PENDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun oleh ;
Muhammad Alif Vindi Oktodena
B0219035
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
Sastra Lisan adalah suatu hal/istilah yang mengandung kontradiksi tersendiri, di sisi
lain sastra sebagai suatu persamaan/padanan kata bacaan yang mensyaratkan adanya
bentuk tertulis. Rene’ Wellek (1956) mengungkapkan bahwa literature is anything in
print, sementara itu kata lisan yang dalam istilah itu bersifat adjektif yang berarti bahwa
segala yang disampaikan secara lisan.
Realitas adalah suatu hal untuk mengupayakan dan menyamakan segala persepsi
yang dimulai dengan menggunakan landasan tumpu yang sama. Kenyataan
menunjukkan bahwa di tengah masyarakat kita semua banyak ditemukan tradisi lisan,
yaitu adat atau kebiasaan yang kerap dilakukan dan disebarluaskan secara lisan. Tradisi
lisan yang dilakikan di dalam kelompok/komunitas untuk berbagai suatu keperluan,
misalnya upacara ritual, temu warga, hajatan dan lain-lain. Ditinjau dari bentuknya,
tradisi lisan memiliki beberapa kemiripan dengan bentuk sastra. Unsur yang terdapat di
dalamnya, seperti persajakan, penokohan, alur, metapora, dan sebagainya tidak jauh
dari karya sastra. Kebenaran itu dapat kita jadikan sebagai alasan untuk memasukkan
tradisi lisan ke dalam kelompok sastra yang dikenal dengan istilah sastra lisan.
Setidaknya, tradisi lisan dapat kita anggap sebagai penampakan suatu sastra yang lahir
dan berkembang ditengah peradaban masyarakat lama sehingga sepatutnya kalau tradisi
lisan kemudian dikelompokkan ke dalam sastra Indonesia lama.
Sampai saat ini istilah sastra Indonesia lama masih diperselisihkan. Perbedaan
pendapat di antara para ahli/pakar berkisar pada penggunaan istilah, medium, dan
cakupannya. Beberapa istilah yang tela dimunculkan antara lain, kasusastran Indonesia
Klasik (Asdi.S Dipodjojo), kasustastraan Melayu Klasik (Edwar Jamaris), Kasusastraan
Nusantara ( Bakar Hatta), Sastra Klasik Indonesia (Robson). Istilah-istilah tersebut
sebenarnya telah mencerminkan perbedaan medium dan cakupan. Sebagaian istilah
tersebut telah membatasi pengertiannya pada karya sastra pada orang Melayu yang
menggunakan medium bahasa Melayu. Sebagian lagi memperluas pengertiannya
sehingga mencakup semua karya sastra yang ada diwilayah Nusantara atau seluruh
Indonesia.
Sastra lisan Nusantara memiliki keanekaragaman bentuk, isi, serta pengaruh. Genre
sastra yang ada didalamnya seperti halnya genre dalam karya sastra modern, yaitu puisi,
drama, dan prosa. Pantun dalam bahasa Indonesia dengan berbagai padanannya, seperti
parikan (Jawa), sisindiran (Sunda), rejong (Lampung), ende-ende (Tapanuli), panton
(Aceh) adalah puisi asli dari bumi Nusantara, demikian juga nyanyian rakyat di
berbagai wilayah Indonesia kita. Cerita rakyat legenda, mitos, dan berbagai hikayat
dapat digolongkan ke dalam bentuk prosa, sedangkan ketoprak (Jawa), ledruk, lenong,
reog, dan jathilan dapat dimasukkan ke dalam bentuk drama. Selain itu, ditemukan
bentuk gabungan diantara berbagai cabang seni, wayang sebagai salah satu seni
pertunjukkan yang merupakan perpaduan antara seni sastra, seni tari, dan seni musik.
Materi yang disampaikan di sastra lisan ada kalanya berkaitan dengan kebutuhan
manusia yang digunakan untuk berhubungan/berkmunikasi antar sesama, dengan alam
sekitar dan sang pencipta. Selain itu, dari faktor pengaruh, ternyata tidak sedikit
masukkan dari kasusastraan asing di dalam sastra lisan Nusantara. Sebagai contoh dapa
dikemkakan dari beberapa cerita manca negara yang kini telah dirasakan oleh bangsa
Indonesia, seperti Ramayana, Mahabarata, dan berbagai cerita fabel lainnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
Sastra lisan Nusantara sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia lama memiliki
sifat dulce et utile, yang berarti nikmat dan bermanfaat. Materi yang disajikan-pun
memiliki niai pragmatik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, dan sajian yang
disuguhkan memiliki nilai seni yang membawa kesenangan dan kepuasan batin.
Gundul, yaitu kepala plontos atau botak tanpa memiliki rambut. Kepala merupakan
lambang kehormatan, kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah sebuah
mahkota lambang keindahan kepala. Pacul dalam bahasa Jawa berarti cangkul
petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Yang melambangkan kawula
rendah atau sederhana. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul
(empat yang lepas) yang berarti bahwa, kemuliaan seseorang akan sangat
tergantung kepada empat hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, telinga, hidung
dan mulutnya. Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main
dalam menggunakan kehormatannya. Sehingga lirik Gundul-gundul pacul-cul,
gembelengan diartikan sebagai pemimpin yang lupa bahwa dirinya sedang
mengemban amanah rakyat, namun dirinya malah menggunakan kekuasan sebagai
kemuliaannya, menggunakan kedudukannya unuk berbangga-bangga di antara
manusia dan menganggap kekuasan itu.
Nyunggi wakul berarti membawa bakul (tempat nasi) di atas kepalanya. Namun
banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting yaitu
membawa bakul dikepalanya. Wakul merupakan simbol kesejahteraan rakyat.
Kedudukannya terletak di bawah bakul rakyat. Jadi siapakah yang lebih tinggi
kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul? Tentu saja pemilik bakul.
Pembawa bakul merupakan pembantu si pemiliknya. Namun masih banyak
pemimpin yang masih gembelengan, melenggak-lenggokkan kepalanya dengan
sombong dan bermain-main.
Wakul ngglimpang berarti bakul diatas kepala jatuh. Segane dadi sak latar berarti
nasi yang menjadi isi di dalam bakul tersebut jatuh dan berantakan kemana-mana.
Akibatnya bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana. Jika pemimpin
gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Nasi yang tumpah di
tanah tidak akan bisa dimakan lagi karena telah kotor. Sehingga amanahnya akan
jatuh dan tidak bisa dipertahankan. Menjadikan kepemimpinannya sia-sia. Jadi
secara keseluruhan lagu ini merupakan soal komitmen manusia ketika bekerja.
Ketika masih anak-anak hal tersebut masih wajar. Namun ketika telah dewasa,
bukan lagi saatnya bermain-main.
Sastra lisan yang sebagai bentuk seni bernilai sastra memiliki tiga aspek,
yaitu aspek isi, aspek bentuk, dan aspek pergelaran. Ketiga aspek tersebut tampil
dalam bentuk kesatuan yang layak menjadi tontonan, tutunan, dan hiburan. Dalam
kaitannya dengan kepentingan pembangunan pendidikan, ketiga aspek sastra lisan,
yaitu isi, bentuk, dan pergelaran ternyata syarat dengan nilai pendidikan, antara lain: