Anda di halaman 1dari 5

Peristiwa Pagi Hari

Sepuluh tahun lalu, di sebuah ruang tamu, mereka bercakap dalam nada rendah. Tak ada
orang lain di rumah itu kecuali mereka berdua. tak ada orang tua sehingga sesungguhnya tak
perlu mereka merendahkan nada bicara, namun malam itu mereka tetap bicara dalam nada
rendah, sebab memang ada tema-tema percakapan tertentu yang selalu harus disampaikan
dengan nada rendah kendati tidak ada orang lain.

Mereka sedang bercakap tentang persenggamaan ketika hujan tiba-tiba deras malam itu dan
angin yang bertiup kencang mencampakkan ke atap rumah beberapa butir mangga yang
tangkainya membusuk. Si tuan rumah memaki ketika didengarnya suara hempasan keras di
genteng. Berkali-kali kuminta mangga itu ditenang saja, tapi ayahku tidak setuju. Ia selalu
tidak setuju pada apa yang kukatakan. Ia tidak pernah setuju kata-kata siapa pun, termasuk
kata-kata ibuku.

Kebetulan saja hujannya deras, kata tamunya. Dan hujan deras toh tidak turun setiap hari.

Itulah soalnya. Mangga itu jatuh ketika hujan. Lalu menimpa genteng. Lalu genteng itu
pecah dan ia jarang di rumah. Selalu aku yang repot dengan urusan genteng bocor. Untung
kau bukan anaknya.

Lalu ia tengadahkan kepalanya ke langit-langit ruangan dan pembicaraan mereka terhenti


beberapa saat karena air hujan menyelinap dari celah genteng yang pecah dan air mengalir
cukup deras membasahi dinding dan lantai ruang tengah. Si tuan rumah segera melesat ke
dapur, mengambil ember, melesat lagi ke ruang tengah, dan menampung air di ruang tengah
itu dengan ember yang dibawanya dari dapur. Setelah itu ia kembali lagi ke ruang tamu dan
meneruskan pembicaraan tentang senggama yang terpotong beberapa saat.

Kepada tamunya ia bercerita bahwa ia selalu membayangkan sedang bermain sepakbola


ketika bersenggama: meliuk di antara lawan-lawannya, mengumpankan bola ke kawannya
yang berdiri bebas, dan mencetak gol ketika kesempatan itu tiba. Alit belum pernah
mendengar cerita macam itu. Tapi ia diam saja. Hanya sorot matanya yang memohon agar
kawannya, si tuan rumah, bercerita lebih rinci.

Dengan cara itu aku menjadi lebih tahan lama, kata si tuan rumah.

Bisa dua kali empat puluh lima menit? tanya Alit.

Kawannya hanya tersenyum. Ia empat tahun lebih tua dari Alit dan tulang-tulangnya
kelihatan jauh lebih keras dan cariasi pada tema-tema pembicaraannya menunjukkan bahwa
ia memiliki jauh lebih banyak pengalaman dan mengenal lebih banyak nama perempuan di
tempat remang. Tapi ia adalah kawan sekelas Alit di sebuah SMA di Semarang. Ia
membutuhkan waktu sembilan tahun untuk menyelesaikan sekolah dasar, tiga tahun lebih
lama dari anak-anak lain yang tidak pernah tinggal kelas, dan empat tahun untuk
menyelesaikan SMP yang seharusnya bisa ditempuh tiga tahun. Karena itu di kelas satu
SMA, sampai hari terakhir sebelum kenaikan kelas, ia lebih tua empat tahun dan memiliki
lebih banyak pengalaman dibanding rata-rata teman sekelasnya.

Alit mengulangi lagi pertanyaannya, Bisa dua kali empat puluh lima menit?
Kawannya tetap hanya tersenyum seolah-olah ingin agar senyumnya ditafsirkan sebagai
kalimat, Tentu saja lebih dari itu.

Ditambah perpanjangan waktu dua kali lima belas menit?

Senyum itu makin lebar.

Apakah kau mencetak gol dalam permainan yang kau bayangkan itu?

Sebanyak yang aku mau.

Kau selalu mengalahkan lawan-lawanmu?

Tak ada yang pernah mengalahkanku.

Tidak pernah seri?

Kawannya menggeleng.

Tidak takut kena sipilis?

***

Alit membayangkan sesuatu yang lain ketika bersenggama dengan tangannya. Ia


membayangkan sedang melihat datangnya kematian. Ia melihat seorang mengerang, menjerit,
dan merengek di hadapan malaikat: makluk putih bersayap, seperti hasil persilangan antara
sosok lelaki tua dan seekor unggas. Orang yang didatangi malaikat itu terus mengiba-iba
dengan paras muka yang sudah biru, namun makhluk bersayap itu tak bisa dibengkokkan
oleh rengek dan warna biru di paras muka orang itu. pelan sekali makhluk serupa uggas itu
beringsut, membuat kehadirannya makin mengiris, makin dekat, makin dekat, dan muka
orang itu makin biru.

Mungkin dengan gambaran sepreti itu di tempurung kepalanya, onani yang ia lakukan bisa
tahan lebih lama. Tiga kali ia membayangkan kejadian yang sama, dan pada onani
selanjutnya ia membuat sedikit revisi pada tampilan makhluk bersayap yang mendatangi si
muka biru. Makhluk seperti unggas itu kini ia beyangkan berjubah loreng dan mukanya
berlumur warna peperangan. Alit berharap, dengan gambaran itu, si unggas akan tampak
lebih menyeramkan. Ia idak lagi beringsut pelan-pelan, namun melangkah menghentak-
hentakkan larsa pada lantai.

Orang yang ia bayangkan merengek-rengek di depan makhluk bersayap itu tidak lain adalah
ayahnya. Kadi ketika tangannya bekerja, otaknya pun bekerja membayangkan kematian
menyongsong ayahya. Sebab ia berpikir bahwa ayahnya memang pantas didatangi oleh
makhluk seperti itu. Dalam tujuh onani ia membayangkan ayahnya mengerang menghadapai
malaikat warna loreng. Dan pada onani selanjutnya ia sempat ragu-ragu apakah ayahnya
pantas digambarkan seperti itu atau tidak.

Mungin tidak pantas.

Mungkin lebih pantas jika orang tua itu ia bayangkan mati sendiri, seperti daun-daun yang
rontok setelah dirambati warna kuning, lalu disapu oleh pemilik pekarangan, dibuang ke
tempat sampah, dan oleh tukang sampah diangkut dan dibuang lagi entah ke mana. Atau
kalau tukang sampah tidak datang beberapa hari, daun itu akan tercampak di antara sampah-
sampah lain yang membusuk. Mungkin lebih pantas ia bayangkan ayahnya mati sendiri tanpa
ada yang menjemput sehingga nyawanya tersesat jauh sekali dan tidak pernah sampai ke
tempat yang seharusnya dituju oleh orang-orang mati.

***

Aku hanya mendengar tentang Alit dari orang-orang. Konon ia pernah mengatakan bahwa
orang tua memang sering tidak berguna, dan harus digambarkan seperti itu, terutama bagi
seseorang seperti dirinya, anak lelaki yang tengah digempur gejolak. Ketika hasrat mengeras
di agi hari, ketika ada perangkat tubuh yang tak selalu dapat dikontrol tindak-tanduknya, dan
ketika mata gampang terpesona dan selalu ingin menembus bagian-bagian rahasia tubuh
perempuan, orang tua seolah-olah tidak menganggap itu sebuah persoalan dan tidak membagi
sedikit saja perhatian terhadap kesengsaraan anaknya. Alit ingin agar orang tuanya tahu
bahwa di dalam dirinya ada persoalan berat yang tak mudah ditanggung sendirian. Tapi
bagaimana menyampaikannya?

Ia ingin orang tuanya, terutama ayahnya sebagai sesama lelaki, datang kepadanya setiap pagi
dan bertanya, Apa yang kaurasakan pagi ini? Kulihat ada bagian tubuhmu yang
mengembang dan menegang dan membuat celanamu menjadi sedikit lebih sesak. Dengan
pertanyaan seperti itu ia tentu akan menjelaskan dengan enak dan lengkap sekali segala yang
ia rasakan. Mungkin ia akan sangat malu pada mulanya dan mengalami sedikit kesulitan
untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Ia malu karena apa yang ingin disembunyikannya
ternyata bisa dilihat oleh ayahnya. Ia malu karena tak ingin ketahuan bahwa ada sesuatu yang
menegang dan mengembang dalam dirinya dan ia ingin kelihatan biasa-biasa saja, namun toh
ayahnya tahu hal-hal yang tertutup dan ingin ia sembunyikan.

Hanya ada kita berdua, Alit, kata ayahnya. Jadi tak usah malu menceritakannya padaku.

Aku baik-baik saja, kok, katanya.

Tapi kulihat ada yang menegang.

Tapi aku baik-baik saja, mungkin memang kelihatan sedikit tegang karena nanti siang guru
agama akan memberikan ulangan pada jam pertama.

Aku pernah seusiamu, dan pernah merasakan apa yang kaurasakan, dan itu bukan sesuatu
yang baik-baik saja menurutku.

Betul, kok, ini soal ulangan agama, dan aku selalu gugup menghadapi pelajaran agama
sehingga mungkin kau melihat aku sedikit tegang. Agama adalah sesuatu yang tak bisa dibuat
main-main dan pelajaran agama jadi sering membuatku tegang.

Bukan itu jawabannya, Alit.

Jadi aku harus menjawab apa?

Kau boleh menjawab apa saja atau tidak menjawab sama sekali.

Tapi kau bertanya, bolehkah aku tidak menjawab ketika ada orang bertanya kepadaku?

Baiklah, aku akan berangkat kerja. Kuharap kau baik-baik saja hari ini.
Setelah ayahnya pergi ia tenggelam lama sekali di ruang tamu. Sampai segala yang menegang
kembali mengendur, sampai segala perangkat yang mengeras dan hasrat yang mendesak-
desak kembali melunak.

Ia tidak menipu ayahnya bahwa siang nanti, begitu kelas dimulai, guru agama, yang masuk
pada jam pertama, akan memberikan ulangan. Namun tentu saja bukan ulangan itu yang
membuat perangkatnya menegang. Dan ia masih malu berterus terang kepada ayahnya.

Ia baru akan bangkit dari kursi ruang tamu, akan mengambil buku catatan pelajaran agama
dan membaca lagi sedikit-sedikit semua yang sudah diajarkan, ketika seorang perempuan
melintas di depan rumah. Ia duduk lagi di kursi ruang tamu dan melayangkan matanya ke
arah perempuan yang melintas itu. Perempuan itu berhenti di depan pintu pagar rumahnya
karena berpapasan dengan seorang perempuan lain. Usia keduanya sebaya. Dari ruang tamu
rumahnya, Alit terus saja melekatkan matanya, menembus kaca jendela, melucuti perempuan
yang pertama kali dilihatnya. Ia melihat perempuan itu tiba-tiba meliuk-liukkan tubuhnya
seperti lidah api, dan suhu tubuhnya meningkat seketika oleh lidah api itu.

Kedua perempuan itu bercakap-cakap beberapa saat di depan pintu pagar rumahnya. Ia tak
bisa mendengar apa yang mereka percakapkan, namun, ketika lidah api itu tertawa, ia bisa
mendengar suara tertawa kecil yang membelai daun telinganya dan membuat jantungnya
tiba-tiba meliar. Arus darahnya kacau. Tawa kecil perempuan yang terhenti di depan
rumahnya itu juga membuat pikirannya sedikit kacau, dan menyebabkan tegak kembali
sesuatu di dalam celananya.

Ini sebuah undangan.

Aku ingin tidur denganmu, katanya pada lidah api yang siang tadi tertawa kecil di depan
pagar rumahnya.

Kau bukan adikku, tentu tak bisa tidur dengan aku, sahut perempuan itu.

Tak ada sesiapa di rumah si lidah api. Ayah perempuan itu, ia tahu, beberapa hari lalu
berangkat ke luar kota dan baru akan pulang beberapa hari lagi, dan ibunya, ia tak tahu
sedang pergi ke mana, juga tak ada di rumah malam itu. Ada bulan terperangkap di bingkai
jendela, cahayanya makin meliarkan lebur di dada.

Aku ingin tidur denganmu sekalipun aku bukan adikmu.

Kau juga bukan saudaraku.

Sekalipun bukan saudaramu.

Kau bukan apa-apaku.

Sekali saja. Tak bisakah tidur denganmu sekali saja?

Kenapa kau ingin tidur denganku?

Sebab kau berhenti di depan rumahku, lalu bercakap-cakap dengan seseorang di depan pagar
rumahku; aku melihat kau seperti lidah api yang menari dan mendengarkan suara ketawa
paling mempesona ketika kau ketawa. Saat itu aku ada di ruang tamu.
Aku tidak menari dan hanya tertawa karena kawanku menceritakan sesuatu yang lucu.

Gerakanmu seperti penari, aku tidak bohong. Mungkin kau tertawa karena sesuatu yang
lucu, tapi setelah itu aku terus-menerus mendengar suara ketawamu. Ke mana pun aku pergi
seharian tadi, suara ketawamu terus mengikutiku. Sungguh lembut dan memanggil-
manggilku sehingga malam ini aku datang kepadamu memenuhi panggilan ketawamu itu.

Aku hanya tertawa dan tidak memanggilmu. Aku bahkan tidak tahu kau ada di ruang tamu
atau di mana waktu itu.

Kau memang tidak memanggilku. Tapi, tolong kaupahami, suara ketawamulah yang
memintaku datang.

Perempuan itu memelototkan mata. Ada lipatan di antara alis matanya. Alit tidak pernah
berpikir hal lain kecuali bahwa ia ingin tidur dengan perempuan yang telah mengirimkan
tarian ke matanya dan suara ketawa ke gendang telinganya. Ia melekatkan matanya pada
lengkung garis leher perempuan itu; garis yang bertemu di tengah-tengah dada dan
membentuk sebuah palung yang indah. Gaun yang dikenakan perempuan itu tipis, leher gaun
itu membentuk huruf V di tengah-tengah palung. Ia ingin sekali menjulurkan tangannya,
membuka dengan kasar leher gaun itu seperti yang dilakukan para jagoan, atau mengecilkan
tubuh dan menyusup masuk melalui celah huruf V itu, atau setidaknya ingin agar celah V
itu diperbesar sedikit lagi.

Anda mungkin juga menyukai