Anda di halaman 1dari 7

SATU CERITA DI WARUNG

-Arif-
“Judulnya, ‘Kisah Batu Pengantin’1” Rustam memulai ceritanya.

“Sudahlah Tam, tak apa-apa.”

“Tidak-tidak. Bagaimana juga, aku mesti bayar.”

“Kalau begitu besok saja.”

“Hasdi, Hasdi... apa lagi itu. Aku tak tahu, apa besok masih bisa bertemu.
Masih hidup.”

Padahal itu cuma secangkir kopi dan tiga potong pisang goreng, tapi dia
tetap menolak untuk kugratiskan. Sial, kenapa pula dia mesti lupa bawa uang. Dan
dari semua orang, kenapa mesti si Tukang Bual ini? Ah... paling-paling, sejak
awal memang dia tak punya uang, tapi tak mau merasa berhutang. Dasar!

“Ayolah, bukannya sia-sia mendengar cerita poyang kita. Lagi pula, cerita
ini perlahan hilang. Orang-orang tua yang tahu, sudah banyak yang jadi tanah. Di
buku-buku juga tidak dituliskan. Cuma diwariskan macam inilah, dari mulut ke
mulut.”

Aku pun tak terlalu ambil pusing dengan cerita-cerita orang dulu. Untuk
apa pula sibuk dengan hal-hal macam itu? Ada tagihan yang mesti kubayar,
lamaran kerjaku di pabrik kota juga masih belum jelas, serta Ida yang sebentar
lagi ingin kulamar. Itu semua lebih penting dipikirkan.

“Aku tahu, dalam benakmu pasti berasa tidak ada nilainya cerita-cerita
lama. Tapi, Di, anggap saja ini semacam barang antik. Semakin usang, sulit
didapat, sedikit yang tahu, semakin tinggi pula nilainya.”

Mendadak gerimis jadi hujan lebat. Agaknya Tuhan lagi di pihak Rustam.
Maka terjebaklah aku di warung dengan si Tukang Bual ini.

“Nah, pas pula. Biar tambah enak suasananya, haha...”

1
Varian mitos Batu Menangis dari Seluma, Bengkulu.

2
Aku menggeleng, tanda menyerah. Ya... dari pada suntuk dalam diam,
saling canggung menatap, dan diusik kawanan laron yang mulai mengerubungi
lampu, bualan Rustam jauh lebih baik rasanya. Lantas kubuat kopi untukku
sendiri, biar tak suntuk aku menyimaknya.

“Begini, Di, dulu itu, semua bangsa bisa saling lihat, saling sentuh, saling
temu. Bangsa langit, darat, dan air, tidak ada batasan. Nah, dari bangsa langit itu,
ada seorang perempuan bernama Bateri Khayangan. Cantik benar parasnya. Selain
elok luarnya, dia ini juga terampil di medan pertempuran. Tidak ada yang mampu
menandingi kecerdikan strategi dan kehebatannya menggunakan rencong. Jadi,
sebagian besar daerah di langit adalah kekuasaannya.

“Tapi, kau tahu sendiri, yang namanya kecantikan pastilah bakal memudar
lambat laun. Walau kini masih cantik benar, tapi bakal kalah juga di hadapan
umur. Belum lagi melihat yang lain. Begitulah yang terjadi dengan Bateri
Khayangan ini. Merana Bateri Khayangan menonton banyak pengikutnya yang
menikah. Bertemu dengan belahan hatinya. Tapi dia?”

“Ya... Lelaki mana pula berani meminang perempuan macam itu, Tam.”

“Betul. Nanti malah si lelaki yang mengikur si perempuan. Habis harga


dirinya.”

Larut kami tertawa. Tertawa? Cocoklah nama panggilannya itu. Memang


hebat si Tukang Bual ini menarik perhatian lawan bicaranya.

“Karena itulah, diperintahnya salah seorang pengikut untuk mencari lelaki


yang berani, serta bersedia, jadi mempelainya. Lama ditunggun kabar, tidak ada
tanda-tanda. Tiga bulan kemudian barulah si Pengikut ini pulang.”

“Hasilnya?”

“Nihil. Semua lelaki di langit tidak ada yang siap menjadi suami Bateri
Khayangan. Tapi, ketika di darat, si Pengikut itu melihat seorang lelaki yang amat
tampan. Cocoklah rupanya untuk bersanding dengan Bateri Khayangan. Hanya
saja, si Pengikut mengatakan bahwa lelaki ini sedang bermuram durja. Mendung

3
raut wajahnya—cuma berseorang diri di tepi sungai. Menyendiri dalam sepi.
Nama lelaki itu, Setambak Tanjung.

“Lalu, terbersit oleh Bateri Khayangan bahwa Setambak Tanjung ini


pastilah pasangan hidupnya. Entah karena apa, benar-benar magis. Maka pergilah
Bateri Khayangan untuk menemui Setambak Tanjung.

“Bentar ya, Di, aku minum dulu. Mulai kering tenggorokanku.” Sambil
menyambar gelas kopinya.

“Ngomong-ngomong Tam, cerita ini tentang Batu Pengantin yang di


Seluma itu?”

“Nah, itu kau tahu. Tapi kini orang mulai lupa, bahkan tidak perduli. Yang
datang beberapa tahun belakang saja bisa dihitung jari.”

Itu wajar. Di tengah kecanggihan yang berkembang pesat, pastilah hal-hal


macam ini bakal ditinggalkan. Bagaimanapun, hidup terus berjalan maju.

“Aku lanjutkan. Kemudian bertemulah mereka ini. Terkejut Setambak


Tanjung ketika Bateri Khayangan tiba-tiba menghampirinya. Bukan karena dia
turun dari langit, tapi karena rupanya yang indah benar. Baru pertama ini
Setambak Tanjung melihat perempuan dengan paras demikian. Katanya, rambut
Bateri Khayangan itu hitam tergurai, lengannya berisi, elok lekuk pinggulnya, dan
yang terpenting, sepasang mata cokelatnya bisa menghangatkan benak Setambak
Tanjung. Seakan-akan, segala wujud keindahan bermekaran padanya.

“Selepas itu mereka berbincang. Awalnya Setambak Tanjung masih


bertanya-tanya akan maksud seorang bangsa langit mendatanginya. Tambah lagi,
ketika Bateri Khayangan memberitahukan siapa dia sebenarnya, Setambak
Tanjung makin terkejut dan gamang. Baru kemudian, Setambak Tanjung teringat
ramalan yang dulu didapatnya. Bahwa dia, Pangeran Negeri Ulu, akan berjodoh
dengan perempuan yang turun dari langit. Maka, sirna semua kewas-wasan
Setambak Tanjung. Akrablah mereka berdua. Berbincang ini-itu, sampai-“

“Tunggu-tunggu! Begitu saja dan mereka langsung akrab?”

4
“Bah! Di, namanya juga cerita lama. Terima saja.” Tanpa perduli lagi,
Rustam kembali menyambung ceritanya. “Sampai kemudian, dibawalah Bateri
Khayangan oleh Setambak Tanjung untuk menemui orang tuanya. Tentu
senanglah mereka. Sang pewaris takhta akhirnya bakal beristri. Lepas
bujangannya, naik martabatnya. Begitu pula para pengikut Bateri Khayangan.
Datang juga waktu sang Ratu bersanding dengan tambatan hati. Maka tidak aneh,
jika pesta nikah yang diadakan sangat meriah lagi megah.

“Tujuh hari tujuh malam lamanya. Para penguasa langit, darat, dan air,
diundang. Prajurit dan rakyat turut berpesta-pora, larut dalam suka-cita. Gendang
tidak berhenti ditabuh sepanjang pesta. Tepat setelah hari ketujuh, pergilah
Setambak Tanjung dan Bateri Khayangan berbulan madu di langit. Selama di sana
pula, Bateri Khayangan menyerahkan kekuasaannya pada pengikutnya yang
paling bijak dan setia. Dia pasrahkan seluruh hidupnya pada Setambak Tanjung.

“Sepulangnya, diangkatlah Setambak Tanjung menjadi Raja Negeri Ulu.


Kembali pesta dihelatkan. Tapi kali ini, apa yang tidak diduga-duga terjadi.”

“Kemalangan? Musibah?”

“Iya, Di. Setambak Tanjung tumbang mendadak. Sekujur badannya hilang


daya, sukar digerakkan, berbaring saja bisanya. Selepas itu, mulai bagian
dalamnya pula yang sakit. Makanan sulit dicerna, dadanya sering sesak,
penglihatan perlahan hilang, dan denyut nadinya melemah kian hari. Tabib-tabib
tersohor dipanggil ke istana untuk mengobati Setambak Tanjung. Semuanya
gagal. Baru pertama ini mereka melihat penyakit ini, jadi mereka tidak tahu apa
obatnya. Penyebabnya saja mereka masih buta.

“Merasa waktu hidupnya tinggal sejumput, barulah Setambak Tanjung


mengungkap satu kekhilafannya di masa lampau. Dulu, waktu masih remaja, dia
pernah memanah seekor harimau, ketika berkunjung ke tempat kerabatnya. Bukan
niatnya mencelakai si harimau. Saat itu, Setambak Tanjung dalam perjalanan
pulang sehabis latihan memanah. Melawati padang rumput, dilihatnya seekor
harimau senyap-senyap mengintai seekor rusa kecil. Ketika si harimau hendak
menerkam, secara spontan Setambak Tanjung melesatkan anak panahnya. Kena.

5
Tepat menyacak di perut si harimau. Alhasil, bebaslah si rusa kecil, lari kembali
ke kawanannya di dalam rimba.

“Aku yakin, kau mesti heran, bukankah itu perbuatan baik? Padahal
Setambak Tanjung menyelamatkan si rusa kecil itu, kenapa dia khilaf?”

Aku hanya mengangguk. Tapi yang lebih membuatku terheran: Bisa-


bisanya aku larut dalam bualan Rustam.

“Karena, harimau itu hewan keramat. Tidak boleh diusik, apalagi disakiti.
Lah ini? Sampai dipanah dan menyacak pula. Maka kualat Setambak Tanjung
jadinya. Aneh memang. Tapi begitulah hukum nenek moyang kita dulu.

“Tidak lama setelah pengakuannya, Setambak Tanjung meninggal. Rasa


kabung membanjiri masa penguburannya. Pedih yang menyanyat hati, melebur ke
seantero Negeri Ulu. Bagaimana tidak? Rakyat di sana percaya, Setambak
Tanjung akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan yang melebihi ayahnya
dulu. Tapi, di antara itu semua, ada seorang yang paling tersakiti.”

“Bateri Khayangan.”

“He-eh. Macam dicabut paksa jantungnya yang koyak-moyak dari badan.


Kerjanya cuma menangis dan meratap di pusara Setambak Tanjung. Kebahagiaan
yang dulu dia dambakan, dan dikira sudah dapat, kini dirampas begitu saja. Tidak
tentu lagi keadaannya. Semua keindahan yang ada, luruh setamas-tamasnya.
Rambutnya perlahan kasar dan rontok. Karena tidak mandi-mandi, aromanya kini
mengundang lalat dan mengusir siapa saja yang mendekat. Makan pun tak mau.
Habis badan Bateri Khayangan. Kurus kering.

“Cuma kepedihan yang tersisa pada Bateri Khayangan. Sayapnya, yang


tidak kasatmata, bulunya dahulu lembut macam embun pantai saat fajar. Tapi kini
perlahan gugur dan jadi abu. Dikerangkeng kesedihan, hatinya pun utuh membatu.
Tidak bisa menerima kepergian sang belahan jiwa. Kemudian, dari hatinya,
menjalarlah ke sekujur badan. Mengeras dia di atas pusara Setambak Tanjung.
Jadilah semacam batu. Orang-orang menamainya Batu Pengantin. Dan... tamat.”

6
“Lah? Habis?”

“Di, mesti kau renung-renung cerita ini. Baru sesudah itu kau dapat
‘rasa’nya. Tapi, paling tidak kini kau juga tahu. Jadi bisa kau ceritakan pula pada
orang lain. Sekurang-kurangya, keluargamu kelak. Ini penting. Biar kita, orang
Seluma, punya warisan budaya untuk anak-cucu.

“Ah, hujan sudah habis. Aku pamit dulu. Simpan saja kembaliannya.”
Tutup Rustam sambil meneguk sisa kopinya, menyeringai, dan beranjak.

“Hahaha... Suka-suka kau lah, Tam. Hati-hati di jalan. Jangan sampai


bertemu harimau.”

Setelah si Tukang Bual itu hilang di gelap malam, aku juga lekas pulang.
Selepas mandi, langsung kubenam badan dalam selimut. Tapi tak kunjung lelap—
tersendat bualan Rustam yang terus membayangi pikiran.

“Benar juga. Terakhir kali, kapan aku mendengar cerita-cerita macam itu?”
Pikirku dan tetap terjaga sampai subuh.

Bengkulu, 6 Maret 2022.

Anda mungkin juga menyukai