Anda di halaman 1dari 18

Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana
dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali
se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu.
Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu
dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan.
Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang
paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa
yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding
atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang
bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di
dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh
manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka
memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya
menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang
yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit
sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek
begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk
disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"

"Ajo Sidi."

"Ajo Sidi?"

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk
dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku
yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-
ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika
sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan
menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah
membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu
aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"

"Siapa?"

"Ajo Sidi."

"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.

"Kenapa?"

"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."

"Kakek marah?"

"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku
tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah
begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya,
lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari
mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki
Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia
takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang
lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan
orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.
Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau
selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu
ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci.
Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku
sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku
menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum.
Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"

"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati
Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan
akhirnya Kakek bercerita lagi.

"Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang
sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa
dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan
di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu
tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua
tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk.
Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan
ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan
selamat ketemu nanti. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di
muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan
mengajukan pertanyaan pertama.

Engkau?

Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.

Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.

Ya, Tuhanku.

apa kerjamu di dunia?

Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.

Lain?

Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.

Lain.

Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku
selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.

Lain?

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf,
pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut
pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia
termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh
Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka
itu.

Lain lagi? tanya Tuhan.

Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil
dan Mahatahu. Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan
dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya
kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: Tak ada lagi?


O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.

Lain?

Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur
karena Engkaulah Mahatahu.

Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?

Ya, itulah semuanya, Tuhanku.

Masuk kamu.

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di
bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak
silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang
hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang
yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang
telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka,
dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu
pun, tak mengerti juga.

Bagaimana Tuhan kita ini? kata Haji Saleh kemudian, Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat,
teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya
ke neraka.

Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat, kata salah seorang diantaranya.

Ini sungguh tidak adil.

Memang tidak adil, kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.

Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.

Benar. Benar. Benar. Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana? suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.

Kita protes. Kita resolusikan, kata Haji Saleh.

Apa kita revolusikan juga? tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan
revolusioner.

Itu tergantung kepada keadaan, kata Haji Saleh. Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi
menghadap Tuhan.

Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah, sebuah suara
menyela.
Setuju. Setuju. Setuju. Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, Kalian mau apa?

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami
yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu.
Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-
Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak
sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau
panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini,
maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang
Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.

Kalian di dunia tinggal di mana? tanya Tuhan.

Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.

O, di negeri yang tanahnya subur itu?

Ya, benarlah itu, Tuhanku.

Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?

Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami. Mereka mulai menjawab serentak. Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa
Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?

Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.

Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?

Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.

Negeri yang lama diperbudak negeri lain?

Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.

Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?

Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.

Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu
orang lain juga yang mengambilnya, bukan?

Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau.

Engkau rela tetap melarat, bukan?


Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.

Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?

Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal
di luar kepala.

Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?

Ada, Tuhanku.

Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang
harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka
berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya,
tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau
kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai,
Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang
diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia
itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang
menggiring mereka itu.

Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia? tanya Haji Saleh.

Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya,
tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.

"Kakek."

"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia
menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-
cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.

"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"


"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"

"Kerja."

"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.

"Ya, dia pergi kerja."


A. Unsur Intrinsik Cerpen Robohnya Surau Kami, Karya A.A. Navis

1. Tema

Tema adalah pokok pikiran yang dicetuskan pengarang yang menjadi jiwa dan dasar cerita. Tema
dibedakan menjadi dua yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang merupakan
pusat pikiran sebuah cerita atau karya sastra. Sedangkan tema minor adalah tema yang dilihat dari
sudut pandang yang lain. Sehingga di dalam tema mayor terdapat tema minor.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami terletak pada persoalan batin kakek
Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Dibuktikan pada kutipan
Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan
kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang
terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah
seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.

2. Latar

Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan.Unsur latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar pada cerpen ini ada dua
macam, yaitu: latar tempat dan latar waktu.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal,
sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh
pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya. Dobuktikan pada bagian:
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan,
simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran
mandi.
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat,
seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, ..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang
sudah berpulang .
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian
yang bakal roboh
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek
Sedari mudaku aku di sini, bukan ?.

3. Alur (plot)

Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang


diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-
hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Adapun struktur alur adalah bagian awal, bagian tengah,
dan bagian akhir.
Secara umum alur dibedakan menjadi dua yaitu: alaur tradisional dan alur konvensional. Alur
tradisional adalah alur yang menderetkan rangkaian peristiwa mulai dari pengenalan dan mulai
bergeraknya peristiwa menuju puncak, dan akhirnya penyelesaian. Alur konvensional adalah alur
yang tidak terikat pada system penderetan peristiwa,urutan peristiwa dapat dimulai dari
klimaks,disambung dengan peristiwa lain atau susunan yang lain yang terdapat pada alur tradisional.
Alur yang dipakai dalam cerpen Robohnya Surau Kami yaitu alur maju dan mundur,
Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah
itu diceritakan, dan juga menceritakan tentang sebab meninggalkan seorang kakek penjaga surau dan
kemudian menceritakan kembali lanjutan kisah tersebut.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis. Dan di
ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan
temui seorang Tua. Orang-orang memanggilnya kakek Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah meninggal. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang
tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahny. Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah
pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. Siapa yang meninggal? Tanyaku kaget.
Kakek.
Kakek?

4. Penokohan

Tokoh merupakan komponen terpenting dalam sebuah cerita. Tokoh merupakan pribadi yang
selalu hadir di dalam pikiran dan di hati kita sebagai pembaca dari awal sampai akhir. Meskipun
tokoh itu fiktif, kita sulit melupakannya. Karakter tokoh adalah orang yang melengkapi dengan
kualitas moral dan watak yang diungkapkan oleh apa yang dikatakannya, dialog dan apa yang
dilakukannya tindakan. Perwatakan adalah temperemen tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita. Pola-
pola tindakan tokoh dipengaruhi oleh tempramen ini. Watak atau temperamen ini mungkin
berubah,mungkin pula tetap sesuai dengan bentuk perjuangan yang dilakukannya. Jadi penokohan
yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya.

a. Tokoh Aku

Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang
menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Dibuktikan pada bagian:
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak
membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu
aku tanya pada kakek lagi: Apa ceritanya, kek ?
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek :
Bagaimana katanya, kek ?
Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara, kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.

b. Ajo Sidi

Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini. Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul
melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang
hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena.
Dibuktikan pada bagian:
.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia
lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang
aneh-aneh sepanjang hari.,,,

c. Si Kakek

Tokoh ini merupakan tokoh sentral. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah
dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cerita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi
kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia
mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia
bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera
mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri melalui ucapanya
sendiri, seperti berikut:
Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku

d. Haji Saleh

Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Secara jelas terlihat watak tokoh ini digambarkan sebagai
orang terlalu mementingkan diri sendiri.

5. Titik Pengisahan/Sudut Pandang

Titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah,
pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar
cerita.
Di dalam cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini
sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan
ini terasa pada bagian awal cerita. Buktinya:
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan
akan berhenti di dekat pasar.
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku
suka memberinya uang.
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini
diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan.
Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang
mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap
mengunakan kata Aku. Walaupun begitu kata Aku ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
Engkau ?
Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang
kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang
digunakan. Setiap pengarang memiliki gaya masing-masing. Pada cerpen ini pengarang menggunakan
kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau
Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,
Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat,
neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini
cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih
tepatnya menggunakan majas parabel karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu
kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini.
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang
diucapkan tokoh aku: Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak
hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

7. Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara
memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh
menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian
seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama
cerita. Jadi amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin
disampaikan pengararang kepada pembaca atau pendengar.
Amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar yang terdapat
dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah:
a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita
yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dibuktikan pada kutipan:
Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .
b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan
manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Dibuktikan pada:
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya,
karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah.
c) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada kutipan:
, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka
berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya,
tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang.
d) Jangan mementingkan diri sendiri. Dibuktikan pada bagian:
. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.
Unsur intrinsik senyum karyamin
a. Tokoh, watak, dan penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu.
Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan (Siswanto, 2008:143).
Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis
cara memberi kepribadian, menghidupkan (Wellek, 1989:287). Dalam cerpen ini tokohnya adalah
sebagai berikut:
1. Karyamin
Seorang lelaki yang berprofesi sebagai kuli pengangkut batu yang miskin dengan
penghasilan yang minim dan banyak hutang. Karyamin digambarka sebagai seorang yang sabar dan
tak mudah putus asa dalam menjalani hidupnya yang penuh konflik, hal tersebut terbukti saat ia
merasa lapar ia tak mengeluh pada teman-temannya dan hanya tersenyum dalam menghadapi
masalahnya. Namun terlepas dari semua itu, Karyamin juga memiliki sifat yang kasar sebagai seorang
kuli, yang nampak pada saat ia berkata bangsat dan berniat membabat burung paruh udang yang
melintasinya. Selain itu, Karyamin juga memiliki sifat pengecut, terbukti ketika sampai di depan
rumahnya dan mengira da penagih hutang, ia hendak menghidar.
2. Sardji
Teman Karyamin yang juga berprofesi sebagai kuli pengangkut batu. Dalam hal nasib, Sardji
sama dengan Karyamin, banyak hutang. Sardji merupakan orang yang banyak omong dan suka
mencampuri urusan orang lain, terbukti ketika ia terus saja berkomentar tentang istri Karyamin dan
berseloroh dalam bekerja. Sardi juga digambarkan sebagai seorang yang suka menghasut.
3. Saidah
Seorang perempuan penjual nasi pecel, teman Karyamin yang juga bekerja di area tambang
batu sungai. Saidah merupakan sosok wanita yang sabar dan peduli akan nasib orang lain, hal itu
terbukti ketika ia menawari makan Karyamin yang tengah kelaparan, walaupun sebenarnya Karyamin
masih memiliki hutang padanya.
4. Pak Pamong
Seorang pejabat desa yang kurang memperhatikan kondisi masyarakatnya, tidak peka,mudah
tersinggung dan berrtindak seenaknya dalam menyelesaikan tugasnya. Hal tersebut terbukti ketika ia
menagih uang iuran pada Karyamin dengan menganggap Karyamin mempersulit dirinya, padahal
Karyamin memang tidak memiliki uang, untuk dirinya sendiri saja tidak ada, apalagi untuk membayar
uang iuran.
Ahmad Tohari tentu tidak asal dalam memilih sebuah nama untuk tokohnya berikut
karakternya. Nama Karyamin adalah nama yang masih terkesan Jawa dan desa, yang bisa kita
analogikan dengan karya orang yang selalu bekerja keras makaryo dan min bisa kita analogikan
dalam minim atau berpendapatan minim, dengan itu dapat diartikan bahwa Karyamin adalah pribadi
yang selalu bekerja keras meski dengan penghasilan minimum. Pemaparan lengkapnya akan diuraikan
pada analisis menggunakan pendekatan psikologi di bawah.
b. Latar
Dalam cerpen ini latar alam merupankan hal yang sangat menonjol. Seperti cerpen-cerpennya
yang lain Ahmad Tohari sangat kuat dalam menggambarkan latar alam. Lataralam di cerpen ini
adalah sebuah kali yang masih asri dan masih dapait diambil batunya. Berikut kutipan latar alam
cerpen Seyum Karyamin:
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu
yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh si paruh
udang.punggugnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah sanga. Tiba-
tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan
mangsa diparuhnya mangsa diparuhnya burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik
menghindari rumpun gelagah dan lenyap dibalik gerumbul pandan.
Penulis benar-benar dengan sangan sangat detail menggambarkan suasana alam yang ada
didaerah tersebut. Baik dari kebiasaan burung si paruh udang yang lengkap dengan morfologi burung
tersebut.
Pada khususnya latar cerpen ini dibagi menjadi dua yakni di daerah sekitar sungai yang
merupakan tempat Karyamin mencari batu bersama teman-temannya. Yang kedua adalah di depan
rumah Karyamin diatas lerengan, yaitu ketika Karyamin bertemu dengan Pak Pamong.
c. Alur
Dalam cerpen senyum karyamin ini, alur yang digunakan adalah alur maju. Dimulai dengan
Karyamin yang tengah memindahkan batu dan terjatuh karena keseimbangan badannya yang tidak
terjaga akibat merasa sangat lapar . Alur mulai menarik ketika Karyamin dan teman-temannya mulai
menertawakan diri mereka masing-masing untuk menghibur diri mereka sendiri. Alur selanjutnya
yaitu klimaks, ketika Karyamin sampai di depan rumahnya dan bertemu Pak Pamong yang meminta
dana sumbangan, kemudian ditanggapi Karyamin dengan tertawa keras-keras lalu pingsan. Dalam
cerpen ini tidak dimunculkan alur antiklimaks.
d. Gaya Bahasa
Dalam cerpen ini, pengarang menggunakan diksi dan istilah yang sederhana dan mudah
dipahami oleh pembaca. Penyampaian cerita dituliskan tanpa banyak basa basi, lugas dan langsung
pada pokok persoalan. Dalam cerpen ini masih terdapat diksi yang berasal dari bahasa Jawa, yaitu
mbeling dankempong. penggunaan diksi dari bahasa Jawa tersebut mungkin dipengaruhi oleh
latar belakang pengarang yang tinggal di Jawa. Selain itu, penggunaan bahasa Jawa juga untuk
menunjukkan segi latar yang memang berada di daerah desa yang pada umumnya masyarakat kurang
mendapatkan pendidikan.
Hal yang perlu dicatat dari gaya bahasa Ahmad Tohari dalam bercerita pada cerpen Senyum
Karyamin ini terdapat kalimat yang diulang beberapa kali yaitu;
Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri
mereka sendiri.
Kalimat tersebut diulang dengan maksud menegaskan pola perilaku orang desa yang akrab
dan asosiatif secara bersama-sama menjalani kehidupan.
e. Tema
Cerpen Senyum Karyamin ini bertemakan mengenai kehidupan sosial masyarakat kalangan
ekonomi kelas bawah yang hidup di daerah pinggiran. Dalam menjalani hidup mereka, kaum kuli
harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan keluarga dan membayar hutang, yang kian hari kian
menumpuk. Meski hidup mereka berat, mereka tidak menyerah dan tetap berusaha. Untuk menghibur
diri, mereka hanya perlu menertawakan diri mereka sendiri, karena tidak ada lagi hal yang bisa
mereka lakukan untuk menghibur diri tanpa uang, hanya senyuman yang mampu meredam segala
perasaan pedih yang mereka rasakan.

f. Sudut Pandang
Sudut pandang yang terdapat di dalam cerpen Senyum Karyamin adalah sudut pandang orang ketiga
sebagai pengamat.

g. Kebahasaan
1. Majas Hiperbola.
Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram
rerumputan (paragraf 5)
2. Majas Personofikasi
Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin. (paragraf 23)
3. Majas Perumpamaan
Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. (paragraf 30)

Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum
sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol
kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, terhadap licinnya tanjakan.
(Tohari, 2005: 3).

Karyamin merupakan sosok yang tegar dalam menghadapi cobaan, dalam cerpen tersebut dikatakan
bahwa dia dan keluarganya masih terbelit hutang, sehingga setiap haru harus didatangi oleh penagih
hutang. Belum lagi masalah batu-batunya belum dibayar tengkulak dan itu semakin memperparah
keadaan Karyamin dan keluarga.

Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit
dan matanya yang berkunang-kunang. (Tohari, 2005: 3).

Makna kata senyum di atas, merupakan tanda ironi, karena, meskipun sedang lapar namun ia masih
bisa tersenyum dan tidak mengeluh atas apa yang terjadi padanya. Ketika itu, Karyamin memang
terlihat lesu dan tidak seperti biasanya.

Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong. (Tohari, 2005: 5).

Pada hari itu, tampak begitu berbeda bagi karyamin, karena, sudah seharian ini dia belum juga
mengumpulkan batu-batu seperti biasanya. Dia beberapa kali harus terperosok dan jatuh ketika
membawa batu ke atas. Sungguh malang nasib Karyamin. Belum sempat dapat apa-apa, dia
disarankan teman-temannya untuk pulang saja. Karena memang ketika itu Karyamin juga ingin
pulang. Sungguh ironis memang, ketika sedang terpuruk, hari itu pun tidak mendapatkan apa-apa.

Ketika Karyamin hendak pulang, di jalan dia bertemu dengan Saidah, pedagang nasi pecel yang
merupakan langganan Karyamin dan teman-temannya. Saidah merasa iba dengan karyamin, maka
ditawarilah dia untuk makan.

Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua
telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perum
Karyamin. (Tohari, 2005: 4).

Karyamin tersenyum, lantaran dia tidak enakan, karena masih nunggak hutang dengan Saidah, dan dia
tidak ingin memperparah keadaan dengan cara menambah jumlah hutangnya. Belum lagi hutangnya
dengan bank yang setiap harinya selalu menagih.

Ketika Karyamin sudah hampir sampai rumah dan bertemu dengan pak Pamong yang ternyata sudah
lama mencari karyamin untuk menagih iuran uang, untuk dana menolong orang-orang Afrika yang
kelapan. Kata Pak Pamong, hanya Karyamin yang belum membayar.

.Tetapi Karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang
sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus
dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin. (Tohari, 2005:
6).

Senyum Karyamin bukan bermaksud untuk mengejek ataupun menghina niat Pak pamong, namun
lebih dari itu. Kenapa harus memikirkan orang kelaparan yang berada di jauh sana, sedangkan di
lingkungannya sendiri masih banyak yang kelaparan dan sangat layak untuk disantuni. Jangankan ikut
iuran membayar untuk orang-orang Afrika, untuk makan hari ini saja Karyamin dan keluarga sangat
kekurang bahkan tidak ada. Namun, Pak Pamong tidak menyadari. Sepertinya karyamin juga tidak
ingin mengatakan keadaan yang sebenarnya.

Kamu menghina aku, Min?

Tidak, Pak. Sungguh tidak.


Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-tersenyum? Hayo cepat, mana uang iuranmu?(Tohari,
2005: 6).

Dan setelah itu, Karyamin tidak hanya tersenyum, tapi tertawa keras dan lepas karena melihat situasi
yang begitu aneh.

Dari makna-makna kata senyum tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar menandakan
sebuah ironi, yaitu pertentangan dengan apa yang terjadi. Namun, memang sudah menjadi sebuah
takdir seorang yang miskin seperti Karyamin harus sanggup mengahadapi kedaan seperti itu. Pagi-
pagi sudah bekerja, sore pulang, namun penghasilan tidak seberapa bahkan harus ikhlas jika tidak
mendapatkan apa-apa. Senyum yang dilakukan Karyamin merupakan sebuah bentuk keihklasan dan
kesabaran dalam menghadapi cobaan. Tidak selamanya orang tersenyum karena bahagia. Belajar dari
senyum Karyamin, bahwa kita harus bisa menjadi manusia yang kuat, ikhlas, serta sabar dalam
menghadapi cobaan.

Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita atau dari sudut mana
pengarang memandang ceritanya. Berikut ini beberapa sudut pandang yang dapat digunakan
pengarang dalam bercerita.

a. Sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti aku atau saya.
Dalam hal ini pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh cerita.

b. Sudut pandang orang ketiga, sudut pandang ini biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga
seperti dia, ia atau nama orang yang dijadikan sebagai titik berat cerita.

c. Sudut pandang pengamat serba tahu, Dalam hal ini pengarang bertindak seolah-olah mengetahui
segala peristiwa yang dialami tokoh dan tingkah laku tokoh.

d. Sudut pandang campuran, (sudut pandang orang pertama dan pengamat serba tahu). Pengarang
mula-mula menggunakan sudut pandang orang pertama. Selanjutnya serba tahu dan bagian akhir
kembali ke orang pertama.

Sudut Pandang Pengarang Cerpen / Novel


1. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Utama

Dalam sudut pandang teknik ini, si aku mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang
dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan
sesuatu yang di luar dirinya. Si akumenjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang
di luar diri si aku, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan
dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan.
Dalam cerita yang demikian,si aku menjadi tokoh utama (first person central).
Contoh:
Pagi ini begitu cerah hingga mampu mengubah suasana jiwaku yang tadinya penat karena setumpuk
tugas yang masih terbengkelai menjadi sedikit teringankan. Namun, aku harus segera bangkit dari
tidurku dan bergegas mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke Kedubes Australia untuk
mengumpulkan berita yang harus segera aku laporkan hari ini juga.

2. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Sampingan

Dalam sudut pandang ini, tokoh aku muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh
tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca,
sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri
berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi
tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si akutambahan tampil
kembali, dan dialah kini yang berkisah.
Dengan demikian si aku hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang
ditokohi oleh orang lain. Si aku pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
Contoh:
Deru beribu-ribu kendaraan yang berlalu-lalang serta amat membisingkan telinga menjadi santapan
sehari-hariku setelah tiga bulan aku tinggal di kota metropolitan ini. Memang tak mudah untuk
menata hati dan diriku menghadapi suasana kota besar, semacam Jakarta, bagi pendatang seperti aku.
Dulu, aku sempat menolak untuk dipindahkan ke kota ini. Tapi, kali ini aku tak kuasa untuk
menghindar dari tugas ini, yang konon katanya aku sangat dibutuhkan untuk ikut memajukan
perusahaan tempatku bekerja.
Ternyata, bukan aku saja yang mengalami mutasi kali ini. Praba, teman satu asramaku , juga
mengalami hal yang sama. Kami menjadi sangat akrab karena merasa satu nasib, harus beradaptasi
dengan suasana Kota Jakarta.
Aku bisa stress kalau setiap hari harus terjebak macet seperti ini. Apakah tidak upaya dari Pemkot
DKI mengatasi masalah ini! Rasanya, mendingan posisiku seperti dulu asal tidak di kota ini!
umpatnya.

3. Sudut Pandang Orang Ketiga Serba tahu

Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut dia, namun pengarang, narator dapat
menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh dia tersebut. Narator mengetahui segalanya,
ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan,
termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam
lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh diayang satu ke dia yang lain,
menceritakan atau sebaliknya menyembunyikan ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang
hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan
dan tindakan nyata.
Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali
pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja,
atau apalah yang penting dia keluar rumah.
Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya? celetuk salah seorang tetangganya. Tapi, masa bodoh! Aku tak
rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia
sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

4. Sudut Pandang Orang Ketiga Sebagai Pengamat

Dalam sudut pandang dia terbatas, seperti halnya dalamdiamahatahu, pengarang melukiskan apa
yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada
seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup
banyak, yang juga berupa tokoh dia, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan
sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.
Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya
banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya
ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu
minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah
amarahnya
Title : SUDUT PANDANG BESERTA CONTOHNYA
Description : SUDUT PANDANG Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya
terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang ceritanya
Ciri-Ciri Teks Laporan Hasil Observasi

Teks laporan sering dimulai dg kalimat definisi tentang penggolongan atau klasifikasi.
(a) Mamalia adalah binatang yang menyusui.
(b) Kucing besar itu adalah hewan pemangsa dan pemakan daging.
Dalam laporan observasi sering digunakan kelompok nomina (kata benda) dengan penjenis
dan kelompok nomina dengan pendeskripsi.
Kelompok nomina dg penjenis tidak bisa disisipi oleh kata apa pun. Kedua kata itu harus
saling berdekatan.
Kelompok nomina dg pendeskripsi dapat disisipi, misalnya dengan kata penyangat, seperti
sangat atau terlalu dan kata pewatas seperti yang.

Harus mengandung fakta


bersifat objektif
harus ditulis sempurna dan lengkap
tidak memasukkan hal-hal yang menyimpang, mengandung prasangka, atau pemihakan
disajikan secara menarik, baik dalam hal tata bahasa yang jelas, isinya berbobot, maupun
susunan logis.

Contoh:

benda penjenis pendeskripsi


hewan hewan pemangsa hewan gemuk
pemakan pemakan daging pemakan rakus

Dalam laporan observasi sering ditemukan penggunaan antonym dan sinonim.


Sinonim adalah persamaan makna kata.

Kalimat definisi adalah kalimat yg mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang,
benda, proses, atau aktivitas.
Contoh :
(1). Mamalia adalah binatang yang menyusui.
(2). Kucing besar itu adalah hewan pemangsa dan pemakan daging.

Contoh kalimat (1) dan (2) itu dapat dirumuskan menjadi X = Y dengan keterangan bahwa X adalah
hewan atau benda yang didefinisikan, Y definisinya, dan tanda sama dengan (=) adalah verba
penghubung, seperti adalah, ialah, termasuk, digolongkan, terdiri atas, disebut, dan meliputi.
X = Y
Mamalia adalah binatang yang menyusui
Kucing besar adalah hewan pemangsa dan pemakan
daging.

Untuk menguji bahwa definisi itu benar, kalian dapat membalik kalimat itu. Ubah susunan kalimat
dalam tabel itu menjadi Y = X. Kadang-kadang dalam membalik kalimat itu, kalian harus membuat
modifikasi seperlunya, misalnya dengan mengubah verbanya. Oleh karena itu, penjelasan dalam
kurung pada haisl pembalikan berikut ini diperlukan.
(a) Mamalia meliputi harimau. (Mamalia yang dimaksud itu adalah harimau.)
(b) Hewan pemangsa dan pemakan daging meliputi harimau. (Hewan pemangsa dan pemakan
daging yang dibicarakan itu adalah harimau).
Apabila definisi itu tidak dapat dibalik, hal itu menunjukkan bahwa definisi itu tidak bagus atau unsur
X dan Y tidak mempunyai bobot yang sama.
Pada teks laporan definisi sering berkaitan dengan istilah teknis, yaitu istilah yang hanya digunakan
secara khusus pada bidang tertentu. Sebagai contoh, mamalia adalah istilah teknis pada bidang
biologi, inflasi adalah istilah teknis pada bidang ekonomi. Dengan demikian, pada bidang biologi
mamalia dapat didefinisikan sebagai binatang yang menyusui. Pada bidang ekonomi, inflasi
didefinisikan sebagai keadaan bahwa terdapat lebih banyak barang daripada permintaan.

Kalimat deskripsi adalah kalimat yang depat berisi gambaran sifat-sifat benda yang dideskripsikan.
Sifat-sifat itu, antara lain, berupa ukuran (besar kecil, tinggi rendah), warna (merah, kuning, biru),
rasa (manis, pahit, getir, halus, kasar). Atau sifat-sifat fisik yang lain.

Contoh :
(a) Harimau dapat mencapai tinggi 1,5 meter, panjang 3,3 meter, dan berat 300 kilogram.
(b) Bulunya berwarna putih dan cokelat keemas-emasan dengan belang atau loreng berwarna
hitam.
(c) Kuda mempunyai ekor sepanjang satu meter.

Pola kalimat deskripsi hampir sama dengan pola kalimat definisi. Perbedaannya adalah kalimat
deskripsi tidak dapat dibalik seperti kalimat definisi. Kalimat deskripsi berisi gambaran sifat-sifat
yang dimiliki oleh benda yang dideskripsikan.
Perhatikan bahwa pada teks laporan banyak terdapat gabungan kata yang induknya kata nomina
dengan nomina atau kelompok nomina yang berciri khusus sebagai induknya. Kelompok nomina
yang dimaksud berisi penjelas tentang jenis atau klasifikasi.
Contoh :
(a) Harimau adalah hewan pemangsa dan pemakan daging.
(b) Harimau dapat hidup di hutan, padang rumput, dan daerah payau atau hutan bakau.

Anda mungkin juga menyukai