tak bertemu, badanku gemetar hingga kelubuk hatiku, aku. takkan biarkan
karaeng mengurungmu di Istana Cenrana. Oh angin..sampaikan rinduku kelubuk
hatinya, sebab tak bersamanya serupa dengan kematian, Jika aku tak
mempersuntingmu Bissudaeng..biarlah para dewa mengutukku. Bissu
Daeng.Oh Bissu Daeng , Aku bersumpah,!, oBoting Langi*. Kutuklah aku
menjadi Kera putih jika taqdirku tak bisa mempersuntingnya.
Page 1
apa Toa, kenapa teriak teriak, yang menyebabkan alam bergemuruh, padahal aku
sementara mengintai Bissudaeng Toa, lihatlah, di istana Cenrana selalu ramai ,
Bissudaeng betul-betul dikelilingi tau kabbalana (kebal senjata) Cendran, seru
kerakara tersebut. tapi kita pakai akal Toa, sambil sikapnya melirik pada
tuannya, kata seekor kera yang di duga sebagai panglima dari kera tersebut.
Tiba-tiba salah seekor kera meraih bende dan mengintai kerajaan Cenrana,
sambil mengelus-elus badannya, Puto Bambang Riabbo bertanya, pada temannya
yang memegang bende, siapa yang kau lihat ? dengan berbisik Puto Manniri
Ballo menjawabBissu Daeng. Karena penasaran ingin melihat Bissu Daeng, kelima
bala tentara Toakala berebut bende tersebut. Puto Garese Ribulo berhasil
merebut teropong itu, sambil menggamati, iapun berkata dengan kesalnya,
maafkan saya putri jika hamba lantang bicara, seandainya putri meninggalkan
istana ini, apa yang akan terjadi ? , perang kanang, kata tanrosai jelastegas. Kanangmenimpali . Artinya jika itu gagal .Kerajaan Marusu akan
Page 2
Bissudaeng, aku tak pernah gentar menghadapi kerajaan Marusu dan kerajaan
Cenrana dan aku sudah siap perang, tak ada yang bisa menghalangiku. Tidak ada
yg bisa menghalangiku!. suara Toakala seakan gelegar yang memenuhi langit,
pekikan kerapun terdengar nyaring nampaknya ketegasan Toakala
membuat Bissudaeng dan para tentaranya menjadi takut.
Suasana sakralpun memenuhi ruang semesta, hening sejenak ketika lamat-lamat
prajurit dan kelompok kera tersebut meninggalkan mereka berdua.
Dengan perasaan sedih, Bissudaeng berkata, Sejak pertemuan kita diarena
permainan raga di Balla Lompoa, banyak putra-putra kerajaan yang hadir. Aku
tak pernah lupa ketika daeng menjatuhkan bola raga di pangkuanku dalam acara
marraga itu, peristiwa itu membuat semua orang menatapku tak terkecuali
ayahandaku, aku berusaha menyakinkan semua orang kalau aku mencintaimu,
tapi. ayahku tetap ayahku, jadi aku harus patuh kepadanya.
Toakala lalu berkata, belum cukupkah bukti cinta itu pada semua orang ketika
dengan sengaja menjatuh raga itu di pangkuanmu. Ingatkah engkau dengan sutra
ini, ku masih menyimpannya ndi.. menyimpanya , Selendangmu ini lebih dari
hidupku.
Ditengah pergulatan hati Bissudaeng tentang perjodohannya, kepatuhan pada
ayahandanya sekaligus cintanya yang juga mendalam pada Toakala,
mengantarainya untuk sampai pada sebuah keputusan pasrah lewat tantangan
yang akan dimintanya pada Toakala.
Page 3
mata air di kerajaan Simbang, dan buatkan aku permandian air terjun di Jene
Taesa ., Pinta Bissudaeng terbata-bata, Toakala menimpali dengan tegas
Jangankan air terjun dinda, istana berlapis emaspun akan aku buatkan . Merasa
dilematis, Bissudaeng pun berkata Tapi aku hanya memberi waktu satu malam
daeng, kalo kanda tidak bisa menyelesaikannya dalam satu malam, berarti saya
harus kembali keistana.
Tanpa bicara Toakala pun mulai bekerja dengan penuh keyakinan, ia mengerjakan
permintaan Bissudaeng semalam suntuk. Peluh mengalir membasahi tubuh
Toakala Sejenak ketika permandian air terjun tersebut hampir selesai, ayampun
berkokok menandakan fajar akan segera muncul.
Toakala semakin gencar untuk menyelesaikan pekerjaannya namun, tiba-tiba
matahari terbit, langit menjadi mendung, sebuah gejalah alam yang tak biasa,
suara Guntur dan petir saling menyambar, pertanda sebuah kutukan telah jatuh
dari Dewata Seuwwae.
Toakala berteriak histeris, Bissudaeng..,Bissudaeng.
Ditatapnya sang kekasih yang terakhir kali, ia tak berdaya oleh taqdir, disela
tenaga yang hampir habis, Toakalapun perlahan tumbuh bulu-bulu panjang putih
yang menutup seluruh tubuhnya, dipaksakannya panggilan pada kekasihnya yang
terakhir kali tapi, Bissudaeng tak lagi bisa mendengarnya, ia hanya menyambut
isyarat suara itu dengan lambaian tangan, didepan Bissudaeng berdirilah
patung
seekor kera putih, yang kakinya basah oleh tangis Bissudaeng yang di tinggalkan,
suara suara alam seakan terhenti tergantikan dengan suara tangis seorang
perempuan cantik, Daeng isak tangis Bissudaeng memenuhi keheningan alam
Benti Merrung.
SELESAI
Page 4
Page 5
Mungkin Anda pernah mendengar tentang Raja Kera dari Gunung Howakwwo, SunGokong. Raja kera ini dapat
kita temui dalam Televesi, itupun jika masih ditayangkan. Namun, sayangnya postingan ini tidak bercerita tentang
itu.
Kali ini saya sedang ingin Share tentang legenda Kera Putih dari Maros, atau yang biasa dikenal dengan
Toakala. Motivasi saya mem-posting tentang Toakala karena waktu smp saya pernah memerankan karakter
Toakala dalam suatu drama. Saya tidak tahu mengapa saya dipercayakan untuk memerankan Toakala, mudah
mudahan saja bukan karena alasan Sayalah yang paling cocok memerankan Karakter Kera Putih ini Putihnya
keren, tapi,..
Di Maros juga dikenal legenda Kera Putih atau yang biasa dikenal dengan sebutan Toakala. Dalam drama yang
saya mainkan Toakala adalah seorang menteri sekaligus tangan kanan dari Raja Kera yang bernama
Marakondang yang kerajaannya berada di daerah Bantimurung.
Suatu ketika Raja Marakondang terpikat oleh kecantikan dari seorang Putri kerajaan Manusia yang dipimpin oleh
Raja yang Bernama Raja Pattiro. Ialah Bissu Daeng, Putri kerajaan dari Cenrana (sekarang) yang membuat Raja
Marakondang jatuh cinta.
Perasaan cinta menggebu-gebu Raja Marankondang membuatnya mengutus Toakala dan Puto Pabintingparia,
serta menteri lainnya untuk melamar Putri Raja Pattiro, Bissu Daeng. Sesampainya di kerajaan Pattiro, Toakala
menuturkan niat baik Rajanya untuk meminang Bissu Daeng, namun sayangnya niatan baik ini hanya bertepuk
sebelah tangan. Raja Pattiro menolak mentah-mentah lamaran Raja Marakondong, lantaran ia adalah Kera.
Toakala dan menteri lainnya akhirnya pulang dengan membawa kekecewaan.
Sesampainya di Kerajaan. Raja Marakondang yang sedang di Mabuk cinta mendapatkan kabar yang tidak ia
harapkan dari Toakala terkait penolakan terhadap lamarannya kepada Bissu Daeng. Dengan marahnya Raja
Pattiro berkata:
Tet****, raja Pattiro, na pandang entenga, kubinting kitiki sallang, ku kakkak paria tallu, la kulesserang pae-pae
(adegan dalam drama).
Dengan perasaan kesal Raja Marakondang berniat untuk berperang melawan kerajaan Pattiro, para menteri
lainnya pun setuju. Namun, Toakala berpikiran lain dan menawarkan suatu rencana kepada kepada Raja
Page 6
Page 7
Tersebutlah seorang raja di Kerajaan Toakala yang memerintah bangsa kera, ketika sunyi
melarutkan semedinya, kecapi emas di pangkuannya sesekali terdengar menghenyakkan
alam Benti Merrung (nama asli Bantimurung), maka teringatlah ia kepada Bissudaeng saat
pertemuanya pada pesta raga yang diadakan di Kerajaan Marusu.
Dalam semedinya ia menerawang, terdengar alunan syair lampau yang seumur dengan
alam tersebut; Ndi, sudah dua purnama kita tak bertemu, badanku gemetar hingga
kelubuk hatiku, aku takkan biarkan Karaeng (Raja) mengurungmu di Istana Cendrana.
Oh angin, sampaikan rinduku kelubuk hatinya, sebab tak bersamanya serupa dengan
kematian. Jika aku tak mempersuntingmu Bissudaeng, biarlah para Dewa mengutukku.
Bissu Daeng, Oh Bissu Daeng, aku bersumpah! O Boting Langi Kutuklah aku menjadi
kera putih jika takdirku tak bisa mempersuntingnya.
Tiba-tiba bumi berguncang, langit menyeramkan, angin bertiup kencang, petirpun
menyambar menjemput sumpah Toakala. Melihat kejadian yang tiba-tiba itu bala tentara
Toakala datang dengan tergopoh-gopoh penuh keheranan.
Ada apa Toa, kenapa teriak-teriak yang menyebabkan alam bergemuruh, padahal aku
sementara mengintai Bissudaeng Toa, lihatlah di istana Cendrana selalu ramai. Bissudaeng
dikelilingi Tau Kabbalana (kebal senjata) Cendrana, seru kera-kara tersebut. Tapi kita
pakai akal Toa, sambil sikapnya melirik pada tuannya, kata seekor kera, panglima dari
kelompok kera tersebut.
Page 8
Tiba-tiba seekor kera meraih bende (semacam teropong) dan mengintai kerajaan
Cendrana. Sambil mengelus-elus badannya, Puto Bambang Riabbo bertanya pada temannya
yang memegang bende; Siapa yang kau lihat? Dengan berbisik Puto Manniri Ballo
menjawab; Bissu Daeng. Karena penasaran ingin melihat Bissu Daeng, kelima bala
tentara Toakala itu berebut bende.
Pada sebuah taman dekat Balla Lompoa (rumah kerajaan), terdengarlah riuh merdu suara
seorang wanita. Setelah beberapa kerumunan yang melingkarinya bergeser, tampaklah
Bissudaeng dihiasi kupu-kupu, pada mahkotanya, rupannya ia sedang bermain dengan
dayang-dayangnya. Tapi tak lama setelah keceriaan itu tampaklah sang putri sedang
dilanda gundah gulana.
Tanrosai salah seorang dayang-dayang bertanya; Kenapa putri tidak berusaha membujuk
Karaeng untuk tidak meneruskan keinginannya menjodohkan putri dengan putra Kerajaan
Marusu, bukankah putri? Bissudaeng memotong pembicaraan Tanrosai; Toakala
maksudmu Tanrosai, Karaeng adalah ayahandaku, Toakala adalah hidupku. Tapi perjodohan
ini sudah tergaris sejak aku masih dalam ayunan.
Tiba-tiba Kanang, dayang lain berbicara meskipun dengan suara yang gemetar; Maafkan
saya putri jika hamba lantang bicara, seandainya putri meninggalkan istana ini, apa yang
akan terjadi? Perang kanang, kata Tanrosai jelas-tegas. Kanang menimpali; Artinya jika
itu gagal, Kerajaan Marusu akan memerangi Kerajaan Cendrana?
Dengan perasaan gundah gulana, Bissudaeng meninggalkan taman itu bersama dayangdayangnya menuju istana. Tak dinyana tiba-tiba, Bissudaeng dicegat sekelompok pasukan
kera, alhasil Bissudaeng pun diculik, sambil diarak oleh sekelompok kera yang
membawanya menuju jalan ke istana Kerajaan Toakala di Bantimurung.
Page 9
Page 10