Anda di halaman 1dari 10

REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI

DISUSUN OLEH:

RIZQI PRATOMO PUTRO J1B017022

DOSEN:

Drs. BAMBANG LELONO S.S., M.Hum.

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
SASTRA INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai nilai dari mata kuliah Pengkajian Prosa
dengan judul “Realitas sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen Sastra Indonesia Bapak Bambang Lelono yang telah membimbing kami dalam
menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Purwokerto, 10 Oktober 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Karya sastra adalah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Dunia baru yang
merupakan gabungan dari realitas sosial yang ada dalam lingkungan pengarang
maupun dari luar lingkungan pengarang dalam mengungkapkan pikiran dan
keinginannya. Dalam pembuatan sebuah karya sastra, pengarang tidak hanya
mengandalkan realita sosial yang diamati saja, tetapi pengarang juga melibatkan apa
yang dirasakannya dan apa yang ditafsirkannya tentang kehidupan. Terciptanya sebuah
karya sastra tidak dapat lepas dari situasi dan kondisi masyarakat pada saat sebuah
karya sastra diciptakan. Sastra adalah cerminan kehidupan, sastra merupakan
kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan
kehidupan adalah kenyataan budaya. (Damono dalam Najid, 2003:9). Hal ini sejalan
dengan pendapat Sangidu (2004:43) yang mengatakan bahwa karya sastra adalah
tanggapan pencipta (pangarang) terhadap dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang
diwujudkan dalam bentuk karya sastra merupakan pencerminan karya sastra.
Khasanah sastra merupakan khasanah intelektual dengan caranya sendiri merekam
dan menyuarakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, karya sastra
berbeda dengan teori-teori, tidak hanya berbicara kepada intelek pembacanya
melainkan secara keseluruhan kepribadiannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat
dikatakan sebagai bagian integral yang penting dari proses sosial dan kebudayaan.
Salah satu contoh dari karya sastra yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Ahmad Tohari merupakan sastrawan yang lahir di Tinggarjaya, Jatilawang,
Banyumas, Jawa Tengah pada 13 Juni 1948. Ahmad Tohari menamatkan SMA nya di
Purwokerto. Beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang masih kental akan tradisi
dan budaya Banyumas. Oleh karena itu, lingkungan sosial dan budaya sangat
memengaruhi pengarang dalam penciptaan karya sastra.
Realitas sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan rangkaian
cerita yang terjadi dalam sebuah masyarakat dan di tuangkan secara apik oleh
pengarangnya. Novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari ini menggambarkan kenyataan
sosial yang ada di sebuah desa bernama Dukuh Paruk, di kampung yang kecil ini
terdapat banyak sekali permasalahan-permasalahan sosial seperti persoalan
kemiskinan, pelacuran, seks pranikah, kesewenang-wenangan dan lain sebagainya. Hal
ini membuat novel tersebut menarik untuk dikaji dan mengkajinya menggunakan teori
sosiologi sastra. Realitas sosial menurut peneliti merupakan aspek yang akan dilihat
dalam penelitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang, maka, rumusan
masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
Apa yang:
1. Apa saja realitas sosial yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari?
2. Bagaimana deskripsi tentang citra tokoh (Srinthil) dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?

C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
untuk mengetahui tentang:
1. Mengetahui apa saja realitas sosial yang terdapat dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2. Mengetahui bagaimana deskripsi tentang citra tokoh (Srinthil) dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Realitas sosial yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari
Realiatas sosial yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari dapat dilihat pada uraian berikut:
a. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan realitas sosial yang sering dijumpai dalam
kehidupan masyarakat. Masalah kemiskinan disebabkan oleh berbagai faktor.
Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang dihubungkan dengan kebutuhan,
kesulitan, kekurangan diberbagai keadaan hidup. (Natadi-pura, 2012:1).
Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan ekonomis para
warga masyarakat ditentukan secara tegas. Pada masyarakat yang bersahaja
susunan dan organisasinya, kemiskinan bukan merupakan masalah sosial
karena mereka beranggapan bahwa semuanya telah ditakdirkan sehingga tidak
ada usaha-usaha untuk mengatasinya.
Hal tersebut tergambar pada kemiskinan masyarakat yang terjadi di
Dukuh Paruk, anak-anak di kampung tersebut tidak menganggap kemiskinan
sebagai sebuah hal yang harus ditangisi dan dikeluhkan. Mereka mengganggap
bahwa kemiskinan yang mereka rasakan adalah sesuatu yang wajar dan hal
tersebut membuat mereka belajar untuk memperjuangkan hidup dengan bekerja
keras. Kemiskinan mengajarkan anak-anak Dukuh Paruk untuk tidak berkeluh
kesah dan senantiasa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Di saat anak-
anak lain menghabiskan malam-malam mereka dengan menonton televisi atau
mengerjakan pekerjaan rumah di tempat yang nyaman, anak-anak di Dukuh
Paruk menghabiskan waktu malam mereka dengan bergulung dalam kain
sarung di atas balai-balai bambu menunggu pagi datang.
b. Perdukunan
Praktek perdukunan sering dijumpai dalam masyarakat sejak zaman
dahulu, di zaman dahulu para dukun lebih banyak beroperasi di daerah
pedalaman yang minim ilmu pengetahuan serta kurangnya pusat pelayanan
kesehatan masyarakat. Umumnya masyarakat yang mendatangi dukun adalah
mereka yang memiliki urusan-urusan tertentu seperti berobat, meminta pelet
atau ilmu penangkal.
Dalam tradisi Dukuh Paruk seorang ronggeng yang ingin laris
mendapatkan panggilan untuk pentas dan di kagumi banyak laki-laki haruslah
memiliki pekasih, semacam susuk yang di gunakan untuk menambah daya pikat
seseorang. Hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan berlaku secara
umum di masyarakat Dukuh Paruk. Oleh karena itu, sebagai kakek dari Srintil,
Sakarya tentu saja ingin cucunya menjadi ronggeng yang terkenal dan diminati
banyak orang hal tersebut mendorongnya untk menemui Kartareja dan istrinya
yang memang dikenal ahli dalam perdukunan sekaligus sebagai dukun
ronggeng di kampung Dukuh Paruk.
c. Kesewenang-wenangan
Sewenang-wenang adalah berbuat sekehendak hati tanpa
mempedulikan hak orang lain. Kesewenang-wenangan dapat diartikan sebagai
perbuatan seseorang yang menggunakan kelebihan yang ada pada dirinya baik
berupa kedudukan, kekayaan, kekuasaan, kepandaian atau apa saja untuk
memenuhi segala keinginannya dengan mengabaikan segala aturan yang ada.
Emak Rasus yang meninggal dunia akibat keracunan tempe bongkrek
yang dibelinya dari Santayib tidak pernah dapat ditemukan kuburnya, sebagai
anak Rasus sangat ingin mengetahui keberadaan Emaknya namun tidak ada
seorangpun yang dapat memberikan jawaban pasti tentang keberadaan kubur
Emaknya itu. Bahkan sebagian orang Dukuh Paruk menganggap bahwa Emak
Rasus telah menjadi sasaran kesewenang-wenangan orang-orang tertentu.
Mayat Emaknya dijadikan bahan penelitian untuk mengetahui penyebab
kematiannya dan kadar racun yg menyebabkan hal tersebut. Hal ini menjadi
sebuah ketidakadilan bagi Rasus. Ia berhak mengetahui keberadaan Emaknya
dan setiap tindakan yang hendak dilakukan pada tubuh ibunya itu hendaklah
memperoleh persetujuan dari keluarganya, namun hal itu tidak berlaku bagi
penduduk Dukuh Paruk yang miskin dan bodoh.
d. Pelacuran
Tradisi Dukuh Paruk mengaharuskan seorang calon ronggeng untuk
menjalani acara bukak klambu, yaitu tradisi melepaskankeperawanan sang
calon ronggeng untuk laki-laki yang mampu memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh sang dukun ronggeng. Syarat tersebut biasanya berupa
sejumlah hartayang harus dipenuhi oleh laki-laki yang berminat untuk
mengikuti sayembara itu. Hal ini semacam pelacuran yang berbalut tradisi,
namun dalam masyarakat Dukuh Paruk ini bukanlah hal yang tabu ataupun
melanggar norma, mereka yang miskin ilmu dan agama tidak menyadari bahwa
tradisi semacam ini sesungguhnya adalah praktik pelacuran yang hina apabila
terjadi di tempat lain.
2. Deskripsi Tentang Citra Tokoh (Srinthil) dalam Novel Ronggeng Dukuh
Paruk Karya Ahmad Tohari
Tokoh Srintil khususnya dan warga Dukuh Paruk umumnya menganut
paham animisme. Mereka percaya roh Ki Secamenggala, leluhur mereka masih
ada di sekitar Dukuh Paruk walaupun sudah lama meninggal dan akan menjaga
mereka apabila mereka terus memberikan sesaji kepadanya. Begitu juga dengan
apa yang dilakukan Srintil, ia tidak pernah lupa untuk memberikan sesaji
kepada Ki Secamenggala di cungkup atau makamnya selama Srintil menjadi
seorang ronggeng. Roh Ki Secamenggala begitu dipuja oleh warga Dukuh
Paruk,bahkan pada saat malam pelaksanaan syarat pertama sebelum Srintil
menjadi ronggeng yaitu syarat memandikan ronggeng, pada saat Ki Kartareja
bertayup dengan Srintil bak orang kesetanan dan memaksa menciumi Srintil.
Orang-orang percaya kalau Ki Kartareja pada saat itu kerasukan roh Ki
Secamenggala. Mereka bahkan senang karena merasa Ki Secamenggala
menerima Srintil menjadi seorang ronggeng. Srintil, dia sangat percaya bahwa
keris Kyai Jaran Guyang pemberian dari Rasus memang sebuah benda pusaka
istimewa yang memiliki kekuatan magis dan keris itu memang diiptakan untuk
para ronggeng. Karena keris yang telah lama hilang pada saat ronggeng terakhir
sebelum Srintil tiba-tiba muncul lagi pada Srintil menjadi ronggeng.
Sifat tokoh (Srintil) yang mudah bergaul dengan teman-temannya di
Dukuh Paruk sejak dia masih kecil. Srintil merasa sangat senang saat bermain
dengan Rasus, Warta, dan Darsun. Pada saat Srintil bernyanyi dan menari
mereka pasti mengiringi Srintil dengan menirukan suara gamelan
menggunakan mulut mereka. Srintil paling senang kalau mereka berkata Srintil
pandai menari dan bernyanyi seperti seorang ronggeng.
BAB III
PENUTUP
Dukuh paruk adalah sebuah desa miskin dan terbelakang dalam segala hal. Di
dalamnya terdapat tradisi-tradisi yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai
sesuatu yang tabu dan melanggar norma, namun di desa Dukuh paruk tetap kuat
memegang tradisi-tradisi tersebut. Keadaan sosial masyarakat yang miskin harta dan
ilmu menimbulkan dampak sosial yang lain. Rasus dan Srintil yang menjadi tokoh
utama dalam novel tersebut menjadikan desa Dukuh Paruk sebagai saksi perjalanan
cinta mereka yang penuh dengan masalah dan tantangan. Namun permasalahan sosial
yang menjadi penghalang mereka bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan
mereka untuk menyatukan cinta mereka, tapi juga dikarenakan banyak faktor-faktor
lingkungan yang ada di sekitar mereka.Di desa Dukuh Paruk ditemukan banyak realitas
sosial yang merupakan gambaran kehidupan Desa Dukuh Paruk yang kecil, namun
memiliki permasalahan yang kompleks.
Pada tokoh Srintil, maka wujud citra tokoh dalam hubungannya dengan Tuhan
ini tampak pada ketiga tokoh yang tampak tidak memiliki pegangan atau kepercayaan
terhadap agama, Srintil bahkan tidak memiliki Tuhan. Ia lebih percaya pada kekuatan
roh-roh gaib (animisme) dan kekuatan dari benda-benda pusaka yang mempunyai
kekuatan magis (dinamisme). Ini terjadi mungkin karena Srintil tinggal di Dukuh
Paruk, sebuah pedukuhan yang miskin dan berada di pelosok. Sehingga belum banyak
kebudayaan yang masuk, termasuk tentang kepercayaan terhadap Tuhan (agama), etika
dan estetika.
DAFTAR PUSTAKA
academia.edu, Social Reality in Novel " Ronggeng Dukuh Paruk " by Ahmad Tohari,
diakses 10 Oktober 2019,
https://www.academia.edu/31786762/REALITAS_SOSIAL_DALAM_NOVEL_RO
NGGENG_DUKUH_PARUK_KARYA_AHMAD_TOHARI_Social_Reality_in_No
vel_Ronggeng_Dukuh_Paruk_by_Ahmad_Tohari
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra0.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, Ahmad. 2011. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Semi, M. Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung:Angkasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosial Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai