam hati. Dia seorang yang cermat. Makin membaca makin curiga. Pikirnya lebih lanjut: Masakan baginda akan meniadakan perintahnya kepada kita? Dan lagi
dalam urusan yang begini penting, mengapa tak dibubuhi cap kerajaan dari kumala dan melainkan memakai stempel baginda saja? Memang sengci itu hanya memakai stempel baginda. Li Hing gemar sekali membubuhi stempel namanya pada lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan. Tapi jika mengenai urusan negara yang resmi, ia jarang menggunakan stempel itu. Memang ada kalanya, dalam surat rahasia yang menyangkut urusan pribadi, setempo ia menggunakan stempel namanya itu. Sengci yang kau bawa ini, tulen atau palsu? akhirnya Bu Wi-yang bertanya dengan ragu. Gong-gong-ji membisiki ke dekat telinganya: Stempel yang digunakan kaisar itu tulen! Dengan melaksanakan sengci ini, tanggung kau dapat mempertahankan kedudukanmu. Kalau tidak jiwamu pasti tak terjamin, mengerti? Seketika teranglah pikiran Bu Wi-yang. Ya, sengci itu palsu tetapi memakai stempel asli. Pikirnya: Gong-gong-ji memang termasyhur sebagai pencuri sakti. Apa yang lain orang tak dapat, ia mampu mengerjakan. Tapi tak peduli sengci ini palsu atau tulen, apa yang dikatakan Gong- gongji itu memang benar. Meskipun sengci palsu, tetapi karena memakai stempel tulen, kelak apabila diselidiki, aku mempunyai pegangan kuat. Paling-paling aku hanya disalahkan karena kurang teliti memeriksa sengci saja. Hukumannya hanya potong gaji. Tetapi jika kubongkar rahasia sengci ini di depan umum, Gong-gong-ji itu setan yang tak takut pada siapa juga. Apakah jiwaku dapat lolos dari tangannya? Secepat kilat Bu Wi-yang memutuskan, jiwanya yang paling penting. Dan ia mengambil putusan, baik sengci itu palsu atau tulen, dia akan menerimanya. Begitu dengan mengangkat sengci itu tinggi-tinggi, ia mengangguk tiga kali ke arah istana. Barisan tentara heran melihat gerak- gerik jenderal itu. Setelah menjalan penghormatan seperlunya, Bu Wi-yang tampil ke muka panggung dan merentang sengci. Mulailah ia berseru nyaring: Berhenti semua, dengarkan sengci! Waktu Bu Wi-yang membaca sampai pada kalimat Thiat-mo-lek dan kawan-kawan harus diusir dari lapangan, tak boleh ikut dalam pertandingan, gegap-gempitalah suara orang bersorak di bawah panggung. Thiat-mo-lek dan Khik-sia saling berpandangan dengan tertawa: Suhengmu itu benarbenar luar biasa. Masakan sengci pun dapat ia curi. Jika saat ini kita tak berlalu, mau tunggu kapan lagi? bisik Thiat-mo-lek. Dalam pertempuran tadi, baik pihak tentara negeri maupun pihak orang gagah, sama-sama menderita kerugian. Menghadapi rombongan Thiat-mo-lek yang sudah mendapat kebebasan itu, terpaksa Bu Wi-yang, Ceng-ceng-ji dan kaki tangannya, terpaksa hentikan rintangannya. Ah, tak usah kalian usir, memang aku sendiri mau pergi! teriak Thiat-mo-lek. Dengan terjadinya insiden dalam Eng-hiong-tay-hwe itu, sebagian besar orang gagah yang hadir sudah tak mempunyai kegembiraan lagi. Apalagi penyelenggara pertandingan Cin Siang ditangkap. Semua orang sudah tak bernafsu untuk ikut dalam pertandingan lagi. Ya, walaupun sengci meminta yang lain-lain supaya tetap tinggal. Maka begitu Thiat-mo-lek dan kawan-kawan angkat kaki, sebagian besar orang gagah itu pun sama mengikutinya pergi. Eng-hiong-tay-hwe yang disiapkan dalam waktu yang lama, akhirnya dalam beberapa kejap saja berantakan ..... Gelombang yang satu surut, gelombang yang lain datang. Tentara di dalam lapangan sudah hentikan serangannya, sebaliknya pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, tak mau membuka pintu. Ternyata pasukan Gi-lim-kun sudah kompak dan Bu Wi-yang tak berdaya menguasai mereka lagi. Setelah Cin Siang ditangkap, Poan Ting-wan yang menjabat sebagai Hou-ya-to-wi otomatis mengcover pimpinan Gi-lim-kun. Pimpinan Poan Ting-wan itu dapat diterima dan disambut baik oleh anak buah Gi-lim-kun. Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali lihat tahulah dia bahwa sengci itu tentu palsu. Celaka, menilik gelagatnya Bu tayjin itu tentu menerima tekanan. Siapa yang tahu sengci itu palsu atau tulen? Masih ingatkah kalian apa yang dikatakan Bu tayjin tadi? Di perintahkan kita menjaga keras pintu ini, tak boleh lepaskan orang. Atau nanti kita bakal menambah dosa Cin thong-leng. Tadi karena melihat Toh Hok-wi hendak lepaskan musuh, Bu tayjin telah memanahnya mati. Sekarang keadaannya bukankah seperti Toh Hok-wi juga? Turut pendapatku, lebih baik
jangan membuka pintu. Kita kirim seorang kawan untuk meminta keterangan pada Tiong-su-sim (sekretariat kerajaan). Jika sengci itu memang dikeluarkan baginda, rasanya masih belum terlambat kita buka pintu, katanya. Seperti telah dikatakan di bagian atas, pasukan Gi-lim-kun pecah menjadi dua blok. Yang satu mendukung pernyataan Cin siang supaya jangan bermusuhan dengan kawanan orang gagah. Blok kedua cenderung pada pendirian: untuk menebus dosa pemimpin mereka (Cin Siang), mereka harus membuat jasa membantu pemerintah menangkap pemberontak. Kedua pihak sama-sama untuk kepentingan Cin Siang, hanya caranya berbeda. Saat itu kedua blok itupun sudah mulai ramai berdebat tentang sengci. Tetapi blok yang kedua itu, dipimpin oleh Poan Ting-wan sendiri. Ia pandai mengemukakan pendiriannya maka pengikutnya bertambah banyak dan menang angin. Namun blok yang cenderung untuk membuka pintu juga mempunyai alasan yang teguh: Kalau sengci itu tulen dan kita berayal membuka pintu, apakah tidak akan mencelakai kita semua? Kedua-duanya sama mempunyai alasan kuat, sehingga belum dapat diputuskan. Mereka tetap siapkan busur dan pintu tetap belum dibuka. Ada sementara anak buah Toh Hok-wi, karena sakit hati pemimpinnya dibunuh Bu Wi-yang, saat itu menyusup ke dalam barisan dan berteriak- teriak: Bu Wi-yang terang ditekan pemberontak yang memalsu sengci. Jika dia berani memaksa buka pintu, panah saja biar, mampus, habis perkara! Wajah Bu Wi-yang pucat seketika. Dengan suara parau ia berseru: Sengci ini asli, sengci ini asli! Tetapi anak tentara tak mau percaya, mereka tetap berdebat beramai. Karena yang mengetahui palsu tulennya stempel senci itu hanyalah Cin Siang dan Ut-ti Pak. Anak buah Gi-lim-kun itu, satu pun tak ada yang pernah melihat cap kaisar atau cap kerajaan. Apalagi Bu Wi-yang tak dapat memperlihatkan sengci itu satu persatu kepada anak tentara yang mempunyai kecurigaan itu. Dalam keadaan serba sulit itu, tiba-tiba Gong-gong-ji lepaskan Bu Wi-yan terus lari menuju ke muka barisan Gi-lim-kun. Disitu ia berseru lantang: Aku masih mempunyai sebuah sengci khusus untuk Gi-lim-kun. Bukankah kalian hendak mengetahui berita tentang Cin thongleng kalian? Nah, diamlah! Banyak dari anak buah Gi-lim-kun yang kenal pada Gong-gong-ji. Tahu bahwa Gong-gong-ji itu pencuri nomor satu di dunia. Sudah tentu mereka makin tak percaya pada perkataannya. Tetapi karena anak buah Gi-lim-kun itu amat memikirkan keadaan Cin Siang, begitu mendengar tentang berita pemimpinnya itu, mereka terpaksa diam mendengarkan juga. Cin Siang dan Ut-ti Pak telah dibebaskan oleh baginda dan Eng-hiong-tay-hwe ini tetap dipimpin oleh Cin Siang. Sekarang Cin tayjin masih menghadap Baginda di istana, belum dapat segera datang kemari. Baginda telah mengeluarkan sengci, suruh kalian menurut perintah Cin tayjin! teriak Gong-gong-ji. Anak buah Gi-lim-kun yang belum kenal siapa Gong-gong-ji itu, sama bersorak girang: Bagus, bagus! Tetapi anak buah yang sudah kenal Gong-gong-ji, menolak: Kami tak percaya segala sengci. Sekalipun ada sengci yang dibubuhi cap kaisar, tetapi siapa berani memastikan kalau bukan kau yang mencurinya? Bu Wi-yang terkesiap, pikirnya: Anak buah Gi-lim-kun itu benar-benar lihay dan luas pandangannya. Apa yang kupikir mereka pun dapat menyangkanya. Ah, rupanya hari ini aku sudah ditakdirkan mati. Tidak di tangan Gong-gong-ji tentu di bawah hujan panah Gi-lim-kun! Tetapi biasanya orang tentu suka mendengar berita yang girang. Meskipun anak buah Gi-limkun itu curiga, namun mereka diam-diam mengharap supaya sengci itu tulen saja. Salah seorang segera berseru: Kecuali sengci, apakah kau membawa bukti lain lagi? Menilik ucapanmu, rupanya kau sudah berjumpa dengan Cin thongleng. Apakah kau membawa suratnya? Kami cukup mengenali tulisannya. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak: Memang telah kuduga bahwa kalian tentu tak mau percaya pada sengci, maka akupun segan memperlihatkan padamu. Tentang surat dari Cin thongleng, aku sih tak membawa, tetapi .... Tetapi apa? karena tak sabar lagi anak buah Gi-lim-kun berebutan berteriak.
Tiba-tiba Gong-gong-ji mencabut sebatang kim-kiam dan dimain-mainkan di hadapan Gi- limkun, serunya: Lihatlah sejelas-jelasnya! Apakah kalian kenal senjata milik siapa ini? Cin Siang mempunyai dua buah pusaka: seekor kuda bulu kuning dan sebatang kim-cong-kian. Kuda tak selamanya dibawa, tapi senjata tentu dibawa bareng kemana ia pergi. Hai, itulah kim-kian pusaka Cin thongleng! serentak gemparlah anak buah Gi-lim-kun berseru. Gong-gong-ji tertawa keras: Kalian sudah melihat jelas? Sudah mau mempercayai omonganku? Pikirlah. Cin tayjin saat ini sedang menunggu untuk menghadap baginda, mana ia ada waktu menulis surat untuk kubawa? Waktu aku bertemu padanya, ia lantas menarik aku, ujarnya: Bagus Gong-gong-ji, kebetulan sekali kau datang. Larilah secepat-cepatny, bawalah kimkianku ini selaku bukti. Bahwa baginda telah membebaskan aku dari kedosaan. Suruh anak buahku itu mendengar perintah sengci, jangan sekali-kali membikin susah kawan-kawanku lama itu. Stempel kaisar mungkin aku Gong-gong-ji berani mencuri, tetapi kim-kian Cin tayjin mana aku berani turun tangan? Taruh kata aku berani mencarinya, pun tak nanti mampu. Bagaimana, kalian percaya tidak? Mau tidak membuka pintu? Gi-lim-kun menjunjung sekali pada Cin Siang dan mengindahkannya. Kata-kata Gong-gong-ji itu dapat mengetuk hati anak buah Gi-lim-kun. Sebagian besar berpendapat begini: Benar, Cin thongleng memang tiada yang menandingi. Walaupun Gong-gong-ji termasyhur sebagai pencuri sakti di kolong jagad tetap tak nanti dapat mengambil senjata Cin thongleng. Di samping itu, banyak anak buah Gi-lim-kun yang tahu betapa baik hubungan Thiat-mo-lek dengan Cin Siang. Malah ada beberapa orang Gi-lim-kun yang dahulu bekas kawan kerja Thiatmo- lek. Pintarnya Gong-gong-ji merangkai cerita menyebabkan juga beberapa opsir Gi-lim-kun yang cermat, menjadi ragu-ragu juga, jangan-jangan Cin Siang memang memesan begitu. Adanya beberapa faktor itu, menyebabkan keterangan Gong-gong-ji mendapat sambutan baik. Anak tentara merupakan suatu kesatuan. Mereka mudah sekali memberi reaksi pada sesuatu hal. Mendengar berita baik dan melihat senjata kim-kian Cin Siang seketika mereka berjingkrakjingkrak kegirangan. Ada yang berseru: Benar, memang sebenarnya Cin thongleng hendak mengikat persahabatan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri, itulah perbuatan kawanan dorna yang hendak mengacaukan Eng-hiong-tay-hwe ini dengan mengadakan gerakan menangkap pemberontak. Yang lain berkata: Thiat-to-wi (Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai Hou- ya-towi) dahulu baik sekali kepada kita. Sekalipun ada sengci, tak seharusnya kita membikin susah padanya. Apalagi dia seorang sahabat baik dari Cin thongleng. Kali ini tentu tak salah lagi. Buka pintu, buka pintu! Akhirnya anak buah Gi-lim-kun serempak sama berseru. Poan Ting-wan yang lebih berpengalaman dan lebih dapat berpikir tenang, mengetahui juga bahwa dalam keterangan Gong-gong-ji itu terdapat beberapa kelemahan. Tetapi karena anak buah Gi-lim-kun seluruhnya sudah setuju membuka pintu iapun tak dapat menghalanginya lagi. Maka pada saat itu sudah ada beberapa anak buah Gi-lim-kun memalu rantai besi ke enam pintu. Khik- sia girang dan menghampiri toakonya. Mari kita jalan, toako. Tetapi bukannya mengiyakan, sebaliknya Thiat-mo-lek malah mendampratnya: Tidak! Kita harus mengalah pada lain-lain saudara dulu. Memikirkan lain orang dulu baru memikirkan diri sendiri. Petuah ayahmu di masa hidupnya, apa kau sudah lupa? Khik-sia merah mukanya dan mengiyakan. Begitu pintu terbuka maka berebutanlah sekalian orang-orang gagah keluar. Waktu Gong-gong-ji melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh sedang menghampiri kepadanya, buruburu ia hendak menyusup masuk ke dalam gelombang manusia itu. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan menghadang dan menariknya. Itulah Thiat-mo-lek. Gong-gong cianpwe, apa kau takut tak dapat lari keluar? Sutemupun berada di sini. Dalam peristiwa hari ini, aku sungguh berterima kasih sekali padamu. Dalam pada itu Khik-sia pun datang memberi hormat kepada suhengnya itu. Gong-gong-ji akrab sekali dengan Thiat-mo-lek dan Khik-sia adalah sute yang paling dikasihinya. Sudah tentu ia
tak dapat berkutik lagi. Gong-gong cianpwe, bagaimana caramu mendapatkan kim-kian itu? Bagaimana keadaan Cin Siang dan Ut-ti Pak? tanya Thiat-mo-lek. Gong-gong-ji membisikinya: Urusan ini dapat mengelabuhi lain orang, kecuali kau. Ya, sudah tentu kucurinya. Bagaimana kau dapt menemui Cin toako, tanya Thiat-mo-lek pula. Ada seseorang memberitahukan padaku bahwa kereta pesakitan itu belum tiba di istana, maka buru-buru kukejar. Jadi, kau rampas kereta itu? Apa Cin toako setuju? Gong-gong-ji tertawa: Kupaksa pengawal untuk membelokkan arah tujuan kereta pesakitan. Sekarang Cin Siang sudah berada di dalam rumahnya sendiri. Untuk mencuri kim-kian Cin Siang, aku harus menerima dua buah pukulannya. Untung kulitku tebal sekali. Kedatangan Gong-gong-ji ke kotaraja Tiang-an itu ternyata karena hendak menyelidiki kedua sutenya. Seorang dengan wajahnya yang aneh itu ia enggan menggabungkan diri masuk ke dalam lapangan. Ia hanya akan mengetahui tempat beradanya kedua sutenya, kemudian akan menemuinya sendiri-sendiri. Ada dua hal yang hendak ia lakukan. Pertama, ia hendak memberi jeweran pada Ceng-ceng-ji. Kedua, hendak menurunkan ilmu kepandaian baru kepada Khik-sia. Ilmu silat itu ia ciptakan sendiri, sejak ia berpisahan dengan Khik-sia selama beberapa tahun ini. Hari itu ia menunggu di sebuah the-koan (kedai minum) di dekat lapangan. Begitu kedua sutenya keluar, ia akan mengikuti mereka. Diluar dugaan, ia berjumpa dengan dua orang kenalan, ialah Liong Seng-hiang, si nona penjual silat yang menjadi murid kepala Shin Ci-koh, dan ayah angkat si nona. Setelah memberi laporan pada suhunya, Liong Seng-hian mengharap suhunya akan dapat menolong sumoay, Khik-sia dan lain-lain keluar dari lapangan sebelum pintu besi ditutup. Tetapi sampai menjelang siang hari, sang suhu tetap belum tampak keluar. Ia sendiri tak berani mendekati lapangan, tetapi ia dapat menduga bahwa pintu gerbang tentu sudah ditutup dan di dalam lapangan sudah berlangsung gerakan menangkap pemberontak. Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya sibuk, terpaksa mereka beristirahat dulu di sebuah the-koan itu agar dapat menyirapi berita- berita. Bahwa di situ mereka dapat berjumpa dengan Gong-gong-ji, girang mereka seperti mendapat lotere. Benar Gong-gong-ji itu selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari Shin Ci-koh, tetapi dengan wanita itu ia pernah mempunyai ikatan hati yang dalam, yang sampai saat itu tak dapat ia lupakan. Ia ajak Liong Seng-hiang ke tempat sepi untuk menanyakan tentang keadaan suhunya. Apa yang diceritakan Liong Seng-hiang, membuatnya terkejut sekali. Di dalam daftar Sepuluh Pemberontak itu, terdapat seorang sute dan dua sahabat karib Gonggong- ji (Thiat-mo-lek dan Co Ping-gwan). Sudah tentu ia tak dapat berpeluk tangan lagi. Tetapi pintu besi sudah tertutup, betapa lihay kepandaiannya, tetap tak dapat menembus masuk. Selagi ia putar otak cari akal, kebetulan kereta pesakitan yang membawa Cin Siang dan Ut-ti Pak, didorong keluar dan lalu didekatnya. Gong-gong-ji cerdas sekali. Begitu melihat hal itu, segera ia dapat menduga tentang sebab ditangkapnya Cin Siang dan Ut-ti Pak. Dan secepat itu pula ia mendapat pikiran. Dikuntitnya kereta itu. Tiba di tempat yang sepi, ia segera loncat ke atas kereta dan menguasai kedua opsir yang mengawal. Tetapi betapapun Gong-gong-ji membujuk dan menjamin Cin Siang tentu dapat terlolos dari bahaya, namun Cin Siang tak mau mempercayainya. Demikianlah keduanya bertempur di atas kereta. Untung karena mendongkol terhadap tindakan sewenang-wenang dari kerajaan, Ut-ti Pak tak mau mengeroyok Gong-gong-ji. Karena hampir setengah hari diborgol, gerakan Cin Siang tak selincah Gong-gong-ji. Pada saat ia putuskan borgolan tangannya, Gong-gong-jipun secepat kilat sudah menutuk jalan darahnya. Tapi sekalipun begitu, ia masih tetap harus menerima dua buah tinju Cin Siang, baru dapat membuatnya tak berdaya. Ut-ti Pak pun sekalian ditutuknya juga. Gong-gong-ji gunakan ilmu tutuk ciong-chiu-hwat (keras). Ia perkirakan dalam dua jam jalan darah itu tentu sudah dapat terbuka sendiri. Maka ia tak mau buang tempo. Dirampasnya kim- kian
Cing Siang lalu perintahkan Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya mendorong kereta ke rumah Cin Siang. Setelah itu Gong-gong-ji bergegas-gegas menuju ke istana. Dengan ginkangnya yang lihay, walaupun di tengah hari bolong, dapat juga Gong-gong-ji masuk ke istana. Di sebuah kamar dari salah seorang selir, dapatlah Gong-gong-ji menjumpai Li Hing. Bermula Gong-gong-ji hendak paksa kaisar itu menulis surat pembebasan untuk Sepuluh Pemberontak dan merehabilitar kedudukan Cin Siang dan Ut-ti Pak. Tetapi di luar dugaan, Li Hing itu bernyali kecilm melihat wajah Gong-gong-ji yang aneh, pingsanlah ia seketika. Gong-gong-ji tak dapat berbuat apa, terpaksa ia hanya mengambil stempel kaisar itu. Tanpa memikirkan lagi apakah sengci itu harus dicap kerajaan atau cukup hanya dengan stempel kaisar saja, ia terus ngacir pergi. Ia mencari seorang tukang tulis yang berada di pinggir jalan. Dengan diancam hendak dibunuh tetapi pun diberi sekeping emas, ia paksa tukang tulis itu membuat sebuah sengci. Sengci palsu inilah yang menimbulkan kecurigaan Bu Wi-yang, namun ia terpaksa mengindahkan juga. Singkat jelas Gong-gong-ji menuturkan petualangannya itu kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek geli tapi pun kuatir juga, ujarnya: Urusan ini hanya dapat bertahan untuk sementara, akhirnya toh akan ketahuan juga. Kalau sampai ketahuan bukankah akan lebih memberatkan dosa Cin Siang dan Ut-ti Pak? Jangan kuatir! Kaisar itu takut mati, masakan ia tak kuatir nanti aku mencarinya lagi? enak saja Gong-gong-ji menyahut dengan tertawa. Thiat toako, mereka sudah keluar semua, tapi aneh mengapa Toh siok-siok tak kelihatan? kata Khik-sia. Thiat-mo-lek menyuruhnya segera mencari mereka. Tiba-tiba Gong-gong-ji berseru: Hai, itu si Ceng-ceng-ji juga disitu. Aku hendak menghukum suteku yang murtad itu. Benarkah Gong-gong-ji akan menghukum sutenya? Tidak! Yang benar saat itu ia melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh mendatangi, maka dengan alasan menangkap Ceng-ceng-ji, ia lantas menyingkir pergi. Ha, Gong-gong-ji, sahabat lama datang, mengapa kau mau mengumpet? Wi Gwat sudah menegurnya dengan tertawa gelak-gelak. Wi Gwat menghadang Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh pun tiba di sampingnya, wanita itu tertawa: Telah kutampar muka Ceng-ceng-ji, tak usah kau menghukumnya lagi. Karena dikepung oleh beberapa orang, terpaksa Gong-gong-ji menjumpai Shin Ci-koh. Gong-gong-ji, kau benar-benar giat berusaha untuk kepentingan sahabat, kembali Shin Ci-koh tertawa. Gong-gong-ji membeliakkan mata, serunya: Bagaimana, apakah menurut anggapanmu aku tak seharusnya membantu sahabat? Shin Ci-koh tersenyum: Perangaimu masih pemarah seperti dahulu. Aku toh belum menghabiskan kata-kataku. Kau giat membantu sahabat, itu untuk kebaikanmu juga. Memberi selamat saja belum sempat mengapa aku harus menyalahkan kau? Tetapi aku sungguh tak mengerti, mengapa kau selalu melupakan seorang sahabatmu? Siapa? tanya Gong-gong-ji. Apa. Aku ini bukan sahabatmu? Bertahun-tahun ini kau mondar-mandir dari selatan ke utara untuk mencuri kangtau (obyek), hanya saja tak pernah mencari aku! Tahukah kau, betapa susah payahku mencarimu? Shin Ci-koh gunakan lwekang sakti untuk menstreamlinekan (mempersatukan sekecil mungkin) suaranya, hingga Gong-gong-ji seorang yang dapat mendengar, lain-lain orang tidak. Merahlah wajah Gong-gong-ji. Tanpa merasa ia berjalan bahu-membahu dengan Shin Ci-koh, tinggalkan Thiat-mo-lek dan Wi Gwat. Diam-diam Wi Gwat geli dan yakin pencomblangannya tentu berhasil. Sekarang mulailah cair ketakutan Gong-gong-ji terhadap Shin Ci-koh. Diam-diam ia menyesal dahulu telah salah sangka kepada wanita itu. Berpuluh tahun kita berpisah, tapi tampaknya kau masih seperti dulu, Gong-gong-ji memulai pembicaraannya. Aku sih hampir berumur 40 tahun. Ketika aku berjumpa padamu, waktu itu aku baru berumur
18 tahun. Ah, dalam sekejap mata saja sudah 20-an tahun, jawab Shin Ci-koh. Gong-gong-ji tertawa: Ya, memang hari cepat sekali jalannya. Waktu itu kau masih memelihara kuncir. Tetapi wajahmu sekarang tak banyak berubah seperti dulu. Dalam pandanganku, kau masih tetap serupa si nona kecil yang nakal dahulu itu. Ci-koh, aku pun tak dapat melupakan kau. Hanya rupanya nasib belum mengijinkan hingga aku tak dapat menjumpaimu. Gong-gong-ji bukan saja hebat dalam hal muslihat, tapi ternyata pun seorang ahli merayu. Kata-katanya itu sebagian memang benar, tapi sebagian salah. Bahwa ia tak dapat melupakan Shin Ci-koh itu memang sungguh. Tapi bahwa nasib belum mengijinkan bertemu itu tidak benar. Bukan nasib, tetapi dia sendiri memang yang ketakutan bertemu Shin Ci-koh. Berapa kodi tahun (20 tahun) manusia dapat mengenyam dalam hidupnya? Kau mau suruh aku tunggu lagi 20 tahun baru kau mau menjumpai aku? Pengakuan Shin Ci-koh itu membuat hati Gong-gong-ji tergerak juga. Tapi kalau membayangkan bahwa begitu menikah, tentu bakal dikekang kebebasannya, Gong-gong-ji bersangsi lagi. Tiba-tiba Shin Ci-koh tertawa: Gong-gong-ji, kau manusia yang tak takut pada segala setan belang tapi ternyata takut pada sesuatu. Apa yang kutakuti? tanya Gong-gong-ji. Kau sudah tahu sendiri, mengapa perlu bertanya. Sebenarnya yang kau takuti belum tentu menakutkan seperti yang kau bayangkan! berkata sampai di situ, sepasang pipi Shin Ci-koh bersemu merah. Matanya berlinang-linang penuh dengan air mata asmara. Gong-gong-ji tahu juga arti sikap kekasihnya itu. Sekarang mari kita tinggalkan dulu sepasang kekasih tua yang sedang berkasih-kasihan itu. Berturut-turut muncullah Wi Gwat, Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jin dan adik, In-nio, Yak- bwe, Bik-hu dan lain-lain, tetapi hanya Toh Peh-ing yang tetap belum kelihatan. Tak berapa lama Khiksia datang dan mencarinya kemana-mana, namun Toh Peh-ing tetap tak diketemukan. Selagi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan kebingungan, tiba-tiba seekor kuda lari menyusur jalur jalanan di tengah lapangan. Penunggangnya seorang thaykam (orang kebiri). Ia menuju ke arah Poan Ting-wan dan berseru keras: Siapa suruh kalian buka pintu? Lekas tutup lagi! Ting-wan terkejut, serunya: Ada, ada sengci .... Tolol, itu sengci palsu! thaykam itu membentaknya keras-keras. Poan Ting-wan merah mukanya. Ia congkel rantai besi dengan tombaknya dan pintu besi yang ribuan kati beratnya itupun tertutup lagi. Opsir penjaga pintu pintu lainnya, pun berbuat demikian. Seketika enam buah pintu gerbang, tertutup lagi! Para orang gagah yang masih ketinggalan di dalam lapangan hanya tinggal dua tiga bagian, sebagian besar sudah sama keluar. Di antara yang tertutup di dalam itu, terdapat sebagian anak buah Ceng-ceng-ji. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pun masih belum keluar. Gong-gong-ji marah dan hendak meringkus si thaykam (orang kebiri). Tetapi pasukan Gi-limkun sudah melindunginya dengan cepat. Gong-gong cianpwe, jangan terlalu mengumbar kemarahan. Gi-lim-kun hanya melakukan perintah, mengapa harus menempur mati-matian? Bu Wi-yang yang sudah kembali ke dalam pasukannya segera unjuk kegarangan: Bagus, kalian kawanan pemberontak berani membuat amanat palsu tentuk tak dapat diberi ampun lagi! Sambil lempar sebatang belati beracun, Gong-gong-ji membentaknya: Bu Wi-yang, kalau berani kemarilah! Jaraknya lebih dari 100-an langkah dan dipagari pula oleh pasukan Gi- limkun, namun ketika belati itu meluncur turun dari udara, arahnya tepat ke batok kepala Bu Wi-yang. Bu Wi-yang buru-buru indungkan sepasang kaitnya ke atas kepala. Trang, sebuah gigi dari kait kirinya putus terbabat belati. Belati masih menggelincir ke samping, menyusup dada seorang pengawal, masih pula menggurat lengan seorang pengawal lagi. Pengawal pertama mati seketika, pengawal kedua menjerit kesakitan dan menggeletak ke tanah. Wajahnya berwarna hitam, mata, hidung, telinga dan mulutnya mengluarkan darah. Bu Wi-yang copot nyalinya. Buru-buru ia ngacir ke belakang barisan.
Poan Ting-wan memberi komando dengan gerakan panji dan menyerbulah pasukan Gi-lim-kun kepada rombongan Thiat-mo-lek. Sesama saudara mengapa saling gontok-gontokan? seru Thiat-mo-lek. Ia terpaksa putar pedangnya. Dalam sekejap saja ia dapat memecahkan belasan theng-pay dan mengutungkan berpuluh tombak lawan. Tapi ia tetap membatasi diri. Senjata dan alat pelindung diri theng-pay hancur namun tiada seorang pun dari anak buah Gi-lim-kun itu yang terluka. Pasukan Gi-lim-kun tahu bahwa kegagahan Thiat-mo-lek itu tidak di bawah pemimpin mereka (Cin Siang). Apalagi mengingat hubungan mereka dengan Thiat-mo-lek dahulu, maka mereka pun hanya mengepung dari jarak beberapa tombak saja, tak mau mendesak rapat. Melihat situasi menguntungkan pihaknya, Bu Wi-yang segera ajak barisan pengawalnya untuk meninjau pertempuran. Ia memberi perintah supaya Gi-lim-kun lepaskan anak panah. Awas, kalau orangku ada satu saja yang terluka, aku tentu minta ganti jiwa seratus orangmu! Gong-gong-ji memberi peringatan. Pasukan Gi-lim-kun sudah menyaksikan kelihayan tokoh itu dan tahu apa yang diucapkan itu tentu dijalankan sungguh. Disebabkan oleh rasa jeri mereka terhadap Gong-gong-ji dan Thiat- molek serta rasa memandang rendah pada pribadi Bu Wi-yang, maka anak buah Gi-lim-kun itupun tak mau melakukan perintah Bu Wi-yang. Sekalipun begitu mereka tak mau kendorkan kepungannya. Bu Wi-yang mendongkol sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Selagi kedua pihak dalam keadaan stand-by (bersiap), tiba-tiba terdengar suara genderang dan teriakan orang: Tiang Lok kong-cu datang! Pintu tengah terbuka dan masuklah dua rombongan pengawal istana diiringi sebuah kereta kerajaan. Pelopor barisan kehormatan itu, seorang opsir yang menunggang kuda tegar. Begitu masuk ke lapangan, berserulah ia: Bu Wi-yang, Poan Ting-wan, lekas menghadap tuan puteri! Kedatangan rombongan puteri Tiang Lok kongcu itu, menggemparkan suasana lapangan. Apakah puteri juga ingin menyaksikan pertandingan? Tapi mengapa tak memberitahukan lebih dahulu? pikir Bu Wi-yang. Puteri Tiang Lok adalah puteri bungsu dari baginda Tong Hian-cong, jadi adik perempuan dari baginda Li Heng yang sekarang ini. Ketika baginda Hian-cong masih memerintah, pendekar pedang wanita nomor satu Sun Toa-nio pernah masuk ke istana dan memberi pelajaran ilmu pedang pada puteri Tiang Lok. Dan sejak itu puteri berguru pada pendekar wanita itu. Pada masa pemberontakan An Lok-sian dan Su Khik-hwat, Li Heng mengganti ayahandanya. Ia mencarikan suami untuk adik perempuannya itu. Tetapi sayang hu-ma (menantu raja) itu tak berumur panjang dan sejak itu puteri Tiang Lok menjadi janda muda. Puteri Tiang Lok sering tinggal di istana. Karena adiknya itu pandai ilmu surat dan silat dalam banyak hal Li heng tentu mendengar advisnya. Dalam sejarah kerajaan Tong, urusan pemerintahan dikuasai oleh puteri raja, bukan hal yang baru. (Misalnya puteri dari ratu Bu Cek-thian yang bernama Thay Ping kong-cu juga bertahuntahun memegang tampuk pemerintahan). Sekalipun puteri Tiang Lok tak berbuat seperti Thay Ping kongcu tersebut, namun sampai dimana pengaruh dan kekuasaan dalam istana, semua menteri sama-sama mengetahui. Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi juga paling jeri berhadapan dengan puteri itu. Tidak demikian dengan Thiat-mo-lek. Ia mempunyai kenangan yang tak dapat dilupakan dengan tuan puteri itu. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih menjabat sebagai si-wi (pengawal istana), ia bergaul intim sekali dengan puteri itu. Tiang Lok kongcu menganggapnya sebagai orang kepercayaan dan Thiat-mo-lek pun dapat membatasi dirinya. Jika dalam negeri tak terjadi peristiwa yang menggoncangkan, tentu baginda Hian-cong sudah mengangkat Thiat-mo-lek sebagai menantunya. Adakah puteri datang karena aku? pikir Thiat-mo-lek. Pada saat itu Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan sudah berlutut di hadapan kereta. Ketika kain pintu kereta tersingkap, ternyata benar Tiang Lok kongcu. Kalian sungguh bernyali besar. Mengapa tak menurut sengci? begitu membuka mulut Tiang Lok kongcu sudah mendamprat mereka.
Sengci yang mana? Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan tercengang. Sengci yang menyatakan bahwa selama dalam pertandingan tak boleh melakukan penangkapan. Mengapa kalian berbuat semaunya sendiri? Baginda suruh Gong-gong-ji yang membawa sengci itu, apakah belum dibacakan pada kalian? Jadi sengci itu tulen? Bu Wi-yang berseru kaget. Budak bernyali besar, siapakah yang berani memalsu tulisan dan cap baginda? Tampar mulutmu! bentak Tiang Lok kongcu. Bu Wi-yang benar-benar diselubungi keheranan. Terang sengci itu palsu, tetapi mana ia berani berdebat dengan puteri? Tetapi pada lain kejap, ia mendapat pikiran: Tadi karena hendak menyelamatkan jiwa, aku sudah mengakui sengci Gong-gong-ji. Untuk itu terang aku bakal menerima hukuman. Tak nyana sekarang kongcu menyatakan kalau sengci itu tulen. Ah, tak peduli bagaimana, itu persoalan kongcu sendiri, tapi yang nyata hal itu menguntungkan aku. Kalau dipersalahkan, baginda tentu bukan melainkan menghukum aku sendiri, pun kongcu juga. Asal aku dapat menjaga jangan sampai diturunkan pangkat, apa sakitnya kutampar mukaku sendiri? Plak, plok, ia menampar mukanya sendiri sampai beberapa puluh kali, selaku menurut perintah kongcu. Gong-gong-ji heran, tapi pun geli. Batinnya: Sungguh di luar dugaan sekali. Aku telah melakukan kebohongan besar, kongcu malah membenarkan kebohongan itu. Ha, ha, cap baginda memang tulen, tapi tulisan baginda itu sebenarnya palsu. Kongcu tentu tak tahu kalau tulisan itu kusuruh buatkan oleh seorang juru tulis pinggir jalan. Poan Ting-wan lebih serius, ia memberanikan diri bertanya: Hatur beritahu pada kongcu, tadi Ong kongkong juga datang membawa sengci saat ini ia masih ada di sini. Apakah kongcu tak mau menanyainya? Thaykam yang disebut Ong Kong-kong itu tercengang. Tersipu-sipu ia tampil menghadap: Sengcu yang hamba bawa tadi itu, seperti ..... seperti berlainan. Apanya yang lain? tanya Tiang Lok kongcu. Tujuannya tidak ada perubahan ialah maih menitahkan Bu Wi-yang melaksanakan sengci semula. Itu, itu, itu Gong-gong-ji ..... Orang kebiri itu tak berani menyatakan apa-apa karena tadi puteri sudah mengatakan bahwa sengci yang dibawa Gong-gong-ji itu tulen. Ia takut kalau disuruh menampar mulut seperti Bu Wiyang tadi. Kasih lihat sengcimu itu padaku! tukas Tiang Lok kongcu. Ong thaykam terbeliak kaget, buru-buru ia berkata: Baginda hanya menitahkan aku secara lisan, tidak memakai tulisan. Ternyata karena ketakutan digertak Gong-gong-ji, baginda Li Heng sampai pingsan. Ketika ia ditolong oleh hamba sahaya, barulah ia mengetahui kalau capnya hilang. Ia gusar sekali dan segera menitahkan Ong thaykam yang menjadi kepala orang kebiri untuk menyiarkan perintahnya. Saking keburu nafsu dan capnya hilang, maka ia hanya memberi perintah dengan lisan saja. Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan mau percaya karena sudah kenal dengan kepala thaykam itu. Hm, hampir setengah harian mengatakan sengci, kiranya tidak ada buktinya sama sekali. Dengan begitu kau hendak memalsu sengci, terang kau diperalat kaum durna untuk mengacaukan kewibawaan kerajaan. Kerajaan hendak mencari orang pandai dan panglima gagah, tetapi kau menghendaki kerajaan kehilangan kepercayaan kepada sekalian orang gagah di seluruh dunia! Diberondong dengan tumpukan kesalahan oleh Tiang Lok kongcu, pucatlah wajah thaykam itu. Buru-buru ia berkata: Kongcu, wan .... Sebenarnya ia hendak mengatakan Wan-ong (penasaran) untuk meminta keadilan, tapi sudah dibentak Tiang Lok yang memerintahkan pengawalnya supaya menyeret thaykam itu ke dalam istana. Opsir kepala barisan kehormatan secepat kilat sudah menutuk jalan darah thaykam itu hingga tak dapat berkutik lagi. Terus dimasukkan ke dalam kereta pesakitan dan didorong pergi. Khik-sia kagum atas kelihayan ilmu tutuk opsir itu. Anak buah Gi-lim-kun yang tak tahu tentang ilmu tutuk hanya mengira thaykam itu saking takutnya sampai jatuh pingsan sendiri.
Gi-lim-kun, mundur dan buka pintu! akhirnya Poan Ting-wan berseru. Karena memang segan bermusuhan dengan Thiat-mo-lek, pasukan Gi-lim-kun itu serentak mundur dengan gembira. Siapakah yang bernama Thiat-mo-lek? Kongcu akan bicara, tiba-tiba si opsir kepala barisan kehormatan menghampiri. Thiat-mo-lek yang tercengang mengetahui kesudahan yang tak diduga-duga itu gelagapan. Tapi diam-diam ia seperti kenal dengan wajah dan suara opsir itu. Tetapi ia tak ingat siapa. Gong-gong-ji membisiki telinga Thiat-mo-lek dan menyerahkan sebuah barang: Karena kongcu telah menolong kita akupun takkan membikin susah padanya. Tolong kau berikan benda ini padanya. Sudah 10-an tahun Thiat-mo-lek tak berjumpa dengan puteri itu. Walaupun ia tak berani memikirkan sesuatu yang jauh, namun ia tak dapat melupakan persahabatan mereka. Pelahan- lahan ia melangkah ke samping kereta. Pada saat itu puteri Tiang Lok pun menyingkap kain pintu dan tengah memandangnya. Thiat-mo-lek buru-buru menghaturkan terima kasih atas bantuan puteri itu. Ai, mengapa kau begitu sungkan kepadaku? Budimu melindungi kami hijrah ke Sechwan, aku belum sempat menghaturkan terima kasih, Tiang Lok kongcu tertawa. Untuk itu Thiat-mo-lek mengatakan hanya melakukan tugas jabatannya sebagai si-wi. Berbicara tentang peristiwa yang lampau, adalah pihak keluargaku yang menyakiti hatimu. Apakah kau tak membenci? tanya kongcu. Semoga dirgahayu dengan kerajaan! Apa yang diderita Thiat-mo-lek hanya soal kecil. Atas budi kecintaan kongcu, aku merasa berhutang terima kasih. Sekarang Nyo Kok-tiong dan adik perempuannya sudah binasa dan ayahanda baginda Hancong sudah wafat. Apakah kau suka mengabdi kepada kerajaan lagi? Thiat-mo-lek menghaturkan terima kasih tetapi ia menyatakan tak suka. Wajah kongcu tampak mengerut gelap. Sampai beberapa jenak baru ia bertanya: Kalau begitu kau hendak pergi lagi? Thiat-mo-lek mengiyakan: Ya, apakah masih ada pertanyaan lagi yang kongcu hendak ajukan? Puteri raja itu terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian tanyanya: Dimana isterimu? Ia berada di desa. Sudah berapa anakmu sekarang? Dua orang, satu laki-laki satu perempuan. Yang laki berumur 7 tahun, yang perempuan 5 tahun. Tiang Lok kongcu menghela nafas: Tempo berjalan cepat sekali. Anakmu sudah begitu besar. Kau lebih bahagia dari aku. Aku mempunyai suami, tetapi siang-siang sudah meninggal. Aku tak punya keturunan, hidupku sepi sekali. Thiat-mo-lek merasa pilu juga. Ia memandang ke muka. Tampak puteri raja itu lebih kurus tapi lebih cantik dari dulu. Terkenang akan masa yang lampau, hati Thiat-mo-lek menjadi gundah. Sampai beberapa saat ia tak berkata. Putera puterimu itu tentu menyenangkan sekali. Kelak apabila kau mengajaknya kemari, bawalah kepadaku. Hm, aku belum kenal dengan isterimu. Lebih baik kau ajak mereka pindah ke Tiang-an saja. Penghidupan berkelana yang kau tuntut selama ini, bukan jalan yang tenteram, kata kongcu. Ucapan itu mengandung arti, supaya Thiat-mo-lek pindah ke kota raja sehingga dapatlah mereka sering-sering berjumpa. Thiat-mo-lek tertawa rawan. Ia mengatakan bahwa dirinya masih dalam status sebagai orang buronan negara mana dapat pindah ke kota raja. Aku telah mengatur semuanya. Jasamu terhadap raja dahulu, kerajaan belum memberi hadiah, kata Tiang Lok. Tetapi Thiat-mo-lek menyatakan ia tak menginginkan pemberian apaapa. Kutahu kau tentu tak menginginkan pangkat, akupnun tak berani memaksa. Tetapi bagaimanapun kerajaan tetap akan membalas jasamu. Karena itu aku telah memohonkan kim- pay (piagam) bebas dari hukuman mati untukmu. Kim-pay ini, selayaknya kau harus menerima. Thiat-mo-lek menimbang bahwa dengan memiliki kim-pay itu, ia dapat terbebas dari berbagai kesulitan, pun keluarganya juga terhindar dari rongrongan pembesar setempat. Maka iapun
menerimanya. Dengan menyimpan kim-pay itu, keluargamu dapat pindah ke kotaraja sini, kata Tiang Lok kongcu. Terima kasih kongcu. Aku pun hendak menghaturkan sebuah bingkisan kepada kongcu, kata Thiat-mo-lek. Oh, kau juga mau memberi tanda mata padaku? Tetapi barang itu bukan milikku sendiri, harap kongcu jangan sesalkan aku. kata Thiat-molek. Tiang Lok kongcu heran, tapi begitu menerimanya barulah ia mengerti kalau cap milik baginda yang dicuri Gong-gong-ji. Kongcu agak kecewa, tapi iapun lega juga karena benda itu amat berharga sekali bagi engkohnya. Baik, dengan menyerahkan benda ini membuktikan bahwa kau tak mengandung maksud memberontak. Nanti di hadapan koko, akan kukatakan hal ini. Harap kongcu suka menyampaikan ucapan terima kasih Thiat-mo-lek kepada baginda, pula harap kongcu baik-baik menjaga diri. Oh, kau hendak pergi? Kau .... Apakah kongcu hendak memberi pesan lagi? Puteri raja itu menatap Thiat-mo-lek sejenak. Lama baru ia menghela nafas dan berkata: Baik, pergilah, akupun juga hendak kembali ke istana! Setelah rombongan puteri keluar, maka Thiat-mo-lek segera ajak rombongannya keluar dari lapangan. Dalam ramai-ramai itu tiada seorang pun kawannya yang terluka, tetapi kurang satu yakni Kim-kian-deng-long Toh Peh-ing. Thiat-mo-lek menghibur kawan-kawannya, mungkin Toh Peh-ing sudah keluar lebih dulu. Dalam pada itu Gong-gong-ji mengajak rombongannya untuk menjenguk Cin Siang dan Ut-ti Pak. Tiba-tiba opsir yang memimpin barisan kehormatan puteri Tiang Lok tadi larikan kudanya mendatangi, serunya: Atas perintah kongcu, aku ditugaskan mengantar kalian. Kami semua sudah biasa jalan sendiri tak perlu diantar! Gong-gong-ji kurang senang. Aku sudah tahu kalian bisa jalan sendiri, tapi perintah kongcu mana aku berani melanggarnya? sahut si opsir. Walaupun tak senang, tapi mereka terpaksa menerima. Setelah berjalan beberapa waktu, Gonggong- ji merasa tak enak kalau ketahuan akan berkunjung ke tempat tinggal Cin Siang. Maka disuruhnyalah opsir itu pulang. Saat itu mereka sudah jauh dari lapangan tadi. Belum sampai di tempat tujuan, biarpun kau usir, aku tetap mengikut, kata si opsir. Dari jengkel Gong-gong-ji menjadi marah: Tempat tujuan apa? Kau mau mengantar sampai di mana? Wajah opsir itu membengis: Kemana kalian pergi, walaupun sudah keluar dari kota Tiang-an, aku tetap mengikut! Kurang ajar! Aku belum pernah tahu orang mengantar secara begitu! Pendek kata kau mau kembali tidak? Apa minta kuusir sungguh? bentak Gong-gong-ji. Thiat-mo-lek buru-buru hadangkan lengannya menengahi mereka: Siapakah sebenarnya saudara ini? Makin memperhatikan makin Thiat-mo-lek seperti tak asing dengan opsir itu. Ia teringat akan seseorang tetapi belum berani memastikan. Opsir itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia mengusap wajah dengan lengan bajunya dan dengan nada suara berganti berserulah ia: Aha, akhirnya Thiat ceculah yang bermata tajam! Toh sioksiok! seketika menjeritlah Khik-sia. Ya, memang opsir itu bukan lain ialah Toh Peh-ing sendiri. Kiranya ia mahir dalam obat-obatan dan menyaru. Dalam golak pertempuran tadi ia segera mendapat akal untuk meloloskan diri. Diringkusnya salah seorang opsir bawahan Bu Wi-yang lalu dilucuti pakaiannya. Dengan memakai pakaian itu dan memake-up wajanya, berubahlan ia menjadi seorang opsir kerajaan. Karena orang lagi bertempur mati-matian maka tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Dengan pura-pura membawa perintah dari Bu Wi-yang supaya keluar meminta bala bantuan, dapatlah ia keluar dari
salah satu pintu gerbang. Saat itu Cin Siang sudah dibawa pergi tapi Gong-gong-ji belum datang. Peh-ing tahu hubungan Thiat-mo-lek dengan Tiang Lok kongcu. Segera ia menghadap puteri itu untuk memohon bantuan. Kongcu terkejut dan terus menghadap ke kakandanya. Li Heng sudah mengutus thaykam untuk menyampaikan sengci ke lapangan. Raja itu masih marah-marah. Koko, set yang kau jalankan itu salah, kata Tiang Lok dengan banting-banting kaki. Baginda Li heng tercengang heran. Gong-gong-ji itu dapat muncul lenyap sekehendak hatinya. Mampukah para pengawal istana mencegahnya? tanya puteri. Akan kutambah jumlah si-wi. Sekalipun Gong-gong-ji mampu menyelundup ke dalam istana, tapi tak mungkin ia dapat membunuh aku, kata Li Heng. Aha, apa guna hidup selalu dalam ketakutan begitu? Apalagi bahaya bukan hanya berasal dari Gong-gong-ji seorang. Kau tentu sudah tahu bagaimana kegagahan Thiat-mo-lek itu. Apabila pasukan Gi-lim-kun sampai tak dapat menangkapnya dan ia dapat lolos, bukankah akan merupakan bahaya pada kerajaan? Pula masih ada Cin Siang dan Ut-ti Pak dua orang menteri kerajaan yang selalu setia. Sekarang kau mendengarkan bujukan Bu Wi-yang untuk menangkapnya. Kelak siapakah yang akan membantumu melindungi kerajaan? Dalam segala hal kita harus pandai memikirkan segalanya. Bahwa Thiat-mo-lek telah menceburkan diri di kalangan lok-lim, andaikata benar, yang menerima akibat langsung adalah wilayah Gui-pok yang jauh dari kota raja, bukan kota Tiang-an ini. Sekarang kalau kau menitahkan untuk menangkapnya, apabila ia sampai memberontak di kota raja ini, dan berserikat dengan Cin Siang serta Ut-ti Pak, bayangkanlah betapa akibatnya. Gonggong- ji seorang saja sudah sukar dihadapi, apalagi masih ditambah dengan Thiat-mo-lek, Cin Siang dan Ut-ti Pak. Apakah kerajaan kita dapat dipertahankan? Mendengar uraian adiknya, Li Heng kucurkan keringat dingin, ujarnya: Karena rangsangan amarah, aku sampai tak memikir panjang. Kurang ajar Bu Wi-yang itu, ia menganjurkan aku mengeluarkan sengci. Habis bagaimana sekarang? Kongcu tertawa: Satu-sstunya cara ialah mengeluarkan sengci lagi untuk mengikat hati Thiatmo- lek serta mengangkat Cin Siang dalam kedudukan yang lebih tinggi. Serahkan saja padaku, tanggung beres. Tetapi terpaksa harus sedikit menyiksa Ong thaykam. Li Heng setuju dan segeralah Tiang Lok kongcu meminjam kereta baginda menuju ke lapangan. Ia suruh Toh Peh-ing menjadi opsir yang mengepalai barisan pengawalnya. Demikianlah atas jasa Toh Peh-ing, rombongan orang gagah dapat diselamatkan. Mendengar cerita Toh Peh-ing, semua orang tertawa geli. Tempat tinggal Cin Siang di kaki gunung Li-san, ialah di luar kota sebelah barat. Di muka rumahnya terdapat sebuah hutan pohon siong. Ketika rombongan Thiat-mo-lek tiba, dilihatnya kereta pesakitan masih berada di dalam hutan. Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya masih menjaga di situ. Nona itu buru-buru menyambut kedatangan Gong-gong-ji. Atas pertanyaan Gong-gong-ji, Liong Seng-hiang menerangkan bahwa Cin Siang sudah diantar pulang. Waktu ditanya mengapa nona itu tak masuk ke dalam rumah Cin Siang, Liong Seng- hiang menyebut: Aku takut dimakinya. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Dua opsir pengawal kereta pesakitan masih tak dapat berkutik segera dibuka jalan darahnya dan disuruh membawa kereta pulang. Karena mereka masih lemas, Liong Seng-hiang disuruh mengantar. Suhu, mengapa Su sumoay tak kelihatan? tanya Liong Seng-hiang pada Shin Ci-koh. Entah, aku sendiri heran. Ia memandang Khik-sia dan bertanya: Benarkah begitu? Dengan siapa ia lari? Kabarnya dengan pemimpin baru dari perserikatan Loklim. Ini Khik-sia yang bilang, aku sendiri juga tak tahu benar tidaknya? Kau tentu sudah paham perangai sumoaymu itu. Mungkin ia marah pada Khik-sia, jawab Shin Ci-koh. Karena hatinya riang, wanita itu lincah sekali bicaranya. Ia baru tersipu-sipu ketika semua orang memandangnya. Buru-buru ia tertawa dan suruh muridnya itu melakukan apa yang diperintahkan Gong-gong-ji. Kemudian berpaling pada Gong-gong-ji, Shin Ci-koh tertawa: Ai, sekarang giliran diriku yang menjadi sasaran perhatian orang muda-muda itu.
Sekalian orang, terutama In-nio, heran mendengar keterangan Shin Ci-koh tadi. Pikir In-nio: Yang dikatakan pemimpin Loklim baru itu, apakah bukan Bo Se-kiat? Mengapa Se-kiat dapat bersama seorang gadis siluman? Di hadapan orang banyak In-nio sungkan mengutarakan isi hatinya. Sedang para orang gagah itu karena tidak begitu anti akan pergaulan bebas pria dan wanita, pun tak mau membicarakan hal itu lebih jauh. Ketika Thiat-mo-lek hendak mengetuk pintu gedung Cin Siang, Gong-gong-ji mencegahnya, Jangan bikin kaget tuan rumah. Ia mengguratkan belatinya di lubang pintu lalu mendorongnya. Walaupun jadi pemimpin Gi-lim-kun tapi Cin Siang tak mau diberi pengawal. Ia hanya memelihara dua bujang tua untuk menjaga pintu. Melihat sekian banyak orang menerobos masuk, bujang tua itu ketakutan. Gong-gong-ji buru-buru mengatakan kalau yang datang itu kawan Cin Siang semua. Pada saat itu Cin Siang dan Ut-ti Pak tengah menyalurkan darah untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Ketika mendengar suara Gong-gong-ji, seketika panglima itu loncat dengan marahnya dan menghantamnya: Gong-gong-ji, kau cukup menyiksa diriku! Gong-gong-ji menghindar ke belakang Thiat-mo-lek sembari berseru: Bukannya berterima kasih sebaliknya mengapa memukul aku? Thiat-mo-lek menghadang Cin Siang: Toako, jangan keliru menyalahkan orang baik. Adanya Gong-gong-ji cianpwe merampas kereta pesakitan karena tak ingin melihat toako menderita. Tindakan kalian itu apakah tidak membenarkan tuduhan bahwa aku hendak memberontak? Mo-lek, kau dan aku adalah terikat persaudaraan, tetapi kuminta ku lekas tinggalkan kotaraja ini. Aku rela menyerahkan jiwa pada putusan baginda. Jangan membawa aku pada kedosaan berani melawan raja! Gong-gong-ji tertawa mengejeknya: Segala apa pernah kusaksikan, hanya belum pernah melihat seorang menteri setia yang setolol kau ini! Cin Siang marah, Thiat-mo-lek didorongnya terus hendak memukul Gong-gong-ji lagi. Tibatiba Ut-ti Pak menyelutuk: Toako, mengapa kita tak membawa keluarga kita pergi dari kota raja ini? Dengan begitu bukankah kita tak menyalahi raja? Dengan tenaga yang kita miliki, kiranya dapatlah kita hidup sebagai petani. Apakah ini tidak lebih enak daripada terima hukuman baginda? Gong-gong-ji sengaja membikin panas hati Cin Siang. Ia bertepuk tangan memuji Ut-ti Pak: Itulah yang betul! Cin thongleng, kiranya tak perlu kau meluki sawah, nanti kuajarkan kau beberapa ilmu istimewa untuk hidup. Siang memeriksa rumah-rumah, malam menerobos pintunya. Tanggung takkan habis kau makan seumur hidup. Mau minta apa, ada semua. Puluhan kali lebih nikmat daripada menjadi panglima Liong-ki-to-wi! Ah, Gong-gong cianpwe hanya bergurau saja. Biarlah kuterangkan duduknya perkara yang sesungguhnya. Kami datang hendak menyampaikan kabar girang padamu, toako, buru-buru Thiatmo- lek berkata. Berita girang apa? Mo-lek, apakah kau juga hendak berolok-olok padaku, Cin Siang makin gusar. Sungguh mati, memang berita yang mengirangkan benar-benar. Baginda telah mengeluarkan sengci membebaskan kita dari kedosaan. Kau dan Ut-ti toako malah mungkin akan dinaikkan pangkat, kata Thiat-mo-lek dengan serius. Tetapi mana Cin Siang mau percaya. Ia menarik Ut-ti Pak untuk mendampratnya: Kau juga tak mau mendengar kataku? Turun temurun kita adalah menteri kerajaan yang setia. Bukan saja tak boleh memberontak pada kerajaan, pun tak boleh melarikan diri dari hukuman baginda. Sudah, jangan ngaco belo, ayo ikut aku menyerahkan diri pada baginda. Cin toako harap dengarkan dulu omonganku baru nanti silahkan pergi, cegah Thiat-mo-lek. Selagi mereka saling tarik menarik, tiba-tiba di luar pintu terdengar orang berseru nyaring: Utusan baginda datang, diperintahkan Cin Siang dan Ut-ti Pak menyambut sengci! Cin Siang menghela nafas: Ah, kita terlambat setindak, baginda telah menjatuhkan hukuman. Ya! Mo-lek, harap kalian sembunyi di belakang dulu, jangan sampai gaduh. Baiklah, dengan memandang mukamu, aku tak mau menyerobot sengci ini, Gong-gong-ji tertawa. Sedangkan Thiat-mo-lek pun turut menghaturkan selamat pada Cin Siang dengan
datangnya sengci itu. Setelah menyiapkan meja penyambutan, Cin Siang dan Ut-ti Pak berlutut menanti sengci. Ut-ti Pak berbisik-bisik: Toako, kau sih sudah punyai keturunan, matipun tak apa. Tapi aku, jangankan anak, sedang istri saja masih belum punya! Cin Siang deliki mata kepada saudaranya itu. Saat itu utusan baginda sudah melangkah masuk, maka terpaksa Cin Siang tak jadi mendamprat Ut-ti Pak. Kedengaran utusan itu membacakan sengci: Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak setia kepada kerajaan, maka selain direhabilitir ke dalam pangkatnya semula pun Cin Siang dianugerahi pangkat Tin-kok-kong dan Ut-ti Pak menjadi Cengkok- kong. Demikianlah! Kejut dan girang Cin Siang dan Ut-ti Pak bukan kepalang. Mereka menyambuti sengci dengan mengucapkan terima kasih. Cin Siang minta tolong kepada sang utusan supaya menyampaikan rasa terima kasih mereka yang tak terhingga kepada baginda. Setelah utusan itu berlalu, Ut-ti Pak menyelutuk: Cin toako, bahwa adanya kemalangan yang menimpa diri kita berubah menjadi keberkahan, daripada berterima kasih kepada baginda adalah lebih tepat kalau berterima kasih kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak dan muncul bersama Thiat-mo-lek dan kawan-kawan. Cin Siang, apakah kau masih hendak memukul aku lagi? Jika kau menghendaki, aku pun tak keberatan menemanimu bermain-main barang dua tiga ratus jurus. Hai, Gong-gong-ji, kau ini memang ...! Bagaimanakah cara kau atur kesemuanya ini? seru Ut-ti Pak. Cin Siang malu-malu menyesal. Seumur hidup ini hanya tunduk pada raja, belum pernah kepada lain orang. Tapi saat itu ia terpaksa menghaturkan terima kasih kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menuturkan apa yang telah terjadi dan menambahkan kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Thiat-mo-lek dan Tiang Lok kongcu. Ut-ti Pak tergelak-gelak: Ha, kalian adalah penolongku semua. Besok aku segera mencari isteri saja. Paling sedikit aku harus punya dua orang anak. Satu akan kusuruh mengaku ayah angkat pada Thiat-mo-lek, dan yang satu biar dijadikan puteri angkatnya Gong-gong-ji. Ai, sayang tampangku begini macam, siapakah yang suka menikah padaku? Sekalian orang gelu mendengar kelakar itu. Dan berkatalah Gong-gong-ji sejenak kemudian: Karena Cin thongleng tak mau memukul aku lagi, terpaksa aku tak dapat menemani lama-lama disini. Coh hengte, biar kucarikan pedangmu kim-ceng-kiam itu sekarang. Bagus, karena kau menangkap Ceng-ceng-ji, biarlah aku menjadi pembantumu. Cemg-ceng-ji kali ini masih berhutan sebuah tamparan padaku. Hai, Gong-gong-ji, jangan lari keras-keras, tunggulah aku! seru Shin Ci-koh. Setelah Gong-gong-ji, Coh Ping-gwan dan Shin Ci-koh pergi, tertawalah pengemis gila Wi Gwat: Menilik gelagatnya, mereka tak memerlukan aku jadi comblang lagi. Aku pengemis tua ini pun harus berlalu juga. Cin thongleng, terima kasih atas bantuanmu yang banyak memberi fasilitas pada kaumku Kay-pang di kota Tiang-an. Singkatnya saja dengan dibekali arak simpanan Cin Siang dan diantar sampai pintu luar oleh sekalian orang gagah, maka tokoh Kay-pang itupun segera ajak Ciu Ko dan Ciok Ceng-yang berlalu. Setelah itu Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jun dan adiknya, juga minta diri. Khik-sia dan Yak-bwe mewakili Cin Siang mengantar mereka sampai di luar pintu. Ketika Khik-sia dan Yak-bwe masuk kembali, berkatalah Thiat-mo-lek dengan tertawa: Kita tengah membicarakan urusanmu. Ut-ti Pak mengepal tangan Khik-sia dan tertawa: Ha, kiranya kau putera kenalanku lama. Semasa ayahmu masih hidup, aku pernah bertempur padanya. Benar aku menderita kekalahan tetapi aku kagum padanya. Di kolong dunia ini banyak orang yang berilmu silat tinggi. Tapi yang benar-benar pantas menerima sebutan taihiap (pendekar besar), kalau pada generasi yang dulu, hanyalah ayahmu almarhum dan Lam Ci-hun. Pada generasi sekarang, kecuali hanya Thiat hengte, maka pilihanku hanya jatuh pada dirimu. Khik-sia mengucapkan beberapa kata merendah. Kemudian Cin Siang berpaling ke arah YakKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ bwe, ujarnya: Nona Su, sebenarnya kita ini bukan orang luar. Seharusnya aku memanggilmu sumoay, tahukah kau? Yak-bwe heran. Ilmu silat Cin Siang itu berasal dari warisan keluarganya, mengapa ada hubungan saudara seperguruan dengannya. Cin Siang segera menerangkan bahwa ketika kecilnya ia pernah belajar surat pada ayah Yak-bwe yang itu waktu menjadi pegawai kerajaan. Cin Siang memuji-muji kepribadian mendiang ayah Yak-bwe. Seorang menteri kerajaan yang jujur dan konsekuen. Benar hanya seorang pegawai bun (sipil), tapi keperwiraannya itu dapat digolongkan sebagai pahlawan. Yak-bwe girang dan sedih. Girang karena almarhum ayahnya mendapat penghargaan orang tapi bersedih karena sejak dilahirkan belum pernah melihat wajah ayahnya itu. Untuk merayakan perisitiwa yang menggirangkan itu maka Cin Siang pun menjami mereka. Mendapat sambutan yang supel dan ramah tamah dari tuan rumah, Thiat-mo-lek dan kawan- kawan itu tak merasa kikuk lagi walaupun berhadapan dengan seorang menteri kerajaan yang berpangkat tinggi. Tetapi di antara mereka, hanya seorang yang sejak tadi tak mau bicara dan tampak murung. Dia adalah In-nio. Cin Siang dan Ut-ti Pak coba menghiburnya dengan berjanji takkan memberitahukan kejadian yang dilakukan In-nio kepada ayahnya. Malah Ut-ti Pak mengajaknya sama-sama minum arak. In-nio terpaksa menurut namun hatinya tetap gelisah. Dalam pembicaraan selanjutnya, Cin Siang telah menasihati agar Thiat-mo-lek jangan sampai kelebuh dalam dunia Loklim. Thiat-mo-lek menyatakan bahwa sekalipun menceburkan diri dalam dunia Loklim tapi ia berjanji takkan merugikan kepentingan negara. Ia akan bekerja keras untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas. Memang pernyataan Thiat hengte itu tepat. Jika bukan karena keturunan menteri kerajaan, aku pun lebih suka menjadi begal saja. Cin toako, kurasa Thiat hengte itu lebih bahagia daripada kita, Ut-ti Pak menyeletuk. Pengaruh arah mulai merangsang pikiran Cin Siang. Ia menyatakan bahwa ucapan Thiat-molek itu memang benar. Tapi sekalipun begitu, tidak pada tempatnya kalau seorang yang berkedudukan seperti ia dan Ut-ti Pak menyatakan dukungannya. Ut-ti jiko, kau sudah minum banyak, jangan banyak bicara yang tidak-tidak, lebih-lebih tak perlu membicarakan urusan negara. Baiklah kita menceritakan tentang saudara-saudara kita saja, akhirnya Thiat-mo-lek mengalihkan pembicaraan. Ut-ti Pak mengiyakan dan ia memulai dengan pernyataan bahwa ia memang sedang memikirkan saudaranya (adik) Ut-ti Lam yang diutus kerajaan mengadakan inspeksi tentara ke Lociu. Oh, ya, aku hendak menanyakan padamu tentang seseorang, kata Ut-ti Pak. Siapa? tanya Thiat-mo-lek. Ada seorang pendekar muda bernama Bo Se-kiat. Kenalkah kau? Bukan sekedar kenal saja tapi kenal baik sekali. Mengapa kau tanyakan dirinya? kata Thiatmo- lek. Sebenarnya ocehanku tadi, adalah kata-kata Bo Se-kiat kepada saudaraku itu. Saudaraku kagum sekali kepada pemuda itu, sahut Ut-ti Pak. Selanjutnya ia menanyakan lagi mengapa dalam lapangan tadi, Bo Se-kiat tak kelihatan hadir. Semalam ia sudah tinggalkan kotaraja ini, kata Thiat-mo-lek. Ut-ti Pak menyatakan sayang tak dapat berjumpa dengan pemuda yang dipuji setinggi langit oleh Ut-ti Lam. Thiat-mo-lek terdiam sejenak, kemudian berkata: Jiko, kau bersama adikmu memang orang yang berhati blak-blakan. Tetapi menurut hematku, meskipun Bo Se-kiat itu seorang ksatria, tetapi sebaiknya kalian tak usah berhubungan padanya. Sejak membicarakan diri Se-kiat, In-nio mendengarkan dengan bersemangat. Dan ketika Thiatmo- lek mengucapkan kata-katanya itu, makin berdebarlah hati nona itu. Mengapa? Ut-ti Pak deliki matanya. Se-kiat adalah pemimpin Loklim yang baru dilantik, sahut Thiat-mo-lek. Amboi, kau sendiri juga kepala penyamun! teriak Ut-ti Pak. Tetapi tindakanku berbeda dengan tindakannya. Dia tak bercita-cita akan menjadi penyamun
seumur hidup. Itu kan bagus! seru Ut-ti Pak. Memang bagus, karena emohnya menjadi pemimpin penyamun itu lantaran berhasrat menjadi raja! Itu sih tak apa, tetapi, tetapi ..... Hai, kalian banyak minum tentu! seru Cin Siang. Benar, toako, karena sudah berjanji tak membicarakan urusan negara akupun tak mau melanjutkan kata-kataku. Ya, memang sudah cukup minum ini, dan sekarang aku terpaksa akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan lagi, kata Thiat-mo-lek. Walaupun ia sudah putus hubungan dengan Se-kiat, namun ia masih mengharap pada suatu hari dapat menasihati anak muda itu lagi. Maka iapun tak mau memburuk-burukkan Se-kiat di hadapan Cin Siang. Cin Siang cukup mengenal perangai Thiat-mo-lek. Mengingat batas-batas kedudukannya dengan Thiat-mo-lek, iapun kuatir jangan-jangan Thiat-mo-lek melantur, membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan kerajaan. Oleh karena itu, iapun tak mau bertanya lagi tentang diri Sekiat. Thiat hengte, kita kan baru saja berjumpa mengapa kau terburu-buru hendak pergi? Ut-ti Pak mencegahnya. Tetapi Thiat-mo-lek tetap hendak pergi. Di dunia tiada perjamuan yang tak berakhir. Bahwa saat ini kita dapat berjumpa, itulah sudah suatu kebahagiaan yang tak terduga-duga. Jika aku kelewat lama di sini, dikuatirkan kurang enak bagi kalian. Apalagi hari sudah petang, aku harus lekas-lekas meneruskan perjalanan lagi, katanya. Cin Siang menghela nafas: Thiat hengte, kita sudah saling mengetahui isi hati kita. Walaupun berbeda jalannya, tapi tujuan kita sama, ialah mengabdi pada negara. Tetapi aku hendak menghaturkan sebuah tanda mata, harap kau suka menerima. Ai, mengapa toako begitu sungkan? Bukankah kita ini kenalan kental? Thiat-mo-lek heran. Ternyata tanda mata yang hendak diserahkan Cin Siang itu ialah kuda untuk dipakai rombongan Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek girang menerimanya. Setelah memilihkan enam ekor kuda bagus, Cin Siang menyerahkan juga sebuah lengcian (lencana) pada Thiat-mo-lek: Pintu kota sebelah barat dijaga oleh Gi-lim-kun. Dengan mengunjukkan lengcian-ku ini, dapatlah kau terhindar dari macam-macam kesulitan. Setelah saling mengucapkan selamat berpisah, akhirnya berangkatlah Thiat-mo-lek beserta rombongannya. Benar juga, berkat leng-cian dari Cin Siang itu, dengan mudah mereka dapat keluar dari pintu kota. Thiat-mo-lek berhenti sejenak untuk memandang ke arah kota Tiang-an. Petualangan yang dialaminya selama berada di kotaraja itu, membuatnya terkenang. Dengan kuda bagus dari Cin Siang ini, sebelum petang mungkin kita dapat menempuh ratusan li, kata Toh Peh-ing. Khik-sia, kudaku dan kudamu sama-sama bagusnya. Ayo, kita bertanding siapa yang dapat balap lebih cepat, tiba-tiba In-nio menantang Khik-sia. Bermula Khik-sia terkesiap tapi pada lain kejab tahulah ia maksud nona itu. Baik, kita lihat siapa yang lebih dahulu dapat mencapai gunung di sebelah muka itu. Tar, begitu cambuk digentarkan, tanpa dipukulkan ke punggungnya, kedua ekor kuda yang sudah terlatih itu segera mencongklang seperti terbang. Anak muda memang suka agulkan diri. Ki ta lihat saja mereka bertanding, tak usah mengganggu kesenangan mereka, kata Thiat-mo-lek tertawa. Bik-hu yang sedianya hendak mengikuti In-nio, batalkan maksudnya. Dalam hati In-nio hanya terukir pemuda itu. Sekalipun aku di sampingnya, juga ia tetap tak gembira, akhirnya ia menghibur kekecewaan hatinya. Ah, Pui-heng, perlu apa kita capaikan diri. Toh tak perlu terburu-buru menempuh perjalanan, lebih baik kita berkuda pelahan-lahan saja, Yak-bwe menghibur pemuda yang patah hati itu. Mereka terpecah dalam tiga rombongan. In-nio balapan dengan Khik-sia, Thiat-mo-lek berjalan dengan Toh Peh-ing dan Yak-bwe bersama Bik-hu pelahan-lahan berkuda di belakang. Cici In tentu hendak menanyakan tentang Bo Se-kiat. Kau tentu mendengar juga pembicaraan Thiat toako dengan Cin Siang tadi? Sebenarnya tak perlu bertanya lagi, toh sudah jelas Se-kiat itu
bukan orang baik, sayang ci In belum putus arang, akan menanyakan lagi sampai jelas. Tapi ada baiknya juga, setelah tahu tentu akan mengambil putusan yang tegas, Yak-bwe mulai ajak bicara Bik-hu. Memang pada satu saat nanti ia akan berduka, Pui suheng, kau harus pandai menghiburnya. Bik-hu menghela nafas: Masakan aku dapat memadai dengan seorang pemimpin Loklim? Kau salah menilai cici In. Sejak kecil aku bergaul padanya dan jelas bagaimana perangainya. Sekali-kali tidak karena Se-kiat itu seorang lok-lim-beng-cu, ci In lantas jatuh hati. Ia kenal dan menaruh hati pada Se-kiat sebelum pemuda itu diangkat menjadi lok-lim-beng-cu. Memang semua orang, termasuk Thiat toako yang luas pengalamannya, telah salah menilai pemuda itu hingga rela menyerahkan kedudukan bengcu kepadanya. Maka tak dapatlah kita mempersalahkan ci In, bantah Yak-bwe. Bik-hu menghela nafas: Ya, memang aku salah omong, tetapi, tetapi ..... Tetapi apa? tukas Yak-bwe, Kau takut dipandang rendah oleh ci In? Turut penglihatanku, kau lebih kuat dari Se-kiat. Meskipun dalam ilmu silat kau kalah, tetapi peribudimu lebih menang. Memang pandai sekali Se-kiat itu mainkan peranannya ksatria, dalam beberapa tindakannya aku dapat mengambil kesimpulan. Sayang ci In yang lebih cerdik dari aku, karena dorongan hati sampai kena dibutakan. Tapi dengan adanya peristiwa ini, ia tentu akan tersadar. Pui suheng, janganlah putus asa! Bik-hu diam-diam mencintai In-nio. Hanya karena merasa bahwa In-nio tak menaruh perhatian padanya, iapun tahu diri. Kini setelah mendengar penjelasan Yak-bwe, timbullah setitik harapan dalam hatinya. Ia menghaturkan terima kasih kepada nona itu. Pui suheng, mungkin kau hanya memandang aku ini seorang budak yang nakal dan tak tahu bahwa akupun pernah mengalami penderitaan yang pahit. Coba tidak ada ci In yang menghibur dan membangkitkan semangatku, dikuatirkan aku sudah putus asa dan masuk menjadi nikoh, kata Yakbwe. Tapi sekalipun mulut mengatakan begitu tapi hatinya diam-diam mengakui bahwa Bik-hu memang lebih menderita daripada ia. Love-affair antara ia dengan Khik-sia hanya bergolak karena salah mengerti. Sebaliknya love-affair antara Bik-hu, In-nio dan Se-kiat, betul-betul merupakan cinta segitiga sepihak. Tiba di kaki gunung, sebelah muka sana, tampak dua titik benda hitam. Dan berkatalah Yakbwe: Itulah mereka! Rupanya mereka sudah bicara lama, mari kita kejar! Tadi ketika Khik-sia dan In-nio congklangkan kudanya, dalam beberapa waktu saja sudah jauh. Ketika berpaling ke belakang dan dapatkan Thiat-mo-lek jauh sekali ketinggalan di belakang maka Khik-siapun tahan kudanya. Ci In, terima kasih atas pertolonganmu pada Yak-bwe, kata Khik-sia. Ah, asal kalian sudah berbaik kembali akupun turut girang, sahut In-nio. Ci In, budimu itu tentu akan mendapat balasan baik. Sekiranya kau mempunyai urusan, jangalah kau simpan di hati saja. Seketika pucatlah wajah In-nio, ujarnya: Khik-sia, harap kau jangan mengelabuhi aku. Mengapa Se-kiat cekcok dengan Thiat piaukomu? Tidak apa-apa, hanya disebabkan karena tujuan mereka berbeda. Se-kiat mempunyai ambisi menjadi raja, sedang piaukoku lebih suka jadi penyamun budiman. Tapi kalian pernah mengatakan bahwa Se-kiat pergi bersama dengan seorang nona. Bagaimana itu? Karena sudah tak dapat dirahasiakan lagi, terpaksa Khik-sia menuturkan: Ya, memang benar. Kawan Se-kiat ialah murid dari Shin Ci-koh. Siapa wanita itu? In-nio menegas. Namanya Su Tiau-ing, anak perempuan dari Su Su-bing dan adik dari Su Tiau-gi. Oh begitu. Apakah bukan nona Su yang pernah bersama kau tempo hari? Khik-sia merah mukanya, ujarnya: Benar, akupun hampir kena perangkapnya. Toh sudah tahu kalau anak perempuan Su Su-bing mengapa kau bergaul dengan ia? Ah, hal itu panjang ceritanya ..... Khik-sia lalu menuturkan dari permulaan sampai pada waktu Thiat-mo-lek diracuni Tiau-ing.
Oh, aku mengerti sekarang. Se-kiat hendak pinjam sisa tentara dari engkoh nona itu, kata Innio. Dalam hati In-nio masih menganggap Se-kiat itu belum seratus persen jahat, karena menentang tindakan Tiau-ing meracuni Thiat-mo-lek. Khik-sia mengira, begitu mendengar kisah Se-kiat, In-nio tentu akan sedih, mungkin menjerit kalap dan pingsan. Tetapi ternyata tidak. Jangankan menangis, sedang menghela nafas saja tidak. In-nio hanya tampak mengatupkan bibirnya kencang-kencang dan wajahnya agak lebih pucat dari biasanya. Dalam ketenangannya yang dingin itu, dapatlah orang merasakan gejolak hatinya yang laksana menahan gelombang samudera. Khik-sia yang sedianya sudah siap dengan kata-kata menghibur, terpaksa beralih dengan pertanyaan: Cici In, kau, kau kenapa? Tidak apa-apa, terima kasih atas pemberitahuanmu. Hm, itu mereka sudah menyusul, sahut In-nio. Waktu Thiat-mo-lek dan rombongan datang, diam-diam ia memuji ketabahan In-nio. Tidak demikian dengan Yak-bwe yang sudah mengerti perangai In-nio. Demi melihat sinar mata In- nio, pilulah hati Yak-bwe. Ia tahu kalau In-nio berlaku gagah untuk menutupi hatinya yang menderita. Kalau ia dapat mengeluarkan perasaan hatinya, itu sih malah baik. Habis hujan tentu terang. Tapi ia menyimpan kedukaan, ini malah berbahaya. Ai, entah apa yang sedang dipikirkan itu, Yak- bwe membatin. Kuda kalian pesat sekali larinya. Tadi cuaca buruk, kukira akan hujan dan ternyata tidak, malah terang. Kita dapat melanjutkan perjalanan terus, kata Thiat-mo-lek. Ya, memang tadi mendung, untung datangnya cepat, perginya pun cepat, In-nio cepat menanggapi. Tetapi aku lebih suka kalau jadi hujan, habis hujan barulah udara bersih sungguh-sungguh, kalau tidak awan itu sewaktu-waktu dapat datang lagi. Tidak hari ini, pun besok pagi, Yak-bwe turut-turutan. Ai, mengapa cuaca saja dipersoalkan begitu serius? Hari ini hujan atau besok pagi yang hujan, apa bedanya? Kalau kehujanan, sebaiknya kita lekas-lekas meneruskan perjalanan saja, Khik- sia menyelutuk tertawa. Benar, benar, kau amat pintar. Hanya maju terus, jangan takut. Kalau kehujanan, di sebelah muka tentu ada tempat meneduh, kata Yak-bwe yang tetap menggunakan kata-kata bertalaran (tidak secara langsung). Tak usah kau katakan memang di sebelah muka itu ialah kota. Kita dapat mencari penginapan di sana, kata Khik-sia. Ya, Pui suheng, kuminta kau yang mencari penginapan itu sekarang, kata Yak-bwe. Kita toh bisa sama-sama ke sana, mengapa harus merepoti Pui suheng? bantah Khik-sia. Mana kau tahu? Pui suheng dapat menggunakan insting, jawab Yak-bwe. Insting ialah perasaan halus atau getaran halus dari hati. Cari penginapan saja mengapa perlu pakai insting? Makin lama makin aneh kata-kata Yakbwe ini, batin Khik-sia. Ternyata Yak-bwe dan In-nio sudah larikan kudanya lebih dahulu. Bik-hu mengikuti dari belakang. Tampaknya ia hendak menyusul di samping mereka, tapi ragu-ragu. Hanya matanya saja yang memandang lekat-lekat pada In-nio. Melihat itu tersadarlah Khik-sia, pikirnya: Oh, kiranya mereka tadi bukan membicarakan cuaca melainkan tentang urusan orang. Ah, tolol benar aku ini. In-nio tetap congklangkan kudanya pesat-pesat, sehingga Yak-bwe tak sempat mengajaknya bicara. Akhirnya sebelum petang mereka sudah masuk ke kota Pah-koan. Di kota itu kebetulan terdapat pasukan negeri yang berjumlah besar. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya kesulitan, Thiat-mo-lek hendak ajak kawan-kawannya mengitari saja kota itu, tak perlu masuk. Ai, jangan-jangan ayahku berada di sini! tiba-tiba In-nio berkata. Ketika Thiat-mo-lek mengikuti arah yang ditunjuk si nona, ternyata pada sebuah bendera besar, tertulis sebuah huruf Sip. Mengapa paman Sip membawa begitu banyak tentara. Bukankah ia hanya mengajak beberapa pengikut saja? tanya Yak-bwe. Tapi In-nio menyatakan bahwa di antara panglima-panglima
kerajaan yang memakai she Sip itu, hanya ayahnya seorang. Begitu tiba di kota, dua orang opsir menghampiri dan menegur In-nio: Hai, Sip kongcu, kiranya benar kau. Mengapa kau datang kemari? Silakan lekas menemui ayahmu di dalam kubu. Kiranya kedua opsir itu memang pengawal Sip Hong yang lama. Karena sering menyaru jadi pemuda, maka kedua opsir itu memanggilnya dengan sebutan kongcu. Dan ini In-nio sendiri yang memesannya. Mengapa ayah berada di sini dengan sekian banyak tentara? Satupun aku tak kenal, rasanya bukan anak buah kita yang dahulu, kata In-nio. Opsir itu mempersilahkan In-nio beritanya sendiri pada ayahnya. Mengira kalau opsir itu curiga, maka In-nio segera memperkenalkan: Semua orang ini adalah sahabatku. Dan Su kongcu ini masakan kau lupa? Kedua opsir itu segera mengenali Yak-bwe: Ai, kenal, kenal. Apakah Sik ciangkun baik-baik saja? Yang diketahuinya, Yak-bwe itu adalah puteri dari Sik Ko, panglima daerah Lo-ciu, yang kedudukannya lebih tinggi dari Sip Hong. Merekapun mengira mungkin karena takut diketahui orang maka Yak-bwe telah berganti dengan she Su. Yak-bwe menyahut dengan sembarangan saja. Dan setelah mengetahui rombongan Thiat-molek itu sahabat In-nio, kedua opsir itu mempersilahkan mereka beristirahat ke dalam kubu. Thiatmo- lek kenal dengan Sip Hong. Tapi kini karena kedudukannya berubah (dari si-wi menjadi penyamun), maka diam-diam ia agak gentar juga. Tapi ia hibur dirinya dan menganggap Sip Hong tentu serupa pribadinya dengan Cin Siang. Malah kepada Khik-sia ia mengatakan juga bahwa Sip Hong itu adalah kawan baik dari mendiang ayah pemuda itu. Mendapat laporan, Sip Hong segera keluar menyambut. Tapi begitu melihat Thiat-mo-lek dan Khik-sia, ia terperanjat dan menyurut mundur. Ia mengajak mereka masuk ke dalam kubu. Ai, Thiat tayhiap, angin apakah yang membawa kau kemari? Berpisah 10 tahun, aku sungguh terkenang padamu. Dahulu atas bantuanmu bersama Toan tayhiap sehingga menyelamatkan keluargaku, aku belum menghaturkan terima kasih, kata panglima itu. Dahulu ketika di Tiang-an akupun mendapat pertolonganmu dan belum menghaturkan terima kasih. Sama-sama mendapat budi, tak usah kita ungkat lagilah, sahut Thiat-mo-lek. Sebelum menjawab pertanyaan Sip Hong lebih lanjut, terlebih dulu Thiat-mo-lek memperkenalkan Khik- sia dan Yak-bwe. Tapi ternyata Sip Hong sudah kenal. Toan seheng, kuucapkan selamat padamu karena sudah bersatu lagi dengan nona Su, kata panglima itu. Setelah diperkenalkan juga dengan Bik-hu, maka bertanyalah Sip Hong, Kalian datang ke Tiang-an mengapa tak menemui aku? Bilakah kau tiba di kotaraja itu? Kemarin lusa, tapi ayah sudah pulang. Kukira ayah tentu kembali ke Lu-ciu, tidak nyana kalau masih di sini, jawab In-nio. Pemerintah menugaskan aku memimpin pasuka ke Yuciu. Setelah suasana di Yuciu aman kembali, barulah aku pulang ke Lu-ciu, kata Sip Hong. Mengapa ke Yuciu? tanya In-nio. Tetapi sampai lama ayahnya tak menyahut. Buru-buru Thiat-mo-lek menumpangi bahwa itu adalah urusan negara, tak perlu dibicarakan. Sip Hong tertawa: Ah, kita kan orang sendiri, tiada halangan kuberitahukan. Aku ditugaskan ke Yuciu untuk menumpas Su Tiau-gi. Menumpas Su Tiau-gi? In-nio mengulangi dengan terkejut. Ya, Su Tiau-gi itu adalah puteranya Su Su-bing. Tahun yang lalu ia kena dikalahkan Li Kongpik dan melarikan diri ke Yuciu menggabung pada raja Ki untuk melawan lagi. Karenanya kerajaan cepat-cepat hendak menumpasnya supaya ia jangan sampai tumbuh sayap. Li Kong-pik diangkat menjadi panglima besar. Kemudian Kwik Leng-kong (Kwik Cu-gi) mengusulkan aku menjadi wakil panglimanya. Tentara yang kubawa ini adalah pemberian dari Kwik lengkong. Kwik Lengkong sudah lanjut usianya dan diberi gelar raja muda Pun-yang-ong. Mengingat usianya, baginda tak mengijinkan ia keluar perang lagi. Oh, kiranya begitu. Aku ingin turut perag ayah! kata In-nio.
Sip Hong tertawa: Ai, kau ini memang anak perempuan yang gemar perang. Suruh tinggal di rumah, tidak kerasan. Baiklah, kau boleh ikut. Tiba-tiba panglima itu teringat sesuatu dan bertanya: Bilakah kau pergi dari Tiang-an? ya, ini hari. Setelah makan siang di rumah Cin Siang, barulah kami berangkat. Cin Siang telah menghadiahkan beberapa ekor kuda bagus pada kami, kata In-nio. Bukankah hari ini pembukaan Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan oleh Cin Siang? Mengapa ia sempat menemani kalian makan? In-nio tertawa: Eng-hiong-tay-hwe itu sudah kacau-balau dan sekarang sudah berantakan! Sip Hong terkejut dan buru-buru menanyakan apa sebabnya. In-nio berjanji mau menceritakan asal ayahnya tak menyesalinya. Dengan geleng-geleng kepala, akhirnya Sip Hong terpaksa meluluskan. Habis mendengar penuturan puterinya, Sip Hong menghela nafas: Bu Wi-yang, Toh Hok-wi dan kawan-kawan itu memang pengacau. Thiat tayhiap, jasamu melindungi raja hijrah dari kotaraja dahulu, besar sekali. Sungguh tak kira, pemerintah sekarang menganggapmu sebagai pemberontak. Untung ada Tiang Lok kongcu. Karena kejadian itu berakhir menyenangkan, rasanya tak perlu kau terlalu membenci kerajaan. Jika aku berniat memberontak tentu sudah memberontak. Jangan kuatir Sip ciangkun. Palingpaling aku hanya menyusahkan para Ciat-to-su macam Tiang Seng-su dan Sik Ko itu saja. Merugikan kepentingan negara, aku masih belum sampai hati. Ah, karena hari sudah petang, akupun hendak minta diri, kata Thiat-mo-lek. Masakan sudah begini malam, mau pergi? tanya Sip Hong. Thiat-mo-lek tertawa dan menerangkan bahwa ia sudah biasa jalan malam. Dan lagi rasanya tidaklah baik bagi Sip Hong nanti apabila Thiat-mo-lek yang terkenal sebagai pemimpin Lok-lim, menginap di situ. Akhirnya terpaksa Sip Hong melepas sang tetamu pergi: Su titli, apakah kau juga akan pergi? tanyanya. Khik-sia dan Thiat toako adalah serupa, tidak leluasa tinggal di perkemahan tentara, sahut Yak-bwe. Sip Hong tertawa gelak-gelak: Ai, ya, kau memang seharusnya mengikuti suami, tolol aku ini. Yak-bwe merah mukanya. Tiba-tiba ia berkata: Harap paman Sip jangan menertawakan. Aku hendak mewakili seseorang mengajukan permohonan padamu. Tentang apa? tanya Sip Hong. Ia duga orang yang dimaksudkan itu tentulah Khik-sia. Pui suheng mempunyai cita-cita hendak masuk tentara. Mohon paman suka menerimanya, kata Yak-bwe. Ai, mana .... Bik-hu tersengat kaget. Kau sendiri pernah mengatakan padaku. Ingat ketika pertama kali berjumpa dengan ci In, bukankah kau pernah mengatakan bahwa cita-citamu ialah hendak memimpin angkatan bersenjata? Cici In menyanggupi, setiba di Tiang-an akan membawamu menghadap paman Sip. Ya, walaupun tidak di Tiang-an, toh akhirnya bertemu juga di sini. Paman Sip bukan orang luar, kau sungkan bicara, aku yang mewakili kau, buru-buru Yak-bwe memutus omongannya. Kemudian ia berkata lagi kepada Sip Hong: Pui suheng ini berasal dari keluarga terhormat. Dia baru saja menyelesaikan pelajaran silat, ingin mengabdikan diri pada negara. Dia belum pernah menjadi penyamun, harap paman suka memakainya! Ilmu silatnya lebih unggul dari aku atau ci In! Mulut Yak-bwe nereces seperti mercon berbunyi hingga orang tak dapat menyelanya. Dan bikhu sendiri akhirnya mengerti kemana tujuan nona itu. Ya, hanya dengan masuk menjadi anak buah Sip Hong, barulah ia dapat selalu dekat dengan In-nio. Akhirnya terpaksa ia membenarkan apa yang dikatakan Yak-bwe itu. Ih, aneh, bukankah ia selalu menyatakan tak suka menjadi pegawai kerajaan? Mengapa tibatiba berganti haluan? Hm, setan cilik yak-bwe itu memang lihay mulutnya sampai aku tak dapat membantahnya. Tapi perlu apa ia mengajukan permohonan begitu? Toh nyata belum ada persepakatan dengan Bik-hu. Hm, Yak-bwe tentu menghendaki supaya Bik-hu menemani aku, diam-diam In-nio menilai dalam hati. In-nio sebenarnya seorang nona yang cerdik. Hanya karena membabi buta menumpahkan
pikiran pada Se-kiat seorang, ia sudah tak mengetahui kalau diam-diam Bik-hu mencintainya. Kini setelah mendengarkan pembicaraan tadi, dan merenungkannya, ia memandang Bik-hu. Dari sikap dan kerut wajah pemuda itu, tahulah In-nio apa yang terkandung dalam hati pemuda itu. Belajar silat dengan tujuan mengabdi pada negara, sungguh utama sekali. Sudah tentu aku akan menerima dengan tangan terbuka. Memang kali ini aku membutuhkan pembantu-pembantu yang berilmu tinggi. Jangan lagi kau ini sute dari puteriku, sekalipun bukan, akupun tetap akan menerima dengan senang hati, kata Sip Hong dengan gembira. Demikian akhirnya Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pamit. Sip Hong suruh puterinya masuk ke dalam berganti pakaian dan ia sendiri ajak Bik-hu mengantar Thiat-mo-lek sampai di luar perkemahan. Ketika berjalan kembali ke kemahnya, hampir dekat pada kemah panglima, tiba- tiba Sip hong hentikan langkahnya dan tertawa: Pui hiantit, kau tak usah masuk kemari, silahkan kau ke markas menjumpai Lau congpeng. Kau belum mendirikan pahala, untuk sementara menjadi anak buahnya dengan pangkat siaukoan (pangkat tentara yang rendah). Kelah apabila aku sudah berjasa, tentu akan kunaikkan. Bik-hu merah mukanya. Tersadarlah ia bahwa dirinya sekarang menjadi seorang tentara kerucuk, mana boleh sembarangan masuk ke dalam kemah puteri panglima? Agar Bik-hu jangan malu, kembali Sip Hong memberi penjelasan: kau adalah sute dari puteriku, kuanggap kau sebagai keponakanku sendiri. Sebenarnya memang tak usah ada pantangan apa-apa. Tetapi kau baru saja masuk menjadi tentara, belum berjasa. Jika aku kelewat memperlakukan kau secara istimewa, kelak apabila aku hendak menaikkan pangkatmu, dikuatirkan orang akan menuduh aku menjalankan famili sistem. Ini memang lumrah terjadi, mengertikah? Siautit mengerti. Selanjutnya aku akan mematuhi peraturan tentara, sahut Bik-hu. Sip Hong tertawa: Ah, tak perlu begitu bengis. Setiap waktu kau bebas tugas, bolehlah kau datang menjumpai aku. Satu bulan datang satu dua kali, orang luar tentu tak mengatakan yang tidak-tidak. Sip Hong suruh seorang anak buahnya membawa Bik-hu ke markas Lau congpeng. Ia pesan supaya orang itu banyak-banyak memberi petunjuk pada Bik-hu tentang tata-tertib ketentaraan. Diam-diam Sip Hong geli: Bik-hu ini seorang pemuda yang polos. Selama dalam perjalanan dengan In-nio itu mereka tentu sudah akrab sekali. Buktinya ia sampai lupa akan masuk ke dalam kubuku. Ternyata In-nio sudah berganti pakaian wanita dan tengah duduk merenung. Ia baru terkejut demi mendengar langkah ayahnya: Yah, kau sudah kembali? Sip Hong tertawa: In-nio kau sedang memikiri apa? Tidak memikiri apa-apa. Kau tidak memikiri tetapi sebaliknya aku memikiri, kata ayahnya. Apa saja, yah? Kau membanggakan dirimu pintar, nah, sekarang coba saja kau tebak. Apa bukan memikiri tentang kekuatan Su Tiau-gi yang berserikat dengan raja suku Ki itu? Su Tiau-gi seorang panglima yang kalah dan tentaranyapun hanya tinggal remukan, apanya yang dipikiri? Tentang diri faja suku Ki itu, Kwik lengkong telah memberikan padaku surat panggilan yang menyerukan supaya raja-raja (kepala) suku itu takluk pada kerajaan. Kepala- kepala sukuk di daerah perbatasan, paling mengindahkan pada Kwik lengkong. Adalah karena ada orang yang sengaja menyiarkan berita bohong yang mengatakan Kwik lengkong sudah meninggal, barulah kepala-kepala suku Hwe, Hoan dan Ki mulai bergerak. Begitu kuserahkan surat seruan Kwik lengkong itu, tentulah kepala suku Ki takkan mau membantu Su Tiau-gi lagi. Bukannya hendak membanggakan diri, tapi dalam tiga bulan, aku tentu dapat menindas pemberontak itu, kata Sip Hong. Habis, apa yang ayah pikiri? Yang kupikiri ialah yang kau pikirkan itu! Sepasang pipi In-nio bersemu merah: Yah, aku tak mengerti apa maksudmu. In, sekarang kau sudah berumur 20 tahun. Apakah selama kau berkelana di dunia persilatan itu, telah menjumpai pemuda yang kau penujui?
Yah, kau tak berputera lelaki. Aku sedia menjalankan kewajiban seorang putera, takkan menikah seumur hidup agar dapat merawatmu. Itu ucapan kanak-kanak. Justeru karena aku tak punya anak lelaki, aku memerlukan seorang menantu. Mana kau boleh tak menikah. Aku berniat hendak mencarikan seorang pemuda yang ideal. Apakah di dalam hatimu sudah terdapat pemuda semacam itu? Pilu hati In-nio, diam-diam ia menelan air matanya. Tapi ia paksakan tertawa: Yah, kau sering mengatakan bahwa aku ini menyamai seorang lelaki. Biarlah aku menjalan kedudukan itu, apakah tidak serupa? Mengapa aku harus cari pasangan? Yah, aku tak ingin menikah dan tak pernah berjumpa dengan pemuda yang baik. Ia tak mengatakan pemuda yang mencocoki, melainkan pemuda yang baik. Ini adalah kenyataan hidupnya. Tapi mana ayahnya tahu apa yang diderita puterinya itu. Dunia begini luasnya, mana tiada pemuda yang baik? Apakah Khik-sia itu bukan pemuda baik? tanya Sip Hong. Itu rejeki adik Bwe yang besar. Apakah kau suruh aku merebutnya? Jangan menyimpang kelewat jauh dari pokok pembicaraan. Aku kan hanya menyebut contohnya saja. Pemuda baik di dunia ini sudah tentu bukan hanya Khik-sia seorang saja! Sayang selama ini aku belum pernah berjumpa. Yah, sudahlah jangan membicarakan hal itu lagilah, akhirnya In-nio hendak menyingkat jalan. Bagaimana dengan sutemu Bik-hu itu? Bukankah ia sebaya dengan umurmu? Kulihat dia juga tiada celanya. Apakah sedikitpun kau tak punya perasaan kepadanya? Sip Hong tetap tak mau. Merah muka In-nio dan berserulah ia dengan kurang senang: Apakah ayah tergila-gila dengan menantu? Kukatakan, aku belum mempunyai ingatan kawin. Jika ayah keberatan memelihara diriku, baiklah aku pergi saja. Akhinya Sip Hong terpaksa mengalah, katanya: Ya, sudahlah, sekarang belum ada ingatan, baik tunggu dua tahun lagi. Akupun masih tak rela berpisah dengan kau. Tak mau kawinya sudah, perlu apa merajuk seperti anak kecil? Yah, apakah kau sungguh-sungguh cinta padaku dan tak tega berpisah? In-nio tertawa. Kau bukan saja seorang anak perempuan yang baik, pun merupakan seorang pembantuku yang baik. Aku tengah memikirkan ..... Apa lagi, yah? Dalam sejarah permulaan kerajaan ini, juga terdapat panglima wanita. Kupikir kau boleh membentuk suatu pasukan wanita. Kau suka tidak? Itulah cita-citaku sejak beberapa tahun. Jika dapat terlaksana, sudah tentu aku girang sekali. Tetapi ...... Tetapi apa? Sip Hong menegas. Tadi aku merencanakan besok pagi akan meninggalkan tempat ini saja. Mengapa? Kau kan suka berperang, mengapa mendadak sontak akan pergi? Kau adalah puteriku, semua anak buah tentara tahu. Siapa yang berani tak mengindahkan padamu? Tinggal dalam perkemahan tentara, juga tak apa-apa. Bukan karena hal itu. Terus terang, memang aku juga mempunyai pemikiran, jawab In-nio. Oh, tentang apa? Meskipun gemar berperang, tapi akupun juga sudah rindu pada mamah. Sudah lama aku pergi, aku hendak pulang menjenguk mamah. Karena kepergian ayah kali ini kemungkinan besar tentu berhasil, maka akupun dapat pulang dengan lega. Tentang pasukan wanita tadi, baiklah ayah membentuknya dulu. Begitu sudah menjenguk mamah, aku tentu cepat-cepat kembali sini lagi untuk memimpinnya. Sip Hong sendiripun terkenang akan isterinya. Maka ia menyetujui bahkan memuji kebaktian puterinya itu. Ya, besok pagi-pagi aku akan segera pergi. Harap jangan kasih tahu Pui Bik-hu. Kenapa? Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tak ingin ia mengetahui kepergianku ini.
Itu toh bukan rahasia, mengapa perlu mengelabuhi sutemu? Aku tak ingin dia tahu, itu sudah cukup, mengapa urusan begini saja dibesar-besarkan? Yah, kau selalu mengolok aku, In-nio mulai meradang. Ah, hati anak perempuan paling sukar diduga. Baiklah, aku pun takkan menegas lagi, terserah padamu saja, akhirnya Sip Hong mengalah. Dalam pada itu ia membatin: Rupanya Bik-hu itu menaruh hati pada In-nio. Tetapi entahlah apa In-nio membalasnya atau tidak. Kalau ia suka kepada pemuda itu, mengapa kepergiannya tak boleh diberitahukan? Kalau ia tak suka, mengapa tampaknya ia begitu sungguh-sungguh hendak mengelabuhi pemuda itu? Huh, agaknya dalam urusan ini tentu terselip apa-apa. Sejak kepergian In-nio, memang dalam beberapa hari itu Bik-hu tak melihatnya. Ia gelisah tapi tak berani menghadap ke kubu Sip Hong. Bertanya pada orang, pun ia merasa sungkan. Beberapa hari kemudian, ia benar-benar tak dapat menahan kegelisahannya, pagi-pagi sebelum berlatih baris atau malam hari sehabis appel, dia tentu mondar-mandir di sekitar perkemahan Sip Hong. Hal itu menimbulkan kecurigaan tiongkun (pangkat tentara yang menjadi pengawal panglima). Coba tiongkun itu belum tahu kalau Bik-hu, walaupun berpangkat kecil tetapi dihargai sekali oleh Sip Hong, tentu siang-siang pemuda itu sudah ditangkapnya. Namun lama-kelamaan, tiongkun itu melapor juga pada Sip Hong. Sebagai seorang tua, tahulah Sip Hong apa sebabnya. Ia pesan tiongkun itu membiarkan saja, jangan mengganggu anak muda itu. Tahulah Sip Hong sekarang, bahwa Bik-hu memang jatuh hati pada In-nio. Pada suatu hari, appel malam bubar sedikit pagi dari biasanya. Haripun masih belum petang sekali. Dengan naik kuda, Sip Hong mengadakan inspeksi berkeliling untuk mengetahui situasi daerah kota itu. Memang demikianlah kewajiban seorang panglima perang. Tiba-tiba di depan sebuah kubu, tampak seekor kuda putih mulus tengah meringkik. Sip Hong terkesiap: Seekor kuda ciau-ya-say-cu yang bagus! Siapakah pemiliknya? Mengapa aku sampai tak tahu kalau di dalam pasukan terdapat kuda sehebat itu? Kiranya kubu itu adalah markas dari Lau congpeng, pemimpin pasukan. Congpeng itu tersipusipu menyambut kedatangan Sip Hong. Atas pertanyaannya, Lau congpeng menerangkan bahwa kuda bagus itu adalah milik dari Pui Bik-hu, ialah siaukoan yang goanswe (panglima) masukkan itu. Memang hebat sekali kuda tunggangannya itu. Turut pendapat Lau congpeng, tidak tepat kalau pemuda itu hanya diangkat menjadi siaukoan saja. Sip Hong tergerak hatinya dan tertawa: Memang kutahu ia mempunyai kepandaian. Tapi sebelum membuat pahala, tak selayaknya dinaikkan pangkat. Besok mudah, sekarang panggillah ia kemari. Apakah kudamu ini pemberian dari Cin Siang? tanyanya kepada Bik-hu. Benar, karena beberapa hari ini tak diumbar, lantas ngamuk, kata Bik-hu. Naikilah kudamu dan mari kita balapan dengan kudaku 'cian-liong-ki' ini, tiba-tiba Sip Hong memberi perintah. Bik-hu menyatakan tak berani tapi didesak oleh Sip Hong, akhirnya mau jugalah ia. Kebetulan, Bik-hu dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengorek keterangan tentang In-nio. Kuda tungganggan Sip Hong yang berbulu merah itu, juga seekor kuda pilihan. Sehari dapat lari sampai seribu li, baik mendaki gunung maupun melintasi sungai, seperti berjalan di tanah datar saja. Tapi hanya beberapa waktu saja, kuda ciau-ya-say-cu milik Bik-hu sudah dapat mengejarnya. Sip Hong tak henti-hentinya memuji Cin Siang yang mempunyai koleksi kuda bagus-bagus. Sekiranya Sip ciangkun suka .... Cia-liongki ini sudah biasa kunaiki, jadi sudah kenal akan tabiat masing-masing. Di dalam peperangan, yang penting mempunyai kuda yang mengerti perangai penunggangnya. Memang kecepatan lari itu penting, tapi lebih penting lagi mengenal watak tuannya. Pakailah sendiri ciauya- say-cu itu, aku lebih suka pakai kudaku ini, tukas Sip Hong. Saat itu mereka sudah 10-an li jauhnya, di sebuah padang rumput yang tiada lain orang kecuali mereka berdua. Disitulah barulah Sip Hong lambatkan kudanya dan berkata: Kita berdua perlahan saja. Kabarnya kau ini keponakan dari Biau Hui sin-ni dan pernah berguru pada Mo Kia lojin. Kau memperoleh ilmu pedang dari dua aliran, suci-mu pun kagum padamu. Sebenarnya siang-siang aku
hendak meminta pelajaran padamu, sayang aku selalu sibuk dengan urusan dinas saja. Sip ciangkun seorang ahli pedang yang ternama, mana aku dapat mengimbangi? Bik-hu merendah. Tetapi Sip Hong mengatakan janganlah anak muda itu merendah diri. Dengan terus terang ia mengatakan juga bahwa sering-sering ia meminta pelajaran ilmu pedang pada puterinya. Melihat panglima itu ternyata seorang ramah, rasa kikuk Bik-hu pun mulai berkurang. Kalau semula ia hanya menjawab apa yang ditanyakan saja, lama-kelamaan berani juga ia bicara dengan bebas. Dalam membicarakan tentang ilmu pedang, sebagai seorang ahli, walaupun tanpa bertanding dapat juga Sip Hong menarik kesimpulan bahwa ilmu pedang anak muda itu memang tinggi, lebih unggul dari In-nio. Sebenarnya aku ini berasal dari desa. Hanya karena kebenaran ada rejeki, barulah aku dapat naik menjadi panglima. Padahal semasa muda, aku bercita-cita menjadi yu-hiap (pendekar kelana). Dalam segala hal puteriku itu tidak turun aku, kecuali dalam hal gemar berkelana di dunia persilatan ia benar-benar seperti aku. Sekarang aku hendak bertanya. Selama kau mengadakan perjalan ribuan li bersama ia, apakah ada peristiwa yang menggoncangkan atau yang menggembirakan? Terpaksa Bik-hu menceritakan sesuatu, misalnya waktu bentrok dengan anak murid partai Lengsan- pay, bertemu dan salah paham dengan Khik-sia di hotel dan sebagainya. Tetapi tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio tak mau ia menceritakan. Diam-diam Sip Hong membatin: Ah, kalau begitu hubungannya dengan In-nio erat sekali, pernah bersama-sama menghadapi bahaya. Apalagi mereka saudara seperguruan, jika dijodohkan itulah tepat sekali. Tapi entah bagaimana pendirian In-nio. Anehnya sudah bergaul begitu rapat tapi mengapa waktu pergi In-nio tak mau memberitahu padanya? Melihat panglima itu merenung, diam-diam Bik-hu berdebar-debar hatinya. Ia menyangka jenderal itu tentu mempunyai dugaan yang tidak-tidak kepada dirinya selama berkelana dengan Innio itu. Bik-hu merah mukanya. Tiba-tiba Sip Hong mengangkat kepala dan memandangnya dengan tersenyum: Pui hiantit, katanya dalam beberapa hari ini kau selalu mondar-mandir di dekat perkemahanku. Apakah kau ingin menjumpai aku? Gerak-geriknya diketahui, merahlah muka Bik-hu. Ia terbata-bata menyahut: Ini, ini ..... Kalau tak ingin berjumpa padaku, tentu ingin ketemu suci-mu, bukan? Sip Hong menggodanya. Muka Bik-hu makin padam. Akhirnya ia tabahkan nyalinya: Dalam beberapa hari ini cici In tak kelihatan keluar. Entah, entah apakah ia tak enak badan? Aku, aku ingin menjenguk tapi kuatir melanggar peraturan. Sip Hong tertawa menerangkan bahwa In-nio tidak sakit tapi sebenarnya sudah tak berada di perkemahan situ. Mendengar itu Bik-hu terkejut dan menegas. Ya, benar, hari kedua setelah kalian datang, ia lantas pulang menjenguk mamahnya. Bik-hu terlongong, wajahnya berubah dan berkata: Jadi In suci pulang menjenguk ibunya? Kalau Bik-hu nadanya mengandung keheranan, pun Sip Hong juga heran, tegurnya: Apakah kau mengira ia pergi ke lain tempat? Bik-hu telah membayangkan sesuatu kemungkinan, tapi belum lagi ia dapat merangkai katakata, tiba-tiba Sip Hong sudah berseru: Hai, tiga ekor kuda di sebelah muka itu walaupun tak sebagus kudamu tapi juga tak kalah dengan kudaku. Aneh, siapa saja mereka itu? Ketika Bik-hu memandang kemuka, ternyata ketiga penunggang kuda yang dikatakan itu makin dekat. Jelas ketiga penunggangnya itu terdiri dari oh-ceng (paderi dari luar daerah). Bik-hu terbeliak kaget, ujarnya: Menilik dandanannya mereka itu seperti murid Leng-san-pay. Ya, benar, paderi berpakaian merah yang berada di depan itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin. Apakah yang kau ceritakan pernah bentrok dengan kau itu? tanya Sip Hong. Ya, Ceng-cing-cu toa-suheng dari Leng-san-pay pernah menerima undangan Su Tiau-gi. Ketiga orang itu mungkin juga bangsa durna, kata Bik-hu. Saat itu ketiga paderipun sudah tiba. Demi melihat Bik-hu, si paderi jubah merah juga terperanjat dan berseru: Hai, kau juga berada di sini, budak kecil? Mana Shin Ci-koh siluman perempuan itu?
Siapa kalian itu? bentak Sip Hong. Demi melihat Sip Hong bersikap gagah dan mengenakan pakaian jenderal, bertanyalah paderi itu: Apakah kau ini Sip Hong? Kurang ajar! Mau turun atau tidak! bentak Sip Hong. Hoang-ceng (paderi) itu tertawa: Ha, kiranya benar. Sip tay-ciangkun. Di dalam ketentaraan, aku tak berani. Tapi sekarang aku memang hendak berlaku kurang ajar padamu! -- Ia lambarkan tangan dan berseru kepada kedua kawannya: Kalian membekuk budak itu, aku menangkap kambing gemuk ini! Hoan-ceng itu terlalu membanggakan dirinya pandai ilmu silat. Ia anggap Sip Hong itu meskipun seorang panglima ternama tetapi hanya pandai dalam urusan ketentaraan, paling- paling mahir memanah dan naik kuda. Maka saat itulah ia harus menangkapnya. Di luar dugaan, Sip Hong itu bukan jenderal sembarang jenderal. Dalam ilmu pedang ia lihay sekali. Sekali ia sentakkan kudanya sebelum musuh datang, kuda Sip Hong sudah menerjang maju. Paderi itu lepaskan jubahnya terus diputar ke arah Sip Hong, serunya: Ha, ha, ha, Sip tayciangkun, kau masuk perangkap, jangan heran kalau aku nanti menangkapmu semudah menuntun kambing! Belum habis tertawanya, terdengar suara Bret, ujung tombak Sip Hong menyusup jubah. Si paderi buru-buru putar jubahnya untuk menyingkirkan ancaman tombak dan secepat itu pula sudah membarengi dengan sebuah pukulan. Dalam gebrak pertama itu si paderi menderita kerugian besar karena jubahnya berlubang. Tapi Sip Hongpun terkejut juga. Dengan jubah yang berlubang masih si paderi dapat mementalkan tombak. Pada saat si paderi lontarkan pukulan, kedudukan Sip Hong berada di bawah angin (angin meniup ke arahnya). Tiba-tiba ia mencium bau angin amis. Sip Hong segera tahu kalau ia sedang diancam dengan tok-ciang (pukulan beracun). Buru-buru ia gentakkan kudanya untuk berkisar ke posisi 'atas angin' (angin meniup ke arah lawan). Kuda tunggangannya cek-liong-cun, seekor kuda yang terlatih baik, Sip Hong dapat mengendalikan menurut sekehendak hatinya. Begitu berkisar pada posisi 'atas angin', ia lantas kirim tiga buah tusukan pedang. Karena berganti posisi, si paderi agak sulit. Kalau lepaskan tok-ciang dikuatirkan racunnya akan membalik mengenai dirinya sendiri. Memang bertempur di atas kuda, tidak seperti di atas tanah datar. Di atas tanah gerakan orang lebih bebas dan cekat. Tetapi tidak demikian di atas kuda. Sekali kuda meloncat, jaraknya sudah terpisah beberapa tombak. Jika tak dapat menduduki posisi 'atas angin' percuma saja hendak melepaskan senjata beracun. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah bertempur belasan jurus. Sip Hong agak jeri terhadap pukulan beracun musuh. Setiap tusukan pedangnya luput atau ditangkis, cepat-cepat ia lantas congklangkan kudanya menyingkir. Karena itu, pertandingan tetap berjalan seri. Tetapi ketika si paderi sempat melirik ke partai lain, dilihatnya kedua sutenya didesak sampai 'montang-manting' oleh Bik-hu. Diam-diam paderi itu gelisah, pikirnya: Jika aku tak lekas menangkap Sip Hong, kalau budak itu menang lebih dulu, tentu akan membantu Sip Hong. Aku pasti kalah. Tiba-tiba ia teringat bahwa untuk menjatuhkan orang, harus lebih dulu merubuhkan kudanya. Setelah mengambil ketetapan ia segera menimpukkan jarum bwe-hoa-ciam. Sebenarnya jarum itu lembut sekali, apalagi menempuh angin, tentu sukar sekali melayangnya. Batang jarum berlubang di tengahnya, terisi bubuk beracun. Benar karena kegesitan kuda cek-liong-cun, Sip Hong dan kudanya itu tak terkena bwe-hoa-ciam. Tetapi pupur beracun dalam jarum itu bertebaran kemanamana. Karena tak biasa, begitu mencium tebaran pupur, kuda itu tiba-tiba meringkik keras dan binal. Sip Hong dilemparkan ke udara. Melihat itu si paderi putar kudanya terus menerjang dan lemparkan jubahnya untuk menangkap lawan hidup-hidup. Tepat pada saat itu, ialah ketika si paderi taburkan bwe-hoa-ciam tadi, kedua sute paderi itu telah menderita kekalahan. Dalam bertempur tadi, Bik-hu selalu pasang mata dan telinga. Demi melihat Sip Hong dalam bahaya ia segera lancarkan serangan dahsyat. Cret, ia menusuk seorang lawannya jauh terjungkal. Paderi yang satunya hendak melarikan diri tapi kalah cepat dengan kuda
Bik-hu. Sekali ulurkan tangan, Bik-hu dapat mencengkeram punggung si paderi itu dan menawannya hidup-hidup. Pada saat Bik-hu menawan lawannya, saat itu si paderi jubah merah tengah lemparkan jubahnya untuk menangkap Sip Hong yang masih berada di tengah udara. Secepat kilat Bik-hu menggembor keras dan lemparkan tawanannya ke arah jubah si paderi. Memang si paderi berhasil menjaring orang, tapi bukan Sip Hong melainkan sutenya sendiri. Karena berisi benda berat, jubah si paderi itupun jatuh ke tanah. Dan sebelum si paderi tersadar dari kejutnya, Bik-hu pun sudah menusuk. Jilid 13 Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu. Tapi karena tak berhasil menangkap Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya. Dengan gerak tengli- ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu. Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi dengan tusukan yang kedua dan ketiga. Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran, begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda. Sekalipun andaikata paderi itu masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang. Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali. Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia dapat lolos dari lubang jarum. Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya. Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena termakan pedang di bagian pantat. Kuda paderi itu juga kuda ternama. Begitu terluka, binatang itu lantas mencongklang sekuat-kuatnya. Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali. Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah. Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bikhu lepaskan si paderi. Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong. Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana dengan kuda tungganganku itu, kata Sip Hong. Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari mendatangi. Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik beberapa kali. Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa. Pun karena mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang. Kiranya kuda itu hanya membaui racun saja tetapi tak sampai terkena. Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari, kata Bik-hu. Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi. Ternyata yang kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa. Karena tak tega melihati korbannya, Bik- hu segera menguburnya. Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka, ternyata hanya terluka ringan. Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus terang, kalau tidak tentu kutabas, bentak Sip Hong seraya mencabut pedang. Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa aku melakukan juga, sahut si paderi. Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu? tanya Sip Hong pula. Si paderi mengiakan: Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki. Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu. Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari? Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan. Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah berpapasan dengan Shin Ci-koh. Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah si paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang semua telah binasa di tangan Shin Ci-koh. Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin. Ia kabulkan permintaan muridnya pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin CiKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ koh. Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang ke Yu-ciu. Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu. Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri. Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius. Tujuannya tidak melainkan menuntut balas pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi. Kelak apabila Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan mendapat prioritas untuk merajai dunia persilatan. Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan. Untuk keperluan itu, Su Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa. Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya. Tapi untuk sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul pecah. Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu? tiba-tiba Bik-hu bertanya. Si paderi menyatakan tidak tahu. Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada adik perempuan Su Tiau-gi. Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu. Yang diperhatikan Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat. Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se-kiat, tetapi In-nio. Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima itu mengeluarkan sebuah perintah. Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud anak muda itu. Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala apaapa, maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu, kata Bik-hu. Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu. Tapi karena jaraknya dengan Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak. Nanti saja apabila sudah tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu. Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan musuh, lebih baik, Bik-hu tetap mendesak. Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk menjadi tentara, pengalamannya kurang. Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati. Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu boleh berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul. Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga, kata Bik-hu. Ai, mengapa begitu terburu-buru? kata Sip Hong. Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li. Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri, Sip Hong memberi pesanan. Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang dari pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang: Ia berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa? Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh hanyalah untuk alasan saja. Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio. Sewaktu mendengar keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bikhu sudah menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat. Memikir sampai di sini hati Bik-hu rawan juga.
Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi: Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku tetap akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku tetap akan menemuinya! Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali. In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat. In-nio berpambek seperti seorang anak lelaki. Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia tak kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan. In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya. Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering. Seorang diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan. Seluas berpuluh- puluh li, tak tampak barang seorang insan. Untung In-nio membekal ransum kering. Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu. Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak. Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum. Pada masa seperti saat itu, iklim di padang rumput berubah-rubah. Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali. In-nio buru-buru melanjutkan perjalanan. Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada penduduk di situ. Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai gandum untuk meminta minum. Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras. Terutama di daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa. Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di situ jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik. Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki menjenguk seorang bibinya. Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki. Ada juga sejumlah kecil suku Han. Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han. Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya: Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami menerima Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah. Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak secepat itu datangnya, bukan? kata In-nio. Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat beberapa pasukan yang lewat di situ. Apakah bendera mereka? tanya In-nio. Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya juga. In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ. Entah pasukan manakah mereka itu? kata In-nio. Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu lebih menderita lagi, kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu meneranginya lebih lanjut: Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di sini, tanaman gandum kami diambil separuh! Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama menuai gandumnya. Ia hanya dapat menghela napas. Memang anak tentara yang dipimpin oleh lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya. Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang. Petani-petani serempak berteriak gaduh: Celaka, kawanan perampok itu datang lagi. Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja, kata perempuan tani tadi. Tetapi Innio menolak. Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka. Waktu si perempuan tani hendak
menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana. Perempuan tani itu banting-banting kaki. Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa perempuan itu lari. Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat? tegur In-nio. Pemimpin mereka tertawa: Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya besar. Lihat panah! - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya. In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring: Hai, apakah itu bukan nona In-nio? Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya: Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu? Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan kanan yang paling dipercaya Se-kiat. Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu. Se-kiat banyak mendapat bantuannya. Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan kakak beradik she Kay itu. Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Ia masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan mereka sekarang. Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman. Ia sedang tertawa menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan: Mengapa kau tanyakan aku? Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat? Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima perintahnya untuk membawa pasukan kemari? tanya In-nio. Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau gerakan itu berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im- majwan Peh hou-ce, Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang. In-nio terkesiap hatinya. Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan. Siapa tahu kini timbul tanda-tanda keretakan di dunia loklim. Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa: Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada para petani yang rusak ladang gandumnya itu. Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang menyelutuk: Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka semua. Habis mereka disuruh makan apa nanti? bantak In-nio. Nona jelek itu kerutkan jidatnya: Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh makan apa? Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum, dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu- ciu, perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji 'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta, bantah In- nio. Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi In-nio: Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya
jika tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang yang tak kenal adat-kebenaran. Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu, sahut In-nio. Thian-sian tertawa girang: Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai kenyang. Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian: Apakah ayahmu meluluskan perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil dengan lekas. In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat. Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima kasihnya kepadamu! seru Thian-sian. Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya: Mereka telah bertekad hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi aku hendak menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi. Cici In, apa yang kau pikirkan? tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam diri. Aku tengah memikirkan suatu permainan, jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan. Tetapi kau harus membantu aku dulu, kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan kesediaanya. Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh, jangan sampai memberitahukan pada lain orang. Kepada beng-cu? Juga tidak perlu! Thian-sian kerutkan alis: Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku. Tahu apa? tanya In-nio. Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya, bukan? Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang selalu menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya. Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa: Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini. Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan. Demikianlah In-nio segera berganti pakaian sebagai serdadu wanita. Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh. Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung. Kotanya dibagi menjadi dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam. Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam. Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati: Jika tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini. Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring: Sebentar lagi Tay Yan kongcu akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san. In-nio berdebar hatinya: Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu? Ah, jangan sampai diriku ketahuan. Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu. Tempat itu bekas ladang gandum. Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara. Hanya ada dua buah rumah tembok yang agak baik. Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati
pembantunya. Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota? Kay Thian-sian kerukan dahinya. Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini, jawab opsir itu. Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu kehormatan besar. Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya: Apa-apaan dengan kongcu (puteri), nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan diri di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh tak tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia? Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang mewartakan bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya: Kurang ajar betul, di hadapanku ia masih main agung-agungan! Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta. Mungkin Tiau-ing itu tak mengerti bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya. Dengan menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya. Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang. Begitu turun dari keretanya, serta merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya: Aduh, menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar kau ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari! Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang. Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti saudara saja? seru Tiau-ing. Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya: Engkohku baik kepada bengcu itu, ada hubungan apa dengan kau dan aku? Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat menggabungkannya menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay, pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu, kata Tiau-ing pula. Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian. In-nio sudah gelisah. Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka lekas beristirahat saja. Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian banyak makanan. Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik untuk anak buah Kay Thian-sian. Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak? Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian: Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara harap cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk cici. Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu, diterima tidak dengan kepercayaan penuh. Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari. Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya. Dan dengan sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing. Dengan adanya ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada. Itulah sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota. Di samping itu diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se- kiat. Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami? Kay Thian-sian heran. Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat.
Ha, mengapa bengcu tak tampak? tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama dengan Se-kiat yang datang. Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang? Thian-sian menegas. Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru: Ai, hari sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi. Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu. Begitu Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah, tibatiba seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu. Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan pasukan untuk menyambutnya lagi? Thian-sian muring-muring. Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur, baru ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan, kata serdadu wanita itu. Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba timbullah gairahnya, serunya: Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah ini, sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak menjumpainya. Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan membongkok tangan. Hai, apakah kau ini raja daerah sini? tegur Thian-sian. Lelaki itu berpaling dan berseru: Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun? Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas. Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku? sahut Thian-sian. Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur. He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara? kembali si nona 'bidadari' menegurnya. Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras. Kau menertawai apa? seru Thian-sian. Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian? Tomulun balas bertanya. Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik? Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu, hi, hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan? Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas menjiwirnya: Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama itu, bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja pingsan melihatmu! Tomulun mendorongnya, berkata: Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali. Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji: Tenagamupun hebat juga. - Ia tertawa riang, ujarnya pula: Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi seorang jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani menertawai aku? Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya: Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ... Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau? tukas Thian-sian. Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya: Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang berkelahi. Ha, ada akal ... Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan, tiba-tiba ia tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi, Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan
dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar. Nona Kay, kuberikan anting-anting ini kepadamu, sukakah kau? Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai anting-anting. Anting-anting besar yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak mempamerkan kekuatannya. Sebaliknya Thian-sian telah salah paham. Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa mengejek: Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga. Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang. Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan itu. Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang tongkat lagi. Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu diberikan kepada si raja: Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan! Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya: Ah, kau menang! Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini? Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya:Benar, kau bukannya goblok sekali. - Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa. Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek, kata Tomulun. Thian-sian berjingkrak: Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa? Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya, sahut Tomulun. Hm, begitulah baru perkataan manusia, kata Thian-sian. Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi: Yang jelek malah jujur, yang cantik sebaliknya malah plin-plan! Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya: Siapa yang buruk dan siapa yang cantik itu? Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah, sahut Tomulun. Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur! Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau sungguh hendak menanyakan? seru Tomulun. Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu! Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan. Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari? tanya Tomulun. Siluman kecil siapa? Thian-sian melongo. Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu! Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri! Tomulun marah sekali, serunya: Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu! Mengapa kau begitu membencinya? tanya Thian-sian. Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang. Mengapa aku tak harus membencinya, ia sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang! Jadi isteri siapa? Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu! Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak: Sungguhkah itu? Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu .... Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan membentaknya: Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang? Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah aku. Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan .... Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya: Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah
bengcu kami, tahukah kau? Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah: Peduli apa dengan bengcu! Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu .... Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak: Seorang lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu. Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah. - Habis berkata ia lantas berputar hendak berlalu. Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan, Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat melampaui kepala raja itu dan menghadangnya: Berhenti! Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak menantang aku berkelahi? seru Tomulun. Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau apakah bengcu pernah mengatakan padamu? Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara padamu? sahut Tomulun. Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku haturkan maaf padamu, bilanglah! Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga, kata Tomulun. Thian-sian terkejut, serunya: Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan? Benar, besok lusa! Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki: Jahanam, benar-benar jahanam..... Siapa yang kau maki itu? tegur Tomulun. Aku bukan memaki kau, aku ..... tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam. Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Sekiat, tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu. Siapa yang sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu. Waktu mendengar Se-kiat telah menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat. Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu! Tomulun tertawa gelak-gelak. Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ...., kata Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana harus memulaikannya. Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian: Ya, memang benar. Hari akan turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang! - Ia berputar diri lantas angkat kaki. Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi. Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thiansian itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habishabisan. Di samping itu, ia ketarik juga dengan nama Thian-sian (bidadari). Menilik namanya orangnya tentu cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing. Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya: Meski Thian-sian itu jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing. Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat. Makin memikir, makin mendongkol. Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan seorang penunjuk jalan orang Ki. Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk. Thian-sian tertegun, serunya: Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya
akupun memang hendak mencari kau. Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau menyuruh begitu? tanya In-nio. Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya! Jangan, cici, jangan .... Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat? Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi pengantin! kata In-nio. Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat? teriak Thian-sian. In-nio tertawa rawan: Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari kau. Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya mencintai kau? Thian-sian menepuk pahanya berseru: Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan mau dipermainkan lelaki! Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi: Namun cara begitu saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah? Siapa bilang aku berpeluk tangan saja? sahut In-nio. Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali, teriak si buruk. In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin: Tidak, aku tak mau berkelahi padanya! Oh, apakah kau masih suka padanya? tanya Thian-sian. Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya. Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri: Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau melabraknya, juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan? Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan kewajiban seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici, apakah kau suka membantu aku? Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya? tanya Thian-sian. Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcumu, sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti. Lalu aku disuruh membantu apa? Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri. Thian-sian menepuk tangan: Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului .... Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan? bentak In-nio. Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar, dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya. Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni berkemah di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda untuk mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu. Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio masuk
ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya melayang ke arah si paderi. Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat! tiba-tiba terdengar lengking suara wanita. Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang wanita. Dia adalah Su Tiau-ing. Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap puterinyapun lumayan juga! hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak. In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia masih berhasil melarikan diri. Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah. Innio gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak ditariknya. Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu pedang Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan. Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi. Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut dan memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya. Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar. Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: Nona In, kemarin aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas. Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu. Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan kakak-adik denganmu? damprat In-nio. Tiau-ing tertawa mengejek: Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya? In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya berkobar: Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang! - Ia mengisar dan kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tibatiba ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat. Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: Apakah kata-kataku salah? Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana? In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap. Celaka, aku terkena jerat mereka! diamdiam ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu. Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras,
adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup. Rebahlah! tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia. Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: Kau seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu? Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah ranjang. Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing. Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat! In-nio makin gusar: Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah! Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan suka bercakap-cakap dengan aku? Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku? sahut In-nio. Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat? Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh. Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu? Tiau-ing tersenyum: Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat. Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu. Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau memberitahukan hal itu kepadaku? Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat? seru In-nio. Akan mengundang bantuanmu, Tiau-ing tertawa. Bagaimana caranya? Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu. Isinya? Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan, kata Tiau-ing. Aku kepingin mendengar pendapatmu, kata In-nio. Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong, baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang terbaik untuk menasihati ayahmu. Emoh semuanya! In-nio menolak dengan tegas. Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia benar-benar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang puteri tunggal kau ini! kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman. Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu! teriak Innio. Wajah Tiau-ing mengerut marah: Ha, kiranya kau yang tak mau menulis! - Tiba-tiba ia
tertawa mengikik: Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu. Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan? In-nio menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat. Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing. Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip Hong tentu sudah kau bunuh, bukan? Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau tidak? Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku! Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: Kedatanganmu kemari, apa bukan karena Se-kiat? Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri, tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut suami. Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: Kau salah kira. Aku bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se- kiat, janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas! Tutup mulutmu! bentak In-nio. Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini? Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu! Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu apa yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau memberi kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja apakah ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah aku yang merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku! Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi. Tertawalah Tiau-ing: Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin bertemu sekarang atau tidak? Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya. - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat pada saat itu Se-kiat pun masuk. Apa kau baru bangun? Mengapa kelihatan begitu girang? tegur Se-kiat. Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau, kata Tiau-ing. Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: Kerajaan telah mengirim seorang jenderal besar membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu? Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi, takut apa? kata Se-kiat. Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi? Jangan kelewat meremehkan kekuatan lawan! Apa Cin Siang? Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan kotaraja? Coba tebak lagi! seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja. Tiau-ing tertawa: Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja bakal menjadi mertuamu?
Oh, Sip Hong? Tiau-ing mengiakan: Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan? Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh. Apanya yang kau girangkan? Tiau-ing mengikik, ujarnya: Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih? Padahal kau merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh, puterinya dahulu adalah kawan baikmu! Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan? mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati tak urung berdebar juga. Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum: Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu, puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan kawan baikmu itu? Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: Masih ingat apa yang kukatakan dahulu? Yang mana? Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak boleh meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir? Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku. Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau kira itu. Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya? Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya, sahut Se-kiat. Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu. Se-kiat merenung sejenak dan berkata: Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian padanya. Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi apabila aku benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai sekarang. Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu silatpun lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya? Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya lagi. Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan? Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak mengenangkannya? Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu mengenangkannya? Se-kiat balas bertanya. Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak cemburu dan gembira kau hendak menjumpainya. Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan musuh. Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali! Benarkah? Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali kau hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari. Se-kiat berjingkrak kaget: Kau mau berolok-olok? Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ? Ai, orang telah menunggumu sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku menyingkir dari sini, dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu. In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan ranjang berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap kelambu ....
Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat kemudian baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: In-nio, bagaimana kau datang kemari? Tanyakan pengantinmu! sahut In-nio dengan getas. Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang sehingga tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol sekali. Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku, pikirnya. Diam-diam ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama sekali sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing. Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang tidaktidak di dalam kalbu Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot mata In-nio. Katanya dengan pelahan: Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa yang hendak kau katakan kepadaku? Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata lembut yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan katakata yang dingin: Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku? Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik kasih kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: In-nio, aku bercita- cita tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku menelantarkan dirimu. Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada Tiau-ing atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat. Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal kau, tutup mulutmu! dampratnya. Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak mau membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: Jika kau sampai berani menyentuh tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan cara menggigit putus lidahku. Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain kejab, hatinya berontak: Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena perasaanku terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing! Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru sekarang aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku? In-nio tertawa dingin: Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi, bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira? Kau salah alamat hendak mencari bantuanku! Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat merah padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda yang kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut Tiong-goan, ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya: Innio, kau adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta pengorbananmu lagi. Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil obat penawar. Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah kau ulurkan bantuan padaku? In-nio tertawa mengejek: Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to (jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku? Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: In-nio, jangan berkata begitulah!
Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak juga tak apa. Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta bantuan apa kepadaku, silahkan bilang! Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi? Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan musuh? seru In-nio. Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi. Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu, tiba-tiba In-nio membuka suara. Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk, sudah tentu Se-kiat girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan sebutan hianmoay atau dinda yang bijak. Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu mendirikan kerajaan baru. Ah, dikuatirkan ayahmu menolak, kata Se-kiat. Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan supaya ia berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama dengan rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada saatnya baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana yang ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak kerajaan memerangi kau! Se-kiat berteriak girang: In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat sekali dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang- siang kau sudah memikirkan kepentinganmu. Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya dapat diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah! Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat tercengang, tanyanya: Apa yang kau tertawakan? Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah yang memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar sepaham dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu! In-nio tertawa hina. Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi. Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: Benar, benar, memang akulah yang membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang biarlah kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya yang berbeda? Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau sekali tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik. Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In- nio juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa. Jangan harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio. Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia telah mengatur segala-galanya.
Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah lembut: Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan? Daripada hanya menjadi wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri? Apalagi dengan begitu hubungan kita tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu? Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara lagi? sahut In-nio. Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In yang baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan kepada Se-kiat? Tiau-ing menyeletuk. Tutup mulutmu! bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga. Kemudian berkata pula: Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan! Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan manusia yang lupa budi lupa kecintaan. Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin. Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: Jangan kalian keliru menafsirkan. Apa yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan. Adalah karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat, kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau mendengar nasihat sahabat-sahabatmu? Dalam hal apa aku mata gelap? Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di dunia. Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai menteri kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya? Apalagi aku bukan menteri kerajaan Tong, mengapa lebih tidak boleh? bantah Se-kiat. Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi bagaimana dengan tindakanmu sekarang? Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi rakyat masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat mengambil hati rakyat? Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu. Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu itu? Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san? Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar, sahut In-nio. Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah! Tiau-ing mengejek. Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu, jawab In-nio. Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa, Se-kiat menyeletuk. Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu? bantah In-nio. Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana? tanya Se-kiat. Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi tidak boleh mengandalkan orang luar! In-nio menyatakan dengan tegas. Se-kiat tergelak-gelak, serunya: Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa banyak rintangan yang akan kujumpai nanti. Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak. Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku
dan Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su (penasihat militer)! In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai seorang sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian menyangka aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut. Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu, kata Se-kiat. Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu? Kalau begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil? tukas In-nio. Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek. Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan pendapat Thiat-mo-lek itu. In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: Karena berlainan arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus sampai di sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu, mau dibunuh mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan lagi. Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: Tiauing kau berikan ia .... Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: Lupakah kau bahwa ia puterinya Sip Hong? Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan Sip Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan. Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani memastikan In-nio tak membantu ayahnya? Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan dari Im-ma-jwan datang menghadap. Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan lainnya Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga digelari sebagai Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan jago yang dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok- limbeng- cu juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah mengirim Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala penyamun berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo Besar masih belum tiba. Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu. Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan sikapnya seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas pandang Se-kiat mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran mengapa Nyo Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu. Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan? Apakah sebelum masuk Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai? Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan, menjabat tugas apa? demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan. Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku telah diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu). Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama 10-an hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran,
mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. Ah, mungkin karena anak muda ini berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat mempersalahkannya, pikirnya. Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah makan rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali! Apakah itu tungganganmu? Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: Kuda itu milik tentara negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai. Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya? Mengapa ia begitu perlu mengirim kau? Berita penting apa yang hendak dilaporkan itu? tanya Se-kiat. Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka baru tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba kemari. Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang penting sekali. Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik. Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka bersiap-siap. Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi? kata Se-kiat. Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan atau tidak? He, apa maksudmu? Soal apa yang tak harus dikatakan? tegur Se-kiat. Karena mungkin bengcu tak senang. Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan! Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku? Bukan, sahut si kerucuk, berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang bernama Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan matamata kami nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan .... Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar? Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak melangsungkan pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh secara menggelap. Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui jejak nona itu, supaya ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena dapat dijadikan tanggungan untuk menekan Sip Hong. Se-kiat tertawa girang: Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat dibayangkan Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan? Harap kalian jangan kuatir. Tetapi akupun merasa berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi? Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu? Apakah sudah dapat menangkapnya? tanya pemuda itu. Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah dulu, kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya ketololtololan seperti Nyo Besar. Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah mengawasi sejenak, ia berkata: Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa dengan aku? Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan mempunyai kehormatan besar berjumpa dengan kongcu? sahut si pemuda itu. Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: Nanti dulu, kau mengaku belum pernah melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu?
In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak asing dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan kepalang. Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha menyalurkan pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar. Pada saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap tembok dan tiba di pinggir pintu. Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia mendengar suara In-nio berseru: Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu! Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan ia bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu, tetapi malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu), terus dilarikan. Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia lantas melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia menyelundup ke Tho-ko-poh. Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam jadi ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing pun tak berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik- hu supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya. Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka. Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman wanita ini tentu kubunuh! Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi. Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki pengamanmu berilah obat penawar padaku, seru In-nio. Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu gunakan akalan begitu? sahut Se-kiat. Suci, kau terkena racun mereka? Bik-hu berseru kaget. Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari racunya, sahut In-nio. Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping Bik-hu. Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio. Dan tanpa terasa ia merasa cemburu juga. In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari! Kudoakan kalian berbahagia, katanya dengan rawan. Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi, sahut In-nio, waktu ia sudah menerima obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu mengatakan belum bisa. Bagaimana maksudmu? Se-kiat marah. Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat yang telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab. Ia sudah dapat berangkat. Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang macam apa? Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian? Dan apakah sekarang kau sudah dapat melepaskan Tiau-ing?
Masih belum, lagi-lagi Bik-hu menyahut. In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal pribadiku. Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku? Apakah kau masih belum mempercayai aku? Se-kiat marah-marah. Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya terpaksa kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu? kata In-nio. Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak percaya pada perempuan siluman ini! In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya Ciauya- say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: Bo toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut. Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi tetap kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa In-nio suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing. Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: Nona Su, harap kau unjukkan muka riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras. Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu juga. Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh kecurigaan apa-apa. Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat, penjaga pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: Bengcu, rupanya hari ini kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda? Dengan enggan Se-kiat menyahut: Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja yang datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku. Setelah kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk. Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan di belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah li di sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati. Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami akan pergi, seru In-nio. In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran? tanya Sekiat. Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi mudah-mudahan kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan bertemu di medan pertempuran, sahut In-nio. Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa kagum juga terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan seorang sahabat, barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu. Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah ia tak keliru menetapkan pilihannya? Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang membuka jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba
terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang yang terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak ada lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup angin. Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing. Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita yang menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari kuda lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian ampuhnya itu. Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu. Sekonyongkonyong Tiau-ing berteriak: Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku! Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing. Gong-gong-ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama Coh Ping-gwan hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang wanita. Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh. Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi sebenarnya ia bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang sentimentil sekali. Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam hidupnya, satu-satunya pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah muridnya Su Tiau-ing itu. Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan sekali. Memang sebenarnya ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum mendapat alasan. Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu, serunya sembari kebutkan hudtimnya. Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata kuda mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata kebutan hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut itu, meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar bulu tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak dapat diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi. Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan gusarnya, Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang hudtimnya hingga lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan pemuda itu terasa sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh. Hal ini membuat Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan mainkan ilmu pedang Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh sinar bunga yang mengarah tujuh jalan darah orang. Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu, patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti orang bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo- lek. Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu. Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak muda itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan gunakan jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu, kemudian berseru: Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian? In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit dapat menduganya juga. Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan pertanyaan Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: Biau Hui sin- ni adalah suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek
adalah suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe? Bukantah kita pernah bertemu di lapangan Eng-hiong-tay-hwe? Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin. Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan Gonggong- ji. Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut Gong-gong-ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu itu. Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera mengenalinya. Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji tentu kurang senang, pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan. Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa mengejek: Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat menggertak suhuku? Bah, siapa yang hendak mengambil muka? Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak membanggakan suhuku, teriak Bik-hu, Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan sifat perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur. Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi, berpikir: Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah, asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran. Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang muda ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri. Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia menaruh perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri. Ia segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi. Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia tertawa ewah: Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia adalah puteri Sip Hong! Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: Benar, jangan sampai ia lepas. -- Dengan hati berat, ia maju ke muka. Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi demi melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat alasan saja itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat. Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum percaya pada kepandaianku? Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah ini? Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu akan meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini kuadakan kecualian. Bik-hu berteriak marah: Apa Bu-ceng-kiam itu? Mengapa dibuat....., belum Bik-hu menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya. Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas. Kena! tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru. Bik-hu mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya pelahan sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga Bik-hu sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan meminjam pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si anak muda lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin Cikoh telah gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia
menggunakan tenaga tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit seperti digigit nyamuk, sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah. In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin Ci-koh. In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay ilmu pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci- koh tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil melibat tangkai pedang In-nio. Lepas! teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci- koh mengakhiri pertandingan itu. Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda itu. Ia membatin: Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul tunastunas muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah boleh dianggap lihay sekali mereka. Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling pada Tiau-ing dan menanyakan: Siapakah ini? Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe? kata Se-kiat. Tiau-ing tertawa: Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya suhu tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap begitu mesra kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti. Oh, kiranya dia bakal suamimu, seru Shin Ci-koh. Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'. Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu. Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan seluruh dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi, Shin Cikoh tertawa. Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah padam mukanya dan diam-diam menggerutu: Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di hadapan Se-kiat mengatakan begitu? Bukankah it berarti membuka borokku? Untung Se-kiat rupanya masih belum mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali dengan Gong-gong-ji? Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal untuk menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk Gonggong- ji, tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau gerakan kami. Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khiksia adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu dan murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan Khik-sia)? Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang berubah hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang 'angkatan' (sebutan). Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah tak dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu. Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu! In-nio mengejeknya dengan hina. Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh ia memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se- kiat. Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu. Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan ....
Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat? Ah, aku terkejut setengah mati, seru Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena mengingat Thiat-mo-lek. Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: Nona Sip, sayang, sayang sekali. Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.' Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bikhu. Ia mendampratnya dengan sengit: Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap aku! -- Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: Ing-ji, mengapa kau semarah itu? Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah bagaimana cara mereka menghinamu tadi? Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: Mengapa ia menutuk jalan darahmu? Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu? sahut Tiau-ing. Nona Sip mengapa berani datang kemari? Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam hendak menemui Se-kiat. Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: Aneh, mengapa nona itu hendak menemui Se-kiat? Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu? Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir kalau Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: Suhu, mengapa kau memikir begitu jauh? Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya. Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh begitu. Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan pihak kita, bantah Tiau-ing. Kalau begitu tahan sajalah! kata Shin Ci-koh. Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu .... Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih? tanya Shin Ci-koh. Tiau-ing tertawa ewah: Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu tergila-gila seorang diri! Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi dan berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau, itu dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan saja. Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gonggong- ji. Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu. Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa yang dikatakan suhunya itu. Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu tebal. Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah. Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba melarikan diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut, kata Tiau- ing. Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai dinding batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar matahari dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata rahasia, maka matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu.
Hanya dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing. Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali ketika isi hatinya yang ia sendiri tak berani mengutarakan telah dibuka oleh Shin Ci-koh. Kemudian diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa lega. Ia malu tapi girang juga. Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat itu. Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu. Innio menghela napas, ujarnya: Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu hendak menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani aku menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali. Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak menyesal. Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu menolongmu. Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya. Sedingindingin hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin merapat dan saling berjabat tangan: Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita berada di ujung rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu. Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun akan mati dengan meram, kata Bik-hu. In-nio merah mukanya dan berbisik: Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu. Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat, tiba-tiba Bik-hu berseru. In-nio terkesiap: Apa yang menyiksa .... itu? Ah, apakah aku harus mengatakan? Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang, kata In-nio dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh dalam batin: Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau membuatnya kecewa. Ai, bagaimana ini? Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika kutahu hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi orangnya cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku itu, kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi! Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat. Dia pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia tak sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal menjadi pasanganmu. kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Thoko- poh mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja, kuatir kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku yang bukan-bukan ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya. Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama. Aku terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani dan pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa tadinya kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin! In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya dan gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan kata-kata 'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa tersadar, In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: Su-te, kau terlalu menyanjung aku. Sebenarnya tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ....
Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan. Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau memandang rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang. Sebenarnya, kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau lebih menang dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat menyamai kau, kata In-nio. Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu tak berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi hati masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi. Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan pengalaman di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu ada orang mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan tenaganya, Tiau-ing tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran makanan, diperkirakan sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu mereka tengah bercakap-cakap. Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang. Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: Itu bunyi musik menyambut temanten! Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari ini, kata In-nio. Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat mengecap kebahagiaan sampai berapa lama? Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga, kata In-nio. Suci, mengapa .... Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya. Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini? Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang diucapkan Bik-hu tadi. Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres! tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata beradu. Di luar seperti terjadi pertempuran. Apakah tentara negeri menerjang kemari? tanya Bik-hu. Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri, kata In-nio. Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat itu terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan untuk meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah mencari bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang. Setelah itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio. Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa, kata In-nio. Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat sekali naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah yang mengangkatnya. Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal ia dapat mencapai ruangan atas. Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu, serunya. Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah
dua meter dari lantai ruang atas. Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah atas terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih baik kait saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk saja. Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai satu tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait terus ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu air. Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik- hu sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: Celaka, bangsat itu hendak menerobos keluar! Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah terlambat. Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat keluar. Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu air. Tapi Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis sserangan orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu. In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata thong-jin menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh jungkir balik. Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang berkepandaian rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. In-nio terhuyung mundur, brat, bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu adalah dua orang wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari ajaran Tiau-ing. Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung minum air, hampir saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat Innio timbul lagi. Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam beberapa gebrak saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya. Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun tak ingat diri lagi. Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat? Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara air itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua orangorangnya yang berkepandaian tinggi dibawa keluar. Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi dicegah In-nio. Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya basah kuyub, maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan mengancam, dapatlah Bik-hu paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas. Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan ketika mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ terdapat sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud- tim dan pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah menjerit-jerit. Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian. Dan Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang yang nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati. Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan Bik-hu itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak LengKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ ciu-pay, celakalah ia. Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio dan Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka. Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga. In-nio dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. Tak usah hiraukan mereka, kita jalan terus. Di sebelah muka lebih ramai lagi, kata In-nio. Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih baik daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita yang menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja. Karena kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua anak muda itu. Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi komando anak buahnya untuk menyerang. Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin baru. Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Sekiat lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah dengan putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan itu ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong). Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita, disamping berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan memegang kekuasaan tentara engkohnya itu. Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu berubah menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih unggul. Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su Tiau-ing untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat mengurung Tiau-gi dan tentaranya. Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak dapat mencegah perbuatan mereka. Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun menerjang ke medan pertempuran. Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang tombak yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat marah dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru memperingatkan Se-kiat supaya jangan membunuh Tomulun. Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan, ayahnyapun tentu menurut perintahku, sahut Se-kiat. Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: Pangeran Tomulun, ini adalah urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur. Mengapa kau hendak membantu engkohku? Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku? Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka menikah dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau! damprat Tomulun. Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: Tutup
mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja! Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah? Lihat serangan tombakku! teriak Tomulun. Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh. Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur! seru Tomulun sembari loncat turun dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan bertempur tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan Tomulun yang dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia lingkarkan pedangnya menyerang ke tengah. Bagus! seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal kepandaian silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa gelakgelak Se-kiat rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke muka. Jika tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah menyerah. Tapi tidak demikian dengan Tomulun. Aku tak sudi lepaskan senjataku! teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak lagi: Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu?! Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu, memang Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya terpancang. Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh, dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari tadi hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti permainan dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja itu terbahak-bahak. Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup putera raja itu. Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang. Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: Cici Kay, kebetulan sekali kau datang! Kay Thian-sian berludah dan berseru: Siapakah cici-mu itu? Kau pengapakan ciciku In-nio itu? Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar rambut cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu. Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran. Mendengar kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan membentaknya: Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo? Apa kau hendak berkhianat? Apakah di matamu tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini? Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat membuang cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat? sahut Thian-sian. Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat. Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: Tomulun jangan takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku?
Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh. Budak tak tahu malu, lihat golokku! dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya. Jilid 14 Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi permaisuri? Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya! Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini, sahut Thian-hau. Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya, bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan. Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku tentu membantumu! teriak Tomulun. Kau mau memberesi aku? Ah, tak mudah, kawan! Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu ia sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya, Se-kiat lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot magnit, Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda- kuda kakinya. Kau gunakan ilmu apa itu? Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu! Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka, sahut Se-kiat. Dengan siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap tak mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat. Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun tersengal-sengal hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong muncul seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio dan Bik-hu. Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah Tiauing, maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan saja. Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun. Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat. Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat gunakan jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari tombak. Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau mundur. In-nio segera membentaknya: Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa kau tak membantunya. Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi! seru anak raja itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana letak keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap pantang menyerah. Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: In-nio, apakah kita tak dapat menghindari pertempuran? Terserah padamu. Pui sute, mari kita pergi, In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu, iapun akan pergi tanpak banyak rewel. Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong! teriak Tiau-ing. Timbul pikiran Se-kiat: Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari dan aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu kesulitan makin besar. Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi. Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian, tetapi tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang
diberikan oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio dan Bik-hu. Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat menusuk In-nio, tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu. Tring, Bik-hu berusaha menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat. Dan begitu Se-kiat menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar tulang pundak anak muda itu. In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang indah: giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa lepaskan Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu melihat In-nio bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: Huh, karena kau melindungi budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan. Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka tersisih, ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona. Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang. Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan. Terpaksa ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke ujung pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san. Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy (sempoyongan), ia hendak menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio dan Bik-hu saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi kebencian. Ia kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup. Maka permainan pedangnyapun makin gencar. Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka dapat juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain dengan serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari sebelah muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari samping. Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka. Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu? Mengapa kau begini buru-buru pergi? Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan! Wut, ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat daripada kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai daya guna istimewa untuk menangkap orang. Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat tentu akan terjaring. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang ke muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh. Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin Cikoh. Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih baik itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio. Sute, lekas naik kuda! teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Sekiat, In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda. Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda dan lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke muka memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi meski kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat.
Dalam waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak. Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu. Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian kendalinya. Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka! Bik-hu gusar sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik- hu sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan cepatcepat sapukan tombaknya. Turun! bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong ke muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai sekali naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika tubuhnya menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke atas, ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu. Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan ilmu gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau- ing masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu. Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia lengkungkan tubuh untuk menghindar. Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada saatnya dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing untuk dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat menggondol pergi kuda Tiau-ing. Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: Jika kedua orang itu tak ditawan, aku belum puas! ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar. Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor: Raja Yan-ong sudah menerobos keluar lembah! Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay Thian-sian mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia kepadanya untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan. Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku! Se-kiat terkejut. Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika dibandingkan dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In- nio dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar. Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya. Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya: Walaupun anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting, pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia congklangkan kudanya ke tempat In-nio. Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Datangnya dari gunung di sebelah belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran tak dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar. Se-kiat kerutkan dahi. Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh. Dan sebagai seorang ahli lwekang, cepat ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat. Memang
Se-kiat sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan Cengbing- cu) mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian juga. Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta bantuan muridnya (Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak mendengar tanda suitan itu. Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan. Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing? Apalagi Shin Ci-koh itu pernah membantu padaku, pikir Se-kiat. Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh tinggalkan tempat ini. Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau. Tetapi jika kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah, sudahlah, sudah. Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh) mati atau hidup, aku tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang Tiauing, karena ia sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku? pada lain saat ia bantah sendiri pikirannya tadi. Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. In-nio, percuma kau melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti menyusahkan kau, teriaknya. Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek: Bo Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah! Se-kiat menghela napas: In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh! Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun dan kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung In-nio itu menjadi kocar-kacir. Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau! teriak Se-kiat. Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau! Tomulun balas berteriak dan malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan). Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung. Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga. Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang indah-indah tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya yang besar. Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah mengalahkannya. Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan lagi padanya! teriak Kay Thian-sian. Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: Terima kasih, cici Kay. Sampai berjumpa lagi lain hari. -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu. Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat Innio menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan kait) menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai. Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar kecuali Kay Thian-hau seorang. Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu sudah terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah payah ia dapat meloloskan diri. Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip? Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia
mensia-siakan nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona Sip, jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu? teriak Thian-sian. Pasukan wanitanya, walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa golok bian-to yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian. Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu berlindung dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh dan adik kembali bertempur. Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun Thian- sian. Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian menjadi tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan. Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun) dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ. Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan setempat. Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat yang didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya tiada punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan berebutan melarikan diri. Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya. Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab, pasukan raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar. Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah. Ia sendiri yang memegang pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau- gi menjadi pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun mereka terdiri dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam peperangan. Di bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng pertahanan yang kokoh juga. Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara suku Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan dari Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan), karena ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang. Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi. In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi dalam medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu. Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya. Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan, pikir In-nio. Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota. In-nio cepat keprak kudanya untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada
pasukan wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia tak mau bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di pegunungan. Berkat kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat jauh di belakang. Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan, menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri. Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi suara genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih terasa sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu. In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran bahagia juga. Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya? Dan setelah lolos, kapankah kita dapat berjumpa lagi? In-nio bertanya-tanya dalam hati. Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan suka duka, sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya, tahulah In-nio kuda itu tentu bukan kuda sembarangan. Apakah Pui sute? In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik- hu melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah. Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut. Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh! Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan, Shin Ci-koh sudah jatuh dari kudanya. Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay. Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah ia dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya dengan In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio. Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak kuat. Ia jatuh ngelupruk di tanah. Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina Ceng-bing-cu! wanita itu deliki mata dan menghela napas. In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. Mengapa kau tak bunuh aku? teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal. Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban menolong sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau 'menindih tangga' pada orang yang sudah jatuh, kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh. Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat ialah di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar. Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan sampai kau terlibat dengan urusanku, kata Shin Ci-koh. Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe membekal kim-jong-yok? tanya In-nio. Apa kau tak membawa? Shin Ci-koh terkejut.
Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi membawa obat itu. Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ...., In-nio menjadi gelisah. Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing? tukas Shin Ci-koh. Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin Cikoh. Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya, sudah tentu ia harus menggeledah badanku. Shin Ci-koh menghela napas: Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku dalam bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku, sungguh menyesal .... In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya. Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah? Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan padamu. Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin- thianhiat, kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau dapat mengurut? tanya Shin Ci-koh. In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya darah itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang luka, harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu tidak banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar ilmu menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut. In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke ujung jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali. Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi, kata Shin Ci-koh. Ternyata walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap masih payah. Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan lwekang. Berhasil atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil mengejarnya, ia tentu selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka. Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti dapat meloloskan diri. Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: Kita bersama-sama pergi! Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi, kata Shin Ci-koh. Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh sementara, In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara tua yang terletak di atas gunung. Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja Obat. Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal di atas gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus. Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat di mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu binatang hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat dimakan, ia lantas kembali ke biara. Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya
mengepul asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: Nona Sip, aku sudah tidak berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang tak mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk sementara waktu saja. Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan? In-nio bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh. Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu dapat digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk bersila lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela napas pula: Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama tujuh delapan hari itu? Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal padamu yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis! Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya. Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: Harap lo-cianpwe tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat mencari aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama. Shin Ci-koh menarik napas: Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip, kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia! Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi? In-nio mengucapkan kata-kata merendah. Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang ratusan kali dari muridku itu, kata Shin Ci-koh. Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio: Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas sembunyikan dirimu. Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak: Siapa yang berada di dalam? Suaranya amat menusuk telinga. In-nio terkejut. Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji. Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan. Dalam putus asa, ia terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi. Ia sudah mendengar berita tentang persekutuan Tiau-gi dengan Se-kiat. Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu- songto. Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung. Ia memang tak punya hubungan dengan Se-kiat. Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu sungkan menolaknya. Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah. Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Cengceng- ji melakukan perjalanan pada waktu malam. Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang yang tentu akan melapor pada suhengnya. Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan yang sepi-sepi. Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah. Tanpa disangka-sangka ia berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh. Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu. Kalau In-nio terperanjat adalah Shin
Ci-koh sudah berteriak: Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu! Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh. Mengetahui kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat kaki seribu. Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan. Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing! In-nio tertawa geli dan bertepuk tangan. Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar. Bibi, bagaimana keadaanmu? tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan 'bibi' kepada Shin Ci-koh. Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata: Itu hanya dapat menggertaknya sementara waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari! Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak, iapun lantas menyembur darah. In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya: Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata kembali, akupun sanggup menghadapinya. Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi. Ia sadar kalau bukan tandingan Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri dalam keadaan terluka. Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat. Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda, Cengceng- ji curiga. Batinnya: Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa sekarang tidak? Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya. Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua kerikil jatuh ke lantai. Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi. Namun karena masih kuatir, ia timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan. Itulah cara orang persilatan bertanya jalan untuk mencari tahu keadaan. Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan. Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak. Jika ShinCi-koh mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya. Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya: Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu. Masuklah, Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu datang. Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau keadaan sekelilingnya. Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi sebaliknya, In-nio malah menyahut: Baik, kita bersama-sama lari. Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan naik kuda. Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih baik daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji. Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga. Bukan In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal. In-nio cepat-cepat hendak mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa terbahakbahak. Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh. Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru: 'Kau adalah bakal susoh-ku. Suheng tidak ada, kaupun serupa. Baiklah, karena memandang muka suhengku, akupun takmau membikin susah padamu. Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar. Akupun tak mau meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku. Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju menghampiri Shin Ci-koh. Ia hendak balas menghinanya.
Sret. In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Cengceng- ji. Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya: Oho, bukankah kau ini anak perempuan Sip Hong? Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se- kiat sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di pinggir sana! Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju merapat menutuk jalan darah si nona. Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing. Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih Sekiat. Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani melukainya sungguh-sungguh. Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan rubuh saja. Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi. Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat pelajaran ilmu pedang. In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji. Cengceng- ji memang kelewat memandang rendah. Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja jari tangannya terpapas kutung. Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya. Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku? Jika sampai membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin! bentaknya dengan marah. Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan! Shin Ci-koh menyindirnya. Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh: Baik, karena kau mengatakan begitu, biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh yang terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu! In-nio tetap berlaku tenang sekali. Dihina lawan, ia tak marah. Ia tahu kepandaian Ceng-cengji itu jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali. In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa dan untuk itu ia harus bersikap tenang. Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai Ceng-ceng-ji lolos. Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos. Tetapi ruangan biara itu sempit sekali. Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping Innio, In-nio cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu). Ilmu pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni. Mengutamakan kelincahan dan ketangkasan, paling cocok untuk kaum wanita. Karena memandang rendah lawan, sejak mulai bertempur Ceng-ceng-ji hanya gunakan tangan kosong saja. Dan selangjutnya pun ia tak sempat lagi mencabut pedang. Ia menjadi keripuhan juga. Tak lagi ia mampu lolos. Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati. Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya, itulah seperti orang mendaki langit sukarnya. Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh enam serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu menyentuhnya. Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Cengceng- ji sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak: Jika kau tak tahu selatan, jangan salahkan aku berlaku ganas! -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung menusuk dada, batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung. Sekaligus tiga serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali. Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan. Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji, iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang matimatian utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang tak punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana sedihnya, ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia menghamburkan air mata. In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk: Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong,
gunakan jurus hian-niau-hoa-sat! Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki. Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi Hun-wi untuk menyerang. Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa. Tetapi ia sudah tak berdaya. Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve. Keduanya bergerak dengan cepat. Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi, posisinya tepat berada di sisi In-nio. In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata hasilnya mengagumkan sekali. Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio dapat membabat lengan lawan. Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju selangkah. Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke dadanya. Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke Lihong. Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih. Ceng-ceng-ji kempiskan dada dan terlolos dari lubang jarum. Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas. Sayang, sayang! Shin Ci-koh menghela napas. Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada jaman itu. Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni. Pernah ia menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang Wan- kongkiam- hwat Gong-gong-ji. Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan Ceng-ceng-ji tadi. Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat. Walaupun sudah mendapat petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji saja tapi tak dapat melukainya. Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio. Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu dipatahkan oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh. Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya: Shin Ci-koh, kau keluarlah! Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa mengejek: Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan Shin lo-cianpwe? Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah. Justeru In-nio hendak membuat supaya Cengceng- ji marah. Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang. Jika Ceng-ceng-ji tak cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk. Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio. Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio dengan hati-hati. Tiba-tiba ia mendapat siasat. Bahunya tampak digerakkan. Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap! cepat Shin Ci-koh sudah lantas meneriaki. Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin. Shin Ci-koh hendak memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat. Trang. Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona. Asal jari Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk. Dan In-nio pasti akan menjadi invalid selama-lamanya. Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya, sekonyongkonyong Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki: Kurang ajar, siapa yang membokong dari belakang itu? In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang: Khik-sia, kau datang! Cici In, aku juga datang! tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring. Menyusul masuklah Yak-bwe. Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio. Karena sudah seperti saudara kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja. Kebetulan Thiat-mo- lek bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat. Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se- kiat kembali ke jalan yang benar. Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa suratnya. Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya untuk mengirim surat itu. Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu- ciu. Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh untuk menemui Se-kiat. Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu karena nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di YuKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ ciu. Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi. Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu. Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat. Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu. Setelah Khik- sia berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke gunung Hok-gu-san. Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat tindakan Se-kiat. Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di tanah datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar. Hari itu mereka tiba hanya kurang 30-an li dari Tho-ko-poh. Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara yang kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh. Khik-sia tahu peperangan sudah dimulai, maka ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan. Ketika melalui biara rusak, didengarnya suara senjata beradu. Dan yang membuat mereka terkejut ialah dua ekor kuda yang tertambat di muka biara. Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang diterima dari Cin Siang tempo hari. Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke dalam biara. Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji). Tetapi lebih unggul dari Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak mengetahui akan kedatangan Khik-sia. Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu kalau ada pendatang baru. Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia. Ia hanya menyangka orang itu tentu lihay. Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras. Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari belakang. Demikian juga Ceng-ceng-ji. Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih dulu ia berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga .... Siapa yang membokongmu? Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng- hiong dan Ho-han? Khik-sia tertawa sinis. Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat pertempuran tadi. Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan penasaran cici In, teriak Yak-bwe. Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar: Khik-sia, kau benar-benar tak memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani menghina aku di depan umum?! Shin Ci-koh menertawakan: Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa dengan suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga! Tutup mulutmu! bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji, beberapa kali kau hendak mengambil jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng? Kurang ajar! Ceng-ceng-ji balas membentak: Aku adalah suhengmu. Aku berhak mengajarmu, masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh? Mengingat kau masih muda kurang pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau masih tidak terima, silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang kemari. Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu. Ia merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia. Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ. Maka sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki. Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja sutemu tinggal di sini beberapa hari ini, Shin Ci-koh tertawa mengejek. Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut pedangnya dan membentaknya: Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai murid perguruan kami? Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan jahat, bertindak salah dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa- suheng
supaya memengal kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng bermurah hati tak tega membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih berani gunakan nama toa-suheng untuk menggertak aku? Baik, karena memandang muka toasuheng, aku pun takkan mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah! Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan. Murid yang melanggar peraturan perguruannya diberi kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh kepandaiannya hilang. Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu. Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah. Ia memaki keras-keras: Kau mengandalkan perlindungan sunio untuk jual kesombongan? Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum! Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi sekonyongkonyong Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe. Licik benar Ceng-ceng-ji. Tahu kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak bersiaga ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia. Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah Yak-bwe. Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat, sebenarnya ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe. Tapi di luar perhitungannya, ternyata Shin Ci-koh sejak tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja. Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh sudah mengetahui siasatnya. Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe: Nona Su, lekas menyingkir! Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji. Untung Yak-bwe sudah keburu menyingkir hingga tak kena dicengkeram. Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain cengkeraman tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok. Tadi karena kurang pengalaman, ia kena diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban. Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long. Di dalam gerak mengandung lain gerak. Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang ombak laut yang mendampar bertubi-tubi. Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin menderuderu. Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya? diam-diam Ceng-ceng-ji mengeluh dalam hati. Keduanya bergerak secara cepat. Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang kepandaian. Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang). Trang, begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih. Maksudnya hendak melarikan diri. Hai, hendak lari kemana kau? teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Cengceng- ji. Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji terasa sakit juga. Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi. Ia mengisar ke samping dan dengan gerak tipuan, ia dapat menghindari serangan. Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang pintu. Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh takut padamu? seru Ceng-ceng-ji. Khik-sia tertawa dingin: Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara seperguruan? Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia memang hendak memancaing supaya Khik-sia bicara. Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh Khik-sia. Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya. Kali ini mana ia dapat diingusi lagi? Walaupun mulutnya bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji. Begitu lawan bergerak,
iapun lantas bergerak. Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah. Tetapi yang digunakan Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan darah. Dibanding dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat. Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali. Bagian yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah. Dulu hanya Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan. Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget. Ia tak menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa. Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang tujuh, tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri. Kedua saudara seperguruan itu karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang menang atau kalah. Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji. Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak bertahan. Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada Shin Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan baik. Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari sergapan Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu. Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa malu sendiri, Shin Ci-koh menghela napas. Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang mendadak sontak berubah perangainya? Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata yang datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya, mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali thauto itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari Cengbing- cu. Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: Oh, kiranya Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini dapat bertemu dengan dua angkatan dari partaimu! Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to tua itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh kuat. Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh: Ceng-bing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan padamu, tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu! Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat karib ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu kalau Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih. Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu. Memang Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan dimana Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya. Bunuh dulu Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya. Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud untuk mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka.
Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li. Terima kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu! Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun. Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan keadaan di sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya, tanpa menoleh Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang. Ia mengira tadi tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan pedangnya menusuk Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat sedemikian rupa, hingga dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang bagaimanapun jua. Tahan! pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin berteriak sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay, sehingga pedang Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua itu, bahkan orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru ia dapat berdiri tegak. Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat juga menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara. Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak percaya hal itu. Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: Bocah ini paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay? Jika tadi ia menusuk tiga kali berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya. Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang, kedengaran Shin Ci-koh mendengus dingin, muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas, harap pada aku saja! Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana? Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang sedang terluka? buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin tadi, In-nio insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun takkan menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya. Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila. Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia menyeletuk: Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya hari ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku! Seru Ceng-bing-cu: Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan, biarlah aku saja yang menindaknya! Ngaco, mundur! bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak. Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis. Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu? Kau paling takut kalah di tanganku dan ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku! Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh. Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran! seru Leng Ciu siangjin dingin.
Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri? Aku tak sudi menerima budimu! sahut Shin Ci-koh. Kembali Leng Ciu tertawa keras: Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat. Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu. Memang kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari. Mana aku mempunyai tempo menunggumu? Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang, kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita keluarkan kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil itu? Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku? Begitu lukamu sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan apaapalagi! Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: Besok malam aku tentu menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa nanti? Leng Ciu siangjin tertawa keras: Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua pesanmu, maaf aku tak dapat mengawani lebih lama. -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin Ceng-bing-cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka. Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia: Leng Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai orang yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan. Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe terkejut sekali, serunya: Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun? Ai, Shin locianpwe, kau kelewat percaya padanya! Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh: Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah sembuh sama sekali! Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia? In-nio merasa cemas. Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan aku! Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia: Besok kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya, bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada toasuhengmu. Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku. Khiksia, tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir, kata Shin Ci-koh pula. Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan seorang wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio) menyampaikan surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang Leng-ciu-pay. Apa yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya menasihati Gong-gong-ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu telah mengalami perubahan batin yang luar biasa besarnya. Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: Nona Sip, aku terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk menolong aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati, menumpas setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesaktisaktinya kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah
contoh. Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang aku pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri. Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus tak menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin. lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak suka dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin seumur hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang membantunya. Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda itu sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas, ternyata penuh dengan budi kehalusan seorang wanita. Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun tak mau tinggal diam melihati saja, kata Khik-sia. Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: Shin lo-cianpwe, bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja? Kupersembahkan kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay mampu mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu? Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan Leng Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat mengingkari? Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi? Melarikan diri, tak usah dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali- kali tak boleh memberi bantuan! Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya: Sungguh tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap tak berubah pendiriannya. Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf, sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan lama. Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit. Dilihatnya rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam. Akupun justeru sedang menunggu! kata In-nio. Dia berada di mana? Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu? Dan bagaimana kau bisa berjumpa dengan Shin lo-cianpwe? Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini? demikian Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan. In-nio menghela napas: Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya, bagaimana kalian berdua bisa datang kemari? Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan surat kepada Se-kiat. Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah? tanya In-nio. Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam urusan mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu? Yak-bwe balas bertanya. Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai, In-nio menerangkan singkat. Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng? Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah menyambut Liang Hong? Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang
suami isteri yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan. Merahlah muka In-nio, dampratnya: Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau menggoda semaunya. Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan serius nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar ditemukan. Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang? Bagus, bagus, ah, supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku tak mau menanyakan urusanmu pribadi. Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-molek itu kepada Se-kiat, kata In-nio. Lho, mengapa? Apakah aku boleh turut mendengarkan? Khik-sia menghampiri. Justeru memang hendak kudengarkan padamu, sahut In-nio yang lalu memulai keterangannya. Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul. Benar memang aku sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiauing. Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing? Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan mendengus: Huh, herankah? Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu? In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak dapat menahan kemarahannya lagi: Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu! Eh, kau jadi menemuinya, tidak? tegur Yak-bwe. Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak aku harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya, sahut Khik-sia. In-nio mengangguk: Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu. Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio. Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya setitik kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya. Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi di mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga, katanya. Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah supaya In-nio jangan melantur lebih jauh. Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya: Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe .... Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia berani datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang, akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap, jika hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat. Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam hari tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe memerlukannya, kata Khik-sia. Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun membiarkan saja. Katanya: Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak mengapa. Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu.
Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa: Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat. Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu? Khik-sia mendengus. Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat akan Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih ada 'apa-apa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu, meninggalkan banyak kesan padanya. Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu benar-benar sejoli yang paling tepat! pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. Sekarang kalau bertemu aku tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja. Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang tanah. Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia menghampiri dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiaugi) tengah bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan ginkangnya yang lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak mengetahui. Salah seorang berkata: Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada cukong, tentu kita mendapat hadiah besar. kata yang seorang: Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari dia? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap orang. Orang yang kesatu berkata pula: Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi saja mungkin kau sekar mendapat. Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. Mereka menyebut- nyebut 'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan .... Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang dua bertanya: Toako, apa yang kau tertawakan? Opsir ketiga itu menyahut: Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus! Kalau menurut pendapatmu, bagaimana? tanya kedua orang tadi. Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti 'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan isteri cecu (pemimping begal). Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita retak hanya karena siluman kecil itu, kata kedua orang kawannya. Kata opsir tadi: Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya. Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek. Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah. Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok kedua kawannya tadi. Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan aku, terpaksa aku bertindak! Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: Siapa yang hendak kau ambil isteri itu?
Wanita itukah? Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran berteriak: Khik-sia, tolonglah aku! Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia. Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat, dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis. Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khiksia. Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to. Indahnya bukan buatan. Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu. Bentaknya: Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini! Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir. Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh ke tanah. Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu. Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka? tegur Tiau-ing. Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu .... Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian Khik-siapun kelumuran juga. Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya. Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya. Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing. Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia. Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya. Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!
Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi! Khik-sia mendengus dingin. Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: Khik-sia, aku merasa salah kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu. Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau .... Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau di sini! bentak Khik-sia. Tiau-ing menyeringai: Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut putusanmu! Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu, kata Khik-sia. Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat. Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat, Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat tampillah kesatriannya: Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu? Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka dan melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau- ing. Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka jalan darahnya. Ujarnya: Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta. Kata Tiau-ing: Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh datang? Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga nona itu. Pikirnya: Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku. Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian. Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah Thoko- poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan mendampratnya: Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah, sekarang sudah lari ikut lain lelaki. Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya, kata seorang lain. Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: Ai, apa bocah lai itu bukannya yang tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali! Ada pula yang menyelutuk: Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat
bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'. Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka itu lebih menyakitkan telinga. Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila anak tentara hendak mengganggunya. Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: Hai, bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat bentuk pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal selatan! Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas kudanya! Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang diri Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima wanita berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang, Khik-sia segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka. Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi! bentak Tomulun seraya putar tombaknya. Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian Khik-sia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa Khik-sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing. Thian-sian putar kudanya dan berseru: Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan lepaskan dia! Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: Jika tak menyerahkan orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap! Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring, tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang. Tomulun mengejar, teriaknya: Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu? Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu, seru Thian-sian. Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu. Tomulun kertek gigi dan membentak: Lihat tombak! - Ia kaburkan kudanya dan menombak Khik-sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras. Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia. Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh). Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar.
Jatuhnya tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari. Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah. Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda. Tomulun menghela napas: Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah dikejar. Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang. Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu, kata Khik-sia. Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya. Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah pada luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik- sia muak tapi kasihan juga. Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati. Diam-diam Khik-sia mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja. Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari? kata Tiau-ing dengan suara masih tersengal-sengal. Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh Sip Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru- buru hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin lambat jalannya. Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka adalah tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi pertempuran. Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan ekor kuda yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari). Khik-sia gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti. Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik. Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan Tiau-ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In
tentu gelisah memikirkan diriku, pikirnya. Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu, tentu akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya (Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus terang. Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul. Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan cepat keprak kudanya. Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat? teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan- imjip- bi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat. Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus ia kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat selesainya. Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar. Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo Se-kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan Tiau-ing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap. Khik-sia tercengang. Pikirnya: Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang ajar, apakah dia curiga padaku? Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari kepada Se-kiat. Ing-moay, ini, ini, bagaimana? tanya Se-kiat dengan getar. Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: Dia, dia, dia menghina aku! Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya. Nona Su, aku, kau kata apa? tergopoh-gopoh ia menegur. Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah ia dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khiksia. Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya. Ia anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekasbekas cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan' api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan dan mengadu pada suaminya. Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan kemarahan dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi. Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas mencabut pedang. Bentaknya: Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku! - Sang kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia. Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga. Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya. Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak
begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu. Setelah menghindar, berserulah ia: Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari! Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: Untung ia belum mati dan masih dapat bicara membuka kebohonganmu! Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa orang. Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya mencabut pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja, walaupun gin-kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga. Marahlah Khik-sia: Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan keteranganku! Se-kiat tertawa mengejek: Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu? Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: Bo Se-kiat, kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari? Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku? Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: Bangsat, jangan ngoceh tak keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu! Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khiksia yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum dapat melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik mendakwa Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau- ing, untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia. Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia. Serunya: Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi! Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani! Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin. Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu! Se-kiat tertawa dingin. Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: Se-kiat, kau tahu malu atau tidak? Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri! Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu! Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat. Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada Khik-sia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se- kiat pun gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya. Se-kiat terkejut, pikirnya: Kepandaiannya maju pesat sekali. - Dahulu ketika diadakan pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang pusaka. Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah
belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia. Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia. Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: Harap bengcu jangan umbar kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber. Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan. Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang- orang itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi, Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo- lek) yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai. Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya: Se-kiat yang salah! Perempuan siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu. Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari Hu-song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh keluar kemah tanpa ijin, Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro Khik-sia itu. Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to). Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia. Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loanbi- hong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan diri. Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika ko-chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin. Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan. Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap belum ada yang kalah atau menang. Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya: Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?
Pikirnya lebih lanjut: Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa aku melibatkan diri dalam pertempuran. Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui. Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main golok. Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua langkah. Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya, melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng- cu tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada syaratnya ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan. Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan Se-kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil putusan untuk mencobanya juga. Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun membahayakan juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khiksia pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu, tergetarlah hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah. Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya, belum tentu Khik-sia dapat menang. Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran pedang Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya: Bangsat kecil, hendak lari kemana kau? - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas menusuk. Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja. Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar. Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba. Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih ada berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua? Khik-sia tertawa mengejek. Se-kiat balas mengejek tertawa: Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka
hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan. Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: Harap Toan siauhiap suka tinggal! Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda. Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat! pikirnya. Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain, serunya: Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana! Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat? Se-kiat menertawakan. Dan berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: Harap tinggal di sini saja! Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi. Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku! Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua orang baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor keras dan maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan mati-matian. Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan pedang orang. Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo Se-kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khiksiapun sukar mengalahkan. Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka dengan To-cu kami? Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang ilmu lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak meloloskan diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to. Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah. Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu. Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka masih tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampirhampir rubuh. Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo Jong-long), akupun takkan mengejekmu.
Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu! Khik-sia berseru marah. Sekali putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat. Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang. Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai putus. Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu! kembali Se-kiat tertawa mengejek. Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang dengan kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Sekiat. Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya. Tiba-tiba Se-kiat membentak: Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau! Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak kuat menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya tergurat luka sepanjang tiga dim. Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang memaki dengan melengking: Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku! Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau bukan Gong-gong-ji. Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau Hu-song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan baratlaut, ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning yang adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan. Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia. Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji. Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to! Gong-gong-ji menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong- ji tertawa terbahak-bahak. Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: Kau berani mengejek ilmu pedang kaumku? - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Sekiat. Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti petir menyambar-nyambar. Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala. Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan darah lawannya. Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung. Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba menampar dengan sebelah tangannya. Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah tamparanku! Khik-sia geli dalam hati: Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga ketularan. - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan
minggir ke samping. Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gongji terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji. Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan. Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental. Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong- ji rapat-rapat. Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau Khik-sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan, pikirannya masih terang. Pikirnya: Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos. Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan Pat-tin-tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun, betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka. Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali. Segera ia meneriaki Khik-sia: Sute, ikutlah aku! - Ia melesat memburu Se-kiat. Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gonggong- ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti suhengnya. Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun sudah terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka Khik-sia. Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti. Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang kepala Bo Se-kiat, kata Gong-gong-ji. Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang memerlukan tenaga suheng, sahut Khik-sia. Gong-gong-ji kerutkan alis: Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Sekiat? Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu. Oh, Shin Ci-koh? tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, Ya, aku telah bertunangan dengan Cikoh. Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega. Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama
yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya. Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi untuk menolongnya! Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang berani mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri? Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak yang terletak di gunung itu, sahut Khik-sia. Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya. Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia? oooooOOOOOooooo Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang. Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada Gong-gong-ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini dapat ditertawakan orang. Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Cengbing- cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ... susoh, kata Khik-sia. Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: Ya, kutahu. Ceng-bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar terhadap susohmu! Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. Celaka, kukuatir saat ini mereka sudah mulai bertempur! serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia. Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus! Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: Kali ini aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya! Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh, Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: Celaka! Celaka! Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: Bagaimana keras kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi. Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu! bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri. Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana. Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji. Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah. Apakah pertempuran mereka sudah dimulai? tanya Gong-gong-ji. Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. Ah, kalau begitu, pertempuran baru berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah. Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong.
Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya. Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan berseru: Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang! Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah. Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batubatu kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji. Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku? Gong-gong-ji marah sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh. Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak mungkin dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju. Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak: Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini! Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar, Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok punggungnya: Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu! Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay yang dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya. Meskipun tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ. Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia pada pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin). Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak mencari bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk menunggu. Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap harus dibunuh mati. Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin. Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat membinasakan Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay ginkangnya seperti Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri. Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas ke belakang. Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gonggong- ji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah
dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya. Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku, semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan akan membunuhmu! - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuikkuik seperti babi hendak disembelih. Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: Melihat kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut katakataku. Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. Baik, kalau begitu ayo ikut aku, kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang menjinjing ayam saja. Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam. Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Ci-koh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin. Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya gagal. Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar pesan Yak-bwe. Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima penjelasanku atau tidak? ia mengeluh dalam hati. Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah mengharap-harap kedatangan Khik-sia. Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin Ci-koh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan Innio lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga. Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main. Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua: Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini. Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat tadi, Shin Ci-koh berseru angkuh. Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Leng-ciu-pay itu tertawa: Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi. Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu? tanya Shin Ci-koh. Leng Ciu siangjin kesima, serunya: Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang! Jilid 15 Maksud dan tujuanmu memberi obat itu, akupun sudah tahu juga. Tetapi budi kebaikan tetap budi kebaikan. Dan aku sudah menerima kebaikanmu, mana aku takkan membalasnya? Nanti apabila bertempur, tak nanti aku membikin kecewa harapanmu. Biarlah kau tentu menderita
kekalahan yang betul-betul memuaskan hatimu. Akupun hendak mengatakan lebih dulu. Pedangku ini tak kenal akan budi kasih lagi. Namun masih dapat kuberi ampun jiwamu. Tetapi setelah lukamu sembuh, masih kau tetap tak terima dan menantang berkelahi, akupun takkan sungkan lagi untuk mengambil kepalamu. Leng Ciu tergelak-gelak, serunya: Sungguh tak kecewa kau diberi gelar Bu-ceng-kiam. Pedangmu tak kenal ampun dan mulutmupun tak mau kalah. Bagus, bagus, memang begitulah maksudku. Keluarkan seluruh kebisaanmu. Hanya kukuatir, pedangmu tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku. Jika masih hendak meninggalkan pesan apa-apa, silahkan menyelesaikan sekarang juga. Siapa yang akan kalah dan menang. Siapa yang akan mati atau hidup, lihat saja nanti. Anak muridmu tidak tampak hadir, tentunya kau sudah mengatur beres pesan-pesanmu. Baiklah, mari kita mulai sekarang! Setiap kali adu bicara, Shin Ci-koh tentu tak mau mengalah. Leng Ciu siangjin tertawa keras: Semalam kemana saja perginya anak muda itu? Kau toh bertempur dengan aku, ada sangkut pautnya apa dengan anak muda she Toan itu? seru Shin Ci-koh. Memang tak ada sangkut pautnya. Hanya kulihat kepandaiannya boleh juga. Beberapa jurus permainan pedangnya boleh ditandingkan dengan jago pilihan. Benar, memang aku tantang kau berkelahi sampai mati, kau boleh undang bantuan, aku tetap menghadapi seorang diri. Kalau memang ada bala bantuan, silahkan maju berbareng. Atau mau bergiliran maju, juga boleh. Adanya aku datang seorang diri agar kau jangan cemas. Eh, aku kepingin menjajal kepandaian anak muda itu. Shin Ci-koh anggap Siangjin itu angkuh sekali. Ia mendampratnya: Main keroyok, itu keistimewaan anak muridmu. Selama hidup aku selalu bergerak seorang diri, masa sudi mencontoh kelakuan partaimu Leng-ciu-pay? Kalau mau menempur anak muda itu, besok malam sajalah. Karena malu, muka Leng Ciu siangjin berubah gelap: Anak muridku termasuk Wanpwe (angkatan muda). Memang tak seharusnya mereka mengeroyok kau. Tapi kau menangkan mereka pun takkan ternama. Dan lagi jika sifatmu tak ganas, masakan mereka akan menggempurmu. Sekalipun mereka salah, tapi dengan membunuh mereka sampai sekian banyak, kau tetap bersalah! Aku tak sudi banyak omong tentang kelakuan anak muridmu yang manis-manis itu. Toh saat ini kita akan bertempur sampai mati. Memang anak muridmu telah kubunuh, kalau kau mau menuntut balas, silahkanlah! sahut Shin Ci-koh. Baik, kau sudah membunuh dua puluh tiga muridku. Jangan menyesal, aku hendak pinjam pedangmu bu-ceng-kiam untuk membuat dua puluh tiga lubang tusukan di tubuhmu! Leng Ciu siangjin marah benar. Shin Ci-koh serentak mencabut pedangnya: Kalau mampu, silahkan mengambil pedang ini. Ayolah! Walaupun tak tertahan lagi kemarahannya namun Leng Ciu tak mau kehilangan gengsinya sebagai seorang guru besar. Tertawalah ia: Shin Ci-koh, meskipun tingkat angkatan kita sama, tapi aku lebih tua duapuluh tahun. Aku tak mau cari enak, aku akan mengalah sampai tiga jurus! Shin Ci-koh kiblatkan pedangnya dalam tiga buah tusukan. Tapi bukan ditujukan pada Leng Ciu siangjin melainkan ke udara. Setelah itu berkatalah ia: Telah kulakukan permintaanmu menyerang tiga kali. Sekarang giliranku untuk melihat kepandaianmu! Shin Ci-koh, berapa tingginya kepandaianmu berani mempermainkan aku? Leng Ciu berteriak nyaring, seraya kebutkan kebutkan lengan baju ke arah Shin Ci-koh. Ujungnya seperti pedang yang memapas tangan orang. Shin Ci-koh putar tubuhnya dalam gerak Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar-lingkar kemudian dengan jurus Liu-sing-kam-gwat, ia pantulkan ujung pedangnya ketiga jurusan jalan darah pek-hay-hiat di kiri, thian-tho-hiat di kanan dan suah-ki-hiat di tengah. Kesemuanya terletak di dada orang, merupakan segitiga. Permainan pedang Shin Ci-koh itu dibanding dengan ilmu pedang Wan-kong-kiam dari Gonggong- ji, masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri. Benar Wan-kong-kiam sekali gerak
dapat menusuk sembilan buah jalan darah, tapi kesemuanya itu pada garis yang merata, baik mendatar maupun melintang. Tidak demikian dengan gerak pedang Shin Ci-koh. Meskipun jumlah tusukannya tidak banyak, tapi arahnya berlainan, kanan-kiri atas dan bawah. Hebat! mau tak mau Leng Ciu siangjin memuji juga. Ia kebutkan lengan bajunya untuk menyampok tusukan kanan dan kiri. Tapi untuk yang tengah, ia tak keburu menolak lagi. Brat.... ujung pedang Shin Ci-koh menggurat, meninggalkan bekas guratan tapi tak sampai merobekkan baju. Ternyata dalam saat-saat yang berbahaya itu, Leng Ciu dapat menyedot dadanya ke belakang. Begitu ujung pedang melekat pada baju, ia terus hembuskan lwekangnya untuk menolak, Shin cikoh terkejut dan buru-buru hendak menarik pulang pedangnya tapi sudah terlambat, Leng Ciu siangjin sudah mengebutkan lengan bajunya. Shin Ci-koh coba berusaha untuk miringkan tubuhnya kian kemari namun tak urung mukanya terasa panas kesakitan akibat sambaran angin kebutan lawan. Keduanya sama terkejut dan tak berani memandang rendah lawan. Dengan kepandaian yang lebih unggul setingkat, Leng Ciu siangjin menjalan taktik tenang. Ia selalu mendahului penyerangan tapi tak mau menyerang dengan gencar. Dalam lingkaran seluas tiga tombak, angin pukulannya tetap dapat menguasai lawan. Kemana saja Shin Ci-koh hendak menusuk, tetap tertolak. Diam-diam Shin Ci-koh mengeluh. Kalau pertempuran berjalan lama, terang ia yang akan kalah. Cepat ia rubah taktik. Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ujung pedangnya pecah menjadi beberapa belas sinar. Suatu hal yang membuat Leng Ciu leletkan lidah juga. Ia kerahkan latihannya berpuluh tahun untuk menutup dirinya. Setiap kali ujung pedang Shin Ci- koh menusuk tentu akan terbentur dengan dinding baja. Serangan Shin Ci-koh tertahan pada jarak setengah meteran. Oho, kepandaianmu hanya begini sajalah? tiba-tiba Leng Ciu siangjin berseru. Dari bertahan, ia berganti menyerang. Anginnya menderu-deru hingga tubuh Shin Ci-koh terombang-ambing seperti perahu di lautan. Shin Ci-koh murka. Ia rubah lagi permainan pedangnya, kemudian tertawa mengejek: Aha, kepandaianmu juga hanya begini sajalah! -- Tangan kirinya mencabut kebut hud-tim. Dengan demikian ia memakai dua senjata. Dengan gerak permainannya yang istimewa dimana kalau melambung ke udara seperti gerak burung elang dan kalau mendak ke bawah laksana lebah mengerumun, dapatlah ia menahan serangan lawan. Bukan saja ilmu pedangnya istimewa, pun ilmu permainan kebut yang disebut Thian-kon- budkian- se-cap-liok-si, juga luar biasa. Bulu kebut itu dapat dirubah menjadi ujung-ujung jarum yang menusuk jalan darah orang. Dan dapat juga dikencangkan menjadi semacam senjata poan-boan- pit. Pokok, dapat digunakan untuk menyerang dalam segala cara. Leng Ciu siangjin melayani dengan hati-hati. Kebutan lengan bajunya disertai gerakan jari yang melancarkan hawa dingin. Ternyata ia menggunakan ilmu jahat yang disebut Hian-im-ci (jari negatif). Khusus memancarkan hawa dingin untuk menyerang jalan darah lawan. Sudah tentu jari berangin dingin itu jauh lebih sukar dihadapi dari kebut Shin Ci-koh. Sebagai ahli lwekang, sudah tentu Shin Ci-koh dapat menutup jalan darahnya dari serangan angin dingin. Tapi hanya untuk sementara waktu. Jika pertempuran berlarut lama, tentu sukar bertahan lagi. Baik, aku akan mengadu jiwa padamu, lokoay! akhirnya Shin Ci-koh nekad. Ia putar kebutnya dan bolang-balingkan pedangnya mendatar. Leng Ciu siangjin segera terbungkus dalam jaring sinar. Wanita siluman ini benar-benar tak kecewa bergelar Bu-ceng-kiam, mau tak mau Leng Ciu memuji dalam hati. Pertempuran hebat itu membuat In-nio dan Yak-bwe terlongong-longong. Mereka menyingkir di ujung biara, namun tubuh mereka masih terasa menggigil tersambar angin dingin Leng Ciu siangjin. Leng Ciu lokoay itu benar lihay, tapi kukira Shin lo-cianpwe dapat memenangkannya, setelah menyalurkan lwekang untuk menahan hawa dingin, Yak-bwe membisiki In-nio.
Memang pada saat itu Shin Ci-koh tengah melancarkan serangan yang hebat. Tapi In-nio yang lebih banyak pengalaman, dapat melihat kelemahan Shin Ci-koh. Belum lagi ia memberi bantahan kepada Yak-bwe, disana gerakan pedang Shin Ci-koh mulai lambat, seperti terpancang sesuatu. Tenaganya makin kurang lancar. Memang benar dugaan In-nio itu. Karena tak dapat bertahan lama menutup jalan darah, ketika Ci-koh hendak ganti napas, hawa dingin dari jari Leng Ciu segera menyusup ke dalam pori kulit. Dengan lwekangnya yang tinggi, dapatlah jago wanita itu menghalau hawa jahat itu, tapi tak urung karena lambat laun hawa dingin yang masuk itu makin banyak, gerakan Shin Ci-koh pun terpengaruh juga. Orang menunggu sampai kaku, Khik-sia mengapa tak muncul, Yak-bwe menggerutu. Tapi baru ia mengucap begitu, tiba-tiba di luar ada suara tindakan orang. Ia duga tentu Khik-sia, maka girangnnya bukan kepalang. Ia ulurkan kepala untuk melongok. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak yang menusuk telinga: Datang, sudah datang! Kalian berdua budak perempuan harus turut aku! -- Ah, yang muncul ternyata bukan Khik-sia, tetapi Ceng-ceng-ji. Adalah karena mengetahui bahwa Khik-sia turun gunung, maka beranilah ia datang lagi ke biara situ. Maksudnya hendak menangkap kedua nona itu untuk diserahkan pada Se-kiat. Secepat suaranya terdengar secepat itu pula Ceng-ceng-ji sudah melesat masuk dan menyerang In-nio Yak-bwe. Untuk In-nio yang diketahui lebih lihay ia babat dengan pedang. Sedang untuk Yak-bwe cukup ia tusuk jalan darahnya dengan jari tangan kiri. Tapi taksirannya itu meleset. Selama sebulan bersama Khik-sia, kepandaian Yak-bwe maju pesat sekali hingga berimbang dengan In-nio. Cepat ia menyambut jari Ceng-ceng-ji dengan pedangnya. Ceng-ceng-ji kaget dan ganti tusukannya untuk menyelentik. Dan karena ia harus gunakan tujuh bagian lwekangnya, permainan pedangnyapun agak lemah. Sekali tangkis, dapatlah In-nio menolaknya. Ho, Leng Ciu Siangjin, bukankah kau tantang aku bertempur satu lawan satu? Sebenarnya aku tak melarang kau mengajak koncomu kemari. Tapi perlu apa kau mengumbar suara besar hanya datang seorang diri? tiba-tiba Shin Ci-koh melengking tertawa. Leng Ciu terkesiap, serunya: Sahabat Ceng-ceng-ji itu bukankah sute dari Gong-gong-ji? Masakah kau tak kenal? Mengapa kau anggap dia bala bantuanku? Memang kunyuk kecil itu bukan anak muridmu. Dia tak berguna apa-apa. Tapi tetap dia lebih unggul dari murid-muridmu. Hm, jika tak kau suruh, mana dia berani datang kemari? sahut Shin Ci-koh. Ceng-ceng-ji terpaksa hentikan serangannya dan berseru: Leng Ciu cianpwe, harap dengarkan keteranganku. Aku memang mempunyai sedikit permusuhan dengan kedua budak itu. Oleh karena tunggu besok pagi dikuatirkan mereka sudah pergi maka terpaksa sekarang aku hendak meringkus mereka. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu cianpwe. Dengan menyebut cianpwe itu, Ceng-ceng-ji menyanjung tinggi Leng Ciu, dengan harapan siangjin itu akan membantunya, sekurang-kurangnya tidak mengusirnya. Tu, dengar tidak Shin Ci-koh? Mereka mempunyai permusuhan sendiri dan kita pun mempunyai perhitungan sendiri. Mana aku dapat melarang Ceng-ceng0ji datang kemari? seru Leng Ciu. Jadi, benarkah kau tak mengundang kunyuk itu? Shin Ci-koh menegas. Sudah tentu tidak! Mana aku sudi cari bantuan. Sudah, jangan banyak rewel, lihat pukulan! Shin Ci-koh tak mau menangkis, sebaliknya ia berputar diri dan menusuk Ceng-ceng-ji, serunya: Aku tak senang ketenangan kita diganggu orang. Karena kau tak mengundang, biarlah kuusirnya kunyuk ini! Sama sekali Ceng-ceng-ji tak mengira kalau di bawah serangan Leng Ciu, Shin Ci-koh berani menyerang dirinya. Buru-buru ia menangkis. Leng Ciu siangjin terpaksa tarik pulang serangannya tadi karena kedudukannya sebagai ketua partai tak mengijinkan ia mengeroyok orang. Dan ini memang telah diperhitungkan Shin Ci-koh, makanya berani saja ia menyerang Ceng-ceng-ji. Sekali pukul dua lalat. Pertama, ia dapat menolong kedua nona. Kedua, ia dapat kesempatan untuk
mengenyahkan hawa dingin Hian-im-ci yang menyusup dalam tubuhnya. Sambil bertempur, ia kerahkan lwekang untuk mengusir hawa dingin itu. Cepat sekali mereka sudah bertempur sampai 20-an jurus. Hebat sekalipun ilmu pedang Wankong- kiam itu tapi karena Ceng-ceng-ji belum sempurna latihannya, maka tetap kalah dengan Shin Ci-koh. Apalagi Shin Ci-koh memakai pedang, sedang tempo hari ketika bertempur di lapangan kotaraja, dengan tangan kosong saja ia dapat menampar muka Ceng-ceng-ji. Untung Ceng-ceng- ji tinggi gin-kangnya dan Shin Ci-koh gunakan sebagian lwekangnya untuk membersihkan hawa dingin beracun, dengan begitu pertempuran berlangsung panjang. Tapi setelah lewat jurus ke-21, runtuhlah perlawanan Ceng-ceng-ji. Ia mandi keringat dan napasnya senin kemis. Ceng-ceng-ji masih belum mau melarikan diri. Matanya memandang Leng Ciu untuk meminta bantuan. Tapi siangjin itu diam saja hingga Ceng-ceng-ji makin kelabakan. Pada saat ujung pedang Shin Ci-koh hendak bersarang ke tubuh Ceng-ceng-ji, sekonyongkonyong Leng Ciu kebutkan lengan baju untuk menyampok pedang Shin Ci-koh, sedang dengan tangan kiri ia mendorong Ceng-ceng-ji sampai terlempar keluar pintu. Bukankah kau hendak bertempur dengan aku? Nah, sekarang sudah kulempar pergi orang itu! - seru Leng Ciu kemudian meneriaki Ceng-ceng-ji: Ceng-ceng toyu, carilah lain tempat yang agak jauh dari sini. Kalau kau hendak bertempur dengan kedua nona itu, aku takkan membantu siapa-siapa. Baik, ayo kita mulai lagi! seru Shin Ci-koh. Tapi Leng Ciu bukannya menyerang sebaliknya berputar diri ke samping kedua nona. Hai, Leng Cu lokoay, kau mau apa? Cis, tak malu menghina orang muda! Shin Ci-koh berteriak kaget tapi sudah kasip. Leng Ciu siangjin sudah melemparkan kedua nona itu keluar. Sudah kukatakan tak mau membantu pihak manapun. Karena Ceng-ceng-ji keluar, kedua nona itupun tak boleh tinggal di sini! Memang Leng Ciu tak melukai mereka. Dengan tenaga kebutan yang istimewam ia lemparkan In-nio dan Yak-bwe keluar, tapi selembar rambut kedua nona itu tak ada yang rontok. Shin Ci- koh mau memburu keluar tapi Leng Ciu sudah menghadang di ambang pintu:Sekarang sudah tak ada orang, kau masih punya alasan apa? Mau lari? Jangan harap! Huh, kau toh belum mampu menangkan aku, mengapa bermulut besar! damprat Shin Ci-koh yang terus menyerang lagi. Karena memikiri keselamatan In-nio dan Yak-bwe, pikirannya gelisah dan cepat sekali ia terdesak. Tapi dikarenakan tadi ia sudah berhasil mengeluarkan hawa racun dingin, maka dapatlah ia bertahan diri. Oho, kalian juga dilempar keluar, ha, ha, sekarang tiada orang yang melindungi kalian lagi! Ceng-ceng-ji tertawa cengar-cengir sembari enjot tubuhnya melayang melewati kepala kedua nona. Ia turun di muka pintu. Maksudnya mencegah jangan sampai kedua nona itu lari ke dalam biara. Setelah itu barulah ia mulai menyerang. In-nio tahu bahwa Ceng-ceng-ji itu lebih tinggi ilmu gin-kangnya. Untuk lari, terang tak mungkin. Maka ia ambil putusan mengadu jiwa. Begitulah bahu-membahu dengan Yak-bwe, mereka serang Ceng-ceng-ji dari dua jurusan. Kepandaian mereka jauh lebih maju dari dahulu. Apalagi akhir-akhir ini mereka telah sama-sama menyakinkan ilmu pedang Hui-hoa-cui-yap- kiamhwat (ilmu pedang bunga gugur mengusir kupu) dari Biau Hui sin-ni. Dengan menyerang bersama, ilmu pedang itu lebih berbahaya lagi. Meskipun Ceng-ceng-ji mempunyai kepandaian 'sekali tusuk dapat menyerang tujuh buah jalan darah', namun dalam waktu yang singkat hendak mengalahkan mereka, juga tak mungkin. Tapi bagaimanapun kepandaian Ceng-ceng-ji tetap mainkan pedangnya. Ini untuk menghabiskan lwekang kedua lawannya. In-nio dan Yak-bwe gunakan permainan lincah. Namun tak urung mereka tak dapat menghindari benturan pedang Ceng-ceng-ji. Setiap kali berbenturan, tangan mereka terasa sakit sekali. Makin lama lwekang mereka makin lemah. In-nio yang lebih kuat lwekangnya, hanya mandi keringat saja. Tapi Yak-bwe yang agak lemah lwekangnya, sudah merasa pusing matanya berkunang-kunang dan napas terengah-engah. Permainan pedangnyapun mulai kacau. Dan Cengceng- ji yang mengetahui hal itu, cepat menghantamnya. Trang, pedang Yak-bwe mencelat ke
udara. Ceng-ceng-ji maju mendekati. Ia rangsangkan kelima jarinya untuk mencengkeram tulang pi-peh di bahu si nona. Maksudnya hendak menghancurkan kepandaian Yak-bwe. Tiba-tiba telinganya terngiang suara makian Gong-gong-ji: Ho, lagi-lagi kau bangsat yang hendak membikin onar di sini! Kurang ajar, kali ini tak kuberi ampun, hendak kubeset kulitmu! Sebenarnya Gong-gong-ji masih terpisah sebuah puncak, bagaimana juga tak nanti ia mampu datang. Maka digunakannyalah lwekang Coan-im-jip-bi. Hal itu diketahui juga oleh Ceng-ceng- ji. Kalau mau ia masih ada waktu untuk meneruskan rencananya terhadap Yak-bwe. Tapi ia paling takut kepada suheng itu. Nyalinya pecah dan tangannyapun gemetar sehingga Yak-bwe sempat loncat menghindar pergi dan In-nio maju menusuknya. Dalam beberapa kejap saja, Gong-gong-ji dan Khik-siapun makin dekat. Melihat mereka, Ceng-ceng-ji segera tinggalkan kedua nona dan lari sipat kuping. Memang cepat sekali gerakan Gong-gong-ji dan Khik-sia itu. Selagi Yak-bwe belum sempat berdiri tegak dalam groginya (terhuyung-huyung) tadi, Khik-sia sudah muncul dan menyambuti Yak-bwe: Adik Bwe, kau, kau mengapa? Tak apa-apa, hanya bajuku kena dikoyak kunyuk itu, tapi tak sampai terluka. Mengapa baru sekarang kau datang? Mana Pui suheng? sahut Yak-bwe. Pui suheng belum ketemu. Aku, aku .... Ah, hal itu nanti saja dibicarakan. Kalian lekas-lekas masuk ke dalam. Shin lo-cianpwe dalam bahaya! In-nio cepat menukas Gong-gong-ji anggap menolong Shin Ci-koh lebih penting dari menangkap Ceng-ceng-ji yang dibencinya itu. Apalagi ia membawa seorang tawanan (Ceng-bing-cu), dikuatirkan makan waktu lama untuk mengejar sute itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dapatlah ia mendengarkan bahwa Shin Ci-koh memang dalam bahaya. Cepat ia menjinjing tubuh Ceng-bing-cu dan melangkah masuk. Khik-sia hendak ikut tapi dicegah: Kalian tak usah turut masuk. Aku mempunyai tipu bagus untuk menghadapi lokoay itu. Mendengar itu legalah hati Khik-sia, karena tadi ia kuatir kalau-kalau suhengnya itu akan melanggar peraturan dunia persilatan. Shin Ci-koh sudah tak kuat bertempur. Tapi demi mendengar suara Gong-gong-ji, bangunlah lagi semangatnya. Kebalikannya Leng Ciu menjadi keder namun ia pura-pura mengejek: Shin Cikoh, itu bala bantuanmu datang. Apa kau mau beristirahat dulu? Aku tak takut kalian gunakan siasat bergilir. Tepat pada saat itu Gong-gong-ji masuk membawa Ceng-bing-cu, serunya: Masih ada seorang lagi. Bukankah ini murid kepala dari Leng-ciu-pay? Aku menyaksikan pertempuran dengan muridmu, jangan kuatir apa-apa! Bagus, bagus! Kedua pihak mempunyai pendukung. Adil, adil sekali. Lebih baik lagi kalau jadi saksi, siapa yang kalah atau menang tak bisa cari alasan lagi, Shin Ci-koh tertawa. Kemudian ia suruh Gong-gong-ji duduk di ujung ruangan. Gong-gong-ji mengiakan. Sedang Ceng-bing-cu demi melihat suhunya, maluya bukan kepalang. Namun tiada lain jalan kecuali berseru meratap: Suhu, tolonglah aku! - Tapi secepat itu Gong-gong sudah menekan tulang bahunya sehingga Ceng-bing-cu berkuik-kuik seperti babi. Mengapa berkaok-kaok tak keruan? Apa kau tak tahu peraturan bulim? Bukankah suhumu sedang bertempur, mengapa kau berteriak? Ayo, duduk yang baik di sana! bentak Gong-gong- ji. Kurang ajar! Mengapa kau menghina muridku, Gong-gong-ji? Leng Ciu siangjin murka sekali. Gong-gong-ji lemparkan Ceng-bing-cu ke tanah, lalu menantang Leng Ciu: Tahukah kau apa perbuatan muridmu yang manis ini? Sebenarnya aku tak mau mengganggu pikiranmu, nanti setelah pertempuran selesai baru kuberitahukan. Tapi karena kau menuduh aku menghina muridmu, terpaksa aku memprotes. Ceng-bing-cu, bilanglah. Kamu sendiri yang main keroyokan atau aku yang menghina murid Leng-ciu-pay? Hm, kau bilang tidak? Sekali jari tengah Gong-gong-ji menekan punggung, Ceng-bing-cu merasa seperti dicocoki ribuan jarum. Sakit dan gatal sekali, melebihi segala macam racun. Ia masih mengharap pertolongan suhunya. Tapi Leng Ciu siangjin sedang bertempur dengan Shin Ci-koh, tak sempat.
Selain itu memang Leng Ciu tahu bahwa kepandaian Gong-gong-ji memang mengatur siasat. Kalalu ia sampai menyerang dulu berarti termakan tipu Gong-gong-ji. Yang melanggar peraturan dunia persilatan bukan Gong-gong-ji, tetapi ia sendiri. Leng Ciu siangjin benar-benar meringis. Mau menolong, musuhnya berat. Tidak menolong, ia merasa terhina sekali karena murid kesayangannya diperlakukan begitu rupa. Tiba-tiba muridnya yang manis Ceng-bing-cu itu meratap: Gong-gong cianpwe, ya aku bilang aku bilang. Memang aku yang salah, ampunilah aku! Bicara dengan berlututlah! Karena kau menyesal, akupun suka memaafkan. Tetapi kau harus mendamprat dirimu sebagai pertanda betul-betul kau sudah bertobat, seru Gong-gong-ji. Sekali ia kebutkan lengan baju, bluk. Ceng-bing-cu pun jatuh berlutut. Sakitnya makin hebat, tubuhnya seperti digigiti ular. Pikirannya pada saat itu hanya tertuju supaya bebas dari kesakitan. Ya, ya, akulah yang salah! Aku mengajak saudara-saudara seperguruan hendak mencelakai kau dan Toan siauhiap. Aku seorang busuk, orang jahat. Harap kau orang tua suka mengampuni aku seorang rendah ini! Ceng-bing-cu meratap-ratap. Mendengar murid calon penggantinya bernyali seperti tikus, hampir saja Leng Ciu siangjin pingsan. Ketika ia hendak menggempur Gong-gong-ji, tiba-tiba Shin Ci-koh membentaknya: Leng Ciu lokoay, awas serangan! - Pedang disambarkan ke atas kepala orang dalam jurus Samhoan- tho-gwat yang hebat sekali. Leng Ciu siangjin terpaksa kendalikan amarahnya untuk menghadapi serangan Shin Ci-koh. Ia menangkis dengan sebuah hantaman. Bagus, Ceng-bing-cu, kau sudah memaki dirimu dengan bagus. Tetapi terangkanlah duduk perkaranya yang jelas dan kutuklah dirimu yanglebih keras lagi. Mengingat kau sungguh- sungguh menyesal, tentu kuampuni. Ceng-bing-cu tak pedulikan segala apa. Segera ia menuturkan bagaimana ia pimpin anak murid Leng-ciu-pay menggelundungkan batu dari puncak gunung untuk mencelakai Gong-gong-ji dan Khik-sia. Leng Ciu lokoay, itu dengar tidak? Apa kau masih menuduh aku yang menghina anak muridmu? Untung aku dan Toan sute dapat mengatasi dan memang anak muridmu tak becus apaapa. Ha, ha, mereka sendiri yang kehilangan beberapa jiwa, sedang aku dan Toan-sute tak kena apa-apa. Ceng-bing-cu, kau merasa menyesal atau tidak mengorban beberapa sutemu itu? Aku bukan manusia, aku kutu busuk, kantong nasi. Mencelakai orang sebaliknya mencelakai diri sendiri. Aku sungguh-sungguh menyesal sekali! sahut Ceng-bing-cu. Untuk mendapat kebebasan, Ceng-bing-cu tak segan-segan lagi memaki dirinya habis-habisan. Leng Ciu siangjin tak sudi mendengarkan tapi ia malu menutup telinganya. Makian Ceng-bingcu itu sepatah demi sepatah seperti pisau yang menusuk ulu hatinya. Ia benci kepada Ceng-bing-cu dan berduka karena beberapa anak muridnya terbunuh. Maunya hendak menenangkan hati tapi pikirannya kacau balau. Akibatnya, permainan menjadi kacau tak menurut rel lagi. Pada hal racun dingin Hian-im-ci itu dilancarkan dengan lwekang. Dan karena lwekangnya terganggu akibat kekacauan pikirannya itu, walaupun gerakan jarinya masih menerbitkan angin tetapi sudah tak mengandung racun dingin lagi. Tubuhku kepanasan, mengapa angin-dingin dari jarimu itu tak meniup lagi? Shin Ci-koh mengejek. Diam-diam Gong-gong-ji memuji kepandaian Leng Ciu siangjin yang walaupun pikirannya sudah kacau namun masih dapat melayani Shin Ci-koh. Untuk mempercepat kekalahannya, kembali ia menanyai Ceng-bing-cu: Bagaimana kau berbuat salah terhadap Shin lo-cianpwe? Lekas ceritakan! Sebenarnya Gong-gong-ji tak tahu urusan Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Tapi dalam perintahnya itu, ia sudah menuduh kalau Ceng-bing-cu bersalah. Dihadapan Shin Ci-koh, sudah tentu Ceng-bing-cu tak berani berdusta lagi. Ya, memang aku punya mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Ketika berjumpa di tengah jalan, aku terpikat dengan parasnya. Diam-diam kukuntitnya naik ke gunung dan ... kugodanya. Akhirnya aku dilabrak!
Manusia rendah, lekas tampar mukamu sendiri agar tak perlu kuturun tangan, bentak Gonggong- ji dengan marahnya. Plak, plak, tergopoh-gopoh Ceng-bing-cu melakukan perintah. Ia menampar kedua pipinya sendiri. Bahwa Shin lo-cianpwe tak seketika mencabut nyawamu adalah karena hendak memberi muka kepada suhumu. Mengapa kau tak insyaf? Coba bilanglah, apakah perbuatanmu mengajak sutesutemu membalas pada Shin lo-cianpwe itu bukan melulu untuk kepentingan pribadimu? tanya Gong-gong-ji pula. Selama Gong-gong-ji tak memerintah berhenti, Ceng-bing-cu terus-menerus menampar mukanya seraya memaki diri sendiri: Ya, memang aku bukan manusia, aku binatang. Shin locianpwe amat murah hati memberi ampun padaku. Adalah karena dihajar Shin lo-cianpwe, aku mendendam. Dengan alasan menerima undangan Su Tiau-gi agar dapat mengharumkan nama perguruan, kuajak para sute turun gunung, kemudian kusuruh mereka mengeroyok Shin locianpwe! Setiap tamparan yang dilakukan Ceng-bing-cu, dirasakan Leng Ciu siangjin seperti pipinya yang ditampar. Marah, malu dan seperti mau meledak rasanya dada siangjin itu. Setitikpun ia tak mimpi bahwa murid kesayangannya itu sedemikian tak bergunanya sampai mengorbankan beberapa puluh murid Leng-ciu-pay. Memikirkan kesemuanya itu, Leng Ciu seperti hendak menyusup ke dalam bumi saja apabila ada lubangnya. Karena bukankah dengan peristiwa Ceng-bing-cu itu, partai Leng-ciu-pay akan kehilangan pamornya? Apakah Leng-ciu-pay masih ada muka untuk berdiri di dunia persilatan lagi? Dalam pertempuran, orang dilarang keras mengumbar kemarahan sehingga mengganggu ketenangan pikirannya. Leng Ciu siangjin tahu juga hal itu. Namun dalam saat seperti yang dihadapinya itu, bagaimana ia dapat mengingat pantangan itu lagi. Sekuat-kuat imannya, tetap ia tak tahan lagi melihat adegan yang menyiksa batinnya itu. Akibatnya ia tak dapat mengendalikan lwekangnya lagi. Kena! sekonyong-konyong Shin Ci-koh menusuk bahu kanan lawan. Cret, darah muncrat. Masih mending Shin Ci-koh tak mau berlaku ganas. Coba ia susupkan lagi pedangnya sedikit lebih dalam, tulang Pi-Peh-kut Leng Ciu siangjin tentu kena. Akibatnya siangjin itu tentu menjadi seorang cacat selama-lamanya. Tapi Shin Ci-koh tak mau berbuat begitu dan cepat tarik keluar pedangnya. Leng Ciu terkejut dan marah. Cepat ia bersiap menghadapi serangan Shin Ci-koh tapi ternyata wanita itu mendongak tertawa keras. Dilemparnya pedangnya ke tanah lalu berseru nyaring: Leng Ciu lokoay, kali ini aku memberi ampun padamu, ini sebagai balas budimu. Setelah lukamu sembuh, apabila kau hendak bertanding lagi, aku pun tetap sedia melayani. Nah, sekarang kita sama-sama tak menanggung budi. Aku takkan membunuhmu. Jika mau pergi, silahkanlah! Seorang yang berkedudukan seperti Leng Ciu, jangankan terluka sampai tak berdaya, sedangkan kalah sejurus saja dalam pertandingan, ia tentu sudah angkat kaki karena malu. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Tangannya yang menekan punggung Ceng-bing-cupun dikendorkan, ujarnya: Bagus, kau sudah memaki dirimu habis-habisan. Akupun sudah tak marah lagi dan mengampunimu. Silahkan kau pulang bersama suhumu serta para sutemu. Ha, ha, pandai menampar muka dan pintar memaki diri sendiri, di dalam dunia kepartaian silat sungguh jarang ada! Terluka kemudian dihina begitu rupa, tak kuatlah Leng Ciu siangjin. Huak, ia muntahkan segumpal darah segar. Ceng-bing-cu merasa menyesal. Tak berani ia memandang suhunya. Dengan nada gemetar ia berseru memanggil: Suhu! Binatang! Kau masih ada muka memanggil aku suhu ...... ini! Leng Ciu mendamprat seraya menghantam. Walaupun sebelah tangannya terluka, tapi tenaganya masih cukup kuat untuk menghancurkan batu. Seketika itu juga ia hantam batok kepala Ceng-bing-cu sampai hancur lebur...... Ah, sudahlah. Shin Ci-koh, aku tak berniat membalas tusukan pedang ini. Hanya kuharap janganlah mengikuti jejakku, menerima murid yang tak berguna! nada Leng Ciu amat rawan.
Pertanda luka hatinya jauh lebih parah dari luka tusukan pedang itu. Leng Ciu siangjin sudah ngeloyor pergi namun kata-katanya itu tetap menggurat di hati Shin Cikoh. Shin Ci-koh tersayat hatinya. Bukankah Su Tiau-ing murid yang disayanginya itu juga setali tiga uang dengan kelakuan Ceng-bing-cu? Shin Ci-koh menang bertempur tapi menderita perasaannya. Nasibnya serupa dengan Leng Ciu siangjin. Yak-bwe dan In-nio saling menghaturkan selamat kepada Shin Ci-koh atas kemenangannya itu. Tetapi Shin Ci-koh mengatakan bahwa kemenangan itu adalah berkat tipu daya dari suhengnya Khik-sia alias Gong-gong-ji. Kemudian ia bertanya kepada Khik-sia mengapa begitu terlambat datangnya. Sejak terpengaruh dengan pribadi In-nio, mulailah Shin Ci-koh menaruh perhatian pada urusan orang. Tak lagi ia sedingin seperti yang lalu. Khik-sia bersangsi. Gong-gong-ji cepat menyanggupi: Ci-koh, dia takut kalau kau marahi. Apa ia berjumpa dengan Tiau-ing? Apa saja yang dilakukan budak perempuan itu? Shin Cikoh tergetar hatinya. Gong-gong-ji memberi isyarat mata kepada Khik-sia, ujarnya: Sute, apakah kau sudah mengatakan pada nona Su? Sudah, Yak-bwe tak apa-apa padaku, Khik-sia girang sekali. Hus, kau memang tak tahu hati seorang gadis. Tahu kedatanganmu saja, Yak-bwe sudah girang, mana ia sempat mendampratmu, In-nio yang berada di sisi Khik-sia menegurnya bisikbisik. Memang waktu menceritakan pengalamannya kepada Yak-bwe, Khik-sia kuatir kalau tunangannya akan mengambul lagi. Tapi kali ini jalan pikiran Yak-bwe berlainan. Justeru karena Khik-sia mendapat pelajaran pahit dari Tiau-ing, Yak-bwe lega hatinya. Ia tak kuatir Khik-sia akan kecantol dengan nona itu lagi. Eh, apa yang sebenarnya terjadi, bilanglah! Tak nanti aku mengeloni muridku! akhirnya Shin Ci-koh buka suara. Karena Khik-sia sungkan, maka Gong-gong-jilah yang berkata: Tak apa-apa, hanya setelah Khik-sia menolongi muridmu yang manis itu, malah disemprot basah kuyub olehnya! Ia lantas menuturkan pengalaman Khik-sia. Marah Shin Ci-koh bukan kepalang, di samping kecewa sekali. Ia menghela napas: Kecewa aku mencintainya. Tak nyana setipis itu moralnya. Setali tiga uang dengan kwalitet Ceng-bing-cu. Ai, sudahlah, anggap saja aku tak pernah punya murid semacam itu. Biar kelak kurusakkan ilmu kepandaiannya agar jangan sampai ditertawai Leng Ciu siangjin. Ah, kiranya tak perlu Shin lo-cianpwe memakan hati. Turut pendapatku ia berbuat begitu karena cintanya tak dibalas oleh Khik-sia. Toh Khik-sia tak kurang suatu apa. Dan kini nona Su itu sudah menikah dengan Se-kiat. Mungkin mereka akan hidup rukun sampai tua, Yak-bwe menghiburi. Shin Ci-koh adalah seorang wanita yang berwatak dua, ya baik ya jahat. Meskipun ia marah terhadap Tiau-ing tapi dalam hati kecilnya masih ada setitik kecintaan. Setelah amarahnya reda, ia membenarkan juga kata-kata Yak-bwe tadi. Kalau Khik-sia tak menampik cintanya Tiau-ing, Tiauing tentu tak kalap begitu macam. Diam-diam ia merasa, andaikata dahulu Gong-gong-ji berbuat seperti Khik-sia terhadap Tiau-ing, tentu sudah akan dibunuhnya. Baik, jika kelak ia masih tak merubah kesalahannya, tentu akan kubikin invalid, akhirnya ia memberi pernyataan. Untuk mengalihkan permbicaraan Gong-gong-ji menegur Yak-bwe: Ai, nona Su, jangan memanggil Shin Ci-koh sebagai lo-cianpwe. Aku dan Khik-sia kan suheng dan sute. Yak-bwe tersipu-sipu, tapi cepat ia tertawa: Selamat susoh, maafkan kekhilafanku. Cici In, kita seangkatan, kau pun harus mengganti sebutan terhadap susohku. Shin Ci-koh diam-diam girang tapi ia pura-pura menggerutu pada Gong-gong-ji: Ai, mukamu memang tebal benar. Kita toh belum kawin, mengapa kau suruh mereka memanggil susoh padaku! Toh hanya soal waktu saja. Lebih dulu saling tahu sebutan masing-masing toh tak mengapa, Gong-gong-ji tertawa.
Kapan suheng melangsungkan pernikahan jangan lupa memberitahukan kami. Tapi ai suheng, kau gemar mengembara tak menentu tinggalnya. Kau mencari kami itu mudah, sebaliknya jika kami hendak mencarimu wah susah sekali, Khik-sia turut menggoda. Tapi mungkin aku yang lebih dulu akan meminum arak pernikahanmu dengan nona Su, Gong-gong-ji tertawa. Suheng, kita bicara soal serius, mengapa suheng mengolok-olok. Kami masih muda, masakan terburu-buru, seru Khik-sia. Aku toh juga serius. Aku hendak menyelesaikan suatu pertanggungan jawab dulu, baru menikah. Setelah menikah aku tak mau keluar ke dunia persilatan lagi, sahut Gong-gong-ji. Aku tak percaya kau bisa berangan-angan begitu, Shin Ci-koh tertawa ewah. Atas pertanyaan Khik-sia, ternyata pertanggungan jawab yang hendak diselesaikan Gong-gongji itu ialah tentang diri Ceng-ceng-ji. Akan kuminta pedang Kim-ceng-kiam untuk kukembalikan pada Coh Ping-gwan. Kemudian kuselesaikan pesan mendiang subo. Sudah bertahun-tahun kuberi kelonggaran padanya (Ceng-ceng-ji), sekarang tak bisa terus-menerus begitu. Katanya lebih lanjut: Kalian tak perlu tunggu aku karena kalian sudah dijodohkan sejak masih dalam kandungan. Jangan ditunda lama-lama. Terus terang, aku menyesal karena sudah mensiasiakan waktu mudaku selama 20-an tahun. Ah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Maka sekarang akupun tak mau menunda lama-lama. Diantara yang mendengari percakapan kedua saudara, adalah In-nio yang paling rawan. Shin Ci-koh menghiburinya supaya jangan berkecil hati. Pui Bik-hu tentu akan dapat berjumpa lagi. Kalau Khik-sia tak ketemu, terang dia sudah tak berada di sini. Kupikir akan menemui ayah untuk mengatur persiapan. Rasanya tentara ayah tentu sudah dalam perjalanan, kata In-nio dan Yak-bwe nyatakan mau ikut. Saat itu sudah jan 3 pagi. Shin Ci-koh tak mau tidur. Selaku pembalas budi, ia mengajarkan beberapa ilmu pedang kepada In-nio. Karena sudah mempunyai dasar, dalam waktu sejam saja, Innio sudah dapat mempelajarinya. Tak lama kemudian haripun terang tanah. Mereka berlima pecah dalam dua rombongan dan turun gunung. Mereka berpisah di kaki gunung. Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh mengejar jejak Ceng-ceng-ji. In-nio, Khik-sia dan Yak-bwe hendak menyonsong tentara negeri yang dikepalai Sip Hong. Dalam kesempatan itu Shin Ci-koh mengembalikan kuda Cian-li-ma Bik-hu kepada In- nio. Pada hari kedua ketika menyusur jalanan, tiba-tiba mereka melihat sebuah pasukan besar tengah mendatangi. Benderanya bertuliskan huruf Sip In-nio girang sekali tapi heran juga mengapa ayahnya secepat itu sudah datang. Menurut perhitungan, seharusnya dua hari kemudian baru datang. In-nio keprak kudanya menyongsong. Pertama-tama ia bertemu dengan dua orang panglima ayahnya. Cepat-cepat ia menanyakan diri ayahnya. Seorang opsir muda larikan kudanya menyambut, serunya: Suci, kau sudah pulang! Opsir muda itu bukan lain ialah pemuda yang dipikiri siang malam oleh In-nio, yakni Pui Bikhu. Girang In-nio sampai tak dapat berkata-kata. Ayahmu cemas sekali karena kau tak kembali. Dia mengirim beberapa mata-mata untuk menyirapi keadaanmu di Tho-ko-poh, Bik-hu berkata dengan bisik-bisik. Mana ayahku sekarang? tanya In-nio. Berada di barisan belakang. Barisan ini termasuk bagian perintis. Ayahmu menempatkan aku dalam barisan ini, kata Bik-hu. Saat itu Khik-sia dan Yak-bwe pun tiba. Mereka mengucapkan selamat kepada Bik-hu atas kenaikan pangkat itu: Pui suheng, kau naik pangkat. Ini berarti dobel keberuntungan jatuh di depan pintu, Yak-bwe tertawa. Apa keberuntungan yang kedua itu? tanya Khik-sia. Hal itu bahkan yang nomor satu. Naik pangkat hanya nomor dua. Bukankah mereka kini berjumpa lagi? Inilah peristiwa yang bahagia. Tuh lihat, muka Pui suheng menjadi merah, Yakbwe menggoda. Sudahlah jangan mengolok orang. Apakah kalian ada lain urusan penting? tegur Bik-hu.
Kami berdua hanya menemani cici In saja untuk mencarimu. Karena tak melihatmu, cici In sampai tak doyan makan tak dapat tidur, sahut Yak-bwe. Kami bertiga tak ada urusan lain. Tapi kemana saja kau selama ini? Mengapa tak kau laporkan tentang keadaan Tho-ko-poh pada ayah? Su Tiau-gi dan Bo Se-kiat sudah lolos dari Thoko- poh. Rasanya pasukan negeri tak perlu kesana lagi, kata In-nio. Kalau kalian senggang, ayo ikut aku saja. Aku diperintahkan untuk mengejar Su Tiau-gi. Dia lari ke arah Poa-yang. Disana Li Kong-pik dengan pasukan besar sudah siap menunggu untuk mencegatnya. Tugas tentara penting sekali. Aku diberi waktu besok pagi harus sudah tiba di Poayang. Kita berjalan sambil bercakap-cakap, Bik-hu menerangkan. Selama dalam perjalanan itu, In-nio dan Bik-hu saling menceritakan pengalamannya. Kiranya waktu lolos dari pertempuran di Tho-ko-poh, Bik-hu juga menderita luka ringan. Karena tak dapat menemukan In-nio, Bik-hu segera kembali kepada pasukan Sip Hong. Ia duga nona itu tentu juga pulang. Eh, bagaimana dengan lukamu? Lukanya di bagian mana? tanya In-nio. Bik-hu tertawa: Aku kena sebatang panah dari perempuan siluman itu (Tiau-ing), tapi tak berbahaya dan sekarang sudah sembuh. Akupun balas memanahnya. Kuduga lukanya tentu lebih berat. Katanya lebih jauh: Tiba di dalam pasukan, ternyata ayahmu sudah mengetahui apa yang terjadi di Tho-ko-poh. Pun dia menerima berita dari Li Kong-pik yang menyatakan bahwa Su Tiaugi lari ke Poa-yang. Segera aku dinaikkan pangkat menjadi Sian-hong (operasi atau perintis). Aku diperintahkan membawa tiga ribu pasukan berkuda menuju ke Poa-yang untuk menggabung pada Li goanswe menghancurkan Su Tiau-gi. Aku merasa malu, karena pulang dengan terluka dan tak berjasa apa-apa tapi dinaikkan pangkat. Ah, tak usah kau rendah hati. Jika tiada kau, aku tentu sudah mati kelelap di dalam penjara air, In-nio tertawa. Teringat akan pengalaman mereka di dalam kamar penjara air, dimana dalam menghadapi maut itu mereka saling mencurahkan isi hati, tergetarlah hati mereka. In-nio memandang pemuda itu dengan penuh arti. Bik-hu berkata dengan bisik-bisik: Aku harus berterima kasih kepada perempuan siluman itu. Jika ia tak menjebloskan kita di dalam penjara air, aku, aku, .... Sekarang kau adalah pemimpin dari tiga ribu pasukan berkuda. Dalam ketentaraan, pasukan perintis itu penting sekali. Jangan sampai kau kehilangan semangat, In-nio tertawa memutusnya. Bik-hu menyatakan bahwa bagaimanapun rasanya Su Tiau-gi tentu sukar meloloskan diri lagi. Sementara Yak-bwe menyatakan bahwa Su Tiau-gi itu memang tak berbahaya. Yang paling berbahaya adalah Bo Se-kiat. Kupercaya Sip ciangkun tentu sudah dapat memperhitungkan kemana mengacirnya Se-kiat, sahut Bik-hu. In-nio menyatakan bahwa kehancuran Su Tiau-gi itu psikologis mengandung arti besar. Karena hancurnya Su Tiau-gi berarti ludesnya pemberontakan gerakan pemberontak An Lok-san dan Su Khik-hwat. Bik-hu membenarkan, katanya: Memang di kota Poa-yang masih terdapat seorang menteri lama dari Su Su-bing. Namanya Li Hoay-sian. Jika Su Tiau-gi sampai dapat bergabung dengannya, tentara pemerintah tentu mengalami kesulitan besar. Aku sih tak tahu urusan militer. Aku hanya benci pada Se-kiat. Ingin kuhajar mampus manusia itu, Yak-bwe tertawa. Bagaimana dengan Su Tiau-ing? Apa kau tak benci padanya juga? tanya In-nio. Yak-bwe melirik ke arah Khik-sia, ujarnya: Sekarang aku malah kasihan padanya. Hari kedua pada waktu siang tepat, bahkan sebelum batas waktu yang diberikan, Bik-hu dengan pasukannya telah tiba di kota Poa-yang. Mereka siap menghadapi pertempuran tapi di luar dugaan mereka melihat sebuah pemandangan ngeri. Di atas tembok kota yang tinggi, terpancang sebuah kepala orang yang masih berlumuran darah. Kepala itu bukan lain adalah batang kepala Su Tiau- gi. Ah, kepala pemberontak sudah binasa. Sia-sia kita datang kemari, kata Bik-hu. Ih, kemungkinan ada sesuatu yang tak beres, tiba-tiba In-nio kerutkan dahinya.
Atas pertanyaan Bik-hu, In-nio menerangkan: Opsir bermuka brewok yang berada di atas pos pintu kota itu seperti Li Hoay-sian, orang kepercayaan Su Su-bing. Memang karena sering ikut pada ayahnya berperang, banyaklah pengalaman In-nio. Ayahnya pernah bertempur dengan Li Hoay-sian maka ia kenal dengan orang itu. Tapi dia memakai seragam opsir pemerintah. Dan kepala Su Tiau-gi itu terang bukan palsu, bantah Bik-hu. Dalam pada itu pintu kota sudah dibuka. Seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan (ordonans) menyambut keluar. Ia mempersilahkan jenderal Li Kong-pik masuk ke dalam kota. Karena Lengciam (lencana pertandaan) yang dibawa opsir itu memang tulen, maka Bik-hu pun tak sangsi lagi dan segera membawa pasukannya masuk kota. Dari opsir Ki-pay-koan itu didapat keterangan bahwa memang Su Tiau-gi telah datang menggabung pada Li Hoay-sian. Li Hoay-sian menyambutnya dengan sebuah perjamuan. Tapi diam-diam ia sudah bersekongkol dengan Li Kong-pik. Tengah makan minum, Su Tiau-gi ditangkap dan dihukum potong kepala. Pun untuk menghormat kedatangan pasukan Bik-hu, Li Hoay-sian mengadakan sebuah perjamuan. Aku ini sahabat berkelahi dari ayahmu. Untuk menebus kedosaanku yang lalu aku hendak menjadi menteri kerajaan yang setia. Kuharap nona suka menyampaikan hal ini kepada ayahmu, kata Li Hoay-sian kepada In-nio. In-nio tahu bahwa Li Hoay-sian itu seorang oportunis alias plin-plan. Tapi karena sudah membunuh Su Tiau-gi maka berjasa juga. Ia mengucap beberapa patah kata merendah dan berjanji akan mengatakan kepada ayahnya. Setelah beristirahat seperlunya, Bik-hu menghadap panglima Li Kong-pik. Karena ayahnya wakil panglima dan kenal baik dengan Li Kong-pik, maka In-nio pun ikut menghadap juga. Panglima itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira. Kali ini kami sudah siap-siap bertempur, tapi sayang kaum pemberontak sudah dilenyapkan. Dengan begitu sedikitpun kami tak berjasa apa-apa. Atas pemberian arak selamat dari goanswe (panglima), kami sungguh malu sendiri, kata Bik-hu. Li Kong-pik tertawa gelak-gelak. Mengapa goanswe tertawa? Apakah perkataanku salah? Bik-hu heran. Seorang tentara masakan mengeluh tak ada kesempatan berperang? Malam ini tidurlah baikbaik. Besok pagi akan kukirim kau ke medan pertempuran. Apakah kau tak tahu kalau jenderalmu sudah mempunyai rencana? kata Li Kong-pik. Kalau In-nio coba-coba menerka adalah Bik-hu yang sudah lantas menanyakan hal itu: Rencana apa? Akan bertempur dengan siapa? Sahut panglima Li dengan wajah serius: Kuundang kalian kemari, pertama untuk merayakan arak kemenangan. Kedua, untuk mengantar keberangkatan. Sekarang kuberitahukan tentang berita yang kuterima dari Sip ciangkun. Su Tiau-gi sudah meninggal tapi dia masih mempunyai seorang adik perrempuan yang dengan membawa tentara serta seorang penjahat besar bernama .... Bernama Bo Se-kiat, Bik-hu meneruskan. ********** Ya, benar, kabarnya Bo Se-kiat sudah menikah dengan adik perempuan Su Tiau-gi itu. Mereka mempunyai anak buah sejumlah 4-5 puluh ribu. Jauh lebih besar dari Su Tiau-gi dengan sisa pasukann, kata Li Kong-pik. Apakah sudah diketahui jejak Bo Se-kiat? tanya Bik-hu. Benar, mereka lari ke arah utara. Semalam Sip ciangkung sudah gerakkan pasukannya, merubah rencana perjalanan semula untuk mencegat mereka di Coat-liong-koh. Menurut perhitungan, besok pagi tentu sudah bertemu. Sip ciangkun kirim orang memberitahu padaku. Kurencanakan untuk mengirim sebuah pasukan berkuda bersama kau ke Coat-liong-koh untuk menyergap musuh dari belakang, kata Li Kong-pik. Kiranya Sip ciangkun memang telah mengatur siasat. Dari mata-mata ia mendapat tahu kalau
Bo Se-kiat mengambil jalan ke utara. Tetapi ia (Sip Hong) pura-pura berangkatkan pasukannya ke Poa-yang, agar Se-kiat tidak menaruh kecurigaan. Taktik militer harus selalu secara mendadak di luar dugaan musuh. Rahasia militer harus dijaga rapat. Maka tak mengherankan kalau kau sendiri tak mengetahui tentang rencana panglimamu. Ini bukan karena takut kau membocorkan tetapi kalau kau tahu bahwa kepergianmu ke Poa-yang sini hanya gerakan tipu kosong, kau tentu tak serius menjalankan tugas. Bisa juga kau buru-buru mempercepat perjalanan. Kalau sampai diantara anak buah tentara ada yang berkhianat dan membocorkan pada musuh, tentu musuh akan dapat lolos lagi, Li Kong-pik menyudahi penjelasannya. Pulang ke dalam kemah, Bik-hu memberitahukan hal itu kepada Khik-sia dan Yak-bwe yang menjadi girang mendengarnya. Tapi dalam pada itu, Khik-sia mempunyai pemikiran sendiri: Ah, anak buah Se-kiat terdiri dari kawan-kawan Lok-lim. Kali ini mereka tertipu. Kalau sampai mengantarkan jiwa, bukankah kasihan. Aku akan berusaha untuk memberi jalan hidup pada mereka. Keesokan harinya sebelum terang tanah, Bik-hu berangkat bersama pasukan berkuda. Karena mereka mengambil jalan singkat yang hanya 60-an li jauhnya, sebelum petang hari mereka sudah tiba di lembah. Ternyata pertempuran telah pecah antara pasukan Sip Hong lawan anak buah Sekiat. Pertempuran berlangsung dahsyat. Sip Hong gunakan taktik Tiang-coa-tin (barisan ular panjang). Kalau diserang kepalanya, ekornya menggempur. Kalau bagian ekor yang diserang, kepalanya menggempur. Kalau tengah atau bagian badan yang diserang, kepala dan ekornya berbareng menerjang. Tiap 300 serdadu menjadi satu pasukan. Setiap pasukan dipecah lagi jadi tiga lapisan. Lapisan muka terdiri dari 150 tentara darat bersenjata tombak dan khik. Tugasnya untuk menyambut barisan pelopor dari musuh. Lapisan tengah terdiri dari 50 tentara yang tugasnya khusus untuk menggerantol (mengait) kaki kuda musuh. Lapisan belakang terdiri dari 100 tentara panah. Tugasnya untuk melepaskan anak panah ke barisan musuh agar dapat melindungi lapisan muka maju menerjang. Disamping pasukan itu, masih ada sebuah pasukan berkuda yang mengapit kanan kiri pasukan itu secara mobil. Meskipun pihak Bo Se-kiat juga mempunyai 500-an anak buah, tapi sebagian besar adalah bekas tentara Su Tiau-gi yang sudah pecah nyalinya. Dalam beberapa kali pertempuran, mereka selalu dikalahkan oleh tentara pemerintah. Untung anak buah Se-kiat yang berasal dari kawanan Lok-lim itu, tinggi sekali daya tempurnya. Se-kiat mengatur barisannya secara horisontal. Mundur sama mundur, maju sama maju. Berulang kali tentara negeri hendak membobolkan pertahanan mereka, tetapi tetap gagal. Namun diambil secara keseluruhannya, tentara negeri berada di pihak unggul. Jika bekas tentara Su Tiau-gi itu sudah dihancurkan, kawanan Lok-lim pengawal Se-kiat itu tentu mudah diatasi. Melihat gelagat tak menguntungkan, Se-kiat ajak Tiau-ing dan pengawalnya pasukan berkuda serta kedelapan jago dari Hu-song-to, membuka jalan darah. Mereka menerjang ke arah bendera Sip Hong. Asal dapat menghancurkan bagian tengah yang merupakan komando, atau dapat menahan Sip Hong, barisan ular panjang tentu berantakan sendiri. Pada saat Bik-hu dan kawan-kawan terjun dalam medan pertempuran, tepat pada waktu Se-kiat dan pasukannya menerjang ke bagian tengah. Mereka berkepandaian tinggi. Hujan anak panah yang dilancarkan tentara negeri, kena disapu jatuh semua. Hanya dua orang Hong-ih-jin (baju kuning dari pulau Hu-song-to) yang terluka, tapi pun tak mau mundur. Hola, Se-kiat, kita bertemu lagi. Maukah kau bertempur dengan aku sampai tiga ratus jurus lagi? seru Khik-sia. Ia kepit perut kudanya. Kuda meringkik dan menerjang ke muka barisan Sekiat. Ia merebut sebatang busur dari seorang tentara panah. Sret, sret, beruntun ia lepaskan empat anak panah. Dua untuk Se-kiat dan dua pada Tiau-ing. Dua batang anak panah mengaung di sisi rambut Tiau-ing. Yang sebatang tepat mengenai anting-antingnya hingga jatuh. Khik-sia masih berlaku murah. Tak mau mengambil jiwanya dan hanya membikin kaget saja. Tapi itupun sudah untuk membuat Tiau-ing jatuh dari kudanya. Melihat Khik-sia memanahnya, Tiau-ing terkejut, marah dan berduka. Belum anak panah mengenai tubuhnya, ia sudah jatuh dari kudanya sendiri.
Se-kiat putar pedangnya. Ia dapat memukul jatuh kedua anak panah dari Khik-sia walaupun tangannya terasa sakit juga. Tapi yang membuatnya kaget sekali adalah ketika melihat isterinya jatuh. Cepat ia menyambar tubuh wanita itu. Tetapi kuda Tiau-ing kena terpanah mati oleh tentara negeri. Kejadian itu cukup mematahkan semangat Se-kiat. Apalagi dilihatnya bagian tengah dari barisan Tiang-coa-tin itu kuat sekali, sedang di antara kedelapan pengawalnya sudah ada tiga orang yang terluka, ditambah pula dengan kedatangan Khik-sia berempat. Ia (Se-kiat) memperhitungkan, sukar untuk merebut bendera musuh. Saat itu tiga ribu pasukan berkuda yang dipimpin Bik-hu menyerbu dari belakang. Pasukan Sekiat sudah kehilangan komandonya hingga kena dipecah belah oleh tentara negeri. Pasukan Se-kiat kalut, tidak ada koordinasi satu sama lain lagi. Sampai pada saat itu, Se-kiat pecah nyalinya betulbetul. Dengan memboncengkan Tiau-ing ia ajak kedelapan pengawalnya berputar balik menerjang keluar. Khik-sia tak mau mengejar melainkan masuk ke dalam perkemahan menghadap Sip Hong. Hiantit, kau bersama Bik-hu dan In-nio sudah datang? Sip Hong girang sekali. Khik-sia mengiakan dan hendak membawa In-nio kesitu tapi Sip Hong mencegahnya: Tak usahlah. Saat ini belum waktunya kami berdua ayah dan anak bertemu. Akan kuberimu seregu pasukan berkuda. Bantulah Bik-hu menjaga mulut lembah. Musuh sudah kalut, ini kesempatan bagus bagi kita. Sekalipun tak dapat memusnahkan mereka, tapi sekurang-kurangnya mereka tentu akan hancur berantakan. Sip ciangkun, maaf atas kelancanganku ini, kata Khik-sia. Ehm kau ada usul apa? Bilanglah, tak perlu sungkan-sungkan. Pikirku hendak mohon ciangkun memberi dia sebuah jalan hidup. Aku justeru hendak memusnahkan mereka sebaiknya kau berpendapat begitu. Rupanya kau hendak mengunjukkan welas asih seorang wanita di tengah medan peperangan? tegur Sip Hong. Meskipun saat ini suatu kesempatan bagi ciangkun mendirikan pahala, tapi dalam membasmi, tiga ribu musuh itu apakah pihak kita juga takkan menderita kerugian beratus-ratus jiwa? Jika kelewat mendesak mereka, mereka tentu akan melawan mati-matian. Dan ini bukankah akan mengorbankan banyak jiwa? Menurut pendapatku, yang penting kita dapat mencerai beraikan musuh, mematahkan semangat mereka. Dalam hal ini aku bersedia menerima ejekan ciangkun sebagai wanita yang mengunjukkan welas asih di medan peperangan. Daripada membayar pahala dengan ribuan jiwa, rasanya lebih baik. Sebenarnya Sip Hong itu luas sekali pengalamannya. Tapi ia masih tak dapat lepas dari ambisinya mencari pahala. Ucapan Khik-sia tadi seperti air dingin mengguyur kepalanya. Setelah terlongong beberapa saat, barulah ia berkata: Membayar pahala dengan ribuan jiwa? Hm, apakah kau anggap aku Sip Hong ini manusia yang haus darah, algojo yang mementingkan keuntungan diri sendiri? Siautit tidak berani bermaksud begitu, buru-buru Khik-sia meminta maaf. Baik, tapi kuminta kau dapat melaksanakan cara-cara untuk mencerai beraikan musuh. Nah, akupun tak mau mengucurkan banyak darah dan menurut usulmu itu. Kuserahkan bendera komando kepadamu, kau boleh mewakili aku memberi komando, kata Sip Hong. Khik-sia menyambuti bendera itu terus mengundurkan diri. Dengan suara nyaring ia berseru kepada pasukan Se-kiat: Hai, dengarlah. Su Tiau-gi sudah binasa. Li Hoay-sian menerima titah kerajaan untuk menerima anak buahnya. Siapa yang suka menyerah, diampuni. Yang mau mengundurkan diri dari ketentaraan boleh datang ke Poa-yang menerima uang pesangon. Sembilah puluh persen dari anak buah Su Tiau-gi sudah tak punya nafsu bertempur lagi. Mendengar itu mereka berturut-turut melemparkan senjatanya dan menyerah. Tapi anak buah Sekiat masih tak goyah pendiriannya. Se-kiat yang sudah kembali ke tengah barisannya, ajukan kudanya dan tertawa mengejek: Toan Khik-sia, ha, ha, tak kira mukamu begitu tebal mau berhamba pada tentara negeri? Baik, karena kau menginginkan pangkat dan kekayaan, menakluk pada kerajaan, menjual saudara-saudara Loklim maka marilah. Saudara-saudaraku semua adalah lelaki jantan tak nanti sudi menyerah
padamu! Kelompok Lok-lim paling mengutamakan keperwiraan. Ucapan Se-kiat itu dimaksud untuk membakar hati anak buahnya. Dan ternyata berhasil. Beberapa orang berturut-turut memaki Khiksia. Khik-sia kendalikan kemarahannya. Dengan gunakan lwekang ia berseru keras menindas hamun makian orang-orang itu: Bo Se-kiat, kau menipu saudara-saudara lok-lim untuk menjual jiwa padamu. Apa maksudnya? Bukankah karena kau hendak menduduki tahta kerajaan? Kalau kau cakap dan bijaksana, itu sih tak mengapa. Tapi ternyata kau kawin dengan perempuan siluman itu, mau mengundang suku Oh menyerang Tiong-goan. Coba pikir, bagaimana rakyat akan tunduk padamu? Dan para hohan yang sadar mana sudi berkorban untukmu? Ya, memang saudara- saudara yang berada di sini ini golongan hohan semua. Adalah karena mereka tergolong hohan, mereka mengerti akan peraturan menjadi penyamun. Kau hendak menyesatkan mereka, tapi mana mereka mau mengikuti jejakmu? Memang di kalangan lok-lim yang menggabung pada Se-kiat itu, sudah lama ada yang tak puas kepada Se-kiat. Tetapi karena kebanyakan mereka itu terpaksa menjadi penyamun karena tak mau tunduk pada kerajaan, maka walaupun ucapan Khik-sia tadi diakui kebenarannya namun tiada seorang pun dari mereka yang melemparkan senjatanya. Merah muka Se-kiat. Ia tertawa nyaring: Kau tuduh aku menyesatkan mereka? Tetapi coba kau tanya dirimu sendiri hendak kemana kau mengajak mereka itu? Berhamba pada kerajaan, apakah jalan yang benar? sebenarnya Se-kiat kuatir kalau anak buahnya terpengaruh dengan katakata Khik-sia tadi. Maka ia bangkitkan lagi rasa kebencian mereka terhadap Khik-sia. OooooOOOOOooooo Tutup mulutmu! bentak Khik-sia yang tiba-tiba mencabut bendera pemberian Sip Hong dan berteriak nyaring: Sama sekali aku tak bermaksud menyuruh saudara-saudara menakluk. Aku sendiripun bukan manusia yang temaha pangkat kekayaan. Jika kelak aku Toan Khik-sia sampai menjabat dalam pemerintahan, saudara-saudara boleh membelah tubuhku dan mengorek ulu hatiku! Habis itu ia keprak kudanya ke muka seraya melambaikan bendera: Goan-swe memberi perintah supaya saudara-saudara yang menjaga mulut lembah memberi jalan lepaskan mereka. Kecuali diserang, siapapun tak boleh turun tangan! Kawanan tentara terbeliak. Namun perintah harus ditaati. Dan ada baiknya juga untuk menghindari pertumpahan darah. Mereka segera melakukan perintah. Tadi Se-kiat mengadakan usaha terakhir untuk menjebolkan kepungan musuh. Tapi kini kepungan itu serta merta sudah terbuka sendiri. Ini sungguh di luar dugaannya. Nyata pihak pemerintah sengaja hendak mengasih jalan lolos. Bagi Se-kiat sebaiknya hal itu malah runyam. Ia tahu sekeluarnya dari kepungan, anak buahnya tentu tak mau mendengar perintahnya lagi. Ia bakal menjadi seorang pemimpin Loklim yang tak punya kewibawaan lagi. Daripada begitu ia lebih suka mengadu jiwa untuk membuka jalan darah, agar anak buahnya tetap setia kepadanya. Tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, siapa lagi yang sudi mendengar komandonya? Bagaikan air bah, mereka melanda menerobos keluar dari mulut lembah. Marah Se-kiat bukan kepalang. Dengan menggerung keras, ia serbukan kudanya ke muka Khik-sia dan menyerangnya. Ha, dikasih jalan keluar kau tak mau. Baik, karena ingin bertempur, terpaksa aku harus menemanimu, teriak Khik-sia. Dengan jurus Lat-biat-hoa-san, ia menangkis. Tring, tubuh Se- kiat tergetar, kudanya pun menyurut beberapa langkah. Khik-sia tak mau memberi hati. Setelah memperingatkan lawan supaya berjaga-jaga, ia menyerang tiga kali. Se-kiat kelabakan menangkis. Hampir saja ia terjatuh dari kudanya. Khik-sia menang angin. Tapi kemenangannya itu bukan disebabkan karena ia lebih sakti tapi karena berkat keunggulan kudanya dan karena Se-kiat sudah lelah bertempur sebelumnya. Kedelapan pengawalnya dari pulau Hu-song-to coba hendak maju menolong. Tapi mereka disambut oleh Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe. Seperti telah diterangkan, diantara kedelapan jago HuKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ song-to itu... Walaupun ketambahan dengan Su Tiau-ing namun mereka tetap berat menghadapi Bik-hu bertiga dengan In-nio dan Yak-bwe. Tiga ribu pasukan berkuda melihat pemimpinnya tarung, tanpa diperintah lagi terus maju menyerbu. Melihat itu Se-kiat diam-diam mengeluh. Ia tak kira bahwa pada hari itu ia harus menyerahkan jiwanya kepada Khik-sia. Se-kiat dan kudanya sudah lelah sekali. Rupanya kelemahan itu diketahui juga oleh Khik-sia yang terus maju menerjangnya. Belum lagi Se-kiat sempat putar kepala kudanya, Khik-sia sudah menusuk punggungnya. Tring, sekonyong-konyong dalam detikdetik yang berbahaya itu, Tiau-ing keprak kudanya menangkis seraya berseru dengan nada gemetar: Bagus, Khik-sia, bunuhlah saja aku! Khik-sia jauh lebih lihay dari Tiau-ing. Apalagi pedangnya sebuah po-kiam. Asal ia mau tambahi tenaga, pedang Tiau-ing tentu terpapas kutung dan orangnya terluka. Tapi demi tertumbuk akan wajah Tiau-ing yang berlinang air mata itu, luluhlah hati Khik-sia. Tiau-ing tetap dapat menguasai pedangnya. Kesempatan itu tak disia-siakan Se-kiat yang secepat menabas pedang Khik-sia terus putar kudanya lari. Tiau-ing mengikutinya. Se-kiat, selama gunung masih menghijau, masakan kita kuatir tak dapat mencari kayu, katanya. Sebenarnya Se-kiat berpambek ksatria. Tapi demi Tiau-ing masih setia padanya dan bahkan menghibur dengan kata-kata bersemangat, lemaslah hatinya. Ah, benar. Selama masih hidup masakan tak dapat melakukan pembalasan. Tiau-ing masih setia padaku. Aku harus memenuhi kewajiban untuk melindungi seorang isteri, pikirnya. Padahal Tiau-ing bersikap begitu karena sudah putus jalan. Ia insyaf bahwa Khik-sia tak nanti sudi kepadanya lagi. Satu-satunya tiang sandaran hanyalah Se-kiat. Se-kiat bersuit memanggil kedelapan pengawalnya kemudian diajak lolos. Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe hendak mengejar tapi dicegah Khik-sia: Tak boleh kita melanggar janji. Kalau dia mau lari, biarkanlah! Bik-hu menurut dan perintahkan pasukannya mundur. Dengan demikian dapatlah Se-kiat dan kawan-kawan keluar dari mulut lembah. Ah, sayang, sayang! Khik-sia, kau sia-siakan kesempatan membalas sakit hati! seru Yak-bwe. Bermula Khik-sia kuatir kalau dituduh masih ada kenangan terhadap Tiau-ing. Bahwa ternyata Yak-bwe tak mengungkat hal itu, Khik-sia pun girang sekali. Sahutnya: Membalas sakit hati adalah urusan kecil. Tetapi mentaati janji adalah lebih penting. Karena sudah ada perintah, maka tak boleh kita hanya memikirkan soal sentimen terhadap Se-kiat seorang. Apalagi Thiat-toako memang tak berniat untuk membunuh Se-kiat. In-nio setuju dengan pernyataan Khik-sia. Demikianlah mereka berempat segera kembali ke perkemahan panglima untuk menghadap Sip Hong. Jenderal itu memerintahkan untuk membersihkan medan pertempuran dan memeriksa anak buahnya yang luka-luka. Setelah para penjaga kemah ditugaskan semua, barulah ia menerima kedatangan Khik-sia berempat. Walaupun memperoleh kemenangan tetapi wajahnya tetap tak mengunjuk seri kegirangan. In-nio memberi hormat kepada ayahnya. Hai, mengapa kau berani berdusta kepada ayahmu? Bilang menjenguk rumah tapi ternyata diam-diam pergi ke Tho-ko-poh! tegur Sip Hong. Tapi kepergian cici In kali ini juga ada faedahnya. Ia dapat menyelidiki keadaan musuh dan berhasil menarik seorang panglima wanita yang menjadi orang sebawahan Se-kiat. Wanita itu banyak sekali membantu tentara negerti kemudian ia menikah dengan putera raja suku Ki. Kali ini jiga raja suku Ki tak kerahkan tentaranya untuk mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, mungkin tentara negara juga tak mudah menyerbu musuh. Paman Sip, mengingat jasa-jasa cici In, rasanya tak perlu kau mendampratnya lagi! kata Yak-bwe. Sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu dari Bik-hu. Setelah memaki sekedarnya, hatinya pun lemas lagi, ujarnya: Untung kali ini ada Pui hiantit yang berani menempuh bahaya masuk ke Thoko- poh sehingga kau tertolong. Jika tidak, entah bagaimana jadinya. Lain kali jangan berani bertindak gegabah! Setelah menghaturkan maaf, berkatalah In-nio: Aku merasa girang sekali kali ini ayah dapat
menyelesaikan pemberontakan tanpa banyak mengucurkan darah. Besok pagi aku dan adik Bwe hendak pulang ke selatan. Kali ini aku sungguh-sungguh akan menjenguk mamah. Sip Hong memberi persetujuan. Yah, kau sudah kelewat lama berdinas dalam ketentaraan. Seharusnya minta pensiun saja, melewatkan hari tua di rumah dengan tenteram, kata In-nio. Jika selamat tak kejadian suatu apa, tentu aku senang untuk pensiun di rumah, sahut Sip Hong. Kau sudah berjasa besar sekali, masakan pemerintah masih mempersalahkan apalagi? tanya Yak-bwe heran. Dikuatirkan peristiwa hari ini, tak dapat dimaafkan baginya. Kawanan menteri kerajaan yang hendak menyingkirkan aku, tentu takkan mensia-siakan kesempatan ini! jawab Sip Hong. O, apakah soal melepaskan Bo Se-kiat itu .... baru In-nio hendak meminta penjelasan kepada ayahnya, jenderal itu sudah menukasnya: Toan hiantit, jangan kuatir. Urusan hari ini aku tetap berterima kasih kepadamu. Kaulah yang menggugah hati nuraniku untuk mengurangi kedosaanku mengorbankan jiwa. Sekalipun untuk itu aku harus menerima hukuman, tapi aku tetap takkan mempersalahkan kau. Walaupun ciangkun lepaskan mereka, tapi anak buah Bo Se-kiat kurasa tentu tak mau mengikut Se-kiat lagi. Dengan begitu kita dapat menghapus bahaya tanpa mengorbankan jiwa. Daripada dibunuh, mereka tentu masih akan tetap mendendam, lebih baik kita memakai cara melepas budi, sahut Khik-sia. Sip Hong mengatakan mudah-mudahan pihak kerajaan terdapat orang-orang yang mempunyai pandangan seperti itu. Tiba-tiba Bik-hu melangkah maju, katanya: Sip ciangkun, terima kasih atas pengangkatan ciangkun kepadaku. Tapi karena sekarang pemberontakan sudah ditindas, aku tak berhasrat masuk dalam tentara dan ijinkanlah aku pulang ke kampung. Maaf, jika aku mempunyai kesalahan selama ini. Hai, kau mempunyai karir yang gilang-gemilang di kemudian hari. Mengapa hendak undurkan diri? Sip Hong terkejut. Ini.... ini .... Yah, luluskanlah permintaannya, cepat In-nio memotong kata-kata Bik-hu. Sip Hong sejenak memandang kepada puterinya. Ia seperti tersadar. Katanya dengan tertawa: In-nio, apakah kau menginginkan Pui sutemu mengantarkan kau pulang? Kau belum menghaturkan terima kasih kepada sutemu, mengapa hendak merepotinya lagi? Yak-bwe tertawa geli: Paman Sip, mengapa kau khilaf? Khilaf bagaimana? Mereka berdua mana perlu berterima kasih lagi? sahut Yak-bwe. Merah padam wajah In-nio. Ia tundukkan kepala. Sip Hong tertawa gelak-gelak: Oh, benar, benar. Aku memang limbung. Pui hiantit, aku hanya mempunyai seorang puteri. Perangai In-nio itu agak keras, dalam segala hal ia turut kemauannya sendiri. Ia agak membandel. Apakah kau tak menolaknya? Aha, mana ada ayah blak-blakan mengatakan keburukan dari puterinya? Yak-bwe tertawa. Bik-hu memuja dan mencintai In-nio. Tapi tahu bahwa sucinya itu juga menyambut cintanya, namun ia tetapi masih tak berani meminangnya. Bahwa saat itu ayah In-nio terang-terangan mengijinkan perjodohan mereka, hampir saja Bik-hu tak dapat menguasai kegirangan hatinya. Dengan tangan dan nada gemetar ia berkata: Paman.... Hai, Pui suheng, mengapa kau juga limbung? teriak Yak-bwe. Bik-hu jatuhkan diri berlutut di hadapan Sip Hong: Ayah mertua yang mulia, terimalah hormat menantu. Memang dalam segala apa cici In-nio lebih pandai dari aku. Apa yang ayah katakan tadi, sebaliknya adalah sifat-sifat kebaikannya. Aku seringkali mendapat nasihat darinya. Aku kuatir akulah yang tak sembabat menjadi pasangannya. Bik-hu seorang pemuda jujur. Apa yang hatinya memikir, mulutnyapun mengatakan. Khik-sia masih dapat menguasai diri tapi Yak-bwe sudah tertawa terpingkal-pingkal: Ho, jadi selain mau mengambil isteri, kau juga memerlukan seorang guru? Selamat cici In kuucapkan padamu. Kau
boleh tak usah kuatir suamimu berani menghina padamu! Pun Sip Hong tertawa gelak-gelak, serunya: Kalau begitu, kau suka menerimanya. In-nio, kau bagaimana? Wajah In-nio makin membara. Ia tahu kalau ayahnya sengaja hendak menggodanya. Maka iapun berlutut, serunya: Terserah bagaimana keputusan ayah. Kembali jenderal itu terbahak-bahak. Ia menarik In-nio dan Bik-hu ke dekatnya dan berkata: Bik-hu, kalian berdua sudah saling setuju. Kuserahkan In-nio kepadamu. Antarkanlah pulang dulu menjumpai mamah mertuamu. Jika tak diijinkan, aku tetap akan minta cuti pulang ke kampung untuk menyelesaikan pernikahanmu. Lega sekali hati Sip Hong setelah menyelesaikant tugas kewajibannya sebagai seorang ayah. Keresahan hatinya tentang peristiwa Se-kiat tadi, lenyap seketika. Akupun tak temaha pada pangkat dan kekayaan. Bik-hu, aku takkan memaksa jika kau keberatan masuk tentara. Semasa muda akupun juga bercita-cita menjadi pendekar kelana. Kalian setelah menikah, terserah akan menuntut penghidupan apa, kata jenderal itu kepada anak menantunya. Bik-hu menghaturkan terima kasih. Tengah mereka bicara, datanglah seorang petugas menghadap Sip Hong menerangkan bahwa ada seorang kelana persilatan mohon hendak menghadap. Sip Hong perintahkan membawa orang itu datang. Waktu petugas itu hendak mengundurkan diri Anak tentara yang terluka hamba tak tahu jumlahnya. Tapi opsir-opsir yang terluka hanya belasan orang. Kelana itu hebat betul, setelah diberi obatnya opsir-opsir itupun tak menderita sakit lagi. Kemudian orang itu membagi-bagikan obat pada seluruh perkemahan kita, jawab petugas itu. Sip Hong segera suruh memanggil kelana itu. Khik-sia menanyakan siapa kelana itu. Dijawab oleh Sip Hong kalau kelana itu sebenarnya hendak mencari Khik-sia. Dia bukan lain ialah sahabat dari mendiang ayahmu yaitu Toh Peh-ing, kata Sip Hong. Sudah tentu Khik-sia girang sekali. Tapi ada urusan apa ia mencari aku? tanya Khik-sia. Meskipun aku kenal padanya, tapi status kita berlainan maka akupun tak leluasa menanyai. Waktu hari ini aku menggempur Bo Se-kiat, dia (Toh Peh-ing) menyatakan kalau tak mau membantu perang melainkan hendak merawat serdadu-serdadu yang terluka saja. Maka kutempatkan ia di bagian perawatan. Dan dia memang banyak memberi bantuan dalam hal itu. Selama dua hari ini ia sibuk meramu obat-obatan, Sip Hong menerangkan. Khik-sia tahu keberatan Toh Peh-ing. Memang sebagai kaum loklim, Toh Peh-ing tentu segan menumpas sesama kaum loklim. Khik-sia menduga kedatangan paman Toh itu tentu atas perintah Thiat toakonya. Entah telah terjadi peristiwa apa saja dengan Thiat-mo-lek. Dalam pada itu Kimkiam- ceng-long Toh Peh-ing pun datang seraya memberi salam terima kasih kepada Sip Hong. Ai, mengapa Toh tayhiap begitu merendah, Sip Hong tersipu-sipu membalas hormat. Terima kasih atas kemurahan hati ciangkun yang telah membuka jalan hidup hingga tak sampai mengorbankan banyak jiwa, kata Peh -ing. Ah, itu Khik-sia yang mengusulkan, aku tak berani menerima pujian. Setelah Khik-sia dan kawan-kawan memberi hormat kepada jago tua itu, berkatalah Peh-ing: Dari tindakan Bo Se-kiat yang tetap mengadakan perlawanan itu, rupanya ia tak menghiraukan surat Thiat cecu dan rupanya kau telah menerima hinaan! Jangankan menghiraukan, melihatpun ia tak sudi, kata Khik-sia yang lalu menuturkan pengalamannya. Toh Peh-ing menghela napas, Memang telah diduga kalau Bo Se-kiat tentu menolak nasehat Thiat cecu, itulah sebabnya maka aku disuruh kemari mencarimu. Atas pertanyaan Khik-sia, Toh Peh-ing menjelaskan: Dengan menggabung pada Su Tiau-gi, walaupun Bo Se-kiat dapat mengelabuhi Kay Thian-hau, Nyo Toa-ko-cu dan sementara saudarasaudara, tapi banyak sekali cecu yang tak puas kepadanya. Kini dua orang lo-cianpwe dari kalangan loklim yakni Thiat-pi-kim-to Tang Kiam-ho dan lo-cecu dari gunung Hok-gu-san bermaksud hendak menghapuskan kedudukan Bo Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu. Apakah itu tak berarti harus mengadakan rapat besar kaum loklim lagi? tanya Khik-sia. 'Ya, benar. Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan menghendaki Thiat-mo-lek yang menyelenggarakan rapat itu dan mengirim undangannya. Tempat rapat ditetapkan di Hiong-ki- goan
gunung Hok-gu-san. Soal ini hanya menunggu persetujuan Thiat-toako saja. Lalu bagaimana maksud Thiat-piauko? tanya Khik-sia pula. Itulah maka ia suruh aku mencarimu kemari. Pertama untuk memperoleh kabar. Jika Bo Sekiat mau menerima nasihat Thiat cecu, usul Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan itu ditiadakan. Thiat cecu sedia menghaturkan maaf kepada para cecu. Thiat piauko benar-benar murah hati kepada Bo Se-kiat. Sayang orang itu gelap pikirannya, kata Khik-sia. Thiat cecu sudah menunaikan kewajibannya terhadap seorang sahabat. Tapi bukan berarti ia memanjakannya. Ia sudah menduga klau Bo Se-kiat tentu keras kepala maka rapat kaum loklim tetap dipersiapkan. Sekalipun nanti Se-kiat menyesal dan mengakui kesalahannya, ia harus menyatakan di hadapan orang banyak, baru nanti boleh meneruskan memangku kedudukan bengcu. Bagus, itulah tepat. Tetapi menurut pandanganku, Se-kiat tak nanti mau mengakui kesalahannya, kata Khik-sia. Itu urusannya sendiri. Rapat kaum loklim tetap akan diadakan. Dalam rangka itulah maka aku disuruh memanggilmu pulang untuk membantu mempersiapkan rapat itu. Ia mengharap juga agar suhengmu juga hadir nanti. Mengapa? seru Khik-sia. Karena Thiat cecu sendiri enggan menjabat bengcu dan hendak menyerahkan kedudukan itu kepada Gong-gong-ji. Toa-suheng itu biasa hidup bebas, takkan mau ia menerima kedudukan itu. Hal itu boleh kau rundingkan sendiri dengan piaukomu. Aku sendiripun mengharap kali ini Thiat cecu jangan menolak lagi. Dia adalah harapan semua saudara. Sebagai jenderal pelepas gerombolan penjahat, Sip Hong merasa runyam. Ia girang Se-kiat didepak keluar oleh kaum loklim, tapi ia cemas karena dengan diangkatnya Thiat-mo-lek menjadi bengcu baru, kaum lok-lim tentu akan lebih kuat pengaruhnya. Ia sebenarnya masih setia kepada kerajaan Tong, tapi ia merasa tiada kemampuan. Akhirnya ia ambil putusan untuk segera letakkan jabatan dan kembali ke kampung halaman saja. Dengan begitu ia dapat terhindar dari segala kesulitan di kemudian hari. Keesokan harinya, Sip Hong kumpulkan pasukannya, setelah menggabungkan diri dengan pasukan Li Kong-pik terus akan pulang ke kotaraja. Toh Peh-ing, Khik-sia, Pui Bik-hu dan In- nio serta Yak-bwe juga bersama-sama pulangke selatan. Dengan kuda pilihan, tengah hari mereka berlima tiba di sebuah kota. Walaupun masih membawa bekal makanan, tapi karena perjalanan di padang rumput itu jarang bersua dengan perumahan rakyat, maka mereka pun singgah juga kekota itu untuk menambah bekal ransum. Tetapi ternyata kota itu sepi sekali. Hanya ada beberapa orang yang melongok dari jendela. Begitu melihat rombongan Toh Peh-ing dan kawan-kawan, mereka lantas memukul genderang dan berteriak-teriak: Perampok datang lagi! Beberapa orang yang berada di jalanan, segera bersembunyi. Pintu rumah sama ditutup. Ada yang bersembunyi di dalam rumah ada juga yang lari keluar tunggang langgang. Peh-ing heran dan turun dari kudanya. Ada sebuah toko yang tak keburu menutup pintu dimasuki Peh-ing. Pemiliknya seorang tua yang buru-buru berlutut dan meratap: Harap tay-ong berlaku murah. Kemarin tokoku sudah digeranyang. Memang tak punya barang apa-apa. Toh Peh-ing menerangkan kalau dia bukan perampok. Sebaliknya pak tua itu malah gemetar: Kalau begitu tuan ini tentara negeri? Bukan, kami adalah pelancong yang kebetulan lalu di sini dan hendak membeli makanan, kata Peh-ing. Pemilik warung itu agak lega hatinya: Kemarin pun banyak serdadu yang lalu di sini. Tapi kami tak dapat membedakan mereka itu serdadu atau kawanan perampok. Yang nyata mereka itu mengambil semua bahan makanan di sini. Ai, untung mereka hanya merampas itu saja. Atas pertanyaan Peh-ing, pemilik toko itu menerangkan bahwa kalau perampok tentu merampas bahan makanan tapi kalau tentara kerajaan tentu sering menganiaya orang.
Sebenarnya kami memerlukan makanan tapi karena kalian sendiri menderita, terpaksa kami pun tak berani mengganggu lagi, akhirnya Peh-ing ajak rombongannya meneruskan perjalanan. Tentu anak buah Se-kiat yang berbuat sehina itu, membikin malu nama kaum loklim, Khik-sia menggerutu. Tak dapat dipersalahkan. Habis kalau tak ada pimpinan perut kosong tentu sukar dikendalikan lagi. Mereka hanya merampas makanan, itu sudah cukup baik, kata In-nio. Peh-ing merenung beberapa saat, katanya: Saudara-saudara yang kalah perang itu harus dipikirkan penempatannya. Kalau tidak, tentu merupakan bahaya bagi rakyat. Dan kalau mereka terpencar tentu mudah dibasmi tentara negeri. Kira-kira seperjalanan empat lima puluh li, mereka kesamplotan dengan sejumlah tiga empat ratus rombongan laskar yang kalah perang. Ternyata mereka kenal pada Toh peh-ing dan Khik- sia. Begitu Peh-ing turun dari kuda, orang-orang itupun segera mengerumuninya. Peh-ing menanyakan keterangan pada sementara thaubak yang dikenalnya. Ternyata apa yang diduga memang benar. Se-kiat sudah kehilangan kepercayaan dari orang-orang loklim yang turut dalam gerakannya. Sebagian besar orang-orang itu sudah benci pada Se-kiat. Mereka tak mau mendengar perintahnya lagi. Kuatir kalau terbit pemberontakan, Se-kiat tak berani berjalan bersama mereka. Ia bersama sejumlah kecil orang kepercayaannya larikan kudanya lebih dahulu. Mana Kay Thian-hau? tanya Peh-ing. Thaubak itu menghela napas: Dia tak mau berpisah dengan Se-kiat. Sebenarnya kami tak anti pada Kay Thian-hau, bahkan hendak mengangkatnya sebagai pemimpin kami. Tanpa pemimpin, kami bertindak sendiri-sendiri, sukar mencari makanan dan takut dikejar tentara negeri. Perjalanan ke Tiong-goan terpisah jarak ribuan li. Kami kehilangan daya dan putus asa. Peh-ing memberi peringatan: Merampas makanan, tak kutentang. Tetapi harus melindungi jiwa rakyat. Rakyat yang miskin tak boleh dirampas makanannya. Kira-kira seratusan li dari sini adalah kota Leng-bu, gudang ransum dari kerajaan. Kita boleh mengambilnya, mungkin masih ada kelebihan untuk dibagikan kepada rakyat yang menderita. Merampas dari yang kaya untuk menolong pada yang miskin, kita cukup mengerti. Tapi dikarenakan tiada pemimpin, kawan-kawan kita sering kehilangan disiplin, merampas yang dapat dirampas. Merampas yang kaya saja sukar apa lagi menggempur gudang pemerintah. Toh thocu dan Toan siauhiap, kuminta kalian suka memimpin kami, sahut thaubak itu. Setelah berpikir sejenak, Khik-sia meminta Toh Peh-ing tinggal untuk memimpin mereka, sementara ia hendak melaporkan itu kepada Thiat-mo-lek supaya segera mengirim orang menyambut. Bagus, setuju. Toh thocu, kau tentu menjadi pemimpin yang hebat, terdengar rombongan kaum loklim itu berseru girang. Karena tak sampai hati melihat sesama kaum loklim sampai terlantar, mau juga Peh-ing menerimanya. Segera ia suruh beberapa laskar berkuda untuk mencari kontak dengan sisa-sisa rombongan kawannya yang tercerai berai. Setelah dapat mengumpulkan mereka, Toh Peh-ing segera akan mengajaknya pulang ke selatan. Sedang Khik-sia dan Bik-hu berempat segera teruskan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka berpapasan dengan banyak kelompok laskar loklim. Kepada mereka, Khik-sia memberitahukan tentang penggabungan Toh Peh-ing. Mereka supaya tetap tinggal di masing-masing pos nanti akan disampir oleh Toh Peh-ing. Khik-sia berempat pun mengunjungi daerah orang Han, tetapi tak berjumpa dengan rombongan Se-kiat. Kuda mereka pesat sekali. Tak sampai sepuluh hari, tibalah sudah mereka di tapal batas Holam. Kalau ke timur menuju ke Gui-pok, kalau ke barat sampai ke gunung Hok-gu-san. Mereka pecah jadi dua rombongan. In-nio dengan diantar Bik-hu hendak pulang ke Gui-pok. Khik-sia dan Yakbwe hendak ke Hok-gu-san. Yak-bwe berat sekali berpisah dengan In-nio. Ia mengantar sampai jauh sekali. Akhirnya Innio menyuruh mereka balik dengan menjanjikan setelah menjenguk ibu nanti sepuluh hari lagi ia juga akan ke Hok-gu-san. Ia berniat ajak Bik-hu menyaksikan rapat besar kaum gagah atau Enghiong- tay-hwe. Demikian kedua pasangan anak muda itu saling berpisah. Pada hari itu Khik-sia dan Yak-bwe
tiba di Sin-yap, sebuah dusun yang berada di daerah kaki gunung Hok-gu-san. Luas pegunungan Hok-gu-san yang ribuan li itu, harus ditempuh paling tidak tiga hari. Karena tak terburu-buru, mereka naik kuda pelahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang permai. Di tepi jalan terdapat sebuah warung minum. Membelakangi gunung, menghadap sungai. Sungguh indah sekali letaknya. Khik-sia ajak masuk untuk minum. Yak-bwe girang sekali. Kuda ditambatkan dan masuklah mereka ke dalam warung itu. Di dalam warung tiada tampak lain tetamu lagi. Khik-sia memesan dua kati arak dan beberapa sayuran. Selagi menikmati hidangan, tiba- tiba matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang mengejutkan. Pada pilar batu terdapat sebuah bekas tapak tangan yang masuk sampai 3 inci dalamnya. Anehnya telapak tangan itu kecil sekali, tak mirip dengan telapak tangan orang dewasa. Hebat benar lwekang orang itu tapi masakan seorang anak kecil? pikir Khik-sia. Rupanya Yak-bwe melihat juga, katanya dengan bisik-bisik: Tokoh persilatan sakti tentu tak mau sembarangan mengunjukkan kepandaiannya di tempat sesunyi ini jika tiada maksudnya. Tentu ada ceritanya yang menarik! Ah, tak perlu kita main tebak. Panggil pemilik warung tentu kita akan mendapat keterangan, Khik-sia tertawa. Pengurus warung yang mendengar pembicaraan mereka, tanpa dipanggil, sudah menghampiri datang: Tuan tentu heran dengan telapak tangan di pilar batu itu, bukan? Ya, memang. Bagaimana ceritanya? tanya Khik-sia. Memang banyak sudah pengunjung yang heran dengan hal itu. He,he, bukankah tuan hendak tambah pesan hidangan lagi? tanya tukang warung itu. Yak-bwe mengiakan tetapi ia minta sepinggan buah-buahan segar. Ia memberi uang, kelebihannya boleh diambil pengurus warung itu. Dengan girang pengurus warung itu menerima uang perak Yak-bwe kemudian ia mulai bercerita. Coba terka siapakah yang melekatkan telapak tangannya itu? ia memulai dengan sebuah pertanyaan. Jika dapat menerka, tak perlu kusuruh kau bercerita lagi, Yak-bwe menyahut ketawa. Kalau kukatakan tentu tak dipercaya orang. Telapak tangan ini adalah dari seorang wanita! Mendengar itu khik-sia dan Yak-bwe tersentak kaget. Khik-sia menduga jangan-jangan kepunyaan Biau Hui sin-ni atau Shin Ci-koh. Masih muda sekali wanita itu, cantik sekali serupa dengan nona ini, pelayan itu menunjuk Yak-bwe. Yak-bwe tertawa dan menyuruhnya lekas-lekas menuturkan. Khik-sia tak percaya kalau Su Tiau-ing yang melakukan. Karena teranga kepandaian orang itu jauh melebihi dirinya (Khik-sia) sendiri. Baik, aku segera berceritalah. Peristiwanya baru saja terjadi kemarin ketika seorang pemuda yang gagah usianya sebaya dengan tuan. Mengenakan mantel kulit rusa dan sepertinya menyelip pedang di pinggang. Yak-bwe merasa sebal dan hendak menyuruhnya bercerita ringkas, tapi karena tadi sudah terlanjurnya suruh dia bercerita yang jelas, terpaksa dibiarkan saja. Sedang Khik-sia pun mendesak supaya orang itu meneruskan ceritanya. Kemudian datanglah seorang gadis. Belum sempat kutanya mau pesan apa, nona itu sudah menghampiri kemuka pemuda tadi dan melengking: Hai, orang she Coh, apa masih kenal padaku? - Nona itu garang benar. Belum si pemuda sempat menyahut, nona itu sudah memukulnya! kata pengurus warung pula. Hai, orang she Coh? Dia kena terpukul atau tidak? seru Khik-sia. Tidak, pemuda she Coh itu rupanya bisa ilmu sihir. Entah bagaimana tahu-tahu ia 'terbang' bersama kursinya dan melayang jatuh di muka pilar ini. Tangannya masih mencekal sebuah cawan, arak di dalamnya setetespun tak ada yang tumpah. Sebagai seorang ahli silat tahulah Khik-sia kalau pemuda itu meminjam tenaga pukulan orang untuk pindah tempat. Sudah tentu tak lupa pemuda itu menyalurkan lwekangnya untuk melindungi diri dari pukulan si nona. Kalau begitu kepandaian pemuda she Coh itu tak di bawah si nona. Tapi mengapa ia tak mau
balas memukul? tanya Yak-bwe. Dia balas juga tapi bukan dengan pukulan melainkan dengan menghaturkan arak, kata si tukang warung. Oh, jadi mereka sudah kenal? tanya Yak-bwe. Entahlah. Tetapi pemuda itu benar-benar menghaturkan arak pada si nona seraya berseru : 'Aku tak pernah menyalahi nona, mengapa nona mendesak aku begini rupa? Tentu salah paham. Silahkan nona minum secawan arak dulu agar kemarahan nona reda, kemudian baru bicara.' - Dan habis berkata, cawan pemuda itu terbang melayang ke arah si nona. Setitikpun araknya tak menetes. Yak-bwe memuji sikap si pemuda yang cukup sabar. Nona itu tak mau menerima suguhan arak. Dan terjadilah hal yang ajaib. Cawan arak itu berhenti di hadapan si nona, begitu mulut si nona meniup, cawan itu terbang melalui kepala si nona dan prak ... pecahlah cawan itu, araknya menumpah tepat di atas kepalaku. Celaka, arak itu panas sehingga kepala dan mukaku kicat-kicat kepanasan. Semangatku serasa terbang, kata pengurus warung itu pula, aku termangu-mangu seperti patung. Pada saat itu kedengaran si nona memaki : 'Apanya yang salah paham? Karena kau ini putera pertama dari keluarga Coh di Ceng-ciu, otomatis menjadi musuhku. Hm, apakah kau masih berani mengolok-olok aku?' - wut, brak .... kursi tempat duduk pemuda itu pecah berantakan. Tetapi si pemuda sudah lebih dulu loncat menyingkir. Selembar rambutnya pun tak ada yang rontok. Diam-diam Khik-sia membatin ilmu ginkang pemuda itu tak di bawah dia. Selagi aku terlongong-longong, nona itu sudah menyerbu si pemuda, kata pengurus warung. Ho, kali ini mereka tentu bertempur sungguh, rupanya Yak-bwe tertarik hatinya. Nona itu galak benar tetapi si pemuda tetap tak mau membalas. Ia berputar-putar di belakang pilar batu. Serangan si nona makin gencar. Tiba-tiba terdengar suara tamparan dahsyat. Ternyata si nona telah menghantam pilar ini dan meninggalkan bekas telapak tangannya. Lalu bagaimana? tanya Yak-bwe. Kemudian, heh, lalu bubar, jawab si pengurus warung. Lho, mengapa bubar? Yak-bwe heran. Setelah memukul pilar batu, rupanya tangan nona itu kesakitan. Ia terlongong-longong. Kesempatan itu digunakan si pemuda untuk menyelinap pergi. Sesaat kemudian baru si nona mengejar. Karena mereka pergi, bukankah cerita ini sudah bubar? Bubarnya cerita juga amblasnya bayaran arakku. Bayaran arak apa? tanya Yak-bwe. Pemuda itu meminum tiga ratus kati arak, makan seekor ayam panggang dan dua kati dendeng sapi. Dia tak seperti tuan yang membayar uang lebih dulu. Dan nona itupun menghancurkan sebuah kursiku. Bukankah aku harus menggigit jari atas kerugian itu? Yak-bwe tak sudi mengganti kerugian itu karena tak puas dengan cerita si pengurus warung yang tak berujung pangkal itu. Sebaliknya Khik-sia merasa kasihan dan memberinya sekeping perak selaku ganti kerugian. Si pengurus warung pura-pura menolak tapi Khik-sia mendesaknya supaya menerima karena ia hendak bertanya lagi. Bukankah pada alis pemuda itu terdapat sebuah tahi lalat yang menonjol? tanyanya. Pengurus warung arak terkesiap, serunya: Benar, mengapa kau tahu? Apakah sahabatmu? Aku kenal padanya. Maka akulah yang mengganti kerugianmu, kata Khik-sia. Kemudian ia berbangkit dan memeriksa bekas telapak tangan yang terdapat pada pilar. Mendengar pembicaraan Khik-sia, samar-samar Yak-bwe dapat menerka juga. Tapi karena sudah ditanyai Khik-sia, ia pun tak leluasa mencari keterangan lagi. Ini tenaga pukulan istimewa. Aneh, partai Siau-lim-si tak pernah menerima seorang murid wanita, mengapa nona itu dapat memiliki pukulan lwekang kaum agama? Tetapi kepandaiannya masih belum sempurna betul. Lihatlah, pangkal tangannya melekat ke dalam tapi bagian jarinya hanya masuk sedikit. Sekalipun begitu, tak mudah mencari seorang wanita yang berkepandaian sedemikian hebatnya, kata Khik-sia.
Mendengar Khik-sia dapat menilai kepandaian si nona, diam-diam pengurus warung itu terkejut dan berubah wajahnya. Kalau begitu, kepandaian tuan ini tak kalah dengan si nona lihay itu. Kukira dia seorang anak pembesar, siapa tahu seorang jagoan, huh, jangan-jangan bangsa perampok. Tengah Khik-sia memeriksa bekas telapak tangan itu, sekonyong-konyong dua ekor kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon di luar, meringkik keras. Khik-sia cepat berpaling dan terkejutlah ia. Ternyata ada dua orang lelaki sedang memotong tali kendali kudanya. Kurang ajar! Penjahat yang bernyali besar! makinya seraya menampar meja. Dengan meminjam gerakan itu, tubuhnya melesat keluar. Tapi sudah terlambat. Kedua orang itu sudah menceplak kuda. Salah seorang ayunkan tangannya. Sebuah benda berkilap melayang ke arah meja kasar. Kiranya sekeping perak. Kemarin nona kami merusakkan perkakas warungmu. Perak itu pemberian nona untuk mengganti kerugian! teriak orang itu. Sementara kawannya yang seorang tertawa berseru: Budak kecil semacam kau tak pantas naik kuda sebagus ini. Kamipun tak mau menggasak kudamu mentah-mentah. Nih, kepingan perak ini selaku uang pembeli kudamu! - Ia pun melemparkan sekeping perak kepada Khik-sia. Kurang ajar! Siapa sudi uangmu? bentak Khik-sia. Sekali kebutkan lengan bajunya, kepingan perak itu berputar-putar melayang kembali kepada pengirimnya. Ketika menyanggapi, tangan orang itu terasa kesakitan. Kejutnya bukan kepalang. Cepat ia keprak kudanya lari. Kedua ekor kuda itu sudah terlatih. Mereka sudah kenal akan tuannya, siapapun tak dapat menaikinya. Tetapi entah bagaimana, rupanya kedua orang itu mempunyai ilmu istimewa sehingga kedua kuda itu menurut saja. Khik-sia gusar sekali. Ia gunakan pat-paoh-kam-sian untuk mengejar. Ketika berpaling bukan kepalang kaget kedua orang itu demi dilihatnya Khik-sia mengejar sedemikian rapatnya, hanya terpisah beberapa tombak di belakang. Budak kecil, karena kau emoh uang, baiklah kuberi thi-lian-cu saja! kedua orang itu ayunkan tangannya. Dua belas batang senjata rahasia thi-lian-cu melayang ke arah Khik-sia. Ilmu menimpuk mereka cukup lihay. Tapi karena yang ditimpuk seorang ahli silat macam Khik-sia, maka hasilnya pun malah runyam. Kukembalikan kirimanmu! sekali Khik-sia lontarkan pukulan Biat-gong-ciang, kedua belas thi-lian-cu itupun melayang kembali kepada pemiliknya. Tapi tak dapat mengenai karena kuda yang membawa mereka itu luar biasa cepatnya. Ilmu ginkang pat-poh-kam-sian Khik-sia itu dalam jarak beberapa li memang ampuh sekali. Jika bukan kuda istimewa pemberian dari Cin Siang, tentu tadi-tadi sudah terkejar. Apalagi tadi Khik-sia harus kendorkan langkah karena menangkis serangan senjata tajam. Beberapa detik kehentian itu cukup memisahkan jarak mereka jauh sekali. Dan dalam beberapa kejap pula, kedua kuda itu pun sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Terpaksa Khik-sia kendorkan larinya. Dalam pada itu tampak Yak-bwe berlarian mendatangi dengan napas terengah-engah. Khik-sia tertawa masam: Karena tak berhasil mengejar, lebih baik kita berjalan pelahan-lahan saja. Keparat sekali manusia itu! Khik-sia, biar bagaimana juga kau harus berusaha merebut kembali kuda itu. Kuda itu pemberian Cin Siang, kalau sampai kena dicuri orang, bagaimana kita ada muka untuk bertemu dengan Cin Siang nanti? Yak-bwe bersungut-sungut jengkel sekali. Pulangkan napasmu dulu. Biar si setan hilang, sarangnya tentu kedapatan. Asal sudah mengetahui sarangnya, masakan setan-setan itu dapat lari, Khik-sia menghiburi tunangannya. Ya, ya, kita harus membikin perhitungan dengan majikan mereka. Bukankah mereka tadi sudah memperkenalkan diri sebagai orangnya si nona yang meninggalkan bekas telapak tangannya di pilar batu? Siapa nona itu, kita tak kenal sama sekali. Kita perlu cari seorang dulu untuk mencari keterangan, ujar Khik-sia. Eh, apakah pemuda she Coh itu bukan Coh Ping-gwan? tanya Yak-bwe. Khik-sia mengiakan. Yak-bwe menanyakan bagaimana hubungan Khik-sia dengan pemuda itu dan bagaimana pula riwayatnya.
Perkenalanku dengannya terjadi ketika di dalam Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang. Setelah itu tak pernah berjumpa lagi. Tapi sekalipun baru berkenalan tapi bukan kenalan biasa. Seperti Thiat-toako, Coh Ping-gwan itu juga dicap sebagai pemberontak. Kurasa dia juga seorang sahabat yang menjunjung keadilan. Sayang aku tak jelas dengan dirinya, sahut Khik-sia. Memang pada waktu diumumkan nama-nama dari 10 tokoh pemberontak, Coh Ping-gwan termasuk daftar yang terakhir. Tetapi dia masih asing di kalangan loklim, maka orang pun tak tahu perbuatannya yang dianggap memberontak itu. Baru setelah orang she Coh itu bertemu dengan Shin Ci-koh dan Gong-gong-ji, tahulah Khik-sia kalau pemuda itu sudah kenal pada suhengnya. Bahkan ternyata pedang Kim-ceng-toan-kiam yang biasa dipakai Ceng-ceng-ji itu ternyata milik Coh Ping-gwan. Tapi pengertian Khik-sia pun hanya terbatas sampai di situ saja. Bagaimana tentang pribadi dan gerak-gerik Coh Ping-gwan, sama sekali ia tak mengetahui. Kalau begitu baik kita bantu pada Coh Ping-gwan saja, untuk memberantas pencuri wanita itu. Tapi entah dimana kita dapat menjumpai orang she Coh itu? kata Yak-bwe. Kalau dia muncul di sini terang kalau hendak hadir dalam pertemuan di Hok-gu-san. Baik kita langsung menuju ke Hok-gu-san saja. Setelah mejumpai Thiat piauko baru kita berunding lagi. Taruh kata orang she Coh itu tak datang ke Hok-gu-san, pun kita dapat menanyakan keterangan pada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan itu, kata Khik-sia. Yak-bwe setuju. Mereka menuju ke Hok-gu-san. Tapi baru berjalan tak berapa lama tiba-tiba Yak-bwe berseru: Khik-sia, kau lebih banyak pengalaman dari aku, apakah kau dapat meneliti? Meneliti apa? Bahwa kedua pencuri kuda itu agaknya bukan suku Han. Bagaimana kau tahu? tanya Khik-sia. Sekarang kan sudah permulaan musim panas, mengapa mereka berdua masih mengenakan kopiah bulu. Ini bukan cara suku Han yang tinggal di sini. Kulihat kalau bukan suku Oh, mereka tentu orang dari Se-gwa (luar perbatasan), kata Yak-bwe. Memang integrasi antara suku Oh dan Han di daerah situ sudah sedemikian rupa hingga sukar untuk membedakan. Tapi dalam adat kebiasaan, masing-masing masih memegang teguh kebudayaannya sendiri. Khik-sia memuji luasnya pengalaman sang calon isteri. Memang aku juga melihat suatu kecurigaan .... katanya. Yak-bwe girang dipuji tunangannya. Sengaja ia hendak mempamerkan kecerdikannya, ujarnya: Eh, jangan kau katakan dulu, biar aku yang menguraikan pendapatku. Coba saja apakah pandangan kita berdua ini bersamaan? Khik-sia mengiakan. Kedua pencuri kuda itu mahir sekali naik kuda. Gerak-geriknya kasar. Dua ciri ini cukup mengunjukkan bahwa mereka itu tentu suku Oh yang menuntut penghidupan sebagai penggembala. Khik-sia tertawa: Benar, akupun berpendapat demikian. Hanya sayang kau bukan seorang pria .... Apa? Yak-bwe terbeliak kaget. Khik-sia tertawa: Jika kau seorang pria, baru boleh mengatakan kata-kata 'pandangan sesama enghiong itu tentu bersamaan'. Oh, jadi kau hendak mengolok-olok aku? Tapi kau sendiri menganggap sebagai enghiong, apakah tak malu? Yak-bwe bersungut-sungut. Khik-sia menyabarkan sang tunangan, toh hanya sekedar kelakar saja, perlu apa marah-marah. Begitulah mereka melanjutkan perjalanan lagi sembari bercakap-cakap. Jika kedua pencuri itu benar orang Oh, urusan menjadi runyam. Entah apa hubungan Coh Ping-gwan dengan nona itu. Tapi jika bertemu dengan nona itu, jangan turun tangan dulu. Kita harus menyelidiki asal-usulnya, Khik-sia mengutarakan pikirannya. Yak-bwe dapat menerimanya. Pada petang hari, mereka sudah memasuki daerah gunung. Khik-sia mengusulkan, karena perjalanan selanjutnya sukar terdapat rumah penduduk, mengingat hari sudah gelap dan letih berjalan, lebih baik mencari sebuah goa untuk beristirahat. Yak-bwe setuju malah ia lantas
keluarkan ilmu ginkang istimewa yang kemarin lusa baru saja dipelajarinya dari Khik-sia. Khik- sia banyak memberi petunjuk yang berharga. Malam itu tak berbintang. Tapi berkat ginkang dan sepasang matanya yang dapat melihat terang di waktu malam, Khik-sia berlari di muka untuk mencari jalan. Yak-bwe amat gembira dan tak terasa tibalah mereka di sebuah puncak yang gelap. Sudah letih? tanya Khik-sia. Sebenarnya ginkang itu tak perlu menggunakan tenaga banyak. Yak-bwe menyahut belum lelah dan mengajak terus berlari saja sampai terang tanah. Tiba-tiba Khik-sia melihat di atas puncak seperti ada bayangan bergerak. Ia terkejut dan membisiki Yak-bwe: Awas, di sebelah muka ada orang, biar kutinjaunya dulu. - Ia gunakan ginkang tinggi menyusup ke dalam hutan. Sekonyong-konyong dua sosok tubuh loncat keluar dari semak rumput. Salah seorang mengucapkan beberapapatah perkataan yang tak dimengerti Khik-sia. Malam gelap sehingga tak dapat melihat wajah mereka. Hanya dari kopiah kulit yang dipakainya itu Khik-sia menduga tentu orang suku Oh. Karena Khik-sia tak menyahut, kedua orang itu sabatkan dua batang belati yang berkilau-kilau matanya. Waktu Khik-sia tak dapat menyahut teguran mereka yang diucapkan dengan bahasa daerah, kedua orang itu segera memastikan bahwa Khik-sia bukan kawan mereka. Setangkas-tangkasnya mereka menimpuk, masih tak memadai kepandaian Khik-sia. Sekali berkelit, dua batang belati itu melayang lewat sisinya dan jatuh di tempat kosong. Khik-sia pun lantas maju mendekat, berdiri di tengah mereka dan mementang sepasang tangannya. Dalam kegelapan malam, mudah sekali Khik-sia meringkus mereka. Karena hendak menanyai keterangan maka Khik-sia tak mau menutuk jalan darah mereka. Tapi dia lupa bahwa kedua orang itu tidak hanya sendiri. Padahal mereka membawa banyak kawan yang bersembunyi. Baru hendak menanyai kedua orang itupun sudah bersuit keras. Secepat itu jauga dari atas gunung terdengar suara gemuruh dan munculnya beratus-ratus pelita. Kiranya mereka memang bersembunyi di atas gunung. Jumlahnya berpuluh-puluh orang. Waktu bersembunyi itu, pelita-pelita teng mereka diselubungi dengan kain hitam. Untung kedua orang yang diringkus Khik-sia itu termasuk penyuluh atau ceculuk yang memberi warta. Jaraknya dengan rombongan kawan-kawannya masih berpuluh-puluh tombak. Jadi mereka masih belum mengetahui Khik-sia. Cepat-cepat Khik-sia menutuk jalan darah kedua orang itu. Mana? Dimana? tepat pada saat itu terdengar mereka berseru dengan berisik sekali. Apakah bangsat she Coh itu lagi? - Hai, mengapa suitan berhenti? Oh, celaka, kedua kawan kita tentu dicelakai bangsat itu! Dalam kehirukan itu tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita: Jangan ribut saja, lekas cari! Khik-sia terkesiap, pikirnya: Wanita itu tentu pemimpin mereka. - Baru ia hendak unjukkan diri, tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring dan seruan orang: Benar, memang aku Coh Ping- gwan yang datang! Heh, heh, tanpa memasang barisan pendam akupun tetap datang. Aku hendak bertanya, mengapa nona selalu hendak membikin susah padaku? Suara itu datangnya dari arah lain. Dan perhatian rombongan orang-orang itu segera beralih ke sana. Saat itu Yak-bwe sudah tiba di dekat Khik-sia dan dengan berbisik-bisik menanyakan keterangan. Khik-sia memperingatkan jangan bergerak dulu tapi tunggu saja nanti. Habis berkata, ia lantas menggandeng tangan sang tunangan untuk dibawa loncat ke atas pohon tinggi. Dari situ dapat melihat jelas apa yang terjadi di sebelah bawah. Di atas sebuah batu karang, tampak seorang suku Han loncat turun. Batu karang itu tak kurang dari belasan tombak tingginya. Gerakan melayang turun dari pemuda itu indah sekali. Ya, memang dia adalah Coh Ping-gwan. Diam-diam Khik-sia memuji ginkang orang she Coh itu. Pun rombongan orang-orang itu terkejut, sampai terlongong-longong melihat kepandaian Coh Pinggwan. Diam-diam nona pemimpin rombongan itu menghela napas: Seorang pemuda yang cakap dan gagah, ilmu kepandaiannya jarang terdapat di dunia persilatan. Sayang dia itu anak dari musuhku. Begitu ujung kaki Coh Ping-gwan baru menyentuh bumi, dua orang rombongan suku Oh itu
sudah menyerang. Yang satu dari kanan, yang satu dari kiri. Kedua penyerang itu bertubuh tinggi besar. Masing-masing mencekal thiat-jui (martil besi). Dalam situasi yang berbahaya itu, Coh Ping-gwan keluarkan kepandaiannya istimewa. Dia tak mau menghindar melainkan kebutkan lengan bajunya dengan gerak Su-chi-hwat-cian-kim atau empat tail tenaga mengeluarkan seribu kati. Bum, kedua martil penyerangnya saling berhantam sendiri. Sementara Coh Ping-gwan menerobos keluar dari tengah-tengah sela kedua penyerangnya. Tenaga kedua penyerang itu besar sekali. Oleh karenanya besar juga goncangan yang diderita akibat benturan martil itu. Suaranya melengking tajam sekali sampai memekakkan telinga. Pada lain saat kedua orang itupun menjerit keras, kedua martilnya mencelat ke udara. Coh Ping-gwan melangkah kemuka dengan lenggangnya. Ia tertawa nyaring: Aku toh belum selesai bicara dengan nonamu, mengapa kalian buru-buru hendak menyerang aku? Coh Ping-gwan menghampiri ke muka si nona. Tiada seorang pun yang berani menghadang. Mereka terlongong oleh sikap dan nada seruan Coh Ping-gwan yang sedemikian berwibawa. Diam-diam tergerak hati nona itu, pikirnya: Di dalam menghadapi bahaya apa saja, dia selalu tenang, seperti semasa kecilnya. Tadi waktu kedua saudara Wi menghantamnya dengan martil, hatiku terkejut sekali. Eh, bukankah aku hendak membalas sakit hati padanya? Mengapa aku merasa sayang? Tidak, aku harus keraskan hatiku! Tenang-tenang Coh Ping-gwan memberi hormat kepada si nona: Kupikir aku tak pernah kesalahan pada nona, mengapa nona selalu hendak maukan jiwaku saja? Sudilah nona menerangkan agar bila aku mati tidak berada dalam kegelapan? Nona itu menggigit bibir, katanya dengan dingin: Coh Ping-gwa, tidakkah kau kenal padaku? - Sudah dua kali ia berkata demikian pada Coh Ping-gwan. Coh Ping-gwan heran dan melirik tajam pada si nona. Ah, samar-samar sudah pernah melihat, tapi lupa ia. Akhirnya berkatalah ia: Maaf, ingatanku memang jelek. Wajah si nona bertebar merah ketika dipandang si pemuda. Tiba-tiba ia berganti nada kekanakkanakan: Aku tak mau kau tukari dengan giok. Kedua mustika ini kuberikan padamu. Lihatlah, mutiara ini mempunyai tujuh warna, indah tidak? Tetapi di dalam rumahku, benda ini tak berharga. Sekalian orang yang berada di sekitar situ (termasuk Khik-sia yang bersembunyi di atas pohon0, tak mengerti apa arti ucapan si nona itu. Dan nona itu tak memegang giok atau suatu mutiara. Ha, kau si Ni kecil? tiba-tiba Coh Ping-gwan berteriak kaget. Ya, sekarang sudah teringat atau belum? si nona mengangguk. Peristiwa itu terjadi pada 15 tahun yang lalu. Ketika itu ayah Coh Ping-gwan yaitu Coh Thongkok menjadi To-liat-su (wakil) dari gubernur Anse yang berkedudukan di Sutho, sebuah negeri kecil di wilayah Segak (Tibet). Kala itu Coh Ping-gwan baru berumur 10-an tahun lebih. Dia ikut ayahnya ke Sutho. Di negeri Sutho ada seorang raja Yu-hian-ong yang merangkap menjadi panglima perang. Dia bernama U-bun Hu-wi, mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Hong-ni. Umurnya lebih muda dari Coh Ping-gwan, baru 5-6 tahun. Sutho termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Tong. Dengan menjabat sebagai To-liat-su, berarti Coh Thong-kok itu yang dipertuan di negeri Sutho. Sering harus berhubungan dengan U-bun Hu-wi. U-bun Hong-ni mungil dan lincah. Coh Ping-gwan menganggapnya sebagai adik sendiri, acap kali mengajaknya bermain-main. Sutho banyak menghasilkan batu permata. Tetapi kulit kerang hanya terdapat di tepi laut. Hong-ni belum pernah melihatnya. Mendengar cerita Coh Ping-gwan betapa indah kulit kerang itu, Hong-ni mau menukarkan permatanya dengan kulit kerang. Tetapi Coh Ping-gwan tak mau menerima permata dan hanya memberikan kulit kerang secara cuma- cuma kepada Hong-ni untuk dibuat main-main. Ucapan si nona tadi, adalah menirukan kata Coh Pinggwan ketika dahulu bicara dengan Hong-ni. Coh Ping-gwan hanya tinggal satu tahun di Sutho, kemudian pergi dan tak pernah berjumpa lagi dengan Hong-ni. Jika Hong-ni tak mengungkat kejadian di waktu kecil itu, tentu dia tak teringat lagi akan nona cantik yang dihadapinya itu. Dengan menggigit bibir, Hong-ni berkata pula: Sekarang sudah jelas, belum?
Jelas apa? Di waktu kecil akupun tak pernah menghina padamu. Malah aku pernah memberi dua buah kulit kerang padamu. U-bun Hong-ni menyahut tawar: Siapa yang ingin bergurau padamu? Jawablah, mana ayahmu? Sudah meninggal pada 10 tahun yang lalu. Tepat, ayahmu sudah meninggal, siapa yang harus kucari kalau bukan kau? Bukankah ada pepatah mengatakan: hutang ayah, anak yang bayar? Hari ini aku hendak menagih hutang ayahmu pada kau! Coh Ping-gwan terkesiap, ujarnya: Apa artinya ini? Nada Hong-ni berubah tajam: Masih belum jelas? Coba ingat-ingatlah, bagaimana kalian tinggalkan Sutho? Peristiwa 15 tahun yang lampau, terbayang lagi. Kala itu malam yang tak berbintang tak berembulan. Tiba-tiba ayah Hong-ni U-bun Hu-wi membawa pasukan menyerang gedung kediaman ayah Coh Ping-gwan. Dalam pertempuran malam yang gelap itu, Coh Ping-gwan dan ayahnya beruntung dapat meloloskan diri. Ketika terang tanah dan memcacahkan pasukannya, dari tiga ribu serdadu Tong, hanya tinggal beberapa puluh saja. Kemudian baru diketahui kalau pemberontakan itu digerakkan oleh tentara pendudukan Hwe-ki yang berada di Sutho. Pengaruh Hwe-ki makin luas menimbulkan clash dengan tentara Tong. Adalah suku Hwe-ki ini yang menghasut negara-negara di Segak untuk memberontak pada kerajaan Tong. Kejadian di Sutho itu, merupakan salah satu pencetusan. Salah satu unsur tentara yang menyerang kediaman wakil gubernur An-se di Sutho itu, adalah pasukan berkuda dari Hwe-ki. Sejak peristiwa itu, Sutho menjadi negara bagian Hwe-ki. Ayah Coh Ping-gwan pulang ke negerinya memohon hukuman. Ia mengajukan permohonan supaya pemerintah mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Hwe-ki. Tetapi kerajaan Tong pada saat itu sedang kacau, pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat timbul. Pemerintahan goncang dan terpaksa minta damai dengan bangsa Hwe-ki. Sejak itu pamor kerajaan Tong merosot. Akibat dari politik damai dengan Hwe-ki itu, ayah Coh Ping-gwan dijadikan kambing hitam. Dengan tuduhan 'tidak bijaksana mengatur pemerintahan', dia dipecat dan terpaksa pulang ke kampung. Beberapa tahun kemudian karena sakit kemudian meninggal. Teringat akan kejadian yang lampau itu mendidihlan darah Coh Ping-gwan, serunya: Jadi kau hendak mengusik peristiwa itu? Ayahku telah kehilangan hampir seluruh pasukannya, apa yang hendak kau tagih lagi? Kau hanya tahu kerugian pihakmu, tetapi apakah kau tahu juga berapa kerugian di pihak kami? Hong-ni marah. Coh Ping-gwan menghela napas: Memang kalau diingat berapa banyak korban yang jatuh dari kedua pihak, kita merasa sedih. Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan ayahmu. Hong-ni makin marah: Kau masih menyalahkan ayahku? Apa harganya jiwa pasukanmu itu? Mereka mati seribu atau sepuluh ribu masih tak menyamai nilai ayahku seorang! Apa? Ayahmu ...! Coh Ping-gwan terperanjat. Masih berlagak pilon menanyakan ayahku? Pada malam pertempuran itu juga ayahku dibunuh oleh ayahmu! Coh Ping-gwan kesima. Ia baru mengetahui sekarang. Ujarnya: Sampai pada saat meninggalnya, ayahku tak mengetahui kalau keliru membunuh ayahmu. Sudah tentu dalam pertempuran di malam gelap, tentu banyak korban. Dan belum tentu ayahmu terbunuh oleh ayahku. Ayahmu adalah pemimpin pasukan. Ia sendiri yang membunuh atau bukan, hutang jiwa itu tetap kutagih padanya! Marahlah Coh Ping-gwan. Terang yang menyerang lebih dulu itu ayah Hong-ni, mengapa menyalahkan orang? Tapi pada lain saat, ia memikir lebih panjang. Pertama, mengingat nona itu sudah sebatang kara, negaranya senasib dengan kerajaan Tong yang ditindas bangsa Hwe-ki. Kedua, mengingat bahwa mereka berdua adalah kawan bermain semasa kecil. Lebih baik menghindar dari permusuhan.
Sebenarnya hubungan kita berdua erat sekali. Kesemuanya itu adalah gara-gara bangsa Hweki .... Aku tak menyinggung urusan negara. Entah siapa yang benar dan salah. Yang kuurus ialah bahwa setiap penasaran dan hutang itu harus ada yang bertanggung jawab, tukas Hong-ni. Baiklah, karena kau anggap ayahku itu sebagai musuhmu. Karena beliau sudah meninggal, aku bersedia pergi ke negerimu dan menghaturkan maaf di depan makam ayahmu. Membunuh orang hanya menambah kedosaan saja. Rasanya kaupun dapat terlepas dari penasaranmu. Tidak bisa! Ayahmu sudah meninggal kan kau masih ada! Aku sudah bersumpah di hadapan kuburan ayahku, biar bagaimanapun tak dapat mengampuni kau! Watak bangsa Sutho itu memang keras dan berani. Sakit hati orang tua, anak harus membalaskan. Jika tidak, tentu diasingkan oleh handai taulannya. U-bun Hu-wi tak punya anak laki, kewajiban itu jatuh pada diri Hong-ni. Menuruti adat kebiasaan bangsanya, Hong-ni melakukan juga upacara mengucurkan darah dalam arak di hadapan kuburan ayahnya. Kala itu ia baru berusia enam tahun. Sehari-hari ia menerima pelajaran bagaimana harus membalas sakit hati ayahnya. Maka betapa Coh Ping-gwan mengemukakan dalih alasan, tetap ditolaknya. Kesabaran ada batasnya. Karena ditolak getas akhirnya timbullah keangkuhan hati Coh Pinggwan. Tertawalah ia dingin-dingin: Kalau begitu tetap meminta ganti jiwa padaku? Tetapi entah kepada siapa aku harus meminta ganti kerugian jiwa-jiwa serdadu Tong itu? Hong-ni terkesiap, tapi ia tetap keras kepala: Aku tak peduli hal itu. Kutahu hanya 'hutang ayah anaklah yang harus membayar'! Coh Ping-gwan mendongak tertawa keras: Baik, karena kau tuli dengan alasan-alasan, maka kunyatakan sejelas-jelasnya. Untuk hutang jiwa yang belum ketahuan kebenarannya itu, aku tak ingin mewakili ayah membayarnya. Tapi jika kau mempunyai kepandaian, silahkan kau mengambilnya secara kekerasan! Hong-ni kerutkan alis. Pada saat ia hendak memberi komando pada anak buahnya supaya meringkus Coh Ping-gwan, tiba-tiba seorang perwira bangsa Han menerobos kemuka, serunya: Nona U-bun, aku menerima titah supaya datang kemari untuk menjalankan perintahmu, ijinkan aku membaktikan tenaga, menangkap orang yang kau kehendaki itu. Panas telinga Coh Ping-gwan. Ia deliki mata memandang perwira itu. Kiranya orang itu adalah Bu Wi-yang, bekas pemimpin barisan pengawal istana. Eh, Bu Wi-yang, kau tahu malu, tidak? tegurnya dengan tertawa mengejek. Malu apa? sahut Bu Wi-yang. Urusanku dengan nona ini bukan urusan sulit. Kau toh perwira dari kerajaan Tong, mengapa merendahkan dirimu sebagai hamba seorang nona lain suku? Kau tak malu itu memang hakmu karena mukamu tebal. Tapi perbuatanmu itu benar-benar menghina negara! Hm, menghina negara? Kau tahu apa, aku justeru mengemban tugas kerajaan! Hi, aneh! Coba katakan aku melanggar pasal mana dari hukum negara! Kau menghina seorang Siang-kok hujin, itulah dosa besar. Siang-kok hujin artinya isteri pangeran. Coh Ping-gwan melirik Hong-ni lalu berkata: Oh, maaf, maaf, aku tidak tahu kalau nona ini seorang wanita bangsawan agung. Hong-ni tersipu-sipu dan buru-buru menyahut: Aku tiada bermaksud minta bantuan pada negerimu untuk melakukan pembalasan sakit hati. Hal ini adalah tindakan pamanku yang berunding dengan Wi toa-cong-koan. Congkoan (jenderal) itu lantas menyuruh Bu ciangkun ini membantu aku. Hm, Bu ciangkun, aku hendak menyelesaikan urusan ini secara kaum persilatan. Tak ingin menerima bantuanmu. Biarlah kuselesaikan dengan Coh siangkong sendiri, tak perlu kau bantu. Kiranya setelah bangsa Hwe-ki menjajah Sutho, ibu dari Hong-ni menyerah pada Hwe-ki. Pada waktu itu tentara Hwe-ki mengirim tentara bantu kerajaan Tong menindas pemberontakan Su Khikhwat, paman Hong-ni (adik ibunya) turut dalam pasukan itu. Menjabat sebagai Co-ciangkun. Kemudian diangkat menjadi menteri koordinator urusan tentara ke Tiang-an. Kerajaan Tong makin lemah. Banyak panglima-panglima di perbatasan yang menyatakan berdiri sendiri. Perintah kerajaan tak dihiraukan lagi. Untuk mendapat bantuan dari tentara HweKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ ki, pemerintah Tong bersikap manis sekali kepada mereka. Bahkan terhadap seorang jenderal suku Sutho yang menakluk pada Hwe-ki, pemerintah Tong pun mengindahkan sekali. Sejak peristiwa Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang itu, atas pengaduan puteri Tiang Lok (adik baginda Tong), maka pangkat Bu Wi-yang diturunkan sampai tiga tingkat. Kini ia hanya menjadi seorang si-wi biasa. Maka demi mendengar kesempatan itu, ia segera mengajukan permohonan pada Congkoan supaya dikirim membantu U-bun Hong-ni menangkap musuhnya. Dan untuk menangkap Coh Ping-gwan seorang, ia sanggup mengerjakan seorang diri tak perlu mengerahkan pasukan besar. Cong-koan lalu meluruskan dengan pesan supaya pembantuan itu atas nama Bu Wi-yang perseorangan. Karena memang memerlukan seorang pembantu penunjuk jalan, Hong-ni menerima bantuan itu. Maka Wi-yang hendak menggunakan kesempatan itu untuk mendekati pada bangsawan Hwe-ki (Hong-ni), agar ia mendapat pahala dan dinaikkan pangkat lagi. Waktu Hong-ni mendapat bantuan, ia kelabakan. Hal ini berbeda dengan peristiwa balas sakit hati di kalangan persilatan. Dia hanya seorang rakyat jelata, ijinkanlah siapkoan (aku) menangkapnya sebagai tanda penghormatan terhadap tetamu agung, serunya. Baik, karena peraturan kerajaan Tong sedemikian, silahkan kau menangkapnya lebih dulu. Tapi aku ada syarat. Jika kau gagal, aku tak mau menghiraukan peraturan lagi! akhirnya Hong- ni mengalah. Yang dipikirkan Bu Wi-yang hanyalah hadiah pangkat dari cong-koan. Ucapan si nona tadi sedikitpun tak diperhatikan, segera ia melolos cambuknya yang panjang itu. Heh, pesakitan negara, lekas menyerah daripada kubekuk kau, serunya. Kini tersadarlah Coh Ping-gwan. Kiranya untuk mengambil hati bangsa Hwe-ki, pemerintah Tong telah menghapus jasa-jasa ayahnya untuk diganti dengan kedosaan. Dan karena ayahnya sudah meninggal, maka kini ia anaknyalah yang hendak dijadikan kambing sembelihan. Serentak bangkitlah keperwiraan anak muda itu. Keluarga Coh tak pernah berdosa pada kerajaan. Aku menolak perintahmu yang semenamenanya itu. Aku tak peduli kau menjalankan perintah kerajaan atau tidak. Nih, makanlah dulu golokku! serunya dengan nyaring. Membangkang? Kau hendak berontak! teriak Bu Wi-yang sembari menyabat dengan piannya. Tapi sudah disambut oleh golok Gan-leng-to Coh Ping-gwan. Sebagai bekas Su-wi thong-leng (pemimpin pengawal istana), memang kepandaian Bu Wi-yang cukup tinggi. Kebutan piannya tadi memancarkan tiga gelombang sinar. Susul menyusul sebagai damparan gelombang. Seketika tubuh Coh Ping-gwan terkurung oleh sinar pian. Tetapi ternyata kepandaian Coh Ping-gwan itu lebih unggul setingkat. Jurus yang digunakan Sam-yo-gui-thay itu juga mempunyai 3 buah serangan. Indahnya bukan kepalang. Tar, punggung goloknya dapat membuyarkan lingkaran sinar pian. Sampai-sampai pian Bu Wi-yang itu terdampar lempeng dan tenaganya lenyap. Dan sekali balikkan tangan, kembali golok Coh Ping-gwan dapat menghancurkan lingkar serangan pian yang kedua. Dua jurus gerakan Coh Ping-gwan yang ketiga, berhasil memapas sebuah jari tangan Bu Wi-yang. Sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang cukup untuk dibuat melayani sampai beberapa jurus. Dikarenakan ia terburu-buru hendak menang sebaliknya malah menderita kerugian yang membuatnya meringis kesakitan. Dan sebelum semangatnya yang hilang itu pulih, tiba-tiba Coh Ping-gwan berseru 'lepas', goloknya membabat. Mau tak mau Bu Wi-yang terpaksa lepaskan piannya juga. Bu ciangkun, kau sudah melakukan kewajibanmu. Aku sudah menerima bantuanmu. Terima kasih atas jerih payahmu menunjukkan jalan. Sekarang musuh sudah kuketemukan, silahkan kau pulang! tiba-tiba Hong-ni berseru sembari loncat menghalangi golok Coh Ping-gwan. Dengan menahan rasa malu, Bu Wi-yang ngacir pergi. Sampaipun tianpian yang paling disayanginya itu, tak dihiraukan lagi. Coh Ping-gwan hentikan pengejarannya. Lintangkan golok ke dada, ia berkata: Siau-ni, musuhmu itu seharusnya bangsa Hwe-ki. Jika kau hendak menuntut balas padaku itu tidak pada tempatnya. Maaf, aku tak dapat melaksanakan cita-citamu menjadi anak berbakti!
Karena pikirannya sudah diracuni dengan ajaran bahwa yang membunuh ayahnya itu adalah Coh Ping-gwan, maka saat itu ia tak dapat menerima jelas pernyataan Coh Ping-gwan. Cepat pada saat Coh Ping-gwan selesai bicara, pedang Hong-nipun sudah menusuknya. Dengan musuh ayahku, aku tak dapat hidup bersama di satu kolong langit. Kau boleh memberi seribu satu alasan, tapi aku tetap tak dapat melepaskan kau. Untuk kebaikanmu memperlakukan aku begitu baik semasa kecil, kuberi kelonggaran agar kau bunuh diri sendiri! Kau kubebaskan dari cincangan! Menghindari tusukan, Coh Ping-gwan tertawa bebas: Siau-ni, bukannya aku takut padamu. Aku hanya menyatakan kebenaran. Jika kau tak mau mendengar, berarti memaksa aku harus bertempur padamu! Sret, sret, sret, Hong-ni tebaskan pedangnya ke atas, tengah dan bawah. Yang diarah semua bagian yang berbahaya dari tubuh si anak muda. Coh Ping-gwan gunakan tangan kosong untuk merebut senjata si nona. Ia berputar tubuh, balikkan tangan menyambar lengan Hong-ni yang mencekal pedang itu. Tetapi ternyata gerakan si nona tak kalah lincahnya. Begitu tusukannya lewat di sisi iga lawan, nona itu miringkan tubuhnya dan lontarkan dua buah serangan istimewa. Pedangnya itu terus dibabatkan balik, sedang tangannya kiri menghantam si anak muda. Blak, mereka beradu pukulan. Hong-ni terputar-putar dan tersurut sampai tiga langkah. Sebaliknya baju Coh Ping-gwan pun robek sampai lima inci lebarnya. Diam-diam keduanya samasama terkesiap. Selagi Hong-ni tersurut mundur lagi, Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya yang disarungkan tadi. Tapi pada saat Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya yang disarungkan tadi. Hong-ni pun sudah mendahului menyerangnya. Kali ini ia gunakan jurus Giok-li-tho-soh, menusuk tangan bawah. Coh Ping-gwan berseru memuji ketangkasan si nona. Cepat ia gunakan jurus Tiang-bo-lok-jit. Sesaat Hong-ni bingung menghadapi. Kalau tak merubah jurusnya, pedangnya tentu kena terpukul jatuh. Tapi kalau hendak merubah gerakannya, terang tentu didahului lawan. Akhirnya Hong-ni mengambil putusan. Ia tetap tak merubah jurusnya tetapi bahkan menambahinya dengan sebuah hantaman. Blak, Coh Ping-gwan menangkis. Tapi kali ini yang tersurut mundur sampai tiga langkah bukan si nona, melainkan dia sendiri. Mendapat hati, Hong-ni mendahuluinya dengan serangan yang gencar. Benturan tadi membuat Coh Ping-gwan heran. Pikir punya pikir, akhirnya diketahui juga. Ah, tadi yang pertama dia belum mengeluarkan tenaganya sungguh-sungguh, demikian kesimpulannya. Tapi kesimpulannya itu ternyata kurang tepat. Tadi waktu yang pertama kali adu tenaga, karena kuatir si nona tak sanggup menahan, ia sudah gunakan hanya enam tujuh bagian tenaganya saja. Ia tak mau dibunuh si nona tapi pun tak sampai hati membunuhnya. Ternyata Hong-ni pun mempunyai pertentangan dalam batinnya. Ia menyakinkan ilmu pukulan Kim-kong-ciang. Kuatir si anak muda tak kuat menerima, ia hanya gunakan dua tiga bagian tenaganya. Kesudahannya, dia harus menderita tersurut mundur sampai tiga langkah. Kini tahulah ia bahwa tenaga Coh Ping-gwan itu lebih unggul. Maka dalam adu tenaga yang kedua kalinya, ia gunakan sembilan bagian tenaganya. Dan celakanya Coh Ping-gwan tetap masih menggunakan enam tujuh bagian tenaganya. Akibatnya, dialah yang menelan kerugian. Pertempuran berlangsung dengan makin seru. Berulang kali Coh Ping-gwan berusaha menghindari kekerasan. Tapi lama kelamaan ia terpaksa harus bertempur sungguh-sungguh juga. Setelah bertanding sampai beberapa jurus, keduanya saling mengagumi kepandaian masing- masing. Kepandaiannya ternyata lebih unggul dari aku. Jika aku hendak membalas sakit hati seorang diri, dikuatirkan tak mampu, diam-diam Hong-ni menimang dalam hati. Sayang dia anak dari musuhku! Pun Coh Ping-gwan juga mengagumi kepandaian si nona yang walaupun lebih muda 4 tahun tapi kepandaiannya berimbang. Sayang ia berkeras kepala menganggap aku sebagai musuhnya, ia menghela napas. U-bun Hong-ni menyerang dengan tenaga penuh. Ia gunakan taktik kilat sehingga untuk beberapa saat Coh Ping-gwan sibuk sekali. Hanya dapat menangkis tak mampu balas menyerang.
Tapi biar bagaimana juga, karena ia lebih unggul kepandaiannya dan lebih banyak pengalamannya, setelah empat lima puluh jurus dapatlah ia mengetahui gerak serangan si nona. Dari berimbang, perlahan-lahan Coh Ping-gwan berbalik menang angin. Dalam suatu serangan, Coh Ping-gwan memapas sembari menutuk jalan darah beng-bun dengan tangan kiri. Ia sudah menduga Hong-ni tentu akan bergerak dalam jurus Kim-cian-to-liap. Dugaannya itu ternyata benar. Sebelum Hong- ni sempat bergerak dalam jurus itu, ia sudah mendahului merubah tabasannya ke atas, sedang kedua jari kirinya menutuk lengan si nona. Tring .... terdengar benturan tajam dan letikan api. Pedang Hong-ni terbuat dari bahan baja putih, sedang golok Coh Ping-gwan adalah golok pusaka dari Toh Hok-wi, bekas Suma dari kota Kiu-seng. Pedang Hong-ni terpapas rombal. Tapi itu hanya kerugian sedikit, yang lebih hebat adalah kerugian yang dideritanya akibat tutukan jari Coh Ping-gwan itu. Seketika tangannya terasa kesemutan. Untung tak tepat kenanya, coba tidak ia tentu tak dapat bergerak lagi. Coh Ping-gwan susuli lagi dengan sebuah tebasan. Wing, sebuah tusuk kundai kumala di rambut Hong-ni terpapas kutung! Maaf, apakah dendama sudah dapat dianggap selesai? serunya. Ia tak mau menyerang lagi dan berhenti. Sebenarnya kalau mau, ia dapat mengambil jiwa Hong-ni. Menurut peraturan persilatan, pembebasan itu berarti 'membayar jiwa'. Pihak yang menuntut balas, tak boleh melanjutkan tuntutannya lagi. Tapi jika tetap berkeras hendak membalas, pun boleh. Asal, setelah membunuh musuhnya, ia harus bunuh diri juga. Wajah Hong-ni pucat lesi. Mundur beberapa langkah langkah, iamenuding dengan pedang Ceng-kong-kiam: Aku sudah bersumpah darah di hadapan makan ayah, sakit hati ayah tak boleh tidak harus diimpas. Ya, sudahlah, setelah membunuhmu akupun hendak bunuh diri! Tudingan pedang Hong-ni tadi merupakan komando. Tujuh orang pengikutnya segera mengepung Coh Ping-gwan. Mereka adalah bu-su (ahli silat) dari Sutho dan Hwe-ki. Senjatanya beraneka warna dan posisinyapun berpencaran tujuh tempat. Mereka mulai menyerang. Bagus, karena kalian main keroyok, jangan salahkan golokku tak bermata! teriak Coh Pinggwan yang cepat berputar dan menabas seorang busu. Rencananya setelah dapat melukai barang seorang dua orang orang musuh, ia hendak menerobos dari kepungan. Tetapi di luar dugaan barisan mereka yang disebut Ceng-hoan-su-hiong-tin itu luar biasa geraknya. Sewaktu ditabas, Bu-su yang bersenjata khik (tombak yang ujungnya memakai sangkur) itu sudah berubah posisinya. Sebagai gantinya dua orang Bu-su tampil menangkis golok Coh Pinggwan. Mereka bersenjata Ceng-tong-kian dan Lian-cu-jui (bandringan martil) Keduanya termasuk jenis senjata berat. Tenaga mereka kuat sekali, bahkan Bu-su yang bersenjata Lian-cu-jui itu lincah sekali. Coh Ping-gwan kerahkan tenaga mendesak mundur Bu-su yang bersenjata Ceng-tong-kian, kemudian menangkis Lian-cu-jui. Ia berhasil dapat memapas bandringan sampai terpotong separuh, tapi ia pun rasakan tangannya sakit kesemutan. Wut, ia putar tubuhnya untuk menghindari tusukan tombak dari lain Bu-su yang menyerang lambung kirinya. Lepas! ia membentak dan secepat kilat, menyambar ujung khik hendak ditariknya tapi dua Bu-su yang masing-masing memegang tombak dan kampak, sudah menyerangnya. Terpaksa Coh Ping-gwan putar goloknya dalam jurus Ya-can-pat-bong. Kapak dan tombak dapat dipentalkan. Karena menangkis itu, ia belum berhasil merebut senjata yang dipegangnya tadi. Coh Ping-gwan membacok lengan pemegang khik itu tapi sekonyong-konyong sinar pedang berkiblat dan menusuk tangannya. Penyerangnya itu bukan lain ialah U-bun Hong-ni sendiri. Coh Ping-gwan cukup mengetahui kepandaian si nona. Terpaksa ia lepaskan khik dan menangkis serangan pedang, lalu menangkis pula pukulan si nona. Sebenarnya kepandaian Hong-ni tak terpaut jauh dari Coh Ping-gwan. Dengan dibantu oleh ketujuh Bu-su itu, sudah tentu Coh Ping-gwan keteter. Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin itu menurut formasi Pat-kwa, empat menghadap ke muka dan empat orang dari jurusan samping. Mereka bergerak-gerak silang menyilang. Sedang Hong-ni menempati posisi yang disebut Kian-wi. Dari situ ia dapat memberi bantuan pada saat-saat yang diperlukan.
Jelas bagi Coh Ping-gwan, bahwa sukar sekali ia hendak membobolkan barisan itu. Lingkaran kepungan lawan bahkan makin lama makin menyempit. Coh Ping-gwan terpaksa kerahkan seluruh kepandaian untuk bertempur mati-matian. Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin makin menelenkup kecil. Coh Ping-gwan mainkan golok Ganleng- tonya dengan jurus-jurus yang berbahaya. Dua pihak sama-sama sukar untuk mengalahkan lawan. Tidak bisa menangkap hidup, matipun boleh! akhirnya Hong-ni berteriak keras. Dengan komando itu ketujuh Bu-su tampak menyerang seru. Sepasang mata Coh Ping-gwan merah membara memandang Hong-ni. Ia benar-benar heran dan mendongkol terhadap nona yang tak dapat dikasih mengerti itu. Beberapa kali Ping-gwan hendak lancarkan serangan yang dapat menyebabkan hancur bersama, tapi setiap kali ia teringat akan nasib yang sudah sebatang kara dari nona itu, hatinyapun lemas kembali. Manusia adalah makhluk yang berperasaan. Apalagi Hong-ni seorang wanita. Ia merasa juga kalau dipandang dengan penuh kebencian oleh Ping-gwan. Teringat bagaimana kasih sayang mereka berdua sama-sama bermain di waktu kecil, diam-diam timbul juga kemenyesalan Hong- ni, batinnya: Bukan karena aku berhati kejam hendak membunuhmu, tetapi nasiblah yang mengatur kita dalam keadaan begini sehingga ayahmu membunuh ayahku. Ah, aku telah mengikrarkan sumpah di hadapan makam ayahku, bagaimana aku dapat memberi ampun padamu! Memang pada waktu mula-mula ia hendak melepaskan pemuda itu, tapi akhirnya ia keraskan hati dan menghindar dari sorot mata Ping-gwan. Ia tetap tak mau memberi hati dan menyerang gencar. Khik-sia mengetahui jelas keadaan Ping-gwan. Ia harus turun tangan. Bwe-moay, tunggu kau di muka sana! bisiknya. Mengapa aku tak boleh membantumu? tanya Yak-bwe. Musuh berjumlah lebih banyak. Aku hendak membantu Coh Ping-gwan keluar dari barisan itu. Sekali-kali tidak memusuhi lawan, sahut Khik-sia. Maksudnya ia sendiri sudah cukup melepaskan Coh Ping-gwan. Kau seorang diri, ini .... masih Yak-bwe menguatirkan diri sang tunangan karena barisan sedemikian hebatnya. Khik-sia tersenyum dan menghiburi calon isterinya bahwa ia tentu dapat mengatasi. Karena keadaan mendesak, iapun segera bersuit nyaring dan melayang turun. Sebenarnya kepandaian Khik-sia tak terpaut banyak dengan Coh Ping-gwan. Tapi mengapa ia yakin dapat membobol barisan itu? Inilah disebabkan karena dahulu ia pernah mengalami dikepung barisan Pat-tin-tho oleh kedelapan pengikut Se-kiat dari pulau Hu-song-to, kemudian ditolong oleh Gong-gong-ji. Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin dari U-bun Hong-ni itupun menurut dasar-dasar dari Pat-bun- sengkhik (delapan pintu mati-hidup). Ada beberapa bagian yang sama dengan Pat-tin-tho. Tapi dalam keindahannya bahkan kalah dengan Pat-tin-tho. Tadi selama bersembunyi di atas pohon, Khik-sia memperhatikan juga gerak-gerik Ceng-hoansu- hiong-tin dan mengertilah ia. Dengan bersuit nyaring itu ia hendak menarik perhatian musuh agar dapatlah Yak-bwe menyelinap pergi dengan diam-diam. Dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya Khik-sia pun sudah menyusup masuk ke dalam barisan. Memang serupa dengan pandangan Ping-gwan, pun Khik-sia mengetahui bahwa Bu-su yang bersenjata khik itulah yang paling lemah sendiri. Maka pertama turun tangan, bu-su itulah yang diganyangnya lebih dulu. Begitu cepat Khik-sia bergerak sehingga sebelum kedua Bu-su yang berada di kanan-kirinya sempat menghalangi, tangan Bu-su yang bersenjata khik tadi sudah kena tertusuk pedang Khik-sia. Khik terlempar dari tangannya, kebetulan mencelat ke lain Bu-su yang buru-buru menangkisnya hingga senjata khik itu mencelat ke bawah gunung. Tapi karena menangkis itu, Busu tersebut kena dibacok bahunya oleh golok Coh Ping-gwan dan terbukalah Seng-bun atau pintu hidup. Dua Bu-su segera menyerangnya dari dua samping. Khik-sia deliki mata. Ia kenal kedua Bu-su itu sebagai orang yang mencuri kudanya. Kembalikan kudaku atau kuambil jiwamu! bentak Khik-sia sambil membabat dengan jurus Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus puncak). Cepat sekali gerakan Khik-sia, tring,
tring, golok dan kapak dari kedua bu-su itu sudah kena dipapas kutung. Waktu Khik-sia hendak menusuk jalan darah mereka, tiba-tiba U-bun Hong-ni membacok dari belakang. Tapi Khik-sia lebih sebat. Ia mendahului berkisar ke posisi 'khun' dan menggasak seorang Bu-su. Jurus itu disebut Kian-gun-ya-wi atau dunia berputar tempat. Gerakan itu telah membuat barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin pecah berantakan. Bu-su yang kena dilanggar Khik-sia sampai jungkir balik itu menutupi jalan bagi Hong-ni yang hendak maju menyerang. Khik-sia mainkan pedangnya dalam jurus Tok-biat-hoa-san atau menabas gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus itu adalah permainan golok dan Khik-sia pun memainkan pedangnya sebagai golok, hebatnya bukan kepalang! Sekalipun Hong-ni memiliki tenaga Kimkong- ciang-lat, namun ia tetap seorang wanita. Sudah tentu dalam hal tenaga kalah dengan Khiksia. Waktu pedang mereka berbentur, Hong-ni rasakan tangannya sakit sekali. Ternyata telapak tangannya sampai merah. Pedang hebat, tenaga hebat! Sambut lagilah ini! habis memuji si nona, Khik-sia menabasnya lagi. U-bun Hong-ni tahu kepandaian pemuda ini lebih hebat dari Coh Ping-gwan. Ia tak berani berayal dan curahkan seluruh kepandaiannya menyambuti. Toan-heng, harap bermurah hati! tiba-tiba Coh Ping-gwan meneriakinya. Ilmu pedang Khik-sia telah mencapai sedemikian rupa hingga dapat dikuasai menurut sekehendak hatinya. Ia cepat kendalikan tabasannya sehingga ketika beradu, Hong-ni tetap dapat menguasai pedangnya. Tapi secepat itu juga Khik-sia sudah menusuk pergelangan tangan si nona dan membentaknya: Lepas! Benturan pertama sudah memecahkan telapak tangan Hong-ni, benturan kedua membuatnya hampir tak kuat lagi mencekal pedangnya. Bahwa tahu-tahu ujung pedang lawan mengancam pergelangan tangannya membuat ia terperanjat sekali. Cepat ia timpukkan pedangnya ke arah Khik-sia, berputar tubuh terus lari. Bagus! mau tak mau Khik-sia memuji juga kelihayan Hong-ni yang dalam saat-saat berbahaya masih dapat melakukan serangan yang berbahaya. Ia menyambuti pedang dengan tangan kiri. Orangmu telah mencuri dua ekor kudaku. Jika menghendaki pedang pusakamu ini, antarkanlah kedua kuda itu ke Liong-gan-ce di gunung Hok-gu-san, kita saling tukar! teriaknya. Kemudian ia ajak Coh Ping-gwan meneruskan perjalanan. Ketika berhenti, Hong-ni marah-marah. Dengan membawa sekian banyak orang ke Tiong-goan bukan saja ia gagal mencari balas malah pedang pusakanya kena dirampas seorang pemuda tak terkenal. Kejar! akhirnya ia memberi komando kepada orangnya. Tapi mana mereka mampu mengejar gin-kang Khik-sia? Khik-sia sengaja minta Coh Ping-gwan lari lebih dahulu, ia sendiri berputar-putar untuk menyesatkan perhatian anak buah Hong-ni. Setelah memperhitungkan Coh Ping-gwan tentu sudah jauh beberapa li, akhirnya ia baru berseru mengejek: Maaf nona U-bun, aku tak dapat menemani kalian lagi. Dalam sepuluh hari ini kutunggu kedatanganmu di Hok-gu-san. Setiap saat kau boleh datang ke sana dan carilah Toan Khik-sia. Nanti kita saling tukar pedang dengan kuda. -- Habis mengucap, ia melesat dan menghilang dari pemandangan. Malam itu gelap gulita. Setelah lari beberapa saat, Khik-sia berteriak memanggil nama Coh Ping-gwan tapi tiada penyahutan. Sebagai jawaban terdengarlah kilat gemuruh memancarkan cahaya dan menyusul turunlah hujan. Khik-sia cemas hatinya. Coh Ping-gwan yang gin-kangnya cukup tinggi, masih dapat mengatasi jalanan gunung yang licin kena air, tapi bagaimana dengan Yak-bwe? Ia segera percepat larinya untuk menyusul Yak-bwe. Tiba-tiba di antara kiblat cahaya kilat, samar-samar, ia melihat sesosok bayangan yang dengan cepat sudah menghilang lagi. Coh toako, akulah! teriaknya. Karena gin-kang orang itu hebat, ia kira tentu Coh Ping-gwan. Tapi sampai dua kali ia ulang teriakannya, tetap tiada sambutan apa-apa. Eh, apakah mataku lamur? Hm, mungkin seekor kera, pikirnya. Tiba-tiba terdengar teriakan Yak-bwe: Khik-sia, kau? Aku di sini.
Girang sekali Khik-sia. Ia memburu ke arah suara itu. Ternyata Yak-bwe meneduh di sebuah lubang dari dua buah batu yang melekat. Lubang itu cukup besar untuk tempat meneduh dua orang. Hai, bajumu basah kuyub! kata si nona, ia minta Khik-sia melepas baju kemudian diperasnya lalu dijemur di atas batu. Apa kau tak melihat Coh Ping-gwan? tanya Khik-sia. Tidak, tetapi aku telah melihat dua orang lagi. Coba terka, siapa? Mendengar ucapanmu, terang mereka itu orang yang sudah kukenalnya, jawab Khik-sia. Bukan saja kenal pun sahabatmu yang karib, Yak-bwe tertawa, mereka sepasang laki perempuan. Yang laki Bo Se-kiat, yang perempuan sahabatmu Su Tiau-ing. Khik-sia tersentak kaget: Mengapa mereka juga menempuh perjalanan di malam hari? Apakah mereka tak mengetahui kau? Sudah tentu aku berusaha supaya jangan diketahui mereka. Ah, memang berbahaya sekali. Mereka melalui di sisi tempat ini. Jika mereka mempunyai pikiran hendak meneduh di bawah lubang batu ini, aku tentu jatuh ke tangan mereka. Begini gelap, bagaimana kau tahu mereka? tanya Khik-sia. Kudengar perempuan siluman itu menjerit karena hampir tergelincir. Ia meneriaki Se-kiat. Khik-sia menduga bayangan yang dilihatnya tadi tentu Se-kiat. Tapi mengapa hanya seorang diri? Kemana Su Tiau-ing? Eh, Khik-sia, mengapa kau menghunus pedang? tegur Yak-bwe. Coba lihatlah, bagus tidak pedang ini. Khik-sia memberikan pedang dari Hong-ni itu kepada bakal isterinya. Karena pedang itu tak ada sarungnya, terpaksa Khik-sia mencekalnya saja. Tring, pedang itu mendering tajam ketika jari Yak-bwe menjentiknya. Dan ketika dipapaskan ke batu, batu itupun rompal. Yak-bwe memuji-muji pedang itu dan menanyakan dari mana Khik- sia memperolehnya. Khik-sia segera menuturkan pertempuran tadi. Sambil memain-mainkan pedang itu, Yak-bwe berkata: Pedang dan kuda sama-sama kusayang. Kalau nona itu tak mau menukarkan kuda, ya, biarlah. Sebelum diambil yang punya, kau boleh menggunakan pedang itu. Kuda kita itu pemberian Cin Siang, kita harus mengambilnya kembali. Jika kuatir tak punya pedang pusaka, pakailah pedangku ini, kata Khik-sia. Ai, aku hanya berkata iseng saja, mengapa kau masukkan di hati? Pedang yang kau pakai atau aku, toh sama saja. Khik-sia, kita toh takkan berpisah lagi, milikmu adalah milikku juga. Bahagia sekali hati Khik-sia mendengar ucapan itu: Ya, nanti kalau berjumpa dengan Thiat toako, akan kuminta supaya dia mengurus pernikahan kita. Biar tiap hari aku mendampingi kau. Fui, hendak kemana kau? Apakah kalau tak menikah tak boleh berkumpul dan harus berpisah? Demikian kedua tunangan itu bercakap-cakap dengan gembira sehingga tahu-tahu hujanpun berhenti. Ternyata sudah terang tanah. Khik-sia ajak tunangannya berangkat lagi. Ia masih memikirkan Coh Ping-gwan tapi Yak-bwe menyatakan Coh Ping-gwan itu lebih tua dari Khik- sia, pikirannyapun lebih matang. Tentu dapat membawa dirinya tak sampai ada apa-apa lagi. Khik-sia mengetahui kepandaian Coh Ping-gwan itu tak di bawahnya. Andaikata kesampokan dengan Bo Se-kiat, pun masih dapat melarikan diri. Begitulah mereka segera arahkan langkahnya menuju ke Hok-gu-san. Sekarang mari kita ikuti jejak Coh Ping-gwan. Setelah berlari beberapa lama, ia dapatkan Khiksia belum menyusul dan hujanpun turun. Ia terkenang peristiwa lima belas tahun yang lalu, dimana pada malam gelap dan turun hujan seperti saat itu, ia bersama ayahnya meloloskan diri dari serangan musuh. Ia mendongkol terhadap Hong-ni yang setelah dewasa malah berubah perangainya menjadi seorang nona yang keras kepala. Coh Ping-gwan basah kuyub pakaiannya, ketika ia hendak mencari tempat meneduh sekonyong-konyong sesosok tubuh muncul di sebelah mukanya. Buru-buru Coh Ping-gwan menegurnya: Apakah Toan-heng itu? Sebagai penyahutan bayangan itu maju menusuk dengan pedang. Coh Ping-gwan terperanjat. Cepat ia menghindar, namun tak urung ujung bajunya kena tertusuk juga. Kini baru diketahuinya
bahwa yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji. Pedang yang dibuat menusuknya itu justeru pedang Kim-ceng-toan-kiam kepunyaan keluarga Coh. Dahulu pedang itu dicuri Gong-gong-ji dan diberikan kepada Ceng-ceng-ji. Adalah karena hendak mencari pedang peninggalan keluarganya itu sampai Coh Ping-gwan bertempur dengan Gong-gong-ji. Tapi kesudahannya mereka menjadi sahabat. Bagus, kiranya kau kunyuk tua! Cis, tak tahu malu. Aku justeru hendak mencari kau untuk membikin perhitungan! amarah Coh Ping-gwan meluap demi melihat pedangnya. Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: Benar, memang kudengar kau hendak mencari aku maka aku sengaja menemui kau agar kau tak perlu pergi kemana-mana. Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tabasan. Tapi Coh Ping-gwan sudah bersiap. Setelah menghindar, ia lantas mencabut golok Gan-leng-to dan balas membacok. Trang, senjata beradu dan orangnya masing-masing tersurut tiga langkah. Kunyuk yang tak punya malu, kau berani memakai pedang curian untuk menyerang yang empunya! Apa itu sih yang disebut pemilik? Hanya orang yang mempunyai kepandaian layak memakainya. Terang keluargamu tak becus menjaga hingga dapat dicuri suhengku Gong-gong- ji. Mengapa kau mempersalahkan aku? Bukankah pedang ini sebenarnya milik dari Toh Hok-wi? Baiklah, jika kau hendak meminta kembali pedang ini, silahkan kalau mampu! Mereka bertanya jawab sambil serang menyerang. Dalam bicara itu mereka sudah bertemput tiga empat puluh jurus. Permainan pedang Ceng-ceng-ji cepat dan lincah, selalu mendahului menyerang. Permainan golok Coh Ping-gwan tenang dan mantap. Meskipun gin-kangnya sedikit kalah dengan lawan tapi tak mengakibatkan apa-apa. Dia menang tenaga dan napas karena lebih muda usianya. Maka betapa Ceng-ceng-ji ngotot hendak menyerangnya, tetap dapat ditangkis Coh Ping-gwan. Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji berputar tubuh dan lari sambil melambaikan tangannya: Mari, mari, kita cari tempat yang lebih luas. Apa kau berani ikut aku? Jilid 16 Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu. Tapi karena tak berhasil menangkap Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya. Dengan gerak tengli- ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu. Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi dengan tusukan yang kedua dan ketiga. Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran, begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda. Sekalipun andaikata paderi itu masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang. Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali. Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia dapat lolos dari lubang jarum. Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya. Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena termakan pedang di bagian pantat. Kuda paderi itu juga kuda ternama. Begitu terluka, binatang itu lantas mencongklang sekuat-kuatnya. Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali. Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah. Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bik-hu lepaskan si paderi. Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong. Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana dengan kuda tungganganku itu, kata Sip Hong. Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari mendatangi. Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik beberapa kali. Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa. Pun karena mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang. Kiranya kuda itu hanya membaui racun saja tetapi tak sampai terkena. Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari, kata
Bik-hu. Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi. Ternyata yang kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa. Karena tak tega melihati korbannya, Bik- hu segera menguburnya. Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka, ternyata hanya terluka ringan. Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus terang, kalau tidak tentu kutabas, bentak Sip Hong seraya mencabut pedang. Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa aku melakukan juga, sahut si paderi. Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu? tanya Sip Hong pula. Si paderi mengiakan: Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki. Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu. Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari? Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan. Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah berpapasan dengan Shin Ci-koh. Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah si paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang semua telah binasa di tangan Shin Ci-koh. Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin. Ia kabulkan permintaan muridnya pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin Cikoh. Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang ke Yu-ciu. Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu. Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri. Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius. Tujuannya tidak melainkan menuntut balas pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi. Kelak apabila Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan mendapat prioritas untuk merajai dunia persilatan. Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan. Untuk keperluan itu, Su Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa. Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya. Tapi untuk sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul pecah. Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu? tiba-tiba Bik-hu bertanya. Si paderi menyatakan tidak tahu. Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada adik perempuan Su Tiau-gi. Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu. Yang diperhatikan Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat. Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se- kiat, tetapi In-nio. Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima itu mengeluarkan sebuah perintah. Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud anak muda itu. Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala apa- apa, maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu, kata Bik-hu. Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu. Tapi karena jaraknya dengan Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak. Nanti saja apabila sudah tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu. Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan musuh, lebih baik, Bik-hu tetap mendesak. Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk menjadi tentara, pengalamannya kurang. Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun
mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati. Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu boleh berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul. Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga, kata Bik-hu. Ai, mengapa begitu terburu-buru? kata Sip Hong. Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li. Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri, Sip Hong memberi pesanan. Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang dari pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang: Ia berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa? Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh hanyalah untuk alasan saja. Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio. Sewaktu mendengar keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bik-hu sudah menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat. Memikir sampai di sini hati Bikhu rawan juga. Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi: Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku tetap akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku tetap akan menemuinya! Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali. In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat. In-nio berpambek seperti seorang anak lelaki. Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia tak kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan. In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya. Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering. Seorang diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan. Seluas berpuluh-puluh li, tak tampak barang seorang insan. Untung In-nio membekal ransum kering. Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu. Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak. Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum. Pada masa seperti saat itu, iklim di padang rumput berubah-rubah. Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali. In- nio buru-buru melanjutkan perjalanan. Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada penduduk di situ. Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai gandum untuk meminta minum. Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras. Terutama di daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa. Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di situ jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik. Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki menjenguk seorang bibinya. Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki. Ada juga sejumlah kecil suku Han. Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han. Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya: Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami menerima Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah. Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak secepat itu datangnya, bukan? kata In-nio. Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat beberapa
pasukan yang lewat di situ. Apakah bendera mereka? tanya In-nio. Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya juga. In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ. Entah pasukan manakah mereka itu? kata In-nio. Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu lebih menderita lagi, kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu meneranginya lebih lanjut: Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di sini, tanaman gandum kami diambil separuh! Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama menuai gandumnya. Ia hanya dapat menghela napas. Memang anak tentara yang dipimpin oleh lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya. Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang. Petani-petani serempak berteriak gaduh: Celaka, kawanan perampok itu datang lagi. Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja, kata perempuan tani tadi. Tetapi Innio menolak. Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka. Waktu si perempuan tani hendak menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana. Perempuan tani itu banting-banting kaki. Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa perempuan itu lari. Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat? tegur In-nio. Pemimpin mereka tertawa: Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya besar. Lihat panah! - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya. In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring: Hai, apakah itu bukan nona In-nio? Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya: Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu? Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan kanan yang paling dipercaya Se-kiat. Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu. Sekiat banyak mendapat bantuannya. Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan kakak beradik she Kay itu. Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Ia masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan mereka sekarang. Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman. Ia sedang tertawa menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan: Mengapa kau tanyakan aku? Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat? Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima perintahnya untuk membawa pasukan kemari? tanya In-nio. Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau gerakan itu berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-ma-jwan Peh houce, Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang. In-nio terkesiap hatinya. Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan. Siapa tahu kini timbul
tanda-tanda keretakan di dunia loklim. Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa: Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada para petani yang rusak ladang gandumnya itu. Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang menyelutuk: Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka semua. Habis mereka disuruh makan apa nanti? bantak In-nio. Nona jelek itu kerutkan jidatnya: Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh makan apa? Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum, dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu- ciu, perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji 'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta, bantah In- nio. Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi Innio: Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya jika tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang yang tak kenal adat-kebenaran. Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu, sahut In-nio. Thian-sian tertawa girang: Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai kenyang. Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian: Apakah ayahmu meluluskan perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil dengan lekas. In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat. Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima kasihnya kepadamu! seru Thian-sian. Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya: Mereka telah bertekad hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi aku hendak menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi. Cici In, apa yang kau pikirkan? tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam diri. Aku tengah memikirkan suatu permainan, jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan. Tetapi kau harus membantu aku dulu, kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan kesediaanya. Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh, jangan sampai memberitahukan pada lain orang. Kepada beng-cu? Juga tidak perlu! Thian-sian kerutkan alis: Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku. Tahu apa? tanya In-nio. Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya, bukan? Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang selalu
menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya. Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa: Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini. Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan. Demikianlah In-nio segera berganti pakaian sebagai serdadu wanita. Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh. Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung. Kotanya dibagi menjadi dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam. Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam. Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati: Jika tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini. Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring: Sebentar lagi Tay Yan kongcu akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san. In-nio berdebar hatinya: Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu? Ah, jangan sampai diriku ketahuan. Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu. Tempat itu bekas ladang gandum. Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara. Hanya ada dua buah rumah tembok yang agak baik. Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati pembantunya. Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota? Kay Thian-sian kerukan dahinya. Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini, jawab opsir itu. Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu kehormatan besar. Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya: Apa-apaan dengan kongcu (puteri), nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan diri di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh tak tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia? Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang mewartakan bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya: Kurang ajar betul, di hadapanku ia masih main agung-agungan! Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta. Mungkin Tiau-ing itu tak mengerti bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya. Dengan menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya. Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang. Begitu turun dari keretanya, serta merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya: Aduh, menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar kau ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari! Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang. Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti saudara saja? seru Tiau-ing. Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya: Engkohku baik kepada bengcu itu, ada hubungan apa dengan kau dan aku? Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat menggabungkannya menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay, pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu, kata Tiau-ing pula. Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian. In-nio sudah gelisah. Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka lekas beristirahat saja. Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian banyak makanan. Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik untuk anak buah Kay Thian-sian.
Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak? Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian: Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara harap cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk cici. Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu, diterima tidak dengan kepercayaan penuh. Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari. Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya. Dan dengan sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing. Dengan adanya ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada. Itulah sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota. Di samping itu diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se- kiat. Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami? Kay Thian-sian heran. Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat. Ha, mengapa bengcu tak tampak? tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama dengan Se-kiat yang datang. Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang? Thian-sian menegas. Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru: Ai, hari sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi. Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu. Begitu Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah, tibatiba seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu. Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan pasukan untuk menyambutnya lagi? Thian-sian muring-muring. Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur, baru ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan, kata serdadu wanita itu. Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba timbullah gairahnya, serunya: Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah ini, sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak menjumpainya. Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan membongkok tangan. Hai, apakah kau ini raja daerah sini? tegur Thian-sian. Lelaki itu berpaling dan berseru: Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun? Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas. Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku? sahut Thian-sian. Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur. He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara? kembali si nona 'bidadari' menegurnya. Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras. Kau menertawai apa? seru Thian-sian. Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian? Tomulun balas bertanya. Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik? Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu, hi, hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan? Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas
menjiwirnya: Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama itu, bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja pingsan melihatmu! Tomulun mendorongnya, berkata: Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali. Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji: Tenagamupun hebat juga. - Ia tertawa riang, ujarnya pula: Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi seorang jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani menertawai aku? Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya: Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ... Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau? tukas Thian-sian. Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya: Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang berkelahi. Ha, ada akal ... Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan, tiba-tiba ia tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi, Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar. Nona Kay, kuberikan anting-anting ini kepadamu, sukakah kau? Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai antinganting. Anting-anting besar yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak mempamerkan kekuatannya. Sebaliknya Thian-sian telah salah paham. Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa mengejek: Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga. Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang. Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan itu. Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang tongkat lagi. Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu diberikan kepada si raja: Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan! Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya: Ah, kau menang! Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini? Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya:Benar, kau bukannya goblok sekali. - Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa. Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek, kata Tomulun. Thian-sian berjingkrak: Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa? Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya, sahut Tomulun. Hm, begitulah baru perkataan manusia, kata Thian-sian. Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi: Yang jelek malah jujur, yang cantik sebaliknya malah plin-plan! Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya: Siapa yang buruk dan siapa yang cantik itu? Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah, sahut Tomulun. Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur! Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau sungguh hendak menanyakan? seru Tomulun. Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu! Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan. Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari? tanya Tomulun. Siluman kecil siapa? Thian-sian melongo. Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu! Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!
Tomulun marah sekali, serunya: Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu! Mengapa kau begitu membencinya? tanya Thian-sian. Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang. Mengapa aku tak harus membencinya, ia sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang! Jadi isteri siapa? Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu! Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak: Sungguhkah itu? Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu .... Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan membentaknya: Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang? Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah aku. Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan .... Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya: Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah bengcu kami, tahukah kau? Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah: Peduli apa dengan bengcu! Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu .... Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak: Seorang lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu. Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah. - Habis berkata ia lantas berputar hendak berlalu. Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan, Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat melampaui kepala raja itu dan menghadangnya: Berhenti! Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak menantang aku berkelahi? seru Tomulun. Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau apakah bengcu pernah mengatakan padamu? Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara padamu? sahut Tomulun. Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku haturkan maaf padamu, bilanglah! Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga, kata Tomulun. Thian-sian terkejut, serunya: Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan? Benar, besok lusa! Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki: Jahanam, benar-benar jahanam..... Siapa yang kau maki itu? tegur Tomulun. Aku bukan memaki kau, aku ..... tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam. Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Se-kiat, tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu. Siapa yang sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu. Waktu mendengar Se-kiat telah menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat. Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu! Tomulun tertawa gelakgelak. Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ...., kata Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana harus memulaikannya. Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian: Ya, memang benar. Hari akan turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang! - Ia berputar diri lantas angkat kaki. Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi.
Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thian-sian itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habis-habisan. Di samping itu, ia ketarik juga dengan nama Thian-sian (bidadari). Menilik namanya orangnya tentu cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing. Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya: Meski Thian-sian itu jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing. Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat. Makin memikir, makin mendongkol. Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan seorang penunjuk jalan orang Ki. Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk. Thian-sian tertegun, serunya: Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya akupun memang hendak mencari kau. Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau menyuruh begitu? tanya In-nio. Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya! Jangan, cici, jangan .... Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat? Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi pengantin! kata In-nio. Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat? teriak Thian-sian. In-nio tertawa rawan: Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari kau. Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya mencintai kau? Thian-sian menepuk pahanya berseru: Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan mau dipermainkan lelaki! Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi: Namun cara begitu saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah? Siapa bilang aku berpeluk tangan saja? sahut In-nio. Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali, teriak si buruk. In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin: Tidak, aku tak mau berkelahi padanya! Oh, apakah kau masih suka padanya? tanya Thian-sian. Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya. Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri: Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau melabraknya, juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan? Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan kewajiban seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici, apakah kau suka membantu aku? Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya? tanya Thiansian. Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcu- mu, sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti. Lalu aku disuruh membantu apa? Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri.
Thian-sian menepuk tangan: Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului .... Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan? bentak In-nio. Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar, dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya. Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni berkemah di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda untuk mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu. Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio masuk ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya melayang ke arah si paderi. Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat! tiba-tiba terdengar lengking suara wanita. Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang wanita. Dia adalah Su Tiau-ing. Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap puterinyapun lumayan juga! hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak. In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia masih berhasil melarikan diri. Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah. Innio gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak ditariknya. Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu pedang Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan. Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi. Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut dan memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya. Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar. Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: Nona In, kemarin aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas. Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu. Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan kakakadik denganmu? damprat In-nio. Tiau-ing tertawa mengejek: Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya? In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya berkobar: Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang! - Ia mengisar dan kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tibatiba ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat.
Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: Apakah kata-kataku salah? Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana? In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap. Celaka, aku terkena jerat mereka! diam-diam ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu. Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras, adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup. Rebahlah! tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia. Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: Kau seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu? Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah ranjang. Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing. Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat! In-nio makin gusar: Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah! Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan suka bercakap-cakap dengan aku? Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku? sahut In-nio. Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat? Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh. Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu? Tiau-ing tersenyum: Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat. Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu. Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau memberitahukan hal itu kepadaku? Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat? seru In-nio. Akan mengundang bantuanmu, Tiau-ing tertawa. Bagaimana caranya? Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu. Isinya? Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan, kata Tiau-ing. Aku kepingin mendengar pendapatmu, kata In-nio. Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong,
baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang terbaik untuk menasihati ayahmu. Emoh semuanya! In-nio menolak dengan tegas. Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia benarbenar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang puteri tunggal kau ini! kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman. Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu! teriak In- nio. Wajah Tiau-ing mengerut marah: Ha, kiranya kau yang tak mau menulis! - Tiba-tiba ia tertawa mengikik: Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu. Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan? In-nio menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat. Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing. Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip Hong tentu sudah kau bunuh, bukan? Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau tidak? Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku! Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: Kedatanganmu kemari, apa bukan karena Se-kiat? Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri, tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut suami. Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: Kau salah kira. Aku bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat, janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas! Tutup mulutmu! bentak In-nio. Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini? Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu! Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu apa yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau memberi kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja apakah ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah aku yang merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku! Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi. Tertawalah Tiau-ing: Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin bertemu sekarang atau tidak? Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya. - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat pada saat itu Se-kiat pun masuk. Apa kau baru bangun? Mengapa kelihatan begitu girang? tegur Se-kiat. Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau, kata Tiau-ing. Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: Kerajaan telah mengirim seorang jenderal besar membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?
Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi, takut apa? kata Se-kiat. Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi? Jangan kelewat meremehkan kekuatan lawan! Apa Cin Siang? Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan kotaraja? Coba tebak lagi! seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja. Tiau-ing tertawa: Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja bakal menjadi mertuamu? Oh, Sip Hong? Tiau-ing mengiakan: Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan? Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh. Apanya yang kau girangkan? Tiau-ing mengikik, ujarnya: Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih? Padahal kau merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh, puterinya dahulu adalah kawan baikmu! Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan? mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati tak urung berdebar juga. Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum: Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu, puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan kawan baikmu itu? Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: Masih ingat apa yang kukatakan dahulu? Yang mana? Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak boleh meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir? Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku. Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau kira itu. Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya? Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya, sahut Se-kiat. Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu. Se-kiat merenung sejenak dan berkata: Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian padanya. Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi apabila aku benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai sekarang. Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu silatpun lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya? Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya lagi. Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan? Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak mengenangkannya? Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu mengenangkannya? Se-kiat balas bertanya. Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak cemburu dan gembira kau hendak menjumpainya. Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan musuh. Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali! Benarkah? Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali kau hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak
terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari. Se-kiat berjingkrak kaget: Kau mau berolok-olok? Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ? Ai, orang telah menunggumu sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku menyingkir dari sini, dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu. In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan ranjang berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap kelambu .... Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat kemudian baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: In-nio, bagaimana kau datang kemari? Tanyakan pengantinmu! sahut In-nio dengan getas. Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang sehingga tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol sekali. Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku, pikirnya. Diamdiam ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama sekali sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing. Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang tidaktidak di dalam kalbu Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot mata In-nio. Katanya dengan pelahan: Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa yang hendak kau katakan kepadaku? Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata lembut yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan kata-kata yang dingin: Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku? Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik kasih kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: In-nio, aku bercita-cita tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku menelantarkan dirimu. Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada Tiauing atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat. Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal kau, tutup mulutmu! dampratnya. Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak mau membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: Jika kau sampai berani menyentuh tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan cara menggigit putus lidahku. Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain kejab, hatinya berontak: Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena perasaanku terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing! Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru sekarang aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku? In-nio tertawa dingin: Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi, bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira? Kau salah alamat hendak mencari bantuanku! Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat merah padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda yang kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut Tionggoan, ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya: In-nio, kau
adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta pengorbananmu lagi. Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil obat penawar. Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah kau ulurkan bantuan padaku? In-nio tertawa mengejek: Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to (jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku? Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: In-nio, jangan berkata begitulah! Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak juga tak apa. Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta bantuan apa kepadaku, silahkan bilang! Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi? Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan musuh? seru In-nio. Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi. Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu, tiba-tiba In-nio membuka suara. Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk, sudah tentu Sekiat girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan sebutan hianmoay atau dinda yang bijak. Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu mendirikan kerajaan baru. Ah, dikuatirkan ayahmu menolak, kata Se-kiat. Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan supaya ia berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama dengan rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada saatnya baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana yang ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak kerajaan memerangi kau! Se-kiat berteriak girang: In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat sekali dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-siang kau sudah memikirkan kepentinganmu. Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya dapat diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah! Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat tercengang, tanyanya: Apa yang kau tertawakan? Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah yang memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar sepaham dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu! In-nio tertawa hina. Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi. Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: Benar, benar, memang akulah yang membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang biarlah kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya yang berbeda? Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau sekali tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik.
Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In- nio juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa. Jangan harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio. Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia telah mengatur segala-galanya. Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah lembut: Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan? Daripada hanya menjadi wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri? Apalagi dengan begitu hubungan kita tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu? Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara lagi? sahut In-nio. Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In yang baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan kepada Se-kiat? Tiau-ing menyeletuk. Tutup mulutmu! bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga. Kemudian berkata pula: Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan! Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan manusia yang lupa budi lupa kecintaan. Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin. Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: Jangan kalian keliru menafsirkan. Apa yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan. Adalah karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat, kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau mendengar nasihat sahabat-sahabatmu? Dalam hal apa aku mata gelap? Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di dunia. Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai menteri kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya? Apalagi aku bukan menteri kerajaan Tong, mengapa lebih tidak boleh? bantah Se-kiat. Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi bagaimana dengan tindakanmu sekarang? Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi rakyat masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat mengambil hati rakyat? Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu. Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu itu? Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san? Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar, sahut In-nio. Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah! Tiau-ing mengejek. Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu, jawab In-nio. Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa, Se-kiat menyeletuk. Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu? bantah In-nio. Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana? tanya Se-kiat.
Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi tidak boleh mengandalkan orang luar! In-nio menyatakan dengan tegas. Se-kiat tergelak-gelak, serunya: Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa banyak rintangan yang akan kujumpai nanti. Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak. Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku dan Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su (penasihat militer)! In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai seorang sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian menyangka aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut. Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu, kata Se-kiat. Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu? Kalau begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil? tukas In-nio. Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek. Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan pendapat Thiat-mo-lek itu. In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: Karena berlainan arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus sampai di sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu, mau dibunuh mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan lagi. Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: Tiau- ing kau berikan ia .... Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: Lupakah kau bahwa ia puterinya Sip Hong? Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan Sip Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan. Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani memastikan In-nio tak membantu ayahnya? Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan dari Im-ma-jwan datang menghadap. Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan lainnya Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga digelari sebagai Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan jago yang dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok-lim-beng- cu juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah mengirim Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala penyamun berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo Besar masih belum tiba. Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu. Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan sikapnya seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas pandang Se-kiat mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran mengapa Nyo Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu. Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan? Apakah sebelum masuk Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai? Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan, menjabat tugas apa? demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan. Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang
ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku telah diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu). Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama 10-an hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran, mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. Ah, mungkin karena anak muda ini berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat mempersalahkannya, pikirnya. Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah makan rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali! Apakah itu tungganganmu? Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: Kuda itu milik tentara negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai. Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya? Mengapa ia begitu perlu mengirim kau? Berita penting apa yang hendak dilaporkan itu? tanya Se-kiat. Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka baru tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba kemari. Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang penting sekali. Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik. Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka bersiap-siap. Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi? kata Se-kiat. Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan atau tidak? He, apa maksudmu? Soal apa yang tak harus dikatakan? tegur Se-kiat. Karena mungkin bengcu tak senang. Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan! Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku? Bukan, sahut si kerucuk, berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang bernama Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan mata-mata kami nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan .... Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar? Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak melangsungkan pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh secara menggelap. Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui jejak nona itu, supaya ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena dapat dijadikan tanggungan untuk menekan Sip Hong. Se-kiat tertawa girang: Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat dibayangkan Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan? Harap kalian jangan kuatir. Tetapi akupun merasa berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi? Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu? Apakah sudah dapat menangkapnya? tanya pemuda itu. Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah dulu, kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya ketololtololan seperti Nyo Besar. Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah mengawasi
sejenak, ia berkata: Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa dengan aku? Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan mempunyai kehormatan besar berjumpa dengan kongcu? sahut si pemuda itu. Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: Nanti dulu, kau mengaku belum pernah melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu? In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak asing dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan kepalang. Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha menyalurkan pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar. Pada saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap tembok dan tiba di pinggir pintu. Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia mendengar suara In-nio berseru: Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu! Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan ia bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu, tetapi malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu), terus dilarikan. Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia lantas melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia menyelundup ke Tho-ko-poh. Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam jadi ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing pun tak berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik-hu supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya. Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka. Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman wanita ini tentu kubunuh! Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi. Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki pengamanmu berilah obat penawar padaku, seru In-nio. Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu gunakan akalan begitu? sahut Se-kiat. Suci, kau terkena racun mereka? Bik-hu berseru kaget. Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari racunya, sahut In-nio. Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping Bikhu. Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio. Dan tanpa terasa ia merasa cemburu juga. In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari! Kudoakan kalian berbahagia, katanya dengan rawan. Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi, sahut In-nio, waktu ia sudah menerima obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu mengatakan belum bisa. Bagaimana maksudmu? Se-kiat marah. Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat yang
telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab. Ia sudah dapat berangkat. Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang macam apa? Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian? Dan apakah sekarang kau sudah dapat melepaskan Tiau-ing? Masih belum, lagi-lagi Bik-hu menyahut. In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal pribadiku. Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku? Apakah kau masih belum mempercayai aku? Sekiat marah-marah. Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya terpaksa kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu? kata In-nio. Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak percaya pada perempuan siluman ini! In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya Ciauya- say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: Bo toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut. Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi tetap kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa In- nio suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing. Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: Nona Su, harap kau unjukkan muka riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras. Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu juga. Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh kecurigaan apa-apa. Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat, penjaga pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: Bengcu, rupanya hari ini kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda? Dengan enggan Se-kiat menyahut: Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja yang datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku. Setelah kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk. Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan di belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah li di sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati. Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami akan pergi, seru In-nio. In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran? tanya Se- kiat. Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi mudahmudahan kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan bertemu di medan pertempuran, sahut In-nio. Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa kagum juga terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan seorang sahabat, barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu. Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah ia
tak keliru menetapkan pilihannya? Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang membuka jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang yang terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak ada lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup angin. Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing. Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita yang menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari kuda lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian ampuhnya itu. Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu. Sekonyongkonyong Tiau-ing berteriak: Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku! Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing. Gonggong- ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama Coh Pinggwan hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang wanita. Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh. Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi sebenarnya ia bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang sentimentil sekali. Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam hidupnya, satu-satunya pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah muridnya Su Tiau-ing itu. Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan sekali. Memang sebenarnya ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum mendapat alasan. Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu, serunya sembari kebutkan hudtimnya. Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata kuda mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata kebutan hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut itu, meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar bulu tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak dapat diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi. Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan gusarnya, Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang hud-timnya hingga lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan pemuda itu terasa sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh. Hal ini membuat Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan mainkan ilmu pedang Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh sinar bunga yang mengarah tujuh jalan darah orang. Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu, patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti orang bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo- lek. Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu. Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak muda itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan gunakan jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu, kemudian berseru: Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian? In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit dapat menduganya juga. Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan pertanyaan
Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: Biau Hui sin-ni adalah suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek adalah suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe? Bukantah kita pernah bertemu di lapangan Eng-hiong-tay-hwe? Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin. Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan Gong-gong-ji. Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut Gonggong- ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu itu. Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera mengenalinya. Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji tentu kurang senang, pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan. Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa mengejek: Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat menggertak suhuku? Bah, siapa yang hendak mengambil muka? Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak membanggakan suhuku, teriak Bik-hu, Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan sifat perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur. Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi, berpikir: Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah, asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran. Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang muda ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri. Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia menaruh perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri. Ia segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi. Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia tertawa ewah: Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia adalah puteri Sip Hong! Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: Benar, jangan sampai ia lepas. -- Dengan hati berat, ia maju ke muka. Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi demi melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat alasan saja itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat. Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum percaya pada kepandaianku? Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah ini? Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu akan meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini kuadakan kecualian. Bik-hu berteriak marah: Apa Bu-ceng-kiam itu? Mengapa dibuat....., belum Bik-hu menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya. Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas. Kena! tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru. Bikhu mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya pelahan sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga Bik-hu sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan meminjam pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si anak muda lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin Ci-koh telah
gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia menggunakan tenaga tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit seperti digigit nyamuk, sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah. In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin Cikoh. In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay ilmu pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci-koh tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil melibat tangkai pedang In-nio. Lepas! teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci- koh mengakhiri pertandingan itu. Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda itu. Ia membatin: Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul tunastunas muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah boleh dianggap lihay sekali mereka. Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling pada Tiau-ing dan menanyakan: Siapakah ini? Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe? kata Se-kiat. Tiau-ing tertawa: Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya suhu tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap begitu mesra kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti. Oh, kiranya dia bakal suamimu, seru Shin Ci-koh. Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'. Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu. Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan seluruh dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi, Shin Ci-koh tertawa. Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah padam mukanya dan diam-diam menggerutu: Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di hadapan Se- kiat mengatakan begitu? Bukankah it berarti membuka borokku? Untung Se-kiat rupanya masih belum mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali dengan Gonggong- ji? Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal untuk menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk Gong- gongji, tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau gerakan kami. Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khik- sia adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu dan murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan Khiksia)? Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang berubah hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang 'angkatan' (sebutan). Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah tak dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu. Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu! In-nio mengejeknya dengan hina. Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh ia memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se- kiat. Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu.
Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan .... Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat? Ah, aku terkejut setengah mati, seru Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena mengingat Thiat-mo-lek. Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: Nona Sip, sayang, sayang sekali. Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.' Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bik-hu. Ia mendampratnya dengan sengit: Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap aku! -- Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: Ing-ji, mengapa kau semarah itu? Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah bagaimana cara mereka menghinamu tadi? Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: Mengapa ia menutuk jalan darahmu? Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu? sahut Tiau-ing. Nona Sip mengapa berani datang kemari? Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam hendak menemui Se-kiat. Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: Aneh, mengapa nona itu hendak menemui Sekiat? Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu? Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir kalau Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: Suhu, mengapa kau memikir begitu jauh? Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya. Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh begitu. Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan pihak kita, bantah Tiau-ing. Kalau begitu tahan sajalah! kata Shin Ci-koh. Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu .... Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih? tanya Shin Ci-koh. Tiau-ing tertawa ewah: Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu tergilagila seorang diri! Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi dan berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau, itu dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan saja. Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gong- gongji. Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu. Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa yang dikatakan suhunya itu. Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu tebal. Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah. Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba melarikan diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut, kata Tiau-ing. Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai dinding batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar matahari dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata rahasia, maka matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu. Hanya
dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing. Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali ketika isi hatinya yang ia sendiri tak berani mengutarakan telah dibuka oleh Shin Ci-koh. Kemudian diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa lega. Ia malu tapi girang juga. Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat itu. Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu. In-nio menghela napas, ujarnya: Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu hendak menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani aku menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali. Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak menyesal. Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu menolongmu. Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya. Sedingin- dingin hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin merapat dan saling berjabat tangan: Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita berada di ujung rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu. Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun akan mati dengan meram, kata Bik-hu. In-nio merah mukanya dan berbisik: Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu. Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat, tiba-tiba Bik-hu berseru. In-nio terkesiap: Apa yang menyiksa .... itu? Ah, apakah aku harus mengatakan? Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang, kata Innio dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh dalam batin: Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau membuatnya kecewa. Ai, bagaimana ini? Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika kutahu hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi orangnya cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku itu, kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi! Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat. Dia pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia tak sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal menjadi pasanganmu. kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Tho-ko- poh mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja, kuatir kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku yang bukanbukan ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya. Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama. Aku terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani dan pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa tadinya kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin! In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya dan gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan katakata 'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa tersadar, In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: Su-te, kau terlalu menyanjung aku. Sebenarnya tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ....
Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan. Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau memandang rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang. Sebenarnya, kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau lebih menang dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat menyamai kau, kata In-nio. Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu tak berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi hati masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi. Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan pengalaman di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu ada orang mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan tenaganya, Tiau- ing tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran makanan, diperkirakan sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu mereka tengah bercakapcakap. Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang. Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: Itu bunyi musik menyambut temanten! Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari ini, kata In-nio. Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat mengecap kebahagiaan sampai berapa lama? Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga, kata In-nio. Suci, mengapa .... Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya. Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini? Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang diucapkan Bik-hu tadi. Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres! tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata beradu. Di luar seperti terjadi pertempuran. Apakah tentara negeri menerjang kemari? tanya Bik-hu. Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri, kata In-nio. Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat itu terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan untuk meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah mencari bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang. Setelah itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio. Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa, kata In-nio. Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat sekali naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah yang mengangkatnya. Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal ia dapat mencapai ruangan atas. Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu, serunya. Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah dua meter
dari lantai ruang atas. Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah atas terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih baik kait saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk saja. Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai satu tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait terus ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu air. Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik- hu sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: Celaka, bangsat itu hendak menerobos keluar! Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah terlambat. Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat keluar. Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu air. Tapi Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis sserangan orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu. In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata thongjin menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh jungkir balik. Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang berkepandaian rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. In-nio terhuyung mundur, brat, bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu adalah dua orang wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari ajaran Tiau-ing. Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung minum air, hampir saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat In-nio timbul lagi. Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam beberapa gebrak saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya. Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun tak ingat diri lagi. Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat? Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara air itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua orangorangnya yang berkepandaian tinggi dibawa keluar. Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi dicegah Innio. Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya basah kuyub, maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan mengancam, dapatlah Bikhu paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas. Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan ketika mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ terdapat sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud-tim dan pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah menjerit-jerit. Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian. Dan Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang yang nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati. Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan Bikhu itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak Leng-ciupay, celakalah ia.
Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio dan Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka. Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga. In- nio dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. Tak usah hiraukan mereka, kita jalan terus. Di sebelah muka lebih ramai lagi, kata In-nio. Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih baik daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita yang menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja. Karena kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua anak muda itu. Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi komando anak buahnya untuk menyerang. Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin baru. Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Se-kiat lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah dengan putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan itu ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong). Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita, disamping berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan memegang kekuasaan tentara engkohnya itu. Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu berubah menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih unggul. Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su Tiau-ing untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat mengurung Tiau-gi dan tentaranya. Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak dapat mencegah perbuatan mereka. Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun menerjang ke medan pertempuran. Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang tombak yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat marah dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru memperingatkan Se- kiat supaya jangan membunuh Tomulun. Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan, ayahnyapun tentu menurut perintahku, sahut Se-kiat. Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: Pangeran Tomulun, ini adalah urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur. Mengapa kau hendak membantu engkohku? Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku? Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka menikah dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau! damprat Tomulun. Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: Tutup mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja! Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah? Lihat serangan tombakku! teriak
Tomulun. Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh. Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur! seru Tomulun sembari loncat turun dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan bertempur tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan Tomulun yang dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia lingkarkan pedangnya menyerang ke tengah. Bagus! seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal kepandaian silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa gelak-gelak Se- kiat rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke muka. Jika tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah menyerah. Tapi tidak demikian dengan Tomulun. Aku tak sudi lepaskan senjataku! teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak lagi: Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu?! Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu, memang Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya terpancang. Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh, dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari tadi hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti permainan dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja itu terbahakbahak. Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup putera raja itu. Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang. Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: Cici Kay, kebetulan sekali kau datang! Kay Thian-sian berludah dan berseru: Siapakah cici-mu itu? Kau pengapakan ciciku In-nio itu? Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar rambut cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu. Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran. Mendengar kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan membentaknya: Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo? Apa kau hendak berkhianat? Apakah di matamu tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini? Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat membuang cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat? sahut Thian-sian. Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat. Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: Tomulun jangan takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku? Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh. Budak tak tahu malu, lihat golokku! dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya.
Jilid 17 Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi permaisuri? Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya! Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini, sahut Thian-hau. Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya, bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan. Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku tentu membantumu! teriak Tomulun. Kau mau memberesi aku? Ah, tak mudah, kawan! Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu ia sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya, Sekiat lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot magnit, Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda-kuda kakinya. Kau gunakan ilmu apa itu? Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu! Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka, sahut Se-kiat. Dengan siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap tak mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat. Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun tersengalsengal hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong muncul seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio dan Bik- hu. Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah Tiau-ing, maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan saja. Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun. Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat. Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat gunakan jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari tombak. Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau mundur. In-nio segera membentaknya: Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa kau tak membantunya. Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi! seru anak raja itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana letak keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap pantang menyerah. Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: In-nio, apakah kita tak dapat menghindari pertempuran? Terserah padamu. Pui sute, mari kita pergi, In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu, iapun akan pergi tanpak banyak rewel. Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong! teriak Tiau-ing. Timbul pikiran Se-kiat: Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari dan aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu kesulitan makin besar. Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi. Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian, tetapi tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang diberikan oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio dan Bik- hu. Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat menusuk In- nio, tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu. Tring, Bik-hu berusaha menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat. Dan begitu Se- kiat
menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar tulang pundak anak muda itu. In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang indah: giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa lepaskan Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu melihat In-nio bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: Huh, karena kau melindungi budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan. Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka tersisih, ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona. Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang. Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan. Terpaksa ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke ujung pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san. Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy (sempoyongan), ia hendak menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio dan Bikhu saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi kebencian. Ia kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup. Maka permainan pedangnyapun makin gencar. Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka dapat juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain dengan serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari sebelah muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari samping. Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka. Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu? Mengapa kau begini buru-buru pergi? Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan! Wut, ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat daripada kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai daya guna istimewa untuk menangkap orang. Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat tentu akan terjaring. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang ke muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh. Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin Cikoh. Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih baik itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio. Sute, lekas naik kuda! teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Se-kiat, In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda. Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda dan lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke muka memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi meski kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat. Dalam waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak. Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu.
Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian kendalinya. Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka! Bik-hu gusar sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik- hu sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan cepatcepat sapukan tombaknya. Turun! bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong ke muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai sekali naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika tubuhnya menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke atas, ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu. Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan ilmu gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau- ing masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu. Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia lengkungkan tubuh untuk menghindar. Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada saatnya dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing untuk dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat menggondol pergi kuda Tiau-ing. Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: Jika kedua orang itu tak ditawan, aku belum puas! ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar. Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor: Raja Yan-ong sudah menerobos keluar lembah! Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay Thiansian mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia kepadanya untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan. Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku! Se-kiat terkejut. Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika dibandingkan dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In- nio dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar. Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya. Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya: Walaupun anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting, pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia congklangkan kudanya ke tempat In-nio. Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Datangnya dari gunung di sebelah belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran tak dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar. Se-kiat kerutkan dahi. Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh. Dan sebagai seorang ahli lwekang, cepat ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat. Memang Sekiat sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan Ceng-bingcu) mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian juga. Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta bantuan muridnya
(Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak mendengar tanda suitan itu. Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan. Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing? Apalagi Shin Ci-koh itu pernah membantu padaku, pikir Se-kiat. Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh tinggalkan tempat ini. Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau. Tetapi jika kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah, sudahlah, sudah. Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh) mati atau hidup, aku tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang Tiau-ing, karena ia sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku? pada lain saat ia bantah sendiri pikirannya tadi. Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. In-nio, percuma kau melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti menyusahkan kau, teriaknya. Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek: Bo Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah! Se-kiat menghela napas: In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh! Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun dan kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung In-nio itu menjadi kocar-kacir. Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau! teriak Se-kiat. Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau! Tomulun balas berteriak dan malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan). Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung. Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga. Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang indahindah tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya yang besar. Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah mengalahkannya. Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan lagi padanya! teriak Kay Thian-sian. Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: Terima kasih, cici Kay. Sampai berjumpa lagi lain hari. -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu. Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat In- nio menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan kait) menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai. Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar kecuali Kay Thian-hau seorang. Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu sudah terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah payah ia dapat meloloskan diri. Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip? Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia mensiasiakan nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona Sip, jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu? teriak Thian-sian. Pasukan wanitanya, walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa golok bian-to yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian. Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu berlindung dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh dan adik
kembali bertempur. Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun Thian- sian. Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian menjadi tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan. Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun) dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ. Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan setempat. Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat yang didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya tiada punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan berebutan melarikan diri. Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya. Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab, pasukan raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar. Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah. Ia sendiri yang memegang pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau-gi menjadi pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun mereka terdiri dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam peperangan. Di bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng pertahanan yang kokoh juga. Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara suku Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan dari Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan), karena ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang. Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi. In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi dalam medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu. Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya. Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan, pikir In-nio. Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota. In-nio cepat keprak kudanya untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada pasukan wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia tak mau bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di pegunungan. Berkat kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat jauh di belakang. Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan, menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri.
Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi suara genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih terasa sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu. In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran bahagia juga. Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya? Dan setelah lolos, kapankah kita dapat berjumpa lagi? In-nio bertanya-tanya dalam hati. Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan suka duka, sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya, tahulah In-nio kuda itu tentu bukan kuda sembarangan. Apakah Pui sute? In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik- hu melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah. Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut. Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh! Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan, Shin Ci-koh sudah jatuh dari kudanya. Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay. Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah ia dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya dengan In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio. Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak kuat. Ia jatuh ngelupruk di tanah. Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina Ceng-bing-cu! wanita itu deliki mata dan menghela napas. In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. Mengapa kau tak bunuh aku? teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal. Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban menolong sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau 'menindih tangga' pada orang yang sudah jatuh, kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh. Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat ialah di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar. Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan sampai kau terlibat dengan urusanku, kata Shin Ci-koh. Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe membekal kim-jong-yok? tanya In-nio. Apa kau tak membawa? Shin Ci-koh terkejut. Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi membawa obat itu. Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ...., In-nio menjadi gelisah. Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing? tukas Shin Ci-koh. Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin Cikoh. Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: Tetapi
hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya, sudah tentu ia harus menggeledah badanku. Shin Ci-koh menghela napas: Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku dalam bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku, sungguh menyesal .... In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya. Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah? Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan padamu. Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin-thian-hiat, kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau dapat mengurut? tanya Shin Ci-koh. In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya darah itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang luka, harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu tidak banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar ilmu menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut. In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke ujung jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali. Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi, kata Shin Ci-koh. Ternyata walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap masih payah. Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan lwekang. Berhasil atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil mengejarnya, ia tentu selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka. Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti dapat meloloskan diri. Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: Kita bersamasama pergi! Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi, kata Shin Ci-koh. Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh sementara, In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara tua yang terletak di atas gunung. Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja Obat. Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal di atas gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus. Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat di mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu binatang hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat dimakan, ia lantas kembali ke biara. Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya mengepul asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: Nona Sip, aku sudah tidak berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang tak mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk sementara waktu saja. Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan? In-nio bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh. Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu dapat
digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk bersila lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela napas pula: Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama tujuh delapan hari itu? Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal padamu yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis! Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya. Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: Harap lo-cianpwe tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat mencari aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama. Shin Ci-koh menarik napas: Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip, kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia! Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi? In-nio mengucapkan kata-kata merendah. Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang ratusan kali dari muridku itu, kata Shin Ci-koh. Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio: Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas sembunyikan dirimu. Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak: Siapa yang berada di dalam? Suaranya amat menusuk telinga. In-nio terkejut. Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji. Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan. Dalam putus asa, ia terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi. Ia sudah mendengar berita tentang persekutuan Tiau-gi dengan Se-kiat. Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu- songto. Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung. Ia memang tak punya hubungan dengan Se-kiat. Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu sungkan menolaknya. Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah. Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Ceng- ceng-ji melakukan perjalanan pada waktu malam. Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang yang tentu akan melapor pada suhengnya. Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan yang sepi-sepi. Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah. Tanpa disangka-sangka ia berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh. Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu. Kalau In-nio terperanjat adalah Shin Cikoh sudah berteriak: Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu! Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh. Mengetahui kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat kaki seribu. Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan. Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing! In-nio tertawa geli dan bertepuk tangan. Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar.
Bibi, bagaimana keadaanmu? tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan 'bibi' kepada Shin Ci-koh. Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata: Itu hanya dapat menggertaknya sementara waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari! Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak, iapun lantas menyembur darah. In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya: Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata kembali, akupun sanggup menghadapinya. Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi. Ia sadar kalau bukan tandingan Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri dalam keadaan terluka. Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat. Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda, Cengceng- ji curiga. Batinnya: Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa sekarang tidak? Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya. Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua kerikil jatuh ke lantai. Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi. Namun karena masih kuatir, ia timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan. Itulah cara orang persilatan bertanya jalan untuk mencari tahu keadaan. Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan. Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak. Jika ShinCikoh mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya. Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya: Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu. Masuklah, Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu datang. Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau keadaan sekelilingnya. Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi sebaliknya, In-nio malah menyahut: Baik, kita bersama-sama lari. Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan naik kuda. Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih baik daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji. Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga. Bukan In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal. In-nio cepat-cepat hendak mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa terbahak-bahak. Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh. Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru: 'Kau adalah bakal susoh-ku. Suheng tidak ada, kaupun serupa. Baiklah, karena memandang muka suhengku, akupun takmau membikin susah padamu. Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar. Akupun tak mau meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku. Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju menghampiri Shin Ci-koh. Ia hendak balas menghinanya. Sret. In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Ceng- cengji. Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya: Oho, bukankah kau ini anak perempuan Sip Hong? Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se-kiat sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di pinggir sana! Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju merapat menutuk jalan darah si nona. Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing. Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih Sekiat. Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani
melukainya sungguh-sungguh. Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan rubuh saja. Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi. Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat pelajaran ilmu pedang. In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji. Cengceng- ji memang kelewat memandang rendah. Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja jari tangannya terpapas kutung. Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya. Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku? Jika sampai membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin! bentaknya dengan marah. Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan! Shin Ci-koh menyindirnya. Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh: Baik, karena kau mengatakan begitu, biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh yang terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu! In-nio tetap berlaku tenang sekali. Dihina lawan, ia tak marah. Ia tahu kepandaian Ceng-ceng-ji itu jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali. In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa dan untuk itu ia harus bersikap tenang. Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai Cengceng- ji lolos. Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos. Tetapi ruangan biara itu sempit sekali. Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping In-nio, Innio cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu). Ilmu pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni. Mengutamakan kelincahan dan ketangkasan, paling cocok untuk kaum wanita. Karena memandang rendah lawan, sejak mulai bertempur Cengceng- ji hanya gunakan tangan kosong saja. Dan selangjutnya pun ia tak sempat lagi mencabut pedang. Ia menjadi keripuhan juga. Tak lagi ia mampu lolos. Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati. Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya, itulah seperti orang mendaki langit sukarnya. Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh enam serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu menyentuhnya. Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Ceng-ceng- ji sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak: Jika kau tak tahu selatan, jangan salahkan aku berlaku ganas! -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung menusuk dada, batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung. Sekaligus tiga serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali. Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan. Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji, iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang matimatian utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang tak punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana sedihnya, ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia menghamburkan air mata. In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk: Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong, gunakan jurus hian-niau-hoa-sat! Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki. Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi Hunwi untuk menyerang. Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa. Tetapi ia sudah tak berdaya. Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve. Keduanya bergerak dengan cepat. Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi, posisinya tepat berada di sisi In-nio. In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata hasilnya mengagumkan sekali. Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio dapat membabat lengan lawan. Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju selangkah. Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke dadanya. Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke LiKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ hong. Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih. Ceng-ceng-ji kempiskan dada dan terlolos dari lubang jarum. Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas. Sayang, sayang! Shin Ci-koh menghela napas. Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada jaman itu. Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni. Pernah ia menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang Wan- kongkiam- hwat Gong-gong-ji. Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan Ceng-ceng-ji tadi. Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat. Walaupun sudah mendapat petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji saja tapi tak dapat melukainya. Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio. Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu dipatahkan oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh. Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya: Shin Ci-koh, kau keluarlah! Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa mengejek: Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan Shin locianpwe? Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah. Justeru In-nio hendak membuat supaya Ceng- cengji marah. Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang. Jika Ceng-ceng-ji tak cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk. Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio. Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio dengan hati-hati. Tiba-tiba ia mendapat siasat. Bahunya tampak digerakkan. Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap! cepat Shin Ci-koh sudah lantas meneriaki. Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin. Shin Ci-koh hendak memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat. Trang. Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona. Asal jari Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk. Dan In-nio pasti akan menjadi invalid selama-lamanya. Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya, sekonyong- konyong Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki: Kurang ajar, siapa yang membokong dari belakang itu? In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang: Khik-sia, kau datang! Cici In, aku juga datang! tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring. Menyusul masuklah Yak-bwe. Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio. Karena sudah seperti saudara kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja. Kebetulan Thiat-mo- lek bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat. Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se- kiat kembali ke jalan yang benar. Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa suratnya. Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya untuk mengirim surat itu. Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu- ciu. Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh untuk menemui Se-kiat. Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu karena nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di Yu-ciu. Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi. Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu. Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat. Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu. Setelah Khik- sia berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke gunung Hok-gu-san. Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat tindakan Se-kiat. Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di tanah datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar. Hari itu mereka tiba hanya kurang 30-an li dari Tho-ko-poh. Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara yang kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh. Khik-sia tahu peperangan sudah dimulai, maka
ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan. Ketika melalui biara rusak, didengarnya suara senjata beradu. Dan yang membuat mereka terkejut ialah dua ekor kuda yang tertambat di muka biara. Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang diterima dari Cin Siang tempo hari. Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke dalam biara. Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji). Tetapi lebih unggul dari Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak mengetahui akan kedatangan Khik-sia. Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu kalau ada pendatang baru. Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia. Ia hanya menyangka orang itu tentu lihay. Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras. Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari belakang. Demikian juga Ceng-ceng-ji. Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih dulu ia berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga .... Siapa yang membokongmu? Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng- hiong dan Ho-han? Khik-sia tertawa sinis. Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat pertempuran tadi. Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan penasaran cici In, teriak Yak-bwe. Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar: Khik-sia, kau benar-benar tak memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani menghina aku di depan umum?! Shin Ci-koh menertawakan: Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa dengan suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga! Tutup mulutmu! bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji, beberapa kali kau hendak mengambil jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng? Kurang ajar! Ceng-ceng-ji balas membentak: Aku adalah suhengmu. Aku berhak mengajarmu, masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh? Mengingat kau masih muda kurang pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau masih tidak terima, silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang kemari. Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu. Ia merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia. Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ. Maka sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki. Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja sutemu tinggal di sini beberapa hari ini, Shin Ci-koh tertawa mengejek. Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut pedangnya dan membentaknya: Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai murid perguruan kami? Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan jahat, bertindak salah dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa-suheng supaya memengal kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng bermurah hati tak tega membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih berani gunakan nama toasuheng untuk menggertak aku? Baik, karena memandang muka toa-suheng, aku pun takkan mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah! Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan. Murid yang melanggar peraturan perguruannya diberi kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh kepandaiannya hilang. Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu. Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah. Ia memaki keras-keras: Kau mengandalkan perlindungan sunio untuk jual kesombongan? Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum! Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi sekonyong- konyong Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe. Licik benar Ceng-ceng-ji. Tahu kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak bersiaga
ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia. Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah Yakbwe. Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat, sebenarnya ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe. Tapi di luar perhitungannya, ternyata Shin Ci-koh sejak tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja. Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh sudah mengetahui siasatnya. Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe: Nona Su, lekas menyingkir! Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji. Untung Yak-bwe sudah keburu menyingkir hingga tak kena dicengkeram. Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain cengkeraman tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok. Tadi karena kurang pengalaman, ia kena diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban. Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long. Di dalam gerak mengandung lain gerak. Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang ombak laut yang mendampar bertubi-tubi. Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin menderu-deru. Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya? diam-diam Cengceng- ji mengeluh dalam hati. Keduanya bergerak secara cepat. Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang kepandaian. Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang). Trang, begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih. Maksudnya hendak melarikan diri. Hai, hendak lari kemana kau? teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Ceng- ceng-ji. Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji terasa sakit juga. Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi. Ia mengisar ke samping dan dengan gerak tipuan, ia dapat menghindari serangan. Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang pintu. Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh takut padamu? seru Ceng-ceng-ji. Khik-sia tertawa dingin: Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara seperguruan? Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia memang hendak memancaing supaya Khiksia bicara. Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh Khiksia. Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya. Kali ini mana ia dapat diingusi lagi? Walaupun mulutnya bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji. Begitu lawan bergerak, iapun lantas bergerak. Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah. Tetapi yang digunakan Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan darah. Dibanding dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat. Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali. Bagian yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah. Dulu hanya Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan. Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget. Ia tak menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa. Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang tujuh, tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri. Kedua saudara seperguruan itu karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang menang atau kalah. Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji. Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak bertahan. Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada Shin Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan baik. Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari sergapan Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu. Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa malu sendiri, Shin Ci-koh menghela napas. Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang
mendadak sontak berubah perangainya? Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata yang datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya, mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali thauto itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari Cengbing- cu. Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: Oh, kiranya Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini dapat bertemu dengan dua angkatan dari partaimu! Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to tua itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh kuat. Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh: Cengbing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan padamu, tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu! Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat karib ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu kalau Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih. Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu. Memang Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan dimana Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya. Bunuh dulu Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya. Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud untuk mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka. Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li. Terima kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu! Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun. Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan keadaan di sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya, tanpa menoleh Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang. Ia mengira tadi tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan pedangnya menusuk Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat sedemikian rupa, hingga dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang bagaimanapun jua. Tahan! pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin berteriak sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay, sehingga pedang Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua itu, bahkan orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru ia dapat berdiri tegak. Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat juga menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara. Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak
percaya hal itu. Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: Bocah ini paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay? Jika tadi ia menusuk tiga kali berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya. Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang, kedengaran Shin Ci-koh mendengus dingin, muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas, harap pada aku saja! Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana? Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang sedang terluka? buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin tadi, In- nio insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun takkan menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya. Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila. Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia menyeletuk: Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya hari ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku! Seru Ceng-bing-cu: Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan, biarlah aku saja yang menindaknya! Ngaco, mundur! bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak. Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis. Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu? Kau paling takut kalah di tanganku dan ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku! Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh. Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran! seru Leng Ciu siangjin dingin. Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri? Aku tak sudi menerima budimu! sahut Shin Ci-koh. Kembali Leng Ciu tertawa keras: Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat. Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu. Memang kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari. Mana aku mempunyai tempo menunggumu? Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang, kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita keluarkan kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil itu? Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku? Begitu lukamu sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan apaapalagi! Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: Besok malam aku tentu menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa nanti? Leng Ciu siangjin tertawa keras: Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua pesanmu, maaf aku tak dapat mengawani lebih lama. -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin Cengbing- cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka. Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia: Leng Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai orang
yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan. Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe terkejut sekali, serunya: Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun? Ai, Shin locianpwe, kau kelewat percaya padanya! Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh: Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah sembuh sama sekali! Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia? In-nio merasa cemas. Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan aku! Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia: Besok kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya, bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada toasuhengmu. Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku. Khiksia, tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir, kata Shin Ci-koh pula. Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan seorang wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio) menyampaikan surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang Leng-ciu-pay. Apa yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya menasihati Gonggong- ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu telah mengalami perubahan batin yang luar biasa besarnya. Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: Nona Sip, aku terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk menolong aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati, menumpas setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesakti-saktinya kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah contoh. Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang aku pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri. Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus tak menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin. lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak suka dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin seumur hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang membantunya. Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda itu sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas, ternyata penuh dengan budi kehalusan seorang wanita. Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun tak mau tinggal diam melihati saja, kata Khik-sia. Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: Shin lo-cianpwe, bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja? Kupersembahkan kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay mampu mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu? Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan Leng Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat
mengingkari? Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi? Melarikan diri, tak usah dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali- kali tak boleh memberi bantuan! Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya: Sungguh tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap tak berubah pendiriannya. Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf, sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan lama. Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit. Dilihatnya rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam. Akupun justeru sedang menunggu! kata In-nio. Dia berada di mana? Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu? Dan bagaimana kau bisa berjumpa dengan Shin lo-cianpwe? Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini? demikian Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan. In-nio menghela napas: Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya, bagaimana kalian berdua bisa datang kemari? Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan surat kepada Se-kiat. Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah? tanya In-nio. Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam urusan mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu? Yak-bwe balas bertanya. Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai, In-nio menerangkan singkat. Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng? Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah menyambut Liang Hong? Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang suami isteri yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan. Merahlah muka In-nio, dampratnya: Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau menggoda semaunya. Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan serius nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar ditemukan. Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang? Bagus, bagus, ah, supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku tak mau menanyakan urusanmu pribadi. Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-mo-lek itu kepada Se-kiat, kata In-nio. Lho, mengapa? Apakah aku boleh turut mendengarkan? Khik-sia menghampiri. Justeru memang hendak kudengarkan padamu, sahut In-nio yang lalu memulai keterangannya. Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul. Benar memang aku sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiau-ing. Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing? Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan mendengus: Huh, herankah? Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu? In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak dapat menahan kemarahannya lagi: Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu! Eh, kau jadi menemuinya, tidak? tegur Yak-bwe. Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak aku
harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya, sahut Khik-sia. In-nio mengangguk: Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu. Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio. Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya setitik kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya. Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi di mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga, katanya. Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah supaya In-nio jangan melantur lebih jauh. Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya: Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe .... Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia berani datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang, akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap, jika hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat. Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam hari tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe memerlukannya, kata Khik-sia. Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun membiarkan saja. Katanya: Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak mengapa. Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu. Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa: Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat. Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu? Khik-sia mendengus. Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat akan Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih ada 'apaapa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu, meninggalkan banyak kesan padanya. Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu benarbenar sejoli yang paling tepat! pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. Sekarang kalau bertemu aku tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja. Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang tanah. Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia menghampiri dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiau-gi) tengah bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan gin-kangnya yang lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak mengetahui. Salah seorang berkata: Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada cukong, tentu kita mendapat hadiah besar. kata yang seorang: Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari dia? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap orang. Orang yang kesatu berkata pula: Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu.
Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi saja mungkin kau sekar mendapat. Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. Mereka menyebut- nyebut 'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan .... Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang dua bertanya: Toako, apa yang kau tertawakan? Opsir ketiga itu menyahut: Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus! Kalau menurut pendapatmu, bagaimana? tanya kedua orang tadi. Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti 'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan isteri cecu (pemimping begal). Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita retak hanya karena siluman kecil itu, kata kedua orang kawannya. Kata opsir tadi: Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya. Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek. Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah. Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok kedua kawannya tadi. Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan aku, terpaksa aku bertindak! Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: Siapa yang hendak kau ambil isteri itu? Wanita itukah? Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran berteriak: Khik-sia, tolonglah aku! Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik- sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia. Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat, dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis. Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khik-sia. Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to. Indahnya bukan buatan. Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu. Bentaknya: Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini! Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir. Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh ke tanah.
Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu. Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka? tegur Tiau-ing. Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu .... Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian Khik-siapun kelumuran juga. Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya. Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya. Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing. Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia. Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya. Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi! Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi! Khik-sia mendengus dingin. Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: Khik-sia, aku merasa salah kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu. Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau .... Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau di sini! bentak Khik-sia. Tiau-ing menyeringai: Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut putusanmu! Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu, kata Khik-sia. Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat. Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat, Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat tampillah kesatriannya: Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu? Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka dan melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing. Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka jalan darahnya. Ujarnya: Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta.
Kata Tiau-ing: Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh datang? Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga nona itu. Pikirnya: Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku. Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian. Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah Thoko- poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan mendampratnya: Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah, sekarang sudah lari ikut lain lelaki. Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya, kata seorang lain. Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: Ai, apa bocah lai itu bukannya yang tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali! Ada pula yang menyelutuk: Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'. Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka itu lebih menyakitkan telinga. Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila anak tentara hendak mengganggunya. Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: Hai, bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat bentuk pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal selatan! Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas kudanya! Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang diri Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima wanita berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang, Khik- sia segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka. Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi! bentak Tomulun seraya putar tombaknya. Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian Khiksia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa Khiksia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing. Thian-sian putar kudanya dan berseru: Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan lepaskan
dia! Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: Jika tak menyerahkan orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap! Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring, tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang. Tomulun mengejar, teriaknya: Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu? Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu, seru Thian-sian. Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu. Tomulun kertek gigi dan membentak: Lihat tombak! - Ia kaburkan kudanya dan menombak Khiksia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras. Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia. Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh). Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar. Jatuhnya tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari. Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah. Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda. Tomulun menghela napas: Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah dikejar. Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang. Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu, kata Khik-sia. Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya. Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah pada luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik- sia muak tapi kasihan juga. Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati. Diam-diam Khik-sia mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri
dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja. Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari? kata Tiau-ing dengan suara masih tersengal-sengal. Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh Sip Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru- buru hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin lambat jalannya. Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka adalah tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi pertempuran. Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan ekor kuda yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari). Khik- sia gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti. Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik. Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan Tiauing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In tentu gelisah memikirkan diriku, pikirnya. Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu, tentu akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya (Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus terang. Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul. Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan cepat keprak kudanya. Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat? teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-im- jipbi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat. Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus ia kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat selesainya. Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar. Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo Sekiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan Tiauing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap. Khik-sia tercengang. Pikirnya: Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang ajar, apakah dia curiga padaku? Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari kepada Se-kiat. Ing-moay, ini, ini, bagaimana? tanya Se-kiat dengan getar. Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: Dia, dia, dia menghina aku! Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya. Nona Su, aku, kau kata apa? tergopoh-gopoh ia menegur. Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah ia dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khik- sia.
Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya. Ia anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekasbekas cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan' api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan dan mengadu pada suaminya. Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan kemarahan dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi. Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas mencabut pedang. Bentaknya: Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku! - Sang kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia. Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga. Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya. Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu. Setelah menghindar, berserulah ia: Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari! Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: Untung ia belum mati dan masih dapat bicara membuka kebohonganmu! Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa orang. Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya mencabut pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja, walaupun ginkangnya lihay, tapi tentu akan kena juga. Marahlah Khik-sia: Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan keteranganku! Se-kiat tertawa mengejek: Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu? Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: Bo Se-kiat, kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari? Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku? Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: Bangsat, jangan ngoceh tak keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu! Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khik-sia yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum dapat melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik mendakwa Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing, untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia. Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia. Serunya: Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi! Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani! Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam
pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin. Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu! Se-kiat tertawa dingin. Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: Se-kiat, kau tahu malu atau tidak? Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri! Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu! Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat. Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada Khiksia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat pun gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya. Se-kiat terkejut, pikirnya: Kepandaiannya maju pesat sekali. - Dahulu ketika diadakan pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang pusaka. Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia. Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia. Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: Harap bengcu jangan umbar kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber. Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan. Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang- orang itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi, Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo- lek) yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai. Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya: Se-kiat yang salah! Perempuan siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu. Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari Husong- to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh keluar kemah tanpa ijin, Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro Khik-sia itu. Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).
Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia. Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loan- bihong- kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan diri. Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika kochiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin. Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan. Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap belum ada yang kalah atau menang. Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya: Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe? Pikirnya lebih lanjut: Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa aku melibatkan diri dalam pertempuran. Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui. Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main golok. Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua langkah. Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya, melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng- cu tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada syaratnya ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan. Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan Sekiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil putusan untuk mencobanya juga. Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun membahayakan juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu, tergetarlah hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah. Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya,
belum tentu Khik-sia dapat menang. Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran pedang Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya: Bangsat kecil, hendak lari kemana kau? - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas menusuk. Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja. Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar. Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba. Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih ada berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua? Khik-sia tertawa mengejek. Se-kiat balas mengejek tertawa: Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan. Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: Harap Toan siauhiap suka tinggal! Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda. Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat! pikirnya. Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain, serunya: Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana! Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat? Se-kiat menertawakan. Dan berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: Harap tinggal di sini saja! Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi. Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku! Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua orang baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor keras dan maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan matimatian. Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan pedang orang. Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo Sekiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khik-siapun sukar mengalahkan. Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka dengan To-cu kami? Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang ilmu lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak meloloskan
diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to. Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah. Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu. Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka masih tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampirhampir rubuh. Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo Jong-long), akupun takkan mengejekmu. Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu! Khik-sia berseru marah. Sekali putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat. Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang. Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai putus. Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu! kembali Se-kiat tertawa mengejek. Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang dengan kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Se-kiat. Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya. Tiba-tiba Se-kiat membentak: Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau! Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak kuat menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya tergurat luka sepanjang tiga dim. Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang memaki dengan melengking: Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku! Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau bukan Gong-gong-ji. Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau Husong- to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan barat-laut, ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning yang adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan. Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia. Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji. Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to! Gong-gong-ji menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong- ji
tertawa terbahak-bahak. Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: Kau berani mengejek ilmu pedang kaumku? - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Sekiat. Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti petir menyambar-nyambar. Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala. Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan darah lawannya. Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung. Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba menampar dengan sebelah tangannya. Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah tamparanku! Khik-sia geli dalam hati: Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga ketularan. - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan minggir ke samping. Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gong-ji terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji. Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan. Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental. Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong- ji rapat-rapat. Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau Khiksia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan, pikirannya masih terang. Pikirnya: Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos. Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan Pattin- tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun, betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka. Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali. Segera ia meneriaki Khik-sia: Sute, ikutlah aku! - Ia melesat memburu Se-kiat. Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gonggong- ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti suhengnya. Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun sudah
terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka Khiksia. Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti. Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang kepala Bo Se-kiat, kata Gong-gong-ji. Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang memerlukan tenaga suheng, sahut Khik-sia. Gong-gong-ji kerutkan alis: Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Sekiat? Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu. Oh, Shin Ci-koh? tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, Ya, aku telah bertunangan dengan Cikoh. Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega. Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya. Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi untuk menolongnya! Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang berani mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri? Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak yang terletak di gunung itu, sahut Khik-sia. Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya. Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia? oooooOOOOOooooo Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang. Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada Gonggong- ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini dapat ditertawakan orang. Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Ceng-bing- cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ... susoh, kata Khik-sia. Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: Ya, kutahu. Cengbing- cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar terhadap susohmu! Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. Celaka, kukuatir saat ini mereka sudah mulai bertempur! serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia. Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus! Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan
Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: Kali ini aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya! Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh, Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: Celaka! Celaka! Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: Bagaimana keras kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi. Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu! bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri. Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana. Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji. Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah. Apakah pertempuran mereka sudah dimulai? tanya Gong-gong-ji. Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. Ah, kalau begitu, pertempuran baru berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah. Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong. Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya. Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan berseru: Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang! Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah. Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batu-batu kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji. Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku? Gong-gong-ji marah sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh. Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak mungkin dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju. Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak: Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini! Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar, Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok punggungnya: Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu! Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay yang dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya. Meskipun tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ. Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia pada pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin). Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak mencari bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk menunggu. Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap harus
dibunuh mati. Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin. Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat membinasakan Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay gin-kangnya seperti Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri. Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas ke belakang. Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gong- gongji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya. Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku, semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam. Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan akan membunuhmu! - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuik-kuik seperti babi hendak disembelih. Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: Melihat kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut kata-kataku. Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. Baik, kalau begitu ayo ikut aku, kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang menjinjing ayam saja. Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam. Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Cikoh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin. Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya gagal. Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar pesan Yak-bwe. Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima penjelasanku atau tidak? ia mengeluh dalam hati. Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah mengharap-harap kedatangan Khik-sia. Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin Cikoh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan In-nio lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga. Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.
Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua: Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini. Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat tadi, Shin Ci-koh berseru angkuh. Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Lengciu- pay itu tertawa: Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi. Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu? tanya Shin Ci-koh. Leng Ciu siangjin kesima, serunya: Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang! Jilid 18 Tamat Tetapi Se-kiat sendiri juga gentar. Memang Thiat-mo-lek selalu mundur, tetapi tetap memiliki kekuatan untuk balas menyerang. Serangan gencar dari Se-kiat seperti membentur tembok yang tak kelihatan dan tak mungkin diterobos. Rencana Se-kiat sebenarnya hanya akan bertahan saja. Ini untuk mengulur waktu hingga pamannya datang. Tetapi ia rubah rencananya itu setelah melihat Thiat-mo-lek memberi pengobatan lwekang pada Tian Goan-siu tadi. Ia berganti dengan siasat menyerang secara kilat. Memang setelah bertempur tiga jurus, Se-kiat dapatkan tenaga lawan berkurang sekali. Tetapi masih memiliki tenaga pertahanan yang kuat. Dengan begitu siasatnya menyerang kilat, sukar terlaksana. Tapi Se-kiat sudah terlanjur bergerak menyerang, dia sendiri tak tahu bagaimana nanti jadinya. Kalau pertempuran berjalan lama, dikuatirkan tenaga Thiat-mo-lek akan pulih. Ini berarti kekalahan baginya (Se-kiat). Maka ia tak mempunyai pilihan lagi kecuali melanjutkan siasatnya menyerang secara kilat. Se-kiat mainkan pedangnya dengan gencar. Thiat-mo-lek selalu main mundur saja. Setiap kali mundur, ia dapat mengurangi kekuatan menyerang dari lawan. Tapi karena Se-kiat masih muda, tenaganyapun tak lekas habis. Oleh karena itu semua hadirin, kecuali ayah mertua Thiat-mo-lek, sama merasa cemas. Mereka tak tahu bahwa sebenarnya pemunduran Thiat-mo-lek mempunyai arti. Makin lama Se-kiat makin ganas. Jurus-jurus serangannya makin menghebat. Dan Thiat-molek hanya mainkan goloknya dalam ilmu golok warisan keluarganya. Se-kiat tampak sebagai pihak penyerang tetapi anehnya serangannya yang bagaimana aneh tetap kena ditangkis golok Thiat- molek. Hadirin yang berada di lapangan situ, kecuali Han Soan (ayah mertua Thiat-mo-lek), yang berilmu tinggi hanya Tian Goan-siu. Setelah tersadar, ia tak mau pulang mengobati lukanya tetapi tetap berada di situ untuk menyaksikan pertandingan. Ia menghela nafas: Aku telah belajar tujuh belas macam ilmu pedang, tapi baru sekarang kuketahui kalau kesemuanya itu hanya ilmu picisan. Luar biasa sekali ilmu pedang Se-kiat itu, namun tak mampu menandingi ketenangan Thiat-mo-lek. Untuk mencapai keistimewaan, asal orang mempunyai otak cerdas tentu dapat. Tapi untuk mencapai ketenangan, orang harus berlatih dengan tekun. Ketenangan dan kemahiran jauh lebih unggul dari kedahsyatan. Pada saat Tian Goan-siu membuat penilaian begitu, Thiat-mo-lek sudah mundur lagi sampai 7-8 langkah. Tampaknya ia terkurung sinar pedang Se-kiat. Keadaannya makin buruk. Malah Ong Yan-ik sudah menyatakan kekuatirannya kepada suaminya: Goan-siu, dikuatirkan Thiat toako akan kehabisan tenaga dan tak mampu mempertahankan kemenangannya. Memang Goan-siu mengetahui bahwa ketenangan Thiat-mo-lek itu pasti dapat mengatasi lawan. Tapi ia tak mengerti tentang keindahan-keindahan yang tersembunyi dalam permainan Thiat-mo- lek itu. Apa yang dikatakan isterinya, sesuai dengan perasaannya. Celaka, kalau Thiat-mo-lek sampai kalah, akulah yang menjadi gara-garanya, ia mengeluh dalam hati namun tak diutarakan pada
isterinya. Ia tetap memperhatikan jalannya pertempuran dengan penuh perhatian. Han Ci-hun, isteri Thiat-mo-lek, pun berada di situ. Mendengar pembicaraan Tian Goan-siu suami isteri itu, iapun merasa cemas. Waktu ia hendak menanyakan pendapat ayahnya, tampak saat itu Han Soan menyungging senyuman. Eh, Mo-lek mundur terus-terusan, mengapa ayah malah gembira? ia heran. Baru saja ia berpikir begitu, di sana Se-kiat kiblatkan pedangnya dengan istimewa. Menyabat ke kiri dengan jurus Ban-li-hui-soang, memapas ke kanan dengan jurus Cian-sam-lok-yap. Bret, lengan baju Thiat-mo-lek kena terpapas rompal. Ayah.... belum Han Ci-hun melanjutkan kata-katanya, ayahnya (Han Soan) sudah menukas tertawa: Serangan Se-kiat sudah tamat. Lihatlah, sekarang Thiat-mo-lek berganti giliran yang menyerang! Han Ci-hun menengok kemuka. Ah, kiranya benar. Thiat-mo-lek kini merubah pertempuran dari bertahan menjadi penyerang. Meskipun belum dapat memaksa lawan mundur, tapi kini posisinya sudah kokoh. Kiranya setelah bertempur puluhan jurus itu, tenaga Thiat-mo-lek sudah hampir pulih dan melebihi tenaga lawan. Se-kiat, mengaku kalah sajalah, seru Thiat-mo-lek dengan nada berat. Sebenarnya sukar bagi seorang ko-chiu untuk mengalah. Seperti tempo dalam pertandingan rapat pemilihan bengcu yang pertama dulu, karena mengalah itu Thiat-mo-lek hampir saja terluka sendiri. Itu saja ilmu pedang Se-kiat tak begitu ganas seperti sekarang. Tidak demikian dengan keadaan sekarang. Kalau Thiat-mo-lek mengalah, Se-kiat tentu tak mau memberi ampun. Oleh karena itu Thiat-mo-lek mencari jalan, mengalahkan Se-kiat tanpa melukainya. Itulah sebabnya ia menyerukan orang supaya menyerah saja. Dalam keadaan ditentang massa dan dibaliki muka oleh kawan, Se-kiat sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Persetan dengan anjuran Thiat-mo-lek. Ia mendengus, menggunai kesempatan selagi Thiat-mo-lek bicara, ia lancarkan tiga buah serangan berturut-turut. Hari sudah begini tinggi, mengapa paman belum kelihatan? Sekalipun dalam babak kedua ini aku kalah, tapi nanti dalam babak terakhir paman tentu menang. Dengan begitu kedudukan bengcu tetap dapat kupertahankan, pikirnya. Adalah karena masih mengandung cita-cita itu maka serangan yang dilancarkan Se-kiat itu selalu ganas. Serangan berantai tiga kali itu, luar biasa hebatnya. Yang diarah selalu jalan darah-jalan darah maut. Thiat-mo-lek menghela napas, ujarnya: Untung celaka, diri sendiri yang membuat. Baik, karena kau berkeras hendak menentang kehendak para saudara-saudara loklim dan tetap mau mengangkangi kedudukan bengcu, terpaksa aku bertindak. Dalam sehelaan napas, Se-kiat sudah melancarkan 49 jurus. Namun Thiat-mo-lek tegak kokoh laksana gunung. Ia tetap tenang untuk menangkis setiap serangan. Waktu mengakhiri jurusnya, ketika Se-kiat mau berganti jurus lagi, tiba-tiba Thiat-mo-lek bersuit nyaring. Pedang diputar sebagai main golok. Dia keluarkan ilmu pedang ciptaannya sendiri. Dahulu di lapangan kotaraja, ia gunakan ilmu pedang itu untuk membunuh Yo Bok-lo. Jika bukan kau akulah yang mati! bentak Se-kiat dengan nada dalam. Tapi diam-diam, ia mengeluh mengapa pamannya tak muncul juga. Iapun lantas keluarkan ilmu bertempur secara gerilya, yakni ilmu permainan yang sudah disiapkan untuk menghadapi Thiat-mo-lek. Dengan permainan itu ia mengharap dapat mengulur waktu. Tapipun ia mempunyai harapan juga supaya menang. Tetapi ternyata ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu, luar biasa kerasnya. Betapa aneh jurusjurus permainan Se-kiat, namun sia-sia saja. Tidak setitik lubang yang bagaimana kecilnyapun terdapat dalam permainan Thiat-mo-lek. Selagi pertempuran berlangsung seru, sekonyong-konyong anak buah Se-kiat berteriak gempar: Tocu datang! Thiat-mo-lek yang selalu pasang mata dan telinga, pun mengetahui juga kedatangan Bo Jonglong bersama-sama Gong-gong-ji, Shin Ci-koh dan Mo Kia Lojin. Dia terkesiap kaget-kaget girang. Memang yang paling menjadikan perhatiannya ialah tentang Bo Jong-long yang khilaf pikiran itu. Jika tokoh itu berkeras kepala, tentu akan terjadi pertempuran darah besar-besaran.
Dan Gong-gong-ji serta Shin Ci-koh yang berangasan itupun menjadi pemikirannya juga. Bahwa sekarang Bo Jong-long datang bersama-sama Gong-gong-ji dan kawan-kawan, sungguh tak terduga-duga oleh Thiat-mo-lek. Menilik gelagatnya, mereka sudah menghapus permusuhan, pikirnya. Dugaan Thiat-mo-lek itu sebagian memang tepat. Benar mereka kini sudah bersahabat setelah mengalami pertempuran mati-matian. Ko-chiu kalau sedang bertempur, tak boleh bercabang pikiran. Girang dengan kedatangan Bo Jong-long beramai-ramai yang tentu dapat mendamaikan urusan itu, penjagaan Thiat-mo-lek terhadap serangan Se-kiatpun agak kendor. Sebaliknya Se-kiat menggunakan kesempatan itu untuk menyerang dengan tiba-tiba. Pedangnya menusuk dada. Serangan itu merupakan serangan nekad dimana kedua pihak tentu sama-sama terluka. Thiatmo- lek miringkan tubuh menghindar tapi tak urung pundaknya termakan pedang. Masih gerakan Se-kiat itu belum selesai. Ujung pedang diputar mengarah tenggorokan orang. Dalam saat-saat jiwanya terancam itu, Thiat-mo-lek terpaksa mengeluarkan jurus istimewa untuk menyelamatkan jiwanya. Sekali ayunkan pedangnya, ia menabas pedang Se-kiat. Thiat tayhiap, harap memberi kemurahan! terdengar Bo Jong-long berteriak tertahan. Trang, pedang Se-kiat kutung menjadi dua terbabat pedang Thiat-mo-lek. Masih gerakan Thiatmo- lek itu meluncur terus. Seketika Se-kiat rasakan kulit kepalanya dingin dan diam-diam menjeritlah ia: Habis jiwaku sekarang! Tapi begitu angin dingin menyambar mukanya, ia tak merasa apa lagi. Ketika memandang kemuka ternyata Thiat-mo-lek sudah berada beberapa langkah di sebelah sana, sedang menyarungkan pedangnya. Thiat-mo-lek sekali-kali bukan karena mendengar seruan Bo Jong-long tadi, tetapi memang ia tak bermaksud untuk mengambil jiwa Se-kiat. Maka dengan tepat sekali ia mengakhiri serangannya tanpa menyentuh selembar rambut orang. Karena kalau mendengar seruan Bo Jonglong itu baru menarik pedang, tentu sudah kasip. Baik Se-kiat maupun Thiat-mo-lek sama-sama memakai pedang biasa. Tetapi setelah terluka Thiat-mo-lek masih dapat mengutungkan pedang Se-kiat, menunjukkan betapa lihay tenaganya. Entah berapa kali lebih unggul dari lawan. Pertandingan itu terang dimenangkan Thiat-mo-lek. Kekalahan yand diderita Se-kiat betul-betul meludaskan mukanya. Tapi diam-diam ia masih bergirang karena pamannya datang. Saat itu tampak Bo Jong-long menghampiri. Se-kiat hendak bicara tapi didahului pamannya: Anak jahanam, sampai saat ini apa kau masih tak mau mengaku kalah? Karena lukanya belum sembuh sama sekali, nada suara Bo Jong-long tak begitu nyaring. Tapi dalam pendengaran Se-kiat, hal itu seperti halilintar menyambar. Satu-satunya tiang yang diandalkan ternyata suruh dia mengaku kalah! Paman, apa katamu? masih ia tak percaya akan pendengarannya. Wajah Bo Jong-long membeku, mulutnya mendengus: Kusuruh kau minta maaf kepada sekalian orang gagah di sini dan terus ikut aku pulang. Sejak saat ini, kau tak boleh datang ke Tiong-goan lagi! Kejut Se-kiat bukan alang-kepalang, serunya: Paman, kepandaianmu tiada yang melawan, mengapa gampang-gampang menyerah kalah? Semua gerak-gerikmu telah kuketahui semua. Jangan harap dapat mengelabuhi aku lagi, jangan pula coba memprovokasi aku. Di dunia ini yang mempunyai moral baiklah yang dipuja. Sekali-kali jangan banggakan kepandaian tinggi hendak menundukkan orang. Tentang ilmu kepandaian, sucou kita Cek-si-keh entah berapa puluh kali lebih tinggi dari kita, tetapi toh ia tak menentang Li Si-bin yang sudah diterima rakyat. Itulah baru perbuatan yang mulia dan perwira. Memang aku bersalah mengutus kau ke Tiong-goan. Ini karena aku kelewat memandang rendah pada golongan kaum gagah di negeri ini. Li Tong memang berhak menjadi raja, tapi tidak orang seperti kau. Berbicara tentang ilmu kepandaian, kemuliaan hati, coba kau tanya pada dirimu sendiri apakah kau mampu menandingi Thiat tayhiap? Turutlah perintahku, lekas minta maaf pada sekalian
orang gagah di sini! Sewaktu mengucapkan kata-katanya itu, beberapa kali Bo Jong-long harus berbatuk. Tahulah Se-kiat kalau pamannya itu terluka dalam yang parah. Sekarang ludaslah semua harapan Se-kiat. Batinnya mengeluh: Sedang paman sendiri juga memaksa aku harus minta maaf, ah, Tuhan yang maha murah. Kiranya hanya Tiau-ing seorang yang tahu tentang isi hatiku. Tiba-tiba terdengar lari kuda mendatangi. Yang datang ialah dayang pelayan Tiau-ing. Buruburu Se-kiat menanyakan keterangan tentang Tiau-ing. Dengan terbata-bata budak itu menjawab: Nyonya telah merampas kudaku. Kukira ia sudah datang kemari, yang kunaiki ini kuda orang lain .... Lekas cari, lekas cari sana .... Baru Se-kiat gugup menyuruh bujang itu, kembali seorang dayang Tiau-ing muncul. Dayang itu terus berseru: Tak usah mencari, aku sudah tahu dimana nyonya. Se-kiat buru-buru mendesak bujang itu supaya menerangkan tapi bujang itu mengatakan tak leluasa mengatakan di situ. Ia minta Se-kiat masuk ke dalam kemah. Bilang sekarang, dengar tidak?! bentak Se-kiat dengan murka. Saat itu pikiran Se-kiat sudah kalut. Dia seperti orang kalap. Keadaanku toh sudah begini, aku tak peduli segala berita buruk, pikirnya. Karena ketakutan, bujang itu terpaksa bilang. Aku tadi bertemu dengan nyonya. Ia, ia naik kuda bersama Toan Khik-sia, melarikan diri! Apa? Ia melarikan diri dengan Khik-sia? Se-kiat menjerit. Ia yang sudah siap menerima kabar buruk toh terkejut sekali mendengar keterangan itu. Lebih kaget kalau andaikata menerima kabar Tiau-ing meninggal. Silih berganti ia mendapat kegoncangan hati. Dan rupanya berita tentang larinya Tiau-ing itu merupakan pukulan yang maha berat. Seketika ia seperti kehilangan semangat. Juga sekalian orang terkejut dengar berita itu. Lebih-lebih Yak-bwe. Hanya kalau Se-kiat menerimanya dengan rasa putus asa, Yak-bwe dengan perasaan cemas. Ia menjerit dan tubuhnya terhuyung-huyung. Untung In-nio dan Bik-hu cepat memapahnya. Khik-sia, mengapa dia, dia .... Jangan mencurigai Khik-sia, tentulah ia, tentu .... kata In-nio. Kutahu, tentu perbuatan siluman perempuan itu. Ah, entah dia diberi obat penyesat pikiran apa? kata Yak-bwe. Ia tidak percaya bahwa Khik-sia dapat dikalahkan Tiau-ing, kecuali dengan diberi minum obat pemunah tenaga. Karena hadirin gempar dengan berita itu sampai-sampai diri Se-kiat tak mendapat perhatian. Se-kiat, bagus sekali isteri yang kau ambil itu! Hm, seorang isteri demikian tak usah kau pedulikan lagi! Selesaikanlah urusanmu di sini, baru kita nanti membuat pembersihan, kata Bo Jong-long berkata dengan hati pedih. Benak Se-kiat kosong melompong. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kegemparan hadirin dan kata-kata pamannya tadi, tak didengarnya lagi. Bo Se-kiat, urusan busuk perempuanmu itu, uruslah sendiri. Itu tak ada sangkut pautnya dengan kami. Sekarang semua saudara menanti sepatah perkataanmu. Apakah kau masih punya muka menjadi bengcu lagi? Kau mau menghaturkan maaf atau tidak? tiba-tiba Shin Thian- hiong berseru. Perlahan-lahan Se-kiat berjalan ke tengah lapangan. Dalam hatinya ia tertawa pahit: Seutas benang mengikat dua ekor semut. Melihat akhirnya aku bangkrut, ia lantas minggat dengan lain lelaki. Langkah Se-kiat itu diikuti mata segenap hadirin. Mereka kira Se-kiat tentu akan mengakui kesalahan. Tiba-tiba Se-kiat berhenti. Di sebelah tempat ia berhenti tampak In-nio berdiri di samping Bik-hu. Kedua anak muda itu tengah berbisik-bisik dengan mesranya. Hati Se-kiat seperti diiris sembilu. Jika tempo hari aku tak salah langkah, bukantah aku dengan In-nio merupakan pasangan yang ideal dalam dunia persilatan? Hm, aku yang memperalat Tiau-ing atau Tiau-ing yang memperalat diriku? Saat ini mungkin sudah tak ada tempat bagiku di dalam hati In-nio. Hatinya sudah terisi
Bik-hu, keluhnya dalam batin. Ia coba memandang lekat tapi In-nio dan Bik-hu makin merapatkan diri. Sekonyong-konyong berserulah ia dengan keras: Set yang kujalankan ternyata salah. Satu set salah, semua-semuanya hancur. Apalagi yang kuharap! - Ia cabut pedang dan ditusukkan sekuatkuatnya ke dadanya sendiri .... Kejadian itu sungguh tak tersangka-sangka. Bo Jong-long terbeliak kaget, tapi tak keburu mencegah. Paling-paling ia hanya menghampiri, menutuk darah Se-kiat supaya berhenti. Tapi untuk menyelamatkan jiwa keponakannya itu terang tak mungkin. Pedang telah masuk separuh ke dalam dadanya. Memang kalau menimbang kesalahannya, Se-kiat pantas menerima hukuman itu. Tapi biar bagaimana, ikatan batin antara paman dengan keponakan itu masih ada. Bo Jong-long sedih sekali. Sejak kecil anak ini sudah ditinggal ayah bundanya, untung ia berotak cerdas dan berbakat bagus. Ah, tak nyana ia harus mengakhiri hidupnya secara begini rupa. Kesemuanya itu karena aku tak mampu mendidiknya dengan sempurna, batinnya berkata sendiri. Dengan menelan air matanya, Bo Jong-long membisiki ke dekat telinga Se-kiat: Apa pesanmu? Adalah karena ditutuk oleh pamannya itu, Se-kiat masih dapat bertahan hidup untuk beberapa saat. Ia gunakan saat-saat terakhir itu untuk meninggalkan pesan: Begitu anak itu lahir, ambillah anaknya, buang ibunya ... paman, kau ... aduh, aku merasa sakit sekali, tolonglah paman mem .... Baik, nak. Aku tahu maksudmu. Berangkatlah dengan tenang, sekali menutuk jalan darah kematiannya, Bo Jong-long mencabut pedang di dadanya dan seketika itu melayanglah arwah Sekiat..... Bo Jong-long menyeka air matanya, kemudian perintahkan anak buahnya supaya jenasah Sekiat diperabukan. Abunya supaya dibawa pulang ke Hu-song-to. Pun mengingat persahabatannya di masa lampau, Thiat-mo-lek turut berduka dengan kejadian itu. Tapi tak tahu ia bagaimana hendak menghibur kedukaan Bo Jong-long. Saat itu muncul dua pengawal baju kuning ke tengah lapangan. Mereka ialah pengawal yang ditugaskan Bo Jong-long untuk membawa Khik-sia dan Ping-gwan. Mereka terkesiap kaget demi melihat kawan-kawannya tengah menggotong jenasah Se-kiat. Mengapa kalian tak mengindahkan perintahku? Mana Khik-sia? tegur Bo Jong-long dengan nada berat. Nyonya muda mengatakan kalau ia disuruh tocu membawa kedua tawanan itu. Kami tak tahu kalau nyonya membohong, kata kedua pengawal itu. Kuberi waktu kalian dalam tiga tahun harus menemukan nyonya muda. Jika ia sudah melahirkan anak, bawalah anak itu saja, tak usah pedulikan nyonya muda lagi. Biar suhunya yang memberi hukuman padanya. Kedua pengawal itu heran. Tapi mereka tak berani membantah. Bo Jong-long bersuit rawan. Kepada ke-42 kepala pulau ia berseru tandas: Kamu sekalian harus ikut aku pulang dan sejak ini tak boleh datang ke Tiong-goan lagi. Thiat-mo-lek dan Gong-gong-ji menghampiri untuk mengantar keberangkatan pemimpin Husong- to itu. Kata Thiat-mo-lek: Bo-locianpwe, aku sungguh menyesal sekali .... Thiat-tayhiap, kau sudah melakukan segala apa yang kau dapat lakukan terhadap Se-kiat. Aku merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti kau. Tapi sejak saat ini mungkin aku takkan menginjak tanah Tiong-goan lagi. Gong-gong-ji maafkan. Arak kegirangan kalian berdua, terpaksa aku tak dapat turut minum. Bo Jong-long berlalu, ke-42 kepala pulau itupun mengikuti. Hasil dari rapat besar kaum loklim hari itu sungguh tak dinyana-nyana. Sudah dapat dipastikan bahwa Thiat-mo-lek bakal diangkat menjadi bengcu yang baru. Anehnya sampai saat itu Khik-sia belum kelihatan muncul. Sudah tentu sekalian orang merasa gelisah. Hai, bukantah itu Ping-gwan? Dia sudah datang! Tiba-tiba Goan-siu berseru. Ping-gwan memang berjalan ke lapangan. Pakaiannya compang-camping, badannya luka-luka dan jalannya sempoyongan. Thiat-mo-lek tergopoh-gopoh membawanya ke dalam kemah dan
mengobati lukanya. Lukaku ini tak mengapa. Yang penting kejarlah lekas siluman perempuan itu. Ia melarikan Khik-sia! kata Ping-gwan. Walaupun ia dan Khik-sia sama-sama ditutuk jalan darahnya oleh Bo Jong-long, tapi caranya mengerjakanpun berbeda. Untuk Khik-sia yang lwekangnya lebih tinggi, Bo Jong-long gunakan cara menutuk Ciong-chiu-hwat (tutukan berat). Kalau digunakan terhadap orang yang lwekangnya lemah, Ciong-chiu-hwat itu akan mengakibatkan luka berat. Sebenarnya lwekang Ping-gwan berimbang dengan Khik-sia. Tetapi Bo Jong-long belum pernah mengetahui kepandaiannya. Dan memang Bo Jong-long pun tak bermaksud mencelakai kedua anak muda itu. Kuatir Ping-gwan tak kuat menahan, Bo Jong-long hanya gunakan ilmu tutukan biasa. Waktu diseret sampai ke kaki puncak Thiat-li-hong oleh kedua pengawal baju kuning, sebenarnya Ping-gwan sudah dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Rupanya si pengawal yang memanggulnya, tinggi kepandaiannya. Mendengar jalannya napas Ping-gwan berbeda, pengawal itu lantas meletakkan tubuh Ping-gwan untuk diperiksannya. Tapi sekonyong-konyong Ping-gwan menggembor keras. Tali yang mengikat kaki tangannya putus. Ia gunakan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim untuk melawan si pengawal. Sepuluh jurus kemudian, Ping-gwan rasakan peredaran darahnya tambah enak, tenaganya sudah pulih 5-6 bagian. Ia desak lawannya mundur lalu hendak menyerang pengawal yang membawa Khik-sia. Pengawal yang menawan Khik-sia itu kelabakan. Tahu kawannya tak mampu melawan Pinggwan, iapun hendak letakkan angkutannya (Khik-sia) untuk membantu sang kawan. Tapi pikirannya maju mundur. Kalau meletakkan tawanannya kuatir dirampas orang. Namun tidak meletakkan, ia tentu tak leluasa bertempur dengan lawan. Selagi Ping-gwan mendesak kedua pengawal dan sudah akan berhasil membebaskan Khik-sia, tiba-tiba terdengar derap kuda mendatangi. Yang datang ialah Tiau-ing. Melihat Khik-sia tak dapat berkutik, tahulah Tiau-ing bahwa anak muda itu tentu ditutuk dengan Ciong-chiu-hwat oleh Bo Jong-long. Ia girang sekali dan buru-buru minta supaya Khik-sia diserahkan padanya. Tetapi seperti yang dikatakan di atas, pengawal baju kuning dari Hu-song-to hanya menurut perintah dari Bo Jong-long saja. Sekalipun Tiau-ing yang meminta, tetap mereka tak lekas-lekas menyerahkan. Tanyanya: Apakah nyonya muda sudah mendapat ijin dari Bo tocu? Ping-gwan mempercepat serangannya. Bret, lengan baju pengawal itu kenal dibabatnya. Untung karena kuatir melukai Khik-sia, Ping-gwan tak mau turunkan serangan keras. Coba tidak, dada pengawal itu tentu sudah terbelah. Tapi adalah karena harus bertempur dengan hati-hati itu, Ping-gwan tak berhasil merampas Khik-sia. Sudah tentu paman yang menyuruh aku membawa orang itu. Kau berani banyak tanya lagi? Apakah aku tak menganggap aku sebagai nyonya tuanmu? Tiau-ing pura-pura marah besar. Pertama, karena tak berani menyangka kalau Tiau-ing berbohong. Kedua, karena rangsangan Ping-gwan, terpaksa ia serahkan Khik-sia pada Tiau-ing. Baik, sambutlah! teriaknya seraya lemparkan tubuh Khik-sia. Siluman perempuan, kau masih belum puas mencelakainya? damprat Ping-gwan dengan murka. Ia loncat menerjang tapi disambut dengan tabasan golok oleh Tiau-ing. Kedua pengawal itupun lantas menyerang Ping-gwan. Hampir saja Ping-gwan termakan golok Tiau-ing. Pada waktu ia menghindar, Tiau-ing tertawa gelak-gelak seraya menyambuti tubuh Khik-sia. Seperti mendapat pusaka berharga, Tiau-ing segera keprak kudanya dan membawa kabur Khik-sia. Karena Khik-sia sudah tak berada di situ, Ping-gwan pun tak bernafsu lagi. Setelah mendesak mundur kedua pengawal baju kuning, iapun lantas tinggalkan tempat itu. Cerita Ping-gwan itu menggelisahkan hati sekalian orang. Keparat! Akulah yang bersalah karena terlalu memanjakan budak perempuan itu, kata Shin Ci-koh. Karena tak dapat berkutik, Khik-sia tentu tak dapat berbuat apa-apa dibawa menurut kemauan
siluman wanita itu, Yak-bwe cemas. Ai, jangan kuatir, justeru karena Khik-sia tertutuk jalan darahnya, ia tentu tak kena apa-apa, In-nio tertawa. Sebenarnya yang dikuatirkan Yak-bwe ialah kalau tunangannya kena terpikat rayuan Tiau-ing. Karena isi hatinya ditebak In-nio, tersipu-sipulah wajah Yak-bwe. Wi Gwat menyatakan bahwa harus lekas-lekas dilakukan pengejaran terhadap Tiau-ing. Setelah lukanya diobati, Ping-gwan menyatakan ikut dalam pengejaran itu. Akhirnya mereka berlima membagi diri dalam tiga jurusan. Wi Gwat dan Ping-gwan, karena kepandaiannya tinggi, masingmasing berjalan seorang diri. Sedang Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu satu jurusan. Begitulah mereka berangkat ke arah timur, selatan dan barat. Diceritakan setelah menawan Khik-sia, Tiau-ing larikan kudanya secepat mungkin. Kudanya kuda pilihan hasil rampasan Se-kiat. Kekuatannya tak kalah dengan kuda pemberian Cin Siang kepada Thiat-mo-lek itu. Mendaki gunung melintasi sungai seperti di tanah datar saja. Luas area gunung Hok-gu-san itu di antara 500-an li. Karena sehari penuh terus lari nonstop, maka menjelang mahgrib Tiau-ing sudah mencapai 300 li. Dari situ memandang ke bawah, tampaklah padang datar di kaki gunung. Punya sayap sekalipun tak mungkin piauko-mu Thiat-mo-lek mengejar kemari. Baiklah malam ini kita bermalam di dalam hutan siong sini, besok pagi baru turun gunung. Tiau-ing tertawa seraya menjinjing Khik-sia ke dalam hutan pohon siong. Walaupun tak dapat berkutik, tapi pikiran Khik-sia masih sadar. Diam-diam ia mengeluh membayangkan apa tindakan yang akan dilakukan Tiau-ing nanti. Di dalam hutan masih terdapat gundukan salju yang belum lumer. Ditingkah cahaya rembulan, tampaklah seperti permadani putih bertebar di bumi. Tampak Tiau-ing kerutkan alis. Wajahnya yang tengah merenungkan sesuatu, memancarkan mimik seperti minta dikasihani. Khik-sia meramkan matanya. Tak mau ia memandang wanita itu. Pikirnya: Apa yang hendak dibicarakannya? Sayang seorang wanita yang secantik itu, mempunyai hati yang culas. Kedengaran Tiau-ing menghela napas dan berkata seorang diri: Se-kiat, bukannya aku bermaksud mengkhianatimu, tetapi kau harus mengerti dan memaafkan kegelisahan hatiku. Heran Khik-sia dibuatnya. Nyata-nyata Tiau-ing masih merindukan suaminya. Tapi Se-kiat toh sedang menghadapi saat-saat yang menentukan nasibnya. Mengapa bukannya mendampingi sang suami sebaliknya wanita itu menculiknya (Khik-sia) ke tempat jauh? Terdengar derap kaki makin menjauh. Karena herannya Khik-sia membuka mata. Ai, ternyata Tiau-ing pergi. Apa artinya ini? Apakah ia hendak berolol-olok padaku? ia makin heran. Khik-sia diam-diam salurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya. Tetapi tutukan Bo Jonglong memang istimewa benar. Walaupun lwekang sudah dapat menyalur tetapi jalan darahnya yang tertutuk masih tetap belum dapat terbuka. Sampai sekian lama Khik-sia berusaha sekuat-kuatnya. Pada saat ia sudah hampir berhasil, tiba-tiba terdengar derap kaki menghampiri. Tiau-ing muncul dengan menjinjing sebuah kantong kulit. Ujung goloknya berhias dua ekor ayam hutan. Kiranya tadi ia pergi berburu. Sayang! Kalau jalan darahku belum terbuka ia tentu tak mau melepaskan, diam-diam Khiksia menyumpahi. Sehari penuh kau tak minum tak makan, tentu lapar. Minumlah dulu air ini, nanti kupanggangkan ayam hutan untuk makanmu, kata Tiau-ing dengan nada lembut. Dalam hati Khik-sia menolak tapi karena jalan darahnya masih tertutuk, terpaksa ia biarkan saja. Tiau-ing membuka kantong kulit yang ternyata berisi air jernih. Sekali memijat pipi Khik- sia sehingga mulutnya ternganga, Tiau-ing lantas mencurahkan air itu ke dalam mulut si anak muda. Khik-sia gelagapan. Darahnya merangsang keras dan .... terbukalah jalan darahnya yang tertutuk itu. Cepat ia gunakan ginkang, lari menghampiri kuda. Tapi baru beberapa langkah, tibatiba kepalanya terasa puyeng, kakinya lentuk dan napasnya terengah-engah. Tiau-ing cepat melesat datang. Sekali mendorong pelahan-lahan saja, rubuhlah Khik-sia ke tanah. Beristirahatlah, kau sudah tak dapat bertenaga lagi, Tiau-ing tertawa. Khik-sia kaget bercampur marah. Ia berusaha bangkit dan memaki: Kau, kau siluman wanita
hendak mengapakan diriku? Tiau-ing menekan pundak Khik-sia dan terkulailah anak muda itu. Tidak apa-apa, aku hanya menaruh Soh-kut-san (obat pelunak tulang) dalam air tadi. Masih ingat tempo hari kau pernah kutawan berkat bantuan Soh-kut-san? Tetapi kali ini aku berjanji tak gampang-gampang memberi obat penawarnya. Su Tiau-ing, mengapa kau selalu hendak mencelakai diriku? teriak Khik-sia dengan murka. Suamiku mati di tanganmu. Apakah tak layak kau menerima sedikit siksaan dariku? Bagaimana kau tahu suamimu sudah mati? Toh sejak pagi-pagi kau sudah melarikan aku. Terang kau tak hadir dalam rapat itu! Terus terang kuberitahukan padamu bahwa pamannya Se-kiat itu sudah tak mau membantunya lagi, jawab Tiau-ing. Tapi toh belum pasti kalau suamimu tentu meninggal. Aku tahu bagaimana rencana piauko-ku Thiat-mo-lek. Dia hanya bermaksud supaya suamimu sadar akan kesalahannya. Sekali-kali tidak menghendaki jiwanya. Andaikata suamimu berkeras kepala, toh paling-paling hanya dicopot dari kedudukannya sebagai bengcu saja. Siapa bilang Thiat piauko mau membunuh suamimu? Tiau-ing menghela napas: Kau hanya tahu tentang rencana piauko-mu tetapi tak tahu bagaimana watak suamiku. Sebagai seorang yang berhati tinggi mana dia mau menerima hinaan semacam itu? Kurasa saat ini dia tentu sudah bunuh diri! He, he, tahukah kau sekarang apa sebabnya kutawan kau kemari? Khik-sia seram dengan nada tertawa Tiau-ing: Mau apa kau? Apa mau membunuh aku sebagai balas dendam kematian suamimu? tanyanya. Sahut Tiau-ing dingin: Sekalipun Se-kiat tidak langsung mati di tanganmu, tapi sebagian besar kaulah yang menjadi gara-gara. Tetapi aku tak mau membunuhmu. Aku menginginkan supaya kau menemani aku! Bunuhlah aku saja! teriak Khik-sia seperti orang kalap. Tiau-ing memberi sebuah kicupan mata yang mengasih. Tertawalah ia: Khik-sia, apa kau kira karena teringat akan hubungan kita yang lampau, aku lantas tak sampai hati membunuhmu? Tidak! Aku menikah dengan Se-kiat dan akupun berusaha untuk menjadi isterinya yang baik. Tindakanku sekarang ini, kesemuanya demi untuk kepentingan Se-kiat. Tak mengerti Khik-sia kemana jatuhnya perkataan nona itu. Tapi diam-diam ia berjanji dalam hati, kalau Tiau-ing benar-benar berbuat untuk kepentingan suaminya, ia bersedia memaafkan wanita itu. Tapi ai sangsi itikad baik Tiau-ing. Apa maksudmu, aku masih belum mengerti? tanyanya. Wajah Tiau-ing memerah, ujarnya: Ya, aku terpaksa tak malu-malu lagi kepadamu. Di dalam perutku sekarang ini terisi anak Se-kiat yang baru berumur tiga bulan. Kutahu kamu semua membenci diriku. Suhuku, suhengmu, Thiat-mo-lek, Hong-git Wi Gwat dan kawan-kawanmu semua ingin membunuh aku .... Tidak, jika mereka tahu kau sedang mengandung tentu takkan membunuhmu, buru-buru Khik-sia menyatakan! Tiau-ing tertawa tawar: Aku tak percaya pada siapa saja. Kau kira sepatah katamu tadi dapat menjamin jiwaku. Dan dengan begitu karena percaya pada ucapanmu aku lantas melepaskanmu? Tidak, bagiku satu-satunya jaminan untuk melindungi jiwaku ialah dengan menawan dirimu! Khik-sia mengeluh dalam hati: Karena wataknya ganas, ia tentu banyak curiga. Ia mengukur orang lain menurut ukuran hatinya sendiri. Untuk menyakinkan wanita ini, tentu akan makan waktu lama. Khik-sia, tiba-tiba Tiau-ing berkata pula, aku terpaksa meminta pengorbananmu. Kau harus menemani aku. Kau tentu sudah bagaimana kelihayan obat Soh-kut-san itu. Jika tak mendapat obat penawarnya, dalam waktu sebulan kau akan mati secara pelahan. Tetapi dengan ikut padaku, setiap setengah bulan, akan kuberimu separuh pil penawar agar jiwamu lebih panjang. Kau tak bisa gunakan ilmu silatmu lagi tapi kau masih tetap mempunyai tenaga untuk menemani barang kemana aku pergi. Kelak apabila anakku sudah berumur tiga tahun baru akan kuberimu kebebasan penuh untuk pulang menemui tunanganmu nona Su. Kawan-kawanmu tentu tak berani membunuh aku.
He, he, jika mereka sampai berbuat yang tidak-tidak, kaulah yang akan kubunuh dulu. Kuberjanji setelah anakku berumur tiga tahu, kau tentu akan kusembuhkan. Pada waktu itu jika kau hendak membunuh aku karena mendendam atas perbuatanku itu, akupun tak keberatan. Ah, tak usah kau berbuat begitu. Jika Se-kiat benar sudah mati, asalkan bertobat dan kembali ke jalan yang benar, mengasuh anakmu dengan baik-baik sebagai seorang ibu yang bijaksana, mereka tentu takkan mendendam padamu, kata Khik-sia. Bagus, jika kau masih simpati dan kasihan padaku. Kuminta kau lakukan sebuah hal bagiku. Apa? Selama dalam perjalanan kau harus menggunakan sebutan suami-isteri padaku, kata Tiau-ing. Kau gila! teriak Khik-sia. Ai, kau memang buta perasaan. Coba pikirlah. Seorang pria dan seorang wanita bersamasama dalam perjalanan. Terus terang saja aku tak dapat membiarkan kau berjalan terpisah jauh-jauh dariku. Di waktu bermalam di hotel, kita harus tinggal sekamar. Jika tidak memakai sebutan suami isteri, apakah tidak akan menimbulkan kecurigaan orang? Nyata hati Tiau-ing gundah sekali. Memang benar rencana menawan Khik-sia itu untuk menajmin keselamatan dirinya dan calon bayinya. Tetapi pun rasa cintanya terhadap Khik-sia nyata belum padam. Bahwa mulutnya selalu menekankan kalau perbuatannya diperuntukkan kepentingan Se-kiat, itu hanya untuk menghilangkan kecurigaan Khik-sia saja. Jangan, jangan! Bagaimanapun juga, aku tak mau berbahasa suami-isteri dengan kau! Khiksia merah mukanya. Sekonyong-konyong terdengar orang tertawa geli dan berseru: Nona Su, kalau budak itu tak mau menjadi suamimu, biarlah aku yang mewakili! Sebuah bayangan loncat dari atas pohon. Kepalanya lancip, pipi tirus seperti monyet. Ai, kiranya Ceng-ceng-ji. Kunyuk tua, kau berani kurang ajar terhadap aku? Tiau-ing marah. Toh kau mencuri suami? Pura-pura atau suami sesungguhnya, aku bersedia melamar, sahut Ceng-ceng-ji. Begitulah manusia yang mengaku bersahabat baik dengan Se-kiat? Cis, tak tahu malu! damprat Tiau-ing. Ceng-ceng-ji, muka suhu telah kau lumuri kotoran. Mengapa kau berani menghina seorang wanita yang tengah hamil? Jika toa-suheng tahu, pasti dia akan mencabut tulangmu, dan membeset kulitmu! Khik-sia turut memaki. Huh, jiwamu sekarang berada di tanganku, masih berani membacot! sahut Ceng-ceng-ji. Khik-sia tak berdaya. Sekali Ceng-ceng-ji menutuk jalan darah pembisunya, iapun tak dapat bersuara lagi. Sehabis itu Ceng-ceng-ji berpaling dan tertawa meringis: Nyonya Bo, sia-sia saja kau paksa budak itu menjadi suamimu. Hm, hm, mengapa begitu jerih payah? Kau bukan wanita terhormat, akupun bukan lelaki baik. Setali tiga uang , cocok! Mengkal dan murkan sekali Tiau-ing. Biarpun ia banyak akal, tapi pada saat itu ia belum dapat menemukan akal untuk menghadapi Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji terbahak-bahak: Apakah karena budak itu berparas cakap dan aku jelek, kau lantas menampik aku? Jangan ngaco belo! Kutawan dia karena untuk barang tanggungan. Ah, paman Ceng-ceng, peribahasa mengatakan: asal masih ada sinar matahari, kemudian hari tentu dapat bertemu lagi. Harap kau lepaskan tangan, siapa tahu kelak kemudian hari kita masih dapat bekerja sama, kata Tiau-ing. Itulah baru pantas. Baiklah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh. Aku tak menjadi suamimu, tak apa. Tetapi budak itu harus diserahkan padaku. Tiau-ing terperanjat: Apa? Kau mau membawanya? Kiranya kau juga menaruh minat padanya! Benar, memang ucapan budak itu benar. Aku memang takut ancaman Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh, maka aku hendak mengambilnya sebagai barang tanggungan. Nanti dulu, paman Ceng-ceng. Mari kita berunding lagi, buru-buru Tiau-ing menyusuli kataKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ kata. Berunding apa? Apa kau suka pura-pura menajdi suami-isteri dengan aku? Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia menawarkan untuk bersama-sama membawa Khik-sia. Ia insyaf kepandaiannya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Walaupun tak senang tetapi ia terpaksa gunakan siasat begitu. Atas pertanyaan Ceng-ceng-ji kemana rencana Tiau-ing hendak membawa Khik-sia nanti, Tiauing mengatakan: Aku hendak mencari suhuku yang satunya Hoan Gong hwatsu. Hoang Gong hwatsu adalah kepala biara Ogemi di Cenghay. Dahulu waktu tentara Su Su-bing berpangkalan di Cenghay, dia bersekutu dengan paderi itu. Hoan Gong hwatsu suka akan kecerdikan Tiau-ing dan mengambilnya sebagai murid luar biasa. Yaitu tidak seperti hubungan guru dan murid pada umumnya. Walaupun ilmu silat Hoan Gong hwatsu tinggi, tapi karena Tiauing masih kecil maka tidak diajari ilmu silat. Seluruh kepandaiannya didapat dari Shin Ci-koh. Sekalipun demikian Hoan Gong tetap sayang pada Tiau-ing. Beberapa tahun yang lalu,ketika Su Tiau-gi (kakak Tiau-ing) hendak menggerakkan pemberontakan lagi, Hoan Gong pernah datang menjenguk Tiau-ing. Kala itu ketika Tiau-ing menawan Khik-sia hidup-hidup, pun dibantu oleh paderi itu. Ceng-ceng-ji pun kenal lama dengan Hoan Gon, tetapi hubungan mereka tak rapat. Ia girang dengan keterangan Tiau-ing itu. Pikirnya: Kini aku sedang keputusan jalan. Sebenarnya tujuanku hendak menggabung pada Leng Ciu siangjin. Tetapi karena tempo hari ia dikalahkan Shin Ci- koh, ia tentu tak mau menerima aku. Hoan Gong hwatsu lebih sakti, apalagi dia masih mempunyai beberapa suheng dan sute yang tak kalah lihaynya. Jika aku dapat meneduh dalam lindungannya, itulah yang paling tepat. Asal aku dapat menggenggam Khik-sia, biar Tiau-ing banyak muslihat, tapi tak usah kuatir dapat mencelakai diriku. Dari air mukanya, Tiau-ing tahu kalau Ceng-ceng-ji setuju. Diam-diam ia muak dengan tampang eng-ceng-ji, namunia tahankan hati. Ujarnya: Paman Ceng-ceng, kita bersama-sama mengamat-amati anak muda ini. Tetapi selama dalam perjalanan kau harus menurut sebuah perjanjianku. Waktu Ceng-ceng-ji menanyakan, Tiau-ing menjawab: Dalam perjalanan kita bertiga harus pura-pura satu keluarga. Terpaksa agak mencemoohkan paman Ceng-ceng sedikit. Kuminta kau menjadi seperti bujang kami. Ceng-ceng-ji memoncat kaget: Apa? Aku disuruh jadi bujang? Mengapa tak jadi suami atau sekurang-kurangnya jadi ayah saja? Telah kukatakan aku tak mau bersandiwara menjadi suami isteri denganmu. Kalau jadi ayah, ah, wajahmu terpaut jauh sekali. Cobalah berkaca, bagaimana bentuk wajahmu itu? Maka yang paling tepat, jadi bujang saja, kata Tiau-ing. Ceng-ceng-ji menggumam, belum membuka mulut Tiau-ing sudah berkata lagi: Budak itu sudah termakan obat Soh-kut-san, hanya aku yang mmepunyai obat penawarnya. Jika kau cobacoba menculiknya, tak sampai sebulan dia tentu mati tanpa sakit. Paman Ceng-ceng, aku takut hukuman suhuku dan kau takut suhengmu membunuhmu. Jadi kita senasib. Asal kita dapat memiliki anak muda itu sebagai barang tanggungan, ya sekalipun kau harus menerima sedikit cemoohan, tapi kita tentu akan selamat. Ceng-ceng-ji tergelak-gelak: Baiklah, nyonya Bo. Kau memang cerdik, aku menurut saja. Tetapi akan kau ujikan apa bocah itu? Apakah hendak kau jadikan suami tetiron? Menjadi adikku yang bisu. Setiap kali sebelum menginap di hotel, tutuklah jalan darah pembisunya. Sebagai bujang kau boleh tidur bersamanya. Bukankah baik pengaturan itu? sahut Tiau-ing. Mati hidupnya Khik-sia itu tak berarti apa-apa bagi Ceng-ceng-ji. Yang penting ia sekarang mendapat jalan bonceng Tiau-ing untuk mencari perlindungan pada Hoan Gong hwatsu. Maka dapat menyetujui rencana Tiau-ing itu. Begitulah setelah terdapat persepakatan, Ceng-ceng-ji lantas memanggul Khik-sia. Ia tertawa mengejek: Bocah bagus, bukankah ji-suhengmu memperlakukan kau baik-baik? Beberapa kali kau menghina dan memaki aku, tetapi aku teap suka merawatmu. Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi diam-diam ia terhibur juga. Dengan ikut sertanya
Ceng-ceng-ji jauh lebih baik daripada kalau menempuh perjalanan seorang diri dengan Tiau-ing. Paling tidak ia dapat terhindar dari rayuan wanita itu. Pikiran Khik-sia jadi tenang, ia pasrah pada nasib. Dengan gunakan gin-kang, Ceng-ceng-ji dapat mengimbangi lari kuda Tiau-ing. Mereka menempuh perjalanan siang malam. Setelah keluar dari daerah Hok-gu-san, mereka menuju ke Ceng-hay. Sekarang mari kita ikuti rombongan yang mencari jejak Khik-sia. Lebih dulu kita tinjau Coh Ping-gwan. Kudanya juga kuda istimewa, walaupun masih kalah dengan kuda Tiau-ing. Hanya jurusan yang diambilnya, memang tepat. Sayang jarak mereka makin lama makin terpisah jauh. Hari ketiga Ping-gwan baru keluar dari daerah Hok-gu-san. Di kaki gunung ia berpapasan dengan seorang penebang pohon. Ia mencari keterangan orang itu. Kebetulan pagi harinya ketika Tiau- ing turun gunung, penebang itu melihatnya. Ia heran melihat seorang kunyuk besar memanggul seorang pemuda, berlari mengejar seorang wanita muda yang naik kuda. Ping-gwan menduga, kunyuk yang dimaksudkan si penebang pohon itu, tentulah Ceng-ceng-ji. Ia makin gelisah dibuatnya. Hari itu ketika Ping-gwan tiba di tempat pos pemberhtian di kaki gunung, tiba-tiba ada dua penunggang kuda mencongklang datang dengan pesat sekali. Kedua penunggang itu berpakaian seperti orang asing. Ping-gwan buru-buru mengejar. Kini makin jelas. Ia terkejut girang. Kedua orang asing itu bukan lain anak buah U-bun Hong-ni yang dahulu pernah mencuri kudanya (Pinggwan dan Khik-sia). Ping-gwan teringat, Tiau-ing pernah coba merapati Hong-ni. Ia kuatir jangan-jangan wanita itu akan menggabung pada Hong-ni. Waktu ia hendak keprak kudanya mengejar, dari belakang kembali datang dua penunggang suku asing lagi. Yang satu seorang berumur 20-an tahun, berpakaian mentereng seperti bangsawan. Yang satu seorang pertengahan umur. Rupanya pengawal pemuda tadi. Kedua anak buah Hong-ni congklangkan kudanya makin keras. Pemuda mentereng berseru keras: Hai, berhentilah! Tetapi kedua anak buah Hong-ni itu malah semakin mencongklang pesat. Kurang ajar, berani membangkang perintahku! ia keprak kudanya mengejar. Kini Ping-gwan baru tahu kalau mereka itu bukan sekawanan. Ia duga pemuda itu tentu bangsawan Hwe-ki yang berpengaruh. Ia pun keprak kudanya membuntuti. Tiba di pinggir hutan, didengarnya di dalam hutan seperti ada orang bertengkar. Hai, budak yang tak tahu mati. Di mana nona majikanmu sekarang? Bilang lekas, kalau tidak tentu kucabut jiwamu! pemuda itu marah-marah. Lebih baik kami dipenggal kepala tetapi di mana tempat beradanya nona, tak dapat kukatakan padamu, sahut kedua bujang itu. Budak kurang ajar, kamu hendak berontak! teriak pemuda itu. Ya, memang kami budak tetapi hanya budak dari nona kami, bukan budak bangsamu Hwe-ki! tiba-tiba kedua bujang itu berseru keras. Pemberontak, tangkap kedua budak hina ini! seru si pemuda. Kedua bujang tadi hendak menerjang, tapi cukup dengan sebuah ingsaran tubuh, mereka menubruk angin. Kalian tak berharga bertempur dengan aku, pemuda itu tertawa menghina. Diam-diam Ping-gwan terkejut melihat gerakan si pemuda. Rubuh! sebelum kedua bujang yang terhuyung-huyung itu sempat berdiri tegak, kaki kiri si pemuda mengait dan tangan kanannya menghantam. Yang kena terkait, terjerembab jatuh. Yang kena kepukul, mendekap pinggangnya sambil berjongkok. Tahu rasa, sekarang? Jika kalian kepingin mati, nanti tentu kukirim. Ruyung kiau-pian ini dapat memecahkan dagingmu sampai busuk, coba saja kalau kalian tetap tak mau memberitahu, pemuda asing itu tertawa sinis. Bermula Ping-gwan tak mau campur tangan. Tapi demi mendengar percakapan mereka, ia tak kuat menahan kemarahannya lagi. Segera ia lari menghampiri dan berseru: Hak apa kau hendak menghina orang?
Pemuda bangsawan itu terkesiap melihat ada orang muncul dari dalam hutan. Siapa? Kau berani turut campur urusanku! bentaknya seraya ayunkan ruyung. Enyah! Ping-gwan menyambut dengan tangan kiri hendak merampas ruyung. Tetapi di luar dugaan, permainan ruyung pemuda bangsawan itu aneh sekali. Ruyung melingkar seperti naga melilit dan dari arah yang tak diduga Ping-gwan, ruyung itu menghantamnya. Terpaksa Ping- gwan gunakan gerak Poan-hong-yan-poh (naga melingkar langkah) dalam detik-detik yang berbahaya, ia rubah pukulannya menjadi gaya menutuk. Pluk, ruyung kena dipentalkan. Tapi sekalipun begitu, tak urung ujung bajunya tersabat pecah. Si pengawal maju: Siau-ong-ya, mengapa perlu meladeni bedebah itu. Biarlah hamba yang memberesinya! Siau-ong-ya artinya anak raja. Jadi pemuda itu memang benar seorang pangeran atau anak raja dari Hwe-ki. Ia mengikan dan pesan Ih-sin, pengawalnya itu supaya berhati-hati. Rupanya pangeran itu tahu Ping-gwan seorang 'berisi'. Ih-sin memang panglima kenamaan dari suku Hwe-ki. Tapi sebenarnya ia tak begitu tinggi ilmu silatnya. Melihat Ping-gwan dalam sekali gebrak saja kena disabat hancur lengan bajunya oleh junjungannya (pangeran), Ih-sin tak memandang mata padanya. Ping-gwan pura-pura mengunjukkan sebuah lubang kelemahan. Begitu Ih-sin maju, ia biarkan saja. Ih-sin seorang jago gumul (semacam judo). Begitu tangan kirinya disusupkan ke bawah siku Ping-gwan, sekali sentak tubuh Ping-gwan terangkat ke atas. Ha, ha, bedebah ini hanya.... aduh! Ih-sin mengganti ketawanya dengan jeritan mengaduh. Ternyata dengan gerak kilat, Ping-gwan mencengkeram pergelangan tangan lawan, sebelum si pangeran sempat menolong, dengan kecepatan luar biasa Ping-gwan memelintir lengan orang terus di balik tubuhnya dan dilemparkan sampai beberapa tombak jauhnya. Aduh ...! kembali Ih-sin menjerit karena tempat jatuhnya kebetulan dalam sebuah semak-semak berduri. Kaki dan tangannya dimakan duri, ia tak dapat berkutik lagi. Hai, kau orang Han, sungguh besar sekali nyalimu! Tahukah kau siapa aku? Sekalipun rajamu kalau bertemu aku tentu akan memberi hormat dengan khidmat. Tetapi kau berani melawan aku? Heh, heh, jika kau ingin merampas uang, aku suka memberimu beberapa tail perak. Dan kalau kau suka ikut padaku, itu yang paling baik lagi, kata si pangeran. Ia tak kenal siapa Ping-gwan. Dikiranya pemuda itu bangsa penyamun. Tapi diam-diam ia jeri juga akan kepandaian Ping- gwan. Ia pamerkan dirinya agar orang takut. Kemudian coba membujuknya. Aku tak peduli siapa kau ini. Mungkin lain orang takut padamu, tetapi aku tidak. Kalau kau andalkan pengaruhmu untuk menghina orang, aku tak dapat tinggal diam, sahut Ping-gwan. Pangeran itu menggumam. Dengan mimik memandang rendah ia berkata pula: Negeri Su-tho adalah negeri jajahan kami. Kedua bujang itu, orang sebawahan dari rakyat taklukanku. Hidup matinya terletak di tanganku. Mengapa kau salahkan aku menghina mereka? He, he, lucu benar. Tutup mulutmu! Aku tak kenal kalian ini tuan atau budak. Yang kuketahui, mereka berdua itu adalah sahabatku. Jika kau berani menghinanya, aku terpaksa membuatmu tak bisa tertawa nanti. Pergilah, dengar tidak? Masih pangeran itu tertawa menghina: Kau bersahabat dengan mereka? He, he, itu namanya membikin merosot hargamu sendiri. Hm, tahulah aku, mungkin nona U-bun itulah yang sebenarnya menjadi sahabatmu. Kalau benar, mau apa? Sudah jangan banyak omong, pergilah! Rupanya pangeran itu merasa cemburu, ia tertawa sinis: Oh, makanya ia selalu menyingkir dari aku. Hm, budak, aku ingin jiwamu! Dirangsang oleh rasa cemburu, rasa jeri terhadap Ping-gwan hilang seketika. Ia tak menghiraukan segala apa dan menyerang Ping-gwan dengan ruyungnya. Kali ini Ping-gwan sudah siap. Memutar tumit kakinya, ia berputar. Tapi sang pengeran mengirim lagi tiga buah hantaman ruyung. Melihat lawan pandai ilmu silat, Ping-gwan tak berani meremehkan. Iapun segera mencabut golok pusakanya. Kau iniraja atau budak, tetapi tanah orang Han sini tak mengijinkan kau berbuat sewenangwenang. Unjuk kegaranganmu di negerimu sendiri sana. Lihat golok! serunya.
Ping-gwan keluarkan permainan golok yang terdiri dari 36 jurus. Ruyung dan golok bermain dengan cepat. Di sela-sela sambaran angin, terdengar beberapa kali suara menggeletar. Punggung Ping-gwan termakan dua buah cambukan tapi ruyung si pangeranpun kena terpapas kutung tiga kali. Tiap bagian dari permainan golok Ping-gwan terdiri dari 36 jurus. Setelah selesai, lalu bagian yang kedua yang juga terdiri dari 36 jurus. Kini ruyung pangeran Hwe-ki tak mampu mengenai lawan, sebaliknya Ping-gwan berhasil memapas lagi empat kali. Dengan begitu ujung ruyug itu hilang satu meteran. Ping-gwan lanjutkan dengan bagian yang ketiga yang juga berisi 36 jurus. Dalam babak ini, dia menang angin. Si pangeran terkurung dalam sinar golok. Ruyung makin pendek makin mudah terbentur golok. Boleh dikata setiap dua jurus, Ping-gwan tentu dapat memapas beberapa inci. Waktu bagian ketiga selesai, ruyung si pangeran tinggal seperempat meter. Apa kau tetap tak mau melepaskan ruyungmu? bentak Ping-gwan seraya gunakan gigir golok menyodik siku si pangeran. Sodokan itu membuat si pangeran terpaksa lepaskan ruyungnya. Untung Ping-gwan tak mau membikin onar. Coba ia pakai mata golok, lengan si pangeran tentu sudah terpisah dari tubuhnya. Ping-gwan sarungkan goloknya dan berseru: Apa masih mau berkelahi terus? Wajah si pangeran berubah membesi. Matanya melotot memandang Ping-gwan. Tanpa menyahut ia putar tubuh dan berlalu. Saat itu Ih-sin bru berhasil keluar dari semak berduri. Ia menyongsong tuannya: Siau-ong-ya, mengapa tak memberi hukuman pada kedua bujang itu? Plak, si pangeran memberi sebuah tamparan ke pipi Ih-sin dan membentaknya: Lekas naik kuda! Kuda kedua orang Hwe-ki itu, kuda perang yang terlatih mahir. Begitu tuannya naik di punggungnya, binatang itu segera lari sepesat angin. Pangeran itu patah sebuah tulang tangannya, paling tidak dalam satu bulan ia baru dapat menggunakan ruyung lagi. Biarlah dia pergi dan kalian perlu kuberi obat, kata Ping-gwan. Tubuh kedua bujang itu berlumuran luka, untung hanya luka luar. Tampaknya mengerikan tapi sebenarnya tak berbahaya. Setelah dilumuri obat oleh Ping-gwan, luka itupun berhenti mengucurkan darah. Coh tayhiap, nona kami hendak membunuhmu. Pun kami mendapat perintah nona untuk mengepungmu. Mengapa kau balas kejahatan dengan kebaikan? kedua bujang itu terheran- heran. Ping-gwan tertawa: Sebenarnya aku tak mempunyai dendam apa-apa dengan nonamu. Peristiwa dahulu, kalian tentu mengetahui juga. Jika mencari biang keladinya, yang membunuh ayah nonamu itu adalah bangsa Hwe-ki. Kedua bujang itu entah berapa kenyangnya menerima hinaan orang Hwe-ki. Mereka mengiakan: Benar, karena tak mengerti duduk perkaranya, nona melimpahkan kesalahan padanya. Rupanya siau-ong-ya itu hendak paksa menikah dengan nonamu. Bagaimana duduk perkaranya? tanya Ping-gwan. Kedua bujang itu menghela napas: Adalah nona sendiri yang nasibnya sial, Ayah dari anjing pangeran tadi adalah paman dari raja Hwe-ki. Namanya Topace, menjabat sebagai tay-goanswe (jenderal besar) angkatan perang Hwe-ki. Dia merupakan orang yang paling berkuasa di negeri Hwe-ki. Anjing pangeran itu bernama Topayan. Dua tahun berselang ketika berburu nona telah berpapasan dengan dia. Setelah itu dia terus-terusan merayu, hendak mengambil nona jadi isterinya. Dengan alasan bahwa menurut adat istiadat Su-tho sebelum membalas dendam ayah tak dapat menikah, nona main mengulur waktu. Tahun ini ketika kerajaan Tay Tong minta bantuan pemerintah Hwe-ki untuk menindas pemberontakan, Topayan mengusahakan pamannya nona itu dapat kesempatan untuk membalaskan sakit hati ayah nona. Kemudian ia mendesak nona tinggal dalam rumahnya. Setelah sakit hati terbalas, segera lepaskan pakaian berkabung dan melangsungkan perkawinan. Nona tak sudi menerima anjuran itu. Ia menyatakan hendak melakukan permbalasan sendiri. Ia ajak kami lari ke Tay Tong. Oh, kiranya ia mencari balas padaku itu karena ada sebabnya, kata Ping-gwan.
Kedua bujang itu melanjutkan keterangannya: Tak tersangka-sangka anjing pangeran itu juga menyusul langkah kami. Ia bertekad hendak membawa pulang nona. Mendengar berita itu, nona tak berani pulang dan tak berani menemui pamannya di Tiang-an. Ia membagi rombongan pengikutnya menjadi beberapa kelompok agar anjing itu bingung mencarinya. Kami berdua sejalan tapi lacur bertemu dengan anak pangeran itu. Coh tayhiap, kali ini banyak membikin repot padamu. Kemana nonamu lari, aku perlu menemuinya, kata Ping-gwan. Kedua budak itu saling berpandangan. Beberapa jenak kemudian, baru mereka berkata: Coh tayhiap, kami berhutang jiwa padamu. Kami percaya kau tentu tak bermaksud jelek terhadap nona. Baik-, kami akan memberitahukan. Nona pergi ke tempat kepala daerah In-ge-sau-meng yang bernama Popa ong-kong (raja suku). Dia menjadi saudara angkat dari raja kita dahulu. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengan nona. Keduanya amat baik sekali seperti saudara. Ketika tanah kami diduduki bangsa Hwe-ki, Popa dan puterinya pernah sekali datang membawanya pulang. Tetapi kala itu si anak pangeran belum memaksa nona untuk menikah. Dan pemerintah Hwe-ki sedang memerlukan tenaga paman nona. Karena itu nona berat meninggalkan rumah dan terpaksa menolak. Ah, jika tahu sekrang bakal begini, itu waktu lebih baik turut Popa ong-kong saja. Tapi apakah ong-kong itu tak takut kepada pangeran Hwe-ki? tanya Ping-gwan. Waktu kecil Ping-gwan pernah ikut ayahnya ke Su-tho. Dalam perjalanan melalui daerah In- gesau- beng juga. Samar-samar ia masih ingat tempat itu. Sekalipun belum mendapat berita Khik-sia, tak apalah kalau menjenguk Siau-ni dulu. Ia sungguh kasihan sekali nasibnya, mungkin aku dapat membantu memberi penjelasan dendam sakit hati yang tak keruan ini, pikirnya. Ia ambil selamat berpisah dengan kedua bujang Hong-ni dan seorang diri menuju ke barat. In-ge-sau-meng itu terletak di sebelah barat gunung Ki-lian-san, merupakan seubah padang rumput seluas seribu li. Setelah sebulan menempuh perjalanan akhirnya tibalah Ping-gwan di daerah itu. In-ge-sau-meng ternyata merupakan desa penggembala yang primitif. Rakyat penggembala itu tiada mempunyai tempat tertentu, pun rajanya (ong-kong) juga tak punya istana tertentu, melainkan perkemahan yang selalu berpindah-pindah. Setiap perintah dibawa oleh seorang petugas berkuda. Di daerah padang rumput itu untuk beberapa hari jarang berjumpa dengan orang. Dan kalau berjumpa, orang itupun tak tahu di mana perkemahan kepala mereka. Ping-gwan tak hiraukan rintangan-rintangan itu. Dia menjelajahi padang rumput mencari Popa ong-kong. Hari itu ketika sedang berkuda, tiba-tiba ia berpapasan dengan segerombolang penunggang kuda. Ping-gwan hendak mencari keterangan tetapi beberapa penunggang kuda yang berada di bagian depan saling kejar-kejaran. Dua orang penunggang kuda lari menghampiri Pinggwan. Tiba-tiba penunggang kuda yang belakang mencambuk yang di muka. Tetapi orang yang dicambuk itu ternyata pandai sekali berkuda. Ia keprak kudanya lewat di sisi Ping-gwan. Tar, cambuk mengenai Ping-gwan. Kawan-kawannya yang berada di belakang terdiri dari pemuda dan pemudi. Mereka tertawa riuh. Seorang pemuda menyanyi: Kuda si anak laki cepat larinya, cambuk si nona keras pukulannya. Jatuh di badan sang kekasih, sakitkah hatimu? Aduh, cambukannya tak keras, tetapi kukuatir dia akan lari secepat angin. Kini baru Ping-gwan mengetahui bahwa yang mencambuknya tadi seorang gadis cantik. Gadis itu merah mukanya: Ai engkoh, aku tak sengaja mencambukmu. - Kemudian berpaling mendamprat kawan-kawannya yang beryanyi tadi: Cis, menjemukan. Sekarang toh belum saatnya bermain Kambing-liar? Simpanlah nyanyianmu nanti malam untuk Keke. Kawannya yang menyanyi itu tertawa: Kau tak suka mendengar nyanyianku, masakan aku berani menyanyikan di hadapan Pekeke? Thiau-yo atau Kambing liar, adalah permainan rakyat padang rumput. Semacam permainan menunjukkan kepandaian naik kuda dan meminang gadis. Setiap tahun baru atau malam Purnamasidhi (tanggal 15 bulan delapan) tentu diadakan permainan itu. Pemuda dan pemudi sama naik
kuda. Yang laki di depan, yang perempuan di belakang. Jika si pemuda kena dikejar, si gadis boleh mencambuk sesukanya. Memang tak adil, tapi anak muda-muda itu memang lebih senang kalau dicambuki anak gadis. Karena gadis itu tak sembarang mencambuk. Hanya pemuda pujaan hatinya yang dicambuk. Oh, apakah malam itu malam perayaan Purnama-siddhi? kata Ping-gwan. Sudah sebulan ia menempuh perjalanan sampai-sampai lupa sudah ia akan tanggal. Tapi ia ingat permainan Kambing-liar itu hanya dilakukan pada tahun baru dan pertengahan bulan delapan. Eh, engkoh ini, menilik dandananmu kau tentu bukan suku kami? Dari mana kau? tanya pemuda yang menyanyi tadi. Aku orang Han dari selatan, sahut Ping-gwan. Ia tahu bahwa rakyat In-ge-sau-meng itu ramah tamah terhadap tetamu asing. Oh, makanya kau tak tahu. Malam ini Papo ong-kong menyelenggarakan perayaan Kambingliar. Dia suruh anak-anak muda datang. Kabarnya ia hendak mencari menantu untuk puterinya Pekeke. Kuatir Ping-gwan tak mengerti, salah seorang anak muda menjelaskan lagi: Kami menyebut puteri ong-kong dengan panggilan Keke. Namanya Yangpe, puteri tunggal dari ong-kong. Rupanya anak perempuan yang mencambuk Ping-gwan tadi masih tak enak hati, ujarnya: Engkoh orang Han, sukalah menjadi tetamu kita. Dapatkah kau menyanyi lagu-lagu kami? Biarlah kuajari kau menyanyi. Gadis-gadis padang rumput memang lebih supel dan ramah. Dia tahu kalau kawan-kawannya menertawakan, tapi tak dipedulikan. Ping-gwan tertawa: Malam nanti aku hanya melihat-lihat keramaian Kambing-liar saja, tak turut main. Tetapi nyanyian kalian merdu benar, jika kau suka mengajari, sungguh menggembirakan sekali. Di dalam kawanan anak muda itu sebenarnya ada seorang yang diam-diam menaruh hati pada gadis itu. Mendengar Ping-gwan tak mau ikut main, legalah hatinya. Maka iapun ikut juga mengajar Ping-gwan bernyanyi. Demikianlah perjalanan mereka amat menggembirakan sekali. Di sepanjang jalan menyanyi riang gembira. Menjelang petang, bulanpun mulai memancarkan cahyanya. Ping-gwan mengikuti rombongan anak-anak muda itu masuk ke dalam sebuah lembah. Lembah itu penuh direntangi rumput halus dan ditaburi dengan bunga-bunga terompet warna putih. Selayang pandang, bagaikan permadani yang bertaburan mutiara. Dekat gunung sana, terdapat rumput penuh dengan pemuda pemudi yang berkuda. Malah ada sementara yang memetik alat tetabuhan, menyanyi dan menari-nari. Kita datang tepat waktunya. Terlambat sedikit saja tentu tak keburu nonton pertunjukan gumul, kata gadis yang mencambuk Ping-gwan tadi. Tari nyanyian-nyanyian, gumul dan thian-yo, adalah acara pokok dalam keramaian Purnamasiddhi itu. Setelah mengikat kudanya, Ping-gwan ikut kawanan anak muda itu memasuki lingkungan keramaian. Nona tadi membisiki: Tuh, lihatlah, cantik tidak Yangpe keke kami? Tuh, di sana. Ya, benar, memang itu. Orang tua itu adalah ong-kong suku kami. Di depan kemah yang di tengah-tengah, duduk Papo ong-kong dan puterinya. Waktu Ping-gwan memandang dengan seksama, dilihatnya puteri itu mengenakan selendang tipis dan berpakaian warna putih. Kecantikannya sungguh sukar dicari tandingannya. Engkoh orang Han, kau terpesona dengan keke kami? Tapi sayang, keke kami tak dapat menikah dengan orang Han, kata nona tadi demi melihat Ping-gwan terpikat. Padahal Ping-gwan hanya mencari-cari U-bun Hong-ni. Di antara beberapa dayang yang mengelilingi Yangpe, pun tak terdapat U-bun Hong-ni. oooooOOOOOooooo Ping-gwan putus asa, pikirnya: Jika Siau-ni berada di sini, tentu bersama puteri itu. Mengapa
ia tak kelihatan, apakah sudah pergi ke lain tempat? Jangan melamun, mari kita cari makanan, nona itu tertawa. Kiranya dalam keramaian itu selain ketiga acara pokok tadi, pun merupakan pesta ria. Di pohon-pohon digantungkan kambing-kambing kecil yang sudah dibakar dan kantong-kantong kulit berisi arak. Siapa saja boleh makan dan minum. Ping-gwan mencabut golok dan menirukan si nona mengiris daging kambing. Si nona mengambil kantong kulit, meminum seteguk lalu diberikan kepada Ping-gwan: Arak ini agak masam, apakah kau suka minum? Ping-gwan meneguk beberapa kali dan memuji enak. Tiba-tiba ia mendengar orang mendengus lirih. Ping-gwan tersirap, ia tak asing dengan nada suara itu. Buru-buru ia mendongak dan memandang ke empat penjuru. Karena kantong kulit tak disongsongkan ke atas, maka tumpahlah araknya. Buru-buru nona tadi mencekal kantong kulit, tegurnya: Kau bagaimana, kehilangan semangat? Aku, aku hendak melihat-lihat kesana, sahut Ping-gwan. Kiranya yang didengarnya tadi ialah nada suara U-bun Hong-ni. Tetapi anehnya ia tak melihat orangnya. Mau lihat apa? Jangan kemana-mana, pertandingan gumul akan segera dimulai! kata nona itu. Memang suara mudik di lapangan berhenti. Sekawanan anak muda maju ke tengah lapangan. Pertandingan gumul dimulai, semua hadirin sama menaruh perhatian. Terpaksa Ping-gwan sungkan untuk pergi. Pertandingan gumul nanti direncanakan dalam delapan pasangan. Semua jago-jago pilihan dari suku kami. Orang menduga mungkin ong-kong akan memilih sang juara untuk menjadi menantunya, kata si nona. Pertandingan dimulai. Cengkam mencangkam, banting membanting, sodok menyodik berlangsung ramai. Cara bergumul berjalan dalam gaya bebas. Namun Ping-gwan tak ada minat menontonnya. Di tempat tambatan kuda, datang sekawan kuda terdiri dari empat orang. Orang-orang tak mempedulikan siapa-siapa yang datang itu karena perhatian mereka tengah dicurahkan pada jalannya pertandingan. Pertandingan berlangsung cepat. Pada saat keempat penunggang kuda itu datang, hanya tinggal dua pasang yang bertanding. Sebaliknya Ping-gwan terperanjat sekali melihat pendatang baru-baru itu. Kiranya keempat pendatang itu adalah si pangeran Topayan, pengawalnya Ih-sin, seorang pemuda yang lebih muda dari Topayan dan seorang lelaki yang sebaya dan serupa dandanannya dengan Ih-sin. Pemuda itu sikapnya angkuh. Dia berjalan di sebelah muka bersama Topayan, sedang Ih-sin dan orang itu menggiring di belakangnya. Apakah dia juga mendengar berita dan hendak menawan Hong-ni? Biarlah, lihat saja bagaimana tindakannya nanti, Ping-gwan menimang dalam hati. Kedatangan Topayan berempat itu tak mengejutkan para hadirin. Setelah menambatkan kuda merekapun menggabung dalam kalangan penonton. Saat itu pertandingan sudah mencapai final. Dua jago pemenang sedang bergulat seru. Mereka saling mencengkau dan menjegal. Yang seorang bernama Pasan yang satu Luse. Waktu Pasan berhasil memelintir lengan lawan, Lusepun dapat mengait kaki Pasan hingga tubuhnya menjorok ke muka. Dengan begitu merek terpencar lagi. Beberapa jurus, pertandingan tetap seri. Penonton memberi tepuk sorak pujian. Entah bagaimana tahu-tahu Luse dapat menyengkelit tubuh Pasan terus dibanting ke tanah. Gerakannya mengagumkan, bantingannya menyakinkan. Sorak-sorai penonton memecah angkasa. Selagi penonton menyangka kemenangan tentu di pihak Luse, tiba-tiba terjadi adegan yang luar biasa. Ketika kepala Pasan hampir mengenai tanah, secepat kilat kepalanya menyusup ke selakang dan mencekal kaki lawan. Dengan sebuah gemboran keras, Pasan meronta sekuat-kuatnya dan tahu-tahu Luse dijumpalitkan ke atas. Luse tak mampu berkutik lagi dan terpaksa mengaku kalah. Kejadian itu membuat penonton melongo. Lain kejab terdengar sorak gegap gempita. Bagus, bagus, akupun juga ingin turut ramai-ramai ini, sekonyong-konyong sebuah seruan
melengking nyaring. Semua mata tertuju pada orang itu. Kiranya yang bersuara itu ialah pemuda kawan Topayan tadi. Ketiga kawannya mengikuti di belakangnya. Melihat pendatang itu, seketika berubahlah wajah Papo. Tersipu-sipu ia berdiri menyambut. Tengah para penonton tercengang-cengang, Papo berseru: Pangeran Topahiong berkenan datang. Maaf, hamba terlambat menyambut. Kiranya pemuda itu adik dari putera mahkota hwe-ki. Namanya Topahiong. Ayah Topayan adalah pernah pamannya. Topahiong lebih muda dua tahun dari Topayan tapi kedudukannya lebih tinggi. Maka dialah yang mempelopori maju menemui Papo ong-kong. Walaupun daerah In-ge-sau-meng itu tak diduduki pasukan kuda Hwe-ki, tapi pernah diobrakabrik. Maka walaupun para rakyat In-ge-sau-meng menghormat kedatangan anak raja itu, tetapi dalam hati mereka tak senang. Diam-diam Papo ong-kong cemas. Malam ini malam keramaian Purnama-siddi. Kudengar kau mengadakan keramaian Kambingliar, maka aku sengaja datang kemari. Jago-jagomu tadi hebat benar sampai aku tertarik untuk bermain-main dengannya, kata Topahiong. Jawab Popa ong-kong: Ini, mungkin kurang baik. Keselamatan ongcu amat berharga, kalau sampai .... Topahiong terbahak-bahak: Jangan kuatir, ong-kong. Malah aku yang kuatir dia tak mampu membanting aku. Jika dia dapat membanting aku satu kali saja, akan kuhadiahinya seratus tail emas! Habis berkata ia menghampiri ke muka Yangpe keke, memberi hormat: Telah lama kudengar kecantikan keke laksana bidadari. Setelah menyaksikan sendiri, benar-benar memang melebihi bidadari. Apabila aku beruntung menang, harap kau sudi memberi hadiah padaku. Para penonton marah melihat tingkah laku pangeran yang kurang ajar itu. Nanti kalau ongcu menang, kita bicara lagi, sahut Yangpe. Bagus, bagus, bagus! Kalau begitu segera dimulai saja, ayo kemarilah! pangeran Hwe-ki itu melagak tertawa. Biar dimarahi ong-kong, tapi aku takkan membiarkan bedebah Hwe-ki ini menghina pepe kami, diam-diam Pasan membulatkan tekad. Lalu berkata: Ongcu adalah tetamu yang terhormat, silahkan! Pasan mengira pangeran itu tentu mudah dibanting. Tapi di luar dugaan ternyata lihay sekali. Pangeran itu maju menyambar siku tangan orang. Jika kena, lengan Pasan tentu akan patah tulangnya. Pasan pentang kedua tangannya untuk mengacip lengan pangeran itu licin seperti diminyaki. Gebrak pertama tiada yang berhasil. Tapi diam-diam Pasan terperanjat. Begitulah keduanya segera mulai bergumul lagi. Ada kalanya merapat, ada kalanya terpencar. Belasan jurus, pun keduanya masih sama kuatnya. Beberapa kali tampaknya Pasan menang angin, tapi dalam detik-detik yang berbahaya Topahiong selalu dapat memecahkan ancaman lawan. Para penonton terheran-heran dan gelisah. Pasan sendiripun bingung memikirkan. Hanya Ping-gwan yang tahu rahasianya. Kiranya pangeran Hwe-ki itu memiliki ilmu silat tinggi. Pada saat menangkis serangan Pasan, Topahiong selalu gunakan lwekang melekat untuk menghapus tenaga orang dan diselingi juga dengan ilmu Kin-na-chiu (menangkap). Tapi pangeran itu juga mahir dalam ilmu gumul. Orang yang tak mengeri ilmu silat, tentu takkan mengetahui rahasia kelihayan Topahiong. Diam-diam Ping-gwan menilai. Dalam ilmu gumul terang pangeran itu tak menang dengan Pasan. Tapi ilmu silatnya lebih tinggi. Jika bertanding terus, Pasanlah yang akan kalah. Tapi pangeran itu menjadi tetamu agung dari Popa ong-kong, kalau ia (Ping-gwan) sampai menyalahinya, Popa ong-kong tentu mendapat kesukaran. Tiba-tiba Pasan mengeluarkan ilmu simpanannya. Ia turunkan tubuhnya menunggu si pangeran menyerang terus hendak disambar tumit kakinya. Tetapi ternyata kaki Topahiong itu seperti tumbuh akarnya. Pasan menindih sekuat-kuatnya tetap tak dapat menggoyangkan tubuh si pangeran. Tibatiba Topahiong balikkan tangan menyambar lengan lawan. Dengan gunakan ilmu Hun-kin-jo-kut (memelintir tulang), ia berhasil mematahkan sebuah tulang tangan Pasan. Pasan menjerit ngeri. Tahu-tahu tubuhnya diangkat Topahiong terus dibanting.....
Suku In-ge-sau-meng sama terbeliak dan buru-buru lari menolong Pasan. Mata jago itu merah, mulutnya mengeluh: Dia, dia tidak.... - Sebenarnya ia hendak mengatakan kalau Topahiong tidak menurut peraturan gumul. Tapi karena tak kuat, ia sudah pingsan. Orang-orang segera menggotongkan ke dalam kemah. Beberapa jago gumul merasa curiga tapi karena Topahiong tadi membanting dengan gaya gumul apalagi dia seorang pangeran Hwe-ki, maka merekapun tak berani membuka suara. Dengan kebanggaan, Topahiong menghadap ke muka Yangpe, ujarnya: Keke, aku berhasil menang. Sekarang hendak minta hadiah darimu. Pangeran itu ulurkan tangan terus hendak menarik Yangpe. Ongcu, berlakulah sopan sedikit! wajah Yangpe mengerut keren. Topahiong cekikikan: Keke, aku hanya akan minta kepadamu untuk menari dengan aku. Menurut peraturan kami, sehabis menang bergumul, siapa yang diminta menari dengannya, tidak boleh menolak. Bukankah adat rakyatmu juga begitu? Sekonyong-konyong Ping-gwan berbangkit, berjalan ke muka. Si nona yang pernah mencambuknya tersentak kaget: Hai, mau apa kau? Tetapi sudah kasip. Ping-gwan sudah tiba di hadapan Yangpe keke dan memberi hormat menurut adat rakyat In-ge-sau-meng. Puteri itu dongakkan kepala. Ping-gwan mengira tentu akan terkejut. Siapa tahu Yangpe tenang sekali wajahnya malah mengulum senyum dan berkata: Kau seorang Han? Apa keperluanmu? Aku akan mohon tanya kepadamu, keke. Apakah aku juga diperbolehkan ikut dalam pertandigan gumul? Siapa kau? Apakah seorang katak busuk seperti kau juga ingin makan daging angsa? bentak Topahiong serta terus menjotos punggung Ping-gwan. Ping-gwan melangkah maju selangkah hingga tinju Topahiong menemui angin. Hampir saja pangeran itu terjorok ke muka. Ping-gwan gunakan gerak langkah Su-giong-poh-hwat (langkah empat gajah) untuk menghindari. Topahiong belum menyadari kalau pemuda itu berilmu tinggi, ia kira hanya secara kebetulan saja. Setelah berdiri jejak, pangeran itu berputar tubuh hendak mnyerang lagi tapi Yangpe berkata dengan serius: Yang datang padaku, baik kaya atau hina, semua adalah tetamuku. Aku menghendaki para tetamuku sama-sama memegang peraturan, sama-sama menikmati kegembiraan pesta malam ini. Merah wajah Topahiong. Terpaksa ia telan kemarahannya. Yangpe berpaling dan berkata dengan nada riang kepada Ping-gwan: Apakah kau juga mengerti bergumul? Kau ingin bertanding dengan ongcu? Ping-gwan mengiakan: Benar, jika keke mengijinkan, aku ingin menyumbangkan tenagaku, harap keke jangan menertawakan. Aku tak meminta hadiah apa, apa, juga takkan meminta keke supaya menari dengan aku. Jika beruntung menang, aku hanya ingin bicara beberapa patah perkataan dengan keke. Kalian adalah tetamuku yang terhormat. Ongcu boleh ikut ambil bagian dalam pertandingan gumul, kaupun boleh juga. Siapa yang menang nanti, aku bersedia meluluskan permintaannya. Tapi entah apakah ongcu sudi bertanding dengan kau atau tidak? Jika ongcu tak mau, hal ini kuanggap tidak ada semua. Topahiong tersengsem dengan kecantikan Yangpe. Sudah tentu dia tak mau melepaskan kesempatan untuk menari bersama si cantik itu. Dia benci benar kepada Ping-gwan. Ingin sekali ia menghajarnya. Maka ia segera menerima: Baik, kau budak yang tak tahu diri, mari! Tetapi Topayan yang kenal pada Ping-gwan, buru-buru meneriaki: Bagus, kau juga menyelundup kemari budak! Aku justeru hendak membikin perhitungan padamu. Bagus, kalau begitu kalian berdua boleh maju bareng! sahut Ping-gwan. Kau berani menghina aku? A-yan, menyingkirlah. Carilah pacarmu sana, jangan mengganggu aku, Topahiong berseru murka. Begitu Topayan menyingkir, Topahiong segera mengerjakan Ping-gwan dengan sebuah kaitan tangan dan sodokan siku. Ping-gwan gunakan lwekang menghapus. Sebuah dorongan tangan
untuk membuyarkan kaitan lawan dan lututnya diangkat untuk menumbuk perut orang. Topahiong terkejut. Buru-buru ia kempiskan dada dan papaskan tangannya ke lutut orang. Ping-gwan putar kakinya menghindar. Dua-duanya sama tak memperoleh hasil. Dari gebrak pertama itu, kedua pihak sama tak berani memandang rendah lawannya. Setelah mundur, Topahiong maju pula. Kedua lengan dipentang setengah melingkar untuk mengancam lengan lawan. Ping-gwan tahu kalau gerakan itu disebut jurus Jong-eng-can-ki (rajawali pentang sayap). Sebuah jurus dari ilmu Toa-kin-na-chiu. Tapi gerakan itu dimainkan begitu rupa oleh Topahiong hingga tak ubah dengan gaya orang bergumul. Langkah kaki Ping-gwan lincah sekali. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan gunakan jurus Siat- koatan- pian (menggantung miring ruyung) untuk mengancam pergelangan tangan lawan. Hai, gerakan apa yang kau lakukan ini? Topahiong menggumam. Ia tekuk siku lengannya sambil condongkan tubuh ke kiri. Menghindar sambil menyerang. Jari Ping-gan meluncur di sisi, tangannya hanya terpaut setengah dim dari pergelangan tangannya. Dan kau gunakan gerak apa itu? Ping-gwan mendengus. Setelah saling merapat keduanya berpencar lagi. Jurus Siat-koa-tan-pian itu sebenarnya termasuk jurus maut dari ilmu pukulan Thian-kong-ciang dari partai Siau-lim-pay. Tapi karena dimainkan Ping-gwan secara cepat sekali, maka tampaknya seperti gaya bergumul saja. Sekalian penonton termasuk Yangpe sendiri, sama mengharap agar pangeran Hwe-ki itu dapat dirubuhkan. Jangan lagi mereka tak mengetahui bahwa gaya permainan Ping-gwan itu sebenarnya bukan ilmu bergumul, sekalipun tahu, mereka tetap menjagoi Ping-gwan. Seperti telah diterangkan di atas, Topahiong menyakinkan dengan serius ilmu bergumul. Sekalipun bukan termasuk jago kelas satu namun permainannya cukup lihay juga. Sedang Pinggwan hanya pernah belajar setengah tahun ketika ia masih kecil ikut ayahnya di Su-tho. Sudah tentu kalah mahir dengan Topahiong. Sekalipun dia juga menyusupkan ilmu lwekang dalam permainan gumulnya, tapi karena ia tak berani terlalu menonjolkan gerakan-gerakan yang bukan termasuk gumul, maka dalam pertandingan itu Topahiong-lah yang menang angin. Selagi dia mencari daya untuk merebut kemenangan tak terduga-duga tangan si pangeran dapat mendorong dan menekannya. Ping-gwan terputar hampir jatuh. Banyak di antara penonton yang berteriak tertahan. Di antaranya terdengar sebuah nada yang melengking tinggi seperti suara anak perempuan. Tak salah, memang Siau-ni! pikir Ping-gwan. Saat itu kakinya belum berdiri tegak. Mendengar lengking suara itu, otomatis ia memandang ke jurusan suara tersebut untuk mencari Hong-ni. Dengan begitu perhatiannya terpencar dan ini suatu kesempatan bagus bagi sang lawan. Topahiong cepat kaitkan ujung kakinya. Begitu Ping-gwan sempoyongan mau jatuh, ia barengi menyambar lengannya dengan ilmu Hun-kin-jo-kut. Tetapi sayang, Ping-gwan bukan Pasan, maklum Pasan tak mengerti lwekang, maka mudah diremukkan tulangnya. Sebaliknya Ping- gwan hanya merasa kesemutan lengannya tapi tak sampai terluka. Keduanya bergerak cepat sekali. Sebelumpenonton tahu apa yang terjadi, tahu-tahu Ping-gwan beerseru 'rubuh' dan entah dengan gerakan bagaimana, si pangeran Hwe-ki sudah terpelanting ke tanah. Kiranya walaupun pikirannya terpencar tadi, tapi Ping-gwan masih dapat menguasai permainannya. Begitu si pangeran maju, cepat ia menutuk jalan darah di bagian rusuk pinggangnya. Benar lwekang Topahiong cukup tinggi, tapi dalam sekejab mata mana ia dapat menyalurkan lwekang membuka jalan darahnya itu. Sebelumnya rakyat In-ge-sau-meng mengharap-harap agar pangeran Hwe-ki itu terbanting. Mereka siap dengan sorak sorai bergembira. Tapi demi pangeran itu menggeletak di tanah tak berkutik, penonton sama menjerit dan pucat wajahnya. Kalau pangeran itu sampai mati, celakalah rakyat In-ge-sau-meng nanti! Topayan juga terkejut sekali. Pikirnya setelah pertandingan selesai, ia segera mencari Hong-ni. Tapi kini terpaksa ia harus menolongi saudara sepupunya itu dulu. Sebagai seorang yang mengerti silat, tahulah ia kalau Topahiong kena tertutuk jalan darahnya. Ia segera memijat jalan darah
pembukanya. Berbareng itu Topahiongpun kerahkan lwekangnya. Ai.... Topahiong berteriak lega. Tapi karena tutukan Ping-gwan tadi menggunakan Ciongchiu- tiam-hiat (tutukan keras), sekalipun jalan darahnya sudah terbuka namun peredaran darahnya masih belum lancar. Untuk sesaat pengeran itu masih belum dapat bicara. Tetapi karena nyata pangeran itu masih hidup, kini hilanglah kegelisahan rakyat In-ge-saumeng. Sebaliknya mereka tengah memberi pernyataan dukungan kepada Ping-gwan. Dalam bertanding gumul, sudah tentu ada yang menang ada yang kalah. Yang kalah harus menyalahkan dirinya sendiri mengapa tak becus. Jangan menyalahkan siapa-siapa! - Dalam gelanggang pertandingan, tak ada perbedaan diapa kaya siapa hina. Mana boleh mengandalkan pengaruh untuk menghukum lawan! Demikian sana sini terdengar ucapan-ucapan yang membela Ping-gwan, sebaliknya menyalahkan dan mengejek Topahiong. Tiba-tiba Yangpe berbangkit: Tetamu agung tak kena apa-apa, tak usah saudara hadirin gelisah. Sekarang permainan thiau-yo dimulai! Seekor kuda lari keluar dari sebuah kemah. Setelah memberi pengumuman, Yangpe pun loncat ke kudanya dan mengejar penunggang kuda itu. Melihat Yangpe mengejar seorang pemuda sambil membawa cambuk, sekalian orang menjadi terkesiap. Beberapa pemuda diam-diam putus asa. Ah, kiranya keke sudah punya pilihan! Tetapi mata Ping-gwan yang celi segera mengetahui bahwa pemuda yang dikejar Yangpe itu bukan lain U-bun Hong-ni dalam penyaruan sebagai seorang pemuda. Kawanan gadis sama naik kuda mengejar pemuda yang disetujuinya. Dalam kekacauan itu Ping-gwan pun juga loncat ke atas kudanya dan mencongklang keluar lembah menuju ke padang rumput. Rakyat In-ge-sau-meng segan mengganggu keke mereka yang tengah mengadakan rendervouz (pertemuan) dengan sang kekasih. Mereka sama bubaran mencari tempat sendiri-sendiri. Kini tinggal Ping-gwan seorang diri yang larikan kudanya mengejar Yangpe. Perlu apa kau mengejar kemari? tegur Hong-ni dengan alis mengerut. Aku hendak menyampaikan berita padamu. Urusanmu, aku sudah tahu semua. Tempo hari aku berpapasan dengan dua bujangmu.... Akupun tahu tindakanmu menghalau Topayang, menolong bujangku itu, tukas Hong-ni. Aku hendak menyampaikan berita, siapa tahu mereka sudah datang kemari. Siau-ni, bagaimana rencanamu hendak menghadapi hal itu? Urusanku, tak perlu kau urus. Kau sudah menyampaikan berita, silahkan pergi. Ping-gwan tak menyangka kalau nona itu sedemikian dingin kepadanya. Letikan api asmara yang baru mulai timbul hatinya, telah disiram air dingin oleh nona itu, Ping-gwan tegak seperti patung tak tahu apa yang harus dilakukan. Siau-ni, kau yang salah. Orang datang dari ribuan li jauhnya dengan membawa itikad baik. Sebaliknya tanpa mengucapkan sepatah terima kasih kau malah mengusirnya. Mana ada aturan begitu macam? Coh tayhiap, atas pertolonganmu kepadaku tadi, terimalah pernyataan terima kasihku, kata Yangpe. Hati Ping-gwan menjadi tawar, ujarnya: Siau-ni, aku sudah berterima kasih kalau kau sudah batalkan niatmu membunuh aku. Mana aku berani mengharap lebih banyak untuk menjadi kawanmu? Baik, selamat tinggal Siau-ni! Air mata mulai mengembang di sudut pelaput Hong-ni. Pada lain saat pecahlah tangisnya. Ping-gwan tertegun dan buru-buru berputar diri. Siau-ni, jangan menangis. Kalau ada omongan silahkan mengatakan! Hong-ni menghapus air matanya. Dengan terisak-isak ia bertanya: Coh toako, mengapa kau begitu baik kepadaku? Bukankah kita berkawan sejak kecil? Kalau kau mendapat hinaan orang, bagaimana aku bisa tinggal diam saja? Berkata Hong-ni dengan nada rawan: Coh toako, kau balas kejahatan dengan kebaikan. Dari tempat ribuan li jauhnya kau perlu menyampaikan berita padaku. Sebenarnya akupun merasa
berterima kasih. Tapi apa daya aku telah minum arak darah di hadapan arwah ayahku.... Ai, lagi-lagi kau begitu, Siau-ni, buru-buru Yangpe menyelutuk, Bukankah sudah berkalikali kukatakan kepadamu? Mengapa kau tetap limbung saja? Ayahmu belum tentu terbunuh oleh ayahnya. Taruh kata dalam kekacauan pertempuran kala itu, tak sengaja ayahmu terluka, keterangan Coh siangkong ini benar sekali. Pada hakekatnya, orang Hwe-kilah yang menjadi garagaranya! Yangpe seperti saudara dengan Hong-ni. Hong-ni telah menceritakan apa kata Ping-gwan kepadanya. Hong-ni diam saja. Kata Yangpe pula: Dan aku masih menaruh kecurigaan. Jangan-jangan ayahmu itu telah dicelakai sendiri oleh orang Hwe-ki. Pertempuran itu dilakukan pada malam yang gelap. Pasukan berkuda Hwe-ki membantu ayahmu. Dalam rencana orang Hwe-ki untuk melenyapkan negerimu, ayahmu dianggap sebagai perintangnya yang besar. Maka dengan menggunakan kesempatan itu, dengan sebuah anak panah saja, bukankah cukup untuk membinasakan ayahmu? Ai, benar! Mengapa aku tak memikir sampai di situ? Itu namanya siasat 'sekali tepuk dua lalat'. Mereka dapat menghilangkan perintang, pula dapat menyuruh rakyat Su-tho benci kepada orang Han, seru Ping-gwan. Kuharap mudah-mudahan begitu. Tetapi sekalipun tidak begitu sejak ini aku takkan menganggapmu sebagai musuh. Ai, aku tak hiraukan segala bisak-bisik orang lagi. Terima kasih, Coh toako, akhirnya Hong-ni memberi pernyataan dan berjabatan tangan. Lama nian tangan mereka saling merapat, hati berdebar. Yangpe menutupi mulutnya yang tertawa seraya menyingkir ke samping. Siau-ni, bagaimana rencanamu menghadapi siau-ong-ya? tanya Ping-gwan. Aku dikejar-kejarnya sampai bingung lari kemana? Entah tak tahu bagaimana untuk menghadapi dia. Coh toako, maukah kau memberi petunjuk? Memang, bersembunyi bukan cara yang baik. Cara yang manjur ialah mengenyahkan orang Hwe-ki dari negerimu, sahut Ping-gwan. Ini.... hem, tidakkah kau mengetahui bahwa negeriku Su-tho itu kecil? Bagaimana dapat melawan Hwe-ki? Berapa jumlah tentara Hwe-ki yang menduduki Su-tho? tanya Ping-gwan. Tiga ribu pasukan berkuda! Berapa banyak orang lelaki rakyatmu yang dapat berperang? tanya Ping-gwan pula. Hanya 30-an ribu. Wanita kamipun bisa berperang tetapi total jenderal semua hanya berjumlah 50-an ribu. Hanya 50-an ribu? Hm, bukankah itu sudah hampir dua puluh kali lipat dari tentara musuh? Ping-gwan tertawa. Tetapi Hwe-ki dapat mendatangkan bala bantuan dari Se-gak. Jika pasukan berkuda mereka melanda dari negeri tetangga, kita pasti hancur! Ping-gwan membuat beberapa puluh lingkaran di tanah, ujarnya: Sekalipun tentara berkuda Hwe-ki itu pandai berperang tapi mereka terpencar di beberapa negara. Berarti kekuatan mereka tersebar di mana-mana. Jika negeri-negeri di daerah Se-gak mau bersatu padu, apa susahnya menghancurkan musuh? kata Ping-gwan. Dikuatirkan tak mudah untuk mempersatukan mereka, sahut Hong-ni. Tetapi rakyat daerah Se-gak mana yang sudi negerinya dijajah orang! Asalkan kalian mempelopori perlawanan itu, masing-masing negeri tentu akan memberi reaksi. Kirimlah utusan untuk menghubungi negeri-negeri itu, Ping-gwan memberi usul positif. Hong-ni menghela napas: Memang bagus sekali usulmu itu. Tetapi, ai, dengan kekuatan apa kita mengadakan perlawanan? Bukankah pamanmu sekarang sedang menjabat panglima pendudukan di Tiang-an? Jika kau dapat mempengaruhinya supaya memberontak terhadap Hwe-ki, membangun negara Su-tho. Kurasa hal itu mengontungkan Tay Tong dan Hwe-ki. Hong-ni membelalakan matanya, kemudian berkata dengan rawan: Ah, pamanku itu sudah
seperti dikenakan tahanan oleh orang Hwe-ki. Panglima besar Topace adalah ayahnya Topayan si bangsat itu. Kemarin lusa bujangku datang memberi laporan, Topace telah memberi perintah supaya kau pulang dan menikah dengan anaknya. Kalau aku menurut, barulah pamanku dibebaskan. Baik, marilah kita sekarang pulang, tiba-tiba Ping-gwan berkata. Pulang kemana? Kepada Popa ong-kong sana. Kita tawan Topahiong dan Topayan untuk ditukarkan dengan pamanmu, sahut Ping-gwan. Yangpe keke segera menyatakan hendak memanggil pemuda-pemuda yang turut dalam keramaian Thiau-yo itu supaya membantu tangkap kedua pangeran itu. Tetapi Ping-gwan menolak: Lebih baik jangan ramai-ramai. Mereka toh hanya berjumlah empat orang, tak usah pakai sekian banyak tenaga. Waktu mereka hendak naik kuda, tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda riuh mendatangi dan di sana Topahiong berseru sekeras-kerasnya: Jangan kasih mereka lolos! Menurut perhitungan paling tidak satu jam anak raja Topahiong itu baru dapat sembuh dari tutukan tadi. Tak nyana ternyata lwekang dari Topahiong yang berasal dari aliran Tibet itu, hebat sekali. Walaupun tak sesakti dengan lwekang persilatan Tiong-goan, tapi dalam hal membuka jalan darah memang mempunyai kegunaan yang khas. Apalagi dibantu diurut-urut oleh Topayan. Belum setengah jam pangeran itu sudah pulih dan segera melakukan pengejaran. Kalau menurut rencana Yangpe yang hendak mengerahkan rakyatnya untuk menangkap pangeran-pangrean itu, tentulah mudah terlaksana. Tapi sekarang situasinya berubah. Yang hendak ditangkap malah mau menangkap. Kekuatan mereka pun lebih besar. Namun Ping-gwan tak jeri. Ia membisiki Hong-ni supaya melindungi keke. Kemudian ia cabut gan-ling-to dan maju menyongsong musuh. Kuda tunggangan Topahiong paling hebat. Dialah yang lebih dahulu datang menyerang. Dengan menggerung keras Ping-gwan putar goloknya membabat kaki kuda lawan. Tetapi kuda yang terlatih baik itu melonjak ke atas melampaui kepala Ping-gwan. Ping-gwan luput membabat kaki terus tusukkan ujung goloknya ke perut kuda. Kuda rubuh, penunggangnyapun terbanting. Pengawalnya yang bernama Utotong berteriak: Jangan melukai junjunganku! - Ia loncat dari kudanya terus menombak Ping-gwan. Dia adalah ko-chiu nomor dua di negeri Hwe-ki. Tombaknya laksana naga keluar dari laut atau harimau tinggalkan sarang. Permainan ilmu golok Ping-gwan yang terdiri dari 36 jurus, dapat ditangkis dengan baik oleh tombak Utotong. Keduanya sama menahan kesakitan dari tangannya yang linu. Topahiong loncat bangun, tertawa keras: Hai, kalian berdua nona, kawinlah dengan kami berdua saudara! Yangpe keke, tak usah kau pulang. Nanti pada hari perkawinan kita baru kusuruh menjemput ayahmu. Alis keke mengerut naik saking murkanya. Ia memaki: Bangsat kecil, kau berani menghina aku di daerahku sini! Kembali Topahiong tertawa: Biar kau puteri ong-kong, tapi akupun akan raja Hwe-ki. Kau jadi isteriku, sudah sepantasnya, masakan kau anggap menghina? Jangan menghina taciku! bentak Hong-ni yang terus menusuk punggung putera raja itu. Topayan yang sudah tiba, ayunkan cambuknya untuk menghalangi Hong-ni. Siau-ni, kali ini kau tak nanti mampu lari. Mari, ikut aku saja pulang, kata pangeran itu. Gerakan cambuk pangeran itu membuat lingkaran seluas beberapa tombak. Hong-ni gunakan ginkang untuk berlincahan menghindar kian kemari. Yang satu naik kuda, yang lain jalan kaki. Cambuk lawan pedang. Memang cambuk si pangeran tak mungkin dapat melibat pedang Hong- ni, tapi Hong-ni pun tak berdaya untuk menolong Yangpe. Pada saat Topahiong akan berhasil mengudak Yangpe, tiba-tiba Ping-gwan tinggalkan Utotong terus lari memburu si anak raja. Karena kalah dalam ilmu gin-kang, Utotong tak dapat mengejar Ping-gwan. Ia lontarkan saja sebatang hui-ja (garu terbang). Bagus! tanpa berpaling, Ping-gwan balikkan tangan menyambuti hui-ja itu terus dilemparkan
ke arah Topayan. Topayan sudah pernah merasakan kelihayan Ping-gwan. Ia tak berani menyambuti lemparan itu. Buru-buru ia gunakan gerak Teng-li-ciang-sim, berjumpalitan ke bawah perut kuda. Hui-ja melayang di atas punggung kuda, sedang Topayanpun jatuh ke tanah. Hong-ni cepat menghampiri dengan sebuah tabasan. Karena tak sempat loncat bangun, terpaksa Topayan gerakkan cambuknya untuk menangkis. Saat itu jika Ping-gwan memburu dengan mudah ia tentu dapat menghabisi jiwa pangeran itu. Tapi kala itu Topahiong sudah dekat sekali dengan Yangpe keke. Apa boleh buat, terpaksa Pinggwan harus menolong keke itu lebih dulu. Siau-ni, hadapilah dia dulu! mulutnya berseru, kakinya sudah bergerak dalam Pat-poh-kamsian (delapan langkah memburu tenggoret). Belum habis kumandang ucapannya, Ping-gwan sudah melesat di belakang Topahiong. Topahiong tersipu-sipu menangkis serangan Ping-gwan. Benar dia kalah lihay tapi kepandaiannya tak terpaut jauh dari Ping-gwan. Dalam beberapa kejab saja Ping-gwan sudah melancarkan 18 kali tabasan dan memaksa Topahiong mundur terus-menerus. Cuma dia masih dapat menghindari tabasan. Utotong berlari-lari menghampiri dan menyerang dengan tombaknya. Dengan begitu kini Ping-gwan diserang dari muka dan belakang. Saat itu Topayanpun sudah loncat bangun dan bertempur dengan Hong-ni. Keduanya samasama tak naik kuda. Topayan lihay ilmu ruyungnya, kuat dan gagah perkasa. Hong-ni lincah permainan pedang dan gerakan tubuhnya. Kekuatan mereka berimbang. Cici, lekas larilah! dalam bertempur itu Hong-ni sempat meneriaki Yangpe. Yangpe loncat ke atas kudanya dan segera meniup terompet. Topahiong menertawakan: Pada saat orang-orangmu datang, kau tentu sudah menjadi tawananku, - Ia lempar hui-ja untuk menghantam jatuh terompet Yangpe, setelah itu mengeroyok Ping-gwan lagi. Tombak Utotong itu dapat mencapai beberapa tombak. Sedang Topahiong selalu siap memberi pukulan maka satu-satunya jalan bagi Ping-gwan ialah harus mengundurkan anak raja itu dulu baru nanti mengganyang Utotong. Sebenarnya mudah untuk merobohkan Topahiong, tapi tombak Utotong itu selalu mengancam saja. Ping-gwan menyempatkan diri untuk memandang ke sekeliling. Dilihatnya Yangpe keke berlari-larian mencari jalan lolos. Rupanya tenganya sudah lelah. Pun karena bertempur lama, tenaga Hong-ni pun makin lemah. Kini nona itu hanya dapat bertahan diri, tak mampu balas menyerang Topayan lagi. Ping-gwan makin gelisah karena ia sendiri sukar untuk lolos dari kepungan kedua lawannya. Dalam kegelisahan itu tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang menusuk telinga. Tahu-tahu si kunyuk Ceng-ceng-ji muncul. Dengan ginkangnya yang hebat, dalam bebrapa loncatan saja ia sudah dapat menyambar Yangpe untuk diserahkan pada Ih-sin. Orang she Coh, tempo hari kau beruntung lolos. Coba saja sekarang kau mampu lolos lagi atau tidak? Pangeran Topa, beruntung aku dapat memberikan jasaku. Untuk itu aku tak berani mengharap apa-apa kecuali minta perlindungan, seru Ceng-ceng-ji. Baik, jika kau dapat membunuh budak itu, akan kuangkat kau jadi pemimpin pelatih pasukan raja, sahut Topahiang. Diam-diam Ping-gwan mengeluh. Sebenarnya ia hendak mencari jejak Ceng-ceng-ji dan Tiauing, sungguh tak terduga dapat bertemu di situ. Tapi munculnya pada saat dan tempat seperti itu, sungguh tak menguntungkan Ping-gwan. Dia ambil putusan mengadu jiwa. Dengan berani ia merangsek. Setelah berhasil menghalau tombak, tiba-tiba ia balikkan tangan menyambar golok pangeran itu. Karena tak menduga sama sekali golok Topahiong kena direbut. Dan sebelum sempat menurunkan kepala, tahu-tahu pundaknya termakan ujung golok. Itu saja untung tak mengenai tenggorokannya. Sekalipun begitu, luka di pundaknya itu berat sekali. Tulangnya sampai retak. Waktu Ping-gwan hendak menyusuli tabasan lagi, Ceng-ceng-ji keburu menolong. Sekali tabas, golok Ping-gwan kutung jadi dua. Ih-sin bergegas-gegas mengangkat Topahiong yang sudah berlumuran darah, kemudian
memberinya obat penghenti darah. Anak raja itu masih muda dan sebat serta memiliki lwekang tinggi. Setelah tak ingat diri beberapa saat, iapun tersadar lagi. Kalian harus mencincang bangsat itu, aduh, aduh.... anak raja itu mengerang kesakitan. Ong-cu, jangan kuatir, tentu kubalaskan! seru Ceng-ceng-ji. Mengapa mendadak sontak Ceng-ceng-ji muncul dan minta perlindungan pada Hwe-ki? Kiranya dia telah tertipu Tiau-ing. Setelah tiba di Ogemi, dia tetap berhati-hati. Dia selalu tinggal sekamar dengan Khik-sia. Setiap makanan yang diantarkan Tiau-ing, lebih dulu ia suruh Khik- sia mencicipi baru kemudian dimakannya. Ini untuk menjaga kemungkinan Tiau-ing meracuninya. Tapi obat yang diberikan Tiau-ing kepada Khik-sia setiap bulannya, sudah tentu Ceng-ceng-ji tak dapat turut mencicipi. Justeru dalam obat itulah Tiau-ing menjalankan siasatnya. Kali itu ia mencampurkan obat penawar dari obat pembius. Begitu minum, Khik-sia tentu akan segera pulih tenaganya. Tapi lewat sepenyulut dupa tentu akan kembali pingsan. Tiau-ing tahu kepandaian mereka berimbang. Dalam waktu yang singkat itu terang Khik-sia tak mampu mengalahkan Ceng-ceng-ji. Untuk itu Tiau-ing telah mengadakan persiapan seperlunya. Ia dapat menghasut Hoan Gong hwatsu untuk turut mengganyang Ceng-ceng-ji. Rencana Tiau-ing telah berjalan semerstinya. Ceng-ceng-ji menerima obat dari Tiau-ing tapi tak mengijinkan nona itu masuk ke kamar. Begitu Khik-sia minum, tiba-tiba ia rasakan tenaganya pulih kembali. Segera ia menempur Ceng-ceng-ji. Tiau-ing dan Hoan Gong yang bersembunyi di luar kamar segera turut melabraknya. Ceng-ceng-ji terpaksa melarikan diri. Hanya berselang beberapa detik Ceng-ceng-ji kabur, Khik-siapun kembali pening dan pingsan. Dia tetap jatuh di tangan Tiau-ing. Ceng-ceng-ji muring-muring dengan pengkhianatan itu. Namun apa daya. Sekarang yang menjadi pemikirannya ialah kemana ia harus mencari tempat berlindung. Tiba-tiba ia teringat Ubun Hong-ni. Ia belum mengetahui urusan Topayan dengan Hong-ni. Ia memutuskan pergi kepada Hwe-ki dengan mengatakan kalau kenal pada U-bun Hong-ni. Ia mengharap mudah-mudahan panglima Hwe-ki menerimanya. Panglima Hwe-ki ialah Topace, ayah dari Topayan. Justeru ayah dan anak itu sedang mencari Hong-ni untuk dipaksa kawin. Mendengar pengakuan Ceng-ceng-ji kalau kenal dengan si nona, Topace segera memerintahkan supaya orang itu ditangkap. Ceng-ceng-ji lari tunggang langgang. Setelah menyelidiki ke sana-sini, barulah ia tahu apa sebabnya. Maka pada suatu malam kembali ia menemui Topace dan menyatakan keinginannya. Ia sanggup mencapai dan menangkap U-bun Hong-ni. Melihat Ceng-ceng-ji berkepandaian tinggi, Topace menerimanya tetapi dengan syarat harus dapat menangkap U-bun Hong-ni. Setelah hal itu berhasil, ia akan membantu Ceng-ceng-ji untuk menangkap Tiau-ing dan Khik-sia. Begitu pula Ceng-ceng-ji diperbolehkan tinggal di istana Hweki. Girang Ceng-ceng-ji tak kepalang. Dia bakal memiliki Khik-sia sebagai tanggungan dan dilindungi raja Hwe-ki. Ancaman Gong-gong-ji tak perlu dikuatirkan lagi. Kala itu Topayan dan pangeran Topahiong sudah menuju ke daerah In-ge-sau-meng. Cengceng- ji siang malam menempuh perjalanan ke daerah itu. Dan secara kebetulan ia datang tepat pada waktu kedua pangeran itu memerlukan bantuan. Ceng-ceng-ji punya pandangan dendaman dengan Ping-gwan. Mendengar perintah anak raja Hwe-ki supaya membunuh Ping-gwan, Ceng-ceng-ji girang sekali. Setelah sekian lama bertempur, tenaga Ping-gwan mulai berkurang. Sebenarnya kepandaiannya berimbang dengan Ceng-ceng-ji, tapi karena sudah lelah, ia tak dapat mengimbangi. Apalagi ketambahan seorang seperti Utotong yang bertenaga kuat. Dalam waktu yang singkat, Ping-gwan berbahaya sekali keadaannya! Dengan ginkangnya yang hebat, Ceng-ceng-ji mainkan ilmu pedang Wan-kong-kiam. Dalam sejurus saja, ia dapat menusuk tujuh buah jalan darah orang. Ilmu golok Ping-gwan juga serba cepat. Tring, tring, dalam sekejab saja terdengar suara dering senjata beradu sampai tujuh kali. Golok pusaka beradu dengan pedang pusaka. Utotong putar tombaknya menusuk dada Ping-gwan. Karena tak sempat menangkis, Ping-gwan ayunkan kakinya menendang tombak lawan. Tapi tombak Utotong berat sekali. Benar Ping-gwan
dapat menendangnya terpental tapi tak urung kakinya terhuyung-huyung. Dan kesempatan itu tak dilewatkan Ceng-ceng-ji. Kena! pedang berkelebat dan punggung Ping-gwan berhias selarik luka. Kau atau aku yang mati! teriak Ping-gwan. Luka itu membuatnya kalap. Dan karena kalap ia makin gagah. Bangsa Hwe-ki paling menghormati orang gagah. Diam-diam Utotong menimang dalam hati: Anak muda ini sungguh gagah perkasa. Sayang ia melukai junjunganku, sukar untuk mengampuni jiwanya. Toh dia takkan lolos, baik kubiarkan si kunyuk itu saja yang membunuhnya. Utotongpun rubah permainannya, dari menyerang jadi bertahan. Sebaliknya karena Ping-gwan kalap hendak mengadu jiwa, Ceng-ceng-ji pun segan. Ia tahu ginkangnya lebih unggul dari lawan. Maka ia merubah gaya permainannya menjadi berputar-putar untuk menghabiskan tenaga orang. Dan siasatnya itu berhasil. Karena terlalu bernapfsu menyerang, mata Ping-gwan mulai berkunangkunang, kepalanya pening..... Coh toako, kita mati berdua! Hong-ni berteriak dan mendesak Topayan terus hendak menggabung pada Ping-gwan. Oh, makanya kau tak mau menikah dengan aku, kiranya kau suka dengan budak itu! Topayan iri hati dan menghadang nona itu. Tenaga Hong-ni kalah dengan lawan. Beberapa kali ia hendak menerobos tapi paling banyak hanya beberapa belas tindak saja. Jaraknya masih jauh dengan Ping-gwan. Untung Topayan hanya akan menawannya hidup-hidup, maka terpaksa ia main mundur. Adalah Ping-gwan, tergugah semangatnya demi mendengar pernyataan Hong-ni tadi. Siau-ni, kalau kau dapat lolos, lekaslah lolos! serunya. Sebenarnya ia sudah groggy, tapi mendadak kakinya tegak kembali. Dalam serangkai serangan ia dapat memaksa Ceng-ceng-ji mundur. Boleh saja kau bertingkah beberapa saat, toh tak nanti mampu lolos! Ceng-ceng-ji tertawa mengejek. Baru dia berkata begitu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Tiga penunggang kuda mencongklang datang dengan pesat. Yang di sebelah muka, seorang nona berseru: Bukankah itu Coh toako? Ai, nona U-bun juga berada di situ! Yang datang itu bukan lain adalah Su Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu. Merekapun hendak mencari keterangan tentang diri Hong-ni ke daerah Su-tho. Waktu lewat di situ, mereka mendengar bunyi pertandaan terompet. Ketika menghampiri ternyata berjumpa dengan orang yang dicarinya. Oh, kalian sudah saling mengenal? Bagus, bagus, lekas tolongi dia! Yangpe girang sekali. Tar, begitu keprak kudanya maju, Bik-hu sudah ayunkan cambuknya. Kuat sekalipun tenaga Ihsin, tapi mana mampu menghadapi kelihayan Bik-hu. Bik-hu gunakan gerakan pinjam tenaga orang untuk menghantamnya. Tampaknya hanya perlahan-lahan saja ia menarik cambuknya, tapi Ih-sin sudah tertarik jatuh dari kudanya. Disusuli dengan gerakan tangkai cambuk, jalan darah Ih-sin pun tertutuk. Sekali gebrak, Bik-hu dapat membebaskan Yangpe keke. Setelah suruh Yak-bwe membantu Hong-ni, Bik-hu dan In-nio loncat turun dari kudanya dan berseru: Bagus, kunyuk tua. Kau berani umbar kebiadaban lagi di sini? Kami justeru hendak menangkapmu! - Sepasang pemuda itu segera menyerang Ceng-ceng-ji. Dengan kepandaianmu berdua hendak menangkap aku? Ceng-ceng-ji mengejek. Ia tak tahu kepandaian In-nio dan Bik-hu sudah maju pesat sekali. In-nio sudah berhasil menyakinkan ilmu pedang warisan suhunya. Bik-hu adalah keponakan Biau Hui sin-ni dan juga terhitung murid dari Mo Kia lojin. Paling akhir ini dia telah menggabungkan ilmu pedang dari kedua tokoh itu menjadi satu. Dan lagi selama dalam perjalanan dengan In-nio itu, tak putus-putusnya mereka saling merundingkan pelajaran ilmu pedang. Karena berasal dari sesama perguruan, maka ilmu pedang merekapun sesuai sekali. Memang kalau satu lawan satu, terang mereka bukan tandingan Ceng-ceng-ji. Tetapi dengan maju berbarengm kekuatan mereka dapat mengatasi Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji memandang rendah In-nio yang dianggap hanya seorang anak perempuan. Ia hendak gunakan jurus menusuk jalan darah untuk membuat In-nio tak berkutik. Tapi In-nio juga mahir ilmu pedang Hui-hoa- potiap (bunga bertebar menangkap kupu-kupu).
Ceng-ceng-ji menemui tempat kosong. Waktu ia hendak merubah serangannya, Bik-hu sudah menghalaunya dengan sebuah jurus Heng-hun-toan-hong. Dan In-niopun kembali kembangkan permainannya untuk menimpali serangan sang kawan. Sepasang pedang bergabung, timbullah selingkar bianglala perak yang mengurung diri Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji keluarkan ilmunya berlincahan. Tapi tak urung ia lebih banyak bertahan daripada menyerang alias kalah angin. Dan karena mendapat bantuan, semangat Ping-gwan timbul seketika. Meskipun terluka, ia masih dapat menghadapi Utotong dengan berimbang. Pun karena mendapat bantuan Yak-bwe, Hong-ni dapat mendesak Topayan. Untuk pertama kali sejak mendapat pelajaran ginkang dari tunangannya, baru kali itu Yak-bwe menggunakan untuk menghadapi seorang musuh. Permainan pedang disertai gin-kang, memang hidup sekali. Gerakan pedang makin lama makin cepat. Diam-diam Topayan mengeluh dan merencanakan lari. Tapi Yakbwe tak memberi hati lagi. Dalam sebuah serangan ia dapat melukai pangeran itu sampai tiga kali. Hong-ni yang benci sekali kepada pangeran itu, kembali menambahinya dengan sebuah tusukan yang tepat mengenai lutut. Topayan menjerit terus rubuh tak dapat berkutik lagi. Jika tak berguna, tentu sekarang juga kuhabisi jiwamu, kata Hong-ni. Kini kedua nona itu berputar tubuh. Yak-bwe membantu In-nio dan Bik-hu, Hong-ni membantu Ping-gwan. Utotong meremehkan kekuatan Hong-ni. Ia menyambut kedatangan itu dengan tombaknya. Tetapi walaupun tenaganya lemah, Hong-ni lincah sekali. Sekali melesat ia dapat menghindar. Karena tusukannya luput, tubuh Utotongpun menjorok ke muka. Ping-gwan balikkan golok, dengan sebuah hantaman yang indah ia dapat memukul jatuh tombak lawan. Sedang Hong-ni pun tak mau kalah. Sekali melesat ia tusuk jalan darah jago Hwe-ki itu. Uto ciangkun, kutahu kau seorang lelaki perkasa. Tapi karena kau hendak unjuk kesetiaanmu kepada junjunganmu, aku terpaksa menyakitimu! seru Hong-ni. Tapi ia masih kasihan. Tusukannya hanya pelahan saja tak sampai membikin orang luka. Bagus, sekarang tinggal kunyuk tua itu. Jangan biarkan dia lari! teriak Ping-gwan. Menghadapi tiga anak muda saja Ceng-ceng-ji sudah kewalahan, apalagi ketambahan dua jago muda lagi. Kini dia hanya dapat bertahan saja. Dikeroyok lima jago muda, dia sukar meloloskan diri. Tiba-tiba terdengar bunyi pertandaan terompet. Pada lain saat terdengar gemuruh derap kaki kuda. Di padang rumput muncul beratus-ratus kuda. Celaka, jika tak lekas lari aku tentu bakal celaka di sini, pikir Ceng-ceng-ji. Hai, kalian kepingin mendengar berita tentang Khik-sia atau tidak? ia coba-coba memancing perhatian anak-anak muda itu. Tapi In-nio dan Bik-hu tak menghiraukan. Mereka tetap menyerang dari kanan-kiri. Untung gingkang Ceng-ceng-ji hebat. Dengan sebuah gerakan yang istimewa, ia dapat melejit keluar dari kacipan kedua pedang anak muda itu. Setelah menghalau pedang Hong-ni, kembali ia berseru: Su Tiau-ing, si wanita busuk itu, menipu aku. Aku ingin bersungguh hati membawa kalian utnuk menghajarnya. Sungguh, tidak bohong! Kalau kalian tak percaya, tentu menyesal! Baik, bohong atau tidak, biarkan dia bicara dulu, akhirnya Yak-bwe lambatkan serangannya. Dengarkan baik-baik! Khik-sia berada di biara Ogemi! kata Ceng-ceng-ji. Orang yang paling memperhatikan diri Khik-sia, adalah Yak-bwe. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian sampai lupa melakukan serangan. Tahu-tahu ujung pedang Ceng-ceng-ji menusuk ke tenggorokannya. Untung Bik-hu dan Ping-gwan cepat melindungi Yak-bwe. Ceng-ceng-ji mengamuk. Tiba-tiba ia rubah jurus permainannya. Ia ancamkan ujung pedangnya ke tenggorokan In-nio, begitu In-nio mundur, secepat kilat Ceng-ceng-ji enjot tubuhnya melayang melampaui kepala nona itu. Beberapa pemuda In-ge-sau-meng yang datang atas panggilan terompet Yangpe tadi, begitu melihat ada orang yang wajahnya seperti kunyuk, melayang di padang rumput, mereka segera turun tangan. Ada yang menimpuk hui-to, ada yang melemparkan jaring penangkap binatang. Cengceng- ji putar pedang untuk melindungi dirinya. Berpuluh-puluh batang hui-to kena dipukulnya jatuh. Dalam beberapa kejap Ceng-ceng-ji sudah lenyap dari pemandangan. Sebagai gantinya kini kawanan pemuda itu melihat pangeran dan anak raja Hwe-ki menggeletak
di tanah dengan mandi darah. Kejut mereka lebih hebat daripada melihat manusia seperti kunyuk tadi. Mereka menghina aku. Ringkus mereka, segala apa akulah yang tanggung, perintah Yangpe. Dengan suara parau si anak raja Topahiong mengancam: Awas, kalau berani mengikat aku. Begitu aku pulang ke Hwe-ki tentu kukerahkan pasukan berkuda untuk meratakan perkemahan kalian. Dan kalian seorangpun takkan kubiarkan hidup. Di luar dugaan, rakyat padang rumput itu paling benci kalau menerima ancaman. Ancaman Topahiong menimbulkan kemarahan pemuda-pemuda itu. Kami memperlakukan kau sebagai tetamu agung. Sebaliknya kau berani menghina keke kami, berarti tak memandang mata kepada kami. Baik, terserah kau mau pulang mengerahkan pasukan berkuda, pokok sekarang ini kami akan membongkokmu dulu. Topahiong, Topayan dan kedua pengawalnya segera diikat. Hong-ni berseri-seri girang. Waktu ia hendak menghaturkan terima kasih kepada Yak-bwe, tibatiba Ping-gwan muntah darah terhuyung-huyung mau jatuh. Rupanya pemuda yang terluka itu tadi bertahan diri sekuat-kuatnya. Kini setelah pertempuran selesai, dia tak kuat lagi. Coh, toako, bagaimana kau? buru-buru Hong-ni memapahnya. Hanya terluka ringan, tak apa-apa, sahut Ping-gwan. Tetapi nyata sekali wajahnya pucat, keringat dinginnya mengucur deras. Bik-hu yang sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan segera memeriksa. Ia dapatkan pemuda itu kehabisan tenaga. Untung lwekangnya tinggi hingga tak sampai terluka dalam. Ia segera memberi minum pil pada Ping-gwan. Sekalian orang lega hatinya. Kawanan pemuda itu menghormat sekali pada Ping-gwan yang telah menolong keke mereka. Mereka membuat semacam tandu dari dahan pohon dan mengangkut Ping-gwan pulang ke perkemahan Popa ong-kong. Saat itu hari pun sudah fajar. Popa ong-kong menyatakan kekuatirannya tentang peristiwa itu. Hong-ni minta maaf padanya karena ia merasa yang menjadi gara-garanya. Anak raja itupun hendak menculik diriku. Kita tak bertindak, diapun akan mengganggu kita, Yangpe memberi keterangan. Berkata Popa ong-kong dengan nada sungguh-sungguh: Ajaran yang dianut suku kita ialah, jika orang mengantar seekor kambing kepada kita, kita balas memberinya dua ekor kuda. Jika orang menendang kita satu kali, kita harus membayarnya paling sedikit dengan dua pukulan. Adanya selama ini aku bersikap mengalah terhadap orang Hwe-ki, karena aku tak menginginkan pertumpahan darah, sekali-kali bukan karena takut pada mereka. Jangan kuatir anak-anakku. Karena urusan sudah begini rupa, kita bersama-sama senasib. Tak nanti kubiarkan kalian dihina orang Hwe-ki! Sebenarnya Yangpe dan Hong-ni akan menggunakan segala daya untuk mempengaruhi kepala suku itu. Siapa tahu ternyata Popa ong-kong sudah mengadakan musyawarah dengan rakyatnya dan memutuskan untuk melawan bangsa Hwe-ki. Jago-jago muda itu girang sekali dengan peristiwa itu. Yangpe menjelaskan pada ayahnya bahwa rakyat In-ge-sau-meng tidak berdiri sendiri. Ia menuturkan usul Ping-gwan tadi. Bersekutu dengan negeri-negeri di Se-gak untuk bersama-sama menentang Hwe-ki, memang suatu rencana yang tepat. Sekarang ini juga kesempatan itu harus kita laksanakan. Hong-ni, tadi petugas penyelidik pulang melaporkan sebuah berita. Atas pertanyaan Hong-ni, Popa menerangkan: Rakyat Tho-ko-hun yang tak puas terhadap pendudukan Hwe-ki, tahun ini sudah hentikan pengiriman upetinya. Kini kedua negeri tengah mempersiapkan perang. Tho-ko-hun adalah sebuah negeri besar di daerah Se-gak. Daerahnya meliputi sebagian besar Ceng-hay dan sebagian kecil tanah Tibet. Negeri itu banyak menghasilkan kuda yang bagus. Pasukan berkuda yang menjadi kebanggaan kerajaan Hwe-ki, sebagian besar adalah kuda persembahan upeti dari Tho-ko-hun. Tiga tahun yang lalu Tho-ko-hun mengangkat raja baru. Di bawah pimpinan raja itu, negerinya makin bertambah kuat. Mereka tidak mau tunduk pada Hwe- ki lagi.
Berita itu tepat pada waktunya. Karena menguatirkan Tho-ko-hun, pihak Hwe-ki tentu tak berani sembarangan menggempur Su-tho, kata Popa. Ping-gwan yang selama tadi berbaring di tanah mendengari, kini tiba-tiba berbangkit, ujarnya: Berita itu bukan saja berita girang bagi nona U-bun, pun juga bagi kalian semua. - Kata- katanya itu ditujukan pada Yak-bwe bertiga. Mengapa? tanya Yak-bwe. Biara Ogemi itu terletak di daerah Tho-ko-hun. Tho-ko-hun sudah bermusuhan dengan Hweki. Itu berarti Hoan Gong tak nanti berani menyerahkan Khik-sia kepada Hwe-ki, kata Ping-gwan. Kalau begitu kau percaya omongan Ceng-ceng-ji bahwa Khik-sia berada di biara Ogemi? tanya Yak-bwe. Menurut pengetahuanku, dahulu Su Su-bing pernah menduduki Tho-ko-hun dan bersahabat dengan Hoan Gong. Malah dua tahun yang lalu Hoan Gong masih datang menjenguk Su Su-ging di Tho-ko-hun. Kalau Ceng-ceng-ji mengatakan bahwa hwatsu itu menjadi gurunya Tiau-ing, tentulah bukan membohong, sahut Ping-gwan. Akhirnya Bik-hu mengusulkan karena sudah tak ada lain-lain urusan baik bersama menuju ke Ogemi saja. Paderi dari biara Ogemi berkepandaian tinggi. Aku menyesal sekali tak dapat membantu kalian. Harap kalian berhati-hati, kata Ping-gwan. Nona U-bun, tolong kau sampaikan berita ini kepada Thiat cecu di Hok-gu-san, In-nio meninggalkan pesanan. Memang cerdik sekali nona itu. Ia melakukan dua buah rencana. Sembari menuju ke Ogemi sembari memberitahu pada Thiat-mo-lek. Keesokan harinya berangkatlah Bik-hu bertiga menuju Tho-ko-hun. Negeri itu ribuan li jauhnya. Harus melalui padang rumput, payau-payau dan padang pasir yang berbahaya. Sekalipun mereka naik kuda pilihan tapi toh memerlukan waktu satu bulan untuk tiba di negeri itu. Kalau dihitung mulai berangkat dari Hok-gu-san, dalam mencari jejak Khik-sia itu mereka sudah menghabiskan waktu tujuh bulan lamanya. Hari itu turun badai salju yang hebat. Kabut menyelubungi bumi. Pada jarak sepuluh langkah tak dapat melihat apa-apa. Ketiga anak muda itu mengerudung mukanya dan tetap menempuh perjalanan. Telah kutanyakan pada penduduk daerah ini. Daerah Ogemi hanya kurang seratus li lagi. Besok kita tentu sudah tiba di sana, kata Bik-hu. Bahwa besok pagi bakal bisa berjumpa dengan sang kekasih, Yak-bwe girang tapi gelisah juga. Ia bertanya pada In-nio apa yang akan dilakukan bila tiba di tempat itu. Bukankah kita sudah sepakat malam harinya baru melakukan penyelidikan? In-nio mengembalikan pertanyaan orang. Ah, hatiku tak tenteram, kata Yak-bwe. Eh, tinggal sehari saja masakan kau tak sabar lagi? Kalau yang kucemaskan ialah badai salju yang kita hadapi ini, sahut Bik-hu. Kucemaskan kalau mengetahui kedatangan kita, siluman perempuan itu segera akan melekatkan pedangnya ke leher Khik-sia. Saat itu.... Apa katamu? Khik-sia.... dalam kabut badai salju yang lebat kuda mereka terpencar maka berteriaklah In-nio menegas. Kutakut siluman perempuan itu akan membunuh Khik-sia, seru Yak-bwe. Pertama karena tak dapat menahan luapan hatinya dan kedua karena kuatir In-nio tak mendengar, maka Yak-bwe berseru sekuat-kuatnya. Tiba-tiba terdengar suara benda mengaum. Sebatang hui-jui melayang ke arah Yak-bwe. Buruburu Yak-bwe gunakan gerakan Teng-li-ciang-sim untuk menghindar. Senjata rahasia tepat lewat menyusup di bawah kendali yang dicekalnya. Dengan gunakan gin-kangnya yang lihay, Yak-bwe berjumpalitan di udara dan melayang ke tanah. Tetapi penyerangnya itu juga tak kalah cepat. Sebelum Yak-bwe sempat mencabut pedang, orang itupun sudah loncat dari kudanya terus menyerangnya dengan golok. Kurang ajar! Siapa kau? Menyerang orang secara gelap bukan laku seorang ksatria! damprat
Yak-bwe yang dalam pada itu sudah menghindari 18 kali serangan golok. Jika ia belum mendapat pelajaran ginkang dari Khik-sia terang ia tentu binasa. Dalam lingkungan kabut dan salju tebal, tadi Yak-bwe tak tahu siapa penyerangnya itu. Tetapi kini setelah bertempur barulah ia melihat jelas. Diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang bocah lelaki berumur empat lima belas tahun, lebih pendek dari Yak-bwe. Belum dewasa tetapi mengapa ilmu goloknya sedemikian hebat? Huh, kau berani menghina aku bukan laki-laki ksatria? Membasmi dorna menghancurkan kejahatan, adalah perbuatan seorang ksatria. Hatimu jahat, perlu apa aku bicara manis dengan kau? sahut bocah lelaki itu. Ucapannya memang seperti orang persilatan yang berpengalaman tapi nadanya tetap seperti anak-anak. Yak-bwe geli-geli mendongkol. Ia tak kenal siapa pemuda tanggung itu. Ia tak mengerti kenapa bocah itu mengata-ngatainya begitu. Tapi ia tak berani berlaku ayal untuk menjaga serangannya yang hebat. Akhirnya karena kewalahan Yak-bwe terpaksa mencabut pedang untuk menangkisnya. Pedang Yak-bwe kena terpapas kutung. Buru-buru Yak-bwe gunakan lwekang lekat untuk mendorong golok lawan ke samping. Setelah itu ia baru sempat berkata: Kau siapa? Tahukah kau aku siapa? Mengapa kau memaki-maki aku? Bocah itu menggumam: Kutahu kau seorang jahat! Bagaimana kau tahu aku jahat? Bukankah kau orang she Su? tanya bocah itu. Benar, apa salahnya aku she Su? balas Yak-bwe. Itu sudah jelas. Kau jahat, jahat sekali! Lihat golok! teriak bocah itu sembari terus menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan 18 kali tabasan. Saat itu badai salju sudah mulai reda. Bik-hu dan In-nio pun menghampiri. Karena lihat hanya seorang bocah, mereka tak mau membantu. Heran juga mereka, siapa anak itu. Sebaliknya tahu kalau Yak-bwe mempunyai dua orang kawan, anak itu tetap congkak, tetap menyerang Yak-bwe. Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu, pikirnya: Apakah kejadian lama terulang lagi? Janganjangan bocah ini mengira kau si wanita siluman itu? Tetapi dia masih kanak-kanak, mengapa bisa bermusuhan dengan Tiau-ing? Permainan golok pemuda tanggungitu hebat dan cepat. Yak-bwe belum pernah melihat permainan golok yang lihay. Iapun masih suka berhati kanak-kanak. Ilmu golok lawan istimewa, iapun lalu keluarkan seluruh kepandaiannya. Maka meskipun ia menduga telah terjadi salah paham, tapi ia tak mau mencari penjelasan. Siluman perempuan, kau main apa ini? Mengapa tak berani bertanding sungguh-sungguh dengan aku? Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu! marah anak itu karena merasa dipermainkan Yak-bwe. Yak-bwe tertawa mengikik. Waktu ia hendak hentikan pertempuran, tiba-tiba anak itu berteriak: Mah, lekas datang! Ini dia si perempuan siluman itu! Seekor kuda melesat datang. Penunggangnya seorang wanita pertengahan umur yang cantik. Sekali loncat turun ia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan jurus Giok-li-tho-ih. Ujung pedangnya mengarah ke tenggorokan Yak-bwe. Kejut Yak-bwe bukan kepalang. Untung ia sudah mahir dalam ilmu ginkang ajaran Khik-sia. Dalam keadaan kepepet, ia gunakan gerak Si-hiong-hia-hoan-hun untuk menghindar. Pedang nyonya cantik itu terpaut seujung rambut melalui muka Yak-bwe. Belum Yak-bwe berdiri tegak, nyonya itu sudah menyerangnya lagi. Cepat dan ganas sekali, melebihi dari serangan puteranya tadi. Terpaksa Yak-bwe kerahkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedangnya Coan-hoa-kiam termasuk jenis permainan lunak. Hanya dua kali menangkis ia sudah tak tahan lagi. Cret, pedang nyonya itu berkelebat menusuk lengan baju Yak-bwe. Untung Yakbwe cepat menghindar. Terlambat sedikit perutnya tentu pecah. Kini Yak-bwe keluarkan ilmu pedang Hui-hong-kiam (naga terbang) ajaran Khik-sia. Permainan ini termasuk jenis keras. Trang, ketika saling berbentur, Yak-bwe rasakan tangannya sakit sekali. Namun serangan yang amat ganas dari wanita itu dapat ditangkisnya. Mulut wanita itu menggumam, wajahnya mengerut heran dan permainan pedangnya tiba-tiba
lambat. Pada kesempatan itu dengan terengah-engah Yak-bwe berseru: Aku Su Yak-bwe, entah membuat kesalahan apa kepada cianpwe, tolong dijelaskan! Wanita itu tertegun, serunya: Kau ini Su Yak-bwe? Bukan Su Tiau-ing? Memang mereka berdua she Su, tetapi yang satu hendak mencelakai Khik-sia, yang ini adalah tunangan Khik-sia, In-nio menyelutuk tertawa. Astaga.... tiba-tiba anak tadi menjerit: Apa? Kau tunangan dari engkohku Khik-sia? Merah selembar wajah Yak-bwe, sahutnya: Engkoh kecil, engkau memanggil engkoh pada Khik-sia, apakah kau.... Wanita cantik itu menyimpan pedangnya, berkata: Kiranya kau ini tunangannya Khik-sia, makanya kau dapat memainkan ilmu pedang keluarga Toan. Akulah yang merawat Khik-sia sampai dewasa. Girang dan kejut Yak-bwe tak terhingga, serunya: Oh, jadi kau Bibi Lam! Wanita cantik itu mengiakan. Serta merta Yak-bwe berlutut memberi hormat. Wanita itu mengangkat Yak-bwe, ujarnya: Nanti dulu, perlihatkan tusuk kundai kumala di kepalamu itu! Yak-bwe segera memberikan benda itu. Berlinang-linanglah air mata wanita itu setelah memeriksa tusuk kundai burung Hong dari keluarga Toan. Kau benar menantu keponakanku - dan Yak-bwe segera dipeluknya dengan mesra. Wanita pertengahan umur itu adalah He Leng-soang, isteri dari Lam Ce-hun. Lam Ce-hun adalah saudara angkat dari Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Sewaktu muda mereka bedua berkelana dalam dunia persilatan dan digelari sepasang pendekar budiman. Kemudian ikut bertempur melawan pemberontak An Lok-san dan gugur. Waktu berumur 10 tahun, Khik-sia sudah kehilangan ayah-bundanya. Yang merawatnya adalah He Leng-soang sampai dewasa. Ketika umur 16 tahun, barulah He Leng-soang memberitahukan tentang soal pertunangannya dengan Yak-bwe. Sesuai dengan pesan mendiang ayah-bundanya, Khik-sia disuruh turun gunung mencari tunangannya itu. Tusuk kundai Liong yang menjadi tanda pengikat pertunangan Khik-sia dan Yak-bwe masih disimpan bibi He Leng-soang yang baik budi itu. Waktu Khik-sia turun gunung, barulah diberikan kepadanya. Liong Hong Po Cha sepasang tusuk kundai Naga dan burung Hong, merupakan sepasang pusaka yang serasi dan serupa satu sama lain. Bentuknya sama hanya lukisan ukir-ukirannya yang berbeda. Maka dengan cepat He Lengsong segera mengenali tusuk kundai burung Hong dari Yak-bwe itu. Bibi, engkoh Khik-sia telah menerima budi bibi sedalam lautan, tapi entah kelak dia dapat membalas budi itu atau tidak. Dia sekarang diculik perempuan siluman itu, mungkin.... Hal itu sudah kuketahui semua. Justeru sekarang aku hendak mencarinya. Bagaimana? Apa sampai sekarang kau belum mengetahui jejaknya? sahut He Leng-soang. He Leng-soang sayang Khik-sia seperti puteranya sendiri. Pun ia sudah kangen pada Thiat- molek suami isteri yang sudah 10-an tahun tak bertemu. Sayang karena puteranya masih kecil jadi sampai sekarang ia baru melaksanakan niatnya itu. He Leng-soang mempunyai tiga orang anak laki dan seorang anak perempuan. Puteranya yang sulung sekarang sudah berumur 15 tahun. Untuk mengenangkan Lui Ban-jun, sute Lam Ce-hun yang gugur bersama-sama dalam membela negara, maka He Leng-soang memakaikan she Lui untuk nama anak-anaknya. Puteranya yang kesatu diberi nama Lam He-lui. Yang kedua Lam Junlui, yang ketiga (perempuan) Lam Jiu-lui dan yang keempat Lam Tong-lui. Kata-kata Lui itu dari she Lui (Lui Ban-jun). Lam Tong-lui, puteranya yang keempat itu, ditinggalkan ayahnya sewaktu masih dalam kandungan. Sekarang anak itu sudah berumur 10 tahun. Dalam umur 15 tahun, Lam He-lui sudah dapat menyakinkan seluruh ilmu silat keluarga Lam. Maka He Leng-soang segera mengajaknya keluar untuk cari pengalaman. Lam Jun-lui yang berumur 14 tahun, Lam Jiu-lui yang berumur 12 tahun, meskipun kepandaian silatnya belum sempurna tapi dapat mengalahkan 20-an orang biasa yang berani mengeroyoknya. Oleh karena itu He Leng-soang berani tinggalkan mereka di rumah untuk menjaga adiknya Tong-lui yang baru berumur 10 tahun itu. He Leng-soang dalam perjumpaannya dengan Thiat-mo-lek, diberitahukan tentang peristiwa Khik-sia diculik Tiau-ing. Ia segera ajak puteranya pergi lagi untuk mencari jejak Khik-sia.
Sungguh kebetulan sekali kedatanganmu ini, Bibi Lam. Kini kami sudah mengetahui jejak Khik-sia. Dia ditawan siluman perempuan itu di biara Ogemi. Kira-kira 100-an li dari sini. Paderipaderi dari biara itu berilmu tinggi. Kami justeru gelisah menghadapi mereka. Bibi Lam, dengan adanya bibi, nyali kami menjadi besar, kata In-nio. Sayang, sayang! Tempo hari aku berjumpa dengan Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh yang juga mencari Khik-sia. Kalau begini, suruh Gong-gong-ji mencuri Khik-sia saja, tak perlu membikin kaget kawanan paderi Ogemi. Ah, sudahlah. Tak perlu tunggu Gong-gong-ji, kita sekarang berangkat ke biara itu, demikian He Leng-soang. Badai saljupun sudah berhenti. Mereka berlima segera menuju ke biara Ogemi. Mendapat bantuan He Leng-soang, harapan Yak-bwe untuk mendapatkan Khik-sia menjadi besar sekali. Sekarang mari kita tengok keadaan Khik-sia di biara Ogemi. Tanpa terasa sudah hampir tujuh bulan ia ditahan di situ. Selama itu ia bergaul baik dengan Hoan Gong hwatsu. Setelah Ceng-ceng-ji kabur, Khik-sia kuatir kalau Tiau-ing akan merayunya. Tapi ternyata walaupun peraturan tak terlalu bengis, biara Ogemi itu merupakan pusat penyebaran agama Buddha di daerah Se-gak. Paderi-paderinya pun bukan golongan jahat. Sebagai murid angkat dari Hoan Gong, Tiau-ing bebas mengutarakan kesukarannya. Ia pun memberi sejumlah besar uang guna memperbaiki biara itu. Karena dua alasan itu maka barulah Tiau-ing diterima tinggal di biara situ. Dalam pergaulan pria wanita, rakyat Se-gak lebih bebas dari rakyat Tiong-tho. Tiau-ing diberi sebuah kamar dan seorang bujang wanita. Tapi tidak bercampur dengan Khik-sia. Pemuda itu diserahkan di bawah pengawasan Hoan Gong. Hoan Gong mencukur rambut Khik-sia untuk dijadikan seorang paderi muda. Karena terkena obat Soh-kut-san, tenaga Khik-sia hilang lenyap. Maka Hoan Gong memberi keleluasaan padanya untuk berjalan-jalan di dalam biara. Ia tak takut anak muda itu dapat kabur. .....(tulisan kabur) bergaul dan sama-sama suka ilmu silat. Meskipun tenaganya lunglai tapi Khik-sia dapat juga membicarakan ilmu silat dengan Hoan Gong. Keduanya sama memperoleh manfaat. Setiap hari lahir Buddha, di biara Ogemi diadakan perayaan besar-besaran. Segenap paderi harus melakukan sembahyangan di tiga ruangan. Pada hari itu kembali diadakan perayaan sembahyangan besar untuk menghormat hari lahir sang Buddha. Khik-sia senang dengan keramaian. Ia minta diperbolehkan untuk hadir. Karena dia sudah memakai pakaian paderi, Hoan Gongpun mengijinkan. Selama tujuh bulan itu, Khik-sia belum pernah menginjak ruangan besar. Dia memang tak berminat menyembah Hud. Dia hanya berkeliaran melihat-lihat ukir-ukiran lukisan di tembok. Waktu Hoan Gong hendak menegurnya, tiba-tiba Ti-khek-ceng 9paderi yang menyambut tetamu) masuk melaporkan bahwa murid dari Kong Tik hwat-ong, kepala biara Putala telah datang hendak turut dalam upacara sembahyangan. Istana Putala adalah sebuah biara agung di daerah Tibet. Biara itu didirikan oleh puteri Bun Song, anak perempuan baginda Li Si-bin yang diambil permaisuri oleh Raja Tibet. Walaupun kemudian hari pengaruh kerajaan Tong makin lemah, tapi berdasarkan sejarahnya, Istana Putala itu tetap menduduki tempat yang teratas di kalangan biara-biara daerah Se-gak. Kepala biara bergelar Hwat-ong, lebih tinggi dan mulia dari semua kepala-kepala di biara lain. Sebenarnya biara Ogemi itu tiada hubungan dengan Potala. Tapi demi mendengar biara agung itu mengirim rombongan anak muridnya untuk turut hadir dalam upacara sembahyangan, Hoan Biat hwatsu, hong-tiang (pemimpin) dari biara Ogemi, tersipu-sipu menyuruh Ti-khek-ceng mempersilahkan rombongan tetamu itu masuk. Tetapi Hoan Siok hwatsu, sute dari Hoan Biat hwatsu, seorang yang cermat. Ia sedikit menaruh kecurigaan, ujarnya: Mengapa mendadak sontak Istana Potala mengirim utusan kemari? Suheng, kau harus menanyakan yang jelas! Siapa sih yang berani memalsu sebagai utusan dari Potala? Biara kita ini biara terbesar di negeri Tho-ko-hun. Kalau Kong Tik hwatsu mengirim utusan untuk mengadakan hubungan baik, itulah sudah sepantasnya, sahut Hoan Biat.
Tetapi aku tetap curiga. Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki, kedua belah pihak sedang bersiap-siap perang. Mengapa mendadak pihak Potala mengirim utusan kemari? Apakah hal itu tidak mencurigakan? bantah Hoan Siok. Lalu lintas amat jauh, hubungan beritapun terhambat. Mungkin pemerintah Hwe-ki belum mengetahui tentang istana Potala mengirim utusan. Betapapun ganasnya pemerintah Hwe-ki itu, mereka tentu tak berani mengganggu urusan anak murid dari Potala. Sudah sute, jangan banyak curiga. Terhadap gengsi Potala yang sedemikian agungnya, kita harus menaruh kepercayaan penuh. Jika kita mengajukan pertanyaan dan dijawab memang mereka itu betul rombongan anak murid yang diutus dari Potala, bukankah kita akan malu? Karena suhengnya berkeras begitu rupa, Hoan Siok pun tak berani banyak omong lagi. Tak berapa lama, paderi Ti-khek-ceng datang dengan rombongan utusan istana Potala. Semua hanya berjumlah 4 orang. Salah seorang dari tetamu itu, kepalanya lancip, bentuknya lucu. Begitu masuk ke ruangan besar, matanya jelalatan kian kemari. Khik-sia terkejut. Ia seperti sudah kenal dengan tetamu itu. Dan setelah merenung, ia teringat akan seseorang. Namun ia masih belum berani memastikan. Hoan Biat hwatsu menghaturkan selamat datang pada rombongan utusan itu dan minta maaf atas penyambutannya yang kurang memuaskan. Ah, hong-tiang kelewat merendah. Kita toh sama-sama anak murid Buddha, tak perlu sungkan-sungkan. Aku membawa sebuah hwat-ci (amanat agama) dari Kong Tik hwat-ong, harap hong-tiang terima, kata pemimpin paderi Lama dari Potala itu. Hoan Biat terkesiap. Walaupun kedudukan Biara Potala itu yang tertinggi sendiri, tapi biara Ogemi tidak dibawahinya. Mengapa Kong Tik hwat-ong mengirim Hwat-ci? Dan lebih curiga lagi Hoan Biat ketika mendengar ucapan tetamunya itu tidak seperti paderi yang taat. Kalau Biat melayani kepala rombongan Lama Potala, Hoan Gong, hoan Siok dan beberapa paderi yang berkedudukan tinggi dari Ogemi, sama menyambut ketiga utusan yang lainnya itu. Justeru yang disambut oleh Hoan Gong itu ialah paderi kepala lancip yang tak sedap dipandang itu. Walaupun tak senang, namun Hoan Gong tetap menyambutnya dengan hormat. Tiba-tiba terdengar orang berteraiak melengking: Itulah Ceng-ceng-ji. Awas, jangan kena ditipunya! Yang melucuti kedok Ceng-ceng-ji itu bukan lain ialah Khik-sia. Memang selain bentuk wajahnya, pun tingkah laku Ceng-ceng-ji itu mirip dengan kunyuk. Sebagai sutenya yang sudah bertahun-tahun bergaul, sudah tentu Khik-sia paham benar dengan diri suhengnya itu. Ia menaruh curiga dan makin curiga, tapi ia merasa aneh juga mengapa wajah bekas suhengnya itu berubah megitu macam? Ceng-ceng-ji turun tangan secara kilat, saat itu tulang bahu Hoan Gong hendak dicengkeramnya. Tapi untung Khik-sia berteriak memperingatkan. Dalam gusarnya Hoan Gong gunakan gerak Tho-poh-ciat-ka, turunkan kedua pundaknya dan berputar tubuh dengan gerakan tumit kaki. Dengan tepat ia dapat menghindari. Ceng-ceng-ji mengusap wajahnya dan mengunjukkan roman mukanya yang asli. Kemudian tertawa gelak-gelak: Bagus, budak, matamu celi benar dapat mengenali suhengmu. Ayo, ikutlah aku, jangan lari, ya? Kiranya Ceng-ceng-ji mengenakan topeng kulit. Dalam pada berkata-kata itu, tubuhnya sudah melesat ke tempat Khik-sia. Tetapi rombongan paderi Ogemi banyak jumlahnya, untuk beberapa saat Ceng-ceng-ji tak berhasil menangkap Khik-sia. Ceng-ceng-ji mengamuk. Setiap paderi yang menghalang tentu dipukul atau ditutuk jalan darahnya. Dalam beberapa kejap saja, sudah belasan paderi yang rubuh. Melihat itu Hoan Gong marah. Ia menyambar sebatang tongkat terus dihantamkan ke punggung Ceng-ceng-ji. Karena ruangan itu penuh dengan orang, Ceng-ceng-ji tak leluasa mengeluarkan ginkang. Terpaksa ia cabut pedang untuk menangkis. Diam-diam ia heran kemana gerangan Khik-sia bersembunyi. Bukankah tadi terang kalau bersuara? Tiba-tiba rombongan paderi berteriak kaget. Waktu Hoan Gong berpaling, darahnyapun terkesiap. Paderi yang mengepalai Kay-le-tong (bagian menjatuhkan hukuman biara) dan Hoan
Biat hwatsu, kena diringkus lawan. Ketiga kawan Ceng-ceng-ji yang menyaru jadi paderi lhama dari Potala itu adalah jago-jago pilihan dari Hwe-ki. Yang dua orang memang juga kaum paderi. Tetapi yang seorang, hanya secara darurat mencukur rambut dan menyaru jadi paderi. Kedua paderi itu termasuk golongan partai agama Bi-cong dari Tibet. Namanya Bu Ong dan Bu Ci. Mereka berhambat pada Hwe-ki tapi tak punya hubungan apa-apa dengan Biara Agung Potala. Rencana itu Ceng-ceng-ji dan panglima Hwe-ki Topace yang mengatur. Pada upacara sembahyangan hari lahir sang Buddha, biara Ogemi tentu menerima tetamu. Saat itulah mereka akan meyelundup masuk dan meringkus kepala biara untuk menyerahkan Khik-sia. Rencana itu mempunyai dua pertimbangan. Pertama, karena paderi-paderi biara Ogemi itu pandai ilmu silat. Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki. Kalau terjadi perang, dikuatirkan paderi-paderi Ogemi itu akan digunakan oleh pemerintah Tho-ko-hun. Kedua, karena Topace memerlukan tenaga Cengceng- ji maka ia turuti saja keinginan orang untuk menculik Khik-sia. Dalam melaksanakan rencana itu, Ceng-ceng-ji minta bantuan dari seorang jago Hwe-ki. Dan demi suksenya rencana itu, mereka berdua rela menuckur rambut menjadi paderi gadungan. Yang disambut Hoan Biat hwatsu adalah si jago Hwe-ki yang menyaru jadi paderi lhama. Namanya Chili, bu-su (senopati) nomor satu dari negeri Hwe-ki. Kepandaiannya tak kalah dengan Ceng-ceng-ji. Sebenarnya Hoan Biat juga tinggi ilmu silatnya. Tetapi karena mengira benar-benar berhadapan dengan utusan dari Potala, maka ia tak bersiap-siap. Tutukan jalan darah yang dilancarkan secara kilat oleh Chili, menyebabkan Hoan Biat hwatsu tak berdaya. Pun tertangkapnya paderi kepala Ka-le-tong itu juga karena tak bersiap-siap. Hanya sekali gerak, dia sudah dibikin tak berdaya oleh Bu Ong. Di kalangan empat paderi kepala dari biara Ogemi, hanya Hoan Siok hwatsu yang sudah menaruh kecurigaan. Karena itu ia sudah bersiap- siap dan tak sampai kena diringkus. Kini ia bertempur seru dengan paderi Tibet si Bu Ci. Chili mengangkat tubuh Hoan Biat tinggi ke atas dan tertawa gelak-gelak: Jiwa hong-tiang kalian berada di tanganku. Siapa yang berani bergerak? Kawanan paderi yang sedianya hendak bergerak menyerang, terpaksa berhenti. Ceng-ceng-ji tertawa bangga, serunya: Hai, dengarlah sekalian paderi Ogemi. Hal yang pertama harus kalian lakukan, serahkanlah budak Khik-sia itu padaku! Khik-sia tak enak karena telah membikin susah hong-tiang Ogemi. Baru ia hendak tampil ke muka, tiba-tiba Chili berteriak keras dan lemparkan tubuh Hoan Biat sampai beberapa tombak jauhnya. Kiranya Hoan Biat diam-diam kerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Karena dicengkeram, tangannya tak dapat bergerak, tapi ia dapat tekuk lututnya untuk membentur ubun-ubun kepala orang. Chili adalah jago nomor satu dari Hwe-ki, kepandaiannya pun luar biasa. Jika lain orang, tentu sudah pecah kepalanya dengan gerakan Hoan Biat yang tak terduga-duga itu. Tapi dia dapat menghindar dengan sebat. Cepat-cepat ia mendak sambil menarik tubuh orang. Lutut Hoan Biat luput mengenai kepala tapi kena pundak Chili. Sakitnya bukan kepalang. Dalam marahnya ia lemparkan tubuh Hoan Biat sekuat-kuatnya. Dua orang paderi coba hendak menyambuti tubuh pemimpinnya. Tapi akibatnya menggenaskan. Mereka tak kuat menyambuti tenaga lontaran yang begitu hebat sehingga terhantam jatuh di tanah bergelundungan. Mulut menjeri ngeri, tubuh berkelojotan dan nyawa melayang..... Untung karena ditahan oleh kedua paderi tadi, daya bantingan Chili berkurang tenaganya. Begitu tiba di tanah, Hoan Biat dapat berjumpalitan bangun. Dia tak sampai terluka berat. Namun karena hebatnya kegoncangan yang dideritanya, ia pun muntahkan segumpal darah. Gelombang yang satu belum reda, gelombang lain timbul. Ci-hwat-ceng (paderi yang menguasai peraturan biara) yang diringkus Bu Kiu siangjin, pada saat itupun menjerit ngeri. Kiranya ia tak sudi dijadikan barang tanggungan untuk menekan kawan-kawannya. Tahu bahwa kepandaiannya kalah dengan lawan, ia putuskan urat nadinya sendiri dan binasa.... Hoan Biat hwatsu murka. Menyambuti sebuah senjata Hong-ciang-jan dari seorang muridnya,
ia berseru dengan bengis: Delapan murid dari tingkat lwe-sam-wan supaya tetap tinggal di ruangan, yang lain-lain supaya keluar semua. Biara Ogemi tak dapat menerima hinaan sebesar ini! Mengetahui bahwa musuh yang datang pada saat itu termasuk jago-jago kelas satu, maka Hoan Biat segera meminta kedelapan murid kepala Lwe-sam-wan tinggal. Yang lain-lain karena dianggap masih belum cukup kepandaiannya, disuruh keluar agar jangan sampai jatuh korban banyak. Hoan Biat bertiga saudara (Hoan Gong dan Hoan Siok) dengan kedelapan murid kepala itu akan bertempur mati-matian dengan pengacau-pengacau itu. Jangan lagi hanya delapan murid kepala, sekalipun semua paderi-paderimu disuruh maju, aku tak takut! Chili tertawa mengejek. Ia cabut golok pusakanya dan menyambut serangan Hoan Biat. Trang.... setelah terluka parah tenga Hoan Biat berkurang, ta tak kuat menahan gempuran golok. Senjatanya rompal dan dia sendiri tersurut mundur sampai tiga langkah! Hoan Gong dan Hoan Siok yang mempimpin sayap kanan dan kiri dari barisan paderi, segera maju menahan serangan Chili dan Bu Ong. Barisan bergerak memencar dan merapat kembali. Hoan Biat mundur ke dalam barisan. Ceng-ceng-ji beberapa kali hendak menerobos tapi tak berhasil. Tapi sayang Hoan Biat yang paling tinggi kepandaiannya telah menderita luka dan di antara delapan murid kepala itu sudah ada dua orang yang terluka ringan. Di bawah tekanan dari empat jago kelas satu, rupanya barisan paderi itu mulai tak kuat bertahan. Diam-diam Khik-sia menyesali dirinya karena sudah tak punya tenaga lagi. Coba tidak, tentu ia dapat melayani Ceng-ceng-ji. Tiba-tiba ia teringat bahwa Ceng-ceng-ji itu bukan melainkan hendak menangkap dirinya saja, pun termasuk Tiau-ing juga. Jika pihak Ogemi sampai kalah, Tiau-ing tentu takkan lolos. Ah, mengapa aku tak coba-coba membujuknya supaya memberi obat penawar? tanyanya sendiri. Buru-buru ia keluar dari ruangan pertempuran. Pada waktu Hoan Gong menerima kedatangan Tiau-ing dan Khik-sia, hanya beberapa paderi yang berkedudukan tinggi, tahu urusan itu. Yang lain-lainnya hanya mengira Khik-sia itu sebagai calon paderi baru. Apalagi kala itu sedang dalam kekacauan maka tak ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya (Khik-sia) sama sekali. Tetapi ia tak tahu di mana ruangan yang ditempati Tiau-ing. Yang didengarnya dari Hoan Gong ialah bahwa hong-tiang telah menyediakan sebuah kamar istimewa untuk Tiau-ing dan melarangnya keluar. Ah, kemana ia hendak mencari kamar itu? Ia coba-coba pergi ke taman belakang. Di dalam taman itu terdapat belasan pondokan untuk paderi-paderi. Ketika ia hendak mencari keterangan, tiba-tiba seorang wanita muncul berlari-larian sampai hampir menubruknya. Wanita itu seorang perempuan tani. Karena sudah tak punya kekuatan, Khik-sia terpelanting jatuh terlanggar. Wanita itu berhenti, menolongnya dan mengucapkan beberapa patah bahasa daerah yang tak dimengerti Khik-sia. Apa kau yang melayani nona Su? tanya Khik-sia. Namun perempuan itu juga tak mengerti bahasanya Khik-sia. Setelah menatap Khik-sia dari ujung kaki sampai ke kepala, ia mengunjuk wajah girang lalu mengeluarkan sebuah lukisan. Kini giliran Khik-sia yang terheran-heran. Tapi yang nyata, lukisan itu merupakan seorang pemuda yang bukan lain Khik-sia sendiri. Perempuan itu mulutnya nyerocos sambil menggerak-gerakkan tangan. Akhirnya Khik-sia dapat menangkap juga artinya. Lukisan itu Su Tiau-ing yang membuat. Ia suruh wanita itu mencari Khik-sia. Khik-sia menunjuk diri, lalu menuding perempuan itu, ujarnya: Apakah nona Su memanggil aku? Rupanya perempuan itu juga mengerti bahasa isyarat Khik-sia. Ia angguk-anggukan kepalanya, lalu menarik Khik-sia diajak lari. Taman itu dibuat di muka gunung. Tiba di tepi gunung, jalananpun putus. Wanita itu melintasi sebuah gua. Di luar gua terdapat lagi sebuah perumahan. Puncak gunung itu merupakan sebuah pintu yang memisah taman menjadi dua bagian. Diam-diam Khik-sia bersyukur dapat bertemu dengan wanita itu. Tiba di sebuah ruang, terdengar Tiau-ing merintih-rintih dan memanggil-manggil namanya (Khik-sia). Khik-sia terkejut. Dengan lari terhuyung-huyung ia masuk dan mendorong daun pintu. Tampak Tiau-ing rebah di pembaringan, wajahnya pucat kekuning-kuningan. Melihat Khik-sia, Tiau-ing tersentak kaget tapi cepat mengusirnya: Keluar!
Tapi bukankah kau sendiri yang memanggil aku? Khik-sia tercengang. Tiau-ing tak menghiraukannya lagi, rintihannya makin hebat. Perempuan desa tadi segera mendorong Khik-sia keluar. Setelah memberi isyarat dengan menepuk-nepuk perutnya sendiri, pintu terus ditutupnya lagi. Merahlah wajah Khik-sia. Kini ia baru mengerti bahwa Tiau-ing akan melahirkan anak. Khiksia makin bingung. Ia hendak minta obat penawar, siapa tahu Tiau-ing sedang akan melahirkan.... Saat itu kawanan paderi Ogemi sedang menghadapi pertempuran....... (tulisan kabur, tak terbaca) Ceng-ceng-ji putar pedangnya seperti angin puyuh dan berhasil membobolkan pertahanan tuan rumah. Dua orang murid kepala Ogemi terbunuh olehnya. Satu-satunya yang masih dapat memberikan perlawanan berarti hanyalah Hoan Biat seorang. Tapi demi melihat pihaknya menderita kekalahan, Hoan Biat menghela napas dalam. Dia tak sudi menerima hinaan dan terus hendak bunuh diri saja. Tapi tiba-tiba ada serombongan orang menerobos masuk ke ruangan situ. Mereka adalah He Leng-soang dan puteranya serta Bik-hu dan kawan-kawan. He Leng-soang kesima dengan pemandangan yang dijumpainya ruangan besar itu. Adalah Innio yang dapat mengambil putusan cepat: Bantu pihak Ogemi basmi kawanan durjana itu! Benar! sahut He Leng-soang yang segera melesat memasukkan pedangnya ke punggung Ceng-ceng-ji. Pedang Ceng-ceng-ji tak mampu mengutungkan pedang nyonya itu, sebaliknya malah hampir terlepas jatuh. Huh, entah di mana wanita ini bersembunyi tahu-tahu kepandaiannya begini hebat, diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut. Buru-buru ia cabut pedangnya dan memainkannya dalam ilmu pedang Wan-kong-kiam. Dulu Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat dari He Leng-soang. Tapi karena dalam sepuluh tahun ini dia umbar kesenangan saja, kepandaiannya pun tak mendapat kemajuan yang berarti. Kini berbalik He Leng-soang yang lebih unggul setingkat. Ilmu pedang nyonya itu dapat digunakan untuk bertahan dan menyerang dengan dahysat. Biar Ceng-ceng-ji mati-matian memainkan pedangnya, tetap tak dapat menemukan lubang kelemahan lawan. Tapi sayangnya hanya He Leng-soang saja yang unggul. Anak-anak muda dalam rombongannya itu payah-payah keadaannya. Yak-bwe mendapat lawan Chili. Bermula jago Hweki ini memandang rendah, pikirnya hendak menangkap Yak-bwe hidup-hidup. Tapi ia segera dikejutkan oleh serangan kilat dari pedang Yak-bwe. Untung ia cepat turunkan tubuh, coba tidak tentu tulang pe-peh-kutnya tertusuk. Ia pun bersyukur hanya bajunya yang berlubang. Bagus, budak perempuan. Ternyata kau punya kepandaian yang berarti juga, Chili tertawa mengejek sambil putar senjatanya Gwat-yu-wan-to (golok yang bengkok seperti bulan sabit). Trang, pedang Yak-bwe hampir saja kena terhantam jatuh. Berbareng itu Chili ulurkan tangan kirinya untuk menangkap si nona. Budak anjing, jangan kurang ajar! In-nio melesat menyabat tangan Chili. Kepandaian nona itu lebih tinggi dari Yak-bwe. Ilmu pedangnya pun lebih lihay. Chili tergetar juga hatinya. Ia terpaksa menarik pulang tangannya tadi. Tetapi bagaimanapun juga Chili itu tetap lebih unggul dari kedua nona. Ia tak mau menangkap hidup-hidup lagi dan mainkan goloknya dengan keras. Anginnya sampai menderu-deru. Untung karena seperguruan, ilmu pedang Yak-bwe dan In-nio itu dapat dimainkan bersama. Dan Yak- bwe sudah mendapat ajaran ginkang dari Khik-sia. Dengan lincahnya, kedua nona itu berputar-putar menyerang Chili. Meskipun harapan menang tipis, tapi sekurang-kurangnya dapat bertahan diri. Waktu Bik-hu hendak membantu, dia dihadang oleh si paderi Tibet, Bu Ong. Ilmu Toa-chiu-in (lekatkan tangan besar) dari Bu Ong siangjin merupakan ilmu pukulan lwekang istimewa dari aliran Se-gak. Kedahsyatannya dapat dibandingkan dengan pukulan Kim-kong-ciang dari partai Siu- limpay. Dalam sepuluh jurus, Bik-hu sudah terengah-engah dan mandi keringat. Untung ia memiliki kepandaian dari Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin. Bagaimanapun juga Bu Ong siangjin jeri juga menghadapi pedang pemuda itu. Situasi Bik-hu memang sulit tapi belum sampai menghadapi kekalahan. Di dalam pihak tuan rumah, Hoan Biat dan ketiga sutenya yang paling menggenaskan. Hoan
Biat terluka berat, ketiga sutenya itupun terluka juga. Dia tak mau berpeluk tangan melihat lain orang mati-matian membelanya. Maka ia pimpin anak muridnya untuk mengganyang si paderi Tibet Bu Ci yang belum dapat tandingan. He Leng-soang yang selalu pasang mata memperhatikan situasi pertempuran, menjadi resah juga hatinya. Benar ia menang angin, tapi untuk tinggalkan libatan Ceng-ceng-ji dan membantu rombongannya, juga tak mudah. Pada saat situasi tegang-meregang tiba-tiba terdengar suara suitan panjang. Bermula dari kejauhan, tapi dalam sekejab saja sudah mengiang di telinga sekalian orang. Ceng-ceng-ji terperanjat, setelah merangsang lawan, tiba-tiba ia loncat terus melarikan diri. Hai, Gong-gong-ji, kau datang? teriak He Leng-soang dengan girang sekali. Memang yang datang itu Gong-gong-ji. Ceng-ceng-ji cepat meloloskan diri, tapi Gong-gong-ji lebih cepat lagi datangnya. Baru kaki Ceng-ceng-ji melangkah pintu, ia sudah kesampokan dengan Gong-gong-ji. Binatang, masih mau lari? bentak Gong-gong-ji yang sekaligus merebut pedang Ceng-ceng-ji dan meringkusnya. Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji masih mampu melayani sang suheng sampai dua-tiga puluh jurus. Tapi dikarenakan ia paling takut kepada Gong-gong-ji, maka begitu melihat sang suheng, pecahlah semangatnya. Suheng, sukalah mengingat hubungan persaudaraan, mengampuni.... Shin Ci-koh cepat menukas rintihan Ceng-ceng-ji itu dengan tertawa dingin: Sekalipun suhengmu mengampuni, tetapi aku tidak bisa! - Plak, ia menampar muka Ceng-ceng-ji. Separuh mukanya begap biru, sebuah giginya rontok. Dia berhutang sebuah tamparan padaku, aku sudah menagihnya. Sekarang terserah padamu, dia itu sutemu, katanya kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menghela napas: Ceng-ceng-ji, adalah perbuatanmu sendiri yang tak memperbolehkan kau hidup di dunia! Akan kuserahkan kepada Sunio, mati atau hidup tergantung nasibmu. - Sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat, tubuh Ceng-ceng-ji yang terkulai itu segera dilemparkan ke sudut ruangan. Kawanan kepala gundul itu hendak merampas Khik-sia. Kita bantu dulu pihak Ogemi, katanya kepada Shin Ci-koh. Sekali kedua calon suami-isteri itu turun tangan, dalam beberapa kejab saja, Chili, Bu Ci dan Bu Ong sudah dirubuhkan. Mereka diutus oleh pemerintah Hwee-ki. Harap Gong-gong sicu ijinkan kubawa mereka ke kota raja, biar raja kami yang menghukumnya, kata Hoan Biat hwatsu. Ceng-ceng-ji itu suteku. Kecuali dia yang lain-lain terserah hong-tiang, jawab Gong-gong-ji. Karena lwekangnya yang tinggi, Hoan Biat yang terluka berat masih dapat menghampiri Gonggong- ji untuk menghaturkan terima kasih. Aku tak meminta terima kasih, tetapi akan meminta suteku Toan Khik-sia. Dia berada di sini, bukan? sahut Gong-gong-ji. Hoan Biat mengiakan. Ia segera suruh beberapa muridnya yang kenal Khik-sia supaya memanggilnya keluar. Lewat beberapa saat kemudian, murid-murid itu datang dengan laporan bahwa Khik-sia tak dapat diketemukan. P E N U T U P Memang saat itu Khik-sia tengah mondar-mandir di muka kamar Tiau-ing. Tiba-tiba ia mendengar tangis orok melengking.... Oh, kiranya ia sudah melahirkan. Mengapa aku menunggu di sini? Khik-sia merasa malu dan hendak kembali keluar. Tapi ia bersangsi. Selama tenaganya masih punah bagaimana ia dapat membantu pertempuran itu. Selagi ia maju mundur, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncullah si perempuan desa tadi. Ia memberi isyarat supaya Khik-sia masuk. Khik-sia merah mukanya dan membantah dengan terbataKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/ bata. Tapi perempuan itu tak mengerti omongannya. Ia memberi isyarat lagi bahwa kamar itu sudah dibersihkan. Malah setelah itu, Khik-sia diseretnya masuk. Khik-sia meronta-ronta. Khik-sia, masuklah. Aku hendak bicara padamu. Tak usah kau malu-malu. Maukah kau masuk kemari? Akan kutolongmu! tiba-tiba Tiau-ing berseru dengan nada lemah dan gemetar. Iba juga hati Khik-sia. Tak lagi ia meronta dan biarkan dirinya ditarik masuk oleh si perempuan tani. Tampak dengan wajah masih pucat kuning, Tiau-ing duduk setengah tidur di ranjang. Kepalanya disandarkan pada dinding ranjang. Di atas ranjang terdapat seorang orok yang dibungkus dengan selimut merah. Sebuah perapian memancarkan bau ratus wangi. Lantai ruangan bersih mengkilap. Kuucapkan selamat padamu ibu dan anak, Nyonya Bo. Kau, kau hendak bilang apa padaku? kata Khik-sia. Tiau-ing tak menyahuti ucapan itu, sebaliknya menunjuk pada orok di sebelahnya: Pondonglah dia, biar kulihatnya. Khik-sia menurut. Bayi dipondongnya ke muka Tiau-ing. Montok benar, ya? Bagaimana, mungil tidak? Miripkan dengan aku, kata Tiau-ing. Mungil sekali, sangat mirip dengan kau, sahut Khik-sia. Padahal bayi itu lebih mirip dengan Se-kiat. Sebenarnya Khik-sia gelisah sekali hatinya. Ia ingin Tiau-ing lekas-lekas selesai berkata, agar ia dapat mengatakan maksudnya. Maka sembarangan saja ia menyahut menuruti apa yang dikehendaki Tiau-ing. Wajah Tiau-ing yang pucat mengerut cahaya riang, ujarnya: Benarkah mirip aku? Kau suka dengan anak itu atau tidak? Suka, suka! tersipu-sipu Khik-sia mengiakan. Baru pertama dalam hidupnya ia memondong seorang bayi. Dia berdebar-debar takut kalau-kalau jatuh atau terlalu kencang pondongannya. Ngeeekk ... tiba-tiba orok itu menangis, tangannya yang kecil mencakar muka Khik-sia. Segala apa bisa dikerjakan orang lelaki, kecuali hanya dalam soal merawat bayi, kata Tiau-ing yang lantas suruh perempuan tani tadi menyambuti si orok. Setalah diminumi susu kambing bayi itupun berhenti menangis. Setelah terlepas dari beban yang menghimpit perasaannya, Khik-sia terus hendak membuka mulut. Tetapi didahului Tiau-ing: Khik-sia, kaupun harus lekas menikah. Ai, entah apakah kekasihmu nona Su itu masih membenci aku? Sudah tentu ia telah membencimu karena kau menculik aku, batin Khik-sia. Tapi melihat keadaan Tiau-ing saat itu, ia merasa kasihan dan terpaksa menghiburnya: Jika aku bisa keluar dengan tak kurang suatu apa, aku tentu dapat memberi penjelasan padanya. Meskipun ia seorang nona yang keras perangainya tapi suka memberi maaf orang. Tiau-ing memandang Khik-sia sejenak, seperti ada sesuatu yang direnungkan. Sampai beberapa saat ia tak bicara. Nyonya Bo, jika kau tak ada lain-lain hal yang hendak dibicarakan, aku hendak memohon sebuah hal padamu. Tiba-tiba Tiau-ing dongakkan kepala dan bertanya: Apa yang terjadi di luar itu? Aku seperti mendengar suara orang bertempur! - Setengah jam setelah melahirkan, kini semangat Tiau-ing berangsur-angsur pulih. Pendengarannya mulai tajam. Ceng-ceng-ji dan beberapa jago lihay menyerbu ke biara ini. Dia hendak menangkap kau dan aku. Hoan Biat hong-tiang, Hoan Gong hwatsu dan lain-lain tengah bertempur dengan mereka. Untuk hal itulah maka aku datang kemari .... Disini merupakan tempat rahasia. Hong-tiang telah berjanji takkan membocorkan tempat ini. Tak mungkin kunyuk tua itu dapat mencari kemari, jangan kuatir, Tiau-ing tenang-tenang saja. Ah, mengapa kau hanya memikirkan kepentingan dirimu saja? Mereka lihay sekali, kukuatir hong-tiang bukan tandingannya. Berikanlah obat penawar padaku, aku hendak membantu tuan rumah. Kalau tidak, jika biara ini sampai hancur, toh kita juga akan jatuh ke tangan musuh, Khiksia agak jengkel. Tiau-ing tertawa tawar: Kau memaki aku dengan tepat. Memang aku terlalu memikirkan keuntungan diriku saja. Bahkan saat inipun aku masih memerlukan bantuanmu untuk
kepentinganku. Tetapi permintaanku ini mungkin yang terakhir. Maukah kau mendengar omonganku dengan sabar? Takkan makan banyak waktu! Saat itu suara pertempuran sudah tak kedengaran lagi. Khik-sia makin cemas. Apakah pihak Ogemi sudah kalah? Hoan Biat dan kawan-kawan sudah ditawan musuh? pikirnya. Namun tanpa obat penawar, ia tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia terpaksa minta Tiau-ing supaya mengatakan permintaannya itu. Lebih dulu Tiau-ing menghela napas, baru berkata: Kutahu bahwa selama ini aku selalu mencelakaimu. Tetapi kini aku sudah sebatang kara. Kau anggap aku sebagai musuh atau sahabat, aku tetap menganggapmu sebagai kawan. Apa yang kau kehendaki supaya kukerjakan? Silahkan, bilang. Tentu akan kukerjakan sedapat mungkin, kata Khik-sia. Tiau-ing menatap dengan bola matanya: Jadi kau memaafkan diriku? Supaya orang lekas bilang dan juga karena kasihan, Khik-sia mengangguk: Aku bukan orang yang suka mendendam. Ya, kumaafkan kau. Wajah Tiau-ing berseri tawa: Baik, kalau begitu kuminta kelak kau supaya merawat anakku itu. Maukah? Sayup-sayup Khik-sia seperti mendapat firasat yang tak baik, ujarnya: Nyonya Bo, mengapa kau ucapkan perkataan itu? Benar aku pernah mempunyai ganjalan dengan kalian suami isteri, tetapi kini Se-kiat sudah meninggal. Segala dendam kesumat itu pun gugur sudah. Anakmu adalah seperti keponakanku sendiri. Atas kepercayaanmu yang begitu besar, sudah tentu akan kurawat anak itu. Harap kau mengaso untuk merawat kesehatanmu dengan tenang. Mendengar ucapan Khik-sia yang dibawakan dengan nada bersungguh, wajah Tiau-ing menggambarkan kelegaan. Ujarnya: Terima kasih atas kelapangan hatimu menghapuskan kesalahan lama. Aku sungguh merasa lega sekali. Ia mengambil sebuah kotak emas dari bajunya dan berkata: Obat penawar di dalam kotak ini, ambillah sendiri. Minumlah dengan air, sejemput saja sudah cukup. Girang sekali Khik-sia waktu menyambuti kotak itu. Waktu hendak meminumnya, Tiau-ing kembali berkata: Pokiam-mu juga harus kukembalikan. Seperti diketahui, pedang pusaka Khik-sia itu telah dirampas Tiau-ing sejak pertama kali pemuda itu ditawannya dahulu. Sewaktu Khik-sia hendak berputar tubuh menyambuti, tiba-tiba terdengar suara ces. Tiau-ing telah menusukkan ke dadanya sendiri. Ada kau yang merawat anakku, aku tak merasa kuatir lagi dengan nasib anak itu! katanya dengan sayu. Kejut Khik-sia tak terhingga, Nyonya Bo, mengapa kau perlu berbuat begitu? Ia menjerit dan maju hendak mencegahnya tapi sudah kasip. Ketika Khik-sia menjamah tubuh Tiau-ing, ternyata pedang pusaka itu sudah masuk separuh ke dadanya. Tiau-ing sukar ditolong jiwanya lagi ...... Se-kiat, telah kukatakan aku tentu akan menyusul kau. Sekarang aku akan berjumpa padamu. Kau tentu memaafkan diriku, bukan? Tidakkah kau mendengar Khik-sia memanggil aku Nyonya Bo? Memang, aku tetap isterimu! Kalau pedang itu dicabut, Tiau-ing tentu mati seketika. Khik-sia tak berani melakukannya. Ia hanya memapah tubuhnya, tak tahu apa yang harus dilakukan. Suara Tiau-ing makin lama makin lemah. Tiba-tiba terdengar derap orang berlari mendatangi. Dan pecahlah dua buah teriakan. Khik-sia! Ing-ji! Yang pertama nada suara Yak-bwe, yang belakangan suara Shin Ci-koh. Adalah Shin Ci-koh yang menduga Khik-sia tentu berada di kamar Tiau-ing. Dan setelah mendapat keterangan dari Hoan Biat, ia bersama In-nio dan Yak-bwe segera menuju ke sana. Gong-gong-ji dan Bik-hu karena tak leluasa ikut, hanya menunggu di luar. Sayang kedatangan mereka itu terlambat setindak. Sepasang mata Tiau-ing sudah mengatup. Tapi demi mendengar suara suhunya, semangatnya menyala dan membuka mata lagi. Ujarnya: Khik-sia, berjanjilah padaku bahwa kau harus lekaslekas menikah dengan nona Su. Hm, sekarang aku telah menyatakan terima kasihku dengan kematian. Hanya masih ada suatu hal yang telah menjadi penyesalanku. Yakni tanggung jawabku
terhadap suhuku. Suhu, apakah pada detik-detik kematianku ini kau sudi menerima diriku kembali ke dalam haribaanmu? Tepat pada saat ia mengucapkan kata-katanya itu, Shin Ci-koh melangkah masuk, menjerit dan memeluk muridnya itu. Suhu, sudikah kau memaafkan muridmu ini? kata Tiau-ing. Dengan berlinang-linang Shin Ci-koh menjawab: Sebagai suhu akupun bersalah juga. Ing-ji, kau legakanlah hatimu. Anakmu akan kuwakili merawatnya. Kelak kalau sudah besar akan kusuruh ikut Khik-sia agar dia jangan sampai terjerumus ke jalan yang sesat. Tiau-ing tersenyum rawan: Kini legalah hatiku. Ai, kalian memperlakukan aku dengan baik. Sayang, sayang, aku yang tak dapat menjalankan kebaikan ..... Berkata sampai disini, suara Tiau-ing makin hilang. Ing-ji! Shin Ci-koh menjerit. Tetapi tubuh muridnya itu mulai dingin. Ketika dirabah hidungnya, ternyata nafasnya sudah berhenti. Shin Ci-koh mencabut pedang di dada Tiau-ing. Setelah menghapus bekas darahnya lalu diserahkan pada Khik-sia. Kemudian ia menutupi tubuh Tiau-ing dengan selimut lalu menurunkan kain kelambu. Rupanya bayi itu merasa akan apa yang telah menimpa sang ibu. Ia menangis. Shin Ci-koh mengemponya sambil menimang-nimang. Jangan nangis, buyung. Kelak kalau besar janganlah seperti ayah bundamu. Kau harus menjadi seorang lelaki yang jantan perwira. Khik-sia, kelak kalau dia sudah besar akan kuserahkan padamu, kau setuju tidak? Khik-sia yang bermula kuatir tak dapat merawat bayi, girang sekali ketika Shin Ci-koh bersedia menggantikannya. Sudah tentu ia setuju dengan pernyataan bakal susohnya itu. Sewaktu Shin Ci-koh keluar dengan mengempo bayi, didapatinya Gong-gong-ji dan para paderi biara Ogemi masih bercakap-cakap di ruangan besar. Ketika mendengar penuturan tentang tindakan Tiau-ing, sekalian orang sama menaruh simpati karena Tiau-ing telah berlaku ksatria. Menebus kesalahan dengan kematiannya. Begitulah, setelah urusan selesai, Gong-gong-ji dan rombongannya segera minta diri. Atas nama Biara Ogemi, sekali lagi Hoan Biat menghaturkan terima kasihnya. Dalam perjalanan Gong-gong-ji menyatakan hendak bersama Shin Ci-koh pulang ke gunung. Ia hendak menyerahkan Ceng-ceng-ji kepada su-nio (isteri suhunya) dan menyerahkan bayi itu. Nanti kita bertemu lagi di tempat Thiat-mo-lek. Khik-sia, kukira aku tentu masih keburu minum arak kebahagiaanmu. Khik-sia menyatakan yang tepat suhengnya itulah yang harus menikah dulu baru sutenya. Gong-gong-ji mengambil pedang yang dipakai Ceng-ceng-ji untuk diberikan kepada Khik-sia: Pedang pusaka ini sebenarnya, milik keluarga Coh. Adalah karena kenakalanku sewaktu muda maka kucuri pedang ini. Aku merasa bersalah pada keluarga Coh karena telah memberikan pedang ini kepada Ceng-ceng-ji. Ping-gwan berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan kembali pedangnya ini. Kudengar ia sedang merawat lukanya di In-ge-sau-meng. Kembalikanlah pedang itu kepadanya! Yak-bwe membenarkan tentang beradanya Ping-gwan di daerah itu. Dan ia agak menyalahkan Khik-sia karena dianggap menjadi gara-garanya. Sudah tentu Khik-sia tercengang dan buru-buru minta penjelasan. Setelah mendengar cerita Yak-bwe, Khik-sia menyatakan: Adalah karena diriku maka sampai membikin repot sekian banyak saudara. Dan Coh toako sampai terluka berat. Aku merasa tak enak hati dan harus lekas-lekas menjenguk keadaannya. Karena He Leng-song tak kenal dengan Ping-gwan maka ia menyatakan tak ikut tetapi akan kembali ke tempat Thiat-mo-lek saja. Begitulah rombongan mereka terpecah. Keempat anak muda yakni Khik-sia, Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu meneruskan perjalanan mereka ke daerah In-ge- saumeng. Selama dalam perjalanan mereka tak mau cari perkara dan sebulan kemudian barulah tiba di negeri itu. Beberapa militasi kenal pada Bik-hu dan In-nio. Buru-buru mereka melapor pada Popa ongkong. Popa ong-kong dan Yangpe Keke memerlukan keluar untuk menyambut. Begitu masuk ke dalam kemah Khik-sia lantas menanyakan tentang keadaan Ping-gwan. Luka Coh tayhiap sudah sembuh tapi sekarang dia tak berada di sini, kata Popa ong-kong.
Apa sudah pergi? Khik-sia terkejut. Bukannya pergi. Kemarin penyelidik kami melaporkan pasukan berkuda Hwe-ki melanggar tapal batas. Coh tayhiap bersama beberapa pejuang kami menyerang mereka. Mungkin besok pagi tentu sudah kembali, kata raja itu. Khik-sia menyatakan kalau ia hendak menyusul untuk memberi bantuan. Tapi ong-kong mencegahnya. Sekarang posisi pemerintah Hwe-ki tidak baik. Menurut penyelidik itu, jumlah pasukan berkuda Hwe-ki itu tak berapa banyak. Mungkin hanya untuk menyelidiki keadaan daerah kami saja. Paling-paling hanya menimbulkan insiden kecil-kecilan saja. Pemuda-pemuda kami yang gagah berani sudah siap-siap di tapal batas apalagi mendapat bantuan Coh tayhiap, tentu dapat mengundurkan musuh. Kurasa tak perlu merepotkan kalian. Karena orang begitu yakin terpaksa Khik-sia menurut. Dalam pada itu In-nio meminta keterangan tentang ucapan Popa yang menyatakan bahwa posisi Hwe-ki sekarang buruk sekali. Sekarang Tho-ko-hun sudah berperang dengan Hwe-ki. Tentara yang dipergunakan Hwe-ki untuk menduduki Tiang-an pun kini sudah berontak. Mereka mengusir tentara Hwe-ki yang menduduki Su-tho. Beberapa negeri di Se-gak pun sudah mengadakan persekutuan. Meskipun belum memerangi tapi sudah tak mau taat pada perintah Hwe-ki lagi, menerangkan Popa ongkong. Oh, kalau begitu rencana nona U-bun sudah dilaksanakan, kata In-nio. Kesemuanya itu berkat bantuan kalian yang telah dapat menawan si pangeran dan anak raja Hwe-ki, sahut Yangpe. Eh, kami hanya membantu sedikit tenaga. Yang utama ialah karena jasa Coh tayhiap menyusun rencana itu, In-nio merendah. Malamnya Popa ong-kong telah mengadakan perjamuan untuk menghormat para tetamunya. Selagi perjamuan masih berlangsung, pengawal melaporkan tentang datangnya Coh Ping-gwan dan Lu ciangkun. Popa ong-kong dan sekalian hadirin beramai-ramai keluar menyambut. Ternyata yang dipanggil Lu ciangkun itu bukan lain ialah Luse, jago gumul nomor dua dari In-ge-sau- meng. Yang paling terkejut adalah Ping-gwan ketika mendapatkan Khik-sia bersama Yak-bwe berada di situ. Tentang urusanku nanti saja, sekarang harap tuturkan pengalamanmu dulu, kata Khik-sia. Pun Popa ong-kong juga meminta Ping-gwan: Ya, benar. Mengapa selekas ini kalian pulang? Kukira kembali besok pagi. Apakah memperoleh kemenangan? Memangnya tak berperang karena kedatangan pasukan Hwe-ki itu hendak mengantarkan barang hadiah padamu! jawab Ping-gwan. Hadiah? Sungguh aneh, pemimpin In-gesau-meng itu tercengang. Memang benar, hadiah selaku permintaan maaf kepada kita. Tiga puluh ekor kuda tegar, sungguh bukan hadiah yang kecil. Karena kuatir kita marah karena perbuatan anak raja Hwe-ki tempo hari sehingga kita bersepakat dengan Su-tho untuk menyerang mereka maka raja Hwe-ki itu perlukan memberi barang antaran itu. Ha, ha, mereka yang biasanya malang melintang melakukan keganasan, sekarang harus mengambil hati kita, kata Luse. Popa ong-kong tertawa gelak-gelak: Memang demikianlah watak bangsa Hwe-ki yang menginjak pada yang lemah tapi takut terhadap yang melawannya. Dulu kita takut, mereka selalu menghina kita. Setelah kini kita unjuk kekerasan, dia terus menyatakan maaf. Di mana orang mereka itu? Sedang dikawal oleh Pasan ciangkun. Karena kuatir ong-kong mengharap-harap kami lebih dulu pulang memberi kabar, kata Luse. Pasan adalah si jago gumul nomor satu dari In-ge san-meng. Dialah yang memimpin pemudapemuda negerinya untuk mempersiapkan perlawanan pada Hwe-ki. Setelah urusan Hwe-ki selesai dibicarakan, barulah Khik-sia sempat berbicara dengan Pinggwan. Mereka saling berterima kasih atas pengorbanan-pengorbanan yang mereka saling berikan. Tali persaudaraan mereka terasa makin erat. Atas pertanyaan Khik-sia, Ping-gwan menyatakan mau ikut pulang karena lukanya sudah sembuh dan keadaan negara In-ge-sau-meng tak perlu dikuatirkan lagi. Waktu Khik-sia
menyatakan bahwa besok pagi akan kembali, Popa ong-kong mencegahnya. Oh, ong-kong tak tahu. Saudaraku ini akan melangsungkan perkawinan, maka ia harus buruburu pulang, demikian Ping-gwan berolok-olok. Ai, kiranya begitu. Sudah tentu aku tak berani menahannya lagi, Popa tertawa gembira. Coh-tayhiap, apakah kau tak mau menunggu berita Hong-ni di sini? Kau ingin minum arak temanten sahabatmu, akupun juga ingin minum arakmu. Soal itu baik besok saja dibicarakan. Sekarang peperangan antara Hwe-ki dan Tho-ko-hun belum selesai, negeri kecil di daerah Se-gak menderita akibatnya juga. Kelak kalau sudah aman saja, barulah aku datang lagi berkunjung kemari. Aku sudah kelewat lama berpisah dengan sahabatsahabatku di selatan, aku kepingin menyambangi mereka. Karena Ping-gwan bersungguh-sungguh, Popa ong-kong pun tak berani menghalangi. Perjamuan berlangsung dengan gembira. Yangpe Keke mengajak hadirin minum arak guna memujikan keberuntungan Khik-sia dan Yak-bwe. Setelah bubaran, Popa ong-kong mengatur tempat untuk para tetamunya bermalam. Ping-gwan dan Khik-sia tidur dalam satu kemah. Dalam kesempatan itu Ping-gwan mengajak Khik-sia berjalan-jalan keluar. Langit nan biru, alam nan raya. Angin berhembus, rumput membungkuk diendus kambing. Hanya di tempat seperti padang rumput begini, baru kita dapat merasakan kebesaran jagad raya. Coh toako, kalau aku menjadi kau, aku tentu tak mau pulang, kata Khik-sia. Aku sebaliknya ingin pulang. Tapi sungguh menyesal, mungkin aku tak keburu datang minum arak pengantinmu, jawab Ping-gwan. Ai, bukankah besok pagi kau ikut kami pulang? Khik-sia heran. Urusan ini tak ingin diketahui orang banyak. Terus terang saja, sebenarnya aku ingin pergi ke Su-tho. Besok pagi setelah tinggalkan lembah ini, akupun hendak memisahkan diri dengan rombonganmu, sahut Ping-gwan. Ho, kiranya kau hendak menemui Siau-nimu itu? Takut diketahui orang? Sungguh lucu benar. Justeru kami ingin menghaturkan selamat padamu, Khik-sia mengolok. Bukannya aku hendak menjumpainya. Hanya kemarin ia mengutus orang untuk menyampaikan surat padaku. Dalam surat ia mengatakan hendak bertemu padaku. Tetapi tak boleh bilang pada lain orang, sekalipun Popa ong-kong. Hal ini memang aneh, tapi aku tak dapat tidak pergi. Toan-hengte, jika aku sampai tak dapat menghadiri pesta perkawinanmu, haraplah memaafkan. Aku juga meminta maaf karena tak dapat minum arak kebahagiaanmu, Coh toako. Apanya yang aneh jika ia ingin bertemu padamu, apalagi kalau bukan menunggu kau meminangnya? Tetapi dia sudah seperti saudara dengan Yangpe keke. Jika begitu kehendaknya kan dia mestinya bisa minta tolong pada keke. Tetapi justeru sekarang ia minta jangan memberitahukan keke, bantah Ping-gwan. Bagaimana ia tak malu minta tolong pada Yangpe keke? Tapi sebenarnya keke juga sudah mengetahui isi hatinya. Tidakkah kau memperhatikan ucapan keke tadi? kata Khik-sia. Rupanya setelah mengalami gelombang pasang surut dalam love-affair dengan Yak-bwe, kini Khik-sia sudah mempunyai pengalaman tentang perangai anak gadis. Sebaliknya Ping-gwan tetap tak percaya. Namun karena toh sudah mengambil keputusan memenuhi undangan si nona, ia tak mau banyak pikiran lagi. Keesokan harinya rombongan anak muda itu meminta diri pada Popa ong-kong. Setelah keluar dari lembah, seperti yang direncanakan semalam, Ping-gwan pun memisah diri menuju Su-tho. Singkatnya saja, Khik-sia dan kawan-kawan telah tiba dengan selamat di gunung Hok-gu-san. Thiat-mo-lek beramai-ramai menyambut keluar. Diantaranya terdapat He Leng-soang, Gong- gongji, Shin Ci-koh dan lain-lain. Setelah memberi hormat, Khik-sia tertawa: Suheng, cepat sekali kau sudah datang. Suheng dan susohmu itu bergegas-gegas datang untuk menghadiri pernikahanmu. Mereka sudah tiba tiga hari yang lalu. Tetapi mereka tak mau memberikan arak kebahagiaannya kepadamu. Sekarang aku hendak denda mereka supaya membayar kerugianmu itu, Thiat-mo-lek tertawa. Oh, jadi suheng sudah, sudah menikah? Khik-sia terkejut girang.
Seorang tokoh ugal-ugalan seperti Gong-gong-ji saat itu tampaknya kemalu-maluan juga. Buru-buru ia memberi penjelasan: Ibu guru sudah berusia lanjut. Beliau tak ingin turun gunung. Untuk menyenangkan hati beliau, terpaksa kulangsungkan pernikahan di gunung. Tak seorangpun yang kuundang. Sebenarnya si jejaka tua Gong-gong-ji yang sudah berumur 40-an tahun itu, lebih pemaluan dari anakmuda. Kuatir kalau pernikahannya dilangsungkan bersama-sama dengan Khik-sia, ia tentu bakal digoda dan diolok-olok oleh para tetamu, maka setelah mendapat persetujuan Shin Ci-koh, ia lalu melangsungkan pernikahan dengan secara diam-diam. Apakah ibu guru dalam keadaan sehat? tanya Khik-sia. Sehat tak kurang suatu apa. Berhubung karena pernikahanku itu beliau agak reda kemarahannya terhadap Ceng-ceng-ji. Coba tidak, Ceng-ceng-ji tentu sudah habis riwayatnya, kata Gong-gong-ji. Lalu Ceng-ceng-ji mendapat hukuman apa? tanya Khik-sia. Ia dibikin hilang kepandaiannya dan tiap hari harus memikul air. Sunio tahu juga bahwa kau akan menikah. Beliau pesan supaya kau ajak mempelaimu menghadap padanya. Khik-sia mengiakan. Diantara mereka hanya Bik-hu seorang yang kesepian karena tak punya sanak famili. Tiba-tiba terdengar suara orang tua tertawa gelak-gelak: In-niio, Bik-hu, kalian tentu tak mengira aku juga datang kemari? Girang In-nio bukan kepalang: Yah, mengapa kau berada di sini? teriaknya. Kiranya orang tua itu bukan lain ialah Sip Hong. Kerajaan menganggap aku tak berdaya menghadapi kawanan penyamun. Tapi mengingat jasajasaku sewaktu menumpas pemberontak Su Tiau-gi, maka baginda hanya membebaskan tugasku saja. Ini sesuai dengan keinginanku untuk pulang ke kampung halaman, kata Sip Hong. Kalau tidak begitu, mana ayahmu berani datang berkunjung ke sarang penyamun sini? Thiatmo- lek tertawa. Sip Hong menghela napas: Semasa muda aku bercita-cita menjadi pendekar kelana. Sayang aku kesasar jalan, ikut pada Sik Ko mengabdi kerajaan. Sekian banyak tahun menjadi panglima, walaupun merasa bersyukur kepalaku tak sampai dihukum penggal, tapi kedosaanku juga tak sedikit. Kuharap kalian dapat memperbaiki kesalahanku itu. In-nio, kupikir setelah menghadiri pernikahan Toan hiantit aku segera akan mengajakmu pulang. Pernikahanmu dengan Bik-hu juga harus segera dilaksanakan. In-nio dan Bik-hu merah mukanya. Mereka tundukkan kepala tapi diam-diam bergirang. Ah, mengapa harus dilangsungkan di dua tempat. Toh lebih baik sekalian dirayakan di sini saja? tanya Gong-gong-ji. Handai taulanku berada di kampung semua. Aku hanya mempunyai seorang anak perempuan ini. Rasanya biarlah mereka melangsungkan pernikahan di kampung halamannya saja. Kelak kalau mereka hendak berkelana di dunia persilatan, terserah saja. Thiat-mo-lek menengahi dengan mengatakan bahwa kalau memang begitu yang dikehendaki Sip Hong, tak baik kalau dirubah lagi. Thiat-mo-lek lebih tajam perasaannya dan lebih luas pengalamannya dari Gong-gong-ji. Ia tahu Sip Hong itu bekas seorang jenderal ternama. Kalau puterinya sampai merayakan perkawinan di sarang penyamun, tentu akan merosotkan nama baiknya. Berita pernikahan Khik-sia dengan Yak-bwe itu telah menggemparkan dunia persilatan. Orang gagah dari 4 penjuru negeri, baik yang kenal maupun tidak kenal, bahkan yang tak menerima surat undanganpun, berbondong-bondong datang memberi selamat. Mo Kia lojin (suhu Thiat-mo-lek), Biau Hui sin-ni (suhu Yak-bwe), Hong-git Wi Gwat dan beberapa lo-cianpwe yang jarang turun gunung, sama hadir dalam perayaan itu. Gunung Hong-gu-san seolah-olah sedang menyelenggarakan sebuah rapat Eng-hiong-tay-hwe lagi. Setelah melakukan upacara sembahyangan pada langit dan bumi, Khik-sia memimpin isterinya untuk mengunjuk hormat pada bibi He Leng-soang, kemudian pada Gong-gong-ji dan Thiat- molek. Tokoh-tokoh inilah yang menerima pesan dari mendiang Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Kini
setelah Khik-sia dan Yak-bwe terangkap jadi suami isteri, mereka merasa telah menunaikan tugasnya. Rasa haru telah membuat mereka berlinang-linang. Setelah upacara selesai, tiba-tiba seorang thaubak melapor paa Thiat-mo-lek tentang kedatangan seorang paderi. Ketika diundang masuk ternyata Hoan Gong hwatsu dari biara Ogemi. Hwatsu itu disambut dengan penuh kehormatan dan kegirangan oleh kedua mempelai. Menjawab pertanyaan tentang keadaan peperangan di negeri Tho-ko-hun, kepala biara Ogemi itu menerangkan: Karena beberapa negeri kecil di daerah Se-gak sama bersekutu menentang Hweki, Hwe-ki pun tak berani gegabah melakukan serangan pada Tho-ko-hun. Mereka telah dikalahkan oleh pasukan negeri kami. Kedatanganku kemari ini pertama untuk memberi selamat. Kedua, pun hendak menyampaikan sebuah berita girang. Khik-sia masih terkenang akan sahabatnya, Coh Ping-gwan. Ia menanyakan bagaimana keadaan negeri Su-tho pada Hoan Gong. Yang kuketahui sekarang, Su-tho sudah berdiri merdeka lagi dan mengangkat seorang ratu, kata Hoan Gong. Memang di beberapa negeri di daerah Se-gak, anak laki dan perempuan dipandang sama derajat. Penobatan seorang raja perempuan, bukanlah hal yang mengherankan. Ratu itu tentu U-bun Hong-ni. Coh-toako tentu juga menikmati perkawinan yang bahagia di negeri Su-tho, pikir Khik-sia. Perjamuan berlangsung dengan meriah dan gembira sekali. Malamnya, setelah mengalami godaan dan olok-olok dari para tamu, akhirnya bertemulah sepasang temanten itu di kamarnya. Khik-sia mengleuarkan tusuk kundai Liong dan tertawa: Ayahanda kita telah menetapkan pernikahan kita sebelum kita dilahirkan. Sungguh menggembirakan sekali setelah mengalami berbagai liku-liku kesalahan paham, akhirnya baru hari ini sepasang tusuk kundai pusaka ini dapat bertemu. Yak-bwe merah pipinya. Ia girang dan sedih. Ujarnya: Sayang, sejak lahir aku sudah tak punya ayah lagi. Nama kita berdua ini adalah ayahmu yang memberi. Beliau menghendaki aku menjadi pendekar keadilan dan kebenaran untuk membasmi kejahatan dan kemunafikan. Beliau menghendaki kau menjadi pendekar wanita yang tak gentar menghadapi badai salju serta lebih cantik dari bunga Bwe. Jika kita tak dapat melaksanakan harapan mereka, bukankah kita berdosa terhadap arwah-arwah beliau di alam baka? Ya, sejak saat ini aku akan mengikuti kau berkelana di dunia persilatan menjalankan dharma kebaikan agar dapat meneruskan cita-cita mendiang ayahmu! Yak-bwe memberi pernyataan. Sepasang tusuk kundai pusaka Liong dan Hong saling bertemu di bawah pandangan mesra dari empat mata, diiringi senyum tawa dan doa, muda-mudi sejoli yang menyanjung kebahagiaan ..... T A M A T