-Arif-
“Judulnya, ‘Kisah Batu Pengantin’1” Rustam memulai ceritanya.
“Hasdi, Hasdi... apa lagi itu. Aku tak tahu, apa besok masih bisa bertemu.
Masih hidup.”
Padahal itu cuma secangkir kopi dan tiga potong pisang goreng, tapi dia
tetap menolak untuk kugratiskan. Sial, kenapa pula dia mesti lupa bawa uang. Dan
dari semua orang, kenapa mesti si Tukang Bual ini? Ah... paling-paling, sejak
awal memang dia tak punya uang, tapi tak mau merasa berhutang. Dasar!
“Ayolah, bukannya sia-sia mendengar cerita poyang kita. Lagi pula, cerita
ini perlahan hilang. Orang-orang tua yang tahu, sudah banyak yang jadi tanah. Di
buku-buku juga tidak dituliskan. Cuma diwariskan macam inilah, dari mulut ke
mulut.”
Aku pun tak terlalu ambil pusing dengan cerita-cerita orang dulu. Untuk
apa pula sibuk dengan hal-hal macam itu? Ada tagihan yang mesti kubayar,
lamaran kerjaku di pabrik kota juga masih belum jelas, serta Ida yang sebentar
lagi ingin kulamar. Itu semua lebih penting dipikirkan.
“Aku tahu, dalam benakmu pasti berasa tidak ada nilainya cerita-cerita
lama. Tapi, Di, anggap saja ini semacam barang antik. Semakin usang, sulit
didapat, sedikit yang tahu, semakin tinggi pula nilainya.”
Mendadak gerimis jadi hujan lebat. Agaknya Tuhan lagi di pihak Rustam.
Maka terjebaklah aku di warung dengan si Tukang Bual ini.
1
Varian mitos Batu Menangis dari Seluma, Bengkulu.
2
Aku menggeleng, tanda menyerah. Ya... dari pada suntuk dalam diam,
saling canggung menatap, dan diusik kawanan laron yang mulai mengerubungi
lampu, bualan Rustam jauh lebih baik rasanya. Lantas kubuat kopi untukku
sendiri, biar tak suntuk aku menyimaknya.
“Begini, Di, dulu itu, semua bangsa bisa saling lihat, saling sentuh, saling
temu. Bangsa langit, darat, dan air, tidak ada batasan. Nah, dari bangsa langit itu,
ada seorang perempuan bernama Bateri Khayangan. Cantik benar parasnya. Selain
elok luarnya, dia ini juga terampil di medan pertempuran. Tidak ada yang mampu
menandingi kecerdikan strategi dan kehebatannya menggunakan rencong. Jadi,
sebagian besar daerah di langit adalah kekuasaannya.
“Tapi, kau tahu sendiri, yang namanya kecantikan pastilah bakal memudar
lambat laun. Walau kini masih cantik benar, tapi bakal kalah juga di hadapan
umur. Belum lagi melihat yang lain. Begitulah yang terjadi dengan Bateri
Khayangan ini. Merana Bateri Khayangan menonton banyak pengikutnya yang
menikah. Bertemu dengan belahan hatinya. Tapi dia?”
“Ya... Lelaki mana pula berani meminang perempuan macam itu, Tam.”
“Hasilnya?”
“Nihil. Semua lelaki di langit tidak ada yang siap menjadi suami Bateri
Khayangan. Tapi, ketika di darat, si Pengikut itu melihat seorang lelaki yang amat
tampan. Cocoklah rupanya untuk bersanding dengan Bateri Khayangan. Hanya
saja, si Pengikut mengatakan bahwa lelaki ini sedang bermuram durja. Mendung
3
raut wajahnya—cuma berseorang diri di tepi sungai. Menyendiri dalam sepi.
Nama lelaki itu, Setambak Tanjung.
“Bentar ya, Di, aku minum dulu. Mulai kering tenggorokanku.” Sambil
menyambar gelas kopinya.
“Nah, itu kau tahu. Tapi kini orang mulai lupa, bahkan tidak perduli. Yang
datang beberapa tahun belakang saja bisa dihitung jari.”
4
“Bah! Di, namanya juga cerita lama. Terima saja.” Tanpa perduli lagi,
Rustam kembali menyambung ceritanya. “Sampai kemudian, dibawalah Bateri
Khayangan oleh Setambak Tanjung untuk menemui orang tuanya. Tentu
senanglah mereka. Sang pewaris takhta akhirnya bakal beristri. Lepas
bujangannya, naik martabatnya. Begitu pula para pengikut Bateri Khayangan.
Datang juga waktu sang Ratu bersanding dengan tambatan hati. Maka tidak aneh,
jika pesta nikah yang diadakan sangat meriah lagi megah.
“Tujuh hari tujuh malam lamanya. Para penguasa langit, darat, dan air,
diundang. Prajurit dan rakyat turut berpesta-pora, larut dalam suka-cita. Gendang
tidak berhenti ditabuh sepanjang pesta. Tepat setelah hari ketujuh, pergilah
Setambak Tanjung dan Bateri Khayangan berbulan madu di langit. Selama di sana
pula, Bateri Khayangan menyerahkan kekuasaannya pada pengikutnya yang
paling bijak dan setia. Dia pasrahkan seluruh hidupnya pada Setambak Tanjung.
“Kemalangan? Musibah?”
5
Tepat menyacak di perut si harimau. Alhasil, bebaslah si rusa kecil, lari kembali
ke kawanannya di dalam rimba.
“Aku yakin, kau mesti heran, bukankah itu perbuatan baik? Padahal
Setambak Tanjung menyelamatkan si rusa kecil itu, kenapa dia khilaf?”
“Karena, harimau itu hewan keramat. Tidak boleh diusik, apalagi disakiti.
Lah ini? Sampai dipanah dan menyacak pula. Maka kualat Setambak Tanjung
jadinya. Aneh memang. Tapi begitulah hukum nenek moyang kita dulu.
“Bateri Khayangan.”
6
“Lah? Habis?”
“Di, mesti kau renung-renung cerita ini. Baru sesudah itu kau dapat
‘rasa’nya. Tapi, paling tidak kini kau juga tahu. Jadi bisa kau ceritakan pula pada
orang lain. Sekurang-kurangya, keluargamu kelak. Ini penting. Biar kita, orang
Seluma, punya warisan budaya untuk anak-cucu.
“Ah, hujan sudah habis. Aku pamit dulu. Simpan saja kembaliannya.”
Tutup Rustam sambil meneguk sisa kopinya, menyeringai, dan beranjak.
Setelah si Tukang Bual itu hilang di gelap malam, aku juga lekas pulang.
Selepas mandi, langsung kubenam badan dalam selimut. Tapi tak kunjung lelap—
tersendat bualan Rustam yang terus membayangi pikiran.
“Benar juga. Terakhir kali, kapan aku mendengar cerita-cerita macam itu?”
Pikirku dan tetap terjaga sampai subuh.