Anda di halaman 1dari 8

AIR MATA MATA BUNDA DI HARI.

FITRI

Stroke berat menyerang Kiagus Anang ketika sedang memimpin rapat di


kantornya pada suatu siang. Berita itu disampaikan ke rumah oleh Sita, sekretaris
direktur utama. Ayuningtias, istri Kiagus Anang panik. Perempuan penggugup, yang
sehari-hari disapa Bunda itu berteriak-teriak memanggil Mang Usin, sopir pribadinya.
Tubuh Bunda gemetaran. Air matanya bercucuran. "Kita ke kantor!" ujar Bunda
seraya menuruni tangga rumah berlantai dua itu. Langkahnya tergesa-gesa. Tersaruk-
saruk.
Jalan macet total. Para pekerja sibuk di jalan. Bunda histeris di tengah kemacetan.
Mang Usin, lelaki separuh baya yang selalu tenang dan penyabar menjadi kambing
hitam. Di dibilang Bunda lamban atau lelet. Daun telinga Mang Usin menjadi merah
mendengar omelan. Bunda, perempuan bertubuh ramping, cantik dan pesolek, sejak
masih gadis.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Ir. Kingung Anang, direktur utama PT Musi
Emas Perada itu menutup mata ketika tiba di ruang gawat darurat rumah sakit. Bunda
mengamuk pada Ujang. Lelaki in adalah anak angkat Ir. Kiagus Anang. Jabatannya,
direktur pemasaran. Ujang dibilang sengaja membunuh Klagus Anang karena
menginginkan jabatan ayah angkatnya yang dihormatinya. Tuduhan itu menyebabkan
Ujang menangis di hadapan dokter jaga dan para perawat. Lelaki jujur dan cerdas itu
merasa terhina.
Siapa menabur angin akan menuai badai. Hal itu dilakukan Bunda setelah 40 hari
suaminya dimakamkan. Bunda mengangkat dirinya menjadi direktur utama Alidaya,
adik kandungnya yang pemboros, diangkatnya menjadi direktur pemasaran
menggantikan Ujang Saat itu, di hari ketujuh puasa Ramadhan, Ujang
dibebastugaskan dan diberi pesangon. Tetapi, rumah dinas dan mobil dinas harus
diserahkan pada Adidaya, penggantinya. Untuk kedua kalinya Ujang lelaki muda yang
selalu santun dan jujur itu meneteskan air mata. Kepergiannya ditangisi karya wan-
karyawati. Ujang dinilai telah memajukan perusahaan pabrik pakaian jadi untuk
ekspor itu. Ujang pun, meskipun masih berusia 30 tahun dinilai kebapakan, seperti
ayah angkatnya, yang dikenal menenteramkan.
Alidaya, yang ambisius, yang dipercaya Bunda untuk beraksi. Makin sering dia
ke luar negeri. Alasannya ekspansi perusahaan ke negara-negara tetangga. Tetapi,
sebenamya, dia meneruskan kesenangan nya berjudi dan pacaran, walaupun sudah
memiliki istri cantik bemama Jelita.
Krisis ekonomi melanda, PT Musi Emas Perada bangkrut. Utang membengkak.
Kantor disegel bank. Anak kembar Bunda, Indra-Indri, yang sedang menyelesaikan
kuliah jadi stres. Keduanya ke kurangan dana. Mereka dan Bunda terusir dari rumah
bagus berlantai dua karena rumah itu dijaminkan Bunda pada Bank dalam upaya
menambah modal usaha Indra-Indri sejak awal mencegah Bunda agar tidak memberi
keleluasaan pada Om Adidaya. Tetapi. Bunda yang juga ambisius menganggap angin
peringatan anak-anak kembar silangnya yang selalu hati-hati itu.
Deposito yang disediakan Kiagus Anang untuk Indra-Indri terpaksa dicairkan
untuk membeli rumah sederhana di tepi kota. Sejak itu, hubungan bunda dan kedua
anak kandungnya agak retak.
"Gara-gara Bunda kita jadi sengsara. kata Indri, remaja belia yang selalu tegar.
Gadis itu selalu kritis terhadap keadaan. Kakaknya, Indra lebih arif, mewarisi sifat-
sifat ayahnya. Dia tidak berapi-api seperti Indri. Indri menyukai seni sastra. Gadis itu
memiiki kepekaan yang halus dan tajam. Dia gampang tersinggung. Tapi, mudah pula
reda, dan sudi memaafkan.
“Jangan menghukum Bunda, Ri," bisik Indra malam itu, di kamar Indra. Saat itu,
Bunda salat Tarawih di mesjid Sunda Kelapa, yang cukup jauh dari rumah. Sedang
Indra-Indri melaksana kan salat tarawih Alfurqon, dekat rumah. Keduanya pulang
lebih cepat. "Ri, perhatikan baik-baik, Bunda belakangan: makin pendiam. Badannya
bertambah kurus Pasti Bunda menyesali perbu annya sepeninggal Ayah," lanjut Indra.
“Tapi, Kakakku. Bunda telah menyusahkan kita. Bunda telah meng khianati
Ayah. Perusahaan jadi bangkrut diacak-acak Bunda dan Om Adidaya. Kita, jadi tidak
punya apa-apa. Mobil kita terjual semua. Motor pun Kakak tidak punya. Rumah kita
kecil, sederhana, dan jauh di tepi kota begini. Apa Kakak tidak merasa malu pada
Mbak Tanti, kekasihmu itu!" ujar Indri.
"Ah, Mbak Tanti bukarlah cewek matre, Rit sanggah Indra. Meskipun dia anak
direktur bank yang sehat, tidak mata duitan. Dia mengerti, kesukaran yang kita hadapi
adalah musibah. Musibah itu bisa datang pada siapa saja tanpa diketahui sebelumnya
Kakak tidak minder pada Mbak Tanti dan keluarganya. Enak, kok
“Syukurlah kala begitu jawab Indri seraya memandang bulan dari jendela. Dia
melihat awan hitam sedang mengepung bulan sabit itu. "Lihat itu, Kak," katanya.
Awan hitam. sedang mengepung bulan sabit," lanjutnya. "Perlambang apa itu, hem?"
"Dasar orang sastra, he hebe." Indra tertawa. "Semua kau buat perlambang atau
simbol-simbol. Begitu, ya?"
"Seni itu lambang, simbol, dan imajinasi, jiwanya tidak tumpul. Seni apapun,
sastra, musik, lukis, teater, film secara perlahan menghaluskan, melenturkan, dan
membuat arif jiwa Tanpa seni, hidup akan menjadi kering-kerontang. Aku sedih dan
pilu saat membaca wawancara wartawan media. cetak dengan seorang ekonom
senior.""Apa kata ekonom senior itu?" potong Indra.
"Buat apa baca novel, cuma buang buang waktu sajal Coba, apa enggak gila Di
Perancis, presiden sampai pakar-pakar ekonominya adalah penggemar sastra.
Malahan, salah seorang presiden Prancis adalah penyair. Maka nya, Perancis, yang
maju ekonominya itu dijuluki negara seni. Sekali lagi, ingin kukatakan, seni itu
membuat manusia kaya rohani. Seni membuat manusia peka terhadap sesama, juga
terhadap penderitaan orang lain. Maaf, Kak, aku tidak sedang memben kuliah
padamu. Hi hi hi, Indri terkekeh.
Peziarah di akhir bulan Ramadhan menyemut di pemakaman Kemiri. Bunda
menaburkan bunga rampai di makam ayah, diiringi sedu-sedan. Tubuhnya tampak
gemetar. Indra-Indri menundukkan kepala setelah menyekar. Keduanya berdoa bagi
arwah Ayah. Lelaki yang lebih banyak menurutkan keinginan Bunda itu
sesungguhnya mengalami derita di dalam dirinya, tapi tidak pernah di kisahkan pada
siapa pun. Itulah yang disesali Bunda. Itulah antara lain yang banyak menggugurkan
air mata Bunda setiap ziarah ke makam Ayah. Tapi, penyesalan selalu datang di ujung
peristiwa. Sesalan senantiasa melukai dan menyakitkan. Siapa pun pelakunya dari
presiden hingga rakyat jelata alias si kecil yang papa dan lemah. Sesalan itu pedih.
Indra memeluk Bunda, yang tiba tiba terkulai di ujung kaki makam Ayah.
"Bunda tidak sempat minta maaf pada Ayah," ratap Bunda. "Bunda tersiksa sesisa
umur," lanjutnya. Selendang hitam yang menutupi kepalanya teriatuh dilanda angin
kecang. Cepat Indri menyambar selendang tua, oleh oleh waktu Ayah pulang dari
India belasan tahun silam, khusus Bunda.
"Ayah itu selalu penyabar, mudah iba, dan selalu ikhlas memaafkan. Bunda”,
bisik Indri, mengingatkan Bunda..
“Ayah dikatakan Nenek seperti anak malaikat karena pemaafnya, halusnya,
jujurnya, dan arifnya”, kata Indri, lebih tenang.
Kata-kata itu seperi cahaya menerangi hati Bunda yang gelap. Saat itu pula,
Bunda teringat Nenek Rum, ibunda Ayah di Prabumulih. Bunda tiba-tiba merasa
bersalah pada Nenek Rum. Sepanjang puasa Ramadhan tahun ini. Bunda tidak
mengirim apa apa buat perempuan tua yang tidak pernah meminta itu. Bunda ingat
kemu rahan hati dan kearifan Ayah. Setiap tahun. Ayah menyiapkan bingkisan kurma,
pakaian, dan uang untuk metua dan bundanya. Begitu adil dia. Begitu pengertian
lelaki yang dijuluki Nenek Rum anak malaikat itu. Tapi, pikir Bunda, orang baik,
yang disayang Tuhan sering cepat dipanggil pulang
Di dalam rumah, menjelang berbuka penghabisan di ujung puasa Ramadhan,
Bunda mendengar takbir dari masjid-masjid terdekat. Umat memuja Yang Maha
Pencipta, memuliakan-Nya, memohon berkah dari Nya, dan mengagungkan nama-
Nya. juga mensyukuri semua nikmat yang selalu mengucur dari-Nya. Bunda mengais-
ngais air mata.
"Bunda ingin menengok Nenek Rum di Prabumulih," kata Bunda di saat
menunggu berbuka terakhir itu. Saat mengucapkan kalimat itu, Bunda menyadari,
kedua orang tuanya sudah lama berpulang. Menyekar ke makam keduanya telah dua
kali dilakukan. Tapi, Bunda merasa rindu pada mertuanya. Mertuanya yang lelaki
sudah delapan tahun berpulang. Makamnya di Jakarta, sudah pula diziarahi.
Keinginan Bunda itu menyebabkan Indra-Indri menghela napas panjang. Keduanya
bertanya, dari mana ongkod didapatkan untuk menengok Nenek Rum di Prabumulih.
Tabungan sema kintipis saat menyusun skripsi tempo hari. Dana dari sektor lain tidak
ada sama sekali. Mata si kembar berkaca kaca. Bunda tahu itu.
"Kemarin malam, aku sudah interlokal Nenek Rum," ucap Indri. "Atas nama
Bunda, Kakak Indra, aku mohon maaf lahir-batin. Tiga hari lalu, Nenek Rum telah
menerima kiriman Abang Ujang berupa uang, perleng kapan salat Idul Fitri, dan
kurma Mesir lima kilo," cerita Indri sambil menatap mata Bunda yang layu dan basah.
Cerita Indril tentang kemurahan hati Ujang menyebabkan Bunda tergugah. Di
awal puasa Ramadhan, Ujang dan istrinya datang. Mereka membawa keperluan
Ramadhan untuk Bunda, Indra, dan Indri. Seperti Ayah, Ujang pun mampu mengubur
dendam. Keduanya manusi angka
Takbir berkumandang menyambut hari kemenangan. Hari orang-orang kembali
suci seperti baru dila hirkan, usai menunaikan puasa Ramadhan sebulan penuh. Bunda
menyesali hari-hari puasa Ramadhan tahun lalu. Saat itu, puasanya tidak
membuahkan kemenangan. Puasa Ramadhan cedera oleh ambisinya, oleh
syakwasangkanya pada diri Ujang, dan oleh nafsunya untuk menguasai perusahaan.
Kumandang takbir yang menandai hari kemenangan bagi orang orang yang
memenangkan perang dahsyat, menaklukan hawa nafsu sendiri. Menambah deras
kucuran mata Bunda. Dia terkenang kisah Ujang. Orok merah itu ditinggalkan ibunya
di rumah sakit karena tidak berdaya membayar biaya bersalin. Ayah yang mengangkat
derajat dan martabat Ujang. Ujang disekolahkan sampai meraih gelar sarjana ekonomi
jurusan manajemen.
Selesai salat Idul Fitri, Bunda menyusun kue nanas buatannya di toples-toples
plastik sederhana. Indra-Indri belum kembali dari mesjid, mengurus sisa zakat fitrah
untuk panitia. Saat itu. Bunda dikejutkan salam yang merdu di depan pintu.
Kumandang takbir masih. memenuhi udara di hari itu. Bunda tercengang ketika
membuka pintu. Ujang dan istrinya sungkem pada Bunda. Waktu itu pula Indra-Indri
pulang. Keduanya melnyalami Abang Ujang dan istrinya.
"Setelah makan, kita ziarah ke makam Ayah, kata Ujang” Besok. kita menengok
Nenek Rum di Pra bumulih, lanjutnya sambil menunjuk mobil mini bus di halaman
rumah. Itu mobil sewaan. Bukan mobilnya. Kembali air mata Bunda ber cucuran.
Indra-Indri sukacita mendengar berita gembira itu.

Pramuka Jayasari, 1423 H November 2002

OLEH K USMAN

1. plot/alur
Alur yang di gunakan dalam cerpen ini adalah alur maju, karena dari serangkaian
peristiwa yang terjadi secara urutan maju ke depan.

2. pelaku/tokoh
Tokoh yang terdapat pada cerpen ini adalah
 Ir. Kiagus Anang ( suami dari bunda/Ayuningsih)
 Bunda/Ayuningsih (istri dari Kiagus Anang)
 Indra (putra kembar Kiagus Anang dan bunda)
 Indri (putrid kembar Kiagus Anang dan bunda)
 Ujang (anak angkat Kiagus Anang)
 Alidaya (adik bunda)
 Sita (sekertaris Kiagus Anang)
 Mang Usin (supir pribadi bunda)

3. dialog dan karakter


 Ir. Kiagus Anang, arif, mudah iba, penyabar, selalu ikhlas memaafkan, halus,
jujur
“Kakaknya, Indra lebih arif, mewarisi sifat-sifat ayahnya”
"Ayah itu selalu penyabar, mudah iba, dan selalu ikhlas memaafkan. Bunda”,
bisik Indri, mengingatkan Bunda..
“Ayah dikatakan Nenek seperti anak malaikat karena pemaafnya, halusnya,
jujurnya, dan arifnya”

 Bunda/Ayuningsih, pemarah, tidak sabaran, suka menuduh sembarangan, dan


ambisius
“Perempuan penggugup, yang sehari-hari disapa Bunda itu berteriak-teriak
memanggil Mang Usin, sopir pribadinya”
“Bunda histeris di tengah kemacetan. Mang Usin, lelaki separuh baya yang
selalu tenang dan penyabar menjadi kambing hitam. Di dibilang Bunda
lamban atau lelet”
“Bunda mengamuk pada Ujang. Lelaki in adalah anak angkat Ir. Kiagus
Anang. Jabatannya, direktur pemasaran. Ujang dibilang sengaja membunuh
Klagus Anang karena menginginkan jabatan ayah angkatnya yang
dihormatinya”
“Bunda yang juga ambisius menganggap angin peringatan anak-anak kembar
silangnya yang selalu hati-hati itu”

 Indra, hati hati, arif, perhatian


“Bunda yang juga ambisius menganggap angin peringatan anak-anak kembar
silangnya yang selalu hati-hati itu”
“Kakaknya, Indra lebih arif, mewarisi sifat-sifat ayahnya”
“Ri, perhatikan baik-baik, Bunda belakangan: makin pendiam. Badannya
bertambah kurus Pasti Bunda menyesali perbu annya sepeninggal Ayah”

 Indri, hati hati, mudah emosi, tegsr, kritis terhsdsp keadaan,,kepekaan yang
halus dan tajam, mudah tersinggung dan mudah memaafkan
“Bunda yang juga ambisius menganggap angin peringatan anak-anak kembar
silangnya yang selalu hati-hati itu”
“Gara-gara Bunda kita jadi sengsara. kata Indri, remaja belia yang selalu
tegar. Gadis itu selalu kritis terhadap keadaan”
“Gadis itu memiiki kepekaan yang halus dan tajam. Dia gampang tersinggung.
Tapi, mudah pula reda, dan sudi memaafkan”
“Tapi, Kakakku. Bunda telah menyusahkan kita. Bunda telah meng khianati
Ayah. Perusahaan jadi bangkrut diacak-acak Bunda dan Om Adidaya”

 Ujang, jujur, penyabar, rendah hati, melonkolis, kebapakan, penyayang


“Tuduhan itu menyebabkan Ujang menangis di hadapan dokter jaga dan para
perawat. Lelaki jujur dan cerdas itu merasa terhina”
“Untuk kedua kalinya Ujang lelaki muda yang selalu santun dan jujur itu
meneteskan air mata”
“meskipun masih berusia 30 tahun dinilai kebapakan, seperti ayah angkatnya,
yang dikenal menenteramkan”
“Tiga hari lalu, Nenek Rum telah menerima kiriman Abang Ujang berupa
uang, perleng kapan salat Idul Fitri, dan kurma Mesir lima kilo”

 Adidaya, pemboros, ambisius, tidak amanah, dan suka selingkuh


“Adidaya, adik kandungnya yang pemboros”
“Alidaya, yang ambisius, yang dipercaya Bunda untuk beraksi. Makin sering
dia ke luar negeri. Alasannya ekspansi perusahaan ke negara-negara tetangga.
Tetapi, sebenamya, dia meneruskan kesenangan nya berjudi dan pacaran,
walaupun sudah memiliki istri cantik bemama Jelita”

 Sita

 Mang Usin,tenang dan penyabar


“Mang Usin, lelaki separuh baya yang selalu tenang dan penyabar menjadi
kambing hitam”

4. Latar
o Latar waktu
Siang, “Stroke berat menyerang Kiagus Anang ketika sedang memimpin rapat
di kantornya pada suatu siang”

Malam, “Syukurlah kala begitu jawab Indri seraya memandang bulan dari
jendela. Dia melihat awan hitam sedang mengepung bulan sabit itu. "Lihat itu,
Kak," katanya. Awan hitam. sedang mengepung bulan sabit," lanjutnya.
"Perlambang apa itu, hem?"

Sore, “Di dalam rumah, menjelang berbuka penghabisan di ujung puasa


Ramadhan, Bunda mendengar takbir dari masjid-masjid terdekat.”

Pagi, “Selesai salat Idul Fitri, Bunda menyusun kue nanas buatannya di toples-
toples plastik sederhana”

o Latar tempat
Kantor, “Stroke berat menyerang Kiagus Anang ketika sedang memimpin
rapat di kantornya pada suatu siang”

Rumah berlantai 2, “Bunda seraya menuruni tangga rumah berlantai dua itu.
Langkahnya tergesa-gesa. Tersaruk-saruk”

Jalanan, “Jalan macet total”

Rumah sakit, “Ir. Kingung Anang, direktur utama PT Musi Emas Perada itu
menutup mata ketika tiba di ruang gawat darurat rumah sakit”
Rumah di tepi kota, “Deposito yang disediakan Kiagus Anang untuk Indra-
Indri terpaksa dicairkan untuk membeli rumah sederhana di tepi kota”
“Di dalam rumah, menjelang berbuka penghabisan di ujung puasa Ramadhan,
Bunda mendengar takbir dari masjid-masjid terdekat.”

Makam, “Peziarah di akhir bulan Ramadhan menyemut di pemakaman


Kemiri”

o Latar suasana
Panilk, “Bunda seraya menuruni tangga rumah berlantai dua itu. Langkahnya
tergesa-gesa. Tersaruk-saruk”

Menegangkan, “Bunda mengamuk pada Ujang

Sedih, “Ujang dibilang sengaja membunuh Klagus Anang karena


menginginkan jabatan ayah angkatnya yang dihormatinya. Tuduhan itu
menyebabkan Ujang menangis di hadapan dokter jaga dan para perawat.
Lelaki jujur dan cerdas itu merasa terhina”.
“Kepergiannya ditangisi karya wan-karyawati”.
“Bunda menaburkan bunga rampai di makam ayah, diiringi sedu-sedan.
Tubuhnya tampak gemetar. Indra-Indri menundukkan kepala setelah menyekar”
“Lelaki yang lebih banyak menurutkan keinginan Bunda itu sesungguhnya
mengalami derita di dalam dirinya, tapi tidak pernah di kisahkan pada siapa
pun. Itulah yang disesali Bunda. Itulah antara lain yang banyak menggugurkan
air mata Bunda setiap ziarah ke makam Ayah. Tapi, penyesalan selalu datang
di ujung peristiwa. Sesalan senantiasa melukai dan menyakitkan. Siapa pun
pelakunya dari presiden hingga rakyat jelata alias si kecil yang papa dan
lemah. Sesalan itu pedih.
Indra memeluk Bunda, yang tiba tiba terkulai di ujung kaki makam Ayah.
"Bunda tidak sempat minta maaf pada Ayah," ratap Bunda. "Bunda tersiksa
sesisa umur," lanjutnya”
“Bunda menyadari, kedua orang tuanya sudah lama berpulang. Menyekar ke
makam keduanya telah dua kali dilakukan. Tapi, Bunda merasa rindu pada
mertuanya. Mertuanya yang lelaki sudah delapan tahun berpulang. Makamnya
di Jakarta, sudah pula diziarahi.”

Haru, “Bunda tercengang ketika membuka pintu. Ujang dan istrinya sungkem
pada Bunda. Waktu itu pula Indra-Indri pulang. Keduanya melnyalami Abang
Ujang dan istrinya”
“Besok. kita menengok Nenek Rum di Pra bumulih, lanjutnya sambil menunjuk
mobil mini bus di halaman rumah. Itu mobil sewaan. Bukan mobilnya. Kembali
air mata Bunda ber cucuran. Indra-Indri sukacita mendengar berita gembira
itu”
5.Gaya bahasa
 Tubuh bunda gemetaran, air mata bercucuran (Hiperbola)
 Mang Usin, lelaki separuh baya yang selalu tenang dan penyabar
menjadi kambing hitam (Majas Metafora)
 Siapa menabur angin akan menuai badai (Majas Metafora)

6. Tema
Penyesalan

7. Amanat
o Kita tidak boleh asal menuduh orang lain sebelum memiliki bukti yang
kuat
o Kita harus mendengarkan nasehat orang lain karena semua orang bisa
menjadi guru yag baik untuk kita, tanpa memperdulikan status dan usia
o Kita harus memaafkan kesalahan orang lain, karna sesungguhnya
kejahatan harus dib alas dengan kebaikan

Anda mungkin juga menyukai