Anda di halaman 1dari 678

TUSUK KONDAI PUSAKA

(Liong Hong Po Cha Yan)


S.D. Liong

Jilid 1
Negeri kacau banyak perjodohan terhalang
Laut dan gunung saling merindu jumpa
Gelegah menanti sang embun mencurah sayang
Duhai, siapa yang membelai tusuk kondai pusaka?
Tahun ke tahun penjuru buana habis dilalang
Kepada siapa gerangan kurayukan bisikan jiwa
Syukurlah angin timur meniup hujan membayang
Bulan surut angin mengembus belibis terjaga.
Malam sunyi. Suasana di sebuah hotel di suatu kota
kecil dekat Lo-ciu tenggelam dalam keheningan malam.
Di suatu kamar hotel itu lagi duduk termenung-menung
seorang anak muda, terkadang terdengar juga mulutnya
menggumam sendiri.
Tusuk kondaiku ini berukiran Liong dan tusuk
kondainya berukiran Hong, keduanya adalah satu
pasangan. Aku suaminya, ia isteriku. Perjodohan ini telah ditetapkan sejak lahir. Ai, tapi
bagaimana harus kukatakan kepadanya? Apakah begitu berjumpa, terus saja kukatakan: Aku ini
suamimu, maka aku datang menemuimu!
Ah, tidak, tidak, berat rasanya mulutku mengucap begitu. Mungkin ia akan menganggap aku
seorang gila. Aku pun belum pernah bertemu muka dengan dia, entah ia suka padaku atau tidak,
entah apakah ia sudi menerima aku sebagai suaminya?
Ai, sukar nian mengerjakan urusan yang memalukan ini. Tetapi ini adalah pesang mendiang
ayah-bundaku, tak dapat aku mengingkarinya. Apakah ia mengetahui juga urusan ini? Jika
sudah,
itu sih mudah. Cukup jika kuminta dia mengunjukkan Hong-ja untuk dipadu dengan punyaku
Liong-ja. Sepasang tusuk kondai pusaka serupa bentuk buatannya. Hm, tolol benar aku ini!
Bukankah saat itu aku tak perlu mengucap apa-apa lagi dan dengan sendirinya iapun sudah
mengerti?
Tetapi sesudah itu, lalu bagaimana? Jika aku tak bernyali untuk mengatakan apa-apa, masakan
ia berani berkata dulu : Ya, benar sejak ini kita menjadi sepasang suami isteri. Suami isteri
tentu
akan selalu berkumpul bersama. Dari pagi sampai petang aku tentu akan selalu berhadapan
padanya. Bagaimanakah perangainya? Dapatkah aku menyukainya?
Dan andaikata ia tak tahu menahu tentang urusan ini, habis bagaimana? Apakah aku harus
tebalkan kulit muka untuk menuturkan riwayat sepasang tusuk kondai pusaka itu? Kemudian
mengatakan : Aku ialah si anak lelaki dan kaulah si anak perempuan yang dimaksudkan itu.
Tapi
ia tak kenal padaku, apakah ia mau mendengar ceritaku? Dan setelah mendengar, apakah ia mau
percaya ....? Ai, ai, benar-benar pusing dan akan pecah rasanya kepalaku!
Demikianlah lalu-lang keterangan yang mengejangkan urat syaraf Toan Khik-ya di kala ia
mondar-mandir di kamar hotelnya sembari menggenggam sebuah tusuk kondai kemala. Saking
tegangnya, sampai-sampai ia mengoceh sendirian.
Kini ia sudah menginjak usia 16 tahun. Setelah 8 tahun lamanya negara menderita kekacauan
akibat pemberontakan Ang Lok-san dan Su Su-bing, kini keamanan berangsur-angsur pulih
kembali. Bibi He (namanya He Leng-soang, isteri dari Lam-ce-bun) yang mengasuhnya seperti
ibunya sendiri, mengatakan bahwa karena ia sudah dewasa maka disuruhnyalah ia pergi ke Lo-
ciu menemui tunangannya. Tunangannya itu adalah puteri pungut dari Sik Ko yang menjabat
Ciat-to su (panglima yang bertugas menjaga perbatasan). Bibi He menerangkan pula bahwa Sik
Ko itu seorang keras, ia melarang seisi rumahnya membocorkan asal usul puteri pungutnya itu.
Oleh karena itu, mungkin sampai sekarang gadis itu tentu belum mengetahui siapa ayah
bundanya yang asli.
Jadi Toan Khik-ya berangkat menemui seorang tunangan yang belum pernah dikenalnya,
seorang gadis yang tak tahu akan asal-usul dirinya sendiri.
Lazimnya dalam umur 15-16 tahun itulah anak mulai mengerti urusan duniawi. Dalam usia
begitu seorang dara tentu akan kemerah-merahan pipinya bila bertemu dengan seorang jejaka,
begitu pun sebaliknya. Lebih-lebih seperti keadaan Toan Khik-ya saat itu, disuruh seorang diri
menjumpai seorang tunangan yang belum pernah dilihatnya. Itulah sebabnya, makin dekat ke
kota Lo-ciu, hati Toan Khik-ya makin risau, malu, berdebar-debar, gembira dan penuh harapan
....
Ketegangan perasaannya itu, tepat seperti yang digambarkannya serasa membuat kepala pecah.
Tiba-tiba ada semacam bau wangi berembus masuk dari jendela. Ketegangan benaknya makin
menjadi-jadi, seketika ia rasakan kepalanya pening ingin tidur.
Celaka! sekonyong-konyong ia mengeluh. Selintas terbayanglah olehnya akan kejadian yang
dialaminya siang tadi. Seorang lelaki yang memelihara kumis pendek, entah bilamana, telah
mengikutinya dari belakang. Karena di jalanan pada siang hari banyak orang berlalu-lalang, jadi
ia
tak leluasa menggunakan ilmu gin-kang. Sengaja ia lambatkan langkahnya, tapi ternyata orang
itu
pun kendorkan jalannya. Ketika ia berjalan ceat sedikit, orang itu pun cepatkan langkahnya.
Toan Khik-ya menaruh kepercayaan pada ilmu kepandaiannya sendiri. Meskipun ia menaruh
kecurigaan, tapi ia tak memandang serius pada orang itu, hanya merasa jengkel saja. Setelah tiba
di
jalanan yang sepi, ia sengaja unjukkan sedikit demonstrasi. Sekali hantam ia patahkan sebuah
dahan pohon sebesar paha orang lalu dibuat memikul buntalan barangnya. Entah bagaimana,
orang
itu lantas menghilang.
Apakah orang itu seorang penjahat yang karena siang hari tak leluasa turun tangan, tapi malam
sekarang mau menggerayang kemari? demikian pikirnya.
Plak, terdengar suara sebuah kerikil melayang masuk dari jendela. Itulah cara melempar batu
menanyakan jalan yang biasa dilakukan oleh kaum penjahat bilamana hendak mencari
keterangan
tentang keadaan sasarannya. Karena suhengnya, Gong-Gong-ji, bergelar Pencuri Sakti Nomor
Satu
di Kolong Jagat, jadi Toan Khik-ya mengerti juga tentang cara itu.
Hm, kiranya bangsa penjahat picisan saja. Seorang penjahat ulung tentu tak perlu
menggunakan cara bertanya jalan begitu. Baik, coba saja bagaimana ia hendak mencuri
barangku
nanti, diam-diam ia mentertawakan.
Tring, Liong-ji kemala yang digenggamnya itu jatuh di atas meja, menyusul kepala Toan
Khik-ya pun terantuk pada meja seperti orang yang terkulai pulas.
Daun pintu kedengaran terdorong, sesaat kemudian terdengar lengking seruan kaget seseorang,
Eh, lihatlah tusuk kondai kemala itu!
Itulah suara seorang perempuan. Dan yang lebih mengherankan lagi, mengapa ia melengking
begitu nyaring? Bukankah biasanya bangsa pencuri itu pantang menerbitkan suara?
Ssst, jangan bersuara keras-keras, seru lain suara yang bernada kasar lantang, sekarang kau
mengakui ketajaman mataku tidak? Kuyakin mataku takkan salah melihat kalau bocah ini
mempunyai sebuah benda berharga, hanya saja aku tak menyangka sama sekali kalau bendanya
itu
sebuah pusaka. Ha, melulu mestika ya-beng-cu yang tercantum di atas tusuk kondai itu saja
nilainya tak kurang dari beberapa puluh ribu tahil perak!
Nilainya itu tak penting, sahut orang pertama yang bernada seperti perempuan, yang
kuherankan mengapa barang itu serupa benar dengan kepunyaan nona kita!
Apa? Nonamu juga mempunyai tusuk kondai kemala seperti ini? seru si lelaki.
Ya, hanya saja lukisannya tak sama. Tusuk kondai nonaku berukir seekor burung Hong
(cendrawasih) yang tengah mementang sayapnya hendak terbang! Ha, engkoh Bo, rupanya
peruntunganmu sudah tiba, kata si perempuan.
Benar, ini namanya seperti mendapat durian runtuh, sahut si lelaki, Aku mempunyai
beberapa kenalan pedagang intan berlian, tak kuatir tak bisa mendapat harga. Setelah mempunyai

beberapa puluh ribu tahil perak, kita cari sebuah tempat yang sunyi untuk mendirikan rumah
tangga
yang bahagia.
Engkoh Bo, aku tidak mempunyai maksud begitu, di luar dugaan si perempuan telah
menyanggah.
Oh, habis bagaimana rencanamu? tanya si lelaki.
Menyembunyikan diri dan lewatkan hari-hari dengan penuh kecemasan, bukanlah cara yang
benar! Apalagi Tayswe (panglima) tentu akan menyebar perintah penangkapan kemana-mana,
mana kita dapat bersembunyi dengan aman? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan tusuk
kondai ini kepada nona, kebetulan beliau juga mempunyai sebuah tusuk kondai yang serupa,
dengan demikian tanggung beliau pasti akan gembira sekali. Kemudian jika kuminta tolong
kepada
nona supaya memintakan pengampunan pada Tayswe, kemungkinan besar bukan saja kita
dibebaskan dari penangkapan, bahkan Tayswe akan menghadiahkan kau suatu pangkat pula.
Bukankah cara demikian adalah terlebih bagus?
Masih si lelaki menegas dengan kesangsian, Apakah kau yakin dapat membujuk nona?
Aku adalah dayang kesayangannya. Kali ini jika bukan gara-garamu, masakan aku tega
berpisah dengan nona. Bila aku meminta ampun, ia tentu meluluskan, apalagi aku membawa
barang persembahan yang berharga! jawab si perempuan.
Tapi jika ia menanyakan dari mana kau peroleh barang itu, bagaimana jawabmu?
Tentang itu, itu ..... sekali ini si perempuan tak dapat menemukan jawaban yang tepat.
Melihat itu si lelaki buru-buru menyatakan, Kurasa lebih baik kita langsung persembahkan
benda pusaka ini pada Tayswe saja. Mungkin kau tak tahu bahwa Tayswe itu asal-usulnya juga
dari
kalangan Lok-lim (penyamun). Asal beliau sudah menerima barang pusaka, tak nanti ia
mendesakmu untuk memberi keterangan dari mana kau peroleh. Tidak demikian dengan nona.
Ai,
tapi makin kupandang benda ini makin besar rasa sayangku. Sebenarnya kita rugi kalau
menyerahkannya kepada Tayswe!
Kau tentu cukup kenal perangai Tayswe, maka lebih baik kita serahkan saja. Oh, ya, teringat
aku sekarang. Bulan muka tanggal 15 ini, nona akan merayakan hari pernikahannya! Itu suatu
kesempatan bagus bagi kita. Dengan persembahan kita itu, masakan Tayswe takkan dimabuk
kegirangan. Hai, kenapa kau ini?
Jawab si lelaki, Bocah ini mengerti ilmu silat, lebih baik sekali bacok kumampuskan dia saja
daripada kelak menimbulkan urusan. Menyingkirlah, jangan kau merintangi aku!
Kiranya lelaki itu hendak membunuh Toan Khik-ya, tapi dihadang oleh kawannya perempuan.
Jangan, jangan, masakan kita tak berperikemanusiaan. Sudah merampas barangnya masih mau
mengambil jiwanya. Turutlah permintaanku, lepaskan dia. Jika kau membangkang, aku tak sudi
mengikut kau! seru si perempuan.
Ai, mengapa hatimu selemah ini? si lelaki mengomel, Baiklah, kuturut permintaanmu, apa
boleh buat, ya siapa yang suruh aku suka padamu? Nah, berikanlah tusuk kondai itu padaku dan
ayo kita lekas pergi dari sini. Ha, ha, sungguh benda pusaka bagus!
Baru lelaki itu mendorong daun jendela hendak loncat keluar, belum suara ketawanya sirna,
tahu-tahu tubuhnya bergoncang dan sebagai tonggak, ia berdiri tegak seperti patung. Tring, tusuk
kondai yang digenggamnya itupun jatuh ke lantai. Berbareng itu Toan Khik-ya pun loncat
menghadang si perempuan.
Ternyata walaupun baru berumur 16 tahun, tapi kepandaian Toan Khik-ya sudah bukan olaholah
hebatnya. Sewaktu mencium bau wangi tadi, segera ia sudah curiga. Buru-buru ia gunakan
ilmu pernapasan Pit-hi-hoan-gi untuk menutup hidungnya. Obat bius Ke-bing-ngo-ko-hoan-
hunhiang
yang biasa digunakan oleh kaum persilatang itu, sudah tentu tak mempan terhadap dia. Ia
tadi hanya pura-pura saja pingsan untuk melihat perkembangan. Dan kedua penyatron itu
ternyata
kena diingusi.
Si perempuan tadi terkejut dan hendak menerobos lari, tapi kena disambar Toan Khik-ya.
Bukan urusannya, lepaskan dia! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku! si lelaki buru-buru
berteriak.
Ternyata si lelaki itu kena tertutuk jalan darahnya oleh tutukan Keh-gong-tiam-hiat (menutuk

dari kejauhan) yang dilepas Toan Khik-ya. Tubuhnya tak dapat bergerak, tapi mulutnya masih
bisa
bersuara. Ini disebabkan karena Toan Khik-ya masing kurang pengalaman. Karena terburu-buru,
ia
sampai lupa untuk menutuk jalan darah pembisu orang.
Biasanya, adalah si maling yang takut bersuara, sebaliknya kini Toan Khik-ya yang takut si
maling bersuara. Setelah membikin bisu si lelaki, barulah Toan Khik-ya lepaskan perempuan itu.
Jangan takut, mengingat kau tadi melindungi jiwaku, akupun takkan membunuh suamimu itu.
Hanya saja tusuk kondai pusaka itu adalah warisan keluargaku, jangan kalian ambil, kata Toan
Khik-ya dengan tertawa.
Perempuan itu tertegun, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih, Terima kasih atas
kelapangan hati Siangkong. Sudah tentu kami tak berani mengambil barangmu. Harap
Siangkong
lepaskan kami saja!
Toan Khik-ya menyahut dengan tertawa, Nanti dulu, kalau mau pergi mudah saja, asal kau
memberi keterangan yang jujur. Dari pembicaraanmu tadi, rupanya kau ini bujang perempuan
dari
keluarga pembesar. Siapakah nona majikanmu itu, lekas bilang!
Merah padam muka si perempuan, setelah bersangsi sejenak, barulah ia berkata, Dengan
sejujurnya aku ini adalah budak dari puteri Ciat-tok-su daerah Lo-ciu sini.
Oh, kiranya kau ini pelayan dari nona Sik Hong-sian, puteri Sik Ko itu? Tapi mengapa kau
berkawan dengan bangsat itu hendak mencuri barangku? tegur Toan Khik-ya.
Mendengar Toan Khik-ya menyebut nama nona majikannya, perempuan itu makin terkesiap.
Katanya pula, Ya, karena aku diam-diam pergi dengan dia. Dia menjabat sebagai wi-su
(pengawal) dari Sik-tayjin, dan kami .... kami .....
Ha, kiranya begitulah. Kau suka padanya, lalu minggat bersama, bukan? Toan Khik-ya
menegas.
Perempuan itu tersipu kemalu-maluan.
Huh, kekasihmu itu boleh juga. Rupanya ia pun suka padamu. Baiklah, kuampuni dia, kata
Toan Khik-ya.
Perempuan itu hendak menghaturkan terima kasih, tapi Toan Khik-ya mencegahnya, Nanti
dulu, tadi kau katakan hendak menyerahkan tusuk kondaiku ini kepada nona majikanmu sebagai
barang persembahan. Entah mempunyai kerja apa nonamu itu?
Bulan muka tanggal 15 nona hendak keluar pintu, sahut si perempuan.
Mendengar itu Toan Khik-ya melongo.
Apa? Nonamu hendak keluar pintu? ia menegur.
Menduga Toan Khik-ya tak mengerti maksud kata-kata itu, si bujang perempuan memberi
keterangan, Benar, keluar pintu artinya menikah. Nona majikanku hendak menjadi
pengantin!
Toan Khik-ya tercengang, katanya dengan tergagap-gagap, Jadi, jadi ia akan kawin?
Tiba-tiba saat itu di sebelah luar terdengar derap kaki orang, menyusul ada orang berteriakteriak,
Ada pencuri, ayo bangun tangkap pencuri!
Seketika terdengarlah suara berisik dan langkah orang berderap-derap. Hotel itu ternyata
memegang teguh ketertiban. Setiap malam ada orang jaga. Jaga malam itu kaget mendengar
ributribut
dari kamar Toan Khik-ya. Karena jeri seorang diri tak berani menangkap pencuri, maka ia
berteriak-teriak memanggil kawan.
Wajah bujang perempuan tadi menjadi pucat. Tergopoh-gopoh ia meminta pada Toan Khik-ya,
Mohon, mohon Siangkong sukalah lepaskan dia!
Toan Khik-ya juga gugup. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka jalan darah bekas wisu
itu. Begitu dapat bergerak, bekas wi-su itu segera ajak kekasihnya loncat keluar jendela. Dari
situ loncat ke atas rumah terus melenyapkan diri.
Melihat di atas wuwungan rumah ada tubuh orang, jaga malam itu menyurut ketakutan.
Berselang beberapa jenak, baru ia berseru kepada orang-orang yang mendatangi, Aman, sudah
aman, pencurinya sudah melarikan diri.
Toan Khik-ya menyimpan tusuk-kondainya lalu tutup kepala dengan selimut, pura-pura tidur
lagi. Tak berselang berapa lama, terdengar pintu kamarnya diketuk. Ternyata yang datang adalah
pengurus hotel yang menanyakan keterangan kalau-kalau barangnya ada yang tercuri maling.
Toan

Khik-ya pura-pura terkejut dan tak mengetahui apa-apa. Barang bekalannya sederhana sekali,
setelah pura-pura memeriksanya sebentar, ia mengatakan tiada kehilangan apa-apa.
Dengan bangga, si penjaga malam menepuk dada, Untung ada aku hingga si pencuri ketakutan
lari!
Habis itu ia minta persen pada Toan Khik-ya. Toan Khik-ya memberi sedikit uang dan kawanan
jaga malam itupun lantas ngeloyor pergi.
Semalam itu Toan Khik-ya tak dapat tidur. Pikirannya selalu bertanya-tanya, Ia mau kawin,
kawin dengan siapa? Ah, sayang tadi aku tak keburu menanyakan keterangan Itu kemauan Sik
Ko atau ia sendiri yang menyetujuinya? .... Ai, karena ia toh bakal menjadi pengantin, apakah
aku
masih perlu menjumpainya untuk menceritakan tentang tusuk-kondai pusaka ini? Ayahku dan
ayahnya, semasa masih hidup sama mengikat persaudaraan, sekali pun tidak dikarenakan urusan
perjodohan itu, aku harus datang kepadanya dan memberitahukan asal-usulnya ..... Ya, benar,
dalam
pertemuan nanti untuk sementara takkan kukemukakan perjodohan itu.
Demikian setelah mendapat keputusan, dapatlah Toan Khik-ya meramkan mata barang beberapa
jenak. Tapi hanya beberapa saat saja, haripun sudah mulai terang tanah. Ia berkemas dan
meneruskan perjalanannya Ke Lo-ciu lagi.
Berjalan tak berapa lama, tiba-tiba didengarnya di sebelah muka ada sorak-sorai gegap gempita.
Buru-buru ia cepatkan langkahnya. Setelah membelok di sebuah tikungan gunung, dilihatnya di
jalanan ada dua rombongan orang tengah bertempur. Dari corak pakaiannya, partai yang satu
terdiri
dari tentara negeri dan partai lawan adalah kawanan begal. Di belakang mereka tampak berjajar
belasan buah kereta. Para kusirnya sama angkat tangan ke atas pertanda menyerah. Turut
peraturan
golongan Hek-to, yaitu kaum bandit, apabila tiada perlawanan maka pemilik dari barang-barang
yang akan dirampasnya itu, tidak boleh dibunuh.
Dari dalam hutan pohong siong, makin banyaklah kawanan penyamun yang keluar. Karena
kalah banyak jumlahnya, lama kelamaan pihak tentara negeri menjadi keteter. Saat itu kawanan
penyamun sudah siap hendak membawa pergi kereta-kereta barang itu.
Sungguh banyak dan brutal (kurang ajar) sekali kawanan penyamun itu. Masakah di siang hari
bolong mereka berani merampok. Hm, jika kereta-kereta itu terampas mereka, bukankah pasukan
yang menunggu rangsum itu akan mati kelaparan? pikir Toan Khik-ya. Ia duga belasan kereta
itu
memuat bekal rangsum.
Ketika berumur 10 tahun, Toan Khik-ya pernah ikut ayahnya membantu perjuangan Thay-siu
(setingkat gubernur) Thio Sun menjaga kota Sui-yang. Dengan mata kepala sendiri, kala itu ia
saksikan bagaimana ngenasnya kawanan serdadu yang kehabisan rangsum. Kesan itu sampai
sekarang tak pernah ia lupakan.
Aku pun tak mau membunuh kawanan penyamun itu, asal dihalau pergi, cukuplah! pikirnya.
Setelah mengambil keputusan, ia lari menghampiri mereka dan berseru lantang-lantang, Hai,
tengah hari bolong mengapa kalian berani merampas barang orang. Ayo, lekas enyah dari sini!
Kawanan penyamun itu tertawa keras. Mereka tak mengacuh sama sekali pada seorang bocah
seperti Khik-sia.
Hai, kacung yang masih ingusan apa kau mau ikut-ikutan cari perkara? bentak mereka dengan
serempak. Lekas pulang minta netek ibumu saja, awas golokku tak bermata, tahu!
Kepala penyamun rupanya cukup berpengalaman. Melihat gerakan Toan Khik-sia yang gesit
tadi, ia terperanjat. Hati-hati, bocah itu tak boleh dipandang enteng! serunya segera.
Belum habis ia memperingatkan kawan-kawannya, Toan Khik-sia sudah menerjang ke dalam
gelanggang. Tanpa membalas ejekan mereka, Toan Khik-sia mencabut pedang tinggalan
mendiang
ayahnya, terus dibolang-balingkan kian kemari. Tring, tring, terdengar beberapa kali suara
gemerincing. Kejut si kepala penyamun bukan kepalang. Golok, pedang, tombak, sama
berhamburan kutung di tanah demi terbentur pedang Toan Khik-sia.
Mendadak pemimpin penyamun itu timpukkan bandringan rantai Liu-sing-juinya untuk
menghantam po-kiam Toan Khik-sia. Namun sempat Khik-sia menghindar dan secepat kilat
disambarnya bandul bandringan itu terus disambitkan kembali. Trang, tepat sekali bandul itu
menghantam bandul yang kedua. Suaranya berderang memecah telinga. Kedua bandul itu

melayang ke udara. Cepat Khik-sia menyambuti yang sebuah lagi dengan tangannya kiri,
kemudian
diiring dengan gerakan pedang di tangan kanan, ia menari-nari lagi. Tring, tring, kembali
beberapa
batang tombak dan golok lawan tergempur kutung!
Jika kalian tetap tak mau enyah, jangan salahkan kalau aku melukai orang. Po-kiamku ini juga
tak bermata, awaslah, lebih baik kalian lekas menyingkir saja! untuk yang kedua kalinya Khik-
sia
memberi peringatan.
Kepala penyamun itu menahan nafas, serunya dengan nyaring: Baik, terima kasih atas
kebaikan saudara. Selama gunung masih menghijau, lain kali kami tentu akan minta pengajaran
lagi padamu!
Dan sekali memberi komando, kawanan penyamun itu berbondong-bondong pergi. Datangnya
cepat, perginya pun lekas, persis seperti gelombang laut yang pasang surut. Sebentar saja mereka
sudah lenyap dari pemandangan.
Opsir pasukan tentara bergegas-gegas lantas datang menghaturkan terima kasih kepada Toan
Khik-sia.
Ah, untuk urusan kecil itu tak usah begitu sungkan, sahut Khik-sia sembari hendak berlalu.
Siau enghiong (ksatria cilik), kau sudah membuat pahala besar, apakah tak berminat mendapat
hadiah dan pangkat? buru-buru opsir itu berseru.
Acuh tak acuh Khik-sia menjawab: Aku masih kecil, tak inginkan pangkat. Aku pun tak
kekurangan uang, tak butuh hadiah apa-apa. Nah, selamat tinggal!
Opsir itu tercengang, sesaat kemudian ia acungkan jempolnya berseru memuji: Inilah ksatria
gagah sejati! Ai, Siauenghiong, tunggu dulu, tunggu dulu, aku belum menanyakan namamu yang
mulia dan kemana tujuanmu?
Dengan acuh tak acuh Khik-sia memberitahukan namanya dan menyatakan hendak menuju ke
Lo-ciu.
Opsir itu tertawa gelak-gelak: Kamipun justru kebetulan hendak menuju ke Lo-ciu juga. Kita
sama seperjalanan. Ha, ha, Toan-siauhiap, tahukah kau untuk apa kami pergi ke Lo-ciu ini?
Dalam saat itu, kawanan serdadu sudah mengangkat benderanya yang jatuh tadi. Disitu
tersulam huruf-huruf: Gui-pok-ciat-tok-su Tian.
Mana aku tahu? sahut Khik-sia dengan tertawa.
Menunjuk ke arah bendera, berkatalah opsir itu: Berkata dengan sejujurnya, kami ini dititahkan
Gui-pok-ciat-tok-su Tian tayciangkun untuk mengirim barang bingkisan ke Lo-ciu. Tian
tayciangkun itu dahulu adalah bekas Hou-kun-thong-leng (panglima) dari An Lok-san. Dia
dengan
Sik Ko, sama-sama menjadi panglima sebawahan dari An Lok-san. Keduanya akrab sekali
hubungannya. Setelah Sik Ko menakluk pada kerajaan Tong, tak lama kemudian Tian
tayciangkun
pun menyusul tindakannya. Kini mereka berdua sama menjabat sebagai Ciat-tok-su. Sekalipun
daerah kekuasaannya lebih kecil dari Sik Ko, tapi beliau terus-menerus membentuk pasukannya
dan
memperkuat perlengkapannya. Dalam hal kekuatan tentara, kini ia lebih kuat dari Sik Ko.
Pula hati Khik-sia tergetar hatinya: Oh, jadi kalian ini hendak mengantar Lap-jay (bingkisan,
emas kawin) ke Lo-ciu? Apakah kedua keluarga itu hendak mengikat pernikahan?
Benar, Tian-tayciangkun hendak menikahkan puteranya yang sulung. Yang menerima
bingkisan perkawinan itu, ialah puteri dari Sik ciat-tok-su. Mereka akan melangsungkan
pernikahan pada nanti bulan muka tanggal 15. Keduanya sahabat karib dan sama-sama menjabat
pangkat tinggi, sudah tentu barang-barang bingkisannya berharga mahal. Jika pembesar tinggi
mempunyai hajat kerja, kami kaum bawahannya inilah yang lari pontang-panting.
Dalam perjalanan, sudah dua kali kami berhantam dengan kawanan penyamun, kata opsir itu
pula, sungguh tak nyana gerombolan penyamun yang tadi begitu lihaynya. Untung mendapat
bantuanmu hingga barang bingkisan itu dapat diselamatkan. Jika tidak, ah, mungkin batang
kepala
kami sudah menggelinding! Toan-siauhiap, terangkah kau sekarang, betapa besar pahalamu
terhadap Ciat-tok-su kami itu? Ha, ha, jika kau kepingin kaya sajam pangkat apa dan hadiah
yang
bagaimana, asal kau membuka mulut, Tayciangkun tentu akan meluluskan!
Oho, begitu kiranya? Semula kukira kalian ini mengawal rangsum, kata Khik-sia.
Tertawa opsir itu: Barang ini lebih penting dari rangsum. Karena kita sama-sama bertujuan ke

Lo-ciu, itulah bagus sekali.
Diam-diam Khik-sia geli, pikirnya: Sudah tentu kamu mengatakan bagus karena dapat
menggunakan aku sebagai tukang kawal dengan gratis. Huh, aku sendiri yang sial, masakah
disuruh orang mengantar bingkisan untuk calon isteriku!
Tanpa tunggu penyahutan Toan Khik-sia lagi, opsir itu segera suruh orangnya menyediakan
kuda untuk anak muda itu. Sementara itu Khik-sia baru mengetahui bahwa kereta pengangkut
barang-barang itu semua berjumlah 12 buah.
Hm, entah berapa banyak darah dan keringat rakyat yang diperas untuk membeli barangbarang
ini! Jika dibelikan rangsum, entah cukup untuk memelihara berapa puluh ribu serdadu!
pikir Khik-sia.
Dalam perjalanan itu tak henti-hentinya pikiran Khik-sia melayang. Sekonyong-konyong
terdengar suara mendesing, dua batang anak panah yang dilengkapi dengan suitan, melayang
keluar
dari dalam hutan. Karena ada Toan Khik-sia, nyali opsir itu jadi besar. Segera ia keluarkan
perintah untuk menyusun barisan guna menghadapi musuh.
Segerombolan penyamun berkuda segera menerobos keluar dari hutan. Pemimpinnya berwajah
putih licin, seorang dari pertengahan umur yang bergaya seperti sasterawan.
Melihat jumlah mereka tak banyak, opsir itu makin congkak. Ia segera menganjurkan Toan
Khik-sia: Hm, kawanan manusia yang ingin cari mampus itu datang lagi. Toan-siauhiap, kali ini
sebaiknya kau jangan beri ampun lagi, paling tidak kau harus basmi benggolan-benggolannya!
Tanpa disadari, Khik-sia keprak kudanya maju menyongsong. Menatap sejenak pada anak
muda itu, si kepala penyamun berseru: Apakah kau tadi yang jual jasa pada kawanan budak
itu?
Urusan tadi hanya secara kebetulan saja berjumpa. Kata-kata jual jasa itu sungguh tak tepat.
Tolong tanya, apa maksud kedatangan Cecu ini? sahut Toan Khik-sia.
Oh, begitu! Tapi tahukah kau barang apa yang mereka bawa itu? tanya si kepala penyamun
pula.
Barang bingkisan emas kawin dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian Seng-su untuk Sik Ko di Lo-ciu,
jawab Khik-sia.
Tepat, toh sudah tahu mengapa kau masih sudi jual jiwa pada Tian Seng-su? Harta benda yang
tidak halal ini setiap orang berhak mengambilnya. Mereka adalah kawanan budak dari Tian
Sengsu,
karena mendapat tugas dan ingin kenaikan pangkat, jadi terpaksa mereka melakukan tugas itu.
Tapi kau, kepandaianmu cukup tinggi, tentunya seorang Enghiong muda, masakan tak mau
menghargakan diri dan sudi menjadi budak pembesar bejat?
Toan Khik-ya terkesiap mendengar teguran kepala penyamun yang tajam itu. Dilihatnya di
belakang kepala penyamun itu berkibar selembar bendera besar yang bersulam gambar seekor
ayam
jago, yang tengah menengadahkan kepalanya dengan gagahnya. Tergerak hati Toan Khik-sia.
Apakah kalian ini rombongan Hohan (orang gagah) dari gunung Kim-ke-nia? Tolong tanya,
bagaimana kabarnya dengan Shin cecu? Dan bagaimana pula dengan Thiat-tayhiap Thiat-mo-lek
kenalkah kau? tanyanya.
Kepala penyamun itu berjengit kaget, serunya: Siapa kau? Ai, darimana kau peroleh
pedangmu itu? Kiranya ia dapat mengenali pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh
mendiang
ayah Toan Khik-sia, Toan Kui-ciang.
Po-kiam ini adalah warisan dari ayahku! sahut Khik-sia.
Kepala penyamun itu makin terperanjat, serunya: Jadi kau ini, kau ...
Benar, aku adalah putera ayahku. Tak nanti aku mencemarkan nama ayahku, jangan kuatir.
Tolong tanya siapakah namamu, Cecu? kata Khik-sia.
Berjalan tak merubah nama, duduk tak mengganti she. Kim-kiam-deng-long To Peh-ing, ialah
aku ini. Dahulu mendiang ayahmu itu seperti saudara sekandung dengan aku!
Hai, kiranya To siok-siok, terimalah hormat Siautit ini, kata Khik-sia sembari memberi
hormat.
Mendengar percakapan itu, keruan semangat opsir tadi serasa terbang dibuatnya. Buru-buru ia
berseru: Toan-siauhiap, tolong mintakan kelonggaran bagi kami!
To Peh-ing buru-buru mencegah Toan Khik-sia: Jangan berlaku begitu sungkan, kemudian ia

bertanya: Bagaimana hiantit hendak menyelesaikan urusan ini?
Harap sioksiok menanti di samping saja, biarlah siautit mewakili untuk menyelesaikan, kata
Khik-sia yang terus berpaling ke belakang. Menuding dengan pokiamnya, ia berkata kepada si
opsir: Tian Seng-su memeras keringat rakyat untuk membeli barang bingkisan perkawinan ini,
kurasa kalian tak layak menjual jiwa padanya. Apa yang dikatakan To sioksiok-ku tadi memang
tepat. Harta benda yang tidak halal, setiap orang boleh mengambilnya. Nah, sekarang turunkan
barang-barang itu!
Opsir itu gemetar dan berkata dengan tergagap-gagap: Toan-siauhiap ini, ini ....
Tak usah takut, turunkan barang-barang itulah. Telah kumintakan kelonggaran, tak nanti jiwa
kalian diganggu. To sioksiok, orang-orang ini hanya melakukan kewajiban saja, harap kau
luluskan
permintaanku.
Baik, dengan memandang muka Hiantit, aku takkan mengganggu mereka. Hai, mengapa
kalian tak mau menerima pengampunan ini, apa masih mau berkelahi? Mengapa tak
menyingkir?
seru To Peh-ing.
Opsir dan kawanan serdadu itu sudah menyaksikan kelihayan Toan Khik-sia. Apalagi seorang
tokoh macam Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing yang namanya tenar di dunia persilatan. Sudah
tentu mereka merasa gentar.
Hohan, meskipun sudah mengampuni jiwa kami, tapi dengan kehilangan barang antaran itu,
masakan nanti sepulangnya di rumah kami masih bisa diberi hidup lagi? kata si opsir dengan
kuatir.
Kalian tak perlu kuatir. Setelah kusuruh kalian turunkan barang-barang antaran itu, sudah
tentu akulah yang bertanggung jawab. Jika Tian Seng-su berani melakukan pengejaran, akan
kusuruh ia menjadi setan tanpa kepala! kata Toan Khik-sia.
Kemudian ia berpaling kepada To Peh-ing: Menjadi orang jangan kepalang tanggung,
mengantar Buddha harus sampai di Se-thian, To-sioksiok, aku hendak mohon pinjam beberapa
perak padamu untuk beramal.
To Peh-ing tertawa: Ini juga miliknya Tian Seng-su, Hiantit boleh pakai sesukamu.
Ia suruh anak buahnya untuk memeriksa kereta-kereta itu. Benar juga isinya penuh dengan mas
intan yang tak ternilai. Toan Khik-sia mengambil 10 kong perak, ditumpah di tanah. (Pada
jaman ahala Tung-tiau, uang kas negara itu dijadikan semacam bentuk goan-po, lalu
dimasukkan
ke dalam kong (guci), agar mudah disimpan dan dibawa kemana-mana. Kong dibuat dari kayu
yang kedua ujungnya berlubang. Sebelah diisi dengan 50 buah goan-po, setiap buah beratnya 10
tail perak, lalu kedua ujungnya ditutup. Dan jadilah sebuah kong.
Itu, lihatlah, semua kong ada capnya. Nyata Tian Seng-su menggunakan uang negara untuk
keperluannya sendiri, pakai uang negara untuk hadiah pernikahan, kata To Peh-ing.
Khik-sia suruh seorang anak buah To Peh-ing membuka kong itu, katanya: Kau bakal dilepas
dari pekerjaan, berarti mangkuk nasimu akan hancur. Hal itu memang pantas disesalkan. Tadi
telah
kuhitung, kalian anak tentara ini, semua berjumlah 100 orang. Nah, baik golongan opsir maupun
serdadu biasa, masing-masing boleh mengambil 5 goan-po. Dengan uang itu rasanya cukup
untuk
modal kecil-kecilan. Hal itu rasanya lebih berbahagia daripada hidup di bawah tindasan Tian
Sengsu.
Sekalian serdadu bergirang, pun kawanan opsirnya diam-diam menimang: Untuk melawan
terang tak mungkinlah, mau tak mau kita harus tunduk juga. Dapat menyelamatkan jiwa itu
sudah
baik. Apakah omongan anak muda itu dapat dipercaya bahwa Tian Seng-su tak akan
mengusutnya,
itulah urusan besok.
Begitulah kawanan serdadu itu setelah menerima uang, lalu menghaturkan terima kasih dan
pergi. Melihat penyelesaian itu, To Peh-ing tertawa puas: Hiantit masih berumur muda, tapi
dapat
bekerja dengan bagus dan bertindak secara bijaksana, sungguh membuat orang kagum.
Ah, jangan sioksiok memperolok begitu. Tadi karena limbung, siautit telah keliru mengira
bingkisan Tian Seng-su sebagai rangsum. Aku sungguh menyesal sekali karena telah menyalahi
sahabat-sahabat dari Lok-lim, kata Khik-sia.
Yang menghadang tadi ialah anak buah dari Im-ma-joan Tian Ma-cu. Biar nanti kukirimkan

satu bagian kepadanya sekalian menjelaskan salah paham ini. Kau tak perlu cemas, ujar To
Pehing.
Toan Khik-sia memberi salam pada sekalian thau-bak dari Kim-ke-nia, setelah itu ia
menanyakan perihal Thiat-mo-lek lagi.
Ada sebuah kabar girang bagimu, hiantit, Thiat-mo-lek bakal menjadi Beng-cu (ketua) dari
kaum Lok-lim (penyamun), kata Peh-ing.
Benarkah? Ai, ya teringat sekarang aku. Suhengku pernah mengatakan, ia akan menyerahkan
cap dan surat tanda Lok-lim-beng-cu peninggalan dari Ong Peh-thong padanya. Rasanya suheng
tentu sudah mengerjakan hal itu, kata Toan Khik-sia.
Kini barulah Peh-ing tahu bahwa anak muda itu adalah sute dari Gong-gong-ji. Diam-diam ia
membatin, itulah sebabnya maka Toan Khik-sia begitu lihaynya.
Cap dan surat pertandaan itu sudah diterima oleh Thiat-mo-lek. Tapi di samping itu Gonggong-
ji pun menyampaikan juga sebuah pesan dari almarhum ayahmu. Adalah karena pesan itu
maka Thiat-mo-lek menjadi ragu-ragu untuk menerima jabatan Beng-cu. Tapi karena keadaan
memaksa, jadi terpaksa ia menerimanya juga, demikian Peh-ing menerangkan.
Mengapa? tanya Khik-sia.
Almarhum ayahmu menyampaikan pesan, bahwa jabatan Beng-cu itu tidak berarti.
Sebenarnya Thiat-mo-lek pun menurut, karena ia sudah tak mau cari permusuhan lagi di
kalangan
Lok-lim. Tapi kenyataan, setelah ia menolak jabatan itu banyaklah orang yang
menginginkannya.
Dalam beberapa tahun ini, karena hendak memperebutkan kedudukan Beng-cu, banyak tokoh
Loklim
yang saling gontokan. Di samping itu, Thiat-mo-lek selalu diganggu oleh orang-orang yang
hendak meminta cap dan surat mandat itu. Sudah tentu ia tak mentah-mentah menyerahkan pada
sembarang orang. Disebabkan hal itu, ia tak dapat menghindar lagi tantangan-tantangan mereka.
Uh, sungguh runyam. Seorang bawahan dari ayah angkatnya, segera menganjurkan supaya ia
terima saja kedudukan Beng-cu itu. Beberapa kali ia mengadakan perundingan dengan kami
akhirnya setelah kami desak, ia terpaksa suka menerima kedudukan itu, demikian panjang lebar
Peh-ing menutur.
Dengan dasar apa kalian menganjurkan padanya? tanya Toan Khik-sia.
To Peh-ing menghela nafas, ujarnya: Mungkin Hiantit tidak mengetahui. Soalnya terletak pada
waktu yang makin berlarut-larut. Kala itu aku dan almarhum ayahmu mengira setelah
pemberontakan An Su (An Lok-san, Su Su-bing) padam, negara tentu aman. Siapa tahu
pembesarpembesar
daerah telah meminta status otonom. Setiap Ciat-tok-su memperoleh bagian sebuah
daerah kekuasaan. Mereka bertindak seolah-olah raja kecil (war lord) di daerahnya. Keadaan
rakyat di daerah-daerah lebih payah dari semula. Karena penderitaannya, rakyat seakan-akan
dipaksa menjadi penyamun. Dari hari ke hari, jumlah mereka bertambah banyak. Kami
berpendapat, daripada kedudukan Beng-cu jatuh ke tangan seorang jahat, lebih baik Thiat-mo-
lek
saja yang menjabatnya. Setelah bulat sepakat, kami minta Shin-cecu yang keluar untuk
mengundang para orang gagah dari segala aliran di dunia Lok-lim untuk menghadiri
permusyawarahan besar yang akan diadakan pada nanti hari Peh-cun di gunung Kim-ke-san.
Pada
hari itulah nanti kami dengan resmi akan memilih Thiat-mo-lek menjadi Lok-lim-beng-cu.
Hari ini baru tanggal 8 bulan 2, jadi masih ada waktu tiga bulan lagi. Mungkin aku dapat
menghadiri keramaian itu, kata Khik-sia.
He, jadi sekarang Hiantit tidak ikut kami naik ke Kim-ke-san? tanya Peh-ing.
Maaf, aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai. Nanti saja apabila urusan itu sudah
beres, aku tentu akan datang menjenguk sekalian paman, kata Khik-sia.
Oh, ya, tadi kau sudah berjanji pada kawanan opsir untuk memperingatkan Tian Seng-su
supaya jangan mengganggu mereka. Ya, memang Hiantit harus pergi ke Lo-ciu dulu, tapi urusan
itu
kan mudah, mengapa perlu memakan waktu sampai hari Peh-cun?
Khik-sia menerangkan, bahwa selain itu memang ia masih ada lain urusan lagi hendak
menjenguk seorang sahabatnya di Lok-ciu. Ia berjanji akan berusaha sedapat mungkin untuk
menghadiri rapat besar di Kem-ke-san nanti.
Baiklah kalau begitu, kata Peh-ing, jika nanti tiba di Lo-ciu, tolong Hiantit cari berita

bilamana Sik Ko hendak mengirimkan barang-barang bingkisan kawin itu. Biar kami nanti
menggasaknya lagi. Di Lo-ciu kami pun mempunyai orang. Hiantit boleh mencari orang itu.
Begitu sudah mendengar berita, Hiantit boleh suruh dia menyampaikan pada kami.
Habis berkata, Peh-ing menyerahkan sebuah alamat pada Khik-sia dan memberitahukan tentang
kode pengenal. Ternyata informan (colok) Kim-ke-san yang ditempatkan di Lo-ciu itu bernama
Tio
Peh-liong. Sebenarnya ia adalah Hu-pangcu (wakil ketua) dari kaum Kay-pang di Lo-ciu.
Begitulah Toan Khik-sia segera ambil selamat berpisah dengan rombongan To Peh-ing, lalu
bergegas-gegas menuju ke Lo-ciu. Setibanya di kota itu ia langsung menuju ke tempat Tio
Pehliong
dan tinggal di situ.
Tio Peh-liong lama tinggal di kota Lo-ciu. Sehari suntuk ia ajak Khik-sia putar kayun di dalam
kota serta meninjau letak tempat kediaman Ciat-tok-su Sik Ko. Besok malamnya, Toan Khik-sia
berganti pakaian ya-heng-ih (pakaian ringkas peranti berjalan malam), lalu menuju ke gedung
Ciattok-
su. Sudah tentu kepada Tio Peh-liong ia hanya mengatakan hendak menyirapi berita tentang
pengiriman bingkisan kawin Sik Ko dan tak mau menerangkan kalau sekalian hendak
menyelidiki
keadaan tunangannya.
Tepat dikala Toan Khik-sia masuk ke dalam gedung Ciat-tok-hu, kala itu Sik Ko tengah
bertengkar mulut dengan isterinya dalam kamar rahasia. Pertengakaran itu mengenai urusan
perkawinan puteri mereka.
Isteri Sik Ko itu, telah menerima pesan terakhir dari mendiang ibu Hong-sian, sewaktu ibu
kandung nona itu hendak menutup mata. Ibu Hong-sian itu telah memberikan dua pesan,
pertama,
supaya mengasuh puterinya dengan baik, kedua, supaya Hong-sian itu dijodohkan pada putera
keluarga Toan yang semenjak kecil sudah ditunangkan.
Sebenarnya Sik-hujin (isteri Sik Ko) sudah beberapa kali bermaksud hendak memberitahukan
Hong-sian tentang asal-usulnya, tapi dikarenakan takut kepada sang suami, jadi hal itu tetap
masih
disimpan dalam hatinya saja. Tapi kini urusan sudah memuncak, kabarnya Tian Seng-su sudah
suruh orang-orangnya mengirim bingkisan. Karena cemas dan gelisah, nyonya itu menjadi nekat.
Ia ajak suaminya bercekcok.
Semenjak lahir, ayah-bunda Hong-sian sudah menetapkan perjodohannya dengan putera Toan
Kui-ciang. Kini mengapa kau hendak menikahkan pada lain orang? Demikian Sik-hujin
menegur
suaminya.
Orang tua Hong-sian kan sudah menutup mata, pun Toan Kui-ciang juga sudah gugur dalam
peperangan. Jika kau tak bilang, siapa yang tahu akan perjodohan Hong-sian dengan keluarga
Toan
itu? sahut Sik Ko.
Sik-hujin membantah: Jadi orang harus mempunyai liang-sim (nurani). Tempo dulu Toan
Kuiciang
pernah menolong seisi rumah keluargamu, sebaliknya kini kau hendak menyerahkan
menantunya pada lain orang. Coba tanyalah pada perasaan hatimu sendiri! Dan lagi coba
renungkan. Ayah Hong-siang, Su Ih-ji, adalah seorang cin-su (cendekia) yang termasyhur. Kala
itu
ia dicelakai oleh An Lok-san dan ditangkapnya. Sekalipun pada masa itu kau dan Tian Seng-su
hanya melakukan tugas sebagai orang sebawahan An Lok-san, tapi perbuatanmu itu sungguh
menyakiti keluarga Su .!
Diam! bentak Sik Ko dengan gusarnya. Apakah kau hendak menceritakan kejadian itu pada
Hong-sian agar anak itu memusuhi aku?
Kata Sik-hujin: Mana aku mempunyai pikiran begitu. Aku hanya memikirkan ....
Lagi-lagi Sik Ko memutus omongan isterinya: Sekalipun aku dianggap berdosa terhadap
keluarga Su, tapi aku telah merawat anak isterinya, dan sekarang mengusahakan supaya anaknya
dapat jodoh yang genah, seorang keturunan keluarga yang keadaannya seratus kali lebih baik
dari
keluarga Toan, masakah arwah Su Ih-ji takkan merasa berbahagia di alam baka?
Sik Ko masih kuatir isterinya akan membocorkan rahasia itu. Maka ia segera berganti sikap
bahasanya, dari main gertak menjadi ramah membujuk.
Soalnya bukan begitulah, sanggah Sik-hujin, Lu-hujin tinggal di rumah kita ini hanya
sebagai mak-inang (wanita yang memberikan air susunya). Sampai pada ajalnya, ia tetap tak
dapat
mengenalkan diri pada anaknya. Jika kita sampai mengingkari pesannya, ia tentu tak dapat

mengaso dengan tenteram di alam baka. Ya, selain itu, dahulu ketika hendak membasmi An
Loksan,
semuanya ialah yang merencanakan, hingga anak buah An Lok-san berontak dan puteranya
saling membunuh sendiri. Dalam hal mencapai pangkat Ciat-tok-su yang kau peroleh sekarang
ini,
ia mempunyai andil juga. Suami isteri Toan itu melepaskan budi besar sekali kepada kita,
sekarang
adalah saatnya kau harus membalasnya. Turut pendapatku, batalkan saja pernikahan dengan
keluarga Tian itu!
Muka Sik Ko sebentar merah sebentar pucat. Dengan kertak gigi ia menggeram: Kau hanya
tahu soal balas budi saja tapi tak mengerti akan soal lain yang teramat penting. Jika Hong-sian
tidak jadi dinikahkan dengan keluarga Tian, jiwaku pun sukar dipertahankan!
Sik-hujin tersentak kaget, serunya: Masakah sampai begitu? Tian-ciangkun adalah sahabat
baikmu, masakah karena batal berbesan lantas membunuh kau? Dan kau toh bukan seorang
panglima yang tak berdaya!
Hah, kau seorang wanita masakah mengerti urusan negara. Tian Seng-su itu mempunyai citacita
hendak mencaplok daerah Lo-ciu. Sudah lama ia mengandung cita-cita itu. Pada tahun-tahun
belakangan ini ia terserang penyakit jiat-tok-hong (demam panas). Setiap musin panas tiba, tentu
kambuh ....
Ia mempunyai penyakit jiat-tok-hong, apa hubungannya dengan urusan negara? tukas Sikhujin.
Ah, hujin, kau tak tahukah, kata Sik Ko, karena tersiksa dengan penyakitnya itu, ia lantas
timbul ingatan hendak merampas daerah kita sini. Ada orang memberitahukan padaku, ia sering
bilang kepada orang-orang bahwa daerah Gui-ciu itu terlalu panas sekali, makanya ia bermaksud
hendak pindah ke wilayah Shoa-tang yang lebih nyaman iklimnya. Shoa-tang adalah wilayah
propinsi dan ibu kotanya ialah Lo-ciu kita ini.
Ah, itu hanya suatu alasan belaka, kata Sik-hujin.
Benar, tapi dikarenakan ia mengandung cita-cita begitu, tidak dengan alasan tadipun ia bisa
cari alasan lain. Ya, telah kuselidiki betul-betul. Dalam beberapa tahun terakhir ini ia sudah
mengumpulkan anak tentara sebanyak 3000 orang. Dengan pasukan yang diberi nama Gwe-
thoklan
itu ia hendak menyerang kita!
Ha, makanya kau lantas serahkan Hong-sian, supaya ia jinak dan batalkan rencananya. Tapi
kalau memangnya ia mempunyai nafsu jahat itu, sekalipun sudah terikat famili, masakan ia tak
melaksanakannya? tanya Sik-hujin.
Kalau sudah menjadi famili, masakah ia tidak merasa rikuh? Dan lagi selama ini kita
perlakukan Hong-sian sebagai anak kandung sendiri. Setelah menjadi anggota keluarga Tian,
masakah ia takkan melindungi kita? Ia bukannya seorang gadis biasa ....
Ya, mengertilah aku, tukas Sik-hujin, kamu mau jadikan Hong-sian sebagai orangmu dalam
keluarga Tian, makanya kau begitu ketakutan kalau aku sampai membocorkan rahasianya.
Tentunya kau kuatir kalau ia tahu kau bukan ayah kandungnya, lalu tak mau mati-matian
membelamu.
Memang begitu, tapi akupun tak mau 100% mengandalkan pada budak perempuan itu, kata
Sik Ko, Di samping itu, akupun bermaksud hendak mengikat pernikahan dengan Leng Ho-
ciang,
Ciat-tok-su dari Hwat-ciu. Dengna pernikahan segitiga itu, rasanya keamanan masing-masing
dapat
terjamin. Sayang anak perempuan dari Leng Ho-ciang dan anak lelaki kita masih kecil, jadi
urusan
pernikahan ini harus menunggu dulu. Sekarang yang paling perlu, kita harus lekas menjadikan
pernikahan Hong-sian dengan keluarga Tian itu.
Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: Kini kau menjabat kedudukan sebagai pembesar tinggi,
suatu peruntungan yang tak sembarang orang dapat menikmati. Tapi kenyataan, kau selalu hidup
dalam kegelisahan, hari-hari kau lewatkan dengan penuh kekuatiran. Itu artinya percuma saja.
Turut pendapatku, lebih baik kau minta pensiun saja pulang ke kampung halaman. Tian Seng-su
mau mencaplok daerah Shoa-tang atau tidak, biarkan sajalah. Pernikahan ini tetap kita batalkan!
Pikiran wanita yang cupat! teriak Sik Ko dengan marahnya, dengan susah payah kurebut
kedudukan Ciat-to-su ini, sekarang kau mau suruh aku lepaskan kedudukan ini untuk orang lain.
Hm, hm, tanpa pangkat dan nama apa bisa mendapat kekayaan?

Tapi bagaimana kau hendak mempertanggungjawabkan apabila kelah putera Toan Kui-ciang
bertanya padamu? Ingat, Toan Kui-caing pun pernah melepas budi besar kepadamu. Dan urusan
ini lambat atau laun tentu tak dapat mengelabui Hong-sian, biarpun aku tak bilang, kelak jika
putera
Toan Kui-ciang datang kemari, ia tentu akan mengatakannya juga. Dan bila Hong-sian sudah
mengetahui, ia tentu akan mengutuk kau!
Air muka Sik Ko menjadi gelap, hawa pembunuhan merangsangnya. Dengan keras ia berseru:
Jika bocah dari keluarga Toan itu berani datang kemari menunjukkan hal itu, tentu akan
kubunuhnya!
Kejut Sik-hujin bukan kepalang, serunya: Ciangkun, itu melanggar perikemanusiaan! Apa
yang kau lakukan ini barulah benar-benar memikirkan kepentingan anak kita!
Persetan dengan perikemanusiaan segala! sahut Sik Ko dengan gusar, aku berbuat demi
kepentingan anak kita!
Kau hendak bunuh bakal suaminya, apakah hal itu kau anggap memikirkan kepentingan
anak? sahut Sik-hujin.
Sik Ko tertawa ejek: Kau hanya memandang Toan Kui-ciang itu seorang baik-baik, tapi kau tak
meneliti bagaimana asal keturunannya!
Semasa hidupnya, orang-orang menyebutnya sebagai Toan-tayhiap! kata Sik-hujin.
Berapakah harganya sebutan Tayhiap itu per katinya? Sik Ko mengejek, Tayhiap atau
Siauhiap hanya merk kosong yang diberikan oleh orang persilatan saja. Paling-paling mereka itu
hanyalah bangsa manusia yang bergelandangan di dunia persilatan!
Jangan kau memandang begitu rendah pada Toan-tayhiap. Taruh kata kau lupa akan budinya,
tapi kau seharusnya ingat bahwa ia pernah membantu Tio Sun mempertahankan kota Sui-yang,
jadi
ia seorang yang berjasa kepada negara! nyonya itu tetap tak mau kalah bicara.
Sik Ko tertawa, katanya: Ai, Hujin, mengapa kau begitu kolot? Dalam jaman kacau begini,
siapa yang dapat merebut nama dan kekayaan, itulah yang disebut orang gagah. Apa itu segala
macam teori kosong tentang tiong-gi (kesetiaan dan kebajikan)? Apa sih yang dikatakan
kejujuran? Tio Sun seorang pembesar yang setia, tapi buktinya sampai sekarang ia tak lebih
hanya
menjabat sebagai Thay-siu dari kota Sui-yang saja. Sejak menakluk pada kerajaan Tong, aku
belum
pernah menghadapi pertempuran besar, tapi aku tahu apa yang harus kuperbuat. Kuperjuangkan
daerah kekuasaan, kukumpulkan anak buah tentaraku, hasilnya kini aku dapat menjabat sebagai
Ciat-tok-su!
Untuk sesaat Sik-hujin tak dapat menjawab, dengan berseri girang Sik Ko lanjutkan ocehannya:
Anggap sajalah Toan Kui-ciangitu benar-benar seorang Tayhiap yang gagah dan setia kepada
negara, ya, tetapi bagaimana seorang Tayhiap dapat menandingi kedudukan Tiang Seng-su
sebagai
Ciat-tok-su itu? Apalagi Toan Kui-ciang itu toh sudah meninggal, jangan-jangan puteranya yang
tiada beribu-bapa itu sudah jadi seorang gelandangan! Hm, hm, kita tidak menjodohkan puteri
kita
dengan putera seorang Ciat-tok-su, masakah kita malah memberikannya kepada seorang bocah
gelandangan! Hm, hm, jika ia berani datang kemari, ya, demi untuk kepentingan anak kita,
terpaksa
kubunuh dia nanti!
Karena dirangsang oleh kemarahan lagi takut, sesaat Sik-hujin tak dapat membantah kata-kata
suaminya itu. Ia hanya menggerutu panjang pendek: Ai, Ciangkun, karena matamu silau pada
harta kekayaan dan gila pangkat, lalu kau menghina pada orang. Tapi kurasa sifat anak kita itu
tak
seperti perangaimu!
Mendadak Sik Ko tertawa gelak-gelak, katanya kemudian: Sampai saat ini, ia tetap
menganggap aku sebagai ayah kandungnya sendiri. Apa yang kuperintahkan, ia tentu menurut.
Mengapa kau katakan ia tak berperangai seperti aku? Jika tak percaya, biarlah sekarang
kupanggilnya kemari, biar kusuruh ia mencaci-maki Toan Kui-ciang agar kau dapat
mendengarnya!
Begitulah Sik Ko bergirang bukan kepalang karena merasa dapat menundukkan sang isteri.
Sudah tentu ia tak duga sama sekali, bahwa yang dimakinya sebagai bocah gelandangan, putera
Toan Kui-ciang yang bernama Toan Khik-sia itu, sebenarnya pada saat itu berada di luar jendela
kamarnya.

Tapi Toan Khik-sia tak mendengar seluruh percakapan suami isteri itu. Ia agak terlambat
datangnya, jadi hanya dapat mendengar sebagian yakni ketika Sik Ko memaki kalang-kabut pada
mendiang ayahnya. Tapi hal itu cukup membuat Toan Khik-sia naik pitam, hampir saja ia mau
menerjang masuk, tapi syukur pikiran jernih dapat menguasai dirinya: Tiada gunanya juga
kubunuh dia. Mengingat ia adalah ayah angkat Su Yak-bwe, untuk sementara ini biarlah
kuampuni
jiwanya, coba saja bagaimana ia nanti di kemudian hari. Memang sudah lazimlah kalau kaum
pembesar negeri itu tentu korup dan mementingkan diri sendiri, mana aku dapat membunuh
mereka
yang berjumlah begitu banyak? Semasa hidupnya mendiang ayahku juga tak suka mendendam.
Dengan segala lapang hati beliau telah menolong keluarga Sik Ko. Aku hendak meneladani
kepribadian ayah itu, tak bolehlah aku berlaku sempit dada!
Memikir sampai di sini, redalah kemarahan Toan Khik-sia. Tapi pada lain saat ia menimang
pula: Tadi ia katakan kalau Yak-bwe itu perangainya serupa dengan dia, benarkah ini? Ai,
celaka,
siapa yang dekat gincu tentu merah, yang dekat tinta tentu menjadi hitam. Diasuh oleh seorang
ayah begitu macam, mungkin Yak-bwe akan memandang rendah padaku seorang bocah
gelandangan ini! Memang benarlah, ia sekarang adalah puteri dari seorang Ciat-tok-su. Untuk
menjaga kehormatan, sudah selayaknya kalau menikah dengan putera seorang Ciat-tok-su juga!
Tiba pada dugaan semacam itu, perasaan Toan Khik-sia makin bertambah suatu beban
kegelisahan. Dengan susah payah kudatang kemari untuk mencarinya. Jika ia sampai
memicingkan mata, menjebitkan vivir, memandang sebelah mata padaku dan mendamprat aku
dengan getas, bukankah diriku ini seperti dibanting kedalam jurang kehinaan?
Pikiran anak muda itu makin melayang jauh. Ia membayangkan bagaimana tunangannya itu
tiba-tiba muncul di hadapannya dengan tingkah laku yang congkak. Sembari berkacak pinggang,
gadis itu memakinya: Hah, bocah gelandangan dari mana ini? Mengapa berani mati merangkai
cerita kalau aku ini tunangannya sejak kecil? Hm,masakan bocah gelandangan seperti macammu
itu
layak menjadi suamiku?
Tiba-tiba lamunan Toan Khik-sia itu tersentak buyar oleh seruan Sik-hujin yang memanggil
seorang bujang perempuannya. Nyonya itu suruh si bujang memanggil Hong-sian.
Bagus, lebih baik kuikuti budak itu ke tempat Yak-bwe. Bagaimanakah keadaannya? Hm, jika
benar karena salah asuhan dan kini ia mewarisi perangai jahat seperti Sik Ko, maka aku pun
takkan
menghiraukannya lagi. Ya, lebih baik begini! pikir Khik-sia.
Benar ilmu gin-kangnya belum memadai suhengnya yang dapat muncul lenyap seperti
bayangan saja, namun ia pun sudah dapat mencapai tingkatan cepat laksana angin. Demikian
diam-diam ia menguntit budak perempuan itu, siapa sudah tentu tak merasa dikuntit.
Di sebuah kamar yang indah, berhentilah budak itu. Di dalam kamar itu memancarkan sinar
penerangan. Pada kain jendela, tampaklah sesosok bayangan dari seorang gadis. Hati Toan
Khiksia
menjadi dag-dig-dug, berdebar-debar tak karuan. Untuk pertama kali itulah ia bakal melihat
wajah sang tunangan.
Dengan gunakan Gin-kang, Khik-sia berindap-indap melesat ke belakang jendela dan
bersembunyi di dalam semak-semak pohon. Ia mengintip di celah kain gordin jendela yang
setengah tersingkap itu dan, duhai, matanya segera tertumbuk pada seorang nona yang amat
cantik
dalam pakaiannya yang serba menyedapkan. Tapi yang mengherankan, wajah nona jelita itu
suram
muram seperti tertutup oleh awan kedukaan. Tangan nona itu sedang menggenggam sebuah
tusuk
kondai kemala yang bentuknya serupa benar dengan kepunyaannya.
Jantung Toan Khik-sia mendebar keras, pikirnya: Mengapa ia menghadapi tusuk kondai
kemala itu dengan merenung? Apakah ia sudah mengetahui tentang riwayat tusuk kondai itu?
Saat itu terdengar mulut si jelita berkata seorang diri: Ai, aneh, mengapa mamah suruh aku
mengeluarkan tusuk kondai ini dan selanjutnya suruh aku memakainya terus, tak boleh
ditanggalkan lagi? Dan mengapa ia mengucurkan air mata di hadapan tusuk kondai ini? Apakah
ia
tetap terkenang akan Lu-ma? Ya, memang Lu-ma selalu meninggalkan kesan pada kita, tapi
bukankah ia hanya seorang mak-inang saja? Mengapa mamah begitu memandang tinggi pada
barang peninggalan Lu-ma?
Walaupun kata-katanya itu diucapkan dengan pelahan, namun dapatlah Toan Khik-sia

mendengarnya dengan jelas: Oh, kiranya benar-benar seorang nona angkuh dan suka
memandang
rendah pada lain orang, demikian pikirnya.
Sudah tentu apa yang dinilai Toan Khik-sia itu hanya apa yang dilihatnya saja. Padahal Hongsian
itu memperlakukan mak-inangnya itu sebagai ibunya, walaupun ia tak tahu bahwa sebenarnya
memang wanita itu adalah ibu kandungnya sendiri.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh bujang perempuan tadi.
Apakah itu Jun-bwe? Mengapa malam-malam datang kemari? tegur si nona.
Sambil melangkah masuk, budak itu berkata: Nona, kau ini benar-benar seorang yang
menghargai kecintaan. Lu-ma sudah meninggal beberapa tahun, tapi kau masih
mengenangkannya.
Apakah kau sedih melihat tusuk kondai peninggalannya itu? Ah, sudahlah, baik nona jangan
bersedih, aku membawa kabar girang bagimu.
Mulutnya menghibur, tapi anehnya tiba-tiba budak itu tampak muram wajahnya sendiri. Ia
menghela nafas, kemudian berkata lagi: Ah, jika Lu-ma masih hidup, ia tentu akan girang
sekali.
Hong-sian tertegun, ujarnya: Jangan mengoceh tak keruan kau! Mengapa kau katakan aku
akan girang?
Budak itu tertawa: Ai, nona masih belum mengetahui bahwa bingkisan orang sudah di dalam
perjalanan.
Bingkisan apa? seru Hong-sian keheranan.
Bingkisan apa lagi kalau bukan dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian-ciangkun. Loya telah
menjodohkan nona pada putera Tian-ciangkun, kabarnya nanti bulan muka tanggal 15 hari
kebahagiaan nona akan dilangsungkan!
Hong-sian menunduk kemerah-merahan wajahnya. Diam-diam ia membatin: Oh, makanya
dalam waktu terakhir ini ayah sering memuji-muji putera Tian-ciangkun di hadapanku. Katanya
anak muda itu adalah keturunan dari seorang panglima, seorang pemuda gagah yang memiliki
ilmu
silat tinggi. ..........(tulisan tak terbaca) aku!
Sementara itu si budak sedang berkata pula dengan tertawa: Seorang jejaka kalau sudah besar
tentu berumah tangga, seorang gadis jika sudah dewasa tentu keluar pintu. Anak harimau dengan
anak harimau, itulah sembabat sekali. Nona, jangan malu-malulah, mari silahkan ikut aku, Hujin
sudah menantimu!
Apakah mamah memanggil aku? tanya Hong-sian.
Bujang itu mengiyakan: Kurasa hujin tentu akan membicarakan urusan pernikahan padamu.
Nona, akulah yang pertama yang menyampaikan berita girang ini, nanti aku akan minta hadiah
pada
nona.
Hadiah apa? Minta hadiah sebuah tamparanku? kata si nona.
Budak itu tertawa cekikikan, serunya: Aduh, celaka aku, biar nanti kuadukan Hujin bahwa
nona tak dapat membedakan mana yang harus diberi hadiah dan mana yang diberi hukuman.
Jika kedua majikan dan bujangnya itu tengah berkelakar dalam kamar, adalah di luar sana Toan
Khik-sia seperti disayat sembilu hatinya. Pikirnya: Tampaknya ia tak menentang urusan
pernikahan itu!
Lagi-lagi Toan Khik-sia tidak bijaksana didalam menjatuhkan prasangka. Pada masa itu, gadis
tidak mempunyai hak untuk memilih pasangannya. Semuanya diatur oleh pihak orang tua yang
mengambil keputusan dari keterangan kaum bah-tau (comblang). Hong-sian sama sekali tak tahu
siapa dan bagaimanakah putera Tian Seng-su itu. Baikkah atau jelekkah? Lebih-lebih ia tak tahu
bahwa dirinya sejak kecil sudah dipasangkan dengan Toan Khik-sia. Jadi terhadap urusan
pernikahan itu, ia tak mempunyai pendirian apa-apa.
Tiba-tiba Hong-sian berseru: Hai, Jun-bwe, dengan siapa kau datang kemari ini, mengapa tak
suruh dia masuk?
Ternyata karena getaran sang hati, tanpa sadar Khik-sia telah menyentuh tangkai bunga hingga
mengeluarkan suara berkeresekan.
Budak itu tersentak heran, jawabnya: Hanya aku seorang diri, masakan membawa kawan?
Belum habis kata-kata bujang itu, Hong-sian sudah mendorong daun jendela dan sebat sekali ia
sudah loncat keluar. Hai, siapakah yang bersembunyi di situ? bentaknya.

Karena sudah kepergok, Toan Khik-sia pun tak mau main sembunyi lagi. Ia loncat keluar dari
semak pohon, lalu berkata dengan mengejek: Kuhaturkan selamat pada nona yang akan
mendapat
jodoh seorang baik-baik! Tapi kukuatir ayah-bundamu yang berada di alam baka itu akan
berduka
hatinya!
Mendadak ada seorang pemuda tak dikenal berdiri di hadapannya, kejut Hong-sian bukan
kepalang. Buru-buru ia cabut pedangnya dan membentak: Apa katamu? Siapa kau ini, mengapa
tengah malam buta berani menyelundup masuk kemari? Rasanya kau ini tentu bukan orang
baikbaik,
bukan bangsat tentu pencuri!
Toan Khik-sia tertawa lebar, sahutnya: Aku bukan orang baik-baik, bukan penjahat tentu
pencuri? Ha, ha, puaskanlah hatimu untuk memaki aku dengan kata-kata apa saja! Nah, biar
kuberitahukan padamu, aku ini putera dari Toan Kui-ciang!
Sepasang alis Hong-sian berjungkat lalu mendamprat lagi: Ha, benar, bukan orang baik-baik.
Maling kecil, lihat pedangku!
Bagus, menyebut diriku maling kecil, maling kecil lebih buruk lagi dari gelandangan kecil,
pikir Khik-sia sembari menghindar. Berturut-turut ia menghindari tiga kali serangan pedang,
setelah itu baru menegur: Nona besar, mengapa kau mengecap diriku sebagai seorang
penjahat?
Hong-sian tertawa dingin, menyahut: Naga tentu beranak naga, dan burung hong tentu beranak
burung hong. Anak perampok kemana parannya lagi?
Marahlah Toan Khik-sia dengan hinaan itu. Kau menghina aku itu masih mending, tapi kau
berani juga memaki orang tuamu, kau punya ..... hm, memaki ayahku.
Hampir saja mulutnya mengatakan kau punya mertua. Untung ia teringat agar lebih baik
jangan mengatakan hal itu dulu.
Hong-sianpun gusar, pikirnya: Bangsat kecil ini benar-benar kurang ajar, masakan arwah
ayahnya seorang perampok, dijadikan orang tuaku. Seketika ia berseru semakin bernafsu:
Menteri pemberontak, anak perampok, tidak layakkah dimaki? Tetap akan kumaki ayahmu
pejabat itu, nah kau mau apa?
Sudah tentu Khik-sia tak mengetahui mengapa Hong-sian memaki ayahnya perampok dan
dirinya sebagai keturunan penjahat itu. Padahal bukan tak ada sebabnya Hong-sian berbuat
begitu.
Itulah Sik Ko yang menjadi gara-garanya. Kuatir keluarga Toan akan mengutus orang untuk
menarik janji pernikahan dengan Hong-sian, maka Sik Ko lantas merangkai cerita. Kepada
puterinya, Sik Ko sering menceritakan tentang kejadian-kejadian di dunia persilatan. Ia
katakan:
Toan Kui-ciang itu seorang penjahat yang ganas, kemudian dapat ditangkap oleh tentara negeri
dan
dihukum mati. Sik-hujin karena takut akan suaminya, jadi tak pernah menyebut-nyebut nama
Toan
Kui-ciang di hadapanputerinya itu. Jadi dalam pengetahuan Hong-sian, Toan Kui-ciang itu
adalah
tokoh jahat seperti apa yang digambarkan Sik Ko. Sudah tentu terhadap sang ayah itu, Hong-
sian
tak ada alasan untuk tak mempercayainya.
Saking gusarnya panca-indera Toan Khik-sia seperti mengeluarkan asap. Jika masih memaki
lagi, tentu kutampar mulutmu! bentaknya sembari secepat kilat merapat maju, terus ulurkan
tangannya ke muka si nona.
Hong-sian terperanjat. Ia bermaksud menarik pedangnya untuk menghalau tapi sudah tak
keburu. Untung Toan Khik-sia tiba-tiba merubah ingatannya. Pikirnya: Ah, tidak boleh.
Walaupun ia belum menikah padaku, tapi ia sudah dijodohkan menjadi isteriku. Sebelum janji
perjodohan itu dibatalkan, turut kesopanan aku tak boleh memukulnya. Apalagi aku tak boleh
dipengaruhi oleh nafsu amarah seketika, lantas melupakan hubungan akrab dari keluarga Toan
dan
Su pada masa yang lampau.
Ternyata ilmu silat Hong-sian pun tidak lemah. Hanya sekejap saja Toan Khik-sia ragu-ragu
tadi, Hong-siang sudah lantas menyabat tangan si anak muda. Jika Toan Khik-sia tak cepat-cepat
menarik tangannya, jarinya tentu sudah terpapas kutung.
Bermula karena melihat orang hanya bertangan kosong saja, Hong-sian hanya bermaksud akan
meringkusnya saja untuk diserahkan kepada ayahnya. Tapi setelah tadi hampir saja ia termakan
tamparan si anak muda, dari malu menjadi gusar. Pikirnya: Ha, anak perampok ini lihay juga!
Ah,
tolol benar aku ini mengapa akan memberi kelonggaran pada bangsa penjahat. Jika tak kuberi

hajaran, seumur hidup aku tak dapat mencuci hinaan tadi!
Hong-sian mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni. Dalam gusarnya, Hong-sian mainkan
pedangnya dengan gencar untuk mengarah jalan darah yang berbahaya dari si anak muda. Benar
ilmu gin-kang Toan Khik-sia sudah cukup sempurna, tapi dengan gunakan ilmu gong-chiu-jip-
pekjim
(dengan tangan kosong merampas senjata), ia tetap tak mampu merebut pedang ceng-kongkiam
Hong-sian. Paling-paling Toan Khik-sia hanya dapat menjaga diri agar jangan sampai
termakan pedang saja.
Seperti diketahui, sebenarnya anak muda itu mempunyai ribuan kata-kata hendak diucapkan di
hadapan si jelita itu (termasuk keputusannya yang datangnya secara tiba-tiba, yakni hendak
membatalkan saja janji perjodohan itu! Tapi berhadapan dengan si nona yang se..... (tidak
terbaca)
untuk bicara?
Pada saat itu mendadak Toan Khik-sia balikkan tubuh sambil kebatkan lengan baju si anak
muda tapi pedangnyapun segera tergubat oleh lengan baju lawan. Dicobanya untuk menarik, tapi
tak berhasil.
Toan Khik-sia menghela nafas longgar, kemudian tertawa gelak-gelak: Nona, kau keliru!
Sebenarnya Hong-sian sudah kuatir kalau-kalau si anak muda akan balas memukul, maka ia pun
menjadi tertegun demi anak muda itu hanya mulutnya saja yang berkata-kata.
Bagaimana kesalahanku? serunya.
Turut ucapanmu tadi, air tentu mengalir ke bawah, artinya bagaimana orang tuanya tentu
bagaimana itu pula anaknya. Dalil itu salah. Dirimu sendiri itu, menjadi bukti yang nyata! kata
Khik-sia.
Sudah tentu Hong-siang tersentak heran, tanyanya: Apa maksud kata-katamu itu?
Ayah kandungmu sendiri adalah seorang manusia terpelajar, gagah perwira dan arif bijaksana.
Beliau adalah seorang lelaki jantan yang pantang perbuatan haram, tak gentar menghadapi
ancaman, seorang yang berhati lurus dan mulia! Kau adalah puterinya, tapi mengapa sedikitpun
kau tak mewarisi sifat-sifatnya yang mulia itu?
Setelah diangkat menjadi panglima daerah, Sik Ko mempunyai kekuasaan besar. Sejak itu
dirinya seolah-olah dipagari oleh orang-orang yang pandai menjilatnya. Sampai-sampai Hong-
sian
sendiri sudah merasa jemu mendengar puji sanjung dari kawanan penjilat itu. Tapi selama itu,
tak
pernah ia mendengar ada orang yang memuji-muji seperti apa yang diucapkan Toan Khik-sia itu.
Ayahku seorang Bu (militer), ia jarang sekali membaca buku. Pelajaran ilmu surat dan syair
yang kupelajari di waktu kecil, adalah Lu-ma yang mengajarkan padaku. Sebagai seorang Ciat-
toksu,
setiap hari ayah sibuk dengan urusan kantor, jadi tak sempat mengenal segala macam filsafat
budi pekerti. Kata-kata pujiannya tadi, tak tepat bagi ayah, pikir Hong-sian.
Tapi dalam pada itu diam-diam ia terperanjat juga melihat tutur kata si penjahat kecil itu.
Tanpa disadari ia bertanya: Turut katamu tadi aku ini tak sepadan dengan ayahku, habis dalam
pandanganmu, bagaimanakah diriku ini?
Kau? Ai, kau sudah diracuni Sik Ko. Turut penglihatanku, kau sudah berubah menjadi
seorang siau-jin yang temaha kekayaan. Kalau tidak, tak nanti kau berpeluk tangan
menunggununggu
jadi menantu seorang Ciat-tok-su, pula tak nanti kau memaki aku sebagai maling kecil!
jawab Toan Khik-sia.
Selebar muka Hong-sian merah padam dibuatnya. Dengan gusarnya ia menyemprot: Bicaramu
ini pagi hitam, sore putih. Baru saja mulutmu memuji ayah, kini lidahmu sudah berganti nada
memakinya!
Memang benar, yang kupuji itu ialah ayah kandungmu yang asli, dan yang kumaki ialah si Sik
Ko! Bukankah tadi kau memaki ayahku? Kau memaki ayahku sebagai menteri pemberontak dan
perampok. Padahal seharusnya kata-kata itu adalah buat alamatnya Sik Ko! Dia pernah bertekuk
lutut menghamba pada An Lok-san dan lagi ia justeru berasal dari kalangan Lok-lim!
Marah Hong-sian tak dapat dikendalikan lagi. Tak tunggu si anak muda menghabiskan
katakatanya,
ia sudah mendampratnya: Ngaco belo! Kalau bukan gila, tentulah kau memang sengaja
hendak menghina kami ayah dan anak, lihat pedangku!
Dan sekali gentakkan pedangnya dari libatan lengan baju, ia lantas menusuk. Toan Khik-sia

menghindar lagi, serunya lantang-lantang: Apakah kau masih tak jelas? Kau akui seorang
penjahat
sebagai ayah! Jika kau masih begitu limbung, ayah bundamu yang sudah meninggal itu tentu tak
dapat meram di alam baka!
Dengan ucapan itu sudah dua kali Toan Khik-sia memperingatkan Hong-sian kalau ayah
bundanya sudah meninggal. Pertama tadi, ketika ia memergoki Toan Khik-sia bersembunyi di
luar
kamar. Mungkin karena terkejut melihat seorang asing muncul dengan tiba-tiba, Hong-sian
buruburu
mencabut pedang dan tak menghiraukan kata-kata anak muda itu. Tapi untuk ucapan Toan
Khik-sia yang terakhir ini, benar-benar ia mendengarnya dengan jelas. Hatinya tergetar malu,
gusar
dan heran. Sambil menusuk, ia memaki: Kurang ajar, dah mengaku penjahat sebagai ayahmu!
Khik-sia tetap tertawa dingin dan menegaskan lagi: Ya, kau sudah mengaku penjahat sebagai
ayahmu!
Sudah tentu Hong-sian tak percaya. Dalam gusarnya, ia putar pedangnya makin gencar. Oleh
karena sibuk melayani, jadi Toan Khik-sia tak sempat berbicara lagi.
Sekonyong-konyong terdengar suara Sik Ko membentak: Hai, siapa itu? Berani mati
menyelundup ke dalam gedung Ciat-to-hu sini?
Kiranya karena sampai sekian lama Hong-sian tak datang, Sik Ko lantas lari menjenguknya.
Demi melihat Hong-sian menghunus senjata dan tengah bertempur dengan seorang asing,
kejutnya
bukan kepalang.
Yah, lekas kemarilah! Ini ada seorang gila yang mengaku sebagai anaknya Toan Kui-ciang!
seru Hong-sian.
(Halaman 34-35 kosong !!!!)
Ada pula yang menerangkan: Loya tadi bertempur dengan si penjahat, mungkin Loya kelewat
capek menggunakan tenaganya.
Mendengar laporan itu Sik-hujin terperanjat dan marah, dampratnya: Kalian semua ini hanya
kawanan tukang gegares belaka. Masakan ada penjahat masuk ke sini, kalian tak tahu sama
sekali
hingga bikin kaget nona dan Loya saja!
Ma, mereka tak dapat dipersalahkan. Penjahat itu lihay sekali! kata Hong-sian.
Siapa penjahat yang bernyali besar itu? Apakah kau masih ingat bentuk rupanya? Panggil
kepala pengawal untuk menangkapnya!
Penjahat itu adalah anaknya Toan Kui-ciang. Ia amat tangguh sekali, dapat muncul lenyap
menurut sesuka hatinya. Percuma panggil pengawal ....
Belum habis si nona menutur, Sik-hujin tampak seperti orang yang tiba-tiba terserang penyakit
demam, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat lesi. Dengan nada sember ia berkata: Ah, ia
benarbenar
datang memenuhi janji!
Hong-sian buru-buru memapak Sik-hujin. Pikirannya menjadi gundah, tanyanya: Mah, apa
maksud katamu itu?
Sik-hujin tenangkan goncangan hatinya. Sesaat ia tersadar akan kata-katanya yang terluncur
dari mulutnya tadi. Ia anggap urusan itu tak boleh diceritakan di hadapan orang banyak. Katanya:
Ah, tidak apa-apa. Tadi karena ketakutan, aku sampai mengoceh tak keruan. Dalam beberapa
tahun terakhir ini, setelah memegang kekuasaan militer, ayahmu telah membunuh banyak jiwa.
Aku kuatir ada roh penasaran yang menagih jiwa padanya. Lekas angkut ayahmu ke dalam!
Di dalam Ciat-to-hu ada seorang tabib. Selekasnya tabib itu segera dipanggil. Setelah
memeriksa nadi pernafasannya, si tabib memberi keterangan bahwa pembesar itu tidak apa-apa
hanya apa yang disebut golakan hawa panas menyerang ulu hati. Tetapi harus beristirahat
secukupnya. Kemudian tabib itu menulis resep.
Sik-hujin lega hatinya mendengar keterangan tabib itu. Ia segera suruh orang-orang berlalu dan
hanya tinggalkan seorang budak perempuan untuk menjaga suaminya. Setelah itu ia berkata
kepada
Hong-sian: Pergi ke kamar, aku hendak bicara padamu!
Dengan hati tak tenteram, Hong-sian mengikuti Sik-hujin menuju ke kamar rahasia. Setelah
mengancing pintunya, Sik-hujin lalu bertanya dengan pelahan-lahan: Apa yang dikatakan oleh

putera Toan Kui-ciang kepadamu tadi?
Hong-sian menerangkan: Banyak sekali yang dikatakannya kepadaku, tapi kata-katanya ini
aneh-aneh seperti orang gila. Huh, lebih baik kau jangan dengarkanlah.
Tidak, karena toh urusan sudah berlarut, aku pun tak takut mendengarkannya. Ya, apa
katanya? kata Sik-hujin.
Apa boleh buat Hong-sian menuturkan: Ia bilang ayah dan mamah ini bukan orang tuaku yang
asli. Ayah dan ibu kandungku sudah meninggal dunia. Mah, apakah hal itu benar?
Sik-hujin menggigit bibir, wajahnya tampak gelap. Sekonyong-konyong ia pegang tangan
Hong-sian untuk menjaga kalau dirinya jatuh, kemudian dengan suara berat berkata: Memang
benar!
Kejut Hong-sian tak terkatakan dan menjeritlah ia: Apa benar? Mah, mengapa dulu-dulu kau
tak memberitahukan padaku? Siapakah orang tuaku yang asli, bilamana mereka meninggal?
Sik-hujin mulai dapat menenangkan hati. Katanya dengan pelahan: Akan kuberitahukan
padamu, tapi kau harus lebih dulu kasih tahu padaku apa lagi yang dikatakan Toan-kongcu tadi?
Mendengar Sik-hujin berganti bahasa menyebut Toan-kongcu, keheranan Hong-sian makin
menjadi-jadi. Pikirnya: Ia memukul ayah, tetapi mengapa mamah masih begitu
mengindahkannya? Ah, disitu tentu terselip sesuatu!
Sekalipun saat itu sudah tahu bahwa Sik-ko dan isterinya itu bukan ayah-bunda kandungnya,
namun Hong-sian masih tetap membahasakan ayah-mamah kepada mereka.
Setelah merenung sejenak, wajah Hong-siang tiba-tiba memerah, katanya: Mah, ia memaki aku
....
Ha, ia memaki padamu? Memaki apa saja? tanya Sik-hujin.
Ia memaki aku ..... memaki aku menanti-nanti menjadi nyonya mantu Ciat-tok-su. Mah,
apakah benar-benar ayah hendak menjodohkan aku dengan putera Tian-pehpeh?
Hong-sian seorang nona yang memiliki ilmu silat, jadi nyalinya besar. Namun membicarakan
tentang masalah perkawinan, tak urung wajahnya merah kemalu-maluan juga.
Sebelum menjawab, lebih dulu Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: Oh, makanya Toan-kongcu
begitu marah, memang ayahmu telah berbuat salah. Untung kita belum menerima panjar dari
keluarga Tian.
Mendengar di dalam kata-kata Sik-hujin itu ada sesuatu hal, Hong-sian bertanya pula: Mah,
aku masih belum berminat kawin. Tetapi ada sangkut-paut apa dengan orang she Toan itu?
(Halaman 38-39 kosong .....!!!)
...... kecil.
Ah, makanya dia telah memaki aku sebagai anak yang tak berbakti! diam-diam ia teringat
akan ucapan Toan Khik-sia.
Ia menghapus air matanya, memakai tusuk kondai kemalanya lagi terus berjalan keluar. Sikhujin
menghela nafas dalam. Ia insyaf bahwa sejak itu ia bakal kehilangan seorang anak yang
sudah dianggapnya sebagai puterinya sendiri. Tapi iapun merasa terhibur karena sejak saat itu,
hatinya bebas dari kutukan liang-simnya (nurani) sendiri.
oooooOOOOOooooo
Tak berapa lama Sik Ko pun tersadar dari pingsannya. Begitu membuka mata ia segera
menampak puterinya Yak-bwe berdiri di depan tempat tidurnya.
Apakah penjahat tadi sudah lari? Bagaimana mamahmu? tanya Sik Ko dengan gelisah.
Mamah berada di kamar belakang. Ayah, anak tidak berbakti, maafkanlah aku tak dapat
merawatimu, kata Yak-bwe.
Sik Ko berjengat kaget dan loncat bangun. Apa .... apa katamu?
Kali ini anak sengaja datang menghaturkan selamat tinggal!
Mendengar itu naiklah darah Sik Ko: Kau mau ikut pada maling kecil itu? Dia bilang apa

padamu? Sian-ji, jangan sekali-kali kau percaya pada ocehannya!
Tenang-tenang Yak-bwe menjawab: Janganlah ayah marah. Anak sekali-kali takkan ikut
padanya. Tapi yang benar, dia itu bukan maling atau penjahat. Yah, semuanya anak sudah tahu,
jangan kau sembarangan memaki orang.
Saking gusarnya tubuh Sik Ko sampai menggigil. Tapi ia insyaf, bahwa kedudukannya hanya
tergantung pada puterinya itu. Ia berusaha untuk menekan kemarahannya, katanya dengan nada
gentar: Sian-ji, apa saja yang telah kau ketahui itu?
Yang sudah lampau, janganlah kita bicarakan lagi. Yah, kutahu kau sedang meresahkan
sesuatu hal. Kau takut Tian-pehpeh akan merampas daerah Lo-ciu ini, bukan?
oh, jadi mamahmu sudah memberitahukan padamu tentang urusan pernikahanmu? Tak
mengapalah, Sian-ji, meskipun kau bukan anak kandungku, tapi sejak kecil kau kuperlakukan
sebagai darah dagingku sendiri, kan? Sekarang aku sedang dalam kesulitan. Di atas pundakmu
hendak kuletakkan sebagian beban kesulitan itu. Dengan menikah pada keluarga Tian, pertama
hubungan kedua keluarrga menjadi baik yang berarti juga akan lenyapnya ancaman itu. Kedua,
bagimupun ada baiknya. Baik buruk Tian Seng-su itu juga seorang Ciat-tok-su. Suamimu adalah
puteranya yang sulung. Setelah nanti Tian Seng-su mengundurkan diri, sudah tentu
kedudukannya
akan diserahkan puteranya itu. Pada waktu itu kau tentu menjadi It-bin-hujin (nyonya agung).
Kekayaan dan keagungan akan kau miliki semuanya. Sian-ji, jangan kau bimbang-bimbang
lagi!
Yak-bwe tahankan amarahnya untuk mendengarkan ceramah Sik Ko. Setelah itu barulah ia
bicara: Adalah karena hendak membalas budi ayah terhadap diriku selama bertahun-tahun itu,
maka aku sengaja datang kemari untuk turut memikul beban kesusahanmu ....
Girang Sik Ko bukan buatan. Belum Yak-bwe habis bicara, ia sudah lantas menyeletuk: Jadi
dengan begitu, berarti kau setuju akan pernikahan itu. Bagus, kau benar-benar puteriku yang
manis!
Yah, membantu kesukaran dengan urusan pernikahan adalah dua perkara. Ayah boleh legakan
pikiran, aku mempunyai daya untuk membuat Tian-pepeh tak berani mengganggu Lo-ciu, tapi
untuk itu aku perlu pinjam cap kebesaran Ciat-tok-su.
Sik Ko kembali tersentak kaget, serunya: Perlu apa kau pinjam capku itu? Sian-ji, aku tak
memperlakukan kau buruk .....
Yak-bwe mengambil keluar sepucuk surat, katanya: Adalah karena hendak membantu
kesukaran ayah, maka aku hendak pinjam cap itu untuk dibubuhkan pada surat ini.
Surat apa itu? tanya Sik Ko.
Dengan mencontoh gaya ucapan ayah, aku telah menyiapkan sepucuk surat kepada Tianpepeh.
Surat ini surat biasa saja, isinya hanya menanyakan kewarasan Tian-pepeh. Apakah ayah
kepingin kubacakan?
Sik Ko terheran-heran, tanyanya: Apa artinya itu? Tak hujan tak angin mengapa menanyakan
kewarasannya?
Memang surat biasa itu tak ada artinya jika diantar oleh seorang pegawai kita. Tapi akan
berubah maknanya, jika aku sendiri yang akan mengantarkannya, kata Yak-bwe.
Sik Ko berasal dari kalangan Lok-lim. Segera ia mengetahui persoalannya. Ho, jadi kau mau
menggunakan siasat kirim golok meninggalkan surat!
Hanya meninggalkan surat tak perlu menitipkan golok. Tapi cukup untuk mematahkan nyali
Tian-pepeh juga. Hanya saja bila ayah masih menganggap kurang cukup, biarlah nanti
kuunjukkan
sedikit gaya padanya!
Tersipu-sipu Sik Ko goyangkan tangannya: Jangan, jangan, masih belum perlu! Kau, kau ....
Sebenarnya Sik Ko hendak mengatakan kau sudah menjadi anggota keluarga Tian. Tapi
denganwajah membaja Yak-bwe sudah lantas menukasnya: Kau setuju rencanaku itulah baik,
tidak
pun boleh. Tapi yang pasti, tak nanti aku menikah dengan keluarga Tian. Kini aku sudah
mengetahui bagaimana asal-usul keturunanku. Bagaimana kelak seharusnya aku menjadi
manusia,
aku sudah mempunyai pendirian sendiri, tak usah ayah kesal-keal memikirkan diriku lagi.
Sik Ko cukup paham akan puterinya itu. Pikirnya: Jika ia memaksa akan pergi, apa dayaku
untuk menghalanginya? Bahwa ia datang mengajak berunding padaku itu membuktikan bahwa ia

masih tak melupakan budiku, ia masih menganggap aku sebagai ayah. Tapi dengan rencananya
itu,
terang akan menyalahi keluarga Tian. Jika caranya melaksanakana kurang pandai, tentu akan
menimbulkan bencana!
Ia merenung sebentar, pikirnya pula: Tapi jika tak menurut kehendaknya, ia tentu mengambek
dan tinggal pergi. Kalau sampai pihak keluarga Tian datang menjemput mempelainya,
bagaimana
akan kujawabnya? Ini juga dapat mengundang bahaya. Ah, celaka, kabarnya bingkisan keluarga
Tian sudah berada dalam perjalanan, kukuatir dalam 2-3 hari ini tentu sudah datang.
Selagi Sik Ko dalam kebingungan, tiba-tiba di luar terdengar suara orang ribut mulut. Ketika
didengarjanya ternyata salah seorang pengawalnya yang menjabat Koan-su (pengurus rumah
tangga) tengah ribut dengan bujang perempuan yang menjaga kamar situ.
Aku hendak melaporkan suatu urusan penting pada Tayswe, mengapa kau menghalangi? kata
Koan-su itu.
Jawab si budak perempuan Malam ini Tayswe mengalami kaget, harus beristirahat. Jangan
keras-keras bicara nanti membikin kaget Tayswe pula.
Mendengar itu Sik Ko berseru keras-keras: Aku sudah bangun, ada urusan apa itu, suruh dia
masuk!
Kemudian ia membisiki Yak-bwe: Coba kau bersembunyi di belakang pintu angin sana dulu!
Koan=su malam-malam datang melapor, tentu ada kejadian yang buruk. Demikian Sik Ko
menimang-nimang dalam hati. Saat itu masuklah si koan-su. Setelah memberi hormat, ia
melapor:
Sebenarnya hamba tak berani mengganggu Tayswe, tapi karena sebuah urusan yang luar biasa
pentingnya, jadi terpaksa datang kemari juga.
Sik Ko kerutkan keningnya lalu memberi perintah: Jangan banyak ini itu, lekas ceritakan!
Dengan naga gemetar koan-su itu berkata: Barang bingkisan yang dikirimkan Tian-ciangkun,
di tengah jalan telah dirampas orang!
Sik Ko terbeliak, kaget, serunya: Di mana?
Dalam daerah Lo-ciu!
Siapa yang merampasnya? tanya Sik Ko.
Koan-su menerangkan: Kabarnya adalah gerombolan penyamun dari gunung Kim-ke-san dan
seorang pemuda yang menurut desas-desus puternya Toan Kuui-ciang ....
Sik Ko marah sekali. Hm, lagi-lagi maling kecil itu! ia menggeram.
Si koan-su melongo, ia melanjutkan laporannya: Tian-ciangkung mengutus orangnya kemari
memberitahukan bahwa perampasan itu terjadi dalam daerah kekuasaan kita, maka Tian-
ciangkun
minta Tayswe menangkap penjahatnya. Tian-ciangkun mengatakan pula, apabila Tayswe
kekurangan tenaga, ia suka mengirimkan pasukannya yang disebut Gwe-thok-lam yang terdiri
dari
3000 orang, untuk membantu Tayswe.
Wajah Sik Ko berubah membesi. Ia memberi isyarat tangan pada Koan-su itu: Ya, aku sudah
mengerti, kau boleh pergi!
Mengapa tiba-tiba wajah Sik Ko berubah membesi itu? Kiranya pasukan Gwe-thok-lam itu,
memang khusus dibentuk Tian Seng-su untuk menyerang daerah Lo-ciu. Kebetulan terjadi
peristiwa pembegalan barang bingkisan. Dengan alasan hendak membantu Sik Ko, Tian Seng-su
akan mengirim pasukan itu ke Lo-ciu. Ini berarti mengundang harimau ke dalam rumah. Sik Ko
menginsyafi hal itu. Maka marah tapipun keder juga.
Begitu koan-su pergi, Yak-bwe lantas keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan muka
berseri girang ia berseru: Yah, ini kebetulan sekali!
Sik Ko makin gusar, geramnya: Bencana bakal datang, mengapa kau katakan kebetulan?
Apakah kau tak dengar laporan koan-su tadi yang mengatakan bahwa Tian Seng-su akan
mengirim
pasukannya Gwe-thok-lam kemari?
Yak-bwe tertawa: Barang antaran itu dirampas orang, apakah itu bukan kebetulan sekali?
Dengan tak menerima barang antarannya, tentu mudahlah kelak kau membatalkan urusan
pernikahan itu. Tanpa repot-repot mengangkut barang-barang itu kesana-sini, dan aku dapat
pergi
dengan leluasa.
Sik Ko meringis dibuatnya. Sampai beberapa saat baru ia berkata: Sian-ji, kau tak suka

menikah dengan keluarga Tian, tak usah kau mengucapkan kata-kata begitu. Coba kau pikirkan
saja, setelah barang antarannya hilang, mana ia merasa puas padaku? Ia mengatakan hendak
membantu aku membekuk penjahatnya, tapi itu hanya alasan kosong. Menangkap penjahat itu
hanya pelabi saja, yang benar ia hendak menduduki daerah Lo-ciu kita ini. Nah, bagaimana kau
hendak suruh aku menghadapinya?
Justru karena itulah, maka ayah tak usah takut menyalahinya. Mengapa kau tak ijinkan aku
mencoba rencanaku tadi, siapa tahu kalau bencana akan dapat dilenyapkan.
Sekarang barulah Sik Ko mulai tergerak hatinya, pikirnya: Ya, ia benar. Jika berhasil, Tian
Seng-su tentu dapat dipaksa tak berani mengganggu Lo-ciu. Kalau gagal, pun paling-paling
hanya
mengorbankan jiwa seorang Hong-sian saja, toh anak itu bukan anak kandungku sendiri.
Habis mengambil ketetapan, ia segera mengeluarkan cap Ciat-tok-sunya. Namun ia masih
purapura
prihatin, ujarnya: Sian-ji, gedung Tian Seng-su itu dijaga ketat sekali, kau harus hati-hati. Ai,
jika ada lain daya, sungguh aku tak merelakan kau pergi ke sana!
Yak-bwe membubuhkan cap itu ke atas suratnya, katanya: Aku dapat menyesuaikan gelagat,
harap ayah lepaskan pikiran. Atas budi kebaikan ayah yang sudah memelihara aku sampai sekian
besar ini, sudilah ayah menerima sembah baktiku!
Habis memberi hormat, Yak-bwe terus tinggalkan gedung Ciat-tok-su. Sik Ko seperti
kehilangan sesuatu. Ia tahu bahwa sejak saat itu, sang puteri tentu tak kembali lagi. Tapi iapun
merasa terhibur juga: Anak itu cukup berbakti. Sudah tahu akan asal-usulnya, namun toh ia
masih
tak lupa untuk membalas budiku.
Dalam renungannya, tiba-tiba ia teringat akan perbuatannya yang lampau. Sungguh ia menyesal
demi teringat akan perlakuannya terhadap ayah-bunda Yak-bwe dahulu .....
Sekeluarnya dari gedung Ciat-to-su, Yak-bwe rasakan dirinya bebas di alam raya. Girang dan
terkenang juga akan bayang-bayang kehidupannya yang lampau.
Sejak ini, akupun juga seorang gadis dunia persilatan, pikirnya. Sesaat terlintas bayangan
Toan Khik-sia dalam kalbunya, pikirnya pula: Kelak apa bila berjumpa lagi, mungkin ia tak
memandang rendah diriku lagi!
Teringat ia akan Sik-hujin yang menanyai apakah ia menyukai calon suaminya itu? Kala itu ia
elakkan pertanyaan dengan menjawab masih belum memikirkan soal perkawinan. Padahal sejak
mengetahui bahwa Toan Khik-sia itu adalah bakal suaminya, sesaatpun pikirannya tak pernah
lepas
pada anak muda itu!
Sebentar ia bergirang, sebentar gelisah, pikirnya: Ia seorang pemuda yang baik pribadinya,
berilmu silat tinggi dan gagah serta cakap parasnya. Pemuda seperti itu sungguh jarang terdapat
di
dunia.
Tiba pada renungan bahwa pemuda itu ternyata menjadi calon suaminya, muka Yak-bwe
menjadi merah. Diam-diam hatinya bergirang. Tapi demi mengingat dalam perjumpaan pertama
itu ia sudah bertengkar dengan pemuda itu, ia kuatir pernikahan mereka akan gagal. Mau tak
mau
Yak-bwe merasa gundah hatinya.
Setelah menempuh perjalanan selama tujuh hari, tibalah Yak-bwe di wilayah Gui-pok (sekarang
Tay-beng-koan di propinsi Ho-pak). Dalam masyarakat kerajaan Tong pada masa itu, pergaulan
antara pria dan wanita agak bebas, tidak sekolot seperti sesudah ahala-ahala belakangan.
(menurut
penyelidikan ahli sejarah Tan In-kho, Li Yan pendiri ahala Tong itu berasal dari keturunan suku
Ih,
sebuah suku yang tak terlalu kukuh pada adat istiadat. Terjadinya aliran kolot yang membuat
adat
istiadat feodal, baru dimulai pada ahala Song).
Pada jaman Tong itu, terutama di daerah utara, soal kaum pria bergaul dengan wanita dan
wanita berkelana di luaran, adalah sudah jamak. Begitupun Yak-bwe yang kala itu menyaru
sebagai
kaum kelana, setibanya di daerah Gui-pok, pun tak menimbulkan perhatian orang sama sekali.
Malamnya, Yak-bwe ganti pakaian ringkas, lalu menuju ke gedung Ciat-tok-su. Ia seorang nona
yang memiliki Gin-kang sempurna dan ilmu pedang lihay. Sekalipun begitu karena baru pertama
kali itu berkelana, tak urung hatinya berdebaran juga.
Aku telah menepuk dada di hadapan ayah. Kalau sampai pulang dengan hampa tangan, wah,
malulah! demikian pikirnya. Kemudian ia merasa geli sendiri. Beberapa hari yang lalu, ia
(Toan

Khik-sia) secara diam-diam masuk ke gedung ayah dan aku memakinya sebagai pencuri kecil.
Ah,
tak nyana kalau sekarang akupun juga memasuki gedung Tian-pehpeh secara diam-diam dan
menjadi pencuri kecil juga.
Setelah melewati tembok, masuklah ia ke taman belakang dari Ciat-tok-hu. Ternyata di bagian
taman situ sunyi senyap keadaannya, tak tampak barang seorang penjaganya sama sekali. Ia
menunggu beberapa saat. Jangankan kawanan penjaga, sedangkan kentongan ronda pun tak
kedengaran bunyinya.
Konon kabarnya Ciat-tok-su Tian-pehpeh itu dijaga kuat sekali. Tiga ribu anak buah pasukan
Gwe-thok-lam, tiap-tiap malam bergiliran menjaga gedung ini. Tapi mengapa tak ada apa-
apanya?
Apakah kabar itu hanya kabar bohong belaka? Jika begini naga-naganya penjagaan di gedung
ayah
itu lebih baik dari sini! pikirnya.
Nyali Yak-bwe menjadi besar. Dari taman itu ia terus masuk ke dalam. Belum berapa saat ia
berjalan, tiba-tiba ia menampak ada dua orang Bu-su berdiri di samping sebuah gunung-
gunungan
palsu. Satu di pinggir sini, satu di sana. Mereka tegak berdiri seperti patung, sedikitpun tak
bergerak.
Sekalipun tidak gugup, namun Yak-bwe juga berjaga-jaga. Tiba-tiba ia ragu-ragu apa lebih baik
menyergap dan menutuk jalan darah mereka atau menghindari mereka? Beberapa jenak
kemudian,
perhatiannya tergugah. Sikap kedua Bu-su itu mencurigakan sekali. Posisi mereka sejak tadi
tidak
berubah, yang satu tengah mengacungkan tombak dan yang satunya lagi mengangkat pukul besi.
Sikapnya seperti orang-orangan batu yang dibuat menghiasi gunung-gunungan palsu disitu.
Manusiakah itu atau orang-orangan saja? tanya Yak-bwe dalam hati. Ia tabahkan hati dan
maju menghampiri. Astaga, kiranya mereka itu memang benar manusia hidup, hanya saja tak
berkutik karena sudah tertutuk jalan darahnya. Diam-diam Yak-bwe terkejut dan girang.
Oh, ternyata ada lain orang yang lebih dulu dari aku masuk kemari. Siapakah dia? tanyanya
pada diri sendiri.
Dari situ ia maju terus. Dan kembali ia melihat pemandangan yang serupa. Ada 18 orang Bu-su
tak berkutik karena tertutuk jalan darahnya. Yak-bwe makin bertambah herannya. Pikirnya: Jika
semua ini dilakukan oleh satu orang saja, wah hebat sekali dia! Suhu sering mengatakan,
sepandaipandai
orang masih ada yang lebih pandai lagi. Ucapan itu benar sekali. Rupanya orang itu
memusuhi Tian-pehpeh, tentunya takkan mengganggu aku. Ah, tak peduli siapakah dianya, lebih
baik kukerjakan urusanku sendiri!
Gedung Ciat-tok-hu dari Tian Seng-su itu lebih luas dari gedung Sik Ko. Kamarnya
berderetderet
tinggi rendah, sedikitnya ada beberapa ratus buah. Selagi Yak-bwe bingung bagaimana akan
mencari kamar Tian Seng-su, tak terduga-duga ia telah mendapatkan apa yang dicarinya tanpa
harus
berjerih payah lagi.
Bermula ia naik ke tengah wuwungan, dari situ ia memandang ke empat penjuru. Tiba-tiba ia
mendengar suara: harr-hurr yang aneh. Yak-bwe segera menghampiri ke tempat datangnya
suara
aneh itu. Ia tiba di sebuah gedung besar yang terusan dengan halamannya. Waktu memandang ke
bawah, kembali ia merasa mengkal dan geli lagi.
Apa yang disaksikan di sebelah bawah itu, adalah sebuah pemandangan yang aneh dan lucu.
Pada kedua samping serambi dari halaman itu, bertumpukan beberapa sosok tubuh dari kawanan
Bu-su yang tidur pulas. Sana setumpuk sini setumpuk. Suara aneh tadi ternyata adalah suara
dengkuran dari kawanan Bu-su yang menggeros seperti babi.
Ah, ini tentu perbuatan orang itu lagi. Tapi entah ilmu apa yang digunakannya hingga
kawanan Bu-su itu dapat dibikin tidur pulas seperti orang mati? Dengan adanya kawanan Bu-su
yang begitu banyak jumlahnya, tentunya disini adalah tempat kediaman Tian-pehpeh, demikian
ia
membatin.
Yak-bwe ambil putusan untuk turun ke bawah. Ia melayang turun, menyelinap kian kemari
untuk menghindari kawanan Bu-su dan akhirnya berhasillah ia mendapatkan kamar Tian Seng-
su.
Itulah sebuah kamar yang besar, tapi pemandangan di dalam kamar itu menggelikan sekali. Lilin
masih memancar-mancar, perapian dupa mengepul-ngepul, di sana-sini dayang-dayang tegak
berpencaran. Adegan di situ mirip dalam sandiwara. Belasan bujang-bujang perempuan itu

melakukan posenya masing-masing, ada yang menyandar ke dinding, ada yang tengah
mengipasngipas,
ada yang tundukkan kepala terkulai dan ada pula yang menengadah ke belakang. Mereka
sama tidur mendengkur dengan pulasnya.....
Hm, benar-benar nikmat sekali hidup Tian-pehpeh itu, masakan tidur saja diladeni oleh sekian
banyak bujang gadis-gadis. Manusia yang begitu mesum, seharusnya diberi sedikit pengajaran!
diam-diam Yak-bwe membatin.
Yak-bwe ingin sekali mengetahui bagaimana keadaan Ciat-tok-su itu. Melesat masuk, ia lantas
menyingkap kain kelambu. Di atas ranjang yang indah hiasannya itu, berbaringlah Tian Seng-su,
Ciat-tok-su dari daerah Gui-pok. Bantalnya disulam indah dengan benang emas, di muka bantal
itu
menonjol sebatang pedang Chit-sing-kiam dan di muka pedang itu menggeletak sebuah kotak
emas
yang tutupnya terbuka. Di dalamnya terdapat tulisan-tulisan dari nama para malaikat Pak-tou-sin.
Kiranya Tian Seng-su itu amat takhyul sekali. Ia percaya dengan Hu yang bertuliskan nama-
nama
malaikat itu akan dapat mengusir segala bahaya. Selain itu, terdapat juga wangi-wangian dan
permata-permata yang indah permai.
Biar kuambil kotak ini untuk kuberikan pada ayah (Sik Ko) selaku bukti, akhirnya Yak-bwe
mendapat pikiran. Diambilnya kotak itu, sebagai gantinya ia letakkan sampul suratnya yang
sudah
dibubuhi dengan cap Sik Ko.
Setelah habis melakukan itu, ia terus hendak berlalu. Tapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada
sebuah sampul surat yang terletak di atas meja. Surat itu dilekatkan dengan sebilah belati kecil.
Yak-bwe terkesiap, pikirnya: Oh, kiranya orang itu juga serupa tujuannya dengan aku, yakni
hendak mengirim golok meninggalkan surat.
Mengirim golok meninggalkan surat adalah sebuah istilah dunia persilatan yang berarti
memberi ancaman pada penerimanya.
Terdorong oleh rasa kepingin tahu, Yak-bwe menghampiri meja itu dan lantas mencabut belati
pemaku surat. Waktu membaca surat itu, girangnya bukan kepalang. Ia terlongong-longong
seperti
orang kehilangan semangat!
Kiranya pada surat itu hanya bertuliskan 6 kalimat yang terdiri dari 24 huruf. Bunyinya ialah:
Semaunya mengambil kas negara, menghamburkan untuk bingkisan kawin, harta yang tidak
halal,
segala orang boleh mengambilnya. Jika berani coba menyelidiki, batang kepalamu akan
kuambil.
Susunan kalimatnya bagus, maksudnya jelas. Tapi yang lebih mengejutkan Yak-bwe, ialah
tanda tangan yang dibubuhkan di bawahnya. Ketiga huruf dari tanda tangan yang mendebarkan
jantung Yak-bwe itu, bukan lain berbunyi Toan Khik-sia.
Hai, kiranya dia! Entah apakah ia sudah berlalu dari sini? Baik aku menjumpanya atau
tidak? demikian Yak-bwe bertanya pada dirinya sendiri.
Selagi ia masih terbenam dalam pemikiran, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tiupan terompet.
Menyusul terdengar suara orang berteriak-teriak: Celaka, ada penjahat menyelundup masuk!
Dalam beberapa saat kemudian, suara orang makin berisik sekali. Sana sini pada ribut tak
keruan. Ada yang berseru: Hai, ini ada dua kawan yang tertutuk jalan darahnya, aku tak dapat
menolongnya, lekas undang Suhu kemari! Ada yang menjerit kaget: Astagafirullah! Ada
setan,
ada setan! Mengapa orang-orang ini sama tidur semua, dibangunkan tidak mau bangun?
Tolol,
mereka terkena dupa bius bi-hiang! Biarkan dulu mereka, lekas lindungi Tayswe!
Diam-diam Yak-bwe mengambil keputusan untuk lolos saat itu juga. Sembari putar pedang, ia
menerobos keluar dari jendela. Kawanan Bu-su yang tengah mendatangi itu, serempak berseru
kaget: Penjahatnya datang, penjahatnya datang!
Ada yang segera lari masuk ke dalam kamar untuk melindungi Tayswe mereka (Tian Seng-su),
ada yang mengejar Yak-bwe. Paser, hui-piau dan bermacam-macam senjata rahasia berhamburan
melayang ke arah Yak-bwe. Tapi Yak-bwe gunakan gin-kang pat-poh-kam-sian, dalam beberapa
loncatan ia sudah dapat melampaui tiga buah gunung-gunungan palsu. Jangankan kawanan bu-su
itu, sedangkan segala macam senjata rahasia yang menghujaninya dari belakang, tak dapat
menyentuh tubuh nona itu.
Di bawah sinar rembulan remang, kawanan Bu-su itu hanya menampak sesosok bayangan hitam
lari seperti angin puyuh. Dalam sekejap mata, bayangan itu sudah lenyap ditelan kegelapan.

Dengan begitu kawanan Bu-su itu tak dapat melihat jelas keadaan penjahat yang diburunya itu.
Penjahat lari kesana, penjahat lari kesana! hiruk-pikuk mereka berkaok-kaok sendiri.
Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: Ha, pasukan Gwe-thok-lam yang dibentuk
Tianpehpeh
itu ternyata hanya kawanan gentong nasi belaka!
Baru ia berpikir sampai disitu, tiba-tiba terdengar orang berseru: Penjahatnya berada di sini!
Wut, mendadak sebatang hui-piau menyambar kearah Yak-bwe.
Yak-bwe dapatkan desing hui-piau ini jauh berlainan perbawanya dengan hui-piau yang dilepas
kawanan Bu-su tadi. Ia tak berani memandang rendah, terus putar pedang menyampoknya jatuh.
Tapi hui-piau yang kedua dan ketiga berturut-turut menyusul datang. Yak-bwe mendongkol
hatinya: Hm, jika tak diberi hajaran, tentu kamu tak kapok!
Ia mengisar ke samping untuk menghindari hui-piau yang kedua. Tapi untuk hui-piau yang
ketiga, ia ulurkan tangan untuk menyambutnya, lalu kontan timpukkan kembali kepada
pengirimnya. Orang itu sudah hendak melepaskan hui-piau keempat, tapi tahu-tahu ada benda
berkilat menyambar. Ia tak keburu menghindar, ujung keningnya termakan sampai ke atas
kepala.
Kepalanya segera mengucurkan darah. Untung kalau ia hanya terluka begitu karena Yak-bwe
memang tak bermaksud melukai orang. Coba nona itu mau mengganas, masakan dia masih
bernyawa!
Penjahat amat lihay, Suhu, lekaslah datang! Di sini, di sini! seru orang itu.
Menyusul dengan itu terdengar suara orang menyahut: Kalian jangan takut, aku segera
datang!
Bermula suaranya masih jauh, tapi berbareng dengan selesainya berkata-kata, orang itupun
sudah dekat sekali. Nada suaranya gemerontang seperti logam dipalu dan memekakkan telinga.
Yak-bwe terkesiap kaget, pikirnya: Mengapa iblis tua itu berada di gedung Tian-pehpeh?
Celaka, aku bukan tandingannya!
Ternyata Yak-bwe cukup paham akan suara itu. Orang yang bergegas-gegas mendatangi itu
bukan lain ialah seorang benggolan besar yang tenar sekali namanya di dunia persilatan.
Beberapa
tahun lamanya, ia pernah menjadi Tayhwe-cong-koan (pemimpin pengawal istana) dari An Lok-
san.
Namanya Yo Bok-lo, digelari orang sebagai Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah memburu
nyawa.
Bukan melainkan tahu namanya saja, pun Yak-bwe pernah merasakan kelihayan Yo Bok-lo itu.
Peristiwa itu terjadi ketika Yak-bwe berusia 10-an tahun. Pada masa itu ayah pungutnya (Sik Ko)
masih menjadi salah seorang panglima dari An Lok-san. Pada suatu hari, An Lok-san telah
mengadakan perjamuan besar di istananya Li-san-heng-kiong. Yang diundang dalam perjamuan
itu
ialah menteri-menteri, panglima-panglima dan utusan-utusan daerah. Sik Ko dan Huciangkunnya
(wakil panglima) Sip Hong juga mendapat undangan. Yak-bwe dengan kawannya, yakni anak
perempuan Sip Hong yang bernama Sip In-nio, ikut serta dengan menyaru sebagai anak lelaki.
Pun
anak perempuan dari Ong Peh-thong, Lok-lim-beng-cu (ketua perserikatan penyamun) pada
masa
itu, ikut sang ayah menyelundup ke dalam istana. Bocah perempuan yang kepingin melihat
keramaian itu bernama Ong Yan-ik.
Di tengah perjamuan berlangsung, Thiat-mo-lek, seorang pendekar besar, telah menimbulkan
kegaduhan. Thiat-mo-lek berhadapan dengan Yo Bok-lo dan Ong Yak-ik membantu Thiat-mo-
ek
untuk mengeroyok jagoan istana itu. Dasar bocah, Yak-bwe dan Sip In-nio tak mau berpeluk
tangan, mereka membantu Ong Yan-ik. Ketiga anak perempuan itu berhasil melukai beberapa
wisu
(pengawal istana) An Lok-san, tapi hampir saja mereka celaka di dalam tangan Yo Bok-lo yang
ganas itu. Akibat dari peristiwa itu, Sik Ko menjadi ketakutan dan terpaksa membaliki muka
pada
An Lok-san dan takluk kepada kerajaan Tong.
Waktu Yak-bwe mencium gelagat akan datangnya Yo Bok-lo, ia sudah merasa gentar: Jika
kesamplokan dengan iblis itu, sukarlah aku meloloskan diri!
Di muka tergencet, dari belakang dikejar. Dalam keadaan yang terjepit ini, tiba-tiba timbullah
pikiran Yak-bwe. Sebelum Yo Bok-lo datang, ia buru-buru loncat melampaui sebuah tembok
lalu
bersembunyi dalam sebuah kamar.
Gedung Diat-tok-hu itu luas sekali, kamarnya beratus buah masakan mereka dapat
menggeledah semuanya. Untuk sementara, biar aku bersembunyi dulu untuk menunggu

kesempatan, pikirnya.
Tiba-tiba di dalam kamar terdengar suara seorang wanita berkata: Toa-kongcu, mengapa kau
tak lekas-lekas bangun? Coba dengarkan, di luar begitu ributnya, tentu terjadi apa-apa!
Seorang lelaki yang suaranya kemalas-malasan menyahut: Peduli apa dengan ribut-ribut itu?
Kau temani aku tidur lagilah, kita jarang sekali berkumpul.
He, celaka! Dengarkan, mereka berteriak-teriak akan menangkap penjahat! kembali wanita
itu berseru.
Sebaliknya si lelaki malah tertawa: Jika ada kebakaran mungkin aku akan cemas. Kalau ada
penjahat atau pencuri, perlu apa takut? Ayahku mempunyai pasukan Gwe-thok-lam yang terdiri
dari 3000 orang dan akhir-akhir ini telah mengundang Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo kemari. Ai,
nona manis, ibu tercinta, kasihanlah pada diriku. Baru hendak kupeluk, kau lantas suruh aku
bangun!
Fui, demikian wanita itu menyemprot, katanya dengan genit: Ah, memang sudah ditakdirkan
rupanya dalam penghidupanku ini mesti selalu kau gerecoki saja. Jika kawanan pengawal
menggeledah kemari, hendak kutaruh di manakah mukaku nanti? Apabila ayahmu sampai
mengetahui, lebih-lebih celaka kita. Kau panggil aku sebagai ibu, aku sungguh keberatan.
Namun
baik atau buruk, aku memang juga seorang Ih-niomu (ibu tiri).
Takut ketahuan mereka? Baiklah, lekas sembunyi dalam sini, Ih-nio yang baik, jangan kuatir,
jika aku yang melarangnya, siapa yang berani masuk kemari? kembali lelaki itu tertawa.
Mendengar itu merah padamlah selebar muka Yak-bwe. Ia baru mengetahui siapa kedua
lakiperempuan
yang bicara itu. Yang perempuan adalah gundiknya Tian Seng-su, sedang si lelaki
bukan lain ialah putera Tian Seng-su yang manis, yaitu Tian-toakongcu yang dipuji setinggi
langit
oleh Sik Ko.
Mereka adalah sepasang anjing laki-perempuan yang tak tahu malu. Cis, untung aku keburu
mengambil putusan sendiri hingga tak jatuh dalam perangkap mereka. Jika sampai menikah
dengan
manusia semacam binatang itu, lebih baik mati saja, bisik batin Yak-bwe dengan muaknya.
Dalam pada itu kedengaran si wanita lagi tertawa genit: Oh, anakku, tambatan hatiku, sekarang
kau begitu tergila-gila padaku, tetapi setelah nanti mempelaimu datang, apakah kau masih ingat
padaku?
Jika sampai lupa padamu, biarlah aku mati dengan sengsara. Aku pun bukan seorang lelaki
yang takut pada bini, sahut si lelaki.
Aah, jangan buru-buru menyatakan janji dulu! Ketahuilah, calon mempelaimu itu adalah
puterinya Sik ciat-tok-su!
Apa yang luar biasa dengan puteri seorang Ciat-tok-su? Akupun puteranya seorang Ciat-toksu
juga, jawab si lelaki.
Kabarnya puteri dari Sik Ciat-tok-su itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Kau, tentu kau
bukan tandingannya!
Ngaco! Jangan pandang rendah diriku, akupun seorang Bun-bu-coan-cay (mengerti ilmu surat
dan silat). Mungkin karena mendapat pelajaran sedikit ilmu pedang dari ayahnya, orang-orang
lalu
menyohorkan nona itu lihay. Aku tak percaya sama sekali seorang nona lemah seperti itu
benarbenar
lihay ilmunya silat. Baiklah, kau boleh lihat sendiri nanti, begitu nona itu melangkah masuk
pintu kita, aku segera akan menyambutnya dengan sebuah pukulan!
Wanita itu tertawa: Ha, kau ini, masakan hari pertama sudah mau menghajar isterimu?
Ya, lihat sajalah! Jika tak dapat menghajarnya sampai meratap minta ampun, jangan panggil
aku seorang lelaki, seorang jantan!
Mendengar itu Yak-bwe mendongkol dan geli, pikirnya: Jika tak kuberi hajaran, sepasang
anjing itu tentu menggonggong tak keruan dan terus menghina diriku!
Segera ia sabet putus palang jendela, terus loncat masuk. Karena Tian Seng-su itu asalnya dari
seorang penyamun besar jadi puteranya itupun mengerti juga beberapa jurus ilmu silat. Tapi
mana
mampu menandingi Yak-bwe? Baru pemuda itu berteriak kaget dan hendak loncat bangun dari
tempat tidur, ia sudah dibikin tak berdaya oleh Yak-bwe yang menutuk jalan darahnya.
Kongculah yang memaksa aku, bukan kemauanku sendiri! demikian wanita itu segera

meratap. Karena gelap, ia kira perbuatan mesum mereka telah tertangkap basah dan menyangka
Yak-bwe adalah orang suruhan Tian Seng-su.
Supaya jangan berteriak, Yak-bwe segera menutuk jalan darah wanita itu. Tapi ia menjadi kaget
dan gusar demi jarinya menyentuh tubuh si wanita yang ternyata tak memakai barang selembar
pakaianpun. Benar-benar sepasang anjing yang tak tahu malu! dampratnya sembari tendang
wanita itu ke bawah kolong ranjang.
Baru Yak-bwe hendak memberi giliran pada anaknya Tian Seng-su, tiba-tiba di luar terdengar
suara teriakan Yo Bok-lo: Bangsat, hendak lari kemana kau?
Heran Yak-bwe dibuatnya: Apakah matanya dapat menembus tembok hingga dapat melihat
aku disini? tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa keras dari seorang anak muda: Bangsat tua, sebenarnya
aku hendak berlalu, tapi karena kau ada di sini, aku sengaja berhenti! Bangsat tua, pentanglah
lebar-lebar matamu yang tinggal satu itu, masih kenalkah padaku?
Darah Yak-bwe tersirap jantungnya melonjakk girang. Suara itu, ya, suara itu, adalah suara
Toan Khik-sia. Segera anaknya Tian Seng-su didorongnya roboh lalu diinjaknya dipakai sebagai
ancik-ancik untuk melongok keluar jendela.
Ia lihat dua sosok bayangan laksana dua ekor burung yang terbang dari dua jurusan, tiba-tiba
saling berbentur, bum ..... yang dari sebelah kanan berperawakan tinggi besar dan
terhuyunghuyung
beberapa langkah ke belakang. Sebaliknya yang dari sebelah kiri bertubuh kurus dan
terpental ke udara dan berjumpalitan kemudian turun ke bumi dengan gaya yang indah sekali.
Bagus, bangsat kecil she Toan, aku justeru sedang mencarimu! seru bayangan hitam yang
tinggi besar, itulah Yo Bok-lo adanya.
Ternyata benggolan itu memang matanya buta satu. Tujuh tahun berselang ia pernah bertempur
dengan Toan Kui-ciang dan puteranya (Toan Khik-sia). Dalam pertempuran itu Toan Khik-sia
telah
mencukil sebuah biji mata Yo Bok-lo. Bertemu dengan musuh lama, sudah tentu mata Yo Bok-lo
menjadi merah membara.
Hai, bangsat tua, jika kau ingin buta kedua matamu, majulah! Toan Khik-sia menantangnya.
Jangan kurang ajar, serahkan jiwamu! Yo Bok-lo menggerung sambil menerjang dengan
kedua tinjunya. Tapi ia bukannya menyerang secara kalap, karena dalam benturan tadi, ia
dapatkan
tenaga si anak muda sudah jauh lebih maju dari dulu.
Ho, mungkin kau tak mampu berbuat begitu, coba lihat saja siapa yang akan menyerahkan
jiwanya! sahut Khik-sia dengan dingin. Ia melangkah maju dalam posisi tiong-kiong dan
tusukkan
pedangnya ke jalan darah hian-ki-hiat di dada si iblis.
Dalam ilmu pelajaran silat ada sebuah dalil: golok berjalan ke putih, pedang berjalan ke
hitam. Artinya golok itu harus digunakan untuk membacok dari sebelah muka dan pedang untuk
menyerang dari samping. Tapi, Toan Khik-sia sangat mengandalkan akan ilmunya gin-kang.
Apalagi dalam tubrukan tadi, ia merasa tak kalah. Nyalinya pun semakin besar. Sekali serang, ia
merapat maju, seolah-olah lawannya tak dipandang sebelah mata.
Julukan Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun, sebuah julukan yang tak kosong karena dalam ilmu
pukulan dan gerakan kaki memang ia memiliki keistimewaan. Pun dalam hal tenaga, sebenarnya
ia
lebih tinggi setingkat dari Toan Khik-sia. Mengapa dalam tubrukan tadi Toan Khik-sia sampai
tak
menderita apa-apa, itulah karena ia mengandalkan ilmu gin-kang yang lihay.
Dalam serangan saat itu, Yo Bok-lo gunakan siasat menyerang sambil menjaga diri. Bagaimana
reaksi lawan, tetap akan dapat diikutinya. Sebuah siasat yang mudah berubah tapi sukar diduga
perubahannya.
Serangan merapat maju dari Toan Khik-sia, justeru itulah yang diharapkan. Ia mundur
selangkah dan menarik tangannya untuk melindungi dada. Seketika Toan Khik-sia merasa ujung
pedangnya itu tertumbuk dengan sebuah tenaga keras yang tak kelihatan. Ujung pedang hanya
terpisah satu-dua senti saja dari ulu hati Yo Bok-lo, tapi macet tertahan kekuatan aneh itu.
Karena
macet, permainan pedang Toan Khik-sia tak dapat berkembang lagi.
Inilah saat yang dinanti-nanti Yo Bok-lo. Sekonyong-konyong ia menggerung keras, kedua
tangannya didorongkan kemuka sekuat-kuatnya. Perbawanya seperti gunung roboh menimpa

lautan!
Saat itu sejumlah besar kawanan Bu-su dan bujang-bujang Ciat-tok-su sudah datang dengan
membawa obor. Mereka beramai-ramai hendak melakukan penggeledahan. Dari jendela tadilah
Yak-bwe, meskipun tak jelas sekali, dapat melihat jalannya pertempuran antara Toan Khik-sia
dan
Yo Bok-lo. Sewaktu Khik-sia seenaknya maju merapat, diam-diam Yak-bwe sudah mengeluh.
Dan
pada saat pedang si anak muda macet, Yak-bwe kaget sekali. Lebih-lebih ketika Yo Bok-lo
memukul dengan kedua tinjunya, hampir saja Yak-bwe menjerit.
Untung ia tak melakukan hal itu karena dalam saat-saat yang berbahaya itu, Toan Khik-sia telah
mengunjukkan suatu gerakan gin-kang yang luar biasa indahnya. Anak muda itu mencelat ke
udara
dan loloslah ia dari lubang jarum.
Plak. Luput menghantam Toan Khik-sia, pukulan Yo Bok-lo itu telah mendapat sasaran baru,
sebuah batu besar segera hancur lebur. Kepingan batu itu muncrat kemana-mana. Ada beberapa
anggota pasukan Gwe-thok-lam terluka karena kecipratan. Kawanan Bu-su itu menjadi jeri dan
sama menyingkir jauh-jauh.
Di udara Toan Khik-sia gunakan gerakan Kok-cu-hoan-sin (burung merpati membalik tubuh).
Ia berjumpalitan dan sambil melayang turun ia sudah tujukan ujung pedang ke arah beberapa
jalan
darah di belakang batok kepala si iblis. Yo Bok-lo pun bukan jago empuk. Sebat sekali ia
berputar
tubuh dan tutukkan tiga jarinya ke pergelangan tangan si anak muda. Bret, lengan baju si iblis itu
terpapas kutung tapi pedang Toan Khik-sia pun menjadi mencong arahnya. Yo Bok-lo
kehilangan
secarik lengan baju, Toan Khik-sia gagal mendapat sasaran.
Untuk menghindari tutukan lawan, Toan Khik-saia terpaksa melayang ke samping. Setiba
kakinya di tanah ia rasakan pergelangan tangannya agak sedikit sakit. Diam-diam ia berjengit
dalam hati: Pukulan iblis itu benar-benar lihay, tak boleh kupandang rendah!
Jilid 2
Waktu bergebrak lagi, Khik-ya keluarkan ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat ajaran suhunya. Ia
bergerak dengan lincah dan gesit. Menyerang maju seperti seekor kera menerobos semak pohon,
mundur laksana ular menyurut ke dalam lubang, melayang ke udara bagaikan garuda
membubung
ke langit dan loncat menerjang seolah-olah harimau menerkam. Maju menyerang mundur
bertahan,
berputar-putar seperti angin, setiap gerakannya serba cepat seperti kilat. Empat penjuru seolah-
olah
penuh dengan bayangannya.
Yo Bok-lo menang dalam tenaga, tapi kalah dalam ilmu ginkang. Ia dapat memukul serangan
pedang menjadi mencong tapi tak mampu mengenakan tubuh si anak muda. Kekuatan mereka
tampak berimbang. Karena Yo Bok-lo dengan pukulan sakti itu tak dapat mengapa-apakan
lawan,
maka dalam penilaian, Toan Khik-sialah yang berada di atas angin. Ialah yang memegang
inisiatif
penyerangan. Ini hanya penilaian saja karena kenyataannya anak muda itupun tak dapat
membobolkan pertahanan diri dari si iblis yang kukuh bagaikan benteng baja itu.
Menyaksikan pertempuran itu, terbukalah hati Yak-bwe, pikirnya: Usianya sebaya dengan aku,
tapi sudah sedemikian lihaynya, ah, sungguh membuat orang kagum sekali!
Dan melayanglah pikirannya pada malam pertemuan dengan anak muda itu: Ah, kiranya
sewaktu bertempur dengan aku, ia masih mengalah. Paling-paling ia hanya mengeluarkan
separuh
kepandaiannya saja. Ah, sayang aku kelewat ceroboh dan hanya tahu memaki-makinya saja!
Berpikir sampai di sini, ia merasa girang dan menyesal. Girang karena calon suaminya ternyata
seorang jago muda, menyesal sebab ia telah salah memperlakukannya. Karena terpengaruh oleh
getaran perasaannya, tanpa terasa ia keraskan injakannya. Putera Tian Seng-su itu tertutuk jalan
darahnya, jadi walaupun kesakitan sekali ia tak dapat menjerit, paling-paling mulutnya hanya
ngosngosan
seperti kerbau hendak disembelih.
Tiba-tiba di sebelah luar terdengar kawanan Bu-su berteriak-teriak: Go thong-leng datang, Go
thong-leng datang!
Segera kawanan Bu-su itu menyiah ke samping dan muncullah seorang lelaki tegar ke muka.

Kepalanya bundar besar macam kepala harimau kumbang; tubuhnya besar dan langkahnya pun
lebar. Kiranya orang itu ialah thong-leng (pemimpin) dari pasukan Gwe-thok-lam yang bernama
Go Beng-yang. Datangnya sang pemimpin itu telah disambut dengan penuh harapan oleh
kawanan
Bu-su. Malam itu mereka sakit hati karena dihajar Toan Khik-sia dan dipandang rendah oleh Yo
Bok-lo. Maka begitu sang pemimpin datang, seorang Bu-su segera sengaja berseru: Go
thongleng,
bangsat kecil itu lihay benar, Yo-losiansing mungkin tak mampu mengatasinya!
Go Beng-yang mendengus, serunya: Seorang maling kecil yang bisanya cuma menggunakan
obat bi-hiang, sampai dimana lihaynya. Menyingkirlah kalian, lihat caraku meringkusnya!
Dengan lagak macan lapar, ia tampil ke depan dan berseru nyaring Yo-losiansing, jangan
kuatirlah, aku datang membantumu!
Memang apa yang dikatakan Thong-leng Gwe-tho-lam itu benar. Toan Khik-sia memang
menggunakan dupa bi-hiang untuk membikin pulas kawanan penjaga di gedung Ciat-tok-su situ.
Ia
mempunyai dupa pembius itu karena diberi oleh suhengnya, Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji adalah maling nomor satu di dunia persilatan. Dupa bi-hiang yang dibuatnya
sendiri, juga merajai seluruh dupa bius yang terdapat di dunia persilatan. Dibanding dengan dupa
bius yang banyak digunakan oleh kaum persilatan yakni dupa Ke-bing-ngo-ko hoan-hun-hiang,
dupa bi-hiang dari Gong-gong-ji itu jauh lebih hebat beberapa kali.
Kedudukan Yo Bok-lo beserta ke-7 orang muridnya itu adalah sebagai jago undangan dari Tian
Seng-su, jadi mereka tak bertugas melakukan penjagaan malam. Itulah sebabnya maka mereka
tak
terkena dupa bius itu. Yang memergoki Toan Khik-sia dan Yak-bwe lebih dulu adalah murid-
murid
dari Yo Bok-lo, setelah itu baru anggota pasukan Gwe-thok-lam dan kawanan bujang. Jadi
seluruh
anggota Gwe-thok-lam yang bertugas jaga malam itu kecuali Go Beng-yang, semuanya telah
tertidur pulas.
Kau maki aku sebagai bangsat kecil yang melakukan perbuatan rendah? Hm, jika aku mau
berbuat begitu masakan kau masih bernyawa? Apa kau tahu mengapa kugunakan bi-hiang? Hm,
kusayangkan karena kalian makan gaji dari Tian Seng-su, lantas kalian akan jual jiwa padanya.
Jika
kalian tidak dibikin tidur, karena sungkan pada majikan, kalian tentu menempur aku. Pedangku
ini
tak bermata, salah-salah tentu melukai kalian. Tapi sayang seorang tolol sebagai kau ini, tak
dapat
mengerti kebaikan orang, bahkan masih membanggakan diri sebagai Hohan. Sebenarnya kau
boleh
berpura-pura tidur saja, mengapa cari sakit ingin menemani si iblis tua ke akhirat? Hm, sungguh
goblok benar!
Toan Khik-sia baru berumur 16-17 tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang.
Hatinya ingin mengatakan apa, kontan sang mulut lantas menumpahkan. Sudah tentu Go Beng-
yan
yang berjingkrak-jingkrak seperti orang yang pantatnya tertusuk jarum.
Ha, ha, bocah yang bermulut besar, berani benar kau menghina orang-orang. Apa yang kau
andalkan untuk melawan aku? Baiklah, akupun tak mau buru-buru mencabut jiwamu, tetapi akan
kuberikan 300 kali gebukan dulu!
Habis berkata ia lantas maju dan menyerang dengan ilmu silat Hun-kin-jo-kut-chiu. Sebagai
ahli silat ternama, bukan ia tak tahu bahwa permainan pedang Toan Khik-sia itu luar biasa
indahnya, tapi dikarenakan ia terlalu yakin akan ilmunya Hun-kin-jo-hut-chiu yang tiada
tandingannya di dunia dan ilmu Iwekang Khun-goan-it-bu-kang yang sudah dilatih sempurna,
maka
iapun tak gentar. Memang selama ini, ia belum pernah kalah dalam setiap pertandingan.
Di samping itu, iapun mempunyai alasan lain mengapa hendak mengunjuk kegagahan di
hadapan Yo Bok-lo itu. Ia merasa iri hati akan nama Yo Bok-lo yang lebih tenar dari ia sendiri
dan
merasa tak puas karena Tian Seng-su lebih menghargai orang she Yo itu. Diam-diam ia kuatir
kedudukannya akan direbut oleh Yo Bok-lo.
Justru Yo Bok-lo pun mengandung pikiran yang sama dengan Go Beng-yang. Ia mendongkol
sekali mendengar ucapan besar dari orang she Go tadi. Hm, orang macam apa kau ini Go
Bengyang,
berani memandang rendah padaku? Baik, biar kumenyingkir ke samping untuk melihat
bagaimana ia hendak unjuk aksi.
Memang beginilah mentalitetnya kaum budak. Coba mereka berdua bersatu padu untuk
mengerubut Toan Khik-sia, sekalipun tak dapat menangkap hidup-hidup anak muda itu,
sekurangKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kurangna dapat juga memenangkan pertandingan itu.
Oleh karena akan melihat kepandaian Go Beng-yang, maka Yo Bok-lo pun tak mau menyerang
sungguh-sungguh. Ini berarti memberi kemurahan pada Toan Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia juga
panas mendengar kecongkakan orang.
Bagus! serunya demi Beng-yang mulai menyerang. Ia tabaskan pedang dan tinju kirinya
menyusul menghantam.
Ternyata Beng-yang juga tak bernama kosong. Miringkan tubuh ke samping, ia segera
mencengkeram bahu si anak muda. Sebenarnya tulang pi-peh di bahu orang itu adalah bagian
yang
paling sukar untuk dilatih. Sekali bagian bahu dicengkeram, tentu orang menjadi lumpuh tak
berdaya lagi. Tapi kepandaian yang dimiliki Toan Khik-sia itu berasal dari partai Ciang-leng-cu.
Ilmu silat dari Ciang-leng-cu itu berbeda sama sekali dengan aliran silat di Tiong-goan. Lwekang
dari Ciang-leng-cu itu dapat dilatih sampai ke bagian bahu, sehingga bahu berubah menjadi keras
seperti baja. Itulah sebabnya mengapa waktu jari Beng-yang menyentuk bahu Toan Khik-sia, ia
seperti membentur dinding baja. Jari terpental dan sakitnya bukan buatan.
Baik Beng-yang maupun Khik-sia sama-sama bergerak dengan cepatnya. Bersamaan waktnya
ketika jari Beng-yang membentur bahu Toan Khik-sia, pun tinju kiri Khik-sia sudah membentur
tangan lawan juga. Bluk, masih Beng-yang coba menyelamatkan diri dengan sebuah gerak
jungkir
balik, tapi bagaikan bayangan yang selalu mengikuti orang, pedang Khik-sia sudah
merangsangnya.
Kena! berbareng mulut pemuda itu berseru. Ujung pedangnya pun sudah memakan paha
lawan.
Masih untung anak muda itu merasa kasihan, jadi ia hanya mengguratnya saja. Coba ia mau
berlaku kejam, Beng-yang pasti sudah kehilangan sebelah pahanya. Sekalipun begitu, diam-diam
Khik-sia juga terperanjat. Ia dapatkan orang she Go itu juga lihay sekali. Jika bertempur satu
sama
satu, walaupun berkat gin-kangnya kemungkinan besar ia dapat menang, tapi kemenangan itupun
tak dapat mudah diperolehnya.
Mengapa dalam sekali gebrak saja Toan Khik-sia sudah dapat melukai lawan adalah karena:
kesatu, Go Beng-yang memandang rendah lawan, kedua, Yo Bok-lo sengaja berpangku tangan;
ketiga, termakan tipu si anak muda yang sengaja membiarkan bahunya dicengkeram; keempat,
karena pemusatan tenaga Beng-yang dipencar dalam Hun-kin-jo-kut-chiu dan Khun-goan-it-
bukang.
Karena pemencaran tenaga itu, maka sekali pukul dapatlah Toan Khikya menghantam dan
menusuknya.
Musuh yang sebenarnya dari Toan Khik-sia ialah Yo Bok-lo. Maka demi Beng-yang roboh, ia
segera alihkan serangannya pada orang she Yo itu. Baru Yo Bok-lo girang melihat si temberang
Beng-yang mendapat hajaran, tahu-tahu pedang si anak muda sudah merangsangnya.
Entah bagaimana luka Go Beng-yang itu, biar bagaimana juga ia adalah orangku sendiri.
Karena menuruti kemendongkolan hati, bangsat cilik ini mendapat kemurahan besar, diam-diam
Bok-lo menyesal telah membiarkan kepala Gwe-thok-lam itu roboh.
Go Beng-yang adalah pemimpin dari pasukan istimewa Gwe-thok-lam. Di hadapan Yo Bok-lo
sekali gebrak ia dibikin jungkir balik oleh Toan Khik-sia, walaupun ia tahu bahwa anak muda itu
cukup bermurah hati, namun ia tetap marah sekali. Menggerung seperti harimau terluka, ia
jungkir
balik dengan gerak le-hi-ta-ting (ikan lele berjumpalitan), lalu menyerang si anak muda lagi.
Kali ini ia tak berani gegabah merapat si anak muda. Ia menyerang dengan ruyung Ca-
liongpiannya.
Itulah senjata yang paling diandalkan. Ruyung itu lebih dari satu tombak panjangnya,
ujungnya penuh dipasangi duri-duri kecil macam rambut, gunanya untuk menggaruk kulit orang.
Itulah maka diberi nama Ca-liong-pian atau pian berewok naga.
Karena gemas, ia serentak menyerang dengan 3 jurus hwe-hong-soh-liu atau angin puyuh
menyapu pohon liu. Ruyung itu menderu hebat seperti angin puyuh. Tapi Khik-sia tetap
andalkan
gin-kangnya yang lihay untuk melayani. Laksana kupu-kupu ia menari-nari di antara taburan
hujan
ruyung. Tampaklah seperti kena, padahal masih terpisah satu dim.
Tapi ini kali Yo Bok-lo tak mau tinggal diam lagi. Pada waktu Toan Khik-sia menghindari
ruyung, cepat laksana kilat ia menerkam kedua siku lengan Toan Khik-sia dengan gerakan jong-
ingtian-
ki (garuda pentang sayap). Untung Khik-sia waspada. Tak kalah cepatnya ia berputar dan
mainkan tinju serta pukulannya dalam gerak hiat-koa-tan-pian. Tinju kirinya dibuat menghantam

tangan Yo Bok-lo sedang pedangnya dipakai menangkis pian Go Beng-yang.
Tapi bagaimanapun juga, Yo Bok-lo dan Go Beng-yang itu adalah jago-jago kelas satu. Mereka
masing-masing memiliki kepandaian istimewa. Dengan mengandalkan keunggulan gin-kang,
memang Khik-sia dapat melayani, tapi hanya untuk dua-tiga puluh jurus saja. Selewatnya itu,
tenaganyapun mulai berkurang, gerakannya mulai kendur, daya tahannya mulai berkurang.
Sekaligus Yo Bok-lo telah mendapat kemenangan moral yaitu dapat mengembalikan serangan
pada Toan Khik-sia dan dapat menghancurkan kecongkakan Go Beng-yang. Itulah sebabnya
walaupun masih ada ganjalan dengan orang she Go, tapi saat itu ia ngepiah betul-betul untuk
menyerang Toan khik-sia. Beberapa kali Toan Khik-sia hendak mematahkan bagian
penyerangan
musuh yang lemah, yaitu Go Beng-yang, tapi selalu dihadang oleh Yo Bok-lo.
Bagus, Go-heng, teruskan siasatmu itu, kita tak usah terlalu peras tenaga. Kita boleh
bergantian maju merapat, bangsat kecil itu tentu tak dapat lolos! seru Yo Bok-lo.
Pada saat itu barulah Go Beng-yang melek bahwa kepandaian Yo Bok-lo itu memang lebih
unggul setingkat dari dirinya. Ia pun tak mau membawa maunya sendiri, tak ingin pula untuk
merebut jasa. Serta-merta ia turuti perintah Yo Bok-lo, ia mainkan piannya menyerang dari jarak
2
tombak. Benar ia lebih lemah dari Yo Bok-lo, tapi ilmu permainan Ca-liong-pian-hoatnya yang
terdiri dari 81 jurus itu juga bukan main hebatnya. Cepatnya seperti angin, kerasnya seperti baja
dan gencarnya bagai hujan lebat. Tubuh Toan Khik-sia seolah-olah diselubungi oleh bayangan
pian.
Yo Bok-lo pun juga lantas keluarkan ilmu pukulannya Chit-poh-tui-hun-ciang-hoat (pukulan
maut dari 7 langkah). Bagaikan bayangan, pukulannya selalu membayangi si anak muda dan
yang
diarah selalu bagian-bagian yang berbahaya.
Melihat jalannya pertempuran itu, Yak-bwe menjadi gelisah. Tiba-tiba terdengar orang berseru:
Bagus, Sip-ciangkun datang! Biarpun bangsat kecil itu mempunyai 3 kepala dan 6 tangan
masakah ia bisa lolos!
Segera seseorang yang mengenakan pakaian pembesar militer, lengkap dengan pedang di
pinggang, tampak muncul ke muka. Melihat Ciang-kun itu, Yak-bwe berubah girang. Kiranya
jenderal itu bukan lain ialah Sip Hong. Sip Hong adalah adik misan dari Sik Ko. Ia menjabat
Tinsiu-
su dari kota Pok-ong yang terletak di tengah perbatasan Gui-pok dengan Lo-ciu. Untuk
mengambil hati Tian Seng-su, Sik Ko rela menyerahkan kota Pok-ong itu ke dalam kekuasaan
Tian
Seng-su. Di samping itu dapatlah Sik Ko menggunakan adik misannya itu untuk memata-matai
gerak-gerik Tian Seng-su. Dengan begitu dapatlah Sik Ko memasang sebuah pion dalam
pemerintahan Tian Seng-su.
Kali ini karena urusan perkawinan keluarga Tian dan Sik, Tian Seng-su telah memanggil Sip
Hong. Mengingat Sip Hong masih ada ikatan famili dengan pihak mempelai perempuan, maka
Tian Seng-su hendak minta ia mengantar puteranya ke Lo-ciu menjemput mempelai perempuan.
Sebelum menjadi Ciat-tok-su, dulu Sik Ko itu bertetangga dengan Sip Hong. Anak perempuan
Sip Hong yang bernama Sip In-nio, akrab sekali dengan Yak-bwe seolah-olah seperti saudara
sekandung. Sejak kecil sama-sama memain dan sama-sama belajar ilmu silat.
Ilmu pedang Sip piau-siok itu lihay sekali, jika ia turun tangan, ah, jiwanya (Toan Khik-sia)
pasti terancam! pikir Yak-bwe. Kemudian ia menimbang pula: Apakah enci In-nio ikut juga?
Sip
piau-siok seorang baik, enci In-nio lebih baik lagi terhadap aku. Jika kutemui dan minta mereka
dengan memandang mukaku supaya melepaskan dia, rasanya mereka tentu meluluskan .... tapi
bagaimana aku hendak membuka mulut? Di hadapan sekian banyak orang, bagaimana aku akan
mengakuinya sebagai bakal suami?
Selagi Yak-bwe masih terbenam dalam keraguan, Sip Hong sudah tiba di gelanggang
pertempuran. Melihat Toan Khik-sia yang baru berumur 16-17 tahun dapat melayani Yo Bok-lo
dan
Go Beng-yang, heranlah Sip Hong dibuatnya. Ia hentikan langkah dan bertanya: Hai, siapa kau
dan siapa ayahmu? Mengapa menyelundup ke gedung Tian-tayjin sini?
Dari bibi He, Khik-sia sudah mendapat keterangan tentang pribadi Sip Hong. Dahulu Sip Hong
itu bersahabat baik dengan ayahnya. Segera ia menjawab: Ayahku bernama Toan Kui-ciang dan
aku Toan Khik-sia. Karena Tian Seng-su suka memeras rakyat dan menggunakan uang negara
untuk mas kawin, maka lantas kurampasnya. Dan malam ini sengaja kudatang untuk mengirim

golok meninggalkan surat. Konon kabarnya sebagai pembesar kau berkelakuan baik, masakan
kau
hendak membantu padanya?
Sip Hong terbeliak kaget, pikirnya: Ai, kiranya putera dari Toan Kui-ciang. Toan tayhiap
adalah seorang yang membaktikan hidupnya untuk rakyat dan negara, bagaimana aku tega untuk
mencelakai puteranya? Tapi jika aku diam berpeluk tangan, apakah tidak akan dituduh
membelakangi Tian Seng-su? Ya, bagaimanakah dayaku untuk diam-diam membantu anak muda
ini? Dalam batin Ciangkun itu timbul pertentangan sendiri antara budi dan kewajiban. Karena
itu
untuk beberapa saat ia tampak kebingungan.
Saat itu Yak-bwe sudah berniat hendak loncat keluar, tapi lagi-lagi ada orang berteriak: Masih
ada seorang penjahat lainnya yang berada di dalam taman! Tayswe memberi perintah jangan
sampai mereka dapat lolos!
Yang dimaksud dengan Tayswe itu, bukan lain ialah Tian Seng-su. Ternyata ia sudah ditolong
oleh orang sebawahannya. Setelah tersadar, pertama-tama yang dilihatnya ialah surat yang
ditaruh
Yak-bwe di atas bantalnya. Kemudian didapatnya peti emaspun lenyap sudah tentu ia terkejut
sekali. Karena surat itu memakai stempel Sik Ko, jadi ia menduga kalau Sik Ko telah mengirim
Ko-chiu (jago lihay) untuk menyampaikan. Sedikitpun ia tak mengira bahwa yang membawa
surat
itu ialah Yak-bwe.
Sesaat kemudian orang sebawahannya telah melihat surat Toan Khik-sia yang dipaku dengan
belati pada meja. Surat berikut belati itu segera dibacakan pada Tian Seng-su. Lagi-lagi Ciat-to-
su
itu tersirap kaget. Ia tahu kalau putera Toan Kui-ciang itu bernama Toan Khik-sia karena Yo
Bok-lo
pernah menceritakannya.
Tulisan dalam kedua surat ini berbeda gayanya, entah apakah dibuatnya oleh seorang saja?
menurut keterangan Yo Bok-lo, Toan Khik-sia itu memiliki kepandaian silat tinggi. Jika ia
merampas barang-barang kirimanku itu dalam kedudukan sebagai kepala penyamun kemudian
datang kemari hendak memberi ancaman padaku, itu masih dapat dimengerti. Tapi apabila ia
menjadi kaki-tangan Sik Ko, ini tak boleh dibuat main-main.
Mengapa Tian Seng-su mempunyai dugaan begitu, bukan tidak ada sebabnya. Ia sendiri
merancang rencana begitu, jadi ia kuatir orang lain pun begitu terhadap dirinya. Dan kalau
dugaannya itu benar, terang kalau Sik Ko itu sudah mulai mengumpulkan tenaga-tenaga kosen
dan
bersiap-siap hendak menyerangnya (Tian Seng-su).
Pada lain saat datanglah Bu-su melaporkan bahwa penjahat sudah kepergok di taman dan tengah
dihantam Yo Bok-lo dan Go Beng-yang. Menurut gelagatnya, penjahat itu tentu dapat
tertangkap.
Mendengar itu Tian Seng-su agak lega. Tadi karena ia menduga Sik Ko tentu mengirim bukan
melainkan seorang Ko-chiu saja, maka ia segera perintahkan orang-orangnya mencari lagi
kalaukalau
penjahat itu masih ada kawannya yang lain.
Tian Seng-su telah menetapkan keputusan: jika kawanan penjahat dari Sik Ko itu dapat
dikalahkan oleh orang-orangnya, ia segera menuntut pertanggungan jawab dari Sik Ko. Namun
kalau orang-orang yang dikirim Sik Ko itu ternyata lebih kuat dari jago-jagonya, terpaksa ia akan
minta damai dengan Sik Ko.
Kembali pada Yak-bwe yang masih bimbang mengambil putusan baik keluar atau tidak,
sekonyong-konyong didengarnya derap kaki yang riuh ke dalam halaman. Sesaat kemudian di
luar
pintu kamar tempat sembunyi Yak-bwe itu terdengar orang berseru: Toa kongcu, kita
kemasukan
pembunuh gelap, kau jangan keluar, kami akan menjaga di luar kamarmu!
Karena Toa-kongcu mereka tak berkutik di bawah injakan kaki Yak-bwem jadi tak dapat
menyahut. Ini menimbulkan keheranan kawanan serdadu itu. Di luar begitu gaduhnya, tapi
aneh,
mengapa Toa-kongcu masih enak-enak tidur? demikian mereka itu ramai memperbincangkan.
Tiba-tiba pintu diketuk dan Yak-bwe pun segera bertindak. Diangkatnya putera Tian Seng-su itu
dan serentak dibukanyalah pintu kamar: Siapa yang berani menghampiri maju, Kongcumu ini
tentu kubunuh! teriaknya sambil acungkan ujung pedang ke punggung putera Tian Seng-su.
Diantara serdadu pengawal itu, ada seorang yang sudah bertahun-tahun ikut pada Tian Seng-su.
Sewaktu masih sama menjadi orang sebawahan An Lok-san, Tian Seng-su dan Sik ko itu sering
kunjung-mengunjungi. Itulah sebabnya maka serdadu tua itu segera mengenali Yak-bwe.

kau ... apakah kau ini bukan toa-siocia keluarga Sik? serunya dengan nada gemetar kaget.
Benar, lekas bilang pada Tian Seng-su supaya perintahkan Go Beng-yang dan Yo Bok-lo
mundur, jika tidak puteranya tentu akan kubunuh! kata Yak-bwe.
Hai, nona Sik, mengapa kau berbuat begitu? Bukankah bulan muka ini kau bakal menjadi
menantu keluarga Tian sini? seru serdadu tua itu.
Dengan gusar Yak-bwe membentaknya: Jika kau masih tetap mengoceh tak karuan, jiwamu
segera akan kucabut juga!
Semangat orang itu serasa terbang. Ia lari terbirit-birit untuk melapor kepada Tian Seng-su.
Toh aku sudah terlanjur kepergok, takut apa! selekas menetapkan keputusan begitu, Yak-bwe
lantas berseru: Ayo, menyingkir! Habis itu ia lantas menggusur putera Tian Seng-su keluar.
Di gelanggang sana setelah tertegun beberapa saat, tiba-tiba Sip Hong lantas mencabut
pedangnya dan berseru: Bocah she Toan, jangan coba-coba mengadu domba! Aku Sip Hong
hanya
taat pada orang atasanku. Jika kau unjuk kegarangan di lain tempat, aku tidak peduli. Tapi karena
kau berani mengaduk di gedung Tian tayjin sini, aku tak dapat tinggal diam!
Hm, beginilah mentaliteitnya manusianya. Jika sudah menjadi pembesar, orang baik-baik pun
menjadi jahat! demikian Khik-sia berkesan di dalam hati.
Melihat Sip Hong menghampiri dengan menghunus pedang, Toan Khik-sia tak dapat
mengendalikan marahnya lagi: hm, mendiang ayahku sudah keliru menilai orang! katanya
dengan
dingin. Dengan gerak poan-liong-sian-poh ia menghindari pukulan Yo Bok-lo, lalu menusuk Sip
Hong. Melihat kesempatan itu, Go Geng-yang ayunkan piannya menyerang dari sebelah kiri.
Dengan begitu terkepunglah Toan Khik-sia dari tiga jurusan. Di sebelah muka ada Sip Hong,
sebelah kanan ada Yo Bok-lo dan dari sebelah kiri diserang Go Beng-yang. Betapapun lihaynya,
tetap sukar bagi Toan Khik-sia untuk melayani ketiga lawannya yang lihay itu.
Meskipun serangan Toan Khik-sia tadi cukup keras, sebenarnya Sip Hong masih dapat
menangkis. Tapi entah bagaimana, orang she Sip itu sudah lantas menjerit kaget dan buru-buru
menyurut mundur. Dan seperti disengaja, gerakannya mundur itu tepat seperti menyongsong
pian
yang dilayangkan Go Beng-yang. Sudah tentu pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu terperanjat
sekali. Kuatir akan melukai Sip Hong, Go Beng-yang buru-buru menarik pulang piannya. Dan
memang dalam ilmu permainan pian, orang she Go itu sudah dapat menguasai gerakan pian
menurut sesuka hatinya.
Dalam pertempuran antara jago-jago yang disebut Ko-chiu, segala gerak-terjang selalu
dilakukan dengan serba cepat. Menang atau kalah hanya tergntung dalam sekejapan mata saja.
Sedikit ragu-ragu atau berayal, itu berarti kehilangan kesempatan untuk menang. Demikianlah
yang
terjadi pada saat itu. Go Beng-yang menarik kembali piannya itu sebenarnya hanya berlangsung
dalam sekejap mata saja, namun kejadian itu sudah cukup besar artinya bagi Toan Khik-sia
untuk
merebut kemenangan. Berbareng orang menarik piannya, Khik-sia pun sudah enjot tubuhnya
melompati kepala Sip Hong. Sebelum Go Beng-yang sempat memainkan piannya lagi, tahu-tahu
matanya sudah disilaukan oleh taburan sinar gemerlap. Dan sebelum ia tahu apa yang harus
dilakukan, ujung pedang Toan Khik-sia sudah membuat tujuh liang luka pada tubuhnya.
Keruan Yo Bok-lo terbeliak kaget dan buru-buru melancarkan tiga kali pukulan berturut-turut ke
arah Toan Khik-sia. Pertolongan itu berhasil menahan serangan si anak muda dan tertolonglah
jiwa
Go Beng-yang. Pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu buang dirinya bergelundungan di tanah
sampai beberapa tombak jauhnya. Anak buahnya segera cepat-cepat mengangkatnya. Walaupun
bukan pada bagian yang mematikan, namun tujuh liang luka itu cukup membuat Go Beng-yang
merintih-rintih kesakitan. Sampai Yo Bok-lo yang mendengarnya, turut tersirap kaget.
Sip Hong telah melakukan peranannya dengan bagus sekali. Sampai seorang benggolan
kawakan macam Yo Bok-lo yang kenyang dengan segala macam tipu muslihat, tak dapat
mengetahui perbuatan Sip Hong. Paling-paling orang she Yo itu hanya dapat memaki-maki
dalam
hati pada Sip Hong yang dianggap bernyali kecil sehingga bukan saja telah menghilangkan suatu
kesempatan bagus, pun sebaliknya malah membikin celaka kawan sendiri.
Tapi Toan Khik-sia yang cerdas, cukup mengerti akan kebaikan Sip Hong tadi. Diam-diam ia
menyesal mengapa tadi sudah memakinya.

Karena terikat oleh kewajiban, jadi ia harus pura-pura bersikap memusuhi aku. Karena kurang
pikir, maka aku telah memakinya, ah, sungguh tolol! pikir Khik-sia.
Setelah tahu maksud Sip Hong, Toan Khik-sia segera bertindak. Ia segera keluarkan ilmu
pedang simpanannya. Ia serang Yo Bok-lo dan Sip Hong dengan gencar sekali. Tampaknya
memang tiada perbedaan, tapi ternyata yang dilancarkan ke arah Sip Hong itu hanya serangan
kosong, sedang yang ditaburkan kepada Yo Bok-lo itu serangan sungguh-sungguh. Karena
serangan itu dilakukan serba cepat, kecuali pihak yang diserang itu sendiri yang dapat
merasakan,
orang-orang yang melihatnya tak tahu sama sekali. Dan karena Yo Bok-lo pontang-panting
membela diri, jadi ia tak sempat lagi untuk meninjau sandiwara yang dimainkan anak muda itu.
Karena beberapa kali hampir kena, mau tak mau bergetarlah hati Yo Bok-lo. Pikirnya: Ai,
sungguh tak nyana kalau bocah ini sedemikian lihaynya. Rasanya malam ini aku sukar mendapat
kemenangan!
Tapi dalam pada itu, diam-diam ia merasa heran juga. Tadi sewaktu bertempur satu lawan satu,
anak muda itu tak dapat merangsek. Kini setelah Sip Hong turut membantu, musuh malah dapat
mendesaknya. Tapi ia tak dapat mengetahui rahasia permainan Toan Khik-sia, paling-paling ia
hanya dapat menarik kesimpulan bahwa tadi si anak muda belum mengeluarkan seluruh
kepandaiannya dan masih bersikap simpan tenaga. Karena mempunyai kesimpulan begitu, rasa
takut Yo Bok-lo makin besar.
Selagi Khik-sia gembira dengan permainannya itu, tiba-tiba dari ruangan sebelah muka,
berbondong-bondong keluar beberapa orang. Jumlah mereka ternyata banyak juga. Menyusul
dengan itu, kawanan Bu-su yang sedang menyaksikan pertempuran itu sama menyiah minggir.
Mereka sama berbisik-bisik seraya menuding-nuding. Suasana menjadi berisik sekali.
Samarsamar
Toan Khik-sia mendengar salah seorang dari Bu-su itu berseru: Hai, bukankah itu puteri dari
Sik Ciat-to-su?
Ia belum menikah, mengapa berada bersama Kongcu?
Amboi, bilakah ia datang dari Lo-ciu. Mengapa kita tak mengetahui?
Demikian kasak-kusuk kawanan Bu-su itu. Sebenarnya Yak-bwe menggusur putera Tian Sengsu
itu dengan mengancam pedang di punggung orang. Tapi karena didahului kawanan penjaga dan
obor-obor yang dibawa kawanan Bu-su itu tak cukup terang, jadi sepintas pandang Yak-bwe itu
dikira jalan bergandengan tandan dengan Kongcu mereka. Mereka tak melihat ujung pedang
yang
diancamkan oleh Yak-bwe.
Sebenarnya mata Toan Khik-sia lebih tajam dari orang biasa. Tapi karena ia tengah sibuk
melayani Yo Bok-lo, jadi ia tak sempat memperhatikan dengan seksama. Bagaimana mimik
wajah
putera Tian Seng-su yang digusur seperti orang tawanan itu, iapun tak dapat melihat jelas.
Reaksi pertama yang terbit dalam hati Toan Khik-sia ialah gusar dan sedih. Padang belantara
tumbuh rumput busuk, di dalam tanah emas tentu bercampur pasir. Demikian ia teringat akan
sebuah pepatah dan diam-diam mengakui kebenarannya. Ia pikir tunangannya itu dibesarkan
dalam
keluarga Ciat-to-su, sudah tentu tetap menjadi orang mereka. Apakah aku masih dapat
mengharapnya?
Sebelum dijemput oleh bakal suaminya ia sudah datang sendiri, tentulah karena kuatir
janganjangan
perkawinan itu akan rewel setelah bingkisan perkawinannya kurampas. Ya, tentulah begitu.
Tanpa malu-malu lagi, ia lantas datang kemari untuk memberitahukan peristiwa itu. Kalau tidak,
masakan setelah mempunyai pasukan Gwe-thok-lam, Tian Seng-su masih perlu mengundang
seorang Ko-chiu macam Yo Bok-lo lagi? demikian pikir Khik-sia.
Sebenarnya Toan Khik-sia itu seorang pemuda cerdas, tapi dikarenakan ia sudah mempunyai
purbasangka terhadap Yak-bwe, jadi pandangannya selalu menjurus kesalah paham. Dan
jeleknya
ia tak mau meninjau lagi anggapannya itu. Karena terpengaruh oleh kejadian itu, hati Khik-sia
pun
tergetar.
Pantangan dalam pertempuran ialah bercabang hati. Kepandaian Toan Khik-sia itu berimbang
dengan Yo Bok-lo, malah dalam hal tenaga dalam orang she Yo itu lebih unggul setingkat dari
dirinya. Sedikit keayalan dari pemuda itu sudah lantas dipergunakan sebaik-baiknya oleh Yo
Boklo
untuk merubah posisi pertempuran. Dari diserang kini jagoan itu berganti melakukan tekanan.

Sedikit Toan Khik-sia kurang cepat bergerak, bahunya kena dicengkeram lawan. Untung ia dapat
cepat-cepat menghindar. Sekalipun begitu, tak urung bahunya kena dicengkeram robek juga.
Melihat si anak muda hampir celaka, tanpa disadari menjeritlah Yak-bwe. Tapi bersamaan
waktunya juga, murid-murid Yo Bok-lo itupun sama bersorak memuji suhunya. Dengan begitu
suara Yak-bwe pun terbenam. Betul nada seorang gadis itu berbeda dengan nada kaum lelaki,
tapi
karena teriakan Yak-bwe itu bernada kaget, jadi sepintas lalu hampir menyerupai dengan orang
bersorak.
Kembali hal itu menambah salah paham Toan Khik-sia. Mendengar dalam sorakan itu terdapat
suara Yak-bwe, makin besarlah kedukaan dan kemarahan pemuda itu.
Karena ia begitu senang, maka ia bersorak kegirangan Yo Bok-lo dapat memukul aku! ia
menggeram.
Kasihan Yak-bwe! Begitu mesra ia tumpahkan perhatiannya kepada Toan Khik-sia, tapi oleh si
anak muda malah diterima salah ....
Tiba-tiba pada saat itu di udara tampak meluncur sejalur sinar api dan menyusul pada lain saat
terdengarlah ledakan. Benda bersinar itu meletus di udara. Kawanan Bu-su segera menjerit
kaget:
Celaka, kawanan perampok datang dengan jumlah besar!
Memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Yang datang itu memang To Peh-ing dan
kawankawan.
Sebelum berpisah, Toh Peh-ing tahu kalau Toan Khik-sia hendak menuju ke gedung Tian
Seng-su untuk mengirim golok meninggalkan surat. Kuatir kalau anak muda itu terancam
bahaya,
diam-diam Peh-ing membawa belasan anak buahnya masuk ke dalam Gui-pok. Ia bersembunyi
di
rumah seorang penduduk yang tinggal di dekat gedung Ciat-to-hu. Siang malam ia
memperhatikan
gerak-gerik gedung Ciat-to-hu itu.
Pada malam itu, benar juga ia telah mendengar suara ramai-ramai yang bertempur di gedung
Ciat-to-hu itu. Ia yakin Toan Khik-sia tentu sudah datang mengaduk. Ia terus akan bertindak
membantu, tapi jumlah anak buahnya hanya belasan saja, padahal pasukan Gwe-thok-lam itu
terdiri
dari 3000-an orang. Untuk melawan mereka, terang sebagai telur hendak beradu dengan tanduk.
Tapi Peh-ing pantang mundur. Ia sudah siap dengan sebuah siasat yang bagus. Siang-siang ia
sudah menyiapkan banyak sekali anak panah berapi. Demikian ia segera memimpin anak
buahnya
menerjang ke gedung Ciat-to-hu. Sembari loncat turun mereka lepaskan anak panah berapi.
Siasat
itu berhasil. Kawanan Bu-su itu melihat ada beberapa bayangan berloncatan turun dari tembok,
mereka lantas menduga kalau kedatangan perampok dalam jumlah banyak sekali.
Laksana kembang api, panah api itu bertaburan kemana-mana. Sini padam sana berkobar lagi,
sana reda sini timbul pula. Dua buah istal kuda yang terbuat dari papan kayu, tertimpa api dan
terbakar. Di dalam taman yang menjadi gelanggang pertempuran itu, segera menjadi panik
suasananya.
Urusanku sudah selesai, perlu apa aku terus bertempur? Ai, lebih baik aku lekas-lekas
tinggalkan tempat ini supaya tidak bertemu dengan dia, nanti hatiku panas lagi! demikian pikir
khik-sia.
Setelah mengambil keputusan, Khik-sia lalu bertindak. Karena Sip Hong hanya main-main
saja, mudahlah baginya untuk meninggalkan Yo Bok-lo. Laksana burung elang, ia melayang
melampaui kepala kawanan Bu-su itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Oleh karena di
manamana
terdapat orang, maka Bu-su regu pemanah tak berani membidikkan panah. Mereka kuatir
akan melukai kawannya sendiri.
Dalam beberapa kejap saja Toan Khik-sia sudah loncat melampaui tembok. Saat itu barulah
kawanan Bu-su berteriak-teriak melepaskan anak panah. Sekalipun tahu kalau bakal tak
mengenai,
namun mereka hamburkan juga anak panahnya untuk menghidupkan kembali semangat
pasukannya.
Melihat si anak muda sudah berhasil meloloskan diri, Yak-bwe girang sekali. Tiba-tiba ia
teringat: Astaga, ia sudah pergi, akupun harus lekas-lekas menyingkir dari sini!
Sebenarnya mudah sekali baginya untuk lolos. Dengan mempunyai sandera berupa puteranya
Tian Seng-su, ia dapat menggertak kawanan Bu-su itu untuk memberi jalan padanya. Tapi
karena
kurang pengalaman, jadi ia sudah tak dapat memikirkan siasat itu. Tanpa berpikir panjang lagi,

puteranya Tian Seng-su segera dibanting ke tanah, lalu ia menerjang keluar. Untung karena tahu
kalau Yak-bwe itu puteri Sik Ciat-to-su yang bakal menjadi calon menantu majikan mereka
(Tian
Seng-su), maka kawanan Bu-su itupun tak berani merintanginya.
Tak perduli siapa dia itu, tangkaplah! demikianlah perintah dari Tian Seng-su sementara itu.
Kala itu setelah mendapat laporan dari si serdadu tua bahwa puteranya telah diringkus oleh
puterinya Sik Ko, kemudian nona itu minta supaya ia lepaskan Toan Khik-sia dan kalau tidak
puteranya bakal dibunuh, Tian Seng-su segera bergegas-gegas menuju keluar. Dilihatnya suasana
dalam taman situ kacau balau, ada yang sibuk memadamkan api, ada yang berteriak-teriak
menangkap penjahat dan ada pula yang pontang-panting lari kian kemari. Salah seorang dari Bu-
su
itu menghadap Tian Seng-su dan memberi laporan bahwa si penjahat sudah lolos. Sedang puteri
Sik Ciat-to-su entah bagaimana telah melukai kongcu dan kini tengah berusaha meloloskan diri.
Mendengar itu Tian Seng-su serentak memberi perintah tadi.
Bagus, karena kau tak mau memandang persahabatan, akupun takkan berlaku sungkan lagi
terhadap anak buahmu, demikian pikir Yak-bwe. Sebenarnya tiada maksudnya sama sekali
hendak
melukai orang, tapi karena gusarnya ia mainkan edangnya dengan gencar. Barangsiapa yang
berani
mendekati, tentu diberinya sekali tusukan. Ia mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni,
gerakannya cepat dan tepat. Setiap tusukannya tentu mengarah jalan darah yang berbahaya.
Sudah
tentu anggota pasukan Gwe-thok-lam itu bukan tandingannya. Dalam beberapa kejap saja, sudah
ada beberapa belas orang yang roboh dan mengerang-erang kesakitan.
Nona Sik, jika kau tak kembali, maaf kalau aku terpaksa berlaku kurang hormat, teriak Yo
Bok-lo. Sekali melesat ia mengejar Yak-bwe dan terus ulurkan tangan untuk mencengkeram.
Tiba-tiba pada saat tangannya hendak menyentuh tubuh si nona, entah dari mana datangnya,
tahu-tahu dua batang jarum Bwe-hoa-ciam menyambar dari samping. Sebenarnya kalau tak
lengah,
tak nanti Yo Bok-lo sampai kena dibokong. Pertama, karena Toan Khik-sia sudah lolos dan
kedua,
ia pikir hanya berhadapan dengan Yak-bwe, jika nona itu hnedak menaburkan senjata rahasia ia
tentu dapat mengetahuinya. Oleh karena itu ia tak mau menjaga kemungkinan lainnya lagi.
Sungguh di luar dugaan kalau ada seorang musuh gelap yang menyembunyikan diri di dalam
orang
banyak. Dalam kekacauan, orang itu diam-diam telah menimpukkan jarum Bwe-hoa-ciam yang
tak
mengeluarkan suara. Sekali lututnya kesemutan, jagoan itu hampir saja terkulai roboh!
Berbareng dengan Yo Bok-lo terkena jarum, Yak-bwe balikkan pedang menghantam
sekuatkuatnya.
Nona itu insyaf kalau bukan tandingan si orang she Yo, jadi ia gunakan serangan yang
paling dahsyat, suatu serangan yang disertai tekad: mati atau terluka bersama.
Sambaran pedangnya itu justru berbareng pada waktu Yo Bok-lo terhuyung mau roboh. Cret,
ujung pedang memakan pahanya dan menghiasnya dengan sebuah luka sepanjang belasan senti.
Dari mengerang terkena jarum, Yo Bok-lo menggerung keras karena sakitnya. Masih ia mencoba
untuk membalas si nona dengan sekali sapukan kaki kiri, tetapi luput. Sudah tentu dengan
sebelah
kaki ia sukar menahan tubuhnya lagi. Bluk, robohlah jago kawakan itu.
Tapi Yak-bwe tak berani menabasnya lagi. Dengan mata kepala ia saksikan walaupun sudah
terkena jarum Bwe-hoa-ciam, jago she Yo itu masih dapat balas menyerang. Ini menandakan
tangguhnya orang itu. Takut kalau dikejar orang she Yo itu lagi, Yak-bwe segera melarikan diri.
Begitu roboh, Yo Bok-lo segera bergelundungan di tanah. Kuatir kalau Yak-bw menyerangnya
lagi, ia berusaha untuk menggelundung sejauh mungkin. Memang tindakannya itu benar, tapi
itupun berarti suatu keuntungan bagi Yak-bwe untuk lolos.
Melihat orang undangannya juga terluka, walaupun marah tapi tak urung Tian Seng-su jeri juga.
Pikirnya: Ai, sudah, sudah, aku terpaksa harus mengubur rencanaku untuk menelan Lo-ciu dan
menerima perdamaian dengan Sik Ko. Perkawinan itupun terpaksa batal.
Kawanan Gwe-thok-lam yang dengan gagah berani mengejar penjahat tadi pun balik kembali
ke dalam taman. Mereka melapor: Di tembok kota sebelah depan itu, terdapat segerombolan
penjahat. Dari atas tembok kota itu mereka melepaskan panah-panah api tadi. Sewaktu kami
mengejar keluar, mereka sudah menggabungkan diri dengan si bangsat kecil she Toan itu.
Tampak
kami datang, mereka lalu loncat turun ke sebelah sana. Karena kuatir mereka mengadakan bay-
hok
(barisan pendam), kami tak berani mengejar terus. Mohon Tayswe memberi petunjuk, apakah
perlu

mengirim pasukan berkuda untuk mengejarnya?
Sebenarnya kawanan Gwe-thok-lam itu hanya menghias diri saja. Mereka jeri sekali kepada
Toan Khik-sia. Yang dimaksud dengan mengejar itu hanyalah keluar dari pintu taman, melihat-
lihat
sebentar lalu masuk kembali.
Kamu sekalian ini hanya bangsa kantong nasi semua. Masakah sekian banyak orang tak
mampu menangkap dua orang penjahat kecil saja. Lekas enyah! Tian Seng-su marah-marah.
Habis menumpahkan kemarahannya, Tian Seng-su teringat pada puteranya. Ia segera bertanya:
Bagaimana toa-kongcu?
Karena ditutuk jalan darahnya oleh Yak-bwe, putera Ciat-to-su itu tak dapat berkutik dan bicara.
Kawanan bu-su itu hanya mengerti beberapa jurus ilmu silat saja, sudah tentu mereka tak dapat
menolong. Malah karena tak mengerti kalau toa-kongcunya tertutuk jalan darahnya, mereka
menjadi sibuk tak keruan sendiri.
Akhirnya adalah Tian Seng-su sendiri yang mengetahui hal itu. Ia dahulu berasal dari kalangan
Lok-lim, jadi tahulah kalau puteranya itu kena ditutuk orang. Namun ilmu tutukan Yak-bwe itu
adalah ilmu tutukan istimewa dari Biau Hui Sin-ni. Walaupun tahu tapi Tian Seng-su juga tak
berdaya menolongnya.
Coba kau lihat bagaimana dengan keadaan Yo-siansing. Jika lukanya tak berat, undang ia
kemari untuk menolong toa-kongcu, ia segera perintahkan orangnya mengundang Yo Bok-lo
dan
mengangkut puteranya ke dalam kamar.
Yo Bok-lo memiliki lwekang tinggi. Begitu kena jarum Bwe-hoa-ciam ia segera menutup
seluruh jalan darahnya, agar jarum itu jangan sampai menembus ke jantung. Kemudian ia
berusaha
mengeluarkan jarum itu, lalu dilumuri obat. Karena lukanya itu tak berat, setelah diberi obat,
iapun
sudah dapat berjalan pula. Waktu mendapat panggilan dari Tian Seng-su ia segera bergegas-
gegas
mendatangi.
Waktu berhadapan dengan Tian Seng-su, ia merasa malu. Tapi mengingat luka Go Beng-yang
itu lebih berat lagi, ia merasa tak kelewat malu. Dan berkat kepandaiannya yang tinggi,
walaupun
tak mengerti ilmu tutukan yang dipergunakan Yak-bwem, namun ia dapat juga membukanya.
Selagi Tian Seng-su kegirangan karena puteranya tertolong, tiba-tiba terdengar orang berteriak:
Hei, di bawah kolong ranjang seperti ada orangnya!
Tian Seng-su mendengar juga ada suara berkeresekan: Siapa itu, lekas seret keluar!
perintahnya.
Si serdadu tua membungkuk ke bawah. Matanya segera tertumbuk pada sepasang betis putih.
Astaga! Seorang penjahat perempuan! serunya seraya menyeretnya keluar. Tapi wkatu melihat
wajah orang itu, seperti terkena stroom, ia segera lepaskan tangannya dan menjublek seperti
patung.
Kiranya yang diseret keluar itu bukan lain ialah gundik kesayangan dari Tian Seng-su. Gundik
yang main pat-pat-gulipat dengan puteranya sendiri. Pada saat itu di kamar situ penuh dengan
kawanan Bu-su, sudah tentu mereka saling berpandangan satu sama lain. Hanya saja mereka tak
berani buka suara.
Rahasianya terbongkar, pucatlah wajah putera yang manis itu. Serunya dengan meratap: Yah,
ampunilah jiwaku!
Melihat kejadian yang memalukan itu, Tian Seng-su rasakan kepalanya seperti berputar-putar.
Saking tak tahannya, ia menampar puteranya: Binatang, binatang! Kau, kau ..... bagus sekali
perbuatanmu ini!
Saking gusarnya dadanya serasa sesak dan pingsanlah Ciat-to-su itu!
Sekarang marilah kita tinggalkan Tian Seng-su yang tak ingat orang itu untuk mengikuti
perjalanan Yak-bwe. Setelah berhasil melompati pagar tembok gedung Ciat-to-hu, Yak-bwe
dapatkan di luar sana hanya ada sebuah jalan besar. Pikirnya: Mungkin dia belum jauh!
Memikir sampai di situ, ia jengah sendiri dan girang juga. Namun sesudah berjalan sampai 10-
an li, ia tetap tak dapat melihat bayangan Toan Khik-sia. Sesaat ia menjadi putus asa. Apakah
tadi
ia tak melihat diriku? Apakah ia tak tahu kalau diam-diam aku membantunya? Tapi mengapa ia
tak
mau menunggu aku?
Selagi ia berbicara dalam hatinya sendiri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki

orang memburu. Ia buru-buru berpaling ke belakang, ah, itulah seorang pemuda, tapi bukan Toan
Khik-sia pemuda pujaannya itu.
Tapi Yak-bwe merasa seperti sudah pernah mengenal pemuda itu. Ia tertegun. Sembari meraba
tangkai pedangnya ia menegur: Siapa kau ini? Mengapa mengejar aku?
Pemuda itu tertawa mengikiki, serunya: Adik Hong-sian, masakan kau lupa padaku?
Mendengar suara orang itu, girang Yak-bwe bukan kepalang, teriaknya: Cici In-nio, kiranya
kaulah. Mengapa kau menyaru menjadi seorang pemuda? Kiranya pemuda itu adalah Sip
Innio,
puterinya Sip Hong.
Sejak kecil ia dengan Sip In-nio selalu berkumpul bersama. Bahkan keduanya bersama-sama
belajar silat pada Biau Hui Sin-ni, hubungan mereka sudah seperti saudara putusan perut saja.
Adalah karena ayah mereka sama-sama mendapat jabatan sebagai panglima perbatasan,
terpaksalah
mereka berpisah. Bahwa di tempat dan saat seperti itu dapat berjumpa kembali, girang mereka
tak
terperikan lagi.
Ha, jangan menghujani diriku dengan pertanyaan dulu. Biar aku yang harus memeriksa kau
dulu! demikian In-nio tertawa.
Aku melakukan kejahatan apa maka cici hendak memeriksa diriku? sahut Yak-bwe.
Kata In-nio pula: Bukankah kau sudah dijodohkan dengan putera Tian Seng-su? Mengapa
sebelum dijemput kau sudah pergi ke rumahnya?
Ai, enci In, jangan menghina padaku. Tadi kau tentunya berada di dalam taman, masakan kau
tak melihat bagaimana aku telah memperlakukan si katak buduk itu? sahut Yak-bwe dengan
tertawa.
Ha, kukira sebelum keluar pintu dengan resmi, kau sudah mengunjunginya, In-nio menggoda
pula.
Mendengar cemooh itu Yak-bwe terus maju akan menampar mulut orang, tapi In-nio cepat
mencegahnya: Ai, jangan ribut, jangan ribut. Ya, anggaplah aku salah omong, biar kuhaturkan
maaf padamu. Ia seorang katak buduk dan kau seekor angsa cantik. Bukankah katak buduk itu
gemar makan daging angsa? Oi, makanya kau suka padanya?
Jangan membikin keseleo kata-kata orang, ya? Bukan aku hendak menaikkan harga diriku,
tapi putera Tian Seng-su itu memang benar bukan manusia, kata Yak-bwe yang lalu
menceritakan
tentang pengalamannya di gedung Ciat-to-hu di mana karena menghindari kejaran Yo Bok-lo ia
sudah keliru masuk ke dalam kamar orang yang lagi berbuat mesum.
Waktu mendengar cerita tentang perbuatan putera Tian Seng-su itu, wajah In-nio merah
kemalumaluan.
Tapi ia pun tak kuat lagi menahan gelinya.
Ya, ya, aku mengertilah. Kau tak suka pada si katak buduk karena kau sudah jatuh hati pada
pemuda she Toan, bukan?
In-nio biasa berkelakar, tapi kali ini kelakar itu telah membuat Yak-bwe merah padam dan
tundukkan kepala.
Ci In, apakah kau melihat jejaknya? Apa yang kulakukan malam ini, adalah untuk
kepentingannya, kata Yak-bwe.
In-nio terkesiap, ujarnya dengan nada bersungguh: Ai, kiranya kau benar-benar suka padanya!
Kata Yak-bwe: Cici, meskipun kita ini tidak seibu tapi rasanya kita sudah seperti saudara
sekandung. Segala urusanku, takkan kurahasiakan. Dia, ya, dia itu sebenarnya calon suamiku!
In-nio terbelalak kaget, serunya: Bilakah kau bertunangan dengan dia? Jika sudah ditunangkan
padanya, mengapa ayah-bundamu hendak menikahkan kau pada keluarga Tian?
Atas pertanyaan In-nio yang bertubi-tubi itu, tenang-tenang Yak-bwe menerangkan: Yang
menjodohkan aku sejak lahir dengan dia adalah orang tuaku yang asli. Ayah ibuku yang
sekarang
ini bukan ayah bundaku kandung. Namaku sebenarnya Su Yak-bwe. Nama Sik Hong-sian itu
sejak
saat ini tak kupakai lagi!
Demikianlah Yak-bwe menuturkan riwayat hidupnya dari awal sampai akhir. Berbagai perasaan
timbul dalam hati In-nio di kala mendengar kisah itu, rasa sedih, girang, simpatik dan gairah.
Oh, makanya ayahku sering memuji Toan Kui-ciang tayhiap sebagai seorang pendekar yang
gagah perwira serta berbudi luhur. Ayah mengatakan bahw Toan-tayhiap itu mempunyai
beberapa

putra, tapi entah kemana beradanya. Beberapa kali ayah bermaksud hendak menyuruh orang
mencari jejak dari putera-putera Toan tayhiap itu. Dan setiap kali membicarakan tentang hal itu,
ayah seperti memberi kisikan padaku supaya menanyakan asal-usul dirimu. Kali ini setelah
mendengar kau bakal dinikahkan dengan keluarga Tian, untuk beberapa hari ayah tampak
uringuringan
belaka. Kiranya disitu terselip sesuatu hal.
Ai, jadi ayahmu juga memuji-muji Toan-tayhiap, seru Yak-bwe.
Kalau memang baik, habis mau dikatakan bagaimana? Toan-tayhiap adalah orang yang paling
dikagumi oleh ayahku, In-nio menandaskan.
Mendengar itu diam-diam Yak-bwe mengutuk Sik Ko: Kalau begitu, terang ayah angkatku itu
bukan orang baik-baik. Ah, bertahun-tahun ia mengelabuhi aku.
Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali malam ini dapat membantu kalian berdua lolos
dari bahaya, kata In-nio.
Kini barulah Yak-bwe tahu persoalannya, katanya: Oh, jadi ayahmu tadi memang sengaja
mengalah padanya. Tentunya kaulah juga yang secara diam-diam membantu hingga aku dapat
melukai Yo Bok-lo.
Benar, dalam kekacauan tadi diam-diam aku telah menimpuknya dengan Bwe-hoa-ciam, Innio
mengiyakan. Setelah itu ia menuturkan pengalamannya.
In-nio dapatkan ayahnya tak senang waktu mendengar pernikahan Yak-bwe. Mengapa ayah
tak senang? Apakah putera Tian Seng-su itu tak sembabat dijodohkan pada adik Sian? Ah, biar
kuikut ayah ke gedung Ciat-to-hu, hendak kulihat bagaimana macamnya putera Tian Seng-su itu
dulu. Jika memang buruk, aku akan memberitahukan pada adik Sian supaya minggat saja,
demikian ia ambil keputusan ketika ayahnya diminta Tian Seng-su untuk turut menjemput
mempelai perempuan. Sudah tentu ia tak mau kasih tahu pada ayahnya tentang rencananya itu,
melainakan mengatakan hendak melihat-lihat bagaimana gedung Ciat-to-hu tempat kediaman
Tian
Seng-su itu. Ayahnya, Sip Hong, juga setuju karena sebetulnya ia jeri juga datang seorang diri ke
tempat Ciat-to-su itu. Ia kenal siapa Tian Seng-su itu. Maka ia segera suruh puterinya
mengenakan
pakaian lelaki menjadi seorang pengikutnya.
Sudah dua hari aku tinggal di gedung Ciat-to-hu, tapi tetap belum pernah melihat bagaimana
tampang muka putera Tian Seng-su itu. Tak terduga kau sendiri juga sudah datang, jadi aku tak
perlu capek-capek lagi, kata In-nio dengan tertawa.
Yak-bwe menghaturkan terima kasih, namun tampaknya ia masih bermuram durja.
Eh, mengapa lagi kau ini? tegur In-nio.
Yak-bwe tak menyahut dan hanya mengutik ikat pinggangnya.
Ha, biar kutebaknya. Kau tentu sedang memikirkan si Toan kecil itu. Ya, ia memang
keterlaluan mengapa tak menunggumu, In-nio menggodanya. Ia merenung sejenak, tiba-tiba
berkata pula: Adik Sian, eh tidak, seharusnya kupanggil kau adik Bwe. Ya, adik Bwe, apakah
kau
kepingin menjumpainya, aku mempunyai akal.
Tanpa malu-malu lagi Yak-bwe segera minta petunjuk.
Baik, sekarang ikutlah padaku, kata In-nio.
Yak-bwe keheran-heranan, serunya: Apa kau tahu tempatnya?
Akan kubawa kau ke suatu tempat untuk menjumpai seseorang!
Siapa?
Tak usah kau tanya, pokoknya aku tak nanti menipumu, sahut In-nio.
Dalam berkata-kata itu wajahnya berseri-seri, bibirnya mengulum senyum dan pipinya pun
kemerah-merahan. Sikapnya sungguh aneh.
Yak-bwe penasaran: Segala apa kuberitahu padamu, sebaliknya kau main gelap-gelapan tak
mau mengatakan terus terang.
Tak usah terburu-buru, nanti tentu kuberitahu. Ayo, ikutlah! sahut In-nio.
Terpaksa Yak-bwe mengikutinya lari. Ternyata In-nio menuju ke sebuah gunung. Lagi-lagi
Yak-bwe menegurnya: Ai, tengah malam begini mengapa kau bawa aku ke atas gunung?
Apakah
orang itu berada di sini? Apakah kau sudah berjanji padanya?
In-nio hanya tertawa saja: Bagaimana penyamaranku sebagai ini, mirip tidak?

Mendapat jawaban yang bukan ditanyakan itu, Yak-bwe makin heran.
Tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: Mirip sekali. Tadi hampir saja aku tak dapat
mengenalmu.
Mungkin memang kau tak mengetahui, bahwa sejak kita berpisah, dalam beberapa tahun ini
aku sering menyaru jadi lelaki untuk pesiar kemana-mana. Ayah tak begitu mengurusi diriku.
Kau
bilang peniruanku itu persis sekali tapi pada suatu kali aku telah diketahui orang. Ai, sungguh
berbahaya, mereka adalah orang-orang jahat dari Kim-hong-pang, kata In-nio.
Eh, rupanya kau ini sedang menyembunyikan udang di balik batu. Pertanyaan yang kuajukan,
sepatahpun tak kau jawab, sebaliknya kau merangkai cerita lain. Memang aku senang sekali
mendengar ceritamu itu, tapi rasanya lebih baik pada lain hari saja. Hhu, kau jahat benar karena
sengaja membikin tegang urat syarafku.
Tertawalah In-nio menjawab: Pohon mempunyai akar dan urusan juga ada ikhwalnya.
Bagaimana jadinya kalau aku tak menceritakan dari permulaan? Baik, karena rupanya kau begitu
bernafsu, kita menjumpai orang itu dulu baru nanti kuceritakan lagi.
Lalu ia mendongak ke atas puncak gunung.
Ai, rembulan sudah berada di tengah langit, ia tentunya sudah datang, katanya kemudian.
dia, dia, sekali lagi dia! Siapakah sebenarnya dia itu? seru Yak-bwe.
Sekonyong-konyong In-nio bersuit panjang. Sesaat kemudian dari arah puncak gunung
terdengar suitan balasan. Kalau suitan In-nio bernada kecil bening, adalah suitan orang dari
puncak
gunung itu bernada nyaring kuat, mirip dengan ringkikan naga atau aum harimau.
Hai, lwekang orang itu hebat sekali, tak kalah dengan Toan Khik-sia. Orang yang hendak kau
pertemukan padaku apakah itu orangnya? tanya Yak-bwe.
Benar, memang itulah orangnya, sahut In-nio. Habis itu, ia mendekam dan tempelkan
telinganya pada tanah.
Cici, mengapa kau berbuat begitu? tanya Yak-bwe.
Musuh-musuhnya sudah banyak yang datang, jadi ia tak dapat menyambut kita, sahut In-nio.
Apa-apaan artinya ini? Yak-bwe makin keberatan.
Malam ini ia telah mengundang beberapa musuh untuk bertemu di gunung Pak-bong-san sini.
Sekarang mumpung mereka masih belum bertempur, kita lekas-lekas kesana untuk melihat
ramairamai,
kata In-nio.
Sip In-nio ternyata sering berkelanan di dunia persilatan, jadi pengalamannyapun lebih banyak
dari Yak-bwe yang selalu dikungkung dalam gedung ciat-toa-hu. Nona itu sudah dapat
mempelajari
ilmu menempel tanah mendengarkan suara. Didengarnya di atas puncak gunung sana ada 7-8
orang tengah bertengkar.
Kini Yak-bwe agak mengerti, ujarnya: Ha, orang itu tentu sahabat baikmu dan kau hendak
mengajak aku membantu padanya, bukan?
In-nio tertawa: Tidak, selamanya ia tak mau dibantu orang. Sekalipun lawan berjumlah seratus
atau seribu orang, ia tetap menghadapinya seorang diri!
Malam itu cuaca terang. Setelah berlari beberapa saat, jauh-jauh kedua nona itu sudah dapat
melihat keadaan di atas puncak gunung itu. Dilihatnya ada seorang pemuda yang berperawakan
tinggi tengah berdiri menghadap rembulan. Di sekelilingnya dikerumuni oleh sekelompok orang.
Waktu menghitung, Yak-bwe dapatkan orang-orang itu berjumlah delapan.
In-nio loncat ke atas sebuah batu karang yang besar bundar, ujarnya: Tempat ini sesuai sekali,
dari sini kita dapat melihat jelas pertempuran mereka.
Apakah yang membalas suitanmu tadi pemuda itu? tanya Yak-bwe.
Benar! Sudah kalu lihat bukan orang-orang yang mengepungnya itu? In-nio menyahut dan
bertanya. Dari nada ucapannya ia seperti membanggakan pemuda itu.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran Yak-bwe. Diam-diam ia tertawa: Kali ini dugaanku
tentu tak salah. Ci In-nio tentu suka pada pemuda itu. Ha, jadi ia juga sudah punya pilihan.
Tapi serta dilihatnya In-nio tengah mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, terpaksa
Yakbwe
tak jadi menggodanya.
Tiba-tiba di gelanggang pertempuran sana terdengar seorang berseru: Hai, orang she Bo,

berapa banyak orangkah yang kau undang membantumu? Tunggu setelah mereka datang semua,
baru kita mulai bertempur, agar kau tak menuduh aku sebagai orang yang menindas si lemah
dengan main keroyok.
Kata-kata itu menyatakan kalau suitan In-nio tadi, telah didengar mereka.
Yang bicara itu ialah Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Dialah yang mengetahui penyamaranku
kala itu. Karena mereka berjumlah banyak, jadi aku tak mampu melawannya, syukur ada pemuda
she Bo itu yang menolongku, demikian In-nio memberi keterangan pada Yak-bwe.
Dalam pada itu terdengar pemuda she Bo itu sedang menyahut dengan dingin: Sebaliknya
akulah yang hendak menanyakan padamu, apakah orang-orangmu sudah lengkap semua?
Apa maksudmu? Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu balas bertanya.
Aku tak mengundang barang seorang pembantupun, melainkan ada seorang sahabatku yang
mungkin kepingin melihat pertempuran ini. Kalian tak usah kuatir.
Mendengar keterangan si pemuda, kawanan Kim-liong-pang itu serempak tertawa mengejek:
Apa yang kami kuatirkan? Kuatir kau dapat melarikan dirikah? Ha, jangan ngimpi kau!
Sekalipun kau tumbuh sayap juga tak nanti kau dapat lolos!
Tapi pemuda itu tak mengacuh dan hanya menegas lagi: Sekali lagi aku akan bertanya, apakah
orang-orangmu itu sudah lengkap?
Kalau sudah lalu bagaimana? tanya si Hu-pangcu balas bertanya.
Kalau sudah, barulah aku enak turun tangan agar tidak repot-repot harus mengejar satu persatu.
Ha, jika memang belum lengkap, aku bersedia menunggu beberapa saat lagi, kata si pemuda.
Mendengar kata-kata itu, kawanan Kim-liong-pang itu sama berjingkrak-jingkrak marah.
Berserulah salah seorang yang bertubuh tinggi besar: Kau ini benar-benar seorang bocah yang
congkak. Baik, biar kuajar adat padamu dan akupun tak mau dibantu siapapun juga.
Tapi sebelum si tinggi besar itu tampil kemuka, dua orang yang baik perawakannya maupun
pakaiannya serupa coraknya, sudah melangkah maju, seru mereka dengan lantanga: Nyo-toako,
sukalah kiranya kau tunggu dulu. Kami kaum Thay-ou-pang mempunyai dendam permusuhan
sedalam lautan dengan bocah itu.
Habis berkata mereka berdua lalu mencabut senjatanya yang berupa sebatang poan-koan-pit dan
berseru: Sekalian saudara yang hadir di sini rasanya maklum akan peraturan dari persaudaraan
Cin.
Baik lawan kami itu seorang atau seratus orang, kami berdua saudara ini tentu selalu maju
berbareng. Ini perlu kami kemukakan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main
keroyokan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main keroyokan. Hai, dengarlah bocah
she Bo! Asal kau dapat bertahan menghadapi 50 jurus permainan pit kami, maka kami berdua
bersedia untuk menyembah padamu!
Pemuda she Bo itu hanya miringkan kepala, melihat dengan melirik hina. Ia tak tampak
mencabut pedang pun tak menyambut tantangan kedua saudara itu.
Hu-pangcu dari Kim-liong-pang mencegahnya: Harap saudara berdua jangan berebut dulu.
Bagaimana bocah itu dapat bertahan sampai 50 jurus? Paling banyak 30 jurus saja ia tentu sudah
mampus. Kalau ia belum-belum sudah mati, habis apa dayaku untuk melampiaskan
kemendongkolan hatiku? Ah, lebih baik saudara berdua mengalah dulu, biar aku yang maju.
Tiba-tiba ada seorang yang berpakaian seperti opsir tentara melangkah kemuka dan berseru
dengan nyaring: Hai, kalian tak boleh berebutan! Bocah itu telah merampas pesakitan penting,
aku
hendak meringkusnya dan membawanya ke kota raja. Ayo, kalian mundur semua, biar aku
seorang
diri yang menangkapnya!
Yak-bwe berbisik pada In-nio: Aku kenal opsir itu. Ialah Hou-ya-to-wi Ut-ti Lam, menjabat
sebagai thong-leng (pemimpin) dari pasukan Kim-wi-kun di istana. Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak
adalah
kakaknya. Mereka berdua memiliki kepandaian silat tinggi, namanya tersohor di dalam dan luar
negeri. Perangai kedua saudara itu hampir sama.
In-nio menertawakan: Pemimpin pasukan istana bersekutu dengan pemimpin partai persilatan,
sama-sama maukan diri seorang pemuda, ai, sungguh mengherankan. Tapi dari ucapan opsir itu,
rupanya ia tak ada janji sama sekali dengan kawanan orang Kim-liong-pang. Mereka hanya
kebetulan berjumpa di sini saja.

Ah, sayang! tiba-tiba Yak-bwe menyelutuk.
Sayang apa? tanya In-nio dengan heran.
Ut-ti Lam adalah seorang lelaki gagah. Dipandang dari kedudukannya, walaupun hanya
kebetulan berjumpa dengan orang-orang Kim-liong-pang, namun tetap merosotkan harga
dirinya,
kata Yak-bwe.
Dan bagaimana reaksi orang-orang yang dihardik Ut-ti Lam itu ternyata mereka terkesiap kaget.
Tapi si tinggi besar itu juga berwatak berangasan. Iapun tak peduli bahwa opsir yang
mengenakan
seragam hitam itu ialah Ut-ti Lam. Serentak ia pun balas mendamprat: Orang macam pantat
kuali
seperti kau ini juga berani berlagak pembesar? Berada di sini, kau harus menurut peraturan dunia
persilatan, jangan sok aksi seperti dalam kantormu, tahu. Jika sampai membangkitkan amarahku,
awas, nanti tentu kuberi makan bogem mentahku! dengan gusarnya. Wut, ia lantas menyabat
dengan piannya.
Hu-pangcu dari Kim-liong-pang rupanya kenal akan Ut-ti Lam. Sudah tentu ia menjadi terkejut
dan tergopoh-gopoh memburu maju dan mendorong si tinggi besar ke samping. Kemudian ia
haturkan maaf: Ut-ti ciangkun, harap jangan marah. Malam ini kita sama-sama menemukan
seorang musuh, segala apa dapat kita bicarakan. Saudara Nyo ini tidak pandai bicara, harap
Ciangkun bersabar sedikit!
Untung Hu-pangcu itu cepat-cepat mendorong si tinggi besar sehingga terluput dari pian Ut-ti
Lam, maka pian itu telah menghantam sebuah batu besar hingga hancur berantakan. Melihat itu,
bagaimanapun berangasannya, si tinggi besar tak berani bercuit lagi.
Harap kalian jangan ribut-ribut, sudilah dengarkan kata-kataku, tiba-tiba anak muda tadi
berkata.
Dari sikapnya pemuda itu seperti tak mengandung permusuhan kepada mereka dan bahkan
hendak melerai.
Ut-ti Lam juga merasa heran, sahutnya: Baik, cobalah kau akan berkata apa?
Ut-ti ciangkun, kunasihatkan lebih baik biarkan mereka bertempur dulu dengan aku. Kau nanti
jatuh pada giliran yang terakhir saja, kata anak muda itu.
Apa-apaan itu, kau bocah ini malah akan mengeloni mereka, demikian Ut-ti Lam berteriak
dengan marah-marah.
Tertawalah pemuda itu: Biarlah kuterangkan alasannya, Ut-ti ciangkun, dengarkan dulu!
Ia menunjuk pada kedua saudara yang bergelar Cin-keh-siang-pit, lalu katanya: Kalian tadi
mengatakan mempunyai dendam sedalam laut padaku, tapi aku sendiri bingung, permusuhan
apakah yang kita ikat itu?
Kedua saudara Cin itu mendengus, sahutnya: Ha, kau budak kecil ini pandai berpura-pura.
Baiklah, biar kuterangkan. Keterangan ini bukan untukmu, melainkan supaya dapat diketahui
oleh
saudara-saudara yang hadir di sini. Selesai mendengari keteranganku, kalian tentu tahu apa
sebabnya kami berkeras hendak melabrak bocah ini lebih dulu.
Si Cin yang tua merandek sejenak, lalu melanjutkan berkata: Bulan yang lalu kami bercekcok
rebutan bandar (pangkalan perahu) dengan orang Hay-yang-pang. Bocah itu sebenarnya orang
luar,
tapi suka usil. Ia membantu pihak Hay-yang-pang hingga mengalahkan orang-orangku dan
menghancurkan 17 buah perahu kami yang berada di perairan telaga Thay-ou. Tidakkah hal ini
berarti dendam sedalam lautan?
Lalu adiknya menambahkan: Kala itu kami berdua saudara tak ada di situ, hingga pihak kami
menderita kerugian. Sebenarnya kami harus menuntut balas pada pihak Hay-yang-pang, tapi
setelah kami selidiki, 8-9 bagian dari orang-orang kami itu dilukai oleh bocah ini. Maka kami
kesampingkan urusan terhadap Hay-yang-pang dan membikin perhitungan pada bocah ini lebih
dulu.
Anak muda itu tiba-tiba menyahut: Memang sebagian besar hal itu benar, hanya saja masih
kelewatan sedikit mengenai sebab-sebabnya kalian bercekcok dengan pihak Hay-yang-pang.
Biarlah aku yang memberi tambahan keterangan. Hay-yang-pang adalah sebuah organisasi
nelayan
di sepanjang pantai Thay-ou. Kalian dari Thay-ou-pang itu lantas mau memungut pajak pada
mereka. Para nelayan itu sudah berat membayar pajak pada pembesar negeri setempat, apakah

mereka dapat memikul lagi beban yang makin memberatkan itu? Untuk membela
kepentingannya
maka Hay-yang-pang terpaksa melawan kalian. Salahkah jika aku berdiri di pihak Hay-yang-
pang?
Atau apakah seharusnya aku membantu pada pihakmu untuk menindas kaum nelayan itu?
Berkata pula anak muda itu: Walaupun jadi perampok atau bajak, pun seyogyanya jangan
menanggalkan sifat-sifat keperwiraan. Di tempat di mana kaum nelayan sudah menderita, kalian
masih hendak merebut nasi mereka, apakah kalian tidak malu! Itulah sebabnya maka aku
memberi
sedikit hajaran pada orang-orang Thay-ou-pang itu, pertama untuk meringankan kemengkalan
hati
kaum nelayan dan kedua supaya mereka ingat betul-betul bahwa aku sudah bermurah hati tidak
membunuh barang seorangpun dari kawan mereka. Mengapa kalian masih menuduh aku berbuat
salah?
Malu dan geram bercampur aduk dalam perasaan kedua saudara Cin itu. Belum mereka
menyatakan apa-apa, Ut-ti Lam sudah berseru memuji: Benar, ucapanmu itu cukup ceng-li dan
perbuatanmu itu tepat sekali!
Sebenarnya kedua saudara Cin sudah mau menumpahkan kemarahannya, tapi demi Ut-ti Lam
mengatakan begitu, mereka agak kurang enak untuk turun tangan.
Kemudian si pemuda itu menuding pada si tinggi besar, katanya: Dan kau? Apakah kita juga
mempunyai permusuhan sedalam lautan?
Meskipun dendam itu tak menyamai membunuh ayah atau merampas isteri, tapi rasanya juga
tak jauh dari itu. Barang-barang antaran piau yang hendak kami rampas, ibarat kue bak-pau
sudah
berada di mulut, tapi mengapa kau mengadu biru dan membantu mereka dan menggagalkan
usaha
kami? demikian seru si tinggi besar.
Si pemuda menyahut: Mungkin saudara tak mengetahui bahwa barang-barang itu adalah uang
perak untuk Li Yang-ceng yang menjabat sebagai Ti-ho congkoan (pembesar urusan irigasi).
Kantor pengangkutan Tiang-an-piau-kiok telah diserahi untuk mengantarkannya. Barang antaran
itu tak boleh dirampas.
Mengapa? tanya si tinggi besar.
Karena uang itu diperuntukkan membelanjai pekerja-pekerja. Tentang pembesar she Li itu,
aku pun sudah menyelidikinya, dapat dikata seorang pembesar yang baik, tutur si anak muda.
Persetan ia pembesar baik atau jahat dan bagaimana ia akan menggunakan uang itu! Pendek
kata, yang kuketahui hanyalah uang perak yang bergemerlapan saja, bagi kami yang menuntut
penghidupan sebagai orang Hek-to, jika tak merampas uang masakan disuruh makan angin
saja?
sahut si tinggi besar dengan gusar.
Tertawalah anak muda itu: Ucapan saudara itu tidak tepat. Jika kau mengganyang uang kaum
pembesar korup, aku tentu tak berani unjuk diri. Tapi dengan merampas uang tadi, bukan saja
rakyat pekerja akan kelaparan pun proyek bendungan sungai Hong-ho akan terbengkalai,
akibatnya
ribuan jiwa rakyat akan menderita mala petaka, rumah tangga tercerai berai. Karena tak dapat
merampas uang itu paling-paling kau hanya makan angin, tapi apakah kau tahu bahwa ribuan
rakyat
itu kini benar-benar sudah makan angin? Kutahu kalau saudara itu juga dari keturunan keluarga
miskin, mengapa saudara hanya mementingkan diri sendiri saja?
Si tinggi besar itu ternyata seorang jujur juga. Ia garuk-garuk kepalanya, katanya: Eh,
ucapanmu itu rada ceng-li juga. Tapi hal itu rasanya tak sesuai dengan peraturan yang sudah
mendarah daging di kalangan Lok-lim. Coba beri aku tempo untuk memikirkannya.
Baiklah, kau boleh merenungkan dulu, kata si pemuda.
Mendengar anak muda itu telah menyelamatkan uang antaran untuk Ti-ho-congkoan, Ut-ti Lam
menjadi terkesiap.
Tidak demikian dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang yang lantas membentaknya: Kedatangan
kita di sini ini untuk bertempur atau akan mendengarkan ceramah tentang ceng-li? Perlu apa
ributribut
begitu? Mari, ayo, marilah, kami bertiga Hiangcu dari Kim-liong-pang akan minta pelajaran
ilmu pedang lagi padamu!
Ia menjabat sebagai Hu-pangcu (wakil pemimpin) merangkap Seng-tong-hiangcu (ketua bagian
hukum) dari Kim-liong-pang. Ia membawa serta dua orang Hiangcu lagi kesitu. Dari bicaranya,
ia
seperti hendak mengajak kawannya maju mengeroyok.

Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: Kalau dengar pembicaraan bocah itu, rasanya berarti sekali, apa
halangannya untuk mendengarkan terus!
Anak muda itu sekonyong-konyong tertawa memanjang lalu menuding pada Hu-pangcu
Kimliong-
pang: Makinkau takut kubuka borokmu, makin aku bernafsu mengatakannya!
Dengarkanlah, sewaktu di jalan Lo-pok kau hendak merampas seorang gadis tapi karena kau
dikalahkan, kau lantas panggil kambrat-kambratmu untuk merampasnya di samping secara
diamdiam
kau gunakan dupa bi-hiang. Perbuatanmu itu bahkan lebih memalukan daripada
perbuatanperbuatan
rendah kaum Lok-lim. Jika hanya kuiris sebelah daun telingamu, itu sudah kelewat
murah karena kuharap kau dapat merubah kesalahanmu. Tetapi mengapa kau masih tak tahu diri
dan berani mencari balas padaku?
Mendengar itu bukan main gusar Ut-ti Lam kepada orang Kim-liong-pang itu, serunya: Ha,
bagus, bangsat terkutuk, rasakanlah lebih dulu pianku ini!
Si anak muda buru-buru kebutkan lengan bajunya untuk menyingkirkan pian Ciangkun yang
hendak diserangkan pada Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu.
Ut-ti ciangkun, harap jangan mencampuri urusanku. Kalau mereka hendak menantang
berkelahi, aku sanggup melayani sendiri. Dan lagi Ciangkun toh masih terhitung lawan dengan
aku.
Sahut Ut-ti Lam: Benar, aku memang hendak bertempur padamu nanti!
Baik, sekarang rasanya kau tentu sudah mengetahui mengapa kutaruhkan dirimu pada urutan
yang terakhir, kata si anak muda.
Ut-ti Lam juga seorang yang lurus. Apa yang dipikirnya tentu lantas diucapkan. Tanpa banyak
berpikir lagi, ia lantas menyahut: Ha, aku sudah tahu sekarang, tentu kau takut kalau
kutangkapmu
lebih dulu hingga kau tak sempat untuk menghajar mereka. Tidak apalah, aku, aku .....
Sebenarnya ia ingin mengatakan: Orang-orang itu kutu busuk semua, aku akan mewakilkanmu
menghajar mereka. Tapi tiba-tiba pikirannya berubah: Tidak, tidak, jika aku mengatakan
begitu,
tentu kawanan kutu busuk dan perampok itu akan lari sipat kuping nanti.
Maka tertawalah si anak muda, serunya: Tak usah kau katakan juga aku sudah mengerti
maksudmu itu. Tapi Ut-ti ciangkun, apakah kau sudah memperhitungkan kalau dapat
memenangkan aku?
Ut-ti Lam tertegun. Ia melihat jelas bagaimana dengan kebutan lengan baju tadi, si anak muda
telah dapat mengisar serangan piannya ke samping. Tanpa bimbang lagi ia segera menyahut:
Hal
itu baru dapat diketahui kalau sudah bertempur.
Tepat! Kau belum yakin dapat mengalahkan aku, akupun tak pasti dapat menundukkan kau.
Andaikan salah satu akan menang juga nanti sudah kehabisan tenaga. Itu waktu mungkin kita
sudah loyo untuk menghadapi pertempuran lagi! kata si anak muda.
Dipikir-pikir omongan itu memang benar. Ya, ya, benar juga dia. Jika aku dan dia sama-sama
terluka, kawanan penjahat itu yang mendapat keuntungan nanti, diam-diam opsir itu membatin.
Kata pula si anak muda: Ut-ti ciangkun, jika kau ingin menangkan aku, ada sebuah cara, ialah
kau boleh ikut maju bersama mereka untuk mengeroyok aku. Ini mungkin ada harapan.
Hah, kau menilai diriku ini orang macam apa? Aku, Ut-ti Lam, masakah sudi menggabung
dengan kaum perampok dan kawanan telur busuk itu! teriak Ut-ti Lam dengan murka.
Karena mendongkol, ia sudah menghamburkan kata-kata kawanan telur busuk dan
perampok. Sudah tentu orang-orang yang dimaki itu melotot gusar.
Ut-ti ciangkun, begitu selesai memberesi budak itu, kami nanti pasti akan minta pengajaran
padamu, seru kedua saudara Cin.
Tanpa menghiraukan kedua jagoan itu, si anak muda berkata pula kepada Ut-ti Lam: Bagus,
Ut-ti ciangkun, karena kau sudah tahu manusia macam apa mereka itu dan karenanya kau tak
sudi
mendekati mereka, maka sekarang silakan minggir dulu sajalah.
Ciangkun yang ketolol-tololan tapi jujur itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba ia berseru: Ai,
masih sedikit enggan aku!
Harap ciangkun jangan mengkuatirkan diriku. Orang itu, sekalipun ditambah lagi jumlahnya,
masih belum kupandang sebelah mata. Setelah menghajar mereka, aku masih ada tenaga cukup

untuk menemani kau berkelahi. Tapi kalau bertempur dulu padamu kemudian baru menghajar
mereka, meskipun masih dapat menang tapi agak makan tenaga pula, kata si anak muda.
Dijunjung begitu, kemarahan Ut-ti Lam berganti menjadi kegirangan. Serunya: Benar,
omonganmu itu memang beralasan. Baik, biar aku jatuh pada giliran terakhir!
Mendengar dirinya dijadikan bulan-bulanan percakapan itu, marahlah orang-orang itu. Memang
kecuali Hu-pangcu dari Kim-liong-pang yang sudah pernah merasakan tangan si anak muda,
lainlainnya
belum kenal siapa anak muda itu. Sekalipun mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh
persilatan yang ada nama, tapi karena ditantang supaya maju semua oleh si anak muda, mereka
sebaliknya malah bersangsi.
Tiba-tiba kedua Hiang-cu dari Kim-liong-pang itu membuka suara: Ada orang bersembunyi di
sana, mungkin komplotan budak kecil itu. Biar kugeropyoknya dulu mereka itu.
Kiranya mereka sudah mengetahui kalau In-nio dan Yak-bwe berada di atas batu tempat
persembunyiannya. Kedua Hiang-cu itu licin benar. Dengan alasan mau menggeropyok, mereka
hendak menyingkir dulu dari si anak muda yang telah diketahui kelihayannya. Biar kedua
saudara
Cin dan kawan-kawan bertempur dulu dengan si anak muda, baru nanti mereka hendak melihat
perkembangannya.
Tapi mereka licin, si anak muda lebih cerdik lagi. Baru saja kaki mereka melangkah beberapa
tindak atau tahu-tahu kaki mereka terasa lemas dan bluk-bluk, jatuhlah keduanya terkulai di
tanah.
He, jangan lari kemana-mana, kembalilah! Apakah kalian tak mendengar permintaanku tadi
supaya kalian maju berbareng semua? seru si pemuda.
Ternyata anak muda itu sudah gunakan Kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari
kejauhan untuk merubuhkan kedua Hiang-cu Kim-liong-pang itu. Tapi sungguh lacur, kedua
saudara Cin itu sudah tak kenal akan ilmu tutukan yang sakti itu. Mereka kira si anak muda itu
sudah mulai turun tangan, maka tanpa berpikir panjang lagi kedua saudara Cin itu sudah maju
menyerang dengan Poan-koan-pit mereka. Yang satu dari sebelah kanan, yang lain dari kiri.
Tiba-tiba si tinggi besar menggerung: Keparat! Tuanmu belum bergerak, kau sudah
mendahului turun tangan, ya?
Si tinggi besar yang berangasan inipun tak mengerti ilmu apa yang digunakan si anak muda
untuk menjatuhkan kedua Hiang-cu tadi. Ia mengira anak muda itu sudah gunakan senjata
rahasia,
maka habis mendamprat ia lantas maju menjotos.
Dengan kedua buah jarinya, si anak muda pentalkan senjata pit dari kedua saudara Cin,
kemudian balikkan telapak tangannya untuk tangkis tinju si tinggi besar, serunya dengan tertawa:
Mengapa kau begitu terburu-buru? Tunggu sampai kawan-kawanmu sudah datang semua,
bukankah masih belum terlambat? Sekali ini aku memang mengalah, supaya kau jangan
menuduh
aku tak pegang janji. Ingat, jika sebelum kawan-kawanmu lengkap kau sudah bergebrak, kau
tentu
akan menderita kerugian besar!
Di sana kedua Hiang-cu Kim-liong-pang tadi tampak sedang merangkak bangun. Dengan mata
gusar, mereka terpaksa kembali dan mempersatukan diri dengan sekalian orang. Dalam pada itu
si
anak muda sedang ulur tangannya untuk mendorong si tinggi besar, serunya: Bagus, kalau
kawankawanmu
sudah lengkap, baru boleh maju lagi, ya!
Melihat kepandaian anak muda itu begitu sakti, tanpa malu-malu lagi, kawanan penjahat itu
segera menyerbu berbareng. Mendadak anak muda itu berputar tubuh, tahu-tahu tangannya
sudah
mencekal pedang dan dalam sabetan pertama ia sudah dapat membabat putus Lian-cu-chui
(bandul
besi berantai) dari salah seorang penyerangnya. Sabetan kedua, sebuah golok musuh terpental ke
udara. Kemudian begitu sang tubuh bergerak, ia sudah tiba di sisi si tinggi besar.
Celaka! mulut si tinggi besar berteriak, tapi ia tak berdaya untuk menyingkir dari pedang si
anak muda yang sudah melayang datang. Mau tak mau menjadi nekat juga. Aku akan mengadu
jiwa dengan kau! teriaknya sambil mengangkat sepasang pedangnya ke atas, mirip dengan
sepasang tanduk kerbau. Ia hendak menerjang maju, tapi ternyata si anak muda itu hanya tepuk
pundaknya: Kau sudah memikir jelas, belum? Tadi kau sudah berjanji padaku untuk memikir
masak-masak-masak!

Ketika si tinggi besar membuka matanya, ternyata si anak muda itu telah melesat lewat di
sisinya dan sudah menempur Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Si tinggi besar tampak melongo,
lalu berteriak: He, kau ini rada-rada cengli juga, aku tunduk padamu dan tak mau berkelahi lagi
dengan kau!
Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan lari pergi menuruni gunung. Melihat itu tertawalah si
anak muda: Baik, Nyo-toako, aku suka bersahabat padamu. Kita nanti berjumpa pula di Kim-
kenia!
Waktu Hu-pangcu Kim-liong-pang menyerang dengan tongkatnya, si anak muda berhenti
tertawa dan berseru: Terhadap dirimu seorang penjahat pengrusak wanita ini, aku tak dapat
memberi ampun. Jiwamu kutinggalkan tapi kepandaian silatmu kuambil!
Cret, berbareng dengan selesai kata-katanya, ujung pedangnya pun sudah menyusup ke tulang
pi-peh-kut, di pundak orang. Suatu hal yang membikin kejut keawanan perampok, lebih-lebih
kedua Hiangcu dari Kim-liong-pang tadi, mereka serasa terbang semangatnya.
Hu-pangcu itu bukan tokoh silat sembarangan. Adanya dia dapat menjabat sebagai wakil ketua,
karena kepandaiannya itu termasuk yang nomor tiga dalam hirarki (urutan) Kim-liong-pang. Ia
hanya di sebelah bawah dari Jui-tianglo dan Su-pangcu. Permainan ilmu tongkat dari Hu-pangcu
itu juga termasyhur. Tapi anehnya belum lagi ia sempat memainkan jurus yang ketiga, tulang
pundaknya sudah kena terpanggang pedang si anak muda.
Kiranya ia benar-benar masih berlaku murah dengan hanya memotong sebelah telinga
Hupangcu
tempo hari. Kalau Hu-pangcu saja sudah keok, apa daya kita? demikian barulah timbul
rasa gentar dalam hati kedua Hiangcu itu.
Serta merta mereka lempar senjatanya dan terus hendak menurutkan peraturan kaum persilatan
untuk meminta ampun. Tiba-tiba anak muda itu tertawa: Mengingat walaupun kalian berdosa
tapi
mau bertobat, maka akan kuberi hukuman ringan saja!
Sret, sret, pedang si anak muda tampak berkelebat, dan tahu-tahu telinga kedua Hiang-cu itu
masing-masing sudah hilang satu. Yang seorang telinga kiri dan yang seorang telinga kanan.
Nah, biarlah kalian juga merasakan sedikit kesakitan agar dikemudian harinya dapat mengingat
baik-baik. Nah, enyahlah! seru si anak muda.
Karena tidak sampai dibikin lenyap kepandaiannya seperti Hu-pangcu mereka, girang kedua
Hiangcu itu bukan kepalang. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera memanggul Hu-pangcunya
dan dibawa lari ke bawah gunung.
Kini yang masih segar bugar ialah kedua saudara Cin itu. Memang kepandaian mereka lebih
unggul setingkat dari Hu-pangcu Kim-liong-pang. Biasanya merekapun congkak. Walaupun
menyaksikan kejadian itu dengan rasa terkejut, namun mereka tak mau mencontoh perbuatan
kedua
Hiangcu untuk meminta belas kasihan orang. Mereka bulatkan tekad untuk mengadu jiwa,
apabila
perlu mereka siap untuk sama-sama binasa dengan si anak muda. Dengan ketekadan itu mereka
menyerang rapat-rapat kepada anak muda itu. Setiap serangan mereka selalu mengarah
bagianbagian
yang mematikan.
Karena sejak kecil kedua saudara itu sama-sama belajar silat, jadi mereka dapat mengadakan
kerja sama permainan yang rapat. Sepasang senjata poan-koan-pit mereka dapat bergerak dengan
indah laksana burung hong dan naga menari. Kanan-kiri, muka-belakang anak muda itu selalu
dibayangi dengan pagutan poan-koan-pit. Sedikit saja si anak muda berayal atau salah jalan,
pasti
tubuhnya kena tertutuk.
Di atas batu besar sana, Yak-bwe menyaksikan pertempuran dengan tegangnya. Iabertanya
dengan bisik-bisik kepada sahabatnya: Mengapa kawanmu itu hanya bertahan dan tak mau
menyerang? Padahal ia mampu untuk menyerang lawan.
In-nio tertawa: Memang setiap gerak-geriknya sukar diraba orang. Entahlah, aku sendiri tak
mengerti apa maksudnya karena hanya ia sendiri yang mengetahui alasannya.
Tiba-tiba kedengaran anak muda itu berseru lantang: Kalian menindas rakyat nelayan, suatu
dosa yang sebenarnya tidak kecil. Tapi kulihat kepandaian kalian agaknya masih kalah setingkat
dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang tadi, jadi kalau dipanggang tulang pi-peh-kutmu, rasanya
masih
kelewat berat. Hm, biar kupikirkan dulu, hukuman apakah yang sekiranya cocok untuk kalian
ini?

Ia omong sendiri seperti berunding seorang diri. Serangan maut dari kedua saudara Cin itu
seolah-olah tak dihiraukan sama sekali.
Kedua saudara Cin itu marah sekali, tapi apa daya. Seumur hidup mereka belum pernah ketemu
dengan musuh setangguh anak muda itu. Mereka tak berani tumpahkan kemarahan, karena kuatir
sedikit saja perhatian terpencar, tentu tubuh mereka akan tertutuk oleh lawan.
Hai, ada, sudah ada. Ya, kuingat tadi kalian mengatakan kalau aku dapat melayani serangan
kalian sampai 30 jurus, kalian lantas mau menjura kepadaku. Kiranya sekarang sudah ada 30-an
jurus, bukan? tiba-tiba anak muda itu berseru pula.
Tiga puluh jurus sudah lebih sejak tadi-tadi! tiba-tiba Ut-ti Lam turut berseru.
Hai, jadi sudah lebih 30 jurus? Wah, kalian mau pegang janji tidak? Mau memberi hormat
padaku tidak? kata si anak muda.
Sudah tentu kedua saudara Cin itu tak mau menurut. Mereka malah memperhebat serangannya.
Menjadi bangsa penjahat itu selain harus mengingat tentang keluhuran pun harus memegang
kepercayaan. Apakah kalian tidak tahu? si anak muda tertawa dingin.
Aha, jadi bangsa penjahat itu juga harus memiliki kesopanan? Tapi terhadap mereka, rasanya
sia-sia saja kau katakan begitu. Kulihat, kecuali dihajar mereka sampai bertekuk lutut, mereka
tentu
tak mau menganggukkan kepala kepadamu, ujar Ut-ti Lam.
Benar, karena kalian berdua ini penjahat-penjahat rendah yang tak pegang janji, aku terpaksa
gunakan kekerasan, kata si anak muda.
Tiba-tiba ia jungkirkan Ceng-hong-kiamnya, begitu membentur senjata lawan, tahu-tahu si Lo
Toa (kakak) dari saudara Cin menjerit, terus bertekuk lutut. Si Lo Ji (nomor dua) dari saudara
Cin
terkejut, tapi belum lagi ia keburu menyingkir, lututnya sudah kena ditendang si anak muda.
Tanpa
dikehendakinya, iapun bertekuk lutut ke tanah. Karena jatuh ke tanah, tubuhnya bergoncang dan
kepala mereka pun turut melentuk hampir mencium tanah. Dan karena mereka buru-buru
mengangkat lagi kepalanya, sepintas lalu menjadi benar-benar seperti orang yang memberi
hormat
dengan menganggukkan kepala.
Tertawalah si anak muda gelak-gelak: Karena kalian sudah mengangguk, nah, kubebaskan
kalian dari hukuman. Tapi ingat, jika lain kali masih berani menindas rakyat lemah, apabila jatuh
ke dalam tanganku lagi, maka bukan saja kusuruh kalian mengangguk lagi, pun tulang Pi-peh-
kut
kalian akan kuremukkan. Nah, ingat baik-baik dan enyahlah sekarang!
Cepat kedua saudara Cin itu merangkak bangun. Wajah mereka merah padam. Diam-diam
mereka menyesal tidak punya sayap agar dapat lekas-lekas terbang pergi. Karena sang kepala
ngacir, kawanan keroconya pun segera kabur semua. Dalam sekejap saja merka sudah tak
kelihatan
lagi. Kini yang tinggal di gelanggang situ, hanya Ut-ti Lam dan si anak muda.
Bagus, bagus! Orang she Bo, nyata kau juga seorang jantan! Ut-ti Lam acungkan jempolnya
memuji.
Maaf, sebenarnya aku tak layak menerima pujian begitu dari Ciangkun, sahut si anak muda
dengan tertawa.
Tiba-tiba Ut-ti Lam deliki kedua matanya dan berseru: Tapi sayang, sungguh sayang!
Sayang apa? tanya si anak muda.
Sayang karena seorang pemuda jantan seperti kau ini, aku terpaksa harus menangkap kau
untuk kubawa ke kota raja! kata Ut-ti Lam.
Sayang, sayang, sungguh sayang! tiba-tiba anak muda itu juga menirukan ucapan Ut-ti Lam.
Sayang apa? kini Ciangkun itu yang berbalik tanya.
Dengan menempatkan kau pada giliran terakhir, sebenarnya aku bermaksud kita tak usah
bertempur lagi. Tapi karena kau ternyata tetap berkeras akan menangkap diriku, tiada lain jalan
bagiku kecuali harus bertempur lagi. Hati dengan kemauan saling bertentangan, apakah itu tidak
sayang?
Ut-ti Lam kerutkan keningnya. Katanya: Dalam masalah permusuhan antara kau dengan
kawanan penjahat tadi, rupanya kaulah yang berada di pihak yang benar dan merekalah yang
salah
....
Setiap tindakan yang kulakukan tentu berdasar alasan-alasan yang benar! si anak muda

memutus omongan orang.
Baik, kalau begitu ingin juga aku mendengarkan apa alasanmu merampas 300 ekor kuda
kepunyaan baginda. Kuda-kuda itu adalah barang upeti dari negeri Gong-ki-kok. Baginda akan
menghadiahkan kuda-kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun. Apakah kau tahu akan hal itu? kata
Ut-ti Lam.
Cukup tahu, karena sebelumnya aku juga sudah menyelidiki dengan jelas, sahut si anak muda.
Maka marahlah Ut-ti Lam, bentaknya: Kalau sudah tahu mengapa masih merampas? Coba
terangkan apa alasanmu!
Bukankah Thong-leng dari pasukan Gi-lim-kun sekarang itu adalah Liong-ki-to-wi Cing
Siang? tanya si pemuda.
Benar, memang Cin Siang toako. Apa perlunya kau tanyakan itu? Kiranya kau kenal juga
padanya? Kalau begitu lebih-lebih tak semestinya kau merampas kuda itu!
Konon kabarnya Cin-ciangkun itu ahli dalam hal menilai kuda. Kuda tunggangannya sendiri
juga seekor kuda Cian-li-ma.
Hai, kuminta kau terangkan alasanmu merampas barang antaran, masakan mau ajak aku
mengobrol yang bukan-bukan? teriak Ut-ti Lam dengan tak seranti.
Si anak muda tertawa geli: Harap Ciangkun suka bersabar sebentar. Sekarang sudah
menginjak acara pokoknya. Nah, karena Cin ciangkun itu ahli memilih kuda, pasukan Gi-lim-
kun
itu tentulah terdiri dari perwira gagah dengan kuda yang tegar-tegar, bukan?
Sudah tentu! Anggota pasukan Gi-lim-kun itu terdiri dari perwira pilihan semua. Orangnya
orang pilihan, kudanya kuda pilihan. Gi-lim-kun memang bukan sembarang pasukan! sahut Ut-
ti
Lam.
Jumlah anggota Gi-lim-kun hanya 3000 orang, sedang persediaan kudanya berjumlah 4000
ekor, benarkah ini? tanya si anak muda pula.
Eh, mengapa kau tahu begitu jelas? seru Ut-ti Lam.
Si anak muda ganda tertawa dan melanjutkan kata-katanya: Jika begitu, artinya tepat
dugaanku. Baiklah, sekarang akan kuberikan alasanku. Tadi kaukatakan bahwa baginda hendak
menghadiahkan kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun, tetapi kenyataannya pasukan Gi-lim-kun
itu
tak kekurangan kuda! Bahkan mereka itu masih ada kelebihannya! Dengan kuambil 300 ekor
kuda
itu, rasanya mereka takkan menderita apa-apa!
Marahlah Ut-ti Lam, serunya: Alasanmu itu terlalu dibuat-buat! Banyak atau sedikit jumlah
kuda yang dimiliki oleh pasukan Gi-lim-kun itu bukan soal. Pokok, kuda itu adalah barang upeti
yang dipersembahkan kepada baginda, kau seharusnya tak boleh mengganggu!
Si anak muda tertawa gelak-gelak: karena kau bekeja pada raja, jadi sudah selayaknya kau
mengatakan begitu. Tapi kedudukanku berlainan dengan kau, jadi caranya berpikirpun tidak
sama.
Yang kutanyakan padamu hanyalah layak tidaknya kelebihan itu kuambil? Tentang siapa
pemiliknya, rajakah atau rakyatkah, itu bukan soal.
Ya, baik, kita boleh kesampingkan tentang pemiliknya itu. Tapi bukankah kau telah merampas
barang orang, mengapa kau masih hendak membela kebenaran?
Kuda dari pasukan Gi-lim-kun sudah berlebih-lebihan. Hadiah 300 ekor kuda itu, tidak banyak
berguna bagi mereka. Malah kemungkinan mereka akan menelantarkan kuda-kuda bagus itu.
Tapi
bagi pihakku, kuda itu besar sekali artinya. Kami hanya punay anak buah gagah, tapi kekurangan
kuda-kuda tegar!
Ah, jelas aku sekarang. Kiranya kau ini juga benggolan perampok, bukan? seru Ut-ti Lam.
Sekarang aku masih belum resmi mendirikan markas, jadi tak boleh dianggap sebagai
pemimpin begal. Tapi aku sudah siap menceburkan diri menjadi penyamun. Terus terang saja
kuberitahukan padamu, tak lama kemudian bakal ada Lok-lim-tay-hwe (musyawarah besar kaum
penyamun). Sekalian orang gagah dari segala aliran siap akan mengangkat Thiat-mo-lek sebagai
Bengcu. Tiga ratus ekor kuda itu kurampas hendak kusumbangkan pada Thiat-mo-lek selaku
bingkisan perkenalan. Ut-ti ciangkun, kau tak dapat meminta kembali barang itu!
Selapang-lapangnya hati Ut-ti Lam, namun ia tetap seorang pembesar kerajaan. Mendengar
kata-kata si anak muda itu, sudah tentu panaslah hatinya. Serunya: Hai, kiranya kalian ini
adalah

penjahat-penjahat yang hendak memusuhi kerajaan. Sudah tentu aku tak dapat melepaskan kau!
Masih si anak muda tertawa: Ciangkun, ucapanmu itu lagi-lagi hanya benar separuh bagian
saja.
Ai, mengapa hanya separuh bagian saja? Ut-ti Lam keheranan.
Kami benar menjadi penyamun, tapi belum tentu memusuhi kerajaan. Yang nyata sekarang ini,
kami tidak bersikap begitu. Dengan kurampas kuda itu, bahkan ada segi-segi kebaikannya
kepada
kerajaan, sekali-kali tidak ada keburukannya!
Ut-ti Lam makin heran: Ai, ai, ucapanmu benar-benar hebat sekali.
Maka berkatalah si anak muda: Tolong tanya, di dalam daerah Gui-pok sini, siapakah yang
mempunyai pengaruh paling besar?
Mengapa bertanya pula? Sudah tentu Ciat-to-su Tiang Seng-su! jawab Ut-ti Lam.
Dan di daerah Lo-ciu?
Ciat-to-su Sik Ko! sahut Ut-ti Lam.
Jika begitu, Tiang Seng-su di Gui-pok, Sik-ko di Lo-ciu, mereka itulah raja-raja daerah
tersebut! kata si anak muda.
Bolehlah dikata begitu, mereka berdua ialah raja daerahnya, Ut-ti Lam mengiyakan.
Tertawalah si anak muda: Menurut pendapatku, di dalam daerah kekuasaannya, hak mereka itu
lebih besar dari raja. Rakyat hanya takut pada Ciat-to-su tapi tidak kepada raja!
Ut-ti Lam terdiam tak menyahut.
Sia anak muda tertawa dan berkata lagi: Pasukan Gi-lim-kun dalam keraton hanya berjumlah
3000 orang, sedang Tian Seng-su pun membentuk apa yang dinamakan pasukan Gwe-thok-lam
yang terdiri dari 3000 orang juga. Pasukan itu merupakan pasukan tandingan bagi Gi-lim-kun.
Ini
sebenarnya menyalahi undang-undang, tapi mengapa pihak kerajaan tinggal diam saja?
Tentang ini .... ini, ai, mengapa kau mengurus? Kau toh bukan perdana menteri, karena
kehabisan jawaban, Ut-ti Lam balas bertanya.
Kata-katamu itu salah lagi, kalau raja saja tak mau mengurus apalagi seorang perdana menteri?
Kerajaan mempunyai undang-undang, tentara memiliki peraturan. Tetapi siapakah diantara Ciat-
tosu
itu yang memerintah dengan menurut undang-undang? Siapakah mereka itu yang tidak korup,
tidak menindas rakyat? Pajak yang dipungut oleh Tiang Seng-su, lipat tiga kali dari apa yang
ditetapkan oleh pihak kerajaan. Paling akhir ini untuk mengawinkan anak lelakinya, Tian Seng-
su
telah menggunakan uang negara membeli bingkisan kawin. Apakah kau tahu akan hal itu? Baik,
aku tak seharusnya mengurusi, tapi apakah raja sudah mengurusnya?
Ut-ti Lam menghela nafas, ujarnya: Hatikupun berontak-rontak seperti perasaanmu, tapi apa
daya. Mereka mempunyai tentara, karena itu, karena itu .....
Karena itu maka pihak kerajaan tak dapat bertindak. Yang dapat ditindak hanya kawanan begal
kuda macam aku ini, bukan?
Ha, jangan berputar terlalu jauh, kita kembali pada persoalan semula saja. Kau tadi hendak
menjelaskan alasanmu merampas antaran kuda, mengapa lantas membelok memaki-maki pada
Coat-to-su? akhirnya Ut-ti Lam memberi peringatan.
Kata si anak muda: Rupanya kau masih tak mengerti. Apa yang kukatakan tadi, adalah
merupakan alasanku. Coba renungkan, dalam suasana dimana para Ciat-to-su berebutan minta
daerah otonom agar mereka dapat merajai daerahnya, terus terang saja, perintah-perintah dari
rajamu itu tak laku lagi di luaran. Kami adalah kawanan penyamun yang menjalankan amanat
penderitaan rakyat, apakah hal itu merugikan pada rajamu? Jika ada yang merasa dirugikan
karena
tindakan kami itu, paling-paling hanya para Ciat-to-su setempat dan anak buah mereka saja.
Bukankah hal itu malah menguntungkan bagi kerajaan? Pasukan Gi-lim-kunnya tidak berani
menempur mereka, tetapi kami berani. Tiga ratus ekor kudamu yang kurampas itu, sekarang
sudah
kugunakan untuk menempur 'pasukan' Gui-pok dan Lo-ciu. Secara tak langsung, kami membantu
rajamu untuk mematahkan kekuatan Tian Seng-su dan Sik Ko. Jika rajamu mengetahui,
seharusnya
berterima kasih kepada kami, bukan?
Ut-ti Lam terlongong-longong sejenak. Katanya: Meskipun keteranganmu itu agak berbelitbelit
dan mendekati kebenaran, maka akupun takkan menyampaikan pada baginda. Aku hanya

menerima perintah dari Cin-toako untuk menangkapmu!
Bagus, asal kau sudah mengakui kalau aku benar, itu sudah cukup. Tentang kita harus
bertempur, itu lain perkara lagi, kata si anak muda.
Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: Hai, aku mempunyai sebuah cara. Kita tak usah berkelahi, entah
apa kau suka mendengarkannya?
Dengan segala senang hati aku bersedia mendengar perintah Ciang-kun, sahut si anak muda
dengan cekatnya.
Lebih baik kau bawa anak buahmu menakluk pada kerajaan, itu lebih tepat. Aku sedia
memberi bantuan agar Cin-toako dapat memasukkan kalian semua ke dalam pasukan Gi-lim-
kun.
Dengan begitu 300 ekor kuda itu anggap saja sebagai dihadiahkan padamu, takkan diusut lagi.
Kelak apabila kerajaan hendak bertindak pada kawanan panglima daerah itu, kalianpun harus
maju, kata Ut-ti Lam.
Anak muda itu menengadah ke atas dan tertawa nyaring: Apakah kau pandang aku ini pantas
menjadi pembesar negeri? Dahulu Thiat-mo-lek pun pernah juga menjabat sebagai San-ki-to-wi.
Tapi akhirnya karena tak kuat menahan hinaan para menteri dorna, ia lantas melarikan diri. Aku
ini
seorang yang biasa menikmati kebebasan, mungkin lebih tak kuat menahan hati daripada Thiat-
molek.
Ciang-kun, aku hendak menghaturkan banyak terima kasih atas maksud baikmu itu!
Ut-ti Lam tertegun beberapa jenak. Ia pun tahu juga akan riwayat Thiat-mo-lek. Jadi ia tak
berani membujuk anak muda itu lagi. Pada lain saat ia menghela nafas, ujarnya: Sebenarnya aku
ingin sekali mengikat persahabatan dengan kau, tapi karena aku diperintahkan untuk
menangkapmu, apa boleh buat, marilah kita mulai. Silahkan mencabut pedangmu!
Sebaliknya si anak muda malah menyarungkan pedangnya. Lalu tertawa: Terhadap musuh
atau orang yang kubenci, aku baru menggunakan pedang. Karena kau berniat mengikat
persahabatan dengan aku, mana aku tega melawanmu dengan pedang? Aku hendak bertangan
kosong saja untuk menemani kau main-main barang dua tiga jurus!
Hai, ini bukan main-main! seru Ut-ti Lam kebingungan.
Ya, iya, aku tahu. Kau boleh menyerang sesukanya untuk melukai aku. Kalau sampai
ketangkap, akupun takkan menyesali kau, tenang-tenang si anak muda menyahut.
Ut-ti Lam menjadi agak dongkol, pikirnya: Tahu bahwa aku hendak menyerangmu dengan
pian, kau masih mau melawan dengan tangan kosong. Bukankah itu berarti kau hendak
memandang rendah padaku?
Baik, baik, kusaksikan sampai dimana kepandaianmu dalam ilmu tangan kosong 'Gong-thinjip-
peh-jim' itu, katanya kemudian.
Wutt, ia lantas menyabat. Tapi dikarenakan ia 'sayang' pada anak muda itu jadi serangannyapun
tak dengan tenaga penuh.
Anak muda itu menggerakkan tubuh, punggung telapak tangannya menangkis pada batang pian,
kemudian kedua jarinya menarik, katanya: Telah lama kudengar ilmu pian Ciangkun itu
ternasyhur
sekali, mengapa tak dikeluarkan?
Tarikan jari itu telah membuat tubuh Ut-ti Lam terseret dua langkah. Sudah tentu bukan
kepalang kejut Ciangkun itu, pikirnya: Bocah ini benar-benar berisi. Jika aku menyerang
setengah
hati, mungkin akan merugikan kemasyhuran ilmu pian dari keluarga Ut-ti.
Segera Ut-ti Lam menyentakkan piannya dan anak muda itu pun tak kuat menyanggahnya lagi.
Dengan To-jay-chit-seng-poh, ia menghindari sabetan pian. Diam-diam ia mengagumi: Ilmu
pian
warisan dari Ut-ti Kiong, benar-benar tak bernama kosong!
Ut-ti Lam adalah keturunan dari Ut-ti Kiong, itu pahlawan yang termasyhur dari kerajaan
Tongtiau.
Dahulu sewaktu membantu baginda Li Si Bin untuk menaklukan daerah selatan dan utara,
entah berapa banyak pahlawan-pahlawan musuh yang jatuh di bawah pian Ut-ti Kiong itu. Ilmu
pian dari Ut-ti Lam itu berasal dari warisan pusaka keluarganya. Ilmu permainan pian Cui-
mopian-
hoat itu terdiri dari 64 jurus, semuanya bergaya dahsyat dan sebat.
Di tempat sembunyinya In-nio mengikuti dengan penuh perhatian akan pertempuran itu.
Walaupun ia percaya akan kepandaian dari pemuda tambatan hatinya itu tentu dapat mengatasi
lawan, tapi tak urung hatinya turut kebat-kebit juga.

Ut-ti Lam juga terperanjat. Berulang-ulang mulut anak muda itu memuji ilmu pian hebat,
namun sampai sebegitu jauh piannya itu belum berhasil menyentuh ujung baju si anak muda.
Dari kakeknya (Ut-ti Kiong), Ut-ti Lam telah mewarisi dua macam ilmu kepandaian, Ilmu
Cuimo-
pian-hoat dan ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Dahulu kakeknya itu, ketika di
Thing-ma-kau dengan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim telah berhasil merebut senjata Thiat-sok milik
Tan Hiong Sin, itu pahlawan Hwa-kang-cat. Dengan begitu ia telah menyelamatkan jiwa baginda
Li Si Bin sehingga namanya tersohor harum di seluruh negeri.
Karena Ut-ti Lam agak lamban (tidak cerdas), maka ia balum dapat menyakinkan dengan
sempurna ilmu warisan keluarganya itu. Ia kalah dengan kakaknya, Ut-ti Pak. Tapi itu bukan
berarti ia tak lihay, karena bagaimanapun ia juga tergolong jago yang kosen.
Bermula ia menertawakan si anak muda yang dianggap congkak sekali karena berani melawan
ilmu pian dengan tangan kosong. Tapi setelah 10 jurus berlangsung, barulah Ut-ti Lam terbuka
matanya bahwa ternyata 'di atas langit itu masih ada langit lagi' atau orang yang pandai masih
ada
yang lebih pandai lagi. Bukan saja dengan tangkas dan gesit si anak muda menghindar dari
serangan pian, pun masih dalam kesempatan-kesempatan ternteutu ia dapat balas menyerang.
Ilmu
tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim dari si anak muda itu, ada beberapa bagian yang ia (Ut-ti
Lam) belumpernah mempelajarinya. Diam-diam ia menilai kepandaian anak muda itu tak di
sebelah bawah dari engkohnya, Ut-ti Pak.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatanya: Tiap-tiap kali engkoh gunakan Gong-chiu-jip-peh-jim
untuk berlatih dengan aku, kira-kira pada jurus yang ke-50 ia tentu dapat merampas pianku. Tapi
ia
pernah memberi petunjuk padaku, begini: dalam keadaan terdesak bolehlah memikat lawan
supaya
mendesak maju dari tengah. Kemudian kita harus gunakan jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu
untuk menghajar musuh. Bagaimana saktinya ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim musuh, asal ia bukan
keturunan keluarga Ut-ti, pasti tak dapat menangkis serangan itu!
Tapi pada lain kilas, ia berpikir lagi: Tapi jika kugunakan jurus yang ganas itu, anak muda itu
pasti celaka, kalau tidak mati tentu terluka berat. Ah, sayang, bagaimanapun ia adalah seorang
pemuda jantan!
Karena rasa suka kepada si anak muda, untuk sekian saat sampai ia tak dapat mengambil
keputusan. Tapi anak muda itu makin lama makin mendesak dan sekejap pula permainan sudah
berlangsung sampai jurus yang ke-30-an lebih. Diam-diam Ut-ti Lam menjadi sibuk, pikirnya:
Celaka, akan segera meningkat jurus yang ke-50. Kepandaian anak itu nyata lebih tinggi dari
engkohku. Jika tak gunakan jurus itu, pianku pasti kena direbutnya nanti. Wah, runyam ini!
Melihat sampai jurus ke-40 serangan pian lawan tetap tak terdapat lubang kelemahannya, anak
muda itu makin kagum. Sekonyong-konyong dilihatnya Ut-ti Lam terhuyung-huyung dan di
bagian
tengah terbukalah suatu lubang. Terlintaslah pikiran si anak muda. Kalau terhadap orang lain,
mungkin ia tak berani. Tapi ia cukup tahu Ut-ti Lam itu seorang gagah yang ketolol-tololan, ia
mengambil keputusan hendak merebut pian tanpa melukai orangnya.
Baru ia berpikir begitu, tiba-tiba Ut-ti lam berteriak: Awas! -- Pian disapukan dengan cepat
sehingga seketika itu berubah menjadi ribuan sinar yang mengurung tubuh si anak muda.
Sebatang
Cui-mo-kong-pian yang beratnya tak kurang dari 64 kati, pada saat itu telah berubah menjadi
sebatang pian lemas yang bergeliatan laksana seekor ular. Di dalam kelemahan mengandung
kekerasan, di dalam kekerasan mengandung kelemasan. Sungguh sebuah permainan yang sukar
diduga perubahannya.
Itulah jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu yang sakti!
Jurus itu diciptakan Ut-ti Kiong semasa ia sudah berusia tua. Permainan itu khusus diciptakan
untuk menghancurkan ilmu bertangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Tidak termasuk dalam 64
jurus ilmu pian Cui-mo-pian-hoat. Mengenai hal itu ada sebuah kisahnya sebagai berikut.
Setelah dengan tangan kosong Ut-ti Kiong dapat merampas senjata Thiat-sok dari panglima
Wakong-
cat yang bernama Tan Hiong-sin, kemudian berhasil juga menangkap hidup-hidup panglima
itu maka termasyhurlah nama Ut-ti Kiong. Pada suatu hari ketika diadakan perjamuan besar di
istana, Cin Siok-po bertanya padanya: Meskipun ilmu pianmu itu deras seperti air hujan, tapi
masakan orang dengan tangan kosong tak dapat merampasnya?

Sudah tentu tak mungkin! sahut Ut-ti Kiong.
Dan ilmumu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim, konon juga tiada yang menandingi di
seluruh dunia. Apakah ilmu bertangan kosong itu benar-benar sakti dan dapat kaugunakan
merampas senjata apa saja dari musuh? tanya Cin Siok-po pula.
Kau adalah Toako-ku, sudah tentu aku tak berani membohongimu. Ilmu itu memang tiada
orang yang dapat menandingi. Tapi aku sendiri sayang belum menyakinkan sampai sempurna.
Jika
bertemu dengan musuh yang sakti, belum tentu aku dapat merebut senjatanya. Misalnya
sepasang
Siang-kan toako itu, jika digunakan terhadap diriku, akupun tak berani menghadapi dengan
tangan
kosong saja, kata Ut-ti Kiong dengan terus terang.
Ya, tapi bagaimana setelah kaudapat menyakinkan dengan sempurna? tanya Cin Siok-po.
Ilmu itu sudah berabad usianya dan tiada habis sumber keindahannya. Jika memang
sungguhsungguh
sudah dapat mempelajari sampai sempurna, betapa lihaynya lawan, tetap akan terebut juga
senjatanya. sahut Ut-ti Kiong dengan pasti.
Maka tertawalah Cin Siok-po: Bagus, sekarang kalau umpamanya ada seorang yang paham
akan ilmu permainan Cui-mo-kang-pian dan seorang lagi mahir akan ilmu Gong-jiu-jip-peh-jim
itu,
lalu siapakah yang akan menang apabila saling bertempur?
Ut-ti Kiong garuk-garuk kepala dan menyahut: Aku sendiripun tak tahu!
Sejak itu Ut-ti Kiong mengasah otak untuk menjawab pertanyaan Cin Siok-po yang sebenarnya
hanya untuk mengolok-oloknya saja. Akhirnya ia berhasil menciptakan jurus Pat-hong-hong-i-
hwetiong-
ciu itu. Dan karena ia sendiri ahli dalam ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim, jadi ia dapat mengisi
ciptaan baru itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan oleh Gong-chiu-jip-
pehjim
itu.
Oleh karena bila jurus itu dikeluarkan musuh tentu terluka atau binasa, maka tadi Ut-ti Lam
agak bersangsi. Dan setelah terpaksa mengeluarkan, si anak muda menjadi terperanjat juga.
Ilmu permainan pian yang hebat! ia berseru memuji.
Iapun mengeluarkan juga ilmu Gin-kangnya. Wut, ia enjot tubuhnya melambung ke udara, tapi
sudah kasip. Pian telah menggubat paha kanannya dan oleh pemiliknya terus ditarik ke bawah.
Ayo, jatuh, jatuhlah! teriak Ut-ti Lam.
Ai, mungkin tidak! sahut si anak muda dengan tertawa. Sekonyong-kkonyong ia gunakan
kaki kiri untuk mendepak lengan Ut-ti Lam. Suatu hal yang tak terduga sama sekali oleh Ut-ti
Lam.
Kaki sudah tergubat pian, mengapa masih dapat mendepak pula?
Karena tak bersiaga, ujung kaki si anak muda tepat mengenai sasarannya. Seketika Ut-ti Lam
rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pian dari tangannya.
Dengan paha masih tergubat pian, anak muda itu berjumpalitan di udara dan dengan indahnya
melayang turun ke tanah. Dengan berseri-seri tawa ia melepaskan ikatannya lalu menyerahkan
pian
itu kepada Ut-ti Lam.
Merah padam wajah Ciangkun itu ketika menerima piannya. Sampai beberapa saat ia
terlongong-longong.
Orang she Bo, kali ini aku menyerah padamu! tiba-tiba ia berseru.
Terima kasih atas kemurahan hati Ciangkun. Jika tidak, pahaku pasti sudah pincang.
Pertandingan ini kita anggap seri saja, kata si anak muda.
Tapi dengan sportif sekali Ut-ti Lam mengakui kekalahannya: Tidak, kaulah yang menang.
Tadi aku tak menggunakan tenaga penuh untuk menarik pian, tapi kau pun dapat mendepak
lenganku. Jika kau mendepak sungguh-sungguh, aku tentu terluka berat. Ya, aku cukup tahu
akan
hal itu, maka aku sungguh tunduk padamu dan mengaku kalah!
Siapa kalah atau menang, tak usah kiranya kita perbincangkan. Yang penting dan
menggirangkan ialah jika kita tak bertempur kita tentu tak saling kenal, sahut si anak muda.
Seru Ut-ti Lam: Benar, mengikat persahabatan dengan seseorang seperti kau, aku merasa
girang sekali. Walaupun karena itu harus kehilangan pangkat sampai tiga tingkat, tapi biarlah,
tak
apa!
Si anak muda tertawa: Oh, jadi ketika menitahkan kau keluar kota Cin-ut telah mengatakan
begitu padamu? Tapi rasanya tak perlu kau kuatir .....

Mengapa kuatir? Saudara Bo, rupanya kau menilai diriku kelewat rendah. Jadi pembesar
negeri atau tidak, bukan halangan bagiku. Hanya saja karena keluargaku itu keturunan menteri
yang banyak menerima budi kerajaan, jadi aku pun terpaksa tak dapat ikut kau menjadi
penyamun,
kata Ut-ti Lam.
Ai, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku tahu kau ini bukan orang yang kemaruk harta dan
gila pangkat. Tapi pada hematku, tak nanti Cin to-ut benar-benar akan mengajukan laporan pada
pihak kerajaan untuk menurunkan pangkatmu, menerangkan si anak muda.
Mengapa tidak? Ketahuilah bahwa Cin-toako itu seorang yang berhati besi. Jika kali ini aku
pulang dengan hampa tangan, mana bisa ia tak menghukumku?
Oh, mungkin kau tak mengetahui bahwa engkohmu dan Cin toako-mu itu mempunyai seorang
sahabat karib yang bernama Thiat-mo-lek. Nanti jika pulang, bilang terus terang saja pada Cin
to-ut
bahwa kuda yang kurampas itu hendak kupersembahkan pada Thiat-mo-lek. Coba saja masakan
dia
berani mengirim laporan kepada kerajaan, kata si anak muda.
Maksudmu dia lebih memberatkan persahabatannya dengan Thiat-mo-lek? tanya Ut-ti Lam.
Bukan hanya itu saja. Jika ia berani mengirim laporan, pihak kerajaan tentu akan menitahkan
ia untuk menumpas Thiat-mo-lek. Pihak kerajaan sudah tahu kalau ia bersahabat dengan Thiat-
molek.
Kalau ia melapor apakah ia tak takut rahasianya diketahui? Jika sampai terjadi hal itu, berarti
ia akan terjepit dalam dua kesulitan, maju salah mundur keliru. Maka asal kau bilang terus
terang,
dia pasti takkan menghukummu, bahkan akan berusaha untuk melindungi kesalahanmu itu.
Dalam
kalangan pembesar, kenal akan istilah 'mengulur'. Sekarang kawanan berandal tumbuh
dimanamana
laksana cendawan di musim hujan. Asal ia mengatakan tak dapat menyelidiki golongan
penjahat mana yang merampas kuda itu, masakan pihak kerajaan bisa berbuat apa-apa. Dan
dengan
berlalunya sang waktu, lama kelamaan peristiwa itu tentu sudah terlupakan.
Ut-ti Lam seperti orang yang disadarkan dari mimpinya. Serta merta ia menyatakan terima
kasih: Terima kasih atas advismu itu, sekarang aku hendak kembali. Kelak bila datang ke
Tiangan,
silahkan mampir ke rumahku, nanti kita minum arak sampai puas!
Tapi tiba-tiba perwira itu teringat sesuatu, serunya: Tapi bagaimana kau dapat datang ke
Tiangan?
Ah, ya, hampir saja kulupa bahwa kau ini seorang penyamun.
Si anak muda tertawa: Urusan di dunia ini sukar diduga lebih dulu. Siapa tahu pada suatu hari
aku akan pesiar ke Tiang-an. Asal ciangkun tak kuatir menerima tetamu seorang penyamun, aku
tentu akan berkunjung ke rumah Ciangkun!
Ut-ti Lam tak menyahut melainkan terus berlalu. In-nio segera ajak Yak-bwe turun dari atas
batu. Si anak muda buru-buru menyongsong mereka.
Terima kasih kau datang kemari. Kukira ayahmu melarangmu karena tadi sampai sekian lama
kutunggu kau tak datang, kata si anak muda dengan tertawa. Demi melihat Yak-bwe, ia lantas
tanyakan diri nona itu.
Ayahku tak pernah melarang aku. Adanya aku sampai datang terlambat itu karena di gedung
Tian Seng-su telah terbit peristiwa besar, sahut In-nio.
Peristiwa apa? tanya si anak muda.
Nanti kuceritakan, sekarang lebih dulu akan kuperkenalkan kalian satu sama lain, jawab Innio.
Kemudian ia perkenalkan Yak-bwe pada si anak muda. Setelah itu baru ia kenalkan si anak
muda dengan Yak-bwe.
Engkoh ini orang she Bo, namanya Se-kiat. Dia adalah anak murid angkatan keempat dari
Kiu-si-khek. Pamannya yang bernama Bo Jong Long, sembilan tahun yang lalu pernah datang ke
tionggoan, pernah punya sedikit hubungan dengan Toan Khik-sia. Kini pamannya adalah To-cu
(pemimpin pulau) dari pulau Hu-siang-to.
Kedua anak muda itu tersipu-sipu saling memberi salam perkenalan. Kata Se-kiat: Apakah
nona Su kenal pada Toan Khik-sia?
Tertawalah In-nio: Tidak hanya terbatas dalam kenalan saja, bahkan dia ....
Merah padam selebar muka Yak-bwe. Diam-diam ia mencubit In-nio. Nona ini segera berganti
nada: Bukan hanya kenal saja, mereka berdua itu sahabat karib. Terus terang saja ....
Mendengar In-nio berkata begitu, Yak-bwe menjadi sibuk lagi. Untuk mencegahnya sudah tak

keburu. Tapi untung In-nio lain tujuannya: Terus terang saja, kedatanganku kemari ini bukan
karena hendak membantu semangatmu pada pertempuran tadi, melainkan karena hendak minta
bantuanmu untuk urusan adik Yak-bwe ini.
Silahkan berkata, asal aku dapat mengerjakan, tentu aku merasa senang sekali membantu,
Sekiat
menyahut dengan serempak.
Urusan ini tidak memerlukan sedikit tenagamupun, kata In-nio, Dia hanya akan menanyakan
keterangan tentang seseorang padamu.
Siapa? Apakah Toan Khik-sia? tanya Se-kiat.
Mendengar itu tertawalah In-nio: Tepat sekali! Memang Toan Khik-sia.
Se-kiat agak heran, pikirnya: Kalau sudah kenal pada Toan Khik-sia, mengapa masih bertanya
padaku pula?
Rupanya In-nio sudah dapat membaca isi hati si anak muda, ujarnya: Kau pintar tapi keblinger.
Adik yak-bwe kan seorang anak perempuan, meskipun kenal pada Toan Khik-sia, tapi juga tetap
tak
leluasa untuk bertanya pada sembarang orang.
Ha, jadi kalian ini tak tahu akan alamat Toan siauhiap itu lalu minta tolong aku supaya bantu
mencarikan! Tapi dengan sejujurnya saja, walaupun sudah lama kenal akan namanya, namun aku
juga belum pernah bertemu muka dengan Toan siauhiap itu, kata Se-kiat.
Yak-bwe agak kecewa oleh keterangan itu.
Tapi urusan itu mudah saja dikerjakan. Kira-kira sepuluh hari lagi, para orang gagah dari
dunia lok-lim bakal mengadakan pertemuan besar di puncak Kim-ke-nia. Di situ mereka hendak
mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Beng-cu. Dengan Thiat-mo-lek, sudah sejak dua turunan Toan
siauhiap mengikat persahabatan. Konon kabarnya masih ada sedikit hubungan famili. Sudah
tentu
pada waktu itu dia akan hadir. Nah, asal kalian ke sana kan bakal berjumpa dengan Toan-
siauhiap,
kata Se-kiat pula.
Tapi kami tak leluasa untuk datang ke pertemuan besar itu, ujar In-nio.
Ah, mudah saja. Asal kalian suka menyaru jadi pria dan pura-pura menjadi pengikutku,
mengapa tak dapat masuk ke sana? kata Se-kiat.
Tapi, jika sampai ketahuan orang, bagaimana? tanya In-nio.
Banyaklah larangan-larangan yang digaris oleh kaum Hek-to, antaranya ialah terhadap bangsa
hamba negeri yang coba menyelundup masuk ke dalam kalangan mereka. Tapi bukankah kau ini
sahabatku dan nona Su itu kawan Toan Khik-sia? Taruh kata sampai ketahuan, Thiat-mo-lek pun
pasti takkan menghalau kalian pergi. Malah siapa tahu dia bakal kegirangan sekali karena sudah
kedatangan dua orang nona yang kosen. Rasanya tiada halangan untuk kalian datang kesana,
menerangkan Se-kiat.
In-nio menanyakan bagaimana pendapat Yak-bwe atas usul Se-kiat itu.
Yak-bwe yang sudah sejak tadi tak buka suara, kini terpaksa bicara: Siasat itu memang bagus,
tapi terpaksa memerlukan bantuan Bo-toako.
Ah, jangan sungkan-sungkan. Apa yang perlu, bilanglah padaku, sahut Se-kiat.
Kuterima usul Bo-toako tadi, tapi harap pegang teguh rahasia, akhirnya Yak-bwe mau
menerimanya.
Apakah Toan Khik-sia juga tak perlu diberitahukan rahasia itu, In-nio kembali menggodanya.
Paling baik jangan memberitahukan padanya. Nanti saja bila aku ada kesempatan berjumpa
padanya, aku, aku, .....
Ya, urusan kalian berdua itu memang sebaiknya kau sendiri yang menjelaskan padanya, kata
In-nio.
Se-kiat tampak melongo, rupanya kini ia sudah paham sedikit akan hubungan Yak-bwe dengan
Toan Khik-sia.
Harap nona jangan kuatir. Aku ini orang yang paling tak suka sembarang omong. Nah,
baiklah, aku yang bertugas untuk memasukkan kalian ke sana. Urusan-urusan lainnya, terserah
pada nona berdua, kata Se-kiat. Lalu sambungnya pula: Pamanku amat mengagumi Toan
siauhiap. Setelah menginjak di bumi Tiong-goan sini, sebenarnya ingin sekali kumencarinya.
Tapi
karena tak tahu alamatnya, maka kutunda sampai sekarang. Kelak dalam gelanggang pertemuan

besar itu, kuharap nona Su suka memperkenalkan aku dengan Toan-siauhiap!
Sayang malam ini kau tak pergi ke gedung Tiang Seng-su. Jika ke sana tentu dapat memberi
bantuan pada Toan-siauhiap, kata In-nio.
Oh, jadi peristiwa yang kaukatakan terjadi dalam gedung Tian Seng-su itu adalah perbuatan
Toan-siauhiap? tanya Se-kiat.
Ya, ia hendak memberi ancaman dan terpaksa berhantam dengan Yo Bok-lo, sahut In-nio.
Kemudian ia menuturkan jalannya peristiwa itu.
Se-kiat amat terpikat, serunya: Memang telah kudengar bahwa antaran mas-kawin Tian Sengsu
ke Lo-ciu itu dibegal orang. Kiranya Toan-siauhiaplah yang melakukannya. Ha, sungguh
hebat!
In-nio tertawa: Eh, rupanya kau belum mengetahui bahwa nona yang akan dipinang Tian
Sengsu
untuk puteranya itu adalah adikku ini!
Lalu In-nio menceritakan lagi tentang riwayat Yak-bwe dan lagi-lagi Se-kiat amat kagum.
Sungguh jarang terdapat seorang nona yang berpambek luhur seperti nona Su ini. Ia tak
kemaruk harta dan tak silau dengan kedudukan tinggi! pemuda itu memuji.
Yak-bwe mengucapkan kata-kata merendah. Ia menerangkan harus kembali ke Lo-ciu dulu
untuk menyerahkan kotak emas kepada ayah angkatnya (Sik Ko). Setelah itu baru ia dapat
mengikut kedua anak muda itu ke gunung Kim-ke-san.
Kalau begitu nanti sehari sebelum pertemuan itu berlangsung, kutunggu kalian di dusun Hu-liki
di kaki gunung Kim-ke-nia sana. Dalam beberapa hari ini akupun masih akan mengerjakan
sedikit urusan, kata Se-kiat.
Demikian setelah saling berjanji, mereka lalu berpisah. In-nio mengawani Yak-bwe berjalan
beberapa li. Dalam perjalanan itu, In-nio menuturkan tentang perkenalannya dengan pemuda
Sekiat.
Kini barulah Yak-bwe mengetahui bahwa kepergian sang sahabat ke Gui-pok itu selain
menemani ayahnya (Sip Hong) pun memang hendak menemui Se-kiat. Pemuda itu telah
memberitahukan kepada In-nio akan tantangan pertempurannya dengan beberapa orang tadi di
gunung Pak-bong-san. Akhirnya dengan tak malu-malu lagi, In-nio mengatakan bahwa ia dengan
Se-kiat itu sudah saling jatuh hati.
Mendengar itu teringat Yak-bwe akan sesuatu, ujarnya: Tadi Bo-toako bermaksud hendak
mengajak kita ke Kim-ke-nia, tapi bagaimana nanti kalau sampai kepergok?
Ai, kau ini bagaimana? Tadi kan Bo-toako sudah mengatakan kalau sampai ketahuan, dia akan
menerangkan pada Thiat-mo-lek bahwa aku ini seorang sahabatnya dan kau adalah kawan dari
Toan
Khik-sia. Jangan kuatir, tentu tak ada urusannya! sahut In-nio.
Yak-bwe tertawa kecut: Ya, bo-toako tentu suka mengaku kau sebagai sahabatnya, tapi mana
Toan Khik-sia suka mengakui aku sebagai kawannya?
Sudah tentu ia tak suka mengaku kau sebagai kawan, karena kau adalah calon isterinya yang
sudah dipancangkan sejak dalam kandungan! Ah, adik Bwe, sudahlah jangan berbanyak hati
lagi.
Pemuda idam-idamanmu itu adalah ibarat itik panggang, tak nanti ia dapat terban kemana-mana
lagi! In-nio menggodanya.
Huh, apa kau tahu dia telah salah paham padaku? bantah Yak-bwe dalam hati. Namun ia
seorang nona yang keras kepala, jadi ia tak mau menceritakan peristiwa salah paham yang terjadi
antara ia dengan anak muda itu.
Setelah berjalan sementara li, In-nio terpaksa ambil selamat berpisah. Lebih dulu ia minta
Yakbwe,
setelah menyelesaikan urusannya, supaya terus datang ke rumahnya (In-nio) untuk bersamasama
menuju ke dusun Hu-li-ki. Demikianlah Yak-bwe segera meneruskan perjalanan pulang
seorang diri.
Setibanya di gedung ayah angkatnya, Yak-bwe segera menyerahkan kotak-mas itu kepada sang
ayah. Girang Sik Ko bukan kepalang. Tentang kepergian puteri angkatnya itu lagi, tak begitu
dihiraukan. Hanya Sik hujin yang masih berat hati untuk berpisah dengan puterinya itu. Dikala
hendak berpisah, nyonya yang baik itu bercucuran air matanya. Setelah susah payah membujuk
dan
berjanji kelak akan datang menjenguk lagi, barulah Yak-bwe dapat meredakan kesedihan ibu
angkatnya itu.

Setelah periksa isinya, Sik Ko lalu menutup kotak-mas itu rapat-rapat, kemudian suruh juru
tulisnya menulis sepucuk surat kepada Tian Seng-su. Surat itu dibubuhi stempel namanya (Sik
Ko)
dan berbunyi ringkas saja: Kemarin ada tetamu datang dari Gui, mendapatkan sebuah kotak-
mas di
dekat bantal Goan-swe. Kami tak berani menyimpannya lama-lama dan dengan ini kami
haturkan
kembali.
Sik Ko suruh seorang kurir (pesuruh) untuk mengantarkan surat dan kotak-mas itu kepada Tian
Seng-su. Menerima kiriman itu, pecahlah nyali Tian Seng-su. Sejak itu ia tak berani
merencanakan
untuk mencaplok daerah Lo-ciu. Bahkan, ia malah mempererat hubungannya dengan Sik Ko.
Setelah tinggalkan gedung Ciat-to-su dan Lo-ciu, Yak-bwe terus menuju ke tempat kediaman
In-nio. Kala itu ayah In-nio (Sip Hong) pun sudah pulang dari Gui-pok. In-nio telah
menceritakan
kepada sang ayah apa yang telah terjadi. Sip Hong girang sekali dengan kejadian itu. Biasanya
orang yang paling dipujanya ialah Toan Kui-ciang. Bahwa Yak-bwe telah tinggalkan ayah
angkatnya karena hendak mencari tunangannya yang ternyata adalah putera dari Toan Kui-ciang,
sudah tetnu hal ini membuat Sip Hong amat gembira sekali.
Ia ijinkan puterinya pergi ke Kim-ke-nia bersama Yak-bwe. Malah disamping itu ia
menyampaikan juga sebuah berita kepada Yak-bwe, bahwa Yo Bok-lo sudah sembuh dari
lukanya
dan dengan beberapa anak buahnya sedang siap-siap mencari jejak Toan Khik-sia. Hal itu ia
minta
Yak-bwe sampaikan pada Khik-sia nanti. Kedua, Tian Seng-su sudah membatalkan urusan
pernikahan puteranya dengan keluarga Sik Ko dan lap-jay (bingkisan kawin) yang dirampas
orang
itu tak diusutnya lebih jauh.
Yak-bwe girang mendengar berita itu. Kemudian kedua gadis itu mulai berkemas. Karena tak
berpengalaman, jadi In-nio yang mengajarkan Yak-bwe bagaimana caranya berdandan dan
membawa sikap sebagai seorang pria. Sebentar saja Yak-bwe sudah dapat memahami. Waktu
menghadap Sip Hong, ia menjadi terkejut dan tertawa gelak-gelak demi melihat kedua gadis itu
berubah menjadi pemuda-pemuda yang bagus.
Malam itu Yak-bwe tidur di rumah In-nio. Keesokan harinya mereka berangkat. Karena telah
diperhitungkan, maka tepat pada waktunya, ialah sehari sebelum pertemuan di gunung Kim-ke-
nia
itu dilangsungkan, tibalah kedua pemudi itu di dusun Hu-li-ki.
Di situ Se-kiat sudah menunggunya. Ia membawa banyak pengikut. Begitulah mereka segera
mendaki ke atas gunung. Ce-cu atau pemimpin markas, Shin Thian-hiong, menyambut
rombongan
Se-kiat itu dengan istimewa. Dia sendiri yang perlukan menyongsong keluar dan memperlakukan
mereka dengan hormat serta ramah sekali.
Dari rombongan pengikut Se-kiat itu, In-nio memperoleh keterangan kalau mereka itu
kebanyakan adalah tokoh-tokoh dari kalangan Hek-to. Malah ada beberapa orang yang
mempunyai
kedudukan sebagai Ce-cu. Diam-diam In-nio merasa girang.
Baru setahun menginjak bumi Tionggoan, ia sudah berhasil menundukkan sekian banyak
orang-orang gagah, sungguh hebat sekali! demikian diam-diam ia memuji Se-kiat.
Maafkan kalau mataku sudah lamur, tapi rasanya kedua saudara ini belum pernah kukenal,
kata Thian-hiong waktu menyambut rombongan Se-kiat. Yang dimaksudkan itu ialah In-nio dan
Yak-bwe.
Dengan tangkasnya Se-kiat memberi keterangan: kedua saudara ini adalah sahabat-sahabatku
yang baru. Malah saudara Su ini juga menjadi kenalan Toan-siauhiap. Memang keduanya belum
pernah mengembara keluar dan baru pertama kali ini ikut serta menghadiri rapat orang gagah
dari
dunia Lok-lim.
Ai, sungguh beruntung sekali. Kita kaum Lok-lim adalah sekeluarga. Meskipun saudara
berdua ini baru pertama kali datang, tapi kita anggap sebagai sahabat lama. Harap jangan
sungkan,
demikian Thian-hiong mengunjukkan keramah-tamahannya sebagai tuan rumah.
Namun sekalipun mulutnya mengucap begitu, hati Ce-cu itu berpendapat lain. Pikirnya:
Dalam dunia Lok-lim, jarang sekali terdapat tokoh-tokoh semacam mereka. Dari sikap dan
wajahnya mereka berdua itu lebih pantas menjadi pelajar daripada kaum persilatan!
Hanya saja karena Se-kiat yang membawanya, jadi Thian-hiong pun tak menaruh curiga apaapa.
Sebaliknya bagi Yak-bwe, ia bermula mengira Thian-hiong tentu akan mengatakan apa-apa

tentang Khik-sia, tapi ternyata tidak. Karena tetamu-tetamu yang datang kelewat banyak jadi
tuan
rumah itu sibuk menyambut mereka dan tak membicarakan lagi perihal Khik-sia. Diam-diam
Yakbwe
merasa kecewa.
Beberapa saat kemudian penuh sesaklah ruangan situ dengan orang-orang gagah dari segala
aliran. Diantaranya tak sedikit yang sudah termasyhur namanya. Suasana pada saat itu tampak
meriah sekali, sekalian orang sama bercakap-cakap dengan gembira. Hanya In-nio dan Yak-bwe
sendiri yang merasa rikuh dalam penyamarannya itu. Mereka berdua duduk berdiam diri di
sudut.
Sampai sekian saat Yak-bwe memperhatikan setiap tetamu yang datang, namun belum juga
kelihatan Toan Khik-sia muncul.
Tiba-tiba ada seorang tetamu membicarakan diri Toan Khik-sia: Kabarnya Toan Khik-sia telah
membuat geger di gedung Ciat-to-su Gui-pok. Benar-benar dia itu seorang jago muda yang
jempol.
Tapi heran, mengapa ia belum kelihatan datang?
Mendengar itu buru-buru Yak-bwe alihkan perhatiannya untuk memasang telinga.
Saat itu ada seorang tetamu lain yang berkata: Kabarnya ia seorang diri hendak menempur
Hong-ho-ngo-pah, entah apakah ia keburu datang kemari atau tidak?
Jangan kuatir saudara! kata seorang tetamu pula, Toan siauhiap telah bilang padaku, kalau
tidak hari ini tentu besok pagi ia akan datang.
Yang bicara paling akhir itu ternyata adalah tokoh persilatan yang termasyhur, Kim-kiam-
cenglong
To Peh-ing.
Hong-ho-ngo-pah juga lihay. Apakah dengan maju seorang diri itu Toan-siauhiap tidak terlalu
memandang rendah mereka? kata seorang lain.
To Peh-ing tertawa: Kepandaian dari Hiantit-ku itu jarang sekali dicari keduanya. Turut
pendapatku, ia lebih tangguh dari orang-orang yang lebih tua. Jangan lagi hanya lima benggolan
Hong-ho (Hong-ho-ngo-pah), sekalipun ada sepuluh benggolan, rasanya ia masih dapat
menanggulangi. Kalau ia bilang akan datang kemari, tentu datang!
Ada beberapa tetamu yang tak kenal siapa Toan Khik-sia itu sama menanyakan pada To Pehing.
Waktu mendengar bahwa Khik-sia itu putera dari almarhum pendekar termasyhur Toan
Kuiciang,
semua orang sama menyanjung puji. Kemudian waktu To Peh-ing menceritakan tentang
peristiwa perampasan antaran mas-kawin dari Tian Seng-su, semua orang gagah yang berada di
situ
tak habis-habis memuji dan mengagumi. Ingin benar mereka melihat wajah jago muda itu.
Yak-bwe girang sekali melihat bakal suaminya disanjung puji sedemikian hebatnya. Tapi dalam
pada itu, ia pun memperhatikan juga bahwa ada sementara orang gagah yang tak puas dan iri hati
pada Toan Khik-sia.
Tiba-tiba terdengar orang berseru keras: Thiat ce-cu datang!
Seorang lelaki yang bertubuh kekar gagah, bermata besar dan alis tebal, tampak melangkah
masuk. Begitu melangkah pintu, ia segera berseru nyaring: Yang manakah Bo-tayhiap? Harap
maafkan aku Thiat-mo-lek telah datang terlambat.
In-nio dan Yak-bwe terkejut melihat Thiat-mo-lek itu. Kiranya dahulu Thiat-mo-lek itu pernah
berkunjung ke rumah Sip Hong untuk mengobati lukanya. Pada waktu itu ia memakai nama Ong
Siau-hek dan atas perantaraan Sip Hong telah mengaku sebagai orang sedesa dengan Sik Ko. Sik
Ko percaya saja pada Sip Hong, tanpa menyelidiki lebih lanjut, ia terima Thiat-mo-lek menjadi
wisu
(pengawal).
Pada masa itu Yak-bwe baru berumur 10 tahun. Boleh dikata setiap hari ia bersama In-nio
mendapat pelajaran silat dari Thiat-mo-lek. Bahwa hari ini dapat berjumpa kembali dengan
Thiatmo-
lek, sudah tentu mereka menjadi girang.
Ah, kiranya Thiat-mo-lek itu Ong Siau-hek dahulu. Jika siang-siang tahu akan dianya, tak
perlu orang perantara lagi juga kita dapat datang kemari, pikir mereka.
Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat itu sudah lama saling mengagumi kemasyhuran nama
masingmasing,
tapi baru pertama kali itu mereka bertemu muka. Maka berbangkitlah Bo Se-kiat dengan
serentak: Siaute adalah Bo Se-kiat itu. Untuk pujian 'tayhiap' tadi, siaute sungguh tak berani
menerimanya!
Thiat-mo-lek tertawa: Apakah menjadi penyamun itu tak dapat berbareng menjadi Tayhiap

juga? Bo-heng, dalam kalangan Lok-lim namamu sudah amat menonjol. Setiap sepak terjangmu,
telah membangkitkan rasa kagum pada sekalian orang. Meskipun Bo-heng dianggap sebagai
penyamun, tapi rasanya pantas disanjung sebagai pendekar yang menjalankan budi kebaikan.
Tak
terhingga rasa kagumku kepada Bo-heng!
Peristiwa Se-kiat merampas iring-iringan kuda, telah menggemparkan dunia Lok-lim. Kini
barulah semua orang mengetahui bahwa Se-kiat telah mempersembahkan kuda rampasan itu
kepada
Thiat-mo-lek selaku perkenalan. Sudah tentu semua hadirin sama memberi selamat kepada kedua
pendekar itu.
Jilid 3
Berkata Se-kiat: Berbicara tentang iring-iringan kuda itu, karena hal itulah maka aku
berkenalan dengan seorang sahabat lagi. Kurasa Thiat-heng tentu kenal juga padanya.
Se-kiat lalu menuturkan tentang pertempurannya dengan Ut-ti Lam yang berakhir dengan
persahabatan itu. Mendengar itu Thiat-mo-lek bertanya.
Se-kiat melambaikan tangan memanggil In-nio dan Yak-bwe, kemudian memperkenalkan
kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek terkesiap, rasanya ia pernah kenal dengan kedua pemuda
itu.
Tapi untuk sesaat ia tak dapat membayangkan kemungkinan puteri-puteri dari Sik Ko dan Sip
Hong
akan menyaru jadi lelaki dan datang ke markas gunung situ.
Sebaliknya In-nio dan Yak-bwe secara sembarangan saja telah memberitahukan nama samaran
mereka.
Eh, rasanya kita pernah bertemu, bukan? kata Thiat-mo-lek.
In-nio tertawa: Ai, Thiat ce-cu mungkin sedikit khilaf. Kami berdua baru pertama kali ini
keluar. Jika tak ada perjamuan besar ini, kami tentu tak mempunyai rejeki untuk bertemu dengan
Thiat ce-cu!
Ai, saudara terlalu sungkan. Kalian adalah sahabat Toan-hiante, berarti sahabatku juga.
Jangan sebut-sebut tentang siapa Cianpwe dan siapa wanpwe segala, kata Thiat-mo-lek.
Akupun
sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan Khik-sia. Eh, bagaimana kalian dapat berkenalan
dengan dia?
Wajah Yak-bwe bersemu merah. Suatu hal yang membuat Thiat-mo-lek heran, pikirnya: Huh,
mengapa pemuda ini begitu pemalu seperti anak perempuan? Belum membuka mulut sudah
kemerah-merahan wajahnya!
Melihat gelagat yang kaku itu, buru-buru In-nio yang lebih tua dan lebih banyak
pengalamannya, merangkai suatu cerita kosong untuk mewakilkan Yak-bwe: Perkenalan kami
dengan Toan siauhiap itu baru kira-kira sepuluhan hari lamanya. Itu waktu kami berpapasan
dengan
kawanan Bu-su dari Tian Seng-su. Karena mereka coba menggertak, maka kamipun segera
melawannya. Mereka berjumlah banyak dan kami hanya berdua, sudah tentu kami kewalahan.
Untung Toan-siauhiap kebetulan lewat disitu dan membantu kami untuk melabrak kawanan Bu-
su
itu. Dari keterangan yang kami peroleh, kawanan Bu-su itu memang diperintahkan Tian Seng-su
untuk mengusut gerombolan yang merampas antaran mas-kawinnya. Setiap bertemu dengan
orang
asing, mereka tentu segera menahannya. Walaupun baru saja berkenalan tapi kami merasa cocok
dengan Toansiauhiap. Dia mengatakan juga bahwa barang antaran mas-kawin Tian Seng-su itu
dia
dan kawanan orang gagah dari Kim-ke-nia yang merampasnya. Kemudian ia memberitahukan
kami bahwa dia akan menuju ke gedung Tian Seng-su untuk meninggalkan ancaman. Sayang,
karena kami masih ada lain urusan, jadi tak dapat membantu padanya.
Tentang peristiwa Toan Khik-sia menyatroni gedung Tian Seng-su, memang Thiat-mo-lek
sudah mendengarnya. Karena itu maka ia percaya akan keterangan In-nio tadi.
Pada malam Toan-siauhiap menyerbu gedung Tian Seng-su, aku pun berada di Gui-pok.
Sayang karena malam itu aku harus memenuhi tantangan Ut-ti Lam, jadi belakangan saja baru
mendengarnya. Kabarnya malam itu Toan-siauhiap dapat melukai Yo Bok-lo, kata Se-kiat.
Setelah mengacaukan gedung Tian Seng-su, Toan Khik-sia terus pergi ke lain tempat. Karena
selama itu belum datang lagi ke Kim-ke-nia, jadi Thiat-mo-lek belum jelas akan jalannya

pertempuran malam itu.
Ha, kiranya iblis tua itu masih belum mati. Dia adalah pembunuh ayahku, aku memang
hendak mencarinya, kata Thiat-mo-lek kemudian dengan geram.
Karena ia sibuk berbicara dengan Se-kiat tentang diri Yo Bok-lo, jadi lupalah sudah ia akan diri
In-nio dan Yak-bwe.
Demikianlah malam itu, di markas gunung Kim-ke-nia telah diselenggarakan suatu pesta
perjamuan besar yang dihadiri oleh segenap orang gagah dari pelbagai aliran. Setelah perjamuan
selesai, sekalian orang gagah itu dipersilahkan beristirahat. Oleh karena rombongan pengikut
Sekiat
itu berjumlah banyak, maka tuan rumah Shin Thian-hiong khusus menyediakan 10 buah kamar
untuk mereka. Se-kiat pun memperlakukan istimewa kepada kedua nona itu. Untuk mereka
berdua
saja, diberinya sebuah kamar. Lain-lainnya setiap rombongan 4-5 orang diberi satu kamar.
Karena
pelayanan yang istimewa itu, rombongan pengikut Se-kiat itu sama menduga kalau In-nio dan
Yakbwe
itu tentu bukan tokoh sembarangan.
Malam itu Yak-bwe gulak-gulik di atas ranjang, tapi tak dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi,
Se-kiat mengetuk pintu kamar kedua nona dan menyuruh mereka bangun. Setelah cuci muka dan
berdandan, kedua nona itupun keluar dari kamarnya.
Masakan hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah akan dimulai? tanya In-nio.
Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk menikmati keindahan matahari terbit,
setelah itu Tay-hwe akan segera dibuka, menerangkan Se-kiat.
Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: Tampaknya Shin ce-cu itu seorang yang kasar, tapi
ternyata juga suka akan seni-keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya menikmati
matahari
terbit, itu menandakan seleranya akan seni.
Yang dijadikan medan pertemuan itu, adalah sebuah padang dataran yang luas. Ketika In-nio
dan Yak-bwe tiba, di medan pertemuan itu sudah penuh sesak dengan orang. Kala itu rembulan
sudah condong ke barat dan fajar remang-remang mulai memancar. Beberapa jenak kemudian,
gumpalan awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit di ufuk timur mulai
memancarkan cahaya kemrah-merahan. Dan ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan.
Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara mulai unjukkan wajahnya. Kabut
awan yang berarak-arak buyar itu, karena ditingkah oleh sinar sang surya, memantulkan cahaya
warna-warni bagai untaian pelangi. Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit di pagi
hari itu.
Kini barulah tahu Yak-bwe apa maksud Shin Thian-hiong mengundang sekalian tetamunya
untuk menikmati matahari terbit itu. Kiranya pemimpin perjamuan itu hendak menghidangkan
suatu pemandangan yang sesuai dengan nama gunung itu: Kim-ke-nia atau puncak ayam emas.
Saat itu Thian-hiong menghadap ke arah barat, lalu menjura. Setelah itu berserulah ia dengan
suara nyaring: Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan datang ke markas
kami.
Aku adalah seorang kasar dan tak pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja
kuucapkan. Benar tidaknya, harap saudara-saudara sekalian suka memberi petunjuk.
Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa.
Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan itu? Kita adalah kaum yang berbicara
dengan bahasa golok. Jika ingin mengatakan sesuatu, silahkan berbicara dengan terus terang, tak
usah jual mahal seperti kaum wanita!
Maka berkatalah Thian-hiong: Sejak saudara Ong Pek-thong menutup mata, dalam sepuluhan
tahun ini perserikatan Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa saudara Ong
itu
menjabat pimpinan Lok-lim, akulah orang pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan
kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama kaum dan tidak tepat menjalankan
kebijaksanaannya. Yang paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Lok-lim agar
mengangkatnya setinggi langit. Rupanya diangkat menjadi pemimpin saja ia masih kurang
merasa
puas. Ia masih bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Lok-san untuk mendapat
kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu, rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak
perlu
kubicara panjang lebar lagi. Hanya saja, tentang kesalahan saudara Ong menjadi pimpinan itu
suatu
hal, sedang tentang perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal lagi.

Turut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang pemimpin. Dalam masa sepuluhan
tahun ini, karena tiada pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas kehilangan
koordinasi
untuk bantu-membantu. Kita banyak menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi,
karena
kita terdiri dari kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi seringkali tak terhindar dari
bentrokan
saling berebut daerah kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu sudah
sering
terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan, pun memperlemah persatuan, hingga
memudahkan tentara negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati kita merasa
sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah karena kita tak mempunyai pimpinan.
Dengan alasan yang kukemukakan tadi, maka kuundang saudara-saudara sekalian hadir dalam
pertemuan ini guna menyarankan seorang calon yang akan kita angkat menjadi pemimpin Lok-
lim.
Entah bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian?
Bagus, Shin-toako, pidato pembukaanmu hebat benar. Hanya sayang sekali calon itu sukar
didapatkan. Jika salah pilih, bukankah akan terulang lagi lelako Ong Pek-thong kedua? seru
sementara hadirin.
Mereka adalah golongan orang-orang yang liar atau bebas, maka dari itu mereka tak menyukai
adanya pemimpin dan berusaha untuk 'mengguyur air dingin' atas pernyataan tuan rumah tadi.
Tapi ada pula serombongan orang yang menyetujui: Memang kesukaran tentu ada, tapi itu
bukan alasan untuk mundur. Pimpinan harus ada, untuk itu kita harus berhati-hati memilihnya.
Shin-toako yang mengambil inisiatif menyelenggarakan pertemuan ini, jadi kebanyakan ia
tentu sudah mempunyai pilihan calon yang tepat. Nah, suruh saja dia mengemukakannya! seru
sementara orang pula.
Terang golongan ini menunjang Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong, maka mereka pun berdaya
untuk menindas golongan yang menentang tadi.
Memang dalam rapat kawanan penyamun itu, tiada apa yang dinamakan tata tertib persidangan,
misalnya pemungutan suara dan sebagainya. Karena tak ada suara yang menentang lagi, maka
usul
memilih calon pemimpin itu dianggap sudah diterima baik oleh sebagian besar hadirin. Kini
semua
mata ditujukan pada pimpinan rapat (Shing Thian-hiong). Suasana yang berisik tadipun mulai
sirap.
Maka berkata pula Thian-hiong: Benar, memang kita harus memilih orang yang tepat. Pada
hematku, syaratnya ialah: pertama, harus lapang dada mengabdi kepentingan orang banyak;
kedua,
harus yang mempunyai kewibawaan; ketiga, mempunyai ilmu silat yang sakti dan keempat,
harus
ditinjau dari keturunan keluarganya. Yang kumaksud dengan keluarga di sini bukan golongan
keturunan keluarga pembesar-pembesar korup, akan tetapi keturunan dari keluarga penyamun.
Dalam anggapanku, hanya ada seorang yang mencukupi keempat syarat itu. Dia adalah
Thiatmo-
lek. Nah, saudara-saudara, aku majukan Thiat-mo-lek sebagai calon pemimpin Lok-lim!
Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing segera menanggapi: Saudara-saudara, bukan maksudku
hendak mengeloni Thiat-mo-lek hiantitku itu, tapi aku hendak berbicara apa adanya saja.
Meskipun
dia tergolong seorang dari angkatan muda, tapi ketenaran namanya sudah berkumandang di
seluruh
negeri. Pribadinya jujur dan bertanggung jawab. Tentang ilmu silatnya, ia telah mendapat
pelajaran
dari tokoh-tokoh yang termasyhur, misalnya Mo Kia Lojin dan mendiang Toan Kui-ciang.
Tentang
asal keturunannya, rasanya tak perlu diragukan lagi. Siapakah yang tak kenal akan nama Thiat-
gunlun,
ayah Thiat-mo-lek itu? Sewaktu Thiat-gun-lun masih berkecimpung dalam dunia persilatan,
meskipun benar belum pernah menjadi pemimpin Lok-lim, tapi kemasyhuran namanya tidak
dibawah kedua jago she Ong dan she Tou. Keempat syarat yang disebut-sebut Shin-toako tadi,
Hiantitku Thiat-mo-lek itu memiliki semuanya. Apalagi pada masa ini ia sedang gagah-
gagahnya,
jadi pantaslah untuk menjabat pemimpin Lok-lim kita!
Thiat-mo-lek mempunyai pergaulan luas sekali. Sebagian besar dari thau-bak Kim-ke-nia sama
menunjangnya. Maka begitu Shing Thiang-hiong dan To Peh-ing selesai menyatakan
pendapatnya,
dari empat penjuru segera terdengar tempik sorak yang gegap-gempita. Tapi dalam pada itu, juga
masih tak sedikit orang yang diam-diam sama kasak-kusuk.
Mendadak ada seorang lelaki yang bermuka ungu berbangkit dan berseru keras: Masih ada satu
hal yang saudara To lupa mengatakan, pada hal semua orang sudah sama mengetahuinya. Ialah

Thiat-mo-lek itu putera angkat dari Tou-leng pemimpin Lok-lim yang sudah almarhum. Jadi
boleh
dikata, Thiat-mo-lek itu berasal dari keturunan keluarga Lok-lim. Tetapi kiranya para saudara
yang
hadir di sini tentu sudah maklum bahwa antara orang she Ong dengan orang she Tou itu adalah
musuh bebuyutan. Meskipun Ong Pek-thong sudah lama meninggal dunia, tapi sampai sekarang
anak buahnya masih banyak. Walaupun semasa hidupnya Ong Pek-thong pernah berbuat
kesalahan, tapi pada masa itu ia menjadi pemimpin Lok-lim, sudah tentu orang yang taat
padanya
juga banyak. Orang-orang itu sebenarnya tak ikut-ikutan bersalah. Apalagi kejadian itu sudah
lampau, kalau diungkit-ungkit lagi tiada membawa manfaat apa-apa ....
Belum ia menyelesaikan kata-katanya, Thian-hiong sudah serentak berbangkit dan menyeletuk:
Memang tak ada orang yang hendak mengungkit hal itu! Tujuan dari pertemuan hari ini ialah
hendak membuang kesalahan lama dan membangun lagi semangat persatuan baru. Apa perlunya
kau menyinggung-nyinggung soal lama itu?
Berkata si muka ungu tadi: Jangan Shin ce-cu keburu marah-marah dulu, bolehkah aku
menyelesaikan kata-kataku tadi? Memang kurasa perlu untuk mengungkit hal tadi. Pada
hematku,
memang kuanggap Thiat-mo-lek itu pantas menjadi pemimpin kita. Tapi harap saudara-saudara
suka merenungkan sebentar. Andaikata Thiat-mo-lek dapat menjalankan kewajibannya dengan
bijaksana, hal itu baru belakangan dapat diketahui. Tapi yang nyata pada saat ini para pengikut
Ong
Pek-thong tentu sudah mempunyai ganjalan di dalam hati!
Ucapan itu telah menimbulkan reaksi hebat dari golongan yang pro Thiat-mo-lek.
Sudah tentu Thiat-mo-lek merasa tak enak sendiri. Sebenarnya ia pun sudah menduga tentang
hal itu, tapi ia tak menyangka sama sekali bahwa akan ada orang yang akan mengatakan di depan
umum. Hal itu menandakan bahwa pengaruh Ong Pek-thong itu masih kuat. Diam-diam Thiat-
molek
timbul niatan untuk mengundurkan diri dari pencalonan itu.
Tapi baru ia hendak berbangkit untuk menyatakan penolakannya, tiba-tiba ada seorang lelaki
menghampirinya dan menyuruhnya duduk kembali. Orang itu bukan lain ternyata adalah
menantu
dari Ong Pek-thong yang bernama Can Goan-siu. Isterinya atau anak perempuan dari Ong
Pekthong
yang bernama Ong Yan-ih dan sekarang pun menyertai suaminya datang ke tempat itu.
Selagi Goan-siu mendudukkan Thiat-mo-lek, Yan-ih sudah berbangkit dari tempat duduknya
dan berseru: Aku adalah anak perempuan dari Ong Pek-thong. Pada saat ayah menutup mata,
aku
selalu berada di sampingnya. Ayah menyatakan sendiri padaku bahwa ia merasa menyesal atas
perjalanan hidupnya selama ini. Beliau meninggalkan pesan supaya kami seturunan
menghapuskan
permusuhan dengan keluarga Tou. Sekarang atas nama dari Ong Pek-thong dengan ini aku
menyatakan menunjang sepenuhnya usul Shin ce-cu tadi. Aku setuju akan pengangkatan Thiat-
molek
menjadi pemimpin Lok-lim.
Oh, kiranya bibi Ong juga turut datang kemari. Dengan pernyataannya itu tentu tiada orang
yang menentang Thiat-mo-lek lagi, pikir Yak-bwe.
Yak-bwe memang masih bersih pikirannya. Tetapi persoalan saat itu tak sederhana seperti apa
yang dipikirnya. Benar dengan pernyataan Yan-ih tadi golongan oposisi dapat ditindas, namun
hal
itu bukan berarti sudah aman lancar dan tak ada oposisi lagi.
Kembali si muka ungu tadi berbangkit lagi, ujarnya: Pesang yang ditinggalkan Ong Pek-thong
pada detik-detik terakhir itu, hanya nona Ong saja yang mendengarnya. Aku tak berani
mengatakan
tak percaya, tapi setiap orang mempunyai cara berpikir sendiri-sendiri. Aku pun tak berani
memberi jaminan bahwa pengikut-pengikut Ong Pek-thong dapat menerima keterangan nona
Ong
tadi dengan hati terbuka dan bebas dari ganjalan. Dalam pemilihan ketika ini, tak dapat hanya
didasarkan persahabatan, lebih tak boleh hanya memandang akan ketenaran nama. Tetapi harus
ditilik dari segala segi. Shin dan To kedua toako tadi mengusulkan Thiat-mo-lek, bukannya aku
menentang, tapi alangkah baiknya jika diajukan lagi beberapa calon, agar sekalian hadirin dapat
memilihnya. Dengan cara demikian rasanya mungkin pilihan itu akan memperoleh hasil yang
memuaskan!
Sampai dimana perhubungan Yan-ih dengan Thiat-mo-lek, semua orang sudah mengetahui.
Ucapan si muka ungu itu terang hendak menyindir Yan-ih yang dituduh terpengaruh oleh
hubungannya dengan Thiat-mo-lek. Sudah tentu Yan-ih gusar sekali, namun ia masih kuatkan

hatinya untuk menahan diri.
Berkata Thian-hiong: Pada pertemuan ini, para saudara dipersilahkan menyatakan pendapat
dengan bebas. Harap mengajukan calon sendiri-sendiri yang memiliki sifar-sifat pintar dan
bijaksana, agar kita sekalian betul-betul taat. Memang dalam pemilihan ini, jangan hanya
tergantung pada pencalonan seorang saja. Han-toako, siapakah yang hendak kau usulkan,
silahkan
mengajukannya!
Segera ada seseorang berseru nyaring: Benar! Punya omongan harus diucapkan, ingin kentut
lekas dihembuskan, tak usah eco-eco seperti ular kembang!
Si muka ungu itu seorang yang tenang dan dingin. Apapun perasaan dalam hatinya, selalu tak
kentara di wajahnya. Terhadap ucapan kasar dan cemoohan tadi, sama sekali ia tak
menghiraukannya.
Baiklah, sekarang aku hendak mengajukan seorang calon yaitu Thiat-koay Li. Nama Li-toako
itu sudah bergema jauh di daerah utara dan selatan sungai, rasanya sekalian saudara tentu sudah
mengetahui, bukan? demikian kemudian si muka ungu itu berkata.
Dengan berbisik Yak-bwe menanyakan tentang tokoh Thiat-koay Li (Li si Tongkat Besi) yang
disebut itu kepada In-nio, tapi In-nio gelengkan kepala tanda tidak tahu. Adalah seorang tetamu
yang duduk di sebelah dan mendengar pertanyaan Yak-bwe itulah menjadi heran, katanya:
Kalian
tak kenal akan Thiat-koay Li? Dia adalah Li Thian-go, Congthaubak dari tujuh Ce (sarang
bandit)
di daerah Hopak. Sudah dua puluh tahun lamanya ia menjagoi dunia Lok-lim dengan ilmu
permainan tongkatnya Loan-bi-hong-koay-hwat dari 72 jurus. Saudara berdua ini tentunya baru
pertama kali ini keluar, bukan?
Yak-bwe tertawa dan menghaturkan terima kasih pada orang itu. Sementara itu si muka ungu
berhenti sebentar untuk menunggu reaksi dari para hadirin. Sesaat kemudian ia melanjutkan
berkata: Dalam empat syarat yang disebutkan Shin-toako tadi, Li-toako itu telah memenuhi tiga.
Sudah beberapa tahun Li-toako menjadi Congthaubak dari tujuh San-ce, selama itu dalam soal
pembagian hasil ia tak pernah merugikan salah satu pihak. Terhadap orang sekaum, ia selalu
memperlakukan dengan kebaikan dan keadilan. Boleh dikata ia dapat mengabdi pada
kepentingan
umum dan jauh dari mementingkan diri sendiri. Dalam soal kewibawaan dan kebijaksanaan, ia
telah memiliki. Tentang ilmu silatnya, dengan ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat
ia
telah menjagoi daerah selatan dan utara sungai. Dalam hal ini rasanya tak perlu banyak memberi
komentar lagi.
Hanya sebuah syarat yang sayangnya ia tak menemui yaitu tentang keturunan keluarganya.
Kakek dan ayahnya tak pernah menuntut penghidupan sebagai 'pedagang tanpa modal'
(penyamun), jadi dia bukan dari keturunan keluarga Lok-lim. Kedudukannya dalam kalangan
Loklim
diperolehnya dari tongkat besinya itu, sekali-kali bukan warisan dari leluhurnya. Hanya saja
menurut alam pikiranku yang dangkal ini, memilih seorang pemimpin Lok-lim tidaklah sama
seperti raja hendak memilih menantu, harus meneliti keturunan keluarga apa segala. Dari
keturunan
Lok-lim atau bukan, rasanya bukan soal yang penting. Jika bicaraku ini keliru, harap Shin ce-cu
memberi maaf.
Dengan menunjukkan perbedaan antara pemilihan ketua Lok-lim dengan pemilihan seorang
menantu raja, si muka ungu bermaksud hendak meniadakan syarat yang diajukan Shin Thian-
hiong
dalam hal keturunan. Di samping itu, ia singgung-singgung juga diri Thiat-mo-lek karena
membonceng pada soal keturunan keluarga.
Sekalian hadirin tak dapat menyelami maksud yang tersembunyi dalam ucapan si muka ungu
itu. Yang diketahui mereka, karena kata-kta si muka ungu itu diucapkan dengan menarik sekali,
maka mereka sama tertawa.
Sebaliknya merah padamlah wajah Thian-hiong. Baru ia hendak berbangkit akan mengangkat
bicara, To Peh-ing sudah membisiki telinganya: Shin-toako, harap kendalikan diri, jangan
merusak
suasana pertemuan ini!
Kiranya Thiat-koay Li Thian-go itu termasuk golongan orangnya Ong Pek-thong, malah
menjadi saudara angkat Ong Pek-thong. Hanya saja sewaktu Ong Pek-thong bersekongkol
dengan
An Lok-san, Thiat-koay Li tak mau ikut serta. Ini bukan karena ia gentar, melainkan ia akan

menunggu saat-saat yang tepat untuk bergerak. Memang ia lebih cerdik dari Ong Pek-thong.
Kala
itu ia sudah nebgetahui bahwa tindakan Ong Pek-thong yang salah itu tentu bakal
membangkitkan
rasa tidak puas di kalangan orang gagah. Kedudukan Ong Pek-thong sebagai pemimpin Lok-lim
pasti tak dapat dipertahankan lagi. Maka ia mengambil sikap pasif saja dan memperkuat
kedudukannya sebagai Congthaubak dari ketujuh San-ce. Baik kepada tentara negeri maupun
kepada kerajaan Wi-yan (merk kerajaan yang akan didirikan oleh An Lok-san), ia tak mau
membantu. Tapi sekalipun begitu, pada masa An Lok-san lagi jaya-jayanya, diam-diam Thiat-
koay
Li mengadakan kontak dengan Ong Pek-thong secara sembunyi-sembunyi.
Kedatangannya ke pertemuan di gunung Kim-ke-nia sekarang dengan membawa harapan penuh
bahwa ia niscaya akan memperoleh kedudukan sebagai pemimpin Lok-lim. Pada hakikatnya
orang
yang mencalonkan dirinya itu, adalah konco-konconya sendiri.
ShinThian-hiong sudah mempunyai keterangan-keterangan lengkap tentang diri orang she Li
itu. Sebenarnya Thian-hiong pun akan membeberkan rahasia hubungan gelap antara Thiat-koay
Li
dengan Ong Pek-thong, tapi To Peh-ing yang sudah kenal baik karakternya, buru-buru
mencegahnya.
Thian-hiong seperti orang disadarkan, pikirnya: Ya, benarlah. Aku tadi pun sudah menyatakan,
bahwa urusan lama sebaiknya jangan dibawa-bawa lagi. Aku tak boleh memusuhinya hanya
dikarenakan ia dahulu mempunyai hubungan rapat dengan Ong Pek-thong. Apalagi pada masa
itu
ia tak terang-terangan ikut pada Ong Pek-thong, jadi sukar untuk membuktikan jejaknya itu. Jika
aku berkeras menentangnya, hadirin tentu menuduh aku menimbang berat sebelah. Hal ini
sebaliknya tak menguntungkan diri Thiat-mo-lek.
Tapi sekalipun Thian-hiong tak membeberkan, namun lain orang pun tahu akan gerak-gerik Li
Thian-go itu. Seketika sekalian yang hadir sama hiruk membicarakan. Yang berdiri dari tempat
duduknya dan berteriak-teriak adalah dari golongan Thiat-koay Li. Tapi kalau dibanding dengan
penyokong Thiat-mo-lek, mereka itu masih belum seberapa.
Setelah suara teriakan mereda, kembali ada seorang berbangkit dan berseru: Aku pun hendak
mengajukan seorang calon. Yang hendak kucalonkan itu ialah Thiat-pi-kim-to Tang lo-ya-cu
yang
dalam Lok-lim namanya juga tak asing lagi bagi kita.
Seorang tua bermuka merah yang tangkas segera berbangkit dan berkata: Ai, harap Nyo-lote
jangan membuat buah tertawaan orang. Aku seorang tua yang sudah lama cuci tangan, mengapa
mencalonkan diriku?
Orang yang dipanggil she Nyo itu menyahut: Jahe makin tua makin pedas. Justru karena kau
sudah tua dan sudah cuci tangan, maka tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kedua
keluarga
Tou dan Ong. Dalam menjalankan kewajiban tentu lebih adil bijaksana. Saudara-saudara
sekalian,
maafkan aku hendak bicara terus terang. Kulihat, pada masa ini sahabat-sahabat dari kalangan
Hekto
tak mempunyai kebulatan hati, jadi sukarlah rasanya untuk memilih calon yang benar-benar
ditunjang dengan suara bulat. Maka daripada begitu, lebih baik kita meminta seorang tokoh yang
sudah tua usinya untuk menjadi pemimpin kita.
Thiat-pi-kim-to Tang kiam memang cukup ternama, maka kata-kata orang she Nyo tadi
mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak-sorai yang gegap gempita. Mereka menyatakan
mendukung. Tapi usia Tang Kiam itu sudah tua, maka ada beberapa orang yang sangsi apakah
jago
tua itu masih dapat memikul kewajiban. Mereka kuatir jangan-jangan orang tua itu nanti cuma
menjadi semacam boneka saja. Maka karena itu jumlah penyokong-penyokongnya masih tetap
kalah banyak dibandingkan dengan penyokong Thiat-mo-lek.
Tang Kiam tetap menolak lagi, tapi karena terus-menerus didesak orang, akhirnya ia mau
menerima juga dengan pertimbangan supaya dapat mendamaikan pertentangan di antara kedua
golongan yang pro dan kontra itu.
Baiklah, terserah saja pada sekalian hadirin. Tapi aku sendiri menganggap Thiat-mo-lek lah
yang paling tepat! katanya.
Dalam suasana berisik dari orang-orang yang sama memperbincangkan itu, tiba-tiba seorang
lelaki bertubuh kekar dan tinggi hampir dua meter tampak berbangkit. Dengan suara nyaring
seperti lonceng bertalu. Ia berseru: Aku pun hendak mengajukan seorang calon!

Waktu sekalian hadirin memandang ke arahnya, ternyata ia itu pemimpin kaum Lok-lim di
pantai selatan sungai Tiangkang yang bernama Kay Thian-ho. Sekalian orang sama terperanjat.
Pikir mereka: Kay Thian-ho itu seorang congkak, tak pernah tunduk pada orang. Ketika dahulu
orang she Ong dan she Tou menjabat pemimpin Lok-lim, Kay Thian-ho itupun tak menjual
muka.
Kini ia hendak mengajukan seorang calon, entah siapakah tokoh itu?
Rupanya Kay Thian-ho tahu apa yang dipikirkan sekalian orang itu. Ia tertawa nyaring: Harap
saudara sekalian jangan meragukan. Walaupun ia baru setahun muncul di dunia persilatan, tapi ia
sudah melakukan perbuatan-perbuatan yang menggemparkan!
Berbagai reaksi timbul di kalangan hadirin. Ada yang menduga-duga siapa tokoh itu, ada pula
yang tak mau main menduga tapi segera berseru menanyakan pada Thian-ho: Kay-toako,
bilanglah
lekas siapa calonmu itu!
Sahut Kay Thian-ho: Pemuda gagah itu bernama Bo Se-kiat. Kiranya para saudara yang hadir
di sini tentu sudah maklum bahwa aku orang she Kay ini tak mudah sembarangan memuji orang.
Tapi hari ini aku benar-benar hendak berkata dengan sungguh-sungguh. Bo-hengte itu benar-
benar
tergolong tokoh sakti dalam jaman ini! Dia adalah murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek dan
keponakan dari Tocu (pemimpin pulau) Hu-siang-to, Bo Jong-siang. Walaupun mereka tinggal
di
luar lautan yang amat jauh, tapi juga dapat digolongkan sebagai keturunan keluarga Lok-lim.
Kiu-si-khek adalah seorang Koay-kiat (pendekar aneh) dari dunia Lok-lim pada masa
permulaan kerajaan Tong. Karena baginda Sui-yang-te seorang raja yang Bu-to (lalim), maka
sekalian orang gagah di seluruh negeri sama berontak. Kabarnya Kiu-si-khek itu juga bermaksud
menceburkan diri sebagai raja. Tapi kemudian seorang sahabatnya yang bernama Li Ceng datang
mengunjunginya dan memuji-muji kecakapan Li Si-bin. Sahabat Kiu-si-khek itu lebih lanjut
mengatakan bahwa kegagahan, kecerdasan dan kewibawaan pemuda Li Si-bin itu benar-benar
luar
biasa. Dengan saingan seperti itu, impian Kiu-si-khek untuk mendapatkan tahta kerajaan tentu
akan
gagal.
Mendengar itu Kiu-si-khek lalu ajak Li Ceng masuk ke daerah Thay-goan (Li Si-bin adalah
putera Li Yan; Liu-siu dari Thay-goan). Di Thay-goan, Kiu-si-khek juga mempunyai seorang
sahabat yang bernama Lau Bun-cing. Lau Bun-ding kenal juga pada Li Si-bin. Kiu-si-khek lalu
minta pada Bun-cing supaya mengundang Li Si-bin berkunjung ke rumahnya. Ia (Kiu-si-khek)
ingin bertemu muka dengan pemuda calon kaisar itu.
Sambil menunggu kedatangan Li Si-bin, Kiu-si-khek main catur dengan Ui-san-khek, seorang
tosu dari biara Thay-hi-kwan. Ui-san-khek itu juga seorang berilmu yang terpendam. Kebetulan
pada waktu itu ia mertamu ke rumah Bun-cing.
Waktu Li Si-bin datang, kedua orang itu terbeliak kaget. Li Si-bin ternyata seorang pemuda
yang berparas agung, gagah dan berwibawa. Ketika Li Si-bin duduk melihat permainan catur itu,
Ui-san-khek yang melihat tanda-tanda luar biasa pada pemuda itu, permainannya segera menjadi
kacau. Serentak berdirilah ia, ujarnya: Aku menyerah kalah, aneh, posisiku tak dapat tertolong
lagi!
Tapi Kiu-si-khek juga menjadi lesu dan berbangkit menuju ke ruang belakang. Katanya kepada
Li Ceng: Dia seorang cing-beng-thian-cu, sukar dilawan!
Cin-beng-thian-cu artinya orang yang sudah ditakdirkan menjadi raja. Kemudian ia
menyerahkan seluruh harta simpanannya kepada Li Ceng agar yang tersebut belakangan itu
membantu sekuat-kuatnya pada perjuangan Li Si-bin. Ia sendiri akan menurut nasihat Ui-san-
khek
untuk menyingkir jauh ke seberang lautan, menjadi raja pulau Hu-siang-to.
Kalangan Lok-lim juga kenal akan kisah Kiu-si-khek menyerahkan tahta kerajaan pada Li Sibin
itu. Meskipun peristiwa itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu, namun kaum Lok-lim tetap
masih menghormati pribadi Kiu-si-khek. Untuk sekedar mengemukakan ukuran nilainya,
kedudukan Kiu-si-khek di dunia Lok-lim serupa dengan derajat Khong Cu dalam dunia
sastrawan.
Maka demi mendengar bahwa Bo Se-kiat itu anak murid turunan keempat dari Kiu-si-khek,
sekalian hadirin sama membuka mata lebar-lebar.
Berkata pula Kay Thian-ho: Dewasa ini para ciat-to-su berebutan daerah kekuasaan, keadaan
rakyat amat menderita. Para orang gagah serempak bangun kembali, keamanan terganggu di
sanaKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sini timbul kekacauan. Dahulu dengan rela hati Kiu-si-khek menyerahkan gunung dan sungai
(negara) pada Li Si-bin, siapa duga anak cucu orang she Li itu ternyata tak becus untuk menjaga
warisan kerajaan leluhurnya!
Mendengar pidato orang she Kay itu, sekalian orang gagah menjadi tergugah semangatnya.
Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan. Sesaat hening lelaplah suasana dalam medan
pertemuan itu.
Kay Thian-ho tertawa lalu melanjutkan pidatonya: Didalam suasana negara kalut ini, kita kaum
Lok-lim juga harus memiliki pambek (cita-cita) dan pandangan yang luas. Sekali-kali jangan
hanya
berebutan daerah kekuasaan atau pembagian hasil rampasan saja. Yang akan menjabat sebagai
pimpinan Lok-lim juga tak terbatas hanya cakap menghadapi serangan tentara negeri dan mampu
mengatasi pertentangan di dalam kalangan kita saja. Lebih dari itu, kita masih harus melindungi
rakyat jelata, membasmi kawanan raja kecil yang berupa panglima-panglima daerah itu. Makin
besar kekacauan negara berlangsung, makin keraslah seharusnya kita gelorakan perjuangan kita.
Ha, ha, peribahasa mengatakan: 'Yang berhasil akan menjadi raja, yang kalah lantas menjadi
perampok'. Nanti apabila suasana sudah kembali aman, kita pun jangan terus-terusan menjadi
penyamun!
Bo-hengte adalah ahli waris dari Kiu-si-khek. Orangnya gagah dan pintar, mempunyai
kewibawaan untuk mengemban amanat leluhurnya. Tahun ini saja dari apa yang dia lakukan,
misalnya merampas antaran kuda, menyerbu Teng-ciu, menundukkan kawanan orang gagah dari
12
cui-ce (markas bajak) di telaga Thay-oh membantu meringankan penderitaan rakyat di daerah
sungai Hong-ho yang dilanda banjir dan lain-lain, semua itu sudah cukup menggemparkan dan
membuat orang kagum sekali. Maka menurut hematku, jika kita ingin melaksanakan suatu
pekerjaan besar, haruslah kita memilih Bo-hengte itu menjadi pemimpin kita!
Bergeloralah darah sekalian hadirin. Ada seorang lelaki berdiri dan berseru: Kami rombongan
dari Im-ma-jwan ini pernah dijungkir-balikkan oleh Bo Se-kiat. Sementara aku sendiri orang she
Nyo ini, juga pernah merasakan pil pahit (hajaran) dari dia. Tapi meskipun dikalahkan, aku
tunduk
setulus hati padanya. Karena dalam urusan tempo hari itu, pihak kamilah yang bersalah. Ia dapat
mengemukakan alasan-alasan yang tepat hingga mau tak mau aku harus tunduk.
Orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan kata-katanya pula: Kini atas nama segenap warga
Im-ma-jwan, aku menyatakan dukungan sepenuhnya pada pencalonan Bo Se-kiat. Apakah nanti
ia
hanya menjadi pemimpin atau akan menjadi kaisar, kami akan taat padanya!
Yak-bwe dan In-nio kenal orang itu sebagai si tinggi besar she Nyo yang bertempur dengan
Sekiat
di gunung Pak-bong-san tempo hari, tapi baru setengah jalan si tinggi besar itu lantas mengakui
kesalahannya.
Setelah kedua orang she Nyo dan Kay itu berbicara, hati sekalian orang meluap-luap penuh
semangat. Tapi ada sementara orang juga yang gelisah, pikir mereka: Apakah ini bukan
pemberontakan?
Memang kaum penyamun itu terdiri dari dua golongan. Ada yang menjadi penyamun karena
melihat ketidak-adilan dan kekacauan negara, jadi mereka terdiri dari orang-orang yang
mempunyai
pambek besar. Pun ada yang menjadi penyamun karena dorongan penghidupan. Untuk golongan
yang terakhir ini, kebanyakan selalu menurut saja, tak berani memberontak.
Maka berbangkitlah Se-kiat dari tempat duduknya. Kay-toako telah menjunjung begitu tinggi
padaku, aku sungguh tak berani menerimanya. Apa yang diucapkan Nyo-toako tentang mau jadi
raja apa segala itu lebih merupakan lelucon saja. Memang sekarang ini negara sedang mengalami
kekacauan dan inilah saatnya bagi putra-putra ibu pertiwi untuk tampil membuat jasa. Kewajiban
sebagai Bengcu (pemimpin) itu terlampau berat, aku tak dapat memikulnya. Tapi aku berjanji
akan
taat dan memberi bantuan sepenuh tenaga kepada Toako lain yang akan menjabat kedudukan
pemimpin itu!
Ucapan itu dinyatakan dengan nada yang gagah, tapi mengandung penolakan.
Kaulah orangnya pemimpin itu! Ya, jangan menolak lagi! seru Kay Thian-ho dan beberapa
orang.
Didesak begitu keras, apa boleh buat Se-kiat tak mau membantah lagi. Ia terpaksa menerima

pencalonan itu. Jantung In-nio berdenyut keras, ia girang-girang kaget. Ya, mengapa tidak?
Sekiat
adalah jantung hatinya. Bahwa sang jantung hati menerima sekian besar dukungan, ia merasa
girang. Tapi bila mengingat nanti bakal berebut melawan Thiat-mo-lek, In-nio merasa tak enak
hatinya.
Siapa lagi yang akan mengajukan calon? tanya Thian-hiong kemudian. Ia mengulangi
beberapa kali tawaran itu, tapi tak ada yang menyahut.
Baiklah. Sekarang ada empat calon Beng-cu yang diajukan. Thiat-mo-lek siau-cecu dari
Yansan,
Li Thian-go Congthaubak dari Ho-pak-chit-ce, Thiat-pi-kim-to Tang Kiam locianpwe dan Bo
Se-kiat siau-tocu dari Hu-siang-to. Sekarang kita adakan pemilihan lagi yang manakah di antara
keempat calon itu yang akan kita pilih menjadi Bengcu! kata Thian-hiong akhirnya.
Tapi dengan cara bagaimanakah pemilihan itu dilakukan, ia sendiri bingung. Menurut cara yang
sederhana, pilihan itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara. Siapa yang mendapat
suara
terbanyak, itulah yang menang. Tapi dengan cara begitu, akan makin tajamlah garis pertentangan
antara golongan-golongan yang pro dan kontra. Benar suara terbanyak akan dapat menindas
suara
sedikit, tapi sifat-sifat kaum Lok-lim itu suka membandel. Jika mereka cuma tunduk dilahirnya
saja, kelak kemudian hari tentu akan terbit perkara yang tidak-tidak.
Di samping itu Thian-hiong sendiri mempunyai keinginan ialah mengharap Thiat-mo-lek yang
menang. Tapi jika menilik gelagatnya, penyokong-penyokong Se-kiat itu tak kalah jumlahnya
dengan pendukung-pendukung Thiat-mo-lek.
Akhirnya tampillah seorang tua, Hiong Ki-goan locecu dari gunung Hok-gu-san. Serunya:
Sekarang kita menghadapi empat calon yang sama-sama mempunyai dukungan kuat. Berbicara
tentang soal kemasyhuran nama dan keluhuran pribadi, kesemuanya itu sukar untuk dinilai. Jika
menilai buruk-baiknya atau kuat-lemahnya ilmu kepandaian mereka, pun dapat menyinggung
perasaan. Turut pendapatku si orang tua ini, lebih baik diputuskan menurut cara lama saja.
Pemimpin dari Hok-gu-san itu sudah berusia 70-an tahun. Ia sudah pernah turut dalam
pemilihan Beng-cu sampai tiga kali, jadi sudah paham akan peraturan lama mengenai hal itu.
Kalau begitu harap locianpwe memberi petunjuk pada kmi! seru Thian-hiong.
Hiong Ki-goan berdehem sekali, lalu berseru: Sederhana saja, caranya ialah mengadu
kepandaian. Sekarang ada 4 orang calon, maka harus bertanding 3 kali. Pertandingan-
pertandingan
itu diatur secara berturut-turut. Dalam setiap babak keluar tiga orang. Yang kalah akan
kehilangan
hak dipilih menjadi Beng-cu. Yang menang terus bertanding lagi dalam babak kedua. Pemenang
dari babak kedua ini baru boleh memanggil pengganti atau boleh juga tak memerlukan
penggantinya. Tetapi calon Bengcu yang berkepentingan itu sedikitnya harus keluar bertanding
satu
kali. Demikianlah peraturan itu, jelaskah?
Thian-hiong berpendapat hal itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan
saat itu. Meski bertanding itu dapat merusak hubungan, tapi kaum Lok-lim itu memang hanya
menjunjung ilmu kepandaian saja. Bagi pemenang yang memiliki kepandaian sakti, orang-orang
yang bermula menentang pencalonannya itu, tentu akan tunduk juga.
Sekalian hadirin tak ada yang menentang usul Hiong Ki-goan itu. Karena itu Thian-hiong
segera mengadakan pengundian. Hasilnya, dalam babak pertama Bo Se-kiat melawan Li Thian-
go.
Siapa yang menang akan maju dalam babak kedua melawan Tang Kiam. Thiat-mo-lek mendapat
giliran yang terakhir.
Segera Li Thian-go suruh wakilnya, Hucecu Tho Hou, untuk maju dalam babak pertama itu. To
Hou mempunyai kepandaian istimewa dalam ilmu golok kilat. Perangainya kasar, dunia
persilatan
menjulukinya dengan sebutan Si Jagal.
Dari golongan yang pro Bo Se-kiat, sebenarnya Kay Thian-ho yang akan maju tapi melihat
pihak lawan hanya mengeluarkan seorang wakil cecu saja, maka iapun tak mau turun ke
gelanggang.
Tiba-tiba ada seorang tetamu menerobos keluar dan berseru dengan lantang: Lama nian
kukagumi permainan golok kilat dari To-toako yang tiada tandingannya itu. Hari ini ingin sekali
aku mendapat pelajaran barang beberapa jurus sajalah.
Sekalian orang mengenal orang itu sebagai Li Beng, Cecu dari gunung Tong-pik-san. Seorang

tokoh yang termasyhur dengan permainan golok Pat-kwa-to. Bersama dengan To Hou, ia
menikmati kemasyhuran nama sebagai jago golok dari daerah selatan dan utara.
Sekalian hadirin tersirap kaget melihat jago Pat-kwa-to itu sengaja hendak menempur jago
Gway-to (golok kilat).
Tapi To Hou tertawa gelak-gelak, ujarnya: Aha, Li-cecu terlalu sungkan. Siapakah yang tak
tahu bahwa golok Pat-kwa-to Li-toako itu merajai dunia persilatan? Aku merasa beruntung
bahwa
hari ini dapat berjumpa dengan Li-toako. Maka sudilah nanti Li-toako jangan pelit memberi
pelajaran padaku!
Suara yang bernada ramah itu sesungguhnya berisi suatu peringatan keras. Bahwasanya nanti
jago she To itu akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih jempol dalam
ilmu
golok. Karenanya ia minta pada Li Beng supaya jangan sungkan-sungkan lagi.
Sebagai jago kawakan, sudah tentu Li Beng mengerti kemana jatuhnya perkataan jago golok
kilat itu. Selekas mencabut golol, iapun lalu mempersilahkan: To-toako adalah seorang tetamu
dari jauh, harap mulai lebih dulu!
Permainan To Hou itu disebut golok kilat karena ia menitikberatkan selalu turun tangan lebih
dulu dengan cepat. Maka setelah mengucapkan sepatah kata minta maaf, iapun segera membuka
serangan.
Tring, tring, tring, dalam sekejap saja To Hou sudah berturut-turut melancarkan tujuh kali
serangan. Sekalian orang yang melihat perkelahian itu menjadi berkunang-kunang matanya.
Diamdiam
mereka sama memuji dan mengakui kemasyhuran ilmu golok kilat To Hou.
Sebaliknya permainan golok Pat-kwa-to dari Li Beng itu menitikberatkan pada kerapatan.
Dengan menggunakan posisi kuda-kuda kaki Ngo-heng-pat-kwa, goloknya berkelebatan naik
turun
laksana hujan mencurah rapatnya. Empat-lima puluh kali serangan golok To Hou semua kena
ditangkisnya. Demikianlah kedua jago gglok itu terlibat dalam suatu pertempuran yang dahsyat
dan
menarik sekali hingga berulang-ulang terdengarlah teriak-pujian dari sekalian hadirin.
Li Beng mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah ujung goloknya, seolah-olah ujung
goloknya itu dibanduli dengan benda yang beratnya seribu kati. Makin lama permainannya
makin
lambat, namun anehnya serangan kilat yang dilancarkan To Hou dengan bertubi-tubi itu tak
mampu
menembus lingkaran pertahanan golok Li Beng.
Melihat itu Li Thian-go mulai merasakan gelagat tidak baik. Celaka! diam-diam ia mengeluh
dalam hati. Baru ia mengeluh begitu, disana sudah terdengar Li Beng membentak keras: Kena!
Li Beng gunakan jurus Hoan-chiu-liau-hun, yaitu balikkan tangan untuk memapas, ketika To
Hou melintangkan goloknya hendak menangkis, tapi siku lengannya sudah kena termakan golok
lawan. Jago golok kilat itu menggerung keras, golok dipindah ke tangan kirinya dan dengan
kecepatan luar biasa, ia menghantam lawan.
Setelah dapat melukai lawan, Li Beng menjadi kegirangan. Sedikitpun ia tak menyangka sama
sekali bahwa lawan begitu bandel dan galak, baru saja lengannya terluka sudah balas menyerang
dengan hebatnya. Dan memang tak kecewa To Hou mendapat gelaran Golok Kilat itu.
Bagaimanapun Li Beng hendak berusaha menghindar, namun sudah terlambat. Bahunya pun
kena
termakan tabasan golok lawan, darah segera bercucuran keluar.
To Hou dengan beringas masih akan menyerbunya lagi. Tapi syukur demi melihat lengan kanan
Li Beng hampir putus, serentak berserulah Thian-hiong dan Thian-go: Berhenti, berhenti!
To Hou deliki mata: Menang-kalah belum ketahuan, mengapa disuruh berhenti?
Tapi setelah berkata begitu, ia rasakan lengan sendiri sakit sekali. Tadi karena getaran
amarahnya, ia tak merasa apa-apa. Tapi setelah berlangsung beberapa menit kemudian, nyeri
pada
lengan kanannya itu menyerang dengan hebat. Bagaimanapun gagahnya, ia tetap seorang
manusia
yang terdiri dari darah dan daging juga. Rasa sakit itu sampai menusuk ke ulu hati.
Pertandingan ini adalah antara sesama kawan sendiri, sudah cukup bila ada yang kalah atau
menang. Tapi babak ini anggap seri, perlu apa harus sampai ada yang mati? kata Thian-hiong.
Li Thian-go mengangguk setuju: Ucapan Shin-toako itu bijak sekali. Babak ini anggap saja
serilah.
Menurut penilaian, kedua jago tadi sama-sama terluka. Tapi luka Li Beng hanya dibagian

pundak, tidak begitu berat. Sebaliknya To Hou terkutung lengan kanannya, suatu halangan besar
baginya karena ia tak mahir bermain dengan tangan kiri. Jika pertandingan itu dilanjutkan,
kemungkinan besar ia tentu akan kalah.
Bermula Li Thian-go kuatir kalau pihak Se-kiat (Li Beng) tak setuju pertandingan itu
dihentikan, sebab sudah jelas ia pasti akan menderita kekalahan dalam babak permulaan itu.
Maka
setelah Thian-hiong memberi pertimbangan seri, iapun lekas-lekas menyatakan persetujuannya.
Karena menahan kesakitan, saat itu To Hou sudah mandi keringat dingin. Bila tak malu akan
ditertawai oleh sekalian orang gagah dari berbagai penjuru, ia tentu sudah menjerit-jerit.
Gelarannya ialah Si Jagal dan memang perangainya berangasan dan kasar.
Tapi pada saat itu, terpaksa ia tak berani unjuk kegarangan lagi. Setelah dikeluarkannya
keputusan seri, maka dari kedua belah pihak segera ada beberapa orang yang maju menghampiri
kedua jago itu untuk mengobati dan menggotongnya keluar.
Baru kedua jago yang terluka dibawa pergi, majulah di gelanggan situ si muka ungu tadi. Ia
mencekal sebatang Tok-kah-tang-jin (orang-orangan tembaga berkaki satu).
Saudara-saudara sekaum Lok-lim! Siapakah diantara kita yang tak pernah terguling di bawah
ujung golok? Kita selalu menjunjung kebajikan dan keadilan. Kalau dalam pertempuran kita
hanya
terluka saja, itulah masih mujur dan kita tetap bersahabat. Aku disini hendak membantu pihak Li
toako, sahabat manakah yang suka memberi pelajaran padaku? Biar nanti tubuhku berhias
dengan
beberapa liang darah juga aku akan tetap berterima kasih.
Ternyata si muka ungu itu bernama Han Wi, seorang benggolan begal besar yang bekerja
seorang diri. Karena ia seorang kuat peribadinya, marah girang tak kentara, maka orang
persilatan
menjulukinya dengan nama Leng-bin-hou atau Macan Bermuka Dingin.
Senjata Tok-kah-tang-jin yang digunakan itu, beratnya ada 48 kati. Sebenarnya termasuk
senjata berat juga. Tapi istimewanya sepasang lengan dari orang-orangan tembaga itu dapat
digunakan untuk menutuk jalan darah orang. Senjata itu mempunyai tiga macam ciri yang khas,
yakni: Berat, kasar, dan tangkas. Dan pemiliknya orang she Han itu, tentunya lebih lihay dari To
Hou.
Ucapannya tadi amat menusuk perasaan orang. Dari pihak Se-kiat sebenarnya sudah ada
beberapa orang yang sedianya akan maju, tapi sama mengkeret nyalinya karena gertakan orang
she
Han itu.
Adalah Kay Thian-ho yang tak dapat mengendalikan diri lagi. Tapi baru ia hendak tampil ke
muka, tiba-tiba ada seorang lelaki tinggi besar dan berwajah gemilang seperti batu kemala,
berbangkit dari duduknya dan berseru nyaring: Biarlah aku yang mohon pelajaran ilmu tutuk
dari
Han-toako!
Orang-orang dari pihak Se-kiat terbeliak kaget melihat orang itu. Orang itu masih muda tapi
bukan termasuk golongan mereka. Dia ialah Tian Goan-sin, suami Ong Yan-ih (puterinya Ong
Pekthong).
He, mengapa kau tak mau bersabar untuk membantu Thiat-mo-lek nanti? bisik Yan-ih kepada
sang suami.
Goan-siu mengepal tangan isterinya dan menyahut dengan pelahan: Demi untuk
kepentinganmu!
Yan-ih dapat memaklumi maksud suaminya. Kiranya ucapan orang she Han tadi samar-samar
mengandung hinaan pada Yan-ih. Itulah sebabnya Goan-sin hendak membalaskan kemengkalan
isterinya. Ia anggap pihak orang-orangnya Thiat-mo-lek sudah cukup jago-jagonya yang
tangguh,
kurang dia seorang rasanya tak terpengaruh. Dan lagi kalau ia memenangkan pertandingan ini,
benar secara langsung Bo Se-kiat lah yang mendapat keuntungan, tapi secara tak langsung,
karena
pihak Li Thian-go kalah, jadi pihak Thiat-mo-lek pun mendapat keringanan juga.
Han Wi kenal pemuda itu sebagai putera dari Li-mo-thau Tian Toa-nio. Diam-diam ia tergetar
hatinya: Tian-toako, bilakah kau mengikat persahabatan dengan kaum Hu-siang-to? segera
serunya dengan tertawa.
Goan-siu menjawab: Hari ini adalah hari pemilihan Bengcu dan bukan untuk membicarakan
hubungan persahabatan. Aku suka membantu siapa, itu urusanku sendiri, tak perlu kau hiraukan.

Bagaimana, apa kau hendak memilih seorang lawan lain?
Amarah Han Wi menjadi meluap, pikirnya: Aku hanya takut pada ibumu, bukan kepadamu!
Namun ia masih menguasai kerut wajahnya dan berkata dengan tenang: Ah, Tian-toako
bergurau ini. Seorang yang membuka kedai nasi masakan takut didatangi pembeli-pembeli yang
lapar. Hanya saja kita berdua ini cuma membantu pada sahabat saja, jadi urusan ini menjadi
tanggung jawab kita berdua. Jelaskah kiranya Tian-toako akan kata-kataku ini?
Goan-siu tertawa dingin: Jangan kuatir! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu untuk
membunuh aku, tak nanti ada orang yang minta ganti jiwa padamu!
Ah, bukan begitu, sahut Han Wi, Aku hanya hendak mengatakan bahwa dalam pertempuran
itu nanti tentu sukar terhindar dari salah satu yang menderita. Maka lebih dulu kutegaskan di
muka.
Harap Tian-toako memberi maaf atas kekurang-ajaranku!
Wut, begitu angkat Tok-kah-tong-jin ia lantas menghantam kepala Goan-siu. Goan-siu gunakan
jurus pek-hong-koan-jit (bianglala melintas matahari), ia berkelit sambil menusuk ke dada lawan.
Tapi Han Wi juga tidak lemah. Trang, ia cepat menangkisnya. Kemudian tong-jin disapukan,
lengan orang-orangan itu menutuk jalan darah di pinggang Goan-siu.
Goan-siu miringkan tubuhnya sembari kirim tiga kali tusukan. Semuanya mengarah jalan darah
yang berbahaya. Han Wi menjadi kelabakan melihat permainan pedang lawan yang begitu
cepatdahsyat
itu. Posisinya menjadi terdesak, dari menyerang kini ia berganti menjaga diri. Tok-kahtang-
jin diputar dengan keras sekali.
Tring, tring, tring, dalam sekejap saja tubuh orang-orangan tembaga itu penuh dengan lubang
tusukan pedang. Bagian-bagian yang tertusuk itu banyak yang gempil tapi karena berat senjata
itu
ada 48 kati dan tebalnya beberapa dim, jadi pedangpun tak dapat menembusnya. Apalagi pedang
yang digunakan Goan-siu itu hanya pedang Ceng-kong-kiam biasa. Ujung pedang itupun
menjadi
tumpul juga.
Ilmu pedang dari Goan-siu itu dititik-beratkan pada kecepatan dan kekerasan. Sebenarnya
bukan maksudnya hendak adu senjata. Sedapat mungkin ia hendak menusk tubuh lawan tanpa
terbentur dengan senjatanya (Han Wi). Tapi permainan Han Wi itu tangkas sekali. Kemana
Goansiu
menusuk, disitu tentu sudah disongsong dengan Tok-kah-tang-jin.
Orang ini menggunakan Tang-jin sebagai perisai, aku tak mampu melukainya, ah, bagaimana
aku dapat membalaskan kemengkalan Yan-moay? akhirnya Goan-siu merasa putus asa.
Sebaliknya diam-diam Han Wi bergirang hati, pikirnya: Ilmu pedangmu meskipun hebat, tapi
kau ini hanya seorang berani tapi tanpa punya siasat. Bagus, akan kubiarkan kau unjuk
kegarangan
menusuk sepuas-puasmu. Nanti setelah pedangmu putus, awaslah jiwamu!
Tengah Han Wi membayangkan kemenangan itu, tiba-tiba Goan-siu menggerung keras. Begitu
menyarungkan pedang, mendadak pemuda itu lantas menghantam dengan tinjunya. Pukulan itu
tepat mengenai punggung Tok-kak-tang-jin. Blak, terdengar suara keras dari logam yang dipalu.
Saking dahsyatnya pukulan itu, tok-kah-tang-jin terpental balik ke arah pemiliknya. Begitu keras
pukulan itu hingga Han Wi tak dapat menguasai senjatanya lagi. Tok-kah-tang-jin berbalik
menghantam keningnya sendiri. Darah memuncrat, robohlah jago she Han itu ....
Sepintas pandang tindakan Goan-siu itu amat berbahaya sekali. Tapi sebenarnya ia bertindak
dengan memakai perhitungan yang tepat. Jelas dilihatnya bahwa dalam hal tenaga, Han Wi kalah
dengan dia. Itulah sebabnya ia lantas memutuskan untuk menghantam. Tapi sekalipun ia berhasil
merobohkan Han Wi, tinjunya juga melepuh begap.
Masih Goan-siu belum reda kemarahannya. Sebelum Han Wi sempat loncat bangun, Goan-siu
sudah injak punggungnya.
Tian-toako, janganlah! Thiat-mo-lek buru-buru mencegahnya.
Goan-siu tertawa dingin: Mengingat ada orang memintakan kasihan bagimu, kali ini biar
kuampuni kau!
Tapi waktu ia angkat kakinya, Han Wi sudah pingsan. Kiranya walaupun Goan-siu tak jadi
mencabut jiwa pecundangnya, tapi ia sudah menginjak remuk perkakas dalam orang she Han itu.
Nanti apabila Han Wi sembuh, pun ia bakal menjadi seorang cacad yang tak berguna lagi.
Melihat itu gusar Li Thian-go bukan kepalang. Tanpa tunggu ada orang dalam rombongannya

yang maju, ia sudah lantas loncat kemuka: Orang she Tian, aku pun hendak minta pelajaran dari
kau!
Se-kiat tertawa: Ai, rupanya Li-cecu telah melupakan peraturan. Karena Tian-toako itu
mewakili rombonganku, maka menurut peraturan pertandingan, ia hanya boleh bertanding satu
kali
saja!
Kemarahan Li Thian-go sekarang beralih pada jago itu, tantangnya segera: Baik, kalau begitu
biarlah sekarang aku meminta pelajaran padamu saja. Pihak Hu-siang-to kalian tentu berilmu
sangat sakti!
Se-kiat menyahut: Aku tinggal di lautan yang terasing, maka dalam pengetahuan amat dangkal
sekali. Juga dalam ilmu kepandaian perguruanku, aku hanya memperoleh sedikit kulitnya saja.
Mana aku berani menerima pujian Li-cecu itu? Kedatanganku kemari hanya untuk menambah
pengetahuan tentang kepandaian yang mengagumkan dari sekalian sahabat-sahabat gagah. Telah
lama kudengar ilmu permainan tongkat Li-cecu yang disebut Loan-bi-hong-kuay-hwat itu
merupakan ilmu sakti yang tiada taranya di dunia persilatan. Sungguh beruntung sekali hari ini
aku
dapat berjumpa dengan Li-cecu, maka hendaknya sukalah Li-cecu memberi pelajaran barang
beberapa jurus saja dari permainan tongkat yang sakti itu.
Habis berkata ia lemparkan pedangnya lalu menghampiri sebatang pohon besar. Dengan tangan
kosong ia tabas sebuah dahan, lalu dipotong-potongnya sehingga merupakan sebuah tongkat dari
satu setengah meter panjangnya. Sekalian orang yang menyaksikan tenaga pukulan anak muda
itu
sedemikian hebatnya, sama tercengang-cengang.
Lalu Se-kiat kembali ke tengah gelanggang dan tegak berdiri menghadapi Thian-go, serunya:
Silahkan Li-cecu memulai!
Kini baru mengertilah Li Thian-go bahwa si anak muda itu hendak melawannya dengan tongkat
kayu saja. Seketika meluaplah amarahnya, anfsu pembunuhan menyala-nyala di wajahnya.
Sebagian dari penyamun-penyamun yang hadir dalam pertemuan itu belum pernah kenal siapa
Se-kiat itu, mereka bersangsi dalam hati: Meskipun anak muda itu anak murid angkatan
keempat
dari Kiu-si-khek, tapi usianya masih begitu muda. Taruh kata begitu lahir ia sudah belajar silat,
masakan ia dapat mengatasi Thiat-koay Li. Apalagi ia begtu congkak hanya memakai dahan
pohon
untuk melawan tongkat besi. Bukankah ia seperti ular cari gebuk?
Selagi sekalian hadirin mengkuatirkan diri Se-kiat, disana Thian-go kedengaran membuka suara
dengan dingin: Karena Bo-heng hendak menguji permainan tongkatku, terpaksa akupun akan
mengunjuk permainan yang jelek itu!
Thian-go benci kepada si anak muda yang begitu memandang rendah padanya. Maka begitu
membuka serangan, ia sudah gunakan jurus yang keras sekali. Sekejap saja tongkat besi itu
sudah
berubah menjadi lingkaran sinar yang menderu-deru seperti badai.
Se-kiat tak mau menghindar, sebaliknya ia angkat tongkat kayunya untuk menangkis. Sekalian
orang hampir menjerit kaget. Mereka yakin tongkat anak muda pasti hancur dan orangnya tentu
kena terhantam. Tapi aneh bin ajaib, bukan tongkat kayu si anak muda yang patah, sebaliknya
tongkat besi Thian-go yang terpental. Thiat-koay Li penasaran dan ulangi hantamannya sampai
tiga
kali, tapi setiap kali tongkat besinya itu selalu terpental waktu berbenturan dengan tongkat kayu
si
anak muda. Serangan Thiat-koay Li yang dilancarkan dengan ngotot itu hanya ditangkis
seenaknya
saja oleh si anak muda. Setiap serangan selalu dapat dipatahkan dan kalau tongkat besi terpental
adalah tongkat kayu itu tetap utuh tak kurang suatu apa.
Hal itu telah menimbulkan kegemparan hebat di kalangan hadirin. Mereka tak habis-habisnya
menyatakan keheranannya.
Jangan-jangan anak itu mempunyai ilmu sihir. Tongkat besi dari Thiat-koay Li dapat
menghancurkan batu dan meremukkan kepala orang. Mengapa tongkat kayu anak muda itu tak
kena apa-apa? kata sementara hadirin.
Benarkah Se-kiat menggunakan ilmu sihir? Tidak! Ia hanya mahir dalam ilmu lwekang.
Semuda itu usinya namun ia sudah dapat menyakinkan lwekang dengan sempurna. Tadi ia telah
gunakan apa yang disebut tenaga menyedot. Memang tampaknya ia adu kekerasan tapi
sebenarnya
ia telah dapat memperhitungkan datangnya serangan lawan dengan tepat. Begitu meerima
pukulan,

ia terus saja 'menyedot' tenaga lawan. Paling sedikit 7-8 bagian dari tenaga Thiat-koay Li telah
kena disedot, sehingga tak heranlah kalau tongkat kayu si anak muda tak menderita apa-apa.
Kau mengatakan hendak adu ilmu tongkat, tapi mengapa tak balas menyerang? seru Thiatkoay
Li.
Se-kiat tertawa: Aku adalah tetamu dari jauh, sudah sepantasnya mengalah sampai tiga jurus.
Habis itu ia lantas putar tongkat kayunya untuk menyerang. Dan jurus yang digunakannya juga
ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat bagian it-lat-ciang-cap-hwe (tenaga satu
menindih sepuluh).
Sudah tentu kepandaian Thiat-koay Li lebih tinggi dari kawanan tetamu yang berteriak-teriak
keheranan tadi. Tahu kalau lwekang si anak muda lebih tinggi, sengaja ia menyuruh lawan balas
menyerang. Dan bahwa si anak muda mau menyerang, apalagi gunakan jurus Loan-bi-hong-
koayhwat,
diam-diam ia heran tapi girang juga.
Jurus it-lat-ciang-cap-hwe itu, adalah jurus untuk adu kekuatan. Thiat-koay Li bertenaga besar,
jadi ia girang dengan serangan itu, maka ia pun segera gunakan jurus serupa it-lat-ciang-cap-hwe
untuk menyambutnya.
Trang, terdengar benturan keras. Anehnya, tongkat kayu Se-kiat tetap tak patah, sebaliknya
tongkat besi Thiat-koay Li tak dapat dikuasainya lagi, turut berputar-putar dibawa tongkat si
anak
muda. Kiranya tenaga Se-kiat yang keras itu mengandung kelemasan, jauh lebih tinggi dari
kepandaian Thiat-koay Li. Setelah berbentur, Se-kiat lalu ganti menggunakan lwekang
'memutar'.
Ia melancarkan tenaga, kemudian meminjam tenaga lawan untuk mengendalikan lagi, cara ini
adalah termasuk lwekang sakti yang disebut 'pinjam tenaga mengembalikan tenaga'. Sudah tentu
Thiat-koay Li tak berdaya lagi.
Masih untung Se-kiat tak mau membikin celaka lawan. Setelah memutar beberapa kali, ia
lantas tarik pulang tongkatnya. Ujarnya dengan tertawa: Loan-bi-hong-koay-hwat dari Li-cecu
benar-benar luar biasa, aku hendak mohon pelajaran lainnya lagi.
Sebenarnya Thiat-koay Lo harus mengakui kekalahannya. Tapi kalau ia berbuat begitu, berarti
habislah harapannya untuk maju ke babak kedua. Apa boleh buat ia tebalkan muka dan pantang
menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia lantas menyerang lagi dengan permainan Loan-bi-hong-
koayhwat.
Se-kiat memang bermaksud hendak menggodanya. Lawan gunakan jurus apa, ia pun gunakan
jurus itu. Ilmu permainan Thiat-koay Li disebut 'loan-bi-hong' atau angin puyuh, sudah tentu
gerakannya amat cepat sekali. Tapi ternyata Se-kiat dapat memainkan lebih cepat lagi dari dia.
Jangan lagi dapat melukai atau menghantam tongkat kayu lawan, sedang ujung baju si anak
muda
itu saja Thiat-koay Li sudah tak mampun menyentuhnya.
Selagi mata sekalian penonton puder karena gerak-gerik kedua jago itu secepat bayangan,
tibatiba
Thiat-koay Li loncat keluar dari gelanggang. Bluk, tongkat besinya dibuang ke tanah, lalu
memberi hormat dengan kedua tangannya: Terima kasih atas kemurahan hati Bo-heng, aku
orang
she Li menyerah dengan sepenuh hormat!
Se-kiat buru-buru membalas hormat. Diambilnya tongkat besi, lalu diserahkan kepada si
pemilik Thiat-koay Li.
Memang kecuali Thiat-mo-lek, To Peh-ing, Tang Kiam, Kay Thian-ho dan beberapa tamu yang
lihay, lain-lain orang tak mengerti mengapa Thiat-koay Li lompat keluar dan menyerah kalah itu.
Kiranya setelah Thiat-koay Li habis memainkan jurus permainan tongkatnya sampai jurus yang
terakhir, dengan kecepatan luar biasa Se-kiat segera menusuk robek dada bajunya. Coba anak
muda
itu mau berlaku kejam, dada Thiat-koay Li pasti amblong. Sampai disitu barulah Thiat-koay Li
insyaf bahwa kepandaian lawan memang jauh beberapa kali lebih lihay dari dirinya. Mau tak
mau
senang tak senang terpaksa ia harus menyerah kalah juga.
Menurut peraturan pertandingan, babak kedua nanti akan dimajukan oleh pihak jago tua Thiatpi-
kim-to Tang Kiam lawan pemenang dari babak kes atu yakni pihak Se-kiat.
Pendukungpendukung
dari Tang Kiam kebanyakan adalah golongan Locianpwe (jago tua) yang sudah ternama
di dunia persilatan.
Untuk pertandingan pertama dari babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam mengajukan Wi-tin-
hoKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sok Ban Liu-tong, sedang di pihak Se-kiat menampilkan Kay Thian-ho.
Ban Liu-tong bergelar 'Wi-tin-ho-sok' atau perbawa menggetarkan utara sungai. Sudah tentu ia
memiliki kepandaian yang istimewa. Tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebatang tombak ia
malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan. Di dalam dunia Lok-lim ia termasuk
tokoh
kelas berat.
Tetapi sayang ia sudah berusia tua, lebih tua dua tahun dari Tang Kiam. Sebaliknya lawannya:
Kay Thian-ho, dalam usia sedang gagah-gagahnya. Dalam kekuatan tenaga, Thian-ho jauh lebih
menang dari lawan. Maka waktu pertandingan mencapai jurus yang ketiga puluh, dengan jurus
Latbi-
hoa-san (dengan tenaga penuh menghantam gunung Hoa-san) ia hantam Liu-tong. Jago tua itu
tak kuat menangkis, hampir saja ia terhuyung jatuh.
Thian-ho tetap menghormati sang lawan itu sebagai seorang cianpwe. Buru-buru ia buang
goloknya terus merangkul lawannya supaya jangan jatuh. Tapi Liu-tong juga seorang jago tua
yang
sportif. Ia mengatakan tadi memang Thian-ho sengaja jatuhkan senjatanya sendiri, bukannya
kalah.
Dengan serta merta jago tua itu menyatakan dirinyalah yang kalah. Sekalian orang gagah yang
menyaksikan kesudahan pertempuran itu sama memuji keperwiraan kedua jago itu.
Untuk pertandingan kedua dalam babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam sebetulnya akan keluar
Say-coan-cu Siong Kam, seorang jago tua dari Beng-ciu. Tapi tiba-tiba Tang Kiam berbangkit
mencegahnya: Siong-lote, akulah yang mengajakmu datang kemari. Masih ingatkah kau akan
pembicaraan kita itu?
Sahut Siong Kam: Itu waktu sebenarnya kau tak berhasrat datang kemari, kemudian kukatakan
bahwa kita berdua itu sudah tua, sedikitpun tak mempunyai keinginan untuk kedudukan
pemimpin
Lok-lim itu. Tapi tak ada jeleknya kita hadir kemari untuk meninjau apakah di dunia Lok-lim
dewasa ini terdapat tunas-tunas muda yang lihay.
Tang Kiam tertawa: Benar! Oleh sebab itu maka kuminta sukalah kau duduk lagi untuk
menonton saja!
Tang-toako, sebenarnya memang harus begitu, tapi aku tak menyangka sama sekali bahwa
ternyata masih terdapat banyak sekali sahabat-sahabat yang mengajukan dirimu. Jika sekarang
kau
hendak undurkan diri, bukankah akan membikin kecewa hari mereka? bantah Siong Kam.
Tang Kiam menggeleng kepala, ujarnya: Setelah menyaksikan tadi bahwa tunas-tunas muda
kita itu mampu mengganti dan bahkan lebih jempol dari kita angkatan tua, aku merasa girang
sekali. Masakah aku masih mempunyai nafsu untuk turut berebut lagi? Tapi seperti kau katakan
tadi, kitapun tak boleh mengecewakan harapan sahabat-sahabat kita itu maka baiknya begini
sajalah. Untuk pertandingan ini, akan kuminta Bo-siauhiap mengunjuk kepandaian lagi. Coba
saja
aku si tua ini masih dapat melayani sampai berapa jurus? Dengan begitu, biarlah babak terakhir
yang tentunya lebih menarik ini dapat segera dimulai dan lekas selesai pula.
Ucapannya itu mengandung dua macam arti. Pertama, sebagai seorang angkatan tua ia akan
menguji seorang angkatan muda. Ya, hanya menguji saja bukan hendak merebut menang atau
kalah. Kedua, ia hendak mengunjuk kerendahan hati (mengalah). Jika Siong Kam yang maju,
apabila sampai menang, tentu pertandingan ketiga harus dimainkan lagi. Ini berarti akan
memakan
waktu. Maka ia ambil putusan untuk maju sendiri dengan membawa keyakinan, pasti kalah.
Dengan begitu, biarlah babak ketiga, yakni pertandingan antara Bo Se-kiat lawan Thiat-mo-lek,
segera dapat dimulaikan. Dari sini dapat diketahui, sampai dimana kebijaksanaan jago tua itu.
Seperti telah diterangkan di muka, menurut tata tertib pertandingan, pemenang pertandingan
tadi boleh minta diganti orangnya, pun boleh melanjutkan bertempur terus sendiri.
Maka bertanyalah Thian-hiong kepada Se-kiat: Tang-locianpwe bermaksud hendak berkenalan
dengan jago-jago muda saja, maka ia minta kau saja yang terus melanjutkan pertandingan.
Bagaimana kehendakmu?
Se-kiat buru-buru memberi hormat kepada Tang Kiam: Atas perhatian Locianpwe, aku
menghaturkan terima kasih. Dengan segala senang hati kuturut perintah Locianpwe!
Tang Kiam tertawa gelak-gelak: Bagus, bagus! Kau hendak pakai senjata apa?
Kiranya Se-kiat tak membawa senjata apa-apa dan hanya bertangan kosong saja, itulah
sebabnya maka Tang Kiam menanyainya.

Se-kiat menjura, ujarnya: Di hadapan locianpwe masakan aku berani kurang ajar memakai
senjata!
Tang Kiam tertegun, lalu tertawa lagi: Baik, kalau begitu biarlah aku bertambah pengalaman
lagi untuk menyaksikan permainan tangan kosong Siauhiap ini!
Di kalangan orang persilatan, memang masih menjunjung perbedaan antara kaum tua dengan
kaum muda. Jika berhadapan dengan lawan yang sama derajatnya, apabila salah seorang ada
yang
tak memakai senjata, itu berarti menghina lawan. Tapi terhadap angkatan yang lebih tua, hal itu
malah berarti kebalikannya. Tidak menggunakan senjata, itu menandakan menghormat,
mengunjukkan bahwa dirinya (kaum muda) tak berani memusuhi seorang Locianpwe. Biarpun
dirinya terluka, tapi tetap tak mau melukai Locianpwe itu.
Mendengar percakapan itu, sekalian hadirin sama memuji Se-kiat. Tapi mereka diam-diam
menguatirkan anak muda itu: Thiat-pi-kim-to dari Tang Kiam itu jauh lebih hebat dari tongkat
besi
Thiat-koay Li. Jika Se-kiat memakai pedang, dengan mengandalkan tenaganya yang masih muda
itu, ia tentu menang. Tapi kalau hanya dengan tangan kosong saja, karena tenaganya itu tak
banyak
berguna, maka sukar ditentukan kalah menangnya. Tapi anak muda itu memang perwira sekali,
rupanya ia lebih suka kehilangan kesempatan mendapat kedudukan Beng-cu daripada dikatakan
tak
menghormat seorang Cianpwe!
Tang Kiam penyelentik sekali punggung goloknya, lalu menyuruh siap lawan: Baiklah, kalau
begitu harap Siauhiap terima seranganku ini!
Golok kim-to segera ditabaskan miring. Se-kiat rangkapkan kedua tangan selaku memberi
hormat sembari tundukkan kepalanya ke bawah untuk menghindari tabasan golok. Sebagai
seorang
angkatan muda, untuk serangan pertama itu ia tak mau membalas. Malah ia sengaja berikan
suatu
kesempatan bagus kepada Tang Kiam.
Ai, janganlah Bo-siauhiap berlaku sungkan! Tang Kiam tertawa. Begitu tubuhnya membalik,
ia melancarkan serangan yang lihay. Golok di tangan kanan ditabaskan dari samping dan tinju
kirinya pun menyusuli dengan sebuah hantaman. Seketika itu kanan, kiri dan bagian tengah dari
si
anak muda terkurung rapat.
Sama sekali Se-kiat tak menyangka bahwa jago tua yang usianya sudah mendekati 70-an tahun
itu, masih begitu hebat dalam permainan golok dan pukulan. Tanpa terasa mulut Se-kiat
memujinya: Bagus!
Sekalian hadirin menghormat Tang Kiam sebagai seorang cianpwe. Serempak mereka berseru
memuji permainan jago tua itu. Diam-diam mereka membatin: Dalam taburan sinar golok dan
pukulan semacam itu, mungkin lalatpun tak mampu terbang menerobos keluar. Ha,
bagaimanakah
anak muda she Bo itu akan menghindarkan dirinya?
Sesaat itu terdengar suara berdering dan Se-kiatpun sudah kisarkan kakinya ke samping Tang
Kiam. Hanya pakaiannya yang tampak berkibar-kibar tertiup sambaran golok lawan, tapi
orangnya
masih tetap tak kurang suatu apa!
Kiranya Se-kiat telah gunakan It-cin-sing-kang (jari sakti) untuk mementalkan golok sedikit lalu
menyelundup keluar dari bawah sambaran mata golok itu. Melihat permainan silat si anak muda
yang belum pernah disaksikan selama itu, sekalian penonton terhening diam menahan nafas.
Begitu
Se-kiat sudah lolos dengan selamat, pecahlah tepuk sorak mereka menggemparkan tanah datar
situ.
Sorak pujian kali ini, jauh lebih gempar dari pujian kepada si jago tua Tang Kiam tadi.
Tang Kiam sendiripun turut memuji: Sungguh hebat! Setengah abad lamanya golokku ini
malang melintang dan baru sekarang ketemu tandingannya!
Dengan gagahnya jago tua itu putar lagi kim-tonya, diimbangi dengan tinjunya yang
menhantam seperti angin. Perbawa serangan jago tua itu, dapat dilukiskan seperti gelombang
sungai Tiang-kang yang mendampar dengan dahsyatnya.
Diam-diam Se-kiat memuji juga: Orang tua ini benar-benar tak bernama kosong. Jika pada
tiga puluh tahun yang lalu di kala ia masih muda, tentu aku tak dapat menghadapinya dengan
tangan kosong!
Ia pun tak berani berayal dan lalu keluarkan ilmu gin-kangnya. Dengan mengandalkan
kelincahan ia hadapi serangan lawan. Dengan tinju menyambut tinju, dengan pukulan
menghantam

golok.
Begitulah makin lama, ke-2 jago tua dan muda itu bertempur makin seru. Sekalian hadirin yang
menyaksikan pertempuran itu sama menahan napas dan memandang dengan mata tak berkesip.
Se-kiat menyelinap ke kanan, menerobos ke kiri. Gerakannya mirip dengan seekor kupu-kupu
menyusup kelompok bunga. Empat pelosok delapan penjuru, yang tampak hanyalah bayangan si
anak muda itu. Walaupun yang bertempur di gelanggang itu hanya dua orang saja, tapi
tampaknya
seperti ribuan tentara yang tengah bergumul dengan rapat.
Gerakan Se-kiat makin cepat hingga beberapa penonton, sama berkunang-kunang matanya.
Saking tak tahan, mereka buru-buru pejamkan mata tak berani melihatnya lagi.
Tiba-tiba sinar golok berputar melingkar seperti bianglala dan tahu-tahu kedua jago yang
bertempur itu loncat mundur bersama. Dan secepat itu Se-kiat lantas rangkapkan kedua tangan
memberi hormat: Locianpwe, maafkanlah!
Tang Kiam sarungkan goloknya ke dalam kerangka dan tertawa gelak-gelak. Sekalian hadirin
kesima heran tak tahu apa yang telah terjadi. Sana-sini sama bertanya: Sebetulnya siapakah
yang
menang itu?
Tang Kiam tampak acungkan jempolnya dan berseru: Golok kim-to ini telah kupakai selama
50 tahun, baru pertama kali ini terasa puntul. Tapipun selama hidupku, belum pernah aku begini
gembira seperti hari ini. Bahwa di dunia Lok-lim telah muncul seorang bintang cemerlang seperti
Bo-lote, sungguh pantas dibuat girang dan diberi ucapan selamat!
Mendengar itu barulah sekalian hadirin tahu bahwa Se-kiatlah yang menang. Kiranya dengan
kecepatan yang luar biasa, Se-kiat telah berhasil merebut golok lawan kemudian dengan tak
kurang
sebatnya ia mengembalikannya lagi. Merebut dan mengembalikan golok itu, telah berlangsung
dalam tempo yang cepat sekali, lebih cepat dari kejapan mata orang. Itu sebabnya maka tadi para
hadirin melihat bayangan seperti pelangi melingkar lalu tahu-tahu kedua jago itu petal mundur.
Kecuali beberapa tokoh lihai, kebanyakan dari para penonton di situ tak dapat melihat kejadian
yang sebenarnya.
Karena pihak Tang Kiam sudah dua kali mengalami kekalahan, jadi babak kedua itu diakhiri
sampai di situ dengan pihak Se-kiat sebagai pemenangnya. Untuk babak ketiga atau yang
terakhir,
akan muncullah golongan Se-kiat melawan jago-jago dari golongan Thiat-mo-lek. Pertandingan
ini
pasti akan berjalan lebih seru dan menarik. Kalau dalam babak kesatu dan kedua pihak Se-kiat
bakal memperoleh kemenangan, itu sudah dapat diduga lebih dulu. Tapi untuk pertandingan
babak
yang terakhir ini, semua orang tak berani mengira-kirakan lagi.
Thian-hiong selaku juru bicara telah mengumumkan dimulaikannya babak ketiga dengan
keterangan bahwa pemenangnya nanti adalah yang berhak menjadi Bengcu. Seketika suasana
dalam gelanggang situ menjadi hening. Orang-orang dari kedua rombongan yang akan bertempur
itupun sama berkelompok berunding untuk memilih jagonya masing-masing.
Tampak Thiat-mo-lek mengerutkan alisnya seperti memikirkan sesuatu. To Peh-ing yang
berada di samping segera membisik: Tidak boleh!
Apa yang tidak boleh? tanya Tian Goan-siu.
Tidak boleh menyerah padanya! sahut Peh-ing.
Mengapa tidak boleh? Bo Se-kiat memiliki kepandaian silat yang hebat dan kecerdasan otak
yang jempol. Bukankah amat baik sekali jika menyerahkan kedudukan Bengcu padanya? kata
Thiat-mo-lek.
Kata Peh-ing: Dia datang dari luar lautan, baru setahun menginjak bumi Tionggoan sudah
lantas mengikat persahbatan dengan banyak orang gagah. Kuanggap dia memang bermaksud
hendak merebut kedudukan Bengcu ini.
Itu kebetulan sekali! Memang aku sebenarnya tak ingin menjadi Beng-cu, kata Thiat-mo-lek.
Adalah justeru karena sifat-sifat kecerdasannya itu amat menonjol sekali, jadi sukar orang
hendak menduganya. Siapa tahu ia bakal memimpin saudara-saudara kita ke arah mana?
Kuharap
kecurigaanku ini berlebih-lebihan, tapi bagaimanapun aku tak dapat menghilangkan kekuatiran
hatiku, ya aku kuatir setelah ia menjadi Beng-cu belum tentu dunia Lok-lim akan berbahagia!
kata
Peh-ing.

Dalam kalangan Lok-lim, To Peh-ing itu dijuluki sebagai Siau-cu-kat atau Cukat Liang-kecil.
Cukat Liang atau Khong Bing adalah seorang Kunsu (penasihat militer) yang cemerlang dalam
jaman Sam Kok. Dalam meneliti ucapan Peh-ing itu, Thiat-mo-lek seperti merasa ada sesuatu
maksud yang dalam. Maka ia merasa kaget dan lantas tak berani buka suara lagi.
Shin Thian-hiong seorang lelaki berwatak blak-blakan. Takut kalau Thiat-mo-lek akan
undurkan diri, maka cepat ia acungkan sepasang kapak terus lari ke dalam gelanggang.
Aku seorang pendukung Thiat-mo-lek. Sekarang dengan memberanikan diri, aku akan tampil
yang pertama. Siapa diantara saudara-saudara yang akan memberi pelajaran padaku?
Sebagai tuan rumah, tampilnya Thian-hiong itu telah menarik perhatian semua orang.
Anggotaanggota
kelompok penyokong Thiat-mo-lek, bangkit semangatnya. Riuh rendah mereka bertepuk
tangan dan berseru membantu moril jagonya.
Dari pihak Se-kiat, tampak Kay Thian-ho yang maju.
Ha, ha, Shin-cecu, kita adalah sahabat kental. Selama ini entah sudah berapa banyak kali kita
bertanding minum arak. Bertanding kepandaian, baru pertama kali ini. Kita sama-sama
membantu
sahabat. Tentunya sebagai seorang kakak, kau takkan menyesali adikmu ini, bukan? kata Thian-
ho
tertawa.
Thian-hiong tertawa juga: Baiklah kita anggap pertandingan ini semacam pertandingan arak
saja. Siapa kalah siapa menang, harus menerimanya dengan gelak tertawa. Jika kau yang
menang,
akan kupersilakan kau minum tiga puluh cawan besar!
Kedua tokoh itu, sama tinggi besarnya, sama jujurnya dan sama pula kedudukan namanya
dalam dunia Lok-lim. Inilah yang dibilang 'berdiri sama tinggi, duduk sama rendah'.
Para hadirin tidak ada yang pro mana-mana. Mereka bertepuk memuji Thian-hiong, pun
bersorak menyanjung Thian-ho.
In-nio kerutkan alisnya: Eh, mereka benar-benar akan berkelahi?
Sudah tentu berkelahi sungguh-sungguh, masakan hanya bergurau saja? Eh, apakah kau
menguatirkan mereka? Takut orang she Kay yang terluka atau kuatir orang she Shin yang
bonyok?
tanya Yak-bwe tertawa.
Mereka adalah sahabat karib, maka tak perlulah aku menguatirkan. Aku .... ak ... suara In-nio
terputus-putus waktu akan menentukan pilihannya.
Yak-bwe mengerti, ujarnya: O, kau kuatirkan Shin-toako dan Thiat-mo-lek. Yang satu
kekasihmu, yang satu kenalan kita yang baik. Kemarin mereka masih bercakap-cakap mesra
sebagai sahabat lama, tak nyana hari ini mereka saling berebut kedudukan Beng-cu. Siapakah
yang
kau harapkan akan menang?
In-nio tundukkan kepala berdiam. Beberapa saat kemudian baru menyahut: Entahlah, aku tak
tahu, aku tak tahu. Hm, aku sungguh tak mengerti mengapa ia tak mau mengalah untuk Thiat-
molek?
In-nio mengindahkan Thiat-mo-lek, ia anggap Thiat-mo-lek lebih tepat yang menjadi Bengcu.
Tapi dalam pada itu, iapun berharap supaya Se-kiat dapat menundukkan para orang gagah dan
dapat
mengangkat nama. Itulah sebabnya ia kebat-kebit melihat pertandingan antara banteng dan
harimau
itu dan hatinya gelisah sendiri.
Tiba-tiba Shin Thian-hiong kedengaran berteriak keras hingga In-nio sampai tersentak kaget.
Ternyata kedua jago itu sudah bertempur seru dan berteriak-teriak. Tapi pertempuran mereka itu
lebih banyak seperti orang adu tenaga. Thian-ho menghantam goloknya dan Thian-hiong
menangkis dengan kapaknya. Adu senjata itu telah menimbulkan lengking dering yang
memekakkan telinga.
Kay-lote, hebat sungguh tenagamu! seru Thian-hiong.
Shin-toako, sepasang kapakmu itu berat bukan main! Thian-ko balas memuji.
Mereka berdua sama terbahak-bahak. Tiba-tiba mereka sama menggembor terus berbaku
hantam dengan golok dan kapak lagi. Mereka itu kawan akrab, tetapi di waktu berkelahi,
samasama
tak mengalah. Karena tenaga mereka kuat, maka gelanggang pertempuran itu sampai terasa
bergoncang!
Waktu melayani Wi-tin-ho-sio Ban Liu-tong tadi, karena jago itu sudah tua, Thian-ho tak

banyak mengeluarkan tenaga. Kini baru ia keluarkan seluruh kekuatannya. Goloknya berputar
menderu-deru. Sedikit saja menyerempet pohon atau batu, tentu benda-benda itu akan hancur.
Anak buah Kim-ke-nia tahu bagaimana kepandaian Cecunya (Thian-hiong), tapi tak urung
mereka
merasa kuatir juga.
Dan ternyata Thian-hiong tak mengecewakan harapan mereka. Demi untuk kepentingan
Thiatmo-
lek, ia bertempur dengan mati-matian. Sepasang kapaknya itu masing-masing tak kurang dari
50 kati beratnya. Jadi lebih berat dari golok Thian-ho. Waktu dimainkan, sepasang kapak itu
seperti dua ekor naga yang tengah berebut mestika. Perbawanya dapat melekahkan gunung,
menghancurkan batu. Juga anak buah Thian-ho tak terluput dari perasaan kuatir seperti anak
buah
Kim-ke-nia. Mereka tahu dan percaya akan kegagahan Cecu-nya masing-masing, tetapi tetap
merasa kuatir juga.
Saking hebatnya pertempuran itu, para penonton yang tadinya bersorak memberi semangat, kini
makin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Mereka sama menahan napas. Dahsyatnya
pertarungan kedua jago itulah yang membuat suasana berubah menjadi hening tegang.
Mereka berdua sama-sama berangasan dan bersahabat baik. Siapa yang terluka, mereka tentu
merasa menyesal seumur hidup, demikian semua orang sama membatin.
Sekonyong-konyong keduanya berbareng menggembor keras. Thian-ho lintangkan goloknya
dan trang .... dua buah logam beradu keras, menghamburkan letikan api. Sepasang kapak
Thianhiong
dan golok Thian-ho sama-sama terpental ke udara. Dan orangnyapun sama-sama terjungkir
balik.
Sekalian hadirin terkejut. Beberapa orang sudah cepat-cepat memburu masuk ke gelanggang.
Ada yang menolong Thian-hiong ada yang mau mengangkat Thian-ho.
Tiba-tiba kedua orang itu sama menghambur tertawa gelak-gelak dan hampir bersamaan saatnya
mereka sama-sama gunakan gerak Le-hi-tang-ing atau ikan lele berjumpalitan, mereka loncat
berdiri.
Kay-lote, kau memang hebat. Sepasang kapakku itu sekarang hanya dapat digunakan untuk
menebang kayu bakar saja! seru Thian-hiong.
Sama-sama! Golokku itupun nantinya hanya dapat digunakan untuk memotong sayur saja!
sahut Thian-ho.
Keduanya sama menjemput senjatanya masing-masing. Sepasang kapak Thian-hiong
rompalrompal,
golok Thian-ho ujungnya juga melingkar. Keduanya sama tertawa kegirangan.
Bagaimana ini? seru Thian-hiong, Kita berdua seperti pengemis yang kematian ular,
samasama
nihil tak dapat apa-apa!
Kalau begitu kita bertanding minum arak sajalah! sahut Thian-ho.
Karena senjatanya sama-sama terpental jatuh dan orangnya tak terluka, maka pertandingan itu
berakhir seri. Seorang juri tampil kemuka dan mengumumkan pertandingan itu seri. Melihat
kesudahan pertempuran itu, kedua belah pihak sama gembira puas.
Baru kedua jago tua itu dengan diantar oleh tepuk sorak yang riuh meninggalkan gelanggang,
tiba-tiba terdengar gemerincing kelinting kuda. Kuda itu mendatang dengan pesat sekali.
Toan-siauhiap datang! sekonyong-konyong ada orang berteriak.
Hai, ia bersama seorang nona, siapa nona itu? kata seorang lain.
Jantung Yak-bwe mendebur keras. Waktu mendongak mengawasi, memang benar ada dua
penunggang kuda berlari mendatangi. Yang berada di muka ialah Toan Khik-sia dan di
belakangnya seorang nona baju merah.
Sesudah melihat terang, sekalian orang gagah sama bersorak: Hai, nona Lu, kau datang juga?
Mana engkohmu?
Begitu loncat turun dari kudanya, nona baju merah itu segera menjura ke empat jurusan.
Serunya: Engkohku suruh aku menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian. Dia tak
datang.
Nona itu cantik sekali, tapi gagah juga. Di bawah sorotan mata dari sekian banyak orang gagah,
sedikitpun ia tak jengah. Sikapnya wajar seperti seorang pemuda.
Rasanya nona Lu itu tak asing bagiku, tetapi mengapa ia datang bersama Toan-long? Entah

apakah hanya secara kebetulan bertemu saja atau memang ajak-ajakan? demikian Yak-bwe
membatin.
Begitu tiba di hadapan Thian-hiong, Khik-sia lantas memberi keterangan: Shin-sioksiok,
maafkan aku terlambat datang. Inilah surat dari Hong-ho-ngo-pa. Dalam menundukkan Hong-
hongo-
pa kali ini, aku banyak mendapat bantuan dari nona Lu.
Ia membuka sebuah bungkusan dan menyerahkan lima buah sampul besar warna merah kepada
Thian-hiong.
Bagus, bagus. Setelah Bengcu yang baru dilantik resmi, nanti akan kuhaturkan arak
pernyataan selamat padamu! kata Thian-hiong.
Nona baju merah itupun menghampiri dan berkata: Shin-cecu tentu takkan mengusir aku,
bukan?
Ai, mana, mana! Sebenarnya sudah kusiapkan surat undangan kepada kalian kakak beradik,
tapi karena tak tahu alamatnya, jadi sayang tak dapat diterimakan. Harap nona suka maafkan.
Kedatangan nona kemari ini, telah memberi muka terang kepada kami semua. Barusan saja aku
habis bertempur dengan seorang sahabat karib, jadi rupaku tentu tak keruan, harap nona jangan
menertawakan aku, kata Thian-hiong.
Memang Cecu dari gunung Kim-ke-nia itu mukanya kotor kena lumpur, pakaiannya ada yang
koyak. Ya, benar-benar lucu kelihatannya.
Nona baju merah itu tak dapat menahan gelinya lagi. Ia mengikik tertawa, sahutnya: Sayang
aku datang terlambat, tak dapat menyaksikan Cecu main kunthau tadi. Tapi ah, janganlah aku
mengganggu urusan di sini. Silahkan kalian melanjutkan pertandingan lagi.
Toan-hiantit, kebenaran sekali kau datang! seru To Peh-ing seraya menarik tangan pemuda itu
ke arah pihaknya.
Nona baju merah itu juga ikut berdiri di samping Khik-sia. Melihat pergaulan mereka yang
begitu akrab, hati Yak-bwe menjadi gundah. Malah ada dua orang tetamu yang berada di dekat
situ,
saling membicarakan tentang Khik-sia dengan si nona baju merah.
Adik perempuan dari Sin-cian-chiu Lu Hong-jun itu, jika dipasangkan dengan putera dari
Toan-tayhiap, sungguh merupakan sejoli yang sembabat sekali! demikian kata seorang
diantaranya.
Maka sahut orang yang lain: Tapi puteri dari keluarga Lu itu tampaknya lebih tua beberapa
tahun dari putera keluarga Toan.
Kata orang yang pertama tadi: Apa halangannya? Bukankah di desa kami banyak
mempelaimempelai
perempuan yang jauh lebih tua dari lakinya?
Di Tiongkok dulu ada kebiasaan, mengambil menantu perempuan sejak masih kecil. Orang tua
dari pihak lelaki, mengambil dan memelihara calon menantu bagi puteranya yang masih kecil.
Setelah gadis itu dewasa, barulah dinikahkan dengan resmi. Ini hampir sama dengan kebiasaan di
Indonesia yang disebut nikah pacul. Bedanya, kalau di sana calon menantu perempuan yang
dipelihara mertuanya, tapi kalau di sini calon menantu laki yang dipelihara mertuanya.
Lalu ada seorang lagi yang turut bicara: Benar, mereka adalah keturunan kaum persilatan. Di
dunia persilatan mereka mempunyai kedudukan sebagai ksatria-ksatria angkatan muda.
Keduanya
sama-sama rupawan, jika saling berjajar, wah, sungguh seperti sepasang dewa-dewi. Jika mereka
dapat terangkap menjadi suami isteri, pasti akan menjadi buah sanjungan dunia persilatan.
Hati Yak-bwe makin kecut. Diam-diam ia membatin: Turut ucapan Khik-sia tadi, mereka
berdua itu bukan secara kebetulan bersua di jalan. Malah nona she Lu itu katanya pernah
membantu dia menundukkan Hong-ho-ngo-pa. Wah, hubungan mereka tentu sudah mendalam!
Tiba-tiba In-nio membisiki telinganya: Pemuda-pemudi persilatan itu umumnya bergaul secara
bebas. Adik yang baik, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik kau tutup telingamu, jangan
mendengar ocehan mereka.
Setitikpun aku tak gelisah. Jika dia berbalik pikiran, akupun tak merasa kecewa, sahut
Yakbwe.
Walaupun sang telinga tak ingin mendengar, namun tak urung sang hati kepingin mengetahui.
Tanpa dapat dicegah lagi, bertanyalah Yak-bwe kepada orang tadi: Siapakah sebenarnya
kakakKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
beradik she Lu itu?
Orang itu tertawa, sahutnya: Kakak-beradik she Lu adalah bintang-bintang cemerlang dalam
kalangan persilatan, masakan kau tak mengetahui? Mereka menuntut penghidupan sebagai
maling
haguna (mulia). Memang jarang sekali mereka melakukan pekerjaan, tapi sekali turun tangan
tentu
'ikan besar' yang ditangkapnya. Hasil yang diperolehnya, tentu didermakan pada rakyat yang
menderita. Mereka benar-benar layak disebut pendekar-pendekar budiman yang dermawan.
Kedua
kakak-beradik itu memiliki kepandaian istimewa. Kakaknya disebut Sin-cian-chiu Lu Hong-jun
yang malang melintang di daerah selatan-utara dengan sebatang busur besinya. Di dunia
persilatan
sukar dicari orang kedua yang dapat memanah begitu tepat seperti dia. Adiknya, Lu Hong-jiu
lebih
lihay lagi. Selain ilmu goloknya amat lihay, pun ia mempunyai kelinting Sip-hun-leng.
Apakah Sip-hun-leng itu? tanya Yak-bwe dengan heran.
Orang itu tertawa: Sewaktu berjalan bukankah ia kedengaran bergemerincing seperti suara
kelinting? Pakaiannya itu dipasangi banyak sekali kelinting emas kecil-kecil sebesar jari.
Sewaktu
bertempur dengan musuh, kelinting-kelinting itu dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia.
Kelinting itu khusus dipakai untuk menghantam jalan darah berbahaya dari orang. Seratus kali
timpuk, seratus kali kena. Maka banyaklah musuh-musuhnya yang sudah lari terbirit-birit jika
mendengar suara kelintingnya itu. Selain itu, pun ada lain kegunaannya. Karena orangnya amat
cantik dan jika berjalan berkelintingan seperti diiringi musik, maka banyaklah orang-orang yang
tak
mengetahui siapa nona itu, tentu akan terpikat semangatnya.
Mendengar orang begitu memuji-muji Lu Hong-jiu, hati Yak-bwe makin tak tenteram.
Pikirnya: Seperjalanan dengan nona itu, entah apakah Khik-sia tidak akan dipikat semangatnya,
diraih jiwanya?
Ah, sudahlah jangan membicarakan Sip-hun-leng lagi. Lihat saja bagaimana mereka akan
mengadu jiwa itu. Hai, lihatlah, Toan Khik-sia maju ke muka. Baru saja datang, apa ia sudah
lantas
mau membantu Thiat-mo-lek memperebutkan kedudukan Bengcu? demikian seorang yang
berada
di sebelah segera menyeletuk tertawa.
Dan begitu berada di tengah gelanggang, Khik-sia lantas berseru nyaring: Bok-toako!
Se-kiat yang dengan sebatnya sudah menyongsong, pun berteriak keras: Hai, Toan-hiante!
Kedua jago muda itu segera saling berjabatan tangan dan tertawa gelak-gelak.
Begitu mendengar kau datang ke Tiong-goan, siang-siang aku lantas ingin menjumpaimu.
Apakah leng-siok (pamanmu) baik-baik saja? Dahulu aku banyak menerima petunjuknya yang
berharga, kata Khik-sia.
Pada waktu kembali dari Tiong-goan, dalam membicarakan tentang tokoh-tokoh Bu-lim
dewasa ini, pamanmu juga tak putus-putusnya memuji kau. Beliau masih ingat, pada waktu itu
kau
baru berumur 10-an tahun, tapi sudah dapat digolongkan sebagai salah seorang tunas muda yang
paling menonjol dalam angkatan muda. Beliau amat terkenang padamu. Begitu datang di
Tionggoan
aku dititahkan segera mencarimu. Sayang karena mondar-mandir kian-kemari, baru sekarang
aku dapat bertemu muka dengan kau, sahut Se-kiat.
Kata Khik-sia: Aku sendiripun sayang sekali terlambat sedikit, tak dapat menikmati pelajaran
yang Bo-toako unjukkan dalam pertempuran tadi.
Beberapa orang yang sudah kepingin menyaksikan pertempuran ramai, segera berteriak:
Sekarang masih belum malam. Omong-omong nanti saja dilanjutkan, sekarang adu kepandaian
dulu agar mata kita dapat terbuka lebih lebar!
Khik-sia tertawa: Bo-toako, sebenarnya aku tak berani jual aksi di hadapanmu. Tapi setelah
menerima beberapa petunjuk dari leng-siok, berselang beberapa tahun kemudian, entah
kemajuanku
sampai dimana. Hari ini beruntung aku dapat berjumpa dengan toako. Jika toako sudi memberi
petunjuk, aku sungguh merasa beruntung sekali.
Ah, janganlah Toan-hengte begitu merendah. Memberi petunjuk, aku mana berani. Sekarang
baiklah kita bermain-main untuk saling menguji kepandaian kita saja! kata Se-kiat.
Mendengar itu jago tua Hiong Ki-gwan segera menyeletuk dengan tertawa: Ah, tak usah kalian
berdua saling sungkan. Ini adalah pertandingan resmi, bukannya hanya sekedar saing menguji
kepandaian secara biasa saja. Baiklah, sebelumnya hendak kutegaskan lagi, silakan kalian

mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh.
Apa yang diucapkan saudara Hiong Ki-gwan itu memang benar! sekalian hadirin sama
tertawa memberi komentarnya.
Khik-sia tertawa: Masakan aku tahu sungkan? Apa yang kukatakan tadi memang berasal dari
lubuk hatiku. Memang saat ini aku membantu Thiat-sioksiok untuk merebut kemenangan dan
berusaha keras supaya jangan sampai kalah. Tapi bagaimanapun halnya aku harus bersedia kalah
juga. Maka akupun hanya dapat mengatakan kepada Bo-toako untuk meminta petunjuk saja.
Habis itu ia siapkan pedang di tangn dan berkata: Bo-toako, maafkan aku berlaku kurang ajar
akan menyerang lebih dulu!
Padahal yang dikata 'kurang ajar' itu pada hakikatnya bersikap menghormat orang. Karena ia
dengan Se-kiat itu sama tingkatannya. Bertempur dengan orang yang sama tingkatannya, jika
menyerang dulu, itu berarti merendahkan kedudukan diri sendiri dan mengangkat derajat lawan.
Maka bahu Se-kiat sedikit bergerak dan tubuhnya segera mundur sampai 7-8 langkah. Ia pn
sudah lantas melolos pedang, ujarnya: Bagus, Hiante, silakanlah!
Dalam pertandingan yang terdahulu, ia tak mau gunakan senjata. Bahwa kini ia memakai
pedang itu berarti memandang tinggi juga kepada Khik-sia.
Melihat kedua pemuda itu sudah siap akan bertempur, Yak-bwe dan In-nio tumpahkan seluruh
perhatiannya. Hati kedua gadis itu kebat-kebit tak keruan.
Tampak Khik-sia lintangkan pedang di dada. Sebelum bergerak, lebih dulu ia menatap sejenak
kepada Se-kiat. Ia lihat Se-kiat mengambil sikap (kuda-kuda) yang disebut Bu-kek-hap-it-gi.
Sebuah jurus ilmu pedang yang memusatkan seluruh tenaga dan pikiran menjadi satu. Sepasang
tangan menjulai, mata memandang ke ujung pedang dan kuda-kuda kakinya mengapung tegak.
Keadaan anak muda itu benar-benar angker seperti gunung, tenang laksana telaga.
Tergetar hati Khik-sia melihat perbawa lawan, pikirnya: Jurus yang diambilnya itu sungguh
kukuh sekali, aku harus mencari siasat untuk membobolkannya.
Jika kaum Ko-chiu (jago sakti) bertanding, setitik kesempatan saja sudah dapat menentukan
kalah menangnya. Kalau dalam jurus pertama tak dapat menguasai pertandingan, tentu berbalik
akan dikuasai lawan. Tapi dasar masih muda, maka Khik-sia tak terhindar dari watak ingin
menang. Meskipun ia tahu tak mempunyai modal untuk mengalahkan Se-kiat, namun ia merasa
enggan kalau sampai kalah. Maka ia amat memperhatikan sekali akan jurus pembukaan dari
lawan.
Se-kiat tertawa: Toan-hengte, mengapa belum menyerang?
Khik-sia sudah menetapkan rencana. Tiba-tiba ia berseru: Lihat pedang! -- terus saja ia mulai
mainkan pedangnya. Tapi anehnya, pedang bukan diserangkan langsung ke tubuh Se-kiat,
melainkan berputar-putar mengelilingi orang. Sinar pedang berhamburan laksana hujan
mencurah.
Sepintas pandang seolah-olah ada berpuluh-puluh Khik-sia menyerang Se-kiat. Serangan itu
sukar dilukiskan kecepatannya. Semua penonton hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung,
sedang bayangan orangnya tak tampak sama sekali!
Kiranya Khik-sia menggunakan siasat memakai kelebihan dirinya untuk menyerang kelemahan
lawan. Teringat ia akan paman Se-kiat yang bernama Bo Jong-long. Pada waktu itu Bo Jong-
long
pernah menguji kepandaian dengan suheng Khik-sia, yakni Gong-gong-ji. Dalam segala
kepandaian, Bo Jong-long lebih unggul. Hanya dalam ilmu gin-kang, ia kalah setingkat dengan
Gong-gong-ji.
Khik-sia merasa, dalam ilmu gin-kang sekarang ia sudah hampir menyamai suhengnya.
Sebaliknya ia memperhitungkan, kepandaian Se-kiat itu diperoleh dari pamannya, sudah tentu
tak
dapat menyamai benar-benar dengan sang paman. Maka Khik-sia ambil putusan gunakan
serangan
kilat. Ia harap Se-kiat akan menjadi keripuhan.
Beradu. Se-kiat dengan masih tegak laksana gunung, setapak pun kakinya tak berkisar, telah
dapat menghalau tiga puluh jurus lebih serangan Khik-sia. Tapi sekalipun begitu, dalam libatan
serangan kilat berantai dari Khik-sia itu, Se-kiat pun tak berdaya untuk balas menyerang.
Ia telah menguasai dengan sempurna ilmu menghapus tenaga serangan lawan. Baik, akan
kuserbu ia dengan siasat 'sembilan kali kosong, satu kali sungguh'. Dengan pedang pusaka,
masakan ia tak kelabakan, diam-diam Khik-sia mengatur rencana.

Kiranya pedang yang berada di tangan Khik-sia itu, adalah pedang pusaka warisan mendiang
ayahnya. Pedang pusaka itu dapat menabas logam seperti menabas kapuk. Tapi dikarenakan
dalam
setiap bergerak, Se-kiat selalu dengan tepatnya dapat menghapus tenaga lawan, maka pedang
pusakanya itupun tak dapat berkembang perbawanya. Coba kalau tenaga keduanya berimbang
atau
setidak-tidaknya hanya terpaut sedikit saja, tentu tenaga menghapus itu tak nanti mempan.
Memang siasat menyerang kilat yang digunakan Khik-sia tadi, tepat sekali. Tapi bahkan karena
terlampau cepatnya ia melontarkan serangan, begitu merapat lantas mundur, maka perbawa
pedangnya tak dapat menggabungkan kombinasi antara kedahsyatan dengan kecepatan. Karena
itu
mudah dihapus kekuatannya oleh lawan.
Kini Khik-sia mengganti siasat 'sembilan kosong satu kali sungguh'. Gerakannya tetap serba
cepat bahkan lebih cepat dari tadi. Hanya saja dalam kesepuluh kali serangan itu, tak seluruhnya
dilontar dengan cepat. Yang sembilan kali serangan kosong memang dilancarkan amat cepat.
Yang
satu kali serangan sungguh, agak lambat tapi keras. Tapi karena serangan yang cepat lebih besar
jumlahnya, jadi keseluruhannya merupakan serangan cepat semua. Dan yang lebih lihay lagi,
walaupun serangan kosong, tapi apabila lawan kelihatan ayal, dapat juga berubah menjadi
serangan
sungguh-sungguh.
Dalam ilmu pedang Se-kiat sudah mempunyai peyakinan yang sempurna. Namun menghadapi
bertubi-tubi serangan kosong dari Khik-sia itu, tak urung ia heran juga. Tiba-tiba saat itu Khik-
sia
maju merapat dan melancarkan serangan sungguh. Anginnya menderu keras.
Serangan kali ini, indahnya bukan buatan, hebatnya bukan kepalang. Sekalian orang gagah
yang menyaksikan sampai terkesiap kaget. In-nio sampai menjerit tertahan dan si berangasan
Kay
Thian-ho pun berjingkrak ke atas.
Dalam detik-detik yang menegangkan urat syaraf itu, sebelum sekalian penonton melihat jelas,
tiba-tiba terdengar Se-kiat berseru memuji: Ilmu pedang yang hebat, sambutlah serangan ini! --
Dan tampaklah ia kebaskan pedangnya dalam jurus Bian-chiu-te-sing atau tangan indah memetik
bintang. Tepat sekali pedangnya itu sudah dapat melekat pedang pusaka Khik-sia. Kemudian
sekali dipelintirkan kemuka, ujung pedang lantas mengancam jalan darah Hian-ki-hiat di dada
Khik-sia.
Waktu melancarkan serangan berisi (sungguh), karena memakai tenaga lebih besar, jadi
kecepatan serangan Khik-sia pun berkurang. Se-kiat adalah seorang ahli pedang yang menguasai
segala gerak-gerik lawan. Sedikit perubahan dari gerakan Khik-sia itu tak terluput dari
pandangan
matanya yang jeli. Segera ia menguasai kesempatan itu, kecepatan dilawan dengan kecepatan,
menyerang untuk menghalau serangan.
Perubahan siasat dari bertahan berganti menyerang itu, datangnya secara tak terduga-duga.
Kalau tadi In-nio yang menjerit tertahan karena Se-kiat terancam, adalah sekarang giliran Yak-
bwe
yang berteriak tertahan sebab Khik-sia terserang!
Sekonyong-konyong Toan Khik-sia bersuit, tubuhnya mencelat ke udara dan serupa dengan
Sekiat
tadi, ia pun berseru: Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini!
Bagaikan burung melayang, anak muda itu melampaui kepala Se-kiat dan dengan jurus Engkik-
tiang-gong atau burung elang menghantam udara, laksana selarik pelangi pedangnya menusuk
ke bawah.
Se-kiat putar pedangnya melingkar. Dua kali ia berputar tubuh dan serangan Khik-sia tadi dapat
dipecahkan. Detik demi detik diperebutkan oleh mereka berdua untuk mendahului menyerang.
Bagaimana tegang dan runcingnya pertempuran itu, sukar dilukiskan. Setiap perubahan situasi,
sukar diduga sama sekali.
Sekalian hadirin hanya menampak gelanggang pertempuran itu penuh dengan sinar pedang.
Sinar pedang yang bentuknya menyerupai sepasang naga saling berebut mutiara! Mana Se-kiat
dan
mana Khik-sia sudah tak dapat dibedakan lagi!
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tampak permainan pedang kedua anak muda itu mulai lambat
gerakannya. Bagi orang yang tajam pendengarannya, akan dapat mendengar bahwa di dalam
deru
sambaran pedang itu, juga terdapat hamburan napas yang bergolak-golak.
Diam-diam Thiat-mo-lek berbisik-bisik kepada To Peh-ing: Sebenarnya Khik-sia Hiantit itu

masih kurang pengalaman, tapi ia bernafsu sekali untuk menang.
Kiranya pertempuran itu berlangsung dengan seimbang. Masing-masing mengeluarkan
keistimewaannya sendiri-sendiri. Khik-sia menang unggul dalam hal gin-kang, sedang Se-kiat
menang kuat dalam ilmu lwekang. Dalam babak permulaan, Khik-sia secara cerdik telah
menetapkan rencana 'menggunakan kelebihan kepandaiannya untuk menundukkan kelemahan
lawan'. Tapi karena siasat itu sampai sekian lama tak memberi hasil, ia lantas berganti siasat
dengan 'sembilan kali serangan kosong, satu kali serangan berisi'. Berkat ketajaman pedang
pusakanya, memang ia dapat menang angin sedikit.
Tapi Se-kiat ternyata seorang ahli pedang yang sudah kenyang pengalaman. Menggunakan
kesempatan sewaktu Khik-sia agak lambat gerakannya, Se-kiat cepat balas menyerang. Dengan
begitu selalu dapat merubah situasi dari diserang menjadi penyerang. Saat itu, ia salurkan
lwekangnya ke ujung pedang. Hamburan suara yang bergolak-golak tadi, ialah berasal dari arus
hawa dalam tubuhnya sewaktu memainkan pedang.
Makin lama permainan pedang Se-kiat makin pelahan. Pada akhirnya, tampak sepasang
matanya memandang lekat-lekat ke ujung pedang. Seolah-olah pedangnya itu seperti diganduli
benda yang beratnya seribu kati. Lambat-lambat ia menunjuk ke timur, menggurat ke barat. Jauh
sekali perbedaannya dengan permainannya dalam babak-babak permulaan tadi. Namun bagi
mata
seorang ahli silat, hal itu sebaliknya malah lebih dahsyat dari yang tadi.
Khik-sia merasa pedang ceng-kong-kiam lawan, beratnya seperti sebuah gunung. Daya
tindihnya makin lama makin berat sekali. Apa boleh buat, ia pun lalu kerahkan lwekangnya
untuk
melayani. Kini rencananya semula menjadi buyar semua. Kelincahan gin-kang dan kecepatan
permainan pedangnya, tak dapat digunakan sama sekali.
Tring, tiba-tiba kedengaran suara bergemerincing dan melengketlah kedua pedang anak muda
itu menjadi satu, diam tak bergerak lagi. Beberapa jenak kemudian, tubuh kedua anak muda itu
tampak menurun sampai separuh bagian. Astaga, kiranya kaki mereka itu menyurup ke dalam
tanah!
Sewaktu sekalian hadirin sama terperanjat, sekonyong-konyong Thiat-mo-lek loncat ke tengah
gelanggang dan berseru: Sudah, berhentilah bertempur. Pertandingan ini adalah Bo-toako yang
menang!
Trang, berbareng dengan seruan itu, terdengarlah suara bergemerancang keras. Pedang pusaka
Khik-sia mencelat terlepas dari tangan, sedang ceng-hong-kiam Se-kiat pun terkutung separuh.
Kiranya pertandingan yang terakhir itu, merupakan pertandingan adu lwekang. Sudah tentu
Sekiat
unggul. Tepat di kala Thiat-mo-lek loncat sambil berseru tadi, Se-kiat telah berhasil
mencungkit pedang Khik-sia sampai mencelat ke udara. Tapi dikarenakan lwekangnya tak
terpaut
banyak sekali dengan Khik-sia dan lagi pedang Khik-sia itu sebuah pedang pusaka, maka
sewaktu
Khik-sia mengerahkan lwekang sekuatnya, segera pedang pusaka itu mulai unjuk gigi.
Berbareng
pedang Khik-sia terpental, pun pedang Se-kiat terkutung.
Begitu loncat maju, Thiat-mo-lek segera ulurkan sepasang tangan untuk menyiah kedua pemuda
itu. Dan berbareng itu, ia membuyarkan tekanan tenaga lwekang masing-masing, agar jangan ada
salah satu yang terluka. Para tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dalam kalangan hadirin,
sama
memuji tindakan Thiat-mo-lek. Mereka memuji Thiat-mo-lek sebagai orang yang adil, tidak
semata
mementingkan keuntungan pihaknya.
Seperti diketahui, ia dengan Se-kiat itu terhitung pihak yang berlawanan. Dengan mengakui
pihaknya yang kalah, sebenarnya ia boleh menarik Khik-sia seorang saja. Apakah Se-kiat terluka
atau tidak karena tekanan lwekang Khik-sia nanti, ia boleh tak usah memperdulikan. Tapi
ternyata
ia rela mengambil resiko menerima tekanan lwekang dari kedua belah pihak. Tanpa memandang
mana kawan mana lawan, ia perlakukan sama rata. Kedua-duanya ia tarik dengan berbareng.
Kejujurannya itu menimbulkan rasa kagum dan perindahan dalam hati sekalian hadirin.
Khik-sia memungut pedangnya. Dengan muka kemerah-merahan ia berkata: Lwekang Botoako
sungguh hebat sekali. Dengan tulus hati, aku mengaku kalah!
Se-kiat tersipu-sipu goyangkan tangan: Tidak! Kau sudah mengutungkan pedangku.
Sebenarnya akulah yang harus dianggap kalah!

Mana bisa! bantah Khik-sia, aku dapat mengutungkan pedangmu karena mengandalkan
ketajaman pedang pusakaku. Tapi berkat ilmu kepandaian yang sesungguhnyalah kau dapat
membikin terlepas pedangku. Sudah tentu aku harus mengaku kalah.
Mendengar perdebatan saling berebut mengaku kalah itu, sekalian orang gagah merasa heran
tapipun kagum.
Maka berkatalah Thiat-pi-kim-to Tang Kiam: Tadi sewaktu bertanding, sejengkalpun kalian tak
mau saling mengalah. Sekarang malah rebutan mengaku kalah. Aku sudah hidup beberapa puluh
tahun, tapi baru sekali ini melihat peristiwa yang begini istimewanya.
Pecahlah mulut sekalian hadirin dengan gelak tertawa yang gemuruh.
Jago tua Hiong Ki-gwan yang menjadi juri segera tampil kemuka: Ah, sudahlah, jangan kalian
berbantah. Menurut peraturan pertandingan, belum ada ketetapan yang menyatakan senjata-
senjata
apa yang tak diperbolehkan dipakai. Pedang pusakakah atau kapak penebang kayukah, semua
boleh dipakai. Pendek kata yang menang tetap dianggap menang. Menurut penilaian
pertandingan
tadi, yang satu senjatanya terlepas jatuh, yang lain pedangnya kutung. Terlepasnya pedang Khik-
sia
memang terjadi lebih dulu, tapi kerusakan yang diderita pedang Se-kiat itu lebih besar. Karena
kedua belah pihak tak mau melanjutkan bertanding dengan tangan kosong, maka menurut
peraturan,
pertandingan ini hanya dapat dianggap seri.
Sekalian hadirin menyetujui putusan juri itu. Apa boleh buat, Se-kiat dan Khik-sia tak mau
berbantah lagi dan masing-masing saling menyatakan maaf.
Selanjutnya berseru pula Hiong Ki-gwan: Menurut peraturan pertandingan, bagi setiap calon
Beng-cu diharuskan bertempur satu kali. Babak ketiga ini sudah berlangsung dua kali
pertandingan. Dari pihak Thiat-mo-lek yang maju pada pertandingan pertama ialah Thian-hiong.
Kemudian pertandingan kedua, yang maju Toan Khik-sia. Maka untuk pertandingan yang
terakhir,
haruslah Thiat-mo-lek sendiri yang tampil. Pihak Bo se-kiat, yang maju untuk pertandingan
pertama ialah Kay Thian-ho. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Se-kiat sendiri. Untuk
pertandingan terakhir, menurut peraturan pertandingan, Se-kiat boleh menyuruh lain kawannya
yang maju, pun boleh juga ia sendiri lagi yang tampil.
Juri itu berhetnti sejenak, lalu bertanya kepada Se-kiat: Bo-siauhiap, apakah kau akan keluar
sendiri atau suruh lain kawan yang maju?
Se-kiat memberi hormat kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: Kepandaian dari Thiat-cecu melebihi
lain-lain orang. Keharuman nama Thiat-cecu termasyhur sampai jauh. Dengan setulus hati aku
merasa kagum. Bahwa dapat memperoleh rejeki seperti saat ini, aku merasa beruntung sekali.
Jika
tak menampik, aku hendak mohon pengajaran pada Thiat-cecu.
Ah, kepandaian Bo-heng begitu sakti. Apa yang kusaksikan tadi, benar-benar sesuai dengan
kenyataan yang disohorkan orang. Bahwa Bo-heng sudi memberi pengajaran, sudah tentu aku
tak
berani menampiknya. Hanya saja, aku mempunyai suatu pengharapan. Jika Bo-heng dapat
meluluskan, barulah hatiku merasa tenteram, kata Thiat-mo-lek.
Sahut Se-kiat: Apabila Thiat-cecu yang menitahkan, tak ada alasan bagiku untuk tak mentaati.
Sekalian orang gagah yang hadir di situ sama kenal bagaimana pribadi Thiat-mo-lek yang penuh
dengan kebajikan dan luhur budi. Harapan atau permintaan yang akan diajukan, tentu takkan
bernada merugikan orang dan menguntungkan diri sendiri. Tetapi sikap Se-kiat yang ragu-ragu
menyatakaan kesediaannya itu pun mendapat pujian tinggi dari sekalian hadirin.
Serentak berserulah Thiat-mo-lek dengan suara sungguh-sungguh: Baiklah, sekali seorang
ksatria sudah berkata ....
Laksana kuda dicambuk berlari cepat! buru-buru Se-kiat menyanggapi.
Pada saat itu salah seorang anak buah Se-kiat telah mengantarkan sebatang pedang ceng-
kongkiam
kepadanya. Maksudnya hendak minta Se-kiat berganti pedang baru karena pedangnya yang
tadi sudah kutung. Tapi karena melihat pemimpinnya (Se-kiat) sedang berbicara dengan Thiat-
molek,
maka orang itupun tak berani mengganggu dan hanya tegak menunggu di samping saja.
Tiba-tiba Thiat-mo-lek lambaikan tangan kearah Khik-sia: Toan-hiantit, berikanlah pedangmu
itu kepadaku!
Orang-orang di pihak Se-kiat terkejut. Pikir mereka: Tidak sari-sarinya Thiat-mo-lek berbuat

begitu. Apakah karena hendak berebut kedudukan Bengcu, maka ia tak menghiraukan harga diri
lagi? Apakah ia hendak gunakan pedang pusaka untuk menempur Bo Se-kiat yang sudah
lelah?
Khik-sia sendiri pun tampak ragu-ragu. Tapi terpaksa ia serahkan pedangnya juga. Setelah
menerima pedang berkatalah Thiat-mo-lek dengan tenang: Bp-hengte, harap maafkan atas
kelancanganku ini. Harap kau sudi memakai pokiam ini!
Apa artinya ini? Kau, kau ..... sahut Se-kiat dengan tergagap-gagap.
Thiat-mo-lek cepat menyela: Harap Bo-heng jangan salah paham. Sekali-kali aku tak
bermaksud memandang rendah Bo-heng. Kau tadi sudah bertanding melawan Khik-sia, ini
berarti
aku mendapat kemurahan. Dengan berganti pakai pokiam, barulah pertandingan ini akan menjadi
adil!
Sekarang barulah orang-orang di pihak Se-kiat mengerti maksud Thiat-mo-lek. Mereka merasa
malu sendiri, malu karena mengukur pribadi seorang ksatria dengan ukuran seorang siaujin
(manusia rendah).
Se-kiat tertawa gelak-gelak: Terima kasih atas kebaikan Thiat-cecu. Tapi maafkan, aku tak
dapat menerimanya.
Ia sengaja hendak pamerkan lwekangnya. Maka ketawanya itu bergemerontang seperti batu
logam terbentur. Kumandangnya jauh sampai menyusur ke lembah. Dengan ketawa itu, Se-kiat
hendak mengunjukkan bahwa ia masih mempunyai tenaga cukup untuk melayani Thiat-mo-lek,
tak
memerlukan suatu senjata apapun lagi.
Benar juga, kelihayan anak muda itu telah mengejutkan seluruh hadirin.
Thiat-mo-lek sendiri tetap tenang. Dengan tersenyum simpul ia berkata: Kita kaum persilatan,
selalu pegang teguh akan setiap patah ucapan. Masakan kita mau ingkar?
Tampak Se-kiat kerutkan dahi. Setelah bersangsi sebentar, dengan enggannya terpaksa ia
menyambuti pedang dari Thiat-mo-lek itu. Dalam detik-detik tadi, batinya mengalami
pertentangan-pertentangan.
Pertama ia membatin: Sifat kesatriaan Thiat-mo-lek ini amat menonjol sekali, menawan hati
orang. Lebih baik aku mengalah, menyerahkan kedudukan Bengcu kepadanya.
Tetapi bisikan hatinya yang lain lagi menentang: Dari ribuan li aku datang kemari, apakah
tujuanku? Seorang lelaki sejati yang mencita-citakan usaha besar, masakah goyah pendirian
karena
urusan kecil?
Baru ia merenung begitu, tiba-tiba Thiat-mo-lek sudah mulai mempersilahkannya: Bo-heng
adalah seorang tetamu dari jauh. Harap mulai menyerang dulu!
Kening Se-kiat mengerut. Ia sudah mengambil ketetapan. Segera ia mengucapkan maafkanlah
dan terus ayun pedangnya menyerang. Waktu Thiat-mo-lek lintangkan pedang menangkis, Se-
kiat
memburunya lagi dengan tiga buah serangan berantai. Begitu menyerang lantas mundur, lalu
maju
merapat lagi dan mundur pula.
Thiat-mo-lek juga seorang jago kawak. Ia tahu gerakan anak muda itu dimaksud untuk
mengalah sampai tiga jurus. Hal itu selaku pernyataan terima kasih atas budi pinjaman pedang
pusaka tadi.
Harap Bo-heng jangan sungkan-sungkan, katanya. Dengan jurus Tiat-soh-heng-kang atau
rantai besi melintang sungai ia halau pedang Se-kiat keluar garis pertahanannya.
Jurus itu mengandung dua gaya: menyerang dan bertahan. Memiliki gerak lanjutan yang
membahayakan lawan. Jika Se-kiat masih main sungkan tak mau menyerang sungguh-sungguh,
ia
tentu bakal terjirat dalam kedudukan sulit.
Se-kiat mengerti bahwa ia dipaksa lawan supaya menyerang sungguh-sungguh. Ya, apa boleh
buat. Ia segera gunakan jurus pek-hong-koan-jit atau bianglala putih menyilang matahari.
Pedangnya menerobos masuk ke dalam lingkaran pertahanan Thiat-mo-lek. Perbawa jurus
pekhong-
koan-jit itu dahsyat sekali. Menusuk ke atas dan memapas ke bawah. Pedang pusaka milik
Toan Khik-sia itu, kali ini benar-benar dapat kesempatan untuk mengembangkan perbawanya.
Bagus! saking kagumnya, Thiat-mo-lek sampai berseru memuji. Tapi iapun tak berani
berayal. Tiba-tiba pedangnya diputar berlingkar seperti gaya gerakan golok besar. Kemudian
baru
melancar sebuah tabasan. Tapi tabasan itu bergaya istimewa sekali, lain dari yang lain. Ujung

pedang dari bawah melibat ke atas, lalu dijungkirkan untuk memapas lengan kanan Se-kiat. Ilmu
permainan itu adalah buah ciptaan Thiat-mo-lek sendiri yang mengkombinasikan kelincahan
ilmu
pedang dengan kedahsyatan ilmu golok. Hebatnya bukan kepalang.
Sudah tentu Se-kiat tak kenal akan permainan itu. Hanya dalam meninjau kedahsyatan serangan
lawan itu, diam-diam ia membatin: Jelas ia mengetahui aku memakai pedang pusaka, tapi
mengapa ia sengaja mau main bentur?
Trang, baru menimang begitu, sudah terdengar suara senjata beradu. Dan melengketlah kedua
pedang itu. Tapi pada saat itu tahu-tahu Thiat-mo-lek sudah balikkan punggung pedang untuk
hantam pedang lawan sekeras-kerasnya. Begitu hebat tekanan tenaga yang dilontarkan Thiat-
molek,
hingga pedang Se-kiat menjadi condong, tangannyapun terasa sakit sekali. Betapa ia hendak
gunakan ilmu menghapusm namun hanya dapat menghapus tiga bagian tenaga lawan saja.
Kini barulah Se-kiat insaf akan tenaga Thiat-mo-lek yang luar biasa kuatnya itu. Itulah
sebabnya maka Thiat-mo-lek tak gentar menghadapi pedang pusaka.
Di pihak Thiat-mo-lek pun tak kurang kejutnya. Bahwa hantamannya tadi tak mampu membuat
pedang si anak muda terlepas jatuh, telah menimbulkan rasa kekaguman. Perlu dikemukakan
disini, bahwa Thiat-mo-lek itu memang dilahirkan sebagai anak lelaki yang memiliki tenaga luar
biasa. Kemudian diperhebat pula dengan latihan ilmu silat yang tinggi. Kini ia sudah menginjak
usia setengah umur, sudah tentu kepandaiannya makin sempurna. Bagaimana dahsyat permainan
pedangnya dapat dibayangkan. Jika tempat Se-kiat diganti lain orang, tentu sudah tak kuat
menahan gempurannya tadi.
Se-kiat baru berumur 20 tahun lebih. Ia tak memiliki tenaga pembawaan yang sakti. Dapat
menerima gempuran Thiat-mo-lek itu saja sudah cukup membuktikan sampai dimana
kesempurnaan lwekangnya. Nyata dalam ilmu lwekang ia tak di bawah Thiat-mo-lek.
Berbicara tentang pedang pusaka atau pokiam, memang pokiam Khik-sia yang dipakai Se-kiat
itu tajamnya bukan buatan. Tapi pedang itu tak dapat menabas benda jika tak digerakkan oleh
tangan pemakainya. Apalagi untuk mengutungkan pedang Thiat-mo-lek, pedangnya itu berubah
menjadi sebuah benda yang amat berat sekali. Jika hendak memapasnya. Se-kiat harus
mengerahkan segenap lwekangnya. Dan hal itu tak cukup dengan sekali dua tekan saja,
melainkan
harus dilakukan beberapa kali pada posisi yang berbeda-beda.
Tapi dikuatirkan sebelum pedang Thiat-mo-lek dapat ditabasnya kutung, pedangnya sendiri
sudah akan terpukul jatuh oleh gempuran tenaga lawan yang maha kuat itu. Kini berputar-
putarlah
anak muda itu memainkan pedangnya ke kanan kiri. Gerakannya amat aneh dan berbahaya. Jurus
apa yang digunakan itu, sukar diketahui. Tapi yang nyata, ia selalu menjaga jangan sampai
berbenturan dengan pedang Thiat-mo-lek. Rupanya ia hendak mencari lubang lemah dari
pertahanan orang.
Tujuh kali serangan pedang ia lontarkan berturut-turut. Saking gencarnya permainan pedang
anak muda itu, sekalian penonton sampai berkunang-kunang matanya.
Thiat-mo-lek mengambil posisi menurut perhitungan kiu-kiong-pat-kwa untuk menghadapi
serangan si anak muda. Satu demi satu dapatlah ia memecahkan ketujuh serangan Se-kiat.
Sekonyong-konyong Thiat-mo-lek menggembor keras dan menusuk dengan cepat sekali.
Anginnya sampai menderu-deru. Jurus itu disebut Toa-moh-ko-yan-tit atau asap membubung di
padang pasir. Sebenarnya hanya jurus ilmu pedang yang biasa saja, tapi di tangan Thiat-mo-lek,
jurus itu hebatnya tak terkira. Beberapa penonton yang berada di dekat gelanggang situ, sampai
menggigil dingin karena mukanya tersambar angin pedang itu.
Se-kiat putar tubuhnya dan putar pedangnya melingkar bundar. Gerakan itu tepat sekali dapat
mengurung pedang lawan. Tring, tring, kembali pedang mereka beradu dan cepat sekali pedang
itu
berpisah lagi. Pedang Thiat-mo-lek berhias sebuah rompalan, sebaliknya, Se-kiat tersurut
mundur
beberapa langkah.
Jurus yang digunakan Se-kiat itu disebut Tiang-ho-lok-jit-wan atau matahari terbenam di sungai
Tiang-ho. Dengan jurus toa-moh-ko-yan-tit yang dipakai Thiat-mo-lek itu merupakan dua jurus
ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat. Pertarungan kedua jago tadi, sepintas pandang tampaknya
seperti
dua orang saudara seperguruan saling berlatih. Tapi gerak keindahannya, inti kekerasan dan

kelemasan dari ilmu pedang, rahasia-rahasia dari ilmu melepaskan diri dan mematikan lawan,
semuanya telah tercangkup dalam kedua jurus permainan tadi. Nyata kedua jurus itu telah
diperkembangkan secara sempurna oleh kedua jago tersebut.
Kalau di tengah gelanggang kedua jago itu telah menumplak seluruh kemampuannya, adalah
para hadirin yang menyaksikan di sekeliling gelanggang itu yang menjadi tegang. Wajah mereka
sebentar pucat sebentar merah, napas naik turun tak berketentuan. Setelah kedua jago saling
pencar,
sekalian orang gagah itu sama berpandangan satu sama lain sendiri. Tokoh-tokoh kelas satu atau
yang disebut ko-chiu, saat itu merasa dirinya kecil. Mereka mengakui kepandaiannya masih jauh
terpautnya dengan kedua jago yang bertanding itu. Dan ketegangan suasana yang menyesakkan
napas sekalian penonton itu kemudian telah dipecahkan dengan sorak-sorai yang
menggemparkan.
Kalau dalam babak pertempuran Se-kiat lawan Khik-sia tadi, para hadirin sudah sama leletkan
lidah, adalah kini sama sekali mereka tak menyangka bakal menyaksikan suatu pertempuran
yang
lebih tinggi mutunya.
Memang tampaknya pertempuran itu tak sehebat pertandingan Se-kiat lawan Khik-sia tadi. Tapi
bagi mata seorang ahli, pertandingan Se-kiat lawan Thiat-mo-lek sekarang inilah baru tepat
disebut
pertandingan ilmu pedang yang sesungguhnya. Tadi Khik-sia mengkombinasikan ilmu gin-kang
dengan ilmu pedang, maka gayanya pun berjenis ragam dan dilakukan serba cepat. Bagi
pandangan
mata sudah tentu cara bertempur seperti itu menyenangkan sekali. Tapi dalam hal keindahan
ilmu
pedang, kalah dengan partai yang terakhir ini.
Thiat-mo-lek kembangkan lagi permainan pedangnya. Kali ini lebih menghebat. Cepat dan
dahsyatnya seperti harimau mengamuk, tapi tenang dan kokohnya bagaikan gunung. Setiap jurus
yang digunakan selalu ilmu pedang 'terang', tak mau ia memakai jurus-jurus aneh dan berbahaya
untuk nyelonong menyerang ke bagian lemah dari lawan. Sekalipun begitu karena setiap jurus itu
mengandung perbawa yang dahsyat, lawan pun menjadi gentar juga.
Untuk menghadapi kekerasan lawan, Se-kiat gunakan inti 'kelemasan menundukkan kekerasan'
dari ilmu pedang. Baik gerak tubuh maupun permainan pedangnya, semua ringan bagaikan air
mengalir atau awan bertebaran di udara. Kedua jago itu yang satu gagah perkasa, yang lain
lemah
gemulai.
Kedua-duanya sama-sama menguasai pokok-pokok sari keindahan dari ilmu pedang.
Sampai detik itu pertempuran sudah berlangsung setengah jam, namun masih belum ada yang
kalah atau menang. Para jago pedang dalam kalangan hadirin itu sama terpesona seperti orang
dimabuk arak. Sementara sebagian besar dari hadirin, karena pertandingan itu merupakan babak
final untuk menetapkan Bengcu, mereka sama tegang urat syarafnya. Pendukung-pendukung
Thiatmo-
lek dan penunjang-penunjang Se-kiat, sama sibuk kerupukan sendiri. Mereka kebanyakan tak
mengerti ilmu pedang, maka apabila ada salah seorang jago yang terdesak, reaksinya tentu
disambut
dengan kegirangan atau kecemasan oleh kaum pendukungnya. Disamping itu ada lain golongan
yang tidak pro sana-sini alias netral, mereka saling bertaruh. Ada yang memegang Se-kiat dan
ada
yang memegang Thiat-mo-lek. Merekapun tak kalah berisiknya sewaktu bersorak-sorak dan
berteriak-teriak mendorong semangat jagonya masing-masing.
Walaupun lagi bertempur, namun Thiat-mo-lek tetap pasang mata dan telinga akan keadaan di
sekitar gelanggang situ. Jelas dilihatnya, apabila ia menang angin, maka pihak Li Thian-go dan
kawan-kawan sama-sama berjingkrak-jingkrak marah. Sebaliknya golongan Kay Thian-ho dan
kawan-kawan tampak bermuram durja.
Walaupun tangan Thiat-mo-lek tak pernah berayal untuk menghalau serangan dan memecahkan
tipu lawan, namun batinnya bergolak, pikirnya: Ucapan Han Wi tadi memang benar. Aku
adalah
anak angkat keluarga Tou. Perselisihan antara kedua keluarga Ong dan Tou itu sudah berjalan
hampir seabad. Sekalipun Ong Pek-thong sudah meninggal dan puterinya sudah menyatakan
suka
menghapuskan dendam keluarganya, tapi anak buah Ong Pek-thong masih banyak sekali. Belum
tentu mereka mau taat padaku. Ditilik dari gerak-gerik Li Thian-go dan kawan-kawan itu terang
mereak itu tak suka aku menjadi Bengcu. Taruh kata aku menjabat Bengcu dan kuperlakukan
mereka dengan sama rata, mungkin mereka akan berbalik pikiran. Tapi hal itu urusan di
belakang
hari, yang nyata pada waktu sekarang ini mereka mempunyai hati menentang lebih dulu. Kalau

begitu, kedudukan Beng-cu tak ada manfaatnya bagiku, bahkan dapat meretakkan persatuan.
Kemudian pikirnya lebih jauh: Shin-toako dan To-siok-siok menasihati supaya aku merebut
kedudukan Bengcu, maksudnya tak lain tak bukan ialah mengharap aku dapat mendamaikan
silangsengketa
di dunia Lok-lim. Dengan ada satu pimpinan, masalah rebutan daerah operasi dan barang
rampasan tentu akan berkurang. Selain itu sebagai Bengcu ia berhak untuk memberi komando
agar
anggota-anggota di daerah-daerah suka saling membantu, kemudian dipersatukan untuk melawan
tentara negeri. Memang maksud tujuan kedua orang itu baik sekali, tapi karena ternyata aku tak
mempunyai kewibawaan untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan itu, maka tak
berguna
aku ikut bercokol menjadi raja gunung dan menentang kerajaan. Ah, mengapa saat ini aku ngotot
hendak merebut kedudukan Bengcu? Mengapa tak mengalah saja?
Baru Thiat-mo-lek menimang sampai disitu, Se-kiat kembali melancarkan 7-8 kali serangan
berantai. Serangan-serangan itu hebat dan indah sekali. Meskipun Thiat-mo-lek dapat
menghalaunya satu demi satu, namun tak urung hatinya merasa kagum juga. Kembali pikirannya
melayang: Bo Se-kiat ini selain berkepandaian tinggi pun selama berkelana di dunia persilatan
itu
ia selalu dapat menundukkan orang dengan bijaksana. Perilakunya itu dapat digolongkan sebagai
ksatria yang berbudi luhur. To-sioksiok kuatir anak itu mempunyai hati serong. Kuatir bila dia
menjadi Bengcu akan membawa kawan-kawan Lok-lim ke jalan yang nyeleweng. Memang hal
itu
pantas menjadi pemikiran. Tapi apakah benar dia akan berbuat begitu, itulah kelak baru dapat
diketahui. Andaikata kemudian hari negara terjadi kekalutan, dan anak muda itu benar-benar
mempunyai ambisi untuk menjadi raja, itupun apa salahnya?
Lalu ia berpikir pula: Sekarang banyaklah orang yang mendukung Bo Se-kiat. Memang kalau
dihitung jumlahnya, pendukungku tetap lebih besar dari dia. Tapi Li Thian-go dan
kawankawannya
itu adalah pengikut-pengikut setia dari Ong Pek-thong. Kalau disuruh memilih antara
aku dengan Se-kiat, sudah tentu mereka akan memilih Bo Se-kiat.
Setelah ia menjadi Bengcu, aku akan dapat mengusahakan supaya pengikut-pengikut Ong
Pekthong
dan anak buah Kim-ke-nia, taat padanya. Tapi jika aku yang menjadi Bengcu, tentu tak ada
orang yang akan membantu aku supaya kawan-kawan Lok-lim itu tunduk padaku. Ditilik dari
sudut ini, untung ruginya sudah jelas. Demi untuk persatuan, demi pergerakan, mengapa aku tak
memberikan kedudukan Bengcu kepada Bo Se-kiat saja?
Berpikir begitu, makin mantaplah keputusannya. Tepat pada saat itu Se-kiat gunakan jurus
beng-pok-kiu-siau. Tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun sambil menusuk. Setelah
mempunyai ketetapan untuk mengalah, maka Thiat-mo-lek sengaja luruskan pedangnya kemuka
pura-pura menangkis. Bret, tahu-tahu lengan bajunya robek karena terpapas secabik oleh pedang
Se-kiat.
Jilid 4
Cepat jago budiman itu loncat keluar gelanggang. Begitu pedang disarungkan ia segera
mengangkat kedua tangannya memberi hormat. Serunya dengan lantang: Bo-hengte benar-
benar
sakti, aku mengaku kalahlah. Selamat kuhaturkan kepada Bo-hengte sebagai Bengcu baru. Aku
si
orang she Thiat rela menjadi pengiringmu saja!
Ucapan Thiat-mo-lek itu seperti bunyi halilintar di siang bolong. Saking kejutnya akan kejadian
yang tak disangka-sangka itu, sekalian hadirin menjadi bungkam semua. Siapapun tak percaya
bahwa Thiat-mo-lek secara tiba-tiba dikalahkan Se-kiat. Dan pula hanya terpapas secabik lengan
bajunya, masakan begitu mudah sudah mengaku kalah.
Se-kiat sendiripun merasa heran. Tapi dikarenakan serangan Se-kiat itu memang luar biasa
bagusnya dan tipu daya Thiat-mo-lek untuk berpura-pura kalah itu pun teramat indahnya, maka
tiada seorangpun yang mengetahui siasatnya itu. Bahkan Se-kiat sendiripun kena dikelabuhi. Ia
mengira bahwa secara beruntung sekali dapat mengalahkan lawan.
Jurus peng-pok-kiu-siau yang kugunakan tadi adalah jurus yang mengandung resiko besar.
Jika ia gunakan gerak ki-hwe-lian-thian (mengangkat api, menyuluh langit), karena tubuhku

mengapung di udara aku tentu sukar menghindar. Kesalahannya tadi ialah ia tak seharusnya
menjulurkan pedang lempang ke muka. Ah, menilik ilmu pedangnya yang amat sakti itu,
mengapa
tiba-tiba ia bisa berbuat kekeliruan? Apakah memang diriku sudah diberkahi untuk menjadi
Bengcu
hingga dalam saat-saat yang genting itu lawan berbuat kesalahan? Demikian Se-kiat
mengadakan
analisa dalam hatinya. Hal itu disebabkan karena ia tahu bahwa serupa dengan dirinya sendiri,
tadi
tampaknya Thiat-mo-lek itu amat bernafsu sekali untuk merebut kedudukan Bengcu. Sudah tentu
ia
tak mengetahui, kalau Thiat-mo-lek itu memang sengaja mengambil putusan untuk mengalah.
Setelah tersadar dari termenungnya, sekalian orang gagah sama membatin: Ya, dalam
kedudukannya itu, jika karena kealpaan kecil sampai menyebabkan kekalahannya, sudah tentu
Thiat-mo-lek sungkan untuk melanjutkan pertempuran. Sebagai seorang ksatria tentu ia mengaku
kalah.
Lama sekali para orang gagah itu sama merasa gegetun atas kekalahan Thiat-mo-lek. Malah
ada juga yang penasaran, mengapa Thiat-mo-lek sampai gunakan jurus yang begitu tololnya.
Tapi
apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, Thiat-mo-lek sudah mengaku kalah dan pengangkatan
Se-kiat menjadi Bengcu itu sudah pasti.
Suasana sunyi yang meliputi gelanggang pertempuran itu, tiba-tiba dipecahkan oleh hiruk-pikuk
dan sorak-sorai yang gempar. Rombongan Kay Thian-ho dan rombongan Li Thian-go sama
berbondong-bondong datang memberi selamat kepada Se-kiat. Pihak rombongan Kim-ke-nia,
walaupun masgul, tapi atas dorongan Thiat-mo-lek pun maju untuk memberi selamat kepada
anak
muda itu.
Melihat itu, diam-diam Thiat-mo-lek bergirang dalam hati. Pikirnya: Pengalahanku itu
ternyata tepat. Jika aku yang menjadi Bengcu, tak mungkin segenap hadirin akan memberi
selamat
dengan tulus hati sebagaimana sekarang terhadap Se-kiat.
Toan Khik-siapun tak ketinggalan maju memberi selamat. Se-kiat segera mengembalikan
pokiam kepadanya sambil menghaturkan terima kasih. Kemudian Bengcu baru itu berkata:
Toanhiante,
ada dua orang sahabatmu juga datang kemari. Apakah kau sudah menjumpai mereka?
Belum. Tapi entah sahabat yang mana? Khik-sia balas bertanya.
Berbareng dengan kata-katanya itu, Ang-ih-li-hiap Lu Hong-jiu ikut pada Shin Thian-hiong
datang memberi selamat kepada Se-kiat. Memandang sejenak kepada nona baju merah itu, tiba-
tiba
terkilas sesuatu dalam hati Se-kiat.
Sungguh tak kunyana sama sekali bahwa aku bisa berhasil menjadi Bengcu. Dan sekalian
kawan-kawan sama memberi dukungan. Mereka begitu hiruk-pikuk kacau. Entah dimanakah
kedua sahabatmu tadi? Tapi jangan gelisah, sebentar mereka berdua tentu akan mencarimu
juga!
kata Se-kiat kemudian kepada Khik-sia.
Di sana Yak-bwe sedang berbisik perlahan-lahan kepada In-nio: Cici In, kiong-hi, kionghi!
Kiong-hi artinya memberi selamat. Sudah tentu muka In-nio menjadi merah dibuatnya. Ia
berseru: Kiong-hi untuk apa?
Si dia telah menjadi Bengcu tanpa merusak perhubungan dengan Thiat-sioksiok. Apakah ini
tak layak kuberi kiong-hi? sahut Yak-bwe.
Kong-hi, kiong-hi juga kepadamu! In-nio balas menghaturkan hormat.
Apa yang kau kiong-hikan? tanya Yak-bwe dengan keheranan.
Kiong-hi untuk pergabungan kalian berdua pada hari ini. Itu lihatlah, dia mu juga sedang
memberi selamat pada Se-kiat. Mengapa kau tak lekas-lekas menjumpai dia kesana? kata In-
nio.
Tapi waktu Yak-bwe arahkan matanya kesana, dilihatnya si nona baju merah tengah berdiri
merapat pada Khik-sia, Yak-bwe segera jebikan bibir dengan marahnya.
Aku tak sudi kesana! serunya dengan banting-banting kaki.
In-nio tertawa: Kau adalah tunangannya yang sah, yang resmi, mengapa takut pada nona itu?
Siapa bilang aku takut padanya! Yak-bwe menggeram.
Habis mengapa kau tak berani menemui dia? kata In-nio dengan setengah mengejek setengah
membakar hatinya.
Benar juga Yak-bwe kena dibikin panas hatinya. Ia biarkan saja ditarik berjalan oleh In-nio.
Nona Lu itu berhati lapang, ramah terhadap orang. Belum tentu ia mempunyai apa-apa dengan

Se-kiat. Harap kau jangan terburu ngambek dulu, kata In-nio pula sambil tertawa.
Saat itu di tengah gelanggang sudah ramai sekali. Penuh dengan orang yang mondar-mandir
kian kemari mengelilingi Se-kiat. Belum In-nio dan Yak-bwe berhasil mendekati ke tempat Se-
kiat,
tiba-tiba terdengar ada orang berseru, Hai, cuaca begini cerah, di langit tiada awan sama sekali,
mengapa mendadak ada suara guntur?
Kedua nona itu turut mendengarkan. Benar juga lapat-lapat seperti ada guntur menggelegar.
Tidak, itu bukan suara guntur, tapi seperti bunyi genderang tentara negeri! tiba-tiba Hiong
Kigwan,
jago tua yang menjadi juri dalam pertandingan babak terakhir tadi, menyeletuk. Dia seorang
veteran (jago kawak) yang kenyang dengan pengalaman bertempur melawan tentara negeri.
Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Segumpal asap yang
berwarna hitam kebiru-biruan melayang ke udara. Datangnya bola asap itu dari kaki gunung.
Itulah coa-yam-cian atau panah ular api yang dilepas oleh kawanan kaulo ( anak buah) dari
gunung
Kim-ke-nia. Coa-yam-cian itu diperuntukkan memberi tanda jika ada bahaya datang.
Selagi sekalian orang menduga-duga, dua orang thaubak (kepala liaulo) berlari-lari datang
sambil melambai-lambaikan bendera merah.
Celaka, pasukan tentara negeri menyerbu kemari! teriak mereka.
Seketika gemparlah orang-orang gagah di gelanggang situ. Mereka sama menggertek gigi
dengan marah. Di sana sini segera terdengar orang memaki-maki.
Tentu ada pengkhianat yang membocorkan tentang rapat kita ini! seru seseorang.
Jahanam, mereka hendak mengadakan razia untuk menangkap kita! ada seorang lain yang
mendamprat.
Bagus, kebetulan sekali mereka datang! Kita cincang mereka sampai hancur lebur untuk
selamatan hari pengangkatan Bengcu kita!teriak seorang lagi dengan gagahnya.
Se-kiat segera meredakan mereka: Harap saudara-saudara jangan panik. Kita lihat dulu
keadaan mereka, baru nanti kita atur perlawanan!
Sementara itu genderang berbunyi memecah angkasa. Bendera berkibar-kibar seperti lautan
pelangi. Tentara negeri bagaikan air bah sudah menyerbu datang. Se-kiat dan Thiat-mo-lek
memperhatikan dengan seksama. Tentara yang datang itu ternyata bukan serdadu biasa. Mereka
sama mengenakan baju perang yang lengkap. Garang dan tegar-tegar tampaknya. Jelas mereka
itu
terdiri dari empat buah pasukan. Mereka melakukan penyerangan dalam formasi mengurung
bersama. Pasukan mereka amat rapi, bergelombang datangnya, tapi tidak kacau. Pimpinannya
tentu seorang yang mempunyai bakat tay-ciang (jenderal) cemerlang!
Sekalian orang gagah yang berkumpul di atas gunung Kim-ke-nia itu memang rata-rata
mempunyai kepandaian silat tinggi, pun sudah beberapa kali bertempur dengan tentara negeri.
Tapi
rasanya mereka belum pernah menghadapi gelombang serangan dari pasukan negeri yang begitu
besar jumlahnya dan bagus disiplinnya. Walaupun ada beberapa orang yang masih gembar-
gembor
mengumpat caci, tapi diam-diam mereka itu sebenarnya gentar juga.
Kawan-kawan, kita yang hadir sekarang benar gagah berani, tapi mereka hanya mengandalkan
keberanian saja. Kebanyakan belum pernah mendapat latihan kemiliteran. Dikuatirkan sukar
menghadapi serangan tentara negeri seperti kali ini, diam-diam Se-kiat membuat analisa dalam
hati.
Baru ia membayangkan hal itu, tentara negeri sudah maju. Kini mereka sudah berhasil
mencapai setengah bagian gunung. Thiat-mo-lek terbeliak kaget.
Pasukan yang datang dari sebelah utara dan selatan itu, yang satu membawa bendera bertuliskan
huruf Cin dan yang lain membawa bendera berhuruf Ut-ti. Nyata kedua pasukan itu adalah
pasukan Gi-lim-kun (istana) yang dipimpin oleh Cin Siang dan Ut-ti Lam.
Diam-diam Thiat-mo-lek mengeluh. Dahulu sewaktu ia masih bekerja sebagai Wi-su (pengawal
istana), ia bersahabat baik sekali dengan Ut-ti Lam dan Cin Siang. Siapa nyana kini ia harus
berhadapan dengan mereka sebagai musuh!
Se-kiat kerutkan alis. Ujarnya kepada Thiat-mo-lek: Ah, ternyata mereka itu adalah pasukan
Gi-lim-kun dari Tiang-an. Menilik gerakan mereka yang sedemikian besarnya itu, pastilah ada
pengkhianat yang membocorkan pertemuan kita kepada pihak kerajaan.

Anak muda itu berhenti sejenak lalu menyambung pula: Karena musuh dipersiapkan rapi, turut
pendapatku lebih baik kita mundur saja. Meskipun dengan berbuat begitu kita akan korbankan
markas Shin-toako di sini, tetapi kekuatan induk kita masih dapat diselamatkan. Setelah nanti
kekuatan kita tersusun kuat, kita akan gempur mereka lagi. Bagaimanakah pendapat Toako?
Thiat-mo-lek juga mempunyai pikiran begitu. Ia menyatakan persetujuannya. Tapi belum saja
kata-katanya selesai, pasukan musuh dari arah timur dan barat sudah menyerbu datang. Pasukan
dari sebelah timur itu bukan pasukan Gi-lim-kun. Pemimpinnya seorang tua yang berwajah
merah,
itulah Yo Bok-lo, musuh besar dari Thiat-mo-lek. Ayah Thiat-mo-lek dibunuh oleh orang she Yo
itu. Sementara pemimpin pasukan dari sebelah barat adalah Gou Beng-yang, thongleng atau
pemimpin pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su.
Jika bertemu musuh besar, orang tentu menjadi beringas. Walaupun setuju untuk mundur,
namun begitu melihat Yo Bok-lo, Thiat-mo-lek menjadi lupa segala. Serentak ia memburu maju
dan berseru: Bagus, bangsat tua, kiranya kau belum mampus! Aku Thiat-mo-lek memang
hendak
mencarimu!
Thiat-toako, kembalilah! dengan terkejut Se-kiat buru-buru memanggilnya. Tapi Thiat-molek
tak mau menghiraukan lagi.
Yang tiba lebih dahulu ternyata pasukan berkuda dari Cin Siang. Kuda mereka kuda pilihan,
maka dapat mendaki naik dengan cepat. Serta tiba, mereka lalu menghambat jalannya Thiat-
molek.
Kedatangan Cin Siang kesitu itu, sebenarnya bukan atas kehendaknya sendiri. Tian Seng-su
mengirim laporan rahasia kepada pihak kerajaan, mengatakan bahwa pada hari itu
benggolanbenggolan
perampok dan penyamun dari berbagai aliran akan mengadakan pertemuan di gunung
Kim-ke-nia. Hal itu merupakan suatu ketika baik untuk merazia mereka. Agar gerakan razia itu
berhasil bagus, Tian Seng-su minta pihak kerajaan suka mengirimkan pasukan Gi-lim-kun untuk
membantunya.
Pihak kerajaan terpaksa meluluskan. Pertama, untuk merebut hati Tian Seng-su, seorang war
lord (panglima daerah yang berkuasa besar). Kedua, karena kawanan penyamun itu merupakan
pengganggu keamanan negeri. Dengan mengadakan pertemuan besar, mereka tentu akan
mengadakan gerakan rahasia yang membahayakan negara. Dengan pertimbangan itu, mau tak
mau
pihak kerajaan lalu mengirim pasukan pilihan, Gi-lim-kun.
Dan memang jalannya kehidupan manusia itu serba aneh. Seperti sudah suratan nasib, Cin
Siang dan Ut-ti Lam yang diwajibkan untuk memimpin pasukan Gi-lim-kun itu. Sudah hampir
10-
an tahun, Cin Siang tak pernah bertemu dengan Thiat-mo-lek. Maka mereka menyangka sama
sekali kalau bakal berjumpa lagi dalam keadaan yang begitu. Keduanya sama merasa tak enak
hatinya.
Dengan suara pelahan mungkin, Cin Siang berseru: Thiat-hengte, mengapa kau menyiksa diri
di dalam kawanan penyamun? Kini kawanan dorna sudah dibersihkan dalam kalangan kerajaan.
Lebih baik kau ikut aku kembali ke Tiang-an lagi. Dengan segenap jiwa raga, aku sanggup
melindungi dirimu.
Sahut Thiat-mo-lek: Masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri-sendiri. Maaf, siaute tak
dapat meluluskan titah toako itu. Apabila Toako suka mengingat akan persaudaraan kita yang
lalu,
harap Toako suka beri jalan pada Siaute. Nanti bila Siaute sudah dapat melakukan pembalasan
sakit
hati, Siaute rela menyerahkan diri untuk memenuhi harapan Toako.
Saat itu pun Jo Bok-lo sudah tampak mendatangi. Masih jauh ia sudah berteriak: Bangsat itu
adalah kepala penyamun Kim-ke-nia, Thiat-mo-lek. Cin-towi, jangan lepaskan dia, aku segera
datang!
Apa boleh buat terpaksa Cin Siang pura-pura marah, bentaknya: Baik, karena kau tolak
nasehatku yang baik, lihatlah senjataku!
Pemimpin Gi-lim-kun itu segera ayunkan sepasang kan, senjata gada bersegi banyak. Waktu
Thiat-mo-lek menangkis, barulah ia mendusin bahwa sahabatnya itu sebenarnya tak bermaksud
menyerang sungguh-sungguh. Nyata Cin Siang hanya gunakan lima bagian dari kepandaiannya
saja.

Thiat-mo-lek juga bukan orang yang lupa sahabat. Ia tak mau menyerang sungguh-sungguh.
Hatinya merasa gundah. Pun Cin Siang serupa perasaannya. Ia tak kurang sulitnya. Tak mau
melepaskan Thiat-mo-lek, juga tak ingin melukainya. Sungguh suatu kedudukan yang serba sulit.
Dalam pada itu, Ut-ti Pak, saudara Ut-ti Lam, sedang congklangkan kudanya mendatangi.
Sembari angkat pian, ia berseru: Kepala penyamun yang merampok kuda negara berada di sana.
Ha, Tecu dari Kim-ke-nia juga di sana. Cin-toako, ringkus bangsat itu!
Si berangasan Ut-ti Pak itu ternyata bukan orang tolol. Dalam saat-saat yang genting dapat juga
ia menemukan akal. Dengan seruan itu, ia kasih jalan pada Cin Siang agar Thiat-mo-lek bisa
bebas.
Rupanya Cin Siang tahu juga akan maksud si berangasan itu.
Ya, ya, kita lebih penting tangkap tawanan itu. Yo lo-siansing, kuserahkan orang ini kepadamu
supaya kau mendapat pahala.
Ia pura-pura hantamkan senjatanya, lalu bersama Ut-ti Pak maju kemuka, menerjang barisan
penyamun.
Kini Thiat-mo-lek mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan musuh besarnya. Dengan
menggerung keras, ia menyongsong Yo Bok-lo dengan serangan jurus lat-bik-hoa-san atau
menhantam sekuat-kuatnya gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus lat-bik-hoa-san itu merupakan
jurus ilmu permainan golok. Bahwa Thiat-mo-lek sudah gunakan pedang dengan jurus ilmu
golok,
adalah karena ia sangat bernafsu sekali untuk menyerang musuh itu.
Yo Bok-lo menghadapinya dengan tangan kosong. Sekali kakinya berputar, ia lantas mainkan
ilmu pukulan chit-poh-tui-hun-ciang-hoat. Tangan kiri merangsang untuk menampar gigir
golok
lawan, berbareng tangan kanan menghantam dada Thiat-mo-lek. Jika senjata orang tertampar, Yo
Bok-lo sedianya terus akan gunakan gong-chiu-jip-peh-jin, dengan tangan kosong merebut
senjata
lawan.
Tapi serta tenaga keduanya saling beradu, tangan Yo Bok-lo segera berdarah. Dan sekali ujung
pedang Thiat-mo-lek diputar, kembali telapak kaki Yo Bok-lo tergurat luka. Untung tadi pedang
Thiat-mo-lek sedikit condong karena kena ditampar lawan, jadi posisi pedangnyapun
mendoyong.
Jika tidak, telapak kaki orang she Yo itu tentu sudah kutung!
Dahulu sudah beberapa kali Yo Bok-lo bertempur dengan Thiat-mo-lek. Dan setiap kali tentu
dialah yang menang angin. Maka mimpipun tidak dia bahwa dalam gebrak pembukaan saja ia
sudah menderita luka. Kejut orang she Yo itu tak terperikan.
Beberapa tahun tak berjumpa, ternyata kemajuan anak ini bertambah pesat sekali! diam-diam
ia harus mengakui.
Tapi Thiat-mo-lek juga tak kurang getarnya: Bangsat tua ini umurnya sudah mendekati 70-an
tahun, tapi ia sanggup menyambut serangan pedangku dengan tangan kosong. Jika aku tak
menang
dari tenaga kemudaanku, mungkin aku benar-benar bukan tandingannya!
Waktu bertempur lagi, keduanya sama-sama tak berani memandang rendah. Karena menderita
luka lebih dulu, Yo Bok-lo tetap yang rugi. Waktu Gou Beng-yang datang dengan pasukannya,
ia
lantas membantu Yo Bok-lo. Betapapun lihaynya Thiat-mo-lek, namun karena musuh banyak
jumlahnya, jadi ia tetap terkepung.
Tapi Se-kiat sudah keluarkan perintah untuk mundur. Tapi karena melihat Thiat-mo-lek
terkepung, orang-orang sebawahan lama dari keluarga Tou dan anak buah Kim-ke-nia, tak mau
berpeluk tangan. Dengan gagah berani mereka menyerbu tentara negeri.
Tapi anak buah pasukan Gi-lim-kun itu sama mengenakan baju perang dari besi. Pula mereka
itu sudah terlatih baik untuk berperang secara massal (gelombang besar). Sebaliknya kawanan
orang gagah dari Lok-lim itu hanya mahir dalam ilmu silat perseorangan. Sekalipun setiap orang
sanggup melawan sepuluh musuh, namun menghadapi gelombang serangan dari empat jurusan,
mereka tetap kewalahan juga.
Toan-hiante, lekas bantu Thiat-sioksiokmu keluar dari kepungan. Minta dia supaya suka
memikirkan keadaan keseluruhannya dan lekas turut kita mundur! buru-buru Se-kiat meneriaki
Khik-sia.
Habis itu ia berseru keras, Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak memperoleh
kayu bakar! Teng-locianpwe, To-toasiok, harap kalian pimpin kawan-kawan dari lain-lain tempat

dan mundur ke belakang gunung. Shin-cecu, pimpinlah anak buah Kim-ke-nia melawan di
bagian
tengah, Kay Thian-ho, kau dan aku yang memotong di bagian belakang!
Sekalian orang gagah yang mendengar perintah itu, sama taat. Mereka anggap komando
Bengcu baru itu tepat sekali. Tetapi masih ada beberapa orang yang bawa maunya sendiri,
bertempur secara perseorangan. Lebih-lebih anak buah dari gunung Hui-hou-san, Yan-san-ce dan
Kim-ke-nia. Mereka baik sekali dengan Thiat-mo-lek, seperti saudara sehidup semati. Mereka
hanya curahkan perhatian untuk menolong Thiat-mo-lek. Perintah Se-kiat tadi dianggapnya sepi
saja.
Melihat itu hati Se-kiat merasa kecewa dan girang. Kecewa karena ia masih kalah berwibawa
dengan Thiat-mo-lek. Ya, maklum, karena baru saja menjabat Bengcu. Girang sebab ia
mengetahui
ciri kelemahan Thiat-mo-lek, yakni kekurangan toleransi (kesabaran), Thiat-mo-lek masih
mudah
dipengaruhi oleh rasa sentimen kemarahan. Ini bukan martabat dari seorang pemimpin besar.
Selintas timbul dalam hati Se-kiat untuk melepas budi, maka begitu mencemplak seekor kuda
tegar,
ia lantas menerjang maju.
Anak buah Kim-ke-nia saat itu tengah dikepung pasukan Gi-lim-kun. Mereka dicerai-beraikan
oleh tentara kerajaan itu sehingga tak dapat saling bantu. Kesitulah Se-kiat menyerbu. Pakaian
baja dari Gi-lim-kun berat dan tak tembus senjata tajam, tapi dengan permainan pedang yang
lihay,
Se-kiat selalu dapat menusuk tepat ke bagian tenggorokan mereka yang tak terlindung itu. Dalam
beberapa kejap saja robohlah berpulu-puluh anggota Gi-lim-kun. Dengan begitu dapatlah Se-kiat
menolong anak buah penyamun yang sudah tercerai-berai itu.
Bukankah kau ini Bo Se-kiat yang merampas kuda milik kerajaan! tiba-tiba terdengar suara
bentakan keras. Menyusul seekor kuda putih menerjang tiba. Penunggangnya seorang opsir
bermuka hitam. Orang dengan kudanya, merupakan suatu warna yang amat kontras sekali. Opsir
itu bukan lain ialah kakak dari Ut-ti Lam, Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak.
Serta saling merapat, Ut-ti Pak segera ayunkan piannya menyabat, Se-kiat berseru memuji dan
balas menusuk dengan pedang. Waktu Ut-ti Pak hendak menangkis, secepat kilat Se-kiat putar
arah
pedangnya, menusuk kuda putih lawan. Jurus serangan itu disebut Li-kong-sia-ciok (Li Kong
memanah batu). Ujung pedang menusuk kepala kuda.
Tapi Ut-ti Pak pun bergerak sebat sekali. Hampir pada waktu berbareng, iapun sudah balikkan
pian menampar leher kuda Se-kiat. Kuda terjungkal roboh dan Se-kiat terlempar. Kini
keduaduanya
sama-sama tak berkuda lagi.
Sayang, sayang! Kepandaianmu begitu hebat, mengapa mau jadi penyamun? teriak Ut-ti Pak.
Memang aku tak berhasratkan pangkat. Hal itu pernah kukatakan kepada adikmu! sahut Sekiat.
Ya, pertempuranmu dengan adikku di gunung Pak-bong-san telah kuketahui. Terima kasih atas
kemurahan hatimu kepadanya. Turut kepantasan, seharusnya aku lepaskan kau, tapi aku masih
ada
sedikit ketidakpuasan. Tempo hari dengan tangan kosong kau dapat merebut senjata pian adikku.
Maka kini jika aku tak menempur kau sampai beberapa puluh jurus, kau tentu menganggap ilmu
permainan pian dari keluarga Ut-ti hanya sebegitu saja! kata Ut-ti Pak.
Se-kiat mengucapkan beberapa patah kata merendah. Segera Ut-ti Pak mainkan piannya untuk
mengurung tubuh Se-kiat. Terpaksa Se-kiat melayani dengan hati-hati. Ternyata permainan ilmu
pian dari Ut-ti Pak itu jauh lebih lihay dari adiknya. Kalau sewaktu berhadapan dengan Ut-ti
Lam,
Se-kiat dapat menang dengan hanya memakai tangan kosong. Tapi sekarang walaupun
menggunakan pedang, namun ia hanya dapat bermain seri saja melawan Ut-ti Pak.
Kedua jago itu bertempur dengan serunya. Kalau Ut-ti Pak beringas dan tangkas, adalah Se-kiat
bermain dengan tenangnya. Sinar-sinar pedangnya seperti mata rantai yang melingkar-lingkar
laksana hujan deras. Keduanya sama kuat dan gagah. Melihat jalannya pertempuran itu,
diamdiam
Se-kiat menjadi sibuk sendiri.
Di sana Toan Khik-sia pun mengamuk laksana banteng ketaton. Ia berlincahan dengan
ginkangnya yang hebat. Menusuk kesana, menabas kesini. Pagar berlapis yang merupakan
pasukan musuh itu, tak dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda itu. Setempo ia menyelinap
masuk di antara barisan tentara, lain waktu ia berloncatan melampaui kepala para opsir musuh.

Dalam beberapa kejap saja ia sudah berhasil menerjang masuk ke dalam kepungan tentara yang
memagari Thiat-mo-lek itu.
Di dalam barisan yang mengepung Thiat-mo-lek itu terdapat Yo bok-lo, Gou Beng-yang dan
belasan bu-su kelas satu yang menjadi orang sebawahan Tian Seng-su. Menurut penilaian,
pasukan
pengepung itu jauh lebih kuat dari pasukan Gi-lim-kun.
Dalam kesempatan waktu Toan Khik-sia melambung ke udara, ia segera gunakan jurus gin-
hosia-
ing atau Bima Sakti (sungai bintang) meluncurkan bayangan. Ujung pedangnya langsung
mengancam Yo bok-lo. Waktu Yo Bok-lo menghindar ke samping, terdengarlah dua kali jerit
ngeri.
Dua orang Busu yang berada di kanan-kiri Yo Bok-lo, sudah tembus tenggorokannya. Kiranya
jurus Gin-ho-sia-ing itu mempunyai tiga gerakan berisi tenaga penuh. Sinar pedang berubah
menjadi lingkaran jaring yang tertebar. Dalam lingkaran seluas satu tombak persegi, musuh tentu
akan termakan binasa. Lihaynya bukan kepalang.
Yo Bok-lo menggeram marah. Sekaligus ia menghantam kedua pelipis Khik-sia dengan
sepasang tangan. Saat itu Khik-sia baru saja turun ke tanah. Sudah tentu Thiat-mo-lek menjerit
kuatir, cepat ia hantankan pedangnya ke tengah untuk menahan pukulan Yo Bok-lo itu.
Tapi ternyata Khik-sia dapat bergerak luar biasa sebatnya. Ia sudah secepat kilat menyerang
tiga kali. Angin sambatan pedangnya menampar ke muka lawan. Tapi ternyata Yo Bok-lo itu
seorang jago kawakan yang kenyang pengalaman. Dengan tenang sekali, ia gerakkan kedua
tangannya untuk membela diri dan menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah dapat memecahkan
serangan Khik-sia tadi.
Gou Beng-yang buru-buru menghampiri. Lo-chiu-poan-kin atau pohon tua melingkarkan
akar, adalah jurus yang dimainkan Gou Beng-yang untuk menyapu kaki Khik-sia. Tetapi dengan
berlincahan macam anak kecil main loncat tali, tiga kali serangan pian beruntung dari Gou
Bengyang
itu selalu hanya menyambar lewat di bawah sepatu Khik-sia saja.
Dalam pada itu Khik-sia telah berputar diri dan membentaknya: Bagus, kau benar-benar kaum
budak yang ganas, biar kubunuhmu dulu!
Cik-ci-thian-lam atau lurus menuding ke arah langit selatan, adalah jurus yang ditusukkan
Khik-sia. Ujung pedangnya menyusup ke dalam lingkaran pian dan terus menusuk ke muka
orang.
Gou Beng-yang tersipu-sipu gunakan gerak lengkungkan pinggang menanam pohon-liau.
Sembari tekuk pinggang ia gelincirkan kakinya. Dengan susah payah barulah ia dapat lolos dari
tusukan Khik-sia. Namun bagaikan bayangan melekat, Khik-sia memburu dan menyusuli pula
dengan serangan yang bertubi-tubi. Beng-yang menjadi sibuk bukan buatan.
Sebagai Thong-leng dari pasukan Gwe-thok-lam, sudah tentu Beng-yang mempunyai
kepandaian silat yang tinggi. Hanya karena pernah kecundang satu kali oleh anak muda itu, maka
belum-belum ia sudah mempeuyai rasa takut terhadap Khik-sia. Rasa takut merupakan halangan
besar bagi orang tengah bertempur. Karena takut, permainannya menjadi tak wajar. Terhadap
serangan Khik-sia itu, ia hanya dapat menangkis, sama sekali tak mampu balas menyerang.
Melihat itu, Yo Bok-lo buru-buru berteriak: Gunakan Te-hong-to dan Liu-sing-ji untuk
menghadapinya!
Te-tong-to artinya ilmu permainan golok dengan bergelundungan di tanah. Sedang Liu-sing-jui
adalah senjata bandringan yang diikat dengan rantai. Te-tong-to khusus untuk membabat kaki
orang, sedang Liu-sing-jui menyambar-nyambar di udara untuk menghantam batok kepala
musuh.
Ternyata dalam rombongan Bu-su itu, ada empat orang murid Yo Bok-lo. Berkat dilatih Yo
Bok-lo, ada dua orang muridnya yang mahir dalam ilmu Te-tong-to dan dua orang lagi yang
pandai
menggunakan Liu-sing-jui. Terhadap musuh yang lihay ginkangnya, kedua senjata itu paling
cocok
digunakan.
Tapi ginkang Khik-sia terlalu tinggi untuk diserang oleh kedua senjata itu. Dari bawah golok
tak dapat mengenai kakinya, dari atas Liu-sing-jui tak mampu menghantamnya. Tapi sekalipun
begitu, Khik-sia terpaksa harus menjaga diri. Dan karena itu tekanan yang diderita Gou Beng-
yang
menjadi kendur juga.
Kini rasa takut Beng-yangpun mulai hilang. Tiang-pian atau ruyung panjang segera
dikembangkan dengan hebat. Dibawah teriakan dan bantuan para Bu-su, kini ia berbalik menjadi

menang angin.
Tiba-tiba di barisan tentara negeri terbit kekacauan. Dua orang pemuda menerjang maju.
Menyusul terdengar suara kelintingan. Seorang nona baju merah tampak berlarian datang. Itulah
Sip-hun-leng Lu Hong-jiu. Orangnya belum tiba, senjata rahasianya sudah melayang. Seperti
telah
disebutkan di atas, senjata rahasianya itu berupa kelintingan emas yang besarnya hanya seperti
jari
telunjuk. Jika tak digunakan, dipasang pada ujung bajunya sebagai perhiasan. Kini ia timpukkan
kelinting-kelinting emas itu sebagai senjata rahasia. Suaranya berkelintingan menusuk telinga.
Timpukan Lu Hong-jiu bukan sembarang timpukan melainkan mengarah jalan darah orang.
Seketika beberapa orang Bu-su sudah bergelimpangan roboh.
Celaka, Si-hun-leng dari keluarga Lu! beberapa Bu-su yang kenal akan kelintingan istimewa
itu segera berteriak kaget.
Mendengar itu, paniklah barisan Bu-su. Mereka desak-mendesak lari kian kemari untuk
menyelamatkan diri.
Pada lain kejap, kedua pemuda tadipun sudah menerjang datang. Kiranya mereka bukan lain
ialah Yak-bwe dan In-nio yang menyaru sebagai lelaki. Yak-bwe yang tiba lebih daulu, segera
membabat ke bawah. Salah seorang yang menyerang Khik-sia dengan ilmu golok Te-tong-to
tadi,
segera tak berkutik lagi.
Kini setelah berkurang tekanannya, Khik-sia segera kisarkan kaki dalam gerak Ih-hing-hoan-wi
(pindah bentuk ganti tempat). Begitu sang kaki melangkah, orang satunya yang menyerang
dengan
Te-tong-to tadi ikut terpijat remuk tulang punggungnya.
Terima kasih! Khik-sia berpaling ke arah Yak-bwe seraya berseru. Dan saat itu Yak-bwe pun
tengah memandangnya. Empat mata saling beradu.
Khik-sia terkesiap. Rasanya ia seperti sudah pernah bertemu dengan pemuda itu, tapi lupalupa
ingat ia dimana. Apalagi di medan pertempuran yang dahsyat seperti kala itu, tak sempat lagi
ia menggali ingatannya.
Wut, wut, tiba-tiba terdengar bandringan menyambar kepala Khik-sia. Walaupun sekarang ia
tak perlu kuatir lagi, namun tak boleh ia tinggal diam saja. Ia enjot tubuhnya ke atas untuk
menyambar rantai Liu-sing-jui. Sudah tentu orang itu tak dapat menandingi tenaga Khik-sia.
Sekalai dibetot, Liu-sing-jui itu terlepas dari tangannya.
Setelah merebut Liu-sing-jui musuh, Khik-sia segera timpukkan ke arah Liu-sing-jui musuh
kedua yang tengah menyambar datang, Trang! saking kerasnya hantaman Khik-sia, orang
kedua
yang menyerang dengan Liu-sing-jui itu sampai jungkir-balik. Begitu merangkak bangun
cepatcepat
ia lantas ikut jejak kawannya untuk melarikan diri.
In-nio dan Yak-bwe lintangkan pedang untuk menyambuti sebatang pian Beng-yang. Dengan
begitu dapatlah Khik-sia kesempatan untuk menghajar kedua penyerangnya yang menggunakan
Liu-sing-jui tadi. Kemudian anak muda itu berputar diri dan menyerang Beng-yang kembali.
Satu
persatu saja sebenarnya Gou Beng-yang itu bukan tandingan Khik-sia, apalagi ditambah dengan
Innio
dan Yak-bwe berdua.
Cret, pantat Beng-yang termakan sebuah tusukan pedang. Tanpa banyak pikir lagi, orang she
Gou segera angkat kaki seribu.
Bagus, Toan siauko, ilmu pedangmu sungguh hebat. Jurus kim-cian-tok-kiap tadi indah
sekali! tiba-tiba Lu Hong-jiu kedengaran memuji. Ternyata nona itupun sudah dapat menerjang
ke
dekat Khik-sia.
Tadi waktu pertama kali mendengar mulut Khik-sia mengucapkan terima kasih kepadanya,
perasaan hati Yak-bwe seperti dimabuk sarinya madu. Apakah ia belum mengetahui diriku? Ai,
kali ini kau tentu tahu betapa kesetiaan hatiku padamu! pikirnya.
Tapi kini demi Lu Hong-jiu muncul ke dekat Toan Khik-sia dan bahu merapat bahu bertempur
melawan musuh, sejenakpun Khik-sia tak mau berpaling kemari lagi. Hati Yak-bwe mendongkol
sekali.
Bagus, kau masih pura-pura tak kenal padaku! diam-diam ia mendamprat. Namun saat itu
masih dalam pertempuran, maka Yak-bwe pun tak dapat menumpahkan kemarahannya dan
terpaksa
hanya mengikut di belakang anak muda itu untuk menggempur musuh.

Hong-jiu kembali memetik 3 buah kelinting emas. Sekali ayunkan tangan, ketiga kelinting itu
segera melayang merupakan bentuk huruf V. Yang atas menghantam jalan darah thay-yang-
hiat
di pelipis Yo Bok-lo, yang di tengah mengarah jalan darah hian-ki-hiat di dadanya dan yang
bawah
mengancam jalan darah hoan-thiam-hiat di ujung paha orang itu.
Tetapi iblis she Yo itu hanya tertawa dingin saja, Hh, mutiara sebesar biji beras, masakan dapat
memancarkan sinar terang!
Dua buah jari tangannya dijentikkan, kakinya ditendangkan dua buah kelinting yang melayang
ke arah pelipis serta paha segera terpental balik. Sedang kelinting yang menghantam ke dadanya
dibiarkan saja.
Tring, kelinting itu membentur dada tapi bukan Yo Bok-lo yang roboh melainkan kelinting itu
sendiri yang membal balik. Kiranya Yo Bok-lo telah menyakinkan ilmu lindung kim-ciong-toh.
Jangan kata hanya sebuah kelinting kecil, sekalipun pedang dan lain-lain senjata tajam, tak nanti
mampu melukai dirinya.
Kalau tadi Hong-jiu mengirim ketiga buah kelintingnya dalam bentuk huruf V ( satu di atas, dua
di bawah), pun kini Yo Bok-lo mengirimnya kembali juga dalam bentuk huruf tersebut. Tapi
bedanya, timpukan Hong-jiu tadi hanya mengeluarkan bunyi kelintingan, adalah sekarang
tamparan
Yo Bok-lo itu sampai membuat kelinting-kelinting itu bersuara riuh sekali. Entah berapa kali
lipat
kerasnya dari timpukan si nona tadi.
Selagi Hong-jiu masih meragu tak berani lekas-lekas menyambuti kelinting itu, dengan tangkas
sekali Khik-sia sudah ulurkan tangannya dan menyanggapi terus diterimakan kepada yang
empunya. Wajah Hong-jiu kemerah-merahan, serta merta ia berbisik mengucapkan terima kasih.
Yak-bwe yang mengikuti di belakang mereka, tahu akan kejadian itu. Ia merasa girang tapi pun
agak kecut hatinya. Girang karena Hong-jiu sudah memperlihatkan isinya yang sebenarnya.
Nyata kepandaian nona itu tak jauh bedanya dengan dirinya. Tapi mendongkol karena Khik-sia
telah menolong nona itu dengan mesranya.
Sebenarnya senjata rahasia kelinting emas dari Lu Hong-jiu itu termasuk golongan tokoh
persilatan kelas satu. Tapi celakanya, kali ini ia bertemu dengan Yo Bok-lo. Ilmu kim-ciong-toh
yang diyakinkan orang she Yo itu merupakan ilmu penunduk dari senjata rahasia termasuk yang
dimiliki Hong-jiu itu.
Namun walaupun tak takut akan senjata kelinting dari Hong-jiu, Yo Bok-lo tetap gentar akan
serangan pedang Thiat-mo-lek. Di saat ia bergerak untuk menghalau serangan kelinting tadi,
Thiatmo-
lek sudah membarengi dengan sebuah tabasan. Hampir saja ia kena tertabas. Adalah setelah
pontang-panting berjungkir balik sampai tiga kali, barulah ia dapat menyelamatkan diri.
Thiat-mo-lek hendak mengejarnya tapi Khik-sia segera meneriaki: Thiat- toako, Se-kiat
menyuruhmu kembali. Jika kau tak mau balik, saudara-saudara kita tak mau mundur!
Thiat-mo-lek tersadar, serunya Ya, benar, tak boleh karena diriku seorang sampai membikin
celaka semua saudara-saudara!
Ia berputar diri untuk membuka jalan keluar. Karena Yo Bok-lo dan Gou Beng-yang sudah
menyingkir, tak ada lain orang lagi yang mampun menahan terjangan Thiat-mo-lek. Dalam
beberapa kejap saja kepungan dari kawanan Bu-su itu telah menjadi bobol.
Pada saat itu, Se-kiat dan Ut-ti Pak telah bertempur sampai 30 jurus lebih. Melihat Thiat-molek
sudah meloloskan diri, Se-kiat menjadi sibuk. Ut-ti Pak selalu mendesaknya dengan seru.
Awas, terimalah pianku! bahkan tiba-tiba Ut-ti Pak membentak keras seraya menyerang
hebat. Ternyata ia mainkan salah satu jurus yang paling ganas dari ilmu permainan pian Cui-
mopian-
hwat, yakni yang disebut pat-hong-ih-hwe-tiong-ciu atau hujan dan angin dari delapan penjuru
bertemu di Tiong-ciu. Ribuan sinar pian, benar-benar seperti badai menderu gelombang
mendampar.
Bagus! seru Se-kiat. Ujung pedang dijungkatkan ke atas, tiba-tiba ia melambung ke udara
dan gunakan jurus tian-thian-cu-hiang atau mendonga ke langit membakar dupa.
Sinarnya segera berubah menjadi seperti rantai, memagut-magut ke dalam sinar pian. Krak ...
bret ... terdengar dua kali suara. Lengan baju Se-kiat robek terkena pian, sedang leher baju Ut-ti
Pak pun berlubang termakan pedang Se-kiat. Dua-duanya menderita kerugian alias seri.

Ut-ti Pak tertawa gelak-gelak, serunya: Kau benar-benar lihay. Lain kali kita bertempur lagi
sampai 300 jurus!
Kiranya karena tahu Thiat-mo-lek sudah lolos, maka Ut-ti Pak pun tak mau melibat anak muda
itu. Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak sengaja mengalah, maka dapatlah Se-kiat dan Thiat-mo-lek
bergabung menjadi satu lagi. Beberapa kelompok anak buah penyamun yang masih terkepung,
dapat juga ditolong mereka.
Sekalipun diam-diam Cin Siang dan Ut-ti Pak memberi kelonggaran pada Thiat-mo-lek, namun
mereka tak kuasa mencegah pasukan Gi-lim-kun yang menggempur barisan penyamun. Anak
buah
penyamun itu tidak menerima didikan kemiliteran, mereka bertempur sambil mundur. Digempur
hebat oleh pasukan Gi-lim-kun, barisan penyamun itu berceceran kalang kabut. Tidak lagi
mereka
merupakan suatu formasi kesatuan, melainkan masing-masing sama lari pontang-panting
menyelamatkan jiwanya sendiri-sendiri. Untung masih ada Thiat-mo-lek dan beberapa tokoh lain
yang melindungi, hingga kerusakan yang dideritanya tidak begitu besar.
Pada saat itu kawanan liaulo dari markas Kim-ke-nia sudah menghilang semua. Sebelum
mundur, dengan memimpin beberapa anak buahnya, Shin Thian-hiong membakari belasan
tempat
di dalam dan di luar markasnya. Api cepat berkobar dengan hebatnya. Thian-hiong mempunyai
dua maksud dengan melepas api itu. Pertama, jangan sampai tentara negeri mendapatkan
barangbarang
yang berada di markas. Kedua, kebakarang itu akan dapat menghalangi serbuan mereka.
Thiat-mo-lek, Se-kiat, dan lain-lain bertugas untuk melindungi anak buahnya. Setelah anak
buah mereka sudah sama lolos, barulah mereka mundur. Thiat-mo-lek memandangi api yang
berkobar-kobar itu dengan hati kecewa.
Akulah yang menjadi gara-garanya hingga markas Shin toako menjadi korban, katanya.
Se-kiat menghiburinya: Api perjuangan kita takkan padam. Begitu angin musim semi meniup
tentu akan berkobar lagi. Asal kita dapat bersatu padu, masakan dikelak kemudian hari kita
takkan
punya pangkalan yang lebih megah lagi. Mengapa toako lekas berputus asa?
Thiat-mo-lek mengiyakan.
Saat itu api makin besar dan menjalar luas. Hutan yang terletak di muka markas itu, dalam
beberapa kejap tentu akan terjilat. Itu berarti jalanan akan putus. Tiba-tiba maka Thiat-mo-lek
tertumbuk akan pemandangan yang mengejutkan. Jago tua Ban Liu-tong bersama 7-8 muridnya
masih terkepung tentara negeri. Tempat mereka bertempur itu ialah di sebuah tikungan gunung,
maka tadi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan tak melihat mereka.
Ban Liu-tong menggunakan senjata hou-than-jiang (tombak berkepala harimau) yang beratnya
tak kurang dari 50-an kati. Usianya sudah hampir 70-an tahun, namun masih begitu gagah sekali.
Sudah belasan serdadu Gi-lim-kun yang binasa di tangan jago tua itu. Melihat itu Cin Siang
menjadi murka. Segera ia keprak kudanya menghampiri.
Celaka! Thiat-mo-lek mengeluh kaget. Cepat ia menyambar busur besi dari seorang thaubak,
terus lari ke sana.
Kuda tunggangan Cin Siang itu pesat sekali. Dalam sekejap saja, sudah tiba di tikungan.
Belum orangnya tiba, sepasang kan-nya sudah menghantam. Ban Liu-tong coba menangkis
dengan tombaknya. Cin Siang juga memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa kuatnya.
Tenaganya tak di bawah Thiat-mo-lek. Sudah tentu jago tua she Ban itu tak kuat menahannya.
Krak, begitu berbentur, ujung tombak segera putus. Kan di tangan kiri Cin Siang didorongkan
dan
senjata di tangan kanan menghantam lagi.
Jangan mencelakai jiwa Ban lo-enghiong! tiba-tiba terdengar Thiat-mo-lek berteriak keras.
Menyusul ia lepaskan sebatang anak panah. Anak panah itu menderu-deru menerobos di
tengahtengah
tombak dan Kan. Itu berarti seperti melerai mereka.
Cara ilmu memanah yang lihay disertai tenaga yang luar biasa hebatnya itu, telah menimbulkan
kegemparan. Sampaipun kawanan tentara negeri turut bersorak memuji.
Melihat lawan tua, yang sudah beruban itu masih dapat menyambut serangannya, Cin Siang pun
tak tega membunuhnya. Apalagi Thiat-mo-lek turut memintakan kelonggaran, maka ia
memutuskan untuk sekali lagi membeli hati sahabatnya (Thiat-mo-lek) itu. Cin Siang pura-pura
hendak menunjukkan bahwa kudanya kaget karena bidikan panah tadi, maka ia lantas jepitkan

kedua kakinya keras-keras ke pinggang kuda. Binatang itu sudah terlatih baik. Begitu
pinggangnya
dijepit oleh sang tuan, ia lantas berputar dan mencongklang keras ke lain jurusan. Dengan begitu,
Ban Liu-tong dan murid-muridnya terhindar dari kehancuran.
Kini jago tua itu bersama anak muridnya segera berjuang keras untuk mengundurkan anak buah
pasukan Gi-lim-kun. Tapi celakanya dari arah belakang, pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-
su
pun menyerang. Pasukan itu dipimpin oleh tangan kanan Beng-yang yang bernama Pek Siat.
Ban Liu-tong menjadi beringas. Tombaknya yang kutung separoh tadi, kini digunakan sebagai
toya (tongkat). Sepasang golok dari Pek Liat, kena dihantam jatuh. Tapi tiba-tiba jago tua itu
menguak. Ia muntahkan segumpal darah segar. Kiranya tadi sewaktu menyambut hantaman Cin
Siang, ia sudah terluka dalam. Beberapa anak muridnya buru-buru menyanggapinya. Sudah tentu
Thiat-mo-lek tak dapat berpeluk tangan mengawasi kejadian yang mengenaskan itu. Untuk
kedua
kalinya, ia kembali menerjang masuk ke dalam barisan tentara negeri.
Dalam medan pertempuran, yang masih bertempur hanyalah partai Ban Liu-tong yang
terkepung itu saja. Lain-lain rombongan penyamun, ada yang sudah mundur ke belakang
gunung,
ada yang lolos dari kejaran musuh. Di sana-sini tampak orang berserabutan lari kian kemari.
Suasana di gunung situ, jauh berlainan dengan sebelum pasukan negeri menyerbu ke atas.
Toan hiante, silahkan kau berangkat dulu. Aku hendak menyongsong Ban lo-enghiong. Nanti
aku segera menyusul! kata Se-kiat.
Aku mau ikut! sahut Khik-sia.
Ah, kawan-kawan kita yang masih terkepung hanya beberapa orang saja. Tak usah kita banyak
buang tenaga. Lu lihiap dan beberapa saudara itu baru pertama kali ini datang ke Kim-ke-nia,
mereka tentu tak paham jalanan di sini. Silahkan kau pimpin mereka meloloskan diri dulu.
Jangan
kuatir, Toan hiante, sekalipun musuh berjumlah besar, tetapi belum tentu mereka mampu
menghadang aku dan Thiat toako! kata Se-kiat.
Mendengar itu, terpaksa Khik-sia mengiyakan: Baiklah, kutunggu kalian di sebelah muka
sana!
Di dalam lautan api yang menggenangi puncak Kim-ke-nia itu, Khik-sia pimpin kawankawannya
untuk mencari jalan keluar. Dengan mengitari lautan api itu, ia ajak rombongannya ke
belakang gunung. Pasukan Gi-lim-kun coba mengejar, tapi dibikin kocar-kacir oleh senjata
rahasia
yang ditimpukkan Lu Hong-jiu. Pohon-pohon di dalam hutan yang termakan api itu, tumbang
bergelundungan ke bawah. Ini merupakan rintangan bagi musuh. Ditambah pula dengan api yang
meranggas maju, pasukan Gi-lim-kun itu terpaksa hentikan pengejarannya.
Setelah terlepas dari pengejaran, rombongan Toan Khik-sia tiba di sebuah selat yang terletak di
bagian belakang dari gunung itu. Waktu menoleh ke belakang, dilihatnya api menjulang ke
langit,
tetapi hiruk-pikuk teriakan orang sudah tak kedengaran lagi.
Memandang sejenak kepada rombongannya, Hung-jiu tertawa: Ha, kita semua berubah
menjadi setan hitam ini!
Kiranya karena menerobos di sebelah lautan api, muka orang-orang itu menjadi hitam terkena
asap. Kebetulan di dekat situ ada sebuah aliran sungai. Khik-sia segera ajak kawan-kawannya:
Ayo, kita cuci muka dulu ke sana, kemudian kita tunggu kedatangan Thiat-toako dan Bo-heng
di
sini!
Di sungai situ terdapat dua buah batu yang dapat digunakan untuk tempat membasuh muka.
Dasar anak perempuan, maka Hong-jiulah yang buru-buru lantas membersihkan mukanya.
Khik-sia duduk di atas salah sebuah batu itu dan melambaikan tangannya kepada In-nio dan
Yak-bwe. Ai, disini masih ada tempat. Siapa di antara kalian yang mau kemari, silahkanlah,
jangan sungkan. Kita semua adalah kaum lelaki, tak usah rikuh-rikuh.
Ternyata kedua batu itu saling berdekatan. Jadi kalau orang duduk membasuh muka, tentu akan
duduk saling merapat. Karena itu maka Khik-sia tadi tak mau bersama-sama cuci muka dengan
Hong-jiu.
Fui, berapakah usiamu, berani kau memberi ceramah tentang pergaulan wanita pria?
Kuanggap kau ini hanya sebagai seorang adik kecil saja. Tetapi sebaliknya kau tak berani
bersama
aku mencuci muka! Hong-jiu mendengus tertawa.

Bukannya tak berani, melainkan biar kau lebih leluasa. Mengapa kau tak berterima kasih
kepadaku? bantah Khik-sia. Huh, selalu kau ini mengatakan aku masih kecil saja. Toh kalau
berdiri, aku lebih tinggi setengah kepala dari kau!
Yak-bwe hanya tertawa dingin mendengar pembicaraan mereka itu.
Hai, saudara yang itu! Muka kita semua seperti pantat kuali, jangan menertawakan orang.
Ayo, sini lekas cuci mukamu! tiba-tiba Khik-sia meneriaki Yak-bwe.
Khik-sia baru berusia 17-an tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang. Ia kira
Yak-bwe tadi menertawakan orang-orang.
Sebaliknya telinga Hong-jiu yang tajam, dapat menangkap nada tertawa Yak-bwe tadi agak
aneh. Ia menjadi kurang senang dan deliki mata kepada Yak-bwe.
Juga Yak-bwe mendongkol terhadap Khik-sia. In-nio buru-buru membisikinya: Itu Khik-sia
memanggilmu, pergilah!
Pergi ya pergi, masakah aku takut kepadanya! jawab Yak-bwe dengan aseran.
Khik-sia mendengar juga ucapan Yak-bwe itu. Diam-diam ia merasa heran, Omongan orang
ini aneh benar. Kusuruh cuci muka bersama aku, masakah mengigau tidak takut segala?
Hanya karena dalam medan pertempuran tadi, pemuda itu membantu sekuat tenaganya, apalagi
ia belum mengetahui siapakah sebenarnya pemuda itu, maka Khik-sia hanya menganggapnya
sebagai seorang sahabat baru saja. Walaupun hatinya merasa heran, namun ia sungkan untuk
meminta keterangan juga.
Begitulah kedua anak muda itu duduk berjajar di batu itu. Sambil cuci muka, Khik-sia
bertanya: Terima kasih atas bantuan saudara tadi. Tapi maaf, aku belum mengetahui nama
saudara
yang mulia ini? Dan saudara ini dari golongan mana?
Saat itu muka mereka sudah tercuci bersih. Kecantikan Yak-bwe tampak memancar jelas.
Saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak: Kau, kau adalah .
Tak tahu bagaimana Khik-sia hendak mengucapkan sebutannya. Maka sampai pada kata-kata
adalah mulutnya hanya ternganga saja. Jantungnya berdetak keras, darahnya mengalir kencang.
Siapakah dia? buru-buru Hong-jiu bertanya.
Cepat-cepat Khik-sia katupkan mulut lalu berseru keras: Dia adalah toasiocia dari Sik Ko,
ciatto-
su Lo-ciu. Dia menjadi menantu kesayangan dari Gui-pok-ciat-to-su Tian Seng-su!
Hong-jiu itu seorang nona yang beradat keras. Begitu mendengar keterangan itu, ia segera naik
pitam. Bentaknya: hm, kiranya kaulah perempuan hina ini yang menjadi cumi-cumi dalam
selimut!
Kejadian yang tak disangka-sangka itu hampir saja membuat dada Yak-bwe meledak. Kontan ia
balas mendamprat: Kau sendirilah perempuan hina yang tak tahu malu!
Wut, ia serentak menampar mulut Hong-jiu. Tapi ternyata tenaga Hong-jiu lebih kuat. Sekali ia
dorongkan kedua tangan, Yak-bwe terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir
saja ia tergelincir jatuh ke dalam sungai.
Tring, Hong-jiu cepat mencabut hu-yap-to (pisau belati yang tipis seperti daun pohon liu), lalu
memaki pedas: Pengkhianat yang bernyali besar, jika tak kubunuh sungguh membikin kecewa
saudara-saudara kita yang gugur dalam pertempuran tadi!
Yak-bwe tertawa mengejek: Ya, kalian begitu bernafsu hendak mengambil jiwaku supaya
citacita
kalian dapat terkabul, bukan? Hm, tidak semudah itu kawan!
Tring, iapun segera melolos pedang untuk menyambut serangan Hong-jiu. Yak-bwe sudah
mewarisi seluruh ilmu pedang dari Biau Hun sin-ni, Sret, sret, sret, tiga kali serangan
dilancarkan
berturut-turut. Dirangsang oleh api kemarahan, serangan Yak-bwe itu luar biasa dahsyatnya.
Kepandaian istimewa dari Hong-jiu ialah terletak dalam ilmu menggunakan senjata rahasia.
Sekalipun dalam ilmu permainan golok ia juga tak lemah, namun tetap kewalahan juga
menghadapi
serangan Yak-bwe yang sedahsyat itu. Seketika situasi menjadi berubah. Dari pihak penyerang,
kini Hong-jiu menjadi pihak yang diserang. Hampir saja ia tergelimpang jatuh dalam air karena
didesak Yak-bwe.
Toan Khik-sia, mengapa kau diam saja? Terhadap seorang pengkhianat, mengapa kau masih
tetap memegang peraturan Kangouw?

Nyata ia telah salah sangka. Melihat Khik-sia hanya diam saja tak mau memberi bantuan
padanya, ia kira anak muda itu enggan main keroyok.
Khik-sia gelisah bukan buatan. Waktu mendengar teriakan Hong-jiu tadi, ia gelagapan.
Pikirnya: Ya, kali ini mengapa pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su dapat bergabung
dengan
pasukan Gi-lim-kun menyerang kemari? Dengan mata kepala sendiri aku pernah melihat ia
bergandengan tangan mesra sekali dengan anak lelaki Tian Seng-su. Hm, hari ini ia berani
menyelundup ke Kim-ke-nia. Jika bukan seorang cumi-cumi, paling tidak ia itu seorang musuh
juga! Tali pertunangan siang-siang sudah kuputuskan, perlu apa aku memberatkannya lagi?
Berpikir sampai di situ, Khik-sia segera mengambil ketetapan. Tepat pada saat itu, terdengar
suara bret. Baju Hong-jiu kena tertembus oleh ujung pedang Yak-bwe. Kini nona yang
tersebut
di muka itu ungkang-ungkang dengan satu kakinya di tepi sungai, tubuhnya bergoyang-goyang
hendak jatuh. Yak-bwe tak mau kasih hati. Waktu ia hendak melancarkan serangan lagi untuk
mendesak lawan jatuh ke dalam sungai, tiba-tiba ada serangkum angin keras menyambar.
Kiranya
Khik-sia sudah lantas loncat maju. Dengan gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merebut
senjata
musuh), ia hendak merebut pedang Yak-bwe.
Yak-bwe makin berkobar marahnya. Bagus, tuan Khik-sia, bunuhklah aku! teriaknya.
Dengan kalap ia menusuk anak muda itu.
Kepandaian Khik-sia sebenarnya jauh lebih lihay dari nona itu. Tetapi karena serangan Yakbwe
itu keliwat dahsyatnya, Khik-sia terpaksa tak dapat memilih lain jalan lagi. Ia harus melukai
Yak-bwe atau ia akan gagal merebut senjatanya. Akhirnya ia terpaksa keraskan hati dan gunakan
Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) untuk menampar. Jika sampai kena, Yak-bwe pasti
akan
terluka parah.
Tangan Khik-sia sudah menempel pada kulit Yak-bwe. Sewaktu hendak melancarkan
lwekangnya, tiba-tiba pikiran Khik-sia terlintas: Benar aku sudah putus tunangan dengannya,
tapi
ayahnya telah melepas budi besar kepada keluargaku. Jika aku sampai melukainya, di alam baka
ayahku tentu akan menyesali perbuatanku.
Secepat berpikir begitu, secepat itu pula ia sedot kembali lwekangnya. Sekalipun begitu, angin
pukulannya tadi telah membuat tubuh Yak-bwe terhuyung juga. Saat itu Hong-jiu sudah dapat
memperbaiki posisinya. Sret, ia mengisar maju dan ayunkan goloknya. Karena saat itu Yak-bwe
sedang terhuyung, jadi ia tak sempat lagi untuk menangkis. Untung dalam detik-detik yang
berbahaya itu, dengan sebat sekali, Khik-sia segera loncat kemuka, tepat menghadang di
tengahtengah
kedua nona itu. Di satu pihak ia menahan serangan golok Hong-jiu, di lain pihak ia
mendorong pelahan-lahan hingga Yak-bwe tertolak mundur beberapa langkah.
Caranya ia menolong Yak-bwe itu, pintar sekali. Loncat sembari gerakan tangan tadi, dilakukan
berbareng. Sepintas pandang tampaknya ia seperti memburu Yak-bwe dan menghantamnya.
Sudah
tentu Hong-jiu tak dapat melihat ukal si anak muda yang lihay itu. Pun ia tak menyangka sama
sekali, bahwa Khik-sia akan melindungi nona yang dianggapnya sebagai cumi-cumi itu.
Salah paham di gedung Tian Seng-su tempo hari itu, hanya Khik-sia sendiri yang mengetahui.
Dan salah paham itu hanya anggapannya sendiri saja. Yak-bwe sama sekali tak merasa, bahwa
tindakannya untuk menolong anak muda itu malah dianggap menyakiti hatinya.
Kalau Yak-bwe sendiri saja tak merasa, apalagi In-nio. Melihat perubahan sikap Khik-sia yang
tak terduga-duga itu, In-nio menjadi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.
Ia sudah mengenali adik Bwe tapi mengapa berbalik muka? Apakah ia sungguh sudah berbalik
hati kepada adik Bwe? pikirnya dengan cemas.
Baru ia berpikir begitu, disana kedengaran Yak-bwe berseru marah-marah. Toan Khik-sia,
sungguh bagus perbuatanmu! Baiklah, aku akan mengalah supaya kalian berdua dapat
melaksanakan idam-idamanmu. Mulai saat ini, aku tak sudi melihat tampangmu seorang yang
tak
kenal budi itu!
Begitu berputar tubuh, Yak-bwe lantas lari pergi .....
Yak-bwe, Yak-bwe! Ai, kalian seharusnya bicara baik-baik, mengapa bertengkar begitu! Innio
terkejut dan cepat-cepat meneriakinya.
Bukankah kau melihat sendiri, dia begitu tipis budinya, perlu apa banyak bicara lagi? Ayo, kita

pergi saja! sahut Yak-bwe.
In-nio menjadi serba salah. Ia tak mampu menasehati tapipun enggan ikut Yak-bwe. Ia percaya
di antara kedua anak muda itu tentu terjadi suatu kesalahpahaman. Tapi dalam saat-saat itu ia
pun
bingung, jadi tak dapat memberi penjelasan pada Khik-sia.
Waktu mendengar kata-kata yang terakhir dari Yak-bwe tadi, Hong-jiu menjadi jengah dan
gusar.
Hai, perempuan siluman, kau mengaco-belo apa itu? bentaknya dengan marah sekali.
Diambilnya dua buah kelinting lalu mengejar Yak-bwe dan terus menimpuknya.
Sudahlah, sudahlah, biarkan dia pergi! seru Khik-sia seraya lontarkan dua buah thiat-lian-cu.
Dengan tepat sekali thiat-lian-cu itu dapat menghantam jatuh kedua kelinting Hong-jiu.
Hong-jiu tertegun, serunya, Hai, mengapa kau malah hendak mengeloni seorang pengkhianat?
Seorang thaubak yang kebetulan berada di dekat situ, waktu mendengar suara ramai-ramai
tangkap pengkhianat, buru-buru putar kudanya mengejar Yak-bwe. Tanpa banyak bicara, ia
lantas
tusukkan tombaknya.
Yak-bwe saat itu sedang dirangsang kemarahan. Ia sambar tombak thau-bak itu terus
digelandangnya ke bawah. Begitu thau-bak itu jatuh, Yak-bwe segera enjot tubuhnya loncat ke
punggung kuda. Kuda itu adalah salah seekor milik Gi-lim-kun yang dirampas Se-kiat dahulu.
Begitu duduk di punggung kuda, Yak-bwe lantas menconglang pesat. Waktu Hong-jiu memburu
datang, Yak-bwe sudah jauh sekali.
Sekalipun Hong-jiu itu gampang naik darah, tapi ia seorang nona yang cerdas. Saat itu
kemarahannya sudah mulai reda. Seketika timbullah sesuatu dalam pikirannya, tanyanya: Toan
hiante, bilanglah terus terang. Bukankah nona tadi mempunyai hubungan padamu?
Wajah Khik-sia menjadi merah, lidahnya terkait tak dapat berkata. Untung In-nio menghampiri
dan tertawa tawar: Kau tanyakan hubungan mereka? Mereka hanya baru berjumpa dua tiga kali
saja, maka hubungannya pun tak begitu erat. Tetapi mereka itu sejak kecil sudah dijodohkan!
Kejut Hong-jiu tak terkira. Ia membelalakkan sepasang matanya memandang kepada Khik-sia.
Lu cici, jangan percaya omongannya! Khik-sia membantah dengan gugup.
In-nio tertawa mengejek: Kecewalah kau sebagai puteranya Toan tayhiap, peribudimu begitu
tipis! Apa salahnya Yak-bwe? Mengapa kau tak mau mengakuinya?
Jangan mengoceh tak keruan! Ia sudah menjadi menantu perempuan dari keluarga Tian,
dengan aku tak ada hubungan lagi! Khik-sia berjingkrak.
In-nio marah juga, ia balas mendamprat: Kau sendiri yang ngaco belo! Bilakah ia menjadi
menantu keluarga Tian?
Bingkisan kawin dari keluarga Tian, akulah yang merampasnya. Siapakah orang Lok-lim yang
tak mengetahui peristiwa itu? Khik-sia tak mau kalah.
Jawab In-nio: Hal itu adalah urusan Sik Ko dan Tian Seng-su, tetapi Yak-bwe tak setuju. Yang
hendak dinikahkan Sik Ko ialah puterinya yang bernama Sik Hong-sian, tapi kini Sik Hong-sian
itu
sudah tak ada lagi. Yang ada sekarang ialah Su Yak-bwe, puteri mendiang Su Ih-ji! Su Yak-bwe
bukanlah Sik Hong-sian. Apakah kau masih belum jelas?
Kini Khik-sia menjadi bimbang. Ditatapnya In-nio dan bertanyalah ia: Siapa kau? Apakah
kau tahu akan urusan itu?
Tak perlu kau tanya siapa aku ini. Lebih dulu jawablah pertanyaanku, kau mau mengakui atau
tidak bakal isterimu itu? In-nio balas bertanya.
Tiba-tiba Hong-jiu menyeletuk: He, mengapa kau begitu jelas akan urusan orang? Calon isteri
Khik-sia, mengapa kau diberitahukan segala-galanya? Mungkin hubunganmu baik sekali dengan
dia, bukan?
Pada saat itu In-nio masih menyaru jadi seorang pria. Bukan saja Hong-jiu, pun Khik-sia juga
curiga. Tapi In-nio memang sengaja hendak mempermainkan mereka. Ia hanya menyahut sambil
tertawa: Sudah tentu aku erat sekali hubungannya dengan dia. Paling sedikit tak kalah dengan
hubunganmu dengan Khik-sia!
Selama Hong-jiu mengangkat nama di dunia persilatan sebagai seorang lihiap (pendekar wanita)
belum pernah ia diejek orang seperti itu. Serentak marahlah ia: Bagus, karena kau baik sekali

dengan dia, coba jawablah. Ia seorang anak perempuan dari Ciat-to-su, apa maksudnya
menyelundup ke dalam sarang penyamun? Kau seharusnya tahu akan hal itu. Toan siauhiap,
apakah kau masih perlu minta keterangan lagi tentang perbuatan khianat itu?
In-nio marah sekali: Memang pertama kali membuka mulut, kalian sudah mencap orang
sebagai cumi-cumi, nah, perlu apa minta penjelasan lagi?
Saat itu Khik-sia tak tahan lagi, ia berseru: Siapa kau? Jika tetap tak mau mengaku, aku, aku
....
Kau mau apa?! tukas In-nio dengan sikap menantang.
Baru Khik-sia hendak mengatakan bahwa ia nanti terpaksa akan bertindak, tiba-tiba terdengar
derap kaki kuda riuh mendatangi. Ternyata yang datang itu ialah Thiat-mo-lek dan Se-kiat.
Malah
masih jauh, Se-kiat sudah kedengaran berteriak: Hai, mengapa kalian ribut-ribut itu?
Setelah berhasil menolong Bang Liu-tong, kedua jago itu terpaksa harus berjalan memutari
lautan api dan rintangan-rintangan yang malang melintang di jalanan. Maka saat itu barulah
mereka
dapat tiba di tempat Khik-sia menunggu.
Khik-sia tersentak girang. Bergegas-gegas ia lari menyongsong.
Bo toako, kau adalah seorang Bengcu. Urusan ini kuserahkan padamu! serunya.
Urusan apa? tanya Se-kiat.
Ada dua orang yang kami curigai sebagai cumi-cumi musuh. Yang seorang sudah melarikan
diri, yang seorang masih di sini. Ini, inilah orangnya. Apakah kau mau menanyainya? kata
Khiksia.
Se-kiat terkesiap, serunya: Yang mana yang melarikan diri? Astaga! Jadi kau tak mengetahui
siapa dia itu? In-nio, adik Yak-bwe tentu sungkan mengatakan, mengapa kau tak mau
mewakilinya
menjelaskan?
Sudah kuberitahukan tetapi mereka tak mau mengakui perjodohan itu, apa dayaku? In-nio
membuat pembelaan.
Mendengar itu kini Se-kiat mendamprat Khik-sia: Toan hiante, kiranya kaulah yang salah.
Mengapa kau tak mau mengakui dia?
Khik-sia menjadi gelagapan, ia menjerit: Bo toako, kau tak tahu. Dia, dia bukan orang
golongan kita. Bagaimana aku dapat menerimanya?
Tadi sewaktu mendengar Khik-sia memanggil nama In-nio, Thiat-mo-lek merasa seperti tak
asing lagi. Tapi sama sekali ia tak teringat bahwa In-nio itu adalah puteri dari Sip Hong. Ia
menghampiri nona itu dan bertanya:
Siapakah nama saudara? Dimanakah kita pernah berjumpa?
Ya, benar, bukankah kemarin kita sudah berjumpa? Ingatkah bahwa aku sudah
memberitahukan namaku? sahut In-nio.
Tidak! Kemarin kau memakai lain nama. Dan kemarin kau katakan dahulu kita belum pernah
bertemu muka. Rupanya jika bukan kau yang berbohong, akulah yang jelek ingatanku. Saudara,
apakah kau tak mau menganggap Thiat-mo-lek sebagai saudara?! kata Thiat-mo-lek.
In-nio tertawa mengikik. Sret, cepat ia mencabut kain pembungkus kepalanya, dan seuntai
rambut hitam segera menjulai terurai.
Ong toako, lupakah kau kepadaku? serunya.
Khik-sia dan Hong-jiu terbeliak kaget. Mereka tak mengira sama sekali bahwa 'pemuda' yang
mengajaknya berbantah tadi ternyata seorang gadis. Dan lebih terperanjat lagi mereka demi
mendengar nona itu memanggil 'Ong toako' kepada Thiat-mo-lek.
Jika Khik-sia dan Hong-jiu termangu keheranan, adalah Thiat-mo-lek kedengaran tertawa
gelak-gelak. Serunya: Oho, makanya kau masih ingat pada Ong Siau-hek. Kiranya kau si dara
kecil yang nakal itu kini sudah sedemikian besarnya. Jika kau tak memanggil Ong toako,
sungguh
mati aku tentu tak kenal padamu. Apakah ayahmu sehat-sehat saja? Mengapa kau datang ke
gunung sini?
Akulah yang membawa mereka berdua kemari. Aku tak tahu bahwa Thiat-toako adalah
kenalan lama dengan mereka, kata Se-kiat dengan tertawa.
Ia adalah puteri kesayangan dari Sip Hong ciangkun. Meskipun Sip-ciangkun itu menjadi

pembesar negeri, tapi dia seorang lelaki jantan. Dahulu aku pernah menerima budinya. Toan
hiante, ketika ayahmu dahulu masih hidup, ia juga bersahabat baik sekali dengan Sip ciangkun.
Ayo, kalian berdua lekas menyambutnya lagi, seru Thiat-mo-lek kepada Khik-sia.
Ya, ketika aku mengaduk gedung Tiang Seng-su, diam-diam Sip-ciangkun juga memberi
bantuan kepadaku, untuk itu aku belum menghaturkan terima kasih. Cici In, sudilah kau
sampaikan
ucapan terima kasihku kepada beliau, kata Khik-sia sambil menjura.
Dengan kerutkan air muka In-nio menyahut: Ah, tak berani kami menerima hormatmu itu.
Cukup asal kau tak menuduh lagi aku dan adik Bwe sebagai cumi-cumi, aku sudah merasa
berterima kasih sekali!
Kini Hong-jiulah yang meringis. Apa boleh buat terpaksa ia menghampiri In-nio dan
menghaturkan maaf: Karena salah paham, aku telah berlaku kurang adat pada cici, harap cici
suka
maafkan!
Kemarahan In-nio sudah reda. Kini ia merasa suka dengan nona itu. Ujarnya: Karena aku
bersama adik Bwe menyaru jadi lelaki datang kemari, apalagi mengingat adik Bwe itu adalah
puteri
dari seorang Ciat-to-su maka sudah selayaknya menimbulkan kecurigaan kalian tadi.
Ho, kiranya yang kabur tadi adalah puteri dari Sik Ko! Apakah ia sudah mengetahui asal-usul
dirinya? menyelutuk Thiat-mo-lek.
Benar, memang siang-siang ia sudah berganti lagi dengan namanya yang asli .... Su Yak-bwe!
sahut In-nio.
Khik-sia, ketika ayah-bundamu gugur untuk negara, itu waktu aku tak berada di situ. Tapi
kutahu mereka mempunyai pesan terakhir. Sewaktu mereka menutup mata, pesan itu telah
diberikan kepada Bibi Lam (He Leng-sian) agar supaya apabila kau sudah dewasa, supaya
disampaikan padamu. Apakah Bibi Lam belum memberitahu padamu? tanya Thiat-mo-lek.
Khik-sia tundukkan kepala, jawabnya: Bibi He sudah memberitahu padaku.
Kalau begitu ceritakanlah padaku, kata Thiat-mo-lek pula.
Aku diharap menjadi seorang lelaki yang berguna untuk nusa dan bangsa, sahut Khik-sia.
Selain itu? Thiat-mo-lek menegas.
Selebar wajah Khik-sia berwarna merah, kemudian baru ia berkata dengan suara rendah: Minta
aku supaya dengan membawa tusuk kondai berukir Liong ini, mencari anak perempuan Su
pehpeh!
Untuk apa? desak Thiat-mo-lek.
Dengan tusuk kondai itu sebagai barang pertandaan, mengambil nona Su sebagai isteri.
Memang sengaja Thiat-mo-lek maukan supaya Khik-sia mengatakan hal itu dengan mulutnya
sendiri. Setelah itu barulah ia berkata dengan nada keras: Tepatlah! Kiranya kau tak lupa akan
pesan ayah-bundamu, tetapi mengapa kau tak mau mengakui nona Su sebagai bakal isterimu?
Didesak begitu, Khik-sia memberi reaksi juga, serunya: Dia adalah puteri dari seorang Ciattosu,
diriku tidak sepadan!
Jangan kau bicara keras di hadapanku. Sebaliknya, karena ia hanya puteri dari seorang Ciat-tosu
maka tak sepadan menjadi isterimu seorang hohan (jantan) yang termasyhur, bukan? ujar
Thiatmo-
lek.
Aku bukannya memandang rendah padanya, tetapi dia bukan segolongan dengan aku, bantah
Khik-sia.
Kau keliru, Sik Ko itu hanya ayah angkatnya saja. Ayah bundanya yang asli adalah manusia
utama, setia kepada negara luhur budi pekertinya. Siapa orangnya yang tak taruh perindahan
pada
mereka? Jika orang tuanya manusia yang begitu macam, masakan anaknya akan menyeleweng
ke
lain jurusan? Bilang saja sekarang ini tidak segolongan, tapi jika sudah menikah apakah takkan
ikut
pada suaminya? Tapi celakalah, rupanya siang-siang kau sudah takut akan bayanganmu sendiri!
Thiat-mo-lek menindas bantahan anak muda itu.
Khik-sia diam tak dapat menyahut.
Apalagi walaupun ia menjadi puteri angkat dari Sik Ko, tapi sejak kecil dipelihara oleh ibu
kandungnya sendiri. Aku pernah tinggal di rumah keluarga Sip. Kutahu ibu kandungnya itu
menjadi inang pengasuh dalam keluarga Sik. Tiap hari ibunya itu mengajarkan ilmu sastera

padanya. Sejak kecil nona itu sudah lain perangainya dengan Sik Ko. Turut penilaianku, nona itu
seorang gadis yang mencocoki idaman seleraku. Jangan kuatirlah! kata Thiat-mo-lek pula.
Khik-sia masih tundukkan kepala berdiam diri.
Thiat-mo-lek agak marah. Dengan kerutkan wajah ia berkata lagi: Bukankah kau bercita-cita
hendak menjadi lelaki jantang yang termasyhur? Tidak menurut pesan orang tua, tidak
memegang
janji suami isteri, tidak mengingat tali persaudaraan, itulah yang dibilang tidak berbakti, tidak
berbakti dan tidak berbudi! Pantaskah seorang hohan berbuat begitu? Ayah bundamu sudah
menutup mata, urusanmu aku tak dapat tinggal diam saja. Katakanlah, apa alasanmu hendak
merobek janji perkawinanmu itu?
Ayah angkat dari Thiat-mo-lek adalah kakak dari ibu Khik-sia. Dengan begitu Thiat-mo-lek
masih terhitung kakak misan (piauko) dengan Khik-sia. Khik-sia sudah sebatang kara, ia tak
mempunyai sanak famili lagi kecuali kakak misannya itu. Maka kakak misannya (Thiat-mo-lek)
itu
ia anggap sebagai engkoh kandungnya sendiri. Dalam hubungan itulah maka Thiat-mo-lek berani
mengata-ngatai keras kepadanya.
Karena didamprat habis-habisan oleh Thiat-mo-lek, Khik-sia menjadi bingung tak keruan.
Semestinya ia masih mempunyai rahasia yang sungkan dikatakan. Tapi kini apa boleh buat ia
terpaksa menerangkan juga. Dengan suara terkait-kait berkatalah ia: Toako, kau tak tahu.
Sewaktu di gedung Tian Seng-su, dengan mata kepala sendiri, kulihat nona Su itu, ia, ia, .....
Dia mengapa? tanya Thiat-mo-lek.
Dia dengan anak lelaki Tian Seng-su sangat mesra .....
Thiat-mo-lek belalakkan sepasang matanya yang bundar dan menegas: Benarkah itu?
Hai, bilang yang jelas sedikit! Bagaimana yang kau anggap mesra itu? In-nio menyela.
Kelihatannya mereka itu bergandengan tangan! sahut Khik-sia.
Kelihatannya? Jadi nyata kau tak melihat jelas dan hanya kelihatannya saja, bukan? Berada
dimanakah kau pada waktu itu? tanya In-nio.
Aku berada di dalam kebun keluarga Tian tengah bertempur mati-matian dengan Yo Bok-lo.
Dibawah sorak-sorai dan lindungan dari kawanan bu-su, nona Su dan putera Tian Seng-su saling
bergandengan tangan berjalan keluar dari ruangan. Ya, mataku tak salah lihat lagi. Nona In,
cobalah kau pikirkan. Belum lagi keluarga Tian menyambutnya, ia sudah lari ke rumah
mempelai
lelaki. Mengapa? Tentulah karena ia sudah mengetahui bahwa aku bakal mengganggu pada
keluarga Tian, maka sebelum dijemput ia sudah datang ke rumah bakal mertuanya untuk
memberi
kabar. Timbanglah saja, ia begitu setia kepada keluarga Tian, apakah aku harus disuruh
mengakunya sebagai isteri lagi? Khik-sia memberi penjelasan panjang lebar.
In-nio mendongkol tapi pun geli juga. Ujarnya: Ho, mengapa kau menilai begitu rendah pada
nona Su? Untung waktu itu aku juga berada disitu hingga semua kejadian itu dapat kusaksikan
dengan jelas. Jika tidak, hm, nona Su tentu akan hancur hatinya karena kau bikin penasaran!
Terang kulihat sendiri, masakan bisa keliru? bantak Khik-sia.
Ya, memang tak salah, malam itu ia berjalan keluar bersama putera Tian Seng-su. Tetapi
mereka bukan bergandengan tangan, melainkan nona Su menyembunyikan sebilah pisau belati di
lengan bajunya dan belati itu dilekatkannya pada punggung anak lelaki Tian Seng-su. Nona Su
bermaksud hendak menolongmu, sebaliknya kau anggap kebaikannya itu sebagai suatu
kenistaan,
cis, kurang ajar betul!
Mendengar itu Khik-sia tertegun diam seperti terpaku.
Berkata pula In-nio: Tahukah kau apa sebabnya malam itu ia pergi ke rumah keluarga Tian?
Kepergiannya itu tak lain tak bukan karena hendak membatalkan perkawinan itu!
Ia lalu menuturkan tentang riwayat Yak-bwe sejak tinggalkan rumah Sik-ko lalu pergi ke
gedung Tian seng-su, mengambil kotak emas ciat-to-su itu hingga dia (Tiang Seng-su) tak berani
mengganggu daerah Lo-ciu lagi dan terpaksa membatalkan pernikahan puterinya dengan Yak-
bwe.
Kesemuanya itu satu persatu diuraikan dengan jelas oleh In-nio.
Karena In-nio dapat menuturkan kejadian malam pertempuran di gedung Tian Seng-su dengan
lancar, mau tak mau Khik-sia harus percaya semuanya.
Bagus, nona su itu ternyata seorang gadis idaman setiap pria. Ia berani dan cerdik, setia serta

berbudi! Khik-sia, apa katamu lagi sekarang? seru Thiat-mo-lek.
Khik-sia malu dan menyesal. Sejenak kemudian barulah ia dapat membuka mulut: Aku
merasa salah, aku berdosa terhadap nona Su.
Cukupkah kesalahanmu itu kau tebus dengan sepatah kata pengakuan saja? tanya Thiat-molek.
Jawab Khik-sia: Aku akan mencarinya sampai ketemu dan menghaturkan maaf padanya.
Hanya saja ....
Thiat-mo-lek tahu apa yang dikandung Khik-sia. Serentak ia mengerat omongan anak muda itu.
Urusan disini tak usah kau pikirkan. Patah tumbuh hilang berganti.. Kim-ke-nia hilang, kita
masih mempunyai lain pangkalan lagi. Gi-lim-kun takkan lama tinggal disini. Ada Bo bengcu
dan
sekalian saudara-saudara disini, masakan tentara negeri dapat mencelakai kita? Lekas cari nona
Su
dan bawalah ia pulang kemari, nanti akulah yang meresmikan perjodohan kalian.
Selebar wajah Khik-sia merah padam. Katanya: Usia siaute masih muda, urusan perkawinan
boleh ditunda dulu. Tetapi, perintah toako tadi tentu akan kulaksanakan. Nona Su tentu akan
kuajak pulang.
Bagaikan awan tersapu angin, kini segala kesalahan paham sudah terang. Sekalian orang
merasa girang, hanya seorang yang agak merasa masygul yakni Lu Hong-jiu.
Kedatanganku ke pertemuan orang gagah kali ini, tiada dengan setahu engkohku. Mungkin ia
sedang sibuk mencari aku maka aku terpaksa hendak minta diri pulang. Harap bengcu suka
maafkan, akhirnya ia menemukan jalan keluar.
Ah, harap nona jangan kelewat sungkan. Tolong sampaikan hormatku kepada engkoh nona,
sahut Se-kiat.
Karena sewaktu menundukkan lima jagoan Hong-ho-ngo-pah pernah mendapat bantuan nona
itu, maka Khik-sia pun segera tampil kemuka dan menghaturkan terima kasih kepada Hong-jiu.
Ah, masak aku membantumu? Malah aku merasa membikin sukar kau saja, asal kau tak
menyalahkan aku, itu sudah cukup baik, sahut Hong-jiu.
Aku sendiri yang limbung, taci tak ada sangkut pautnya. Taci, kau berdua dengan engkohmu,
mempunyai pergaulan luas di dunia persilatan. Aku hendak mohon bantuanmu untuk suatu
urusan, kata Khik-sia.
Tak usah kau katakan, aku sudah mengerti. Begitu ada kabar tentang diri nona Su, tentu akan
segera kusuruh orang menyampaikan padamu. Kau hendak minta tolong tentang urusan itu,
bukan? tanya Hong-jiu.
Khik-sia hanya ganda tertawa saja selaku mengiakan. Sebaliknya Hong-jiu mengalum
kepahitan. Kiranya ia hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Khik-sia. Selama dalam perjalanan
dengan anak muda itu, ia memang mulai menaruh hati. Untung ia seorang nona persilatan yang
berjiwa lapang. Setitik bayangan dalam hatinya itu, dapatlah segera ia hapus dengan tanpa
meninggalkan luka apa-apa.
Ah, akupun hendak pulang juga karena sudah lama keluar. Bo toako, terima kasih atas
kebaikanmu membawa kami ke pertemuan besar ini. Kelak bilah toako lewat di kotaku,
ijinkanlah
aku menjamumu, In-nio juga menyatakan maksudnya akan pulang.
Se-kiat tertawa: Ah, kini aku benar-benar menjadi kepala penyamun. Jika keluargamu tak
takut kedatangan tetamu penyamun, tentu aku senang sekali datang berkunjung.
Hati In-nio terasa getar, wajahnya tampak rawan namun ia paksakan menghias senyum:
Ayahku gemar sekali bersahabat dengan kaum enghiong. Dan beliau pun amat sayang
kepadaku.
Silahkan kalian datang, kutanggung beliau takkan mencelakai kalian.
Walaupun mulut mengucap begitu, namun bukan tak tahu In-nio bahwa kini ayahnya itu sudah
menjadi punggawa kerajaan. Orang atasannya ialah Tian Seng-su, tokoh yang paling dibenci dan
membenci kawanan penyamun. Se-kiat kini menjadi kepala penyamun. Betapa ayahnya itu
mencintai dirinya, namun paling banyak ia tentu hanya akan berusaha supaya jangan sampai
bentrok dengan Se-kiat itu saja. Jika melangkah ke soal pernikahan, ayahnya itu tentu takkan
mengijinkan ia menikah dengan seorang kepala penyamun.
Khik-sia, antarkanlah nona In dan nona Lu. Setelah itu kau harus segera mencari nona Su.

Jangan bertemu aku jika belum membawa nona Su pulang! kata Thiat-mo-lek.
Setelah tiba di selat lembah, Hong-jiu segera minta diri menuju ke barat. Sementara Khik-sia
dan In-nio masih meneruskan lagi perjalanannya.
Bagaimana rencanamu hendak mencari adik Bwe? tanya In-nio.
Dengan masygul Khik-sia menyahut: Entahlah. Dalam dunia yang begini luas, kemana hendak
kucarinya? Kupasrahkan saja pada nasib.
Ia tiada sanak keluarga, pun belum pernah berkelana keluar. Jika sementara waktu kau tak
berhasil mendapatkannya, datanglah ke rumahku untuk menanyakan kabar. Hubunganku dengan
Yak-bwe sudah seperti saudara kandung. Jika tak pergi ke lain tempat, kebanyakan ia tentu ke
rumahku, kata In-nio pula.
Khik-sia haturkan terima kasih.
Tetapi sayang ia tak tahu bilamana aku pulang. Apalagi ia sedang marah, mungkin ia akan
pergi mengembara menurutkan ayun kakinya. Ah, yang kukuatirkan kalau ia sampai membikin
onar di luaran. Ia belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Kebanyakan ia
tentu berjalan di sepanjang jalan raya lama, kembali In-nio berkata.
Sewaktu berpisah dengan In-nio, Khik-sia membawa hati, yang gundah kalana. Ia
mencemaskan nasib calon isterinya itu. Terpaksa ia menuruti petunjuk In-nio untuk mengambil
jalan raya saja.
Dan memang apa yang diduga In-nio tepat. Setelah congklangkan kudanya keluar dari selat
lembah, Yak-bwe menimang dalam hati: Karena mereka menuduh aku sebagai cumi-cumi (kaki
tangan musuh), maka akupun tak sudi ketemu lagi pada mereka.
Padahal ia hanya tak sudi berjumpa lagi dengan Khik-sia. Namun karena dirangsang oleh
kemarahannya, segalah yang menyangkut dengan anak muda itu, ia lempat ke samping semua.
Nama Khik-sia, sahabat-sahabatnya sampaipun orang-orang yang berhubungan dengan anak
muda
itu, ia tak mau bertemu lagi. Ia tahu kawanan penyamun itu tentu tak mau kesamplokan dengan
tentara negeri. Mereka tentu mengambil jalan yang sunyi. Itulah sebabnya maka ia lantas
mengambil jalan besar saja.
Saat itu Yak-bwe masih menyaru sebagai seorang pria. Dandanannya menyerupai anak orang
hartawan. Apalagi kuda yang dinaiki itu, seekor kuda tegar yang jarang terdapat. Maka orang
tentu
bakal tak menduga bahwa ia itu seorang pelarian dari sarang penyamun gunung Kim-ke-nia.
Tapi
rakyat di sekitar Kim-ke-nia itu masih kolot. Dandanannya semacam itu, telah menimbulkan
perhatian di kalangan mereka.
Tetapi karena sedang dilanda kemarahan, ia tak mengacuhkan mereka. Ia keprak kudanya
kencang-kencang. Pun ia berusaha untuk menghapuskan kenangannya terhadap Khik-sia. Tapi
ah,
makin keras ia coba menekan sang hati, makin jelas bayang-bayang anak muda itu dalam
pikirannya.
Sejak ini aku laksana seekor burung yang bebas di udara. Tetapi walaupun jagad ini amat luas,
kemanakah aku akan menempatkan diri? pikirnya. Teringat akan sang nasib, ia merasa pedih
sekali. Beberapa butir air mata bercucuran membasahi sepasang pipinya.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar seseorang berseru: Hai, alangkah eloknya kuda itu! Eh,
aneh sekali budak itu. Coba dengarkan, apakah ia bukan lagi menangis?
Nada orang itu tak begitu keras. Tapi karena sejak kecil Yak-bwe sudah biasa berlatih ilmu
senjata rahasia, maka pendengarannya menjadi tajam sekali. Ia dapat menangkap kata-kata orang
itu dengan jelas.
Cepat-cepat Yak-bwe usap air matanya dan ketika berpaling kebelakang, dilihatnya kira-kira
pada jarak setengah li di sebelah sana, ada dua orang lelaki bermuka bengis tengah
mencongklangkan kudanya.
Cis, sungguh memuakkan. Aku menangis sendiri, mengapa kalian ngerasani (membicarakan)
aku, ia mendamprat orang itu dalam hati. Ia cepat keprak kudanya supaya lari lebih pesat.
Sekejap saja, ia sudah tinggalkan kedua orang itu jauh di belakang.
Memang ia masih kurang pengalaman. Ia sama sekali tak memikir, kalau pada jarak setengah li
jauhnya orang dapat mendengar suara tangisnya, orang itu tentu bangsa kaum persilatan yang

berilmu tinggi. Paling tidak mereka itu, seperti dirinya sendiri, tentu pernah berlatih ilmu senjata
rahasia.
Bagaimanapun juga Yak-bwe itu diasuh dalam kalangan keluarga seorang pembesar tinggi. Ia
biasa hidup sebagai seorang puteri Ciat-to-su yang manja. Benar ia memiliki ilmu silat yang
tinggi
dan mahir juga dalam ilmu naik kuda. Tapi sebegitu jauh ia masih belum mempunyai
pengalaman
praktek. Berselang tak berapa lama dilarikan oleh sang kuda, lebih-lebih ketika menyusur jalan
di
daerah selat pegunungan yang naik turun, mau tak mau ia menjadi meringis juga karena tak
tahan
digoncang-gontaikan di atas pelana. Tulang-tulangnya terasa kaku kesakitan.
Ia berpaling lagi ke belakang. Karena kedua lelaki tadi sudah tak kelihatan, barulah ia tahan les
kudanya dan mulai berkuda pelahan-lahan. Kini pikirannya mulai bekerja lagi: Pulang ke rumah
keluarga Sik terang aku tak mau. Baiklah, mulai saat ini aku
4/20
4/29
bikin terpental oleh kipas si pelajar. Sedangkan golok satunya telah disedot melekat oleh kipas
untuk ditarik ke samping.
Memang dalam dunia Kangouw sebenarnya terdapat apa yang disebut senjata that-thiat-san atau
kipas pelengket besi melain dari bambu biasa. Hanya saja kipas itu dibuat oleh tukang pandai
dan
diberi ukir-ukiran gambar yang indah sekali. Memang pada masa itu, sebagian besar kaum bun-
su
(sasterawan) yang berada, suka menggunakan kipas semacam itu. Itu untuk mewujudkan daya
perbawanya. Maka kipas bambu itu sebenarnya hanya dipakai sebagai perhiasan bukan senjata.
Sepasang golok dari Hau Pheng itu terbuat daripada bahan baja murni, tajamnya bukan
kepalang. Dia yakin bahwa dengan sekali tebas tentu dapat menghancurkan kipas lawan. Siapa
tahu gerakan si pelajar itu bukan buatan lihaynya. Tahu-tahu kipas sudah melekat di punggung
golok. Waktu si pemuda memutar kipasnya, golok Hau Pheng pun ikut berputar. Hampir saja
golok itu terlepas dari tangan karena seperti dipelintir.
Walaupun tengah bertempur, tapi Cin-gi dapat melihat dengan jelas gerakan si pelajar itu. Ia
insyaf pemuda pelajar itu seorang tokoh silat yang berilmu tinggi. Ia ambil putusan harus
lekaslekas
merubuhkan Yak-bwe dulu. Maka tanpa menghiraukan pantangan memilih jalan darah apa, ia

segera merangsang maju dengan jurus sian-sing-kia-hwe atau sepasang bintang kebetulan
berjumpa.
Ke atas menutuk jalan darah hoa-kay di ubun kepala, ke bawah menutuk jalan darah tiang-jiang
di
pantat. Hoa-kay-hiat adalah salah sebuah jalan darah utama dari tubuh manusia. Jika kena
tertutuk,
kalau tidak binasa tentu akan menjadi invalid.
Yak-bwe buru-buru gunakan jurus ki-hwe-liau-thian atau angkat api membakar langit. Ia angkat
pedang ke atas, seluruh perhatiannya ditumpahkan untuk menolak poan-koan-pit yang
menyerang
kepalanya. Siapa tahu, justru itulah yang dikehendaki Cin-gi. Secepat kilat, poan-koan-pit di
tangan kirinya mengincar tiang-jiang-hiat di bawah.
Meski Tiang-jiang-hiat bukan merupakan jalan darah maut atau pemingsan, tapi jika sampai
tertutuk, kaki orang pasti akan lumpuh atau pincang karena urat-uratnya menyurut.
Kalau kubikin pincang sebelah kaki nona ini, rasanya takkan membikin marah Lo Hau. Ya,
aku terpaksa harus berbuat begitu karena pemuda itu lihay sekali. Lo Hau pasti takkan cari alasan
untuk membatalkan perjanjiannya tadi, demikian pikir Hong Cin-gi.
Pada saat ia berpikir begitu, ujung poan-koan-pitnya sudah menyentuh ujung baju Yak-bwe.
Tapi berbareng itu iapun merasa disambar oleh serangkum angin keras.
Celaka! demikian ia mengeluh seraya gelincirkan sang kaki untuk menghindar, namun sudah
terlambat sedikit. Plak, bahunya kena ditampar oleh si pemuda pelajar.
Ternyata pemuda pelajar itu telah berhasil menolong Yak-bwe dalam saat-saat yang berbahaya.
Tapi dengan berbuat begitu, berarti si pemuda pelajar memberi kelonggaran bagi Hau Pheng.
Tapi
yang tersebut belakangan ini rupanya tak tahu diri. Begitu longgar ia segera mengajak kawannya:
Hong-toako, ayo kita beresi bocah kurang ajar ini!
Ha, bagus, bagus! Memang aku kepingin tahu bagaimana kalian hendak memberesi diriku
ini! si pemuda pelajar tertawa mengejek. Ia tebarkan kipasnya sehingga sepasang golok Hau
Pheng tersiak. Setelah itu secepat kilat ia katupkan pula kipasnya untuk dipakai menutuk seperti
poan-koan-pit.
Kau, adalah seorang ahli tutuk, nah, aku hendak unjukkan sedikit permainan itu, tolong kauberi
petunjuk! dalam pada berkata-kata itu si pemuda sudah meluncurkan tiga kali serangan yang
ditujukan ke arah jalan darah yo-kiong-hiat, thiat-cu-hiat, tiang-jiang-hiat, ih-gi-hiat dan suan-
kihiat
di tubuh Hong Cin-gi.
Sudah tentu Cin-gi menjadi kelabakan setengah mati. Mati-matian ia berusaha untuk
menghalau serangan-serangan itu sehingga sampai mandi keringat. Ia terperanjat sekali. Nyata
ilmu kepandaian menutuk dari pemuda pelajar itu jauh lebih lihay dari dirinya. Sebatang
kipasnya
jauh lebih berbahaya dari sepasang poan-koan-pit orang she Hong.
Yak-bwe benci setengah mati pada Hau Pheng. Setelah Hong Cin-gi dapat dicegat oleh si
pemuda pelajar, kini ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Cepat ia
cabut
pedangnya dan lari menerjang Hau Pheng.
Jika tak melukaimu, jiwaku sendiri yang terancam. Ya, apa boleh buat, seorang jelita pincang
ada lebih baik daripada tidak ada sama sekali, demikian pikir Hau Pheng sambil gigit giginya
eraterat
seraya mainkan sepasang goloknya untuk menahan serangan Yak-bwe. Yang atas untuk
menangkis dan yang bawah untuk memapas lutut Yak-bwe. Jurus yang dimainkan itu adalah
jurus
yang paling diandalkan kelihayannya.
Telah dikatakan di bagian muka, bahwa Yak-bwe adalah murid dari Biau Hui Sin-ni. Ia telah
mewarisi ilmu pedang dari rahib sakti itu. Jika dinilai dari mutunya, sebenarnya kepandaian
Yakbwe
itu lebih tinggi dari Hau Pheng. Benar dua buah serangan golok dari orang she Hau itu cukup
berbahaya, tetapi jika Yak-bwe dapat berlaku tenang, ia pasti dapat menghadapinya. Tapi
disebabkan karena ia kurang pengalaman dan kehabisan tenaga setelah bertempur hampir
setengah
harian itu, maka hampir saja ia tercelaka. Seharusnya, sewaktu lawan tengah pentang kedua
goloknya ke atas dan ke bawah itu, ia segera menusuk ke dada lawan saja karena bagian itu
terbuka.
Dengan berbuat begitu, berarti ia menghalau serangan dengan serangan, kemungkinan besar
malah
dapat menang.
Tapi ternyata ia tidak bertindak begitu. Melihat lawan menghantam dengan ganas, Yak-bwe
menjadi marah sekali. Ia pun mengimbangi untuk memapas sekuat-kuatnya. Ini suatu kesalahan

besar, karena dalam hal kekuatan ia kalah dengan lawan. Trang, pedangnya dapat ditahan oleh
salah sebuah golok Hau Pheng, sementara golok yang satu dapat langsung menabas lutut dengan
lancarnya.
Untung Yak-bwe masih dapat menyelamatkan diri. Dengan gunakan gin-kang ih-song-hoan-wi,
ia berloncatan sampai tiga kali untuk menghindari serangan berantai dari Hau Pheng. Hau Pheng
cerdik sekali. Ia biarkan saja si nona berlincahan kian kemari, namun goloknya yang sebelah atas
tetap menekan erat-erat pedang nona itu supaya jangan sempat ditarik pulang. Ia terus
bolangbalingkan
goloknya membabat kaki. Untuk menghindar terpaksa Yak-bwe berloncatan terus dan
karena terus-menerus berloncatan itu, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mandi keringat.
Jilid 5
Melihat itu, si pemuda pelajar mengerut kening, pikirnya: Anak muda itu memiliki ilmu
pedang yang bermutu tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak mampu
menggunakan dengan selayaknya.
Ia ambil putusan menolongnya lagi. Cepat ia lancarkan tiga kali serangan. Setelah Cin-gi dapat
didesak dengan menggelap. Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap menerima
serangannya.
Tapi hal itu cukup membuat Hau Pheng terkejut setengah mati. Buru-buru ia kebaskan goloknya
yang di bawah itu untuk membacok si pemuda. Tapi lagi-lagi pemuda pelajar itu unjukkan
kepandaian yang mengagumkan. Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan kipasnya. Crek,
begitu berbentur, golok itu seperti melekat saja pada kipas. Dan begitu si pemuda pelajar
memutarmutar
kipasnya, mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan goloknya.
Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kaupakai sendiri sajalah! tiba-tiba kedengaran Hong Cingi
berseru. Kiranya ia dapat mengenal gelagat. Demi mengetahui pemuda pelajar itu kelewat
tangguh. Begitu ada kesempatan ia lantas angkat kaki panjang alias kabur.
Hau Pheng serasa terbang semangatnya. Karena semangatnya hilang, nyalinyapun pecah.
Sudah tentu ia tak dapat menahan pedang Yak-bwe lagi. Trang, goloknya pun segera jatuh
karena
didorong Yak-bwe.
No, no ...., demikian sebenarnya ia hendak meratap, Nona, ampunilah jiwaku. Tapi baru
mulutnya berseru No ., ujung pedang Yak-bwe sudah bersarang ke ulu hatinya hingga
tembus
ke punggung. Teriakan No itu sudah tentu tidak terdengar jelas artinya sehingga si pemuda
pelajarpun hanya menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir mati. Setitikpun
tidak
terkilas dalam pikiran pemuda itu bahwa kata no itu sebenarnya potongan dari kata nona.
Yak-bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu.
Aku mempunyai she dobel Tok-ko dengan nama tunggal U. Dan siapakah nama saudara
yang mulia ini? Mengapa bermusuhan dengan kedua bangsat itu? kata pelajar itu.
Sembarangan saja Yak-bwe memakai sebuah nama samaran, ujarnya: Aku sendiripun tak
mengetahui mengapa mereka memusuhi padaku. Mungkin karena hendak merampas harta
bendaku.
Apakah Su-heng tak pernah berkelana di dunia Kangouw? Apakah Su-heng membawa sebuah
benda pusaka? tanya Tok-ko U pula.
Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu, sebaliknya Yak-bwe malah tertegun. Pikirnya:
Hm, apakah pemuda ini juga hendak menyelidiki diriku?
Tapi ia dapatkan sikap pemuda itu amat sopan, sedikitpun tak ada tanda-tanda seorang penjahat.
Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak-bwe dengan sejujurnya: Aku hanya
membawa
segenggam kim-tau saja. Ini, semua berada di sini.
Dengan ucapan itu terang Yak-bwe mengira kalau pemuda pelajar itu hendak minta upah. Tapi
karena melihat pemuda itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan-jangan
dugaannya itu meleset, salah-salah bisa ditertawai orang. Lebih berbahaya lagi jika orang sampai
menganggap perbuatannya itu (memberi persen) tak ubah seperti tingkah laku kaum wanita.
Maka
akhirnya ia menemukan akal. Diambilnya keluar emasnya, tapi tak mau ia mengatakan apa-apa.
Ia

hendak menunggu sampai orang membuka mulut dulu.
Sudah tentu rencana Yak-bwe itu gagal, karena si pemuda pelajar itu sama sekali bukan macam
orang seperti yang diduga Yak-bwe. Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya: Ha, kalau
begitu,
kedua penjahat tadi sudah salah mata!
Apa? seru Yak-bwe dengan terkesiap.
Mungkin Su-heng tak tahu akan asal-usul kedua penjahat itu. Kemarin waktu baru tiba di
rumah penginapan, memang aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui. Apakah
tadi
kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling menyebut Hau-toako dan Hong-toako?
Coba
kau pikirkan, penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas di dunia Lok-lim,
siapa
lagi kalau bukan mereka? kata pemuda itu.
Wajah Yak-bwe bersemu merah. Sahutnya: Ya, terus terang saja, aku baru pertama kali ini
mengembara keluar. Bagaimana seluk-beluk urusan Lok-lim sedikitpun aku tak tahu. Harap
saudara suka memberi petunjuk-petunjuk.
Kata Tok-ko U: Kedua penjahat tadi, kupastikan sembilan puluh sembilan persen tentulah Hau
Pheng dan Hong Cin-gi!
Siapakah sebenarnya mereka itu? tanya Yak-bwe.
Hau Pheng adalah penjahat yang termasyhur tukang petik bunga, sedang Hong Cin-gi adalah
seorang benggolan perampok yang bekerja seorang diri. Di kalangan Lok-lim, kepandaian
mereka
berdua itu juga termasuk golongan kelas satu. Selain gemar merampas wanita-wanita muda yang
cantik, Hau Pheng itupun juga suka merampas harta benda. Tapi ia selalu memilih, jika bukan
dagangan besar, ia tak mau turun tangan. Hong Cin-gi lebih-lebih lagi. Ia selalu mengincar
pada
kaum hartawan besar. Terhadap yang hanya punya belasan tahil emas saja, ia tak memandang
sebelah mata.
Berkata sampai di sini, pemuda pelajar itu berhenti sejenak. Kemudian, dengan tersenyum ia
melanjutkan pula berkata: Harap Su-heng simpan lagi kim-tau itu. Memang kim-tau Su-heng itu
tidak sedikit jumlahnya, tapi paling banyak hanya berjumlah sepuluh sampai dua puluh tahil
emas,
bukan? Maka tadi telah kukatakan bahwa kedua penjahat itu sudah salah mata. Sekalipun begitu,
ada baiknya juga selanjutnya Su-heng berhati-hati sedikit. Emas dan uang jangan sampai
diperlihatkan orang agar jangan menimbulkan akibat-akibat yang tak menyenangkan. Misalnya,
tindakan Su-heng yang begitu royal semalam itu, tak mengherankan kalau dapat menarik
perhatian
kedua penjahat itu. Kukira mereka tentu menduga bahwa Su-heng masih mempunyai
barangbarang
berharga lainnya. Ha, ha, akhirnya yang satu mati dan yang lain terluka. Sudah sepantasnya
mereka mendapat ganjaran itu.
Mengetahui bahwa Hau Pheng itu seorang penjahat tukang petik bunga, wajah Yak-bwe makin
merah. Ditendangnya pula mayat Hau Pheng itu, serunya dengan geram: Kiranya seorang
penjahat jahanam. Aku kepingin menusukmu lagi!
Dengan membunuh penjahat itu, berarti Su-heng telah melenyapkan sebuah bisul dalam dunia
kangouw, sungguh pantas diberi selamat, puji Tok-ko U. Ia masih mengira bahwa Yak-bwe itu
seorang pemuda yang benci akan kejahatan. Sedikitpun ia tak mimpi bahwa pemuda di
hadapannya itu ternyata seorang nona.
Ah, kesemuanya tadi berkat bantuan saudara, masakan aku berhak mengangkangi pahala,
sahut Yak-bwe merendah.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanyalah: Semalam ada orang bersembunyi di atas pohon
halaman hotel, kemudian ada lain orang yang menghalaunya pergi dengan timpukan batu.
Apakah
itu perbuatan saudara sendiri?
Tok-ko U tertawa: Benar, memang aku. Yang bersembunyi di atas pohon itu ialah Hau Pheng
ini.
Tiba-tiba kuda Yak-bwe meringkik kesakitan. Tok-ko U melirik dan mengerut heran. Suheng,
kudamu telah dikerjai orang.
Oh, makanya ia tak mau jalan, kukira binatang ini sakit. Tapi entah bagian apanya yang
terluka? tanya Yak-bwe.
Tok-ko U menyatakan hendak memeriksanya. Kaki depan binatang itu terangkat ke atas, tak

berani ditapakkan di tanah. Setelah melihat sebentar, berkatalah Tok-ko U: Benarlah, dia
terkena
jarum bwe-hoa-ciam.
Dikeluarkanlah sebuah batu semberani, lalu ditepuknya kuda itu pelahan-lahan: Jangan takut,
nanti kuobati lukamu. Su-heng, tolong kau pegangi dia dan pinjamkan pedangmu.
Dengan ujung pedang Tok-ko U menyukil sedikit daging kaki binatang itu yang sudah busuk,
kemudian ditempeli dengan batu semberani tadi. Benar juga dari dua buah kuku kaki kuda itu
keluar sebatang jarum perak yang berkilat-kilat. Habis itu lalu dilumuri dengan obat.
Selesailah. Kuda ini amat tegar, setelah beristirahat sebentar tentu sudah bisa jalan lagi.
Hanya saja belum dapat berlari cepat, mungkin besok pagi baru dapat sembuh seperti sedia
kala,
katanya.
Girang Yak-bwe bukan kepalang. Kembali ia haturkan terima kasih. Diam-diam ia membatin:
Ah, orang ini amat baik sekali. Tapi entah dari golongan apa? Usianya lebih tua sedikit dari
aku,
tapi segala apa ia tahu dan membekal macam-macam obat.
Sudah jamak bagi kaum kelana itu untuk saling tolong. Sedikit bantuanku yang tak berarti itu
mana berharga untuk menerima ucapan terima kasih Su-heng? Sebaliknya aku malah merasa
menyesal, kata Tok-ko U.
Menyesal apa? tanya Yak-bwe.
Ah, tak perlu bertanya tentu juga sudah mengerti sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan tentang
perbuatan si Hau Pheng itu. Semalam sudah kuketahui bahwa dia mengandung maksud jelek
terhadap Su-heng dan untuk itu aku hanya mengawasi gerak-geriknya saja, sama sekali tak
menduga bahwa mereka bakal mencelakai kudamu juga. Bukankah ini pantas disesalkan?
Ah, memang tipu muslihat orang di dunia persilatan itu sukar diduga, Yak-bwe coba
menghiburnya.
Kalau Yak-bwe mempunyai rasa curiga terhadap diri Tok-ko U, pun pemuda pelajar itu juga
mempunyai rasa demikian terhadap Yak-bwe. Selesai mengobati kuda, bertanyalah pemuda itu:
Rupanya kuda ini sejenis kuda dari luar daerah, benarkah?
Mungkin, sahut Yak-bwe, Karena aku sendiri bukan seorang ahli kuda.
Dimanakah Su-heng membelinya? Kuda sejenis ini, jarang terdapat di daerah Tiong-goan
sini, kata Tok-ko U.
Pemberian seorang sahabat, sahut Yak-bwe dengan agak gelagapan. Karena tak biasa
berbohong, jadi kata-kata Yak-bwe itu tidak wajar.
Pikir Tok-ko U: Ah, seorang yang rela menyerahkan seekor kuda macam begini, tentu sorang
sahabat yang karib sekali. Seharusnya orang itu menceritakan juga tentang asal-usul dan
keistimewaan binatang ini. Aneh, mengapa jenis kuda yang berasal dari luar daerah saja, ia tak
tahu.
Tapi karena baru berkenalan, jadi Tok-ko U tak leluasa untuk bertanya dengan melilit. Hanya
dalam hati saja ia tetap mempunyai rasa curiga. Dia sudah banyak pengalaman dalam dunia
Kangouw, sepintas pandang tahulah bahwa Yak-bwe itu masih hijau, sekali-kali bukan pemuda
jahat.
Menilik bagaimana tadi ia serta merta mengeluarkan bekal kim-taunya, hal ini membuktikan
bahwa dia seorang pemuda jujur. Jika ia tak mau menceritakan urusannya, mengapa aku harus
mendesaknya? akhirnya Tok-ko U tiba pada kesimpulan begitu.
Terima kasih atas budi bantuan saudara, kelak aku tentu membalasnya, kata Yak-bwe sembari
memberi hormat perpisahan.
Su-heng hendak menuju kemana? tanya Tok-ko U.
Aku, aku tak mempunyai tujuan tetap, sahut Yak-bwe.
Apakah Su-heng mempunyai urusan penting? tanya pemuda itu pula.
Juga tidak, jawab Yak-bwe.
Jika begitu, pondokku tak berapa jauh dari sini, dengan berkuda kira-kira hanya makan waktu
setengah hari saja. Entah apakah Su-heng sudi memberi muka padaku untuk menjamu Su-heng
selama beberapa hari saja?
Yak-bwe terkesiap. Sahutnya dengan terputus-putus, Ini, ini .... maaf aku tak dapat menerima

budi kehormatan saudara, namun aku berterima kasih sekali.
Apakah Su-heng menganggap aku keliwat lancang? tanya Tok-ko U dengan kurang senang.
Bukan, bukan! Tadi aku lupa bahwa aku masih mempunyai sedikit urusan lain. Ya, meskipun
bukan urusan penting, tapi harus kulakukan juga. Budi kebaikan Tok-ko-heng tadi, lain hari tentu
kubalas. Harap sudi memaafkan, aku terpaksa tak dapat lama-lama menemani Tok-ko-heng,
kata
Yak-bwe.
Melihat tingkah orang yang kikuk-kikuk itu, tahulah Tok-ko U bahwa Yak-bwe menolak
undangannya. Sudah tentu ia merasa kurang puas, pikirnya: Ah, orang ini aneh sekali
perangainya. Setempo terus terang tanpa tedeng aling-aling, setempo kemalu-maluan seperti
anak
perawan.
Memang renungan Tok-ko U itu tepat sekali. Sayang ia tak mengetahui bahwa pemuda di
hadapannya itu ternyata memang seorang gadis.
ah, karena Su-heng ada urusan lain, akupun tak berani memaksa. Ke jurusan mana Su-heng
hendak mengambil jalan? tanyanya.
Dimanakah letak kediaman Tok-ko-heng itu? Yak-bwe balas bertanya.
Aku tinggal di Pek-ciok-kong sebelah timur dari kota Hun-tay-tin, sahut Tok-ko U.
Kalau begitu tentu mengambil jalanan yang menjurus ke timur ini? tanya Yak-bwe.
Tok-ko U mengiakan. Baru ia hendak menanyakan apakah orang juga akan mengambil jalan
yang sama, Yak-bwe sudah mendahului: Sungguh sayang, aku hendak menuju ke jurusan barat.
Lain hari bila ada jodoh untuk bertemu lagi, tentu akan kuperlukan berkunjung ke tempat Tok-
koheng.
Dengan tergesa-gesa seolah-olah kuatir kalau Tok-ko U sampai menahannya lagi, ia segera
memberi hormat perpisahan. Tok-ko U makin kurang senang, batinnya: Ah, orang ini benar-
benar
tak punya rasa persahabatan. Benar ia tak kenal padaku, tapi aku telah menolongnya dari
kesukaran. Hm, rupanya ia tidak seperti orang kangouw, tapi anehnya kata-katanya begitu
cemerlang, ilmu pedangnya bukan olah-olah dan memiliki kuda bagus dari benua barat. Ah,
orang
apakah ia itu, sungguh membuat orang tak mengerti!
Makin merenung, makin besar kecurigaannya. Setelah berjalan beberapa saat, diam-diam ia
memotong jalan singkat berganti arah ke sebelah barat ....
Sekarang mari kita ikuti Yak-bwe yang berjalan seorang diri menuju ke sebelah barat itu.
Memangnya ia tak mempunyai arah tujuan yang tertentu. Kemanapun ia bebas lepas. Hanya
karena tadi Tok-ko U mengatakan hendak mengambil jalan sebelah timur, ia lantas sengaja
mengambil arah barat. Jalanan yang menjurus ke barat itu ternyata adalah sebuah jalan kecil
yang
menjurus ke jalan raya kota Ping-lu. Dari kota Ping-lu terus menuju ke barat, dapat tiba di kota
Tiang-an.
Baru mencongklang kudanya tak berapa lama, dari belakang tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
yang riuh. Malah berbareng itu terdengar ada seseorang berteriak: Hai, bangsat kecil, hendak
kemana kau?
Yak-bwe marah. Ia kira tentu konco-konco Hau Pheng yang mengejarnya. Tapi alangkah
kejutnya ketika ia berpaling ke belakang. Ternyata yang mengejar itu serombongan tentara Gi-
limkun
yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang. Mereka adalah rombongan depan atau
semacam perintis dari suatu pasukan Gi-lim-kun yang besar. Setiap tiba di daerah atau
kabupaten,
mereka minta diadakan penyambutan. Maka lebih dahulu dikirimlah sebuah regu anak buah
Gilim-
kun untuk memberi warta pada pembesar setempat agar mereka mempersiapkan penyambutan.
Adanya Yak-bwe mengambil jalan besar, adalah karena hendak menyingkir dari gangguan
bangsa penyamun. Siapa tahu kini ia berpapasan dengan rombongan tentara negeri. Ini berarti
lebih besar bahayanya.
Sebenarnya pakaian yang dikenakan Yak-bwe itu cukup mewah, memadai bangsa putera
pembesar negeri. Hal itu takkan menimbulkan kecurigaan tentara Gi-lim-kun itu. Tetapi kuda
yang
dinaikinya itu adalah kuda tegar yang dipersembahkan oleh raja daerah Ceng-hay kepada
kerajaan
Tong. Jika bersua dengan tentara negeri biasa, tentu takkan ketahuan. Tapi celakanya Yak-bwe
telah kesamplokan dengan pasukan Gi-lim-kun. Pasukan istimewa yang bertugas khusus untuk

menjaga keselamatan istana, mempunyai perlengkapan yang paling sempurna dan kuda-kuda
ternama dari luar daerah. Walaupun dari jauh, tapi sepintas pandang saja regu Gi-lim-kun itu
sudah
dapat mengenali kuda Yak-bwe.
Pemimpin regu Gi-lim-kun itu seorang opsir yang bernama An Ting-wan. Pangkatnya sebagai
Hou-ya-to-wi. Di dalam hirarki (urut-urutan pangkat) tentara Gi-lim-kun, yang tertinggi adalah
opsir yang berpangkat Liong-ki-to-wi, nomor dua barulah Hou-ya-to-wi. An Ting-wan adalah
kochiu
(jago kosen) nomor lima dalam Gi-lim-kun. Yang nomor satu adalah Cin Siang, lalu Ut-ti Pak
(berpangkat Liong-ki-to-wi), Ut-ti Lam (berpangkat Hou-ya-wi) dan seorang Hou-ya-to-wi lain
yang bernama Gong Pan. An Ting-wan adalah seorang opsir yang gagah dan mahir berperang.
Kaget sekali ketika An Ting-wan melihat kuda yang dinaiki Yak-bwe itu, serunya: Itu dia
penjahat Kim-ke-nia yang lolos! - Dengan acungkan tombak, ia segera pimpin anak buahnya
mengejar.
Kuda An Ting-wan pesat sekali, ialah yang lebih dulu tiba. Bentaknya dengan keras: Bangsat
bernyali besar, berani naik kuda rampasan di jalan besar? Ha, sungguh hebat! Ayo, lekas turun
serahkan diri atau tidak?
Seruan itu ditutup dengan sebuah tusukan ke ulu panggung dalam jurus 'tok-liong-jut-tong'
(naga keluar dari gua). Yak-bwe balikkan pedangnya untuk menangkis. Tetapi ia tak biasa
bertempur di atas kuda, tenaganyapun kalah dengan lawan. Begitu berbenturan, tubuh Yak-bwe
tergetar, hampir saja ia terjungkal dari kudanya. Dan berbareng itu terdengarlah suara menderu.
Seorang anak buah Gi-lim-kun yang mahir dalam ilmu laso, setelah sejenak memutar-mutar tali
terus dilontarkan ke arah Yak-bwe. Yak-bwe terjepit, ia harus pilih menyelamatkan diri atau
menolong kudanya. Cret, kepala kuda itu tepat kena terlaso, keempat kakinya segera menjulai ke
bawah. Berbareng itupun An Ting-wan menusuk pula.
Jika menghendaki kuda ini, ambillah! Mengapa berlaku begini kurang ajar! teriak Yak-bwe
dengan gusar. Ujung kakinya sekali menginjak pelan, tubuhnya Yak-bwe segera melayang ke
udara.
An Ting-wan memburu maju dengan sebuah tusukan. Yak-bwe berteriak dengan marahnya:
Ayo, kaupun harus turun juga!
Tapi belum lagi sebelah kaki Yak-bwe menginjk tanah, An Ting-wan sudah menusuk ke arah
dadanya. Yak-bwe tak mau menangkis, melainkan lengkungkan pinggangnya. Begitu terhindar
dari tusukan, ia membabat sebuah kaki kuda An Ting-wan. Opsir itu menggerung keras dan
terpaksa loncat turun.
Hai, mengapa kau berkeras menuduh aku seorang penjahat? bentak Yak-bwe.
An Ting-wan tertawa dingin: Kalau bukan penjahat, dari mana kau peroleh kuda bagus itu?
Sahabatku yang memberi, aku tak tahu kalau kuda ini milik pemerintah, sahut Yak-bwe.
Siapa yang memberimu itu? tanya An Ting-wan pula.
Yak-bwe gelagapan, ia hanya dapat menyahut: Pendek kata, aku ini bukan penjahat atau
penyamun, percaya tidak terserahlah!
Kalau bukan bangsa penyamun, habis siapakah kau ini? An Ting-wan menegas.
Sudah tentu Yak-bwe tak mau menerangkan dirinya itu 'puteri Ciat-to-su dari Luciu'. Ia tak
dapat menyahut melainkan deliki mata saja.
Kembali An Ting-wan tertawa dingin: Kukira kawanan penjahat Kim-ke-nia itu semuanya
jantan-jantan yang kepala batu, kiranya juga ada orang punya 'tulang lemas' seperti kau. Sudah
berani menjadi penyamun tapi tak berani mengaku. Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong sungguh
harus malu mempunyai anak buah semacam kau!
Sebenarnya An Ting-wan itu tak punya hubungan baik dengan Thiat-mo-lek dan Shin
Thianhiong.
Tetapi terhadap kedua orang gagah itu, ia menaruh perindahan juga. Itulah sebabnya ia
mengeluarkan kata-kata tadi.
Memang Yak-bwe itu tak ingin bertempur dengan tentara negeri. Tetapi karena selama dalam
gedung Ciat-to-su, ia selalu disanjung hormat orang, jadi sifat-sifatnya sebagai Siocia (puteri
pembesar) masih tebal. Sudah tentu ia tak kuat menerima hinaan si opsir semacam itu.
Pada saat An Ting-wan mengacungkan tombaknya ke arah Yak-bwe sebagai isyarat agar anak

buahnya segera meringkus nona itu, tiba-tiba terdengar suara berdering. Yak-bwe sudah
mencabut
pedangnya dan berkata dengan dingin: Jika pembesar negeri menindas, tentu rakyat
memberontak.
Baik, karena kau berkeras mengatakan aku seorang penyamun, aku sekarang benar-benar
menjadi
penyamun. Nah, lihat pedangku!
Giok-li-tho-soh atau bidadari lemparkan tali adalah jurus yang segera digunakan Yak-bwe untuk
menusuk si opsir.
An Ting-wan mendengus pelahan, pikirnya: Kukira seorang penjahat keroco yang takut mati,
ternyata ilmu pedangnya boleh juga.
Tapi ia bukannya jeri, melainkan hanya terkejut saja. Sembari berseru 'bagus', ia segera
getarkan ujung tombaknya. Begitu ujung tombak itu berkembang menjadi lingkaran sinar, terus
ditusukkan ke dada Yak-bwe dalam gaya 'tiong-ping-jiang'.
Yak-bwe tahu kalau lawan bertenaga besar. Ia ambil putusan tak mau adu senjata. Pedangnya
segera memutar, tubuhnya pun ikut maju dengan sang pedang. Dengan begitu ia menghindari
muka
berhadapan muka. Sekonyong-konyong ujung pedangnya disusupkan, menyusul tubuhnya pun
ikut
menyelinap masuk ke dalam lingkaran sinar tombak. Setelah itu ia gunakan gerak hong-hong-
canki
(burung hong pentang sayap), begitu ujung pedang melekat pada batang tombak, ia segera
membentak: Lepas! -- Pedang itu digelincirkan untuk memapas jari An Ting-wan.
An Ting-wan adalah seorang perwira yang sudah kenyang pengalaman perang. Dalam keadaan
yang bagaimana bahayanyapun ia tak menjadi gugup. Begitu ujung pedang hampir tiba di tangan
tiba-tiba tombak diputarnya sehingga pedang Yak-bwe terpental ke samping.
Berbareng ia pun membentak: Lepas! Tombak digunakan sebagai toya, terus disapukan ke
pinggang Yak-bwe. Dengan gerak wan-yau-ja-liu atau lengkungkan pinggang menancap pohon
liu.
Hanya terpisah seujung rambut saja, dapatlah ia menghindar dari serangan maut itu. Kemudian
dengan gerakan Hong-hong-tim-thau atau burung hong mengangguk kepala, ia menghindar dari
ujung tombak lawan yang masih mengubernya. Dengan begitu kedua pihak sama-sama tak
terluka
dan sama-sama tak lepas senjatanya.
Siapa kau? Lekas kasih tahu namamu! bentak An Ting-wan.
Aku hanya seorang keroco yang tak bernama, lihat pedang!
An Ting-wan diam-diam merasa heran, pikirnya: Kepandaiannya lihay, terang dia bukan
keroco. Tetapi Cin to-wi tak pernah mengatakan bahwa di kalangan penyamun Kim-ke-nia
terdapat
tokoh semacam dia.
Memang Cin Siang itu kenal baik dengan pemimpin-pemimpin gunung Kim-ke-nia, seperti
Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, To Peh-ing dan lain-lain. Sebelum menyerbu, orang she Cin itu
sudah menerangkan jelas kepada An Ting-wan, suruh yang tersebut belakangan itu berhati-hati
terhadap mereka. Jika dapat bertahan boleh bertahan. Jika sekiranya kewalahan, harus lekas-
lekas
mundur. Dengan berbuat begitu, Cin Siang berbuat dua macam kebaikan. Melindungi anak
buahnya (An Ting-wan), dan sekaligus juga membantu pada Thiat-mo-lek.
Waktu Yak-bwe tak mau mengatakan namanya itu, diam-diam An Ting-wan menduga kalau
Yak-bwe itu tentu seorang thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan Kim-
kenia.
Dengan anggapan itu, An Ting-wan ambil putusan tak mau memberi ampun lagi. Begitulah ia
segera mainkan tombaknya dengan gencar. Pertempuran telah berjalan dengan seru.
Melihat bahwa An Ting-wan sebagai jenderal hanya bertempur melawan seorang penyamun
kecil, anak buah Gi-lim-kun itu tak mau membantu. Mereka hanya berjajar-jajar melingkari
gelanggang.
An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang panjangnya hampir satu tombak (lebih kurang
3 meter). Di atas kuda memang amat dahsyat sekali perbawanya. Tapi serta bertempur di tanah,
pedang Yak-bwe lebih tangkas geraknya. Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak-bwe
kembangkan permainan pedang dengan penuh semangat hingga akhirnya ia sedikit lebih menang
angin.
Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat, namun ujung baju lawan saja ia tak
mampu menyentuhnya. Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan. Karena
tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu dimainkan senjata itu menerbitkan angin
yang

menderu-deru, gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk.
Yak-bwe tak berani adu kekerasan. Ia gunakan siasat berlincahan kian kemari, sewaktu-waktu
mencuri kesempatan untuk menusuk. Tapi bagaimanapun ia kalah tenaga dengan lawan. Apalagi
ia
baru saja habis bertempur.
Bermula memang menang angin, tapi setelah lewat 30-an jurus, pelahan-lahan tenaganya mulai
berkurang, keringatnya mengucur deras.
Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui tentang perubahan situasi itu.
Sebaliknya mereka malah merasa kagum heran. An Ting-wan adalah ko-chiu nomor lima dari
pasukan Gi-lim-kun. Bermula anak buah Gi-lim-kun itu menduga, dalam 2-3 jurus saja An
Tingwan
tentu sudah dapat membekuk lawan itu. Maka betapalah heran dan kaget mereka demi sampai
puluhan jurus keroco itu masih tetap dapat balas menyerang.
An to-wi, kita masih harus lekas-lekas mencari penginapan. Tak usah harus menangkapnya
hidup-hidup, teriak seorang opsir.
An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah tengah hari. Diam-diam ia berpikir: Sebentar
lagi ia tentu sudah kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hidup-hidupan. Tapi paling
sedikit masih harus menggunakan waktu setengah jam ini, tentu membikin kapiran lain-lain
urusan.
Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin-cian-chiu atau ahli panah dalam pasukan Gi-limkun.
Dengan seruannya tadi sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An Ting-wan
memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau tidak?
An Ting-wan mengerti juga isyarat itu. Cepat ia putar tombaknya untuk mengurung Yak-bwe,
lalu berseru: Baiklah, tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuhnya yang tak berbahaya.
Tapi
kalau sampai terpanah mati, ya biarlah.
Yak-bwe tetap berlincahan kian kemari dengan tangkasnya, jadi tak mungkin orang akan dapat
memanahnya dengan memilih bagian-bagian yang tak berbahaya. Tapi karena sang jenderal
sudah
menghendaki supaya dapat menangkap hidup-hidupan, maka opsir itupun sengaja hendak
mempamerkan kepandaiannya di hadapan sang atasan. Akhirnya ia mendapat akal bagus. Wut, ia
lepaskan sebatang anak panah di sisi kanan Yak-bwe. Menyusul ia lepaskan lagi sebatang di sisi
kirinya. Kedua batang itu sengaja dilayangkan hanya beberapa dim dari sisi tubuh Yak-bwe.
Kemudian ia lepaskan lagi anak panah yang ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur
saja
yang ditarik tapi tak ada anak panahnya.
Yak-bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia lian-cu-cian-hwat. Biasanya ilmu
liancu-
cian-hwat itu dilepaskan tiga kali beruntun-runtun, yakni diarahkan di sisi kanan, kiri dan
tengah. Tadi karena ia bergeliatan menghindari anak panah yang pertama dan kedua, posisi
tubuhnya berada di tempat yang sudah diduga oleh musuh. Waktu didengarnya lawan
menggetarkan tali busur, ia yakin tentu akan mengarah bagian tengah. Dan untuk itu, ia harus
menghindari dengan meloncat ke udara.
Tapi dengan cerdiknya si opsir sudah mendahului lepaskan panahnya setinggi satu meter ke
udara. Dengan begitu gerak loncatan dari Yak-bwe tadi berarti 'anjing cari gebuk'. Cret,
lengannya
termakan panah, darah mengucur deras.
Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil jiwamu. Lekas buang senjatamu dan
menyerah saja! buru-buru An Ting-wan menyerukan.
Yak-bwe kertek gigi dan menyahut getas: Jantan dari Kim-ke-nia tak kenal kata-kata
menyerah!
Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak-bwe nekad hendak mengadu jiwa. Ia kuatkan diri
menangkis tombak An Ting-wan. Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah, sudah tentu ia
tak dapat menangkis dengan jitu. Segera ia rasakan lengannya linu, mata berkunang-kunang dan
kakinya lemas. Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang pedang. Dalam keadaan
begitu,
asal An Ting-wan memberi tekanan lagi, pedang Yak-bwe pasti terlepas jatuh.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyong-konyong terdengar suara benda mendesing.
Sebatang passer melayang, bukan ke arah Yak-bwe melainkan menuju ke An Ting-wan. An
Tingwan
terbeliak kaget, pikirnya: Ha, mengapa anak panah dari Hwe poh-hu bisa nyasar?

Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul menyusul menyambarnya. Apa boleh
buat, terpaksa An Ting-wan lepaskan Yak-bwe. Ia putar tombaknya untuk menangkis passer
liancu-
cian itu. Setelah itu barulah ia mengetahui bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan
si opsir tadi melainkan lain orang lagi.
Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terletak di tepi jalan, menerobos keluar seekor kuda tegar.
Penunggangnya mengenakan kerudung muka. Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu-cian.
Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah dahsyatnya daripada dilepaskan dari
busur.
Pun selain keras timpukannya, juga arahnya amat jitu. Untuk melindungi diri, An Ting-wan putar
tombaknya gencar sekali. Namun sekalipun begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah.
Kebetulan sekali mengenai lengannya juga, darahnya mengucur deras, Yak-bwe mempunyai
kawan
sependeritaan.
Setelah mengetahui An Ting-wan terluka, orang berkerudung itu tak mau mencecernya lagi.
Kini ia beralih sasaran. Tujuh delapan batang anak panah ditimpukkan ke arah pasukan berkuda
Gi-lim-kun. Setiap batang tentu membawa korban seekor kuda. Karena terluka, kuda pasukan
Ginlim-
kun itu menjadi binal dan mencongklang lari. Yak-bwe menjadi terlepas dari kepungan anak
buah Gi-lim-kun.
Pemimpin regu panah dari Gi-lim-kun menjadi murka, serunya: Bangsat, jangan kurang ajar!
Terimalah panahku!
Tapi baru ia bidikkan sebuah anak panah, lawan pun melepaskan sebuah passer untuk
membenturnya. Ternyata orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari opsir pemimpin regu
panah. Si opsir coba akan mengembangkan ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cian-hwat. Tapi
baru
ia menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkertakan. Sebuah passer dari seorang berkerudung
dengan tepat sekali telah menghantam bagian tengah dari busur sampai patah. Dan lebih celaka
lagi, si orang berkerudung sudah susuli passernya yang kedua yang dengan jitu telah mengenai
paha
si opsir. Kontan si opsir itu terjungkal.
Su-heng, lekas lari! teriak orang berkerudung itu.
Melihat kejadian itu, marah An Ting-wan bukan kepalang. Begitu tombak dipindah ke tangan
kiri, ia lantas menerjang. Tapi dengan tahan rasa sakit, Yak-bwe sudah loncat ke punggung kuda
si
opsir. Karena anak buah Gi-lim-kun yang masih belum terluka hanya 6-7 orang saja, sudah tentu
tak mampu menahan Yak-bwe. Sekejap saja Yak-bwe sudah larikan kudanya ikut si orang
berkerudung masuk ke dalam hutan.
Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan passer dari si muka berkerudung dan kuatir kalau di
dalam hutan bersembunyi barisan musuh, terpaksa An Ting-wan menggigit jari saja. Setelah
mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun lantas meneruskan perjalanan lagi.
Selama membawa Yak-bwe menyusup hutan dan kemudian berjalan di sebuah jalan terpencil,
orang berkerudung itu tak mengatakan sepatahpun jua. Waktu menengok ke belakang legalah
perasaan Yak-bwe karena musuh tak mengejar. Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa
sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin. Hampir-hampir saja ia tak kuat bertahan diri
duduk di atas pelana kuda.
Ia tahan sakit dan hendak mencabut panah yang tertancap di lengannya itu, tapi keburu dicegah
oleh si muka berkerudung: Jangan, jangan!
Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak: Su-heng, sungguh tak
nyana kita bakal berjumpa lagi. -- Bret, terus dicabutnya kain kerudung yang menutupi
mukanya
itu.
Hai, kiranya kau! teriak Yak-bwe dengan kaget.
Kiranya si orang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda pelajar yang belum lama berpisah
dengan Yak-bwe, yaitu Tok-ko U.
Aku tak tahu sama sekali kalau Su-heng ini juga salah seorang ksatria Kim-ke-nia. Maaf, tadi
aku telah berlaku tak menghormat, kata Tok-ko U.
Dengan gunakan bahasa kangouw yang baru dipelajari bertanyalah Yak-bwe: Dari golongan
manakah saudara ini?
Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya: Aku sebenarnya bukan orang loklim, tetapi aku

gemar bersahabat dengan kaum enghiong ho-kiat. Siapakah orangnya yang tak kenal akan
Thiatmo-
lek, pemimpin Kim-ke-nia itu? Sungguh sayang sekali, sampai sekarang aku belum
mempunyai rejeki untuk berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan
besarbesaran
ke gunung Kim-ke-nia, bagaimanakah dengan Thiat-mo-lek?
Karena dirinya dianggap sebagai hohan (orang gagah) dari Kim-ke-nia, Yak-bwe
membiarkannya saja. Ia menyahut: Thiat cecu siang-siang sudah dapat meloloskan diri. Karena
kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak Thiat cecu sehingga aku tercecer
dari
barisan.
Jangan kuatir, Su-heng. Jika sekiranya tak menampik, sukalah kiranya Su-heng untuk
sementara menetap di pondokku, kata Tok-ko U.
Terima kasih, tapi nanti merembet saudara, sahut Yak-bwe.
Dulu, kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika Su-heng tetap menolak, berarti
menghina diriku, ujar Tok-ko U.
Yak-bwe bimbang hatinya. Sesaat ia tak dapat mengambil putusan. Pikirnya: Rupanya orang
ini seorang gagah budiman. Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal di tempat seorang
pemuda yang belum kukenal?
Maka dengan ragu-ragu ia menjawab: Kurasa, lukaku ini tak apa-apa. Baru ia berkata begitu,
lukanya itu sudah mengucur darah pula.
Tok-ko U cepat turun dari kudanya. Nih, aku membawa obat kim-jong-yok. Obatilah dulu
lukamu itu, baru kita nanti sambung bicara lagi, katanya sembari menghampiri terus hendak
memondong Yak-bwe turun dari kuda.
Sudah tentu Yak-bwe terperanjat sekali. Dengan menahan sakit, ia mendahului loncat sendiri.
Hampir saja ia terjerembab jatuh. Tok-ko U hendak ulurkan tangan menahannya, tapi Yak-bwe
cepat-cepat menghindar, serunya: Tak apa, tak apa. Tolong berikan obatmu itu padaku, aku
dapat
mengobati sendiri.
Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak-bwe. Masakan seorang hohan dari loklim begitu
pemaluan sikapnya. Tapi ia segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak-bwe. Karena sudah
hampir
setengah jam lengannya tertancap panah, kucuran darah telah membasahi bajunya. Dengan tahan
sakit Yak-bwe merobek bajunya itu dan terus hendak mencabut anak panah.
Jangan, Su-heng! Harus dicuci bersih dengan air dulu, dilumuri obat dan dibungkus kain
pembalut. Paling sedikit lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur baru boleh
panah itu dicabut. Jika sekarang dicabut, darah tentu mengalir tak berhenti. Dikuatirkan darah itu
mengandung racun. Obatku kim-jong-yok ini pasti tak dapat menolong apa-apa. Di rumah aku
mempunyai persediaan obat-obatan yang lengkap. Besok pagi dicabut, rasanyapun masih belum
terlambat, buru-buru Tok-ko U mencegah.
Yak-bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kim-jong-yok pada lukanya. Tapi ia tak
mempunyai pengalaman sama sekali. Jari-jarinya bergemetaran. Ketika melumurkan obat dan
kena pada tulang, saking sakitnya hampir saja ia menjerit. Keringat dingin mengucur deras.
Tok-ko U makin heran. Pikirnya: Pekerjaannya selalu berhubungan dengan golok dan darah,
tetapi mengapa mengobati luka saja ia tak mengerti. Sudah diperingatkan satu kali supaya jangan
mencabut panah, ia masih bermaksud mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga
tak tahu. Sungguh mengherankan bahwa di dunia loklim terdapat seorang hohan seperti dia.
Tetapi ketika melihat Yak-bwe menahan kesakitan hebat, Tok-ko U tak tega melihat saja. Dan
lagi-lagi ia bermaksud hendak membantunya melumuri obat.
Yak-bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukkan kepala.
Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri ke sampingnya. Pun terdorong oleh rasa
kasihan, tanpa bilang lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya. Waktu
tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Serentak timbul juga
reaksinya sebagai seorang gadis. Cepat ia mendorong dan berteriak: Mau apa kau? -- Karena
gerakan itu, bungkusan obat yang dipegangnya pun turut jatuh ke tanah.
Tok-ko U terbeliak kaget: Su-heng, aku mau membantumu, kau ini bagaimana sih?
Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak-bwe akan maksudnya. Wajahnya segera

berubah kemerah-merahan. Ia paksakan tertawa: Aku sudah melumurinya, terima kasih.
Mana, biar kubantu balutkan, kata Tok-ko U.
Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa, Yak-bwe goyangkan tangannya.
Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, batinnya: Aneh benar orang ini. Dia lebih
pemaluan dari seorang toa-siocia.
Yak-bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut lengan kirinya yang terluka itu. Tapi ia
tak mengerti caranya membalut luka. Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak keruan
bentuknya. Tok-ko U kerutkan alis. Beberapa kali ia bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi
selalu 'mundur teratur' karena sikap Yak-bwe yang janggal itu.
Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tak terlalu terkekang dengan adat istiadat
pergaulan. Pergaulan antara wanita dan pria agak bebas. Adalah karena Yak-bwe itu dibesarkan
sebagai siocia (nona) keluarga pembesar, ibu kandungnya sendiripun berasal dari keluarga
terhormat, maka watak perangainyapun berbeda dengan gadis kebanyakan. Terhadap pria yang
belum dikenalnya, ia tak berani bergaul terlalu rapat. Justru karena sifat-sifatnya yang berbeda
dengan kaum gadis umumnya, Tok-ko U tak bercuriga kalau ia itu seorang gadis. Pada umumnya
kaum wanita, terutama wanita kangouw, sewaktu mendapat luka tentu tak menolak mendapat
bantuan kaum pria. Tok-ko U anggap Yak-bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh saja.
Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk mengatakannya.
Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak-bwe mulai timbul sedikit. Ia
paksakan diri untuk naik ke atas pelana kudanya.
Su-heng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan sungkan lagi, beristirahatlah untuk
sementara hari di rumahku, kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia menawarkan jasa
baiknya.
Waktu Yak-bwe masih meragu, Tok-ko sudah berkata lagi: Sejak dari perjalanan di sini,
seterusnya di mana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh kata kau mempunyai urusan
penting
yang harus dikerjakan, namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau seorang
diri
dan dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu
akan mencurigai dirimu.
Yak-bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak dapat mengambil keputusan dengan
segera. Pikirnya: Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah budiman). Dalam
keadaan seperti sekarang, apa boleh buat aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya
orang
ini tentu takkan berbuat jahat terhadap diriku.
Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang, biarlah kutebalkan muka untuk
menerimanya. Ah, sungguh bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merepotkan
dirimu,
akhirnya Yak-bwe menerima juga.
Jawab Tok-ko U: Harap Su-heng jangan cemas. Desa kediamanku itu terpencil di tempat
pegunungan sunyi. Orang luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit menguatirkan
....
Apa yang kau kuatirkan? tukas Yak-bwe.
Karena menderita luka, mungkin Su-heng akan susah naik kuda. Lebih baik kita boncengan
saja, naiklah di kuda sini, kata Tok-ko U.
Jantung Yak-bwe mendebur lagi, pikirnya: Mungkinkah ia sudah mengetahui diriku lalu
mengandung maksud buruk?
Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan bersungguh-sungguh, ia membantah
dugaannya yang tidak-tidak itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut: Walaupun
lenganku
terluka, tapi kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu.
Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun sikapnya tetap tak wajar. Tok-ko u
menggerutu dalam hatinya: Coba kalau kau bukan ksatria Kim-ke-nia tak nanti aku mau gubris
padamu.
Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri. Tok-ko U mengambil sebuah jalanan kecil di
tepi gunung. Jalan disitu berlekuk-lekuk, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan.
Dengan
tahan rasa sakit. Yak-bwe tetap mempertahankan diri naik kuda sendiri. Untung kediaman Tok-
ko
U itu hanya terpisah jarak 40-an li. Tak berapa lama, tibalah sudah mereka di desa kediaman
TokKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ko U.
Kediaman Tok-ko U itu terletak di bawah puncak Pek-ho-nia, depan rumah ada sebuah empang
teratai dan keduanya tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon liu. Atap rumah merah yang menonjol
di
antara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti pemandangan dalam sebuah lukisan.
Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman firdaus di luar dunia, Yak-bwe memuji.
Ah, Su-heng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih mendekati seorang seniman, Tok-ko U
tertawa. Pujian Su-heng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah. Aku tentu akan
minta Su-heng untuk tinggal lebih lama di sini.
Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari-lari keluar. Masih jauh dara itu sudah
berteriak: Koko, kau sudah pulanglah!
Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda yang terluka lengannya, dara itu
terkesiap. Tok-ko U tertawa menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat. Kemudian ia
memperkenalkan: Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran yang dipakai Yak-bwe). Dan ini adalah
adik perempuanku Tok-ko Ing. Su-toako ini sunggguh seorang tetamu yang jarang kita jumpai.
Ing-moay, tolong kau melayaninya baik-baik.
Hai, Su-toako, mengapa kau terluka itu? tanya Tok-ko Ing.
Tiba-tiba Tok-ko U berkata: Moaymoay, tentu kau akan gembira ....
Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain terluka? Tok-ko Ing mengomelinya.
Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak menuturkan tentang riwayat Su toako.
Harap kau jangan mencampur-adukkan. Ing-moay, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau
hanya kagum kepada tiga tokoh dalam jaman ini? kata Tok-ko U.
Ya, benar. Yang satu Thiat-mo-lek, yang kedua Bo Se-kiat dan yang ketiga Toan Khik-sia,
kata Tok-ko Ing.
Nah, begitulah, Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga tokoh itu. Ia adalah salah seorang
hohan dari Kim-ke-nia, ujar Tok-ko U.
Memang hubungan Se-kiat dan Khik-sia dengan Thiat-mo-lek itu sudah diketahui oleh kaum
Bu-lim. Oleh karena itu walaupun Yak-bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan kedua
pemuda
itu, namun dengan spontan (serentak)Tok-ko U yakin Yak-bwe tentu mengenalnya. Dan ini
terang
mengangkat diri yak-bwe di mata Tok-ko Ing.
Tertawalah Yak-bwe menyahut: Aku hanya seorang keroco dari Kim-ke-nia, mana dapat
digolongkan sebagai sahabat dari ketiga tokoh itu?
Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu tentara negeri telah mengadakan
sergapan ke Kim-ke-nia. Bukankah kau terluka kena panah mereka? tanya Tok-ko Ing.
Ah, ia barusan saja terluka itu, sahut Tok-ko U. Ia lantas menceritakan tentang pertemuannya
dengan Yak-bwe sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun.
Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang menderita luka sebaliknya kau hanya
enak-enak mengobrol saja. Ayo, lekas sediakan tempat untuk Su toako, tiba-tiba Tok-ko Ing
menyeletuk.
Memang kala itu Yak-bwe amat lelah sekali. Kedua kakinya serasa mati rasa, seolah-olah
seperti bukan kakinya sendiri. Ternyata gedung kediaman keluarga Tok-ko itu agak terletak di
atas,
jadi mereka harus melalui sebuah lamping gunung yang menanjak. Ketika melihat Yak-bwe
turun
dari kuda dan berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah tentu harus berhenti
sejenak, Tok-ko Ing serentak menghampiri hendak menolong memapahnya. Sedang mulut dara
itu
tetap mengomel sang engkoh: Kau sendiri tadi yang minta supaya aku melayani tetamu baik-
baik,
masakan kau sendiri tak mengerti bagaimana harus melayani orang?
Walaupun dalam hati Yak-bwe benci kepada Khik-sia, tapi entah bagaimana, kepada orang yang
memuji sang tunangan itu, ia merasa senang sekali. Apalagi Tok-ko Ing itu seorang dara.
Seketika
lupalah yak-bwe bahwa dirinya pada saat itu sedang menjadi seorang 'pria'. Bukan hanya
membiarkan saja Tok-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia lantas
menggelondoti
tubuh sang dara.
Tersentuh dengan hangatnya tubuh Yak-bwe dan membaui harum dari napas dan rambut
Yakbwe,
seketika mendeburlah darah Tok-ko Ing. Tapi ia seorang dara yang lapang dada.

Didiamkannya perbuatan 'pemuda' itu, dengan wajah tenang ia tetap menggandeng tangan Yak-
bwe
untuk diajak masuk ke dalam rumah.
Semula Tok-ko U kuatir kalau-kalau adiknya bakal mendapat 'kopi pahit' (sikap getas) dari
Yakbwe.
Siapa tahu ternyata pemuda gadungan itu telah mengunjukkan sikap yang di luar dugaannya.
Pikirnya: Kukira ia itu seorang yang amat pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing-
moay.
Aneh benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu enggan berdekatan.
Sebaliknya
dengan seorang yang berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam aku belum
mengetahui jelas bagaimana peribadinya tentu kusangka ia seorang pemuda hidung belang.
Ketika mendengar napas Yak-bwe tersengal-sengal, Tok-ko Ing merasa kasihan, ujarnya: Su
toako, kau benar-benar seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih dapat naik
kuda
mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka Su toako ini lebih dulu, kemudian biar ia mengaso
di
kamarmu, ya?
Yak-bwe terkejut, buru-buru ia berkata: Ah, jangan sampai merepot! Tok-ko-heng, aku
memang mempunyai adat aneh, yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang
tidur
seorang diri di sebuah kamar yang sunyi.
Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya seorang tetamu itu tentu menurut
peraturan tuan rumah, sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah, rupanya ia tak
mau
membikin repot tuan rumah, pikir Tok-ko Ing.
Aku mempunyai sebuah kamar buku yang lumayan bersihnya. Entah mencocoki tidak selera
Su toako? katanya sembari memapah Yak-bwe menuju ke sebuah kamar buku.
Ternyata kamar buku itu indah dan rajin. Di atas dinding dari rak buku digantungi lukisan.
Sementara pada tepi jendela di mana sebuah meja tulis, pun dijajar vaas-vaas bunga. Dupa wangi
di
perapian masih mengepulkan hawa yang harum. Berhadapan dengan lemari buku, terdapat
sebuah
dipan yang tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja. Rupanya dipan itu dibuat tempat Tok-ko
Ing berbaring di kala ia membaca.
Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah kusiapkan kasur, kata dara itu.
Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga seorang penggemar buku. Di kamar sini
terdapat sekian banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat sekali ekspresinya. Aha,
kiranya syair gubahan Tu Fu! demikian Yak-bwe memuji.
Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung pada jaman itu. Setiap buah karya
mereka keluar, tentu segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang. Tetapi buah sajak
yang ditulis oleh tangan kedua penyair termasyhur itu, jarang sekali dapat diperoleh.
Syair yang tergantung di dinding kamar buku Tok-ko Ing itu ternyata buah tulisan dari penyair
Tu Fu. Yak-bwe pernah melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk
mendeklamasikan
sajak itu. Kiranya sajak itu digubah oleh Tu Fu ketika ia di kota Lim-pin melihat anak murid dari
Kong-sun toa-nio yang bernama Li Sip-ji-nio memainkan pedang. Tertarik oleh permainan
pedang
si nona yang sedemikian indahnya, penyair itu telah menarikan pit, mempersembahkan sebuah
sajak pujian.....
Syair indah, syair indah! Datangnya bagaikan halilintar mengumbar kemarahan, gemuruh
laksana ombak laut memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah mencapai tingkatan
semacam itu, sungguh tak dapat dibayangkan oleh pikiran, Yak-bwe memuji. Tapi dalam pada
itu
ia merasa heran juga dan bertanya: Syair ini digubah oleh Tu Fu untuk dipersembahkan kepada
Li
Sip-ji Nio. Mengapa bisa berada di tempat nona sini?
Tok-ko U tertawa menyahut: Adikku itu adalah sumoay dari Li Sip-ji Nio. Kami kakak
beradik berlainan suhu.
Yak-bwe terbeliak kaget, tegasnya: Apakah Kong-sun toanio masih hidup? Bukankah beliau
sudah hampir berusia ratusan tahun?
Beberapa tahun yang lalu suhuku sudah menutup mata. Benar Li Sip-ji Nio itu toa-suciku, tapi
kepandaianku itu adalah toa-suci yang mengajarkannya. Toa-suci amat memanjakan sekali
kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci lewat di sini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu,
maka serangkai syair gubahan Tu Fu itu diberikan kepadaku, kata Tok-ko Ing.
Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan heran: Menilik Su-heng begitu gemar

akan syair, rasanya tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa ceburkan diri dalam
kalangan loklim?
Sahut Yak-bwe: Ya, begitulah kalau mau dikata, memang aku pernah membaca sedikit sajak.
Tok-ko-heng tanya kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah, hal itu lebih baik
tak
kukatakan saja.
Sebenarnya Yak-bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi dikarenakan ia tak biasa berbohong,
dalam saat-saat yang mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya. Sebaliknya Tok-ko U
mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang sukar dikatakan. Ia pun tak mau mendesak
lebih
jauh. Buru-buru ia alihkan pembicaraan:
Su-heng seorang yang pandai ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dikagumi. Di
dalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan bermunculan dari kalangan loklim. Mengapa
Suheng
mengatakan terjerumus?
Habis berkata kembali Tok-ko U membatin: Ah, kiranya ia seorang pendatang baru di dunia
loklim, makanya ia begitu hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat, tetapi lebih
mirip dengan seorang sasterawan.
Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa kasur.
Setelah mengatur tempat tidur bagi sang tamu, lalu berkatalah Tok-ko Ing: Sudahlah, jangan
tarik lidah lebih lanjut. Ayo, kira rawat luka Su toako. -- Setelah itu ia minta Yak-bwe supaya
berbaring di atas pembaringan darurat itu.
Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati
luka Su-toako, aku terpaksa harus minta bantuanmu, kata Tok-ko U.
Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukkan kepala tapi tiba-tiba mulutnya pecah tertawa: Huh,
koko, rupanya kau cerdik juga karena tahu diri. Akupun tak mau mempersalahkanmu. Tuh,
lihatlah, apa-apaan caramu membalut luka orang begitu macam? Malang melintang tak keruan,
sampai lengan Su toako menjadi seperti buah semangka saja!
Merahlah wajah Yak-bwe mendengar itu, katanya: Aku sendirilah yang membalutnya.
Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata-ngatai, walaupun likat tapi terpaksa ia tertawa juga.
Memang anak lelaki itu kebanyakan tak dapat mengurus diri sendiri. Su toako, tidurlah, biar
kulumuri obat pada lukamu.
Darah dari luka Yak-bwe itu sudah mengental dan melekat pada pakaiannya. Tok-ko Ing
menanyakan kalau-kalau Yak-bwe membawa ganti pakaian.
Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru kemarin kubeli, entah cocok tidak
ukurannya, kata Yak-bwe.
Kau tak tahu bahwa Su-toako itu royal sekali. Kedua stel pakaiannya itu dibelinya dengan
memakai biji emas. Tok-ko U tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi di rumah
penginapan.
Su toako, kau balikkan tubuhmulah, biar kulepas bajumu. Koko, tolong ambilkan semangkuk
air hangat, kata Tok-ko Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak-bwe dengan air hangat,
baru
kemudian dilumur obat dan dibalut.
Sebaliknya wajah Yak-bwe menjadi merah. Katanya dengan berbisik: Ah, tak usah begitu
repot-repot. Apakah kau punya gunting?
Gunting? Mau buat apa? sudah tentu Tok-ko Ing menjadi heran.
Cukup gunting saja lengan baju di dekat luka itu, kan dengan begitu boleh lantas dicuci dan
dilumuri obat, jawab Yak-bwe.
Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati: Katanya seorang hohan dari loklim, tapi
ternyata lebih pemaluan dari seorang gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan
akan pergaulan wanita dan pria.
Tapi ia pun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan permintaan Yak-bwe tadi. Setelah
mencuci bersih, barulah ia melumuri luka itu dengan obat lagi.
Tok-ko U datang dengan membawa poci teh-som, katanya: Kau sudah terlalu banyak
mengeluarkan darah, tentu merasa haus. Poci yang berisi teh-som ini, akan dapat menghentikan
hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan ini.

Yak-bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia menghaturkan terima kasih dan
mempersilahkan supaya kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat.
Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam memerlukan apa-apa, panggil saja, jangan
sungkan-sungkan, kata Tok-ko U.
Kembali Yak-bwe menghaturkan terima kasihnya. Setelah kedua saudara itu tinggalkan kamar
situ, timbullah kekuatiran pada hati Yak-bwe jangan-jangan nanti tengah malam Tok-ko U
benarbenar
berkunjung ke situ lagi. Ia menggeliat bangun untuk menutup jendela. Setelah itu barulah ia
leluasa ganti pakaian lalu masuk tidur.
Bermula hatinya memang masih kebat-kebit, tapi karena letihnya, tak lama kemudian ia sudah
jatuh pulas. Entah sudah berapa lama ia kelelap dalam impiannya di pulau kapuk itu, hanya
ketika
ia sadar segera ia dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Buru-buru ia bangun.
Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa-apa, silakan tidur kembali, buru-buru ia berseru.
Di luar kamar terdengar suara ketawa mengikik: Akulah, Su toako. Hari sudah terang, ini
kubawakan santapan pagi untukmu.
Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok-ko Ing. Waktu Yak-bwe membukakan pintu, dara
itu tertawa: Mengapa jendelanya juga kau tutup rapat-rapat? Apakah tidak kepanasan
hawanya? -
- Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan sinar matahari pagi.
Di waktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi kebiasaanku untuk menutup jendela
kamar rapat-rapat. Harap kau jangan menertawakannya, dengan pintarnya Yak-bwe mencari
jawaban.
Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar penjelasan itu ia menjadi geli juga,
ujarnya: Kurasa hanya anak perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian kaum gagah
dari
loklim juga jeri. Baiklah, sekarang sudah terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah
makan
santapan pagi.
Tok-ko Ing menghidangkan makanan yang dibawanya itu di atas meja. Isinya terdiri dari empat
macam masakan lezat dan semangkuk besar bubur.
Nikmat sekali tampaknya Yak-bwe makan.
Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan-jangan kau tidak doyan, kata Tok-ko Ing.
Yak-bwe tertawa dan berkata: Nona Tok-ko benar-benar serba pandai. Pandai sastera, mahir
ilmu silat dan ahli masak. Entah siapakah di kemudian hari yang beruntung ....
Wajah Tok-ko Ing merah jengah lalu cepat-cepat menyelanya: Su toako, apa katamu?!
Kini barulah Yak-bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya sedang menjalankan rol sebagai
seorang pemuda. Buru-buru ia telan kembali separuh ucapannya yang sedianya berbunyi
menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu. Cepat ia tertawa meringis dan mengalihkan
haluannya.
Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari aku, tapi segala apa kau dapat mengerjakan,
sebaliknya aku tak mengerti apa-apa. Terus terang kukatakan, aku sungguh ingin seperti dirimu!
katanya.
Yak-bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sebagai seorang gadis. Sebaliknya
Tok-ko Ing telah menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi lebih merah lagi.
Celaka! Aku salah omong lagi, Yak-bwe mengeluh dalam hati, menyaru jadi anak lelaki,
kiranya bukan hal yang mudah.
Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur untuk menutupi perubahan kerut
wajahnya. Selama beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi. Demi melihat sorot mata
Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu tak mengandung kemarahan, legalah perasaan Yak-
bwe.
Su toako, kau masih terlalu merendah diri. Kaulah yang pantas disebut seorang bun-bu-coancay
(pandai sastera dan ilmu silat), tiba-tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum.
Kesempatan itu telah digunakan Yak-bwe untuk mengalihkan persoalan, katanya: Dulu
hanyalah Li Pai itu saja yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang gagah) dan
mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu mempersembahkan syairnya kepada suci-mu,
barulah terbuka mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang ahli pedang juga yang jempol.
Bagaimana kau ketahui ia seorang ahli? tanya Tok-ko Ing.

Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan pedang suci-mu itu sedemikian
indahnya? balas Yak-bwe.
Tok-ko Ing tertawa: Menurut pendapatku, Tu Fu tak mengerti ilmu pedang tapi tahu
menikmatinya. Ya, memang begitulah.
Tahu menikmati, itulah juga seorang ahli, sahut Yak-bwe.
Su-toako, kenal baik aku dengan Toan Khik-sia? tiba-tiba Tok-ko Ing mengajukan pertanyaan.
Jantung Yak-bwe berdetak keras dan tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Sahutnya: Tak
begitu akrab. Mengapa kau tanyakan hal itu?
Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul dengan kaum hiap-su, teringatlah aku.
Li Pai dengan Toan Kui-ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali. Rasanya kau
tentu sudah mengetahui hal itu. Sayang Toan tayhiap itu siang-siang sudah menutup mata hingga
kita dari angkatan muda ini tak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah sampai dimanakah
kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu?
Belum Yak-bwe menyahut, Tok-ko Ing sudah melanjutkan kata-katanya pula: Kabarnya ilmu
pedang dari Toan Khik-sia itu lebih lihay lagi dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya?
Mendengar Toan Khik-sia dipuji-puji, diam-diam Yak-bwe girang dalam hatinya. Tapi purapura
ia bersikap dingin dalam memberi jawaban. Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah
menyaksikannya.
Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya: Menilik gelagatnya, mungkin pergaulannya
dengan Toan Khik-sia itu hanya biasa saja. Ini aneh juga, biasanya peribahasa mengatakan
'warna
itu tentu mencari warna'. Tapi rupanya hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal di satu markas
dengan Toan Khik-sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan untuk bergaul rapat?
Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari engkohnya (Tok-ko U) yang berada di
sebelah muka sudah terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa-tawa: Moaymoay,
kiranya
kau sudah lebih pagi datang kemari.
Siapa yang mau meniru kemalasanmu? Hari sudah begini siang kau masih dekam di
pembaringan. Sikap begitu berarti tak mempedulikan tetamu, Tok-ko Ing jebikan bibirnya.
Mempunyai seorang adik rajin seperti kau, masakan aku masih perlu membanting tulang?
Tok-ko U membantah disertai tertawa.
Mendengar dalam nada ketawa engkohnya itu mengandung sesuatu yang dalam artinya, tanpa
terasa berdebarlah hati Tok-ko Ing.
Bagaimana Su toako, apa sudah baikan? tanya Tok-ko U.
Yak-bwe mengiakan: Ya, sudah banyak baik. Lihat, aku sudah makan begini banyak.
Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing-moay, kau cermat dan tangkas. Mencabut
panah di lengan Su toako nanti lagi-lagi mesti minta tolong padamu, kata Tok-ko U.
Tok-ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja supaya ia bergaul rapat dengan 'pemuda
cakap' itu. Iapun sungkan menolaknya: Koko, kau memang cari enak saja, segala apa suruh aku
yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus bekerja sedikit. Harap kau sediakan obat-obat
yang
akan dipakai.
Siang-siang aku sudah menyediakannya, sahut Tok-ko U.
Yak-bwe merasa tak enak hatinya: Nona Tok-ko, aku sungguh banyak merepoti kau saja.
Tok-ko Ing tertawa: Su toako, aku hanya bergurau dengan koko, harap kau jangan menaruh di
hati. Kau adalah sahabat baik dari koko, kau terluka dan sudah seharusnya aku merawati.
Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga kepadaku, Tok-ko U menggoda.
Terima kasih? Jangan ngaco! teriak Tok-ko Ing.
Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau belajar pedang pada suci-mu, tetapi
selama ini tak ada lain orang yang mengujimu. Su-toako adalah seorang ahli pedang yang
jempol,
nanti kau boleh banyak belajar padanya, kata Tok-ko U.
Bermula Tok-ko Ing kuatir kalau sang koko akan menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar
keterangan itu, ia bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak mendekati Yak-bwe.
Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu. Mudah-mudahan Su-toako lekas
sembuh, sahut Tok-ko Ing.

Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah yang selayaknya mengangkat guru
padamu. Mengapa kau begitu sungkan padaku? kata Yak-bwe.
Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti Su-toako sudah sembuh, kalian boleh
saling uji kepandaian, agar aku pun dapat menikmati, Tok-ko U menengahi.
Walaupun kurang pengalaman, namun Yak-bwe tahu juga akan gelagat, sikap dan ucapan orang.
Diam-diam ia geli dalam hati: Agaknya nona ini ada maksud kepadaku. Engkohnyapun setuju,
malah mendorong. Tapi sayang, mereka salah alamat.
Yak-bwe kuatir kalau sampai rahasianya ketahuan oleh kedua kakak beradik itu. Tapi setelah
mendengar pembicaraan kedua saudara itu, ia merasa lega. Walaupun geli, tapi ia merasa
terhibur
juga.
Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai mencabut panah yang mengeram di lengan
Yak-bwe. Karena kepalanya menunduk, rambut si dara pun terurai jatuh ke muka Yak-bwe.
Begitu
dekat sehingga keduanya sama mendengarkan denyut napas masing-masing. Pipi si dara makin
merah dan berbisiklah ia: Sakitkah, Su-toako?
Tidak, terima kasih, sahut Yak-bwe.
Tok-ko Ing merasa bahagia. Ia mempunyai perasaan yang sukar dilukiskan. Padahal pujian
Yak-bwe itu bukan karena sungkan, melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu seorang dara yang
cekatan. Setelah mencabut panah lantas melumuri obat. Yak-bwe tak merasa sakit dan amat
berterima kasih kepada dara itu.
Sejak itu, berhari-hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah berpisah dengan Yak-bwe.
Sebaliknya Tok-ko U jarang kelihatan. Hubungan Yak-bwe dengan Tok-ko Ing makin akrab.
Luka
Yak-bwe itu sebenarnya memang tak berat. Mendapat perawatan istimewa dari Tok-ko Ing,
sembuhnya amat cepat.
Pada suatu hari ketika bangun, Yak-bwe coba gerak-gerakan lengannya. Ternyata sudah pulih
seperti sediakala. Tok-ko Ing merasa girang, serunya: Su toako, dalam beberapa hari ini tentu
kau
merasa kegerahan. Mari, kuantar jalan-jalan ke kebun bunga. Ya, Su-toako, nanti kau boleh
memberi petunjuk tentang ilmu pedang padaku.
Kala itu adalah pada permulaan musim semi. Ketika Yak-bwe ikut Tok-ko Ing ke dalam kebun
bunga, dilihatnya bunga-bunga sama mekar. Taman di situ tak seberapa besar, tapi diatur indah
sekali. Di sana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat peristirahatan dan jalanan-jalanan
yang melingkar-lingkar. Setiap kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk baru
diatur
dengan sangat serasi. Pabila orang berjalan-jalan di dalam taman tampaknya mirip dengan orang
di
dalam lukisan.
Sudah beberapa hari Yak-bwe terkurung di dalam kamar. Berada di dalam taman yang seindah
itu, seketika longgarlah perasaannya, semangatnya nyaman segar. Dasar Yak-bwe itu seorang
nona
rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia kelihatan makin cantik lagi. Ketika keduanya lewat di
empang teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi yang cakap. Tok-ko Ing
mengawasi 'lukisan' yang terpantul dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang 'pemuda'
cakap yang berada di dampingnya itu. Pikirannya melayang-layang: Ia benar-benar seorang
pemuda yang serba cakap. Tak nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh
semacam
dia. Poa An yang disanjung orang sebagai tokoh Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan
seperti
dia.
Nona Tok-ko, apakah yang sedang kaupikirkan? tiba-tiba Yak-bwe menegur sambil tertawa.
Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru-buru menyahut: Aku menimbang-nimbang akan minta
kau mengajarkan ilmu pedang, entah maukah kau?
Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona yang bermain dulu, kata Yak-bwe.
Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat dulu, biar aku yang memulai, Tok-ko
Ing mengiakan.
Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh. Sinar pedangnya tampak mengembang
seperti untaian tali. Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak burung kuntul yang
tersentak kaget, lincahnya seperti naga bermain. Gerakannya menimbulkan angin dingin yang
menderu-deru hingga bunga-bunga sama bertaburan jatuh terbawanya. Benar-benar hebat, indah

dan mempesonakan.
Yak-bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera mendeklamasikan syair Tu Fu yang
menyanjung puji keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu ....
Tok-ko Ing menghentikan permainannya. Dengan setengah girang setengah aleman, ia berseru:
Ilmu pedang suci-ku mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi aku, mana bisa
memadai!
Aku belum pernah melihat permainan pedang suci-mu. Tapi menyaksikan permainanmu tadi
saja, mataku sudah berkunang-kunang dan semangatku serasa terbang! Yak-bwe tertawa.
Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk menyenangkan hati orang saja. Koko
mengatakan, permainan pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah mengunjuk
permainan jelek, masakah kau masih tak mau memberi pelajaran? Tok-ko Ing mengomel.
Yak-bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun ingin mengunjukkan kepandaiannya.
Katanya: Sebenarnya tak ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip itu
akan
berhamburan, maka terpaksa aku akan menuruti juga. Nona Tok-ko, biar kuberi jurus umpan
padamu, tapi harap kau menaruh kasihan.
Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masing-masing berdiri tiga tombak jauhnya,
kemudian saling melontarkan serangan. Dengan begitu kita dapat menghindari salah melukai.
Kita
boleh keluarkan seluruh kepandaian masing-masing. Nah, bagaimana? kata Tok-ko Ing.
Yak-bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya yang baru saja sembuh. Diam-diam
Yak-bwe berterima kasih akan nona yang bijaksana itu.
Ya, silahkan memulai lebih dulu, katanya.
Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi. Segera ia lancarkan jurus giok-li-thosoh
atau bidadari lemparkan tali. Untuk itu Yak-bwe menyambut dengan jurus tho-thau-po-li atau
lemparkan buah tho membalas buah peer.
Ah, Su-toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan sungkan-sungkanlah, seru Tok-ko Ing
tertawa.
Memang jurus tho-thau-po-li itu, mengandung maksud menghaturkan terima kasih atas
kebaikan tuan rumah dan menyatakan hendak membalas budi.
Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah pedangnya. Sikapnya itu mirip seperti
orang yang bertempur secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus serangan yang
lihay untuk melukai musuh.
Ganas betul! seru Yak-bwe dengan tertawa. Ia pun mengisar ke samping dan bolangbalingkan
pedangnya. Sekali sang ujung kaki berputar, ia kembali ke tempatnya yang semula.
Bagus, indah benar tangkisanmu itu! Tok-ko Ing berteriak memuji.
Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak, saling menyerang. Keduanya sama
mengeluarkan jurus-jurus permainan pedang yang istimewa. Sekalipun terpisah jauh, tapi mereka
sama bermain dengan sungguh-sungguh, seperti orang yang bertempur mati-matian. Dan justeru
karena terpisah itu, keindahan gerak permainan mereka dapat kelihatan dengan jelas.
Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai 30-an jurus. Yak-bwe merasa heran demi
melihat wajah Tok-ko Ing seperti orang melamun. Pikirnya: Saat ini sudah menginjak detik-
detik
yang meruncing. Mengapa ia tak pusatkan perhatian dan seperti orang melamun?
Awas serangan ini! cepat ia membentak. Pedang ceng-kong-kiam diguratkan ke udara.
Begitu ujungnya tergetar, sinar pedang segera berubah menjadi berkuntum-kuntum rangkaian
bunga. Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar Budha memancar luas). Jurus ini merupakan
jurus yang paling lihay dari ajaran ilmu pedang Bian Hui sin-ni.
Tok-ko Ing tersentak kaget. Ia mundur sampai tiga langkah. Tiba-tiba ia berseru: Hati-hati,
serangan ini!
Tubuhnya melambung ke udara, pedangnya berkembang menjadi sebuah lingkaran untuk
mengurung tubuh Yak-bwe.
Ilmu pedang yang indah! mulut Yak-bwe meluncur pujian, tubuhnya pun berdiri tegak. Ia
ganti permainannya dengan jurus ciau-thian-it-cut-hiang atau menghadap ke langit dengan
sebatang
dupa. Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar.

Tok-ko Ing melayang ke tanah lagi. Kini keduanya tegak berhadapan. Pedang masing-masing
saling ditudingkan tapi tidak melanjutkan serangannya lagi. Kiranya sampai pada babak itu,
apabila
dalam pertempuran sesungguhnya, pedang mereka tentu saling menempel dan di situlah
pertandingan adu lwekang dimulai. Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul, dialah yang
menang. Sebaliknya barang siapa yang coba berusaha merubah gerakannya, ia tentu akan
menderita.
Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum dan rela
menyerah kalah, kata Yak-bwe.
Mana bisa. Kau seorang lelaki, dalam hal tenaga tentu lebih kuat dari aku. Jika dalam
pertempuran sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini, akulah yang seharusnya
kalah, sahut Tok-ko Ing.
Keduanya segera sama menyimpan pedangnya. Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya: Su toako,
siapakah suhumu itu?
Yak-bwe terkesiap, sahutnya: Pelajaranku tak becus, malu aku untuk mengatakan nama
suhuku.
Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku, kata Tok-ko Ing.
Dalam hal apa? tanya Yak-bwe.
Konon kabarnya Biau Hui sin-ni itu tak mau menerima murid lelaki, mengapa beliau mau
melanggar pantangan itu? kata Tok-ko Ing.
Diam-diam Yak-bwe terperanjat sekali. Kini baru ia insyaf bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui
aliran sumber perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri: Ah, benera-benar
limbung
aku ini. Ia adalah anak murid Kong-sun toanio, sudah tentu ahli dalam ilmu pedang. Mengapa
tadi
aku sampai terlepas menggunakan permainan pedang sehingga ia dapat mengetahui?
Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis, ia berkata: Nona Tok-ko, matamu itu
sungguh jeli sekali. Kalau begitu, mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah berasal dari
ajaran Biau Hui sin-ni.
Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya: Aneh sekali ucapanmu itu. Masakan
kau tak tahu sendiri ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi?
Yak-bwe tetap tertawa: Ya, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu
kuperoleh dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui sin-ni.
Siapakah wanita itu? desak si dara.
Taci misanku yang bernama Sip In-nio, jawab Yak-bwe. Dalam hal ini ia memang tak
berdusta seratus persen. In-nio lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar pada
Biau
Hui sin-ni. Ilmu pedang Yak-bwe sebagian besar memang In-nio yang mengajarkan.
Karena In-nio sering berkelana di dunia kangouw maka meskipun belum pernah berjumpa tapi
Tok-ko Ing mendengar juga akan namanya. Tahu ia pula bahwa In-nio itu adalah anak murid
Biau
Hui sin-ni.
Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In-nio. Ah, tak heran kiranya, kata dara itu dengan
tiba-tiba nadanya berubah rawan, hatinya kecewa dan sikapnya berubah tak wajar.
Aku adik misannya yang jauh urut-urutannya. Sejak masih kecil ayah bundaku meninggal,
maka aku lantas tinggal pada keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci misan) itu
mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari samping saja, tapi lama kelamaan
akupun bisa juga. Pernah piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu didapatnya
dari
seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau rahib tua itu ternyata Biau Hui sin-ni adanya,
Yakbwe
memberi penjelasan.
Dingin-dingin si dara berkata: Baik benar piauci-mu itu kepadamu. Ia sampai berani
mengajarkan ilmu pedang padamu di luar tahu suhunya. Kabarnya piauci-mu itu adalah puteri
dari
seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal di tempat kediamannya, mengapa tega
meninggalkannya?
Aku tak ingin selama hidupku menjadi benalu (mengandalkan orang). Itulah makanya aku
pergi dari rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku berkenalan dengan thaubak
dari
Kim-ke-nia. Kutahu bahwa pemimpin Kim-ke-nia ialah Thiat-mo-lek itu bukan penyamun biasa.

Lalu aku masuk ke dalam perserikatan mereka, kata Yak-bwe.
Masih dengan nada tawar, Tok-ko Ing mengoloknya: Kau mempunyai cita-cita tinggi, tapi
tidakkah dengan berbuat begitu berarti kau telah mengabaikan kebaikan piauci-mu?
Sebenarnya Yak-bwe hendak menggodanya lebih lanjut yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia
sudah bertunangan dengan In-nio tapi demi melihat mata si dara mulai mengembeng air mata,
ya,
tinggal tunggu saatnya saja tentu akan hujan (menangis), ia merasa tak sampai hati. Pikirnya:
Biarlah nanti kalau diam-diam kupergi dari sini, kutinggalkan surat untuk menjelaskan diriku
yang
asli. Tapi kalau sekarang keuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa bagiku.
Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan piauci adalah ibarat loyang dengan
mas. Aku hanya seorang kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana aku layak dituduh
'mengabaikan kebaikannya'? katanya.
Dengan bantahan itu, hati si dara agak longgar, katanya: Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik
sekali hubungannya dengan Biau Hui sin-ni. Dua jurus paling akhir yang kau mainkan tadi,
adalah
jurus-jurus yang dikeluarkan ketika mereka berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar
dari cerita suci-ku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui sin-ni.
Oh, makanya tadi ia tampak melamun, kiranya aku dengan suhunya masih ada sedikit ikatan,
demikian pikir Yak-bwe.
Tok-ko Ing berkata pula: Su toako, jika kelak ada kesempatan, ingin benar aku berkenalan
dengan piauci-mu itu. Ah, betapakah senangnya melihat seorang jelita yang memiliki ilmu
pedang
sakti!
Dalam berkata-kata itu nada si dara terdengar risau, beberapa butir air mata menetes turun.
Yakbwe
tahu bahwa dara itu mengandung hati cemburu. Diam-diam ia merasa geli sendiri.
Tiba-tiba seorang bujang perempuan datang. Setelah memberi hormat kepada Tok-ko Ing dan
Yak-bwe, lalu melapor: Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia dan Su siangkong
suka
keluar menyambutnya.
Diam-diam Yak-bwe merasa heran. Dan Tok-ko Ing lantas menanyakan siapakah tetamu itu.
Seorang lelaki yang bertubuh tegar. Kongcu memanggilnya Lu tayhiap, sahut si bujang.
Ai, tak peduli siapa, asal orang Kangouw tentu disebut tayhiap atau siauhiap, Tok-ko Ing
tertawa, Su-toako, mari kita melihat-lihat 'tayhiap' itu bagaimana orangnya.
Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi
mengapa juga minta aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tak kenal dengan orang she Lu itu,
pikir Yak-bwe.
Rupanya Tok-ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak-bwe. Ujarnya: Koko itu seorang yang
cermat. Kalau ia minta kau keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa.
Bermula Yak-bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan si dara itu, ia merasa kalau tak ikut
tentu bisa menimbulkan kecurigaan tuan rumah. Apa boleh buat terpaksa diapun segera ikut.
Di ruangan tetamu tampak Tok-ko U sedang menemani seorang lelaki pertengahan umur.
Begitu tampak Tok-ko Ing dan Yak-bwe datang, buru-buru ia berbangkit.
Ini adalah tokoh termasyhur di dunia kangouw, Sin-cian-chiu Lu Hong-jan tayhiap. Dan ini
adalah Su Ceng-to toako dan adikku Tok-ko Ing, kata Tok-ko U memperkenalkan mereka satu
sama lain.
Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong-chiu yang kau kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu
tayhiap ini, kata Tok-ko U lebih lanjut.
Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu. Kalau berdua kakak beradik barulah
pantas disebut sepasang pendekar yang dikagumi orang, buru-buru Lu Hong-jun merendah.
Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun, pantaslah kalau mendapat kehormatan disebut hiap
(pendekar). Hanya saja sorot matanya itu sungguh memuakkan orang, diam-diam Tok-ko Ing
membatin.
Ya, memang tak salah si dara mengatakan sang tetamu tidak sopan. Tapi siapakah orangnya
yang tak terkesiap melihat kecantikan dara itu? Pun tak terkecuali dengan Sin-cian-chiu Lu
Hongjun.
Sampai dua kali ia memandang lekat-lekat pada Tok-ko Ing. Waktu si dara melirik kepadanya,
buru-buru ia membetulkan tempat duduk lagi.

Lain Tok-ko Ing, lain penerimaan Yak-bwe. Kalau si dara tak senang dengan sikap si tetamu,
adalah Yak-bwe terperanjat melihat siapa yang datang itu. Pikirnya: Ah, kiranya dia itu engkoh
dari Lu Hong-chiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan adiknya, entah apakah engkohnya ini
sudah mengetahui jejakku, lalu suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya?
Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta? tanya Tok-ko Ing pada tetamunya.
Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama barang kemana perginya. Itulah
sebabnya maka Tok-ko Ing menanyakannya.
Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari adikku itu, jawab Lu Hong-jun.
Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak-bwe. Nyata Hong-jun itu belum bertemu dengan
adiknya.
Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong-chiu, kata Tok-ko Ing.
Bulan yang lalu ia hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Kabarnya pada
waktu itu tentara negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya aku menjadi
kuatir,
menerangkan Hong-jun.
Ha, kebenaran sekali Su-toako ini seorang hohan dari Kim-ke-nia juga, seru Tok-ko U.
Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya kepadaku, pikir Yak-bwe. Buruburu
ia berkata: Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia. Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana
aku berharga untuk melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu sering
bersamasama
dengan Toan Khik-sia.
Ya, benar. Ia berjumpa dengan Toan-siauhiap di kota Tong-Kwan. Karena ia membantu
sedikit kerepotan Toan siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke Kim-ke-nia,
sahut Hong-jun.
Turut keterangan Su toako tadi, Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, Toan Khik-sia dan beberapa
pemimpin Kim-ke-nia telah berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong-chiu
tentu
juga sudah lolos, kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara itu telah disambut dengan buah tertawa
dari sang engkoh.
Salahkah omonganku tadi? sudah tentu Tok-ko Ing heran dan bertanya.
Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan, sebaliknya ia malah hendak memberi
kabar pada kita, kata Tok-ko U.
Ai, kabar apa? tanya Tok-ko Ing.
Dia telah bertemu dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat, sahut Tok-ko U.
Kejut Yak-bwe bukan kepalang. Kalau ia sudah bertemu dengan mereka, berarti tentu sudah
mengetahui rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya untuk mencari aku?
pikirnya.
Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan
urat syarafnya dan berkata: Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ingin sekali
mengetahui tempat tinggal Thiat cecu, agar lekas-lekas dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat
cecu memberitahukan pada Lu tayhiap?
Benar aku bersahabat baik dengan Thiat-mo-lek, tapi aku ini bukan orang loklim. Kemana
pergi mereka, tak leluasa bagiku menanyakannya, katanya. Dalam pada itu itu timbul
kecurigaannya terhadap Yak-bwe: Aneh, dia seorang thau-bak dari Kim-ke-nia, mengapa tak
mengerti sama sekali akan pantangan kaum loklim?
Tapi segera ia melanjutkan ceritanya:
Setelah berjumpa dengan mereka, barulah kuketahui, bahwa adikku tak kurang suatu apa. Itu
sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lain-lain urusan, aku tak punya banyak waktu untuk
menanyakan. Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su toako, bahwa sekalipun
markas Kim-ke-nia pecah, namun kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar.
Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik-sia, tiba-tiba Tok-ko U mengajukan pertanyaan.
Memang walaupun belum lama muncul di dunia kangouw, tapi nama Toan Khik-sia itu sudah
cukup tenar, ya, boleh dikata menjadi buah bibir tiap orang lok-lim. Dalam hubungan itulah
maka
Tok-ko U mengajukan pertanyaannya.
Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal isterinya, sahut Hong-jun.

Siapakah calon isterinya itu? tanya Tok-ko Ing.
Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa bakal isterinyaitu adalah puteri dari
Sik-ko, ciat-to-su dari Lo-cu, jawab Hong-jun dengan tertawa.
Ya, memang di luar dugaan. Toan Khik-sia adalah seorang lok-lim, mengapa bisa tersangkut
dalam perkawinan semacam itu? kata Tok-ko Ing dengan heran.
Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik-ko. Dahulu ayah bunda nona itu
bersahabat baik dengan orang tua Toan Khik-sia, maka mereka lalu menetapkan perjodohan
anakanak
mereka. Nona itu sekarang sudah tinggalkan rumah Sik Ko dan berkelana di dunia kangouw.
Turut cerita Thiat-mo-lek, tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian-kejadian
yang
mengherankan. Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu malam rasanya takkan habis. Karena
waktu itu kita tak mempunyai banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas,
menerangkan Hong-jun.
Sejak awal, Yak-bwe menjublek saja dengan perasaan kebat-kebit. Demi Hong-jun sudah
mengakhiri keterangannya, barulah ia longgar napasnya. Pikirnya: Ya, ketika aku ribut-ribut
dengan Khik-sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu). Rupanya Thiat-toako dan Se-kiat
sungkan menceritakan padanya.
Khik-sia mencari aku? Hm, apakah hal itu bukan alasan kosong agar ia dapat meninggalkan
rombongan supaya dapat menemani Lu Hong-chiu? Hm, bukan sekali dua Khik-sia selalu
menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali kekhilafannya, akupun tak sudi
menghiraukannya
lagi, demikian pikirnya pula. Namun dalam hati kecilnya sebenarnya ia mengharap agar
benarbenar
Toan Khik-sia itu sedang mencarinya.
Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan dua pasang kakak-beradik yang
terkenal di dunia kangouw. Satu sama lain saling mengagumi. Sebenarnya pertemuan dua pasang
pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan sekali, tetapi sayang Lu Hong-chiu tak ikut
serta.
Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan mereka. Rupanya Tok-ko U cocok sekali dengan
Hong-jun. Mereka berbicara dengan asyik sekali.
Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian bertiga dengarkan. Soal itu timbul
dari soal perkawinan Toan Khik-sia, kata Hong-jun.
Kembali Yak-bwe terkesiap kaget dan buru-buru menanyakan hal itu.
Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat-mo-lek mengenai pernikahan Toan Khiksia
itu? Pada waktu itu tiba-tiba Thiat-mo-lek berhenti bercerita. Ini bukan melainkan karena
panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia
minta tolong akan bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua jam. Kuatir
waktunya tak cukup, maka Thiat-mo-lek terpaksa menunda cerita tentang Toan Khik-sia dan
mengganti dengan lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi.
Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang urusan pernikahan orang. Maka
cepat-cepat ia menanya: Urusan pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada
Lutayhiap
itu?
Bo Se-kiat, sahut Hong-jun. Hal itu juga tak kurang menariknya. Ya, entah bagaimana
secara kebetulan terdapat persamaan dengan pernikahan Toan Khik-sia. Gadis yang menjadi
idaman Se-kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun kerajaan. Walaupun kedudukan ciangkun
itu
tak setinggi Sik ciat-to-su, tetapi juga tak seberapa terpautnya.
Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah siapakah gadis itu? Tok-ko Ing mendesak.
Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin-siu-su dari Pok-ong-seng. Dalam dunia Kangouw
nama nona itu sudah tak asing lagi, yaitu Sip In-nio.
Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun, tapi ia lebih banyak berkelana di luaran, jadi
juga termasuk golongan puteri Kangouw, sepadan dengan diri Bo Se-kiat, kata Tok-ko U.
Tetapi bagaimanapun kenyataannya ia itu puteri seorang ciangkun dan Se-kiat kuatir kalau
ciangkun itu tak menyetujui pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik dengan
Sipciangkun,
malah pernah berbuat suatu kebaikan kepada ciangkun itu. Thiat-mo-lek tahu akan hal
itu, maka ia lantas mendapat akal minta tolong aku supaya menjadi orang perantaranya. Coba
kalian pikir, bukankah hal itu cukup menarik? tanya Hong-jun.

Hebat, sungguh menarik sekali! entah apa sebabnya Tok-ko Ing serentak berseru girang.
Hai, mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan orang lain? Tok-ko U menjadi
keheranan melihat sikap adiknya yang kurang layak itu. Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa di
dalam taman bunga tadi adiknya itu telah 'minum cuka' alias cemburu kepada Sip In-nio.
Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya dibohongi oleh Yak-bwe yang begitu pandai
merangkai cerita. Ia cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan dengan Yak-bwe.
Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se-kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang
setengah
mati. Harapannya untuk merebut kasih si pemuda cakap Yak-bwe, menjadi besar.
Menarik sih cukup menarik. Tetapi akulah yang runyam. Pertama, aku tak mempunyai
pengalaman menjadi comblang. Kedua kali, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua
dengan adikku berkelana di dunia kangouw. Setitikpun tak ada minat menginjak lantai gedung
kaum pembesar lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip sebenarnya sudah lama
terputus, kata Hong-jun.
Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan: Ah, Lu toako, itu adalah suatu perbuatan mulia.
Sekalipun menghadapi rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur.
Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal sebagai comblang saja, sahut
Hongjun.
Tok-ko U tertawa: Ing-moay, dalam urusan pernikahan ini rupanya kau begitu ngotot seperti
Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat sendiri!
Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya: Hai, Su toako, kau adalah adik misan Sip Innio.
Agar Lu toako mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau ceritakan tentang
kegemaran nona Sip itu.
Lu Hong-jun tertegun, ujarnya: Kiranya Su toako itu adik misan dari Sip In-nio? Kalau begitu
kuserahkan saja tugasku kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa?
Jangan begitu ah! Su-toako justeru diam-diam tinggalkan rumah keluarga Sip, kalau pulang
tentu kurang enak. Dan lagi ia pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip-ciangkun, cepat-cepat
Tok-ko Ing menyanggapi. Ia lalu menuturkan cerita yang dirangkai oleh Yak-bwe di dalam
taman
bunga tadi.
Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu. Sebelum pernikahan Sip In-nio berlangsung
dengan Se-kiat, ia tak menghendaki 'pemuda' Yak-bwe itu bertemu muka dengan In-nio.
Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa curiga dalam hati Hong-jun. Tetapi ia
tak mau mengatakan. Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Karena
kuatir rahasianya akan ketahuan, buru-buru Yak-bwe memutuskan ocehan Tok-ko Ing, ujarnya:
Sip
paiupeh-ku itu seorang yang lapang dada, perangainya pun penurut. Jika berhadapan padanya,
lebih
baik jangan mengajukan tentang urusan pernikahan itu lebih dulu. Tetapi banyak-banyaklah
menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se-kiat selama ini. Setelah Sip piaupeh
mempunyai
kesan baik, barulah kau bicarakan urusan selanjutnya.
Ai, Thiat-mo-lek juga menasihati aku begitu. Malah ia menambahkan bahwa Sip Hong itu
seorang yang setia akan budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas budi
padanya, dirasa ia tentu suka mendengarkan kata-kataku, kata Hong-jun.
Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu, seru Tok-ko Ing.
Ai, mengapa kau mendesak orang begitu rupa? Untung Lu toako itu bukan orang yang sempit
dada, kalau tidak ia tentu mengira kau seperti hendak mengusirnya, Tok-ko U menegur sang
adik.
Ah, memang sudah lama mengobrol di sini, sudah seharusnya aku pergi, kata Hong-jun.
Mendapat teguran sang koko, Tok-ko Ing merasa tak enak. Buru-buru ia mencegahnya: Lu
toako, mendengar kata-kataku tadi kau lantas mau pergi. Bukankah itu menandakan kau sempit
dada? Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah kepada kami tentang beberapa peristiwa yang
menarik di dunia kangouw.
Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong-jun, malah ia merasa jemu melihat sikap anak muda
yang plintat-plintut suka melirik muka orang itu. Tapi setelah mengetahui kalau Hong-jun
hendak
menjadi orang perantara dalam pernikahan Se-kiat In-nio, sikapnya lantas berubah seratus
delapan
puluh derajat. Dari tak suka menjadi suka.

Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah bagaimana, nyamanlah rasanya
perasaan Hong-jun. Sungkan juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi.
Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah pulang ke Tiang-an, Cin Siang, itu panglima
dari pasukan Gi-lim-kun juga berniat hendak mengadakan Eng-hiong-hwe. Katanya, niatnya itu
timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Rencananya
itu mengandung maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia kangouw agar
jangan sampai terjerumus dalam kalangan lok-lim, kata Hong-jun.
Sekarang ini kekuasaan berada di dalam tangan para panglima daerah. Kerajaan dalam
keadaan gelap. Bagi kaum kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau bekerja
untuk kerajaan, demikian Tok-ko U memberi pandangannya.
Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku, kini kaum persilatan dapat
digolongkan dalam empat kategori (golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita
luhur. Golongan inipun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas. Kesatu, yang tak mau bekerja
untuk
kerajaan dan benci kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu mereka terpaksa
masuk ke dalam loklim menjadi penyamun. Dalam hal itu. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat adalah
contohnya. Kedua, ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia kangouw. Misalnya, kalau
dulu ialah mendiang Toan Kui-cing tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat,
Gong-gong-ji yang termasyhur itu, dapat juga dimasukkan dalam kelas ini ....
Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari jahat menuju ke jalan yang lurus?
Tokko
Ing menyeletuk.
Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik-sia. Perangai orang itu memang aneh sekali. Juga
sepak terjangnya dahulu itu bukan termasuk jahat, melainkan di tengah-tengah antara jahat dan
baik. Kabarnya dalam beberapa tahun terakhir ini, kejahatannya itu sudah banyak berkurang. Dia
sudah dapat digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap, Hong-jun menerangkan.
Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambung lagi: Dalam kalangan tokoh-tokoh aliran
Cengpay
itu masih terdapat lagi golongan yang kedua yaitu yang suka bekerja pada kerajaan. Tujuan
mereka bukan karena hendak merebut kedudukan menjadi pembesar negeri, melainkan dengan
mendapat kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak mengembangkan cita-cita
mereka. Mungkin juga mereka itu hendak membantu pihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan
kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan Gi-lim-kun, tak sedikit jumlahnya
tokoh-tokoh seperti itu. Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu An
Tingwan,
adalah juga dari golongan itu.
Tok-ko U tertawa: Ya, memang kutahu sebelum masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, An
Ting-wan itu seorang tokoh hiap-gi. Itulah sebabnya ketika menolong Su toako dalam kesulitan
tempo hari, aku hanya melukainya ringan-ringan saja.
kiranya sebelum Tok-ko Ing dan Yak-bwe keluar, Tok-ko U telah menceritakan hal pertempuran
Yak-bwe dengan pasukan Gi-lim-kun pada Hong-jun.
Golongan kedua dari kaum bulim itu walaupun takmempunyai cita-cita suatu apa, tapipun
termasuk golongan Ceng-pay. Mereka itu kebanyakan berasal dari perguruan atau keluarga
bulim,
mungkin ada juga yang mengandalakan belajar ilmu silat untuk mengangkat nama. Golongan itu
termasuk apa yang dinamakan 'belajar silat untuk dijual pada kerajaan'. Tapi apakah pihak
kerajaan
mau memakai, mereka pun tak terlalu memusingkan. Tokoh-tokoh yang mewakili golongan ini
antara lain ialah seperti Cin Siang dan Ut-ti Pak, kata Hong-jun melanjutkan analisanya.
Tapi katanya kedua orang itu amat menjunjung cita-cita luhur, tidak seperti kaum pembesar
pada umumnya. Kabarnya banyak kaum loklim yang menghargai sikap kedua orang itu, kata
Tokko
U.
Benar, boleh dikata bahwa kedua jenderal itu benar-benar tokoh yang cemerlang. Jika mereka
bukan keturunan panglima-panglima kerajaan yang termasyhur, mungkin mereka sudah menjadi
kaum yu-hiap, kata Hong-jun. Karena kini mereka menjadi pembesar tinggi, jadi sudah
selayaknya setia menjalankan tuga-tugas negara. Selain kedua orang itu, ayah Sip In-nio, yaitu
Sip
Hong, juga termasuk golongan tokoh-tokoh semacam itu.
Tok-ko U mengangguk: Kiranya jumlah tokoh-tokoh dari golongan seperti itu, tak sedikit

jumlahnya.
Golongan ketiga, ialah tokoh-tokoh bulim jahat yang mengandalkan kepandaian silat untuk
melakukan kejahatan. Pada golongan ini juga dapat dibagi menjadi dua: pertama, bangsa
pencoleng
loklim yang tahunya hanya merampok dan membunuh. Dalam hal ini tak perlu kusebutkan
contohcontohnya.
Kelompok kedua ialah yang berhamba menjadi kaki tangan dari kaum panglima daerah.
Misalnya Goh Beng-yang, itu pemimpin dari pasukan Gwe-tho-lam yang dibentuk Tian Seng-
su.
Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo si iblis tua itu, juga termasuk kelompok tersebut. Bermula ia
menjadi begal tunggal, sekarang kabarnya menjadi tetamu undangan dari Tian Seng-su,
menyeletuk Tok-ko U.
Di samping itu masih ada segolongan lain, yakni kaum Bu-lim-in-su (tokoh-tokoh bulim yang
mengasingkan diri). Karena putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari masyarakat
ramai.
Mo Kia lojin dan Se-gak-sin-liong Hong-hu Ko locianpwe, adalah contohnya, kata Hong-jun.
Diam-diam Tok-ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh tetamunya itu, ujarnya:
Pengetahuan Lu toako ternyata amat luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong-hwe (rapat para
orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga pentingkah?
Hong-jun mengucap kata merendah hati lalu menyahut: Pada hematku, menilik kedudukan dan
kewibawaan Cin Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan Bu-lim-in-ih,
ketiga
golongan kaum bulim yang lain itu, tentu akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan
lebih
mendapat sambutan hebat dari Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan di gunung Kim-ke-nia itu.
Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya? tanya Tok-ko U.
Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong-ciu tahun ini di istana Li-san-hing-kiong, kata
Hong-jun.
Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku seorang gadis jadi tak leluasa datang
kesana. Apakah Lu toako bermaksud kesana juga? tiba-tiba Tok-Ko ing menyeletuk.
Hong-jun tertawa: Aku hendak ke Poh-ong dulu menemui Sip Hong untuk menyelesaikan
urusan Bo Se-kiat. Setelah itu pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat-lihat keramaian
itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang, tetapi jika kalian engkoh adik
mempunyai
minat, besok kita boleh sama-sama pergi.
Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu kepandaian silat. Tentang yang boleh
menghadiri itu siapa, baik wanitakah atau priakah, semua diperbolehkan.
Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun. Walaupun pada waktu itu aku memakai
kerudung muka, tapi rasanya tentu diketahui juga, kata Tok-ko U.
Jawab Hong-jun: Cin Siang mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat kangouw. Sudah tentu
ia mengetahui juga tentang pantangan-pantangan orang kangouw. Kabarnya untuk Eng-hiong-
hwe
itu ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan diselidiki tentang
perbuatanperbuatannya
yang sudah-sudah, sekalipun andaikata pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya
hanyalah mereka itu jangan sekali-kali membuat onar di kota Tiang-an. Dalam pertandingan
silat,
tak ada paksaan bahwa yang menang nanti akan diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk
pemenang pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah sebatang golok pusaka
dan
seekor kuda pilihan. Aku sih tak menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah
pengalaman saja.
Ya, nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi, sahut Tok-ko U.
Mendengar itu tampaknya Hong-jun agak kecewa. Ia mendongak ke langit dan tertawa: Ai,
tanpa terasa sudah terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi.
Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tok-ko U pun tak mau mencegahnya lagi.
Koko, apakah kau benar-benar berhasrat hadir dalam Eng-hiong-hwe di Tiang-an itu? tanya
Tok-ko Ing kepada kokonya setelah Hong-jun pergi.
Dan kau bagaimana? balas bertanya Tok-ko U.
Aku kepingin sekali menambah penglihatan, ai, sayang ....
Sayang apa? tukas Tok-ko U.
Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak ingin pergi juga. Menghadiri
semacam pertemuan begitu, baru menggembirakan kalau banyak kawan, kata si dara.

Yak-bwe tertawa: Bukankah tadi Lu Hong-jun mengajak kalian?
Aku tak begitu kenal dengan dia, sahut Tok-ko Ing.
Tok-ko U mengolok tertawa: Oh, jadi kalau Su toako tak pergi, kaupun tak mau pergi? Kalau
begitu, karena kau tak pergi akupun juga tak pergi.
Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi, mereka lalu sama masuk tidur. Ketika
berada di kamarnya, hati Yak-bwe menjadi gelisah. Bukan disebabkan karena tak dapat
menghadiri
pertemuan di Tiang-an itu, melainkan karena memikirkan Toan Khik-sia.
Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan Khik-sia itu selalu terjadi salah
paham, diam-diam Yak-bwe menghela napas, keluhnya: Kalau aku memang tak berjodoh
padanya
mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia. Dan begitu lahir lantas dijodohkan? Tapi jika
berjodoh, mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar? Ataukah hanya karena ia tak berani
melanggar pesan mendiang orang tuanya saja? Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku,
mengapa
ia marah-marah ketika mendengar aku dipasangkan pada putera Tian Seng-su? Namun bila ia
benar-benar menaruh hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia sudah
mengetahui
bahwa aku sudah tinggalkan keluarga Sik! .... Keterangan Lu Hong-jun tadi bahwa kini ia sedang
mencari aku, apakah boleh dipercaya? Bagaimanakah hubungannya dengan Lu Hong-chiu?
Sudah
menginjak perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan semata-mata.... Hm, Yak-bwe, Yak-
bwe!
Jangan kau pikirkan dia lagilah. Tidakkah ia sudah cukup banyak menghina padamu? Persetan
dengan pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu macam, masakan kau sudi
tunduk padanya?
Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak-bwe. Tapi makin ia berusaha untuk
menghapus bayangan Toan Khik-sia dalam hatinya, makin bayangan anak muda itu tergores
jelas.
Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam, namun ia tak merasa ngantuk sama sekali.
Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu, kebetulan menghadap ke arah taman. Dari jendela
itu melongok keluar, dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.
Taman bunga seolah-olah bermandikan cahaya rembulan. Permukaan empang bening laksana
kaca,
pohon-pohon, batu-batu dan bunga-bunga bersemarak bagaikan terbungkus dalam kabut perak.
Sungguh suatu pemandangan yang permai.
Di ruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak penerangannya. Itulah kamar yang
ditempati Tok-ko Ing. Kiranya ia masih belum tidur, kata Yak-bwe seorang diri.
Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak-bwe akan diri dara itu. Ya, teringat akan sikap dara
itu kepadanya. Diam-diam ia merasa geli sendiri: Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona Tok-
ko
itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi. Sayang aku ini sekaum dengannya .... Mereka
berdua kakak-adik amat baik sekali kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa tak dapat lama-
lama
tinggal di sini. Hm, kini lukaku sudah sembuh. Seharusnya kutinggalkan tempat ini.
Sebenarnya Yak-bwe merencanakan untuk pergi dengan diam-diam. Ia akan tinggalkan
sepucuk surat menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Tapi demi teringat akan budi
kebaikan
Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat begitu. Setelah beberapa hari bergaul, timbullah
rasa
sukanya kepada dara itu.
Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna. Tiba-tiba ia mendapat akal. Hanya saja
akal itu sedikit bersifat nakal. Lebih baik sekarang aku menjenguk ke kamarnya. Melihat
kedatanganku pada tengah malam begini, ia tentu terkejut. Pada saat ia murka, aku segera
menerangkan diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau girangkah ia? demikian
akal yang direkanya itu.
Membayangkan akan reaksi si dara nanti, ia merasa gembira sekali.
Ia melangkah keluar menuju ke kamar cat merah itu. Tapi waktu hampir dekat, tiba-tiba dari
kain jendela kamar itu tampak dua buah bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang
pria adalah Tok-ko U.
Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko U berada di dalam, aku tak leluasa
masuk, pikirnya.
Waktu Yak-bwe hendak angkat kaki, tiba-tiba kedengaran Tok-ko U berkata: Ing-moay, hal ini
menyangkut nasibmu seumur hidup. Harap kau pikir semasak-masaknya.

Geli Yak-bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa yang dipercakapkan kedua saudara
itu, ia batalkan maksudnya pergi.
Tok-ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian kedengaran Tok-ko U berkata pula: Kiranya
sudah lebih dari layak apabila kau berjodoh dengan ...... Hong-jun. Seperti kau ketahui, ilmu silat
Lu Hong-jun itu amat tinggi dan orangnya pun baik.
Yak-bwe terkesiap mendengar ucapan itu. Kiranya bukan memperbincangkan diriku.
Kokonya hendak menjodohkan dia pada Lu Hong-jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya
sayang sekalipun Lu Hong-jun itu orangnya baik, tapi adiknya itu seorang gadik yang katak.
Kalau
Tok-ko Ing jadi menikah dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan iparnya itu,
pikirnya.
Apa? Jadi kedatangan Lu Hong-jun kemari tadi, akan meminang sendiri? tiba-tiba Tok-ko
Ing berseru.
Bukan meminang melainkan berkenalan, Tok-ko U tertawa.
Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru: Kau mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan
datang-datang lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu? Jika tahu, sudah tentu aku tak
sudi keluar!
Ai, memang sebelumnya ia sudah mengatakan, tetapi aku tak memberitahukan padamu.
Ketika aku bepergian baru-baru ini, aku telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe
ini
seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol panjang lebar dan menanyakan juga
tentang dirimu. Ia mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar. Keluarga Lu pun
sepasang saudara pendekar. Jika dapat terangkap dalam perjodohan, tentulah bakal menjadi buah
pujian dunia, bu-lim.
Lu Hong-jun kan mempunyai seorang adik, pinang sajalah! Tok-ko Ing menyeletuk.
Wajah Tok-ko U berubah merah. Memang pada waktu itu Hong-git Wi Gwat juga mengatakan
hal itu, yaitu agar sepasang saudara itu saling mengikat jodoh.
Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan pernikahanmu, perlu apa
menyangkutnyangkut
diriku? Tok-ko U cepat membantah.
Kata Tok-ko U lebih jauh: Locianpwe itu mengatakan, apabila kita setuju, ia segera akan
mencari Lu Hong-jun, suruh ia datang ke rumah kita untuk berkenalan dengan kau. Biasanya
locianpwe
itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani pastikan sungguh tidaknya omongannya itu.
Jawabanku pada itu waktu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri. Maksud kunjungan
Hong-jun, kita sambut dengan senang hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tak boleh
dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan.
Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya: Benarlah, kau telah memberi jawaban yang tepat.
Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata-kata lo-cianpwe itu, maka waktu pulang
aku pun tak mau buru-buru mengatakan padamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su toako,
jadi
tak keburu memberitahukan. Sungguh tak terduga bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang
kemari. Sebelum kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang dirimu. Sebenarnya ia
itu
seorang yang berwatak terus terang, tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat-likat.
Sudah tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-gi Wi Gwat telah menyuruhnya datang
kemari.
Ing-moay, apakah kau tak mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik padamu?
Ya, justeru sinar matanya itulah yang kubenci! sahut Tok-ko Ing.
Tok-ko U tertawa: Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau benci. Dan diapun suka bergaul
dengan kau!
Su toako sedang dalam sakit. Ia adalah tetamu yang kau undang kemari. Bahwa jerih payahku
mewakili kau untuk merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau malah
mengejek
padaku, demikian Tok-ko Ing mengomel.
Kaulah yang harus berterima kasih padaku, moaymoay, jangan kira aku tak tahu isi hatimu, ya?
Memang aneh ini. Aku yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak dapat bergaul
dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu padamu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi
kehendak nasib. Hanya saja, hanya saja ....
Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi begitu mendengar ucapan sang engkoh

itu, serentak ia dongakkan kepala Hanya apa?! ia tanya dengan cepat.
Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut: Meskipun Su toako itu tiada tercela, tetapi asalusulnya
tak ketahuan. Bagaimana keturunan keluarga Lu, rasanya kita sudah cukup mengetahui.
Apanya yang tak jelas. Ia sudah menuturkan asal-usul dirinya kepadaku, cepat-cepat Tok-ko
Ing menukas.
Tapi aku tetap bercuriga, sahut Tok-ko U.
Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh kepercayaan penuh padanya! bantah
Tok-ko Ing.
Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata: Moaymoay, urusan pernikahan itu suatu hal yang
serius. Coba kau bilang terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi keterangan
pada
orang.
Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan membilang .... dengan membilang ....
Membilang bagaimana? tukas Tok-ko U.
Selebar wajah Tok-ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba berhamburanlah kata-kata dari
mulutnya: Bilang sajalah padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang. Pemuda she
Lu
itu terlambat datangnya. Dan habis perkara!
Tok-ko U terbeliak, tanyanya dengan suara berbisik: Apakah kau sudah mengikat janji dengan
Su-toako?
Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan kau tolol, itu hanya karena
keserentakan dari pikiranku saja. Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda
she
Lu itu, ujar Tok-ko Ing.
Moaymoay, kau lebih suka menikah dengan Su-toako. Sayang tiada comblang yang
memperantarakan. Turut katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang masak. Kau
tentu
bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun, kata Tok-
ko
U.
Tok-ko Ing berkobar semangatnya: Ilmu sastera dan ilmu silat dari Su-toako amat menonjol,
belum tentu kalah daripada Lu Hong-jun. Sekalipun taruh kata, ia tak nempil dengan Lu Hong-
jun,
tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok dengan perangainya. Biarpun Lu Hong-jun sepuluh
kali
lebih lihay dari dia, aku .... aku.....
Kau tetap akan memilih Su-toako bukan? Tok-ko U menukas dengan tertawa.
Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap begitu berarti ia diam-diam
menerimanya.
Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su-toako itu lihay? Ah, mungkin ketika kalian
berdua keluar untuk menyambut kedatangan Lu Hong-jun, kalian sama-sama menyelipkan
pedang.
Apakah kalian sebelumnya sudah menguji kepandaian di dalam taman? tanya Tok-ko U.
Benar, kau tentunya hanya mengetahui bahwa ilmu pedangnya lihay, tapi tentu belum mengerti
siapa suhunya. Dengarlah, ilmu pedangnya lihay, ajaran dari Biau Hui sin-ni! sahut Tok-ko Ing.
Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang permainan pedang Yak-bwe. Setiap gerak
dan setiap jurus dari ilmu pedang Su-toakonya, ia lukiskan dengan gairah sekali.
O, o, hm, hm, selama mendengarkan cerita sang adik, mulut Tok-ko U selalu menghamburkan
nada heran dan kagum.
Mengapa ilmu pedang Biau Hui sin-ni dapat diturunkan kepada seorang lelaki, itu sungguh
mengherankan sekali! akhirnya Tok-ko U menyatakan keheranannya.
Piaucinya yang bernama Sip In-nio yang mengajarkannya, Tok-ko Ing memberi keterangan. Ia
lantas menceritakan keterangan yang dirangkai oleh Yak-bwe.
Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada wajahnya.
Ai, kau ini bagaimana, koko? Apakah kau curiga Su toako mencintai piauci-nya? tanya Tokko
Ing.
Tok-ko U tertawa: Omitohud, berdosa, berdosa! Tidakkah kau mendengar ucapan Lu Hongjun?
Sip In-nio sudah tertambat hatinya dengan Bo Se-kiat. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan
mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, maka Thiat-mo-lek sudah minta tolong Lu Hong-
jun
menjadi comblangnya. Sip In-nio seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia

bermoral tipis?
Ya, habis mengapa wajahmu lain? Terus terang aku sendiripun bermula juga menaruh
kecurigaan. Tapi setelah mendengar keterangan Lu Hong-jun, hilanglah segala prasangkaku,
kata
Tok-ko Ing.
Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata tenang-tenang: Moay-moay, percayakah
kau akan omongannya?
Tok-ko Ing membeliakkan matanya lebar-lebar dan menyentak: Apa?
Kulihat di dalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan, kata Tok-ko U.
Apanya yang mencurigakan? cepat-cepat Tok-ko Ing mendesak.
Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui sin-ni itu hanya diajarkan pda kaum wanita dan tidak boleh
kepada kaum pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya. Sekalipun Sip In-nio
mempunyai ikatan keluarga dengan Su-toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar
pantangan suhunya secara diam-diam mengajarkannya pada Su-toako, kata Tok-ko U.
Mendengar itu, timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan ragu-ragu ia berkata: Mungkin, ya
mungkin karena Sip In-nio itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya. Terdorong rasa
kegembiraannya bermain-main dengan Su-toako, sesaat ia sampai lupa akan pantangan itu.
Tok-ko U gelengkan kepala: Meskipun aku belum pernah bertemu pada Sip In-nio, tapi
kabarnya ia itu seorang nona yang bijaksana, kalau tidak masakan Bo Se-kiat penuju padanya.
Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang penting. Meskipun usianya masih muda, pun tak
nanti ia naif akal itu.
Ha, aku sampai lupa. Su-toako mengatakan, pada setiap hari Sip In-nio berlatih pedang, ia
tentu melihat di samping, kata Tok-ko Ing.
Ilmu pedang ajaran Biau Hui Sin-ni itu bukan olah-olah sukar dan anehnya. Tanpa ada guru
yang memberi petunjuk, bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu mencuri
belajar. Apakah ia mengatakan padamu kalau ilmu pedangnya itu bolehnya mencuri? tanya
Tokko
U.
Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang. Ia cukup mengetahui bagaimana sukarnya
orang belajar ilmu pedang itu. Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran kalbunya, ia
main telan saja akan obrolan Su Yak-bwe tadi. Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu,
barulah ia timbul rasa kecurigaannya.
Tiba-tiba dengan suara menggumam Tok-ko U berkata: Jangan-jangan, hm, jangan-jangan ....
Jangan-jangan apa? cepat Tok-ko Ing menyeletuk.
Jangan-jangan ia itu seorang gadis, sahut Tok-ko U.
Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak sang engkoh: Ngaco saja kau ini!
Mana bisa ia seorang gadis?!
Ah, aku kan hanya meraba-raba dalam dugaan saja. Jangan kesusu marah dulu, sahut Tok-ko
U.
Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko Ing merasa menyesal juga tadi sudah
membentak sang enkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa: Jika ia memang benar
seorang gadis, itu malah kebenaran sekali. Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau
kujodohkan padanya?
Sebenarnya olok-olok Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk memperbaiki kesalahannya tadi.
Siapa tahu, waktu mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat kemudian baru ia
dapat
berkata: Kalau ia benar seorang gadis, itulah seorang gadis istimewa yang jarang terdapat di
dalam
dunia. Mana aku layak menjadi pasangannya?
Ai, kalau begitu, kau anggap dirimu itu lebih rendah dari aku? tanya si dara.
Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko U dapat berkata: Ah, sudah tentu ia
itu bukan seorang gadis. Ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan dugaan
secara
serampangan.
Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga Su Yak-bwe di tempat
persembunyian, seolah-olah mendapat kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena Su-toako
itu
seorang lelaki. Yak-bwe berpikir: Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan. Kalau aku sampai

menceritakan kepadanya bahwa aku ini seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan
kerunyaman. Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku dapat menolaknya?
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari Tok-ko Ing, lalu katanya:
Ah, memang sungguh sayang bahwa Su-toako bukan seorang nona. Kalau pembicaraan kita
saat ini didengar Su-toako, wah, tentu runyam sekali.
Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang gadis yang menyaru jadi lelaki?
tanya Tok-ko U.
Sahut Tok-ko Ing, Sudah tentu aku mengetahui. Ia .... ia ...
Tok-ko U terbeliak kaget, serunya: Moaymoay, moaymoay, kau, kau, kau dengan dia ....
Koko, jangan menduga sembarangan. Ia hanya menyatakan padaku, menyatakan ....
Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan? tanya Tok-ko U.
Kedua belah pipi si dara bersemu merah. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala kemalu-maluan
sambil memainkan ikat pinggangnya.
Yak-bwe juga terkesiap, pikirnya: Bilakah aku menyatakan isi hatiku kepadanya? -- Tiba-tiba
ia teringat ketika si dara menjenguk sakitnya, ia telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar
kerja. Ya, ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing: Siapakah hai, gerangan yang
berbahagia
mempersuntingkan nona?
Ah, apakah ia kira aku menaruh hati padanya? Demikian pikir Yak-bwe lebih lanjut.
Di dalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa: Su-toako bukan seorang wanita, ah, itulah
memang rezekimu. Baiklah, biarlah kujadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi
sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar dirimu mendapat tempat. Nah,
tidurlah baik-baik, aku hendak pergi.
Mengapa aku gelisah? Asal kau tak menggerecoki aku dengan urusan Lu Hong-jun, aku pun
tak punya keresahan apa-apa lagi, sahut Tok-ko Ing.
Karena Tok-ko U hendak tinggalkan ruangan itu, Yak-bwe pun segera mendahului pergi. Tapi
baru ia melangkah sampai di rumpun pohon bunga, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam
loncat melampaui tembok dan melayang tepat di atas batu gunung-gunungan yang berada di
sebelahnya. Ketika mengawasi, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Saking kagetnya, tubuhnya
sampai
gemetar dan bunga-bunga yang tersentuhnya menjadi berhamburan jatuh.
Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia yang dibencinya tapipun yang paling
dirindukannya. Toan Khik-sia!
Kiranya Khik-sia telah menempuh jarak 700 li menyusur jalan raya Tiang-an, tapi tetap tak
dapat menemukan Yak-bwe. Ia terpaksa kembali dan hendak membalik haluan ke arah selatan.
Kebetulan ia berjumpa dengan Lu Hong-jun.
Sebenarnya Lu Hong-jun sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yak-bwe. Dalam pembicaraan
selanjutnya, ia pun menceritakan juga diri Yak-bwe itu kepada Khik-sia. Demi mendengar
bahwa
pemuda itu orang she Su dan mengaku masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik-sia bukan
kepalang. Ya, siapa lagi pemuda gadungan itu kalau bukan Yak-bwe! Cepat-cepat Khik-sia
minta
alamat tempat tinggal Tok-ko U dan malam itu juga ia segera berangkat.
Ketika tiba di pintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah lewat tengah malam. Menurut
peraturan, jika hendak mertamu itu seharusnya pada siang hari. Tapi Khik-sia sudah tak tahan
lagi.
Apalagi Lu Hong-jun juga menyinggung-nyinggung tentang hubungan rapat antara pemuda she
Su
itu dengan adik perempuan Tok-ko U. Maka tanpa dapat mengendalikan diri lagi, Khik-sia
segera
mengambil keputusan. Lebih dulu masuk menyelundup ke dalam gedung untuk mencari Yak-
bwe
sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah.
Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk ke atas batu gunung-gunungan, ia
kesamplokan dengan orang yang dicari-carinya. Karena tertangkap muka, Yak-bwe menjadi
gelagapan, sebaliknya Khik-sia pun terkejut dan girang sekali!
Adik Yak-bwe ....! tanpa ragu-ragu lagi Khik-sia meluncurkan tegur salam yang manis.
Tapi wajah Yak-bwe sedingin es. Tanpa memandangnya lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya
dan pergi. Khik-sia memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak-bwe, bisiknya dengan
lirih: Adik Bwe, kau dengarkanlah perkataanku ....

Yak-bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin: Tahulah sopan sedikit! Siapa
adikmu itu?
Rasa cinta Khik-sia itu hangat membara, tapi kulit mukanya tipis. Dibentak sedingin begitu,
merahlah telinganya, ribuan kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau lagi.
Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak mengebut pohon liu, Yak-bwe lanjutkan
langkahnya. Khik-sia makin bingung. Dengan besarkan nyali ia tekan ujung tumitnya. Dengan
gerak ginkang istimewa teng-hun-jong, ia melambung melampaui kepala Yak-bwe dan melayang
jatuh di hadapan si nona untuk menghadangnya.
Minggir! bentak Yak-bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia terus maju menerjang.
Tapi Khik-sia lantas mengadangkan kedua tangannya. Bagaimanapun Yak-bwe hendak coba
menerobos, tetap kena terhadang.
Toan Khik-sia, kau terlalu menghina orang! akhirnya meluncurlah kata-kata kemarahan dari
mulut Yak-bwe.
Yak-bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu. Harap kau mengingat akan hubungan
antara keluarga kita dahulu, demikian buru-buru Khik-sia berkata.
Bagaimana? Yak-bwe menegas.
Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas .... ah, sudahlah jika kita sampai tak rukun, arwah ayah
bunda kita di alam baka tentu tak dapat tenteram, Khik-sia melanjutkan kata-katanya.
Sebenarnya betapa ingin Yak-bwe rujuk dengan pemuda yang dikenangkan itu. Tapi ia sudah
biasa dibesarkan sebagai seorang siocia yang beradat tinggi. Teringat beberapa kali Khik-sia
pernah
menghinanya, api amarah Yak-bwe masih belum reda. Jika sedatangnya tadi Khik-sia lantas
meminta maaf, mungkin Yak-bwe dapat diredakan kemarahannya. Adalah karena Khik-sia itu
memang tak pandai merangkai kata-kata, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya
tetap
tak seperti yang diharapkan. Ia kira dengan mengingatkan Yak-bwe akan hubungan keluarga
mereka dahulu, dapatlah ia mendinginkan hati si nona. Siapa tahu sebaliknya Yak-bwe malah
lain
penerimaannya. Pikirnya: Ha, kiranya kau hanya karena takut dicap tak berbakti kepada orang
tua,
maka terpaksa mencari aku. Jadi sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku.
Thiat-toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia pesan wanti-wanti kepadaku harus
mengajakmu pulang. Adik Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah agar
dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita lantas berangkat pulang, demikian kata
Khik-sia pula.
Jilid 7
Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan keras! seru Khik-sia.
Sret,sret, sret, tiga kali ia bolang-balingkan pedang untuk mendesak mundur nona itu. Ia
menyerang dengan gencar.
Lepaskan golokmu! tiba-tiba ia membentak. Ia yakin lawan tentu sudah tak dapat bertahan
lagi. Siapa tahu nona itu malah maju selangkah. Sebenarnya Khik-sia memang tak bermaksud
mengambil jiwa si nona. Permainan pedang Khik-sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa
hingga dapat dilancarkan dan dihentikan menurut sekehendak hatinya. Tadi ia miringkan ujung
pedangnya untuk menutuk siku si nona supaya lepaskan goloknya. Tapi tak nyana, nona itu
hanya
tertawa mengejek seraya berseru: Jangan kesusu, bung!.... Sepasang goloknya dilingkarkan
dan
dengan tenaga lwekang lunak, ia menarik pedang Khik-sia ke samping.
Kiranya walaupun tenaga nona itu kalah dengan Khik-sia, tapi ilmu kepandaiannya tak di bawah
Khik-sia. Di samping itu matanya amat celi sekali dan pikirannya tajam pula. Begitu melihat
gerakan Khik-sia, ia segera mengetahui kalau anak muda itu takkan mengambil jiwanya. Itulah
sebabnya maka ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik-sia ke samping.
Dengan
begitu tenaga Khik-sia berkurang separuh. Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu
golok dengan lwekang lunak untuk menundukkan kekerasan lawan. Sudah tentu dalam hal itu,
cara
si nona mengambil timing (waktu) yang tepat, adalah faktor yang menentukan.

Diam-diam Khik-sia merasa kagum juga.
Kalau di sini ia masih belum merebut kemenangan adalah di partai sana Hong-kay Wi Wat
sudah mulai menang angin. Dengan ngacirnya Ceng-ceng-ji karena ketakutan digertak Khik-sia,
lawan Wi Wat hanya tinggal Pok Yang-kau dan Liu Bun-siong. Sekalipun Wi Wat tadi kena
tertutuk, tapi lwekang Pok Yang-kau pun menderita besar, maka meskipun ditambah dengan
seorang Liu Bun-siong, tetap Wi Wat dapat mengatasinya.
Di saat Bun-siong tusukkan pedangnya kemuka Wi Wat, tiba-tiba yang tersebut belakangan ini
menggembor keras sehingga saking kagetnya Bun-siong sampai tergetar dan tusukannyapun
menemui tempat kosong. Dan secepat kilat Wi Wat segera merebut pedang lawan seraya
menendang musuhnya yang satu (Pok Yang-kau) sampai terjungkir balik.
Wi Wat seorang pembenci kejahatan. Benar Pok Yang-kau da Liu Bun-siong itu
benggolanbenggolan
penjahat, tapi keduanya mempunyai ciri-ciri kejahatan yang berlainan. Kalau Pok Yangkau
hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya, adalah Liu Bun-siong itu termasyhur
sebagai tukang petik bunga alias pengrusak kaum wanita. Diantara kedua orang itu, Wi Wat
lebih
benci kepada Bun-siong. Pedang yang dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she
Liu
itu. Sebenarnya ilmu ginkang Liu Bun-siong cukup lihay dan lagi saat itu ia sudah menyingkir
sampai belasan tindak. Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat juga. Ujung
pedang dari punggung menembus sampai ke dada.
Poh Yang-kau cerdik sekali. Pada saat Wi Wat tengah mengincar jiwa Bun-siong, ia gunakan
kesempatan itu untuk loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para pengemis.
Ciok Ceng-yang pun juga sudah dapat merobohkan Han Ciat. Sedang saat itu tongkat
kekuasaan jatuh di atas altar batu. Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan
mengambilnya. Melihat itu, Uh-bun Jui hendak loncat membantu Ma tianglo. Tapi Ceng-yang
datang. Ma tianglo dan Uh-bun Jui tak berani menyerangnya. Mereka putar tubuh terus ngacir.
Ceng-yang pun segera mengambil tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang tersebut.
Bintang penolong yang diharapkan Uh-bun Jui, si nona pemimpin barisan wanita baju merah,
ternyata saat itu tampak keripuhan menghadapi serangan Khik-sia.
Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit: Urusan besar telah dirusakkan bangsat kecil itu.
Nona Su, aku telah menelantarkan maksudmu yang baik.
Sahut nona itu dengan hati besar: Selama gunung masih menghijau, masa takut tak mendapat
kayu bakar. Kalah menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi apalah.
Ia lancarkan sebuah serangan kosong, kemudian mundur dari gelanggang. Tapi rupanya ia
masih belum puas karena tiba-tiba ia menoleh dan berseru kepada Khik-sia: Hai, siapa kau?
Harap
beritahukan namamu!
Tiba-tiba dari bawah altar batu, ada seorang menyahut: Bangsat kecil itu adalah Toan Khiksia!
Kiranya orang yang membuka rahasia Khik-sia itu, bukan lain adalah Ping-tat, jago yang patah
tulang lengannya karena dipelintir Khik-sia tadi. Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik-sia. Tapi
ia
kenal lama dengan Ceng-ceng-ji. Tentang ilmu kepandaian Ceng-ceng-ji, ia cukup paham. Tapi
ia
perhatikan bahwa gerakan Khik-sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng-ji. Ia tahu bahwa
sahabatnya itu (Ceng-ceng-ji) mempunyai seorang suheng dan seorang sute. Pengemis muda
yang
memelintir tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng-ceng-ji. Sudah tentu bukan suheng dari
Ceng-ceng-ji, melainkan sutenya.
Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia hendak gunakan siasat pinjam pisau
membunuh orang. Ia harap setelah mengetahui nama Toan Khik-sia, nona itu akan mencari
balas.
Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik-sia, tapi ia mempunyai backing (andalan) kuat
serta mempunyai anak buah banyak. Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas. Dan benar
juga di kemudian hari Khik-sia akan mendapat beberapa kesulitan dari nona itu. Tapi karena
belum
sampai waktunya, baiklah kita pertangguhkan dulu.
Demi mendengar nama Khik-sia, nona itu tercengang. Pada lain saat ia tertawa: Oh, kiranya
Toan siauhiap, sungguh tak bernama kosong! Walaupun aku kalah, tapi puaslah!
Dengan putar sepasang goloknya, ia lindungi Uh-bun Jui. Dengan diikuti oleh barisan wanita

merah dan anak buah Uh-bun Jui, mereka menerobos pergi. Ciok Ceng-yang tak mau
menimbulkan
pertumpahan darah besar. Buru-buru ia acungkan tongkat untuk anggota-anggota Kay-pang yang
hendak mengejar mereka.
Khik-sia menghapus arang di mukanya dan menjumpai Hong-kay Wi Wat.
Jago tua dari Kay-pang itu tertawa riang: Sungguh tak kecewa menjadi putera Toan tayhiap.
Ayahmu tentu akan tersenyum gembira di alam baka.
Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo pun menghampiri untuk menghaturkan terima kasih kepada
Khik-sia.
Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira kematian Ciu pangcu kita tentu ada
sangkut pautnya dengan mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka rancang itu? kata Ji
tianglo.
Kata Wi Wat: Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk mengacau Eng-hiong-tay-hwe yang
diselenggarakan Cin Siang. Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada urusan ini,
terpaksa aku harus ke sana.
Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya ke Tiang-an. Kiranya Thio Kam-lok
menganiaya Wi hiangcu itu terjadi pada tengah malam. Tempatnya diatur di paseban dalam dari
hun-tho (anak cabang) Kay-pang di Tiang-an. Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian
rupa. Siangnya ia cari-cari alasan merobek surat untuk Wi hiangcu. Ia percaya rencananya itu
pasti
takkan ketahuan orang. Tapi tak nyana, seorang anak buah Kay-pang telah tak sengaja
mempergokinya. Pengemis itu menjadi pencuri dan dikejar alat negara. Ia tahu dirinya tak dapat
berdiam di Tiang-an lagi. Maka malam-malam ia pergi ke tempat Wi hiangcu. Maksudnya,
hendak
minta perlindungan dari hiangcu itu. Ia hendak serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu
dengan permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya. Secara kebetulan sekali, ia
mengetahui rencana keji dari Thio Kam-lok.
Pengemis pencuri itu sembunyi di dalam tumpukan genteng di bawah jendela. Mengetahui apa
yang terjadi di dalam ruangan, kejutnya bukan kepalang. Ia tak berani keluar dari tempat
persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap tak berani bicara pada lain orang. Baru
setelah
Ciok Ceng-yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-yang pasti dapat melindungi
dirinya, pengemis itu berani membuka rahasia.
Tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan suhengku itu, adalah dua buah perkara.
Tapi besar kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain, kata Ceng-yang.
Betul! Wi hiangcu itu adalah pengikut setia dari Ciu pangcu. Pengkhianat-pengkhianat itu
menganggap jika tak melenyapkan Wi hiangcu, tentulah sukar buat Uh-bun Jui merangkai cerita
sandiwaranya, kata Ji tianglo.
Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke Tiang-an? tanya Lok-san, Lwe-
santong-
hiang-cu.
Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan-jangan suheng masih hidup di dunia,
tiba-tiba Ceng-yang berseru.
Katanya lebih lanjut: Pada hakekatnya Cin Siang belum berjumpa dengan suheng. Menilik
kedudukan dan pribadinya, kupercaya ia tak berdusta. Waktu kubikin penyelidikan di Tiang-an,
anak buah Kay-pang di Tiang-an juga tak pernah bertemu dengan Ciu pangcu.
Ji tianglo menyeletuk: Ya, memang aku sudah menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh-bun
Jui menuturkan tentang peristiwa dicelakainya Ciu pangcu, tapi tak ada saksinya sama sekali.
Paling-paling mengatakan Thio Kam-lok yang menyaksikan. Tetapi kini setelah nyata Thio
Kamlok
lah yang membunuh Wi hiangcu, cerita Uh-bun Jui tadi tak dapat dipercaya lagi. Turut
pendapatku, 90 persen tentulah Uh-bun Jui itu bersekongkol dengan Thio Kam-lok. Dengan
membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui. Tetapi
setiap kebohongan itu tentu bakal ketahuan.
Ciok Ceng-yang melanjutkan kata-katanya lagi: Jika peristiwa terbunuhnya suheng itu hanya
karangan saja, menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang-an, maka sekalipun Uh-bu Jui
begitu
bernafsu merebut kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh suhunya.
Ji tianglo mengangguk, ujarnya: Mudah-mudahan begitulah. Ditinjau dari peristiwa hari ini,
rasanya Uh-bun Jui tentu mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak, masakan ia
berani

berbuat begitu.
Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi? Tampaknya baik sekali hubungannya
dengan Uh-bun Jui. Apakah kalian tahu? tanya Ceng-yang.
Para Tiang-lo dan Hiang-cu saling berpandangan. Tapi tak seorangpun dari mereka yang
mengetahui.
Budak busuk itu jahat benar, biar kuselidiki asal-usulnya. Tapi sekarang ini, baik kita jangan
hiraukan ia dulu, masih ada lain urusan yang lebih penting, kata Wi Wat.
Ji tianglo menyetujui: Ya, benar, sekarang kedudukan pangcu jangan diberikan pada Uh-bun
Jui. Wi susiok, pengangkatan pangcu baru, tak boleh ditunda-tunda lebih lama. Harap kau orang
tua yang memutuskan, sekalian harap membatalkan pengangkatan Uh-bun Jui tadi.
Ceng-yang, kau adalah orang satu-satunya yang diharapkan oleh seluruh anggota Kay-pang.
Kau sajalah yang menjabat pangcu, jangan menolak lagi, kata Wi Wat.
Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan, masakan aku lantas menduduki jabatan
itu? bantah Ceng-yang.
Jawab Wi Wat dengan tandas: Negeri tak boleh satu haripun tak ada kepalanya, begitu pula
dalam partai kita tak boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang harus kita
selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin. Jika keadaan suhengmu belum jelas dan kau
sungkan menjadi pangcu, biarlah untuk sementara kau menjabat sebagai wakil pangcu saja.
Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa yang ia ucapkan tadi benar-benar jitu
sekali. Ciok Ceng-yang tak dapat menolak lagi. Begitulah Wi Wat segera mengadakan
persidangan
anggota lagi dan mengumumkan tentang hal itu. Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang saat
itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu telah disambut dengan persetujuan
aklamasi
atau suara bulat.
Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada Khik-sia: Toan siauhiap, pengemis tua
masih hendak minta bantuanmu untuk sebuah urusan.
Khik-sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu mengatakan.
Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah muncul seorang pengkhianat semacam
Uh-bun Jui itu. Dia bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan rapat dari Cin
Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan itu, sekarangmasih belum jelas. Tapi
bagaimanapun,
rencana mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya. Sekarang aku si pengemis tua
ini masih belum dapat berangkat. Kau mempunyai ilmu gin-kang yang tinggi, apakah suka
mewakili aku berangkat ke Tiang-an lebih dulu untuk memberitahukan Cin Siang?
Khik-sia berpikir sejenak, berkata: Aku sanggup mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi
akupun mempunyai sebuah hal yang akan mohon bantuan lo-cianpwe juga.
Katakanlah, kata Wi Wat.
Tentulah lo-cianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa tentara negeri menggempur gunung
Kim-ke-nia. Toako-ku Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju ke Ho-se.
Di
sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi. Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk
mencari seseorang. Orang itu telah kutemukan, tapi menolak kuajak pulang. Terpaksa sekarang
aku hendak pulang melapor pada Thiat toako.
Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa 'orang' yang dicari Khik-sia itu ternyata seorang nona yang
bakal menjadi isterinya, maka bertanyalah pengemis tua itu: Siapakah orang itu? Apakah
penting
sekali?
Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang ..... seorang sahabatku yang baik, sahut Khiksia
dengan terputus-putus.
Oh, tahulah aku. Kalian sekarang sedang giat mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak
minta orang itu masuk ke dalam perserikatan kalian, seru Wi Wat.
Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah sahabat Khik-sia itu pria atau wanita.
Dengan sembarangan saja, ia menduga-duga semaunya.
Khik-sia berduka, ia tertawa getir: Bagaimana pendirian orang itu, telah kuketahui jelas. Tak
nanti ia mau bergabung pada kita. Tapi tak apalah ....
Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia memberi komentar: Betul,

toakomu Thiat-mo-lek itu luas sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan
mudah
akan mendapat sambutan baik dari orang gagah di empat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi
apa.
Benar, lo-cianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang tentulah Thiat toako amat
mengharap-harap. Oleh karena itu, hendak kumohon kepada lo-cianpwe agar menyuruh seorang
anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako bahwa aku sedang pergi ke Tiang-an.
Selain itu, meskipun Kim-ke-nia diserang oleh tentara Gi-lim-kun, tapi hubungan pribadi toako
dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap Thiat toako mengetahuinya.
Wi Wat tertawa: Thiat-mo-lek memimpin kaum enghiong. Pun Bo Se-kiat itu juga seorang
loklim bengcu yang baru. Tak usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal itu
kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi laporan. Karena waktunya rapat di
Tiangan
itu sudah mendesak, maka baiklah kau lekas-lekas berangkat.
Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian tugas, Khik-sia segera berangkat ke
Tiang-an. Dengan gunakan gin-kang, pada hari pertama Khik-sia dapat menempuh jarak 300-an
li
lebih. Hari kedua ia sudah tiba di Gui-cia (sekarang propinsi Ho-pak). Tiba-tiba ia berpapasan
dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki perempuan, tua muda dan besar kecil. Dari
wajah dan dandanan serta keadaan, teranglah mereka itu tengah mengungsi.
Waktu Khik-sia menanyakan, pak tua yang menjadi pemimpin rombongan itu menyahut dengan
heran: Engkoh kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita kekalahan.
Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pok-yap. Di mana tempat yang dilalui, mereka
merampok rakyat. Mengapa kau hendak kesana? Kau masih begini muda, baik ketemu tentara
negeri maupun tentara perampok, kau tentu dipaksa turut mereka.
Yang dikatakan 'Su Tiau-gi' oleh pak tua itu, adalah putera dari Su Su-bing, itu jenderal dari An
Lok-san. Setelah An Lok-san dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak buah An
Loksan
menjadi terpecah belah. Panglima Kwe Cu-gi dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat
membasmi mereka. Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada kerajaan Tong. Tapi tak
lama kemudian ia dapat menyusun kekuatan lagi, dan berontak. Setelah berhasil mengalahkan
tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia mulai menyerang Lok-yang.
Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan
hongte. Tapi tak lama kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi. Kerajaan
Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su
Tiaugi.
Akhirnya pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762 Masehi, Li Kong-pik berhasil
masuk ke Lok-yang dan mengejar tentara Su Tiau-gi. Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya
menuju ke daerah Pok-yap dengan maksud hendak menggabung pada suku He. Rombongan
rakyat
dipimpin oleh pak tua itu adalah rakyat di daerah yang mengungsi karena takut dirampok tentara
Su
Tiau-gi.
Khik-sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi sebatang kara karena akibat peperangan.
Teringat akan kematian sang ayah di medan pertempuran dan ibunya yang akibat melarikan diri
lalu
menderita luka dan akhirnya juga meninggal, diam-diam Khik-sia menjadi ngeri. Ngeri karena
peperangan atau huru-hara itu sampai sekarang masih belum padam.
Engkoh kecil, kembalilah saja. Di sebelah depan sana sudah kosong semua, kata pak tua itu
pula.
Khik-sia menghaturkan terima kasih: Terima kasih, lo-tio. Tapi aku mempunyai urusan
penting, terpaksa harus kesana. Terserahlah pada nasib.
Karena Khik-sia tak mau mendengar nasihatnya, pak tua itu hanya menghela napas panjang.
Dan Khik-sia lalu meneruskan perjalanan pula. Belum berapa jauh, di sebelah depan tampak
debu
mengepul tinggi. Benar juga ia berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang. Di dalam
pasukan itu terdapat belasan buah kereta. Mereka membawa panji-panji, tapi keadaan pasukan
tiu
tak mirip dengan susunan tentara lagi.
Ketika Khik-sia sedang pertimbangkan baik tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu,
tiba-tiba terdengar suara orang menggembor keras. Seorang tua yang bertubuh tinggi besar
menyerbu ke tengah pasukan itu dan membentak keras-keras: Siapa yang sayang jiwanya, harus

lekas-lekas pergi. Tinggalkan kereta pesakitan!
Khik-sia tersentak kaget. Pikirnya: Siapakah orang tua itu? Mengapa seorang diri ia berani
menyerbu kawanan 'serigala'? Dari suara bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi,
tidak
di bawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang, ia sudah terluka dalam.
Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi. Trang, ia hantam golok seorang opsir
sampai mencelat ke udara. Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang opsir lain yang
tak
keburu menangkis dengan senjatanya lung-ya-pang, telah terhantam remuk. Melihat opsirnya
mati,
kawanan tentara perampok itu sama lari kalang-kabut.
Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka tak berpakaian opsir. Serempak
keduanya berseru: Hai, Hong-hu Ko, jiwamu sudah berada di ujung rambut, mengapa masih
berani
merampas kereta pesakitan? Baiklah, jika kau ingin lekas-lekas menghadap raja akhirat, biarlah
kami bantu!
Orang tua yang dipanggil Hong-hu Ko itu tak menyahut dengan mulut melainkan dengan
pukulan tongkat besinya. Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka hanya
kuat
bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas kalah. Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat
mengejar mereka. Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas berusaha membuka kereta
pesakitan. Kereta pesakitan itu merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat.
Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang tua itu tak sabar lagi. Bruk, ia
hantamkan tongkat besinya ke kerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang. Jago
tua
itu menjenguk ke dalamnya, tapi segera ia berseru: Bukan! -- Ia lantas berganti sasaran
kerangkeng yang kedua.
Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik-sia terkejut sekali. Tiba-tiba ia teringat:
Astaga! Kiranya tokoh yang kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gak-
sinliong
(Naga Sakti gunung barat) Hong-hu Ko locianpwe. Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh
semacam orang tua ini? Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan?
Khik-sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi sudah mendengar kemasyhuran
namanya. Kiranya Hong-hu Ko itu selain bersahabat baik dengan mendiang ayak Khik-sia juga
pernah menerima budi dari bibi Khik-sia yang bernama He leng-siang itu (He Leng-siang adalah
isteri dari Lam Ce-hun. Sejak umur 10 tahun, Khik-sia lantas ikut pada bibinya itu pen).
Khik-sia menimang dalam hati: Meskipun lo-cianpwe itu mampu menandingi kawanan tentara
perampok, tapi setelah kutahu kalau dia, masakan aku tinggal diam tak mau memberi bantuan?
Pada saat itu Hong-hu Ko sudah menghantam terbukan 7 buah kereta pesakitan, tapi tetap
belum mendapatkan orang yang dicarinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang mendatangi dengan gemuruh sekali. Penunggang
kuda yang paling depan sendiri, seorang tua yang berwajah jelek keja, tubuhnya kekar dan
matanya
hanya tinggal satu. Astaga! Khik-sia tersirap kaget. Itulah Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo!
Iblik itu tertawa nyaring: Hai, Hong-hu Ko, nyawamu sendiri sudah di ujung rambut, masih
mau menolong orang? Mari biar kuantarmu ke akhirat!
Wut, iblis itu loncat dari kudanya. Dengan gerak can-liong-chiu atau gerak menabas naga, ia
berjumpalitan di udara terus menghantam lawan. Hong-hu Ko menyambutnya dengan jurus
kihwe-
liau-thian atau mengangkat api membakar langit. Tongkat diarahkan ke dada Yo bok-lo. Brak,
pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil mementalkan tongkat Hong-hu Ko ke samping.
Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi karena sebelumnya
ia sudah terluka dalam lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng besi,
tenaganya
berkurang banyak sekali. Maka dalam adu kekuatan yang pertama itu, Yo Bok-lo lah yang
menang
angin.
Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati. Baru kakinya turun ke bumi, ia sudah enjot lagi
menerjang. Hong-hu Ko membabat ke arah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui-
hun
(tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok-lo itu lihay sekali kakinya. Tendangannya tadi ternyata
hanya pancingan, begitu Hon-hu Ko menghantam, dengan berdiri di sebelah kaki ia putar tubuh
ke
samping Hong-hu Ko. Di situ secepat kilat ia menyambar tong-kut orang. Dengan meminjam
tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu ia mencengkeram tongkat, terus membentak

keras: Lepaskan!
Hong-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi
sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak: Lepaskan! - Sesosok tubuh melayang
datang terus menusuk jalan darah li-yan-hiat di punggung telapak tangan Yo Bok-lo.
Itulah Toan Khik-sia. Ia datang tepat pada waktunya. Yo Bok-lo segera mengenali musuhnya
besar itu. Sebuah matanya buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun bencinya kepada anak
muda itu menyusup sampai ke tulang, namun kedatangan Khik-sia secara begitu mendadak itu,
membuatnya tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti sasaran untuk menangkis tusukan
Khiksia.
Ilmu kim-na-chin atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu, sudah mencapai
tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu lihay ilmu gin-kangnya, tambahan pula
menggunakan
pedang pusaka, maka Yo Bok-lo tak berdaya untuk merapatinya. Malah dalam serangan tiga kali
berturut-turut, iblis itu dipaksa mundur tiga langkah.
Hong-hu Ko tak kenal pada Khik-sia. Melihat anak semuda itu dapat melayani seorang jago
kolotan seperti Yo Bok-lo, ia merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada anak muda
itu,
tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih
menolong orang yang dicarinya itu dulu.
Dengan kertek gigi, ia gunakan sisa tenaganya untuk menghantam kereta pesakitan. Namun
sudah dua buah kereta yang dirusaknya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu tak kelihatan.
Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut di belakangnya tadi pun sudah tiba. Dua
orang opsir penunggang kuda, loncat turun. Yang seorang mencekal ruyung cui-mo-pian, yang
seorang seorang membekal sam-ciat-kun atau tongka tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik-
sia,
tapi dengan sigapnya Khik-sia menghindari cambukan pian untuk kemudian membabat sam-
ciatkun.
Hati-hati! saking terkejutnya Hong-hu Ko berteriak memperingatkan Khik-sia.
Tapi pedang Khik-sia itu bukan sembarang pedang. Trang, terdengar bunyi mendering dan
tahu-tahu tongkat sam-ciat-kun sudah kutung sebuah ruasnya. Tiba-tiba tampak sebuah sinar
putih
berkelebat. Ternyata bagian tengah dari sam-ciat-kun itu berlubang dan di dalam lubang itu
dipasangi senjata rahasia hu-ku-ting atau paku pembusuk tulang yang amat beracun sekali.
Paku beracun itu mendadak keluarnya dan tidak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Jaraknya
pun amat dekat sekali. Syukur tadi Hong-hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu. Dalam saat-saat
yang berbahaya itu, Khik-sia unjukkan kepandaian gin-kangnya yang istimewa. Ia buang
tubuhnya
mendatar seraya putar pedangnya menyampok paku itu. Yang sebuah kena ditampar jatuh yang
dua
buah menyambar di bawah kakinya. Sedikitpun ia tak terluka.
Tapi di sebelahkanya masih ada Yo Bok-lo. Laksana harimau buas yang siap menerkam sang
korban, pada saat Khik-sia tengah menghindar dari serangan paku tadi, iblis itu segera lontarkan
sebuah hantaman dahsyat. Tubuh Khik-sia masih terapung di udara jadi sukar untuk menghindar.
Hong-hu Ko berseru keras. Cepat ia timpukkan tongkat besinya, kemudian menyusuli
menghantam. Opsir yang bersenjata ruyung cui-mo-pian hendak menyerbu, tapi kena timpukan
tongkat Hong-hu Ko. Seketika kepala pecah, otaknya berlumuran keluar dan jiwanya melayang.
Hong-hu Ko gunakan sisa tenaga untuk adu pukulan dengan pukulan biat gong-ciang dari Yo
Bok-lo. Begitu kuat Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus keras. Plak, Yo
Boklo
tersurut mundur sampai beberapa tindak. Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak
berdiri tak apa-apa.
Sesaat Khik-sia turun ke tanah, begitu ia memandang ke arah Hong-hu Ko, kejutnya bukan
kepalang. Ternyata jago tua itu wajahnya pucat seperti kertas, sepasang matanya merah. Khik-sia
tak mau merangsang Yo Bok-lo lagi, melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu.
Huak .... mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah. Ternyata jago tua itu sudah kerahkan
seluruh tenaganya untuk menghantam. Benar Yo Bok-lo kena dihantam mundur, tapi jago tua
yang
sudah terluka dalam itu, kini makin bertambah parah lukanya. Ia kehabisan tenaga betul-betul.
Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata sam-ciat-kun tadi cepat timpukkan dua buah paku
hu-kut-ting lagi ke arah Hong-hu Ko. Tapi kali ini Khik-sia sudah siap siaga tak nanti ia kena
dibokong. Cepat ia melejit ke muka untuk melindungi Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya

untuk menyampok jatuh hu-kut-ting.
Pada saat itu Yo Bok-lo sudah dapat memperbaiki posisinya dan mulai menyerang lagi. Khiksia
cepat memanggul Hong-hu Ko sembari putar pedangnya. Anak muda itu bertahan diri sembari
maju menghampiri Yo Bok-lo.
Yo Bok-lo heran dibuatnya, pikirnya: Anak itu sungguh gila, mengapa ia senekad itu?
Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya sekali bagi Khik-sia untuk
bertempur dengan Yo Bok-lo. Salah-salah keduanya (Khik-sia dan Hong-hu Ko) akan binasa
semua. Memang Yo Bok-lo sendiri juga tak terluput dari luka berat.
Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan kenekatan si anak muda itu.
Sebenarnya ia pasti menang, tapi sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan. Ia miringkan tubuh
dan dengan gerak chit-poh-tui-hun, ia menyelinap ke samping Khik-sia. Di sini ia memberikan
Hong-hu Ko sebuah hantaman.
Sekonyong-konyong Khik-sia berganti arah. Tubuh meluncur seperti anak panah terlepas dari
busurnya: Rebahlah! mulutnya kedengaran membentak. Kiranya Khik-sia telah gunakan siasat
suaranya di timur tapi yang diserang arah barat'. Dengan andalkan ilmu gin-kangnya yang
jempol,
ia menyergap ke tempat si opsir dan tahu-tahu punggung si opsir itu sudah berhias sebuah
tusukan
pedang yang cukup membuat nyawanya melayang. Dengan berhasil membunuh opsir itu, berarti
Khik-sia mendapat keringanan.
Gusar Yo Bok-lo bukan olah-olah. Tapi demi melihat walaupun dengan memanggul orang
namun anak muda itu masih dapat lari secepat kuda bedal, diam-diam Yo Bok-lo menjadi kaget
juga.
Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat merobohkan bangsat kecil itu, akhirnya
setelah menimang-nimang sejenak, Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar.
Khik-sia membawa Hong-hu Ko ke atas gunung yang di sebelah muka. Di situ ia letakkan
orang tua yang terluka berat itu. Dilihat jago tua itu sudah tersengal-sengal napasnya, wajahnya
berwarna gelap. Khik-sia terkejut, buru-buru ia tempelkan telapak tangannya ke punggung
Honghu
Ko. Ia salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu.
Lewat beberapa menit kemudian, Hong-hu Ko dapat membuka mata dan bertanya: Siapakah
kau?
Wanpwe Toan Khik-sia.
Toan Kui-ciang pernah apamu? tanya Hong-hu Ko pula.
Ayah wanpwe, sahut Khik-sia.
Mendengar itu Hong-hu Ko tertawa gelak-gelak: Sungguh jaman itu selalu maju. Aku si
pengemis tua dalam hari-hari terakhir dapat berjumpa dengan putera seorang sahabat karibku,
sungguh berbahagia sekali!
Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula: Hiantit, aku sudah tak berguna lagi, harap kau
jangan buang tenaga sia-sia.
Tapi mana Khik-sia mau menurut, ujarnya: Lo-cianpwe, tolong kau salurkan pernapasan, biar
kubantu melancarkan darahmu. Aku pun membekal pil leng-tan yang mustajab.
Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun
ada pil siok-beng-sian-tan (pil dewa penyambung jiwa), rasanya tak bergunalah. Jangan
membuang
waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah urusan untukku?
Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat kaki tangan Hong-hu Ko makin
kaku, Khik-sia percaya akan keterangan jago tua itu. Adanya pengemis tua itu masih dapat
bicara,
adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja. Terpaksa dengan menahan kepiluan hati,
Khik-sia menyatakan kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang.
Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang. Tahukah kau kepada Ciu Ko itu?
tanya Hong-hu Ko.
Khik-sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat Kay-pang yang menghebohkan
peristiwa terbunuhnya Ciu Ko.
Tidak, Ciu Ko belum mati. Dia ditawan oleh anak buah Su Tiau-gi, menerangkan Hong-hu
Ko.

Khik-sia tersentak kaget. Herang ia dibuatnya. Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada
hubungannya apa dengan Ciu Ko?
Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su Tiau-gi menawannya. Kemarin barulah
aku mendapat berita bahwa tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak. Keterangan jelas tentang
hal
itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan. Cukup asal kau suka menyampaikan berita ini ke suatu
tempat, aku sudah sangat berterima kasih padamu, kata Hong-hu Ko. Sampai di situ, suara
pengemis tua itu sudah makin lemah.
Buru-buru Khik-sia tahan tangannya yang masih menempel di punggung Hong-hu Ko itu dan
menyalurkan lagi lwekangnya.
Dengan sisa pasukannya Su Tiau-gi hendak menggabung pada Kahan, kepala suku He.
Pesakitan-pesakitan pentingpun dibawanya ke sana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah
mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko. Hal ini harus lekas dilaksanakan. Jika mereka sudah
keburu tiba di daerah Kaham, sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira-kira lima puluh li dari
sini, ada sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah gua, di depannya tumbuh lima
batang
pohon siong tua. Tempat itu menjadi markas dari hun-tho (cabang) Kay-pang. Setelah
mendapatkan tempat itu, kau harus minta bertemu dengan Hwe Tay-yap, tho-cu kay-pang di situ.
Sampaikan padanya berita ini supaya ia lekas-lekas mengadakan pencegatan dan merampas
pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok-ong.
Aku telah mendapa janji bantuan dari dua orang sahabat. Paling lambat besok pagi, mereka
tentu sudah datang. Kau minta Hwe thocu supaya kirim orangnya menunggu kedua sahabatku itu
di pagoda yang terletak di kaki gunung itu. Kedua sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka
bawalah barangku ini .....
Hong-hu Ko melolos sebentuk cincin besi dari jarinya, lalu diserahkan pada Khik-sia, ujarnya:
Berikan cincin ini pada Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh menyambut
sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal. Sudah jelaskah?
Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat mengingatnya dengan sungguh-sungguh.
jawab Khik-sia.
Hong-hu Ko tertawa getir: Delapan belas tahun yang lalu, aku pernah memberikan sebuah
cincin kepada ayahmu karena hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana, delapan belas
tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin lagi kepadamu, juga untuk minta
bantuan.
Dengan kalian ayah dan anak, rupanya aku memang berjodoh!
Suara tertawa reda, sepasang kakinya berkelojotan dan Hong-hu Ko menarik napas yang
penghabisan .....
Khik-sia amat berduka. Seorang pengemis luar biasa dari dunia persilatan, seorang tokoh
persilatan yang sakti, telah meninggal secara menyedihkan di sebuah gunung belantara. Dengan
pedang pusakanya, Khik-sia menggali sebuah liang dan mengubur Hong-hu Ko. Kemudian ia
meletakkan sebuah batu besar selaku pertandaan. Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran
air
mata, Khik-sia dengan hati berat meninggalkan tempat itu.
Untuk jarak 50 li itu, Khik-sia hanya menggunakan waktu kurang dari satu jam.
Ternyata gunung itu tak berapa lagi. Mendaki ke atas dan mencari dengan teliti, cepat ia sudah
dapatkan kelima batang pohon siong itu. Tapi heran ia tak melihat suatu guapun.
Aneh, apakah aku keliru? pikirnya. Tapi ia hendak mencoba sebuah cara.
Wanpwe Toan Khik-sia, mendapat perintah dari cianpwe Kay-pang Hong-hu Ko untuk minta
bertemu dengan Hwe thocu! demikian ia lantas berseru nyaring.
Tiba-tiba tanah yang di bawah pohon siong yang di tengah-tengah sendiri, mengungkap ke atas
dan pada lain kejap berubah menjadi sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru:
Apakah membawa bukti penandaan?
Kiranya gua itu dibuat di bawah tanah, atasnya ditutupi dengan tanah yang bertumbuh rumput.
Jika tidak menyelidiki dengan seksama orang luar pasti sukar mengetahuinya.
Ada sebuah cincin besi dari Hong-hu locianpwe, sahut Khik-sia.
Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa, seru orang itu.
Khik-sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang itu berseru: Aku ini Hwe Tay-yap sendiri,

silahkan masuklah.
Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar untuk menyambut orang yang
dimintai tolong oleh ketua Kay-pang. Sebaliknya malah Khik-sia yang disuruh masuk. Meskipun
Khik-sia seorang pemuda yang tak menghiraukan segala macam peradatan tetek bengek, namun
tak
urung ia merasa kurang senang juga. Diam-diam ia menganggap Hwe thocu itu seorang yang
angkuh. Namun karena berat melakukan pesan Hong-hu Ko, terpaksalah ia mengalah juga.
Di dalam gua itu amat gelap. Lebih-lebih Khik-sia baru datang dari tempat terang. Samarsamar
ia hanya melihat beberapa sosok bayangan orang. Kembali Khik-sia menggerutu: Hm,
mengapa tahu ada tetamu, mereka tetap takmau nyalakan lampu?
Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah. Tiba-tiba ia hentikan langkahnya dan timbul
pikirannya hendak bertanya. Tapi sekonyong-konyong ia mendengar bunyi senjata rahasia
mengaum di udara dan berbareng itu tersiar bau yang harum. Untuk Khik-sia selalu siap sedia.
Cepat ia cabut pedangnya dan bolang-balingkan kian kemari untuk menjaga diri. Dua buah thi-
cijong,
dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah belati. Kena ditampar jatuh semua.
Dalam sinar yang terpancar dari kelebat pedangnya itu, Khik-sia melihat ada tiga orang maju
menyerangnya. Salah seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri: Ceng-ceng-ji!
Setan cilik, kau telah memperdayai aku, sekarang akupun juga menyelomotimu. Lihat
pedangku! Ceng-ceng-ji tertawa dingin seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan
serangannya
itu. Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali.
Khik-sia gunakan gerakan kaki i-poh-hoan-sing untuk berloncatan menghindar. Serunya:
Jisuheng,
jangan salah paham. Kau bermusuhan dengan Kay-pang itu, bisa menimbulkan bahaya.
Maka meskipun aku telah menipumu tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku?
Ceng-ceng-ji memaki: Kurang ajar! Kau seorang anak kemarin sore berani menasihati aku?
Dulu karena ada tiang pengandal su-niomu itu, aku biarkan saja dirimu. Tapi kini setelah jatuh
ke
dalam tanganku, kau tentu kuhajar!
Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng-ceng-ji tetap lancarkan pedangnya dengan
serangan-serangan yang berbahaya.
Khik-sia naik darah juga. Pikirnya: Dia berani mengkhianati perguruan dan sekarang hendak
membunuh aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi?
Karena Ji-suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siau-te melanggar adat! serunya sambil
kembangkan pedang dalam jurus tiang-ho-lok-jit atau matahari terbenam di sungai panjang.
Trang, pedang Ceng-ceng-ji yang terbuat dari emas murni itu, kena dipentalkan ke samping.
Pedang keduanya sama-sama pedang pusaka, maka sama-sama tak gempil serambutpun juga.
Tapi
sekalipun begitu, tangan Ceng-ceng-ji merasa kesakitan.
Dalam hal gin-kang terang kalau Khik-sia lebih unggul dari bekas ji-suhengnya itu. Pun dalam
ilmu lwekang, setelah mendapat gemblengan dari Bo Jong-long, ayah Bo Se-kiat yang menjadi
kepala pulau Hu-siang-to, lebih atas juga dari Ceng-ceng-ji. Pada saat itu Khik-sia tak mau
mengalah lagi. Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian-liong-kiam-hwat dari
warisan
keluarganya. Ilmu permainan Thian-liong-kiam-hwat itu mengutamakan kekerasan. Ini sesuai
dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik-sia sekarang. Maka kalau Ceng-ceng-ji menjadi
tersirap
kaget, itulah sudah jamak. Dari rasa mengiri, timbullah pikiran buas dari Ceng-ceng-ji untuk
membunuh sutenya itu.
Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu berisi tiga orang. Sewaktu Khik-sia menghalau
mundur Ceng-ceng-ji, tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping dengan
senjata
tongkat. Orang itu bukan lain adalah murid pemberontak dari Kay-pang, yaitu Uh-bun Jui.
Aku adalah pangcu dari Kay-pang. Ceng-ceng cianpwe membantu partai kami, mengapa kau
mengadu biru memutar balik hitam putihnya. Urusan partai Kay-pang kami, tak perlu kau
campur
tangan! seru Uh-bun Jui.
Beradanya Uh-bun Jui di situ, telah membuat Khik-sia menjadi terang persoalannya. Uh-bun
Jui tentu menduga bahwa Hong-hu Ko akan datang ke markas gua situ, itulah sebabnya maka
Uhbun
Jui mendudukinya lebih dulu. Tetapi mengapa ia berbuat begitu? Apakah benar-benar ia sudah
berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung pada pemberontak Su Tiau-gi?

Memikir sampai di sini, berkobarlah amarah Khik-sia. Sudah tentu Uh-bun Jui bukan tandingan
Khik-sia. Hanya sekali gebrak saja, tongkat Uh-bun Jui sudah kena dipapas kutung oleh Khik-
sia.
Untung Ceng-ceng-ji cepat-cepat menyerang sehingga Uh-bun Jui terlepas dari serangan Khik-
sia
yang kedua.
Bentak Khik-sia: Benar, memang aku tak berhak campur urusan partaimu Kay-pang. Tetapi
Hong-hu Ko lo-cianpwe berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai binasa, tahu
tidak kau? Beliau suruh aku kemari untuk menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum
pemberontak, tahukah kau? Asal kau masih punya setitik rasa nurani (liangsim), tentu akan
berdaya
untuk menolong suhumu. Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa maksudmu?
Semprotan Khik-sia itu telah membuat Uh-bun Jui terlongong-longong. Tetapi pada lain saat ia
tertawa gelak-gelak: Telah kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhan bantuanmu.
Untuk melakukan karya besar harus menyampingkan urusan tetek bengek, kau tahu apa, hai,
budak
kecil? Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay-pang. Aku melarangmu ikut campur!
Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat. Khik-sia masih mempunyai pikiran
panjang. Bagaimanapun halnya, Uh-bun Jui itu adalah masih anak murid Kay-pang. Segala
kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan. Maka ia ambil putusan tak mau
membunuhnya. Ia gunakan jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum, yakni
sebuah
gerak serangan yang memakai lwekang lunak, untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat di siku
lengan
orang. Khik-sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup. Pertama, dapat digunakan
sebagai barang tanggungan agar ia dapat keluar dari gua itu. Kedua, demi menghormati
kewibawaan pimpinan Kay-pang untuk mengurusnya sendiri.
Tapi ternyata Uh-bun Jui itu cukup licin. Ia cukup tahu kelihayan Khik-sia, sudah tentu ia tak
berani bertempur sesungguhnya. Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah
kesini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan membuat supaya ia mudah
mundur
setiap saat. Untuk tusukan Khik-sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah
dihindarinya dengan loncatan ke samping.
Saat itu Ceng-ceng-ji pun sudah menyerang lagi dengan pedangnya. Benar Khik-sia lebih
unggul setingkat dengan ji-suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah kembangkan
permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia mementalkan pedang Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-
ji
gunakan ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah. Tapi dengan tangkasnya dapatlah Khik-
sia
menangkisnya dengan tepat. Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang perguruannya.
Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat. Dalam beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling
berbentur. Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita suatu apa.
Heng-liong-koay-hwat atau permainan tongkat menundukkan naga yang digunakan Uh-bun Jui
itu adalah berasal dari ilmu pusaka Kay-pang. Tapi dikarenakan Khik-sia kelewat tangguh, maka
ia
tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dikeroyok dua itu, Khik-sia masih menang angin, tapi
untuk
merebut kemenangan dalam waktu yang singkat, juga tak mudah.
Demikian mereka bertempur dengan makin serunya. Sekonyong-konyong Khik-sia rasakan
kepalanya pusing, mata berkunang-kunang. Memang sejak masuk ke dalam gua situ, ia sudah
tercium bau wangi. Ia pun sudah curiga, tetapi karena secepatnya ia sudah mendapat serangan,
jadi
ia tak sempat memikirkannya lagi. Tetapi wangian itu berasal dari bungan Asulo atau dalam
nama
bangsa Tionghoa disebut bunga Mo-kui-hoa (bunga setan). Bunga itu diperoleh Ceng-ceng-ji
ketika ia mendaki di puncak gunung Himalaya. Kemudian bunga itu diramu dengan istimewa
sekali, hingga menjadi suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat dari bi-hiang
kepunyaan Gong-gong-ji.
Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang itupun makin bekerja. Khik-sia
dapatkan tenaganya makin berkurang. Diam-diam ia mengeluh. Akhirnya dengan menahan
napas,
ia rubah permainannya menjadi ilmu permainan golok. Dengan jurus no-hay-to-liong atau
ngaduk
laut membunuh naga, ia hantam kepala Ceng-ceng-ji. Jurus itu adalah jurus yang terganas dari
ilmu
pedang keluarganya. Ketrampilan pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok.
Ceng-ceng-ji kenal lihay. Tak berani ia menangkis, melainkan cepat-cepat menghindar. Tapi
Uh-bun Jui agak lambat, kembali tongkatnya kena terpapas kutung. Trang, mencelatlah
tongkatnya

itu dari tangannya.
Khik-sia berputar hendak berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin menggerang: Masih
ada aku di sini!
Seperti telah diterangkan tadi, di dalam gua situ terdapat tiga orang. Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui
dan seorang paderi asing berbaju merah. Paderi tua itu berdiri di mulut gua. Sejak tadi ia hanya
berpeluk tangan mengawasi saja. Ia hendak tunggu sampai Khik-sia sudah kehabisan tenaga,
baru
nanti turun tangan.
Hoan-ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata sepasang kecer (plat logam berbentuk
bundar, dipukulkan satu sama lain untuk tetabuhan). Ketika Khik-sia menusuk, paderi itu
kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya sehingga menimbulkan suara gempar yang
mengalun sampai jauh ke lembah. Khik-sia terperanjat, pikirnya: Lihay benar paderi ini,
tenaganya tak di bawahku!
Tapi itu hanya penilaian Khik-sia sendiri karena pada hakekatnya lwekang paderi itu masih
kalah setingkat dengan Ceng-ceng-ji. Adanya Khik-sia mempunyai anggapan demikian karena
saat
itu tenaganya sudah berkurang banyak.
Mulut gua dihadang si paderi, tiga kali Khik-sia coba menerjang tapi kena dihalau oleh
sepasang kecer si paderi. Tiba-tiba dari belakang terdengar deru senjata menyambar. Ceng-ceng-
ji
kembali sudah datang menyerang. Khik-sia menyabat ke belakang. Sabatan pedangnya ia
dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Kedua pedang mereka muncratkan letikan api, tetapi
bukannya
mundur sebaliknya Ceng-ceng-ji malah maju dua langkah. Ujung pedang Kim-ceng-toan-
kiamnya
ditujukan ke muka Khik-sia, tapi pemuda itu sempat menghindar. Melihat Khik-sia mulai
kehabisan tenaga, segera Uh-bun Jui berani menyerang lagi.
Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga Khik-sia tak dapat bertahan lama.
Kembali ia harus mengambil napas, tapi dengan berbuat begitu ia seperti orang yang mabuk
minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali. Khik-sia mengeluh, dengan kuatkan
semangat ia tangkis pedang Ceng-ceng-ji.
Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku yang mengajar kau! Ceng-ceng-ji
tertawa mengejek. Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan lagi. Sabatan pertama memapas
kopiah Khik-sia, yang kedua memutuskan ikat pinggang dan yang ketiga melubangi baju si anak
muda. Ia tak mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja.
Khik-sia gigit lidahnya. Pada saat Ceng-ceng-ji tertawa, sekonyong-konyong Khik-sia
kiblatkan pedangnya. Begitu pedang Ceng-cengo terpental ke samping, ia lantas teruskan
menggurat lengan orang hingga terluka. Bluk, kakinya menendang Uh-bun Jui sampai jatuh
jumpalitan. Dengan menggigit lidahnya tadi, Khik-sia merasa kesakitan. Tapi dengan begitu
semangatnya menjadi tergugah dan dengan perangsang sakitnya itu, tenaganyapun malah
bertambah. Malah lebih kuat dari tenaganya semula.
Ceng-ceng-ji tersentak kaget. Buru-buru ia pindah pedangnya ke tangan kiri. Kini ia
menyerang dengan pedang tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan. Ia gabungkan
serangan keras dan lunak ganti berganti. Ilmu itu adala ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia
ikut pada Coan Lun hwat-ong. Dengan begitu Khik-sia pun tak mengetahui cara
memecahkannya.
Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi, kini sudah reda. Ketambahan lagi Khik-sia harus
menghadapi ilmu serangan yang tak dikenalnya. Kepalanya makin pusing, bingung ia bagaimana
harus menghadapi. Ia dapat menghindari pedang Ceng-ceng-ji tapi tak mampu menyingkir dari
pukulan dan tutukan jarinya. Akhirnya sebuah pukulan Ceng-ceng-ji telah membikin rubuh anak
muda itu. Ceng-ceng-ji menambahi lagi dengan sebuah tutukan pada jalan darah pelemas.
Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak? Ceng-ceng-ji mendengus dingin. Ia terus
hendak menutuk tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia untuk membikin lenyap kepandaian anak
muda
itu.
Saat itu Uh-bun Jui pun sudah tengel-tengel bangun. Terhadap anak muda yang membikin
kacau urusannya itu, Uh-bun Jui benci setengah mati. Cepat diambilnya potongan tongkat terus
hendak disabatkan ke kaki Khik-sia.
Trang, trang, si paderi menghadang dengan sepasang kecernya hingga pedang Ceng-ceng-ji dan

tongkat Uh-bun Jui terhalang. Dengan suara keren paderi itu berseru: Tuan puteri maukan
hidup,
tidak boleh melukainya!
Mendapat tutukan berat dari Ceng-ceng-ji dan menghirup obat bi-hiang yang keras, maka
pikiran Khik-sia jadi limbung. Samar-samar ia mendengar kata-kata 'tuan puteri' (kongcu) tadi.
Pikirnya: Siapakah tuan puteri itu?
Tapi ia tak sempat memikirkan lagi karena saat itu si paderi sudah lantas menjinjingnya. Karena
banyak menyedot bi-hiang, seketika Khik-sia menjadi pingsan.
Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik-sia membuka mata, kejutnya bukan
kepalang. Kiranya saat itu ia tengah berbaring di sebuah ranjang yang berkasur empuk dari
sebuah
kamar yang dihias indah. Pantasnya kamar itu adalah kamar dari seorang gadis orang berada.
Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah tenaganya tak ada sama sekali. Ia bingung mengapa
dirinya berada di situ. Tapi setelah merenung tenang-tenang, ingatannya berangsur-angsur
kembali.
Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh si paderi hoan-ceng.
Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar lengking tawa macam bunyi kelinting.
Seorang dara muncul dan berkata: Bagaimana, apakah di sini kurang enak? Maaf, telah
membuat
kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat, melainkan hendak mengundangmu sungguh-sungguh.
Kuatir kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan begitu.
Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan wanita baju merah yang dipanggil Uh-bun
Jui dengan sebutan Nona Su itu.
Siapa kau? Aku belum kenal padamu, mengapa kau hendak mengundang aku? Tempat apa
ini? tanya Khik-sia.
Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik
perempuan dari Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah mengatakan nama
engkohku itu? Waktu ini kami menjadi pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan
terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang? kata nona itu.
Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing. Ia bunuh ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja
Wi Yan. Tentang hal itu Khik-sia sudah mengetahui.
Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil 'tuan puteri' oleh paderi hoan-ceng itu adalah Su
Tiau-ing ini.
Khik-sia tertawa tawar: Aku seorang rakyat jelata, tak berani bergaul dengan kaum ningrat.
Apa maksudmu mendatangkan aku kemari ini?
Dara itu tertawa: Jangan marah dulu, maukah? Siapa dirimu, aku sudah tahu jelas. Terus
terang, kita semua adalah kaum penyamun. Hanya saja ayahku lebih bernyali besar, berani
melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu menjadi raja, tetapi kalau kalah dinamakan
berandal. Itulah sudah jamak.
Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak mengandung maksud buruk terhadap
Khik-sia.
Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan kuterangkan pelahan-lahan. Singkatnya
saja, aku hendak minta bantuanmu untuk sebuah hal, kata Tiau-ing.
Mendiang ayah Khik-sia dahulu telah gugur dalam medang pertempuran melawan pasukan Su
Su-bing. Jenderal Leng Ho-tiau adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota Ciau-
yang
yang dipertahankan Toan Kui-ciang. Meskipun Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su
Su-bing, tapi secara tidak langsung ada hubungannya juga. Maka setelah mengetahui dara itu
puteri
Su Su-bing, belum-belum Khik-sia sudah mempunyai rasa antipati. Maka tanpa banyak pikir
lagi,
ia segera menyahut: Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti kamu orang. Aku
ini seorang penyamun yang tak punya cita-cita muluk, aku tak mampu membantu urusanmu.
Gadis itu tertawa: Jangan kelewat merendah diri dululah!
Khik-sia tertawa rawan: Dan lagi, akupun tak suka membantumu. Terserah bagaimana kau
hendak mengapakan diriku!
Tiba-tiba gadis itu tertawa nyaring.
Apa yang kau tertawakan? teriak Khik-sia dengan marah.
Aku menertawai dirimu seorang lelaki, tapi tidak lapang dada! sahut Su Tiau-ing.

Khik-sia terkesiap: Dalam hal apa aku tidak lapang dada? tanyanya.
Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih teringat akan peristiwa pertempuran di
Sui-yang, bukan? Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan ayahkulah yang menjadi
pihak lawannya. Sudah sewajarnya kalau kau mendendam. Tetapi mana ada pertempuran tanpa
ada korban yang jatuh? Jika dua pihak saling bertempur, tentu sukar terhindar dari korban-
korban
yang luka dan mati. Apalagi ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya dendam
sakit
hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak mau menghapus rasa dendammu itu, pun
seharusnya hanya tertuju kepada ayahku saja. Pada masa itu aku masih seorang anak perempuan
kecil yang tak tahu apa-apa. Mengapa diriku turut dibawa-bawa? Dengan setulus hati kuundang
kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu. Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas
kepadaku. Apakah ini bukannya menandakan hatimu sempit? dengan tepat sekali Tiau-ing telah
menelanjangi isi hati Khik-sia. Nona itu telah memberikan uraian yang jitu.
Diam-diam Khik-sia mengagumi kecerdikan nona itu. Meskipun perasaannya masih tetap tawar
terhadap nona itu, namun sikapnya tidak segetas tadi lagi. Sahutnya: Memang aku tak
bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan berbeda tujuan, aku tak dapat membantu
kerepotanmu!
Toh aku belum mengatakan bagaimana kau tahu tak dapat membantu? Dan mungkin juga kita
sehaluan, Tiau-ing tertawa.
Khik-sia kalah separuh, akhirnya terpaksa ia mengalah: Baiklah, silahkan mengatakan saja
urusanmu itu.
Aku bermaksud hendak berserikat dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama
membagi rata kerajaan dan negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka? kata
Tiauing.
Tidak! tukas Khik-sia dengan tegas.
Mengapa? tanya Tiau-ing.
Tidak ya tidak! Siapa Thiat toako-ku itu, rasanya kau tentu tak mengetahui, sahut Khik-sia.
Mengapa tak tahu? Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai si-wi di istana, kemudian difitnah
oleh kaum dorna sehingga keluar. Tetapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong. Dengan An
Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam anggapannya, pihakku itu kawanan
pemberontak.
Berdasarkan hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi berserikat dengan aku. Betul
tidak?
Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup, sahut Khik-sia.
Dengan komentarnya yang terakhir itu, Khik-sia hendak memutuskan pembicaraan. Ia duga
nona itu tentu tak dapat berkata lagi. Siapa tahu, Tiau-ing malah tertawa gelak-gelak.
Mengapa kau tertawa lagi? Khik-sia heran dibuatnya.
Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah kerajaan Tong dan tak
menyesuaikannya dengan suasana perubahan jaman, sahut Tiau-ing.
Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman, harap nona katakan, kata Khik-sia.
Lain dulu lain sekarang. An Lok-san adalah suku Oh (utara). Ia ingin menjadi kaisar
Tiongkok. Jika sekalian patriot Tiong-goan tak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she Su
adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar, mengapa kami orang she Su, orang
she
Thiat, orang she Bo dan kau she Toan, tidak boleh? Ini dalil pertama.
Dahulu Thiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong, sekarang menjadi pemimpin Lok-lim
(begal). Bo Se-kiat itu seorang yang punya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin Thiat-mo-lek
tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah berkembang sedemikian rupa, mau tak mau ia harus
menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak, pihak kerajaan tetap takkan memberi
ampun padanya. Markasnya di Kim-ke-nia sudah dihancurkan tentara pemerintah, kini ia
melarikan
diri entah ke mana. Rasanya sukar untuk menginjakkan kakinya lagi. Jika mau berserikat dengan
kami, tentu sama-sama ada kebaikannya. Mengapa tak mau?
Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata-kata. Sebaliknya Khik-sia tak pandai bicara.
Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk mengatakan.
Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum? tanya nona itu.

Diam-diam Khik-sia membatin: Meskipun An Lok-san adalah suku Oh dan Su Su-bing suku
Han, tapi dua-duanya merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama saja.
Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiau-gi membunuh ayahnya sendiri karena
hendak merebut kedudukan, ini lebih biadab lagi. Su Tiau-ing ini adalah adik perempuannya,
rasanya tentu tak berbeda banyak dengan engkohnya.
Walaupun batinnya begitu, tapi lahirnya Khik-sia tetap bersikap ramah kepada nona itu.
Kemudian ia mengambil ketetapan, ujarnya: Kau minta aku mengatakan sejujurnya?
Tiau-ing mengiakan.
Taruh kata Bo Se-kiat mau bersekutu dengan kau, akupun tak mau menjadi orang
perantaraannya, kata Khik-sia.
Mengapa? Kau memandang hina pada kami? seru Tiau-ing.
Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek kata, apa yang aku tak ingin, takkan
kukerjakan. Jika mau mengirim orang perantara, silahkan cari lain orang saja, sahut Khik-sia.
Dengan tawar Tiau-ing berkata: Jika ada orang yang lebih sesuai dari kau, sudah tentu kamipun
takkan berjerih payah untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, akupun tak dapat
memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kami mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah
kau
hendak pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan? Nah, silahkan menimbang lagi,
mau meluluskan atau tidak?
Khik-sia tertawa dingin: Apakah kau menghendaki aku pura-pura meluluskan permintaanmu?
Sebenarnya aku dapat berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang janji begitu,
bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah
kau?
Nah, rasanya sudah cukup, jika hendak membunuh aku, silahkan saja.
Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak.
Mengapa kau tertawa? lagi-lagi Khik-sia kesima.
Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai engkohku yang sudah salah lihat
orang. Ternyata mataku lebih tajam dari dia, sahut Tiau-ing.
Bagaimana? tanya Khik-sia.
Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan membujuk, dapatlah tentu menundukkan kau.
Tetapi pendapatku bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang berkepribadian kuat, jujur
dan
perwira. Apa yang kau pikirkan, tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri, pun tak
mau menipu orang. Bagus, benar- benar dapat digolongkan perilaku seorang laki-laki utama.
Disanjung puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang. Tanpa merasa Khik-sia pun tergerak
hatinya. Pikirnya: Nona ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat digolongkan
sebagai
pahlawan wanita. Sayang seorang nona begitu, rela menjadi pemberontak.
Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara berkeresekan pelahan sekali. Obat bius
yang dihirup Khik-sia masih belum hilang khasiatnya. Tenaganya lenyap tapi pendengarannya
masih tajam. Jika lain orang tentu sukar menangkap suara berkeresekan yang sedemikian
pelahannya itu.
siapakah orang yang lihay gin-kangnya ini? Menilik Su Tiau-ing itu sebagai seorang kongcu
(puteri0, tentulah orang itu anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa berani
mencuri dengar. Hm, apakah musuhnya ? Khik-sia menimang-nimang dalam hati. Tapi
ditunggu
sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa lagi.
Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata: Biarlah kubukakan jendela, ya?
Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata di luar tak kelihatan suatu apa. Tapi dengan
telinganya yang tajam itu, dapatlah Khik-sia menangkap bahwa suara itu hilang berbareng pada
saat
Tiau-ing membuka jendela. Orang itu tentu sudah kabur.
Diam-diam Khik-sia terkejut, pikirnya: Hebat benar gin-kang orang itu. Apakah toa-suhengku
yang datang?
Tiau-ing berputar tubuh lagi dan menghela napas pelahan-lahan. Ujarnya: Toan kongcu, aku
tak mau memaksa kau, tapi juga tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku?
Dingin-dingin Khik-sia menjawab: Aku adalah orang tawananmu. Hendak kau apakan,
terserah saja. Masakah aku dapat membantah.

Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi bagaimana sikapmu kepadaku? tiba-tiba nona itu
bertanya.
Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tak membikin susah padaku, sudah tentu aku
takkan bikin perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua ganjelan selama inipun
takkan kutarik panjang, sahut Khik-sia.
Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya meluluskan takkan membenci aku
saja? kata Tiau-ing.
Kau masih menghendaki apa lagi? Apakah minta aku bertekuk lutut minta maaf padamu?
Tiau-ing kedipkan matanya kepada anak muda itu sejenak, lalu tertawa: Ah, mana aku berani
menerima kehormatan begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon belas kasihan padamu.
Khik-sia duga nona itu hendak mengungkat lagi pembicaraan tadi. Buru-buru ia menyahut:
Seorang laki-laki lebih baik mati dari menyerah. Telah kukatakan tadi, baik kau lepaskan aku
atau
tidak, aku tetap tak dapat membantu padamu. Nah, kiranya sudah cukup, terserah bagaimana kau
hendak memutuskan.
Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang dipikirkan. Lewat beberapa jenak
kemudian, tiba-tiba ia menghela napas lagi, katanya: Toan kongcu, sebenarnya ingin sekali
kulepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja
dulu, aku hendak pergi.
Pikiran Khik-sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan kata-kata Su Tiau-ing tadi, melainkan
pengintai yang memiliki ilmu ginkang hebat itu. Bermula ia duga kalau toa-suhengnya,
Gonggong-
ji, yang datang itu. Kalau benar ia, mengapa takut? Toh tak ada orang yang mampu
menghalanginya? Dan mengapa sampai sekarang tak muncul lagi? Namun bila pengintai itu
orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal juga. Mana ada orang sebawahan berani
mencuri
dengar pembicaraan 'tuan puterinya'? Memikir bolak-balik, tetap Khik-sia tak menemukan
jawabannya.
Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam yang berisi semangkuk besar bubur
dan beberapa mangkuk masakan. Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan hidangan ini
untukmu, kata budak itu.
Pikir Khik-sia: Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu memberi racun dalam makanan.
Khik-sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus ia gasak hidangan itu sampai habis.
Setelah budak itu pergi, Khik-sia duduk sendirian di dalam kamar situ. Sampai sekian lama tak
kelihatan orang datang. Timbullah ingatannya: Daripada menunggu pertolongan orang, lebih
baik
berusaha sendiri.
Ia lantas duduk bersila menyalurkan lwekangnya. Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa
murni (cin-gi) masih sukar dipusatkan. Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu mulai bergerak tapi
pun hanya terbatas sampai ke arah tangan kakinya saja. Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya,
itulah masih sukar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara orang berbicara. Suara orang lelaki berkata: Apakah ia sudah
menyanggupi?
Aku sedang membujuknya, sahut suara seorang anak perempuan yang bukan lain ialah Su
Tiau-ing.
Lelaki itu tertawa dingin: Moay-moay, lebih baik jangan buang tenaga. Memang sudah
kuduga ia tentu menolak.
Tidak, beri ia waktu dua hari lagilah, bantah Tiau-ing.
Kata lelaki itu: Apa yang kau bicarakan padanya, telah kudengar semua. Kalau toh ia
menolak, kau bisa berbuat apa? Hm, apakahh kau hendak gunakan siasat 'memikat dengan
kecantikan'?
Marahlah Tiau-ing: Koko, jangan ngaco belo! Kau anggap aku ini orang macam apa?
Khik-sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi.
Pikirnya: Benar-benar pribadi Su Tiau-gi itu hina dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan
tergolong
kaum Ceng-pay (lurus), tapi ia lebih baik dari engkohnya.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu: Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya

menganggap aku dapat ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak
menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku
sebagai orang perantara itu?
Baru berpikir begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak, serunya: Moaymoay, kalau
begitu nyata kau tak jatuh hati kepada badak itu?
Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu rupa?
Tiau-ing bersungut-sungut.
Badak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat-mo-lek. Asal ia mau
membantu kita, kelak kau menikah padanyapun tiada jeleknya, kata Su Tiau-gi.
Tiau-ing makin meradang: Koko, makin lama kata-katamu itu makin rendah. Jika kau tetap
bicara begitu, aku tak mau mempedulikan kau lagi.
kembali Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak: Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguhsungguh.
Dengarlah: toh budak itu menolak membantu kita, serta kaupun tak ada minat menikah
padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar
jangan sampai menerbitkan bahaya di kemudian hari.
Apa? Kau hendak membunuhnya? seru Tiau-ing.
Su Tiau-gi tertawa mengejek: Apa? Kau hendak melepaskannya? Tahukah kau bahwa
'menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar'?
Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasihatinya lagi, tetap Tiau-ing meminta waktu.
Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi
.... ha, ha, ha, ha, hm!
Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku? Tiau-ing tak mau mundur.
Ya, benar, memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berpihak kita, mengapa
kau tetap keberatan untuk membunuhnya, jawab Su Tiau-gi.
Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh
sekali aku ini!
Su Tiau-gi tertawa mengejek: Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hm, jangan kira aku
tak berani membunuhmu!
Tiau-ing balas tertawa menghina: Ayah saja tega kau bunuh, apalagi membunuh aku. Tapi
kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!
Su Tiau-gi menggembor keras: Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada
setan tua itu, bukan? Lihat golokku!
Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya: Pengawal, kemarilah!
Kiranya Tiau-ing lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih
tinggi dari Tiau-gi, pun ia turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya.
Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam-diam Khik-sia mengeluh. Tiba-tiba saat
itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk.
Toan Khik-sia, selama ini kau selalu tak memandang mata pada kau ji-suhengmu. Sekarang
jangan sesalkan aku seorang kejam! kedengaran orang itu tertawa dingin.
Orang itu bukan lain ialah Ceng-ceng-ji. Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok
Khiksia.
Kini barulah Khik-sia tersadar siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah Ceng-ceng-ji itu
memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi. Tapi pengertian Khik-sia itu sudah kasip karena saat
itu
pedang Ceng-ceng-ji sudah mengancam ke arah dadanya.
Tring .... Ceng-ceng-ji rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai.
Kiranya saat itu Khik-sia sudah dapat menggerakkan lwekangnya, walaupun baru 2-3 bagian
saja.
Dalam menghadapi saat-saat yang berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga ke arah ujung jari
dan dengan sekuatnya ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-thong. Sekali menutuk dengan jari
tengahnya, dapatlah ia membuat tangan Ceng-ceng-ji kesemutan.
Berhasilnya tutukan Khik-sia itu, benar-benar secara kebetulan sekali. Pertama, karena
Cengceng-
ji kelewat bernafsu sekali. Ia kira Khik-sia sudah takmampu berkutik, apalagi balas
menyerang. Kedua kalinya karena posisi Khik-sia itu amat menguntungkan. Sebenarnya dengan
berbaring di atas ranjang itu, posisi Khik-sia amat berbahaya. Tapi dengan kecerdikannya, ia
dapat

merubah posisi yang berbahaya menjadi menguntungkan baginya.
Kepandaian Ceng-ceng-ji hanya terpaut tak banyak dengan Khik-sia. Dalam keadaan seperti
saat itu, Khik-sia pasti kalah melawan ji-suhengnya itu. Tapi ada beberapa hal yang
menguntungkan bagi Khik-sia. Kesatu; Ceng-ceng-ji datang dari tempat yang terang dan
melongok
ke dalam pembaringan yang gelap. Khik-sia tahu gerakan tangannya, sebaliknya Ceng-ceng-ji
tak
tahu akan gerakan Khik-sia. Inilah faktor-faktor yang menguntungkan.
Kejut Ceng-ceng-ji bukan kepalang, pikirnya: Jangan-jangan ia sudah mendapat obat penawar,
dan sengaja memancing aku untuk dibokongnya, ha?
Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali. Begitu mendapat tutukan tadi,
secara otomatis ia sudah lantas loncat ke belakang untuk bersiap. Tapi hal itu justeru suatu
keuntungan bagi Khik-sia. Coba Ceng-ceng-ji menghantamnya lagi, Khik-sia tentu sudah binasa.
Celakanya Ceng-ceng-ji sudah pecah nyalinya.
Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak nampak Khik-sia turun dari pembaringan,
mulailah timbullah kecurigaannya. Tiba-tiba terdengar aum senjata rahasia, melayang di udara.
Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga batang passer sembari mendamprat: Ceng-ceng-ji,
besar
sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan pembunuhan!
Makian nona itu malah menimbulkan perubahan pada dugaan Ceng-ceng-ji, pikirnya: Jika Su
Tiau-ing telah memberikan obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup hendak
menolongnya.
Sudah tentu ketiga batang passer Tiau-ing itu tak dapat mengenai Ceng-ceng-ji. Senjata itu
dapat dikebas jatuh olehnya semua.
Maaf, kongcu. Suteku bersembunyi di dalam kamarmu, biar kuberi pelajaran, maka terpaksa
aku lancang masuk ke kamarmu, serunya dengan tertawa.
Mendengar suara Ceng-ceng-ji, Su Tiau-gi segera meneriakinya: Ceng-ceng-ji, bunuh saja
budak perempuan hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau!
Hubungan Ceng-ceng-ji dengan keluarga Su kakak-beradik itu, hanyalah berdasarkan saling
menguntungkan saja. Sudah tentu ia tak begitu menaruh penghormatan terhadap 'kaisar' palsu
dan
'tuan puteri' tiruan itu. Maka tanpa mendapat perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh
Su Tiau-ing, ia lantas menyerbu ke tempat Khik-sia lagi.
Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng-ceng-ji, namun kepandaian nona itu cukup lihay.
Begitupun ketiga passernya itu tentu tak dapat melukai Ceng-ceng-ji, tapi sekurang-kurangnya
dapat menghalanginya untuk beberapa jenak. Dan dalam beberapa jenak itu, cukuplah sudah bagi
Su Tiau-ing untuk menerobos masuk. Baru Ceng-ceng-ji tiba di muka ranjang, punggungnya
sudah
disambar angin tabasan golok kim-to. Ceng-ceng-ji balikkan tangannya, dengan jurus wan-
kongsia-
tiau, ia tutuk jalan darah kiok-ti-hiat di lengan Tiau-ing. Su Tiau-ing malah merangsang maju
dan tabaskan goloknya di tangan kiri.
Serangan itu dilakukan dengan keras. Nona itu melakukan pertempuran nekad, biar dua-duanya
menderita luka. Jika Ceng-ceng-ji tak menarik pulang tangannya, paling banyak ia hanya dapat
membikin invalid sebelah tangan Tiau-ing. Tapi dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun
pasti
kena tertabas kutung oleh golok Su Tiau-ing. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan
sebuah
lengannya. Memang gerakannya pun luar biasa gesitnya. Dengan miringkan tubuh ia
menggelincir
ke samping. Dengan begitu tabasan Su Tiau-ing itu menemui tempat kosong.
Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak memaksa lawan menyingkir saja. Begitu
Ceng-ceng-ji menghindar ke samping, Su Tiau-ing cepat menduduki tempat Ceng-ceng-ji berdiri
tadi, yakni di depan ranjang Khik-sia. Di situ cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan. Bluk,
terus dilemparkan ke dalam ranjang, serunya: Ini obat penawar, lekas minumlah! Sekarang
kutolong kau, nanti aku yang akan minta tolong padamu!
Ceng-ceng-ji terkejut. Buru-buru ia hendak merebutnya, tapi Su Tiau-ing cepat lancarkan tiga
kali tabasan, tiap serangannya dilancarkan dengan nekad dan dahsyat. Sepasang goloknya
berebutrebutan
maju. Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul maju. Tak seperti permainan
golok tunggal yang harus berganti jurus lebih dulu.
Ceng-ceng-ji gunakan ilmu merebut senjata gong-chiu-jip-peh-jim. Tapi hanya dapat
menghindar dari tertabas saja, dan tak mampu merebut senjata si nona.

Khik-sia mendapat kesempatan minum obat penawar. Seperti oran yang tersadar dari
maboknya, bermula kepalanya pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali. Biarpun begitu,
lwekangnya masih belum pulih. Dicobanya untuk melakukan pernapasan agar hawa murninya
bergerak. Benar darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih belum dapat
dipusatkan. Kiranya memang begitulah jalannya obat penawar itu. Kalau caranya menyalurkan
darah tepat, juga harus menungguh sampai setengah jam, baru bisa pulih tenaganya.
Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik-sia, buru-buru ia meneriaki: Jangan turun
dari pembaringan dulu. Jika turun, kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah darahmu
terus!
Sudah tentu Ceng-ceng-ji tahu bagaimana berkerjanya obat penawar itu. Ia makin gugup karena
dalam setengah jam ini ia sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik-sia tentu
sudah
bangun. Tapi main gugup, makin celakalah ia. Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan
rapat sekali. Betapapun Ceng-ceng-ji melancarkan serangan yang dahsyat, paling-paling ia hanya
dapat merebut, sebuah golok Tiau-ing tapi berbareng itu iapun tentu menderita luka kena golok
si
nona yang satunya.
Sebenarnya jika Ceng-ceng-ji tak gugup, ia boleh gunakan siasat membikin lelah. Untuk
mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu memakan waktu sampai setengah jam. Justeru karena gugup
itu, hampir saja Ceng-ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing. Berulang kali Ceng-ceng-ji terpaksa
menghindar mundur. Dan kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit.
Tiba-tiba mata Ceng-ceng-ji tertumbuk akan benda yang berkilau-kilauan di lantai. Ah,
sungguh limbung sekali aku ini. Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh di lantai itu?
pikirnya menyesali diri sendiri.
Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su Tiau-ing. Nona itu celi sekali matanya. Demi
melihat mata Ceng-ceng-ji tertuju akan pedangnya yang menggeletak di lantai itu, tahulah ia
maksudnya. Baru Ceng-ceng-ji hendak bergerak, ia sudah lantas mendahuluinya menyerang:
Lihat golok! Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira-kira setengah meter di depan
ranjang.
Dengan gerak kek-cit-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, Ceng-ceng-ji sudah lantas
ulurkan tangan hendak menyambarnya. Kala itu jaraknya dekat dengan pedang. Tahu bakal kalah
dulu, Su Tiau-ing timpukkan lagi tiga batang passer. Yang dua ditujukan pada Ceng-ceng-ji yang
sebatang ke arah pedang itu.
Benar Ceng-ceng-ji tak jeri, tapi sedikitnya ia pun harus gerakkan tangan untuk
menyambutinya. Layang ketiga passer itu berlainan arahnya. Dua batang yang hendak
menyambar
dirinya, dapatlah ia sambuti. Tapi yang sebatang lagi telah lolos lewat di sampingnya. Yang ini ia
tak berhasil menyambarnya. Justeru passer inilah yang menuju ke arah pedang.
Passer yang melayang turun dari atas, sebenarnya sukar untuk membikin mencelat sasarannya.
Tapi Su Tiau-ing gunakan ilmu lincah. Begitu mengenai tangkai pedang, pedang itu menjadi
terbalik miring. Karena lantai amat licin, maka pedang itupun menggelincir ke muka. Meskipun
hanya meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk ke bawah kolong ranjang. Kini
sukarlah bagi Ceng-ceng-ji hendak mengambil pedangya itu, kecuali ia masuk ke bawah kolong.
Ceng-ceng-ji marah sekali, ia batalkan rencana menyambar pedang, kini ia berganti menyambar
orang. Dengan menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi kepada Su Tiau-ing,
kemudian dengan sebat sekali ia lantas membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik-sia.
Khik-sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia dapat melawan. Pun ketika Su Tiauing
dapat menghindari timpukan passer tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak mencengkeram
Khik-sia. Nona itu mengeluh.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan. Tapi anehnya, bukan suara Khik-sia, melainkan
Ceng-ceng-ji. Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi, Khik-sia dapat mengisar ke samping
hingga tangan Ceng-ceng-ji itu hanya mencengkeram kasur saja. Celakanya pedang pusaka milik
Khik-sia disembunyikan di dalam selimut dan pedang itu sudah dilolos dari sarungnya. Begitu
menyentuh benda dingin, Ceng-ceng-ji sudah kaget dan cepat-cepat tarik pulang tangannya,
namun
tak urung dua buah jarinya kena tergurat pecah oleh ujung pokiam Khi-sia.
Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi. Tapi demi melihat Ceng-ceng-ji yang menjerit sembari

tarik pulang tangannya, tahulah ia kalau terjadi perubahan. Cepat ia sudah lantas loncat maju
sembari babatkan sepasang goloknya. Ceng-ceng-ji tak dapat berbuat apa-apa, kecuali
membiarkan
Khik-sia duduk tepekur di dalam ranjang karena ia harus menghindari babatan golok Su Tiau-
ing.
Pada saat itu keadaan Khik-sia mencapai titik yang genting. Jika ia lantas loncat turun dari
ranjang, sekali peredaran darahnya tersesat, pasti celakalah ia. Bukan saja jerih payahnya tadi
akan
sia-sia, pun ia bakal rusak jasmaninya atau dalam istilahnya disebut co-hwe-jip-mo (terbakar
api
kemasukan setan). Syukur Su Tiau-ing juga seorang ahli lwekang. Tahu ia bagimana keadaan
Khik-sia nanti. Buru-buru ia meneriakinya: Toan kongcu, meramkanlah matamu!
Ia kuatir jika membuka mata, Khik-sia tentu melihat bagaimana ia sedang bertempur matimatian
dengan Ceng-ceng-ji. Kebanyakan pemuda itu tentu akan loncat turun membantunya. Dan
ini berbahaya sekali.
Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi.
Dengan mati-matian Su Tiau-ing mendesaknya terus, sehingga setindak demi setindak Ceng-
ceng-ji
dapat dihalau mundur dari muka ranjang.
Adalah pada saat itu, tiba-tiba paderi berjubah merah itu muncul.
Di luar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki: Harap taysu jangan beri ampun lagi.
Bunuh saja budak perempuan hina itu!
Su Tiau-ing juga berseru: Suhu, monyet tua ini menghina padaku, lekaslah bantu padaku.
Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong, kepala dari biara Oh-gik-mi-si do Cenghay.
Pada ketika Su Su-bing menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka pada paderi itu, ia
sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya. Hanya saja kala itu Su Tiau-ing masih
kecil,
tak pernah belajar silat padanya, maka paling-paling ia hanya dapat disebut calon murid saja.
Oh-gik-mi-si sebenarnya adalah tinggalan dari kaum agama Pek-kau dari Tibet. Adalah karena
beberapa partai agama di Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurusi
sehingga
dapat diduduki oleh Hoan Gong. Lebih dari 10 tahun Hoan Gong menempati biara itu. Kala itu
pertentangan agama di daerah Tibet sudah sirap. Ketua Pek-kau mengirim beberapa utusan ke
Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu. Karena tahu tak dapat melawan, akhirnya Hoan
Gong
pergi. Waktu itu Su Su-bing sudah meninggal, Su Tian-gi lalu mengundangnya dan mengangkat
menjadi kok-su atau penasehat agung.
Su Tiau-gi dan Su Tiau-ing itu berlainan ibu. Umur Tiau-gi lebih tua lima tahun dari adiknya.
Pada masa itu, Su Tiau-gi pernah belajar silat pada Hoan Gong setengah tahun lamanya.
Sebenarnya Su Tiau-ing punya guru lain. Tetapi sejak Hoan Ging datang, sedikit banyak ia juga
pernah mendapat pelajaran silat dari paderi itu. Jika menurut hubungan guru dan murid, Hoan
Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi daripada dengan Su Tiau-ing. Tetapi karena dalam hal bakat,
Su Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih suka pada gadis itu.
Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh gelap, maka buru-buru ia datang.
Setelah mengetahui bagaimana keadaannya, ia menjadi serba salah. Akhirnya ia mendapat suatu
pemecahan, serunya: Sama saudara sendiri mengapa bertengkar? Kongcu, haturkanlah maaf
kepada engkohmu!
Di luar kedengaran Su Tiau-gi berteriak-teriak: Budak hina itu telah bersekongkol mengundang
orang luar untuk melawan aku. Suhu, bunuh saja dia. Aku tak sudi mengakui adik lagi padanya.
Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku. Bagaimana kau suruh aku
menghaturkan maaf padanya? seru Su Tiau-ing.
Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya, sahut Hoan Gong.
Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani membunuh, apalagi terhadap aku.
Percuma saja kau akan menasehatinya, bantah Su Tiau-ing.
Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri, Hoan Gong belum mengetahui.
Meskipun ia juga seorang jahat, tapi setelah mendengar hal itu, berdirilah bulu romanya juga.
Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja dia! teriak Su Tiau-gi.
Suhu, kau dengar tidak itu? Ia begitu bernafsu untuk lekas-lekas melenyapkan aku supaya
rahasianya jangan sampai ketahuan, Su Tiau-ing tetap ngotot.
Hoan Gong lebih cenderung dengan kata-kata Su Tiau-ing. Ya, mengapa Su Tiau-gi begitu

bernafsu sekali menyuruhnya membunuh adik perempuannya itu?
Aku tak mau mengeloni siapa-siapa, karena kalian adalah saudara kandung sendiri, akhirnya
Hoan Gong memberi pernyataan.
Ceng-ceng-ji turut berkata juga: Akupun juga tak sengaja hendak melukai kongcu. Tetapi
bangsat itu adalah seorang pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar dengan
baginda. Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat itu, kedua belah pihak tentu akan puas.
Hoan Gong menimbang kata-kata Ceng-ceng-ji itu beralasan juga. Tapi ketika ia hendak turun
tangan pada Khik-sia, Su Tiau-ing sudah lantas meneriakinya: Suhu, jangan kena ditipu.
Pemuda
she Toan ini adalah sutenya. Toa-suhengnya, Gong-gong-ji, sayang sekali kepadanya.
Sebaliknya
monyet tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya. Jika kau bunuh orang she Toan itu,
berarti kau hanya bantu menghimpaskan dendam pribadi monyet tua itu. Tetapi resikonya,
Gonggong-
ji tentu akan membikin perhitungan padamu.
Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya: Apakah keterangan itu benar atau salah, yang terang
Gong-gong-ji itu tak boleh dimusuhi.
Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat pergi. Baru Su Tiau-ing dapat
bernafas longgar, sekonyong-konyong Uh-bun Jui muncul.
Hai, Uh-bun Jui, hendak mengapa kau? Jangan lupa, tanganku masih mencekal golok! teriak
Su Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak: Uh-bun Jui, itu lihatlah siapa yang berbaring di dalam
ranjangnya itu. Burung merpatimu sudah didahului orang, lho!
Kiranya adanya Uh-bun Jui sampai mengkhianati perguruannya dan mengadakan perebutan
pangcu Kay-pang, adalah karena bujukan Su Tiau-ing. Su Tiau-ing hendak menggunakan tenaga
partai Kay-pang untuk melawan tentara kerajaan Tong. Sementara Uh-bun Jui juga hendak
pinjam
tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu Kay-pang. Tapi faktor yang terutama, ialah
karena ia tergila-gila akan kecantikan Su Tiau-ing. Memang paras cantik itu sering membikin
orang
lupa daratan. Kalau tidak, masakan Uh-bun Jui berani bertindak begitu rupa.
Rupanya Ceng-ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu. Sekali berkata, ia dapat menusuk perasaan
Uh-bun Jui. Terdorong oleh rasa cemburu, berkobarlah mafsu membunuh dalam sanubari Uh-
bun
Jui.
Kongcu, aku sekali-kali tak berani melawan kau. Tapi demi untuk menjaga nama
kehormatanmu, aku takkan membiarkan kau terpikat oleh bangsat itu, kata Uh-bun Jui.
Su Tiau-ing mendampratnya: Jangan ngaco belo tak keruan, enyahlah!
Kembali Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: Uh-bun Jui, apakah kau masih punya setitik pambek
lelaki jantan? Dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur di pembaringannya,
masakan kau lantas diam-diam mau ngacir?
Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan tongkatnya, ia berlarian menghampiri
ranjang.
Kongcu, maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku tetap harus membinasakan bangsat
ini! teriaknya dengan keras.
Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Ceng-ceng-ji tak mau memberi
kesempatan. Ia merangsek seru, sehingga nona itu tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi.
Memang
kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng-ceng-ji. Karena bingung, permainan
goloknyapun
menjadi rancu. Dengan beberapa rangsangan, dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona itu terpisah
lebih jauh dari ranjang.
Seperti diterangkan di atas, saat itu Khik-sia sedang berada dalam keadaan yang kritis (genting).
Ia tak dapat menangkis serangan Uh-bun Jui itu. Tongkat Uh-bun Jui tepat mengenai pundaknya.
Khik-sia cepat putar tubuhnya, sehingga membelakangi Uh-bun Jui.
Uh-bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya. Pikirnya hendak hantam pecah kepala
Khik-sia.
Dan anehnya, Khik-sia malah gunakan jurus hong-tiam-thau (burung hong mengangguk), ia
sodorkan punggungnya ke belakang. Dess .... terdengar bunyi macam rumput dipotong.
Punggung
Khik-sia terpukul tongkat, tapi seketika itu Uh-bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas,
hampir

saja tongkatnya terlepas jatuh.
Kiranya saat itu sudah lewat agak lama. Meskipun jalan darah Cap-ji-ciong-lo di tubuh Khiksia
belum tertembus, tapi ia sudah mendapat kembali 6-7 bagian tenaganya. Dengan tenaga itu saja,
cukup sudah baginya untuk menyengkelit Uh-bun Jui. Tapi kuatir usahanya tadi akan gagal
seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak, maka ia tak mau turun tangan. Sekalipun
begitu, dengan paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya ke arah punggung. Sudah tentu
pukulan Uh-bun Jui tadi sedikitpun tak menjadikan soal.
Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati Su Tiau-ing menjadi guncang. Ia tahu
bahwa bekerjanya obat penawarnya itu harus menunggu sampai setengah jam, atau sama dengan
2
batang dupa terbakar habis. Kini, kira-kira temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis. Ia
duga Khik-sia tentu belum dapat melawan, jadi keadaannya tentu berbahaya. Hal itu disebabkan
karena ia belum mengetahui sampai di mana kesempurnaan lwekang Khik-sia.
Tidak demikian dengan Ceng-ceng-ji yang sudah kawakan. Demi mendengar bunyi tongkat itu
agak lain, ia sudah menduga jelek. Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau-ing. Buru-buru ia
merangsek
Su Tiau-ing dengan jurus pay-hun-chiu. Su Tiau-ing masih belum banyak pengalamannya
bertempur. Saat itu karena memikirkan keselamatan Khik-sia, pikirannya menjadi kacau
sehingga
permainannyapun rancu. Golok di tangan kirinya kena ditampar oleh Ceng-ceng-ji sampai
terlepas
jatuh. Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendornya permainan Su Tiau-ing.
Musuh utama bagi Ceng-ceng-ji adalah Khik-sia. Selain itu memang ia tak berniat hendak
melukai Su Tiau-ing. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyelinap dari halangan si nona
menuju ke muka ranjang. Setelah mendorong Uh-bun Jui ke samping, ia lantas menghantam
Khiksia.
Tiba-tiba seperti bola, tubuh Khik-sia melambung ke atas. Brak .... bukan tubuh Khik-sia tetapi
ranjanglah yang menjadi sasaran hantaman Ceng-ceng-ji itu hingga remuk. Po-kiam Khik-sia
jatuh
ke lantai, sementara pedang Ceng-ceng-ji yang menyurup ke bawah kolong tadi, kini teruruk
oleh
ranjang. Untung tidak seluruhnya karena tangkainya masih kelihatan menonjol di luar.
Su Tiau-ing memburu datang dengan sebuah tabasan. Ceng-ceng-ji memiliki ilmu thing-
hongpian-
ki atau dengar anginnya mengetahui senjata. Tanpa menolek, ia tamparkan tangannya ke
belakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing. Sedang tangannya yang lain hendak menyambar
pedangnya. Su Tiau-ing tanpa mempedulikan jiwanya lagi, terus mencecar Ceng-ceng-ji.
Uh-bun Jui, lekas rebut pokiam! serunya.
Pada saat Su tiau-ing mengirim tabasan yang keempat, Ceng-ceng-ji sudah berhasil memperoleh
pedangnya. Begitu berputar tubuh, ia lantas membacok Su Tiau-ing.
Setelah mendapat peringatan dari Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui cepat memungut pokiam Khik-sia.
Girangnya bukan kepalang. Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, juga
tubuhmu
itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakah tak mempan ditusuk senjata, pikirnya.
Ketika mengawasi ke muka, dilihatnya tubuh Khik-sia sudah turun di lantai dan tetap masih
duduk bersila seperti tadi. Habis menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk. Yang
diarah
ialah tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia. Jika kena, Khik-sia tentu akan menjadi cacat seumur
hidup.
Tapi Khik-sia cepat miringkan tubuhnya ke samping. Cret, yang kena hanyalah secarik
pakaiannya saja, sedang ujung pokiam lalu di atas pundaknya. Khik-sia gunakan lwekang untuk
menyedot. Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun Jui sampai separuh bagian
sehingga anak muda she Uh-bun itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi. Hampir
saja
ia menyeruduk tubuh Khik-sia.
Uh-bun Jui juga seorang ahli silat. Pada saat itu ia tahu kalau Khik-sia juga dapat menggunakan
ilmu lwekang tinggi. Kejutnya bukan main. Takut kalau dibalas, saking gugupnya, ia lantas
susuli
menghantamkan tongkatnya. Memang pukulannya itu tepat mengenai bahu Khik-sia, tapi
akibatnya malah lebih runyam. Daya membal yang dipancarkan bahu Khik-sia lebih besar dari
tadi.
Krek ..... tongkat Uh-bun Jui kutung menjadi dua. Sedang Uh-bun Jui sendiri terpental mundur
sampai beberapa langkah. Untung karena kencang-kencang mencekalnya, pokiam tak sampai
jatuh
terlepas dari tangannya.
Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir dari serangan pedang ini! ia

berteriak keras seraya tusukkan ujung pokiam ke punggung lawan.
Lepaskan! tiba-tiba kedengaran Khik-sia buka suara. Dengan dua buah jarinya ia menjepit
batang pokiam itu. Jepitannya itu tepat benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja.
Kejut Uh-bun Jui tak terperikan. Baru saja ia hendak memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan
dua buah jarinya saja, pokiam sudah berpindah ke tangan yang empunya (Khik-sia). Dan tiba-
tiba
Khik-sia loncat bangun.
Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang! seru pemuda itu.
Uh-bun Jui gunakan separuh kutungan tongkatnya tadi sebagai senjata. Tapi dengan mudahnya,
dapatlah Khik-sia memapas lagi tongkatnya itu hingga hanya ketinggalan sedikit di bagian
tangkai
yang dicekalnya. Coba Uh-bun Jui tak cepat menarik tangannya, mungkin pergelangan
tangannya
juga ikut hilang.
Ternyata serangan kalap Uh-bun Jui dengan tongkatnya tadi, bukannya melukai Khik-sia
sebaliknya malah memberi bantuan besar kepadanya. Seperti diketahui, penyaluran lwekang
Khiksia
pada saat itu sedang dalam tingkat yang genting. Kebetulan Uh-bun Jui menggebuknya, ini ia
pergunakan untuk mempercepat pengaliran darahnya. Setelah bagian Cap-ji-ciong-lo dapat
menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam lamanya, tenaganya dengan cepat sudah
dapat pulih kembali. Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang indah.
Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh-bun Jui terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia,
kejut Uh-bun Jui serasa terbang semangatnya. Saat itu asal Khik-sia mau menusuk lagi, jiwa
Uhbun
Jui pasti melayang. Tapi tiba-tiba terdengar suara logam jatuh berkerontangan di lantai.
Kiranya golok di tangan kanan Su Tiau-ing juga kena dipapas kutung oleh pedang Ceng-ceng-ji.
Saat itu hubungan Su tiau-ing dengan Khik-sia bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai
sahabat. Si nona terancam bahaya, sudah tentu Khik-sia tak mau berpeluk tangan mengawasi
saja.
Dalam pada itu Khik-sia juga berpendapat bahwa Uh-bun Jui itu adalah anak murid Kay-pang.
Sebaiknya ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi hukuman.
Dengan keputusan itu, secepat kilat ia sudah meluncur ke muka Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji
cepat lancarkan jurus istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar rembulan. Tiga
serangan sekaligus ia balingkan ke kiri untuk menusuk jalan darah peh-hay-hiat, ke kanan
menusuk
jalan darah hu-tho-hiat dan ke tengah menusuk jalan darah suan-ki-hiat. Tiga serangan dalam
satu
jurus itu, adalah jurus mematikan yang paling ia andalkan. Hebatnya bukan olah-olah.
Melihat ji-suhengnya sedemikian buasnya, marahlah Khik-sia. Ia berseru nyaring: Ceng-cengji,
karena kau begitu keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku yang tak mau
mengakui kau sebagai saudara seperguruan lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng
dan
sute, putus sampai di sini!
Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan. Berulang kali terdengar bunyi
mendering yang memekakkan telinga. Keduanya sama bergerak cepat. Dalam waktu Khik-sia
mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah beberapa kali saling beradu.
Pedang pendek dari emas murni Ceng-ceng-ji, sebenarnya tak kalah dengan pedang pusaka
peninggalan keluarga Toan. Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu. Dalam
beberapa benturan senjata itu, kalau Khik-sia masih tak merasa apa-apa, adalah Ceng-ceng-ji
yang
sudah rasakan tangannya panas kesakitan. Pedangnya hampir saja terlepas.
Kini Ceng-ceng-ji tak berani adu kekerasan. Ia ganti siasat gunakan kelincahan. Mereka adalah
seperguruan. Keduanya saling mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing. Diam-
diam
Khik-sia membatin: Dapat kukalahkan dia, tapi pun harus melalui seratus jurus. Musuh
berjumlah
banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang, sukarlah untukku lolos lagi.
Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong-jip-hay atau naga sakti menyusup ke dalam laut.
Pokiam diputar naik turun ke kanan-kiri sehingga mau tak mau Ceng-ceng-ji harus mundur.
Maafkan, aku hendak pergi dululah! ia lontarkan pukulan biat-gong-ciang untuk
menghancurkan jendela dan terus hendak loncat keluar.
Hai, apakah aku masih dapat tinggal di sini?! teriak Su Tiau-ing.
Sebenarnya separuh tubuh Khik-sia sudah menyusup keluar jendela. Tapi begitu mendengar jerit
keluhan si nona tadi, ia segera hentikan tubuhnya. Dengan gaetkan sebelah kakinya ke pinggir

jendela, ia berpaling melongok ke belakang. Dilihatnya Su Tiau-ing pun ternyata mengikuti di
belakangnya. Sedang Ceng-ceng-ji sudah tusukkan pedangnya ke pinggang gadis itu.
Bermula Khik-sia kira kalau Ceng-ceng-ji tentu tak berani membunuh Su Tiau-ing. Tapi apa
yang dilihatnya itu, ternyata berlainan. Ceng-ceng-ji benar-benar tak mau kasih ampun lagi.
Terkilas dalam pikiran Khik-sia: Ya, benarlah, seorang lelaki harus menarik garis tajam antara
budi
dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong
jiwaku. Masakan aku takkan mempedulikannya.
Persatuan gerak tubuh Khik-sia dengan pedangnya, telah mencapai suatu tingkat yang dapat
digerakkan menurut sekehendak hatinya. Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada ujung jendela,
ia
segera ayunkan tubuhnya ke muka. Tangan kirinya menusuk pada Ceng-ceng-ji. Pedang pusaka
Toan Khik-sia itu lebih dari setengah meter panjangnya. Sedangkan pedang Ceng-ceng-ji hanya
9
inci, jadi pokiam Khik-sia lebih panjang hampir setengah meter. Dengan keuntungan itu,
meskipun
Khik-sia bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia menghalangi Ceng-ceng-ji. Tapi
kerugiannya karena bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Begitu kedua
pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik-sia hampir mau jatuh. Tapi dengan cepat ia
lengkungkan tubuhnya ke bawah untuk menyambar Su Tiau-ing terus dibawa loncat keluar.
Gerakan Khik-sia itu termasuk ilmu gin-kang yang hebat.
Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su (pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar.
Tapi karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi karena di dalam sudah ada
Cengceng-
ji, mereka anggap belum perlu turun tangan. Mereka tidak masuk ke dalam kamar Su Tiauing
dan hanya menunggu di luar saja.
Saat itu demi Khik-sia lolos keluar dan Su Tiau-gi pun sudah memberi perintah untuk
membunuh, maka menyerbulah mereka. Ketika Khik-sia masih melayang di udara, puluhan
tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya. Khik-sia berseru keras sembari mainkan
pedangnya dalam jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang 8 penjuru. Tring, tring,
terdengar
suara mendering susul menyusul. Sembari melayang turun, Khik-sia sudah memapasi kutung
senjata kawanan busu itu.
Kala itu Ceng-ceng-ji pun sudah mengejar loncat dari jendela. Melihat itu Khik-sia segera
berikan pokiamnya kepada Su Tiau-ing. Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan
keluar
dan biarlah aku yang menahan mereka.
Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut-kejut girang. Benar juga dalam lain kejap
saja, Ceng-ceng-ji sudah menyerang dengan pedangnya. Begitu merasa belakang kepalanaya ada
angin menyambar, tiba-tiba Khik-sia balikkan tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk
telapak tangan Ceng-ceng-ji. Kejut Ceng-ceng-ji tak terkira, pikirnya: Suhu ternyata berat
sebelah.
Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu, dahulu suhu tak mau mengajarkan padaku. Tetapi telah
memberikan kepada anak itu.
Di tengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang disebut lau-kiong-hiat, merupakan
salah satu bagian yang mematikan orang. Saking gugupnya, Cng-ceng-ji cepat-cepat ganti
gerakannya. Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh Khik-sia untuk menusuk bagian bawah iga
Khik-sia. Tapi saat itu Khik-sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh menghadapi
lawan.
Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya. Yang satu untuk menghantam pedang
Ceng-ceng-ji, yang satunya untuk memukul lutut Ceng-ceng-ji. Pukulan yang dilancarkan secara
tiba-tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng-ceng-ji tak sempat menghindar lagi. Ia
terpelanting jatuh pedangnyapun mencelat ke udara. Khik-sia sambar tubuh bu-su itu. Sementara
dalam detik-detik itu juga Khik-sia sudah menyingkir ke samping.
Melihat Khik-sia dan Ceng-ceng-ji bertempur begitu seru, kawanan bu-su itu berteriak-teriak
sembari berpencaran ke empat penjuru. Tak berani lagi rupanya mereka hendak mengganggu
Khiksia.
Khik-sia hanya dengan tangan kosong. Ceng-ceng-ji gunakan pedang. Untuk itu Khik-sia
hanya andalkan kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kiong-ci-hwat. Mereka bertempur
dengan rapat. Sembari melawan, Khik-sia terus main mundur.
Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini mendadak garang. Kini kawanan bu-su yang

biasanya amat garang, saat itupun tak berani menghalangi Su Tiau-ing. Tengah Su Tiau-ing
kegirangan, sekonyong-konyong ada sebatang tombak meluncur ke arahnya. Ia cepat tabaskan
pokiam, tring, sinar api terpercik dan batang tombak itu tergurat melowek, tapi tidak putus.
Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit kesemutan sekali hingga hampir tak kuat
mencekal
pedangnya lagi.
Berpaling ke belakang ia melihat seorang bertubuh tinggi besar (tingginya sampai 2 meteran),
mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bertancap bunga. Dari
dandanannya
yang aneh itu, ia benar-benar menyerupai Hek-sat-sin atau Malaikat Maut Hitam. Orang itulah
yang menghadang Su Tiau-ing sembari ketawa meringis. Su Tiau-ing terkejut dan diam-diam
mengeluh.
Kiranya orang itu adalah putera dari raja pribumi suku Ki namanya Chomulun. Sejak Su Tiaugi
tiba di daerah situ, Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau-ing. Acapkali
ia mengikuti nona itu. Su Tiau-ing benci kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga
ayah
dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya.
Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Dengan tangan kosong ia dapat
memukul mati harimau. Tombaknya itu beratnya 72 kati. Dimainkannya kekuatannya sama
dengan
puluhan orang. Tusukannya tadi hanya menggunakan 2-3 bagian tenaganya saja, coba tidak, Su
Tiau-ing tentu sudah hancur.
Yan Khan (raja Yan), adikmu itu cantik benar, sayang kalau dibunuh, lebih baik kasih aku
saja, serunya kepada Su Tiau-gi.
Bunuh dulu bangsat itu, baru nanti kuserahkan ia padamu, sahut Su Tiau-gi.
Apanya yang sukar? teriak pangeran itu.
Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik-sia, tapi kuatir Su Tiau-ing akan merat
lolos, ia lantas bersuara: Hai, buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja! Engkohmu sudah
meluluskan.
Tak mampu memapas kutung tombak si 'raksasa' dan tak dapat menerobos hadangannya, Su
Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Dalam keadaan berbahaya, timbul akalnya. Pura-pura ia
lantas
tertawa kepada Chomulun.
Girang si raksasa bukan main, serunya: Orang cantik, apakah kau meluluskan?
Sahut Su Tiau-ing: Yang kupuja adalah kaum pahlawan gagah perkasa. Asal kau dapat
menangkan dia (ia menunjuk Khik-sia), mau aku menikah padamu.
Benarkah? Kau tak lari? Chomulun menegas.
Tak nanti aku melarikan diri. Tapi kau harus bertanding satu lawan satu. Jika menang, barulah
kuanggap gagah perkasa, seru Su Tiau-ing.
Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa: Sudah tentu begitu, mengapa aku
harus minta bantuan orang?
Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua itu. Jika monyet tua itu sampai
melukai aku, bagaimana nanti?
Chomulun berseru keras: Kau adalah orangku. Siapa yang berani mengganggu selembar
rambutmu saja, tentu akan kubunuhnya.
Dengan mainkan tombak besinya, benar juga Chomulun lantas menghampiri Khik-sia.
Teriaknya dengan suara menggeledek: Hai, monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur budak
ini.
Yang disebut-sebut 'monyet tua' itu adalah Ceng-ceng-ji. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak terima
dihina begitu. Sahutnya dengan tertawa mengejek: Siau-ong-ya, jangan termakan tipunya (Su
Tiau-ing). Budak itu lihay sekali.
Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan di dunia ini. Mendengar ejekan
Cengceng-
ji, marahnya bukan main: Bagaimana lihaynya? Apakah lebih lihay dari singa? Apakah
lebih buas dari harimau? Kau sendirilah yang tak berguna, tak mampu mengalahkan lalu
memujimujinya
setinggi langit!
Saking marahnya ubun-ubun kepala Ceng-ceng-ji sampai keluar asap. Sebenarnya, ia tak mau
menyingkir, tapi demi hasil pertempurannya dengan Khik-sia tadi berimbang saja jika Chomulun
si
raksasa limbung itu benar-benar akan menombaknya, tentu akan berbahaya sekali. Akhirnya

terpaksa ia kendalikan kemarahannya dan tertawa dingin: Bagus, kau benar-benar tak tahu
gelagat.
Karena kau hendak maju mengantarkan jiwa, silahkan majulah!
Chomulun membentak keras: Monyet tua, kau berani menghina aku? Tunggulah setelah
kuselesaikan budah ini tentu kubikin perhitungan padamu!
Ceng-ceng-ji tertawa mengejek dan mengundurkan diri. Maju dua langkah, Chomulun lantas
putar tombaknya sehingga menerbitkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik-sia: Kau minta
senjata apa, biar kusuruh orang mengambilkan agar kau jangan mati penasaran.
Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan kegagahannya di hadapan Su Tiau-ing.
Menandaskan bahwa ia tak mau membunuh orang yang tak bersenjata.
Khik-sia tak ada waktu untuk meladeni orang limbung itu. Berbareng mulutnya berseru: Aku
minta tombakmu ini, lepaslah! -- Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar ujung tombak
orang.
Hai, budak ini kuat sekali! teriak Chomulun dengan kaget. Ia gunakan kedua tangannya
untuk memegang kencang-kencang tangkai tombaknya. Khik-sia menariknya, tapi tak berhasil
merebut dari tangan raksasa itu.
Kau tak mau melepaskan? Hm, kau sendiri yang minta sakit! teriak Khik-sia yang lantas
hantamkan tangan kirinya ke arah batang tombak. Tar, seperti bunyi halilintar menyambar
memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang
tombaknya terus menghantam ke dadanya. Darahnya serasa bergolak dan gedebuk .... ia jatuh
terbalik dengan kaki di atas. Sudah tentu tombaknya beralih ke tangan Khik-sia.
Kiranya Khik-sia telah gunakan pukulan lwekang kek-but-coan-kang. Ia salurkan lwekang
melalui batang tombak terus menghantam tubuh lawan. Betapapun kuatnya tenaga Chomulun
itu,
tapi mana ia kuat menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian kuatnya?
Sekonyong-konyong terdengar dua kali deru angin menyambar dari kanan-kiri Khik-sia.
Cengceng-
ji dan Ma tianglo dari partai Kay-pang telah serempak menyerang Khik-sia. Selagi Khik-sia
merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus diserangnya saja. Memang tombak
itu
senjata yang sukar untuk digunakan bertempur secara rapat. Tapi ilmu ginkang Khik-sia itu
sudah
mencapai tingkat yang sedemikian rupa. Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, ia
cepat lemparkan tombaknya ke udara, kemudian ia enjot tubuhnya untuk melambung. Sambil
menyambar tombak, ia melayang turun tiga tombak jauhnya. Kini ia mempunyai jarak yang
lapang
dengan Ceng-ceng-ji dan Ma tianglo. Dengan tangkasnya, mulailah ia kembangkan permainan
tombak.
Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak
Khik-sia. Tianglo itu lekas-lekas mundur. Seperti telah diterangkan di atas, tombak itu beratnya
72
kati. Pedang Ceng-ceng-ji pun tak mampu memapas kutung. Khik-sia mainkan tombaknya
sedemikian rupa hingga ibarat percikan airpun tak dapat menerobos masuk. Dalam keadaan
begini,
Ceng-ceng-ji tak berdaya untuk merangseknya.
Chomulun pun membawa pengawal sejumlah 50 orang. Pengawalnya itu disebut pasukan
Thing-pay-chiu atau pasukan perisai rotan. Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri berjajar
menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan sampai Su Tiau-ing lolos. Begitu Chomulun
terbanting ke tanah, Su Tiau-ing lantas tertawa mengejek: Tuh, lihat, siau-ong-ya kalian sudah
menang, aku sekarang hendak pergi.
Anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu masing-masing memegang golok dan perisai rotan.
Perisai itu dapat menahan bacokan senjata tajam. Benar pokiam Su Tiau-ing dapat
menghancurkan
perisai mereka itu, tapi jumlah mereka banyak. Satu hancur, dua maju. Dua hancur, empat maju,
demikian seterusnya. Lima puluh anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu seperti kumbang,
mengepung Su Tiau-ing dari delapan penjuru. Kepungan mereka itu makin lama makin rapat.
Sulitlah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos keluar.
Khik-sia tak mau mengorbankan banyak jiwa. Tiba-tiba ia putar tombaknya dan menggembor
keras. Ditusukkannya tombak pada sebuah tiang batu. Krek, bum ..... pecahlah batu berhamburan
kemana-mana dan pilar batu itu telah kena tertusuk sampai berlubang. Setelah itu ia putar
tombaknya sampai seperti kitiran dan berseru nyaring: Siapa yang menghadang tentu mati, yang

menyingkir akan hidup. Coba saja kalian tanya pada diri kalian sendiri. Apakah kepala kalian itu
lebih keras dari pilar batu ini?
Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya bangsa jagoan yang buas dan tak takut
mati. Tapi demi melihat Khik-sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali mereka. Dengan
berteriak-teriak keras, mereka sama lari tunggang langgang ke empat jurusan. Sebetulnya mereka
itu bukan takut mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik-sia yang mengamuk seperti
banteng ketaton itu.
Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau-gi memanggil adiknya: Moaymoay,
apakah kau sungguh-sungguh hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu?
Su Tiau-ing tertawa mengejek: Ho, jadi kau masih menganggap aku sebagai adik? Sejak saat
ini, hubungan kita sebagai kakak-adik, putuslah.
Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru, Uh-bun Jui menerobos maju dan berseru:
Nona Su, jika siang-siang tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah?
Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab: Kebaikanmu, tetap kuingat. Kini aku telah mengambil
ketetapan untuk tinggalkan tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku.
Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas. Uh-bun Jui berteriak, lalu ngacir pergi.
Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu, dapatlah Khik-sia dalam waktu yang
singkat membuka jalan lolos. Ia terus menerjang ke pintu besar. Su Tiau-gi perintahkan pasukan
panahnya untuk mengejar dan lepaskan anak panah. Ceng-ceng-ji pun ikut memburu.
Bagaikan kawanan belalang, ribuan batang panah segera menghujani Khik-sia dan Su Tiau-ing.
Tapi Khik-sia tetap putar tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiau-ing di
dalam
membuka jalan lari itu. Tiba-tiba di antara hujang anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar
perak bergemerlapan. Pada lain kejap sekonyong-konyong Su Tiau-ing berteriak mengaduh:
Celaka, aku terkena senjata rahasia!
Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak. Kiranya dialah yang melepaskan jarum rahasia bwe-hoaciam
itu. Timpukannya itu dapat mencapai jarak tiga tombak lebih. Yang lebih hebat lagi, jarum
rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Daripada panah, jarum itu jauh lebih sukar
dijaganya.
Khik-sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti 19 batang anak panah. Kemudian
dengan gunakan ilmu timpukan Thian-li-sam-hoa atau bidadari menabur bunga, ia timpukkan
anak
panah itu ke arah Ceng-ceng-ji. Karena lwekangnya tinggi, maka timpukannya itu tak kalah
lihaynya dengan kekuatan busur. Ana-anak panah yang ditimpukkan itu mendengung-dengung di
udara. Ceng-ceng-ji tak berani menyambutinya, buru-buru ia putar pedang untuk melindungi diri
sembari menyingkir ke samping. Luput mendapat sasaran Ceng-ceng-ji, anak-anak panah itu
telah
mengganyang beberapa orang anggota pasukan pemanah. Pasukan pemanah itupun tak berani
merangsek dekat-dekat lagi.
Di bagian mana yang terluka? tanya Khik-sia.
Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki, sahut Su Tiau-ing. Ia teringsut-ingsut, larinya
susah sekali. Sejenak Khik-sia kerutkan alis, terus memimpinnya diajak berlari.
Tiba-tiba di muka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu datang.
Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah aku? Su Tiau-ing menegur opsir
pemimpin barisan itu.
Ah, aku tak berani mengganggu kongcu. Harap kongcu menyingkir, aku hanya akan
membunuh maling kecil itu, sahut opsir itu. Dan pada waktu ia berkata itu, dengan menunggang
kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik-sia dengan tombaknya.
Ciangkun atau jenderal orang she Ong itu, mahir dalam ilmu permainan pat-coa-un (tombak
delapan ular). Di antara orang sebawahan Su Tiau-gi, ia termasuk opsir yang gagah perkasa. Tapi
apa lacur, berhadapan dengan Khik-sia, benar-benar ia ketemu dengan batunya.
Bagus! seru Khik-sia sembari tusukkan tombaknya. Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit
jatuh opsir itu. Kuda opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran. Tuannya jatuh,
binatang itu tetap menyerbu ke muka untuk meloloskan diri. Tapi dengan tangkas, Khik-sia cepat
menguasainya. Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya sudah kelewat mendesak, apa boleh
buat,

Khik-sia segera boncengkan nona itu di atas kuda.
Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah. Khik-sia menghadapi mereka dengan sebuah
taktik. Ia tak mau mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda tunggangannya. Dalam
beberapa
kejap saja, ia sudah berhasil melukai belasan ekor kuda. Karena terluka, kuda itu menjadi binal
dan
lari mencongklang keras. Kepanikan mereka itu telah menyebabkan pasukan kawannya yang
berada di belakang, menjadi terhalang. Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya lagi memutar
pokiam untuk melindungi anak muda itu dari serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan
kirinya).
Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu timbul hiruk pikuk yang
menggemparkan. Ketika Khik-sia berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul ke atas. Khik-sia
girang-girang terkejut, pikirnya: Cepat sekali datangnya api itu bagiku. Tapi entah siapakah
yang
diam-diam membantu aku itu?
Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu sudah gentar melihat kegagahan Khiksia.
Kedua kalinya, mereka kaget menampak di markas besarnya timbul bahaya kebakaran. Tanpa
banyak pikir lagi, mereka tinggalkan pengejarannya kepada Khik-sia, terus memburu ke arah
kebakaran.
Kini lepaslah Khik-sia dari kepungan. Ia congklangkan kudanya pesat-pesat. Ada belasan anak
buah Su Tiau-gi yang masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat dihalau taburan
anak panah Khik-sia. Yang masih mengejar, kini tinggal Ceng-ceng-ji seorang. Sebenarnya
dengan
gingkang yang dipunyai itu dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng-ji menyandak larinya
kuda.
Tapi karena ia hanya sendirian saja, nyalinya menjadi kecil juga. Setelah kejar beberapa saat,
waktu
mengetahui belakang tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng-cneg-ji, kalau-kalau
Khik-sia akan balik dan menyerangnya. Terpaksa iapun putar langkahnya dan lari balik.
Selolosnya Khik-sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah mengeluh dalam hati: Kalau nona ini
tak terluka, itulah mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan lagi, sebenarnya
juga
tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka. Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya
dengan engkohnya. Bagaimana aku tega tak menghiraukannya lagi?
Waktu masih bertempur tadi, Su Tiau-ing tak merasa kesakitan. Tapi kini setelah lolos dari
bahaya, ia mulai mengerang kesakitan. Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya itu, ia peluk
pinggang si anak muda erat-erat.
Khik-sia kerutkan alis dan menanyainya: Bagaimana, apakah kau merasa sakit sekali?
Kumerasa jarum itu seperti bergerak-gerak ke atas, makin lama makin menyusup lebih dalam,
jawab Su Tiau-ing.
Khik-sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana kepandaian bekas ji-suhengnya itu.
Pikirnya: Jika tak dicabut, dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang ke jantung. Pada
waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekalipun tidak kena jantung dan hanya menyusup ke dalam jalan
darah saja, juga akan menyebabkan invalid. Ah, tak nyana Ceng-ceng-ji itu sedemikian
ganasnya.
Terhadap nona Su, ia juga gunakan jarum rahasia.
Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik-sia tak dapat meninggalkannya. Katanya:
Kau tahan dulu sebentar, biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu.
Ia lari sampai 20-an li, mendaki sebuah gunung. Di situ ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun
dari kuda. Mereka masuk ke dalam sebuah hutan.
Maaf, aku telah membikin capek kau, kata Su Tiau-ing.
Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas menolongmu. Aku tak berterima kasih
kepadamu dan kaupun tak usah berterima kasih kepadaku, jawab Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa: Kiranya kau berniat hendak tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha
untuk mengobati lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya sandaran siapa-siapa lagi,
tapi tak nanti aku membayangi kau. Apalagi kau punya ginkang yang hebat. Setiap waktu kau
tinggalkan aku, masakan aku dapat mengejarmu lagi.
Khik-sia termekmek dengan kata-kata si nona yang membuka isi hatinya itu. Merahlah
wajahnya. Sampai sekian lama baru dapat berkata lagi: Aku bukan bermaksud begitu. Seorang
lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak suka menerima budi kebaikan orang.

Su Tiau-ing menjawab dengan sungguh-sungguh: Mana aku telah melepas budi padamu?
Adalah karena kau tidak baik, maka sampai hampir mencelakai dirimu. Kuberimu obat penawar,
itu sudah selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah merasa berterima kasih
tak
terhingga.
Khik-sia putuskan pembicaraan: Perkara lama, janganlah diungkat lagi. Sekarang, harap kau
duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu menyusup ke bagian mana?
Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya: Sepertinya menyusup sampai di betis, di sebelah jalan
darah sam-kwat-hiat.
Khik-sia bersangsi sebentar lalu berkata: Nona, maafkan kekurangajaranku. -- Tiba-tiba ia
pegang ujung kaki Su Tiau-ing, terus melepaskan sepatunya.
Akan kuambil jarum di kakimu itu, sahut Khik-sia.
Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan: Ai, kau ini memang ... Omong saja tak
jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan begitu kan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau
menyebutnyebut
soal kurang ajar atau tidak.
Kau tahankan, ya, sakitnya! Hendak kucabut keluar jarum itu. kata Khik-sia.
Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis si nona, kemudian mencekal kencang ujung
kakinya. Diam-diam ia kerahkan lwekangnya. Serangkum arus lwekang menyalur dan
mendorong
jarum itu keluar. Begitu ujung jarum menonjol, terus dipijat Khik-sia. Saking sakitnya Su Tiau-
ing
sampai mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar. Tanpa terasa, karena menahan kesakitan itu,
Su
Tiau-ing menyandar pada tubuh Khik-sia. Ketika melirik, didapatinya kedua belah pipi Khik-sia
merah padam, napasnya memburu.
Memang sebesar itu, belum pernah Khik-sia berjajar rapat dengan seorang gadis. Meskipun
saat itu untuk keperluan pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis yang harum
baunya, mau tak mau jantung Khik-sia berdebur keras. Sebaliknya Su Tiau-ing diam-diam
merasa
geli: Kiranya anak muda ini lebih pemaluan dari aku.
Dalam derita kesakitannya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia. Bahkan ia malah mengharap
kesakitannya itu bisa panjang waktunya. Dengan lwekang yang lihay, dalam sekejap saja
dapatlah
Khik-sia menekan jarum itu turun ke telapak kaki Su Tiau-ing. Begitu ujungnya menonjol
keluar,
Khik-sia gunakan dua buah jari untuk menariknya.
Aduh! Su Tiau-ing menjerit kesakitan. Tapi jarum itu sudah dapat dikeluarkan Khik-sia.
Setelah itu Khik-sia lalu melumuri obat. Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan napas
tersengalsengal,
sedangkan Khik-sia juga mandi keringat. Kala itu hari sudah gelap. Di celah gunung sang
dewi malam sudah mulai mengintip.
Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau bagaimana, apa sekarang mau pergi? seru
Su Tiau-ing.
Beristirahatlah dulu di sini sebentar. Aku hendak mencari makanan. Lukamu sudah sembuh.
Tenagamu lemas, karena kau tentu lapar, kata Khik-sia. Ia sendiri hanya makan semangkuk
bubur
pagi tadi. Dalam pertempuran tadi ia sudah gunakan tenaga tak sedikit. Kemudian mencabut
jarum
di kaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga.
Benar di hutan situ banyak binatangnya, tapi di waktu malam hari sukarlah untuk mencarinya.
Apalagi Khik-sia tak punya pengalaman berburu. Dengan susah payah, akhirnya ia hanya dapat
menangkap dua ekor kelinci hutan saja.
Jilid 8
Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan menyambutnya dengan senyum tertawa:
Kukira kau tak balik lagi!
Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku tentu sudah pergi, demikian Khiksia
membatin.
Tapi Su Tiau-ing rupanya tahu apa yang dibatin anak muda itu, serunya tawar: Di dunia tiada
perjamuan yang tiada berakhir. Baiklah, kurangkai bunga untuk kupesembahkan Hud. Biarlah

kusiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan kita.
Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula unggun api lalu mulai membakar kelinci
itu. Ditingkah oleh cahaya api, wajah nona itu tampak kemerah-merahan, suatu warna yang
makin
menambah kecantikan wajahnya. Hati Khik-sia berdebar-debar, pikirnya: Jika sehabis makan
lantas kutinggalkan, apakah tidak kelewat menyolok. Seorang gadis yang lukanya masih belum
sembuh, berada seorang diri di tengah hutan belantara, apakah tidak berbahaya? Jangan kata
engkohnya akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau-kalau sampai berjumpa
dengan
binatang buas saja, apakah jiwanya tak terancam nanti? Ai, tetapi .... tetapi .... apakah malam ini
aku harus menemaninya di sini?
Rembulan makin naik tinggi. Sinarnya menerobos di sela-sela daun pohon yang rindang
membawakan suatu suasana yang rawan. Angin malam berhembus mengantar bau bunga hutan
yang wangi. Keindahan suasana malam kala itu diperkaya dengan hadirnya seorang gadis jelita.
Pikiran Khik-sia melayang-layang .... Tiba-tiba ia teringat akan diri Yak-bwe. Pada malam yang
sedemikian indah inilah ia bertemu dengan nona itu. Di taman bunga gedung Sik Ko, untuk
pertama kali ia berjumpa dengan calon isterinya itu.
Ai, wktu itu perjumpaan kita diramaikan dengan pertengkaran. Dan ia malah memaki aku
sebagai pencuri. Tapi aku sendiri juga tidak baik, karena sikapku kepadanya juga getas-getas
mengejek.
Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik-sia. Adegan yang terjadi pada lain malam di
lain taman bunga pula yaitu di taman bunga Tok-ko U. --- Seorang diri ia mondar-mandir di
taman
bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U... Teringat sampai di sini, hati Khik-sia merasa pilu.
Buru-buru ia putuskan lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak-tidak.
Di dahului dengan pecahnya sang mulut karena tertawa, berserulah Su Tiau-ing: Apa yang kau
pikirkan? Kau tampak asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang.
Khik-sia gelagapan. Tiba-tiba teringat olehnya:
Pada malam dua bulan yang lalu, aku juga berjumpa empat mata dengan Su Yak-bwe. Tak
nyana kalau malam ini juga menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su
tapi bukan Su Yak-bwe. Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak-bwe) kan sudah mendapat
orang yang dipenujuinya.
Tersipu-sipu Khik-sia menyambuti kelinci bakar itu. Karena tak hati-hati, tangannya terbentur
dengan ranting yang dimasukkan ke dalam api oleh Su Tiau-ing tadi. Buru-buru ia tarik pulang
tangannya.
Ai, bagaimana kau ini? Apa yang kau pikirkan? Su Tiau-ing tertawa.
Cepat Khik-sia bersikap sungguh-sungguh dan bertanya: Aku hendak menanya suatu hal
padamu.
Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama? tanya Su Tiau-ing. Ia menatap pemuda
itu tajam-tajam.
Khik-sia batuk sebentar baru berkata: Kau sudah tinggalkan sarang kaum pemberontak.
Sebenarnya aku takkan mengungkat peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat terlepas dari
itu.
Su Tiau-ing tersirat hatinya, pikirnya: Ia memandang kerajaan Tay Yan sebagai sarang
pemberontak. Ia sendiri juga bangsa penyamun, mengapa begitu memandang rendah kepada
kaum
pemberontak? Apalagi keluargaku itu bukan bangsa pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu
menjadi raja, kalau gagal menjadi perampok. Masakah hal itu saja ia tak mengerti.
Ia paksakan tersenyum dan bertanya: Bilanglah, tentang hal apa?
Ciu Ko, pangcu dari Kay-pang apakah masih kalian tawan? tanya Khik-sia.
Oh, kiranya tentang hal itu. Jangan kuatir, bukankah tadi kau melihat di markas engkohku itu
terbit kebakaran? Su Tiau-ing balas bertanya.
Ha? Jadi kau tahu siapa yang melepas api itu? Apakah hubungan api itu dengan Ciu pangcu?
seru Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa: Kau begini pintarnya, masakan tak dapat menerka? Api itu aku yang
melepaskannya. Tempat yang terbakar itu adalah kamar tahanan Ciu pangcu.

Apa? Kau yang membakar? Apakah kau mempunyai ilmu Hun-sin-hwat (membagi diri)?
Khik-sia berseru kaget.
Su Tiau-ing menertawakannya: Apakah masih belum jelas? Benar aku tak punya ilmu hun-
sinhwat,
tapi toh aku punya budak kepercayaan?
Si nona masih tetap tertawa: Lama sudah kuduga, bahwa lambat atau lekas, engkohku itu tentu
bentrok dengan aku. Karena itu siang-siang telah kupesan orang-orang bila terjadi apa-apa harus
lekas menyulut api. Pertama, agar Ciu pangcu jangan sampai jatuh ke tangan engkohku. Kedua,
juga menguntungkan kita untuk lolos. Masihkah kau tak mengerti?
Kalau begitu, Ciu pangcu juga sudah lolos?
Sudah tentu. Memang sebenarnya aku tak berniat membunuhnya. Dengan susah payah
kutawannya, masakan lantas gampang-gampang mau membakarnya mati? sahut Su Tiau-ing.
Khik-sia seperti terlepas dari tindihan batu. Namun ia masih belum yakin, pikirnya: Agaknya
nona Su ini menjadi otak dari engkohnya di dalam merencanakan sesuatu. Merancang tipu siasat,
rupanya ia pandai sekali. Menawan Ciu pangcu itu, tentu juga ia yang mengatur. Tak terluput
diriku yang ditawan dan dijadikan orang perantara untuk menyampaikan maksudnya kepada
Thiat
toako tentu juga buah pikirannya. Tapi mengapa mendadak sontak ia merubah haluan,
melepaskan
Ciu pangcu dan putuskan hubungan dengan engkohnya? Apakah kesemuanya itu untuk diriku
semata-mata?
Su Tiau-ing tertawa: Pertanyaanmu telah kujawab. Ciu pangcu tidak binasa. Seharusnya kau
tak usah gelisah, tapi mengapa kau masih memikirkan apa-apa lagi?
Apakah kau tak menyesal putuskan hubungan dengan engkohmu? tanya Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa menyahut: Aku sebenarnya berlainan ibu dengan dia. Ia telah berbuat
khianat membunuh ayah kami dan telah menyebabkan ibuku meninggal karena marah. Coba kau
pikirkan, apakah aku masih dapat menganggapnya sebagai engkoh lagi?
Kalau begitu, sebenarnya kau sudah lama benci kepadanya? Tetapi, mengapa, mengapa ....
Kau hendak menanyakan mengapa sebelum aku melarikan diri aku mau membantu engkohku
itu, bukan? Tiau-ing menegas.
Sebenarnya tak suka aku mengungkat urusanmu yang lama. Jika kau tak suka menceritakan,
ya, sudahlah.
Su Tiau-ing tertawa: Kutahu kau ini seorang anak lelaki yang kasar. Siapa nyana agaknya kau
juga mengerti soal etiket (tata susila). Padahal sekalipun tak kau tanyakan, aku tentu akan
memberitahukan padamu juga. Apa kau kira aku tulus ikhlas membantu engkohku? Hanya
karena
belum tiba saatnya, aku belum dapat melakukan pembalasan padanya. Kekuasaan engkohku
lebih
besar, anak buahnya lebih banyak dari anak buahku. Dari itu aku tak dapat sembarangan
bergerak?!
Kini teranglah Khik-sia, katanya: Kiranya kau memperalat Uh-bun-jui karena hendak memakai
tenaga kaum Kay-pang untuk menghadapi engkohmu?
Sebenarnya Khik-sia masih menahan sebuah pertanyaan lagi, yakni: Kau bersikap begitu juga
kepadaku, apakah bukan serupa maksud tindakanmu terhadap Uh-bun Jui?
Dengan tegas Su Tiau-ing menjawab: Benar, jika tak bermaksud menggunakan tenaga kaum
Kay-pang, masakan aku sudi berkenalan dengan Uh-bun Jui. Sayang meskipun telah kugunakan
bermacam jalan, namun ia tetap gagal menjadi pangcu.
Dingin-dingin Khik-sia berkata: Akulah yang merusak usahamu itu. Kala itu jika aku tak
muncul melawan kalian, kemungkinan besar Uh-bun Jui tentu sudah menjadi pangcu.
Su Tiau-ing tertawa lebar: Memang kala itu aku benci benar-benar padamu. Tapi kemudian
tidak lagi. Telah kunilai, meskipun Uh-bun Jui itu memiliki sedikit kepandaian, tapi ia tak dapat
digembleng menjadi bahan yang bagus. Untuk mengangkatnya, juga sukar. Ada apa? Apa kau
masih tak mau mengampuni dia?
Aku tak punya sangkut paut dengan dia. Diberi ampun atau tidak itu urusan partai Kay-pang,
sahut Khik-sia.
Mata Su Tiau-ing berkeliaran. Dengan tertawa ia menatap Khik-sia, lalu berkata pelahan-lahan:
Kukira kau masih mengandung permusuhan padanya.

Tidak, sebaliknya aku malah agak merasa kasihan padanya, kata Khik-sia.
Sampai beberapa saat, Su Tiau-ing berdiam saja. Lewat beberapa saat lagi, barulah ia berkata
lagi: Tentang bentrokanku dengan engkoh itu, memang suatu hal yang sukar dihindari. Hanya
aku
tak menyangka kalau secepat ini terjadinya. Aku belum siap betul-betul, sudah didesak harus
mengadakan pilihan.
Diam-diam tergetar hati Khik-sia, pikirnya: Kiranya kakak beradik itu diam-diam sudah
mendendam permusuhan. Nona ini masih muda sekali umurnya, tapi ternyata hatinya amat
besar.
Pikirnya pula: Su Su-bing mati memang sudah selayaknya. Tapi tak seharusnya ia mati di
tangan puteranya sendiri. Rupanya nona itu hendak membalas pada engkohnya, bukan semata-
mata
karena hendak menuntutkan balas kematian ayahnya.
Katanya kepada Su Tiau-ing: Kalau begitu, lagi-lagi akulah yang merusakkan rencanamu itu,
bukan?
Tapi dengan begitu malah lebih baik. Hm, apakah kau suka membantu aku? tanya Su Tiauing.
Telah kukatakan dari tadi, kau sudah menolong aku dan akupun juga sudah menolongmu. Kita
tak usah merasa saling menerima budi. Besok apabila fajar sudah tiba, kita bakal sudah berpisah.
Aku tak dapat membantumu, jawab Khik-sia. Dalam pada itu ia membatin: Kamu saling
bunuh
dengan keluargamu sendiri dalam hal itu aku tak boleh ikut campur.
Su Tiau-ing tertawa: Aku belum bicara selesai. Bukan saja hanya membantu urusanku, pun
bagimu juga ada kebaikannya.
Kebaikan apa saja pun aku tak memikirkan, Khik-sia tetap menolak.
Apakah setitik saja kau tak mempunyai cita-cita untuk melakukan suatu pekerjaan besar?
tanya Su Tiau-ing.
Kulihat dulu, pekerjaan apa? kata Khik-sia.
Meskipun engkohku itu menderita kekalahan, tapi ia masih punya berpuluh ribu anak buah.
Selain itu aku sendiri juga punya tiga ribu pasukan wanita. Mereka hanya mendengar perintahku
saja. Engkohku tak punya kekuasaan untuk memerintah mereka. Tapi jika engkohku itu
meninggal, sebaliknya aku dapat menguasai anak buahnya.
Jadi kau mau hilangkan dia dan menggantinya? Tetapi hal itu tak ada sangkut pautnya dengan
diriku. Telah kukatakan berulang-ulang, bahwa aku tak dapat membantu urusanmu, kata Khik-
sia.
Tidak, hal itu justeru ada sangkut pautnya padamu. Coba dengarlah. Aku juga tak
menghendaki kau mewakili aku membalas sakit hati karena toh sekarang ini kau sudah 'putus
arang'
(hubungan yang tak mungkin balik lagi) dengan Ceng-ceng-ji. Kita pulang secara diam-diam.
Pasukanku itu dapat menghadapi anak buah engkohku. Engkohku itu juga bukan tandinganku.
Aku hendak melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Urusan itu tanggung berhasil. Yang
kukuatiri ialah beberapa ko-chiu (jago lihay) yang diundangnya itu. Tapi diantara mereka itu,
Hoan
Gong siang jin terang berdiri netral. Dalam kalangan orang Kay-pang ada Ma-tianglo dan Uh-
bun
Jui, tapi Uh-bun Jui tak berani berbuat apa-apa terhadap aku. Yang masih perlu dikuatirkan
hanya
Ceng-ceng-ji seorang. Aku hanya minta padamu, jika Ceng-ceng-ji itu sampai merintangi, harap
kau bunuh saja dia itu. Jika urusanku itu selesai, kuangkat kau menjadi raja! Seluruh anak buah
engkohku akan kuserahkan padamu.
Mendengar itu Khik-sia tertawa gelak-gelak.
Mengapa kau tertawa? tanya Su Tiau-ing.
Sahut Khik-sia: Kau salah memilih orang. Aku bukan manusia yang setimpal menjadi raja.
Sejak dulu sampai sekarang, kerajaan mana yang tidak terdiri dari orang yang mempertaruhkan
jiwanya, menang jadi raja, kalah jadi perampok? Apa kau kira seorang raja itu memang sudah
ditakdirkan?
Jawab Khik-sia: Setiap orang mempunyai cita-citanya sendiri. Karena kau bercita-citakan
menjadi raja, nah, jadilah!
Su Tiau-ing tertawa mengikik: Sayang, aku ini seorang anak perempuan.
Khik-sia bersikap sungguh, katanya: Apakah seorang perempuan tak boleh menjadi raja?
Apakah Bu Cek-thian itu bukan seorang kaisar wanita? Ia telah mengganti kerajaan Tong
menjadi

kerajaan Ciu dan bukankah ia berhasil menikmati tahta kerajaan selama 19 tahun lamanya?
Su Tiau-ing kerutkan sepasang alisnya. Biji matanya berseri-seri dan tertawalah ia: Kaisar
Cek-thian itu seorang wanita yang pandai lagi berani. Kaisar Thay Cong saja tak lebih pintar
daripadanya, mana aku dapat dipersamakan dengannya? Dan lagi jangan dilupakan bahwa kaisar
Cek-thian itu juga mempunyai pembantu-pembantu yang jempol seperti Tek Jin-kiat.
Khik-sia tertawa: Sayang aku tak mampu menjadi Tek Jin-kiat. Jika kau mau jadi raja, pilihlah
lain Tek Jin-kiat yang dapat membantumu.
Su Tiau-ing menunduk dengan rasa kecewa, tapi pada lain saat tiba-tiba ia tertawa lagi.
Ha, kau tertawa lagi? seru Khik-sia.
Aku hanya omong guyon kau lantas anggap sesungguhnya. Kau adalah seorang gagah,
seorang pendekar, tapi takut berangan-angankan menjadi raja. Coba pikirkan, aku seorang anak
perempuan mana berani tak tahu diri? Tadi hanya sekedar guyonan saja jangan kau anggap
sungguh-sungguh.
Pada hal ia mengatakan hal itu dengan tertawa untuk memulas maksudnya yang sesungguhnya.
Benar-benar nona itu licin sekali.
Katanya pula: Engkohku rasanya juga takkan lama menjadi raja. Tapi ia masih mempunyai
puluhan ribu anak buah. Apabila orang yang pegang kekuasaan itu tidak bijaksana, akibatnya
hanya
akan membahayakan rakyat saja. Jika kau sendiri tak mau menindaknya, toh bukan suatu hal
jelek
jika kau suka membantu aku merobohkannya? Dengan begitu berarti bisa basmi perbuatannya
yang
merugikan kepentingan rakyat, bukan?
Tergerak juga hati Khik-sia mendengar ucapan nona itu. Tapi segera ia berkata: Ini masalah
kerajaan, tak perlu aku yang mengurusi.
Rupanya Khik-sia sungkan untuk mengutarakan selanjutnya, bahwa Urusanmu aku tak mau
turut campur.
Su Tiau-ing putus asa, tapi tak mengentarakan. Tak mau ia unjukkan kepada Khik-sia. Lewat
beberapa jenak, ia menatap Khik-sia dan tertawa: Ai, kau ini tidak itupun tidak. Habis kau mau
jadi apa?
Aku hanya bercita-cita menjadi orang seperti ayahku, jawab Khik-sia.
Oh, kau ingin menjadi pendekar kelana? Yang menjadikan dunia ini rumah tinggalmu, yang
akan menuntut keadilan bagi rakyat dunia yang tertindas?
Atas pertanyaan itu, Khik-sia hanya ganda tertawa saja. Sikap itu dapat diartikan, secara
diamdiam
ia mengakuinya.
Su Tiau-ing diam-diam menghela napas, katanya: Telah kukoreksi diriku sendiri, hati ingin
memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Aku ingin juga menjadi tokoh semacam itu, tapi
kepandaianku tak mencapai. Tapi mungkin aku tetap tak dapat membiarkan engkoh berbuat
kejahatan. Aku tentu harus membereskan urusan keluargaku dulu, baru dapat menurutkan
citacitaku,
bebas berkelana seperti burung yang bebas terbang di udara.
Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, tak dapat dipaksa. Kau senang menjadi apa, tak
usah kiranya berunding padaku, kata Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa: Sedikitpun kau tak menaruh perhatian pada urusanku.
Bukan, aku justeru hendak bertanya padamu. Apakah semangatmu sudah pulih? Apakah luka
di kakimu itu sudah sembuh? Apa besok sudah dapat lari? Baiklah sekarang kau beristirahat
saja,
kata Khik-sia.
Su Tiau-ing bersungut-sungut: Inikah yang disebut 'perhatian'? Kau kuatir aku merepotimu
saja. Baiklah, biar aku mati atau hidup tak perlu kau hiraukan. Bisa berjalan atau tidak, tak perlu
kau pedulikan. Aku hendak tidur sekarang! - Ia lantas meramkan mata, tak mengacuhkan Khik-
sia
lagi.
Meskipun Khik-sia tak punya kesan baik terhadap nona itu, namun tak tega juga hatinya untuk
meninggalkannya seorang diri di dalam hutan dalam keadaan seperti saat itu. Diam-diam ia
menghela napas, pikirnya: Perangai anak perempuan itu, memang sukar diraba. Jika menyalahi,
tentu runyam. Untung kerunyaman itu hanya untuk satu malam ini saja. Besok pagi-pagi, kita
sudah akan berpisah. Kelak belum tentu kita akan berjumpa lagi. Bencilah sepuas-puasmu,

biarlah.
Karena kuatir kalau ada binatang buas datang, bukan saja Khik-sia tak menyingkir, malah iapun
tak dapat tidur. Ia tak mau dekat, tapipun tak terpisah jauh dari nona itu. Ia mondar-mandir di
bawah pohon, menjadi penjaga malamnya Su Tiau-ing. Berulang kali ia berpaling mengawasi
nona
itu.
Beberapa saat kemudian rembulan makin tinggi, bintang-bintang bergemerlapan dan malam pun
makin dingin. Su Tiau-ing pun rupanya sudah tidur pulas. Khik-sia berindap-indap
menghampirinya. Lapat-lapat ia mendengar suara napas nona itu, bagaikan sekuntum bunga
teratai
yang tidur di bawah sinar rembulan, menyebarkan hawa nan harum.
Serangkum angin berembus, tubuh si nona agak gemetar. Hati Khik-sia terkesiap, pikirnya:
Dalam angin malam yang dingin, ia hanya memakai pakaian tipis, apakah tidak masuk angin
nanti. - Tanpa terasa ia melolos bajunya lalu ditutupkan ke tubuh nona itu.
Su Tiau-ing agak menggeliat, buru-buru Khik-sia menyingkir. Tiba-tiba terdengar suara ketawa
yang halus tapi cukup jelas dalam telinga Khik-sia. Berbareng itu, tanpa ada angin sebuah biji
siong jatuh mengenai jidatnya. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Cepat ia melolos pokiamnya dan
gunakan ginkang it-ho-jong-thian (burung bangau menerobos langit), ia loncat ke atas pohon dan
menusuknya.
Memang ternyata di atas pohon itu bersembunyi seseorang. Hanya saja ketika Khik-sia
menusuk, orang itu sudah menyelinap loncat ke lain pohon. Gerakannya luar biasa tangkasnya.
Khik-sia hanya melihat sesosok bayangan saja, tapi siapa orangnya ia tak tahu sama sekali.
Kejutnya makin menjadi-jadi. Pikirnya: Ginkangnya jauh lebih hebat dari aku. Jika orang itu
suruhan engkohnya, sukarlah untuk menghadapinya.
Setelah mengejar sampai tiga batang pohon, barulah orang itu melayang turun ke bumi dan
melambaikan tangannya kepada Khik-sia. Serunya sambil tertawa: Turunlah, kita boleh
omongomong
di sini.
Khik-sia terkesiap, keluhnya dalam hati: Ah, tolol benar aku ini. Seharusnya siang-siang aku
ingat kepada suheng. Selain ia, siapa orangnya lagi yang memiliki ginkang sedemikian hebatnya
itu?
Kiranya orang yang muncul itu bukan lain adalah suheng dari Khik-sia sendiri, yakni Gonggong-
ji. Walaupun sudah mengerti, namun pada saat itu Khik-sia tak enak hatinya. Mengapa
suhengnya membawa ia jauh dari tempat Su Tiau-ing seolah-olah takut pembicaraannya nanti
didengar nona itu? - Apa yang akan dikatakan sehingga tak mau didengar orang lain itu?
pikirnya.
Sudah beberapa tahun lamanya Khik-sia tak berjumpa dengan suhengnya itu. Sejak ayah
bundanya meninggal, kecuali dengan Thiat-mo-lek, hanya dengan suhengnya itulah ia paling
baik
hubungannya. Sudah tentu pertemuan yang tak terduga-duga itu, ia merasa girang-girang
terkejut.
Walaupun mempunyai perasaan tak enak hati, namun ia tak mau mengurangkan kegirangannya
itu.
Suheng, mengapa tiba-tiba kau kemari? serunya dengan girang.
Apalagi kalau bukan karena hendak menengok kalian. Sute, peruntunganmu sungguh besar!
Gong-gong-ji tertawa.
Selebar muka Khik-sia merah padam. Baru ia hendak membantah, Gong-gong-ji segera berkata
dengan nada tegas: Memang paras cantik itu mudah memikat hati. Dalam hal ini tak dapat
mempersalahkan kau. Hanya saja di kolong dunia itu banyak sekali gadis-gadis molek, tetapi
mengapa pilihanmu jatuh kepada nona itu? Sute, dengar nasehatku, lebih baik jangan
berhubungan
dengan nona itu!
Khik-sia gelagapan dan goyang-goyangkan tangannya, tapi mulutnya sukar untuk mencari
permulaan pembelaannya. Akhirnya, ia hanya berteriak seperti orang kepedasan: Tidak! Tidak!
Suheng, kau, kau salah paham!
Gong-gong-ji gelengkan kepala: Ketika Ceng-ceng-ji mengatakan, bermula memang aku tak
percaya. Tapi tadi aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apakah aku tak
mempercayai mataku sendiri?
Khik-sia kaget dan berseru: Ceng-ceng-ji membual apa di hadapanmu?
Seketika wajah Gong-gong-ji tampak kurang senang, katanya: Ceng-ceng-ji tinggalkan

perguruan dan galang-gulung dengan kaum penjahat, memang tidak senonoh perbuatannya itu.
Tetapi bagaimanapun dia adalah suhengmu, mengapa kau tak mengindahkan lagi padanya?
Sampai
panggilan 'ji-suheng' saja, kau sudah tak sudi menyebutkannya? Dan begitu bertanya kau lantas
menuduh ia membual?
Ceng-ceng-ji mau membunuh aku. Mengapa aku harus mengakuinya sebagai suheng lagi?
bantah Khik-sia.
Dia mau membunuhmu? Oh, kumengertilah. Tentulah karena kau tak mau mendengar
nasihatnya maka ia lantas menggertakmu.
Dada Khik-sia seperti mau meledak bahna marahnya, serunya: Suheng, tahukah kau tentang
perbuatannya yang belakangan ini? Apa yang dia katakan padamu?
Karena mendengar bahwa ia berada dengan Su Tiau-gi, maka baru aku datang menyelidiki. Ia
sudah berjumpa padaku, tetapi ia mengatakan ia berbuat begitu karena terpaksa untuk
kepentingan
dirimu.
Geli-geli jengkel Khik-sia dibuatnya, segera katanya: Mengapa karena diriku?
Karena ia tahu kalau kau kena terpikat oleh nona siluman itu, setelah berulang kali gagal
menasihati kau, barulah ia terpaksa menerima undangan Su Tiau-gi. Maksudnya tak lain karena
hendak mengawas-awasi kau saja, agar jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang tak
senonoh. Siapa tahu ternyata kau benar-benar melakukan hal itu. Kabarnya nona Su itu telah
melarikan diri dengan kau, dicegah engkohnya tapi malah engkohnya itu ditusuk sampai terluka.
Benarkah itu?
Segala obrolan Ceng-ceng-ji itu bohong belaka. Suheng, mengapa kau percaya padanya?
bantah Khik-sia.
Gong-gong-ji kerutkan alisnya: Jadi kau katakan dia membohong? Tapi diam-diam aku telah
menyelundup ke kamar Su Tiau-gi dan melihat dia memang betul-betul terluka.
Benar, memang Su Tiau-gi dilukai adiknya itu, tapi sekali-kali bukan karena hendak melarikan
diri dengan aku. Suheng, sayang siang-siang kau tak datang. Kalau tidak, tentu kau menyaksikan
bagaimana aku bertempur dengan Ceng-ceng-ji.
Kata Gong-gong-ji: Tidak melarikan diri? Mengapa kalian berdua bisa berada di sini pada
malam begini? Hm, sebenarnya kau ini seorang anak baik, tapi karena persoalan seorang nona
siluman kau lantas berubah begini jelek. Kau tak mau mendengar nasihat ji-suhengmu itulah
sudah,
tapi mengapa kau berkelahi padanya?
Suheng, maukah kau juga mendengarkan keteranganku? saking bingungnya Khik-sia
berteriak keras.
Baik, bilanglah. Sejak kecil kau belum pernah berbohong kepadaku. Kini kau sudah dewasa,
kuharap kau tetap seperti masa kecilmu itu, kata Gong-gong-ji yang dengan kata-kata itu
seolaholah
ia sudah tak begitu menaruh kepercayaan pada Khik-sia lagi.
Tak enak sekali hati Khik-sia. Tapi teringat bagaimana pada saat itu ia berduaan dengan
seorang nona dan pada saat ia menutupkan bajunya ke tubuh si nona, suhengnya itu kebenaran
sekali telah melihatnya. Kalau Gong-gong-ji menganggapnya berbuat serong, itulah mudah
dimengerti.
Apakah aku atau Ceng-ceng-ji yang bohong, silahkan nanti suheng menilainya. Dan asal
suheng suka menyelidiki tentu tak sukar untuk mendapat jawaban. Karena urusan Ciu pangcu,
maka beberapa hari yang lalu partai itu mengadakan rapat besar. Entah apakah suheng sudah
mendengar tentang hal itu, kata Khik-sia.
Di tengah perjalanan, banyak aku berjumpa dengan kaum pengemis. Tentang rapat besar kaum
Kay-pang, sudah lama kudengarnya. Tapi aku tak berminat mengurusi mereka. Tentang
peristiwa
apa yang menimpa Ciu pangcu mereka, apa hubungannya denganmu?
Dengan mengandalkan pengaruh keluarga Su kakak-beradik, Uh-bun Jui melakukan
pengkhianatan terhadap partainya. Ceng-ceng-ji menulang-punggungi Uh-bun Jui. Kala itu
mereka
telah melakukan sandiwara yang bagus. Pada saat itu kebetulan aku juga hadir. Aku tak setuju
akan tindakan Ceng-ceng-ji sehingga terpaksa turun tangan membantu pihak Wi locianpwe.
Demikian Khik-sia segera menuturkan semua kejadian, mulai dari peristiwa di Kay-pang,

kemudian sampai ia ditawan oleh Ceng-ceng-ji dengan obat bius, bagaimana Su Tiau-ing
bentrok
dengan Su Tiau-gi lalu lolos dari kepungan.
Akhirnya ia berkata: Bukankah Ceng-ceng-ji mengatakan pada suheng bahwa ia terpaksa mau
menerima undangan Su Tiau-gi karena hendak memata-matai perbuatanku dengan nona Su?
Pada
waktu Kay-pang mengadakan rapat besar, aku sama sekali tak kenal dengan Su Tiau-ing. Tapi
Ceng-ceng-ji pada waktu itu sudah membantu pada Su Tiau-gi kakak-beradik. Peristiwa dalam
rapat Kay-pang pada saat itu, disaksikan oleh ribuan anggotanya. Adakah aku yang bohong atau
Ceng-ceng-ji yang dusta, mudahlah diketahui.
Jadi kalau menurut keteranganmu, dalam rapat itu anak murid Kay-pang belum mengetahui
bahwa Ciu pangcu mereka ditawan oleh kakak-beradik Su? kata Gong-gong-ji.
Benar, mungkin begitulah, maka Ceng-ceng-ji baru berani berbohong padamu. Tetapi pada
kala itu selain bertempur dengan Ceng-ceng-ji akupun berkelahi juga dengan nona Su itu. Jika
siang-siang aku sudah ada hubungan baik dengan nona itu, mengapa aku merusakkan
rencananya?
bantah Khik-sia.
Kini mulailah Gong-gong-ji tergerak kepercayaannya.
Ah, tak kira kalau Ceng-ceng-ji sedemikian kurang ajarnya. Jika siang-siang sudah kutahu,
tentu sudah kutangkapnya dan kuhukum dia suruh menghadap tembok sampai tiga tahun!
akhirnya
meluncurlah pengakuan Gong-gong-ji.
Apakah ia sudah melarikan diri? tanya Khik-sia.
Sebenarnya kuajaknya ia datang kemari untuk mencari kau. Tapi ia menolak dengan alasan tak
enak meninggalkan Su Tiau-gi yang sedang terluka, karena ia sudah menerima penghormatan
besar
dari Su Tiau-gi itu. Nanti setelah Su Tiau-gi sembuh, barulah ia dapat pergi. Sekalipun begitu,
karena ia merasa telah berdusta padaku dan takut kalau kutangkapnya, maka ia tentu sudah
meloloskan diri, menerangkan Gong-gong-ji.
Sebenarnya Gong-gong-ji itu masih ada setitik kecurigaan terhadap Khik-sia. Ia percaya bahwa
Ceng-ceng-ji yang berbohong, tapi ia tetap belum percaya penuh kalau Khik-sia sama sekali tak
ada
hubungan apa-apa dengan Su Tiau-ing. Pikirnya: Kau benar pernah bertempur dengan dia (Su
Tiau-ing) dalam rapat Kay-pang, tapi itu bukan suatu jaminan bahwa selanjutnya kau tak kena
terpikat olehnya. Jika kau tak sayang padanya, mengapa kau begitu tekun menjadi penjaga
malam
dan menutupi tubuhnya dengan bajumu?
Maka katanya kemudian: Kau tak terjerumus ke jalan sesat, itulah baik sekali. Bagaimanapun
halnya, dara she Su itu jangan rapat-rapat didekat. Lebih baik kau lekas menyingkir dari dia,
makin
jauh makin baik.
Khik-sia merasa agak jengkel tapipun agak geli juga. Pikirnya: Nona itukan bukan seekor ular
berbisa, asal aku tak dekat toh sudah cukup. Mengapa harus begitu ditakuti?
Namun sekalipun hatinya membantah, tapi Khik-sia tak mau adu bicara dengan suhengnya lagi.
Katanya: Harap suheng jangan kuatir. Besok pagi-pagi aku tentu berpisah dengan dia. Akupun
tak
mau memperdulikan urusannya lagi.
Gong-gong-ji mengangguk, tetapi ia bertanya pula: Kau hendak pergi kemana nanti?
Lebih dulu aku hendak kembali melapor pada Kay-pang, setelah itu baru menuju ke Tiang-an,
kata Khik-sia.
Khik-sia mengiakan: Benar, yang melepas api ialah anak buah dari nona Su itu. Api berkobar
besar sekali, apakah di tengah jalan kau tak melihat cahayanya?
Ketika tiba, api baru mulai merangsang. Cahaya api sudah tentu kulihatnya tapi, huh, tapi
sedikit aneh, kata Gong-gong-ji.
Apanya yang aneh? tanya Khik-sia.
Kata Gong-gong-ji: Ciu pangcu, Ma tianglo, Uh-bun Jui dan lain-lain orang Kay-pang, aku
kenal semua. Tapi ..... -- Sampai disitu Gong-gong-ji hentikan kata-katanya.
Baru Khik-sia hendak menanyakan mengapa suhengnya itu mendadak berhenti bicara, begitu ia
mendongak, dilihatnya Su Tiau-ing tengah berjalan menghampiri mereka.
Dingin-dingin nona itu menegurnya: Gong-gong-ji, bilakah kau datang? Mengapa tak
memberi tahu padaku? Apa yang kalian suheng dan sute berdua omongkan secara bersembunyi
di

belakangku itu? Bolehkan aku mendengarinya?
Pikir Khik-sia bahwa suhengnya tentu akan marah, ternyata meleset. Dengan ramahnya
Gonggong-
ji menyahut: Jangan curiga, nona Su. Karena kau tidur, maka aku tak berani
mengganggumu. Karena sudah beberapa tahun tak berjumpa dengan suteku ini, maka kami
saling
menuturkan pengalaman masing-masing, sekali-sekali tidak ngerasani kau di belakangmu.
Dengan tawar Su Tiau-ing berkata: Benarkah? Tapi, Gong-gong-ji, aku tak terlalu percaya
padamu. Khik-sia bilanglah, bukankah suhengmu mengatakan sesuatu tentang diriku?
Khik-sia tak biasa berbohong. Tapi karena Su Tiau-ing bertanya begitu, iapun tak mau
menjawabnya. Pikirnya: Suheng mengatakan kau ini seorang perempuan siluman, tapi tak mau
kuberitahukan padamu.
Maka sahutnya: Kau sudah tahu dia adalah suhengku, sudah tentu kami suheng dan sute
banyak sekali yang dibicarakan. Tentang apa yang kita bicarakan, itu bukan urusanmu.
Baik, rupanya kamu berdua suheng dan sute itu sudah saling bersepakat. Aku orang luar, tak
boleh ikut campur. Tetapi, Gong-gong-ji, akan ada seseorang yang hendak mengurus dirimu.
Dan
orang itu segera akan tiba kemari. Memang kebetulan sekali kita berjumpa di sini, jangan kau
ngacir dulu, lho! demikian Su Tiau-ing mencerocos.
Nona Su, jangan membikin susah padaku. Aku masih ada lain urusan, ai, benar-benar ada
urusan. Maaf, terpaksa harus pergi. -- Habis berkata, Gong-gong-ji pun segera melesat pergi,
tanpa meninggalkan sepatah kata kepada Khik-sia. Pada lain kejap ia sudah lenyap dari
pemandangan.
Su Tiau-ing cibirkan bibirnya dan ketawa riang.
Muncul dan perginya Gong-gong-ji itu sungguh di luar dugaan Khik-sia. Tapi cara ia pergi
secara begitu mendadak, lebih mengherankan Khik-sia daripada ketika ia muncul tadi. Gong-
gongji
itu seorang manusia yang tak takut segala apa. Seumur hidupnya, kecuali terhadap suhu dan
subonya, ia tak pernah tunduk kepada siapapun jua. Dahulu karena peristiwa diri Ceng-ceng-ji, ia
pernah bertempur dengan Hong-kay Wi Wat, itu tokoh dari Kay-pang. Tapi heran, manusia yang
tak punya takut itu kini ternyata lari terbirit-birit oleh beberapa patah kata Su Tiau-ing saja.
Sungguh mengherankan sekali!
Dengan penuh tanda tanya, diam-diam Khik-sia menimang dalam hati: Siapakah yang
dikatakan oleh Su Tiau-ing itu? Pada masa ini tokoh-tokoh yang dapat mengalahkan suheng,
hanya
dapat dihitung dengan jari saja. Selain Bok Jong-long dari pulau Ho-siang-to di laut Tang-hay
yang
begitu jauhnya, mungkin hanya Kim Lun hwat-ong yang dapat menundukkan suheng.
Lainlainnya,
seperti Wi Wat, Mo Keng lojin dan Biau Hui sin-ni dan lain-lain, paling banyak hanya
berimbang dengan dia. Sedangkan terhadap Kim Lun hwat-ong, suheng tak takut, masakan orang
yang disebut Su Tiau-ing itu jauh lebih sakti dari Kim Lun hwat-ong itu?
Su Tiau-ing tertawa: Suhengmu sudah lari jauh. Kukira ia tentu tak berani datang lagi.
Mengapa kau masih mengawasi terlongong-longong saja? Bahwa tadi aku telah mengganggu
pembicaraan kalian berdua suheng dan sute, sungguh aku merasa menyesal. Ha, aku sendiripun
tak
menyangka sama sekali bahwa Biau-chiu Gong-gong-ji begitu berjumpa padaku lantas lari
terbiritbirit
begitu rupa.
Khik-sia tak dapat tiada berpikir: Sudah lama sekali suhengku termasyhur namanya, maka
pambeknyapun tinggi. Ia muncul pergi tanpa terduga. Terhadap kaum rendahan, bagaimana ia
mau
meladeni? Nona Su ini masih muda umurnya, pun puteri dari Su Su-bing yang paling dibenci
oleh
suheng. Tapi mengapa ia kenal pada suheng?
Dan keheranan hatiya itu segera disalurkan dalam sebuah pertanyaan: Nona Su, bilakah kau
kenal pada suhengku itu? Mengapa suheng tak pernah mengatakan padaku?
Amboi, belum pernah mengatakan? sahut Su Tiau-ing, Bukankah tadi di belakangku ia
mengomongkan tentang diriku?
Tergerak hati Khik-sia. Teringat tadi sikap suhengnya kala menasehatinya supaya jangan
bergaul rapat dengan Su Tiau-ing. Ditilik naga-naganya, agaknya Gong-gong-ji itu memang
sudah
kenal dengan nona itu. Hanya saja mengapa ia begitu ketakutan terhadap nona itu?
Kata Su Tiau-ing pula: Aku tak peduli apa yang kalian berdua bicarakan tadi. Kaupun tak usah

menghiraukan bagaimana aku kenal padanya. Pokoknya, kau takut pada suhengmu, tetapi aku
tak
takut sama sekali kepadanya.
Sejak dulu Khik-sia selalu mengindahkan kepada suhengnya. Mendengar kata-kata Su Tiau-ing
begitu, ia tak enak hatinya.
Bagus, memang sebenarnya kita bukan sekaum maka tak perlu menghiraukan urusan
masingmasing.
Aku cukup akan bertanya padamu, apakah sekarang kau sudah sembuh sama sekali?
Dapatkan kau berjalan seperti biasa lagi?
Su Tiau-ing kerutkan alis dan menyahut: Ya, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Aku sudah
sembuh.
Kala itu rembulan sudah remang di ufuk barat. Fajar segera akan menerangi bumi. Kata Khiksia:
Baik, sekarang kita akan berpisah. -- Ia terus ayunkan langkah pergi.
Hai, mau kemana kau? Apakah bukan hendak melapor pada kaum Kay-pang? tiba-tiba Su
Tiau-ing meneriakinya.
Hm, bukankah telah kita katakan, kita tak boleh mengurusi urusan masing-masing? Aku
hendak pergi kemana, perlu apa kau ingin tahu? sahut Khik-sia yang tanpa berpaling kepala lagi
terus melangkah maju.
Dari belakang kedengaran Su Tiau-ing tertawa: Sebenarnya aku malas untuk bertanya
urusanmu itu. Aku hanya kuatirkan apabila orang Kay-pang bertanya tentang diri Ciu pangcu,
bagaimana jawabmu?
Dari ucapan Su Tiau-ing yang mencurigakan itu, teringatlah Khik-sia akan sesuatu. Tadi ketika
ia menceritakan kepada suhengnya bahwa Ciu pangcu sudah lolos, sikap suhengnya agak aneh,
malah mengatakan 'aneh' juga. Sayang suhengnya belum sempat menerangkan hal itu karena
keburu Su Tiau-ing datang.
Bahwa sekarang Su Tiau-ing mengungkat lagi hal itu, kecurigaan Khik-sia makin besar. Tanpa
terasa ia hentikan langkah dan berpaling bertanya: Nona Su, bagaimana maksudmu? Bukankah
tadi kau mengatakan Ciu pangcu sudah lolos?
Tentang hal itu? Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak, sahut Su Tiau-ing dengan nada
yang tawar.
Ya bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa tak tegas begitu? Permainan apa yang kau lakukan
ini, ha? tegur Khik-sia yang sudah mulai sengit.
Tempat tahanan Ciu pangcu sudah musnah terbakar api. Engkohku tak mengetahui di mana
Ciu pangcu itu sekarang berada. Dengan begitu ia tak dapat mencelakainya lagi, kata Su Tiau-
ing.
Tidakkah hal itu berarti ia sudah lolos?
Benar, jawab Su Tiau-ing sambil tertawa, memang kau tak usah menguatirkan keselamatan
jiwanya lagi. Tapi ..... ia masih berada dalam cengkeramanku! Bahaya sih sudah tidak, namun
'lolos' tetap belum. Maka untuk pertanyaanmu tentang lolosnya atau tidak, aku hanya dapat
menjawab secara dualistis (dua-duanya). Jadi sekali lagi kuulangi, boleh dikata ya boleh dikata
tidak.
Bukankah kau sudah mengatakan kalau sudah melepaskannya? Jadi kalau begitu kau hendak
menipu aku? teriak Khik-sia dengan marahnya.
Tapi dingin-dingin saja Su Tiau-ing menjawab: Pikirlah yang terang sedikit. Bilakah kuberkata
aku sudah melepaskannya? Aku kan hanya mengatakan padamu tentang kusuruh budakku
melepas
api? Menuduh aku sudah melepaskan dia, itulah anggapanmu sendiri.
Khik-sia ingat-ingat kembali dan benar juga ia tak mendengar kalau Su Tiau-ing itu mengatakan
sudah melepas Ciu pangcu. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Buru-buru ia bertanya: Bagaimana
kejadian ini yang sebenarnya? Tapi aku ingat, kau mengatakan kalau tak membakar Ciu
pangcu!
Memang tidak membinasakannya. Dan mengapa aku harus membinasakan? Membiarkan ia
hidup, gunanya jauh lebih besar. Dengarlah, aku hanya memindahkan tempat tahanannya saja ke
lain tempat. Tempat itu, kecuali aku dan dua orang budak kepercayaanku, siapapun tak tahu.
Khik-sia menghela napas, serunya: Oh, kiranya begitu. Tapi meskipun ia tak berbahaya,
mengapa masih ditahan lagi? Untuk itu aku tetap kuatir. Kay-pang mempunyai hubungan dengan
aku, harap kau suka memberitahukan tempat tahanannya itu dan tolong berikan obat penyembuh

untuknya agar segera dapat menolongnya.
Su Tiau-ing tertawa dingin: Bukankah kau sudah mengatakan kalau kita masing-masing tak
usah saling minta pertolongan? Sejak saat ini, kau ke timur aku ke barat, kau tak pedulikan aku,
aku juga tak menghiraukan kau?
Khik-sia terlongong-longong, serunya: Ini ... ini ... janganlah kau begitu kelewatan sekali.
Kay-pang mempunyai hubungan padamu, tapi tak punya hubungan apa-apa dengan aku.
Karena kau menganggap diriku orang asing, mengapa sekarang kau hendak minta pertolonganku
supaya bebaskan Ciu pangcu? Bukankah ini juga kelewatan sekali? dengan lidahnya yang
tajam,
Tiau-ing dapat membalas serangan Khik-sia.
Debatan itu membuat Khik-sia tersipu-sipu merah mukanya. Sampai sekian lama ia tak dapat
bicara.
Sudahlah, bicaraku sudah habis. Bukankah kau hendak pergi? Mengapa tak jadi? Su Tiauing
menertawakannya.
Khik-sia tegak seperti patung. Ia tak dapat berkutik sama sekali.
Baik, demi memandang dirimu, jika mau menjenguk Ciu pangcu, mari ikut aku ke Tiang-an,
kembali Su Tiau-ing berkata dengan tenang.
Khik-sia terkesiap, serunya: Menemui Ciu pangcu ke Tiang-an?
Benar, telah kupesan kepada budak kepercayaanku, kalau terjadi sesuatu perubahan harus
lekas-lekas bawa Ciu pangcu ke Tiang-an, sahut nona itu.
Teringat bahwa hari pembukaan dari Eng-hiong-tay-hwe di Tiang-an itu sudah dekat, karena toh
ia juga memang hendak kesana, akhirnya ia menerima baik tawaran nona itu.
Demikian mereka berdua lalu menuju ke Tiang-an. Belum lama berjalan, tiba-tiba dari sebelah
muka tampak ada dua ekor kuda mencongklang datang. Ketika dekat, ternyata penunggangnya
seorang laki dan seorang wanita. Khik-sia terkesiap kaget. Kiranya kedua penunggang kuda itu
bukan lain adalah Tok-ko U dan Tok-ko Ing.
Memandang dengan terlongong-longong ke arah kedua pemuda itu, hati Khik-sia serasa seperti
diinjak-injak oleh kuda mereka. Namun ia tak dapat menahan keheranannya juga: Ai, mana
Yakbwe?
Mengapa ia tak kelihatan bersama kedua kakak adik itu?
Timbul pikiran semacam itu pada Khik-sia karena ia menuduh Yak-bwe itu sudah jatuh hati
pada Tok-ko U. Kalau begitu tentulah kemana-mana selalu ikut. Siapa tahu, karena Yak-bwe
lenyap, maka kedua kakak beradik itu menjadi sibuk tak keruan. Kepergian mereka kali ini
tujuannya ialah hendak mecncari jejak Yak-bwe.
Kepergian Yak-bwe malam itu meskipun sudah meninggalkan surat, tapi suratnya itu tak jelas
maksudnya alias samar-samar. Yak-bwe hanya menulis 'urusan ini kelak tentu jelas sendiri,
sekarang masih sukar untuk memberitahukan'. Kata-kata dalam surat Yak-bwe itu, makin
menambah kebingungan hati kedua kakak adik tersebut. Sebagaimana diketahui, Tok-ko Ing
tetap
belum tahu bahwa Yak-bwe itu sebenarnya seorang gadis. Untuh jangan membuat sedih hati
sang
adik, dan karena ia sendiri juga kepingin mengetahui persoalannya, maka Tok-ko U mau
menemani
adiknya pergi ke Tiang-an. Mereka duga Yak-bwe tentu hadir dalam pertemuan besar para
enghiong yang sudah makin dekat waktunya itu. Jika Yak-bwe tak datang, pun mereka akan
dapat
bertanya kepada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan besar itu. Dengan begitu,
mereka
yakin tentu akan berhasil menemukan jejak Yak-bwe.
Saat itu kedua kakab adik she Tok-ko itupun juga melihat Khik-sia. Merekapun terkesiap dan
serempak sama meraba pedangnya. Pikirnya: Ah, sungguh sial, mungkin akan bertempur
dengan
dia!
Jarak kedua pihak makin lama makin dekat. Rupanya Tok-ko U lebih berpengalaman. Ia
melihat Khik-sia tak bersikap bermusuhan. Tapi Tok-ko Ing yang melihat Khik-sia tetap berjalan
di
tengah jalan seperti tak mau menyingkir ke pinggir, diam-diam merasa kuatir juga. Pikirnya:
Entah siapakah bangsat itu. Hm, ditilik ia berjalan dengan seorang nona cantik, rupanya ia
bukan
kaki tangan pemerintah. Kebanyakan tentulah bangsa pengganggu wanita.
Sebaliknya Su Tiau-ing tak kenal dengan kedua kakak beradik itu. Kala melihat mata Khik-sia
tak terkesiap memandang ke arah nona itu (padahal sebenarnya Khik-sia hanya curahkan

perhatiannya ke arah Tok-ko U saja) dan nona itupun terus menerus memandang pada Khik-sia
juga
(sudah tentu ini hanya menurut anggapan Su Tiau-ing sendiri), diam-diam marahlah Su Tiau-ing.
Siapakah budak perempuan yang berani jual lagak di tengah jalan itu? Baik, biarkan
kuolokoloknya,
suruh ia menelan pil pahit, demikian pikirnya.
Dalam pada Su Tiau-ing berpikir itu, kedua penunggang kuda itupun sudah tiba di sebelahnya.
Rupanya ilmu menunggang kuda dari Tok-ko U masih belum mahir, hingga tak dapat menguasai
congklang kudanya yang menerjang maju. Begitupun Tok-ko Ing yang sudah tak dapat
menguasai
kudanya menjadi gelisah. Buru-buru ia meneriaki Khik-sia: Hai, minggirlah! Kau hendak
mengapa itu?
Khik-sia gelagapan dan buru-buru berseru: Maaf, aku sampai lupa memberi jalan. -- Ia segera
menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan pada kuda Tok-ko Ing.
Tapi tidak demikian dengan Su Tiau-ing. Tiba-tiba ia tamparkan tangannya. Dua batang jarum
bwe-hwa-ciam telah menyusup ke dalam paha kuda Tok-ko Ing. Sekali meringkik keras, kaki
depan kuda itu segera menekuk ke bawah. Hampir saja Tok-ko Ing dilemparkan ke bumi.
Memang
sebenarnya Tok-ko Ing sudah berjaga-jaga kalau diserang senjata rahasia. Tapi tak menyangka
sama sekali bahwa serangan itu datangnya dari Su Tiau-ing.
Adalah karena sudah siap sedia sebelumnya, maka dengan cepatnya Tok-ko Ing sudah lantas
mencelat ke udara. Dalam melayang turun, ia sudah gunakan jurus kim-eng-tian-ki atau burung
garuda pentang sayap. Pedangnya dikembangkan di udara kemudian meluncur turun menusuk Su
Tiau-ing.
Tok-ko Ing adalah anak murid dari Kong-sun toanio. Ilmu pedang Kong-sun toanio itu tiada
lawannya di dunia persilatan. Meskipun sucinya, ialah Li Sip-ji-nio yang memberi pelajaran
padanya, tapi Tok-ko Ing sudah dapat menyakinkan dengan sempurna.
Keruan Su Tiau-ing kaget. Nona yang tak dipandang mata itu ternyata memiliki ilmu pedang
yang luar biasa hebatnya. Kalau ia agak ayal menyingkir tentu sudah dimakan pedang Tok-ko
Ing.
Sekalipun dapat menghindar, tapi karena diserang secara cepat oleh lawan, Su Tiau-ing tak
sempat
lagi mencabut goloknya.
Tok-ko Ing menyerang secara kilat. Sekaligus ia sudah lancarkan tiga serangan. Setiap
serangannya tentu mengarah jalan darah Su Tiau-ing yang berbahaya. Su Tiau-ing menjadi
keripuhan dan terdesak dalam bahaya.
Sebenarnya Khik-sia mendongkol kepada Su Tiau-ing yang cari gara-gara itu. Tapi demi
melihat Tok-ko Ing menyerang dengan jurus-jurus yang hebat, ia kerutkan dahi. Kalau terus
berlangsung begitu, terang Su Tiau-ing takkan sempat mencabut senjatanya dan kemungkinan
besar
tentu binasa di ujung pedang Tok-ko Ing. apa boleh buat, terpaksa ia akan turun tangan untuk
memberi kesempatan Su Tiau-ing bernapas.
Pada saat Khik-sia menengahi, Tok-ko Ing justeru sedang lancarkan jurus yang keempat yakni
giok-li-tho-soh atau bidadari melempar tali. Tampaknya Su Tiau-ing sukar menghindar lagi. Tapi
sekali jari tengah Khik-sia menjentik, cring .... pedang Tok-ko Ing kena dipentalkan ke samping.
Kaget dan marah Tok-ko Ing bukan kepalang, dampratnya: Bangsat jahanam, aku mengadu
jiwa padamu!
Meskipun jelas dilihatnya bahwa tadi Khik-sia tak mengandung maksud bermusuhan
sungguhsungguh,
namun untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, Tok-ko U cepat putar kudanya.
Tepat pada saat itu Khik-sia menjentik pedang Tok-ko Ing. Anak muda itu berdiri
berhadaphadapan
dengan adiknya, jaraknya amat dekat sekali, dapat menyerang apabila Khik-sia mau.
Sudah tentu Tok-ko U terperanjat. Kuatir kalau anak muda itu akan berbuat jahat terhadap
adiknya,
tanpa banyak pikir lagi, Tok-ko U juga ikut-ikutan memaki: Bangsat, lihatlah passerku!
Khik-sia hendak memberi penjelasan, tapi dua batang passer Tok-ko U sudah menyambarnya.
Cepat Khik-sia ulurkan tangan untuk menyambutinya. Pada saat ia berhasil menjepit passer itu,
pedang Tok-ko Ing pun sudah tiba. Khik-sia segera gunakan passer itu untuk menangkis. Tring
....
passer terpapas kutung, tangan Khik-sia hampir turut terluka juga.
Karena Khik-sia berdiri menghadapi Tok-ko Ing, jadi Su Tiau-ing berada di belakangnya. Tokko
Ing mencekal sebatang pedang pusaka, sedang Khik-sia hanya bertangan kosong saja. Makin

dekat jarak mereka, makin berbahaya bagi Khik-sia harus tumplek seluruh perhatian kepada
pedang
pusaka si nona itu. Dengan begitu ia tak sempat memperhatikan Su Tiau-ing lagi.
Tadi telah dikatakan bahwa Tok-ko U telah timpukkan dua batang passer. Yang sebatang dapat
disambuti Khik-sia, tapi yang sebatang lagi yang memang diarahkan oleh Tok-ko U untuk Su
Tiauing
dan tak mampu disambuti oleh gadis itu. Memang lain Khik-sia lain Su Tiau-ing, karena kalah
lihay daripada pemuda itu, jalan satu-satunya bagi Su Tiau-ing ialah menghindar. Tapi meski ia
sebat sekali dapat menghindar, toh tak urung tusuk kondainya yang terbuat dari batu kumala
kena
dihantam jatuh oleh passer itu.
Inilah yang dinamakan 'jangan suka mengganggu anjing tidur', atau jangan suka cari perkara
yang berarti mengundang bahaya.
Kejut dan marahlah Su Tiau-ing. Cepat ia sudah siapkan jarum bwe-hoa-ciamnya. Ia
bermaksud hendak gunakan siasat seperti menghadapi Tok-ko Ing tadi, yaitu merobohkan kuda
tunggangan Tok-ko U. Tapi tiba-tiba Khik-sia putar tubuhnya dan dengan pukulan biat-gong-
ciang
ia hantam jarum Su Tiau-ing itu sampai tercerai berai. Setelah deliki mata, Khik-sia lantas
menyikut dan aduh .... begitu sang mulut mengaduh, tubuh Su Tiau-ing pun sudah terlempar
sampai
tiga tombak jauhnya.
Padahal sikutan Khik-sia itu hanya dengan gunakan tenaga kaiu-kin atau ketangkasan.
Sebenarnya Su Tiau-ing tak menderita kesakitan apa-apa. Ia menjerit tadi, karena sama sekali tak
menduga akan tindakan Khik-sia.
Tapi pukuan biat-gong-ciang yang dilepas Khik-sia tadi, memang menggunakan lwekang penuh.
Ia pernah bertempur dengan Tok-ko U dan tahu kalau Tok-ko U tak boleh dibuat main-main.
Apalagi anak muda she Tok-ko itu jaraknya masih 6-7 tombak jauhnya. Taruh kata Su Tiau-ing
benar lepaskan bwe-hoa-ciam, pun Tok-ko U tentu dapat mengatasinya. Jalan pikiran Khik-sia
ialah mencegah Su Tiau-ing memperbesar perkara. Itulah sebabnya ia hantam jarum bwe-
hoaciamnya
sampai berceceran.
Sayang dalam kesibukannya itu Khik-sia tak sempat memikir jauh. Ia bermaksud baik terhadap
Tok-ko U, tapi karena tak memperhitungkan akibatnya, malah menjadikan salah pahamnya.
Pukulan biat-gong-ciangnya tadi tak berarti bagi Tok-ko U, tapi kudanya, ya, kudanyalah yang
tak
kuat. Bukan saja kuda Tok-ko U yang tengah lari itu berhenti dengan tiba-tiba, pun bahkan
tersurut
mundur sampai beberapa langkah. Kuda menjadi kaget dan melonjak-lonjak sehingga Tok-ko U
hampir dilemparkan ke tanah.
Maksud baik dari Khik-sia, menjadi percuma saja. Bahkan hal itu diartikan sebaliknya oleh
Tok-ko U. Dengan murkan anak muda itu loncat turun dari kudanya. Sekali ia rangsangkan
kipasnya, jalan darah yang mematikan di tubuh Khik-sia segera diserangnya.
Ilmu tutukan kipas dari Tok-ko U, sebenarnya merupakan ilmu sakti dalam dunia persilatan.
Tapi ia kebentur dengan Khik-sia yang memiliki ginkang jempol. Tanpa menghiraukan Su Tiau-
ing
lagi, Khik-sia segera kembangkan ginkangnya untuk berlincahan kian kemari, naik turun
menghindari tujuh buah serangan Tok-ko U. Jangankan kena, sedang menyentuh bajunya saja
kipas
Tok-ko U itu sudah tak mampu.
Insyaf bahwa kepandaian lawan lebih tinggi dari dirinya, kini Tok-ko U menjadi kalap. Asal
dapat menutuk saja, tak peduli apakah itu jalan darah yang fatal (mematikan) atau jalan darah
yang
tak berbahaya. Jadi ia menutuk asal menutuk saja.
Kebencian Tok-ko Ing terhadap Khik-sia, jauh lebih besar dari engkohnya. Seperti engkohnya,
sekali gebrak iapun sudah lancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Selain itu mulutnya
terus
nericis memaki-maki Khik-sia sebagai maling jahat.
Menghadapi keroyokan kakak beradik itu, terpaksa Khik-sia keluarkan seluruh kebisaannya.
Dalam pada itu, diam-diam ia mulai marah juga. Pikirnya: Taruh kata pihakku yang bersalah
karena mengganggu kuda kalian, toh juga tak seharusnya kalian lantas menyerang secara begitu
ganas.
Sampai sekian saat, Khik-sia belum berhasil untuk membebaskan diri dari rangsangan kedua
saudara itu. Akhirnya setelah berkutetan sekian lama, barulah ia memperoleh kesempatan itu. Ia
menyelinap keluar dari samping Tok-ko Ing, sembari membentaknya: Berhenti!

Namun Tok-ko Ing sudah seperti orang kerangsekan setan. Ia terus menguber maju dan
menusuk lagi: Bangsat, mau lari?
Khik-sia tertawa dingin: Jika aku seorang bangsat, tentu tadi-tadi sudah kucabut nyawamu.
Bukannya aku takut pada kalian, aku hanya memandang pada diri nona Su ....
Siapa yang suruh kau memandang mukaku? Kedua bangsat kecil itu kurang ajar sekali, hajar
sajalah mereka itu habis-habisan. Sedikitpun aku tak kasihan pada mereka! dengan serempak Su
Tiau-ing sudah lantas menyahuti kata Khik-sia.
Yang dimaksud oleh Khik-sia diri ' nona Su' itu, adalah Su Yak-bwe. Dalam mengucapkan
katakatanya
itu, hati Khik-sia amat ramah sekali. Siapa tahu, Su Tiau-ing sudah salah duga, mengira
kalau dirinya yang dimaksudkan si anak muda itu. Sudah tentu Khik-sia menjadi meringis seperti
monyet tertawa.
Adalah Tok-ko Ing yang hampir mau meledak dadanya. Dengan lantang ia memaki: Kurang
ajar, siapa yang minta kasihanmu? -- Pedang ceng-kong-kiamnya kembali merabu Khik-sia
dalam
hujan serangan sin-liong-jut-hay, leng-wan-hoan-ci, hian-niau-hwat-sat dan beng-ke-toh-li.
Sekaligus ia lancarkan empat buah jurus yang semuanya mengarah jalan darah mematikan.
Khik-sia tak mempunyai kesempatan untuk memberi penjelasan lagi dan lagi ia sendiripun tak
tahu bagaimana harus menjelaskannya. Dalam penjelasan itu, tak urung ia harus mengatakan:
Su
Yak-bwe adalah calon isteriku yang batal. Kini ia tak mau padaku, tapi dengan masih
memandang
mukanya, aku tetap memberi ampun pada kalian. -- Ini runyam ....
Tok-ko U lebih tenang dari adiknya, dalam pengalamannya iapun lebih banyak dari sang adik.
Setelah mendengar kata-kata Khik-sia tadi, ia duga di situ tentu tersembunyi sesuatu. Belum lagi
ia
sempat merangkai dugaannya lebih jauh, Su Tiau-ing sudah menyelutuk tadi. Diam-diam Tok-ko
U
berpikir: Ah, kiranya nona siluman itu juga orang she Su. Kukira ucapan anak muda itu
menyangkut diri Su hiante (Yak-bwe). Hm, lucu benar.
Namun kecurigaan Tok-ko U masih tetap belum hilang sama sekali. Pikirnya pula: Dengan
tanpa alasan, nona jahat itu menyerang Tok-ko Ing secara tiba-tiba. Anehnya mengapa bangsat
kecil itu (Khik-sia) tak mengatakan karena 'memandang mukanya'? Dan rupanya bangsat kecil
itu
masih belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk bertempur.
Setelah menutukkan kipasnya ke punggung Khik-sia, Tok-ko U tiba-tiba hentikan serangannya
dan berseru: Siapakah kau ini? Kami tiada bermusuhan padamu, mengapa kau hendak
memusuhi
kami?
Apa yang diucapkan Tok-ko U itu, hanya separuh bagian yang dimengerti Su Tiau-ing. Kiranya
bukan saja Tok-ko U itu menganggap Khik-sia dan ia (Su Tiau-ing) itu sekawan, pun
memandang
serangan yang dilakukannya (Su Tiau-ing) itu juga berarti perbuatan Khik-sia. Lebih lanjut, Tok-
ko
U tetap mengira kalau perbuatan Khik-sia dulu menyelundup ke dalam rumahnya itu, tentu
bermaksud jahat. Tapi Su Tiau-ing hanya tahu akan peristiwa saat itu. Sama sekali ia tak tahu
menahu tentang peristiwa Khik-sia menyelundup ke gedung keluarga Tok-ko tempo hari.
Sebenarnya Khik-sia hendak memberi penjelasan. Tapi karena ia tak tahu bagaimana harus
memulai, maka walaupun mulutnya komat-kamit tapi tak keluar suaranya. Adalah Su Tiau-ing
yang bermulut lancar, dengan sikap mengejek sudah lantas buka suara: Apakah kalian itu anak
ayam yang baru pertama kali ini keluar dari kandang? Masakan pendekar muda Toan Khik-sia
yang
cemerlang namanya, kalian sudah tak mengetahui? Hm, apakah sekarang kalian masih berani
kurang ajar padaku lagi?
Apa? Benarkah kau Toan Khik-sia? teriak Tok-ko U dengan kaget.
Saat itu Khik-sia merasa jengah dan mendongkol. Selagi Tok-ko U dan adiknya terkesiap, ia
lantas gunakan gerak it-ho-jong-thian atau burung bangau menyusup ke udara, loncat keluar dari
kepungan mereka. Di sana Khik-sia rangkap kedua tangannya memberi hormat: Urusan hari ini,
adalah pihak kami yang bersalah, dengan ini kuhaturkan maaf.
Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan terus menggelandang tangan Su Tiau-ing diajak
pergi. Tindakan Khik-sia itu membuat Su Tiau-ing melonjak kaget, serunya: Hai, bagaimana
kau
ini? Tidak menghajar mereka, sebaliknya kau malah minta maaf?
Dengan wajah keren Khik-sia mendengus dan berkata: Jangan membikin onar lagi! --

Ditariknya tangan si nona terus dibawa lari. Dicekal oleh Khik-sia erat-erat, mana Su Tiau-ing
mampu berkutik.
Kedua saudara Tok-ko saling berpandangan satu sama lain. Kemengkalan hati Tok-ko Ing
masih belum reda, namun ia tak mau memaki-maki bangsat lagi kepada Khik-sia.
Tok-ko Ing amat menyayang sekali akan kudanya itu. Walaupun kuda kesayangannya itu kena
sebatang jarum bwe-hoa-ciam, ia duga tentu tak jadi halangan. Asal jarum itu lekas-lekas
dikeluarkan dan kuda diberi obat seperlunya, tentulah akan sembuh. Apalagi ia selalu membawa
batu sembrani untuk alat penyedot jarum bwe-hoa-ciam. Tapi alangkah kejutnya ketika ia
menghampiri kuda itu ternyata binatang itu mulutnya mengeluarkan busa putih. Dan kalau
dulunya
kuda itu seekor kuda putih yang tegar, kini berubah menjadi seekor kuda hitam. Waktu sudah
dekat, Tok-ko Ing tercium bau yang busuk.
Itulah akibat dari kena jarum bwe-hoa-ciam yang beracun! seru Tok-ko U demi turut
menghampiri.
Kemarahan Tok-ko Ing tadi masih belum reda. Waktu mendengar keterangan engkohnya itu,
berkobarlah lagi amarahnya itu. Betul-betul seorang wanita siluman yang ganas! Kurang ajar
sekali, tanpa suatu alasan apa-apa ia sudah membunuh kuda kesayanganku dengan jarum
beracun.
Hm, Toan Khik-sia itu juga bukan orang baik. Tak peduli dia itu seorang pendekat kecil atau
besar,
pokok dengan galang-gulung bersama seorang perempuan jahat, ia tentu juga bukan manusia
baik!
nona itu memaki-maki untuk melampiaskan kemarahannya.
Urusan ini memang agak aneh, kata Tok-ko U.
Apanya yang aneh? tanya sang adik.
Masih ingatkah kau kepada Sin-ciam-chiu Lu Hong-jun? tanya Tok-ko U.
Tok-ko Ing merah mukanya dan bersungut: Perlu apa kau sebut-sebut namanya? Apa
hubungannya dengan dia?
Ah, jangan marah-marah dulu, toh aku belum selesai mengatakannya. Coba jawab, apakah kau
masih ingat akan beberapa hal yang dikatakannya tempo hari itu? tanya Tok-ko U pula.
Tentang apa?
Bukankah ia pernah mengatakan tentang diri Toan Khik-sia yang katanya sudah mempunyai
seorang tunangan, yaitu puteri angkat dari Sik Ko, ciat-to-su dari Lu-ciu. Dulu nona itu bernama
Sik Hong-jun pula, bahwa nona Su itu juga seorang pendekar wanita. Tapi entah bagaimana, ia
telah cekcok dengan Khik-sia terus lolos tak ketahuan tempat tinggalnya lagi. Kini Toan Khik-
sia
itu ubek-ubekan mencarinya kemana-mana.
Benar, Lu Hong-jun memang pernah mengatakan begitu. Ai, kalau begitu, apakah nona jahat
yang melepas bwe-hoa-ciam pada kudaku itu Su Yak-bwe?
Lha, itulah makanya kukatakan kalau urusan ini agak aneh, kata Tok-ko U, Khik-sia berjalan
bersama nona itu. Karena Khik-sia memanggilnya 'nona Su', teranglah kalau ia itu tentu Su
Yakbwe.
Jika mereka berdua sudah rukun kembali, biarlah, kita tak usah pedulikan. Tapi Su Yak-bwe
itu seorang pendekar wanita dan seorang nona dari keluarga ternama. Mengapa tanpa suatu sebab
ia membunuh kudamu dengan bwe-hoa-ciam? Ya, mengapa begitu melihat kami berdua, ia
lantas
bersikap memusuhi? Tidakkan hal ini aneh?
Tok-ko Ing cibirkan bibirnya: Apa yang disohorkan orang tentang pendekar besar, pendekar
kecil dan pendekar wanita itu, memang tak dapat dipercaya penuh. Siapa tahu kalau Toan Khik-
sia
dan Yak-bwe itu juga orang macam golongan begitu?
Tok-ko U gelengkan kepala: Siapa yang tak tahu akan kemasyhuran nama Toan Khik-sia
sebagai pendekar utama? Tentang Su Yak-bwe, walaupun tak setenar Toan Khik-sia, tapi Lu
Hongjun
pun mengatakan kalau ia itu seorang pendekar wanita, tentunya ia takkan berbuat hal-hal
macam tingkah seorang perempuan siluman begitu.
Tok-ko Ing tertawa menghina: Yang didengung-dengungkan orang itu adalah palsu, apa yang
kita saksikan sendiri barulah tulen. Kalau mereka memang ternyata jahat, apakah kita tak mau
percaya?
Tapi masih ada lain hal yang mencurigakan. Jika dipikirkan, sampai sekarang aku masih
belum mendapat jawabannya, kata Tok-ko U.

Apakah mengenai peristiwa malam itu? tanya Tok-ko Ing.
Ya, benar. Tengah malam buta Toan Khik-sia menyelundup ke dalam rumah kita. Su toakolah
yang pertama-tama mengetahuinya di dalam taman lalu menyerangnya. Itu waktu kita masih
belum
tahu kalau orang itu ternyata Toan Khik-sia. Kita hanya menduganya tentulah kaki tangan
kerajaan
yang mendapat tugas menangkap Su toako, kata Tok-ko U.
Mendengar itu, mulailah timbul tanda tanya dalam hati Tok-ko Ing. Dengan seksama ia
mendengari penuturan engkohnya. Setelah berhenti sejenak, Tok-ko U melanjutkan pula:
Dalam
hal itu ada tiga buah hal yang mencurigakan. Pertama, Su toako dan Toan Khik-sia itu sama-
sama
tinggal di markas Kim-ke-nia. Su toako sendiri pernah mengatakan bahwa sekalipun tak kenal
baik, namun ia sudah kenal dengan Toan Khik-sia ketika berada di markas Kim-ke-nia. Tapi
anehnya mengapa ia menyerang Toan Khik-sia dan memakinya? Kedua, sesuai dengan pribadi
seorang pendekar seperti Toan Khik-sia, seharusnya ia menggunakan aturan untuk menjumpai
kita.
Anehnya lagi, mengapa ia harus menyelundup masuk pada tengah malam buta? Ketiga, setelah
Toan Khik-sia pergi, mengapa Su toakopun lantas tinggalkan kita tanpa pamit? Entah
kepergiannya
itu dengan Toan Khik-sia, ada hubungan apa?
Tok-ko Ing berdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata: Hal-hal aneh
yang kau katakan itu memang sukar dipecahkan. Mungkin sebelumnya Su toako sudah tahu
kalau
Toan Khik-sia itu bukan orang baik-baik, maka ia tak mau mengenalnya.
Tapi Tok-ko U gelengkan kepala: Belum tentu begitu. Jika benar ia tak mau kenal pada Toan
Khik-sia, seharusnya ia mengatakan pada kita.
Urusan ini hanya setelah kita bertemu dengan Su toako baru dapat dijelaskan, akhirnya hanya
begitulah komentar Tok-ko Ing.
Kata Tok-ko U lebih lanjut: Su toako orang she Su. Noan kawan Toan Khik-sia tadi juga she
Su ....
Wanita jahat macam Su Yak-bwe mana dapat disejajarkan dengan Su toako? Orang she Su,
banyak jumlahnya. Sudah tentu ada yang baik ada yang jahat. Hm, aku sungguh tak puas,
mengapa perempuan jahat tadi menyamai she Su toako, menyelutuk Tok-ko Ing dengan
uringuringan.
Di kala Tok-ko Ing mengucapkan kata-kata 'Su toako' itu, nadanya penuh dengan kemesraan.
Mimpipun tidak kiranya ia, bahwa 'Su toakonya' itu ternyata seorang wanita. Dan makin jauh
dari
alam pikirannya bahwa 'Su toakonya' yang disanjung puji itu, bukan lain adalah 'si perempuan
jahat
Su Yak-bwe' itu sendiri .....
Sebenarnya Tok-ko U masih belum hilang kesangsiannya. Tapi karena Toan Khik-sia tadi tegas
menyebut nona kawannya itu dengan panggilan 'nona Su', maka iapun keliru menduga Su Tiau-
ing
itu Su Yak-bwe. Karena itu, analisanya yang sudah hampir mendekati kebenarannya itu menjadi
kalang kabut tak keruan lagi.
ah, koko, sudahlah jangan dipikirkan lagi. Ayo, kita lekas-lekas ke kota membeli seekor kuda
lagi, agar jangan sampai terlambat tiba di Tiang-an. Asal sudah bertemu dengan Su toako, segala
apa tentu jelas, akhirnya Tok-ko Ing meneriaki sang engkoh yang termangu-mangu dalam
dugaan
itu.
Pikir Tok-ko U: Jika Su Yak-bwe itu seorang lain lagi, dugaanku semula itu keliru semua. Su
toako itu tentulah bukan seorang nona yang menyamar lelaki. Ah, semoga ia itu benar-benar
seorang lelaki perwira, agar idam-idaman adikku itu terkabul.
Walaupun bermula Tok-ko U menyangsikan bahwa Su toako itu seorang lelaki benar-benar, tapi
selama itu belum pernah ia mengutarakannya kepada Tok-ko Ing. Tapi setelah terjadi peristiwa
tadi,
ia mulai menyangsikan 'kesangsiannya' tempo hari itu. Hal itu lebih-lebih ia tak berani
mengatakan
kepada adiknya karena kuatir ditertawainya.
Ya, benar, hanya setelah bertemu dengan Su toako, kita baru mengetahui jelas persoalan ini,
akhirnya ia menyetujui pendapat adiknya.
Sekarang marilah kita tinggalkan kakak beradik she Tok-ko itu untuk mengikuti perjalanan Toan
Khik-sia dengan Su Tiau-ing. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lari sejauh 6-7 li.
Selama
itu mereka tak saling bicara apa-apa.

Hai, apa kau hendak mematahkan tulang kakiku? Lepaskan tanganku, lepaskan tanganku! Su
Tiau-ing menjerit-jerit.
Khik-sia hentikan larinya dan lepaskan cekalannya. Tapi kembali Su Tiau-ing menjerit
kesakitan, tubuhnya terhuyung hampir merubuhi dada Khik-sia. Hal itu bukan karena ia memang
sengaja. Seperti diketahui, ia diseret lari oleh Khik-sia. Begitu tenaga penyeret itu dilepaskan,
tubuhnya tentu kehilangan keseimbangannya dan lalu mau menjorok ke muak. Walaupun
mendongkol namun tak tega juga Khik-sia mengawasi nona itu jatuh tersungkur. Cepat ia
jambret
nona itu supaya berdiri tegak. Setelah itu baru ia lepaskan tangannya lagi.
Mengapa kau begini kasarnya? Coba lihat ini, lenganku sampai biru kau pijat! Su Tiau-ing
mengomel.
Dengan mendongkol Khik-sia menjawab: Siapa suruh kau tadi cari perkara? Hm, kalau lain
kali begitu ....
Su Tiau-ing kerutkan alisnya, menukas: Apa?
Bukan saja hendak kuremas tulang lenganmu, pun akan kupatahkan kedua tanganmu nanti,
kata Khik-sia.
Sengaja Khik-sia berkata keras, agar cekcok dengan nona itu. Siapa tahu melihat ia marah
sungguh-sungguh, Su Tiau-ing tak berani unjuk kekerasan kepala dan malah menghaturkan
maaf:
Baiklah, kali ini anggaplah aku yang kurang ajar berani menyalahi kawan-kawanmu hingga
membikin kau marah. Kau marah-marah sebengis ini, lain kali aku tentu tak berani berbuat lagi.
Karena sudah mengakui salah, kemarahan Khik-sia pun reda. Katanya: Memang kau yang
salah, mengapa harus suruh 'menganggap salah'. Sekalipun aku tak kenal dengan mereka, tapi tak
seharusnya kau berbuat begitu.
Tiba-tiba mulut Su Tiau-ing tertawa mengikik: Sebenarnya akuun bukan tanpa alasan berbuat
begitu.
Huh, jadi kau mempunyai alasan? Orang berjalan baik-baik, apa mengganggu kau? Mengapa
kau lepaskan bwe-hoa-ciam ke kuda mereka? Khik-sia mendengus.
Sudah tentu aku mempunyai alasanku sendiri. Apakah kau mau mendengarnya?
Bilanglah! kata Khik-sia dengan ketus.
Su Tiau-ing jebikan mulutnya tertawa: Mengapa kau memandang tak berkesiap pada anak
perempuan orang? Dan mengapa budak hina itu juga memandang terus menerus padamu? Aku
tak
senang melihat perbuatannya itu!
Merah padam selebar muka Khik-sia mendengar kata-kata itu. Ia kerupukan, marah tak bisa,
membantah tak dapat. Akhirnya ia hanya dapat membentak-bentak saja: Ngaco, ngaco belo!
Sayang tadi aku lupa memberimu sebuah kaca cermin supaya kau dapat melihat, kata Su
Tiau-ing.
Huh, peduli apa kau? Aku memandanginya sekali atau dua kali, peduli apa kau?
Su Tiau-ing tertawa: Ha, kiranya kau ini tak kenal susila. Aku ini kaum wanita, bukan?
Kalau wanita lalu bagaimana?
Kau berjalan bersama aku, tetapi mengincar gadis lain. Ini dikata tidak punya susila. Berarti
kau menghina aku, tahu? Aku tak dapat menamparmu, maka mencari sasaran nona itu untuk
melampiaskan kemengkalan hatiku, kata Su Tiau-ing.
Pemutarbalikan Su Tiau-ing itu telah membuat Khik-sia bungkam. Pikirnya: Anak perempuan
memang aneh. Sudahlah, sudahlah, aku tak mau adu mulut padamu.
Khik-sia tak mau meladeninya lebih lanjut, tapi Su Tiau-ing tetap tak mau melepaskannya.
Setelah berjalan beberapa langkah, ia bertanya pula: Siapa kakak beradik tadi? Kau katakan
kenal,
tapi mengapa mereka menanyakan siapa kau? Dan mengapa budak perempuan itu terus menerus
memaki-maki kau sebagai pencuri? Mengapa ia begitu geram hendak membunuh kau? Bermula
ia
memandangku tanpa kesiap, kemudian tak henti-hentinya memakimu, hm, kau tentu pernah
berbuat
sesuatu yang menyalahi ia?
Pertanyaan Su Tiau-ing menyebabkan hati Khik-sia merasa pilu lagi. Pikirnya: Ya, mengapa
kakak beradik she Tok-ko itu benci sekali kepadaku? Sebelum kejadian tadi, mereka tak kenal
aku
ini siapa. Kalau mereka memaki-maki dan membenci aku, itulah disebabkan karena urusan Su
YakKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
bwe. Yak-bwe memaki aku 'bangsat', mereka pun lantas ikut-ikutan memaki begitu. Ah, Yak-
bwe,
walau pun aku Toan Khik-sia mempunyai seribu satu kesalahan padamu, tapi kita toh pernah
terikat
dalam perjodohan sepasang tusuk kondai kumala. Mengapa kau begitu membenci padaku?
Melihat si anak muda merenung diam. Su Tiau-ing tertawa kegirangan: Bagaimana? Katakataku
itu tepat, bukan? Kau telah berbuat kesalahan apa kepadanya?
Dirundung oleh kepiluan hatinya, sudah tentu Khik-sia tak bernafsu untuk banyak bicara.
Apalagi ia anggap Su Tiau-ing itu bukan orang yang patut ia curahi perasaan hatinya. Maka
iapun
diam saja dan hanya menghela napas. Lewat beberapa saat kemudian, barulah ia dapat
menjawab:
Entahlah, aku sendiri tak tahu. Mungkin aku pernah berbuat salah kepada lain orang. Terserah
saja bagaimana kau hendak mengatakan.
Lagi-lagi mulut Su Tiau-ing mengikik tertawa: Apakah kau suka kepada nona itu?
Jangan mengurusi perkara orang, bentak Khik-sia, Biar kukasih tahu padamu, aku tak suka
kepada siapapun juga!
Sungguh? Ah, sayang sekali! Sedikitpun kau tak mengerti hati anak perempuan, Su Tiau-ing
menertawakan.
Huh, jangan berkata yang tidak-tidak. Apanya yang disayangkan? kata Khik-sia.
Nona itu mulutnya memaki kau bangsat, tapi hatinya suka padamu, mengerti? kata Su Tiauing.
Khik-sia terkesiap dan membentak: Omonganmu makin lama makin melantur. Aku sama
sekali tak kenal dengan nona itu. Ia begitu membenci aku, mengapa kau katakan suka?
Su Tiau-ing tertawa: Kalau ia tak suka padamu, mengapa ia benci padamu? Makin ia benci, itu
berarti ia makin merindukan kau. Apakah ini bukan menandakan ia suka padamu? Sedikitpun
kau
tak mengerti sehingga mengecewakan rasa kasih orang. Apakah itu tidak sayang sekali?
Pikiran hati Khik-sia seperti terbuka. Ia kira kalau Su Yak-bwe itu sungguh sudah
membencinya. Kiranya apa yang dikatakan Su Tiau-ing jauh sekali bedanya dengan jalan
pikirannya. Diam-diam ia membatin: Benarkah hati seorang gadis itu begitu? Apakah kebencian
Yak-bwe itu karena ia tak dapat melupakan aku? -- Pikirannya melayang-layang pada peristiwa
yang lampau dan wajah calon isterinya itu terbayang-bayang di mukanya ....
Sudah tentu Su Tiau-ing tak mengerti isi hati Khik-sia. Khik-sia berdebat tentang Tok-ko Ing,
tapi ternyata hatinya mengenangkan Yak-bwe. Maka dugaan Su Tiau-ing pun tentulah kalau
Khiksia
itu mempunyai hubungan yang amat mesra dengan Tok-ko Ing. Demi melihat anak muda itu
termenung-menung, diam-diam Su Tiau-ing pun merasa rawan. Kiranya rangkaian kata-katanya
yang dibuat berdebat dengan Khik-sia itu, adalah untuk menjajaki apakah anak muda itu tahu
akan
perasaannya (Su Tiau-ing) kepadanya?
Karena melamun, tanpa terasa Khik-siapun hentikan langkahnya. Tiba-tiba Su Tiau-ing berseru
pelahan di dekat telinganya: Dan nona Su itu? Siapakah dia?
Khik-sia terkesiap, serunya: Apa katamu?
Su Tiau-ing tertawa: Kutanyakan siapakah nona Su itu?
Apa? Jadi kau sebenarnya sudah tahu? Sudah tahu bahwa yang kusebut nona Su itu bukan
kumaksudkan kau?
Su Tiau-ing menyahut dengan tenang: Sudah tentu tahulah. Apakah kau kira aku tolol? Mana
kau sudi memandang perasaan hatiku? Sudah tentu nona Su itu seorang lain lagi!
Khik-sia mendongkol dan tersipu-sipu: Kalau sudah tahu, mengapa kau masih bingung dan
mengira kalau dirimu?
Su Tiau-ing tertawa getir: Kau memberatkan hubunganmu dengan nona Su, maka kau lantas
bercidera dengan kakak beradik tadi. Tapi aku tak ada sangkut pautnya dengan mereka, maka
memperolok-olokkannya. Mengapa? Apa kau tak suka hati? Mereka berdua hampir
menghilangkan nyawaku, masakah aku tak boleh membalas?
Diam-diam Khik-sia marah, namun tak mau ia menceritakan urusannya dengan Yak-bwe kepada
Su Tiau-ing.
Ho, sebenarnya kau suka yang mana? kembali Su Tiau-ing menggoda, Nona Su apa nona
tadi? Hm, kulihat kau ini tak setia pada cinta, maka tak heran kalau orang marah-marah
padamu.

Kau ngaco belo! bentak Khik-sia.
Ngaco belo apa? Kau sendiri mengatakan kau tak punya kesetiaan hati? bantah Su Tiau-ing.
Aku hanya mengatakan siapapun aku tak suka. Jangan tanya panjang lebar lagi. Hm, hm, jika
masih ribut saja, aku aku .....
Kau mau apa? tukas Su Tiau-ing.
Aku takkan peduli lagi padamu, kata Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa mengejek: Huh, siapa yang minta kau mengurusi diriku? Kau mau pergi,
silahkan pergilah. Bukankah untuk kepentinganmu maka kau baru mau bersama aku ke Tiang-an
ini? Pertama, kau tentu mempunyai kesempatan bertemu dengan kedua kakak beradik tadi.
Kedua, karena kau tak mengerti isi hati seorang gadis, jika aku berada di sampingmu, tentu dapat
memberi advis.
Khik-sia tertawa meringis lalu memutus pembicaraan itu: Baik, aku tak mau bicara lagi
padamu. Ayo, kita lekas berjalan. Sejak ini jangan membicarakan hal itu lagi.
Walaupun mulut Khik-sia mengatakan begitu, tapi dalam hatinya ia masih tetap mengenangkan
urusannya dengan Yak-bwe. Sebentar ia merasa heran 'mengapa Yak-bwe tak bersama-sama
dengan Tok-ko U?' -- Sebentar lagi ia bertanya pada diri sendiri 'apakah karena terkenang
padaku
maka Yak-bwe benci padaku?' Kemudian sebentar lagi ia berpikir, 'Kepergian kedua engkoh
adik
ke Tiang-an itu, tentulah hendak hadir dalam rapat Eng-hiong-tay-hwe. Ya, memang aku
mempunyai kesempatan berjumpa dengan mereka nanti. Meskipun sekarang Yak-bwe tak ikut,
tapi
tentulah ia sudah berjanji dengan kedua saudara itu untuk bertemu di Tiang-an.' -- Pikiran itu
telah
menyebabkan hatinya ingin lekas-lekas mencapai Tiang-an.
Sekarang mari kita meninjau keadaan Yak-bwe. Seperginya dari rumah keluarga Tok-ko,
hatinya merasa kecil. Tak tahu kemana harus mencari jejak Khik-sia. Akhirnya dalam kegelapan
pikiran itu, ia teringat akan Sip In-nio. Pikirnya: Cici in itu lebih banyak pengalaman dari aku.
Baik aku kesana minta advisnya, mungkin ia dapat memberi petunjuk.
Demikian ia bergegas-gegas ayunkan langkah menuju ke tempat Sip In-nio. Pada hari itu ia tiba
di sebuah kota kecil. Dari tempat kediaman In-nio, kota itu hanya terpisah kira-kira setengah hari
perjalanan. Yak-bwe merasa lapar lalu singgah di sebuah warung yang letaknya di tepi sungai.
Sebenarnya ia tak biasa minum arak, tapi karena pikirannya pepat ia hendak minum arak untuk
melepaskan keruwetan hatinya itu. Sebelumnya ia periksa dulu isi kantongnya, setelah itu baru ia
berani pesan ini itu.
Seorang tetamu yang duduk di pinggir, rupanya memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Ia
meliriknya tajam-tajam. Ketika Yak-bwe berpaling, dilihatnya orang itu seorang pemuda desa
yang
berbaju kain kasar. Dari sikapnya, menandakan ia itu seorang tolol, sama sekali bukan bangsa
kaum persilatan. Yak-bwe tak pernah menaruh persangkaan apa-apa. Hanya ketika Yak-bwe
berpaling tadi, buru-buru pemuda desa itu alihkan pandangannya.
Teringat Yak-bwe akan pengalamannya ketika tempo hari di warung arak ia membayar dengan
mas kim-to. Diam-diam ia merasa geli sendiri, pikirnya: Ah, sekali pernah digigit ular, lain kali
kalau bertemu semak belukar tentu harus berhati-hati. Setiap kali aku masuk warung, tentu lebih
dulu kuperiksa kantongku ada uangnya tidak. Ini memang lucu, tapi apa boleh buat. Pemuda
desa
itu tentulah bukan bangsa orang jahat.
Pengalamannya di warung arak itu: karena membayar dengan kim-to ia telah kesamplokan
dengan dua orang benggolan penjahat. Dan karena peristiwa itu kenallah ia dengan Tok-ko U.
Terkenang akan peristiwa itu, ia geli tapi kemudian merasa berduka juga. Bayangan Khik-sia
kembali terbayang-bayang di kalbunya. Dari Tok-ko U, ia kembali terkenang pada Khik-sia.
Pertemuannya dengan Khik-sia di taman keluarga Tok-ko, terlintas lagi dalam kenangannya.
Kata-kata Khik-sia yang meminta maaf kepadanya secara sungguh-sungguh itu, kembali
mengiangngiang
dalam telinganya. Bagaimana dengan rasa putus asa Khik-sia pergi, pun tak luput dari
kenangannya. Diam-diam Yak-bwe menghela napas. Hatinya gundah dan menyesali dirinya
sendiri: Ia begitu sungguh-sungguh kepadaku tetapi kuperlakukan ia begitu getas. Ai,
seharusnya
aku tak boleh bersikap demikian keterlaluan. Ah, Khik-sia, Khik-sia, tahukah kau bagaimana
getaran hasratku untuk minta maaf padamu?

Karena kepekatan hatinya itu, tahu-tahu tanpa merasa ia sudah meneguk 5-6 cawan arak. Ia
mulai mabuk. Ketika pikirannya melayang-layang dibuai oleh bekerjanya arak itu, tiba-tiba ada
dua
orang lelaki masuk ke dalam warung situ. Begitu berat langkah kaki kedua orang itu, hingga
papan
lantai sampai tergetar dan Yak-bwepun kaget dan tersadar.
Bukan saja Yak-bwe, pun lain tetamu juga sama memandang ke arah kedua orang itu. Ternyata
mereka itu, seorang hweshio dan seorang tosu. Orang pertapaan masuk ke dalam warung arak,
itulah aneh. Begitu duduk, keduanya lantas pesan arak dan makanan barang berjiwa (daging)
secara
royal sekali.
Diam-diam Yak-bwe mendamprat: Huh, memuakkan betul. Hweshio yang gemar makan
daging minum arak, tentu bukan golongan baik.
Habis itu ia lantas alihkan pandangan matanya, tak mau melihat mereka lagi. Tapi di luar
dugaan, tanpa disengaja Yak-bwe telah mendengar pembicaraan mereka yang dilakukan dalam
bahasa kang-ouw. Dulu memang ia tak mengerti, tapi setelah diajar oleh In-nio, Tok-ko U dan
lainlain,
kini ia sudah dapat menangkap walaupun belum seratus persen. Bermula ia tak begitu
mengacuhkan tapi tiba-tiba terdengar hweshio itu berkata: Kalau bertemu dengan budak
perempuan she Su itu, apakah to-heng bisa mengenalinya?
Yak-bwe terkesiap, pikirnya: Siapakah yang dimaksudkan itu?
Waktu masih kecilnya, aku pernah melihatnya. Tapi kebanyakan anak perempuan itu kalau
sudah besar tentu berubah. Kalau sekarang bertemu muka, entahlah aku dapat mengenalinya
tidak.
Hanya saja, wanita yang lihay amat sedikit jumlahnya di dunia persilatan. Walaupun bagaimana
juga, tentulah ia mempunyai ciri-ciri yang dapat kita gunakan sebagai tanda pengenal. sahut si
imam (tosu).
Berapakah umurnya sekarang? tanya si hweshio pula.
Di antara 17-18 tahunan, jawab si imam, waktu kecilnya cantik, konon kabarnya ia sekarang
lebih hebat lagi.
Hweshio itu tertawa gelak-gelak, serunya: Aku tak peduli ia cantik atau tidak. Aku seorang
pertapaan, tak ingin merusak kaum wanita. Cuma apa yang kau katakan bahwa ia berkepandaian
tinggi itu, entah sampai dimana kelihayannya?
Itu sih tak mengherankan, karena ia anak murid dari seorang tokoh kenamaan. Tentang siapa
suhunya itu, meskipun belum pernah ketemu tapi rasanya kau tentu pernah mendengar namanya.
Wanita tua itu benar-benar seorang tokoh yang jarang terdapat tandingannya. Oleh karena itu,
sebaiknya kita harus berhati-hati dalam urusan ini, kata si imam.
Tampak si hweshio itu kurang senang, katanya: Kau ternyata bersikap seperti anjing bercawat
ekor (ketakutan). Terhadap seorang nona kecil saja kau ketakutan setengah mati. Apa peduli
dengan suhunya yang lihay, apakah kita tak mampu mengatasi?
Si imam tertawa: Jangan toheng marah-marah. Aku hanya bilang supaya kita berhati-hati dan
sama sekali bukan jeri padanya. Dengan keangkeran nama partaimu Leng-san-pay itu, sekalipun
suhunya keluar juga belum tentu dapat menang. Tapi daripada tambah sebuah urusan, kan lebih
baik berkurang satu urusan. Bisa membuat supaya suhunya tak tahu, itulah lebih baik.
Si hweshio menghirup secawan besar arak dan berkata: Nah, itu dapat diterima. Memang kita
hanya diminta tolong menangkap nona itu saja. Jika dapat mengurangi urusan, sudah tentu itu
lebih
baik sekali.
Tiba-tiba hweshio itu lirihkan (perlahankan) suaranya: Kabarnya nona itu bertengkar dengan
keluarganya karena seorang anak lelaki she Toan. Benarkah itu?
Benar, justeru karena bertengkar itu, kukuatir apakah ia ikut melarikan diri dengan pemuda she
Toan itu? kata si imam.
Kembali si hweshio mengerut kurang senang, katanya: Tak usah kiranya kau banyak
kekuatiran. Cukup kalau ada orang yang patut kau sangsikan kau terus bilang, tentu nanti aku
yang
turun tangan. Budak she Toan itu entah baik atau jahat, pokok akan kuringkusnya dulu, urusan
belakang.
Imam itu tertawa: Toheng, kau juga memandang rendah padaku. Meskipun anak she Toan itu
lebih lihay dari budak tersebut, tapi sedikitpun aku tak gentar. Kukira anak she Toan itu belum

tentu bersama-sama dengan budak itu. Aku melainkan hanya mempertinggi kewaspadaan saja.
Mengapa? Bukankah kau katakan budak itu bertengkar dengan keluarganya karena seorang
pemuda she Toan. Kemudian kalau budah itu melarikan diri, mengapa tak mungkin ikut pada
pemuda itu? tanya si hweshio.
Toheng, kau tahu satu tak tahu dua. Kabarnya budak laki itu sudah punya pacar lain, sahut si
imam.
Hweshio itu tertawa keras, serunya: Kalau begitu tindakan budak itu meninggalkan
kenikmatan kedudukan, ternyata hanya memburu bayangan kosong saja. Ha, mendiang ayahnya
yang sudah menjadi setan itu ....
Toheng, minum, minumlah. Jangan sembarangan menyebut nama ayahnya itu, sekarang
suasananya sedang genting, cepat-cepat si imam menukasnya dan kata-katanya yang terakhir itu
diucapkan dengan berbisik-bisik. Sekalipun begitu, Yak-bwe tetap dapat mendengarnya dengan
jelas.
Makin mendengari, Yak-bwe makin terperanjat heran. Pembicaraan kedua orang pertapaan itu
seolah-olahnya ditujukan kepadanya. 'Budak perempuan she Su' dan 'budak lelaki she Toan' yang
dijadikan pokok pembicaraan mereka itu, siapa lagi kalau bukan ia dan Toan Khik-sia. Tapi
Yakbwe
merasa aneh akan beberapa hal yang diucapkan mereka itu tadi. Salah satu kalimat yang
paling menusuk telinga, ialah tentang 'budak laki she Toan itu sudah punya pacar lain.'
Entah benar entah tidak ucapan itu. Kalau benar, mengapa malam itu ia menumpahkan
perasaan hatinya kepadaku? Ya, begitu sungguh-sungguh ia mengucapkan kata-katanya itu.
Masakan dalam beberapa hari saja sekarang ia sudah mendapat lain gadis? Hal itu tak sesuai
dengan keterangan si imam 'sudah lama'. Ah, urusan ini tentu salah urus, pikirnya.
Tapi pada lain saat pikirannya membantah sendiri: Ada api tentu ada asap. Jika urusan ini
hanya isapan jempol belaka, mengapa tersiar santer di dunia persilatan? Sampai pun kalangan
penjahat juga mengetahui hal itu.
Di samping hal-hal yang menyangsikan itu, masih ada lain hal yang menambah kesangsiannya
menjadi makin kuat. Pertama, imam itu mengatakan kalau pernah melihatnya ketika ia masih
kecil.
Tapi betapapun Yak-bwe gali lubuk ingatanya, tetapi ia yakin kalau seumur hidup belum pernah
bertemu dengan imam tersebut. Di tempat gedung kediaman ciat-to-su Sik-ko, tak pernah ada
bangsa imam dan hweshio. Kedua, tadi si hweshio menyebut-nyebut 'mendiang ayahnya yang
sudah menjadi setan'. Ini tentu menunjuk ayahnya (Yak-bwe) yang sudah meninggal dunia itu.
Tentang asal-usul dirinya itu, kecuali hanya beberapa orang yang tahu, semua orang mengira
kalau
puterinya Sik-ko. Mengapa hweshio itu tahu kalau ayah sudah meninggal?
Dan ayah itu seorang cin-su dari kerajaan Tay-tong. Beliau meninggal karena dicelakai An
Lok-san. Pada masa An Lok-san jaya, memang tak boleh sembarangan menyebut-nyebut nama
ayah. Tapi toh kini An Lok-san sudah hancur, mengapa tak boleh mengatakan nama ayah? Dan
apakah yang dimaksud si imam bahwa suasana sekarang ini genting?
Sebenarnya Yak-bwe itu seorang nona yang cerdas. Tapi terhadap soal-soal yang berbelit-belit,
sepintas benar sepintas tidak itu, betapapun ia peras otaknya namun tetap tak dapat menemukan
pemecahan yang memuaskan.
Ya, memang dapat dimengerti kalau ia sampai bingung begitu. Karena yang dimaksud dalam
pembicaraan kedua orang pertapaan itu bukan lain ialah Su Tiau-ing. Adalah karena Su Yak-bwe
yang sudah mempunyai prasangka, maka 'budak perempuan she Su' itu dianggapnya tentu
dirinya.
Kebalikannya dikatakan oleh si imam dengan 'pacar budak she Toan' itu, dianggapnya lain gadis.
Padahal, adalah dirinya itulah.
Karena asyik mendengari, tanpa terasa Yak-bwe sampai hentikan sumpitnya, letakkan cawan
araknya dan matanya terus diarahkan kepada kedua orang pertapaan itu. Sudah tentu sikapnya itu
lekas menarik perhatian orang. Walaupun kala itu Yak-bwe berdandan sebagai seorang pelajar,
tapi
sebagai seorang kangouw yang berpengalaman, sepintas pandang tahulah mata si hweshio yang
tajam siapa diri Yak-bwe yang sebenarnya itu.
Kedua kaum agama itu saling memberi kicupan mata dan masing-masing saling berpikir dalam
hati: Jangan-jangan budak perempuan ini sendiri, atau sekurang-kurangnya, ia tentu mempunyai

hubungan. Kalau tidak, tak nanti ia mendengari pembicaraan kita sedemikian asyiknya.
Serempak hweshio dan imam itu berbangkit terus menghampiri ke tempat duduk Yak-bwe.
Setelah memberi hormat si imam berkata: Siapa she siangkong yang mulia. Sukakah
memberitahukan?
Kalau si imam masih pakai aturan, adalah si hweshio lebih kasar lagi. Serentah ia menegur
Yak-bwe: Hai, engkoh kecil, apakah kau she Su?
Sudah tentu marahlah Yak-bwe. Bentaknya dengan keras: Aku tak kenal kalian, perlu apa
tanya siapa she-ku?
Hweshio itu terkesiap tapi pada lain saat ia lantas tertawa dingin: Kau tak sudi berkenalan
dengan kami, baik. Sekarang jawablah, mengapa kau terus menerus mengawasi kami berdua
saja?
Mengapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?
Bagaimana kau tahu aku mengawasi kau? Di dalam rumah makan apakah orang dilarang
melihat kau? Kau benar-benar tak tahu adat! bentak Yak-bwe.
Tiba-tiba si pemuda desa yang duduk di dekat situ mengomel seorang diri: Hweshio yang
minum arak makan daging, memang jarang ada. Tak heran kalau orang sama melihatinya.
Kentut! Peduli apa dengan hweshio minum arak makan daging? Kau berani mengurusi Hudya,
hai, babi kecil! si hweshio berseru marah.
Buru-buru pemuda desa itu surutkan kepala dan mengoceh sendiri: Aku hanya mengatakan
'jarang ada' saja, apakah orang omong tidak boleh? Bagus, bagus, baguslah. Karena kau larang
aku
bicara, akupun takkan bicara lagi.
Ah, mengapa suheng ladeni anak desa. Sebaiknya kita bicarakan urusan penting dengan si-cu
ini dulu, buru-buru si imam mencegah. Kemudian ia berkata kepada Yak-bwe: Karena
kedatangan kami, maka sicu sampai berhenti minum. Sekarang biarlah kupersembahkan arak
padamu. -- Habis berkata ia lantas angkat poci arak dan terus hendak dituangkan pada Yak-bwe.
Gerakan menyorong poci arak itu, termasuk sebuah jurus ilmu silat yang mengandung lwekang.
Dengan itu ia hendak menjajaki adakah Yak-bwe itu mengerti silat. Kalau Yak-bwe pintar,
seharusnya ia pura-pura kaget dan jangan menghiraukan. Dengan begitu, tentulah imam itu tak
berani sembarangan melukainya. Tapi memang sejak tadi Yak-bwe sudah benci dengan tingkah
laku kedua orang itu. Bahwa tiba-tiba dirinya hendak diguyur arak, sudah tentu ia marah sekali.
Imam bangsat, jangan kurang ajar! bentaknya dan tutukkan sumpitnya ke arah jalan darah di
tangan si imam.
Sebenarnya imam itu lwekangnya lebih tinggi daripada Yak-bwe. Tapi karena gerakan Yak-bwe
itu dilakukan amat cepat sekali, terpaksa imam itu tarik pulang tangannya. Namun tak urung
tangannya terasa kesemutan dan terlepaslah poci itu dari cekalannya.
Si hweshio kebetulan berada di sampingnya dan poci itu tepat sekali melayang ke arahnya.
Meskipun tak tepat mengenai, tak urung ia meringis kesakitan juga karena kecipratan arak.
Dengan
murkanya ia menghantam. Kini poci itu terbang balik melayang ke arah Yak-bwe.
Yak-bwe agak terkesiap, batinnya: Kedua hweshio jahat itu bermulut besar, tapi ternyata
memang mempunyai kepandaian berisi.
Takut tak kuat menyambuti hingga nanti menjadi buah tertawaan, buru-buru Yak-bwe
menghindar saja. Brak, poci itu menghantam kaca jendela, terus melayang jatuh ke dalam
sungai.
Tapi araknya berhamburan kemana-mana, sampai Yak-bwe pun turut basah kuyub dengan
percikannya.
Sayang, sayang, poci arak baik-baik, terbuang dalam sungai, kedengaran si pemuda desa
mengoceh sendirian.
Si hweshio menggerung keras terus hendak mencengkeram Yak-bwe, tapi Yak-bwe cepat
menyambutnya dengan tutukan sumpit. Krek, sumpit patah menjadi dua. Kiranya hweshio itu
memiliki ilmu kim-ciong-oh dan thiat-po-san atau ilmu lindung yang kebal senjata. Sekalipun
begitu karena tutukan sumpit Yak-bwe tadi tepat mengenai jalan darah tangannya, meskipun tak
sampai rubuh, hweshio itu juga merasa sakit seperti ditusuk jarum. Saking sakitnya ia sampai
loncat ke atas.
Si imam biasanya selalu tenang. Karena tadi menderita kerugian kecil, untuk sementara waktu

ia hanya diam mengawasi di samping. Setelah menyaksikan Yak-bwe bertempur dengan
kawannya
(si hweshio), diam-diam ia merasa heran.
Apakah yang menjadi keheranannya itu? Kiranya tutukan sumpit Yak-bwe tadi, belum
mengenai lengannya. Ujung sumpit hanya baru menyentuh ujung bajunya, tapi anehnya ia
rasakan
lengannya sudah kesemutan sehingga tak kuat mencekal poci arak lagi. Dalam ilmu tutukan,
yang
paling lihay sendiri ialah apa yang disebut kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari
kejauhan. Hanya orang yang sempurna lwekangnya, baru dapat menggunakan ilmu tutukan itu.
Selain itu, masih ada pula lain macam ilmu tutukan yang tak kurang lihay, yakni tak usah
menutuk
tepat tapi dengan gunakan lwekang dapat menutup jalan darah orang. Ia duga Yak-bwe tentu
memiliki salah satu dari dua macam ilmu tutuk yang hebat itu. Jarak ujung sumpit Yak-bwe
dengan
jalan darah di lengan si imam, hanya terpisah selembar kertas tebalnya. Jadi terang bukan
termasuk
ilmu tutukan kek-gong-tiam-hiat.
Suatu keuntungan bagi Yak-bwe bahwa imam itu telah keliru menyangka kalau Yak-bwe
memiliki kedua macam ilmu tutuk jalan darah yang lihay: kek-gong-tiam-hiat dan lwe-lat-pit-
hiat
(lwekang untuk menutup jalan darah). Karena persangkaan itu, si imam sudah tak berani
sembarangan turun tangan dan mundur ke samping.
Selama mengawasi permainan Yak-bwe tadi, ia telah melihat suatu lubang kelemahannya. Tapi
tak urung ia makin keheranan. Jika Yak-bwe memiliki ilmu tutuk seperti yang diduganya itu,
sekalipun hweshio memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh, pun tak nanti kuat bertahan. Tapi
ternyata
hweshio itu tak kena apa-apa, melainkan loncat berjingkrak-jingkrak, pula sumpit Yak-bwe pun
patah dibuatnya. Jelas dilihatnya gerakan menutuk dari Yak-bwe tadi, meskipun hebat tapi
kurang
mahir, menandakan Yak-bwe itu masih trondol.
Sudah tentu imam itu bingung memikirkannya. Pikirnya: Bagaimana ini? Apakah memang ia
sengaja tak mau keluarkan kepandaiannya sungguh-sungguh? Tapi mengapa tadi sekali turun
tangan kepadaku ia lantas gunakan ilmu tutuk yang hebat?
Mari kita tengok kembali si hweshio. Ketika melambung di udara, dengan menggerung keras ia
lantas menghantam dengan ilmu pukulan boh-pay-chiu. Dengan tangkasnya Yak-bwe
berputarputar
menghindar. Brak, bukan Yak-bwe yang kena melainkan meja yang terhantam jungkir balik.
Melihat warung araknya dibuat medan perkelahian, si pemilik berkaok-kaok. Pun tetamutetamu
lain, buru-buru menyingkir. Pukulan hweshio itu dahsyat sekali. Setiap kali ia memukul,
anginnya menderu-deru, mangkuk piring pecah berantakan kemana-mana. Tring-tring, prang,
prang
....
Yak-bwe tetap gunakan ilmu kelincahan. Sebentar loncat ke atas meja, sebentar ke atas
dingklik, mengusup ke bawah meja, menyelinap kesana memberosot kesini. Betapapun hweshio
itu
hendak umbar kemarahannya, namun tak dapat mengapa-apakan Yak-bwe. Yang nyata,
pukulannya
itu selalu mendapat sasaran meja, kursi atau mangkuk piring saja.
Setelah mengikuti bagaimana selama bertempur itu Yak-bwe selalu menghindar dan sudah
beberapa kali hampir saja termakan pukulan si hweshio, si imam mulai menarik kesimpulan
bahwa
memang Yak-bwe itu tidak pura-pura dan benar-benar bukan jago keras. Kini hilang
kekuatirannya
dan dengan tertawa ia berseru: Nona Su, berkelahi di dalam rumah makan sini, sungguh tak
sedap
dipandang. Lebih baik kita pergi ke lain tempat untuk berunding.
Ternyata si hweshio dan si imam saat itu sudah yakin bahwa Yak-bwe tentulah Su Tiau-ing yang
hendak dicarinya itu.
Yak-bwe malu dan gusar sekali. Malah sehabis berkata imam itu sudah menerjangnya. Buruburu
ia jumpalitkan sebuah meja untuk menahannya, kemudian segera mencabut pedangnya dan
membentak: Berani maju selangkah lagi, pokiam-ku ini tak punya mata!
Si imam tertawa: Pokiam-mu tak bermata, tapi aku punya mata.
Habis berkata ia lantas kebutkan lengan jubahnya untuk menampar pokiam Yak-bwe.
Berbareng itu si hweshio dengan menggembor keras sudah pentang kedua tangannya hendak
merebut pedang Yak-bwe. Yak-bwe tusukkan pokiamnya ke tenggorokan si hweshio. Meskipun
si
hweshio punya ilmu lindung kim-ciong-toh, tapi tenggorokan adalah bagian yang dapat
mematikan.
Buru-buru ia sambar sebuah dingklik untuk menangkisnya.

Ternyata tusukan Yak-bwepun tak dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Begitu membentur
dingklik, ia lantas putar arah menusuk si imam. Melihat gerakan ganti jurus itu dilakukan
sedemikian cepatnya, diam-diam si imam merasa kagum. Pikirnya: Ilmu pedang budak ini jauh
lebih hebat dari ilmu tutuknya. Sayang tenaganya masih belum memadai.
Iapun tetap gunakan lengan bajunya untuk menampar, tapipun tak berani terlalu bernafsu
hendak merebut pokiam Yak-bwe.
Dengan ilmu kelincahannya dan dibantu oleh meja kursi yang malang melintang, ia mainkan
pedangnya kian kemari. Dengan cara itu dapatlah ia melawan sampai 10-an jurus.
Hweshio itu bertubuh gemuk. Meskipun ia memiliki ilmu gwakang yang hebat, namun ilmu
lindungnya masih belum sempurna betul. Beberapa kali hampir saja ia termakan pedang Yak-
bwe.
Akhirnya marahlah hweshio itu. Ia lepaskan jubahnya dan berseru: To-heng, ayo, kita tangkap
ikan.
Ia mainkan jubahnya. Jubah itu berubah menjadi semacam awan merah yang mencangkup
kepala Yak-bwe. Si imam tetap gunakan sepasang lengan bajunya untuk menampar. Setiap ada
kesempatan tentu ia pergunakan sebaik-baiknya untuk melibat pedang Yak-bwe. Kepungan
kedua
orang itu makin lama makin rapat. Permainan pedang Yak-bwe pun mulai berkurang gayanya.
Sekalian tetamu sudah sama ngacir pergi. Si pemilikpun juga sudah bersembunyi di kolong
mejanya. Mangkuk piring pecah berantakan. Meja kursi sungsang sumbal, gederobkan tak
hentihentinya.
Ho, hendak lolos kemana kau? teriak si hweshio. Ia tetap perkeras permainan jubahnya yang
mengancam kepala Yak-bwe.
Tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh dan ada seorang mendekap paha si hweshio: Aduh, mati
aku dipijaknya! teriak orang itu.
Kiranya di ruangan situ masih ada seorang tetamu yang belum menyingkir. Orang itu bukan
lain yakni si pemuda desa tadi. Marahlah si hweshio. Ia sepak pemuda desa itu sekuat-kuatnya
sampai jungkir balik. Tapi pemuda itu sudah menggigit pahanya. Meskipun si hweshio punya
ilmu
lindung kim-ciong-toh, tapi tak urung pahanya kena digigit sampai berlumuran darah.
Yak-bwe menghindari jaringan jubah si hweshio terus balas menusuk. Tusukannya itu tepat
mengenai jalan darah ih-gi-hiat di perut si hweshio. Karena tusukan itu memakai tenaga penuh,
maka akibatnya juga lebih hebat dari ilmu tutukan dengan jari. Betapapun hweshio itu seorang
otot
kawat tulang besi, namun tetap ia tak kuat menahan tusukan itu. Sekali menjerit, rubuhlah ia di
lantai.
Sewaktu ditendang jungkir balik tadi, si pemuda desa bergelundungan di lantai. Jatuhnya tepat
menggelundung di samping si imam. Si imam segera angkat kakinya hendak memberi sebuah
tendangan, tapi cepat pemuda desa itu mendekapnya sambil berteriak-teriak: Tolong, tolong!
Karena dipeluk sekencang-kencangnya oleh si pemuda, hampir saja imam itu terjerembab jatuh.
Sebenarnya kepandaian imam itu lebih tinggi dari si hweshio. Sekali kakinya diputar, pemuda
desa
itupun tak kuat mempertahankan dekapannya lagi, terpaksa ia lepaskan. Berbareng itu si imam
cepat menendangnya.
Pembunuhan, tolong, tolong! teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia jungkir balik dan terlempar
keluar dari jendela.
Sebenarnya tendangan si imam itu belum mengenai. Tapi entah mengapa, si pemuda desa sudah
jumpalitan. Pada lain saat terdengar suara gedebuk yang keras. Rupanya pemuda desa itu
terbanting jatuh sekeras-kerasnya.
Masih Yak-bwe belum menginsyafi bahwa pemuda desa itu sebenarnya diam-diam telah
memberi bantuan padanya. Ketika si pemuda menjerit-jerit minta tolong tadi, Yak-bwe menjadi
gugup hendak menolongnya. Cepat ia tusuk si imam.
Tadi beberapa kali pedang Yak-bwe kena disampok terpental oleh kebutan jubah si imam. Tapi
kali itu sungguh aneh. Bret, lengan jubah si imam kena dipapas kutung. Dan ketika ujung pedang
terus meluncur maju, lengan si imam tergurat luka sepanjang lima dim. Mengapa mendadak
sontak
si imam tak selihay tadi. Kiranya gigitan si pemuda desa yang menyebabkannya. Karena ujung
kakinya digigit sampai terluka, bukan saja gerakan si imam itu tak setangkas tadi, pun tenaganya

menjadi berkurang. Jika saat itu Yak-bwe terus menyerang lagi, imam itu pasti binasa atau
sekurang-kurangnya tentu terluka berat.
Tapi Yak-bwe tak mau berbuat ganas. Ia hanya bermaksud memberi sedikit hajaran saja. Demi
melihat kedua orang agama itu sudah pontang panting tak keruan, diam-diam ia sudah merasa
senang. Kedua kalinya, ia tetap menguatirkan keadaan si pemuda yang terlempar keluar jendela
itu.
Maka setelah dapat melukai si imam, ia lantas tarik pulang pedangnya.
Katamu kau punya mata. Tapi kulihat kau benar punya mata tapi tidak punya biji matanya.
Jika lain kali berani kurang ajar lagi, apabila bertemu aku, tentu akan kukorek keluar biji
matamu,
kata Yak-bwe.
Imam itu tahu kalau kepandaian lawan tak menang dengan dia. Tapi entah apa sebabnya,
ternyata ia menderita kekalahan. Saking marahnya, dari tujuh lubang inderanya sampai
mengeluarkan asap. Namun ia tak berani bercuwit lagi. Celaka adalah si hweshio gemuk.
Ternyata
ia menderita luka lebih parah. Ia tengah mengerang-erang menyalurkan jalan darahnya, sehingga
tak dapat berkata-kata lagi.
Baru Yak-bwe hendak melangkah keluar, tiba-tiba si pemilik warung menerobos keluar dari
kolong mejanya dan menangis gerung-gerung. Kiranya ia sedi karena menderita kerugian besar,
tapi ia tak berani minta ganti kerugian pada Yak-bwe.
Ciang-kui sudahlah, jangan menangis. Nih, kuganti uang, kata Yak-bwe sembari
mengeluarkan uang tembaga dan pecahan perak.
Mendengar itu buru-buru si pemilik warung mengusap air matanya. Tapi serta dilihatnya
Yakbwe
hanya menyodorkan sejumlah uang tembaga dan pecahan perak, kecewalah ia. Serunya
dengan terputus-putus: Tuan, ini, ini .....
Setelah mengatakan 'ini, ini', akhirnya ia beranikan juga untuk menerangkan bahwa uang
Yakbwe
itu masih belum cukup untuk mengganti kerusakan barang-barangnya.
Diam-diam Yak-bwe geli sendiri: Ah, aku ini benar-benar limbung. Kali ini aku hampir
merusakkan sebuah rumah makan, masakan hanya membayar dengan jumlah rekening
makananku
tadi.
Akhirnya ia mengambil uang mas kim-tonya terus dilemparkan ke lantai, serunya: Ini emas
murni, jangan kuatir kutipu. Cukuplah kiranya!
Habis berkata ia lantas loncat keluar jendela. Melihat keroyalan Yak-bwe, imam dan hweshio
tadi makin yakin kalau Yak-bwe itu tentulah Su Tiau-ing.
Tampak pemuda desa tadi tengah berjalan di tepi sungai dengan langkah pincang. Hati Yak-bwe
serasa longgar dibuatnya. Ia meneriaki pemuda desa itu: Hai bung, aku hendak menghaturkan
maaf padamu. Dalam perkelahian tadi, aku telah membikin susah kau. Apakah kau terluka?
Tidak, tidak apa-apa. Syukur Tuhan masih adil, tidak suruh aku menjadi makan ikan sungai.
Hanya melecet sedikit saja dan terluka di bagian tumit kaki. Apa kau menang? Kiong-hi,
kionghi,
sahut si pemuda memberi selamat.
Karena dapat berjalan, Yak-bwe menduga pemuda desa itu hanya terluka sedikit saja. Ia tak
mau meladeni bicara lagi, terus mengeluarkan perak dan selembar sapu tangan serta obat.
Katanya:
Ini adalah obat kim-jong-yok yang jempolan, bubuhkanlah pada lukamu. Dalam dua hari saja
tentu sudah baik. Dan perak ini, terimalah untuk ongkos keperluanmu.
Mengingat selama dua hari nanti si pemuda tentu tak dapat bekerja, maka Yak-bwe memberinya
sedikit ongkos. Ia duga pemuda itu tentu mau menerimanya dengan girang. Tapi di luar dugaan,
tiba-tiba wajah pemuda desa itu berubah. Serunya: Apa maksudmu ini? Apakah aku ini
dianggap
sebagai pengemis?
Kemerah-merahanlah wajah Yak-bwe. Ia merasa serba salah apa mesti menyimpan kembali
perak itu atau tidak. Kebetulan sekali saat itu ada seorang pengemis berjalan lalu di situ. Tiba-
tiba
si pemuda desa itu tertawa: Ya, sudahlah, mana perakmu itu, biar kuwakilkan kau memberi
sedekah padanya.
Diberi sekian banyak perak, pengemis itu melongo. Setelah tersadar, ia tersipu-sipu
menyambutinya dan tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.
Perak itu kepunyaan tuan ini. Kau berterima kasihlah kepadanya. Ai, tubuhmu juga penuh

dengan luka-luka, ini, obat untukmu. Juga dari tuan itu, kata si pemuda desa.
Yak-bwe tak dapat berbuat apa-apa kecuali tertawa meringis. Tanpa berkata apa-apa ia lantas
pergi. Lewat beberapa jenak, keadaan menjadi hening. Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu: Hai,
gerak gerik pemuda desa tadi sungguh luar biasa, pun wataknya juga aneh!
Makin teringat akan pemuda desa itu, makin timbul kecurigaan. Tapi ketika ia berpaling ke
belakang, ternyata pemuda desa itu sudah tak tampak bayangannya lagi. Sudah tentu Yak-bwe
terbeliak kaget. Pikirnya: Kuejek imam tadi punya mata tapi tak punya biji mata. Ternyata aku
sendiri juga salah lihat pada orang. Jika pemuda desa itu tak punya kepandaian tinggi, masakan
ia
tak sampai terluka parah dilempar keluar jendela begitu rupa? Ah, tak nyana aku kembali tak
sengaja berbuat salah pada orang.
Memang apa yang disesalkan Yak-bwe itu tepat sekali. Tapi iapun tetap masih belum insyaf
bahwa adanya ia dapat memenangkan imam dan hweshio tadi adalah berkat bantuan secara
diamdiam
dari pemuda desa itu.
Tengah hari lewat sedikit, tibalah sudah Yak-bwe di muka pintu gedung Sip Hong. Penjaga
pintu yang sudah tua dengan keheranan mengawasi Yak-bwe, tegurnya: Kau hendak cari
siapa?
Yak-bwe tertawa mengikik, sahutnya: Ong tua, apakah kau tak kenal lagi padaku?
Ai, kiranya nona Sik. Dalam dandanan begitu, apabila tak kau katakan, sudah tentu aku tak
mengenal kau lagi, seru si penjaga pintu.
Dahulu keluarga Sip dan Sik itu tinggal berdekatan. Sewaktu kecilnya, boleh dikata saban hari
Yak-bwe tentu main-main dengan In-nio. Penjaga pintu tua itu sudah bekerja selama
berpuluhpuluh
tahun pada keluarga Sip. Ia mengikuti kedua nona itu dari kecil sampai berangkat dewasa.
Maka sekali Yak-bwe buka suara, cepat ia sudah mengenalinya.
Lo-ya sedang bepergian, tapi nona ada di rumah, sedang berlatih ilmu pedang di dalam taman.
Mari kuantar kau ke sana, kata si penjaga.
Tak usah, aku dapat kesana sendiri, sahut Yak-bwe.
Ai, nona Sik, dalam dandanan sebagai pemuda, kau benar-benar tampak cakap sekali. Aku
sampai tak mengenal kau sama sekali. Ah, sayang kau bukan pemuda sesungguhnya. Jika
sungguh, tentu merupakan pasangan yang setimpal dengan nona majikanku, kata penjaga tua itu
dengan bergurau.
Yak-bwe girang karena penyaruannya itu telah dapat mengelabuhi mata pak tua itu, sahutnya:
Jangan kuatir, nonamu itu sudah ada yang punya.
Nona sudah mendapat jodoh? Mengapa aku tak tahu sama sekali?
Sabarlah, nanti sedikit waktu tentu kau bakal tahu sendiri. Sekarang ini aku justeru hendak
menjadi comblangnya, jawab Yak-bwe terus melangkah masuk.
Tiba di taman, benar juga In-nio sedang asyik berlatih pedang. Dilihatnya sinar pedang In-nio
itu berkelebatan pergi datang dengan cepatnya. Setiap kali pedang itu berkelebat, tentu
meninggalkan percikan pedang berbentuk seperti taburan bunga. Ternyata In-nio tengah mainkan
jurus hui-hoa-cui-yap atau bunga bertebaran memburu sang kupu-kupu. Jurus itu sebuah
permainan
dari ilmu pedang Hian-li-kiam-hwat. Apabila dilatih sampai tingkat sempurna, dapatlah dibuat
memapas bunga tanpa merusak tangkainya sedikitpun juga. Dapat memapas sayap seekor
kupukupu
tapi tanpa menyebabkan kematiannya. In-nio belum dapat mencapai tingkatan itu, tapi sudah
tak banyak terpautnya.
Permainan pedang yang bagus! Yak-bwe memuji sembari menghampiri.
Sebat sekali In-nio sudah tarik pulang pedangnya. Tapi iapun mengawasi Yak-bwe dengan
pandangan yang lain dari biasanya.
Hai,kau melihat apa saja? Apa kau juga tak mengenali aku? tegur Yak-bwe sambil tertawa.
Lihatlah sendiri keadaanmu itu. Apakah kau barusan habis berkelahi dengan orang? seru Innio.
Yak-bwe cepat menghampiri ke tepi empang teratai. Begitu melongok ke permukaan air,
barulah ia tersadar. Katanya: Ah, makanya tadi pak tua penjaga pintu itu pentang mata lebar-
lebar
memandang aku.
Kiranya rambut Yak-bwe kusut masai, pakaiannya kacau risau, banyak debu yang melekat.

Wajahnya tak keruan warnanya, banyak bekas-bekas noda arak, air kuah, kecap dan lain-lain.
Yakbwe
mendongkol tapi geli juga.
Hm, pak tua itu memperolok-olok aku. Katanya aku ini seorang pemuda tampan, katanya.
In-nio ambil sapu tangan, setelah dicelup air, ia lantas mengusapi noda-noda kotoran di wajah
Yak-bwe. Ujarnya: Jangan buru-buru tukar pakaian dulu. Tuturkan ceritamu itu. Mengapa kau
begitu nakal, sebelum datang kemari berkelahi dulu dengan orang?
Ho, kau juga hendak memperolok-olok aku, ya? Bukan cerita yang baik, tapi menjengkelkan
hati, sahut Yak-bwe. Ia lantas menuturkan kejadian yang dialaminya di warung arak itu.
Aku tak kenal pada imam hidung kerbau dan si hweshio busuk itu, tapi entah bagaimana
mereka itu hendak cari perkara padaku. Coba kau timbang, apakah itu tidak menjengkelkan?
katanya.
In-nio heran dibuatnya, tanyanya: Masa ada kejadian begitu, apakah kau tak salah dengar?
Atau mungkin mereka mengatakan tentang lain orang?
Meskipun aku tak paham seluruhnya akan bahasa kangouw, tapi aku dapat mendengarkannya
dengan jelas. Coba pikirkan, mana di atas dunia ini ada seorang budak perempuan she Su yang
galang-gulung dengan budak laki-laki she Toan itu? bantah Yak-bwe yang lantas menceritakan
omongan si imam. Dalam bercerita itu, wajahnya menjadi kemerah-merahan.
Ah, hal itu benar-benar aneh. Siapakah yang membocorkan keluar? Mengapa dalam kalangan
orang luar yang tak ada hubungannya sama sekali mengetahui bahwa kau tinggalkan rumahmu
karena urusan Toan Khik-sia? In-nio tertawa.
Malah mereka tahu juga akan sumber perguruanku dan tingkat kepandaianku. Tapi memang
ada beberapa bagian yang tidak benar, kata Yak-bwe.
Iapun menerangkan tentang hal-hal yang menimbulkan kecurigaannya kepada In-nio. In-nio
memang lebih berpengalaman. Memang ia anggap dalam urusan itu tentu terselip sesuatu, tapi
seperti halnya dengan Yak-bwe, iapun juga tak mengetahui tentang adanya seorang nona yang
bernama Su Tiau-ing itu. Maka dugaannyapun, sama dengan Yak-bwe, yakni yang dimaksud si
imam dengan 'budak perempuan she Su' itu, siapa lagi kalau bukan Yak-bwe.
Dalam penuturannya itu, Yak-bwe sudah lupa menyebut tentang diri si pemuda desa.
Ai, kau toh sudah memberi hajaran pada mereka, ini sudah cukup melonggarkan
kemendongkolan hatimu. Rupanya mereka itu hanya bangsa jagoan kelas 2-3 saja. Masakan
mereka berani mencari kau lagi. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi. Sekarang mari kita
bicarakan
soal Khik-sia. Sebetulnya kalian berdua ini bagaimana, ya?
Dengan suara berbisik, Yak-bwe menyahut: Justeru aku hendak minta advismu ....
Baru ia berkata begitu, tiba-tiba si penjaga pintu tadi bergegas-gegas mendatangi, serunya:
Nona Sip, ada tetamu hendak minta bertemu loya. Waktu kuberitahukan kalau loya sedang
pergi,
ia lantas keluarkan karcis nama suruh aku berikan pada nona. Ia minta keterangan, apakah nona
mau menjumpainyakah?
Waktu menyambuti dan membaca karcis nama itu, In-nio berseru: Oh, kiranya Sin-cian-chiu
Lu Hong-jun. Baik, silahkan dia duduk di ruangan tetamu. Sebentar aku ganti pakaian dulu.
Yak-bwe tertawa mengikik.
Hai, mengapa kau tertawa itu? tegur In-nio.
Tahukah kau apa maksud kedatangan Lu Hong-jun kemari? Yak-bwe balas bertanya.
Bagaimana aku mengetahui? Kalau begitu, rupanya kau tentu sudah tahu, bukan?
Dia hendak menjadi comblang untukmu. Comblang datang, calon yang akan dipinang itu
harus menyembunyikan diri tapi sebaliknya kau hendak menjumpainya. Lucu tidak ini?
Kau memang pandai menggerakkan lidahmu. Masakan seorang pendekar muda dituduh
menjadi comblang. Biar kutemuinya. Kebanyakan ia datang kemari karena kau. Kau telah
menghina adiknya, ia tentu hendak mencarimu, sahut In-nio yang tak percaya akan keterangan
Yak-bwe.
Tidak, aku sungguh tak membohongimu. Lu Hong-jun dimintai tolong Thiat-mo-lek untuk
melamar bagi Bo Se-kiat. Jika kau tak percaya, dengarkan saja bagaimana omongannya nanti.
Sudahlah, jangan berolok-olok lagi. Lekas ganti pakaian dan ikut aku menemui tetamu itu,

tukas In-nio.
Ah, aku bukan tuan rumah dan kedua kalinya, jika ada aku, ia tentu tak leluasa bicara, bantah
Yak-bwe.
Apa kau kuatir kalau ia sebenarnya hendak mencarimu? Baik, jika kau takut, biarlah aku
sendiri yang menyambutnya. Aku tak mau terpengaruh oleh olok-olokmu tadi hingga sampai
menelantarkan tetamu, kata In-nio.
Yak-bwe tertawa: Ya! Memang, memang! Jauh-jauh orang datang hendak menjadi comblang,
masakan tak disambut baik-baik.
Lekas ganti pakaian dan tunggu di sini. Nanti aku hendak bikin perhitungan padamu, bentak
In-nio.
Setelah pesan seorang budak untuk melayani keperluan Yak-bwe, ia lantas ganti pakaian dan
keluar menyambut sang tetamu. Yak-bwe pun lantas mandi dan berganti pakaian In-nio.
Ternyata
Yak-bwe itu lebih pendek dari In-nio. Bujang segera menyediakan pakaian In-nio yang dibuat
pada
dua tahun yang lalu. Ternyata ukurannya pas dengan Yak-bwe.
Yak-bwe menunggu di dalam taman. Tak berapa lama kemudian, datanglah In-nio. Wajah nona
itu agak berbeda dengan tadi. Kiranya benar apa yang dikatakan Yak-bwe kepadanya tadi.
Hongjun
telah membicarakan tentang diri Bo Se-kiat. Benar secara terang-terangan Hong-jun tidak
menyatakan jadi comblang, tapi ia menuturkan tentang pertemuan dengan Bo Se-kiat dan Thiat-
molek.
Kemudian ia sampaikan salam Se-kiat kepada In-nio. Dalam pembicaraan selama itu, secara
samar-samar Hong-jun menyatakan sudah mengetahui tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio.
Pun tahu juga dia (Hong-jun) akan kemungkinan bahwa Sip Hong tak suka kepada Se-kiat.
Selanjutnya Hong-jun menyatakan kesediaannya hendak membicarakan hal diri Se-kiat itu
kepada
Sip Hong.
Nah, bagaimana? Kan aku tidak omong kosong doang? tegur Yak-bwe sambil tertawa.
Heran, bilakah kau berjumpa dengan Lu Hong-jun itu? Mengapa tadi ia tak mengatakan
sebaliknya malah menanyakan tentang dirimu? kata In-nio.
Yak-bwe tetap tertawa saja: Aku bertemu padanya, tapi ia tak tahu kalau aku. Kejadian itu
memang lucu sekali, nanti akan kuceriterakan juga padamu. Coba kau tuturkan dulu, apa saja
yang
ia tanyakan tentang diriku tadi?
Kini ganti giliran In-nio yang tertawa: Dia juga membantu Thiat-mo-lek mencari jejakmu
untuk kepentingan Khik-sia. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat juga sangat perihatin akan urusan
kamu
berdua itu. Kukatakan pada Lu Hong-jun bahwa kau sudah berada di sini dengan aku.
Mendengar
itu girangnya bukan kepalang. Ia mengatakan hendak lekas-lekas menyampaikan hal itu kepada
Khik-sia dan Thiat-mo-lek, agar mereka terbebas dari kecemasan selama ini. Tadi sebenarnya
aku
berniat hendak memanggilmu keluar ....
Aku sih tak suka menemuinya, sahut Yak-bwe.
Itulah! Kutahu sudah bagaimana perangaimu. Menduga kau tentu tak suka menemuinya,
akupun tak mengatakan hal itu juga, kata In-nio.
Tiba-tiba Yak-bwe bertanya: Apakah ia tahu kalau baru hari ini aku tiba di sini?
Tentang itu tak kuutarakan. Dengan Lu Hong-jun baru pertama kali ini aku bertemu muka.
Waktu ia menanyakan dirimu, segera kuberitahukan kau berada di sini. Lain-lain hal aku tak mau
mengatakan lagi.
Mendinganlah. Kalau ia tahu baru hari ini aku tiba di sini, tentu ia menaruh kecurigaan.
Diriku yang sebenarnya, tentu akan ketahuan olehnya, kata Yak-bwe.
Ai, kau mainkan sandiwara apa saja? Mengapa kau takut dirimu ketahuan dia? tanya In-nio.
Tentang diriku menyaru jadi pemuda itu, lho, kata Yak-bwe. Belum lama ini, aku berjumpa
dengan Lu Hong-jun. Kuperhatikan kala itu ia sudah mencurigai diriku, tapi rupanya ia pun
masih
belum yakin betul bahwa aku ini seorang anak perempuan.
Ia lalu menuturkan pengalamannya selama berpisah dengan In-nio. Bagaimana di tengah jalan
terluka panah, bagaimana perkenalannya dengan Tok-ko U serta bagaimana pada suatu hari Lu
Hong-jun datang berkunjung ke rumah Tok-ko U, diceritakan semua.
Aku memakai nama palsu Su Ceng-to, berbohong mengaku salah seorang gagah dari Kim-
keKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
nia. Tak kusangkah bahwa sebelum datang kesitu, Lu Hong-jun berjumpa dulu dengan Thiat-
molek.
Mungkin ia tentu merasa keteranganku itu sedikit mencurigakan. Tapi syukur, aku dapat
mengatasi kesemuanya itu. Jika tadi ia tahu kalau baru hari ini aku datang kemari, mungkin ia
tentu
akan menghubungkan diri 'pemuda Su Ceng-to' itu. Dan diriku tentu bakal ketahuan.
Habis mendengar, In-nio tampak kerutkan alisnya. Tegurnya: Perbuatanmu itu kurasa tidak
tepat. Mengelabuhi mata Lu Hong-jun, itu sih tak mengapa. Tapi masakan kau juga mau
menyelomoti Khik-sia juga?
Tidak, siang-siang Khik-sia sudah tahu. Setelah Lu Hong-jun pergi, malamnya Khik-sia juga
datang ke rumah Tok-ko U dan bertemu dengan aku, kata Yak-bwe.
Bagus, bagus! Khik-sia tentu tahu dan apakah kau memberitahukan siapa dirimu itu
kepadanya? Kupercaya ia tentu tak mencemburui kau. Kalian sudah berbaik, bukan?
Celaka, karena kubikin marah, ia pergi dengan putus asa. Memang kala itu aku masih marah
kepadanya, maka akupun tak mau berkata padanya.
Waktu mendengar cerita Yak-bwe tentang pertemuannya dengan Khik-sia, In-nio bantingbanting
kaki: Ai, mengapa kau berlaku kelewatan begitu?
Yak-bwe menyatakan penyesalannya: Ya, sekarang aku sudah tahu kesalahanku. Jika nanti
bertemu lagi, aku akan menghaturkan maaf padanya. Tapi entah sekarang ini dia berada di mana.
Enci In, bagaimana adpismu? Apa sebaiknya cari dulu dianya, lalu kau katakan kepadanya.
In-nio tertawa: Ya, enak saja kau mengomong. Dengan begitu tak perlulah kiranya kau minta
maaf lagi kepadanya, bukan? Hanya saja, kau sudah membuat urusan itu kacau balau,
dikuatirkan
tak cukup dengan sepatah dua patah penjelasan dapat membuatnya mengerti.
Mendengar itu angot pula perangai kaum siocia (gadis orang hartawan atau berpangkat) pada
Yak-bwe. Ujarnya: Ya, aku memang berlaku kelewatan kepadanya. Tapi iapun juga berulang
kali
tanpa suatu alasan, menghina padaku. Kalau ditimbang-timbang, dua-duanya mempunyai
kesalahan. Jika setelah kau nasehati, ia tetap tak mau menerima penjelasanku, akupun tak
mengharap padanya lagi.
In-nio tertawa: Ah, bukan begitulah. Tapi jawablah pertanyaanku ini. Apakah Tok-ko U
pernah curiga padamu?
Curiga apa? Curiga kalau aku ini seorang anak perempuankah?
Kau tinggal hampir setengah bulan di rumahnya itu, tentunya setiap hari kau berjumpa
padanya. Sebagai seorang yang suka berkelana dan banyak pengalaman, masakan ia tak melihat
sedikitpun tanda-tanda yang mencurigakan pada dirimu?
Dengan bangga, Yak-bwe menerangkan: Kepandaianku menyaru jadi pemuda, meskipun tak
seperti kau, tapi rasanya lebih dari cukup untuk mengelabuhi mata kedua kakak beradik itu.
Bukan
saja kuberhasil mengelabuhi mereka, malah adiknya yang bernama Tok-koI Ing itu sudah jatuh
hati
padaku.
Yak-bwe segera menceritakan tentang sikap Tok-ko Ing yang menyintainya itu. Sudah tentu
dalam ceritanya itu, ia tambahi dengan bumbu secukupnya hingga In-nio tak kuat lagi menahan
gelinya.
Puas tertawa, berkatalah In-nio: Janganlah kau kelewat melanggar susila. Tidakkah
perbuatanmu itu menyebabkan penderitaan seorang gadis?
Nanti apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan memberi penjelasan padanya. Tapi pada
waktu itupun aku hendak mengolok-olok Lu Hong-jun juga. Tahukah kau bahwa Lu Hong-jun
itu
sebenarnya juga akan meminang nona Tok-ko?
Itu kan tak ada jeleknya, mengapa kau hendak mengolok-oloknya?
Aku tak suka dengan adik perempuan dari Lu Hong-jun. Karena aku sayang akan Tok-ko Ing,
maka aku tak suka kalau sampai ia mendapat ipar perempuan semacam itu.
Gila, bila benar kau ini. Ia kan menikah dengan Lu Hong-jun, bukan dengan adik
perempuannya. Sekalipun taruh kata kedua ipar itu tak rukun, toh tak ada sangkut pautnya
dengan
kau? Apalagi Lu Hong-jun itu seorang lelaki yang lapang dada, sekali-kali bukan orang busuk.
Tak usah kau damprat, belakangan akupun tahu kesalahanku itu juga. Tadi kan telah
kukatakan padamu, lambat atau laun aku tentu akan menjelaskan pada Tok-ko Ing. Hanya
sekarang

ini belum tiba saatnya, ujar Yak-bwe tertawa.
Sejak kecil In-nio sudah bergaul dengan Yak-bwe, jadi ia cukup kenal perangainya. Tertawalah
ia: Saat yang kau pilih itu, terus terang saja tentulah setelah kau berbaik lagi dengan Khik-sia,
agar
jangan belum-belum apabila sampai ketahuan dirimu seorang anak perempuan, Tok-ko Ing akan
mengutuk kau.
Yak-bwe tertawa: Terhadap kau aku tak dapat menutup isi hatiku. Itulah makanya aku
lekaslekas
kemari, perlu minta adpismu.
Dengan sungguh-sungguh In-nio berkata: Untunglah karena tak melihat penyaruanmu, Tok-ko
U tak sampai merayu kau. Tapi halitu tak mengurangkan cemburunya Khik-sia. Apakah kau tak
memikir sampai di situ?
Yak-bwe terkesiap, serunya: Kau maksudkan Khik-sia akan mencemburui aku, aku ....
Benar, ia mencemburui kau punya hubungan istimewa dengan Tok-ko U, tukas In-nio.
Kurang ajar! Kalau ia benar mempunyai pikiran begitu, tandanya ia berhati serong sendiri,
Yak-bwe menyeletuk sengit.
Sebagai puteri dari pembesar tinggi, Yak-bwe biasa memandang segala hal secara subyektif atau
menurut anggapannya sendiri. Itulah sebabnya maka ia tak memikirkan kemungkinan Khik-sia
akan menaruh persangkaan jelek terhadap tindakannya di rumah keluarga Tok-ko.
Mengapa menyalahkan Khik-sia? Andaikata aku, pun juga akan menaruh persangkaan begitu.
Ketahuilah bahwa Tok-ko U itu termasuk golongan anak muda seperti kita. Dia jauh berlainan
dengan 'putera manis' dari Tian peh-peh, bantah In-nio.
Hm, kau masih mengungkat hal itu. Apakah tidak karena Tian-pepeh hendak memaksa kau
menjadi menantunya, maka Khik-sia sampai marah-marah dan menghina habis-habisan padaku?
Baik, jika karena peristiwa di rumah Tok-ko U itu ia sampai marah-marah lagi, biarkan sajalah,
Yak-bwe makin sengit.
In-nio menggeleng kepala, ujarnya: Apakah kau benar-benar hendak membikin dia marah?
Kalau begitu, aku tak dapat mengurusi urusan kalian lagi.
Wajah Yak-bwe berubah agak gelisah, katanya: Kelihatannya ketika ia tinggalkan aku,
sikapnya amat sedih sekali. Maka, maka kemarahankupun berkuranglah separuh.
Dengan menirukan gaya bicara Yak-bwe itu, In-nio berkata: Maka, maka kau pun lantas minta
aku menjadi orang perantaranya.
Jilid 9
Yak-bwe tertawa mengikik dan sandarkan diripada tubuh In-nio. Bisiknya: Siapakah Yang
suruh kau menjadi ciciku? Aku sudah tak punya sanak kadang lagi, kalau tak minta tolong
padamu
habis minta tolong siapa?"
Ucapanmu Yang menyajat hati itu, mau tak mengurus pun terpaksa harus mengurus. Baik,
bangunlah," kata In-nio. Ia mengatur rambut Yak-bwe Yang terurai, kemudian berkata pula:
Dalam pertengahan bulan ini, Cin Siang akan menjelenggarakan rapat besar kaum enghiong.
Tentunya kau sudah mengetahui hal itu. Turut pendapatku, Khik-sia tentu akan datang untuk
melihat-lihat. Taruh kata ia tak datang, pun disana kita tentu dapat bertemu dengan
kawankawannya
Yang bisa memberi keterangan."
Kau artikan kita akan pergi juga? Tapi aku pernah bertempur dengan tentara negeri. Walaupun
Cin
Siang telah mengumumkan takkan menangkap orang-orang Yang pernah melanggar hukum, tapi
kitapun tak boleh mempercajainya seratus persen. Dan jangan lupa, bahwa kita ini anak
perempuan.
ya, meskipun kita dapat menyaru sebagai anak lelaki dengan bagas, tapi ditempat dimana kaum
persilatan Yang kasar sama berkumpul, rasanya gerak gerik kita tetap tak leluasa juga," bantah
Yakbwe.
In-nio menertawakan: Tak usah banyak kekuatiran. Hal itu telah kupikirkan semua. Aku dapat
menjaminmu Ayahku sekarang sedang pergi ke Gui-pok. Nah, akan kuambil cap kebesarannya
dan

kucapkan pada sepucuk surat keterangan. Kita akan menyaru jadi opsir sebawahannya Yang
ditugaskan mengurus suatu pekerjaan ke Tiang-an. Siapa Yang berani mengganggu-usik pada
kita
lagi? Di Tiang-an, ayah mempunyai sebuah pesanggrahan. Kita tak perlu tinggal dihotel, tapi
bermalam dipesanggrahan itu saja. Dengan selalu menjauhi kawanan orang persilatan itu,
masakan
kita takut apa lagi."
Yak-bwe kegirangan dan menjetujui rencana itu.
Jika berjumpa dengan Khik-sia, aku dapat memberi penjelasan padanya. Juga terhadap
urusanmu
dengan Tok-ko Ing, karena akupun kenal dengan kakak beradik she Lu, biarlah kuminta
bantuan
Lu Hong-jiu untuk menyampaikan halmu kepada Tok-ko Ing. Dengan demikian, dapatlah
urusanmu
itu dibebaskan."
Yak-bwe makin girang dibuatnya. Mulutnya tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.
Tahukah kau mengapa ayahku pergi ke Gui-pok?" tanya In-nio. Bagaimana aku tahu?" sahut
Yak-bwe.
Ialah untuk urusanmu juga. Setelah kotak emas Tian pehpeh kauambil, ia menjad: ketakutan
setengah mati. Bukan saja ia batalkan pernikahanmu itu. pun ia berjanji takkan mengganggu
wilayah Lu-ciu lagi. Ia menyalakan mau menjadi serekat ayah angkatmu. Kepergian ayahku ke
Guipok
itu, ialah hendak menjadi orang perantara mereka. Ha, adik Bwe, kau sungguh hebat. Peristiwa
kau merampas cap kebesaran Tian Pehpeh itu, kelak tentu bakal menjadi buah tutur Yang indah,"
kata In-nio.
Jangan keliwat memuji setinggi langit," Yak-bwe tertawa, .......tentang kepandaian, aku tak
nempil
padamu. Ilmu permainanmu hui hoa-cu-tiap tadi, sampai membuat aku mengiler benar. Beberapa
tahun aku belajar ilmu pedang, tetap tak mampu bermain sedemikian sempurnanya. Cici. dimasa
kecil kau sering memberi petunjuk padaku, sekarang aku hendak minta petunjukmu lagi."
Suasana pertemuan dan pembicaraan dgn In-nio itu, telah memberi banyak kegembiraan pada
Yakbwe.
Karena hari masih belum' gelap, ia lantas cabut pedangnya dan mainkan ilmu pedang hui-hoacu-
tiap. la minta In-nio memberi petunjuk dibagian Yang masih kurang baik. Baru bermain sampai
10-an jurus lebih, tiba-tiba terdengar orang berseru: Ilmu pedang Yang bagus!"
Cepat-cepat Yak-bwe hentikan permainannya. Dilihatnya di dalam taman muncul seorang
pemuda.
Dan pemuda Itu, astaga ........ kiranya sipemuda desa Yang dijumpainya dirumah makan itu.
Pemuda itu tertawa berkata: Orang hidup tentu sering berjumpa. Sungguh tak nyana disini kita
saling berjumpa lagi."
Yak-bwe dekki mata dan membentaknya: Mengapa kau berani masuk kedalam taman Ini?"
Tadi ketika diluar pagar, kudengar suaramu. Mengingat bahwa kau telah memberi persen aku
setahil perak, ya. walaupun uang itu telah kuberikan pada pak pengemis, tapi aku tetap meiasa
menerima sesuatu dari kau. Karena belum meniatakan terima kasih, maka aku masuk kemari.
He,
mengapa kau sekarang berubah menjadi seorang nona?"
Walaupun Ya k bwe masih hijau pengalamannia, tapi pada saat itu, ia pun dapat merasa tingkah
laku pemuda desa Itu bukan pemuda biasa. Cepat ia menghaturkan maaf: Tadi karena hilaf, aku
telah memandang rendah padamu, maafkanlah. Tapi mengapa kau kenal akan ilmu pedang Yang
kumainkan tadi?"
Tertawalah sipemuda itu: Kau memberi persen perak, tetapi malah m'nta maaf, ini aku tak
berani
menerimanya. Ha. ha, aku hanya bahu mencangkul sawah saja, tak mengerti apa itu ilmu pedang
atau ilmu golok"

Tapi mengapa kau berseru memuji?" tanya Yak-bwe.
Karena selama hidup aku belum pernah melihat seorang nona bermain, pedang. Saking heran,
tanpa terasa aku berseru memuji"," sahut sipemuda.
Melihat orang berlagak pilon, Yak-bwe menjad: kuranp senang: Aku sudah minta maaf, tapi
kau
tetap hendak mengolok-olok ." Ia mendamprat dalam hati.
Kau lancang masuk kemari, tetapi kubiarkan saja. Kau pun jangan mengurusi urusanku," ia
menyelutuk. Kata-kata itu berarti menyuruh orang pergi.
Tapi rupanya pemuda itu bandel sekali. Bukannya pergi, sebaliknya ia malah beringsut-ngsut
menghampiri Yak-bwe. serunya: Ih, kata-katamu itu membingungkan aku. Bilakah aku
menaurus:
urusan nona?"
Penyaruannya telah diketahui oleh sipemuda, Yak-bwe sudah kurang senang, tapi ia tak leluasa
menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan urusan itu, ialah tentang hal itu. Sesaat hatinya
bingung-bingung jengkel, tapi belum ia sempat meluapkan kejengkelannya itu, sipemuda itu
sudah
mengoceh seorang diri: Sebenarnya, orang Yang suka usil mengurusi urusan, juga bukannya tak
baik. Tadi dirumah makan, jika tak ada orang Yang suka usilan, kurasa ah, nona ah. belum tentu
menang dengan si imam busuk dan sikepala gundul itu."
Tergerak hati Yak-bwe, diam-diam ia membatm: "Apakah diam-diam dia Yang membantu aku?
Mengapa aku tak merasa sama sekali?"
Baru ia menimang begitu, tiba-tiba In-nio kedengaran memaki seraya mencabut pedangnya:
Berani
lancang masuk kedalam tamanku, kau sungguh tak punya aturan sekali, ini rasakan pedangku!''
Berbareng dengan berkumandangnya kata-kata, orangnyapun sudah menyerang sipemuda
dengan
jurus giok-hi-joan-soh atau bidadari menyusup tali. Kejadian itu amat mengejutkan Yak-bwe. In-
nio
biasanya lebih sabar dari ia. Mengapa tanpa berkata sepatah pun jua, ia lantas menyerang orang.
Bahkan serangannya itu menggunakan jurus Yang berbahaya.
Benar Yak-bwe tak senang dengan pemuda itu, tapi ia belum sampai hati untuk menghajarnya
sampai binasa. Tanpa terasa ia Segera berseru mencegah: Cici, cici, kau ......."
Belum seruannya selesai, In-nio sudah lancarkan tiga kali serangan, sehingga Yak-bwe tak dapat
meneruskan seruannya lagi. Tiga serangan berantai dari In-nio itu dengan indahnya telah
dihindari
oleh sipemuda. Jelas tampak oleh Yak-bwe, bahwa pemuda itu takkan terancam jiwanya.
Diamdiam
ia membatin: Kiranya orang ini lihay sekali dan hendak mengolok-olok kita." Pada lain saat
ia berpikir lagi: Biasanya ci In itu sabar, tentu ada sebabnya ia sampai bertindak keras."
Yak-bwe ambil putusan akan melihat dari samping dulu. Tak mau ia mencegah In-nio lagi.
Dilihatnya setiap kali pedang In-nio menyambar, pemuda itu hanya menghindari dengan gerak
langkah beringsut-ngsut . Beberapa kali pedang In-nio tampaknya sudahberhasil menusuk, tapi
dalam jarak hanya seujung rambut saja selalu dapat dihindari oleh sipemuda.
Kau berani menghina aku, ayo, loloslah senjatamu!" bentak In-nio. Habis berseru, tiba-tiba ia
gantikan serangannya dengan jurus hong-biau-lok-hoa (angin meniup bunga berguguran). Jurus
itu
terdiri dari 7 buah serangan berturut-turut Yang sukar diduga isi kosongnya.
Laksana bunga gugur, sinar pedang berhamburan jatuh menyilaukan kegelapan malam. Jurus itu
merupakan timpalan dari ilmu permainan pedang hui-hoa-cu-tiap (bunga bertebar mengejar sang
kupu-kupu). Diam-diam Yak-bwe malu pada dirinya sendiri. Ia pentang mata Lebar-lebar untuk
melihat bagaimana sipemuda hendak melayaninya.

Aduh, celaka!" teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia tergelincir jatuh.
Tapi baru Yak-bwe terkesiap kaget, dilihatnya pemuda itu dua kali berputaran ditanah, kemudian
loncat berjumpalitan dan jaraknya dengan ujung pedang In-nio hanya sejari saja. Sepintas
pandang,
ia seperti terpontang-panting tapi sebenarnya ia telah mainkan gerak cui-pat-sian atau Delapan
dewa
mabuk, Yang indah sekali.
Sebenarnya Yak-bwe jemu dengan, pemuda itu, tapi menyaksi-kan permainannya Yang
sedemikian
luar biasanya, mau tak mau ia berteriak memuji juga.
In-nio juga tak kurang tangkasnya. Begitu tusukannya menemui tempat kosong, ia sudah susuk
lagi dengan lain serangan. Rupanya pemuda itu tahu juga akan llhaynya ilmu pedang In-nio. Ja
merasa jika melajani dengan tangan kosong, lama-lama tentu akan menderita juga ahirnya.
Ketika
In-nio kembangkan serangannya Yang kedua, tiba-tiba pemuda itu berseru: Karena tak dapat
mengganti pedang dengan golok, terpaksa aku hendak gunakan kaju untuk melajani. Maaf, aku
hendak merusak sebatang dahan pohon liu kepunyaanmu."
Dalam berkata-kata itu,ia sudah memotes sebatang dahan liu, terus dimainkan. Dalam
rangsangan
pedang In-nio, daun-daun pada dahan pohon Yang dipakai sebagai sendiata oleh pemuda itu,
berhamburan jatuh. Dalam sekcjab saja dahan itu sudah bersih menjadi sebatang tongkat.
Anehnya,
hanya daunnya saja Yang terkupas hilang, sedang batangnya tetap tak kena terpaKsa pedang In-
nio.
Kini pemuda itu mulai kembangkan permainannya. Dahan liu dimainkan dalam jurus permainan
pedang. Ditangan sipemuda, dahan kaju itu berobah menjadi senjata Yang hebat perbawa-nya.
Belum In-nio menghabiskan 7 jurus serangan berantainya, sudah kena disiak kesamping oleh
dahan
liu sipemuda.
Diam-diam heranlah Yak-bwe. Bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi dari In-nio, itulah
sudah
terang. Tapi Yang lebih mengagumkan lagi, jurus permainan pedang dengan menggunakan
dahan
pohoa itu, juga luar biasa anehnya. Sampai sekian lama memperhatikan barulah Yak-bwe
teringat,
bahwa permainan pedang kayu sipemuda itu serupa dengan pertandingan pedang antara Thiat-
molek
dengan Bo Se-kiat digunung Kim-ke-nia tempo hari.
Permainan ilmu pedang itu mengutamakan tenaga lwekang Yang tinggi baru dapat
dikembangkan
dengan baik. Walaupun hvekan pemuda itu cukup lihay, tapi terang kalau masih kalah dengan
Thiet-mo-lek. Tempo hari Thiat-mo-lek gunakan pedang Yang berat, sedang pemuda itu kini
gunakan dahan pohon Yang enteng untuk melawan pedang In-nio Yang berat. Ini juga bukan
suatu
hal Yang mudah. Oleh karena itu walaupun In-nio kalah dalam hal lwekang, tapi ia mendapat
kemurahan dalam hal senjata. Permainan Yang d!imaiinikan In-nio, adalah ilmu pedang Yang
paling diandalkan. Untuk menghadapi permainan pedang kayu dari sipemuda, ia memerluka
waktu
Yang agak lama. Begitulah Berselang beberapa saat, kira-kira setelah 20-an jurus lewat, pemuda
itu
mulai kendor permainannya. Berangsur-angur mulailah ia kalah angin.
Diam-diam Yak-hwe girang: Kali ini rupanya ci In tentu akan memberi hajaran pada orang itu."
Tapi kegirangannya itu mendadak berobah menjadi kekagetan ketika sekonyong-konyong dalam
sebuah gerak menyongsong kemuka, dahan kayu sipemuda itu berhasil mendorong pedang In-
nio
kesamping. Kiranya gerak tamparan dari sipemuda itu juga menggunakan salah sebuah jurus dari
ilmu pedang hui-hoa-cu-tiap.
Bagusi" In-nio berseru seraya geliatkan pedangnya untuk lolos dari libatan dahan liu. Sret, sret,
pedangnya berkilat kian kemari aksana kupu-kupu menari diantara bunga atau burung kenari
menjusup kebawah daun. Isi kosongnya serangan itu sukar diduga sekali. Memang itulah jurus
Yang disebut tiap-bu-ing-hui atau kupu-kupu menari burung kenari terbang.

Sambil memuji, pemuda itu putar dahan pohonnya berganti jurus ceng lo-siau-san, dahan liu
dikiblatkan dan kakinya berlincahan. Gerakannya sungguh mirip dengan suasana Yang
dilukiskan
dalam sajak ceng-lo-siau-san-boh-liu-ing atau goyangkan kipas menangkap kunang-kunang:
Indah
sekali, ia pecahkan serangan In-nio.
Jurus tiap-bu-ing-hui itu tak mengutamakan tenaga kekuatan. Dan memang Biau Hui Sin-ni telah
menciptakannya kusus untuk wanita. Setiap gerakannya disesuaikan dengan keindahan gerak
badan,
maka bila dimainkan tak ubah seperti orang menari.
Pemuda Yang mengenakan dandanan Seperti pemuda desa itu, dengan dahan kaju ikut menari-
nari
untuk menghalau serangan, sudah tentu gerakannya lucu sekali. Tapi dikarenakan luar biasanya
jurus Yang dimainkan itu, maka dari merasa geli sebaliknja Yak-bwe malah mengikuti dengan
penuh, perhatian.
Pada waktu pertempuran mencapai klimaksnya, tampak bunga-bunga bertebaran gugur, suatu hal
Yang lebih menyemarakkan suasana pertandingan. Pada lain saat pemuda itu juga menggunakan
permainan ilmu pedang Yang serupa dengan In-nio. Pada saat itudah segera terdapat
keseimbangan
kekuatan. Dahan liu dimainkan tepat seperti sebatang pedang. Sedemikian mahir pemuda itu
memainkannya sehingga dapat mengembangkan inti keindahan ilmu pedang, jari lemah gemulai
laksana ujung tangkai itu, sigap beringas bagai burung hong kaget. Setiap jurus penuh
mengandung
perobahan-perobahan Yang sukar diduga.
Yak-bwe tersensam sekali, ia begitu terpesona sekali ia sampai lupa soal kaiah menangnya.
Pikirnya: Kiranya ilmu pedang dari suhu itu, mempunyai banyak perobahan Yang indah."
Setelah mengikuti sekian lama, tiba-tiba ia seperti disadarkan: Aneh, mengapa pemuda itu
mengerti akan ilmu pedang itu? Rupanya malah ia lebih faham dari ci In."
Tiba-tiba pemuda itu tindihkan dahan pohonnya kepinggir pedang dan tertawa: Tak perlu
bertempur terus, ya?"
In-nio tarik kembali pedangnya. Apakah Pui suheng?" tegurnya.
Pemuda itu lemparkan dahan kayunya dan lalu memberi hormat: Ya, memang benar, harap sute
berdua memaafkan."
Heran Yak-bwe dibuatnia, pikirnya: Bilakah suhu menerima seorang murid lelaki? Ha, suheng
dari mana ini?
In-nio segera melambainya supaya datang, katanya: Pui suheng ini, adalah tit-Ci (keponakan)
dari
suhu. Dia adalah murid dari Mo Kia lojin."
Memang Yak-bwe tak begitu tahu tentang asal usul suhunya ketika belum menjadi nikoh (rahib).
Kiranya Biau Hui Sinni itu orang she Pui. Ia mempunyai seorang adik lelaki Yang sudah
meninggal. Adiknya itu mempunyai anak lelaki Yang bernama Pui Bik-hu. Biau Hui kasihan
pada
anak itu. Selain diserahkan pada Mo Kia Lojin untuk belajar silat, ia sendiripun menurunkan
kepandaiannya kepada keponakannya itu. In-nio tahu akan hal itu karena ia lama bergaul dengan
suhunya. Itulah sebabnya maka In-nio tahu tentang urusan itu, sebaliknya Yak-bwe tidak.
Apakah suhu baik-baik saja?" tanya In-nio.
Bulan Yang lalu beliau telah genap berusia 80 tahun Beliau ambil putusan akan menutup pintu
meyakinkan pelajaran agama, selanjutnya tak mau keluar kedunia persilatan lagi. Beliau
menitipkan
sepucuk surat padaku supaya diberikan padamu," jawab Bik-hu.

In-nio melihat tulisan pada sampul itu benar buah tangan suhunya. Setelah memberi hormat,
barulah ia membukanya. Trrnyata isi surat itu jalah hendak memperkenalkan Bik-hu kepada In-
nio,
Dika takan bahwa Bik-hu itu masih hijau baru saja menyelesaikan pelajaran silatnya dan hendak
terjun kedunia persilatan. Oleh karena itu, sukalah In-nio memimpinnya dan menganggapnya
sebagai adik dsb.
Surat itu diberikan kepada Yak-bwe juga dan tertawalah In-nio:
Ah. suhu terlalu sungkan. Kita kan seperti orang serumah, masakan perlu pelajaran khusus?"
Waktu melihat dalam surat itu tertera hari dan tanggal lahir Bik-hu, tahulah Yak-bwe? kalau
pemuda itu lebih muda beberapa bulan dari In-nio, tetapi lebih tua setahun lebih dari ia. Diam-
diam
Yak-bwe geli diibuatnya, pikirnya: Ai, suhu memang banyak ini itu. Cukup mengatakan Pui
Bikhu
ini pernah sute dan ci In itu sucinya. kan sudah jelas. Perlu apa menerangkan hari lahir, seperti
orang hendak mencari hari untuk perjodoan."
Memang Yak-bwe tak tahu kalau Biau Hui sin-ni itu justeru bermaksud begitu. Bik-hu itu adalah
keponakannya sendiri, sudah tentu ia mengharap agar anak itu mendapat jodoh yang baik. Dua
orang anak muridnya, Yak-bwe sudah ditunangkan pada Khik-sia, tinggal In-nio Yang masih
bebas.
Ini sudah diketahuinya. Menurut penilaiannya, In-nio itu lebih masak pikirannya,
perangainyapun
mencocoki seleranya (Biau Hui). Oleh karena itu ia mempunyai minat untuk menjodokan Bik-hu
dengan In-nio. Hanya saja, Biau Hui pun tahu juga akan soal pernikahan. Pernikahan harus
didasarkan rasa saling suka pada kedua fihak. Jika ia menggunakan kedudukannya sebagai suhu
menjodokan mereka, dikuatirkan In-nio tak senahg dan mengatakan suhunya itu hendak
menggunakan pengaruh untuk memaksanya. Maka dari itu, dalam surat iapun tak mau
menjelaskan,
melainkan titipkan keponakannya itu kepada In-nio. Maksudnya tak lain tak bukan, agar supaya
kedua anak muda itu bisa berkenalan dari dekat dan dapat mengembangkan rasa suka mereka.
In-nio seorang nona yang berhati lapang. Hatinya sudah terisi oleh Bo Se-kiat. Dalam membaca
surat itu, walaupun agak merasa aneh atas sikap suhunya Yang begitu sungkan, tapi ia tak dapat
meraba maksud suhunya itu.
Pui sute, kau memiliki ilmu kepandaian dari dua aliran. Aku sebagai suci sungguh merasa malu
sekali. Kelak aku tentu akan minta petujuk-petunjuk dari kau. Ucapan suhu itu seharusnya
ditukarbalik,
baru benar," katanya dengan tertawa.
Yak-bwe pun tertawa: ........Kau kan masih punya toa-suheng Thiat-mo-lek, masakan takut tak
ada
orang Yang merawatimu?"
Muka Bik-hu agak tersipu merah, sahutnya: ,.......Markas Kim-ke-nia dari Thiat suheng sudah
dihancurkan tenteta negeri, untuk mencarinya sungguh tak mudah. Maka paling baik kudatang
kemari menemui suci berdua dulu."
Kiranya ia sudah tahu maksud dari bibinya (Biau Hui sin-ni). Adanya ia tak mau unjukkan diri
dulu; dan bertempur dengan In-nio, adalah karena ia hendak menjajal sampai dimana ilmu sifat
Innio
Itu. Adakah nona itu layak menjadi pasangannya atau tidak.
Ai, Pui suheng, kau pandai bicara. Sebenarnya kau kan hendak berkuojung pada ci In, mengapa
diriku turut terbawa-bawa? Masakan kau dapat meramalkan bahwa. Hari ini aku juga datang
kemari? Apa lagi aku ini bukan sucimu," Yak-bwe tertawa.
Bik-hu tertawa gelak-gelak, ujarnya: Kalau begitu aku harus minta maaf padamu. Tadi ketika
dirumah arak aku belum mengetahui kalau kau ini sumoayku. Perbuatanku tadi juga kurang
pantas,
membuat kau marah."

Pui suheng, sekarang aku sedikit jelas. Pertempuran Yang kumenangkan itu, tentulah karena
mendapat bantuanmu secara diam-diam, bukan?" kata Yak bwe pula.
Bik-hu ganda tertawa: Begitu kau turun tangan, aku segera tahu kalau kau ini tentu murid
bibiku.
Dan ketika habis menjengkelit kedua bangsat itu kau loncat kebawah, sebenarnya aku hendak
menjelaskan padamu. Tapi karena kulihat kau sedang kegirangan maka akupun tak mau
mengganggumu."
Yak-bwe kemerah-merahan wayahnya. Demi In-nio mengetahui peristiwanya, ia tertawa geli
juga.
Su sumoay, mengapa kau mengikat permusuhan dengan kaum Leng-san-pay?" tanya Bik-hu.
Pertanyaan itu diajukan oleh Bik-hu karena ia mendengar juga percakapan antara kedua iman
dan
hweshio itu. Ia kira mereka tentu benar hendak menangkap Yak-bwe.
Aku sendiri juga tak tahu," sahut Yak-bwe. Hm, apakah Leng-san-pay itu? Pui suheng,
rasannya
kau tentu mengetahui tentang mereka itu."
Aku baru saja keluar didunia kang-ouw. Orang Yang kukenal sedikit sekali. Aku tak tafiu asal
usul
kedua orang itu. Hanya saja, pernah kudengar dari suhu tentang kaum Leng-san-pay itu. Kau
telah
menggasak mereka, selanjutnya harus berhati-hati". kata Bik-hu.
Apa? Apakah mereka itu tak dapat diganggu? Kulihat, walau kepandaian mereka itu lebih
unggul
setingkat dari aku, tapi rasanya tak begitu berlebih-lebihan, "Yak-bwe kurang puas.
Dari pembicaraan hweshio itu, menunjukkan kalau ia anak murid Leng-san-pay. Benar dia itu
biasa saja kepandaiannya, tapi suhunya Yang bernama Leng Ciu sangjin itu, benar-benar tak
boleh
dibuat main-main, kata- Bik-hu. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan pula: Leng-san-pay
adalah salah satu anak cabang dari partai agama Ang-Kau di Se-ik (Tibet). Ketuanya, Leng Ciu
Siangjin, itu seorang suku Han. Murid-murid yang diterimanya campur baur, ada suku peribumi
ada
suku Han, ada kaum paderi dari Thian Hui-kong, Kabarnya Leng Ciu siangjin itu adalah suheng
dari Tian Hui-liong, seorang tokoh persilatan Yang termasyhur pada zamannya. Karena tak dapat
melaksanakan cita-cita d daerah Tiong-goan, maka ia lantas,kabur kedaerah Se-ik, mencukur
rambut menjadi paderi dan mendirikan sebuah partai."
In-nio terbeliak kaget, serunya: Apakah Tian Hui-Liong itu bukan suami dari Tian toanio,
ayah
dari Tian Goan-siu?"
Bik-hu mengangguk Benar, pada masa itu tokoh-tokoh partai Ceng-pay (baik) telah
mengepung
Tian Hui-Liong, suhu dan bibiku juga turut. Dan dengan ikut sertanya juga Hong git Wi Gwat,
segak-
sin-liong Hong hu Ko dll...., barulah dapat mengalahkan orang She Tian itu.
Apalagi Leng Ciu siangjin itu suheng dari Tian Hui Liong, tentunya lebih hebat lagi......
Tetapi Leng-san-pay itu jauh sekali didaerah Se-ik. Dan Yak-bwe itu seorang nona tak ternama
Yang baru keluar didunia persilatan. Sudah tentu ia tak kenal mengenal dengan orang-orang
Lengsan-
pay, tetapi mengapa dapat terikat permusuhan? Baik Bik-hu, In-nio bahkan Yak-bwe sendiri tak
tahu sebabnya.
Ah, tak usah kita hiraukan hal itu lagi. Pui suheng, hendak kemana kau?" kata In-nio.
Maksudku hendak ke Tiang-an untuk ikut dalam Eng-hiong-tay-hwenya Cin Siang. Ya, agar
menambah pengalaman. In saci, apakah kalian juga berminat kesana? kata yang ditanya
Ya, Memang tadi aku dan Su Sumoay sedang merunding tentang kepergian kami ke Tiang-an.
Kebetulan Pui Sute juga setujuan, jadi kita boleh bersama-sama kesana, Katanya.

Maksud Yak-bwe ke Tiang-an itu ialah hendak menyirapi diri Khik-Sia. Sebenarnya ia tidak
suka
pergi bersama Bik-hu itu, tapi karena In-Nio sudah meluluskan apalagi Bik-hu itu masih saudara
seperguruan, maka iapun tak enak untuk membantah.
Begitulah malam itu itu Bik-hu menginap di rumah In-Nio, Keesokan harinya, mereka segera
berangkat. In-nio dan Yak-bwe menyaru menjadi opsir tentara. Karena menganggap dalam
pakaian
sebagai pemuda desa itu, Bik-hu tak layak berjalan bersama mereka, maka In-nio minta Bik-hu
menyaru menjadi seorang bu-koan pengawal. Dan mengajarinya juga sedikit tentang hal yang
patut
diketahui dan tingkah laku dari seorang anak tentara.
Ho, selama ini aku selalu mengikuti suhu menjadi kacung pelayannya, kini tak nyana naik
pangkat
setinggi langit begini, menjadi anak militer. Tapi, ah, jadi seorang anak militer itu begini berabe,
lebih baik jadi seorang kacung penggosok kaca sajan, Bik-hu tertawa geli.
Kini barulah Yak-bwe mengerti bahwa adanya pemuda itu mengenakan pakaian -sebagai orang
desa, bukan tak ada sebabnya. Ternyata Bik-hu selama itu, ikut pada suhunya Mo Kia tojin
mengerjakan pekerjaan tersebut (gosok kaca).
Setelah membuat surat dinas yang hendak dihaturkan kepada pihak kerajaan dan memberi sabuk
lencana pada Bik-hu, maka In-nio segera ajak kedua sumoay dan sutenya itu berangkat ke Tiang-
an.
Dalam perjalanan itu, mereka bercakap-cakap tentang cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa
didunia
bulim. In-nio dapatkan, walaupun Bik-hu itu baru pertama keluar dari perguruan, tapi apa yang
diketahui tentang keadaan, diluaran. tak kalah dengan ia.
Kiranya Mo Kia lojin itu berlainan sekali caranya memberi pelajaran pada muridnya. Bukannya
menyuruh murid tinggal di Gunung belajar silat seperti lazimnya guru-guru lain, tetapi suruh
muridnya itu memikul pikulan dan ikut padanya menjelajahi kota dan desa-desa . (Gosok kaca,
adalah sebuah mata pencaharian, pada jaman dahulu. Pada jaman dulu, orang memakai tong Kia
(kaca tembaga) bukan kaca gelas, maka lewat beberapa waktu, tentu harus digosok sampai
mengkilap). Itulah sebabnya maka pengalaman dan pengetahuan Bik-hu,cukup banyak.
Diam-diam In-Nio menertawai suhunya. Bukan ia yang pantas mengurus Bik-hu, sebaliknya
Bik-hu
lah yang tepat mengurusnya. Tapi In-Nio hanya mengira kalau suhunya itu keliwat sayang pada
kponakannya, maka keponakannya itu dikatakan sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa, haru
diurusi orang. Ini menandakan bahwa sampai saat itu, In-Nio tetap belum mengetahui maksud
yang
sebenarnya terkandung dalam hati Biau Hui Sin-ni itu.
Karena berkendaraan kuda, dalam tujuh hari saja,. tibalah sudah mereka dikota Hin-peng, sebuah
kota yang ramai. Dari Hin-peng ke Tiang-an, kalau naik kuda hanya memerlukan waktu dua
hari
saja. Karena saat itu sudah menjelang petang, mereka bertiga lalu menginap disebuah hotel yang
besar di Hin-Peng.
Tiba dimuka pintu hotel, tiba-tiba Yak-bwe mendengus heran, uh, dari mana datangnya dua ekor
kuda Yang begitu bagus u!"
Ketika memandang, In-nio dapatkan pada tempat penambat kuda Yang terletak dihalaman hotel
itu,
sudah penuh dengan belasan ekor kuda. Diantaranya terdapat dua ekor kuda Yang menjolok
mata.
Yang seekor berbulu merah api, Yang seekor putih seperti salju. Sekali pandang, dapatlah
diketahui
bahwa Kedua binatang itu termasuk kuda bagus Yang mahal harganya.
Itulah kuda ternama dari jenis keturunan Gong-ki. Yang dirampas oleh Bo Se-kiat tempo hari,
juga
sama dengan kuda itu. Aku pernah menunggangi, tapi kurasa, tetap tak mampu menandingi
ketegangan kedua ekor itu, Yak-bwe berbisik-bisik.

In-nio terkesiap kaget, pikirnya: Apakah ada bangsa tay-lweko-Ciu disini?" Tay-lwe-ko-Ciu
artinya jagoan istana Yang lihay.
Setelah menambatkan kudanya. ln-nio berindap-indap menghampiri kedua ekor kuda bagus itu.
Setiap kuda yang dipersembahkan untuk raja, tentu dicap pertandaan. Tapi kedua ekor kuda itu
lak
punya noda sama sekali, apalagi cap.
Kuda itu perasa sekali. Begitu ada orang datang dan orang itu selalu mengimcarnya saja, iapun
lantas beringas dan meringkik keras. Kakinya diangkat terus hendak disepakkan In-nio. In-nio
cepat-cepat meniyingkir. Berbareng itu, terdengar orang miembentaknya!: Hai, apa kau mau
cari
mampus, berani mengganggu kuda tuanmu!"
Dari ambang pintu hotel, seorang melongok keluar, tangan menuding mulut memaki, wayahnya
aneh sekali mirip dengan tokoh Ti-pat-kay dalam dongeng Se Yu. Hidungnya mendongak seperti
hidung babi, dahi rata dan rambut berwarna kuning diikat dengan Kim-hoan (gelang emas),
mirip
dengan bangsa thau-to (paderi) daerah Se-ik. Barangsiapa melihatnya tentu akan merasa muak.
Yak-bwe tak dapat kendalikan kemarahannya lagi, ia segera balas mendamprat: Kurang ajar,
apakah lihat saja tak boleh, mengapa mulutmu memaki-maki?"
In-nio cepat menyetopnya. Ia tertawa menghaturkan maaf. Harap taysu jangan marah. Karena
selama ini belum pernah melihat kuda sebagus itu, maka tak kusengaja melihatnya beberapa
saat."
Melihat In-nio dan yak-bwe dalam dandanan sebagai seorang opsir apalagi ln-nio memuji
kudanya
serta menghaturkan maaf, redalah kemarahan paderi itu. Tapi terhadap Yak-bwe ia masih
mendongkol, matanya berkilat-kilat memandangnya.
Ketika keduanya masih saling pencerengan (memandang dengan sorot bermusuhan), muncul
pula
seseoramg Yang terus menarik thau-to itu, kata orang itu dengun tertawa: Wah, tak
sembarangan
kedua tayjin itu mengagumi kuda kami, suheng, seharusnya kau bergirang."
Orang iiu memberi isyarat mata kepada si thau-to. Si thauto tertegun, Tiba-tiba ia berobah
kegirangan dan angkat tangan memberi hormat: Maaf, aku memang berangasan sehingga tak
tahu
kalau tayjin berdua.
Kawan si thauto itu ternyata juga orang Se-ik, tapi mengenakan dandanan sebagai orang biasa.
Hidung besar seperti singa, mulut lebar macam harimau, sepintas pandang tampaknya lebih
gagah
dari si thauto tadi. Ciri Yang menonjol pada orang itu jalan sepasang kelopak matanya menjusun
kedalam. pertanda kalau dia seorang yang licin. Setelah memandang tajam-tajam kepada In-nio
dan
Yak-bwe, ia segera menyampaikan salam perkenalan: ...Siapakah nama tayjin berdua Yang
mulai
dan hendak menuju kemana saja?"
Yak-bwe hendak mendampratnya tapi cepat-cepat In-nio menariknya. Dengan sembarangan saja,
ln-nio memberikan, nama palsu kepada orang itu.
Oh, kiranya tayjin berdua juga akan, menuju ke Tiang-an. Beberapa hari lagi, di Tiang-an bakal
ada Eng-hiong-tay-hwe. Beruntung kita tentu dapat kesempatan, melihatnya" kata orang itu.
Benar? Maafkan, k&mi sedang melakukan tugas, lak dapat bicara banyak-banyak", tawar-
tawar
saja In-nio memutuskan pembicarann.
Terbentur tembok, orang itu meringis dan ngeloyor pergi. Ketika In-nio, Yak-bwe dan Bik-hu
masuk kedalam ruangan dalam, dilihatnya si thauto tadi kembali ribut mulut dengan ciang-kui
(pengurus). Ciang-kui itu kelihatan meminta maaf: Maaf, kamar kelas satu sudah ditempati
orang.
Tapi kamar Yang kusedediakan untuk taysu itu, juga menghadap kearah selatan. Dibanding
dengan
kamar kelas satu juga tak banyak bedanya. Baiklah taysu menginap disitu satu malam ini."

Ngaco! bentak thauto itu, Mengapa kau tak berikan kamar kelas satu itu padaku? Hm, kalau
ada orangnya suruhlah dia pindah!"'
Tampak kerut wayah ciang-kui itu menampil kesukaran, ujarnya,: Tetamu itu lebih dulu
datangnya."
Tapi peduli dia datang lebih dulu atau belakangan, kau berani membantah perintah?" bentak
paderi
itu dengan murkanya.
Tiba-Tiba kedengaran nada seorang gadis melengking: Sungguh dilarang terdapat manusia
Yang
begitu kurang ajar!"
Sekalian orang Yang berada disitu. terkesiap dan mencari" datangnya suara itu. Seorang nona
Yang
amat cantik, sudah tegak dihadapan thauto itu. Thauto itu melongo karena tak menyangka banwa
Yang tinggal dikamar kelas satu itu temjata seorang nona jelita. Begitu kesima, ia melihat
kecantikan Yang gemilang dari gadis itu, sehingga tak dapat marah-marah lagi.
Hm, dengan alasan apa kau hendak mengusir aku dari kamar itu?" tegur nona itu.
Thauto itu seperti terkancing mulutnya. Coba Yang berhadapan seorang lelaki, tentu sudah
dilabraknya. Tapi Yang berdiri dihadapannya itu seorang jelita Yang molek. Sebesar-besar
tinjunya
namun masih nyalinya tak sebesar itu untuk menjatuhkan pukulannya"
Seiorang hidung besar, kawan dari thauto itu, memandang dengan tak berkesiap kearah jelita itu.
Pada lain saat ia menghampiri sithauto dan mengucapkan beberapa patah kata. Mungkin Yang
diucapkan itu bahasa daerah Se-ik, jadi tiada seorangpun Yang mengerti.
Jelita itu makin meradang, ia mendengus dan menantang: Hm, kalian kasak kusuk apa itu?
Kalau
mau berkelahi, sitohkan maju!"
Sihidung besar tertawa: Ah, nona salah mengerti. Aku menasehati suhengku untuk
menghaturkan
maaf padamu."
Sithauto agak terkesiap, wayahnya mengerunjut aneh. Tapi rupanya ia tak berani membantah
perintah sutenya. Benar juga ia lantas memberi hormat kepada nona itu: Masakan, ada orang
lelaki
hendak minta kamar yang dipakai wanita? Tadi karena tak tahu kalau kamar ini sudah dipakai
nona,
maka aku telah mengucapkan kata-kata kasar, harap nona maafkan." Diam-diam Yak-bwe geli
dibuatnya, pikirnya: Sepasang suheng dan sute ini, serasi sekali. Yang satu baik Yang satu
jahat.
Rupanya sithauto itu sudah biasa minta maaf pada orang."
Setelah orang menghaturkan maaf, kemarahan jelita itu sudah berkurang, tapi masih
mendongkol, la
hanya ganda tertawa saja, dan tanpa membalas hormat sithauto ia lantas kembali masuk kedalam
kamamja. Sambil .melangkah masuk, mululnya menjomel panjang pendek: Mau main-main
dengan aku, ya? Hm, kurang ajar benar!"
Kamar nona itu terletak diujung gang. Waktu ia melangkah masuk, dan menjingkap tirai,
kebetulan
Yak-bwepun mengawasi kesitu. Samar-samar ia seperti melihat ada bayangan orang lelaki Yang
pernah dikenalnya. Tapi karena jaraknya amat jauh dan gang itu gelap, apalagi begitu masuk
sinona
lantas menutup pula kamarnya, maka Yak-bwepun tak dapat melihat dengan jeias.
Hanya saja kedengaran lelaki itu rupanya tengah menasehati siinona, maka Yak-bwepun buru-
buru
pasang telinga. Pembicaraan. Yang bagian muka dilakukan dengan pelahan sekali hingga tak
kedengaran jelas. Tapi pada ahirnya, karena silelaki agaknya marah, kata-katanyapun agak keras,
jadi demikian 'mereka sudah tak mau cari setori, maka kaupun janganlah cari perkara lagi."

Dari pcmbicaraan itu jelaslah kiranya bahwa sinona bermaksud hendak melanjutkan
persetoriannya
dengan thauto tadi, tapi silaki anggap tak perlu karena urusan toh sudah selesai sampai disitu.
Waktu dapat menangkap nada suara orang lelaki itu, terbeliaklah Yak-bwe. Ya, tak salah lagi,
itulah
nada suara Khik-sia. Sudah berulang kali ia bertengkar dengar. Khik-sia, maka ia pun tak asing
lagi
akan nada anak muda itu. Jangan lagi Kata-kata Khik-sia Yang diucapkan terahir itu, dapat
didengarnya jelas. sekalipun hanya samar-samar saja, n,amun ia tetap akan dapat
membedakannya
sebagai nada suara pemuda itu.
Sekalipun begitu, Yak-bwe belum berani yakin seratus persen. ia menimang-nimang dalam, hati:
Masakan dia itu Khik-sia? Masakan dia berada dalam kamar dengan, seorang wanita? Apakah
lain
orang yang suaranya sama dengan dia? Tapi mengapa begitu persis sekali?"
In-nio tidak ikut pasang telinga, jadi ia tak mendengar suara. pembicaraan Khik-sia tadi.
Melihat
Yak-hwe terbengong-bengong seperti orang Yang kehilangan semangat, ia segera
menertawakannya: Nona itu sungguh cantik sekali. Tidakkah kau kesima melihatnya? Ah,
sayang
ia sudah bersuami. Kalau kau kurang ajar memandangnya dengan, lekat awas, suaminya tentu
akan
membikin perhitungan padamu. Sudahlah, jangan melamun, bereskan dulu kamar kita Baru. In-
nio.
hendak menghampiri ciang-kui (pengurus hotel), sihidung besar sudah mendahului. Sambil
berdiri
disebelah ciang-kui, sihidung besar tertawa cekikikan dan berbisik-bisik: Siapakah nama nona
itu
tadi? Pemuda itu apanya? Tahukah kau?"
Peraturan hotel ini ialah, asal membayar saja siapapun boleh menginap. Dan kita tak berhak
untuk
menanyai keterangan tentang pekerjaan dari tiap-tiap tetamu. Pertanyaanmu tadi, maaf, aku tak
dapat mengetahui, sahut Ciang-kui.
Masakan nama mereka saja kau tak tahu? tanya sihidung besar.
Nona itu Yang mencatatkan nama padaku, tapi sipemuda tak turut datang," kata ciangkui.
Tu diai, justeru Yang kutanyakan memang lama nona itu. Sipemuda tak begitu perlu
bagiku/'ujar
sihidung besar.
Karena aku berasal dari daerah Se-ik. mungkin kau tak begitu d jelas tentang adat istiadat
didaerah
Tiong-tho (Tiongkok) sin:. Apabila seorang nona tak lebih dulu mengatakan namanya, kita tak
leluasa bertanya padanya."
Sihidung besar kerutkan dahi, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah pundi uang, ujarnya: .Cukup
kauketahui she sinona itu saja, uang ini akan menjadi milikmu."
Pundi uang tak kurang dari sepuluh tail beratnya. Seketika berkilatlah mata siciangkui. Ia
garukgaruk
kepala, tiba-tiba berkata: Ah, teringat aku sekarang. Kudengar pemuda itu memanggil
sinona, ah, apa itu ......... oh, ja, nona Su."
Sithouto berteriak, matanya dipentang lebar-lebar, kerut wajahnya menampil kaget-kaget girang.
Buru-buru sihidung besar menyikutnya.
Bagus, uang ini untukmulah!" katanya dengan tertawa. Setelah memberikan uang pada
ciangkui, ia
lantas ajak suhengnya masuk kembali kekamarnya.
Melihat sihidung besar menjogok uang kepada ciang-kui untuk menanyakan tenteng she dari
sinona
tadi, heranlah In-nio dibuatnya. Tapi ia tak mempunyai dugaan lebih panjang . Berbeda dengan
Yak-bwe, Yang selain terperanjat pun terlintas dalam pikirannya akan peristiwa diwarung arak
tempo hari dimana si iman mengoceh tentang diri Khik-sia.
Ah sungguh kebetulan sekali. Nona itu orang she Su dan tempo hari imam itu mengatakan kalau
Khik-sia mempunyai kawan akrab seorang nona. Apakah bukan nona itu Yang dimaksudkan?
Tapi
imam itu mengatakan kalau Khik-sia tak senang kepada sahabatnya wanita itu, tetapi mengapa

sekarang ia tinggal sekamar dengan nona itu? Damikian Yak-bwe menimang-nimang dalam
hati.
Makin memikir makin melantur tak keruan. Ia tak dapat menemukan jawabam Yang positip.
Waktu In-nio pesan kamar, ciangkui menjadi gugup dibuatnya. Karena melihat In-nio dan Yak-
bwe
mengenakan pakaian opsir, ciangkui itu ketakutan. Buru-buru ia memberi hormat dan
menerangkan
bahwa hanya tinggal dua buah kamar Yang masih kosong, entah in-nio suka menempatinya
tidak.
Sungguh kebenaran, memang kita menghendaki dua buah kamar. Asal bersih, sudahlah. Kami
bukan seperti paderi dari Se-ik itu, kalau tidak kamar kelas satu tidak mau," sahut In-nio.
Belum pernah ciangkui itu berjumpa dengan seorang pembesar militer Yang seramah itu.
Girangnya bukan main. Tersipu-sipu ia mengantar In-no dan Yak-bwe masuk. In-nio dan Yak-
bwe
satu kamar, sedang Bik-hu satu kamar. Lagi-lagi terjadi hal Yang kebetulan. Kamar mereka
hanya
terpisah satu kamar dengan sinona dan pemuda tadi.
Setelah ciang-kui pergi, maka Bik-hu menghampiri ketempat In-nio, katanya: Gerak gerik
kedua
orang Se-ik itu aneh sekali. Malam ini kita harus waspada."
Ja, memang kulihat mereka itu bukan orang baik. Tapi kita dalam penyaruan setega: opsir
tentara,
rasanya mereka tentu tak berani mengganggu kita."
Bik-hu mengiakan. Setelah omong-omong beberapa saat, ia lantas kembali kedalam kamarnya
sendiri Rupanya Yak-bwe mempunyai banyak pertanyaan, dalam hati. Setelah makan malam,
hampir jam satu tengah malam tetap ia tak dapat tidur dan berdiri bersandar dimuka jendela.
Beberapa kali In-nio mengeceknya tidur, namun Yek-bwe tetap membisu tak mau menyahut.
Ai, siapa lagi Yang kaupikirkan?" tanya In-nio.
Yak-bwe seperti tenggelam dalam lamunannya Tampaknya ia tak mengacuhkan pertanyaan In-
nio
itu. Saat itu diluar halaman turun hujan rintik-rintik. Angin malam berembus membawa hawa
dingin. Dihalaman terdapat sebatang pohon gotong (sejenis jambu). Daun-daunnya sedang
berguguran memenuhi halaman. Awan gelap menutup rembulan, melain pekat pukau, sang angin
mengantar hujan gerimis.
Yak-bwe merasa rawan hatinya. Tiba-tiba kedengaran ia merintih: Ah, laut nan bebas lepas,
ujung
langit bagai bertetangga." Meskipun nadanya pelahan sekali, tapi karena diantar dengan
basadalam,
dendang rintihan kalbu Yak-bwe itu kedengarannya nyaring tajam bagai dering kelinting.
In-nio tertawa dan mengguncang-guncang tubuhnya, serunya: Oho, kiranya kau sedang melepas
rindu disini. Sayang Khik-sia tak berada ddsebelah sini hingga mensia-siakan kiriman suara
hatimu.
Sudahlah, jangan melamun yang tidak-tidak, apakah tak kuatir mengganggu orang tidur?"
Sudah tentu In-nio tak tahu bahwa sebenarnya memang Yak-bwe itu sengaja hendak
mengganggu
orang, tidur. Ia berharap Khik-sia mendengarkan suaranya. Tapi dalam batin Yak-bwe timbul
kontradiksi (pertentangan) sendiri. Sebentar ia mengharap Khik-sia bisa mendengar dan datang.
Tapi sebentar ia harap orang didalam kamar sebelah itu bukan Khik-sia saja dan mudah-mudan
Khik-sia itu tidak berada dihotel situ.
Laut merupakan kesatuan ujung langit saling bertetangga. Hebat benar dua baris syair Yang
dirangkai oleh Ong Pok itu. Karena hatimu sudah bersatu dengan Khik-sia, walaupun orangnya
berada diujung langit, niamun seperti dekat dihati, itu kan tak perlu gelisah lagi. Ayoh, tidur
sajalah."
Ia menarik tubuh Yak-bwe untuk disuruh masuk. Tapi ketika Yak-bwe berputar menghadapinya,
temyata ujung mata nona itu mengembang dua titik air mata. In-nio merasa kasihan tapipun geli
juga.

Kau memang mencamaskan hal Yang tak perlu dicemaskan. Kaku terus-terusan begitu,
kukuatir
kau akan menjadi senewen nanti," ujar In-nio.
In-nio hanya bermaksud berolok-olok saja, siapa tahu kata-katanya itu menyentuh perastean
Yakbwe
sehingga menambah kedukaannya. Yak-bwe mengheki napas, katanya dengan sayu: Ci In,
mana kau tahu. Dalam keadaan seperti malam ini, dua baris syair tadi harus ditafsirkan
sebaliknya,
baru benar.
Jika dia beruar berada didekat sini, dia bukan orang yang menjadi tambatan hatiku."
Tak tahu In-nio kerena tujuan kata-kata Yak-bwe itu. Ujarnya; Apakah kau sakit? Kedua baris
sajak tadi hanya tamsil perumpamaan saja, mengapa pikiranmu kacau balau dan mengira kalau
Khik-sia betul berada didekat sini?"
Yak-bwe menggigit bibirnya: Ci In, aku bukan mengigau tak keruan, tapi jangan-jangan
memang
Khik-sia berada disini."
In-nio tersentak kaget, serunya: Apa katamu? Mengapa dia berada disini?
Ucapan ln-nio itu telah diputus dengan dering suara dua batang pedang beradu. Menjusul
terdengar
Bik-hu berseru: Mau apa kau, hai, bangsat kecil!"
Mendengar itu pucatlah wayah Yak-hwe, In-nio dengan sebat mencabut pedang, mendorong
jendela
terus loncat keluar. Terpisah sebuah rumah, tampak ada dua sosok bayangan sedang bertempur
diatas genting. yang menghadap kearah sini, terang adalah Pui Bik-hu. Sedang lawannya karena
berdiri membelakangi, tak jelas siapa orangnya tapi rasanya In-no seperti sudah pernah tahu.
Tring, tring. sinar pedang berkelebatan dan Bik-hu kena didesak mundur oleh lawannya. Karena
habis hujan, gentingpun licin dan hampir saja Bik-hu tcrgelincir. Tapt lawannya itu bukannya
mendesak, melainkan hentikan serangannya, berputar tubuh terus melesat pergi.
Waktu melihat jurus serangan yang dilontarkan orang itu. In-nio terkesiap kaget. Siapa lagi dia
kalau bukan Toan Khik-sia? Membayangkan hal itu, In-nio tegak terpaku.
Mengapa Khik-sia dapat bertempur dengan Bik-hu. Hal itu ternyata terjadi secara kebetulan.
Kamar
yang ditempati Khik-sia Itu termasuk kamar besar, dibagian tengahnya terdapat sebuah pintu.
Khiksia
tahu juga kalau kedua orang Se-ik tadi bukan orang baik. Meskipun sudah memarahi Tiau-ing,
tapi ia sendiri tetap berjaga-jaga. Sampai tengah malam ia tak tidur melainkan duduk bersemadhi
diatas ranjangnya. Lewat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar dendang suara Yak-bwe.
Terperanjat ia, terus loncat keluar memburu arah suara itu.
Disana Bik-hupun juga menaruh kecurigaan terhadap kedua orang Se-ik tadi. Untuk menjagai
sesuatu kemungkinan, siang-siang ia sudah mendekam diatas wuwungan. Begitu tampak Khik-
sia
loncat keluar dengan gerakan yang sebat sekali!, kuatir kalau tak dapat mengatasi, Bik-hu segera
turun tangan lebih dulu. Begitu Khik-sia tiba didekatnya, ia segera menerjangnya dengan sebuah
tabasan. Karena ilmu pedang Bik-hu itu berasal dari dua aliran, maka hebatnya bukan terkata.
Hampir saja Khik-sia termakan. Terpaksa iapun segera mencabut pedang dan melayaninya.
Begitu
bertempur, keduanya sama tersentak kaget. Masing-masing sama mengagumi kepandaian lawan.
Tapi Khik-sia ternyata lebih unggul setingkat. Dalam jurus yang ketujuh ia herhasil mendesak
Bikhu
yang terpaksa mundur dan hampir saja tergelincir tadi.
Karena gerak geriknya diketahui orang, Khik-sia menjadi tak enak. Pikirnya: Kalau sampai
ramairamai,
tak baik dilihat orang. Dengan dilihat orang. Sekalipun bertemu dengan Yak-bwe, tapi tak
leluasa untuk bicara. Dan masih belum dapat dipastikan, apakah yang bersenanjung tadi Yak-
bwe
atau bukan. Ah, lebih baik kukembali kedalam kamar dulu, besok pagi biar kutemui mereka
lagi."

Tapi lain Khik-sia lain Bik-hu. Kalau yang tersebut duluan hendak menyingkir, Yang tersebut
belakangan itu sebailiknya malah ngotot. Sejak keluar dari perguruan, baru pertama kali itu Bik-
hu
menderita kekalahan. Hal itulah Yang membuatnya penasaran. Apalagi saat itu In-niopun
tampak
keluar melihat. Dihadapan sang suci itu, lebih-lebih ia tak mau kehilangan muka. Maka segera ia
membentak karas: Hai bangsat kecil, apa maksudmu mengintip kemari? Kalau tak mau bilang
terus terang, jangan harap ngacir pergi!"
Sekali enjot kakinya, ia terus loncat menerjang dengan gerak eng-ki-tiang-gong atau burung
garuda
melayang diudara. selagi masih melayang diudara ujung pedangnya sudah menusuk.
Seragan itu telah membuat Khik-sia marah. Ia tak kenal siapa Bik-hu itu dan apa hubungannya
dengan Yak-bwe. Sudah tentu ia segan memberitahukan tentang keluarnya dari kamar tadi.
Seketika
ia menegur: Ah, rupanya saudara suka usilan. Karena saudara keliwat mendesak, apa boleh
buat
aku terpaksa melayani!"
Lintangkan pedang, ia tangkis serangan Bik-hu. Kali ini ia gunakan 8-9 bagian tenaga
iwekangnya.
Tubuh Bik-hu hanya tergetar tapi tak sampai jatuh. Cepat pemuda itu (Bik-hu) menjusul: dengan
jurus serangan kedua yakni hi-siang-cian-te ? atau ikan menyelundup kedasar. Memang dalam
hal
lwekang, ia kalah dengan Khik-sia Tapi ilmu pedang yang dimainkan Ialah ilmu pedang
istimewa
warisan diri Biau Hui sin-ni. Ilmu pedang itu mengutamakan pokok dengan kelemasan
menundukkan kekerasan, meminjam tenaga pukulan lawan untuk memukul lawan. Dengan
kekalahannya yang tadi, kini Bik-hu makin berhati-hati. Saat itu mereka berdua bertempur diatas
wuwungan rumah yang tak begitu licin seperti diatas genting atap:. Dengan begitu dapatlah ia
mengatur keseimbangan kakinya lebih stabil. Tapi setelah berlangsung tiga jurus, kembali Bik-
hu
kalah angin. Hanya saja tidak serancu tadi, kini keadaan lebih baikan, dapat bertahan dapat pula
menjerang.
Pui sute, berhentilah, itu orang sendiri" tiba-tiba In-nio berseru.
Bik-hu tertegun, cepat ia menghindar kesamping. Khik-sia merasa kenal dengan nada suara itu,
tapi
pikirannya tak sampai pada dugaan kalau In-nio. Selagi ia hendak bertanya, sekonyong-konyong
terdengar letusan. Dari kamar sebelah sana terpantiar sinar api.
Dalam pancaran api itu tampak Su Tiau-ing loncat keatas genting dan bertempur dengan si thau-
to.
Gerakan thau-to itu gesit sekali, tapi kena diuga ia kecipratan dengan letikan api hingga ada
beberapa bagian kulitnya yang terbakar.
......Siluman perempuanyang tak kenal selatan. Disuruh minum arak manis tidak mau minta arak
kecut, bahkan kurang ajar berani membakar hud-ya!" dengan marah-marah sitiau-to berseru
seraya
mencabut golok dan menahas Su Tiau-ing.
Kiranya memang paderi itu hendak menculik Su Tiau-ing. Kebetulan saat itu Khik-sia sedang
keluar hendak mencari Yak-bwe, jadi: dengan leluasa dapatlah thau-to itu menghampiri kamar
Su
Tiau-ing. Ia lak mau membikin kaget orang, maka dilubanginya kertas jendela, kemudian
meniupkan dupa hius ke-bing-ngo-ko-hom-hun-hiang kedalam kamar.
Tapi ternyata Su Tiau-ing itu juga tangkas sekali. Begitu mencium bau yang mencurigakan, ia
segera bertindak. Kim-ciam-liat-yan-tin atau jarum emas peluru api. segera ditimpukkan. Kim-
cian
liat-yan-tan itu btrbentiik oval (bujur lonjong) dplamnya terisi obat pelsdak dan beberapa batang
diarum bwe-hoa-ciam Yang hahiis. Untung tahu-to itu memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh.
Cukup
melindungi bagian mukanya saja, diarum-arum hwe-hoa-ciam itu tak dapat menembus bagian
tubuhnya. Tapi sekalipun begitu, bahan peledaknya meletus dan membakar juga kulitnya.

Dari dering adu senjata. tadi, dengan kepandaiannya yang tajam dapatkah Khik-sia mengetahui
bahwa Su Tiau-ing kalah unggul Sewaktu api muncrat tadi, Su Tiau- ingpun segera dapat melihat
Khik-sia. Cepat ia meneriakinya: Khik-siia, lekas kemarilah!"
Dalam saat seperti itu, Khik-sia tak sempat untuk mengamati siapa In-nio itu, karena ia harus
menolong Su Tiau-ing lebih dahulu. Tapi selagi Khik,-siia loncat ketempat Su Tiau-ing,
hidungnya
tiba-tiba tersampok dengan angin yang berbau amis. Temjata sihidung besar, yakni kawan dari
sithauto, sejak tadi sudah bersembunyi ditempat gelap. Begitu Khik-sia hendak membantu Su
Tiaiing,
iapun cepat menerjang keluar dengan sebuah hantaman.
Dari angin yang amis itu, tahulah Khik-siai kalau sepasang tangan orang itu beracun. Marahlah
ia
dibuatnya. Ia ambil putusan hendak memberinya pengajaran. Setelah menutup jalan darah. Khik-
sia
kerahkan Iwekangnya dan menangkis pukulan beracun orang itu.
Tar .... dua buah tinju saling beradu keras. Racun yang terdapat ditelapak tangan sihidung besar
itu
tak dapat menembus tubuh Khik-sia, sebaliknya malah kena dipentalkan kembali. Hidung besar
itu
coba gunakan ilmu Cian-kin-lui untuk menahan tubuhnya, namun tetiap terhuyung-huyung
hendak
rubuh.
Tiba-tiba saat itu Su Tiau-ing menjerit "aduh, seperti orang yang terluka.Khik-siapun tak mau
terlibat dengan sihidung besar itu lebih lama lagi. Cepat ia dorongkan tangannya kemuka hingga
sihidung besar itu sempoyongan tersurut mundur Sampai keujung pahon. Untung kakinya dapat
mengait tiang rusuk, hingga tak sampai terpelanting jatuh.
Jeritan Su Tiau-ing tadi ternyata dapat menolong jiwa sihidung besar yang sudah diambang pintu
ahirat. Karena jeritan itu maka Khik-sia lantas tinggalkan sihidung, besar untuk menghampiri
ketempat Su Tiau-ing. Coba tidak begitu, tentu ia sudah memberi hajaran lagi pada hidung besair
itu. Memang kepandaian hidung besar itu tetap kalah dengan Khik-sia. Racun yang sudah
dikerahkan ditelapak tangannya tadi kena ditampar balik oleh pukulan Khik-sia. Itu masih
untung
kalau hanya begitu saja, coba racun itu mengalir balik kedalam tubuh terus menyerang
jantungnya,
dia pasti akan melayang jiwanya.
Khik-sia telah menghantam sekuat-kuatnya tadi, tapi ternyata tak dapat menggulingkan si
hidung besar. Hal ini membuatnya heran juga. Ternyata walaupun si thau-to itu pernah suheng,
tapi
kepandaiannya kalah dengan sutenya si hidung besar itu. Saat itu si thau-to rasakan belakang
batok
kepalanya tersambar angin, buru-buru ia hantamkan goloknya ke belakang. Tapi Khik-sia sudah
mengisar, dengan jurus Kwan-ping-hong-in atau Kwan Ping mempersembahkan cap. Tangan kiri
dibuat menyanggah siku orang, sedang tangan kanan dibuat mencengkeram pundaknya. Tapi
pada
saat-saat yang berbahaya bagi si thau-to itu, untung si hidung besr keburu datang. Secepat kilat
orang itu segera menghantam punggung Khik-sia. Karena gangguan itu, Khik-sia terpaksa
alihkan
tangan kanannya untuk menyambut serangan si hidung besar. Terlepas dari ancaman, si thauto
berputar-putar beberapa kali, baru ia berdiri tegak. Sebaliknya dalam adu pukulan dengan si
hidung
besar itu, Khik-sia menderita sedikit kekalahan dan terpaksa mundur tiga langkah.
Perangai thau-to itu amat berangasan sekali. Selama mengembara, baru malam itu ia menderita
kekalahan di tangan Khik-sia. Saking marahnya, ia sampai berkaok-kaok seperti babi hendak
disembelih. Dan tanpa memperhitungkan bahwa tadi baru saja lolos dari lubang jarum, segera ia
maju menyerang lagi.
Tiau-ing, apakah kau terluka? tanya Khik-sia.
Tak mengapalah. Tapi hinaan itu, sukar ditebus. Khik-sia, hajarlah mereka!
Kuatir Khik-sia tak mau meluluskan, Su Tiau-ing kembali menguatkan alasannya: Mereka
yang hendak mengganggu aku, bukan aku yang mencari perkara.
Baik, kembalilah ke dalam kamar. Aku dapat mengurus mereka, tak perlu kau turut campur
urusan di sini, sahut Khik-sia.
Khik-sia berganti siasat bertempurnya. Seketika delapan penjuru penuh dengan bayangannya.

Kedua lawannya itu segera merasa seperti didera oleh angin yang menampar ke mukanya.
Kiranya
Khik-sia telah mengombinasikan ilmu gin-kang dengan pukulan yang penuh dengan variasi
perubahan. Ia mengurung mereka rapat-rapat, begitu ada kesempatan terus hendak
menangkapnya
hidup-hidup.
Sebetulnya jika kedua orang Se-ik itu bersatu menghadapi Khik-sia, rasanya kekuatan mereka
tak di bawah lawan. Tapi dikarenakan Khik-sia menggunakan ilmu gin-kang yang luar biasa
pesatnya, ditambah dengan cuaca malam yang gelap dan genting yang licin karena habis tersiram
hujan, mereka menjadi panik dan tak dapat mengembangkan cara bertempur secara bersama.
Dikocok pergi datang oleh arus serangan Khik-sia yang bertubi-tubi datangnya dari empat
penjuru,
dalam beberapa saat saja, mereka berdua sudah kepayahan sampai matanya berkunang-kunang
dan
beberapa kali hampir saja menghantam kawan sendiri.
Sewaktu Khik-sia menegur Bik-hu tadi, In-nio tak ragu lagi. Tanpa terasa ia berseru: Hai,
kiranya benar Toan Khik-sia! Yak-bwe, Yak-bwe, kemarilah lekas!
Toan Khik-sia? Ha, mengapa tadi-tadi kau tak mengatakan? Bik-hu menanggapi dengan
terperanjat.
Sebaliknya Yak-bwe hanya tertawa dingin: Ci In, tak peduli dia itu siapa, tapi orang macam
begitu aku tak sudi menghiraukan lagi!
Kiranya sejak tadi Yak-bwe pun diam-diam pun sudah datang ke tempat ramai-ramai situ. Jelas
didengarnya pembicaraan Khik-sia dengan Su Tiau-ing yang penuh dengan kemesraan itu. Rasa
cemburu telah melahirkan kemarahan yang menyala-nyala di hati Yak-bwe.
Pada saat itu Khik-sia tengah melancarkan jurus suan-kian-coan-gun atau berputar-putar
mengelilingi dunia. Ia menyusup dan siakkan kedua tangannya ke arah kedua lawannya itu.
Tangan kiri menampar muka si hidung besar, begitu sang kaki mengisar, tangan kanannya segera
menyambar tulang pi-peh di bahu si thau-to. Kalau serangan tangan kiri tadi hanya menggunakan
tiga bagian tenaganya, adalah serangan tangan kanannya itu menggunakan tujuh bagian
tenaganya.
Maksudnya tak lain tak bukan ialah hendak mematahkan musuh yang lebih lebih lemah, yakni si
thau-to.
Sebenarnya rencana itu sudah mendekati berhasil atau tiba-tiba ia mendengar suara Yak-bwe
yang menyahut seruan In-nio tadi. Dalam hari-hari yang terakhir ini, siang malam Khik-sia
selalu
memikirkan Yak-bwe saja. Bahwa pada saat itu ternyata Yak-bwe berada di tempat situ dan
mengeluarkan kata-kata yang begitu sinis, telah membuat Khik-sia tergetar hatinya. Pikirannya
buyar dan kuda-kuda kakinya pun menjadi kacau.
Kembali kemenangan yang sudah di depan mata itu menjadi buyar. Sebaliknya bagi si hidung
besar itulah suatu kesempatan yang sebagus-bagusnya. Baru mulut Khik-sia berseru memanggil
'Adik Yak-bwe .....', si hidung besar cepat mengirim sebuah tutukan berat ke arah jalan darah ji-
khihiat
di pinggang Khik-sia. Khik-sia menggerung keras dan terus menghantam. Tapi ketika ia
hendak mengejar si hidung besar ternyata gerak langkahnya sudah tak tetap lagi. Malah pada lain
saat tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang. Sekali sang kaki menginjkan tempat yang
kosong,
iapun segera terguling jatuh ke bawah.
Si thau-to cepat mengeluarkan sebuah hui-jui (besi bandringan). Tapi baru ia hendak
menimpukkan ke punggung Khik-sia, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang
membentaknya: Bangsat, jangan kurang ajar! -- Aum senjata menyambar belakang batok
kepalanya.
Si thau-to cepat tangkiskan goloknya ke belakang. Tangkisannya itu tepat membentur pedang
dari penyerangnya. Dan penyerangnya itu bukan lain adalah Yak-bwe. Ternyata walaupun
marah,
tapi dalam batinnya Yak-bwe tetap mencintai Khik-sia. Dan karena cintanya itu maka setiap kali
ia
sampai salah paham. Begitu melihat Khik-sia kena sodokan si hidung besar, ia tahu kalau anak
pemuda itu bakal celaka. Buru-buru ia maju hendak menolongi tapi ternyata tetap terlambat.
Khiksia
sudah terguling rubuh dan tak sempat melihat Yak-bwe.
Tapi pertolongan Yak-bwe itu juga tak sia-sia. Karena harus menangkis ke belakang, timpukkan
si thau-to menjadi mencong. Hui-juinya tak mengenai Khik-sia melainkan jatuh ke tanah. Thau-
to
dari Se-ik itu bertenaga besar. Dalam adu senjata tadi, Yak-bwe rasakan tangannya kesemutan.

Tapi demi mengingat keselamatan Khik-sia, Yak-bwe tak menghiraukan kesakitannya itu.
Dengan
tahankan sakit, ia cepat kembangkan permainan pedang Hui-hoat-cui-tiap atau kembang
beterbangan mengejar kupu-kupu. Menusuk ke kiri, menabas ke kanan. Serangan yang satu
belum
selesai sudah disusul dengan serangan yang berikutnya, sehinggai thau-to itu menjadi keripuhan.
Karena terus dicecer dengan serangan gencar, akhirnya marah jugalah thau-to itu, bentaknya:
Jangan mengandalkan sebagai pembesar lantas mau mengganggu orang agama. Sekalipun raja,
kami pun tak peduli!
Dengan gencarnya, thau-to itu segera mengirim beberapa bacokan. Selagi Yak-bwe tak kuat
bertahan, In-nio pun datang. Kepandaian In-nio lebih tinggi setingkat dari Yak-bwe. Dengan
mendapat bantuan In-nio, berhasillah kedua nona itu untuk mengatasi kegarangan si thau-to.
Di partai sana si hidung besar sedang menghampiri Su Tiau-ing. Dengan cengar-cengir, ia
tertawa: Nona Su, tak nanti kau mampu lolos. Apakah kau sungguh-sungguh menampik arak
wangi dan minta arak kecut? Ah, lebih baik kau serta merta ikut padaku saja.
Marahlah Bik-hu mendengar kekurang-ajaran orang itu, dampratnya: Kau mengandalkan apa
berani menghina nona Su? Masih ada aku di sisi yang akan memberantasmu!
Si hidung besar itu masih terpisah agak jauh dengan Su Tiau-ing. Bahwa di tengah jalan ia
dihadang dan dimaki Bik-hu, hal ini membuatnya marah bukan kepalang. Tanpa berkata apa-apa,
ia
segera mengirim tabasan pedang.
Mengapa Bik-hu hendak membela Su Tiau-ing? Ah, ternyata ia sudah salah paham. Dikiranya
si hidung besar menyebut 'nona Su' itu adalah Yak-bwe yang dimaksudkan. Bik-hu tahu kalau
Yakbwe
adalah calon isteri dari Khik-sia. Bahwa tadi ia telah kesalahan berkelahi dengan Khik-sia itu,
sudah membuatnya menyesal. Maka kali ini waktu si hidung besar hendak menangkap 'nona su',
ia
timbul pikirannya hendak menebus dosa. Pikirnya: Tadi Khik-sia hendak menjenguk bakal
isterinya dan aku gegabah menyerangnya. Sungguh tak pantas tindakanku tadi. Sekarang aku
harus melindungi Su sumoay dari gangguan orang. Orang hidung besar inilah yang melukai
Khiksia,
jika aku dapat membalaskan kelak aku tentu ada muka berjumpa dengan Khik-sia.
Dengan keputusan 'mendirikan jasa untuk menebus dosa' itu, pula untuk unjuk kegagahan di
hadapan In-nio, maka ia segera menerjang si hidung besar itu dengan serangan pedang yang
gencar.
Dalam penilaian, kepandaian si hidung besar itu lebih unggul setingkat dari Bik-hu. Tapi tadi ia
habis adu pukulan dengan Khik-sia dan ketika ia memberi tutukan pada Khik-sia telah kena
digetarkan oleh tenaga sin-kang dari tubuh Khik-sia sehingga tenaga dalamnya terluka sedikit.
Maka dalam pertempuran dengan Bik-hu itu, ia hanya dapat bertahan saja atau berarti kalah
angin
dengan Bik-hu.
Mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua tokoh yang kenamaan, permainan Bik-hu memang
cukup mematahkan nyali lawan. Ia kembangkan permainannya sedemikian rupa, sebentar
gunakan
jurus-jurus yang keras, sebentar mainkan jurus-jurus yang mengutamakan kelemasan. Dua corak
permainan pedang dikombinasikan silih berganti dalam jurus-jurus yang penuh dengan
perubahan
yang sukar diduga, telah membuat si hidung besar kelabakan setengah mati. Sekalipun ia
menyakinkan sepasang pukulan tangan beracun, tapi tak berdaya dilancarkan sehingga tak
berguna
sama sekali.
Kau pernah apa dengan budak perempuan itu? Mengapa kau begitu membelanya mati-matian?
Hm, kau tahu aku ini siapa?
Tak peduli kau ini siapa, tapi jangan coba menghina pada kami! bentak Bik-hu.
Pernahkah kau mendengar kebesaran nama Leng Ciu siang-jin? Tahukah kau akan kelihayan
partai Leng-sian-pay? kembali si hidung besar tertawa mengejek.
Bik-hu hanya mendengus tak acuh, sahutnya: Kutahu partaimu Leng-sian-pay itu mempunyai
pengikut banyak dan pengaruh besar. Dengan mengandalkan perlindungan dari Leng Ciu siang-
jin,
kalian lantas malang melintang melakukan kejahatan. Hm, sampai di mana kepandaian dari anak
buah Leng-sian-pay itu, dulu ketika di Gui-pok aku sudah pernah mengujinya!
Memang sejak tadi Bik-hu sudah menduga kalau kedua orang itu tentu anak buah Leng-san-pay.
Ternyata dugaannya itu benar. Hal ini menyebabkan ia tak berani ayal. Dengan menggunakan
posisinya yang menguntungkan itu, ia menyerang lebih hebat. Pikirnya: Ya, memang kaum
LengKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
san-pay itu tak boleh dimusuhi. Tapi sekali sudah terlanjur bentrok, satu-satunya jalan ialah
harus
bertempur mati-matian.
Karena gelap, si hidung besar itu tak dapat melihat wajah Bik-hu. Tapi demi mendengar mulut
Bik-hu mendengus, iapun membentaknya: Apa katamu?
Bik-hu sudah terlanjur kerangsokan setan, iapun balas menghardiknya: Aku sedang
menantikan sampai dimana kelihayanmu tahu!
Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan pedangnya dengan hebat. Si hidung besar makin
kelabakan sampai napasnya tersengal-sengal dan tak dapat membuka mulut untuk bicara lagi.
Sementara di sana, In-nio dan Yak-bwe pun telah berhasil menindas si thauto. Menghadapi
serangan pedang dari kedua nona yang datangnya bertubi-tubi itu, si thau-to hanya dapat
membela
diri tak mampu balas menyerang lagi. Dalam suatu kesempatan, Yak-bwe melirik ke arah tempat
Khik-sia. Ternyata tunangannya lenyap dan ketika memandang ke sekeliling penjuru ternyata si
nona tadipun tak kelihatan bayangannya lagi. Tentu nona itu diam-diam telah ngacir pergi.
Yak-bwe makin meluap marahnya, pikirnya: Aku menghadang musuhmu, tapi kau diam-diam
mengurusi kecintaanmu.
Yang dimaksud dengan 'kau', ialah Su Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, terdengarlah suara
kuda meringkik. Suaranya ngeri, seperti kuda yang dipersakiti. Mendengar itu, si thau-to
melonjak
dan menggembor keras. Yak-bwe gunakan kesempatan itu untuk mengirimkan tusukan dan
berhasil
melukai bahunya. Darah segera mengucur dari bahu thau-to itu. Masih untung tusukan Yak-bwe
itu agak mencong sedikit sehingga masih terpisah setengah dim dengan tulang pundak korbanya.
Tapi suara ringkikan kuda itupun menggelisahkan hati Yak-bwe juga.
Rupanya In-nio tahu isi hati Yak-bwe, tertawalah ia: Yak-bwe, lekas tengok Khik-sia sana!
Melihat si thau-to sudah terluka, Yak-bwe percaya kalau In-nio dapat mengatasi, maka setelah
menghaturkan terima kasih pada cicinya itu, ia segera loncat keluar dari gelanggang, terus
melayang turun. Ketika tiba di lapangan yang berada di muka pintu hotel, dilihatnya nona tadi
tengah memeluk Khik-sia hendak naik ke atas kuda, yaitu kuda putih kepunyaan kedua orang Se-
ik
tadi.
Tunggu! cepat Yak-bwe meneriaki. Tapi belum seruannya habis, nona itu tampak ayunkan
tangannya menimpuk ke arah Yak-bwe.
Yak-bwe tahu bahaya. Sembari putar pedang untuk melindungi tubuhnya, ia menghindar ke
samping. Kembang api itu tak sampai mengenainya dan beberapa batang jarum bwe-hoa-ciam
pun
kena dipukul jatuh. Tapi dengan gangguan itu, Yak-bwe tak berdaya untuk mencegah Su Tiau-
ing
yang saat itu sudah melarikan kuda putih dengan menggondol Khik-sia.
Yak-bwe marah sekali. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya: Kedua ekor kuda orang Se-ik itu
kuda pilihan semua. Setelah dibawa lari seekor, masih ada seekor lagi. Benar kuda putih itu lebih
hebat, tapi dengan membawa dua orang, tentu dapat kususul.
Setelah mengambil ketetapan Yak-bwe terus menghampiri istal kuda dan hendak melepaskan
tali ikatan kuda itu. Tiba-tiba kuda bulu merah itu meringis kesakitan. Suaranya makin lama
makin
lemah. Melihat Yak-bwe datang, binatang itu lantas menyepak-nyepakkan kakinya, tapi
tampaknya
lemah tak bertenaga. Sebelum dapat menyepak Yak-bwe, kuda itu sudah rubuh sendiri.
Yak-bwe cepat menyulut korek api. Astaga, ternyata kelopak mata kuda itu complong tak
berbiji mata lagi. Malah darahnya masih bercucuran keluar. Kiranya biji mata kuda itu telah
dikorek orang, paha kakinya juga luka tergurat-gurat senjata tajam sehingga sampai kelihatan
tulangnya. Yak-bwe kaget dan gusar: Hm, siluman perempuan yang ganas sekali. Mengapa
Khiksia
bersama dengan ia? kata Yak-bwe dengan geram.
Apa boleh buat Yak-bwe tak dapat mengejar. Ia kembali ke kamarnya. Ternyata kamar yang
ditempai Khik-sia itu terdapat dua buah ruangan. Salah sebuah ruangan, masih belum padam
lampunya. Ketika melihat di situ, Yak-bwe tertarik hatinya. Segera ia masuk ke dalam. Di situ
barulah ia mengetahui kalau kamar besar itu dipisah dengan sebuah pintu tengah. Di bawah
jendela
yang terdapat pelitanya tadi, terdapat sebuah meja yang letaknya persis di muka ranjang. Di atas
merja itu dilihatnya ada beberapa tulisan huruf 'Bwe' dengan air teh.
Dahulu ketika di kamar Tian Seng-su, ia pernah melihat tulisan Khik-sia pada surat ancaman

yang ditujukan pada ciat-to-su itu. Maka sekali lihat, tahulah ia bahwa tulisan air teh pada meja
itu
adalah buah tangan Khik-sia. Ia duga ketika Khik-sia coret-coret di meja itu tentulah si nona
kawannya itu (Su Tiau-ing) tak berada di situ. Kalau tidak, masakan Khik-sia sampai lupa diri
(melamun) begitu rupa.
Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Yak-bwe: Ah, ia selalu mengenangkan diriku
sedemikian rupa, tapi mengapa bergaul begitu akrab dengan nona itu? Apakah terdapat apa-apa
di
dalamnya?
Memikir sampai pada hal itu, redalah amarah. Adalah ketika Yak-bwe sedang menimangnimang
dalam kamar, di atas rumah pertempuran telah mencapai klimaks yang menentukan.
Dengan gunakan seluruh tenaganya, si hidung besar lontarkan sebuah pukulan sehingga
sekektika
itu timbullah desus angin yang berbau amis. Bik-hu merasa mau muntah, karena kuatir kena
pukulan beracun, buru-buru ia sedikit mengisar sehingga gerakan pedangnya pun agak kendor. Si
hidung besar mendapat kesempatan bernapas lalu buru-buru bertanya: Apa katamu tadi? Kau
pernah bertempur dengan anak murid Leng-san-pay di Gui-pok?
Ya, apa kau hendak menuntut balas bagi mereka? Yang melukai mereka adalah aku, bukan
nona Su.
Kau keliru, berhentilah! teriak si hidung besar.
Bik-hu berada di tempat gelap. Kuatir kalau orang hendak membokongnya dengan pukulan
beracun, ia tak berani hentikan serangannya. Tapi ia merasa bersangsi juga dengan kata-kata si
hidung besar itu. Maka ia hanya batasi serangannya dngan bertahan diri saja dan tak menyerang
untuk memberi kesempatan bicara pada orang.
Berkata si hidung besar: Suteku itu juga keliru, ia hanya hendak menangkap budak perempuan
she Su itu saja.
Huh, beberapa kali kalian selalu hendak menyusahkan nona Su, mengapa mengatakan aku
keliru? Bik-hu mendampratnya.
Sret, kembali ia lancarkan serangan. Karena si hidung besar itu sudah kehabisan tenaga, tak
dapat ia menangkis. Lengan kirinya termakan ujung pedang sampai terluka panjang. Cepat-cepat
si
hidung besar itu loncat keluar beberapa langkah. Sebenarnya ia marah sekali dengan Bik-hu, tapi
karena tenaganya sudah habis dan kuatir kalau Bik-hu menyerang lagi, terpaksa ia telan
kemarahannya dan segera berseru: Ya, kami yang salah. Aku sudah tahu sekarang. Bukankah
kawanmu perempuan yang menyaru lelaki itu juga orang she Su?
Sambil bolang-balingkan pedangnya, Bik-hu maju menghampiri dan membentaknya:
Bagaimana? Apakah dengan menyaru lelaki itu ia menyalahi kau?
Dengan menelan kemarahan, si hidung besar menyahut: Kawanmu perempuan itu bukan budak
she Su yang kami maukan, jelaskah kau? Kami salah paham, kaupun salah wessel!
Bik-hu tertegun, pikirnya: Kalau begitu benar-benar salah paham. -- Baru ia berpikir begitu,
si hidung besar menggunakan kesempatan itu untuk loncat dua tombak jauhnya dengan gerak
kimli-
joan-bo atau ikan lehi menyusup ombak. Setelah terlolos dari lingkaran ancaman pedang Bik-hu,
ia berada di sebelah In-nio. Sekonyong-konyong ia menghantam In-nio.
Walaupun tenaga si hidung besar itu sudah berkurang sampai separuh tapi serangan mendadak
itu tak diduga sama sekali oleh In-nio. Hampir saja In-nio celaka dengan pukulan beracun. Tapi
untung gin-kang atau ilmu meringankan tubuh dari In-nio itu hebat. Begitu membau angin amis,
segera ia loncat ke samping. Tapi sekalipun begitu, tak urung kepalanya terasa pusing, mata
berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh.
Melihat itu, buru-buru Bik-hu menghampiri, sebaliknya si hidung besarpun sudah lantas loncat
turun dan melarikan diri. Bik-hu tak sempat mengejarnya karena perlu menolong In-nio, ia
tanya:
Suci, bagaimana keadaanmu?
In-nio menghembus napas, sahutnya: Tak apa, tidak kena racun.
Saat itu dari kejauhan terdengar suara si thau-to berseru: Bagus, budak kecil, kau berani cari
perkara dengan Leng-san-pay, lihat saja nanti!
In-nio tertawa getir, ujarnya: Ah, tak nyana secara sembrono kita telah mengikat permusuhan
dengan orang Leng-san-pay.

Tapi bukan kita yang bersalah. Jikalau sudah dianggap bermusuhan terserahlah pada mereka,
bantah Bik-hu.
In-nio tertawa: Kesalahan ini terjadi secara kebetulan sekali. Ayo, kita tengok apakah Su
sumoay kita itu sudah dapat mencari si nona Su itu.
Ketika loncat turun, In-nio melihat penerangan di kamar kelas satu yang ditempati Khik-sia tadi
masih belum padam. Dari kertas jendela tampak bayangan seorang gadis. Tahu kalau gadis itu
tentu Yak-bwe, In-nio mengira kalau Khik-sia tentu dibawa Yak-bwe ke dalam kamarnya,
pikirnya:
Bagus, sekarang kita sudah berkumpul lagi, tetapi mana si nona she Su itu?
In-nio tak mau mengganggu Yak-bwe, tapi baru ia hendak menyingkir ternyata Yak-bwe sudah
mengetahui dan memanggilnya masuk. Bik-hu pun hendak ikut masuk tapi dicegah oleh Yak-
bwe:
Pui suheng, tolong kau jaga di luar dulu, barangkali masih ada musuh yang akan datang.
Bik-hu tertegun, pikirnya: Ah, aku ini benar-benar tolol. Toh Khik-sia sudah di dalam,
mengapa aku terburu-buru hendak menjumpainya.
Kiranya Bik-hupun berpendapat bahwa Khik-sia telah ditolong dan dibawa masuk ke kamar
oleh Yak-bwe, maka tadi ia buru-buru hendak menjumpainya dan menghaturkan maaf atas
perbuatannya tadi. Siapa tahu ternyata Yak-bwe hendak bicara empat mata dengan In-nio maka
ia
cegah Bik-hu turut masuk.
Mana Khik-sia? demikian kata-kata pertama meluncur dari mulut In-nio ketika ia masuk ke
dalam kamar dan tak melihat anak muda itu.
Yak-bwe kerutkan alis dan berkata dengan geram: Nona siluman itu telah melarikannya!
In-nio tersentak kaget, serunya: Ai, celaka, mengapa kau mendekam di dalam kamar saja?
Setelah mendengar derap kaki Bik-hu sudah jauh, barulah Yak-bwe membisiki In-nio supaya
datang dekat kepadanya.
Ketika In-nio lihat tulisan 'bwe' dengan air teh di atas meja, ia tertawalah: Ha, jangan kuatir,
hatinya hanya terisi kau, nona siluman itu tak nanti dapat merampasnya!
Wajah Yak-bwe menjadi merah dadu. Ia hapus tulisan air teh itu, katanya: Tak mengerti aku,
kalau toh hatinya tetap padaku, mengapa ia bergaul rapat dengan nona siluman itu? Ya, kawan
seperjalanan dan tinggal sekamar?
In-nio tertawa: Kau sendiri toh juga menginap beberapa malam di rumah keluarga Tok-ko?
Dari merah dadu wajah Yak-bwe menjadi merah bara, serunya dengan sengit: Kemana tujuan
kata-katamu itu? Aku berbuat secara terang-terangan, ya, batang pohon yang lurus tak takut
mempunyai bayangan yang doyong!
Jika ada orang yang mencurigai kau, kau marah tidak? tanya In-nio.
Jika ada orang semacam itu, dia adalah orang yang bermentalitet rendah, tapi coba-coba
hendak menilai orang lain, sahut Yak-bwe dengan murka.
Itulah! Jika lain orang mencurigaimu, kau katakan dia itu orang yang rendah mentaliteitnya,
tapi mengapa kau seenaknya sendiri menuduh Khik-sia yang bukan-bukan?
Kini tersadarlah Yak-bwe, katanya: Oh, kiranya kau mengukur diriku untuk menilai dia.
Bukankah kedua perbandingan itu tak berbeda? tanya In-nio.
Setelah merenung sejenak, berkuranglah cemburu Yak-bwe, namun tetap ia membantah:
Masalahnya memang sama, tapi orangnya berlainan. Tok-ko U seorang kun-cu, seperti langit
dengan bumi bedanya dengan siluman perempuan kawan Khik-sia itu. Ia mengangkat Khik-sia
dinaikkan kuda, kusuruh berhenti, bukannya menurut malah melepaskan senjata rahasia
padaku! --
Ia lalu menceritakan kejadian tadi.
Bukankah Khik-sia masih tak ingat diri? tanya In-nio.
Tampaknya begitulah, kata Yak-bwe.
Kalau begitu si nona siluman itu yang salah, bukan Khik-sia, kata In-nio. Katanya lebih jauh:
Ucapanmu tadi memang tepat, 'batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang
condong'. Asalkan Khik-sia itu seorang kun-cu sejati, itu sudah cukup. Memang urusan di dunia
itu sering-sering di luar dugaan dan sukar dimengerti orang. Misalnya kau beristirahat merawat
lukamu di rumah Tok-ko U itu, adalah salah sebuah contoh. Masakan kau tahu hal-hal yang
sebenarnya dalam hubungan Khik-sia dengan nona siluman itu? Turut pendapatku, Khik-sia
hanya

mencurahkan hatinya kepadamu, maka seharusnya kau pun harus menaruh kepercayaan
padanya.
Setelah mendapat penjelasan dari In-nio, walaupun masih menaruh sedikit keraguan, namun
kemarahan Yak-bwe sudah reda. Sebagai gantinya, kini ia malah menaruh kekuatiran akan
keselamatan Khik-sia.
Entah bagaimana lukanya itu, berat atau tidak, ya? Di dalam tangan siluman perempuan itu,
aku sungguh tak tega. Ah, mengapa ia bergaul dengan bangsa perempuan siluman begitu?
katanya.
In-nio tertawa: Jika tak tega, satu-satunya jalan hanyalah kalau kau lekas-lekas mengejarnya ke
Tiang-an. Temui Khik-sia dan tanyalah padanya dengan jelas. Karena mereka menginap di hotel
ini, tentulah tujuan mereka akan ke Tiang-an untuk hadir dalam pertemuan Eng-hiong-tay-hwe.
Lwekang Khik-sia cukup tinggi, rasanya dengan hanya sedikit luka itu tentu takkan sampai
membahayakan jiwanya.
Tapi aku tetap merasa heran. Jelas kulihat habis terpukul oleh si hidung besar, ia masih punya
tenaga untuk balas memukul. Tapi anehnya, ketika dipondong oleh siluman perempuan itu, ia
hanya terpaut sepeminum teh lamanya, tapi ia malah dalam keadaan pingsan, kata Yak-bwe.
Oh, itu mudah saja. Ketika Khik-sia terluka, si nona siluman lantas menutuk jalan darahnya
sekali, sahut In-nio.
Ganas benar siluman perempuan itu. Entah apakah ia hendak mencelakai Khik-sia?
In-nio tertawa lagi: Jangan kuatir, nona siluman itu takut kau nanti merampas Khik-sia dan
sebaliknya kau kuatir ia akan teledor merawat Khik-sia.
Yak-bwe sedih sekali hatinya. Ia kuatir jangan-jangan Khik-sia akan jatuh dalam buaian si nona
siluman tapi sebaliknya iapun berharap semoga nona siluman itu merawat Khik-sia dengan baik.
Siapa? Lekas unjukkan diri! tiba-tiba In-nio dan Yak-bwe dikejutkan oleh teriakan Bik-hu
yang berada di luar kamar.
Dengan sebat kedua nona itu melesat keluar. Dilihatnya Bik-hu itu sudah meringkus seseorang.
Orang itu meratap minta ampun: Akulah. Tay-ong ampunilah jiwaku!
In-nio tertawa cekikikan sebaliknya Yak-bwe lantas menegur: Pui suheng, mengapa kau
ringkus pengurus hotel?
Kiranya ramai-ramai di atas rumah tadi telah membangunkan para tetamu yang menginap di
hotel situ. Mereka kira kalau kedatangan kawanan perampok, maka mereka sangat ketakutan dan
sama bersembunyi dan tak berani bersuara. Sebenarnya ciang-kui itu juga ketakutan, tapi sebagai
pemilik dari hotel itu, setelah suara ribut-ribut tadi berhenti, ia beranikan diri keluar melihat-
lihat.
Tahu-tahu ia diringkus Bik-hu.
Setelah mengetahui kekeliruannya, Bik-hupun geli juga, segera dilepaskannya ciang-kui itu,
katanya: Aku bukan perampok, perampoknya sudah kuhajar lari.
Tetamu yang menempati kamar kelas satu ini mengejar penjahat. Mereka adalah kedua orang
Se-ik itu. Karena mungkin tetamu di kamar kelas satu itu tak kembali lagi, maka bagaimana
dengan uang rekening mereka, apakah sudah dibayar? nyeletuk Yak-bwe.
Rasa takut si ciang-kui menjadi berkurang, ujarnya: Memang kedua orang Se-ik itu buas
sikapnya, telah kuketahui mereka bukan orang baik, dan ternyata benar bangsa perampok.
Banyak
terima kasih atas bantuan tay-jin sekalian yang telah melindungi hotel ini. Tetamu di kamar kelas
satu ini, sungguh baik sekali. Rekeningnya sudah dibayar oleh si nona, malah kembalinya masih
belum kuberikan padanya.
Ciang-kui itu menyulur korek. Dilihatnya atap rumah terdapat beberapa lubang. Ia mengeluh
panjang pendek.
Yak-bwe, simpanan uangmu bolehlah digunakan, kata In-nio.
Yak-bwe menerangkan bahwa kim-tau (emas perongkol) yang dibekalnya, tinggal tak seberapa
jumlahnya karena sebagian besar sudah ditukarkan dengan perak. Ia mengambil dua biji kim-tau
dan seuntai perak yang beratnya 10 tahil, katanya: Ini emas murni, jangan takut. Selain ini
kutambahi pula dengan seuntai perak, nah, cukup tidak untuk membikin betul kerusakan atap
rumahmu ini?
Yak-bwe tak tahu nilai uang, sekali ambil dikeluarkannya emas dan perak. Hal itu membuat

ciang-kui melonjak kaget. Tetapi sebagai pengusaha hotel yang terletak di kota yang menuju ke
kota raja, hotelnya itu tergolong hotel kelas satu, banyak kaum saudagar dan orang hartawan
yang
menginap di situ. Oleh karena itu, pengalamannya luas. Sekali lihat, tahulah ia kalau kim-tau itu
memang emas murni. Pikirnya: Untuk membikin betul kerusakan atap yang rusak itu, seuntai
perak itu sudah cukup banyak, apalagi ditambah dengan dua biji emas, ah, aku benar-benar
ketimpa
rejeki besar dari langit!
Dengan berseri-seri girang, disambutinya pemberian Yak-bwe itu dengan ucapan terima kasih
yang tak terhingga.
Saat itu sudah hampir terang tanah. In-nio segera ajak Yak-bwe lekas berangkat. Yak-bwe amat
bersyukur sekali terhadap cici In-nio nya yang selalu memikirkan kepentingannya itu. Demikian
mereka segera tinggalkan hotel itu. Selama dalam perjalanan menuju ke Tiang-an, Yak-bwe
tampak
bermuram durja.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Khik-sia. Memang apa yang diduga In-nio itu tak
meleset. Ketika Khik-sia jatuh dari atas genteng, Su Tiau-ing segera menolongnya. Dalam
kesempatan itu, Tiau-ing menutuk jalan darah Khik-sia supaya pingsan. Setelah itu ia segera
mencuri kuda putih milik si thau-to untuk melarikan Khik-sia.
Kuda putih itu memang bukan sembarang kuda. Dalam beberapa kejap saja, binatang itu sudah
lari sampai empat-lima puluh li. Saat itupun baru terang tanah. Pikir Tiau-ing: Rasanya tak
mungkin budak perempuan itu mampu mengejar lagi. Hm, dengan kubawa Khik-sia, budak
perempuan itu tentu kelabakan.
Di sebelah muka tampak sebuah hutan. Di situlah Tiau-ing menurunkan Khik-sia dan dibawa
masuk ke dalam hutan, lalu dibukan jalan darahnya yang tertutuk.
Begitu membuka mata, dalam keadaan yang masih limbung, Khik-sia segera menarik tangan
Tiau-ing, serunya: Adik Bwe, adik Bwe!
Tiau-ing melengking tertawa, serunya: Maafkan, aku bukan adik Bwe-mu itu. Lihatlah aku ini
siapa?
Khik-sia tenang semangatnya, barulah ia ketahui kalau yang dihadapannya itu Su Tiau-ing.
Dengan tersipu-sipu merah mukanya, ia segera lepaskan cekalannya: Mengapa aku berada di
sini?
Apakah di sini hanya ada kau sendiri?
Dengan siapa lagi, huh? Kau kira adik Bwe itu akan ikut kemari? sahut Tiau-ing.
Tadi karena mendengar suaranya, hatiku tergetar maka sampai jatuh ke bawah. Saat itu kulihat
ia lari menghampiri kepadaku. Mengapa, apakah kau tak melihat dia?
Dia, dia, apakah si 'dia' yang kau maksudkan itu adalah orang banci yang kau sebut 'adik Bwe'
itu? teriak Tiau-ing.
Karena kepingin tahu bagaimana keadaan Yak-bwe, terpaksa Khik-sia sabarkan diri, ujarnya:
Ya, benar. Dia adalah nona Su yang pernah kukatakan padamu. Dan yang satu adalah taci
misannya, nona Sip. Mereka berdua sering berkelana di dunia persilatan dan gemar menyaru
menjadi orang lelaki. Ketika aku terluka, bagaimana dengan mereka? Mengapa dalam saat-saat
yang genting itu, kau tutuk jalan darahku?
Tertawalah Su Tiau-ing: Kau benar-benar tak mau berpikir. Setelah menderita luka beracun,
apakah pikiranmu masih sadar? Apalagi ketika itu musuh segera memburu, kecuali membawamu
lari bagaimana aku harus bertindak? Kututuk jalan darahmu supaya kau dapat tidur jangan
merasakan kesakitan lagi. Hm, tak kira sebaliknya kau malah menyesali aku.
Khik-sia seorang ahli silat. Saat itu diam-diam ia salurkan darahnya. Didapatinya Su Tiau-ing
telah gunakan ilmu tutuk yang lihay untuk mencegah menjalarnya racun, yaitu dengan menutuk
jalan darah di bagian dada. Cara tutukan itu memang dapat mencegah mengalirnya racun ke
bagian
jantung, tapi orang yang ditutuk tak sampai menderita akibat apa-apa.
Khik-sia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing, namun dalam hatinya tetap timbul pertanyaan:
Oh, kiranya ilmu silat Tiau-ing itu jauh dari apa yang kuduga. Ternyata ia mahir juga dalam
ilmu
tutuk.
Kalau begitu apakah nona Su dan nona Sip itu sudah bertempur dengan musuh kita? Dia, ya,
apakah dia tak mengejarnya? tanya Khik-sia. Dari pertanyaan itu teranglah kalau Khik-sia

menaruh perhatian khusus terhadap Yak-bwe.
Tiba-tiba Tiau-ing menghela napas, ujarnya: Sayang, kasihmu yang kau tumpahkan secara
mati-matian kepadanya itu, telah dianggap sepi olehnya. Dia telah memakimu, tahu tidak kau?
Ya, kudengar juga. Tapi pada saat aku terluka, jelas kulihat ia lari menghampiri ke tempatku,
sahut Khik-sia.
Tiau-ing tertawa ejek: Benar, ia memang menghampiri, tapi tahukah kau apa tujuannya?
Apa tujuannya itu? tanya Khik-sia dengan serentak.
Ia datang karena hendak menimpukkan sebatang bwe-hoa-ciam padamu!
Khik-sia terhentak kaget: Benarkah itu?
Apakah aku pernah berbohong padamu? sahut Tiau-ing dengan yakin. Lalu melanjutkan
ceritanya pula: Untung saat itu aku sudah mengangkatmu ke atas kuda, ya, kuda milik si thau-to
yang kucuri. Dengan begitu bwe-hoa-ciam tak kena dan iapun tak dapat mengejar kita.
Khik-sia tergoyah pikirannya, namunia masih kurang percaya, pikirnya: Apakah ia masih
mendendam padaku? -- Pikirannya segera melayang kembali ke gedung keluarga Tok-ko. Ya,
ketika itu Yak-bwe dan kakak beradik Tok-ko telah mengerubuti dirinya. Renungan itu telah
menambah besar kesangsian Khik-sia terhadap Yak-bwe.
Kembali Tiau-ing menghela napas dalam, ujarnya: Ah, aku sungguh turut prihatin padamu.
Coba pikirkan, ia bersikap begitu kepadamu, apa katamu jika kelak kau berjumpa padanya?
Sebenarnya Khik-sia sudah gundah hatinya dengan keterangan itu. Dengan ditambahi bumbu
yang begitu 'sedap' sekali, makin tersedulah hati Khik-sia dalam lautan kepiluan.
Demi melihat Khik-sia tertegun seperti patung dan pucat lesi, terkejutlah Tiau-ing. Buru-buru ia
menghiburnya: Khik-sia, jangan berduka, lapangkanlah hatimu.
Tadi karena kuatir Khik-sia masih terkenang akan Yak-bwe, maka ia telah merangkai cerita
untuk meretakkan perhubungan antara pemuda itu dengan Yak-bwe. Tapi demi melihat Khik-sia
seperti orang yang kehilangan semangat diam-diam Tiau-ing menyesal, pikirnya: Celaka,
sungguh
tak kira kalau sedemikian besar kasihnya kepada nona Su itu. Omonganku malah sebaliknya
telah
membikin sedih hatinya. Saat ini ia masih menderita luka, jangan sampai perasaannya
tergoncang.
Terbit pertentangan dalam batin Tiau-ing. Sebenarnya dia hendak menceritakan saja kejadian
yang sebenarnya, tapi lain perasaannya lagi menguasai batinnya, jangan-jangan setelah Khik-sia
mengerti duduk perkara yang sebenarnya lalu tak mau memperdulikan dia (Tiau-ing) lagi.
Hatinya
bimbang tak dapat mengambil putusan.
Sebenarnya searuh bagian yang terakhir dari cerita Tiau-ing tadi, Khik-sia tak menaruh
perhatian karena saat itu pikirannya melayang-layang: Ya, benarlah, memang Yak-bwe masih
mendendam padaku. Apalagi kini ia telah punya pilihan lain, apabila kelak bertemu padanya,
apakah yang akan kukatakan lagi?
Huak, tiba-tiba ia menguak dan muntah darah. Luapan kesedihannya telah menggelorakan
darahnya. Tiau-ing menjadi sibuk sekali, pikirnya dengan keraskan hati: Lebih baik ia benci
padaku, asal jiwanya tertolong. Karena keadaan menjadi begini rupa, lebih baik kukatakan
padanya
sajalah.
Ia menghampiri perlahan-lahan menarik tangan Khik-sia. Dengan suara lembut yang gemetar,
ia berkata: Khik-sia, janganlah berduka. Dengarkanlah keteranganku ....
Tiba-tiba Khik-sia mengangkat kepalanya dan menukas: Benar, kata-katamu itu memang
benar, tak usah kau menasehati lagi aku sudah dapat mengerti sendiri. Kuharap semoga ia
berbahagia, agar hatikupun menjadi tenteram. Sejak saat ini, tak mau aku cari kesusahan lagi.
Baiklah, anggap saja aku tak pernah berkenalan dengannya.
Setelah muntahkan darah, perasaan hati Khik-sia terasa longgar. Apalagi setelah pikiranna
dibulatkan, pikirannyapun menjadi tenteram. Sudah tentu Su Tiau-ing menjadi girang tak
terhingga, pikirnya: Untung aku belum terlanjur menceritakan hal yang sebenarnya.
Ya, jangan putus asa. Dunia bukan sedaun kelor, bukan hanya ada seorang nona Su itu saja.
Karena ia tak cinta padamu, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri? Kesehatan badanmu, adalah
yang terpenting. Nanti setelah lukamu sembuh, kita bicarakan lagi. Aku mempunyai obat
penawar
racun, tapi entah dapat digunakan atau tidak, kata Su Tiau-ing.

Tapi Khik-sia menolak dengan mengatakan bahwa lukanya keracunan itu tak berat jadi tak perlu
obat penawar. Segera ia duduk bersila untuk menyalurkan lwekang. Racun itu berasal dari luka
yang terdapat pada jalan darah lau-kiong-hiat di telapak tangannya. Tapi setelah ditutuk oleh
Tiauing,
racun itu hanya sampai di siku lengannya saja. Begitu jalan darahnya dibuka, racun itupun
menjalar naik lagi, tapi untung belum mencapai ke bagian bahu. Dengan ilmu lwekangnya yang
tinggi, dalam beberapa saat saja yang setelah ubun-ubun kepala Khik-sia mengeluarkan asap,
dapat
mengalirkan racun itu ke bawah lagi. Lewat sepenyulut dupa, racun itu dapat dihalau sampai ke
telapak tangan pula.
Kala itu sudah fajar. Mataharipun mulai pancarkan sinarnya di antara lebatan daun pohon yang
rindang. Hawa pagi sejuk nyaman dan perasaan hati Tiau-ing pun menjadi riang gembira.
Pikirnya: Ya, sebentar lagi, racun tentu sudah dapat diusirnya. Setelah lukanya sembuh baru
nanti
dengan pelahan-lahan akan kuhibur luka hatinya.
Tiba-tiba kegirangannya itu dipecahkan oleh derap kaki kuda yang gemuruh suaranya. Rupanya
ada belasan ekor kuda yang berlarian datang. Ah, lagi-lagi datang gangguan .....
Su Tiau-ing terkejut, pikirnya: Khik-sia sedang berkutetan menyelesaikan penyaluran
lwekangnya. Kalau yang datang itu musuh, bagaimana nanti?
Tepat pada pikirannya membayangkan hal itu, sekelompok orang menyusup masuk ke dalam
hutan dan mengepung Khik-sia dan Tiau-ing. Ketika mengawasi, Tiau-ing dapatkan
pengepungpengepungnya
itu tak kurang dari tiga belas orang banyaknya. Dan astaga, si thau-to si hidung
besar juga ada. Kiranya kedua orang itu telah mengajak kambrat-kambratnya untuk mengejar
Tiauing.
Seorang paderi yang memakai jubah warna merah kedengaran berkata: Apakah nona itu adik
perempuan dari Su Tiau-gi? Apa kau tak keliru?
Kali ini pasti tak keliru! sahut si hidung besar.
Siapa anak muda itu? tanya paderi itu pula.
Entahlah, tapi ia lihay sekali. Untung telah kuberinya sebuah hantaman hingga ia tak dapat
berlari lagi, sahut si hidung besar dengan bangga.
Si paderi hanya mendengus, ujarnya: Hm, sekali keluar kalian sudah mencemarkan
kewibawaan partai Leng-san-pay, tapi masih berani buka mulut.
Dampratan itu telah membuat si hidung besar dan si thau-to menjadi merah padam dan tak
berani bercuwit lagi.
Kutahu siapa anak muda itu. Dia bernama Toan Khik-sia, sute dari Gong-gong-ji, kata salah
seorang rombongan pendatang itu, yakni seorang hweshio yang berdaun telinga besar. Hweshio
inilah yang ketika di warung arak di Gui-pok telah keliru menyangka Su Yak-bwe sebagai Su
Tiauing.
Leng-san-pay telah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengejar jejak Su Tiau-ing. Dan
kebetulanlah mereka berjumpa di tempat situ. Setelah mendapat hajaran, si hidung besar dan si
thau-to melarikan diri. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan gerombolannya.
Si
hidung besar dan si thau-to segera diajak untuk mengejar Tiau-ing.
Demi mendengar keterangan tentang diri Khik-sia, si paderi itu tampak tertegun, ujarnya: Oh,
kiranya sute dari Gong-gong-ji. Baiklah, jangan hiraukan dia, cukup asal meringkus budak
perempuan itu saja.
Dari kata-katanya itu teranglah kalau paderi jubah merah itu menaruh perindahan terhadap
Gong-gong-ji.
Tapi bagaimana dengan kedua budak perempuan yang menyaru jadi opsir di hotel itu? tanya
si hweshio telinga besar.
Kembali si paderi jubah merah mendengus: Karena membikin ribut-ribut di Gui-pok, kau tentu
mendapat pil pahit dari kedua nona itu, bukan?
Hweshio telinga besar itu menyahut dengan berbisik: Ji-suheng, memang telah kuakui bahwa
aku telah keliru menyangka orang. Tapi tadi jit-suheng mengatakan bahwa kemungkinan kedua
anak perempuan itu adalah kawan dari budak perempuan ini. Apalagi apabila sampai teruwar
bahwa anak buah Leng-san-pay dihajar oleh dua anak perempuan, bukankah memalukan?

Dikili begitu, akhirnya si paderi jubah merah itu mau juga meluluskan: Baiklah, kau kembali
untuk mencegat mereka. Hm, jika bukan memandang nama baik partai kita, masakan aku sudi
mengurusi urusanmu yang tak berguna itu?
Rupanya rombongan pengepung-pengepung dari Leng-san-pay itu, menganggap Khik-sia dan
Tiau-ing sebagai ikan yang sudah masuk ke dalam jaring. Mereka tak mau buru-buru turun
tangan.
Paderi jubah merah itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin. Karena toa-suhengnya tak
mau
keluar, maka terpaksalah ia sebagai suheng yang kedua, memimpin rombongan. Setelah cukup
memberi dampratan pada sute-sutenya, barulah ia mulai mengurusi Su Tiau-ing.
Nona Su, aku telah menerima perintah dari kakakmu dan raja suku Ki untuk mengantarkan kau
pulang. Harap nona suka menurut saja. Kalau sampai kita didesak turun tangan, ah, sungguh tak
menyedapkan pandangan, katanya.
Sejak mengetahui siapa pengepung-pengepungnya itu, diam-diam Su Tiau-ing sudah merancang
siasat untuk menghadapi mereka. Tiba-tiba ia tertawa: Oh, kiranya kalian adalah anak murid
Leng-san-pay? Kalau begitu, kita ini bukan orang luar. Suhuku Shin Ci-koh dan Leng Ciu
siangjin
adalah sahabat.
Ucapan itu telah membuat anak murid Leng-san-pay gelagapan. Ada beberapa orang yang
saling berbisik mengatakan kalau Tiau-ing itu tak boleh dibuat main-main. Gerak-gerik mereka
itu
tak luput dari pengawasan Tiau-ing. Pikirnya: Dengan Gong-gong-ji saja kalian tak berani,
apalagi
dengan suhuku, masakan kalian tak lekas ngacir.
Di luar dugaan si paderi jubah merah tadi mengerut gelap, katanya: Memang telah kuketahui
siapa suhumu itu, tapi jangan harap dapat menakuti aku!
Jawaban itu telah membuat Tiau-ing terbeliak kaget. Tapi ia teguhkan nyalinya dan tertawa
dingin: Baiklah, siapa yang berani turun tangan silahkan maju! Tapi asal suhuku mengetahui,
jangan harap kalian ada yang bisa hidup lagi!
Masih Tiau-ing coba menggunakan nama suhunya untuk menggertak mereka. Dan memang ada
beberapa anggota rombongan yang ketakutan.
Tapi si paderi jubah merah itu cepat memberantas ketakutan sute-sutenya: Urusan itu
seluruhnya menjadi pertanggungan jawab toa-suheng kita. Ayo, jangan takut meringkusnya!
Karena tadi di hotel si hidung besar dan si thau-to telah mendapat hinaan dari Khik-sia dan
Tiau-ing, kemudian mendapat dampratan dari ji-suhengnya pula, maka mereka hendak unjuk
pahala
untuk menebus dosa. Serempak kedua orang itu loncat maju menerjang Tiau-ing.
Tiau-ing cepat mencabut pedang Khik-sia dan menghadang di muka anak muda itu.
Nona Su, tadi dengan tak sengaja kami telah melukai kekasihmu itu. Janganlah nona coba
melindunginya lagi tapi ikutlah pulang dengan kami, kata si hidung besar.
Dari jarak tiga meteran, si hidung besar itu telah dorongkan kedua tangannya ke arah Tiau-ing.
Seketika Tiau-ing seperti terdampar oleh angin kuat hingga tubuhnya terhuyung-huyung
menyurut
mundur dua langkah dan berada di belakang Khik-sia.
Tertawalah si hidung besar dengan ejeknya: Tak nanti kau dapat melindunginya, pun dia tak
nanti dapat melindungimu.
Memutar ke samping Khik-sia, ia lantas menyambar Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, si
thautopun
ikut nimbrung menerjangnya. Tapi dia itu seorang yang berangasan. Walaupun ji-suhengnya
sudah memerintahkan supaya hanya meringkus Tiau-ing saja, tapi karena tadi ia mendapat
hajaran
dari Khik-sia, maka sekarangpun ia hendak membalasnya.
Hai, budak kecil, enyahlah kau! serunya sembari mengirim sebuah tendangan pada Khik-sia.
Tetapi untuk itu sebaliknya ia harus membayar mahal. Seperti telah diterangkan, saat itu Khiksia
sedang memusatkan seluruh lwekangnya untuk mengeluarkan racun yang mengeram di telapak
tangannya. Tendang thau-to itu seperti mengenai sebuah bola karet saja yang mempunyai tenaga
mementalkan. Karena tendangan itu dilakukan keras, maka makin keras juga reaksi pentalannya.
Thau-to itu menjerit keras dan laksana sebuah satelit, tubuhnya terpelanting ke udara dan
meluncur
melalui atas kepala Khik-sia.
Justru pada saat itu si hidung besar sedang ulurkan tangannya menyambar Tiau-ing. Tubuh si
thau-to melayang dan tepat menubruk badan si hidung besar. Blek, kedua-duanya sama
terjungkal

jatuh dan bergelundungan beberapa meter. Kejadian itu telah mengejutkan rombongan anak
murid
Leng-san-pay.
Bagus, budak kecil, kita tak mau mengurusi kau, tapi sebaliknya kau berani cari perkara pada
kami. Ayo, ringkus juga budak itu! teriak si paderi jubah merah.
Ia mempelopori dengan sebuah terjangan dan pukulan biat-gong-cian kepada Khik-sia. Tubuh
Khik-sia bergoyang, tapi tetap bersila. Pikirnya: Paderi ini lebih lihay dari si hidung besar.
Pukulannya saja sudah sedemikian hebat.
Ia empos lagi semangatnya untuk mengusir racun yang sudah terdesak di ujung jari tengahnya.
Dalam lain kejab saja racun itu tentu sudah dapat disalurkan keluar, tapi jika sampai berkelahi
tentu
akan menggagalkan usahnya mengusir racun.
Sekalipun tak kepalang kejut si paderi demi melihat pukulan biat-gong-ciangnya tak dapat
mengapa-apakan Khik-sia, pikirnya: Karena toa-suheng yang menanggung urusan ini, aku tak
peduli jika sampai mengikat permusuhan dengan Gong-gong-ji.
Karena ia berkepandaian tinggi maka dapatlah ia mengetahui usaha Khik-sia menyalurkan
lwekang menghalau racun itu sudah mencapai saat-saat yang menentukan dan karenanya tak
dapat
menggerakkan tubuh. Seketika timbullah pikirannya:
Ayo, hujani ia dengan bacokan! serunya kepada para sutenya.
Sudah tentu kawanan sute itu tak berani membangkang. Secepat menghunus golok mereka
segera menerjang Khik-sia. Tapi ketika tubuh Khik-sia terancam hujan golok, sekonyong-
konyong
terdengar suara bentakan: Ayo, siapa yang berani turun tangan! Nadanya melengking
nyaring
tapi cukup lantang dan menandakan dari seorang wanita.
Aneh untuk dikata, suara seruan itu bagaikan jarum yang menusuk anak telinga orang, hingga
orang-orang sama tergetar hatinya. Otomatis mereka hentikan langkahnya. Ternyata di samping
Su
Tiau-ing telah muncul seorang wanita kira-kira berumur 30-an tahun. Rambutnya diikat dengan
gelang emas, alisnya panjang dan bahunya menyanggul sebatang hud-tim (kebut pertapaan).
Dandanan wanita itu terang bukan orang biasa tapipun bukan bangsa nikoh (rahib). Wajahnya
cantik tapi sinar matanya memancarkan sorot dingin yang menyebabkan orang tak berani
memandangnya. Ya, aneh benar wanita itu hingga sukar orang menduga keadaan dirinya.
Setelah sapukan matanya sejenak, berserulah wanita cantik itu dengan dingin: Ah, kiranya
serombongan anak emas dari Leng Ciu lo-koay. Hm, apakah hanya ini saja? Mana toa-suhengmu
Ceng-bing-cu?
Bermula anak murid Leng-san-pay itu kesima melihat kecantikan wanita itu, maka untuk
beberapa saat mereka tak mempunyai rasa permusuhan. Tapi demi membuka mulut si wanita
cantik
itu lantas menghina suhu mereka sebagai lokoay atau makhluk tua aneh, maka marahlah
rombongan murid Leng-san-pay itu. Tapi ketika mereka hendak bertindak, kembali mereka
dikejutkan oleh kata-kata terakhir dari wanita cantik itu.
Kiranya Ceng-bing-cu itu adalah murid paling disayang oleh Leng Ciu siangjin. Ceng-bing-cu
telah mendapatkan tujuh bagian dari kepandaian suhunya. Dalam beberapa tahun yang terakhir
ini,
Leng Ciu siangjin sudah mengundurkan diri. Segala urusan partai Leng-san-pay diwakili oleh
Ceng-bing-cu. Karena itu maka sekalian anak murid Leng-san-pay jeri dan mengindahkan sekali
terhadap toa-suhengnya itu.
Berserulah si paderi jubah merah: Siapa kau ini? Apakah kenal dengan toa-suheng kami?
Kami diperintah toa-suheng untuk mengambil budak perempuan ini.
Dalam pada ji-suheng (si paderi jubah merah) mereka berkata itu, para anak murid Leng-sanpay
itu saling berkata kasak-kusuk sendiri. Ada yang bilang kalau wanita aneh itu dari golongan
jahat. Ada pula yang mengatakan jangan-jangan wanita itu adalah kekasih dari toa-suheng
mereka.
Mendengar itu ada yang lantas memperingatkan supaya jangan ngerasani (mengatakan di
belakang
orangnya) toa-suhengnya.
Kiranya toa-suheng mereka itu gemar dengan paras cantik. Banyaklah sahabat-sahabat
wanitanya dari golongan jahat. Hal itu diketahui oleh para sutenya. Walaupun rombongan anak
murid Leng-san-pay itu kasak-kusuk dengan suara pelahan namun rupanya tajam sekali
pendengaran wanita cantik itu. Segera wajah wanita itu berubah gelap.

Pada saat itu Tiau-ing sudah hilang kejutnya dan berkatalah ia: Suhu, dengan mengandalkan
pengaruh Leng Ciu lokoay, bukan saja mereka menghina padaku pun tak memandang mata juga
kepada suhu! Telah kukatakan nama suhu kepada mereka, tapi apa kata mereka? Mereka
mengatakan suhu sebagai wanita siluman dan menantang suhu tentu tak berani mencabut
selembar
bulu dari anak murid Leng-san-pay!
Kata-kata Tiau-ing itu telah mengejutkan kawanan anak murid Leng-san-pay. Kini baru tahulah
mereka kalau wanita cantik itu kiranya Shin Ci-koh, iblis wanita yang namanya setenar Leng Ciu
siangjin di daerah utara. Gerak-gerik Shin Ci-koh itu amat misterius, muncul lenyapnya sukar
diduga-duga. Barang siapa berani menyalahinya, jangan harap bisa hidup. Oleh karena itu
walaupun tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya sehingga namanya cukup memecahkan
nyali setiap orang persilatan, namun tak seorangpun yang dapat menerangkan bagaimana wajah
wanita iblis itu. Shin Ci-koh tak punya barang seorang sahabatpun jua. Setiap orang yang
menjadi
musuhnya tentu sudah dilenyapkan. Karena keganasannya itu, timbullah cerita di kalangan kaum
persilatan, bahwa wanita iblis itu tentu berwajah seperti burung kukukbeluk yang menyeramkan.
Maka sungguh di luar dugaan rombongan anak murid Leng-san-pay bahwa ternyata iblis wanita
itu
ternyata seorang wanita cantik yang masih tak begitu tua usianya.
Ayo, semua maju! teriak si paderi jubah merah memberi komando kepada sute-sutenya. Ia
tahu Shin Ci-koh itu ganas sekali, tak nanti ia dapat lolos dengan selamat. Maka daripada mati
konyol lebih baik adu jiwa saja. Ia memperhitungkan betapapun lihay Shin Ci-koh itu tapi kalau
dikeroyok sekian banyak orang tentulah dapat dihalau juga.
Plak, tiba-tiba terdengar suara tamparan. Ternyata salah seorang murid Leng-san-pay sudah
ditampar pipinya oleh Shin Ci-koh. Tamparan itu cepat dan tak terduga-duga datangnya hingga
orang yang ditampar itu tak dapat berbuat apa-apa. Yang dilihat hanya sesosok bayangan
berkelebat
dan tahu-tahu pipinya sudah panas kesakitan. Matanya gelap, mulutnya mengerang tertahan dan
berbareng dengan muncratnya darah rubuhlah ia tak bernyawa lagi. Orang yang menjadi korban
itu
bukan lain ialah orang yang mengatakan bahwa Shin Cik-koh itu adalah gula-gula dari
toasuhengnya
(Ceng-bing-cu).
Menyusul cepat sekali Shin Ci-koh sudah ayunkan pula hud-timnya. Plak, kembali seorang
anak murid Leng-san-pay hancur batok kepalanya. Si hidung besar maju dan lancarkan pukulan
beracun.
Pukulanmu yang beracun ini telah mencelakai banyak orang, nah, sekarang biar kau nikmati
sendiri betapa rasanya racun itu!
Segera Shin Ci-koh kebutkan hud-timnya, tahu-tahu si hidung besr rasakan ujung siku
lengannya seperti tertusuk jarum. Tanpa dapat ditahan lagi, tangannya membengkok dan plak, ia
memukul dirinya sendiri. Seketika itu juga rubuhlah ia.
Shin Ci-koh tarikan hud-timnya. Ditingkah dengan ketawanya yang bernada dingin, beberapa
murid Leng-san-pay silih berganti rubuh ke tanah. Lemah gemulai tampaknya gerakan hud-tim
itu,
tapi dengan saluran lwekang tinggi, hud-tim itu dapat berubah menjadi keras dan lunak. Sesaat
kencang menjadi pangkal untai, sesaat buyar seperti tebaran ijuk. Apabila kencang (kempal),
merupakan seperti thiat-pit (pit besi) yang dapat ditutukkan ke batok kepala, sedang apabila lepas
bertebaran dapat digunakan sebagai jarum-jarum yang menusuk jalan darah. Maka orang-orang
yang menjadi korbannya itu kalau tidak batok kepalanya pecah berhamburan tentulah jalan
darahnya yang tertusuk. Jika batok kepalanya hancur, tentu seketika binasa. Tapi jikalau jalan
darahnya tertusuk, tentu akan menderita siksaan yang ngeri, mati tidak hidup tidak. Satu-satunya
yang dapat dilakukan oleh korban itu, hanyalah mengerang-erang kesakitan dengan rintihan yang
mengenaskan.
Kawanan anak murid Leng-san-pay itu biasa merajalela dengan segala kecongkakannya. Tapi
sekali berjumpa dengan seorang iblis wanita macam Shin Ci-koh, keganasan mereka itu ternyata
masih kalah jauh. Dalam pertempuran maut itu, bergelimpangan tubuh-tubuh kawanan anak
murid
Leng-san-pay itu, ada yang tewas, ada yang terluka dan ada yang berusaha untuk melarikan diri.
Sebagai murid kedua dari Leng Ciu siangjin, si paderi jubah merah itu tak tega melihat para
sutenya didera begitu hebat. Dengan besarkan nyali, terpaksa ia maju menyerang. Kalau

dibandingkan dengan kawanan sutenya itu, sudah tentu kepandaiannya jauh lebih tinggi. Setelah
lepaskan jubahnya, ia segera gunakan jubah itu untuk menghantam Shin Ci-koh.
Wut. Wut, terdengarlah suara benda menderu dan tahu-tahu sebelum ia sempat mengetahui
jubahnya itu terasa berat sekali dan tertekan ke bawah. Buru-buru ia kerahkan tenaganya untuk
mengangkat ke atas. Bluk, bluk, terdengarlah dua sosok tubuh berjatuhan dari lipatan jubahnya
itu.
Dan berbareng itu terdengarlah dua buah jeritan ngeri. Kiranya Shin Ci-koh menyambar dua
orang
anak murid Leng-san-pay terus dilemparkan ke arah si paderi. Diayun-gontaikan oleh permainan
jubahnya, sudah tentu kedua sutenya itu tak bernyawa lagi.
Kau punya mata tapi tak ada gundunya, perlu apa? Shin Ci-koh tertawa mengejek.
Baru si paderi jubah merah berhasil mengibarkan jubahnya ke atas, sebelum ia sempat
berjagajaga,
tahu-tahu kedua matanya terasa seperti disusupi jarum, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.
Seketika itu benda di sekelilingnya menjadi gelap gulita. Ternyata ia sudah buta. Buru-buru
bolang-balingkan jubahnya terus melarikan diri sekencang-kencangnya.
Shin Ci-koh mengejar. Sekali kebutkan hud-tim, belasan lembar bulu kebut itu melayang
menyusup ke punggung empat lima anak murid yang melarikan diri bersama si paderi. Segera
mereka bergulingan di tanah dan menjerit ngeri. Tapi si paderi yang sudah buta matanya itu, tak
mendapat persen bulu kebut lagi.
Tertawalah Shin Ci-koh: Hari ini aku melanggar peraturan, sengaja mengampuni jiwamu agar
kau dapat pulang memberi kabar. Katakan pada Leng Ciu lokoay, lekas serahkan Ceng-bing-cu
padaku. Kalau tidak aku akan datang sendiri mengorek biji mata Ceng-bing-cu kemudian
membeset kulitnya.
Mengapa Shin Ci-koh sangat membenci Ceng-bing-cu? Kiranya disitu terdapat persoalannya.
Sebenarnya Shin Ci-koh itu sudah berumur 40-an tahun, tapi dasar orang cantik, tampaknya
seperti
masih belum mencapai umur 30 tahun. Apabila orang baru mengenalnya tentu tak mengira kalau
ia
adalah seorang iblis wanita yang termasyhur ganas. Pada suatu hari berpapasanlah Ceng-bing-cu
dengan Shin Ci-koh di tengah jalan. Dasar orang bermata keranjang dan belum kenal siapa Shin
Ci-koh itu, maka Ceng-bing-cu sudah coba untuk menggodanya. Dalam marahnya Shin Ci-koh
lantas menghajarnya. Untung karena memandang muka Leng Ciu siangjin, maka Shin Ci-koh
memberinya ampun.
Sudah tentu Ceng-bing-cu tak dapat melupakan hinaan itu. Tapi ia tak berani menceritakan
kepada suhunya. Setelah merawat lukanya dan pulang ke gunung ia tetap menyimpan rahasia itu
untuk menunggu kesempatan menuntut balas.
Beberapa tahun kemudian, barulah kesempatan itu tiba. Kesempatan itu ada hubungannya
dengan diri Su Tiau-ing. Seperti telah diketahui, setelah kalah perang, Su Tiau-gi dan adiknya
menggabungkan diri pada raja pribumi suku Ki. Raja itu hanya mempunyai seorang putera, ialah
Chomulun yang pernah dipecundangi oleh Khik-sia tempo hari. Chomulun jatuh hati pada Su
Tiauing.
Beberapa kali ia ajukan lamaran, tapi selalu ditolak oleh Tiau-ing. Sampai akhirnya terjadilah
peristiwa dimana Tiau-ing telah membelakangi engkohnya dan melarikan diri dengan Khik-sia.
Kejadian itu telah menggoncangkan hati Chomulun. Pertama, kecongkakkannya telah
dihancurkan oleh Khik-sia. Kedua kali gadis yang dirinduinya dilarikan oleh Khik-sia. Sudah
tentu
ia kelabakan seperti kebakaran jenggot. Dengan murkanya ia mendesak Tiau-gi supaya mencari
adiknya sampai dapat, kalau tidak ia akan mengusir Tiau-gi.
Su Tiau-gi menjadi sibuk juga. Pikir punya pikir, tetap ia tak berdaya. Akhirnya ia minta advis
kepada Ceng-ceng-ji. Ternyata Ceng-ceng-ji juga jeri berhadapan dengan Khik-sia. Tapi ia
teringat
kepada Ceng-bing-cu yang gemar paras cantik itu. Diusulkannya kepada Su Tiau-gi untuk minta
bantuan pada Ceng-bing-cu. Su Tiau-gi menerima baik dan atas nama ia dengan raja suku Ki, ia
mengirim utusan untuk minta bantuan pada Leng-san-pay dengan membawa sejumlah bingkisan
berharga.
Setelah mendapat keterangan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid kesayangan dari Shin Ci-koh,
timbullah suatu rencana pada Ceng-bing-cu. Dengan menggunakan kesempatan itu ia hendak
mengadu domba suhunya dengan Shin Ci-koh. Waktu ia memberitahukan kepada suhunya tak
disinggung-singgungkan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid dari Shin Ci-koh. Ia hanya

mengatakan bahwa Su Tiau-gi dan raja suku Ki minta bantuan supaya menangkapkan seseorang.
Ceng-bing-cu tahu bahwa Leng Ciu siangjin itu mempunyai ambisi (hasrat) untuk menguasai
dunia
persilatan Tiong-goan. Ini menjadi bahan untuk mengobarkan hati suhunya. Dikatakannya bahwa
Su Tiau-gi itu kelak tentu akan berhasil dalam usahanya besar. Apabila Leng-san-pay
membantunya, kelak apa bila Su Tiau-gi berhasil menjadi raja, Leng-san-pay tentu akan diberi
prioritas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan.
Karena usianya yang sudah lanjut, pikiran Leng Ciu siangjin itu sudah tak terang lagi. Segala
apa ia hanya menurut apa yang direncanakan oleh murid kepala itu. Akhirnya ia memutuskan
supaya mengatur pengejaran.
Sebenarnya Ceng-bing-cu sudah memperhitungkan bahwa nantinya Shin Ci-koh tentu akan
tampil campur tangan. Tapi justru memang itulah yang dikehendakinya agar iblis wanita itu
bentrok dengan Leng Ciu siangjin. Tentang kematian dari belasan anak murid Leng-san-pay itu,
sama sekali tak dihiraukan oleh Ceng-bing-cu. Malah hal itu merupakan umpan. Apabila Shin
Cikoh
membunuh anak murid Leng-san-pay, kala itu sekalipun tahu bahwa pembunuhnya adalah Shin
Ci-koh, namun Leng Ciu siangjin tentu pantang mundur dan tentu akan menggempur Shin Ci-
koh.
Pengerahan anak buah Leng-san-pay secara besar-besaran untuk mencari jejak Su Tiau-ing,
telah menggerakkan hati Shin Ci-koh. Dan seperti yang sudah diperhitungkan Ceng-bing-cu,
benar
juga iblis wanita itu muncul dan membasmi sekawanan anak murid Leng-san-pay. Dalam
pertempuran itu selain si paderi jubah merah yang buta matanya, dua belas orang anak murid
Lengsan-
pay telah binasa di tangan Shin Ci-koh.
Berselang beberapa jenak, suasana hutan yang menjadi gelanggang pertumpahan darah itu
kembali menjadi tenang. Beberapa korban yang tadi masih merintih-rintih kesakitan, kini sudah
putus jiwanya. Mayat bergelimpangan di sana-sini, hawa busuk bertebaran dibawa angin.
Pemandangan pada saat itu, sungguh mengerikan. Sampaipun Khik-sia yang menganggap
kematian
kawanan anak murid Leng-san-pay itu memang sudah selayaknya, namun hatinya tetap tergetar
dengan apa yang disaksikan itu. Pikirnya: Suhu dari Su Tiau-ing ini memang sakti sekali, tapi
kelewat ganas. Sungguh tak kira, seorang wanita yang sedemikian cantiknya, ternyata seorang
iblis
yang suka menghirup darah manusia.
Tiba-tiba ia teringat akan peristiwa ketika Su Tiau-ing menggebah pergi toa-suhengnya
(Gonggong-
ji). Cukup dengan menyebutkan nama suhunya, Su Tiau-ing telah membikin Gong-gong-ji
lari ketakutan. Diam-diam ia merasa heran dan bertanya dalam hati: Benar kepandaian suhu
Tiauing
itu jarang terdapat di dunia persilatan, tapi rasanya juga tak melebihi toa-suheng. Tapi mengapa
toa-suheng begitu ketakutan mendengar namanya saja? Dan toa-suheng itu biasanya berhati
tinggi
tak takut pada siapapun juga. Heran, mengapa ia jeri terhadap iblis wanita ini?
Saat itu Khik-sia dengan gunakan lwekang yang tinggi telah dapat melokalisir (mengumpulkan)
racun di tubuhnya dan disalurkan ke ujung jari tengah. Sekali jari tengahnya digetarkan, racun
yang
sudah kental menjadi sebesar biji kedele mengucur keluar dari lubang lukanya. Tepat pada saat
itu,
Shin Ci-koh pun berpaling. Melihat perbuatan Khik-sia, diam-diam ia merasa kagum juga.
Su Tiau-ing cepat mengeluarkan sapu tangan. Tapi ketika hendak membalut luka Khik-sia, anak
muda itu sudah menolaknya dan terus angkat kaki.
Hai, hendak kemana kau? teriak Tiau-ing.
Sahut Khik-sia dengan tawar: Suhumu sudah datang, tak perlu kutemani kau lagi. Tentang
urusan Kay-pang, kelak apabila aku sudah tiba di Tiang-an tentu kukabarkan padamu.
Hai, kau ini bicara sungguh-sungguh atau main-main? seru Tiau-ing dengan sibuknya.
Sekali tubuh Khik-sia bergerak, ia sudah melesat beberapa tombak jauhnya. Baru ia hendak
menyahut, tiba-tiba terdengar sambaran angin. Ternyata Shin Ci-koh menyerang punggunnya
dan
mendamprat: Budak kecil yang tak tahu adat. Telah kutolong menghalaukan musuh, sepatahpun
kau tak mengucapkan terima kasih.
Bret, dalam pada ia berkata-kata itu, tangannya sudah menyentuh bahu Khik-sia. Tapi Khik-sia
sudah meluncur pergi, yang kena disambar hanyalah bajunya saja hingga robek. Ia berpaling ke
belakang dan dilihatnya Tiau-ing berseru kepada suhunya dengan cemas: Suhu, dia adalah
Gong
....

Aku sudah tahu kalau dia sute dari Gong-gong-ji. Ilmu gin-kangnya juga hampir menyamai
suhengnya itu, tukas Shin Ci-koh.
Sebenarnya jika Khik-sia keluarkan seluruh ilmu gin-kangnya, dalam jarak sepuluh li, mungkin
Shin Ci-koh masih dapat mengejarnya, tapi selewatnya jarak itu tentu tak mampu menyusulnya
lagi.
Khik-sia tahu juga akan hal itu. Sebenarnya ia bisa menyingkir saja tapi setelah mendengar
dampratan Shin Ci-koh tadi, ia merasa dirinya memang kurang pantas. Walaupun tak senang
kepada iblis wanita itu, tapi terpaksa ia berhenti juga dan memberi hormat: Baiklah, dengan ini
aku
menghaturkan terima kasih padamu.
Jangan buru-buru pergi dulu, kata Shin Ci-koh. Kemudian ia bertanya kepada Su Tiau-ing:
Pernah janji apa dia kepadamu?
Ia pernah meluluskan mengawani aku ke Tiang-an, sahut Tiau-ing yang kemudian
menuturkan tentang urusan Kay-pang.
Berkata Shin ci-koh tawar-tawar kepada Khik-sia: Dalam hal ini kaulah yang salah. Kaum
persilatan paling menjunjung janji, mengapa kau lantas mau pergi seenakmu sendiri saja? Hm,
kau
kira aku tak dapat menghadangmu? Hm, mengapa kau dengan suhengmu itu setali tiga uang?
Tanpa menyerahkan tanggung jawab lantas mau ngacir pergi?
Khik-sia memang mempunyai sifat ksatria. Bukan karena takut dengan gertakan Shin Ci-koh
yang menggunakan alasan kuat itu. Terutama ketika wanita itu menyebut-nyebut nama
toasuhengnya,
tertariklah hati Khik-sia.
Benar, memang aku telah berjanji bersama kau ke Tiang-an, tapi dari sini ke kota itu hanya dua
hari perjalanan saja. Kamu berdua suhu dan murid saling berjumpa, tentunya mempunyai banyak
hal yang akan dibicarakan. Aku hanya orang luar, jika mengikuti perjalananmu, bukankah hanya
akan menimbulkan kejemuanmu saja? Itulah makanya aku akan pergi ke Tiang-an lebih dulu dan
menunggu kalian di sana. Tentang pertentanganmu dengan kaum Kay-pang, setelah aku tiba di
Tiang-an tentulah aku akan berusaha untuk mencari penyelesaiannya. Ini bukan berarti aku
hendak
mengingkari janji, bantah Khik-sia.
Shin Ci-koh tertawa, tegurnya: Ing-ji, apakah kau benci kepadanya?
Wajah Tiau-ing kemerah-merahan: Suhu, kau, kau tentu sudah mengerti sendiri. Aku, aku tak
mau mengatakan.
Kembali Shin Ci-koh tertawa: Benar, jika kau benci padanya, tak nanti kau suruh dia
mengantarmu ke Tiang-an. Hanya saja, aku tak suka dengan budak itu.
Tiau-ing terbeliak, tapi ia tak berani bersuara, melainkan mencuri lihat ke arah suhunya.
Dilihatnya wajah sang suhu tak menampilkan kemarahan, maka bingung ia memikirkan apakah
suhunya itu berkata sungguh-sungguh atau hanya bergurau saja.
Baik, tapi mengapa kau tahan aku? demikian Khik-sia hendak mengejek Shin Ci-koh. Tapi
belum sempat ia mengutarakan, Shin Ci-koh sudah mendahuluinya: Aku benci padanya karena
dia
sute dari Gong-gong-ji. Kubenci padanya karena ia serupa dengan suhengnya itu. Tapi karena
bukan aku yang minta ditemani, asal kau tak benci padanya, tak apalah.
Oh, bukankah suhu juga akan pergi ke Tiang-an? tanya Su Tiau-ing.
Apa itu Eng-hiong-tay-hwe dari Cin Siang, masih belum masuk hitunganku. Aku tak berminat
melihatnya, sahut Shin Ci-koh tawar-tawar.
Tiau-ing menjunjung suhunya: Ya, benar, memang siapakah yang berani bertepuk dada di
hadapan suhu?
Bukan begitu, soalnya memang selama ini aku belum pernah berjumpa dengan seorang gagah
sejati. Misalnya, Gong-gong-ji itu, bermula kuanggap ia sebagai seorang ksatria, siapa nyana
nyalinya kecil sekali. Oh, berbicara tentang Gong-gong-ji, aku memang masih akan mencarinya
untuk melampiaskan kemarahanku.
Khik-sia senantiasa mengindahkan sekali kepada toa-suhengnya. Maka marahlah ia ketika
mendengar Shin Ci-koh menghina toa-suhengnya itu: Apa buktinya kalau toa-suhengku
bernyali
kecil. Apakah kau mempunyai dendam kepadanya?
Sebenarnya Khik-sia masih mempunyai beberapa patah kata yang hendak dikatakan kepada
Shin Ci-koh, ialah: Tentang dendammu kepada suhengku itu, jika kau tak dapat mencarinya,

akulah yang akan mewakilinya. Tapi ia pikir, ucapan itu berarti menantang pada Shin Ci-koh.
Meskipun Khik-sia tak takut kepada wanita iblis itu, tapi mengingat bahwa tadi ia telah memberi
pertolongan, maka sungkanlah ia untuk menentangnya. Ia hendak pertimbangkan hal itu apabila
sudah mendapat jawaban dari wanita itu.
Melihat Khik-sia bicara begitu getas, diam-diam cemaslah Tiau-ing. Tapi di luar dugaan, dari
marah sebaliknya suhunya itu malah menghela nafas, ujarnya: Meskipun kau sutenya, tapi
urusannya tak dapat kau wakili, pun tak boleh kau turut campur. Kalau bukannya bernyali kecil,
mengapa suhengmu selalu menghindari aku saja? Tapi bagaimanapun juga tak nanti seumur
hidup
ia dapat menghindarkan diri, dalam hal itu tak usah kau menguatirkan aku!
Pikir Khik-sia: Uh, kalau kau tak mampu mencari suhengku, itulah urusanmu sendiri, perlu apa
aku menguatirkan kau? Ia rasa ucapan Shin Ci-koh itu agak aneh, tapi yang nyata nadanya tak
mengandung permusuhan terhadap Gong-gong-ji.
Tiba-tiba wajah Shin ci-koh mengerut, ujarnya: Tak usah membicarakan suhengmu lagi dan
sekarang tentang urusanmu saja. Kau telah mendengar jelas, pertama aku tak berniat ke Tiang-an
maka aku pun segera berpisah dengan Tiau-ing lagi. Dan aku pun tak ada omongan apa-apa
dengannya. Kedua: aku benci padamu, tapi Tiau-ing tidak. Ia masih menghendaki kau
menemaninya ke Tiang-an. Kau sudah meluluskan, sekarang apa kau menyesal?
Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa lagi, sahutnya: Karena kau tak menuju ke Tiang-an, biarlah
aku yang mengantarkan nona Su kesana.
Di udara terdengar suara berkaok-kaok. Ternyata beberapa burung elang karena melihat
beberapa sosok mayat di tanah, lantas mau melayang turun.
Kurang ajar! seru Shin Ci-koh seraya kibaskan hud-tim ke atas. Beberapa lembar bulu hudtim
bertebaran di udara. Beberapa ekor burung elang itu sama berhamburan jatuh ke bumi.
Kemudian menatap Khik-sia dengan sikap mengancam, berkatalah wanita iblis itu: Eh, budak
kecil, kau harus memperlakukan muridku baik-baik. Jika kau berani menghinanya, sekalipun kau
punya sepasang sayap, tapi jangan harap dapat lolos dari tanganku. Habis berkata, wanita itu
lantas angkat kaki.
Perut Khik-sia menjadi keras karena menahan kemarahan, pikirnya: Kepandaian wanita ini
juga bukan yang nomor satu, tapi garangnya tiada bandingannya. Mungkin suhengku itu jeri
akan
kegarangannya, hanya karena ia seorang wanita maka suheng segan cari perkara padanya.
Ayo, jalan! karena kemengkalannya belum reda, maka Khik-sia secara dingin segera
menyuruh Tiau-ing diajak berangkat.
Sambil putar tubuh, dengan nada yang tak kurang dinginnya Tiau-ing menyahut: Jalanlah
sendiri!
Eh, aneh. Bukankah tadi kau mendamprat aku karena tak mau menemanimu, mengapa
sekarang suruh aku pergi? tegur Khik-sia.
Mata Tiau-ing menjadi merah: Khik-sia, sekarang barulah aku tahu. Ternyata kau tak suka
padaku!
Khik-sia kerutkan alis: Mengapa kau katakan begitu?
Tiau-ing tertawa: Jika bukan benci padaku, mengapa kau selalu hendak kau tinggalkan aku?
Benar memang kita bukan sanak bukan kadang, tapi rasanya setelah bergaul beberapa hari ini,
apakah tak pantas disebut sebagai sahabat?
Jilid 10
Anggaplah aku bukan sahabatmu, tapi sekurang-kurangnya tadi aku telah menolong jiwamu.
Mengingat itu saja, pantaskah kau bersikap sedingin itu kepadaku? Kutahu kau memang tak suka
menemani aku, baiklah, silahkan kau pergi sendiri! kata Tiau-ing pula.
Teringat akan kebaikan Tiau-ing, lemaslah hati Khik-sia. Ia anggap apa yang dikatakan Tiauing
itu memang benar. Dari marah kini ia malah kuatir jangan-jangan Tiau-ing akan marah. Maka
iapun segera minta maaf kepada nona itu.
Kini tertawalah Tiau-ing: Baiklah, karena kau menyatakan suka menemani aku, naiklah ke atas

kuda.
Khik-sia tertegun, serunya: Kau saja yang naik, biar aku berjalan.
Kutahu kau memang bisa berjalan, tapi rasanya tak leluasa di perjalanan menggunakan ginkang.
Bukankah tadi kita juga naik kuda berdua? Apalagi kau bukan bangsa pemuda desa mengapa
sekarang main malu-maluan?
Ketika tampak Khik-sia masih ragu-ragu. Tiau-ing lanjutkan kata-katanya: Tidakkah kau ingin
lekas-lekas tiba di Tiang-an? Sesampainya di sana segera kau dapat tinggalkan aku, bukankah ini
yang kau harap-harapkan? Masih ada satu hal lagi, segera setelah tiba di Tiang-an, kaupun lantas
dapat mencari adikmu Bwe itu!
Khik-sia kemerah-merahan dibuatnya, sahutnya: Telah kukatakan, sejak saat ini kuanggap aku
tak kenal padanya, mengapa kau masih mengungkat hal itu pula? Baik, ayo, naik!
Sebenarnya walaupun mulutnya mengatakan begitu tapi dalam hatinya Khik-sia ingin lekaslekas
tiba di Tiang-an. Meskipun tak dapat berjumpa dengan Yak-bwe tapi paling tidak ia tentu
dapat menyirapi kabarnya. Setitikpun ia tak mengira adanya Tiau-ing mendesaknya supaya
boncengan naik kuda itu,maksudnya tak lain hanya supaya dapat menghindari pengejaran Yak-
bwe.
Pada waktu keduanya boncengan, Khik-sia segera membaui bau yang harum sehingga
semangatnya melayang-layang. Diam-diam ia mengeluh: Urusan di dunia ini memang sukar
diduga-duga. Su Tiau-ing ini tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, pun seorang dari
golongan jahat, tapi bergaul begini rapat padaku. Sebaliknya sejak lahir aku dengan Yak-bwe itu
sudah dipasangkan menjadi suami isteri, sekarang malah memusuhi aku.
Terlintas pula dalam pikirannya: Perangaiku kasar sehingga sering menimbulkan kesalahan
paham yang menyakiti hatinya. Kalau ia sampai tinggalkan aku itulah sudah selayaknya. Ah,
sekarang ia sudah punya pilihan, kelak hubungan kita hanya terbatas seperti orang yang tak
kenalmengenal.
Ai, kau melamun apa lagi? tiba-tiba Su Tiau-ing menepuk bahu Khik-sia. Lekas pegang
erat-erat kendali. Kuda ini terlampau pesat larinya, dapat tinggi loncatnya, hampir saja aku
dilemparkan!
Khik-sia tenangkan pikirannya, namun pikirannya tetap mengenangkan Yak-bwe saja:
Meskipun aku dengan Yak-bwe tak dapat menjadi kawan hidup, tapi dalam kalbuku hanya ada
dia
seorang. Meskipun Tiau-ing itu baik sekali kepadaku, tapi aku tak dapat menerima hatinya.
Kemudian ia teringat akan saat-saat Yak-bwe berteriak. Saat itu ia dalam keadaan hampir
pingsan. Masih terngiang dalam telinganya kalau Yak-bwe berteriak kaget dan lari
menghampirinya seraya memanggil namanya. Ya, jika ia sudah melupakan aku, mengapa ia
berbuat begitu? Ah, bila Tiau-ing tak menutuk jalan darahku dan cepat-cepat membawa aku lari,
aku tentu dapat berbicara dengan Yak-bwe. Tapi hal itupun tak dapat mempersalahkan Tiau-ing.
Ia
kan tak tahu bagaimana hubunganku dengan Yak-bwe. Tindakan Tiau-ing itu semata-mata
karena
hendak menyelamatkan jiwaku, pikirnya lebih lanjut.
Ah, sungguh kasihan Khik-sia. Ia sudah menelan mentah-mentah cerita yang dikarang Tiau-ing.
Padahal yang nyata, Yak-bwe ketika itu hendak menolong Khik-sia tapi ditabur bwe-hoa-ciam
oleh
Tiau-ing.
Anak buah Leng-san-pay itu datang dari perbatasan Tibet, oleh karena itu kuda mereka adalah
kuda istimewa jenis keturunan Tong-ki. Kuda putih yang dicuri Tiau-ing itu merupakan kuda
pilihan yang istimewa. Larinya secepat angin hingga penunggangnya serasa terbang melalui
tebaran awan.
Toa-suheng masih dapat mengejar lari kuda ini tapi kurasa aku tak mampu, Khik-sia
menilainilai
ilmu gin-kangnya.
Satu keuntungan lagi bagi Khik-sia adalah, meskipun lari kuda putih itu secepat angin, tapi
melalui jalan besar yang penuh dengan orang-orang berjalan selama itu, kuda tersebut dapat
menyelinap dengan tangkasnya hingga tak sampai menubruk mereka. Memang orang-orang yang
berada di jalananan itu sama terbeliak kaget tapi perasaan mereka hanya terbatas dari rasa heran
dan
kagum atas kecepatan lari binatang itu. Bahwa penunggangnya ternyata sepasang muda-mudi
yang
boncengan, mereka tak sempat memperhatikan lagi. Karena itu, maka selama dalam perjalanan,

Khik-sia tak mengalami gangguan suatu apa.
Dalam buaian lamunan yang tak keruan itu, tahu-tahu Khik-sia sudah tiba di kaki gunung Lusan.
Setelah melalui gunung itu, kira-kira duapuluh li lagi akan tibalah sudah mereka di kota raja.
Kala itu sudah lohor, dua jam kemudian baru petang hari tiba.
Malam nanti kita akan makan di rumah makan ternama di Tiang-an. Betapalah girangnya!
Tiau-ing membuka pembicaraan dengan tertawa.
Kau toh bukan anak kecil, mengapa begitu rakus hanya memikirkan makan enak saja? sahut
Khik-sia dengan tertawa juga.
Sudah tentu Khik-sia tak tahu bahwa kegirangan Tiau-ing itu bukan disebabkan karena hendak
makan enak melainkan karena dapat terlepas dari kejaran Yak-bwe.
Ketika hampir tiba di Tiang-an, Khik-sia juga girang sekali hatinya. Baru ia hendak bergurau
dengan Tiau-ing, tiba-tiba nona itu membentaknya keras: Lekas putar kuda balik kembali!
Khik-sia terkejut melihat sikap Tiau-ing yang kelihatan gugup sekali itu. Pesat sekali lari kuda
putih itu, untuk segera menghentikan dan memutar haluan tak mungkin dilakukan secara
serentak.
Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya lagi, barulah Khik-sia terkesiap kaget. Kiranya di sebelah
depan sana tampak menghadang sebuah barisan pengemis. Mereka terdiri dari empat orang.
Yang
berdiri di tengah, Khik-sia lantas mengenalnya sebagai Hong-kay Wi Gwat. Sebelah kirinya
yakni
pengemis yang agak muda adalah ketua Kay-pang yang baru Ciok Ceng Yang. Sedang yang di
sebelah kanan Wi Gwat adalah Ji tianglo. Tapi di sebelahnya lagi terdapat seorang pengemis tua
yang Khik-sia tak mengenalnya.
Wi lo-cianpwe, aku justru hendak mencarimu. Tak nyana kita dapat berjumpa di sini, teriak
Khik-sia dengan kegirangan.
Berbareng itu kuda Khik-sia pun tiba di hadapan kelompok jago-jago dari Kay-pang. Tiba-tiba
Wi Gwat ngangakan mulutnya. Serangkum arak menyembur keluar. Rupanya kuda putih itu
tajam
sekali perasaannya. Cepat ia meramkan matanya. Tapi sekalipun begitu, mukanya kena juga oleh
semburan arak yang panas sekali. Kuda itu meringkik keras dan melonjak-lonjak seperti kuda
binal. Seketika itu juga Tiau-ing terlempar ke tanah.
Khik-sia terkejut sekali, cepat iapun segera loncat turun dan lari menghampiri Wi Gwat,
serunya: Wi lo-cianpwe, harap jangan turun tangan. Aku hendak menyampaikan berita
padamu.
Wi Gwat menyambar lengan Khik-sia dan seenaknya saja ia berkata: Siau Toan, jangan gugup,
ayo minum arak dulu Ia membuka sumbat buli-buli araknya dan berkata pula: Ini adalah arak
simpanan dua puluh tahun yang lalu, cobalah cium betapa wanginya. Hanya sayang buli-buliku
merah tempo hari dirusakkan Ceng-ceng-ji. Buli-buli yang ini kwalitetnya masih kalah, coba
bulibuliku
merah itu masih, arak ini tentu lebih hebat lagi rasanya.
Khik-sia gugup dibuatnya: Nanti saja minum arak masih tak terlambat ....
Pada saat itu Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo sudah mengepung Tiau-ing dari muka belakang.
Wajah nona itu menjadi pucat. Ia memandang pada Khik-sia tapi tak berani buka suara.
Tahan dulu, jangan turun tangan. Wi lo-cianpwe, berita ini penting sekali, harap kau suka
mendengarkan penuturanku lebih dulu.
Wi Gwat si Pengemis Gila itu mengeliat lalu meneguk araknya. Kemudian tenang-tenang ia
berkata: Berita apa, ha? Penting sekalikah? Baiklah, kau boleh katakan!
Khik-sia cepat-cepat memberi keterangan: Aku sudah tahu akan tempat beradanya Ciu pangcu.
Ia belum binasa tapi ditahan di sebuah tempat suku Ki. Hanya nona Su ini yang tahu akan letak
tempat itu. Meskipun dahulu nona Su ini berbuat sesuatu yang kurang baik terhadap Ciu pangcu,
tapi kali ini ia bersungguh hati hendak berunding dengan Kay-pang. Ia bersedia untuk
melepaskan
Ciu pangcu, harap lo-cianpwe sekalian jangan membikin susah dulu padanya.
Kelopak mata Wi Gwat berbeliak, ujarnya: Mau berunding apa lagi?
Apa yang hendak ia rundingkan padamu, aku tak tahu. Silahkan tanya sendiri padanya. Wi
locianpwe,
Ciok pangcu, hanya ia satu-satunya orang yang tahu tempat tahanan Ciu pangcu itu, harap
jangan turun tangan dulu.
Khik-sia perlu menegaskan hal itu sekali lagi karena dilihatnya saat itu Ciok Ceng-yang makin
mendekati Tiau-ing. Sikapnya sudah menandakan hendak menyerang.

Siau Toan, ai, rupanya kau belum berkenalan dengan sutitku ini, nah, biar kuperkenalkan, Wi
Gwat tertawa.
Menunjuk pada pengemis tua yang berada di sisinya, berkatalah Wi Gwat: Inilah sutit-ku yang
bernama Ciu Ko dan inilah sute dari Gong-gong-ji yang bernama Toan Khik-sia!
Ciu Ko tertawa: Sudah lama kudengar namamu. Selama aku tak berada, Ciok sute
memberitahukan padaku kalau kau banyak sekali membantu pada partai kami.
Khik-sia tertegun. Diam-diam hatinya mengulangi nama Ciu Ko sampai beberapa kali.
Sekonyong-konyong ia menjerit: Astaga! Kau ini Ciu pangcu? Jadi kau sudah bebas?!
Ciu Ko tertawa: Benar, Ciu Ko memang aku ini dan aku adalah Ciu Ko. Terima kasih atas
kebaikanmu hendak menolong aku.
Khik-sia tercengang-cengang melongo. Kini barulah ia mengerti mengapa tadi Tiau-ing begitu
gugup sekali suruh ia lekas-lekas putar haluan kudanya. Kiranya Ciu Ko sudah bebas, itu berarti
bahwa modal Tiau-ing untuk berunding dengan kaum Kay-pang sudah lenyap. Atau lebih bagus
lagi, dengan kesamplokan pada tokoh-tokoh Kay-pang saat itu, berarti Tiau-ing seperti ular cari
pentung.
Setelah mengucapkan terima kasihnya kepada Khik-sia, wajah Ciu Ko berubah serius. Beralih
memandang kepada Tiau-ing, berserulah ketua Kay-pang dengan geramnya: Siluman
perempuan,
kau telah memikat muridku sehingga binasa. Selembar jiwaku yang tua ini, pun hampir
melayang
di tanganmu. Hari ini kau berhadapan dengan aku, apakah kau masih mengharap bisa lolos? Ciok
sute, lekas ringkus dia! Aku hendak mengadakan upacara sembahyangan untuk menyajikan
dagingnya kepada arwah Uh-bun Jui!
Mengapa Ciu Ko tiba-tiba sudah bebas dan berada di situ? Marilah kita mundur sejenak.
Kiranya sewaktu Tiau-ing memberi perintah kepada budak kepercayaannya untuk memindahkan
tempat tahanan Ciu Ko, Uh-bun Jui masih berada di tempat Su Tiau-gi. Uh-bun Jui seorang
pemuda yang cerdas. Melihat Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia secara begitu tergesa-
gesa,
ia duga nona itu tentu belum sempat membawa lari suhunya (Ciu Ko). Ia lantas gunakan akal,
purapura
menempel budak kepercayaan Tiau-ing itu. Dengan lagak lagunya yang merayu-rayu dapatlah
ia memikat hati budak perempuan itu. Dasar Uh-bun Jui seorang pemuda cakap dan ganteng
apalagi menjadi ketua Kay-pang, maka dalam waktu yang singkat saja dapatlah ia menjatuhkan
hati
budak itu dengan sebuah sumpah paduan kasih. Dalam keadaan begitu, tak ada alasan lagi bagi
budak itu untuk tidak memberitahukan segala rahasia kepada Uh-bun Jui.
Setelah mengetahui tempat tahanan suhunya dan mendapatkan obat penawar racun dari budak
itu maka pada suatu malam ia diam-diam menyelundup masuk ke dalam gua tahanan. Setelah
membunuh beberapa penjaganya, akhirnya dapatlah ia membebaskan Ciu Ko.
Karena rayuan ular cantik Su Tiau-ing, Uh-bun Jui menjadi sesat pikiran. Akibatnya ia telah
mencelakai suhunya dan dirinya sendiri juga kehilangan segala-galanya. Kedudukan pangcu
gagal
sebaliknya ia malah diusir dari Kay-pang. Kesudahannya, karena sudah tak berharga lagi, Tiau-
ing
telah membuangnya mentah-mentah. Nama hancur, badan binasa. Adakah dalam keadaan seperti
itu ia masih ada muka melihat matahari lagi? Maka ia telah mengambil keputusan, setelah
menolong suhunya ia segera akan membunuh diri. Dan Uh-bun Jui telah melaksanakan hal itu
dengan konsekuen.
Seperti diketahui pengaruh Kay-pang itu amat besar. Anak buahnya tersebar luas di manamana.
Perjalanan Khik-sia dengan Tiau-ing itu, siang-siang sudah dapat diketahui oleh anak buah
Kay-pang. Mereka gunakan burung dara pos untuk memberi tahu pada pos-pos yang lain.
Dengan
secara beranting, dapatlah berita itu disampaikan pada Wi Gwat di Tiang-an. Kebetulan pada
saat
itu Ciu Ko pun sudah bebas dan tiba di Tiang-an. Begitulah mereka segera siap menunggu
kedatangan Khik-sia di situ.
Uh-bun Jui adalah murid kesayangan Ciu Ko. Bahwa muridnya telah menderita kecemaran
begitu hina, sudah tentu Ciu Ko dendam sekali kepada Tiau-ing. Tapi dikarenakan luka beracun
dalam tubuhnya masih belum sembuh sama sekali, maka ia minta sutenya yaitu Ciok Ceng-yang
yang turun tangan. Sedang Hong-kay Wi Gwat mengingat tingkat kedudukannya yang lebih
tinggi,
tak mau turut meringkus Tiau-ing.

Adalah ketika Khik-sia masih terlongong-longong tak tahu apa yang harus dilakukan, di sana
Ciok Ceng-yang sudah bertempur dengan Tiau-ing. Pedang pusaka milik Khik-sia masih di
tangan
Tiau-ing. Karena terdesak, Tiau-ing keluarkan jurus-jurus yang ganas. Meskipun bagi Khik-sia
ilmu permainan pedang Tiau-ing itu masih belum tinggi sekali, namun apa yang disaksikan pada
saat itu, sungguh di luar dugaan Khik-sia. Ia tak mengira kalau ilmu kepandaian nona itu hebat,
kini barulah ia tahu kalau dulu Tiau-ing ternyata belum mau mengeluarkan seluruh
kepandaiannya.
Melihat permainan pedang Tiau-ing lihay sekali, ketambahan pula menggunakan po-kiam, maka
dalam dua tiga puluh jurus, Ciok Ceng-yang belum dapat mengatasi. Malah Hong-kay Wi Gwat
sendiri diam-diam merasa kagum dengan ilmu pedang nona itu.
Tapi bagaimanapun Ciok Ceng-yang itu adalah jago utama dari murid Kay-pang angkatan
kedua. Kepandaiannya hanya kalah setingkat dengan Wi Gwat yang menjadi paman gurunya itu.
Tapi dengan suhengnya yakni Ciu Ko, ia tetap menang unggul. Menurut penilaian, sebenarnya
kepandaian jago Kay-pang itu tak hanya setingkat lebih atas dari Tiau-ing. Lewat tiga puluh
jurus
kemudian, dapatlah sudah Ciok Ceng-yang mempelajari gerak permainan lawannya. Segera
permainan tongkatnya dirubah dari bertahan kini menjadi penyerang.
Hang-liong-tiang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan naga, adalah ilmu kebanggaan partai
Kay-pang yang sakti. Apabila sudah dikembangkan, empat penjuru delapan angin diliputi oleh
bayangan tongkat. Isi tidaknya serangannya sukar diduga-duga. Tampaknya menyerang dari
sebelah timur, tiba-tiba datangnya serangan itu dari sebelah barat. Dan yang lebih
mengagumkan,
setiap pantulan ujung tongkat itu selalu mengarah jalan darah yang berbahaya.
Ya, hanya dalam beberapa kejab saja, situasinya sudah terbalik. Kalau tadi Tiau-ing dapat
menyerang dengan ganasnya, kini ia hanya dapat bertahan diri. Bahkan bertahan saja rupanya
makin susah karena permainannya makin kendor. Khik-sia tetap melongo tak tahu apa yang
harus
diperbuat. Tiba-tiba kedengaran Tiau-ing menjerit aduh. Jalan darah kian-keng-hiat di bahunya
kena ditutuk ujung tongkat. Tubuh Tiau-ing hanya bergetar dua kali tapi tak sampai rubuh.
Melihat
itu Ciok Ceng-yang agak terkejut.
Hm, kiranya budak siluman ini mengenal ilmu menutuk jalan darah. Nyata tak boleh
dipandang ringan, diam-diam Ciok Ceng-yang membatin. Iapun segera mengganti cara
permainannya dengan ilmu tongkat ciong-chiu-hwat atau tutukan dengan tenaga berat. Tari
tongkatnya segera menimbulkan angin menderu-deru. Di tangan jago Kay-pang, tongkat bambu
berubah menjadi lebih dahsyat dari tongkat besi atau baja.
Ketika mendengar teriakan mengaduh dari Tiau-ing tadi, hati Khik-sia serasa seperti ditutuk
oleh tongkat bambu Ciok Ceng-yang. Tanpa dapat dikendalikan lagi, ia segera hendak memburu
untuk mencegah Ciok Ceng-yang. Tapi baru saja keinginannya itu timbul, dan belum lagi sang
kaki
sempat bergerak, tahu-tahu Wi Gwat sudah menariknya erat-erat.
Siau Toan, kau bagaimana ini? Mengapa kau tak mau minum arak yang kuberikan? dengan
tertawa meringis Pengemis Gila Wi Gwat menegurnya.
Khik-sia seperti semut di atas kuali panas, sahutnya: Wi lo-cianpwe, nona Su ini, nona Su ini
.....
Nona Su ini akrab sekali dengan kau, bukan? Wi Gwat tertawa menukasnya.
Merah padam Khik-sia dibuatnya. Tapi pada saat-saat seperti itu, ia tak dapat berbuat apa-apa
kecuali mengakui dengan bersikap diam.
Tiba-tiba Wi Gwat berubah keren (serius): Toan hiantit, kau seharusnya mengingat bahwa
ayahmu itu seorang pendekar perwira. Budak siluman itu adalah anak perempuan dari Su Su-
bing
dan adik perempuan dari Su Tiau-gi. Sepak terjang mereka tidak baik, mengapa kau galang
gulung
dengan dia? Budak siluman itu telah mengadu-dombakan partai Kay-pang sehingga timbul
perpecahan di kalangan kaum kami dan mencelakai Uh-bun Jui sampai binasa. Coba bilang,
layak
tidak kami menghukumnya?
Pikir punya pikir, Khik-sia memang merasa Tiau-ing yang bersalah. Sukar baginya untuk
membela nona itu.
Tiba-tiba Wi Gwat tertawa lagi: Di dunia ini banyak sekali gadis yang cantik dan pintar. Kau
suka yang mana, aku sanggup menjadi perantaranya. Tapi asal gadis pilihanmu itu golongan
bulim,

ayahnya tentu mau memandang mukaku si pengemis tua ini.
Benar Khik-sia dibuatnya meringis. Kedua telinganya menjadi merah dan ia paksakan juga
untuk berkata: Wi lo-cianpwe, aku bukannya mempunyai hubungan pribadi dengan nona Su ini
....
Wi Gwat tertawa gelak-gelak: Apalagi tidak punya hubungan apa-apa, itu lebih baik.
Duduklah dan minum arak, sebaiknya tak usah kau melihatinya.
Sudah tentu Khik-sia tak dapat minum arak dengan tenteram. Walaupun ia anggap Su Tiau-ing
yang salah, tapi setelah bergaul beberapa hari dengan nona itu, sedikit banyak ia mempunyai
hubungan batin juga. Bagaimana ia disuruh berpeluk tangan melihat Su Tiau-ing diringkus dan
dibuat sesaji sembahyangan?
Pada saat itu Ciok Ceng-yang sudah dapat memberi tekanan. Tongkatnya makin lama makin
gencar bagaikan petir menyambar-nyambar dan badai menderu-deru.
Permainan pedang Tiau-ing sudah dibikin kocar-kacir, namun nona itu masih bertahan
matimatian
pantang menyerah. Menurut gelagat, dalam beberapa jurus lagi, kalau tidak binasa di bawah
hujan tongkat, sekurang-kurangnya nona itu tentu akan terluka.
Melihat itu Khik-sia makin gugup, serunya: Wi lo-cianpwe, aku bersedia kau caci maki tapi
kuminta kau suka mengampuni jiwanya!
Siau Toan, katamu kau tak punya hubungan pribadi dengannya, tapi mengapa kau mintakan
ampun padanya ....?
Kegelisahan Khik-sia telah membuat kepalanya mandi keringat, urat-uratnya berkerenyotan.
Tanpa menunggu Wi Gwat selesai bicara, ia segera menukasnya: Lepaskan ia dululah, untuk
saat
ini aku tak dapat menjelaskan. Aku lebih suka mewakilinya menerima hukuman, maukah?
Kay-pang merasa berhutang budi besar kepada Khik-sia. Bahwa anak muda itu sedemikian
gelisahnya, walaupun heran tapi diam-diam Wi Gwat menjadi ragu juga. Pikirnya: Dengan
memandang muka Khik-sia, mengampuni jiwa budak siluman ini, rasanya juga tak keliwat
keberatan.
Tapi Wi Gwat itu seorang pendendam dan pemberantas kejahatan. Berpuluh tahun ia
memperjuangkan cita-citanya itu dengan gigih. Walaupun dalam hati ia tergerak juga dengan
permintaan Khik-sia tadi, namun mulutnya masih tak mau berganti nada, ujarnya: Tak dapat,
budak siluman itu biar bagaimana harus ditangkap.
Kalau Khik-sia meneliti dengan kepala dingin, tentulah ia akan merasakan bahwa nada ucapan
pengemis aneh itu lebih lunak dari tadi. Wi Gwat hanya mengatakan ditangkap, bukannya
menghendaki jiwa Tiau-ing. Tapi dalam saat-saat seperti ketika itu, mana Khik-sia dapat
menggunakan otaknya yang terang?
Dengan jurus ki-hwe-liau-thian atau mengacungkan api membakar langit, Ciok Ceng-yang
ancamkan ujung tongkatnya ke lengan Tiau-ing. Karena mengandalkan kelihayan pedangnya,
Tiauing
gunakan jurus thiat-soh-heng-kiang atau rantai besi membentang di sungai, tongkat Ciok
Cengyang
hendak dipapasnya. Tiba-tiba Ciok Ceng-yang membentak supaya Tiau-ing lepaskan
pedangnya. Ternyata dengan gunakan tenaga lwekang menempel, Ceng-yang lekatkan
tongkatnya
di batang pedang. Trang, sekali Ceng-yang geliatkan tongkatnya terlepaslah pedang Tiau-ing ke
tanah. Tapi Ceng-yang tak berhasil menutuk jalan darah nona itu melainkan hanya menusuk
pecah
lengan bajunya saja.
Ho, mau lari kemana? Biar kupunahkan ilmu kepandaianmu dulu! bentak ketua Kay-pang itu
sembari angkat tangan kirinya untuk mencengkeram tulang pi-peh-kut di bahu Tiau-ing.
Saat itu Khik-sia sedang dipegangi Wi Gwat. Serta melihat keadaan Tiau-ing, serentak Khik-sia
segera menerjang kemuka sehingga Wi Gwat sampai keseret beberapa langkah. Lwekang yang
diyakinkan Wi Gwat selama berpuluh tahun itu, bukan olah-olah hebatnya. Diseret oleh Khik-
sia,
seketika ia mengeluarkan reaksi. Cengkeramannya makin kuat hingga Khik-sia pun tak dapat
melangkah maju lebih jauh.
Khik-sia tahu dirinya sebagai angkatan muda, sudah tentu ia tak mau menggunakan kekerasan
terhadap seorang cianpwe (angkatan tua). Dan andaikata ia menggunakan kekerasan, pun belum
tentu segera dapat melepaskan diri.

Lo-cianpwe harap lepaskan!
Tepat pada saat Khik-sia menyerukan begitu, sekonyong-konyong terdengar seseorang berseru:
Tahan, jangan turun tangan dulu.
Kata-kata yang pertama, kedengarannya jauh. Tapi ucapan yang terakhir kedengarannya sudah
dekat, sehingga nadanya mengiang di telinga jago-jago Kay-pang.
Hebat benar lwekang orang ini! baru Wi Gwat membatin begitu, seekor kuda sudah melesat
tiba.
Saat itu jari telunjuk Ciok Ceng-yang hampir menyentuh bahu Tiau-ing, tapi begitu mendengar
nada suara orang itu, ia tertegun. Dan ketika kuda datang, ia menjadi lebih kaget pula demi
melihat
penunggangnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan berseru: Bo tayhiap, kau juga
datang.
Kiranya penunggang kuda yang datang itu adalah Bo Se-kiat.
Bo Se-kiat adalah ketua dari perserikatan penyamun atau Lok-lim-beng-cu, sudah tentu Ciok
Ceng-yang mau memandangnya. Di samping itu masih ada faktor lain, kaum Kay-pang harus
membayar budi padanya. Hal itu nanti akan pembaca ketahui belakangan.
Namun dalam menuruti permintaan Se-kiat itu, diam-diam Ceng-yang merasa heran juga.
Tanyanya: Bo tayhiap, apakah kau juga akan memintakan keringanan untuk budak siluman
ini?
Kesemuanya telah kuketahui. Kedatanganku kemari ini memang justeru hendak
menyelesaikan urusan ini dengan suhengmu, sahut Se-kiat.
Setelah memberi hormat kepada Wi Gwat dan Ciu Ko, berkatalah Se-kiat lebih jauh: Nona Su
itu telah menjerumuskan Uh-bun Jui ke arah tindakan sesat mengkhianati partai, memenjarakan
Ciu
pangcu dan memecah belah partai Kay-pang sehingga hampir terjadi bentrokan di dalam partai.
Memang tak dapat disalahkan kalau partai Kay-pang akan memberesinya. Tapi di balik
tindakannya itu menurut pendapatku, adalah karena ia mempunyai rencana hendak berserikat
dengan Kay-pang guna melawan tentara negeri. Entah apakah dugaanku itu benar atau salah?
Tiau-ing terkesiap kaget, pikirnya: Hebat benar anak muda ini. Dia belum kenal padaku tapi
dapat mengetahui isi hatiku.
Jawab Ciu Ko: Hal itu, Uh-bun Jui pun pernah mengatakan padaku. Kay-pang tak mau
membanggakan diri dengan nama hiap-gi (menjalankan kebenaran), tapipun tak mau bertindak
sembarangan sebagai kaum perampok. Bagaimana kami dapat kerja sama dengan
pengkhianatpengkhianat
yang mencelakakan negara dan menindas rakyat? Dan kami bangsa pengemis hanya
menginginkan adanya tempat di mana kami dapat meminta nasi, masakan kami berani
memimpikan hendak menduduki tahta singgasana?
Tertawalah Se-kiat: Dunia ini memang kotor, yang mempunyai moral dia berhak hidup.
Siapapun dapat menjadi raja. Pengemis menjadi raja, pun bukan suatu hal yang ajaib. Hanya,
setiap orang mempunyai cita-cita sendiri. Bahwa Ciu pangcu tak menghasratkan singgasana
kerajaan, baiklah, jangan kita ungkat lagi hal itu. Tapi dengan begitu, walaupun nona Su itu telah
bersalah memenjarakan Ciu pangcu, namun sekali-kali tak bermaksud mengambil jiwa Ciu
pangcu.
Entah dalam hal ini apakah Ciu pangcu sudi berlapang dada memberi ampun jiwanya?
Ciu Ko merenung diam.
Se-kiat beralih tanya kepada Khik-sia: Kabarnya karena hendak menolong kau, nona Su telah
membelakangi engkohnya, bemarkah itu?
Kiranya Bi toako juga tahu? sahut Khik-sia.
Bagaimana kau perlu minta tolong padanya, apakah dengan kepandaianmu kau kena ditawan
engkohnya? tanya Wi Gwat dengam keheranan.
Dalam hal ini, sebenarnya ialah yang lebih dulu bersalah padaku yaitu menangkap aku, tapi
kemudian melepaskan lagi. Tapi aku tetap berterima kasih padanya, kata Khik-sia dengan
sungguh-sungguh. Kemudian ia menuturkan pengalamannya.
Kini baru mengertilah Wi Gwat mengapa Khik-sia sampai mintakan ampun untuk Tiau-ing.
Kalau begitu meskipun ia puteri Su Su-bing dan adik perempuan Su Tiau-gi, tapi sepak terjang
nona Su itu berlainan dengan ayah dan kakaknya. Tahu kesesatan segera berubah, itulah baik
sekali. Adalah karena mengingat ia sudah kembali ke jalan lurus, maka barulah aku
memberanikan
diri untuk mintakan ampun pada Ciu pangcu. Entah apakah Ciu pangcu sudi memberi muka

padaku?
Ciu Ko menghela napas, ujarnya: Ya, ya, ya, adalah muridku itu sendiri yang lemah imannya
hingga tersesat. Kata peribahasa 'setiap benda itu baru timbul ulatnya apabila dalam benda itu
sudah rusak sendiri'. Sebenarnya tak dapat mempersalahkan siapa-siapa dan akupun juga tak
berniat membalaskan sakit hatinya. Bo tayhiap, jiwaku ini adalah kau yang merebut kembali,
bagaimana kau dapat menolak permintaanmu? Baiklah, biarlah selembar jiwaku ini asal nona Su
itu tak mengganggu aku, akupun tak mau mengganggunya juga!
Mengapa Ciu Ko mengatakan berhutang jiwa pada Se-kiat? Kiranya disitu memang terselip
sebuah kisah. Adalah pada saat Ciu Ko dilepaskan oleh Uh-bun Jui, ternyata ia jatuh lagi di
tangan
seorang musuh yang lebih ganas. Musuh itu bukan lain adalah Ceng-ceng-ji. Siasat Su Tiau-ing
merayu Uh-bun Jui supaya mengkhianati suhunya, Ceng-ceng-ji pun ikut serta
merancangkannya.
Bahkan dialah yang tampil untuk membantu Uh-bun Jui merebut kedudukan pangcu dari Kay-
pang.
Sudah tentu ia bukan sungguh-sungguh sayang kepada Uh-bun Jui, melainkan ada maksud
tersendiri, yakni serupa dengan Tiau-ing; menggunakan Uh-bun Jui untuk menguasai Kay-pang.
Tetapi ketika tiba pada persoalan diri Ciu Ko, ia tak sependapat dengan Tiau-ing. Ceng-ceng-ji
mengusulkan supaya Ciu Ko dibunuh saja agar jangan sampai menimbulkan bahaya di kemudian
hari. Sebaliknya Tiau-ing tidak setuju, begitupun Uh-bun Jui berkeras mempertahankan suhunya
jangan dibunuh. Oleh karena masih membutuhkan tenaga kedua orang itu, maka untuk sementara
Ceng-ceng-ji terpaksa menurut.
Ketika tiba saatnya Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia, ingatan Ceng-ceng-ji timbul
kembali. Ia lebih pandai dari Uh-bun Jui, apa yang Uh-bun Jui pikirkan, sudah tentu iapun dapat
memikirkannya juga. Ia yakin Tiau-ing tentu tak sempat membawa pergi Ciu Ko. Siasat Uh-bun
Jui untuk merayu budak kepercayaan Tiau-ing, tak luput dari perhatian Ceng-ceng-ji. Memang
siang-siang Ceng-ceng-ji sudah menaruh kecurigaan pada Uh-bun Jui, maka ia selalu mengawasi
gerak-gerik anak muda itu. Inilah tepat seperti apa yang dikatakan oleh sebuah pepatah 'belalang
menangkap jengkerik, burung gereja sudah siap di belakangnya'. Uh-bun Jui hendak
menjalankan
siasat merayu, tapi di luar tahunya, Ceng-ceng-ji juga diam-diam mengintainya.
Begitulah setelah mengetahui tempat tahanan suhunya, diam-diam Uh-bun Jui segera
menyelinap ke sana. Dengan cepat lenyapnya anak muda itu diketahui Ceng-ceng-ji. Ia segera
mengompes (minta keterangan paksa) pada si budak perempuan, siapa karena takut akan
ancamanancaman
segera memberitahukan letak tempat tahanan Ciu Ko.
Sehabis membebaskan suhunya dan memberikan obat penawar, Uh-bun Jui lalu menghabisi
jiwanya sendiri, anak muda itu hendak menebus dosa selaku tanda kesetiaannya, tapi ia tak
menduga bahwa racun di tubuh suhunya itu sedemikian hebatnya. Meskipun sudah minum obat
penawar namun tak dapat seketika sembuh. Jangankan kepandaiannya, sedang tenaganya saja
masih belum normal. Saat itu sebenarnya Ciu Ko masih membutuhkan perlindungan tapi sayang,
Uh-bun Jui sudah keburu bunuh diri. Betapa kedukaan Ciu Ko dapatlah dibayangkan. Baru saja
ia
selesai mengubur muridnya, Ceng-ceng-jipun muncul.
Ciu Ko mengambil putusan untuk adu jiwa. Ia gigit lidahnya sendiri agar dapat menghimpun
seluruh tenaganya, kemudian dengan pukulan Thian-mo-ciat-te-toa-hwat ia hantam Ceng-ceng-ji
sekuat-kuatnya. Benar Ceng-ceng-ji lumpuh separuh tenaganya, tapi ia dapat menghantam kaki
Ciu
Ko sampai patah. Dengan marahnya Ceng-ceng-ji segera akan menghabisi jiwa ketua Kay-pang
itu, tap di luar dugaan Bo Se-kiat kebetulan lewat di situ. Karena tenaganya sudah berkurang,
dengan mudah dapatlah Se-kiat menghalau lawan pergi. Se-kiat mengobati kaki Ciu Ko dan
malah
mengantarkannya sampai tiga ratus li jauhnya. Setelah menyerahkan ketua Kay-pang itu pada
seorang pemimpin cabang setempat, barulah Se-kiat minta diri.
Bahwa Se-kiat yang pernah melepas budi sedemikian besarnya, telah mintakan ampun untuk
Tiau-ing, sudah tentu Ciu Ko sungkan menolaknya. Tapi baru Se-kiat hendak mengajukan
permintaan itu lagi kepada Wi Gwat, jago itu cepat mendahuluinya: Bo tay-hiap, sudahlah,
jangan
membikin kami sekalian menjadi sungkan.
Jawaban itu cukup membuat Se-kiat peringisan.
Wi lo-cianpwe, aku rela menerima dampratan dan tetap mintakan ampun padamu, buru-buru

Khik-sia berseru.
Pengemis tua itu gelengkan kepala, sahutnya: Percuma saja kau minta ampun padaku.
Perangai si pengemis tua ini buruk dan keras. Aku tak punya sanak kadang, tak kenal budi
kecintaan!
Tiba-tiba Tiau-ing angkat pedangnya dan berseru: Ah, tak usah kalian mintakan ampun aku.
Bagus, pengemis tua, karena kau tak mau melepaskan aku, mari majulah!
Wi Gwat meneguk lagi buli-buli araknya. Setelah itu dengan tenang ia menjawab: Apakah kau
menantang aku? Uh, masakan seorang budak perempuan seperti macammu pantas menjadi
lawanku?
Ia tertawa dan semburkan arak dari mulutnya, serunya: Si pengemis tua itu tak kenal budi
kecintaan tapi tahu memandang muka orang. Sebenarnya dosamu itu harus dihukum. Kalau aku
sampai membunuhmu, rasanya cukup pantas juga. Tapi Ceng-ceng-ji sekarang bukan kawan
sehaluanmu, kau kini menjadi sebatang kara, kalau kubunuh kau pun tak ada orang yang tahu,
tak
ada orang yang bakal menuduh aku orang tua menghina orang muda. Ah, tidak, tidak, pengemis
tua
mana mau menghilangkan muka orang? Aku lebih suka tak membunuhmu!
Kembali ia meneguk arak dan tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya pengemis tua itu bukannya
tak mau bermurah hati tetapi memang ia sengaja hendak mengocok hati Se-kiat dan Khik-sia
supaya gelisah. Sebagai pengemis tua yang berwatak aneh, ia tak mau mentah-mentah memberi
ampun tanpa mengemukakan alasan yang teguh. Dan alasannya tadi memang tepat. Kini Tiau-
ing
menjadi sebatang kara dan karena dapat membebaskan diri dari pengaruh engkohnya dan
kawankawan
yang jahat, maka pengemis tua itu tak menganggapnya lagi sebagai musuh.
Wi Gwat digelari sebagai Pengemis Gila dan memang tindakan dan ucapannya sukar diduga,
tampaknya gila tapi tidak gila. Adalah nona Su itu memang cerdas karena dapat mengetahui
perangai pengemis tua itu, pikir Khik-sia.
Hai, ilmu pedangmu sungguh istimewa, budak perempuan. Siapakah suhumu? tanya Wi
Gwat.
Tiau-ing tertawa: Untung kau tak bunuh aku, coba kau berbuat begitu, kau tentu bakal
merasakan kelihaian suhuku. Jika ingin mengetahui siapa suhuku itu, silahkan tanya pada
Gonggong-
ji.
Bah, sekalipun kau tak mau bilang masakan aku tak tahu? Suhumu tentulah itu Shin Ci-koh
yang bergelar Bu-ceng-kiam.
Tiau-ing terbeliak kaget, pikirnya: Kurang ajar, lihay sekali pengemis tua ini. Mengapa ia
kenal akan corak permainan suhu? Dengan melihat beberapa jurus permainanku saja, ia segera
mengetahui nama suhu.
Serentak menyahutlah ia dingin-dingin: Pengemis tua, kalau sudah tahu nama suhuku, ya
sudah. Beliau lebih tak kenal kasihan dari kau. Jika kau bunuh aku, apakah kau kira beliau akan
mengampuni jiwamu?
Wi Gwat terbahak-bahak: Budak perempuan, sudah berapa tahunkah kau ikut pada suhumu?
Ia bergelar Bu-ceng-kiam, tapi hati nuraninya berbudi tak berbudi, tentang hal itu kaupun tak
usah
mengetahui. Pengemis tua ini tak takut ia akan membunuh aku, tapi kuatir ia nanti akan minta
tolong padaku.
Bu-ceng-kiam artinya Pedang tak berperasaan.
Apa? Beliau akan minta tolong padamu? teriak Tiau-ing.
Wi Gwat tetap tertawa: Betul, ia akan minta aku menjadi comblang, apakah itu bukannya
minta tolong?
Ngaco belo! bentak Tiau-ing dengan jemu.
Wi Gwat semakin terpingkal-pingkal: Percaya atau tidak, terserah padamu. Pengemis tua juga
tak suka membuka rahasia pribadi seorang guru di depan muridnya. Baiklah, Ciu sutit, ayo kita
pergi. Kalau terus bicara, mungkin orang akan memaki aku si pengemis tua ini tak senonoh.
Kerut wajah dan sikap si pengemis gila yang sesaat garang dan sesaat riang peramah itu,
membuat Su Tiau-ing meringis. Karena sudah dikenal sebagai pengemis kegila-gilaan, maka
orang
pun tak heran akan gerak-gerik Wi Gwat yang aneh itu.

Pengemis tua ini lihay benar. Ucapannyapun bukannya seperti orang gila. Apakah ia benarbenar
mengetahui rahasia pribadi suhu? diam-diam Tiau-ing membatin.
Seperginya tokoh-tokoh Kay-pang, maka berhadapanlah kini Khik-sia dengan Se-kiat. Teringat
akan Thiat-mo-lek, Khik-sia segera menanyakan: Bo toako, mengapa kau kebetulan sekali
datang
kemari? Thiat toako apakah datang juga?
Se-kiat tertawa: Bukannya secara kebetulan, memang aku sengaja menunggu kedatangan
kalian di sini. Piauko-mu itu seorang sahabat lama dari Cin Siang. Dalam pertemuan para ksatria
yang diselenggarakan oleh Cin-sian itu, sudah tentu piauko-mu datang, tapi karena masih ada
sedikit urusan jadi ia agak lambat. Mungkin paling lambat besok lusa ia tentu sudah tiba
kemari.
Ia masih melanjutkan kata-katanya pula: Aku bersama Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing dan
kawan-kawan, sudah datang lebih dulu beberapa hari di Tiang-an. Baru beberapa hari ini aku
mengikat persahabatan dengan Ciu Ko, karena informasi (berita) di kalangan Kay-pang itu cepat
sekali dilaksanakan, maka aku pun mengetahui semuanya. Siang-siang aku sudah tahu kalau kau
bersama nona Su akan tiba di kemari hari ini, tahu pula aku bahwa Kay-pang hendak menangkap
nona Su. Oleh karena di dalam Kay-pang cabang Tiang-an banyak sekali orangnya, maka
akupun
tak leluasa mencegah mereka. Maka aku terpaksa memburu kemari.
Kini barulah Khik-sia mengerti duduk persoalannya. Diam-diam ia merasa heran: Bo Se-kiat
tak kenal dengan Tiau-ing. Se-kiat tahu kalau Tiau-ing puteri dari Su Su-bing, tapi Se-kiat tak
menganggapnya sebagai perempuan jahat. Ini saja sudah sukar terjadi. Apalagi Se-kiat masih
mau
berusaha untuk menolong nona itu, sungguh luar biasa sekali. Apakah kesemuanya itu demi
untuk
kepentinganku?
Setelah bahaya lewat, barulah saat itu Tiau-ing tampil kemuka. Tapi anehnya ia bukan
menghaturkan terima kasih kepada Se-kiat, tapi hanya mengunjukkan jempol tangannya berseru:
Bo tayhiap, kau sungguh berdada lapang sekali, suka bekerja tanpa memikirkan jasa,
kemanamana
kau selalu mendamaikan pertengkaran. Benar-benar tak kecewa menjadi seorang pemimpin
Lok-lim!
Se-kiat tertawa: Konon kabarnya anak buah dari engkohmu amat patuh padamu. Setelah
kalian menderita kekalahan, kabarnya juga kau yang mengatur sehingga tak sampai seluruh anak
pasukanmu ludas. Nona Su, kau juga seorang pendekar wanita.
Tiau-ing balas tertawa: Kiranya kau amat perhatikan urusanku. Tapi kabar yang kau dengar itu
terlampau menyanjung diriku, aku tak mempunyai kecakapan sedemikian besarnya. Adalah
karena
aku berbeda dengan anak gadis pada umumny yang suka bersolek saja, maka engkohku merasa
jengkel padaku.
Oh, kukira pelarianmu itu disebabkan Khik-sia, ternyata kalian kakak beradik itu memang
sudah punya perselisihan, kata Se-kiat.
Khik-sia merah mukanya, serunya: Baik perangai maupun tindakan nona Su itu berlainan
dengan engkohnya. Mereka saudara lain ibu. Engkohnya membunuh ayahnya dan
bersimaharajalela sewenang-wenang, memang siang-siang nona Su sudah tak puas.
Se-kiat mengangguk: Oh, kiranya begitu. -- Matanya beralih kepada Tiau-ing, seperti ada
sesuatu yang dipikirkan.
Kata Tiau-ing: Budi besar tak dibalas dengan ucapan terima kasih saja. Bo bengcu, kelak
apabila kau memerlukan tenagaku, silahkan memberi perintah. Apa yang kau kehendaki, asal
tenagaku mampu, tentu akan kukerjakan. -- Habis berkata dengan tertawa tajam ia melirik
kepada
Se-kiat.
Pikir Khik-sia: Kata-kata Tiau-ing tak keruan juntrungannya. Di satu pihak menyatakan
bersedia melakukan segala perintah Se-kiat. Hm, orang macam apakah Bo toako itu, masakan ia
sudi menerima segala pemberianmu? Memang kalau suhengku yang mengatakan itu masih dapat
dimengerti, tapi kau, hai Tiau-ing, mana kau mampu menandingi ilmu 'tangan kosong' yang
istimewa dari suhengku?
Tapi di luar persangkaan Khik-sia, ternyata reaksi Se-kiat itu tak terduga-duga. Sedikitpun ia
(Se-kiat) tak mengunjuk rasa kurang senang mendengar ucapan Tiau-ing itu, bahkan sebaliknya
malah berseri girang dan tersenyum simpul: Kalau begitu, lebih dulu aku menghaturkan terima

kasih kepada nona.
Begitulah percakapan dari Tiau-ing dan Se-kiat itu tampaknya seperti sepasang muda mudi yang
sudah rapat hubungannya dan serasi pendiriannya. Bahwa Khik-sia 'terasing' di pojok, rupanya
Tiau-ing mengerti juga. Tiba-tiba ia hentikan bicaranya dengan Se-kiat dan menghampiri ke
muka
Khik-sia. Menyerahkan kembali po-kiam Khik-sia, berkatalah ia: Terima kasih atas bantuanmu
selama di perjalanan. Kutahu kau tak suka padaku, tapi aku tetap berterima kasih kepadamu.
Rupanya ucapan Tiau-ing keluar dari lubuk hati yang sesungguhnya karena nadanya agak
gemetar. Sebagai reaksi secara spontan (serempak) Khik-siapun merasa sedikit rawan dengan
perpisahan itu. Setelah menyambuti po-kiam, ia berkata: Urusan Kay-pang sudah selesai,
apakah
kau tak perlu kuantar sampai ke Tiang-an?
Banyak sekali yang tengah direka dalam pikiran Tiau-ing. Mendengar pertanyaan Khik-sia itu,
ia tertegun. Belum sempat ia memberi penyahutan, Se-kiat sudah mendahului bertanya: Oh,
kiranya nona Su juga akan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe?
Tiau-ing tenangkan pikirannya dan tertawa: Ah, masakan aku layak menghadiri pertemuan
Eng-hiong (ksatria) itu. Di kolong langit ini hanya kalian, kau dan Thiat-mo-lek, yang pantas
disebut ksatria. Hanya karena urusan dengan Kay-panglah maka aku sampai datang kemari.
Memang aku boleh tak usah melanjutkan perjalanan ke Tiang-an, tapi karena toh sudah tiba di
sini
dan sudah dekat dengan Tiang-an, serentak timbullah hasratku untuk menyaksikan ramai-ramai.
Nona Su, kau adalah pendekar kaum wanita, mengapa begitu merendah? Tapi kau hanya
seorang diri, rasanya tentu kurang leluasa. Kurasa lebih baik kau pergi bersama-sama kita saja.
Di
Tiang-an kita mempunyai 'sarang' (istilah kaum loklim untuk suatu 'tempat rahasia'). Tempatnya
besar sekali, ada kamar-kamar untuk wanita. Kurasa kau tentu leluasa menetap di sana, kata
Sekiat.
Khik-sia, apakah kau tak jemu padaku? tanya Tiau-ing.
Dalam hal ini Bo-toako yang menjadi tuan rumah. Aku dan kau hanya sebagai tetamu saja,
sahut Khik-sia.
Tiau-ing tertawa: Bo-bengcu, kau tahu bahwa selama dalam perjalanan, ia (Khik-sia) selalu
berusaha menghindarkan diri dari aku, mungkin takut kalau kujirat kakinya. Untung sekarang
kau
yang mengundang, kalau tidak, aku tentu tak berani bersama-sama dia lagi.
Oh, mungkin ia berusaha menjunjung tata susila. Padahal pergaulan pria-wanita kaum
persilatan itu bebas dari segala ikatan adat, kata Se-kiat. Ia lantas berpaling memandang Khik-
sia:
Piaukomu Thiat-mo-lek memperhatikan sekali hubunganmu dengan nona Su yang satunya.
Bagaimana, apa kau sudah menemukannya?
Lalu ia menerangkan kepada Tiau-ing: Ah, kebetulan sekali calon isteri Khik-sia itu tunggal
she dengan kau. Sejak lahir mereka sudah dipasangkan.
Tiau-ing sudah tahu bahwa Khik-sia mempunyai seorang kawan wanita she Su, tapi bahwasanya
nona Su itu ternyata bakal isteri Khik-sia, baru sekarang Tiau-ing mengetahuinya.
Tiau-ing dan Khik-sia sama-sama gelisah. Hanya saja kegelisahan mereka itu berbeda. Kalau
Tiau-ing gelisah bahwa ternyata Khik-sia sudah punya bakal kawan hidup, adalah Khik-sia resah
karena menduga Yak-bwe itu sekarang sudah punya pilihan pemuda lain. Tapi Khik-sia tak
mengutarakan hal itu kepada Se-kiat.
Ya, memang aneh sekali. Secara kebetulan semalam aku mendapatkannya di hotel, sayang tak
sempat menjumpainya. Oh, ya, nona Sip bersama-sama dengan ia, kata Khik-sia pula. Ia
tuturkan
apa yang telah terjadi semalam. Hanya kecurigaannya terhadap Yak-bwe, tak diceritakannya.
Tak perlu kau gelisah. Asal mereka berdua ke Tiang-an, masakan tak dapat diketahui jejaknya?
Di Tiang-an kita mempunyai banyak kawan, kata Se-kiat.
Khik-sia tahu kalau Se-kiat menghiburnya, tapi anehnya Se-kiat itu sepatahpun tak
mengucapkan tentang diri In-nio. Hubungan Se-kiat In-nio berlainan dengan Khik-sia Yak-
bwe.
Kedua anak muda yang tersebut duluan itu bukan saja belum bertunangan, pun ikatan kasih
mereka
belum positif. Karena Khik-sia tak suka usil dan belum kenal dengan In-nio, dan karena Se-kiat
tak
mengatakan apa-apa, maka iapun sungkan untuk menanyakannya.
Begitulah sambil berjalan sambil bercakap-cakap, tibalah mereka di jalan besar. Disitu

tertawalah Se-kiat bertanya: Khik-sia, kau mau membonceng aku atau tetap bersama dengan
nona
Su?
Kemerah-merahanlah wajah Khik-sia, sahutnya: Tiang-an sudah tak berapa jauh, tinggal
duatiga
puluh li saja. Biarlah aku lari saja.
Se-kiat terhitung lebih tua dari Khik-sia, maka tanpa sungkan lagi ia lantas berkuda bersamasama
Tiau-ing, sedang Khik-sia mengikutinya dari belakang dengan berjalan kaki. Kalau Se-kiat
dan Tiau-ing bercakap-cakap dengan riang gembira, adalah Khik-sia berdiam diri menggigit jari
saja. Pikirannya melayang-layang pada Yak-bwe.
Hari pertandingan masih kurang dari dua hari. Walaupun Cin Siang telah menyatakan dalam
pengumumannya bahwa jago-jago yang ikut dalam pertandingan itu takkan diusut asal-usulnya,
tapi
dikarenakan Khik-sia itu merupakan seorang buronan penting yang merampas kuda pemerintah,
sedang Tiau-ing adalah adik dari pemberontak Su Tiau-gi, maka keduanya pun termasuk
golongan
buronan kelas berat.
Benar Khik-sia itu bukan seorang pemberontak seperti kedua saudara Su, tapi karena ia pernah
merampas barang antaran untuk Tian Seng-su kemudian mengadu biru di gedung ciat-to-su,
maka
ia merupakan seorang gembong penyamun. Mengetahui tentang riwayat anak muda itu,
setibanya
di Tiang-an, Se-kiat menasehati agar Khik-sia jangan sembarangan keluar rumah.
Rupanya Tiau-ing mengindahkan nasehat Se-kiat itu. Setibanya di sarang, jangankan keluar
rumah sedang keluar ke halaman luar saja, ia tak mau. Ia tetap menyekap diri di dalam kamarnya
saja. Sebaliknya Khik-sia tak betah mengalami 'tahanan' semacam itu. Meskipun Se-kiat telah
menjanjikan akan menyuruh orang untuk menyirapi jejak Yak-bwe, namun Khik-sia tetap belum
tentram hatinya.
Pada hari kedua, ia tak dapat menahan diri lagi dan keluar untuk mencari berita. Memang
dalam hati anak muda itu terbit perbantahan sendiri. Ia tak berani mengharap untuk berbaik
kembali dengan Yak-bwe, namun suara hatinya memaksanya supaya ia menemui nona itu lagi.
Sekalipun hanya melihat saja, bahkan mendengar beritanya saja, puaslah sudah rasa hatinya.
Sebagai kota raja, Tiang-an itu amatlah luasnya. Luasnya tak kurang dari puluhan li,
mempunyai sembilan jalan raya dan enam buah distrik. Penduduknya penuh sesak. Untuk
mencari
seseorang di kota Tiang-an, adalah seperti mencari jarum di dalam laut. Namun dengan
untunguntungan
Khik-sia ayunkan langkahnya mencari kemana-mana, Tiap saat ia selalu memperhatikan
orang yang dijumpainya di jalanan, manakala orang itu mempunyai ciri-ciri sebagai kaum
persilatan.
Tak sengaja ia telah tiba di muka sebuah lapangan. Orang berjejal-jejal mengerumuni,
genderang berbunyi riuh rendah. Sebuah bendera besar, terpancang di tengahnya, berkibar-kibar
tertiup angin. Ternyata lapangan luas itu adalah tempat pertandingan silat, dimana seorang
persilatan tengah menjajakan kepandaiannya untuk mencari uang. Memang hal itu sudah lazim
terdapat di dunia persilatan. Memang ada yang khusus mengadakan demonstrasi kepandaian silat
sambil menjual obat-obatan, tapi ada juga yang dilakukan oleh seorang persilatan apabila ia
keputusan uang di jalanan.
Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Tiba-tiba terdengar percakapan dari beberapa penonton
yang berada di sebelahnya. Kata salah seorang: Ai, mungkin sekali ini lain dari yang lain.
Seorang
nona hendak membuka adu pertandingan silat untuk mencari jodoh!
Kata kawannya: Untuk pertandingan Eng-hiong-tay-hwe besok pagi itu, rakyat tentu tak dapat
masuk kemari. Tapi dengan adanya beberapa pertandingan sekarang ini, rasanya dapat menjadi
obat pelipur kecele.
Seluruh ahli di kolong jagad berkumpul di kota raja ini. Menggunakan kesempatan itu buat
cari jodoh memang jalan paling tepat. Tapi entahlah, cantik tidak barang 'hadiah'nya itu, ya?
menyeletuk kawannya yang lain.
Tertawa seoran pula: Perlu apa sih kau ngiler? Kau toh tak mengerti silat, sekalipun nona itu
secantik bunga, kaupun tak ada harapan menyuntingnya. Perlu apa kau pusingkan ia cantik atau
tidak? Sebaliknya yang kupikirkan, bagaimanakan kepandaian silat nona itu. Jika begitu keluar
dalam beberapa gebrak saja sudah rubuh, bukankah akan mengurangi kesenangan tontonan ini?

Yang pertama kali membuka mulut tadi, berkata pula: Dengan berani membuka pertandingan
sehari di muka pertandingan Eng-hiong-tay-hwe ini, tentulah nona itu tidak rendah
kepandaiannya.
Ketika Khik-sia mendongak, dilihatnya memang pada bendera itu terdapat empat buah huruf
yang berbunyi 'mencari jodoh dengan bertanding'. Pikirnya: Seorang nona yang betul-betul
berisi,
tentu tak sudi membuka pertandingan cari jodoh semacam begini. Mungkin hanya bangsa nona
persilatan yang tengah keputusan bekal, untuk mencari tempat 'meneduh' ia lantas mencari
jodoh.
Tapi, iseng-iseng menonton juga tak apalah.
Di tengah lapangan itu terdapat seorang gadis dan seorang lelaki tua. Rupanya mereka itu ayah
dan anak. Potongan muka gadis itu menarik juga. Pada saat Khik-sia datang tadi, rupanya
katakata
pembukaan telah diucapkan oleh orang tua itu. Dan ada seorang berseru tanya: Jadi tua muda,
buru bagus, asal dapat mengalahkan anak perempuanmu lantas boleh mengawininya?
Benar, tapi hanya ada kecualiannya, ialah orang yang sudah beristeri tak boleh turut dalam
pertandingan ini, sahut pak tua.
Bagus, aku baru berumur tiga puluh, belum beristeri. Aku mau mencoba! belum habis pak
tua memberi keterangan, seorang lelaki berteriak menukasnya. Dia seorang lelaki bermuka
brewok,
suaranya keras seperti guntur.
Malah begitu tiba di tengah gelanggang, si brewok itu sudah lantas mengacungkan sepasang
tinjunya dan berseru: Calon isteri, jika aku sampai terlalu keras memukulmu, kau harus lekas-
lekas
kasih tahu, ya?
Silahkan memukul dengan sekuat-kuatnya, kukuatir kau tak dapat memukulku, sahut si nona.
Tanpa banyak bicara, si brewok lantas ayunkan tinjunya, tapi dengan lincah dapatlah nona itu
menghindarinya. Malah dengan gaya gerakan tubuh yang lemah gemulai, nona itu berputar dan
sekali tangannya menyambar ke lambung, rubuhlah si brewok itu. Gegap gempita para penonton
bertampik sorak karena gelinya.
Nona itu lihay juga, bukan seperti nona penjaja silat yang kebanyakan. Gerakan kakinya entah
dari aliran partai mana itu. Aku seperti pernah melihat gerakan semacam itu, tapi di mana, ya?
Baiklah, kulihat lagi barang sekali dua jurus, pikir Khik-sia.
Si brewok merangkak bangun dan berseru: Lihay benar, aku tak berani lagi mengambilmu
sebagai isteri.
Baru ia tinggalkan lapangan, seorang lain sudah tampil ke muka lagi. Dengan tertawa
gelakgelak,
orang itu berseru: Aku sih tak takut mempunyai isteri galak. Ayo, jadi isteriku sajalah.
Rupanya ada seorang penonton yang kenal dengan orang yang masuk ke tengah gelanggang itu.
Berkatalah penonton itu: Ini kan Siong suhu yang membuka rumah perguruan di pintu selatan
sana. Ilmu silatnya tong-pi-kun hebat sekali. Kali ini pertandingan tentu ramai benar.
Saat itu kedengaran si nona berkata: Jika bisa menangkan aku, nanti baru bicara lagi!
Orang she Siong agak membungkuk ke bawah lalu tiba-tiba loncat menerjang dengan sepasang
tangannya. Gayanya mirip benar dengan kera. Tapi bagaimana serunya ia menyerang, dalam
sepuluh jurus saja iapun kena disengkelit oleh si nona sampai jatuh terlentang.
Kini, mulailah tertarik perhatian Khik-sia. Tapi perhatiannya itu bukan karena mengagumi
kepandaian si nona, melainkan aliran ilmu silat nona itu. Kalau kepandaian si nona, tetap Khik-
sia
pandang enteng. Yang Khik-sia herankan ialah gaya ilmu silat nona itu tak sama dengan cabang
persilatan yang manapun di dunia Tiong-goan. Walaupun pertandingan itu diperuntukkan cari
jodoh hingga tak perlu sampai harus ada yang binasa, tetapi nona itu selau menggunakan jurus-
jurus
yang ganas, seolah-olah hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Hanya saja jelas kelihatan oleh
Khiksia,
setiap kali menghantam, nona itu hanya menggunakan satu atau dua bagian tenaganya saja.
Itulah sebabnya maka guru silat she Siong tadi, hanya tersengkelit jatuh tapi tak sampai terluka
berat.
Diam-diam timbullah pertanyaan dalam hati Khik-sia: Murid siapakah ia itu? Mengapa makin
kuperhatikan, permainannya silat itu makin serupa dengan apa yang pernah kulihatnya?
Baru ia berpikir begitu, ada pula seorang yang tampil ke tengah gelanggang. Ia seorang
sasterawan yang berumur lebih kurang 30 tahun. Dengan menggoyang-goyangkan kipasnya,
bergayalah sasterawan itu dengan tutur bahasanya yang sopan-santun: Siau-seng (hamba) Kim

Ceng-ho hendak mohon pengajaran barang beberapa jurus kepada nona.
Anakku, hati-hatilah. Tuan ini adalah putera Kim Ting-gak, pemimpin dari gabungan kantor
piau-kiok (pengangkutan barang) di Tiang-an yang terdiri dari 13 buah piau-kiok, kata si pak
tua
memperingatkan gadisnya. Kemudian ia mintakan kelonggaran kepada si pemuda itu: Mohon
tuan
suka memberi kemurahan hati.
Kim Ceng-ho agak terkesiap: Ah, tak nyana pak tua itu tahu tentang diriku. -- Memang ia
adalah putera tunggal dari Kim Ting-gak. Karena keliwat menyayang akan puteranya, maka
meskipun Ceng-ho tlah diberi ilmu kepandaian warisan keluarga Kim dan umurnyapun sudah
hampir 30, tapi selama ini belum pernah ditugaskan untuk mengawal barang antaran. Mengapa
kali
ini Ceng-ho mau unjuk diri adalah karena tergerak hatinya melihat paras si nona yang cantik. Di
samping itu iapun ingin juga untuk mengukur kepandaiannya sendiri yang selama itu belum
pernah
digunakan.
Kim Ting-gak termasyhur dan menggetarkan dunia persilatan. Ceng-ho tahu semua orang jeri
kepada sang ayah, maka meskipun Ceng-ho itu sendiri belum pernah mengawal apa-apa, tapi
semua
piau-su (jago silat yang ditugaskan mengawal barang) sama mengindahkan padanya. Hal ini
menyebabkan timbulnya kecongkakan Ceng-ho. Ia merasa telah mewarisi seluah kepandaian
sang
ayah, maka kalau ayahnya tak ada yang dapat menandingi, ia anggap iapun begitu juga. Siapa
tahu
bahwa di atas langit itu masih ada langit, orang yang pandai masih ada yang melebihi pandai
lagi.
Adanya Kim Ting-gak selalu sukses dalam perusahaannya itu, bukan disebabkan karena ia itu
lihay
tiada lawannya, tetapi karena supel dan luasnya pergaulannya dalam dunia persilatan. Kalau
hanya
mengandal kepandaian saja, masih banyak sekali jago-jago yang lebih lihay darinya.
Tapi Kim Ceng-ho telah menafsirkan keliru. Bahwa pak tua itu mengenal dirinya dan
memohonkan kasihan untuk anaknya, telah membuat Ceng-ho kegirangan sekali. Dengan
menggoyang-goyangkan kipasnya, berkatalah ia: Ah, jangan terlalu merendah. Puterimu cantik
dan gagah, aku sangat mengaguminya. Kita nanti hanya main-main sampai batas tertentu saja,
tak
sampai melukai puterimu.
Diam-diam marahlah nona itu, namun wajahnya tetap tenang. Tawar-tawar ia berkata:
Janganlah tuan Kim berlaku sungkan. Kaki dan tangan itu tiada bermata. Jika nanti aku sampai
kesalahan tangan dan melukai tuan, harap tuan jangan ambil marah.
Ha, sampai di mana kelihayanmu berani membuka mulut besar? Ayo, baik-baiklah kau minta
pengajaran dari tuan Kim, si pak tua mendampratnya.
Mana Ceng-ho tahu bahwa kata-kata pak tua itu sebenarnya dimaksud untuk memperingatkan si
nona supaya jangan keliwat ganas terhadap Ceng-ho. Maka tertawalah ia gelak-gelak: Puterimu
bicara dengan terus terang. Aku ingin berkenalan dengan kepandaian puterimu. Harap nona
berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Ia yakin tentu menang. Soalnya bagaimana ia dapat merebut kemenangan itu dengan cara yang
gemilang, jangan sampai melukai tapi dapat menundukkan betul-betul nona itu.
Tapi apa nyatanya? Dalam beberapa jurus saja, Kim Ceng-ho segera terkejut sekali. Nona itu
mempunyai gaya permainan yang aneh. Makin mendapat lawan yang lihay, makin ganas
reaksinya.
Tadi karena dua lawannya yang terdahulu hanya biasa saja kepandaiannya, maka nona itupun tak
begitu kelihatan menyolok. Tapi kini berhadapan dengan Kim Ceng-ho, barulah berkembang
betulbetul
kepandaiannya. Tangan memukul, jari menusuk. Setiap serangannya selalu mengarah jalan
darah berbahaya di tubuh Ceng-ho.
Kini baru terbukalah mata Kim Ceng-ho bahwa nona itu ternyata lebih lihay daripadanya. Ia
terperanjat tapi segera menjadi gusar. Pikirnya: Terang kau sudah tahu aku ini siapa, tetapi
malah
hendak membikin malu. Bagus, karena kau tak sungkan padaku, jangan salahkan akupun berlaku
kejam padamu.
Secepat kilat ia lantas mengambil kipas yang sebenarnya diselipkan di belakang punggung.
Begitu nona itu tiba dengan pukulannya, Ceng-ho mengisar kakinya dan berputar tubuh. Tahu-
tahu
kipasnya sudah mengancam jalan darah lo-kion-hiat di telapak tangan si nona.
Benar kepandaian silat dari Ceng-ho itu tak menang dengan si nona. Tapi ilmu tutuk yang
diwarisi dari keluarganya, memang hebat sekali. Sebagai seorang ahli, demi mengetahui gerakan

Ceng-ho yang menutuk begitu cepat dan tepat pada sasarannya, diam-diam ia gentar juga.
Buruburu
ia tarik pulang tangannya. Tapi setelah mendapat angin, Ceng-ho tak mau memberi hati lagi.
Kipas dimainkannya dengan gencar. Dalam beberapa saat nona itu kerepotan karena tak paham
akan gerak serangan orang yang begitu aneh sehingga ia terpaksa mundur beberapa langkah.
Kipas berbeda dengan pedang dan golok. Bagi orang biasa, kalau hanya memegang sebatang
kipas saja, tentu tak dapat melukai orang. Tapi ditangan seorang ahli tutuk, kipas itu dapat
berubaha
menjadi suatu senjata yang hebat. Ilmu tutuk pada hakekatnya harus berada dekat atau lekat pada
sasarannya. Dengan tambah memakai kipas, berarti lengan tangan bertambah panjang, jadi lebih
leluasa daripada hanya dengan tangan kosong saja. Apalagi kipas Ceng-ho itu rangkanya terbuat
dari pada batang baja murni, jauh berlainan dengan kipas kebanyakan.
Dengan seorang nona penjual silat saja, Ceng-ho harus menggunakan kipas untuk
menghadapinya, rupanya sekalian penonton sama berseru heran malah ada yang mengejek.
Semua
orang tahu bahwa Ceng-ho itu adalah putera dari Kim Ting-gak yang termasyhur. Sudah tentu
Ceng-ho malu dan marah-marah. Pikirnya: Untung dalam pertandingan ini, mereka berdua (pak
tua dan gadisnya) tak menyebut-nyebut larangan memakai senjata. Aku tak mau pedulikan
bagaimana comelan orang-orang, pokok rubuhkan dulu nona ini baru bicara lagi. Hm, aku sih tak
mengharap mendapakan ia sebagai isteri, tapi urusan ini sudah berlarut sedemikian rupa, aku
harus
menjaga mukaku.
Dalam berisik dengusan para penonton, Ceng-ho gencarkan serangannya. Nona itu mundur
beberapa langkah. Tiba-tiba entah karena kesandung batu atau karena gugup, nona itu
terhuyunghuyung
dan begitu kehilangan keseimbangan badan, ia lantas tersungkur jatuh. Ceng-ho girang
sekali, cepat kipas ditutukkan ke arah jalan darah ih-gi-hiat si nona, brak .... astaga kipas pecah
menjadi dua. Ternyata nona itu sengaja gunakan siasat menjatuhkan diri. Begitu kipas
menyentuh
pakaiannya, secepat kilat ia lantas menghantam dan menyambarnya.
Si nona memungut pecahan kipas dan diberikan kepada Ceng-ho, katanya dengan tertawa:
Tuan Kim, maaf beribu maaf, aku telah merusakkan kipasmu!
Pecahlah seketika sorak-sorai pujian dari para penonton. Ceng-ho merah padam mukanya.
Sungguh sayang tak ada lubang untuknya menyembunyikan diri dari adegan yang memalukan
itu.
Walaupun kipas itu terbuat dari lembaran baja tipis, namun dengan enak saja si nona dapat
merobeknya, hal ini membuatnya melongo. Kepandaian yang dimiliki si nona itu sungguh
mengejutkan orang. Seperti dikejar setan, Ceng-ho segera angkat kaki seribu di bawah tampik
sorak para penonton.
Kini mau tak mau terkesiap juga hati Khik-sia. Tapi kejutnya itu bukan kagum akan kepandaian
si nona melainkan aliran ilmu silatnya. Setelah memperhatikan bagaimana dengan tangan kosong
si
nona menjatuhkan tiga orang penantangnya, kini barulah Khik-sia dapat menentukan bahwa
aliran
ilmu silat nona itu sama dengan Su Tiau-ing. Gerakan tangan kosong dari nona itu serupa dengan
gerakan pedang Su Tiau-ing.
Tiau-ing belum pernah mengatakan kalau ia mempunyai saudara seperguruan, tapi dari gaya
permainan nona ini teranglah satu aliran dengan Tiau-ing. Malah dalam kemahiran, nona ini
lebih
unggul dari Tiau-ing. Dalam kalangan wanita persilatan angkatan muda, mungkin nona inilah
yang
nomor satu. Ia begitu lihay, perlu apa mengadakan pertandingan cari jodoh? pikir Khik-sia
dengan
heran.
Karena mengira hanya menonton seorang nona persilatan biasa yang hendak mencari jodoh
maka bermula Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Pikirnya, sebentar ia segera hendak pergi.
Tapi setelah mendapatkan bahwa nona itu ternyata salah seorang murid dari Shin Ci-koh, ia
batalkan rencananya. Akhirnya ia putuskan untuk mengikuti pertandingan itu sampai akhir dan
tangguhkan rencananya untuk mencari Yak-bwe.
Setelah dapat menjatuhkan pemimpin muda dari Cap-sa-ke-piau-kiok yakni Kim Ceng-ho, tiada
seorangpun yang berani tampil ke muka lagi. Pak tua berkeliling mengitari lapangan lalu berseru:
Ksatria mana lagi yang sudi memberi pelajaran pada anakku ini?
Entah disengaja atau tidak, mata pak tua itu tertumbuk pada Khik-sia. Khik-sia pura-pura tak
tahu dan tundukkan kepala, pikirnya: Jika bukan dengan hadiah puterimu, mungkin aku senang

untuk main-main. Aku sudah cukup banyak mendapat kesulitan, tak mau mencari gara-gara
lagi.
Saat itu si nona kedengaran berseru: Kabarnya besok pagi itu Eng-hiong-tay-hwe akan dibuka,
sudah tentu para jago dari seluruh penjuru sudah berada di kota ini, tapi mengapa seorangpun tak
kelihatan batang hidungnya?
Memang di antara penonton itu terdapat beberapa jago yang akan turut dalam pertandingan
Eng-hiong-tay-hwe besok pagi. Sudah tentu mereka merah dengan kata-kata si nona itu. Tapi
pada
umumnya mereka itu adalah tokoh-tokoh yang mempunyai nama. Kalau sampai dirubuhkan oleh
si
nona bagaimana mereka ada muka untuk turut dalam pertandingan besok? Maka walaupun
marah,
terpaksa mereka tak mau tampilkan diri.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dalam nada yang brengsek: Budak perempuan, jangan
omong besar. Selama hidup di dunia 40 tahun, aku belum mendapat isteri. Rupanya sekarang
jodohku sudah datang!
Dari salah sebuah sudut penonton tampak menciak ke pinggir. Seorang lelaki bertubuh kokoh
kekar menerobos masuk. Mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya melolo menghadap ke
atas,
berkumis kaku dan mempunyai dua buah taring (gigi) yang menonjol keluar pada bibirnya.
Buruk
sekali wajah orang itu.
Si nona menyambutnya dengan tertawa menghina: Ah, mungkin kau salah alamat, lihat
seranganku!
Si hitam menangkis dan tertawa: Tidak salah lagi, kau benar-benar isteri idam-idamanku.
Si nona gunakan kelincahannya untuk melejit ke samping si Hitam. Sambil menampar ia
mendamprat: Kau seperti katak yang menginginkan angsa alias orang yang tak tahu diri!
Tamparan itu diarahkan ke telinga, tapi rupanya si Hitam boleh juga. Dengan lengkungkan
pinggang dapatlah ia menghindari, tapi dalam pada itu ia sengaja membelakangi si nona. Dengan
demikian tamparan si nona bukan mengenai telinga, melainkan kena punggungnya.
Ha, ha, gatal sekali punggungku. Keras lagi jika mengukur, ya? Kau kecewa karena aku
bermuka buruk? Ha, ha, siapa yang suruh kau bertanding cari jodoh? Aku si katak jelek ini tentu
akan berhasil mendapatkan kau! seru si Hitam tergelak-gelak.
Melihat Si Hitam kasihkan punggungnya dihantam, para penonton mengira kalau ia tentu
hendak membanyol. Tapi bagi si nona sendiri, hal itu telah menimbulkan kekagetannya.
Ternyata
tangannya yang mengenai punggung Si Hitam itu rasanya seperti membentur papan besi
sehingga
terasa kesakitan sekali. Kini barulah ia tahu bahwa Si Hitam itu memiliki ilmu lindung kim-
ciongtoh.
Aku harus menggunakan akal untuk mengalahkannya, tak boleh gunakan kekerasan, pikirnya.
Seketika ia lantas rubah gaya serangannya. Pukulannya dilancarkan secepat angin puyuh. Tapi
setiap pukulan sengaja dilewatkan di sisi sasarannya, tidak dikenakan. Makin lama gerakan nona
itu makin kencang sehingga si Hitam seolah-olah seperti dikepung oleh bayangan si nona. Dalam
rabuannya itu, disertai juga gerakan menutuk jalan darah. Hanya sebagaimana dengan
pukulannya,
pun tutukannya itu tidak dikenakan pada sasarannya.
Para penonton menjadi kagum dengan gaya permainan si nona. Mereka menghamburkan pujian
dengan sorak sorai. Sebaliknya diam-diam Khik-sia menguatirkan keadaan nona itu, pikirnya:
jika
bukan pertandingan cari jodoh, apabila memang tak ungkulan lantas boleh tinggalkan
gelanggang.
Tapi dalam hal seperti ini ia harus berkelahi sampai kalah atau menang. Si Hitam itu lihay sekali,
sekalipun dapat memukul lubang kelemahan tubuhnya, tapi dengan kepandaian si nona yang
dimilikinya, rasanya sukar untuk melukai orang itu. Jika pertempuran berjalan lama, nona itu
tentu
akan mengalami kerugian.
Hanya dalam beberapa kejap saja, nona itu sudah menjamah rata ke-36 jalan darah di tubuh Si
Hitam. Tiba-tiba Si Hitam tertawa gelak-gelak: Kau hendak mencari lubang kelemahan
tubuhku?
Nanti kalau sudah jadi suami isteri, tentu kuberitahukan.
Kiranya ilmu lindung kim-ciong-toh itu serupa dengan thiat-poh-san. Tentu ada satu dua bagian
jalan darah yang tak dapat ditutupi dengan ilmu itu. Lubang kelemahan itu dalam istilah
persilatan
disebut toh-bun. Jika dapat menemukannya, sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat (tutukan
keras), tentu rubuhlah orang itu. Dengan menjamahi seluruh jalan darah Si Hitam tadi, si nona

memang hendak mencari dimana letak toh-bun itu. Tapi enak saja lagak Si Hitam itu, seolah-
olah
ia tak punya lubang kelemahan sama sekali. Oleh karena itu, maka betapapun usaha si nona
hendak
mencarinya, tetap tak berhasil.
Diolok begitu macam oleh Si Hitam, marahlah si nona. Sekonyong-konyong ia maju merapat
terus gunakan jurus ji-liong-tham-cu atau naga berebut mustika, untuk menutuk mata Si Hitam.
Biar bagaimana masakan kau dapat melatih ilmu ki-ciong-toh sampai ke bagian matamu,
pikirnya.
Tapi diluar dugaan kali ini Si Hitam sudah siap sedia. Tiba-tiba ia ngangakan mulut, dua baris
giginya yang besar-besar dan putih-putih segera menggigit ujung jari si nona. Kejut si nona
bukan
kepalang, buru-buru ia tarik pulang tangannya. Dengan begitu serangannya tadi pun kena
dipatahkan oleh Si Hitam.
Si Hitam tertawa geli: Bagus, sekarang kita berkenalan lebih dekat. -- Ia pentang kedua
tangannya terus hendak memeluk tubuh si nona. Ternyata gerakannya tak kalah gesitnya dengan
si
nona. Benar gerak permainannya itu bukan suatu gerak yang lihay, tapi justeru gerakan
ketololtololan
itulah yang menyebabkan si nona mati kutu.
Seperti telah diterangkan, sekeliling gelanggang itu dipagari dengan penonton yang
berjubaljubal.
Si nona hanya dapat main kucingan di dalam lingkungan situ karena tak berdaya untuk
menerobos keluar dari pagar manusia. Dengan pentang kedua tangan seperti harimau hendak
menubruk anak kambing, walaupun seketika tak dapat memperoleh hasil, tapi lama kelamaan
apabila nona itu sudah kepayahan, tentulah akan kena dipeluknya.
Benar juga beberapa saat kemudian, tampaknya nona itu sudah mandi keringat. Sekali sang
kaki agak lambat, iapun segera kena ditubruk Si Hitam yang terus memeluk pinggangnya.
Dengan
tertawa gelak-gelak berserulah Si Hitam: Si katak berhasil menubruk angsa! Ayo kita menjura,
menjura untuk menghadap pada bapak mertua, aduh!
Entah apa sebabnya tiba-tiba mulut Si Hitam mengaduh kesakitan, kedua tangannya terkulai
melepaskan pelukannya. Bermula si nona masih mengira kalau Si Hitam main aksi, maka segera
ia
memberi persen sebuah sikutan kepadanya. Di luar dugaan, Si Hitam menjerit: Kau, kau ganas
sekali! -- Sekali mulutnya menguak, segumpal darah segar segera muncrat dari mulutnya,
orangnya pun terus terjerembab jatuh!
Memang sikutan si nona itu keras dan tepat sekali jatuhnya. Para penonton yang kebanyakan
tak mengerti ilmu silat, demi melihat si nona dapat merebut kemenangan dalam kekalahannya,
sama
bersorak memuji. Tapi anehnya si nona sendiri termangu-mangu, pikirnya: Orang lihay
siapakah
yang diam-diam membantu aku tadi? Ia mempunyai kepandaian begitu lihay, mengpa tak mau
maju ke dalam gelanggang sendiri?
Siapakah gerangan yang menjatuhkan Si Hitam itu? Kiranya pembaca tentu sudah dapat
menebak dengan segera. Ya, benar, memang Khik-sialah yang diam-diam telah gunakan ilmu
kekgong-
tiam-hwat atau menutuk jalan darah dari kejauhan, untuk menutuk jatuh Si Hitam. Kesatu,
karena Khik-sia agak sebal melihat tingkah laku Si Hitam yang begitu jumawa. Kedua, karena
setelah melihat bahwa nona itu tunggal seperguruan dengan Tiau-ing, diam-diam ia memang
sudah
bersiap untuk memberi bantuan. Khik-sia adalah seorang ahli silat besar. Dalam beberapa jurus
saja dapatlah sudah ia mengetahui di mana letak toh-bun Si Hitam itu, yakni di tempat jalan
darah
wi-kiong-hiat di sela ketiak belakang Si Hitam. Kebetulan sekali ketika Si Hitam memeluk si
nona
tadi, ia berdiri membelakangi Khik-sia, apalagi jaraknya tak begitu jauh. Sekali lancarkan ilmu
tutuk kek-gong-tiam-hwat, kenalah jaland arah wi-kiong-hiat Si Hitam. Ilmu tutukan itu jauh
lebih
lihay dari ilmu tutuk cong-chiu-hwat, sudah tentu Si Hitam tak kuat menahannya lagi. Tapi
Khiksiapun
sama sekali tak mengira bahwa si nona bakal membarengi dengan sebuah sikutan. Saat itu
hawa murni Si Hitam sedang terluka akibat tutukan Khik-sia, maka begitu menerima sikutan si
nona yang tepat mengenai jalan darah suan-ki-hiat di dadanya, dengan begitu muka belakang
kena
digempur, pecahlah ilmu lindung kim-ciong-toh dari Si Hitam.
Terkapar di tanah, Si Hitam terus muntahkan darah. Melihat itu para penonton yang bernyali
kecil sudah lantas ketakutan. Ada salah seorang yang berseru: Celaka, jangan-jangan bakal
terjadi
perkara berdarah nih! -- Beberapa kejap saja sudah separuh bagian dari penonton yang sama

tinggalkan lapangan itu.
Rupanya si nona tadipun menjadi gugup. Buru-buru ia menghampiri dan menolongi Si Hitam
sambil berseru kepada pak tua: Lekas ambil arak obat buat diminumkan.
Saat itu Khik-sia pun berada di tengah para penonton hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tibatiba
terdengar seseorang berseru menggeledek: Hai, siapakah yang melukai muridku?
Seorang tua bertubuh tinggi besar dan pinggangnya agak bungkuk, masuk ke tengah
gelanggang. Astaga, itulah dia si Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo. Khik-sia terperanjat, buru-buru ia
hentikan langkah. Bukan karena takut pada Yo Bok-lo, melainkan Khik-sia tak mau terbitkan
onar
di kota raja situ. Untung Yo Bok-lo tadi dari luar masuk ke dalam, coba ia dari dalam berjalan
keluar, tentu berpapasan dengan Khik-sia. Setelah berhenti, Khik-sia pun lantas menyusup ke
tengah rombongan penonton. Pikirnya: Biar kulihat bagaimana iblis itu akan bertindak? Jika ia
akan membikin susah nona itu, terpaksa aku akan unjuk diri!
Rupanya Yo Bok-lo marah besar. Setelah memeriksa sejenak kearah Si Hitam, wajah iblis tua
itu mengerut keheranan. Segera ia menutuki beberapa jalan darah di tubuh sang murid untuk
menghentikan darahnya yang muntah keluar. Setelah berhenti muntah darah dengan mata
mendelik
Si Hitam angkat kepalanya dan berseru parau kepada suhunya: Suhu, harap balaskan sakit hati
murid ini!
Siapa yang melukaimu, tahukah? tanya Yo Bok-lo.
Pertanyaan itu membuat sekalian penonton heran. Siapa lagi yang melukai kalau bukan si nona
penjual silat itu, demikian pikir mereka.
Si Hitam menerangkan tentang pertandingan dengan si nona tadi. Entah dengan cara
bagaimana, wanita siluman itu telah pecahkan kim-ciong-toh murid, katanya.
Apakah dia? tanya Yo Bok-lo dengan dingin sembari melirik tajam-tajam ke arah si nona.
Si pak tua tertawa meminta maaf dengan nada yang lemah: Karena kesalahan tangan, anakku
telah melukai muridmu. Terimalah maafku si orang tua ini.
Yo Bok-lo tak mempedulikan, matanya tetap melekat ke arah si nona. Sudah tentu si nona
menjadi tak suka, serunya: Telah diterangkan kalau bertanding silat, tinju kita tak bermata.
Siapa
suruh muridmu masuk gelanggang? Siapa yang mati atau luka, harus menerima nasib dengan
senang hati!
Melihat Yo Bok-lo bersikap garang, rupanya si pak tua menjadi kebingungan, serunya: Tuan
Yo, harap sudi memandang muka suhunya!
Yo Bok-lo terkesiap: Ho, kiranya kau juga kenal padaku? -- Siapakah suhunya? tiba-tiba ia
membentak seraya menampar si nona.
Rupanya si nona sudah berjaga-jaga. Ia segera keluarkan ilmu ajaran suhunya yakni dalam
jurus heng-hun-toan-hong atau awan melintang memotong puncak. Sambil menangkis dan
menyerang yakni dengan segera memotong ia menabas lengan Yo Bok-lo, sedang tangannya kiri
menyusup ke bawah tangannya kanan untuk menutuk jalan darah kiok-ti-hiat di pergelangan siku
lengan orang.
Indah sekalipun jurus yang digunakan nona itu, namun tetap tak dapat menandingi kepandaian
Yo Bok-lo. Belum lagi tangannya itu mengenai tubuh Yo Bok-lo, si nona merasa seperti
didorong
oleh suatu tenaga maha kuat sehingga tanpa dapat dikendalikan lagi tubuhnya mencelat ke udara!
Bahwasanya Yo Bok-lo sebagai seorang cian-pwe persilatan telah menyerang secara tiba-tiba
pada seorang nona, telah tak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Tapi karena ia berada di
tengahtengah
penonton, maka sudah tak keburu untuk mencegahnya. Lebih kaget lagi ia ketika si nona
kena dilemparkan ke udara. Ia tahu sampai dimana kepandaian Yo Bok-lo dan nona itu tentu
akan
amblas jiwanya.
Pada saat Khik-sia terperanjat dan hendak menobros maju, tiba-tiba dilihatnya tubuh nona itu
berjumpalitan di udara dan terus melayang turun. Tiba di tanah berputar-putar seperti gasingan
baru
dapat berdiri tegak. Sebagai seorang ahli silat, Khik-sia cepat mengetahui bahwa nona itu
selamat
tak kurang suatu apa. Hanya karena tubuhnya masih diregut tenaga dorongan maka ia sengaja
berputar-putar untuk menghilangkannya. Kini dapatlah Khik-sia menarik napas longgar,
pikirnya:
Kiranya iblis tua itu sengaja mau menjajal orang saja. Ia hanya gunakan tenaga dorong-tarik.
Ha,

membikin kaget saja.
Terdengar Yo Bok-lo tertawa gelak-gelak: Ho, kiranya kau ini murid Shin Ci-koh! -- Tiba-tiba
ia berhenti tertawa dan berseru dengan keren: Tapi sekalipun murid Shin Ci-koh, dengan
kapandaian yang kau miliki ini, tak nanti kau mampu melukai muridku tadi! Siapakah yang
diamdiam
membantumu? Ayo, lekas bilang dan kau boleh bebas. Ketahuilah bahwa bukannya aku takut
kepada suhumu, tetapi penasaran harus ditumpahkan pada biang keladinya. Karena bukan kau
yang
berbuat maka akupun tak mau membikin perhitungan padamu!
Ih, aneh ini. Jadi ada orang yang diam-diam membantuku? Aku sendiri tak tahu hal itu!
sahut si nona itu. Tapi sebenarnya iapun sudah mengetahui tentang hal itu, hanya karena ia
merasa
berterima kasih dengan orang itu maka ia pura-pura tak tahu agar orang itu jangan terembet. Pun
dari ucapan Yo Bok-lo tadi, sebenarnya iblis itu sedikit jeri juga terhadap suhunya (Shin Ci-koh).
Kalau tidak begitu, perlu apa ia (Yo Bok-lo) mengemukakan alasan-alasan begitu?
Rupanya iblis tua ini tak berani membikin susah padaku. Kalau penolongku tadi tak dapat
diketemukan, tak nanti iblis tua itu menarik panjang urusan ini. Apalagi aku memang
sungguhsungguh
tak tahu siapa penolongku itu? pikirnya lebih lanjut.
Rupanya Yo Bok-lo setengah percaya akan keterangan nona itu, pikirnya: Orang itu gunakan
ilmu tutuk kek-gong-tiam-hiat. Jika sebelumnya budak perempuan ini tak bersekutu dengan
orang
itu, masakan ia tahu siapa orangnya.
Dengan kesimpulan itu Yo Bok-lo tak mau mengorek keterangan dari si nona lagi. Ia
melangkah maju dua tindak, matanya berkeliaran memperhatikan ke sekeliling penonton,
serunya
dingin-dingin: Plintat- plintut membokong orang secara gelap bukanlah laku seorang ksatria!
Hm,
sudah berani berbuat mengapa tak berani unjuk muka?
Marahlah Khik-sia dihina begitu. Jika di lain tempat tentu ia segera maju ke muka. Tapi
lapangan itu adalah tempat latihan berbaris dari kota raja. Selagi ia hampir tak kuat menahan
kemarahannya, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya pesan Se-kiat supaya jangan timbulkan
garagara.
Pikirnya: Benar aku tak takut pada iblis tua itu. Tapi jika bertempur di sini tentu akan
ketahuan juga. Malah kalau tak kebetulan bisa merembet Bo-toako nanti. Ah, biar, biarlah aku
bersabar sementara waktu. Kelak tentu masih ada kesempatan untuk menghajarnya lagi.
Terang kalau tak terpaksa, Khik-sia tak mau berkelahi dengan Yo Bok-lo. Setelah mengetahui
bahwa Yo Bok-lo sudah tahu siapa suhu dari nona itu, Khik-sia memperhitungkan tentu iblis tua
itu
tak berani mengganggu si nona lagi. Maka iapun mengambil putusan tinggalkan tempat itu.
Dengan pikiran itu tanpa disengaja Khik-sia sudah mengisar ke deretan muka, sedianya dari situ
mudahlah ia untuk keluar. Siapa tahu tiba-tiba Yo Bok-lo berseru membentaknya: Bagus,
kiranya
kau bangsat kecil!
Malah begitu membentak, tinjunya pun sudah dilayangkan ke arah kepala Khik-sia, bluk, bluk,
.... terdengar suara tubuh yang jatuh gedebukan.
Celaka! Penolongku kena dipukul mati oleh iblis tua itu! si nona tersentak kaget. Tapi baru
ia menduga begitu, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok tubuh melambung ke udara, melayang
melampaui kepala para penonton. Gerakannya ringan tangkas laksana seekor burung elang
menerobos hutan. Di tengah udara orang itu berjumpalitan dan melayang turun belasan tombak
jauhnya di tempat yang tiada orangnya.
Itulah Khik-sia yang kuatir akan mencelakai para penonton lantas gunakan gin-kang untuk
melayang keluar. Tapi sekalipun begitu tak urung dua orang penonton terkapar jatuh karena
tersambar angin pukulan si iblis tua. Yang seorang patah dua buah tulang rusuknya, yang
seorang
patah lengannya. Untung tak sampai mengorbankan jiwanya.
Sebenarnya si nona dan pak tua tadi sudah melihat Khik-sia di antara rombongan penonton.
Memang sudah diduganya bahwa Khik-sia itu tentu bukan pemuda sembarangan. Tapi
bahwasanya
Khik-sia itu ternyta sedemikian lihaynya, sungguh tak diduga sama sekali oleh nona itu.
Diamdiam
nona itu terperanjat dan kagum, pikirnya: Oh, kiranya pemuda itu yang membantu aku tadi.
Tapi ia aneh juga, sudah mau membantu secara diam-diam, mengapa tak mau tampil keluar.
Budi
kebaikannya itu entah bagaimana aku dapat membalasnya?
Perubahan yang terjadi di gelanggang secara begitu tiba-tiba itu, telah membuat para penonton

lari berserabutan. Sebuah mata dari Yo Bok-lo tempo di luar kota Ciau-yang dulu, kena ditusuk
sampai buta oleh Khik-sia. Sudah tentu kini Yo Bok-lo tak mau lepaskan musuhnya besar itu.
Dia
bergelar Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah penyambar nyawa. Dalam jarak pendek, ilmu
ginkangnya dapat menandingi Khik-sia. Baru Khik-sia berdiri tegak, Yo Bok-lo sudah memburu
datang dan berkuik-kuik: Bangsat kecil, mau lari?
Siapa takut padamu? Khik-sia balas mendamprat.
Begitu kedua tangan kedua seteru itu beradu, Khik-sia tersurut mundur selangkah, sedangkan
Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Diam-diam iblis tua itu tersentak kaget, pikirnya: Baru berselang
satu tahun, kepandaian budak ini maju pesat sekali. Jika sekarang tak dapat melenyapkannya,
kelak
jika hendak menuntut balas tentu akan lebih sukar lagi.
Beberapa kali ketika bertempur dulu, Khik-sia lebih unggul dalam ilmu gin-kang, tapi dalam
tenaga pukulan kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi tadi dalam adu pukulan, Yo Bok-lo dapatkan
tenaga
anak muda itu sudah menyamai dirinya. Yo Bok-lo bernafsu sekali untuk membunuh lawannya.
Pukulannya dilipat-gandakan tenaganya. Sekali ia mengisar kaki, ia segera lontarkan dua buah
pukulan yang dahsyat dari posisi yang tak diduga oleh Khik-sia. Pukulan kedua menyusul tapi
datangnya lebih dulu dari pukulan pertama. Yang diarah ialah di bagian pinggang pada jalan
darah
ih-gi-hiat.
Sebagai tokoh yang dimasyhurkan sebagai Penyambar jiwa, Yo Bok-lo mempunyai tujuh buah
gerakan kaki dan pukulan yang berbeda satu sama lain. Setiap jurus, merupakan pukulan maut.
Jago silat yang kebanyakan, tentu tak mampu lolos dari tujuh jurus pukulannya itu. Itulah
makanya
ia mendapat julukan Chit-poh-tui-hun atau Tujuh-tindak-penyambar-nyawa. Dalam beberapa
tahun
yang terakhir ini, ia berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu pukulannya itu. Diberinya pula
tambahan beberapa gaya variasi yang lebih membingungkan lawan. Ia dapat menguasai
permainannya itu menurut apa yang dikehendakinya.
Begitu menghampiri dekat tubuh Khik-sia condong ke samping seperti orang yang terkena
pukulan. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia meluncur datar macam anak panah dilepaskan ke
muka.
Karena melengkung itu, maka pukulan Yo bok-lo luput mengenai sasaran pinggang, sebaliknya
menyentuh tongkak kaki Khik-sia. Bagi Khik-sia hal itu berarti mendapat panjatan. Dengan
meminjam tenaga panjatan itu, ia pun meluncur ke muka.
Yo Bok-lo terkejut. Kini baru ia menyadari bahwa sekalipun ilmu pukulannya bertambah hebat
tapi ilmu gin-kang si anak mudapun bertambah lihay juga. Pukulan yang dilontarkan dalam
posisi
yang tak terduga-duga, pun ternyata masih dapat dihindari oleh Khik-sia.
Masih Yo Bok-lo merasa penasaran. Sebelum si anak muda sempat berdiri tegak, ia segera
memburu dan menyusuli pula dengan dua buah pukulan lwekang biat-gong-ciang. Sekali ini ia
tentu akan terpelanting, pikirnya.
Siapa tahu begitu Yo Bok-lo bergerak, Khik-sia pun bergerak. Sebelum tiba di tanah, ia sudah
berjumpalitan di udara untuk berganti posisi. Dalam berjumpalitan itu tangannyapun sudah
mencabut po-kiam. Dengan gerak pheng-pok-kin-siau atau burung alap-alap menukik awan, ia
meluncur turun ke arah Yo Bok-lo.
Di tengah udara dapat berjumpalitan dan masih dapat pula mencabut pedang untuk menyerang,
beberapa gerakan yang istimewa itu sekaligus dapat dilakukan dengan indahnya, sungguh tak
diduga sama sekali oleh Yo Bok-lo. Kini posisinya berbalik dari menyerang berganti diserang.
Sekarang giliran si iblis tua yang sibuk menangkis serangan itu.
Dengan serangan yang istimewa itu, Khik-sia dapat memaksa lawan sibuk berloncatan kian
kemari untuk menghindar. Untung kepandaian iblis tua itu lebih tinggi. Segera ia gunakan ilmu
selentikan tan-ci-sin-thong dan pukulan lwekang biat-gong-ciang untuk mengisarkan ujung
pedang
Khik-sia hingga tak sampai mengenai. Tapi Yo Bok-lo hanya lebih unggul sedikit dari Khik-sia,
jadi meskipun dapat menangkis namun dengan susah payah sekali.
Telah dikatakan di atas, bahwa tempat mereka bertempur itu adalah di muka lapangan Swan-
bubun.
Karena tempat itu besok pagi hendak dijadikan tempat pertandingan Eng-hiong-tay-hwe,
maka sudah tentu diadakan penjagaan yang kuat. Inipun untuk menjagai segala kemungkinan
karena pada saat itu di kota raja banyak sekali berkumpul tokoh-tokoh silat dari delapan penjuru.

Siu-wi atau kwanan penjaga di situ, ada beberapa yang kenal pada Yo Bok-lo. Memang dalam
pertandingan cari jodoh tadi, kawanan siu-wi itu tak mengacuhkan. Tapi kini demi mengetahui
Yo
Bok-lo berkelahi dengan orang, merekapun tak mau tinggal diam lagi.
Beberapa siu-wi segera lari mendatangi dan mendamprat Khik-sia: Bangsat kecil yang bernyali
besar, berani bikin onar di Swan-bu-bun sini!
Menurut fakta, yang membikin onar itu adalah kedua orang tadi. Jika dihukum, Yo Bok-lo pun
harus ikut menerima hukuman juga. Tapi ternyata kawanan siu-wi itu hanya menuduh Khik-sia
saja. Ada seorang siu-wi yang mahir menggunakan senjata rahasia sudah segera timpukkan dua
batang siu-cian (passer) ke arah Khik-sia.
Sudah tentu Khik-sia tak pandang mata pada kawanan siu-wi itu. Ia yakin nanti tentu dapat
mengalahkan Yo Bok-lo tapi untuk itupun harus membutuhkan waktu beratus-ratus jurus. Dan
sekalipun dapat menang, pun belum tentu dapat membunuh iblis tua itu. Dalam keadaan seperti
kala itu, kalau sampai kawanan tay-lwe-ko-chiu (jago-jago pengawal istana) turut keluar, tentu
akan
lebih berabe lagi.
Dalam pada itu passerpun sudah tiba. Khik-sia sengaja mau unjuk kepandaian, serunya:
Kurang ajar, mengapa kau hanya membidik aku sendiri? -- Ia menjentik dengan jari tengahnya
dan terbanglah passer itu kembali. Sring, passer itu melayang melalui kain kepala si siu-wi
sehingga yang tersebut belakangan itu melonjak kaget.
Toan Khik-sia besar sungguh nyalimu, berani melukai pengawal raja? teriak Yo Bok-lo
sembari lontarkan sebuah hantaman. Tapi secepat itu pula Khik-sia melesat dan menyambar
seorang wi-su terus dijorokkan ke arah Yo Bok-lo.
Yo Bok-lo, kau berani melukai pengawal raja? serunya dengan meniru nada Yo Bok-lo.
Kesigapan anak muda itu betul-betul di luar dugaan Yo Bok-lo. Karena cepatnya gerakan anak
muda itu, Yo bok-lo sampai tak keburu menghindar. Bluk, tinjunya menjotos si wi-su. Untung
kepandaian Yo Bok-lo sudah mencapai tingkat sempurna dimana segala gerakan dapat dikuasai
menurut sekehendak hatinya. Sudah tentu Yo Bok-lo buru-buru menarik tangannya supaya
jangan
sampai melukai si wi-su. Ia ganti pukulannya itu dengan gaya menangkap untuk menerima tubuh
si
wi-su yang menjorok datang itu. Adegan itu telah membuat si iblis tua meringis.
Sebaliknya di sana Khik-sia tertawa gelak-gelak: Ho, kau berkasih-kasihanlah dengan
pengawal raja itu. Aku tak sempat untuk mengawani kalian!
Memang dalam ilmu gin-kang, Yo Bok-lo tak menang dengan Khik-sia. Apalagi saat itu karena
kagetnya, si wi-su memeluk erat-erat leher Yo Bok-lo, jadi orang she Yo itupun sungkan untuk
mengentakkannya. Maka dengan melongo, ia hanya dapat mengawasi musuhnya itu lari dengan
bebasnya.
Dengan lincahnya Khik-sia loncat ke atas rumah penduduk. Dalam lain kejap, di sepanjang
wuwungan rumah penduduk hanya tampak sebuah sinar putih meluncur pesat. Begitu pesatnya
sampai kawanan wi-su itu tak sempat melepaskan panahnya lagi.
Setelah tiba di sebuah gang kesil yang sepi, turunlah Khik-sia. Diam-diam ia merasa geli
sendiri: Dengan kupermainkan begitu tadi, rasanya cukuplah sudah untuk meledakkan dada Yo
Bok-lo!
Sekalipun begitu tetap ia tak berani jalan di jalan besar, pikirnya: Dengan kegaduhan tadi,
tentulah menimbulkan perhatian orang. Biar lambat asal selamat, hati-hati ada lebih baik. Hari
ini
rasanya tak baik untuk mencari berita Yak-bwe, lebih baik aku pulang saja. Biar kuberitahukan
dan
kutanyakan pada Tiau-ing apakah nona penjual silat tadi sumoaynya.
Tiba di pos rahasia, haripun sudah menjelang magrib. Di situ terdapat beberapa pendatang baru.
Karena memikir orang yang datang kesitu tentulah kawan sendiri, maka Khik-siapun tak
menaruh
kecurigaan, tetapi sebaliknya orang-orang itu sama menaruh perhatian kepadanya.
Karena ingin lekas-lekas mendapatkan Tiau-ing maka Khik-sia pun terus langsung masuk ke
kamarnya. Setelah tergesa-gesa membasuh muka ia lantas menuju ke tempat bagian wanita.
oooooOOOOOooooo

Pada masa kerajaan Tong itu, pergaulan antara pria dan wanita tak begitu keras aturannya.
Lebih-lebih dalam kalangan kaum persilatan, lazimlah sudah kalau pria dan wanita itu bergaul
secara bebas. Itulah sebabnya maka berani saja Khik-sia langsung memasuki kamar wanita.
Sekalipun begitu, namun Khik-sia merasa kikuk juga. Khik-sia tak tahu di mana letak kamar
Tiauing
itu. Jika setiap kamar diketuknya tentulah akan ditertawakan orang. Diam-diam Khik-sia
bersangsi.
Sarang atau tempat rahasia yang ditinggalin itu, sebenarnya merupakan sebuah gedung besar
semacam kasteel dari seorang she Kau. Oleh karena anak cucunya tak dapat mempertahankan
maka terpaksa gedung itu dijualnya. Luasnya beberapa bahu, dikelilingi oleh pagar tembok,
mempunyai berpuluh-puluh buah kamar. Di bagian mukda dan belakang, terdapat kebun bunga.
Kamar bagian wanita itu, terletak di kebun belakang. Kamar-kamarnya berserakan di antara
gunung-gunungan palsu dan pohon-pohon bunga.
Di halaman bagian dalam, sunyi senyap. Karena saat itu temponya makan malam, maka
mungkin mereka sama berada di dalam untuk makan. Sambil berjalan, Khik-sia mengharap dapat
berjumpa dengan orang untuk menanyakan di mana kamar Tiau-ing itu. Tetapi sampai sekian
saat,
belum juga ia menjumpai seseorang. Tanpa terasa tibalah ia di sebuah sudut dari kebun belakang
itu. Pikirnya: Yang ini rasanya tak perlu tanya orang lagi, tapi entah siapakah yang berada di
dalam rumah ini?
Pada saat itu tiba-tiba didengarnya suara tertawa orang lelaki: Kukira kau suka pada Khik-sia,
apakah bukan begitu?
Walaupun suara itu pelahan sekali namun dapat didengar jelas oleh Khik-sia. Itulah nada suara
Se-kiat. Khik-sia terperanjat dan merasa sungkan. Se-kiat adalah seorang kakak yang
dihormatinya. Sungguh tak dikiranya kalau Se-kiat berada di kamar seorang nona macam Tiau-
ing
dan bercakap-cakap secara berbisik-bisik, malah membicarakan tentang dirinya (Khik-sia).
Tangan
Khik-sia yang sudah diulurkan hendak mengetuk daun pintu, buru-buru ditarik kembali.
Tiau-ing kembali tertawa mengikik: Terus terang saja, memang bermula aku agak menaruh
perhatian kepada anak muda itu. Tapi setelah mengetahui pribadinya, aku merasa kecewa dan tak
suka lagi.
Apakah bukan karena ia sudah bertunangan, kau lantas merasa kecewa? tanya Se-kiat.
Bertunangan atau tidak, itu bukan soal. Aku suka padanya bukan mesti harus menikah
dengannya. Sayang ia bukan pahlawan yang kucita-citakan, sahut Tiau-ing.
Se-kiat membantah: Dalam kalangan jago muda, kepandaian Khik-sia itu sukar dicari
tandingannya. Mengapa kau katakan dia bukan pahlawan?
Ia tak mempunyai cita-cita besar dan angan-angan tinggi. Pendek kata, bukan batu mustika
yang kemilau. Betapapun tinggi ilmu silatnya, juga tak berguna, kata Tiau-ing.
Se-kiat berkata dengan bisik-bisik: Habis siapakah pahlawan yang menjadi pujaanmu?
Tiau-ing tertawa melengking, serunya: Mengapa bertanya lagi? Sudah tentu kaulah!
Se-kiat tertawa: Suatu kehormatan yang tak pantas diberikan padaku.
Tiau-ing rendahkan suaranya sampai seperti orang berbisik-bisik hingga Khik-sia tak dapat
mendengarnya. Diantaranya hanya samar-samar terdengar kata-kata nona itu: Kakakku masih
mempunyai tiga puluh ribu pasukan berkuda ..... Daerah suku Ki itu strategis sekali, baik
menyerang maupun bertahan .... Asal kau suka terima persembahanku ini berarti sudah menjadi
milikmu ..... Sudahkah kau menetapkan rencanamu? Hm, apakah kau benar-benar suka padaku
atau
hanya pura-pura saja?
Se-kiat menyahut agak keras: Seorang lelaki, apa yang sudah dikatakan tentu selalu dipegang
teguh, tak perlu ragu-ragu lagi. Tentu aku sudah mengambil putusan yang positif. Tiau-ing, kau
sungguh seorang pembantuku yang berharga, aku sungguh-sungguh suka padamu!
Khik-sia yang selama itu berdiri di luar rumah, tanpa sengaja telah mendengarkan semua
pembicaraan rahasia itu. Diam-diam ia tersentak kaget dan gelagapan. Beberapa saat kemudian
barulah pikirannya menjadi tenang lagi. Kini barulah ia dapat mengadakan analisa. Bo toako
jatuh cinta pada Tiau-ing? Apa-apaan ini, sungguh suatu hal yang tak dapat dipercayai!
Bagaimana
dengan nona Sip?

Apakah Bo toako tidak mencintainya? Semua orang mengira kalau ia dan nona Sip itu sudah
mengikat janji, bahkan Thiat-mo-lek piauko berusaha hendak merangkapkan perjodohan mereka.
Apakah semua orang salah kira? Atau apakah Bo toako sudah berganti haluan mengingkari
janjinya? Bo toako adalah seorang bu-lim-beng-cu yang dihormati orang, ai, mengapa ia berbuat
begitu?
Ia berhenti sejenak kemudian merenung pula: Apa yang dikatakan barang persembahan Su
Tiau-ing tadi? Ho, apakah Bo toako kepincut dengan tiga puluh ribu pasukan berkuda dari
engkohnya (Su Tiau-gi) itu, lalu hendak berserikat dengan nona itu? Tapi, ah, gerakan besar apa
yang mereka hendak lakukan itu? Apakah Bo toako mencita-citakan hendak menjadi kaisar? Ia
bilang telah mengambil putusan apa saja itu? Apakah mengambil putusan memutuskan
hubungannya dengan nona Sip?
Siapa di luar itu? tiba-tiba terdengar Se-kiat menegur dari dalam ruangan.
Adalah karena ketegangan hatinya tadi maka tubuh Khik-sia sampai tergetar dan tanpa sengaja
telah menyentuh gerendel pintu. Tapi hal itu malah kebenaran karena dengan begitu Se-kiat dan
Tiau-ing mengira kalau ada orang mengetuk pintu dan mereka tak menaruh kecurigaan apa-apa.
Aku, sahut Khik-sia yang dalam itu diam-diam berpikir: Ai, hubungan pria wanita itu
memang sukar dikata. Aku yang sejak lahir sudah ditunangkan pada Yak-bwe, toh masih ruwet
tak
keruan, apalagi dia (Se-kiat) dengan In-nio. Nona Su Tiau-ing tak suka padaku, itu malah
meringankan aku. Perlu apa aku mengurusi dirinya lagi? Tapi Bo toako selama ini selalu
membantu aku, aku tetap harus menganggapnya sebagai seorang kakak. -- Tapi sekalipun sudah
mengambil ketetapan begitu, tak urung nada suaranya masih kedengaran agak gemetar juga.
Sambil membuka pintu, berserulah Se-kiat dengan heran: Oh, kiranya kau. Ada apa? Mau cari
aku atau nona Su?
Dalam pada itu, Se-kiat membatin: Khik-sia anak ini tidak suka plintat-plintut mencuri dengar
pembicaraan orang. Huh, siapa tahu karena agak lama bergaul dengan Tiau-ing, maklum antara
pemuda dan pemudi yang seperjalanan, tentulah timbul rasa apa-apa.
Dengan terus terang Khik-sia menyatakan bahwa ia hendak mencari Tiau-ing.
Apakah aku boleh mendengarkan? Atau perlukah aku menyingkir dulu? Se-kiat paksakan
tertawa.
Tiau-ing juga terkesiap, pikirnya: Selama dalam perjalanan ia selalu kuatir kalau kurayu,
mengapa sekarang hendak mencari aku? Apakah tingkah lakunya dulu itu hanya aksi belaka
padahal hatinya tertarik padaku? Ai, sekarang sudah kasip.
Pertanyaan Se-kiat tadi telah menimbulkan rasa enggan pada Khik-sia, dengan agak tegas ia
berkata: Aku bukannya hendak bicara rahasia, melainkan hendak memberitahu pada nona Su
tentang sebuah hal, habis itu aku segera akan pergi.
Apakah itu? Tiau-ing tersenyum, bilanglah dan tak usah lantas buru-buru pergi.
Khik-sia bercerita: Tadi siang aku telah berjumpa dengan seorang nona penjual silat. Agaknya
ia adalah saudara seperguruanmu.
Seketika berubahlah wajah Tiau-ing, serunya: Orangnya bagaimana? Mengapa kau tahu kalau
saudara seperguruanku?
Khik-sia segera menuturkan pengalamannya siang tadi. Mata Tiau-ing berkeliaran. Rupanya
iapun merasa heran juga. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia: Kalau demikian halnya,
teranglah kalau suci-ku.
Mengapa tak pernah kau singgung? tanya Khik-sia. Tiba-tiba ia merasa Se-kiat
memperhatikan dirinya. Merahlah wajah Khik-sia dibuatnya. Ia merasa menyesal dengan
katakatanya
tadi, pikirnya Mengapa aku begini bodoh menanyakan hal itu? Urusannya kenapa harus
diceritakan padaku? Pertanyaan tadi tentu akan menimbulkan salah paham Bo toako.
Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan suci itu. Hanya kutahu bahwa aku mempunyai
seorang suci tapi aku belum mengenalnya. Itulah makanya aku tak sempat memikirkannya.
Kepada orang yang kupikirkan sudah tentu tak kuberitahukan padamu.
Wajar saja nona itu berbicara sambil tertawa. Pun alasannya tepat sekali. Hal itu menandakan
akrabnya hubungannya dengan Khik-sia. Dan justeru sikap yang dibawakan itu telah berhasil

menolong Khik-sia dari kesulitan.
Jejakku telah ketahuan Yo Bok-lo, harap Bo toako suka meningkatkan kewaspadaan, kata
Khik-sia.
Ya, kutahu, sahut Se-kiat acuh tak acuh.
Khik-sia akan segera pamitan tapi tiba-tiba Tiau-ing masih mengajukan pertanyaan lagi:
Khiksia,
tahukah kau apa sebabnya maka suci-ku itu mengadakan pertandingan cari jodoh?
Bagaimana aku tahu? balas Khik-sia.
Biarlah kutebaknya, Se-kiat tertawa menyela, Nah, begini, jodoh yang hendak dicari oleh
suci-mu itu bukan lain ialah kau sendiri.
Khik-sia tak mengerti dan terkesiap tanya dalam hati: Apa-apaan ini. Masakan sumoay dan
suci mau berjodoh?
Sebaliknya tampak Tiau-ing mengangguk: Benar, memang kupikir juga demikian. Aku tak
kenal padanya, tapi tetap mengenal ilmu silatnya. Ia membuka pertandingan itu sehari di muka
pertandingan Eng-hiong-tay-hwe. Hal itu tentu menggemparkan publik. Lama-lama aku tentu
mendengarkan dan ikut menyaksikan pertandingan itu.
Kini barulah terbuka pikiran Khik-sia, katanya: Oh, kiranya ia menggunakan cara begitu.
Ia tentu berjumpa suhu di tengah jalan dan tahu kalau aku sudah tiba di kota raja. Memang
pintar juga ia itu, gunakan cara begitu untuk memikat perhatianku, kata Tiau-ing.
Habis kalau tidak begitu, tak nanti ia sembarangan mengunjukkan kepandaiannya. Dan
andaikata sudah bertemupun tak nanti kalian saling mengenal. Cara itu memang berbahaya tapi
rasanya tepat sekali, kata Se-kiat.
Sebagai seorang pemuda yang berhati lapang, begitu melihat Se-kiat dan Tiau-ing bercakapcakap
dengan bebas, ia pun segera tak kikuk lagi. Katanya dengan tertawa: Jika ada lelaki yang
dapat mengalahkan dan menagih janjinya, lalu bagaimana jadinya?
Tiau-ing balas tertawa: Jika benar ada pahlawan itu dan ia memang penuju, apa salahnya kalau
ia menikah? Bukankah ini yang disebut main-main jadi sesungguhnya?
Nona itu bertopang dagu seolah-olah seperti ada yang dipikirkan. Kemudian melanjutkan
berkata: Kembali pada persoalan tadi. Kalau toh ia tanpa menghiraukan cemoohan orang telah
menggunakan cara begitu mencari aku, tentulah membawa kabar penting. Ai, ia tak tahu kalau
aku
tak leluasa keluar kemana-mana?
Habis berkata serentak ia berbangkit dan menghampiri kemuka Khik-sia. Di situ ia memberi
hormat kepada si anak muda, katanya: Khik-sia, urusan ini aku hendak minta tolong padamu.
Khik-sia balas memberi hormat dan tertawa: Mengapa kau begitu sungkan kepadaku?
Kau sudah mengetahui suci-ku, maukah kau menolongi memanggilkannya?
Karena dirinya barusan saja diketahui orang, sebenarnya tak leluasa bagi Khik-sia keluar lagi.
Tapi karena ia berdarah mulia suka membantu orang, ketambahan pula sedikit banyak ia sudah
bersahabat baik dengan Tiau-ing, permintaan nona itu tak dapat ditolaknya.
Urusan sekecil itu mengapa perlu memakai kesungkanan yang berkelebihan. Biarlah
kuundangnya kemari, sahut Khik-sia.
Alis Se-kiat tampak mengerut seperti ada yang hendak dikatakan tapi urung. Sebenarnya ia
hendak mencegah Khik-sia jangan keluar lagi, tapi pada lain saat terlintas dalam pikirannya:
Tak
apalah ia pergi lagi. Dengan ginkangnya yang lihay tentulah tak sampai jatuh di tangan musuh.
Berkata Tiau-ing lagi: Suci-ku itu bernama Liong Seng-hiang. Jika bertemu ajaklah ia kemari
saja. Pak tua itu ayah angkatnya, tak perlu diajak kemari.
Khik-sia mengiyakan dan minta diri pada Se-kiat. Se-kiat memesannya supaya berhati-hati.
Bo toako benar menganggap aku sebagai adiknya, pikir Khik-sia dengan perasaan terima
kasih.
Setelah melalui sebuah gunung-gunungan palsu yang terletak di depan rumah itu dan belum lagi
keluar dari halaman belakang situ, samar-samar ia seperti melihat sesosok tubuh bergegas-gegas
mendatangi. Begitu berpapasan, keduanya sama berseru kaget dan sama-sama berhenti. Khik-sia
berteriak memanggil piauko, sedang orang itu berseru piau-te. Kiranya dia adalah Thiat-mo-
lek.
Girang Khik-sia bukan alang-kepalang, katanya: Piauko, kau juga datang kemari. Aku sedang

mengharap-harap kau.
Juga Thiat-mo-lek girang sekali. Tapi setelah memangil piaute-nya tadi, tiba-tiba wajahnya
mengerut gelap, ujarnya: Khik-sia, kabarnya kau datang dengan seorang nona Su. Bukankah ia
itu
puterinya Su Su-beng?
Selebar muka Khik-sia merah padam, sahutnya dengan terkait-kait: Piau-ko, ini, ini .....
Nyata Khik-sia sukar untuk menerangkan. Kata Thiat-mo-lek: Sekarang aku tak punya tempo
mengurusi persoalanmu itu, baiklah untuk sementara jangan dibicarakan dulu. Sekarang
jawablah
dulu pertanyaanku ini. Apakah nona Su itu juga tinggal di sini? Apakah kau barusan datang dari
tempatnya?
Ya, karena ....
Tak usah kau terisak-isak memberi alasan, nanti kita bicarakan lagi dengan tenang. Apakah Bo
Se-kiat juga sedang berada di kamar nona Su itu? kembali Thia-mo-lek menukasnya pula.
Bahwa tiba-tiba Thiat-mo-lek menyebut diri Se-kiat, telah membuat Khik-sia terperanjat heran.
Pikirnya: Mengapa baru datang saja toako lantas tahu tentang Se-kiat dan hendak mencarinya di
kamar Tiau-ing?
Ya, Bo toako memang di sana, sahutnya kemudian.
Tak perlu mengejutkan lain orang, antarkan aku kesana. Aku hendak membicarakan suatu
urusan penting dengan Se-kiat, kata Thiat-mo-lek.
Khik-sia menganggap bahwa telat sedikit untuk mencari suci Tiau-ing, rasanya tak jadi apa.
Begitulah segera ia membawa piauko-nya ke tempat Tiau-ing lagi. Tiba di sana Tiau-ing segera
menegurnya: Hai, Khik-sia, mengapa kau kembali lagi?
Begitu membukai pintu, nona itu segera berhadapan dengan Khik-sia dan Thiat-mo-lek. Tiauing
terkesima. Tidak demikian dengan Se-kiat yang walaupun kedatangan Thiat-mo-lek itu secara
tiba-tiba sekali, namun dengan riang gembira ia segera keluar menyambutnya.
Thiat toako, kebetulan sekali kau datang. Besok pagi adalah hari pertandingan, kukuatir kau
terlambat datang. Ini adalah nona Su. Khik-sia datang bersama-sama dengan nona Su, jadi kita
semua adalah orang sendiri, kata Se-kiat.
Tiau-ing cepat tampil kemuka memberi hormat, ujarnya: Telah lama kudengar kemasyhuran
nama Thiat cecu yang gagah, aku yang rendah Su Tiau-ing menyampaikan hormat.
Thiat-mo-lek tersipu-sipu memberi isyarat agar nona itu jangan kelewat merendah diri.
Sebenarnya setelah perkenalan itu Tiau-ing hendak mengenali Thiat-mo-lek dengan rapat tapi
demi
melihat sikap orang yang begitu keren dan dingin tak berani ia banyak bicara lagi.
Bo hiante, kau adalah Beng-cu, aku ada suatu urusan hendak meminta pertimbanganmu, kata
Thiat-mo-lek.
Ai, Thiat toako, kedudukanku itu adalah berkat mengandalkan kewibawaanmu. Kitakan sudah
seperti saudara, mengapa toako begitu sungkan-sungkan. Harap toako mengatakan dengan
bebas,
kata Se-kiat.
Thiat-mo-lek hanya melirik, tapi tak berkata apa-apa. Se-kiat tahu apa maksudnya dan kembali
menegaskan bahwa Tiau-ing itu adalah orang sendiri.
Baik, nona Su, aku hendak pinjam tempatmu untuk bercakap-cakap sebentar dengan beng-cu.
Kurasa lebih baik kubicara empat mata dengan beng-cu. Khik-sia, kau tak ada urusan,
keluarlah,
kata Thiat-mo-lek.
Walaupun hanya ditujukan pada Khik-sia, tapi jelas bahwa Thiat-mo-lek pun tak menghendaki
Tiau-ing turut hadir di situ.
Rupanya Tiau-ing tahu juga hal itu. Dengan cepat ia berseru: Thiat cecu, kau baru saja tiba,
tentu belum makan. Biarlah kubuatkan hidangan untukmu.
Ah, tak usah repot-repot, sahut Thiat-mo-lek.
Apakah Thiat cecu kuatir aku tak dapat masak enak? Selama dalam perjalanan akupun sering
memasakkan Khik-sia, kata Tiau-ing dengan tertawa.
Thiat-mo-lek cepat berganti nada tegas: Huh, baiklah. Tetapi tak usah masak nasi. Nanti, nati
....
Toh, tak usah membatasi temponya. Aku memerlukan tempo agak lama juga untuk memasak.

Ya, begini sajalah: bila kalian berdua sudah berunding selesai, harap suruh orang ke dapur
memberitahukan padaku. Jika aku sudah siap, tentu segera akan kuhidangkan makanan, tetap
Tiau-ing membantah.
Nona ini benar-benar tangkas dan licin. Ia tetap hendak memegang alasan itu untuk
menyingkir supaya tak kentara, pikir Thiat-mo-lek. Ia segera mengangguk dan selaku
kepantasan
iapun mengucapkan terima kasih atas kesediaan si nona.
Nah, biar kumasakkan teh dulu, segera akan kusuruh orang mengantarkan kemari, kata
Tiauing.
Tatkala berjalan keluar bersama Khik-sia, Tiau-ing leletkan lidahnya dan berkata: Piauko-mu
garang benar, sampai orang sukar untuk meladeninya. Sejak masuk ke dalam ruangan, tak pernah
ia berseri wajahnya.
Sebenarnya ia itu peramah, mungkin karena baru pertama kali berkenalan, maka kau anggap ia
itu sukar diajak bergaul, sahut Khik-sia.
Ai, untunglah aku juga tak berminat bergaul padanya. Khik-sia, aku tetap meminta bantuanmu
untuk mencarikan suci-ku itu. Hm, hari sudah larut, kata Tiau-ing.
Ya, segera akan kucari jejak suci-mu itu, sahut Khik-sia.
Khik-sia menduga kebanyakan nona penjual silat itu tentu sudah pergi dari lapangan. Tapi
untuk menyirapi jejaknya, terpaksa ia harus pergi ke lapangan itu juga. Saat itu ia membelok dan
menyusuri sebuah gang kecil. Dalam pada itu pikirannya mengenangkan akan peristiwa yang
dialaminya hari itu. Segala sesuatu sungguh di luar dugaannya. Pikir punya pikir, tibalah ia pada
adegan tentang sikap Thiat-mo-lek terhadap Tiau-ing tadi, katanya dalam hati: Menurut pribadi
piauko, biasanya ia tak bersikap begitu dingin terhadap seorang kenalan baru. Huh, mungkin
piauko juga menganggap nona itu sebagai wanita siluman. Untung aku tak punya sedikit
hubungan
kasih dengan Tiau-ing. Pelahan-lahan nanti piauko tentu mengetahui keadaanku yang
sebenarnya.
Tapi bagaimana sikap piauko bila mengetahui bahwa pemuda yang dipenujui Tiau-ing bukan
aku melainkan Se-kiat? Piauko tentu sungkan mendamprat Bo toako. Paling-paling ia hanya
dapat
mengasihani nasib nona sip saja, demikian Khik-sia masih terbenam dalam dugaannya. Tetapi
adakah Thiat piauko-nya itu betul-betul akan merasa kasihan kepada In-nio atau tidak, ia sendiri
tak
tahu. Hanya yang terang ia memang turut bersedih dengan nasib yang diderita In-nio itu.
Selagi ia melamun, tiba-tiba dari sebuah gang kecil yang terletak di samping jalan menerobos
keluar seorang lelaki. Malah orang itu lantas memanggilnya dengan berbisik, Toan hiantit,
kaukah?
Kala itu haripun sudah gelap. Di gang situ tiada tampak seorangpun lagi. Dari sinar lampu
rumah-rumah yang berada di kedua tepi gang itu, tampak bahwa orang yang menegur Khik-sia
itu
seorang persilatan dari pertengahan umur yang mengenakan jubah hijau, berjenggot panjang dan
mendukung sebuah yok-long atau kantong obat.
Demi mengetahui siapa orang itu, girang Khik-sia tak terperikan, serunya: Oh, paman To, kau
juga datang kemari? Tapi mengapa tak mengambil jalan besar?
Ya, memang itu bukan lain adalah Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing, sahabat karib dari
mendiang ayah Khik-sia.
Sahut Peh-ing: Di jalan besar yang menuju ke lapangan Swan-bu-bun itu penuh dengan
tentara, entah ada apa. Maka akupun terpaksa mengambil jalan kecil ini.
Khik-sia terperanjat kaget, pikirnya: Jalan kecil ini tak dapat sampai ke sana. Kemanakah aku
akan mencari berita?
Ternyata keterangan yang diberikan To Peh-ing itu masih ada lagi. Bahkan berita yang kedua
itu lebih mengejutkan Khik-sia lagi dari keterangan yang pertama tadi. Belum lagi Khik-sia
menceritakan tentang keadaan dirinya, Peh-ing sudah mendahului bertanya: Bukankah kau tadi
dari kebun bunga gedung keluarga Kau?
Gedung keluarga Kau adalah sandi nama dari pos rahasia yang dipondoki Khik-sia itu. Maka
Khik-sia telah mengangguk.
Waktu kau keluar, apakah piauko-mu sudah tiba di sana? cepat Peh-ing menanya pula dengan
wajah kecemasan.

Sudah, saat ini ia sedan berunding dengan Bo toako, sahut Khik-sia.
Apakah kau sudah berjumpa padanya?
Sudah, jawab Khik-sia.
Apakah piauko-mu yang menyuruh kau keluar ini?
Bukan, aku sendiri ada sedikit urusan.
Mendengar jawaban itu gemetarlah tubuh Peh-ing. Katanya dengan gugup: Mengapa kau tak
menemani piauko-mu? Lekas balik, lekas balik! Betapa penting urusanmu itu juga harus kau
pertangguhkan juga!
Khik-sia terlongong-longong keheranan, ujarnya: Paman To, kau kuatir di sana kita akan
ketahuan? Tidak, tentara negeri ....
Aku bukannya menguatirkan tentara negeri mengetahui tempat persembunyian kita itu.
Ketahuilah, musuh dari luar mudah dihadapi tapi pengkhianat dari dalam sukar diketahui!
Kejut Khik-sia bukan alang-kepalang. Paman To, apa maksudmu? tanyanya serentak.
To Pek-ing banting-banting kakinya berseru: Singkat saja kuberitahukan padamu, aku kuatir
kalau piauko-mu dicelakai Bo Se-kiat!
Seperti halilintar menyambar di tengah hari, saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak. Jika
bukan To Peh-ing yang mengatakan, ia tentu sudah mendampratnya habis-habisan.
Mengapa Bo toako berbuat begitu? tanyanya tak habis mengerti.
Hati orang sukar diduga. Dan lagi sekalipun Se-kiat tak mau turunkan tangan jahatnya, namun
dapat juga ia lakukan secara menggelap, kata Peh-ing.
Khik-sia menaruh perindahan sekali kepada Se-kiat. Meskipun yang mengatakan itu adalah
sahbat baik dari mendiang ayahnya, tetapi ia tak mau lekas-lekas mempercayainya.
Memang dua harimau sukar hidup rukun. Piauko-mu itu seorang jantan yang jujur dan tegas,
bukan mustahil Se-kiat dengki kepadanya. Karena meskipun Se-kiat itu seorang beng-cu yang
ditaati seluruh kaum lok-lim, tetapi pada hakekatnya tak memadai piauko-mu itu.
Khik-sia merenung dalam, pikirnya: Hm, jangan-jangan orang tua ini menggunakan ukuran
siau-jin (orang rendah) untuk mengukur seorang kun-cu (gentleman).
Namun tak berani Khik-sia mengatakan perasaannya itu kepada Peh-ing. Berkata pula jago tua
itu: Bo Se-kiat itu seorang yang ambisius (gila pangkat) sekali. Memang biasanya ia
mengindahkan sekali kepada piauko-mu tapi dikuatirkan apabila sudah tiba saatnya, ia tentu tak
segan lagi untuk membasmi orang.
Apakah piauko-ku mempunyai bentrokan tajam dengan dia? tanya Khik-sia.
Yang kuketahui, piauko-mu telah bergegas-gegas datang kemari karena perlu mencegah Sekiat
dalam suatu hal yang hendak dikerjakannya, sahut Peh-ing. Selanjutnya ia menyatakan
sayang ia tak tahu tindakan apa yang hendak dilakukan Se-kiat itu: Tetapi yang nyata hal itu
mengenai urusan besar dan sekarang tak ada waktu bicara banyak-banyak lagi.
Segera Khik-sia teringat betapa sikap piauko-nya yang tampak begitu tegang ketika berhadapan
dengan Se-kiat tadi. Diam-diam ia berdebar juga. Sekalipun saat itu masih belum mau
mempercayai sama sekali akan keterangan To Peh-ing, namun Thait-mo-lek itu adalah satu-
satunya
familinya di dunia. Kalau tak sungguh, masakan seorang tua macam Peh-ing mau bicara begitu
sungguh-sungguh. Serentak ia menjadi gelisah dan mengatakan kalau hendak balik menengok
keadaan piauko-nya.
Bagus, gin-kangmu lebih cepat dari aku, lekaslah pulang. Kuharap di sana belum terjadi
sesuatu, sahut Peh-ing.
Dengan serempak, larilah Khik-sia pulang. Ketika hampir tiba, timbullah pikirannya: Urusan
ini belum tentu benar tidaknya, aku tak boleh gegabah sehingga ditertawai orang. Mereka berdua
tengah berunding di kamar rahasia, lain orang tak boleh mengganggu. Baiklah aku bersembunyi
di
tempat gelap untuk melindungi piauko secara diam-diam.
Setelah mengambil ketetapan, ia tak mau masuk dari pintu besar melainkan lompati tembok
belakang dan masuk dari belakang kebun. Rumah atau paviliun yang ditempati Tiau-ing itu
terletak
di sudut kebun belakang. Di sebelahnya kebetulan tumbuh sebatang pohon yang lebat daunnya.
Dengan gin-kangnya yang lihay dengan mudah dapatlah Khik-sia loncat ke atas dahannya yang

tinggi. Dari situ melongok melalui jendela, dapatlah ia melihat keadaan dalam kamar itu dengan
jelas.
Ternyata di dalam ruangan itu tampak Thiat-mo-lek sedang berdebat dengan Se-kiat. Dengan
memanggul kedua tangannya Thiat-mo-lek berjalan mondar-mandir. Tahulah Khik-sia kalau hal
itu
merupakan adat kebiasaan sang piauko di kala memikirkan suatu persoalan yang penting.
Tiba-tiba dilihatnya sang piauko maju ke hadapan Se-kiat dan berseru keras: Tidak bisa!
Se-kiat terkesiap sejenak lalu bertanya: Mengapa tidak? Ini adalah suatu kesempatan yang
jarang terjadi, mengapa harus disia-siakan? Aku sudah mempersiapkan semuanya!
Kau kira dengan mengirim sepasukan anak buah kita untuk menyerang istana, kita lantas
berhasil menangkap kaisar itu? balas Thiat-mo-lek.
Se-kiat tertawa: Besok pagi Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang sudah akan dimulai.
Pasukan Gi-lim-kun (pengawal raja) dan si-wi (pengawal istana) kebanyakan tentu menjaga
keamanan. Dengan begitu penjagaan di istana tentu berkurang. Sekali bergerak dan berhasil,
bukankah suatu hal yang mengherankan.
Aku pernah menjabat si-wi di istana. Istana mempunyai sembilan buah pintu besar, setiap
pintu selalu dijaga oleh lima puluh orang si-wi. Tak nanti penjagaan itu dikurangi. Selain itu
masih
ada sebuah regu barisan panah yang selalu meronda. Berapakah jumlahnya orang yang hendak
kau
kirim untuk menyerang istana itu? Memang teorinya saja mudah. Dan lagi ....
Ha, ha, Thiat toako, Se-kiat memutus omongan orang dengan menertawakannya, anak buah
yang kukirim ke istana itu mempunyai kegunaan istimewa. Dapat menerobos masuk dan
menangkap raja Li Heng hidup-hidup, itulah memang yang kuharap. Tapi seandainya tak dapat,
tetap kita masih berhasil. Masakan kau tak ingat akan siasat sekali tepuk mendapat beberapa?
Thiat-mo-lek kerutkan alisnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi baru sang mulut
bergerak sudah dihentikan lagi. apa siasat 'sekali tepuk mendapat beberapa' itu? Sukalah
menyebutkan, katanya sesaat kemudian.
Sekalipun tak dapat menawan Li Heng, tapi sekurang-kurangnya kita dapat menghilangkan
Cin Siang. Sebenarnya Kaisar Li Heng tak setuju dengan tindakan Cin Siang mengadakan
Enghiong
-tay-hwe dengan mengundang tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru itu. Tetapi di
hadapan kaisar, Cin Siang telah memberi jaminan, bahwa jika sampai terjadi apa-apa, ialah yang
akan menanggungnya. Dari hasil Eng-hiong-tay-hwe itu ia berharap dapat memilih jago-jago
untuk
memperkuat pasukannya Gi-lim-kun guna menghadapi panglima-panglima perbatasan. Itulah
sebabnya maka akhirnya iapun menyetujui juga rencana Cin Siang. Dengan tindakan kita itu,
paling tidak Li Heng tentu kana ketakutan setengah mati. Setelah itu, ia tentu akan meminta
pertanggungan jawab dari Cin Siang. Kedudukan sebagai pemimpin Gi-lim-kun, pasti tak dapat
dipertahankan oleh Cin Siang lagi, demikian Se-kiat panjang lebar menguraikan rencananya.
Kembali Thiat-mo-lek kerutkan alisnya, berkata: Justeru aku adalah orang yang tak mau
berbuat hal yang mencelakai seorang sahabat! Di kala Cin Siang mendapat tugas bersama
pasukan
Gwe-thiok-lam dari Tian Seng-su menggempur Kim-ke-nia, jika ia tidak secara diam-diam
membantu pihak kita, mungkin kita tak dapat lolos lagi. Mengapa kita membalas budi orang
dengan air tuba?
Se-kiat tertawa: Toako, untuk melakukan pekerjaan besar masakan harus mengingat urusan
persahabatan lagi? Toako, kau berpribudi seperti kaum wanita!
Baik, anggap saja Cin Siang itu bukan seorang sahabat. Tapi masakan kita tak memikirkan
kepentingan orang kita sendiri? Regu yang kau kirim ke istana itu, jumlahnya tentu tak dapat
kelewat banyak. Di bawah hujan panah dari pasukan panah istana, apakah kau pikir dapat
meloloskan diri? balas Thiat-mo-lek dengan suara berat.
Se-kiat mengangkat bahunya: Toako, jika hendak menggoncangkan dunia, apa artinya kalau
hanya kehilangan beberapa jiwa saja?
Se-kiat, kulihat hatimu sekeras baja, sayang aku tak punya cita-cita untuk 'memburu rusa'
(tinggi). Kurasa lebih baik berbuat menurut kehendak alam saja, membasmi kejahatan untuk
mengamankan rakyat kiranya sudah cukup. Perlu apa kita mengharapkan kedudukan raja! kata
Thiat-mo-lek.

Sucou-ku Hong Jiam-kek telah mengalah pada Li Si-bin. Karena sekarang kerajaan Tong
menjadi bu-to (lalim), panglima-panglima saling berebut daerah kekuasaan, rakyat hidup dalam
kegelisahan, rasanya sudahlah tiba saatnya aku harus merebut kembali bumi yang telah diberikan
kepada Li Si-bin oleh sucou-ku itu!
Kata-kata terakhir dari Se-kiat itu telah membuat Thiat-mo-lek bungkam. Rupanya dalam
urusan itu, ia tak dapat mengambil keputusan yang positif. Kini tertawalah Se-kiat, serunya:
Toako, tak usah bersangsi. Dalam rencanaku menyerang istana kali ini, akuun belum perlu
memakai orang-orangmu. Cukup kugerakkan anak buahnya Kay Thian-hay saja. Yang kuminta,
janganlah kau coba mencegahnya hingga dapat mempengaruhi moral tentara kami!
Wajah Thiat-mo-lek mengerut gelap, ujarnya: Kita telah mengangkat saudara, mengapa kau
adakan garis pemisahan begitu? Aku hanya hendak memperingatkan, layakkah kita lakukan
gerakan itu?
Kalau menurut toako bagaimana, layak atau tidak? Se-kiat mengembalikan pertanyaan.
Se-kiat, biarlah kutanya padamu lebih dahulu. Tadi kau katakan bahwa kau telah mengatur
pengunduran diri apabila pasukanmu itu gagal. Bagaimanakah jalannya? tanya Thiat-mo-lek
pula.
Se-kiat tampak meragu, tapi pada lain saat segera ia menerangkan: Toako, aku tak mau
merahasiakan apa-apa kepadamu. Aku telah berunding dengan nona Su, setelah menyerang
istana,
kita segera akan tinggalkan kota Tiang-an ini. Sisa anak tentara engkohnya berada di darah suku
Ki.
Kesanalah kita akan mengundurkan diri.
Jadi kau hendak berserikat dengan Su Tiau-gi? tanya Thiat-mo-lek. Nadanya sudah mulai
berubah.
Se-kiat tertawa: Thiat toako, rupanya kau juga memandang rendah pada pribadiku. Masakan
aku suka berserikat dengan dia?
Bukankah kau hendak mundur ke sana? Apakah ini bukan berarti mencari perlindungan
padanya?
Aku akan melenyapkan Su Tiau-gi dan menguasai pasukannya berkuda yang berjumlah tiga
puluh ribu! Meskipun nona Su dan Su Tiau-gi bersaudara, tapi mereka tidak takut. Dalam hal ini
nona Su telah menyanggupi padaku. Setelah mendapatkan anak pasukan Su Tiau-gi, kita lantas
berserikat dengan suku Ki. Dengan begitu kita dapat menciptakan siasat 'dapat maju menyerang,
dapat mundur bertahan.' Turut hematku, tak sampai sepuluh tahun lagi, kita pasti berhasil.
Se-kiat, kau memang pandai tapi satu waktupun limbung juga, sahut Thiat-mo-lek.
Mengapa limbung? Toako, menurut pandanganmu tak seharusnyakah aku memberontak?
tanya Se-kiat.
Sahut Thiat-mo-lek pula: Dahulu ketika aku menjabat si-wi, hampir saja aku dicelakai kaisar.
Dari situ aku mendapat kesan, bahwa raja tidak punya liang-sim (peri kebajikan). Kau hendak
berusaha mengganti seorang raja baru, sebenarnya hal itu bukan berarti memberontak.
Itulah! seru Se-kiat, Kalau begitu mengapa kau tak mau menjadi teman perjuanganku?
Karena aku harus melihat dahulu bagaimana dengan gerakan memberontak itu. Tiga puluh
ribu pasukan berkuda dari Su Taiu-gi itu, sembilan puluh persen adalah suku Oh. Suku Ki itu
adalah termasuk jenis suku Artar. Dalam seratus tahun yang terakhir ini, suku Tho-kwat (Artar)
menjadi musuh besar dari Tiongkok. Apakah kau tak tahu? Ketika timbul huru-hara dari An
Loksan
dan Su Khik-hwat, kaisar Hian Cong yang tergila-gila pada selirnya Yang Kui-hui (Nyo Kuihui),
telah memakai lagi kawanan dorna Nyo Kok-tiong. Rajanya buto (lalim), pemerintahannya
bobrok akibatnya rakyatlah yang harus memikul penderitaan besar. Ketika An dan Su
mengadakan
gerakan berontak, sekalipun tahu kalau kaisarnya begitu bejat, toh rakyat tetap suka membantu
pemerintah (raja Hian Cong) untuk melawan pemberontak itu. Tahukah kau apa sebabnya? Jika
sekarang kau mau menggunakan orang Oh guna merebut negara, dikuatirkan belum-belum sudah
tak mendapat simpati rakyat kita. Se-kiat, kau adalah seorang yang cerdik. Coba kau pikir-pikir
lagi!
Suku Oh adalah sebuah suku yang tinggal di bagian utara. Dahulu disebut suku Pak-tek.
Mendengar itu tertawalah Se-kiat dengan lepasnya sehingga suaranya sampai menggetarkan
genteng rumah.

Hiante, mengapa kau tertawa? tanya Thiat-mo-lek dengan keheranan.
Toako, kau hanya tahu satu tapi tak tahu yang kedua. Memang An Lok-san itu sendiri adalah
orang Oh. Ia tak punya kepintaran apa-apa tapi mau gegabah merebut tahta kerajaan. Kalau
gagal,
itulah sudah jamak. Sebaliknya aku sekarang mempunyai saudara-saudara lok-lim. Dan aku
sama
sekali bukang mengandalkan orang Oh, melainkan untuk sementara meminjam tenaga mereka.
Begitu kekuasaan sudah beralih ke tanganku, mengapa kuatir akan mereka? Rencanaku ini jauh
bedanya dengan tindakan An Lok-san!
Tetap Thiat-mo-lek menyanggahnya: Meskipun demikian, memukul Tiongkok dengan tentara
asing, tetap tak sesuai!
Toako, ucapanmu ini agak salah. Meminjam serdadu asing untuk memukul dan orang asing
memukul Tiongkok, adalah dua buah hal yang berlainan. Rasanya kau tentu paham dengan
sejarah
kerajaan Tong ini. Dahulu ketika Li Si-bin memulai gerakannya di Thay-goan, pernah mengirim
Lau Bun-cing untuk menyerahkan surat pada Tho-kwat Khan (raja suku Artar) yang isinya
menyatakan bahwa apabila gerakannya berhasil, Khan pun akan diberi bagian. Itulah sebabnya
maka suku Tho-kwat suka membantu dan akhirnya berhasillah Li Si-bin menjadi raja.
Kemudian tentang kejadian yang terakhir. Ketika memadamkan pemberontakan An Lok-san
dan Su Khik-hwat, raja Tong pun meminjam tentara Hwe-hap lalu bersama dengan para jenderal
Kwe Cu-gi dan Li Kong-bik, mengadakan serangan balasan. Akhirnya barulah ia dapat merebut
kembali kota raja Tiang-an, Lok-yang. Apa yang kurencanakan sekarang, Li Si-bin dan Li Heng
pun sudah pernah menjalankan juga. Kalau mereka dapat menjadi raja, masakan aku tak boleh?
panjang lebar Se-kiat mengadakan pembelaan.
Tidak boleh! Kukatakan, kaupun hanya tahu satu tak tahu yang kedua! bentak Thiat-mo-lek.
Berubahlah seketika wajah Se-kiat namun ia coba tindas kemarahannya: Toako mempunyai
pendapat apa?
Jawab Thiat-mo-lek: Karena meminjam tentara Tho-kwat itu, maka berpuluh-puluh tahun
lamanya rakyat Tiongkok tersiksa batinnya, hingga sampai sekarang tetap rakyat menganggap
mereka itu sebagai suatu pasilan (penyakit). Syukur Li Si-bin itu seorang junjungan yang gagah
perwira sehingga dengan kewibawaannya dapatlah ia menindas bangsa Tho-kwat itu tak sampai
merebut kerajaan. Sekalipun begitu, tak urung di perbatasan masih sering kali mendapat
gangguan
mereka. Baginda Li Yen pernah mempertimbangkan untuk memindahkan kota raja. Sejak itu
hingga tahun ketiga dari Ceng Koan (merk kerajaan), Li Si-bin telah mengutus Li Ceng
menyerang
Tho-kwat, dengan demikian barulah persengketaan perbatasan itu untuk sementara menjadi reda.
Tetapi kedua pihak sama-sama menderita kerusakan besar. Kemudian setelah baginda Li Si-bin
meninggal, pihak Tho -kwat kembali mengganggu perbatasan lagi hingga sampai sekarang. Pada
hakekatnya kesemuanya itu terjadi dari hal mulanya. Meskipun Li Si-bin itu seorang gagah
perwira
tetapi karena ia meminjam tenaga asing (Tho-kwat), aku tetap menyalahkan dia!
Thiat-molek berhenti sejenak, memandang Se-kiat lalu berkata pula: Mengenai sejarah yang
terakhir yakni kerajaan Tong meminjam tentara Hwe-hap untuk memadamkan pemberontakan
An
Lok-san dan Su Khik-hwat, kuanggap lebih celaka lagi. Tentara Hwe-hap itu menduduki Tiang-
an
dan Lok-yang, membakar dan membunuh. Berpuluh-puluh ribu rakyat menjadi korban,
rumahrumah
mereka menjadi api. Maka meskipun kerajaan Tong mendapatkan kembali kedua kota itu,
namun yang diperolehnya hanyalah dua buah kota dari runtuhan puing!
Se-kiat tak mengira Thiat-mo-lek bukan saja seorang ahli sejarah pun seoran kritikus sejarah
yang tajam. Diam-diam Se-kiat surut semangatnya dan tak dapat membantah lagi. Tapi ia
seorang
pemuda yang ambisius sekali. Walaupun apa yang dikatakan Thiat-mo-lek itu merupakan fakta
sejarah, namun tetap ia berontak hatinya, pikirnya: Apakah bahaya itu benar-benar akan
menimpa
rakyat, itulah soal kelak. Mungkin tidak demikian. Meskipun Li Si-bin telah melakukan set
(tindakan) yang salah, namun ia tetap terpuja sebagai seorang pahlawan besar dari jamannya.
Dapat
melakukan suatu sejarah seperti Li Si-bin, juga hebat sekali. -- Hatinya bimbang, sesaat tak
dapat
mengambil putusan.
Setelah menguraikan panjang lebar, mulut Thiat-mo-lek merasa kering. Ia menjemput cawan
teh terus diteguknya. Tiba-tiba cawan itu dibantingnya dan berteriak: Se-kiat, kau, kau,
mengapa

berbuat sekeji ini?
Cawan pecah berhamburan sehingga Se-kiat melonjak kaget dan berseru dengan nada tertahan:
Toako, kau, kau bilang apa?
Kata-kata Se-kiat itu telah diputuskan oleh suara kaca jendela yang hancur berantakan dan
tahutahu
Khik-sia menerobos masuk. Tanpa bilang ba atau bu, anak muda itu lantas menusuk Se-kiat.
Yang tersebut belakangan ini menghindar ke samping dan hanya lengan bajunya saja yang kena
tertembus. Untung ia cepat-cepat tarik mundur tangannya hingga tak sampai terluka. Tapi
laksana
banteng mengamuk, Khik-sia kembali menyerang dengan pedangnya lagi.
Khik-sia, dengarlah bicaraku! teriak Se-kiat kembali menghindar ke samping.
Tapi mana Khik-sia mau mendengar lagi. Kembali ia mengirim serangan yang ketiga. Se-kiat
buru-buru mengangkat meja untuk dihadangkan. Brak, meja itu segera terbelah menjadi dua oleh
pokiam Khik-sia. Sebenarnya Se-kiat juga membekal pednag, tapi ia tak mau mencabutnya. Ia
hanya menghindar saja dari serangan Khik-sia yang ganas itu.
Khik-sia berhenti! Kau mau berhenti atau tidak?! teriak Thiat-mo-lek.
Dengan mata merah berapi-api Khik-sia deliki Se-kiat, sahutnya: Apakah toako masih suruh
aku mengaku, mengakui manusia berhati .....
Sebenarnya Khik-sia hendak mencaci 'manusia berhati binatang', tapi sudah keburu dibentak
oleh Thiat-mo-lek: Tutup mulutmu!
Khik-sia tak berani buka suara lagi. Ia berganti memandang sang toako dengan tak mengerti.
Jilid 11
Jika Bo toako bilang bukan dia yang menurunkan tangan jahat, itu tentu benar! kata Thiatmo-
lek. Pada waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, nadanya sudah berubah parau,
menandakan bahwa racun telah bekerja. Ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan
lwekangnya.
Mendengar bahwa Thiat-mo-lek mengatakan bukan dia yang meracuni, wajah Se-kiat agak
berseri, pikirnya: Ah, tak kira kalau Thiat toako masih mempercayai aku!
Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dan masuklah Tiau-ing ke dalam ruangan. Dengan
tertawa mengikik nona itu berseru: Thiat cecu, kau benar-benar pandai melihat orang. Memang
bukan Se-kiat tetapi akulah yang menaruh racun itu!
Kata-kata itu bagaikan halilintar memecah bumi di siang bolong. Khik-sia sampai kaget
terlongong-longong.
Tiau-ing, kau .... seru Se-kiat dengan gemetar.
Seorang jantan harus mempunyai ketetapan. Jika sekarang tak kau lenyapkan Thiat-mo-lek,
kelak tentu bakal merupakan bahaya besar! sahut Tiau-ing dengan tegas.
Tutup mulutmu! bentak Se-kiat.
Tiau-ing tertawa mengejek: Menangkap harimau mudah, melepaskannya sukar. Kau mau
menjadi raja, mengapa pusingkan urusan persaudaraan? Jika kau tak mendengarkan kataku,
menyesal kelak tak berguna!
Saat itu pikiran Khik-sia sudah sadar. Segera berkobarlah amarahnya. Tapi ketika ia hendak
bertindak menyerang Tiau-ing, tiba-tiba didengarnya derap kaki mendatangi. Ia cepat berpaling
dan
menampak empat orang tak dikenal yang dilihatnya tadi. Kiranya mereka itu adalah pengawal
dari
Bo Jong-long di pulau Hu-siang-to (ayah Bo Se-kiat). Setelah mendapat kedudukan di Tiong-
goan,
barulah Bo Se-kiat memanggil keempat orangnya itu.
Terkilas dalam pikiran Khik-sia bahwa saat itu piauko-nya sedang keracunan, maka iapun tak
berani bertindak gegabah. Dengan pedang di tangan ia siap mengawal di samping Thiat-mo-lek.
Pikirnya: Mati atau hidup, semuanya tergantung pada Bo Se-kiat! Hm, jika ia berani bertindak
aku
tentu akan mengadu jiwa. Lebih dulu akan kubunuh perempuan hina itu!
Memang dalam hal ilmu silat, Se-kiat lebih tinggi sedikit dari Khik-sia. Apalagi ditambah
dengan keempat pengawalnya itu serta Tiau-ing. Jika Se-kiat benar-benar mau berbalik muka,
jangankan hendak melindungi jiwa sang piauko, sedang jiwanya sendiripun sukar dipastikan.

Wajah Se-kiat berubah-rubah tak berketentuan. Rupanya terbit pertentangan dalam batinnya.
Sementara Khik-sia sambil mecekal pokiamnya dengan tangan yang basah keringat, matanya tak
berkesiap memandang ke arah Se-kiat. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba mata Se-kiat
terbeliak lalu berseru keras: Siapa yang suruh kalian datang kemari, hai! Lekas pergi!
Keempat pengawal itupun saling berpandangan dan terpaksa ngeloyor pergi.
Se-kiat apakah kau tak mengetahui bahwa orang yang berhati kecil itu bukan seorang ksatria,
yang tak ganas bukan seorang jantan! seru Tiau-ing.
Sebaliknya mengimbangi, dengan tegas Se-kiat membentaknya: Ambil obat penawarnya!
Apa? teriak Tiau-ing.
Berikan obat penawarnya padaku. Kalau tidak, hubungan kita putus sampai di sini! sahut
Sekiat.
Tiau-ing menghela napas. Dikeluarkannya obat penawar, ujarnya: Se-kiat, tak mengapa
kuberikan obat ini, tapi kukuatir kau bakal kehilangan lagi bumi yang sudah berada di
tanganmu!
Se-kiat berseru nyaring: Bumi tetap akan kuambil. Tetapi seorang ksatria harus
mengambilnya dengan cara gemilang. Aku tak mau mengkhianati saudara angkat!
Segera ia menyambuti obat dari Tiau-ing terus diberikan kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: Thiat
toako, sejak saat ini kita ambil jalan sendiri-sendiri. Aku akan membawa orang-orangku keluar
dan
kau jangan mengurusi aku lagi!
Apakah kau tetap hendak menyerang istana? masih Thiat-mo-lek bertanya.
Dengan memandang mukamu, kubatalkan rencanaku itu. Malam ini aku bersama nona Su
hendak tinggalkan kota raja, sahut Se-kiat. Tentang bagaimana kejadiannya besok, biarlah kita
masing-masing ambil jalan sendiri. Toako, mengingat tali persaudaraan kita, terimalah hormat
perpisahan dari siaute!
Tahu bahwa orang sudah tetap putusannya, Thiat-mo-lek pun tak mau mencegahnya lagi.
Dengan berlinang air mata, ia membalas hormat, sahutnya: Se-kiat, harap kau baik-baik
menjaga
diri!
Se-kiat berpaling dan berkata kepada Tiau-ing: Nona Su, maaf tadi aku tak mau menurut kau.
Apakah kau masih suka bersama-sama aku?
Tiau-ing menghela napas, ujarnya: Kita adalah ibarat anai-anai (rayap) di dalam lubang, harus
tetap bersama-sama. Baik berhasil maupun gagal, biarlah kita bersama-sama mengenyam
kebahagiaan dan kesukaran!
Tergetar hati Khik-sia tapi tak tahu perasaan apa yang dikandungnya benci atau sayang. Tiauing
pun segera mengikuti Se-kiat yang dengan pelahan-lahan berjalan lewat di sisi Khik-sia.
Thiat-mo-lek seperti orang yang baru sadar dari impiannya. Beberapa jenak kemudian barulah
ia kedengaran berkata: Se-kiat belum hilang nuraninya sama sekali. Sayang dalam
kecerdikannya
itu, satu waktu ia limbung.
Habis berkata ia lantas hendak mengambil obat penawar, tapi cepat Khik-sia mencegahnya:
Toako, apakah kau tak curiga perempuan siluman itu main gila?
Adalah yang pertama kali itu Khik-sia mengucap kata 'wanita siluman'. Ia sendiri merasa tak
enak mendengarnya. Teringat akan kejadian yang lampau, diam-diamia merasa berduka juga.
Jangan kuatir. Sejak ini nona Su itu akan bersandar pada Se-kiat, sudah tentu ia tak berani
memberi obat palsu padaku, sahut Thiat-mo-lek yang terus menelan obat itu. Sambil tertawa-
tawa,
ia berkata pula: Kesudahan begini ada baiknya juga. Aku seperti melepaskan beban sebuah batu
yang menindih hatiku. Beberapa waktu yang lalu, kudengar kau bergalang-gulung dengan nona
Su
itu. Kucemas jangan-jangan kau terpikat olehnya. Sayang nona Su itu dilahirkan sebagai wanita,
coba tidak, tentu akan menjadi seorang benggolan pengacau negara yang nomor wahid. Se-kiat
cocok berpasangan dengannya, tetapi kau tidak sembabat!
Wajah Khik-sia merah, bisiknya: Masakan aku dapat terpikat olehnya? -- Sekalipun mulut
mengatakan begitu, namun dalam hati ia mengakui bahwa syukur dirinya dapat lolos dari lubang
jarum rayuan Tiau-ing.
Lwekang Thiat-mo-lek sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Keracunan itu tak nanti dapat
membinasakan jiwanya, melainkan hanya memerlukan beristirahat sementara akan sudah
sembuh.

Apalagi kini ia minum obat penawar. Dalam beberapa detik setelah banyak mengeluarkan
keringat,
racun itu turut mengalir keluar dan sembuhlah dia.
Kala itu tengah malam. Tib-tiba terdengar derap kaki berlarian datang. Thiat-mo-lek kerutkan
alis. Heran ia mengapa pada saat begitu malam ada orang berani datang ke kamar wanita.
Ternyata Kim-kiam-cang-long Toh Pek-ing. Ia mendorong pintu dengan tergopoh-gopoh:
Thiat cecu, kau tak kena apa-apa?
Toh-sioksiok, bukankah aku segar bugar, mengapa kau begitu gelisah? Mari kita keluar
omong-omong. Kita berdua melanggar kesopanan, Thiat-mo-lek tertawa.
Kiranya walaupun mereka itu kaum persilatan, tapi tetap memegang teguh adat peraturan
tentang pria-wanita. Pada petang hari, wanita dan pria itu harus terpisah tempatnya. Tapi
sekarang
Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing justeru berada di kamar Su Tiau-ing.
Waktu tiba kemari, kulihat belasan penunggang kuda lari keluar. Kukenal mereka anak buah
Bo Se-kiat, tapi anehnya mereka tak menegur-sapa padaku. Kukira tentu terjadi sesuatu, maka
tanpa menghiraukan peraturan lagi terus masuk kemari. Mana Se-kiat? seru Toh Peh-ing.
Dia pun sudah lari. Mari kita omong-omong di luar, kata Khik-sia sembari membawa
Thiatmo-
lek dan Toh Peh-ing ke kamarnya sendiri.
Berbahaya, berbahaya! begitu pintu ditutup, Toh Peh-ing menghela napas.
Toh-sioksiok, Se-kiat tidak seburuk yang kau duga. Apalagi kejadian sudah lewat. Khik-sia,
kaupun jangan memakinya lagi, kata Thiat-mo-lek.
Melirik sejenak pada Thiat-mo-lek, Peh-ing berseru: Thiat cecu, bukankah bangsat Se-kiat
telah meracuni kau?
Toh-sioksiok, tak kecewa kau mendapat gelaran Kim-kiam-ceng-long. Ilmu ketabibanmu
sungguh mengagumkan orang! Kau dapat melihat aku kena keracunan tapi masakan tak dapat
melihat bahwa aku sudah sembuh?
Toh Peh-ing heran, mengapa Se-kiat meracuni dan memberi obat penawar pula? Thiat-mo-lek
segera menuturkan apa yang terjadi tadi.
Aku tak mengatakan kalau Bo Se-kiat sudah tak punya nurani lagi. Dia sebagai pemimpin
Lok-lim, tapi galang-gulung dengan seorang wanita siluman, tentu akan mendatangkan bahaya
bagi
saudara-saudara Lok-lim. Thiat ce-cu, masih ingatkah ketika pertandingan di gunung Kim-ke-nia
tempo hari? Kunasehatkan jangan kau mengalah pada Se-kiat, sayang kau tak mendengar kata.
Thiat-mo-lek terdiam beberapa saat. Akhirnya ia menghela napas: Dalam hal kecerdikan, Sekiat
sepuluh kali lebih pintar dari aku. Sayang dia ambisius dan angkara murka.
Karena di luar jendela hari sudah mulai terang, maka Toh Peh-ing berkata: Hari sudah terang
tanah. Thiat-cecu, kau jadi datang ke pertandingan atau tidak?
Mengapa Toh-sioksiok bertanya begitu?
Aku merasa sedikit cemas.
Waktu Thiat-mo-lek menanyakan apa yang dicemaskan. Toh Peh-ing menjawab: Thiat-cecu,
walaupun kau murah hati kepada Se-kiat, tetapi dikuatirkan hatinya tak serupa hatimu. Apalagi
kini
ia bersama anak perempuan Su Su-bing. Apa yang disungkani lagi? Aku tak percaya pada
mereka.
Walaupun Bo Se-kiat sudah membatalkan rencananya menyerbu istana, tetapi bukan berarti
mereka
tak dapat membuat lain kekacauan. Dan dirimu masih menjadi buronan negara .....
Justeru kalau aku datang, akan lebih baik. Karena kukuatir mereka akan mengacau dan
merembet Cin Siang. Dan lagi Cin Siang serta Ut-ti Pak itu adalah sahabatku yang sudah seperti
saudara. Walaupun dalam tempat yang tak memungkinkan aku bicara kepada mereka, tetapi
biarlah
asal dapat melihat mereka saja, karena kita sudah lama tak berjumpa.
Toh Peh-ing cukup kenal pribadi Thiat-mo-lek yang menjunjung tinggi kejujuran dan
kesetiaan. Tahu kalau tak mungkin dapat mencegah niat orang, Toh Peh-ing pun tak dapat
berbuat
apa-apa kecuali meminta agar Thiat-mo-lek berlaku hati-hati.
Thiat-mo-lek tertawa dan menyatakan dalam pertandingan orang gagah itu nanti ia akan
berlaku sebagai penonton saja tak mau turun gelanggang.
Yang datang ke pertandingan Eng-hiong-tay-hwe di Pakkhia itu, anak buah Bo Se-kiat kurang
lebih 18-an orang. Sedang dari Kim-ke-nia, boleh dikata hanya Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing
saja.

Karena anak buah Kim-ke-nia dan pembantu Thiat-mo-lek yang dahulu berasal dari anak buah
ayahnya (Thiat-kun-lun), semua pindah ke gunung Hok-gu-san. Shin Thian-hiong dan kedua
saudara Ma memimpin penjagaan gunung itu.
Karena Bo Se-kiat kemarin sudah memisahkan diri dengan membawa anak buahnya, maka
anak buah yang ikut Thiat-mo-lek hanya tinggal belasan orang saja. Dan itupun hanya golongan
begal-begal kecil. Dalam perjalanan, mereka heran mengapa Se-kiat dan beberapa kawan, tak
kelihatan. Memang tahu mereka bahwa kemarin malam Se-kiat keluar dengan beberapa anak
buah,
tapi karena Thiat-mo-lek diam saja tak mau memberi keterangan, maka orang-orang itupun tak
berani bertanya.
Gelanggang yang akan dijadikan medan pertempuran para orang gagah itu terletak di kaki
bukit Li-san. Biasanya tempat itu dipakai upacara inspeksi ketentaraan yang dilakukan oleh
baginda. Luasnya beberapa ratus bau, dapat menampung beberapa puluh ribu orang. Lapangan
itu
mempunyai enam buah pintu gerbang yang terbuka.
Ketika Thiat-mo-lek dan pengikutnya ikut menggabungkan diri dengan rombongan orang yang
masuk ke dalam gelanggang dilihatnya di sekitar lapangan itu dijaga oleh tentara. Sebagian dari
tentara Gi-lim-kun, sebagian dari pasukan Kiu-seng-kun atau barisan penjaga kota raja, yang
langsung di bawah pimpinan Kiu-seng-su-ma (pembesar tinggi yang bertanggung jawab
keamanan
ibu kota).
Lapangan seolah-olah dipagari senjata tajam. Ujung tombak berjajar-jajar menyilaukan mata.
Suasana di situ tampak seram seperti di medan perang.
Thiat-mo-lek menganggap sudahlah wajar kalau penjagaan di lapangan situ dilakukan
sedemikian kuatnya karena boleh dikata seluruh orang gagah dari segenap penjuru berkumpul di
situ. Iapun tak menaruh kecurigaan apa-apa.
Karena berebut memilih tempat yang enak, maka tata tertib agak kacau. Karena desak-desakan
itu maka anak buah Thiat-mo-lek pun terpencar. Waktu Khik-sia hendak mengejar Thiat-mo-lek,
tiba-tiba ia dibentur oleh seorang pemuda berpakaian bagus. Khik-sia ingat-ingat lupa pada
orang
itu.
Toan siauhiap, masih ingat padaku? pemuda itu sudah mendahului menegur dengan tertawa.
Mendengar nada suara orang, seketika teringatlah Khik-sia: Kau kemarin yang jual, jual ..... -
- Teringat nona penjual silat itu kini menyaru jadi lelaki, Khik-sia buru-buru hentikan kata-
katanya.
Tak mau buka rahasia orang.
Benar, kau tak lupa padaku. Terima kasih atas bantuanmu kemarin. Kemarin aku belum
sempat menghaturkan terima kasih, kata nona itu.
Nona itu adalah suci dari Su Tiau-ing. Karena Khik-sia masih mendongkol dengan Tiau-ing,
maka sikapnya kepada nona itupun agak lain. Katanya dengan tawar: Itu hanya urusan kecil,
perlu
apa diingat-ingat. -- Habis berkata ia terus pergi.
Toan siangkong, harap ikut aku. Aku hendak bicara padamu, nona itu buru-buru mencekal
lengan Khik-sia.
Kalau mau sebenarnya Khik-sia dapat melepaskan tangannya, tapi ia merasa tak enak berbuat
begitu di hadapan orang banyak. Terpaksa ia berlaku sabar dan membiarkan dirinya ditarik ke
samping.
Aku adalah sucinya Tiau-ing. Bukankah kau datang bersama Tiau-ing? bisik nona itu. Tapi
Khik-sia menyangkal dengan kurang senang. Mendapat jawaban tak bersahabat begitu, nona itu
terkesiap. Memang ia tak tahu akan peristiwa yang terjadi semalam.
Khik-sia hendak pergi lagi tapi cepat dicekal si nona. Marahlah Khik-sia: Aku tak
mempunyai hubungan dengan sumoaymu. Aku tak tahu tentang urusannya. Sudah, jangan tanya
lagi!
Nona itu tersenyum. Diam-diam ia membatin. Khik-sia itu seorang pemuda yang tinggi ilmu
silatnya tapi pemaluan. Ia kira Khik-sia tentu malu mengaku berhubungan dengan Tiau-ing.
Maka
iapun tak mau lepaskan cekalannya. Khik-sia diam-diam sudah akan bertindak kasar. Untung
nona
itu keburu berkata pula: Toan siangkong, ini soal penting sekali. Kau harus lekas memberi tahu
padanya.

Menduga Tiau-ing tentu sedang merencanakan sesuatu, maka dengan tahankan sabar, Khik-sia
terpaksa bertanya: Baik, lekas katakanlah!
Para penonton terus berbondong maju. Tetapi Khik-sia dan nona itu berada di sudut di
sekitarnya tiada orangnya. Namun dengan hati-hati sekali, nona itu tempelkan mulut ke dekat
telinga Khik-sia dan berbisik: Suruh Tiau-ing lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Atau mungkin
jiwanya terancam nanti.
Walaupun sudah putus hubungan dengan Tiau-ing tapi mau tak mau terkejut juga Khik-sia.
Serunya: Mengapa ....
Dan kau pun harus segera tinggalkan tempat ini bersama Tiau-ing. Jangan ayal atau nanti
terlambat, nona itu putuskan omongan Khik-sia.
Kemarin kau ....
Kemarin aku tak tahu kalau kau, mengerti? Lain-lain omongan besok kita bicarakan lagi.
Lekas, lekaslah pergi! nona itu kembali mendesak dan habis itu ia lepaskan cekalannya terus
pergi.
Khik-sia tercengang. Apa yang dimaksudkan nona itu? Siapa musuhnya? Tapi jelaslah bahwa
ada orang yang hendak mencelakai Tiau-ing. Malah ia (Khik-sia) pun ikut-ikutan terancam.
Waktunya akan dilaksanakan sekarang. Tempatnya di sini.
Rupanya hal itu banyak benar dari tidaknya. Rupanya bukan tak ada maksudnya nona itu
mengembara ke dunia persilatan dengan menyaru sebagai penjual silat. Ia membuka
pertandingan
cari jodoh untuk memanggil sumoaynya. Setelah bertemu ia hendak menyampaikan berita
penting
itu. Sayang ia tak tahu kalau sumoaynya semalam telah pergi dari kotaraja bersama Se-kiat,
demikian Khik-sia menimang dalam hati. Kemarahannya terhadap Tiau-ing mulai reda. Memang
Khik-sia itu terlalu gampang perasa. Walaupun sudah putus hubungan, tapi demi mendengar
berita
itu, iapun masih mencemaskan keadaan Tiau-ing. Bahwa dirinya juga terancam, malah tak
dihiraukannya.
Ia lanjutkan langkahnya menuju ke bagian tengah. Ia celingukan kian kemari tapi dalam sekian
banyak orang itu, Thiat-mo-lek dan Toh Peh-ing tak kelihatan. Tiba-tiba Khik-sia tersadar: Ah,
mengapa aku hanya memikirkan kepentingan diri sendiri? Benar aku tak gentar menghadapi
bahaya, tapi bagaimana dengan piau-ko dan paman Toh? Kalau sampai terjadi apa-apa pada
diriku,
mereka tentu takkan tinggal diam. Tetapi diri piauko dan paman Toh itu lebih berat dari aku. Jika
orang dapat mencelakai diriku, mereka tentu lebih dapat mencelakai piauko dan Paman Toh!
Memikir sampai di situ, ia gelisah sekali dan ubek-ubekan mencari Thiat-mo-lek berdua.
Belum mendapatkan piaukonya, tiba-tiba ia terperanjat melihat tiga bayangan yang rasanya tak
asing. Mereka berupa tiga orang perwira. Cepat Khik-sia segera mengenal mereka. Dua yang
berjalan di depan, terang perwira palsu Su Yak-bwe dan Sip In-nio. Yang mengikuti di belakang
mereka adalah Pui Bik-hu, pemuda yang pernah bertempur dengan Khik-sia di hotel tempo hari.
Kejut dan girang Khik-sia bukan kepalang. Memang kedatangannya ke Eng-hiong-tay-hwe itu
tak lain karena untuk menjumpai Yak-bwe. Kalau saat itu tak teringat berada di tengah lautan
manusia, tentu ia sudah meneriakinya.
Sebaliknya Yak-bwe dan In-nio tak tahu pada Khik-sia. Walaupun jarak mereka tak berapa
jauh tapi dikarenakan begitu banyak orang, Khik-sia tak mudah untuk menghampiri. Tiba-tiba
ada
seorang pemuda dan pemudi meneriaki Yak-bwe. Kiranya sepasang muda-mudi itu adalah Tok-
ko
U kakak beradik.
Semangat Khik-sia menurun beberapa derajat. Entah apakah mereka itu sudah lama berjanji,
tapi yang nyata mereka itu sedan g bercakap-cakap, tak enak kalau aku menimbrung, pikir
Khiksia.
Malah ketika Khik-sia memandang lagi, dilihatnya Yak-bwe terkejut girang bertemu dengan
kedua saudara Tok-ko itu. Hati Khik-sia makin kecut. Ia meragu dan tak berani maju.
Aya, mengapa aku lupa pada piauko? Mencari piauko, lebih penting, tiba-tiba ia tersadar.
Namun anehnya, walaupun pikirannya begitu namun kakinya serasa berat dan matanya tak
lepasnya
memandang Yak-bwe.
Tiba-tiba terdengar genderang dan tambur dipalu. Keenam pintu besi segera ditutup. Ternyata
pertandingan akan dimulai. Di tengah lapangan itu didirikan sebuah pangung tinggi untuk
pertandingan. Khik-sia memandang ke muka dan tampak Cin Siang sudah muncul di atas

panggung. Ia berdiri di apit Utti Pak dan Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi.
Cin Siang mulai mengucapkan kata-kata pembukaan. Ia mengucapkan terima kasih atas
kedatangan para orang gagah dan menguraikan tentang maksud didirikannya panggung
pertempuran adu silat itu, yakni karena pemerintah membutuhkan jago-jago pilihan untuk
diharapkan suka menyumbangkan tenaga pada negara. Mengenai acara pertandingan, mengingat
jumlahnya peserta banyak sekali, maka akan dibagi dalam beberapa regu. Waktu pertandingan
pun
akan diadakan sampai beberapa hari. Kepada setiap orang gagah yang hadir pada saat itu, akan
diberi sebuah tong-pay (lencana tembaga). Menurut urutan nomor tiap sepuluh orang merupakan
sebuah regu. Tiap hari akan dilangsungkan sepuluh partai pertandingan. Kalau diduga yang ikut
dalam pertandingan itu lebih kurang seribu orang, maka pertandingan itu baru selesai dalam
sepuluh hari.
Dalam babak kedua yang akan dilakukan pada hari yang kesebelas, diantara seratus pemenang
babak pertama itu akan diadu dan dipilih sepuluh orang pemenangnya. Yang lima orang akan
nanti
akan diberi jabatan sebagai Sam-bin-keng-ki-towi (perwira kavaleri). Sedang yang lima akan
diangkat menjadi Su-bin-ki-ki-to-wi (perwira bagian kendaraan). Sisanya yang sembilan puluh
orang itu akan diangkat menjadi anggota pasukan Gi-lim-kun.
Habis pengumuman itu Cin Siang memberi penjelasan lagi: Yang tak mau menjabat pangkat
ketentaraan, tak dipaksa. Mereka akan diberi hadiah berharga seekor kuda, sebatang golok
pusaka
dan kain sutera seratus blok.
Di antara para hadirin itu, sebagian besar memang ingin mendapat pangkat dan hadiah-hadiah
yang menarik itu. Hanya sebagian kecil yang tak begitu menghiraukan hal itu. Pidato Cin Siang
itu
mendapat sambutan gegap gempita dari para penonton.
Ternyata pada saat itu Thiat-mo-lek berada di samping lapangan dan berhasil menempatkan diri
di deretan muka dekat panggung. Ia merasa Cin Siang telah melihat dirinya. Karena Thiat-mo-
lek
tak ingin pangkat dan hadiah, maka iapun tak berminat ikut dalam pertandingan. Adalah setelah
melihat kedua sahabatnya, Cin Siang dan Utti Pak, tak kurang suatu, iapun lega. Terutama yang
melonggarkan perasaannya ialah tak didapatinya Bo Se-kiat di lapangan situ. Ia duga Se-kiat
tentu
pegang janji dan tinggalkan Tiang-an.
Pertemuan besar ini telah dibuka dengan lancar. Hari ini kebanyakan tentu takkan terjadi
peristiwa apa-apa. Sebaiknya tak kuterima tong-pay dan cepat-cepat pulang saja. Malah nanti
akan
kusuruh Khik-sia mengantarkan surat kepada Cin toako minta dia berhati-hati. Besok pagi segera
akan kuajak Khik-sia tinggalkan Tiang-an, diam-diam ia mengambil putusan.
Karena berada di barisan depan, Thiat-mo-lek tak mengetahui kalau keenam pintu gerbang
sudah ditutup. Ketika berpaling dan tak melihat Khik-sia, diam-diam ia marah. Hm, anak itu
benar-benar sembrono. Entah kemana dia? Di tempat semacam ini, mengapa pencar?
Belum tong-pay diedarkan sampai padanya, tiba-tiba ada seorang penunggang kuda larikan
kudanya di sepanjang jalur jalanan tanah kuning terus langsung ke muka panggung dan berhenti.
Thiat-mo-lek tahu bahwa hanya goanswe (marsekal), ciangkun (jenderal), atau tiong-su (utusan
kaisar, misalnya thaykam) baru boleh naik kuda di jalur kuning itu.
Cin Siang lebih terkejut lagi. Ternyata yang datang itu adalah Liong-ki-to-wi Bu Wi-yang,
kepala pasukan penjaga istana yang disebut Kiong-tiong-siu-wi. Ketika An Lok-san
memberontak,
kaisar yang sekarang yakni Li Heng, masih menjadi putera mahkota. Bu Wi-yang adalah jenderal
yang mengawal Li Heng ketika lolos ke kota Lin-bu. Kemudian setelah Li Heng
memproklamirkan
diri menjadi raja, Bu Wi-yang makin mendapat kekuasaan. Kemudian setelah An Lok-san
ditindas,
barulah Li Heng kembali lagi ke kota raja Tiang-an.
Atas jasanya itu Bu Wi-yang diangkat menjadi Liong-ki-to-wi atau kepala barisan berkuda.
Tingkatannya sama dengan Cin Siang. Sebenarnya jabatan Kiong-tiong-su-wi itu dipimpin Utti
Pak. Li Heng menggesernya jadi Hu-thong-leng atau wakil komandan pasukan Gi-lim-kun.
Kedudukan komandan Kiong-tiong-su-wi diberikan pada Bu Wi-yang.
Sebenarnya Bu Wi-yang kepingin menjadi komandan pasukan Gi-lim-kun. Tetapi karena Cin
Siang besar pahalanya sebagai menteri inti yang membangun negara dan besar pengaruhnya,
maka
Li Heng pun sungkan untuk mengutik-utiknya dan terpaksa memindah Utti Pak saja. Sekalipun

begitu, dalam soal kepercayaan Bu Wi-yang itu lebih dipercaya kaisar daripada Cin Siang.
Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang kali ini, Bu Wi-yang tak ambil peduli
sama sekali. Pun Li Heng merencanakan, nanti pada hari penutupan baru hadir. Maka
kedatangan
Bu Wi-yang secara tak terduga-duga itu telah membuat Cin Siang terperanjat. Apakah kaisar
yang
mengutusnya?
Sebelum Cin Siang menyongsong, Bu Wi-yang sudah loncat ke atas panggung.
Mengapa Bu congkoan tinggalkan istana? tanya Cin Siang dengan terkejut. Ia duga di istana
tentu terjadi sesuatu.
Baginda ada perintah untukmu! seru Bu Wi-yang.
Menurut adat kebiasaan, setiap kali datang surat perintah raja, raja lebih dulu tentu mengutus
orang untuk memberitahukan agar orang yang akan menerima surat amanat itu menyiapkan meja
sembahyang. Kemudian orang itu harus mendengarkan surat amanat itu dengan bertekuk lutut.
Karena datangnya surat amanat yang dibawa Bu Wi-yang itu mendadak sekali, Cin Siang sudah
tak
keburu menyediakan penyambutan. Tersipu-sipu ia jatuhkan diri bertekuk lutut.
Urusan ini penting sekali. Baginda menitahkan, tak usah Cin tayjin sibuk menyiapkan
upacara penyambutan. Setelah menerima surat amanat ini, harus lekas-lekas melaksanakannya.
Dan tak perlu kubacakan isinya, seru Bu Wi-yang.
Dengan kedua tangan Cin Siang menyambuti surat amanat itu. Ketika dibuka, pucatlah
wajahnya seketika. Tak dapat ia membaca lagi.
Cin tayjin, kau berani membangkang titah baginda? bentak Bu Wi-yang.
Amanat yang berupa secarik kertas itu, dirasakan Cin Siang laksana benda seribu kati beratnya.
Tangannya gemetar keras dan jatuhkan surat itu. Cin Siang menjerit keras, tiba-tiba ia benturkan
kepalanya ke tiang.
Seluruh hadirin geger. Untung dengan sigapnya Utti Pak loncat memeluknya: Cin toako, kau
kesalahan apa? Mari kita menghadap baginda.
Lepaskan! Apa kau akan membiarkan aku jadi manusia yang tak berbudi tak setia? bentak
Cin Siang.
Mengapa? tanya Utti Pak.
Kalau tak menurut surat amanat, aku dianggap tak setia. Tapi kalau menurut perintah, aku
menjadi manusia tak berbudi! Kalau Budi dan Setia tak dapat dilakukan bersama, lebih baik Cin
Siang mati saja, demi untuk sahabat! sahut Cin Siang.
Walaupun belum jelas, tapi sedikit-sedikit Utti Pak mengerti juga bahwa Cin Siang tak mau
menjalankan perintah itu. Yang jelas perintah raja itu bukan ditujukan untuk menghukum Cin
Siang. Utti Pak makin tak mau lepaskan sang sahabat. Kepandaian mereka hampir berimbang.
Dalam ilmu kepandaian memang Cin Siang lebih unggul. Tapi dalam soal tenaga, Utti Pak lebih
kuat. Cin Siang tak kuasa meronta dari pelukan Utti Pak yang keras.
Cin Siang membangkang perintah baginda, lekas tangkap! tiba-tiba Bu Wi-yang berseru.
Baru perintah itu diserukan, dari belakang panggung loncat seorang tua yang tinggi besar.
Orang itu perawakannya agak bungkuk. Secepat kilat ia menutuk lambung Cin Siang. Seketika
Cin Siang jatuh ngelupruk.
Kejut Thiat-mo-lek bukan kepalang. Si bungkuk tua itu bukan lain adalah Chit-poh-tui-hun Yo
Bok-lo! Memang atas perintah Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, pagi-pagi ia sudah mengumpet di
belakang panggung. Sebenarnya jika bertempur secara berhadapan, belum tentu Yo Bok-lo dapat
mengalahkan Cin Siang. Tapi karena jenderal itu disekap kencang oleh Utti Pak dan ditutuk jalan
darahnya dari belakang oleh Yo Bok-lo, maka iapun tak berdaya menghindar lagi.
Yo Bok-lo tak mau kepalang tanggung. Ia menutuk Utti Pak juga.
Kurang ajar! Siapa berani menangkap toako-ku?! bentak utti Pak. Ilmunya kin-na-chiu atau
dengan tangan kosong merampas senjata lawan, adalah ilmu warisan keluarganya. Di dunia
persilatan tiada tandingannya.
Jarak Yo Bok-lo amat dekat sekali dengan Utti Pak. Belum jari orang she Yo itu menyentuh
sasarannya, tahu-tahu lengannya sudah kena dipelintir. Dengan gerak ki-kian-si, tubuh Yo Bok-
lo
yang tinggi besar itu dibanting ke lantai panggung. Untung dengan gerak le-hi-ta-ting, Yo Bok-lo

cepat-cepat dapat loncat bangun. Tapi bagian lengannya yang dipelintir sakitnya bukan alang
kepalang.
Pada saat itu Cin Siang sudah diikat oleh pengikut Toh Hok-wi. Dengan mata berapi-api Utti
Pak hendak menghajar kawanan bu-su itu, tapi Cin Siang cepat mencegahnya: Utti-heng,
jangan.
Mengapa kau berani melanggar sengci (amanat) kaisar? Kita berdua turunan menteri setia. Kita
hanya boleh menyerah pada keputusan kerajaan, tak boleh menjadi manusia yang tak setia tak
berbakti!
Demi mendengar tentang kesetiaan dan kebaktian itu, kemarahan Utti Pak sirap seperti diguyur
air. Baik, biar kubawa kim-pian (cemeti emas) bersama-sama menghadap baginda. Siapa yang
berani mengganggu padamu, tentu kuhajar! sahut Utti Pak yang berangasan itu. Kemudian ia
menghardik Bu Wi-yang: Hai, Bu Wi-yang, apakah kau yang menangkap Cin toako-ku?
Ternyata Utti Pak itu adalah anak keturunan dari Utti Kiong yang besar sekali jasanya kepada
Li Si-bin, pendiri kerajaan Tong. Karena jasanya itu Utti Kiong dihadiahi sebatang kim-pian oleh
raja. Dengan kim-pian itu ia boleh memukul menteri-menteri kerajaan sampaipun keluarga raja,
urusan belakang. Maka walaupun tak menduduki jabatan tinggi, namun Utti Kiong mempunyai
kedudukan istimewa yang ditakuti orang.
Tiba-tiba Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi serentak menyerang dari belakang. Dengan ilmu houjiau-
chio (cakar macan), Toh Hok-wi mencengkeram tulang pundak dan secepat itupun Bu Wi-yang
hendak memborgol tangan Utti Pak. Utti Pak menggerung keras, sekali ia gerakkan kedua
tangannya, Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi terhuyung-huyung sampai sepuluhan langkah ke
belakang.
Hampir saja mereka jatuh. Tapi sebuah tulang pundak Utti Pak patah dan tangannyapun kena
diborgol. Yo Bok-lo yang masih kuatir, loncat maju dan menutuk jalan darahnya.
Ha, ha, bukan melainkan Cin Siang pun kau juga harus ditangkap! seru Bu Wi-yang.
Marah Utti Pak bukan alang-kepalang. Ia menjerit keras: Ambilkan kim-pianku!
Baik, baik tuan, Toh Hok-wi tertawa mengejeknya.
Seorang bu-su menerobos keluar dari belakang panggung. Sepasang tangannya mengangkat
sebatang kim-pian. Tapi bukan diserahkan kepada Utti Pak, melainkan kepada Toh Hok-wi:
Inilah
kim-pian Utti tayjin yang hamba ambil!
Utti Pak terkejut dan memaki kalang-kabut: Toh Hok-wi, kau berani melanggar undangundang?
Kau minta dihukum potong kepala seluruh keluargamu? Mengapa kau berani merampas
kim-pian pemberian baginda kaisar?
Menyambut kim-pian, Toh Hok-wi tertawa gelak-gelak: Baginda memang bijaksana.
Siangsiang
sudah menduga kau akan membangkang karena mengandalkan kim-pian. Baginda telah
menitahkan padaku supaya merampas kim-pianmu. Ha, ha, ini lihatlah seng-ci dari baginda!
Orang she Toh itu mengeluarkan sepucuk kertas dan dibentang di muka Utti Pak. Memang
tulisan di atas kertas itu tulisan baginda yang memberi wewenang kepada Toh Hok-wi. Apabila
Utti
Pak membangkang, boleh dirampas kim-piannya. Utti Pak tak mengira sama sekali bahwa kaisar
mau mengeluarkan amanat rahasia sedemikian rupa. Seketika murkalah Utti Pak: Kim-pian
adalah
pemberian dari baginda Thay Cong, Baginda yang sekarang tak boleh merampasnya!
Ho, silahkan protes pada baginda saja! Toh Hok-wi tertawa mengejek.
Utti Pak tak dapat bicara lagi. Ia biarkan dirinya digusur.
Cin Siang membangkang perintah raja. Toh tayjin, Eng-hiong-tay-hwe ini, kaulah yang
memimpin. Harap kau terima amanat ini dan segera mengumumkannya! Laksanakanlah perintah
itu! kata Bu Wi-yang.
Sejak Bu Wi-yang muncul, terjadilah sandiwara yang menarik. Lebih dulu Cin Siang
ditangkap, kemudian Utti Pak dirampas kim-piannya. Semua-semuanya itu tercantum dalam
surat
perintah raja yang dibawanya. Suasana di bawah panggung geger tak keruan. Tapi begitu Toh
Hokwi
menerima surat perintah, suasana gempar itu sirap seketika. Sekalian orang sama mendengari
dengan khidmat.
Jago-jago dari lima penjuru yang hadir dalam Eng-hiong-tay-hwe itu sebagian besar orangorang
kasar yang buta huruf. Toh Hok-wi tahu akan hal itu. Ia tak perlu membacakan isi surat
perintah itu lagi. Supaya sekalian orang mengerti, ia maju kemuka panggung dan berseru dengan

kata-katanya sendiri: Yang Mulia Baginda Kaisar memberi perintah. Eng-hiong-tay-hwe
sebenarnya bertujuan untuk memilih ksatria-ksatria gagah yang suka mengabdi kepada baginda.
Maka asal bukan golongan pemberontak, orang-orang yang pernah melanggar undang-undang
asal
ia setia kepada raja, akan diberi kebebasan. Harap sekalian saudara tenang, tak perlu gelisah.
Ia berhenti sejenak. Kemudian dengan berganti nada, ia meneruskan lagi: Yang tak diberi
pengampunan hanya kaum pemberontak yang pernah melawan raja. Baginda sudah tentu tak
berani
memakainya!
Rupanya sekalian penonton bingung dengan kata-kata Toh Hok-wi itu. Di sana-sini timbul
hiruk-pikuk orang bertanya: Apakah yang dinamakan golongan pemberontak itu? Hm, apakah
dia
hendak menjebak kita? -- Kita datang kemari karena percaya akan omongan Cin Siang. Hm,
tetapi
rupanya kaisar tak mau menganggap omongan Cin Siang!
Demikian pertanyaan yang timbul dari para hadirin. Malah ada beberapa orang yang
berangasan, sudah serentak mencabut senjata siap hendak menghadapi segala kemungkinan.
Suasana menjadi tegang.
Melihat itu Toh Hok-wi buru-buru berteriak keras: Hai, harap saudara-saudara mendengar
dengan tenang! Di dalam surat perintah baginda telah ditulis dengan jelas. Orang-orang yang
dianggap sebagai kaum pemberontak itu hanya sepuluh orang. Kesepuluh orang itu adalah
benggolan-benggolan yang menerbitkan keonaran besar dan memberontak terhadap kekuasaan
raja.
Yang lain-lainnya sekalipun sahabat atau anak buah mereka, tiada diapa-apakan. Surat perintah
itu
lebih jauh mengatakan, barang siapa membantu tentara negeri untuk menangkap
pemberontakpemberontak
itu, akan memperoleh jasa. Dapat menangkap seorang pemberontak, akan diangkat
menjadi perwira To-wi dari Se-kip-ki-ki (barisan kavaleri) dan diberi hadiah sejumlah besar
uang.
Yang akan ditangkap pemerintah itu hanya sepuluh orang, maka harap kalian semua jangan
gelisah!
Siapakah mereka itu? Lekas umumkan! suara teriakan menyambut dari bawah panggung.
Meskipun mereka masih berdebar-debar, namun tak gelisah seperti tadi lagi.
Toh hok-wi mempesut keringatnya lalu berseru pula: Kesepuluh orang itu, kita ketahui jelas,
sudah tiba di kotaraja sini. Saat ini kebanyakan tentu juga hadir di lapangan ini. Jika kalian
hendak
mendirikan pahala untuk negara, inilah saatnya! Paling baik dapat membekuk mereka hidup-
hidup,
tapi kalau terpaksa, boleh dibunuh saja. Mati atau hidup, hadiahnya sama. Sepuluh orang itu
ialah
.... (para penonton sama menahan napas) ..... Thiat-mo-lek, Bo Se-kiat, Toan Khik-sia, Su Tiau-
ing,
Kay Thian-hou, Toh Peh-ing, Li Thiat-ceng, Liong Theng, Ui Kiam dan Coh Ping-gwan!
Thiat-mo-lek dan Tok Peh-ing adalah pemimpin begal gunung Kim-ke-nia. Toan Khik-sia
karena mempunyai hubungan dengan orang Kim-ke-nia, boleh digolongkan orang Kim-ke-nia.
Bo
Se-kiat adalah pemimpin loklim. Kay Thian-hou, tangan kanan Se-kiat yang paling dipercayai,
Su
Tiau-ing dianggap pemberontak karena ia adiknya Su Tiau-gi. Sebenarnya ia bukan orang lok-
lim.
Li Thiat-ceng dan Liong Theng, keduanya adalah cecu dari suatu gerombolan penyamun.
Mereka
memimpin anak buahnya sendiri untuk mengganggu keamanan. Ui Kiam bekas benggol penjahat
tunggal yang sudah cuci tangan. Tapi tetap dicap sebagai pemberontak. Dan masih ada seorang
Coh Ping-gwan. Sebagian jago-jago yang berada di lapangan situ tak tahu akan asal-usul orang
itu.
Setiap kali Toh hok-wi habis mengumumkan sebuah nama, di bawah panggung tentu gempar.
Ada yang berteriak kaget, ada yang bersorak-sorak menunjang tindakan Toh Hok-wi. Kini semua
hadirin baru mengetahui mengapa Cin Siang hendak bunuh diri tadi. Ternyata dia kecewa dan
putus asa. Tak mau menolak perintah kaisar tapi tak mau bermusuhan dengan sahabat-
sahabatnya.
Kiranya rencana pembasmian itu diatur oleh Yo Bok-lo, Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi. Dalam
hal
ini Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi mempunyai kepentingan besar. Kedua, Yo Bok-lo dapat
membalas
dendam kepada Thiat-mo-lek, supaya Thiat-mo-lek dan Toan Khik-sia dihukum mati. Ketiga,
dapat
membasmi benggolan-benggolan ternama dari loklim. Mereka kebanyakan menetap di daerah
kekuasaan Tian Seng-su dan Sik Ko. Dengan lenyapnya benggolan loklim itu, Tian dan Sik serta
para Ciat-to-su di perbatasan akan mendapat manfaat besar. Karena yang banyak diganggu oleh
kawanan loklim itu bukan pemerintah pusat melainkan panglima-panglima di daerah perbatasan
tersebut. Rencana Yo Bok-lo itu ditunjang oleh Tian dan Sik berdua. Malah Tian Seng-su sudah

memberi Yo Bok-lo dana sebesar seribu tail emas untuk biaya pergerakan itu. Karena Yo Bok-lo
kenal baik dengan Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka tanpa mengeluarkan uang sepeser,
rencananya itu segera diterima. Ya, hal itu disebabkan karena kebetulan mereka mempunyai
kepentingan sama. Dengan begitu, uang dana dari Tiang Seng-su tadi semuanya masuk kantong
Yo
Bok-lo sendiri.
Tentang Su Tiau-ing, sebenarnya nona itu tak mempunyai dendam permusuhan dengan Yo
Bok-lo. Pun pribadi nona itu sebenarnya tak begitu penting. Tapi karena Li Heng, kaisar yang
sekarang ini benci sekali pada Su Tiau-gi, maka Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi menghendaki
nama
nona itu dicantumkan dalam daftar pemberontak. Sebagaimana diketahui, ayah Su Tiau-gi,
dengan
An Lok-san pernah mengadakan pemberontakan hebat sampai-sampai Li Heng hampir
kehilangan
tahta kerajaannya.
Orang yang menjadi raja tentu takut pada benggolan-benggolan pemberontak dari kalangan
loklim. Maka begitu mendengar usul Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi yang antaranya mencantum
nama Su Tiau-ing dalam daftar pemberontak, kaisar Siau Cong (Li Heng) segera menyetujui
rencana itu. Kaisar itu tak ambil peduli bagaimana nasib Cin Siang yang tentu bakal kehilangan
muka pada orang-orang gagah di seluruh negeri. Bahkan mati hidupnya Cin Siang, kaisar tiada
menaruh keberatan apa-apa.
Tepat pada saat Toh Hok-wi selesai mengumumkan nama-nama pemberontak, di antara
hirukpikuk
suara hadirin, tiba-tiba terdengar suara teriakan menggeledek. Thiat-mo-lek enjot tubuhnya
melayang ke atas panggung.
oooooOOOOOooooo
Thiat-mo-lek di sini, siapa yang ada kepandaian boleh menangkapnya! teriak ksatria itu.
Sekalian wi-su tak menyangka sama sekali bahwa Thiat-mo-lek yang dicap sebagai
pemberontak nomor satu, berani unjukkan diri di muka umum. Saking kejutnya, kawanan wisu
itu
sampai terlongong-longong. Malah ada dua orang wi-su yang berdiri di tepi panggung, dari
kagetnya mendengar suara menggeledek Thiat-mo-lek itu, sampai menggigil dan tergelincir
jatuh
ke bawah panggung.
Sebelum kaki Thiat-mo-lek sempat menginjak lantai panggung, Yo Bok-lo sudah
menyambutnya dengan sebuah hantaman. Tapi sambil berseru 'bagus', di atas udara Thiat-mo-lek
sudah mencabut pedangnya. Dengan gerak ing-ki-tiang-gong atau burung elang menghantam
udara, ia tusuk tenggorokan Yo Bok-lo. Yo Bok-lo miringkan tubuhnya, tangan kirinya cepat
diulurkan untuk merampas pedang orang.
Jika dinilai dalam ilmu silat, Thiat-mo-lek kini sudah lebih unggul dari Yo Bok-lo. Tapi karena
saat itu ia tengah melambung di udara, jadi tak dapat ia menggunakan seluruh tenaganya. Ketika
tusukannya luput sebelum sempat berganti jurus, Yo Bok-lo sudah berhasil mencengkeram
tangkai
pedangnya dan jari tengahnya menutuk pergelangan tangan. Karena memastikan bahwa kali ini
Thiat-mo-lek tentu akan menderita kekalahan, maka banyak hadirin yang kenal padanya,
serempak
berteriak kaget.
Thiat-mo-lek nekad. Ia gunakan gerak Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih
wuwungan rumah. Tubuhnya meluncur turun. Benar Yo Bok-lo akan berhasil merampas
pedangnya tapi dia nanti tentu akan tertunjang jatuh. Adalah karena di udara tak dapat leluasa
bergerak maka Thiat-mo-lek terpaksa gunakan gerakan itu untuk 'jibaku' atau sama-sama terluka.
Cara bertempur semacam itu memang berbahaya sekali. Dada Thiat-mo-lek terbuka dan
sebenarnya Yo Bok-lo dapat menghantamnya. Thiat-mo-lek bersedia mengadu jiwa, Yo Bok-lo
tidak. Ia tahu lwekang Thiat-mo-lek tinggi, pukulannya belum tentu dapat melukai. Jika sampai
tergentus Thiat-mo-lek, celakalah.
Di dalam bertempur, selain mengandal kepandaian pun juga keberanian. Karena jeri, Yo Boklo
menyurut mundur. Dan secepat itu juga Thiat-mo-lek tabaskan pedangnya lagi. Begitu Yo Boklo
mundur lagi, Thiat-mo-lek dapat berdiri tegak di lantai panggung. Tapi karena cepatnya tabasan
Thiat-mo-lek, rambut kepala Yo Bok-lo kena terpapas.

Begitu memperoleh posisi, Thiat-mo-lek menyerang lagi dengan tiga kali tabasan. Yo Bok-lo
terdesak dan sudah berniat lari ke belakang panggung.
Amuk, amuk! teriak Bu Wi-yang dengan murka. Karena tak sempat mencabut senjatanya
sendiri, ia mencambuk dengan kim-pian kepunyaan Utti Pak tadi. Sebagai to-wi dari pasukan
Liong-ki, sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang itu juga hebat. Ia mahir menggunakan delapan
macam senjata. Sabatannya dengan jurus hwe-hong-soh-liu itu juga hebat sekali.
Thiat-mo-lek menangkis dengan pokiamnya. Tring, bunga api meletik. Bu Wi-yang terkejut.
Ia tak kira Thiat-mo-lek berani menabas dengan pedangnya. Buru-buru ia tarik pulang kim-pian.
Untung cambuk itu cukup berat dan hanya terpapas sedikit tak sampai putus. Suatu hal yang
membuat Bu Wi-yang lega.
Pada saat itu Toh Hok-wi pun menyerang. Kepandaiannya masih di bawah Bu Wi-yang, tapi
golok gan-leng-to yang digunakan itu adalah pusaka anugerah kaisar. Walaupun ketika Thiat-
molek
menangkis ia (Toh Hok-wi) harus meringis karena tangannya kesakitan, namun goloknya tak
kena apa-apa.
Thiat-mo-lek, sekalipun kau punya tiga kepala enam lengan, jangan harap kau mampu lolos!
teriak Yo Bok-lo. Dengan gunakan gerak chit-poh-tui-hun, ia hantam punggung Thiat-mo-lek.
Thiat-mo-lek gunakan jurus ngo-ting-gui-san, balikkan tangan menghantam ke belakang.
Plak, Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Thiat-mo-lek terhuyung-huyung hampir jatuh. Untung
buru-buru ia gunakan gerak cian-kin-tui untuk mempertahankan keseimbangan badannya. Dalam
pada itu ia masih dapat menangkis serangan gan-leng-to Toh Hok-wi dan sabatan kim-pian Bu
Wiyang.
Diam-diam Yo Bok-lo terperanjat. Thiat-mo-lek hanya menangkis dengan sebelah tangan
sedang tadi ia menghantam dengan kedua tangan. Tapi ternyata tak dapat menang, paling-paling
dapat membuat Thiat-mo-lek terhuyung-huyung saja. Ini menyatakan bahwa lwekang Thiat-mo-
lek
itu jauh lebih tinggi dari dia.
Kalau kesempatan bagus seperti saat ini tak dapat menangkapnya, kelak tentu merupakan
bahaya besar, diam-diam Yo Bok-lo membatin. Dan ia pun segera menyerang dengan pukulan
tuihun-
chit-ciang.
Sepasang tangan tak dapat melawan tiga pasang tangan. Walaupun dalam beberapa saat
Thiatmo-
lek tak sampai kalah tapi toh keadaannya berbahaya sekali.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Sesosok tubuh melayang dari
tengahtengah
penonton: Harap sekalian enghiong menyisih, Toan Khik-sia datang!
Karena sebagian besar jago-jago yang hadir dalam pertandingan itu sama mengindahkan
Thiatmo-
lek, merekapun segera memberi jalan untuk Toan Khik-sia. Tapi di antara mereka ada juga
beberapa orang yang bernafsu untuk mendapat hadiah kaisar. Apalagi mereka anggap Toan
Khiksia
yang masih muda itu tentu mudah ditindas. Mereka melolos senjata dan menghadang si anak
muda.
Tapi Khik-sia berdiri tak jauh dari Yak-bwe. Begitu anak muda itu melambung ke udara,
Yakbwe
pun segera melihatnya. Girang si nona bukan kepalang. Ci In, lekas bantu dia! serunya
sambil menerobos maju. Kebetulan yang berada di sampingnya adalah Tok-ko U dan Tok-ko
Ing.
Malah karena Tok-ko Ing berdiri di dekat Yak-bwe, hampir saja ia terdampar jatuh. Kedua
kakakadik
itu sama tercengang.
Mereka mengenali Khik-sia sebagai pemuda yang mencuri masuk ke dalam rumah mereka dan
bertempur dengan Yak-bwe. Dan juga pemuda yang dijumpai mereka beberapa hari yang lalu di
tengah jalan serta membantu si nona siluman she Su ketika bertempur dengan mereka.
Ya, dia benar Toan Khik-sia! Tapi mengapa tempo hari Su toako memakinya sebagai penjahat
kecil? Dan mengapa sekarang ia (Su toako) bingung hendak membantunya? Tok-ko Ing
bingung
melihat kejadian itu. Tetap sampai pada saat itu, ia masih menaruh hati pada Yak-bwe karena
mengira nona itu seorang pemuda.
Tidak demikian dengan Tok-ko U. Memang sudah lama ia menaruh kecurigaan terhadap diri
'pemuda' she Su itu. Ketika mendengar pada saat itu Yak-bwe memanggil 'ci In' pada In-nio,
terbukalah ingatan Tok-ko U. Oh, kiranya perwira yang satunya itu adalah Sip In-nio li-hiap
yang

termasyhur. Karena ia memanggil Sip lihiap 'ci In', tentulah ia sendiri juga seorang nona yang
menyaru. Ah, kasihan adikku yang sudah merindukan seorang pemuda gadungan, katanya
dalam
hati.
Ing-moay, janga kesima saja. Lekas bantu citpi Su! segera ia menyuruh Tok-ko Ing.
Koko, apa katamu? Su toako itu, itu ....! teriak Tok-ko Ing dengan kagetnya hingga tak dapat
melampiaskan kata-katanya. Untung suasana di situ hiruk tak keruan hingga orang-orang tak
memperhatikan Tok-ko Ing.
Apa kau masih belum mengerti? Dia bukan Su toako-mu, tetapi tunangan Toan Khik-sia yang
bernama Su Yak-bwe! sahut Tok-ko U.
Tok-ko Ing menjerit kaget dan tertegun seperti patung.
Meskipun ia bukan lagi Su toako-mu, tapi karena ia menjadi sahabat kita dan sedang
mendapat kesukaran, apakah kita tega berpeluk tangan melihat saja? seru Tok-ko U.
Tok-ko Ing gelagapan. Dengan menindas kepedihan hatinya, ia menyahut: Benar, entah ia Su
toako atau Su cici, aku telah mengikat kasih padanya.
Begitulah kedua saudara Tok-ko itu mencabut senjata dan menerobos ke muka.
Apakah kalian bukan kakak adik she Tok-ko? tiba-tiba terdengar teriakan.
Ketika berpaling mengawasi, Tok-ko U melihat Lu Hong-jiu dan kakaknya Lu Hong-jun
menghampiri datang. Diam-diam Tok-ko U girang, pikirnya: Setelah kecele dengan Su toako-
nya,
adik Ing tentu akan beralih perhatiannya kepada Lu Hong-jun. Kedua saudara Lu itu ternyata
juga
berhati ksatria tapi dikuatirkan mereka akan terseret dalam peristiwa ini.
Seorang opsir yang bersenjata tok-kak-tong-jin (besi yang berbentuk macam orang-orangan
berkaki satu), menghantam Tok-ko Ing dengan jurus Thay-san-ya-ting. Sebenarnya Tok-ko Ing
mahir dalam ilmu pedang. Hanya karena tadi ia menderita kegoncangan hati yang hebat, maka
permainannya pun rancu. Ketika pedangnya hampir terhantam tok-kang-tong-jin, tiba-tiba
terdengar suara busur mengatup. Ternyata Lu Hong-jun lepaskan anak panah ke arah opsir itu.
Anak panah masuk ke punggung si opsir menembus sampai ke dada. Opsir itu terjungkal, gada
tokkak-
tong-jinnya menghantam tanah sampai muncrat kemana-mana.
Tok-ko Ing tersentak dan tersadar dari lamunannya. Lu Hong-jun lari menghampiri. Masih
jauh sudah berseru: Apakah nona Ing terluka?
Tok-ko Ing merah wajahnya dan menghaturkan terima kasih kepada pemuda itu. Demikianlah
dua pasang kakak adik, maju membuka jalan.
Sebelum Yak-bwe dan In-nio dapat mengejar Khik-sia, tiba-tiba mereka mendengar lengking
suara yang menusuk telinga. Suhengmu di sini, apa kau masih berani kurang ajar!?
Seorang yang wajahnya mirip kunyuk, melesat keluar dari tengah penonton. Itulah Ceng-cengji.
Ternyata Ceng-ceng-ji memang sudah bersekongkol dengan Yo Bok-lo. Hanya ia yang bertugas
untuk menyelinap di antara penonton. Begitu Toh Hok-wi mengumumkan nama kesepuluh
pemberontak, iapun segera siap bertindak.
Kuatir kalau tak keburu menghadang Khik-sia hingga anak muda itu nanti sempat membantu
Thiat-mo-lek, maka dalam bingungnya tanpa minta permisi pada orang-orang lagi, Ceng-ceng-ji
sudah enjot tubuhnya melayang melampaui kepala para penonton yang menghadang jalannya.
Dengan gunakan lwekang isitmewa, ia injak kepala orang untuk melambung ke udara. Tapi
injakan
itu sedemikian rupa hingga tak sampai membuat sakit orang. Namun sekalipun begitu, karena
orang-orang yang datang di pertemuan itu kebanyakan adalah jago-jago silat, jangankan sampai
dipijak kepalanya, sedang dilampaui kepalanya saja mereka sudah merasa dihina. Seketika
terbitlah
hujan makian. Kalau tadi mereka hanya tak simpati kepada Ceng-ceng-ji, kini rasa itu meningkat
jadi rasa kebencian.
Saat itu Khik-sia sedang dihadang oleh beberapa orang. Melihat Ceng-ceng-ji muncul,
marahlah anak muda itu. Sebaliknya orang-orang yang mengeroyoknya itu, tambah bersemangat.
Sebenarnya mudah sekali Khik-sia membunuh mereka, tapi mengingat mereka itu juga sesama
kaum persilatan, bagaimanapun Khik-sia tak tega juga.
Bagus, kebetulan Ceng-ceng-ji datang. Biarkan dia berhantam dengan kawan-kawannya
sendiri! secepat mendapat akal secepat itu Khik-sia menyambar seorang pengeroyoknya yang

bersenjata kapak, terus dilemparkan ke arah Ceng-ceng-ji.
Lemparan Khik-sia itu hebat sekali. Kalau Ceng-ceng-ji tak mau menyambuti orang itu tentu
mati, paling tidak kepalanya tentu bebodoran darah. Ketika mengawasi, dilihatnya orang yang
dilempar Khik-sia itu adalah masih pamannya Ki Ping-hwat. Ki Ping-hwat seorang benggolan
penjahat yang sudah seperti saudara dengan Ceng-ceng-ji. Di antara kaum ya-pay yang diundang
Ceng-ceng-ji supaya datang ke pertemuan itu, antaranya juga Ki Ping-hwat. Sudah tentu
Cengceng-
ji terpaksa harus menyambut pamannya Ki Ping-hwat itu.
Dalam melayang, orang itu masih mencekal kapaknya. Dan lemparan Khik-sia itu
membuatnya pusing tujuh keliling. Begitu kakinya dicekal Ceng-ceng-ji, tanpa melihat lagi
orang
itu sudah lantas ayunkan kapaknya menghantam iblis, ia menerjang.
Goblok, inilah aku! bentak Ceng-ceng-ji menutuk kapak orang dengan sebuah jarinya. Dan
sekali ringkus, ia turunkan orang itu. Dia dapat diselamatkan tapi tangan Ceng-ceng-ji merasa
kesemutan karena harus menyambuti sebuah 'daging' dari 100-an kati yang dilempar sekuat-
kuatnya
oleh Khik-sia.
Ha, Ceng-ceng-ji, kau memang goblok! Khik-sia tertawa mengejek dan terus menyambar
seorang lagi untuk dilemparkan pada Ceng-ceng-ji.
Orang ini adalah murid kepala dari Pok Yang-kau, seorang sahabat baik Ceng-ceng-ji. Karena
itu terpaksa Ceng-ceng-ji harus menyambutinya lagi. Tapi sekarang ia sudah punya pengalaman.
Lebih dulu ia gunakan ilmu tutukand ari jauh kek-gong-tiam-hiat, kemudian baru disanggupi dan
dibuka jalan darahnya. Tapi orang yang kedua ini jauh lebih gemuk dari yang ke satu. Maka
waktu
menyambuti pun Ceng-ceng-ji 'hos' napasnya.
Demi melihat kegagahan Khik-sia, orang-orang yang hendak mengeroyoknya tadi kuncup
nyalinya dan sama menyingkir. Khik-sia tertawa, terus menerobos ke muka. Dengan
tersengalsengal,
Ceng-ceng-ji mengejar. Tiba-tiba terdengar suara orang tua memakinya: Kunyuk kecil,
gantilah buli-buliku!
Yang memaki itu ternyata Hong-kay Wi Gwat. Seperti diketahui, buli-buli arak yang amat
disayangi pengemis gila itu, ketika dalam rapat besar Kay-pang telah dipecahkan oleh Ceng-
ceng-ji.
Wi Gwat benci setengah mati pada Ceng-ceng-ji.
Pengemis tua, jangan ngaco! Kita hendak menangkap pemberontak. Kau toh bukan termasuk
pemberontak, mengapa ikut-ikutan campur? Ceng-ceng-ji marah.
Aku tak peduli pemberontak atau bukan, pendek kata kau harus segera mengganti buli-buli
yang persis seperti kepunyaanku tempo hari. Kalau tidak, mereka menangkap pemberontak, aku
menangkap kau!
Saking gusarnya Ceng-ceng-ji sampai meringis. Ia balas memaki: Kau benar-benar orang
gila!
Sekonyong-konyong Wi Gwat ngangakan mulut dan meluncurlah bianglala arak di udara,
serunya: Coba cicipilah arak ini. Karena kutaruhkan dalam buli-buli baru, rasanya kurang enak.
Kuminta ganti, itu sudah maha adil. Mengapa kau berani memaki aku orang gila?
Ginkang Ceng-ceng-ji lebih unggul dari Wi Gwat. Tapi karena tadi dua kali ia menyambuti
lemparan orang, tenaganya agak berkurang, ginkangnyapun terganggu. Semburan arak Wi Gwat
itu
tak diduga-duga, sehingga ia tak sempat menghindar lagi. Kepala dan mukanya tili-tili kena
hujan
arak. Panasnya bukan kepalang!
Ceng-ceng-ji katupkan matanya. Tahu-tahu Wi Gwat sudah loncat dan memukul punggungnya.
Mendengar sambaran anginnya, Ceng-ceng-ji sabatkan pedangnya ke belakang. Pedangnya itu
tajam bukan buatan, di samping itu dilumuri racun juga. Wi Gwat juga jeri. Cepat-cepat ia tarik
pulang tinjunya tapi berbareng itu ia kirim jotosan tangan kiri. Ceng-ceng-ji menghindar, namun
slentikan jari Wi Gwat tak dapa dielakkan. Tring, pedang kena ditutuk. Karena sakitnya hampir
saja tangan Ceng-ceng-ji tak kuat mencekal pedangnya lagi.
Wi Gwat tertawa gelak-gelak. Kunyuk kecil, boleh tak usah ganti buli-buliku, asal kau
berlutut mengangguk kepala padaku! -- Dalam berkata-kata itu, Wi Gwat sudah lancarkan tujuh
buah pukulan.
Sembari berlincahan menghindar, Ceng-ceng-ji mempesut arak pada mukanya. Setelah dapat

membuka mata, barulah ia balas menyerang. Karena dibuat mainan itu, Ceng-ceng-ji marah
sekali.
Kalau dapat ia hendak meremuk-remuk pengemis tua itu, namun tenaganya tak mampu.
Kecuali hanya kalah dalam ilmu ginkang, lain-lain kepandaian Wi Gwat lebih lihay dari
Cengceng-
ji. Apalagi dalam hal kedahsyatan tenaga pukulan, benar-benar Ceng-ceng-ji ketinggalan
jauh. Betapapun Ceng-ceng-ji mati-matian melawannya, tapi pedangnya tak mampu mendekati
tubuh Wi Gwat, paling banyak masih terpisah tiga dim dari tubuh pengemis itu, sudah kena
disisihkan oleh angin pukulannya.
Sepuluh jurus kemudian, pukulan Wi Gwat makin gencar sehingga Ceng-ceng-ji seperti
dipagari dengan tembok pukulan. Sekalipun Ceng-ceng-ji hendak gunakan ginkang, rasanya
tetap
tak mampu keluar dari kepungan itu.
Tangan kanan dan tangan kiri Ceng-ceng-ji, yakni Ki Ping-hwat dan Po Yang-kau, buru-buru
datang menolong. Long-ya-pang atau toya gigi serigala yang digunakan Ki Ping-hwat, termasuk
senjata yang lihay. Dan Ki Ping-hwat itu dalam kalangan ya-pay (jahat), termasuk sepuluh tokoh
yang menonjol. Ilmu lwekang khun-gwan-it-bu-kang dari Pok Yang-kau, termasuk ilmu
istimewa
dalam dunia persilatan. Memang tenaganya tak sehebat Wi Gwat, tapi andaikata ia bertempur
sendirian dengan pengemis tua itu, ia masih dapat bertahan sampai dua-tiga puluh jurus.
Karena dikerubuti oleh tokoh-tokoh begitu, dari menyerang sekarang Wi Gwat berbalik
bertahan. Ciok Ceng-yang, murid keponakan Wi Gwat, memburu datang. Ciok Ceng-yang
merupakan murid angkatan kedua dari Kay-pang yang paling tinggi kepandaiannya. Dengan
gunakan hang-mo-ciang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan iblis, ia menerjang. Dengan
masuknya tokoh Kay-pang itu, pertandingan menjadi berimbang.
Kalau di bawah panggung pertempuran berlangsung hebat, pun di atas panggung tak kurang
tegangnya. Menghadapi tiga musuh, Thiat-mo-lek bertempur dengan mati-matian. Munculnya
Khik-sia, sungguh tepat sekali waktunya.
Bangsat tua, lihat pedangku! teriak jago muda itu sembari menerjang Yo Bok-lo. Yo Bok-lo
hantamkan sepasang tangannya, anginnya laksana prahara di lautan. Namun dengan menggeliat
Khik-sia tetap merangsangnya dengan serangan pedang bertubi-tubi, sehingga tak dapat Yo Bok-
lo
menggunakan tenaga. Andaikata dapatpun tetap tak kuasa menahan arus serangan si anak muda.
Akhirnya ia ambil putusan, lepaskan Thiat-mo-lek dan melayani Khik-sia dengan sepenuh
tenaganya.
Berkurang seorang lawan, ringanlah Thiat-mo-lek. Seketika bangkitlah semangatnya: Kalian
mau menyingkir tidak? -- Ia putar pedangnya seperti orang membacok dengan golok. Itulah
ilmu
pedang yang diciptakannya sendiri. Hebatnya bukan kepalang.
Toh Hok-wi yang kepandaiannya agak rendah, telah digetarkan hatinya oleh bentakan Thiatmo-
lek tadi. Sebelum ia sadar pedang Thiat-mo-lek sudah menyambar ke arah kepalanya.
Tergopoh-gopoh Toh Hok-wi menangkis dengan goloknya. Tring, Toh Hok-wi rasakan
tangannya
seperti pecah dan goloknyapun jatuh ke lantai. Tanpa malu-malu lagi dirinya sebagai pemimpin
pasukan pengawal kota, Toh Hok-wi bergelundungan di atas panggung untuk menghindari
pedang
orang.
Untung Thiat-mo-lek memang tak bermaksud hendak membunuhnya. Setelah dapat membobol
kepungan, ia menyerukan Khik-sia supaya tinggalkan lawan dan ikut padanya. Khik-sia tahu
maksud piaukonya ialah hendak menolong Cin Siang lebih dulu. Maka walaupun ia menang
angin,
tapi terpaksa tinggalkan Yo Bok-lo juga.
Sebenarnya Yo Bok-lo sendiri juga kuatir terlibat dalam pertempuran. Namun ketika ia
menghindar dari tusukan Khik-sia dan tampak anak muda itu loncat lari, ia masih pura-pura
membentaknya: Bangsat kecil, jangan lari!
Kalau berani, kejarlah aku! Khik-sia tertawa mengejeknya sambil ikut Thiat-mo-lek loncat
turun panggung.
Celaka, mereka hendak merampas Cin Siang! teriak Bu Wi-yang. Tapi tiba-tiba Yo Bok-lo
mendapat pikiran, serunya: Toh tayjin, pimpinlah pasukan Theng-pay-kun meringkus pengemis
tua
itu. Biarkan Ceng-ceng-ji dapat membantu aku. Biar bagaimanapun, hari ini jangan sampai
Thiatmo-
lek dan Toan Khik-sia bisa lolos!

Dengan kekalahan tadi, Toh Hok-wi kehilangan muka benar-benar. Pikirnya: asal jangan
disuruh berhadapan lagi dengan Thiat-mo-lek, ia tentu dapat menebus malu. Setitikpun ia tak
mimpi bahwa Wi Gwat itu tak kalah lihay dengan Thiat-mo-lek.
Suasana di lapangan ketentaraan itu, kacau balau. Walaupun yang akan ditangkap itu hanya
sepuluh pemberontak, tapi mereka itu, kecuali Su Tiau-ing dan Coh Ping-gwan yang tak dikenal
orang itu, semua adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Teristimewa Thiat-mo-lek dan Bo
Se-kiat. Yang satu pemimpin loklim. Dengan sendirinya banyaklah orang gagah yang sedia
membantunya. (Sekalian hadirin tak mengetahui bahwa Bo Se-kiat tak berada di situ). Tapi
disamping itu tak kurang jumlahnya jago-jago yang karena temaha akan hadiah besar, telah
membantu pada pihak tentara. Antara golongan pro dan kontra itu telah terbit pertempuran
sendiri
yang seru.
Pasukan Gi-lim-kun dan pasukan penjaga kota dari Toh Hok-wi, itu waktu berada di samping
gelanggang, segera siapkan senjata dan panah. Karena pertempuran kacau balau tak dapat
mengetahui mana lawan mana kawan, maka pasukan-pasukan itu tak berani melepaskan anak
panahnya. Mereka hanya mengepung rapat, supaya jangan ada orang yang bisa lolos. Tetapi
terdapat perbedaan sikap antara kedua pasukan Gi-lim-kun dan Seng-hong-kun itu. Gi-lim-kun
penasaran karena pemimpin mereka (Cin Siang) ditangkap. Hanya karena tak berani
membangkang
perintah raja, maka mereka tak berani melawan.
Toh Hok-wi segera perintahkan Cin Siang dan Utti Pak yang sudah diborgol itu supaya lekas
digusur pergi agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tapi karena di gelanggang
situ penuh sesak dengan orang yang bertempur, jadi mereka tak dapat membawa kedua tahanan
itu.
Khik-sia, lindungi aku dari belakang! seru Thiat-mo-lek. Ia sendiri lantas membuka jalan
darah. Siapa yang menghalangi tentu dihajarnya. Entah sudah berapa banyak golok, tombak dan
pedang yang kena dibabat kutung olehnya. Sudah tentu kawanan pasukan pemerintah itu tak
berani
menghadapi kegagahan Thiat-mo-lek.
Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras dan karena kejutnya kawanan tentara itu menyiak
minggir. Thiat-mo-lek menerobos maju mengejar Cin Siang. Serunya: Cin toako, orang kuno
mengatakan 'mengabdi raja seperti mengawani harimau'. Kerajaan tak mau memakaimu,
mengapa
kau tak mau ceburkan diri dalam dunia persilatan saja? Marilah ikut siaute!
Ia hantam perwira yang memegangi Cin Siang dan memutuskan tali-tali yang mengikat tubuh
Cin Siang. Tapi waktu ia hendak menghancurkan borgo, tiba-tiba Cin Siang membentaknya
dengan
murka: Berhenti!
Belum tangan Thiat-mo-lek menyentuh borgolan, benda itu sudah putus sendiri. Thiat-mo-lek
tertegun, serunya: Toako, harap suka mendengar kata-kata siaute ....
Belum sempat Thiat-mo-lek menyelesaikan kata-katanya, Cin Siang sudah mendorongnya:
Mo-lek, kau hendak menjerumuskan aku menjadi manusia yang tak setia dan tak berbudi? Jika
aku mau melarikan diri, tak perlu harus kau tolong! Harap kau tinggalkan tempat ini dan
persahabatan kita tetap. Tapi jika kau berani maju selangkah lagi, akan kuanggap kau sebagai
musuhku!
Kiranya sejak tadi Cin siang sudah menyalurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang
ditutuk Yo Bok-lo. Cin Siang seorang gagah perkasa. Jika mau melarikan diri semudah orang
balikkan telapak tangan. Tapi dia adalah keturunan dari menteri negara yang setia. Ajaran bahwa
'jika raja menghendaki menteri supaya mati, ia harus mati. Ayah suruh puteranya mati, pun
putera
itu harus mati', rupanya sudah berakar dalam sanubarinya. Sudah tentu ia tak mau berdosa
kepada
raja.
Setelah dapat mendorong Thiat-mo-lek, ia berseru: Mari, ambil borgol lagi untuk aku!
Perwira yang membawanya tadi baru saja merangkak bangun. Tubuhnya gemetar, kakinya
lemas lunglai.
Sebenarnya tak usah pakai borgol juga sama. Tapi karena peraturan kaisar harus begitu, maka
harus diturut. Biarlah kupasangnya sendiri lagi, Cin Siang tertawa lalu memungut alat borgol
yang
jatuh di tanah tadi terus dipasang di tangannya sendiri. Alat borgol itu sudah putus karena
kekuatan
lwekangnya. Tapi sekalipun sudah tak kokoh, masih dapat dipakai lagi.

Asal sudah menurut perintah baginda, hatiku sudah tenang. Mari kita jalan! serunya.
Melihat Cin siang memasang sendiri borgolannya lagi, girang si perwira tak terperikan. Kuatir
akan timbul lain kejadian, buru-buru ia membawa Cin Siang pergi.
Kepandaian Cin Siang dan Thiat-mo-lek itu berimbang, pun tenaganya sama kuat. Hanya tadi
karena hendak membuka borgolan Cin Siang, Thiat-mo-lek sudah tak mengira kalau Cin Siang
hendak mendorongnya. Karena Cin Siang menggunakan tenaga cukup, maka walaupun Thiat-
molek
tak sampai terlempar jatuh, pun tak urung ia terhuyung-huyung ke belakang sampai satu tombak
lebih jauhnya. Waktu Thiat-mo-lek dapat berdiri tegak, rupanya Cin Siang tak mau diganggu
lagi,
maka dorongannya tadi disertai dengan tenaga lipat yang istimewa. Habis mendorong masih ada
segelombang tenaga yang menyusul. Ilmu dorongan istimewa itu disebut Liong-bun-tiap-long,
yakni ilmu warisan keluarga Cin yang termasyhur.
Walaupun menjadi sahabat baik tapi Thiat-mo-lek belum pernah menyaksikan kepandaian Cin
Siang. Tenaga susulan dari dorongan tadi telah membuat Thiat-mo-lek yang baru saja dapat
berdiri
tegak itu harus menyurut mundur tiga langkah lagi. Terpaksa Thiat-mo-lek harus berputar-putar
tubuh dulu baru dapat menghapus arus tenaga Cin Siang.
Ah, Cin toako, mengapa kau rela menderita! teriak Thiat-mo-lek.
Tapi pada saat itu Bu Wi-yang sudah muncul. Melihat kesempatan sebagus itu, Bu Wi-yang
terus menyabet Thiat-mo-lek dengan cambuk. Karena kakinya belum tegak, Thiat-mo-lek tak
dapat
menghindar. Tar, punggungnya berhias dengan guratan darah yang panjang. Bu Wi-yang lantas
mencambuk lagi tapi dengan menggerung keras, Thiat-mo-lek menyambar tangkai cambuk.
Sekali
menyentak, Bu Wi-yang terseret hampir jatuh. Namun karena cambuk kim-pian, iapun
mempertahankan mati-matian tak mau melepaskannya. Celaka, karena tergosok kim-pian,
telapak
tangannya pecah mengeluarkan darah.
Utti Pak yang berjalan di muka Cin Siang, demi mendengar suara sabetan cambuk, cepat
berpaling ke belakang. Matanya melotot dan mulutnya berseru menggeledek: Bu Wi-yang, kau
berani menggunakan kim-pianku? Kalau baginda yang mengambil, aku tak berani membantah.
Tapi jika kau hendak mempergunakan menghajar orang, aku tak dapat membiarkan!
Sekali kerahkan tenaga, borgolannyapun lantas putus berantakan. Kiranya diapun tadi-tadi
sudah mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Dalam hal tenaga, ia
lebih kuat dari Cin Siang. Apalagi sedang marah besar.
Melihat itu, Bu Wi-yang pun tersentak kaget. Buru-buru ia tarik kim-piannya dan berseru:
Utti ciangkun, kau, kau .... -- Baru ia hendak memperlihatkan surat perintah raja, Cin Siang
sudah
melangkah maju dan membentak Utti Pak: Jite, jangan sembrono! Apa kau masih mau
memupuk
kedosaan lagi? Kita harus menyerah pada keputusan baginda, jangan sekali-kali bertindak
sendiri.
Lekas pasang lagi borgolanmu!
Dalam hidupnya Utti Pak hanya menurut pada Cin Siang seorang. Apa boleh buat, ia terpaksa
minta alat pemborgol baru pada si perwira tadi. Setelah memasangkan borgolannya sendiri, ia
berseru: Toako, jika tak memandang kau, dia tentu sudah kurobek-robek tulangnya! Thiat
hiante,
tolong kau wakilkan aku menghajarnya!
Cin Siang kerutkan alisnya: Thiat hiante, jika dapat pergi lekaslah pergi, jangan menerjang
bahaya besar!
Sambil berkata itu ia mendorong Utti Pak supaya jalan.
Tak usah mendorong-dorong, aku toh menurut apa perintahmu. Urusan kerajaan toh aku
bakal tak melihat lagi, terserah keputusan mereka, si berangasan Utti Pak mengomel. Ia kecewa.
Dengan menyeret rantai borgolan ia terus berjalan. Begitu cepat jalannya hingga opsir yang
membawanya itu sampai ketinggalan.
Dalam pada itu karena kim-piannya terampas, Bu Wi-yang cepat mengeluarkan sepasang kait
hou-thau-kau, terus menyerang: Thiat-mo-lek, kau berani merampas kim-pian dari baginda
Thay
Cong?
Sebenarnya ia jeri juga menghadapi Thiat-mo-lek, tapi apa boleh buat karena menjalankan
perintah raja. Jika kim-pian itu sampai hilang, tentu celaka ia. Ya, mungkin karena disayang raja,
ia tak sampai dihukum mati, tetapi bagaimanapun juga kedudukannya pasti hilang. Kalau sampai

begitu, cita-citanya untuk menjadi pemimpin Gi-lim-kun tentu amblas. Maka dengan mati-
matian
ia berusaha merebut kim-pian lagi.
Menggenggam kim-pian, hati Thiat-mo-lek merasa sayu. Dia yang dahulu begitu setia
menjaga baginda Hiang Cong lolos dari bahaya, toh akhirnya difitnah oleh kawanan dorna
hingga
hampir saja jiwanya hilang. Utti Pak lebih menggenaskan lagi nasibnya. Padahal dia itu
keturunan
Utti Kiong, seorang menteri yang berjasa besar pada baginda Li Si-bin, pendiri ahala Tong.
Dalam kesayuan itu, tiba-tiba Thiat-mo-lek tertawa sinis. Kim-pian diputarnya: Persetan
dengan segala pitutur emas. Hm, hm, kiranya apa yang dikatakan kaisar itu tak boleh diganggu
gugat! Utti toako, kim-pian ini kau anggap sebagai pelindungmu, tapi ternyata raja sudah tak
menganggap lagi kepada leluhurnya. Ha, ha, meskipun kim-pian emas ini beratnya lebih dari
sepuluh kati, tapi bagiku tak berharga sepeser buta. Kubawa tewas mengotori tanganku saja.
Persetan dengan kim-pian, enyahlah!
Sekali putar ia lepaskan kim-pian itu dan tertawa sinis pula: Bu Wi-yang, terimalah benda
yang kau kehendaki ini!
Kim-pian melayang, anginnya menderu-deru. Bu Wi-yang tak berani menyambuti. Buru-buru
ia tundukkan kepala. Plak, opsir yang di belakangnya termakan perutnya. Dua buah tulangnya
patah seketika. Setelah itu baru Bu Wi-yang berani loncat memungutnya. Takut kalau dirampas
Thiat-mo-lek lagi, ia tak berani memakainya.
Habis melampiaskan kemarahannya, Thiat-mo-lek mendongak tertawa keras. Nadanya penuh
dengan kerawanan. Ketika memandang ke muka, dilihatnya Cin Siang dan Utti Pak sudah
berjalan
jauh. Betapa keras dan tegas biasanya dia itu, tetapi menyaksikan pemandangan yang
menggenaskan itu, tak urung hatinya pedih juga. Sampai sekian saat ia termenung-menung.
Cin toako berkeras ingin menjadi menteri yang setia. Dia relah mengorbankan jiwanya untuk
aku, tetapi aku tak dapat menolongnya. Ah, bagaimana ini? demikian hatinya gundah.
Sirapnya ketawa Thiat-mo-lek telah diganti dengan timbulnya suara ketawa sinis dari Yo Boklo:
Thiat-mo-lek, jiwamu sendiri sukar dipertanggung-jawabkan, mengapa melamun hendak
menolong sahabatmu? Bagimu seorang pemberontak memang harus menerima hukuman
cincang,
tapi mengapa kau merembet Cin Siang dan Utti Pak juga? Kau membanggakan dirimu sebagai
seorang ksatria, apakah kau tak malu dengan perbuatanmu itu? Jika aku menjadi kau, tentu
segera
membunuh diri!
Yo Bok-lo telah mengetahui isi hati Thiat-mo-lek dari nada ketawanya yang rawan tadi. Ia
coba menggunakan kata-kata tajam untuk menusuk hati orang agar Thiat-mo-lek bunuh diri saja.
Saat itu karena sedihnya Thiat-mo-lek sampai berlinang-linang air mata. Kesempatan itu tak
disia-siakan Yo Bok-lo. Cepat ia gunakan gerakan chit-poh-tui-hun menyelinap ke belakang
Thiatmo-
lek. Maksudnya hendak membokongnya.
Kentut! Kentut! dari jauh Khik-sia berteriak membentak. Kau sendiri hai bangsat tua, yang
seharusnya bunuh diri. Lupakah bahwa dulu kau pernah menjadi anteknya An Lok-san? Hm, hm,
mengapa kau berkulit muka tebal berani memaki-makin orang sebagai pemberontak!
Karena ia sedang melindungi Thiat-mo-lek dari belakang, itu waktu ia sedang menggasak
beberapa tay-hwe-wi-su, maka ia masih belum sempat menghampiri piaukonya.
Thiat-mo-lek tersentak dan sadarlah pikirannya yang gelap tadi. Secepat merasa ada angin
menyambar dari belakang, dengan menggerung keras ia balikkan tangannya menghantam ke
belakang, bentaknya: Benar! Sebelum aku mati, harus membunuhmu seorang bangsat yang tak
punya malu!
Benturan pukulan itu telah menerbitkan suara keras. Dua-duanya menggunakan tenaga penuh.
Tapi kesudahannya, Yo Bok-lo tersurut mundur beberapa langkah.
Meskipun jeri tapi karena jumlahnya lebih banyak, maka setelah menyerahkan kim-pian pada
orang kepercayaannya, Bu Ti-yang pun lantas menyerang Thiat-mo-lek dengan sepasang kaitan.
Yob Bok-lo lebih-lebih tak mau lepaskan Thiat-mo-lek. Apalagi karena dilihatnya Ceng-ceng-ji
sudah terlepas dari gangguan Wi Gwat dan tengah lari mendatangi. Cepat ia maju untuk
mengeroyok Thiat-mo-lek.
Sebenarnya kepandaian Yo Bok-lo itu terpaut tak banyak dengan Thiat-mo-lek. Ditambah

dengan Bu Wi-yang, dapatlah mereka mengimbangi Thiat-mo-lek. Sepasang kait hou-thau-kau
atau
kepala macan dari Bu Wi-yang itu sebenarnya khusus untuk menundukkan golok dan pedang.
Karena Thiat-mo-lek harus menumpahkan sebagian besar perhatiannya kepada Yo Bok-lo, maka
ia
belum sempat menghancurkan kaitan Bu Wi-yang. Jika Bu Wi-yang belum patah nyalinya,
mereka
tentu menang angin.
Khik-sia cepat mengundurkan kawanan opsir, tapi ketika ia hendak menghampiri piaukonya,
Ceng-ceng-ji sudah mencegatnya: Budak kecil, hm, kau berani tak menurut pada suhengmu?
Mengingat kau masih muda tak mengerti pengalaman, maka lepaskan senjatamu, biar
kumintakan
ampun pada Bu tayjin, mungkin kau dapat dibebaskan dari hukuman mati, seru Ceng-ceng-ji.
Cis, tak tahu malu! Kau masih pantas menjadi suhengku? Untung tadi aku tak mati kau tipu.
Lihat pedangku! Khik-sia murka. Ceng-ceng-ji melancarkan tujuh rangkai serangan, tapi Khik-
sia
membalasnya dengan delapan buah tabasan.
Menurut penilaian, kepandaian Khik-sia sekarang lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji.
Tapi karena sumbernya sama-sama dari satu perguruan apalagi Ceng-ceng-ji lebih menang
dalam
hal pedang (pusaka), maka sukar juga bagi Khik-sia untuk memenangkannya.
Selagi pertempuran berlangsung seru, tiba-tiba terdengar suara teriakan gempar dari kawanan
tentara. Begitu hiruk pikuk sampai suara beradunya senjata jago-jago yang bertempur itu tak
kedengaran. Kiranya ketika si opsir berhasil membawa Cin Siang dan Utti Pak ke samping
gelanggang, baru mereka hendak suruh pasukan penjaga membuka pintu, telah diketahui oleh
sebagian anak buah Gi-lim-kun. Pasukan Gi-lim-kun sebenarnya tak bertugas menjaga pintu, tapi
melihat pemimpinnya (Cin Siang dan Utti Pak) diborgol, mereka berbondong-bondong
menghampiri dan mengepung opsir itu.
Siapa yang berani menggusur Cin tayjin, akan kuremukkan kepalanya! -- Cin tayjin, kami
takkan membiarkan tayjin dicelakai kawanan dorna. Jika mereka hendak membawa tayjin, kami
akan mengawal juga! -- Lebih baik kami mengantar tayjin menghadap kaisar. Seluruh pasukan
Gi-lim-kun akan menghadap dan minta baginda memberi penjelasan!
Demikian suara hiruk pikuk yang menggemparkan tadi. Sana sini sama berteriak-teriak hendak
membela Cin Siang. Yang satu lebih keras dari yang lain. Opsir yang membawa kedua jenderal
itu
sampai pucat dan mandi keringat dingin.
Malah beberapa anak buah Gi-lim-kun yang menjadi pengikut lama dari Cin Siang sudah lantas
mencabut senjata dan berseru: Bunuh dulu kedua jahanam ini!
Kedua opsir itu terbang semangatnya. Mereka tersipu-sipu berlutut di hadapan Cin Siang dan
merintih: Cin tayjin, tolonglah jiwa kami!
Cin Siang gentakkan rantai borgolannya untuk menangkis senjata orangnya tadi, bentaknya:
Mereka tak bersalah. Jangan saudara-saudara berbuat begitu. Dengarlah perintahku!
Beberapa pengikutnya setia itu dipanggil maju lalu diberi penjelasan: Kalian semua telah ikut
aku bertahun-tahun, apakah masih tak tahu akan watakku? Aku hanya menjunjung peraturan
negara, tidak mementingkan kepentingan pribadi. Jika aku membangkang, masakan mereka
dapat
membawa aku? Apakah keputusan yang dijatuhkan pada diriku nanti adil atau tidak, terserah atas
kebijaksanaan baginda. Kalian semua ribut-ribut begini berarti menyalahi peraturan negara.
Bahwa
kalian membela aku, aku amat berterima kasih sekali. Tapi apabila pembelaan kalian itu sampai
menyalahi peraturan negara, aku tak mengijinkan! Siapa di antara kalian yang berani turun
tangan,
tentu kubunuh dulu baru kemudian aku bunuh diri selaku menghaturkan terima kasih atas
budinya!
Mendengar kata-kata pemimpinnya, anak buah Gi-lim-kun itu saling berpandangan satu sama
lain. Suara hiruk pikuk, sirap seketika. Dan diam-diam mereka sama memberi jalan. Penjaga
pintu
adalah orangnya Toh Hok-wi. Mereka sudah siap dengan kereta pesakitan. Mereka segera
mendorong keluar. Cin Siang menarik Utti Pak masuk ke dalam kereta itu. Sebelumnya ia
memberi isyarat tangan kepada anak buahnya tadi: Di mana kalian ditugaskan tadi, lekas
kembali
ke posmu. Karena sekarang statusku menjadi orang tahanan, kekuasaanku pun gugur. Kalian
selanjutnya harus mendengar perintah Bu dan Toh tayjin, tak boleh membangkang!
Belasan anak buah Gi-lim-kun yang sudah bertahun-tahun mengikut Cin Siang itu, menangis
terisak-isak. Dalam suasana yang merawankan itu, kereta pesakitanpun didorong keluar pintu

gerbang.
Belum lagi pintu gerbang ditutup, sekonyon-konyong sesosok tubuh melesat ke arah kereta
pesakitan. Orang itu longokkan kepalanya melihat ke dalam.
Wanita siluman dari mana ini, enyahlah! Cin Siang membentaknya. Bum, laksana anak
panah orang itu melayang ke dalam pintu, bergelundungan seperti bola.
Kawanan serdadu yang menjaga pintu menjerit kaget. Kiranya orang itu adalah seorang
wanita. Kedengaran wanita itu memaki seorang diri: Penasaran, sungguh penasaran sekali!
Kukira muridku perempuan, kiranya pesakitan yang bertenaga besar!
Anak buah Gi-lim-kun yang memberi jalan pada Cin Sian tadi masih belum sempat merapat
lagi. Gerakan wanita itu tangkas sekali. Secepat kilat ia sudah menerobos di tengah-tengah
mereka. Tahu-tahu beberapa opsir telah mandi darah. Kuatir kalau di luar masih ada kawan si
wanita luar biasa lagi, maka kawanan penjaga buru-buru menutup pintu. Wanita aneh itu
menyusup
ke dalam gelanggang. Karena di gelanggang masih berlangsung pertempuran seru, maka sekejap
saja wanita itu sudah tak kelihatan bayangannya.
Kiranya wanita aneh itu bukan lain ialah suhu dari Su Tiau-ing yaitu Shin Ci-koh. Kiranya ia
telah mendapat keterangan dari muridnya ke satu Liong Seng-hiang (nona penjual silat yang
berhasil keluar sebelum pintu besi ditutup). Shin Ci-koh masuk ke dalam lapangan karena
hendak
menolong Su Tiau-ing yang dikiranya tentu berada di dalam.
Shin Ci-koh mempunyai tiga anak murid. Di antara mereka yang paling disayang adalah Su
Tiau-ing, muridnya yang nomor tiga. Begitu mendapat laporan dari Liong Seng-hiang, ia
tergopohgopoh
menuju ke lapangan. Tapi saat itu, keenam pintu besar dan sembilan pintu samping sudah
ditutup. Pada waktu ia mencari akal untuk masuk, tiba-tiba pintu terbuka dan sebuah kereta
pesakitan didorong keluar. Mengira Su Tiau-ing berada di dalamnya, Shin Ci-koh terus
memeriksanya. Tapi alangkah kagetnya ketika disambut dengan pukulan oleh Cin Siang.
Celakanya, untuk melampiaskan kemarahan, beberapa opsir yang menjaga pintu itu sudah
dihajarnya. Hanya dalam sedetik gerakan kawanan opsir itu kena dilukainya dengan pedang.
Selama ini Shin Ci-koh belum pernah ada yang menandingi karena itu ia menjadi angkuh.
Bahwa hari itu ia kena dipukul Cin Siang, barulah yang pertama kali dalam sejarah hidupnya.
Walaupun berkat lwekangnya yang tinggi, ia tak sampai terluka namun ia terkejut juga. Pikirnya:
Kutahu kawanan opsir kerajaan itu bangsa guci arak kantong nasi semua, siapa tahu seorang
opsir
yang menjadi pesakitan ternyata begitu lihay sekali. Jangan-jangan Su Tiau-ing mendapat
bahaya.
Hm, jika berhasil menolong Su Tiau-ing, pertama yang akan kulakukan ialah mencari pesakitan
itu
untuk membikin perhitungan. Tapi entah dia melanggar kesalahan apa saja? Kuharap raja jangan
buru-buru menghukumnya mati dulu, agar aku sempat membalas dendam padanya!
Sebenarnya kepandaian Shin Ci-koh itu tak kalah dengan Cin Siang. Hanya dalam tenaga, Cin
Siang lebih unggul sedikit. Karena tak menyangka bakal menerima pukulan, Shin Ci-koh yang
tak
bersiap ,telah menderita kerugian.
Di antara gundukan manusia yang tengah bertempur itu, berulang kali Shin Ci-koh meneriaki
Tiau-ing sambil mencari kian kemari. Ia tak menghiraukan orang-orang itu dan orang-orang
itupun
tak mempedulikan ia.
Di antara yang bertempur itu, partai Thiat-mo-lek lah yang paling dahsyat. Dengan gagah
perkasa Thiat-mo-lek mainkan pedangnya. Suaranya sampai menimbulkan angin menderu-deru.
Dalam lingkaran beberapa tombak, pasir dan batu sama beterbangan. Dalam keadaan begitu,
jangan lagi orang hendak coba memasuki lingkaran itu, sedangkan untuk berdiri tegak saja
rasanya
sukar.
Menghadapi dua lawan berat, memang beberapa kali pedang Thiat-mo-lek tersiak oleh pukulan
Yo Bok-lo, tapi Thiat-mo-lek menggerakkan seluruh anggota badannya. Tangan kiri untuk
menghantam, menutuk, menebas. Kakinya menendang, mengait dan sikunya untuk menyodok.
Kesemua gerakan itu untuk mengimbangi permainan pedangnya. Walaupun beberapa kali dapat
menyiakkan pedang Thiat-mo-lek, namun Yo Bok-lo tetap tak berani gunakan tangan kosong
untuk
merampas pedang orang. Karena itu, begitu tersiak, begitu pula dengan cepat Thiat-mo-lek dapat
merapatkan pedangnya lagi.

Sepasang kait hou-thau-kau dari Bu Wi-yang pun beberapa kali hampir terpapas kutung oleh
pedang Thiat-mo-lek, untung karena Yo Bok-lo buru-buru menghantam, Thiat-mo-lek terpaksa
tak
dapat mengembangkan permainan pedangnya. Akhirnya, kedua belah pihak bermain dengan
cepat.
Beberapa kali senjata mereka beradu, tapi secepatnya lantas terpental lagi. Thiat-mo-lek tak
dapat
memapas kutung hou-thau-kau. Bu Wi-yang tak mampun menindas pedang. Pertempuran satu
lawan dua itu berimbang, tiada yang kalah tiada yang menang.
Shin Ci-koh ketarik dengan pertandingan itu. Tanpa disadari ia memasuki lingkaran mereka.
Setelah menyaksikan sebentar, ia makin heran: Kukira Eng-hiong-tay-hwe ini tak berharga
dilihat,
ternyata ada beberapa orng yang berisi. Orang tua berwajah merah ini rupanya tentu Chit-poh-
tuihun
Yo Bok-lo. Orang tinggi besar ini entah siapa. Kepandaiannya lebih tinggi dari Yo Bok-lo.
Ha, ha, iblis tua yang selalu membanggakan diri itu sekarang ketemu batunya. Dia tentu
kehilangan
muka nanti.
Kiranya Yo Bok-lo itu sudah lebih dahulu termasyhur dari Shin Ci-koh. Daerah operasi iblis
tua itu di bagian Se-pak. Shin Ci-koh memang ada ingatan hendak menjajal kepandaian si iblis,
tapi mereka belum pernah berjumpa. Tapi karena Yo Bok-lo mempunyai potongan muka yang
istimewa, pun ilmu gerakannya chit-poh-tui-hun itu juga jarang terdapat di dunia persilatan maka
sekali lihat dapatlah Shin Ci-koh mengenalnya. Walaupun iblis itu tua itu hebat juga
kepandaiannya, tapi aku tetap dapat mengatasinya. Tetapi dengan orang gagah yang menjadi
lawannya itu, barangkali aku sukar mengalahkannya, pikirnya.
Memang seseorang yang berkepandaian tinggi, bila melihat ada orang lain yang kepandaiannya
seimbang dengannya tentu timbul niatan untuk menguji kepandaian. Pun Shin Ci-koh gatal
tangannya. Ingin sekali ia menjajal orang gagah itu (Thiat-mo-lek), tapi sesaat ia teringat
tujuannya
mencari Tiau-ing. Tak mau ia cari perkara, namun tak mau ia tinggalkan tempat itu juga.
Thiat-mo-lek, Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo mengetahui juga kalau ada seorang wanita yang
mendekati mereka. Mereka heran juga. Tetapi dalam saat-saat mengadu jiwa itu, mereka tak mau
mempedulikan wanita itu.
Tiba-tiba Shin Ci-koh melangkah maju dan menepuk bahu Yo Bok-lo pelahan: Ha, kau tentu
Yo Bok-lo, bukan? Mengapa kau berani menghina muridku?
Gerakan Yo Bok-lo gesit sekali. Namun ia tak mampu menghindar. Buru-buru ia balas
menghantam. Dengan tertawa mengikik Shin Ci-koh sudah menyurut sampai tiga tombak lebih.
Serunya: Aku bukan bangsa manusia yang suka membokong orang. Aku hanya minta kau
menjawab pertanyaanku. Kau belum kenal aku, seharusnya kau mengetahui namaku. Ya,
mengapa
kau mencelakai muridku?
Yo Bok-lo tergetar nyalinya. Buru-buru ia menyahut: Ho, kiranya Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh.
Maaf-maaf!
Tak usah kau jual keramahan padaku. Apakah muridku kau tangkap? Bilang lekas! seru
Shin Ci-koh.
Apakah muridmu itu Su Tiau-ing? Yo Bok-lo balas bertanya.
Benar. Ia dianggap pemberontak oleh pemerintah. Karena kau bersatu haluan dengan
kawanan opsir, tentu kau hendak cari pangkat memburu harta dan tentu berdiri di pihak kaisar.
Apa
kau masih menyangkal tidak mencelakai muridku?
Kau salah paham. Ya, memang. Karena pemerintah mengetahui muridmu itu adik perempuan
Su Tiau-gi, terpaksa dimasukkan dalam golongan pemberontak. Tetapi takkan dianggap sebagai
tawanan penting. Tawangan penting lain orang lagi. Telah kumintakan keringanan untuk
muridmu.
Jika kawanan tentara itu bertemu dengan muridmu, hanya boleh menggertak tak boleh
menangkapnya sungguh-sungguh. Dan ini adalah Bu tayjin yang melaksanakan perintah kaisar.
Jika tak percaya, boleh tanya padanya, sahut Yo Bok-lo.
Bu Wi-yangpun buru-buru menerangkan: Benar! Telah kuperintahkan kepada anak buahku.
Tak boleh menangkap muridmu itu. Diantara kesepuluh pemberontak yang dimasukkan daftar
itu,
hanya muridmu saja seorang wanita.
Yang bertempur dengan kami berdua ini adalah pemimpin Lok-lim, Thiat-mo-lek. Hari ini
yang hendak kita tangkap sebagai tawanan utama ialah dia. Dia banyak kawan di dunia
persilatan

dan piauko dari Toan Khik-sia pula. Kuketahui, Khik-sia itu selalu bersama dengan muridmu.
Jika
mau tahu kabar muridmu, tanya saja pada Thiat-mo-lek atau Toan Khik-sia. Kurasa adanya
muridmu sampai terlibat bahaya seperti sekarang, antara lain sebabnya ialah karena ia keliru
bergaul dengan bangsa penjahat, kata Yo bok-lo pula. Ia tahu bahwa Shin Ci-koh itu aneh
perangainya. Sok baik sok jahat menurut sekehendak hatinya sendiri. Maka ia hendak
memprovokasi Shin Ci-koh supaya memusuhi Thiat-mo-lek. Tapi karena dengan bicara itu,
perhatiannya bercabang, pada waktu mengatakan sampai 'penjahat' tadi, pedang Thiat-mo-lek
dapat
memapas rompal lengan bajunya. Untung tak sampai memapas tulangnya. Namun dagingnya
kena
juga. Darah muncrat dibawa sambaran pedang.
Pikir Shin Ci-koh: Lama kudengar Thiat-mo-lek itu sebagai jago nomor satu nomor dua di
dunia persilatan. Kiranya orang inilah. Memang tak bernama kosong.
Sekali bergerak, ia sudah berada di sebelah Thiat-mo-lek, ujarnya: Thiat cecu, di manakah
muridku?
Sejak peristiwa Su Tiau-ing meracuni dirinya, Thiat-mo-lek benci kepada nona itu. Apalagi
tadi didengarnya Yo Bok-lo bicara begitu ramah kepada Shin Ci-koh. Seketika timbullah kesan
tak
baik terhadap wanita itu. Pikirnya: Suhu dari nona siluman itu tentu bukan orang baik-baik.
Siapa yang punya tempo mengurusi muridmu? sahutnya dingin.
Bagus, kau memandang rendah padaku, bukan? Kau tak mengurus muridku tapi aku mau
mengurus kau! seru Shin Ci-koh sembari menusuk dengan pedang.
Saat itu Thiat-mo-lek tengah menangkis kaitan Bu Wi-yang. Untuk serangan Shin Ci-koh itu,
ia sambut dengan hantaman tangan kiri. Melihat itu Yo Bok-lo girang sekali. Ia segera memasuki
kekosongan itu dengan sebuah serangan.
Brat, lengan baju Thiat-mo-lek juga kena terpapas oleh pedang Shin Ci-koh, tapi Shin Ci-koh
pun terpental oleh angin pukulan Thiat-mo-lek. Buru-buru ia gunakan gerak hi-hiong-jiau-
hoanhun
untuk loncat ke belakang sampai beberapa tombak. Di sana ia berseru dingin: Yo Bok-lo,
karena kau bicara padaku, tadi kau kehilangan lengan bajumu. Sekarang telah kubalaskan, kau
tak
boleh menyesali aku. Thiat-mo-lek, kelak kita bertanding lagi satu lawan satu. Jangan kuatir, aku
bukan manusia rendah seperti Yo Bok-lo!
Habis itu Shin Ci-koh lantas ngacir. Tapi belum jauh matanya tertumbuk pada Khik-sia. Saat
itu Khik-sia masih terlibat pertempuran dengan Ceng-ceng-ji. Karena keduanya bermain dengan
cepat, maka mereka sudah bertempur sampai beberapa ratus jurus. Ceng-ceng-ji mulai kehabisan
tenaga, pikirnya: Jika sampai kalah pada seorang sute, mana aku ada muka muncul di dunia
persilatan!
Kegelisahan itu telah menimbulkan pikiran jahat. Tiba-tiba ia lancarkan serangan berbahaya.
Sebenarnya Khik-sia juga jeri kepada pedang beracun bekas suhengnya itu. Maka ia tak mau
bernafsu menyerang, hanya mematahkan setiap serangan lawan saja. Tapi sekali Khik-sia
mainkan
pedangnya, Ceng-ceng-ji segera terkurung.
Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji jungkirkan ujung pedangnya untuk menusuk
tenggorokannya sendiri! Suatu hal yang tak diduga Khik-sia. Sekilas, Khik-sia menganggap
karena tahu bakal kalah, Ceng-ceng-ji malu dan hendak bunuh diri. Tanpa disadari, ia tertegun.
Dan tanpa terasa ia ulurkan tangannya untuk merampas pedang Ceng-ceng-ji.
Kalau lain orang, apabila melihat lawannya membunuh diri tentu girang. Malah yang berhati
ganas, akan menambahi lagi dengan tusukan, baik lawan itu akan bunuh diri sungguh-sungguh
atau
hanya pura-pura saja. Paling perlu tusuk dulu, bicara belakang.
Tapi Khik-sia itu memang berhati welas asih. Meskipun ia benci kepada Ceng-ceng-ji dan
sudah putuskan hubungannya sebagai suheng. Namun melihat adegan yang mendadak itu,
tergetarlah hatinya. Bukan saja hanya hentikan serangannya pun malah hendak mencegah.
Inilah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia cukup paham akan budi pekerti Khik-sia maka ia
berani memainkan sandiwara tadi. Baru jari Khik-sia menyentuh tangkai pedang, secepat kilat
Ceng-ceng-ji balikkan pedangnya memapas siku lengan Khik-sia.
Dalam saat-saat dimana lengan Khik-sia pasti akan terpapas kutung, tiba-tiba ada angin
menyambar dan tahu-tahu Shin Ci-koh sudah berada di sebelah mereka. Ia kebutkan lengan

bajunya ke tengah. Trang, lengan baju Shin Ci-koh terpapas, tapi pedang Ceng-ceng-ji pun
terpental.
Shin Ci-koh terhuyung sedang Khik-sia loncat mundur sampai beberapa tombak. Ia memaki
dengan gusar sekali: Ceng-ceng-ji, kau ganas sekali!
Ceng-ceng-ji juga marah besar. Mulutnya menghamburkan makian. Tetapi bukan kepada
Khik-sia, melainkan Shin Ci-koh: Wanita jalang dari mana berani mengganggu? Kau tahu,
siapa
aku ini?
Shin Ci-koh enggan menyahut. Ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-kang untuk menutuk
lagi. Malah kali ini kekuatannya lebih besar. Sekalipun tak sampai melepaskan pedang, namun
tangan Ceng-ceng-ji sakit sekali. Ia terkejut dan buru-buru mundur beberapa langkah. Sembari
siapkan pedang di tangan, ia memandang Shin Ci-koh dengan mata melotot. Tapi untuk beberapa
saat tak berani ia menyerang.
Shin Ci-koh tertawa menghina: Tak peduli kau siapa, sekarang aku perlu bicara dengan
Khiksia.
Siapa berani mengganggu tentu akan kupotong lidahnya dan kukorek biji matanya. Kalau kau
tak terima, nanti boleh bertempur dengan aku, lihat saja aku dapat melakukan ancamanku itu
atau
tidak?
Tanpa menghiraukan orang lagi, Shin Ci-koh lantas berpaling menghadapi Khik-sia, serunya:
Hai, mengapa Tiau-ing tidak bersamamu? Kemana saja ia? Mengapa dalam saat-saat begitu kau
tinggalkan ia?
Dalam bicaranya, wanita itu seperti menyalahkan Khik-sia. Khik-sia yang sedang marah, demi
mendengar nama Su Tiau-ing makin mendongkol. Tapi karena Shin Ci-koh tadi telah
menolongnya, terpaksa Khik-sia tak mau berlaku sekasar Thiat-mo-lek. Batinnya: Baik, biar
kuberitahukan keadaan yang sebenarnya, agar ia jangan mengira aku selalu bersama muridnya
saja.
Shin lo-cianpwe, jika hendak bertanyakan muridmu, silahkan tanya pada Bo Se-kiat,
akhirnya ia berkata.
Ho, Bo Se-kiat? Bo Se-kiat pemimpin lok-lim baru itu? Shin Ci-koh menegas. Ia tinggal di
daerah barat yang sepi, tapi karena nama Bo Se-kiat amat tenar, iapun tahu juga.
Benar, memang Bo Se-kiat itu. sahut Khik-sia.
Kenapa bertanya padanya? tanya Shin Ci-koh.
Semalam ia sudah ikut pergi pada Bo Se-kiat.
Shin Ci-koh terkesiap. Dengan kurang senang ia bertanya lagi: Mengapa ia lari dengan Bo
Se-kiat? Apa kau menyalahinya?
Khik-sia kerutkan wajahnya: Aku tak mau di hadapan seorang guru mengatakan keburukan
muridnya.
Shin Ci-koh salah terima. Ia kira Khik-sia penasaran kepada Tiau-ing karena Tiau-ing
meninggalkannya. Tertawalah wanita aneh itu: Memang Tiau-ing itu berhati tinggi, sukar
dilayani.
Tapi ribut-ribut di dalam kalangan muda-mudi itu, sudah jamak. Kalau sudah hilang
kemarahannya
ia tentu baik lagi kepadamu.
Khik-sia tertawa dingin: Aku tak mengharapkan hal itu, Bo Se-kiat baru setimpal betul dengan
ia.
Kesalahan paham Shin Ci-koh makin dalam. Ia agak sesalkan muridnya sendiri. Pikirnya:
Apakah benar-benar Tiau-ing berbalik hati? Atau karena terpikat Bo Se-kiat? Hm, setelah
bertemu baru aku dapat menanyakan padanya, siapakah sebenarnya yang dicintai?
Sudahlah, jangan marah. Jika muridku betul yang salah, akan kuberinya hajaran. Tapi
kemana saja mereka pergi itu? kata Shin Ci-koh.
Mana aku tahu? Mereka sudah keluar dari kota Tiang-an ini, sahut Khik-sia.
Hati Shin Ci-koh seperti terlepas dari ganjalan batu, ujarnya: Baik, minggirlah ke samping,
jangan membantu aku. Biar kuhajarnya si kunyuk ini. Setelah itu baru kucarikan Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji tak kenal pada Shin Ci-koh. Tapi mendengar bahwa ia itu suhu dari Tiau-ing,
diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut juga. Tapi ia sudah biasa bersikap congkak. Tak mau ia unjuk
kelemahan. Segera ia menantang: Bagus, sebagai suhu Su Tiau-ing kau tentu bukan orang

sembarangan. Omonganmu yang tak keruan itu, merendahkan dirimu sendiri. Aku tak mau
bertempur melainkan hendak menguji kepandaianmu saja!
Shin Ci-koh tertawa: Kau tak tahu siapa aku, tetapi aku tahu siapa kau. Menilik rupamu yang
'bagus' ini, kau tentulah Ceng-ceng-ji.
Memang wajah Ceng-ceng-ji itu mirip dengan seekor kera. Disindir oleh Shin Ci-koh,
marahnya bukan main: Aku toh tak sudi mengambil isteri kau, peduli apa dengan mukaku
bagus
atau jelek!
Shin Ci-koh berkata seorang diri: Pernah kudengar dari Gong-gong-ji bahwa ia mempunyai
seorang sute bernama Ceng-ceng-ji yang tak keruan tingkah lakunya. Ternyata memang benar.
Hm, sudah berani menggunakan tipu keji untuk mencelakai sutenya, masih berani banyak
tingkah
di hadapanku. Sebenarnya hendak kupotong lidahnya dan kukorek biji matanya, tapi mengingat
Gong-gong-ji, biarlah hanya kuberi dua kali tamparan saja!
Ceng-ceng-ji berjingkrak-jingkrak marah, teriaknya: Kurang ajar! Coba saja bagaimana kau
hendak menampar mukaku!
Begitu mencabut pedang ia mendahului menusuk. Shin Ci-koh seperti tak mengacuhkan.
Enak saja ia menyambut dengan pukulan.
Ceng-ceng-ji tahu kalau berhadapan dengan tokoh lihay. Maka biarpun marah tapi ia tetap
bersikap 'sebelum mendapat kemenangan, harus menjaga kekalahan'. Di tengah jalan ia rubah
gerakan pedang dan orangnyapun mengisar pindah. Tapi ternyata pukulan Shin Ci-koh itu
mengandung tiga buah perubahan. Sebenarnya tadi kalau tangannya sampai ditabas pedang
Cengceng-
ji, ia akan bergerak untuk merebut senjatanya dan tangan kiri memberi tamparan. Karena
Ceng-ceng-ji beralih ke samping dan menusukkan pedangnya, Shin Ci-koh pun segera mainkan
perubahan yang kedua. Tangannya memagut merampas pedang, sedang jari kirinya menyusup ke
bawah lengan untuk menutuk iga Ceng-ceng-ji.
Menerima tanpa membalas tidaklah sopan, seru Ceng-ceng-ji sembari memutar ujung
pedangnya untuk menusuk dada Shin Ci-koh.
Tapi ternyata Shin Ci-koh masih punya perubahan yang ketiga. Plak, tahu-tahu muka Cengceng-
ji tertampar angin pukulan sampai merah biru. Sakitnya bukan kepalang masih untung tidak
kena tangannya.
Dalam pertukaran serangan itu, Ceng-ceng-ji memberi dua buah serangan pedang, Shin Ci-koh
sebuah tamparan. Kalau menurut penilaian, seharusnya Ceng-ceng-ji mengaku kalah. Tapi mana
ia
mau berbuat begitu. Shin Ci-koh marah sekali karena orang telah menyerangnya dengan tak
sopan
(di bagian dada).
Jika dalam 50 jurus aku tak dapat menampar mukamu biarlah dunia persilatan tak ada nama
Shin Ci-koh lagi! serunya.
Ceng-ceng-ji tak kenal pada Shin Ci-koh, hanya pernah mendengar namanya saja. Kini ia baru
terperanjat, pikirnya: Kiranya wanita siluman ini Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh, maka begitu
lihay!
Kabarnya ia mempunyai hubungan baik dengan suheng. Agaknya memang benar.
Tapi dalam jerinya, diam-diam Ceng-ceng-ji girang juga batinnya: Kalau 100 jurus, aku tak
berani memastikan. Tapi kalau hanya 50 jurus saja, hm, hm, belum tentu ia dapat menampar
mukaku. Asal aku dapat menghindari lima puluh jurus itu coba saja bagaimana nanti ia
menolong
mukanya? Tokoh seperti ia, tentu tak dapat menjilat ludahnya. Dalam kesempatan itu, akan
kupaksa ia tinggalkan dunia persilatan dan namaku Ceng-ceng-ji tentu lebih termasyhur lagi.
Ginkang Ceng-ceng-ji memang jempol. Gerakannya cepat sekali. Ia segera gunakan siasat
gerilya (berlincahan) untuk menghadapi kelima puluh jurus serangan.
Sebenarnya lima puluh jurus itu akan berlangsung cepat sekali. Tapi Khik-sia tak sabar lagi
menantinya. Ia masih ada tugas. Pertama, menolong Thiat-mo-lek. Dan kedua, mencari Yak-
bwe.
Ketika memandang ke sana, tampak Thiat-mo-lek menang angin. Hanya belum sempat keluar
dari
kepungan saja, tapi sudah tak berbahaya keadaannya. Saat itu, dari kejauhan terdengar seruan
Yakbwe:
Khik-sia, Khik-sia!
Memang di dalam lapangan situ riuh rendah suaranya. Dari berisiknya senjata beradu dan
teriakan orang-orang yang bertempur. Tapi karena seluruh perhatian Khik-sia memang ditujukan

untuk mencari Yak-bwe, maka suara panggilan Yak-bwe tadipun cepat didengarnya. Khik-sia
segera menuju ke sana.
Melihat Khik-sia pergi, longgarlah hati Ceng-ceng-ji. Ada kalanya ia balas menyerang juga.
Dalam beberapa kejap saja 40-an jurus sudah berlalu. Sampai di sini, Ceng-ceng-ji pun mulai
menghitung: 41, 42, ..... 44, 45, hi hi. Bagaimana kau akan menampar mukaku nanti? 47, 48
.....
Tiba-tiba Shin Ci-koh berputar tubuh dan pergi. Suatu hal yang tak disangka-sangka oleh
Ceng-ceng-ji. Ia terkejut dan girang: Ha, karena mendapat kesukaran, ia lantas mundur!
Ia hendak memburu untuk mengejeknya tapi merasa jeri sehingga detik-detik itu ia bersangsi.
Tiba-tiba ada angin menyambar. Ternyata sekonyong-konyong Shin Ci-koh balik kembali.
Cepatnya seperti kilat. Dalam sejarah pertempuran tak ada jago silat yang menempur lawan
dengan
membelakanginya. Maka Ceng-ceng-ji tak menyangka sama sekali bahwa Shin Ci-koh akan
berbuat begitu. Malah caranya balik itu jauh lebih cepat dan lebih tak terduga-duga dari waktu
perginya.
Tergopoh-gopoh Ceng-ceng-ji pentang pedangnya. Kena! bentak Shin Ci-koh. Plak, muka
Ceng-ceng-ji kena tertampar. Dan untuk tusukan Ceng-ceng-ji, Shin Ci-koh turunkan
pundaknya.
Pundak bajunya robek tapi tak sampai terluka.
Kiranya karena merasa tak ada harapan mengalahkan orang dalam lima puluh jurus maka untuk
menebus kata-katanya yang sudah terlanjur diucapkan itu, terpaksa Shin Ci-koh gunakan cara
istimewa. Ia memang mahir dalam ilmu thing-thong-pian-ki (dengarkan angin dapat mengetahui
arah senjata). Habis menghindari tusukan Ceng-ceng-ji, ia cepat maju menampar lagi. Tapi
tamparan itu dapat dikelit Ceng-ceng-ji.
Tamparan Shin Ci-koh yang pertama membuat separuh muka Ceng-ceng-ji begap matang biru.
Giginya sakit sekali. Pecahlah nyalinya dan cepat-cepat ia menyusup ke dalam gerombolan
orang.
Karena pundak bajunya terlubangi, Shin Ci-koh merasa kemenangan yang diperolehnya itu tak
begitu brilian (cemerlang0. Benar Ceng-ceng-ji sudah lari terbirit-birit, tetapi Shin Ci-koh masih
penasaran. Ia menjerit-jerit: Aku hendak memberimu hadiah dua tamparan. Baru satu kali,
mengapa mau lari?
Seumur hidup Ceng-ceng-ji tak pernah mendapat hinaan begitu macam. Apalagi di hadapan
jago-jago silat di seluruh negeri. Kalau ada, ia akan menyusup ke dalam liang saja. Ia takut dan
benci kepada Shin Ci-koh. Tapi karena merasa kalah, terpaksa ia lari mati-matian.
Beberapa orang yang tadi marah karena kepalanya dilompati Ceng-ceng-ji, sama bertepuk
tangan kegirangan, mereka bersorak-sorak melihat Ceng-ceng-ji lari seperti tikus dikejar kucing.
Waktu Shin Ci-koh mengejar, merekapun memberi jalan. Malah ada orang yang berseru
mengejek:
Tadi aku tak sempat melihat kunyuk ditampar. Kali ini aku harus melihat sampai puas!
Orang itu sengaja berseru begitu karena kuatir Shin Ci-koh tak mau menghajar Ceng-ceng-ji
lagi. Ternyata Shin Ci-koh kena terpancing. Baik, kalian boleh menyaksikan.
Dalam ilmu ginkang sebenarnya Ceng-ceng-ji lebih unggul sedikit dari Shin Ci-koh. Tapi
karena orang-orang sama memberi jalan kepada Shin Ci-koh, teapi merintangi dia (Ceng-ceng-
ji),
padahal Ceng-ceng-ji sekarang tak berani menyalahi mereka lagi, maka ia terpaksa berlincahan
menyusup di mana lubang yang tak ada orangnya. Dengan begitu, makin lama jaraknya makin
dekat dengan Shin Ci-koh.
Lapangan yang luasnya beberapa li itu, dimana-mana terdapat orang bertempur. Khik-sia tak
mau memperdulikan Shin Ci-koh main godak dengan Ceng-ceng-ji lagi. Karena pada saat itu ia
dapat mengetahui tempat beradanya Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu bertiga, tengah berusah
menerobos
dari kepungan.
Cici In, Su ... nona Su, siaute datang! teriak Khik-sia. Sebenarnya ia hendak memanggil 'Su
moaymoay' (adik Su), tapi di depan sekian banyak orang ia merasa sungkan.
Tertawalah In-nio: Adik bwe, tadi kau memanggilnya. Mengapa sekarang kau diam saja?
Kami di sini, Toan hiante, lekas kemari!
Khik-sia tak mau mengucurkan banyak darah. Ia hanya berusaha untuk memapas kutung
senjata kawanan tentara itu saja. Tiap kali pedangnya berkiblat, tentu terdengar dering senjata
kutung. Kutungan pedang, golok, tombak dan lain-lain senjata menumpuk bukit. Melihat

kegagahan pemuda itu, kawanan tentara berteriak-teriak dan sama menyingkir. Yak-bwe
bertigapun
dengan mudah dapat menerobos keluar.
Setelah mengalami badai kesalahan paham, akhirnya bertemulah kedua sejoli Khik-sia
Yakbwe.
Hanya tempat pertemuan mereka itu di medan pertempuran. Sesaat kedua anak muda itu tak
tahu bagaimana akan bicara.
Khik-sia, apa kau sudah tahu kesalahanmu? In-nio menembus kemacetan.
Khik-sia tak dapat menyatakan apa-apa. Ia tak peduli apakah In-nio hanya bergurau atau
sungguh-sungguh, tapi ia turut saja apa yang diajarkan nona itu kepadanya. Ia maju ke hadapan
Yak-bwe, lalu menjura, ujarnya: Nona Su, aku memang sembrono hingga beberapa kali berdosa
padamu. Harap kau jangan marah lagi!
Yak-bwe tak mengira sama sekali bahwa anak muda itu akan mau minta maaf padanya di
hadapan umum. Iapun kemerah-merahan wajahnya dan terpaksa membalas hormat, sahutnya:
Mungkin aku juga bersalah. Urusan yang lampau, tak perlu dipikirkan lagi.
Kalian boleh lanjutkan omong-omong. Aku dan Pui-sute akan membuka jalan, tak perlu
kalian memikirkan serangan musuh lagi, kata In-nio dengan tertawa.
Meskipun di mulut Yak-bwe minta jangan membicarakan peristiwa yang telah lalu, namun
dalam hati nona itu masih gatal. Tanpa disadari, ia bertanya: Temanmu nona Su itu, mengapa
tak
kelihatan?
Kau menanyakan gadis siluman itu? Gagal mencelakai Thiat piauko, ia lantas lari dengan lain
orang! sahut Khik-sia.
Lari dengan siapa? Yak-bwe tersentak kaget.
Melihat In-nio berada di situ, Khik-sia tak mau menyebut nama Bo Se-kiat. Tapi agar jangan
dicurigai Yak-bwe, maka sekenanya saja ia menjawab: Adik Bwe, sedikitpun aku tak punya
perhatian pada gadis siluman itu. Biarlah aku bersumpah, jika ....
Selebar wajah Yak-bwe merah padam. Buru-buru ia mencegah: Aku tak peduli kau punya
hubungan atau tidak dengan dia. Mengapa kau sembarangan mengangkat sumpah? Ah, jangan
menjadi buah tertawaan orang!
Walaupun nadanya agak sengit, tapi nyata kalau Yak-bwe bersikap lain kepada Khik-sia.
Sebodoh-bodoh Khik-sia, mengetahui juga bahwa tunangannya itu menaruh kepercayaan
padanya
dan tak menghendaki ia bersumpah lagi.
Yang hendak kutanyakan, dengan siapa ia lari itu? Mengapa kau menjawab yang bukanbukan?
kembali Yak-bwe mendesak.
Saat itu In-nio tengah lepaskan sebuah senjata rahasia. Seorang opsir yang naik kuda di
sebelah muka, terjungkal jatuh.
Khik-sia menghela napas pelahan, ujarnya: Ceritanya panjang sekali. Biarlah nanti setelah
lolos dari bahaya, kuberi tahu padamu sendiri.
Yak-bwe heran, pikirnya: Mengapa hanya aku yang akan diberitahu? Ada hubungan apa
dengan ci In? Rupanya ia tak ingin ceritanya didengar ci In. Hm, dari kerut wajahnya terang
kalau
ia hendak bicara sendirian dengan aku. Ia tak tahu bahwa aku dengan ci In itu sudah seperti
saudara
kandung sendiri. Sebenarnya tak ada halangannya mengatakan di depan ci In.
Setelah merubuhkan si opsir, In-nio berpaling dan tertawa: Silahkan kalian bicara
sepuaspuasnya.
Aku tak nanti mendengarkan.
Yak-bwe tertawa: Ah, sungguh heran mengapa kau memaki nona Su itu sebagai gadis
siluman? Bukankah kalian seperjalanan dan sepenginapan?
Sekarang giliran Khik-sia yang merah padam mukanya. Mengangkat tangan, kembali ia
hendak bersumpah. Tiba-tiba Yak-bwe tertawa geli dan menarik turun tangan Khik-sia.
Sekarang rasanya kau tentu sudah mengerti. Sebelum tahu fakta yang sebenarnya, jangan
suka menuduh yang bukan-bukan. Aku hanya berkata sepatah, tapi mengapa kau sibuk tak
keruan?
Coba pikirkan, begitu mesra hubunganmu dengan nona siluman itu, bagaimana pandangan orang
lain? Benar, kau seorang lelaki ksatria. Tapi apakah di dunia ini tiada lain ksatria kecuali kau?
Yak-bwe membawakan dampratannya itu dengan halus, sehingga Khik-sia seperti dikemplang
kepalanya. Tapi kemplangan itu telah dapat menghilangkan keraguan hatinya. Sehijau-hijau
KhikKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sia namun mengerti juga kemana jatuhnya kata-kata Yak-bwe itu. Pikirnya: Kukira ia berubah
hati, mencintai Tok-Ko U. Ternyata tidak! Ya, memang gerak-gerikku selama ini dengan Su
Tiauing
jauh lebih menimbulkan kecurigaan orang daripada ia dengan Tok-Ko U. Persoalan hanya
kupandang dari segi pandanganku sendiri. Ternyata aku sendiri juga mempunyai kesalahan.
Khik-sia menyesal dan merasa bahagia. Serentak ia mencekal tangan Yak-bwe dan berbisik:
Memang akulah yang bersalah. Aku membuatmu penasaran.
Tidak, akupun juga bersalah. Tak seharusnya aku membikin panas hatimu, jawab Yak-bwe.
Keduanya saling mengakui kesalahannya. Dan apa yang dikatakan selanjutnya adalah seperti
tadi lagi. Tapi sekalipun begitu ulangan itu lebih berarti dan lebih meresap. Keduanya sama
membuang tuduhannya yang tidak-tidak memperbaharui kasih.
Hai, mengapa kalian hanya rebutan mengaku salah saja? Bosan aku mendengarnya! In-nio
berpaling dan tertawa.
Kau bilang tidak mau mendengarkan tetapi ternyata mencuri dengar. Sekarang urusan kita
sudah beres, kalau kau hendak bertanya apa-apa kepada Khik-sia, lekaslah! sahut Yak-bwe
sambil
mendorong Khik-sia maju dua langkah.
Cici In, jangan bingung, tanyalah! seru Yak-bwe.
Memang In-nio ingin menanyakan tentang diri Se-kiat. Tapi digoda oleh Yak-bwe, mulutnya
sudah hendak menyebut nama Se-kiat, terpaksa diganti dengan pertanyaan lain: Ya, ya, Khik-
sia,
memang aku hendak bertanya padamu. Bukankah kau datang bersama Thiat-mo-lek?
Benar, sekarang Thiat toako sedang bertempur dengan Yo Bok-lo. Mari kita menggabungkan
diri, seru Khik-sia.
Masih ada siapa lagi? kembali In-nio bertanya.
Masih ada Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing. Celaka, aku tadi mengikuti Thiat toako, tapi
entah sekarang bagaimana keadaannya? Bagaimana cici In, kita harus mencari siapa dulu?
Yak-bwe serasa pecah mulutnya karena geli: Khik-sia, kau tolol benar! Yang ditanyakan ci In
itu, bukan Thiat toakomu atau Coh sioksiokmu, melainkan seorang lain lagi. Mengapa kau
lupa?
Siapa? Khik-sia menegas.
Yak-bwe mengetuk dahi Khik-sia dengan jarinya dan berkata: Kau benar-benar membikin
perutku keras. Dia .... -- tiba-tiba berhenti lalu tertawa: Baiklah, kalau ci In tidak menanyakan,
kau pun tak perlu bilang!
In-nio lebih lapang hati. Pun ia benar-benar sudah tak sabar lagi. Maka berserulah ia dengan
terang-terangan: Aku hendak menanyakan seorang kawan, perlu apa plintat-plintut. Bo Se-kiat,
ya, dia datang tidak?
Khik-sia memang sudah menduga In-nio bakal mengajukan pertanyaan begitu. Diam-diam ia
merasa pilu. Terpaksa menerangkan dengan kata tak lampias bahwa Se-kiat tidak datang.
Tidak datang? Tetapi kabarnya jauh-jauh hari ia sudah tiba di Tiang-an, ujar In-nio.
Semalam ia sudah tinggalkan kota raja ini, sahut Khik-sia.
Heran In-nio memikirkan: Se-kiat tentu datang bersama Thiat-mo-lek. Mengapa ia pergi
sendirian?
In-nio cerdas dan banyak pengalaman. Demi melihat kerut wajah Khik-sia agak lain, terbitlah
kecurigaannya. Cepat-cepat ia bertanya pula: Khik-sia, kau tak perlu mengelabuhi aku. Apakah
terjadi sesuatu dengan dia?
Tidak, dia tak mendapat bahaya apa-apa. Melainkan ....
Melainkan apa? tukas In-nio.
Dia tak terluka, melainkan, melainkan, dia sudah berlainan haluan dengan kita, sahut Khiksia.
Benarkah omonganmu ini? wajah In-nio berubah seketika.
Setelah aku dan Thiat toako tiba di sini, ia bersama lain orang pergi ke lain tempat. Ih,
lihatlah, apa itu bukan kedua saudara Tok-ko? Mari kita lepaskan mereka dari kepungan musuh
dulu, baru nanti kita bicara lagi. Ci In, jangan gelisah, aku tentu akan menerangkan soal itu
sampai
jelas kepadamu.
In-nio yang penuh diliputi dengan kecurigaan itu membatin: Selamanya Khik-sia ini tak

pandai bicara. Mungkin karena ada urusan Se-kiat lantas tinggalkan Tiang-an, sekali-kali tidak
karena pecah dengan Thiat-mo-lek.
Tapi ia merasa sikap Khik-sia memang lain dari biasanya, kata-katanya pun tak lampias. Ia
gelisah. Tapi sesaat terlintaslah dalam pikirannya: Asal dia tak terluka saja, legalah sudah
hatiku.
Ya, lebih baik sekarang menolong kedua saudara Tok-ko itu dulu. Nanti perlahan-lahan aku
dapat
menanyakan lagi pada Khik-sia.
Muda. Tapi selama itu Bik-hu hanya memendam asmaranya, ma-
Ia memandang kemuka, tertawa: Kakak-beradik Tok-ko sudah berjumpa dengan kedua
saudara Lu. Yak-bwe, persoalanmu dengan sendirinya beres, dah.
Pada saat itu mereka masih di tengah gelanggang pertempuran. Hanya karena kawanan tentara
tak berani mendekati mereka, maka mereka dapat bicara dengan leluasa walaupun tak
hentihentinya
mereka harus menangkis anak panah yang menyambarnya. Perhatian mereka tetap tak
lengah.
Ah, Pui-heng, kau mengapa? tiba-tiba Yak-bwe berseru.
Kiranya sebatang anak panah menyambar Bik-hu, tetapi pemuda itu hanya tundukkan kepala
seperti tak mengacuhkan. Untung Khik-sia segera lontarkan pukulan lwekang biat-gong-ciang
menghantamnya.
Bik-hu dongakkan muka. Matanya agak merah. Tak apa-apa, mataku kelilipan pasir,
katanya dengan tersipu-sipu. Pemuda itu ternyata diam-diam telah cintai In-nio. Alangkah pilu
hatinya demi mengetahui nona itu sudah mempunyai pandangan lain pemuda. Tapi selama itu
Bikhu
hanya memendam asmaranya maka baik Yak-bwe maupun In-nio sampai tak mengetahuinya.
Sepasang kakak beradik Tok-ko dan Lu dikepung oleh sepasukan kecil. Sebagian memang
tentara pemerintah, sebagian anak buah Ceng-ceng-ji. Mereka dipimpin oleh Ki Ping-hwat,
seorang
jagoan penjahat kelas satu. Ia menggunakan sepasang jit-gwat-lun (senjata yang bentuknya
seperti
roda, satu besar seperti matahari, satu kecil seperti rembulan). Jit-gwat-lun khusus untuk
menggempur golok dan pedang. Memang kepandaian Ki Ping-hwat lihay juga. Sebenarnya ia
dapat menghadapi kedua saudara Tok-ko tapi ia masih merangkap juga untuk menyerang kedua
saudara Lu. Sebentar menyerang kesana, sebentar kesini. Sepasang kakak adik itu beberapa kali
hendak menerobos keluar, tapi tetap gagal. Ceng-kong-kiam Tok-ko Ing beberapa kali hampir
saja
kena dirampas oleh jit-gwat-lun.
Diantara rombongan Yak-bwe, adalah Khik-sia yang paling cepat tibanya. Secepat menerobos
masuk, ia segera mainkan pedangnya. Terhadap kawanan tentara, ia membabat senjata mereka.
Terhadap anak buah Ceng-ceng-ji, ia gunakan ujung pedang menutuk jalan darah mereka. Dalam
sekejap saja, sudah ada tujuh delapan orang yang rubuh.
Ki Ping-hwat yang sudah pernah merasakan kelihayan Khik-sia, terperanjat sekali melihat anak
muda itu datang. Tak berani ia bertempur lama-lama terus melarikan diri. Pada lain saat Yak-
bwe
pun masuk. Bahu membahu dengan Khik-sia, ia mengganyang musuh.
Nona Ing, apa masih kenal dengan Su-toakomu? dalam lain kesempatan Yak-bwe bertanya
pada Tok-ko Ing.
Cici Su, kau mengelabuhi aku sampai menderita sekali! Tok-ko Ing melengking. Sesaat
teringat bagaimana ia begitu tolol tak dapat membedakan seorang gadis yang menyaru pemuda,
tertawalah ia dengan getir, wajahnya merah padam.
Yak-bwe tetap membanyol dengan gaya dan nada seperti seorang lelaki. Yak-bwe
menghampiri dan menjura di hadapan Tok-ko Ing: Harap nona jangan marah. Biarlah toako
menghaturkan maaf padamu!
Tok-ko Ing terpingkal-pingkal sampai hampir jatuh, serunya: Cis, tak malu, masih ingin jadi
lelaki lagi? Sungguh mati, aku tetap ingin menganggapmu sebagai toako, tapi sayang ada orang
yang tak memperbolehkan.
Ia berpaling dan berseru kepada Khik-sia: Sebenarnya aku harus meminta maaf padamu,
karena aku begitu naif tak mengetahui bahwa kau ini bakal suaminya Su-toako.
Karena biasa memanggil toako, maka saat itu tanpa disengaja kembali Tok-ko Ing menyebut
toako lagi. Mendengar kata-kata yang lucu bakal suaminya Su toako itu, kawan-kawannya

tertawa gelak-gelak.
Akupun harus meminta maaf kepada kalian berdua saudara, kata Khik-sia.
Toan siauhiap, sudahlah, jangan main maaf saja. Cukup asal selanjutnya kau baik-baik
memperlakukan cici Su saja. Dan ingat, kau hanya boleh mempunyai seorang nona Su, jangan
beberapa nona Su lagi, sahut Tok-ko Ing. Ia teringat tempo hari dalam perjalanan telah
berjumpa
dengan Khik-sia bersama seorang nona Su lainnya (Su Tiau-ing).
Mendapat seorang adik baru seperti kau, masakan aku berani kurang ajar terhadap Yak-bwe,
kata Khik-sia tertawa.
Lu Hong-jun dan Hong-jiu pun maju menemui Khik-sia. Tok-ko U sengaja mendekati Hongjin
dan berdiri jajar dengan nona itu. Katanya: Hong-jin, kurasa salah pahammu dengan nona Su
tentu sudah hilang sekarang. Adik Ing, tahukah kau bahwa bukan melainkan kau sendiri, pun
nona
Lu ini juga kena dikelabuhi oleh Su toako-mu.
Oh, begitu? Mengapa cici Lu tak mengatakan padaku? seru Tok-ko Ing.
Hong-jiu tertawa: Besaok akan kuceritakan padamu, kejadian-kejadian lucu yang kualami di
Kim-ke-nia. Nona Su, apakah kau masih marah padaku?
Dalam sikap dan bicaranya selama ini Tok-ko U mesra sekali kepada Hong-jiu. Kini baru nona
itu mengetahui bahwa Tok-ko U ada hati kepadanya. Memang ia sendiri juga ada apa-apa kepada
pemuda itu, maka diam-diam ia merasa girang.
Sebenarnya Yak-bwe tak begitu senang kepada Hong-jiu, tapi karena nona itu menghaturkan
maaf, iapun balas memberi hormat. Memang watakkulah yang jelek. Urusan yang lalu, bukan
kesalahan cici.
Setelah kedelapan pendekar muda mudi itu bersatu, mereka segera menerjang keluar dari
kepungan. Ketika mengisarkan pandangan Khik-sia lihat Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang masih
terkepung. Kata Khik-sia kepada teman-temannya: Opsir yang bertempur dengan Wi lo-
cianpwe
itu adalah pemimpin Kiu-seng-su-ma Toh Hok-wi. Mungkin karena berhadapan dengan
pembesar
kerajaan maka Wi lo-cianpwe agak sungkan. Tetapi orang she Toh itulah yang mencelakai Cin
sian,
sahabat karib Thiat toako. Wi lo-cianpwe dapat memberi ampun, tapi aku tak dapat memberinya
kemurahan. Biar kuberinya sedikit hajaran.
Memang yang diduga anak muda itu benar. Mengingat kedudukan Toh Hok-wi, Wi Gwat tak
mau berlaku ganas. Tetapi Wi Gwat bukannya untuk kepentingan pribadinya. Ia kuatir bentrok
dengan pemerintah adalah karena mengingat kepentingan partai Kay-pang. Anak buah Kay-pang
tersebar di seluruh negeri jumlahnya besar sekali. Benar mereka tak sudi berhamba pada
kerajaan,
tetapi pun tak mau menyalahi undang-undang negara. Biarpun Wi Gwat itu seorang yang tak
kenal
takut pada siapa saja, tapi demi mengingat kedudukan Kay-pang di kota raja dan di lain daerah
maka ia terpaksa berlaku sungkan.
Karena dibatasi dengan hal itu posisi Wi Gwat sukar. Ia tak mau ditangkap tapi pun tak mau
mengalahkan lawan. Ia hanya mengharap agar Toh Hok-wi tahu diri dan mundur sendiri. Tetapi
ternyata karena hendak mengembalikan muka dan lagi dikipasi Ceng-ceng-ji, walaupun tahu
bukan
lawannya Toh Hok-wi tetap tak mau mundur, bahkan ia memberi perintah kepada pasukan
Thengpay-
kun untuk bantu mengepung Wi Gwat dan Ciok Ceng-yang. Rombongan anak buah Kay-pang
yang maju menghadang kena dihalau oleh Theng-pay-kun.
Wi Gwat sambil putusan gunakan toa-kin-na-chiu (menangkap dengan tangan kosong) untuk
menangkap Toh Hok-wi. Ia anggap Toh Hok-wi tentu tak terluka dan pemerintahpun tentu
takkan
marah. Tetapi ternyata walaupun tak selihat Wi Gwat, Toh Hok-wi itu juga bukan jago
sembarangan. Apalagi ia mendapat bantuan dari Pok Yang-kau yang kepandaiannya tak kalah
dengan Ceng-ceng-ji. Dulu orang she Pok itu pernah dipersen pukulan oleh Wi Gwat ketika
dalam
rapat besar Kay-pang. Maka dalam kesempatan sekarang ini, Pok-kun hendak membalas
dendam.
Kesemuanya itu mempengaruhi gerak-gerik Wi Gwat di dalam usahanya menangkap Toh
Hokwi.
Ia hendak melemparkan Toh Hok-wi keluar gelanggan, tapi belum mendapat kesempatan.
Bahkan hampir saja beberapa kali ia terancam bahaya dari kedua pengeroyokannya Toh Hok-wi
dan
Pok Yang-kau itu. Namun kedua orang itupun tak mampu juga untuk menangkap Wi Gwat.
Sebelum Khik-sia datang, Wi Gwat dan kedua lawannya itu sudah bertempur ratusan jurus. Wi

Gwat sungkan sebaliknya kedua lawannya bernafsu sekali. Lama-kelamaan panaslah hati
pengemis
itu. Penyakitnya gila angot lagi. Pada saat ia hendak mengganas, Khik-sia menerobos masuk.
Anak muda itu tak mau kucurkan banyak darah. Terhadap benteng pasukan berlapis rotan
(Theng-pay-kau) yang merintanginya dengan tombak ia hanya ganda tertawa: Aku tak mau
melukai kalian. Sekarang hendak kulucuti bungkusan kalian dulu!
Khik-sia mainkan pedangnya dengan indah sekali. Terdengar beberapa bunyi krak-krak.
Setiap pedang Khik-sia berkiblat tentu ada sebuah theng-pay pecah. Dalam beberpa kejap saja,
berpuluh-puluh Theng-pay pecah. Anak buah Kay-pang yang mengikuti Khik-sia dari belakang,
pun turut menerobos masuk kepungan. Karena alat pelindung diri sudah pecah, pasukan Then-
paykun
itu kacau balau.
Jangan membunuh jiwa orang. Jika anjing menggigit orang, cukup gebuk saja kaki binatang
itu! buru-buru Wi Gwat meneriaki anak buahnya.
Anak buah Kay-pang siapkan senjatanya yang terkenal ialah Bak-kau-ciang atau pentung
pengecut anjing. Anak buah Theng-pay-kun yang lari dibiarkan lari, tapi yang coba-coba
merintangi, tentu digebuk kakinya. Kaum Kay-pang termasyhur dengan ilmu tongkatnya. Anak
buah Theng-pay-kun yang sudah pecah alat pelindung dirinya, dihajar kocar-kacir oleh anak-
anak
Kay-pang.
Melihat Khik-sia datang, pecahlah nyali Pok Yang-kau. Setelah mengirim serangan kosong
kepada Wi Gwat, ia lantas melarikan diri. Khik-sia menusuknya, tapi ujung pedangnya kena
disisihkan oleh pukulan biat-gong-cang Pok Yang-kau.
Bagus, aku ingin mencoba pukulan lwekangmu Khun-goan-ciang! seru Khik-sia. Ia
menyerang dengan pedang dan pukulan.
Blak, terdengar suara pukulan berbenturan keras. Keduanya sama-sama tergetar. Tadi Khiksia
menyerang juga dengan pedang. Begitu tenaga pukulannya lenyap, ujung pedangnyapun masih
menusuk Pok Yang-kau tak berdaya. Ia percepat larinya. Tetapi Khik-sia lebih cepat lagi.
Pedangnya dapat menabas lutut Pok Yang-kau.
To Hok-wi tetap bertempur gigih untuk mempertahankan namanya sebagai tay-ciangkun. Ia
tak menyangka bahwa Pok Yang-kau bakal melarikan diri. Pada saat Pok Yang-kau berputar
tubuh
lari, Toh Hok-wi masih menyerang Wi Gwat dengan hebat. Hanya celakanya, kali ini Wi Gwat
sudah tak kuat lagi menahan kesabarannya. Dibarengi dengan menggerung keras, ia dapat
menjepit
gigir golok Toh Hok-wi terus ditariknya.
Tay-ciangkun, ambillah lagi golok pusaka dan mari main-main dengan aku si pengemis tua
ini! Wi Gwat tertawa gelak-gelak. Ia lemmparkan golok orang ke udara.
Wajah Toh Hok-wi pucat seperti kertas. Tanpa menghirauka martabat jenderal atau bukan
jenderal (tay-ciangkun) lagi, ia lantas lari terbirit-birit.
Sementara karena terbacok lututnya, Pok Yang-kau lari mati-matian dengan kaki pincang. Jika
mau sebenarnya Khik-sia dapat mengejar, tapi pada saat itu matanya tertumbuk akan bayangan
Toh
Hok-wi yang belum berapa jauh. Tiba-tiba Khik-sia mendapat akal, pikirnya: Untuk lolos dari
bahaya saat ini, harus meminjam tenaganya.
Cepat ia tinggalkan Pok Yang-kau dan lari mengejar Toh Hok-wi. Baru Toh Hok-wi hendak
menghampiri goloknya yang meluncur turun dari udara, tiba-tiba seorang opsir loncat
mendahului
menyambarnya. Toh Hok-wi mengira kalau opsir itu tentu orang sebawahannya. Baru ia hendak
memanggil, Khik-sia sudah menusuk punggungnya.
Khik-sia telah memperhitungkan bahwa orang tentu tak mungkin menghindar dari tusukannya.
Tusukan itu ditujukan ke arah jalan darah, maka tak boleh terlalu keras. Tapi tiba-tiba si opsir
yang
sudah menyambuti golok Toh Hok-wi tadi membacaok pedang Khik-sia hingga sampai
terdorong
ke sisi. Tangan Khik-siapun terasa sakit. Usahanya yang sudah hampir berhasil digagalkan
orang,
murkalah Khik-sia. Secepat kilat ia babatkan pedangnya sampai tiga kali beruntun-runtun. Tapi
tak
kalah cepatnya si opsir itu juga membalas dengan dua buah bacokan. Benar gerakannya itu tak
selincah Khik-sia. Namun karena permainan goloknya begitu rapat dan keras, Khik-sia pun tak
dapat berbuat apa-apa.
Hai, mengapa opsir ini sedemikian lihaynya. Rasanya Toh Hok-wi dan Bu Wi-yang sendiri

tak menang dengan dia! diam-diam Khik-sia heran.
Telah dikatakan, gerakan opsir itu tak selincah Khik-sia, tapi rupanya dalam hal tenaga
lwekang ia lebih unggul sedikit dari Khik-sia. Apalagi golok Gan-leng-to milik Toh Hok-wi itu
juga golok pusaka, maka tak takut beradu dengan pedang pusaka Khik-sia. Setelah pertukaran
tiga
babatan pedang dengan dua bacokan golok tadi, opsir itu lontarkan hoan-chiu-to atau membacok
dengan membalik golok. Begitu Khik-sia terpaksa mundur selangkah opsir itupun putar tubuh
terus
pergi.
Bermula Khik-sia menduga orang tentu akan gunakan tipu siasat, tapi ternyata opsir itu angkat
kaki tanpa menoleh lagi. Hai, belum ketahuan menang kalahnya, mengapa sudah lari? teriak
Khik-sia. Sekali loncat ia memburunya. Tapi ia tak mau menyerang secara gelap, maka
sebelumnya ia sudah meneriakinya dulu.
Toh Hok-wi ternyata tak kenal dengan opsir itu. Tapi karena melihat kepandaian orang begitu
lihay, diam-diam Toh Hok-wi girang sekali. Serunya: Bagus, lindungi aku dari belakang dan
lekas
menggabungkan diri dengan induk pasukan, kemudian kepung lagi kawanan pemberontak itu.
Akan kucatat jasamu, kelak tentu akan kunaikkan pangkat.
Terima kasih atas budi tayjin, sahut opsir itu seraya maju menghampiri. Sekonyong-konyong
ia gunakan kin-na-chiu menangkap pergelangan tangan Toh Hok-wi. Seketika lemaslah Toh
Hokwi
tak dapat berkutik lagi.
Kau, kau mau berbuat apa ini? serunya dengan cemas.
Khik-sia yang memburu datang, terperanjat juga melihat kejadian itu. Buru-buru ia simpan
pedangnya. Opsir itu tertawa: Jika kita mau lolos, jalan satu-satunya hanya dengan meminjam
orang ini. Kenapa kau hendak membunuhnya?
Sekarang barulah Khik-sia tahu bahwa opsir itu kawan seperjuangannya. Bahkan rencananya
pun sama. Hanya karena salah mengerti saja maka opsir itu mengira tadi Khik-sia hendak
membunuh Toh Hok-wi. Padahal ia hanya mau menusuk jalan darah orang saja.
Siapakah saudara ini? Mengapa membantu aku? dalam girangnya Khik-sia buru-buru
meminta penjelasan.
Kembali opsir itu tertawa: Membantu kau berarti membantu diriku sendiri juga. Aku yang
rendah ini mendapat kehormatan menduduki kursi terakhir dari Sepuluh Pemberontak, namaku
Co
Ping-gwan dari Keng-ciu. Menilik usiamu yang masih begitu muda, tentulah kau ini Toan Khik-
sia
siauhiap yang termasyhur!
Mimpipun tidak Khik-sia bahwa pemberontak nomor sepuluh yang hendak ditangkap oleh
pemerintah itu, ternyata muncul di gelanggang situ dalam pakaian sebagai seorang opsir
kerajaan.
Khik-sia menjawab memberi hormat: Tadi telah salah paham, mohon dimaafkan. Co toako
memiliki kecerdasan dan keberanian, aku sungguh kagum sekali.
Co Ping-gwan tertawa: Toh tayjin ini kuserahkan padamu, supaya kau lega.
Waktu Khik-sia hendak menyahut, Co Ping-gwan sudah mendorong pembesar itu hingga
Khiksia
terpaksa menyambutnya. Sebenarnya ketika tangan Co Ping-gwan dilepas tadi, Toh Hok-wi
hendak meronta, tapi Khik-sia cepat sudah menerkam punggungnya. Jika berani sembarangan
bergerak, urat nadimu tentu kuputus. Celaka kau nanti!
Wi Gwat, Tok-ko U dan kawan-kawan berdatangan menghampiri. Dengan menggusur Toh
Hok-wi, mereka menerjang keluar dari kepungan. Barisan tentara kerajaan tak mampu menjaga
pertahanannya lagi. Dalam beberapa kejap, rombongan Wi Gwat sudah tiba di pinggir lapangan.
Ternyata di dalam lapangan ketentaraan itu, terdapat 3000 tentara Gi-lim-kun dan 2000 anak
buah Toh Hok-wi. Mereka menjaga keras pintu besar, orang tak boleh sembarangan masuk
keluar.
Lima ribu tentara pilihan itu, siap dengan busur dan senjata. Benar Thiat-mo-lek dan Khik-sia
serta
jago-jago itu berkepandaian tinggi, tapi jika hendak berkeras menerjang tentara pemerintah tentu
tak mungkin.
Dalam menggusur Toh Hok-wi itu, Co Ping-gwan dengan tegas mengancam: Toh tayjin, jika
kau ingin menyelamatkan kantong nasimu, lekas perintah orangmu membuka pintu!
Pucatlah wajah Toh Hok-wi, batinya: Membuka pintu lepaskan tawanan, mereka tak
membunuh aku, tetapi akupun tetap dijatuhi hukuman mati oleh raja. Membuka mati, tidak

membuka pun mati. Ah, lebih baik aku mati sebagai menteri setia saja.
Baru ia berpikir begitu, Khik-sia sudah menekan punggungnya dan seketika ia rasakan
tubuhnya seperti digigiti ribuan ular kecil. Benar-benar siksaan yang paling hebat di dunia.
Hoha,
lepaskanlah. Biar kuturut perintahmu! akhirnya ia meratap.
Khik-sia tertawa dingin: Terserah saja kepadamu. Tapi, jika kau membangkang, aku masih
mempunyai ilmu pijat istimewa untuk kau coba.
Toh Hok-wi digusur kira-kira terpisah beberapa tombak dari pasukan pemerintah. Ketika
memandang ke muka, Toh Hok-wi dapatkan yang di sebelah depan adalah anak buahnya sendiri
dan
yang di bagian belakang adalah pasukan Gi-lim-kun. Ia kuatir anak buah Gi-lim-kun tak mau
mendengar perintahnya. Tapi ia tak mempunyai lain pilihan lagi. Begitu Khik-sia hendak
memijatnya lagi, Toh Hok-wi buru-buru berteriak: Lekas buka pintu, lekas buka pintu!
Anak tentara jelas melihat bahwa pemimpinnya itu sedang ditekan musuh. Karena perintah itu
menyangkut urusan besar, sekalian anak buah pun tak berani mengambil putusan menurut atau
menolak.
Pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, terbagi menjadi dua golongan. Satu
golongan menyatakan: Cin thong-leng membuka Eng-hiong-tay-hwe ini sebenarnya sudah
mengatakan kepada orang gagah di seluruh negeri bahwa mereka takkan mendapat gangguan.
Tapi
karena Kaisar mendengarkan anjuran Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi, maka mengeluarkan
perintah
menangkap sepuluh pemberontak tadi. Ini menyebabkan Cin thong-leng kehilangan muka pada
seluruh orang gagah. Maka lebih baik kita buka pintu saja.
Golongan kedua menentang: Jangan, jangan! Menangkap pemberontak adalah perintah dari
raja. Kalau kita bukakan pintu dan lepaskan mereka, bukan saja kita semua anak buah Gi-lim-
kun
akan dihukum kaisar bahkan Cin tayjin pun tentu tambah berat dosanya. Orang she Toh itu
memang sudah beberapa kali hendak mencelakai Cin tayjin. Biarkan sekarang dia mati disiksa
kawanan pemberontak itu!
Kedua pihak sama-sama ada alasan namun sampai sekian saat tiada keputusannya. Pada waktu
biasa, Toh Hok-wi bersikap angker terhadap anak buahnya. Dia sering memberi putusan yang
tak
adil, kebanyakan tentu mengeloni orang-orang yang menjilatnya. Kewibawaan Toh Hok-wi di
kalangan tentara kalah jauh dengan Cin Siang. Memang beberapa anak buah yang setia pada Toh
Hok-wi, saat itu mau memberi jalan.
Sementara partai Thiat-mo-lek lawan Bu Wi-yang dan Yo Bok-lo, ternyata sampai saat itu
masih belum ada kesudahannya. Hanya sekarang kedua orang itu gunakan siasat sambil
bertempur
sambil mundur. Sampai akhirnya datanglah pasukan Theng-pay-kun. Mereka bergabung dengan
barisan Giau-kau-chiu membentuk suatu garis pertahanan untuk menghadang Thiat-mo-lek. Di
saat
itu barulah Bu Wi-yang dapat menyusup ke dalam barisan anak buahnya untuk beristirahat. Pada
saat itu juga ia mengetahui tentang tindakan Khik-sia terhadap Toh Hok-wi. Cepat-cepat ia lari
menghampiri dan meneriaki anak buah Toh Hok-wi: Toh tayjin telah ditawan pemberontak.
Kalian sekarang harus mendengar perintahku. Lepaskan anak panah!
Anak buah Toh Hok-wi bersangsi.
Pasukan Gi-lim-kun, dengarlah! Kalian ingin tidak menolong Cin thong-leng kalian?
kembali Bu Wi-yang berseru. Lwekang yang tinggi menimbulkan suara nyaring sekali hingga
pasukan Gi-lim-kun yang tengah berisik itu diam seketika.
Untuk menolong Cin tayjin, hanya harus menurut surat perintah baginda. Basmi kaum
pemberontak itu dan mendirikan jasa untuk meringankan kedosaan Cin tayjin. Untuk itu aku
bersedia memberi kesaksian kepada baginda. Tetapi jika kalian berani membukakan pintu,
baginda
tentu menuduh Cin tayjin menyuruh kalian berontak. Dengan demikian bukankah Cin tayjin
akan
lebih berat dosanya? Bu Wi-yang berseru dengan lantang sekali.
Sebagian besar anak buah Gi-lim-kun memang mempunyai pendirian demikian. Maka anjuran
Bu Wi-yang cepat diterima. Ribuan batang anak panah mengauk ke arah Toh Hok-wi. Jago-jago
kelas satu seperti Khik-sia, Co Ping-gwan, Wi Gwat, Tok-ko U, dan lain-lain sibuk juga
melindungi
Toh Hok-wi. Memang pasukan Gi-lim-kun itu merupakan pasukan pilihan. Setiap calon harus
diuji
merentang busur berat, baru dapat diterima. Oleh karenanya mereka kuat dan gagah sekali

memanah.
Begitu Gi-lim-kun bergerak, pasukan Hou-bin-kun pun mengikuti. Sebenarnya mereka adalah
anak buah Toh Hok-wi sendiri. Tapi karena biasanya Toh Hok-wi memperlakukan mereka keras
dan tak adil, banyak yang sakit hati. Dan kesempatan ini digunakan baik-baik oleh mereka.
Mundur, lekas mundur ke lapangan lagi! teriak Co Ping-gwan. Toh Hok-wi kaget dan marah
dengan pengkhianatan itu.
Aku adalah pembesarmu, kamu tak menurut perintahku, tak apa. Tapi mengapa berani
membidik aku? teriaknya dengan kalap. Namun dalam hujan anak panah yang sedemikian
riuhnya, mana anak buah Hou-bin-kun menghiraukannya.
Bu Wi-yang loncat ke atas kuda. Sembari pentang busur, berseru nyaring: Toh Hok-wi,
karena kau mau menyerah pada pemberontak, jangan salahkan aku! Sret, sret, sret, ia lepaskan
tiga batang anak panah berturut-turut. Tenaganya besar, apalabi dalam keadaan yang kacau,
maka
sukar untuk menjaganya. Terpaksa Khik-sia putar pedang dan berhasil menyampok dua batang.
Anak panah yang ketiga ditampar dengan kipas oleh Tok-ko U. Sayang karena tenaganya kalah
kuat dengan Bu Wi-yang, maka anak panah dapat menembus kipas, terus menyusup ke
tenggorokan
Toh Hok-wi. Seketika matilah pembesar itu.
Bu Wi-yang tertawa gelak-gelak. Sekarang ia mengarah Khik-sia, Tok-ko U dan lain-lain.
Melihat itu marahlah Hong-jun, teriaknyanya: Datang tidak disambut, tidak menghormat. Lihat
panahku! Sret, sret, sret, ia pun lepaskan tiga batang anak panah berturut-turut.
Lu Hong-jun adalah ahli panah yang digelari orang sebagai Sin-cian-chiu. Anak panah pertama
mengenai kuda dan anak panah kedua mengarah tenggorokan Bu Wi-yang. Orang she Bu itu
ternyata lihay juga. Ia cepat loncat turun dari kudanya yang sudah terjungkal tak bernyawa itu.
Dan secepat itu ia menangkis dengan busurnya. Trang, busurnya pecah terhantam anak panah
Hong-jun. Dan pada lain saat, anak panah yang ketiga sudah menyambar datang. Bu Wi-yang tak
sempat menghindar lagi. Terpaksa ia ngangakan mulutnya dan menggigit. Kre, ujung anak panah
dapat digigitnya dan tertolonglah jiwanya. Tapi dua buah gigi muka rompal. Bu Wi-yang lari
terbirit-birit. Waktu Hong-jun menyusuli anak panah yang keempat, sudah tak keburu
mengejarnya.
Rombongan Khik-sia kembali lagi ke gelanggang. Karena disitu masih berlangsung
pertempuran kacau, pasukan Gi-lim-kun pun tak berani melepaskan panah lagi.
Di gelanggang situ, Shin Ci-koh masih main udak dengan Ceng-ceng-ji. Sambil mengejar,
wanita aneh itu berteriak-teriak: Kunyuk kecil, kau masih hutang sebuah tamparan. Jangan
ngimpi
kau dapat melarikan diri! Kalau kenal selamat, baik kai menyerah saja daripada nanti kalau
kecandak tentu kutampar lebih dari satu kali.
Ceng-ceng-ji tak dapat melawan Shin Ci-koh dan tak berani balas memaki. Untung ia lebih
unggul ginkangnya. Ia menyelinap masuk ke dalam kerumunan yang sedikit orangnya. Untuk
beberapa saat Shin Ci-koh belum dapat menyandaknya. Tetapi karena banyak orang yang benci
Ceng-ceng-ji, mereka memberi jalan pada Shin Di-koh dan sengaja merintangi Ceng-ceng-ji.
Orang-orang itu sebenarnya tak berani pada Ceng-ceng-ji. Tapi karena Ceng-ceng-ji sedang
diuber
setan, iapun tak berani cari permusuhan lagi. Setiap ada orang merintangi, dengan menahan
kemarahan, ia terpaksa mengitari dari samping. Karena dirintangi begitu, jarak Ceng-ceng-ji
makin
lama makin dekat dengan Shin Ci-koh.
Pada saat Wi Gwat tiba di gelanggang, kebetulan Ceng-ceng-ji sedang berlarian mendatangi.
Melihat congor Ceng-ceng-ji, meluaplah amarah Wi Gwat. Ia hadangkan kedua tangannya dan
berseru: Bagus, kau masih di sini, kunyuk kecil? Lekas ganti buli-buliku!
Saking gugupnya Ceng-ceng-ji enjot kakinya hendak melampaui Wi Gwat. Tapi tiba-tiba
mulut Wi Gwat menyembur arak dan tangannya menghantam dengan biat-gong-ciang. Aduh ....
diam-diam Ceng-ceng-ji berteriak tertahan. Muka dan tubuhnya kena kesemprot. Sakitnya
seperti
disiram air panas. Dan di samping itu, ia masih menerima lagi pukulan biat-gong-ciang. Hek,
nafasnya serasa berhenti, untung ia cukup lihay dan tak sampai terluka dalam.
Dengan ginkangnya yang jempol, dalam saat-saat yang berbahaya di mana Shin Ci-koh sudah
hampir datang, ia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati balikkan tubuh,
berjumpalitan di udara. Begitu tiba di tanah, kaki kiri diinjakkan ke kaki kanan terus loncat ke

samping sampai beberapa tombak jauhnya. Tapi alangkah kejutnya ketika berdiri jejak, ia lihat
Khik-sia sudah berada di hadapannya.
Toan sute, meskipun kita bermusuhan, tapi kita adalah saudara seperguruan. Apakah kau tega
melihat aku dihina orang luar? tersipu-sipu ia mainkan diplomasi.
Aku masih punya hubungan apalagi dengan kau? sahut Khik-sia. Habis itu ia lantas
menyerang. Tapi lain mulut lain hati. Ternyata serangannya itu hanya kosong dan diatur
sedemikian rupa untuk memberi jalan lolos pada Ceng-ceng-ji.
Bawa kemari! tiba-tiba Co Ping-gwan membentak.
Apa yang kauminta? tanya Ceng-ceng-ji. Ia terus menyelinap dari samping tapi golok Co
Ping-gwan yang dimainkan dalam jurus liong-toh-liok-hap, memaksa Ceng-ceng-ji berhenti.
Apa kau pura-pura tak tahu? Pedang pusaka kim-ceng-kiam yang kau pegang itu, adalah
milik keluargaku. Lekas berikan padaku! bentak Co Ping-gwan.
Oh, kiranya Co kongcu. Kau sudah merampas golok gan-leng-to kepunyaan Toh Hok-wi,
mengapa masih meminta kim-ceng-toan-kiam lagi?
Kurang ajar! Pedang pusaka warisan keluargaku, mana boleh kau gasak! damprat Co
Pinggwan
sembari mainkan golok dengan gencar.
Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji tak kalah dengan Co Ping-gwan. Tapi karena ia letih
bertempur sejak tadi, maka ia tak mampu membobolkan rintangan Co ping-gwan itu.
Ha, ha, kunyuk kecil, coba sekarang kau mau lari kemana? Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak.
Co ping-gwan, harap berhenti sebentar. Biar kutamparnya dulu kunyuk itu satu kali baru nanti
kau
boleh selesaikan perhitunganmu lagi!
Dalam saat dimana Ceng-ceng-ji sudah seperti tikus yang dicegat oleh dua ekor kucing, tibatiba
barisan tentara negeri menjadi gempar dan panik. Sesosok tubuh melayang melampaui kepala
mereka dan pada lain kejab sudah tiba di tengah gelangang. Orang itu bukan lain ialah Gong-
gongji.
Gong-gong-ji, apa sekarang kau masih mau menyingkiri aku lagi? cepat-cepat Shin Ci-koh
tinggalkan Ceng-ceng-ji dan lari menghampiri Gong-gong-ji.
oooooOOOOOooooo
Dilepas Shin Ci-koh, Ceng-ceng-ji agak longgar. Tapi kelonggarannya hanya sekejab mata
saja. karena pada lain kejab semangatnya seperti terbang, demi melihat Gong-gong-ji datang.
Pedang pusaka ini benar kepunyaan keluargamu, tapi yang memberikan kepadaku ialah
suhengku. Sekarang suhengku sudah datang, jika hendak meminta kembali pedang ini, silahkan
bilang padanya! serunya kepada Co Ping-gwan seraya menyerang. Dan ketika Co Ping-gwan
menghindar, Ceng-ceng-ji lantas putar tubuh dan melarikan diri.
Co Ping-gwan tak dapat mengejarnya. Pikirnya: Ya, Gong-gong-ji sudah datang. Aku harus
menemuinya.
Dua puluh tahun berselang pedang pusaka yang terbuat dari emas milik keluarga Co itu telah
dicuri Gong-gong-ji. Karena sayang kepada Ceng-ceng-ji, pedang itu diberikan kepadanya.
Setelah dewasa dan matang dalam gemblengan ilmu silat, Co Ping-gwan hendak mencari
Gonggong-
ji untuk meminta kembali pedangnya itu. Untung pada saat itu Gong-gong-ji sudah tersadar
dari pengaruh Yu-pay dan kembali ke jalan yang lurus. Walaupun ia menang, tapi ia tak mau
melayani tantangan Co Ping-gwan bahkan sebaliknya malah minta maaf dan berjanji akan
mengembalikan pedang Co Ping-gwan. Dan sejak itu selama berkelana di dunia persilatan,
banyak
kali secara diam-diam Co Ping-gwan mendapat bantuan dari Gong-gong-ji. Akhirnya kedua
orang
itu bersahabat baik.
Ceng-ceng-ji tahu tentang riwayat pedang pusaka itu. Maka kali ini adanya Co Ping-gwan
dimasukkan dalam golongan pemberontak, adalah dari usulnya. Latar belakangnya karena
Cengceng-
ji hendak memiliki terus pedang itu.
Karena bernafsu untuk menjumpai Gong-gong-ji, maka Shin Ci-koh tak menghiraukan
siapapun. Yang menghadang jalannya, tak perduli dia itu anak tentara atau orang persilatan, tentu

disikat dengan kebut hud-timnya. Tapi karena lapisan tentara negeri itu banyak sekali, sudah
tentu
tak mudah baginya untuk menyapu bersih.
Co Ping-gwan yang juga hendak menemui Gong-gong-ji dan kebetulan berada di belakang
Shin Ci-koh, tiba-tiba mendapat pikiran: Aku hendak minta Gong-gong-ji mengembalikan
pedangku, untuk itu akupun harus membantu kerepotannya. Dia tak senang menjumpai wanita
ini.
Biarlah kuhadangnya saja.
Ia percepat larinya dan berseru: Shin lo-cianpwe, sungguh beruntung dapat berjumpa,
terimalah hormatku!
Shin Ci-koh tak senang kalau orang membahasakan dirinya sebagai locianpwe. Karena
dengan begitu ia dianggap sebagai orang tua. Tapi mengingat ayah Co Ping-gwan, ia tak mau
memukul anak muda itu. Ia deliki mata dan menyahut dingin: Tak usah banyak tingkah, aku tak
punya waktu!
Tapi Co Ping-gwan malah loncat kemuka dan berhadapan dengan wanita aneh itu, ujarnya:
Jika membicarakan tentang ilmu pedang, ayah selalu menyatakan kekagumannya terhadap ilmu
pedang lo-cianpwe. Sayang pada waktu lo-cianpwe lalu di rumahku, aku masih kecil tak
mengerti
apa-apa. Sekarang aku beruntung berjumpa, sudilah lo-cianpwe memberi petunjuk barang satu
dua
jurus locianpwe, mengapa hari ini kau memakai hud-tim bukan pedang?
Marah Shin Ci-koh bukan kepalang dengusnya: Apa kau hendak menguji aku?
Buru-buru Co Ping-gwan menjura: Tidak, lo-cianpwe. Aku hanya mohon pelajaran ilmu
pedang, sekali-kali tak berani menguji lo-cianpwe.
Tadi kau bertanya mengapa aku tak pakai pedang? Tahukah kau bahwa begitu bu-ceng-kiam
itu keluar, tentu akan minta jiwa orang?
Tahum tahu! Justeru ilmu pedang sakti itulah yang hendak kumohon, sahut Ping-gwan.
Shin Ci-koh tertawa dingin: Untuk belajar ilmu pedangku tak boleh secara lisan. Kalau
benarbenar
kau ingin belajar, nah, lihatlah pedang ini! Ho, kau tak mau menyingkir?
Co Ping-gwan gunakan jurus tiang-ho-lok-ji, atau sungai ho di senjakala, ia putar pedangnya.
Trang, pedang Shin Ci-koh kena didorong ke sisi. Dan tertawalah ia: Ilmu pedang lo-cianpwe
sungguh hebat. Apakah caraku menangkis tadi benar?
Karena memandang muka ayahnya, maka Shin Ci-koh tak mau menyerang sungguh-sungguh.
Tapi sebaliknya karena tahu wanita itu selalu bertindak ganas, maka Co Ping-gwan telah
menangkis
dengan sekuat tenaganya hingga tangan Shin Ci-koh menjadi kesakitan.
Akhirnya marah juga Shin Ci-koh. Ia ambil putusan hendak memberi hajaran pada anak muda
itu tak peduli ia itu putera siapa. Bagus, kalau tak kukeluarkan sungguh-sungguh kau tentu
mengira ilmu pedangku Bu-ceng-kiam itu hanya bernama kosong, akhirnya ia tertawa dingin
sembari kiblatkan pedangnya. Tampaknya berkiblat di kanan tahu-tahu sudah di kiri. Sungguh
suatu ilmu pedang yang luar biasa, sukar diduga gerak perubahannya.
Dalam beberapa jurus saja, Co Ping-gwan tak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya sibuk
menangkis. Diam-diam ia jeri juga, batinnya: Ah, nyata-nyata Bu-ceng-kiam itu tak bernama
kosong. Untung aku dapat merampas golok pusaka Gan-leng-to ini biarpun mati-matian, tapi
dapat
melayaninya.
Shin Ci-koh juga terkejut melihat anak muda itu dapat melayani ilmu pedang Bu-ceng-kiam.
Diam-diam ia kuatir jangan-jangan kemasyhuran Bu-ceng-kiam itu akan jatuh di tangan Ping-
gwan.
Jilid 12
Shin Ci-koh paling menjunjung nama. Begitu bertempur, entah dengan kawan atau lawan, ia
tentu harus menang. Begitu ia pergencar serangannya, Co Ping-gwan menjadi kewalahan.
Untung
dalam saat-saat Ping-gwan akan menderita kekalahan itu, tiba-tiba terdengar gelak tertawa
seorang
tua: Shin Ci-koh, mengapa kau gunakan Bu-ceng-kiam terhadap seorang anak muda? Apakah
tak
takut ditertawai orang? Ai, ai, ai sudahlah jangan bertempur. Pengemis tua hendak mengundang
kau minum arak!
Itulah Wi Gwat. Ia pinjam tongkat bambu Ciok Ceng-yang dan sekali disodokkan, terpisahlah

golok Co Ping-gwan dengan pedang Shin Ci-koh. Ini bukan berarti bahwa kepandaian Wi Gwat
jauh lebih lihay dari kedua orang itu. Tetapi dikarenakan kepandaian Shin Ci-koh tak terpaut
banyak dengan Co Ping-gwan. Wi Gwat dapat mencari timing dan gunakan tenaga dengan
tepat.
Maka sekali gerak, ia berhasil pisahkan mereka tanpa melukai.
Melihat si pengemis tua, terpaksa Shin Ci-koh mau mengalah. Apalagi si pengemis gila itu
berkata dengan tepat, dapat menjunjung gengsi Shin Ci-koh. Amarah Shin Ci-koh menurun dan
setelah menyimpan pedang ia berkata: Bukannya aku menghina kaum muda tetapi karena dia
hendak merintangi urusanku.
Wi Gwat mendorong Co Ping-gwan ke samping, ujarnya: Benar, urusan Shin Ci-koh hanya
aku si pengemis tua ini yang dapat mengetahui. Kau budak kecil, jangan mengganggu kita
bicara.
Co Ping-gwan tahu kalau ditolong Wi Gwat, maka ia pun buru-buru undurkan diri menggabung
pada Khik-sia.
Pengemis tua, mengapa kau juga ikut-ikutan menggerecoki aku? Mana aku senggang minum
arak dengan kau? seru Shin Ci-koh dengan agak kurang senang.
Wi Gwat tertawa: Kalau kau tak mau minum arak, seharusnya kau undang aku minum
arakmu!
Pengemis tua, jangan ngaco, aku benar-benar tak punya tempo menemanimu. Mau minum
arak, silahkan minum sendiri saja. Maaf, aku mau pergi, Shin Ci-koh mau pergi tapi dicekal
tangannya oleh Wi Gwat.
Ha, ha, apa kau belum mengerti? Yang kumaksudkan, kau supaya undang aku minum arak
kegiranganmu. Tak perlu kau menemani aku. Ketahuilah, karena berkelahi aku bersahabat
dengan
Gong-gong-ji. Perangaiku sama dengan dia. Dia tak mau mendengarkan perkataan orang, tetapi
perkataan pengemis tua ini, ha, ha, ia tak berani tak mendengarkan. Ci-koh, urusanmu dengan
Gong-gong-ji serahkan saja padaku. Pengemis tua ini paling senang menjadi comblang!
Walaupun Shin Ci-koh itu berlainan dengan wanita biasa, ialah tak mau sungkan-sungkan
mengaku senang pada orang, tapi tak urung pada saat itu ia merah juga. Batinnya: Beberapa kali
Gong-gong-ji selalu menyingkir dari aku. Tetapi kutahu bukannya ia sama sekali tak suka
padaku.
Melainkan ia memang sudah biasa hidup bebas, takut kalau sudah menikah akan terikat. Ah,
rupanya ia tak tahu bahwa sekarang perangaiku sudah berubah.
Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu, Gong-gong-ji sudah kenal dengan Shin Ci-koh.
Mereka saling mencocoki. Shin Ci-koh suka sekali kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji pun
mengagumi kepandaian Shin Ci-koh. Sebenarnya mereka dapat menjadi pasangan suami-isteri
yang ideal. Tetapi Shin Ci-koh tak setuju dengan cara hidup Gong-gong-ji yang digelari sebagai
Biau-chiu-sin-thou atau Pencuri Sakti. Ia anggap nama itu tidak baik. Gong-gong-ji pun takut
akan
watak Shin Ci-koh yang keras. Segala apa harus menurut perintahnya. Kalau sudah menjadi
suami
isteri, Gong-gong-ji kuatir akan diikat kebebasannya. Itulah sebabnya maka ia tak mau
membicarakan soal pernikahan.
Setelah Gong-gong-ji biasa hidup bebas menurut sekehendak hatinya, rasa takut kawin dengan
Shin Ci-koh itu makin mendalam. Akhirnya ia hapus sama sekali pikiran itu.
Pun dengan bertambahnya usia Shin Ci-koh makin kepingin mempunyai rumah tangga. Karena
sudah kelewat umur belum menikah, pikirannya agak terganggu. Untuk melampiaskan
kegelisahannya itu, seringkali ia mengganas. Dan karena keganasannya itu makin terkenal di
dunia
persilatan dan makin ditakuti orang pula. Semakin ditakuti orang, ia merasa makin terasing.
Makin
terasing, ia makin merasa kesepian. Makin kesepian, makin ia berusaha keras untuk mengejar
Gong-gong-ji. Dengan begitu terjadilah hal yang lucu. Yang satu kepingin sekali berumah
tangga,
yang satu takut kawin. Untuk menghindarkan diri dari kejaran Shin Ci-koh, Gong-gong-ji
berusaha
agar jangan sampai berjumpa. Begitu mencium bau angin Shin Ci-koh ia sudah lari kalang
kabut.
Shin Ci-koh berpikir lebih lanjut: Kabarnya ia sudah banting stir ke jalan yang lurus. Tidak
mau ugal-ugalan mencuri lagi. Sebenarnya kalau hanya sekali tempo ia berbuat begitu, akupun
tak
keberatan. Tapi soalnya ialah bagaimana ia dapat mengetahui pendirianku sekarang ini? Ah,
dalam
hal ini memang harus ada orang perantaranya.
Membayangkan hal itu, merahlah wajahna. Ia berkata dengan pelahan: Wi lo-cianpwe, karena

kau sudah mengetahui urusan kami berdua, maka akupun tak mau menutup lagi. Lebih dulu aku
menghaturkan terima kasih padamu. Asal separuh hidupku dapat mempunyai kawan hidup, tak
nanti ayahku kehabisan arak.
Wi Gwat tertawa gelak-gelak: Bagus, bagus, biar aku menjadi ayah-angkatmu. Sebagai
ayahangkat
sudah tentu aku akan berusaha mati-matian untuk kepentinganmu. Baik, sekarang juga aku
hendak mendapatkan Gong-gong-ji. Hai, tapi sekarang ia sedang ada urusan penting, terpaksa
harus menunggu dulu.
Shin Ci-koh mendongak ke muka. Tampak Gong-gong-ji sedang menyusup ke dalam barisan
pasukan Bu Wi-yang. Gerakannya luar biasa gesitnya. Menerjang sebuah pasukan besar, seperti
masuk ke dalam hutan yang kosong saja. Di bawah sabetan pedang dan tombak, sehelai bulunya
pun tak rontok. Secepat kilat ia sudah tiba di samping Bu Wi-yang.
Wajah Gong-gong-ji memang luar biasa. Bu Wi-yang segera mengenali, walaupun terkejut tapi
diam-diam ia membatin: Mau apa Gong-gong-ji ini? Masakan ia dapat mengapa-apakan aku di
tengah barisan besar?
Baru ia berpikir, begitu tubuh Gong-gong-ji sudah melayang datang. Buru-buru ia gunakan
jurus liong-coa-ci-to, cepat ia tusukkan sepasang kait kepada bayangan hitam itu. Aduh .....
terdengar jeritan dan darah muncrat. Dada penyerangnya itu berlubang, tubuhnya terkulai. Ada
segumpal dagingnya yang masih melekat di kait.
Bu Wi-yang tak menyangka sama sekali Gong-gong-ji ternyata begitu tak punya guna. Tapi
ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: Celaka!
Sepasang kaitnya belum sempat ditarik keluar dari tubuh orang tadi, tahu-tahu Gong-gong-ji
sudah mencekal pergelangan tangannya. Jangankan ia memang kalah tangguh dengan Gong-
gongji,
sekalipun andaikata menang, tapi kalau dikuasai pergelangan tangannya, tentu tak dapat berkutik
lagi.
Mengapa Gong-gong-ji dapat hidup lagi? Bukan, sebenarnya yang tertusuk kait Bu Wi-yang
tadi bukan Gong-gong-ji. Waktu menyerbu dengan gerak cepat tadi, Gong-gong-ji menyambar
seorang tentara terus dibuat menerjang Bu Wi-yang. Karena perawakan Gong-gong-ji pendek
kecil
maka ia dapat tertutup dengan perisai istimewa tadi. Bu Wi-yang salah melihat dan kena
diakali.
Hal ini disebabkan karena memang gerakan Gong-gong-ji luar biasa cepatnya sehingga Gong-
gongji
dengan opsir itu tampaknya seperti satu orang. Dan kedua kalinya, karena Bu Wi-yang kelewat
tegang. Begitu ada orang menyerang, terus saja ia tusuk.
Coba Bu Wi-yang berlaku tenang, walaupun kepandaian memang kalah dengan Gong-gong-ji,
tapi sekurang-kurangnya ia masih dapat melayani sampai 10-an jurus juga.
Begitu mencekal tangan Bu Wi-yang, Gong-gong-ji lantas melemparkannya ke udara. Dan
secepat itu juga Gong-gong-ji melayang menyusulnya, melampaui kepala kawanan tentara.
Begitu
Bu Wi-yang melayang turun, Gong-gong-ji sudah menyambutinya, terus mencengkeram jalan
darahnya. Saat itu mereka sudah berada di luar pagar kepungan barisan tentara.
Gong-gong-ji, kau bukan orang Lok-lim dan tak ada sangkut pautnya dengan kawanan
pemberontak. Kau bebas pergi kemana-mana, mengapa cari kesulitan? Lekas lepaskan Bu
tayjin!
teriak Yo Bok-lo.
Tadi ia bersama Bu Wi-yang. Ketika melihat Bu Wi-yang ditangkap, ia cepat memburu tapi
terlambat. Bu Wi-yang sudah diringkus Gong-gong-ji. Yo Bok-lo bergelar Chit-poh-tui-hun atau
tujuh langkah mengejar jiwa. Meskipun ginkangnya tak selihat Gong-gong-ji, tapi dalam jarak
pendek, ia hampir dapat menyamai kecepatan Gong-gong-ji. Pada saat Gong-gong-ji
menyambuti
Bu Wi-yang tadi, Yo Bok-lo pun sudah kira-kira tiga tombak di belakang Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji tertawa dingin: Justeru aku ingin tahu apa kesulitan itu? Tanpa berpaling lagi
ia menjinjing Bu Wi-yang dan pergi.
Yo Bok-lo sebenarnya jeri juga kepada Gong-gong-ji. Tapi untuk menolong bu Wi-yang,
terpaksa ia bertindak juga. Kuatir tak dapat mengejar, lebih dulu Yo Bok-lo lepaskan pukulan
biatgong-
ciang ke punggung Gong-gong-ji.
Bangsat, mau lari kemana kau? Aku hendak menempurmu sampai mati, sambutlah
seranganku! tiba-tiba Thiat-mo-lek menghadang maju.

Kini Gong-gong-ji dapat tertawa lepas, serunya: Yo bok-lo, bukan aku yang mendapat
kesusahan sebaliknya kau sendiri. Karena sudah ada yang hendak membalaskan hutangmu
memukul aku, akupun tak mau turun tangan.
Pukulan biat-gong-ciang tadi dilontarkan Yo Bok-lo dengan sekuat tenaganya. Tapi sedikitpun
tak dapat melukai Gong-gong-ji. Malah Gong-gong-ji dapat pinjam tenaga pukulan itu untuk
mempercepat larinya. Ketawanya masih berkumandang, tapi orangnya sudah lenyap dalam
gundukan manusia.
Bu Wi-yang tertawan dan Ceng-ceng-ji pun sudah bersembunyi karena ketakutan melihat
suhengnya. Kini tinggal Yo Bok-lo seorang diri. Untung Thiat-mo-lek tetap berlaku sportif,
sebelum menyerang memberi peringatan dulu. Dalam keadaan terpencil, kuncuplah nyali Yo
Boklo.
Sebagai penyambutan dari tantangan Thiat-mo-lek, ia melesat dan melarikan diri masuk ke
dalam barisannya.
Wi Gwat, Khik-sia, kedua saudara Tok-ko dan lain-lain sudah menerjang. Wi Gwat juga
memimpin anak buah Kay-pang menggempur anak tentara. Melihat Wi Gwat, Yo Bok-lo putar
haluan dan lari sipat kuping.
Bangsat, kau masih hendak berlindung dalam barisanmu? Kemana kegaranganmu? teriak
Thiat-mo-lek.
Yo Bok-lo lari mati-matian. Tiba-tiba ada orang menghadangnya. Dengan mencekal pedang
dan mata melotot, orang itu tertawa mengejeknya: Bangsat Yo, Toan Khik-sia sudah
menunggumu
di sini.
Yo Bok-lo buntu jalannya. Dari muka dan belakang dikejar musuh. Sekonyong-konyong ia
berputar ke belakang dan tertawa gelak-gelak: Thiat-mo-lek, kau mau mengandalkan jumlah
banyak untuk mengalahkan aku?
Khik-sia, jangan campur tangan, seru Thiat-mo-lek yang sebat sekali, sudah melesat ke muka
Yo Bok-lo. Bangsat tua, hari ini aku hendak membalaskan sakit hati ayah. Siapa saja tak boleh
membantu. Pendek kata kalau belum mati tidak boleh bubar. Darah mengalir baru berhenti!
Khik-sia lintangkan pedangnya untuk menjaga kemungkinan Yo Bok-lo melarikan diri. Ia
mengeluarkan ancaman: Siapa yang akan membantu akan kuhajar. Siapa yang hendak
melarikan
dirim juga akan kubacok! Bangsat Yo, asal kau dapat menyelamatkan batang kepalamu dari
pedang
Thiat toako, maka aku pun takkan menghadangmu!
Baik, aku hendak minta pelajaran ilmu pedangmu yang tiada bandingannya di dunia, akhirnya
Yo Bok-lo tabahkan hatinya.
Tapi di luar dugaan Thiat-mo-lek malah menyimpan pedangnya. Serunya: Dahulu kau melukai
ayahku dengan pukulan secara menggelap. Sekarang akupun hendak membalas kau dengan
pukulan agar kau dapat mati dengan puas! Artinya, Thiat-mo-lek akan menghadapi Yo Bok-lo
dengan tangan kosong.
Sebenarnya Yo bok-lo jeri terhadap Thiat-mo-lek. Mendengar ucapan itu, diam-diam ia girang.
Pikirnya: Kalau kau pakai pedang, aku tentu kalah. Tapi karena kau sendiri mengatakan tak
mau
pakai pedang dan hanya dengan sepasang tangan kosong, itu salahmu sendiri.
Namun ia masih belum percaya dan menegas lagi: Artinya kita bertempur satu lawan satu
dengan tangan kosong, bukan?
Dengan tangan kosong menentukan mati-hidup! sahut Thit-mo-lek dengan tegas.
Bagus, aku memang menghendaki janjimu itu. Ucapan seorang ksatria .....
Laksana kuda dicambuk! sahut Thiat-mo-lek.
Ah, mana dia dapat digolongkan seorang ksatria, Khik-sia menyeletuk.
Yo Bok-lo tertawa keras: Jangan kelewat memandang rendah orang, bocah! Thiat-mo-lek, hari
ini raja akhirat akan mengundang tetamu. Entah siapa yang akan diundang, kau atau aku. Nih,
terimalah pukulanku!
Yo Bok-lo sengaja bersikap garang untuk membesarkan nyalinya. Namun nada tertawanya
yang tergetar, tak dapat menutupi ketakutan hatinya. Dalam ketakutannya, ia memukul
sekuatkuatnya.
Krak. Thiat-mo-lek menangkis. Yang berbunyi bukan kepalan beradu melainkan hanya angin

pukulannya. Sekalipun begitu, suaranya sudah memekakkan telinga. Tubuh Yo Bok-lo
menjulang
ke atas. Dua buah jari tangan kirinya menusuk sepasang mata orang, tangan kanannya menabas
kaki. Dua tangan menyerang dari atas dan bawah, gayanya mirip dengan Hek-hou-ciang
(pukulan
macan mendekam) dari Siau-lim-pay. Tetapi tenaganya kuat sekali, jauh lebih lihay dari pukulan
Siau-lim-pay itu.
Yo Bok-lo tahu kalau lwekangnya kalah dengan lawan. Maka ia gunakan siasat hendak
mencuplik biji mata Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek mendak ke bawah dan gunakan jari tengah
untuk
menutuk telapak tangan lawan. Di situ terdapat jalan darah lo-kiong-hiat. Yo Bok-lo paling-
paling
hanya dapat meremukkan tulang bahu Thiat-mo-lek, tapi sekali jalan darah lo-kiong-hiat itu kena
ditutuk, hancurlah jiwa Yo Bok-lo.
Gelar Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun. Ia lincah dan cepat sekali menghadapi setiap
perubahan. Ia enjot tubuhnya berjumpalitan di udara dan melayang turun di belakang lawan.
Jalan
darah thian-ku-hiat di punggung Thiat-mo-lek, cepat dihantamnya.
Thiat-mo-lek mahir dalam ilmu thing-hong-pian-ki (mendengar suara membedakan senjata).
Begitu terasa angin menyambar dari belakang, cepat ia putar tubuh dan hantamkan kedua
tangannya
ke perut orang. Yo Bok-lo telusupkan tangan kiri ke bawah siku lengan kanannya untuk menutuk
siku lengan Thiat-mo-lek. Tapi Thiat-mo-lek sudah memperhitungkan hal itu. Ia maju selangkah
dan menyambar iga Yo Bok-lo. Walaupun tak kena tapi Yo Bok-lo sudah mengucurkan keringat
dingin.
Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras. Tangannya dikepalkan dan menghantam dengan
gerak heng-sim-bak-hou. Kerasnya bagai pukul besi menghancurkan batu. Yo Bok-lo tak berani
menyambuti. Ia enjot tubuhnya melayang sampai satu tombak lebih dan meluncur turun, secepat
kilat Yo Bok-lo sudah putar tubuh hingga pukulan lawan tak mengenainya.
Khik-sia menahan nafas melihat jalannya pertempuran itu. Pikirnya:Thiat toako tak mau adu
ilmu pedang, padahal ia tentu menang dengan senjata. Tapi toako memilih tangan kosong, ini
tentu
kurang leluasa.
Kembali saat itu Thiat-mo-lek dan Yo Bok-lo bertempur dengan seru. Mereka dahulu
mendahului untuk menindas lawan. Ilmu tangan kosong Yo Bok-lo benar-benar luar biasa, sukar
diduga perubahannya. Tetapi gerak cepat pukulan yang dilancarkan Thiat-mo-lek itu, walaupun
gayanya seperti orang main pedang, namun cepatnya bukan kepalang. Ilmu pukulan Thiat-mo-
lek
yang keras dan cepat itu, dapat juga mengimbangi permainan lawan.
Bilakah Thiat-mo-lek menciptakan ilmu pukulan kilat itu? diam-diam Khik-sia heran sendiri.
Yo Bok-lo sakti dalam ilmu pukulan tangan kosong. Dan Thiat-mo-lek sengaja hendak
mengalahkannya dengan ilmu pukulan tangan kosong juga. Maka siang-siang ia sudah berusaha
menciptakan sebuah ilmu pukulan untuk menandinginya. Ia menggabungkan ilmu pedang sakti
dari Mo Kia lojin dan Toan Kui-ciang (ayak Khik-sia), dirubah dan dilebur menjadi sebuah ilmu
pukulan tangan kosong.
Saat itu adalah yang pertama kali Thiat-mo-lek gunakan ilmu pukulan ciptaannya itu. Maka
sudah pada tempatnya kalau Khik-sia merasa terkejut. Bahkan Yo Bok-lo sendiri, seorang ahli
ilmu
silat tangan kosong, setelah melayani beberapa jurus, merasa kagum dan gentar.
Walaupun terdesak namun posisi kaki Yo Bok-lo tetap teratur rapi menurut formasi pat-kwa dan
ngo-heng. Berpuluh tahun lamanya Yo Bok-lo meyakinkan ilmu pukulannya itu, sehingga untuk
beberapa waktu Thiat-mo-lek pun tad dapat berbuat apa-apa. Namun Thiat-mo-lek yang
mempunyai tenaga pembawaan yang kuat, apalagi ia dalam usia di masa orang sedang
gagahgagahnya,
tetap dapat mengatasi lawan. Benar ia tak semahir Yo Bok-lo dalam ilmu pat-kwa dan
ngo-heng, namun ia menang kuat dengan Yo Bok-lo.
Setelah lewat belasan jurus, siapa kuat siapa lemah, mulai kelihatan. Di dalam kurungan hujan
pukulan Thiat-mo-lek, gerakan Yo Bok-lo pun mulai tak lancar. Chit-si-ciang-hwat atau tujuh
jurus
pukulan, adalah ilmu pukulan yang mengangkat nama Yo Bok-lo. Tapi pukulan sudah habis
dimainkan, bukan jiwa lawan yang diburu, sebaliknya malah ia yang didesak tak dapat
bernafas.
Gelaranmu Chit-poh-tui-hun, dan sekarang kau sudah bergerak sampai tujuh langkah. Baiklah,
karena kau tak mampu memburu jiwaku, akulah yang akan mengejar jiwamu! Thiat-mo-lek

tertawa sinis. Habis berkata, ia memukulkan kedua tangannya ke muka. Dahsyatnya seperti
gunung rubuh.
Bagus, aku akan mengadu jiwa dengan kau! terpaksa Yo Bpk-lo menggarangkan suaranya dan
merapatkan sepasang tangannya untuk kemudian dipentang ke kanan dan ke kiri. Dia keluarkan
jurus terakhir yang paling ganas Im-yang-siang-jong-ciang.
Thiat-mo-lek tabaskan tangannya dari samping. Jari tengahnya ditonjolkan seperti orang
menabas. Dan memang ia gunakan jurus ilmu pedang heng-kiang-hui-to atau terbang melintasi
sungai. Jari itu berubah menjadi semacam ujung pedang.
Sebenarnya waktu menggunakan Im-yang-siang-jong-ciang tadi, Yo Bok-lo harus berganti
posisi kaki agar dapat merubah gerak penyerangannya menjadi pertahanan. Tapi ternyata begitu
Thiat-mo-lek mainkan habis serangannya, tenaga Yo Bok-lo pun sudah habis. Kakinya
terhuyung
hingga keliru menginjak posisi lain. Ini berarti dari seng-bun (pintu hidup), ia melangkah masuk
sibun
( pintu mati). Dan justru karena itu ia berputar ke hadapan Thiat-mo-lek atau berarti ia
memberikan dirinya disambar pukulan dan ditabas jari Thiat-mo-lek . Jari Thiat-mo-lek berhasil
menghancurkan gi-kang (tenaga luar) Yo Bok-lo, sedang pukulannya telah membuat Yo Bok-lo
terpental sampai beberapa tombak jauhnya.
Yo Bok-lo yang remuk tulangnya masih coba hendak berbangkit, tapi Thiat-mo-lek sudah tiba di
hadapannya dan mencengkeram sang korban. Dengan berlinang-linang air mata, berserulah
ksatria
itu: Yah, hari ini anak telah membalaskan sakit hatimu.
Ia cabut pedangnya dan mengutungi kepala Yo Bok-lo, dimasukkan ke dalam kantong kulit.
Selamat toako, akhirnya kau dapat membunuh bangsat tua ini! Khik-sia menghampiri.
Meskipun sakit hati telah terbalas, namun untuk lolos dari kepungan musuh, bukannya mudah.
Karena gara-garaku telah merembet saudara-saudara, hatiku sungguh tak enak, kata Thiat-mo-
lek.
Hai, toako, lihatlah! tiba-tiba Khik-sia berseru kaget. Dan saat itu barisan tentara pun gempar.
Ternyata Gong-gong-ji dengan menjinjing Bu Wi-yang, tiba di bawah guat-ping-thay (panggung
inspeksi). Sekali loncat, Gong-gong-ji sudah melayang ke atas panggung itu.
Seorang panglima boleh dibunuh tak boleh dihina. Gong-gong-ji, kalau berani bunuhlah aku
dengan segera! teriak Bu Wi-yang dengan nafas sengal-sengal.
Gong-gong-ji meletakkan tubuh jenderal itu, sahutnya: Siapa yang mau membunuhmu? Aku
hendak mengantarkan sengci (perintah raja) padamu!
Mulut Bu Wi-yang ternganga dan berkata dengan gelagapan: Apa? Kau membawa sengci?
Tiba-tiba Gong-gong-ji kerutkan wajah dan mengeluarkan secarik kertas. Serunya: Bu Wiyang,
mengapa tak lekas-lekas berlutut menyambut?
Ia rentang kertas itu di muka Bu Wi-yang. Astaga! Benar juga surat itu memakai stempel dari
Li Heng, baginda kaisar yang sekarang. Aneh, mengapa baginda memberi sengci kepada
Gonggong-
ji? Aneh, mustahil dipercaya, diam-diam Wi-yang membatin.
Namun percaya atau tidak, buktinya surat itu memakai stempel Kaisar. Mau tak mau ia terpaksa
berlutut juga dan ulurkan sepasang tangannya menyambuti sengci itu dengan khidmat.
Sengci itu berbunyi demikian: Thiat-mo-lek, Bo Se-kit, Toh Peh-ing, Toan Khik-sia, Co
Pinggwan
dan lain-lain sepuluh orang itu, perjalanan hidupnya tidak baik, beberapa kali melanggar
undang-undang. Seharusnya ditangkap dan dihukum setimpal. Tetapi mengingat mereka masih
ada
hasrat untuk mengabdi pada kerajaan, maka mereka telah datang dalam pertandingan besar ini.
Namun untuk memakai orang, pemerintah tak mau sembarangan. Oleh karena mereka yang
tersebut di atas itu masih belum membuat jasa untuk menebus kedosaannya, maka belum dapat
diterima. Kesepuluh orang itu harus lekas diusir dari lapangan ini, tak boleh turut dalam
pertandingan. Orang gagah lain-lainnya boleh tinggal terus, menunggu pengumuman.
Dalam sengci itu walaupun Thiat-mo-lek dan kawan-kawan sebagai rakyat yang sering
melanggar undang-undang, tetapi dosanya tidak dianggap berat. Dan yang penting mereka itu atk
dianggap sebagai pemberontak. Hukumannya hanyalah, mengusir mereka dari lapangan situ.
Bukankah ini serupa dengan yang dikehendaki Thiat-mo-lek? tanya Bu Wi-yang dalam hati.
Dia seorang yang cermat. Makin membaca makin curiga.
Pikirnya lebih lanjut: Masakan baginda akan meniadakan perintahnya kepada kita? Dan lagi

dalam urusan yang begini penting, mengapa tak dibubuhi cap kerajaan dari kumala dan
melainkan
memakai stempel baginda saja?
Memang sengci itu hanya memakai stempel baginda. Li Hing gemar sekali membubuhi stempel
namanya pada lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan. Tapi jika mengenai urusan negara yang resmi,
ia
jarang menggunakan stempel itu. Memang ada kalanya, dalam surat rahasia yang menyangkut
urusan pribadi, setempo ia menggunakan stempel namanya itu.
Sengci yang kau bawa ini, tulen atau palsu? akhirnya Bu Wi-yang bertanya dengan ragu.
Gong-gong-ji membisiki ke dekat telinganya: Stempel yang digunakan kaisar itu tulen!
Dengan melaksanakan sengci ini, tanggung kau dapat mempertahankan kedudukanmu. Kalau
tidak
jiwamu pasti tak terjamin, mengerti?
Seketika teranglah pikiran Bu Wi-yang. Ya, sengci itu palsu tetapi memakai stempel asli.
Pikirnya: Gong-gong-ji memang termasyhur sebagai pencuri sakti. Apa yang lain orang tak
dapat,
ia mampu mengerjakan. Tapi tak peduli sengci ini palsu atau tulen, apa yang dikatakan Gong-
gongji
itu memang benar. Meskipun sengci palsu, tetapi karena memakai stempel tulen, kelak apabila
diselidiki, aku mempunyai pegangan kuat. Paling-paling aku hanya disalahkan karena kurang
teliti
memeriksa sengci saja. Hukumannya hanya potong gaji. Tetapi jika kubongkar rahasia sengci ini
di depan umum, Gong-gong-ji itu setan yang tak takut pada siapa juga. Apakah jiwaku dapat
lolos
dari tangannya?
Secepat kilat Bu Wi-yang memutuskan, jiwanya yang paling penting. Dan ia mengambil
putusan, baik sengci itu palsu atau tulen, dia akan menerimanya. Begitu dengan mengangkat
sengci
itu tinggi-tinggi, ia mengangguk tiga kali ke arah istana. Barisan tentara heran melihat gerak-
gerik
jenderal itu.
Setelah menjalan penghormatan seperlunya, Bu Wi-yang tampil ke muka panggung dan
merentang sengci. Mulailah ia berseru nyaring: Berhenti semua, dengarkan sengci!
Waktu Bu Wi-yang membaca sampai pada kalimat Thiat-mo-lek dan kawan-kawan harus diusir
dari lapangan, tak boleh ikut dalam pertandingan, gegap-gempitalah suara orang bersorak di
bawah
panggung. Thiat-mo-lek dan Khik-sia saling berpandangan dengan tertawa: Suhengmu itu
benarbenar
luar biasa. Masakan sengci pun dapat ia curi. Jika saat ini kita tak berlalu, mau tunggu kapan
lagi? bisik Thiat-mo-lek.
Dalam pertempuran tadi, baik pihak tentara negeri maupun pihak orang gagah, sama-sama
menderita kerugian. Menghadapi rombongan Thiat-mo-lek yang sudah mendapat kebebasan itu,
terpaksa Bu Wi-yang, Ceng-ceng-ji dan kaki tangannya, terpaksa hentikan rintangannya.
Ah, tak usah kalian usir, memang aku sendiri mau pergi! teriak Thiat-mo-lek.
Dengan terjadinya insiden dalam Eng-hiong-tay-hwe itu, sebagian besar orang gagah yang hadir
sudah tak mempunyai kegembiraan lagi. Apalagi penyelenggara pertandingan Cin Siang
ditangkap. Semua orang sudah tak bernafsu untuk ikut dalam pertandingan lagi. Ya, walaupun
sengci meminta yang lain-lain supaya tetap tinggal. Maka begitu Thiat-mo-lek dan kawan-kawan
angkat kaki, sebagian besar orang gagah itu pun sama mengikutinya pergi. Eng-hiong-tay-hwe
yang disiapkan dalam waktu yang lama, akhirnya dalam beberapa kejap saja berantakan .....
Gelombang yang satu surut, gelombang yang lain datang. Tentara di dalam lapangan sudah
hentikan serangannya, sebaliknya pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, tak
mau
membuka pintu. Ternyata pasukan Gi-lim-kun sudah kompak dan Bu Wi-yang tak berdaya
menguasai mereka lagi.
Setelah Cin Siang ditangkap, Poan Ting-wan yang menjabat sebagai Hou-ya-to-wi otomatis
mengcover pimpinan Gi-lim-kun. Pimpinan Poan Ting-wan itu dapat diterima dan disambut baik
oleh anak buah Gi-lim-kun. Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali lihat tahulah dia bahwa
sengci itu tentu palsu.
Celaka, menilik gelagatnya Bu tayjin itu tentu menerima tekanan. Siapa yang tahu sengci itu
palsu atau tulen? Masih ingatkah kalian apa yang dikatakan Bu tayjin tadi? Di perintahkan kita
menjaga keras pintu ini, tak boleh lepaskan orang. Atau nanti kita bakal menambah dosa Cin
thong-leng. Tadi karena melihat Toh Hok-wi hendak lepaskan musuh, Bu tayjin telah
memanahnya
mati. Sekarang keadaannya bukankah seperti Toh Hok-wi juga? Turut pendapatku, lebih baik

jangan membuka pintu. Kita kirim seorang kawan untuk meminta keterangan pada Tiong-su-sim
(sekretariat kerajaan). Jika sengci itu memang dikeluarkan baginda, rasanya masih belum
terlambat
kita buka pintu, katanya.
Seperti telah dikatakan di bagian atas, pasukan Gi-lim-kun pecah menjadi dua blok. Yang satu
mendukung pernyataan Cin siang supaya jangan bermusuhan dengan kawanan orang gagah.
Blok
kedua cenderung pada pendirian: untuk menebus dosa pemimpin mereka (Cin Siang), mereka
harus
membuat jasa membantu pemerintah menangkap pemberontak. Kedua pihak sama-sama untuk
kepentingan Cin Siang, hanya caranya berbeda. Saat itu kedua blok itupun sudah mulai ramai
berdebat tentang sengci. Tetapi blok yang kedua itu, dipimpin oleh Poan Ting-wan sendiri. Ia
pandai mengemukakan pendiriannya maka pengikutnya bertambah banyak dan menang angin.
Namun blok yang cenderung untuk membuka pintu juga mempunyai alasan yang teguh: Kalau
sengci itu tulen dan kita berayal membuka pintu, apakah tidak akan mencelakai kita semua?
Kedua-duanya sama mempunyai alasan kuat, sehingga belum dapat diputuskan. Mereka tetap
siapkan busur dan pintu tetap belum dibuka. Ada sementara anak buah Toh Hok-wi, karena sakit
hati pemimpinnya dibunuh Bu Wi-yang, saat itu menyusup ke dalam barisan dan berteriak-
teriak:
Bu Wi-yang terang ditekan pemberontak yang memalsu sengci. Jika dia berani memaksa buka
pintu, panah saja biar, mampus, habis perkara!
Wajah Bu Wi-yang pucat seketika. Dengan suara parau ia berseru: Sengci ini asli, sengci ini
asli!
Tetapi anak tentara tak mau percaya, mereka tetap berdebat beramai. Karena yang mengetahui
palsu tulennya stempel senci itu hanyalah Cin Siang dan Ut-ti Pak. Anak buah Gi-lim-kun itu,
satu
pun tak ada yang pernah melihat cap kaisar atau cap kerajaan. Apalagi Bu Wi-yang tak dapat
memperlihatkan sengci itu satu persatu kepada anak tentara yang mempunyai kecurigaan itu.
Dalam keadaan serba sulit itu, tiba-tiba Gong-gong-ji lepaskan Bu Wi-yan terus lari menuju ke
muka barisan Gi-lim-kun. Disitu ia berseru lantang: Aku masih mempunyai sebuah sengci
khusus
untuk Gi-lim-kun. Bukankah kalian hendak mengetahui berita tentang Cin thongleng kalian?
Nah,
diamlah!
Banyak dari anak buah Gi-lim-kun yang kenal pada Gong-gong-ji. Tahu bahwa Gong-gong-ji
itu pencuri nomor satu di dunia. Sudah tentu mereka makin tak percaya pada perkataannya.
Tetapi
karena anak buah Gi-lim-kun itu amat memikirkan keadaan Cin Siang, begitu mendengar tentang
berita pemimpinnya itu, mereka terpaksa diam mendengarkan juga.
Cin Siang dan Ut-ti Pak telah dibebaskan oleh baginda dan Eng-hiong-tay-hwe ini tetap
dipimpin oleh Cin Siang. Sekarang Cin tayjin masih menghadap Baginda di istana, belum dapat
segera datang kemari. Baginda telah mengeluarkan sengci, suruh kalian menurut perintah Cin
tayjin! teriak Gong-gong-ji.
Anak buah Gi-lim-kun yang belum kenal siapa Gong-gong-ji itu, sama bersorak girang: Bagus,
bagus!
Tetapi anak buah yang sudah kenal Gong-gong-ji, menolak: Kami tak percaya segala sengci.
Sekalipun ada sengci yang dibubuhi cap kaisar, tetapi siapa berani memastikan kalau bukan kau
yang mencurinya?
Bu Wi-yang terkesiap, pikirnya: Anak buah Gi-lim-kun itu benar-benar lihay dan luas
pandangannya. Apa yang kupikir mereka pun dapat menyangkanya. Ah, rupanya hari ini aku
sudah ditakdirkan mati. Tidak di tangan Gong-gong-ji tentu di bawah hujan panah Gi-lim-kun!
Tetapi biasanya orang tentu suka mendengar berita yang girang. Meskipun anak buah Gi-limkun
itu curiga, namun mereka diam-diam mengharap supaya sengci itu tulen saja. Salah seorang
segera berseru: Kecuali sengci, apakah kau membawa bukti lain lagi? Menilik ucapanmu,
rupanya
kau sudah berjumpa dengan Cin thongleng. Apakah kau membawa suratnya? Kami cukup
mengenali tulisannya.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak: Memang telah kuduga bahwa kalian tentu tak mau percaya
pada sengci, maka akupun segan memperlihatkan padamu. Tentang surat dari Cin thongleng, aku
sih tak membawa, tetapi ....
Tetapi apa? karena tak sabar lagi anak buah Gi-lim-kun berebutan berteriak.

Tiba-tiba Gong-gong-ji mencabut sebatang kim-kiam dan dimain-mainkan di hadapan Gi-
limkun,
serunya: Lihatlah sejelas-jelasnya! Apakah kalian kenal senjata milik siapa ini?
Cin Siang mempunyai dua buah pusaka: seekor kuda bulu kuning dan sebatang kim-cong-kian.
Kuda tak selamanya dibawa, tapi senjata tentu dibawa bareng kemana ia pergi.
Hai, itulah kim-kian pusaka Cin thongleng! serentak gemparlah anak buah Gi-lim-kun
berseru.
Gong-gong-ji tertawa keras: Kalian sudah melihat jelas? Sudah mau mempercayai
omonganku? Pikirlah. Cin tayjin saat ini sedang menunggu untuk menghadap baginda, mana ia
ada waktu menulis surat untuk kubawa? Waktu aku bertemu padanya, ia lantas menarik aku,
ujarnya: Bagus Gong-gong-ji, kebetulan sekali kau datang. Larilah secepat-cepatny, bawalah
kimkianku
ini selaku bukti. Bahwa baginda telah membebaskan aku dari kedosaan. Suruh anak
buahku itu mendengar perintah sengci, jangan sekali-kali membikin susah kawan-kawanku lama
itu.
Stempel kaisar mungkin aku Gong-gong-ji berani mencuri, tetapi kim-kian Cin tayjin mana aku
berani turun tangan? Taruh kata aku berani mencarinya, pun tak nanti mampu. Bagaimana,
kalian
percaya tidak? Mau tidak membuka pintu?
Gi-lim-kun menjunjung sekali pada Cin Siang dan mengindahkannya. Kata-kata Gong-gong-ji
itu dapat mengetuk hati anak buah Gi-lim-kun. Sebagian besar berpendapat begini: Benar, Cin
thongleng memang tiada yang menandingi. Walaupun Gong-gong-ji termasyhur sebagai pencuri
sakti di kolong jagad tetap tak nanti dapat mengambil senjata Cin thongleng.
Di samping itu, banyak anak buah Gi-lim-kun yang tahu betapa baik hubungan Thiat-mo-lek
dengan Cin Siang. Malah ada beberapa orang Gi-lim-kun yang dahulu bekas kawan kerja
Thiatmo-
lek. Pintarnya Gong-gong-ji merangkai cerita menyebabkan juga beberapa opsir Gi-lim-kun
yang cermat, menjadi ragu-ragu juga, jangan-jangan Cin Siang memang memesan begitu.
Adanya
beberapa faktor itu, menyebabkan keterangan Gong-gong-ji mendapat sambutan baik.
Anak tentara merupakan suatu kesatuan. Mereka mudah sekali memberi reaksi pada sesuatu
hal. Mendengar berita baik dan melihat senjata kim-kian Cin Siang seketika mereka
berjingkrakjingkrak
kegirangan. Ada yang berseru: Benar, memang sebenarnya Cin thongleng hendak
mengikat persahabatan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri, itulah perbuatan kawanan
dorna yang hendak mengacaukan Eng-hiong-tay-hwe ini dengan mengadakan gerakan
menangkap
pemberontak. Yang lain berkata: Thiat-to-wi (Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai Hou-
ya-towi)
dahulu baik sekali kepada kita. Sekalipun ada sengci, tak seharusnya kita membikin susah
padanya. Apalagi dia seorang sahabat baik dari Cin thongleng.
Kali ini tentu tak salah lagi. Buka pintu, buka pintu! Akhirnya anak buah Gi-lim-kun
serempak sama berseru.
Poan Ting-wan yang lebih berpengalaman dan lebih dapat berpikir tenang, mengetahui juga
bahwa dalam keterangan Gong-gong-ji itu terdapat beberapa kelemahan. Tetapi karena anak
buah
Gi-lim-kun seluruhnya sudah setuju membuka pintu iapun tak dapat menghalanginya lagi. Maka
pada saat itu sudah ada beberapa anak buah Gi-lim-kun memalu rantai besi ke enam pintu. Khik-
sia
girang dan menghampiri toakonya. Mari kita jalan, toako.
Tetapi bukannya mengiyakan, sebaliknya Thiat-mo-lek malah mendampratnya: Tidak! Kita
harus mengalah pada lain-lain saudara dulu. Memikirkan lain orang dulu baru memikirkan diri
sendiri. Petuah ayahmu di masa hidupnya, apa kau sudah lupa?
Khik-sia merah mukanya dan mengiyakan. Begitu pintu terbuka maka berebutanlah sekalian
orang-orang gagah keluar.
Waktu Gong-gong-ji melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh sedang menghampiri kepadanya,
buruburu
ia hendak menyusup masuk ke dalam gelombang manusia itu. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan
menghadang dan menariknya. Itulah Thiat-mo-lek.
Gong-gong cianpwe, apa kau takut tak dapat lari keluar? Sutemupun berada di sini. Dalam
peristiwa hari ini, aku sungguh berterima kasih sekali padamu.
Dalam pada itu Khik-sia pun datang memberi hormat kepada suhengnya itu. Gong-gong-ji
akrab sekali dengan Thiat-mo-lek dan Khik-sia adalah sute yang paling dikasihinya. Sudah tentu
ia

tak dapat berkutik lagi.
Gong-gong cianpwe, bagaimana caramu mendapatkan kim-kian itu? Bagaimana keadaan Cin
Siang dan Ut-ti Pak? tanya Thiat-mo-lek.
Gong-gong-ji membisikinya: Urusan ini dapat mengelabuhi lain orang, kecuali kau. Ya, sudah
tentu kucurinya.
Bagaimana kau dapt menemui Cin toako, tanya Thiat-mo-lek pula.
Ada seseorang memberitahukan padaku bahwa kereta pesakitan itu belum tiba di istana, maka
buru-buru kukejar.
Jadi, kau rampas kereta itu? Apa Cin toako setuju?
Gong-gong-ji tertawa: Kupaksa pengawal untuk membelokkan arah tujuan kereta pesakitan.
Sekarang Cin Siang sudah berada di dalam rumahnya sendiri. Untuk mencuri kim-kian Cin
Siang,
aku harus menerima dua buah pukulannya. Untung kulitku tebal sekali.
Kedatangan Gong-gong-ji ke kotaraja Tiang-an itu ternyata karena hendak menyelidiki kedua
sutenya. Seorang dengan wajahnya yang aneh itu ia enggan menggabungkan diri masuk ke
dalam
lapangan. Ia hanya akan mengetahui tempat beradanya kedua sutenya, kemudian akan
menemuinya
sendiri-sendiri. Ada dua hal yang hendak ia lakukan. Pertama, ia hendak memberi jeweran pada
Ceng-ceng-ji. Kedua, hendak menurunkan ilmu kepandaian baru kepada Khik-sia. Ilmu silat itu
ia
ciptakan sendiri, sejak ia berpisahan dengan Khik-sia selama beberapa tahun ini.
Hari itu ia menunggu di sebuah the-koan (kedai minum) di dekat lapangan. Begitu kedua
sutenya keluar, ia akan mengikuti mereka. Diluar dugaan, ia berjumpa dengan dua orang
kenalan,
ialah Liong Seng-hiang, si nona penjual silat yang menjadi murid kepala Shin Ci-koh, dan ayah
angkat si nona.
Setelah memberi laporan pada suhunya, Liong Seng-hian mengharap suhunya akan dapat
menolong sumoay, Khik-sia dan lain-lain keluar dari lapangan sebelum pintu besi ditutup. Tetapi
sampai menjelang siang hari, sang suhu tetap belum tampak keluar. Ia sendiri tak berani
mendekati
lapangan, tetapi ia dapat menduga bahwa pintu gerbang tentu sudah ditutup dan di dalam
lapangan
sudah berlangsung gerakan menangkap pemberontak. Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya
sibuk, terpaksa mereka beristirahat dulu di sebuah the-koan itu agar dapat menyirapi berita-
berita.
Bahwa di situ mereka dapat berjumpa dengan Gong-gong-ji, girang mereka seperti mendapat
lotere.
Benar Gong-gong-ji itu selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari Shin Ci-koh, tetapi
dengan wanita itu ia pernah mempunyai ikatan hati yang dalam, yang sampai saat itu tak dapat ia
lupakan. Ia ajak Liong Seng-hiang ke tempat sepi untuk menanyakan tentang keadaan suhunya.
Apa yang diceritakan Liong Seng-hiang, membuatnya terkejut sekali.
Di dalam daftar Sepuluh Pemberontak itu, terdapat seorang sute dan dua sahabat karib
Gonggong-
ji (Thiat-mo-lek dan Co Ping-gwan). Sudah tentu ia tak dapat berpeluk tangan lagi. Tetapi
pintu besi sudah tertutup, betapa lihay kepandaiannya, tetap tak dapat menembus masuk. Selagi
ia
putar otak cari akal, kebetulan kereta pesakitan yang membawa Cin Siang dan Ut-ti Pak,
didorong
keluar dan lalu didekatnya.
Gong-gong-ji cerdas sekali. Begitu melihat hal itu, segera ia dapat menduga tentang sebab
ditangkapnya Cin Siang dan Ut-ti Pak. Dan secepat itu pula ia mendapat pikiran. Dikuntitnya
kereta itu. Tiba di tempat yang sepi, ia segera loncat ke atas kereta dan menguasai kedua opsir
yang
mengawal.
Tetapi betapapun Gong-gong-ji membujuk dan menjamin Cin Siang tentu dapat terlolos dari
bahaya, namun Cin Siang tak mau mempercayainya. Demikianlah keduanya bertempur di atas
kereta. Untung karena mendongkol terhadap tindakan sewenang-wenang dari kerajaan, Ut-ti Pak
tak mau mengeroyok Gong-gong-ji.
Karena hampir setengah hari diborgol, gerakan Cin Siang tak selincah Gong-gong-ji. Pada saat
ia putuskan borgolan tangannya, Gong-gong-jipun secepat kilat sudah menutuk jalan darahnya.
Tapi sekalipun begitu, ia masih tetap harus menerima dua buah tinju Cin Siang, baru dapat
membuatnya tak berdaya. Ut-ti Pak pun sekalian ditutuknya juga.
Gong-gong-ji gunakan ilmu tutuk ciong-chiu-hwat (keras). Ia perkirakan dalam dua jam jalan
darah itu tentu sudah dapat terbuka sendiri. Maka ia tak mau buang tempo. Dirampasnya kim-
kian

Cing Siang lalu perintahkan Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya mendorong kereta ke rumah
Cin
Siang. Setelah itu Gong-gong-ji bergegas-gegas menuju ke istana.
Dengan ginkangnya yang lihay, walaupun di tengah hari bolong, dapat juga Gong-gong-ji
masuk ke istana. Di sebuah kamar dari salah seorang selir, dapatlah Gong-gong-ji menjumpai Li
Hing. Bermula Gong-gong-ji hendak paksa kaisar itu menulis surat pembebasan untuk Sepuluh
Pemberontak dan merehabilitar kedudukan Cin Siang dan Ut-ti Pak. Tetapi di luar dugaan, Li
Hing
itu bernyali kecilm melihat wajah Gong-gong-ji yang aneh, pingsanlah ia seketika. Gong-gong-ji
tak dapat berbuat apa, terpaksa ia hanya mengambil stempel kaisar itu. Tanpa memikirkan lagi
apakah sengci itu harus dicap kerajaan atau cukup hanya dengan stempel kaisar saja, ia terus
ngacir
pergi. Ia mencari seorang tukang tulis yang berada di pinggir jalan. Dengan diancam hendak
dibunuh tetapi pun diberi sekeping emas, ia paksa tukang tulis itu membuat sebuah sengci.
Sengci
palsu inilah yang menimbulkan kecurigaan Bu Wi-yang, namun ia terpaksa mengindahkan juga.
Singkat jelas Gong-gong-ji menuturkan petualangannya itu kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek
geli tapi pun kuatir juga, ujarnya: Urusan ini hanya dapat bertahan untuk sementara, akhirnya
toh
akan ketahuan juga. Kalau sampai ketahuan bukankah akan lebih memberatkan dosa Cin Siang
dan
Ut-ti Pak?
Jangan kuatir! Kaisar itu takut mati, masakan ia tak kuatir nanti aku mencarinya lagi? enak
saja Gong-gong-ji menyahut dengan tertawa.
Thiat toako, mereka sudah keluar semua, tapi aneh mengapa Toh siok-siok tak kelihatan? kata
Khik-sia.
Thiat-mo-lek menyuruhnya segera mencari mereka. Tiba-tiba Gong-gong-ji berseru: Hai, itu si
Ceng-ceng-ji juga disitu. Aku hendak menghukum suteku yang murtad itu.
Benarkah Gong-gong-ji akan menghukum sutenya? Tidak! Yang benar saat itu ia melihat Wi
Gwat dan Shin Ci-koh mendatangi, maka dengan alasan menangkap Ceng-ceng-ji, ia lantas
menyingkir pergi.
Ha, Gong-gong-ji, sahabat lama datang, mengapa kau mau mengumpet? Wi Gwat sudah
menegurnya dengan tertawa gelak-gelak.
Wi Gwat menghadang Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh pun tiba di sampingnya, wanita itu
tertawa: Telah kutampar muka Ceng-ceng-ji, tak usah kau menghukumnya lagi.
Karena dikepung oleh beberapa orang, terpaksa Gong-gong-ji menjumpai Shin Ci-koh.
Gong-gong-ji, kau benar-benar giat berusaha untuk kepentingan sahabat, kembali Shin Ci-koh
tertawa.
Gong-gong-ji membeliakkan mata, serunya: Bagaimana, apakah menurut anggapanmu aku tak
seharusnya membantu sahabat?
Shin Ci-koh tersenyum: Perangaimu masih pemarah seperti dahulu. Aku toh belum
menghabiskan kata-kataku. Kau giat membantu sahabat, itu untuk kebaikanmu juga. Memberi
selamat saja belum sempat mengapa aku harus menyalahkan kau? Tetapi aku sungguh tak
mengerti, mengapa kau selalu melupakan seorang sahabatmu?
Siapa? tanya Gong-gong-ji.
Apa. Aku ini bukan sahabatmu? Bertahun-tahun ini kau mondar-mandir dari selatan ke utara
untuk mencuri kangtau (obyek), hanya saja tak pernah mencari aku! Tahukah kau, betapa susah
payahku mencarimu? Shin Ci-koh gunakan lwekang sakti untuk menstreamlinekan
(mempersatukan sekecil mungkin) suaranya, hingga Gong-gong-ji seorang yang dapat
mendengar,
lain-lain orang tidak.
Merahlah wajah Gong-gong-ji. Tanpa merasa ia berjalan bahu-membahu dengan Shin Ci-koh,
tinggalkan Thiat-mo-lek dan Wi Gwat. Diam-diam Wi Gwat geli dan yakin pencomblangannya
tentu berhasil.
Sekarang mulailah cair ketakutan Gong-gong-ji terhadap Shin Ci-koh. Diam-diam ia
menyesal dahulu telah salah sangka kepada wanita itu.
Berpuluh tahun kita berpisah, tapi tampaknya kau masih seperti dulu, Gong-gong-ji memulai
pembicaraannya.
Aku sih hampir berumur 40 tahun. Ketika aku berjumpa padamu, waktu itu aku baru berumur

18 tahun. Ah, dalam sekejap mata saja sudah 20-an tahun, jawab Shin Ci-koh.
Gong-gong-ji tertawa: Ya, memang hari cepat sekali jalannya. Waktu itu kau masih
memelihara kuncir. Tetapi wajahmu sekarang tak banyak berubah seperti dulu. Dalam
pandanganku, kau masih tetap serupa si nona kecil yang nakal dahulu itu. Ci-koh, aku pun tak
dapat melupakan kau. Hanya rupanya nasib belum mengijinkan hingga aku tak dapat
menjumpaimu.
Gong-gong-ji bukan saja hebat dalam hal muslihat, tapi ternyata pun seorang ahli merayu.
Kata-katanya itu sebagian memang benar, tapi sebagian salah. Bahwa ia tak dapat melupakan
Shin
Ci-koh itu memang sungguh. Tapi bahwa nasib belum mengijinkan bertemu itu tidak benar.
Bukan nasib, tetapi dia sendiri memang yang ketakutan bertemu Shin Ci-koh.
Berapa kodi tahun (20 tahun) manusia dapat mengenyam dalam hidupnya? Kau mau suruh
aku tunggu lagi 20 tahun baru kau mau menjumpai aku?
Pengakuan Shin Ci-koh itu membuat hati Gong-gong-ji tergerak juga. Tapi kalau
membayangkan bahwa begitu menikah, tentu bakal dikekang kebebasannya, Gong-gong-ji
bersangsi lagi.
Tiba-tiba Shin Ci-koh tertawa: Gong-gong-ji, kau manusia yang tak takut pada segala setan
belang tapi ternyata takut pada sesuatu.
Apa yang kutakuti? tanya Gong-gong-ji.
Kau sudah tahu sendiri, mengapa perlu bertanya. Sebenarnya yang kau takuti belum tentu
menakutkan seperti yang kau bayangkan! berkata sampai di situ, sepasang pipi Shin Ci-koh
bersemu merah. Matanya berlinang-linang penuh dengan air mata asmara. Gong-gong-ji tahu
juga
arti sikap kekasihnya itu.
Sekarang mari kita tinggalkan dulu sepasang kekasih tua yang sedang berkasih-kasihan itu.
Berturut-turut muncullah Wi Gwat, Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jin dan adik, In-nio, Yak-
bwe,
Bik-hu dan lain-lain, tetapi hanya Toh Peh-ing yang tetap belum kelihatan. Tak berapa lama
Khiksia
datang dan mencarinya kemana-mana, namun Toh Peh-ing tetap tak diketemukan.
Selagi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan kebingungan, tiba-tiba seekor kuda lari menyusur jalur
jalanan di tengah lapangan. Penunggangnya seorang thaykam (orang kebiri). Ia menuju ke arah
Poan Ting-wan dan berseru keras: Siapa suruh kalian buka pintu? Lekas tutup lagi!
Ting-wan terkejut, serunya: Ada, ada sengci ....
Tolol, itu sengci palsu! thaykam itu membentaknya keras-keras.
Poan Ting-wan merah mukanya. Ia congkel rantai besi dengan tombaknya dan pintu besi yang
ribuan kati beratnya itupun tertutup lagi. Opsir penjaga pintu pintu lainnya, pun berbuat
demikian.
Seketika enam buah pintu gerbang, tertutup lagi!
Para orang gagah yang masih ketinggalan di dalam lapangan hanya tinggal dua tiga bagian,
sebagian besar sudah sama keluar. Di antara yang tertutup di dalam itu, terdapat sebagian anak
buah Ceng-ceng-ji. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pun masih belum keluar.
Gong-gong-ji marah dan hendak meringkus si thaykam (orang kebiri). Tetapi pasukan Gi-limkun
sudah melindunginya dengan cepat.
Gong-gong cianpwe, jangan terlalu mengumbar kemarahan. Gi-lim-kun hanya melakukan
perintah, mengapa harus menempur mati-matian?
Bu Wi-yang yang sudah kembali ke dalam pasukannya segera unjuk kegarangan: Bagus, kalian
kawanan pemberontak berani membuat amanat palsu tentuk tak dapat diberi ampun lagi!
Sambil lempar sebatang belati beracun, Gong-gong-ji membentaknya: Bu Wi-yang, kalau
berani kemarilah! Jaraknya lebih dari 100-an langkah dan dipagari pula oleh pasukan Gi-
limkun,
namun ketika belati itu meluncur turun dari udara, arahnya tepat ke batok kepala Bu Wi-yang.
Bu Wi-yang buru-buru indungkan sepasang kaitnya ke atas kepala. Trang, sebuah gigi dari kait
kirinya putus terbabat belati. Belati masih menggelincir ke samping, menyusup dada seorang
pengawal, masih pula menggurat lengan seorang pengawal lagi. Pengawal pertama mati seketika,
pengawal kedua menjerit kesakitan dan menggeletak ke tanah. Wajahnya berwarna hitam, mata,
hidung, telinga dan mulutnya mengluarkan darah.
Bu Wi-yang copot nyalinya. Buru-buru ia ngacir ke belakang barisan.

Poan Ting-wan memberi komando dengan gerakan panji dan menyerbulah pasukan Gi-lim-kun
kepada rombongan Thiat-mo-lek.
Sesama saudara mengapa saling gontok-gontokan? seru Thiat-mo-lek. Ia terpaksa putar
pedangnya. Dalam sekejap saja ia dapat memecahkan belasan theng-pay dan mengutungkan
berpuluh tombak lawan. Tapi ia tetap membatasi diri. Senjata dan alat pelindung diri theng-pay
hancur namun tiada seorang pun dari anak buah Gi-lim-kun itu yang terluka.
Pasukan Gi-lim-kun tahu bahwa kegagahan Thiat-mo-lek itu tidak di bawah pemimpin mereka
(Cin Siang). Apalagi mengingat hubungan mereka dengan Thiat-mo-lek dahulu, maka mereka
pun
hanya mengepung dari jarak beberapa tombak saja, tak mau mendesak rapat.
Melihat situasi menguntungkan pihaknya, Bu Wi-yang segera ajak barisan pengawalnya untuk
meninjau pertempuran. Ia memberi perintah supaya Gi-lim-kun lepaskan anak panah.
Awas, kalau orangku ada satu saja yang terluka, aku tentu minta ganti jiwa seratus orangmu!
Gong-gong-ji memberi peringatan.
Pasukan Gi-lim-kun sudah menyaksikan kelihayan tokoh itu dan tahu apa yang diucapkan itu
tentu dijalankan sungguh. Disebabkan oleh rasa jeri mereka terhadap Gong-gong-ji dan Thiat-
molek
serta rasa memandang rendah pada pribadi Bu Wi-yang, maka anak buah Gi-lim-kun itupun tak
mau melakukan perintah Bu Wi-yang. Sekalipun begitu mereka tak mau kendorkan
kepungannya.
Bu Wi-yang mendongkol sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Selagi kedua pihak dalam keadaan stand-by (bersiap), tiba-tiba terdengar suara genderang dan
teriakan orang: Tiang Lok kong-cu datang!
Pintu tengah terbuka dan masuklah dua rombongan pengawal istana diiringi sebuah kereta
kerajaan. Pelopor barisan kehormatan itu, seorang opsir yang menunggang kuda tegar. Begitu
masuk ke lapangan, berserulah ia: Bu Wi-yang, Poan Ting-wan, lekas menghadap tuan puteri!
Kedatangan rombongan puteri Tiang Lok kongcu itu, menggemparkan suasana lapangan.
Apakah puteri juga ingin menyaksikan pertandingan? Tapi mengapa tak memberitahukan lebih
dahulu? pikir Bu Wi-yang.
Puteri Tiang Lok adalah puteri bungsu dari baginda Tong Hian-cong, jadi adik perempuan dari
baginda Li Heng yang sekarang ini. Ketika baginda Hian-cong masih memerintah, pendekar
pedang wanita nomor satu Sun Toa-nio pernah masuk ke istana dan memberi pelajaran ilmu
pedang
pada puteri Tiang Lok. Dan sejak itu puteri berguru pada pendekar wanita itu.
Pada masa pemberontakan An Lok-sian dan Su Khik-hwat, Li Heng mengganti ayahandanya.
Ia mencarikan suami untuk adik perempuannya itu. Tetapi sayang hu-ma (menantu raja) itu tak
berumur panjang dan sejak itu puteri Tiang Lok menjadi janda muda. Puteri Tiang Lok sering
tinggal di istana. Karena adiknya itu pandai ilmu surat dan silat dalam banyak hal Li heng tentu
mendengar advisnya.
Dalam sejarah kerajaan Tong, urusan pemerintahan dikuasai oleh puteri raja, bukan hal yang
baru. (Misalnya puteri dari ratu Bu Cek-thian yang bernama Thay Ping kong-cu juga
bertahuntahun
memegang tampuk pemerintahan). Sekalipun puteri Tiang Lok tak berbuat seperti Thay Ping
kongcu tersebut, namun sampai dimana pengaruh dan kekuasaan dalam istana, semua menteri
sama-sama mengetahui. Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi juga paling jeri berhadapan dengan puteri
itu.
Tidak demikian dengan Thiat-mo-lek. Ia mempunyai kenangan yang tak dapat dilupakan
dengan tuan puteri itu. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih menjabat sebagai si-wi
(pengawal
istana), ia bergaul intim sekali dengan puteri itu. Tiang Lok kongcu menganggapnya sebagai
orang
kepercayaan dan Thiat-mo-lek pun dapat membatasi dirinya. Jika dalam negeri tak terjadi
peristiwa
yang menggoncangkan, tentu baginda Hian-cong sudah mengangkat Thiat-mo-lek sebagai
menantunya.
Adakah puteri datang karena aku? pikir Thiat-mo-lek. Pada saat itu Bu Wi-yang dan Poan
Ting-wan sudah berlutut di hadapan kereta. Ketika kain pintu kereta tersingkap, ternyata benar
Tiang Lok kongcu.
Kalian sungguh bernyali besar. Mengapa tak menurut sengci? begitu membuka mulut Tiang
Lok kongcu sudah mendamprat mereka.

Sengci yang mana? Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan tercengang.
Sengci yang menyatakan bahwa selama dalam pertandingan tak boleh melakukan
penangkapan. Mengapa kalian berbuat semaunya sendiri? Baginda suruh Gong-gong-ji yang
membawa sengci itu, apakah belum dibacakan pada kalian?
Jadi sengci itu tulen? Bu Wi-yang berseru kaget.
Budak bernyali besar, siapakah yang berani memalsu tulisan dan cap baginda? Tampar
mulutmu! bentak Tiang Lok kongcu.
Bu Wi-yang benar-benar diselubungi keheranan. Terang sengci itu palsu, tetapi mana ia berani
berdebat dengan puteri? Tetapi pada lain kejap, ia mendapat pikiran: Tadi karena hendak
menyelamatkan jiwa, aku sudah mengakui sengci Gong-gong-ji. Untuk itu terang aku bakal
menerima hukuman. Tak nyana sekarang kongcu menyatakan kalau sengci itu tulen. Ah, tak
peduli
bagaimana, itu persoalan kongcu sendiri, tapi yang nyata hal itu menguntungkan aku. Kalau
dipersalahkan, baginda tentu bukan melainkan menghukum aku sendiri, pun kongcu juga. Asal
aku
dapat menjaga jangan sampai diturunkan pangkat, apa sakitnya kutampar mukaku sendiri?
Plak, plok, ia menampar mukanya sendiri sampai beberapa puluh kali, selaku menurut perintah
kongcu.
Gong-gong-ji heran, tapi pun geli. Batinnya: Sungguh di luar dugaan sekali. Aku telah
melakukan kebohongan besar, kongcu malah membenarkan kebohongan itu. Ha, ha, cap baginda
memang tulen, tapi tulisan baginda itu sebenarnya palsu. Kongcu tentu tak tahu kalau tulisan itu
kusuruh buatkan oleh seorang juru tulis pinggir jalan.
Poan Ting-wan lebih serius, ia memberanikan diri bertanya: Hatur beritahu pada kongcu, tadi
Ong kongkong juga datang membawa sengci saat ini ia masih ada di sini. Apakah kongcu tak
mau
menanyainya?
Thaykam yang disebut Ong Kong-kong itu tercengang. Tersipu-sipu ia tampil menghadap:
Sengcu yang hamba bawa tadi itu, seperti ..... seperti berlainan.
Apanya yang lain? tanya Tiang Lok kongcu.
Tujuannya tidak ada perubahan ialah maih menitahkan Bu Wi-yang melaksanakan sengci
semula. Itu, itu, itu Gong-gong-ji .....
Orang kebiri itu tak berani menyatakan apa-apa karena tadi puteri sudah mengatakan bahwa
sengci yang dibawa Gong-gong-ji itu tulen. Ia takut kalau disuruh menampar mulut seperti Bu
Wiyang
tadi.
Kasih lihat sengcimu itu padaku! tukas Tiang Lok kongcu.
Ong thaykam terbeliak kaget, buru-buru ia berkata: Baginda hanya menitahkan aku secara
lisan, tidak memakai tulisan.
Ternyata karena ketakutan digertak Gong-gong-ji, baginda Li Heng sampai pingsan. Ketika ia
ditolong oleh hamba sahaya, barulah ia mengetahui kalau capnya hilang. Ia gusar sekali dan
segera
menitahkan Ong thaykam yang menjadi kepala orang kebiri untuk menyiarkan perintahnya.
Saking
keburu nafsu dan capnya hilang, maka ia hanya memberi perintah dengan lisan saja. Bu Wi-yang
dan Poan Ting-wan mau percaya karena sudah kenal dengan kepala thaykam itu.
Hm, hampir setengah harian mengatakan sengci, kiranya tidak ada buktinya sama sekali.
Dengan begitu kau hendak memalsu sengci, terang kau diperalat kaum durna untuk
mengacaukan
kewibawaan kerajaan. Kerajaan hendak mencari orang pandai dan panglima gagah, tetapi kau
menghendaki kerajaan kehilangan kepercayaan kepada sekalian orang gagah di seluruh dunia!
Diberondong dengan tumpukan kesalahan oleh Tiang Lok kongcu, pucatlah wajah thaykam itu.
Buru-buru ia berkata: Kongcu, wan ....
Sebenarnya ia hendak mengatakan Wan-ong (penasaran) untuk meminta keadilan, tapi sudah
dibentak Tiang Lok yang memerintahkan pengawalnya supaya menyeret thaykam itu ke dalam
istana. Opsir kepala barisan kehormatan secepat kilat sudah menutuk jalan darah thaykam itu
hingga tak dapat berkutik lagi.
Terus dimasukkan ke dalam kereta pesakitan dan didorong pergi. Khik-sia kagum atas
kelihayan ilmu tutuk opsir itu. Anak buah Gi-lim-kun yang tak tahu tentang ilmu tutuk hanya
mengira thaykam itu saking takutnya sampai jatuh pingsan sendiri.

Gi-lim-kun, mundur dan buka pintu! akhirnya Poan Ting-wan berseru. Karena memang
segan bermusuhan dengan Thiat-mo-lek, pasukan Gi-lim-kun itu serentak mundur dengan
gembira.
Siapakah yang bernama Thiat-mo-lek? Kongcu akan bicara, tiba-tiba si opsir kepala barisan
kehormatan menghampiri.
Thiat-mo-lek yang tercengang mengetahui kesudahan yang tak diduga-duga itu gelagapan. Tapi
diam-diam ia seperti kenal dengan wajah dan suara opsir itu. Tetapi ia tak ingat siapa.
Gong-gong-ji membisiki telinga Thiat-mo-lek dan menyerahkan sebuah barang: Karena
kongcu telah menolong kita akupun takkan membikin susah padanya. Tolong kau berikan benda
ini
padanya.
Sudah 10-an tahun Thiat-mo-lek tak berjumpa dengan puteri itu. Walaupun ia tak berani
memikirkan sesuatu yang jauh, namun ia tak dapat melupakan persahabatan mereka. Pelahan-
lahan
ia melangkah ke samping kereta. Pada saat itu puteri Tiang Lok pun menyingkap kain pintu dan
tengah memandangnya. Thiat-mo-lek buru-buru menghaturkan terima kasih atas bantuan puteri
itu.
Ai, mengapa kau begitu sungkan kepadaku? Budimu melindungi kami hijrah ke Sechwan, aku
belum sempat menghaturkan terima kasih, Tiang Lok kongcu tertawa. Untuk itu Thiat-mo-lek
mengatakan hanya melakukan tugas jabatannya sebagai si-wi.
Berbicara tentang peristiwa yang lampau, adalah pihak keluargaku yang menyakiti hatimu.
Apakah kau tak membenci? tanya kongcu.
Semoga dirgahayu dengan kerajaan! Apa yang diderita Thiat-mo-lek hanya soal kecil. Atas
budi kecintaan kongcu, aku merasa berhutang terima kasih.
Sekarang Nyo Kok-tiong dan adik perempuannya sudah binasa dan ayahanda baginda Hancong
sudah wafat. Apakah kau suka mengabdi kepada kerajaan lagi?
Thiat-mo-lek menghaturkan terima kasih tetapi ia menyatakan tak suka. Wajah kongcu tampak
mengerut gelap. Sampai beberapa jenak baru ia bertanya: Kalau begitu kau hendak pergi lagi?
Thiat-mo-lek mengiyakan: Ya, apakah masih ada pertanyaan lagi yang kongcu hendak
ajukan?
Puteri raja itu terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian tanyanya: Dimana isterimu?
Ia berada di desa.
Sudah berapa anakmu sekarang?
Dua orang, satu laki-laki satu perempuan. Yang laki berumur 7 tahun, yang perempuan 5
tahun.
Tiang Lok kongcu menghela nafas: Tempo berjalan cepat sekali. Anakmu sudah begitu besar.
Kau lebih bahagia dari aku. Aku mempunyai suami, tetapi siang-siang sudah meninggal. Aku tak
punya keturunan, hidupku sepi sekali.
Thiat-mo-lek merasa pilu juga. Ia memandang ke muka. Tampak puteri raja itu lebih kurus tapi
lebih cantik dari dulu. Terkenang akan masa yang lampau, hati Thiat-mo-lek menjadi gundah.
Sampai beberapa saat ia tak berkata.
Putera puterimu itu tentu menyenangkan sekali. Kelak apabila kau mengajaknya kemari,
bawalah kepadaku. Hm, aku belum kenal dengan isterimu. Lebih baik kau ajak mereka pindah ke
Tiang-an saja. Penghidupan berkelana yang kau tuntut selama ini, bukan jalan yang tenteram,
kata
kongcu. Ucapan itu mengandung arti, supaya Thiat-mo-lek pindah ke kota raja sehingga dapatlah
mereka sering-sering berjumpa.
Thiat-mo-lek tertawa rawan. Ia mengatakan bahwa dirinya masih dalam status sebagai orang
buronan negara mana dapat pindah ke kota raja.
Aku telah mengatur semuanya. Jasamu terhadap raja dahulu, kerajaan belum memberi
hadiah, kata Tiang Lok. Tetapi Thiat-mo-lek menyatakan ia tak menginginkan pemberian
apaapa.
Kutahu kau tentu tak menginginkan pangkat, akupnun tak berani memaksa. Tetapi
bagaimanapun kerajaan tetap akan membalas jasamu. Karena itu aku telah memohonkan kim-
pay
(piagam) bebas dari hukuman mati untukmu. Kim-pay ini, selayaknya kau harus menerima.
Thiat-mo-lek menimbang bahwa dengan memiliki kim-pay itu, ia dapat terbebas dari berbagai
kesulitan, pun keluarganya juga terhindar dari rongrongan pembesar setempat. Maka iapun

menerimanya.
Dengan menyimpan kim-pay itu, keluargamu dapat pindah ke kotaraja sini, kata Tiang Lok
kongcu.
Terima kasih kongcu. Aku pun hendak menghaturkan sebuah bingkisan kepada kongcu, kata
Thiat-mo-lek.
Oh, kau juga mau memberi tanda mata padaku?
Tetapi barang itu bukan milikku sendiri, harap kongcu jangan sesalkan aku. kata Thiat-molek.
Tiang Lok kongcu heran, tapi begitu menerimanya barulah ia mengerti kalau cap milik baginda
yang dicuri Gong-gong-ji. Kongcu agak kecewa, tapi iapun lega juga karena benda itu amat
berharga sekali bagi engkohnya.
Baik, dengan menyerahkan benda ini membuktikan bahwa kau tak mengandung maksud
memberontak. Nanti di hadapan koko, akan kukatakan hal ini.
Harap kongcu suka menyampaikan ucapan terima kasih Thiat-mo-lek kepada baginda, pula
harap kongcu baik-baik menjaga diri.
Oh, kau hendak pergi? Kau ....
Apakah kongcu hendak memberi pesan lagi?
Puteri raja itu menatap Thiat-mo-lek sejenak. Lama baru ia menghela nafas dan berkata: Baik,
pergilah, akupun juga hendak kembali ke istana!
Setelah rombongan puteri keluar, maka Thiat-mo-lek segera ajak rombongannya keluar dari
lapangan. Dalam ramai-ramai itu tiada seorang pun kawannya yang terluka, tetapi kurang satu
yakni Kim-kian-deng-long Toh Peh-ing. Thiat-mo-lek menghibur kawan-kawannya, mungkin
Toh
Peh-ing sudah keluar lebih dulu. Dalam pada itu Gong-gong-ji mengajak rombongannya untuk
menjenguk Cin Siang dan Ut-ti Pak.
Tiba-tiba opsir yang memimpin barisan kehormatan puteri Tiang Lok tadi larikan kudanya
mendatangi, serunya: Atas perintah kongcu, aku ditugaskan mengantar kalian.
Kami semua sudah biasa jalan sendiri tak perlu diantar! Gong-gong-ji kurang senang.
Aku sudah tahu kalian bisa jalan sendiri, tapi perintah kongcu mana aku berani
melanggarnya? sahut si opsir.
Walaupun tak senang, tapi mereka terpaksa menerima. Setelah berjalan beberapa waktu,
Gonggong-
ji merasa tak enak kalau ketahuan akan berkunjung ke tempat tinggal Cin Siang. Maka
disuruhnyalah opsir itu pulang. Saat itu mereka sudah jauh dari lapangan tadi.
Belum sampai di tempat tujuan, biarpun kau usir, aku tetap mengikut, kata si opsir.
Dari jengkel Gong-gong-ji menjadi marah: Tempat tujuan apa? Kau mau mengantar sampai di
mana?
Wajah opsir itu membengis: Kemana kalian pergi, walaupun sudah keluar dari kota Tiang-an,
aku tetap mengikut!
Kurang ajar! Aku belum pernah tahu orang mengantar secara begitu! Pendek kata kau mau
kembali tidak? Apa minta kuusir sungguh? bentak Gong-gong-ji.
Thiat-mo-lek buru-buru hadangkan lengannya menengahi mereka: Siapakah sebenarnya
saudara ini?
Makin memperhatikan makin Thiat-mo-lek seperti tak asing dengan opsir itu. Ia teringat akan
seseorang tetapi belum berani memastikan. Opsir itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia mengusap
wajah dengan lengan bajunya dan dengan nada suara berganti berserulah ia: Aha, akhirnya
Thiat
ceculah yang bermata tajam!
Toh sioksiok! seketika menjeritlah Khik-sia.
Ya, memang opsir itu bukan lain ialah Toh Peh-ing sendiri. Kiranya ia mahir dalam obat-obatan
dan menyaru. Dalam golak pertempuran tadi ia segera mendapat akal untuk meloloskan diri.
Diringkusnya salah seorang opsir bawahan Bu Wi-yang lalu dilucuti pakaiannya. Dengan
memakai
pakaian itu dan memake-up wajanya, berubahlan ia menjadi seorang opsir kerajaan. Karena
orang
lagi bertempur mati-matian maka tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Dengan pura-pura
membawa perintah dari Bu Wi-yang supaya keluar meminta bala bantuan, dapatlah ia keluar dari

salah satu pintu gerbang. Saat itu Cin Siang sudah dibawa pergi tapi Gong-gong-ji belum datang.
Peh-ing tahu hubungan Thiat-mo-lek dengan Tiang Lok kongcu. Segera ia menghadap puteri
itu untuk memohon bantuan. Kongcu terkejut dan terus menghadap ke kakandanya. Li Heng
sudah
mengutus thaykam untuk menyampaikan sengci ke lapangan. Raja itu masih marah-marah.
Koko, set yang kau jalankan itu salah, kata Tiang Lok dengan banting-banting kaki.
Baginda Li heng tercengang heran.
Gong-gong-ji itu dapat muncul lenyap sekehendak hatinya. Mampukah para pengawal istana
mencegahnya? tanya puteri.
Akan kutambah jumlah si-wi. Sekalipun Gong-gong-ji mampu menyelundup ke dalam istana,
tapi tak mungkin ia dapat membunuh aku, kata Li Heng.
Aha, apa guna hidup selalu dalam ketakutan begitu? Apalagi bahaya bukan hanya berasal dari
Gong-gong-ji seorang. Kau tentu sudah tahu bagaimana kegagahan Thiat-mo-lek itu. Apabila
pasukan Gi-lim-kun sampai tak dapat menangkapnya dan ia dapat lolos, bukankah akan
merupakan
bahaya pada kerajaan? Pula masih ada Cin Siang dan Ut-ti Pak dua orang menteri kerajaan yang
selalu setia.
Sekarang kau mendengarkan bujukan Bu Wi-yang untuk menangkapnya. Kelak siapakah yang
akan membantumu melindungi kerajaan? Dalam segala hal kita harus pandai memikirkan
segalanya. Bahwa Thiat-mo-lek telah menceburkan diri di kalangan lok-lim, andaikata benar,
yang
menerima akibat langsung adalah wilayah Gui-pok yang jauh dari kota raja, bukan kota Tiang-an
ini. Sekarang kalau kau menitahkan untuk menangkapnya, apabila ia sampai memberontak di
kota
raja ini, dan berserikat dengan Cin Siang serta Ut-ti Pak, bayangkanlah betapa akibatnya.
Gonggong-
ji seorang saja sudah sukar dihadapi, apalagi masih ditambah dengan Thiat-mo-lek, Cin Siang
dan Ut-ti Pak. Apakah kerajaan kita dapat dipertahankan?
Mendengar uraian adiknya, Li Heng kucurkan keringat dingin, ujarnya: Karena rangsangan
amarah, aku sampai tak memikir panjang. Kurang ajar Bu Wi-yang itu, ia menganjurkan aku
mengeluarkan sengci. Habis bagaimana sekarang?
Kongcu tertawa: Satu-sstunya cara ialah mengeluarkan sengci lagi untuk mengikat hati
Thiatmo-
lek serta mengangkat Cin Siang dalam kedudukan yang lebih tinggi. Serahkan saja padaku,
tanggung beres. Tetapi terpaksa harus sedikit menyiksa Ong thaykam.
Li Heng setuju dan segeralah Tiang Lok kongcu meminjam kereta baginda menuju ke lapangan.
Ia suruh Toh Peh-ing menjadi opsir yang mengepalai barisan pengawalnya. Demikianlah atas
jasa
Toh Peh-ing, rombongan orang gagah dapat diselamatkan.
Mendengar cerita Toh Peh-ing, semua orang tertawa geli. Tempat tinggal Cin Siang di kaki
gunung Li-san, ialah di luar kota sebelah barat. Di muka rumahnya terdapat sebuah hutan pohon
siong. Ketika rombongan Thiat-mo-lek tiba, dilihatnya kereta pesakitan masih berada di dalam
hutan. Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya masih menjaga di situ. Nona itu buru-buru
menyambut kedatangan Gong-gong-ji.
Atas pertanyaan Gong-gong-ji, Liong Seng-hiang menerangkan bahwa Cin Siang sudah diantar
pulang. Waktu ditanya mengapa nona itu tak masuk ke dalam rumah Cin Siang, Liong Seng-
hiang
menyebut: Aku takut dimakinya.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Dua opsir pengawal kereta pesakitan masih tak dapat
berkutik segera dibuka jalan darahnya dan disuruh membawa kereta pulang. Karena mereka
masih
lemas, Liong Seng-hiang disuruh mengantar.
Suhu, mengapa Su sumoay tak kelihatan? tanya Liong Seng-hiang pada Shin Ci-koh.
Entah, aku sendiri heran. Ia memandang Khik-sia dan bertanya: Benarkah begitu? Dengan
siapa ia lari?
Kabarnya dengan pemimpin baru dari perserikatan Loklim. Ini Khik-sia yang bilang, aku
sendiri juga tak tahu benar tidaknya? Kau tentu sudah paham perangai sumoaymu itu. Mungkin
ia
marah pada Khik-sia, jawab Shin Ci-koh. Karena hatinya riang, wanita itu lincah sekali
bicaranya.
Ia baru tersipu-sipu ketika semua orang memandangnya. Buru-buru ia tertawa dan suruh
muridnya
itu melakukan apa yang diperintahkan Gong-gong-ji. Kemudian berpaling pada Gong-gong-ji,
Shin
Ci-koh tertawa: Ai, sekarang giliran diriku yang menjadi sasaran perhatian orang muda-muda
itu.

Sekalian orang, terutama In-nio, heran mendengar keterangan Shin Ci-koh tadi. Pikir In-nio:
Yang dikatakan pemimpin Loklim baru itu, apakah bukan Bo Se-kiat? Mengapa Se-kiat dapat
bersama seorang gadis siluman?
Di hadapan orang banyak In-nio sungkan mengutarakan isi hatinya. Sedang para orang gagah
itu karena tidak begitu anti akan pergaulan bebas pria dan wanita, pun tak mau membicarakan
hal
itu lebih jauh.
Ketika Thiat-mo-lek hendak mengetuk pintu gedung Cin Siang, Gong-gong-ji mencegahnya,
Jangan bikin kaget tuan rumah. Ia mengguratkan belatinya di lubang pintu lalu mendorongnya.
Walaupun jadi pemimpin Gi-lim-kun tapi Cin Siang tak mau diberi pengawal. Ia hanya
memelihara
dua bujang tua untuk menjaga pintu. Melihat sekian banyak orang menerobos masuk, bujang tua
itu ketakutan. Gong-gong-ji buru-buru mengatakan kalau yang datang itu kawan Cin Siang
semua.
Pada saat itu Cin Siang dan Ut-ti Pak tengah menyalurkan darah untuk membuka jalan darahnya
yang tertutuk. Ketika mendengar suara Gong-gong-ji, seketika panglima itu loncat dengan
marahnya dan menghantamnya: Gong-gong-ji, kau cukup menyiksa diriku!
Gong-gong-ji menghindar ke belakang Thiat-mo-lek sembari berseru: Bukannya berterima
kasih sebaliknya mengapa memukul aku?
Thiat-mo-lek menghadang Cin Siang: Toako, jangan keliru menyalahkan orang baik. Adanya
Gong-gong-ji cianpwe merampas kereta pesakitan karena tak ingin melihat toako menderita.
Tindakan kalian itu apakah tidak membenarkan tuduhan bahwa aku hendak memberontak?
Mo-lek, kau dan aku adalah terikat persaudaraan, tetapi kuminta ku lekas tinggalkan kotaraja ini.
Aku rela menyerahkan jiwa pada putusan baginda. Jangan membawa aku pada kedosaan berani
melawan raja!
Gong-gong-ji tertawa mengejeknya: Segala apa pernah kusaksikan, hanya belum pernah
melihat seorang menteri setia yang setolol kau ini!
Cin Siang marah, Thiat-mo-lek didorongnya terus hendak memukul Gong-gong-ji lagi. Tibatiba
Ut-ti Pak menyelutuk: Toako, mengapa kita tak membawa keluarga kita pergi dari kota raja
ini? Dengan begitu bukankah kita tak menyalahi raja? Dengan tenaga yang kita miliki, kiranya
dapatlah kita hidup sebagai petani. Apakah ini tidak lebih enak daripada terima hukuman
baginda?
Gong-gong-ji sengaja membikin panas hati Cin Siang. Ia bertepuk tangan memuji Ut-ti Pak:
Itulah yang betul! Cin thongleng, kiranya tak perlu kau meluki sawah, nanti kuajarkan kau
beberapa ilmu istimewa untuk hidup. Siang memeriksa rumah-rumah, malam menerobos
pintunya.
Tanggung takkan habis kau makan seumur hidup. Mau minta apa, ada semua. Puluhan kali lebih
nikmat daripada menjadi panglima Liong-ki-to-wi!
Ah, Gong-gong cianpwe hanya bergurau saja. Biarlah kuterangkan duduknya perkara yang
sesungguhnya. Kami datang hendak menyampaikan kabar girang padamu, toako, buru-buru
Thiatmo-
lek berkata.
Berita girang apa? Mo-lek, apakah kau juga hendak berolok-olok padaku, Cin Siang makin
gusar.
Sungguh mati, memang berita yang mengirangkan benar-benar. Baginda telah mengeluarkan
sengci membebaskan kita dari kedosaan. Kau dan Ut-ti toako malah mungkin akan dinaikkan
pangkat, kata Thiat-mo-lek dengan serius.
Tetapi mana Cin Siang mau percaya. Ia menarik Ut-ti Pak untuk mendampratnya: Kau juga
tak mau mendengar kataku? Turun temurun kita adalah menteri kerajaan yang setia. Bukan saja
tak boleh memberontak pada kerajaan, pun tak boleh melarikan diri dari hukuman baginda.
Sudah,
jangan ngaco belo, ayo ikut aku menyerahkan diri pada baginda.
Cin toako harap dengarkan dulu omonganku baru nanti silahkan pergi, cegah Thiat-mo-lek.
Selagi mereka saling tarik menarik, tiba-tiba di luar pintu terdengar orang berseru nyaring:
Utusan baginda datang, diperintahkan Cin Siang dan Ut-ti Pak menyambut sengci!
Cin Siang menghela nafas: Ah, kita terlambat setindak, baginda telah menjatuhkan hukuman.
Ya! Mo-lek, harap kalian sembunyi di belakang dulu, jangan sampai gaduh.
Baiklah, dengan memandang mukamu, aku tak mau menyerobot sengci ini, Gong-gong-ji
tertawa. Sedangkan Thiat-mo-lek pun turut menghaturkan selamat pada Cin Siang dengan

datangnya sengci itu.
Setelah menyiapkan meja penyambutan, Cin Siang dan Ut-ti Pak berlutut menanti sengci. Ut-ti
Pak berbisik-bisik: Toako, kau sih sudah punyai keturunan, matipun tak apa. Tapi aku,
jangankan
anak, sedang istri saja masih belum punya!
Cin Siang deliki mata kepada saudaranya itu. Saat itu utusan baginda sudah melangkah masuk,
maka terpaksa Cin Siang tak jadi mendamprat Ut-ti Pak. Kedengaran utusan itu membacakan
sengci: Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak setia kepada kerajaan, maka selain direhabilitir ke
dalam
pangkatnya semula pun Cin Siang dianugerahi pangkat Tin-kok-kong dan Ut-ti Pak menjadi
Cengkok-
kong. Demikianlah!
Kejut dan girang Cin Siang dan Ut-ti Pak bukan kepalang. Mereka menyambuti sengci dengan
mengucapkan terima kasih. Cin Siang minta tolong kepada sang utusan supaya menyampaikan
rasa
terima kasih mereka yang tak terhingga kepada baginda.
Setelah utusan itu berlalu, Ut-ti Pak menyelutuk: Cin toako, bahwa adanya kemalangan yang
menimpa diri kita berubah menjadi keberkahan, daripada berterima kasih kepada baginda adalah
lebih tepat kalau berterima kasih kepada Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak dan muncul bersama Thiat-mo-lek dan kawan-kawan. Cin
Siang, apakah kau masih hendak memukul aku lagi? Jika kau menghendaki, aku pun tak
keberatan
menemanimu bermain-main barang dua tiga ratus jurus.
Hai, Gong-gong-ji, kau ini memang ...! Bagaimanakah cara kau atur kesemuanya ini? seru
Ut-ti Pak.
Cin Siang malu-malu menyesal. Seumur hidup ini hanya tunduk pada raja, belum pernah
kepada lain orang. Tapi saat itu ia terpaksa menghaturkan terima kasih kepada Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji menuturkan apa yang telah terjadi dan menambahkan kalau hendak berterima
kasih, berterima kasihlah kepada Thiat-mo-lek dan Tiang Lok kongcu.
Ut-ti Pak tergelak-gelak: Ha, kalian adalah penolongku semua. Besok aku segera mencari
isteri saja. Paling sedikit aku harus punya dua orang anak. Satu akan kusuruh mengaku ayah
angkat pada Thiat-mo-lek, dan yang satu biar dijadikan puteri angkatnya Gong-gong-ji. Ai,
sayang
tampangku begini macam, siapakah yang suka menikah padaku?
Sekalian orang gelu mendengar kelakar itu. Dan berkatalah Gong-gong-ji sejenak kemudian:
Karena Cin thongleng tak mau memukul aku lagi, terpaksa aku tak dapat menemani lama-lama
disini. Coh hengte, biar kucarikan pedangmu kim-ceng-kiam itu sekarang.
Bagus, karena kau menangkap Ceng-ceng-ji, biarlah aku menjadi pembantumu. Cemg-ceng-ji
kali ini masih berhutan sebuah tamparan padaku. Hai, Gong-gong-ji, jangan lari keras-keras,
tunggulah aku! seru Shin Ci-koh.
Setelah Gong-gong-ji, Coh Ping-gwan dan Shin Ci-koh pergi, tertawalah pengemis gila Wi
Gwat: Menilik gelagatnya, mereka tak memerlukan aku jadi comblang lagi. Aku pengemis tua
ini
pun harus berlalu juga. Cin thongleng, terima kasih atas bantuanmu yang banyak memberi
fasilitas
pada kaumku Kay-pang di kota Tiang-an.
Singkatnya saja dengan dibekali arak simpanan Cin Siang dan diantar sampai pintu luar oleh
sekalian orang gagah, maka tokoh Kay-pang itupun segera ajak Ciu Ko dan Ciok Ceng-yang
berlalu. Setelah itu Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jun dan adiknya, juga minta diri. Khik-sia
dan
Yak-bwe mewakili Cin Siang mengantar mereka sampai di luar pintu.
Ketika Khik-sia dan Yak-bwe masuk kembali, berkatalah Thiat-mo-lek dengan tertawa: Kita
tengah membicarakan urusanmu.
Ut-ti Pak mengepal tangan Khik-sia dan tertawa: Ha, kiranya kau putera kenalanku lama.
Semasa ayahmu masih hidup, aku pernah bertempur padanya. Benar aku menderita kekalahan
tetapi aku kagum padanya.
Di kolong dunia ini banyak orang yang berilmu silat tinggi. Tapi yang benar-benar pantas
menerima sebutan taihiap (pendekar besar), kalau pada generasi yang dulu, hanyalah ayahmu
almarhum dan Lam Ci-hun. Pada generasi sekarang, kecuali hanya Thiat hengte, maka pilihanku
hanya jatuh pada dirimu.
Khik-sia mengucapkan beberapa kata merendah. Kemudian Cin Siang berpaling ke arah
YakKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
bwe, ujarnya: Nona Su, sebenarnya kita ini bukan orang luar. Seharusnya aku memanggilmu
sumoay, tahukah kau?
Yak-bwe heran. Ilmu silat Cin Siang itu berasal dari warisan keluarganya, mengapa ada
hubungan saudara seperguruan dengannya. Cin Siang segera menerangkan bahwa ketika
kecilnya
ia pernah belajar surat pada ayah Yak-bwe yang itu waktu menjadi pegawai kerajaan. Cin Siang
memuji-muji kepribadian mendiang ayah Yak-bwe. Seorang menteri kerajaan yang jujur dan
konsekuen. Benar hanya seorang pegawai bun (sipil), tapi keperwiraannya itu dapat digolongkan
sebagai pahlawan.
Yak-bwe girang dan sedih. Girang karena almarhum ayahnya mendapat penghargaan orang tapi
bersedih karena sejak dilahirkan belum pernah melihat wajah ayahnya itu.
Untuk merayakan perisitiwa yang menggirangkan itu maka Cin Siang pun menjami mereka.
Mendapat sambutan yang supel dan ramah tamah dari tuan rumah, Thiat-mo-lek dan kawan-
kawan
itu tak merasa kikuk lagi walaupun berhadapan dengan seorang menteri kerajaan yang
berpangkat
tinggi.
Tetapi di antara mereka, hanya seorang yang sejak tadi tak mau bicara dan tampak murung. Dia
adalah In-nio. Cin Siang dan Ut-ti Pak coba menghiburnya dengan berjanji takkan
memberitahukan
kejadian yang dilakukan In-nio kepada ayahnya. Malah Ut-ti Pak mengajaknya sama-sama
minum
arak. In-nio terpaksa menurut namun hatinya tetap gelisah.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Cin Siang telah menasihati agar Thiat-mo-lek jangan sampai
kelebuh dalam dunia Loklim. Thiat-mo-lek menyatakan bahwa sekalipun menceburkan diri
dalam
dunia Loklim tapi ia berjanji takkan merugikan kepentingan negara. Ia akan bekerja keras untuk
membela kepentingan rakyat yang tertindas.
Memang pernyataan Thiat hengte itu tepat. Jika bukan karena keturunan menteri kerajaan, aku
pun lebih suka menjadi begal saja. Cin toako, kurasa Thiat hengte itu lebih bahagia daripada
kita,
Ut-ti Pak menyeletuk.
Pengaruh arah mulai merangsang pikiran Cin Siang. Ia menyatakan bahwa ucapan Thiat-molek
itu memang benar. Tapi sekalipun begitu, tidak pada tempatnya kalau seorang yang
berkedudukan seperti ia dan Ut-ti Pak menyatakan dukungannya.
Ut-ti jiko, kau sudah minum banyak, jangan banyak bicara yang tidak-tidak, lebih-lebih tak
perlu membicarakan urusan negara. Baiklah kita menceritakan tentang saudara-saudara kita
saja,
akhirnya Thiat-mo-lek mengalihkan pembicaraan.
Ut-ti Pak mengiyakan dan ia memulai dengan pernyataan bahwa ia memang sedang memikirkan
saudaranya (adik) Ut-ti Lam yang diutus kerajaan mengadakan inspeksi tentara ke Lociu.
Oh, ya, aku hendak menanyakan padamu tentang seseorang, kata Ut-ti Pak.
Siapa? tanya Thiat-mo-lek.
Ada seorang pendekar muda bernama Bo Se-kiat. Kenalkah kau?
Bukan sekedar kenal saja tapi kenal baik sekali. Mengapa kau tanyakan dirinya? kata Thiatmo-
lek.
Sebenarnya ocehanku tadi, adalah kata-kata Bo Se-kiat kepada saudaraku itu. Saudaraku
kagum sekali kepada pemuda itu, sahut Ut-ti Pak. Selanjutnya ia menanyakan lagi mengapa
dalam
lapangan tadi, Bo Se-kiat tak kelihatan hadir.
Semalam ia sudah tinggalkan kotaraja ini, kata Thiat-mo-lek. Ut-ti Pak menyatakan sayang
tak dapat berjumpa dengan pemuda yang dipuji setinggi langit oleh Ut-ti Lam.
Thiat-mo-lek terdiam sejenak, kemudian berkata: Jiko, kau bersama adikmu memang orang
yang berhati blak-blakan. Tetapi menurut hematku, meskipun Bo Se-kiat itu seorang ksatria,
tetapi
sebaiknya kalian tak usah berhubungan padanya.
Sejak membicarakan diri Se-kiat, In-nio mendengarkan dengan bersemangat. Dan ketika
Thiatmo-
lek mengucapkan kata-katanya itu, makin berdebarlah hati nona itu.
Mengapa? Ut-ti Pak deliki matanya.
Se-kiat adalah pemimpin Loklim yang baru dilantik, sahut Thiat-mo-lek.
Amboi, kau sendiri juga kepala penyamun! teriak Ut-ti Pak.
Tetapi tindakanku berbeda dengan tindakannya. Dia tak bercita-cita akan menjadi penyamun

seumur hidup.
Itu kan bagus! seru Ut-ti Pak.
Memang bagus, karena emohnya menjadi pemimpin penyamun itu lantaran berhasrat menjadi
raja! Itu sih tak apa, tetapi, tetapi .....
Hai, kalian banyak minum tentu! seru Cin Siang.
Benar, toako, karena sudah berjanji tak membicarakan urusan negara akupun tak mau
melanjutkan kata-kataku. Ya, memang sudah cukup minum ini, dan sekarang aku terpaksa akan
minta diri untuk melanjutkan perjalanan lagi, kata Thiat-mo-lek. Walaupun ia sudah putus
hubungan dengan Se-kiat, namun ia masih mengharap pada suatu hari dapat menasihati anak
muda
itu lagi. Maka iapun tak mau memburuk-burukkan Se-kiat di hadapan Cin Siang.
Cin Siang cukup mengenal perangai Thiat-mo-lek. Mengingat batas-batas kedudukannya
dengan Thiat-mo-lek, iapun kuatir jangan-jangan Thiat-mo-lek melantur, membicarakan hal-hal
yang bertentangan dengan kerajaan. Oleh karena itu, iapun tak mau bertanya lagi tentang diri
Sekiat.
Thiat hengte, kita kan baru saja berjumpa mengapa kau terburu-buru hendak pergi? Ut-ti Pak
mencegahnya. Tetapi Thiat-mo-lek tetap hendak pergi.
Di dunia tiada perjamuan yang tak berakhir. Bahwa saat ini kita dapat berjumpa, itulah sudah
suatu kebahagiaan yang tak terduga-duga. Jika aku kelewat lama di sini, dikuatirkan kurang enak
bagi kalian. Apalagi hari sudah petang, aku harus lekas-lekas meneruskan perjalanan lagi,
katanya.
Cin Siang menghela nafas: Thiat hengte, kita sudah saling mengetahui isi hati kita. Walaupun
berbeda jalannya, tapi tujuan kita sama, ialah mengabdi pada negara. Tetapi aku hendak
menghaturkan sebuah tanda mata, harap kau suka menerima.
Ai, mengapa toako begitu sungkan? Bukankah kita ini kenalan kental? Thiat-mo-lek heran.
Ternyata tanda mata yang hendak diserahkan Cin Siang itu ialah kuda untuk dipakai rombongan
Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek girang menerimanya. Setelah memilihkan enam ekor kuda bagus,
Cin
Siang menyerahkan juga sebuah lengcian (lencana) pada Thiat-mo-lek: Pintu kota sebelah barat
dijaga oleh Gi-lim-kun. Dengan mengunjukkan lengcian-ku ini, dapatlah kau terhindar dari
macam-macam kesulitan.
Setelah saling mengucapkan selamat berpisah, akhirnya berangkatlah Thiat-mo-lek beserta
rombongannya. Benar juga, berkat leng-cian dari Cin Siang itu, dengan mudah mereka dapat
keluar
dari pintu kota. Thiat-mo-lek berhenti sejenak untuk memandang ke arah kota Tiang-an.
Petualangan yang dialaminya selama berada di kotaraja itu, membuatnya terkenang.
Dengan kuda bagus dari Cin Siang ini, sebelum petang mungkin kita dapat menempuh ratusan
li, kata Toh Peh-ing.
Khik-sia, kudaku dan kudamu sama-sama bagusnya. Ayo, kita bertanding siapa yang dapat
balap lebih cepat, tiba-tiba In-nio menantang Khik-sia.
Bermula Khik-sia terkesiap tapi pada lain kejab tahulah ia maksud nona itu. Baik, kita lihat
siapa yang lebih dahulu dapat mencapai gunung di sebelah muka itu.
Tar, begitu cambuk digentarkan, tanpa dipukulkan ke punggungnya, kedua ekor kuda yang
sudah terlatih itu segera mencongklang seperti terbang.
Anak muda memang suka agulkan diri. Ki ta lihat saja mereka bertanding, tak usah
mengganggu kesenangan mereka, kata Thiat-mo-lek tertawa. Bik-hu yang sedianya hendak
mengikuti In-nio, batalkan maksudnya.
Dalam hati In-nio hanya terukir pemuda itu. Sekalipun aku di sampingnya, juga ia tetap tak
gembira, akhirnya ia menghibur kekecewaan hatinya.
Ah, Pui-heng, perlu apa kita capaikan diri. Toh tak perlu terburu-buru menempuh perjalanan,
lebih baik kita berkuda pelahan-lahan saja, Yak-bwe menghibur pemuda yang patah hati itu.
Mereka terpecah dalam tiga rombongan. In-nio balapan dengan Khik-sia, Thiat-mo-lek berjalan
dengan Toh Peh-ing dan Yak-bwe bersama Bik-hu pelahan-lahan berkuda di belakang.
Cici In tentu hendak menanyakan tentang Bo Se-kiat. Kau tentu mendengar juga pembicaraan
Thiat toako dengan Cin Siang tadi? Sebenarnya tak perlu bertanya lagi, toh sudah jelas Se-kiat
itu

bukan orang baik, sayang ci In belum putus arang, akan menanyakan lagi sampai jelas. Tapi ada
baiknya juga, setelah tahu tentu akan mengambil putusan yang tegas, Yak-bwe mulai ajak
bicara
Bik-hu. Memang pada satu saat nanti ia akan berduka, Pui suheng, kau harus pandai
menghiburnya.
Bik-hu menghela nafas: Masakan aku dapat memadai dengan seorang pemimpin Loklim?
Kau salah menilai cici In. Sejak kecil aku bergaul padanya dan jelas bagaimana perangainya.
Sekali-kali tidak karena Se-kiat itu seorang lok-lim-beng-cu, ci In lantas jatuh hati. Ia kenal dan
menaruh hati pada Se-kiat sebelum pemuda itu diangkat menjadi lok-lim-beng-cu. Memang
semua
orang, termasuk Thiat toako yang luas pengalamannya, telah salah menilai pemuda itu hingga
rela
menyerahkan kedudukan bengcu kepadanya. Maka tak dapatlah kita mempersalahkan ci In,
bantah Yak-bwe.
Bik-hu menghela nafas: Ya, memang aku salah omong, tetapi, tetapi .....
Tetapi apa? tukas Yak-bwe, Kau takut dipandang rendah oleh ci In? Turut penglihatanku,
kau lebih kuat dari Se-kiat. Meskipun dalam ilmu silat kau kalah, tetapi peribudimu lebih
menang.
Memang pandai sekali Se-kiat itu mainkan peranannya ksatria, dalam beberapa tindakannya
aku
dapat mengambil kesimpulan. Sayang ci In yang lebih cerdik dari aku, karena dorongan hati
sampai kena dibutakan. Tapi dengan adanya peristiwa ini, ia tentu akan tersadar. Pui suheng,
janganlah putus asa!
Bik-hu diam-diam mencintai In-nio. Hanya karena merasa bahwa In-nio tak menaruh perhatian
padanya, iapun tahu diri. Kini setelah mendengar penjelasan Yak-bwe, timbullah setitik harapan
dalam hatinya. Ia menghaturkan terima kasih kepada nona itu.
Pui suheng, mungkin kau hanya memandang aku ini seorang budak yang nakal dan tak tahu
bahwa akupun pernah mengalami penderitaan yang pahit. Coba tidak ada ci In yang menghibur
dan
membangkitkan semangatku, dikuatirkan aku sudah putus asa dan masuk menjadi nikoh, kata
Yakbwe.
Tapi sekalipun mulut mengatakan begitu tapi hatinya diam-diam mengakui bahwa Bik-hu
memang lebih menderita daripada ia. Love-affair antara ia dengan Khik-sia hanya bergolak
karena
salah mengerti. Sebaliknya love-affair antara Bik-hu, In-nio dan Se-kiat, betul-betul merupakan
cinta segitiga sepihak.
Tiba di kaki gunung, sebelah muka sana, tampak dua titik benda hitam. Dan berkatalah Yakbwe:
Itulah mereka! Rupanya mereka sudah bicara lama, mari kita kejar!
Tadi ketika Khik-sia dan In-nio congklangkan kudanya, dalam beberapa waktu saja sudah jauh.
Ketika berpaling ke belakang dan dapatkan Thiat-mo-lek jauh sekali ketinggalan di belakang
maka
Khik-siapun tahan kudanya.
Ci In, terima kasih atas pertolonganmu pada Yak-bwe, kata Khik-sia.
Ah, asal kalian sudah berbaik kembali akupun turut girang, sahut In-nio.
Ci In, budimu itu tentu akan mendapat balasan baik. Sekiranya kau mempunyai urusan,
jangalah kau simpan di hati saja.
Seketika pucatlah wajah In-nio, ujarnya: Khik-sia, harap kau jangan mengelabuhi aku.
Mengapa Se-kiat cekcok dengan Thiat piaukomu?
Tidak apa-apa, hanya disebabkan karena tujuan mereka berbeda. Se-kiat mempunyai ambisi
menjadi raja, sedang piaukoku lebih suka jadi penyamun budiman.
Tapi kalian pernah mengatakan bahwa Se-kiat pergi bersama dengan seorang nona.
Bagaimana itu?
Karena sudah tak dapat dirahasiakan lagi, terpaksa Khik-sia menuturkan: Ya, memang benar.
Kawan Se-kiat ialah murid dari Shin Ci-koh.
Siapa wanita itu? In-nio menegas.
Namanya Su Tiau-ing, anak perempuan dari Su Su-bing dan adik dari Su Tiau-gi.
Oh begitu. Apakah bukan nona Su yang pernah bersama kau tempo hari?
Khik-sia merah mukanya, ujarnya: Benar, akupun hampir kena perangkapnya.
Toh sudah tahu kalau anak perempuan Su Su-bing mengapa kau bergaul dengan ia?
Ah, hal itu panjang ceritanya ..... Khik-sia lalu menuturkan dari permulaan sampai pada
waktu Thiat-mo-lek diracuni Tiau-ing.

Oh, aku mengerti sekarang. Se-kiat hendak pinjam sisa tentara dari engkoh nona itu, kata
Innio.
Dalam hati In-nio masih menganggap Se-kiat itu belum seratus persen jahat, karena
menentang tindakan Tiau-ing meracuni Thiat-mo-lek.
Khik-sia mengira, begitu mendengar kisah Se-kiat, In-nio tentu akan sedih, mungkin menjerit
kalap dan pingsan. Tetapi ternyata tidak. Jangankan menangis, sedang menghela nafas saja tidak.
In-nio hanya tampak mengatupkan bibirnya kencang-kencang dan wajahnya agak lebih pucat
dari
biasanya. Dalam ketenangannya yang dingin itu, dapatlah orang merasakan gejolak hatinya yang
laksana menahan gelombang samudera.
Khik-sia yang sedianya sudah siap dengan kata-kata menghibur, terpaksa beralih dengan
pertanyaan: Cici In, kau, kau kenapa?
Tidak apa-apa, terima kasih atas pemberitahuanmu. Hm, itu mereka sudah menyusul, sahut
In-nio.
Waktu Thiat-mo-lek dan rombongan datang, diam-diam ia memuji ketabahan In-nio. Tidak
demikian dengan Yak-bwe yang sudah mengerti perangai In-nio. Demi melihat sinar mata In-
nio,
pilulah hati Yak-bwe. Ia tahu kalau In-nio berlaku gagah untuk menutupi hatinya yang
menderita.
Kalau ia dapat mengeluarkan perasaan hatinya, itu sih malah baik. Habis hujan tentu terang.
Tapi
ia menyimpan kedukaan, ini malah berbahaya. Ai, entah apa yang sedang dipikirkan itu, Yak-
bwe
membatin.
Kuda kalian pesat sekali larinya. Tadi cuaca buruk, kukira akan hujan dan ternyata tidak,
malah terang. Kita dapat melanjutkan perjalanan terus, kata Thiat-mo-lek.
Ya, memang tadi mendung, untung datangnya cepat, perginya pun cepat, In-nio cepat
menanggapi.
Tetapi aku lebih suka kalau jadi hujan, habis hujan barulah udara bersih sungguh-sungguh,
kalau tidak awan itu sewaktu-waktu dapat datang lagi. Tidak hari ini, pun besok pagi, Yak-bwe
turut-turutan.
Ai, mengapa cuaca saja dipersoalkan begitu serius? Hari ini hujan atau besok pagi yang hujan,
apa bedanya? Kalau kehujanan, sebaiknya kita lekas-lekas meneruskan perjalanan saja, Khik-
sia
menyelutuk tertawa.
Benar, benar, kau amat pintar. Hanya maju terus, jangan takut. Kalau kehujanan, di sebelah
muka tentu ada tempat meneduh, kata Yak-bwe yang tetap menggunakan kata-kata bertalaran
(tidak secara langsung).
Tak usah kau katakan memang di sebelah muka itu ialah kota. Kita dapat mencari penginapan
di sana, kata Khik-sia.
Ya, Pui suheng, kuminta kau yang mencari penginapan itu sekarang, kata Yak-bwe.
Kita toh bisa sama-sama ke sana, mengapa harus merepoti Pui suheng? bantah Khik-sia.
Mana kau tahu? Pui suheng dapat menggunakan insting, jawab Yak-bwe. Insting ialah
perasaan halus atau getaran halus dari hati.
Cari penginapan saja mengapa perlu pakai insting? Makin lama makin aneh kata-kata Yakbwe
ini, batin Khik-sia.
Ternyata Yak-bwe dan In-nio sudah larikan kudanya lebih dahulu. Bik-hu mengikuti dari
belakang. Tampaknya ia hendak menyusul di samping mereka, tapi ragu-ragu. Hanya matanya
saja
yang memandang lekat-lekat pada In-nio. Melihat itu tersadarlah Khik-sia, pikirnya: Oh,
kiranya
mereka tadi bukan membicarakan cuaca melainkan tentang urusan orang. Ah, tolol benar aku
ini.
In-nio tetap congklangkan kudanya pesat-pesat, sehingga Yak-bwe tak sempat mengajaknya
bicara. Akhirnya sebelum petang mereka sudah masuk ke kota Pah-koan. Di kota itu kebetulan
terdapat pasukan negeri yang berjumlah besar. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya
kesulitan, Thiat-mo-lek hendak ajak kawan-kawannya mengitari saja kota itu, tak perlu masuk.
Ai, jangan-jangan ayahku berada di sini! tiba-tiba In-nio berkata. Ketika Thiat-mo-lek
mengikuti arah yang ditunjuk si nona, ternyata pada sebuah bendera besar, tertulis sebuah huruf
Sip.
Mengapa paman Sip membawa begitu banyak tentara. Bukankah ia hanya mengajak beberapa
pengikut saja? tanya Yak-bwe. Tapi In-nio menyatakan bahwa di antara panglima-panglima

kerajaan yang memakai she Sip itu, hanya ayahnya seorang.
Begitu tiba di kota, dua orang opsir menghampiri dan menegur In-nio: Hai, Sip kongcu,
kiranya benar kau. Mengapa kau datang kemari? Silakan lekas menemui ayahmu di dalam
kubu.
Kiranya kedua opsir itu memang pengawal Sip Hong yang lama. Karena sering menyaru jadi
pemuda, maka kedua opsir itu memanggilnya dengan sebutan kongcu. Dan ini In-nio sendiri
yang
memesannya.
Mengapa ayah berada di sini dengan sekian banyak tentara? Satupun aku tak kenal, rasanya
bukan anak buah kita yang dahulu, kata In-nio. Opsir itu mempersilahkan In-nio beritanya
sendiri
pada ayahnya.
Mengira kalau opsir itu curiga, maka In-nio segera memperkenalkan: Semua orang ini adalah
sahabatku. Dan Su kongcu ini masakan kau lupa?
Kedua opsir itu segera mengenali Yak-bwe: Ai, kenal, kenal. Apakah Sik ciangkun baik-baik
saja?
Yang diketahuinya, Yak-bwe itu adalah puteri dari Sik Ko, panglima daerah Lo-ciu, yang
kedudukannya lebih tinggi dari Sip Hong. Merekapun mengira mungkin karena takut diketahui
orang maka Yak-bwe telah berganti dengan she Su.
Yak-bwe menyahut dengan sembarangan saja. Dan setelah mengetahui rombongan Thiat-molek
itu sahabat In-nio, kedua opsir itu mempersilahkan mereka beristirahat ke dalam kubu. Thiatmo-
lek kenal dengan Sip Hong. Tapi kini karena kedudukannya berubah (dari si-wi menjadi
penyamun), maka diam-diam ia agak gentar juga. Tapi ia hibur dirinya dan menganggap Sip
Hong
tentu serupa pribadinya dengan Cin Siang. Malah kepada Khik-sia ia mengatakan juga bahwa
Sip
Hong itu adalah kawan baik dari mendiang ayah pemuda itu.
Mendapat laporan, Sip Hong segera keluar menyambut. Tapi begitu melihat Thiat-mo-lek dan
Khik-sia, ia terperanjat dan menyurut mundur. Ia mengajak mereka masuk ke dalam kubu.
Ai, Thiat tayhiap, angin apakah yang membawa kau kemari? Berpisah 10 tahun, aku sungguh
terkenang padamu. Dahulu atas bantuanmu bersama Toan tayhiap sehingga menyelamatkan
keluargaku, aku belum menghaturkan terima kasih, kata panglima itu.
Dahulu ketika di Tiang-an akupun mendapat pertolonganmu dan belum menghaturkan terima
kasih. Sama-sama mendapat budi, tak usah kita ungkat lagilah, sahut Thiat-mo-lek. Sebelum
menjawab pertanyaan Sip Hong lebih lanjut, terlebih dulu Thiat-mo-lek memperkenalkan Khik-
sia
dan Yak-bwe. Tapi ternyata Sip Hong sudah kenal.
Toan seheng, kuucapkan selamat padamu karena sudah bersatu lagi dengan nona Su, kata
panglima itu.
Setelah diperkenalkan juga dengan Bik-hu, maka bertanyalah Sip Hong, Kalian datang ke
Tiang-an mengapa tak menemui aku? Bilakah kau tiba di kotaraja itu?
Kemarin lusa, tapi ayah sudah pulang. Kukira ayah tentu kembali ke Lu-ciu, tidak nyana kalau
masih di sini, jawab In-nio.
Pemerintah menugaskan aku memimpin pasuka ke Yuciu. Setelah suasana di Yuciu aman
kembali, barulah aku pulang ke Lu-ciu, kata Sip Hong.
Mengapa ke Yuciu? tanya In-nio. Tetapi sampai lama ayahnya tak menyahut. Buru-buru
Thiat-mo-lek menumpangi bahwa itu adalah urusan negara, tak perlu dibicarakan.
Sip Hong tertawa: Ah, kita kan orang sendiri, tiada halangan kuberitahukan. Aku ditugaskan
ke Yuciu untuk menumpas Su Tiau-gi.
Menumpas Su Tiau-gi? In-nio mengulangi dengan terkejut.
Ya, Su Tiau-gi itu adalah puteranya Su Su-bing. Tahun yang lalu ia kena dikalahkan Li
Kongpik
dan melarikan diri ke Yuciu menggabung pada raja Ki untuk melawan lagi. Karenanya kerajaan
cepat-cepat hendak menumpasnya supaya ia jangan sampai tumbuh sayap. Li Kong-pik diangkat
menjadi panglima besar. Kemudian Kwik Leng-kong (Kwik Cu-gi) mengusulkan aku menjadi
wakil panglimanya. Tentara yang kubawa ini adalah pemberian dari Kwik lengkong. Kwik
Lengkong
sudah lanjut usianya dan diberi gelar raja muda Pun-yang-ong. Mengingat usianya, baginda
tak mengijinkan ia keluar perang lagi.
Oh, kiranya begitu. Aku ingin turut perag ayah! kata In-nio.

Sip Hong tertawa: Ai, kau ini memang anak perempuan yang gemar perang. Suruh tinggal di
rumah, tidak kerasan. Baiklah, kau boleh ikut. Tiba-tiba panglima itu teringat sesuatu dan
bertanya: Bilakah kau pergi dari Tiang-an?
ya, ini hari. Setelah makan siang di rumah Cin Siang, barulah kami berangkat. Cin Siang telah
menghadiahkan beberapa ekor kuda bagus pada kami, kata In-nio.
Bukankah hari ini pembukaan Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan oleh Cin Siang?
Mengapa ia sempat menemani kalian makan?
In-nio tertawa: Eng-hiong-tay-hwe itu sudah kacau-balau dan sekarang sudah berantakan!
Sip Hong terkejut dan buru-buru menanyakan apa sebabnya. In-nio berjanji mau menceritakan
asal ayahnya tak menyesalinya. Dengan geleng-geleng kepala, akhirnya Sip Hong terpaksa
meluluskan.
Habis mendengar penuturan puterinya, Sip Hong menghela nafas: Bu Wi-yang, Toh Hok-wi
dan kawan-kawan itu memang pengacau. Thiat tayhiap, jasamu melindungi raja hijrah dari
kotaraja
dahulu, besar sekali. Sungguh tak kira, pemerintah sekarang menganggapmu sebagai
pemberontak.
Untung ada Tiang Lok kongcu. Karena kejadian itu berakhir menyenangkan, rasanya tak perlu
kau
terlalu membenci kerajaan.
Jika aku berniat memberontak tentu sudah memberontak. Jangan kuatir Sip ciangkun.
Palingpaling
aku hanya menyusahkan para Ciat-to-su macam Tiang Seng-su dan Sik Ko itu saja.
Merugikan kepentingan negara, aku masih belum sampai hati. Ah, karena hari sudah petang,
akupun hendak minta diri, kata Thiat-mo-lek.
Masakan sudah begini malam, mau pergi? tanya Sip Hong. Thiat-mo-lek tertawa dan
menerangkan bahwa ia sudah biasa jalan malam. Dan lagi rasanya tidaklah baik bagi Sip Hong
nanti apabila Thiat-mo-lek yang terkenal sebagai pemimpin Lok-lim, menginap di situ.
Akhirnya terpaksa Sip Hong melepas sang tetamu pergi: Su titli, apakah kau juga akan pergi?
tanyanya.
Khik-sia dan Thiat toako adalah serupa, tidak leluasa tinggal di perkemahan tentara, sahut
Yak-bwe.
Sip Hong tertawa gelak-gelak: Ai, ya, kau memang seharusnya mengikuti suami, tolol aku ini.
Yak-bwe merah mukanya. Tiba-tiba ia berkata: Harap paman Sip jangan menertawakan. Aku
hendak mewakili seseorang mengajukan permohonan padamu.
Tentang apa? tanya Sip Hong. Ia duga orang yang dimaksudkan itu tentulah Khik-sia.
Pui suheng mempunyai cita-cita hendak masuk tentara. Mohon paman suka menerimanya,
kata Yak-bwe.
Ai, mana .... Bik-hu tersengat kaget.
Kau sendiri pernah mengatakan padaku. Ingat ketika pertama kali berjumpa dengan ci In,
bukankah kau pernah mengatakan bahwa cita-citamu ialah hendak memimpin angkatan
bersenjata?
Cici In menyanggupi, setiba di Tiang-an akan membawamu menghadap paman Sip. Ya,
walaupun
tidak di Tiang-an, toh akhirnya bertemu juga di sini. Paman Sip bukan orang luar, kau sungkan
bicara, aku yang mewakili kau, buru-buru Yak-bwe memutus omongannya. Kemudian ia
berkata
lagi kepada Sip Hong: Pui suheng ini berasal dari keluarga terhormat. Dia baru saja
menyelesaikan pelajaran silat, ingin mengabdikan diri pada negara. Dia belum pernah menjadi
penyamun, harap paman suka memakainya! Ilmu silatnya lebih unggul dari aku atau ci In!
Mulut Yak-bwe nereces seperti mercon berbunyi hingga orang tak dapat menyelanya. Dan bikhu
sendiri akhirnya mengerti kemana tujuan nona itu. Ya, hanya dengan masuk menjadi anak buah
Sip Hong, barulah ia dapat selalu dekat dengan In-nio. Akhirnya terpaksa ia membenarkan apa
yang dikatakan Yak-bwe itu.
Ih, aneh, bukankah ia selalu menyatakan tak suka menjadi pegawai kerajaan? Mengapa tibatiba
berganti haluan? Hm, setan cilik yak-bwe itu memang lihay mulutnya sampai aku tak dapat
membantahnya. Tapi perlu apa ia mengajukan permohonan begitu? Toh nyata belum ada
persepakatan dengan Bik-hu. Hm, Yak-bwe tentu menghendaki supaya Bik-hu menemani aku,
diam-diam In-nio menilai dalam hati.
In-nio sebenarnya seorang nona yang cerdik. Hanya karena membabi buta menumpahkan

pikiran pada Se-kiat seorang, ia sudah tak mengetahui kalau diam-diam Bik-hu mencintainya.
Kini
setelah mendengarkan pembicaraan tadi, dan merenungkannya, ia memandang Bik-hu. Dari
sikap
dan kerut wajah pemuda itu, tahulah In-nio apa yang terkandung dalam hati pemuda itu.
Belajar silat dengan tujuan mengabdi pada negara, sungguh utama sekali. Sudah tentu aku
akan menerima dengan tangan terbuka. Memang kali ini aku membutuhkan pembantu-pembantu
yang berilmu tinggi. Jangan lagi kau ini sute dari puteriku, sekalipun bukan, akupun tetap akan
menerima dengan senang hati, kata Sip Hong dengan gembira.
Demikian akhirnya Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pamit. Sip Hong suruh puterinya masuk ke
dalam berganti pakaian dan ia sendiri ajak Bik-hu mengantar Thiat-mo-lek sampai di luar
perkemahan. Ketika berjalan kembali ke kemahnya, hampir dekat pada kemah panglima, tiba-
tiba
Sip hong hentikan langkahnya dan tertawa: Pui hiantit, kau tak usah masuk kemari, silahkan
kau
ke markas menjumpai Lau congpeng. Kau belum mendirikan pahala, untuk sementara menjadi
anak buahnya dengan pangkat siaukoan (pangkat tentara yang rendah). Kelah apabila aku sudah
berjasa, tentu akan kunaikkan.
Bik-hu merah mukanya. Tersadarlah ia bahwa dirinya sekarang menjadi seorang tentara
kerucuk, mana boleh sembarangan masuk ke dalam kemah puteri panglima?
Agar Bik-hu jangan malu, kembali Sip Hong memberi penjelasan: kau adalah sute dari
puteriku, kuanggap kau sebagai keponakanku sendiri. Sebenarnya memang tak usah ada
pantangan
apa-apa. Tetapi kau baru saja masuk menjadi tentara, belum berjasa. Jika aku kelewat
memperlakukan kau secara istimewa, kelak apabila aku hendak menaikkan pangkatmu,
dikuatirkan
orang akan menuduh aku menjalankan famili sistem. Ini memang lumrah terjadi,
mengertikah?
Siautit mengerti. Selanjutnya aku akan mematuhi peraturan tentara, sahut Bik-hu.
Sip Hong tertawa: Ah, tak perlu begitu bengis. Setiap waktu kau bebas tugas, bolehlah kau
datang menjumpai aku. Satu bulan datang satu dua kali, orang luar tentu tak mengatakan yang
tidak-tidak.
Sip Hong suruh seorang anak buahnya membawa Bik-hu ke markas Lau congpeng. Ia pesan
supaya orang itu banyak-banyak memberi petunjuk pada Bik-hu tentang tata-tertib ketentaraan.
Diam-diam Sip Hong geli: Bik-hu ini seorang pemuda yang polos. Selama dalam perjalanan
dengan In-nio itu mereka tentu sudah akrab sekali. Buktinya ia sampai lupa akan masuk ke
dalam
kubuku.
Ternyata In-nio sudah berganti pakaian wanita dan tengah duduk merenung. Ia baru terkejut
demi mendengar langkah ayahnya: Yah, kau sudah kembali?
Sip Hong tertawa: In-nio kau sedang memikiri apa?
Tidak memikiri apa-apa.
Kau tidak memikiri tetapi sebaliknya aku memikiri, kata ayahnya.
Apa saja, yah?
Kau membanggakan dirimu pintar, nah, sekarang coba saja kau tebak.
Apa bukan memikiri tentang kekuatan Su Tiau-gi yang berserikat dengan raja suku Ki itu?
Su Tiau-gi seorang panglima yang kalah dan tentaranyapun hanya tinggal remukan, apanya
yang dipikiri? Tentang diri faja suku Ki itu, Kwik lengkong telah memberikan padaku surat
panggilan yang menyerukan supaya raja-raja (kepala) suku itu takluk pada kerajaan. Kepala-
kepala
sukuk di daerah perbatasan, paling mengindahkan pada Kwik lengkong. Adalah karena ada
orang
yang sengaja menyiarkan berita bohong yang mengatakan Kwik lengkong sudah meninggal,
barulah kepala-kepala suku Hwe, Hoan dan Ki mulai bergerak. Begitu kuserahkan surat seruan
Kwik lengkong itu, tentulah kepala suku Ki takkan mau membantu Su Tiau-gi lagi. Bukannya
hendak membanggakan diri, tapi dalam tiga bulan, aku tentu dapat menindas pemberontak itu,
kata
Sip Hong.
Habis, apa yang ayah pikiri?
Yang kupikiri ialah yang kau pikirkan itu!
Sepasang pipi In-nio bersemu merah: Yah, aku tak mengerti apa maksudmu.
In, sekarang kau sudah berumur 20 tahun. Apakah selama kau berkelana di dunia persilatan
itu, telah menjumpai pemuda yang kau penujui?

Yah, kau tak berputera lelaki. Aku sedia menjalankan kewajiban seorang putera, takkan
menikah seumur hidup agar dapat merawatmu.
Itu ucapan kanak-kanak. Justeru karena aku tak punya anak lelaki, aku memerlukan seorang
menantu. Mana kau boleh tak menikah. Aku berniat hendak mencarikan seorang pemuda yang
ideal. Apakah di dalam hatimu sudah terdapat pemuda semacam itu?
Pilu hati In-nio, diam-diam ia menelan air matanya. Tapi ia paksakan tertawa: Yah, kau sering
mengatakan bahwa aku ini menyamai seorang lelaki. Biarlah aku menjalan kedudukan itu,
apakah
tidak serupa? Mengapa aku harus cari pasangan? Yah, aku tak ingin menikah dan tak pernah
berjumpa dengan pemuda yang baik.
Ia tak mengatakan pemuda yang mencocoki, melainkan pemuda yang baik. Ini adalah
kenyataan hidupnya. Tapi mana ayahnya tahu apa yang diderita puterinya itu.
Dunia begini luasnya, mana tiada pemuda yang baik? Apakah Khik-sia itu bukan pemuda
baik? tanya Sip Hong.
Itu rejeki adik Bwe yang besar. Apakah kau suruh aku merebutnya?
Jangan menyimpang kelewat jauh dari pokok pembicaraan. Aku kan hanya menyebut
contohnya saja. Pemuda baik di dunia ini sudah tentu bukan hanya Khik-sia seorang saja!
Sayang selama ini aku belum pernah berjumpa. Yah, sudahlah jangan membicarakan hal itu
lagilah, akhirnya In-nio hendak menyingkat jalan.
Bagaimana dengan sutemu Bik-hu itu? Bukankah ia sebaya dengan umurmu? Kulihat dia
juga tiada celanya. Apakah sedikitpun kau tak punya perasaan kepadanya? Sip Hong tetap tak
mau.
Merah muka In-nio dan berserulah ia dengan kurang senang: Apakah ayah tergila-gila dengan
menantu? Kukatakan, aku belum mempunyai ingatan kawin. Jika ayah keberatan memelihara
diriku, baiklah aku pergi saja.
Akhinya Sip Hong terpaksa mengalah, katanya: Ya, sudahlah, sekarang belum ada ingatan,
baik tunggu dua tahun lagi. Akupun masih tak rela berpisah dengan kau. Tak mau kawinya
sudah,
perlu apa merajuk seperti anak kecil?
Yah, apakah kau sungguh-sungguh cinta padaku dan tak tega berpisah? In-nio tertawa.
Kau bukan saja seorang anak perempuan yang baik, pun merupakan seorang pembantuku yang
baik. Aku tengah memikirkan .....
Apa lagi, yah?
Dalam sejarah permulaan kerajaan ini, juga terdapat panglima wanita. Kupikir kau boleh
membentuk suatu pasukan wanita. Kau suka tidak?
Itulah cita-citaku sejak beberapa tahun. Jika dapat terlaksana, sudah tentu aku girang sekali.
Tetapi ......
Tetapi apa? Sip Hong menegas.
Tadi aku merencanakan besok pagi akan meninggalkan tempat ini saja.
Mengapa? Kau kan suka berperang, mengapa mendadak sontak akan pergi? Kau adalah
puteriku, semua anak buah tentara tahu. Siapa yang berani tak mengindahkan padamu? Tinggal
dalam perkemahan tentara, juga tak apa-apa.
Bukan karena hal itu. Terus terang, memang aku juga mempunyai pemikiran, jawab In-nio.
Oh, tentang apa?
Meskipun gemar berperang, tapi akupun juga sudah rindu pada mamah. Sudah lama aku pergi,
aku hendak pulang menjenguk mamah. Karena kepergian ayah kali ini kemungkinan besar tentu
berhasil, maka akupun dapat pulang dengan lega. Tentang pasukan wanita tadi, baiklah ayah
membentuknya dulu. Begitu sudah menjenguk mamah, aku tentu cepat-cepat kembali sini lagi
untuk memimpinnya.
Sip Hong sendiripun terkenang akan isterinya. Maka ia menyetujui bahkan memuji kebaktian
puterinya itu.
Ya, besok pagi-pagi aku akan segera pergi. Harap jangan kasih tahu Pui Bik-hu.
Kenapa?
Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tak ingin ia mengetahui kepergianku ini.

Itu toh bukan rahasia, mengapa perlu mengelabuhi sutemu?
Aku tak ingin dia tahu, itu sudah cukup, mengapa urusan begini saja dibesar-besarkan? Yah,
kau selalu mengolok aku, In-nio mulai meradang.
Ah, hati anak perempuan paling sukar diduga. Baiklah, aku pun takkan menegas lagi, terserah
padamu saja, akhirnya Sip Hong mengalah. Dalam pada itu ia membatin: Rupanya Bik-hu itu
menaruh hati pada In-nio. Tetapi entahlah apa In-nio membalasnya atau tidak. Kalau ia suka
kepada pemuda itu, mengapa kepergiannya tak boleh diberitahukan? Kalau ia tak suka, mengapa
tampaknya ia begitu sungguh-sungguh hendak mengelabuhi pemuda itu? Huh, agaknya dalam
urusan ini tentu terselip apa-apa.
Sejak kepergian In-nio, memang dalam beberapa hari itu Bik-hu tak melihatnya. Ia gelisah tapi
tak berani menghadap ke kubu Sip Hong. Bertanya pada orang, pun ia merasa sungkan.
Beberapa hari kemudian, ia benar-benar tak dapat menahan kegelisahannya, pagi-pagi sebelum
berlatih baris atau malam hari sehabis appel, dia tentu mondar-mandir di sekitar perkemahan Sip
Hong. Hal itu menimbulkan kecurigaan tiongkun (pangkat tentara yang menjadi pengawal
panglima). Coba tiongkun itu belum tahu kalau Bik-hu, walaupun berpangkat kecil tetapi
dihargai
sekali oleh Sip Hong, tentu siang-siang pemuda itu sudah ditangkapnya. Namun lama-kelamaan,
tiongkun itu melapor juga pada Sip Hong. Sebagai seorang tua, tahulah Sip Hong apa sebabnya.
Ia
pesan tiongkun itu membiarkan saja, jangan mengganggu anak muda itu. Tahulah Sip Hong
sekarang, bahwa Bik-hu memang jatuh hati pada In-nio.
Pada suatu hari, appel malam bubar sedikit pagi dari biasanya. Haripun masih belum petang
sekali. Dengan naik kuda, Sip Hong mengadakan inspeksi berkeliling untuk mengetahui situasi
daerah kota itu. Memang demikianlah kewajiban seorang panglima perang.
Tiba-tiba di depan sebuah kubu, tampak seekor kuda putih mulus tengah meringkik. Sip Hong
terkesiap: Seekor kuda ciau-ya-say-cu yang bagus! Siapakah pemiliknya? Mengapa aku sampai
tak tahu kalau di dalam pasukan terdapat kuda sehebat itu?
Kiranya kubu itu adalah markas dari Lau congpeng, pemimpin pasukan. Congpeng itu
tersipusipu
menyambut kedatangan Sip Hong. Atas pertanyaannya, Lau congpeng menerangkan bahwa
kuda bagus itu adalah milik dari Pui Bik-hu, ialah siaukoan yang goanswe (panglima) masukkan
itu. Memang hebat sekali kuda tunggangannya itu. Turut pendapat Lau congpeng, tidak tepat
kalau
pemuda itu hanya diangkat menjadi siaukoan saja.
Sip Hong tergerak hatinya dan tertawa: Memang kutahu ia mempunyai kepandaian. Tapi
sebelum membuat pahala, tak selayaknya dinaikkan pangkat. Besok mudah, sekarang panggillah
ia
kemari.
Apakah kudamu ini pemberian dari Cin Siang? tanyanya kepada Bik-hu.
Benar, karena beberapa hari ini tak diumbar, lantas ngamuk, kata Bik-hu.
Naikilah kudamu dan mari kita balapan dengan kudaku 'cian-liong-ki' ini, tiba-tiba Sip Hong
memberi perintah. Bik-hu menyatakan tak berani tapi didesak oleh Sip Hong, akhirnya mau
jugalah ia. Kebetulan, Bik-hu dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengorek keterangan
tentang In-nio.
Kuda tungganggan Sip Hong yang berbulu merah itu, juga seekor kuda pilihan. Sehari dapat
lari sampai seribu li, baik mendaki gunung maupun melintasi sungai, seperti berjalan di tanah
datar
saja. Tapi hanya beberapa waktu saja, kuda ciau-ya-say-cu milik Bik-hu sudah dapat
mengejarnya.
Sip Hong tak henti-hentinya memuji Cin Siang yang mempunyai koleksi kuda bagus-bagus.
Sekiranya Sip ciangkun suka ....
Cia-liongki ini sudah biasa kunaiki, jadi sudah kenal akan tabiat masing-masing. Di dalam
peperangan, yang penting mempunyai kuda yang mengerti perangai penunggangnya. Memang
kecepatan lari itu penting, tapi lebih penting lagi mengenal watak tuannya. Pakailah sendiri
ciauya-
say-cu itu, aku lebih suka pakai kudaku ini, tukas Sip Hong.
Saat itu mereka sudah 10-an li jauhnya, di sebuah padang rumput yang tiada lain orang kecuali
mereka berdua. Disitulah barulah Sip Hong lambatkan kudanya dan berkata: Kita berdua
perlahan
saja. Kabarnya kau ini keponakan dari Biau Hui sin-ni dan pernah berguru pada Mo Kia lojin.
Kau
memperoleh ilmu pedang dari dua aliran, suci-mu pun kagum padamu. Sebenarnya siang-siang
aku

hendak meminta pelajaran padamu, sayang aku selalu sibuk dengan urusan dinas saja.
Sip ciangkun seorang ahli pedang yang ternama, mana aku dapat mengimbangi? Bik-hu
merendah. Tetapi Sip Hong mengatakan janganlah anak muda itu merendah diri. Dengan terus
terang ia mengatakan juga bahwa sering-sering ia meminta pelajaran ilmu pedang pada
puterinya.
Melihat panglima itu ternyata seorang ramah, rasa kikuk Bik-hu pun mulai berkurang. Kalau
semula ia hanya menjawab apa yang ditanyakan saja, lama-kelamaan berani juga ia bicara
dengan
bebas. Dalam membicarakan tentang ilmu pedang, sebagai seorang ahli, walaupun tanpa
bertanding dapat juga Sip Hong menarik kesimpulan bahwa ilmu pedang anak muda itu memang
tinggi, lebih unggul dari In-nio.
Sebenarnya aku ini berasal dari desa. Hanya karena kebenaran ada rejeki, barulah aku dapat
naik menjadi panglima. Padahal semasa muda, aku bercita-cita menjadi yu-hiap (pendekar
kelana).
Dalam segala hal puteriku itu tidak turun aku, kecuali dalam hal gemar berkelana di dunia
persilatan
ia benar-benar seperti aku. Sekarang aku hendak bertanya. Selama kau mengadakan perjalan
ribuan li bersama ia, apakah ada peristiwa yang menggoncangkan atau yang menggembirakan?
Terpaksa Bik-hu menceritakan sesuatu, misalnya waktu bentrok dengan anak murid partai
Lengsan-
pay, bertemu dan salah paham dengan Khik-sia di hotel dan sebagainya. Tetapi tentang
hubungan Se-kiat dengan In-nio tak mau ia menceritakan.
Diam-diam Sip Hong membatin: Ah, kalau begitu hubungannya dengan In-nio erat sekali,
pernah bersama-sama menghadapi bahaya. Apalagi mereka saudara seperguruan, jika dijodohkan
itulah tepat sekali. Tapi entah bagaimana pendirian In-nio. Anehnya sudah bergaul begitu rapat
tapi
mengapa waktu pergi In-nio tak mau memberitahu padanya?
Melihat panglima itu merenung, diam-diam Bik-hu berdebar-debar hatinya. Ia menyangka
jenderal itu tentu mempunyai dugaan yang tidak-tidak kepada dirinya selama berkelana dengan
Innio
itu. Bik-hu merah mukanya.
Tiba-tiba Sip Hong mengangkat kepala dan memandangnya dengan tersenyum: Pui hiantit,
katanya dalam beberapa hari ini kau selalu mondar-mandir di dekat perkemahanku. Apakah kau
ingin menjumpai aku?
Gerak-geriknya diketahui, merahlah muka Bik-hu. Ia terbata-bata menyahut: Ini, ini .....
Kalau tak ingin berjumpa padaku, tentu ingin ketemu suci-mu, bukan? Sip Hong
menggodanya.
Muka Bik-hu makin padam. Akhirnya ia tabahkan nyalinya: Dalam beberapa hari ini cici In
tak kelihatan keluar. Entah, entah apakah ia tak enak badan? Aku, aku ingin menjenguk tapi
kuatir
melanggar peraturan.
Sip Hong tertawa menerangkan bahwa In-nio tidak sakit tapi sebenarnya sudah tak berada di
perkemahan situ. Mendengar itu Bik-hu terkejut dan menegas.
Ya, benar, hari kedua setelah kalian datang, ia lantas pulang menjenguk mamahnya.
Bik-hu terlongong, wajahnya berubah dan berkata: Jadi In suci pulang menjenguk ibunya?
Kalau Bik-hu nadanya mengandung keheranan, pun Sip Hong juga heran, tegurnya: Apakah
kau mengira ia pergi ke lain tempat?
Bik-hu telah membayangkan sesuatu kemungkinan, tapi belum lagi ia dapat merangkai katakata,
tiba-tiba Sip Hong sudah berseru: Hai, tiga ekor kuda di sebelah muka itu walaupun tak
sebagus kudamu tapi juga tak kalah dengan kudaku. Aneh, siapa saja mereka itu?
Ketika Bik-hu memandang kemuka, ternyata ketiga penunggang kuda yang dikatakan itu makin
dekat. Jelas ketiga penunggangnya itu terdiri dari oh-ceng (paderi dari luar daerah). Bik-hu
terbeliak kaget, ujarnya: Menilik dandanannya mereka itu seperti murid Leng-san-pay. Ya,
benar,
paderi berpakaian merah yang berada di depan itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin.
Apakah yang kau ceritakan pernah bentrok dengan kau itu? tanya Sip Hong.
Ya, Ceng-cing-cu toa-suheng dari Leng-san-pay pernah menerima undangan Su Tiau-gi.
Ketiga orang itu mungkin juga bangsa durna, kata Bik-hu.
Saat itu ketiga paderipun sudah tiba. Demi melihat Bik-hu, si paderi jubah merah juga
terperanjat dan berseru: Hai, kau juga berada di sini, budak kecil? Mana Shin Ci-koh siluman
perempuan itu?

Siapa kalian itu? bentak Sip Hong.
Demi melihat Sip Hong bersikap gagah dan mengenakan pakaian jenderal, bertanyalah paderi
itu: Apakah kau ini Sip Hong?
Kurang ajar! Mau turun atau tidak! bentak Sip Hong.
Hoang-ceng (paderi) itu tertawa: Ha, kiranya benar. Sip tay-ciangkun. Di dalam ketentaraan,
aku tak berani. Tapi sekarang aku memang hendak berlaku kurang ajar padamu! -- Ia lambarkan
tangan dan berseru kepada kedua kawannya: Kalian membekuk budak itu, aku menangkap
kambing gemuk ini!
Hoan-ceng itu terlalu membanggakan dirinya pandai ilmu silat. Ia anggap Sip Hong itu
meskipun seorang panglima ternama tetapi hanya pandai dalam urusan ketentaraan, paling-
paling
mahir memanah dan naik kuda. Maka saat itulah ia harus menangkapnya. Di luar dugaan, Sip
Hong itu bukan jenderal sembarang jenderal. Dalam ilmu pedang ia lihay sekali. Sekali ia
sentakkan kudanya sebelum musuh datang, kuda Sip Hong sudah menerjang maju.
Paderi itu lepaskan jubahnya terus diputar ke arah Sip Hong, serunya: Ha, ha, ha, Sip
tayciangkun,
kau masuk perangkap, jangan heran kalau aku nanti menangkapmu semudah menuntun
kambing!
Belum habis tertawanya, terdengar suara Bret, ujung tombak Sip Hong menyusup jubah. Si
paderi buru-buru putar jubahnya untuk menyingkirkan ancaman tombak dan secepat itu pula
sudah
membarengi dengan sebuah pukulan.
Dalam gebrak pertama itu si paderi menderita kerugian besar karena jubahnya berlubang. Tapi
Sip Hongpun terkejut juga. Dengan jubah yang berlubang masih si paderi dapat mementalkan
tombak.
Pada saat si paderi lontarkan pukulan, kedudukan Sip Hong berada di bawah angin (angin
meniup ke arahnya). Tiba-tiba ia mencium bau angin amis. Sip Hong segera tahu kalau ia sedang
diancam dengan tok-ciang (pukulan beracun). Buru-buru ia gentakkan kudanya untuk berkisar ke
posisi 'atas angin' (angin meniup ke arah lawan). Kuda tunggangannya cek-liong-cun, seekor
kuda
yang terlatih baik, Sip Hong dapat mengendalikan menurut sekehendak hatinya. Begitu berkisar
pada posisi 'atas angin', ia lantas kirim tiga buah tusukan pedang.
Karena berganti posisi, si paderi agak sulit. Kalau lepaskan tok-ciang dikuatirkan racunnya
akan membalik mengenai dirinya sendiri. Memang bertempur di atas kuda, tidak seperti di atas
tanah datar. Di atas tanah gerakan orang lebih bebas dan cekat. Tetapi tidak demikian di atas
kuda.
Sekali kuda meloncat, jaraknya sudah terpisah beberapa tombak. Jika tak dapat menduduki posisi
'atas angin' percuma saja hendak melepaskan senjata beracun.
Dalam beberapa kejap saja mereka sudah bertempur belasan jurus. Sip Hong agak jeri terhadap
pukulan beracun musuh. Setiap tusukan pedangnya luput atau ditangkis, cepat-cepat ia lantas
congklangkan kudanya menyingkir. Karena itu, pertandingan tetap berjalan seri.
Tetapi ketika si paderi sempat melirik ke partai lain, dilihatnya kedua sutenya didesak sampai
'montang-manting' oleh Bik-hu. Diam-diam paderi itu gelisah, pikirnya: Jika aku tak lekas
menangkap Sip Hong, kalau budak itu menang lebih dulu, tentu akan membantu Sip Hong. Aku
pasti kalah.
Tiba-tiba ia teringat bahwa untuk menjatuhkan orang, harus lebih dulu merubuhkan kudanya.
Setelah mengambil ketetapan ia segera menimpukkan jarum bwe-hoa-ciam. Sebenarnya jarum
itu
lembut sekali, apalagi menempuh angin, tentu sukar sekali melayangnya. Batang jarum
berlubang
di tengahnya, terisi bubuk beracun. Benar karena kegesitan kuda cek-liong-cun, Sip Hong dan
kudanya itu tak terkena bwe-hoa-ciam. Tetapi pupur beracun dalam jarum itu bertebaran
kemanamana.
Karena tak biasa, begitu mencium tebaran pupur, kuda itu tiba-tiba meringkik keras dan
binal. Sip Hong dilemparkan ke udara. Melihat itu si paderi putar kudanya terus menerjang dan
lemparkan jubahnya untuk menangkap lawan hidup-hidup.
Tepat pada saat itu, ialah ketika si paderi taburkan bwe-hoa-ciam tadi, kedua sute paderi itu
telah menderita kekalahan. Dalam bertempur tadi, Bik-hu selalu pasang mata dan telinga. Demi
melihat Sip Hong dalam bahaya ia segera lancarkan serangan dahsyat. Cret, ia menusuk seorang
lawannya jauh terjungkal. Paderi yang satunya hendak melarikan diri tapi kalah cepat dengan
kuda

Bik-hu. Sekali ulurkan tangan, Bik-hu dapat mencengkeram punggung si paderi itu dan
menawannya hidup-hidup.
Pada saat Bik-hu menawan lawannya, saat itu si paderi jubah merah tengah lemparkan jubahnya
untuk menangkap Sip Hong yang masih berada di tengah udara. Secepat kilat Bik-hu
menggembor
keras dan lemparkan tawanannya ke arah jubah si paderi. Memang si paderi berhasil menjaring
orang, tapi bukan Sip Hong melainkan sutenya sendiri. Karena berisi benda berat, jubah si paderi
itupun jatuh ke tanah. Dan sebelum si paderi tersadar dari kejutnya, Bik-hu pun sudah menusuk.
Jilid 13
Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu. Tapi karena tak berhasil menangkap
Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya. Dengan gerak
tengli-
ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu. Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi
dengan tusukan yang kedua dan ketiga. Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran,
begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda. Sekalipun andaikata paderi
itu
masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang.
Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali. Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia
dapat lolos dari lubang jarum. Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot
turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya. Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena
termakan pedang di bagian pantat. Kuda paderi itu juga kuda ternama. Begitu terluka, binatang
itu
lantas mencongklang sekuat-kuatnya. Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu
kepunyaan Bik-hu.
Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali. Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip
Hong pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah. Karena memikirkan keselamatan jenderal itu,
Bikhu
lepaskan si paderi. Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong.
Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana
dengan kuda tungganganku itu, kata Sip Hong. Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari
mendatangi. Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik
beberapa kali. Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa. Pun karena
mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang. Kiranya kuda itu hanya membaui racun
saja tetapi tak sampai terkena.
Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari, kata
Bik-hu. Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi. Ternyata yang
kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa. Karena tak tega melihati korbannya, Bik-
hu
segera menguburnya. Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka,
ternyata hanya terluka ringan.
Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus
terang, kalau tidak tentu kutabas, bentak Sip Hong seraya mencabut pedang.
Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa
aku melakukan juga, sahut si paderi.
Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu? tanya Sip Hong pula.
Si paderi mengiakan: Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki.
Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu.
Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari?
Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan.
Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan
telah berpapasan dengan Shin Ci-koh. Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang
ialah si paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas
orang
semua telah binasa di tangan Shin Ci-koh.
Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin. Ia kabulkan permintaan
muridnya pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay
dari
dua angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin
CiKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
koh. Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu
datang
ke Yu-ciu. Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu.
Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri.
Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius. Tujuannya tidak melainkan menuntut balas
pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi. Kelak apabila
Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan
mendapat
prioritas untuk merajai dunia persilatan. Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi
untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan. Untuk keperluan itu,
Su
Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa.
Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya. Tapi
untuk sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat
dipukul pecah.
Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu? tiba-tiba Bik-hu
bertanya. Si paderi menyatakan tidak tahu. Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan
sekali
kepada adik perempuan Su Tiau-gi. Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu. Yang
diperhatikan Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat. Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya
bukan Se-kiat, tetapi In-nio.
Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya
panglima itu mengeluarkan sebuah perintah. Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa
yang dimaksud anak muda itu.
Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak
balas mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala
apaapa,
maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu, kata Bik-hu.
Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu. Tapi karena jaraknya
dengan Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak. Nanti saja
apabila
sudah tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu.
Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat
menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan
musuh,
lebih baik, Bik-hu tetap mendesak.
Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk
menjadi tentara, pengalamannya kurang.
Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun
mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati.
Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu
boleh berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau
congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul.
Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang
tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga, kata Bik-hu.
Ai, mengapa begitu terburu-buru? kata Sip Hong.
Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang
kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li.
Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus
cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri, Sip Hong memberi pesanan.
Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang
dari pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang: Ia
berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam
kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa?
Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh
hanyalah untuk alasan saja. Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio. Sewaktu
mendengar keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali
Bikhu
sudah menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat. Memikir sampai di sini
hati Bik-hu rawan juga.

Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi: Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku
tetap akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah
meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku
tetap
akan menemuinya!
Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali. In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang
menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat. In-nio
berpambek seperti seorang anak lelaki. Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia
tak
kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu
supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan. In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang
sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya.
Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering.
Seorang diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan. Seluas berpuluh-
puluh
li, tak tampak barang seorang insan. Untung In-nio membekal ransum kering.
Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu. Rumah-rumah penduduk pun mulai
banyak. Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum. Pada masa seperti saat
itu,
iklim di padang rumput berubah-rubah. Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas
sekali. In-nio buru-buru melanjutkan perjalanan. Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk
bertanya
pada penduduk di situ. Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai
gandum untuk meminta minum.
Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras. Terutama di
daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa.
Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di
situ jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik.
Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki
menjenguk seorang bibinya. Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki. Ada juga sejumlah
kecil suku Han. Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han.
Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya: Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke
sana karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami
menerima Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah.
Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu
tidak secepat itu datangnya, bukan? kata In-nio.
Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat
beberapa pasukan yang lewat di situ.
Apakah bendera mereka? tanya In-nio.
Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada
wanitanya juga.
In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan
yang dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di
situ.
Entah pasukan manakah mereka itu? kata In-nio.
Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu
lebih menderita lagi, kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu
meneranginya lebih lanjut: Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di
sini,
tanaman gandum kami diambil separuh!
Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah
sama menuai gandumnya. Ia hanya dapat menghela napas. Memang anak tentara yang dipimpin
oleh lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya. Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan
para ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang. Petani-petani serempak berteriak gaduh:
Celaka, kawanan perampok itu datang lagi.
Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang
datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja, kata perempuan tani tadi. Tetapi
Innio
menolak. Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka. Waktu si perempuan tani hendak

menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana. Perempuan tani itu
banting-banting kaki. Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa
perempuan itu lari.
Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang
rakyat? tegur In-nio.
Pemimpin mereka tertawa: Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya
besar. Lihat panah! - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya.
In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan
sepasang jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring:
Hai,
apakah itu bukan nona In-nio?
Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya
menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya: Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau
memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu?
Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan
kanan yang paling dipercaya Se-kiat. Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di
gunung Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi
bengcu. Se-kiat banyak mendapat bantuannya. Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal
juga dengan kakak beradik she Kay itu. Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat
dengan
In-nio. Ia masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan
hubungan mereka sekarang.
Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman. Ia sedang tertawa
menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan: Mengapa kau tanyakan aku?
Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat?
Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau
menerima perintahnya untuk membawa pasukan kemari? tanya In-nio.
Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau
gerakan itu berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu
sudah tentu bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-
majwan
Peh hou-ce, Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang.
Tapi mereka yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak
mau
datang.
In-nio terkesiap hatinya. Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan
bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan. Siapa tahu kini timbul
tanda-tanda keretakan di dunia loklim.
Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa:
Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada
para petani yang rusak ladang gandumnya itu.
Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang
menyelutuk: Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya
merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka
semua.
Habis mereka disuruh makan apa nanti? bantak In-nio.
Nona jelek itu kerutkan jidatnya: Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang
penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh
makan
apa?
Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum,
dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu-
ciu,
perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji
'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai
disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta, bantah In-
nio.
Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi
In-nio: Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada
kalanya

jika tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang
yang tak kenal adat-kebenaran.
Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu, sahut In-nio.
Thian-sian tertawa girang: Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil
sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai
kenyang.
Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio
bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian: Apakah ayahmu meluluskan
perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil
dengan lekas.
In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat.
Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima
kasihnya kepadamu! seru Thian-sian.
Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya: Mereka telah
bertekad hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara
kerajaan yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi
aku
hendak menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya.
Selanjutnya aku dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi.
Cici In, apa yang kau pikirkan? tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio
berdiam diri.
Aku tengah memikirkan suatu permainan, jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti
kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan.
Tetapi kau harus membantu aku dulu, kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan
kesediaanya.
Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh,
jangan sampai memberitahukan pada lain orang.
Kepada beng-cu?
Juga tidak perlu!
Thian-sian kerutkan alis: Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku.
Tahu apa? tanya In-nio.
Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya,
bukan? Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana
mereka nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang
selalu menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya.
Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa: Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku
hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini.
Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan. Demikianlah In-nio segera berganti
pakaian sebagai serdadu wanita.
Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh. Disebut poh (kota jaman kuno yang
berbentuk seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung. Kotanya
dibagi
menjadi dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam. Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di
kota
dalam. Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam
hati: Jika tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini.
Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah
seorang yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring: Sebentar lagi Tay
Yan
kongcu akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san.
In-nio berdebar hatinya: Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu?
Ah, jangan sampai diriku ketahuan.
Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera
membawa pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu. Tempat itu bekas ladang
gandum. Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara. Hanya ada dua
buah rumah tembok yang agak baik. Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati

pembantunya.
Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota? Kay Thian-sian kerukan dahinya.
Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini, jawab
opsir itu. Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu
kehormatan besar.
Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya: Apa-apaan dengan kongcu
(puteri), nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah
melarikan diri di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung,
huh, sungguh tak tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan
dia?
Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang
mewartakan bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya: Kurang
ajar
betul, di hadapanku ia masih main agung-agungan!
Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta. Mungkin Tiau-ing itu tak
mengerti bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya.
Dengan menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya.
Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang. Begitu turun dari keretanya,
serta merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya: Aduh,
menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar
kau
ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari!
Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang.
Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti
saudara saja? seru Tiau-ing.
Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya: Engkohku baik kepada bengcu itu, ada
hubungan apa dengan kau dan aku?
Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat
menggabungkannya menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang
lelaki.
Ha, cici Kay, pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu, kata Tiau-ing pula.
Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian. In-nio sudah
gelisah. Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak
buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka
lekas
beristirahat saja. Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian
banyak makanan.
Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik
untuk anak buah Kay Thian-sian.
Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan
angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak?
Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian: Harap cici jangan marah. Kesemuanya
ini bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara
harap cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak
untuk
cici.
Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu,
diterima tidak dengan kepercayaan penuh. Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara
Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari. Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas
pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya. Dan dengan
sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing. Dengan adanya
ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada. Itulah
sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota. Di samping itu
diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se-
kiat.
Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami? Kay Thian-sian
heran.
Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat.

Ha, mengapa bengcu tak tampak? tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing
mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama
dengan Se-kiat yang datang.
Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang? Thian-sian menegas.
Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru: Ai,
hari sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi.
Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu. Begitu
Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah,
tibatiba
seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu.
Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan
pasukan untuk menyambutnya lagi? Thian-sian muring-muring.
Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur,
baru ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah
lama
mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan, kata serdadu
wanita
itu.
Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba
timbullah gairahnya, serunya: Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah
ini,
sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak
menjumpainya.
Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan
membongkok tangan.
Hai, apakah kau ini raja daerah sini? tegur Thian-sian.
Lelaki itu berpaling dan berseru: Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun?
Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu
seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas.
Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku? sahut Thian-sian.
Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur.
He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara? kembali si nona
'bidadari' menegurnya.
Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras.
Kau menertawai apa? seru Thian-sian.
Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian? Tomulun balas bertanya.
Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik?
Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama
itu, hi, hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan?
Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas
menjiwirnya: Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama
itu,
bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja
pingsan melihatmu!
Tomulun mendorongnya, berkata: Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali.
Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji: Tenagamupun
hebat juga. - Ia tertawa riang, ujarnya pula: Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi
seorang jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih
berani menertawai aku?
Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya:
Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ...
Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau? tukas Thian-sian.
Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya: Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang
berkelahi. Ha, ada akal ...
Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan, tiba-tiba
ia tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi,
Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan

dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar. Nona Kay, kuberikan anting-anting ini
kepadamu, sukakah kau?
Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai
anting-anting. Anting-anting besar yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya
dipakai Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak
mempamerkan kekuatannya.
Sebaliknya Thian-sian telah salah paham. Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa
mengejek: Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang
besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga.
Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang.
Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan
itu.
Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya
menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang
tongkat
lagi. Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu
diberikan kepada si raja: Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan!
Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya: Ah, kau menang!
Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini?
Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya:Benar, kau bukannya goblok sekali.
- Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa.
Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek, kata Tomulun.
Thian-sian berjingkrak: Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa?
Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya, sahut Tomulun.
Hm, begitulah baru perkataan manusia, kata Thian-sian.
Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi: Yang jelek malah jujur, yang cantik
sebaliknya malah plin-plan!
Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya: Siapa yang buruk dan siapa yang cantik
itu?
Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah, sahut Tomulun.
Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur!
Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau
sungguh hendak menanyakan? seru Tomulun.
Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu!
Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan.
Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari? tanya Tomulun.
Siluman kecil siapa? Thian-sian melongo.
Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu!
Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!
Tomulun marah sekali, serunya: Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku
hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu!
Mengapa kau begitu membencinya? tanya Thian-sian.
Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang. Mengapa aku tak harus membencinya,
ia sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang!
Jadi isteri siapa?
Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu!
Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak: Sungguhkah itu?
Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu ....
Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan
membentaknya: Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang?
Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah
aku. Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan ....
Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya: Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah

bengcu kami, tahukah kau?
Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah: Peduli apa dengan
bengcu! Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu ....
Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak:
Seorang lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi
padamu. Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah. - Habis
berkata ia lantas berputar hendak berlalu.
Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan, Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat
melampaui kepala raja itu dan menghadangnya: Berhenti!
Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak
menantang aku berkelahi? seru Tomulun.
Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu
hendak mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau
apakah
bengcu pernah mengatakan padamu?
Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara
padamu? sahut Tomulun.
Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku
haturkan maaf padamu, bilanglah!
Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah
diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga, kata Tomulun.
Thian-sian terkejut, serunya: Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan?
Benar, besok lusa!
Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki: Jahanam, benar-benar
jahanam.....
Siapa yang kau maki itu? tegur Tomulun.
Aku bukan memaki kau, aku ..... tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah
padam. Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki
Sekiat,
tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu. Siapa
yang sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu. Waktu mendengar Se-kiat
telah menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian
lantas
menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat.
Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu! Tomulun tertawa
gelak-gelak.
Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ....,
kata Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu
bagaimana
harus memulaikannya.
Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian: Ya, memang benar. Hari akan
turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang! - Ia berputar diri lantas angkat kaki.
Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi.
Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thiansian
itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha
untuk merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya
habishabisan.
Di samping itu, ia ketarik juga dengan nama Thian-sian (bidadari). Menilik namanya
orangnya tentu cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan
Tiau-ing.
Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena
ditinggal kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya: Meski
Thian-sian itu jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing.
Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat. Makin
memikir, makin mendongkol. Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda
dan seorang penunjuk jalan orang Ki. Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk.
Thian-sian tertegun, serunya: Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi,
nantinya

akupun memang hendak mencari kau.
Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau
menyuruh begitu? tanya In-nio.
Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya!
Jangan, cici, jangan ....
Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat?
Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi
pengantin! kata In-nio.
Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat?
teriak Thian-sian.
In-nio tertawa rawan: Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari
kau. Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau.
Jika dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya,
supaya
mencintai kau?
Thian-sian menepuk pahanya berseru: Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita
jangan mau dipermainkan lelaki!
Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi: Namun cara
begitu saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang
kemari apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah?
Siapa bilang aku berpeluk tangan saja? sahut In-nio.
Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu
melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali, teriak si buruk.
In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin: Tidak, aku tak
mau berkelahi padanya!
Oh, apakah kau masih suka padanya? tanya Thian-sian.
Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya.
Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri: Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau
melabraknya, juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan?
Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin
dengan wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan
kewajiban seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan.
Cici, apakah kau suka membantu aku?
Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya? tanya
Thian-sian.
Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcumu,
sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti.
Lalu aku disuruh membantu apa?
Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya.
Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu
tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri.
Thian-sian menepuk tangan: Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam
menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan
besok
malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ....
Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan? bentak In-nio.
Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar, dengan tertawa cekikikan Thian-sian
lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.
Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni
berkemah di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik
kuda untuk mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat
sampai
tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.
Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota
sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio
masuk

ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa
bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan
kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun
gugup
tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya
melayang ke arah si paderi.
Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat! tiba-tiba terdengar lengking suara
wanita.
Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang
wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.
Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong,
menangkap puterinyapun lumayan juga! hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.
In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di
hotel tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke
perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia
masih berhasil melarikan diri.
Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya
dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah.
Innio
gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat
menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak
ditariknya.
Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu
pedang Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang
berlainan. Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.
Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut
dan memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya.
Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena
tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.
Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: Nona In, kemarin
aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat
mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan
sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas.
Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki
jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung
gunung
itu.
Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan
kakak-adik denganmu? damprat In-nio.
Tiau-ing tertawa mengejek: Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu'
namanya?
In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya
berkobar: Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang! - Ia mengisar dan
kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan
tibatiba
ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat.
Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: Apakah kata-kataku salah?
Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan
membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat
berbuat
kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?
In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai
tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap. Celaka, aku terkena jerat mereka!
diamdiam
ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.
Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan
darah meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya
digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih
keras,

adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.
Rebahlah! tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio
rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang
bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan
menjeritlah ia. Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: Kau
seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah.
Mengunjukkan
kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?
Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah
ranjang. Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela
dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi
tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk
melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing.
Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik
laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!
In-nio makin gusar: Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!
Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau
damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah
dan suka bercakap-cakap dengan aku?
Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku? sahut In-nio.
Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan.
Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang
adat?
Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh.
Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?
Tiau-ing tersenyum: Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi
wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah
kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan,
tapi
pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh,
semudah
orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat.
Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu.
Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau
memberitahukan hal itu kepadaku?
Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas
pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat? seru In-nio.
Akan mengundang bantuanmu, Tiau-ing tertawa.
Bagaimana caranya?
Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu.
Isinya?
Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan, kata Tiau-ing.
Aku kepingin mendengar pendapatmu, kata In-nio.
Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama
melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan
tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong,
baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk
memerangi
Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang
terbaik untuk menasihati ayahmu.
Emoh semuanya! In-nio menolak dengan tegas.
Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia
benar-benar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai
seorang puteri tunggal kau ini! kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.
Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu! teriak
Innio.
Wajah Tiau-ing mengerut marah: Ha, kiranya kau yang tak mau menulis! - Tiba-tiba ia

tertawa mengikik: Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu
memerlukan
dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu.
Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan? In-nio
menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat.
Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada
di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing.
Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip
Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?
Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu
atau tidak?
Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak
ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!
Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia
masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: Kedatanganmu
kemari,
apa bukan karena Se-kiat?
Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri, tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan
bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak
merebut suami.
Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: Kau salah kira. Aku
bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-
kiat,
janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!
Tutup mulutmu! bentak In-nio.
Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap
kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang
wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?
Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu!
Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu
apa yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau
memberi kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja
apakah ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah
aku yang merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku!
Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi.
Tertawalah Tiau-ing: Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin
bertemu
sekarang atau tidak?
Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau
menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar
kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya. - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat
pada saat itu Se-kiat pun masuk.
Apa kau baru bangun? Mengapa kelihatan begitu girang? tegur Se-kiat.
Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau, kata Tiau-ing.
Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: Kerajaan telah mengirim seorang jenderal
besar membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk
menyerang
kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?
Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi,
takut apa? kata Se-kiat.
Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi? Jangan
kelewat meremehkan kekuatan lawan!
Apa Cin Siang? Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan
kotaraja?
Coba tebak lagi! seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja.
Tiau-ing tertawa: Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja
bakal menjadi mertuamu?

Oh, Sip Hong?
Tiau-ing mengiakan: Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan?
Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh.
Apanya yang kau girangkan?
Tiau-ing mengikik, ujarnya: Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih? Padahal kau
merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh,
puterinya
dahulu adalah kawan baikmu!
Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan? mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati
tak urung berdebar juga.
Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum:
Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu,
puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan
kawan
baikmu itu?
Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: Masih ingat apa yang kukatakan
dahulu?
Yang mana?
Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak
boleh meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir?
Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku.
Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau
kira itu.
Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya?
Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya, sahut Se-kiat.
Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu.
Se-kiat merenung sejenak dan berkata: Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian
padanya. Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi
apabila aku benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai
sekarang.
Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu
silatpun lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya?
Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya
lagi. Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana
dapat
dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan?
Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu
menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak
mengenangkannya?
Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu
mengenangkannya? Se-kiat balas bertanya.
Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak
cemburu dan gembira kau hendak menjumpainya.
Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan
musuh. Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali!
Benarkah? Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali
kau hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga
tak
terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari.
Se-kiat berjingkrak kaget: Kau mau berolok-olok?
Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ? Ai, orang telah
menunggumu sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah
aku
menyingkir dari sini, dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu.
In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan
ranjang berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap
kelambu ....

Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat
kemudian baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: In-nio, bagaimana kau datang kemari?
Tanyakan pengantinmu! sahut In-nio dengan getas.
Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang
sehingga tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol
sekali. Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku,
pikirnya.
Diam-diam ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama
sekali sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing.
Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar
mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang
tidaktidak
di dalam kalbu Se-kiat.
Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot
mata In-nio. Katanya dengan pelahan: Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa
yang
hendak kau katakan kepadaku?
Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata
lembut yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan
katakata
yang dingin: Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi
tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku?
Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik
kasih kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: In-nio, aku bercita-
cita
tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka
mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku
menelantarkan dirimu.
Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada
Tiau-ing atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat.
Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal
kau, tutup mulutmu! dampratnya.
Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak
mau membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi
maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat
duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: Jika kau sampai berani menyentuh
tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan
cara
menggigit putus lidahku.
Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain
kejab, hatinya berontak: Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena
perasaanku terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing!
Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru
sekarang aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku?
In-nio tertawa dingin: Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi,
bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira? Kau salah alamat
hendak mencari bantuanku!
Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat
merah padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda
yang kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut
Tiong-goan, ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya:
Innio,
kau adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta
pengorbananmu lagi. Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan
mengambil
obat penawar. Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah
kau ulurkan bantuan padaku?
In-nio tertawa mengejek: Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to
(jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku?
Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: In-nio, jangan berkata begitulah!

Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak
juga
tak apa.
Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak
didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta
bantuan apa kepadaku, silahkan bilang!
Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara
kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi?
Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan
musuh? seru In-nio.
Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian
kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan
sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi.
Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku
mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu, tiba-tiba In-nio membuka
suara.
Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk, sudah tentu
Se-kiat girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan
sebutan hianmoay atau dinda yang bijak.
Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu
mendirikan kerajaan baru.
Ah, dikuatirkan ayahmu menolak, kata Se-kiat.
Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan
supaya ia berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup
bersama
dengan rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada
saatnya baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana
yang ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak
kerajaan memerangi kau!
Se-kiat berteriak girang: In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat
sekali dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-
siang
kau sudah memikirkan kepentinganmu.
Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya
dapat diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah!
Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat
tercengang, tanyanya: Apa yang kau tertawakan?
Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah
yang memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar
sepaham dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu! In-nio tertawa
hina.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi.
Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: Benar, benar, memang akulah yang
membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang
biarlah
kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak
diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya
yang berbeda?
Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau
sekali tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang
terbaik.
Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In-
nio
juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak
memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa.
Jangan
harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah
dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio.
Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia
telah mengatur segala-galanya.

Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah
lembut: Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan
ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama
berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu
sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi
Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan? Daripada hanya
menjadi
wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri? Apalagi dengan begitu hubungan
kita
tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat
terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu?
Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara
lagi? sahut In-nio.
Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In
yang baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan
kecintaan
kepada Se-kiat? Tiau-ing menyeletuk.
Tutup mulutmu! bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga.
Kemudian berkata pula: Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan!
Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi
mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan
manusia yang lupa budi lupa kecintaan.
Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin.
Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: Jangan kalian keliru menafsirkan.
Apa yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah
Budi
Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan.
Adalah
karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat,
kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau
mendengar nasihat sahabat-sahabatmu?
Dalam hal apa aku mata gelap? Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di
dunia. Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai
menteri kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya? Apalagi aku bukan menteri kerajaan
Tong, mengapa lebih tidak boleh? bantah Se-kiat.
Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi
bagaimana dengan tindakanmu sekarang? Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An
dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk
menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi
rakyat
masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat
mengambil
hati rakyat?
Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu.
Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu
itu?
Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san?
Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar, sahut In-nio.
Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah! Tiau-ing mengejek.
Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu, jawab In-nio.
Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa, Se-kiat menyeletuk.
Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu? bantah In-nio.
Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana? tanya Se-kiat.
Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi
tidak boleh mengandalkan orang luar! In-nio menyatakan dengan tegas.
Se-kiat tergelak-gelak, serunya: Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa
banyak rintangan yang akan kujumpai nanti.
Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin
mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak.
Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku

dan Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su
(penasihat
militer)!
In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai
seorang sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian
menyangka aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut.
Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu,
kata Se-kiat.
Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu?
Kalau begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil? tukas In-nio.
Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek.
Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan
pendapat Thiat-mo-lek itu.
In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: Karena
berlainan arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus
sampai di sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu,
mau
dibunuh mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan
lagi.
Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: Tiauing
kau berikan ia ....
Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: Lupakah kau
bahwa ia puterinya Sip Hong? Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan
membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan
Sip
Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan.
Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani
memastikan In-nio tak membantu ayahnya?
Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat
mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang
utusan
dari Im-ma-jwan datang menghadap.
Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan
lainnya Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga
digelari
sebagai Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan
jago
yang dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok-
limbeng-
cu juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah
mengirim Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala
penyamun berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo
Besar masih belum tiba.
Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia
segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu.
Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan
sikapnya seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas
pandang
Se-kiat mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran
mengapa Nyo Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu.
Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan? Apakah sebelum
masuk Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai? Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan,
menjabat tugas apa? demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan.
Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang
ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu
pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku
telah
diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu).
Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama
10-an hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat
mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran,

mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. Ah, mungkin karena anak muda ini
berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat
mempersalahkannya, pikirnya.
Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah
makan rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali!
Apakah itu tungganganmu?
Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: Kuda itu milik tentara
negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai.
Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya? Mengapa ia begitu perlu mengirim kau?
Berita penting apa yang hendak dilaporkan itu? tanya Se-kiat.
Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka
baru tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba
kemari. Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang
penting sekali.
Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil
panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan
lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik.
Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka
bersiap-siap.
Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi? kata Se-kiat.
Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan
atau tidak?
He, apa maksudmu? Soal apa yang tak harus dikatakan? tegur Se-kiat.
Karena mungkin bengcu tak senang.
Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan!
Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku?
Bukan, sahut si kerucuk, berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang
bernama Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan
matamata
kami nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh
menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan ....
Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana
hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar?
Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak
melangsungkan pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh
secara menggelap. Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui
jejak
nona itu, supaya ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena
dapat dijadikan tanggungan untuk menekan Sip Hong.
Se-kiat tertawa girang: Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat
dibayangkan Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan? Harap kalian jangan kuatir. Tetapi
akupun merasa berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi?
Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu? Apakah sudah dapat
menangkapnya? tanya pemuda itu.
Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah
dulu, kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya
ketololtololan
seperti Nyo Besar.
Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah
mengawasi sejenak, ia berkata: Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa
dengan aku?
Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan
mempunyai kehormatan besar berjumpa dengan kongcu? sahut si pemuda itu.
Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: Nanti dulu, kau mengaku belum
pernah melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu?

In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak
asing dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan
kepalang.
Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha
menyalurkan
pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar.
Pada
saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap
tembok dan tiba di pinggir pintu.
Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia
mendengar suara In-nio berseru: Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu!
Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan
ia bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu,
tetapi malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu),
terus
dilarikan.
Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak
memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia
lantas
melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia
menyelundup ke Tho-ko-poh.
Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam
jadi ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing
pun
tak berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik-
hu
supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat
kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya.
Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing
untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah
tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka.
Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu
tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman
wanita ini tentu kubunuh!
Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi.
Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki
pengamanmu berilah obat penawar padaku, seru In-nio.
Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu
gunakan akalan begitu? sahut Se-kiat.
Suci, kau terkena racun mereka? Bik-hu berseru kaget.
Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari
racunya, sahut In-nio.
Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping
Bik-hu. Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah
mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio.
Dan
tanpa terasa ia merasa cemburu juga.
In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari!
Kudoakan kalian berbahagia, katanya dengan rawan.
Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan
hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi, sahut In-nio, waktu ia sudah menerima
obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu
mengatakan belum bisa.
Bagaimana maksudmu? Se-kiat marah.
Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat
yang telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab.
Ia
sudah dapat berangkat.
Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang
macam apa? Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian? Dan apakah sekarang
kau
sudah dapat melepaskan Tiau-ing?

Masih belum, lagi-lagi Bik-hu menyahut.
In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal
pribadiku. Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku? Apakah kau masih belum
mempercayai
aku? Se-kiat marah-marah.
Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya
terpaksa kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu? kata In-nio.
Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak
percaya pada perempuan siluman ini!
In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan
orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil
mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan
kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang
kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya
Ciauya-
say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: Bo
toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut.
Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi
tetap kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa
In-nio suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing.
Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di
sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan
sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: Nona Su, harap kau unjukkan
muka
riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras.
Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu
juga. Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh
kecurigaan apa-apa.
Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat,
penjaga pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: Bengcu,
rupanya
hari ini kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda?
Dengan enggan Se-kiat menyahut: Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja
yang datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku.
Setelah kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk.
Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan
di belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah
li
di sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati.
Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami
akan pergi, seru In-nio.
In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran? tanya Sekiat.
Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi
mudah-mudahan kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan
bertemu di medan pertempuran, sahut In-nio.
Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa
seperti kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa
kagum juga terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan
seorang sahabat, barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu.
Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu
bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan
Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah
ia
tak keliru menetapkan pilihannya?
Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung
beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang
membuka
jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba

terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang
yang
terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak
ada
lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup
angin.
Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing.
Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita
yang menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari
kuda lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian
ampuhnya
itu.
Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu.
Sekonyongkonyong
Tiau-ing berteriak: Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku!
Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing.
Gong-gong-ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama
Coh
Ping-gwan hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang
wanita. Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh.
Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi
sebenarnya ia bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang
sentimentil sekali. Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam
hidupnya, satu-satunya pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah
muridnya Su Tiau-ing itu. Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan
sekali. Memang sebenarnya ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum
mendapat alasan.
Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu, serunya sembari kebutkan
hudtimnya.
Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata
kuda mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata
kebutan hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut
itu, meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar
bulu tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak
dapat
diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi.
Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan
gusarnya, Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang
hudtimnya
hingga lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan
pemuda itu terasa sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh.
Hal ini membuat Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan
mainkan ilmu pedang Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh
sinar
bunga yang mengarah tujuh jalan darah orang.
Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu,
patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke
muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti
orang
bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo-
lek.
Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu.
Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak
muda itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan
gunakan jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu,
kemudian berseru: Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian?
In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah
membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak
tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit
dapat menduganya juga.
Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan
pertanyaan Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: Biau Hui sin-
ni
adalah suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek

adalah suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe? Bukantah kita pernah bertemu di
lapangan Eng-hiong-tay-hwe?
Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia
lojin. Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan
Gonggong-
ji. Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut
Gong-gong-ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu
itu. Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera
mengenalinya.
Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji
tentu kurang senang, pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan.
Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa
mengejek: Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat
menggertak suhuku?
Bah, siapa yang hendak mengambil muka? Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak
membanggakan suhuku, teriak Bik-hu,
Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang
mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan
sifat
perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur.
Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi,
berpikir:
Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah,
asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran.
Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu
memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang
muda
ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri.
Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu
Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia
menaruh
perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri.
Ia
segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi.
Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia
tertawa ewah: Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia
adalah puteri Sip Hong!
Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: Benar, jangan sampai ia lepas. -- Dengan hati
berat, ia maju ke muka.
Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi
demi melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat
alasan
saja itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum
percaya pada kepandaianku? Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah
ini?
Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu
akan meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini
kuadakan kecualian.
Bik-hu berteriak marah: Apa Bu-ceng-kiam itu? Mengapa dibuat....., belum Bik-hu
menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya.
Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok
sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas.
Kena! tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru.
Bik-hu mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya
pelahan sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga
Bik-hu sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan
meminjam pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si
anak muda lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin
Cikoh
telah gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia

menggunakan tenaga tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit
seperti digigit nyamuk, sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah.
In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin
Ci-koh. In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay
ilmu pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci-
koh
tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil
melibat tangkai pedang In-nio.
Lepas! teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan
tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci-
koh
mengakhiri pertandingan itu. Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena
lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda
itu. Ia membatin: Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul
tunastunas
muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan
Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah
boleh dianggap lihay sekali mereka.
Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling
pada Tiau-ing dan menanyakan: Siapakah ini?
Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe? kata Se-kiat.
Tiau-ing tertawa: Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya
suhu tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap
begitu
mesra kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti.
Oh, kiranya dia bakal suamimu, seru Shin Ci-koh.
Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'.
Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu.
Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan
seluruh dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi, Shin
Cikoh
tertawa.
Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah
padam mukanya dan diam-diam menggerutu: Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di
hadapan
Se-kiat mengatakan begitu? Bukankah it berarti membuka borokku? Untung Se-kiat rupanya
masih belum mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali
dengan Gong-gong-ji? Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal
untuk menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk
Gonggong-
ji, tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau
gerakan kami.
Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khiksia
adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu
dan murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan
Khik-sia)?
Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu
Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang
berubah
hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang
'angkatan'
(sebutan).
Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah
tak dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu.
Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu! In-nio mengejeknya dengan
hina.
Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh
ia memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang
cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se-
kiat.
Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu.
Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan ....

Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat? Ah, aku terkejut setengah mati, seru
Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena
mengingat Thiat-mo-lek.
Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: Nona Sip, sayang, sayang sekali.
Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.'
Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bikhu.
Ia mendampratnya dengan sengit: Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap
aku! -- Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: Ing-ji, mengapa kau
semarah itu? Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah
bagaimana cara mereka menghinamu tadi?
Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: Mengapa ia menutuk jalan
darahmu?
Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu? sahut Tiau-ing.
Nona Sip mengapa berani datang kemari?
Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam
hendak menemui Se-kiat.
Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: Aneh, mengapa nona itu hendak menemui
Se-kiat? Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu?
Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir
kalau Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: Suhu, mengapa
kau
memikir begitu jauh? Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya.
Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh
begitu.
Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan
pihak kita, bantah Tiau-ing.
Kalau begitu tahan sajalah! kata Shin Ci-koh.
Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku
membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu ....
Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih? tanya
Shin Ci-koh.
Tiau-ing tertawa ewah: Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu
tergila-gila seorang diri!
Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi
dan berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau,
itu dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan
saja.
Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gonggong-
ji. Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu.
Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa
ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di
situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa
yang dikatakan suhunya itu.
Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing
sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu
tebal.
Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas
dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah.
Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba
melarikan diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut, kata Tiau-
ing.
Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai
dinding batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar
matahari dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata
rahasia,
maka matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu.

Hanya dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing.
Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali
ketika isi hatinya yang ia sendiri tak berani mengutarakan telah dibuka oleh Shin Ci-koh.
Kemudian diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa
lega.
Ia malu tapi girang juga.
Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat
itu. Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu.
Innio
menghela napas, ujarnya: Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu
hendak menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani
aku menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali.
Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak
menyesal. Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu
menolongmu.
Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya.
Sedingindingin
hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin
merapat dan saling berjabat tangan: Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita
berada
di ujung rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu.
Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun
akan mati dengan meram, kata Bik-hu.
In-nio merah mukanya dan berbisik: Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu.
Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat, tiba-tiba Bik-hu berseru.
In-nio terkesiap: Apa yang menyiksa .... itu?
Ah, apakah aku harus mengatakan?
Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang,
kata In-nio dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh
dalam batin: Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau
membuatnya kecewa. Ai, bagaimana ini?
Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika
kutahu hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi
orangnya cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku
itu, kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk
keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat
sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi!
Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat.
Dia pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia
tak
sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal
menjadi pasanganmu.
kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Thoko-
poh mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja,
kuatir kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku
yang
bukan-bukan ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya.
Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama.
Aku terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani
dan pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa
tadinya kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin!
In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya
dan gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan
kata-kata 'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling
mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa
tersadar,
In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: Su-te, kau terlalu menyanjung aku.
Sebenarnya
tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat
dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ....

Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan.
Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau
memandang rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang.
Sebenarnya, kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau
lebih menang dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat
menyamai kau, kata In-nio.
Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu
tak berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi
hati
masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi.
Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan
pengalaman di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu
ada orang mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan
tenaganya, Tiau-ing tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran
makanan, diperkirakan sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu
mereka
tengah bercakap-cakap. Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang.
Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: Itu bunyi musik
menyambut temanten!
Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari
ini, kata In-nio.
Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat
mengecap kebahagiaan sampai berapa lama?
Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga, kata In-nio.
Suci, mengapa ....
Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia
terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya.
Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini?
Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang
diucapkan Bik-hu tadi.
Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres! tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan
memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata
beradu.
Di luar seperti terjadi pertempuran.
Apakah tentara negeri menerjang kemari? tanya Bik-hu.
Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi
karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa
kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri, kata In-nio.
Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat
itu terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan
untuk
meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu
menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah
mencari
bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang.
Setelah
itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio.
Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa, kata In-nio.
Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu
digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat
sekali
naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam
saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah
yang
mengangkatnya.
Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut
sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal
ia
dapat mencapai ruangan atas.
Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu,
serunya. Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah

dua meter dari lantai ruang atas.
Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah
atas terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih
baik
kait saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk
saja.
Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai
satu tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait
terus ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si
penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu
air.
Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik-
hu
sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: Celaka, bangsat itu hendak menerobos
keluar!
Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah
terlambat. Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat
keluar. Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu
air.
Tapi Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis
sserangan
orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu.
In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata
thong-jin menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh
jungkir
balik. Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang
berkepandaian rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. In-nio
terhuyung
mundur, brat, bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu
adalah dua orang wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari
ajaran Tiau-ing. Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung
minum air, hampir saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat
Innio
timbul lagi. Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam
beberapa gebrak saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya.
Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun
mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun
dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun
tak
ingat diri lagi.
Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat? Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara
air itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak
menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua
orangorangnya
yang berkepandaian tinggi dibawa keluar.
Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi
dicegah In-nio. Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya
basah kuyub, maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan
mengancam,
dapatlah Bik-hu paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas.
Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan
ketika mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ
terdapat sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud-
tim
dan pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat
merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah
menjerit-jerit.
Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang
dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam
partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian.
Dan
Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang
yang
nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati.
Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan
Bik-hu itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak
LengKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ciu-pay, celakalah ia.
Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio
dan Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka.
Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga.
In-nio dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. Tak usah hiraukan mereka, kita jalan
terus.
Di sebelah muka lebih ramai lagi, kata In-nio.
Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih
baik daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita
yang menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja.
Karena kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua
anak muda itu.
Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang
bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi
komando anak buahnya untuk menyerang.
Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin
baru.
Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Sekiat
lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat
menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah
dengan
putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan
itu
ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong).
Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap
menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita,
disamping
berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang
terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan
memegang kekuasaan tentara engkohnya itu.
Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu
berubah menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih
unggul. Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su
Tiau-ing untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat
mengurung
Tiau-gi dan tentaranya.
Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu
bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak
dapat mencegah perbuatan mereka.
Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang
memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat
lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba
kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun
menerjang ke medan pertempuran.
Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang
tombak yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat
marah dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru
memperingatkan
Se-kiat supaya jangan membunuh Tomulun.
Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan,
ayahnyapun tentu menurut perintahku, sahut Se-kiat.
Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: Pangeran Tomulun, ini
adalah urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur.
Mengapa kau hendak membantu engkohku?
Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku? Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka
menikah dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau!
damprat Tomulun.
Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: Tutup

mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja!
Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah? Lihat serangan tombakku! teriak
Tomulun.
Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda
tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh.
Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur! seru Tomulun sembari loncat
turun dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan
bertempur tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan
Tomulun yang dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia
lingkarkan pedangnya menyerang ke tengah.
Bagus! seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal
kepandaian silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa
gelakgelak
Se-kiat rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke
muka. Jika tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah
menyerah. Tapi tidak demikian dengan Tomulun.
Aku tak sudi lepaskan senjataku! teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan
tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan
termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak
lagi:
Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu?!
Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala
menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu,
memang
Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya
terpancang.
Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh,
dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat
kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari
tadi
hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya
menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena
pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti
permainan dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja
itu
terbahak-bahak.
Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya
juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup
putera
raja itu.
Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari
Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona
buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang.
Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: Cici Kay, kebetulan sekali kau
datang!
Kay Thian-sian berludah dan berseru: Siapakah cici-mu itu? Kau pengapakan ciciku In-nio
itu? Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar
rambut cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu.
Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran.
Mendengar kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan
membentaknya: Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo? Apa kau hendak berkhianat?
Apakah di matamu tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini?
Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat
membuang cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat? sahut Thian-sian.
Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat.
Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: Tomulun
jangan
takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku?

Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh.
Budak tak tahu malu, lihat golokku! dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya.
Jilid 14
Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi
permaisuri? Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya!
Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini, sahut Thian-hau.
Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya,
bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan.
Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku
tentu membantumu! teriak Tomulun.
Kau mau memberesi aku? Ah, tak mudah, kawan! Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu
ia sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya,
Se-kiat lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot
magnit, Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda-
kuda
kakinya. Kau gunakan ilmu apa itu? Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu!
Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka, sahut Se-kiat.
Dengan siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap
tak
mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat.
Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun
tersengal-sengal hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong
muncul seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio
dan
Bik-hu. Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah
Tiauing,
maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan
saja.
Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari
serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun.
Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat
sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat.
Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat
gunakan jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari
tombak.
Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau
mundur. In-nio segera membentaknya: Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa
kau
tak membantunya.
Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi! seru anak
raja itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana
letak keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap
pantang
menyerah.
Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: In-nio, apakah kita tak dapat
menghindari pertempuran?
Terserah padamu. Pui sute, mari kita pergi, In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu
menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu,
iapun akan pergi tanpak banyak rewel.
Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong! teriak Tiau-ing.
Timbul pikiran Se-kiat: Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari
dan aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu
kesulitan makin besar.
Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi.
Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian,
tetapi tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang

diberikan oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio
dan Bik-hu. Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat
menusuk In-nio, tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu.
Tring,
Bik-hu berusaha menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat.
Dan begitu Se-kiat menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar
tulang pundak anak muda itu.
In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang
indah: giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa
lepaskan Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu
melihat In-nio bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: Huh, karena
kau melindungi budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan.
Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka
tersisih, ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona.
Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia
gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu
permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang.
Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan.
Terpaksa ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke
ujung
pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang
kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san.
Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy (sempoyongan), ia
hendak menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio
dan Bik-hu saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi
kebencian.
Ia kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup.
Maka permainan pedangnyapun makin gencar.
Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka
dapat juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain
dengan serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari
sebelah muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari
samping. Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap
mereka.
Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu?
Mengapa kau begini buru-buru pergi? Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan!
Wut, ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat
daripada kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai
daya guna istimewa untuk menangkap orang.
Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau
menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat
tentu
akan terjaring. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit
keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang
ke
muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh.
Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua
kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin
Cikoh.
Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan
celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih
baik
itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio.
Sute, lekas naik kuda! teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Sekiat,
In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke
samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda.
Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda
dan lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke
muka memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi
meski kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat.

Dalam waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak.
Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu
hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya
tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu.
Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian
kendalinya.
Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka! Bik-hu gusar
sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik-
hu
sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan
cepatcepat
sapukan tombaknya.
Turun! bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong
ke muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai
sekali
naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika
tubuhnya
menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke
atas,
ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu.
Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia
bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan
ilmu
gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau-
ing
masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu.
Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang
menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia
lengkungkan tubuh untuk menghindar.
Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada
saatnya dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing
untuk
dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat
menggondol pergi kuda Tiau-ing.
Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: Jika kedua orang itu tak
ditawan, aku belum puas! ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar.
Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor:
Raja Yan-ong sudah menerobos keluar lembah!
Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay
Thian-sian mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia
kepadanya untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan.
Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap
engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku! Se-kiat terkejut.
Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan
Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika
dibandingkan
dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In-
nio
dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika
Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar.
Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti
dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya.
Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian
menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya:
Walaupun
anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting, pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit
melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia
congklangkan kudanya ke tempat In-nio.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Datangnya dari gunung di sebelah
belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran
tak
dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar.
Se-kiat kerutkan dahi. Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh. Dan sebagai seorang ahli lwekang,
cepat ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat.
Memang

Se-kiat sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan
Cengbing-
cu) mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian
juga. Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak
mengganggu usik pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta
bantuan muridnya (Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak
mendengar
tanda suitan itu.
Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan.
Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai
kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing? Apalagi Shin Ci-koh itu pernah
membantu
padaku, pikir Se-kiat.
Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh
tinggalkan tempat ini. Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau.
Tetapi jika kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah,
sudahlah, sudah. Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh)
mati
atau hidup, aku tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang
Tiauing,
karena ia sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku? pada lain saat ia
bantah sendiri pikirannya tadi.
Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. In-nio, percuma
kau melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti
menyusahkan kau, teriaknya.
Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek:
Bo Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah!
Se-kiat menghela napas: In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh!
Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang
dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun
dan
kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru
menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung
In-nio itu menjadi kocar-kacir.
Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau! teriak Se-kiat.
Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau! Tomulun balas berteriak
dan malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan).
Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung.
Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga.
Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang
indah-indah tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya
yang
besar. Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah
mengalahkannya.
Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan
lagi padanya! teriak Kay Thian-sian.
Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat
Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa
Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: Terima kasih, cici Kay.
Sampai berjumpa lagi lain hari. -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu.
Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat
Innio
menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan
kait) menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai.
Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar
kecuali Kay Thian-hau seorang.
Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu
sudah terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah
payah ia dapat meloloskan diri.
Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip? Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia

mensia-siakan nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona
Sip, jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu? teriak Thian-sian. Pasukan
wanitanya, walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa
golok bian-to yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian.
Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu
berlindung dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh
dan adik kembali bertempur.
Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu
jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya
lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun Thian-
sian.
Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan
menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian
menjadi
tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan.
Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara
genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan
pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin
pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat
yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun)
dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian
untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ.
Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan
setempat. Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat
yang didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya
tiada punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan
berebutan melarikan diri.
Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka
jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya.
Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab,
pasukan
raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari
dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar.
Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah. Ia sendiri yang
memegang pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau-
gi
menjadi pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun
mereka terdiri dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam
peperangan. Di bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng
pertahanan yang kokoh juga.
Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara
suku Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara
mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya
saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan
dari
Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka
sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan),
karena
ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang.
Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera
memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi.
In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi
dalam medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu.
Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya.
Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan, pikir In-nio.
Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota. In-nio cepat keprak
kudanya untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada

pasukan wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia
tak mau bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di
pegunungan. Berkat kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat
jauh di belakang.
Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan,
menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan
pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri.
Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi
suara genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih
terasa sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu.
In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa
kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang
tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu
seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran
bahagia juga.
Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya? Dan setelah lolos, kapankah kita dapat
berjumpa lagi? In-nio bertanya-tanya dalam hati. Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan
suka duka, sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya,
tahulah In-nio kuda itu tentu bukan kuda sembarangan.
Apakah Pui sute? In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang
mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik-
hu
melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah.
Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut.
Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh!
Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan,
Shin Ci-koh sudah jatuh dari kudanya.
Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir
menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan
lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas
orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay.
Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan
serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda
Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah
ia
dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya
dengan
In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio.
Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut
sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak
kuat.
Ia jatuh ngelupruk di tanah.
Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina
Ceng-bing-cu! wanita itu deliki mata dan menghela napas.
In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. Mengapa kau
tak bunuh aku? teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal.
Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban
menolong sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau
'menindih tangga' pada orang yang sudah jatuh, kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh.
Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat
ialah di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar.
Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan
sampai kau terlibat dengan urusanku, kata Shin Ci-koh.
Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe
membekal kim-jong-yok? tanya In-nio.
Apa kau tak membawa? Shin Ci-koh terkejut.

Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi
karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi
membawa obat itu.
Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ...., In-nio menjadi
gelisah.
Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing? tukas Shin Ci-koh.
Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin
Cikoh.
Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: Tetapi
hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya,
sudah
tentu ia harus menggeledah badanku.
Shin Ci-koh menghela napas: Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku
dalam bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku,
sungguh menyesal ....
In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya.
Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah? Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan
padamu. Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin-
thianhiat,
kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau
dapat mengurut? tanya Shin Ci-koh.
In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya
darah itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang
luka, harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu
tidak banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar
ilmu menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut.
In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah
harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke
ujung
jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali.
Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi, kata Shin Ci-koh.
Ternyata walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap
masih payah. Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan
lwekang. Berhasil atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil
mengejarnya, ia tentu selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka.
Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti
kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti
dapat meloloskan diri.
Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: Kita
bersama-sama pergi!
Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi, kata Shin Ci-koh.
Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh
sementara, In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara
tua
yang terletak di atas gunung.
Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja
Obat. Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal
di
atas gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke
daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus.
Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio
menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir
Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat
di
mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu
binatang
hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor
burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat
dimakan, ia lantas kembali ke biara.
Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya

mengepul asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: Nona Sip, aku
sudah
tidak berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini.
Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang
tak mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk
sementara waktu saja.
Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan? In-nio
bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh.
Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu
dapat digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang
diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk
bersila
lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela
napas pula: Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur
sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti
sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan
pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama
tujuh delapan hari itu? Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal
padamu
yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya
membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis!
Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi
hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya.
Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: Harap lo-cianpwe
tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat
mencari
aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama.
Shin Ci-koh menarik napas: Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini
baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip,
kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia!
Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya
dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi? In-nio
mengucapkan kata-kata merendah.
Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang
ratusan kali dari muridku itu, kata Shin Ci-koh.
Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh
tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio: Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas
sembunyikan dirimu.
Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental
ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak: Siapa yang berada
di
dalam?
Suaranya amat menusuk telinga. In-nio terkejut. Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu
adalah Ceng-ceng-ji.
Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan. Dalam putus asa, ia
terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi. Ia sudah mendengar berita tentang
persekutuan
Tiau-gi dengan Se-kiat. Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu-
songto.
Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung. Ia memang tak punya
hubungan dengan Se-kiat. Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu
sungkan menolaknya. Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah.
Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Cengceng-
ji melakukan perjalanan pada waktu malam. Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang
yang tentu akan melapor pada suhengnya. Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan
yang sepi-sepi. Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap
mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah. Tanpa disangka-sangka ia
berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh.
Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu. Kalau In-nio terperanjat adalah Shin

Ci-koh sudah berteriak: Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku
sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu!
Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh. Mengetahui
kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat
kaki
seribu. Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan.
Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing! In-nio tertawa geli
dan bertepuk tangan.
Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar.
Bibi, bagaimana keadaanmu? tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan
'bibi' kepada Shin Ci-koh.
Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata: Itu hanya dapat menggertaknya sementara
waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui
keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari!
Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa
tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak,
iapun
lantas menyembur darah.
In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya: Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata
kembali, akupun sanggup menghadapinya.
Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi. Ia sadar kalau bukan tandingan
Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri
dalam keadaan terluka.
Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat. Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda,
Cengceng-
ji curiga. Batinnya: Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal
dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa
sekarang tidak? Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah
kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya.
Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua
kerikil jatuh ke lantai. Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi. Namun karena masih kuatir, ia
timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan. Itulah cara orang persilatan bertanya jalan
untuk mencari tahu keadaan. Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan.
Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak. Jika
ShinCi-koh mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya: Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu.
Masuklah, Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu
datang.
Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau
keadaan sekelilingnya.
Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi
sebaliknya, In-nio malah menyahut: Baik, kita bersama-sama lari.
Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan
naik kuda. Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih
baik
daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji.
Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga.
Bukan In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal. In-nio cepat-cepat
hendak mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa
terbahakbahak.
Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh.
Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru: 'Kau adalah bakal
susoh-ku. Suheng tidak ada, kaupun serupa. Baiklah, karena memandang muka suhengku,
akupun
takmau membikin susah padamu. Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar. Akupun tak mau
meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku.
Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju
menghampiri Shin Ci-koh. Ia hendak balas menghinanya.

Sret. In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Cengceng-
ji. Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya: Oho, bukankah kau ini anak perempuan
Sip Hong? Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se-
kiat
sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di
pinggir sana!
Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju
merapat menutuk jalan darah si nona. Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang
perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing. Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih
Sekiat.
Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani
melukainya sungguh-sungguh. Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan
rubuh saja. Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi.
Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat
pelajaran ilmu pedang. In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji.
Cengceng-
ji memang kelewat memandang rendah. Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja
jari tangannya terpapas kutung. Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya.
Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku? Jika
sampai membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin!
bentaknya dengan marah.
Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan! Shin Ci-koh menyindirnya.
Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh: Baik, karena kau mengatakan
begitu, biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh
yang terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu!
In-nio tetap berlaku tenang sekali. Dihina lawan, ia tak marah. Ia tahu kepandaian Ceng-cengji
itu jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali. In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa
dan untuk itu ia harus bersikap tenang. Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai
Ceng-ceng-ji lolos.
Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos.
Tetapi ruangan biara itu sempit sekali. Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping
Innio,
In-nio cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu).
Ilmu pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni. Mengutamakan kelincahan dan
ketangkasan, paling cocok untuk kaum wanita. Karena memandang rendah lawan, sejak mulai
bertempur Ceng-ceng-ji hanya gunakan tangan kosong saja. Dan selangjutnya pun ia tak sempat
lagi mencabut pedang. Ia menjadi keripuhan juga. Tak lagi ia mampu lolos.
Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati. Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya,
itulah seperti orang mendaki langit sukarnya. Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh
enam serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu
menyentuhnya.
Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Cengceng-
ji sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak: Jika kau tak tahu selatan, jangan
salahkan aku berlaku ganas! -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung
menusuk dada, batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung.
Sekaligus tiga serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali.
Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan. Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji,
iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang
matimatian
utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata
mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun
gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang
tak
punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana
sedihnya,
ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia
menghamburkan air mata.
In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang
lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk: Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong,

gunakan jurus hian-niau-hoa-sat!
Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki. Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi
Hun-wi untuk menyerang. Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa.
Tetapi
ia sudah tak berdaya. Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve.
Keduanya bergerak dengan cepat. Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi,
posisinya tepat berada di sisi In-nio. In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata
hasilnya mengagumkan sekali. Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio
dapat
membabat lengan lawan. Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju
selangkah. Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke
dadanya. Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke
Lihong.
Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih. Ceng-ceng-ji kempiskan dada
dan terlolos dari lubang jarum. Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas.
Sayang, sayang! Shin Ci-koh menghela napas. Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada
jaman itu. Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni. Pernah
ia
menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang Wan-
kongkiam-
hwat Gong-gong-ji. Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan
Ceng-ceng-ji tadi. Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat. Walaupun sudah mendapat
petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji
saja
tapi tak dapat melukainya.
Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio. Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu
dipatahkan oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh.
Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya: Shin Ci-koh, kau keluarlah!
Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa
mengejek: Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan
Shin lo-cianpwe?
Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah. Justeru In-nio hendak membuat supaya
Cengceng-
ji marah. Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang. Jika Ceng-ceng-ji
tak cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk.
Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio. Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio
dengan hati-hati. Tiba-tiba ia mendapat siasat. Bahunya tampak digerakkan.
Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap! cepat Shin Ci-koh sudah lantas
meneriaki.
Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin. Shin Ci-koh hendak
memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat. Trang. Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan
pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona. Asal jari
Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk. Dan In-nio pasti
akan menjadi invalid selama-lamanya.
Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya,
sekonyongkonyong
Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki: Kurang ajar, siapa yang membokong
dari belakang itu?
In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang: Khik-sia, kau datang!
Cici In, aku juga datang! tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring.
Menyusul masuklah Yak-bwe.
Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio. Karena sudah seperti saudara
kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja. Kebetulan Thiat-mo-
lek
bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat. Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se-
kiat
kembali ke jalan yang benar. Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa
suratnya. Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya
untuk
mengirim surat itu. Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu-
ciu.
Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh
untuk menemui Se-kiat. Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu
karena nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di
YuKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ciu.
Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi. Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu.
Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat. Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi
karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu. Setelah Khik-
sia
berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke
gunung
Hok-gu-san. Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat
tindakan
Se-kiat.
Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di
tanah datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar. Hari itu mereka
tiba
hanya kurang 30-an li dari Tho-ko-poh. Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara
yang kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh. Khik-sia tahu peperangan sudah
dimulai,
maka ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan. Ketika
melalui biara rusak, didengarnya suara senjata beradu. Dan yang membuat mereka terkejut ialah
dua ekor kuda yang tertambat di muka biara. Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang
diterima
dari Cin Siang tempo hari. Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke
dalam
biara.
Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji). Tetapi lebih
unggul dari Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak
mengetahui akan kedatangan Khik-sia. Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu
kalau
ada pendatang baru. Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia. Ia hanya
menyangka
orang itu tentu lihay. Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras.
Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari
belakang. Demikian juga Ceng-ceng-ji. Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih
dulu ia berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga ....
Siapa yang membokongmu? Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh
nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng-
hiong
dan Ho-han? Khik-sia tertawa sinis.
Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat
pertempuran tadi. Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan
penasaran cici In, teriak Yak-bwe.
Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar: Khik-sia, kau benar-benar tak
memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani
menghina aku di depan umum?!
Shin Ci-koh menertawakan: Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa
dengan suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga!
Tutup mulutmu! bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji, beberapa kali kau hendak mengambil
jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng?
Kurang ajar! Ceng-ceng-ji balas membentak: Aku adalah suhengmu. Aku berhak
mengajarmu, masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh? Mengingat kau masih
muda kurang pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau
masih
tidak terima, silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang
kemari.
Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu.
Ia merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia. Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ.
Maka sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki.
Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak
mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja
sutemu tinggal di sini beberapa hari ini, Shin Ci-koh tertawa mengejek.
Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut
pedangnya dan membentaknya: Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai
murid perguruan kami? Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan
jahat, bertindak salah dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa-
suheng

supaya memengal kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng
bermurah hati tak tega membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih
berani gunakan nama toa-suheng untuk menggertak aku? Baik, karena memandang muka
toasuheng,
aku pun takkan mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah!
Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan. Murid yang melanggar peraturan perguruannya
diberi kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh
kepandaiannya hilang. Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu.
Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah. Ia memaki keras-keras: Kau mengandalkan
perlindungan sunio untuk jual kesombongan? Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan
perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum!
Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi
sekonyongkonyong
Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe. Licik benar Ceng-ceng-ji.
Tahu kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak
bersiaga ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia.
Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah
Yak-bwe. Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat,
sebenarnya ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe. Tapi di luar perhitungannya, ternyata
Shin
Ci-koh sejak tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja.
Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh
sudah mengetahui siasatnya. Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe: Nona Su, lekas
menyingkir!
Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji. Untung Yak-bwe sudah keburu
menyingkir hingga tak kena dicengkeram. Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain
cengkeraman
tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok. Tadi karena kurang pengalaman, ia kena
diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban.
Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long.
Di dalam gerak mengandung lain gerak. Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang
ombak laut yang mendampar bertubi-tubi. Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin
menderuderu.
Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya? diam-diam
Ceng-ceng-ji mengeluh dalam hati.
Keduanya bergerak secara cepat. Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang
kepandaian. Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan
tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang). Trang,
begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam
tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih. Maksudnya hendak
melarikan diri.
Hai, hendak lari kemana kau? teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Cengceng-
ji.
Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji
terasa sakit juga. Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi. Ia mengisar ke samping dan dengan
gerak tipuan, ia dapat menghindari serangan. Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang
pintu.
Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh
takut padamu? seru Ceng-ceng-ji.
Khik-sia tertawa dingin: Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara
seperguruan?
Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia memang hendak memancaing supaya
Khik-sia bicara. Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh
Khik-sia.
Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya. Kali ini mana ia dapat diingusi lagi? Walaupun
mulutnya bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji. Begitu lawan bergerak,

iapun lantas bergerak. Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah. Tetapi
yang digunakan Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan
darah. Dibanding dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat.
Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali.
Bagian yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah.
Dulu
hanya Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan. Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget.
Ia
tak menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa. Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang
tujuh, tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri. Kedua saudara
seperguruan
itu karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang
menang atau kalah. Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih
unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji. Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak
bertahan.
Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada
Shin Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan
baik. Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari
sergapan Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu.
Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa
malu sendiri, Shin Ci-koh menghela napas.
Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang
mendadak sontak berubah perangainya?
Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata
yang datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka
mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya,
mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali
thauto
itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak
buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang
merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa
tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari
Cengbing-
cu.
Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: Oh, kiranya
Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini
dapat
bertemu dengan dua angkatan dari partaimu!
Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to
tua itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati.
Baru pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua
tokoh
kuat.
Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh:
Ceng-bing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan
padamu, tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu!
Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat
karib ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang
permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu
kalau
Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak
membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih.
Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu.
Memang Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan
dimana Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya.
Bunuh dulu Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya.
Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud
untuk mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak
pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat
dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di
sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka.

Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li.
Terima kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu!
Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu
sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan
beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun.
Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan
keadaan di sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya,
tanpa menoleh Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan
kepalang.
Ia mengira tadi tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan
pedangnya menusuk Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat
sedemikian rupa, hingga dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang
bagaimanapun jua.
Tahan! pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin
berteriak sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay,
sehingga pedang Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua
itu, bahkan orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru
ia
dapat berdiri tegak.
Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat
juga menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan
tertara.
Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak
percaya hal itu.
Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat
mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: Bocah ini
paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay? Jika tadi ia menusuk tiga kali
berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya.
Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang, kedengaran Shin Ci-koh
mendengus dingin, muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian
kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang
yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas,
harap pada aku saja!
Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata
padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana?
Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang
sedang terluka? buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin
tadi, In-nio insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng,
pun
takkan menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya.
Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila. Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia
menyeletuk: Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik
sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya
hari
ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku!
Seru Ceng-bing-cu: Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan,
biarlah aku saja yang menindaknya!
Ngaco, mundur! bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak.
Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis.
Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu? Kau paling takut kalah di tanganku dan
ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau
sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku!
Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya
dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh.
Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau
sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran! seru Leng Ciu
siangjin
dingin.

Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri? Aku tak sudi menerima budimu! sahut
Shin Ci-koh.
Kembali Leng Ciu tertawa keras: Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi
padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat.
Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu.
Memang
kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari.
Mana
aku mempunyai tempo menunggumu? Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang,
kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita
keluarkan
kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali
bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil
itu? Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku? Begitu lukamu
sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan
apaapalagi!
Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: Besok malam aku
tentu menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa
nanti?
Leng Ciu siangjin tertawa keras: Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua
pesanmu, maaf aku tak dapat mengawani lebih lama. -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas
memimpin
Ceng-bing-cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka.
Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia: Leng
Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai
orang
yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan.
Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe
terkejut sekali, serunya: Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun? Ai, Shin
locianpwe,
kau kelewat percaya padanya!
Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh:
Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan
ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah
sembuh
sama sekali!
Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia? In-nio merasa cemas.
Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan
aku!
Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin
untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia:
Besok
kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya,
bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada
toasuhengmu.
Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan
Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku.
Khiksia,
tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut
nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir, kata Shin Ci-koh
pula.
Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan
seorang wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio)
menyampaikan surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang
Leng-ciu-pay. Apa yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia
supaya
menasihati Gong-gong-ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu
telah mengalami perubahan batin yang luar biasa besarnya.
Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: Nona Sip,
aku terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk
menolong aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati,
menumpas setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya.
Sesaktisaktinya
kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah

contoh. Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau.
Memang
aku pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari
pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri.
Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus
tak menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat
mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin.
lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak
suka dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam
hatiku
hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin
seumur
hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang
membantunya.
Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda
itu sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas,
ternyata penuh dengan budi kehalusan seorang wanita.
Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun
tak mau tinggal diam melihati saja, kata Khik-sia.
Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: Shin lo-cianpwe,
bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja?
Kupersembahkan
kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay
mampu
mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu?
Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan
Leng Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana
dapat
mengingkari? Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang
kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi? Melarikan diri, tak
usah
dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali-
kali
tak boleh memberi bantuan!
Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya:
Sungguh tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia
tetap
tak berubah pendiriannya.
Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf,
sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan
lama.
Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan
tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi
memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit.
Dilihatnya
rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam.
Akupun justeru sedang menunggu! kata In-nio.
Dia berada di mana? Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu? Dan bagaimana kau bisa berjumpa
dengan Shin lo-cianpwe? Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini?
demikian
Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan.
In-nio menghela napas: Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya,
bagaimana kalian berdua bisa datang kemari?
Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan
surat kepada Se-kiat.
Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah? tanya In-nio.
Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam
urusan mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu? Yak-bwe
balas bertanya.
Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka
terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai, In-nio menerangkan singkat.
Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng? Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah
menyambut Liang Hong? Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah
sepasang

suami isteri yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan.
Merahlah muka In-nio, dampratnya: Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau
menggoda semaunya.
Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan
serius nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar
ditemukan. Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang? Bagus,
bagus, ah, supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku
tak mau menanyakan urusanmu pribadi.
Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-molek
itu kepada Se-kiat, kata In-nio.
Lho, mengapa? Apakah aku boleh turut mendengarkan? Khik-sia menghampiri.
Justeru memang hendak kudengarkan padamu, sahut In-nio yang lalu memulai
keterangannya. Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul.
Benar memang aku sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan
Tiauing.
Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing? Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan
mendengus: Huh, herankah? Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu?
In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak
membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak
dapat
menahan kemarahannya lagi: Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu!
Eh, kau jadi menemuinya, tidak? tegur Yak-bwe.
Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang
penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak
aku
harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya, sahut Khik-sia.
In-nio mengangguk: Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya
mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu.
Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio. Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu
menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya
setitik
kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio
yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang
diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya.
Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi
di mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga,
katanya.
Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah
supaya
In-nio jangan melantur lebih jauh.
Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya:
Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe ....
Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam
pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu
lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku
sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia
berani
datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang,
akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari
kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia
tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap,
jika
hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat.
Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam
hari tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe
memerlukannya, kata Khik-sia.
Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun
membiarkan saja. Katanya: Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak
mengapa. Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu.

Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa:
Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai
nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat.
Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu? Khik-sia mendengus.
Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat
akan Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih
ada
'apa-apa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu,
meninggalkan banyak kesan padanya.
Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu
benar-benar sejoli yang paling tepat! pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang
ditimbulkan Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. Sekarang
kalau
bertemu aku tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja.
Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang
tanah. Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia
menghampiri dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su
Tiaugi)
tengah bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan
ginkangnya
yang lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak
mengetahui.
Salah seorang berkata: Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada
cukong, tentu kita mendapat hadiah besar.
kata yang seorang: Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari
dia? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap
orang.
Orang yang kesatu berkata pula: Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan
orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil
itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang,
ia
tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi
saja mungkin kau sekar mendapat.
Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang
berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. Mereka menyebut-
nyebut
'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan ....
Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak.
Yang dua bertanya: Toako, apa yang kau tertawakan?
Opsir ketiga itu menyahut: Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada
di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!
Kalau menurut pendapatmu, bagaimana? tanya kedua orang tadi.
Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti
'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun
menjadi
seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada
mereka?
Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita
jadikan isteri cecu (pemimping begal).
Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan
kita retak hanya karena siluman kecil itu, kata kedua orang kawannya.
Kata opsir tadi: Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya.
Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek.
Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah.
Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan
ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia
membacok kedua kawannya tadi. Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut
isteri
dengan aku, terpaksa aku bertindak!
Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba
sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: Siapa yang hendak kau ambil isteri
itu?

Wanita itukah?
Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita
kedengaran berteriak: Khik-sia, tolonglah aku!
Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang
pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang
perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu,
membuat Khik-sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok
Khik-sia.
Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat,
dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar.
Begitupun
dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya
terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga
hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali
gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.
Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu
kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga
keseimbangan
badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan
sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh
Khiksia.
Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to.
Indahnya bukan buatan.
Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu.
Bentaknya: Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!
Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia
pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala
si
opsir. Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang
rubuh ke tanah.
Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan
terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.
Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka? tegur Tiau-ing.
Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu .... Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga
pakaian
Khik-siapun kelumuran juga.
Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin
pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah
pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek)
dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.
Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan
mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga
tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu
dan
tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga
loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ,
setelah
pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.
Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing.
Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti
berunding
lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu
silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua
kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.
Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah,
tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.
Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari
sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah
membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!

Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi! Khik-sia
mendengus dingin.
Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: Khik-sia, aku merasa salah
kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat
kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu.
Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ....
Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan
kau di sini! bentak Khik-sia.
Tiau-ing menyeringai: Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu,
menurut putusanmu!
Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku
menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu,
baik
jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu,
kata Khik-sia.
Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat
pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong,
tapi
ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak
menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu
dilumuri obat.
Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat,
Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat
tampillah
kesatriannya: Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah
meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?
Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka
dan melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-
ing.
Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka
jalan darahnya. Ujarnya: Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta.
Kata Tiau-ing: Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk
mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi
jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti
apabila ada musuh datang?
Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga
nona itu. Pikirnya: Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian
mengantar
isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu
berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku.
Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak
berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah
Tomulun
dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.
Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat
sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah
Thoko-
poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok
dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan
peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan
mendampratnya: Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah,
sekarang sudah lari ikut lain lelaki.
Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya, kata seorang
lain.
Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: Ai, apa bocah lai itu bukannya
yang tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana
dituduh
menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!
Ada pula yang menyelutuk: Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri
dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat

bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini
namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'.
Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama
mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa
mereka
itu lebih menyakitkan telinga.
Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka
kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan
mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka
yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila
anak tentara hendak mengganggunya.
Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: Hai,
bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat
bentuk
pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat
seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal
selatan!
Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas
kudanya!
Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang
diri Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima
wanita berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang,
Khik-sia segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak
keburu menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka.
Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!
bentak Tomulun seraya putar tombaknya.
Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian
Khik-sia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap
seperti
yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun
bahwa
Khik-sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.
Thian-sian putar kudanya dan berseru: Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan
lepaskan dia!
Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: Jika tak menyerahkan
orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai
kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!
Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring,
tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah
Tomulun yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.
Tomulun mengejar, teriaknya: Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?
Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap
saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu, seru Thian-sian.
Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun
lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang
baik itu.
Tomulun kertek gigi dan membentak: Lihat tombak! - Ia kaburkan kudanya dan menombak
Khik-sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras.
Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung
tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun
menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia.
Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan
meminjam
tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa
tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan
sampai
jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh).
Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar.

Jatuhnya tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah,
kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari.
Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum
pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai
setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan
anak
panah. Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak
menyusup
ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda.
Tomulun menghela napas: Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah
menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa
untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi
tak usah dikejar.
Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat,
kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin
Siang.
Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu, kata Khik-sia.
Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya
kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya
berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu
bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia
dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan
memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.
Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di
belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya,
mukanya
merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah
pada
luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau
wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik-
sia
muak tapi kasihan juga.
Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji
menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati. Diam-diam Khik-sia
mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara
boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri
dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.
Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari? kata Tiau-ing
dengan suara masih tersengal-sengal.
Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh
Sip Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan
lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat
menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru-
buru
hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin
lambat jalannya.
Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka
adalah tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga
anak
buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga
laskar
rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya
terjadi
pertempuran.
Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk
berganti tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan
ekor kuda yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah
hari).
Khik-sia gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam
nanti.
Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.
Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan
Tiau-ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In

tentu gelisah memikirkan diriku, pikirnya.
Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu,
tentu akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara
padanya
(Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus
terang.
Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul.
Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan
cepat keprak kudanya.
Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat? teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-
imjip-
bi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo
toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.
Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus
ia kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat
selesainya. Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan
diri
dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar.
Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo
Se-kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan
Tiau-ing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat
pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap.
Khik-sia tercengang. Pikirnya: Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang
ajar, apakah dia curiga padaku?
Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari
kepada Se-kiat.
Ing-moay, ini, ini, bagaimana? tanya Se-kiat dengan getar.
Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: Dia, dia, dia menghina aku!
Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat
mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari.
Kejutnya
bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.
Nona Su, aku, kau kata apa? tergopoh-gopoh ia menegur.
Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah
ia dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari
Khiksia.
Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya.
Ia anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika
bekasbekas
cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan'
api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur
terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan
Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak
diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan
dan mengadu pada suaminya.
Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan
mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan
kemarahan
dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka
di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi.
Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas
mencabut pedang. Bentaknya: Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku! - Sang
kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia.
Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan
menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga.
Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian
keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan
terus
menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya.
Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak

begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi
pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu.
Setelah menghindar, berserulah ia: Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di
tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!
Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: Untung ia belum mati dan masih dapat bicara
membuka kebohonganmu!
Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa
orang. Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya
mencabut pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat
Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja,
walaupun gin-kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga.
Marahlah Khik-sia: Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan
keteranganku!
Se-kiat tertawa mengejek: Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu?
Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: Bo Se-kiat,
kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau
kemari? Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?
Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: Bangsat, jangan ngoceh tak
keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!
Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi
justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan
Khiksia
yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih
belum dapat melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah
berbalik
mendakwa Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-
ing,
untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.
Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia.
Serunya: Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara
lagi!
Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu
kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!
Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang
tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam
pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat
bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru)
dan
surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.
Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak
memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau
bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu! Se-kiat tertawa dingin.
Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: Se-kiat, kau tahu malu atau
tidak? Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!
Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu!
Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat
membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.
Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada
Khik-sia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-
kiat
pun gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.
Se-kiat terkejut, pikirnya: Kepandaiannya maju pesat sekali. - Dahulu ketika diadakan
pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah
bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa
pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran
kali
ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang
pusaka.
Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah

belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia.
Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia.
Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: Harap bengcu jangan umbar
kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan
Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber.
Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu.
Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik.
Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan.
Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak
mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang
merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang-
orang
itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing
tadi,
Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet
Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu
seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-
lek)
yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.
Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya: Se-kiat yang salah! Perempuan
siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh
aku
saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu.
Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya
sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul.
Sudah tentu Se-kiat marah sekali.
Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari
Hu-song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak
boleh keluar kemah tanpa ijin, Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia
sudah
merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro
Khik-sia itu.
Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi
perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap
membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat
itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).
Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.
Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang
Loanbi-
hong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah
berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia
yang
tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa
melarikan diri.
Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika
ko-chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar.
Yang
bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan
kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang
tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.
Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam
beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat
tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan.
Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam
marahlah
Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai
keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap
belum ada yang kalah atau menang.
Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya:
Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan
begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?

Pikirnya lebih lanjut: Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi
dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun
mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat
lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa
aku melibatkan diri dalam pertempuran.
Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia
tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui.
Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main
golok.
Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali
gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai
dua
langkah.
Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya,
melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis
mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-
cu
tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru
penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan
lebih
lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu
mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada
syaratnya
ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan
lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.
Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang
yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah
dengan
Se-kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil
putusan untuk mencobanya juga.
Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun
membahayakan juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang
pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam
Khiksia
pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan
itu, tergetarlah hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua
langkah.
Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan
padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya,
belum tentu Khik-sia dapat menang.
Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran
pedang Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah
menghadangnya: Bangsat kecil, hendak lari kemana kau? - Secepat kilat pedang merekapun
sudah lantas menusuk.
Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan
dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan
menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka
saja.
Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar.
Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah
seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam
jurus
Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong
diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang
yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk
lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi
pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.
Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih
ada berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua? Khik-sia tertawa mengejek.
Se-kiat balas mengejek tertawa: Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian
padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka

hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita
bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan.
Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling
silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: Harap Toan
siauhiap
suka tinggal!
Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya
kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda.
Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan
dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat! pikirnya.
Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain,
serunya: Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!
Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat? Se-kiat menertawakan. Dan
berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: Harap tinggal di
sini
saja!
Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak
menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak
berdaya
menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.
Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku! Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua
orang baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor
keras dan maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap
bertahan
mati-matian.
Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak
mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat
mengutungkan pedang orang.
Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka
sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang
Bo
Se-kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat
Khiksiapun
sukar mengalahkan.
Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba
kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu
lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka
dengan To-cu kami?
Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang
ilmu lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak
meloloskan diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang
yang
paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru
merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.
Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu
ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja
yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.
Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk
membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu
jiwa
juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah
Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia
menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat
disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu.
Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka
masih
tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan
hampirhampir
rubuh.
Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur
lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo
Jong-long), akupun takkan mengejekmu.

Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu! Khik-sia berseru marah. Sekali
putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.
Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang.
Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena
cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun
tak
sampai putus.
Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau
berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu! kembali Se-kiat tertawa mengejek.
Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang
dengan kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari
Sekiat.
Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.
Tiba-tiba Se-kiat membentak: Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!
Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak
kuat menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang,
lengannya
tergurat luka sepanjang tiga dim.
Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang
memaki dengan melengking: Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!
Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum
melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi
kalau bukan Gong-gong-ji.
Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau
Hu-song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan
baratlaut,
ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning
yang adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup
jalan. Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.
Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu
bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji
bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum
menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.
Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to! Gong-gong-ji
menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka
rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan
legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani
meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-
ji
tertawa terbahak-bahak.
Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: Kau berani mengejek
ilmu pedang kaumku? - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah
Sekiat.
Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti
petir menyambar-nyambar.
Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to
mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala.
Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda
tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai
sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan
darah lawannya.
Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya
merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung.
Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba
menampar dengan sebelah tangannya. Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah
sebuah
tamparanku!
Khik-sia geli dalam hati: Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga
ketularan. - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan

minggir ke samping.
Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gongji
terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia
menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia
tadi.
Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji.
Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan
Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan
kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan.
Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung
pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat
Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental.
Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya
masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-
ji
rapat-rapat.
Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau
Khik-sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam
kemarahan,
pikirannya masih terang. Pikirnya: Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak
leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai
sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos.
Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan
Pat-tin-tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli
strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun,
betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.
Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali.
Segera ia meneriaki Khik-sia: Sute, ikutlah aku! - Ia melesat memburu Se-kiat.
Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke
dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah
menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan
pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya
Gonggong-
ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia
tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti
suhengnya.
Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja,
mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun
sudah terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan
luka
Khik-sia.
Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak
membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti.
Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang
kepala Bo Se-kiat, kata Gong-gong-ji.
Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting
yang memerlukan tenaga suheng, sahut Khik-sia.
Gong-gong-ji kerutkan alis: Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo
Sekiat?
Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu.
Oh, Shin Ci-koh? tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, Ya, aku telah bertunangan dengan
Cikoh.
Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu
dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya
kalau
tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah
berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu
sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega.
Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama

yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang
tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia
berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.
Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat
ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa,
tetapi
untuk menolongnya!
Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang
berani mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?
Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak
yang terletak di gunung itu, sahut Khik-sia.
Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya.
Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?
oooooOOOOOooooo
Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang.
Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan
kepada Gong-gong-ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan
menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini
dapat ditertawakan orang.
Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Cengbing-
cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ...
susoh, kata Khik-sia.
Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: Ya, kutahu.
Ceng-bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang
ajar terhadap susohmu!
Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. Celaka, kukuatir saat
ini mereka sudah mulai bertempur! serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera
berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat
yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.
Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling
tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!
Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu
sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan
Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: Kali ini
aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!
Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh,
Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: Celaka! Celaka!
Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: Bagaimana keras
kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia
pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut
peraturan
kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi.
Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu! bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri.
Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana.
Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau
dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji.
Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.
Apakah pertempuran mereka sudah dimulai? tanya Gong-gong-ji.
Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang
pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. Ah, kalau begitu, pertempuran baru
berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah.
Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong.

Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan
tunangannya.
Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan
berseru: Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!
Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah.
Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan
batubatu
kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.
Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku? Gong-gong-ji marah
sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun
yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya
pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh.
Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak
mungkin
dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.
Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak:
Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!
Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak
segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak
kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun
bubar,
Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam
beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan
penyerang
yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok
punggungnya: Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!
Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay
yang dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak
murid
Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya.
Meskipun
tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.
Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia
pada pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia
jeri
terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan
Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap
tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat
keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).
Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak
mencari bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk
menunggu. Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau
tidak, tetap harus dibunuh mati.
Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak
membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia
merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak
mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana
jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.
Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat
membinasakan Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay
ginkangnya
seperti Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan
pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.
Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan
saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu
siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas
ke belakang.
Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan
Gonggong-
ji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang
menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah

dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.
Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku, semangat Ceng-bing-cu serasa terbang
dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah
partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci
kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku
bahkan akan membunuhmu! - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera
berkuikkuik
seperti babi hendak disembelih.
Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: Melihat
kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut
katakataku.
Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. Baik, kalau
begitu ayo ikut aku, kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang
menjinjing ayam saja.
Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada
rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah
malam. Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan
Shin Ci-koh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.
Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya
gagal. Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada
buahnya
sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah
bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu
berupa
hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah
melanggar pesan Yak-bwe.
Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima
penjelasanku atau tidak? ia mengeluh dalam hati.
Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa
yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah
mengharap-harap kedatangan Khik-sia.
Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin
Ci-koh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba
dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan
Innio
lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.
Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis
wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga
hatinya
saat itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.
Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang
tua: Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini.
Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat
tadi, Shin Ci-koh berseru angkuh.
Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong
Leng-ciu-pay itu tertawa: Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku,
tentu
kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau
mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi.
Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu? tanya Shin Ci-koh.
Leng Ciu siangjin kesima, serunya: Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang!
Jilid 15
Maksud dan tujuanmu memberi obat itu, akupun sudah tahu juga. Tetapi budi kebaikan tetap
budi kebaikan. Dan aku sudah menerima kebaikanmu, mana aku takkan membalasnya? Nanti
apabila bertempur, tak nanti aku membikin kecewa harapanmu. Biarlah kau tentu menderita

kekalahan yang betul-betul memuaskan hatimu. Akupun hendak mengatakan lebih dulu.
Pedangku
ini tak kenal akan budi kasih lagi. Namun masih dapat kuberi ampun jiwamu. Tetapi setelah
lukamu sembuh, masih kau tetap tak terima dan menantang berkelahi, akupun takkan sungkan
lagi
untuk mengambil kepalamu.
Leng Ciu tergelak-gelak, serunya: Sungguh tak kecewa kau diberi gelar Bu-ceng-kiam.
Pedangmu tak kenal ampun dan mulutmupun tak mau kalah. Bagus, bagus, memang begitulah
maksudku. Keluarkan seluruh kebisaanmu. Hanya kukuatir, pedangmu tak dapat berbuat apa-apa
terhadap aku. Jika masih hendak meninggalkan pesan apa-apa, silahkan menyelesaikan sekarang
juga.
Siapa yang akan kalah dan menang. Siapa yang akan mati atau hidup, lihat saja nanti. Anak
muridmu tidak tampak hadir, tentunya kau sudah mengatur beres pesan-pesanmu. Baiklah, mari
kita mulai sekarang!
Setiap kali adu bicara, Shin Ci-koh tentu tak mau mengalah. Leng Ciu siangjin tertawa keras:
Semalam kemana saja perginya anak muda itu?
Kau toh bertempur dengan aku, ada sangkut pautnya apa dengan anak muda she Toan itu?
seru Shin Ci-koh.
Memang tak ada sangkut pautnya. Hanya kulihat kepandaiannya boleh juga. Beberapa jurus
permainan pedangnya boleh ditandingkan dengan jago pilihan. Benar, memang aku tantang kau
berkelahi sampai mati, kau boleh undang bantuan, aku tetap menghadapi seorang diri. Kalau
memang ada bala bantuan, silahkan maju berbareng. Atau mau bergiliran maju, juga boleh.
Adanya aku datang seorang diri agar kau jangan cemas. Eh, aku kepingin menjajal kepandaian
anak
muda itu.
Shin Ci-koh anggap Siangjin itu angkuh sekali. Ia mendampratnya: Main keroyok, itu
keistimewaan anak muridmu. Selama hidup aku selalu bergerak seorang diri, masa sudi
mencontoh
kelakuan partaimu Leng-ciu-pay? Kalau mau menempur anak muda itu, besok malam sajalah.
Karena malu, muka Leng Ciu siangjin berubah gelap: Anak muridku termasuk Wanpwe
(angkatan muda). Memang tak seharusnya mereka mengeroyok kau. Tapi kau menangkan
mereka
pun takkan ternama. Dan lagi jika sifatmu tak ganas, masakan mereka akan menggempurmu.
Sekalipun mereka salah, tapi dengan membunuh mereka sampai sekian banyak, kau tetap
bersalah!
Aku tak sudi banyak omong tentang kelakuan anak muridmu yang manis-manis itu. Toh saat
ini kita akan bertempur sampai mati. Memang anak muridmu telah kubunuh, kalau kau mau
menuntut balas, silahkanlah! sahut Shin Ci-koh.
Baik, kau sudah membunuh dua puluh tiga muridku. Jangan menyesal, aku hendak pinjam
pedangmu bu-ceng-kiam untuk membuat dua puluh tiga lubang tusukan di tubuhmu! Leng Ciu
siangjin marah benar.
Shin Ci-koh serentak mencabut pedangnya: Kalau mampu, silahkan mengambil pedang ini.
Ayolah!
Walaupun tak tertahan lagi kemarahannya namun Leng Ciu tak mau kehilangan gengsinya
sebagai seorang guru besar. Tertawalah ia: Shin Ci-koh, meskipun tingkat angkatan kita sama,
tapi
aku lebih tua duapuluh tahun. Aku tak mau cari enak, aku akan mengalah sampai tiga jurus!
Shin Ci-koh kiblatkan pedangnya dalam tiga buah tusukan. Tapi bukan ditujukan pada Leng
Ciu siangjin melainkan ke udara. Setelah itu berkatalah ia: Telah kulakukan permintaanmu
menyerang tiga kali. Sekarang giliranku untuk melihat kepandaianmu!
Shin Ci-koh, berapa tingginya kepandaianmu berani mempermainkan aku? Leng Ciu
berteriak nyaring, seraya kebutkan kebutkan lengan baju ke arah Shin Ci-koh. Ujungnya seperti
pedang yang memapas tangan orang.
Shin Ci-koh putar tubuhnya dalam gerak Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar-lingkar
kemudian dengan jurus Liu-sing-kam-gwat, ia pantulkan ujung pedangnya ketiga jurusan jalan
darah pek-hay-hiat di kiri, thian-tho-hiat di kanan dan suah-ki-hiat di tengah. Kesemuanya
terletak
di dada orang, merupakan segitiga.
Permainan pedang Shin Ci-koh itu dibanding dengan ilmu pedang Wan-kong-kiam dari
Gonggong-
ji, masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri. Benar Wan-kong-kiam sekali gerak

dapat menusuk sembilan buah jalan darah, tapi kesemuanya itu pada garis yang merata, baik
mendatar maupun melintang. Tidak demikian dengan gerak pedang Shin Ci-koh. Meskipun
jumlah
tusukannya tidak banyak, tapi arahnya berlainan, kanan-kiri atas dan bawah.
Hebat! mau tak mau Leng Ciu siangjin memuji juga. Ia kebutkan lengan bajunya untuk
menyampok tusukan kanan dan kiri. Tapi untuk yang tengah, ia tak keburu menolak lagi. Brat....
ujung pedang Shin Ci-koh menggurat, meninggalkan bekas guratan tapi tak sampai merobekkan
baju.
Ternyata dalam saat-saat yang berbahaya itu, Leng Ciu dapat menyedot dadanya ke belakang.
Begitu ujung pedang melekat pada baju, ia terus hembuskan lwekangnya untuk menolak, Shin
cikoh
terkejut dan buru-buru hendak menarik pulang pedangnya tapi sudah terlambat, Leng Ciu
siangjin sudah mengebutkan lengan bajunya. Shin Ci-koh coba berusaha untuk miringkan
tubuhnya
kian kemari namun tak urung mukanya terasa panas kesakitan akibat sambaran angin kebutan
lawan.
Keduanya sama terkejut dan tak berani memandang rendah lawan. Dengan kepandaian yang
lebih unggul setingkat, Leng Ciu siangjin menjalan taktik tenang. Ia selalu mendahului
penyerangan tapi tak mau menyerang dengan gencar. Dalam lingkaran seluas tiga tombak, angin
pukulannya tetap dapat menguasai lawan. Kemana saja Shin Ci-koh hendak menusuk, tetap
tertolak. Diam-diam Shin Ci-koh mengeluh. Kalau pertempuran berjalan lama, terang ia yang
akan
kalah. Cepat ia rubah taktik. Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ujung pedangnya
pecah menjadi beberapa belas sinar. Suatu hal yang membuat Leng Ciu leletkan lidah juga. Ia
kerahkan latihannya berpuluh tahun untuk menutup dirinya. Setiap kali ujung pedang Shin Ci-
koh
menusuk tentu akan terbentur dengan dinding baja. Serangan Shin Ci-koh tertahan pada jarak
setengah meteran.
Oho, kepandaianmu hanya begini sajalah? tiba-tiba Leng Ciu siangjin berseru. Dari bertahan,
ia berganti menyerang. Anginnya menderu-deru hingga tubuh Shin Ci-koh terombang-ambing
seperti perahu di lautan.
Shin Ci-koh murka. Ia rubah lagi permainan pedangnya, kemudian tertawa mengejek: Aha,
kepandaianmu juga hanya begini sajalah! -- Tangan kirinya mencabut kebut hud-tim. Dengan
demikian ia memakai dua senjata. Dengan gerak permainannya yang istimewa dimana kalau
melambung ke udara seperti gerak burung elang dan kalau mendak ke bawah laksana lebah
mengerumun, dapatlah ia menahan serangan lawan.
Bukan saja ilmu pedangnya istimewa, pun ilmu permainan kebut yang disebut Thian-kon-
budkian-
se-cap-liok-si, juga luar biasa. Bulu kebut itu dapat dirubah menjadi ujung-ujung jarum yang
menusuk jalan darah orang. Dan dapat juga dikencangkan menjadi semacam senjata poan-boan-
pit.
Pokok, dapat digunakan untuk menyerang dalam segala cara.
Leng Ciu siangjin melayani dengan hati-hati. Kebutan lengan bajunya disertai gerakan jari yang
melancarkan hawa dingin. Ternyata ia menggunakan ilmu jahat yang disebut Hian-im-ci (jari
negatif). Khusus memancarkan hawa dingin untuk menyerang jalan darah lawan. Sudah tentu jari
berangin dingin itu jauh lebih sukar dihadapi dari kebut Shin Ci-koh.
Sebagai ahli lwekang, sudah tentu Shin Ci-koh dapat menutup jalan darahnya dari serangan
angin dingin. Tapi hanya untuk sementara waktu. Jika pertempuran berlarut lama, tentu sukar
bertahan lagi.
Baik, aku akan mengadu jiwa padamu, lokoay! akhirnya Shin Ci-koh nekad. Ia putar
kebutnya dan bolang-balingkan pedangnya mendatar. Leng Ciu siangjin segera terbungkus
dalam
jaring sinar.
Wanita siluman ini benar-benar tak kecewa bergelar Bu-ceng-kiam, mau tak mau Leng Ciu
memuji dalam hati.
Pertempuran hebat itu membuat In-nio dan Yak-bwe terlongong-longong. Mereka menyingkir
di ujung biara, namun tubuh mereka masih terasa menggigil tersambar angin dingin Leng Ciu
siangjin.
Leng Ciu lokoay itu benar lihay, tapi kukira Shin lo-cianpwe dapat memenangkannya, setelah
menyalurkan lwekang untuk menahan hawa dingin, Yak-bwe membisiki In-nio.

Memang pada saat itu Shin Ci-koh tengah melancarkan serangan yang hebat. Tapi In-nio yang
lebih banyak pengalaman, dapat melihat kelemahan Shin Ci-koh. Belum lagi ia memberi
bantahan
kepada Yak-bwe, disana gerakan pedang Shin Ci-koh mulai lambat, seperti terpancang sesuatu.
Tenaganya makin kurang lancar.
Memang benar dugaan In-nio itu. Karena tak dapat bertahan lama menutup jalan darah, ketika
Ci-koh hendak ganti napas, hawa dingin dari jari Leng Ciu segera menyusup ke dalam pori kulit.
Dengan lwekangnya yang tinggi, dapatlah jago wanita itu menghalau hawa jahat itu, tapi tak
urung
karena lambat laun hawa dingin yang masuk itu makin banyak, gerakan Shin Ci-koh pun
terpengaruh juga.
Orang menunggu sampai kaku, Khik-sia mengapa tak muncul, Yak-bwe menggerutu. Tapi
baru ia mengucap begitu, tiba-tiba di luar ada suara tindakan orang. Ia duga tentu Khik-sia, maka
girangnnya bukan kepalang. Ia ulurkan kepala untuk melongok.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak yang menusuk telinga: Datang, sudah
datang! Kalian berdua budak perempuan harus turut aku! -- Ah, yang muncul ternyata bukan
Khik-sia, tetapi Ceng-ceng-ji.
Adalah karena mengetahui bahwa Khik-sia turun gunung, maka beranilah ia datang lagi ke biara
situ. Maksudnya hendak menangkap kedua nona itu untuk diserahkan pada Se-kiat.
Secepat suaranya terdengar secepat itu pula Ceng-ceng-ji sudah melesat masuk dan menyerang
In-nio Yak-bwe. Untuk In-nio yang diketahui lebih lihay ia babat dengan pedang. Sedang
untuk
Yak-bwe cukup ia tusuk jalan darahnya dengan jari tangan kiri.
Tapi taksirannya itu meleset. Selama sebulan bersama Khik-sia, kepandaian Yak-bwe maju
pesat sekali hingga berimbang dengan In-nio. Cepat ia menyambut jari Ceng-ceng-ji dengan
pedangnya. Ceng-ceng-ji kaget dan ganti tusukannya untuk menyelentik. Dan karena ia harus
gunakan tujuh bagian lwekangnya, permainan pedangnyapun agak lemah. Sekali tangkis,
dapatlah
In-nio menolaknya.
Ho, Leng Ciu Siangjin, bukankah kau tantang aku bertempur satu lawan satu? Sebenarnya aku
tak melarang kau mengajak koncomu kemari. Tapi perlu apa kau mengumbar suara besar hanya
datang seorang diri? tiba-tiba Shin Ci-koh melengking tertawa.
Leng Ciu terkesiap, serunya: Sahabat Ceng-ceng-ji itu bukankah sute dari Gong-gong-ji?
Masakah kau tak kenal? Mengapa kau anggap dia bala bantuanku?
Memang kunyuk kecil itu bukan anak muridmu. Dia tak berguna apa-apa. Tapi tetap dia lebih
unggul dari murid-muridmu. Hm, jika tak kau suruh, mana dia berani datang kemari? sahut
Shin
Ci-koh.
Ceng-ceng-ji terpaksa hentikan serangannya dan berseru: Leng Ciu cianpwe, harap dengarkan
keteranganku. Aku memang mempunyai sedikit permusuhan dengan kedua budak itu. Oleh
karena
tunggu besok pagi dikuatirkan mereka sudah pergi maka terpaksa sekarang aku hendak
meringkus
mereka. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu cianpwe.
Dengan menyebut cianpwe itu, Ceng-ceng-ji menyanjung tinggi Leng Ciu, dengan harapan
siangjin itu akan membantunya, sekurang-kurangnya tidak mengusirnya.
Tu, dengar tidak Shin Ci-koh? Mereka mempunyai permusuhan sendiri dan kita pun
mempunyai perhitungan sendiri. Mana aku dapat melarang Ceng-ceng0ji datang kemari? seru
Leng Ciu.
Jadi, benarkah kau tak mengundang kunyuk itu? Shin Ci-koh menegas.
Sudah tentu tidak! Mana aku sudi cari bantuan. Sudah, jangan banyak rewel, lihat pukulan!
Shin Ci-koh tak mau menangkis, sebaliknya ia berputar diri dan menusuk Ceng-ceng-ji,
serunya: Aku tak senang ketenangan kita diganggu orang. Karena kau tak mengundang, biarlah
kuusirnya kunyuk ini!
Sama sekali Ceng-ceng-ji tak mengira kalau di bawah serangan Leng Ciu, Shin Ci-koh berani
menyerang dirinya. Buru-buru ia menangkis. Leng Ciu siangjin terpaksa tarik pulang
serangannya
tadi karena kedudukannya sebagai ketua partai tak mengijinkan ia mengeroyok orang. Dan ini
memang telah diperhitungkan Shin Ci-koh, makanya berani saja ia menyerang Ceng-ceng-ji.
Sekali
pukul dua lalat. Pertama, ia dapat menolong kedua nona. Kedua, ia dapat kesempatan untuk

mengenyahkan hawa dingin Hian-im-ci yang menyusup dalam tubuhnya. Sambil bertempur, ia
kerahkan lwekang untuk mengusir hawa dingin itu.
Cepat sekali mereka sudah bertempur sampai 20-an jurus. Hebat sekalipun ilmu pedang
Wankong-
kiam itu tapi karena Ceng-ceng-ji belum sempurna latihannya, maka tetap kalah dengan Shin
Ci-koh. Apalagi Shin Ci-koh memakai pedang, sedang tempo hari ketika bertempur di lapangan
kotaraja, dengan tangan kosong saja ia dapat menampar muka Ceng-ceng-ji. Untung Ceng-ceng-
ji
tinggi gin-kangnya dan Shin Ci-koh gunakan sebagian lwekangnya untuk membersihkan hawa
dingin beracun, dengan begitu pertempuran berlangsung panjang. Tapi setelah lewat jurus ke-21,
runtuhlah perlawanan Ceng-ceng-ji. Ia mandi keringat dan napasnya senin kemis.
Ceng-ceng-ji masih belum mau melarikan diri. Matanya memandang Leng Ciu untuk meminta
bantuan. Tapi siangjin itu diam saja hingga Ceng-ceng-ji makin kelabakan.
Pada saat ujung pedang Shin Ci-koh hendak bersarang ke tubuh Ceng-ceng-ji,
sekonyongkonyong
Leng Ciu kebutkan lengan baju untuk menyampok pedang Shin Ci-koh, sedang dengan
tangan kiri ia mendorong Ceng-ceng-ji sampai terlempar keluar pintu.
Bukankah kau hendak bertempur dengan aku? Nah, sekarang sudah kulempar pergi orang
itu! - seru Leng Ciu kemudian meneriaki Ceng-ceng-ji: Ceng-ceng toyu, carilah lain tempat
yang
agak jauh dari sini. Kalau kau hendak bertempur dengan kedua nona itu, aku takkan membantu
siapa-siapa.
Baik, ayo kita mulai lagi! seru Shin Ci-koh. Tapi Leng Ciu bukannya menyerang sebaliknya
berputar diri ke samping kedua nona.
Hai, Leng Cu lokoay, kau mau apa? Cis, tak malu menghina orang muda! Shin Ci-koh
berteriak kaget tapi sudah kasip. Leng Ciu siangjin sudah melemparkan kedua nona itu keluar.
Sudah kukatakan tak mau membantu pihak manapun. Karena Ceng-ceng-ji keluar, kedua nona
itupun tak boleh tinggal di sini!
Memang Leng Ciu tak melukai mereka. Dengan tenaga kebutan yang istimewam ia lemparkan
In-nio dan Yak-bwe keluar, tapi selembar rambut kedua nona itu tak ada yang rontok. Shin Ci-
koh
mau memburu keluar tapi Leng Ciu sudah menghadang di ambang pintu:Sekarang sudah tak
ada
orang, kau masih punya alasan apa? Mau lari? Jangan harap!
Huh, kau toh belum mampu menangkan aku, mengapa bermulut besar! damprat Shin Ci-koh
yang terus menyerang lagi. Karena memikiri keselamatan In-nio dan Yak-bwe, pikirannya
gelisah
dan cepat sekali ia terdesak. Tapi dikarenakan tadi ia sudah berhasil mengeluarkan hawa racun
dingin, maka dapatlah ia bertahan diri.
Oho, kalian juga dilempar keluar, ha, ha, sekarang tiada orang yang melindungi kalian lagi!
Ceng-ceng-ji tertawa cengar-cengir sembari enjot tubuhnya melayang melewati kepala kedua
nona.
Ia turun di muka pintu. Maksudnya mencegah jangan sampai kedua nona itu lari ke dalam biara.
Setelah itu barulah ia mulai menyerang.
In-nio tahu bahwa Ceng-ceng-ji itu lebih tinggi ilmu gin-kangnya. Untuk lari, terang tak
mungkin. Maka ia ambil putusan mengadu jiwa. Begitulah bahu-membahu dengan Yak-bwe,
mereka serang Ceng-ceng-ji dari dua jurusan. Kepandaian mereka jauh lebih maju dari dahulu.
Apalagi akhir-akhir ini mereka telah sama-sama menyakinkan ilmu pedang Hui-hoa-cui-yap-
kiamhwat
(ilmu pedang bunga gugur mengusir kupu) dari Biau Hui sin-ni. Dengan menyerang bersama,
ilmu pedang itu lebih berbahaya lagi.
Meskipun Ceng-ceng-ji mempunyai kepandaian 'sekali tusuk dapat menyerang tujuh buah jalan
darah', namun dalam waktu yang singkat hendak mengalahkan mereka, juga tak mungkin. Tapi
bagaimanapun kepandaian Ceng-ceng-ji tetap mainkan pedangnya. Ini untuk menghabiskan
lwekang kedua lawannya.
In-nio dan Yak-bwe gunakan permainan lincah. Namun tak urung mereka tak dapat
menghindari benturan pedang Ceng-ceng-ji. Setiap kali berbenturan, tangan mereka terasa sakit
sekali. Makin lama lwekang mereka makin lemah. In-nio yang lebih kuat lwekangnya, hanya
mandi keringat saja. Tapi Yak-bwe yang agak lemah lwekangnya, sudah merasa pusing matanya
berkunang-kunang dan napas terengah-engah. Permainan pedangnyapun mulai kacau. Dan
Cengceng-
ji yang mengetahui hal itu, cepat menghantamnya. Trang, pedang Yak-bwe mencelat ke

udara. Ceng-ceng-ji maju mendekati. Ia rangsangkan kelima jarinya untuk mencengkeram tulang
pi-peh di bahu si nona. Maksudnya hendak menghancurkan kepandaian Yak-bwe.
Tiba-tiba telinganya terngiang suara makian Gong-gong-ji: Ho, lagi-lagi kau bangsat yang
hendak membikin onar di sini! Kurang ajar, kali ini tak kuberi ampun, hendak kubeset kulitmu!
Sebenarnya Gong-gong-ji masih terpisah sebuah puncak, bagaimana juga tak nanti ia mampu
datang. Maka digunakannyalah lwekang Coan-im-jip-bi. Hal itu diketahui juga oleh Ceng-ceng-
ji.
Kalau mau ia masih ada waktu untuk meneruskan rencananya terhadap Yak-bwe. Tapi ia paling
takut kepada suheng itu. Nyalinya pecah dan tangannyapun gemetar sehingga Yak-bwe sempat
loncat menghindar pergi dan In-nio maju menusuknya.
Dalam beberapa kejap saja, Gong-gong-ji dan Khik-siapun makin dekat. Melihat mereka,
Ceng-ceng-ji segera tinggalkan kedua nona dan lari sipat kuping.
Memang cepat sekali gerakan Gong-gong-ji dan Khik-sia itu. Selagi Yak-bwe belum sempat
berdiri tegak dalam groginya (terhuyung-huyung) tadi, Khik-sia sudah muncul dan menyambuti
Yak-bwe: Adik Bwe, kau, kau mengapa?
Tak apa-apa, hanya bajuku kena dikoyak kunyuk itu, tapi tak sampai terluka. Mengapa baru
sekarang kau datang? Mana Pui suheng? sahut Yak-bwe.
Pui suheng belum ketemu. Aku, aku ....
Ah, hal itu nanti saja dibicarakan. Kalian lekas-lekas masuk ke dalam. Shin lo-cianpwe dalam
bahaya! In-nio cepat menukas
Gong-gong-ji anggap menolong Shin Ci-koh lebih penting dari menangkap Ceng-ceng-ji yang
dibencinya itu. Apalagi ia membawa seorang tawanan (Ceng-bing-cu), dikuatirkan makan waktu
lama untuk mengejar sute itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dapatlah ia mendengarkan
bahwa Shin Ci-koh memang dalam bahaya. Cepat ia menjinjing tubuh Ceng-bing-cu dan
melangkah masuk. Khik-sia hendak ikut tapi dicegah: Kalian tak usah turut masuk. Aku
mempunyai tipu bagus untuk menghadapi lokoay itu.
Mendengar itu legalah hati Khik-sia, karena tadi ia kuatir kalau-kalau suhengnya itu akan
melanggar peraturan dunia persilatan.
Shin Ci-koh sudah tak kuat bertempur. Tapi demi mendengar suara Gong-gong-ji, bangunlah
lagi semangatnya. Kebalikannya Leng Ciu menjadi keder namun ia pura-pura mengejek: Shin
Cikoh,
itu bala bantuanmu datang. Apa kau mau beristirahat dulu? Aku tak takut kalian gunakan
siasat bergilir.
Tepat pada saat itu Gong-gong-ji masuk membawa Ceng-bing-cu, serunya: Masih ada seorang
lagi. Bukankah ini murid kepala dari Leng-ciu-pay? Aku menyaksikan pertempuran dengan
muridmu, jangan kuatir apa-apa!
Bagus, bagus! Kedua pihak mempunyai pendukung. Adil, adil sekali. Lebih baik lagi kalau
jadi saksi, siapa yang kalah atau menang tak bisa cari alasan lagi, Shin Ci-koh tertawa.
Kemudian
ia suruh Gong-gong-ji duduk di ujung ruangan.
Gong-gong-ji mengiakan. Sedang Ceng-bing-cu demi melihat suhunya, maluya bukan
kepalang. Namun tiada lain jalan kecuali berseru meratap: Suhu, tolonglah aku! - Tapi secepat
itu
Gong-gong sudah menekan tulang bahunya sehingga Ceng-bing-cu berkuik-kuik seperti babi.
Mengapa berkaok-kaok tak keruan? Apa kau tak tahu peraturan bulim? Bukankah suhumu
sedang bertempur, mengapa kau berteriak? Ayo, duduk yang baik di sana! bentak Gong-gong-
ji.
Kurang ajar! Mengapa kau menghina muridku, Gong-gong-ji? Leng Ciu siangjin murka
sekali.
Gong-gong-ji lemparkan Ceng-bing-cu ke tanah, lalu menantang Leng Ciu: Tahukah kau apa
perbuatan muridmu yang manis ini? Sebenarnya aku tak mau mengganggu pikiranmu, nanti
setelah
pertempuran selesai baru kuberitahukan. Tapi karena kau menuduh aku menghina muridmu,
terpaksa aku memprotes. Ceng-bing-cu, bilanglah. Kamu sendiri yang main keroyokan atau aku
yang menghina murid Leng-ciu-pay? Hm, kau bilang tidak?
Sekali jari tengah Gong-gong-ji menekan punggung, Ceng-bing-cu merasa seperti dicocoki
ribuan jarum. Sakit dan gatal sekali, melebihi segala macam racun. Ia masih mengharap
pertolongan suhunya. Tapi Leng Ciu siangjin sedang bertempur dengan Shin Ci-koh, tak sempat.

Selain itu memang Leng Ciu tahu bahwa kepandaian Gong-gong-ji memang mengatur siasat.
Kalalu ia sampai menyerang dulu berarti termakan tipu Gong-gong-ji. Yang melanggar peraturan
dunia persilatan bukan Gong-gong-ji, tetapi ia sendiri.
Leng Ciu siangjin benar-benar meringis. Mau menolong, musuhnya berat. Tidak menolong, ia
merasa terhina sekali karena murid kesayangannya diperlakukan begitu rupa. Tiba-tiba muridnya
yang manis Ceng-bing-cu itu meratap: Gong-gong cianpwe, ya aku bilang aku bilang. Memang
aku yang salah, ampunilah aku!
Bicara dengan berlututlah! Karena kau menyesal, akupun suka memaafkan. Tetapi kau harus
mendamprat dirimu sebagai pertanda betul-betul kau sudah bertobat, seru Gong-gong-ji. Sekali
ia
kebutkan lengan baju, bluk. Ceng-bing-cu pun jatuh berlutut. Sakitnya makin hebat, tubuhnya
seperti digigiti ular. Pikirannya pada saat itu hanya tertuju supaya bebas dari kesakitan.
Ya, ya, akulah yang salah! Aku mengajak saudara-saudara seperguruan hendak mencelakai
kau dan Toan siauhiap. Aku seorang busuk, orang jahat. Harap kau orang tua suka mengampuni
aku seorang rendah ini! Ceng-bing-cu meratap-ratap.
Mendengar murid calon penggantinya bernyali seperti tikus, hampir saja Leng Ciu siangjin
pingsan. Ketika ia hendak menggempur Gong-gong-ji, tiba-tiba Shin Ci-koh membentaknya:
Leng Ciu lokoay, awas serangan! - Pedang disambarkan ke atas kepala orang dalam jurus
Samhoan-
tho-gwat yang hebat sekali.
Leng Ciu siangjin terpaksa kendalikan amarahnya untuk menghadapi serangan Shin Ci-koh. Ia
menangkis dengan sebuah hantaman.
Bagus, Ceng-bing-cu, kau sudah memaki dirimu dengan bagus. Tetapi terangkanlah duduk
perkaranya yang jelas dan kutuklah dirimu yanglebih keras lagi. Mengingat kau sungguh-
sungguh
menyesal, tentu kuampuni.
Ceng-bing-cu tak pedulikan segala apa. Segera ia menuturkan bagaimana ia pimpin anak murid
Leng-ciu-pay menggelundungkan batu dari puncak gunung untuk mencelakai Gong-gong-ji dan
Khik-sia.
Leng Ciu lokoay, itu dengar tidak? Apa kau masih menuduh aku yang menghina anak
muridmu? Untung aku dan Toan sute dapat mengatasi dan memang anak muridmu tak becus
apaapa.
Ha, ha, mereka sendiri yang kehilangan beberapa jiwa, sedang aku dan Toan-sute tak kena
apa-apa. Ceng-bing-cu, kau merasa menyesal atau tidak mengorban beberapa sutemu itu?
Aku bukan manusia, aku kutu busuk, kantong nasi. Mencelakai orang sebaliknya mencelakai
diri sendiri. Aku sungguh-sungguh menyesal sekali! sahut Ceng-bing-cu. Untuk mendapat
kebebasan, Ceng-bing-cu tak segan-segan lagi memaki dirinya habis-habisan.
Leng Ciu siangjin tak sudi mendengarkan tapi ia malu menutup telinganya. Makian Ceng-bingcu
itu sepatah demi sepatah seperti pisau yang menusuk ulu hatinya. Ia benci kepada Ceng-bing-cu
dan berduka karena beberapa anak muridnya terbunuh. Maunya hendak menenangkan hati tapi
pikirannya kacau balau. Akibatnya, permainan menjadi kacau tak menurut rel lagi. Pada hal
racun
dingin Hian-im-ci itu dilancarkan dengan lwekang. Dan karena lwekangnya terganggu akibat
kekacauan pikirannya itu, walaupun gerakan jarinya masih menerbitkan angin tetapi sudah tak
mengandung racun dingin lagi.
Tubuhku kepanasan, mengapa angin-dingin dari jarimu itu tak meniup lagi? Shin Ci-koh
mengejek.
Diam-diam Gong-gong-ji memuji kepandaian Leng Ciu siangjin yang walaupun pikirannya
sudah kacau namun masih dapat melayani Shin Ci-koh. Untuk mempercepat kekalahannya,
kembali ia menanyai Ceng-bing-cu: Bagaimana kau berbuat salah terhadap Shin lo-cianpwe?
Lekas ceritakan!
Sebenarnya Gong-gong-ji tak tahu urusan Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Tapi dalam
perintahnya itu, ia sudah menuduh kalau Ceng-bing-cu bersalah. Dihadapan Shin Ci-koh, sudah
tentu Ceng-bing-cu tak berani berdusta lagi.
Ya, memang aku punya mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Ketika berjumpa di
tengah jalan, aku terpikat dengan parasnya. Diam-diam kukuntitnya naik ke gunung dan ...
kugodanya. Akhirnya aku dilabrak!

Manusia rendah, lekas tampar mukamu sendiri agar tak perlu kuturun tangan, bentak
Gonggong-
ji dengan marahnya.
Plak, plak, tergopoh-gopoh Ceng-bing-cu melakukan perintah. Ia menampar kedua pipinya
sendiri.
Bahwa Shin lo-cianpwe tak seketika mencabut nyawamu adalah karena hendak memberi muka
kepada suhumu. Mengapa kau tak insyaf? Coba bilanglah, apakah perbuatanmu mengajak
sutesutemu
membalas pada Shin lo-cianpwe itu bukan melulu untuk kepentingan pribadimu? tanya
Gong-gong-ji pula.
Selama Gong-gong-ji tak memerintah berhenti, Ceng-bing-cu terus-menerus menampar
mukanya seraya memaki diri sendiri: Ya, memang aku bukan manusia, aku binatang. Shin
locianpwe
amat murah hati memberi ampun padaku. Adalah karena dihajar Shin lo-cianpwe, aku
mendendam. Dengan alasan menerima undangan Su Tiau-gi agar dapat mengharumkan nama
perguruan, kuajak para sute turun gunung, kemudian kusuruh mereka mengeroyok Shin
locianpwe!
Setiap tamparan yang dilakukan Ceng-bing-cu, dirasakan Leng Ciu siangjin seperti pipinya
yang ditampar. Marah, malu dan seperti mau meledak rasanya dada siangjin itu. Setitikpun ia tak
mimpi bahwa murid kesayangannya itu sedemikian tak bergunanya sampai mengorbankan
beberapa
puluh murid Leng-ciu-pay. Memikirkan kesemuanya itu, Leng Ciu seperti hendak menyusup ke
dalam bumi saja apabila ada lubangnya. Karena bukankah dengan peristiwa Ceng-bing-cu itu,
partai Leng-ciu-pay akan kehilangan pamornya? Apakah Leng-ciu-pay masih ada muka untuk
berdiri di dunia persilatan lagi?
Dalam pertempuran, orang dilarang keras mengumbar kemarahan sehingga mengganggu
ketenangan pikirannya. Leng Ciu siangjin tahu juga hal itu. Namun dalam saat seperti yang
dihadapinya itu, bagaimana ia dapat mengingat pantangan itu lagi. Sekuat-kuat imannya, tetap ia
tak tahan lagi melihat adegan yang menyiksa batinnya itu. Akibatnya ia tak dapat mengendalikan
lwekangnya lagi.
Kena! sekonyong-konyong Shin Ci-koh menusuk bahu kanan lawan. Cret, darah muncrat.
Masih mending Shin Ci-koh tak mau berlaku ganas. Coba ia susupkan lagi pedangnya sedikit
lebih
dalam, tulang Pi-Peh-kut Leng Ciu siangjin tentu kena. Akibatnya siangjin itu tentu menjadi
seorang cacat selama-lamanya. Tapi Shin Ci-koh tak mau berbuat begitu dan cepat tarik keluar
pedangnya.
Leng Ciu terkejut dan marah. Cepat ia bersiap menghadapi serangan Shin Ci-koh tapi ternyata
wanita itu mendongak tertawa keras. Dilemparnya pedangnya ke tanah lalu berseru nyaring:
Leng
Ciu lokoay, kali ini aku memberi ampun padamu, ini sebagai balas budimu. Setelah lukamu
sembuh, apabila kau hendak bertanding lagi, aku pun tetap sedia melayani. Nah, sekarang kita
sama-sama tak menanggung budi. Aku takkan membunuhmu. Jika mau pergi, silahkanlah!
Seorang yang berkedudukan seperti Leng Ciu, jangankan terluka sampai tak berdaya, sedangkan
kalah sejurus saja dalam pertandingan, ia tentu sudah angkat kaki karena malu.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Tangannya yang menekan punggung Ceng-bing-cupun
dikendorkan, ujarnya: Bagus, kau sudah memaki dirimu habis-habisan. Akupun sudah tak
marah
lagi dan mengampunimu. Silahkan kau pulang bersama suhumu serta para sutemu. Ha, ha,
pandai
menampar muka dan pintar memaki diri sendiri, di dalam dunia kepartaian silat sungguh jarang
ada!
Terluka kemudian dihina begitu rupa, tak kuatlah Leng Ciu siangjin. Huak, ia muntahkan
segumpal darah segar. Ceng-bing-cu merasa menyesal. Tak berani ia memandang suhunya.
Dengan nada gemetar ia berseru memanggil: Suhu!
Binatang! Kau masih ada muka memanggil aku suhu ...... ini! Leng Ciu mendamprat seraya
menghantam. Walaupun sebelah tangannya terluka, tapi tenaganya masih cukup kuat untuk
menghancurkan batu. Seketika itu juga ia hantam batok kepala Ceng-bing-cu sampai hancur
lebur......
Ah, sudahlah. Shin Ci-koh, aku tak berniat membalas tusukan pedang ini. Hanya kuharap
janganlah mengikuti jejakku, menerima murid yang tak berguna! nada Leng Ciu amat rawan.

Pertanda luka hatinya jauh lebih parah dari luka tusukan pedang itu.
Leng Ciu siangjin sudah ngeloyor pergi namun kata-katanya itu tetap menggurat di hati Shin
Cikoh.
Shin Ci-koh tersayat hatinya. Bukankah Su Tiau-ing murid yang disayanginya itu juga setali
tiga uang dengan kelakuan Ceng-bing-cu?
Shin Ci-koh menang bertempur tapi menderita perasaannya. Nasibnya serupa dengan Leng Ciu
siangjin. Yak-bwe dan In-nio saling menghaturkan selamat kepada Shin Ci-koh atas
kemenangannya itu. Tetapi Shin Ci-koh mengatakan bahwa kemenangan itu adalah berkat tipu
daya dari suhengnya Khik-sia alias Gong-gong-ji. Kemudian ia bertanya kepada Khik-sia
mengapa
begitu terlambat datangnya. Sejak terpengaruh dengan pribadi In-nio, mulailah Shin Ci-koh
menaruh perhatian pada urusan orang. Tak lagi ia sedingin seperti yang lalu.
Khik-sia bersangsi. Gong-gong-ji cepat menyanggupi: Ci-koh, dia takut kalau kau marahi.
Apa ia berjumpa dengan Tiau-ing? Apa saja yang dilakukan budak perempuan itu? Shin Cikoh
tergetar hatinya.
Gong-gong-ji memberi isyarat mata kepada Khik-sia, ujarnya: Sute, apakah kau sudah
mengatakan pada nona Su?
Sudah, Yak-bwe tak apa-apa padaku, Khik-sia girang sekali.
Hus, kau memang tak tahu hati seorang gadis. Tahu kedatanganmu saja, Yak-bwe sudah
girang, mana ia sempat mendampratmu, In-nio yang berada di sisi Khik-sia menegurnya
bisikbisik.
Memang waktu menceritakan pengalamannya kepada Yak-bwe, Khik-sia kuatir kalau
tunangannya akan mengambul lagi. Tapi kali ini jalan pikiran Yak-bwe berlainan. Justeru karena
Khik-sia mendapat pelajaran pahit dari Tiau-ing, Yak-bwe lega hatinya. Ia tak kuatir Khik-sia
akan
kecantol dengan nona itu lagi.
Eh, apa yang sebenarnya terjadi, bilanglah! Tak nanti aku mengeloni muridku! akhirnya Shin
Ci-koh buka suara.
Karena Khik-sia sungkan, maka Gong-gong-jilah yang berkata: Tak apa-apa, hanya setelah
Khik-sia menolongi muridmu yang manis itu, malah disemprot basah kuyub olehnya!
Ia lantas menuturkan pengalaman Khik-sia. Marah Shin Ci-koh bukan kepalang, di samping
kecewa sekali. Ia menghela napas: Kecewa aku mencintainya. Tak nyana setipis itu moralnya.
Setali tiga uang dengan kwalitet Ceng-bing-cu. Ai, sudahlah, anggap saja aku tak pernah punya
murid semacam itu. Biar kelak kurusakkan ilmu kepandaiannya agar jangan sampai ditertawai
Leng Ciu siangjin.
Ah, kiranya tak perlu Shin lo-cianpwe memakan hati. Turut pendapatku ia berbuat begitu
karena cintanya tak dibalas oleh Khik-sia. Toh Khik-sia tak kurang suatu apa. Dan kini nona Su
itu
sudah menikah dengan Se-kiat. Mungkin mereka akan hidup rukun sampai tua, Yak-bwe
menghiburi.
Shin Ci-koh adalah seorang wanita yang berwatak dua, ya baik ya jahat. Meskipun ia marah
terhadap Tiau-ing tapi dalam hati kecilnya masih ada setitik kecintaan. Setelah amarahnya reda,
ia
membenarkan juga kata-kata Yak-bwe tadi. Kalau Khik-sia tak menampik cintanya Tiau-ing,
Tiauing
tentu tak kalap begitu macam. Diam-diam ia merasa, andaikata dahulu Gong-gong-ji berbuat
seperti Khik-sia terhadap Tiau-ing, tentu sudah akan dibunuhnya.
Baik, jika kelak ia masih tak merubah kesalahannya, tentu akan kubikin invalid, akhirnya ia
memberi pernyataan.
Untuk mengalihkan permbicaraan Gong-gong-ji menegur Yak-bwe: Ai, nona Su, jangan
memanggil Shin Ci-koh sebagai lo-cianpwe. Aku dan Khik-sia kan suheng dan sute.
Yak-bwe tersipu-sipu, tapi cepat ia tertawa: Selamat susoh, maafkan kekhilafanku. Cici In,
kita seangkatan, kau pun harus mengganti sebutan terhadap susohku.
Shin Ci-koh diam-diam girang tapi ia pura-pura menggerutu pada Gong-gong-ji: Ai, mukamu
memang tebal benar. Kita toh belum kawin, mengapa kau suruh mereka memanggil susoh
padaku!
Toh hanya soal waktu saja. Lebih dulu saling tahu sebutan masing-masing toh tak mengapa,
Gong-gong-ji tertawa.

Kapan suheng melangsungkan pernikahan jangan lupa memberitahukan kami. Tapi ai suheng,
kau gemar mengembara tak menentu tinggalnya. Kau mencari kami itu mudah, sebaliknya jika
kami hendak mencarimu wah susah sekali, Khik-sia turut menggoda.
Tapi mungkin aku yang lebih dulu akan meminum arak pernikahanmu dengan nona Su,
Gong-gong-ji tertawa.
Suheng, kita bicara soal serius, mengapa suheng mengolok-olok. Kami masih muda, masakan
terburu-buru, seru Khik-sia.
Aku toh juga serius. Aku hendak menyelesaikan suatu pertanggungan jawab dulu, baru
menikah. Setelah menikah aku tak mau keluar ke dunia persilatan lagi, sahut Gong-gong-ji.
Aku tak percaya kau bisa berangan-angan begitu, Shin Ci-koh tertawa ewah.
Atas pertanyaan Khik-sia, ternyata pertanggungan jawab yang hendak diselesaikan Gong-gongji
itu ialah tentang diri Ceng-ceng-ji. Akan kuminta pedang Kim-ceng-kiam untuk kukembalikan
pada Coh Ping-gwan. Kemudian kuselesaikan pesan mendiang subo. Sudah bertahun-tahun
kuberi
kelonggaran padanya (Ceng-ceng-ji), sekarang tak bisa terus-menerus begitu.
Katanya lebih lanjut: Kalian tak perlu tunggu aku karena kalian sudah dijodohkan sejak masih
dalam kandungan. Jangan ditunda lama-lama. Terus terang, aku menyesal karena sudah
mensiasiakan
waktu mudaku selama 20-an tahun. Ah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Maka sekarang
akupun tak mau menunda lama-lama.
Diantara yang mendengari percakapan kedua saudara, adalah In-nio yang paling rawan. Shin
Ci-koh menghiburinya supaya jangan berkecil hati. Pui Bik-hu tentu akan dapat berjumpa lagi.
Kalau Khik-sia tak ketemu, terang dia sudah tak berada di sini. Kupikir akan menemui ayah
untuk mengatur persiapan. Rasanya tentara ayah tentu sudah dalam perjalanan, kata In-nio dan
Yak-bwe nyatakan mau ikut.
Saat itu sudah jan 3 pagi. Shin Ci-koh tak mau tidur. Selaku pembalas budi, ia mengajarkan
beberapa ilmu pedang kepada In-nio. Karena sudah mempunyai dasar, dalam waktu sejam saja,
Innio
sudah dapat mempelajarinya.
Tak lama kemudian haripun terang tanah. Mereka berlima pecah dalam dua rombongan dan
turun gunung. Mereka berpisah di kaki gunung. Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh mengejar jejak
Ceng-ceng-ji. In-nio, Khik-sia dan Yak-bwe hendak menyonsong tentara negeri yang dikepalai
Sip
Hong. Dalam kesempatan itu Shin Ci-koh mengembalikan kuda Cian-li-ma Bik-hu kepada In-
nio.
Pada hari kedua ketika menyusur jalanan, tiba-tiba mereka melihat sebuah pasukan besar tengah
mendatangi. Benderanya bertuliskan huruf Sip In-nio girang sekali tapi heran juga mengapa
ayahnya secepat itu sudah datang. Menurut perhitungan, seharusnya dua hari kemudian baru
datang.
In-nio keprak kudanya menyongsong. Pertama-tama ia bertemu dengan dua orang panglima
ayahnya. Cepat-cepat ia menanyakan diri ayahnya.
Seorang opsir muda larikan kudanya menyambut, serunya: Suci, kau sudah pulang!
Opsir muda itu bukan lain ialah pemuda yang dipikiri siang malam oleh In-nio, yakni Pui Bikhu.
Girang In-nio sampai tak dapat berkata-kata.
Ayahmu cemas sekali karena kau tak kembali. Dia mengirim beberapa mata-mata untuk
menyirapi keadaanmu di Tho-ko-poh, Bik-hu berkata dengan bisik-bisik.
Mana ayahku sekarang? tanya In-nio.
Berada di barisan belakang. Barisan ini termasuk bagian perintis. Ayahmu menempatkan aku
dalam barisan ini, kata Bik-hu.
Saat itu Khik-sia dan Yak-bwe pun tiba. Mereka mengucapkan selamat kepada Bik-hu atas
kenaikan pangkat itu: Pui suheng, kau naik pangkat. Ini berarti dobel keberuntungan jatuh di
depan pintu, Yak-bwe tertawa.
Apa keberuntungan yang kedua itu? tanya Khik-sia.
Hal itu bahkan yang nomor satu. Naik pangkat hanya nomor dua. Bukankah mereka kini
berjumpa lagi? Inilah peristiwa yang bahagia. Tuh lihat, muka Pui suheng menjadi merah,
Yakbwe
menggoda.
Sudahlah jangan mengolok orang. Apakah kalian ada lain urusan penting? tegur Bik-hu.

Kami berdua hanya menemani cici In saja untuk mencarimu. Karena tak melihatmu, cici In
sampai tak doyan makan tak dapat tidur, sahut Yak-bwe.
Kami bertiga tak ada urusan lain. Tapi kemana saja kau selama ini? Mengapa tak kau
laporkan tentang keadaan Tho-ko-poh pada ayah? Su Tiau-gi dan Bo Se-kiat sudah lolos dari
Thoko-
poh. Rasanya pasukan negeri tak perlu kesana lagi, kata In-nio.
Kalau kalian senggang, ayo ikut aku saja. Aku diperintahkan untuk mengejar Su Tiau-gi. Dia
lari ke arah Poa-yang. Disana Li Kong-pik dengan pasukan besar sudah siap menunggu untuk
mencegatnya. Tugas tentara penting sekali. Aku diberi waktu besok pagi harus sudah tiba di
Poayang.
Kita berjalan sambil bercakap-cakap, Bik-hu menerangkan.
Selama dalam perjalanan itu, In-nio dan Bik-hu saling menceritakan pengalamannya. Kiranya
waktu lolos dari pertempuran di Tho-ko-poh, Bik-hu juga menderita luka ringan. Karena tak
dapat
menemukan In-nio, Bik-hu segera kembali kepada pasukan Sip Hong. Ia duga nona itu tentu juga
pulang.
Eh, bagaimana dengan lukamu? Lukanya di bagian mana? tanya In-nio.
Bik-hu tertawa: Aku kena sebatang panah dari perempuan siluman itu (Tiau-ing), tapi tak
berbahaya dan sekarang sudah sembuh. Akupun balas memanahnya. Kuduga lukanya tentu lebih
berat.
Katanya lebih jauh: Tiba di dalam pasukan, ternyata ayahmu sudah mengetahui apa yang
terjadi di Tho-ko-poh. Pun dia menerima berita dari Li Kong-pik yang menyatakan bahwa Su
Tiaugi
lari ke Poa-yang. Segera aku dinaikkan pangkat menjadi Sian-hong (operasi atau perintis). Aku
diperintahkan membawa tiga ribu pasukan berkuda menuju ke Poa-yang untuk menggabung
pada
Li goanswe menghancurkan Su Tiau-gi. Aku merasa malu, karena pulang dengan terluka dan tak
berjasa apa-apa tapi dinaikkan pangkat.
Ah, tak usah kau rendah hati. Jika tiada kau, aku tentu sudah mati kelelap di dalam penjara
air, In-nio tertawa.
Teringat akan pengalaman mereka di dalam kamar penjara air, dimana dalam menghadapi maut
itu mereka saling mencurahkan isi hati, tergetarlah hati mereka. In-nio memandang pemuda itu
dengan penuh arti. Bik-hu berkata dengan bisik-bisik: Aku harus berterima kasih kepada
perempuan siluman itu. Jika ia tak menjebloskan kita di dalam penjara air, aku, aku, ....
Sekarang kau adalah pemimpin dari tiga ribu pasukan berkuda. Dalam ketentaraan, pasukan
perintis itu penting sekali. Jangan sampai kau kehilangan semangat, In-nio tertawa
memutusnya.
Bik-hu menyatakan bahwa bagaimanapun rasanya Su Tiau-gi tentu sukar meloloskan diri lagi.
Sementara Yak-bwe menyatakan bahwa Su Tiau-gi itu memang tak berbahaya. Yang paling
berbahaya adalah Bo Se-kiat.
Kupercaya Sip ciangkun tentu sudah dapat memperhitungkan kemana mengacirnya Se-kiat,
sahut Bik-hu.
In-nio menyatakan bahwa kehancuran Su Tiau-gi itu psikologis mengandung arti besar. Karena
hancurnya Su Tiau-gi berarti ludesnya pemberontakan gerakan pemberontak An Lok-san dan Su
Khik-hwat.
Bik-hu membenarkan, katanya: Memang di kota Poa-yang masih terdapat seorang menteri
lama dari Su Su-bing. Namanya Li Hoay-sian. Jika Su Tiau-gi sampai dapat bergabung
dengannya,
tentara pemerintah tentu mengalami kesulitan besar.
Aku sih tak tahu urusan militer. Aku hanya benci pada Se-kiat. Ingin kuhajar mampus
manusia itu, Yak-bwe tertawa.
Bagaimana dengan Su Tiau-ing? Apa kau tak benci padanya juga? tanya In-nio.
Yak-bwe melirik ke arah Khik-sia, ujarnya: Sekarang aku malah kasihan padanya.
Hari kedua pada waktu siang tepat, bahkan sebelum batas waktu yang diberikan, Bik-hu dengan
pasukannya telah tiba di kota Poa-yang. Mereka siap menghadapi pertempuran tapi di luar
dugaan
mereka melihat sebuah pemandangan ngeri. Di atas tembok kota yang tinggi, terpancang sebuah
kepala orang yang masih berlumuran darah. Kepala itu bukan lain adalah batang kepala Su Tiau-
gi.
Ah, kepala pemberontak sudah binasa. Sia-sia kita datang kemari, kata Bik-hu.
Ih, kemungkinan ada sesuatu yang tak beres, tiba-tiba In-nio kerutkan dahinya.

Atas pertanyaan Bik-hu, In-nio menerangkan: Opsir bermuka brewok yang berada di atas pos
pintu kota itu seperti Li Hoay-sian, orang kepercayaan Su Su-bing.
Memang karena sering ikut pada ayahnya berperang, banyaklah pengalaman In-nio. Ayahnya
pernah bertempur dengan Li Hoay-sian maka ia kenal dengan orang itu.
Tapi dia memakai seragam opsir pemerintah. Dan kepala Su Tiau-gi itu terang bukan palsu,
bantah Bik-hu.
Dalam pada itu pintu kota sudah dibuka. Seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan (ordonans)
menyambut keluar. Ia mempersilahkan jenderal Li Kong-pik masuk ke dalam kota. Karena
Lengciam
(lencana pertandaan) yang dibawa opsir itu memang tulen, maka Bik-hu pun tak sangsi lagi
dan segera membawa pasukannya masuk kota.
Dari opsir Ki-pay-koan itu didapat keterangan bahwa memang Su Tiau-gi telah datang
menggabung pada Li Hoay-sian. Li Hoay-sian menyambutnya dengan sebuah perjamuan. Tapi
diam-diam ia sudah bersekongkol dengan Li Kong-pik. Tengah makan minum, Su Tiau-gi
ditangkap dan dihukum potong kepala.
Pun untuk menghormat kedatangan pasukan Bik-hu, Li Hoay-sian mengadakan sebuah
perjamuan.
Aku ini sahabat berkelahi dari ayahmu. Untuk menebus kedosaanku yang lalu aku hendak
menjadi menteri kerajaan yang setia. Kuharap nona suka menyampaikan hal ini kepada ayahmu,
kata Li Hoay-sian kepada In-nio.
In-nio tahu bahwa Li Hoay-sian itu seorang oportunis alias plin-plan. Tapi karena sudah
membunuh Su Tiau-gi maka berjasa juga. Ia mengucap beberapa patah kata merendah dan
berjanji
akan mengatakan kepada ayahnya.
Setelah beristirahat seperlunya, Bik-hu menghadap panglima Li Kong-pik. Karena ayahnya
wakil panglima dan kenal baik dengan Li Kong-pik, maka In-nio pun ikut menghadap juga.
Panglima itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira.
Kali ini kami sudah siap-siap bertempur, tapi sayang kaum pemberontak sudah dilenyapkan.
Dengan begitu sedikitpun kami tak berjasa apa-apa. Atas pemberian arak selamat dari goanswe
(panglima), kami sungguh malu sendiri, kata Bik-hu. Li Kong-pik tertawa gelak-gelak.
Mengapa goanswe tertawa? Apakah perkataanku salah? Bik-hu heran.
Seorang tentara masakan mengeluh tak ada kesempatan berperang? Malam ini tidurlah
baikbaik.
Besok pagi akan kukirim kau ke medan pertempuran. Apakah kau tak tahu kalau jenderalmu
sudah mempunyai rencana? kata Li Kong-pik.
Kalau In-nio coba-coba menerka adalah Bik-hu yang sudah lantas menanyakan hal itu:
Rencana apa? Akan bertempur dengan siapa?
Sahut panglima Li dengan wajah serius: Kuundang kalian kemari, pertama untuk merayakan
arak kemenangan. Kedua, untuk mengantar keberangkatan. Sekarang kuberitahukan tentang
berita
yang kuterima dari Sip ciangkun. Su Tiau-gi sudah meninggal tapi dia masih mempunyai
seorang
adik perrempuan yang dengan membawa tentara serta seorang penjahat besar bernama ....
Bernama Bo Se-kiat, Bik-hu meneruskan.
**********
Ya, benar, kabarnya Bo Se-kiat sudah menikah dengan adik perempuan Su Tiau-gi itu. Mereka
mempunyai anak buah sejumlah 4-5 puluh ribu. Jauh lebih besar dari Su Tiau-gi dengan sisa
pasukann, kata Li Kong-pik.
Apakah sudah diketahui jejak Bo Se-kiat? tanya Bik-hu.
Benar, mereka lari ke arah utara. Semalam Sip ciangkung sudah gerakkan pasukannya,
merubah rencana perjalanan semula untuk mencegat mereka di Coat-liong-koh. Menurut
perhitungan, besok pagi tentu sudah bertemu. Sip ciangkun kirim orang memberitahu padaku.
Kurencanakan untuk mengirim sebuah pasukan berkuda bersama kau ke Coat-liong-koh untuk
menyergap musuh dari belakang, kata Li Kong-pik.
Kiranya Sip ciangkun memang telah mengatur siasat. Dari mata-mata ia mendapat tahu kalau

Bo Se-kiat mengambil jalan ke utara. Tetapi ia (Sip Hong) pura-pura berangkatkan pasukannya
ke
Poa-yang, agar Se-kiat tidak menaruh kecurigaan.
Taktik militer harus selalu secara mendadak di luar dugaan musuh. Rahasia militer harus
dijaga rapat. Maka tak mengherankan kalau kau sendiri tak mengetahui tentang rencana
panglimamu. Ini bukan karena takut kau membocorkan tetapi kalau kau tahu bahwa
kepergianmu
ke Poa-yang sini hanya gerakan tipu kosong, kau tentu tak serius menjalankan tugas. Bisa juga
kau
buru-buru mempercepat perjalanan. Kalau sampai diantara anak buah tentara ada yang
berkhianat
dan membocorkan pada musuh, tentu musuh akan dapat lolos lagi, Li Kong-pik menyudahi
penjelasannya.
Pulang ke dalam kemah, Bik-hu memberitahukan hal itu kepada Khik-sia dan Yak-bwe yang
menjadi girang mendengarnya. Tapi dalam pada itu, Khik-sia mempunyai pemikiran sendiri:
Ah,
anak buah Se-kiat terdiri dari kawan-kawan Lok-lim. Kali ini mereka tertipu. Kalau sampai
mengantarkan jiwa, bukankah kasihan. Aku akan berusaha untuk memberi jalan hidup pada
mereka.
Keesokan harinya sebelum terang tanah, Bik-hu berangkat bersama pasukan berkuda. Karena
mereka mengambil jalan singkat yang hanya 60-an li jauhnya, sebelum petang hari mereka sudah
tiba di lembah. Ternyata pertempuran telah pecah antara pasukan Sip Hong lawan anak buah
Sekiat.
Pertempuran berlangsung dahsyat.
Sip Hong gunakan taktik Tiang-coa-tin (barisan ular panjang). Kalau diserang kepalanya,
ekornya menggempur. Kalau bagian ekor yang diserang, kepalanya menggempur. Kalau tengah
atau bagian badan yang diserang, kepala dan ekornya berbareng menerjang. Tiap 300 serdadu
menjadi satu pasukan. Setiap pasukan dipecah lagi jadi tiga lapisan. Lapisan muka terdiri dari
150
tentara darat bersenjata tombak dan khik. Tugasnya untuk menyambut barisan pelopor dari
musuh.
Lapisan tengah terdiri dari 50 tentara yang tugasnya khusus untuk menggerantol (mengait) kaki
kuda musuh. Lapisan belakang terdiri dari 100 tentara panah. Tugasnya untuk melepaskan anak
panah ke barisan musuh agar dapat melindungi lapisan muka maju menerjang. Disamping
pasukan
itu, masih ada sebuah pasukan berkuda yang mengapit kanan kiri pasukan itu secara mobil.
Meskipun pihak Bo Se-kiat juga mempunyai 500-an anak buah, tapi sebagian besar adalah
bekas tentara Su Tiau-gi yang sudah pecah nyalinya. Dalam beberapa kali pertempuran, mereka
selalu dikalahkan oleh tentara pemerintah. Untung anak buah Se-kiat yang berasal dari kawanan
Lok-lim itu, tinggi sekali daya tempurnya. Se-kiat mengatur barisannya secara horisontal.
Mundur
sama mundur, maju sama maju. Berulang kali tentara negeri hendak membobolkan pertahanan
mereka, tetapi tetap gagal. Namun diambil secara keseluruhannya, tentara negeri berada di pihak
unggul. Jika bekas tentara Su Tiau-gi itu sudah dihancurkan, kawanan Lok-lim pengawal Se-kiat
itu tentu mudah diatasi.
Melihat gelagat tak menguntungkan, Se-kiat ajak Tiau-ing dan pengawalnya pasukan berkuda
serta kedelapan jago dari Hu-song-to, membuka jalan darah. Mereka menerjang ke arah bendera
Sip Hong. Asal dapat menghancurkan bagian tengah yang merupakan komando, atau dapat
menahan Sip Hong, barisan ular panjang tentu berantakan sendiri.
Pada saat Bik-hu dan kawan-kawan terjun dalam medan pertempuran, tepat pada waktu Se-kiat
dan pasukannya menerjang ke bagian tengah. Mereka berkepandaian tinggi. Hujan anak panah
yang dilancarkan tentara negeri, kena disapu jatuh semua. Hanya dua orang Hong-ih-jin (baju
kuning dari pulau Hu-song-to) yang terluka, tapi pun tak mau mundur.
Hola, Se-kiat, kita bertemu lagi. Maukah kau bertempur dengan aku sampai tiga ratus jurus
lagi? seru Khik-sia. Ia kepit perut kudanya. Kuda meringkik dan menerjang ke muka barisan
Sekiat.
Ia merebut sebatang busur dari seorang tentara panah. Sret, sret, beruntun ia lepaskan empat
anak panah. Dua untuk Se-kiat dan dua pada Tiau-ing.
Dua batang anak panah mengaung di sisi rambut Tiau-ing. Yang sebatang tepat mengenai
anting-antingnya hingga jatuh. Khik-sia masih berlaku murah. Tak mau mengambil jiwanya dan
hanya membikin kaget saja. Tapi itupun sudah untuk membuat Tiau-ing jatuh dari kudanya.
Melihat Khik-sia memanahnya, Tiau-ing terkejut, marah dan berduka. Belum anak panah
mengenai
tubuhnya, ia sudah jatuh dari kudanya sendiri.

Se-kiat putar pedangnya. Ia dapat memukul jatuh kedua anak panah dari Khik-sia walaupun
tangannya terasa sakit juga. Tapi yang membuatnya kaget sekali adalah ketika melihat isterinya
jatuh. Cepat ia menyambar tubuh wanita itu. Tetapi kuda Tiau-ing kena terpanah mati oleh
tentara
negeri.
Kejadian itu cukup mematahkan semangat Se-kiat. Apalagi dilihatnya bagian tengah dari
barisan Tiang-coa-tin itu kuat sekali, sedang di antara kedelapan pengawalnya sudah ada tiga
orang
yang terluka, ditambah pula dengan kedatangan Khik-sia berempat. Ia (Se-kiat)
memperhitungkan,
sukar untuk merebut bendera musuh.
Saat itu tiga ribu pasukan berkuda yang dipimpin Bik-hu menyerbu dari belakang. Pasukan
Sekiat
sudah kehilangan komandonya hingga kena dipecah belah oleh tentara negeri. Pasukan Se-kiat
kalut, tidak ada koordinasi satu sama lain lagi. Sampai pada saat itu, Se-kiat pecah nyalinya
betulbetul.
Dengan memboncengkan Tiau-ing ia ajak kedelapan pengawalnya berputar balik menerjang
keluar.
Khik-sia tak mau mengejar melainkan masuk ke dalam perkemahan menghadap Sip Hong.
Hiantit, kau bersama Bik-hu dan In-nio sudah datang? Sip Hong girang sekali.
Khik-sia mengiakan dan hendak membawa In-nio kesitu tapi Sip Hong mencegahnya: Tak
usahlah. Saat ini belum waktunya kami berdua ayah dan anak bertemu. Akan kuberimu seregu
pasukan berkuda. Bantulah Bik-hu menjaga mulut lembah. Musuh sudah kalut, ini kesempatan
bagus bagi kita. Sekalipun tak dapat memusnahkan mereka, tapi sekurang-kurangnya mereka
tentu
akan hancur berantakan.
Sip ciangkun, maaf atas kelancanganku ini, kata Khik-sia.
Ehm kau ada usul apa? Bilanglah, tak perlu sungkan-sungkan.
Pikirku hendak mohon ciangkun memberi dia sebuah jalan hidup.
Aku justeru hendak memusnahkan mereka sebaiknya kau berpendapat begitu. Rupanya kau
hendak mengunjukkan welas asih seorang wanita di tengah medan peperangan? tegur Sip Hong.
Meskipun saat ini suatu kesempatan bagi ciangkun mendirikan pahala, tapi dalam membasmi,
tiga ribu musuh itu apakah pihak kita juga takkan menderita kerugian beratus-ratus jiwa? Jika
kelewat mendesak mereka, mereka tentu akan melawan mati-matian. Dan ini bukankah akan
mengorbankan banyak jiwa? Menurut pendapatku, yang penting kita dapat mencerai beraikan
musuh, mematahkan semangat mereka. Dalam hal ini aku bersedia menerima ejekan ciangkun
sebagai wanita yang mengunjukkan welas asih di medan peperangan. Daripada membayar pahala
dengan ribuan jiwa, rasanya lebih baik.
Sebenarnya Sip Hong itu luas sekali pengalamannya. Tapi ia masih tak dapat lepas dari
ambisinya mencari pahala. Ucapan Khik-sia tadi seperti air dingin mengguyur kepalanya.
Setelah
terlongong beberapa saat, barulah ia berkata: Membayar pahala dengan ribuan jiwa? Hm,
apakah
kau anggap aku Sip Hong ini manusia yang haus darah, algojo yang mementingkan keuntungan
diri
sendiri?
Siautit tidak berani bermaksud begitu, buru-buru Khik-sia meminta maaf.
Baik, tapi kuminta kau dapat melaksanakan cara-cara untuk mencerai beraikan musuh. Nah,
akupun tak mau mengucurkan banyak darah dan menurut usulmu itu. Kuserahkan bendera
komando kepadamu, kau boleh mewakili aku memberi komando, kata Sip Hong.
Khik-sia menyambuti bendera itu terus mengundurkan diri. Dengan suara nyaring ia berseru
kepada pasukan Se-kiat: Hai, dengarlah. Su Tiau-gi sudah binasa. Li Hoay-sian menerima titah
kerajaan untuk menerima anak buahnya. Siapa yang suka menyerah, diampuni. Yang mau
mengundurkan diri dari ketentaraan boleh datang ke Poa-yang menerima uang pesangon.
Sembilah puluh persen dari anak buah Su Tiau-gi sudah tak punya nafsu bertempur lagi.
Mendengar itu mereka berturut-turut melemparkan senjatanya dan menyerah. Tapi anak buah
Sekiat
masih tak goyah pendiriannya.
Se-kiat yang sudah kembali ke tengah barisannya, ajukan kudanya dan tertawa mengejek: Toan
Khik-sia, ha, ha, tak kira mukamu begitu tebal mau berhamba pada tentara negeri? Baik, karena
kau menginginkan pangkat dan kekayaan, menakluk pada kerajaan, menjual saudara-saudara
Loklim
maka marilah. Saudara-saudaraku semua adalah lelaki jantan tak nanti sudi menyerah

padamu!
Kelompok Lok-lim paling mengutamakan keperwiraan. Ucapan Se-kiat itu dimaksud untuk
membakar hati anak buahnya. Dan ternyata berhasil. Beberapa orang berturut-turut memaki
Khiksia.
Khik-sia kendalikan kemarahannya. Dengan gunakan lwekang ia berseru keras menindas
hamun makian orang-orang itu: Bo Se-kiat, kau menipu saudara-saudara lok-lim untuk menjual
jiwa padamu. Apa maksudnya? Bukankah karena kau hendak menduduki tahta kerajaan? Kalau
kau cakap dan bijaksana, itu sih tak mengapa. Tapi ternyata kau kawin dengan perempuan
siluman
itu, mau mengundang suku Oh menyerang Tiong-goan. Coba pikir, bagaimana rakyat akan
tunduk
padamu? Dan para hohan yang sadar mana sudi berkorban untukmu? Ya, memang saudara-
saudara
yang berada di sini ini golongan hohan semua. Adalah karena mereka tergolong hohan, mereka
mengerti akan peraturan menjadi penyamun. Kau hendak menyesatkan mereka, tapi mana
mereka
mau mengikuti jejakmu?
Memang di kalangan lok-lim yang menggabung pada Se-kiat itu, sudah lama ada yang tak puas
kepada Se-kiat. Tetapi karena kebanyakan mereka itu terpaksa menjadi penyamun karena tak
mau
tunduk pada kerajaan, maka walaupun ucapan Khik-sia tadi diakui kebenarannya namun tiada
seorang pun dari mereka yang melemparkan senjatanya.
Merah muka Se-kiat. Ia tertawa nyaring: Kau tuduh aku menyesatkan mereka? Tetapi coba
kau tanya dirimu sendiri hendak kemana kau mengajak mereka itu? Berhamba pada kerajaan,
apakah jalan yang benar? sebenarnya Se-kiat kuatir kalau anak buahnya terpengaruh dengan
katakata
Khik-sia tadi. Maka ia bangkitkan lagi rasa kebencian mereka terhadap Khik-sia.
OooooOOOOOooooo
Tutup mulutmu! bentak Khik-sia yang tiba-tiba mencabut bendera pemberian Sip Hong dan
berteriak nyaring: Sama sekali aku tak bermaksud menyuruh saudara-saudara menakluk. Aku
sendiripun bukan manusia yang temaha pangkat kekayaan. Jika kelak aku Toan Khik-sia sampai
menjabat dalam pemerintahan, saudara-saudara boleh membelah tubuhku dan mengorek ulu
hatiku!
Habis itu ia keprak kudanya ke muka seraya melambaikan bendera: Goan-swe memberi
perintah supaya saudara-saudara yang menjaga mulut lembah memberi jalan lepaskan mereka.
Kecuali diserang, siapapun tak boleh turun tangan!
Kawanan tentara terbeliak. Namun perintah harus ditaati. Dan ada baiknya juga untuk
menghindari pertumpahan darah. Mereka segera melakukan perintah.
Tadi Se-kiat mengadakan usaha terakhir untuk menjebolkan kepungan musuh. Tapi kini
kepungan itu serta merta sudah terbuka sendiri. Ini sungguh di luar dugaannya. Nyata pihak
pemerintah sengaja hendak mengasih jalan lolos. Bagi Se-kiat sebaiknya hal itu malah runyam.
Ia
tahu sekeluarnya dari kepungan, anak buahnya tentu tak mau mendengar perintahnya lagi. Ia
bakal
menjadi seorang pemimpin Loklim yang tak punya kewibawaan lagi. Daripada begitu ia lebih
suka
mengadu jiwa untuk membuka jalan darah, agar anak buahnya tetap setia kepadanya.
Tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, siapa lagi yang sudi mendengar komandonya?
Bagaikan air bah, mereka melanda menerobos keluar dari mulut lembah. Marah Se-kiat bukan
kepalang. Dengan menggerung keras, ia serbukan kudanya ke muka Khik-sia dan menyerangnya.
Ha, dikasih jalan keluar kau tak mau. Baik, karena ingin bertempur, terpaksa aku harus
menemanimu, teriak Khik-sia. Dengan jurus Lat-biat-hoa-san, ia menangkis. Tring, tubuh Se-
kiat
tergetar, kudanya pun menyurut beberapa langkah.
Khik-sia tak mau memberi hati. Setelah memperingatkan lawan supaya berjaga-jaga, ia
menyerang tiga kali. Se-kiat kelabakan menangkis. Hampir saja ia terjatuh dari kudanya.
Khik-sia menang angin. Tapi kemenangannya itu bukan disebabkan karena ia lebih sakti tapi
karena berkat keunggulan kudanya dan karena Se-kiat sudah lelah bertempur sebelumnya.
Kedelapan pengawalnya dari pulau Hu-song-to coba hendak maju menolong. Tapi mereka
disambut oleh Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe. Seperti telah diterangkan, diantara kedelapan jago
HuKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
song-to itu... Walaupun ketambahan dengan Su Tiau-ing namun mereka tetap berat menghadapi
Bik-hu bertiga dengan In-nio dan Yak-bwe. Tiga ribu pasukan berkuda melihat pemimpinnya
tarung, tanpa diperintah lagi terus maju menyerbu.
Melihat itu Se-kiat diam-diam mengeluh. Ia tak kira bahwa pada hari itu ia harus menyerahkan
jiwanya kepada Khik-sia. Se-kiat dan kudanya sudah lelah sekali. Rupanya kelemahan itu
diketahui juga oleh Khik-sia yang terus maju menerjangnya. Belum lagi Se-kiat sempat putar
kepala kudanya, Khik-sia sudah menusuk punggungnya. Tring, sekonyong-konyong dalam
detikdetik
yang berbahaya itu, Tiau-ing keprak kudanya menangkis seraya berseru dengan nada gemetar:
Bagus, Khik-sia, bunuhlah saja aku!
Khik-sia jauh lebih lihay dari Tiau-ing. Apalagi pedangnya sebuah po-kiam. Asal ia mau
tambahi tenaga, pedang Tiau-ing tentu terpapas kutung dan orangnya terluka. Tapi demi
tertumbuk
akan wajah Tiau-ing yang berlinang air mata itu, luluhlah hati Khik-sia. Tiau-ing tetap dapat
menguasai pedangnya. Kesempatan itu tak disia-siakan Se-kiat yang secepat menabas pedang
Khik-sia terus putar kudanya lari. Tiau-ing mengikutinya.
Se-kiat, selama gunung masih menghijau, masakan kita kuatir tak dapat mencari kayu,
katanya.
Sebenarnya Se-kiat berpambek ksatria. Tapi demi Tiau-ing masih setia padanya dan bahkan
menghibur dengan kata-kata bersemangat, lemaslah hatinya. Ah, benar. Selama masih hidup
masakan tak dapat melakukan pembalasan. Tiau-ing masih setia padaku. Aku harus memenuhi
kewajiban untuk melindungi seorang isteri, pikirnya.
Padahal Tiau-ing bersikap begitu karena sudah putus jalan. Ia insyaf bahwa Khik-sia tak nanti
sudi kepadanya lagi. Satu-satunya tiang sandaran hanyalah Se-kiat.
Se-kiat bersuit memanggil kedelapan pengawalnya kemudian diajak lolos. Bik-hu, In-nio dan
Yak-bwe hendak mengejar tapi dicegah Khik-sia: Tak boleh kita melanggar janji. Kalau dia
mau
lari, biarkanlah!
Bik-hu menurut dan perintahkan pasukannya mundur. Dengan demikian dapatlah Se-kiat dan
kawan-kawan keluar dari mulut lembah.
Ah, sayang, sayang! Khik-sia, kau sia-siakan kesempatan membalas sakit hati! seru Yak-bwe.
Bermula Khik-sia kuatir kalau dituduh masih ada kenangan terhadap Tiau-ing. Bahwa ternyata
Yak-bwe tak mengungkat hal itu, Khik-sia pun girang sekali. Sahutnya: Membalas sakit hati
adalah urusan kecil. Tetapi mentaati janji adalah lebih penting. Karena sudah ada perintah, maka
tak boleh kita hanya memikirkan soal sentimen terhadap Se-kiat seorang. Apalagi Thiat-toako
memang tak berniat untuk membunuh Se-kiat.
In-nio setuju dengan pernyataan Khik-sia. Demikianlah mereka berempat segera kembali ke
perkemahan panglima untuk menghadap Sip Hong. Jenderal itu memerintahkan untuk
membersihkan medan pertempuran dan memeriksa anak buahnya yang luka-luka. Setelah para
penjaga kemah ditugaskan semua, barulah ia menerima kedatangan Khik-sia berempat.
Walaupun
memperoleh kemenangan tetapi wajahnya tetap tak mengunjuk seri kegirangan. In-nio memberi
hormat kepada ayahnya.
Hai, mengapa kau berani berdusta kepada ayahmu? Bilang menjenguk rumah tapi ternyata
diam-diam pergi ke Tho-ko-poh! tegur Sip Hong.
Tapi kepergian cici In kali ini juga ada faedahnya. Ia dapat menyelidiki keadaan musuh dan
berhasil menarik seorang panglima wanita yang menjadi orang sebawahan Se-kiat. Wanita itu
banyak sekali membantu tentara negerti kemudian ia menikah dengan putera raja suku Ki. Kali
ini
jiga raja suku Ki tak kerahkan tentaranya untuk mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, mungkin
tentara
negara juga tak mudah menyerbu musuh. Paman Sip, mengingat jasa-jasa cici In, rasanya tak
perlu
kau mendampratnya lagi! kata Yak-bwe.
Sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu dari Bik-hu. Setelah memaki sekedarnya, hatinya pun
lemas lagi, ujarnya: Untung kali ini ada Pui hiantit yang berani menempuh bahaya masuk ke
Thoko-
poh sehingga kau tertolong. Jika tidak, entah bagaimana jadinya. Lain kali jangan berani
bertindak gegabah!
Setelah menghaturkan maaf, berkatalah In-nio: Aku merasa girang sekali kali ini ayah dapat

menyelesaikan pemberontakan tanpa banyak mengucurkan darah. Besok pagi aku dan adik Bwe
hendak pulang ke selatan. Kali ini aku sungguh-sungguh akan menjenguk mamah.
Sip Hong memberi persetujuan.
Yah, kau sudah kelewat lama berdinas dalam ketentaraan. Seharusnya minta pensiun saja,
melewatkan hari tua di rumah dengan tenteram, kata In-nio.
Jika selamat tak kejadian suatu apa, tentu aku senang untuk pensiun di rumah, sahut Sip
Hong.
Kau sudah berjasa besar sekali, masakan pemerintah masih mempersalahkan apalagi? tanya
Yak-bwe heran.
Dikuatirkan peristiwa hari ini, tak dapat dimaafkan baginya. Kawanan menteri kerajaan yang
hendak menyingkirkan aku, tentu takkan mensia-siakan kesempatan ini! jawab Sip Hong.
O, apakah soal melepaskan Bo Se-kiat itu .... baru In-nio hendak meminta penjelasan kepada
ayahnya, jenderal itu sudah menukasnya: Toan hiantit, jangan kuatir. Urusan hari ini aku tetap
berterima kasih kepadamu. Kaulah yang menggugah hati nuraniku untuk mengurangi
kedosaanku
mengorbankan jiwa. Sekalipun untuk itu aku harus menerima hukuman, tapi aku tetap takkan
mempersalahkan kau.
Walaupun ciangkun lepaskan mereka, tapi anak buah Bo Se-kiat kurasa tentu tak mau
mengikut Se-kiat lagi. Dengan begitu kita dapat menghapus bahaya tanpa mengorbankan jiwa.
Daripada dibunuh, mereka tentu masih akan tetap mendendam, lebih baik kita memakai cara
melepas budi, sahut Khik-sia.
Sip Hong mengatakan mudah-mudahan pihak kerajaan terdapat orang-orang yang mempunyai
pandangan seperti itu. Tiba-tiba Bik-hu melangkah maju, katanya: Sip ciangkun, terima kasih
atas
pengangkatan ciangkun kepadaku. Tapi karena sekarang pemberontakan sudah ditindas, aku tak
berhasrat masuk dalam tentara dan ijinkanlah aku pulang ke kampung. Maaf, jika aku
mempunyai
kesalahan selama ini.
Hai, kau mempunyai karir yang gilang-gemilang di kemudian hari. Mengapa hendak undurkan
diri? Sip Hong terkejut.
Ini.... ini ....
Yah, luluskanlah permintaannya, cepat In-nio memotong kata-kata Bik-hu.
Sip Hong sejenak memandang kepada puterinya. Ia seperti tersadar. Katanya dengan tertawa:
In-nio, apakah kau menginginkan Pui sutemu mengantarkan kau pulang? Kau belum
menghaturkan terima kasih kepada sutemu, mengapa hendak merepotinya lagi?
Yak-bwe tertawa geli: Paman Sip, mengapa kau khilaf?
Khilaf bagaimana?
Mereka berdua mana perlu berterima kasih lagi? sahut Yak-bwe.
Merah padam wajah In-nio. Ia tundukkan kepala. Sip Hong tertawa gelak-gelak: Oh, benar,
benar. Aku memang limbung. Pui hiantit, aku hanya mempunyai seorang puteri. Perangai In-nio
itu agak keras, dalam segala hal ia turut kemauannya sendiri. Ia agak membandel. Apakah kau
tak
menolaknya?
Aha, mana ada ayah blak-blakan mengatakan keburukan dari puterinya? Yak-bwe tertawa.
Bik-hu memuja dan mencintai In-nio. Tapi tahu bahwa sucinya itu juga menyambut cintanya,
namun ia tetapi masih tak berani meminangnya. Bahwa saat itu ayah In-nio terang-terangan
mengijinkan perjodohan mereka, hampir saja Bik-hu tak dapat menguasai kegirangan hatinya.
Dengan tangan dan nada gemetar ia berkata: Paman....
Hai, Pui suheng, mengapa kau juga limbung? teriak Yak-bwe.
Bik-hu jatuhkan diri berlutut di hadapan Sip Hong: Ayah mertua yang mulia, terimalah hormat
menantu. Memang dalam segala apa cici In-nio lebih pandai dari aku. Apa yang ayah katakan
tadi,
sebaliknya adalah sifat-sifat kebaikannya. Aku seringkali mendapat nasihat darinya. Aku kuatir
akulah yang tak sembabat menjadi pasangannya.
Bik-hu seorang pemuda jujur. Apa yang hatinya memikir, mulutnyapun mengatakan. Khik-sia
masih dapat menguasai diri tapi Yak-bwe sudah tertawa terpingkal-pingkal: Ho, jadi selain mau
mengambil isteri, kau juga memerlukan seorang guru? Selamat cici In kuucapkan padamu. Kau

boleh tak usah kuatir suamimu berani menghina padamu!
Pun Sip Hong tertawa gelak-gelak, serunya: Kalau begitu, kau suka menerimanya. In-nio, kau
bagaimana?
Wajah In-nio makin membara. Ia tahu kalau ayahnya sengaja hendak menggodanya. Maka
iapun berlutut, serunya: Terserah bagaimana keputusan ayah.
Kembali jenderal itu terbahak-bahak. Ia menarik In-nio dan Bik-hu ke dekatnya dan berkata:
Bik-hu, kalian berdua sudah saling setuju. Kuserahkan In-nio kepadamu. Antarkanlah pulang
dulu menjumpai mamah mertuamu. Jika tak diijinkan, aku tetap akan minta cuti pulang ke
kampung untuk menyelesaikan pernikahanmu.
Lega sekali hati Sip Hong setelah menyelesaikant tugas kewajibannya sebagai seorang ayah.
Keresahan hatinya tentang peristiwa Se-kiat tadi, lenyap seketika.
Akupun tak temaha pada pangkat dan kekayaan. Bik-hu, aku takkan memaksa jika kau
keberatan masuk tentara. Semasa muda akupun juga bercita-cita menjadi pendekar kelana.
Kalian
setelah menikah, terserah akan menuntut penghidupan apa, kata jenderal itu kepada anak
menantunya. Bik-hu menghaturkan terima kasih.
Tengah mereka bicara, datanglah seorang petugas menghadap Sip Hong menerangkan bahwa
ada seorang kelana persilatan mohon hendak menghadap. Sip Hong perintahkan membawa orang
itu datang. Waktu petugas itu hendak mengundurkan diri
Anak tentara yang terluka hamba tak tahu jumlahnya. Tapi opsir-opsir yang terluka hanya
belasan orang. Kelana itu hebat betul, setelah diberi obatnya opsir-opsir itupun tak menderita
sakit
lagi. Kemudian orang itu membagi-bagikan obat pada seluruh perkemahan kita, jawab petugas
itu.
Sip Hong segera suruh memanggil kelana itu. Khik-sia menanyakan siapa kelana itu. Dijawab
oleh Sip Hong kalau kelana itu sebenarnya hendak mencari Khik-sia. Dia bukan lain ialah
sahabat
dari mendiang ayahmu yaitu Toh Peh-ing, kata Sip Hong. Sudah tentu Khik-sia girang sekali.
Tapi ada urusan apa ia mencari aku? tanya Khik-sia.
Meskipun aku kenal padanya, tapi status kita berlainan maka akupun tak leluasa menanyai.
Waktu hari ini aku menggempur Bo Se-kiat, dia (Toh Peh-ing) menyatakan kalau tak mau
membantu perang melainkan hendak merawat serdadu-serdadu yang terluka saja. Maka
kutempatkan ia di bagian perawatan. Dan dia memang banyak memberi bantuan dalam hal itu.
Selama dua hari ini ia sibuk meramu obat-obatan, Sip Hong menerangkan.
Khik-sia tahu keberatan Toh Peh-ing. Memang sebagai kaum loklim, Toh Peh-ing tentu segan
menumpas sesama kaum loklim. Khik-sia menduga kedatangan paman Toh itu tentu atas
perintah
Thiat toakonya. Entah telah terjadi peristiwa apa saja dengan Thiat-mo-lek. Dalam pada itu
Kimkiam-
ceng-long Toh Peh-ing pun datang seraya memberi salam terima kasih kepada Sip Hong.
Ai, mengapa Toh tayhiap begitu merendah, Sip Hong tersipu-sipu membalas hormat.
Terima kasih atas kemurahan hati ciangkun yang telah membuka jalan hidup hingga tak sampai
mengorbankan banyak jiwa, kata Peh -ing.
Ah, itu Khik-sia yang mengusulkan, aku tak berani menerima pujian.
Setelah Khik-sia dan kawan-kawan memberi hormat kepada jago tua itu, berkatalah Peh-ing:
Dari tindakan Bo Se-kiat yang tetap mengadakan perlawanan itu, rupanya ia tak menghiraukan
surat Thiat cecu dan rupanya kau telah menerima hinaan!
Jangankan menghiraukan, melihatpun ia tak sudi, kata Khik-sia yang lalu menuturkan
pengalamannya. Toh Peh-ing menghela napas, Memang telah diduga kalau Bo Se-kiat tentu
menolak nasehat Thiat cecu, itulah sebabnya maka aku disuruh kemari mencarimu.
Atas pertanyaan Khik-sia, Toh Peh-ing menjelaskan: Dengan menggabung pada Su Tiau-gi,
walaupun Bo Se-kiat dapat mengelabuhi Kay Thian-hau, Nyo Toa-ko-cu dan sementara
saudarasaudara,
tapi banyak sekali cecu yang tak puas kepadanya. Kini dua orang lo-cianpwe dari
kalangan loklim yakni Thiat-pi-kim-to Tang Kiam-ho dan lo-cecu dari gunung Hok-gu-san
bermaksud hendak menghapuskan kedudukan Bo Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu.
Apakah itu tak berarti harus mengadakan rapat besar kaum loklim lagi? tanya Khik-sia.
'Ya, benar. Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan menghendaki Thiat-mo-lek yang
menyelenggarakan rapat itu dan mengirim undangannya. Tempat rapat ditetapkan di Hiong-ki-
goan

gunung Hok-gu-san. Soal ini hanya menunggu persetujuan Thiat-toako saja.
Lalu bagaimana maksud Thiat-piauko? tanya Khik-sia pula.
Itulah maka ia suruh aku mencarimu kemari. Pertama untuk memperoleh kabar. Jika Bo Sekiat
mau menerima nasihat Thiat cecu, usul Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan itu ditiadakan.
Thiat cecu sedia menghaturkan maaf kepada para cecu.
Thiat piauko benar-benar murah hati kepada Bo Se-kiat. Sayang orang itu gelap pikirannya,
kata Khik-sia.
Thiat cecu sudah menunaikan kewajibannya terhadap seorang sahabat. Tapi bukan berarti ia
memanjakannya. Ia sudah menduga klau Bo Se-kiat tentu keras kepala maka rapat kaum loklim
tetap dipersiapkan. Sekalipun nanti Se-kiat menyesal dan mengakui kesalahannya, ia harus
menyatakan di hadapan orang banyak, baru nanti boleh meneruskan memangku kedudukan
bengcu.
Bagus, itulah tepat. Tetapi menurut pandanganku, Se-kiat tak nanti mau mengakui
kesalahannya, kata Khik-sia.
Itu urusannya sendiri. Rapat kaum loklim tetap akan diadakan. Dalam rangka itulah maka aku
disuruh memanggilmu pulang untuk membantu mempersiapkan rapat itu. Ia mengharap juga
agar
suhengmu juga hadir nanti.
Mengapa? seru Khik-sia.
Karena Thiat cecu sendiri enggan menjabat bengcu dan hendak menyerahkan kedudukan itu
kepada Gong-gong-ji.
Toa-suheng itu biasa hidup bebas, takkan mau ia menerima kedudukan itu.
Hal itu boleh kau rundingkan sendiri dengan piaukomu. Aku sendiripun mengharap kali ini
Thiat cecu jangan menolak lagi. Dia adalah harapan semua saudara.
Sebagai jenderal pelepas gerombolan penjahat, Sip Hong merasa runyam. Ia girang Se-kiat
didepak keluar oleh kaum loklim, tapi ia cemas karena dengan diangkatnya Thiat-mo-lek
menjadi
bengcu baru, kaum lok-lim tentu akan lebih kuat pengaruhnya. Ia sebenarnya masih setia kepada
kerajaan Tong, tapi ia merasa tiada kemampuan. Akhirnya ia ambil putusan untuk segera
letakkan
jabatan dan kembali ke kampung halaman saja. Dengan begitu ia dapat terhindar dari segala
kesulitan di kemudian hari.
Keesokan harinya, Sip Hong kumpulkan pasukannya, setelah menggabungkan diri dengan
pasukan Li Kong-pik terus akan pulang ke kotaraja. Toh Peh-ing, Khik-sia, Pui Bik-hu dan In-
nio
serta Yak-bwe juga bersama-sama pulangke selatan.
Dengan kuda pilihan, tengah hari mereka berlima tiba di sebuah kota. Walaupun masih
membawa bekal makanan, tapi karena perjalanan di padang rumput itu jarang bersua dengan
perumahan rakyat, maka mereka pun singgah juga kekota itu untuk menambah bekal ransum.
Tetapi ternyata kota itu sepi sekali. Hanya ada beberapa orang yang melongok dari jendela.
Begitu melihat rombongan Toh Peh-ing dan kawan-kawan, mereka lantas memukul genderang
dan
berteriak-teriak: Perampok datang lagi!
Beberapa orang yang berada di jalanan, segera bersembunyi. Pintu rumah sama ditutup. Ada
yang bersembunyi di dalam rumah ada juga yang lari keluar tunggang langgang.
Peh-ing heran dan turun dari kudanya. Ada sebuah toko yang tak keburu menutup pintu
dimasuki Peh-ing. Pemiliknya seorang tua yang buru-buru berlutut dan meratap: Harap tay-ong
berlaku murah. Kemarin tokoku sudah digeranyang. Memang tak punya barang apa-apa.
Toh Peh-ing menerangkan kalau dia bukan perampok. Sebaliknya pak tua itu malah gemetar:
Kalau begitu tuan ini tentara negeri?
Bukan, kami adalah pelancong yang kebetulan lalu di sini dan hendak membeli makanan, kata
Peh-ing.
Pemilik warung itu agak lega hatinya: Kemarin pun banyak serdadu yang lalu di sini. Tapi
kami tak dapat membedakan mereka itu serdadu atau kawanan perampok. Yang nyata mereka itu
mengambil semua bahan makanan di sini. Ai, untung mereka hanya merampas itu saja.
Atas pertanyaan Peh-ing, pemilik toko itu menerangkan bahwa kalau perampok tentu merampas
bahan makanan tapi kalau tentara kerajaan tentu sering menganiaya orang.

Sebenarnya kami memerlukan makanan tapi karena kalian sendiri menderita, terpaksa kami
pun tak berani mengganggu lagi, akhirnya Peh-ing ajak rombongannya meneruskan perjalanan.
Tentu anak buah Se-kiat yang berbuat sehina itu, membikin malu nama kaum loklim, Khik-sia
menggerutu.
Tak dapat dipersalahkan. Habis kalau tak ada pimpinan perut kosong tentu sukar dikendalikan
lagi. Mereka hanya merampas makanan, itu sudah cukup baik, kata In-nio.
Peh-ing merenung beberapa saat, katanya: Saudara-saudara yang kalah perang itu harus
dipikirkan penempatannya. Kalau tidak, tentu merupakan bahaya bagi rakyat. Dan kalau mereka
terpencar tentu mudah dibasmi tentara negeri.
Kira-kira seperjalanan empat lima puluh li, mereka kesamplotan dengan sejumlah tiga empat
ratus rombongan laskar yang kalah perang. Ternyata mereka kenal pada Toh peh-ing dan Khik-
sia.
Begitu Peh-ing turun dari kuda, orang-orang itupun segera mengerumuninya. Peh-ing
menanyakan
keterangan pada sementara thaubak yang dikenalnya. Ternyata apa yang diduga memang benar.
Se-kiat sudah kehilangan kepercayaan dari orang-orang loklim yang turut dalam gerakannya.
Sebagian besar orang-orang itu sudah benci pada Se-kiat. Mereka tak mau mendengar
perintahnya
lagi. Kuatir kalau terbit pemberontakan, Se-kiat tak berani berjalan bersama mereka. Ia bersama
sejumlah kecil orang kepercayaannya larikan kudanya lebih dahulu.
Mana Kay Thian-hau? tanya Peh-ing.
Thaubak itu menghela napas: Dia tak mau berpisah dengan Se-kiat. Sebenarnya kami tak anti
pada Kay Thian-hau, bahkan hendak mengangkatnya sebagai pemimpin kami. Tanpa pemimpin,
kami bertindak sendiri-sendiri, sukar mencari makanan dan takut dikejar tentara negeri.
Perjalanan
ke Tiong-goan terpisah jarak ribuan li. Kami kehilangan daya dan putus asa.
Peh-ing memberi peringatan: Merampas makanan, tak kutentang. Tetapi harus melindungi
jiwa rakyat. Rakyat yang miskin tak boleh dirampas makanannya. Kira-kira seratusan li dari sini
adalah kota Leng-bu, gudang ransum dari kerajaan. Kita boleh mengambilnya, mungkin masih
ada
kelebihan untuk dibagikan kepada rakyat yang menderita.
Merampas dari yang kaya untuk menolong pada yang miskin, kita cukup mengerti. Tapi
dikarenakan tiada pemimpin, kawan-kawan kita sering kehilangan disiplin, merampas yang dapat
dirampas. Merampas yang kaya saja sukar apa lagi menggempur gudang pemerintah. Toh thocu
dan Toan siauhiap, kuminta kalian suka memimpin kami, sahut thaubak itu.
Setelah berpikir sejenak, Khik-sia meminta Toh Peh-ing tinggal untuk memimpin mereka,
sementara ia hendak melaporkan itu kepada Thiat-mo-lek supaya segera mengirim orang
menyambut.
Bagus, setuju. Toh thocu, kau tentu menjadi pemimpin yang hebat, terdengar rombongan
kaum loklim itu berseru girang. Karena tak sampai hati melihat sesama kaum loklim sampai
terlantar, mau juga Peh-ing menerimanya. Segera ia suruh beberapa laskar berkuda untuk
mencari
kontak dengan sisa-sisa rombongan kawannya yang tercerai berai. Setelah dapat mengumpulkan
mereka, Toh Peh-ing segera akan mengajaknya pulang ke selatan.
Sedang Khik-sia dan Bik-hu berempat segera teruskan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka
berpapasan dengan banyak kelompok laskar loklim. Kepada mereka, Khik-sia memberitahukan
tentang penggabungan Toh Peh-ing. Mereka supaya tetap tinggal di masing-masing pos nanti
akan
disampir oleh Toh Peh-ing. Khik-sia berempat pun mengunjungi daerah orang Han, tetapi tak
berjumpa dengan rombongan Se-kiat.
Kuda mereka pesat sekali. Tak sampai sepuluh hari, tibalah sudah mereka di tapal batas Holam.
Kalau ke timur menuju ke Gui-pok, kalau ke barat sampai ke gunung Hok-gu-san. Mereka pecah
jadi dua rombongan. In-nio dengan diantar Bik-hu hendak pulang ke Gui-pok. Khik-sia dan
Yakbwe
hendak ke Hok-gu-san.
Yak-bwe berat sekali berpisah dengan In-nio. Ia mengantar sampai jauh sekali. Akhirnya Innio
menyuruh mereka balik dengan menjanjikan setelah menjenguk ibu nanti sepuluh hari lagi ia
juga akan ke Hok-gu-san. Ia berniat ajak Bik-hu menyaksikan rapat besar kaum gagah atau
Enghiong-
tay-hwe.
Demikian kedua pasangan anak muda itu saling berpisah. Pada hari itu Khik-sia dan Yak-bwe

tiba di Sin-yap, sebuah dusun yang berada di daerah kaki gunung Hok-gu-san. Luas pegunungan
Hok-gu-san yang ribuan li itu, harus ditempuh paling tidak tiga hari. Karena tak terburu-buru,
mereka naik kuda pelahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang permai.
Di tepi jalan terdapat sebuah warung minum. Membelakangi gunung, menghadap sungai.
Sungguh indah sekali letaknya. Khik-sia ajak masuk untuk minum. Yak-bwe girang sekali. Kuda
ditambatkan dan masuklah mereka ke dalam warung itu. Di dalam warung tiada tampak lain
tetamu
lagi. Khik-sia memesan dua kati arak dan beberapa sayuran. Selagi menikmati hidangan, tiba-
tiba
matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang mengejutkan.
Pada pilar batu terdapat sebuah bekas tapak tangan yang masuk sampai 3 inci dalamnya.
Anehnya telapak tangan itu kecil sekali, tak mirip dengan telapak tangan orang dewasa. Hebat
benar lwekang orang itu tapi masakan seorang anak kecil? pikir Khik-sia.
Rupanya Yak-bwe melihat juga, katanya dengan bisik-bisik: Tokoh persilatan sakti tentu tak
mau sembarangan mengunjukkan kepandaiannya di tempat sesunyi ini jika tiada maksudnya.
Tentu
ada ceritanya yang menarik!
Ah, tak perlu kita main tebak. Panggil pemilik warung tentu kita akan mendapat keterangan,
Khik-sia tertawa.
Pengurus warung yang mendengar pembicaraan mereka, tanpa dipanggil, sudah menghampiri
datang: Tuan tentu heran dengan telapak tangan di pilar batu itu, bukan?
Ya, memang. Bagaimana ceritanya? tanya Khik-sia.
Memang banyak sudah pengunjung yang heran dengan hal itu. He,he, bukankah tuan hendak
tambah pesan hidangan lagi? tanya tukang warung itu.
Yak-bwe mengiakan tetapi ia minta sepinggan buah-buahan segar. Ia memberi uang,
kelebihannya boleh diambil pengurus warung itu. Dengan girang pengurus warung itu menerima
uang perak Yak-bwe kemudian ia mulai bercerita.
Coba terka siapakah yang melekatkan telapak tangannya itu? ia memulai dengan sebuah
pertanyaan.
Jika dapat menerka, tak perlu kusuruh kau bercerita lagi, Yak-bwe menyahut ketawa.
Kalau kukatakan tentu tak dipercaya orang. Telapak tangan ini adalah dari seorang wanita!
Mendengar itu khik-sia dan Yak-bwe tersentak kaget. Khik-sia menduga jangan-jangan
kepunyaan Biau Hui sin-ni atau Shin Ci-koh.
Masih muda sekali wanita itu, cantik sekali serupa dengan nona ini, pelayan itu menunjuk
Yak-bwe. Yak-bwe tertawa dan menyuruhnya lekas-lekas menuturkan.
Khik-sia tak percaya kalau Su Tiau-ing yang melakukan. Karena teranga kepandaian orang itu
jauh melebihi dirinya (Khik-sia) sendiri.
Baik, aku segera berceritalah. Peristiwanya baru saja terjadi kemarin ketika seorang pemuda
yang gagah usianya sebaya dengan tuan. Mengenakan mantel kulit rusa dan sepertinya menyelip
pedang di pinggang.
Yak-bwe merasa sebal dan hendak menyuruhnya bercerita ringkas, tapi karena tadi sudah
terlanjurnya suruh dia bercerita yang jelas, terpaksa dibiarkan saja. Sedang Khik-sia pun
mendesak
supaya orang itu meneruskan ceritanya.
Kemudian datanglah seorang gadis. Belum sempat kutanya mau pesan apa, nona itu sudah
menghampiri kemuka pemuda tadi dan melengking: Hai, orang she Coh, apa masih kenal
padaku? - Nona itu garang benar. Belum si pemuda sempat menyahut, nona itu sudah
memukulnya! kata pengurus warung pula.
Hai, orang she Coh? Dia kena terpukul atau tidak? seru Khik-sia.
Tidak, pemuda she Coh itu rupanya bisa ilmu sihir. Entah bagaimana tahu-tahu ia 'terbang'
bersama kursinya dan melayang jatuh di muka pilar ini. Tangannya masih mencekal sebuah
cawan,
arak di dalamnya setetespun tak ada yang tumpah.
Sebagai seorang ahli silat tahulah Khik-sia kalau pemuda itu meminjam tenaga pukulan orang
untuk pindah tempat. Sudah tentu tak lupa pemuda itu menyalurkan lwekangnya untuk
melindungi
diri dari pukulan si nona.
Kalau begitu kepandaian pemuda she Coh itu tak di bawah si nona. Tapi mengapa ia tak mau

balas memukul? tanya Yak-bwe.
Dia balas juga tapi bukan dengan pukulan melainkan dengan menghaturkan arak, kata si
tukang warung.
Oh, jadi mereka sudah kenal? tanya Yak-bwe.
Entahlah. Tetapi pemuda itu benar-benar menghaturkan arak pada si nona seraya berseru :
'Aku tak pernah menyalahi nona, mengapa nona mendesak aku begini rupa? Tentu salah paham.
Silahkan nona minum secawan arak dulu agar kemarahan nona reda, kemudian baru bicara.' -
Dan
habis berkata, cawan pemuda itu terbang melayang ke arah si nona. Setitikpun araknya tak
menetes.
Yak-bwe memuji sikap si pemuda yang cukup sabar.
Nona itu tak mau menerima suguhan arak. Dan terjadilah hal yang ajaib. Cawan arak itu
berhenti di hadapan si nona, begitu mulut si nona meniup, cawan itu terbang melalui kepala si
nona
dan prak ... pecahlah cawan itu, araknya menumpah tepat di atas kepalaku. Celaka, arak itu panas
sehingga kepala dan mukaku kicat-kicat kepanasan.
Semangatku serasa terbang, kata pengurus warung itu pula, aku termangu-mangu seperti
patung. Pada saat itu kedengaran si nona memaki : 'Apanya yang salah paham? Karena kau ini
putera pertama dari keluarga Coh di Ceng-ciu, otomatis menjadi musuhku. Hm, apakah kau
masih
berani mengolok-olok aku?' - wut, brak .... kursi tempat duduk pemuda itu pecah berantakan.
Tetapi si pemuda sudah lebih dulu loncat menyingkir. Selembar rambutnya pun tak ada yang
rontok.
Diam-diam Khik-sia membatin ilmu ginkang pemuda itu tak di bawah dia.
Selagi aku terlongong-longong, nona itu sudah menyerbu si pemuda, kata pengurus warung.
Ho, kali ini mereka tentu bertempur sungguh, rupanya Yak-bwe tertarik hatinya.
Nona itu galak benar tetapi si pemuda tetap tak mau membalas. Ia berputar-putar di belakang
pilar batu. Serangan si nona makin gencar. Tiba-tiba terdengar suara tamparan dahsyat. Ternyata
si
nona telah menghantam pilar ini dan meninggalkan bekas telapak tangannya.
Lalu bagaimana? tanya Yak-bwe.
Kemudian, heh, lalu bubar, jawab si pengurus warung.
Lho, mengapa bubar? Yak-bwe heran.
Setelah memukul pilar batu, rupanya tangan nona itu kesakitan. Ia terlongong-longong.
Kesempatan itu digunakan si pemuda untuk menyelinap pergi. Sesaat kemudian baru si nona
mengejar. Karena mereka pergi, bukankah cerita ini sudah bubar? Bubarnya cerita juga
amblasnya
bayaran arakku.
Bayaran arak apa? tanya Yak-bwe.
Pemuda itu meminum tiga ratus kati arak, makan seekor ayam panggang dan dua kati dendeng
sapi. Dia tak seperti tuan yang membayar uang lebih dulu. Dan nona itupun menghancurkan
sebuah kursiku. Bukankah aku harus menggigit jari atas kerugian itu?
Yak-bwe tak sudi mengganti kerugian itu karena tak puas dengan cerita si pengurus warung
yang tak berujung pangkal itu. Sebaliknya Khik-sia merasa kasihan dan memberinya sekeping
perak selaku ganti kerugian. Si pengurus warung pura-pura menolak tapi Khik-sia mendesaknya
supaya menerima karena ia hendak bertanya lagi.
Bukankah pada alis pemuda itu terdapat sebuah tahi lalat yang menonjol? tanyanya.
Pengurus warung arak terkesiap, serunya: Benar, mengapa kau tahu? Apakah sahabatmu?
Aku kenal padanya. Maka akulah yang mengganti kerugianmu, kata Khik-sia. Kemudian ia
berbangkit dan memeriksa bekas telapak tangan yang terdapat pada pilar.
Mendengar pembicaraan Khik-sia, samar-samar Yak-bwe dapat menerka juga. Tapi karena
sudah ditanyai Khik-sia, ia pun tak leluasa mencari keterangan lagi.
Ini tenaga pukulan istimewa. Aneh, partai Siau-lim-si tak pernah menerima seorang murid
wanita, mengapa nona itu dapat memiliki pukulan lwekang kaum agama? Tetapi kepandaiannya
masih belum sempurna betul. Lihatlah, pangkal tangannya melekat ke dalam tapi bagian jarinya
hanya masuk sedikit. Sekalipun begitu, tak mudah mencari seorang wanita yang berkepandaian
sedemikian hebatnya, kata Khik-sia.

Mendengar Khik-sia dapat menilai kepandaian si nona, diam-diam pengurus warung itu terkejut
dan berubah wajahnya. Kalau begitu, kepandaian tuan ini tak kalah dengan si nona lihay itu.
Kukira dia seorang anak pembesar, siapa tahu seorang jagoan, huh, jangan-jangan bangsa
perampok.
Tengah Khik-sia memeriksa bekas telapak tangan itu, sekonyong-konyong dua ekor kudanya
yang ditambatkan pada sebatang pohon di luar, meringkik keras. Khik-sia cepat berpaling dan
terkejutlah ia. Ternyata ada dua orang lelaki sedang memotong tali kendali kudanya.
Kurang ajar! Penjahat yang bernyali besar! makinya seraya menampar meja. Dengan
meminjam gerakan itu, tubuhnya melesat keluar. Tapi sudah terlambat. Kedua orang itu sudah
menceplak kuda. Salah seorang ayunkan tangannya. Sebuah benda berkilap melayang ke arah
meja kasar. Kiranya sekeping perak.
Kemarin nona kami merusakkan perkakas warungmu. Perak itu pemberian nona untuk
mengganti kerugian! teriak orang itu.
Sementara kawannya yang seorang tertawa berseru: Budak kecil semacam kau tak pantas naik
kuda sebagus ini. Kamipun tak mau menggasak kudamu mentah-mentah. Nih, kepingan perak ini
selaku uang pembeli kudamu! - Ia pun melemparkan sekeping perak kepada Khik-sia.
Kurang ajar! Siapa sudi uangmu? bentak Khik-sia. Sekali kebutkan lengan bajunya,
kepingan perak itu berputar-putar melayang kembali kepada pengirimnya. Ketika menyanggapi,
tangan orang itu terasa kesakitan. Kejutnya bukan kepalang. Cepat ia keprak kudanya lari.
Kedua ekor kuda itu sudah terlatih. Mereka sudah kenal akan tuannya, siapapun tak dapat
menaikinya. Tetapi entah bagaimana, rupanya kedua orang itu mempunyai ilmu istimewa
sehingga
kedua kuda itu menurut saja.
Khik-sia gusar sekali. Ia gunakan pat-paoh-kam-sian untuk mengejar. Ketika berpaling bukan
kepalang kaget kedua orang itu demi dilihatnya Khik-sia mengejar sedemikian rapatnya, hanya
terpisah beberapa tombak di belakang.
Budak kecil, karena kau emoh uang, baiklah kuberi thi-lian-cu saja! kedua orang itu ayunkan
tangannya. Dua belas batang senjata rahasia thi-lian-cu melayang ke arah Khik-sia.
Ilmu menimpuk mereka cukup lihay. Tapi karena yang ditimpuk seorang ahli silat macam
Khik-sia, maka hasilnya pun malah runyam. Kukembalikan kirimanmu! sekali Khik-sia
lontarkan pukulan Biat-gong-ciang, kedua belas thi-lian-cu itupun melayang kembali kepada
pemiliknya. Tapi tak dapat mengenai karena kuda yang membawa mereka itu luar biasa
cepatnya.
Ilmu ginkang pat-poh-kam-sian Khik-sia itu dalam jarak beberapa li memang ampuh sekali.
Jika bukan kuda istimewa pemberian dari Cin Siang, tentu tadi-tadi sudah terkejar. Apalagi tadi
Khik-sia harus kendorkan langkah karena menangkis serangan senjata tajam. Beberapa detik
kehentian itu cukup memisahkan jarak mereka jauh sekali. Dan dalam beberapa kejap pula,
kedua
kuda itu pun sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Terpaksa Khik-sia kendorkan larinya. Dalam
pada itu tampak Yak-bwe berlarian mendatangi dengan napas terengah-engah.
Khik-sia tertawa masam: Karena tak berhasil mengejar, lebih baik kita berjalan pelahan-lahan
saja.
Keparat sekali manusia itu! Khik-sia, biar bagaimana juga kau harus berusaha merebut
kembali kuda itu. Kuda itu pemberian Cin Siang, kalau sampai kena dicuri orang, bagaimana kita
ada muka untuk bertemu dengan Cin Siang nanti? Yak-bwe bersungut-sungut jengkel sekali.
Pulangkan napasmu dulu. Biar si setan hilang, sarangnya tentu kedapatan. Asal sudah
mengetahui sarangnya, masakan setan-setan itu dapat lari, Khik-sia menghiburi tunangannya.
Ya, ya, kita harus membikin perhitungan dengan majikan mereka. Bukankah mereka tadi
sudah memperkenalkan diri sebagai orangnya si nona yang meninggalkan bekas telapak
tangannya
di pilar batu?
Siapa nona itu, kita tak kenal sama sekali. Kita perlu cari seorang dulu untuk mencari
keterangan, ujar Khik-sia.
Eh, apakah pemuda she Coh itu bukan Coh Ping-gwan? tanya Yak-bwe.
Khik-sia mengiakan. Yak-bwe menanyakan bagaimana hubungan Khik-sia dengan pemuda itu
dan bagaimana pula riwayatnya.

Perkenalanku dengannya terjadi ketika di dalam Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang.
Setelah itu tak pernah berjumpa lagi. Tapi sekalipun baru berkenalan tapi bukan kenalan biasa.
Seperti Thiat-toako, Coh Ping-gwan itu juga dicap sebagai pemberontak. Kurasa dia juga
seorang
sahabat yang menjunjung keadilan. Sayang aku tak jelas dengan dirinya, sahut Khik-sia.
Memang pada waktu diumumkan nama-nama dari 10 tokoh pemberontak, Coh Ping-gwan
termasuk daftar yang terakhir. Tetapi dia masih asing di kalangan loklim, maka orang pun tak
tahu
perbuatannya yang dianggap memberontak itu. Baru setelah orang she Coh itu bertemu dengan
Shin Ci-koh dan Gong-gong-ji, tahulah Khik-sia kalau pemuda itu sudah kenal pada suhengnya.
Bahkan ternyata pedang Kim-ceng-toan-kiam yang biasa dipakai Ceng-ceng-ji itu ternyata milik
Coh Ping-gwan. Tapi pengertian Khik-sia pun hanya terbatas sampai di situ saja. Bagaimana
tentang pribadi dan gerak-gerik Coh Ping-gwan, sama sekali ia tak mengetahui.
Kalau begitu baik kita bantu pada Coh Ping-gwan saja, untuk memberantas pencuri wanita itu.
Tapi entah dimana kita dapat menjumpai orang she Coh itu? kata Yak-bwe.
Kalau dia muncul di sini terang kalau hendak hadir dalam pertemuan di Hok-gu-san. Baik kita
langsung menuju ke Hok-gu-san saja. Setelah mejumpai Thiat piauko baru kita berunding lagi.
Taruh kata orang she Coh itu tak datang ke Hok-gu-san, pun kita dapat menanyakan keterangan
pada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan itu, kata Khik-sia.
Yak-bwe setuju. Mereka menuju ke Hok-gu-san. Tapi baru berjalan tak berapa lama tiba-tiba
Yak-bwe berseru: Khik-sia, kau lebih banyak pengalaman dari aku, apakah kau dapat
meneliti?
Meneliti apa?
Bahwa kedua pencuri kuda itu agaknya bukan suku Han.
Bagaimana kau tahu? tanya Khik-sia.
Sekarang kan sudah permulaan musim panas, mengapa mereka berdua masih mengenakan
kopiah bulu. Ini bukan cara suku Han yang tinggal di sini. Kulihat kalau bukan suku Oh, mereka
tentu orang dari Se-gwa (luar perbatasan), kata Yak-bwe.
Memang integrasi antara suku Oh dan Han di daerah situ sudah sedemikian rupa hingga sukar
untuk membedakan. Tapi dalam adat kebiasaan, masing-masing masih memegang teguh
kebudayaannya sendiri.
Khik-sia memuji luasnya pengalaman sang calon isteri. Memang aku juga melihat suatu
kecurigaan .... katanya.
Yak-bwe girang dipuji tunangannya. Sengaja ia hendak mempamerkan kecerdikannya, ujarnya:
Eh, jangan kau katakan dulu, biar aku yang menguraikan pendapatku. Coba saja apakah
pandangan kita berdua ini bersamaan?
Khik-sia mengiakan.
Kedua pencuri kuda itu mahir sekali naik kuda. Gerak-geriknya kasar. Dua ciri ini cukup
mengunjukkan bahwa mereka itu tentu suku Oh yang menuntut penghidupan sebagai
penggembala.
Khik-sia tertawa: Benar, akupun berpendapat demikian. Hanya sayang kau bukan seorang pria
....
Apa? Yak-bwe terbeliak kaget.
Khik-sia tertawa: Jika kau seorang pria, baru boleh mengatakan kata-kata 'pandangan sesama
enghiong itu tentu bersamaan'.
Oh, jadi kau hendak mengolok-olok aku? Tapi kau sendiri menganggap sebagai enghiong,
apakah tak malu? Yak-bwe bersungut-sungut.
Khik-sia menyabarkan sang tunangan, toh hanya sekedar kelakar saja, perlu apa marah-marah.
Begitulah mereka melanjutkan perjalanan lagi sembari bercakap-cakap.
Jika kedua pencuri itu benar orang Oh, urusan menjadi runyam. Entah apa hubungan Coh
Ping-gwan dengan nona itu. Tapi jika bertemu dengan nona itu, jangan turun tangan dulu. Kita
harus menyelidiki asal-usulnya, Khik-sia mengutarakan pikirannya. Yak-bwe dapat
menerimanya.
Pada petang hari, mereka sudah memasuki daerah gunung. Khik-sia mengusulkan, karena
perjalanan selanjutnya sukar terdapat rumah penduduk, mengingat hari sudah gelap dan letih
berjalan, lebih baik mencari sebuah goa untuk beristirahat. Yak-bwe setuju malah ia lantas

keluarkan ilmu ginkang istimewa yang kemarin lusa baru saja dipelajarinya dari Khik-sia. Khik-
sia
banyak memberi petunjuk yang berharga.
Malam itu tak berbintang. Tapi berkat ginkang dan sepasang matanya yang dapat melihat terang
di waktu malam, Khik-sia berlari di muka untuk mencari jalan. Yak-bwe amat gembira dan tak
terasa tibalah mereka di sebuah puncak yang gelap.
Sudah letih? tanya Khik-sia. Sebenarnya ginkang itu tak perlu menggunakan tenaga banyak.
Yak-bwe menyahut belum lelah dan mengajak terus berlari saja sampai terang tanah.
Tiba-tiba Khik-sia melihat di atas puncak seperti ada bayangan bergerak. Ia terkejut dan
membisiki Yak-bwe: Awas, di sebelah muka ada orang, biar kutinjaunya dulu. - Ia gunakan
ginkang tinggi menyusup ke dalam hutan.
Sekonyong-konyong dua sosok tubuh loncat keluar dari semak rumput. Salah seorang
mengucapkan beberapapatah perkataan yang tak dimengerti Khik-sia. Malam gelap sehingga tak
dapat melihat wajah mereka. Hanya dari kopiah kulit yang dipakainya itu Khik-sia menduga
tentu
orang suku Oh.
Karena Khik-sia tak menyahut, kedua orang itu sabatkan dua batang belati yang berkilau-kilau
matanya. Waktu Khik-sia tak dapat menyahut teguran mereka yang diucapkan dengan bahasa
daerah, kedua orang itu segera memastikan bahwa Khik-sia bukan kawan mereka.
Setangkas-tangkasnya mereka menimpuk, masih tak memadai kepandaian Khik-sia. Sekali
berkelit, dua batang belati itu melayang lewat sisinya dan jatuh di tempat kosong. Khik-sia pun
lantas maju mendekat, berdiri di tengah mereka dan mementang sepasang tangannya. Dalam
kegelapan malam, mudah sekali Khik-sia meringkus mereka. Karena hendak menanyai
keterangan
maka Khik-sia tak mau menutuk jalan darah mereka.
Tapi dia lupa bahwa kedua orang itu tidak hanya sendiri. Padahal mereka membawa banyak
kawan yang bersembunyi. Baru hendak menanyai kedua orang itupun sudah bersuit keras.
Secepat
itu jauga dari atas gunung terdengar suara gemuruh dan munculnya beratus-ratus pelita. Kiranya
mereka memang bersembunyi di atas gunung. Jumlahnya berpuluh-puluh orang. Waktu
bersembunyi itu, pelita-pelita teng mereka diselubungi dengan kain hitam.
Untung kedua orang yang diringkus Khik-sia itu termasuk penyuluh atau ceculuk yang memberi
warta. Jaraknya dengan rombongan kawan-kawannya masih berpuluh-puluh tombak. Jadi
mereka
masih belum mengetahui Khik-sia. Cepat-cepat Khik-sia menutuk jalan darah kedua orang itu.
Mana? Dimana? tepat pada saat itu terdengar mereka berseru dengan berisik sekali.
Apakah bangsat she Coh itu lagi? - Hai, mengapa suitan berhenti? Oh, celaka, kedua kawan
kita tentu dicelakai bangsat itu!
Dalam kehirukan itu tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita: Jangan ribut saja, lekas
cari!
Khik-sia terkesiap, pikirnya: Wanita itu tentu pemimpin mereka. - Baru ia hendak unjukkan
diri, tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring dan seruan orang: Benar, memang aku Coh Ping-
gwan
yang datang! Heh, heh, tanpa memasang barisan pendam akupun tetap datang. Aku hendak
bertanya, mengapa nona selalu hendak membikin susah padaku?
Suara itu datangnya dari arah lain. Dan perhatian rombongan orang-orang itu segera beralih ke
sana. Saat itu Yak-bwe sudah tiba di dekat Khik-sia dan dengan berbisik-bisik menanyakan
keterangan. Khik-sia memperingatkan jangan bergerak dulu tapi tunggu saja nanti. Habis
berkata,
ia lantas menggandeng tangan sang tunangan untuk dibawa loncat ke atas pohon tinggi. Dari situ
dapat melihat jelas apa yang terjadi di sebelah bawah.
Di atas sebuah batu karang, tampak seorang suku Han loncat turun. Batu karang itu tak kurang
dari belasan tombak tingginya. Gerakan melayang turun dari pemuda itu indah sekali. Ya,
memang
dia adalah Coh Ping-gwan. Diam-diam Khik-sia memuji ginkang orang she Coh itu. Pun
rombongan orang-orang itu terkejut, sampai terlongong-longong melihat kepandaian Coh
Pinggwan.
Diam-diam nona pemimpin rombongan itu menghela napas: Seorang pemuda yang cakap dan
gagah, ilmu kepandaiannya jarang terdapat di dunia persilatan. Sayang dia itu anak dari
musuhku.
Begitu ujung kaki Coh Ping-gwan baru menyentuh bumi, dua orang rombongan suku Oh itu

sudah menyerang. Yang satu dari kanan, yang satu dari kiri. Kedua penyerang itu bertubuh tinggi
besar. Masing-masing mencekal thiat-jui (martil besi).
Dalam situasi yang berbahaya itu, Coh Ping-gwan keluarkan kepandaiannya istimewa. Dia tak
mau menghindar melainkan kebutkan lengan bajunya dengan gerak Su-chi-hwat-cian-kim atau
empat tail tenaga mengeluarkan seribu kati. Bum, kedua martil penyerangnya saling berhantam
sendiri. Sementara Coh Ping-gwan menerobos keluar dari tengah-tengah sela kedua
penyerangnya.
Tenaga kedua penyerang itu besar sekali. Oleh karenanya besar juga goncangan yang diderita
akibat benturan martil itu. Suaranya melengking tajam sekali sampai memekakkan telinga. Pada
lain saat kedua orang itupun menjerit keras, kedua martilnya mencelat ke udara.
Coh Ping-gwan melangkah kemuka dengan lenggangnya. Ia tertawa nyaring: Aku toh belum
selesai bicara dengan nonamu, mengapa kalian buru-buru hendak menyerang aku?
Coh Ping-gwan menghampiri ke muka si nona. Tiada seorang pun yang berani menghadang.
Mereka terlongong oleh sikap dan nada seruan Coh Ping-gwan yang sedemikian berwibawa.
Diam-diam tergerak hati nona itu, pikirnya: Di dalam menghadapi bahaya apa saja, dia selalu
tenang, seperti semasa kecilnya. Tadi waktu kedua saudara Wi menghantamnya dengan martil,
hatiku terkejut sekali. Eh, bukankah aku hendak membalas sakit hati padanya? Mengapa aku
merasa sayang? Tidak, aku harus keraskan hatiku!
Tenang-tenang Coh Ping-gwan memberi hormat kepada si nona: Kupikir aku tak pernah
kesalahan pada nona, mengapa nona selalu hendak maukan jiwaku saja? Sudilah nona
menerangkan agar bila aku mati tidak berada dalam kegelapan?
Nona itu menggigit bibir, katanya dengan dingin: Coh Ping-gwa, tidakkah kau kenal padaku?
- Sudah dua kali ia berkata demikian pada Coh Ping-gwan.
Coh Ping-gwan heran dan melirik tajam pada si nona. Ah, samar-samar sudah pernah melihat,
tapi lupa ia. Akhirnya berkatalah ia: Maaf, ingatanku memang jelek.
Wajah si nona bertebar merah ketika dipandang si pemuda. Tiba-tiba ia berganti nada
kekanakkanakan:
Aku tak mau kau tukari dengan giok. Kedua mustika ini kuberikan padamu. Lihatlah,
mutiara ini mempunyai tujuh warna, indah tidak? Tetapi di dalam rumahku, benda ini tak
berharga.
Sekalian orang yang berada di sekitar situ (termasuk Khik-sia yang bersembunyi di atas pohon0,
tak mengerti apa arti ucapan si nona itu. Dan nona itu tak memegang giok atau suatu mutiara.
Ha, kau si Ni kecil? tiba-tiba Coh Ping-gwan berteriak kaget.
Ya, sekarang sudah teringat atau belum? si nona mengangguk.
Peristiwa itu terjadi pada 15 tahun yang lalu. Ketika itu ayah Coh Ping-gwan yaitu Coh
Thongkok
menjadi To-liat-su (wakil) dari gubernur Anse yang berkedudukan di Sutho, sebuah negeri kecil
di wilayah Segak (Tibet). Kala itu Coh Ping-gwan baru berumur 10-an tahun lebih. Dia ikut
ayahnya ke Sutho.
Di negeri Sutho ada seorang raja Yu-hian-ong yang merangkap menjadi panglima perang. Dia
bernama U-bun Hu-wi, mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Hong-ni. Umurnya
lebih muda dari Coh Ping-gwan, baru 5-6 tahun. Sutho termasuk wilayah kekuasaan kerajaan
Tong.
Dengan menjabat sebagai To-liat-su, berarti Coh Thong-kok itu yang dipertuan di negeri Sutho.
Sering harus berhubungan dengan U-bun Hu-wi.
U-bun Hong-ni mungil dan lincah. Coh Ping-gwan menganggapnya sebagai adik sendiri, acap
kali mengajaknya bermain-main. Sutho banyak menghasilkan batu permata. Tetapi kulit kerang
hanya terdapat di tepi laut. Hong-ni belum pernah melihatnya. Mendengar cerita Coh Ping-gwan
betapa indah kulit kerang itu, Hong-ni mau menukarkan permatanya dengan kulit kerang. Tetapi
Coh Ping-gwan tak mau menerima permata dan hanya memberikan kulit kerang secara cuma-
cuma
kepada Hong-ni untuk dibuat main-main. Ucapan si nona tadi, adalah menirukan kata Coh
Pinggwan
ketika dahulu bicara dengan Hong-ni.
Coh Ping-gwan hanya tinggal satu tahun di Sutho, kemudian pergi dan tak pernah berjumpa lagi
dengan Hong-ni. Jika Hong-ni tak mengungkat kejadian di waktu kecil itu, tentu dia tak teringat
lagi akan nona cantik yang dihadapinya itu.
Dengan menggigit bibir, Hong-ni berkata pula: Sekarang sudah jelas, belum?

Jelas apa? Di waktu kecil akupun tak pernah menghina padamu. Malah aku pernah memberi
dua buah kulit kerang padamu.
U-bun Hong-ni menyahut tawar: Siapa yang ingin bergurau padamu? Jawablah, mana
ayahmu?
Sudah meninggal pada 10 tahun yang lalu.
Tepat, ayahmu sudah meninggal, siapa yang harus kucari kalau bukan kau? Bukankah ada
pepatah mengatakan: hutang ayah, anak yang bayar? Hari ini aku hendak menagih hutang
ayahmu
pada kau!
Coh Ping-gwan terkesiap, ujarnya: Apa artinya ini?
Nada Hong-ni berubah tajam: Masih belum jelas? Coba ingat-ingatlah, bagaimana kalian
tinggalkan Sutho?
Peristiwa 15 tahun yang lampau, terbayang lagi. Kala itu malam yang tak berbintang tak
berembulan. Tiba-tiba ayah Hong-ni U-bun Hu-wi membawa pasukan menyerang gedung
kediaman ayah Coh Ping-gwan. Dalam pertempuran malam yang gelap itu, Coh Ping-gwan dan
ayahnya beruntung dapat meloloskan diri. Ketika terang tanah dan memcacahkan pasukannya,
dari
tiga ribu serdadu Tong, hanya tinggal beberapa puluh saja. Kemudian baru diketahui kalau
pemberontakan itu digerakkan oleh tentara pendudukan Hwe-ki yang berada di Sutho. Pengaruh
Hwe-ki makin luas menimbulkan clash dengan tentara Tong. Adalah suku Hwe-ki ini yang
menghasut negara-negara di Segak untuk memberontak pada kerajaan Tong. Kejadian di Sutho
itu,
merupakan salah satu pencetusan. Salah satu unsur tentara yang menyerang kediaman wakil
gubernur An-se di Sutho itu, adalah pasukan berkuda dari Hwe-ki.
Sejak peristiwa itu, Sutho menjadi negara bagian Hwe-ki. Ayah Coh Ping-gwan pulang ke
negerinya memohon hukuman. Ia mengajukan permohonan supaya pemerintah mengirimkan
pasukan untuk menghancurkan Hwe-ki. Tetapi kerajaan Tong pada saat itu sedang kacau,
pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat timbul. Pemerintahan goncang dan terpaksa minta
damai dengan bangsa Hwe-ki. Sejak itu pamor kerajaan Tong merosot.
Akibat dari politik damai dengan Hwe-ki itu, ayah Coh Ping-gwan dijadikan kambing hitam.
Dengan tuduhan 'tidak bijaksana mengatur pemerintahan', dia dipecat dan terpaksa pulang ke
kampung. Beberapa tahun kemudian karena sakit kemudian meninggal.
Teringat akan kejadian yang lampau itu mendidihlan darah Coh Ping-gwan, serunya: Jadi kau
hendak mengusik peristiwa itu? Ayahku telah kehilangan hampir seluruh pasukannya, apa yang
hendak kau tagih lagi?
Kau hanya tahu kerugian pihakmu, tetapi apakah kau tahu juga berapa kerugian di pihak
kami? Hong-ni marah.
Coh Ping-gwan menghela napas: Memang kalau diingat berapa banyak korban yang jatuh dari
kedua pihak, kita merasa sedih. Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan ayahmu.
Hong-ni makin marah: Kau masih menyalahkan ayahku? Apa harganya jiwa pasukanmu itu?
Mereka mati seribu atau sepuluh ribu masih tak menyamai nilai ayahku seorang!
Apa? Ayahmu ...! Coh Ping-gwan terperanjat.
Masih berlagak pilon menanyakan ayahku? Pada malam pertempuran itu juga ayahku dibunuh
oleh ayahmu!
Coh Ping-gwan kesima. Ia baru mengetahui sekarang. Ujarnya: Sampai pada saat
meninggalnya, ayahku tak mengetahui kalau keliru membunuh ayahmu. Sudah tentu dalam
pertempuran di malam gelap, tentu banyak korban. Dan belum tentu ayahmu terbunuh oleh
ayahku.
Ayahmu adalah pemimpin pasukan. Ia sendiri yang membunuh atau bukan, hutang jiwa itu
tetap kutagih padanya!
Marahlah Coh Ping-gwan. Terang yang menyerang lebih dulu itu ayah Hong-ni, mengapa
menyalahkan orang? Tapi pada lain saat, ia memikir lebih panjang. Pertama, mengingat nona itu
sudah sebatang kara, negaranya senasib dengan kerajaan Tong yang ditindas bangsa Hwe-ki.
Kedua, mengingat bahwa mereka berdua adalah kawan bermain semasa kecil. Lebih baik
menghindar dari permusuhan.

Sebenarnya hubungan kita berdua erat sekali. Kesemuanya itu adalah gara-gara bangsa Hweki
....
Aku tak menyinggung urusan negara. Entah siapa yang benar dan salah. Yang kuurus ialah
bahwa setiap penasaran dan hutang itu harus ada yang bertanggung jawab, tukas Hong-ni.
Baiklah, karena kau anggap ayahku itu sebagai musuhmu. Karena beliau sudah meninggal,
aku bersedia pergi ke negerimu dan menghaturkan maaf di depan makam ayahmu. Membunuh
orang hanya menambah kedosaan saja. Rasanya kaupun dapat terlepas dari penasaranmu.
Tidak bisa! Ayahmu sudah meninggal kan kau masih ada! Aku sudah bersumpah di hadapan
kuburan ayahku, biar bagaimanapun tak dapat mengampuni kau!
Watak bangsa Sutho itu memang keras dan berani. Sakit hati orang tua, anak harus
membalaskan. Jika tidak, tentu diasingkan oleh handai taulannya. U-bun Hu-wi tak punya anak
laki, kewajiban itu jatuh pada diri Hong-ni. Menuruti adat kebiasaan bangsanya, Hong-ni
melakukan juga upacara mengucurkan darah dalam arak di hadapan kuburan ayahnya. Kala itu ia
baru berusia enam tahun. Sehari-hari ia menerima pelajaran bagaimana harus membalas sakit
hati
ayahnya. Maka betapa Coh Ping-gwan mengemukakan dalih alasan, tetap ditolaknya.
Kesabaran ada batasnya. Karena ditolak getas akhirnya timbullah keangkuhan hati Coh
Pinggwan.
Tertawalah ia dingin-dingin: Kalau begitu tetap meminta ganti jiwa padaku? Tetapi entah
kepada siapa aku harus meminta ganti kerugian jiwa-jiwa serdadu Tong itu?
Hong-ni terkesiap, tapi ia tetap keras kepala: Aku tak peduli hal itu. Kutahu hanya 'hutang
ayah anaklah yang harus membayar'!
Coh Ping-gwan mendongak tertawa keras: Baik, karena kau tuli dengan alasan-alasan, maka
kunyatakan sejelas-jelasnya. Untuk hutang jiwa yang belum ketahuan kebenarannya itu, aku tak
ingin mewakili ayah membayarnya. Tapi jika kau mempunyai kepandaian, silahkan kau
mengambilnya secara kekerasan!
Hong-ni kerutkan alis. Pada saat ia hendak memberi komando pada anak buahnya supaya
meringkus Coh Ping-gwan, tiba-tiba seorang perwira bangsa Han menerobos kemuka, serunya:
Nona U-bun, aku menerima titah supaya datang kemari untuk menjalankan perintahmu, ijinkan
aku membaktikan tenaga, menangkap orang yang kau kehendaki itu.
Panas telinga Coh Ping-gwan. Ia deliki mata memandang perwira itu. Kiranya orang itu adalah
Bu Wi-yang, bekas pemimpin barisan pengawal istana.
Eh, Bu Wi-yang, kau tahu malu, tidak? tegurnya dengan tertawa mengejek.
Malu apa? sahut Bu Wi-yang.
Urusanku dengan nona ini bukan urusan sulit. Kau toh perwira dari kerajaan Tong, mengapa
merendahkan dirimu sebagai hamba seorang nona lain suku? Kau tak malu itu memang hakmu
karena mukamu tebal. Tapi perbuatanmu itu benar-benar menghina negara!
Hm, menghina negara? Kau tahu apa, aku justeru mengemban tugas kerajaan!
Hi, aneh! Coba katakan aku melanggar pasal mana dari hukum negara!
Kau menghina seorang Siang-kok hujin, itulah dosa besar.
Siang-kok hujin artinya isteri pangeran. Coh Ping-gwan melirik Hong-ni lalu berkata: Oh,
maaf, maaf, aku tidak tahu kalau nona ini seorang wanita bangsawan agung.
Hong-ni tersipu-sipu dan buru-buru menyahut: Aku tiada bermaksud minta bantuan pada
negerimu untuk melakukan pembalasan sakit hati. Hal ini adalah tindakan pamanku yang
berunding dengan Wi toa-cong-koan. Congkoan (jenderal) itu lantas menyuruh Bu ciangkun ini
membantu aku. Hm, Bu ciangkun, aku hendak menyelesaikan urusan ini secara kaum persilatan.
Tak ingin menerima bantuanmu. Biarlah kuselesaikan dengan Coh siangkong sendiri, tak perlu
kau
bantu.
Kiranya setelah bangsa Hwe-ki menjajah Sutho, ibu dari Hong-ni menyerah pada Hwe-ki. Pada
waktu itu tentara Hwe-ki mengirim tentara bantu kerajaan Tong menindas pemberontakan Su
Khikhwat,
paman Hong-ni (adik ibunya) turut dalam pasukan itu. Menjabat sebagai Co-ciangkun.
Kemudian diangkat menjadi menteri koordinator urusan tentara ke Tiang-an.
Kerajaan Tong makin lemah. Banyak panglima-panglima di perbatasan yang menyatakan
berdiri sendiri. Perintah kerajaan tak dihiraukan lagi. Untuk mendapat bantuan dari tentara
HweKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ki, pemerintah Tong bersikap manis sekali kepada mereka. Bahkan terhadap seorang jenderal
suku
Sutho yang menakluk pada Hwe-ki, pemerintah Tong pun mengindahkan sekali.
Sejak peristiwa Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang itu, atas pengaduan puteri
Tiang Lok (adik baginda Tong), maka pangkat Bu Wi-yang diturunkan sampai tiga tingkat. Kini
ia
hanya menjadi seorang si-wi biasa. Maka demi mendengar kesempatan itu, ia segera mengajukan
permohonan pada Congkoan supaya dikirim membantu U-bun Hong-ni menangkap musuhnya.
Dan untuk menangkap Coh Ping-gwan seorang, ia sanggup mengerjakan seorang diri tak perlu
mengerahkan pasukan besar. Cong-koan lalu meluruskan dengan pesan supaya pembantuan itu
atas
nama Bu Wi-yang perseorangan. Karena memang memerlukan seorang pembantu penunjuk
jalan,
Hong-ni menerima bantuan itu.
Maka Wi-yang hendak menggunakan kesempatan itu untuk mendekati pada bangsawan Hwe-ki
(Hong-ni), agar ia mendapat pahala dan dinaikkan pangkat lagi. Waktu Hong-ni mendapat
bantuan,
ia kelabakan. Hal ini berbeda dengan peristiwa balas sakit hati di kalangan persilatan. Dia hanya
seorang rakyat jelata, ijinkanlah siapkoan (aku) menangkapnya sebagai tanda penghormatan
terhadap tetamu agung, serunya.
Baik, karena peraturan kerajaan Tong sedemikian, silahkan kau menangkapnya lebih dulu.
Tapi aku ada syarat. Jika kau gagal, aku tak mau menghiraukan peraturan lagi! akhirnya Hong-
ni
mengalah.
Yang dipikirkan Bu Wi-yang hanyalah hadiah pangkat dari cong-koan. Ucapan si nona tadi
sedikitpun tak diperhatikan, segera ia melolos cambuknya yang panjang itu.
Heh, pesakitan negara, lekas menyerah daripada kubekuk kau, serunya.
Kini tersadarlah Coh Ping-gwan. Kiranya untuk mengambil hati bangsa Hwe-ki, pemerintah
Tong telah menghapus jasa-jasa ayahnya untuk diganti dengan kedosaan. Dan karena ayahnya
sudah meninggal, maka kini ia anaknyalah yang hendak dijadikan kambing sembelihan. Serentak
bangkitlah keperwiraan anak muda itu.
Keluarga Coh tak pernah berdosa pada kerajaan. Aku menolak perintahmu yang
semenamenanya
itu. Aku tak peduli kau menjalankan perintah kerajaan atau tidak. Nih, makanlah dulu
golokku! serunya dengan nyaring.
Membangkang? Kau hendak berontak! teriak Bu Wi-yang sembari menyabat dengan
piannya. Tapi sudah disambut oleh golok Gan-leng-to Coh Ping-gwan. Sebagai bekas Su-wi
thong-leng (pemimpin pengawal istana), memang kepandaian Bu Wi-yang cukup tinggi.
Kebutan
piannya tadi memancarkan tiga gelombang sinar. Susul menyusul sebagai damparan gelombang.
Seketika tubuh Coh Ping-gwan terkurung oleh sinar pian.
Tetapi ternyata kepandaian Coh Ping-gwan itu lebih unggul setingkat. Jurus yang digunakan
Sam-yo-gui-thay itu juga mempunyai 3 buah serangan. Indahnya bukan kepalang. Tar, punggung
goloknya dapat membuyarkan lingkaran sinar pian. Sampai-sampai pian Bu Wi-yang itu
terdampar
lempeng dan tenaganya lenyap. Dan sekali balikkan tangan, kembali golok Coh Ping-gwan dapat
menghancurkan lingkar serangan pian yang kedua. Dua jurus gerakan Coh Ping-gwan yang
ketiga,
berhasil memapas sebuah jari tangan Bu Wi-yang.
Sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang cukup untuk dibuat melayani sampai beberapa jurus.
Dikarenakan ia terburu-buru hendak menang sebaliknya malah menderita kerugian yang
membuatnya meringis kesakitan. Dan sebelum semangatnya yang hilang itu pulih, tiba-tiba Coh
Ping-gwan berseru 'lepas', goloknya membabat. Mau tak mau Bu Wi-yang terpaksa lepaskan
piannya juga.
Bu ciangkun, kau sudah melakukan kewajibanmu. Aku sudah menerima bantuanmu. Terima
kasih atas jerih payahmu menunjukkan jalan. Sekarang musuh sudah kuketemukan, silahkan kau
pulang! tiba-tiba Hong-ni berseru sembari loncat menghalangi golok Coh Ping-gwan.
Dengan menahan rasa malu, Bu Wi-yang ngacir pergi. Sampaipun tianpian yang paling
disayanginya itu, tak dihiraukan lagi.
Coh Ping-gwan hentikan pengejarannya. Lintangkan golok ke dada, ia berkata: Siau-ni,
musuhmu itu seharusnya bangsa Hwe-ki. Jika kau hendak menuntut balas padaku itu tidak pada
tempatnya. Maaf, aku tak dapat melaksanakan cita-citamu menjadi anak berbakti!

Karena pikirannya sudah diracuni dengan ajaran bahwa yang membunuh ayahnya itu adalah
Coh Ping-gwan, maka saat itu ia tak dapat menerima jelas pernyataan Coh Ping-gwan. Cepat
pada
saat Coh Ping-gwan selesai bicara, pedang Hong-nipun sudah menusuknya. Dengan musuh
ayahku, aku tak dapat hidup bersama di satu kolong langit. Kau boleh memberi seribu satu
alasan,
tapi aku tetap tak dapat melepaskan kau. Untuk kebaikanmu memperlakukan aku begitu baik
semasa kecil, kuberi kelonggaran agar kau bunuh diri sendiri! Kau kubebaskan dari cincangan!
Menghindari tusukan, Coh Ping-gwan tertawa bebas: Siau-ni, bukannya aku takut padamu.
Aku hanya menyatakan kebenaran. Jika kau tak mau mendengar, berarti memaksa aku harus
bertempur padamu!
Sret, sret, sret, Hong-ni tebaskan pedangnya ke atas, tengah dan bawah. Yang diarah semua
bagian yang berbahaya dari tubuh si anak muda. Coh Ping-gwan gunakan tangan kosong untuk
merebut senjata si nona. Ia berputar tubuh, balikkan tangan menyambar lengan Hong-ni yang
mencekal pedang itu. Tetapi ternyata gerakan si nona tak kalah lincahnya. Begitu tusukannya
lewat
di sisi iga lawan, nona itu miringkan tubuhnya dan lontarkan dua buah serangan istimewa.
Pedangnya itu terus dibabatkan balik, sedang tangannya kiri menghantam si anak muda.
Blak, mereka beradu pukulan. Hong-ni terputar-putar dan tersurut sampai tiga langkah.
Sebaliknya baju Coh Ping-gwan pun robek sampai lima inci lebarnya. Diam-diam keduanya
samasama
terkesiap. Selagi Hong-ni tersurut mundur lagi, Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut
goloknya yang disarungkan tadi. Tapi pada saat Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya
yang disarungkan tadi. Hong-ni pun sudah mendahului menyerangnya. Kali ini ia gunakan jurus
Giok-li-tho-soh, menusuk tangan bawah.
Coh Ping-gwan berseru memuji ketangkasan si nona. Cepat ia gunakan jurus Tiang-bo-lok-jit.
Sesaat Hong-ni bingung menghadapi. Kalau tak merubah jurusnya, pedangnya tentu kena
terpukul
jatuh. Tapi kalau hendak merubah gerakannya, terang tentu didahului lawan. Akhirnya Hong-ni
mengambil putusan. Ia tetap tak merubah jurusnya tetapi bahkan menambahinya dengan sebuah
hantaman.
Blak, Coh Ping-gwan menangkis. Tapi kali ini yang tersurut mundur sampai tiga langkah bukan
si nona, melainkan dia sendiri. Mendapat hati, Hong-ni mendahuluinya dengan serangan yang
gencar.
Benturan tadi membuat Coh Ping-gwan heran. Pikir punya pikir, akhirnya diketahui juga. Ah,
tadi yang pertama dia belum mengeluarkan tenaganya sungguh-sungguh, demikian
kesimpulannya.
Tapi kesimpulannya itu ternyata kurang tepat. Tadi waktu yang pertama kali adu tenaga, karena
kuatir si nona tak sanggup menahan, ia sudah gunakan hanya enam tujuh bagian tenaganya saja.
Ia
tak mau dibunuh si nona tapi pun tak sampai hati membunuhnya.
Ternyata Hong-ni pun mempunyai pertentangan dalam batinnya. Ia menyakinkan ilmu pukulan
Kim-kong-ciang. Kuatir si anak muda tak kuat menerima, ia hanya gunakan dua tiga bagian
tenaganya. Kesudahannya, dia harus menderita tersurut mundur sampai tiga langkah. Kini
tahulah
ia bahwa tenaga Coh Ping-gwan itu lebih unggul. Maka dalam adu tenaga yang kedua kalinya, ia
gunakan sembilan bagian tenaganya. Dan celakanya Coh Ping-gwan tetap masih menggunakan
enam tujuh bagian tenaganya. Akibatnya, dialah yang menelan kerugian.
Pertempuran berlangsung dengan makin seru. Berulang kali Coh Ping-gwan berusaha
menghindari kekerasan. Tapi lama kelamaan ia terpaksa harus bertempur sungguh-sungguh juga.
Setelah bertanding sampai beberapa jurus, keduanya saling mengagumi kepandaian masing-
masing.
Kepandaiannya ternyata lebih unggul dari aku. Jika aku hendak membalas sakit hati seorang
diri, dikuatirkan tak mampu, diam-diam Hong-ni menimang dalam hati. Sayang dia anak dari
musuhku!
Pun Coh Ping-gwan juga mengagumi kepandaian si nona yang walaupun lebih muda 4 tahun
tapi kepandaiannya berimbang. Sayang ia berkeras kepala menganggap aku sebagai musuhnya,
ia menghela napas.
U-bun Hong-ni menyerang dengan tenaga penuh. Ia gunakan taktik kilat sehingga untuk
beberapa saat Coh Ping-gwan sibuk sekali. Hanya dapat menangkis tak mampu balas menyerang.

Tapi biar bagaimana juga, karena ia lebih unggul kepandaiannya dan lebih banyak
pengalamannya,
setelah empat lima puluh jurus dapatlah ia mengetahui gerak serangan si nona. Dari berimbang,
perlahan-lahan Coh Ping-gwan berbalik menang angin. Dalam suatu serangan, Coh Ping-gwan
memapas sembari menutuk jalan darah beng-bun dengan tangan kiri. Ia sudah menduga Hong-ni
tentu akan bergerak dalam jurus Kim-cian-to-liap. Dugaannya itu ternyata benar. Sebelum Hong-
ni
sempat bergerak dalam jurus itu, ia sudah mendahului merubah tabasannya ke atas, sedang kedua
jari kirinya menutuk lengan si nona.
Tring .... terdengar benturan tajam dan letikan api. Pedang Hong-ni terbuat dari bahan baja
putih, sedang golok Coh Ping-gwan adalah golok pusaka dari Toh Hok-wi, bekas Suma dari kota
Kiu-seng. Pedang Hong-ni terpapas rombal. Tapi itu hanya kerugian sedikit, yang lebih hebat
adalah kerugian yang dideritanya akibat tutukan jari Coh Ping-gwan itu. Seketika tangannya
terasa
kesemutan. Untung tak tepat kenanya, coba tidak ia tentu tak dapat bergerak lagi.
Coh Ping-gwan susuli lagi dengan sebuah tebasan. Wing, sebuah tusuk kundai kumala di
rambut Hong-ni terpapas kutung!
Maaf, apakah dendama sudah dapat dianggap selesai? serunya. Ia tak mau menyerang lagi
dan berhenti. Sebenarnya kalau mau, ia dapat mengambil jiwa Hong-ni. Menurut peraturan
persilatan, pembebasan itu berarti 'membayar jiwa'. Pihak yang menuntut balas, tak boleh
melanjutkan tuntutannya lagi. Tapi jika tetap berkeras hendak membalas, pun boleh. Asal,
setelah
membunuh musuhnya, ia harus bunuh diri juga.
Wajah Hong-ni pucat lesi. Mundur beberapa langkah langkah, iamenuding dengan pedang
Ceng-kong-kiam: Aku sudah bersumpah darah di hadapan makan ayah, sakit hati ayah tak
boleh
tidak harus diimpas. Ya, sudahlah, setelah membunuhmu akupun hendak bunuh diri!
Tudingan pedang Hong-ni tadi merupakan komando. Tujuh orang pengikutnya segera
mengepung Coh Ping-gwan. Mereka adalah bu-su (ahli silat) dari Sutho dan Hwe-ki. Senjatanya
beraneka warna dan posisinyapun berpencaran tujuh tempat. Mereka mulai menyerang.
Bagus, karena kalian main keroyok, jangan salahkan golokku tak bermata! teriak Coh
Pinggwan
yang cepat berputar dan menabas seorang busu. Rencananya setelah dapat melukai barang
seorang dua orang orang musuh, ia hendak menerobos dari kepungan.
Tetapi di luar dugaan barisan mereka yang disebut Ceng-hoan-su-hiong-tin itu luar biasa
geraknya. Sewaktu ditabas, Bu-su yang bersenjata khik (tombak yang ujungnya memakai
sangkur)
itu sudah berubah posisinya. Sebagai gantinya dua orang Bu-su tampil menangkis golok Coh
Pinggwan.
Mereka bersenjata Ceng-tong-kian dan Lian-cu-jui (bandringan martil) Keduanya termasuk
jenis senjata berat. Tenaga mereka kuat sekali, bahkan Bu-su yang bersenjata Lian-cu-jui itu
lincah
sekali.
Coh Ping-gwan kerahkan tenaga mendesak mundur Bu-su yang bersenjata Ceng-tong-kian,
kemudian menangkis Lian-cu-jui. Ia berhasil dapat memapas bandringan sampai terpotong
separuh, tapi ia pun rasakan tangannya sakit kesemutan.
Wut, ia putar tubuhnya untuk menghindari tusukan tombak dari lain Bu-su yang menyerang
lambung kirinya. Lepas! ia membentak dan secepat kilat, menyambar ujung khik hendak
ditariknya tapi dua Bu-su yang masing-masing memegang tombak dan kampak, sudah
menyerangnya. Terpaksa Coh Ping-gwan putar goloknya dalam jurus Ya-can-pat-bong. Kapak
dan
tombak dapat dipentalkan. Karena menangkis itu, ia belum berhasil merebut senjata yang
dipegangnya tadi.
Coh Ping-gwan membacok lengan pemegang khik itu tapi sekonyong-konyong sinar pedang
berkiblat dan menusuk tangannya. Penyerangnya itu bukan lain ialah U-bun Hong-ni sendiri.
Coh
Ping-gwan cukup mengetahui kepandaian si nona. Terpaksa ia lepaskan khik dan menangkis
serangan pedang, lalu menangkis pula pukulan si nona.
Sebenarnya kepandaian Hong-ni tak terpaut jauh dari Coh Ping-gwan. Dengan dibantu oleh
ketujuh Bu-su itu, sudah tentu Coh Ping-gwan keteter. Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin itu
menurut
formasi Pat-kwa, empat menghadap ke muka dan empat orang dari jurusan samping. Mereka
bergerak-gerak silang menyilang. Sedang Hong-ni menempati posisi yang disebut Kian-wi. Dari
situ ia dapat memberi bantuan pada saat-saat yang diperlukan.

Jelas bagi Coh Ping-gwan, bahwa sukar sekali ia hendak membobolkan barisan itu. Lingkaran
kepungan lawan bahkan makin lama makin menyempit. Coh Ping-gwan terpaksa kerahkan
seluruh
kepandaian untuk bertempur mati-matian.
Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin makin menelenkup kecil. Coh Ping-gwan mainkan golok
Ganleng-
tonya dengan jurus-jurus yang berbahaya. Dua pihak sama-sama sukar untuk mengalahkan
lawan.
Tidak bisa menangkap hidup, matipun boleh! akhirnya Hong-ni berteriak keras. Dengan
komando itu ketujuh Bu-su tampak menyerang seru.
Sepasang mata Coh Ping-gwan merah membara memandang Hong-ni. Ia benar-benar heran dan
mendongkol terhadap nona yang tak dapat dikasih mengerti itu. Beberapa kali Ping-gwan hendak
lancarkan serangan yang dapat menyebabkan hancur bersama, tapi setiap kali ia teringat akan
nasib
yang sudah sebatang kara dari nona itu, hatinyapun lemas kembali.
Manusia adalah makhluk yang berperasaan. Apalagi Hong-ni seorang wanita. Ia merasa juga
kalau dipandang dengan penuh kebencian oleh Ping-gwan. Teringat bagaimana kasih sayang
mereka berdua sama-sama bermain di waktu kecil, diam-diam timbul juga kemenyesalan Hong-
ni,
batinnya: Bukan karena aku berhati kejam hendak membunuhmu, tetapi nasiblah yang
mengatur
kita dalam keadaan begini sehingga ayahmu membunuh ayahku. Ah, aku telah mengikrarkan
sumpah di hadapan makam ayahku, bagaimana aku dapat memberi ampun padamu!
Memang pada waktu mula-mula ia hendak melepaskan pemuda itu, tapi akhirnya ia keraskan
hati dan menghindar dari sorot mata Ping-gwan. Ia tetap tak mau memberi hati dan menyerang
gencar.
Khik-sia mengetahui jelas keadaan Ping-gwan. Ia harus turun tangan. Bwe-moay, tunggu kau
di muka sana! bisiknya.
Mengapa aku tak boleh membantumu? tanya Yak-bwe.
Musuh berjumlah lebih banyak. Aku hendak membantu Coh Ping-gwan keluar dari barisan
itu. Sekali-kali tidak memusuhi lawan, sahut Khik-sia. Maksudnya ia sendiri sudah cukup
melepaskan Coh Ping-gwan.
Kau seorang diri, ini .... masih Yak-bwe menguatirkan diri sang tunangan karena barisan
sedemikian hebatnya.
Khik-sia tersenyum dan menghiburi calon isterinya bahwa ia tentu dapat mengatasi. Karena
keadaan mendesak, iapun segera bersuit nyaring dan melayang turun. Sebenarnya kepandaian
Khik-sia tak terpaut banyak dengan Coh Ping-gwan. Tapi mengapa ia yakin dapat membobol
barisan itu? Inilah disebabkan karena dahulu ia pernah mengalami dikepung barisan Pat-tin-tho
oleh kedelapan pengikut Se-kiat dari pulau Hu-song-to, kemudian ditolong oleh Gong-gong-ji.
Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin dari U-bun Hong-ni itupun menurut dasar-dasar dari Pat-bun-
sengkhik
(delapan pintu mati-hidup). Ada beberapa bagian yang sama dengan Pat-tin-tho. Tapi dalam
keindahannya bahkan kalah dengan Pat-tin-tho.
Tadi selama bersembunyi di atas pohon, Khik-sia memperhatikan juga gerak-gerik Ceng-hoansu-
hiong-tin dan mengertilah ia. Dengan bersuit nyaring itu ia hendak menarik perhatian musuh
agar dapatlah Yak-bwe menyelinap pergi dengan diam-diam. Dan dengan gerak yang luar biasa
cepatnya Khik-sia pun sudah menyusup masuk ke dalam barisan.
Memang serupa dengan pandangan Ping-gwan, pun Khik-sia mengetahui bahwa Bu-su yang
bersenjata khik itulah yang paling lemah sendiri. Maka pertama turun tangan, bu-su itulah yang
diganyangnya lebih dulu. Begitu cepat Khik-sia bergerak sehingga sebelum kedua Bu-su yang
berada di kanan-kirinya sempat menghalangi, tangan Bu-su yang bersenjata khik tadi sudah kena
tertusuk pedang Khik-sia. Khik terlempar dari tangannya, kebetulan mencelat ke lain Bu-su yang
buru-buru menangkisnya hingga senjata khik itu mencelat ke bawah gunung. Tapi karena
menangkis itu, Busu tersebut kena dibacok bahunya oleh golok Coh Ping-gwan dan terbukalah
Seng-bun atau pintu hidup. Dua Bu-su segera menyerangnya dari dua samping. Khik-sia deliki
mata. Ia kenal kedua Bu-su itu sebagai orang yang mencuri kudanya.
Kembalikan kudaku atau kuambil jiwamu! bentak Khik-sia sambil membabat dengan jurus
Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus puncak). Cepat sekali gerakan Khik-sia, tring,

tring, golok dan kapak dari kedua bu-su itu sudah kena dipapas kutung.
Waktu Khik-sia hendak menusuk jalan darah mereka, tiba-tiba U-bun Hong-ni membacok dari
belakang. Tapi Khik-sia lebih sebat. Ia mendahului berkisar ke posisi 'khun' dan menggasak
seorang Bu-su. Jurus itu disebut Kian-gun-ya-wi atau dunia berputar tempat. Gerakan itu telah
membuat barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin pecah berantakan.
Bu-su yang kena dilanggar Khik-sia sampai jungkir balik itu menutupi jalan bagi Hong-ni yang
hendak maju menyerang. Khik-sia mainkan pedangnya dalam jurus Tok-biat-hoa-san atau
menabas
gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus itu adalah permainan golok dan Khik-sia pun memainkan
pedangnya sebagai golok, hebatnya bukan kepalang! Sekalipun Hong-ni memiliki tenaga
Kimkong-
ciang-lat, namun ia tetap seorang wanita. Sudah tentu dalam hal tenaga kalah dengan Khiksia.
Waktu pedang mereka berbentur, Hong-ni rasakan tangannya sakit sekali. Ternyata telapak
tangannya sampai merah.
Pedang hebat, tenaga hebat! Sambut lagilah ini! habis memuji si nona, Khik-sia menabasnya
lagi.
U-bun Hong-ni tahu kepandaian pemuda ini lebih hebat dari Coh Ping-gwan. Ia tak berani
berayal dan curahkan seluruh kepandaiannya menyambuti.
Toan-heng, harap bermurah hati! tiba-tiba Coh Ping-gwan meneriakinya.
Ilmu pedang Khik-sia telah mencapai sedemikian rupa hingga dapat dikuasai menurut
sekehendak hatinya. Ia cepat kendalikan tabasannya sehingga ketika beradu, Hong-ni tetap dapat
menguasai pedangnya. Tapi secepat itu juga Khik-sia sudah menusuk pergelangan tangan si nona
dan membentaknya: Lepas!
Benturan pertama sudah memecahkan telapak tangan Hong-ni, benturan kedua membuatnya
hampir tak kuat lagi mencekal pedangnya. Bahwa tahu-tahu ujung pedang lawan mengancam
pergelangan tangannya membuat ia terperanjat sekali. Cepat ia timpukkan pedangnya ke arah
Khik-sia, berputar tubuh terus lari.
Bagus! mau tak mau Khik-sia memuji juga kelihayan Hong-ni yang dalam saat-saat
berbahaya masih dapat melakukan serangan yang berbahaya. Ia menyambuti pedang dengan
tangan
kiri.
Orangmu telah mencuri dua ekor kudaku. Jika menghendaki pedang pusakamu ini,
antarkanlah kedua kuda itu ke Liong-gan-ce di gunung Hok-gu-san, kita saling tukar! teriaknya.
Kemudian ia ajak Coh Ping-gwan meneruskan perjalanan.
Ketika berhenti, Hong-ni marah-marah. Dengan membawa sekian banyak orang ke Tiong-goan
bukan saja ia gagal mencari balas malah pedang pusakanya kena dirampas seorang pemuda tak
terkenal. Kejar! akhirnya ia memberi komando kepada orangnya. Tapi mana mereka mampu
mengejar gin-kang Khik-sia? Khik-sia sengaja minta Coh Ping-gwan lari lebih dahulu, ia sendiri
berputar-putar untuk menyesatkan perhatian anak buah Hong-ni.
Setelah memperhitungkan Coh Ping-gwan tentu sudah jauh beberapa li, akhirnya ia baru
berseru mengejek: Maaf nona U-bun, aku tak dapat menemani kalian lagi. Dalam sepuluh hari
ini
kutunggu kedatanganmu di Hok-gu-san. Setiap saat kau boleh datang ke sana dan carilah Toan
Khik-sia. Nanti kita saling tukar pedang dengan kuda. -- Habis mengucap, ia melesat dan
menghilang dari pemandangan.
Malam itu gelap gulita. Setelah lari beberapa saat, Khik-sia berteriak memanggil nama Coh
Ping-gwan tapi tiada penyahutan. Sebagai jawaban terdengarlah kilat gemuruh memancarkan
cahaya dan menyusul turunlah hujan. Khik-sia cemas hatinya. Coh Ping-gwan yang gin-kangnya
cukup tinggi, masih dapat mengatasi jalanan gunung yang licin kena air, tapi bagaimana dengan
Yak-bwe?
Ia segera percepat larinya untuk menyusul Yak-bwe. Tiba-tiba di antara kiblat cahaya kilat,
samar-samar, ia melihat sesosok bayangan yang dengan cepat sudah menghilang lagi.
Coh toako, akulah! teriaknya. Karena gin-kang orang itu hebat, ia kira tentu Coh Ping-gwan.
Tapi sampai dua kali ia ulang teriakannya, tetap tiada sambutan apa-apa.
Eh, apakah mataku lamur? Hm, mungkin seekor kera, pikirnya. Tiba-tiba terdengar teriakan
Yak-bwe: Khik-sia, kau? Aku di sini.

Girang sekali Khik-sia. Ia memburu ke arah suara itu. Ternyata Yak-bwe meneduh di sebuah
lubang dari dua buah batu yang melekat. Lubang itu cukup besar untuk tempat meneduh dua
orang.
Hai, bajumu basah kuyub! kata si nona, ia minta Khik-sia melepas baju kemudian diperasnya
lalu dijemur di atas batu.
Apa kau tak melihat Coh Ping-gwan? tanya Khik-sia.
Tidak, tetapi aku telah melihat dua orang lagi. Coba terka, siapa?
Mendengar ucapanmu, terang mereka itu orang yang sudah kukenalnya, jawab Khik-sia.
Bukan saja kenal pun sahabatmu yang karib, Yak-bwe tertawa, mereka sepasang laki
perempuan. Yang laki Bo Se-kiat, yang perempuan sahabatmu Su Tiau-ing.
Khik-sia tersentak kaget: Mengapa mereka juga menempuh perjalanan di malam hari? Apakah
mereka tak mengetahui kau?
Sudah tentu aku berusaha supaya jangan diketahui mereka. Ah, memang berbahaya sekali.
Mereka melalui di sisi tempat ini. Jika mereka mempunyai pikiran hendak meneduh di bawah
lubang batu ini, aku tentu jatuh ke tangan mereka.
Begini gelap, bagaimana kau tahu mereka? tanya Khik-sia.
Kudengar perempuan siluman itu menjerit karena hampir tergelincir. Ia meneriaki Se-kiat.
Khik-sia menduga bayangan yang dilihatnya tadi tentu Se-kiat. Tapi mengapa hanya seorang
diri? Kemana Su Tiau-ing?
Eh, Khik-sia, mengapa kau menghunus pedang? tegur Yak-bwe.
Coba lihatlah, bagus tidak pedang ini. Khik-sia memberikan pedang dari Hong-ni itu kepada
bakal isterinya. Karena pedang itu tak ada sarungnya, terpaksa Khik-sia mencekalnya saja.
Tring, pedang itu mendering tajam ketika jari Yak-bwe menjentiknya. Dan ketika dipapaskan
ke batu, batu itupun rompal. Yak-bwe memuji-muji pedang itu dan menanyakan dari mana Khik-
sia
memperolehnya. Khik-sia segera menuturkan pertempuran tadi. Sambil memain-mainkan pedang
itu, Yak-bwe berkata: Pedang dan kuda sama-sama kusayang. Kalau nona itu tak mau
menukarkan
kuda, ya, biarlah.
Sebelum diambil yang punya, kau boleh menggunakan pedang itu. Kuda kita itu pemberian
Cin Siang, kita harus mengambilnya kembali. Jika kuatir tak punya pedang pusaka, pakailah
pedangku ini, kata Khik-sia.
Ai, aku hanya berkata iseng saja, mengapa kau masukkan di hati? Pedang yang kau pakai atau
aku, toh sama saja. Khik-sia, kita toh takkan berpisah lagi, milikmu adalah milikku juga.
Bahagia sekali hati Khik-sia mendengar ucapan itu: Ya, nanti kalau berjumpa dengan Thiat
toako, akan kuminta supaya dia mengurus pernikahan kita. Biar tiap hari aku mendampingi kau.
Fui, hendak kemana kau? Apakah kalau tak menikah tak boleh berkumpul dan harus
berpisah?
Demikian kedua tunangan itu bercakap-cakap dengan gembira sehingga tahu-tahu hujanpun
berhenti. Ternyata sudah terang tanah. Khik-sia ajak tunangannya berangkat lagi. Ia masih
memikirkan Coh Ping-gwan tapi Yak-bwe menyatakan Coh Ping-gwan itu lebih tua dari Khik-
sia,
pikirannyapun lebih matang. Tentu dapat membawa dirinya tak sampai ada apa-apa lagi.
Khik-sia mengetahui kepandaian Coh Ping-gwan itu tak di bawahnya. Andaikata kesampokan
dengan Bo Se-kiat, pun masih dapat melarikan diri. Begitulah mereka segera arahkan langkahnya
menuju ke Hok-gu-san.
Sekarang mari kita ikuti jejak Coh Ping-gwan. Setelah berlari beberapa lama, ia dapatkan
Khiksia
belum menyusul dan hujanpun turun. Ia terkenang peristiwa lima belas tahun yang lalu, dimana
pada malam gelap dan turun hujan seperti saat itu, ia bersama ayahnya meloloskan diri dari
serangan musuh. Ia mendongkol terhadap Hong-ni yang setelah dewasa malah berubah
perangainya menjadi seorang nona yang keras kepala.
Coh Ping-gwan basah kuyub pakaiannya, ketika ia hendak mencari tempat meneduh
sekonyong-konyong sesosok tubuh muncul di sebelah mukanya. Buru-buru Coh Ping-gwan
menegurnya: Apakah Toan-heng itu?
Sebagai penyahutan bayangan itu maju menusuk dengan pedang. Coh Ping-gwan terperanjat.
Cepat ia menghindar, namun tak urung ujung bajunya kena tertusuk juga. Kini baru diketahuinya

bahwa yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji. Pedang yang dibuat menusuknya itu justeru pedang
Kim-ceng-toan-kiam kepunyaan keluarga Coh. Dahulu pedang itu dicuri Gong-gong-ji dan
diberikan kepada Ceng-ceng-ji. Adalah karena hendak mencari pedang peninggalan keluarganya
itu
sampai Coh Ping-gwan bertempur dengan Gong-gong-ji. Tapi kesudahannya mereka menjadi
sahabat.
Bagus, kiranya kau kunyuk tua! Cis, tak tahu malu. Aku justeru hendak mencari kau untuk
membikin perhitungan! amarah Coh Ping-gwan meluap demi melihat pedangnya.
Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: Benar, memang kudengar kau hendak mencari aku maka aku
sengaja menemui kau agar kau tak perlu pergi kemana-mana.
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tabasan. Tapi Coh Ping-gwan sudah bersiap. Setelah
menghindar, ia lantas mencabut golok Gan-leng-to dan balas membacok. Trang, senjata beradu
dan
orangnya masing-masing tersurut tiga langkah.
Kunyuk yang tak punya malu, kau berani memakai pedang curian untuk menyerang yang
empunya!
Apa itu sih yang disebut pemilik? Hanya orang yang mempunyai kepandaian layak
memakainya. Terang keluargamu tak becus menjaga hingga dapat dicuri suhengku Gong-gong-
ji.
Mengapa kau mempersalahkan aku? Bukankah pedang ini sebenarnya milik dari Toh Hok-wi?
Baiklah, jika kau hendak meminta kembali pedang ini, silahkan kalau mampu!
Mereka bertanya jawab sambil serang menyerang. Dalam bicara itu mereka sudah bertemput
tiga empat puluh jurus. Permainan pedang Ceng-ceng-ji cepat dan lincah, selalu mendahului
menyerang. Permainan golok Coh Ping-gwan tenang dan mantap. Meskipun gin-kangnya sedikit
kalah dengan lawan tapi tak mengakibatkan apa-apa. Dia menang tenaga dan napas karena lebih
muda usianya. Maka betapa Ceng-ceng-ji ngotot hendak menyerangnya, tetap dapat ditangkis
Coh
Ping-gwan.
Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji berputar tubuh dan lari sambil melambaikan tangannya:
Mari, mari, kita cari tempat yang lebih luas. Apa kau berani ikut aku?
Jilid 16
Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu. Tapi karena tak berhasil menangkap
Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya. Dengan gerak
tengli-
ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu. Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi
dengan tusukan yang kedua dan ketiga. Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran,
begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda. Sekalipun andaikata paderi
itu
masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang.
Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali. Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia
dapat lolos dari lubang jarum. Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot
turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya. Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena
termakan pedang di bagian pantat. Kuda paderi itu juga kuda ternama. Begitu terluka, binatang
itu
lantas mencongklang sekuat-kuatnya. Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu
kepunyaan Bik-hu.
Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali. Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong
pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah. Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bik-hu
lepaskan si paderi. Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong.
Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana
dengan kuda tungganganku itu, kata Sip Hong. Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari
mendatangi. Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik
beberapa kali. Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa. Pun karena
mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang. Kiranya kuda itu hanya membaui racun
saja tetapi tak sampai terkena.
Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari, kata

Bik-hu. Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi. Ternyata yang
kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa. Karena tak tega melihati korbannya, Bik-
hu
segera menguburnya. Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka,
ternyata hanya terluka ringan.
Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus
terang,
kalau tidak tentu kutabas, bentak Sip Hong seraya mencabut pedang.
Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa
aku
melakukan juga, sahut si paderi.
Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu? tanya Sip Hong pula.
Si paderi mengiakan: Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki.
Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu.
Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari?
Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan.
Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah
berpapasan dengan Shin Ci-koh. Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah
si
paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang
semua
telah binasa di tangan Shin Ci-koh.
Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin. Ia kabulkan permintaan
muridnya
pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua
angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin
Cikoh.
Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang
ke Yu-ciu. Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu.
Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri.
Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius. Tujuannya tidak melainkan menuntut balas
pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi. Kelak apabila
Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan
mendapat
prioritas untuk merajai dunia persilatan. Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi
untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan. Untuk keperluan itu,
Su
Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa.
Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya. Tapi
untuk
sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul
pecah.
Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu? tiba-tiba Bik-hu
bertanya.
Si paderi menyatakan tidak tahu. Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada
adik perempuan Su Tiau-gi. Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu. Yang diperhatikan
Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat. Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se-
kiat,
tetapi In-nio.
Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima
itu
mengeluarkan sebuah perintah. Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud
anak muda itu.
Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas
mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala apa-
apa,
maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu, kata Bik-hu.
Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu. Tapi karena jaraknya dengan
Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak. Nanti saja apabila sudah
tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu.
Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat
menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan
musuh,
lebih baik, Bik-hu tetap mendesak.
Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk
menjadi
tentara, pengalamannya kurang.
Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun

mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati.
Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu
boleh
berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau
congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul.
Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang
tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga, kata Bik-hu.
Ai, mengapa begitu terburu-buru? kata Sip Hong.
Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang
kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li.
Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus
cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri, Sip Hong memberi pesanan.
Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang
dari
pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang: Ia
berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam
kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa?
Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh
hanyalah
untuk alasan saja. Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio. Sewaktu mendengar
keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bik-hu sudah
menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat. Memikir sampai di sini hati
Bikhu
rawan juga.
Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi: Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku
tetap
akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah
meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku
tetap
akan menemuinya!
Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali. In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang
menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat. In-nio
berpambek seperti seorang anak lelaki. Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia
tak
kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu
supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan. In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang
sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya.
Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering. Seorang
diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan. Seluas berpuluh-puluh li, tak
tampak barang seorang insan. Untung In-nio membekal ransum kering.
Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu. Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak.
Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum. Pada masa seperti saat itu, iklim
di
padang rumput berubah-rubah. Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali. In-
nio
buru-buru melanjutkan perjalanan. Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada
penduduk di situ. Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai
gandum untuk meminta minum.
Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras. Terutama di
daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa.
Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di
situ
jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik.
Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki
menjenguk
seorang bibinya. Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki. Ada juga sejumlah kecil suku
Han. Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han.
Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya: Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana
karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami
menerima
Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah.
Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak
secepat itu datangnya, bukan? kata In-nio.
Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat
beberapa

pasukan yang lewat di situ.
Apakah bendera mereka? tanya In-nio.
Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya
juga.
In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang
dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ.
Entah pasukan manakah mereka itu? kata In-nio.
Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu
lebih menderita lagi, kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu
meneranginya lebih lanjut: Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di
sini,
tanaman gandum kami diambil separuh!
Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama
menuai gandumnya. Ia hanya dapat menghela napas. Memang anak tentara yang dipimpin oleh
lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya. Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para
ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang. Petani-petani serempak berteriak gaduh:
Celaka, kawanan perampok itu datang lagi.
Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang
datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja, kata perempuan tani tadi. Tetapi
Innio
menolak. Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka. Waktu si perempuan tani hendak
menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana. Perempuan tani itu
banting-banting kaki. Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa
perempuan itu lari.
Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat?
tegur In-nio.
Pemimpin mereka tertawa: Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya
besar. Lihat panah! - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya.
In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang
jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring: Hai, apakah
itu
bukan nona In-nio?
Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya
menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya: Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau
memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu?
Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan
kanan
yang paling dipercaya Se-kiat. Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung
Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu.
Sekiat
banyak mendapat bantuannya. Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan
kakak beradik she Kay itu. Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Ia
masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan
mereka sekarang.
Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman. Ia sedang tertawa
menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan: Mengapa kau tanyakan aku?
Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat?
Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima
perintahnya untuk membawa pasukan kemari? tanya In-nio.
Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau gerakan
itu
berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu
bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-ma-jwan Peh
houce,
Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka
yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang.
In-nio terkesiap hatinya. Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan
bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan. Siapa tahu kini timbul

tanda-tanda keretakan di dunia loklim.
Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa:
Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada
para petani yang rusak ladang gandumnya itu.
Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang
menyelutuk: Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya
merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka
semua.
Habis mereka disuruh makan apa nanti? bantak In-nio.
Nona jelek itu kerutkan jidatnya: Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang
penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh
makan
apa?
Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum,
dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu-
ciu,
perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji
'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai
disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta, bantah In-
nio.
Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi
Innio:
Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya jika
tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang
yang
tak kenal adat-kebenaran.
Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu, sahut In-nio.
Thian-sian tertawa girang: Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil
sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai
kenyang.
Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio
bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian: Apakah ayahmu meluluskan
perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil
dengan lekas.
In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat.
Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima
kasihnya kepadamu! seru Thian-sian.
Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya: Mereka telah
bertekad
hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan
yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi aku
hendak
menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku
dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi.
Cici In, apa yang kau pikirkan? tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam
diri.
Aku tengah memikirkan suatu permainan, jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti
kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan.
Tetapi kau harus membantu aku dulu, kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan
kesediaanya.
Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh,
jangan
sampai memberitahukan pada lain orang.
Kepada beng-cu?
Juga tidak perlu!
Thian-sian kerutkan alis: Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku.
Tahu apa? tanya In-nio.
Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya,
bukan?
Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka
nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang selalu

menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya.
Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa: Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku
hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini.
Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan. Demikianlah In-nio segera berganti
pakaian sebagai serdadu wanita.
Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh. Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk
seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung. Kotanya dibagi menjadi
dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam. Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam.
Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati:
Jika
tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini.
Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang
yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring: Sebentar lagi Tay Yan
kongcu
akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san.
In-nio berdebar hatinya: Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu?
Ah,
jangan sampai diriku ketahuan.
Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa
pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu. Tempat itu bekas ladang gandum.
Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara. Hanya ada dua buah
rumah
tembok yang agak baik. Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati pembantunya.
Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota? Kay Thian-sian kerukan dahinya.
Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini, jawab
opsir itu. Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu
kehormatan besar.
Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya: Apa-apaan dengan kongcu
(puteri),
nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan
diri
di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh
tak
tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia?
Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang
mewartakan
bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya: Kurang ajar betul, di
hadapanku ia masih main agung-agungan!
Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta. Mungkin Tiau-ing itu tak
mengerti
bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya. Dengan
menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya.
Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang. Begitu turun dari keretanya,
serta
merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya: Aduh,
menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar
kau
ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari!
Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang.
Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti
saudara
saja? seru Tiau-ing.
Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya: Engkohku baik kepada bengcu itu, ada
hubungan apa dengan kau dan aku?
Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat
menggabungkannya
menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay,
pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu, kata Tiau-ing pula.
Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian. In-nio sudah
gelisah. Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak
buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka
lekas
beristirahat saja. Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian
banyak makanan.
Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik
untuk
anak buah Kay Thian-sian.

Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan
angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak?
Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian: Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini
bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara
harap
cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk
cici.
Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu,
diterima tidak dengan kepercayaan penuh. Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara
Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari. Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas
pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya. Dan dengan
sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing. Dengan adanya
ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada. Itulah
sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota. Di samping itu
diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se-
kiat.
Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami? Kay Thian-sian
heran.
Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat.
Ha, mengapa bengcu tak tampak? tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing
mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama
dengan Se-kiat yang datang.
Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang? Thian-sian menegas.
Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru: Ai,
hari
sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi.
Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu. Begitu
Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah,
tibatiba
seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu.
Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan
pasukan untuk menyambutnya lagi? Thian-sian muring-muring.
Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur,
baru
ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama
mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan, kata serdadu
wanita
itu.
Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba
timbullah gairahnya, serunya: Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah
ini,
sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak
menjumpainya.
Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan
membongkok tangan.
Hai, apakah kau ini raja daerah sini? tegur Thian-sian.
Lelaki itu berpaling dan berseru: Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun?
Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu
seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas.
Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku? sahut Thian-sian.
Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur.
He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara? kembali si nona
'bidadari' menegurnya.
Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras.
Kau menertawai apa? seru Thian-sian.
Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian? Tomulun balas bertanya.
Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik?
Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu,
hi,
hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan?
Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas

menjiwirnya: Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama
itu,
bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja
pingsan melihatmu!
Tomulun mendorongnya, berkata: Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali.
Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji: Tenagamupun hebat
juga. - Ia tertawa riang, ujarnya pula: Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi seorang
jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani
menertawai aku?
Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya:
Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ...
Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau? tukas Thian-sian.
Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya: Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang
berkelahi. Ha, ada akal ...
Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan, tiba-tiba
ia
tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi,
Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan
dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar. Nona Kay, kuberikan anting-anting ini
kepadamu, sukakah kau?
Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai
antinganting.
Anting-anting besar yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai
Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak
mempamerkan
kekuatannya.
Sebaliknya Thian-sian telah salah paham. Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa
mengejek: Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang
besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga.
Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang.
Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan
itu.
Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya
menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang
tongkat
lagi. Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu
diberikan kepada si raja: Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan!
Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya: Ah, kau menang!
Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini?
Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya:Benar, kau bukannya goblok sekali. -
Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa.
Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek, kata Tomulun.
Thian-sian berjingkrak: Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa?
Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya, sahut Tomulun.
Hm, begitulah baru perkataan manusia, kata Thian-sian.
Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi: Yang jelek malah jujur, yang cantik
sebaliknya
malah plin-plan!
Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya: Siapa yang buruk dan siapa yang cantik
itu?
Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah, sahut Tomulun.
Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur!
Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau
sungguh
hendak menanyakan? seru Tomulun.
Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu!
Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan.
Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari? tanya Tomulun.
Siluman kecil siapa? Thian-sian melongo.
Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu!
Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!

Tomulun marah sekali, serunya: Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku
hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu!
Mengapa kau begitu membencinya? tanya Thian-sian.
Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang. Mengapa aku tak harus membencinya, ia
sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang!
Jadi isteri siapa?
Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu!
Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak: Sungguhkah itu?
Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu ....
Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan
membentaknya: Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang?
Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah
aku.
Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan ....
Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya: Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah
bengcu kami, tahukah kau?
Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah: Peduli apa dengan
bengcu!
Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu ....
Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak: Seorang
lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu.
Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah. - Habis berkata
ia
lantas berputar hendak berlalu.
Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan, Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat
melampaui kepala raja itu dan menghadangnya: Berhenti!
Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak
menantang
aku berkelahi? seru Tomulun.
Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak
mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau apakah
bengcu
pernah mengatakan padamu?
Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara
padamu? sahut Tomulun.
Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku
haturkan maaf padamu, bilanglah!
Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah
diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga, kata Tomulun.
Thian-sian terkejut, serunya: Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan?
Benar, besok lusa!
Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki: Jahanam, benar-benar
jahanam.....
Siapa yang kau maki itu? tegur Tomulun.
Aku bukan memaki kau, aku ..... tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam.
Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Se-kiat,
tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu. Siapa
yang
sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu. Waktu mendengar Se-kiat telah
menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas
menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat.
Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu! Tomulun tertawa
gelakgelak.
Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ...., kata
Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana
harus
memulaikannya.
Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian: Ya, memang benar. Hari akan
turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang! - Ia berputar diri lantas angkat kaki.
Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi.

Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thian-sian
itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk
merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habis-habisan.
Di
samping itu, ia ketarik juga dengan nama Thian-sian (bidadari). Menilik namanya orangnya
tentu
cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing.
Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal
kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya: Meski Thian-sian
itu
jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing.
Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat. Makin memikir,
makin mendongkol. Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan
seorang
penunjuk jalan orang Ki. Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk. Thian-sian
tertegun, serunya: Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya akupun
memang hendak mencari kau.
Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau
menyuruh begitu? tanya In-nio.
Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya!
Jangan, cici, jangan ....
Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat?
Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi
pengantin! kata In-nio.
Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat?
teriak
Thian-sian.
In-nio tertawa rawan: Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari
kau.
Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika
dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya
mencintai kau?
Thian-sian menepuk pahanya berseru: Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan
mau dipermainkan lelaki!
Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi: Namun cara
begitu
saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari
apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah?
Siapa bilang aku berpeluk tangan saja? sahut In-nio.
Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu
melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali, teriak si buruk.
In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin: Tidak, aku tak
mau
berkelahi padanya!
Oh, apakah kau masih suka padanya? tanya Thian-sian.
Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya.
Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri: Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau
melabraknya,
juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan?
Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan
wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan
kewajiban
seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici,
apakah
kau suka membantu aku?
Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya? tanya
Thiansian.
Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcu-
mu,
sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti.
Lalu aku disuruh membantu apa?
Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun
siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat
tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri.

Thian-sian menepuk tangan: Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam
menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan
besok
malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ....
Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan? bentak In-nio.
Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar, dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas
keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.
Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni
berkemah
di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda
untuk
mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau
sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.
Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota
sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio
masuk
ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa
bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan
kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun
gugup
tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya
melayang ke arah si paderi.
Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat! tiba-tiba terdengar lengking suara
wanita.
Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang
wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.
Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap
puterinyapun lumayan juga! hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.
In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel
tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke
perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia
masih berhasil melarikan diri.
Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya
dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah.
Innio
gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat
menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak
ditariknya.
Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu
pedang
Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan.
Ia
hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.
Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut
dan
memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya.
Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena
tak
berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.
Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: Nona In, kemarin aku
sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat
mengundang.
Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak
beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas.
Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki
jalanan.
Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu.
Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan
kakakadik
denganmu? damprat In-nio.
Tiau-ing tertawa mengejek: Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya?
In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya
berkobar: Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang! - Ia mengisar dan
kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan
tibatiba
ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat.

Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: Apakah kata-kataku salah?
Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan
membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat
berbuat
kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?
In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya
terasa manis. Dan matanya agak gelap. Celaka, aku terkena jerat mereka! diam-diam ia
mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.
Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah
meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya digunakan
bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras, adalah
karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.
Rebahlah! tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio rasakan
kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang bermimpi
buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia.
Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: Kau seorang pendekar
wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku
saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?
Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah
ranjang.
Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela dapatlah ia
mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa
lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk melampiaskan
kemarahannya
In-nio menggigit tangan Tiau-ing.
Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik
laksana
bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!
In-nio makin gusar: Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!
Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau damai
dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan
suka
bercakap-cakap dengan aku?
Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku? sahut In-nio.
Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau
adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat?
Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh.
Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?
Tiau-ing tersenyum: Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi
wakil
panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah
kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan,
tapi
pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh,
semudah
orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat.
Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu.
Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau
memberitahukan
hal itu kepadaku?
Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas
pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat? seru In-nio.
Akan mengundang bantuanmu, Tiau-ing tertawa.
Bagaimana caranya?
Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu.
Isinya?
Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan, kata Tiau-ing.
Aku kepingin mendengar pendapatmu, kata In-nio.
Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama
melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan
tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong,

baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk
memerangi
Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang
terbaik untuk menasihati ayahmu.
Emoh semuanya! In-nio menolak dengan tegas.
Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia
benarbenar
hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang
puteri tunggal kau ini! kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.
Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu! teriak In-
nio.
Wajah Tiau-ing mengerut marah: Ha, kiranya kau yang tak mau menulis! - Tiba-tiba ia tertawa
mengikik: Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua
tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu.
Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan? In-nio
menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat.
Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di
perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing.
Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip
Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?
Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau
tidak?
Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak
ada
gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!
Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih
mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: Kedatanganmu kemari, apa
bukan karena Se-kiat?
Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri, tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa
sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut
suami.
Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: Kau salah kira. Aku bukannya
kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat,
janganlah
kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!
Tutup mulutmu! bentak In-nio.
Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap
kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang
wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?
Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu!
Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu
apa
yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau memberi
kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja apakah
ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah aku
yang
merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku!
Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi.
Tertawalah Tiau-ing: Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin
bertemu
sekarang atau tidak?
Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau
menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar
kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya. - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat
pada saat itu Se-kiat pun masuk.
Apa kau baru bangun? Mengapa kelihatan begitu girang? tegur Se-kiat.
Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau, kata Tiau-ing.
Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: Kerajaan telah mengirim seorang jenderal
besar
membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang
kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?

Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi,
takut
apa? kata Se-kiat.
Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi? Jangan kelewat
meremehkan kekuatan lawan!
Apa Cin Siang? Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan
kotaraja?
Coba tebak lagi! seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja.
Tiau-ing tertawa: Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja
bakal
menjadi mertuamu?
Oh, Sip Hong?
Tiau-ing mengiakan: Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan?
Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh.
Apanya yang kau girangkan?
Tiau-ing mengikik, ujarnya: Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih? Padahal kau
merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh,
puterinya
dahulu adalah kawan baikmu!
Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan? mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati tak
urung berdebar juga.
Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum:
Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu,
puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan
kawan
baikmu itu?
Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: Masih ingat apa yang kukatakan
dahulu?
Yang mana?
Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak boleh
meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir?
Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku.
Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau
kira
itu.
Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya?
Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya, sahut Se-kiat.
Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu.
Se-kiat merenung sejenak dan berkata: Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian
padanya.
Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi apabila aku
benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai sekarang.
Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu silatpun
lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya?
Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya lagi.
Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat
dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan?
Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu
menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak
mengenangkannya?
Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu
mengenangkannya? Se-kiat balas bertanya.
Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak
cemburu
dan gembira kau hendak menjumpainya.
Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan
musuh.
Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali!
Benarkah? Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali kau
hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak

terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari.
Se-kiat berjingkrak kaget: Kau mau berolok-olok?
Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ? Ai, orang telah menunggumu
sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku menyingkir
dari sini, dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu.
In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan
ranjang
berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap kelambu ....
Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat
kemudian
baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: In-nio, bagaimana kau datang kemari?
Tanyakan pengantinmu! sahut In-nio dengan getas.
Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang
sehingga
tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol sekali.
Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku, pikirnya.
Diamdiam
ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama sekali
sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing.
Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar
mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang
tidaktidak
di dalam kalbu Se-kiat.
Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot
mata In-nio. Katanya dengan pelahan: Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa
yang
hendak kau katakan kepadaku?
Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata
lembut
yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan kata-kata
yang
dingin: Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi
tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku?
Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik kasih
kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: In-nio, aku bercita-cita
tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka
mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku
menelantarkan dirimu.
Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada
Tiauing
atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat.
Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal kau,
tutup mulutmu! dampratnya.
Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak
mau
membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi
maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat
duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: Jika kau sampai berani menyentuh
tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan
cara
menggigit putus lidahku.
Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain
kejab,
hatinya berontak: Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena perasaanku
terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing!
Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru
sekarang
aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku?
In-nio tertawa dingin: Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi,
bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira? Kau salah alamat
hendak mencari bantuanku!
Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat merah
padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda yang
kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut
Tionggoan,
ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya: In-nio, kau

adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta pengorbananmu
lagi.
Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil obat penawar.
Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah kau ulurkan
bantuan padaku?
In-nio tertawa mengejek: Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to
(jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku?
Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: In-nio, jangan berkata begitulah!
Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak
juga
tak apa.
Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak
didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta
bantuan apa kepadaku, silahkan bilang!
Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara
kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi?
Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan
musuh?
seru In-nio.
Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian
kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan
sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi.
Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku
mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu, tiba-tiba In-nio membuka
suara.
Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk, sudah tentu
Sekiat
girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan sebutan
hianmoay atau dinda yang bijak.
Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu
mendirikan kerajaan baru.
Ah, dikuatirkan ayahmu menolak, kata Se-kiat.
Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan supaya
ia
berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama dengan
rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada saatnya
baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana yang
ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak kerajaan
memerangi kau!
Se-kiat berteriak girang: In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat
sekali
dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-siang kau
sudah memikirkan kepentinganmu.
Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya dapat
diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah!
Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat
tercengang,
tanyanya: Apa yang kau tertawakan?
Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah yang
memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar sepaham
dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu! In-nio tertawa hina.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi.
Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: Benar, benar, memang akulah yang
membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang
biarlah
kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak
diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya
yang berbeda?
Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau
sekali
tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik.

Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In-
nio
juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak
memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa.
Jangan
harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah
dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio.
Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia
telah mengatur segala-galanya.
Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah
lembut: Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan
ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama
berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu
sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi
Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan? Daripada hanya
menjadi
wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri? Apalagi dengan begitu hubungan
kita
tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat
terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu?
Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara lagi?
sahut In-nio.
Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In yang
baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan
kepada Se-kiat? Tiau-ing menyeletuk.
Tutup mulutmu! bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga.
Kemudian berkata pula: Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan!
Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi
mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan
manusia yang lupa budi lupa kecintaan.
Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin.
Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: Jangan kalian keliru menafsirkan. Apa
yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi
Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan.
Adalah
karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat,
kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau
mendengar nasihat sahabat-sahabatmu?
Dalam hal apa aku mata gelap? Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di dunia.
Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai menteri
kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya? Apalagi aku bukan menteri kerajaan Tong,
mengapa lebih tidak boleh? bantah Se-kiat.
Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi
bagaimana dengan tindakanmu sekarang? Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An
dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk
menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi
rakyat
masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat
mengambil
hati rakyat?
Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu.
Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu
itu? Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san?
Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar, sahut In-nio.
Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah! Tiau-ing mengejek.
Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu, jawab In-nio.
Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa, Se-kiat menyeletuk.
Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu? bantah In-nio.
Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana? tanya Se-kiat.

Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi
tidak
boleh mengandalkan orang luar! In-nio menyatakan dengan tegas.
Se-kiat tergelak-gelak, serunya: Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa
banyak rintangan yang akan kujumpai nanti.
Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin
mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak.
Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku
dan
Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su (penasihat
militer)!
In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai
seorang
sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian menyangka
aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut.
Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu,
kata
Se-kiat.
Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu? Kalau
begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil? tukas In-nio.
Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek.
Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan
pendapat Thiat-mo-lek itu.
In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: Karena
berlainan
arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus sampai di
sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu, mau
dibunuh
mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan lagi.
Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: Tiau-
ing
kau berikan ia ....
Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: Lupakah kau
bahwa ia puterinya Sip Hong? Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan
membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan
Sip
Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan.
Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani
memastikan In-nio tak membantu ayahnya?
Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat
mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang
utusan
dari Im-ma-jwan datang menghadap.
Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan
lainnya
Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga digelari
sebagai
Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan jago yang
dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok-lim-beng-
cu
juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah mengirim
Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala penyamun
berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo Besar
masih
belum tiba.
Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia
segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu.
Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan sikapnya
seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas pandang Se-kiat
mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran mengapa
Nyo
Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu.
Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan? Apakah sebelum masuk
Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai? Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan, menjabat
tugas apa? demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan.
Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang

ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu
pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku
telah
diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu).
Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama
10-an
hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat
mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran,
mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. Ah, mungkin karena anak muda ini
berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat
mempersalahkannya, pikirnya.
Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah
makan
rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali! Apakah
itu tungganganmu?
Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: Kuda itu milik tentara
negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai.
Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya? Mengapa ia begitu perlu mengirim kau? Berita
penting apa yang hendak dilaporkan itu? tanya Se-kiat.
Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka baru
tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba kemari.
Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang penting
sekali.
Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil
panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan
lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik.
Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka
bersiap-siap.
Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi? kata Se-kiat.
Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan
atau
tidak?
He, apa maksudmu? Soal apa yang tak harus dikatakan? tegur Se-kiat.
Karena mungkin bengcu tak senang.
Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan!
Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku?
Bukan, sahut si kerucuk, berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang
bernama
Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan mata-mata
kami
nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh
menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan ....
Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana
hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar?
Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak
melangsungkan
pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh secara
menggelap.
Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui jejak nona itu, supaya
ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena dapat dijadikan
tanggungan untuk menekan Sip Hong.
Se-kiat tertawa girang: Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat
dibayangkan
Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan? Harap kalian jangan kuatir. Tetapi akupun
merasa
berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi?
Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu? Apakah sudah dapat
menangkapnya? tanya pemuda itu.
Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah
dulu, kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya
ketololtololan
seperti Nyo Besar.
Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah
mengawasi

sejenak, ia berkata: Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa dengan
aku?
Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan
mempunyai
kehormatan besar berjumpa dengan kongcu? sahut si pemuda itu.
Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: Nanti dulu, kau mengaku belum pernah
melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu?
In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak
asing
dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan kepalang.
Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha
menyalurkan
pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar.
Pada
saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap
tembok dan tiba di pinggir pintu.
Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia
mendengar suara In-nio berseru: Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu!
Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan ia
bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu,
tetapi
malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu), terus
dilarikan.
Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak
memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia
lantas
melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia
menyelundup ke Tho-ko-poh.
Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam
jadi
ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing pun tak
berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik-hu
supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat
kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya.
Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing
untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah
tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka.
Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu
tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman
wanita ini tentu kubunuh!
Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi.
Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki
pengamanmu berilah obat penawar padaku, seru In-nio.
Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu
gunakan akalan begitu? sahut Se-kiat.
Suci, kau terkena racun mereka? Bik-hu berseru kaget.
Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari
racunya, sahut In-nio.
Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping
Bikhu.
Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah
mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio.
Dan
tanpa terasa ia merasa cemburu juga.
In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari!
Kudoakan
kalian berbahagia, katanya dengan rawan.
Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan
hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi, sahut In-nio, waktu ia sudah menerima
obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu
mengatakan belum bisa.
Bagaimana maksudmu? Se-kiat marah.
Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat yang

telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab. Ia
sudah
dapat berangkat.
Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang macam
apa? Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian? Dan apakah sekarang kau sudah
dapat melepaskan Tiau-ing?
Masih belum, lagi-lagi Bik-hu menyahut.
In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal pribadiku.
Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku? Apakah kau masih belum mempercayai aku?
Sekiat
marah-marah.
Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya terpaksa
kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu? kata In-nio.
Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak
percaya pada perempuan siluman ini!
In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan
orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil
mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan
kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang
kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya
Ciauya-
say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: Bo
toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut.
Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi
tetap
kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa In-
nio
suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing.
Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di
sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan
sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: Nona Su, harap kau unjukkan
muka
riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras.
Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu juga.
Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh
kecurigaan
apa-apa.
Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat, penjaga
pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: Bengcu, rupanya hari
ini
kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda?
Dengan enggan Se-kiat menyahut: Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja yang
datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku.
Setelah
kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk.
Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan di
belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah li
di
sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati.
Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami
akan
pergi, seru In-nio.
In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran? tanya Se-
kiat.
Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi
mudahmudahan
kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan bertemu di
medan pertempuran, sahut In-nio.
Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa seperti
kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa kagum
juga
terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan seorang sahabat,
barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu.
Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu
bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan
Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah
ia

tak keliru menetapkan pilihannya?
Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung
beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang
membuka
jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba
terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang
yang
terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak
ada
lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup
angin.
Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing.
Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita
yang
menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari kuda
lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian ampuhnya itu.
Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu.
Sekonyongkonyong
Tiau-ing berteriak: Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku!
Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing.
Gonggong-
ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama Coh Pinggwan
hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang wanita.
Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh.
Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi sebenarnya
ia
bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang sentimentil sekali.
Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam hidupnya, satu-satunya
pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah muridnya Su Tiau-ing itu.
Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan sekali. Memang
sebenarnya
ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum mendapat alasan.
Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu, serunya sembari kebutkan
hudtimnya.
Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata kuda
mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata
kebutan
hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut itu,
meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar bulu
tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak dapat
diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi.
Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan
gusarnya,
Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang hud-timnya
hingga
lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan pemuda itu terasa
sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh. Hal ini membuat
Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan mainkan ilmu
pedang
Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh sinar bunga yang
mengarah
tujuh jalan darah orang.
Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu,
patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke
muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti
orang
bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo-
lek.
Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu.
Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak
muda
itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan gunakan
jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu, kemudian
berseru: Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian?
In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah
membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak
tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit
dapat menduganya juga.
Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan
pertanyaan

Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: Biau Hui sin-ni adalah
suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek adalah
suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe? Bukantah kita pernah bertemu di lapangan
Eng-hiong-tay-hwe?
Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia
lojin.
Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan Gong-gong-ji.
Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut
Gonggong-
ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu itu.
Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera mengenalinya.
Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji tentu
kurang senang, pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan.
Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa
mengejek: Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat
menggertak suhuku?
Bah, siapa yang hendak mengambil muka? Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak
membanggakan suhuku, teriak Bik-hu,
Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang
mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan
sifat
perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur.
Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi,
berpikir:
Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah,
asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran.
Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu
memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang
muda
ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri.
Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu
Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia
menaruh
perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri.
Ia
segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi.
Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia
tertawa
ewah: Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia adalah
puteri
Sip Hong!
Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: Benar, jangan sampai ia lepas. -- Dengan hati
berat,
ia maju ke muka.
Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi
demi
melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat alasan saja
itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum
percaya
pada kepandaianku? Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah ini?
Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu
akan
meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini
kuadakan kecualian.
Bik-hu berteriak marah: Apa Bu-ceng-kiam itu? Mengapa dibuat....., belum Bik-hu
menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya.
Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok
sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas.
Kena! tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru.
Bikhu
mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya pelahan
sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga Bik-hu
sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan
meminjam
pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si anak muda
lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin Ci-koh telah

gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia menggunakan
tenaga
tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit seperti digigit nyamuk,
sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah.
In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin
Cikoh.
In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay ilmu
pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci-koh
tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil
melibat tangkai pedang In-nio.
Lepas! teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan
tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci-
koh
mengakhiri pertandingan itu. Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena
lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda
itu. Ia membatin: Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul
tunastunas
muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan
Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah
boleh dianggap lihay sekali mereka.
Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling
pada
Tiau-ing dan menanyakan: Siapakah ini?
Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe? kata Se-kiat.
Tiau-ing tertawa: Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya suhu
tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap begitu
mesra
kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti.
Oh, kiranya dia bakal suamimu, seru Shin Ci-koh.
Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'.
Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu.
Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan
seluruh
dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi, Shin Ci-koh
tertawa.
Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah
padam
mukanya dan diam-diam menggerutu: Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di hadapan Se-
kiat
mengatakan begitu? Bukankah it berarti membuka borokku? Untung Se-kiat rupanya masih
belum
mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali dengan
Gonggong-
ji? Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal untuk
menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk Gong-
gongji,
tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau
gerakan kami.
Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khik-
sia
adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu dan
murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan
Khiksia)?
Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu
Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang
berubah
hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang
'angkatan'
(sebutan).
Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah
tak
dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu.
Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu! In-nio mengejeknya dengan
hina.
Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh ia
memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang
cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se-
kiat.
Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu.

Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan ....
Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat? Ah, aku terkejut setengah mati, seru
Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena
mengingat Thiat-mo-lek.
Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: Nona Sip, sayang, sayang sekali.
Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.'
Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bik-hu.
Ia mendampratnya dengan sengit: Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap
aku! -- Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: Ing-ji, mengapa kau
semarah itu? Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah
bagaimana cara mereka menghinamu tadi?
Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: Mengapa ia menutuk jalan
darahmu?
Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu? sahut Tiau-ing.
Nona Sip mengapa berani datang kemari?
Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam
hendak menemui Se-kiat.
Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: Aneh, mengapa nona itu hendak menemui
Sekiat?
Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu?
Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir
kalau
Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: Suhu, mengapa kau
memikir begitu jauh? Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya.
Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh
begitu.
Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan
pihak kita, bantah Tiau-ing.
Kalau begitu tahan sajalah! kata Shin Ci-koh.
Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku
membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu ....
Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih? tanya
Shin
Ci-koh.
Tiau-ing tertawa ewah: Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu
tergilagila
seorang diri!
Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi
dan
berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau, itu
dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan
saja.
Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gong-
gongji.
Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu.
Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa
ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di
situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa
yang dikatakan suhunya itu.
Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing
sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu
tebal.
Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas
dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah.
Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba melarikan
diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut, kata Tiau-ing.
Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai dinding
batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar matahari
dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata rahasia, maka
matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu.
Hanya

dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing.
Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali
ketika
isi hatinya yang ia sendiri tak berani mengutarakan telah dibuka oleh Shin Ci-koh. Kemudian
diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa lega. Ia malu
tapi girang juga.
Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat
itu.
Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu. In-nio
menghela napas, ujarnya: Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu
hendak
menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani aku
menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali.
Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak menyesal.
Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu
menolongmu.
Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya. Sedingin-
dingin
hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin
merapat
dan saling berjabat tangan: Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita berada di
ujung
rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu.
Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun
akan
mati dengan meram, kata Bik-hu.
In-nio merah mukanya dan berbisik: Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu.
Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat, tiba-tiba Bik-hu berseru.
In-nio terkesiap: Apa yang menyiksa .... itu?
Ah, apakah aku harus mengatakan?
Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang, kata
Innio
dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh dalam
batin: Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau membuatnya
kecewa. Ai, bagaimana ini?
Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika kutahu
hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi
orangnya
cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku itu,
kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk
keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat
sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi!
Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat.
Dia
pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia tak
sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal
menjadi pasanganmu.
kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Tho-ko-
poh
mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja, kuatir
kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku yang
bukanbukan
ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya.
Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama. Aku
terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani dan
pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa tadinya
kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin!
In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya dan
gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan
katakata
'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling
mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa
tersadar,
In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: Su-te, kau terlalu menyanjung aku.
Sebenarnya
tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat
dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ....

Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan.
Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau
memandang
rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang. Sebenarnya,
kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau lebih
menang
dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat menyamai kau,
kata In-nio.
Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu
tak
berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi hati
masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi.
Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan
pengalaman
di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu ada orang
mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan tenaganya, Tiau-
ing
tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran makanan, diperkirakan
sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu mereka tengah
bercakapcakap.
Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang.
Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: Itu bunyi musik menyambut
temanten!
Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari
ini,
kata In-nio.
Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat
mengecap
kebahagiaan sampai berapa lama?
Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga, kata In-nio.
Suci, mengapa ....
Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia
terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya.
Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini?
Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang
diucapkan Bik-hu tadi.
Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres! tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan
memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata
beradu.
Di luar seperti terjadi pertempuran.
Apakah tentara negeri menerjang kemari? tanya Bik-hu.
Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi
karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa
kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri, kata In-nio.
Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat itu
terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan untuk
meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu
menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah
mencari
bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang.
Setelah
itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio.
Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa, kata In-nio.
Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu
digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat
sekali
naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam
saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah
yang
mengangkatnya.
Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut
sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal
ia
dapat mencapai ruangan atas.
Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu, serunya.
Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah dua meter

dari lantai ruang atas.
Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah
atas
terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih baik
kait
saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk saja.
Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai
satu
tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait
terus
ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si
penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu
air.
Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik-
hu
sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: Celaka, bangsat itu hendak menerobos
keluar!
Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah terlambat.
Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat keluar.
Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu air. Tapi
Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis sserangan
orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu.
In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata
thongjin
menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh jungkir balik.
Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang berkepandaian
rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. In-nio terhuyung mundur,
brat,
bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu adalah dua
orang
wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari ajaran Tiau-ing.
Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung minum air, hampir
saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat In-nio timbul lagi.
Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam beberapa
gebrak
saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya.
Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun
mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun
dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun
tak
ingat diri lagi.
Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat? Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara
air
itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak
menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua
orangorangnya
yang berkepandaian tinggi dibawa keluar.
Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi dicegah
Innio.
Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya basah kuyub,
maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan mengancam, dapatlah
Bikhu
paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas.
Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan ketika
mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ
terdapat
sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud-tim dan
pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat
merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah
menjerit-jerit.
Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang
dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam
partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian.
Dan
Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang
yang
nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati.
Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan
Bikhu
itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak Leng-ciupay,
celakalah ia.

Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio dan
Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka.
Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga. In-
nio
dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. Tak usah hiraukan mereka, kita jalan terus. Di
sebelah muka lebih ramai lagi, kata In-nio.
Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih
baik
daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita yang
menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja. Karena
kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua anak
muda
itu.
Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang
bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi
komando anak buahnya untuk menyerang.
Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin baru.
Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Se-kiat
lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat
menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah
dengan
putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan
itu
ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong).
Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap
menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita,
disamping
berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang
terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan
memegang kekuasaan tentara engkohnya itu.
Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu
berubah
menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih unggul.
Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su Tiau-ing
untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat mengurung Tiau-gi
dan tentaranya.
Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu
bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak
dapat mencegah perbuatan mereka.
Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang
memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat
lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba
kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun
menerjang ke medan pertempuran.
Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang tombak
yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat marah
dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru memperingatkan Se-
kiat
supaya jangan membunuh Tomulun.
Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan, ayahnyapun
tentu menurut perintahku, sahut Se-kiat.
Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: Pangeran Tomulun, ini
adalah
urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur.
Mengapa
kau hendak membantu engkohku?
Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku? Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka menikah
dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau! damprat
Tomulun.
Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: Tutup
mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja!
Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah? Lihat serangan tombakku! teriak

Tomulun.
Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda
tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh.
Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur! seru Tomulun sembari loncat
turun
dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan bertempur
tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan Tomulun
yang
dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia lingkarkan
pedangnya menyerang ke tengah.
Bagus! seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal kepandaian
silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa gelak-gelak Se-
kiat
rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke muka.
Jika
tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah menyerah. Tapi
tidak demikian dengan Tomulun.
Aku tak sudi lepaskan senjataku! teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan
tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan
termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak
lagi:
Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu?!
Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala
menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu,
memang
Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya
terpancang.
Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh,
dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat
kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari
tadi
hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya
menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena
pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti permainan
dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja itu
terbahakbahak.
Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya
juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup
putera
raja itu.
Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari
Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona
buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang.
Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: Cici Kay, kebetulan sekali kau datang!
Kay Thian-sian berludah dan berseru: Siapakah cici-mu itu? Kau pengapakan ciciku In-nio itu?
Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar rambut
cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu.
Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran. Mendengar
kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan membentaknya:
Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo? Apa kau hendak berkhianat? Apakah di matamu
tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini?
Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat membuang
cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat? sahut Thian-sian.
Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat.
Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: Tomulun
jangan
takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku?
Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh.
Budak tak tahu malu, lihat golokku! dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya.

Jilid 17
Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi
permaisuri? Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya!
Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini, sahut Thian-hau.
Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya,
bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan.
Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku tentu
membantumu! teriak Tomulun.
Kau mau memberesi aku? Ah, tak mudah, kawan! Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu ia
sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya,
Sekiat
lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot magnit,
Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda-kuda
kakinya. Kau gunakan ilmu apa itu? Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu!
Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka, sahut Se-kiat. Dengan
siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap tak
mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat.
Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun
tersengalsengal
hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong muncul
seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio dan Bik-
hu.
Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah Tiau-ing,
maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan saja.
Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari
serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun.
Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat
sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat.
Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat gunakan
jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari tombak.
Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau
mundur. In-nio segera membentaknya: Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa
kau
tak membantunya.
Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi! seru anak
raja
itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana letak
keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap pantang
menyerah.
Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: In-nio, apakah kita tak dapat
menghindari pertempuran?
Terserah padamu. Pui sute, mari kita pergi, In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu
menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu,
iapun akan pergi tanpak banyak rewel.
Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong! teriak Tiau-ing.
Timbul pikiran Se-kiat: Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari
dan
aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu
kesulitan
makin besar.
Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi.
Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian,
tetapi
tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang
diberikan
oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio dan Bik-
hu.
Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat menusuk In-
nio,
tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu. Tring, Bik-hu
berusaha
menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat. Dan begitu Se-
kiat

menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar tulang pundak
anak
muda itu.
In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang indah:
giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa
lepaskan
Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu melihat In-nio
bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: Huh, karena kau melindungi
budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan.
Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka
tersisih,
ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona.
Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia
gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu
permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang.
Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan.
Terpaksa
ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke ujung
pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang
kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san.
Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy (sempoyongan), ia hendak
menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio dan
Bikhu
saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi kebencian. Ia
kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup.
Maka
permainan pedangnyapun makin gencar.
Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka
dapat
juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain dengan
serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari sebelah
muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari samping.
Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka.
Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu?
Mengapa kau begini buru-buru pergi? Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan!
Wut, ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat
daripada
kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai daya guna
istimewa untuk menangkap orang.
Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau
menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat
tentu
akan terjaring. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit
keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang
ke
muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh.
Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua
kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin
Cikoh.
Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan
celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih
baik
itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio.
Sute, lekas naik kuda! teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Se-kiat,
In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke
samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda.
Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda
dan
lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke muka
memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi
meski
kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat. Dalam
waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak.
Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu
hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya
tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu.

Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian
kendalinya.
Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka! Bik-hu gusar
sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik-
hu
sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan
cepatcepat
sapukan tombaknya.
Turun! bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong ke
muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai sekali
naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika
tubuhnya
menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke
atas,
ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu.
Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia
bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan
ilmu
gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau-
ing
masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu.
Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang
menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia
lengkungkan tubuh untuk menghindar.
Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada saatnya
dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing untuk
dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat
menggondol pergi kuda Tiau-ing.
Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: Jika kedua orang itu tak
ditawan, aku belum puas! ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar.
Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor:
Raja
Yan-ong sudah menerobos keluar lembah!
Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay
Thiansian
mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia kepadanya
untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan.
Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap
engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku! Se-kiat terkejut.
Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan
Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika
dibandingkan
dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In-
nio
dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika
Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar.
Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti
dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya.
Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian
menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya:
Walaupun
anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting, pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit
melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia
congklangkan kudanya ke tempat In-nio.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Datangnya dari gunung di sebelah
belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran
tak
dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar.
Se-kiat kerutkan dahi. Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh. Dan sebagai seorang ahli lwekang,
cepat
ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat. Memang
Sekiat
sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan Ceng-bingcu)
mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian juga.
Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak mengganggu
usik
pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta bantuan muridnya

(Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak mendengar tanda suitan itu.
Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan.
Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai
kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing? Apalagi Shin Ci-koh itu pernah
membantu
padaku, pikir Se-kiat.
Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh
tinggalkan
tempat ini. Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau. Tetapi jika
kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah, sudahlah, sudah.
Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh) mati atau hidup, aku
tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang Tiau-ing, karena ia
sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku? pada lain saat ia bantah
sendiri
pikirannya tadi.
Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. In-nio, percuma
kau
melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti
menyusahkan kau, teriaknya.
Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek:
Bo
Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah!
Se-kiat menghela napas: In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh!
Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang
dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun
dan
kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru
menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung
In-nio itu menjadi kocar-kacir.
Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau! teriak Se-kiat.
Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau! Tomulun balas berteriak
dan
malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan).
Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung.
Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga.
Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang
indahindah
tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya yang besar.
Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah mengalahkannya.
Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan
lagi padanya! teriak Kay Thian-sian.
Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat
Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa
Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: Terima kasih, cici Kay.
Sampai berjumpa lagi lain hari. -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu.
Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat In-
nio
menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan kait)
menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai.
Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar
kecuali
Kay Thian-hau seorang.
Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu
sudah
terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah payah
ia
dapat meloloskan diri.
Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip? Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia
mensiasiakan
nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona Sip,
jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu? teriak Thian-sian. Pasukan
wanitanya,
walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa golok
bian-to
yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian.
Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu
berlindung
dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh dan adik

kembali bertempur.
Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu
jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya
lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun Thian-
sian.
Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan
menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian
menjadi
tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan.
Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara
genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan
pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin
pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat
yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun)
dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian
untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ.
Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan setempat.
Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat yang
didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya tiada
punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan berebutan
melarikan diri.
Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka
jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya.
Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab,
pasukan
raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari
dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar.
Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah. Ia sendiri yang memegang
pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau-gi menjadi
pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun mereka
terdiri
dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam peperangan. Di
bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng pertahanan yang
kokoh
juga.
Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara suku
Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara
mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya
saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan
dari
Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka
sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan),
karena
ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang.
Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera
memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi.
In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi
dalam
medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu.
Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya.
Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan, pikir In-nio.
Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota. In-nio cepat keprak
kudanya
untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada pasukan
wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia tak mau
bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di pegunungan.
Berkat
kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat jauh di belakang.
Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan,
menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan
pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri.

Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi
suara
genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih terasa
sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu.
In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa
kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang
tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu
seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran
bahagia juga.
Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya? Dan setelah lolos, kapankah kita dapat berjumpa
lagi? In-nio bertanya-tanya dalam hati. Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan suka duka,
sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya, tahulah In-nio
kuda itu tentu bukan kuda sembarangan.
Apakah Pui sute? In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang
mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik-
hu
melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah.
Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut.
Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh!
Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan,
Shin
Ci-koh sudah jatuh dari kudanya.
Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir
menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan
lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas
orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay.
Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan
serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda
Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah
ia
dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya
dengan
In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio.
Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut
sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak
kuat.
Ia jatuh ngelupruk di tanah.
Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina
Ceng-bing-cu! wanita itu deliki mata dan menghela napas.
In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. Mengapa kau
tak
bunuh aku? teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal.
Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban menolong
sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau 'menindih
tangga'
pada orang yang sudah jatuh, kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh.
Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat
ialah
di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar.
Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan
sampai kau terlibat dengan urusanku, kata Shin Ci-koh.
Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe
membekal
kim-jong-yok? tanya In-nio.
Apa kau tak membawa? Shin Ci-koh terkejut.
Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi
karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi
membawa obat itu.
Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ...., In-nio menjadi gelisah.
Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing? tukas Shin Ci-koh.
Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin
Cikoh.
Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: Tetapi

hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya,
sudah
tentu ia harus menggeledah badanku.
Shin Ci-koh menghela napas: Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku
dalam
bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku, sungguh
menyesal ....
In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya.
Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah? Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan padamu.
Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin-thian-hiat,
kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau
dapat
mengurut? tanya Shin Ci-koh.
In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya
darah
itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang luka,
harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu tidak
banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar ilmu
menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut.
In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah
harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke
ujung
jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali.
Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi, kata Shin Ci-koh. Ternyata
walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap masih
payah.
Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan lwekang. Berhasil
atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil mengejarnya, ia tentu
selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka.
Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti
kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti
dapat meloloskan diri.
Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: Kita
bersamasama
pergi!
Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi, kata Shin Ci-koh.
Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh
sementara,
In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara tua yang
terletak di atas gunung.
Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja
Obat.
Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal di atas
gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke
daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus.
Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio
menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir
Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat
di
mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu
binatang
hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor
burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat
dimakan, ia lantas kembali ke biara.
Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya
mengepul
asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: Nona Sip, aku sudah tidak
berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini.
Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang tak
mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk
sementara waktu saja.
Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan? In-nio
bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh.
Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu
dapat

digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang
diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk
bersila
lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela
napas pula: Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur
sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti
sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan
pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama
tujuh delapan hari itu? Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal
padamu
yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya
membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis!
Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi
hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya.
Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: Harap lo-cianpwe
tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat
mencari
aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama.
Shin Ci-koh menarik napas: Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini
baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip,
kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia!
Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya
dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi? In-nio
mengucapkan kata-kata merendah.
Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang ratusan
kali dari muridku itu, kata Shin Ci-koh.
Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh
tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio: Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas
sembunyikan dirimu.
Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental
ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak: Siapa yang berada
di
dalam?
Suaranya amat menusuk telinga. In-nio terkejut. Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu
adalah Ceng-ceng-ji.
Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan. Dalam putus asa, ia
terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi. Ia sudah mendengar berita tentang
persekutuan
Tiau-gi dengan Se-kiat. Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu-
songto.
Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung. Ia memang tak punya
hubungan dengan Se-kiat. Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu
sungkan menolaknya. Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah.
Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Ceng-
ceng-ji
melakukan perjalanan pada waktu malam. Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang yang
tentu akan melapor pada suhengnya. Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan yang
sepi-sepi. Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap
mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah. Tanpa disangka-sangka ia
berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh.
Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu. Kalau In-nio terperanjat adalah Shin
Cikoh
sudah berteriak: Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku
sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu!
Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh. Mengetahui
kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat
kaki
seribu. Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan.
Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing! In-nio tertawa geli
dan
bertepuk tangan.
Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar.

Bibi, bagaimana keadaanmu? tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan
'bibi' kepada Shin Ci-koh.
Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata: Itu hanya dapat menggertaknya sementara
waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui
keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari!
Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa
tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak,
iapun
lantas menyembur darah.
In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya: Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata
kembali, akupun sanggup menghadapinya.
Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi. Ia sadar kalau bukan tandingan
Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri
dalam keadaan terluka.
Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat. Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda,
Cengceng-
ji curiga. Batinnya: Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal
dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa
sekarang tidak? Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah
kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya.
Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua
kerikil jatuh ke lantai. Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi. Namun karena masih kuatir, ia
timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan. Itulah cara orang persilatan bertanya jalan
untuk mencari tahu keadaan. Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan.
Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak. Jika
ShinCikoh
mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya: Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu. Masuklah,
Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu datang.
Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau
keadaan sekelilingnya.
Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi
sebaliknya, In-nio malah menyahut: Baik, kita bersama-sama lari.
Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan
naik
kuda. Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih baik
daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji.
Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga.
Bukan
In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal. In-nio cepat-cepat hendak
mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa terbahak-bahak.
Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh.
Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru: 'Kau adalah bakal
susoh-ku. Suheng tidak ada, kaupun serupa. Baiklah, karena memandang muka suhengku,
akupun
takmau membikin susah padamu. Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar. Akupun tak mau
meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku.
Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju
menghampiri Shin Ci-koh. Ia hendak balas menghinanya.
Sret. In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Ceng-
cengji.
Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya: Oho, bukankah kau ini anak perempuan Sip
Hong? Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se-kiat
sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di
pinggir sana!
Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju
merapat menutuk jalan darah si nona. Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang
perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing. Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih
Sekiat.
Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani

melukainya sungguh-sungguh. Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan
rubuh saja. Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi.
Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat
pelajaran ilmu pedang. In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji.
Cengceng-
ji memang kelewat memandang rendah. Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja
jari tangannya terpapas kutung. Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya.
Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku? Jika sampai
membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin!
bentaknya
dengan marah.
Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan! Shin Ci-koh menyindirnya.
Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh: Baik, karena kau mengatakan
begitu,
biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh yang
terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu!
In-nio tetap berlaku tenang sekali. Dihina lawan, ia tak marah. Ia tahu kepandaian Ceng-ceng-ji
itu
jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali. In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa dan
untuk itu ia harus bersikap tenang. Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai
Cengceng-
ji lolos.
Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos.
Tetapi
ruangan biara itu sempit sekali. Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping In-nio,
Innio
cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu). Ilmu
pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni. Mengutamakan kelincahan dan ketangkasan,
paling cocok untuk kaum wanita. Karena memandang rendah lawan, sejak mulai bertempur
Cengceng-
ji hanya gunakan tangan kosong saja. Dan selangjutnya pun ia tak sempat lagi mencabut
pedang. Ia menjadi keripuhan juga. Tak lagi ia mampu lolos.
Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati. Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya,
itulah
seperti orang mendaki langit sukarnya. Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh enam
serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu
menyentuhnya.
Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Ceng-ceng-
ji
sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak: Jika kau tak tahu selatan, jangan salahkan
aku
berlaku ganas! -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung menusuk dada,
batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung. Sekaligus tiga
serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali.
Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan. Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji,
iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang
matimatian
utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata
mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun
gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang
tak
punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana
sedihnya,
ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia
menghamburkan air mata.
In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang
lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk: Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong,
gunakan jurus hian-niau-hoa-sat!
Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki. Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi
Hunwi
untuk menyerang. Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa. Tetapi ia
sudah tak berdaya. Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve.
Keduanya bergerak dengan cepat. Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi,
posisinya tepat berada di sisi In-nio. In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata
hasilnya mengagumkan sekali. Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio
dapat
membabat lengan lawan. Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju
selangkah. Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke
dadanya. Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke
LiKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
hong. Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih. Ceng-ceng-ji kempiskan dada
dan terlolos dari lubang jarum. Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas.
Sayang, sayang! Shin Ci-koh menghela napas. Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada jaman
itu. Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni. Pernah ia
menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang Wan-
kongkiam-
hwat Gong-gong-ji. Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan
Ceng-ceng-ji tadi. Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat. Walaupun sudah mendapat
petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji
saja
tapi tak dapat melukainya.
Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio. Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu
dipatahkan
oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh.
Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya: Shin Ci-koh, kau keluarlah!
Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa mengejek:
Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan Shin
locianpwe?
Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah. Justeru In-nio hendak membuat supaya Ceng-
cengji
marah. Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang. Jika Ceng-ceng-ji tak
cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk.
Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio. Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio
dengan
hati-hati. Tiba-tiba ia mendapat siasat. Bahunya tampak digerakkan.
Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap! cepat Shin Ci-koh sudah lantas
meneriaki.
Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin. Shin Ci-koh hendak
memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat. Trang. Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan
pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona. Asal jari
Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk. Dan In-nio pasti
akan menjadi invalid selama-lamanya.
Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya, sekonyong-
konyong
Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki: Kurang ajar, siapa yang membokong dari
belakang itu?
In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang: Khik-sia, kau datang!
Cici In, aku juga datang! tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring. Menyusul
masuklah Yak-bwe.
Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio. Karena sudah seperti saudara
kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja. Kebetulan Thiat-mo-
lek
bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat. Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se-
kiat
kembali ke jalan yang benar. Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa
suratnya. Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya
untuk
mengirim surat itu. Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu-
ciu.
Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh untuk
menemui Se-kiat. Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu karena
nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di Yu-ciu.
Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi. Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu.
Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat. Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi
karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu. Setelah Khik-
sia
berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke
gunung
Hok-gu-san. Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat
tindakan
Se-kiat.
Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di tanah
datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar. Hari itu mereka tiba
hanya
kurang 30-an li dari Tho-ko-poh. Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara yang
kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh. Khik-sia tahu peperangan sudah dimulai,
maka

ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan. Ketika melalui
biara rusak, didengarnya suara senjata beradu. Dan yang membuat mereka terkejut ialah dua ekor
kuda yang tertambat di muka biara. Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang diterima dari
Cin
Siang tempo hari. Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke dalam biara.
Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji). Tetapi lebih
unggul
dari Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak
mengetahui akan kedatangan Khik-sia. Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu
kalau
ada pendatang baru. Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia. Ia hanya
menyangka
orang itu tentu lihay. Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras.
Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari
belakang.
Demikian juga Ceng-ceng-ji. Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih dulu ia
berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga ....
Siapa yang membokongmu? Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh
nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng-
hiong
dan Ho-han? Khik-sia tertawa sinis.
Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat
pertempuran tadi. Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan
penasaran cici In, teriak Yak-bwe.
Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar: Khik-sia, kau benar-benar tak
memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani
menghina aku di depan umum?!
Shin Ci-koh menertawakan: Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa
dengan
suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga!
Tutup mulutmu! bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji, beberapa kali kau hendak mengambil
jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng?
Kurang ajar! Ceng-ceng-ji balas membentak: Aku adalah suhengmu. Aku berhak
mengajarmu,
masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh? Mengingat kau masih muda kurang
pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau masih tidak
terima,
silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang kemari.
Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu. Ia
merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia. Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ.
Maka
sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki.
Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak
mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja
sutemu tinggal di sini beberapa hari ini, Shin Ci-koh tertawa mengejek.
Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut
pedangnya
dan membentaknya: Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai murid
perguruan
kami? Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan jahat, bertindak
salah
dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa-suheng supaya memengal
kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng bermurah hati tak
tega
membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih berani gunakan nama
toasuheng
untuk menggertak aku? Baik, karena memandang muka toa-suheng, aku pun takkan
mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah!
Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan. Murid yang melanggar peraturan perguruannya
diberi
kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh
kepandaiannya hilang. Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu.
Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah. Ia memaki keras-keras: Kau mengandalkan
perlindungan sunio untuk jual kesombongan? Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan
perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum!
Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi sekonyong-
konyong
Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe. Licik benar Ceng-ceng-ji. Tahu
kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak
bersiaga

ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia.
Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah
Yakbwe.
Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat, sebenarnya
ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe. Tapi di luar perhitungannya, ternyata Shin Ci-koh
sejak
tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja.
Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh
sudah
mengetahui siasatnya. Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe: Nona Su, lekas menyingkir!
Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji. Untung Yak-bwe sudah keburu
menyingkir hingga tak kena dicengkeram. Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain
cengkeraman
tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok. Tadi karena kurang pengalaman, ia kena
diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban.
Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long.
Di
dalam gerak mengandung lain gerak. Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang
ombak
laut yang mendampar bertubi-tubi. Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin menderu-deru.
Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya? diam-diam
Cengceng-
ji mengeluh dalam hati.
Keduanya bergerak secara cepat. Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang
kepandaian. Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan
tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang). Trang,
begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam
tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih. Maksudnya hendak
melarikan diri.
Hai, hendak lari kemana kau? teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Ceng-
ceng-ji.
Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji
terasa
sakit juga. Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi. Ia mengisar ke samping dan dengan gerak
tipuan, ia dapat menghindari serangan. Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang pintu.
Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh
takut
padamu? seru Ceng-ceng-ji.
Khik-sia tertawa dingin: Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara seperguruan?
Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia memang hendak memancaing supaya
Khiksia
bicara. Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh Khiksia.
Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya. Kali ini mana ia dapat diingusi lagi? Walaupun mulutnya
bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji. Begitu lawan bergerak, iapun
lantas
bergerak. Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah. Tetapi yang
digunakan
Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan darah. Dibanding
dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat.
Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali.
Bagian
yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah. Dulu hanya
Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan. Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget. Ia tak
menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa. Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang
tujuh,
tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri. Kedua saudara seperguruan itu
karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang
menang
atau kalah. Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih unggul
setingkat dari Ceng-ceng-ji. Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak bertahan.
Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada
Shin
Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan baik.
Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari sergapan
Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu.
Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa malu
sendiri, Shin Ci-koh menghela napas.
Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang

mendadak sontak berubah perangainya?
Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata yang
datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka
mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya,
mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali
thauto
itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak
buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang
merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa
tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari
Cengbing-
cu.
Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: Oh, kiranya
Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini
dapat
bertemu dengan dua angkatan dari partaimu!
Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to
tua
itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru
pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh
kuat.
Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh:
Cengbing
toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan padamu,
tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu!
Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat
karib
ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang
permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu
kalau
Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak
membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih.
Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu. Memang
Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan dimana
Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya. Bunuh
dulu
Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya.
Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud untuk
mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak
pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat
dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di
sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka.
Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li.
Terima
kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu!
Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu
sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan
beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun.
Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan
keadaan di
sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya, tanpa
menoleh
Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang. Ia mengira
tadi
tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan pedangnya menusuk
Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat sedemikian rupa, hingga
dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang bagaimanapun jua.
Tahan! pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin
berteriak
sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay, sehingga
pedang
Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua itu, bahkan
orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru ia dapat
berdiri tegak.
Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat
juga
menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara.
Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak

percaya hal itu.
Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat
mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: Bocah ini
paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay? Jika tadi ia menusuk tiga kali
berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya.
Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang, kedengaran Shin Ci-koh
mendengus dingin, muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian
kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang
yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas,
harap pada aku saja!
Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata
padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana?
Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang
sedang
terluka? buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin tadi, In-
nio
insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun takkan
menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya.
Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila. Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia
menyeletuk: Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik
sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya
hari
ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku!
Seru Ceng-bing-cu: Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan,
biarlah
aku saja yang menindaknya!
Ngaco, mundur! bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak.
Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis.
Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu? Kau paling takut kalah di tanganku dan
ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau
sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku!
Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya
dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh.
Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau
sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran! seru Leng Ciu
siangjin
dingin.
Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri? Aku tak sudi menerima budimu! sahut
Shin
Ci-koh.
Kembali Leng Ciu tertawa keras: Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi
padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat.
Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu.
Memang
kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari.
Mana
aku mempunyai tempo menunggumu? Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang,
kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita
keluarkan
kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali
bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil
itu? Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku? Begitu lukamu
sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan
apaapalagi!
Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: Besok malam aku tentu
menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa
nanti?
Leng Ciu siangjin tertawa keras: Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua
pesanmu,
maaf aku tak dapat mengawani lebih lama. -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin
Cengbing-
cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka.
Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia: Leng
Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai
orang

yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan.
Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe
terkejut
sekali, serunya: Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun? Ai, Shin
locianpwe,
kau kelewat percaya padanya!
Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh:
Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan
ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah
sembuh
sama sekali!
Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia? In-nio merasa cemas.
Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan
aku!
Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin
untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia:
Besok
kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya,
bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada
toasuhengmu.
Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan
Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku.
Khiksia,
tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut
nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir, kata Shin Ci-koh
pula.
Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan
seorang
wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio) menyampaikan
surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang Leng-ciu-pay.
Apa
yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya menasihati
Gonggong-
ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu telah mengalami
perubahan batin yang luar biasa besarnya.
Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: Nona Sip,
aku
terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk menolong
aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati, menumpas
setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesakti-saktinya
kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah contoh.
Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang aku
pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari
pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri.
Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus
tak
menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat
mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin.
lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak
suka
dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku
hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin
seumur
hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang
membantunya.
Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda
itu
sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas,
ternyata
penuh dengan budi kehalusan seorang wanita.
Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun tak
mau tinggal diam melihati saja, kata Khik-sia.
Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: Shin lo-cianpwe,
bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja?
Kupersembahkan
kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay
mampu
mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu?
Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan
Leng
Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat

mengingkari? Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang
kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi? Melarikan diri, tak
usah
dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali-
kali
tak boleh memberi bantuan!
Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya:
Sungguh
tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap tak
berubah pendiriannya.
Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf,
sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan
lama.
Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan
tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi
memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit.
Dilihatnya
rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam.
Akupun justeru sedang menunggu! kata In-nio.
Dia berada di mana? Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu? Dan bagaimana kau bisa berjumpa
dengan Shin lo-cianpwe? Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini?
demikian
Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan.
In-nio menghela napas: Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya,
bagaimana
kalian berdua bisa datang kemari?
Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan surat
kepada Se-kiat.
Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah? tanya In-nio.
Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam urusan
mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu? Yak-bwe balas
bertanya.
Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka
terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai, In-nio menerangkan singkat.
Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng? Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah
menyambut
Liang Hong? Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang suami
isteri
yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan.
Merahlah muka In-nio, dampratnya: Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau
menggoda
semaunya.
Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan
serius
nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar ditemukan.
Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang? Bagus, bagus, ah,
supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku tak mau
menanyakan urusanmu pribadi.
Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-mo-lek
itu kepada Se-kiat, kata In-nio.
Lho, mengapa? Apakah aku boleh turut mendengarkan? Khik-sia menghampiri.
Justeru memang hendak kudengarkan padamu, sahut In-nio yang lalu memulai keterangannya.
Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul. Benar memang aku
sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiau-ing.
Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing? Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan
mendengus: Huh, herankah? Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu?
In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak
membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak
dapat
menahan kemarahannya lagi: Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu!
Eh, kau jadi menemuinya, tidak? tegur Yak-bwe.
Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang
penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak
aku

harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya, sahut Khik-sia.
In-nio mengangguk: Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya
mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu.
Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio. Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu
menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya
setitik
kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio
yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang
diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya.
Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi
di
mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga, katanya.
Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah
supaya
In-nio jangan melantur lebih jauh.
Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya:
Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe ....
Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam
pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu
lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku
sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia
berani
datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang,
akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari
kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia
tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap,
jika
hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat.
Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam hari
tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe
memerlukannya,
kata Khik-sia.
Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun membiarkan
saja. Katanya: Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak mengapa.
Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu.
Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa:
Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai
nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat.
Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu? Khik-sia mendengus.
Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat akan
Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih ada
'apaapa'
dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu,
meninggalkan banyak kesan padanya.
Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu
benarbenar
sejoli yang paling tepat! pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan
Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. Sekarang kalau bertemu
aku
tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja.
Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang
tanah.
Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia
menghampiri
dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiau-gi) tengah
bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan gin-kangnya
yang
lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak mengetahui.
Salah seorang berkata: Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada
cukong,
tentu kita mendapat hadiah besar.
kata yang seorang: Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari dia?
Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap
orang.
Orang yang kesatu berkata pula: Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang
dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu.

Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia
tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi
saja mungkin kau sekar mendapat.
Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang
berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. Mereka menyebut-
nyebut
'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan ....
Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang
dua bertanya: Toako, apa yang kau tertawakan?
Opsir ketiga itu menyahut: Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di
mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!
Kalau menurut pendapatmu, bagaimana? tanya kedua orang tadi.
Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti
'patung
Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi
seperti
'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut
pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita
jadikan
isteri cecu (pemimping begal).
Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita
retak hanya karena siluman kecil itu, kata kedua orang kawannya.
Kata opsir tadi: Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya.
Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek.
Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah.
Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting.
Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok
kedua kawannya tadi. Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan
aku, terpaksa aku bertindak!
Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok
tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: Siapa yang hendak kau ambil isteri itu?
Wanita
itukah?
Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran
berteriak: Khik-sia, tolonglah aku!
Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang
pohon
siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya
dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-
sia
terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia.
Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat,
dalam
saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun
dalam
saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya
terpapas
rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman
golok si
opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu,
tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.
Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu
kepandaiannya
tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan badannya
yang
condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia
lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khik-sia. Itulah
yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to. Indahnya
bukan
buatan.
Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu.
Bentaknya: Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!
Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia
pinjam
tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir.
Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh
ke tanah.

Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan
terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.
Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka? tegur Tiau-ing.
Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu .... Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga
pakaian
Khik-siapun kelumuran juga.
Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin
pasukan
suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di
malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda
tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.
Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan
mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga
tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu
dan
tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga
loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ,
setelah
pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.
Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing.
Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti
berunding
lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu
silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua
kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.
Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah,
tak
sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.
Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot
matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah
membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!
Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi! Khik-sia
mendengus
dingin.
Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: Khik-sia, aku merasa salah
kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat
kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu.
Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ....
Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan
kau
di sini! bentak Khik-sia.
Tiau-ing menyeringai: Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu,
menurut
putusanmu!
Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku
menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu,
baik
jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu,
kata Khik-sia.
Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat
pertolongan,
mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa
dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong.
Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri
obat.
Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat,
Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat
tampillah
kesatriannya: Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah
meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?
Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka
dan
melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing.
Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka
jalan darahnya. Ujarnya: Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta.

Kata Tiau-ing: Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan
kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap
bisa
mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh
datang?
Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga
nona itu. Pikirnya: Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian
mengantar
isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu
berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku.
Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak
berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah
Tomulun
dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.
Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat
sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah
Thoko-
poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok
dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan
peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan
mendampratnya: Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah,
sekarang sudah lari ikut lain lelaki.
Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya, kata seorang lain.
Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: Ai, apa bocah lai itu bukannya
yang
tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh
menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!
Ada pula yang menyelutuk: Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri
dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat
bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini
namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'.
Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama
mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa
mereka
itu lebih menyakitkan telinga.
Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka
kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan
mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka
yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila
anak tentara hendak mengganggunya.
Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: Hai,
bocah
laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat bentuk
pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat
seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal
selatan!
Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas
kudanya!
Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang
diri
Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima
wanita
berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang, Khik-
sia
segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu
menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka.
Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!
bentak Tomulun seraya putar tombaknya.
Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian
Khiksia,
itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang
sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa
Khiksia
tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.
Thian-sian putar kudanya dan berseru: Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan
lepaskan

dia!
Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: Jika tak menyerahkan
orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai
kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!
Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring,
tanah
penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun
yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.
Tomulun mengejar, teriaknya: Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?
Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja
perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu, seru Thian-sian.
Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun
lantas
mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu.
Tomulun kertek gigi dan membentak: Lihat tombak! - Ia kaburkan kudanya dan menombak
Khiksia.
Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras.
Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung
tombak
hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun
menurun
ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia. Inilah
yang
ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga
congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak
jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh,
Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh). Dalam
posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar. Jatuhnya
tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian
ia
hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari.
Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah
mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai setengah li,
barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah.
Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke
punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda.
Tomulun menghela napas: Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah
menjadi
isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya.
Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah
dikejar.
Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda
itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang.
Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu, kata Khik-sia.
Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya
kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya
berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu
bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia
dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan
memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.
Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di
belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya,
mukanya
merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah
pada
luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau
wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik-
sia
muak tapi kasihan juga.
Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji
menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati. Diam-diam Khik-sia
mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara
boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri

dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.
Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari? kata Tiau-ing
dengan suara masih tersengal-sengal.
Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh
Sip
Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan lini
yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat
menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru-
buru
hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin
lambat jalannya.
Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka
adalah
tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak buah
Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar
rakyat
suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi
pertempuran.
Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti
tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan ekor kuda
yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari). Khik-
sia
gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti. Ia
sudah
berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.
Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan
Tiauing
begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In tentu
gelisah memikirkan diriku, pikirnya.
Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu,
tentu
akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya
(Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus
terang.
Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul.
Jauh
di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan cepat
keprak kudanya.
Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat? teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-im-
jipbi.
Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo
toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.
Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus
ia
kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat
selesainya.
Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu
bila
hendak bertemu pada seorang pembesar.
Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo
Sekiat
diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan Tiauing.
Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat pakaian
Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap.
Khik-sia tercengang. Pikirnya: Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang
ajar,
apakah dia curiga padaku?
Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari
kepada Se-kiat.
Ing-moay, ini, ini, bagaimana? tanya Se-kiat dengan getar.
Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: Dia, dia, dia menghina aku!
Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat
mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari.
Kejutnya
bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.
Nona Su, aku, kau kata apa? tergopoh-gopoh ia menegur.
Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah
ia
dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khik-
sia.

Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya. Ia
anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika
bekasbekas
cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan'
api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur
terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan
Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak
diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan
dan mengadu pada suaminya.
Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan
mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan
kemarahan
dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka
di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi.
Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas
mencabut pedang. Bentaknya: Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku! - Sang
kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia.
Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan
menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga.
Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian
keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan
terus
menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya.
Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak
begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi
pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu.
Setelah menghindar, berserulah ia: Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di
tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!
Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: Untung ia belum mati dan masih dapat bicara
membuka
kebohonganmu!
Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa
orang.
Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya
mencabut
pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat Khik-sia
menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja, walaupun
ginkangnya
lihay, tapi tentu akan kena juga.
Marahlah Khik-sia: Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan
keteranganku!
Se-kiat tertawa mengejek: Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu?
Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: Bo Se-kiat,
kau
betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari?
Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?
Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: Bangsat, jangan ngoceh tak
keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!
Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi
justeru
makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khik-sia
yang
mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum
dapat
melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik
mendakwa
Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing, untuk
menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.
Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia.
Serunya: Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara
lagi!
Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu
kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!
Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang
tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam

pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat
bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru)
dan
surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.
Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak
memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau
bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu! Se-kiat tertawa dingin.
Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: Se-kiat, kau tahu malu atau tidak?
Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!
Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu!
Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat
membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.
Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada
Khiksia.
Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat pun
gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.
Se-kiat terkejut, pikirnya: Kepandaiannya maju pesat sekali. - Dahulu ketika diadakan
pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah
bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa
pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran
kali
ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang
pusaka.
Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah
belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia.
Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia.
Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: Harap bengcu jangan umbar
kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan
Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber.
Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah
kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah
kau
minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan.
Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak
mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang
merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang-
orang
itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing
tadi,
Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet
Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu
seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-
lek)
yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.
Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya: Se-kiat yang salah! Perempuan
siluman
itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja.
Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu.
Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya
sebagai
'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah
tentu Se-kiat marah sekali.
Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari
Husong-
to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh
keluar kemah tanpa ijin, Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah
merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro
Khik-sia itu.
Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi
perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap
membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat
itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).

Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.
Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loan-
bihong-
kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya
dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi,
maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan
diri.
Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika
kochiu
bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang
bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan
kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang
tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.
Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam
beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat
tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan.
Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam
marahlah
Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai
keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap
belum ada yang kalah atau menang.
Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya:
Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan
begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?
Pikirnya lebih lanjut: Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari
sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun
mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat
lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa
aku melibatkan diri dalam pertempuran.
Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia
tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui.
Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main
golok.
Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali
gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai
dua
langkah.
Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya,
melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis
mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-
cu
tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru
penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan
lebih
lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu
mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada
syaratnya
ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan
lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.
Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang
yang
dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan
Sekiat,
namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil
putusan untuk mencobanya juga.
Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun
membahayakan
juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah
dimainkan
Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia pula karena
teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu,
tergetarlah
hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah.
Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan
padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya,

belum tentu Khik-sia dapat menang.
Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran
pedang
Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya:
Bangsat kecil, hendak lari kemana kau? - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas
menusuk.
Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan
dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan
menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka
saja.
Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar.
Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah
seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam
jurus
Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong
diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang
yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk
lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi
pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.
Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih
ada
berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua? Khik-sia tertawa mengejek.
Se-kiat balas mengejek tertawa: Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian
padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka
hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita
bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan.
Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling
silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: Harap Toan
siauhiap
suka tinggal!
Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya
kepada
Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda. Ya, ya.
Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan
musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat! pikirnya.
Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain,
serunya:
Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!
Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat? Se-kiat menertawakan. Dan
berbareng
itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: Harap tinggal di sini saja!
Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak
menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak
berdaya
menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.
Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku! Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua orang
baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor keras
dan
maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan
matimatian.
Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak
mampu
menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan
pedang orang.
Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka
sudah
mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo
Sekiat
dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khik-siapun
sukar mengalahkan.
Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba
kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu
lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka
dengan To-cu kami?
Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang
ilmu
lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak
meloloskan

diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling
mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan
lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.
Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu
ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja
yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.
Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk
membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu
jiwa
juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah
Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia
menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat
disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu.
Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka
masih
tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan
hampirhampir
rubuh.
Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur
lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo
Jong-long), akupun takkan mengejekmu.
Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu! Khik-sia berseru marah. Sekali
putar
pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.
Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang.
Pedang
keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena cepatnya
gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai
putus.
Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau
berhadapan
dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu! kembali Se-kiat tertawa mengejek.
Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang
dengan
kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Se-kiat. Ia
menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.
Tiba-tiba Se-kiat membentak: Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!
Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak
kuat
menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya
tergurat luka sepanjang tiga dim.
Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang
memaki
dengan melengking: Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!
Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum melihat
jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau
bukan
Gong-gong-ji.
Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau
Husong-
to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan barat-laut,
ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning
yang
adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan.
Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.
Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu
bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji
bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum
menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.
Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to! Gong-gong-ji
menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka
rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan
legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani
meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-
ji

tertawa terbahak-bahak.
Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: Kau berani mengejek
ilmu pedang kaumku? - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah
Sekiat.
Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti
petir menyambar-nyambar.
Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to
mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala.
Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda
tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai
sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan
darah lawannya.
Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya
merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung.
Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba
menampar dengan sebelah tangannya. Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah
sebuah
tamparanku!
Khik-sia geli dalam hati: Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga
ketularan. - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan
minggir ke samping.
Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gong-ji
terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia
menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia
tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji.
Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan
Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan
kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan.
Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung
pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat
Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental.
Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya
masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-
ji
rapat-rapat.
Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau
Khiksia
terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan,
pikirannya masih terang. Pikirnya: Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak
leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai
sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos.
Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan
Pattin-
tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli
strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun,
betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.
Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali. Segera
ia
meneriaki Khik-sia: Sute, ikutlah aku! - Ia melesat memburu Se-kiat.
Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke
dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah
menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan
pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya
Gonggong-
ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia
tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti
suhengnya.
Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka
sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun sudah

terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka
Khiksia.
Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak
membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti.
Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang
kepala
Bo Se-kiat, kata Gong-gong-ji.
Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang
memerlukan tenaga suheng, sahut Khik-sia.
Gong-gong-ji kerutkan alis: Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo
Sekiat?
Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu.
Oh, Shin Ci-koh? tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, Ya, aku telah bertunangan dengan
Cikoh.
Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu
dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya
kalau
tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah
berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu
sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega.
Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama
yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang
tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia
berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.
Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat
ini
sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi
untuk menolongnya!
Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang
berani
mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?
Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak
yang
terletak di gunung itu, sahut Khik-sia.
Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya.
Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?
oooooOOOOOooooo
Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang. Tentang
terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada
Gonggong-
ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan menghadapi sendiri
musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini dapat ditertawakan
orang.
Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Ceng-bing-
cu
memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ...
susoh,
kata Khik-sia.
Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: Ya, kutahu.
Cengbing-
cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar
terhadap susohmu!
Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. Celaka, kukuatir saat
ini
mereka sudah mulai bertempur! serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera
berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat
yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.
Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling
tidak
ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!
Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu
sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan

Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: Kali ini
aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!
Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh,
Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: Celaka! Celaka!
Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: Bagaimana keras
kepala
Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia pun
tentu
tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum
persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi.
Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu! bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri.
Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana.
Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau
dicemoohkan
orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji.
Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.
Apakah pertempuran mereka sudah dimulai? tanya Gong-gong-ji.
Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang
pada
jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. Ah, kalau begitu, pertempuran baru
berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah.
Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong.
Ya,
meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya.
Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan
berseru: Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!
Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah.
Tampak
berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batu-batu
kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.
Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku? Gong-gong-ji marah
sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun
yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya
pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh.
Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak
mungkin
dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.
Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak:
Datang
tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!
Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak
segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak
kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun
bubar,
Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam
beberapa
kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang yang
serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok
punggungnya: Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!
Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay
yang
dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid
Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya.
Meskipun
tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.
Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia pada
pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri
terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan
Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap
tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat
keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).
Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak
mencari
bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk
menunggu.
Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap
harus

dibunuh mati.
Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak
membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia
merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak
mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana
jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.
Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat
membinasakan
Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay gin-kangnya
seperti
Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari
Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.
Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan
saja
ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu
siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas
ke belakang.
Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gong-
gongji.
Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan
gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah dapat merebut
pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.
Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku, semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan
dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.
Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah
partai
persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci kepada
manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan
akan
membunuhmu! - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuik-kuik
seperti
babi hendak disembelih.
Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: Melihat kau
begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut kata-kataku.
Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. Baik, kalau
begitu ayo ikut aku, kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang
menjinjing ayam saja.
Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan
barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam.
Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin
Cikoh
yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.
Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya gagal.
Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya
sama
sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu
dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa
hinaan
moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar
pesan Yak-bwe.
Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima
penjelasanku atau tidak? ia mengeluh dalam hati.
Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa
yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah
mengharap-harap kedatangan Khik-sia.
Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin
Cikoh
sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan
Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan In-nio
lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.
Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis
wanita
yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat
itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.

Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang
tua:
Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini.
Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat
tadi, Shin Ci-koh berseru angkuh.
Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong
Lengciu-
pay itu tertawa: Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak
dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati
tiada
penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi.
Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu? tanya Shin Ci-koh.
Leng Ciu siangjin kesima, serunya: Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang!
Jilid 18 Tamat
Tetapi Se-kiat sendiri juga gentar. Memang Thiat-mo-lek selalu mundur, tetapi tetap memiliki
kekuatan untuk balas menyerang. Serangan gencar dari Se-kiat seperti membentur tembok yang
tak
kelihatan dan tak mungkin diterobos. Rencana Se-kiat sebenarnya hanya akan bertahan saja. Ini
untuk mengulur waktu hingga pamannya datang. Tetapi ia rubah rencananya itu setelah melihat
Thiat-mo-lek memberi pengobatan lwekang pada Tian Goan-siu tadi. Ia berganti dengan siasat
menyerang secara kilat.
Memang setelah bertempur tiga jurus, Se-kiat dapatkan tenaga lawan berkurang sekali. Tetapi
masih memiliki tenaga pertahanan yang kuat. Dengan begitu siasatnya menyerang kilat, sukar
terlaksana. Tapi Se-kiat sudah terlanjur bergerak menyerang, dia sendiri tak tahu bagaimana
nanti
jadinya. Kalau pertempuran berjalan lama, dikuatirkan tenaga Thiat-mo-lek akan pulih. Ini
berarti
kekalahan baginya (Se-kiat). Maka ia tak mempunyai pilihan lagi kecuali melanjutkan siasatnya
menyerang secara kilat.
Se-kiat mainkan pedangnya dengan gencar. Thiat-mo-lek selalu main mundur saja. Setiap kali
mundur, ia dapat mengurangi kekuatan menyerang dari lawan. Tapi karena Se-kiat masih muda,
tenaganyapun tak lekas habis. Oleh karena itu semua hadirin, kecuali ayah mertua Thiat-mo-lek,
sama merasa cemas. Mereka tak tahu bahwa sebenarnya pemunduran Thiat-mo-lek mempunyai
arti.
Makin lama Se-kiat makin ganas. Jurus-jurus serangannya makin menghebat. Dan Thiat-molek
hanya mainkan goloknya dalam ilmu golok warisan keluarganya. Se-kiat tampak sebagai pihak
penyerang tetapi anehnya serangannya yang bagaimana aneh tetap kena ditangkis golok Thiat-
molek.
Hadirin yang berada di lapangan situ, kecuali Han Soan (ayah mertua Thiat-mo-lek), yang
berilmu tinggi hanya Tian Goan-siu.
Setelah tersadar, ia tak mau pulang mengobati lukanya tetapi tetap berada di situ untuk
menyaksikan pertandingan. Ia menghela nafas: Aku telah belajar tujuh belas macam ilmu
pedang,
tapi baru sekarang kuketahui kalau kesemuanya itu hanya ilmu picisan. Luar biasa sekali ilmu
pedang Se-kiat itu, namun tak mampu menandingi ketenangan Thiat-mo-lek. Untuk mencapai
keistimewaan, asal orang mempunyai otak cerdas tentu dapat. Tapi untuk mencapai ketenangan,
orang harus berlatih dengan tekun. Ketenangan dan kemahiran jauh lebih unggul dari
kedahsyatan.
Pada saat Tian Goan-siu membuat penilaian begitu, Thiat-mo-lek sudah mundur lagi sampai 7-8
langkah. Tampaknya ia terkurung sinar pedang Se-kiat. Keadaannya makin buruk. Malah Ong
Yan-ik sudah menyatakan kekuatirannya kepada suaminya: Goan-siu, dikuatirkan Thiat toako
akan
kehabisan tenaga dan tak mampu mempertahankan kemenangannya.
Memang Goan-siu mengetahui bahwa ketenangan Thiat-mo-lek itu pasti dapat mengatasi lawan.
Tapi ia tak mengerti tentang keindahan-keindahan yang tersembunyi dalam permainan Thiat-mo-
lek
itu. Apa yang dikatakan isterinya, sesuai dengan perasaannya. Celaka, kalau Thiat-mo-lek
sampai
kalah, akulah yang menjadi gara-garanya, ia mengeluh dalam hati namun tak diutarakan pada

isterinya. Ia tetap memperhatikan jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.
Han Ci-hun, isteri Thiat-mo-lek, pun berada di situ. Mendengar pembicaraan Tian Goan-siu
suami isteri itu, iapun merasa cemas. Waktu ia hendak menanyakan pendapat ayahnya, tampak
saat
itu Han Soan menyungging senyuman.
Eh, Mo-lek mundur terus-terusan, mengapa ayah malah gembira? ia heran.
Baru saja ia berpikir begitu, di sana Se-kiat kiblatkan pedangnya dengan istimewa. Menyabat
ke kiri dengan jurus Ban-li-hui-soang, memapas ke kanan dengan jurus Cian-sam-lok-yap. Bret,
lengan baju Thiat-mo-lek kena terpapas rompal.
Ayah.... belum Han Ci-hun melanjutkan kata-katanya, ayahnya (Han Soan) sudah menukas
tertawa: Serangan Se-kiat sudah tamat. Lihatlah, sekarang Thiat-mo-lek berganti giliran yang
menyerang!
Han Ci-hun menengok kemuka. Ah, kiranya benar. Thiat-mo-lek kini merubah pertempuran
dari bertahan menjadi penyerang. Meskipun belum dapat memaksa lawan mundur, tapi kini
posisinya sudah kokoh. Kiranya setelah bertempur puluhan jurus itu, tenaga Thiat-mo-lek sudah
hampir pulih dan melebihi tenaga lawan.
Se-kiat, mengaku kalah sajalah, seru Thiat-mo-lek dengan nada berat.
Sebenarnya sukar bagi seorang ko-chiu untuk mengalah. Seperti tempo dalam pertandingan
rapat pemilihan bengcu yang pertama dulu, karena mengalah itu Thiat-mo-lek hampir saja
terluka
sendiri. Itu saja ilmu pedang Se-kiat tak begitu ganas seperti sekarang. Tidak demikian dengan
keadaan sekarang. Kalau Thiat-mo-lek mengalah, Se-kiat tentu tak mau memberi ampun. Oleh
karena itu Thiat-mo-lek mencari jalan, mengalahkan Se-kiat tanpa melukainya. Itulah sebabnya
ia
menyerukan orang supaya menyerah saja.
Dalam keadaan ditentang massa dan dibaliki muka oleh kawan, Se-kiat sudah kehilangan
kesadaran pikirannya. Persetan dengan anjuran Thiat-mo-lek. Ia mendengus, menggunai
kesempatan selagi Thiat-mo-lek bicara, ia lancarkan tiga buah serangan berturut-turut.
Hari sudah begini tinggi, mengapa paman belum kelihatan? Sekalipun dalam babak kedua ini
aku kalah, tapi nanti dalam babak terakhir paman tentu menang. Dengan begitu kedudukan
bengcu
tetap dapat kupertahankan, pikirnya. Adalah karena masih mengandung cita-cita itu maka
serangan yang dilancarkan Se-kiat itu selalu ganas. Serangan berantai tiga kali itu, luar biasa
hebatnya. Yang diarah selalu jalan darah-jalan darah maut.
Thiat-mo-lek menghela napas, ujarnya: Untung celaka, diri sendiri yang membuat. Baik,
karena kau berkeras hendak menentang kehendak para saudara-saudara loklim dan tetap mau
mengangkangi kedudukan bengcu, terpaksa aku bertindak.
Dalam sehelaan napas, Se-kiat sudah melancarkan 49 jurus. Namun Thiat-mo-lek tegak kokoh
laksana gunung. Ia tetap tenang untuk menangkis setiap serangan. Waktu mengakhiri jurusnya,
ketika Se-kiat mau berganti jurus lagi, tiba-tiba Thiat-mo-lek bersuit nyaring. Pedang diputar
sebagai main golok. Dia keluarkan ilmu pedang ciptaannya sendiri. Dahulu di lapangan kotaraja,
ia gunakan ilmu pedang itu untuk membunuh Yo Bok-lo.
Jika bukan kau akulah yang mati! bentak Se-kiat dengan nada dalam. Tapi diam-diam, ia
mengeluh mengapa pamannya tak muncul juga. Iapun lantas keluarkan ilmu bertempur secara
gerilya, yakni ilmu permainan yang sudah disiapkan untuk menghadapi Thiat-mo-lek. Dengan
permainan itu ia mengharap dapat mengulur waktu. Tapipun ia mempunyai harapan juga supaya
menang.
Tetapi ternyata ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu, luar biasa kerasnya. Betapa aneh
jurusjurus
permainan Se-kiat, namun sia-sia saja. Tidak setitik lubang yang bagaimana kecilnyapun
terdapat dalam permainan Thiat-mo-lek.
Selagi pertempuran berlangsung seru, sekonyong-konyong anak buah Se-kiat berteriak gempar:
Tocu datang!
Thiat-mo-lek yang selalu pasang mata dan telinga, pun mengetahui juga kedatangan Bo Jonglong
bersama-sama Gong-gong-ji, Shin Ci-koh dan Mo Kia Lojin. Dia terkesiap kaget-kaget
girang. Memang yang paling menjadikan perhatiannya ialah tentang Bo Jong-long yang khilaf
pikiran itu. Jika tokoh itu berkeras kepala, tentu akan terjadi pertempuran darah besar-besaran.

Dan Gong-gong-ji serta Shin Ci-koh yang berangasan itupun menjadi pemikirannya juga. Bahwa
sekarang Bo Jong-long datang bersama-sama Gong-gong-ji dan kawan-kawan, sungguh tak
terduga-duga oleh Thiat-mo-lek.
Menilik gelagatnya, mereka sudah menghapus permusuhan, pikirnya. Dugaan Thiat-mo-lek
itu sebagian memang tepat. Benar mereka kini sudah bersahabat setelah mengalami pertempuran
mati-matian.
Ko-chiu kalau sedang bertempur, tak boleh bercabang pikiran. Girang dengan kedatangan Bo
Jong-long beramai-ramai yang tentu dapat mendamaikan urusan itu, penjagaan Thiat-mo-lek
terhadap serangan Se-kiatpun agak kendor. Sebaliknya Se-kiat menggunakan kesempatan itu
untuk
menyerang dengan tiba-tiba. Pedangnya menusuk dada.
Serangan itu merupakan serangan nekad dimana kedua pihak tentu sama-sama terluka. Thiatmo-
lek miringkan tubuh menghindar tapi tak urung pundaknya termakan pedang.
Masih gerakan Se-kiat itu belum selesai. Ujung pedang diputar mengarah tenggorokan orang.
Dalam saat-saat jiwanya terancam itu, Thiat-mo-lek terpaksa mengeluarkan jurus istimewa
untuk menyelamatkan jiwanya. Sekali ayunkan pedangnya, ia menabas pedang Se-kiat.
Thiat tayhiap, harap memberi kemurahan! terdengar Bo Jong-long berteriak tertahan.
Trang, pedang Se-kiat kutung menjadi dua terbabat pedang Thiat-mo-lek. Masih gerakan
Thiatmo-
lek itu meluncur terus.
Seketika Se-kiat rasakan kulit kepalanya dingin dan diam-diam menjeritlah ia: Habis jiwaku
sekarang!
Tapi begitu angin dingin menyambar mukanya, ia tak merasa apa lagi. Ketika memandang
kemuka ternyata Thiat-mo-lek sudah berada beberapa langkah di sebelah sana, sedang
menyarungkan pedangnya.
Thiat-mo-lek sekali-kali bukan karena mendengar seruan Bo Jong-long tadi, tetapi memang ia
tak bermaksud untuk mengambil jiwa Se-kiat. Maka dengan tepat sekali ia mengakhiri
serangannya tanpa menyentuh selembar rambut orang. Karena kalau mendengar seruan Bo
Jonglong
itu baru menarik pedang, tentu sudah kasip.
Baik Se-kiat maupun Thiat-mo-lek sama-sama memakai pedang biasa. Tetapi setelah terluka
Thiat-mo-lek masih dapat mengutungkan pedang Se-kiat, menunjukkan betapa lihay tenaganya.
Entah berapa kali lebih unggul dari lawan. Pertandingan itu terang dimenangkan Thiat-mo-lek.
Kekalahan yand diderita Se-kiat betul-betul meludaskan mukanya. Tapi diam-diam ia masih
bergirang karena pamannya datang. Saat itu tampak Bo Jong-long menghampiri. Se-kiat hendak
bicara tapi didahului pamannya: Anak jahanam, sampai saat ini apa kau masih tak mau
mengaku
kalah?
Karena lukanya belum sembuh sama sekali, nada suara Bo Jong-long tak begitu nyaring. Tapi
dalam pendengaran Se-kiat, hal itu seperti halilintar menyambar. Satu-satunya tiang yang
diandalkan ternyata suruh dia mengaku kalah!
Paman, apa katamu? masih ia tak percaya akan pendengarannya.
Wajah Bo Jong-long membeku, mulutnya mendengus: Kusuruh kau minta maaf kepada
sekalian orang gagah di sini dan terus ikut aku pulang. Sejak saat ini, kau tak boleh datang ke
Tiong-goan lagi!
Kejut Se-kiat bukan alang-kepalang, serunya: Paman, kepandaianmu tiada yang melawan,
mengapa gampang-gampang menyerah kalah?
Semua gerak-gerikmu telah kuketahui semua. Jangan harap dapat mengelabuhi aku lagi,
jangan pula coba memprovokasi aku. Di dunia ini yang mempunyai moral baiklah yang dipuja.
Sekali-kali jangan banggakan kepandaian tinggi hendak menundukkan orang. Tentang ilmu
kepandaian, sucou kita Cek-si-keh entah berapa puluh kali lebih tinggi dari kita, tetapi toh ia tak
menentang Li Si-bin yang sudah diterima rakyat. Itulah baru perbuatan yang mulia dan perwira.
Memang aku bersalah mengutus kau ke Tiong-goan. Ini karena aku kelewat memandang rendah
pada golongan kaum gagah di negeri ini. Li Tong memang berhak menjadi raja, tapi tidak orang
seperti kau. Berbicara tentang ilmu kepandaian, kemuliaan hati, coba kau tanya pada dirimu
sendiri
apakah kau mampu menandingi Thiat tayhiap? Turutlah perintahku, lekas minta maaf pada
sekalian

orang gagah di sini!
Sewaktu mengucapkan kata-katanya itu, beberapa kali Bo Jong-long harus berbatuk. Tahulah
Se-kiat kalau pamannya itu terluka dalam yang parah. Sekarang ludaslah semua harapan Se-kiat.
Batinnya mengeluh: Sedang paman sendiri juga memaksa aku harus minta maaf, ah, Tuhan
yang
maha murah. Kiranya hanya Tiau-ing seorang yang tahu tentang isi hatiku.
Tiba-tiba terdengar lari kuda mendatangi. Yang datang ialah dayang pelayan Tiau-ing. Buruburu
Se-kiat menanyakan keterangan tentang Tiau-ing. Dengan terbata-bata budak itu menjawab:
Nyonya telah merampas kudaku. Kukira ia sudah datang kemari, yang kunaiki ini kuda orang
lain
....
Lekas cari, lekas cari sana .... Baru Se-kiat gugup menyuruh bujang itu, kembali seorang
dayang Tiau-ing muncul. Dayang itu terus berseru: Tak usah mencari, aku sudah tahu dimana
nyonya.
Se-kiat buru-buru mendesak bujang itu supaya menerangkan tapi bujang itu mengatakan tak
leluasa mengatakan di situ. Ia minta Se-kiat masuk ke dalam kemah.
Bilang sekarang, dengar tidak?! bentak Se-kiat dengan murka. Saat itu pikiran Se-kiat sudah
kalut. Dia seperti orang kalap. Keadaanku toh sudah begini, aku tak peduli segala berita buruk,
pikirnya.
Karena ketakutan, bujang itu terpaksa bilang. Aku tadi bertemu dengan nyonya. Ia, ia naik
kuda bersama Toan Khik-sia, melarikan diri!
Apa? Ia melarikan diri dengan Khik-sia? Se-kiat menjerit. Ia yang sudah siap menerima
kabar buruk toh terkejut sekali mendengar keterangan itu. Lebih kaget kalau andaikata menerima
kabar Tiau-ing meninggal. Silih berganti ia mendapat kegoncangan hati. Dan rupanya berita
tentang larinya Tiau-ing itu merupakan pukulan yang maha berat. Seketika ia seperti kehilangan
semangat.
Juga sekalian orang terkejut dengar berita itu. Lebih-lebih Yak-bwe. Hanya kalau Se-kiat
menerimanya dengan rasa putus asa, Yak-bwe dengan perasaan cemas. Ia menjerit dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Untung In-nio dan Bik-hu cepat memapahnya.
Khik-sia, mengapa dia, dia ....
Jangan mencurigai Khik-sia, tentulah ia, tentu .... kata In-nio.
Kutahu, tentu perbuatan siluman perempuan itu. Ah, entah dia diberi obat penyesat pikiran
apa? kata Yak-bwe. Ia tidak percaya bahwa Khik-sia dapat dikalahkan Tiau-ing, kecuali dengan
diberi minum obat pemunah tenaga.
Karena hadirin gempar dengan berita itu sampai-sampai diri Se-kiat tak mendapat perhatian.
Se-kiat, bagus sekali isteri yang kau ambil itu! Hm, seorang isteri demikian tak usah kau
pedulikan lagi! Selesaikanlah urusanmu di sini, baru kita nanti membuat pembersihan, kata Bo
Jong-long berkata dengan hati pedih.
Benak Se-kiat kosong melompong. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kegemparan hadirin
dan kata-kata pamannya tadi, tak didengarnya lagi.
Bo Se-kiat, urusan busuk perempuanmu itu, uruslah sendiri. Itu tak ada sangkut pautnya
dengan kami. Sekarang semua saudara menanti sepatah perkataanmu. Apakah kau masih punya
muka menjadi bengcu lagi? Kau mau menghaturkan maaf atau tidak? tiba-tiba Shin Thian-
hiong
berseru.
Perlahan-lahan Se-kiat berjalan ke tengah lapangan. Dalam hatinya ia tertawa pahit: Seutas
benang mengikat dua ekor semut. Melihat akhirnya aku bangkrut, ia lantas minggat dengan lain
lelaki.
Langkah Se-kiat itu diikuti mata segenap hadirin. Mereka kira Se-kiat tentu akan mengakui
kesalahan. Tiba-tiba Se-kiat berhenti. Di sebelah tempat ia berhenti tampak In-nio berdiri di
samping Bik-hu. Kedua anak muda itu tengah berbisik-bisik dengan mesranya. Hati Se-kiat
seperti
diiris sembilu.
Jika tempo hari aku tak salah langkah, bukantah aku dengan In-nio merupakan pasangan yang
ideal dalam dunia persilatan? Hm, aku yang memperalat Tiau-ing atau Tiau-ing yang
memperalat
diriku? Saat ini mungkin sudah tak ada tempat bagiku di dalam hati In-nio. Hatinya sudah terisi

Bik-hu, keluhnya dalam batin. Ia coba memandang lekat tapi In-nio dan Bik-hu makin
merapatkan
diri.
Sekonyong-konyong berserulah ia dengan keras: Set yang kujalankan ternyata salah. Satu set
salah, semua-semuanya hancur. Apalagi yang kuharap! - Ia cabut pedang dan ditusukkan
sekuatkuatnya
ke dadanya sendiri ....
Kejadian itu sungguh tak tersangka-sangka. Bo Jong-long terbeliak kaget, tapi tak keburu
mencegah. Paling-paling ia hanya menghampiri, menutuk darah Se-kiat supaya berhenti. Tapi
untuk menyelamatkan jiwa keponakannya itu terang tak mungkin. Pedang telah masuk separuh
ke
dalam dadanya. Memang kalau menimbang kesalahannya, Se-kiat pantas menerima hukuman
itu.
Tapi biar bagaimana, ikatan batin antara paman dengan keponakan itu masih ada. Bo Jong-long
sedih sekali. Sejak kecil anak ini sudah ditinggal ayah bundanya, untung ia berotak cerdas dan
berbakat bagus. Ah, tak nyana ia harus mengakhiri hidupnya secara begini rupa. Kesemuanya itu
karena aku tak mampu mendidiknya dengan sempurna, batinnya berkata sendiri.
Dengan menelan air matanya, Bo Jong-long membisiki ke dekat telinga Se-kiat: Apa
pesanmu?
Adalah karena ditutuk oleh pamannya itu, Se-kiat masih dapat bertahan hidup untuk beberapa
saat. Ia gunakan saat-saat terakhir itu untuk meninggalkan pesan: Begitu anak itu lahir, ambillah
anaknya, buang ibunya ... paman, kau ... aduh, aku merasa sakit sekali, tolonglah paman mem
....
Baik, nak. Aku tahu maksudmu. Berangkatlah dengan tenang, sekali menutuk jalan darah
kematiannya, Bo Jong-long mencabut pedang di dadanya dan seketika itu melayanglah arwah
Sekiat.....
Bo Jong-long menyeka air matanya, kemudian perintahkan anak buahnya supaya jenasah Sekiat
diperabukan. Abunya supaya dibawa pulang ke Hu-song-to.
Pun mengingat persahabatannya di masa lampau, Thiat-mo-lek turut berduka dengan kejadian
itu. Tapi tak tahu ia bagaimana hendak menghibur kedukaan Bo Jong-long.
Saat itu muncul dua pengawal baju kuning ke tengah lapangan. Mereka ialah pengawal yang
ditugaskan Bo Jong-long untuk membawa Khik-sia dan Ping-gwan. Mereka terkesiap kaget demi
melihat kawan-kawannya tengah menggotong jenasah Se-kiat.
Mengapa kalian tak mengindahkan perintahku? Mana Khik-sia? tegur Bo Jong-long dengan
nada berat.
Nyonya muda mengatakan kalau ia disuruh tocu membawa kedua tawanan itu. Kami tak tahu
kalau nyonya membohong, kata kedua pengawal itu.
Kuberi waktu kalian dalam tiga tahun harus menemukan nyonya muda. Jika ia sudah
melahirkan anak, bawalah anak itu saja, tak usah pedulikan nyonya muda lagi. Biar suhunya
yang
memberi hukuman padanya.
Kedua pengawal itu heran. Tapi mereka tak berani membantah. Bo Jong-long bersuit rawan.
Kepada ke-42 kepala pulau ia berseru tandas: Kamu sekalian harus ikut aku pulang dan sejak
ini
tak boleh datang ke Tiong-goan lagi.
Thiat-mo-lek dan Gong-gong-ji menghampiri untuk mengantar keberangkatan pemimpin
Husong-
to itu. Kata Thiat-mo-lek: Bo-locianpwe, aku sungguh menyesal sekali ....
Thiat-tayhiap, kau sudah melakukan segala apa yang kau dapat lakukan terhadap Se-kiat. Aku
merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti kau. Tapi sejak saat ini mungkin aku
takkan
menginjak tanah Tiong-goan lagi. Gong-gong-ji maafkan. Arak kegirangan kalian berdua,
terpaksa
aku tak dapat turut minum.
Bo Jong-long berlalu, ke-42 kepala pulau itupun mengikuti. Hasil dari rapat besar kaum loklim
hari itu sungguh tak dinyana-nyana. Sudah dapat dipastikan bahwa Thiat-mo-lek bakal diangkat
menjadi bengcu yang baru.
Anehnya sampai saat itu Khik-sia belum kelihatan muncul. Sudah tentu sekalian orang merasa
gelisah.
Hai, bukantah itu Ping-gwan? Dia sudah datang! Tiba-tiba Goan-siu berseru.
Ping-gwan memang berjalan ke lapangan. Pakaiannya compang-camping, badannya luka-luka
dan jalannya sempoyongan. Thiat-mo-lek tergopoh-gopoh membawanya ke dalam kemah dan

mengobati lukanya.
Lukaku ini tak mengapa. Yang penting kejarlah lekas siluman perempuan itu. Ia melarikan
Khik-sia! kata Ping-gwan.
Walaupun ia dan Khik-sia sama-sama ditutuk jalan darahnya oleh Bo Jong-long, tapi caranya
mengerjakanpun berbeda. Untuk Khik-sia yang lwekangnya lebih tinggi, Bo Jong-long gunakan
cara menutuk Ciong-chiu-hwat (tutukan berat). Kalau digunakan terhadap orang yang
lwekangnya
lemah, Ciong-chiu-hwat itu akan mengakibatkan luka berat.
Sebenarnya lwekang Ping-gwan berimbang dengan Khik-sia. Tetapi Bo Jong-long belum
pernah mengetahui kepandaiannya. Dan memang Bo Jong-long pun tak bermaksud mencelakai
kedua anak muda itu. Kuatir Ping-gwan tak kuat menahan, Bo Jong-long hanya gunakan ilmu
tutukan biasa.
Waktu diseret sampai ke kaki puncak Thiat-li-hong oleh kedua pengawal baju kuning,
sebenarnya Ping-gwan sudah dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Rupanya si
pengawal yang memanggulnya, tinggi kepandaiannya. Mendengar jalannya napas Ping-gwan
berbeda, pengawal itu lantas meletakkan tubuh Ping-gwan untuk diperiksannya.
Tapi sekonyong-konyong Ping-gwan menggembor keras. Tali yang mengikat kaki tangannya
putus. Ia gunakan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim untuk melawan si pengawal. Sepuluh jurus
kemudian, Ping-gwan rasakan peredaran darahnya tambah enak, tenaganya sudah pulih 5-6
bagian.
Ia desak lawannya mundur lalu hendak menyerang pengawal yang membawa Khik-sia.
Pengawal yang menawan Khik-sia itu kelabakan. Tahu kawannya tak mampu melawan
Pinggwan,
iapun hendak letakkan angkutannya (Khik-sia) untuk membantu sang kawan. Tapi
pikirannya maju mundur. Kalau meletakkan tawanannya kuatir dirampas orang. Namun tidak
meletakkan, ia tentu tak leluasa bertempur dengan lawan.
Selagi Ping-gwan mendesak kedua pengawal dan sudah akan berhasil membebaskan Khik-sia,
tiba-tiba terdengar derap kuda mendatangi. Yang datang ialah Tiau-ing.
Melihat Khik-sia tak dapat berkutik, tahulah Tiau-ing bahwa anak muda itu tentu ditutuk dengan
Ciong-chiu-hwat oleh Bo Jong-long. Ia girang sekali dan buru-buru minta supaya Khik-sia
diserahkan padanya.
Tetapi seperti yang dikatakan di atas, pengawal baju kuning dari Hu-song-to hanya menurut
perintah dari Bo Jong-long saja. Sekalipun Tiau-ing yang meminta, tetap mereka tak lekas-lekas
menyerahkan. Tanyanya: Apakah nyonya muda sudah mendapat ijin dari Bo tocu?
Ping-gwan mempercepat serangannya. Bret, lengan baju pengawal itu kenal dibabatnya.
Untung karena kuatir melukai Khik-sia, Ping-gwan tak mau turunkan serangan keras. Coba
tidak,
dada pengawal itu tentu sudah terbelah. Tapi adalah karena harus bertempur dengan hati-hati itu,
Ping-gwan tak berhasil merampas Khik-sia.
Sudah tentu paman yang menyuruh aku membawa orang itu. Kau berani banyak tanya lagi?
Apakah aku tak menganggap aku sebagai nyonya tuanmu? Tiau-ing pura-pura marah besar.
Pertama, karena tak berani menyangka kalau Tiau-ing berbohong. Kedua, karena rangsangan
Ping-gwan, terpaksa ia serahkan Khik-sia pada Tiau-ing. Baik, sambutlah! teriaknya seraya
lemparkan tubuh Khik-sia.
Siluman perempuan, kau masih belum puas mencelakainya? damprat Ping-gwan dengan
murka. Ia loncat menerjang tapi disambut dengan tabasan golok oleh Tiau-ing. Kedua pengawal
itupun lantas menyerang Ping-gwan.
Hampir saja Ping-gwan termakan golok Tiau-ing. Pada waktu ia menghindar, Tiau-ing tertawa
gelak-gelak seraya menyambuti tubuh Khik-sia. Seperti mendapat pusaka berharga, Tiau-ing
segera
keprak kudanya dan membawa kabur Khik-sia.
Karena Khik-sia sudah tak berada di situ, Ping-gwan pun tak bernafsu lagi. Setelah mendesak
mundur kedua pengawal baju kuning, iapun lantas tinggalkan tempat itu.
Cerita Ping-gwan itu menggelisahkan hati sekalian orang.
Keparat! Akulah yang bersalah karena terlalu memanjakan budak perempuan itu, kata Shin
Ci-koh.
Karena tak dapat berkutik, Khik-sia tentu tak dapat berbuat apa-apa dibawa menurut kemauan

siluman wanita itu, Yak-bwe cemas.
Ai, jangan kuatir, justeru karena Khik-sia tertutuk jalan darahnya, ia tentu tak kena apa-apa,
In-nio tertawa.
Sebenarnya yang dikuatirkan Yak-bwe ialah kalau tunangannya kena terpikat rayuan Tiau-ing.
Karena isi hatinya ditebak In-nio, tersipu-sipulah wajah Yak-bwe.
Wi Gwat menyatakan bahwa harus lekas-lekas dilakukan pengejaran terhadap Tiau-ing. Setelah
lukanya diobati, Ping-gwan menyatakan ikut dalam pengejaran itu. Akhirnya mereka berlima
membagi diri dalam tiga jurusan. Wi Gwat dan Ping-gwan, karena kepandaiannya tinggi,
masingmasing
berjalan seorang diri. Sedang Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu satu jurusan. Begitulah mereka
berangkat ke arah timur, selatan dan barat.
Diceritakan setelah menawan Khik-sia, Tiau-ing larikan kudanya secepat mungkin. Kudanya
kuda pilihan hasil rampasan Se-kiat. Kekuatannya tak kalah dengan kuda pemberian Cin Siang
kepada Thiat-mo-lek itu. Mendaki gunung melintasi sungai seperti di tanah datar saja.
Luas area gunung Hok-gu-san itu di antara 500-an li. Karena sehari penuh terus lari nonstop,
maka menjelang mahgrib Tiau-ing sudah mencapai 300 li. Dari situ memandang ke bawah,
tampaklah padang datar di kaki gunung.
Punya sayap sekalipun tak mungkin piauko-mu Thiat-mo-lek mengejar kemari. Baiklah
malam ini kita bermalam di dalam hutan siong sini, besok pagi baru turun gunung. Tiau-ing
tertawa seraya menjinjing Khik-sia ke dalam hutan pohon siong. Walaupun tak dapat berkutik,
tapi
pikiran Khik-sia masih sadar. Diam-diam ia mengeluh membayangkan apa tindakan yang akan
dilakukan Tiau-ing nanti.
Di dalam hutan masih terdapat gundukan salju yang belum lumer. Ditingkah cahaya rembulan,
tampaklah seperti permadani putih bertebar di bumi. Tampak Tiau-ing kerutkan alis. Wajahnya
yang tengah merenungkan sesuatu, memancarkan mimik seperti minta dikasihani.
Khik-sia meramkan matanya. Tak mau ia memandang wanita itu. Pikirnya: Apa yang hendak
dibicarakannya? Sayang seorang wanita yang secantik itu, mempunyai hati yang culas.
Kedengaran Tiau-ing menghela napas dan berkata seorang diri: Se-kiat, bukannya aku
bermaksud mengkhianatimu, tetapi kau harus mengerti dan memaafkan kegelisahan hatiku.
Heran Khik-sia dibuatnya. Nyata-nyata Tiau-ing masih merindukan suaminya. Tapi Se-kiat toh
sedang menghadapi saat-saat yang menentukan nasibnya. Mengapa bukannya mendampingi sang
suami sebaliknya wanita itu menculiknya (Khik-sia) ke tempat jauh?
Terdengar derap kaki makin menjauh. Karena herannya Khik-sia membuka mata. Ai, ternyata
Tiau-ing pergi. Apa artinya ini? Apakah ia hendak berolol-olok padaku? ia makin heran.
Khik-sia diam-diam salurkan lwekang untuk membuka jalan darahnya. Tetapi tutukan Bo
Jonglong
memang istimewa benar. Walaupun lwekang sudah dapat menyalur tetapi jalan darahnya yang
tertutuk masih tetap belum dapat terbuka.
Sampai sekian lama Khik-sia berusaha sekuat-kuatnya. Pada saat ia sudah hampir berhasil,
tiba-tiba terdengar derap kaki menghampiri. Tiau-ing muncul dengan menjinjing sebuah kantong
kulit. Ujung goloknya berhias dua ekor ayam hutan. Kiranya tadi ia pergi berburu.
Sayang! Kalau jalan darahku belum terbuka ia tentu tak mau melepaskan, diam-diam Khiksia
menyumpahi.
Sehari penuh kau tak minum tak makan, tentu lapar. Minumlah dulu air ini, nanti
kupanggangkan ayam hutan untuk makanmu, kata Tiau-ing dengan nada lembut.
Dalam hati Khik-sia menolak tapi karena jalan darahnya masih tertutuk, terpaksa ia biarkan
saja. Tiau-ing membuka kantong kulit yang ternyata berisi air jernih. Sekali memijat pipi Khik-
sia
sehingga mulutnya ternganga, Tiau-ing lantas mencurahkan air itu ke dalam mulut si anak muda.
Khik-sia gelagapan. Darahnya merangsang keras dan .... terbukalah jalan darahnya yang
tertutuk itu. Cepat ia gunakan ginkang, lari menghampiri kuda. Tapi baru beberapa langkah,
tibatiba
kepalanya terasa puyeng, kakinya lentuk dan napasnya terengah-engah. Tiau-ing cepat melesat
datang. Sekali mendorong pelahan-lahan saja, rubuhlah Khik-sia ke tanah.
Beristirahatlah, kau sudah tak dapat bertenaga lagi, Tiau-ing tertawa.
Khik-sia kaget bercampur marah. Ia berusaha bangkit dan memaki: Kau, kau siluman wanita

hendak mengapakan diriku?
Tiau-ing menekan pundak Khik-sia dan terkulailah anak muda itu. Tidak apa-apa, aku hanya
menaruh Soh-kut-san (obat pelunak tulang) dalam air tadi. Masih ingat tempo hari kau pernah
kutawan berkat bantuan Soh-kut-san? Tetapi kali ini aku berjanji tak gampang-gampang
memberi
obat penawarnya.
Su Tiau-ing, mengapa kau selalu hendak mencelakai diriku? teriak Khik-sia dengan murka.
Suamiku mati di tanganmu. Apakah tak layak kau menerima sedikit siksaan dariku?
Bagaimana kau tahu suamimu sudah mati? Toh sejak pagi-pagi kau sudah melarikan aku.
Terang kau tak hadir dalam rapat itu!
Terus terang kuberitahukan padamu bahwa pamannya Se-kiat itu sudah tak mau membantunya
lagi, jawab Tiau-ing.
Tapi toh belum pasti kalau suamimu tentu meninggal. Aku tahu bagaimana rencana piauko-ku
Thiat-mo-lek. Dia hanya bermaksud supaya suamimu sadar akan kesalahannya. Sekali-kali tidak
menghendaki jiwanya. Andaikata suamimu berkeras kepala, toh paling-paling hanya dicopot dari
kedudukannya sebagai bengcu saja. Siapa bilang Thiat piauko mau membunuh suamimu?
Tiau-ing menghela napas: Kau hanya tahu tentang rencana piauko-mu tetapi tak tahu
bagaimana watak suamiku. Sebagai seorang yang berhati tinggi mana dia mau menerima hinaan
semacam itu? Kurasa saat ini dia tentu sudah bunuh diri! He, he, tahukah kau sekarang apa
sebabnya kutawan kau kemari?
Khik-sia seram dengan nada tertawa Tiau-ing: Mau apa kau? Apa mau membunuh aku sebagai
balas dendam kematian suamimu? tanyanya.
Sahut Tiau-ing dingin: Sekalipun Se-kiat tidak langsung mati di tanganmu, tapi sebagian besar
kaulah yang menjadi gara-gara. Tetapi aku tak mau membunuhmu. Aku menginginkan supaya
kau
menemani aku!
Bunuhlah aku saja! teriak Khik-sia seperti orang kalap.
Tiau-ing memberi sebuah kicupan mata yang mengasih. Tertawalah ia: Khik-sia, apa kau kira
karena teringat akan hubungan kita yang lampau, aku lantas tak sampai hati membunuhmu?
Tidak!
Aku menikah dengan Se-kiat dan akupun berusaha untuk menjadi isterinya yang baik.
Tindakanku
sekarang ini, kesemuanya demi untuk kepentingan Se-kiat.
Tak mengerti Khik-sia kemana jatuhnya perkataan nona itu. Tapi diam-diam ia berjanji dalam
hati, kalau Tiau-ing benar-benar berbuat untuk kepentingan suaminya, ia bersedia memaafkan
wanita itu. Tapi ai sangsi itikad baik Tiau-ing.
Apa maksudmu, aku masih belum mengerti? tanyanya.
Wajah Tiau-ing memerah, ujarnya: Ya, aku terpaksa tak malu-malu lagi kepadamu. Di dalam
perutku sekarang ini terisi anak Se-kiat yang baru berumur tiga bulan. Kutahu kamu semua
membenci diriku. Suhuku, suhengmu, Thiat-mo-lek, Hong-git Wi Gwat dan kawan-kawanmu
semua ingin membunuh aku ....
Tidak, jika mereka tahu kau sedang mengandung tentu takkan membunuhmu, buru-buru
Khik-sia menyatakan!
Tiau-ing tertawa tawar: Aku tak percaya pada siapa saja. Kau kira sepatah katamu tadi dapat
menjamin jiwaku. Dan dengan begitu karena percaya pada ucapanmu aku lantas melepaskanmu?
Tidak, bagiku satu-satunya jaminan untuk melindungi jiwaku ialah dengan menawan dirimu!
Khik-sia mengeluh dalam hati: Karena wataknya ganas, ia tentu banyak curiga. Ia mengukur
orang lain menurut ukuran hatinya sendiri. Untuk menyakinkan wanita ini, tentu akan makan
waktu lama.
Khik-sia, tiba-tiba Tiau-ing berkata pula, aku terpaksa meminta pengorbananmu. Kau harus
menemani aku. Kau tentu sudah bagaimana kelihayan obat Soh-kut-san itu. Jika tak mendapat
obat
penawarnya, dalam waktu sebulan kau akan mati secara pelahan. Tetapi dengan ikut padaku,
setiap
setengah bulan, akan kuberimu separuh pil penawar agar jiwamu lebih panjang. Kau tak bisa
gunakan ilmu silatmu lagi tapi kau masih tetap mempunyai tenaga untuk menemani barang
kemana
aku pergi. Kelak apabila anakku sudah berumur tiga tahun baru akan kuberimu kebebasan penuh
untuk pulang menemui tunanganmu nona Su. Kawan-kawanmu tentu tak berani membunuh aku.

He, he, jika mereka sampai berbuat yang tidak-tidak, kaulah yang akan kubunuh dulu. Kuberjanji
setelah anakku berumur tiga tahu, kau tentu akan kusembuhkan. Pada waktu itu jika kau hendak
membunuh aku karena mendendam atas perbuatanku itu, akupun tak keberatan.
Ah, tak usah kau berbuat begitu. Jika Se-kiat benar sudah mati, asalkan bertobat dan kembali
ke jalan yang benar, mengasuh anakmu dengan baik-baik sebagai seorang ibu yang bijaksana,
mereka tentu takkan mendendam padamu, kata Khik-sia.
Bagus, jika kau masih simpati dan kasihan padaku. Kuminta kau lakukan sebuah hal bagiku.
Apa?
Selama dalam perjalanan kau harus menggunakan sebutan suami-isteri padaku, kata Tiau-ing.
Kau gila! teriak Khik-sia.
Ai, kau memang buta perasaan. Coba pikirlah. Seorang pria dan seorang wanita bersamasama
dalam perjalanan. Terus terang saja aku tak dapat membiarkan kau berjalan terpisah jauh-jauh
dariku. Di waktu bermalam di hotel, kita harus tinggal sekamar. Jika tidak memakai sebutan
suami
isteri, apakah tidak akan menimbulkan kecurigaan orang?
Nyata hati Tiau-ing gundah sekali. Memang benar rencana menawan Khik-sia itu untuk
menajmin keselamatan dirinya dan calon bayinya. Tetapi pun rasa cintanya terhadap Khik-sia
nyata
belum padam. Bahwa mulutnya selalu menekankan kalau perbuatannya diperuntukkan
kepentingan
Se-kiat, itu hanya untuk menghilangkan kecurigaan Khik-sia saja.
Jangan, jangan! Bagaimanapun juga, aku tak mau berbahasa suami-isteri dengan kau! Khiksia
merah mukanya.
Sekonyong-konyong terdengar orang tertawa geli dan berseru: Nona Su, kalau budak itu tak
mau menjadi suamimu, biarlah aku yang mewakili!
Sebuah bayangan loncat dari atas pohon. Kepalanya lancip, pipi tirus seperti monyet. Ai,
kiranya Ceng-ceng-ji.
Kunyuk tua, kau berani kurang ajar terhadap aku? Tiau-ing marah.
Toh kau mencuri suami? Pura-pura atau suami sesungguhnya, aku bersedia melamar, sahut
Ceng-ceng-ji.
Begitulah manusia yang mengaku bersahabat baik dengan Se-kiat? Cis, tak tahu malu!
damprat Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji, muka suhu telah kau lumuri kotoran. Mengapa kau berani menghina seorang
wanita yang tengah hamil? Jika toa-suheng tahu, pasti dia akan mencabut tulangmu, dan
membeset
kulitmu! Khik-sia turut memaki.
Huh, jiwamu sekarang berada di tanganku, masih berani membacot! sahut Ceng-ceng-ji.
Khik-sia tak berdaya. Sekali Ceng-ceng-ji menutuk jalan darah pembisunya, iapun tak dapat
bersuara lagi. Sehabis itu Ceng-ceng-ji berpaling dan tertawa meringis: Nyonya Bo, sia-sia saja
kau paksa budak itu menjadi suamimu. Hm, hm, mengapa begitu jerih payah? Kau bukan wanita
terhormat, akupun bukan lelaki baik. Setali tiga uang , cocok!
Mengkal dan murkan sekali Tiau-ing. Biarpun ia banyak akal, tapi pada saat itu ia belum dapat
menemukan akal untuk menghadapi Ceng-ceng-ji.
Ceng-ceng-ji terbahak-bahak: Apakah karena budak itu berparas cakap dan aku jelek, kau
lantas menampik aku?
Jangan ngaco belo! Kutawan dia karena untuk barang tanggungan. Ah, paman Ceng-ceng,
peribahasa mengatakan: asal masih ada sinar matahari, kemudian hari tentu dapat bertemu lagi.
Harap kau lepaskan tangan, siapa tahu kelak kemudian hari kita masih dapat bekerja sama, kata
Tiau-ing.
Itulah baru pantas. Baiklah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh. Aku tak menjadi
suamimu, tak apa. Tetapi budak itu harus diserahkan padaku.
Tiau-ing terperanjat: Apa? Kau mau membawanya? Kiranya kau juga menaruh minat
padanya!
Benar, memang ucapan budak itu benar. Aku memang takut ancaman Gong-gong-ji dan Shin
Ci-koh, maka aku hendak mengambilnya sebagai barang tanggungan.
Nanti dulu, paman Ceng-ceng. Mari kita berunding lagi, buru-buru Tiau-ing menyusuli
kataKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kata.
Berunding apa? Apa kau suka pura-pura menajdi suami-isteri dengan aku?
Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia menawarkan untuk bersama-sama membawa
Khik-sia. Ia insyaf kepandaiannya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Walaupun tak senang tetapi ia
terpaksa gunakan siasat begitu.
Atas pertanyaan Ceng-ceng-ji kemana rencana Tiau-ing hendak membawa Khik-sia nanti,
Tiauing
mengatakan: Aku hendak mencari suhuku yang satunya Hoan Gong hwatsu.
Hoang Gong hwatsu adalah kepala biara Ogemi di Cenghay. Dahulu waktu tentara Su Su-bing
berpangkalan di Cenghay, dia bersekutu dengan paderi itu. Hoan Gong hwatsu suka akan
kecerdikan Tiau-ing dan mengambilnya sebagai murid luar biasa. Yaitu tidak seperti hubungan
guru dan murid pada umumnya. Walaupun ilmu silat Hoan Gong hwatsu tinggi, tapi karena
Tiauing
masih kecil maka tidak diajari ilmu silat. Seluruh kepandaiannya didapat dari Shin Ci-koh.
Sekalipun demikian Hoan Gong tetap sayang pada Tiau-ing. Beberapa tahun yang lalu,ketika Su
Tiau-gi (kakak Tiau-ing) hendak menggerakkan pemberontakan lagi, Hoan Gong pernah datang
menjenguk Tiau-ing. Kala itu ketika Tiau-ing menawan Khik-sia hidup-hidup, pun dibantu oleh
paderi itu.
Ceng-ceng-ji pun kenal lama dengan Hoan Gon, tetapi hubungan mereka tak rapat. Ia girang
dengan keterangan Tiau-ing itu. Pikirnya: Kini aku sedang keputusan jalan. Sebenarnya
tujuanku
hendak menggabung pada Leng Ciu siangjin. Tetapi karena tempo hari ia dikalahkan Shin Ci-
koh,
ia tentu tak mau menerima aku. Hoan Gong hwatsu lebih sakti, apalagi dia masih mempunyai
beberapa suheng dan sute yang tak kalah lihaynya. Jika aku dapat meneduh dalam lindungannya,
itulah yang paling tepat. Asal aku dapat menggenggam Khik-sia, biar Tiau-ing banyak muslihat,
tapi tak usah kuatir dapat mencelakai diriku.
Dari air mukanya, Tiau-ing tahu kalau Ceng-ceng-ji setuju. Diam-diam ia muak dengan
tampang eng-ceng-ji, namunia tahankan hati. Ujarnya: Paman Ceng-ceng, kita bersama-sama
mengamat-amati anak muda ini. Tetapi selama dalam perjalanan kau harus menurut sebuah
perjanjianku.
Waktu Ceng-ceng-ji menanyakan, Tiau-ing menjawab: Dalam perjalanan kita bertiga harus
pura-pura satu keluarga. Terpaksa agak mencemoohkan paman Ceng-ceng sedikit. Kuminta kau
menjadi seperti bujang kami.
Ceng-ceng-ji memoncat kaget: Apa? Aku disuruh jadi bujang? Mengapa tak jadi suami atau
sekurang-kurangnya jadi ayah saja?
Telah kukatakan aku tak mau bersandiwara menjadi suami isteri denganmu. Kalau jadi ayah,
ah, wajahmu terpaut jauh sekali. Cobalah berkaca, bagaimana bentuk wajahmu itu? Maka yang
paling tepat, jadi bujang saja, kata Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji menggumam, belum membuka mulut Tiau-ing sudah berkata lagi: Budak itu
sudah termakan obat Soh-kut-san, hanya aku yang mmepunyai obat penawarnya. Jika kau
cobacoba
menculiknya, tak sampai sebulan dia tentu mati tanpa sakit. Paman Ceng-ceng, aku takut
hukuman suhuku dan kau takut suhengmu membunuhmu. Jadi kita senasib. Asal kita dapat
memiliki anak muda itu sebagai barang tanggungan, ya sekalipun kau harus menerima sedikit
cemoohan, tapi kita tentu akan selamat.
Ceng-ceng-ji tergelak-gelak: Baiklah, nyonya Bo. Kau memang cerdik, aku menurut saja.
Tetapi akan kau ujikan apa bocah itu? Apakah hendak kau jadikan suami tetiron?
Menjadi adikku yang bisu. Setiap kali sebelum menginap di hotel, tutuklah jalan darah
pembisunya. Sebagai bujang kau boleh tidur bersamanya. Bukankah baik pengaturan itu? sahut
Tiau-ing.
Mati hidupnya Khik-sia itu tak berarti apa-apa bagi Ceng-ceng-ji. Yang penting ia sekarang
mendapat jalan bonceng Tiau-ing untuk mencari perlindungan pada Hoan Gong hwatsu. Maka
dapat menyetujui rencana Tiau-ing itu. Begitulah setelah terdapat persepakatan, Ceng-ceng-ji
lantas
memanggul Khik-sia. Ia tertawa mengejek: Bocah bagus, bukankah ji-suhengmu
memperlakukan
kau baik-baik? Beberapa kali kau menghina dan memaki aku, tetapi aku teap suka merawatmu.
Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi diam-diam ia terhibur juga. Dengan ikut sertanya

Ceng-ceng-ji jauh lebih baik daripada kalau menempuh perjalanan seorang diri dengan Tiau-ing.
Paling tidak ia dapat terhindar dari rayuan wanita itu. Pikiran Khik-sia jadi tenang, ia pasrah
pada
nasib.
Dengan gunakan gin-kang, Ceng-ceng-ji dapat mengimbangi lari kuda Tiau-ing. Mereka
menempuh perjalanan siang malam. Setelah keluar dari daerah Hok-gu-san, mereka menuju ke
Ceng-hay.
Sekarang mari kita ikuti rombongan yang mencari jejak Khik-sia. Lebih dulu kita tinjau Coh
Ping-gwan. Kudanya juga kuda istimewa, walaupun masih kalah dengan kuda Tiau-ing. Hanya
jurusan yang diambilnya, memang tepat. Sayang jarak mereka makin lama makin terpisah jauh.
Hari ketiga Ping-gwan baru keluar dari daerah Hok-gu-san. Di kaki gunung ia berpapasan
dengan
seorang penebang pohon. Ia mencari keterangan orang itu. Kebetulan pagi harinya ketika Tiau-
ing
turun gunung, penebang itu melihatnya. Ia heran melihat seorang kunyuk besar memanggul
seorang pemuda, berlari mengejar seorang wanita muda yang naik kuda.
Ping-gwan menduga, kunyuk yang dimaksudkan si penebang pohon itu, tentulah Ceng-ceng-ji.
Ia makin gelisah dibuatnya.
Hari itu ketika Ping-gwan tiba di tempat pos pemberhtian di kaki gunung, tiba-tiba ada dua
penunggang kuda mencongklang datang dengan pesat sekali. Kedua penunggang itu berpakaian
seperti orang asing. Ping-gwan buru-buru mengejar. Kini makin jelas. Ia terkejut girang. Kedua
orang asing itu bukan lain anak buah U-bun Hong-ni yang dahulu pernah mencuri kudanya
(Pinggwan
dan Khik-sia).
Ping-gwan teringat, Tiau-ing pernah coba merapati Hong-ni. Ia kuatir jangan-jangan wanita itu
akan menggabung pada Hong-ni. Waktu ia hendak keprak kudanya mengejar, dari belakang
kembali datang dua penunggang suku asing lagi. Yang satu seorang berumur 20-an tahun,
berpakaian mentereng seperti bangsawan. Yang satu seorang pertengahan umur. Rupanya
pengawal pemuda tadi.
Kedua anak buah Hong-ni congklangkan kudanya makin keras. Pemuda mentereng berseru
keras: Hai, berhentilah!
Tetapi kedua anak buah Hong-ni itu malah semakin mencongklang pesat.
Kurang ajar, berani membangkang perintahku! ia keprak kudanya mengejar.
Kini Ping-gwan baru tahu kalau mereka itu bukan sekawanan. Ia duga pemuda itu tentu
bangsawan Hwe-ki yang berpengaruh. Ia pun keprak kudanya membuntuti. Tiba di pinggir
hutan,
didengarnya di dalam hutan seperti ada orang bertengkar.
Hai, budak yang tak tahu mati. Di mana nona majikanmu sekarang? Bilang lekas, kalau tidak
tentu kucabut jiwamu! pemuda itu marah-marah.
Lebih baik kami dipenggal kepala tetapi di mana tempat beradanya nona, tak dapat kukatakan
padamu, sahut kedua bujang itu.
Budak kurang ajar, kamu hendak berontak! teriak pemuda itu.
Ya, memang kami budak tetapi hanya budak dari nona kami, bukan budak bangsamu Hwe-ki!
tiba-tiba kedua bujang itu berseru keras.
Pemberontak, tangkap kedua budak hina ini! seru si pemuda. Kedua bujang tadi hendak
menerjang, tapi cukup dengan sebuah ingsaran tubuh, mereka menubruk angin. Kalian tak
berharga bertempur dengan aku, pemuda itu tertawa menghina.
Diam-diam Ping-gwan terkejut melihat gerakan si pemuda.
Rubuh! sebelum kedua bujang yang terhuyung-huyung itu sempat berdiri tegak, kaki kiri si
pemuda mengait dan tangan kanannya menghantam. Yang kena terkait, terjerembab jatuh. Yang
kena kepukul, mendekap pinggangnya sambil berjongkok.
Tahu rasa, sekarang? Jika kalian kepingin mati, nanti tentu kukirim. Ruyung kiau-pian ini
dapat memecahkan dagingmu sampai busuk, coba saja kalau kalian tetap tak mau memberitahu,
pemuda asing itu tertawa sinis.
Bermula Ping-gwan tak mau campur tangan. Tapi demi mendengar percakapan mereka, ia tak
kuat menahan kemarahannya lagi. Segera ia lari menghampiri dan berseru: Hak apa kau hendak
menghina orang?

Pemuda bangsawan itu terkesiap melihat ada orang muncul dari dalam hutan. Siapa? Kau
berani turut campur urusanku! bentaknya seraya ayunkan ruyung.
Enyah! Ping-gwan menyambut dengan tangan kiri hendak merampas ruyung. Tetapi di luar
dugaan, permainan ruyung pemuda bangsawan itu aneh sekali. Ruyung melingkar seperti naga
melilit dan dari arah yang tak diduga Ping-gwan, ruyung itu menghantamnya. Terpaksa Ping-
gwan
gunakan gerak Poan-hong-yan-poh (naga melingkar langkah) dalam detik-detik yang berbahaya,
ia
rubah pukulannya menjadi gaya menutuk. Pluk, ruyung kena dipentalkan. Tapi sekalipun begitu,
tak urung ujung bajunya tersabat pecah.
Si pengawal maju: Siau-ong-ya, mengapa perlu meladeni bedebah itu. Biarlah hamba yang
memberesinya!
Siau-ong-ya artinya anak raja. Jadi pemuda itu memang benar seorang pangeran atau anak raja
dari Hwe-ki. Ia mengikan dan pesan Ih-sin, pengawalnya itu supaya berhati-hati. Rupanya
pangeran itu tahu Ping-gwan seorang 'berisi'.
Ih-sin memang panglima kenamaan dari suku Hwe-ki. Tapi sebenarnya ia tak begitu tinggi ilmu
silatnya. Melihat Ping-gwan dalam sekali gebrak saja kena disabat hancur lengan bajunya oleh
junjungannya (pangeran), Ih-sin tak memandang mata padanya.
Ping-gwan pura-pura mengunjukkan sebuah lubang kelemahan. Begitu Ih-sin maju, ia biarkan
saja. Ih-sin seorang jago gumul (semacam judo). Begitu tangan kirinya disusupkan ke bawah
siku
Ping-gwan, sekali sentak tubuh Ping-gwan terangkat ke atas.
Ha, ha, bedebah ini hanya.... aduh! Ih-sin mengganti ketawanya dengan jeritan mengaduh.
Ternyata dengan gerak kilat, Ping-gwan mencengkeram pergelangan tangan lawan, sebelum si
pangeran sempat menolong, dengan kecepatan luar biasa Ping-gwan memelintir lengan orang
terus
di balik tubuhnya dan dilemparkan sampai beberapa tombak jauhnya. Aduh ...! kembali Ih-sin
menjerit karena tempat jatuhnya kebetulan dalam sebuah semak-semak berduri. Kaki dan
tangannya dimakan duri, ia tak dapat berkutik lagi.
Hai, kau orang Han, sungguh besar sekali nyalimu! Tahukah kau siapa aku? Sekalipun rajamu
kalau bertemu aku tentu akan memberi hormat dengan khidmat. Tetapi kau berani melawan aku?
Heh, heh, jika kau ingin merampas uang, aku suka memberimu beberapa tail perak. Dan kalau
kau
suka ikut padaku, itu yang paling baik lagi, kata si pangeran. Ia tak kenal siapa Ping-gwan.
Dikiranya pemuda itu bangsa penyamun. Tapi diam-diam ia jeri juga akan kepandaian Ping-
gwan.
Ia pamerkan dirinya agar orang takut. Kemudian coba membujuknya.
Aku tak peduli siapa kau ini. Mungkin lain orang takut padamu, tetapi aku tidak. Kalau kau
andalkan pengaruhmu untuk menghina orang, aku tak dapat tinggal diam, sahut Ping-gwan.
Pangeran itu menggumam. Dengan mimik memandang rendah ia berkata pula: Negeri Su-tho
adalah negeri jajahan kami. Kedua bujang itu, orang sebawahan dari rakyat taklukanku. Hidup
matinya terletak di tanganku. Mengapa kau salahkan aku menghina mereka? He, he, lucu benar.
Tutup mulutmu! Aku tak kenal kalian ini tuan atau budak. Yang kuketahui, mereka berdua itu
adalah sahabatku. Jika kau berani menghinanya, aku terpaksa membuatmu tak bisa tertawa nanti.
Pergilah, dengar tidak?
Masih pangeran itu tertawa menghina: Kau bersahabat dengan mereka? He, he, itu namanya
membikin merosot hargamu sendiri. Hm, tahulah aku, mungkin nona U-bun itulah yang
sebenarnya
menjadi sahabatmu.
Kalau benar, mau apa? Sudah jangan banyak omong, pergilah!
Rupanya pangeran itu merasa cemburu, ia tertawa sinis: Oh, makanya ia selalu menyingkir dari
aku. Hm, budak, aku ingin jiwamu!
Dirangsang oleh rasa cemburu, rasa jeri terhadap Ping-gwan hilang seketika. Ia tak
menghiraukan segala apa dan menyerang Ping-gwan dengan ruyungnya.
Kali ini Ping-gwan sudah siap. Memutar tumit kakinya, ia berputar. Tapi sang pengeran
mengirim lagi tiga buah hantaman ruyung. Melihat lawan pandai ilmu silat, Ping-gwan tak
berani
meremehkan. Iapun segera mencabut golok pusakanya.
Kau iniraja atau budak, tetapi tanah orang Han sini tak mengijinkan kau berbuat
sewenangwenang.
Unjuk kegaranganmu di negerimu sendiri sana. Lihat golok! serunya.

Ping-gwan keluarkan permainan golok yang terdiri dari 36 jurus. Ruyung dan golok bermain
dengan cepat. Di sela-sela sambaran angin, terdengar beberapa kali suara menggeletar. Punggung
Ping-gwan termakan dua buah cambukan tapi ruyung si pangeranpun kena terpapas kutung tiga
kali.
Tiap bagian dari permainan golok Ping-gwan terdiri dari 36 jurus. Setelah selesai, lalu bagian
yang kedua yang juga terdiri dari 36 jurus. Kini ruyung pangeran Hwe-ki tak mampu mengenai
lawan, sebaliknya Ping-gwan berhasil memapas lagi empat kali. Dengan begitu ujung ruyug itu
hilang satu meteran.
Ping-gwan lanjutkan dengan bagian yang ketiga yang juga berisi 36 jurus. Dalam babak ini, dia
menang angin. Si pangeran terkurung dalam sinar golok. Ruyung makin pendek makin mudah
terbentur golok. Boleh dikata setiap dua jurus, Ping-gwan tentu dapat memapas beberapa inci.
Waktu bagian ketiga selesai, ruyung si pangeran tinggal seperempat meter.
Apa kau tetap tak mau melepaskan ruyungmu? bentak Ping-gwan seraya gunakan gigir golok
menyodik siku si pangeran. Sodokan itu membuat si pangeran terpaksa lepaskan ruyungnya.
Untung Ping-gwan tak mau membikin onar. Coba ia pakai mata golok, lengan si pangeran tentu
sudah terpisah dari tubuhnya.
Ping-gwan sarungkan goloknya dan berseru: Apa masih mau berkelahi terus?
Wajah si pangeran berubah membesi. Matanya melotot memandang Ping-gwan. Tanpa
menyahut ia putar tubuh dan berlalu. Saat itu Ih-sin bru berhasil keluar dari semak berduri. Ia
menyongsong tuannya: Siau-ong-ya, mengapa tak memberi hukuman pada kedua bujang itu?
Plak, si pangeran memberi sebuah tamparan ke pipi Ih-sin dan membentaknya: Lekas naik
kuda!
Kuda kedua orang Hwe-ki itu, kuda perang yang terlatih mahir. Begitu tuannya naik di
punggungnya, binatang itu segera lari sepesat angin.
Pangeran itu patah sebuah tulang tangannya, paling tidak dalam satu bulan ia baru dapat
menggunakan ruyung lagi. Biarlah dia pergi dan kalian perlu kuberi obat, kata Ping-gwan.
Tubuh kedua bujang itu berlumuran luka, untung hanya luka luar. Tampaknya mengerikan tapi
sebenarnya tak berbahaya. Setelah dilumuri obat oleh Ping-gwan, luka itupun berhenti
mengucurkan darah.
Coh tayhiap, nona kami hendak membunuhmu. Pun kami mendapat perintah nona untuk
mengepungmu. Mengapa kau balas kejahatan dengan kebaikan? kedua bujang itu terheran-
heran.
Ping-gwan tertawa: Sebenarnya aku tak mempunyai dendam apa-apa dengan nonamu.
Peristiwa dahulu, kalian tentu mengetahui juga. Jika mencari biang keladinya, yang membunuh
ayah nonamu itu adalah bangsa Hwe-ki.
Kedua bujang itu entah berapa kenyangnya menerima hinaan orang Hwe-ki. Mereka
mengiakan: Benar, karena tak mengerti duduk perkaranya, nona melimpahkan kesalahan
padanya.
Rupanya siau-ong-ya itu hendak paksa menikah dengan nonamu. Bagaimana duduk
perkaranya? tanya Ping-gwan.
Kedua bujang itu menghela napas: Adalah nona sendiri yang nasibnya sial, Ayah dari anjing
pangeran tadi adalah paman dari raja Hwe-ki. Namanya Topace, menjabat sebagai tay-goanswe
(jenderal besar) angkatan perang Hwe-ki. Dia merupakan orang yang paling berkuasa di negeri
Hwe-ki. Anjing pangeran itu bernama Topayan. Dua tahun berselang ketika berburu nona telah
berpapasan dengan dia. Setelah itu dia terus-terusan merayu, hendak mengambil nona jadi
isterinya. Dengan alasan bahwa menurut adat istiadat Su-tho sebelum membalas dendam ayah
tak
dapat menikah, nona main mengulur waktu. Tahun ini ketika kerajaan Tay Tong minta bantuan
pemerintah Hwe-ki untuk menindas pemberontakan, Topayan mengusahakan pamannya nona itu
dapat kesempatan untuk membalaskan sakit hati ayah nona. Kemudian ia mendesak nona tinggal
dalam rumahnya. Setelah sakit hati terbalas, segera lepaskan pakaian berkabung dan
melangsungkan perkawinan. Nona tak sudi menerima anjuran itu. Ia menyatakan hendak
melakukan permbalasan sendiri. Ia ajak kami lari ke Tay Tong.
Oh, kiranya ia mencari balas padaku itu karena ada sebabnya, kata Ping-gwan.

Kedua bujang itu melanjutkan keterangannya: Tak tersangka-sangka anjing pangeran itu juga
menyusul langkah kami. Ia bertekad hendak membawa pulang nona. Mendengar berita itu, nona
tak berani pulang dan tak berani menemui pamannya di Tiang-an. Ia membagi rombongan
pengikutnya menjadi beberapa kelompok agar anjing itu bingung mencarinya. Kami berdua
sejalan
tapi lacur bertemu dengan anak pangeran itu. Coh tayhiap, kali ini banyak membikin repot
padamu.
Kemana nonamu lari, aku perlu menemuinya, kata Ping-gwan.
Kedua budak itu saling berpandangan. Beberapa jenak kemudian, baru mereka berkata: Coh
tayhiap, kami berhutang jiwa padamu. Kami percaya kau tentu tak bermaksud jelek terhadap
nona.
Baik-, kami akan memberitahukan. Nona pergi ke tempat kepala daerah In-ge-sau-meng yang
bernama Popa ong-kong (raja suku). Dia menjadi saudara angkat dari raja kita dahulu. Dia
mempunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengan nona. Keduanya amat baik sekali
seperti
saudara. Ketika tanah kami diduduki bangsa Hwe-ki, Popa dan puterinya pernah sekali datang
membawanya pulang. Tetapi kala itu si anak pangeran belum memaksa nona untuk menikah.
Dan
pemerintah Hwe-ki sedang memerlukan tenaga paman nona. Karena itu nona berat
meninggalkan
rumah dan terpaksa menolak. Ah, jika tahu sekrang bakal begini, itu waktu lebih baik turut Popa
ong-kong saja.
Tapi apakah ong-kong itu tak takut kepada pangeran Hwe-ki? tanya Ping-gwan.
Waktu kecil Ping-gwan pernah ikut ayahnya ke Su-tho. Dalam perjalanan melalui daerah In-
gesau-
beng juga. Samar-samar ia masih ingat tempat itu.
Sekalipun belum mendapat berita Khik-sia, tak apalah kalau menjenguk Siau-ni dulu. Ia
sungguh kasihan sekali nasibnya, mungkin aku dapat membantu memberi penjelasan dendam
sakit
hati yang tak keruan ini, pikirnya.
Ia ambil selamat berpisah dengan kedua bujang Hong-ni dan seorang diri menuju ke barat.
In-ge-sau-meng itu terletak di sebelah barat gunung Ki-lian-san, merupakan seubah padang
rumput seluas seribu li. Setelah sebulan menempuh perjalanan akhirnya tibalah Ping-gwan di
daerah itu.
In-ge-sau-meng ternyata merupakan desa penggembala yang primitif. Rakyat penggembala itu
tiada mempunyai tempat tertentu, pun rajanya (ong-kong) juga tak punya istana tertentu,
melainkan
perkemahan yang selalu berpindah-pindah. Setiap perintah dibawa oleh seorang petugas berkuda.
Di daerah padang rumput itu untuk beberapa hari jarang berjumpa dengan orang. Dan kalau
berjumpa, orang itupun tak tahu di mana perkemahan kepala mereka.
Ping-gwan tak hiraukan rintangan-rintangan itu. Dia menjelajahi padang rumput mencari Popa
ong-kong. Hari itu ketika sedang berkuda, tiba-tiba ia berpapasan dengan segerombolang
penunggang kuda. Ping-gwan hendak mencari keterangan tetapi beberapa penunggang kuda
yang
berada di bagian depan saling kejar-kejaran. Dua orang penunggang kuda lari menghampiri
Pinggwan.
Tiba-tiba penunggang kuda yang belakang mencambuk yang di muka. Tetapi orang yang
dicambuk itu ternyata pandai sekali berkuda. Ia keprak kudanya lewat di sisi Ping-gwan. Tar,
cambuk mengenai Ping-gwan.
Kawan-kawannya yang berada di belakang terdiri dari pemuda dan pemudi. Mereka tertawa
riuh. Seorang pemuda menyanyi: Kuda si anak laki cepat larinya, cambuk si nona keras
pukulannya. Jatuh di badan sang kekasih, sakitkah hatimu? Aduh, cambukannya tak keras, tetapi
kukuatir dia akan lari secepat angin.
Kini baru Ping-gwan mengetahui bahwa yang mencambuknya tadi seorang gadis cantik. Gadis
itu merah mukanya: Ai engkoh, aku tak sengaja mencambukmu. - Kemudian berpaling
mendamprat kawan-kawannya yang beryanyi tadi: Cis, menjemukan. Sekarang toh belum
saatnya
bermain Kambing-liar? Simpanlah nyanyianmu nanti malam untuk Keke.
Kawannya yang menyanyi itu tertawa: Kau tak suka mendengar nyanyianku, masakan aku
berani menyanyikan di hadapan Pekeke?
Thiau-yo atau Kambing liar, adalah permainan rakyat padang rumput. Semacam permainan
menunjukkan kepandaian naik kuda dan meminang gadis. Setiap tahun baru atau malam
Purnamasidhi
(tanggal 15 bulan delapan) tentu diadakan permainan itu. Pemuda dan pemudi sama naik

kuda. Yang laki di depan, yang perempuan di belakang. Jika si pemuda kena dikejar, si gadis
boleh
mencambuk sesukanya. Memang tak adil, tapi anak muda-muda itu memang lebih senang kalau
dicambuki anak gadis. Karena gadis itu tak sembarang mencambuk. Hanya pemuda pujaan
hatinya
yang dicambuk.
Oh, apakah malam itu malam perayaan Purnama-siddhi? kata Ping-gwan. Sudah sebulan ia
menempuh perjalanan sampai-sampai lupa sudah ia akan tanggal. Tapi ia ingat permainan
Kambing-liar itu hanya dilakukan pada tahun baru dan pertengahan bulan delapan.
Eh, engkoh ini, menilik dandananmu kau tentu bukan suku kami? Dari mana kau? tanya
pemuda yang menyanyi tadi.
Aku orang Han dari selatan, sahut Ping-gwan. Ia tahu bahwa rakyat In-ge-sau-meng itu
ramah tamah terhadap tetamu asing.
Oh, makanya kau tak tahu. Malam ini Papo ong-kong menyelenggarakan perayaan
Kambingliar.
Dia suruh anak-anak muda datang. Kabarnya ia hendak mencari menantu untuk puterinya
Pekeke.
Kuatir Ping-gwan tak mengerti, salah seorang anak muda menjelaskan lagi: Kami menyebut
puteri ong-kong dengan panggilan Keke. Namanya Yangpe, puteri tunggal dari ong-kong.
Rupanya anak perempuan yang mencambuk Ping-gwan tadi masih tak enak hati, ujarnya:
Engkoh orang Han, sukalah menjadi tetamu kita. Dapatkah kau menyanyi lagu-lagu kami?
Biarlah kuajari kau menyanyi.
Gadis-gadis padang rumput memang lebih supel dan ramah. Dia tahu kalau kawan-kawannya
menertawakan, tapi tak dipedulikan.
Ping-gwan tertawa: Malam nanti aku hanya melihat-lihat keramaian Kambing-liar saja, tak
turut main. Tetapi nyanyian kalian merdu benar, jika kau suka mengajari, sungguh
menggembirakan sekali.
Di dalam kawanan anak muda itu sebenarnya ada seorang yang diam-diam menaruh hati pada
gadis itu. Mendengar Ping-gwan tak mau ikut main, legalah hatinya. Maka iapun ikut juga
mengajar Ping-gwan bernyanyi. Demikianlah perjalanan mereka amat menggembirakan sekali.
Di
sepanjang jalan menyanyi riang gembira.
Menjelang petang, bulanpun mulai memancarkan cahyanya. Ping-gwan mengikuti rombongan
anak-anak muda itu masuk ke dalam sebuah lembah. Lembah itu penuh direntangi rumput halus
dan ditaburi dengan bunga-bunga terompet warna putih. Selayang pandang, bagaikan permadani
yang bertaburan mutiara.
Dekat gunung sana, terdapat rumput penuh dengan pemuda pemudi yang berkuda. Malah ada
sementara yang memetik alat tetabuhan, menyanyi dan menari-nari.
Kita datang tepat waktunya. Terlambat sedikit saja tentu tak keburu nonton pertunjukan
gumul, kata gadis yang mencambuk Ping-gwan tadi.
Tari nyanyian-nyanyian, gumul dan thian-yo, adalah acara pokok dalam keramaian
Purnamasiddhi
itu.
Setelah mengikat kudanya, Ping-gwan ikut kawanan anak muda itu memasuki lingkungan
keramaian. Nona tadi membisiki: Tuh, lihatlah, cantik tidak Yangpe keke kami? Tuh, di sana.
Ya,
benar, memang itu. Orang tua itu adalah ong-kong suku kami.
Di depan kemah yang di tengah-tengah, duduk Papo ong-kong dan puterinya. Waktu Ping-gwan
memandang dengan seksama, dilihatnya puteri itu mengenakan selendang tipis dan berpakaian
warna putih. Kecantikannya sungguh sukar dicari tandingannya.
Engkoh orang Han, kau terpesona dengan keke kami? Tapi sayang, keke kami tak dapat
menikah dengan orang Han, kata nona tadi demi melihat Ping-gwan terpikat.
Padahal Ping-gwan hanya mencari-cari U-bun Hong-ni. Di antara beberapa dayang yang
mengelilingi Yangpe, pun tak terdapat U-bun Hong-ni.
oooooOOOOOooooo
Ping-gwan putus asa, pikirnya: Jika Siau-ni berada di sini, tentu bersama puteri itu. Mengapa

ia tak kelihatan, apakah sudah pergi ke lain tempat?
Jangan melamun, mari kita cari makanan, nona itu tertawa.
Kiranya dalam keramaian itu selain ketiga acara pokok tadi, pun merupakan pesta ria. Di
pohon-pohon digantungkan kambing-kambing kecil yang sudah dibakar dan kantong-kantong
kulit
berisi arak. Siapa saja boleh makan dan minum.
Ping-gwan mencabut golok dan menirukan si nona mengiris daging kambing. Si nona
mengambil kantong kulit, meminum seteguk lalu diberikan kepada Ping-gwan: Arak ini agak
masam, apakah kau suka minum?
Ping-gwan meneguk beberapa kali dan memuji enak. Tiba-tiba ia mendengar orang mendengus
lirih. Ping-gwan tersirap, ia tak asing dengan nada suara itu. Buru-buru ia mendongak dan
memandang ke empat penjuru. Karena kantong kulit tak disongsongkan ke atas, maka tumpahlah
araknya.
Buru-buru nona tadi mencekal kantong kulit, tegurnya: Kau bagaimana, kehilangan
semangat?
Aku, aku hendak melihat-lihat kesana, sahut Ping-gwan. Kiranya yang didengarnya tadi ialah
nada suara U-bun Hong-ni. Tetapi anehnya ia tak melihat orangnya.
Mau lihat apa? Jangan kemana-mana, pertandingan gumul akan segera dimulai! kata nona itu.
Memang suara mudik di lapangan berhenti. Sekawanan anak muda maju ke tengah lapangan.
Pertandingan gumul dimulai, semua hadirin sama menaruh perhatian. Terpaksa Ping-gwan
sungkan
untuk pergi.
Pertandingan gumul nanti direncanakan dalam delapan pasangan. Semua jago-jago pilihan
dari suku kami. Orang menduga mungkin ong-kong akan memilih sang juara untuk menjadi
menantunya, kata si nona.
Pertandingan dimulai. Cengkam mencangkam, banting membanting, sodok menyodik
berlangsung ramai. Cara bergumul berjalan dalam gaya bebas. Namun Ping-gwan tak ada minat
menontonnya.
Di tempat tambatan kuda, datang sekawan kuda terdiri dari empat orang. Orang-orang tak
mempedulikan siapa-siapa yang datang itu karena perhatian mereka tengah dicurahkan pada
jalannya pertandingan. Pertandingan berlangsung cepat. Pada saat keempat penunggang kuda itu
datang, hanya tinggal dua pasang yang bertanding. Sebaliknya Ping-gwan terperanjat sekali
melihat pendatang baru-baru itu.
Kiranya keempat pendatang itu adalah si pangeran Topayan, pengawalnya Ih-sin, seorang
pemuda yang lebih muda dari Topayan dan seorang lelaki yang sebaya dan serupa dandanannya
dengan Ih-sin. Pemuda itu sikapnya angkuh. Dia berjalan di sebelah muka bersama Topayan,
sedang Ih-sin dan orang itu menggiring di belakangnya.
Apakah dia juga mendengar berita dan hendak menawan Hong-ni? Biarlah, lihat saja
bagaimana tindakannya nanti, Ping-gwan menimang dalam hati.
Kedatangan Topayan berempat itu tak mengejutkan para hadirin. Setelah menambatkan kuda
merekapun menggabung dalam kalangan penonton.
Saat itu pertandingan sudah mencapai final. Dua jago pemenang sedang bergulat seru. Mereka
saling mencengkau dan menjegal. Yang seorang bernama Pasan yang satu Luse. Waktu Pasan
berhasil memelintir lengan lawan, Lusepun dapat mengait kaki Pasan hingga tubuhnya menjorok
ke
muka. Dengan begitu merek terpencar lagi. Beberapa jurus, pertandingan tetap seri. Penonton
memberi tepuk sorak pujian.
Entah bagaimana tahu-tahu Luse dapat menyengkelit tubuh Pasan terus dibanting ke tanah.
Gerakannya mengagumkan, bantingannya menyakinkan. Sorak-sorai penonton memecah
angkasa.
Selagi penonton menyangka kemenangan tentu di pihak Luse, tiba-tiba terjadi adegan yang luar
biasa. Ketika kepala Pasan hampir mengenai tanah, secepat kilat kepalanya menyusup ke
selakang
dan mencekal kaki lawan. Dengan sebuah gemboran keras, Pasan meronta sekuat-kuatnya dan
tahu-tahu Luse dijumpalitkan ke atas. Luse tak mampu berkutik lagi dan terpaksa mengaku
kalah.
Kejadian itu membuat penonton melongo. Lain kejab terdengar sorak gegap gempita.
Bagus, bagus, akupun juga ingin turut ramai-ramai ini, sekonyong-konyong sebuah seruan

melengking nyaring.
Semua mata tertuju pada orang itu. Kiranya yang bersuara itu ialah pemuda kawan Topayan
tadi. Ketiga kawannya mengikuti di belakangnya. Melihat pendatang itu, seketika berubahlah
wajah Papo. Tersipu-sipu ia berdiri menyambut. Tengah para penonton tercengang-cengang,
Papo
berseru: Pangeran Topahiong berkenan datang. Maaf, hamba terlambat menyambut.
Kiranya pemuda itu adik dari putera mahkota hwe-ki. Namanya Topahiong. Ayah Topayan
adalah pernah pamannya. Topahiong lebih muda dua tahun dari Topayan tapi kedudukannya
lebih
tinggi. Maka dialah yang mempelopori maju menemui Papo ong-kong.
Walaupun daerah In-ge-sau-meng itu tak diduduki pasukan kuda Hwe-ki, tapi pernah
diobrakabrik.
Maka walaupun para rakyat In-ge-sau-meng menghormat kedatangan anak raja itu, tetapi
dalam hati mereka tak senang. Diam-diam Papo ong-kong cemas.
Malam ini malam keramaian Purnama-siddi. Kudengar kau mengadakan keramaian
Kambingliar,
maka aku sengaja datang kemari. Jago-jagomu tadi hebat benar sampai aku tertarik untuk
bermain-main dengannya, kata Topahiong.
Jawab Popa ong-kong: Ini, mungkin kurang baik. Keselamatan ongcu amat berharga, kalau
sampai ....
Topahiong terbahak-bahak: Jangan kuatir, ong-kong. Malah aku yang kuatir dia tak mampu
membanting aku. Jika dia dapat membanting aku satu kali saja, akan kuhadiahinya seratus tail
emas!
Habis berkata ia menghampiri ke muka Yangpe keke, memberi hormat: Telah lama kudengar
kecantikan keke laksana bidadari. Setelah menyaksikan sendiri, benar-benar memang melebihi
bidadari. Apabila aku beruntung menang, harap kau sudi memberi hadiah padaku.
Para penonton marah melihat tingkah laku pangeran yang kurang ajar itu.
Nanti kalau ongcu menang, kita bicara lagi, sahut Yangpe.
Bagus, bagus, bagus! Kalau begitu segera dimulai saja, ayo kemarilah! pangeran Hwe-ki itu
melagak tertawa.
Biar dimarahi ong-kong, tapi aku takkan membiarkan bedebah Hwe-ki ini menghina pepe
kami, diam-diam Pasan membulatkan tekad. Lalu berkata: Ongcu adalah tetamu yang
terhormat,
silahkan!
Pasan mengira pangeran itu tentu mudah dibanting. Tapi di luar dugaan ternyata lihay sekali.
Pangeran itu maju menyambar siku tangan orang. Jika kena, lengan Pasan tentu akan patah
tulangnya. Pasan pentang kedua tangannya untuk mengacip lengan pangeran itu licin seperti
diminyaki. Gebrak pertama tiada yang berhasil. Tapi diam-diam Pasan terperanjat.
Begitulah keduanya segera mulai bergumul lagi. Ada kalanya merapat, ada kalanya terpencar.
Belasan jurus, pun keduanya masih sama kuatnya. Beberapa kali tampaknya Pasan menang
angin,
tapi dalam detik-detik yang berbahaya Topahiong selalu dapat memecahkan ancaman lawan.
Para
penonton terheran-heran dan gelisah. Pasan sendiripun bingung memikirkan. Hanya Ping-gwan
yang tahu rahasianya.
Kiranya pangeran Hwe-ki itu memiliki ilmu silat tinggi. Pada saat menangkis serangan Pasan,
Topahiong selalu gunakan lwekang melekat untuk menghapus tenaga orang dan diselingi juga
dengan ilmu Kin-na-chiu (menangkap). Tapi pangeran itu juga mahir dalam ilmu gumul. Orang
yang tak mengeri ilmu silat, tentu takkan mengetahui rahasia kelihayan Topahiong.
Diam-diam Ping-gwan menilai. Dalam ilmu gumul terang pangeran itu tak menang dengan
Pasan. Tapi ilmu silatnya lebih tinggi. Jika bertanding terus, Pasanlah yang akan kalah. Tapi
pangeran itu menjadi tetamu agung dari Popa ong-kong, kalau ia (Ping-gwan) sampai
menyalahinya, Popa ong-kong tentu mendapat kesukaran.
Tiba-tiba Pasan mengeluarkan ilmu simpanannya. Ia turunkan tubuhnya menunggu si pangeran
menyerang terus hendak disambar tumit kakinya. Tetapi ternyata kaki Topahiong itu seperti
tumbuh
akarnya. Pasan menindih sekuat-kuatnya tetap tak dapat menggoyangkan tubuh si pangeran.
Tibatiba
Topahiong balikkan tangan menyambar lengan lawan. Dengan gunakan ilmu Hun-kin-jo-kut
(memelintir tulang), ia berhasil mematahkan sebuah tulang tangan Pasan. Pasan menjerit ngeri.
Tahu-tahu tubuhnya diangkat Topahiong terus dibanting.....

Suku In-ge-sau-meng sama terbeliak dan buru-buru lari menolong Pasan. Mata jago itu merah,
mulutnya mengeluh: Dia, dia tidak.... - Sebenarnya ia hendak mengatakan kalau Topahiong
tidak
menurut peraturan gumul. Tapi karena tak kuat, ia sudah pingsan.
Orang-orang segera menggotongkan ke dalam kemah. Beberapa jago gumul merasa curiga tapi
karena Topahiong tadi membanting dengan gaya gumul apalagi dia seorang pangeran Hwe-ki,
maka
merekapun tak berani membuka suara.
Dengan kebanggaan, Topahiong menghadap ke muka Yangpe, ujarnya: Keke, aku berhasil
menang. Sekarang hendak minta hadiah darimu.
Pangeran itu ulurkan tangan terus hendak menarik Yangpe.
Ongcu, berlakulah sopan sedikit! wajah Yangpe mengerut keren.
Topahiong cekikikan: Keke, aku hanya akan minta kepadamu untuk menari dengan aku.
Menurut peraturan kami, sehabis menang bergumul, siapa yang diminta menari dengannya, tidak
boleh menolak. Bukankah adat rakyatmu juga begitu?
Sekonyong-konyong Ping-gwan berbangkit, berjalan ke muka. Si nona yang pernah
mencambuknya tersentak kaget: Hai, mau apa kau?
Tetapi sudah kasip. Ping-gwan sudah tiba di hadapan Yangpe keke dan memberi hormat
menurut adat rakyat In-ge-sau-meng. Puteri itu dongakkan kepala. Ping-gwan mengira tentu
akan
terkejut. Siapa tahu Yangpe tenang sekali wajahnya malah mengulum senyum dan berkata: Kau
seorang Han? Apa keperluanmu?
Aku akan mohon tanya kepadamu, keke. Apakah aku juga diperbolehkan ikut dalam
pertandigan gumul?
Siapa kau? Apakah seorang katak busuk seperti kau juga ingin makan daging angsa? bentak
Topahiong serta terus menjotos punggung Ping-gwan.
Ping-gwan melangkah maju selangkah hingga tinju Topahiong menemui angin. Hampir saja
pangeran itu terjorok ke muka. Ping-gwan gunakan gerak langkah Su-giong-poh-hwat (langkah
empat gajah) untuk menghindari. Topahiong belum menyadari kalau pemuda itu berilmu tinggi,
ia
kira hanya secara kebetulan saja.
Setelah berdiri jejak, pangeran itu berputar tubuh hendak mnyerang lagi tapi Yangpe berkata
dengan serius: Yang datang padaku, baik kaya atau hina, semua adalah tetamuku. Aku
menghendaki para tetamuku sama-sama memegang peraturan, sama-sama menikmati
kegembiraan
pesta malam ini.
Merah wajah Topahiong. Terpaksa ia telan kemarahannya.
Yangpe berpaling dan berkata dengan nada riang kepada Ping-gwan: Apakah kau juga
mengerti bergumul? Kau ingin bertanding dengan ongcu?
Ping-gwan mengiakan: Benar, jika keke mengijinkan, aku ingin menyumbangkan tenagaku,
harap keke jangan menertawakan. Aku tak meminta hadiah apa, apa, juga takkan meminta keke
supaya menari dengan aku. Jika beruntung menang, aku hanya ingin bicara beberapa patah
perkataan dengan keke.
Kalian adalah tetamuku yang terhormat. Ongcu boleh ikut ambil bagian dalam pertandingan
gumul, kaupun boleh juga. Siapa yang menang nanti, aku bersedia meluluskan permintaannya.
Tapi entah apakah ongcu sudi bertanding dengan kau atau tidak? Jika ongcu tak mau, hal ini
kuanggap tidak ada semua.
Topahiong tersengsem dengan kecantikan Yangpe. Sudah tentu dia tak mau melepaskan
kesempatan untuk menari bersama si cantik itu. Dia benci benar kepada Ping-gwan. Ingin sekali
ia
menghajarnya. Maka ia segera menerima: Baik, kau budak yang tak tahu diri, mari!
Tetapi Topayan yang kenal pada Ping-gwan, buru-buru meneriaki: Bagus, kau juga
menyelundup kemari budak! Aku justeru hendak membikin perhitungan padamu.
Bagus, kalau begitu kalian berdua boleh maju bareng! sahut Ping-gwan.
Kau berani menghina aku? A-yan, menyingkirlah. Carilah pacarmu sana, jangan mengganggu
aku, Topahiong berseru murka.
Begitu Topayan menyingkir, Topahiong segera mengerjakan Ping-gwan dengan sebuah kaitan
tangan dan sodokan siku. Ping-gwan gunakan lwekang menghapus. Sebuah dorongan tangan

untuk membuyarkan kaitan lawan dan lututnya diangkat untuk menumbuk perut orang.
Topahiong
terkejut. Buru-buru ia kempiskan dada dan papaskan tangannya ke lutut orang. Ping-gwan putar
kakinya menghindar. Dua-duanya sama tak memperoleh hasil.
Dari gebrak pertama itu, kedua pihak sama tak berani memandang rendah lawannya. Setelah
mundur, Topahiong maju pula. Kedua lengan dipentang setengah melingkar untuk mengancam
lengan lawan. Ping-gwan tahu kalau gerakan itu disebut jurus Jong-eng-can-ki (rajawali pentang
sayap). Sebuah jurus dari ilmu Toa-kin-na-chiu. Tapi gerakan itu dimainkan begitu rupa oleh
Topahiong hingga tak ubah dengan gaya orang bergumul.
Langkah kaki Ping-gwan lincah sekali. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan gunakan jurus Siat-
koatan-
pian (menggantung miring ruyung) untuk mengancam pergelangan tangan lawan.
Hai, gerakan apa yang kau lakukan ini? Topahiong menggumam. Ia tekuk siku lengannya
sambil condongkan tubuh ke kiri. Menghindar sambil menyerang. Jari Ping-gan meluncur di sisi,
tangannya hanya terpaut setengah dim dari pergelangan tangannya.
Dan kau gunakan gerak apa itu? Ping-gwan mendengus. Setelah saling merapat keduanya
berpencar lagi.
Jurus Siat-koa-tan-pian itu sebenarnya termasuk jurus maut dari ilmu pukulan Thian-kong-ciang
dari partai Siau-lim-pay. Tapi karena dimainkan Ping-gwan secara cepat sekali, maka tampaknya
seperti gaya bergumul saja.
Sekalian penonton termasuk Yangpe sendiri, sama mengharap agar pangeran Hwe-ki itu dapat
dirubuhkan. Jangan lagi mereka tak mengetahui bahwa gaya permainan Ping-gwan itu
sebenarnya
bukan ilmu bergumul, sekalipun tahu, mereka tetap menjagoi Ping-gwan.
Seperti telah diterangkan di atas, Topahiong menyakinkan dengan serius ilmu bergumul.
Sekalipun bukan termasuk jago kelas satu namun permainannya cukup lihay juga. Sedang
Pinggwan
hanya pernah belajar setengah tahun ketika ia masih kecil ikut ayahnya di Su-tho. Sudah
tentu kalah mahir dengan Topahiong. Sekalipun dia juga menyusupkan ilmu lwekang dalam
permainan gumulnya, tapi karena ia tak berani terlalu menonjolkan gerakan-gerakan yang bukan
termasuk gumul, maka dalam pertandingan itu Topahiong-lah yang menang angin.
Selagi dia mencari daya untuk merebut kemenangan tak terduga-duga tangan si pangeran dapat
mendorong dan menekannya. Ping-gwan terputar hampir jatuh.
Banyak di antara penonton yang berteriak tertahan. Di antaranya terdengar sebuah nada yang
melengking tinggi seperti suara anak perempuan.
Tak salah, memang Siau-ni! pikir Ping-gwan. Saat itu kakinya belum berdiri tegak.
Mendengar lengking suara itu, otomatis ia memandang ke jurusan suara tersebut untuk mencari
Hong-ni. Dengan begitu perhatiannya terpencar dan ini suatu kesempatan bagus bagi sang lawan.
Topahiong cepat kaitkan ujung kakinya. Begitu Ping-gwan sempoyongan mau jatuh, ia barengi
menyambar lengannya dengan ilmu Hun-kin-jo-kut. Tetapi sayang, Ping-gwan bukan Pasan,
maklum Pasan tak mengerti lwekang, maka mudah diremukkan tulangnya. Sebaliknya Ping-
gwan
hanya merasa kesemutan lengannya tapi tak sampai terluka.
Keduanya bergerak cepat sekali. Sebelumpenonton tahu apa yang terjadi, tahu-tahu Ping-gwan
beerseru 'rubuh' dan entah dengan gerakan bagaimana, si pangeran Hwe-ki sudah terpelanting ke
tanah.
Kiranya walaupun pikirannya terpencar tadi, tapi Ping-gwan masih dapat menguasai
permainannya. Begitu si pangeran maju, cepat ia menutuk jalan darah di bagian rusuk
pinggangnya. Benar lwekang Topahiong cukup tinggi, tapi dalam sekejab mata mana ia dapat
menyalurkan lwekang membuka jalan darahnya itu.
Sebelumnya rakyat In-ge-sau-meng mengharap-harap agar pangeran Hwe-ki itu terbanting.
Mereka siap dengan sorak sorai bergembira. Tapi demi pangeran itu menggeletak di tanah tak
berkutik, penonton sama menjerit dan pucat wajahnya. Kalau pangeran itu sampai mati,
celakalah
rakyat In-ge-sau-meng nanti!
Topayan juga terkejut sekali. Pikirnya setelah pertandingan selesai, ia segera mencari Hong-ni.
Tapi kini terpaksa ia harus menolongi saudara sepupunya itu dulu. Sebagai seorang yang
mengerti
silat, tahulah ia kalau Topahiong kena tertutuk jalan darahnya. Ia segera memijat jalan darah

pembukanya. Berbareng itu Topahiongpun kerahkan lwekangnya.
Ai.... Topahiong berteriak lega. Tapi karena tutukan Ping-gwan tadi menggunakan Ciongchiu-
tiam-hiat (tutukan keras), sekalipun jalan darahnya sudah terbuka namun peredaran darahnya
masih belum lancar. Untuk sesaat pengeran itu masih belum dapat bicara.
Tetapi karena nyata pangeran itu masih hidup, kini hilanglah kegelisahan rakyat In-ge-saumeng.
Sebaliknya mereka tengah memberi pernyataan dukungan kepada Ping-gwan. Dalam
bertanding gumul, sudah tentu ada yang menang ada yang kalah. Yang kalah harus menyalahkan
dirinya sendiri mengapa tak becus. Jangan menyalahkan siapa-siapa! - Dalam gelanggang
pertandingan, tak ada perbedaan diapa kaya siapa hina. Mana boleh mengandalkan pengaruh
untuk
menghukum lawan!
Demikian sana sini terdengar ucapan-ucapan yang membela Ping-gwan, sebaliknya
menyalahkan dan mengejek Topahiong.
Tiba-tiba Yangpe berbangkit: Tetamu agung tak kena apa-apa, tak usah saudara hadirin gelisah.
Sekarang permainan thiau-yo dimulai!
Seekor kuda lari keluar dari sebuah kemah. Setelah memberi pengumuman, Yangpe pun loncat
ke kudanya dan mengejar penunggang kuda itu.
Melihat Yangpe mengejar seorang pemuda sambil membawa cambuk, sekalian orang menjadi
terkesiap. Beberapa pemuda diam-diam putus asa. Ah, kiranya keke sudah punya pilihan!
Tetapi mata Ping-gwan yang celi segera mengetahui bahwa pemuda yang dikejar Yangpe itu
bukan lain U-bun Hong-ni dalam penyaruan sebagai seorang pemuda.
Kawanan gadis sama naik kuda mengejar pemuda yang disetujuinya. Dalam kekacauan itu
Ping-gwan pun juga loncat ke atas kudanya dan mencongklang keluar lembah menuju ke padang
rumput.
Rakyat In-ge-sau-meng segan mengganggu keke mereka yang tengah mengadakan rendervouz
(pertemuan) dengan sang kekasih. Mereka sama bubaran mencari tempat sendiri-sendiri. Kini
tinggal Ping-gwan seorang diri yang larikan kudanya mengejar Yangpe.
Perlu apa kau mengejar kemari? tegur Hong-ni dengan alis mengerut.
Aku hendak menyampaikan berita padamu. Urusanmu, aku sudah tahu semua. Tempo hari
aku berpapasan dengan dua bujangmu....
Akupun tahu tindakanmu menghalau Topayang, menolong bujangku itu, tukas Hong-ni.
Aku hendak menyampaikan berita, siapa tahu mereka sudah datang kemari. Siau-ni,
bagaimana rencanamu hendak menghadapi hal itu?
Urusanku, tak perlu kau urus. Kau sudah menyampaikan berita, silahkan pergi.
Ping-gwan tak menyangka kalau nona itu sedemikian dingin kepadanya. Letikan api asmara
yang baru mulai timbul hatinya, telah disiram air dingin oleh nona itu, Ping-gwan tegak seperti
patung tak tahu apa yang harus dilakukan.
Siau-ni, kau yang salah. Orang datang dari ribuan li jauhnya dengan membawa itikad baik.
Sebaliknya tanpa mengucapkan sepatah terima kasih kau malah mengusirnya. Mana ada aturan
begitu macam? Coh tayhiap, atas pertolonganmu kepadaku tadi, terimalah pernyataan terima
kasihku, kata Yangpe.
Hati Ping-gwan menjadi tawar, ujarnya: Siau-ni, aku sudah berterima kasih kalau kau sudah
batalkan niatmu membunuh aku. Mana aku berani mengharap lebih banyak untuk menjadi
kawanmu? Baik, selamat tinggal Siau-ni!
Air mata mulai mengembang di sudut pelaput Hong-ni. Pada lain saat pecahlah tangisnya.
Ping-gwan tertegun dan buru-buru berputar diri. Siau-ni, jangan menangis. Kalau ada
omongan silahkan mengatakan!
Hong-ni menghapus air matanya. Dengan terisak-isak ia bertanya: Coh toako, mengapa kau
begitu baik kepadaku?
Bukankah kita berkawan sejak kecil? Kalau kau mendapat hinaan orang, bagaimana aku bisa
tinggal diam saja?
Berkata Hong-ni dengan nada rawan: Coh toako, kau balas kejahatan dengan kebaikan. Dari
tempat ribuan li jauhnya kau perlu menyampaikan berita padaku. Sebenarnya akupun merasa

berterima kasih. Tapi apa daya aku telah minum arak darah di hadapan arwah ayahku....
Ai, lagi-lagi kau begitu, Siau-ni, buru-buru Yangpe menyelutuk, Bukankah sudah berkalikali
kukatakan kepadamu? Mengapa kau tetap limbung saja? Ayahmu belum tentu terbunuh oleh
ayahnya. Taruh kata dalam kekacauan pertempuran kala itu, tak sengaja ayahmu terluka,
keterangan Coh siangkong ini benar sekali. Pada hakekatnya, orang Hwe-kilah yang menjadi
garagaranya!
Yangpe seperti saudara dengan Hong-ni. Hong-ni telah menceritakan apa kata Ping-gwan
kepadanya.
Hong-ni diam saja. Kata Yangpe pula: Dan aku masih menaruh kecurigaan. Jangan-jangan
ayahmu itu telah dicelakai sendiri oleh orang Hwe-ki. Pertempuran itu dilakukan pada malam
yang
gelap. Pasukan berkuda Hwe-ki membantu ayahmu. Dalam rencana orang Hwe-ki untuk
melenyapkan negerimu, ayahmu dianggap sebagai perintangnya yang besar. Maka dengan
menggunakan kesempatan itu, dengan sebuah anak panah saja, bukankah cukup untuk
membinasakan ayahmu?
Ai, benar! Mengapa aku tak memikir sampai di situ? Itu namanya siasat 'sekali tepuk dua
lalat'. Mereka dapat menghilangkan perintang, pula dapat menyuruh rakyat Su-tho benci kepada
orang Han, seru Ping-gwan.
Kuharap mudah-mudahan begitu. Tetapi sekalipun tidak begitu sejak ini aku takkan
menganggapmu sebagai musuh. Ai, aku tak hiraukan segala bisak-bisik orang lagi. Terima kasih,
Coh toako, akhirnya Hong-ni memberi pernyataan dan berjabatan tangan.
Lama nian tangan mereka saling merapat, hati berdebar. Yangpe menutupi mulutnya yang
tertawa seraya menyingkir ke samping.
Siau-ni, bagaimana rencanamu menghadapi siau-ong-ya? tanya Ping-gwan.
Aku dikejar-kejarnya sampai bingung lari kemana? Entah tak tahu bagaimana untuk
menghadapi dia. Coh toako, maukah kau memberi petunjuk?
Memang, bersembunyi bukan cara yang baik. Cara yang manjur ialah mengenyahkan orang
Hwe-ki dari negerimu, sahut Ping-gwan.
Ini.... hem, tidakkah kau mengetahui bahwa negeriku Su-tho itu kecil? Bagaimana dapat
melawan Hwe-ki?
Berapa jumlah tentara Hwe-ki yang menduduki Su-tho? tanya Ping-gwan.
Tiga ribu pasukan berkuda!
Berapa banyak orang lelaki rakyatmu yang dapat berperang? tanya Ping-gwan pula.
Hanya 30-an ribu. Wanita kamipun bisa berperang tetapi total jenderal semua hanya berjumlah
50-an ribu.
Hanya 50-an ribu? Hm, bukankah itu sudah hampir dua puluh kali lipat dari tentara musuh?
Ping-gwan tertawa.
Tetapi Hwe-ki dapat mendatangkan bala bantuan dari Se-gak. Jika pasukan berkuda mereka
melanda dari negeri tetangga, kita pasti hancur!
Ping-gwan membuat beberapa puluh lingkaran di tanah, ujarnya: Sekalipun tentara berkuda
Hwe-ki itu pandai berperang tapi mereka terpencar di beberapa negara. Berarti kekuatan mereka
tersebar di mana-mana. Jika negeri-negeri di daerah Se-gak mau bersatu padu, apa susahnya
menghancurkan musuh? kata Ping-gwan.
Dikuatirkan tak mudah untuk mempersatukan mereka, sahut Hong-ni.
Tetapi rakyat daerah Se-gak mana yang sudi negerinya dijajah orang! Asalkan kalian
mempelopori perlawanan itu, masing-masing negeri tentu akan memberi reaksi. Kirimlah utusan
untuk menghubungi negeri-negeri itu, Ping-gwan memberi usul positif.
Hong-ni menghela napas: Memang bagus sekali usulmu itu. Tetapi, ai, dengan kekuatan apa
kita mengadakan perlawanan?
Bukankah pamanmu sekarang sedang menjabat panglima pendudukan di Tiang-an? Jika kau
dapat mempengaruhinya supaya memberontak terhadap Hwe-ki, membangun negara Su-tho.
Kurasa hal itu mengontungkan Tay Tong dan Hwe-ki.
Hong-ni membelalakan matanya, kemudian berkata dengan rawan: Ah, pamanku itu sudah

seperti dikenakan tahanan oleh orang Hwe-ki. Panglima besar Topace adalah ayahnya Topayan
si
bangsat itu. Kemarin lusa bujangku datang memberi laporan, Topace telah memberi perintah
supaya kau pulang dan menikah dengan anaknya. Kalau aku menurut, barulah pamanku
dibebaskan.
Baik, marilah kita sekarang pulang, tiba-tiba Ping-gwan berkata.
Pulang kemana?
Kepada Popa ong-kong sana. Kita tawan Topahiong dan Topayan untuk ditukarkan dengan
pamanmu, sahut Ping-gwan.
Yangpe keke segera menyatakan hendak memanggil pemuda-pemuda yang turut dalam
keramaian Thiau-yo itu supaya membantu tangkap kedua pangeran itu. Tetapi Ping-gwan
menolak:
Lebih baik jangan ramai-ramai. Mereka toh hanya berjumlah empat orang, tak usah pakai
sekian
banyak tenaga.
Waktu mereka hendak naik kuda, tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda riuh
mendatangi dan di sana Topahiong berseru sekeras-kerasnya: Jangan kasih mereka lolos!
Menurut perhitungan paling tidak satu jam anak raja Topahiong itu baru dapat sembuh dari
tutukan tadi. Tak nyana ternyata lwekang dari Topahiong yang berasal dari aliran Tibet itu, hebat
sekali. Walaupun tak sesakti dengan lwekang persilatan Tiong-goan, tapi dalam hal membuka
jalan
darah memang mempunyai kegunaan yang khas. Apalagi dibantu diurut-urut oleh Topayan.
Belum
setengah jam pangeran itu sudah pulih dan segera melakukan pengejaran.
Kalau menurut rencana Yangpe yang hendak mengerahkan rakyatnya untuk menangkap
pangeran-pangrean itu, tentulah mudah terlaksana. Tapi sekarang situasinya berubah. Yang
hendak
ditangkap malah mau menangkap. Kekuatan mereka pun lebih besar.
Namun Ping-gwan tak jeri. Ia membisiki Hong-ni supaya melindungi keke. Kemudian ia cabut
gan-ling-to dan maju menyongsong musuh.
Kuda tunggangan Topahiong paling hebat. Dialah yang lebih dahulu datang menyerang.
Dengan menggerung keras Ping-gwan putar goloknya membabat kaki kuda lawan. Tetapi kuda
yang terlatih baik itu melonjak ke atas melampaui kepala Ping-gwan. Ping-gwan luput membabat
kaki terus tusukkan ujung goloknya ke perut kuda. Kuda rubuh, penunggangnyapun terbanting.
Pengawalnya yang bernama Utotong berteriak: Jangan melukai junjunganku! - Ia loncat dari
kudanya terus menombak Ping-gwan.
Dia adalah ko-chiu nomor dua di negeri Hwe-ki. Tombaknya laksana naga keluar dari laut atau
harimau tinggalkan sarang. Permainan ilmu golok Ping-gwan yang terdiri dari 36 jurus, dapat
ditangkis dengan baik oleh tombak Utotong. Keduanya sama menahan kesakitan dari tangannya
yang linu.
Topahiong loncat bangun, tertawa keras: Hai, kalian berdua nona, kawinlah dengan kami
berdua saudara! Yangpe keke, tak usah kau pulang. Nanti pada hari perkawinan kita baru
kusuruh
menjemput ayahmu.
Alis keke mengerut naik saking murkanya. Ia memaki: Bangsat kecil, kau berani menghina
aku di daerahku sini!
Kembali Topahiong tertawa: Biar kau puteri ong-kong, tapi akupun akan raja Hwe-ki. Kau
jadi isteriku, sudah sepantasnya, masakan kau anggap menghina?
Jangan menghina taciku! bentak Hong-ni yang terus menusuk punggung putera raja itu.
Topayan yang sudah tiba, ayunkan cambuknya untuk menghalangi Hong-ni.
Siau-ni, kali ini kau tak nanti mampu lari. Mari, ikut aku saja pulang, kata pangeran itu.
Gerakan cambuk pangeran itu membuat lingkaran seluas beberapa tombak. Hong-ni gunakan
ginkang
untuk berlincahan menghindar kian kemari. Yang satu naik kuda, yang lain jalan kaki.
Cambuk lawan pedang. Memang cambuk si pangeran tak mungkin dapat melibat pedang Hong-
ni,
tapi Hong-ni pun tak berdaya untuk menolong Yangpe.
Pada saat Topahiong akan berhasil mengudak Yangpe, tiba-tiba Ping-gwan tinggalkan Utotong
terus lari memburu si anak raja. Karena kalah dalam ilmu gin-kang, Utotong tak dapat mengejar
Ping-gwan. Ia lontarkan saja sebatang hui-ja (garu terbang).
Bagus! tanpa berpaling, Ping-gwan balikkan tangan menyambuti hui-ja itu terus dilemparkan

ke arah Topayan.
Topayan sudah pernah merasakan kelihayan Ping-gwan. Ia tak berani menyambuti lemparan
itu. Buru-buru ia gunakan gerak Teng-li-ciang-sim, berjumpalitan ke bawah perut kuda. Hui-ja
melayang di atas punggung kuda, sedang Topayanpun jatuh ke tanah. Hong-ni cepat
menghampiri
dengan sebuah tabasan. Karena tak sempat loncat bangun, terpaksa Topayan gerakkan
cambuknya
untuk menangkis.
Saat itu jika Ping-gwan memburu dengan mudah ia tentu dapat menghabisi jiwa pangeran itu.
Tapi kala itu Topahiong sudah dekat sekali dengan Yangpe keke. Apa boleh buat, terpaksa
Pinggwan
harus menolong keke itu lebih dulu.
Siau-ni, hadapilah dia dulu! mulutnya berseru, kakinya sudah bergerak dalam Pat-poh-kamsian
(delapan langkah memburu tenggoret). Belum habis kumandang ucapannya, Ping-gwan sudah
melesat di belakang Topahiong.
Topahiong tersipu-sipu menangkis serangan Ping-gwan. Benar dia kalah lihay tapi
kepandaiannya tak terpaut jauh dari Ping-gwan. Dalam beberapa kejab saja Ping-gwan sudah
melancarkan 18 kali tabasan dan memaksa Topahiong mundur terus-menerus. Cuma dia masih
dapat menghindari tabasan. Utotong berlari-lari menghampiri dan menyerang dengan
tombaknya.
Dengan begitu kini Ping-gwan diserang dari muka dan belakang.
Saat itu Topayanpun sudah loncat bangun dan bertempur dengan Hong-ni. Keduanya samasama
tak naik kuda. Topayan lihay ilmu ruyungnya, kuat dan gagah perkasa. Hong-ni lincah
permainan pedang dan gerakan tubuhnya. Kekuatan mereka berimbang.
Cici, lekas larilah! dalam bertempur itu Hong-ni sempat meneriaki Yangpe. Yangpe loncat ke
atas kudanya dan segera meniup terompet.
Topahiong menertawakan: Pada saat orang-orangmu datang, kau tentu sudah menjadi
tawananku, - Ia lempar hui-ja untuk menghantam jatuh terompet Yangpe, setelah itu
mengeroyok
Ping-gwan lagi.
Tombak Utotong itu dapat mencapai beberapa tombak. Sedang Topahiong selalu siap memberi
pukulan maka satu-satunya jalan bagi Ping-gwan ialah harus mengundurkan anak raja itu dulu
baru
nanti mengganyang Utotong. Sebenarnya mudah untuk merobohkan Topahiong, tapi tombak
Utotong itu selalu mengancam saja.
Ping-gwan menyempatkan diri untuk memandang ke sekeliling. Dilihatnya Yangpe keke
berlari-larian mencari jalan lolos. Rupanya tenganya sudah lelah. Pun karena bertempur lama,
tenaga Hong-ni pun makin lemah. Kini nona itu hanya dapat bertahan diri, tak mampu balas
menyerang Topayan lagi. Ping-gwan makin gelisah karena ia sendiri sukar untuk lolos dari
kepungan kedua lawannya.
Dalam kegelisahan itu tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang menusuk telinga. Tahu-tahu si
kunyuk Ceng-ceng-ji muncul. Dengan ginkangnya yang hebat, dalam bebrapa loncatan saja ia
sudah dapat menyambar Yangpe untuk diserahkan pada Ih-sin.
Orang she Coh, tempo hari kau beruntung lolos. Coba saja sekarang kau mampu lolos lagi
atau tidak? Pangeran Topa, beruntung aku dapat memberikan jasaku. Untuk itu aku tak berani
mengharap apa-apa kecuali minta perlindungan, seru Ceng-ceng-ji.
Baik, jika kau dapat membunuh budak itu, akan kuangkat kau jadi pemimpin pelatih pasukan
raja, sahut Topahiang.
Diam-diam Ping-gwan mengeluh. Sebenarnya ia hendak mencari jejak Ceng-ceng-ji dan
Tiauing,
sungguh tak terduga dapat bertemu di situ. Tapi munculnya pada saat dan tempat seperti itu,
sungguh tak menguntungkan Ping-gwan. Dia ambil putusan mengadu jiwa.
Dengan berani ia merangsek. Setelah berhasil menghalau tombak, tiba-tiba ia balikkan tangan
menyambar golok pangeran itu. Karena tak menduga sama sekali golok Topahiong kena direbut.
Dan sebelum sempat menurunkan kepala, tahu-tahu pundaknya termakan ujung golok. Itu saja
untung tak mengenai tenggorokannya. Sekalipun begitu, luka di pundaknya itu berat sekali.
Tulangnya sampai retak. Waktu Ping-gwan hendak menyusuli tabasan lagi, Ceng-ceng-ji keburu
menolong. Sekali tabas, golok Ping-gwan kutung jadi dua.
Ih-sin bergegas-gegas mengangkat Topahiong yang sudah berlumuran darah, kemudian

memberinya obat penghenti darah. Anak raja itu masih muda dan sebat serta memiliki lwekang
tinggi. Setelah tak ingat diri beberapa saat, iapun tersadar lagi.
Kalian harus mencincang bangsat itu, aduh, aduh.... anak raja itu mengerang kesakitan.
Ong-cu, jangan kuatir, tentu kubalaskan! seru Ceng-ceng-ji.
Mengapa mendadak sontak Ceng-ceng-ji muncul dan minta perlindungan pada Hwe-ki?
Kiranya dia telah tertipu Tiau-ing. Setelah tiba di Ogemi, dia tetap berhati-hati. Dia selalu tinggal
sekamar dengan Khik-sia. Setiap makanan yang diantarkan Tiau-ing, lebih dulu ia suruh Khik-
sia
mencicipi baru kemudian dimakannya. Ini untuk menjaga kemungkinan Tiau-ing meracuninya.
Tapi obat yang diberikan Tiau-ing kepada Khik-sia setiap bulannya, sudah tentu Ceng-ceng-ji
tak dapat turut mencicipi. Justeru dalam obat itulah Tiau-ing menjalankan siasatnya. Kali itu ia
mencampurkan obat penawar dari obat pembius. Begitu minum, Khik-sia tentu akan segera pulih
tenaganya. Tapi lewat sepenyulut dupa tentu akan kembali pingsan.
Tiau-ing tahu kepandaian mereka berimbang. Dalam waktu yang singkat itu terang Khik-sia tak
mampu mengalahkan Ceng-ceng-ji. Untuk itu Tiau-ing telah mengadakan persiapan seperlunya.
Ia
dapat menghasut Hoan Gong hwatsu untuk turut mengganyang Ceng-ceng-ji.
Rencana Tiau-ing telah berjalan semerstinya. Ceng-ceng-ji menerima obat dari Tiau-ing tapi tak
mengijinkan nona itu masuk ke kamar. Begitu Khik-sia minum, tiba-tiba ia rasakan tenaganya
pulih kembali. Segera ia menempur Ceng-ceng-ji. Tiau-ing dan Hoan Gong yang bersembunyi di
luar kamar segera turut melabraknya. Ceng-ceng-ji terpaksa melarikan diri. Hanya berselang
beberapa detik Ceng-ceng-ji kabur, Khik-siapun kembali pening dan pingsan. Dia tetap jatuh di
tangan Tiau-ing.
Ceng-ceng-ji muring-muring dengan pengkhianatan itu. Namun apa daya. Sekarang yang
menjadi pemikirannya ialah kemana ia harus mencari tempat berlindung. Tiba-tiba ia teringat
Ubun
Hong-ni. Ia belum mengetahui urusan Topayan dengan Hong-ni. Ia memutuskan pergi kepada
Hwe-ki dengan mengatakan kalau kenal pada U-bun Hong-ni. Ia mengharap mudah-mudahan
panglima Hwe-ki menerimanya.
Panglima Hwe-ki ialah Topace, ayah dari Topayan. Justeru ayah dan anak itu sedang mencari
Hong-ni untuk dipaksa kawin. Mendengar pengakuan Ceng-ceng-ji kalau kenal dengan si nona,
Topace segera memerintahkan supaya orang itu ditangkap. Ceng-ceng-ji lari tunggang langgang.
Setelah menyelidiki ke sana-sini, barulah ia tahu apa sebabnya. Maka pada suatu malam
kembali ia menemui Topace dan menyatakan keinginannya. Ia sanggup mencapai dan
menangkap
U-bun Hong-ni.
Melihat Ceng-ceng-ji berkepandaian tinggi, Topace menerimanya tetapi dengan syarat harus
dapat menangkap U-bun Hong-ni. Setelah hal itu berhasil, ia akan membantu Ceng-ceng-ji untuk
menangkap Tiau-ing dan Khik-sia. Begitu pula Ceng-ceng-ji diperbolehkan tinggal di istana
Hweki.
Girang Ceng-ceng-ji tak kepalang. Dia bakal memiliki Khik-sia sebagai tanggungan dan
dilindungi raja Hwe-ki. Ancaman Gong-gong-ji tak perlu dikuatirkan lagi.
Kala itu Topayan dan pangeran Topahiong sudah menuju ke daerah In-ge-sau-meng. Cengceng-
ji siang malam menempuh perjalanan ke daerah itu. Dan secara kebetulan ia datang tepat pada
waktu kedua pangeran itu memerlukan bantuan.
Ceng-ceng-ji punya pandangan dendaman dengan Ping-gwan. Mendengar perintah anak raja
Hwe-ki supaya membunuh Ping-gwan, Ceng-ceng-ji girang sekali. Setelah sekian lama
bertempur,
tenaga Ping-gwan mulai berkurang. Sebenarnya kepandaiannya berimbang dengan Ceng-ceng-ji,
tapi karena sudah lelah, ia tak dapat mengimbangi. Apalagi ketambahan seorang seperti Utotong
yang bertenaga kuat. Dalam waktu yang singkat, Ping-gwan berbahaya sekali keadaannya!
Dengan ginkangnya yang hebat, Ceng-ceng-ji mainkan ilmu pedang Wan-kong-kiam. Dalam
sejurus saja, ia dapat menusuk tujuh buah jalan darah orang. Ilmu golok Ping-gwan juga serba
cepat. Tring, tring, dalam sekejab saja terdengar suara dering senjata beradu sampai tujuh kali.
Golok pusaka beradu dengan pedang pusaka.
Utotong putar tombaknya menusuk dada Ping-gwan. Karena tak sempat menangkis, Ping-gwan
ayunkan kakinya menendang tombak lawan. Tapi tombak Utotong berat sekali. Benar Ping-gwan

dapat menendangnya terpental tapi tak urung kakinya terhuyung-huyung. Dan kesempatan itu tak
dilewatkan Ceng-ceng-ji. Kena! pedang berkelebat dan punggung Ping-gwan berhias selarik
luka.
Kau atau aku yang mati! teriak Ping-gwan. Luka itu membuatnya kalap. Dan karena kalap ia
makin gagah.
Bangsa Hwe-ki paling menghormati orang gagah. Diam-diam Utotong menimang dalam hati:
Anak muda ini sungguh gagah perkasa. Sayang ia melukai junjunganku, sukar untuk
mengampuni
jiwanya. Toh dia takkan lolos, baik kubiarkan si kunyuk itu saja yang membunuhnya.
Utotongpun rubah permainannya, dari menyerang jadi bertahan. Sebaliknya karena Ping-gwan
kalap hendak mengadu jiwa, Ceng-ceng-ji pun segan. Ia tahu ginkangnya lebih unggul dari
lawan.
Maka ia merubah gaya permainannya menjadi berputar-putar untuk menghabiskan tenaga orang.
Dan siasatnya itu berhasil. Karena terlalu bernapfsu menyerang, mata Ping-gwan mulai
berkunangkunang,
kepalanya pening.....
Coh toako, kita mati berdua! Hong-ni berteriak dan mendesak Topayan terus hendak
menggabung pada Ping-gwan.
Oh, makanya kau tak mau menikah dengan aku, kiranya kau suka dengan budak itu! Topayan
iri hati dan menghadang nona itu.
Tenaga Hong-ni kalah dengan lawan. Beberapa kali ia hendak menerobos tapi paling banyak
hanya beberapa belas tindak saja. Jaraknya masih jauh dengan Ping-gwan. Untung Topayan
hanya
akan menawannya hidup-hidup, maka terpaksa ia main mundur.
Adalah Ping-gwan, tergugah semangatnya demi mendengar pernyataan Hong-ni tadi. Siau-ni,
kalau kau dapat lolos, lekaslah lolos! serunya. Sebenarnya ia sudah groggy, tapi mendadak
kakinya tegak kembali. Dalam serangkai serangan ia dapat memaksa Ceng-ceng-ji mundur.
Boleh saja kau bertingkah beberapa saat, toh tak nanti mampu lolos! Ceng-ceng-ji tertawa
mengejek.
Baru dia berkata begitu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Tiga penunggang kuda
mencongklang datang dengan pesat. Yang di sebelah muka, seorang nona berseru: Bukankah itu
Coh toako? Ai, nona U-bun juga berada di situ!
Yang datang itu bukan lain adalah Su Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu. Merekapun hendak mencari
keterangan tentang diri Hong-ni ke daerah Su-tho. Waktu lewat di situ, mereka mendengar bunyi
pertandaan terompet. Ketika menghampiri ternyata berjumpa dengan orang yang dicarinya.
Oh, kalian sudah saling mengenal? Bagus, bagus, lekas tolongi dia! Yangpe girang sekali.
Tar, begitu keprak kudanya maju, Bik-hu sudah ayunkan cambuknya. Kuat sekalipun tenaga
Ihsin,
tapi mana mampu menghadapi kelihayan Bik-hu. Bik-hu gunakan gerakan pinjam tenaga orang
untuk menghantamnya. Tampaknya hanya perlahan-lahan saja ia menarik cambuknya, tapi Ih-sin
sudah tertarik jatuh dari kudanya. Disusuli dengan gerakan tangkai cambuk, jalan darah Ih-sin
pun
tertutuk. Sekali gebrak, Bik-hu dapat membebaskan Yangpe keke.
Setelah suruh Yak-bwe membantu Hong-ni, Bik-hu dan In-nio loncat turun dari kudanya dan
berseru: Bagus, kunyuk tua. Kau berani umbar kebiadaban lagi di sini? Kami justeru hendak
menangkapmu! - Sepasang pemuda itu segera menyerang Ceng-ceng-ji.
Dengan kepandaianmu berdua hendak menangkap aku? Ceng-ceng-ji mengejek. Ia tak tahu
kepandaian In-nio dan Bik-hu sudah maju pesat sekali. In-nio sudah berhasil menyakinkan ilmu
pedang warisan suhunya. Bik-hu adalah keponakan Biau Hui sin-ni dan juga terhitung murid dari
Mo Kia lojin. Paling akhir ini dia telah menggabungkan ilmu pedang dari kedua tokoh itu
menjadi
satu. Dan lagi selama dalam perjalanan dengan In-nio itu, tak putus-putusnya mereka saling
merundingkan pelajaran ilmu pedang. Karena berasal dari sesama perguruan, maka ilmu pedang
merekapun sesuai sekali.
Memang kalau satu lawan satu, terang mereka bukan tandingan Ceng-ceng-ji. Tetapi dengan
maju berbarengm kekuatan mereka dapat mengatasi Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji memandang
rendah In-nio yang dianggap hanya seorang anak perempuan. Ia hendak gunakan jurus menusuk
jalan darah untuk membuat In-nio tak berkutik. Tapi In-nio juga mahir ilmu pedang Hui-hoa-
potiap
(bunga bertebar menangkap kupu-kupu).

Ceng-ceng-ji menemui tempat kosong. Waktu ia hendak merubah serangannya, Bik-hu sudah
menghalaunya dengan sebuah jurus Heng-hun-toan-hong. Dan In-niopun kembali kembangkan
permainannya untuk menimpali serangan sang kawan. Sepasang pedang bergabung, timbullah
selingkar bianglala perak yang mengurung diri Ceng-ceng-ji.
Ceng-ceng-ji keluarkan ilmunya berlincahan. Tapi tak urung ia lebih banyak bertahan daripada
menyerang alias kalah angin. Dan karena mendapat bantuan, semangat Ping-gwan timbul
seketika.
Meskipun terluka, ia masih dapat menghadapi Utotong dengan berimbang.
Pun karena mendapat bantuan Yak-bwe, Hong-ni dapat mendesak Topayan. Untuk pertama kali
sejak mendapat pelajaran ginkang dari tunangannya, baru kali itu Yak-bwe menggunakan untuk
menghadapi seorang musuh. Permainan pedang disertai gin-kang, memang hidup sekali.
Gerakan
pedang makin lama makin cepat. Diam-diam Topayan mengeluh dan merencanakan lari. Tapi
Yakbwe
tak memberi hati lagi. Dalam sebuah serangan ia dapat melukai pangeran itu sampai tiga kali.
Hong-ni yang benci sekali kepada pangeran itu, kembali menambahinya dengan sebuah tusukan
yang tepat mengenai lutut. Topayan menjerit terus rubuh tak dapat berkutik lagi.
Jika tak berguna, tentu sekarang juga kuhabisi jiwamu, kata Hong-ni.
Kini kedua nona itu berputar tubuh. Yak-bwe membantu In-nio dan Bik-hu, Hong-ni membantu
Ping-gwan.
Utotong meremehkan kekuatan Hong-ni. Ia menyambut kedatangan itu dengan tombaknya.
Tetapi walaupun tenaganya lemah, Hong-ni lincah sekali. Sekali melesat ia dapat menghindar.
Karena tusukannya luput, tubuh Utotongpun menjorok ke muka. Ping-gwan balikkan golok,
dengan sebuah hantaman yang indah ia dapat memukul jatuh tombak lawan. Sedang Hong-ni
pun
tak mau kalah. Sekali melesat ia tusuk jalan darah jago Hwe-ki itu.
Uto ciangkun, kutahu kau seorang lelaki perkasa. Tapi karena kau hendak unjuk kesetiaanmu
kepada junjunganmu, aku terpaksa menyakitimu! seru Hong-ni. Tapi ia masih kasihan.
Tusukannya hanya pelahan saja tak sampai membikin orang luka.
Bagus, sekarang tinggal kunyuk tua itu. Jangan biarkan dia lari! teriak Ping-gwan.
Menghadapi tiga anak muda saja Ceng-ceng-ji sudah kewalahan, apalagi ketambahan dua jago
muda lagi. Kini dia hanya dapat bertahan saja. Dikeroyok lima jago muda, dia sukar meloloskan
diri. Tiba-tiba terdengar bunyi pertandaan terompet. Pada lain saat terdengar gemuruh derap kaki
kuda. Di padang rumput muncul beratus-ratus kuda.
Celaka, jika tak lekas lari aku tentu bakal celaka di sini, pikir Ceng-ceng-ji.
Hai, kalian kepingin mendengar berita tentang Khik-sia atau tidak? ia coba-coba memancing
perhatian anak-anak muda itu.
Tapi In-nio dan Bik-hu tak menghiraukan. Mereka tetap menyerang dari kanan-kiri. Untung
gingkang Ceng-ceng-ji hebat. Dengan sebuah gerakan yang istimewa, ia dapat melejit keluar dari
kacipan kedua pedang anak muda itu. Setelah menghalau pedang Hong-ni, kembali ia berseru:
Su
Tiau-ing, si wanita busuk itu, menipu aku. Aku ingin bersungguh hati membawa kalian utnuk
menghajarnya. Sungguh, tidak bohong! Kalau kalian tak percaya, tentu menyesal!
Baik, bohong atau tidak, biarkan dia bicara dulu, akhirnya Yak-bwe lambatkan serangannya.
Dengarkan baik-baik! Khik-sia berada di biara Ogemi! kata Ceng-ceng-ji.
Orang yang paling memperhatikan diri Khik-sia, adalah Yak-bwe. Ia mendengarkan dengan
penuh perhatian sampai lupa melakukan serangan. Tahu-tahu ujung pedang Ceng-ceng-ji
menusuk
ke tenggorokannya. Untung Bik-hu dan Ping-gwan cepat melindungi Yak-bwe. Ceng-ceng-ji
mengamuk. Tiba-tiba ia rubah jurus permainannya. Ia ancamkan ujung pedangnya ke
tenggorokan
In-nio, begitu In-nio mundur, secepat kilat Ceng-ceng-ji enjot tubuhnya melayang melampaui
kepala nona itu.
Beberapa pemuda In-ge-sau-meng yang datang atas panggilan terompet Yangpe tadi, begitu
melihat ada orang yang wajahnya seperti kunyuk, melayang di padang rumput, mereka segera
turun
tangan. Ada yang menimpuk hui-to, ada yang melemparkan jaring penangkap binatang.
Cengceng-
ji putar pedang untuk melindungi dirinya. Berpuluh-puluh batang hui-to kena dipukulnya
jatuh. Dalam beberapa kejap Ceng-ceng-ji sudah lenyap dari pemandangan.
Sebagai gantinya kini kawanan pemuda itu melihat pangeran dan anak raja Hwe-ki menggeletak

di tanah dengan mandi darah. Kejut mereka lebih hebat daripada melihat manusia seperti kunyuk
tadi.
Mereka menghina aku. Ringkus mereka, segala apa akulah yang tanggung, perintah Yangpe.
Dengan suara parau si anak raja Topahiong mengancam: Awas, kalau berani mengikat aku.
Begitu aku pulang ke Hwe-ki tentu kukerahkan pasukan berkuda untuk meratakan perkemahan
kalian. Dan kalian seorangpun takkan kubiarkan hidup.
Di luar dugaan, rakyat padang rumput itu paling benci kalau menerima ancaman. Ancaman
Topahiong menimbulkan kemarahan pemuda-pemuda itu.
Kami memperlakukan kau sebagai tetamu agung. Sebaliknya kau berani menghina keke kami,
berarti tak memandang mata kepada kami. Baik, terserah kau mau pulang mengerahkan pasukan
berkuda, pokok sekarang ini kami akan membongkokmu dulu.
Topahiong, Topayan dan kedua pengawalnya segera diikat.
Hong-ni berseri-seri girang. Waktu ia hendak menghaturkan terima kasih kepada Yak-bwe,
tibatiba
Ping-gwan muntah darah terhuyung-huyung mau jatuh. Rupanya pemuda yang terluka itu tadi
bertahan diri sekuat-kuatnya. Kini setelah pertempuran selesai, dia tak kuat lagi.
Coh, toako, bagaimana kau? buru-buru Hong-ni memapahnya.
Hanya terluka ringan, tak apa-apa, sahut Ping-gwan. Tetapi nyata sekali wajahnya pucat,
keringat dinginnya mengucur deras.
Bik-hu yang sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan segera memeriksa. Ia dapatkan pemuda
itu kehabisan tenaga. Untung lwekangnya tinggi hingga tak sampai terluka dalam. Ia segera
memberi minum pil pada Ping-gwan.
Sekalian orang lega hatinya. Kawanan pemuda itu menghormat sekali pada Ping-gwan yang
telah menolong keke mereka. Mereka membuat semacam tandu dari dahan pohon dan
mengangkut
Ping-gwan pulang ke perkemahan Popa ong-kong. Saat itu hari pun sudah fajar.
Popa ong-kong menyatakan kekuatirannya tentang peristiwa itu. Hong-ni minta maaf padanya
karena ia merasa yang menjadi gara-garanya.
Anak raja itupun hendak menculik diriku. Kita tak bertindak, diapun akan mengganggu kita,
Yangpe memberi keterangan.
Berkata Popa ong-kong dengan nada sungguh-sungguh: Ajaran yang dianut suku kita ialah,
jika orang mengantar seekor kambing kepada kita, kita balas memberinya dua ekor kuda. Jika
orang menendang kita satu kali, kita harus membayarnya paling sedikit dengan dua pukulan.
Adanya selama ini aku bersikap mengalah terhadap orang Hwe-ki, karena aku tak menginginkan
pertumpahan darah, sekali-kali bukan karena takut pada mereka. Jangan kuatir anak-anakku.
Karena urusan sudah begini rupa, kita bersama-sama senasib. Tak nanti kubiarkan kalian dihina
orang Hwe-ki!
Sebenarnya Yangpe dan Hong-ni akan menggunakan segala daya untuk mempengaruhi kepala
suku itu. Siapa tahu ternyata Popa ong-kong sudah mengadakan musyawarah dengan rakyatnya
dan memutuskan untuk melawan bangsa Hwe-ki. Jago-jago muda itu girang sekali dengan
peristiwa itu. Yangpe menjelaskan pada ayahnya bahwa rakyat In-ge-sau-meng tidak berdiri
sendiri. Ia menuturkan usul Ping-gwan tadi.
Bersekutu dengan negeri-negeri di Se-gak untuk bersama-sama menentang Hwe-ki, memang
suatu rencana yang tepat. Sekarang ini juga kesempatan itu harus kita laksanakan. Hong-ni, tadi
petugas penyelidik pulang melaporkan sebuah berita.
Atas pertanyaan Hong-ni, Popa menerangkan: Rakyat Tho-ko-hun yang tak puas terhadap
pendudukan Hwe-ki, tahun ini sudah hentikan pengiriman upetinya. Kini kedua negeri tengah
mempersiapkan perang.
Tho-ko-hun adalah sebuah negeri besar di daerah Se-gak. Daerahnya meliputi sebagian besar
Ceng-hay dan sebagian kecil tanah Tibet. Negeri itu banyak menghasilkan kuda yang bagus.
Pasukan berkuda yang menjadi kebanggaan kerajaan Hwe-ki, sebagian besar adalah kuda
persembahan upeti dari Tho-ko-hun. Tiga tahun yang lalu Tho-ko-hun mengangkat raja baru. Di
bawah pimpinan raja itu, negerinya makin bertambah kuat. Mereka tidak mau tunduk pada Hwe-
ki
lagi.

Berita itu tepat pada waktunya. Karena menguatirkan Tho-ko-hun, pihak Hwe-ki tentu tak
berani sembarangan menggempur Su-tho, kata Popa.
Ping-gwan yang selama tadi berbaring di tanah mendengari, kini tiba-tiba berbangkit, ujarnya:
Berita itu bukan saja berita girang bagi nona U-bun, pun juga bagi kalian semua. - Kata-
katanya
itu ditujukan pada Yak-bwe bertiga.
Mengapa? tanya Yak-bwe.
Biara Ogemi itu terletak di daerah Tho-ko-hun. Tho-ko-hun sudah bermusuhan dengan Hweki.
Itu berarti Hoan Gong tak nanti berani menyerahkan Khik-sia kepada Hwe-ki, kata Ping-gwan.
Kalau begitu kau percaya omongan Ceng-ceng-ji bahwa Khik-sia berada di biara Ogemi?
tanya Yak-bwe.
Menurut pengetahuanku, dahulu Su Su-bing pernah menduduki Tho-ko-hun dan bersahabat
dengan Hoan Gong. Malah dua tahun yang lalu Hoan Gong masih datang menjenguk Su Su-ging
di
Tho-ko-hun. Kalau Ceng-ceng-ji mengatakan bahwa hwatsu itu menjadi gurunya Tiau-ing,
tentulah
bukan membohong, sahut Ping-gwan.
Akhirnya Bik-hu mengusulkan karena sudah tak ada lain-lain urusan baik bersama menuju ke
Ogemi saja.
Paderi dari biara Ogemi berkepandaian tinggi. Aku menyesal sekali tak dapat membantu
kalian. Harap kalian berhati-hati, kata Ping-gwan.
Nona U-bun, tolong kau sampaikan berita ini kepada Thiat cecu di Hok-gu-san, In-nio
meninggalkan pesanan. Memang cerdik sekali nona itu. Ia melakukan dua buah rencana.
Sembari
menuju ke Ogemi sembari memberitahu pada Thiat-mo-lek.
Keesokan harinya berangkatlah Bik-hu bertiga menuju Tho-ko-hun. Negeri itu ribuan li
jauhnya. Harus melalui padang rumput, payau-payau dan padang pasir yang berbahaya.
Sekalipun
mereka naik kuda pilihan tapi toh memerlukan waktu satu bulan untuk tiba di negeri itu. Kalau
dihitung mulai berangkat dari Hok-gu-san, dalam mencari jejak Khik-sia itu mereka sudah
menghabiskan waktu tujuh bulan lamanya.
Hari itu turun badai salju yang hebat. Kabut menyelubungi bumi. Pada jarak sepuluh langkah
tak dapat melihat apa-apa. Ketiga anak muda itu mengerudung mukanya dan tetap menempuh
perjalanan.
Telah kutanyakan pada penduduk daerah ini. Daerah Ogemi hanya kurang seratus li lagi.
Besok kita tentu sudah tiba di sana, kata Bik-hu.
Bahwa besok pagi bakal bisa berjumpa dengan sang kekasih, Yak-bwe girang tapi gelisah juga.
Ia bertanya pada In-nio apa yang akan dilakukan bila tiba di tempat itu.
Bukankah kita sudah sepakat malam harinya baru melakukan penyelidikan? In-nio
mengembalikan pertanyaan orang.
Ah, hatiku tak tenteram, kata Yak-bwe.
Eh, tinggal sehari saja masakan kau tak sabar lagi? Kalau yang kucemaskan ialah badai salju
yang kita hadapi ini, sahut Bik-hu.
Kucemaskan kalau mengetahui kedatangan kita, siluman perempuan itu segera akan
melekatkan pedangnya ke leher Khik-sia. Saat itu....
Apa katamu? Khik-sia.... dalam kabut badai salju yang lebat kuda mereka terpencar maka
berteriaklah In-nio menegas.
Kutakut siluman perempuan itu akan membunuh Khik-sia, seru Yak-bwe. Pertama karena tak
dapat menahan luapan hatinya dan kedua karena kuatir In-nio tak mendengar, maka Yak-bwe
berseru sekuat-kuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara benda mengaum. Sebatang hui-jui melayang ke arah Yak-bwe.
Buruburu
Yak-bwe gunakan gerakan Teng-li-ciang-sim untuk menghindar. Senjata rahasia tepat lewat
menyusup di bawah kendali yang dicekalnya.
Dengan gunakan gin-kangnya yang lihay, Yak-bwe berjumpalitan di udara dan melayang ke
tanah. Tetapi penyerangnya itu juga tak kalah cepat. Sebelum Yak-bwe sempat mencabut
pedang,
orang itupun sudah loncat dari kudanya terus menyerangnya dengan golok.
Kurang ajar! Siapa kau? Menyerang orang secara gelap bukan laku seorang ksatria! damprat

Yak-bwe yang dalam pada itu sudah menghindari 18 kali serangan golok. Jika ia belum
mendapat
pelajaran ginkang dari Khik-sia terang ia tentu binasa.
Dalam lingkungan kabut dan salju tebal, tadi Yak-bwe tak tahu siapa penyerangnya itu. Tetapi
kini setelah bertempur barulah ia melihat jelas. Diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang bocah
lelaki berumur empat lima belas tahun, lebih pendek dari Yak-bwe. Belum dewasa tetapi
mengapa
ilmu goloknya sedemikian hebat?
Huh, kau berani menghina aku bukan laki-laki ksatria? Membasmi dorna menghancurkan
kejahatan, adalah perbuatan seorang ksatria. Hatimu jahat, perlu apa aku bicara manis dengan
kau? sahut bocah lelaki itu. Ucapannya memang seperti orang persilatan yang berpengalaman
tapi
nadanya tetap seperti anak-anak.
Yak-bwe geli-geli mendongkol. Ia tak kenal siapa pemuda tanggung itu. Ia tak mengerti
kenapa bocah itu mengata-ngatainya begitu. Tapi ia tak berani berlaku ayal untuk menjaga
serangannya yang hebat. Akhirnya karena kewalahan Yak-bwe terpaksa mencabut pedang untuk
menangkisnya. Pedang Yak-bwe kena terpapas kutung. Buru-buru Yak-bwe gunakan lwekang
lekat untuk mendorong golok lawan ke samping. Setelah itu ia baru sempat berkata: Kau siapa?
Tahukah kau aku siapa? Mengapa kau memaki-maki aku?
Bocah itu menggumam: Kutahu kau seorang jahat!
Bagaimana kau tahu aku jahat?
Bukankah kau orang she Su? tanya bocah itu.
Benar, apa salahnya aku she Su? balas Yak-bwe.
Itu sudah jelas. Kau jahat, jahat sekali! Lihat golok! teriak bocah itu sembari terus
menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan 18 kali tabasan.
Saat itu badai salju sudah mulai reda. Bik-hu dan In-nio pun menghampiri. Karena lihat hanya
seorang bocah, mereka tak mau membantu. Heran juga mereka, siapa anak itu. Sebaliknya tahu
kalau Yak-bwe mempunyai dua orang kawan, anak itu tetap congkak, tetap menyerang Yak-bwe.
Tiba-tiba Yak-bwe teringat sesuatu, pikirnya: Apakah kejadian lama terulang lagi?
Janganjangan
bocah ini mengira kau si wanita siluman itu? Tetapi dia masih kanak-kanak, mengapa bisa
bermusuhan dengan Tiau-ing?
Permainan golok pemuda tanggungitu hebat dan cepat. Yak-bwe belum pernah melihat
permainan golok yang lihay. Iapun masih suka berhati kanak-kanak. Ilmu golok lawan istimewa,
iapun lalu keluarkan seluruh kepandaiannya. Maka meskipun ia menduga telah terjadi salah
paham,
tapi ia tak mau mencari penjelasan.
Siluman perempuan, kau main apa ini? Mengapa tak berani bertanding sungguh-sungguh
dengan aku? Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu! marah anak itu karena merasa
dipermainkan
Yak-bwe.
Yak-bwe tertawa mengikik. Waktu ia hendak hentikan pertempuran, tiba-tiba anak itu berteriak:
Mah, lekas datang! Ini dia si perempuan siluman itu!
Seekor kuda melesat datang. Penunggangnya seorang wanita pertengahan umur yang cantik.
Sekali loncat turun ia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan jurus Giok-li-tho-ih.
Ujung
pedangnya mengarah ke tenggorokan Yak-bwe.
Kejut Yak-bwe bukan kepalang. Untung ia sudah mahir dalam ilmu ginkang ajaran Khik-sia.
Dalam keadaan kepepet, ia gunakan gerak Si-hiong-hia-hoan-hun untuk menghindar. Pedang
nyonya cantik itu terpaut seujung rambut melalui muka Yak-bwe.
Belum Yak-bwe berdiri tegak, nyonya itu sudah menyerangnya lagi. Cepat dan ganas sekali,
melebihi dari serangan puteranya tadi. Terpaksa Yak-bwe kerahkan seluruh kepandaiannya. Ilmu
pedangnya Coan-hoa-kiam termasuk jenis permainan lunak. Hanya dua kali menangkis ia sudah
tak tahan lagi. Cret, pedang nyonya itu berkelebat menusuk lengan baju Yak-bwe. Untung
Yakbwe
cepat menghindar. Terlambat sedikit perutnya tentu pecah.
Kini Yak-bwe keluarkan ilmu pedang Hui-hong-kiam (naga terbang) ajaran Khik-sia.
Permainan ini termasuk jenis keras. Trang, ketika saling berbentur, Yak-bwe rasakan tangannya
sakit sekali. Namun serangan yang amat ganas dari wanita itu dapat ditangkisnya.
Mulut wanita itu menggumam, wajahnya mengerut heran dan permainan pedangnya tiba-tiba

lambat. Pada kesempatan itu dengan terengah-engah Yak-bwe berseru: Aku Su Yak-bwe, entah
membuat kesalahan apa kepada cianpwe, tolong dijelaskan!
Wanita itu tertegun, serunya: Kau ini Su Yak-bwe? Bukan Su Tiau-ing?
Memang mereka berdua she Su, tetapi yang satu hendak mencelakai Khik-sia, yang ini adalah
tunangan Khik-sia, In-nio menyelutuk tertawa.
Astaga.... tiba-tiba anak tadi menjerit: Apa? Kau tunangan dari engkohku Khik-sia?
Merah selembar wajah Yak-bwe, sahutnya: Engkoh kecil, engkau memanggil engkoh pada
Khik-sia, apakah kau....
Wanita cantik itu menyimpan pedangnya, berkata: Kiranya kau ini tunangannya Khik-sia,
makanya kau dapat memainkan ilmu pedang keluarga Toan. Akulah yang merawat Khik-sia
sampai
dewasa.
Girang dan kejut Yak-bwe tak terhingga, serunya: Oh, jadi kau Bibi Lam!
Wanita cantik itu mengiakan. Serta merta Yak-bwe berlutut memberi hormat. Wanita itu
mengangkat Yak-bwe, ujarnya: Nanti dulu, perlihatkan tusuk kundai kumala di kepalamu itu!
Yak-bwe segera memberikan benda itu. Berlinang-linanglah air mata wanita itu setelah
memeriksa tusuk kundai burung Hong dari keluarga Toan. Kau benar menantu keponakanku -
dan Yak-bwe segera dipeluknya dengan mesra.
Wanita pertengahan umur itu adalah He Leng-soang, isteri dari Lam Ce-hun. Lam Ce-hun
adalah saudara angkat dari Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Sewaktu muda mereka bedua
berkelana dalam dunia persilatan dan digelari sepasang pendekar budiman. Kemudian ikut
bertempur melawan pemberontak An Lok-san dan gugur.
Waktu berumur 10 tahun, Khik-sia sudah kehilangan ayah-bundanya. Yang merawatnya adalah
He Leng-soang sampai dewasa. Ketika umur 16 tahun, barulah He Leng-soang memberitahukan
tentang soal pertunangannya dengan Yak-bwe. Sesuai dengan pesan mendiang ayah-bundanya,
Khik-sia disuruh turun gunung mencari tunangannya itu. Tusuk kundai Liong yang menjadi
tanda
pengikat pertunangan Khik-sia dan Yak-bwe masih disimpan bibi He Leng-soang yang baik budi
itu. Waktu Khik-sia turun gunung, barulah diberikan kepadanya. Liong Hong Po Cha sepasang
tusuk kundai Naga dan burung Hong, merupakan sepasang pusaka yang serasi dan serupa satu
sama
lain. Bentuknya sama hanya lukisan ukir-ukirannya yang berbeda. Maka dengan cepat He
Lengsong
segera mengenali tusuk kundai burung Hong dari Yak-bwe itu.
Bibi, engkoh Khik-sia telah menerima budi bibi sedalam lautan, tapi entah kelak dia dapat
membalas budi itu atau tidak. Dia sekarang diculik perempuan siluman itu, mungkin....
Hal itu sudah kuketahui semua. Justeru sekarang aku hendak mencarinya. Bagaimana? Apa
sampai sekarang kau belum mengetahui jejaknya? sahut He Leng-soang.
He Leng-soang sayang Khik-sia seperti puteranya sendiri. Pun ia sudah kangen pada Thiat-
molek
suami isteri yang sudah 10-an tahun tak bertemu. Sayang karena puteranya masih kecil jadi
sampai sekarang ia baru melaksanakan niatnya itu.
He Leng-soang mempunyai tiga orang anak laki dan seorang anak perempuan. Puteranya yang
sulung sekarang sudah berumur 15 tahun. Untuk mengenangkan Lui Ban-jun, sute Lam Ce-hun
yang gugur bersama-sama dalam membela negara, maka He Leng-soang memakaikan she Lui
untuk nama anak-anaknya. Puteranya yang kesatu diberi nama Lam He-lui. Yang kedua Lam
Junlui,
yang ketiga (perempuan) Lam Jiu-lui dan yang keempat Lam Tong-lui. Kata-kata Lui itu dari
she Lui (Lui Ban-jun). Lam Tong-lui, puteranya yang keempat itu, ditinggalkan ayahnya
sewaktu
masih dalam kandungan. Sekarang anak itu sudah berumur 10 tahun.
Dalam umur 15 tahun, Lam He-lui sudah dapat menyakinkan seluruh ilmu silat keluarga Lam.
Maka He Leng-soang segera mengajaknya keluar untuk cari pengalaman. Lam Jun-lui yang
berumur 14 tahun, Lam Jiu-lui yang berumur 12 tahun, meskipun kepandaian silatnya belum
sempurna tapi dapat mengalahkan 20-an orang biasa yang berani mengeroyoknya. Oleh karena
itu
He Leng-soang berani tinggalkan mereka di rumah untuk menjaga adiknya Tong-lui yang baru
berumur 10 tahun itu.
He Leng-soang dalam perjumpaannya dengan Thiat-mo-lek, diberitahukan tentang peristiwa
Khik-sia diculik Tiau-ing. Ia segera ajak puteranya pergi lagi untuk mencari jejak Khik-sia.

Sungguh kebetulan sekali kedatanganmu ini, Bibi Lam. Kini kami sudah mengetahui jejak
Khik-sia. Dia ditawan siluman perempuan itu di biara Ogemi. Kira-kira 100-an li dari sini.
Paderipaderi
dari biara itu berilmu tinggi. Kami justeru gelisah menghadapi mereka. Bibi Lam, dengan
adanya bibi, nyali kami menjadi besar, kata In-nio.
Sayang, sayang! Tempo hari aku berjumpa dengan Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh yang juga
mencari Khik-sia. Kalau begini, suruh Gong-gong-ji mencuri Khik-sia saja, tak perlu membikin
kaget kawanan paderi Ogemi. Ah, sudahlah. Tak perlu tunggu Gong-gong-ji, kita sekarang
berangkat ke biara itu, demikian He Leng-soang.
Badai saljupun sudah berhenti. Mereka berlima segera menuju ke biara Ogemi. Mendapat
bantuan He Leng-soang, harapan Yak-bwe untuk mendapatkan Khik-sia menjadi besar sekali.
Sekarang mari kita tengok keadaan Khik-sia di biara Ogemi. Tanpa terasa sudah hampir tujuh
bulan ia ditahan di situ. Selama itu ia bergaul baik dengan Hoan Gong hwatsu.
Setelah Ceng-ceng-ji kabur, Khik-sia kuatir kalau Tiau-ing akan merayunya. Tapi ternyata
walaupun peraturan tak terlalu bengis, biara Ogemi itu merupakan pusat penyebaran agama
Buddha
di daerah Se-gak. Paderi-paderinya pun bukan golongan jahat.
Sebagai murid angkat dari Hoan Gong, Tiau-ing bebas mengutarakan kesukarannya. Ia pun
memberi sejumlah besar uang guna memperbaiki biara itu. Karena dua alasan itu maka barulah
Tiau-ing diterima tinggal di biara situ.
Dalam pergaulan pria wanita, rakyat Se-gak lebih bebas dari rakyat Tiong-tho. Tiau-ing diberi
sebuah kamar dan seorang bujang wanita. Tapi tidak bercampur dengan Khik-sia. Pemuda itu
diserahkan di bawah pengawasan Hoan Gong. Hoan Gong mencukur rambut Khik-sia untuk
dijadikan seorang paderi muda. Karena terkena obat Soh-kut-san, tenaga Khik-sia hilang lenyap.
Maka Hoan Gong memberi keleluasaan padanya untuk berjalan-jalan di dalam biara. Ia tak takut
anak muda itu dapat kabur.
.....(tulisan kabur) bergaul dan sama-sama suka ilmu silat. Meskipun tenaganya lunglai tapi
Khik-sia dapat juga membicarakan ilmu silat dengan Hoan Gong. Keduanya sama memperoleh
manfaat.
Setiap hari lahir Buddha, di biara Ogemi diadakan perayaan besar-besaran. Segenap paderi
harus melakukan sembahyangan di tiga ruangan. Pada hari itu kembali diadakan perayaan
sembahyangan besar untuk menghormat hari lahir sang Buddha. Khik-sia senang dengan
keramaian. Ia minta diperbolehkan untuk hadir. Karena dia sudah memakai pakaian paderi, Hoan
Gongpun mengijinkan.
Selama tujuh bulan itu, Khik-sia belum pernah menginjak ruangan besar. Dia memang tak
berminat menyembah Hud. Dia hanya berkeliaran melihat-lihat ukir-ukiran lukisan di tembok.
Waktu Hoan Gong hendak menegurnya, tiba-tiba Ti-khek-ceng 9paderi yang menyambut
tetamu)
masuk melaporkan bahwa murid dari Kong Tik hwat-ong, kepala biara Putala telah datang
hendak
turut dalam upacara sembahyangan.
Istana Putala adalah sebuah biara agung di daerah Tibet. Biara itu didirikan oleh puteri Bun
Song, anak perempuan baginda Li Si-bin yang diambil permaisuri oleh Raja Tibet. Walaupun
kemudian hari pengaruh kerajaan Tong makin lemah, tapi berdasarkan sejarahnya, Istana Putala
itu
tetap menduduki tempat yang teratas di kalangan biara-biara daerah Se-gak. Kepala biara
bergelar
Hwat-ong, lebih tinggi dan mulia dari semua kepala-kepala di biara lain.
Sebenarnya biara Ogemi itu tiada hubungan dengan Potala. Tapi demi mendengar biara agung
itu mengirim rombongan anak muridnya untuk turut hadir dalam upacara sembahyangan, Hoan
Biat
hwatsu, hong-tiang (pemimpin) dari biara Ogemi, tersipu-sipu menyuruh Ti-khek-ceng
mempersilahkan rombongan tetamu itu masuk.
Tetapi Hoan Siok hwatsu, sute dari Hoan Biat hwatsu, seorang yang cermat. Ia sedikit menaruh
kecurigaan, ujarnya: Mengapa mendadak sontak Istana Potala mengirim utusan kemari?
Suheng,
kau harus menanyakan yang jelas!
Siapa sih yang berani memalsu sebagai utusan dari Potala? Biara kita ini biara terbesar di
negeri Tho-ko-hun. Kalau Kong Tik hwatsu mengirim utusan untuk mengadakan hubungan baik,
itulah sudah sepantasnya, sahut Hoan Biat.

Tetapi aku tetap curiga. Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki, kedua belah pihak sedang
bersiap-siap perang. Mengapa mendadak pihak Potala mengirim utusan kemari? Apakah hal itu
tidak mencurigakan? bantah Hoan Siok.
Lalu lintas amat jauh, hubungan beritapun terhambat. Mungkin pemerintah Hwe-ki belum
mengetahui tentang istana Potala mengirim utusan. Betapapun ganasnya pemerintah Hwe-ki itu,
mereka tentu tak berani mengganggu urusan anak murid dari Potala. Sudah sute, jangan banyak
curiga. Terhadap gengsi Potala yang sedemikian agungnya, kita harus menaruh kepercayaan
penuh.
Jika kita mengajukan pertanyaan dan dijawab memang mereka itu betul rombongan anak murid
yang diutus dari Potala, bukankah kita akan malu?
Karena suhengnya berkeras begitu rupa, Hoan Siok pun tak berani banyak omong lagi. Tak
berapa lama, paderi Ti-khek-ceng datang dengan rombongan utusan istana Potala. Semua hanya
berjumlah 4 orang. Salah seorang dari tetamu itu, kepalanya lancip, bentuknya lucu. Begitu
masuk
ke ruangan besar, matanya jelalatan kian kemari.
Khik-sia terkejut. Ia seperti sudah kenal dengan tetamu itu. Dan setelah merenung, ia teringat
akan seseorang. Namun ia masih belum berani memastikan.
Hoan Biat hwatsu menghaturkan selamat datang pada rombongan utusan itu dan minta maaf
atas penyambutannya yang kurang memuaskan.
Ah, hong-tiang kelewat merendah. Kita toh sama-sama anak murid Buddha, tak perlu
sungkan-sungkan. Aku membawa sebuah hwat-ci (amanat agama) dari Kong Tik hwat-ong,
harap
hong-tiang terima, kata pemimpin paderi Lama dari Potala itu.
Hoan Biat terkesiap. Walaupun kedudukan Biara Potala itu yang tertinggi sendiri, tapi biara
Ogemi tidak dibawahinya. Mengapa Kong Tik hwat-ong mengirim Hwat-ci? Dan lebih curiga
lagi
Hoan Biat ketika mendengar ucapan tetamunya itu tidak seperti paderi yang taat.
Kalau Biat melayani kepala rombongan Lama Potala, Hoan Gong, hoan Siok dan beberapa
paderi yang berkedudukan tinggi dari Ogemi, sama menyambut ketiga utusan yang lainnya itu.
Justeru yang disambut oleh Hoan Gong itu ialah paderi kepala lancip yang tak sedap dipandang
itu.
Walaupun tak senang, namun Hoan Gong tetap menyambutnya dengan hormat.
Tiba-tiba terdengar orang berteraiak melengking: Itulah Ceng-ceng-ji. Awas, jangan kena
ditipunya!
Yang melucuti kedok Ceng-ceng-ji itu bukan lain ialah Khik-sia. Memang selain bentuk
wajahnya, pun tingkah laku Ceng-ceng-ji itu mirip dengan kunyuk. Sebagai sutenya yang sudah
bertahun-tahun bergaul, sudah tentu Khik-sia paham benar dengan diri suhengnya itu. Ia
menaruh
curiga dan makin curiga, tapi ia merasa aneh juga mengapa wajah bekas suhengnya itu berubah
megitu macam?
Ceng-ceng-ji turun tangan secara kilat, saat itu tulang bahu Hoan Gong hendak
dicengkeramnya. Tapi untung Khik-sia berteriak memperingatkan. Dalam gusarnya Hoan Gong
gunakan gerak Tho-poh-ciat-ka, turunkan kedua pundaknya dan berputar tubuh dengan gerakan
tumit kaki. Dengan tepat ia dapat menghindari.
Ceng-ceng-ji mengusap wajahnya dan mengunjukkan roman mukanya yang asli. Kemudian
tertawa gelak-gelak: Bagus, budak, matamu celi benar dapat mengenali suhengmu. Ayo, ikutlah
aku, jangan lari, ya?
Kiranya Ceng-ceng-ji mengenakan topeng kulit. Dalam pada berkata-kata itu, tubuhnya sudah
melesat ke tempat Khik-sia. Tetapi rombongan paderi Ogemi banyak jumlahnya, untuk beberapa
saat Ceng-ceng-ji tak berhasil menangkap Khik-sia. Ceng-ceng-ji mengamuk. Setiap paderi yang
menghalang tentu dipukul atau ditutuk jalan darahnya. Dalam beberapa kejap saja, sudah belasan
paderi yang rubuh.
Melihat itu Hoan Gong marah. Ia menyambar sebatang tongkat terus dihantamkan ke punggung
Ceng-ceng-ji. Karena ruangan itu penuh dengan orang, Ceng-ceng-ji tak leluasa mengeluarkan
ginkang.
Terpaksa ia cabut pedang untuk menangkis. Diam-diam ia heran kemana gerangan Khik-sia
bersembunyi. Bukankah tadi terang kalau bersuara?
Tiba-tiba rombongan paderi berteriak kaget. Waktu Hoan Gong berpaling, darahnyapun
terkesiap. Paderi yang mengepalai Kay-le-tong (bagian menjatuhkan hukuman biara) dan Hoan

Biat hwatsu, kena diringkus lawan.
Ketiga kawan Ceng-ceng-ji yang menyaru jadi paderi lhama dari Potala itu adalah jago-jago
pilihan dari Hwe-ki. Yang dua orang memang juga kaum paderi. Tetapi yang seorang, hanya
secara
darurat mencukur rambut dan menyaru jadi paderi. Kedua paderi itu termasuk golongan partai
agama Bi-cong dari Tibet. Namanya Bu Ong dan Bu Ci. Mereka berhambat pada Hwe-ki tapi tak
punya hubungan apa-apa dengan Biara Agung Potala.
Rencana itu Ceng-ceng-ji dan panglima Hwe-ki Topace yang mengatur. Pada upacara
sembahyangan hari lahir sang Buddha, biara Ogemi tentu menerima tetamu. Saat itulah mereka
akan meyelundup masuk dan meringkus kepala biara untuk menyerahkan Khik-sia. Rencana itu
mempunyai dua pertimbangan. Pertama, karena paderi-paderi biara Ogemi itu pandai ilmu silat.
Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki. Kalau terjadi perang, dikuatirkan paderi-paderi
Ogemi
itu akan digunakan oleh pemerintah Tho-ko-hun. Kedua, karena Topace memerlukan tenaga
Cengceng-
ji maka ia turuti saja keinginan orang untuk menculik Khik-sia.
Dalam melaksanakan rencana itu, Ceng-ceng-ji minta bantuan dari seorang jago Hwe-ki. Dan
demi suksenya rencana itu, mereka berdua rela menuckur rambut menjadi paderi gadungan.
Yang disambut Hoan Biat hwatsu adalah si jago Hwe-ki yang menyaru jadi paderi lhama.
Namanya Chili, bu-su (senopati) nomor satu dari negeri Hwe-ki. Kepandaiannya tak kalah
dengan
Ceng-ceng-ji.
Sebenarnya Hoan Biat juga tinggi ilmu silatnya. Tetapi karena mengira benar-benar berhadapan
dengan utusan dari Potala, maka ia tak bersiap-siap. Tutukan jalan darah yang dilancarkan secara
kilat oleh Chili, menyebabkan Hoan Biat hwatsu tak berdaya.
Pun tertangkapnya paderi kepala Ka-le-tong itu juga karena tak bersiap-siap. Hanya sekali
gerak, dia sudah dibikin tak berdaya oleh Bu Ong. Di kalangan empat paderi kepala dari biara
Ogemi, hanya Hoan Siok hwatsu yang sudah menaruh kecurigaan. Karena itu ia sudah bersiap-
siap
dan tak sampai kena diringkus. Kini ia bertempur seru dengan paderi Tibet si Bu Ci.
Chili mengangkat tubuh Hoan Biat tinggi ke atas dan tertawa gelak-gelak: Jiwa hong-tiang
kalian berada di tanganku. Siapa yang berani bergerak?
Kawanan paderi yang sedianya hendak bergerak menyerang, terpaksa berhenti.
Ceng-ceng-ji tertawa bangga, serunya: Hai, dengarlah sekalian paderi Ogemi. Hal yang
pertama harus kalian lakukan, serahkanlah budak Khik-sia itu padaku!
Khik-sia tak enak karena telah membikin susah hong-tiang Ogemi. Baru ia hendak tampil ke
muka, tiba-tiba Chili berteriak keras dan lemparkan tubuh Hoan Biat sampai beberapa tombak
jauhnya. Kiranya Hoan Biat diam-diam kerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang
tertutuk. Karena dicengkeram, tangannya tak dapat bergerak, tapi ia dapat tekuk lututnya untuk
membentur ubun-ubun kepala orang.
Chili adalah jago nomor satu dari Hwe-ki, kepandaiannya pun luar biasa. Jika lain orang, tentu
sudah pecah kepalanya dengan gerakan Hoan Biat yang tak terduga-duga itu. Tapi dia dapat
menghindar dengan sebat. Cepat-cepat ia mendak sambil menarik tubuh orang. Lutut Hoan Biat
luput mengenai kepala tapi kena pundak Chili. Sakitnya bukan kepalang. Dalam marahnya ia
lemparkan tubuh Hoan Biat sekuat-kuatnya.
Dua orang paderi coba hendak menyambuti tubuh pemimpinnya. Tapi akibatnya
menggenaskan. Mereka tak kuat menyambuti tenaga lontaran yang begitu hebat sehingga
terhantam jatuh di tanah bergelundungan. Mulut menjeri ngeri, tubuh berkelojotan dan nyawa
melayang.....
Untung karena ditahan oleh kedua paderi tadi, daya bantingan Chili berkurang tenaganya.
Begitu tiba di tanah, Hoan Biat dapat berjumpalitan bangun. Dia tak sampai terluka berat.
Namun
karena hebatnya kegoncangan yang dideritanya, ia pun muntahkan segumpal darah.
Gelombang yang satu belum reda, gelombang lain timbul. Ci-hwat-ceng (paderi yang
menguasai peraturan biara) yang diringkus Bu Kiu siangjin, pada saat itupun menjerit ngeri.
Kiranya ia tak sudi dijadikan barang tanggungan untuk menekan kawan-kawannya. Tahu bahwa
kepandaiannya kalah dengan lawan, ia putuskan urat nadinya sendiri dan binasa....
Hoan Biat hwatsu murka. Menyambuti sebuah senjata Hong-ciang-jan dari seorang muridnya,

ia berseru dengan bengis: Delapan murid dari tingkat lwe-sam-wan supaya tetap tinggal di
ruangan, yang lain-lain supaya keluar semua. Biara Ogemi tak dapat menerima hinaan sebesar
ini!
Mengetahui bahwa musuh yang datang pada saat itu termasuk jago-jago kelas satu, maka Hoan
Biat segera meminta kedelapan murid kepala Lwe-sam-wan tinggal. Yang lain-lain karena
dianggap masih belum cukup kepandaiannya, disuruh keluar agar jangan sampai jatuh korban
banyak. Hoan Biat bertiga saudara (Hoan Gong dan Hoan Siok) dengan kedelapan murid kepala
itu
akan bertempur mati-matian dengan pengacau-pengacau itu.
Jangan lagi hanya delapan murid kepala, sekalipun semua paderi-paderimu disuruh maju, aku
tak takut! Chili tertawa mengejek. Ia cabut golok pusakanya dan menyambut serangan Hoan
Biat.
Trang.... setelah terluka parah tenga Hoan Biat berkurang, ta tak kuat menahan gempuran golok.
Senjatanya rompal dan dia sendiri tersurut mundur sampai tiga langkah!
Hoan Gong dan Hoan Siok yang mempimpin sayap kanan dan kiri dari barisan paderi, segera
maju menahan serangan Chili dan Bu Ong. Barisan bergerak memencar dan merapat kembali.
Hoan Biat mundur ke dalam barisan. Ceng-ceng-ji beberapa kali hendak menerobos tapi tak
berhasil. Tapi sayang Hoan Biat yang paling tinggi kepandaiannya telah menderita luka dan di
antara delapan murid kepala itu sudah ada dua orang yang terluka ringan. Di bawah tekanan dari
empat jago kelas satu, rupanya barisan paderi itu mulai tak kuat bertahan.
Diam-diam Khik-sia menyesali dirinya karena sudah tak punya tenaga lagi. Coba tidak, tentu ia
dapat melayani Ceng-ceng-ji. Tiba-tiba ia teringat bahwa Ceng-ceng-ji itu bukan melainkan
hendak
menangkap dirinya saja, pun termasuk Tiau-ing juga. Jika pihak Ogemi sampai kalah, Tiau-ing
tentu takkan lolos. Ah, mengapa aku tak coba-coba membujuknya supaya memberi obat
penawar? tanyanya sendiri.
Buru-buru ia keluar dari ruangan pertempuran. Pada waktu Hoan Gong menerima kedatangan
Tiau-ing dan Khik-sia, hanya beberapa paderi yang berkedudukan tinggi, tahu urusan itu. Yang
lain-lainnya hanya mengira Khik-sia itu sebagai calon paderi baru. Apalagi kala itu sedang dalam
kekacauan maka tak ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya (Khik-sia) sama sekali.
Tetapi
ia tak tahu di mana ruangan yang ditempati Tiau-ing. Yang didengarnya dari Hoan Gong ialah
bahwa hong-tiang telah menyediakan sebuah kamar istimewa untuk Tiau-ing dan melarangnya
keluar. Ah, kemana ia hendak mencari kamar itu? Ia coba-coba pergi ke taman belakang.
Di dalam taman itu terdapat belasan pondokan untuk paderi-paderi. Ketika ia hendak mencari
keterangan, tiba-tiba seorang wanita muncul berlari-larian sampai hampir menubruknya. Wanita
itu
seorang perempuan tani. Karena sudah tak punya kekuatan, Khik-sia terpelanting jatuh
terlanggar.
Wanita itu berhenti, menolongnya dan mengucapkan beberapa patah bahasa daerah yang tak
dimengerti Khik-sia.
Apa kau yang melayani nona Su? tanya Khik-sia.
Namun perempuan itu juga tak mengerti bahasanya Khik-sia. Setelah menatap Khik-sia dari
ujung kaki sampai ke kepala, ia mengunjuk wajah girang lalu mengeluarkan sebuah lukisan. Kini
giliran Khik-sia yang terheran-heran. Tapi yang nyata, lukisan itu merupakan seorang pemuda
yang
bukan lain Khik-sia sendiri.
Perempuan itu mulutnya nyerocos sambil menggerak-gerakkan tangan. Akhirnya Khik-sia
dapat menangkap juga artinya. Lukisan itu Su Tiau-ing yang membuat. Ia suruh wanita itu
mencari
Khik-sia. Khik-sia menunjuk diri, lalu menuding perempuan itu, ujarnya: Apakah nona Su
memanggil aku?
Rupanya perempuan itu juga mengerti bahasa isyarat Khik-sia. Ia angguk-anggukan kepalanya,
lalu menarik Khik-sia diajak lari. Taman itu dibuat di muka gunung. Tiba di tepi gunung,
jalananpun putus. Wanita itu melintasi sebuah gua. Di luar gua terdapat lagi sebuah perumahan.
Puncak gunung itu merupakan sebuah pintu yang memisah taman menjadi dua bagian.
Diam-diam Khik-sia bersyukur dapat bertemu dengan wanita itu. Tiba di sebuah ruang,
terdengar Tiau-ing merintih-rintih dan memanggil-manggil namanya (Khik-sia). Khik-sia
terkejut.
Dengan lari terhuyung-huyung ia masuk dan mendorong daun pintu. Tampak Tiau-ing rebah di
pembaringan, wajahnya pucat kekuning-kuningan. Melihat Khik-sia, Tiau-ing tersentak kaget
tapi
cepat mengusirnya: Keluar!

Tapi bukankah kau sendiri yang memanggil aku? Khik-sia tercengang.
Tiau-ing tak menghiraukannya lagi, rintihannya makin hebat. Perempuan desa tadi segera
mendorong Khik-sia keluar. Setelah memberi isyarat dengan menepuk-nepuk perutnya sendiri,
pintu terus ditutupnya lagi.
Merahlah wajah Khik-sia. Kini ia baru mengerti bahwa Tiau-ing akan melahirkan anak. Khiksia
makin bingung. Ia hendak minta obat penawar, siapa tahu Tiau-ing sedang akan melahirkan....
Saat itu kawanan paderi Ogemi sedang menghadapi pertempuran....... (tulisan kabur, tak
terbaca) Ceng-ceng-ji putar pedangnya seperti angin puyuh dan berhasil membobolkan
pertahanan
tuan rumah. Dua orang murid kepala Ogemi terbunuh olehnya. Satu-satunya yang masih dapat
memberikan perlawanan berarti hanyalah Hoan Biat seorang.
Tapi demi melihat pihaknya menderita kekalahan, Hoan Biat menghela napas dalam. Dia tak
sudi menerima hinaan dan terus hendak bunuh diri saja. Tapi tiba-tiba ada serombongan orang
menerobos masuk ke ruangan situ. Mereka adalah He Leng-soang dan puteranya serta Bik-hu
dan
kawan-kawan.
He Leng-soang kesima dengan pemandangan yang dijumpainya ruangan besar itu. Adalah Innio
yang dapat mengambil putusan cepat: Bantu pihak Ogemi basmi kawanan durjana itu!
Benar! sahut He Leng-soang yang segera melesat memasukkan pedangnya ke punggung
Ceng-ceng-ji.
Pedang Ceng-ceng-ji tak mampu mengutungkan pedang nyonya itu, sebaliknya malah hampir
terlepas jatuh. Huh, entah di mana wanita ini bersembunyi tahu-tahu kepandaiannya begini
hebat,
diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut.
Buru-buru ia cabut pedangnya dan memainkannya dalam ilmu pedang Wan-kong-kiam. Dulu
Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat dari He Leng-soang. Tapi karena dalam sepuluh tahun ini
dia
umbar kesenangan saja, kepandaiannya pun tak mendapat kemajuan yang berarti. Kini berbalik
He
Leng-soang yang lebih unggul setingkat. Ilmu pedang nyonya itu dapat digunakan untuk
bertahan
dan menyerang dengan dahysat. Biar Ceng-ceng-ji mati-matian memainkan pedangnya, tetap tak
dapat menemukan lubang kelemahan lawan.
Tapi sayangnya hanya He Leng-soang saja yang unggul. Anak-anak muda dalam
rombongannya itu payah-payah keadaannya. Yak-bwe mendapat lawan Chili. Bermula jago
Hweki
ini memandang rendah, pikirnya hendak menangkap Yak-bwe hidup-hidup. Tapi ia segera
dikejutkan oleh serangan kilat dari pedang Yak-bwe. Untung ia cepat turunkan tubuh, coba tidak
tentu tulang pe-peh-kutnya tertusuk. Ia pun bersyukur hanya bajunya yang berlubang.
Bagus, budak perempuan. Ternyata kau punya kepandaian yang berarti juga, Chili tertawa
mengejek sambil putar senjatanya Gwat-yu-wan-to (golok yang bengkok seperti bulan sabit).
Trang, pedang Yak-bwe hampir saja kena terhantam jatuh. Berbareng itu Chili ulurkan tangan
kirinya untuk menangkap si nona.
Budak anjing, jangan kurang ajar! In-nio melesat menyabat tangan Chili. Kepandaian nona
itu lebih tinggi dari Yak-bwe. Ilmu pedangnya pun lebih lihay. Chili tergetar juga hatinya. Ia
terpaksa menarik pulang tangannya tadi.
Tetapi bagaimanapun juga Chili itu tetap lebih unggul dari kedua nona. Ia tak mau menangkap
hidup-hidup lagi dan mainkan goloknya dengan keras. Anginnya sampai menderu-deru. Untung
karena seperguruan, ilmu pedang Yak-bwe dan In-nio itu dapat dimainkan bersama. Dan Yak-
bwe
sudah mendapat ajaran ginkang dari Khik-sia. Dengan lincahnya, kedua nona itu berputar-putar
menyerang Chili. Meskipun harapan menang tipis, tapi sekurang-kurangnya dapat bertahan diri.
Waktu Bik-hu hendak membantu, dia dihadang oleh si paderi Tibet, Bu Ong. Ilmu Toa-chiu-in
(lekatkan tangan besar) dari Bu Ong siangjin merupakan ilmu pukulan lwekang istimewa dari
aliran
Se-gak. Kedahsyatannya dapat dibandingkan dengan pukulan Kim-kong-ciang dari partai Siu-
limpay.
Dalam sepuluh jurus, Bik-hu sudah terengah-engah dan mandi keringat. Untung ia memiliki
kepandaian dari Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin. Bagaimanapun juga Bu Ong siangjin jeri juga
menghadapi pedang pemuda itu. Situasi Bik-hu memang sulit tapi belum sampai menghadapi
kekalahan.
Di dalam pihak tuan rumah, Hoan Biat dan ketiga sutenya yang paling menggenaskan. Hoan

Biat terluka berat, ketiga sutenya itupun terluka juga. Dia tak mau berpeluk tangan melihat lain
orang mati-matian membelanya. Maka ia pimpin anak muridnya untuk mengganyang si paderi
Tibet Bu Ci yang belum dapat tandingan.
He Leng-soang yang selalu pasang mata memperhatikan situasi pertempuran, menjadi resah
juga hatinya. Benar ia menang angin, tapi untuk tinggalkan libatan Ceng-ceng-ji dan membantu
rombongannya, juga tak mudah.
Pada saat situasi tegang-meregang tiba-tiba terdengar suara suitan panjang. Bermula dari
kejauhan, tapi dalam sekejab saja sudah mengiang di telinga sekalian orang. Ceng-ceng-ji
terperanjat, setelah merangsang lawan, tiba-tiba ia loncat terus melarikan diri.
Hai, Gong-gong-ji, kau datang? teriak He Leng-soang dengan girang sekali.
Memang yang datang itu Gong-gong-ji. Ceng-ceng-ji cepat meloloskan diri, tapi Gong-gong-ji
lebih cepat lagi datangnya. Baru kaki Ceng-ceng-ji melangkah pintu, ia sudah kesampokan
dengan
Gong-gong-ji.
Binatang, masih mau lari? bentak Gong-gong-ji yang sekaligus merebut pedang Ceng-ceng-ji
dan meringkusnya.
Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji masih mampu melayani sang suheng sampai dua-tiga
puluh jurus. Tapi dikarenakan ia paling takut kepada Gong-gong-ji, maka begitu melihat sang
suheng, pecahlah semangatnya.
Suheng, sukalah mengingat hubungan persaudaraan, mengampuni....
Shin Ci-koh cepat menukas rintihan Ceng-ceng-ji itu dengan tertawa dingin: Sekalipun
suhengmu mengampuni, tetapi aku tidak bisa! - Plak, ia menampar muka Ceng-ceng-ji. Separuh
mukanya begap biru, sebuah giginya rontok.
Dia berhutang sebuah tamparan padaku, aku sudah menagihnya. Sekarang terserah padamu,
dia itu sutemu, katanya kepada Gong-gong-ji.
Gong-gong-ji menghela napas: Ceng-ceng-ji, adalah perbuatanmu sendiri yang tak
memperbolehkan kau hidup di dunia! Akan kuserahkan kepada Sunio, mati atau hidup
tergantung
nasibmu. - Sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat, tubuh Ceng-ceng-ji yang terkulai itu segera
dilemparkan ke sudut ruangan.
Kawanan kepala gundul itu hendak merampas Khik-sia. Kita bantu dulu pihak Ogemi,
katanya kepada Shin Ci-koh.
Sekali kedua calon suami-isteri itu turun tangan, dalam beberapa kejab saja, Chili, Bu Ci dan Bu
Ong sudah dirubuhkan.
Mereka diutus oleh pemerintah Hwee-ki. Harap Gong-gong sicu ijinkan kubawa mereka ke
kota raja, biar raja kami yang menghukumnya, kata Hoan Biat hwatsu.
Ceng-ceng-ji itu suteku. Kecuali dia yang lain-lain terserah hong-tiang, jawab Gong-gong-ji.
Karena lwekangnya yang tinggi, Hoan Biat yang terluka berat masih dapat menghampiri
Gonggong-
ji untuk menghaturkan terima kasih.
Aku tak meminta terima kasih, tetapi akan meminta suteku Toan Khik-sia. Dia berada di sini,
bukan? sahut Gong-gong-ji.
Hoan Biat mengiakan. Ia segera suruh beberapa muridnya yang kenal Khik-sia supaya
memanggilnya keluar. Lewat beberapa saat kemudian, murid-murid itu datang dengan laporan
bahwa Khik-sia tak dapat diketemukan.
P E N U T U P
Memang saat itu Khik-sia tengah mondar-mandir di muka kamar Tiau-ing. Tiba-tiba ia
mendengar tangis orok melengking....
Oh, kiranya ia sudah melahirkan. Mengapa aku menunggu di sini? Khik-sia merasa malu dan
hendak kembali keluar. Tapi ia bersangsi. Selama tenaganya masih punah bagaimana ia dapat
membantu pertempuran itu.
Selagi ia maju mundur, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncullah si perempuan desa tadi. Ia
memberi isyarat supaya Khik-sia masuk. Khik-sia merah mukanya dan membantah dengan
terbataKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
bata. Tapi perempuan itu tak mengerti omongannya. Ia memberi isyarat lagi bahwa kamar itu
sudah dibersihkan. Malah setelah itu, Khik-sia diseretnya masuk. Khik-sia meronta-ronta.
Khik-sia, masuklah. Aku hendak bicara padamu. Tak usah kau malu-malu. Maukah kau
masuk kemari? Akan kutolongmu! tiba-tiba Tiau-ing berseru dengan nada lemah dan gemetar.
Iba juga hati Khik-sia. Tak lagi ia meronta dan biarkan dirinya ditarik masuk oleh si perempuan
tani. Tampak dengan wajah masih pucat kuning, Tiau-ing duduk setengah tidur di ranjang.
Kepalanya disandarkan pada dinding ranjang. Di atas ranjang terdapat seorang orok yang
dibungkus dengan selimut merah. Sebuah perapian memancarkan bau ratus wangi. Lantai
ruangan
bersih mengkilap.
Kuucapkan selamat padamu ibu dan anak, Nyonya Bo. Kau, kau hendak bilang apa padaku?
kata Khik-sia.
Tiau-ing tak menyahuti ucapan itu, sebaliknya menunjuk pada orok di sebelahnya: Pondonglah
dia, biar kulihatnya.
Khik-sia menurut. Bayi dipondongnya ke muka Tiau-ing.
Montok benar, ya? Bagaimana, mungil tidak? Miripkan dengan aku, kata Tiau-ing.
Mungil sekali, sangat mirip dengan kau, sahut Khik-sia. Padahal bayi itu lebih mirip dengan
Se-kiat. Sebenarnya Khik-sia gelisah sekali hatinya. Ia ingin Tiau-ing lekas-lekas selesai berkata,
agar ia dapat mengatakan maksudnya. Maka sembarangan saja ia menyahut menuruti apa yang
dikehendaki Tiau-ing.
Wajah Tiau-ing yang pucat mengerut cahaya riang, ujarnya: Benarkah mirip aku? Kau suka
dengan anak itu atau tidak?
Suka, suka! tersipu-sipu Khik-sia mengiakan. Baru pertama dalam hidupnya ia memondong
seorang bayi. Dia berdebar-debar takut kalau-kalau jatuh atau terlalu kencang pondongannya.
Ngeeekk ... tiba-tiba orok itu menangis, tangannya yang kecil mencakar muka Khik-sia.
Segala apa bisa dikerjakan orang lelaki, kecuali hanya dalam soal merawat bayi, kata Tiau-ing
yang lantas suruh perempuan tani tadi menyambuti si orok. Setalah diminumi susu kambing bayi
itupun berhenti menangis.
Setelah terlepas dari beban yang menghimpit perasaannya, Khik-sia terus hendak membuka
mulut. Tetapi didahului Tiau-ing: Khik-sia, kaupun harus lekas menikah. Ai, entah apakah
kekasihmu nona Su itu masih membenci aku?
Sudah tentu ia telah membencimu karena kau menculik aku, batin Khik-sia. Tapi melihat
keadaan Tiau-ing saat itu, ia merasa kasihan dan terpaksa menghiburnya: Jika aku bisa keluar
dengan tak kurang suatu apa, aku tentu dapat memberi penjelasan padanya. Meskipun ia seorang
nona yang keras perangainya tapi suka memberi maaf orang.
Tiau-ing memandang Khik-sia sejenak, seperti ada sesuatu yang direnungkan. Sampai beberapa
saat ia tak bicara.
Nyonya Bo, jika kau tak ada lain-lain hal yang hendak dibicarakan, aku hendak memohon
sebuah hal padamu.
Tiba-tiba Tiau-ing dongakkan kepala dan bertanya: Apa yang terjadi di luar itu? Aku seperti
mendengar suara orang bertempur! - Setengah jam setelah melahirkan, kini semangat Tiau-ing
berangsur-angsur pulih. Pendengarannya mulai tajam.
Ceng-ceng-ji dan beberapa jago lihay menyerbu ke biara ini. Dia hendak menangkap kau dan
aku. Hoan Biat hong-tiang, Hoan Gong hwatsu dan lain-lain tengah bertempur dengan mereka.
Untuk hal itulah maka aku datang kemari ....
Disini merupakan tempat rahasia. Hong-tiang telah berjanji takkan membocorkan tempat ini.
Tak mungkin kunyuk tua itu dapat mencari kemari, jangan kuatir, Tiau-ing tenang-tenang saja.
Ah, mengapa kau hanya memikirkan kepentingan dirimu saja? Mereka lihay sekali, kukuatir
hong-tiang bukan tandingannya. Berikanlah obat penawar padaku, aku hendak membantu tuan
rumah. Kalau tidak, jika biara ini sampai hancur, toh kita juga akan jatuh ke tangan musuh,
Khiksia
agak jengkel.
Tiau-ing tertawa tawar: Kau memaki aku dengan tepat. Memang aku terlalu memikirkan
keuntungan diriku saja. Bahkan saat inipun aku masih memerlukan bantuanmu untuk

kepentinganku. Tetapi permintaanku ini mungkin yang terakhir. Maukah kau mendengar
omonganku dengan sabar? Takkan makan banyak waktu!
Saat itu suara pertempuran sudah tak kedengaran lagi. Khik-sia makin cemas. Apakah pihak
Ogemi sudah kalah? Hoan Biat dan kawan-kawan sudah ditawan musuh? pikirnya. Namun
tanpa
obat penawar, ia tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia terpaksa minta Tiau-ing supaya
mengatakan permintaannya itu.
Lebih dulu Tiau-ing menghela napas, baru berkata: Kutahu bahwa selama ini aku selalu
mencelakaimu. Tetapi kini aku sudah sebatang kara. Kau anggap aku sebagai musuh atau
sahabat,
aku tetap menganggapmu sebagai kawan.
Apa yang kau kehendaki supaya kukerjakan? Silahkan, bilang. Tentu akan kukerjakan sedapat
mungkin, kata Khik-sia.
Tiau-ing menatap dengan bola matanya: Jadi kau memaafkan diriku?
Supaya orang lekas bilang dan juga karena kasihan, Khik-sia mengangguk: Aku bukan orang
yang suka mendendam. Ya, kumaafkan kau.
Wajah Tiau-ing berseri tawa: Baik, kalau begitu kuminta kelak kau supaya merawat anakku itu.
Maukah?
Sayup-sayup Khik-sia seperti mendapat firasat yang tak baik, ujarnya: Nyonya Bo, mengapa
kau ucapkan perkataan itu? Benar aku pernah mempunyai ganjalan dengan kalian suami isteri,
tetapi kini Se-kiat sudah meninggal. Segala dendam kesumat itu pun gugur sudah. Anakmu
adalah
seperti keponakanku sendiri. Atas kepercayaanmu yang begitu besar, sudah tentu akan kurawat
anak itu. Harap kau mengaso untuk merawat kesehatanmu dengan tenang.
Mendengar ucapan Khik-sia yang dibawakan dengan nada bersungguh, wajah Tiau-ing
menggambarkan kelegaan. Ujarnya: Terima kasih atas kelapangan hatimu menghapuskan
kesalahan lama. Aku sungguh merasa lega sekali.
Ia mengambil sebuah kotak emas dari bajunya dan berkata: Obat penawar di dalam kotak ini,
ambillah sendiri. Minumlah dengan air, sejemput saja sudah cukup.
Girang sekali Khik-sia waktu menyambuti kotak itu. Waktu hendak meminumnya, Tiau-ing
kembali berkata: Pokiam-mu juga harus kukembalikan.
Seperti diketahui, pedang pusaka Khik-sia itu telah dirampas Tiau-ing sejak pertama kali
pemuda itu ditawannya dahulu. Sewaktu Khik-sia hendak berputar tubuh menyambuti, tiba-tiba
terdengar suara ces. Tiau-ing telah menusukkan ke dadanya sendiri.
Ada kau yang merawat anakku, aku tak merasa kuatir lagi dengan nasib anak itu! katanya
dengan sayu.
Kejut Khik-sia tak terhingga, Nyonya Bo, mengapa kau perlu berbuat begitu? Ia menjerit
dan maju hendak mencegahnya tapi sudah kasip. Ketika Khik-sia menjamah tubuh Tiau-ing,
ternyata pedang pusaka itu sudah masuk separuh ke dadanya. Tiau-ing sukar ditolong jiwanya
lagi
......
Se-kiat, telah kukatakan aku tentu akan menyusul kau. Sekarang aku akan berjumpa padamu.
Kau tentu memaafkan diriku, bukan? Tidakkah kau mendengar Khik-sia memanggil aku Nyonya
Bo? Memang, aku tetap isterimu!
Kalau pedang itu dicabut, Tiau-ing tentu mati seketika. Khik-sia tak berani melakukannya. Ia
hanya memapah tubuhnya, tak tahu apa yang harus dilakukan. Suara Tiau-ing makin lama makin
lemah. Tiba-tiba terdengar derap orang berlari mendatangi. Dan pecahlah dua buah teriakan.
Khik-sia! Ing-ji! Yang pertama nada suara Yak-bwe, yang belakangan suara Shin Ci-koh.
Adalah Shin Ci-koh yang menduga Khik-sia tentu berada di kamar Tiau-ing. Dan setelah
mendapat keterangan dari Hoan Biat, ia bersama In-nio dan Yak-bwe segera menuju ke sana.
Gong-gong-ji dan Bik-hu karena tak leluasa ikut, hanya menunggu di luar. Sayang kedatangan
mereka itu terlambat setindak.
Sepasang mata Tiau-ing sudah mengatup. Tapi demi mendengar suara suhunya, semangatnya
menyala dan membuka mata lagi. Ujarnya: Khik-sia, berjanjilah padaku bahwa kau harus
lekaslekas
menikah dengan nona Su. Hm, sekarang aku telah menyatakan terima kasihku dengan
kematian. Hanya masih ada suatu hal yang telah menjadi penyesalanku. Yakni tanggung jawabku

terhadap suhuku. Suhu, apakah pada detik-detik kematianku ini kau sudi menerima diriku
kembali
ke dalam haribaanmu?
Tepat pada saat ia mengucapkan kata-katanya itu, Shin Ci-koh melangkah masuk, menjerit dan
memeluk muridnya itu.
Suhu, sudikah kau memaafkan muridmu ini? kata Tiau-ing.
Dengan berlinang-linang Shin Ci-koh menjawab: Sebagai suhu akupun bersalah juga. Ing-ji,
kau legakanlah hatimu. Anakmu akan kuwakili merawatnya. Kelak kalau sudah besar akan
kusuruh ikut Khik-sia agar dia jangan sampai terjerumus ke jalan yang sesat.
Tiau-ing tersenyum rawan: Kini legalah hatiku. Ai, kalian memperlakukan aku dengan baik.
Sayang, sayang, aku yang tak dapat menjalankan kebaikan .....
Berkata sampai disini, suara Tiau-ing makin hilang. Ing-ji! Shin Ci-koh menjerit. Tetapi
tubuh muridnya itu mulai dingin. Ketika dirabah hidungnya, ternyata nafasnya sudah berhenti.
Shin Ci-koh mencabut pedang di dada Tiau-ing. Setelah menghapus bekas darahnya lalu
diserahkan pada Khik-sia. Kemudian ia menutupi tubuh Tiau-ing dengan selimut lalu
menurunkan
kain kelambu.
Rupanya bayi itu merasa akan apa yang telah menimpa sang ibu. Ia menangis. Shin Ci-koh
mengemponya sambil menimang-nimang. Jangan nangis, buyung. Kelak kalau besar janganlah
seperti ayah bundamu. Kau harus menjadi seorang lelaki yang jantan perwira. Khik-sia, kelak
kalau dia sudah besar akan kuserahkan padamu, kau setuju tidak?
Khik-sia yang bermula kuatir tak dapat merawat bayi, girang sekali ketika Shin Ci-koh bersedia
menggantikannya. Sudah tentu ia setuju dengan pernyataan bakal susohnya itu.
Sewaktu Shin Ci-koh keluar dengan mengempo bayi, didapatinya Gong-gong-ji dan para paderi
biara Ogemi masih bercakap-cakap di ruangan besar. Ketika mendengar penuturan tentang
tindakan Tiau-ing, sekalian orang sama menaruh simpati karena Tiau-ing telah berlaku ksatria.
Menebus kesalahan dengan kematiannya.
Begitulah, setelah urusan selesai, Gong-gong-ji dan rombongannya segera minta diri. Atas
nama Biara Ogemi, sekali lagi Hoan Biat menghaturkan terima kasihnya.
Dalam perjalanan Gong-gong-ji menyatakan hendak bersama Shin Ci-koh pulang ke gunung. Ia
hendak menyerahkan Ceng-ceng-ji kepada su-nio (isteri suhunya) dan menyerahkan bayi itu.
Nanti kita bertemu lagi di tempat Thiat-mo-lek. Khik-sia, kukira aku tentu masih keburu minum
arak kebahagiaanmu.
Khik-sia menyatakan yang tepat suhengnya itulah yang harus menikah dulu baru sutenya.
Gong-gong-ji mengambil pedang yang dipakai Ceng-ceng-ji untuk diberikan kepada Khik-sia:
Pedang pusaka ini sebenarnya, milik keluarga Coh. Adalah karena kenakalanku sewaktu muda
maka kucuri pedang ini. Aku merasa bersalah pada keluarga Coh karena telah memberikan
pedang
ini kepada Ceng-ceng-ji. Ping-gwan berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan kembali
pedangnya ini. Kudengar ia sedang merawat lukanya di In-ge-sau-meng. Kembalikanlah pedang
itu kepadanya!
Yak-bwe membenarkan tentang beradanya Ping-gwan di daerah itu. Dan ia agak menyalahkan
Khik-sia karena dianggap menjadi gara-garanya. Sudah tentu Khik-sia tercengang dan buru-buru
minta penjelasan. Setelah mendengar cerita Yak-bwe, Khik-sia menyatakan: Adalah karena
diriku
maka sampai membikin repot sekian banyak saudara. Dan Coh toako sampai terluka berat. Aku
merasa tak enak hati dan harus lekas-lekas menjenguk keadaannya.
Karena He Leng-song tak kenal dengan Ping-gwan maka ia menyatakan tak ikut tetapi akan
kembali ke tempat Thiat-mo-lek saja. Begitulah rombongan mereka terpecah. Keempat anak
muda
yakni Khik-sia, Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu meneruskan perjalanan mereka ke daerah In-ge-
saumeng.
Selama dalam perjalanan mereka tak mau cari perkara dan sebulan kemudian barulah tiba di
negeri itu.
Beberapa militasi kenal pada Bik-hu dan In-nio. Buru-buru mereka melapor pada Popa ongkong.
Popa ong-kong dan Yangpe Keke memerlukan keluar untuk menyambut. Begitu masuk ke
dalam kemah Khik-sia lantas menanyakan tentang keadaan Ping-gwan.
Luka Coh tayhiap sudah sembuh tapi sekarang dia tak berada di sini, kata Popa ong-kong.

Apa sudah pergi? Khik-sia terkejut.
Bukannya pergi. Kemarin penyelidik kami melaporkan pasukan berkuda Hwe-ki melanggar
tapal batas. Coh tayhiap bersama beberapa pejuang kami menyerang mereka. Mungkin besok
pagi
tentu sudah kembali, kata raja itu.
Khik-sia menyatakan kalau ia hendak menyusul untuk memberi bantuan. Tapi ong-kong
mencegahnya. Sekarang posisi pemerintah Hwe-ki tidak baik. Menurut penyelidik itu, jumlah
pasukan berkuda Hwe-ki itu tak berapa banyak. Mungkin hanya untuk menyelidiki keadaan
daerah
kami saja. Paling-paling hanya menimbulkan insiden kecil-kecilan saja. Pemuda-pemuda kami
yang gagah berani sudah siap-siap di tapal batas apalagi mendapat bantuan Coh tayhiap, tentu
dapat
mengundurkan musuh. Kurasa tak perlu merepotkan kalian.
Karena orang begitu yakin terpaksa Khik-sia menurut. Dalam pada itu In-nio meminta
keterangan tentang ucapan Popa yang menyatakan bahwa posisi Hwe-ki sekarang buruk sekali.
Sekarang Tho-ko-hun sudah berperang dengan Hwe-ki. Tentara yang dipergunakan Hwe-ki
untuk menduduki Tiang-an pun kini sudah berontak. Mereka mengusir tentara Hwe-ki yang
menduduki Su-tho. Beberapa negeri di Se-gak pun sudah mengadakan persekutuan. Meskipun
belum memerangi tapi sudah tak mau taat pada perintah Hwe-ki lagi, menerangkan Popa
ongkong.
Oh, kalau begitu rencana nona U-bun sudah dilaksanakan, kata In-nio.
Kesemuanya itu berkat bantuan kalian yang telah dapat menawan si pangeran dan anak raja
Hwe-ki, sahut Yangpe.
Eh, kami hanya membantu sedikit tenaga. Yang utama ialah karena jasa Coh tayhiap
menyusun rencana itu, In-nio merendah.
Malamnya Popa ong-kong telah mengadakan perjamuan untuk menghormat para tetamunya.
Selagi perjamuan masih berlangsung, pengawal melaporkan tentang datangnya Coh Ping-gwan
dan
Lu ciangkun. Popa ong-kong dan sekalian hadirin beramai-ramai keluar menyambut. Ternyata
yang dipanggil Lu ciangkun itu bukan lain ialah Luse, jago gumul nomor dua dari In-ge-sau-
meng.
Yang paling terkejut adalah Ping-gwan ketika mendapatkan Khik-sia bersama Yak-bwe berada
di situ.
Tentang urusanku nanti saja, sekarang harap tuturkan pengalamanmu dulu, kata Khik-sia.
Pun Popa ong-kong juga meminta Ping-gwan: Ya, benar. Mengapa selekas ini kalian pulang?
Kukira kembali besok pagi. Apakah memperoleh kemenangan?
Memangnya tak berperang karena kedatangan pasukan Hwe-ki itu hendak mengantarkan
barang hadiah padamu! jawab Ping-gwan.
Hadiah? Sungguh aneh, pemimpin In-gesau-meng itu tercengang.
Memang benar, hadiah selaku permintaan maaf kepada kita. Tiga puluh ekor kuda tegar,
sungguh bukan hadiah yang kecil. Karena kuatir kita marah karena perbuatan anak raja Hwe-ki
tempo hari sehingga kita bersepakat dengan Su-tho untuk menyerang mereka maka raja Hwe-ki
itu
perlukan memberi barang antaran itu. Ha, ha, mereka yang biasanya malang melintang
melakukan
keganasan, sekarang harus mengambil hati kita, kata Luse.
Popa ong-kong tertawa gelak-gelak: Memang demikianlah watak bangsa Hwe-ki yang
menginjak pada yang lemah tapi takut terhadap yang melawannya. Dulu kita takut, mereka selalu
menghina kita. Setelah kini kita unjuk kekerasan, dia terus menyatakan maaf. Di mana orang
mereka itu?
Sedang dikawal oleh Pasan ciangkun. Karena kuatir ong-kong mengharap-harap kami lebih
dulu pulang memberi kabar, kata Luse.
Pasan adalah si jago gumul nomor satu dari In-ge san-meng. Dialah yang memimpin
pemudapemuda
negerinya untuk mempersiapkan perlawanan pada Hwe-ki.
Setelah urusan Hwe-ki selesai dibicarakan, barulah Khik-sia sempat berbicara dengan Pinggwan.
Mereka saling berterima kasih atas pengorbanan-pengorbanan yang mereka saling berikan.
Tali persaudaraan mereka terasa makin erat.
Atas pertanyaan Khik-sia, Ping-gwan menyatakan mau ikut pulang karena lukanya sudah
sembuh dan keadaan negara In-ge-sau-meng tak perlu dikuatirkan lagi. Waktu Khik-sia

menyatakan bahwa besok pagi akan kembali, Popa ong-kong mencegahnya.
Oh, ong-kong tak tahu. Saudaraku ini akan melangsungkan perkawinan, maka ia harus
buruburu
pulang, demikian Ping-gwan berolok-olok.
Ai, kiranya begitu. Sudah tentu aku tak berani menahannya lagi, Popa tertawa gembira.
Coh-tayhiap, apakah kau tak mau menunggu berita Hong-ni di sini? Kau ingin minum arak
temanten sahabatmu, akupun juga ingin minum arakmu.
Soal itu baik besok saja dibicarakan. Sekarang peperangan antara Hwe-ki dan Tho-ko-hun
belum selesai, negeri kecil di daerah Se-gak menderita akibatnya juga. Kelak kalau sudah aman
saja, barulah aku datang lagi berkunjung kemari. Aku sudah kelewat lama berpisah dengan
sahabatsahabatku
di selatan, aku kepingin menyambangi mereka.
Karena Ping-gwan bersungguh-sungguh, Popa ong-kong pun tak berani menghalangi.
Perjamuan berlangsung dengan gembira. Yangpe Keke mengajak hadirin minum arak guna
memujikan keberuntungan Khik-sia dan Yak-bwe. Setelah bubaran, Popa ong-kong mengatur
tempat untuk para tetamunya bermalam. Ping-gwan dan Khik-sia tidur dalam satu kemah. Dalam
kesempatan itu Ping-gwan mengajak Khik-sia berjalan-jalan keluar.
Langit nan biru, alam nan raya. Angin berhembus, rumput membungkuk diendus kambing.
Hanya di tempat seperti padang rumput begini, baru kita dapat merasakan kebesaran jagad raya.
Coh toako, kalau aku menjadi kau, aku tentu tak mau pulang, kata Khik-sia.
Aku sebaliknya ingin pulang. Tapi sungguh menyesal, mungkin aku tak keburu datang minum
arak pengantinmu, jawab Ping-gwan.
Ai, bukankah besok pagi kau ikut kami pulang? Khik-sia heran.
Urusan ini tak ingin diketahui orang banyak. Terus terang saja, sebenarnya aku ingin pergi ke
Su-tho. Besok pagi setelah tinggalkan lembah ini, akupun hendak memisahkan diri dengan
rombonganmu, sahut Ping-gwan.
Ho, kiranya kau hendak menemui Siau-nimu itu? Takut diketahui orang? Sungguh lucu benar.
Justeru kami ingin menghaturkan selamat padamu, Khik-sia mengolok.
Bukannya aku hendak menjumpainya. Hanya kemarin ia mengutus orang untuk
menyampaikan surat padaku. Dalam surat ia mengatakan hendak bertemu padaku. Tetapi tak
boleh
bilang pada lain orang, sekalipun Popa ong-kong. Hal ini memang aneh, tapi aku tak dapat tidak
pergi. Toan-hengte, jika aku sampai tak dapat menghadiri pesta perkawinanmu, haraplah
memaafkan.
Aku juga meminta maaf karena tak dapat minum arak kebahagiaanmu, Coh toako. Apanya
yang aneh jika ia ingin bertemu padamu, apalagi kalau bukan menunggu kau meminangnya?
Tetapi dia sudah seperti saudara dengan Yangpe keke. Jika begitu kehendaknya kan dia
mestinya bisa minta tolong pada keke. Tetapi justeru sekarang ia minta jangan memberitahukan
keke, bantah Ping-gwan.
Bagaimana ia tak malu minta tolong pada Yangpe keke? Tapi sebenarnya keke juga sudah
mengetahui isi hatinya. Tidakkah kau memperhatikan ucapan keke tadi? kata Khik-sia.
Rupanya
setelah mengalami gelombang pasang surut dalam love-affair dengan Yak-bwe, kini Khik-sia
sudah
mempunyai pengalaman tentang perangai anak gadis.
Sebaliknya Ping-gwan tetap tak percaya. Namun karena toh sudah mengambil keputusan
memenuhi undangan si nona, ia tak mau banyak pikiran lagi.
Keesokan harinya rombongan anak muda itu meminta diri pada Popa ong-kong. Setelah keluar
dari lembah, seperti yang direncanakan semalam, Ping-gwan pun memisah diri menuju Su-tho.
Singkatnya saja, Khik-sia dan kawan-kawan telah tiba dengan selamat di gunung Hok-gu-san.
Thiat-mo-lek beramai-ramai menyambut keluar. Diantaranya terdapat He Leng-soang, Gong-
gongji,
Shin Ci-koh dan lain-lain. Setelah memberi hormat, Khik-sia tertawa: Suheng, cepat sekali kau
sudah datang.
Suheng dan susohmu itu bergegas-gegas datang untuk menghadiri pernikahanmu. Mereka
sudah tiba tiga hari yang lalu. Tetapi mereka tak mau memberikan arak kebahagiaannya
kepadamu.
Sekarang aku hendak denda mereka supaya membayar kerugianmu itu, Thiat-mo-lek tertawa.
Oh, jadi suheng sudah, sudah menikah? Khik-sia terkejut girang.

Seorang tokoh ugal-ugalan seperti Gong-gong-ji saat itu tampaknya kemalu-maluan juga.
Buru-buru ia memberi penjelasan: Ibu guru sudah berusia lanjut. Beliau tak ingin turun gunung.
Untuk menyenangkan hati beliau, terpaksa kulangsungkan pernikahan di gunung. Tak
seorangpun
yang kuundang.
Sebenarnya si jejaka tua Gong-gong-ji yang sudah berumur 40-an tahun itu, lebih pemaluan dari
anakmuda. Kuatir kalau pernikahannya dilangsungkan bersama-sama dengan Khik-sia, ia tentu
bakal digoda dan diolok-olok oleh para tetamu, maka setelah mendapat persetujuan Shin Ci-koh,
ia
lalu melangsungkan pernikahan dengan secara diam-diam.
Apakah ibu guru dalam keadaan sehat? tanya Khik-sia.
Sehat tak kurang suatu apa. Berhubung karena pernikahanku itu beliau agak reda
kemarahannya terhadap Ceng-ceng-ji. Coba tidak, Ceng-ceng-ji tentu sudah habis riwayatnya,
kata Gong-gong-ji.
Lalu Ceng-ceng-ji mendapat hukuman apa? tanya Khik-sia.
Ia dibikin hilang kepandaiannya dan tiap hari harus memikul air. Sunio tahu juga bahwa kau
akan menikah. Beliau pesan supaya kau ajak mempelaimu menghadap padanya.
Khik-sia mengiakan.
Diantara mereka hanya Bik-hu seorang yang kesepian karena tak punya sanak famili. Tiba-tiba
terdengar suara orang tua tertawa gelak-gelak: In-niio, Bik-hu, kalian tentu tak mengira aku
juga
datang kemari?
Girang In-nio bukan kepalang: Yah, mengapa kau berada di sini? teriaknya. Kiranya orang
tua itu bukan lain ialah Sip Hong.
Kerajaan menganggap aku tak berdaya menghadapi kawanan penyamun. Tapi mengingat
jasajasaku
sewaktu menumpas pemberontak Su Tiau-gi, maka baginda hanya membebaskan tugasku
saja. Ini sesuai dengan keinginanku untuk pulang ke kampung halaman, kata Sip Hong.
Kalau tidak begitu, mana ayahmu berani datang berkunjung ke sarang penyamun sini?
Thiatmo-
lek tertawa.
Sip Hong menghela napas: Semasa muda aku bercita-cita menjadi pendekar kelana. Sayang
aku kesasar jalan, ikut pada Sik Ko mengabdi kerajaan. Sekian banyak tahun menjadi panglima,
walaupun merasa bersyukur kepalaku tak sampai dihukum penggal, tapi kedosaanku juga tak
sedikit. Kuharap kalian dapat memperbaiki kesalahanku itu. In-nio, kupikir setelah menghadiri
pernikahan Toan hiantit aku segera akan mengajakmu pulang. Pernikahanmu dengan Bik-hu juga
harus segera dilaksanakan.
In-nio dan Bik-hu merah mukanya. Mereka tundukkan kepala tapi diam-diam bergirang.
Ah, mengapa harus dilangsungkan di dua tempat. Toh lebih baik sekalian dirayakan di sini
saja? tanya Gong-gong-ji.
Handai taulanku berada di kampung semua. Aku hanya mempunyai seorang anak perempuan
ini. Rasanya biarlah mereka melangsungkan pernikahan di kampung halamannya saja. Kelak
kalau
mereka hendak berkelana di dunia persilatan, terserah saja.
Thiat-mo-lek menengahi dengan mengatakan bahwa kalau memang begitu yang dikehendaki
Sip Hong, tak baik kalau dirubah lagi. Thiat-mo-lek lebih tajam perasaannya dan lebih luas
pengalamannya dari Gong-gong-ji. Ia tahu Sip Hong itu bekas seorang jenderal ternama. Kalau
puterinya sampai merayakan perkawinan di sarang penyamun, tentu akan merosotkan nama
baiknya.
Berita pernikahan Khik-sia dengan Yak-bwe itu telah menggemparkan dunia persilatan. Orang
gagah dari 4 penjuru negeri, baik yang kenal maupun tidak kenal, bahkan yang tak menerima
surat
undanganpun, berbondong-bondong datang memberi selamat. Mo Kia lojin (suhu Thiat-mo-lek),
Biau Hui sin-ni (suhu Yak-bwe), Hong-git Wi Gwat dan beberapa lo-cianpwe yang jarang turun
gunung, sama hadir dalam perayaan itu. Gunung Hong-gu-san seolah-olah sedang
menyelenggarakan sebuah rapat Eng-hiong-tay-hwe lagi.
Setelah melakukan upacara sembahyangan pada langit dan bumi, Khik-sia memimpin isterinya
untuk mengunjuk hormat pada bibi He Leng-soang, kemudian pada Gong-gong-ji dan Thiat-
molek.
Tokoh-tokoh inilah yang menerima pesan dari mendiang Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Kini

setelah Khik-sia dan Yak-bwe terangkap jadi suami isteri, mereka merasa telah menunaikan
tugasnya. Rasa haru telah membuat mereka berlinang-linang.
Setelah upacara selesai, tiba-tiba seorang thaubak melapor paa Thiat-mo-lek tentang kedatangan
seorang paderi. Ketika diundang masuk ternyata Hoan Gong hwatsu dari biara Ogemi. Hwatsu
itu
disambut dengan penuh kehormatan dan kegirangan oleh kedua mempelai.
Menjawab pertanyaan tentang keadaan peperangan di negeri Tho-ko-hun, kepala biara Ogemi
itu menerangkan: Karena beberapa negeri kecil di daerah Se-gak sama bersekutu menentang
Hweki,
Hwe-ki pun tak berani gegabah melakukan serangan pada Tho-ko-hun. Mereka telah dikalahkan
oleh pasukan negeri kami. Kedatanganku kemari ini pertama untuk memberi selamat. Kedua,
pun
hendak menyampaikan sebuah berita girang.
Khik-sia masih terkenang akan sahabatnya, Coh Ping-gwan. Ia menanyakan bagaimana
keadaan negeri Su-tho pada Hoan Gong.
Yang kuketahui sekarang, Su-tho sudah berdiri merdeka lagi dan mengangkat seorang ratu,
kata Hoan Gong.
Memang di beberapa negeri di daerah Se-gak, anak laki dan perempuan dipandang sama derajat.
Penobatan seorang raja perempuan, bukanlah hal yang mengherankan.
Ratu itu tentu U-bun Hong-ni. Coh-toako tentu juga menikmati perkawinan yang bahagia di
negeri Su-tho, pikir Khik-sia.
Perjamuan berlangsung dengan meriah dan gembira sekali. Malamnya, setelah mengalami
godaan dan olok-olok dari para tamu, akhirnya bertemulah sepasang temanten itu di kamarnya.
Khik-sia mengleuarkan tusuk kundai Liong dan tertawa: Ayahanda kita telah menetapkan
pernikahan kita sebelum kita dilahirkan. Sungguh menggembirakan sekali setelah mengalami
berbagai liku-liku kesalahan paham, akhirnya baru hari ini sepasang tusuk kundai pusaka ini
dapat
bertemu.
Yak-bwe merah pipinya. Ia girang dan sedih. Ujarnya: Sayang, sejak lahir aku sudah tak
punya ayah lagi.
Nama kita berdua ini adalah ayahmu yang memberi. Beliau menghendaki aku menjadi
pendekar keadilan dan kebenaran untuk membasmi kejahatan dan kemunafikan. Beliau
menghendaki kau menjadi pendekar wanita yang tak gentar menghadapi badai salju serta lebih
cantik dari bunga Bwe. Jika kita tak dapat melaksanakan harapan mereka, bukankah kita berdosa
terhadap arwah-arwah beliau di alam baka?
Ya, sejak saat ini aku akan mengikuti kau berkelana di dunia persilatan menjalankan dharma
kebaikan agar dapat meneruskan cita-cita mendiang ayahmu! Yak-bwe memberi pernyataan.
Sepasang tusuk kundai pusaka Liong dan Hong saling bertemu di bawah pandangan mesra dari
empat mata, diiringi senyum tawa dan doa, muda-mudi sejoli yang menyanjung kebahagiaan .....
T A M A T

Anda mungkin juga menyukai