Anda di halaman 1dari 29

Nama : Adi Maulia Rahman

Kelas :5A

NIM : 1195020002

Mata Kuliah : Kritik Sastra

Dosen Pengampu : H. Mawardi, M.A

Ujian Akhir Semester Kritik Sastra

Analisis Kritik Sastra Objektif Terhadap Cerpen “Robohnya Surau Kamu”

ROBOHNYA SURAU KAMI

Karya: AA Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana
dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai
garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia
tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya
sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-
kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa
yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding
atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari
di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa
bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka
memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya
menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu
yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku
melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian
aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"

"Ajo Sidi."

"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk
dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku
yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-
ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya.
Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang
ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan
tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat
bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya
Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"

"Siapa?"

"Ajo Sidi."

"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.

"Kenapa?"

"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."

"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku
tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah
begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek,
"Bagaimana katanya, Kek?"

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya,
lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari
mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki
Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia
takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang
lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku,
lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain.
Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka.
Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku
aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih
dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu.
Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.
Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku
itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo
Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan
akhirnya Kakek bercerita lagi.

"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang
sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa
dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan
di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu
tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua
tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk.
Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan
ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan
‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di
muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan
mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain.’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebutnyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku
selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf,
pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut
pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia
termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh
Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka
itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil
dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan
dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya
kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur
karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di
bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan
tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang
hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua
orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang
yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati
mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-
orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat,
teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya
ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan
revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi
menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara
menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami
yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-
Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak
sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau
panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini,
maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang
Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’


‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa
Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu
orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal
di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang
harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih
suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai,
Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang
diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia
itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang
menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri,
melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.

"Kakek."

"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia
menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-
cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.

"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"

"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"

"Kerja."

"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.

"Ya, dia pergi kerja."


Pengertian Kritik Sastra Objektif

Kritik sastra objektif merupakan teori yang harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan
menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Kritik sastra
yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari
siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya

Senada dengan hal itu menurut Semi (1989:13) menyatakan ” suatu kritik sastra yang
menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah karya mandiri”. Tanpa
perlu memandang sastra dari segi pengarang atau dunia dan sekitarnya. Teori ini dilihat berdasarkan
objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri. Oleh karena itu kritik ini dilakukan atas suatu
karya sastra dengan kajian unsur instrinsik semata.
Analisis Kritik Sastra Objektif pada cerpen “Robohnya Surau Kami”

Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini
berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang
terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:

1. Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan
pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang
disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada
persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi.

“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin
rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin
Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-
pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya.
“Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku
terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”

Kemudian ditegaskan kembali, yaitu :

“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir
selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini
adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu
membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu,
wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

2. Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh
pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari
seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu.
Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk
memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat
merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis
adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasa bodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini
terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat
pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah
amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud
itu di antaranya:
a. Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena
ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini
dimunculkan melalui ucapan kakek Garin.

“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan
ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”

dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya
mengenai karangan untuk cepat marah.
b. Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja
baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja
tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat
sana:

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya


didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi
dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14
kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula

Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:

c. Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan
diri pemakainya.

d. Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam
cerpen ini:

“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua,
sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat.
Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…”
e. Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini

”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis,
padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dan akhirnya amanat d dan e menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang
untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah
dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.

3. Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga
macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan,
kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen
ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan
sebagainya :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan
raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di
depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
b. Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar
tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang
lainnya seperti berikut :

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang ….”

Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu,
misalnya:

Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan
suatu kebencian yang bakal roboh ………Sekali hari aku datang pula mengupah
kepada kakek

“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….”

c. Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-
kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam
cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :

Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau
cara hidupnya.

Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya
yaitu :

“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara
melengking di dalam kelompok orang banyak itu. “Kita protes. Kita resolusikan,”
kata Haji Soleh.

“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,”
sebuah suara menyela.

“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai

Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat
dalam dialog ini, termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani.
Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan
akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di
hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya.
Perhatikan pada berikut ini.

Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang
Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-
Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya
sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh
dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana
dia ?”

“Kerja” “Kerja?”tanyaku mengulangi hampa. “ya.Dia pergi kerja.”

4. Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan
hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian,
yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu
dapat diuraikan seperti berikut.
a. Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu
bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam
memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan
tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa
tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya kakek.

Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil
pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan
fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah
pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong
kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan
yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai
imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang
uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang
didalamnya terdapat keterbukaan.

Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala
permasalahannya. Perhatikan data berikut :

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya ….Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang
mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya ….

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan
tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan,
mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini
memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.

b. Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi
bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai
dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian
awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat
karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti
berikut:

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya.

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak
mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya
sangat tidak diharapkan.

… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik. Konplik ini berkembang menjadi konplikasi
manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab
munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini
terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya
bahkan mengancam.

“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab. “ Kenapa ? “ “ Mudah-mudahan pisau cukur ini,
yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya
dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku.
Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya. Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak
mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun,
segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa
ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya,
klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh
dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.

c. Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise).
Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut
mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi
menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan
meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”

“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia
?”

“Kerja.”

“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa

“Ya. Dia pergi kerja.”


Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi
orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha
menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung
jawab? Lalu di mana salahnya?

Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur
regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar
bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang
bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran
kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari
kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya
Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

5. Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku
tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain.
Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi
tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ?
Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama
istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual.
Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan
sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat.
Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.

….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin
ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia
begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah
karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja
orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….

Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan
diri sendiri dan lemah imannya.

Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi.
Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya
serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera
bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan
kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil
jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.

Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:

“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…

d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau
menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan
karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang
watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

6. Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita
tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya
sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.

Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita
ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di
dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar….

Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku,
karena aku suka memberinya uang….

Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini
diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh
bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang
sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh
utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini
merupakan kata ganti orang pertama pasif.

“Engkau ?” “Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.” lalu, setelah si
Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke
posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

7. Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara
pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian
bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang
pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan
ungkapan.

Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam
bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat
menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka,
haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.

Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam
cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan
simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin
mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan
dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan
tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan
pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan
keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya
terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga
tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan
dirinya dan kelompoknya.

Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di
dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan
kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan
bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran
umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini

Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang
diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang
tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi”. Inilah sebuah kritik untuk masyarakat
kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau
menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu
ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini
mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

Anda mungkin juga menyukai