Anda di halaman 1dari 132

1

Wasiat Iblis
** SATU **

Dua penunggang kuda hentikan kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun menerpa bumi. Walau tidak lebat namun hawa
tanah basah yang naik ke udara menyekat liang hidung membuat dua orang tadi mendengus beberapa kali.

“Tanda celaka apa pula ini! Hujan turun padahal matahari bersinar terik di atas batok kepala!” Berkata penunggang kuda di sebelah
kanan. Dia mengenakan pakaian hitam berupa jubah panjang. Wajah dan kepalanya kelihatan aneh. Matanya sebelah kanan besar
membeliak tapi yang kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah namun hanya sebelah kiri saja sedangkan sebelah kanan
ditumbuhi rambut lebat. Pada keningnya terdapat tiga buah guratan tegak. Guratan di sebelah tengah lebih tinggi dari dua di kiri
kanan. Kumis melintang dan berewok sangar liar menutupi hampir separuh wajahnya.

Jubah hitam, keadaan wajah dan kepala, tanda di kening serta sepasang mata yang aneh merupakan tanda pengenal yang tidak
dapat disangsikan lagi oleh orang-orang rimba persilatan untuk adanya manusia satu ini. Dia adalah tokoh silat golongan hitam
dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan.

Orang ini muncul membawa kegegeran dalam dunia persilatan sejak satu tahun lalu. Kabarnya dia membabat banyak tokoh-tokoh
silat di kawasan timur. Lalu menghantam ke barat. Bahkan pesisir utara ikut disapunya. Selama malang melintang tak satu
lawanpun sanggup merobohkannya. Tiga Bayang Setan tak mempan senjata tajam dan kebal terhadap pukulan sakti. Karenanya
tidak salah kalau dia kini menjadi momok nomor satu dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh silat golongan putih berusaha
membuat perhitungan dengannya. Namun Tiga Bayangan Setan bukan saja berhasil lolos bahkan dengan kejam dia menghabisi
tokoh-tokoh silat yang berani menantangnya.

Penunggang kuda kedua mengenakan pakaian kain tebal robek-robek, dekil dan bau. Dia duduk di atas punggung kuda sambil
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Lengannya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sebatas pergelangan tangan sampai ujung
jari, sepasang tangan orang ini tidak menyerupai tangan manusia melainkan berbentuk kaki atau cakar elang raksasa berwarna
merah dengan kuku-kuku runcing mencuat hitam pekat mengerikan. Konon bentuk tangannya inilah yang membuat dia dijuluki
Elang Setan.

Bicara soal tampang orang ini memiliki daging muka hancur rusak seperti dicacah. Kelopak matanya sebelah bawah
menggembung bengkak berwarna sangat merah dan selalu basah. Di antara sepasang mata yang angker tapi juga menjijikkan itu
melintang hidung tinggi bengkok seperti paruh burung elang. Tak salah kalau dirinya dijuluki Elang Setan.

Dengan tangannya yang berbentuk cakar itu dia mampu mematahkan tombak, pedang atau golok lawan. Dengan cakar setannya
dia mampu membobol perut, membongkar isi perut atau membetot lepas jantung lawan. Kabarnya kuku-kuku hitam di ujung
cakar mengandung racun sangat jahat. Jangankan terkena cengkeram, tergurat saja sudah dapat membuat seseorang sekarat
keracunan!

Seperti Tiga Bayangan Setan, Elang Setan yang muncul hampir bersamaan setahun lalu telah pula membuat heboh dunhia
persilatan dengan melakukan pembunuhan- pembunuhan atas diri tokoh-tokoh silat ternama. Dia sengaja mencari tokoh silat
tersohor untuk ditantang lalu dikalahkan dan dibunuh! Selama ini tak ada satu lawanpun yang sanggup menghadapinya.

Antara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan konon telah saling sumpah mengangkat saudara satu dengan lainnya. Sumpah itu
disertai upacara melukai lengan masing-masing, lalu menempelkan luka setelah itu yang satu menghisap darah yang lainnya! Jika
dua Setan bergabung jadi satu dapat dibayangkan bahaya apa yang kini tengah mengancam seantero dunia persilatan.

Hujan telah berhenti. Elang Setan usap-usap rambutnya yang basah dengan cakar setannya. Dia memandang berkeliling.

“Kau benar saudaraku! Hujan turun matahari mencorong! Membawa alamat yang tidak baik! Tapi apakah itu perlu ditakutkan?!”

Tiga Bayangan Setan tertawa lalu meludah ke tanah. “Kau tahu, kira-kira di daerah mana kita saat ini?!”

Elang Setan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang berkelopak gembung merah. “Sulit aku menebak. Tak
kelihatan gunung tak nampak bukit. Namun ancar-ancarnya kalau aku tak salah kita mungkin berada jauh di barat Gunung Wilis.”

“Kalau dugaanmu benar berarti paling cepat saat matahari terbenam kita baru sampai di Kartosuro,” ujar Tiga Bayangan Setan
pula.

“Kita teruskan perjalanan sekarang juga. Makin cepat sampai makin baik. Dadaku selalu sesak kalau mengemban tugas seperti ini,”
berkata Elang Setan lalu kembali dia mengusap rambutnya dengan jari-jari berbentuk cakar.

Tiga Bayangan Setan anggukkan kepala. “Perintah orang tua itu tidak boleh diabaikan! Terus terang aku berfikir-fikir apa urusan
sebenarnya dia menyuruh kita menemui dirinya di Kartosuro…”

“Ini urusan pelik tapi rada-rada gila!” ujar Elang Setan. “Kita harus berjalan dua hari dua malam hanya untuk memenuhi permintaan
Jarot Ampel!”

“Aku juga tidak senang. Tapi jangan melupakan budi orang. Paling tidak Jarot Ampel pernah menyelamatkan kita dari kematian
waktu kita belum punya ilmu sehebat sekarang.”

Elang Setan menyeringai. “Kau tahu manusia-manusia macam apa kita sekarang adanya Tiga Bayangan. Aneh terdengar di
telingaku kalau kini kau bisa-bisaan bicara segala macam budi orang!”
2

Tiga Bayangan Setan menyeringai. “Si tua Jarot Ampel itu bukan manusia sembarangan. Aku punya firasat dia menyimpan satu
rahasia terhadap kita. Siapa tahu dia menyuruh kita datang ada sangkut pautnya dengan rahasia itu. Aku mau tanya, apa
menurutmu dia sudah memberikan seluruh kepandaiannya pada kita?”

Elang Setan tertawa. “Mana ada guru yang mewariskan seluruh kepandaiannya pada sang murid. Paling tidak dia akan menyimpan
satu ilmu andalan. Atau sebuah senjata mustika atau benda sakti apa saja…

“Kita berangkat sekarang Elang Setan! Aku ingin tahu apa maunya orang tua itu!” Tiga Bayangan Setan berkata lalu sentakkan tali
kekang kuda tunggangannya.

Seperti yang dikatakan Tiga Bayangan Setan menjlang matahari tenggelam mereka akhirnya sampai di Kartosuro. Cuaca mulai
meremangi gelap dan udara terasa dingin.

“Tempat kediaman orang tua itu di kaki bukit tak jauh dari sini. Bagaimana kalau kita mampir dulu di warung kopi untuk istirahat,”
Elang Setan berkata begitu mereka sampai di persimpangan jalan di pinggiran Kartosuro.

“Aku paling suka bersenang-senang. Apalagi untuk urusan perut dan urusan bawah perut…!” kata Tiga Bayang Setan lalu tertawa
mengekeh. “Tapi sekali ini aku kira kita menemui Jarot Ampel lebih dulu baru cari tempat untuk bersenang-senang. Bukan
sebaliknya!”

“Kalau kau tidak suka aku tidak memaksa. Kau berangkat saja duluan. Aku nanti menyusul. Tenggorokanku seperti timah meleleh.
Sekujur badanku letih. Aku perlu istirahat dan meneguk secangkir kopi!”

Lalu tanpa banyak cerita lagi Elang Setan gebrak kudanya meninggalkan persimpangan. Tiga Bayangan Setan gelengkan kepala. Dia
memutar kudanya ke arah timur.

Hanya beberapa saat saja kedua orang itu berpisah, di kejauhan di depannya Tiga Bayangan Setan melihat serombongan
penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Berpakaian seragam, beberapa di
antaranya membawa obor.

“Pasukan Kerajaan…” kata Tiga Bayangan Setan dalam hati. “Siapa takutkan mereka. Tapi mengingat urusan penting dengan guru
ada baiknya aku menghindar jangan sampai terlihat.” Lelaki itu cepat menyelinapkan kudanya ke tepi jalan, menghilang di balik
semak belukar dan pepohonan, terlindung dalam udara yang mulai kelam.

Rombongan orang berkuda lewat dengan suara gemuruh dan kepulan debu. Di belakang rombongan ternyata ada seorang
berjubah kuning, bermuka pucat dengan rongga mata dan pipi sangat cekung.

Tiga Bayangan Setan yang tadinya segera hendak melanjutkan perjalanan mendadak hentikan kudanya. Dia mendongak sambil
berfikir-fikir.

“Orang tua berjubah kuning itu…. Aku rasa-rasa mengenal dirinya.” Tiga Bayangan Setan berfikir keras. “Ah! Aku ingat. Dia pasti
cecunguk yang bekerja jadi penjilat di Keraton. Namanya Tubagus Kasatama, berasal dari barat. Bergelar Dewa Berjubah Kuning
Bertongkat Besi…. Gelar gila!” Tiga Bayangan Setan tertawa sendiri. “Hemm…. ada apa malam-malam begini dia mau-mauan ikut
rombongan pasukan Kerajaan. Tadi di sebelah depan aku lihat ada seorang Perwira Tinggi. Pasti ada urusan

penting. Elang Setan sudah lama mencari cecunguk tua itu untuk ditantang dan dihabisi. Kalau dia tidak mampir di Kartosuro tadi
pasti dia sudah cari perkara menantang tua bangka itu. Tubagus Kasatama, nasibmu memang bagus seperti namamu. Seharusnya
kau bakal meregang nyawa malam ini di tempat ini!”

Tiga Bayangan Setan keluar dari balik pepohonan siap meneruskan perjalanan. Namun setelah memacu kudanya beberapa ketika
mendadak muncul satu pikiran di kepalanya.

“Rombongan itu menuju ke Kartosuro. Elang Setan ada disana. Jangan-jangan….” Orang berjubah hitam ini lantas saja putar
kudanya, memacu binatang itu menuju Kartosuro.

** DUA **

Warung kopi itu sebenarnya tidak pantas disebut warung. Selain bangunannya besar pelayannya juga banyak. Saat itu pengunjung
sedang ramai. Namun, begitu sosok Elang Setan muncul di ambang pintu langsung semua tamu yang ada di situ menjadi bubar.
Mereka tak perlu tahu siapa adanya orang ini. Cukup dengan melihat tampangnya yang hancur seperti bekas dicacah dihias
dengan dua mata yang kelopaknya membeliak merah serta sepasang tangannya yang berbentuk cakar runcing mengerikan, tanpa
pikir panjang semua tetamu serta merta berdiri lalu dengan ketakutan meninggalkan warung kopi lewat pintu belakang bahkan
ada yang langsung melompati jendela. Mereka pantas takut setengah mati karena malam itu justru adalah malam Jum’at Kliwon di
mana banyak yang masih percaya pada malam seperti itu segala hantu dan setan gentayangan seenaknya, terkadang
memperlihatkan diri!

Elang Setan sesaat masih tegak di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan perhatikan orang-orang yang kabur. Lalu dia
melangkah masuk, menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu.

Para pelayan di warung kopi itu tak ada satupun berani mendatangi Elang Setan.

Mereka berkumpul ketakutan disatu sudut bersama pemilik warung. Orang-orang ini jadi mengkerut ketika dari tenggorokan Elang
Setan keluar suara menggeru.

“Aku hanya bicara satu kali! Apa tidak ada manusia melayani di tempat ini?!”
3

Habis berkata begitu Elang Setan hantamkan tangan kirinya ke atas meja kayu. “Braaakkk!”

Empat kaki meja amblas ke lantai tapi tetap utuh! Papan meja sendiri hancur berkeping-keping. Dari sini dapat dilihat bagaimana
Elang Setan mampu mengerahkan tenaga dalam tapi mengatur demikian rupa hingga tidak semua bagian meja berantakan.

Melihat apa yang terjadi, sebelum tamu seram itu menghancurkan benda-benda lain yang ada dalam warung, seorang lelaki
kerempeng bermuka bopeng cepat mendatangi.

“Orang jelek! Siapa kau?! Pelayan?!”

“Harap maafkan. Saya pemilik warung. Sa… saya siap melayani….”

Elang Setan menyeringai. “Nasibmu rupanya bagus. Muka buruk bopeng tapi rejeki besar. Bisa punya warung sebesar ini. Lekas
kau siapkan meja baru! Hidangkan satu cangkir besar kopi manis! Bawa tekonya ke sini sekalian!”

Pemilik warung memberi isyarat pada para pelayan. Dua orang pelayan segera membersihkan kepingan-kepingan papan meja yng
hancur, mencabut empat kaki meja yang masih menancap di lantai lalu meletakkan sebuah meja baru di hadapan Elang Setan.
Pada saat itulah dari arah pintu ada orang berkata.

“Sediakan dua cangkir tambahan! Kami sangat berkenan menemani tamu agung ini minum bersama!”

Kepala Elang Setan tersentak. Dia cepat berpaling ke arah pintu. Dua orang dilihatnya melangkah masuk, berjalan ke arah meja di
mana dia duduk. Yang satu seorang kakek bermuka pucat dan berpipi sangat cekung, mengenakan jubah kuning. Orang kedua
seorang Perwira Tinggi pasukan Kerajaan. Ikut masuk ke dalam warung bersama mereka enam orang prajurit yang segera
mengambil sikap mengurung. Di luar warung masih ada beberapa prajurit lagi, berjaga-jaga dekat pintu depan, jendela-jendela
dan pintu belakang.

Elang Setan segera mencium gelagat tidak enak. Namun dia memperlihatkan sikap tenang. Sepasang matanya yang berkelopak
merah gembung menyoroti dua orang yang melangkah ke arah mejanya. Lalu enak saja kedua orang ini duduk di hadapannya.
Elang Setan segera kenali kakek berjubah kuning tapi tidak mampu mengetahui siapa adanya Perwira Tinggi di samping si kakek.

“Orang-orang hebat dari Kotaraja!” ujar Elang Setan setengah berseru. Mulutnya menyunggingkan seringai buruk. “Aku tidak
mengundang kalian minum-minum ataupun bersenang-senang. Kalau mau minum silahkan saja, tapi bayar sendiri!”

Kakek berjubah kuning yaitu Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi tertawa lebar.

“Jangan takut,” katanya. “Kami cukup banyak membawa uang. Katakan saja kau mau minum apa mau makan apa. Kami membayar
semuanya!”

“Ah, kalian orang-orang kaya rupanya. Kalian muncul membawa keberuntungan bagiku. Katakan apa mau kalian?” bertanya Elang
Setan.

Perwira Tinggi Kerajaan menjawab. “Kita minum saja dulu. Nanti masih banyak waktu untuk bicara…” ucapan ini membuat Elang
Setan jadi naik darah karena merasa diremehkan. Dia hendak mendamprat dengan kata-kata kotor. Namun saat itu pemilik
warung muncul membawa sebuah teko besar serta tiga buah cangkir. Tiga cangkir diletakkan masing-masing di hadapan tiga
tamu. Lalu kopi hangat dalam teko dituangkannya satu-persatu ke dalam tiga cangkir.

“Selera minumku tiba-tiba saja lenyap!” kata Elang Setan. “Silahkan kalian minum berdua!”

Perwira Tinggi yang duduk tepat di hadapan Elang Setan tersenyum. “Kami tidak memaksa kalau kau tak mau minum. Cuma
sayang, mungkin ini kali terakhir menikmati kopi seenak ini. Mengapa disia-siakan?”

Sepasang mata gembung merah Elang Setan mendelik. Dari tenggorokannya keluar sura menggembor.

“Perwira tinggi! Apa maksudmu dengan ucapan tadi?!” membentak Elang Setan.

“Ketahuilah kami datang membawa tugas untuk menangkapmu hidup-hidup ataupun mati! Sayang temanmu yang bergelar Tiga
Bayangan Setan itu tidak bersamamu. Kalau dia ada, rejeki kami tentu lebih besar!” yang bicara adalah si kakek bermuka cekung
Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning.

Elang Setan tertawa lebar. Cairan yang membasahi kelopak matanya menetes dan bergulir di kedua pipinya membuat Perwira
Tinggi dan kakek berjubah kuning merasa jijik.

“Kopi sudah terhidang! Mengapa tidak diteguk? Apa mau menunggu sampai dingin atau takut aku telah menyuruh orang
memasukkan racun ?!”

“Mana enak minum kopi hangat kalau tidak ditemani lawan bicara,” menjawab Perwira Tinggi.

Elang Setan kembali tertawa. “Kalau kalian memaksa aku rasa-rasa sungkan menolak. Baiklah, aku minum duluan…”

Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi melihat Elang Setan ulurkan tangan kanannya yang berbentuk cakar. Mereka menyangka
orang ini akan memegang cangkir kopi dan meneguk isinya. Ternyata Elang Setan cuma celupkan jari telunjuknya yang berkuku
panjang ke dalam cangkir. Kopi hangat dalam cangkir kelihatan beriak lalu terdengan suara mendesis.
4

Baik Tubagus Kasatama maupun si Perwira Tinggi sama-sama menyembunyikan kekagetan mereka ketika melihat bagaimana kopi
dalam cangkir laksana disedot perlahan-lahan habis hingga akhirnya cangkir tanah itu kosong!

“Enaknya kopi di warung ini…” kata Elang Setan sambil menggeliat. “Biar kuisi lagi cangkirku.”

Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi mengira Elang Setan akan menuangkan kopi di teko ke dalam cangkir. Tapi yang dilakukan
Elang Setan kalau tadi dia mencelupkan jari telunjuk kanannya maka kini dia memasukkan ujung tangan kirinya ke dalam cangkir.
Terdengar suara mendesis disusul suara benda cair mengucur. Ketika Tubagus Kasatama dan sang Perwira melihat ke dalam
cangkir ternyata sedikit demi sedikit cangkir itu terisi kopi hangat yang mengepulkan asap berbau harum!

Baik Tubagus Kasatama maupun Perwira Tinggi dari Kartosuro itu sama-sama memaklumi hanya orang memiliki kepandaian tinggi
sekali yang mampu melakukan seperti apa yang diperbuat Elang Setan. Maka keduanya serta merta mempertinggi kewaspadaan.

“Aku telah meneguk kopiku. Jika kalian tidak mau minum sebaiknya angkat kaki saja dari warung ini. Tunggu aku di luar sana jika
kalian memang punya urusan…”

Perwira Tinggi dan Tubagus Kasatama saling pandang.

“Orang sudah menawarkan. Rasanya tidak sopan kalau tidak memenuhi…” kata Tubagus Kasatama pula. Sang Perwira tersenyum
dan anggukkan kepala. Kedua orang ini lantas memandang lekat-lekat pada cangkir kopi di hadapan mereka. Tidak menunggu
lama. Tiba-tiba dua cangkir itu naik ke atas, perlahan-lahan melayang ke muka si kakek berjubah kuning dan Perwira di sebelahnya.
Luar biasa! Jelas dua orang ini memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan Elang Setan. Ketika cangkir hanya tinggal seujung jari
dari mulut mereka, kedua orang ini segera membuka mulut siap untuk meneguk kopi dalam cangkir. Namun tanpa setahu mereka
di bawah kolong Elang Setan kepalkan jari-jari kedua tangannya yang berbentuk cakar. Terjadilah hal yang tidak diduga oleh dua
orang dihadapannya. Gerakan cangkir yang mendekati mulut serta merta terhenti.

Tubagus Kasatama dan sang Perwira Tinggi segera maklum kalau orang pergunakan kekuatan untuk membendung tenaga dalam
mereka yang dikerahkan untuk mengangkat cangkir. Keduanya lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Cangkir kelihatan
seperti hendak bergerak lagi tapi kembali tertahan begitu di bawah meja Elang

Setan kepalkan dua tangannya lebih kencang. Terjadi adu kekuatan tenaga dalam yang hebat. Walau digempur dua lawan ternyata
Elang Setan sanggup bertahan bahkan menghantam.

Bahu Tubagus Kasatama dan Perwira Tinggi itu kelihatan bergetar, mula-mula perlahan lalu berubah tambah keras. Meski sadar
kalau mereka tidak sanggup bertahan namun untuk menyerah begitu saja tentu saja keduanya merasa malu. Lebih baik terluka di
dalam daripada menyerah!

Di bawah meja tiba-tiba Elang Setan buka kepalan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuh Tubagus Kasatama dan si
Perwira Tinggi terhempas ke belakang.

Sebelum itu dua cangkir yang menggantung di udara pecah berantakan. Pecahan cangkir dan kopi muncrat membasahi pakaian
mereka. Sebagai orang persilatan cabang atas meskipun sudah kena dihantam lawan, sebelum jatuh jungkir balik dari atas kursi
Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi cepat melesat ke atas. Sambil selamatkan diri dua orang ini saling berikan isyarat.
Karenanya begitu melayang turun mereka langsung menyerang Elang Setan!

Kakek berjubah kuning menghantam dengan mengebutkan lengan jubah sebelah kanan. Sang Perwira melepaskan tendangan ke
dada Elang Setan. Dua serangan ini datangnya laksanan kilat. Tapi yang diserang tenang saja. Sesaat lagi angin pukulan dahsyat
dan tendangan akan mengenai sasaran baru dia membuat gerakan. Dua cakar elang membabat ke depan. Cahaya hitam dan
merah bertabur di udara.

“Awas! Cakar beracun!” teriak Tubagus Kasatama memberi ingat.

“Wutttt! Wutttt” “Breettt!”

** TIGA **

Perwira Tinggi kerajaan itu merasa seolah nyawanya terbang ketika cakar kiri Elang Setan merobek ujung celananya sebelah kanan.
Keringat dingin memercik di keningnya. Untung hanya pakaiannya yang disambar robek. Kalau sampai daging atau kulit kakinya
kena dicakar pasti cidera berat akan menimpa dirinya karena dia tahu betul kuku-kuku hitam cakar setan itu mengandung racun
teramat jahat!

Elang Setan tertawa mengekeh. Enak saja dia kemudian dudukkan diri di kursi. Mengambil teko di atas meja lalu gluk-gluk-gluk!
Dengan lahap dia meneguk kopi hangat langsung dari teko hingga mulutnya berlepotan. Ketika Tubagus Kasatama dan si Perwira
Tinggi tegak di seberang meja dengan paras berubah, Elang Setan menyeringai. Dia seka mulutnya dengan cakar tangan kiri. Dia
putar kepalanya pada Perwira Tinggi di sebelah kiri. Di antara dua lawan yang dihadapinya dia bisa menduga bahwa yang satu ini
memiliki ilmu lebih rendah dari pada kakek berjubah kuning. Maka diapun menggertak membuat patah semangat lawan. “Apa kau
pernah melihat merahnya jantungmu sendiri?”

Sang Perwira mendengus. “Mulutmu terlalu besar! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara kalau nanti tubuhmu kusuruh kuliti lalu
digarang dengan panas?”

Elang Setan tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap lalu tiba-tiba sekali dua tangannya melesat ke depan.

“Awas serangan!” teriak Tubagus Kasatama. Dia tahu betul, sekali Elang Setan melancarkan serangan cakar setannya jarang lawan
bisa selamat. Sambil berteriak kakek ini gerakkan tangan kanannya ke punggung jubah.
5

Saat itu tangan kiri Elang Setan menyambar melewati meja ke arah leher Perwira Tinggi sementara tangan kanannya melesat lurus
ke arah dada tepat di bagian jantung!

Jelas dia memang hendak berusaha menjebol dada dan membetot jantung lawannya!

Satu deru keras terdengar disertai membesetnya sinar hitam legam. Elang Setan tersirap kaget ketika dirasakannya ada benda
keras menindih dua lengannya. Dia cepat menarik serangan tapi benda keras itu lebih cepat datangnya dan “braaakk!”

Dua lengan Elang Setan terhempas ke atas meja, ditindih keras oleh sebatang tongkat besi yang salah satu ujungnya berbentuk
runcing dn satunya lagi berupa lingkaran pipih dengan pinggir setajam pisau! Inilah tongkat besi bernama “Wesi Ketaton” yang
merupakan senjata mustika andalan kakek berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi.

“Kurang ajar!” maki Elang Setan. Dia kerahkan tenaga dan tarik kedua tangannya.

Tapi tidak seperti diduganya, dia ternyata tidak mampu melepaskan tindihan tongkat besi pada kedua lengannya. Malah tekanan
tongkat semakin keras. Selagi dia berkutat membebaskan dua lengannya dari samping Perwira Tinggi Kerajaan menyergap dengan
dua pukulan keras, satu ke dada, satu ke kepala Elang Setan.

Elang Setan meraung keras. Kalau saja dua lengannya tidak terjepit Wesi Ketaton niscaya dua hantaman dahsyat tadi akan
membuat tubuhnya mental. Pipi kirinya tampak menggembung merah kena hajaran. Darah Elang Setan mendidih. Dengan lutut
kanannya dia hantam papan meja hingga hancur berantakan. Hancurnya papan meja membuat lepas jepitan tongkat besi kakek
berjubah kuning pada dua lengan. Sadar kalau dua tangan lawan yang sangat berbahaya itu kini lepas bebas Tubagus Kasatama
segera lancarkan serangan.

Tongkatnya lenyap berubah menjadi gulungan dan sambaran sinar hitam.

Perwira Tinggi Kerajaan tak tinggal diam. Dia segera pula lancarkan serangan berupa pukulan-pukulan tangan kosong
mengandung aji dan tenaga dalam tinggi. Elang Setan terkurung rapat. Sulit baginya untuk meloloskan diri. Dari ganasnya
serangan dua orang itu jelas mereka tidak perduli apakah Elang Setan bisa diringkus hidup-hidup atau dalam keadaan jadi mayat!

Meski tenggelam dalam serangan-serangan mematikan Elang Setan bersikap tenang bahkan untuk beberapa jurus di masih
melayani gempuran dua lawan dengan masih duduk di kursi kayu!

“Manusia setan ini benar-benar luar biasa!” membatin Tubagus Kasatama. Dia membentak keras lalu tongkat besinya diputar
demikian rupa hingga warung itu seolah dilanda badai.

“Dewa Berjubah Kuning! Apa ini ilmu andalanmu yang terakhir?” seru Elang Setan mengejek.

“Bukan terakhir bagiku tapi terakhir bagi jalan nafasmu!” balas berteriak Dewa Berjubah Kuning. Ujung bulat tongkat Wesi Ketaton
membabat ke arah leher Elang Setan didahului sambaran hawa dingin mengidikkan, “Putus lehermu!” teriak si kakek.

“Hancur tongkatmu!” balas Elang Setan. Tangan kanannya mencelat ke atas. Bukan saja untuk melindungi lehernya tapi sekaligus
menangkap bagian tongkat di bawah lingkaran pipih. Begitu tertangkap pergelangan tangannya segera diputar. Sekali putar
tongkat besi itu pasti akan patah! Tapi Elang Setan kecele. Tongkat lawan ternyata benar- benar senjata sakti mandraguna! Elang
Setan tidak hilang akal. Sadar senjata lawan tak bisa dipatahkan atau dihancurkannya maka dia tarik kuat-kuat tongkat itu. Karena
Tubagus Kasatama tak ingin senjatanya dirampas orang dan berusaha mempertahankan, tak ampun tubuhnya ikut tertarik ke
depan. Pada saat itulah kaki kanan Elang Setan melesat ke depan.

“Bukkk!”

Tubagus Kasatama merasa perutnya seperti pecah. Jeritan keras keluar dari mulutnya. Tongkat terlepas dari tangan dan tubuhnya
terpental dua tombak. Baru saja kedua kakinya menginjak lantai warung dan masih dalam keadaan terhuyung-huyung lawan
datang menyergap. Elang Setan membuat gerakan aneh. Kedua tangannya dikembangkan ke samping laksana sayap elang
raksasa. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar sebat.

“Craasss!”

Tangan kanan Tubagus Kastma yang terkembang karena berusaha mengimbangi diri putus laksana dibabat senjata tajam. Orang
tua ini terpekik. Belum habis pekiknya tangan kiri Elang Setan ganti menghantam.

“Craasss!”

Kali ini cakar maut Elang Setan merobek pangkal leher dan dada si orang tua. Darah membasahi jubah kuningnya. Meski tangan
kanan putus dan leher serta dada luka parah manusia berjuluk Dewa Berjubah Kuning ini masih tetap berdiri bahkan berusaha
melompati lawan sambil hantamkan tangan kirinya. Selarik sinar kuning menggebubu menghantam Elang Setan, membuat kedua
kakinya terangkat ke atas.

Elang Setan membentak keras. Dia cepat melompat sampai dua tombak. Begitu menukik tangan kirinya menyambar. “Craassss!”

Dada kiri Dewa Berjubah Kuning jebol. Jeritan si orang tua setinggi langit mengerikan. Meski sadar kalau dia tidak akan lolos dari
kematin karena jantungnya sudah kena cengkeram lawan namun dengan tangan kirinya dia masih berusaha balas menghantam
dan berhasil!

Dua sosok tubuh terbanting dan terkapar di lantai warung. Yang pertama sosok Dewa Berjubah Kuning yang tak berkutik lagi,
menemui ajal secara mengerikan karena jantungnya tak ada lagi dalam rongga dada kirinya! Tak jauh dari mayat si kakek
6

menggeletak Elang Setan. Tangan kanannya memegangi perutnya yang terkena jotosan lawan sedang tangan kirinya pegangi
benda merah berdenyut-denyut. Itulah jantung Dewa Berjubah Kuning!

Pemilik wrung kopi dan semua pelayan sama menggigil saking ngeri dan ketakutan setengah mati melihat kejadian itu. Lain halnya
dengan Perwira Tinggi Kerajaan. Begitu melihat si orang tua menemui ajal dia cepat mengambil tongkat Wesi Ketaton. Dengan
senjata ini dia menyerbu Elang Setan yang saat itu tengah berusaha bangkit membelakanginya. Bagian runcing tongkat
ditusukkannya ke balok kepala Elang Setan.

Bagaimanapun tingginya ilmu Elang Setan namun dia masih belum sehebat kawannya Tiga Bayangan Setan yang tak mempan
pukulan sakti dan kebal senjata tajam. Tusukan tongkat Wesi Ketaton pada batok kepalanya akan membunuhnya seketika. Karena
saat itu serangan datang dari belakang sekalipun. Elang Setan cepat mengetahui dan sempat mengelak namun keadaannya sudah
sangat terlambat.

Hanya sekejapan mata lagi tongkat Wesi Ketaton akan amblas menusuk batok kepala Elang Setan tiba-tiba dari pintu warung
melesat sosok berjubah hitam. Mendahului sosok ini terlihat ada tiga bayangan hitam. Bayangan-bayangan ini berupa manusia
bertelanjang dada penuh bulu berkepala berbentuk raksasa berambut panjang riap-riapan serta taring mencuat, memiliki
sepasang mata besar merah. Tiga bayangan ini seolah keluar dari kepala orang berjubah hitam itu. Bayangan yang di tengah
melesat paling cepat ke arah Perwira Tinggi yang tengah menghunjamkan tombak maut ke kepala Elang Setan. Makhluk berkepala
raksasa ini angkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu menghantam.

“Praaak!”

Perwira Tinggi Kerajaan itu tak pernah tahu siapa atau apa yang membunuhnya. Tubuhnya terhempas ke lantai warung dengan
kepala pecah.

“Syukur kau datang menolongku. Kalau tidak…” kata Elang Setan pada si jubah hitam yang bukan lain adalah sobatnya si Tiga
Bayangan Setan. Sesaat dia tegak sambil pegangi perutnya yang masih terasa sakit.

“Kau masih mau minum kopi?!” ejek Tiga Bayangan Setan. Elang Setan hanya bisa menyeringai.

“Hampir saja kau minum kopi di akhirat!” ujar Tiga Bayangan Setan tandas. Dia memutar tubuh. Sebelum melangkah ke pintu di
berkata pada Elang Setan. “Ambil tongkat besi hitam itu. Itu bukan senjata sembarangan. Pasti ada gunanya bagi kita!”

** EMPAT **

Hujan turun lebat bukan alang kepalang seolah langit di atas sana terbelah. Satu bayangan putih berkelebat dalam kegelapan
malam. Dia tengah berusaha mencari tempat berteduh. Dari mulutnya, terdengar suara bergemeletakkan akibat gigil kedinginan.
Tapi dari mulut itu juga berulang kali keluar makian kesal. “Hujan sialan!”

Dalam keadaan kuyup tubuh dan pakaian orang ini tiba-tiba melihat ada satu nyala api di kejauhan. Menyangka itu adalah nyala
lampu minyak rumah penduduk tanpa pikir panjang dia segera berlari ke arah sana. Ternyata nyala api itu bukan lampu minyak
tanah melainkan nyala api sebuah obor yang bergoyang-goyang diterpa angin keras. Obor ini terikat pada tiang bambu sebuah
gubuk tanpa dinding yang atapnya bocor disana sini.

Di tengah gubuk berlantai tanah dan becek itu melintang batangan pohon. Orang yang mencari tempat berteduh ini terperangah
ketika dilihatnya di atas batang kayu itu duduk terkantuk-kantuk seorang tua. Sepasang matanya sebentar terbuka sebentar
terpejam. Rambutnya yang awut-awutan sebagian telah basah oleh air hujan yang menetes jauh dari atap bocor, begitu juga jubah
hitamnya. Meski kebocoran seperti itu tapi orang ini tidak berusaha untuk bergeser atau berpindah duduk.

“Orang tua aneh, tak bisa kutebak apa dia lelaki atau perempuan,” kata orang yang baru datang. Dia sendiri terpaksa berpindah
tempat beberapa kali agar terhindar dari kebocoran air hujan. “Berjubah hitam, tangan dan kaki tidak kelihatan. Bagaimana aku
harus menegurnya. Biar aku mendehem saja….” Berfikir begitu orang ini lalu mendehem beberapa kali. Yang didehemi tidak
memberi reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terus membuka dan memejam sedang bahu dan kepalanya terayun-ayun.

“Aku yakin dia belum tidur. Tapi mengapa tidak mendengar aku mendehem. Mungkin tuli, bisa juga gagu….” Orang ini lalu berputar
beberapa kali mengelilingi orang tua yang duduk di atas batang pohon. “Waktu matanya terbuka, dia pasti melihat aku. Nyala api
obor cukup terang. Tapi dia masih diam saja. Apa selain tuli dan gagu dia juga buta?! Aku tidak percaya! Kalau kutegur paksa
mungkin dia marah. Manusia macam begini kelakuannya bisa aneh-aneh.” Orang ini memutar otaknya lalu senyum-senyum
sendiri. Dari mulutnya kini terdengar suara siulan halus. Lalu mulutnya berucap.

“Uh… dingin-dingin begini perut rasanya lapar sekali. Untung masih ada persediaan ubi rebus. Masih hangat lagi…. Hemm….
Enaknya kumakan saja sekarang juga….” Sambil berkata begitu orang ini mengeruk ke balik pakaiannya mengambil sesuatu. “Nah
ini di…. Ubi rebus. Hangat asyik…. Pengganjal perut yang lapar. Biar kukupas dulu kulitnya. Hemm… pasti enak…. Aduh besarnya
ubi ini. Rasa-rasanya tak habis kalau aku makan sendiri…!” Sambil berkata begitu dia melirik ke samping lalu menyengir ketika
melihat orang tua di atas batang kayu memutar kepalanya sedikit sedang kedua matanya dibuka. Bibirnya berkomat-kamit
berulang kali.

“Nah, nah… Jadi sampean rupanya tidak tuli dan tidak buta. Buktinya sampean palingkan kepala mencari ubiku! Ha… ha…. Ha!
Apakah sampean juga gagu-bisu? Kurasa tidak ‘kan?!”

Dua mata orang tua itu tampak membesar berkilat-kilat. Tampangnya yang penuh kerut merengut tanda dia sadar kalau sudah
kena ditipu orang. Ternyata dia memang tidak gagu karena saat itu juga suara bentakannya menggeledek.
7

“Gubuk ini milik nenek moyangku! Diwariskan pada bapak moyangku! Bapak moyangku mewariskan pada diriku! Orang muda,
jangan berani macam-macam! Lekas angkat kaki dari sini!”

Sesaat orang di hadapan si orang tua terperangah kaget. Bukan saja karena ucapan orang tua itu tapi juga karena tidak mampu
memastikan dari suara orang apakah dia laki- laki atau perempuan. “Jelas dia punya kepandaian merubah suara!” berkata dia
dalam hati.

Lalu dalam hati juga dia mengomel. “Perduli setan ini gubuk warisan siapa!” Lalu pada orang tua itu dia berkata. “Ah, benar
rupanya. Ternyata kau tidak gagu. Kau marah tidak

kubagi ubi rebus?! Lihat sendiri! Mana ada ubi rebus! Aku hanya mendustaimu! Orang itu membuka ke dua tangannya lebar-lebar
sambil terus tertawa.

“Kurang ajar betul dirimu! Pertama kau masuk ke gubukku tanpa permisi. Kedua kau menipuku seolah punya ubi rebus hingga
menganggu kantukku! Lekas bilang siapa dirimu yang berani mencari mati?!”

“Walah, masakan numpang berteduh dan tertipu ubi saja balasannya sampai mati segala?!”

“Aku bertanya siapa dirimu anak setan kurang ajar?!”

Yang ditanya kembali garuk-garuk kepala tapi menjawab juga. “Aku Wiro…”

“Hemm… ternyata namamu jelek. Kelakuanmu lebih jelek lagi, sejelek tampangmu!” Orang tua di atas batang kayu mendengus.
“Aku muak melihatmu! Menyingkir dari hadapanku!” Habis berkata begitu orang tua ini lalu kibaskan lengan jubah sebelah kiri.

“Wutttt!”

“Hai! Kenapa kau menghantamku?!” teriak pemuda di hadapan si orang tua yang bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.

“Makan ubimu!” teriak orang tua itu sambil putar pergelangan tangan kirinya.

“Astaga!”

Waktu tadi lengan jubah mengebut satu gelombang angin mengeluarkan hawa dingin menderu, membabat ke arah perut
Pendekar 212. Dia cepat menyingkir. Namun putaran tangan kiri yang dilakukan orang tua membuat gelombang angin berputar
aneh. Wiro merasa seolah ada tangan besar dan kuat yang tak kelihatan menelikung pinggangnya. Dia menghantam ke bawah
dengan tangan kanan. Namun yang dipukulnya hanya udara kosong. Di saat yang bersamaan tahu-tahu tubuhnya terangkat ke
atas lalu “brak!” Tubuh Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah becek. Selgi Wiro terhenyak kesakitan orang tua di atas batang
kayu tertawa gelak-gelak.

“Sudah kau makan ubi rebusmu? Enak ya? Ha… ha… ha…!”

Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri. Pakaiannya basah dan kotor penuh tanah. Dia tak bisa menerka apakah orang tua tak dikenal
itu punya maksud jahat atau tidak. “Orang aneh seperti yang satu ini tak perlu diladeni. Lebih baik aku menyingkir saja dari sini.
Lagi pula hujan mulai reda…” Wiro lalu keluar dari gubuk bocor itu. Namun baru melangkah dua kali si orang tua tiba-tiba berseru.

“Hai! Kau sudah memakai gubukku untuk berteduh! Mana bayarannya!”

“Tua bangka brengsek!” maki murid Sinto Gendeng. Dia balikkan tubuh lalu menyahuti. “Gubukmu bocor besar. Tak ada gunanya
berteduh! Cukup aku membayar dengan ucapan terima kasih saja!” Lalu tanpa perduli lagi Wiro lanjutkan langkahnya.

Pada saat itulah mendadak di belakangnya terdengan suara menderu. Ada sesuatu melesat di udara, melayang ke arahnya! Cepat
Wiro berpaling dan jadi sangat terkejut ketika menyaksikan batangan kayu besar yang tadi diduduki si orang tua melayang di udara
setinggi kepala, siap menghantamnya.

Pendekar 212 rundukkan kepala sambil kerahkan pukulan sakti “kunyuk melempar buah” lalu menghantam.

“Braakkk!”

Batang kayu mental dan hancur berkeping-keping. Terdengar suara tawa mengekeh. Orang tua berjubah hitam itu tegak beberapa
langkah di hadapan Wiro, masih dibawah atap gubuk. Sambil bertolak pinggang dia berkata. “Berteduh tidak minta permisi. Pergi
tidak mau membayar! Batangan kayu kursi dan tempat ketiduranku malah kau hancurkan! Kelakuanmu sudah keterlaluan!”

“Orang tua, jika aku salah harap maafkan!”

Mendengar ucapan Wiro orang tua itu kembali tertawa.

“Gampang betul mulutmu minta maaf! Pernahkah mulutmu itu makan manisan api?!”

“Manisan api…? Eh, apa maksudmu?! Tanya Wiro. Selagi dia keheranan orang di hadapannya menyambar obor yang terikat di tiang
gubuk. Lalu “wusss… wusss… wusss!” Dengan obor itu dia menyerang Wiro. Gerakannya cepat sekali. Serangan pertama yang
hampir membakar mukanya berhasil dielakkan oleh Wiro, begitu juga serangan kedua ke arah perut. Tapi serangan berikutnya tak
bisa dikelit. Dada baju putihnya terkena sambaran obor, langsung terbakar. Cepat Wiro tepuk-tepukkan tangan matikan obor,
membuat murid Sinto Gendeng tak bisa berdiam diri lagi. Sambil mengelak dia balas menyerang. Dia berusaha membuat gerakan
8

melebihi kecepatan lawan. Mula-mula Wiro memang bisa mendesak namun beberpa jurus kemudian lawan bukan saja
mementahkan jurus-jurus silatnya malah serangan obornya sempat membakar tubuh dan sesekali menyambar pipi kanannya
hingga pemuda ini mengerenyit menahan sakit!

Tidak terasa dua puluh jurus berlalu cepat. Wiro semakin terdesak. Satu kali ketika obor menusuk ke arah perutnya murid Sinto
Gendeng melompat ke kiri. Dia sengaja memukul dan menymbar tiang bambu penyanggah atap gubuk terdekat. Gubuk reot itu
miring hampir roboh. Wiro melesat ke luar gubuk dan menunggu sambil melintangkan bambu di depan dada siap menghadapi
lawan. Karena bambu yang dipegangnya lebih panjang dari obor di tangan lawan, Wiro menyangka dia kini akan lebih mudah
menghadapi serangan. Tapi satu hal yang mengejutkan terjadi begitu dia coba menusuk dengan bambu itu.

Lawan menyambuti serangannya. Menangkis dengan obor. Bagian atas obor sesaat menempel di ujung bambu. Bambu itu serta
merta terbakar. Orang tua mundur selangkah.

Sambil menyeringai dia meniup ke depan. “Wusss!”

Api yang membakar ujung bambu, seperti bola tiba-tiba menggelinding sepanjang bambu dan menyambar ke arah tangan dan
muka Pendekar 212!

“Gila!” teriak murid Sinto Gendeng sambil melompat mundur dan cepat lepaskan bambu yang dipegangnya tapi masih terlambat.
Gelundungan bola api menyambar ke arah mukanya. Wiro menunduk.

“Wusss!”

Kain putih pengikat kepalanya dan sebagian rambutnya di atas telinga kiri masih sempat terbakar. Daun telinganya terasa panas
sakit bukan main.

“Orang tidak main-main. Dia punya maksud untuk mencelakaiku. Bukan mustahil kehadirannya di tempat ini memang sengaja
menghadangku!”

Berfikir sampai di situ Wiro segera mendahului menyerang. Si orang tua sambut dengan putaran obor.

“Lihat serangan!” teriak murid Sinto Gendeng

Lawan tertawa tergelak. “Serangan apa?! Aku tidak melihat serangan apa-apa.

Yang kulihat kau menari tak karuan seperti monyet terbakar buntut!”

Menerima ejekan itu Pendekar 212 jadi penasaran sekali. Dia segera keluarkan jurus-jurus ilmu silat terhebatnya. Serangan dibuka
dengan jurus “orang gila mengebut lalat” yang membuat obor di tangan lawan bergoyang keras tapi tak bisa dibuat mental bahkan
padampun tidak. Melihat ini murid Sinto Gendeng susul dengan jurus serta pukulan sakti bernama “angin puyuh”. Sebelumnya
jarang Wiro mengeluarkan ilmu pukulan ini. Di malam yang gelap angin pukulannya mengeluarkan suara menderu keras. Gubuk
reyot berderak-derak. Dihadapannya si orang tua kelihatan tertegun. Jubah hitamnya berkibar-kibar dan kedua kakinya terangkat
ke atas.

“Huh! Ilmumu cukup bagus untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek si orang tua.

Dia angkat tangan kirinya dengan telunjuk mengacung lurus ke atas. Seperti tersedot angin pukulan sakti Pendekar 212 sedikit
demi sedikit amblas masuk ke dalam jari!

Meski terkejut bukan kepalang namun sadar kalau dia tidak boleh memberi kesempatan. Didahului dengan jurus “ular naga
menggelung bukit” Wiro kembali lancarkan serangan. Kaki kanannya melesat. Ini merupakan serangan tipuan karena begitu orang
bergerak menghindar tubuh Wiro melesat ke depan dengan dua tangan terpentang, menyambar laksana kilat ke leher lawan! Ini
satu serangan sangat berbahaya. Tapi si orang tua sambut serangan itu dengan tawa bergelak lalu secepat kilat dia membuat
gerakan aneh. Tubuhnya melenting ke belakang tapi kedua kakinya tidak bergeser dari kedudukan semula. Begitu dua tangan Wiro
menyambar dia tusukkan obor ke arah perut Wiro sedang tangan kiri menjotos ke dada!

“Ah! Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia tak habis pikir. Serangannya tadi dengan gerakan cepat luar biasa, tapi lawan
mementahkannya begitu mudah. Sambil kertakkan rahang murid Sinto Gendeng bergerak ke samping lalu tiba-tiba sekali dia
membalik lancarkan jurus serangan bernama “di balik gunung memukul halilintar”. Dua lengannya berputar laksana baling-baling.
Menghantam ke arah lawan. Salah satu dari lengan itu tidak dapat tidak pasti akan mendarat di tubuh lawan. Tapi apa lacur. Tiba-
tiba sekali orang tua berjubah hitam melesat ke udara sambil menotokkan obornya ke batok kepala Wiro!

Wiro sadar bahaya maut yang mengancamnya. Dengan gerakan kilat dia menghindar dengan keluarkan jurus “kepala naga
menyusup awan”. Begitu obor lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling dua kali.
Pada gulingan ketiga dia berbalik dan hantamkan tangan kanannya.

Sinar terang benderang berkelebat menyilaukan disertai menebarnya hawa panas.

Murid Sinto Gendeng ternyata telah lepaskan pukulan sakti “sinar matahari”.

Di seberang sana di depan gubuk orang tua berjubah hitam keluarkan seruan keras. Tubuhnya berkelebat lenyap sebelum pukulan
maut itu menghantam dirinya. Pukulan sinar matahari melabrak gubuk terus menghantam semak belukar dan pepohonan di
sekitarnya. Serta merta gubuk dan semak belukar tenggelam dalam kobaran api sedang pohon-pohon hangus. Dari sini bisa dilihat
bagaimana kehebatan pukulan sakti yang dilepaskan murid Sinto Gendeng. Semua benda yang dilanda pukulan itu terbakar
9

padahal dalam keadaan basah akibat kehujanan! Namun apa gunanya semua kehebatan itu kalau dia tidak mampu menghajar
lawan! Wiro kertakkan rahang.

“Sialan! Kemana lenyapnya manusia itu?” ujar Wiro dalam hati.

Di belakangnya mendadak ada suara tawa mengekeh. Wiro berbalik cepat. Orang tua berjubah hitam itu ternyata kini tegak hanya
dua langkah saja di hadapannya! Di tangan kanannya masih tergenggam bambu obor yang setengahnya berada dalam keadaan
hancur.

“Pukulanku hanya mampu menghancurkan ujung obor….” membatin Wiro.

“Anak muda, apa kau masih punya ilmu kepandaian lain yang hendak kau perlihatkan padaku?!”

Ejekan itu membuat panas telinga Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama.

Didahului dengan bentakan keras murid Sinto Gendeng menggebrak ke depan, lancarkan serangan berupa jotosan kiri kanan
mengandung tenaga dalam penuh! “Traakk!”

Potongan bambu obor di tangan orang tua berjubah hitam hancur berantakan sewaktu dipergunakan untuk menangkis. Tinju
kanan Wiro terus melesat menghantam dadanya dengan telak. Selagi tubuh lawan terhuyung-huyung Wiro susul menyodokkan
tinju kirinya ke lambung. Tubuh orang tua itu terlipat ke depan. Secepat kilat Wiro kembali menggebuk dengan tangan kanan. Kali
ini yang di arahnya adalah muka lawan. Hantamannya mendarat tepat di kening orang tua itu hingga tubuhnya terjengkang di
tanah.!

“Gila! Tiga pukulanku menghantamnya telak! Dia tidak cidera sedikitpun! Malah menyeringai!”

Selagi Wiro terheran-heran, dengan satu gerakan aneh tubuh yang terjengkang di tanah itu tiba-tiba melenting ke udara. Tahu-
tahu sepasang kakinya telah menjapit leher Wiro. Bau pesing! Itu yang tercium oleh Wiro. Dia berusaha menjotos tubuh lawan
sambil mencoba melepaskan lehernya dari japitan sepasang kaki. Namun terlambat. Tubuh si orang tua berputar ke kanan.
Akibatnya Wiro ikut terpuntir keras dan terbanting ke tanah.

“Uh…! Benar-benar edan. Copot kepalaku!” keluh Pendekar 212. Untuk beberapa saat dia hanya bisa terkapar diam di tanah.
Kepalanya mendenyut sakit. Lehernya seperti putus dan pemandangannya berkunang-kunang. Pada saat itulah lawan mendatangi,
mencekal leher bajunya. Tangan kiri menarik tubuhnya ke atas, tangan kanan memukul!

“Bukkk!”

Pendekar 212 merasa kepalanya seperti meledak. Setelah itu segala sesuatunya menghitam gelap. Dia roboh meliuk di tanah
becek. Di hadapannya orang tua berjubah hitam menyeringai, lalu meludah ke tanah.

Ludah itu bercampur darah. Ternyata pukulan-pukulan yang dilepaskan Wiro tadi ada yang membuat cidera tubuhnya di bagian
dalam. Orang tua ini agaknya menyadari hal itu karena sambil melangkah pergi dia berulang kali mengusap dadanya sambil
salurkan tenaga dalam.

Ketika Wiro sadar dari pingsannya hari telah terang. Matahari pagi yang menerobos lewat daun-daun pepohonan menyilaukan
matanya. Jangankan bergerak, membuka kedua matanya saja terasa sakit. Lehernya seolah patah. Menelan ludah saja rasanya
sakit bukan main. Dadanya juga mendenyut sakit, mungkin ada tulang iganya yang cidera. Lalu daun telinga kirinya masih terasa
panas akibat sambaran api obor. Untuk beberapa lama Wiro hanya bisa terkapar tak bergerak di tanah yang becek itu. Selang
beberapa ketika setelah mencoba berulang kali akhirnya dia mampu bangkit dan duduk menjelepok di tanah walau masih
terhuyung-huyung. Sehelai kertas yang tadinya terletak di dadanya jatuh ke pangkuan.

Perlahan-lahan sepasang mata pemuda itu terbuka.

“Walah, sudah siang rupanya. Uh… badanku serasa remuk!”

Pertama sekali Wiro melihat semak belukar lebat dan pohon-pohon tumbuh rapat di hadapannya. Dia menoleh ke kiri. Tampak
bekas-bekas gubuk yang kini telah punah dimakan api berasal dari pukulan sinar matahari yang dilepaskannya malam tadi.

“Orang tua geblek berkepandaian tinggi itu, apa dia masih ada di tempat ini…?”

Wiro bertanya-tanya sambil memandang berkeliling. “Aneh, kehadirannya malam tadi di tempat ini seperti sengaja menungguku.
Dia menghajarku setengah mati tapi tidak membunuh! Sialnya aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan apa dia lelaki atau
perempuan saja aku tak bisa mengetahui! Apa yang harus kulakukan sekarang? Lebih baik aku segera tinggalkan tempat celaka ini.
Mencari mata air membersihkan diri. Tenggorokanku serasa ditempeli besi panas. Haus sekali rasanya….”

Wiro berusaha bangkit. Pada saat itulah dia melihat lembaran kertas yang terletak di pangkuannya.

“Eh, apa pula ini? Hatinya bertanya-tanya. Dengan tangan kiri diambilnya kertas itu. Ternyata di kertas yang lembab dan kotor itu
ada serentetan tulisan. Walau tulisan itu buruk sekali Wiro masih bisa membacanya.

Permainan belum selesai. Jika merasa penasaran silahkan datang ke puncak Merbabu.

“Pasti tua bangka sialan itu yang membuat surat ini! Apa mau dia sebenarnya?!
10

Lebih baik tidak kuladeni orang gila itu….” Wiro terdiam sesaat. Berfikir-fikir. Lalu di mulutnya tersungging seraut senyum.
“Hemmm…. Mungkin ada baiknya aku melayani tantangannya. Mungkin dia sendiri yang masih penasaran. Tapi kalau betul
mengapa dia tidak menghabisi diriku sekaligus malam tadi…?” Wiro garuk-garuk kepala. “Ada satu keanehan. Ada sesuatu
terselubung dibalik semua kejadian ini…! Bisa baik tapi mungkin sekali bisa mencelakai diriku!”

** LIMA **

Bukit kecil di sebelah timur Kartosuro itu masih terbungkus kegelapan dini hari. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan hentikan
kuda masing-masing.

“Sudah tiga kali kita mengitari bukit ini! Jarot Ampel tidak kelihatan mata hidungnya!” berkata Tiga Bayangan Setan.

Elang Setan pencongkan mulut. Sambil letakkan tongkat besi milik Tubagus Kasatma yang diambilnya dia balas berkata. “Memang
aneh. Dia menyuruh kita datang.

Tempat kediamannya kosong. Dicari-cari tidak bertemu. Kurasa….” Elang Setan putuskan ucapannya. Di sebelah tiba-tiba tampak
sebuah benda terang melesat ke udara. “Tiga Bayangan! Lihat!” Elang Setan menunjuk ke langit di sebelah barat.

“Ada yang melempar benda terbakar ke udara! Jangan-jangan itu tanda isyarat dari guru! Memberitahu di mana dia berada!”

“Kalau begitu lekas kita menuju ke sana!” kata Elang Setan pula seraya menggebrak kudanya. Tiga Bayangan Setan cepat mengikuti.

“Ada nyala api di lereng bukit sebelah sana!” berseru Tiga Bayangan Setan. Elang Setan berpaling ke arah yang ditunjuk. Memang
betul ada nyala api disalah satu lereng bukit. Nyala api itu kelihatan bergerak-gerak beberapa kali lalu padam.

“Kita menuju ke sana!” ujar Elang Setan.

Dua orang itu segera memacu kuda menaiki lereng bukit di mana tadi mereka melihat ada nyala api. Naik ke atas sejauh mungkin
seratus tombak disatu tempat dua orang itu temukan tiga batangan kayu menancap di tanah. Pada ujung tiga kayu itu masih
terlihat nyala api yang telah meredup dan akhirnya padam.

“Ada sesuatu di sebelah sana…” bisik Elang Setan lalu turun dari kuda diikuti oleh

Tiga Bayangan Setan. Keduanya melangkah mendekati sebuah benda yang muncul di permukaan tanah miring lereng bukit.

“Sumur batu….” desis Elang Setan begitu sampai di hadapan benda dalam kegelapan. Yang ada di tempat itu memang sebuah
sumur batu. Meskipun mulut sumur sangat lebar namun ke dua orang itu tak dapat melihat apa yang ada dalam sumur karena
sangat gelap. Mereka juga tidak bisa menduga berapa kedalaman sumur itu.

“Aku mendengar seperti ada desisan halus dari dalam sumur…” kata Elang Setan.

“Jangan-jangan sumur ini sarang ular atau dihuni sejenis binatang buas!”

Tiga Bayangan Setan pegang daun telinganya kiri kanan dan pasang pendengarannya. “Bukan ular, tak ada binatang di dalam sana.
Itu suara angin. Bisa terjadi karena dinding sumur batu tidak rata…”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Guru Jarot Ampel masih tidak kelihatan…!”

“Sebaiknya kita tunggu sampai hari terang,” jawab Tiga Bayangan Setan.

Dari dalam sumur gelap tiba-tiba ada suara aneh. Mula-mula jauh datangnya seolah dari dasar sumur yang gelap, lalu semakin
keras seperti naik ke atas.

“Tiga Bayangan, kau dengar suara itu…? Jangan-jangan sumur ini dihuni setan hantu belantara…!

“Kedengarannya sepert suara orang membaca mantera!” bisik Tiga Bayanga Setan yang diam-diam merasa tercekat tapi tetap
tenang dan penuh waspada. Dia berbisik. “Siapkan pukulan untuk menghantam jika bahaya tiba-tiba muncul…”

Suara meracau seperti orang membaca mantera itu semakin keras, tambah keras lalu tiba-tiba lenyap!

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling pandang. Selagi mereka sama tercekat tiba-tiba ada suara mendesir. Dari dalam
sumur muncul sebuah benda. Ketika dua orang ini memperhatikan ternyata yang muncul adalah satu kepala manusia berambut
putih riap-riapan. Lalu kelihatan satu wajah pucat sangat tua, penuh keriputan. Sesaat kemudian menyusul kelihatan bagian dada,
perut dan pinggang. Di hadapan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kini muncul satu sosok kakek-kakek yang kemudian duduk
berjuntai di bibir sumur batu mengenakan jubah merah muda. Tubuhnya bungkuk dan bahunya naik pertanda orang ini berusia
tua sekali.

“Guru!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan begitu mereka kenali siapa adanya sosok yang barusan keluar dari dalam sumur
itu. Keduanya segera jatuhkan diri berlutut.

“Bagus! Kalian datang dalam waktu tepat! Terlambat sedikit saja kalian tidak akan menemuiku lagi!” kata orang tua di tepi sumur.
Saat itu dari dalam sumur tampak keluar kabut tipis hingga untuk beberapa lamanya orang tua itu antara kelihatan dan tidak.

“Guru, kami sudah datang! Mohon petunjuk gerangan apa maksudmu memanggil kami ke tempat ini?” Elang Setan ajukan
pertanyaan.
11

Orang tua yang duduk di tepi sumur manggut-manggut. Perlahan-lahan dia angkat kedua kakinya hingga kini di tepi sumur itu dia
duduk bersila terbungkuk-bungkuk seperti hendak rubuh jatuh masuk ke dalam sumur gelap.

“Waktu kita memang tidak banyak. Aku bicara langsung-langsung saja. Seratus lima puluh tahun lebih hidup di permukaan bumi.
Lebih dari seratus dua puluh tahun malang melintang menyandang gelar Iblis Tanpa Bayangan. Semakin tua usiaku semakin
kurasa hidup ini seolah tak ada ujungnya! Lebih dari tujuh puluh lima tahun aku membawa beban yang tidak pernah diketahui oleh
orang luar, termasuk kalian berdua sebagai murid-muridku…”

Ketika si orang tua bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan itu hentikan ucapannya sesaat, Tiga Bayangan Setan
beranikan diri membuka mulut.

“Guru, kami tidak mau berlaku lancang. Tapi jika memang kau punya beban mengapa tidak memberitahu kepada kami? Mungkin
kami bisa membantu memperingan bebanmu?”

Jarot Ampel gelengkan kepala. Wajahnya yang pucat keriput tampak redup. Tenggorokannya turun naik. Lalu dia berkata. “Beban
itu tidak dapat kuberikan pada siapapun. Kalau kelak aku memberitahu maka saat itulah sampai ajalku!”

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terkejut dan sama-sama saling pandang. Ketika mereka berpaling pada orang tua itu,
keduanya melihat si kakek membuka pakaiannya di bagian dada hingga bagian depan tubuhnya yang bungkuk itu tersingkap lebar.
Pada dada orang tua ini kelihatan terikat sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah kitab tua. Demikian
tuanya kitab ini baik sampulnya yang berwarna hitam maupun bagian dalamnya tampak sudah gugus lapuk dimakan usia.

“Guru….Kitab apa yang terikat di dadamu?” tanya Tiga Bayangan Setan heran.

Elang Setan tak kalah herannya.

“Tujuh puluh lima tahun lebih aku membawa kitab ini. Tak boleh ada orang yang tahu. Tak boleh kulepas dari ikatannya, apalagi
membaca dan mempelajari isinya! Pernah satu kali aku mencoba melanggar pantangan, mencoba mengintip apa isi kitab ini.
Akibatnya aku diserang demam panas selama sepuluh minggu…!”

“Kalau begitu pastilah kitab itu sebuah benda mustika sakti!” ujar Tiga Bayangan Setan.

“Sakti dia atas sakti! Bebanku berat sekali. Memiliki tapi tidak bisa mengambil manfaat. Namun sekarang aku segera akan bebas
dari semua beban….”

“Guru, apa kau tidak tahu kitab apa itu adanya? Mengapa sampai kau dibebani harus membawanya selama lebih dari separuh
usiamu?” bertanya Elang Setan.

Wajah Jarot Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan kembali menjadi redup. Suaranya bergetar ketika menyahuti pertanyaan muridnya.

“Menurut orang yang memberikannya padaku kitab ini bernama Wasiat Iblis. Berisi pelajaran ilmu kesaktian yang tidak ada duanya
di dunia ini. Siapa memiliki dan mengusasinya akan menjadi raja diraja dunia persilatan…!”

“Wasiat Iblis!” seru Tiga Bayangan Setan. “Kami sudah pernah mendengarnya! Kalau begitu…!”

Jarot Ampel tersenyum, “Aku tahu apa yang ada dibenakmu Tiga Bayangan Setan.

Kau dan juga saudaramu itu tiba-tiba saja punya maksud ingin memiliki kitab ini.

Betul…?” Si orang tua gelengkan kepala. “Suratan mengatakan bahwa hanya ada satu manusia yang boleh memiliki dan sekaligus
mempelajari isinya. Manusia itu akan datang sebelum seratus dari setelah kematianku…”

“Manusia itu, siapa dia guru?” tanya Elang Setan.

“Aku tidak tahu. Petunjuk hanya mengatakan bahwa orang itu seorang berkepandaian sangat tinggi. Akan muncul seratus hari
setelah aku mati…”

“Jadi kitab itu akan menjadi milik orang lain. Lalu apa perlunya guru menyuruh kami datang ke sini ?!” Pertanyaan Elang Setan
bernada tidak enak.

“Jangan kalian kecewa. Bagaimanapun juga kitab ini tidak berjodoh dengan salah satu dari kalian. Suratan sudah menentukan
demikian. Kalian kusuruh datang kemari karena setelah aku mati kalian berdua harus menjaga sumur batu ini sampai saat
munculnya orang yang ditakdirkan berjodoh dengan Wasiat Iblis ini…”

“Bagaimana kami tahu orangnya?” tanya Tiga Bayangan Setan.

“Kalian tak sanggup mengalahkannya. Hanya itu saja petunjuk yang aku bisa berikan.”

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terdiam.

“Ada satu hal lagi. Jika orang itu telah mendapatkan kitab Wasiat Iblis ini maka kalian berdua ditakdirkan akan menjadi
pembantunya!”

Paras Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung berubah.

“Kalau begitu apapun yang terjadi kami akan membunuhnya!” kata Elang Setan pula.
12

“Di alam akhirat aku mendoakan agar kalian mampu melakukan hal itu,” jawab si orang tua tersenyum tawar. Lalu dia menutup
baju pakaiannya kembali. Kitab Wasiat Iblis lenyap dari pemandangan dua anak muridnya.

“Murid-muridku, aku sudah siap pergi selama-lamanya. Jaga sumur batu ini baik-baik!”

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling melirik lalu sama-sama menjawab.

“Tugas dari guru akan kami laksanakan! Kami akan menjaga sumur batu sebaik-baiknya!” “Bagus! Kalau begitu selamat tinggal”

Habis berkata begitu kakek bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan ini hantam kepalanya dengan tangan kanannya
sendiri. “Praaakkk!”

“Ah!” Tiga Bayangan Setan keluarkan seruan tertahan. “Kita terlambat!” teriak Elang Setan.

Sebenarnya kedua orang ini sama-sama berniat hendak merampas kitab Wasiat Iblis itu namun tidak kesampaian karena saat itu
sang guru telah memukul rengkah kepalanya sendiri. Tubuh Jarot Ampel melayang jatuh ke dalam sumur batu. Tiga Bayangan
Setan masih berusaha menggapai pakaiannya tapi luput.

“Bagaimana sekarang…? Elang Setan bertanya.

“Aku harus mendapatkan kitab itu. Bagaimanapun caranya!” “Aku juga!” sahut Elang Setan.

Dua orang yang telah saling angkat saudara ini sesaat bentrok pandangan. Elang Setan mengalah dengan berkata: “Bagusnya kita
tunggu sampai hari terang. Kita belum tahu keadaan sumur batu ini. Jangan bertindak gegabah hanya karena menurutkan
keinginan menjadi raja diraja dunia persilatan…”

Tiga Bayangan Setan menyeringai, “Saudara tinggal saudara. Aku tidak mau dia mendahuluiku masuk ke dalam sumur!” membatin
Tiga Bayangan Setan. “Kalaupun aku harus membunuhnya apa boleh buat!”

Menunggu datangnya pagi terasa lama sekali bagi kedua orang itu. Ketika langit di sebelah timur mulai membersitkan cahaya
mentari pagi dan keadaan di tempat itu mulai terang Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat-cepat mendekati tepi sumur dan
memandang ke dalam. Astaga! Sumur batu itu demikian dalamnya hingga mereka tidak dapat melihat dasar sumur. Lagipula di
sebelah dalam masih menggantung kabut tipis menutupi pemandangan. Mereka hanya mampu melihat bagian sumur di atas
lapisan kabut.

Selain lebar ternyata makin ke dalam dinding sumur batu semakin melebar dan ada ulir-ulir batu seputar dinding seperti tangga
melingkar.

Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama berfikir bahwa jika mereka masuk ke dalam sumur batu mereka harus
mampu mencapai ulir terdekat lalu melangkah menuruni ulir itu hingga akhirnya mencapai dasar sumur di mana tentunya mayat
Jarot Ampel tergeletak bersama kitab Wasiat Iblis itu.

Tiga Bayangan Setan bergerak lebih dulu. Tapi dari belakang Elang Setan cepat menarik bahunya. Merasa dihalangi Tiga Bayangan
Setan balikkan badan lalu kirimkan satu jotosan yang tepat mendarat di dagu Elang Setan hingga kepala orang ini tersentak keras.
Selagi Elang Setan terjajar nanar Tiga Bayangan Setan pergunakan kesempatan untuk mendekati sumur lalu melompat ke dalam.
Tanpa ragu dia melesat ke arah ulir batu terdekat. Namun selagi tubuhnya melayang tiba-tiba dari dasar sumur terdengar suara
deras seperti air bah. Bersamaan dengan itu bertiup angin sangat kencang menebar hawa panas dan bau aneh! Lapisan kabut
berpencaran. Angin kencang menerobos ke atas.

Tiga Bayangan Setan merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia berusaha bertahan dengan mengerahkan tenaga luar dalam lalu
menghantam ke bawah. Tapi kekuatan pukulannya terdorong ke atas, membalik memukul tubuhnya sendiri. Tiga Bayangan Setan
berteriak keras. Tubuhnya mencelat keluar sumur batu dan terkapar di tanah. Dia memang sanggup bangkit kembali tapi dari
mulutnya keluar darah tanda dia telah mengalami luka dalam!

“Ada kekuatan iblis di dalam sumur itu…” kata Tiga Bayangan Setan megap-megap dengan muka pucat.

“Aku tidak percaya!” kata Elang Setan yang merasa kini punya kesempatan untuk mencoba. Apalagi saat itu suara deru dan
sambaran angin telah mulai mereda. Setelah perhatikan keadaan sebelah dalam sumur dan menganggap tak ada halangan
baginya untuk melompat ke dalam maka Elang Setan lantas ayunkan diri. Seringan kapas tubuhnya melayang masuk ke dalam
sumur batu.

“Aku berhasil!” serunya girang ketika kakinya menjejak ulir batu terdekat yang merupakan tangga menuju ke dasar sumur. Tapi
belum habis gema seruannya tiba-tiba dari dasar sumur kembali terdengar suara seperti deru air bah. Angin kencang panas dan
berbau aneh melesat ke atas, membuat tubuh Elang Setan tersentak keras begitu tersambar. Dia berpegangan pada batu yang
menonjol di dinding sumur batu. Tapi bagaimanapun dia mengerahkan seluruh tenaga tetap saja dia tak mampu bertahan.
Tubuhnya terseret ke atas, terbanting ke dinding batu lalu jatuh ke bawah. Dari bawah semburan angin kencang menghantam
dirinya kembali. Elang Setan tidak mau mengalah begitu saja. Kedua tangannya dikembangkan ke samping lalu dia kerahkan
tenaga untuk membuat gerakan seperti baling-baling! Ternyata dia memang bisa bertahan dari hantaman angin keras. Tubuhnya
berputar-putar laksana titiran. Sambil berputar dia berusaha bergerak turun dengan mengerahkan bobot badannya. Sedikit demi
sedikit Elang Setan melayang turun. Di mulut sumur Tiga Bayangan Setan menyaksikan kejadian itu dengan hati cemas. Bukan
cemas melihat apa yang mungkin terjadi dengan saudara angkat itu tapi cemas kalau-kalau Elang Setan memang berhasil turun ke
dasar sumur batu dan mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu!
13

Rasa cemas Tiga Bayangan Setan tidak lama. Saat itu dari dasar sumur kembali terdengar suara deru dahsyat. Satu gelombang
angin menghantam tubuh Elang Setan hingga mencelat mental keluar sumur. Waktu lepas dari mulut sumur salah satu kakinya
tidak sengaja menghantam kepala Tiga Bayangan Setan hingga orang ini terpental dan tergelimpang megap-megap. Sesaat dia
merintih kesakitan lalu menyumpah panjang pendek!

Elang Setan sendiri saat itu kelihatan melayang jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya kemudian terhempas di tanah, dari mulut,
telinga dan matanya kelihatan keluar darah. Elang Setan mengeluh tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri.

** ENAM **

Puncak Gunung Merapi diselimuti awan tebal. Di kejauhan berkali-kali terlihat kilat menyambar dibarengi suara guntur
menggelegar. Udara dingin bukan kepalang. Di dalam sebuah goa batu, dua orang duduk berhadap-hadapan di antara api unggun.
Ada satu keanehan. Api unggun itu tidak dihidupi oleh potongan kayu bakar melainkan oleh setumpuk batu hitam hingga api yang
berkobar panasnya dua kali lebih hebat dari api yang berasal dari kayu biasa.

Sepasang tangan kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang saling digosokkan satu sama lain di atas api unggun. Dua tangan
itu dipanasi demikian rupa, dekat sekali dengan kobaran api dan tidak diangkat-angkat sampai lama sekali. Manusia biasa tidak
akan mampu melakukan hal itu.

Yang punya tangan adalah seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Walaupun terkena cahaya kobaran api namun jelas kulit
mukanya yang tipis kelihatan pucat sekali, angker dingin membayangkan kelicikan dan maut! Sepasang matanya besar tapi
memiliki rongga sangat cekung. Kakek bermulut perot ini memiliki rambut putih sepanjang bahu. Dalam dunia persilatan dia
dikenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat.

Di hadapan orang tua berwajah setan itu duduk seorang pemuda berwajah membayangkan kekerasan dan keangkuhan. Sehelai
kain merah melilit keningnya. Rambutnya lebat dan hitam. Keningnya tinggi menonjol. Dagunya kukuh. Dia mengenakan sehelai
mantel hitam yang menutupi hampir sekujur tubuhnya depan belakang. Dialah Pangeran Matahari, musuh besar bebuyutan
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Selama bertahun-tahun Pangeran Matahari berusaha membunuh menyingkirkan Wiro.
Sebegitu jauh maksud kejinya itu tidak pernah kesampaian. Hal ini bukan saja membuat semakin bertumpuknya dendam kesumat
dalam diri pemuda ini tapi juga membuat dia selalu mencari akal bagaimana caranya agar dapat melenyapkan Wiro. (Mengenai
asal usul Pangeran Matahari dan siapa adanya orang tua berjuluk Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat harap baca serial Wiro
Sableng berjudul Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi)

Setelah berdiam diri beberapa lama akhirnya sang guru membuka mulut memecah kesunyian dalam goa yang dipanasi api unggun
itu. Sementara bicara kedua tangannya terus saja digosok-gosokkan di atas kobaran api.

“Muridku, tadi kau bertanya mengapa aku memintamu datang ke puncak Merapi ini. Ada satu hal penting yang akan menentukan
hidup masa depanmu! Empat puluh hari yang lalu aku bermimpi…”

Belum habis sang guru bicara Pangeran Matahari sudah menyela dengan nada tinggi. “Guru, bertahun-tahun kita tidak bertemu.
Hari ini kau mengatakan ada sesuatu yang penting. Ternyata kau hendak bicara segala macam mimpi! Kurasa kita hanya
menghabiskan waktu percuma saja…!”

Si orang tua berwajah setan menyeringai. Dalam hati dia membatin. “Aku suka anak ini. Sejak dulu tidak berubah. Masih saja
sombong dan bicara angkuh. Meremehkan orang lain sekalipun aku gurunya sendiri!” Setelah mendehem beberapa kali orang tu
itu melanjutkan ucapannya. “Apa kau lupa dulu kalau bukan karena mimpi aku tidak akan menemukanmu? Ingat ketika gunung ini
meletus dan aku melihatmu tergantung di atas pohon beringin sementara lahar panas menutupi bumi ?!”

“Aku tidak pernah melupakan hari malapetaka itu. Juga ingat jasamu menyelamatkan diriku. Tapi apakah itu perlu diulang-ulang?!”
suara Pangeran Matahari tetap tinggi. Orang lain mungkin akan jengkel atau marah melihat sikapnya ini. Tapi sang guru sudah
tahu sifat muridnya hanya tersenyum-senyum.

“Mimpi tidak selamanya kembang tidur. Banyak mimpi merupakan petunjuk sangat berguna….”

“Aku mendengarkan guru. Coba katakan apa mimpimu kali ini?”

“Sebelum kujelaskan aku ingin tahu dulu. Apakah kau masih berminat untuk menyingkirkan Pendekar 212 Wiro Sableng musuh
besarmu itu?”

Mendengar pertanyaan itu sepasang mata Pangeran Matahari terbuka lebar.

Dagunya mengencang dan pelipisnya bergerak-gerak.

Si Muka Bangkai tertawa lebar. “Kau tak perlu menjawab. Dari air mukamu aku tahu kau memang ingin melenyapkan musuh
besarmu itu! Nah sekarang aku tanya, apa kau pernah mendengar tentang sebuah kitab kuno bernama Wasiat Iblis?”

Pangeran Matahari angukkan kepala. “Aku pernah berusaha mencarinya. Tapi selalu menemui jalan buntu hingga aku akhirnya
merasa sangsi apakah buku yang berisi ilmu dahsyat itu memang benar-benar ada….”

“Kitab itu memang ada. Dan aku telah memimpikan kitab itu, muridku!”

“Hah…?” Pangeran Matahari beringsut maju. Dari balik kobaran api unggun dia memandangi wajah gurunya lekat-lekat. “Apa
mimpimu itu, guru?” “Mimpiku memberi petunjuk di mana kitab itu berada!”
14

Pangeran Matahari berdiri, memutari perapian lalu duduk di samping Si Muka Bangkai. “Guru, harap kau lekas menceritakan
mimpimu itu. Selengkap-lengkapnya. Jangan ada yang ketinggalan.”

“Seorang tua berjubah dan bersorban hitam muncul dalam mimpiku. Waktu itu aku merasa berada di satu gurun pasir maha
panas. Orang ini tiba-tiba saja muncul dan berkata padaku. Sampaikan pesanku pada muridmu terlahir bernama Anom, putera
Raja Surokerto dari ibu R.A Siti Hinggil. Seumur hidupnya selama langit masih dijunjung dan bumi masih dipijak manusia, dia tidak
akan sanggup mengalahkan pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Kecuali jika dia menguasai ilmu yang tersimpan
dalam Kitab Wasiat Iblis. Lalu dalam mimpi aku bertanya pada orang bersorban hitam itu. Apakah dia bisa memberi petunjuk di
mana kitab itu bisa ditemukan? Di lantas menjawab. Pergilah ke lereng barat sebuah bukit di timur Kartosuro. Di situ ada sebuah
sumur tua terbuat dari batu. Di dalam sumur tersembunyi Kitab Wasiat Iblis. Namun untuk dapat masuk ke dalamnya muridmu
harus mengalahkan dua orang penjaga sumur yang memiliki kepandaian sangat tinggi… Aku bertanya siapa adanya dua penjaga
sumur itu. Namun orang tua bersorban hitam membalikkan tubuh dan pergi. Saat itu aku sendiri terbangun dari tidur…”

Lama Pangeran Matahari berdiam diri setelah mendengar penuturan gurunya. “Apa yang ada dalam benakmu, muridku?” tanya
sang guru.

Si pemuda angkat bahunya. “Bagaimana aku bisa memastikan bahwa mimpimu itu bisa menjadi kenyataan?!”

“Kau tak bisa memastikan kalau tidak membuktikan sendiri. Jika kau suka segera saja berangkat menuju tempat yang kuceritakan
tadi. Jika tidak suka perlu apa dituruti. Hanya saja sayang kalau ada orang lain sempat mendahului. Berarti musuh beratmu
bertambah satu lagi.”

Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. “Jauh-jauh datang kemari percuma saja kalau aku tidak coba menyelidik apa
mimpimu itu benar atau tidak…”

Perlahan-lahan Pangeran Matahari bangkit berdiri. “Guru, aku mohon diri sekarang.”

Si Muka Bangkai anggukkan kepala. “Makin cepat kau melakukannya makin baik…. aku akan merasa bangga jika kelak kau benar-
benar merajai dunia persilatan.”

Pangeran Matahari pencongkan mulutnya. “Apa menurutmu saat ini aku belum menguasai dunia persilatan?”

Si Muka Bangkai gelengkan kepala. “Musuh utamamu si Wiro Sableng itu. Harus kau lenyapkan. Lalu harus pula kau tumpas tokoh-
tokoh silat lainnya termasuk nenek sakti bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212…. Dapatkan kitab Wasiat Iblis itu! Dunia
berada di tanganmu.

Pangeran Matahari menjura tiga kali dengan sikap kaku karena sebenarnya dia tidak suka melakukan hal ini sekalipun untuk
menghormat gurunya. Lalu dia membalikkan tubuh tinggalkan goa di puncak Gunung Merapi itu.

** TUJUH **

Tidak sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari letak sumur batu yang terletak di lereng barat bukit di luar Kartosuro. Bau busuk
membimbingnya ke tempat itu.

“Bau busuk hebat sekali. Aku yakin itu berasal dari bangkai manusia!” katanya. Di satu tempat dia tinggalkan kuda tunggangannya
lalu bergerak ke arah bau busuk. Sebagai tokoh silat yang telah bertahun-tahun malang melintang dan menggegerkan rimba
persilatan Pangeran Matahari tentu saja punya pengalaman banyak. Dia tidak terus mendaki lereng bukit ke arah datangnya bau
busuk namun sengaja bergerak berputar menjauh, lalu berbalik menuruni bukit. Kecerdikan ini memang sangat beralasan. Karena
selama ini dua orang yang menjaga sumur batu dimana tersimpan Kitab Wasiat Iblis bersama mayat Iblis Tanpa Bayangan
memang lebih banyak memperhatikan bagian bawah bukit dari arah mana orang-orang mendatangi.

Dari balik sebatang pohon besar Pangeran Matahari dapat menyaksikan keadaan di bawahnya. Di salah satu lereng bukit tampak
jelas dua orang berjaga-jaga di dekat sebuah sumur batu. Sambil mengawal keduanya mengobrol dan menyantap potongan
daging bakar. Tak jauh di sekitar mereka bertebaran paling tidak empat sosok mayat yang telah membusuk.

“Dua penjaga sumur batu itu agaknya bukan manusia. Bagaimana mereka bisa makan enak-enakan sementara mayat
bergelimpangan di dekat mereka. Menebar bau busuk! Aku saja yang ada disini mau terbongkar rasanya isi perutku!” membatin
Pangeran Matahari. Dia bertanya-tanya siapa kiranya empat orang yang menemui ajal di bawah sana. Berat dugaannya mereka
adalah orang-orang pandai yang berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu.

Setelah sekli lagi memperhatikan keadaan sekitar sumur batu Pangeran Matahari tujukan perhatiannya pada salah seorang
penjaga yang mengenakan jubah hitam.

“Berjubah hitam, kepala sulah sebelah, salah satu mata kecil seperti buta.

Hemmm….” Kening Pangeran Matahari mengerenyit, rahangnya menggembung dan terkancing rapat. “Bangsat itu rupanya yang
jadi salah satu pengawal sumur batu! Tiga Bayangan Setan! Manusia keparat yang punya mimpi besar hendak menguasai dunia
persilatan. Bagaimana dia ada kaitannya dan jadi anjing penjaga sumur batu. Mungkin juga gurunya Si Iblis Tanpa Bayangan ada di
sini?” Pangeran Matahari arahkan pandangannya pada orang kedua. “Bukan…. Yang satu itu bukan Si Iblis Tanpa Bayangan. Di
mana ada Tiga Bayangan Setan di situ ada Elang Setan! Pasti Elang Setan, kambrat keparat si Tiga Bayangan Setan!” Pangeran
Matahari perhatikan benda panjang yang menggeletak di pangkuan Elang Setan. “Tombak atau tongkat berbentuk aneh. Setahuku
Elang Setan tidak punya senjata seperti itu. Hemmm… pasti dia sikat milik orang lain yang jadi korbannya…” Sang Pangeran
memperhatikan keadaan sekitar sumur batu sekali lagi. Lalu dengan seringai congkak dia tinggalkan tempat itu, melangkah
menuruni lereng bukit.
15

Di tepi sumur batu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan sedang asyik menyantap daging panggang kelinci hutan yang memang
banyak terdapat di bukit itu. Dengan mulut masih penuh makanan Elang Setan berkata.

“Lebih tujuh puluh hari sudah kita mendekam di tempat ini. Menunggu sampai tiga puluh hari lagi cukup lama! Bagaimana kalau
orang yang dimaksud guru itu tidak muncul?”

Apa yang kau pikirkan itu sudah ada dalam benakku sejak lama. Aku mencari akal bagaimana caranya bisa masuk ke dalam sumur
ini lalu mengambil kitab sakti itu. Tapi rasa-rasanya sulit. Berarti kita harus meminjam tangan orang lain.”

“Meminjam tangan orang lain bagaimana?” tanya Elang Setan.

“Kalau orang itu datang, kita pura-pura melawan. Kita biarkan dia masuk ke dalam sumur. Begitu keluar dan Kitab Wasiat Iblis
sudah ada di tangannya, kita serbu dan kita rampas!”

Elang Setan tertawa bergelak. Karena di mulutnya masih ada makanan maka dia jadi batuk-batuk berulang kali.

“Hentikan batukmu! Aku mendengar suara orang mendatangi!” bentak Tiga Bayangan Setan tiba-tiba seraya palingkan kepala ke
lereng bukit sebelah atas.

Baru saja Tiga Bayangan Setan berkata begitu tiba-tiba semak belukar lebat di atas mereka terkuak. Sesosok tubuh tinggi
bermantel hitam muncul, melangkah dan berhenti kira-kira dua tombak dari sumur batu.

“Kau kenal kunyuk berpakaian seperti kelelawar ini?” bisik Elang Setan.

“Untuk membunuh seseorang apa perlu kenal atau tidaknya?!” sahut Tiga Bayangan Setan.

Elang Setan muntahkan daging dalam mulutnya lalu tertawa gelak-gelak. “Kau betul saudaraku! Tapi ada baiknya kau menanyakan
sesuatu padanya sebelum kita mengirimnya ke liang akhirat!”

Elang Setan bangkit berdiri. Kedua tangannya yang kotor oleh minyak daging diusap-usapkan pada baju tebalnya hingga pakaian
dekil itu jadi tambah kotor. Dia gerak- gerakkan jari-jari tangannya yang berbentuk cakar elang hingga mengeluarkan suara
berkeretekan lalu membuka mulut.

Namun sebelum ucapan keluar dari mulut Elang Setan, Pangeran Matahari angkat tangan kanannya. Ada selarik angin menyambar
membuat Elang Setan cepat-cepat miringkan kepala.

“Kalian tidak layak menanyaiku! Aku yang punya kuasa bertanya kepada pada kalian! Kalian mendengar dan mengerti?!”

“Sombong amat kunyuk satu ini!” tukas Elang Setan.

“Orang yang bakal mati memang suka bersikap macam-macam!” menimpali Tiga

Bayangan Setan lalu keluarkan tawa bergelak.

Pangeran Matahari dongakkan kepala. Dari mulutnya kemudian menyembur tawa keras yang menggetarkan seantero lereng bukit
dan menindih lenyap tawa Tiga Bayangan Setan. Dua tokoh silat penjaga sumur batu itu diam-diam terkesiap. Orang di hadapan
mereka memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi! Walau demikian dua orang ini mana mengenal takut!

Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan lalu berkata. “Hari ini kita bakal dapat mangsa kelima! Rasanya sudah pada gatal
tanganku menunggu belum ada korban baru yang datang. Kini kita dapat satu rejeki lagi!”

“Pemuda congkak! Mungkin kau mau lihat-lihat dulu empat mayat yang sudah membusuk itu sebelum kau kami tetapkan sebagai
korban kelima?!” Yang berkata adalah Elang Setan.

“Tidak perlu aku mengikuti omonganmu! Aku sudah tahu siapa-siapa mereka! Aku juga tahu milik siapa tongkat besi yang kau
pegang itu! Kau pasti juga telah membunuh tokoh silat istana berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi!”

“Ah! Kau sudah tahu rupanya! Masih semuda ini pengetahuanmu ternyata cukup luas! Mungkin itu bisa menolong melapangkan
jalanmu ke liang kubur! Ha… ha… ha!”

Elang Setan tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Tangannya yang memegang tongkat berkelebat. “Wutttt!”

Ujung tongkat yang berbentuk lingkaran pipih setajam mata pisau menderu. Cahaya hitam berkiblat. “Craaasss!” Semak belukar
yang hanya setengah jengkal dari pinggang Pangeran Matahari dirambas rata! Yang diserang sama sekali tidak bergerak malah
sunggingkan senyum mengejek.

“Sedekat ini aku berdiri kau tak sanggup membabat perutku! Matamu yang gembung itu buta atau bagaimana?! Dasar manusia
tidak tahu diri! Kalau cuma jadi anjing penjaga sumur kenapa bermulut besar?!”

Mendengar dirinya disebut anjing penjaga sumur meledaklah amarah Elang Setan. Tiga Bayangan Setan ikut-ikutan marah besar.
Rencana mereka semua yang pura-pura hendak mengalah serta merta terlupa. Keduanya memutuskan untuk membunuh
Pangeran Matahari saat itu juga!

Elang Setan tancapkan tongkat besi ke tanah. Dia lebih suka pergunakan cakar- cakar mautnya. Dia bergerak mendekati Pangeran
Matahari dari sebelah kiri sementara Tiga Bayangan Setan mendatangi dari kanan.
16

Pangeran Matahari dongakkan kepala, keluarkan suara mendengus. Dengan tangan kanannya dia sibakkan mantel hitam yang
menutupi bagian depan pakaiannya.

“Pangeran Matahari!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan ketika melihat gambar Gunung Merapi berwarna biru dengan
latar belakang sinar sang surya berupa garis-garis lurus berwarna merah!

Suara tawa mengekeh mengumandang dari mulut Pangeran Matahari yang saat itu mendongakkan kepala seolah tidak
menganggap bahaya serangan dua lawan yang bakal menyerbunya.

Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama tidak menduga kalau pemuda di hadapan mereka adalah tokoh besar
golongan hitam berjuluk Pangeran Matahari.

“Saudaraku Tiga Bayangan Setan! Rejeki kita besar sekali hari ini! Begitu kita membunuhnya, nama besar kita semakin mencuat
dalam dunia persilatan!”

“Anjing-anjing penjaga sumur! Jangan mimpi! Aku menunggu seranganmu!” bentak Pangeran Matahari. Kedua tangannya kini
diletakkan di pinggang.

“Bagus! Kau minta mati lebih cepat dari yang kami rencanakan!” teriak Elang Setan. Dia melirik pada Tiga Bayangan Setan. Dua
orang ini saling anggukkan kepala. Di kejap itu pula keduanya berkelebat kirimkan serangan!

** DELAPAN **

Lima larik sinar hitam menyambar ke arah muka Pangeran Matahari. Lima lagi membeset ke arah perutnya. Itulah sambaran
serangan maut cakar setan yang dilancarkan Elang Setan. Dari jurusan lain Tiga Bayangan Setan lepaskan pukulan tangan kosong
yang sengaja di arahkan ke bagian bawah perut lawan. Jelas kedua orang ini ingin membunuh Pangeran Matahari detik itu juga!

Meskipun tercekat melihat ganasnya serangan dua lawan namun manusia yang dikenal senagai pendekar jahat segala cerdik,
segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini hadapi serangan orang dengan mendengus. Tangan kanannya bergerak
mengibaskan mantel hitamnya ke bagian dada.

“Wuuuutttt!”

Suara mantel berkelebat angker. Mengeluarkan cahaya hitam redup.

Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan hanya mendengar suara tapi tidak merasakan adanya sambaran angin keras!
Namun dahsyatnya saat itu keduanya merasa seolah ada satu kekuatan yang tidak kelihatan menahan gerak serangan yang
mereka lancarkan.

Elang Setan kertakkan rahang. Tiga Bayangan Setan menggembor keras. Kedua orang ini lipat gandakan kekuatan tenaga dalam
lalu merangsak ke depan. Tapi semakin mereka mengerahkan kekuatan semakin dahsyat kekuatan tak terlihat yang menghadang.

Malah kini kekuatan itu mulai bergerak, menindih gerak serangan mereka. Dua orang ini berusaha bertahan. Tak ada gunanya.
Ketika Pangeran Matahari kibaskan kembali mantel hitamnya ke belakang, dua penyerang berseru keras dan terbanting ke tanah!

Pangeran Matahari dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. Tanpa perduli pada dua orang yang bergeletakan di tanah dia
melangkah mendekati sumur batu. “Kami belum kalah!” teriak Elang Setan lalu tubuhnya melesat ke udara. “Jangan harap kau bisa
dapatkan kitab sakti itu!” bentak Tiga Bayangan Setan.

Tubuhnya yang terkapar di tanah juga melesat ke atas. Dari atas dua orang murid Iblis Tanpa Bayangan ini menyerbu lagi.
Keduanya sama-sama mengarah kepala Pangeran Matahari. Sebelum cakar-cakar setan bergerak sepuluh sinar hitam dan merah
lebih dulu menggebu. Tiga Bayangan Setan hantamkan dua pukulan sekaligus untuk mengepruk pecah kepala Pangeran Matahari.

Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua lututnya ditekuk. Dua tangannya tiba-tiba melesat ke atas. Terdengar suara
bergedebukan beberapa kali begitu enam pasang lengan saling beradu!

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kembali berkaparan di tanah. Sementara Elang Setan masih menggeliat-geliat Tiga Bayangan
Setan sudah melesat dan berdiri hadapi Pangeran Matahari. Kalau Elang Setan kelihatan bengkak merah dua lengannya maka Tiga
Bayangan Setan tidak cidera sedikitpun. Hal ini tidak lepas dari perhatian Pangeran Matahari. Dalam hati dia berucap. “Ternyata
dia memang tahan pukulan. Aku harus berlaku hati-hati terhdap yang satu ini!”

“Apa kau sudah siap menghadapi saat kematianmu Pangeran Matahari?!” kertak Tiga Bayangan Setan.

“Setan jelek! Dari tadi hanya mulutmu saja yang besar! Aku siap menunggu kematin! Ayo aku mau lihat kau hendak melakukan
apa!” Pangeran Matahari renggangkan kedua kakinya, tegak menunggu sambil bertolak pinggang. Di sebelah belakang sana Elang
Setan telah bangkit berdiri dan siap lancarkan serangan.

Kumis dan berewok Tiga Bayangan Setan seperti berjingkrak. Matanya sebelah kanan yang besar merah bergerak-gerak. Kedua
tangannya dipentang ke depan dengan jari- jari terkepal. Mulutnya komat-kamit. Tiba-tiba dua kepalannya diadu satu sama lain.
Bersamaan dengan itu dia berteriak.

“Bunuh!”

Tiga guratan dalam di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan kilatan-kilatan angker. Dari ubun-ubunnya melesat keluar tiga
kepulan asap yang dalam waktu sekejapan berubah menjadi tiga sosok raksasa bertelanjang dada penuh bulu. Rambut panjang
17

riap- riapan dan sepasang mata laksana bara menyala! Inilah ilmu tiga bayangan setan yang selama ini tidak satu tokoh silatpun
sanggup menghadapinya!

Diam-diam Pangeran Matahari merasa terguncang juga. Dia segera siapkan satu pukulan sakti untuk menghadapi serangan tiga
makhluk jejadian itu.

“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan sekali lagi.

Tiga sosok raksasa melesat ke depan. Masing-masing mementangkan tangan kanan yang sesaat kemudian sama-sama
dihantamkan ke batok kepala Pangeran Matahari.

Begitu tiga makhluk raksasa menyerang Pangeran Matahari cepat angkat ke dua tangannya. Telapak-telapak yang terkembang
didorongkan perlahan saja. Terdengar suara mendesis disertai menggebunya angin panas, menghantam tepat pada tiga makhluk
raksasa!

“Wusss! Wussss!”

Tiga Bayangan Setan berteriak keras. Bukan saja karena marah tapi juga karena berusaha menahan sakit oleh hawa panas yang
memancar dari dua larik angin panas serangan Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung-huyung tak bisa dirobohkan. Dua
makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan meletup hancur berkeping-keping seolah terbuat dari batu. Tapi yang di sebelah tengah
seolah tidak tersentuh pukulan sakti “telapak merapi” yang tadi dilepaskan Pangeran Matahari terus merangsak ke depan lalu
laksana palu godam hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Pangeran Matahari!

Pangeran Matahari silangkan dua lengan ke atas untuk lindungi kepalanya. Ini merupkan gerakan menangkis yang sekaligus
merupakan serangan menggunting.

“Bukkk!”

Pangeran Matahari terbanting ke tanah. Dua lengannya terasa seolah hancur. Dadanya berdenyut sakit. Sebelum jatuh tadi dia
masih sempat membuat gerakan menggunting. Makhluk raksasa di atas kepala Tiga Bayangan Setan menggembor marah. Tiga
Bayangan Setan melompat ke hadapan lawan.

“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.

Makhluk raksasa di atas kepalanya kembali pentangkan tangan.

“Kurang ajar!” kertak Pangeran Matahari. “Agaknya makhluk keparat yang di tengah tak bisa dimusnahkan. Tiga Bayangan Setan
sendiri benar-benar tahan pukulan sakti! Aku harus mencari akal! Aku harus menghantam sumber kekuatannya!”

Pangeran Matahari melirik pada tombak Wesi Ketaton milik Dewa Berjubah Kuning yang mati di tangan Elang Setan. Sebelum
gebukan mahkluk raksasa datang Pangeran Matahari cepat berguling menyambar tongkat besi itu. Begitu tongkat mustika berada
di tangannya dia segera membalik dan tusukkan bagian runcing senjata itu ke perut Tiga Bayangan Setan.

“Breett!”

“Traanggg!”

Jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan robek di bagian perut. Ujung tombak terus menusuk ke perut orang itu. Namun
seolah perut yang ditusuk itu adalah benda yang terbuat dari besi begitu ujung tombak menghantam terdengar suara
berdentrangan. Pangeran Matahari tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Seumur hidup baru kali ini dia melihat ada
manusia memliki kekebalan terhadap senjata tajam begitu rupa! Pangeran Matahari campakkan tongkat Wesi Ketaton.

Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak.

“Edan! Hampir tak dapat kupercaya!” kertak Pangeran Matahari. “Dia kebal pukulan sakti, tak mempan senjata! Aku harus
mendapatkan ilmunya!”

Sementara itu dua makhluk raksasa yang tadi musnah kini secara aneh muncul kembali, bergabung dengan kawannya di sebelah
tengah ini sambil keluarkan lengkingan keras kembali ayunkan tangan menggebuk ke arah kepala Pangeran Matahari! Sekali ini
Pangeran Matahari tak menangkis ataupun adu kekuatan. “Otak penggerak tiga raksasa jejadian itu ada dalam diri Tiga Bayangan
Setan! Aku harus melumpuhkan sumbernya!”

Memikir sampai di situ manusia segala akal segala cerdik dan segala licik ini angkat tangan kanannya. Secara aneh tiba-tiba udara
di tempat menjadi redup padahal di atas matahari bersinar terang. Inilah pertanda bahwa Pangeran Matahari hendak lepaskan
satu pukulan sakti. Ketika tangannya dipukulkan terdengar suara menggelegar disertai berkiblatnya sinar merah, kuning dan
hitam!

“Pukulan Gerhana Matahari” seru Tiga Bayangan Setan yang mengenali pukulan sakti itu. “Siapa takut! Kalau kau punya sepuluh
ilmu seperti itu keluarkan saja sekaligus!”

Pangeran Matahari merutuk dalam hati namun dia maklum kesaktian yang dimiliki lawan membuat dia sanggup menghadapi
pukulan maut yang sangat ditakuti di rimba persilatan itu. Bagi Pangeran Matahari sendiri sebenarnya tak perlu gusar mendengar
ejekan lawan karena pukulan sakti yang dilepaskannya itu sengaja untuk membagi perhatian Tiga Bayangan Setan. Ketika lawan
berkelit sambil berteriak “Bunuh!” Pangeran Matahari cepat jatuhkan diri, berguling di tanah. Ketika berdiri lagi tahu-tahu dia
sudah berada di belakang sosok Tiga Bayangan Setan. Dua jari telunjuknya bekerja!
18

Tiga Bayangan Setan meraung keras.

“Bangsat licik! Curang pengecut! Lepaskan diriku!” Tiga Bayangan Setan hanya mampu berteriak, menggerakkan kaki tapi sama
sekali tak dapat menggerakkan tangan ataupun kepalanya. Pangeran Matahari telah menotok urat besarnya di dua tempat yakni
pangkal leher punggung. Walaupun tiga raksasa jejadian masih kelihatan bergerak-gerak ganas di atas kepalanya namun mereka
sama sekali tidak melakukan serangan karena otak pengendalinya yaitu Tiga Bayangan Setan kini tidak beda seperti mayat hidup!
Masih bernafas tapi tak bisa berfikir. Mampu menggerakkan kaki tapi tidak bisa menyerang. Dua tangannya terkulai seperti
lumpuh ke sisi.

Pangeran Matahari tertawa mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah benda kecil berwarna merah. Benda
ini dengan paksa dimasukkannya ke dalam mulut Tiga Bayangan Setan.

“Telan!” hardik Pangeran Matahari memerintah. Ketika Tiga Bayangan Setan tak mau melakukan malah hendak memuntahkan
benda dalam mulutnya itu, Pangeran Matahari pukul tengkuknya hingga Tiga Bayangan Setan tercekik dan terpaksa telan benda
yang ada dalam mulutnya.

“Umurmu hanya bersisa seratus hari!” kata Pangeran Matahari pula lalu tertawa panjang. “Kau telah menelan racun kematian! Jika
kau berani macam-macam jangan harap aku akan memberikan obat penawar!”

“Pangeran keparat! Iblis jahanam! Apa yang kau lakukan pada saudaraku?!” teriak Elang Setan. Tanpa tunggu lebih lama dia
langsung menyerang. Kedua tangannya dikembangkan ke samping. Tubuhnya berputar, dua lengan ikut berputar laksana baling-
baling. Cakar setan membabat ke arah leher Pangeran Matahari! Sinar hitam merah menghntam lebih dulu!

Pangeran Matahari bertindak cepat. Dia tahu walau tingkat kepandaian lawan masih dibawah Tiga Bayangan Setan namun nama
Elang Setan bukan nama kosong. Banyak tokoh silat telah menemui ajal di tangan pembunuh haus darah ini. Sambil dorongkan
dua tangannya ke depan Pangeran Matahari menyusup ke bawah putaran dua lengan. Begitu pinggang Elang Setan berhasil
dicekalnya orang ini dibantingkannya ke atas sumur batu.

“Trakkk! Traakkk!”

Lengan setan menghantam bibir sumur hingga hancur di dua tempat. Pangeran Matahari pegang dua kaki Elang Setan lalu
mendorong tubuh orang ini hingga kepala Elang Setan tergantung-gantung di dalam sumur.

“Kalau kau memang ingin cepat mati katakan saja! Kakimu akan kulepas!” kata Pangeran Matahari.

“Keparat jahanam! Jangan cemplungkan aku ke dalam sumur ini! Demi setan aku masih mau hidup!” teriak Elang Setan.

Pangeran Matahari tertawa. Dia tarik kaki Elang Setan hingga pinggang orang ini membelintang di bibir sumur. Tiba-tiba dari dalam
sumur terdengar suara menderu.

“Angin iblis! Awas! Cepat tarik tubuhku!” teriak Elang Setan ketakutan.

Pangeran Matahari kernyitkan kening. Dia tidak tahu apa yang dimaksudkan Elang Setan namun dia maklum kalau ada satu
kekuatan aneh dan dahsyat dalam sumur batu itu. Pangeran Matahari cepat tarik tubuh Elang Setan hingga orang ini jatuh
terbanting di tanah di kaki luar sumur batu. Ketika Elang Setan hendak mencoba bangkit Pangeran Matahari cepat tekankan
lututnya ke dada orang. “Seperti temanmu aku juga tidak percaya padamu! Lekas telan obat ini!”

“Keparat! Kau boleh bunuh aku! Aku tak akan menelan racun jahanam itu!” teriak Elang Setan.

“Kalau begitu kau memilih mati lebih cepat!” Pangeran Matahari kepalkan tinju kanannya lalu dijotoskan ke muka Elang Setan.

“Kau boleh membunuhku! Tapi serahkan dulu jantungmu padaku!” teriak Elang Setan. Dua tangannya melesat ke dada kiri
Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat berkelit.

“Breettt!”

Mantel Pangeran Matahari robek. Dengan kedua tangannya ditangkapnya lengan Elang Setan lalu dibantingkannya ke dinding
sumur batu berulang kali.

“Lakukan sepuasmu! Aku tidak merasa apa-apa…!” kata Elang Setan ganda tertawa.

“Jahanam!” maki Pangeran Matahari. Dia lepaskan pegangan pada tangan kiri lalu pergunakan tangan kanannya untuk menotok
dada Elang Setan. Totokan sampai bersamaan dengan melesatnya tangan kiri Elang Setan ke leher Pangeran Matahari. Walau kini
sekujur tubuhnya kaku dan gerakannya tertahan namun Elang Setan masih sempat menggurat pangkal leher Pangeran Matahari!

“Kau tak bakal lolos dari racun cakaranku!” kata Elang Setan.

“Baik, kita lihat siapa yang bakal mati duluan!” kata Pangeran Matahari. Lalu racun yang dipegangnya di masukkannya ke dalam
mulut Elang Setan.

“Kau memberiku racun seratus hari! Racun cakarku hanya memberimu hidup tujuh hari! Ha… ha… ha…!” Elang Setan tertawa keras
dan panjang.

“Keparat!” Pangeran Matahari hantamkan tinju kanannya berulang kali ke muka Elang Setan hingga muka yang seperti dicacah ini
kini bergelimang darah yang keluar dari hidung dan bibirnya yang pecah!
19

“Aku tahu kau punya obat penawar. Lekas beritahu di mana kau menyimpannya.

Kalau tidak kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”

“Ha… ha! Ternyata kau juga takut mati! Pergilah ke neraka!” “Setan alas! Apa katamu?!”

“Aku bilang pergi ke neraka!” teriak Elang Setan keras-keras.

Pangeran Matahari menyeringai. “Kau akan menyesali kebodohanmu sampai di liang kubur!” ujar sang Pangeran. Tangan
kanannya bergerak mencengkeram kelingking tangan kiri Elang Setan. “Kraaakkk!”

Elang Setan meraung keras ketika kelingking kirinya yang berbentuk cakar dan tak mampu digerakkannya itu dipatahkan oleh
Pangeran Matahari.

Sang Pangeran pindahkan tangannya ke jari telunjuk tangan kiri. Daya tahan Elang Setan jebol.

“Jangan…! Aku akan katakan di mana obat penawar racun itu!” Elang Setan bicara dengan nafas mengengah-engah karena marah
dan juga menahan sakit. “Katakan di mana…?!”

“Kantong kiri bagian dalam bajuku!” menerangkan Elang Setan.

Pangeran Matahari membetot lepas baju tebal yang dikenakan Elang Setan. Di sebelah kiri dalam memang ada sebuah kantong
kecil. Di situ ditemuinya tabung kecil terbuat dari batang padi yang telah dikeringkan. Di dalam tabung ini ada beberapa butir obat
berwarna hitam.

“Jangan kau ambil semua! Cukup satu saja…. Sisanya masukkan lagi dalam saku bajuku!” kata Elang Setan.

Pangeran Matahari menyeringai. Dia keluarkan dua butir obat berwarna hitam itu. Tabung batang padi diselipkan kembali ke
dalam saku pakaian Elang Setan. Tiba-tiba salah satu dari dua butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut Elang Setan, membuat
orang ini berteriak dan mendelik besar.

“Siapa percaya padamu! Kau harus meyakinkan bahwa kau tidak berdusta! Telan obat itu!”

Muka Elang Setan menjadi pucat.

“Ampun…! Aku ketakutan setengah mati hingga salah memberikan keterangan!” teriaknya seraya meludahkan butiran obat hitam
keluar dari mulutnya.

“Salah bagaimana maksudmu?!” tanya Pangeran Matahari sambil sunggingkan senyum dingin.

“Obat penawar racun yang betul ada di saku sebelah kanan dalam….”

Pangeran Matahari tertawa lebar. Dia jambak rambut Elang Setan lalu membenturkan kepala orang ini ke dinding sumur. “Otakmu
perlu diberi penyegaran agar jangan mudah lupa!” Sekali lagi kepala orang itu dibenturkannya ke dinding sumur baru dia mencari
obat yang dikatakan ada di dalam kantong sebelah kanan baju tebal. Disitu ditemukannya satu tabung padi yang sama berisi
butiran obat berwarna putih. Pangeran Matahari mengambil sebutir dan tanpa ragu menelannya.

“Kau sudah selamat sekarang! Kenapa tidak segera membebaskan diriku dan Tiga Bayangan Setan?” tanya Elang Setan.

Pangeran Matahari mendengus. “Turut mauku aku ingin membunuh kalian berdua saat ini juga! Tapi kupikir-pikir mungkin kalian
ada gunanya!”

“Apa maksudmu?” tanya Elang Setan sedikit ada harapan.

“Kalau kalian bisa menjadi anjing-anjing penjaga sumur batu ini, pasti juga bisa menjadi anjing-anjing pengawal ke mana aku
pergi…”

“Jahanam!” teriak Elang Setan.

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak lalu dia berdiri dan melangkah mendekati sumur batu.

** SEMBILAN **

Satu pemandangan aneh tapi lucu terlihat di puncak Gunung Merbabu siang hari itu.

Seekor keledai melangkah terseok-seok. Sebentar-sebentar binatang ini seperti mau tersungkur. Di atas punggungnya yang mandi
keringat duduk seorang perempun berpakaian gombrong berlengan panjang dan sangat dalam hingga baik tangan maupun
kakinya tidak kelihatan. Sambil menunggang keledai sebentar-sebentar dia berseru: “Duh biung doakan aku sampai di tujuan
dengan selamat. Doakan aku agar bertemu lelaki bapak jabang bayi ini.” Sambil berkata begitu dia mengusap-usap perutnya yang
buncit besar. Nyatalah bahwa perempuan penunggang keledai ini sedang hamil tua. Sesekali di antara ucapannya itu dia tertawa
cekikikan lalu diseling suara sesenggukan seperti orang mau menangis.

Perempuan yang hamil besar ini jauh dari cantik. Pupur tebal berwarna putih dan merah menutui wajahnya. Alisnya dipertebal
dengan sejenis bubuk hitam. Bibirnya merah celemongan entah dipoles dengan apa. Rambutnya dikuncir sampai lima buah. Setiap
kuncir diberi berpita warna-warni. Dari gerak gerik, pakaian dan dandanan serta ucapan- ucapan yang keluar dari mulutnya sudah
dapat diterka bahwa perempuan ini kurang waras otaknya.
20

Di satu pedataran kecil di puncak Gunung Merbabu dia angkat tangan kiri lalu berseru. “Hooooooo… hup! Keledaiku kita berhenti
di sini! Ibundaku rupanya mendengar doaku. Kita bisa selamat sampai di puncak ini! Aku akan turun punggungmu. Awas, jangan
bergerak dulu. Kalau aku sampai jatuh kupecahkan kepalamu! Kau tentu letih. Kau boleh pergi istirahat. Cari makan cari minum
sendiri. Aku mau mencari bapak jabang bayiku! Aku yakin dia ada di sini. Kalau belum ada aku tunggu sampai dia datang. Hik…

hik… hik! Aduh biung… aku tak mau anakku lahir tanpa bapak! Uuhhhh… uhhhh! Huek… huek…! Aduh biung aku mau muntah!
Hamilnya sudah besar kok muntahnya baru sekarang…!”

Turun dari atas keledai perempuan hamil itu kembali usap-usap perutnya yang gendut sambil memandang berkeliling.

“Sepi… sunyi. Suara anginpun tidak kedengaran. Jangankan manusia, lalat atau kecoak juga tidak kelihatan! Hik… hik… hik… di
mana bapak jabang bayiku! Uhhh… uhhhhk!” perempuan hamil itu kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Tidak percaya
biung! Aku tidak percaya kalau di tempat ini tak ada penghuninya. Pasti ada… Sana… di sana aku lihat ada bangunan… Mungkin
bapak anakku ada disitu. Kalau bertemu awas dia… Enak saja membuatku hamil lalu kabur! Akan kupuntir kepalanya atas bawah…
Eh…! Maksudku kepalanya… kepalanya yang mana ya? Hik… hik… hik…!”

Sambil pegangi perutnya perempuan hamil itu melangkah tertatih-tatih menuju sebuah bangunan kayu terletak di ujung
pedataran kecil itu. Belum sempat dia mendekati bangunan tiba-tiba dari atas atap bangunan melayang turun satu bayangan
hitam.

Perempuan hamil ini kaget bukan main. Dia berteriak. “Aduh biung! Setan atau apa yang bisa melompat dari atap rumah! Rasanya
copot jantungku saking kaget! Bisa-bisa bayiku brojol sebelum saatnya! Makhluk yang bikin kaget, siapa kau?!”

Saat itu di hadapan perempuan hamil berdiri seorang tua berjubah hitam.

Rambutnya panjang awut-awutan. Sepasang matanya memandang liar memperhatikan perempuan hamil mulai dari ujung rambut
sampai ujung jubahnya yang menjela di tanah.

“Aduh biung! Orang atau apa? Kalau orang kenapa jelek amat! Hik… hik… hik?

Kalau setan atau makhluk jejadian kenapa bau pesing?! Hik… hik… hik!

“Perempuan bunting gila!” teriak orang tua berjubah hitam penuh marah hingga kedua matanya tampak berkilat-kilat. Membuat
perempuan hamil itu tergagau kaget dan tersurut beberapa langkah. “Kalau mulutmu tidak berhenti bicara akan kubetot copot
lidahmu!”

“Lidahku mau dicopot…? Aduh biung! Jangan…. Ampun! Ba… baik… Aku akan berhenti bicara. Aku tak mau bicara!”

Orang tua berjubah hitam menggerendeng panjang lalu membentak. “Perempuan bunting? Siapa kau?! Datang dari mana?!
Katakan apa keperluanmu! Jawab cepat sudah itu lekas tinggalkan tempat ini! Aku tak mau anakmu brojol di sini!” Yang ditanya
diam saja.

“Kadal bunting! Apa kau tuli atau bisu aku bertanya tidak menjawab?!” Si orang tua menghardik sambil pelototkan mata.

Perempuan hamil dongakkan kepala memandang ke atas lalu usap-usap perut gendutnya.

“Sialan betul! Kau anggap apa aku ini! Kutendang perutmu baru kau mau bicara nanti!” Orang berjubah itu melangkah mendekati
perempuan hamil.

Yang didatangi jadi ketakutan dan cepat mundur. “Pecah perutku! Mati bayiku! Jangan! Jangan tendang!”

“Kenapa aku bertanya kau tidak menjawab?!”

“Ha… habis…. Tadi kau bilang kalau… kalau aku tidak berhenti bicara kau mau… mau membelot copot lidahku! Ja… jadi aku tidak
mau bicara!”

“Kadal tolol! Benar-benar geblek!” si orang tua jengkel setengah mati sampai-sampai dia hentakkan kaki kanannya. Waktu kaki ini
menghantam tanah, tanah tempat itu bergetas keras.

“Eh… eh… Tanah bergerak… Biung! Tolong biung! Mati bayiku ditubruk gempa!” Perempuan hamil berteriak ketakutan, pegangi
perutnya sementara tubuhnya tampak terhuyung-huyung.

Kesal orang berjubah tidak tertahankan lagi. Dia melompat lalu jambak rambut berkuncir lima perempuan hamil itu.

“Ampun biung! Sakit rambutku dijambak! Lepaskan…lepaskan! Nanti rusak pitaku!”

“Perduli setan pita-pita sialan ini! Kalau perlu kutanggalkan rambutmu, kucopot kepalamu!”

“Jangan… Ampun! Aduh biung tolong! Apa salahku sampai ada orang mau mencopot kepalaku! Tadi mau mencopot lidahku! Apaku
lagi yang mau dicopot…!”

“Plaaakkkk!”

Orang tua yang menjambak pergunakan tangan kirinya menampar perempuan hamil itu.

“Orang tua tak punya welas asih! Tega-teganya kau menampar aku… Hik… hik…
21

hik…” Perempuan hamil menangis sambil usap darah yang mengucur dari sudut bibirnya yang pecah akibat tamparan keras tadi.

“Aneh…” membatin si orang tua. “Dia menangis tapi bukan menangis kesakitan karena kutampar. Padahal bibirnya sampai luka…”

“Lepaskan jambakanmu. Aku mau pergi saja dari sini! Lepaskan…!”

“Aku tidak akan melepaskan kalau kau tidak memberitahu siapa dirimu, apa keperluanmu datang kemari…!

Dari dalam rumah kayu tiba-tiba keluar seorang lelaki tu bersorban dan berjubah putih. Dia melangkah terbungkuk-bungkuk. Di
punggungnya ada punuk besar. Sepasang matanya jelalatan. Perempuan hamil tadi jadi tercekat ketika melihat sepasang mata
orang ini. Ternyata merah polos! Buta dan mengerikan! Sesaat sepasang mata buta itu pandangi perempuan hamil di depannya
seolah-olah dia bisa melihat. Lalu mulut orang bersorban dan berjubah putih serta ada punuk di punggungnya ini terbuka.

“Orang merasa curiga melihat tindak tandukmu! Sebaiknya kau lekas bicara terangkan diri serta maksudmu datang kemari! Kalau
tidak aku akan bantu kawanku ini menjambak rambutmu yang lain!”

“Hik… hik…. Orang tua bersorban seharusnya bicara sopan! Tapi yang satu ini mulutnya usil dan kotor! Untung matamu buta! Kalau
melek pasti kelakuan dan mulutmu lebih kurang ajar lagi!”

Orang bersorban mendelik. Sesaat dia tertawa gelak-gelak. Dilain ketika tiba-tiba dia membentak mengancam. “Mau kupencet
perutmu sampai anakmu keluar?!”

Mendengar ancaman ini perempuan hamil itu ketakutan setengah mati. Cepat-cepat dia berkata. “Jangan… jangan dipencet! Ba…
baik… aku bicara. Namaku Emut-Emut…” “Apa?! Siapa namamu? Coba kau ulangi!” kata lelaki tua berjubah hitam.

“Namaku Emut-Emut…! Aku sudah berteriak, masakan kau tidak mendengar. Kau rada-rada tuli ya…?!”

“Eh! Kurang ajar sekali mulut kadal bunting ini!” kata orang tua berjubah putih yang punggungnya berpunuk.

“Nama jelek! Belum pernah aku mendengar nama seperti itu! Jangan-jangan kau mengejek aku hah?!” Orang tua berjubah hitam
dan berambut awut-awutan membentak.

“Namaku memang itu. Aku tidak dusta! Soal jelek atau bagus kenapa kau mengurusi?! Namamu sendiri siapa? Mungkin lebih jelek
dari aku! Hik… hik… hik!”

“Ooooo! Memang perempuan sialan!” Orang tua yang menjambak kembali hendak menampar. Kali ini perempuan hamil itu
pergunakan kedua tangannya untuk melindungi muka dan kepalanya, membuat si orang tua batalkan niatnya menampar.

“Kau tak mau bilang namamu, pasti memang namamu lebih jelek dariku! Hik…

hik… hik! Betul ‘kan?!”

Si jubah hitam keluarkan suara menggereng saking marahnya. “Bilang cepat apa keperluanmu datang ke puncak Gunung Merbabu
ini?! Atau kupuntir kepalamu saat ini juga!”

“A… aduh biung! Bagaimana ini?! Tadi kau mau copot lidahku, mau copot kepalaku, sekarang mau memuntir! Apa kau kira kepalaku
buah kelapa? Hik… hik… hik!” Orang yang menjambak kepalkan tinjunya, pukulannya di arahkan pada perut. “Tobat biung! Jangan
pukul! Aku akan bilang! Aku kemari mencari bapak bayiku!” kata perempuan hamil mengaku bernama Emut-Emut.

“Mencari bapak bayimu…?! Orang berjubah hitam tampak heran besar, begitu juga kawannya si mata buta merah yang bersorban
dan berpunuk.

“Perempuan geblek! Kalau mau bicara dan berbuat gila jangan di tempat ini!” bentak orang tua bersorban.

“Eh, bagaimana kalian ini! Kalian bertanya memaksa! Aku sudah katakan maksudku datang kemari. Sekarang kalian bilang aku
perempuan geblek, bicara dan berbuat gila! Siapa yang geblek! Siapa yang gila?! Hayooo!” Emut-Emut tampaknya marah sekali. Dia
menyentakkan kepalanya hingga cekalan orang tua berjubah hitam terlepas. Ini membuat orang tua itu terkejut dan berbisik pada
temannya. “Tadi sikapnya bodoh-bodoh ketakutan. Tapi sekarang dia mampu melepaskan jambakan. Agaknya perempuan bunting
ini punya sesuatu tersembunyi!”

Mendengar bisikan temannya si buta mata merah yang diam-diam juga meyakini kalau Emut-Emut memiliki kepandaian berusaha
membujuk dengan berkata: “Emut-Emut, harap maafkan temanku. Dia tidak bermaksud menghinamu…”

“Sudah! Aku tidak mau bicara lagi pada kalian. Aku mau duduk di atas batu sana. Aku letih…”

“Tunggu dulu Emut-Emut…”

“Aku bilang tidak mau bicara lagi pada kalian. Kecuali kalau kalian mau memberitahu nama kalian masing-masing!”

“Hemm…” gumam si jubah hitam. “Kami tak bisa memberitahu!”

“Kalian tidak jujur. Pasti ada urusan tidak baik di tempat ini. Coba beritahu siapa kalian berdua adanya!”

“Siapa kami berdua tidak perlu kau pertanyakan…!” kata lelaki bermata merah dan berpunuk.
22

“Hemmm…begitu? Baik! Kalau kalian tidak mau memberi nama biar aku yang memberikan!” kata Emut-Emut pula sambil senyum-
senyum. Dia menuding dengan ibu jarinya pada lelaki buta mata merah dan bersorban. “Kau duluan. Aku beri nama Si Buta
Konyol…hemmm kurang tepat. Sudah kau kunamakan saja Si Onta Putih. Kau suka? Hik… hik… hik!”

“Kurang ajar!” orang berpunuk kelihatan merah padam wajahnya.

“Kenapa marah? Setahuku hanya onta yang punya punuk. Kau mengenakan jubah putih dan punya punuk. Jadi Onta Putih nama
yang betul-betul cocok buatmu! Kecuali kalau kau suka nama Si Buta Konyol! Hik… hik… hik!” Habis tertawa panjang Emut- Emut
berpaling dan tudingkan ibu jarinya pada di jubah hitam berambut awut-awutan. “Ada nama bagus untukmu. Kau mau tahu? Kau
kuberi nama hemm… Si Rambut… Ah, itu nama jelek. Kurang pantas. Sudah, kuberi saja kau nama Si Bau Pesing! Hik… hik… hik…!”

“Setan alas!” teriak si jubah hitam marah sekali.

“Eh, jangan marah dulu! Itu nama yang sangat cocok buatmu! Kusebut kau begitu karena jubahmu sebelah bawah memang bau
pesing! Kalau tidak percaya silahkan cium sendiri!” Emut-Emut membungkuk hendak memegang bagian jubah sebelah bawah tapi
dia berseru keras ketika orang tua itu tiba-tiba tendangkan kaki ke arah perutnya.

“Kejam sekali! Kau hendak membunuh bayi dalam kandunganku!” Meski terhuyung-huyung namun Emut-Emut masih bisa
mengelakkan tendangan tadi.

Ketika Si Bau Pesing hendak menyerang lagi kawannya Si Onta Putih memegang lengannya dan berbisik. “Orang ini aneh. Dia
mampu mengelakkan seranganmu. Baiknya biar kita korek dulu keterangan dari dia…”

“Kurasa lebih baik menghajarnya lebih dulu, nanti mulutnya nyerocos sendiri!” jawab Si Bau Pesing.

“Sudah…! Biar aku yang bicara!” tukas Onta Putih. Sambil mengangkat tangan kirinya dia berkata. “Emut-Emut, kau bilang datang
kemari mencari suamimu…” “Siapa bilang mencari suami?!” Emut-Emut cemberut.

“Bagaimana kau ini! Tadi kau sendiri bilang…” suara Onta Putih menunjukkan rasa jengkel.

Emut-Emut gelengkan kepalanya keras-keras sambil tangan kanannya digoyang-goyang. “Aku kemari mencari bapak jabang bayi
yang ada dalam perutku. Bukan suami! Kalau suami berarti aku pernah dinikah baru dibikin hamil! Tapi yang terjadi aku dibuat
gendut duluan tanpa dinikah!”

Si buta Onta Putih dan Si Bau Pesing saling pandang lalu kedua orang tua ini sama tertawa gelak-gelak. Sambil mengusap matanya
yang basah akibat tertawa Onta Putih berkata. “Baiklah, kau bilang datang kemari mencari bapak bayi dalam perutmu itu.

Mengapa mencari ke sini? Apa kau yakin dia tinggal di sini?”

“Dia memang tidak tinggal di sini. Tapi aku tahu dia bakal berada disini. Kalaupun

belum datang aku akan menunggu sampai dia muncul. Atau sebaiknya aku menggeledah rumah itu!” Emut-Emut hendak
melangkah ke arah rumah kayu tapi orang tua berjubah hitam yang diberi nama Si Bau Pesing cepat menghalangi seraya berkata.
“Kami tidak mengizinkan kau masuk ke dalam rumah itu!”

“Betul!” menimpali Onta Putih. “Kau tahu siapa bapak jabang bayimu itu? Maksudku kau tahu namanya?

“Tentu saja aku tahu! Memangnya kau kira aku mau-mauan bikin anak sama setan yang tidak punya nama?! Ceplos Emut-Emut
seenaknya.

“Siapa? Siapa nama bapak bayimu?” tanya Onta Putih pula.

“Orangnya masih muda. Rambutnya gondrong segini…” Emut-Emut melintangkan tangan kirinya di pangkal leher. “Tampangnya
lumayan, tidak jeleklah…. Tubuhnya tegap. Dia suka cengengesan….”

“Sudah! Aku tidak mau dengar, tidak mau tahu semua itu! Katakan saja siapa namanya!” bentak orang tua berjubah hitam kesal
sekali.

“Namanya… Hemmm… Namanya Wiro Sableng. Tapi dia tidak sableng sungguhan. Hik… hik… hik! Katanya dia menyandang gelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”

Baik Si Bau Pesing maupun Si Onta Putih sama-sama mundur satu langkan saking kagetnya mendengar nama dan gelar yang
disebutkan Emut-Emut itu.

“Eh, paras kalian berubah! Nah… nah! Jangan-jangan kalian kenal pemuda itu…. Jangan-jangan dia memang sembunyi dalam
rumah sana…”

** SEPULUH **

Emut-Emut bergegas melangkah menuju bangunan kayu tapi orang tua berjubah hitam cepat menahan dadanya dengan telapak
tangan kiri. Ketika perempuan hamil itu memaksa maju, si orang tua mendorongnya dengan keras hingga di hampir terjengkang
jatuh terduduk di tanah.

“Bau pesing! Kenapa kau mencegahku masuk ke dalam rumah! Pasti pemuda bapak anak ini ada di situ! Kau berusaha
melindunginya! Kau barusan malah mau mendorongku! Kalau aku jatuh dan anakku brojol di sini apa kau mau tanggung jawab?!”
23

“Jangan nyerocos dan bicara ngaco terus! Katakan lagi siapa nama pemuda yang katamu menghamili dirimu itu?!”

“Aku sudah menyebutnya tadi. Cukup keras. Apa kau tuli atau budek?!” ujar Emut-Emut.

“Jangan sampai kutampar kau sekali lagi! Aku tidak main-main! Kau tadi menyebut Wiro Sableng…”

“Nah kau tahu, berarti kau sudah dengan! Mengapa bertanya lagi ?!” “Orang yang kau cari tidak ada disini!” kata Si Onta Putih.

“Matamu buta, bagaimana kau bisa melihat!” sentak Emut-Emut. “Melihat dirimu sendiri kau tak mampu, mana mungkin melihat
orang lain!”

Kakek buta bermata merah cuma ganda tertawa lalu menjawab. “Mata lahirku memang buta. Tapi mata batinku lebih tajam dari
matamu!”

Ucapan ini membuat Emut-Emut jadi melengak. “Ucapannya itu mengingatkanku pada orang itu. Tapi ah… Keadaannya jauh
berbeda. Atau mungkin…?”

Di hadapannya tiba-tiba orang tua berjubah berteriak. “Dia datang membawa fitnah! Fitnah besar dan keji!”

“Mulutmu yang keji!” tukas Emut-Emut. “Aku tetap akan menyelidik ke dalam rumah!” perempuan hamil ini kembali memaksa
maju. Tapi lagi-lagi si orang tua menahannya dengan mendorongkan telapak tangan ke dada. Sekali ini Emut-Emut habis sabarnya.
“Orang tua, aku tidak tahu apa kau laki-laki atau perempuan. Tapi memegang dada orang adalah perbutan kurang ajar! Kalau kau
lelaki berarti kau tua bangka cabul!

Kalau kau perempuan sama denganku berarti kau doyan manusia satu jenis! Ih…. Jijik aku jadinya!”

Mata Si Bau Pesing seperti menyala. Tangan kanannya diangkat. Tinjunya dikepal.

“Lekas angkat kaki dari sini kalau tidak mau kupecahkan kepalamu!” “Dasar manusia bau pesing! Kau saja yang pergi duluan!”

Emut-Emut tarik tangan kiri si orang tua kuat-kuat. Sambil jatuhkan diri ke belakang dia hunjamkan kaki kanan ke perut Si Bau
Pesing itu lalu menendang!

Orang tua berjubah hitam berteriak keras. Kawannya Si Onta Putih keluarkan seruan tertahan. Orang yang diberi nama Si Bau
Pesing itu bukan orang sembarangan. Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau orang hamil besar seperti Emut-Emut bisa
menarik dan menendang tubuhnya demikian rupa hingga membuatnya mencelat mental. Sambil menahan sakit si jubah hitam
melayang turun dan berteriak. “Tendangan dibalas tendangan!”

“Wuttt!”

Kaki kanannya menderu ke arah kepala Emut-Emut. Angin deras ikut menyambar dari bawah jubahnya. Emut-Emut keluarkan
suara seperti mau muntah lalu berteriak. “Gila! Bau pesing!” Tangan kirinya dipergunakan untuk menutup hidung. Lalu sambil
berguling menghindari tendangan dia lepaskan pukulan jarak jauh tangan kanan!

Di udara orang tua berjubah hitam kembali terkejut. “Edan! Perempuan bunting itu memiliki pukulan hebat mengandung tenaga
dalam tinggi! Eh, aku rasa-rasa tahu pukulan apa yang dilepaskannya!” Namun Si Bau Pesing ini tidak bisa berfikir panjang karena
dia harus selamatkan diri dari hantaman serangan lawan. Dia cepat melesat ke kiri, jungkir balik di udara lalu menghantam dengan
kedua tangan sekaligus!

“Bummmm! Bummmm!”

Puncak Gunung Merbabu bergetar. Tanah, pasir dan kerikil-kerikil kecil berlesatan ke atas. Di tempat itu sekarang kelihatan dua
buah lobang besar, bekas dua pukulan yang tadi dilepaskan si jubah hitam. Menjejakkan kaki di tanah orang tua ini memandang
berkeliling. “Kurang ajar! Berani dia mempermainkan aku! Mana dia?!”

“Bau Pesing! Aku ada di sini! Kalau kau turunan monyet dan pandai memanjat ayo naik dan kejar aku ke atas!”

Orang tua berjubah hitam mendongak ke atas. Emut-Emut ternyata duduk berjuntai di cabang sebatang pohon tak seberapa
tingginya sambil uncang-uncang kaki dan tertawa cengengesan.

“Perempuan bunting anjing kurap! Perlu apa aku capaikan diri mengejarmu ke atas sana. Cukup dari sini aku bisa memanggang
tubuhmu!” Orang tua berjubah hitam berteriak geram lalu angkat tangan kanannya, siap lepaskan satu pukulan dahsyat. Meski
pukulan belum dilepaskan tapi hawa panas sudah menghampar di tempat itu. Namun kawannya Si

Onta Puith terbungkuk-bungkuk cepat mendatangi dan berbisik.

“Tahan dulu seranganmu! Ada yang aneh kurasakan dengan perempuan bunting itu!”

“Huh apa?!”

“Dia pasti manusia punya kepandaian. Kau saksikan sendiri di bisa melompat begitu tinggi lalu menclok di cabang pohon. Setinggi-
tingginya ilmu seseorang, masakan dalam keadaan hamil besar begitu rupa dia tidak takut membuat gerakan-gerakan yang
membahayakan kandungannya!”

“Kukira kau benar,” jawab si Bau Pesing. “Tadi waktu dia melancarkan tendangan, bagian bawah pakaian gombrongnya merosot di
bagian kaki. Betisnya tersingkap. Aku lihat betisnya putih…”
24

“Ah sialnya diriku yang buta! Tidak dapat melihat betis putih itu!” kata Si Onta Putih sambil mulutnya komat-kamit.

“Sialan! Otakmu bisa-bisanya kotor dalam keadaan seperti ini!” maki si jubah hitam. “Padahal keteranganku belum selesai. Dengar,
betisnya memang putih tapi ini yang gila! Betis itu ditumbuhi bulu lebat!”

“Edan! Mana ada kaki perempuan berbulu lebat! Kurasa kita sudah tertipu!”

“Biar saja. Dia menipu kita! Bagaimana kalau kita berdua menelanjanginya agar terbuka kedoknya?!”

“Aku setuju! Hik… hik… hik! Ayo kita serbu dia ke atas sana!”

Si Onta Putih dan Si Bau Pesing lepaskan dua pukulan ke arah cabang pohon di mana Emut-Emut duduk berjuntai. Selagi
perempuan hamil ini menghindar sambil balas menghantam dua orang tua itu lalu melihat kehebatan Si Onta Putih. Bermata buta
tapi sanggup naik ke atas pohon. “Hanya ada satu manusia berkepandaian seperti dia di dunia ini. Tapi mengapa tampang, pakaian
dan warna matanya lain?” Emut-Emut tak bisa berfikir lebih jauh karena dua orang tua itu begitu menjejakkan kaki di cabang
pohon langsung menyerang!

Seandainya ada orang lain di tempat itu tentu akan terheran-heran melihat ada orang berkelahi di atas pohon. Kalau ketiga orang
ini tidak memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi niscaya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi-tadi!

“Tua bangka pengecut! Mengeroyok perempuan hamil!”

“Perempuan hamil katamu hah?! Kami justru ingin tahu siapa dirimu sebenarnya!

Perlihatkan pada temanku perut gendutmu! Ha… ha… ha…!” Si Onta Putih tertawa tergelak-gelak. Tubuhnya meliuk ke depan.
Tangan kirinya kirimkan jotosan ke dada Emut-Emut sedang tangan kanannya mematah ranting pohon. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Si Bau Pesing. Di tangan kanannya saat itu tergenggam pula sebatang ranting. Dengan benda ini dua orang tua
menyerang Emut-Emut. Perempuan hamil ini segera terdesak hebat. Dua orang itu ternyata lebih banyak pergunakan ranting yang
mereka jadikan senjata untuk berusaha merobek pakaian yang dikenakan perempuan hamil itu dari pada menggebuk, memukul
atau menusuk.

“Tak ada jalan lain, aku harus turun agar bisa bergerak lebih leluasa!” memikir sampai di situ Emut-Emut berteriak keras lalu
melompat dari atas cabang. Selagi tubuhnya melayang di udara, dua orang tua menyusul melompat ke bawah. Sambil melayang
turun ke tanah dua orang tua itu kembali menggempur dengan ranting-ranting.

“Breett! Breett!”

Pakaian gombrong Emut-Emut robek di bagian pantat dan pinggang. “Kurang ajar! Mereka benar-benar hendak menelanjangiku!
Biar Si Onta Putih ini aku hajar duluan. Kelihatan dia agak lamban dari Si Bau Pesing!”

Emut-Emut lalu melompat ke samping kiri, sengaja menjauhi Si Bau Pesing.

Ketika Si Onta Putih berada di tengah-tengah maka dia kirimkan serangan kilat. Orang tua ini sempat dibuat kalang kabut tapi
sampai lima jurus menggempur tidak satu serangannyapun mengenai si mata buta berpunuk itu!

Sementara itu orang tua berjubah hitam sesaat tampak tertegun mendelik. Samar- samar dia mengenali jurus-jurus yang
dikeluarkan Emut-Emut waktu menyerang kawannya. “Tidak mungkin… tidak mungkin dia akan sekurang ajar itu! Tapi… Hah! Dari
dulu dia memang sudah kurang ajar! Jurus-jurus yang dikeluarkannya, mengapa sembrawutan aneh seperti itu?!”

Si Onta Putih menahan serangan lawan dengan kiblatkan ranting di tangan kanannya bertubi-tubi. Begitu gerakan lawan tertahan
dia masuk mendekat. Lengannya digetarkan. Ujung ranting berubah menjadi banyak lalu terdengar suara brebetan berulang kali.
Dada pakaian gombrong Emut-Emut robek besar. Begitu juga bagian perutnya. Tapi sambil menjerit perempuan ini masih sempat
menutupi auratnya..

Si Onta Putih tertawa mengekeh lalu lambaikan tangannya pada Si Bau Pesing. “Aku siap menelanjanginya. Kau yang tidak buta
apa tidak mau ambil bagian?!”

Mendengar ucapan temannya itu si jubah hitam segera pula masuk ke dalam kalangan. Kembali Emut-Emut yang masih
mengandalkan tangan kosong itu dikeroyok gencar. Sebentar saja dia sudah terdesak hebat. Lengan bajunya robek. Beberapa
bagian tangannya tergurat luka. Dalam bertahan mati-matian kedua matanya tidak lepas memperhatikan jurus-jurus serangan
yang dilancarkan orang tua berjubah hitam. “Aku hampir pasti memang dia… Kalau betul matilah aku!” katanya dalam hati.

“Bukkk!”

“Breett!”

Emut-Emut katupkan rahang rapat-rapat agar tidak keluarkan suara mengeluh kesakitan sewaktu bahu kirinya kena ditoreh
ranting di tangan kanan Si Onta Putih. Lalu dari sebelah kanan Si Bau Pesing berhasil merobek lagi pakaiannya di sebelah bawah
perut!

“Setan alas! Lihat serangan!” teriak Emut-Emut.

Tubuhnya berkelebat ke arah Si Bau Pesing. Tapi selagi lawan yang satunya bertindak ayal, dia balikkan tubuh, berkelebat
menggempur si buta Onta Putih. Dua tangannya diangkat ke atas dan membuat gerakan aneh. Sengaja menyongsong ujung
ranting lawan. Sesaat kemudian terdengar suara trak… trak… trak berulang kali.
25

“Ilmu mematah tulang!” teriak Si Onta Putih. Lalu cepat-cepat campakkan ranting kayunya yang tinggal pendek sebelum sepasang
tangan Emut-Emut terus meluncur mematahkan jari-jari tangannya bahkan kedua lengannya!

“Manusia buta ini sungguh luar biasa! Dia mengetahui ilmu apa yang aku keluarkan!” membatin Emut-Emut.

Orang tua berjubah hitam mendadak hentikan serangan rantingnya. Dia bergeser mendekati temannya dan berbisik. “Kau yang
buta bagaimana bisa mengenali serangan yang barusan dilancarkan perempuan bunting sinting itu?!”

Si Onta Putih mengangguk sedikit. “Aku hanya menduga. Tapi yakin dugaanku tidak meleset. Setahuku ilmu itu berasal dari Negeri
Matahari Terbit! Tak ada tokoh silat di sini yang menguasai atau pernah mempelajarinya. Di sana disebut koppo!”

Sepasang bola mata si jubah hitam berkilat-kilat, berputar tiada henti. “Kurang ajar!

Jadi memang dia rupanya! Benar-benar kurang ajar!” Lalu pada teman di sebelahnya dia berbisik lagi. “Keluarkan tongkat bututmu!
Kau serang dia habis-habisan. Aku mencari akal bagaimana bisa melumpuhkannya! Sebetulnya kalau kau suka aku ingin sekali
membuat dia sampai sekarat!”

Mendengar ucapan Si Bau Pesing, kakek buta keluarkan sebuah tongkat kayu butut dari balik punggung jubah putihnya. Dengan
senjata buruk ini dia lancarkan serangan berantai, merangsak tiada henti. Tongkat di tangannya berubah menjadi begitu banyak
hingga sulit diduga mana yang asli mana yang bayangan. Kalau tadi tidak sulit bagi Emut- Emut untuk mematahkan ranting kayu
yang dipergunakan sebagai senjata oleh orang tua buta itu, kini bagaimanapun dia mencoba tongkat itu tak berhasil
dipatahkannya. Dia sempat menangkap beberapa kali namun sebelum dipatahkan tongkat itu sudah lolos dari cengkeramannya.
Selagi dia berusaha membendung serangan lawan tongkat di tangan si buta mata merah itu justru mengurungnya dan Emut-Emut
sempat keluarkan seruan tertahan. Dalam penglihatannya tongkat telah berubah menjadi batangan-batangan balok, membentuk
lingkaran dan mengurungnya. Bagaimanapun dia berusaha menerobos tetap saja dia berada dalam kurungan itu.

“Celaka! Apa yang harus aku lakukan?!” keluh Emut-Emut. Dia jadi keluarkan keringat dingin. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
dari samping datang tusukan ranting Si Bau Pesing menembus perutnya!

“Breettt!”

Ujung tongkat dicongkelkan ke atas. Sekali lagi terdengar suara breeet! Lalu di udara tiba-tiba saja kelihatan kapuk beterbangan.

“Celaka!” keluh Emut-Emut sekali lagi. Dia berusaha menutupi pakaian di bagian perut yang robek besar. Namun saat itu terasa ada
sambaran angin di punggungnya. Emut-Emut berpaling sambil hantamkan tangan kanannya namun terlambat. Satu totokan
mendarat telak di punggungnya, membuat dia kaku tegang tak bisa bergerak. “Aku harus membebaskan diri. Kalau tidak benar-
benar bisa celaka….” Emut-Emut kempeskan perutnya lalu kerahkan aliran darah.

Orang tua berjubah melompat ke hadapan Emut-Emut. Tangan kiri diletakkan di pinggang. Dari mulutnya keluar tawa panjang
mengekeh. “Ilmu totokanku bukan dari jenis picisan yang bisa dipunahkan begitu saja! Kau boleh kerahkan tenaga dalam sampai
terkentut-kentut bahkan terberak-berak! Mustahil kau bisa membebaskan diri!”

“Tua bangka pengecut! Tak sanggup menghadapiku waktu mengeroyok sekarang kau main totok!” damprat Emut-Emut.

“Perempuan bunting! Sekarang kita lihat siapa kau sebenarnya!”

Si Bau Pesing maju dua langkah. Ranting di tangan kanannya bergerak menggeletar lalu berubah jadi bayangan. Terdengar suara
brett… brett… brett berulang kali. Pakaian gombrong yang melekat di tubuh. Emut-Emut robek besar di mana-mana hingga
akhirnya pakaian itu jatuh merosot ke tanah.

“Sudah kau telanjangi tubuhnya!” bertanya Si Onta Putih.

“Belum, ternyata dia mengenakan pakaian laki-laki di balik baju gombrongnya!” jawab Si Bau Pesing. “Kau tahu apa yang aku lihat
sobatku! Di bagian perutnya dia mengikatkan dua buah bantal besar. Kapuk beterbangan di udara! Itu rupanya jabang bayinya!
Ha… ha… ha…! Ada laki-laki gila yang berpura-pura bunting pakai bantal berisi kapuk!”

“Mengaku datang ke sini mencari bapak anaknya! Ha… ha… ha! menimpali Si Onta Putih. “Lekas kau telanjangi di agar ketahuan
siapa monyet jantan ini sebenarnya!”

“Kalau kau berani menelanjangiku, aku bersumpah membunuh kalian berdua!” mengancam Emut-Emut.

“Huh! Ancaman tengik! Umurmu tidak lebih panjang dari umur kami berdua!” sahut Si Bau Pesing. Sepasang matanya
memperlihatkan dengan tajam perempuan hamil yang kini terlihat mengenakan pakaian ringkas. Lalu orang tua ini gerakkan
tangan kanannya yang memegang ranting.

“Brettt!”

Dada pakaian orang di hadapannya robek besar. Dadanya tersingkap. Pada dada itu kelihatan rajah tiga buah angka 212!

Si Bau Pesing hampir terlonjak saking kagetnya. Sekujur tubuhnya yang bungkuk bergetar.

“Anak setan! Kau rupanya!” katanya setengah berteriak.

Si Onta Putih bertanya. “Siapa? Siapa dia? Lekas katakan padaku!”


26

“Aku belum pasti, mungkin memang dia tapi mungkin juga orang lain menyamar….” Si Bau Pesing melompat ke hadapan Emut-
Emut yang saat itu tertegak kaku tak bisa bergerak. Tangan kirinya berkelebat ke arah leher sebelah bawah Emut-Emut.

“Sretttt!”

Sekali tarik saja terlepaslah selembar topeng sangat tipis yang menutupi wajahnya.

Si Bau Pesing menjerit keras ketika melihat tampang asli Emut-Emut.

** SEBELAS **

Onta Putih mendongak lalu berkata. “Hai! Kau menjerit! Tentu kau sudah mengetahui siapa dia! Lekas katakan padaku!”

“Anak setan! Anak geblek gendeng sialan! Dia rupanya!” “Hai! Kau masih belum mengatakan siapa orangnya!”

“Siapa lagi kalau bukan dia! Anak setan bernama Wiro Sableng itu! Sialan benar.

Berani dia menipuku!”

Emut-Emut tertawa cengengesan. Kalau saja tangannya bisa bergerak pasti saat itu dia sudah menggaruk kepalanya habis-habisan!

Si Onta Putih begitu mendengar nama yang disebutkan Si Bau Pesing dongakkan kepala lalu tertawa gelak-gelak. “Kita yang tua
bangka ini memang sudah kena ditipu!”

“Guru, Eyang…. Aku mau berlutut di depanmu minta ampun. Tapi tidak bisa! Aku minta ampun atas semua perbuatanku ini….”
Emut-Emut berucap. Suaranya tiba-tiba saja jadi berubah.

“Eh!” Orang tua berjubah hitam mundur selangkah. “Siapa yang kau panggil Eyang, siapa yang kau panggil guru! Jangan bicara
ngacok di hadapanku!”

Onta Putih tersenyum-senyum. “Aku kenali suaranya sekarang. Rupanya tadi-tadi dia pergunakan ilmu kepandaian merubah suara.
Benar-benar anak setan!”

Emut-Emut alias Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bergumam. Lalu berkata. “Guru, sebetulnya aku sudah tahu siapa
kau sejak mencegat aku di gubuk reyot waktu malam hujan-hujan itu….”

Orang tua berjubah hitam itu angkat tangannya yang memegang ranting, siap untuk dipukulkan ke kepala Wiro. Saat itu Si Onta
Putih tiba-tiba tertawa lalu berkata. “Sinto, kalau dia sudah tahu siapa dirimu rasanya tak perlu lagi menyamar berlama-lama.
Bukankah kita sudah menguji tingkat kepandaiannya…?!”

Habis berkata begitu orang tua berpunuk ini campakkan sorban di kepalanya lalu membuka jubah putihnya. Begitu jubah
ditanggalkan, di punggungnya kelihatan sebuah caping besar diikatkan ke tubuhnya yang mengenakan pakaian rombeng butut. Di
ketiak kirinya ada sebuah buntalan kain. Caping besar itulah yang tadi membentuk punuk di punggungnya! Tidak sampai disitu,
orang ini lalu pergunakan tangan kiri untuk menarik lepas sehelai topeng yang menutupi wajahnya.

“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro begitu dia mengenali siapa adanya orang tua itu.

Si kakek tertawa bergelak. Dia luruskan tubuhnya berulang kali. Lalu dari dalam buntalannya dia kelurkan sebuah kaleng rombeng.
Setelah mendongakkan kepala dia goyangkan kaleng itu berulang kali hingga menggemalah suara kerontang menyakitkan telinga
di puncak Gunung Merbabu itu!

“Aneh…. Tadi waktu berkelahi kaleng itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi! Berarti dia menahan gerakan batu-batu dalam
kaleng dengan tenaga dalamnya! Luar biasa tua bangka satu ini!” membatin Pendekar 212.

“Kek, masih ada yang ketinggalan….” Kata Wiro pada Kakek Segala tahu.

“Eh, apa maksudmu anak geblek?!” bertanya Kakek Segala Tahu sementara si jubah hitam tegak terlongong-longong.

“Sepasang matamu seharusnya berwarna putih. Aku tak tahu kau memakai apa hingga kulihat matamu berwarna merah semua!”

Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Dia usap kedua matanya dengan tangan kiri. Setelah mengusap dia perlihatkan telapak
tangannya pada Wiro.

“Daun angsana merah!” seru Wiro. Rupanya selama ini si kakek sengaja pergunakan dua lembar daun angsana merah untuk
menutupi sepasang matanya yang buta putih!

Kakek Segala Tahu kembali tertawa panjang. Dia bolang balingkan tongkat bututnya lalu berpaling pada si jubah hitam di
sebelahnya. “Sinto, kau tunggu apa lagi?!”

Yang ditegur diam saja. Ragu dia rupanya.

“Orang sudah tahu siapa dirimu, perlu apa menyamar terus?!”

Mulut si jubah hitam tampak komat-kamit. Terdengar dia menggerendeng panjang pendek. “Anak setan sialan. Kau bakal
menerima hukuman berat dariku…. Hik… hik…hik!”
27

Mula-mula orang ini buka jubah hitamnya. Kini kelihatan pakaian aslinya, sebuah kebaya panjang dalam yang sudah rombeng dan
kotor serta bau apak. Dia mengenkan kain panjang sebatas betis hingga terlihat sepasang kakinya yang kurus. Perlahan-lahan dia
tanggalkan topeng dan rambut palsu yang menutupi wajah serta kepalanya. Terlihat wajahnya yang sebenarnya, cekung
menyeramkan tinggal kulit pembungkus tengkorak. Di atas kepalanya yang berambut sangat jarang menancap lima buah tusuk
konde terbuat dari perak. Dia berusaha meluruskan tubuhnya yang bungkuk tapi tidak bisa karena nenek ini memang sudah
bungkuk dimakan usia. Inilah dia si nenek sakti dari puncak Gunung Gede, salah seorang dedengkot dunia persilatan dikenal
dengan nama Sinto Gendeng terlahir bernama Sinto Weni.

Kakek Segala Tahu tusukkan tongkat bututnya di punggung Wiro. Serta merta totokan yang menguasai tubuh sang pendekar
punah.

“Lekas berlutut minta ampun pada gurumu!” kata Kakek Segala Tahu lalu mendorong punggung Pendekar 212.

Wiro cepat jatuhkan diri di hadapan Sinto Gendeng. Dia membungkuk berulang kali lalu berkata. “Eyang maafkan aku. Aku telah
berlaku kurang ajar padamu. Berani menipu dan melawanmu!”

“Bagus! Aku terima maafmu! Tapi makan dulu gebukan ini!” Sinto Gendeng pukulkan ranting kayu di tangan kanannya ke kepala
Wiro. “Traakkk!”

Ranting kayu di tangan Sinto Gendeng patah hancur berantakan. Tangan si nenek tergetar keras. Kakek Segala Tahu telah
menangkis ranting itu dengan tongkat bututnya “Sinto,” si kakek lalu menegur, “Jangan perturutkan hati kesalmu. Bukankah semua
ini sesuai dengan yang kita rencanakan? Kalau dia bisa menipu kita bukankan itu menunjukkan otaknya lebih encer dari kita?!”

Sinto Gendeng campakkan sisa patahan ranting yang dipegangnya. Dia memandang pada di buta Kakek Segala Tahu lalu pada
sang murid yang masih berlutut tundukkan kepala. Sesaat kemudian nenek sakti ini tertawa terpingkal-pingkal. Begitu panjang
seolah tidak akan berhenti. Wiro yang berlutut tundukkan kepala tiba-tiba melihat sesuatu mengalir di kedua kaki gurunya disertai
bau yang menusuk. Wiro serta merta melompat sebelum dia terkena percikan air itu.

“Ada apa?!” bertanya Kakek Segala Tahu.

“Dia kencing…” jawab Wiro.

Kakek Segala Tahu tak dapat menahan gelaknya. Dia tertawa sampai keluar air mata. Wiro mula-mula hanya garuk-garuk kepala
tapi kemudian ikut juga tertawa gelak- gelak.

“Kalian berdua sudah pada gila apa?! Mengapa tertawa begini rupa?!”

Tentu saja sang murid tak bisa menjawab. Akhirnya si kakek hentikan tawanya dan berkata. “Sinto, lain kali kalau mau buang air
sebaiknya mencari tempat! Jangan kencing sembarangan!”

Sinto Gendeng yang seolah baru menyadari apa yang terjadi banting-banting kaki.

Walau malu tapi justru dia tunjukkan sikap marah. Inilah sifat aneh si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu.

“Kita masuk ke rumah sekarang. Kawan yang satu itu sudah lama menunggu,” mengajak Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan
kaleng rombengnya.

“Tunggu dulu,” sahut Sinto Gendeng. “Aku mau tanya bagaimana sebelumnya kau sudah merasa bahwa aku yang menyamar ini
adalah gurumu?!”

Wiro garuk-garuk kepala. “Eyang, kalau aku katakan kau pasti marah lagi padaku!” “Kali ini aku berjanji tidak marah asal kau tidak
bicara ngaco!” jawab si nenek. “Pertama kulihat potongan tubuhmu. Sikapmu selalu bungkuk karena memang begitu keadaan
tubuhmu. Kedua kalau kau tertawa suara palsumu tersamar dengan suara asli yang segera kukenali. Kemudian secara tak sadar
kau memaki diriku dengan sebutan anak setan. Siapa yang punya kebiasaan seperti itu kalau bukan kau? Lalu ada satu hal yang
paling meyakinkan….”

Wiro diam, tak segera meneruskan ucapannya.

“Apa? Ayo katakan! Kenapa kau berhenti ngomong?!” tukas Sinto Gendeng.

“Itu…. Hemmm…. Pakaianmu sebelah bawah mengumbar bau pesing…” jawab Wiro lalu tutup mulutnya dengan tangan agar tidak
terdengar suara tawanya. Di sampingnya Kakek Segala Tahu justru sudah meledak duluan tawanya.

Sinto Gendeng memaki panjang pendek tapi tidak berbuat sesuatu. “Dengar anak setan, aku ada dua pertanyaan padamu.
Pertama, aku tidak mengajarkan ilmu menyarukan suara padamu. Membuat aku tidak mengenali suaramu. Dari mana kau belajar
ilmu itu….”

“Dari… dari seorang pandai di Negeri Matahari Terbit…” jawab Wiro. “Hemmmm….” Sinto Gendeng komat-kamit. Lalu dia bertanya
lagi. “Pertanyaan kedua. Dari mana kau belajar ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo itu?!”

“Juga dari seseorang di Negeri Matahari Terbit itu guru…” jawab Wiro. (Mengenai ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo
harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang Manusia Bonsai”)

“Bagus, ilmumu sudah bertambah. Tapi masih jauh dari cukup untuk menghadapi tugas berat yang bakal dibebankan ke
pundakmu!” Wiro terkejut dan berpaling pada Kakek Segala Tahu.
28

“Kek, tugas berat katamu? Tugas berat apa?”

“Anak setan,” yang menjawab si nenek sakti. “Ketahuilah, aku mencegatmu di gubuk itu hanya sekedar untuk menguji
kepandaianmu. Juga apa yang terjadi disini semua ujian untukmu. Ilmu silatmu tidak kami sangsikan. Cuma kesaktianmu masih
sangat kami khawatirkan….”

“Aku tidak mengerti…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.

“Supaya kau mengerti mari ikuti aku masuk ke dalam rumah sana…” kata Sinto Gendeng lalu melangkah duluan menuju rumah
kayu di ujung pedataran. Wiro pegang lengan Kakek Segala Tahu, sambil menuntun orang tua ini dia melangkah mengikuti si
nenek.

“Eh, walau mataku buta kau tak usah menuntunku segala. Aku bisa jalan sendiri…” kata Kakek Segala Tahu.

“Aku tahu,” jawab Wiro setengah berbisik. “Aku cuma mau mendekat, mau tanya apa sebenarnya yang ada dibalik semua urusan
aneh ini?”

“Aku cuma bisa bilang, dunia persilatan terancam kiamat!” jawab si kakek lalu lepaskan tangannya dari pegangan Wiro dan
melangkah cepat menuju rumah kayu.

** DUA BELAS **

Dari luar rumah kayu itu kelihatan kecil saja. Tapi begitu masuk di dalam ternyata luas sekali. Wiro terheran-heran melihat
pemandangan dalam rumah kayu ini. Bagian dalam hanya merupakan satu ruangan luas terbuka. Di atas lantai papan ada
setumpukan jerami kering setinggi pinggang. Sebelah atas tumpukan jerami ini ditutup dengan lembaran- lembaran kulit kambing
kering yang disambung satu sama lain hingga merupakan selembar tikar besar. Di atas tikar kulit kambing ini terbujur satu sosok
tubuh gemuk besar luar biasa hingga tumpukan jerami melesak ke bawah.

“Si Raja Penidur!” ujar Wiro sambil berpaling pada Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. “Hemm…. Jika dia ada di sini berarti
memang ada satu urusan besar!”

Seperti Kakek Segala Tahu dan Sinto Gendeng, Si Raja Penidur dikenal sebagai salah satu dedengkot rimba persilatan di masa itu.
Hanya saja dia jarang memunculkan diri karena pekerjaannya sehari-hari bahkan sepanjang tahun cuma tidur melulu. Sekali tidur
jangan harap dia bisa bangun cepat. Suara dengkurnya menggetarkan bangunan kayu itu. (Mengenai Si Raja Penidur harap baca
serial Wiro Sableng berjudul “Siluman Teluk Gonggo”)

Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. “Hampir tiga puluh hari kami menungguinya di sini! Sontoloyo biang ngorok itu masih saja
tidur. Kapan bangunnya…? Padahal urusan besar sudah menunggu. Gawat kalau begini…!”

“Kita harus membangunkannya secara paksa!” kata Sinto Gendeng pula.

“Itu katamu. Apa kau tidak tahu sifat keadaannya? Sekalipun petir menyambar di atas jidatnya, sekalipun geledek menggelegar di
samping telinganya dia tak bakalan terbangun!” ujar Kakek Segala Tahu pula.

“Coba kau kerontangkan kaleng rombengmu di salah satu telinganya!” kata Sinto Gendeng pula.

“Aku sudah mencoba! Kau tahu hasilnya!”

“Kerahkan seluruh tenaga dalammu!” “Baik… baik. Aku akan coba lagi!”

Kakek Segala Tahu mendekati tumpukan jerami. Dengan ujung tongkatnya dia meraba-raba sampai akhirnya dia mengetahui di
mana letak kepala Si Raja Penidur. Lalu dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tenaga dalam ini disalurkan ke tangan kiri yang
memegang kaleng rombeng berisi batu. Begitu kaleng digoyangkan menggelegarlah suara berkerontang keras sekali. Bangunan
kayu bergetar dan liang telinga seperti ditusuk besi panas! Baik Wiro maupun Sinto Gendeng cepat tekap telinga masing-masing.
Sampai si kakek merasa pegal menggoyang tangan terus-terusan, Si Raja Penidur masih saja ngorok. Akhirnya Kakek Segala Tahu
capai sendiri dan berhenti menggoyang kaleng rombeng itu.

Dia tanggalkan caping bambunya lalu mengipas-ngipasi mukanya yang basah oleh keringat.

“Apa lagi yang kita lakukan sekarang?!” Kakek Segala Tahu seperti putus asa.

“Bagaimana kalau kita pencet saja bijinya?!” berkata Sinto Gendeng.

Wiro tertawa geli mendengar ucapan gurunya itu sedang Kakek Segala Tahu menyeringai sambil geleng-gelengkan kepala. “Kalau
dia bangun, kalau dia mati bagaimana?” ujarnya. Perlahan-lahan dia palingkan mukanya pada Wiro. Sinto Gendeng ikut menoleh.
Saat itu Wiro tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan dan tangannya sibuk menggaruk-garuk kepala.

“Anak setan ini tengah berfikir keras,” kata Sinto Gendeng dalam hati yang tahu betul apa yang tengah dilakukan muridnya. Lalu
dia ajukan pertanyaan. “Anak setan, apa yang ada dalam benakmu?!”

Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. “Orang bangun dan orang tidur sama-sama bernafas…”

“Orang gila juga tahu hal itu!” kata Sinto Gendeng.

“Kalau jalan nafasnya terganggu, orang bangun bisa pingsan, orang tidur bisa melejang menggeliat lalu terbangun!”
29

“Hemmm…. Kau mau menyuruh aku memencet hidung sontoloyo itu?!” tanya Kakek Segala Tahu.

“Bukan itu yang aku maksudkan. Mungkin itu bisa menolong tapi ada yang lebih ampuh. Mengganggu jalan nafasnya bukan Cuma
menutup hidung, tapi membuat begitu rupa hingga gangguan itu menjalar dalam tubuhnya, masuk ke dalam otaknya!”

“Kau bicara seperti seorang dukun besar!” kata Sinto Gendeng ketus.

Wiro angkat tangannya. “Aku cuma punya satu usul. Jika diterima kurasa pasti si penidur ini bisa kita bangunkan!”

“Sudah, katakan saja apa yang ada dalam otakmu Wiro!” kata Kakek Segala Tahu.

Wiro Sableng berpaling pada Sinto Gendeng. “Guru, kau naiklah ke atas kasur jerami itu. Berdiri tepat di atas kepala Si Raja Penidur
lalu perlahan-lahan turun dan jongkok. Kukira tidak akan makan waktu lama sebelum dia bisa kita bangunkan!”

Sepasang mata Sinto Gendeng yang cekung seperti mau melompat keluar dari sarangnya. “Anak setan kurang ajar! Kau kira apa
aku ini? Menyuruh aku jongkok di atas kepala si sontoloyo itu!”

“Tunggu… tunggu Sinto!” Kakek Segala Tahu menengahi. “Kurasa ucapan muridmu benarnya. Membangunkan orang dengan
mengganggu jalan pernafasannya. Bau pesing tubuh dan pakaianmu akan masuk ke dalam hidungnya, larut dalam jalan
pernafasan lalu mengalir dalam darah. Sampai ke jantung terus ke otak! Dia benar! Si Raja Penidur pasti akan terbangun!”

“Kau juga setan! Aku tidak mau melakukan!” kata Sinto Gendeng sambil banting kaki.

“Terserah padamu! Jika kau suka kita menunggu berlama-lama di tempat ini. Satu bulan, mungkin satu tahun lagi dia belum tentu
bangun secara wajar!” kata Kakek Segala Tahu.

Sinto Gendeng banting-banting kaki. Mulutnya menggerendeng panjang pendek dan matanya berkilat-kilat memandang pada
muridnya.

“Anak setan!” teriak si nenek. Tapi saat itu juga tubuhnya melesat ke atas kasur jerami. Kedua kakinya menjejak di kiri kanan kepala
Si Raja Penidur. Si nenek masih memaki dan masih memandang melotot pada Wiro. Perlahan-lahan dia lalu berjongkok.

Wiro tutup mulut menahan tawa sementara Kakek Segala Tahu dongakkan kepala dan goyangkan kaleng rombengnya tiga kali
berturut-turut.

Saat demi saat berlalu.

“Sial! Kakiku sudah letih!” terik Sinto Gendeng.

“Bertahan Sinto! Bertahanlah!” ujar Kakek Segala Tahu.

Tiba-tiba salah satu kaki Si Raja penidur kelihatan bergerak, menyusul salah satu tangannya. Lalu kepalanya terangkat dari atas
tikar kulit kambing. Hidungnya mengerenyit dan mulutnya terbuka lebar. Tiba-tiba dari mulut itu membersit suara berbangkis tiga
kali. Sinto Gendeng cepat melompat turun.

“Setan alas! Bau busuk apa ini?!” teriak Si Raja Penidur seraya bangkit duduk, berbangkis lagi lalu gosok hidungnya berulang kali.
Setelah menguap lebar-lebar perlahan- lahan dia buka kedua matanya, memandang berkeliling. Dia segera mengenali ketiga orang
yang berdiri di samping tumpukan tempat tidurnya.

“Heh…. Kalian bertiga. Manusia-manusia jelek…. Mengapa berada disini…?

“Kau sendiri mengapa juga ada di sini?!” Kakek Segala Tahu menukas.

“Kau betul! Mengapa aku ada di sini ya…?!” Si Raja Penidur mengucak kedua matanya. Di menguap lagi lebar-lebar. “Aku tak tahu
jawabannya. Ah, mengapa susah payah. Lebih baik aku tidur lagi!” Lalu dia segera hendak rebahkan tubuhnya ke atas tikar kulit
kambing.

“Tunggu dulu!” seru Kakek Segala Tahu dan dengan cepat menahan punggung Si Raja Penidur dengan tongkat bututnya hingga
raksasa gendut berbobot ratusan kati ini tak jadi menelentang tidur. “Sesuai ucapanmu dulu, kami datang di sini untuk mendengar
jelas mimpimu tiga ratus hari lalu!”

“Mimpiku tiga ratus hari lalu?” Si Raja Penidur mendongak. “Gila…. Mana aku bisa ingat!” katanya. Dia hendak merebahkan
tubuhnya kembali tapi tak bisa karena tertahan oleh tongkat kayu Kakek Segala Tahu.

“Kalau kau tak bisa mengingat biar aku yang mengingatkan!” kata Sinto Gendeng.

Tangan kanannya lalu memencet ibu jari kaki kiri Si Raja Penidur. Si gendut meringis dan berkata. “Kau ini masih suka bercanda
Sinto! Jangan gelitik kakiku!” teriaknya. Si Raja Penidur menganggap kakinya digelitik, padahal jangankan ibu jari manusia, batupun
bisa hancur oleh pencetan tadi!

“Tiga ratus hri lalu saat kau terbangun dari tidur, kau bilang telah mimpi tentang sebuah kitab. Ingat…?” Sinto Gendeng kembali
pencet kaki si gendut.

Si Raja Penidur meyeringai. “Ya aku ingat…! Aku ingat sekarang!”

“Katamu ada sebuah kitab yang jika jatuh ke tangan jahat akan membuat kiamat dunia persilatan. Kau ingat…?”
30

“Ya… ya…. Aku ingat!” Si Raja Penidur menguap lebar-lebar.

“Tiga ratus hari lalu kau tak sempat menjelaskan secara rinci. Kau keburu tidur! Sekarang ini kesempatan kau mengatakannya!”

“Hemmm… huah…” Si Raja Penidur menguap lagi. “Kalian menginginkan kitab itu?” tanya Si Raja Penidur.

“Menginginkan atau tidak itu tak jadi masalah. Yang penting jika sudah tahu kami akan mencari jalan bagaimana menyelamatkan
dunia persilatan!” jawab Sinto Gendeng.

Si gendut geleng-gelengkan kepala. “Tidak satupun dari kalian berjodoh dengan kitab itu. Seorang lain akan mendapatkannya lebih
dulu dari kalian. Begitu yang tersirat dalam mimpiku…”

“Sialan!” teriak Sinto Gendeng sambil bantingkan kaki.

“Brengsek!” maki Kakek Segala Tahu lalu pukulkan tangan kirinya ke jidatnya sendiri.

Wiro Sableng garuk-garuk kepala. “Dari tadi kalian ribut membicarakan sebuah kitab yang katanya bisa membuat kiamat dunia
persilatan. Sebetulnya kalian ini membicarakan apa? Aku sendiri tidak diberi tahu kitab apa itu! Padahal sebelumnya disebut-sebut
aku punya beban berat di atas pundak….”

Si Raja Penidur berpaling pada Sinto Gendeng. “Kau sudah dengar keluhan muridmu. Mengapa tidak menceritakan?”

Sinto Gendeng komat-kamitkan mulutnya yang perot lalu berkata. “Anak setan kau dengar baik-baik. Ada sebuah kitab bernama
Wasiat Iblis. Selama puluhan tahun kitab itu lenyap tak diketahui entah kemana. Kemudian tiba-tiba diketahui kitab celaka itu
berada di tangan seorang tokoh silat bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan. Manusia satu ini kabarnya berusia lebih
dari seratus lima puluh tahun. Sudah bosan hidup. Dia ingin mati cepat-cepat. Sebelum mati kitab itu akan diserahkannya pada
seseorang yang berjodoh. Nah kau bisa bayangkan kalau kitab itu jatuh ke tangan orang lain dan kita tidak bisa mencegahnya….”

“Kalau kita tahu kitab itu berada dimana dan bergerak cepat mungkin kita bisa mendapatkannya,” kata Wiro.

Si Raja Penidur menguap lalu gelengkan kepala. “Aku sudah bilang. Dalam mimpiku tersirat apa yang bakal menjadi kenyataan.
Kitab itu tidak bakal kalian dapatkan….”

“Bisa jadi begitu. Tapi kalau kita tidak berusaha bagaimana membuktikannya!” ujar Wiro.

Si Raja Penidur menyeringai. “Semangatmu tinggi dan nyalimu masih berkobar-kobar anak muda. Tanyakan pada Kakek Segala
Tahu, dia bisa meramal dan melihat di mana kitab itu berada. Aku sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur.…” “Awas, cegah
dia tidur!” teriak Sinto Gendeng.

Kakek Segala tahu putar tangannya yang memegang tongkat penahan punggung Raja Penidur dan alirkan tenaga dalamnya. Tubuh
raksasa Si Raja Penidur bergetar tersentak-sentak.

“Gila! Kau apakan badanku ini?!” teriak Si Raja Penidur.

“Kau belum memberi semua keterangan. Dulu kau katakan kau juga melihat sebuah kitab lain dalam mimpimu. Kau bilang siapa
saja yang bisa mendapatkan kitab itu maka akan sanggup menghadapi kehebatan kitab Wasiat Iblis….”

Si Raja Penidur tertawa. “Soal kitab yang satu itu memang ada dalam mimpiku.

Tapi tak ada petunjuk lengkap….”

“Sudah! Katakan saja apa yang kau ketahui!” kata Kakek Segala Tahu tak sabaran.

“Namanya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dimana beradanya tidak ada petunjuk. Yang tersirat dalam mimpiku, aku melihat seorang
kakek berambut dan berkumis serta berjanggut dan berjubah putih yang tahu dimana beradanya kitab itu….”

“Gila! Di dunia ini ada ratusan orang seperti itu!” ujar Sinto Gendeng pula.

“Betul…” menyahuti Si Raja Penidur lalu menguap lebar-lebar. “Tapi orang tua yang kulihat dalam mimpi bermuka biru sebelah dan
selalu mengunyah daun sirih….”

Sinto Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kau bisa menyelidik siapa orang itu?”

“Aku akan berusaha. Tapi ada satu hal yang perlu kita tanyakan padanya….” “Terlambat!” seru Wiro. “Lihat! Matanya sudah
terpejam! Dia sudah tidur!” Sesaat kemudian terdengar suara dengkur Si Raja Penidur.

Tiga orang itu hanya bisa saling pandang beberapa saat lamanya. “Kakek Segala tahu, tugas penting kini berada di tanganmu.
Pergunakan kesaktianmu. Kau harus bisa meramal dan memberi petunjuk mengenai dua kitab itu. Di mana beradanya….”

Kakek Segala Tahu anggukkan kepalanya. “Kita keluar saja dari sini. Dengkur si sontoloyo ini mengganggu pemusatan pikiranku….”

Sampai di pedataran di depan rumah kayu Kakek Segala Tahu duduk di atas sebuah batu. Kedua matanya dipejamkan. Kepalanya
didongakkan. Tongkat bututnya menunjuk ke langit. Lalu dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sampai tujuh kali. Lama sekali
baru dia berhenti menggoyang kaleng dan buka mata butanya yang dipejamkan. “Kau mendapat petunjuk…?” tanya Sinto
Gendeng.
31

“Aku melihat Kotaraja. Lalu awan berarak ke arah barat. Ada sebuah bukit kecil. Itu petunjuk mengenai Kitab Wasiat Iblis. Berarti
kitab itu ada di sana tapi sulit mengetahui di mana letaknya. Kurasa terlalu sia-sia kalau kita mengejar kitab itu. Si Raja Penidur
sudah mengatakan bahwa kitab itu tidak berjodoh pada salah satu dari kita. Dikejar tetap saja akan jatuh ke tangan orang lain.
Malah begitu orang itu mendapatkan dan mempelajarinya, keselamatan siapa saja yang mengejar tidak akan tertolong! Lebih baik
memusatkan perhatian pada kitab kedua yang dianggap sanggup menjadi penumpas ilmu yang terkandung dalam Kitab Wasiat
Iblis….”

“Apa petunjuk yang kau dapat mengenai kitab kedua?” tanya Sinto Gendeng.

“Mimpi Si Raja Penidur sangat cocok dengan petunjuk yang barusan kudapat. Walau samar-samar aku dapat melihat bayangan
orang tua berjubah putih bermuka biru sebelah itu. Bagian biru mukanya ada di sebelah kanan. Mulutnya komat-kamit makan sirih
terus-terusan hingga bibirnya merah seperti darah. Dia adalah Tunggul Anggoro yang dikenal dengan julukan Raja Obat Delapan
Penjuru Angin. Tempat kediamannya sebuah pulau terpencil di pantai selatan…. Jika kita bisa menemuinya niscaya akan dapat
petunjuk di mana Kitab Putih Wasiat Dewa itu berada. Dengan menguasai ilmu kesaktian dalam kitab itu dunia persilatan bisa
diselamatkan dari Kitab Wasiat Iblis….”

Kakek Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya lalu usap wajahnya yang keringatan.

Wiro mendehem beberapa kali. “Bagiku jelas sekarang, mengapa kalian memancingku datang ke tempat ini. Untuk menguji dan
sekaligus meyerahkan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa itu….”

Kakek Segala Tahu menyeringai lalu mengangguk-angguk.

“Anak setan! Syukur kau punya kesadaran!” ujar Sinto Gendeng. “Apa kau sudah siap untuk melakukannya?”

“Kalau memang tugas setiap saat aku siap melakukannya Eyang,” jawab murid

Sinto Gendeng walau dalam hati sang pendekar ini berkata “Mati aku sekali ini!”

Kakek Segala Tahu ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke tanah lalu berkata. “Ini bukan tugas mudah! Nyawamu tantangannya.
Apalagi kalau orang lain kedahuluan mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu. Atau ada kebocoran mengenai rahasia Kitab Putih Wasiat
Dewa hingga kebobolan….”

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Kakek Segala Tahu, Eyang Guru…. Kurasa setelah mendapat petunjuk dan menerima tugas dari
kalian lebih baik aku minta diri dari sini sekarang juga.”

“Bagus, makin cepat kau pergi makin baik!” kata Kakek Segala Tahu. “Ada satu nasihat lagi dariku. Kalau kau mengalami kesulitan
ada baiknya kau menghubungi tokoh- tokoh silat yang punya hubungan baik denganmu. Seperti Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa. Tua Gila….” (Mengenai Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Sedih

dan Dewa Ketawa harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bujang Gila Tapak Sakti” dan “Pelangi di Majapahit”)

“Pasti akan aku lakukan Kek,” kata Wiro pula.

Pendekar 212 lalu menyalami dan mencium tangan gurunya serta tangan Kakek

Segala Tahu. Setelah membungkuk berulang kali diapun membalikkan tubuh. “Anak setan! Apa kau akan pergi seperti itu?!”

Teguran Sinto Gendeng membuat Wiro hentikan langkah, berpaling dan memandang pada si nenek dengan air muka tidak
mengerti. “Eyang…. Ada sesuatu yang aku lupakan?” tanya Wiro.

“Pegang kepalamu! Rambutmu masih dikuncir dan diikat pita warna-warni. Kalau mau gila cukup sebentar saja. Jangan terus-
terusan!”

“Ah!” Wiro pegang kepalanya. Dia lupa. Sampai saat itu rambut gondrongnya masih dalam keadaan terkuncir dan diikat pita aneka
warna. Cepat-cepat dia tanggalkan semua ikatan pita. “Sudah Eyang…. Sekarang saya bisa pergi….”

“Anak tolol! Mukamu masih babak belur bercelemong pupur merah putih. Sebelum turun dari gunung ini cari mata air atau telaga.
Cuci mukamu sampai bersih. Kalau tidak anak-anak sekampung akan mengiringimu sambil berteriak orang gila… orang gila!”

“Terima kasih Eyang… terima kasih… Aku akan mencari air untuk membasuh muka jelek ini.” Lalu cepat-cepat Wiro tinggalkan
tempat itu. Setelah jauh dia memperlambat larinya. Sambil garuk kepala dia berkata. “Untung aku tidak disuruh mencuci muka
dengan air kencingnya!”

** TIGA BELAS **

Pangeran Matahari dekati sumur batu itu. Bau busuk tercium keluar dari dalam sumur. “Pasti juga ada mayat dalam sumur ini,”
kata Pangeran Matahari dalam hati.

“Justru di sini tersembunyi Kitab Wasiat Iblis itu….” Dia memandang berkeliling lalu sambil pegangi tepi sumur batu dia ulurkan
sebagian tubuhnya, memandang ke dalam sumur. “Gelap dan busuk. Ada selapis kabut menutupi pemandangan. Aku tak bisa
melihat apa-apa….” Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara menderu keras laksana ada air bah.
Lalu satu gelombang angin dahsyat mencuat ke atas.
32

“Gila! Apa sumur tua ini ada hantu silumannya?!” teriak Pangeran Matahari berfikir sejenak. Dengan hati-hati kembali dia
mendekati pinggiran sumur dan seperti tadi dia ulurkan sebgian tubuhnya. Dia tak menunggu lama. Dari dasar sumur terdengar
deru dahsyat disusul dengan mengebubunya angin sangat kencang. Untuk kedua kalinya

Pangeran Matahari hindarkan diri dengan melompat ke belakang. Sesaat dia tegak tak bergerak. Pandangannya kemudian
membentur sosok Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan yang tegak dalam keadaan kaku. Satu seringai tersungging di mulutnya.
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan segera maklum apa yang ada dalam benak orang itu. Keduanya serentak berteriak. “Jangan!
Jangan jadikan kami percobaan maut!”

Pangeran Matahari melangkah ke arah Tiga Bayangan Setan. Menyangka dirinya yang hendak dijadikan percobaan orang ini
meratap keras. “Demi setan jangan! Jangan!” tapi dia segera hentikan teriakannya ketika Pangeran Matahari melewatinya. Lalu di
belakangnya terdengar suara pohon berderak patah. Tak lama kemudian Pangeran Matahari kelihatan menyeret sebatang pohon
yang barusan dipatahkannya. Batang pohon itu dimelintangkannya di atas mulut sumur batu. Sesaat kemudian dari dasar sumur
menderu suara keras disusul hembusan angin dahsyat. Batang kayu yang terletak di atas sumur mencelat mental, hancur
berkeping-keping.

“Ganas sekali!” desis Pangeran Matahari. Pelipisnya bergerak-gerak. “Kalau saja guruku Si Muka Bangkai tidak mengatakan Kitab
Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini sudah sejak tadi-tadi aku meninggalkan tempat celaka ini. Hemmm…. Aku harus mencari
akal…. Angin dahsyat mematikan itu tidak serta merta melesat keluar bila ada benda di atas sumur. Paling tidak ada jarak waktu.
Ada uliran seperti tangga menurun menuju ke dasar sumur. Tapi terlalu lama kalau harus mengikuti tangga terjal itu. Melayang
akan lebih cepat. Hmm….” Pangeran Mathari berfikir lagi. Dia ingat ada segulung tali yang ditinggalkannya di kantong perbekalan
yang tergantung di kudanya. Akhirnya dia tetap pada keputusan untuk masuk ke dalam sumur dengan jalan melompat. Dia
patahkan batang pohon untuk kedua kalinya dengan hantaman tangan kanan. Sekali ini dia sengaja memilih batang pohon lebih
besar. Seperti tadi dengan hati-hati batang pohon itu diletakkan di atas sumur lalu mundur sejuh beberapa langkah.

Sesaat kemudian di dasar sumur terdengar sura macam air bah itu. Lalu angin dahsyat melesat ke atas, menghantam batang
pohon besar hingga hancur berkeping-keping. Pada saat batang pohon mental, Pangeran Matahari kibaskan mantelnya lalu
melompat masuk ke dalam sumur. Kedua tangannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka dan diarahkan ke bawah. Dari dua
telapak tangan ini memancar sinar merah kuning yang memiliki kekuatan mampu menahan daya jatuh tubuhnya. Sebenarnya
yang keluar dari kedua tangannya itu adalah pukulan sakti “telapak Merapi”. Selain itu mantelnya yang terkembang ikut membantu
menahan kecepatan jatuh atau daya layang tubuhnya. PangeranMatahari sudah melayang turun sedalam dua pertiga kedalaman
sumut gelap ketika dia mendadak menjadi tegang karena di bawah sana tiba-tiba terdengar deru suara air bah.

Secepat kilat Pangeran Matahari melesatkan tubuhnya ke dinding sebelah kiri lalu menjejakkan kedua kakinya di ulir batu. Kedua
tangannya dihantamkan ke dinding sumur.

“Craasss! Craaasss!”

Dinding batu berlubang jebol. Sepasang tangan Pangeran Matahari amblas masuk ke dalam lobang itu sampai sebatas siku. Ketika
angin dahsyat mencut ke atas dia lekatkan tubuhnya rapat-rapat ke dinding sumur. Di dalam lobang dua tangannya
mencengkeram kuat-kuat. Tenaga dalam dikerahkan penuh. “Wusss! Wutt! Wuttt!”

“Breeettt!”

Angin dahsyat menghantam tubuhnya tapi dia bisa luput. Walau demikian tengkukya terasa dingin ketika mantel di punggungnya
robek besar lalu terlepas mental dan melayang ke atas sumur. Dengan tubuh basah oleh keringat dingin Pangeran Matahari
menunggu. Sumur tua itu dicekam kesunyian dan kegelapan.

“Saatnya aku harus turun. Mudah-mudahan angin celaka itu tidak akan menyerang lagi….” membatin Pangeran Matahari. “Bau
busuk semakin santar. Berarti aku tak seberapa jauh lagi dari dasar sumur….” Memikir begitu disamping mantelnya tak ada lagi
maka Pangeran Matahari melanjutkan turun ke dasar sumur dengan berjalan diulir sepanjang dinding sumur yang merupakan
tangga. Dalam hati dia menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Pada hitungan ke tujuh puluh dua kaki kirinya mencapai dasar
sumur tapi tidak menginjak dasar batu melainkan menginjk sebuah benda bulat panjang hingga dia hmpir terpeleset.

“Bau busuk celaka! Gelap jahanam!” maki Pangeran Matahari.

Dia mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan dua buah batu hitam sebesar kepalan. “Untung guru membekali dua batu api ini!”
Dua buah batu hitam digosokkannya kuat-kuat. Bunga api memercik. Pada gosokan keempat salah satu dari dua batu api itu
mengobarkn api. Tempat itu serta merta menjadi terang. Memandang berkeliling Pangeran Matahari jadi bergidik. Di dasar sumur
batu yang tidak berair itu tergeletak sesosok mayat yang sudah membusuk dan digerogoti belatung di bagian mata, telinga dan
hidung. Sebagian kepalanya remuk, tertutup darah yang sudah mengering. Rambutnya yang putih awut-awutan penuh dengan
noda darah yang sudah mengering. Sulit mengenali wajah mayat ini Pangeran Matahari punya dugaan keras ini adalah mayat Jarot
Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan.

“Kitab Wasiat Iblis itu…” desis Pangeran Matahari. “Menurut Si Muka Bangkai ada dalam sumur ini. Aku tidak melihatnya….”
Pangeran Matahari memandang berkeliling lalu pandangannya kembali pada mayat Iblis Tanpa Bayangan. Dengan ujung kakinya

mayat itu dibalikkannya hingga terbujur miring. Kitab yang dicari tetap tidak ditemukan. Dia memeriksa seluruh dinding sumur
batu. Dia sengaja menyalakan lagi batu api kedua hingga tempat itu bertambah terang.

“Setan, di mana kitab iblis itu bisa kutemukam! Apakah guruku sengaja menipuku?!” Pangeran Matahari melangkah seputar dasar
sumur batu. Ketika dia sampai di hadapan sosok mayat Iblis Tanpa Bayangan yang kini berada dalam keadaan miring, sepasang
matanya membesar. Karena miring, baju di bagian dadanya tersingkap. Sebuah benda berwarna hitam tersembul dari balik baju
mayat.
33

Pangeran Matahari tekap hidungnya lalu membungkuk memperlihatkan lebih seksama. Tangannya diulurkan untuk mengambil
benda itu. Begitu jari-jarinya menyentuh benda hitam dia merasa ada hawa aneh mengalir, membuat pandangannya lebih terang
dan tiba-tiba saja jalan pernafasannya sanggup meredam bau busuknya mayat!

“Pasti ini Kitab Wasiat Iblis itu! Buku sakti yang aku cari!” kata Pangeran Matahari dalam hati seraya cepat-cepat menariknya dari
balik baju mayat.

“Wasiat Iblis”! Pangeran Matahari membaca tulisan yang tertera di sampul hitam kitab dengan suara bergetar. Kitab diperiksanya
dengan cepat. Isinya hanya tiga lembar halaman. Tulisan di halamannya tidak mudah untuk dibaca. Apalagi di tempat yang hanya
diterangi nyala api dua batu api kecil. Cepat-cepat Pangeran Matahari masukkan kitab itu ke balik bajunya. Dia memandang
berkeliling.

“Kitab sakti sudah didapat. Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Khawatir suara air bah dan angin jahanam itu tiba-tiba muncul!”

Cepat-cepat Pangeran Matahari memanjat ulir sepanjang dinding sumur batu yang merupakan tangga terjal menuju ke atas.

“Aneh, kenapa langkahku menjadi enteng dan tubuhku terasa ringan sekali!” pikir Pangeran Matahari. “Jangan-jangan buku sakti ini
penyebabnya!”

Sebentar saja dia berhasil mencapai ujung atas sumur. Sekali lompat dia sudah berada di luar sumur. Begitu kedua kakinya
menjejak tanah dia memandang berkeliling dan jadi terkejut. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tak ada lagi di tempat mereka
tadi tertegak kaku akibat totokan. Sang Pangeran segera mencium bahaya.

“Pasti ada orang ketiga. Dua setan itu tak mungkin membebaskan diri sendiri dari totokanku!” Pangeran Matahari melangkah
seputar sumur batu, memandang ke setiap sudut di sekitarnya.

“Kau mencari kami Pangeran Matahari?!” satu suara menegur dari belakang.

Pangeran Matahari cepat balikkan tubuh. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berdiri sekitar sepuluh langkah di hadapannya.
Keduanya sunggingkn senyum lebar lalu tertawa mengekeh, tidak keras tapi cukup membut Pangeran Matahari merasa tidak enak.

Apa lagi saat itu di antara kedua orang itu tegak berdiri seorang nenek berpakaian kuning.

Meskipun tua namun wajahnya dihias secara berlebihan dan sikapnya nampak genit. Pada ikat pinggang besar warna hijau yang
dikenakannya tersisip sebuah senjata berbentuk tombak yang ujungnya bercagak dua.

“Iblis Tua Ratu Pesolek!” kata Pangeran Matahari dalam hati begitu dia mengenali siapa adanya si nenek berjubah kuning.

Tiga Bayangan Setan usap-usap kedua tangannya lalu berkata. “Kau sudah masuk ke dalam sumur batu dan keluar lagi. Berarti kau
sudah menemukan Kitab Wasiat Iblis itu!”

Pangeran Matahari diam saja.

“Kalau kau mau menyerahkan pada kami, kami menganggap selesai segala hutang piutang di antara kita! Kau boleh pergi dengan
aman dan nyawa masih di badan!”

Mendengar itu Pangeran Matahari sunggingkan senyum lalu tertawa. Mula-mula perlahan saja kemudian makin keras dan makin
keras.

“Anjing-anjing pengawalku rupanya punya nyali besar! Apa kalian lupa kalau tubuh kalian mengalir racun jahat yang hanya
memberi kehidupan seratus hari pada kalian?!”

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan balas tertawa gelak-gelak sementara Iblis Tua Ratu Pesolek tenang-tenang saja. Dari balik
pakaiannya dia keluarkan sebuah kaca kecil. Sambil memandang ke dalam kaca dia merapikan susunan rambutnya yang disanggul,
mengusap pipinya dan menggerak-gerakkan bibirnya yang diberi cat pewarna sangat merah.

“Soal racun dan kematian kami berdua tidak begitu memikirkan. Sahabat kami yang cantik ini berjanji akan memberikan obat
penawar!”

“Hemmm begitu…? Lalu apa yang kalian berikan padanya sebagai imbalan? Tubuh kalian…?!”

“Setan alas!” maki Elang Setan. “Jahanam!” rutuk Tiga Bayangan Setan.

Sebaliknya si nenek tua tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Malah dia keluarkan suara tertawa genit. Setelah menyimpan kaca
kecilnya dia kedip-kedipkan sepasang matanya lalu bergerak mendekati Pangeran Matahari dan berhenti lima langkah di depan
pemuda itu.

“Kau masih muda. Tapi pengalamanmu mengenai hubungan perempuan dengan lelaki agaknya jauh lebih luas dari aku yang
sudah tua. Ya… ya… ya… Aku memang sudah tua. Tapi keadaan badanku tidak kalah dengan apa yang dimiliki seorang gadis. Kau
bisa saksikan sendiri!”

Habis berkata begitu si nenek singkapkan ke atas baju kuningnya. Sepasang mata Pangeran Matahari melihat dua buah payudara
putih besar dan kencang terpentang di hadapannya.
34

“Gila! Bagaimana ada nenek-nenek memiliki aurat seperti ini!” ujar Pangeran Matahari dalam hati. Selagi dia terperangah melihat
pemandangan luar biasa ini tiba-tiba dari balik baju kuning si nenek melesat keluar selusin senjata rahasia berupa paku hitam.

“Tua bangka kurang ajar! Kau sengaja mencari mati!” hardik Pangeran Matahari. Tangan kanannya diangkat, siap untuk lepaskan
pukulan sakti “telapak matahari” namun sebelum pukulan sempat dilepas tiba-tiba dari dada Pangeran Matahari melesat keluar
satu gelombng angin keras yang memancarkan sinar hitam pekat.

Selusin paku bermentalan dan leleh. Di depan sana Iblis Tua Ratu Pesolek keluarkan jeritan keras. Tubuhnya mencelat sampai
sepuluh tombak. Begitu tergelimpang di tanah tubuh itu hanya tinggal tulang belulang hangus menghitam!

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung merinding pucat melihat apa yang terjadi. Pangeran Matahari sendiri ikut ngeri juga
merasa heran.

“Aneh, apa yang terjadi dengan diriku! Aku belum sempat melepas pukulan sakti.

Dari dadaku tiba-tiba ada sinar hitam yang sanggup melelehkan senjata rahasia bahkan membuat si nenek mati mengerikan begitu
rupa…. Astaga! Jangan-jangan Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik bajuku!”

Selagi dia terkesiap begitu rupa tiba-tiba Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan mendatangi dan jatuhkan diri di depan Pangeran
Matahari.

“Pangeran kami telah membuat kesalahan besar. Perempuan tua itu telah menipu kami!” kata Tiga Bayangan Setan.

“Benar,” menyambung Elang Setan. “Kami berdua mohon ampun dan maafmu.

Kami bersedia melakukan apa saja yang kau katakan!”

Pangeran Matahari tertawa lebar. “Manusia-manusia culas! Nyawa kalian kuampuni sampai seratus hari dimuka. Sementara itu
kalian berdua tetap menjadi anjing- anjing pengawalku! Menggonggonglah!”

“Pangeran…” ujar Tiga Bayangan Setan.

“Kami…” Elang Setan ikut bicara tapi segera disentak.

“Aku bilang menggonggonglah! Menggonggonglah seperti anjing! Atau kalian akan menyusul jadi tulang belulang hangus hitam
seperti si Iblis Tua Ratu Pesolek?”

Tak ada jalan lain. Kedua orang itu mulai menggonggong menirukan suara anjing.

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. “Kurang keras! Menggonggong lebih keras!” bentaknya.

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan terpaksa patuh dan menggonggong lebih keras

“Bagus! Menggonggonglah terus sampai lidah kalian copot!” kata Pangeran Matahari. Lalu sambil tertawa mengekeh dia tinggalkan
tempat itu. Disatu tempat dia teringat pada Wiro Sableng. Langsung saja dia berteriak. “Pendekar 212! Di mana kau? Sekarang
jangan harap bisa lolos dari tanganku! Wasiat Iblis merupakan wasiat kematian bagimu! Ha… ha… ha!”

** TAMAT **

Wasiat Dewa
** SATU **

Lidah Tiga Bayangan Setan terjulur sedang kawannya si Elang Setan terbatuk-batuk dengan mata basah memerah.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya Elang Setan.

“Aku bersumpah akan membunuh Pangeran keparat itu!” jawab Tiga Bayangan Setan.

“Jangan tolol! Tingkat kepandaiannya di atas kita! Apalagi kini dia memiliki Kitab Wasiat Iblis itu….”

“Kita harus pergunakan akal! Cari kesempatan waktu dia lengah!”

“Kalau begitu kita terpaksa mengikuti kemana dia pergi!” kata Elang Setan pula.

“Aku benar-benar tidak suka ini! Pangeran jahanam! Mayatmu kelak akan kukupas! Kulitmu kujembreng kujadikan mantel!” kertak
Tiga Bayangan Setan. “Aku yakin bisa membunuhnya. Ilmu Tiga Bayangan Setanku pasti bisa menaklukannya…. Ayo kita ikuti dia!”

Kedua orang itu segera mengejar Pangeran Matahari. Tahu orang mengikuti sang Pangeran menghentikan langkah dan berbalik.

“Kenapa kalian mengikutiku?!” tanya Pangeran Matahari membentak dengan mata melotot.

“Maafkan kami. Bukankah kami merupakan anjing-anjing pengawalmu? Jadi kemana Pangeran pergi kami harus mengikuti.” jawab
Tiga Bayangan Setan. Pangeran Matahari menyeringai. Dalam hati dia berkata. “Siapa percaya pada kalian! Menurut mauku
sebaiknya kubunuh saja keduanya saat ini daripada menyusahkan dikemudian hari. Tapi hemmm…. Sebelum mereka mampus ada
35

baiknya kuperalat lebih dulu….” Sang Pangeran lalu dongakkan kepala. Kedua matanya dipejamkan tanda dia tengah berfikir keras.
Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan pada dua orang di depannya.

“Kalian berdua tak usah mengikuti aku!” kata Pangeran Matahari pula.

“Lalu… lalu apa yang kami lakukan? Menunggu sampai datangnya saat kematian seratus hari dimuka tanpa kau memberi obat
penawar? Pangeran harap kasihani selembar nyawa kami…” kata Elang Setan setengah meratap.

“Kalian kembali ke sumur batu itu! Aku akan mengatur kedatangan seseorang….”

“Kembali ke sumur batu…?” ujar Elang Setan sambil memandang pada Tiga Bayangan Setan.

“Apa… apa yang kami lakukan di sumur itu?” Tiga Bayangan Setan ajukan pertanyaan.

“Tunggu sampai orang yang kumaksud itu datang!” “Siapa dia adanya Pangeran?” tanya Elang Setan.

“Seorang pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212!” “Pendekar 212 Wiro Sableng!” seru Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan hampir bersamaan dengan muka berubah.

“Begitu dia muncul di sumur batu dia harus segera kalian bunuh!”

“Pangeran…. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan….”

“Jika dia bukan manusia sembarangan apa berarti dia setan? Rupanya kalian takut…?

“Selama hidup kami tidak mengenal takut. Tapi dalam keadaan keracunan seperti ini sulit bagi kami….”

“Setan alas! Aku tidak perduli apa kesulitan kalian! Kau punya satu kesulitan!

Aku punya seribu! Dan dengar, ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Pendekar 212 harus tidak tahu kalau aku yang
menyuruh kalian untuk membunuhnya! Kalian dengar?!”

“Kami dengar,” jawab Tiga Bayangan Setan.

“Bagus! Aku pergi sekarang!”

“Pangeran! Tunggu…!” seru Elang Setan.

“Kau tidak dapat memastikan kapan Pendekar 212 muncul. Jika sampai lewat seratus hari dia tidak datang, kami sudah mati konyol
akibat racun dalam tubuh. Kemana kami harus mencarimu?”

“Manusia anjing! Kau tidak layak mengatur diriku! Jika aku tidak memberimu obat penawar dalam waktu seratus hari berarti itu
nasib kalian yang jelek! Ha… ha…ha…!”

Pelipis Tiga Bayangan Setan menggembung sedang rahang Elang Setan terkatup rapat-rapat tanda kedua orang ini tengah
berusaha menahan meledaknya amarah yang saat itu membakar diri masing-masing. Pangeran Matahari bukannya tidak tahu hal
itu. Sambil menyeringai dia berkata. “Kalau kalian merasa terlalu lama menunggu kematian sampai seratus hari di muka, aku
bersedia mengirimmu ke liang neraka saat ini juga!” Lalu sang Pangeran mendongak dan angkat tangan kanannya.

“Tunggu!” seru Tiga Bayangan Setan.

“Jangan!” ujar Elang Setan cepat. “Kami akan mematuhi perintahmu. Kami akan berjaga-jaga di sumur batu itu!”

“Bagus! Sekarang menggonggonglah dan kembali ke sumur itu!” Pangeran Mathari balikkan diri lalu tinggalkan tempat itu.

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menggonggong beberapa kali. Sambil keluarkan suara menyalak seperti anjing itu tiba-tiba
Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua tinjunya. Dengan cepat dua kepalan itu diangkat ke atas lalu saling diadu di atas kepala. Tiga
bayangan seperti asap mengepul di kepalanya. Dia hendak keluarkan ilmu kesaktiannya yaitu melepas tiga makhluk raksasa
jejadian tapi Elang Setan cepat menarik dan menghempaskan kedua tangannya ke bawah. Tiga bayangan raksasa serta merta
lenyap.

“Jangan tolol! Kau mungkin bisa membokongnya dari belakang! Tapi kita berdua tidak bakalan lolos dari kematian! Kau saksikan
apa yang terjadi dengan Ratu Pesolek!” Tubuh Tiga Bayangan Setan bergoncang keras akibat menahan kekuatan sakti yang tadi
dilepas dan kini terpaksa masuk kembali ke dalam tubuhnya.

“Apa kau percaya dia bakal muncul memberi obat penawar racun yang ada di tubuh kita?” sentak Tiga Bayangan Setan.

“Aku memang tidak percaya padanya! Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik menghabiskan sisa hidup seratus hari sambil
mencari jalan dari pada langsung mampus saat ini juga!” jawab Elang Setan.

Dengan menghentakkan kaki Tiga Bayangan Setan kembali ke sumur batu.

Saking kesalnya tongkat sakti Wesi Ketatton yang tergeletak di tanah milik Jarot Ampel yang mati dibunuhnya beberapa waktu lalu
diinjaknya hingga amblas ke dalam tanah. “Aku bersumpah akan mengorek jantung Pangeran keparat itu Tiga Bayangan
36

Setan. Lalu kita santap bersama-sama! Sekarang kita terpaksa bersabar…” kata Elang Setan setengah membujuk sambil pegang
bahu saudara angkatnya itu.

“Aku akan bersamadi,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Mungkin arwah guru yang ada di dalam sumur bisa memberi petunjuk.”

“Aku memilih tidur saja…” kata Elang Setan pula lalu duduk bersandar pada kaki sebatang pohon.

** DUA **

Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya. Dia memandang berkeliling sambil dongakkan kepala menghirup udara pagi dalam-
dalam.

“Aneh… di rimba belantara begini ada bau harum,” katanya dalam hati sambil terus menghirup dan mencium. Hidungnya kelihatan
kembang kempis dan mulutnya termonyong-monyong. “Mungkin ada bidadari yang kebetulan turun ke hutan ini? Heh…. Aku rasa-
rasa pernah mencium bau harum seperti ini sebelumnya….”

Murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede ini angkat tangan kanannya ke atas. Telapak dikembangkan dan
diputar-putar ke berbagai jurusan.

Di satu arah dia hentikan gerakannya ketika terasa dingin. “Angin bertiup dari arah sana. Berarti bau harum itu datang dari situ.”

Wiro melangkah ke jurusan yang diduganya sebagai sumber datangnya bau harum. Pada langkah kedua belas telinganya
menangkap suara air mengucur. “Mungkin ada pancuran di sebelah sana…” pikir Wiro. Dia berjalan terus hingga langkahnya
sampai di hadapan batu-batu besar dan semak belukar. Suara air mengucur dan bau harum justru datang dari balik batu. Lalu
sesekali terdengar suara orang menyanyi. Suara perempuan. Wiro bergerak ke sebelah kanan batu. Ketika serumpun daun keladi
hutan disibakkannya, sang pendekar hampir keluarkan seruan tertahan. Cepat Wiro tutup mulutnya dengan tangan kiri tapi
sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar.

“Di dalam hutan ada pemandangan begini hebat! Rejekiku besar sekali hari ini!” kata Wiro dalam hati lalu dia mencari tempat yang
lebih baik agar bisa melihat lebih jelas.

Di bawah sana, hanya sejarak kurang dua puluh langkah dari tempat Wiro mengintai ada sebuah telaga kecil. Pada sisi kanan
telaga terdapat dinding batu yang tak seberapa tinggi. Dari bagian atas batu mengucur air membentuk sebuh air terjun kecil.
Telaga kecil itu dikelilingi batu-batu besar berbentuk rata. Di salah satu batu berdiri seorang gadis tinggi semampai yang sambil
menyanyi-nyanyi kecil membuka gulungan rambutnya. Ternyata dia memiliki rambut berwarna pirang, digerai lepas sampai ke
pinggang. Dia mengenakan pakaian biru tipis. Pakaian, tubuh dan rambutnya menebar bau harum yng tercium sampai ke hidung
Wiro.

“Rambut dan bau wangi itu…” desis Wiro. “Sayang dia membelakangi. Aku tak dapat melihat wajahnya. Tapi jika melihat pada
bentuk dan warna pakaiannya… aku hampir pasti dia adalah….”

Ucapan membatin murid Sinto Gendeng terputus. Dadanya berdebar keras-keras dilihatnya sambil terus bernyanyi-nyanyi kecil
gadis itu mulai membuka pakaian birunya. Si gadis hanya membuka bagian atas lalu membiarkan pakaian itu lepas dan merosot
jatuh ke atas batu.

Wiro tekap mulutnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menggaruk kepala habis-habisan. Sepasang matanya melotot
tidak berkesip dan seperti mau melompat dari rongganya.

“O ladalah! Benar-benar polos. Bagaimana aku bisa tahan menyaksikan pemandangan ini. Apakah aku harus ikut-ikutan membuka
pakaian dan menyebur ke dalam telaga? Memandang terus-terusan bisa membuat aku jadi setengah gila!” murid

Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dua lututnya bergetar. Ketika dia coba menggeser kakinya, tiba-tiba tanah yang dipijaknya
bergerak longsor.

“Celaka!” Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia cepat mengimbangi diri dan berusaha menggapai batu di sampingnya tapi batu itu
licin. Tangannya luput sementara tanah di bawah kedua kakinya semakin keras longsornya. Tak ampun lagi sang pendekar jatuh
terperosok. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh langkah, ketika dia coba melompat tubuhnya terpelanting karena tanah yang
dipijaknya ternyata basah dan licin. Tak ampun lagi sepuluh langkah ke bawah tubuhnya terguling-guling. Wiro tergeletak jatuh
tepat di samping batu di mana gadis berambut pirang baru saja menanggalkan pakaiannya. Si gadis menjerit keras. Secepat kilat ia
menyambar pakaian dan mengenakannya kembali. Pada saat sosok Wiro tergeletak di samping batu di bawahnya si gadis
keluarkan teriakan marah.

“Pemuda lancang! Minta mati berani mengintai orang mandi!”

Begitu berteriak si gadis hantamkan tumit kanannya ke leher Wiro. Ini merupakan satu serangan maut yang dalam keadaannya
seperti itu tak mungkin dielakkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng hanya bisa berteriak dan coba lindungi
lehernya dengan lengan kanan. Tapi ketika diangkat tangannya tertahan oleh ujung batu!

“Tamat riwayatmu pengintai lancang!”

Wiro hanya bisa melotot menunggu kematian. Tiba-tiba si gadis yang lancarkan serangan maut tahan gerakan kaki kanannya.
Matanya masih mendelik dan wajahnya yang cantik masih terbungkus hawa marah. Tapi dari mulutnya kemudian terdengar
seruan.

“Kau!”
37

Kalau tadi Wiro merasa nyawanya seolah sudah terbang dan wajahnya sudah sepucat mayat, kini dia menarik nafas lega dan
berusaha bangkit dengan cepat. “Wiro Sableng! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”

Wiro sesaat tertegun lalu balas berteriak. “Bidadari Angin Timur!” “Demi Tuhan! Aku tidak menyangka kalau kau orangnya yang
berlaku kurang ajar! Berani mengintip perempuan mandi!”

Wiro berdiri. “Tunggu…. Jangan salah sangka!”

“Kau sudah tertangkap tangan! Masih hendak mungkir?!”

Wiro garuk-gruk kepala. “Tidak, tunggu dulu. Biar aku jelaskan. Aku tadi berada di hutan sebelah sana. Ketika berjalan aku
mencium bau harum. Aku ingat betul bau itu adalah harumnya tubuh, rambut dan pakaianmu….” Sampai disitu Wiro hentikan
ucapannya. Wajah gadis cantik di hadapannya dilihatnya tidak berubah. Dia lalu meneruskan. “Kemudian kudengar ada suara air
mengucur, juga suara perempuan menyanyi. Aku sampai dekat batu besar di atas sana. Ketika memandang ke bawah kulihat
sosok tubuhmu. Karena kau membelakangi aku tak segera mengenali. Lalu tiba- tiba tanah yang kupijak longsor. Aku jatuh sampai
ke sini…. Percayalah aku tidak berbuat kurang ajar mengintipmu! Semua serba tidak sengaja….”

“Kau tidak berdusta?” tanya si gadis.

“Aku bersumpah tidak berdusta!” jawab Wiro seraya angkat kedua tangannya ke atas. “Lagi pula kalaupun hal ini terjadi, mengingat
hubungan kita dimasa lalu kurasa kau bisa memaafkan….”

Si gadis diam saja. Dalam hati Wiro jadi bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya gadis itu tersenyum dan rapatkan pakaian birunya.

“Kalau kau mau mandi silahkan saja. Aku akan pergi dari sini sampai kau selesai….”

“Ada apa kau tahu-tahu bisa muncul di tempat ini Wiro?” tanya si gadis.

“Aku sengaja mengambil jalan pintas. Aku dalam perjalanan ke sebuah pulau di pantai laut selatan. Kau sendiri mengapa berada
disini?”

Si gadis menarik nafas panjang. Sambil menyisir rambut pirangnya dengan jari-jari tangan kanan dia berkata. “Dunia ini sempit
juga rupanya. Buktinya kita bisa bertemu secara tidak terduga dalam rimba belantara ini. Aku dalam perjalanan ke Kartosuro….”
“Hemm…. Rupanya kau punya urusan penting di sana.”

“Sangat penting Wiro. Aku harus pergi ke sebuah bukit kecil di luar Kartosuro. Ada satu tugas maha besar yang harus
kuselesaikan….”

Pendekar 212 ingat akan pertemuannya dengan Si Raja Penidur, Sinto Gendeng dan Kakek Segala tahu di puncak Merbabu
beberapa waktu lalu.

Sambil tersenyum Wiro berkata. “Rasanya aku tahu urusan apa kau pergi ke bukit kecil di pinggiran Kartosuro itu.”

“Hah?! Kau malang melintang kemana-mana. Punya banyak kenalan orang-orang pandai. Tidak heran kalau kau mungkin tahu apa
urusanku. Tapi aku mau menguji. Coba kau sebutkan!” kata si gadis pula.

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku mendengar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Iblis. Kabarnya berada di bukit itu.
Tersimpan secara aneh dalam sebuah sumur….”

Paras si gadis berubah. “Parasmu berubah, berarti dugaanku betul!” kata Pandekar 212.

“Kau memang hebat! Aku tidak akan menanyakan bagaimana kau bisa menduga begitu tepat….”

“Mencari sebuah benda keramat atau benda sakti sama saja dengan mengadu nyawa. Kau harus hati-hati kalau memang
bermaksud mendapatkan kitab itu.” “Eh, mengapa kau bilang begitu Wiro?”

“Aku yakin bukan kau saja yang menginginkan kitab sakti itu. Pasti banyak orang-orang lain berkepandaian tinggi. Jika satu benda
dicari oleh banyak orang berarti akan terjadi perebutan. Perebutan berarti pertumpahan darah…!”

“Hemmm…. Kau mungkin betul. Tapi aku tidak takut mengadu nasib!”

“Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi. Walau begitu tetap saja harus berhati- hati. Karena kalau kau bisa mendapatkan kitab
itu, yang lain-lain bisa bergabung dan mengeroyokmu untuk merampas kitab itu.”

“Terima kasih atas nasihatmu. Kau sendiri tidak berminat mendapatkan kitab sakti itu?” tanya si gadis pula.

Wiro garuk-garuk kepala “Tentu saja ada keinginan. Tapi sayangnya disaat yang bersamaan ada hal lain yang lebih penting harus
dikerjakan….”

“Aku tidak secerdikmu. Jadi tidak bisa menduga apa urusanmu itu. Apa kau mau mengatakan…?”

Wiro Sableng tertawa. Lalu menjawab. “Mohon dimaafkan, aku tidak bisa mengatakannya padamu.”

“Juga mengingat hubungan kita di masa lalu?” ujar si gadis.


38

Wiro garuk-garuk kepala. “Sampai saat ini kau tidak pernah memberitahu siapa namamu. Aku memberi panggilan padamuu
Bidadari Angin Timur. Karena kau secantik bidadari dan gerakanmu secepat angin….”

“Kau boleh terus memanggilku dengan nama itu…”ujar si gadis seraya tersenyum. (Siapa adanya gadis yang diberi nama Bidadari
Angin Timur ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)

Wiro tatap lekat-lekat wajah yang tersenyum itu. “Bidadari Angin Timur…” katanya dalam hati. “Kecantikanmu sejak dulu tak pernah
kulupakan. Justru pada pertemuan ini mendadak rasa rinduku menggelora. Gila betul!” Di hadapannya si gadis masih tersenyum.
“Senyum itu menimbulkan munculnya dua lesung pipit di wajahnya. Hemmm… Dua lesung pipit itu sepertinya….”

“Kau seoleh termenung memikirkan sesuatu. Kau tak mau lagi memanggil diriku dengan sebutan Bidadari Angin Timur itu?”

“Ah, tentu saja mau!” jawab Wiro cepat. Lalu dengan polos dia berkata. “Terus terang aku tidak pernah melupakan dirimu sejak
pertemuan kita gara-gara Guci Setan itu….”

Satu getaran aneh yang tak pernah dirasakan sebelumnya menjalari dada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Gila, mengapa aku tiba-tiba
begitu kangen pada gadis ini. Ingin memeluknya, ingin menciumnya. Apakah aku sudah jatuh cinta atau Cuma…. Ah! Bagaimana
ini!” Wiro lagi-lagi garuk-garuk kepala.

Apa yang ada dalam pikiranmu Wiro…? tanya Bidadari Angin Timur perlahan seraya menatap dalam-dalam ke mata sang pendekar
membuat Wiro jadi salah tingkah.

“Aku… aku juga gembira mengetahui kau selalu ingat padaku…” jawab Wiro. “Pertemuan ini satu hal yang sangat berarti bagiku.”

“Bagiku juga… Lalu, apakah kau mau menyertaiku ke Kartosuro?”

“Tentu…tentu saja aku mau…. Tapi….” Wiro ingat akan tugas dari tiga tokoh silat yang salah satu adalah gurunya sendiri.

“Ah, hatimu bimbang. Aku tak ingin memaksa. Mungkin lain waktu kau mau berjalan bersamaku lagi….” Suara Bidadari Angin Timur
terdengar sedih.

Hati Pendekar 212 jadi luluh. Ketika si gadis membalikkan tubuhnya Wiro cepat pegang tangannya dan berkata.

“Saat ini kau lebih penting bagiku. Aku akan antarkan kemana kau ingin pergi.”

“Sungguh?” tanya Bidadari Angin Timur ingin kepastian sambil pegang jari-jari tangan sang pendekar.

Wiro anggukkan kepala. Si gadis dekapkan kedua tangannya ke pipi Wiro lalu perlahan-lahan menarik wajah sang pendekar hingga
akhirnya dua bibir mereka saling bertemu.

“Aneh… Mengapa dia jadi begini berani? Karena gembira aku mengantarkannya ke Kartosuro? Atau karena kangen. Atau….”

Murid Sinto Gendeng tak bisa berfikir lebih lama karena saat itu pelukan dan ciuman Bidadari Angin Timur membuat dirinya serasa
terbakar. Ketika dia balas merangkul tubuh si gadis, Bidadari Angin Timur miringkan tubuhnya ke samping hingga tak ampun lagi
keduanya masuk ke dalam telaga.

** TIGA **

Aku mencium bau busuk…” kata Wiro. Bidadari Angin Timur hentikan langkahnya.

Dia mendongak sebentar lalu menunjuk ke arah kiri. “Datangnya dari arah sana. Mari kita selidiki….”

Kedua orang itu dengan cepat bergerak menuju datangnya sumber bau busuk di lereng bukit kecil. Tiba-tiba si gadis hentikan
langkahnya. “Ada apa?” tanya Wiro.

“Ada mayat yang sudah tak karuan rupa bergeletakan di sana….” Wiro sibakkan semak belukar dan memandang ke arah yang
ditunjuk Bidadari Angin Timur. “Bukan hanya satu mayat. Ada tiga… empat… Mungkin lebih. Sudah membusuk. Dikerubungi
belatung dan lalat….” Wiro meludah ke tanah. “Sebagian hanya tinggal tulang belulang belaka….”

“Mengerikan sekali keadaan di tempat ini….”

“Sebaiknya kita pergi saja,” kata Wiro.

“Tunggu! Wiro lihat…” suara gadis di sebelahnya terdengar bergetar.

“Apa…?”

“Di sebelah sana. Sumur batu…. Aku merasa pasti itu sumur yang aku cari. Tempat tersembunyinya Kitab Wasiat Iblis,” bisik si
gadis. Wiro memandang ke arah sumur batu itu. Lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi kecuali suara lalat yang
beterbangan di atas bangkai-bangkai manusia itu.

“Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik. Jika kuberi tanda baru bergerak.” Si gadis anggukkan kepala dan berbisik. “Hati-hati.
Jangan kau biarkan aku sendirian terlalu lama disini.” Gadis ini lepaskan pegangannya pada lengan Wiro.

Wiro cepat mendekati sumur batu, melangkahi mayat-mayat yang membusuk.


39

“Gelap, berkabut…. Sumur ini pasti dalam sekali.” Kata Wiro dalam hati begitu dia berdiri di tepi sumur dan memandang ke
dalamnya. “Apa betul Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini? Bangkai-bangkai manusia itu. Siapa mereka? Korban saling
bunuh antara pemburu kitab sakti?” Wiro perhatikan bagian sebelah atas sumur yang agak terang. Dia melihat ada ulir berbentuk
tangga menurun sepanjang dinding sumur. “Aku tidak berminat mendapatkan kitab itu. Tapi kalau jalan ke dasarnya mudah apa
salahnya menyelidik. Hanya saja dari dalam sumur aku mencium bau busuk. Pasti ada mayat di dalam sana….”

Wiro berpaling ke arah semak-semak tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. “Sahabatku cantik! Silahkan datang ke
sini! Wiro memanggil. Tak ada jawaban.

“Bidadari Angin Timur! Aku di sini!” seru Wiro. Dia menunggu sesaat. “Eh, apa gadis itu sudah dicekik hantu bisu hingga tak bisa
menjawab?!” Wiro memanggil lebih keras. “Bidadari Angin Timur!”

Tiba-tiba dari balik semak belukar terdengar suara tawa bergelak, membuat Pendekar 212 terkejut bukan main.

“Ada sesuatu yang tidak beres!” pikir murid Sinto Gendeng. Dia cepat melangkah ke arah semak belukar tempat tadi dia
meninggalkan Bidadari Angin Timur. Namun belum sempat dia mencapai tempat itu dari balik semak belukar muncul dua orang
bertampang angker.

Orang pertama mengenakan jubah hitam. Memiliki mata kanan membeliak besar sebaliknya mata kiri hampir tertutup. Kepalanya
botak aneh karena hanya yang sebelah kiri sedang bagian kanan memiliki rambut panjang awut-awutan. Mukanya sebagian
tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.

“Manusia apa ini, jelek angker. Ada tiga guratan pada keningnya…” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada orang kedua. Yang
pertama sekali diperhatikannya adalah bentuk sepasang tangan orang itu. Selain ditumbuhi bulu lebat dua tangan itu tidak
berbentuk tangan manusia tapi berupa cakar berkuku hitam runcing. Daging wajah orang ini hancur seperti dicacah sedang
hidungnya tinggi bengkok. Sepasang matanya mengerikan karena bagian bawahnya menggembung merah dan selalu basah . “Aku
rasa- rasa kenal dua kadal angker ini”, membatin Wiro.

Yang membuat Pendekar 212 jadi tersentak kaget ialah karena dua manusia tak dikenal itu keluar dari semak belukar sambil
menyeret bidadari Angin Timur. “Bidadari!” seru Wiro seraya hendak melompat. Tapi dua orang yang menyeret si gadis lebih dulu
menyongsong menghadang, melepas si gadis begitu saja hingga jatuh tertelungkup di tanah.

“Dia tidak bergerak, juga tidak bersuara! Pasti dua keparat itu telah membokongnya dengan totokan hebat!”

“Siapa kalian?!” Bentak Bentak Wiro.” Apa yang kau lakukan terhadap sahabatku?!”

Dua orang yang dibentak menyeringai. Si jubah hitam membuka mulut. “Jawaban pertama aku yang menjawab. Aku datuk dunia
persilatan dikenal denagn Tiga Bayangan Setan!”

“Cocok!” seru Wiro.

Tiga Bayangan Setan kerenyitkan kening dan pelototkan matanya yang gembung.”Apa maksudmu cocok?!” “Mukamu memang
seperti setan!”

“Kurang ajar!” Tiga Bayangan Setan menggembor marah dan langsung hendak menyerang Wiro. Tapi teman disebelahnya
berkata.”Kau belum memperkenalkan diriku…”

Mulut Tiga Bayangan Setan komat-kamit sebentar baru bicara. “Dia dikenal dengan julukan Elang Setan!”

“Aha! Juga cocok! Muka seperti setan tangan seperti cakar elang. Boleh aku bertanya…?”

“Bangsat!” Kau mau tanya apa?!” bentak Elang Setan.

“Dengan tangan seperti itu bagaimana kau menyuap makanan? Lalu satu lagi… bagaimana kau cebok?! Lalu kulihat cakar
kelingking kirimu buntung. Apa patah waktu kau ngupil?!”

“Setan alas minta mampus!” Elang Setan berteriak keras lalu melompat sambil tangan kanannya membeset kearah leher Wiro.

Murid Eyang Sinto Gendeng maklum kehebatan cakar lawan. Waktu sinar hitam dan merah bertabur keluar dari tangan kanan
Elang dia cepat mundur dua langkah sambil dorongkan tangan kanan melepas pukulan “benteng topan melanda samudera”.

Elang Setan Keluarkan seruan tertahan ketika merasakan ada satu gelombang angin laksana tembok yang tak kelihatan menahan
gerakannya. Ketika dia kerahkan tenaga untuk menembus kedua kakinya malah terangkat ke atas.

“Kurang ajar!” Kau kira aku tidak sanggup menembus pertahananmu!” teriak Elang Setan. Dia melesat dua tombak ke atas lalu
jungkir balik di udara. Di lain kejap tubuhnya meluncur laksana sebatang tombak. Dua tangan terpentang lurus. Satu diarahkan ke
muka Wiro, satunya lagi ke bagian dada tepat di arah jantung. Sebelum serangan sampai dua larik sinar merah bercampur hitam
menerpa lebih dahulu! “Serangan ganas! Dia hendak mencakar hancur mukaku dan menjebol dadaku!”

Wiro kertakkan rahang. Cepat dia bergerak ke samping kiri. Dia merasa angin menggidikan menampar mukanya sebelah sewaktu
serangan cakar elang lawan lewat di samping kepalanya.

Ternyata serangan Elang Setan kearah muka tipuan belaka. Dia sengaja memperlambat gerakan serangannya agar mudah
dihindar. Namun bersamaan dengan itu cakar setan tanmgan kanannya melesat ke dada.
40

“Serahkan jantungmu!” teriak Elang Setan sambil tertawa bergelak karena dia yakin serangan mautnya itu akan berhasil.

Sadar kalau dia tak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan maka Wiro cepat kerahkan tenaga dalam. Tangan kirinya
bergerak, memukul ke atas.

Dua lengan beradu keras.

“Bukkk!”

Suara tawa Elang Setan mendadak sontak terputus berganti dengan seruan kesakitan. Tubuhnya terpental sampai empat langkah
lalu terjengkang di tanah. Walau sangat kesakitan tapi dia cepat melompat berdiri. Dalam hati dia merasa tidak percaya. Sepasang
lengannya itu kebal terhadap segala macam rasa sakit. Waktu Pangeran Matahari menghantamkan tangannya ke sumur batu,
justru bibir sumur batu yang gompal sementara lengannya sendiri tidak cidera. Tapi kini bentrokan dengan lengan Wiro dia
merasa sakit bukan main. Yang lebih membuatnya sakit hati, di hadapannya dilihatnya Wiro masih tetap berdiri walau lengan
kirinya tampak membengkak merah.

Elang Setan melompat ke samping Tiga Bayangan Setan dan berbisik. “Manusia ini benar-benar berbahaya. Sesuai tugas kita harus
membunuhnya saat ini juga!” Apa yang dibisikan Elang Setan sempat terdengar oleh Wiro. Sang Pendekar serta merta membentak.

“Siapa yang menugaskan kalian membunuhku? Siapa yang membayar kalian?!”

** EMPAT **

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan sama-sama menyeringai. “Telingamu tajam juga rupanya!” ujar Tiga Bayangan Setan. “Siapa
yang menugaskan kami membunuhmu tak usah kau tanyakan. Jika masih penasaran nanti tanyakan saja pada setan kuburan! Ha…
ha… ha…!”

Elang Setan pegang bahu saudara angkatnya itu lalu berkata. “Tapi mungkin kita akan mempertimbangkan untuk tidak
membunuhnya kalau dia menyerahkan barang berharga yang dimilikinya….”

“Apa maksudmu?!” bertanya Wiro sambil melirik ke arah sosok Bidadari Angin Timur yang tertelungkup tak berdaya, tak bisa
bergerak tak mampu bersuara. Dalam hati Wiro membatin. “Setahuku gadis itu memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya laksana
kilat. Kalau dia bisa dilumpuhkan begitu rupa berarti dua manusia keparat ini memiliki kepandaian luar biasa. Aku harus berlaku
hati-hati.”

“Kami mendengar kau membekal satu senjata mustika berupa kapak sakti bermata dua berikut pasangannya batu api hitam
mukjizat. Kalau kau mau menyerahkan dua benda itu pada kami, kami akan mengampuni selembar nyawamu!” Yang bicara adalah
Tiga Bayangan Setan.

Mendengar ucapan Tiga Bayangan Setan Wiro segera maklum kalau dua orang di hadapannya sudah mengetahui siapa dirinya.
“Apa yang kumiliki tidak untuk dipertukarkan. Tapi jika kalian berdua memaksa bagaimana kalau dua benda itu aku tukar dengan
dua nyawa kalian!” Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.

Tiga Bayangan Setan maju selangkah. ”Kau mau nyawaku silahkan ambil! ”Dia pentang dada dan menantang. ”Kau mau berbuat
apa unutuk ambil nyawaku silahkan lakukan! ”Pilih tempat yang empuk agar nyawaku enak keluarnya. Ha…ha…ha!” “Manusia jelek
gundul sebelah! Kau akan menyesal berani bicara keliwat

takabur!” Begitu selesai bicara Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke depan. Tangan kanannya melesat dalam jurus ”kepala
naga menyusup awan.” Yang di arah adalah dada Tiga Bayangan Setan, tepat di bagian jantung.

“Bukkk!”

Tubuh Tiga Bayangan Setan mencelat sampai dua tombak. Sesaat dia terkapar dan tersandar ke dinding sumur batu. Wajahnya
yang angker sama sekali tidak menunjukkan bayangan rasa sakit, malah melontarkan seringai mengejek. Dari mulutnya tak ada
darah yang mengucur.

“Seharusnya jantungnya pecah dan saat ini sudah konyol! Gila! Ilmu kebal apa yang dimiliki setan alas gundul sebelah ini?!” ujar
Wiro dalam hati sambil perhatikan tinju kanannya.

Tiga Bayangan Setan keluarkan tawa bergelak lalu berdiri: Dia berpaling pada Elang Setan dan berkata. “Berikan tombak Wesi
Ketaton itu padanya…”

Elang Setan mengambil tombak besi yang separuh amblas di tanah lalu melemparkannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Cara
Elang Setan melemparkan Senjata itu tidak sembarangan. Salah tangkap atau kurang cepat memegangnya bagian runcing atau
bagian yang berbentuk pisau tipis melingkar bisa membabat leher Wiro.

Sambil merunduk Wiro tangkap tombak yang dilemparkan dengan tangan kiri. “Astaga! Setahuku ini adalah senjata Tubagus
Kasatama, orang tua bergelar Dewa Berjubah Kuning Berongkat Besi!” membatin murid Sinto Gendeng begitu dia pegangi dan
perhatikan tongkat besi dalam genggamannya.”Apa yang terjadi-dengan orang tua kepercayaan Keraton itu?”

“Kau mengenali senjata itu Pendekar 212?” tanya Tiga Bayangan Setan.

“Dan kau ingin tahu dimana pemiliknya sekarang berada, apa yang telah terjadi

dengan dirinya?!” menimpali Elang Setan sambil usap-usap lengannya yang masih sakit akibat bentrokan dengan Wiro tadi.
41

“Apa yang telah kalian lakukan terhadap orang tua itu?!” sentak Wiro.

Tiga Bayangan Setan tertawa panjang. ”Kau tak usah khawatir keadaan orang tua itu. Saat ini pasti dia sehat-sehat dan tenang-
tenang berada di dalam akhirat!” “Jadi kalian telah membunuhnya?!” Wiro melotot besar.

“Saudara angkatku hanya mengorek jantungnya dari dalam dadanya. Kalau dia kemudian menemui kematian mana bisa kami
dipersalahkan!” Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan lalu tertawa terbahak-bahak.

“Jahanam!” rutuk Wiro. Sebagai orang yang punya hubungan dekat dengan Keraton di barat dan timur, Wiro kenal baik dengan
Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Bertongkat Besi. Saking marahnya Wiro kerahkan tenaga dalam dan siap untuk lepaskan
”pukulan sinar matahari” kearah Tiga Bayangan Setan. Tapi di depan sana, sambil bersandar ke dinding sumur Tiga Bayangan
Setan kembali menantang. “Pukulanmu tadi terlalu empuk! Sungguh memalukan karena dilepas oleh orang yang katanya punya
nama besar dalam dunia persilatan dan sampai dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ternyata kau tidak punya
kepandaian apa-apa! Bagaimana selama ini kau bisa menipu dunia persilatan?!”

Murid Sinto Gendeng merasa terbakar. Dia melangkah dekati Tiga Bayangan Setan.

“Nah, nah! Ternyata kau masih punya nyali untuk melawanku. Silahkan pergunakan tombak sakti itu! Kau boleh menusuk tubuhku
dengan ujung yang runcing, atau membabat putus leherku dengan bagian yang bulat pipih setajam mata pisau!” “Manusia
sombong! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Wiro pindahkan tombak Wesi Keraton ke tangan kanannya. Karena
tangan itu telah dialiri tenaga dalam penuh maka tombak sakti sampai mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan.

“Kau boleh pilih bagian yang kau suka! Mukaku, dada atau perut! Atau kau suka bagian di bawah perutku?!” Tiga Bayangan Setan
tertawa bergelak. Dia memandang tak berkesip ketika Wiro dengan kecepatan kilat melompat ke hadapannya. Tongkat besi di
tangan kanan ditusukkan ke arah kening Tiga Bayangan Setan dimana terdapat tiga guratan aneh!

Kepala Tiga Bayangan Setan seolah terlontar ke belakang tapi tubuhnya tetap tak beranjak dari dinding sumur batu. Bersamaan
dengan kilatan aneh keluar dari tiga guratan di keningnya. Lalu terdengar suara berdentrang. Ujung runcing tombak yang
ditusukkan Wiro ke kening orang itu patah. Wiro sendiri merasakan tangannya bergetar keras dan seolah memegang besi panas
hingga dia terpaksa lepaskan senjata itu.

Menyaksikan tombak sakti bisa patah sedang kening Tiga Bayangan Setan tidak cedera sedikitpun, Pendekar 212 ambil keputusan
untuk lancarkan serangan sakti berupa “pukulan sinar matahari” yang selama ini sulit dicari tandingannya dan merupakan pukulan
sakti dikenal paling mematikan dalam rimba persilatan.

Sebagai tokoh silat golongan hitam yang menjadi menjadi momok dimana-mana tentu saja Tiga Bayangan Setan segera menduga
pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan lawan begitu dilihatnya tangan kanan Pendekar 212 berubah menjadi putih berkilau
laksana perak mendidih!

“Pukulan sinar matahari! Aku sudah lama mendengar kehebatannya. Tapi kalau tidak dibuktikan mana aku mau percaya!” ujar Tiga
Bayangan Setan.

“Manusia setan ini benar-benar sangat takabur!” kata murid Sinto Gendeng yang jadi kalap karena dipandang enteng begitu rupa.
Seluruh tenaga dalam disalurkannya ke tangan kanan. Didahului teriakan lantang tangan itu dihantamnya ke depan!

“Wusss!

Sinar putih menyilaukan disertai panas luar biasa berkiblat menghantam Tiga Bayangan Setan yang saat itu masih berdiri
bersandar ke dinding sumur batu. Meski percaya diri namun Tiga Bayangan Setan tidak mau berlaku ayal.

Tubuhnya melesat ke atas setinggi dua tombak. Dua tangannya mengepal lalu diadukan satu sama lain di atas kepala.

Pukulan sinar matahari menghantam sumur batu hingga hancur berkeping-keping.

Walau pukulan sakti itu tidak mengenai sasarannya namun hawa panas membuat kaki jubah hitam yang dikenakan Tiga Bayangan
Setan hangus! Sementara itu hancuran sumur bertebar ke berbagai penjuru menutupi pemandangan.

“Jahanam! Pukulan sakti itu benar-benar berbahaya!” rutuk Tiga Bayangan Setan walau tubuhnya tidak cidera sedikitpun.

Mau tak mau hati Pendekar 212 Wiro Sableng diam-diam jadi tergetar juga melihat lawan sanggup meloloskan diri dari pukulan
saktinya.

Dua kepalan Tiga Bayangan Setan meletup keluar tiga sosok yang mula-mula berupa asap namun dalam waktu sekejapan saja
berubah menjadi tiga sosok makhluk berbentuk raksasa, rambut riap-riapan, taring mencuat dan mata merah. Ketiganya
keluarkan suara menggereng lalu serentak ulurkan tangan kanan, memukul kearah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!

Seumur hidup baru sekali ini murid Sinto Gendeng melihat ilmu hitam begitu hebat. Dia melompat jauhkan diri. Ketika Tiga
Bayangan Setan berusaha menyergap dan tiga raksasa jejadian lancarkan serangan Wiro langsung menghantam dengan “pukulan
sinar matahari”!

Wusss!”

Sinar putih dan panas berkiblat. Tiga Bayangan Setan jatuhkan diri ke tanah. Tiga makhluk raksasa keluarkan raungan keras.

“Bummmm!”
42

“Bummmm!”

Dua ledakan keras menggelegar.

Tiga Bayangan Setan jatuh terbanting ke tanah. Makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan mental seolah-olah tanggal dari batok
kepalanya, berubah jadi asap. Tapi makhluk raksasa yang di sebelah tengah tetap utuh. Malah didahului raungan keras dia melesat
ke depan. Kalau sebelumnya sosoknya sampai sedada kini makhluk rakasasa jejadian ini keluar utuh dari batok kepala Tiga
Bayangan Setan sementara dua temannya tadi musnah akibat hantaman pukulan sakti yang dilepaskan Wiro perlahan-lahan
kembali ke bemtuknya semula!

“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan Setan.

Makhluk raksasa yang di tengah menghantam kearah Wiro.

“Jin dan segala macam makhluk jejadian takut dengan api!” Pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Wiro. Secepat kilat dia
mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Mata kapak kalau diadu dengan batu hitam akan
mengeluarkan lidah api. Inilah yang dilakukan segera oleh Wiro. Namun sebelum tangannya bergerak Tiga Bayangan Setan
berteriak memberi perintah.

“Rampas!”

Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget ketika tiba-tiba dua tangan raksasa yang sebelah tengah berubah menjadi panjang dan
menyambar kearah dua senjata mustika yang dipegangnya.

Wiro cepat menghindar dengan melompat ke belakang. Begitu ada kesempatan dia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Wiro sengaja menerobos diantara dua tangan yang terjulur. Yang diarahnya adalah batok kepala raksasa di sebelah tengah.
Namun alangkah kagetnya murid Sinto Gendeng ini ketika lebih cepat dari gerakannya, tangan raksasa jejadian sebelah kanan
bergerak mendahului mencengkram mata kapak sedang tangan kiri memukul kearah batok kepalanya!

Pendekar 212 hanya punya kesempatan sekejapan untuk memilih. Apa dia mau selamatkan senjata mustikanya atau hindarkan
kepalanya dari kehancuran! “Setan alas keparat!” Wiro masih sempat memaki. Dia tak kuasa mempertahankan Kapak Naga Geni
212 dari renggutan raksasa jejadian yang sangat kuat. Senjata mustika sakti itu terlepas pegangannya karena mau tak mau dia
harus selamatkan kepala!

Ketika hantaman pada kepalanya berhasil diledakan Pendekar 212 masih berusaha menerjang ke muka untuk dapatkan
senjatanya kembali. Tapi sosok raksasa sebelah kiri tiba-tiba hantamkan tangan kanannya. Wiro merasa seperti di gebuk balok
besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras disertai semburan darah. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak dan terkapar di tanah
tak berkutik lagi.

“Kita berhasil membunuhnya!” teriak Elang Setan. “Dunia persilatan akan geger!

Nama kita akan mencuat setinggi langit! Aku mau tahu siapa tokoh persilatan yang tidak merinding mendengar nama kita!
Ha…ha…ha!”

Tiga sosok raksasa jejadian di atas kepala Tiga Bayangan Setan lenyap. Sambil meyeringai puas dia berkata pada Elang Setan.
“Ambil batu hitam di tangan kiri pemuda itu. Kita perlu segera mencari Pangeran Matahari untuk memberi tahu peristiwa besar ini.
Tugas dari dia sudah kita jalankan. Empat puluh hari lebih kita menunggu munculnya Pendekar 212. Saatnya kita minta dia
memberikan obat penawar racun dalam tubuh kita.” Saat itu tiba-tiba udara menjadi redup seolah matahari tertutup awan tebal.
Tiga Bayangan Setan memandang ke langit dan serta merta terperangah. Di langit dilihatnya ada pemandangan aneh.

“Elang Setan! Lihat!” Tiga Bayangan Setan berseru seraya menunjuk ke langit. Saat itu di langit tampak tujuh paying tujuh warna
dalam keadaan terkembang meluncur demikian rupa laksana terbang. Mula-mula tujuh payung itu terbang memanjang dalam
bentuk garis lurus. Tepat di atas lereng bukit dimana Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berada, tujuh payung bergerak
berputar membentuk lingkaran dengan payung warna merah berada berada di tengah lingkaran. Melihat tujuh payung warna
warni secara aneh terbang di udara saja sudah merupakan keanehan. Apalagi saat itu jelas terlihat ada sesosok tubuh
bergantungan pada tangkai payung berwarna merah.

Cara orang ini bukan memgang payung dengan tangannya tapi justru kedua kakinya yang menjepit gagang payung. Jadi saat itu
keadaan tubuhnya menggelantung kaki ke atas kepala ke bawah.

Dari bentuk dan warna pakaian serta rambunya yang tergerai jatuh ke bawah dapat diduga orang yang bergantung pada gagang
payung merah adalah seorang perempuan.

“Aneh…”desis Elang Setan.

“Aku mencium bau bahaya…” berkata Tiga Bayangan Setan. “Kita sudah dapatkan senjata mustika itu. Buat apa mencari urusan
baru. Lekas ambil batu hitam itu.

Aku akan membawa si gadis!”

Tiga Bayangan Setan bergerak cepat ke tempat Bidadari Angin Timur tergeletak sedang Elang Setan berkelebat merenggut batu
hitam sakti dari genggaman tangan kiri Pendekar 212.
43

** LIMA **

Pangeran Matahari mendera kuda tunggangannya habis-habisan hingga binatang itu lari seperti kesetanan. Ketika hari mulai
gelap, memasuki sebuah lembah di utara Tegalrejo baru dia memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh kini menurun terus,
penuh semak belukar dan gelap. Tapi kuda itu bergerak terus tanpa halangan seolah dia sudah tahu seluk beluk jalan yang
ditempuhnya.

Pangeran Matahari usap-usap leher kudanya seraya berkata. “Kau kuda baik, kuda cerdik. Empat tahun tak pernah ke sini ternyata
kau masih ingat jalan! Di dekat goa sana banyak tumbuh rumput segar hijau dan gemuk! Kau nanti boleh makan sepuasmu!” Lewat
sepeminuman teh kuda yang ditunggangi Pangeran Matahari berhenti di hadapan sebuah gundukan batu besar, diapit oleh dua
batang pohon besar serta tertutup oleh semak belukar tinggi. Disekitar tempat itu tumbuh banyak sekali rumput segar gemuk.

“Kita sudah sampai…” kata Pangeran Matahari. “Kau boleh istirahat dan makan rumput sepuasmu!”

Lalu sang Pangeran turun dari kudanya. Baru saja dia menginjakan kaki di tanah binatang itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan
keluarkan suara menggembor. Pangeran Matahari yang tadinya hendak melangkah segera hentikan gerakannya dan menatap
kudanya.

“Kau mengetahui sesuatu yang aku belum ketahui. Ada apa…?” Pangeran Matahari usap-usap bagian atas hidung binatang itu.
Sang kuda menggembor lagi, lalu meringkik halus.

“Hemmm… Terima kasih… Kau mengingatkan agar aku berlaku waspada!” Sang Pangeran buka matanya lebar-lebar dan
memandang berkeliling. Tapi dia memang tidak memperhatikan tapi kini dia bisa melihat. “Ada semak belukar yang terusik. Tapi
tak ada tanda-tanda bekas rumput terpijak. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi yang bisa punya pekerjaan seperti ini….”
Pangeran Matahari besarkan mata, pasang telinga lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi. Ketika dia mendongak ke
atas, dadanya berdebar. Pada cabang pohon di sebelah kanan gundukan batu besar sesosok tubuh kelihatan menelungkup
membelintang. Ada cairan mengucur dari bagian kepalanya.

“Kudaku , kau pergilah merumput. Tenang dan jangan keluarkan suara. Tak ada apa-apa di tempat ini…” bisik sang Pangeran pada
kudanya. Lalu dia putar tubuhnya. Sekali kedua kakinya menekan tanah, tubuhnya berayun dan melesat ke atas. Sesaat kemudian
dia sudah berada di cabang pohon dimana ada sosok tubuh tergeletak membelintang. Pangeran Matahari membungkuk berusaha
untuk melihat wajah orang. Tapi kepalanya laksana disentakkan. Dia meludah ke tanah. Wajah dan kepala orang di cabang pohon
itu hancur mengerikan, tak bisa dikenali! Siapapun dia adanya orang ini sudah jadi mayat. Jelas dia dibunuh orang!

Pangeran Matahari perhatikan pakaian orang. Pakaian ringkas warna coklat. Pada pinggangnya melilit sebuah rantai besi yang
diganduli puluhan kepingan-kepingan besi berbentuk segitiga tajam.

“Senjata andalannya ini tak sempat dipergunakan. Lawan keburu menghabisinya…” pikir Pangeran Matahari. Dari atas cabang
pohon dia bisa melihat keadaan di bawahnya lebih jelas. Tak ada gerakan, tak ada suara. Kehitaman mendekam dimana-mana.
Akhirnya dia melompat turun kembali. “Siapapun orang yang membunuh lelaki di cabang pohon itu pasti dia sudah meninggalkan
tempat ini… Mungkin aku harus membatalkan niat untuk tinggal di tempat ini. Paling tidak aku hanya bisa pergunakan untuk
sekedar bermalam…”

Pangeran Matahari lalu mencabuti semak belukar yang menghalangi langkahnya menuju gundukan batu besar.”Semak belukar tak
terusik. Belum ada yang masuk ke tempat ini…” Pangeran Matahari merambas pohon-pohon jalar yang menutupi gundukan batu.
Ketika semak belukar dan pohon jalar yang tersingkir, bagian depan gundukan batu besar itu ternyata adalah mulut sebuah goa
besar.

Sang Pangeran tak segera masuk. Dia dongakkan kepala lalu menghirup udara dalam-dalam.”Udara segar bercampur bau minyak.
Berarti memang tak ada manusia yang masuk ke sini. Dan minyak obor-obor di dalam sana masih utuh…”

Bagian dalam goa itu cukup besar dan tinggi. Suasana gelap menyambut Pangeran Matahari. Dia melangkah ke dinding kanan,
meraba-raba sampai akhirnya tangannya menyantuh sebuah obor besar yang tergantung di dinding batu. Dengan cepat obor
dinyalakan. Keadaan dalam goa kini jadi terang. Di dinding sebelah kiri kelihatan lagi sebuah obor yang segera dinyalakan oleh
sang Pangeran hingga keadaan dalam goa jadi terang benderang.

Pada bagian tengah goa sebelah dalam ada sebuah batu tinggi berbentuk rata yang keseluruhannya telah diselimuti lumut
kehijauan. Pada ujung batu sebelah kanan berdiri satu patung manusia berkepala singa yang bagian atasnya berlobang. Pada
lobang ini menancap sebuah obor kecil. Setelah menyalakan obor kecil ini Pangeran Matahari buka mantelnya lalu
mengembangkannya di atas batu rata. Duduk di atas batu Pangeran Matahari rangkapkan kedua tangan di depan dada, pejamkan
mata dan tubuhnya untuk beberapa lama tak bergerak sedikitpun. Hembuskan nafasnya bahkan tidak terdengar. Apa yang
dilakukan sang Pangeran saat itu adalah mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.

Sesaat kemudian sepasang mata Pangeran Matahari tampak terbuka, wajahnya kelihatan merah. “Kitab Wasiat Iblis yang ada
padaku membawa perubahan besar. Sebelumnya tak pernah aku merasa jalan darah, pernafasan dan hawa sakti dalam tubuhku
begini luar biasa…”

Dari balik baju hitamnya sang Pangeran keluarkan kitab sakti itu. Tangannya sesaat terasa bergetar. Sampul kitab berwarna hitam,
terbuat dari daun lontar kering yang dicelup dalam sejenis dawai. Beberapa bagian dari sampul kitab ini sudah gugus dimakan
usia. Dengan tangan masih agak gemetar Pangeran Matahari letakkan kitab di atas pangkuannya lalu membuka sampulnya. Pada
halaman pertama kitab daun lontar itu tertera tulisan berbunyi “Kitab Wasiat Iblis”.

Dihalaman kedua yang keadaannya sangat rusak samar-samar tertera tulisan dalam huruf-huruf Jawa kuno berbunyi : ”Kitab ini
berjodoh bagi siapa saja yang sanggup membunuh lawan sambil tersenyum, meneguk darah musuh seperti meneguk tuak harum,
44

melahap jantung seteru seperti menyantap daging panggang.” Pangeran Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia membuka
halaman ketiga yang ternyata merupakan halaman terakhir. Di situ ada sebaris tulisan dalam aksara sangat kecil dan rusak hingga
untuk membacanya lebih jelas Pangeran Matahari terpaksa mendekatkan kitab itu ke obor yang ada di atas kepala patung singa.

“Induk kekuatan segala ilmu hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu hitam selalu satu langkah di depan ilmu putih,
Kekuatan ilmu hitam selalu satu jengkal di atas ilmu putih. Siapa yang memiliki Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk segala
induk dari kekuatan dunia iblis. Orang yang punya jodoh hanya satu. Ilmu yang ampuh hanya satu. Yang satu itu tersimpan dalam
kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa dunia ini yang berjodoh hanya perlu merawatnya baik-baik, membawanya kemana dia
pergi. Serahkan semuanya pada kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan puasa tiga kali setiap Kemis malam Jum’at
Kliwon maka kesempurnaan ilmu akan tercapai. Tak ada satu kekuatan di langit dan di bumi mampu menandingi!”

Sesaat Pangeran Matahari duduk sambil dongakkan kepala ke langit-langit goa batu. Dia ingat kehebatan Kitab Wasiat Iblis
sewaktu berhadapan dengan Iblis Tua Ratu Pesolek. Dia belum sempat melakukan sesuatu ketika nenek sakti itu menyerangnya.
Tahu-tahu dari dada, di balik pakaian hitamnya dimana Kitab Wasiat Iblis tersimpan melesat cahaya hitam pekat, menghantam
lawan hingga menemui ajal dalam keadaan mengerikan yaitu hanya tinggal tulang belulang hangus hitam!

“Kekuatan hebat dalam kitab ini bekerja sewaktu aku diserang Ratu Pesolek.

Berarti Kitab Wasiat Iblis ini memang berjodoh dengan diriku…” Pangeran Matahari cium kitab hitam itu beberapa kali lalu
meletakkannya di atas kepala. “Kitab Wasiat Iblis kitab mustika sakti. Kau akan jadi junjunganku. Dengan kekuatan yang kau miliki
selama jagat terkembang aku akan menguasai dunia persilatan.” Pangeran Matahari menyeringai. Bayangan Pendekar 212 muncul
di pelupuk matanya. “Manusia Wiro Sableng, tunggu kedatanganku. Sekali ini kau tak bakal bisa lolos dari tangan mautku!”

Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangannya yang memegang kitab di atas kepala. Ketika dia hendak memasukkan
kitab itu ke balik baju hitamnya tiba-tiba terdengar suara tiupan keras.

“Bleppp!”

Obor besar di dinding kanan goa batu padam!

“Siapa?!” bentak Pangeran Matahari lalu cepat selinapkan Kitab Wasiat Iblis ke balik pakaiannya.

Tak ada jawaban.

“Berani bergurau di tempat ini berarti mengantar nyawa!” kata Pangeran Matahari lantang hingga suaranya menggema di dalam
goa batu itu.

Tetap saja tak ada jawaban. “Kurang ajar!”

Baru saja Pangeran memaki seperti itu tiba-tiba kembali berdesir angin keras.

“Bleppp!”

Kini obor besar di dinding kiri goa padam hingga bagian depan goa menjadi kelam. Satu-satunya obor yang masih menyala adalah
di atas kepala patung manusia berkepala singa. Obor ini menerangi batu rata dan sosok Pangeran Matahari yang duduk di
atasnya.

“Mematikan lampu minyak bisa kuanggap satu pekerjaan mudah. Tapi membunuh api obor yang begitu besar hanya bisa
dilakukan oleh manusia berkepandaian sangat tinggi!” membatin Pangeran Matahari.

Pada saat itu tiba-tiba muncul satu sosok memasuki mulut goa. Pangeran Matahari cepat mengambil mantelnya dan berdiri.
Tenaga dalam siap dialirkan ke tangan kanan untuk melancarkan pukulan maut “Telapak Merapi”.

Di pertengahan goa sosok yang masuk hentikan langkahnya. Pangeran Matahari tidak dapat melihat wajah orang ini karena
terlindung oleh kegelapan. Dia hanya bisa melihat bagian paling bawah pakaian yang dikenakannya yaitu sehelai jubah hitam.
Ujung kakinya tersembul dari balik jubah. Dia tidak memakai kasut. Orang ini ternyata memiliki kaki sangat hitam dengan kuku-
kuku panjang juga berwarna hitam. “Hanya guruku si Muka Bangkai yang tahu tempat ini. Kalau ada orang lain muncul disini jelas
dia membawa maksud tidak baik!” pikir Pangeran Matahari.

“Tamu tak diundang. Melangkah ke tempat terang. Aku mau melihat tampangmu sebelum nyawamu kubikin terbang ke neraka!”

Pangeran Matahari menyangka ucapannya itu tidak diperdulikan. Bahkan mungkin dia akan langsung diserang. Ternyata salah.
Dua kaki hitam berkuku panjang bergerak maju dan berhenti dua langkah di hadapan batu datar.

Cahaya api obor kecil di kepala patung manusia berkepala singa menerangi sosok tubuh itu. Kini Pangeran Matahari dapat melihat
orang yang berdiri di hadapannya.

Orang ini bertubuh sangat jangkung, mengenakan jubah hitam. Kepalanya yang memakai sorban hitam hampir menyentuh bagian
atas goa. Sepasang tangannya menjulang ke samping, begitu panjangnya hingga ujung jari sampai betis. Orang ini memiliki muka
sangat hitam dan berminyak. Dibawah cahaya obor mukanya tampak berkilat-kilat. Dua matanya yang besar dilingkari serbuk
hitam. Karena dua mata ini berwarna merah maka pandangannya tampak menyorot menggidikan. Dari sela mulutnya yang terus
menerus berkomat kamit menetes keluar cairan berwarna merah karena dalam mulutnya dia selalu mengunyah tembakau
campur daun sirih.

“Heran!” Kata Pangeran Matahari. “Ada makhluk jelek tak tahu diri masuk ke dalam goaku! Katakan siapa kau adanya!”
45

Manusia bersorban hitam sunggingkan senyum sinis baru menjawab. Suaranya parau seperti tercekik.

“Aku adalah orang yang dilihat gurumu Si Muka Bangkai dalam mimpinya tujuh puluh hari lalu!”

Jantung Pangeran Matahari berdetak keras. Kejutnya bukan olah-olah namun dia cepat balas lontarkan seringai buruk dan berkata.
“Mimpi…? Mimpi apa? Jangan berani ngaco dihadapkanku! Jangan sekali-kali menyebut nama atau gelar guruku untuk urusan yang
tidak-tidak!”

Si jangkung berjubah dan bersorban hitam tertawa pendek.

“Aku tidak bicara ngaco! Kau yang berdusta dan pandai menyembunyikan keterkejutanmu!”

“Manusia berkulit sehitam arang ini punya kemampuan menduga hatiku,”membatin Pangeran Matahari. Lalu dia membentak.
“Jangan membuat aku muak! Lekas katakan siapa dirimu, apa kepentinganmu lalu lekas minggat dari hadapanku!” Tangan kanan
sang Pangeran tampak bergetar tanda tenaga dalamnya sudah tersalur penuh.

“Aku datang dari jauh. Di timur aku dikenal dengan julukan Datuk Sengkang Makale. Di barat aku dijuluki Hantu Tinggi Pelebur Jiwa.
Di utara orang-orang memanggilku Sepasang Tangan Kematian. Lalu di selatan orang-orang menggelariku Pencabut Roh
Bersorban Hitam. Nah, aku sudah menjawab pertanyaanmu!” “Pangeran Matahari tertawa lebar. “Julukanmu banyak juga rupanya.
Tapi tak satupun membuatku merinding. Ha…ha…ha…! Sudah, sekarang katakan apa kepentinganmu datang kesini. Kalau sudah
lekas angkat kaki dari hadapanku! Goa ini jadi busuk akibat bau badanmu!”

“Aku datang untuk meminta Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik pakaianmu!”

Paras Pangeran Matahari berubah. Tapi dia lekas mengumbar suara tawa bergelak lalu berkata. “Manusia muka hitam sinting! Kau
tahu tengah berhadapan dengan siapa?!”

“Aku lebih dari tahu siapa tahu siapa dirimu. Kau terlahir dengan nama Anom. Ditakdirkan sebagai seorang Pangeran terlantar
karena ibumu hanya istri ketiga dari penguasa Kerajaan. Kau hampir mampus kalau tidak diselamatkan oleh kakek sakti berjuluk
Setan Muka Pucat alias Si Muka Bangkai. Dari dia kau menerima segala kepandaian silat dan kesaktian. Dari petunjuk yang aku
berikan dalam mimpinya maka kau berhasil mendapatkan Kitab Wasiat Iblis setalah mengalahkan Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan. Nah apakah kurang lengkap semua keteranganku?!”

Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari tegak seperti patung. Mulutnya ternganga. Dia dongakan kepala lalu angkat
tangan kanannya ke atas. Orang muka di hadapannya menyeringai dan berkata.

“Jangan teruskan gerakanmu, atau kau akan jadi debu saat ini juga!” Pangeran Matahari yang dikenal sebagai pendekar segala
cerdik, segala akal, segala congkak dan segala licik merasa sangat dihina oleh ucapan dan ancaman Datuk Sengkang Makale. Dia
meludah ke lantai lalu berkata. “Aku hanya bersedia menukar Kitab Wasiat Iblis itu dengan nyawamu. Apa jawabmu Hantu Tinggi
Pelebur Nyawa!” “Jika aku boleh menawar, bagaimana kalau nyawaku ditukar dengan kitab ditambah nyawamu?!”

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Sepasang matanya membeliak berapi- api. Datuk Sengkang Makale tertawa gelak-gelak
“Aha! Agaknya kau punya dua nyawa hingga berani berucap begitu!” ujar Pangeran Matahari.

“Kau sudah melihat sendiri ada manusia mampus yang mayatnya melintang di cabang pohon! Mayat itu sekarang kedinginan! Apa
kau mau menemaninya?!” “Siapa orang itu?! Kenapa kau membunuhnya?!” Tanya Pangeran Matahari.

“Dia seorang tokoh dari utara menyadang julukan Sepasang Tangan Beracun. Aku membunuhnya karena dia mencoba bersaing
untuk dapatkan Kitab Wasiat Iblis! Kalau aku bisa membunuhnya riwayatmu malam ini?!”

Pangeran Matahari tahu betul bahwa orang yang mati itu bukan tokoh sembarangan. Jika si korban hitam bergelar Hantu Tinggi
Pelebur Nyawa ini mampu membunuhnya jelas dia memang memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Tapi dasar berjiwa congkak,
Pangeran Matahari anggap enteng orang di depannya malah kembali dia meludah.

“Orang sombong sepertimu biasanya bakal menemui kematian dengan tubuh cerai-berai!”

Si jangkung Hitam terus saja tertawa. Tiba-tiba dia semburkan gumpalan tembakau dan sirih yang sejak tadi dikunyahnya. Benda
ini melesat deras kearah patung singa berkepala manusia dan amblas dalam patung batu itu!

“Pangeran, kita akan lihat siapa yang tolol diantara kita. Siapa yang tidak sadar tingginya langit akan mampus lebih dulu!” Habis
berkata begitu si hitam ini ulurkan kaki kanannya ke lantai yang kejatuhan ludah Sang Pangeran. Ludah itu dipijaknya lalu kakinya
diputar-putar. Tiba-tiba terlihat Pangeran Matahari tersentak ke depan. Mulut dan perutnya laksana tertusuk ratusan jarum. Dia
cepat kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Tak urung butir-butir keringat memercik di keningnya. Bibirnya bergetar. Sang
Datuk tertawa mengekeh.

“Manusia jahanam! Dengan kepandaian picisan itu apa kau kira mampu menghindar dari kematian?!” bentak Pangeran Matahari.
Tangannya yang sudah menyiapkan pukulan “Telapak Merapi” didorongkan ke arah orang tinggi hitam yang hanya berada empat
langkah di depannya.

“Wussss!”

Dari telapak tangan kanan Pangeran Matahari keluar angin deras menggemuruh dan menggoncang goa batu. Bersamaan dengan
itu udara terasa sangat panas. Jangankan tubuh manusia, batu sekalipun bisa hancur dan hangus terkena hantaman pukulan sakti
ini.
46

Tapi di hadapan sang Pangeran Datuk Sengkang Makale tak sedikitpun bergeming malah hadapi serangan maut itu dengan tangan
kiri ditolakkan di pinggang sedangkan tangan kanan diangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk lurus-lurus ke langit-langit
goa!

Terjadi suatu hal yang hebat dan membuat Pangeran Matahari terbeliak besar. Sinar hitam pukulan saktinya laksana tersedot,
tertarik kearah jari telunjuk Datuk Sengkang Makale. Suara gemuruh dan hawa panas perlahan-lahan menjadi sirna. Sebaliknya jari
telunjuk sang Datuk kelihatan memancarkan sinar hitam legam. Ketika jari itu dijentikkannya ke atas terdengar ledakan dahsyat.
Cahaya hitam dan angin keras menderu. Atap goa batu hancur berantakan. Lantai batu bergetar hebat lalu terbelah.

Kalau sang Pangeran tak cepat melompat, kedua kakinya akan terperosok ke dalam belahan lantai goa! Untuk sesaat pandekar
segala cerdik segala congkak itu tegak tersandar ke dinding goa yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!

“Barusan aku hanya menyedot dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu Pangeran!” kata Datuk Sengkang Makale. “Yang
setengah lagi biar kukembalikan padamu!”

Lalu sang Datuk jentikkan telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari.

Sinar hitam berkiblat! Nyawa sang Pangeran terancam oleh pukulan sakti miliknya sendiri yang diredam lalu dilepas kembali oleh
lawan untuk menyerang dan menghabisi nya!

Sadar bahaya besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal. Secepat kilat dia angkat kedua tangannya untuk
menangkis dan balas menghantam dengan pukulan “Gerhana Matahari”.

Namun sebelum pukulan maut itu sempat dilepas mendadak dia merasakan dadanya dia merasakan dia merasakan dadanya
dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali dari dada Pangeran Matahari menderu satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya
disertai berkiblatnya sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana di neraka. Sinar hitam maut yang dijentikkan
sang Datuk disapu habis!

Lolongan setinggi langit keluar dari mulut Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya mencelat keluar goa, sesaat menyangsrang di semak
belukar lalu jatuh di atas rerumputan. Asap mengepul.

Ketika Pengeran Matahari keluar dari goa dia menyaksikan apa yang telah terjadi dengan nenek sakti berjuluk Ratu Pesolek. Sosok
jangkung Datuk Sengkang Makale yang punya empat julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus mengeluarkan
kepulan asap tipis!

Pangeran Matahari keluarkan Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini terasa hangat. Perlahan dan hati-hati kitab sakti ini
diletakkannya di batu goa lalu dia jatuhkan diri menyembah.

“Junjunganku Kitab Wasiat Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!” Lalu kitab itu diciumnya berulang kali,
diletakkannya di atas kepalanya kemudian dia melangkah masuk kembali ke dalam goa.

** ENAM **

Tujuh payung warna warni yakni merah, biru, kuning, putih, hitam, hijau dan ungu melayang turun menuju lereng bukit tak jauh
dari sumur batu dimana sosok Pendekar 212 terkapar. Payung warna merah sampai lebih dulu. Sejengkal lagi kepalanya akan
menyentuh tanah, perempuan yang bergelantungan pada payung itu lalu melompat ke samping. Di lain kejap dia sudah tegak di
tanah bukit. Lalu clep! Gagang lancip payung merah menancap di tanah. Sekali lagi secara aneh terdengar suara clep! Payung
warna merah yang tadi mengembang kini kuncup dengan sendirinya.

Perempuan yang tegak di samping payung merah ternyata adalah seorang gadis

berwajah sangat cantik. Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun kedua pipinya kelihatan merah. Begitu juga bibirnya
tampak segar merah. Sepasang alisnya sangat hitam menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia mengenakan pakaian
ringkas warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam, tergerai lepas dipermainkan angin bukit.

Enam payung yang masih terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu

menyusul turun mengitari payung merah dan gadis cantik itu. Lalu ujung-ujung gagang payung yang lancip menancap di tanah.
Satu persatu pula secara aneh enam payung yang tadi terkembang menguncup!

Gadis di tengah kelilingan payung memandang berkeliling. Seperti diketahui bukit di sekitar sumur batu itu dilanda bau busuk
beberapa mayat yang bertebaran di sana-sini. Tapi si gadis seolah tidak menciumnya. Dengan tenang kemudian dia melangkah
kearah sumur batu lalu menatap ke dalam.

“Aku yakin memang ini sumur yang dikatakan guru. Tapi firasatku mengatakan aku datang terlambat. Benda yang kucari itu sudah
tak ada di sini. Tadi aku melihat ada dua orang meninggalkan bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda itu. Sebaiknya
aku naik ke udara kembali. Mereka tentu belum jauh…”

Gadis cantik itu melangkah kea rah payung merah yang menancap di tanah. Tiba-tiba dia hentikan langkah dan membalik.
Matanya memperhatikan sosok tubuh Pendekar 212.

“Banyak mayat di tempat ini. Yang satu itu masih segar. Pasti belum lama menemui ajal! Pasti dua orang yang kulihat tadi yang
membunuhnya… Hemm…apakah perlu memeriksa siapa dia adanya?” Berpikir sampai disitu si gadis melangkah mendekati tubuh
Pendekar 212 yang terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya dia balikkan tubuh pemuda itu hingga terlentang. Sesaat dia
pandangi muka Pendekar 212.
47

“Ada bekas darah di sekitar mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. Orang ini mati akibat luka dalam yang amat parah. Hemmm…
Tak pernah aku melihat dia sebelumnya.” Setelah memperhatikan sesaat lagi, si gadis siap untuk beranjak. Angin bukit bertiup
kencang menyingkapkan pakaian putih Wiro di bagian dada. Saat itulah dia tak sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera
di dada si pemuda.

Gerakan kaki si gadis yang hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang matanya yang bening membesar. ”Dua satu dua…!”
desisnya. “Astaga!” Bukankah dia…” Gadis ini sesaat tampak meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahan- lahan dia
berlutut. Tangannya diulurkan memegang lengan kiri Wiro. “Tak ada denyutan nadi….Dia memang benar-benar sudah mati! Ah….
Bagaimana ini? Padahal menurut guru aku harus…” Si gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212, menatap terus
menerus. Lalu mata itu melihat tanda merah kebiruan di bagian dada. “Bekas pukulan aneh…” katanya dalam hati. Lalu
menyambung. “Nasib manusia memang di tangan Yang Kuasa. Mana aku menyangka kalau pertemuan dengan dirinya ternyata dia
sudah menjadi mayat begini rupa…. Satu-satunya kebajikan yang bisa kulakukan adalah mengubur jenazahnya!” Gadis itu kembali
memandang berkeliling. Di lereng bukit sekitar lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang pohon rindang. “Mungkin di bawah
pohon itu kubur yang baik untuknya…” Si gadis bangkit berdiri lalu membungkuk.

Tangan Wiro kiri kanan dicekalnya. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia menyeret mayat Pendekar 212 ke arah pohon
besar di bawah sana.

Baru enam langkah dia menyeret sosok tubuh itu tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk.

“Mayat hidup!” Si gadis terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wiro lalu melompat menjauh dengan wajah berubah. Tubuh
Wiro yang tadi terangkat karena pegangannya dilepas jadi terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat. Membuat gadis tadi
jadi tambah ketakutan.

“Astaga! Jelas tadi dia sudah mati. Bagaimana bisa hidup kembali!” ujar si gadis dalam hati ketika dilihatnya sosok Wiro berbalik ke
kanan lalu dengan susah payah dia berusaha berdiri. Tapi dalam sikap merangkak tubuhnya kembali terhempas. Dari mulutnya
keluar suara keluhan disertai kucuran darah. Wiro angkat kepalanya.

Pandangannya kabur. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya.

“Demi Tuhan, siapapun kau adanya to… tolong….”

“Dia benar-benar masih hidup!” ujar si gadis. Ketika kepala Wiro terkulai kembali dia cepat mendatangi.

Dua mata yang terbuka itu tak dapat mengenali benda-benda apa yang ada di atas tubuhnya. Dia hanya melihat samar-samar
warna hijau, merah, kuning dan entah warna apa lagi.

Pendekar 212 pejamkan kembali matanya. Beberapa saat kemudian baru dibukanya.

“Aneh, benda-benda apa ini?” otaknya mulai mampu berpikir. “Tubuhku terasa sakit. Tulang-tulangku seperti luluh. Tenggorokanku
kering seperti terbakar. Mulutku pahit. Dadaku uh… mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh, berada dimana aku ini…?”
Wiro merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik. “Ada orang melangkah di dekatku… Aku hanya melihat kaki berkasut .
Pakaian biru kembang- kembang itu membungkuk. Wiro melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut itu bergerak seperti
disibakkan.

Kelihatan satu wajah.

Wiro pejamkan kedua matanya. Dibuka lalu dikedip-kedipkan berulang kali. “Heh… Jangan-jangan aku ini memang sudah mati dan
masuk sorga. Buktinya aku melihat wajah cantik rambut panjang. Pasti itu wajah bidadari…” ujar Wiro perlahan tapi cukup
terdengar oleh orang yang berada di sampingnya.

“Hik… hik… hik…”

Wiro terkejut mendengar ada suara orang perempuan tertawa cekikikan tapi tertahan-tahan. Matanya berputar memandang kian
kemari. “Astaga…. Jangan-jangan yang kulihat tadi bidadari jejadian alias hantu perempuan!” kata Wiro lalu berusaha berdiri.
Namun dia cuma mampu duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung. Rambut tergerai dan wajah cantik lenyap, berganti dengan
satu sosok utuh mulai dari kaki sampai kepala yang duduk du hadapan Pendekar 212.

“Si..siapa kau…? Berada dimana aku saat ini?” Wiro bertanya. Kepalanya terasa berat. Dia kuatkan diri berusaha agar tidak rubuh.
Tapi tak bisa. Gadis di hadapan Wiro menjawab. ”Keadaan tubuhmu masih sangat lemah. Sebaiknya kau berbaring saja dulu…”

“Aku…aku lemah?” Wiro memandang berkeliling sampai matanya kembali menatap kearah wajah cantik di depannya. “Memangnya
aku kenapa…?” Wiro turunkan kepalanya. Wajahnya langsung berubah ketika nmelihat ada noda darah di baju serta dadanya yang
tersingkap. Dia juga melihat tanda merah kebiruan membelintang di dadanya. Saat itu kembali rasa sakit menyerang dadanya
membuat dia merintih panjang. Lalu kembali Wiro menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan. “Pertama aku
menemuimu, kukira kau sudah mati. Aku mengubur jenazahmu…” si gadis berniat hendak memberitahu.

“Tengkukku merinding mendengar ucapanmu. Apa betul…” Wiro berucap. Tangan kanannya hendak menggaruk kepala tapi dia
masih tak mampu menggerakkan. Malah saat itu tubuhnya terasa huyung dan akhirnya dia terbaring terlentang di tanah. “Baiknya
kau jangan banyak bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah.

Hanya kekuasaan Allah yang membuatmu masih hidup saat ini… Berbaring seperti itu lebih baik bagimu.”

“Allah memang Maha Besar. Maha Penolong. Apa… apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Otakku masih belum mampu
mengingat….”
48

“Jangan banyak berpikir, jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara…” “Mana mungkin aku berbuat begitu. Itu sama saja seperti
mati sungguhan…” kata Wiro.

“Terserah. Kalau kau mau sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak…Jika orang-orang yang ingin membunuhmu itu muncul kembali dan
kau masih dalam keadaan seperti ini, tamat riwayatmu!”

“Eh, siapa yang ingin membunuhku…?” Wiro ajukan pertanyaan tapi mendadak mukanya mengernyit. Dadanya mendenyut sakit
seperti ada yang meremas di sebelah dalam.

“Telan ini…” kata gadis berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda berwarna hitam sebesar ujung jari kelingking.

“Apa ini…? Tahi kambing?” Tanya Wiro.

Paras si gadis berubah menunjukkan rasa jengkel. “Bergurau memang sehat. Tapi harus pada tempatnya. Aku memberimu obat
tapi kau bicara melantur. Aku akan simpan saja obat ini! Kau boleh menunggu sembuh sampai seratus hari!”

Murid Sinto Gendeng jadi terkejut mendengar ucapan itu. “Jangan buru-buru marah. Aku tidak kenal kau. Maksudmu bisa saja baik.
Tapi kecurigaan ada kalanya memperpanjang umur, bukan sebaliknya. Dengar….Di balik pakaian putihku ada sebuah kantong kecil
berisi obat. Tolong ambilkan dan masukkan ke dalam mulutku…”

Gadis berbaju biru angkat tangannya. “Kantong kain butut dan bau ini?!” ujarnya seraya memperlihatkan sebuah kantong kain yang
memang milik Wiro.

“Jangan menghina! Dalam kantong itu ada obat pemberian guruku!”

Si gadis tersenyum lebar. “Kantongnya saja sudah butut bau begini. Obatnya tentu lebih buruk lagi!”

“Kau keliwat menghina!” Wiro berteriak tapi tenggorokannya mendadak tercekik hingga dia batuk-batuk sampai keluar air mata.
Dia coba bangkit dan ulurkan tangan mengambil kantong kain di tangan si gadis. Namun dia hanya mampu bergerak sedikit lalu
jatuh lagi ke tanah.

“Apapun obat yang ada dalam kantong ini tak akan mampu menolong dirimu!

Kau bukan menderita luka dalam akibat pukulan manusia. Tapi oleh pukulan iblis. Hanya obat iblis pula yang mampu
menyembuhkanmu…”

“Maksudmu …?” Wiro melirik pada benda hitam di tangan si gadis. “Berati yang di tanganmu itu obat iblis!”

“Terserah kau mau menyebutnya apa. Kau mau menelannya atau tidak?” “Tidak…” jawab Wiro.

“Kalau begitu tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Selamat tinggal.

Selamat bertemu dengan teman-temanmu…” Eh teman-temanku siapa?!” Tanya Wiro heran.

“Yang sudah meninggal lebih dulu darimu!” jawab si gadis lalu letakkan kantong kain milik Wiro dan cepat berdiri.

Dalam hati Pendekar 212 seperti mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya malah muncul senyum lebar. “Tunggu!”

“Aku tak punya waktu melayanimu!” jawab si gadis. Tangannya bergerak mencabut sebuah tiang yang menancap di tanah. Ketika
tiang itu diangkat baru Wiro mengenali bahwa banda itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wiro memandang ke
atas.”Ah, kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas tubuhku ini adalah payung semua…” piker Wiro. “Tujuh
payung terkembang… Bagaimana dia bisa memakainya semua? Siapa sebenarnya gadis cantik ini. Apa benar dia hendak
menolongku…?”

“Hai, kau betulan mau pergi?!” Wiro bertanya.

“Kau tidak membutuhkan pertolongan…” “Siapa bilang?!” tukas Wiro.

Si gadis hentikan gerakannya yang hendak melangkah pergi. Dia memandang pada Wiro dengan pandangan mengkal.

“Baik, aku bersedia menerima pertolonganmu. Aku mengucapkan terima kasih…

Tapi boleh aku tahu dulu siapa dirimu sebenarnya? Kau pasti punya nama dan …Hek!”

Wiro tercekik. Ternyata si gadis telah melemparkan obat hitam di tangannya ke dalam mulutnya. Begitu berada dalam mulut obat
itu keluarkan letupan halus. Wiro merasakan mulut dan seluruh kepalanya seperti terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan- lahan
kulitnya terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit mukanya kelihatan menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus
ke dada dan akhirnya turun terus sampai ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wiro merasa nafasnya sangat sesak.

Matanya perih. Dalam Keadaan seperti itu akhirnya dia hanya melihat kegelapan lalu tak tahu apa-apa lagi.

** TUJUH **

Pendekar 212 sadar akan dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit. Perlahan-lahan dia buka kedua matanya. Dia coba
berpikir. Ternyata daya ingatannya telah jernih kembali. Bukan itu saja, dia merasakan ada kekuatan lagi dalam tubuhnya walau
rasa sakit masih ada di bagian dada. Masih dalam keadaan terbaring di tanah dia memutar mata, memandang berkeliling.
49

“Benda kuning warna-warni itu… Payung-payung itu tak ada lagi… Gadis cantik berpakaian biru kembang kuning itu…” Wiro bangkit
duduk. Lalu berdiri. “Aneh, kekuatanku sudah pulih. Pasti berkat obat yang diberikan gadis itu. Kemana dia?!” Ketika dia hendak
memandang lagi berkeliling mencari-cari, tiba-tiba Wiro ingat akan senjata mustikanya. Diperiksanya pinggang pakaian, dia meraba
kian kemari. Jantungnya bergemuruh.

“Kapak Naga Geni 212! Batu hitam sakti!” teriak Wiro keras tapi bergetar.

“Celaka! Dua senjata mustika itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan! Jahanam! Aku bersumpah
membunuh dua manusia setan itu!” Wiro terduduk lemah di tanah.

Saat itulah pertama kalinya Wiro memperhatikan kedua tangannya, lalu kedua kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.

“Ya Tuhan! Pa yang terjadi dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku pasti juga!” Wiro usap wajahnya. “Celaka! Jangan-
jangan…” Wiro berucap sambil mengusap-usap ke dua tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah seolah dia memang sudah
hitam sejak dilahirkan!

Udara di atas Wiro tiba-tiba redup seolah ada awan tebal menghalangi cahaya yang surya. Bersamaan dengan itu terdengar suara
perempuan berkata.

“Kau tak usah khawatir. Warna hitam itu nanti akan hilang sendirinya.

Keadaanmu akan pulih jika bulan purnama muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!” Wiro palingkan kepala dan mendongak. Dia
hampir tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tujuh payung warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan
terkembang. Pada gagang payung warna merah tampak bergantung gadis cantik berpakaian biru berbunga-bunga.

“Ah dia rupanya! Luar biasa! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga mampu terbang dengan payung sementara enam payung
mengiring seolah mengawalnya!” Wiro berdecak kagum lalu lambaikan tangan.

“Sahabat, turunlah! Aku ingin bicara banyak denganmu!” seru Wiro.

“Urusanku di tempat ini sudah selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!” gadis baju biru menjawab. Payung merah yang
dipegangnya melayang di atas bukit lalu perlahan-lahan naik ke atas.

Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya. “Ah! Syukur! Sekarang aku bisa garuk kepala!” murid Sinto Gendeng merasa lega tapi begitu
melihat tujuh payung terbang semakin jauh dia segera berlari mengikuti. Celakanya karena lereng bukit menurun dengan
sendirinya dengan payung-payung itu bertambah jauh.

“Kulompati terlalu jauh! Bagaimana caranya…” Tiba-tiba Wiro melihat sebuah pohon besar dengan cabang-cabangnya yang
panjang di bawah sana. “Tujuh payung bakal melewati pohon itu. Ini kesempatan bagiku…” Secepat kilat Wiro lari ke arah pohon,
memanjatnya dengan cepat lalu merangkak ke salah satu cabang di arah mana tujuh payung akan lewat. Walau payung-payung itu
masih tetap akan melayang di atasnya namun jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu adalah payung yang paling
dekat dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih lama Wiro kerahkan tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang pohon.
Tubuhnya melesat ringan ke atas.

Wiro berhasil menangkap gagang payung warna ungu, yakni payung yang berada di sebelah tengah. Gadis berpakaian biru berada
dua payung di sebelah depannya. “Hai! Apa yang kau lakukan?!” teriak gadis itu ketika melihat Wiro tahu-tahu sugah bergantungan
pada gagang payung ungu.

“Aku mau ikut kemana kau pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak denganmu!” jawab Wiro. Lalu ketika ada kesempatan
dia melesat ke samping dan berhasil menangkap gagang payung hijau. Kini dia hanya terpisah satu payung dari si gadis sementara
tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang di atas bukit. Wiro sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa
berada di udara seperti itu dia merasa gamang juga. Di sebelah bawah dia melihat sebuah kali kecil berair jernih.

“Kau tak bisa mengikutiku! Kau harus turun!” berteriak si gadis.

“Tidak! Kalau kau mau turun aku baru ikut turun! Jawab Wiro. “Jangan memaksa aku melakukan kekerasan!”

“Ahai! Gadis secantikmu mana tega menjatuhkan tangan keras!” jawab Wiro sambil tertawa lebar.

“Kau mau mengujiku! Baik! Aku akan buat kau tahu rasa!” jawab si gadis dengan suara keras. Dia tampak marah karena merasa
ditantang. Rambutnya yang tergerai melambai-lambai tertiup angin. Kepalanya digoyangkan. Tiba-tiba clep!

Payung hijau yang digelantungi murid Eyang Sinto Gendeng itu menguncup dengan keras. Ujungnya memukul tangan dan kepala
Wiro. Pendekar 212 mengeluh keras. Bukan saja karena kesakitan tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit hingga dia tak bisa
bergerak. Japitan itu makin lama makin kencang. Walau payung Cuma terbuat dari kertas dan ruas-ruas bambu namun
bagaimanpun dia berusaha tetap saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas dia berusaha tetap
saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak sampai-sampai sementara tangan kanannya yang memegang payung
selain sakit terjepit juga terasa mulai lemah hingga tak mungkin baginya bertahan lama.

Di sebelah kiri bawahnya terdengar suara tawa cekikikan.

“Sialan! Dia menertawaiku!” memaki Wiro. “Kalau bukan gidas cantik sudah kukencingi dia saat ini. Aduh…! Bagaimana ini?!” Jepitan
payung di kepala Wiro semakin keras. Tangan kanannya bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah Wiro melihat bukit
cukup jauh di bawah sana. “Kalau aku harus melepaskan payung celaka ini lebih baik aku memilih jatuh masuk ke dalam kali
sana…” pikir Wiro. Karena tak sanggup lagi menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung hijau Wiro akhirnya terpaksa
50

lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika tubuhnya melayang ke bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di
benaknya. Di udara murid Sinto Gendeng liukkan tubuh membuat gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar 212 melesat ke
samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu ketika Wiro berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!

Payung merah berguncang keras ketika si gadis meronta-ronta coba lepaskan diri dari pelukan Wiro. Seumur hidup baru kali ini dia
dipeluk orang seperti itu. Oleh laki-laki pula!

“Pemuda kurang ajar! Lepaskan diriku!” teriak si gadis. Sebaliknya Wiro yang keenakan memeluk gadis cantik itu malah tertawa
gelak-gelak.

“Aku sedang keenakan, bodoh dan rugi kalau aku melepaskan pelukan!” jawab Wiro seenaknya.

“Benar-benar manusia kurang ajar!” Si gadis marah sekali. Tangan kirinya digebukkan.

“Bukkk!”

Tubuh Wiro menggeliat ketika gebukan si gadis menghantam bahu kirinya dengan keras. Sakitnya bukan main. Tulang belikatnya
serasa patah. Tapi dasar brengsek dia bukannya berteriak kesakitan malah berseru.

“Aduh! Enaaak!”

Karena beban yang ditahan payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya maka perlahan-lahan payung itu melayang ke
bawah.

“Kau benar-benar tidak mau melepaskan pelukanmu?!” Si gadis kembali berteriak.

“Kita turun saja sama-sama, mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud kurang ajar!” jawab Wiro dan tambah
memperkencang pelukannya.

Si gadis hilang sabarnya. Kaki kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke bawah perut Pendekar 212. Kali ini Wiro benar-benar
kesakitan. Dia berteriak keras. Lalu tak sadar kalau saat itu dia berada di udara, begitu lepaskan pelukan kedua tangannya berada
dipakai menekap bagian bawah perutnya.

“Hancur keponakanku!”

Tubuh Pendekar 212 melayang jatuh ke bawah. Untung saja saat itu jaraknya ke tanah tidak terlalu jauh. Lagi pula dia masih bisa
memilih jatuh dengan mencebur masuk ke dalam anak sungai berair jernih!

Dalam keadaan basah kuyup Wiro berenang menuju tebing sungai. Sementara di udara payung merah tempat gadis cantik
bergantung perlahan-lahan kembali melayang naik ke udara diikuti oleh enam payung warna-warni lainnya.

Bersamaan dengan jatuhnya Wiro ke anak sungai tadi, dari balik pakaian gadis baju biru melayang jatuh pula secarik kertas. Tepat
ketika Wiro mencapai pinggiran sungai, kertas itu jatuh di atas sebuah batu.

“Eh, kertas apa ini..?” ujar Wiro. Dia mendongak ke atas.

Di udara gadis baju biru tampak sibuk memeriksa pakaiannya. Dia memandang ke bawah. “Astaga! Kertas itu…” katanya dengan
paras berubah. Begitu dilihatnya Wiro ulurkan tangan hendak ambil kertas yang jatuh di atas batu, dia segera berteriak. “Jangan
sentuh benda itu!” Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua kakinya digerak-gerakkan. Tangan kirinya diputar-putar. Secara aneh
payung merah yang digelantunginya melesat kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat sekali dia sudah menjejakkan kaki di
depan batu di mana kertas tadi terjatuh. Namun dia kalah cepat karena saat itu Wiro telah lebih dulu mengambil kertas itu. Ketika
diperhatikannya ternyata hanya sehelai kertas kosong. Tak ada tulisan ataupun gambar di atasnya.

“Kembalikan kertas itu padaku!” ujar si gadis di hadapn Wiro

“Aneh, hanya sehelai kertas kosong mengapa dia begitu bersikeras memintanya…?” pikir Wiro dalam hati lalu membalik-balikkan
kertas itu beberapa kali.

“Hai! Kau tuli tidak mendengar orang berkata?!” bentak si gadis.

Wiro tersenyum lalu ulurkan tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi jari-jari si gadis akan menyentuh kertas itu Wiro
tarik tangannya hingga orang hanya menangkap angin. Murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.

Merasa di permainkan gadis baju biru menjadi marah. Dia bukan saja berusaha merampas kertas itu tapi sekaligus kirimkan
serangan.

“Serangannya ganas sekali…” membatin Wiro dan cepat berkelit. Namun tangan kiri si gadis sempat melabrak ulu hatinya. Selagi
tubuh Wiro terkekuk ke depan tangan kanan lawan menyambar ke arah kertas. Wiro masih sempat berkelit. Tapi entah bagaimana
pegangannya pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar lalu masuk ke dalam sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan
arus namun di satu tempat tertahan di antara dua buah batu.

Wiro melihat perubahan aneh pada wajah gadis di hadapannya. “Heran , hanya selembar kertas kosong mengapa dia begitu
ngotot?!’ pikir Wiro. Sambil pegangi perutnya yang tadi dihantam dengkul gadis itu Wiro berpaling kearah sungai. Matanya yang
ditujukan pada kertas yang terjepit di antara dua buah batu tiba-tiba terpentang lebar. “Aneh, tadi kertas itu kosong tak ada apa-
apanya. Kini aku lihat seperti ada sesuatu di situ….” Wiro bergerak menuruni tebing sungai.
51

“Tetap di tempatmu! Jangan kau berani menyentuh kertas itu!” Gadis di belakangnya berkata. Suaranya bukan merupakan
ancaman kosong karena saat itu juga melompat ke hadapan Wiro dan dorongkan kedua tangannya dan dada sang pendekar. Jarak
dua tangan dan dada terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin dingin menyambar tanpa suara sama sekali, membuat
murid Sinto Gendeng terlempar sampai dua tombak. Dia jatuh terbanting di antara tujuh buah payung yang menancap di tepi
sungai, semua dalam keadaan kuncup!

Karena sebelumnya dadanya pernah cidera akibat hantaman makhluk raksasa jejadian yang keluar dari kepala Tiga Bayangan
Setan dan kini mendapat hantaman di bagian yang sama, akibatnya Wiro merasakan sakit sekali, membuat dia terhuyung- huyung
ketika coba berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan darah. Luka dalamnya ternyata kambuh kembali.

“Hanya karena sehelai kertas kau tega mencelakaiku…” desis Wiro. Dia kerahkan tenaga dalam dan atur jalan nafas serta darah.

Si gadis tak menjawab. Malah balikkan diri lalu menuruni tebing sungai dengan cepat. Di satu tempat dia siap untuk melompat,
mengambil kertas yang tersangkut di celah dua buah batu sungai.

Pada saat dia membungkuk, dari belakang tiba-tiba menderu satu gelombang angin deras. Si gadis tak sempat melihat apa yang
terjadi. Tapi dia maklum kalau ada orang menyerang dengan satu pukulan sakti. Secepat kilat dia membuang diri ke samping.
Namun tak urung sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya

sebelah kiri. Tak ampun lagi gadis ini terpelintir lalu tubuhnya terjungkal ke dalam sungai!

Wiro yang barusan lepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang” dalam keadaan menahan sakit pada dadanya cepat
pergunakan kesempatan untuk melompat ke atas salah satu batu dimana lembaran kertas basah itu sebelum dihanyutkan air
melewati celah di antara dua batu.

“Hai!” terdengar seruan gadis baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang secepatnya sebelum Wiro berhasil mengambil
kertas itu. Namun kalah cepat. Dia masih jauh sewaktu Wiro meletakkan kertas basah itu di atas batu. Sepasang mata murid Sinto
Gendeng terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu. Meskipun air sungai membuat tulisan itu luntur namun Wiro
masih bisa merangkainya satu sama lain dan membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.

Muridku Puti Andini.

Karena keperluan sangat penting di Gunung Singgalang aku tidak dapat menemuimu.

Seperti yang aku pesankan dulu, seterimanya surat ini kau harus segera berangkat ke tanah Jawa.

Cari pemuda bergelar Pendekar 212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu. Bagaimana caranya terserah padamu. Jangan
ragu-ragu membunuhnya jika kau mengalami kesulitan.

Wiro ambil kertas basah itu dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika gadis yang berenang sampai di dekat batu dalam
keadaan basah kuyup. “Kau inginkan kertas ini? Ambilah!” kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran kertas yang basah dan hampir
robek itu ke atas batu.

Si gadis usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia berkata seolah pada diri sendiri. “Tak ada
gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa yang tertulis di kertas itu…”

** DELAPAN **

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak Gunung Merapi. Namun selewatnya
pertengahan lereng, jalan yang buruk tidak memungkinkan mereka meneruskan perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa
tinggalkan binatang-binatang itu di satu tempat lalu melanjutkan dengan jalan kaki. “Ini tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia
tak ada di puncak Merapi ini kita berdua bakal celaka…” kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat bahkan setengah
berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar dan onak duri.

Hari itu adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun kematian yang telah mereka telan karena
dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang
Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.

“Tiga Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita obat penawar kita intai saat dia lengah lalu
membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan…” “Apa
yang ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa
membunuhnya sekalipun dengan cara membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu Pesolek…”

“Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.

“Jangan dulu putus asa, “kata Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan
itu…”

“Menjebak bagaimana?” Tanya Elang Setan.

“Setahuku dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari seorang gadis untuk merayunya. Pada waktu
bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil
kitab tersebut….”
52

“Rencanamu masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos. Kalalu tidak dia bisa kita jadikan jebakan…” kata
Elang Setan.

Tiga Bayangan Setan tertawa. “Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu bengkak sebelah. Singa betina seperti itu
mana bisa diatur. Salah-salah kita yang dijebaknya masuk liang kubur…”

Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang udara bertambah dingin padahal saat itu
tengah hari tepat dan sang surya bersinar terik terang benderang.

Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur Gunung Merapi.

“Itu bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah riwayat kita!” kata Elang Setan sambil menunjuk
ke sebuah bangunan panggung terbuat dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga. Di
sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar.

Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan
Setan berseru memanggil. “Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami datang membawa kabar gembira untukmu!”

Sunyi tak ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan
Setan berteriak. “Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang menghadapimu! Kami berhasil
menjalankan tugas!”

Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk dan memanggil. Mungkin dia sedang tidur
nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke dalam,” kata Elang Setan.

Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu terbuka keduanya segera menyelinap
masuk. Ternyata bangunan itu kosong. “Celaka! Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari

saja!” kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti. Namun baru saja keduanya sampai di ambang
pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu menghadang di situ.

“Pangeran Matahari!” seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan lalu menjura dalam-dalam.

Di ambang pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar Gunung Merapi warna biru di
bagian dada. “Hemmm…cara kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan saja! Lekas berlutut di hadapan
Pangeran Matahari!”

Dibentak seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki
habis-habisan. Tak pernah mereka diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.

“Hemmm… Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari kalian mengatakan datang
membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas! Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga
Bayangan Setan, kau yang menjelaskan!”

Dua orang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri keterangan.

“Pangeran Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…”

Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang persegi dan dagunya yang kokoh
sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.

“Tiga Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!” “Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah
berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”

“Dimana dan bagaimana kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.

“Di bukit di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari menemukan Kitab Wasiat Iblis itu, “jawab Tiga
Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas setelah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”

“Hemmm…” Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.

Wajahnya yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubun- ubun di kepalamu bisa keluar tiga
makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu telah membunuh Pendekar 212?”

“Yang sebelah kiri, Pangeran, “jawab Tiga Bayangan Setan.

“Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran Matahari. “Kepala atau tubuh?!”

“Tepat di bagian dadanya Pangeran.”

Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya
pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa merinding. “Apa
yang ada di benak manusia ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia seolah tidak yakin aku telah membunuh musuh besarnya
itu!”

“Tiga Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212.
53

Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!”

Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang

Setan jadi saling pandang.

“Tapi Pangeran,” yang menjawab adalah Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak pernah memerintah begitu…”

“Elang Setan, tutup mulutmu!” bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang Setan. “Tiga Bayangan Setan aku tanya,
bukan kau! Jangan berani bermulut lancang kalau tidak ditanya!”

“Maafkan aku Pangeran, “kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.

Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.

“Apa jawabanmu?!” bentaknya.

“Aku mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan.

Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi kami punya sesuatu yang mungkin bisa
memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang sudah tamat riwayatnya!”

“Apa sesuatu itu?!” Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar.

Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya terang menyilaukan dan membuat
Pangeran Matahari terbelalak tapi juga berseru gembira.

“Kapak Maut Naga Geni 212!”

Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia keluarkan sebuah batu hitam empat persegi.

Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran Matahari berseru.

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu saja dengan cepat segera diambil oleh
Pangeran Matahari. Dengan mata berkilat-kilat dia perhatikan kapak dan batu hitam.

“Kalian berdua memang hebat!” memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212 dibabatkannya ke udara. Terdengar suara
seperti ribuan tawon berdengung disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas.
Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.

“Pangeran, dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng telah menemui ajal di tangan
kami?!”

Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya
berganti-ganti pada dua orang di depannya.

Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.

“Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantu-pembantu, sebagai pengawal-pengawalku yang hebat!
Apa yang telah kalian lakukan adalah satu pekerjaan yang besar!” Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni

212 di pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia bertanya: “Apa ada hal lain yang hendak kalian
sampaikan?”

“Memang ada Pangeran,” jawab Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu, waktu kami berada di bukit Pendekar 212 Wiro
Sableng muncul bersama seorang gadis cantik berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu.
Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar
sepuluh hari lalu gadis itu berhasil meloloskan diri!”

“Hemmm… Itu sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu cukup keras…” ujar Pangeran Matahari
sambil menyeringai. “Tapi Kalian tak usah khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada lagi
yang hendak kalian katakan?!”

“Mengenai obat penawar itu, “kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah

Pangeran telah berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?” “Kalian tak usah khawatir. Obat itu memang
sudah kusiapkan!”

Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega. Mereka memperhatikan bagaimana
dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak. “Ambil seorang
satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian sempat menghitung sampai sepuluh!”

Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing sebutir obat itu dari telapak tangan
Pangeran Matahari lalu memasukkannya ke dalam mulut dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-gelak.
Mendadak saja dua orang itu merasa syak.
54

“Pangeran…” Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang Pangeran memberi isyarat dengan melambaikan
tangan kiri.

“Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”

Kaget dua orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka mendadak sontak pucat putih sperti kertas.

“Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi
perutnya. Sementara kawannya memandang melotot pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda dia
menahan amarah yang meluap.

“Kau menipu kami Pangeran!” ujar Elang Setan.

Pangeran Matahari semakin keras tawanya.

“Kalian harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani
bicara keras dan kurang ajar padaku?!” “Sesuai perjanjian….”

“Setan alas keparat! Siapa yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari pada Tiga Bayangan Setan. “Dengar baik-baik. Pasang
telinga kalian! Kembali ke bukit ke luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng, bawa
kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!” Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama
saling pandang dan ternganga. Elang Setan beranikan diri membuka mulut. “Pangeran, bukit itu sangat jauh dari sini. Kalau kami
sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak busuk atau dimakan binatang buas….” “Plakkkk!”

Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang
Setan bergelar keras. Kuku-kuku tangannya mencuat lurus.

Pangeran Matahari menyeringai. “Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !” ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang
Setan.

Elang Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang bahunya dan berkata. “Mari kita
tinggalkan tempat ini….” Katanya. Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu
perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya menuruni tangga rumah panggung.

“Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian Cuma punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan
berani macam-macam padaku! Masih mending aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu.
Ha…ha…ha…!”

“Jahanam keparat!” maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.

“Krakkkkk!”

Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran Matahari tambah keras. Sesaat setelah kedua
orang itu lenyap dari pemandangan, Pangeran Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan
berseru. “Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!”

Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu turun ke lantai rumah dia langsung memeluk
Pangeran Matahari. Sang Pangeran membalas dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis.
Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran
Matahari menggigit lehernya yang putih jenjang.

** SEMBILAN **

Gadis bernama Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu. Untuk beberapa lamanya wajahnya disembunyikan
dibalik kedua tangannya.

Wiro pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa
agaknya bakal punya cerita sama.

Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini.”

Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang menengadah pada Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi
wajah yang basah dan sangat cantik itu. “Aku harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia ingin
membunuhku apa artinya…”

Puti Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang dipegangnya agak licin. Wiro ulurkan tangan,
berusaha membantu si gadis untuk naik keatas batu. Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya perlahan-lahan
diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan. Sepuluh jari saling mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran
aneh dalam dirinya. Detak jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis itu
berhasil ditolongnya naik ke atas batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai.

Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas basah yang ada di atas batu. “Kepandaian manusia
ada-ada saja. Waktu kering kertas itu seolah kosong saja. Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu…”
55

Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari bahan yang agak tipis dan dalam keadaan
basah kuyup, pakaian itu seperti membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk belahan auratnya.

Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro
kelihatan dalam keadaan kuncup. “Kau mau kemana?!” tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung merah
dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.

“Aku…. Aku harus pergi,” jawab si gadis.

“Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?”

“Apa yang aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!”

“Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi… Kuharap kau mau…”

“Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!”

“Hemmm… Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!” ujar Wiro mulai jengkel. Lalu dia berseru. “Lihat batu!”

Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga kearah batu di tengah sungai. Saat itu terdengar
suara menderu disusul dengan melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.

“Wussss!” “Braakkk…byaar!”

Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang
dikobari api.

“Batu saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”

Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar
212.

“Mengancam orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!” Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar
ejekan itu. “Gadis tengil…!” “Apa itu tengil?!” tanya Puti Andini tidak mengerti.

Wiro mau memaki panjang pendek saking kesalnya. “Dengar, aku hanya mau ajukan beberapa pertanyaan. Tapi jika kau benar-
benar keras kepala, aku jadi ingin tahu seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!” “Hemmm,
begitu…? Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?”

“Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati
jika tidak kau tolong. Kau berpayung di atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau
lihat?”

“Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng bukit. Salah seorang diantara mereka
mendukung sesosok tubuh perempuan mengenakan pakian biru….”

“Itu pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!”

“Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan wajah berubah.

“Kau kenal mereka…?”

Puti Andini menggeleng. “Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus dimusnahkan!”

“Gurumu yang berkata begitu? Atau memberimu tugas begitu?!” Si gadis tidak menjawab. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan…”

“Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau
seharusnya membunuhku, bukan menyelamatkan diriku…”

“Aku membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan padaku!” jawab Puti Andini. Wiro
menyeringai lebar.

Si gadis sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan apa yang sebenarnya yang harus
dilakukannya.

“Siapa gurumu…?”

Puti Andini tidak menjawab.

“Baik, kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias
Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa…?”

“Siapa yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang hanya gara-gara patah hati…”
56

Hampir saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga Tua Gila adalah guru malah sudah
dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di
Tambun Tulang)

“Kau menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan….”

“Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!” jawab Puti Andini.

“Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu memerintahkan agar kau membunuhku?!” tukas
Wiro Sableng.

“Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa itu…”

“Sialan… Enak saja kau bicara!” kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya. “Jika kau tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan
berani menghalangi!” “Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!”

“Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali! Kalau tidak percaya coba berkaca di air
sungai!” Si gadis lalu tertawa panjang.

Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya ke tanah sungai hingga tanah itu melesak
sedalam setengah jengkal! Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal!

“Puti Andini !” teriak Wiro. ‘Jangan kau berani bicara main-main!” “Wiro Sableng!” balas berteriak si gadis.

“Eh, bagaimana kau tahu namaku?!” Wiro keheranan.

“Waktu kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi tahu siapa kau adanya….” Jawab Puti
Andini pula.

“Waktu aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini.

Saat aku siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam

legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!”

“Kau benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima keadaan seperti ini? Tubuhmu yang terkena
pukulan iblis mengidap racun teramat jahat. Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu
selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah
khawatir. Kulit hitammu hanya sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu, warna hitam itu
akan serta merta lenyap…”

“Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus menerus…”

Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seperti anak kecil.

Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan atau udara mendung!”

“Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wiro lalu garuk- garuk kepalanya berulang kali.

“Kau masih ada pertanyaan?!”

“Ya…ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau sempat melihat mereka melarikan diri.
Katakan kearah mana mereka kabur.”

“Selatan,” jawab Puti Andini pendek.

“Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!”

“Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernamaTiga Bayangan Setan itu!” kata Puti Andini.

“Aku tahu dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak punya nyawa rangkap!” jawab Wiro meradang.

“Masalahnya bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak bisa dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak
mengetahui kelemahannya!” “Lalu apa kau tahu kelemahan manusia setan itu?!” Tanya Wiro menahan gusar. “Mengenai diri
seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!”

“Apa maksudmu?!” Tanya Wiro.

“Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh silat golongan hitam yang aneh tapi seribu
jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya
lebih dulu!”

“Dimana aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar 212.

“Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!”
57

Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala. Bersamaan dengan itu kaki kirinya
dihentakkan ke tanah. Enam payung yang menancap di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke
tanah. Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke udara. Wiro hendak mengejar.
“Jangan kau berani mengikuti!”

Wiro tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat itu sudah naik setinggi kepala.

“Dasr sableng keras kepala!” terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya bergerak membuat gerakan berputar. Enam buah
payung yaitu payung biru, kuning, hijau, putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin yang
dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah Pendekar 212. Tiga menusuk kearah
muka dan kepala, tiga lagi menghunjam ke dada dan perut!

Wiro berseru tegang. Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat jatuh yang paling aman adalah anak sungai berair
jernih. Sesaat sosok tubuh Pendekar 212 lenyap di bawah air. Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke tepi,
enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah dimana Puti Andini bergantung.

Wiro geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke udara dia berkata. “Kau tak mau diikuti, tapi lihat
saja nanti. Jika kau punya kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!”

Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung sendiri.

“Apa yang harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut selatan? Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu?
Mungkin aku harus mencari Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin Timur…
Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!” Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.

** SEPULUH **

Muara Kali Opak ramai oleh perahu yang baru kembali melaut. Para nelayan sibuk memunggah ikan. Para tengkulak hilir mudik
memborong ikan dengan harga semurah mungkin yang kadang-kadang membuat jengkel nelayan. Dalam keadaan seperti itu Wiro
berusaha mencari perahu sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak satu pun pemilik yang mau disewa. Selain mereka
letih, rata-rata saat itu mereka sudah mengantongi uang cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan perahu pada
seorang pemuda tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong tebal, berkulit dan bermuka hitam jelek pula!

Wiro tegak bersandar pada sebuah perahu kosong. Pemiliknya tengah mengumpulkan barang – barangnya. Sebelumnya Wiro
sudah bicara dengan orang ini. Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat dandang,
kau masih belum dapat perahu sewaan?”

Wiro delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit
tubuh dan mukanya yang sangat hitam akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini.

Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala. “Anak muda, sebenarnya kemana tujuanmu?”

“Sebuah pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau
itu?”

“Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa membuktikan bahwa si Raja Obat
benar-benar ada dan tinggal di satu pulau.

Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di laut selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-
pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja Obat yang belum tentu ada?”

Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng,

Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu. “Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya
mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan
dimana kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di
pantai selatan ini tapi terpendam di pantai utara! Celakanya diriku ini!” Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.

Dari dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu
tersenyum lalu berkata. “Aku tidak tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak seorang nelayan
atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin tidak kau ketahui…”

“Apa?!” Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.

“Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan
munculnya dan tidak terduga di bagian mana dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan
perahu, gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke dasar samudera!”

“Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau
mengantarku ke laut!” kata Wiro pula. Dia berpaling pada nelayan di sampingnya. “Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui dan
ingin kau beritahu?”

Nelayan pemilik perahu tertawa lebar. “Memang ada,” jawabnya. “Kalau kau beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan
aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu ke laut…”
58

“Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?”

“Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami
para nelayan dimuara Kali Opak ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!”

“Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?”

“Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi
nanah, menebar bau amis. Jangankan manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas
bertemu dengannya. Agar kau ketularan…1” Sambil tertawa-tawa pemilik perahu tinggalkan Wiro.

Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. “Kalau memang dia yang mau dan tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain.
Aku harus menunggu sampai dia muncul.”

Lima hari berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk
Pembawa Bala itu muncul. Satu hari lagi berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari ketujuh. Siang
itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah
laut. Angin bertiup kencang. Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu sampai sore
nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini. Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku
sampai di sini, urusan nantilah!”

Wiro menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-
rintik. Wiro memandang ke tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang besar. Sepasang
matanya membesar dan tak berkesip.

Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak menembus gelombang menuju tepi pantai. Wiro
mengusap kedua matanya beberapa kali lalu terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa
benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar. Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang
buasnya ombak, perahu itu meluncur pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.

Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan
sehelai kain. Dia sama sekali tidak menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di
samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu
bisa melesat kencang diantara gemuruh gelombang.

“Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!” Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari
bawah teratak daun kelapa. Hujan rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan tangannya sementara
perahu semakin mendekat ke tepi pantai.

Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas.
Perahu yang ditumpanginya tiba- tiba berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah gelombang besar
muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro berada. “Astaga! Hai! Awas! “ teriak Wiro.

Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja perahu itu pun lenyap.

“Pasti amblas ke dalam laut!” pikir Wiro. “Orang gendeng! Mungkin dia sengaja mencari mati. Bunuh diri!” Wiro geleng-geleng
kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.

“Eh….” Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya
kelihatan tegak di atas perahu, berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya basah kuyup.

“Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu
itu masih melekat di kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!”

Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul menderu satu gelombang besar. Orang bercaping
di atas perahu kembali angkat tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara setinggi lima
tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!

“Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!” membatin murid Sinto Gendeng. Mendadak. “Hai!” Wiro berseru kaget.

Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki
terkembang, menginjak bagian kiri kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut
mengikuti yang dialun ombak.

Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih melesat menuju menuju pantai, melayang di
atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro berseru kaget dan
jatuhkan diri ke pasir.

“Wusss!”

Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar suara braaakk!

Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya
berlindung. Gubuk hancur berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
59

“Eh, di mana orang bercaping itu?” Tanya Wiro dalam hati seraya memandang berkeliling.

Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa kali. Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri
sebelah atas lagi-lagi dia dibuat terkejut. Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa, duduk
berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian
berbentuk jubah. Ketika angin bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.

Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah,
kepalanya lebih dulu! “Hancur kepalamu!” seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu jatuh dengan
kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai. Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung
itu melenting dan di lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.

“Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus buru-buru pergi….” Lalu orang ini berusaha
menarik perahu putihnya dari reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng
dengan cepat perhatikan orang itu.

“Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita penyakit kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah,
mengeluarkan nanah campur darah!” Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat di
depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.

“Bapak bercadar…Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala. Kalau betul…”

Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret perahu menuju ke laut orang
bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata. “Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau
melihatnya! Hik…hik…!” Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah. Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang
menutupi wajah orang bercaping itu berwarna merah dan basah di bagian mulut.

“Tak pelak lagi! Memang dia!” kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang itu walau kemudian dia memegang tangang
yang penuh koreng cacar berdarah busuk dan bernanah!

“Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau
justru Makhluk Pembawa Pertolongan.

Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke laut…”

“Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!” Orang berpenyakit cacar berkata tanpa
berpaling dan terus melangkah. Kaki dan sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.

“Aku butuh pertolonganmu… Kau pasti bisa menolongku!”

“Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!”

Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu. ”Apa maksudmu?” tanya Pendekar 212.

“Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi
kematian?!”

“Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!”

Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak basah dan warna merah.

“Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari
mati! Salah seorang di antaranya adalah kau sendiri!”

“Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk menyelamatkan dunia persilatan!” kata Wiro.
Tanpa sadar dia telah ketelepasan bicara.

“Oh begitu….? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik!

Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!”

Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu. Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro
terus saja mengikuti masuk ke dalam laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping langsung
melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat. Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara
menggembor lalu membentak.

“Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!”

“Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman
Raja Obat Delapan Penjuru Angin!”

“Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!” hardik orang bercaping.

“Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!”
60

Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada lalu tertawa gelak-gelak. “Tadinya kukira kau
malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!”

Hilang sabarnya Wiro berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol perahumu!”

Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu.

“Braak!”

Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai
sebatas siku. Berarti sebagian tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid Sinto Gendeng ini jadi
terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.

“Celaka! Bagaimana bisa begini?!” ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping. Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja,
melangkah ke sisi perahu yang lain sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh koreng
cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu,
orang itu gerak-gerakkan kedua kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.

“Gila! Tanganku!” teriak Wiro.

“Ha..ha…!” Orang bercaping tertawa. “Setahuku laut sekitar sini banyak ikan buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau
ditusuk ikan Todak bermulut runcing seperti tombak?! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan.

Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak? Ha…ha…ha!”

“Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.

Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyang-goyangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih
kencang. Akibatnya perahu putih itu melesat tambah cepat.

“Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-
sama!” teriak Wiro mengancam. “Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau mampu
menggerakan tanganmu sebelah kiri?!”

“Mengapa tidak?!” jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar matahari sementara hujan yang tadi turun
perlahan-lahan mulai berhenti. Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan tenaga penuh dia
hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup. Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh.
Setelah itu dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi surut dan
tangannya kembali ke bentuk semula.

“Ha…ha…ha! Ha…ha…ha…!” Orang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin kencang. Wiro merasakan kepalanya
pusing dan perutnya seperti mau muntah!

Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut. Walau jelas perahu ini berusaha mengejar
perahu yang ditumpanginya, namun begitu terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua
perahu meluncur bersisi-sisian.

Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal
perahu di sebelah sana. “Heh… penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!

Astaga!” Wiro terkejut tapi juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin Timur!”

Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa
keluarkan suara barang sedikitpun! “Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!” Wiro merutuk setengah
mati. “Kuharap gadis itu bisa melihatku… Nah, perahunya agak mendekat. Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin
Timur! Aku butuh pertolonganmu!”

Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan,
menjauhi perahu putih. “Celaka! Kenapa menjauh? Gadis itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wiro sangat kecewa tapi juga
jengkel penasaran. “Mustahil dia tidak melihat! Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi…” Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat
itu hitam legam mulai dari kepala sampai ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak mengenali dan terus saja pergi?
Hik…hik!”

“Jahanam!” maki murid Sinto Gendeng. “Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu?!”

Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samar-samar di kejauhan.

** SEBELAS **

Dalam keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu sementara matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa
tubuhnya seolah-olah dipanggang. Yang membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping perahu enak-enak saja
duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil. Laut luas menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.

“Hendak dibawa kemana aku ini…?” pikir Wiro.”Orang ini benar-benar menjadi bala bagiku!”
61

Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.

“Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!” Wiro merasakan ada angin halus dingin menyapu
leher dan kepalanya. Mendadak saja kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar menjadi
kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan hiu sebesar manusia! Wiro membuka mulut hendak
meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala. Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu
mulutnya tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur tubuhnya dingin. “Tanganku…” kata Wiro
dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu
menyambar pasti bunting!”

“Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikan- ikan itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali
kalau melihat darah. Ha…ha…ha…!”

Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!” ujar Wiro.
Suaranya tak keluar dari dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di dalam
laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut. “Tanganku luka!
Warna merah itu pasti darahku…! Celaka! Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku…” Wiro jadi gemetar
membayangkan apa yang akan segera terjadi.

Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam laut telah melihat dan mencium bau darah . Beberapa di
antara mereka menjadi liar dan menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin lama goncangan makin keras.
Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik saja. “Selamat tinggal anak muda!”

“Heh! Mau kemana makhluk celaka ini?!”

Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah benda empat persegi dilengkapi dua utas tali.
Ternyata selembar papan. Dengar cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu pergunakan
dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi, selamat
tinggal anak muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat! Ha…ha…ha!” Habis berkata
begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu melompat ke dalam laut. Papan injakkannya mengapung di atas air. Sekali
kaki kanannya membuat gerakan seperti mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!

“Jahanam betul!” rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah dekat di depan matanya. “Sekalipun ikan-
ikan hiu itu tidak akan mencabik aku selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar laut. Semoga
takdir Tuhan mengampuni segala dosaku…!” Begitu Wiro berkata setengah meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-
bayangan orang yang paling dekat muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul Si Raja Penidur.
Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti, disusul dengan Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga
Mayat. Lalu ada bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. “Bidadari Angin Timur… Kita tak akan bertemu
lagi selama-lamanya…”

“Braaaakk!-Braaakk!”

Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu pecah, terbelah dua. Lantai sebelah kanan
hancur berkeping-keping. Tangan Wiro yang terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya saat itu
berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya.

Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor ikan hiu yang berada di sekelilingnya
menghentakan ekor mengibaskan sirip. Binatang- binatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!

Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang beberapa kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya
tinggal beberapa jengkal saja lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara
menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu,
sebelum jatuh semakin dalam dan hilang kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu
ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu
mendadak sontak seperti takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau ikan-ikan hiu itu
berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap. Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya
yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar laut. Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk
aneh membawa tongkat besi yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka ternyata adalah
makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna
perak.

Pertama sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua matanya ialah alunan suara petikan kecapi
yang sangat merdu. Hidungnya mencium bau harum semerbak.

Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Memandang ke atas lalu melihat berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur di atas
sebuah tilam sangat bagus. “Ruangan apa ini…?” pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. “Eh, kakiku bisa bergerak…” Dia
gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan
itu. “Dimana aku ini?” Ruangan dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-langit kamar terbuat dari bahan
aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh tempat. Wiro angkat tangan kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering
pada pangkal lengan. Dia coba berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa yang telah dialaminya
sebelumnya. “Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara
menggemuruh. Muncul tabir kelabu aneh…” Wiro pandangi lagi lengan kanannya. “Luka di tanganku di taburi sesuatu. Mungkin
sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku…” “Srett…srett…srett…srettt!”
62

Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid Sinto Gendeng hampir tersentak. Mulutunya
ternganga dan matanya terbuka lebar tak berkesip.

“Jangan-jangan aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga… Buktinya saat ini aku dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik
semua, berkulit putih halus. Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya aku ini betulan di
sorga?” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Dosaku bertumpuk. Masakan aku bisa masuk sorga semulus ini…?” Wiro memandang
berkeliling. Perhatikan gadis-gadis cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam yang ketat, terbelah di bagian
sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul, lalu terbelah lagi di bagian dada sebelah atas.

“Cantik semua. Kalian ini siapa…Aku berada dimana?” tanya Wiro lalu perlahan-lahan dia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa
Bala itu. “Jangan-jangan para gadis ini makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu…” Selintas pikiran muncul dan membuat murid Sinto
Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.

“Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi…?”

Wiro memperhatikan berkeliling.

Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah maju seorang gadis membawa sebuah nampan
terbuat dari kerang laut yang sangat besar. Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat
kepala, juga terbuat dari kain hitam.

Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu membungkuk. Karena dada pakaiannya terbelah dalam, ketika membungkuk
sepasang payudaranya yang putih kencang seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang Sinto Gendeng merasa jantungnya
seperti mau tanggal menyaksikan!

“Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang kami bawa ini.” Gadis pembawa pakaian di
atas nampan kerang berkata.

Wiro jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga kotor dan bau.

“Kalian gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat
ini…”

Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik… hik! Mereka sama-sama tertawa.

“Kenapa tertawa?” Tanya Wiro heran. “Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam. Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu
kuning, halus. Tidak kalah dengan kulit kalian itu…!”

Ruangan itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-
dada putih montok para gadis berguncang-guncang sewaktu mereka tertawa.

Salah seorang dari para gadis lalu berkata. “Pemuda dari daratan. Kami akan membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas
rasanya kalau kau mengenakan pakaian butut dan kotor serta bau itu…”

“Ratu …Ratu…apa…?” Wiro jadi heran.

“Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti pakaian,” gadis yang membawa nampan kerang
memberi tahu.

“Ya… ya aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat ini…” kata murid Sinto Gendeng pula lalu
mengambil seperangkat pakaian hitam yang ada di atas nampan kerang.

“Kami tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti pakaian di depan kami…”

“Hah ! Apa?!” Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. “Kalau begitu biar aku tidak jadi ganti pakaian!”

“Kau tamu yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah. Jangan membuat Ratu menunggu terlalu lama…”

“Walah! Siapa Ratu kalian? Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan, makhluk jejadian, sebangsa peri atau apa?!”

“Sekali lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak. Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke
daratan dengan segala penderitaanmu…”

“Gila!” Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri. ”Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak
tahu? Bagiku lebih menderita membuka pakaian di hadapan kalian!”

“Aturan mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!” kata salah seorang dari dua belas dara cantik.

“Ah, bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!” Dua belas wajah cantik kelihatan menjadi merah.

Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang.

“Dengar pemuda jahat! Kau tinggal memilih…”

“Aku suka kalau kalian mengeroyokku…” ujar Wiro masih bergurau.


63

Gadis pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk.

Melihat isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang terkembang diarahkan pada Wiro. Tiba-tiba ada
kalian sinar biru menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan Wiro. Tubuhnya
laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.

Wusss… wusss… wussss.

Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto
Gendeng berseru kaget. Dia memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di tubuhnya tapi tak
berhasil menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke aurat sebelah bawah. Dua belas gadis cantik tertawa cekikian. Yang
membawa nampan berisi pakaian hitam berkata. ”Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian hitam ini?” “Kalian ini… Ah!” Wiro
jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya. Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi
auratnya. Ketika dia sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu ramai lagi dengan suara tawa para gadis!

“Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!” Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar
Wiro. Dia mengenakan sambil berbalik, maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis itu.

Tapi percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan
bebas dari pandangan mata gadis-gadis cantik itu.

Wiro merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil memakai destar dia bertanya. “Kalian sudah lihat
tubuhku. Bagaimana…bagus?!” “Hitam semua!” celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di ruangan itu.

Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian yang tadi dikenakannya.

“Jangan khawatir,” jawab gadis yang berjalan di depannya. “Kelak jika kau meninggalkan tempat ini pakaian butut itu akan
dikembalikan padamu. Lengkap dengan segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku
pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?”

Wiro tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu.

Yang dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang
merupakan satu-satunya benda keramat yang sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia
sewaktu- waktu ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap baca serial Wiro Sableng berjudul
Misteri Dewa Bunga Mayat).

“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan,” kata Wiro sambil melangkah mengikuti gadis-gadis cantik itu. Sebentar-sebentar
matanya memandang ke bawah memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari belahan pakaian.
Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro lalu teruskan maksudnya bertanya.

“Kita ini berada dimana…? Di daratan atau di dasar laut?”

“Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang,” seorang gadis kemudian menjawab.

“Ini yang aku tidak mengerti. Seingatku aku jatuh ke dalam laut…Mengapa kini kau katakan berada di awang-awang? Mana
mungkin aku bisa berjalan di udara…” “Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia biasa
sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti…”

“Lalu kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?”

“Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu menunggu.”

“Ratu…” mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu bertemu dengan perempuan sakti bergelar Ratu
Pantai Utara. “Di laut utara ada Ratu, ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana yang paling
cantik antara keduanya…” kata murid Sinto Gendeng konyol. (Harap baca serial Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut
Utara)

** DUA BELAS **

Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau bangunan itu berada di awang-awang. Sementara
itu suara petikan kecapi merdu terdengar semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.

Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-cahaya redup hingga mendatangkan suasana
angker. Sekeliling ruangan, mulai dari pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke
ruangan itu.

Di ujung ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar yang sandarannya berbentuk seekor ikan limba-
lumba besar membungkuk memayungi seseorang yang duduk di bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari manik-
manik berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya, baju yang dikenakannya juga dibelah di bagian dada
dan pinggul. Kecantikan yang satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis lain banyak
senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak menunjukkan air muka ramah. Orang ini mengenakan anting, kalung
dan gelang terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah ketika memandang mata orang itu.
Sepasang bola matanya berwarna biru dan memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker.
64

Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.

“Ini rupanya Sang Ratu…” kata Wiro dalam hati.

Dua belas gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi penghormatan. Ketika salah seorang dari
mereka melihat Wiro dan berkata,

“Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan…”

Didorong dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke depan. “Ratu Duyung…? Kulihat keadaan
tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia.

Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan…”

“Kalau kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan pentungan tulang ikan hiu sampai tujuh puluh
kali!” Satu cara mengancam di belakang Wiro.

Murid Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-
dalam. Namun sambil membungkuk matanya yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang
tersingkap. Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah
meja bulat berkaki satu. Di atas meja ini terletak

sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum. Di samping pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran
terbuat dar kayu sebuah kitab. Karena jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu. Namun
mendadak saja dadanya berdebar.

Salah seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu. Setelah membungkuk dia berkata.

“Penghormatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan. Perintah telah kami jalankan. Orang yang kau lihat
dalam cermin sakti telah kami antarkan ke hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut.”

Orang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada Wiro lalu jari-jari tangan kirinya yang
diletakkan di atas tangan kursi batu digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.

Murid Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu
namun matanya tak bisa lepas dari memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan. Karena dia jadi
lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat Dewa!

Lupa dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja bulat. Beberapa orang gadis berseru kaget
melihat apa yang dilakukan pemuda berkulit hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika jari-jari
tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping pendupaan, Ratu Duyung menekan salah satu bagian tangan
kursi batu. Terdengar suara desingan halus.

Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212 jatuh terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher.
Kini hanya kepalanya saja yang tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi mengerikan empat dinding lantai batu itu bergerak
menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan diri keluar dari lobang itu!

Perlahan-lahan Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas kursi
batu. Lalu dia melangkah anggun mendekati lobang tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang itu. Dalam keadaan lain
melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan menggiurkan bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang
aneh dan tak mampu keluar selamatkan diri.

“Kadang-kadang kecerobohan bisa membawa celaka seseorang…” kata Ratu Duyung.

“Ratu, demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!” ujar Wiro. “Sumpah anak manusia tidak berlaku di tempat ini!”

Sang Ratu sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah tombol di bawah meja bulat. Dari langit-
langit ruangan tiba-tiba meluncur turun perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika
bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala Pendekar 212 yang berada di lobang batu lantai
ruangan. Wiro maklum bahaya maut kini kembali mengancamnya.

“Ratu! Aku akan jelaskan…”

“Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi petunjuk bahwa memang kau tengah mencari
kitab sakti itu…”

“Kau benar dan aku tidak berdusta, “ jawab Wiro. “Tadi aku begitu terkejut dan lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk
memastikan kalau memang itu buku yang aku cari. Bukan untuk mengambilnya!”

Ratu Duyung tertawa. “Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol! Jika kau memang mencari kitab itu, setelah
bertemu masakan tidak akan kau ambil!

Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya menyadari budi orang malah hedak mencuri!”
65

“Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut melihat kitab itu ada di tempat ini. Padahal menurut
petunjuk kitab itu seharusnya berada di tempat lain….!”

“Begitu?!” Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi runcing panas membara perlahan-lahan turun
terus mengarah batok kepala Wiro. Jarak ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar lima belas
jengkal.

“Aku tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada kelompok manusia-manusia jahat atau
termasuk dalam golongan orang-orang putih yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan….”

“Jangan berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua golongan yang kau katakan!” Habis berkata
begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke kursi batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia
memberi tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu. “Lekas bawa masuk tamu kita yang datang malam tadi!”

Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama dia muncul kembali. Di belakangnya mengikuti
seorang kakek gemuk luar biasa bermata sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia
mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu dikenakan Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar
200 kati membuat setiap langkah yang dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil tiada
hentinya tertawa-tawa.

Wiro melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan
membuat marah Ratu Duyung dan dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir akan

keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing turun semakin mendekati kepalanya!

Sampai di hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada sang Ratu.

“Tamu terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting yang kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam
liang batu di depan meja bulat sana?!

Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan.”

Orang tua gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk. Pada saat si gemuk memandang ke arahnya
Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan matanya.

“Apa ini orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang katamu siap mengarungi segala bahaya untuk mencari
kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa itu….?”

Si Gemuk kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum. Lalu dia melihat si gendut menggeleng dan berkata.
“Bukan, bukan dia orangnya…Ha…ha.. ha!”

“Jadi kau tidak mengenalinya?” Tanya Ratu Duyung.

“Tidak, aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!” Lalu kembali orang ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya
berguncang-guncang. “Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!” maki Wiro dalam hati. “Apa matanya sudah lamur tidak mengenali
diriku lagi?! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka gosong. Tapi eh…!”

“Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu?!” bertanya Ratu Duyung.

“Perduli apa dengan nyawanya!” jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. “Kau boleh kembali ke tempat peristirahatanmu!” kata
Ratu Duyung pula.

Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. “Dewa Ketawa! Jangan pergi dulu! Kau harus menolongku!
Jangan bicara ngacok mengatakan kau tidak kenal diriku!”

Si gendut yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wiro
sambil dalam hati memaki. “Anak setan muka hitam itu tahu darimana namaku!” Dia menatap tak berkesip dengan matanya yang
sipit. “Siapa kau?!” tanyanya sambil tertawa-tawa.

“Aku Wiro Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak mengenali diriku?!”

“Puah!” si gendut tertawa gelak-gelak. “Wiro Sableng Pendekar 212?!” “Betul! Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” sambung
Wiro. Dia mendongak ke atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari kepalanya.

Orang yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga matanya yang sipit kucurkan air mata.
“Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku
sudah buta?!”

“Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!” teriak Wiro.

“Manusia bermuka hitam!” membentak Ratu Duyung. “Jangan lancang berani menghina tetamuku!”

“Aku tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku.

Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang milik Keraton yang dicuri orang?!”
66

Si gendut sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir. “Ya aku ingat! Waktu itu kau masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni
Pitaloka. Kukira kalian berdua sudah jadi mayat hidup…!”

“Nah, kau ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat waktu kau ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan….?!”

“Eh!” si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung
banyak yang ikut tertawa cekikikkan.

“Sekarang kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng, Pendekar 212 yang tengah menjalankan
tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa….”

“Tidak bisa…” kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.

“Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa?!” ujar Wiro hampir berteriak karena di atasnya dua batang besi runcing panas
hanya tinggal delapan jengakal dari batok kepalanya.

“Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha mengelabui diriku!”

“Sesuatu terjadi dengan diriku!” jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan. Juga kemunculan seorang yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang parah.
Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan wajahnya menjadi hitam legam.

Orang tua gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. “Dewa Ketawa!”
teriak Wiro.

Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata. “Pendekar 212 yang aku kenal memiliki satu senjata mustika sakti.
Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata itu
padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu!”

“Aku tak menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan
dan kambratnya Elang Setan!”

“Hemmm… Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?” ujar Dewa Ketawa seraya tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu.
“Hemmm…Aku ingat ada rajahan angka 212 di dadamu. Itu mungkin bisa menolong….”

“Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!” “Sayang sekali. Agaknya kau memang harus
menemui ajal secara mengenaskan di dalam liang batu itu!” kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari tempat
itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.

“Jahanam gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!” Wiro merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung
besi lancip hanya tinggal empat jengkal!

“Ada satu cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar 212…”

“Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus batok kepalaku!” teriak Wiro.

“Waktu pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang celaka itu apa sebutanku memanggilmu? Nah
ayo lekas kau jawab!” “Sobatku Muda!” teriak Wiro. “Begitu kau memanggil diriku!”

“Eh, memang benar!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata. “Itu belum cukup
dijadikan bukti kalau kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng!”

“Gila! Apa lagi maumu?!” teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala hanya tinggal tiga jengkal.

“Kau masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu?!” tanya Dewa Ketawa.

“Apa sulitnya mengingat!” jawab Wiro. “Kau kupanggil Sobatku Gendut!” Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!”

“Ha…ha…ha…!” tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu
Duyung tak dapat pula menahan tawanya. “Sekarang aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha…ha…ha!”(Siapa
adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)

“Kalau begitu!” ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi runcing hanya tinggal satu jengkal di atas
kepalanya, “Lekas minta pada tuan rumah untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!”

“Ratu Duyung…” ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah ketakutan setangah mati, “Aku minta dengan hormat
kau suka menghentikan gerakan benda kematian itu!”

Ratu Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya lebih dulu. “Jadi sekarang kau yakin pemuda
berkulit hitam itu benar-benar Pendekar 212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke sini?” “Ya…ya…ya!
Memang dia!” jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak.

Ratu Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol di bawah meja. Saat itu juga dua batang besi
runcing berujung panas merah berhenti meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro. Murid Sinto
Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam maka akan jelas kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
67

“Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!” kata Dewa Ketawa.

“Aku belum seluruhnya selamat!”teriak Wiro. “Eh, apa maksudmu?!” Tanya Dewa Ketawa.

“Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah
tubuhku bisa medel hancur!” Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu Duyung, kurasa kau juga
tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi pergedel!”

Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya menekan salah satu bagian lengan kursi batu.
Empat dinding batu yang menggencet tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan Wiro
segera melompat keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada
Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada di atas meja.

“Pendekar 212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat? Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang
melarang!” terdengar Ratu Duyung berucap.

Sesaat Wiro merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi
berlalu dari situ. Dilirik seperti itu si Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati meja bulat.

“Ternyata kitab sakti ini berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek Segala Tahu…” Dengan tangan gemetar Wiro
menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.

“Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!” kata Wiro. Tawa bergelak. “Pendekar 212,” ujar Sang Ratu. “Apa yang terjadi memberi banyak
pelajaran padamu. Pertama kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar. Kedua, perasaan hati
yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat melihat kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala
hal adalah pangkal segala keselamatan!”

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.

“Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau
tidak karena kalian saat ini pasti aku sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya ada beberapa hal
yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau
lewat Cermin Sakti itu dan juga berdasarkan keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana tiruan Kitab Wasiat
Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana adanya kitab yang asli? Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau
sebagai tamu seperti si Gendut itu…”

Dewa Ketawa tertawa bergelak.

“Sejak kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan di tempat ini,” berucap Ratu Duyung.

“Tapi karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadis-gadis cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba
berbuat macam-macam!” Yang bicara adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala. Wiro garuk-garuk kepala.

Ratu Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata.”Pertemuan hari ini cukup sampai di sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan
dibicarakan pada pertemuan besok. Harap antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!”

Seorang gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Sebelum melangkah pergi Wiro membungkuk
memberi penghormatan pada Ratu Duyung. Lalu dia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar dia
ditunggui oleh Dewa Ketawa.

“Sobatku Muda. Kau beruntung bisa selamat….Ha…ha…ha…!”

“Dewa Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara. Di awang – awang?”

“Memangnya kau tak percaya?” balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar biasa itu.

“Akalku tak bisa menerima…”

“Ha…ha…ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan pikiran bagi kita manusia biasa justru
sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jika terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak malam
nanti….Ha…ha…ha!”

“Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu sebagai tamu di tempat ini ada sangkut
pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa…Betul?”

Dewa Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.

“Apa yang kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?” Tanya Pendekar 212.

“Tidak banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu. Yaitu sang kitab berasal dari daratan Tiongkok….”

Wiro tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di satu tempat gadis pengantar membelok ke
kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke kanan. Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
68

“Sobatku Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku. Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu
Duyung. Jadi….Apakah kau juga disuruh mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?”

Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi
atas diriku! Ha…ha…ha…! Cuma denganmu mereka lebih untung!”

Apa maksudmu?”Tanya Wiro.

“Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam
tapi keadaan tubuhmu dan peralatanmu masih kencang….! Ha…ha…ha!”

Pendekar 212 pencongkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus
mengumbar tawa keras.

** TAMAT **

Wasiat Sang Ratu


** SATU **

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk garuk kepala. Lalu pada Dewa Ketawa yang duduk di hadapannya dia berkata. “Aku tetap tidak
bisa percaya kalau saat ini kita berada di awang awang. Kau lihat sendiri Sobatku Gendut. Bangunan, taman, pedataran, lalu di
sebelah sana malah ada bukit! Mana mungkin semua ini menggantung di udara. Mana mungkin ada dunia di atas dunia?!”

Kakek gendut berbobot 200 kati itu elus elus dadanya yang gemberot. Lalu penyakitnya kambuh. Dia mulai tertawa. Mula mula
perlahan. Tambah lama makin keras hingga Wiro terpaksa tekap kedua telinganya.

“Anak tolol! Aku sudah bilang mengapa meributi segala hal yang tidak bisa sampai dalam akal kita manusia biasa? Tempat ini,
termasuk para penghuninya, jadi termasuk Ratu Duyung bukanlah makhluk biasa. Mereka mampu hidup di dua alam. Darat dan
air….”

“Berarti mereka sebangsa kodok?” ujar Wiro sambil menyengir. Membuat tawa si gendut semakin keras. “Ada satu hal lagi yang aku
tidak mengerti. Kulihat Sang Ratu maupun gadis gadis yang ada di sini tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Mengapa Sang
Ratu disebut Ratu Duyung? Bukankah duyung sejenis makhluk bertubuh sebagian manusia sebagian lagi ikan?”

“Memang begitulah keadaan asli tubuh mereka…” jawab Dewa Ketawa. “Kau tidak percaya? Ha…ha…ha…?!

“Kau sendiri melihat. Mereka bicara seperti kita. Memiliki kecantikan seperti bidadari. Berjalan dengan dua kaki yang mulus mulus.
Bukan dengan ekor ikan….”

“Jika kau suka, kau bisa membuktikan sendiri!” kata Dewa Ketawa pula sambil senyum senyum. “Eh, membuktikan bagaimana
maksudmu? Kau tahu caranya? Atau punya ajian yang bisa dirapal hingga mampu melihat bentuk asli mereka?!”

“Tak perlu ajian. Tak perlu segala macam rapalan. Cukup dengan mata telanjang. Asal tahu rahasianya….”

“Kalau begitu tunjukkan padaku rahasia itu!” ujar Wiro.

Dewa Ketawa tak segera memberitahu tapi seperti biasanya dia tertawa dulu, membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak sabaran.

“Kau lihat pohon besar itu, Sobatku Muda?!” tanya si kakek gendut sambil menunjuk pada sebatang pohon besar yang tumbuh
miring di kejauhan. Wiro mengangguk. “Di balik pohon itu ada satu jalan kecil menurun. Di ujung penurunan ada sebuah telaga
berair biru. Nah telaga ini tempat mandi gadis gadis anak buah Ratu

Duyung. Terkadang mereka pergi ke sana untuk istirahat sambil bercengkrama….” “Jadi kau menyuruh aku mengintip anak gadis
mandi?”

“Terserah padamu. Kau bilang mau melihat bentuk asli gadis gadis itu….”

Wiro garuk garuk kepala. “Kalau ketahuan aku mengintip bagaimana??”

“Wah, akibatnya memang berat. Tapi itu urusanmulah!” jawab Dewa Ketawa dan orang tua bertubuh gemuk luar biasa ini kembali
tertawa. Setelah tawanya reda dia berkata. “Kau tahu, cuma itu satu satunya cara kalau mau mengetahui keadaan sebenarnya para
gadis di sini. Ujud asli mereka akan kelihatan bila tubuh mereka basah atau mereka masuk ke dalam air. Baik air tawar maupun air
laut….”

“Bagaimana kalau mereka misalnya terguyur air hujan?” tanya Wiro pula.

“Anak setan! Macam macam saja pertanyaanmu! Mengapa tidak kau tanya bagaimana kalau terguyur air kencing?! Ha… ha… ha…!
sambil usap usap dua matanya yang sipit kakek gemuk ini kemudian berkata dengan suara sengaja diperlahan lahankan. “Ada satu
hal yang mau kubilang padamu….”

“Hemmm…. Apa? Kelihatannya seperti kau mau menceritakan satu rahasia besar saja!”
69

“Betul! Kau rupanya punya firasat!” jawab si kakek. Wiro cepat menekap mulut orang tua ini ketika dia mulai menunjukkan hendak
tertawa kembali. “Ayo cepat, kau mau bilang apa?” tanya Wiro.

“Ratu Duyung itu sebenarnya suka padamu…” bisik Dewa Ketawa.

“Jangan ngaco! Kau mengada ada saja!”

“Sobatku Muda, aku tidak bicara bohong…!”

“Bagaimana kau bisa tahu? Memangnya dia bilang padamu?!”

“Aku segera tahu pada pertama kali bertemu dengannya. Beberapa hari lalu. Memang dia tidak mengatakan terus terang. Tapi dari
sikap dan ucapannya cukup tersirat dia menyukai dirimu….”

Wiro memandang dengan mata membesar pada si gendut tua itu.

“Agaknya dia sudah lama mendengar tentang kau. Dia menjadi salah seorang dari banyak gadis yang mengagumi dirimu.
Namun….” “Namun apa?”

“Rasa sukanya kurasa serta merta lenyap ketika melihat keadaan dirimu. Ternyata kau seorang pemuda hitam gosong bermuka
macam pantat kuali! Ha… ha… ha…”

“Orang tua sialan…! Maki Wiro dalam hati.

Si kakek gendut geleng gelengkan kepala. “Memang aku suka bergurau Sobatku Muda. Tapi percayalah, aku yakin betul Ratu
Duyung diam diam jatuh hati padamu!”

Wiro memandang ke arah pohon besar. Di sampingnya Dewa Ketawa berkata. “Tadi kulihat ada serombongan gadis menuju ke
sana. Pasti mereka pergi mandi. Sebaiknya kau lekas menyelidik….”

“Kau tak mau ikut mengintip?!” tanya Wiro.

“Aku sudah terlalu tua untuk pekerjaan macam begini. Itu bagian yang muda muda sepertimu….”

Wiro menyeringai. “Aku tidak percaya pada tua bangka berminyak sepertimu ini. Jangan jangan kau sudah duluan mengintip. Kalau
tidak dari mana kau bisa tahu.”

“Ha… ha… ha…! tawa si kakek gendut membahak lepas.

Wiro tinggalkan orang tua itu. Dengan cepat dia melangkah menuju pohon besar. Seperti yang dikatakan Dewa Ketawa, di balik
pohon itu memang ada sebuah jalan kecil. Jalan ini terbuat dari batu batu hitam, berupa tangga tangga kecil menurun. Keadaan di
tempat itu sunyi. Angin bertiup sepoi sepoi.Wiro menuruni jalan kecil dengan hati hati. Setengah panjangnya jalan yang menurun
Wiro menangkap suara gelak tawa di bawah sana.

“Si gendut tidak dusta. Memang ada serombongan gadis di bawah sana…” kata

Wiro dalam hati. Dia belum dapat melihat apa yang ada di bawahnya karena tertutup oleh rerumpunan pohon pohon setinggi
kepala. Dengan dada berdebar murid Sinto Gendeng melangkah terus menuruni jalan batu. Debaran dadanya mencapai puncak
sewaktu dia sampai di ujung jalan. “Pemandangan luar biasa…” kata sang pendekar dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik
sebuah batu besar dan mengintai di balik kerapatan semak belukar berbunga aneh.

Di bawah sana kelihatan sebuah telaga berair biru. Di salah satu tepiannya, terdapat gundukan batu batu hitam tersusun rapi
seolah ditata oleh tangan manusia.

Dari celah susunan batu batu hitam itu mengucur air jernih yang kemudian jatuh masuk ke dalam telaga.

Mata Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berkesip memperhatikan empat orang gadis yang ada di dalam telaga, berenang sambil
bercanda satu sama lain. Dari tempatnya mengintai jelas empat gadis itu mandi bertelanjang dada. Di tepi telaga tiga orang gadis
lainnya duduk bermalas malas. Yang satu menyisir nyisir rambutnya dengan sebuah sisir berbentuk tulang ikan. Dua lainnya asyik
mengobrol.

Salah seorang dari gadis yang mandi keluar dari telaga lalu bergabung dengan tiga temannya.

“Astaga!” murid Sinto Gendeng keluarkan seruan kaget ketika melihat keadaan tubuh gadis yang barusan keluar dari dalam telaga
itu. Bagian atas auratnya berada dalam keadaan polos tanpa penutup sama sekali. Lalu tubuh sebelah bawah, inilah yang
membuat Wiro jadi tercengang, mata melotot mulut ternganga. Tubuh bagian bawah gadis itu berbentuk ekor ikan besar
berwarna perak berkilat. Ujungnya bergerak gerak kian kemari. Masih tak percaya Wiro gosok gosok kedua matanya. “Tak bisa
kupercaya kalau tidak kulihat sendiri. Berarti keadaan Ratu Duyung tidak beda dengan keadaan anak buahnya itu…” kata Wiro
dalam hati.

Selagi gadis yang barusan keluar dari telaga bercakap cakap dengan teman temannya, salah seorang gadis di tepi telaga tampak
bangkit. Sesaat dia berdiri di atas sebuah batu lalu “byurrr”! Gadis itu terjun ke dalam telaga.
70

“Aneh, dia masuk ke dalam telaga. Kenapa tidak membuka pakaian hitamnya dulu…? pikir Wiro. Dia terus memperhatikan. Lalu
pemuda ini kembali melengak keheranan. Ternyata begitu tubuhnya masuk ke dalam air, pakaian hitam yang melekat di tubuhnya
lenyap secara aneh. Di saat yang sama sepasang kakinya berubah menjadi ekor ikan besar, bergerak gerak kian kemari.

“Baru sekali ini aku melihat keanehan gila macam begini!” ujar Wiro seraya geleng geleng kepala.

Baru saja dia berkata seperti itu tiba tiba terdengar suara suitan suitan keras dari beberapa penjuru. Tujuh gadis di telaga kelihatan
kaget. Wiro sendiri tak kalah kejutnya karena tahu tahu tempat dimana dia berada telah dikurung oleh enam orang gadis lain anak
buah Ratu Duyung. Keenam gadis ini menunjukkan wajah galak. Masing masing mengangkat tangan kanan seraya tudingkan jari
telunjuk mereka lurus lurus kearah Wiro. Ujung ujung jari mereka memancarkan sinar biru pertanda mengandung satu kekuatan
dahsyat.

Sadar kalau dirinya tertangkap basah Wiro jadi salah tingkah. Dia melangkah mundur namun cepat kembali ke tempat semula
ketika dari ujung jari salah seorang gadis melesat keluar sinar biru yang menghancurkan batu di belakang kaki Wiro.

“Tetap di tempatmu! Jangan berani bergerak sampai Ratu datang!” salah seorang dari enam gadis membentak.

Rerumputan pohon bunga di sebelah kiri tiba tiba tersibak. Ratu Duyung muncul diiringi dua orang anak buahnya. Sesaat dia
menatap pada Wiro dengan pandangan dingin. Lalu dia memberi isyarat. Empat orang anak buahnya segera mendekati Wiro.

Dua orang menarik tangan Wiro ke depan.

“Ratu, tunggu dulu!” seru Wiro. “Jangan salah mengerti. Aku tidak bermaksud jahat….”

“Kau sudah tertangkap basah melakukan perbuatan kurang ajar. Masih hendak mengelak?!” bentak Ratu Duyung. “Ikat tangannya!”

Dua gadis anak buah Ratu Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan. Lengannya disilang satu sama lain lalu gadis ketiga
maju mendekat. Ujung jarinya yang memancarkan sinar biru digerakkan.

“Rrrttttttt!”

Terjadilah satu hal luar biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis berputar menjerat kedua pergelangan tangan
Wiro, tidak beda seperti ikatan seutas tali. Hanya saja tali yang mengikat erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa lingkaran
mengeluarkan sinar biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu ternyata dia tak mampu menggerakkan tangannya sedikit
pun.

“Bawa dia ke bukit Batu Putih!” Ratu Duyung berikan perintah. Dua orang anak buahnya segera mendorong tubuh Pendekar 212.

“Ratu,” kata Wiro begitu dia sampai di hadapan Ratu Duyung. “Aku tidak bermaksud berbuat yang bukan bukan. Apa lagi berani
berlaku kurang ajar. Apa yang kulakukan terdorong dari rasa ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar kemampuan akalku untuk
mencerna. Aku…”

Ratu Duyung goyangkan kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa Wiro meninggalkan tempat itu. Setelah melalui
jalan cukup jauh dan berliku liku mereka sampai di satu pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna putih. Di
langit sang surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal saja di atas kepala. Wiro merasa tubunya seperti
dipanggang. Dia ditarik kebalik sebuah batu besar. Ketika sampai di balik batu itu terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu
terpentang sosok tubuh gendut Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk tali mengikat tubuhnya ke batu besar itu hingga dia
tidak mampu bergerak sedikit pun. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh teriknya sinar matahari.

“Walah…! Sobatku gendut! Kau sudah duluan rupanya!” ujar Wiro.

“Hemmmm….” Dewa Ketawa menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia mulai tertawa tawa.

“Dasar manusia kurang waras. Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!” kata Wiro dalam hati setengah merutuk.

Wiro sandarkan pada sebuah batu besar di samping Dewa Ketawa diikat. Seorang gadis tudingkan ujung jarinya ke tubuh
Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan maka larikan sinar biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu di
belakangnya. Keadaan ini tidak beda dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua tangannya masih tetap terikat tali bersinar biru.

“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya!” Seorang gadis anak buah Ratu Duyung berkata.

** DUA **

BARUsaja salah sorang gadis berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Dewa
Ketawa. Dia memandang pada kedua orang itu beganti ganti lalu berkata.

“Menyesal aku telah menganggap kalian sebagai tamu tamu terhormat. Ternyata kalian sama tak dapat dipercaya!”

Wiro menatap wajah cantik Ratu Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa Ketawa dan berbisik. “Sobatku Kerbau Bunting! Kau
bilang dia menaruh hati padaku. Kau lihat sendiri! Buktinya aku diikatnya seperti ini!”

Dewa Ketawa balas memandang Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian dia tertawa gelak gelak.

“Gendut gila! Bagaimana dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!” damprat Wiro.
71

“Sssst…. Jangan memaki bicara tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita tidak tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan
orang orang itu. Yang jelas kalau aku mati pasti masuk sorga, kau jelas minggat ke neraka! Ha… ha… ha!”

“Enak saja kau bicara!” tukas Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu kalau aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi
sobatku si gendut ini mengapa harus ikut menerima hukuman? Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka
membebaskannya….”

Para gadis anak buah Ratu Duyung menatap pimpinan mereka menunggu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Sebaliknya
Sang Ratu memandang pada Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. “Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika aku tidak
menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini….”

“Ratu, kami menunggu perintahmu!” seorang gadis berkata ketika dilihatnya Ratu Duyung hanya tegak tak bergerak, menatap ke
arah Wiro. “Hukuman apa yang harus kami jatuhkan terhadap dua orang ini?!”

Ratu Duyung mendehem beberapa kali. Lalu berucap. “Orang bernama Dewa Ketawa telah berbuat dosa, melakukan kesalahan.
Kalau bukan karena mulutnya maka kawannya ini tidak akan berbuat dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman cabut
lidah selama tiga hari!”

Dewa Ketawa…!” Wiro keluarkan seruan saking terkejutnya mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung. Dia berkata dengan suara
keras pada Sang Ratu. “Ratu Duyung! Sudah kubilang kawanku ini tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya biar
aku yang menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur hidup belum pernah aku melihat perempuan
sepertimu. Cantik selangit tapi kejam selangit tembus!”

Ucapan Pendekar 212 itu membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun sikapnya tetap tenang. Sebaliknya di samping
terdengar suara Dewa Ketawa tertawa gelak gelak.

“Kerbau Bunting!” teriak Wiro. “Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah tertawa gelak gelak!” Kau benar benar sudah gila!”

“Ah, hukuman cabut lidah itu Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!” jawab Dewa Ketawa lalu kembali tertawa terbahak
bahak.

“Lakukan hukuman!” Ratu Duyung memberi perintah.

Seorang gadis maju mendekati Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih saja terus tertawa.

“Dewa Ketawa! Selamatkan dirimu! Lekas lari dari tempat ini!” Wiro kembali berteriak.

Kakek gendut itu berpaling padanya. “Kau sendiri apa sudah mencoba untuk bebaskan diri?!” balik bertanya Dewa Ketawa.

Wiro jadi penasaran. Dia kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Sampai tubuhnya basah oleh keringat ternyata dia tidak mampu
melepaskan diri dari ikatan tali aneh yang mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi lemah.

“He… he…! Bagaimana? Apa kau mampu?” Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa dan pencongkan hidungnya mengejek Wiro.
“Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak ada gunanya. Mereka memiliki ilmu aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang
masih bau pesing! Ha…ha…ha!”

“Gendut sialan!” maki Wiro.

“Lakukan hukuman!” Tiba tiba Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk kedua kalinya.

Dua orang gadis maju ke hadapan Dewa Ketawa.

“Dewa Ketawa, sebelum hukuman dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk tertawa sepuasmu!” kata Ratu Duyung pula.

Kakek gendut itu pandangi sang Ratu sesaat. “Kau mau berbaik hati memberi kesempatan. Aku berterima kasih untuk itu,” kata
Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai tertawa. Mulutnya makin lebar dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping kanan tiba
tiba jentikkan jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku. Suara tawanya lenyap dan mulutnya dalam keadaan terbuka
lebar.

“Cabut lidahnya!” perintah Ratu Duyung.

Gadis di sebelah kiri kini yang maju. Tangannya bergerak cepat ke arah mulut Dewa Ketawa yang terbuka lebar. Wiro merasa ngeri
untuk menyaksikan. Dia membuang muka.

“Kreeeeekk!”

Tenguk Pendekar 212 merinding dingin mendengar suara itu. “Pasti lidahnya sudah dicabut….! Manusia manusia ganas!” Perlahan
lahan Wiro palingkan kepalanya. Dilihatnya Dewa Ketawa masih dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah.

Wiro memperhatikan. Ternyata dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah! Sewaktu Wiro berpaling ke kanan dia melihat
seorang gadis anak buah Ratu Duyung tengah meletakkan sebuah benda merah panjang bergerak gerak di atas baki kecil terbuat
dari kerang. Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti mau muntah.

“Sekarang giliran pemuda berkulit hitam!” Tiba tiba terdengar suara Ratu Duyung.

Murid Sinto Gendeng tersentak. “Ratu…!” serunya.


72

“Kesalahan ada pada kedua matanya yang berani mengintip orang mandi. Butakan dua mata itu selama tiga hari!”

“Ratu! Apa yang hendak kau lakukan?! Aku mohon!”

Teriakan Wiro itu tak ada gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu Duyung yang bertubuh jangkung mendatanginya lalu
menjentikkan tangannya. Serta merta sekujur tubuh Wiro menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis yang
barusan menotok Wiro secara aneh maju lebih dekat. Dua tangannya bergerak cepat sekali ke arah matanya kiri kanan. Wiro
merasa sepasang matanya dingin sekali.

Tapi hanya sesaat. Di lain kejap rasa dingin itu berubah dengan sengatan panas yang sakitnya bukan main. Wiro hendak berteriak
namun mulutnya terkancing gagu! Pada saat itu juga dia tidak melihat apa apa lagi selain gelap mengelam dan menggidikkan.

“Ya Tuhan! Apa yang dilakukan mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka mencungkil kedua mataku! Aku benar benar buta!”

Darah mengucur dari kedua mata Pendekar 212 yang kini hanya merupakan rongga dalam dan besar mengerikan. Darah
mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa yang menyaksikan kejadian itu cuma mampu kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak
bisa keluarkan suara. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok, setelah menyaksikan kengerian itu sudah pasti dia akan tertawa
gelak gelak. Ketika berpaling ke samping dilihatnya gadis jangkung tadi tengah meletakkan dua buah benda bulat putih hitam di
atas sebuah baki kecil dari kerang laut.

“Gila! Apa betul dua benda itu sepasang mata anak setan itu…?” pikir Dewa Ketawa. Perutnya terasa mual. Tenggorokkannya
seperti mau muntah. Tengkuk orang tua gendut ini jadi merinding. “Benar benar gila! Seumur hidup rasa rasanya baru sekali ini
aku merinding ngeri!” Lebih lebih ketika dia coba melirik memperhatikan ke samping, melihat bagaimana keadaan muka Pendekar
212 sekarang! Muka pemuda ini kini terpentang tanpa sepasang mata!

“Dunia aneh…Bagaimana mereka bisa melakukan keganasan ini?! Tapi…eh, apakah aku merasa sakit sewaktu lidahku dicabut?
Memang aku melihat ada darah mengucur dari mulut. Tapi mengapa aku taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap Sobatku Muda
itu juga tidak merasa sakit walau kedua matanya dicungkil begitu rupa! Hukuman gila macam apa ini! Aku kepingin tertawa, tapi
mengapa tidak bisa? Celaka! Kalau aku nanti tak mampu tertawa lagi selama lamanya akan kuobrak abrik tempat ini!

Akan kuhajar mereka semua! Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis yang cantik cantik itu? Ratu Duyung kau
membuat aku betul betul sengsara. Hidup tanpa tawa…. Rasanya lebih baik mati saja!”

** TIGA **

Malam terasa lebih dingin dari malam malam sebelumnya. Ini adalah malam ketiga atau malam terakhir Pendekar 212 Wiro
Sableng dan kakek gendut berjuluk Dewa Ketawa menjalani hukuman, diikat secara aneh ke batu putih besar. Wiro dalam keadaan
tanpa mata dan dilanda sakit terus menerus. Dewa Ketawa masih untung. Walau lidahnya dicabut namun tidak mengalami rasa
sakit sedikitpun. Malah saat itu dia tengah tertidur nyenyak. Dari tenggorokkannya terdengar suara mengorok aneh padahal dia
dalam keadaan tertotok hingga tak mampu bergerak dan seharusnya juga tak mampu bersuara.

Sepasang telinga murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede tiba tiba mendengar sesuatu. Bersamaan dengan itu dia merasakan
adanya tekanan tekanan halus yang menggetarkan batu yang dipijaknya.

“Dewa Ketawa, bangunlah!” ujar Wiro. Tapi suaranya tidak keluar. Pemuda ini lupa kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok
hingga tak mampu bersuara. Ketika dia tidak mampu mendengar suaranya sendiri baru dia sadar. Dalam hati dia berkata. “Ada
seseorang mendekati tempat ini. Pasti Ratu Duyung…Hemmm… Mau apa dia kemari? Menambah siksaan lagi?! Sialan! Kalau saja
mereka tidak mencungkil mataku pasti aku dapat melihat tampang makhluk cantik tapi kejam itu! Kalau saja mulutku bisa berucap
pasti sudah kusemprot dia saat ini!”

Langkah langkah orang yang mendatangi lenyap. Namun Wiro dapat menduga kalau orang itu berhenti dan tegak sekitar beberapa
langkah di hadapannya. Dia dapat mendengar hembusan napas orang ini dan hidungnya mencium bau tubuhnya yang harum.

“Saudara…” satu suara perempuan menegur.

“Hemmm… bukan Ratu Duyung,” membatin Pendekar 212.

Lalu ada jari jari tangan mengelus pangkal lehernya. Serta merta jalan suara Wiro terbuka dan dia mampu berbicara namun yang
keluar saat itu adalah suara mengeluh setengah mengerang.

“Kau pasti tersiksa dalam hukumanmu…” perempuan di hadapan Wiro kembali berkata.

“Namanya saja dihukum. Siang dipanggang sinar matahari, malam diguyur embun dan udara dingin! Dan kedua mataku yang
dicungkil sakitnya bukan kepalang. Uh…! Katakan siapa kau adanya?! Kau bukan Ratu Duyung. Apa kau disuruh perempuan itu
datang tanpa setahunya…”

“Uh…” Wiro mengeluh lagi. “Lalu apa maksud kedatanganmu diam diam kemari?”

“Kami…Maksudku anak buah sang Ratu yang melakukan hukuman telah kesalahan tangan. Sebelum dia menjatuhkan hukuman,
dia lupa mematikan indera perasaan luarmu hingga selama ini kau pasti sangat tersiksa….”

“Kau ini bicara gila atau bagaimana? Setelah dua hari dua malam dipentang di sini kau datang dan bicara segala hal yang membuat
aku jengkel! Dengar baik baik… Kalau aku nanti dilepas aku akan membalas semua ini! Bilang sama Ratumu dan pergi dari sini!”

“Jangan salah sangka. Aku datang untuk menolongmu…”


73

Wiro menyeringai. “Kau mampu membebaskanku?!” “Tidak….”

“Kalau begitu lekas minggat dari hadapanku!” bentak Pendekar 212.

“Dengar dulu. Sebenarnya aku memang bisa membebaskanmu. Tapi aku tak akan melakukan ketololan itu!”

“Mengapa tidak mau? Ketololan apa maksudmu?!”

“Kami di sini hidup di bawah perintah Ratu Duyung dan kami semua harus patuh. Jika sampai salah dan dijatuhi hukuman, nasib
kami akan celaka seumur hidup. Tak ada jalan kembali….”

“Tak ada jalan kembali? Apa maksudmu?” bertanya murid Sinto Gendeng.

“Aku tak bisa memberi penjelasan. Kuharap saja kelak kau bisa tahu sendiri. Sekalipun aku mendorong membebaskan dirimu…”

“Dan mengembalikan dua mataku!” ujar Wiro pula.

“Ya…. Ya… membebaskan dan mengembalikan dua matamu….”

“Tunggu dulu… Jika dua mataku dikembalikan apa penglihatanku bisa wajar seperti semula? Kau tahu bola mata itu punya ribuan
urat kecil kecil. Apa bisa bertaut lagi ke asalnya?”

“Jika dua matamu dipasang kembali penglihatanmu akan wajar seperti semula.

Malah…” Anak buah Ratu Duyung hentikan ucaapannya. “Malah apa….?”

“Maafkan aku. Aku tak bisa memberi keterangan lebih jauh…. Seperti kataku tadi sekalipun kau bebaskan dan dua matamu
kupasang lagi kau tak mungkin lolos dari tempat ini. Jangankan manusia biasa, setan atau jin pun tidak bisa keluar dari tempat ini
jika tidak dikehendaki oleh Ratu Duyung….”

“Tobat, tempat celaka macam apa ini!” kata Wiro mengumpat dan memaki.

“Dengar, aku hanya bisa menolong melenyapkan rasa sakit yang kau rasakan saat ini…”

“Percuma….! Setelah dua hari dua malam aku dipentang tersiksa seperti ini kau baru datang! Aku yakin kau hanya hendak
menyiasati diriku….”

“Kau salah sangka….” Kata anak buah Ratu Duyung lalu ujung jari tangan kirinya ditusukkan ke dada Wiro. Saat itu juga segala rasa
sakit yang diderita Pendekar 212 serta merta lenyap.

“Hmmm….”Murid Sinto Gendeng bergumam.”Ternyata kau tidak dusta….Aku menghaturkan terima kasih.”

“Sekarang aklu harus pergi. Sebelum pergi aku terpaksa menutup jalan suaramu kembali…”

“Tunggu!” ujar Wiro. “Dua mataku itu, kau tahu dimana disimpannya?” “Sang Ratu sendiri yang menyimpan. Kurasa di kamar
tidurnya….” “Sudah….Aku pergi sekarang…..”

“Sebentar, katakan siapa namamu….”

“Di tempat ini tidak satu pun dari kami mempunyai nama….” “Benar benar edan! Masakan orang tidak punya nama….?!”

”Aku tidak bisa menerangkan . Aku harus pergi….”

“Wiro berpikir, mengingat ingat.“Aku tahu…. Kau pasti gadis jangkung yang menotok dan mencungkil kedua mataku….” Si gadis
tercekat.

“Gadis jangkung, aku ingin tahu mengapa kau mau menolongku?” bertanya Wiro.

“Mengapa kau mau bersusah susah menolongku?”

“Sebenarnya aku akan menolong sejak hari pertama kau dibawa dan diikat ditempat ini. Tapi penjagaan ketat sekali. Temanmu si
gemuk itu lebih beruntung karena perasaannya dihilangkan lebih dulu hingga walau lidahnya dicopot dia tidak merasa apa apa…”

“Kau belum menjawab mengapa kau menolongku!” kata Wiro kembali.

“Tak bosa kuterangkan. Aku mendengar ada yang datang….” Lalu cepat sekali gadis di hadapan Wiro pergunakan telunjuk tangan
kanannya menggurat leher pemuda itu. Saat itu juga Pendekar 212 tak bisa bicara lagi.

Siang hari ketiga. Matahari bersinar terik. Panasnya bukan kepalang seolah berada tepat di atas kepala. Baik Dewa Ketawa maupun
Wiro saat itu tiba tiba mendengar langkah langkah kaki mendatangi. Lebih dari satu orang. Lalu terdengar suara seseorang yang
dikenalinya bukan lain suara Ratu Duyung.

“Hukuman telah berakhir. Kembalikan lidah tamu bernama Dewa Ketawa itu ke dalam mulutnya!”

Sepi sesaat. Lalu Wiro mendengar langkah langkah kaki mendekati sosok Dewa Ketawa yang terpentang dalam keadaan terikat di
batu putih. Sepasang mata kakek sakti ini perhatikan gadis jangkung melangkah ke hadapannya. Di sebelahnya ada gadis lain yang
melangkah sambil membawa baki dari kerang. Di atas baki kelihatan sebuah benda merah berdarah bergerak gerak.
74

“Gila! Itu lidahku sendiri!” Dia merasa ngeri melihat lidahnya sendiri yang lenyap selama tiga hari.

Gadis jangkung ambil benda di atas baki kerang. Tangannya bergerak cepat. “Cleeppp!”

Wiro sempat mendengar suara itu. Sunyi sesaat . Dewa Ketawa berusaha menggerakkan mulutnya tapi tak mampu karena masih
dalam keadaan tertotok.

“Lidah sudah dipasang kembali Ratu. Kami menunggu perintah lebih lanjut!” anak buah sang Ratu yang bertubuh jangkung
memberi tahu. “Lepaskan ikatan tali sakti biru!” Ratu Duyung menjawab.

Gadis jangkung acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Ujung jari membersitkan sinar biru. Ketika ujung jari itu diarahkan pada
tali yang melibat tubuh Dewa Ketawa, terdengar suara letupan berkepanjangan. Tali itu serta merta lenyap tanpa bekas. Dewa
Ketawa merasa lega namun dia masih tak mampu bersuara dan bergerak.

“Lepaskan totokannya. Buka jalan darah dan pengunci uratnya!” Terdengar kembali suara Ratu Duyung.

Anak buah Sang Ratu yang bertubuh jangkung usapkan tangan kanannya di atas leher Dewa Ketawa lalu menekan bagian dada
orang tua itu dengan ujung jarinya.

“Eh…eh…eh!” terdengar suara Dewa Ketawa. Dia gerakkan kedua tangannya. Mulutnya dubuka lebar lebar. Lalu terdengar suara
tawanya menggelegar. “Tiga hari tiga malam tak bisa ketawa! Sekarang aku mau tertawa sepuas puasnya!” katanya sambil pukul
pukulkan tangan kanannya ke dada!

Semua orang yang ada di tempat itu, termasuk Ratu Duyung yang berkepandaian paling tinggi diantara mereka getaran hebat
pada gendang telinga masing masing.

Mereka terpaksa tutup jalan pendengaran dengan telapak tangan. Malang bagi Pendekar 212 karena dia masih dalam keadaan
terikat dan tertotok tak bisa pergunakan dua tangan untuk menekap telinga. Dua lobang telinganya seperti ditusuk paku!
Kepalanya seperti meledak ledak.

“Kalau setan alas Kerbau Bunting ini tidak hentikan tawanya, telingaku bisa pecah!” ujar Wiro dalam hati.

Mendadak Dewa Ketawa memang hentikan tawanya. Sambil menatap kearah Ratu Duyung dalam hati dia berkata. “Aneh,
mengapa suara tertawaku jadi begitu dahsyat? Seolah olahada satu kekuatan hebat dalam tubuhku. Bukan… bukan di tubuhku,
tapi di mulutku! Tepatnya di lidahku! Hemmm…. Apa sebenarnya yang telah dilakukan perempuan cantik ini padaku? Ada satu
keanehan, satu rahasia dibalik hukuman yang dijatuhkannya padaku. Jangan jangan… Setelah menatap sejurus lagi pada Ratu
Duyung Dewa Ketawa lalu berkata. “Ratu… Aku yang tua ingin bertanya….”

Ratu Duyung angkat tangan kanannya dan memotong ucapan Dewa Ketawa.

“Hukumanmu sudah diakhiri. Kau kini bebas pergi. Sebenarnya sesuai undangan masih ada dua hari waktu tersisa bagimu di
tempat kami. Namun dengan berat hati aku terpaksa memintamu untuk pergi sekarang juga… Di lain waktu mungkin kami akan
melayangkan undangan lagi untukmu berkunjung ke sini….”

Ratu Duyung berpaling pada empat orang anak buah yang ada di dekatnya lalu berkata. “Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang
Perbatasan….”

Dewa Ketawa hendak mengatakan sesuatu namun sadar kalau tak ada kemungkinan lagi baginya untuk membuka mulut, apalagi
membantah putusan sang Ratu maka diapun menjura lalu berkata. “Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas segala
kebaikanmu…” habis berkata begitu Dewa Ketawa berpaling pada Wiro.

“anak ini… kalau aku pergi nasib apa yang bakal menimpanya. Mudah mudahan saja dia mendapatkan sesuatu yang tidak lebih
buruk dari aku…” Sekali lagi Dewa Ketawa menjura pada Ratu Duyung lalu dia melangkah mengikuti empat orang anak buah Ratu
Duyung yang mengapitnya meninggalkan tempat itu.

“Heran tua Bangka gendut itu!” Pendekar 212 berkata dalam hati. “Sudah dijatuhi hukuman malah masih mau bilang terima kasih.
Dasar gendut geblek!”

“Ratu, kami siap menjalankan perintah selanjutnya!” Gadis jangkung anak buah Ratu Duyung memberi tahu sesaat kemudian.

Sang Ratu mengangguk. Seorang anak buahnya yang lain muncul sambil membawa sebuah baki kerang. Di atas baki itu terletak
dua buah benda yang bukan lain adalah sepasang mata Pendekar 212.

“Kembalikan kedua matanya!” ujar sang Ratu.

Gadis bertubuh jangkung melangkah ke hadapan Wiro. Gadis yang membawa baki kerang juga ikut mendekat. Saat itu Wiro
mencium bau harum memasuki jalan pernapasannya. “Hemmm….pasti dia ini gadis yang kemarin mendatangiku….” Selagi Wiro
berpikir seperti itu tiba tiba dia mendengar suara “Cleppp! Clepp!” Bersamaan dengan itu dia merasa ada dua benda berhawa
sejuk masuk ke dalam rongga matanya kiri kanan. Di saat yang sama kegelapan selama tiga hari tiga malam menyungkup
pemandangannya kini lenyap.

“Astaga! Aku bisa melihat lagi!” Wiro berteriak dalam hati. Yang pertama sekali dilihatnya adalah satu wajah cantik berada dekat di
depannya. Wajah gadis jangkung anak buah Ratu Duyung. “Ah, si penolongku ternyata berwajah paling cantik diantara semua gadis
di tempat ini…” ujar Wiro. Walau tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi, namun disamping bersyukur sifat usilnya
75

kembali muncul. Wiro kedipkan mata kirinya pada gadis jangkung di hadapannya, membuat gadis ini menjadi merah wajahnya dan
cepat cepat melangkah mundur. Tapi langkahnya tertahan ketika sang Ratu memberi perintah.

“Lepaskan ikatan. Bebaskan dirinya dari totokan!”

Gadis jangkung kembali maju mendekati Wiro. Tangan kanannya diangkat. Telunjuk diacungkan. Begitu ujung jarinya
mengeluarkan sinar biru segera dia arahkan ujung jari itu pada tali biru sakti yang mengikat sekujur tubuh Wiro ke batu putih.
Seperti waktu tadi membebaskan Dewa Ketawa tali sakti itu keluarkan suara letupan berkepanjangan dan baru berhenti setelah
seluruh tali gaib secara aneh.

Dengan ujung jari yang sama gadis jangkung itu kemudian mengusap leher Wiro dan menotok dadanya. Serta merta jalan suara
yang membuat sang pendekar menjadi gagu musnah. Begitu dia bisa kedipkan mata kirinya pada si gadis jangkung seraya berkata.
“Terima kasih…”

Wiro usap kedua matanya dan memandang berkeliling. Pemandanganku benar benar pulih seperti semula. Malah… eh… Apa
benar ini? Dua mataku malah lebih tajam dari sebelumnya. Aku seperti mampu melihat…. Pendekar 212 berpaling pada Ratu
Duyung dan menatap perempuan cantik jelita ini lekat lekat.

“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya. Apakah tamu yang satu ini akan kami antar juga ke Pintu Gerbang Perbatasan?”

“Dia tidak akan meninggalkan tempat ini!” jawab sang Ratu yang membuat Pendekar 212 jadi terkejut.

“Ratu, menurutmu hukumanku telah berakhir. Kau telah membebaskan kawanku si gendut Dewa Ketawa itu. Mengapa kau masih
menahan diriku di sini…?” Tanya Murid Sinto Gendeng.

Ratu Duyung tidak menjawab. Menolehpun tidak pada Wiro. Sebaliknya sambil memutar tubuh meniggalkan tempat itu dia
berkata pada anak buahnya. “Antarkan tamu ini ke Ruang Penantian!”

** EMPAT **

Yang disebut Ruang Penantian ternyata sebuah ruangan kecil berbentuk segitiga. Dua dinding terbuat dari batu berwarna merah
sedang bagian depan terbuka merupakan jalan masuk. Empat orang anak buah Ratu Duyung memberi isyarat agar Wiro duduk di
sebuah batu rata pada sudut segi tiga sebelah dalam. Setelah Wiro duduk di atas batu itu salah seorang anak buah Ratu Duyung
berkata.

“Tetap di tempatmu sampai Ratu kami datang. Jangan coba coba meninggalkan ruangan ini walau satu langkahpun!”

Pendekar 212 garuk garuk kepala. “Rupanya aku masih sebagai tawanan di tempat ini…” katanya.

Gadis yang tadi berkata menjawab. “Hanya Ratu yang layak memberi tahu keadaan dirimu di tempat ini”

Wiro melirik pada belahan baju hitam di bagian dada si gadis yang begitu lebar hingga buah dadanya tersembul menantang. “Kalau
kau bersedia menemaniku di ruangan ini sampai seribu haripun aku bisa betah berada di sini…” “Plakkk!”

Satu tamparan mendarat di pipi Wiro. Tidak terasa tapi cukup membuat Murid Sinto Gendeng ini jadi tersentak. Ketika dia bangkit
berdiri hendak memegang tangan si gadis yang menampar, sambil mundur dua langkah gadis itu acungkan jari telunjuk tangan
kanannya kearah Wiro. Melihat ujung jari yang memancarkan cahaya biru itu Pendekar 212 menjadi bimbang dan perlahan lahan
dia duduk kembali ke atas batu rata di sudut ruangan.

Gadis yang barusan menampar putar tubuhnya. Tiga temannya mengikuti. Wiro hanya bisa usap usap pipi. Namun mendadak dia
terlonjak karena dari atas bagian yang terbuka dari mana dia digiring masuk tiba tiba tujuh buah tiang besi sebesar betis menderu
turun. Tujuh tiang ini berwarna merah membara dan memancarkan hawa panas! Sadarlah kini Wiro kalau dia memang masih
tetap menjadi tawanan!

“Kurang ajar!” maki murid Sinto Gendeng. Dia melangkah ke arah tujuh besi tapi terpaksa mundur oleh hawa panas tang
membersit. “Aku punya dugaan diriku akan diperlakukan semena mena. Sebaiknya aku mencari jalan lolos!” Maka murid Sinto
Gendeng segera siapkan satu pukulan sakti. Setelah mengerahkan tenaga dalam dia hantamkan tangan kanannya ke arah deretan
besi besi panas membara.

“Wutttt!”

Pukulan “segulung ombak menerpa karang” menghantam empat jeruji besi dengan telak. Empat tiang besi itu memancarkan sinar
merah menyilaukan dan panas luar biasa hingga Wiro melompat mundur ke sudut ruangan. Ketika dia memandang ke depan
ternyata empat tiang besi itu jangankan ambrol, cacat sedikit pun tidak!

Penasaran Pendekar 212 segera siapkan pukulan “sinar matahari” Tangan kanannya serta merta berubah menjadi putih laksana
perak berkilauan. Pada saat dia hendak menghantam ke depan tiba tiba sesosok tubuh muncul diseberang tiang tiang besi itu.
Satu suara menggema di Ruang Penantian.

“Mengapa menghabiskan tenaga? Tidak ada satu pukulan saktipun yang sanggup menembus pagar besi panas itu!”

Wiro turunkan tangannya. Memandang ke depan dilihatnya Ratu Duyung tegak seorang diri di seberang ruangan.

“Ratu, apa maksudmu menahan diriku di sini?!” tanya Wiro.


76

Sang Ratu tidak segera menjawab tapi melangkah mendekati tiang tiang besi. Lalu enak saja kedua tangannya memegang dua
tiang yang panas dan merah membara itu. Padahal jangankan tangan manusia, sepotong besipun jika ditempelkan ke tiang yang
membara itu pasti akan leleh! Sebaliknya sang Ratu tenang tenang saja seolah memegang tiang besi yang dingin!

“Aku tidak menahanmu. Aku hanya ingin kepastian!” Rati Duyung menjawab. Wiro megerenyit tak mengerti. “Kepastian apa?”

“Bahwa kau dan kawanmu Dewa Ketawa itu tidak menipuku!”

“Eh, memangnya aku sudah berbuat apa? Aku memang mengaku salah telah mengintip anak anak gadismu mandi di telaga. Tapi
aku sudah menerima hukuman! Sekarang sepertinya kau sengaja mencari cari kesalahan lain…Apa sebenarnya yang ada dalam
pikiranmu Ratu? Mengapa kau tidak membebaskan diriku seperti kau membebaskan Dewa Ketawa?”

Ratu Duyung menjawab. “Pada saatnya kaupun akan kubebaskan. Tapi aku perlu membuktikan satu hal bahwa kau benar benar
Pendekar 212 dan bahwa kulitmu yang hitam itu benar benar akibat sejenis obat…”

“Astaga! Bukankah Dewa Ketawa sudah meyakinimu bahwa aku adalah Pendekar 212 dan kau telah mempercayainya….”

“Betul, tapi dalam hidup keyakinan itu bisa berubah. Karenanya aku perlu membuktikan. Kau berkata bahwa kulitmu yang hitam
akibat obat yang kau telan. Diberikan oleh seseorang untuk menyelamatkan nyawamu. Kau juga menerangkan warna kulitmu yang
hitam itu bisa hilang bila tersentuh sinar bulan purnama. Nah itu yang harus kita buktikan. Jika ternyata kelak sentuhan sinar
rembulan tidak merubah kulitmu, berarti kau telah menipuku. Kau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng!”

Sesaat Wiro jadi terdiam. “Apa yang aku lakukan padamu adalah sesuai dengan yang diucapkan penolongku. Kalau dia berdusta
apakah aku bisa disalahkan?”

“Mungkin si penolong yang berdusta, mungkin juga kau!” Kita akan buktikan. Dua malam lagi bulan purnama empat belas akan
muncul. Itu saatnya kau akan membuktikan siapa dirimu…”

“Dua malam lagi….?” Mengulang Wiro. “Menurut perhitunganku bulan purnama baru muncul di langit sekitar dua belas hari lagi!”

Ratu Duyung tertawa. “Di tempat ini waktu berputar sepuluh hari lebih cepat dari duniamu sana. Kau tenang tenang saja
menunggu di ruangan ini. Jika memang kau Pendekar 212 sejati dan apa yang dikatakan penolongmu benar, mengapa harus
takut…?”

“Siapa bilang aku takut?!” tukas Wiro yang tidak dapat lagi menahan jengkelnya.

Ratu Duyung membalikkan tubuhnya. Waktu membalik belahan bajunya di bagian pinggul tersingkap lebar. Jantung Wiro jadi
berdegup keras malihat paha, pinggul dan bahkan bagian pinggul sebelah atas sang Ratu. Sesaat kemarahannya menjadi kendur.
Tanpa banyak bicara dia duduk di atas batu datar.

“Kau tentu lapar. Aku akan suruh anak buahku mengantarkan buah buahan,” kata Ratu Duyung pula sebelum berlalu dari tempat
itu. Murid Sinto Gendeng tak menjawab. Matanya masih memandangi sosok tubuh bagian bawah sang Ratu sampai akhirnya
perempuan cantik itu lenyap di balik kelokan lorong batu.

Berada sendirian karena tak tahu apa yang harus dilakukannya Wiro duduk bersandar ke dinding batu merah. Dia ingat pada
gurunya Eyang Sinto Gendeng. Lalu pada si Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Dia seperti menyesali karena menganggap gara
gara tiga orang sakti itulah dia sampai tersesat dan kini mendekam di ruangan ini.

Dia ingat pula pada kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih belum jelas dimana beradanya. Lalu muncul tampang
buruk orang bercaping dan berpenyakit cacar dengan perahu putihnya itu. Wiro menarik napas panjang. Tiba tiba dia ingat pada
Bidadari Angin Timur. Sejak peristiwa mereka mencebur masuk ke dalam telaga beberapa waktu lalu dia merasa ingin selalu dekat
dengan gadis itu. “Di mana dia sekarang…? Ah, waktu di atas perahu putih…Kalau saja dia melihatku…Lalu bila aku bisa selamat
keluar dari sini kurasa lebih baik mencari gadis itu lebih dulu dari pada mencari Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku merindukannya! Gila!
Apa ini yang dinamakan jatuh cinta?!” Murid Sinto Gendeng garuk garuk kepala. Ketika ingatannya sampai pada senjata
mustikanya, Wiro jadi menarik napas dalam lagi. “Tiga Bayangan Setan, Elang Setan…. Dua bangsat itu akan kupecahkan kepala
mereka!”

Wiro bangkit berdiri lalu melangkah mundar mandir di ruangan yang tak seberapa besar itu. Tiba tiba dia mendengar langkah
langkah kaki di ujung lorong. Tak Lama kemudian muncul seorang gadis berpakaian hitam. Di tangannya dia membawa sebuah
baki berisi beberapa macam buah buahan. Pada pinggangnya tergantung sebuah kendi kecil. Sesaat kemudian gadis ini sampai di
depan tujuh tiang besi merah panas. Dia menatap Wiro sebentar lalu baki dimiringkannya. Aneh!” Walau baki dimiringkan, buah
buahan yang ada di atasnya sama sekali tidak berjatuhan! Lewat celah kecil antara dua buah tiang besi si gadis meloloskan baki
berikut buah buahan itu.

Baik baju hitam maupun tangannya sama sekali tidak cedera ketika bersentuhan dengan dua tiang besi.

“Lekas ambil…” kata si gadis pada Wiro. “Aku tidak lapar.!” Jawab Pendekar 212.

“Jangan tolol!” si gadis membentak halus. Karena Wiro tak mau mengulurkan tangan untuk mengambil baki berisi buah buahan itu
si gadis lalu melemparkan baki ke dalam ruangan. Baki jatuh tepat di atas batu datar, tidak bersuara dan tak satupun buah buahan
di atasnya menggelinding jatuh!

“Ini…!” si gadis ulurkan kendi kecil.

“Apa isi kendi itu?” tanya Wiro.


77

“Air!” jawab si gadis. “Itu diberikan atas perintah Ratu. Dan aku menambahkan sejenis bubuk ke dalamnya agar kau mampu
bertahan selama dua hari…”

“Hemmm…. Kau bermaksud baik padaku. Aku mengucapkan terima kasih,” kata

Wiro seraya ulurkan tangan kirinya untuk menerima kendi kecil itu. Begitu Wiro memegang kendi, si gadis cepat ulurkan jari jarinya
memegang lengan Pendekar 212 dan berbisik.

“Dengar, aku bisa menolongmu keluar dari tempat ini. Kau bisa bebas kembali ke duniamu. Tapi dengan satu perjanjian…”

Wiro pandangi wajah si gadis. Dia memang cantik namun dibandingkan dengan gadis jangkung serta sang Ratu kecantikannya
belum bisa menyamai. “Perjanjian apa?” tanya Pendekar 212.

“Kau harus ganti menolongku.”

Wiro garuk garuk kepalanya.” Setahuku tak seorangpun di tempat ini bisa membebaskan diriku. Ratumu sangat sakti dan para
pengawaknya, teman temanmu itu menjaga setiap sudut dengan ketat.”

Gadis itu tersenyum. “Mereka semua memang tidak bisa berbuat apa apa karena mereka tidak tahu apa yang aku tahu.” Eh, apa
yang kau ketahui!”

“Aku tahu rahasia membuka tujuh tiang besi panas itu. Aku juga tahu rahasia yang mereka tidak tahu…”

Wiro tersenyum. “Kau gadis baik. Tapi pertolonganmu mungkin akan sia sia belaka. Kau bisa celaka kalau sang Ratu mengetahui
pengkhianatanmu…”

“Aku tidak berkhianat pada siapapun, juga terhadap sang Ratu. Aku hanya ingin membebaskan diri keluar dari tempat ini. Dan
cuma kau yang bisa menolongku!”

“Aku tak mampu menolong diriku sendiri. Bagaimana aku bisa menolongmu?” tanya Wiro.

“Kau pasti bisa. Dengar, aku akan segera membuka tujuh tiang besi panas ini. Setelah itu kau akan menyebadaniku di situ…”

“A… Apa?!” tanya Wiro dengan bola mata membesar lalu melirik ke belahan dada si gadis dengan jantung berdebar. “Mengapa aku
harus menyebadanimu?!”

“Itu satu satunya jalan. Dengar, kita tidak punya waktu banyak. Nanti akan kuterangkan…”

Wiro geleng gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Waktu aku ketahuan mengintip mereka mandi, mataku dicopot tiga hari.
Kalau aku tertangkap basah menyebadani gadis satu ini pasti anuku akan ditanggalkan. Bukan cuma tiga hari! Bisa bisa selama
lamanya! Celaka diriku!”

Selagi Wiro berpikir begitu tiba tiba dia mendengar suara berdesir. Astaga! Wiro melihat tujuh jalur tiang besi panas membara
perlahan lahan naik ke atas! Makin lama makin tinggi. Pada saat ketinggian mencapai sepinggul tiba tiba satu bayangan berkelebat
menyusul bentakan keras.

“Tidak kusangka! Ada pengkhianat di tempat ini!”

Gadis di depan Wiro menjadi pucat pasi. Keluarkan suara tertahan lalu jatuhkan diri ketakutan setengah mati!

** LIMA **

Ratu Duyung tegak dengan tangan kiri diletakkan di pinggang. Dia lambaikan tangan kanannya. Tujuh tiang besi yang tida naik ke
atas perlahan lahan kembali turun menutup ruangan segi tiga itu.

“Berdiri!” bentak sang Ratu.

Gadis baju hitam yang mendekam di lantai perlahan lahan berdiri. Tubuhnya bergetar hebat dan wajahnya seputih kain kafan.
“Kau tahu kesalahanmu?!” bentak sang Ratu. “Sa…Saya tahu Ratu….”

“Katakan!”

“Saya …. Saya berkhianat. Saya hendak membebaskan pemuda ini. Saya tahu saya salah…”

“Itu kesalahan pertama dan bisa kuanggap kecil. Tapi lekas katakan kesalahanmu yang kedua yang sangat besar dan tak ada
ampunannya!”

“Saya….. saya hendak membuka satu rahasia pada pemuda ini. Saya mengajaknya……”

“Cukup!” bentak sang Ratu. “Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima?!”

Si gadis mengangguk dan jatuhkan diri ke lantai. Kelihatannya dia pasrah menerima hukuman karena tak mungkin mengelak tak
mungkin minta ampun.

Ratu Duyung angkat tangan kanannya. Jari telunjuk tiba tiba mengeluarkan cahaya biru angker. Perlahan lahan jari itu ditudingkan,
turun ke arah sosok tubuh anak buahnya yang berlutut di lantai.
78

Ujung jari bergerak tiga kali berturut turut. “Wuttt! Wuttt! Wuttt!”

Cahaya biru berkiblat. Gadis di lantai keluarkan pekikan panjang. Lalu terputus! Ketika Wiro menatap ke depan, dinginlah tengkuk
murid Sinto Gendeng ini! Diantara kepulan asap yang menebar bau sangit seperti daging dipanggang Wiro melihat sisa tubuh si
gadis kini hanya tinggal jerangkong alias tulang belulang berwarna biru!

“Ilmu kesaktian apa yang barusan dilancarkan perempuan ini hingga dalam sekejapan bukan saja membunuh anak buahnya tapi
juga merubahnya menjadi jerangkong!” Murid Sinto Gendeng membatin. Lalu pandangannya dialihkan pada wajah Ratu Duyung
yang tampak dingin, tenang seolah tak ada terjadi apa apa di tempat itu. Dia membunuh gadis cantik anak buahnya seperti
membalikan telapak tangan saja! Saat dia memandangi Ratu Duyung seperti itu, sang Ratu tiba tiba palingkan mukanya ke
arahnya. Pandangan mereka saling beradu. Untuk beberapa lamanya tak ada yang mau menghindar ataupun berkesip. Pendekar
212 tak mau menghindar ataupun berkesip. Pendekar 212 tak mau mengalah. Dia memandang terus hingga diam diam Ratu
Duyung merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Perempuan ini masih berusaha terus menantang pandangan Wiro namun
akhirnya sambil menjentikan dua jari tangan kanannya dia memandang ke langit langit di atasnya. Tak lama setelah suara
jentikannya menggema di sepanjang lorong batu, empat orang gadis berpakaian hitam muncul.

“Singkirkan sampah tak berguna ini!” kata sang Ratu sambil menggoyangkan kepalanya ke arah tulang belulang yang bergeletakan
di lantai.

Empat anak buah Ratu Duyung segera melakukan apa yang diperintahkan. Tak lama setelah jerangkong biru diangkat dari tempat
itu Ratu Duyung balikkan tubuhnya. Sebelum mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Berselang dua hari empat orang anak buah Ratu Duyung muncul di depan Ruang Penantian. Keempatnya langsung menekap
hidung karena penciuman mereka disengat oleh bau pesing.

Wiro Sableng tertawa lebar. “Masih untung aku hanya kencing di tempat ini. Kalau aku buang air besar baru kalian rasa! Dua hari
disekap tanpa diperkenankan keluar apa tidak gila?!”

“Tak usah banyak bicara. Lekas keluar dan ikuti kami!”kata salah seorang dari empat gadis. Kawannya menambahkan. “Jangan coba
coba melarikan diri. Selain tak bakal bisa lolos dari tempat ini, salah salah kau bisa menemui ajal seperti gadis yang coba
berkhianat dua hari lalu!”

Wiro keluar dari Ruang Penantian. Sambil melangkah dia menjawab. “Empat orang gadis cantik minta aku mengikuti. Tolol kalau
aku melarikan diri. Mau kalian bawa kemana aku ini?!”

“Pertama kau harus membersihkan diri di Pancuran Putih. Setelah itu kau akan kami bawa ke Bukit Awan Putih…” menerangkan
salah seorang gadis.

Sesuai keterangan yang dikatakan tadi Wiro di bawa ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah pancuran yang airnya berwarna
aneh yaitu bening putih. Di tempat itu telah tersedia seperangkat pakaian hitam bersih lengkap dengan destar hitam.

Wiro memandang pada empat gadis pengawalnya lalu bertanya. “Kalian mau ikut mandi sama sama?”

“Jangan berani bicara kurang ajar!” sentak gadis di sebelah kanan. Dia memberi isyarat pada tiga kawannya lalu Wiro selesai mandi
dan berpakaian ke empat gadis tadi tahu tahu sudah muncul lagi di tempat itu.

“Kalian pengawal pengawalku yang setia!” memuji Wiro sambil tersenyum.

“Cuma aku sangsi jangan jangan ketika aku mandi ada di antara kalian yang megintip!”

“Pemuda bermulut lancang! Kalau tidak ingat perintah Ratu membawamu segera ke Bukit Awan Putih mau rasanya kami
menghajarmu lebih dulu di tempat in!”

Wiro tertawa gelak gelak. “Sobatku cantik, aku hanya bergurau. Jangan diambil hati. Setiap hari kalian selalu menghadapi suasana
yang mencengkam. Apa salahnya sekali sekali bergurau?!”

Empat orang gadis itu tidak menjawab. Mereka membawa Wiro memasuki sebuah lorong. Ketika keluar dari lorong itu Murid Sinto
Gendeng jadi terheran heran. Di depannya dia melihat sebuah dataran tinggi. Ada empat jalur tangga batu menuju ke puncak
pedataran di atas mana terdapat sebuah batu besar bulat berwarna hitam legam. Sekitar sepuluh tombak di atas batu kelihatan
seperti ada awan putih menggantung. Memandang berkeliling yang membuat Wiro merasa heran ialah tempat itu berada dalam
keadaan malam hari. Padahal sebelumnya, ketika dia mandi di pancuran hari masih siang!

Agak jauh di sebelah kanan batu hitam budar dan rata tampak di sebelah kanan batu hitam. Meskipun agak jauh namun Wiro
segera bisa mengenali. Orang itu bukan lain adalah Ratu Duyung.

“Naiki tangga sebelah kanan, langsung tegak di atas batu batu bundar hitam.”

Seorang gadis berpakaian hitam bicara pada Wiro.

Wiro memandang sekali lagi ke puncak pedataran tinggi.”Malam hari… Apa benar ucapan Ratu Duyung bahwa malam ini bulan
purnama empat belas hari akan muncul? Aku sama sekali tidak melihat langit malam. Tak ada bintang bintang. Tempat apa
sebenarnya ini…?!”

Satu tangan mendorong punggung Wiro seolah memaksanya agar segera menaiki anak tangga batu yang berundak undak
sebanyak 77 buah itu. Kakinya terasa pegal dan napasnya agak memburu ketika dia akhirnya sampai di puncak pedataran tinggi
79

dan naik ke atas batu rata hitam. Dari tempatnya berdiri dia memandang berkeliling. Di bawah sana semuanya kelihatan serba
hitam. Di sebelah atas pemandangan tertutup oleh awan putih aneh. Wiro palingkan kepalanya ke kiri, ke tempat dimana Ratu
Duyung berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Angin malam bertiup kencang dan dingin menyibakkan belahan
bajunya di bagian pinggul hingga auratnya tampak lebih putih dalam gelapnya udara.

“Ratu Duyung, aku tak tahu apa rencanamu! Apakah bulan purnama benar benar akan muncul di tempat ini?!” Wiro berseru pada
Ratu Duyung.

Perempuan cantik itu diam tak bergerak seperti patung, juga tidak menjawab pertanyaan Wiro tadi.

“Ratu Duyung! Sebelum sampai di tempat ini hari masih siang! Bagaimana bisa tahu tahu kini hari berubah malam?!”

Ratu Duyung tetap tidak mau memberi dan tidak mau menjawab. Wiro lalu mengancam.

“Kalau sang Ratu masih tidak bergerak maupun menjawab Wiro segera gerakkan kakinya untuk melompat turun dari atas batu
hitam. Namun gerakkannya tertahan ketika mendadak ada hembusan angin luar biasa kencangnya sehingga tubuhnya seperti
mau terseret mental dari atas batu hitam. Di sebelah sana dilihatnya pakaian dan rambut Ratu Duyung berkibar kibar tapi
tubuhnya tidak bergeming sedikitpun padahal Wiro setengah mati mempertahankan diri agar tidak diseret hembusan angin. Sadar
tenaga luar tak mungkin membuatnya bertahan terhadap hembusan angin maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera kerahkan
tenaga dalam, salurkan pada ke dua kakinya hingga sepasang telapak kaki Wiro laksana di pantek ke atas batu hitam itu!

Perlahan lahan angin keras surut. Bersamaan dengan itu keadaan di tempat itu berubah dari gelap menjadi terang temaram.
Ketika dia mengangkat kepalanya Wiro jadi tertegun. Awan putih setinggi sepuluh tombak di atasnya perlahan lahan bergerak ke
arah timur. Dari bagian yang tidak terhalang lagi merambas cahaya putih redup. Makin jauh awan bergerak ke timur makin terang
cahaya putih itu. Sepasang mata pendekar 212 mulai melihat langit jauh tinggi di atasnya. Bintang bintang bertaburan.

“Astaga! Itu langit betulan…” kata Wiro hampir tak percaya.

Lalu Pendekar 212 berdegup keras. Sedikit demi sedikit, dari balik sekelompok awan kelabu menyeruak mnuncul bulan purnama
empat belas hari. Wiro melirik ke arah Ratu Duyung. “Perempuan itu tidak berdusta…” katanya. Langit dan pedataran tinggi
bertambah terang begitu bulan purnama muncul semakin besar dan bulat. Cahayanya yang putih jernih jatuh di setiap benda di
pedataran tinggi itu termasuk sosok tubuh Pendekar 212 yang tegak di atas batu hitam. Tiba tiba Wiro merasa sekujur permukaan
kulit tubuhnya menjadi panas. Demikian panasnya hingga bukan saja mandi keringat tapi badannya bergetar keras. Kedua kakinya
menjadi goyah. Dia kumpulkan seluruh tenaga agar tidak roboh.

Lalu entah apa yang terjadi tiba tiba ada letupan letupan kecil disertai kilatan kilatan cahaya putih di sekujur muka dan tubuhnya.
Begitu letupan sirna hawa panas lenyap berganti dengan hawa dingin. Demikian dinginya hingga gerahamnya bergemeletukan.
Tak sengaja Wiro memperhatikan ke dua tangannya. Dia hampir tak percaya. Kulit tangannya yang selama ini berwarna hitam
pekat perlahan lahan berubah menjadi putih.

“Kulitku berubah… kembali ke warna semula…!” ujar Wiro gembira. Meskipun tubuhnya saat itu di selimuti rasa dingin luar biasa
tapi kegembiraan membuat dia membuka baju hitamnya agar auratnya lebih sempurna terkena siraman cahaya bulan purnama!

“Aku sembuh! Aku sembuh! Terima kasih Tuhan…!”kata Wiro angkat kedua tangannya tinggi tinggi.Saat itu terbayang wajah Puti
Andini, gadis baju merah berkepandaian tinggi yang muncul dengan payung tujuhnya. “Puti, dimanapun kau berada aku juga
menghaturkan terima kasih padamu. Kau tidak berdusta. Kalau tidak berkat obat yang kau berikan aku sudah lama menjadi kerak
tanah!”

Udara dingin berangsur angsur lenyap. Pada saat itulah empat sosok tubuh berkelebat di sampingnya. Mereka ternyata empat
orang anak buah Ratu Duyung.

“Ratu meminta kami membawamu ke Ruang Pertemuan… Beliau siap memberikan wasiatnya padamu…” memberi tahu salah
seorang dari empat gadis.

“Wasiat…Wasiat apa….?” Tanya Wiro. “Maksudmu Kitab Wasiat…?”

“Kau akan bertemu langsung dengan Ratu. Tanyakan saja secara langsung….”

Gadis di sebelah kanan mengambil baju hitam yang tercampak di atas batu lalu menyerahkannya pada Wiro sambil memberi
isyarat agar dia segera mengenakan pakaian itu.

Sambil mengenakan pakaiannya Wiro perhatikan dadanya. Rajah tiga angka 212 yang selama ini lenyap tertindih warna hitam
kulitnya kini muncul jelas kembali. Wiro tersenyum sambil usap usap dadanya. Dia melirik ke arah kiri tempat Ratu Duyung
sebelumnya berdiri. Ternyata perempuan itu tak ada lagi di situ.

“Hai! Kenapa belum berjalan?! Tunggu apa lagi?!” Gadis di belakang Wiro bertanya sementara tiga kawannya di sebelah depan
tampak tak sabaran ketika mereka melihat Wiro tegak di atas batu hitam datar.

“Tunggu dulu… Mengapa terburu buru? Aku tak akan kabur…!” jawab Pendekar 212. Lalu seperti dia hanya seorang diri saja saat itu
murid Sinto Gendeng ini bukan ikat pinggang celana hitamnya. Empat gadis anak buah Ratu Duyung jadi berubah wajah mereka
dan ada yang melangkah mundur.

“Apa yang hendak kau lakukan?!” salah seorang membentak.

“Jangan berani buat kurang ajar di hadapan kami!” satunya lagi menghardik.
80

“Siapa mau berbuat kurang ajar!” jawab Wiro tidak acuh. Begitu ikat pinggang terbuka dan celananya menjadi longgar, dia meneliti
ke bagian aurat di balik celana. Lalu sambil mengangkat kepala dan merapikan ikat pinggangnya kembali pemuda ini senyum
senyum sendiri.

“Pemuda aneh, dia seperti orang kurang waras tertawa sendiri!” bisik gadis sebelah kanan pada kawannya.

“Apa sebenarnya yang dilakukan orang ini?” balik bertanya kawannya.

Pertanyaan itu sempat terdengar oleh murid Sinto Gendeng. Tenang saja dia menjawab. “Kalian lihat sendiri keajaiban kulitku tadi.
Cahaya bulan purnama membuat kulitku yang hitam kembali ke warna aslinya. Tapi aku masih meragu apakah aurat yang
terlindung di balik celana ikut berubah warna. Makanya aku perlu menyelidik. Aku tidak mau jadi manusia belang. Putih di atas
hitam di bawah. Ternyata….”

Wiro tidak teruskan ucapannya malah memandang pada empat gadis itu sambil tertawa lebar. Tentu saja mereka sama ingin tahu
apa yang terjadi. Apakah perubahan warna kulit Wiro memang menyeluruh atau hanya setengah setengah. Tapi untuk bertanya
tentu saja mereka tidak berani. Sebaliknya Wiro malah menggantung keterangan hingga empat orang anak buah Ratu Duyung itu
menunggu sambil saling pandang.

“Ternyata…” kata Wiro pula. “Ternyata memang seluruh kulit tubuhku kembali ke warna asal. Termasuk…” Wiro tidak teruskan
ucapannya tapi keluarkan suara tawa bergelak.

Empat gadis berpakaian hitam ketat tampak bersemu merah wajah masing masing.

** ENAM **

Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah diantar menuju Ruang Pertemuan guna menemui Ratu Duyung. Kita
ikuti perjalanan Tiga Bayangan Setan dan kawannya yang bernama Elang Setan. Seperti dituturkan dalam Episode II ( Wasiat Dewa)
dua orang manusia berhati setan itu setelah merasa berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit dekat sumur batu di luar
Kartosuro lalu berangkat menuju puncak

Gunung Merapi tempat salah satu kediaman Pangeran Matahari. Kapak Maut Naga Geni 212 serta batu sakti hitam pasangan
senjata sakti itu mereka rampas. Di puncak Gunung Merapi dua senjata mustika itu mereka serahkan pada Pangeran Matahari.

Tentu saja sang Pangeran gembira bukan main. Selain sudah memiliki Kitab Iblis kini dia juga menguasai dua senjata sakti milik
musuh bebuyutannya itu. Dengan Kitab Iblis berada di tangannya dia merasa yakin walau dua senjata mustika itu masih berada di
tangan Wiro dia akan sanggup menamatkan riwayat Pendekar 212. Apalagi kini Wiro tanpa dua senjata yang diandalkan itu!

Pertemuan dengan Pangeran Matahari, apalagi dapat menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 serta batu sakti hitam di pihak lain
juga menggembirakan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Mereka bukan saja menyenangkan hati Pangeran Matahari, tapi
sekaligus juga bermaksud menagih janji mendapatkan obat penawar racun seratus hari yang dulu dicekokan sang Pangeran pada
mereka. Celakanya Pangeran Matahari tidak percaya begitu saja bahwa dua orang itu benar benar telah membunuh Pendekar 212.
Karena itu dia menyuruh Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan untuk membawa potongan kepala murid Sinto Gendeng itu. Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan tidak bisa berbuat apa apa karena kembali Pangeran Matahari menipunya dengan berpura pura
memberikan obat penawar racun padahal yang mereka telan adalah racun tiga ratus hari!

Melewati perjalanan yang jauh dan sulit akhirnya Tiga Bayangan Setan dan Elang Setang sampai di bukit di mana terletak sumur
batu itu. Namun mereka sama sekali tidak menemukan mayat Pendekar 212. Tulang belulang atau jerangkongnya pun tidak!
“Celaka! Mayat pemuda itu tidak ada lagi di sini! Bekasnya pun tidak kelihatan!” kata Elang Setan.

Tiga Bayangan Setan memandang berkeliling. “Bangkai bangkai lainnya masih berserakan di sekitar sini…” katanya memperhatikan
tulang belulang beberapa tokoh silat yang menemui ajalnya di tempat itu beberapa waktu lalu.

“Jangan janganwaktu kita tinggalkan manusia itu belum benar benar mati…” kata Elang Setan.

Tiga Bayangan Setan jadi tak enak mendengar kata kata sahabatnya itu. “Pukulan Raksasa Tiga Bayangan yang keluar dari batok
kepalaku bukan pukulan sembarangan! Sekalipun dia punya tiga nyawa, kematian tak bakal lolos dari dirinya! Aku menduga
mayatnya dilarikan binatang buas yang menemuknnya masih dalam keadaan segar…”

“Mudah mudahan saja begitu,”kata Elang Setan, lalu menambahkan, “Tapi jika dilihat mayat mayat lain yang ada di sini, tak satu
pun ada yang disentuh binatang buas…” Elang Setan menepuk nepuk baju tebal dekilnya hingga debu yang menempel
beterbangan ke udara.

“Kita harus mencari akal. Kalau kepala Pendekar 212 tidak bisa kita serahkan pada Pangeran Matahari, berarti nyawa kita berdua
tidak ketolongan!” kata Tiga Bayangan Setan pula.

Untuk beberapa lamanya dua orang itu duduk di lereng bukit saling berdiam diri.

“Kau ingat kejadian waktu kita baru saja membunuh Pendekar 212…..?” Elang Setan tiba tiba membuka mulut.

“Kejadian yang mana?” tanya Tiga Bayangan Setan seraya coba mengingat ingat.

“Waktu itu di langit ada tujuh buah payung melayang. Seorang perempuan bergantung pada salah satu payung itu…”

“Aku ingat sekarang!” kata Tiga Bayangan Setan seraya bangkit berdiri. “Siapapun makhluk yang terbang memakai payung itu
pastilah dia seorang berkepandaian sangat tinggi. Pasti dia yang telah mengambil mayat Pendekar 212.
81

“Kita harus menyelidik! Mencari tahu siapa adanya perempuan berpayung itu!”

kata Elang Setan pula. “Setahuku tak pernah mendengar tentang seorang sakti berpayung. Kita harus menyebar orang untuk
menyirap berita. Bagaimanapun mahalnya urusan ini nyawa kita jauh lebih mahal!”

“Apa rencanamu…? Mendatangi Kotaraja mencari berita?” tanya Tiga Bayangan Setan.

Elang Setan menggeleng. “Orang berkepandaian tinggi jarang mau berada di tempat ramai seperti Kotaraja. Aku yakin orang
berpayung itu bukan tokoh silat berasal dari tanah Jawa ini. Besar kemungkinan dia datang dari seberang. Jika dia orang seberang
kemunculannya di sini pastilah membawa satu maksud atau keperluan besar. Mungkin dia juga mencari Kitab Iblis itu!”

Tiga Bayangan Setan angguk anggukkan kepala tanda setuju dengan jalan pikiran sahabat atau saudara angkatnya itu. “Kalau dia
mencari Kitab Iblis berarti dia akan berhadapan dengan Pangeran Matahari! Tapi mungkin dugaan kita salah. Mungkin dia bukan
mencari Kitab Iblis….”

“Sebaiknya kita membicarakan persoalan ini sambil meneruskan perjalanan…” “Aku setuju. Tapi kemana tujuan kita dari sini?”
tanya Tiga Bayangan Setan pula. “Di Sleman ada dua orang yang perlu kita temui. Pertama seorang bekas juru ramal Kraton
berasal dari Blambangan. Orang ini bisa diminta bantuan untuk melihat lihat secara gaib. Orang kedua seorang bekas gembong
penjahat bernama Warok Timbul Ireng. Ratusan anak buahnya bertebaran di mana mana. Jika kita bayar cukup tinggi dia bisa
mengerahkan orang untuk mencari tahu perempuan berpayung tujuh itu…”

Tiga Bayangan Setan tepuk bahu saudara Elang Setan seraya berkata. “Tidak percuma aku punya saudara sepertimu! Otakmu
ternyata encer juga! Ha…ha….! Kita akan mengadakan perjalanan jauh. Kita harus mencari kuda tunggangan!”

Kedua orang bermuka seram itu segera tinggalkan lereng bukit, berlari cepat menuju ke arah timur.

Oarang mengenakan blangkon kuning itu mendera kudanya bertubi tubi agar tunggangannya berlari lebih kencang. Saat itu
tempat tengah hari dan sang surya bersinar sangat terik. Disatu persimpangan dia membelok ke kiri memasuki jalan menuju
Wates. Dia merasa lega ketika akhirnya sampai di tempat tujuannya, yaitu sebuah rumah minum yang merangkap tempat
perjudian gelap. Kabarnya banyak orang orang penting dari Kotaraja yang datang ke tempat ini untuk berjudi. Setelah
menambatkan kudanya lelaki berblangkon kuning ini cepat masuk ke dalam rumah minum, langsung menuju ke belakang, terus
menaiki tangga ke tingkat atas di mana terletak dua buah ruangan besar perjudian.

Bau minuman keras bercampur asap rokok menyambut hidung orang ini begitu dia menyelinap masuk ke dalam ruangan judi di
sebelah kiri. Seorang lelaki berbadan tinggi besar, berewokan serta membekal sebilah golok cepat mendatanginya dan mendorong
dadanya. Dia adalah salah satu dari empat orang yang bertugas sebagai penjaga di rumah judi itu.

“Blangkon kuning, aku tak pernah melihat kowe sebelumnya. Dari tampangmu aku tahu kowe kemari bukan untuk berjudi! Apa
mau kowe datang ke sini….?!”

“Aku mencari seseorang….”

“Ini bukan tempat mencari orang. Tapi tempat judi. Lekas minggat dari sini atau kupuntir rupanya tidak mau tinggalkan tempat itu.
Dia segera bertindak masuk kembali.

“Manusia sompret! Memang kau minta digebuk!” Pengawal rumah judi itu lalu hantamkan tinju kanannya ke muka si blangkon
kuning. Sesaat lagi tinju itu akan meremukkan rahangnya tiba tiba satu tangan berbulu menahan tinjunya. Pengawal ini hendak
berteriak marah. Tapi begitu dia berpaling dan melihat siapa adanya orang yang menahan tinjunya cepat cepat melangkah
mundur lalu membungkuk.

“Dia memang mencariku, kau boleh pergi…”

Pengawal tinggi besar itu menyeringai, membungkuk sekali lagi ketika orang yang barusan bicara menyelipkan sekeping uang ke
dalam genggamannya. Orang yang memberikan uang ini kepalanya sulah alias botak di sebelah kiri sedang bagian kanan
ditumbuhi rambut sangat lebat dan awut awutan. Tampangnya tampak angker karena selain ditutupi kumis dan brewok lebat,
mata kanannya mendelik besar sedang mata kiri senantiasa seperti terpejam. Di keningnya ada tiga buah guratan aneh. Orang ini
bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan.

“Kau membawa kabar bagus…?” tanya Tiga Bayangan Setan sambil memegang bahu si blangkon kuning. Orang yang ditanya
mengangguk. “Kau berhasil mengetahui dimana perempuan itu berada….?” Yang ditanya kembali mengangguk. Tiga Bayangan
Setan berpaling lalu mengangkat tangannya pada Elang Setan yang sedang asyik berjudi.

Melihat tanda yang diberikan Tiga Bayangan Setan, Elang Setan segera teguk habis minuman keras dalam kendi kecil lalu
tinggalkan meja judi. Ketiga orang itu turun ke bawah. Di satu tempat si blangkon kuning berikan keterangan.

“Perempuan itu ada di pesisir selatan. Di sekitar muara Kali Opak… Beberapa kali dia terlihat di pantai. Sepertinya dia tengah
mencari atau menunggu kedatangan seseorang…”

“Berpakaian merah….?” Tanya Elang Setan. Si Blangkon Kuning mengangguk. “Membawa tujuh payung?” ujar Elang Setan.

“Saya melihat dia membawa bungkusan besar pada punggungnya. Ada gagang gagang menyembul. Bukan gagang senjata.
Mungkin sekali memang gagang payung….” “Bagus! Ini bagian yang kujanjikan!” kata Tiga Bayangan Setan seraya mengeruk
82

saku jubah hitamnya. Ketika si Blangkon kuning hendak menerima, Tiga Bayangan Setan tidak segera melepaskan uang dalam
genggamannya tapi mencekal tangan orang.” Kalau kau memberi keterangan dusta, ingat baik baik!Kami berdua akan datang
mencarimu. Kau akan mampus dengan kepala terbelah! Mengerti?!”

Orang itu mengangguk. Begitu tangannya dilepaskan dia cepat cepat tinggalkan tempat itu. Tiga Bayangan Setan berpaling pada
Elang Setan. “Baiknya kita berangkat sekarang juga!” katanya.

** TUJUH**

Menjelang matahari terbenam, di balik sebuah bukit terkembang melayang di udara. Pada gagang payung berwarna merah
kelihatan bergantung seorang gadis berpakaian merah. Dia bukan lain adalah Puti Andini, gadis dari tanah seberang yang telah
menolong Wiro dari bahaya maut akibat pukulan makhluk raksasa jejadian yang keluar kepala Tiga Bayangan Setan.

Begitu mendarat di lereng bukit gadis itu tancapkan payung merahnya di tanah sementara payung payung lain melayang turun lalu
menancap sendiri sendiri di tanah bukit itu. Wajahnya tampak napas panjang seolah ada yang disesalinya.

Sejak beberapa waktu lalu sebenarnya dia telah menguntit Pendekar 212 Wiro Sableng terus menerus secara diam diam. Sesuai
tugas yang diberikan guru gurunya dia harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut sang guru hanya Wiro yang akan
mengetahui dimana beradanya kitab sakti itu. Begitu kitab berada di tangan Wito dia harus merampasnya, bahkan sesuai perintah
sang guru dia harus membunuh pemuda itu jika Wiro tidak mau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Ketika Wiro mendapat
celaka dihantam Tiga Bayangan Setan di bukit di luar Kartosuro itu sebabnya dia tolong menyelamatkan sang pendekar agar kelak
Wiro bisa membawanya ke tempat dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Namun pertemuan dengan Wiro Sableng telah
membawa kesan mendalam pada diri si gadis ini. Dia memang harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu, tapi apakah dia
harus membunuh Wiro? Hati kecilnya secara jujur mengatakan bahwa dia tidak akan memiliki rasa tega untuk melaksanakan hal
itu.

Penguntitan yang dilakukan Puti Andini membawanya ke muara Kali Opak. Namun dia tidak segera dapat mengikuti Wiro ketika
pemuda ini memasuki perahu putih bersama nelayan aneh bercaping dan mengenakan cadar penutup wajah. Dia mengalami
kesulitan mendapatkan perahu. Untuk terbang di laut terbuka seperti itu tidak bisa dilakukannya karena pasti Wiro akan
melihatnya. Dia menunggu sampai perahu putih tumpangan Wiro berada agak jauh di tengah laut. Ketika akhirnya dia
meninggalkan pantai bersama payung payungnya di tengah laut hanya ditemuinya pecahan papan perahu putih, terombang
ambing kian kemari dipermainkan ombak. Wiro dan juga pemilik perahu putih itu tidak kelihatan sama sekali.

“Apa yang terjadi dengan dirinya?” membatin Puti Andini. “Perahunya tenggelam? Tapi tak ada badai di laut. Atau hancur dihantam
ikan buas….? Mungkin ditelan pusaran ombak seperti yang pernah dijelaskan seorang nelayan itu?” Puti Andini menarik napas
panjang. “Aku harus berkemah di sini. Aku akan menunggunya sampai dia muncul lagi. Aku tidak yakin dia telah menemui ajal.
Pendekar cerdik seperti dia punya seribu satu akal untuk menyelamatkan diri….” Lebih dari seminggu menunggu Wiro tak kunjung
muncul. Puti Andini kini benar benar gelisah. “Kalau aku sampai kehilangan jejaknya berarti aku tak bakal mendapatkan Kitab Putih
Wasiat Dewa itu untuk selama lamanya…..Lebih baik aku bersiap menyelidik. Aku harus mencari perahu sewaan. Kalau tak ada
yang mau menyewakan terpaksa aku mencuri. Di tengah laut aku bisa menyelidik lebih seksama dengan menggunakan payung
terbang….”

Berpikir sampai disitu si gadis segera melipat tujuh payungnya. Ketika dia hendak memasukkan payung payung itu ke dalam
kantong perbekalan besar tiba tiba dia mendengar suara derap kaki kuda mendatangi.

“Ada dua penunggang kuda…” kata Puti Andini dalam hati yang bertelinga tajam dan segera tahu berapa orang yang
mendatanginya. Dia tak menunggu lama. Dua penunggang kuda itu segera muncul dari balik lereng bukit di depannya. Kejut si
gadis bukan alang kepalang. Dia memang belum pernah bertemu muka dengan kedua orang itu. Tapi dari tampang dan dandanan
keduanya dia segera tahu tengah berhadapan dengan siapa. Puti Andini bersikap tenang namun penuh waspada.

“Amboi! Dara cantik yang kita cari rupanya tengah bersiap pergi. Sobatku, untung kita tidak terlambat!” kata penunggang kuda di
sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan tang begitu selesai bicara terus malompat turun dari punggung
kudanya. Saudara angkatnya yaitu Elang Setan menyusul turun dari kuda. Begitu menjejak tanah Elang Setan cepat mendekati Tiga
Bayangan Setan dan berbisik.

“Aku tidak menyangka orang yang kita cari ini ternyata seorang gadis cantik rupawan! Dengar Tiga Bayangan Setan kalau urusan
dengan dia selesai aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Dia perlu menghibur diriku barang dua tiga hari!”

“Pikiran kotormu sama dengan otak iblisku!” jawab Tiga Bayangan Setan dengan berbisik pula. “Malah aku ada rencana. Kalau kita
tidak dapatkan kepala Pendekar 212, gadis ini kita bawa dan serahkan pada Pangeran Matahari. Dia pasti senang dan syukur
syukur mau menganggap gadis ini sebagai pengganti kepala Pendekar 212!”

“Rencana bagus…!” kata Elang Setan lalu mendahului melangkah mendekati Puti Andini.

“Kalian siapa dan ada keperluan apa?” menegur Puti Andini dengan sikap tenang walau hatinya berdebar. Sebagai gadis persilatan
yang belum lama dilepas turun gunung oleh gurunya tampang tampang angker dua manusia di depannya mau tak mau membuat
hatinya berdebar juga. Apalagi dia sudah tahu sebelumnya tentang tindak tanduk dan segala keganasan mereka.

“Dengan senang hati kami memperkenalkan diri,” kata Elang Setan pula. “ Aku yang buruk rupa tapi berhati emas ini biasa disebut
dengan panggilan Elang Setan!” Habis berkata begitu Elang Setan membungkuk seraya melambaikan tangan kanannya dari kiri ke
kanan. Sinar hitam kemerahan membersit keluar dari kuku kuku jarinya yang panjang panjang. Lalu dia menuding dengan ibu
jarinya ke arah Tiga Bayangan Setan.
83

Tiga Bayangan Setan tertawa lebar. Setelah kedip kedipkan mata kanannya yang besar dia pun membungkuk sambil berkata. “Aku
yang jelek ini dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan! Kami berdua adalah saudara angkat. Kalau kami boleh bersombong diri
seantero daratan sekitar sini dari utara sampai selatan adalah dibawah kekuasaan dan pengawasan kami. Itu sebabnya begitu
tahu ada seorang dara cantik berkepandaian tinggi berada di tempat ini, sebagai tuan rumah yang baik kami layak menyambut
mengucapkan selamat datang….”

“Hemmmm… pasti mereka melihat aku waktu turun di bukit di luar Kartosuro tempo hari. Kalau dulu mereka sengaja melarikan
diri dan kini sengaja mendatangi berarti mereka mengandung maksud tertentu…” kata Puti Andini dalam hati.

“Terima kasih atas budi baik kalian yang mau mencariku. Terima kasih untuk ucapan selamat datang…” kata si gadis seraya
tersenyum manis yang membuat Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan jadi blingsatan mabuk kepayang.

“Kami lihat kau tengah bersiap untuk pergi. Kami harap tak usah terburu buru. Kami ingin menanyakan sesuatu padamu. Jika
urusan bisa selesai dengan cepat kami akan mengundangmu ke puncak Gunung Merapi,” ujar Elang Setan pula dan dia maju lagi
dua langkah hingga jaraknya dengan Puti Andini hanya terpisah lima langkah kini.

“Ah, kalian benar benar tuan rumah yang baik. Pertanyaan apa yang hendak kalian ajukan?” bertanya Puti Andini seraya menyusun
tujuh buah payung yang ada dalam kantong perbekalan sebelum dipikulnya di punggung.

“Beberapa waktu lalu terjadi satu peristiwa besar di satu lereng bukit di luar Kartosuro. Pendekar kawakan dikenal dengan julukan
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng menemui kematian di tempat itu…”

Puti Andini menunjukkan wajah pura pura terkejut. “Pasti matinya bukan karena sakit. Seseorang telah membunuhnya!” Elang
Setan anggukan kepala.

“Jika seseorang sehebat Pendekar 212 dibunuh orang, pasti yang membunuhnya seorang berkepandaian sangat tinggi. Kalian tahu
siapa yang membunuh tokoh silat muda itu?”

“Itulah yang kami ingin tahu!” jawab Elang Setan.

“Selain itu,” menyambung Tiga Bayangan Setan, “Kami mendapat tugas dari seorang yang sangant dekat dengan Pendekar 212
untuk mencari jenazahnya guna diurus lalu disemayamkan sebaik baiknya.”

Puti Andini angguk anggukkan kepalanya beberapa kali lalu bertanya.”Lantas hal apa yang kalian harapkan dariku?”

“Kalau kami tidak salah, pada waktu kejadian itu kau terlihat berada di sekitar bukit. Mungkin bisa memberi keterangan apa yang
terjadi dengan mayat Pendekar 212…”

“Hemm… Aku memang turun ke bukit itu. Memang kulihat banyak mayat bertebaran di sekitar sumur batu. Kebanyakan sudah
pada busuk. Namun aku tidak melihat mayat Pendekar 212 atau yang punya ciri ciri seperti dia. Mungkin…Hemmm…”

Puti Andini pura pura berpikir pikir.

“Mungkin apa?” tanya Tiga Bayangan Setan.

“Waktu masih melayang di udara, aku melihat ada dua orang terburu buru meninggalkan lereng bukit. Salah satu diantara mereka
memanggul sesosok tubuh.

Mungkin sekali dua orang itu yang membawa mayat Pendekar 212. Sayang aku tidak menyelidik lebih jauh…”

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang mendengar kata kata

Puti Andini itu. Tentu saja mereka tidak mau menceritakan bahwa dua orang yang terlihat lari itu adalah mereka sendiri yang
tengah membawa sosok Bidadari Angin Timur.

“Baiklah, kalau kau memang tidak tahu apa apa menyangkut mayat Pendekar 212,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Sekarang
bagaimana dengan undangan kami untuk membawamu ke puncak Gunung Merapi?”

“Gunung Merapi cukup jauh dari sini. Memangnya ada pesta apa di sana hingga mengundang segala?”

Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan tertawa gelak gelak. “Sama sekali tidak ada pesta atau hajat apa pun di sana!” jawab Elang
Setan. “Kami membawamu ke sana karena ingin memperkenalkan dirimu dengan seorang tokoh luar biasa dunia persilatan!”
Sambil bicara Elang Setan maju dua langkah.

“Hemmm… siapakah gerangan tokoh luar biasa yang kau maksudkan itu?” tanya Puti Andini.

“Pernah mendengar nama Pangeran Matahari?” ujar Tiga Bayangan Setan.

“Pangeran Matahari!” seru Puti Andini. “Siapa tidak kenal dengan raja diraja dunia persilatan itu! Namanya tembus sampai ke pulau
kediamanku di tanah seberang!” “Nah kepadanyalah kami akan mempertemukan dirimu….”

“Sungguh menyenangkan dapat bertemu denga tokoh seperti Pangeran Matahari. Tapi apakah rencana itu tidak bisa ditunda dulu?
Untuk bertemu dengan orang sehebat dia aku yang tolol ini tentu perlu persiapan agar tidak kikuk jika berhadapan!”
84

Tiga Bayangan Setan mengulum senyum. “Pangeran Matahari orangnya sangat baik. Dia tidak pernah memandang rendah siapa
pun. Sekali kau bertemu dia pasti akan tertarik. Dia mudah bersahabat dengan siapa saja. Disamping itu wajahnya sangat gagah.
Dia gagah kau cantik. Sungguh cocok!”

Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tertawa gelak gelak. Puti Andini tersipu sipu lalu berkata, “Harap dimaafkan, saat ini aku
punya tugas yang harus dijalankan. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sini selang tiga puluh hari di muka. Aku pasti akan
mengikuti kalian. Jangankan ke puncak Gunung Merapi, ke Puncak Mahameru pun aku mau pergi. Apalagi bersama orang orang
gagah seperti kalian berdua….”

“Ah, sayang sekali….” Kata Tiga Bayangan Setan.

“Ya… sayang sekali kalau kami terpaksa memaksa!” ujar Elang Setan pula seraya maju lagi dua langkah. Pada jarak hanya tinggal
satu langkah dari hadapan Puti Andini orang ini melompat sambil susupkan satu totokan ke dada si gadis!

** DELAPAN **

Puti Andini yang sejak tadi tadi memang telah berwaspada begitu melihat gerakan orang cepat segera berkelit ke samping sambil
angkat kantong perbekalannya dan meletakkannya di punggung. Melihat gerakan si gadis mau tak mau Tiga Bayangan Setan jadi
terkesiap. Mengelakkan serangan saudara angkatnya saja merupakan satu hal yang tidak mudah. Tapi si gadis melakukannya
sambil mengangkat barang yang kelihatannya cukup berat. Dan dia jadi lebih terkejut sewaktu Puti Andini membuat gerakan
berputar dan tahu tahu kaki kanannya menyambar ke muka Elang Setan. Kalau lelaki ini tidak lekas mengelak pasti rahangnya
sudah dimakan tendangan Putiu Andini!

Tiga Bayangan Setan cepat melompat pegangi pundak saudara angkatnya yang saat itu hendak kembali menyerang. Bukan hanya
sekedar menotok tapi akan pergunakan jari jari tangannya yang berkuku panjang.

“Sabar sedikit Elang Setan. Sobat cantik ini masih bisa kita atur…” Lalu sambil berdehem dan cengar cengir Tiga Bayangan Setan
berkata. “Harap maafkan saudaraku yang memang punya sifat tidak sabaran dan lekas naik pitam….”

Puti Andini tertawa. “Aku sudah tahu sandiwara kalian. Mengapa musti berpura pura...?!”

“Gadis cantik, kami tidak berpura pura. Kami memang ingin mempertemukanmu dengan Pangeran Matahari untuk maksud baik!
Kalau kalian berjodoh dengan dia, kami tentu dapat pahala juga. Ha…ha….ha…!”

“Kalian tidak lebih daripada iblis bermuka setan! Pangeranmu itu tidak lebih baik dari kalian! Dengar…. Aku melihat warna aneh
pada bibir kalian! Di dalam tubuh kalian pasti ada sejenis racun jahat yang perlahan lahan tetapi pasti akan membunuh kalian
berdua. Mungkin ada hubungannya dengan maksud kalian mencari mayat Pendekar 212 dan mengajakku ke puncak Gunung
Merapi?!”

Dua orang di hadapan Puti Andini sama sama terkesiap mendengar ucapan si gadis. Keduanya tak habis pikir bagaimana gadis itu
bisa mengetahui keadaan diri dan maksud mereka.

“Selagi hari masih siang sebaiknya kalian lekas angkat kaki dari hadapanku!” “Ah, gadis cantik ini rupanya tak bisa diatur!” kata Tiga
Bayangan Setan. “Kalau begitu biar kita gebuk dan pegangi di tempat ini juga!” ujar Elang Setan sambil menyeringai lebar.

“Kau betul, tapi jangan terlalu keras memberi pelajaran padanya. Bagaimana kalau kau pergunakan kuku kuku jarimu untuk
merobek pakaian dan menelanjangi tubuhnya terlebih dulu! Aku ingin menyaksikan satu pemandangan bagus agar mataku tidak
keburu lamur! Ha…ha…ha…!”

Puti Andini sudah lama mendengar riwayat dua manusia jahat ini. Karenanya selain berhati hati dia tak mau memberi kesempatan.
Sebelum Elang Setan menyerbu gadis ini berkelebat hantamkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Selarik angin dingin
menyambar. Elang Setan terkejut besar sewaktu tubuhnya menjadi huyung. Cepat dia dorongkan tangan kanannya ke depan. Lima
larik sinar hitam kemerahan bertabur dari kuku kukujarinya membuat angin serangan Puti Andini bersibak ke samping. Selagi
gadis ini memasang kuda kuda menyiapkan serangan baru, Elang Setan mendahului.

Puti Andini melihat sepuluh sinar hitam kemerahan berkiblat di depan matanya. Si Gadis tak berani menangkis ataupun
membalas. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Seperti anak panah tubuhnya melesat ke udara. Elang Setan yang tak mau
melepaskan lawan begitu saja cepat memburu. Kembali sepuluh sinar hitam merah melesat ke arah Puti Andini.

Sambil melompat tadi Puti Andini gerakkan tangan kanannya ke punggung mencabut satu dari tujuh payung yang ada dalam
buntalan perbekalannya. Lalu terdengar suara “blepp!”

Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan terkejut ketika melihat di udara, di depan tubuh gadis berbaju merah itu berputar sebuah
benda bulat berwarna hijau. Ternyata Puti Andini telah mengambil payung hijau dan sekaligus mengembangkannya. Begitu
payung terkembang jari jaritangannya disentakkan. Payung hijau berputar deras mengeluarkan deru dahsyat.

Elang Setan berseru kaget ketika melihat bagaimana putaran payung hijau menggulung serangan sepuluh kukunya dan ketika si
gadis mendorongkan payungnya ke depan sepuluh cahaya hitam yang keluar dari kukunya itu membalik menghantam arahnya!

Sambil berteriak keras Elang Setan jatuhkan diri ke tanah, berguling selamatkan diri. Begitu dia berguling di bawah sosok Puti
Andini secepat kilat dia melompat seraya lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Pada saat Elang Setan jatuhkan diri Puti Andini lepaskan payung hijaunya. Payung itu kini melayang berputar putar du udara.
Payung itu kini melayang berputar putar di udara. Ketika lawan lewat di bawahnya si gadis cabut payung kedua yakni payung putih.
Begitu Elang Setan menyerang, payung putih menukik laksana kilat. Payung mengembang dengan bagian runcing menusuk ke
85

arah bahu Elang Setan. Dalam keadaan marah karena kedua kalinya serangannya gagal Elang Setan menjadi nekad. Dia kerahkan
tenaga dalam lebih banyak lalu menggebuk ke arah payung putih. Jotosannya yang laksana palu godam masakan tidak sanggup
menjebol payung putih yang hanya terbuat dari kertas pikirnya. Tapi alangkah kagetnya Elang Setan ketika satu gelombang angin
yang keluar dari putaran payung putih membuat tangan kanannya seperti dipuntir. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu,
pinggiran payung putih yang berputar laksana gerinda raksasa itu menyambar ke arah pergelangan tangannya.

“Craaasss!”

“Breett!”

Elang Setan berteriak kesakitan. Lengan pakaiannya yanga terbuat dari kain tebal robek besar. Pada ujung robekan kelihatan
cairan merah tanda daging lengannya ikut tersambar. Sakitnya bukan main. Dengan muka sepucat mayat Elang Setan melompat
mundur. Melihat lawan terluka Puti Andini tidak mau memberi kesempatan. Gadis ini putar payung putihnya dengan sebat. Bagian
runcing di pertengahan payung laksana ujung tombak yang berputar menusuk ke arah kening Elang Setan. Yang diserang cepat
menghindar. Tapi dia kecele. Serangan berupa tusukan itu ternyata hanya tipuan belaka karena begitu Puti Andini menyentakkan
gagang payung, laksana kilat pinggiran payung putih menderu ke arah bahu tepat di pangkal leher Elang Setan!

“Celaka!” jerit Elang Setan. Seumur hidup manusia satu ini membunuh lawan lawannya yang berkepandaian tinggi dengan cepat
dan mudah. Tapi hari ini dia berhadapan dengan seorang gadis cantik jelita, bersenjatakan payung dan dia tak mampu
menghadapinya! Dalam keadaan seperti itu tiba tiba datang lagi serangan Puti Andini. Si gadis pergunakan payung hijaunya seolah
tali gantungan. Tubuhnya diayun ke bawah. Kakinya menyambar. “Bukkk!”

Elang Setan terhempas ke tanah. Darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan telak yang mendarat di dadanya.

“Saatnya aku menghabisi manusia setan satu ini!” ujar Puti Andini. Dengan kertakan rahang si gadis sentakkan tangannya yang
memegang payung hijau. Tubuhnya berputar membal. Lalu dia membuat gerakan menukik. Ujung payung hijau dihujamkan ke
batok kepala Elang Setan.

“Tiga Bayangan! Tolong!” teriak Elang Setan karena saat diserang dia tak mampu berbuat apa apa!

Tiga Bayangan Setan yang memang sejak tadi memperhatikan jalannya mperkelahian dan tahu saudara angkatnya berada dalam
bahaya besar secepat kilat melompat. Dua tangannya diulurkan untuk mencekal sepasang kaki Puti Andini yang masih mengapung
di udara. Serangan Tiga Bayangan Setan bukan serangan biasa. Sekali dia sempat mencekal salah satu kaki si gadis, dia mampu
menanggalkan kaki itu dari persendiannya! Puti Andini bukan tidak maklum bahayanya serangan lawan kedua itu.

Dia terpaksa mencari selamat lebih dahulu. Serangan maut yang ditujukan pada Elang Setan hanya merobek leher baju tebal
lawan dan menggurat sedikit daging bahunya.

Masih berada di udara Puti Andini lipat ke dua kakinya lalu mencekal gagang payung hijau. Bersamaan dengan itu payung putih
dihantamkan ke arah kepala Tiga Bayangan Setan. Lawan yang diserang keluarkan suara mendengus lalu menyusup ke balik
putaran payung putih.

Puti Andini tersentak kaget ketika melihat tahu tahu Tiga Bayangan Setan berada di balik putaran payung putihnya dan
menggempurnya dengan dua jotosan sekaligus! Puti Andini tersentak tangan kanannya. “Cleeppp!”

Payung putih menguncup kencang. Karena kepala Tiga Bayangan Setan berada di belakang payung tak ampun lagi kepalanya
amblas dalam kuncupan payung. Seperti diketahui manusia ini memiliki kesaktian kebal segala macam pukulan sakti dan senjata
tajam. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menerima pukulan ataupun tusukan senjata. Yang mendapat serangan adalah jalan
pernapasannya karena kepalanya tersangkup payung. Dalam waktu singkat kakinya melejang lejang kian kemari. Tangannya
menggapai gapai coba memukul. Namun saat itu Puti Andini telah melepaskan pegangannya pada payung hingga sosok Tiga
Bayangan Setan melayang berputar putar di udara. “Jahanam! Kurang ajar! “ teriak Tiga Bayangan Setan terpengap pengap. Saat itu
dia telah merapal aji kesaktian ilmu paling diandalkannya yakni mengeluarkan tiga raksasa jejadian dari batok kepalanya.
Bersamaan dengan itu dia adukan tinjunya kiri kanan satu sama lain seraya berteriak. “Hancurkan payung!”

Tiga guratan di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan sinar berkilauan.

Bersamaan dengan itu dari kepalanya keluar kepulan asap!

Sebelumnya Puti Andini tidak pernah berhadapan dengan Tiga Bayangan Setan.

Namun dia banyak tahu mengenai ilmu iblis yang dimiliki manusia ini berdasarkan keterangan guru dan beberapa tokoh
silat di pulau Andalas. Dia sendiri tidak dapat memastikan apakah payung yang menjadi senjata andalannya mampu
menghadapi kesaktian lawan. Karenanya begitu melihat ada kepulan asap keluar dari bawah payung serta merta dia gerakkan
tangan menarik gagang payung. Bersamaan dengan itu payung hijau tempatnya bergantung digerakkan demikian rupa. “Clepp!”
begitu payung hijau menguncup si gadis tusukkan benda itu ke arah perut lawan. Sementara tangan kirinya bergerak
mengembangkan payung putih! Semua dilakukan dengan gerakan secepat kilat.

Ketika tiga kepulan asap di kepala Tiga Bayangan Setan mulai membentuk sosok tiga raksasa bermuka seram, rambut riap riapan,
taring mencuat sedang dada yang telanjang penuh bulu, Puti Andini lipat gandakan tenaga dalam di tangan kanan dalam
menusukkan payung.

“Wuttt!”

“Bukkk!” “Kraaak!”
86

Ujung runcing payung hijau mendarat di ulu hati Tiga Bayangan Setan dengan telak. Jubah hitamnya robek besar. Tubuhnya
terbanting ke tanah. Tapi tusukan payung itu tak mampu menembus perutnya. Sebaliknya ujung runcing payung hijau patah,
membuat Puti Andini terbeliak kaget!

“Setan alas ini benar benar memiliki ilmu kebal luar biasa! Terpaksa aku menghindari perkelahian lebih jauh. Aku harus cepat cepat
memperbaiki ujung payung yang patah. Urusan besar menghadang di depanku!” Puti Andini cepat tarik tangan kanannya yang
memegang payung hijau. Lalu tangan kirinya disentakkan. Payung hijau berputar deras. Tubuhnya melesat ke atas.

Di bawah sana Tiga Bayangan Setan berteriak marah. “Kejar! Bunuh!” Tiga sosok raksasa jejadian melesat ke atas. Tiga pasang
tangan mereka menghantam. Namun Puti Andini yang bergantungan pada payung putih sudah terlalu tinggi untuk dikejar. Apalagi
saat itu dia telah sempat membuka tiga payung lagi untuk melindungi dirinya. Ilmu kesaktian tiga raksasa angker yang keluar dari
batok kepala Tiga Bayangan Setan walaupun hebat luar biasa tapi mempunyai keterbatasan untuk menjangkau sasaran yang
terlalu jauh.

Tiga Bayangan Setan usap usap perutnya yang tadi kena tusukan ujung payung hijau. Memandang ke udara dia menggeram dan
memaki pajang pendek. Saat itu dilihatnya Puti Andini tengah mengembangkan payung merah lalu berpindah ke payung itu
melayang makin jauh.

“Kita gagal besar!” kata Elang Setan yang tegak di samping saudara angkatnya itu sambil mengepalkan tinju. “Kita tak dapat
mencari tahu apa yang terjadi atas mayat Pendekar 212. Kita juga tak berhasil mendapatkan gadis itu! Apa akal sekarang?!”

Tiga Bayangan Setan usap bagian kepalanya yang sulah. Mata kanannya yang besar dipejamkan. Dari lereng bukit itu dia
memandang ke tengah lautan. “Hanya ada

satu cara untuk cari selamat. Kau ingat Ki Ageng Unggulmulyo bekas juru rias Istana yang ahli membuat topeng di Bantul itu…?”

Elang Setan tidak mengerti. “Apa hubungan orang tua itu dengan urusan kita…?” tanyanya.

“Justru erat sekali!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ayo kita ke sana sekarang juga!”

Ke dua orang itu segera melangkah ke tempat mereka meninggalkan kuda masing masing.

** SEMBILAN **

Dalam ruangan pertemuan yang besar itu hanya terdapat dua buah kursi dari batu, terletak berhadapa hadapan mengapit sebuah
meja batu pualam yang di atasnya ada jambangan bunga. Baik jambangan maupun bunganya terbuat dari sejenis kerang. Yang
membuat bunga dari kerang kelihatan menyerupai bunga hidup sungguhan.

Kursi batu sebelah kanan selain lebih besar dan tinggi juga sebelah kanan selain besar dan tinggi juga memiliki ukiran bagus
berupa ikan lumba lumba besar yang tegak agak melengkung. Bila seseorang duduk di atas kursi batu ini maka kepalanya seolah
ditudungi oleh kepala ikan. Wiro telah melihat kursi seperti itu di ruangan besar pada pertama kali dia memasuki tempat itu. Kursi
satunya yang di sebelah kiri memiliki bentuk sama dengan sebelah kanan hanya saja kecil dan lebih rendah.

Seluruh ruangan tertutup tirai tebal berwarna biru. Di langit langit ruangan sebelah tengah ada sebuah batu putih aneh yang
memancarkan cahaya berkilau. Cahaya dari batu inilah yang menerangi seantero ruangan besar itu. Wiro menghirup napas dalam
dalam. Ruangan itu berbau wangi semerbak. Udaranya pun sejuk nyaman.

“Silahkan mengambil tempat duduk di kursi sebelah kiri,” memberi tahu salah seorang dari empat gadis berpakaian hitam ketat
yang membawa Wiro ke ruangan itu.

“Ratu akan segera datang ke tempat ini.”

Pendekar 212 anggukan kepala. Emapt gadis kemudian menyelinap ke balik tirai biru dan lenyap. Wiro memandang berkeliling lalu
melangkah seputar ruangan. Setiap sudut diperiksanya. “Aneh, dari mana jalan aku masuk tadi? Di mana pula bagian tempat
empat gadis tadi menyelinap pergi?” Setiap bagian tirai dibaliknya tapi dia hanya menemukan dinding batu hitam. “Jangan
janganaku telah kena jebak! Dijebloskan dalam penjara yang keadaannya lebih lumayan dari Ruang Penantian terkutuk itu!
Hemmm…. Kalau benar aku dipenjarakan lagi di tempat ini aku tak segan segan mengencinginya. Kalau perlu aku akan buang hajat
besar di sini! Biar tahu rasa!” Begitu murid Sinto Gendeng berkata dalam hati sambil senyum senyum sendiri. Lalu dia berusaha
mengingat ingat telah berapa lama dia berada di tempat itu. Namun otaknya tak mampu menduga. “Tempat celaka ini punya
hitungan hari aneh dengan dunia luar sana….” Lalu tiba tiba saja murid Sinto Gendeng menjadi kecut. “Bagaimana kalau aku tidak
pernah keluar selama lamanya dari tempat ini?” Wiro garuk garukkepalanya berulang kali. Teringat dia pada tugas penting
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih gelap dimana beradanya. “Nelayan berpenyakit cacar sialan
itu…” maki Wiro. “Hampir putus tanganku disambar ikan hiu!” Wiro perhatikan lengan kanannya yang pernah luka. Tiba tiba
terbayang wajah cantik Bidadari Angin Timur di pelupuk matanya. “Gadis itu…Akutak dapat melupakannya. Waktu berdua duaan di
dalam telaga…. Bidadari, dimana kau saat ini? Aku kangen sekali padamu….”

Tiba tiba tirai biru di dinding sebelah kanan tersingkap.

“Bidadari Angin Timur, kaukah itu….?” Karena tengah mengenang gadis yang dirindukannya itu, ucapan itu lepas begitu saja tanpa
disadari Pendekar 212. Ketika dia berpaling ke kanan yang tegak di tempat itu memang seorang perempuan secantik bidadari.
Mengenakan pakaian sangat ketat terbuat dari manik manik berwarna merah berkilauan yang pada bagian dada serta pinggulnya
terbelah. Di tangan kanannya dia mendadak bertambah harum oleh bau Ratu Duyung yang baru masuk.

“Kau menyebut nama seseorang….” Ujar Ratu Duyung.


87

“Ah, maafkan aku…” kata Wiro garuk garuk kepala. “Kau tengah melamuni seseorang….”

Wiro tertawa lebar. Kembali dia garuk garuk kepala.

Ratu Duyung melangkah mundar mandir di hadapan Wiro beberapa lamanya. Sesekali dia melirik ke arah pemuda itu dan diam
diam mengakui walau sepintas pemuda ini seperti orang tolol suka cengengesan tapi wajahnya ternyata tampan. Apalagi kini
kulitnya telah kembali ke bentuk asli. Wiro sendiri diam diam memperhatikan kebagusan tubuh sang Ratu dengan mata tak
berkesip.

Walau mengagumi Pendekar 212, Ratu Duyung tidak menyembunyikan rasa sukanya melihat sikap seenaknya murid Sinto
Gendeng. Dalam hati dia menggerendeng. “Pemuda satu ini benar benar kurang ajar. Dia duduk di kursi batu dimana seharusnya
aku duduk. Aku harus menegurnya. Mengingat dia sekarang merupakan sebagai tamu yang kuhormati, bagaimana caranya
menyuruhnya berdiri dari kursi itu tanpa merasa tersinggung. Hemmm….”

Sambil terus melangkah Ratu Duyung bertanya. “Mungkin anak buahku yang mengantar kau ke sini lupa memberi tahu dimana
kau harus duduk….”

“Astaga!” Wiro pura pura terkejut. “Maafkan aku! Anak buahmu memang memberi tahu. Tapi aku sedang kacau pikiran hingga
lupa….”

Wiro berdiri dari kursi batu besar. Sandaran dan bagian kursi yang barusan didudukinya dibersihkannya dengan tangan. Lalu dia
membungkuk mempersilahkan sang Ratu duduk. Ratu Duyung jengkel ada geli juga ada melihat kelakuan pemuda itu.

Wiro menunggu sampai sang Ratu duduk di kursi batu besar dia kemudian ddudk di kursai batu yang kecil.

“Kau mengatakan sedang kacau pikiran….” Ratu Duyung membuka pembicaraan. “Betul sekali….” Jawab Wiro polos.

“Pikiran kacau adalah salah satu sumber kelemahan manusia yang bisa membawa kelengahan, mengundang datangnya
malapetaka….”

“Aku memang telah berlaku lengah dan menghadapi malapetaka…. Aku tidak tahu apa artinya aku berada di ruangan ini. Mungkin
ini salah satu bentuk lain dari penjaramu….?”

Ratu Duyung tersenyum. “Kau pernah berbuat salah, ditawan dan dihukum. Tapi sekarang kau kembali sebagai tamu yang kami
hormati…..”

“Kalau begitu aku mengucapkan terima kasih. Terima kasihku banyak sekali untukmu Ratu. Kau telah menyelamatkan aku waktu
tenggelam di laut. Mengobati luka sambaran ikan hiu di lenganku. Mengembalikan sepasang mataku. Entah kebaikan apa lagi yang
akan kuterima darimu. Jangan terlalu banyak membagi kebaikan padaku Ratu Duyung. Aku khawatir tak dapat membalas semua
budi baikmu itu…”

Ratu Duyung berpura pura mengusap hidung dan mulutnya. Padahal dia tengah berusaha menyembunyikan tawa mendengar
semua ucapan Wiro tadi.

“Ratu, aku mendapat penjelasan dari anak buahmu bahwa kau hendak memberikan wasiat padaku. Jika ini benar tentu saja aku
ingin tahu wasiat apa. Namun jika itu tidak betul, aku mohon bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Selama berada di sini
banyak pelajaran baik yang telah kudapat. Aku sekali lagi mengucapkan terima kasih….”

Ratu Duyung letakkan cermin bulatnya di pangkuan lalu berkata. “Sewaktu sobatmu Dewa Ketawa berada di sini, kami sudah
mengetahui kalau kau membekal satu tugas besar dan berat. Mencari sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa….”

Wiro mengangguk. “Bagaimana Ratu bisa mengetahui. Padahal Ratu jarang sekali meninggalkan tempat ini….”

Ratu Duyung mengambil cermin bundar di pangkuannya. “Hampir semua yang terjadi di luaran, dalam kejauhan tertentu bisa
kupantau lewat cermin sakti ini. Waktu kau masih di pantai, sibuk mencari perahu tumpangan, aku dan Dewa Ketawa sudah
melihat gerak gerikmu lewat cermin ini….”

Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga saking herannya mendengar keterangan itu. Matanya memandang tak berkesip pada
cermin yang ada di tangan sang Ratu.

“Kalau begitu….” Wiro garuk garuk kepalanya.

“Aku tahu apa lanjutan ucapanmu Pendekar 212. Kau pasti menduga aku mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa
itu…..”

“Betul sekali! Dapatkah kau melihat ke dalam cermin dan memberi tahu padaku?”

“Banyak hal bisa dilihat lewat cermin ini. Tapi betapapun hebatnya sebagai benda fana cermin ini tetap memiliki keterbatasan.
Cermin ini tidak mampu mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa….”

Wiro Sableng menarik napas dalam. Wajahnya tampak kecewa.

“Jangan lekas putus asa Pendekar 212. Cerminku memang tidak bisa mengetahui langsung. Ini disebabkan karena Kitab Putih
Wasiat Dewa itu bukan sembarangan. Kekuatannya yang dahsyat membuat cermin saktiku tidak mampu melakukan sambung
88

getar secara sempurna. Namun secara tersamar dimana kemungkinan beradanya kitab itu. Selain itu jauh sebelum kau dan
kawanmu Dewa Ketawa datang kemari aku sudah mengetahui sedikit cerita tentang asal muasal kitab itu….”

Wiro ingat pada penjelasan Ratu Duyung pada hari pertama dia berada di tempat itu. “Aku ingat, pada hari pertama aku di sini
Dewa Ketawa mengatakan kalau Kitab Putih Wasiat Dewa itu berasal dari daratan Tiongkok. Apa betul….?”

Ratu Duyung mengangguk.

“Berarti apapun yang tertulis dalam kitab itu dalm huruf cina? Wah… Bagaimana mungkin aku bisa membacanya!” ujar Wiro seraya
garuk garuk kepala.

“Pendekar 212, melihat kitab itu saja kau belum. Tahupun beradanya dimana kau belum! Mengapa sudah memikir segala macam
isinya?” ujar Ratu Duyung pula.

“Kalau tidak dipikirkan dari sekarang, seandainya aku nanti dapatkan kitab itu percuma saja. Atau kau mungkin bisa membaca
menjadi juru bahasaku?” Ratu Duyung tersenyum.

“Hemmm…senyum itu membuat wajahnya tambah cantik. Tapi menurutku Bidadari Angin Timur jauh lebih cantik….”

“Pendekar 212, agar jelas bagimu biar aku ceritakan asal usul yang kuketahui mengenai buku itu,” kata Ratu Duyung. Lalu sang
Ratu menuturkan.

Sekitar satu abad yang silam seorang sakti di tanah Jawa diundang oleh Raja Tiongkok untuk berkunjung ke daratan Cina. Selain
menjalin persahabatan juga direncanakan untuk saling tukar ilmu kepandaian. Orang sakti itu konon dipanggil dengan sebutan
Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Entah apa sebabnya Sri Ageng Musalamat dan rombongan tak pernah ke tanah Jawa. Kabarnya dia
bermukim di Tiongkok, kawin dengan penduduk setempat dan menjadi salah seorang tokoh silat sangat disegani.

Karena ilmunya yang tinggi maka Kaisar sering meminta bantuan Sri Ageng Musalamat termasuk para anak buah perguruannya,
terutama dalam menumpas gerombolan penjahat yang bertebaran hampir di setiap pelosok pada masa itu.

Hubungannya yang dekat dengan Kaisar membuat banyak pejabat tinggi merasa iri dengki terhadap Sri Ageng Musalamat. Maka
disusunlah satu rencana busuk. Dengan menggunakan surat surat palsu Sri Ageng Musalamat difitnah berkomplot membantu
kaum pemberontak bangsa Mongol untuk menumbangkan Kaisar Tiongkok yang berkuasa. Kaisar marah besar. Sri Ageng
Musalamat ditangkap dan dijatuhi hukuman pancung. Anak buah dan murid muridnya ditumpas habis.

“Namun ada seorang yang selamat,” kata Ratu Duyung melanjutkan penuturannya. “Orang ini bernama Ki Hok Kui. Pada waktu itu
meski baru berusia sekitar tiga puluh tapi boleh dikatakan dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kanjeng

Sri Ageng Musalamat. Rimba persilatan Tiongkok memberinya gelar hebat yaitu Tiat Thow Houw yang berarti Harimau Kepala Besi.
Pada waktu Sri Ageng Musalamat dan para murid serta anak buahnya yang ratusan jumlahnya dibantai, Ki Kok Kui sedang
mengadakan perjalanan di daratan timur Tiongkok. Ketika orang orang yang dengki itu mengetahui Ki Kok Kui masih hidup,
mereka merasa sangat khawatir kalau kalau satu satunya anak murid Sri Ageng Musalamat ini akan melakukan balas dendam.
Selain itu orang orang tersebut juga kasak kusuk mencari sebuah kitab sakti milik Sri Ageng Musalamat yang tidak berhasil
ditemukan. Kitab itu adalah Kitab Putih Wasiat Dewa, sebuah kitab berisi ilmu langka hampir tanpa tandingan. Orang orang itu
sama memastikan bahwa kitab itu berada di tangan Ki Hok Kui. Maka satu rombongan besar dikirim ke timur untuk mencarinya. Ki
Hok Kui alias Harimau Kepala Besi dihadang di dekat Nanchang. Namun berkat pertolongan seorang sahabat dia berhasil
meloloskan diri lewat anak sungai Yang Tse Kiang dan menghilang di pantai timur Tiongkok sekitar Seochow….”

“Berarti kitab ilmu sakti masih berada di daratan Tiongkok,” ujar Wiro sambil manatap tajam pada Ratu Duyung.

Sang Ratu menggeleng.

“Seperti aku ceritakan tadi Harimau Kepala Besi Ki Hok Kui adalah murid kesayangan Sri Ageng Musalamat, merupakan murid
paling pandai dan mewarisi hampir semua ilmunya. Disamping itu dari sang guru di juga belajar bahasa Jawa kuno. Karena itu dia
mampu membaca isi Kitab Putih Wasiat Dewa….”

“Jadi, kitab sakti itu ditulis dalam bahasa Jawa kuno?” tanya Wiro ingin menegaskan.

“Betul sekali,” jawab Ratu Duyung.

“Lalu apa betul kitab itu ada di tangan si Harimau Kepala besi?” tanya Wiro lagi.

“Rupanya Kanjeng Sri Ageng Musalamat seolah punya firasat bahwa satu malapetaka besar akan terjadi atas dirinya, keluarga serta
anak buah dan anak murid perguruannya. Maka tanpa ada orang lain yang tahu Kitab Putih Wasiat Dewa diserahkannya pada Tiat
Thow Houw alias Harimau Kepala Besi….”

“Berarti orang ini sudah membaca isinya dan mempelajarinya!” ujar Wiro.

“Hal itu tidak bisa dipastikan. Yang jelas selama dia memegang kitab sakti itu dia selalu diburu oleh orang orang Kaisar yang
jahat….” jawab Ratu Duyung, lalu meneruskan . “Suatu hari sahabat yang pernah menolong Ki Hok Kui melarikan diri tertangkap.
Setelah disiksa akhirnya dia memberi tahu dimana bersembunyinya murid Sri Ageng Musalamat itu. Si sahabat kemudian dibunuh
secara keji. Tempat persembunyian Ki Hok Kui digerebek. Terjadi pertempuran hebat. Kabarnya sebelum berhasil meloloskan diri
Harimau Kepala Besi berhasil membunuh perwira tinggi pemimpin pasukan pengejar itu. Ikut tewas dua orang tokoh silat serta
beberapa orang prajurit. Orang orang Kaisar marah besar. Bala bantuan didatangkan. Sementara Ki Hok Kui melarikan diri menuju
muara sungai. Dari sini dengan sebuah jukung dia mengarungi lautan luas. Tujuannya hanya satu menuju tanah Jawa. Sulit
89

dipercaya hanya dengan sebuah perahu kecil Ki Hok Kui mampu mengarungi samudera luas dengan membawa satu benda sangat
berharga. Rupanya orang orang Kaisar berhati culas masih belum puas. Mereka terus menyelidik. Beberapa hari kemudian mereka
berhasil mengetahui bahwa Ki Hok Kui telah kabur dengan sebuah jukung. Satu kapal kayu besar disiapkan untuk mengejar.
Karena dia bukan seorang pelaut maka Ki Hok Kui tidak pernah mencapai pantai utara pulau Jawa tempat kelahiran gurunya tapi
justru tersesat ke pantai selatan. Dekat sebuah pulau orang orang Kaisar berhasil mengejarnya. Setelah terjadi perkelahian hebat
dan perahu kecilnya tenggelam Ki Hok Kui berenang ke daratan pulau terdekat. Orang orang Kaisar terus memburu. Entah apa
yang terjadi Ki Hok Kui kemudian lenyap di pulau itu….”

Mungkin dia terbunuh dan Kitab Wasiat itu dirampas oleh orang orang Kaisar?” ujar Wiro.

“Tidak ada petunjuk yang menunjang dugaan itu. Kabarnya orang orang Kaisar kembali dengan kecewa besar. Mereka tidak
menemukan Ki Hok Kui, juga kitab sakti yang diburu buru. Ki Hok Kui sendiri tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi….”

Wiro termenung sesaat. Dia ingat pada buku lilin yang ada di ruangan besar.

“Lalu apa hubungan buku lilin yang ada di tempatmu ini dengan kitab yang asli?” bertanya Wiro.

“Aku pernah mendapat mimpi, melihat kitab itu. Walaupun samar samar aku berusaha membuatnya. Siapa tahu aku berjodoh
dengan kitab itu walau aku tidak menginginkannya….”

“Susah juga mencari kitab wasiat itu…” kata Wiro sambil garuk garuk kepala.

“Ratu, apa kau tidak punya petunjuk lain yang bisa menolong? Aku ditugaskan oleh tiga tokoh silat tanah Jawa untuk mendapatkan
buku itu karena kabarnya ada satu kitab tandingan bernama Kitab Wasiat iblis yang jika jatuh ke tangan orang jahat pasti dia akan
menguasai dunia persilatan dengan semena mena. Hanya Kitab Putih Wasiat Dewa yang agaknya mampu menghadapi Kitab
Wasiat Iblis itu….”

“Aku akan coba melihat mundur pada hari hari sebelum kau muncul dan menjelang kedatanganmu ke sini,” jawab Ratu Duyung.
Lalu diambilnya cermin sakti yang ada di pangkuannya.

** SEPULUH **

Ratu Duyung menatap paras Pnedekar 212 sesaat lalu berkata. “Aku akan melihat ke dalam kaca sakti dan mengatakan apa yang
aku lihat. Selama aku melakukan itu jangan sekali kali mengeluarkan suara atau bertanya. Kau mengerti Pendekar 212?” Wiro
anggukkan kepala.

Sang Ratu memandang ke dalam cermin bulat. Perlahan lahan sepasang matanya yang biru bagus dipejamkan.

“Ini aneh lagi…” membatin Wiro yang memperhatikan. “Yang namanya melihat itu dua mata mustinya dibuka lebar lebar, dia justru
pejamkan ke dua matanya!”

“Aku melihat sebuah bukit di luar Kartosuro…” mulut sang Ratu terbuka dan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Ada dua orang
bermuka iblis di dekat sumur. Tampaknya mereka sengaja berjaga jaga….”

“Itu pasti Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan!” kata Wiro dalam hati.

“Orang ke tiga muncul. Tinggi tegap, berwajah gagah tapi congkak. Dia mengenakan mantel hitam. Mereka bercakap cakap…. Ah,
terjadi perkelahian. Dua lawan satu….”

“Orang tinggi tegap… berwajah congkak. Mengenakan mantel hitam…. Siapa lagi kalau bukan….”

“Orang yang barusan datang menyibakkan bagian depan mantelnya. Aku melihat… aku melihat ada gambar gunung dan matahari
pada bagian dada bajunya….”

Dugaanku tidak meleset! Manusia itu ternyata memang benar anjing jahanam berjuluk Pangeran Matahari!” Wiro kepalkan ke dua
tinjunya lalu pasang telinga mendengarkan kelanjutan keterangan Ratu Duyung.

“Ada kepulan asap. Ada tiga sosok raksasa keluar dari kepala salah seorang pengeroyok. Orang bermantel terdesak hebat. Hampir
celaka…. Tapi tidak. Dia berhasil menotok tubuh lawan. Lalu…. Orang bermantel masuk ke dalam sumur….” Sampai di sini

Ratu Duyung berhenti berucap. Lama Wiro menunggu hampir hampir dia tak sabaran membuka mulut hendak bertanya. Namun
sesaat kemudian tampak bibir merah sang Ratu membuka.

“Muncul seorang nenek berjubah kuning yang mukanya dirias tak karuan. Perempuan ini melepaskan totokan dua orang di tepi
sumur. Sekarang muncul kembali orang bermantel. Dia keluar dari dalam sumur. Terjadi keributan. Si nenek menyerang orang
bermantel. Dari dada orang bermantel melesat satu cahaya angker berwarna hitam. Tubuh si nenek mencelat. Tergelimpang di
tanah. Tewas mengerikan dengan tubuh jadi tulang belulang hangus gosong!”

“Tidak salah dugaan para tokoh!” kata Pendekar 212 dalam hati. “Kitab Wasiat

Iblis telah dikuasai oleh Pangeran Matahari!” Wiro menarik napas dalam dan melihat sepasang mata biru Ratu Duyung terbuka.
Wajahnya yang cantik keringatan. Dia mengeluarkan sehelai sapu tangan lalu menyeka keringat pada bagian kening bawah mata
serta dagu.

“Ratu, turut keteranganmu Kitab Wasiat Iblis sudah dikuasai oleh Pangeran Matahari dari Gunung Merapi….”
90

Ratu Duyung mengangguk. “Apa yang bisa kulihat dalam cermin sakti masih berlanjut. Kau masih ingin mendengarkan?”

“Tentu saja Ratu. Tapi jika kau merasa capai silahkan istirahat. Aku akan menunggu….”

Ratu Dutung tersenyum. Dia pejamkan ke dua matanya kembali. “Tampak sebuah telaga. Ada seorang dara berpakaian biru. Aku
juga melihat kau berada di tempat itu Pendekar 212….”

Murid Sinto Gendeng sampai bangkit dari kursinya saking terkejutnya. “Celaka….

Jika dia melihat semuanya dan membeberkan….” Wajah murid Sinto Gendeng ini berubah dan tangannya menggaruk kepala
berkali kali!

“Ada yang tidak beres…. Cermin sakti mengalami kesulitan. Keadaan sekitar telaga terlihat sangat samar….”

Wiro merasa lega dan duduk kembali ke kursi batu. Ratu Duyung membuka ke dua matanya, menatap ke arah Wiro. Sepertinya
ada seberkas cahaya keluar dari dua bola mata biru perempuan muda yang cantik jelita itu. “Gadis berbaju biru di telaga….’ ujar
sang Ratu. “Apakah dia yang kau panggil dengan sebutan Bidadari Angin Timur waktu kau melamun tadi…?”

Wiro tak menjawab. Kalau sang Ratu sudah tahu apa gunanya menjawab, begitu murid Sinto Gendeng berfikir.

“Apa hubunganmu dengan gadis itu Pendekar 212?” bertanya Ratu Duyung. “Eh nada suaranya seperti cemburu…” membatin
Pendekar 212.

“Kalau kau tak mau menjawab tak jadi apa. Aku akan meneruskan melihat ke dalam cermin sakti.” Ratu Duyung arahkan
pandangannya pada cermin yang dipegangnya. Begitu dia memejamkan mata maka kembali mulutnya menutur.

“Pendekar 212, kau terlihat di dekat sumur di lereng bukit bersama gadis cantik berpakaian biru itu.. Seseuatu terjadi. Dalam
keadaan tertotok….”

Apa yang dikatakan Ratu Duyung selanjutnya tidak begitu diperhatikan Wiro karena dia yang mengalami dan tahu sendiri apa yang
terjadi selanjutnya. Dia baru tersentak ketike mendengar ucapan sang Ratu selanjutnya. “Aku melihat puncak sebuah gunung. Ada
bayangan seseorang di pintu sebuah bangunan. Ternyata lelaki bermantel itu. Dua orang mendatanginya. Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan. Dua orang ini menyerahkan sesuatu pada orang bermantel. Yang satu berbentuk hitam pekat, tak jelas apa
adanya. Namun yang satu lagi sebuah senjata bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan. Ah…. Sebuah kapak…….”

Pendekar 212 setengah terlompat dari duduknya. Kalau tidak lekas menguasai dirinya hampir saja dia memukul lengan kursi batu
yang didudukinya. Sambil mengepalkan tinju murid Sinto Gendeng menyumpah dengan suara ditekan. “Jahanam! Dua senjata
mustika milikku diserahkannya pada manusia keparat itu! Kapak Maut Naga Geni 212 dan pasangannya batu hitam ternyata
berada di tangan Pangeran Matahari musuh besarku! Benar benar kurang ajar!” Wiro melangkah mundar mandir di ruangan itu
sampai dia mendengar suara Ratu Duyung menegur. “Pendekar 212, apakah kau masih ingin mengetahui kelanjutan
penglihatanku lewat cermin atau kita sudahi saja semua ini?”

“Maafkan aku Ratu Duyung! Aku sangat terkejut dan tidak mnenyangka kalau dua senjata mustika milikku kini jatuh ke tangan
Pangeran Matahari musuh besarku sejak bertahun tahun silam… Dua manusia setan alas itu ternyata adalah kaki tangan Pangeran
Matahari!” Wiro mengusap wajahnya. Setelah dia duduk ke kursi batu baru Ratu Duyung pejamkan mata dan melihat kembali ke
dalam cermin saktinya.

“Gadis berbaju biru tawanan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berhasil meloloskan diri setelah menghajar Elang Setan sampai
babak belur….Hemmmm….. cerminku kehilangan sambungan getar. Aku tak dapat melihat apa apa. Tunggu dulu…. Aku melihat
laut. Ada sebuah perahu putih. Kau berada di atasnya bersama seorang lelaki korengan, pakai caping dan mukanya ditutup
dengan cadar. Kurasa tak perlu kulanjutkan karena kau tahu sendiri apa yang kemudian terjadi. Tapi tunggu….Aku melihat ada
sebuah perahu lagi. Melesat mendampingi perahu putihmu. Kau dalam keadaan tak berdaya, terjepit tangan kanan pada lantai
perahu. Hemmm….. Penumpang perahu yang satu itu ternyata adalah gadismu si baju biru itu. Dia seperti mencari carimu. Tapi
wajahnya menunjukkan kegelisahan. Sayang dia tidak sempat mengetahui kalau kau berada di perahu putih itu. Perahunya
membelok dan menghilang di kejauhan…”

Ratu Duyung membuka kedua matanya. Menatap Pendekar 212 sesaat lalu berkata. “Hanya itu yang bisa kulihat melalui cermin
saktiku……”

“Ratu… Apa yang kau lihat sama sekali tidak memberi petunjuk dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu.” Kata Wiro pula.

“Pendekar 212, perlu kau ketahui apa yang terlihat di dalam cermin bisa saja keliru karena betapapun saktinya benda ini selalu ada
keterbatasan. Karenanya kita perlu mengkaji ulang apa apa yang terlihat. Apakah kau mengenal oarang bercaping yang
berpenyakit kulit itu?”

“Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Sikapnya aneh penuh rahasia tapi jahat sekali. Nelayan di pantai menyebutnya dengan
panggilan Makhluk Pembawa Bala. Sulit kuduga siapa dia adanya. Jangan jangan salah seorang kaki tangan Pangeran Matahari
pula. Tadinya aku mengharapkan dia akan membawa aku ke pulau tujuan dimana aku bisa bertemu dengan seorang sakti bergelar
Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Ternyata dia mencelakai diriku di tengah laut. Aku berterima kasih padamu yang telah
menolong…”

“Selama ini sering terlihat di cermin manusia itu malang melintang di lautan. Anak buahku berulang kali melakukan penyelidikan
namun masih belum bisa mengetahui siapa adanya makhluk satu itu. Katamu kau mencari Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Mengapa…?”
91

“Menurut para tokoh yang memberi tugas padaku, dia mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…. Dia diam di
salah satu pulau sekitar sini.”

“Dugaan itu mungkin betul. Aku pernah bertemu satu kali dengannya. Singkat sekali. Dia berusaha mengobatiku tapi tidak
mampu….”

“Hemmm…. Memangnya kau punya penyakit apa?” tanya Wiro. Lama Ratu Duyung berdiam diri, tidak menjawab.

“Kalau kau tak mau menjawab tak apa. Tapi apa kau bisa memberi petunjuk dimana kira kira letak pulau kediaman Raja Obat
itu…?”

Ratu Duyung memandang ke langit langit ruangan. Lalu dia berpaling pada cermin yang dipegangnya. “Akan kucoba…” katanya
seraya memejamkan mata. Lama sekali baru perempuan bermata biru ini berkata.

“Aku melihat samudera luas. Kosong… Ada satu titik hitam di sebelah tenggara…” Ratu Duyung membayangkan wajah Raja Obat
Delapan Penjuru Angin. Titik hitam dalam cermin berkedap kedip. Matanya dipejamkan lebih rapat. “Ada warna merah. Buki…
gunung… batu… batu….” Dada sang Ratu kelihatan berguncang. Dia seperti berusaha menahan satu kekuatan yang menghadang
pandangannya. Tapi tak sanggup. Perlahan lahan perempuan ini buka sepasang matanya dan menatap Wiro.

“Tak bisa kulihat lebih rinci…. Ada satu daya tolak yang hebat. Bukan berasal dari si Raja Obat, tapi dari beberapa kekuatan yang
datang dari luar. Ada kekuatan yang tak ingin aku mengetahui letak pasti pulau itu. Namun dari penglihatan yang terbatas aku bisa
menduga duga. Pulau itu terletak jauh di sebelah tenggara muara Kali Opak. Berarti di sebelah timur dari tempat kita berada saat
ini. Pulau itu tidak berpenghuni karena tak ada yang tumbuh di sana kecuali bukit dan gunung batu berwarna merah…..Hanya itu
yang bisa kuberi tahu…..”

“Terima kasih Ratu Duyung. Terima kasih banyak. Apa yang kau jelaskan bisa kujadikan pegangan untuk mengarungi laut selatan
mencari pulau tempat kediaman Raja Obat itu….” Wiro diam sebentar.

“Apa yang ada dalam pikiranmu Pendekar 212?” tanya sang Ratu.

“Sebenarnya ada beberapa pertanyaan ingin aku sampaikan. Entah apakah kau mau menjawab atau tidak…”

“Katakanlah…” ujar Ratu Duyung pula.

“Walau kau memberi penuturan tadi, sebagian tidak begitu kuperhatikan, mohon dimaafkan. Kau pasti menuturkan tentang
seorang gadis berpayung merah….” “Ya, apa yang ingin kau ketahui...”

“Gadis itu berasal dari tanah seberang. Punya tugas yang sama dengan tugasku yakni mencari Kitab Putih Wasiat Dewa…”

“Kau merasa bersahabat dengan dia?” tanya Ratu Duyung.

“Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padanya. Tapi cepat atau lambat dia

akan membunuhku…”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Ratu Duyung.

Wiro lalu ceritakan tentang surat aneh yang dibawa Puti Andini. Mendengar itu

Ratu Duyung termenung. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Dia bisa jadi sahabat sejati tapi juga bisa jadi musuhmu paling
berbahaya kelak. Yang jelas saat ini aku punya firasat dia salah satu yang menimbulkan kekuatan penolak hingga tadi aku tidak
mampu lihat lebih jelas dalam cermin sakti…. Tapi sekali lagi kukatakan apa yang kuberitahu bisa saja salah….Karena….” Ratu
Duyung tidak meneruskan ucapannya. “Karena apa Ratu?” tanya Wiro.

“Karena aku juga punya firasat dia telah jatuh cinta padamu pada pandangan pertama…. Tapi kau kurang perhatian karena hatimu
telah direbut oleh gadis bernama Bidadari Angin Timur itu….”

** SEBELAS **

Wajah murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede menjadi merah seperti saga.

Dalam duduk diam di atas kursi batu dan memandang dengan mata besar pada wajah cantik Ratu Duyung di hadapannya.

“Apakah ada pertanyaan lain yang ingin kau ajukan?” Ratu Duyung tiba tiba bertanya..

Wiro merasa lega sedikit. Sang Ratu rupanya tidak ingin memperpanjang pembicaraan tadi. “Memang ada Ratu,” jawab Wiro.
“Seperti kau ketahui Tiga Bayangan Setan memiliki ilmu kebal yang tak memungkinkan dia dibunuh dengan cara apa pun…”

“Dia memang tidak mempan pukulan sakti dan senjata tajam. Semua itu datang dari luar. Tapi kematian yang datang dari dalam
tetap tak bisa diledakkannya. Dia tidak kebal terhadap racun. Turut penglihatanku lewat cermin tadi, baik Tiga Bayangan Setan
maupun temannya Elang Setan mengidap sejenis racun mematikan secara perlahan dalam tubuh masing masing. Mereka akan
menemui ajal sekitar dua ratus hari dimuka jika tak berhasil mendapatkan obat penawar…”

“Ratu, aku benar benar kagum dengan kemampuanmu melihat sejauh itu,” memuji Wiro. “Tapi rasanya aku tak bisa menunggu
sampai sekian lama, membiarkan mereka mati sendiri. Mereka merampas dua senjata mustikaku. Mereka diketahui pula kai
tangan Pengeran Matahari. Mereka akan membunuhku begitu bertemu! Elang Setan tidak aku khawatirkan,. Tapi Tiga Bayangan
92

Setan jadi momok nomor satu saat ini. Aku harus mengetahui kelemahan ilmunya. Gadis berpayung tujuh itu pernah memberi
tahu bahwa seorang pemabuk bernama Iblis Pemabuk mengetahui pasti kelemahan Tiga Bayangan Setan….. Apakah kau bisa
melihat ke dalam cermin untuk mengetahui dimana aku bisa menemui orang ini?”

“Kau percaya begitu saja pada keterangan gadis itu?” tanya Ratu Duyung. Pendekar 212 tidak bisa menjawab.

Ratu Duyung tersenyum lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya ke ibu jari.

Suara jentikan menggema keras dalam ruangan itu. Tirai biru di sebelah kanan tersingkap. Seorang anak buah Ratu Duyung
muncul.

“Aneh, tadi aku setangh mati mencari jalan atau pintu keluar ruangan ini.

Ternyata ada di sebelah sana….”

“Saya menunggu perintah…” kata gadis yang baru muncul seraya membungkuk. “Bawa kemari tamu kita yang datang malam tadi…”
berkata Ratu Duyung.

Gadis berpakaian hitam mengangguk lalu menyelinap ke balik tirai biru kembali. Saking percayanya Wiro berdiri dari kursi batu lalu
membuka tirai di bagian tadi si gadis menghilang. Tembok batu! Dia sama sekali tidak melihat pintu atau apa kecuali tembok batu!
Wiro kembali ke kursinya sambil garuk garuk kepala.

Ratu Duyung tertawa perlahan. “Apa yang kau lihat, Wiro?” tanya sang Ratu.

“Dinding batu!” jawab murid Sinto Gendeng.

“Kau pernah mendengar ujar ujaratau petuah yang mengatakan bahwa apa yang terlihat mata telanjang belum tentu seperti itu
kenyataannya?”

“Ya, aku pernah mendengar orang pandai berkata seperti itu…”

“Kau melihat batu tapi apakah kau pernah membuktikan kalau itu pernah membuktikan kalau itu benar benar batu? Coba kau
singkapkan lagi tirai biru di bagian mana saja kau suka. Jika kau melihat batu coba kau sorongkan tubuhmu ke depan. Lihat nanti
apa yang terjadi….”

Wiro pandangi wajah sang Ratu dengan mimik tak percaya. Lalu dia berdiri, melangkah ke dinding ruangan sebelah kiri. Dengan
tangan kanannya dia menyingkapkan tirai biru tebal. Dinding batu kelihatan di depannya. Seperti dikatakan Ratu Duyung Wiro
selalu maju menabrak dinding batu itu.

Astaga! Ternyata tubuhnya lewat begitu saja seperti menerobos udara kosong.

Sesaat kemudian tahu tahu dia sudah berada di depan satu pedataran berumput.

“Aneh! Benar benar aneh!” kata Wiro sambil memutar tubuh. Kembali dia melangkah menabrakkan diri ke dinding batu. Tubuhnya
lewat dan kini dia sampai kembali ke dalam rauang semula!

“Bagaimana…?” tanya Ratu Duyung.

“Aku banyak mendapat pelajaran bagus darimu Ratu Duyung…” jawab Wiro seraya duduk kembali ke kurai batu. Tiba tiba dia
mendongakkan kepala. Hidungnya bergerak gerak.

“Ada apa?” tanya Ratu Duyung.

“Aku mencium bau minuman keras. Keras Sekali. Mungkin tuak atau air ketan….”

Ratu Duyung cuma tersenyum mendengar kata kata itu. Sesaat kemudian tirai biru di samping kanan terbuka. Empat orang gadis
berpakaian ketat hitam muncul mendampingi seorang laki lakigemuk pendek berwajah seperti dedemit. Pada cuping hidungnya
sebelah kiri melingkar sebuah anting bulat terbuat dari akar bahar. Orang ini hanya mengenakan celana komprang hitam. Muka
dan tubuhnya berwarna merah. Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki yang tak berkasut menghamparkan bau
minuman keras. Pada ikat pinggang besarnya tergantung selusin kendi. Di tangan kanan dia memegang sebuah kendi yang setiap
saat disorongkannya ke mulutnya. “Gluk…gluk… gluk!” Dia meneguk lahap minuman keras yang ada dalam kendi itu. Lalu dari
mulutnya keluar suara antara orang menyanyi dan orang meracau. Tubuhnya bergoyang goyang seperti mau rubuh! Wiro
memperhatikan empat gadis yang datang bersama si gemuk muka setan ini membawa masing masing enam buah kendi berisi
tuak.

“Sobatku tamuku agung, coba terangkan siapa dirimu pada tamu muda ini…” berkata Ratu Duyung.

Seolah sadar si gemuk itu turunkan kendi dari mulutnya.”Astaga, kukira aku masih berada di sorga! Rupanya sudah turun ke bumi!
Ha..ha..ha…!” Sepasang mata si gemuk berputar putar. Tubuhnya oleng ke kiri, menghuyung ke kanan.

“Tuan rumah Ratu Duyung, siapa yang kepingin tahu diriku yang jelek ini?”

Ratu Duyung anggukan kepala pada Wiro.

Murid Sinto Gendeng segera membuka mulut.”Namaku Wiro Sableng. Aku yang ingin tahu siapa adanya dirimu kalau kau tidak
keberatan…”
93

“Ha… ha… ha….! Wiro Sableng! Tak pernah ku dengar nama itu sebelumnya. Kalau Cuma pada seorang kurcaci jalek mengapa aku
harus menyembunyikan siapa diriku. Tapi tunggu dulu! Aku mau mabok dulu!” Si gemuk lalu tenggak lagi minuman keras dalam
kendi yang dipegangnya sampai habis. Begitu habis dia memaki. “Sialan! Bagaimana aku bisa mabok kalau Cuma minum sedikit?!”
Lalu! Wiro ternganga. Seperti menyantap kerupuk enak saja si gendut itu melahap kendi tanah itu, mengunyah dan menelannya
sampai habis! Wiro jadi leletkan lidah dibuatnya.

Selesai menghabiskan kendi tanah itu si gemuk bermuka setan ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggangnya lalu meneguk
isinya sampai setengah.”Nah, ini baru sedap. Aku sudah mabok! Ha… ha… ha….!” Tubuhnya kembali menghuyung tak karuan.

“Ratu Duyung, apakah kurcaci jelek yang tadi menanyakan siapa diriku masih ada di tempat ini?” Sepasang mata si gemuk pendek
berputar putar liar. Tangan kirinya mengusap usap perutnya yang buncit.

“Benar tamuku agung! Kurcaci jelek itu masih ada di sini!” menjawab Ratu Duyung.

Wiro pencongkan mulutnya karena dari tadi dia disebut sebagai kurcaci jelek.

“Kalau dia masih ada di sini tanyakan padanya apakah dia membawa nyawa cadangan karena aku ingin meminta satu dari dua
nyawanya itu. Aku tidak ingin meminta satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak serakah! Aku hanya minta satu saja… Biar enak
mabokku! Ha… ha… ha!”

Berubah paras Pendekar 212. Dia memandang pada Ratu Duyung tapi perempuan cantik itu diam saja.

“Ratu Duyung, tuan rumahku mengapa kau tidak menjawab?!” Si gemuk bertanya lalu teguk minuman keras dalam kendi.

Ratu Duyung memandang pada Wiro dan berkata. “Jawab pertanyaannya. Nyawamu tergantung pada bagaimana jawabanmu!
Salah menjawab berarti mati! Jangan berharap bisa lolos!”

Wiro merasa tengkuknya sedingin es. Keringat memercik di keningnya. Dalam hati dia berkata. “Orang gila harus dilayani gila.
Orang mabok harus dilayani secara mabok!”

Wiro melompat, menyambar sebuah kendi minuman keras yang dipegang salah seorang anak buah Ratu Duyung lalu meneguknya
hingga mengeluarkan suara keras.

Minuman keras itu menyengat mulut membakar tenggorokkannya.

“Tuanku besar raja kurcaci! Aku kurcaci jelek menemanimu mabok bersama! Mabok barengan lebih asyik dari sendirian! Ha… ha…
ha…!” teriak Wiro seraya acungkan kendi minuman keras lalu huyungkan dirinya ke kiri dan ke kanan.

“Ah…. Apa aku yak salah dengar? Ada kurcaci jelek yang memanggilku tuan besar raja kurcaci! Asyikk! Ayo teguk! Tenggak sampai
ludas! Mabok bersama memang bagus!

Tapi mana nyawa cadanganmu yang aku minta!” teriak si gendut pendek bermuka seram!

Wiro jadi tercekat. Tapi dasar gendeng dia tak kurang akal. Sambil tertawa haha hihi kendi di tangan kanan dikocok hingga
minuman keras muncrat ke udara. Begitu minuman itu melayang jatuh Wiro buka mulutnya lebar lebar. “Gluk…gluk…gluk!”
Minuman keras amblas masuk ke dalam tenggorokannya. Melihat apa yang dilakukan

Wiro itu si gemuk pendek tertawa bergelak. Tapi sesaat kemudian tetap saja dia berkata. “Ayo, jangan berani menipuku! Mana
nyawa cadanganmu!”

“Tuanku besar raja kurcaci! Kau mabok asyik. Pasti lupa. Bukankah nyawa cadanganku sudah kuberikan padamu malam tadi di
pintu gerbang. Kau menyimpannya di dalam kantong kulit ikat pinggang besar.”Mungkin benar aku lupa. Mungkin benar sudah
kusimpan….Eh, kurcaci jelek. Coba kau ambil dan perlihatkan nyawa cadanganmu itu padaku!”

“Mampus aku!” ujar Wiro. “Apa yang harus aku lakukan?” Dia melirik pada Ratu Duyung. Sang Ratu angkat bahu tak bisa menolong.
Wiro garuk garuk kepalanya. Sambil berpura pura terhuyung huyung Wiromelangkah mendekati si gemuk pendek. Dengan tangan
kirinya dibukakannya kantong kulit besar di ikat pinggang lalu tangan kiri itu dikepalkan dan dimasukkan ke dalam kantong. Ketika
tangan dikeluarkan masih dalam keadaan terkepal.

“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Nyawa cadangan sudah kuambil, ada dalam genggamanku! Silahkan kau melihat sendiri!” Wiro
lalu acungkan tangannya yang mengepal seperti menggenggam sesuatu.

Dengan kepala bergoyang goyang tak karuan si gemuk ini perhatikan kepalan tangan Wiro yang menggenggam. Lalu dia tertawa
gelak gelak.

“Kurcaci jelek! Kau Betul! Aku sudah lihat nyawa itu. Hai! Lekas kau masukkan kembali ke dalam kantong kulit! Aku khawatir nyawa
itu nanti terbang!”

“Perintah tuanku besar raja diraja kurcaci aku ikuti!” kata Wiro lalu kepalannya dimasukkan ke dalam kantong kulit.

“Bagus… bagus! Sekarang mari kita mabok lagi sama sama!” kata si gemuk sambil teguk sisa minuman keras yang ada dalam kendi.
Lalu seperti tadi kendi kosong dari tanah itu dilahapnya seperti melahap krupuk garing!

Wiro menunggu sampai si pendek gemuk ini meneguk kendi ke tiga. Lalu diapun bertanya. “Tuanku besar raja diraja kurcaci, aku
kurcaci jelek minta budi baikmu untuk memberi tahu siapa kau adanya!”
94

“Tentu… tentu, bukankah kita sekarang sudah jadi teman satu pemabokan?! Ha…. Ha…. Ha…! Dengar baik baik, dekatkan
ditelingamu padaku! Aku akan memberi tahu siapa aku adanya!”

Wiro cepat cepat angsurkan kepalanya dan dekatkan telinga kanannya ke mulut si gemuk pendek. Dia mendengar suara mendesis
halus.

“Sudah kau dengar kurcaci jelek?!” tanya si gemuk lalu meneguk minuman dalam kendi sampai berlelehan di dagu dan jatuh ke
perutnya yang telanjang.

“Aku tidak mendengar apa apa!” kata Wiro.

“Kurcaci tolol! Aku memang belum mengatakan apa apa!” kata si gemuk lalu tertawa mengekeh.

“Sial dangkalan!” maki Wiro dalam hati tapi terus pula tertawa gelak gelak.

“Kurcaci jelek, mari dekatkan lagi telingamu. Yang sebelah kiri saja. Yang kanan baunya membuat aku mau muntah! Ha… ha… ha!”
kata si gemuk pendek. “Setan! Maki Wiro. Tapi dia angsurkan juga telinga kirinya. “Namaku Iblis Pemabuk!” teriak si gemuk pendek.

Teriakan itu bukanj teriakan biasa. Demikian kerasnya hingga Wiro terpental dua tombak. Kepalanya seperti meledak dan dari
liang telinganya kelihatan darah mengucur. Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar di lantai ruangan, tak mampu bergerak.
Pendengarannya seolah tuli, bukan saja pada telinga kiri tapi juga pada telinga kanan!

“Eh, kurcaci jelek! Kau dimana…?!” teriak si gemuk pendek yang ternyata adalah Iblis Pemabuk.

Walau pendegarannya terganggu tapi dari gerak mulut si gemuk Wiro dapat menduga apa yang diucapkannya. Maka diapun
menyahut. “Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku kurcaci jelek ada di sini, mengeletak di lantai!”

“Walah! Lagi apa kau di sana?!” teriak Iblis Pemabuk.

“Lagi mabok!” teriak Wiro.

Iblis Pemabuk tertawa gelak gelak mendengar jawaban itu. Lalu dia melompat ke hadapan Wiro. Minuman keras di dalam kendi
diguyurkannya ke telinga kiri murid Sinto Dendeng. “Minumlah yang banyak biar tambah asyik mabokmu!” katanya.

Wiro merasa telinganya sperti disengat kalajengking. Dia cepat berdiri. Karena berdiri minuman keras yang masuk ke dalam telinga
kiri kini mengalir keuar. Dan terjadilah hal yang aneh. Telinga yang sakit tuli itu sembuh kembali! Darahnyapun lenyap tidak
berbekas. Pendegaran Wiro pulih kiri kanan.

“Manusia gila aneh tapi punya kepandaian yang sulit kujajagi!” kata Wiro memaki dalam hati tapi juga kagum.

“Ratu Duyung tuan rumahku, panas sekali udara di sini. Apa aku bisa minta tolong agar anak buahmu mengantarkan aku keluar?”
tiba tiba Iblis Pemabuk berkata setelah meneguk sampai sepertiga isi kendi yang dipegangnya.

“Tuanku besar raja diraja kurcaci, tunggu dulu! Aku kurcaci jelek masih ada satu pertanyaan. Kalau kau tak menjawab besok besok
aku tak akan menemanimu mabok mabokan lagi!”

“Dasar kurcaci geblek! Lekas bilang apa kau mau tanya!” bentak Iblis Pemabuk lalu bantingkan kendi yang masih banyak isinya itu
ke lantai hingga pecah dan minuman keras di dalamnya membasahi lantai.” Astaga! Apa yang aku lakukan?!” seru Iblis Pemabuk
seolah sadar dan menyesal. Lalu dia membuka mulutnya lebar lebar.

Minuman keras yang tergenang di lantai laksana disedot melesat ke dalam mulutnya hingga lantai menjadi kering!

Wiro leletkan lidah melihat kejadian itu.

“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku mau tanya begini! Ada manusia jahat berjuluk Tiga Bayangan Setan. Kebal pukulan sakti
kebal senjata tajam! Dia memiliki ilmu hitam yang dapat mengeluarkan tiga raksasa jejadian! Kalau dia dibiarkan hidup dunia
persilatan bisa kacau balau! Aku minta petunjukmu. Tolong beri tahu aku dimana letak kelemahannya!”

“Tiga Bayangan Setan….?” Sepasang mata Iblis Pemabuk berputar liar. Lalu dia tertawa gelak gelak. “Gelas angker tapi tak masuk
akal. Yang ada bayangannya itu cuma manusia! Setan mana ada bayangannya! Tiga sekaligus! Buset sompret! Tidak masuk akal!”
Iblis Pemabuk tertawa mengekeh sampai kedua matanya basah. “Tapi dengar, aku akan menjawab pertanyaanmu. Dengar baik
baik apa yang aku ucapkan. Tepat tengah hari bolong! Pilih yang di tengah!”

Habis berkata begitu Iblis Pemabuk membungkuk di hadapan Ratu Duyung yang dibalas dengan menjura dalam oleh Ratu Duyung.
Anak buah sang Ratu menyibakkan tirai biru. Iblis Pemabuk melangkah terhuyung huyung. Tiba tiba dia berbalik pada Wiro dan
tudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah murid Sinto Gendeng itu.

Astaga! Wiro sampai tergagau. Jarak antara dia dan si gemuk Iblis Pemabuk terpisah sekitar tiga tombak. Tapi saat itu Wiro merasa
ujung jari telunjuk itu telah menyentuh dan menekan hidungnya!

“Kurcaci jelek! Dengar baik baik! Aku tunggu kau pada matahari terbit hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran!

Wiro terkejut dan tak mengerti maksud ucapan Iblis Pemabuk itu. Namun waktu dia hendak bertanya si gemuk pendek ini telah
lenyap di balik tirai biru.
95

“Pangandaran…” desis Wiro. “Teka teki apa pula ini? Ada apa di sana? Mau mengajak aku mabokan?!” Murid Eyang Sinto Gendeng
berpaling pada Ratu Duyung. Dia tidak menemukan jawaban di wajah yang cantik jelita itu. Akhirnya sambil menggaruk kepala
Wiro bertanya. “Ratu Duyung lewat cermin saktimu apakah kau bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada hari sepuluh bulan
sepuluh di Pangandaran pada saat matahari terbit seperti dikatakan Iblis Pemabuk tadi?”

Perlahan lahan Ratu Duyung ambil cermin sakti di pangkuannya lalu memandang ke dalam kaca dengan sepasang mata terpejam.

Wiro melihat paras cantik itu berubah. Ketika kedua matanya dibuka Ratu Duyung berucap dengan suara bergetar. “Aku melihat
darah di seluruh pantai Pangandaran….”

** DUA BELAS **

Pendekar 212, apakah masih ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ujar Ratu Duyung. “Kurasa semua sudah kutanyakan. Banyak
yang belum sempat kutanyakan kau sudah memberi penjelasan…. Hanya ada satu hal, kalau aku memang bukan lagi sebagai
tawanan apakah aku bisa meninggalkan tempat ini?

Ratu Duyung mengangguk. “Pada saatnya kau bisa pergi dari sini dan pada saat yang kau suka kau bisa kembali ke sini…”

Wiro hendak berdiri tapi Ratu Duyung memberi tanda dengan mengangkat tangan.

“Sebelum kau pergi, jika memang tak ada pertanyaan lain, kini giliranku untuk mengajukan satu pertanyaan. Hanya satu, tak lebih
dan tak kurang….”

“Silahkan saja Ratu,” jawab Wiro Sableng seraya kembali duduk di kursi batu di hadapan sang Ratu.

“Apakah kau masih perjaka?”

Pertanyaaan itu diucapkan Ratu Duyung dengan tenang, wajah lembut dan perlahan. Tapi sampainya ke telinga Wiro seperti satu
ledakan keras. Dipandanginya wajah sang Ratu. Lalu dia tertawa gelak gelak. Namun ketika dilihatnya paras sang Ratu tidak
berubah menandakan bahwa dia memang tidak ada maksud bersenda gurau dengan ucapannya itu maka Wiro serta merta
hentikan tawanya. “Ratu Duyung, kau barusan menanyakan apa….?”

“Kau mendengar dengan jelas, aku tak akan mengulang pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung.

“Ah, mungkin dia merasa tersinggung,” pikir Wiro. Dia mendehem beberapa kali.

Lalu dengan polos dia berkata. “Ratu Duyung, mengingat apa yang telah kau perbuat padaku aku menghormatimu…” “Betul?” Wiro
mengangguk.

“Tak ada dendam mengingat hukuman yang telah aku jatuhkan padamu?”

Wiro menggeleng. “Kuharap kau jangan tersinggung dengan sikapku barusan. Pertanyaanmu sangat mengejutkan. Kau mau
menerangkan apa maksudmu…?”

“Aku akan terangkan setelah kau menjawab pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung pula.

Wiro garuk kepalanya. Lalu dia berucap.”Sampai saat ini aku memang belum pernah kawin. Maksudku menikah….”

“Bukan itu yang aku tanyakan. Kau masih perjaka artinya apakah kau pernah melakukan hubungan badan dengan perempuan?”

Wiro merasa kulit mukanya menjadi panas. “Aku tak pernah berzina…” katanya perlahan.

“Berzina ada beberapa macam. Zina mata, zina telinga, zina tangan dan zina badaniah…”

“Hemmm…Anu…Zina mata atau tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku lakukan. Aku bukan manusia tanpa rasa. Aku
pernah melihat wajah wajah cantik, aku pernah melihat hal hal yang dianggap terlarang, aku juga pernah mendengar sesuatu yang
kotor, aku pernah memeluk dan mencium gadis gadis. Tapi jika zina yang kau maksudkan, itu belum pernah melakukan. Tuhan
masih memeliharakanku dari yang satu itu….”

“Aku melihat di cermin sakti. Kau dan Bidadari Angin Timur bersatu badan berpeluk pelukan di dalam telaga. Hanya sayang yang
terlihat di cermin tidak begitu jelas. Apakah kau tidak mau mengakui bahwa kau telah melakukan…”

Wiro bangkit dari kursi batu. Dia geleng gelengkan kepalanya. “Waktu itu keadaan memang benar benar penuh kesempatan. Kalau
aku mau mungkin gadis itu pasrah saja mengikuti nafsuku. Tapi aku tidak melakukan hal yang satu itu. Bukan karena aku pemuda
baik baik, tapi karena aku sadar aku mencintainya dan tak akan merusak dirinya….”

“Apakah hal itu akan kau lakukan pada gadis yang tidak kau cintai…?”

“Ratu Duyung, kau lebih baik memberikan seribu teka teki padaku. Pertanyaanmu sulit kujawab…” kata Wiro pula.

Ratu Duyung terdiam sesaat. “Kalau ada seseorang menderita sakit. Tak ada obat penyembuhannya kecuali melakukan hubungan
badan. Jika diminta apakah kau akan melakukannya?”

“Ratu, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu…” kata Wiro pula lalu dia memandang lekat lekat pada perempuan cantik
bermata biru itu. “Ratu”… kata Wiro setengah berbisik. “Apakah kau menderita sakit? Apakah pertanyaanmu ada sangkut pautnya
dengan dirimu?”
96

“Aku tidak menderita sakit. Tapi hidupku dalam kutukan. Kutukan itu hanya bisa dimusnahkan jika ada seseorang melakukan
hubungan badan denganku dan dengan cinta kasih yang murni, semata mata tulus untuk menolong…”

“Kutukan…. Kutukan bagaimana Ratu…?” tanya Wiro.

“Aku akan coba menerangkan walau kau mungkin tidak mengerti… Aku dan juga semua anak buahku yang ada di sini dulunya
adalah para gadis kepercayaan seorang sakti penguasa laut selatan. Hidup kami penuh bahagia walau dalam alam yang tidak sama
dengan alam manusia. Namun dalam kehidupan iut terdapat larangan larangan yang tak boleh dilanggar. Satu ketika kami tertipu
oleh serombongan pemuda gagah yang tengah mengadakan pesta di pantai. Kami tergoda turun mengikuti pesta itu. Tidak sampai
di sana saja. Kami sampai melakukan hubungan badan walau sebenarnya tidak ada bagian tubuh kami yang cacat. Namun kami
telah melanggar larangan. Penguasa mengusir kami, mengutuk kami menjadi setengah manusia setengah ikan. Jika badan kami
tersentuh air tawar atau air laut bagian sebelah bawah tubuh kami akan menjadi ikan. Kami tidak akan bisa kembali ke dalam
keadaan semula kecuali ada seorang pemuda yang mengasihiku, melakukan hubungan badan dengan tulus semata mata mau
menolong…”

Wiro ternganga mendengar keterangan Ratu Duyung itu. “Jumlah kalian belasan mungkin puluhan. Apakah aku harus melakukan
hubungan itu dengan semua kalian?” tanya Wiro lalu dia menggerendeng sendiri karena merasa pertanyaannya itu adalah
pertanyaan tolol. Tapi Ratu Duyung mau menjawab. “Waktu hukuman dijatuhkan dan disumpahkan, aku mengatakan pada
penguasa laut selatan bahwa aku yang bertanggung jawab atas semua kejadian itu. Karenanya jika ada yang menolong diriku dari
beban kutukan maka semua gadis di sini akan terbebas dari kutukan yang sama….”

“Aku ingat anak buah yang kau bunuh di Ruang Penantian. Agaknya dia bermaksud hendak mengatakan hal yang sama padaku.
Tapi kau membunuhnya…”

“Aku menyesal melakukan hal itu. Tapi tak bisa kuhindari karena bahaya yang menghadang kepada Wiro selama ini Ratu Duyung
selalu memandang kepada Wiro dengan mata tak berkesip dan sikap gagah maka kini dia duduk dengan menundukkan kepala.
Diam diam Wiro merasa iba terhadap perempuan cantik bermata biru ini. Tapi bagaimana mungkin dia bisa menolong?” Aku
bukan orang alim. Melakukan hal itu pasti hemm…” Wiro garuk garuk kepala.

“Ratu, aku yakin ada cara lain untuk menghilangkan kutukan itu…”

“Kalau kau tahu katakanlah…”

Murid Sinto Gendeng kembali garuk garuk kepala.

“Ratu, maafkan pertanyaanku ini. Apakah pernah meminta hal yang sama pada pemuda lain…?”

Paras sang Ratu berubah merah. Bola matanya yang biru menyorotkan sinar aneh walau tak kehilangan pesonanya. Dia seperti
hendak meledak marah namun perlahan akhirnya dia tundukkan kepala. Kepala itu kemudian digelengkan.

“Betapapun dosa dan kesalahan telah kubuat, tapi aku dan semua anak buahku bukanlah gadis gadis rendah, bukan perempuanp
perempuan nakal. Aku tak pernah meminta pada siapapun. Aku tak akan pernah melakukannya kecuali jika aku menyadari bahwa
aku menyukai dan merasa cinta terhadap orang itu….”

Wiro mengusap wajahnya. Dalam hati dia berkata. “Jadi… dia mencintaiku… Ah, bagaimana ini! Aku ingin menolongnya tapi…”
Dipandanginya wajah sang ratu dengan perasaan semakin iba. Perlahan lahan dia berdiri menghampiri. “Ratu… Kalau ada cara lain
yang bisa kulakukan, aku pasti akan menolongmu. Maafkan diriku….”

Sambil menundukkan kepala menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca kaca Ratu Duyung mengangguk. “Aku kecewa
besar. Bukan terhadap dirimu, tapi terhadap nasib diriku dan kawan kawan. Namun walaupun kecewa ada rasa bahagia. Bahagia
bahwa aku pernah bertemu dengan seorang pemuda berhati jujur, berjiwa besar. Hanya satu kupinta, jika kelak kau berubah
pikiran hendak menolongku, datanglah kemari. Kayuhlah perahu dari muara Kali Opak. Kayuh ke tengah lautan. Di satu tempat
orang orangku akan menjemputmu…”

“Mudah mudahan kita akan mendapat satu petunjuk memecahkan persoalan ini…” kata Wiro.

“Kalau tidak aku akan terjerat di tempat ini. Untuk masa yang tidak satu makhlukpun dapat menghitungnya!” sahut Ratu Duyung.
Lalu ditanggalkannya cincin kerang warna biru di jari manis tangan kirinya. “Ambillah benda tak berharga ini. Mudah mudahan ada
gunanya….”

Wiro tak berani menolak. Khawatir Ratu Duyung akan tambah berduka. “Terima kasih,” katanya seraya menerima cincin itu. “Aku
akan menyimpannya baik baik….”

“Terima kasihku untuk itu,” ujar Ratu Duyung pula. Lalu dia menatap dalam-dalam ke arah sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng. Wiro merasa satu getaran aneh masuk ke dalam dua rongga matanya, terus menjalar ke rongga dada. “Pendekar 212, aku
minta maaf atas hukuman yang aku jatuhkan terhadapmu tempo hari. Tapi percayalah semua itu dengan maksud baik….”

“Terus terang aku sudah melupakan hal itu. Lagi pula aku memang pantas menerima hukuman. Lalu kaupun telah mengembalikan
kedua mataku.”

“Apakah kau merasakan suatu kelainan setelah matamu dimasukkan kembali ke rongganya?”

Wiro usap usap dagunya. Dia ingat lalu menjawab.”Aku merasa penglihatanku lebih terang, lebih bersih….”
97

“Coba atur jalan darahmu menuju kepala. Lalu salurkan tenaga dalammu pada kedua mata. Setelah itu kedipkan matamu dua kali.
Dan lihat apa yang terjadi….”

Wiro pandangi paras Ratu Duyung sesaat. Lalu diikutinya apa yang dikatakan. Begitu dia selesai mengedipkan kedua matanya
murid Sinto Gendeng tersurut beberapa langkah. Matanya diusap berulang kali. Lalu memandang ke kiri, ke kanan, berkeliling.
“Ratu Duyung…” kata Wiro tersendat. “Walau samar samar aku mampu melihat benda benda di luar ruangan ini….”

“Katakan apa saja yang kau lihat…” kata Ratu Duyung.

“Aku melihat beberapa orang anak buahmu di sebuah taman. Lalu di sebelah sana ada pedataran rumput. Di kejauhan aku lihat
Bukit Batu Putih…. Bagaimana ini bisa terjadi…?!”

“Kedipkan lagi kedua matamu dua kali,” kata Ratu Duyung.

Wiro mengikut. Penglihatannya kembali seperti semula. Penuh rasa tak percaya dia kerahkan lagi tenaga dalam dan kedipkan dua
matanya dua kali. Seperti tadi dia mampu melihat benda benda di luar ruangan.

“Ratu…”

“Pendekar 212, kini kau mempunyai ilmu baru. Kau mampu melihat satu benda yang terhalang oleh benda lain. Ilmu itu bernama
Menembus Pandang…Mudah-mudahan saja ada manfaat bagi dirimu.”

Terkejutlah Wiro mendengar kata kata Ratu Duyung. Dia melangkah mendekat. “Ratu….. Jadi hukuman mencabut mata tempo hari
itu sebenarnya….. Aku telah kesalahan menilai…. Sekarang aku sadar betapa tololnya diriku1”

Ratu Duyung tersenyum. “Aku punya sedikit ilmu yang bisa kubagi. Siapa tahu ada gunanya…”

Wiro Sableng geleng geleng kepala. Kedua tangannya diulurkan memegang bahu Ratu Duyung. Lalu dengan setulus hati diciumnya
kening perempuan itu seraya berbisik. “Aku banyak menerima budimu. Aku tak akan melupakan….” Lalu Wiro memeluk sang ratu
erat erat. Ratu Duyung hanyut dalam kebahagaiaan yang belum pernah dirasakannya. Namun dia cepat sadar diri. Pelahan lahan
dia melangkah mundur. Jari jari tangan kirinya dijentikkannya. Tirai biru di sebelah kanan bergerak.

Empat orang gadis berpakaian hitam ketat memasuki ruangan. Salah seorang di antaranya adalah gadis bertubuh jangkung yang
tempo hari menemui Wiro sewaktu diikat ke batu putih dalam menjalani hukuman.

“Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan.”

Empat gadis menjura lalu memberi isyarat pada Pendekar 212 untuk mengikuti.

Namun sebelum berlalu Wiro berkata. “Ratu waktu pertama datang kemari aku mengenakan pakaian lain. Walau jelek dan dekil
aku mohon pakaian itu dikembalikan padaku.”

“Kau akan mendapatkannya. Seorang anak buahku akan memberikan padamu sebelum meninggalkan tempat ini. Aku tahu
pakaian itu kotor namun yang sangat berarti bagimu adalah sekuntum bunga kenanga sakti yang tak pernah layu di salah satu
kantongnya, bukan begitu?”

Selagi Wiro terkejut mendengar ucapan Ratu Duyung, perempuan ini berkata lagi. “Jika kau bertemu dengan gadis dari alam gaib
bernama Suci berjuluk Dewi Bunga Mayat itu, sampaikan salam hormatku padanya…”

Wiro hanya bisa mengangguk. Dalam hati dia mengagumi betapa luasnya ilmu pengetahuan Ratu Duyung sampai sampai dia juga
mengenal Dewi Bunga Mayat. (Untuk jelasnya siapa adanya Suci atau Dewi Bunga Mayat silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul
“Dewi Bunga Mayat”)

“Satu lagi Ratu, pakaian hitam yang melekat di tubuhku saat ini apakah aku boleh memakainya terus. Atau harus kutanggalkan di
hadapan anak buahmu seperti kejadian dulu…?”

Empat orang anak buah Ratu Duyung tampak terkesiap mendengar kata kata Wiro itu. Mereka khawatir mendengar kata kata Wiro
itu. Mereka khawatir sang Ratu marah. Tapi ternyata Ratu Duyung tersenyum. “Kau boleh memakainya selama kau suka…”

“Terima kasih, aku minta diri sekarang.” Wiro membungkuk dalam dalam lalu melangkah mengikuti empat gadis anak buah sang
Ratu.

Hanya sesaat setelah Pendekar 212 meninggalkan ruangan itu, Ratu Duyung duduk terhenyak di atas kursi batu. Dia tak sanggup
lagi menahan runtuhnya air mata.

Dia menangis hampir tanpa suara. Sambil bersandar tangannya bergerak menekan sebuah tombol di lengan kanan kursi batu.
Terdengar suara berdesing. Tirai biru di hadapannya menggulung ke atas. Lalu tampak sebuah celah yang merupakan pintu
sebuah lorong pendek. Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Setengah berlari dia memasuki lorong itu hingga sebuah ruangan
berbentuk bundar. Di bagian tengah ruangan ini ada sebuah benda setinggi manusia tertutup kain beluderu merah muda.

Ratu Duyung menarik lepas kain beluderu itu. Begitu kain tersingkap kelihatan sebuah patung seukuran tinggi manusia yang
sangat halus buatannya. Patung itu memiliki wajah dan sosok tubuh menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di hadapan patung Ratu Duyung jatuhkan diri. Bahunya kelihatan berguncang. Kedua tangannya memegangi bagian kaki patung.
Tangis yang sejak tadi ditahan dan disembunyikannya kali ini tak dapat dibendung lagi. Ratapannya terdengar mengharukan.
98

“Wiro… Lima tahun aku menunggumu. Setelah kau hadir di sini ternyata aku tak mampu berharap dan meminta…. Kalau saja hidup
di tempat ini mengenal mati, aku lebih rela menghembuskan napas penghabisan saat ini juga….”

Tekanan batin dan keputusasaan membuat Ratu Duyung tak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Patung batu Pendekar 212 Wiro
Sableng dipeluk diciumnya dengan berurai air mata.

** TIGA BELAS **

Yang disebut Pintu Gerbang Perbatasan adalah tumpukan batu batu besar berbagai bentuk yang disusun demikian rupa
membentuk sebuah pintu gerbang. Saat itu udara terasa dingin dan malam sangat gelap karena bulan purnama dan bintang
bintang tak satupun menghiasi langit.

Tiga orang gadis berpakaian hitam ketat berjalan di depan Wiro. Mereka melangkah cepat menuju pintu gerbang batu. Wiro
mengikuti dengan buntalan kecil berisi pakaiannya tergantung di punggung. Di samping kanannya berjalan anak buah Ratu
Duyung, gadis cantik bertubuh jangkung.

Sejarak sepuluh tombak sebelum mencapai pintu gerbang gadis ini berbisik pada Wiro.

“Pada saat mencapai pintu gerbang batu, aku akan melompat melewatinya. Jika aku selamat maukah kau mengantarkan aku ke
satu tempat….?”

Tentu saja Wiro terkejut mendengar kata kata gadis itu. Dia ingat pada gadis yang menemui ajalnya di tangan Ratu Duyung di
Ruang Penantian.

“Aku tidak bisa memastikan. Tapi apakah rencanamu itu tidak akan mencelakai dirimu sendiri?”

“Hidupku dan kawan kawansudah lama dirundung celaka. Kalaupun muncul celaka besar yang bisa membunuh diriku, aku malah
akan merasa lebih tenteram…” jawab si gadis.

“Kau masih muda, mengapa sengaja mencari bencana?” mengingatkan Wiro. “Aku tahu masalah yang kalian hadapi. Suatu ketika
semua akan mencapai akhirnya. Kalian bisa kembali ke alam sebelum kalian berada di tempat ini…”

“Hemmmm…Kau pasti tahu itu dari Ratu kami. Tapi akhir yang kau katakan itu datangnya mungkin lama sekali. Bahkan bisa saja
tak pernah terjadi.” Jawab si gadis. Air mukanya agak berubah. Lalu dia berkata setengah menyesali.

“Tadinya aku mengira bisa menggantungkan secuil harapan padamu. Ternyata aku keliru. Jika kau tidak bersedia menolong tak jadi
apa. Tapi ketahuilah apapun yang terjadi aku tetap akan berusaha menembus keluar dari kungkungan kehidupan penuh tekanan
batin ini. Sejak lama aku sudah tak tahan. Kurasa kawan kawan yang lain begitu juga. Termasuk Ratu kami sendiri….”

Pintu Gerbang Perbatasan semakin dekat juga. Satu tombak dari hadapan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan pintu
batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan langkahnya. Mereka berpaling pada Pendekar 212. Wiro sendiri coba meneliti apa
sebenarnya yang ada di seberang pintu gerbang batu itu. Dia hanya melihat tebaran awan putih bercampur kelabu.

“Kami hanya mengantar sampai di sini,” kata gadis yang di tengah. Dia kawan kawannya tidak memperhatikan kawan mereka yang
satu si jangkung.

Wiro yang sudah tahu gelagat cepat melangkah ke bagian tengah pintu gerbang batu, maksudnya hendak menghadang perbuatan
nekat yang hendak dilakukan gadis jangkung itu. Tapi dia lupa kalau saat itu dia masih berada di alam aneh kekuasaan Ratu
Duyung. Lebih cepat dari langkah yang dibuat Pendekar 212 si gadis jangkung berkelebat.

Murid Sinto Gendeng hanya merasa ada sambaran angin. Ketika dia berpaling ke kiri gadis jangkung itu telah melesat di atas
kepalanya!

Tiga anak buah Ratu Duyung berseru kaget melihat kejadian itu. Mereka memburu tapi sadar lalu cepat bersurut.

Di depan sana mereka semua melihat gadis jangkung yang tadi melesat di udara kini melayang turun. Lalu terjadilah hal yang
membuat tiga gadis terpekik sedang Wiro keluarkan seruan tertahan.

Begitu tubuh gadis jangkung menyentuh tebaran awan, terdengar letupan keras lalu wusss! Satu kobaran api yang besar dan
garang tahu tahu menyelimuti tubuh gadis jangkung itu. Si gadis menggeliat kian kemari. Tanpa jeritan sama sekali tubuhnya
musnah tanpa bekas. Bersamaan dengan itu kobaran apipun padam.

“Kalau aku melewati pintu gerbang batu ini, lalu tubuhku bersentuhan dengan awan putih kelabu, apakah nasibku bakalan sama
dengan gadis nekat tadi….”

Apa yang ada dalam pikiran Pendekar 212 rupanya diketahui oleh tiga gadis di dekatnya. Salah seorang dari mereka lalu berkata.

“Keadaan dirimu tidak sama dengan kami. Tak usah ragu. Lewati Pintu Gerbang Perbatasan tanpa rasa takut tanpa ragu. Kau akan
kembali ke duniamu dengan aman….”

Wiro pandangi tiga gadis di hadapannya sambil garuk garuk kepala. Hatinya meragu dan kebimbangan terlihat di wajahnya. Tiga
gadis di hadapannya anggukkan kepala satu persatu untuk pertama kalinya mereka tersenyum pada pemuda itu.

“Selamat jalan….” Kata ketiga gadis hampir bersamaan.


99

Wiro lambaikan tangan kanannya. Dia melangkah menaiki tangga Pintu Gerbang Perbatasan sebelah dalam. Pada pertengahan
tangga batu, tepat di bawah pintu gerbang dia berpaling pada tiga gadis itu. Yang dipandangi kembali mengucapkan selamat jalan.
Wiro geleng geleng kepala. Kakinya kini menuruni tangga batu sebelah luar pintu gerbang. Dia melangkah lagi. Sesaat dia merasa
seperti melayang di udara.

Lalu kaki dan tubuhnya menyentuh awan putih kelabu. Pada saat itu juga terjadi satu hal yang tidak bisa dipercayainya.
Memandang ke bawah dia melihat kedua kakinya kini menginjak pasir pantai. Memandang ke depan dia dapatkan laut luas
terbentang ditebari pulau pulau di kejauhan. Ombak berdebur tiada henti di tepi pantai. Dua buah perahu lengkap dengan
pendayung terapung apung dipermainkan ombak.

“Aneh, bagaimana ini bisa terjadi…?” pikir Pendekar 212. Dia menoleh ke belakang.

Astaga! Pintu Gerbang Perbatasan lenyap. Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tak kelihatan lagi.

Selagi Wiro tercengang cengan seperti itu tiba tiba satu tangan besar memegang pundaknya. Murid Sinto Gendeng tergagau keras
saking kagetnya. Dia cepat membalik sambil bersiap menghantam. Saat itu juga meledak suara tawa keras sekali.

“Kerbau Bunting sialan!” maki Wiro lalu tarik pulang tangan kanannya yang siap menjotos.

“Selamat datang di dunia kita Sobatku Muda!” kata Dewa Ketawa. “Betapapun bagusnya dunia orang lain, jauh masih lebih bagus
dunia kita yang serba gila ini! Ha… ha… ha…..”

Mau tak mau Wiro jadi ikut ikutan tertawa.

Mendadak Dewa Ketawa hentikan gelaknya. “Eh, apakah kau sempat diajak tidur oleh Ratu Duyung bermata biru itu…?” Dewa
Ketawa bertanya.

“Bagaimana kau tahu….?” Balik bertanya Wiro dengan mata mendelik.

“Ha…ha…Sebelumnya dia pernah minta pendapatku. Kukatakan padanya agar menanyakan sendiri. Jadi sudah ya…?”Wiro
gelengkan kepala.

Dewa Ketawa pukul jidatnya sendiri. “Sayang aku sudah tua! Kalau saja masih muda dan segagahmu pasti aku yang duluan diminta
sang Ratu untuk masuk ke kamarnya! Ha…ha…ha!”

Dewa Ketawa menunjuk pada dua buah perahu yang ada di pasir pantai. “Pasti Ratu Duyung yang mengatur. Aku ambil satu kau
ambil satu. Kita tinggalkan tempat ini dan berpisah di sini. Kalau umur sama panjang pasti bisa bertemu lagi….”

Tubuh Dewa Ketawa melesat di udara lalu mendarat masuk ke dalam salah satu perahu. Walau nyata nyata tubuhnya yang gendut
itu berbobot lebih dari dua ratus kati perahu sama sekali tidak bergoyang!

Wiro juga tak mau menunggu lebih lama. Sekali berkelebat tubuhnya melayang di udara, berputar putar seperti bola. Di lain kejap
kedua kakinya menyentuh lantai perahu. Salah satu kakinya sengaja dipakai menginjak ujung kayu pendayung. Pendayung melesat
ke udara, sebelum jatuh murid Sinto Gendeng cepat melompat dan menyambar gagang pendayung selagi masih berada di udara.
Ketika turun lagi ke dalam perahu, perahu itu tetap tidak bergoyang!

“Ha…ha….ha! Pertunjukan hebat!” memuji Dewa Ketawa.

“Sobatku Gendut!” teriak Wiro. “Kalau ada undangan besar apakah kau mau datang ke satu tempat?”

“Tergantung siapa yang mengundang, kapan dan dimana!” jawab Dewa Ketawa seraya mulai mengayuh perahunya.

“Yang mengundang Iblis Pemabuk! Waktunya hari sepuluh bulan sepuluh! Saat matahari terbit. Tempatnya Pengandaran” jawab
Wiro.

“Waktunya cocok! Tempatnya sesuai! Si Pengundang tepat! Kita bisa mabuk sama sama di sana nanti!” Dewa Ketawa tertawa
panjang. Sekali dia menggerakkan tang an mengayuh, perahu yang ditumpanginya melesat menembus ombak.

** TAMAT **

Delapan Sabda Dewa


** SATU **

Walau matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara di permukaan laut terasa panas bukan main. Wiro pandangi baju dan
celana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia berpikir-pikir apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu
Duyung yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam
seperti itu. Mungkin itu sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang
ditumpangi Dewa Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran di permukaan laut.

Sesaat wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis
aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik kalau merasa tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi
mengingat permintaannya…”
100

Wiro geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya ada sebuah pulau
aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu. Dia tak mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar
biasa. Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-
pikir. “Mungkin terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah memandang ke langit, Wiro akhirnya memutuskan untuk menuju
ke pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara.

Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang tadinya sangat panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja dia
teringat pada manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng itu.

“Aku tak dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialan yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa dia berusaha
membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku
mau memberi ampun…”

Selagi pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak sepasang telinganya mendengar suara sesuatu diantara desau angin laut.
Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu yang tengah dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia tak
dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro
palingkan kepala ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah kiri.
Hatinya berdetak tidak enak.

“Ikan buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku
mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!”

Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya pada kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaan
air laut di sebelah kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua kali.

“Huh!” Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung saat itu
samar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda
berbentuk tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya ke kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit
sangat hitam menyelam dalam laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa senjata tombak bermata dua!

Dua makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu yang bersamaan.

“Byarr! Byarr!”

Dua makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit sangat hitam,
berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.

Wiro perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan dan bagian tengkuk
ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip. Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar biasa.
Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk berenang jarak jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut.

“Siapa kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng.

Dua makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah dan gigi
mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta
barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah!

Dari mulut kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak hitam
bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan kepala bagian kanan Wiro.

“Kurang ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan pendayung di
tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan.

“Bukkk!”

“Traakk!”

Kayu pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya makhluk
yang kena digebuk cuma menyeringai. Masih memegangi patahan kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu.
Ketika dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam air laut bergerak mendekatinya dan langsung
menyerbu lagi.

Kali ini mereka pergunakan tombak masing-masing untuk menusuk bagian bawah perut Pendekar 212!

Sambil melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke arah kepala
makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”.

“Praakk!”

Tendangan kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk sebelah kiri.

“Pecah kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat mental lalu amblas ke dalam laut.

Makhluk di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke atas dan coba
menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. tapi gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro
101

menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang satu ini terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit
menggidikkan.

Wiro menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin
membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum
sempat Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar teriakan keras.

“Huaahhh!” “Huaahhh!”

Dua makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat muncul dari dalam laut.
Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga di lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.

Meskipun terkejut besar melihat kejadian itu karena menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya namun Wiro tak punya
kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh
ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke punggung dan bagian belakang kepala!

“Mereka tidak main-main. Mereka memang ingin membunuhku!” ujar Wiro. Secapt kilat dia melompat lalu jatuhkan diri ke lantai
perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak ke
samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang disebut “membuka jendela memanah matahari”.

Hantaman tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan menyodok masuk
ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu.

“Buukk!”

Makhluk yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua tangannya
mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan
hantamkan satu jotosan ke dada Pendekar 212!

Wiro merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng topan melanda
samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan sakit Wiro
berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan kedua
tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke
dalam laut!

Di dalam air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu. Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian luar
biasa dalam hal berenang dan menyelam. Menghadapi mereka di dalam laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah
cidera akibat pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal
lawan yang tahu- tahu sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil menendang membuat gerakan jungkir
balik di dalam air. Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik dua lawan sudah menggempurnya kembali.

“Makhluk-makhluk hitam ini rupanya tahan pukulan dan tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar matahari. Tapi…” Wiro
jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya dan
apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di daratan?

Makhluk pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro. Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka
legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya.

Di depan sana makhluk yang berada paling depan terkesiap dan hentikan gerakannya berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan
Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut di sekitar tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk
perlahan- lahan berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama
lagi. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah makhluk paling depan.

Sinar putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang air yang mendadak sontak menjadi panas laksana mendidih
membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat
ke kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat. Tubuhnya kelihatan menggeliat merah dan mengepul lalu
terlempat jauh kemudian seperti sehelai daun kering melayang jatuh ke dasar laut.

“Heemm… mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil memandang berkeliling. Dadanya yang terkena pukulan lawan tadi
mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di
hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan yang kedua tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya.
Ketika dia coba melepaskan diri, tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas
hendak mematahkan batang leher Pendekar 212!

Wiro hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang. “Bukkk!”

“Bukkk!”

Hantamannya tepat mendarat di tubuh orang yang mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah cekalan semakin
ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang. Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air laut mengucur
masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan hidung!
102

“Celaka! Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun cekalan makhluk
yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan! Sementara itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana
punah. Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja.

Lawan yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku cerdik. Sambil terus mencekal berusaha mematahkan batang leher
Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro bergerak semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih
kencang. Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.

** DUA **

Pada saat yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar 212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya tinggal sekejapan mata saja
lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang paling dekat dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru si
nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang Dewa Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur.
Terakhir sekali muncul wajah Ratu Duyung.

“Ra… tu…” Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapi ucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk semakin banyak ke
dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang. Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna
putih. Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulu- bulu halus panjang. Nenek ini menyeringai memperlihatkan
gigi- giginya yang kecil serta lidahnya yang merah. Lalu sepasang matanya yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang
sesaat membuat Wiro jadi tersentak.

“Nenek Neko… Nenek Muka Kucing...” ujar Wiro. Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu.
“Koppo… Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak
memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yang mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”

Makhluk hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua matanya membeliak.
Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat keluar. Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan
cekalan lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo silahkan baca
serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai)

Wiro sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan megap-megap. Ada cairan
merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling. Di kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak.
Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahan- lahan dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum
lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari
persendian. Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya.
Wiro putar kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika melihat siapa adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua
perahu putih yang tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya.

“Makhluk Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali ke lantai
perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh
koreng membusuk.

Tiba-tiba sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia mendarat di atas perahu,
sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat itu sudah tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak
dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak dada Wiro. Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar
suara tawa bergelak.

“Mujur tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau masih bias lolos dari tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas!
Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di tanganku! Ha… ha... ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki
kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar 212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!

Hanya setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa Bala akan menghancurkan leher dan membunuh Pendekar 212 tiba-
tiba dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi
dada yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar. Keenam gadis ini bukan lain adalah anak buah Ratu
Duyung penguasa lautan di kawasan itu.

“Tahan!”

Enam gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling dan melihat
siapa yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain cadar jadi berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau
dikatakan gelisah.

“Jangan berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa Bala membentak.

Enam gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari telunjuk tangan kanan masing-masing.

Melihat tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro. Pada saat itu juga enam
jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka mengangkat jari masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam
sinar biru berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang
menjadi sasaran.

Makhluk Pembawa Bala berseru keras. Cepat dia tarik serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar jeritan orang ini. Tiga
ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang kelihatan
hangus.
103

“Kalau kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi bagianmu lebih dulu!,”
salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia setengah ikan membentak.

Mulut orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Dia maklum jangankan
enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis anak buah Ratu Duyung.

“Katakan pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang dating untuk bertemu muka denganku!”

“Ratu kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna sepertimu!” jawab salah seorang gadis.

Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat dari atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya.

“Sebelum kau pergi dari sini kami perlu mengajukanbeberapa pertanyaan!”

Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa jeri terhadap enam gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas. “Jangan
membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?”

“Kami perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya sejak sekian lama gentayangan di kawasan ini!”

“Hemm… Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa Bala mendongak lalu tertawa bergelak. “Katakan pada Ratumu, jika
dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan kalian!”

“Kau minta mampus! Terima kematianmu!”

Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa Bala. Orang ini cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu
dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu dikibaskannya menangkis serangan enam larik sinar biru.

“Wussss!”

Makhluk Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping itu bertebaran
di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas perahu
sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut. Enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai
beberapa lamanya.

“Tubuhnya tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan. “Pasti dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut.

Beberapa hari di muka baru mayatnya akan mengambang di permukaan laut…,” berkata gadis lainnya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari mereka bertanya.

“Sesuai perintah Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka dalam cukup
parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian
dada.

Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu. Pada bagian tengah dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing
lagi. Angka 212. Entah sadar entah tidak, gadis ini lalu mengusap dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini kawan di
sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin
saktinya dan melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!”

Wajah gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212 tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab, “Tak perlu bicara
keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat tertarik pada pemuda gagah ini…”

“Sudah! Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan memasukkan obat ke dalam mulutnya!”

Gadis pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu gadis kawannya
memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro. Sekali lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang
ada di dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam tenggorokannya terus ke perut.

“Sebelum matahari tenggelam dia akan siuman dan luka dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu kita harus
mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu tempat…”

Enam orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur
dalam keadaan pingsan.

** TIGA **

Pangeran Matahari merangkul gadis yang duduk di pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang kali.
“Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam katakana apa hasil peneyelidikanmu…”

Si gadis tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. “Salah…” katanya seraya membelai rambut di belakang
kepala Pangeran Matahari.

“Eh, apa yang salah?” tanya sang Pangeran.

“Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu hasil penyelidikanku!”


104

Pangeran Matahari tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si gadis lalu dikecupnya bibirnya lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis
dalam pelukan menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran Matahari cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat
kekasihku, urusan besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua sudah rampung seribu hari pun kau suka
aku akan melayani…”

Si gadis tampak cemberut tapi serta merta pejamkan matanya dan mengeluarkan suara lirih ketika Pangeran Matahari
menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada.

“Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si gadis setengah memelas.

Pangeran Matahari tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan padaku hasil penyelidikanmu…”

Si gadis melihat sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip. Ada sorotan sinar aneh yang membuatnya jadi tak
berani menatap. Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang
kau ingin ketahui, Pangeran?”

“Pertama sudah pasti menyangkut musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng. Menurut dua bersaudara Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan, mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit di luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan
dengan membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang kau ketahui?”

“Kemungkinan mereka memang telah membunuh Pendekar 212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi setahuku
tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum
cukup dijadikan tanda atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar sudah tewas? Atau mungkin dua senjata itu palsu
belaka?”

Pangeran Matahari mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan kepala. “Kapak dan batu sakti itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan
kepala Pendekar 212 jauh lebih meyakinkan daripada hanya mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku itu...“

“Turut penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan orang-orang kita, Pendekar 212 tidak diketahui lagi berada di mana.
Ada yang menduga mayatnya dilarikan orang ke satu tempat di tengah laut di selatan muara Kali Opak....”

“Hemmm.... Kalau keteranganmu benar mengapa kaki tanganku di kawasan itu belum datang memberitahu?!” ujar Pangeran
Matahari pula seraya mendongak dan usap dagunya yang ditumbuhi janggut pendek kasar.

“Kawasan laut selatan berada di bawah pengawasan penguasa tertentu yang memiliki beberapa pembantu. Salah seorang dari
mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu telah terjadi di kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami
benturan- benturan aneh....”

“Ratu Duyung dari dulu memang tidak pernah mau tunduk terhadap kita...” kata Pangeran Matahari pula. “Sudah saatnya kita
memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk setengah manusia setengah ikan itu....”

“Pangeran,” kata gadis yang duduk di pangkuan Pangeran Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan, pada saat sekarang ini
sebaiknya kita jangan mencari musuh baru dulu. Salah-salah urusan besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan... “

“Hemmm.... Kau betul. Usulmu aku terima!” kata Pangeran Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di bibir gadis itu.

“Kau lihat sendiri Pangeran. Aku tidak seperti gadis-gadis lain yang jadi kekasihmu. Mereka hanya menyediakan badan. Aku bukan
cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang saran....”

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk bahu si gadis dia berkata. “Itulah kelebihanmu, kekasihku. Itu
sebabnya kau mendapat tempat utama di sisiku.”

“Kalau begitu apakah sekarang kita bisa bersenang-senang?” tanya si gadis. Lalu kaki kirinya digelungkan ke pinggul sang Pangeran.
Pakaiannya yang tipis tersingkap. Ketihatan pahanya yang bagus mulus dan putih.

Pangeran Matahari mengusap paha itu berulang kali lalu berkata. “Masih belum saatnya kekasihku. Harap kau suka bersabar. Kau
harus kembali melakukan penyelidikan. Aku harus tahu apa yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar dia
sudah menemui ajal?”

“Nada suaramu masih saja membayangkan rasa was-was Pangeran,” kata si gadis pula. lalu tangannya meraba ke bagian dada
Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan pakaian yang dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang ke
dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa harus merasa gelisah dan selalu memikirkan Pendekar 212?”

“Ada ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu musuh sudah terlalu banyak sedang punya seribu teman masih kurang banyak!”

Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku menyelidik lag!, pergi dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan
saat ini?”

“Kataku harap kau bersabar. Masanya akan datang aku akan jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau kekasih tunggalku....”

Si gadis menarik napas dalam lalu perlahan-lahan dia berdiri,

”Kalau begitu ada baiknya aku minta diri sekarang juga,” katanya. Dia membungkuk sedikit untuk memeluk dan mencium Pangeran
Mata- hari. Namun dengan gerakan nakal dia menggoyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di tubuhnya serta
merta merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran Matahari balas memeluk maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang
105

Pangeran selalu menolak ajakan si gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia
berdiri dan slap hendak mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba, “Braaakkkl”

Pintu ruangan terpentang. Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan diri di lantai. Gadis cantik tanpa pakaian terpekik, cepat-cepat
menyambar pakaiannya yang tercampak di lantai laiu melompat tinggalkan tempat itu.

Pangeran Matahari tak kurang terkejutnya. Tampangnya merah mengelam, rahangnya menggembung hingga wajahnya berubah
seperti jadi empat persegi!

Orang yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai ke kaki berwarna
sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan
bibirnya merah.

Pangeran Matahari kerenyitkan kening. Kedua matanya mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana sepasang tangan manusia
hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke ujung-ujung jari tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih
menggidikkan.

“Jahanam! Apa yang terjadi dengan dirimu! Mana kawanmu?!” Pangeran Matahari membentak seraya melangkah ke hadapan
orang hitam yang terkapar di lantai.

“Ka... kawanku mati!” jawab orang hitam. “Mati?! Apa yang terjadi?!”

“Dia... dia mati dibunuh Pendekar 212....”

Tampang Pangeran Matahari berubah. Alisnya berjingkrak dan daun telinganya seperti mencuat mendengar ucapan orang hitam
itu. Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang itu hingga si hitam ini mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.

“Lekas katakan apa yang terjadi!” bentak Pangeran Matahari. “Mohon maafmu Pangeran... Kami tidak berhasil menjalankan tugas
yang kau berikan. Kawanku terbunuh. Aku sendiri kau bisa saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur oleh Pendekar 212!”

Kembali sepasang mata Pangeran Matahari memperhatikan kedua tangan orang hitam itu seolah tak percaya. Tulang-tulangnya
mencuat berpatahan.... “Ilmu apa yang telah dipakai mencelakai orang ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku
dia tidak memiliki ilmu kepandaian begini rupa....”

Pangeran Matahari mendongak. Otaknya berpikir keras. Tetap saja dia tidak bisa menerima keterangan si hitam.

“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya Pendekar 212!” bentak sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu kepandaian mematahkan
tulang seperti ini! Aku tahu betul!”

“Saya bersumpah memang dia yang melakukan. Kami mencegatnya di pantai selatan...”

Pangeran Matahari terdiam sesaat. “Jika kau memang telah berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin mencocokkan ciri-ciri
jahanam itu dengan apa yang kau saksikan. Bagaimana keadaan rambutnya?”

“Hitam lebat dan… dan gondrong..,” jawab si hitam.

“Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih di keningnya?” Si hitam menggeleng.

“Hemmmmm....” Pangeran Matahari bergumam. Kecurigaan bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia mengenakan
pakaian serba putih?”

“Ti... tidak Pangeran. Dia mengenakan baju dan celana hitam....” “Jahanam! Jelas orang itu bukan Pendekar 212! Seumur hidupnya
dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam! Kau berani mendustaiku!”

”Saya bersumpah saya tidak berdusta Pangeran...”

“Manusia keparat! Aku tanya padamu, apa benar kawanmu sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari seraya bungkukkan
tubuhnya sedikit.

“Dia memang telah menemui ajal Pangeran. Saya menyaksikan sendiri...” jawab si hitam yang masih terkapar di lantai sambil
menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran itu karena sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai kematian kawannya.

Di hadapan si hitam Pangeran Matahari menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu
kau susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia jelek dan tolol macam-mu!”

Habis berkata begitu Pangeran Matahari ayunkan tangan kanannya. Bersamaan dengan itu dia alirkan tenaga dalam dari bagian
dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis. Pangeran Matahari tahu betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak
mau susah. Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab iblis itu.

“Praakkk!”

terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi! Masuk ke ruangan dalam Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas
sebuah bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi. Pakaian tipisriya dipergunakan menutupi auratnya yang
penting tapi itu pun tidak mampu menutupi seluruh tubuhnya.
106

“Aku hampir yakin kalau Pendekar 212 memang sudah menemui ajal. Tapi aku merasa perlu menunggu sampai Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala musuh besarku itu....”

“Apakah sampai saat ini kau masih merahasiakan tentang diriku terhadap mereka?”

Pangeran Matahari mengangguk.

“Sebaliknya bagaimana dengan saudaramu. Aku tidak ingin....” “Kau tak usah khawatir Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak
mendengar mengenai dirinya. Entah berada di mana...” jawab si gadis yang duduk di atas bantalan empuk sambil menjulurkan
kakinya dan balik pakaian tipis.

Memandangi tubuh si gadis pikiran sang Pangeran jadi berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat untuk bersenang- senang kini
setelah membunuh lelaki hitam tadi rangsangan dalam dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan si gadis.
Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu ditariknya.

** EMPAT **

Sinar sang surya yang siap tenggelam membuat air laut kemerahan. Enam gadis anak buah Ratu Duyung yang mendorong perahu
berhenti berenang. Gadis yang bertindak sebagai pimpinan berkata.

“Kita mengantar sampai di sini. Di kejauhan ada sebuah pulau. Ombak akan mendorong perahu dan membawa pemuda ini ke
sana. Kita harus segera kembali. Ingat pesan Ratu. Kita tidak boleh berada terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak
bertebaran di sekitar kawasan ini.”

Lima gadis lainnya tidak menjawab. Dalam hati sebenarnya mereka ingin mengantar perahu berisi Pendekar 212 itu sampai ke
daratan, menunggu sampai dia siuman dari pingsan. Namun kelimanya tak berani membantah.

“Mudah-mudahan dia cepat sadar dan selamat. Mari kita kembali...”

“Tunggu dulu,” salah seorang dari lima gadis tiba-tiba berkata. “Ada apa?!”

“Aku mendengar seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan...” Empat gadis lainnya picingkan mata dan pasang telinga. Lalu hampir
berbarengan mereka mengiyakan. Gadis yang bertindak sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah mendengar apa yang didengar
lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara desau angin laut dan alunan gelombang bisa saja menipu pendengaran kita.
Kalaupun memang yang kalian dengar adalah suara orang menyanyi maka itu adalah satu keanehan. Siapa pula yang menyanyi di
tengah lautan begini rupa? Dan ingat pelajaran dari Ratu. Dibalik setiap keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya. Jadi, kalian
tak perlu banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!” pinggang ke bawah berbentuk ekor ikan besar itu melepaskan
tangan masing-masing dari perahu lalu berbalik. Sesaat kemudian keenamnya lenyap masuk ke dalam laut.

Perahu tanpa kemudi tanpa dikayuh itu meluncur perlahan dibawa alunan ombak menuju ke tenggara dimana di kejauhan
kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama sekali tidak kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di
bawah sinar matahari yang tenggelam dan udara yang mulai menggelap pulau itu kelihatan angker. Keangkeran itu bisa membuat
siapa saja jadi merinding karena dari pertengahan pulau yang gelap dimana terdapat gunung dan bebukitan batu merah tiba-tiba
sayup- sayup sampai terdengar suara orang menyanyi.

Laut selatan tak pernah tenang Gelombang selalu datang menantang Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta

Orang yang menyanyi itu duduk bersila di atas salah satu puncak batu berwarna merah. Tubuhnya tampak bungkuk dimakan usia.
Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai- lambai tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap namun
masih bisa terlihat keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya sebelah kanan yaitu mulai dari pertengahan kening, hidung,
mulut dan dagu berwarna biru. Di dalam mulutnya senantiasa ada segumpal sirih campur tembakau yang selalu dikunyahnya tiada
henti. Bahkan ketika menyanyi tadi sirih itu masih tetap berada dalam mulutnya namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-
olah mulutnya kosong tak berisi apa-apa!

Di hadapan orang tua berjubah putih ini, di atas batu, terletak benda aneh, entah batu entah logam. Benda ini mengeluarkan sinar
angker merah kebiruan seperti nyala sumber api yang sangat panas. Namun anehnya yang terpancar dari benda itu bukan hawa
panas melainkan satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin menjadi-jadi malah kini hawa di tempat itu terasa sangat
dingin. Si orang tua bermuka biru sebelah sampai-sampai kertakkan rahang menahan gigil kedinginan.

“Saatnya sudah tiba...” kata orang tua bermuka belang dalam hati. Seluruh kekuatan luar dalam dikumpulkannya agar tubuhnya
tidak ambruk oleh hawa dingin yang menggempur dari benda ber- cahaya di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh menggigil
orang tua ini angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung jarinya yang kurus keriput kelihatan bergetar kaku.

“Batu sakti batu pembawa petunjuk...” si orang tua berucap dengan suara bergetar. “Terbanglah tinggi, membubung ke angkasa.
Melayanglah turun menukik ke bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada
petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di
delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan itu berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk.
107

Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan
Sabda Dewa!”

Getaran tangan kanan si orang tua semakin keras. Benda di atas batu di hadapannya bersinar hebat menyilaukan. Didahului
dengan teriakan dahsyat orang tua itu pukulkan tangannya ke udara.

“Byaaarrr!” “Wussssss!”

Benda di atas batu bersinar. Tempat itu laksana diterangi sinar kilat. Lalu terjadi satu hal yang ajaib. Benda terang di atas batu
melesat ke udara, mengeluarkan ekor panjang cahaya terang. Di udara benda ini berputar tujuh kali berturut-turut. Lalu dengan
kecepatan yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda bercahaya itu melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke
tempat asalnya semula di atas batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di mana terdapat sebuah batu miring, diapit
oleh gugusan batu-batu karang runcing.

Kita kembali dulu pada saat tak lama setelah enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung melepas perahu kecil di dalam mana
Pendekar 212 terbaring dalam keadaan pingsan....

Perahu kecil dipermainkan ombak, meluncur perlahan ke arah pantai. pulau yang tertutup batu-batu besar berwarna merah
sedang di sebelah depan pulau itu dikurung oleh deretan batu-batu karang runcing laksana memagari.

Satu gelombang besar tiba-tiba muncul di tengah laut, menghantam ke arah pulau dalam bentuk ombak yang bukan olah- olah
dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto Gendeng berada dalam keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima
tombak, hancur berkeping-keping. Tubuh Wiro tampak berputar seperti kitiran lalu melayang jatuh melewati dua puncak runcing
batu karang kemudian terhempas di atas sebuah batu miring. Keningnya membentur bagian batu yang menonjol. Terjadi satu hal
yang aneh. Pada saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh ke atas batu Wiro masih berada dalam keadaan pingsan. Tapi
begitu keningnya membentur tonjolan batu yang menimbulkan luka serta kucuran darah, Pendekar 212 mendadak siuman dan
sempat bangkit sambil dua tangannya bersitekan ke batu.

“Apa yang terjadi dengan diriku. Di mana aku saat ini.... “ Dia memandang berkeliling sementara telinganya mendengar suara
deburan ombak tidak henti-hentinya memukul batu-batu karang yang memagari pulau batu merah itu.

“Aku mendengar suata deburan ombak. Berarti.... Eh, aku seperti mendengar suara orang menyanyi....” Murid Sinto Gendeng
memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah datangnya suara nyanyian itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang
diulang-ulang itu. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya melihat puncak-puncak bukit batu yang
menghitam dalam kegelapan.

“Aku akan pergunakan ilmu pemberian Ratu Duyung. Ilmu Menembus Pandang....” Wiro segera kerahkan tenaga dalam dan atur
jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia tidak dapat memu- satkan pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak
meraba. Ada cairan mengalir di keningnya, turun ke pipi kiri.

Saat itu keadaan belum gelap benar. Pantulan terakhir cahaya matahari masih bisa membuat Wiro mengenali bahwa cairan merah
yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri.

“Apa yang terjadi dengan diriku.... Aku terluka,” pikir Wiro. Dia mendadak saja merasa ngeri melihat darahnya sendiri.
Pendengarannya dipasang baik baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh kalau ada orang menyanyi di tempat ini. Manusia atau
jinkah yang menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam nyanyiannya tadi....”` Wiro siap untuk melihat dengan ilmu Menembus
Pandangnya. Tiba-tiba dia jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan sinar sangat terang melayang turun ke
bumi.

“Bintang jatuh…”piker Wiro. Kemudia n disa darinya kalau benda bercahaya itu melayan g jatuh ke arah nya.

“Astaga!” Wiro berseru kaget. Dia berusaha menggulingkan diri. Tapi benda bercahaya datangnya laksana kilat. Jatuh menghantam
kepalanya tepat pada bagian luka di kening sebelah kiri lalu amblas masuk ke dalam kepalanya!

“Wusss!”

Kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki bersinar terang benderang. Dia seperti
melihat ada ratusan bintang menyilaukan di depan matanya. Saat itu juga sekujur tubuhnya terasa sedingin salju di puncak
gunung hingga dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham bergemeletakan.

Wiro berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit tangannya yang menahan tubuhnya terkulai lemah ke samping.
Badannya jatuh terbujur di atas batu miring. Kesadarannya perlahan- lahan sirna.

Di atas batu miring tubuhnya yang sedingin es itu tidak bergerak sedikit pun. Kedua matanya terpentang lebar. Namun dia tidak
melihat apa yang ada di sekitar ataupun di atasnya. Dia seperti orang tidur nyalang. Satu kejadian aneh menyelubungi Pendekar
212. Dia tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana disedot masuk ke dalam alam pada masa sekitar tujuh puluh tahun yang
silam. Anehnya dirinya sendiri seolah-olah berada dalam pusaran waktu itu!

** LIMA **

Laut utara tampak tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di langit tak berawan kawanan burung laut terbang melintas di atas
kapal besar terbuat dari kayu.

Di buritan kapal Ageng Musalamat memeluk kakek berjubah dan bersorban putih erat-erat, mencium kedua pipinya berulang kali
dan berusaha menahan titiknya air mata.
108

“Muridku Ageng Musalamat, negeri Cina sangat jauh dari sini. Perjalanan menempuh laut bukan satu hal yang mudah. Kau telah
memutuskan untuk menerima undangan Raja di sana. Ini satu kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi
dirimu. Berarti kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu. Lebih dari itu kau membawa serta empat puluh orang yang
sebagian besar adalah murid-muridmu yang merupakan juga murid-muridku. Keselamatan mereka menjadi tanggung jawabmu....

“Wali Astanapura yang saya sebut dengan hormat sebagai Eyang Ismoyo Jelantik, guru saya tercinta. Perjalanan besar ini memang
bukan tanpa bahaya. Namun dengan bekal ilmu pengetahuan serta kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan bimbingan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang empat puluh akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat
pula kembali pulang ke tanah Jawa ini.”

Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala. “Bagaimanapun baiknya keadaan dan sambutan orang di sana, satu hal
harus kau ingat bahwa negeri itu adalah tanah asing. Jadi kau dan anak-anak harus pandai-pandai membawa diri. Jangan berlaku
sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Jangan pamerkan sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai.
Mungkin di negeri sana semua yang kau miliki itu tidak ada artinya sama sekali. Ingat peribahasa yang mengatakan mulut kamu
harimau kamu. Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Pesankan pada anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima waktu.
Itu tiang agama yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.”

“Terima kasih Eyang. Saya akan selalu ingat baik-baik semua pesan Eyang.... “

“Selamat jalan muridku. Doaku bersamamu....”

“Selamat tinggal Eyang. Doakan agar kami kembali cepat ke tanah Jawa ini....”

Wali Astanapura yang dipanggil oleh muridnya itu dengan sebutan Eyang Ismoyo Jelantik anggukkan kepala. “Kau harus kembali ke
sini tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng Sri Ageng Musalamat....”

“Saya mendengar dan saya berjanji Eyang...” jawab Ageng Musalamat.

Eyang Ismoyo berpaling pada seorang pemuda yang tegak di belakangnya sambil memegang sebuah kotak kayu jati berhias ukiran
Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan peti yang dipegangnya kepada Eyang ismoyo.

“Ageng Musalamat,” kata Eyang Ismoyo seraya membuka penutup kotak kayu, “Kotak ini berisi sebuah senjata sakti mandraguna
berupa keris. Baik mata keris, hulu maupun sarungnya terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga kekuatan- nya lebih
atos daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu sakti di Bali yang masih merupakan kakekku. Ketika dibuat senjata ini tidak
bernama. Ayahku kemudian memberinya nama yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku menitipkan keris sakti ini padamu untuk
diserahkan pada Raja, negeri Cina sebagai tanda persahabatan yang tulus.”

Eyang Ismoyo membuka penutup peti. Satu cahaya kuning membersit keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat hingga
lelaki berusia empat putuh tahun ini mengerenyit kesilauan. Meskipun silau namun Musalamat masih dapat melihat sosok keris
emas Kiyai Sabrang Tujuh langit yang ada dalam kotak kayu.

Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu menyerahkannya pada muridnya seraya berkata. “Simpan senjata mustika ini di
tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu mengawasinya. Tak ada seorang pun yang akan sanggup mencurinya....”

“Maksud Eyang ada satu kekuatan yang melindunginya?” tanya Musalamat.

Eyang Ismoyo menunjuk ke atas. “Tuhan Yang Maha Kuasa yang melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal berusaha
mencuri atau merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau selama berada dalam titipan yang sah maka orang jahat itu tak
akan sanggup melakukan. Keris ini akan menjadi sangat berat seolah seberat gunung batu!”

Ageng Musalarnat menerima kotak kayu itu dengan hati- hati. Lalu sang guru berkata. “Sebelum layar terkembang, sebelum kapal
besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu. Seumur hidup belum pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti kamar
ketiduran tuan puteri...?” Eyang Ismoyo memegang bahu muridnya. Walau sentuhan itu biasa-biasa saja namun Musalamat merasa
ada satu hawa aneh yang membuat tubuhnya mengikut kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah Musalamat
kalau gurunya bukan hanya sekedar ingin melihat kamar di dalam kapal.

Apa yang diduga Musalarnat ternyata benar. Begitu masuk ke dalam kamar di bawah buritan Eyang Ismoyo langsung mengunci
pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak kayu jati di dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih lebar yang
menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih dikeluarkannya sebuah benda berupa lembaran-lembaran daun lontar yang
sudah sangat tua membentuk sebuah kitab. Sepasang mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di tangan gurunya
dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno yang tergurat di sampul kitab.

“Kitab Putih Wasiat Dewa...” kata Ageng Musalamat dalam hati dengan dada berdebar. “Muridku, aku yakin kau pernah mendengar
tentang kitab sakti ini...”

Ageng Musalamat mengangguk. “Saya sudah lama tahu kalau Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,” jawab
Musalamat sambil matanya tidak lepas dari kitab tua yang berada di tangan sang guru.

“Kitab ini dibuat dan ditulis isinya oleh nenek moyang kita ratusan tahun yang silam. Siapa mereka adanya tidak diketahui. Yang
jelas pada masa kitab ini diciptakan nenek moyang kita masih belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua
kekuatan, semua kesaktian datang dari langit, daripada apa yang mereka sebut para Dewa. Walau demikian apa yang mereka
pelajari dan apa yang kemudian mereka ajarkan bukanlah satu perbuatan sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban asli yang
tidak tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama dan peradaban itu yang kini tetap kita pergunakan
109

sebagai panutan. Muridku, Kitab Wasiat Dewa ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti ini diwariskan padaku sekitar lima belas
tahun yang lalu. Aku telah membaca dan mempelajari seluruh isinya. Namun aku merasa kepan- daian apa yang aku dapat dari
kitab ini masih belum sempurna. Harus banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami pelajaran dan kesaktian yang ada di sini.
Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah lanjut dan tubuhku sudah sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu menemui ajal
sebelum aku dapat mengerti seluruh isi kitab ini. Kau masih muda, otakmu masih tajam dan tubuhmu masih kuat. Kurasa kau
akan mampu menguasai isi kitab ini jauh lebih cepat dariku. Aku tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab Wasiat Dewa
ini kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya beberapa lembar ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan
berasal dari kitab ini akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas segala kejahatan. Orang yang memberikan
kitab ini padaku pernah mengatakan siapa yang memiliki kitab ini dan mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi
penguasa dunia persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan...“

Eyang Ismoyo menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng Musalamat. Sang murid yang tidak menduga hal itu akan terjadi
tersurut mundur dengan muka pucat.

“Eyang... Sa... saya tidak berani menerima kitab sakti ini...” kata Ageng Musalamat dengan suara bergetar.

“Kau tidak berani. Apakah kau mau mengatakan apa sebabnya?” tanya Eyang Ismoyo seraya menatap tajam sepasang mata
muridnya. “Saya... saya merasa tidak layak memilikinya. Saya insan kecil yang tak mungkin mampu...”

“Muridku...” memotong Eyang Ismoyo. “Di mata Tuhan semua manusia itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain
adalah ketakwaan terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain ialah dari patuh pada larangan dan kukuh pada ajaranNya.
Aku mempercayakan kitab ini untuk diserahkan padamu. Jangan sia- siakan kepercayaan itu...”

“Eyang...”

“Aku pernah mendapat petunjuk dalam mimpi. Kau akan mampu menguasai isi kitab ini dalam enam kali bulan purnama. Selama
perjalanan ke negeri Cina yang akan menghabiskan waktu cukup lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan
menyelami serta mempelajari isinya... Terimalah!”

Dua tangan Ageng Musalamat tampak gemetaran ketika menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.

“Terima kasih atas kepercayaan guru. Amanat Eyang tidak akan saya sia-siakan,” Musalamat membungkuk dalam-dalam.

Eyang Ismoyo tersenyum. Tiba-tiba dia melangkah ke pintu. Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya.

“Ada apa Eyang?” tanya Ageng Musalamat. “Ada seseorang mencuri dengar pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua.

Mendengar ini Ageng Musalamat segera membuka pintu dan memeriksa keluar.

“Tak ada siapa-siapa...” katanya. Tapi dia yakin pendengaran sang guru tidak salah.

“Orangnya tentu telah menyelinap pergi. Muridku, ada seorang culas di antara empat puluh anak buahmu.”

“Saya menyesalkan kebodohan saya. Padahal saya telah memilih mereka dari orang-orang yang paling saya percayai. Agaknya saya
harus melakukan penyelidikan. Kalau perlu keberangkatan hari ini saya batalkan.”

Si orang tua gelengkan kepala seraya memegang bahu muridnya. “Jangan habiskan waktu untuk melakukan hal itu. Jika kau sudah
tahu ada seorang yang bersifat lancung yang harus kau lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap waspada. Bila dalam
perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu, kuperintahkan padamu untuk melemparkannya ke dalam lautan! Aku
pergi sekarang.”

Sri Ageng Musalamat cepat menyalami tangan gurunya dan menciumnya dengan khidmat. Lalu orang tua itu diantarkannya
sampai ke daratan.

Ketika kapal besar itu mulai meluncur meninggalkan pantai utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi beberapa orang
sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia baru bergerak sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas peman- dangan.
Dari saku jubahnya dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan bertemu lagi
untuk selama-lamanya dengan muridnya itu.

“Entah aku yang akan meninggalkan dunia fana ini lebih dulu, entah dia yang akan mendapat cobaan berat...” membatin si orang
tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan dia dari segala malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali ke tanah Jawa.”

** ENAM **

Laut malam mengalun tenang. Itu adalah malam pertama kapal kayu yang ditumpangi rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat
dalam pelayaran menuju utara. Setelah beberapa lama berada di anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid Eyang
Ismoyo itu turun ke bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia berdiri di atas sebuah kursi kayu lalu menggeser papan kecil di langit-
langit ruangan. Dari atas langit-langit kamar dikeluarkannya Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati kitab itu diturunkannya lalu
duduk di atas ranjang.

Ageng Musalamat sengaja menyembunyikan kitab sakti itu di atas loteng kamar tidur karena khawatir ada yang berniat jahat.
Apalagi dia sudah mendapat pemberitahuan dari sang guru kalau ada seseorang yang telah mencuri dengar percakapan mereka di
dalam kamar.
110

Sejak siang tadi sebenarnya Ageng Musalamat ingin membuka dan membaca isi kitab itu namun hatinya merasa tidak tenang. Hal
ini dapat dimaklumi. Beban yang diberikan Eyang Ismoyo dengan menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban kecil. Kalau
sampai dia tidak dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang akan celaka tapi rimba persilatan di tanah Jawa akan
mengalami bencana.

Ageng Musalamat memperbesar lampu minyak di atas kepala tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia membalik sampul Kitab
Wasiat Dewa.

Pada halaman pertama tertera serangkaian tulisan dalam aksara Jawa kuno berbunyi:
Bilamana datang kebenaran maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan mungkin bisa berjaya.
Tapi pada saat kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu membendungnya.
Kejahatan membakar dan merusak laksana api. Tetapi api itu sendiri sebenarnya adalah
kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk membakar mereka.
Bilamana api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna.

Ageng Musalamat membaca rangkaian kalimat itu sampai tiga kali lalu pejamkan mata merenungi dan meresapi. Sesaat kemudian
baru dia membuka halaman kedua Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.

Di halaman ini terdapat gambar kepala seekor harimau putih yang dikurung oleh lingkaran putih. Pada bagian bawah tertera
tulisan berbunyi:

Putih lambang kesucian dan kebenaran.


Harimau lambang keberanian dan kejantanan.
Barang siapa berjodoh dengan kitab ini maka kemana pun dia pergi harimau putih akan menjadi kekuatan, menjaganya dari segala
musuh, ilmu hitam dan iblis jahat.

Setelah mengerti betul apa yang tertulis di halaman kedua itu maka barulah Ageng Musalamat membalik memasuki halaman
ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan panjang dalam aksara Jawa kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa membaca
dengan perlahan dan hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.

Delapan Sabda Dewa

Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat, menguasai
yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa yang telah disabdakan.

Delapan Sabda Dewa adalah delapan jalur keselamatan.

Tanah - Sabda Dewa Pertama


Manusia berasal dan dijadikan dari tanah Kepada tanahlah manusia akan kembali
Karenanya manusia tidak boleh congkak dan takabur dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari gumpalan debu yang hina.
Yang kuasa kemudian memberikan kehormatan, menjadikannya makhluk pilihan karena memiliki pikiran yang membedakannya dengan
binatang.
Tanah bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa di- berikan kepada manusia untuk tempatnya berlin- dung diri, berkaum-kaum dan
mencari rezeki. Karenanya tidaklah layak kalau manusia merusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta berbuat kejahatan di
atasnya.
Tanah dan bumi diberikan Yang Kuasa untuk ke- bahagiaan ummat manusia. Karenanya manusia wajib berterima kasih dengan jalan
memeliharanya. Tanah tempat kaki berpijak. Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung
Ketika tanah dijadikan ajang pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa Mengapa manusia tidak berpikir dan
berterima kasih?

Air - Sabda Dewa Ke-dua


Lebih dari separuh bumi diciptakan Yang Kuasa dalam bentuk air
Air mengalir di bumi dan mengalir di tubuh manusia.
Air sumber kehidupan
Air membawa berkah
Mengapa manusia tidak berpikir?
Mengapa manusia berlaku keji mencemari air, membunuh makhluk yang hidup di dalam air dan di atas air
Air selalu mengalir dari atas ke bawah
Bukankah itu satu petunjuk bahwa mereka yang di atas harus menolong mereka yang di bawah? Pada saat manusia lupa dan tidak
berterima kasih atas segala berkah
Maka para Dewa berseteru dengan mereka Azab Yang
Kuasa pun turunlah
Dan air berubah menjadi bencana.

Api - Sabda Dewa ke-tiga


Ketika kecil menjadi kawan
Sewaktu besar menjadi lawan
Mengapa manusia tidak mau berpikir dalam mencari manfaat daripada kualat?
Api membakar seganas iblis
Di dalam tubuh manusia ada api yang mampu merubah manusia menjadi iblis
Barang siapa tidak mampu melawan api, bumi dan tanah akan meratap, air akan menangis manusia akan menjadi api puntung neraka.
111

Para Dewa terhempas dalam perkabungan.

Udara - Sabda Dewa Ke-empat


Udara sumber kehidupan
Dihembuskan Yang Kuasa ke dalam jalan pernapasan jantung sanubari manusia
Udara tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh tangan
Di dalam yang tidak terlihat dan tidak tersentuh itu ada berkah yang maha besar
Mengapa manusia masih mau berlaku culas
Mencemari udara dengan berbagai kebusukan
Ketika jalan napas tak dapat lagi menerima hawa kotor,
Para Dewa siap melihat kematian mengenaskan
Mengapa manusia tidak berpikir?

Bulan - Sabda Dewa Ke-lima


Sumber kesejukan dunia ini muncul dikala malam
Tiada keindahan melebihi malam dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang lembut
Mengapa manusia tidak bisa selembut sinar rembulan?
Padahal manusia memiliki pikiran, bulan tidak
Padahal manusia memiliki hati, rembulan tidak
Bukankah kelembutan sinar rembulan mencerminkan perasaan kasih?
Kasih dari orang tua terhadap anaknya
Kasih seorang pemuda pada gadis curahan hatinya
Kasih sesama insan
Bahkan binatang pun mempunyai rasa kasih
Lalu mengapa manusia terkadang melupakannya? Mengapa kasih dapat berubah menjadi kebencian
yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari siapa para Dewa akan mendapat jawaban?

Matahari - Sabda Dewa Ke-enam


Ketika bumi berputar dan matahari menerangi jagat
Cahaya terang menjadi berkah bagi seisi alam
Yang kuasa tidak ingin para makhluk dalam kegelapan
Tetapi mengapa banyak diantara mereka yang se- ngaja mencari memeluk kegelapan?
Tidakkah manusia berpikir
Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari cahaya matahari?
Ketika bumi menjadi gelap karena sinar matahari terhalang rembulan,
Apakah manusia merenungi arti semua ini? Mengapa ummat mengeluh teriknya matahari
Padahal diakhir dunia kelak mereka akan didera oleh seribu teriknya matahari
Padahal bukankah para Dewa telah memberi ingat akan azab setiap dosa?

Kayu - Sabda Dewa Ke-tujuh


Siapa yang menanam akan menuai
Itu janji Maha Pencipta
Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah
Sang Pencipta tiada akan melupakannya
Karena Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui
Lalu mengapa kemudian manusia merusak benlh, merusak yang tumbuh di atas tanah
Padahal mereka perlu tetumbuhan untuk dimakan Padahal mereka butuh pepohonan untuk berlindung Adakah manusia merasa bisa
hidup tanpa pohon dan kayu?
Ketika badai mengamuk dan pepohonan tumbang sama rata dengan tanah
Ketika para Dewa merenung mengingat dosa
Ummat manusia masih saja berbuat kerusakan
Padahal mereka punya otak untuk berpikir dan punya hati untuk merasa.

Batu - Sabda Dewa Ke-delapan


Ketika gunung batu meletus
Para Dewa bersujud minta ampun
Manusia menjerit, terhenyak dalam ketakutan
Tapi hanya seketika
Sesaat mereka terlepas dari bencana kembali me- reka lupa dan tegakkan kepala dengan congkak
Batu dijadikan Maha Pencipta agar manusia mem- pergunakannya untuk melindungi diri dari keganasan alam
Agar manusia ingat bahwa keteguhan iman harus dipegang sekukuh batu
Ketika iman runtuh seperti runtuhnya gunung batu
Para Dewa menangis meminta ampun
Apakah mata dan hati manusia telah berubah men- jadi batu, buta dan bisu tiada rasa?

Kanjeng Sri Ageng Musalamat terpekur lama meresapi apa yang barusan dibacanya. “Delapan Sabda Dewa...” katanya dalam hati
sambil memejamkan mata. “Sungguh luar biasa. Tak pernah kubaca tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila ditelusuri sangat
mendalam. Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa orang belum mengenal agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di
sini, dasar pemikiran sang penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa yang dimaksud penulis dengan para Dewa dalam kitab
ini? Para tokoh silat, para pemuka agama atau Dewa sungguhan...?”
112

Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya “Isi kitab ini mengandung makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus
ingat pada ajaran Sang Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan perduli lingkungan. Delapan Sabda Dewa ditutup dengan
rangkuman kalimat agar manusia memiliki iman sekokoh batu.... Lalu dimanakah letak kehebatan buku ini? Mana ajaran-ajaran
silat atau ilmu kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang menjadi penguasa dunia persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang
kubaca baru beberapa halaman. Masih ada halaman lain yang harus kubaca dan kuteliti...”

Perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat pergunakan jari-jari tangan kanannya untuk membuka halaman berikutnya yakni halaman
kelima.

Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu keanehan. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu dua jari
itu laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan.

“Astagfirullah, dua jari tanganku menjadi kaku. Tak bisa digerakkan. Aku tak mampu membalikkan halaman keempat untuk
membuka halaman ke lima....” Ageng Musalamat kerahkan tenaga luarnya “Celaka! Kini lima jariku semua jadi kaku!” Lelaki itu
terkejut dan berubah air mukanya. Selain heran dan terkejut ada sekelumit rasa penasaran dalam dirinya “Membalikkan halaman
kitab daun lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak menjadi kaku tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga
dalam mungkin jari-jariku bisa pulih dan aku mampu membuka halaman kelima....“

Berpikir sampai disitu Ageng Musalamat kerahkan tenaga dalam murninya dari pusar ke pergelangan tangan kanan terus ke ujung-
ujung lima jarinya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat lelaki ini keluarkan seruan tertahan dan wajahnya mengerenyit tanda
menahan sakit yang amat sangat.

Tangan kanannya seperti disambar petir terbanting ke samping dan ada. asap putih mengepul dari tangan itu. Ketika dia
memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah menjadi sangat merah laksana tersiram air panas.
Selagi Ageng Musalamat tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan yang amat sangat tiba-tiba kamar di mana dia berada itu
laksana runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman harimau. Bersamaan kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa
ngeri yang membuat bulu tengkuknya merinding!

“Ya Tuhan, lindungi diriku. Apa yang sesungguhnya terjadi. Jangan berikan cobaan padaku yang aku tidak sanggup
menghadapinya...”

Sekali lagi terdengar suara auman dalam kamar kayu yang sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat terbanting
ke dinding kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat Dewa. Kedua matanya membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya
muncul dua bayang-bayang aneh yang samar-samar membentuk sosok tubuh manusia dan sosok binatang besar!

** TUJUH **

Walau dua sosok di hadapannya tidak beda seperti asap tipis namun Sri Ageng Musalamat dapat melihat bahwa sosok pertama
adalah seorang tua bertampang gagah yang tubuhnya sangat tinggi hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh
langit- langit kamar. Orang ini mengenakan selempang kain putih dan memegang sebuah tongkat kayu berwarna putih. Sepasang
matanya berwarna kebiruan dan menatap tajam pada Ageng Musalamat yang saat itu masih terhenyak di atas ranjang kayu dan
tersandar ke dinding kamar.

Di sebelah kiri si orang tua, ini yang membuat Ageng Musalamat menjadi menahan napas dan keluarkan keringat dingin tegak
seekor harimau putih yang bukan main besarnya, memiliki tinggi tubuh sampai sepinggang orang tua berselempang kain putih itu.
Sepasang mata harimau besar ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak berkesip pada Ageng Musalamat.

Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya masih gemetar Ageng Musalamat bertanya.

“Or... orang tua.... Siapa kau adanya?” Dalam hati dia yakin saat itu bukan berhadapan dengan manusia dan harimau sungguhan.
Mungkin jin laut naik ke atas kapal bersama binatang peliharaannya? Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu berpenghuni
makhluk halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat diam- diam membaca berbagai ayat suci dan memahon
perlindungan pada Yang Maha Kuasa.

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat...” orang tua berbentuk bayangan dan menyebut nama lengkap murid Eyang Ismoyo itu. “Seratus
tahun lalu aku dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku sudah lama ditelan bumi. Kalau aku bisa muncui dan
berdiri di hadapanmu saat ini, itu tidak lain semata-mata adalah karena Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau putih di
sampingku bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul dan ikut bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami
datang untuk memberitahu padamu bahwa Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh dengan dirimu...”

“Da... Datuk Rao.... Aku tak mengerti maksudmu,” kata Ageng Musalamat.

“Kitab Wasiat Dewa yang ada di tangan kirimu itu tidak berjodoh dengan dirimu. Dengan kata lain apa-apa yang ada di dalamnya
tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya berkesempatan membaca sampai halaman ke empat. Dalam empat halaman itu
sesungguhnya kau telah mempelajari hal-hal besar yang orang lain tidak pernah mengetahui atau rnenyadarinya sebelumnya....”

“Orang tua, harap maafkan kalau kukatakan aku masih tidak mengerti. Izinkan aku bertanya, apa hubunganmu dengan kitab ini?”

“Kami adalah sesepuh terakhir yang diserahi tugas untuk menjaga Kitab Wasiat Dewa. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang
yang tidak mendapat izin dan ridho. Apalagi kalau sampai mempelajarinya....”

“Kitab ini aku terima dari guruku Eyang ismovo Jeiantik yang dikenal dengan panggilan Wali Astanapura...”
113

“Kami tahu hal itu...” kata si orang tua pula. “Beliau menyerahkan disertai pesan bahwa aku harus mempelajari serta menyelami isi
kitab ini. Kelak aku akan memiliki ilmu sangat berguna untuk membela keadilan dan kebenaran, menguasai dunia persilatan di
jalan Allah, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan.... Dia telah membaca isi buku ini walau katanya tidak tuntas. Karena
sudah terlalu tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku.... “

“Kami tahu, tapi ada yang kau tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak pernah membaca apalagi mempelajari isi Kitab Wasiat Dewa itu.... “

Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut mendengar ucapan orang tua berupa bayangan dan asap itu.

“Kami menitipkan Kitab Wasiat Dewa padanya melalui seseorang. Dia menjaga kitab sakti itu selama lima belas tahun tanpa sekali
pun berani membuka dan membaca isinya. Itu sesuai dengan pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu kelak
harus diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang itu ternyata adalah dirimu.... “

“Kalau kau sudah tahu hal itu berarti tidak ada halangan bagiku untuk mempelajari segala ilmu kesaktian yang ada di dalamnya.”

“Tidak Ageng Musalamat. Kau tidak boleh mempelajari isinya. Karena kau hanyalah seorang perantara yang dititipkan untuk
menjaga kitab itu baik-baik seperti kau menjaga keselamatan diri dan nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik, kau pun
harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau percayai.... “

Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua. “Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apakah kau mendengar dan
mengerti apa-apa yang aku ucapkan tadi?” bertanya Datuk Rao Basaluang Ameh.

“Aku mendengar, tapi terus terang harap dimaafkan sulit aku bisa mengerti semua ini. Kau menyebut dirimu sudah ditelan bumi
seratus tahun yang silam. Bagaimana aku bisa mempercayai hal-hal yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini...?”

“Ada hal-hal yang memang tak bisa dicerna oleh otak manusia, karena semua itu terjadi dengan kodrat dan kuasanya Tuhan. Bila
manusia memaksa untuk memecahkannya sedang dia tidak mampu melakukannya maka berarti manusia mendera dan menyiksa
dirinya sendiri. Namun apa yang aku katakan padamu tidak termasuk dalam hal-hal yang tak bisa dicerna akal dan pikiran itu. Kami
hanya meminta agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa baik-baik, jangan membaca dan mempelajari isi kitab mulai dari halaman
lima. Dan bahwa kau harus menyerahkan kitab itu kelak pada seseorang yang sangat kau percayai....”

“Siapa orangnya...?” tanya Ageng Musalamat.

“Kau akan tahu sendiri pada dua puluh tahun mendatang...” jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. “Datuk....”

“Kau berjanji akan mematuhi apa yang kami minta?” “Aku tak mungkin berjanji.... “

“Kalau begitu bersumpahlah!” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.

Ageng Musalamat menangkap nada suara yang mengandung ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas dirinya sebelum
kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua jari tangannya kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia
memaksa dengan mengerahkan tenaga dalam untuk membuka halaman ke lima dari Kitab Wasiat Dewa, sekujur lengannya bukan
saja menjadi kaku tapi juga melepuh merah laksana tersiram air panas! Sesaat Ageng Musalamat memperhatikan tangan
kanannya. “Jangan-jangan orang tua ini yang telah melakukannya...” kata Ageng Musalamat dalam hati. “Kalau aku menolak
permintaannya pasti dia akan melakukan sesuatu yang lebih hebat dari ini....”

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, aku tahu apa yang ada dalam benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berucap, membuat
Ageng Musalamat terkesiap.

“Jika kau merasa tidak sanggup menjaga Kitab Putih Wasiat Dewa, lebih dari itu tidak akan berlaku culas membaca seluruh isinya,
maka saat ini juga lebih baik kau serahkan kitab itu padakul”

Si orang tua angkat tangannya yang memegang tongkat. Tongkat kayu putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat. Saat itu
juga tubuh Ageng Musalamat tersedot ke depan. Keningnya menempel di ujung tongkat. Sementara sekujur tubuhnya terasa kaku
dan sedingin es! Putuslah nyali murid Eyang Ismoyo ini.

“Datuk Rao... Aku, aku berjanji akan menjaga Kitab Wasiat Dewa dan nanti akan menyerahkannya pada orang yang paling
kupercaya....“

“Kau tidak akan mengingkari janji?” “Tidak Datuk....“

“Bagus. Tapi harap kau ingat. Jika kau berlaku curang dan mengingkari janji maka kau akan mendapat malapetaka besar...“

“Aku tidak akan mengingkari janji Datuk,” kata Ageng Musalamat pula.

Datuk Rao Basaluang Ameh tarik tongkatnya sedikit. Ujung tongkat terlepas perlahan dari kening Ageng Musaiamat. Tapi
sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan terbanting ke dinding kamar.

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, kami tahu beban berat bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat Dewa. Apalagi kau akan berada di
negeri asing. Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya...”

“Apa maksud Datuk Rao?” tanya Ageng Musalamat.

“Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri....”
114

“Datuk hendak mengajarkan tlmu silat Harimau Dewa. Di dalam kamar sesempit ini? Bagaimana mungkin...”

Ilmu ini tidak perlu dilatih secara lahir. Pada saat kau memerlukan, ilmu itu akan menuntunmu menghadapi musuh…”

“Ilmu aneh luar biasa. Jika Datuk tidak bergurau maka saya menghaturkan terima kasih…”

“Mendekatlah ke sini Ageng Musalamat. Duduk di lantai di hadapanku,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.

Ageng Musalamat turun dari atas ranjang kayu. “Letakkan Kitab Putih Wasiat Dewa di atas pangkuanmu.”

Kembali murid Eyang Ismoyo melakukan apa yang dikatakan si orang tua berbentuk samar. Setelah Ageng Musalamat duduk di
keluarkan sebuah benda yang memancarkan sinar kekuningan. Benda ini ternyata adalah sebuah saluang terbuat dari emas.
(Saluang = sebentuk seruling khas Minangkabau yang biasanya terbuat dari bambu).

Datuk Rao dekatkan ujung saluang ke mulutnya. Sesaat kemudian menggemalah suara alunan seruling, lembut berhiba- hiba.
Harimau putih besar di samping sang Datuk tiba-tiba melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. Orang ini serasa terbang
nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala
Ageng Musalamat sampai ke pangkal leher masuk ke dalam mulutnya.

Murid Eyang Ismoyo ini tidak sempat merasakan adanya hawa dingin yang keluar dari mulut harimau putih karena dirinya
langsung pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki kepalanya terus mengalir ke tangannya kiri kanan.

** DELAPAN **

Pemuda berpakaian biru berikat kepala merah dan bertubuh tegap itu sesaat tegak tak bergerak di depan pintu kamar. Dari balik
tumpukan peti-peti besar melangkah keluar seorang lelaki separuh baya. Mereka adalah anggota rombongan dan murid-murid
Ageng Musalamat. Lelaki yang melangkah dari balik peti menegur pemuda yang berdiri di depan pintu kamar Ageng Musalamat.

“Cagak Guntoro, sedang apa kau di situ? Air mukamu kulihat aneh.”

Pemuda bernama Cagak Guntoro tersentak kaget oleh teguran yang tiba-tiba itu. “Kakak Munding Sura, syukur kau datang. Aku
mendengar suara suara aneh dari dalam kamar pimpinan kita Kanjeng Sri Ageng Musalamat.”

Munding Sura tersenyum. “Kau baru sekali ini mengarungi laut naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara angin laut tentu
telah mempengaruhi pendengaranmu.”

“Aku tidak tertipu pendengaran sendiri kakak Munding. Aku barusan dari geladak. Kanjeng Sri Ageng tidak ada di sana. Aku yakin
dia berada dalam kamar...”

“Malarn belum larut, tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk kamar untuk tidur...” kata Munding Sura pula. “Suara-suara aneh apa
yang tadi kau dengar?”

“Suara seperti orang jatuh. Mungkin juga suara orang dibanting ke dinding. Lalu aku dengar Kanjeng Ageng bicara. Tapi lawan
bicaranya tak kedengaran suaranya...”

“Kau ngaco Cagak! Apa kau kira pimpinan kita tidak waras bicara sendirian dalam kamar? Hemm... mungkin dia memang sudah
Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam...“

Munding Sura hendak berlalu tapi Cagak Guntoro cepat memegang bahunya dan berkata. “Kalau kita pergi begitu saja tanpa
menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dirinya?”

“Lalu apa yang ada di benakmu?” tanya Munding Sura.

Cagak Guntoro tidak menjawab. Dia melangkah mendekati pintu lalu mengetuk. Tak ada jawaban. Pemuda ini mengetuk sekali lagi.
Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di dalam?”

Tetap tak ada jawaban. Cagak Guntoro memandang pada Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak enak.

“Buka pintunya. Kalau terkunci buka paksa!” kata Munding Sura.

Cagak Guntoro coba membuka pintu. “Dikunci dari dalam...” bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan
bahunya untuk mendorong. Sekali mendorong pintu kamar terbuka. Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura mengikuti.
Namun belum sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini melompat mundur sambil berbarengan keluarkan seruan
tertahan.

Di dalam kamar yang tak seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng Musalamat tampak terbujur di atas ranjang kayu. Punggungnya
tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada sebuah kitab daun lontar dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng Musalamat
tampak tak kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua anggota rombongan itu terkejut bukan kepalang bahkan
ngeri. Muka itu telah berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Kejadian ini hanya terlihat sebentar karena sesaat kemudian
perlahan-lahan wajah Sri Ageng Musalamat kembali pulih ke bentuknya semula. Cuma hanya sepasang matanya saja yang
kelihatan terkatup.

“Apa yang terjadi dengan pimpinan kita? Barusan mukanya seperti harimau...” kata Cagak Guntoro dengan suara bergetar karena
masih diselimuti rasa ngeri.
115

“Aku mencium bau kemenyan,” balas berbisik Munding Sura. “Yang begini merupakan tanda-tanda ilmu hitam...”

“Tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng memiliki ilmu hitam. Kita semua tahu betul hal itu!” kata Cagak Guntoro pula.

“Jangan-jangan ada seseorang telah berbuat jahat terhadapnya. Kita harus segera membuat dia sadar...” Munding Sura masuk ke
dalam kamar. Namun saat itu perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat membuka kedua matanya. Dalam keadaan sadar dia segera
ingat akan apa yang barusan dialaminya. Namun tidak bisa memikir panjang karena dilihatnya ada dua orang anak buahnya
berada dalam kamar.

“Cagak Guntoro, Munding Sura! Ada apa kalian berada dalam kamarku?!” tanya Ageng Musalamat.

“Maafkan kami berdua Kanjeng Sri Ageng. Kami tidak bermaksud lancang. Namun tadi Cagak Guntoro mendengar suara gaduh
dalam kamar....”

“Betul Kanjeng. Saya mendengar suara seperti sosok tubuh terbanting ke dinding.... Kami mengetuk pintu kamar. Juga memanggil-
manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena khawatir terjadi apa-apa dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk...,” Begitu Cagak
Guntoro menerangkan.

“Waktu masuk kamar ini terselubung bau kemenyan...” menambahkan Munding Sura. “Begitu masuk kami lihat Kanjeng tersandar
ke dinding. Mata terpejam entah tidur entah pingsan. Syukur sekarang Kanjeng sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami
minta diri....”

“Tunggu...” kata Ageng Musalamat. “Selain suara orang terbanting ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara lain...?”

“Kami mendengar Kanjeng bicara dengan seseorang. Tapi waktu kami masuk tidak ada siapa-siapa di kamar ini selain Kanjeng.... “
Menjawab Cagak Guntoro.

“Hemmm.... Berarti mereka tidak mendengar suara auman harimau putih itu. Juga tidak mendengar suara seruling dan suara
Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng Musalamat.

Munding Sura melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng Musalamat dan masih dalam keadaan terbuka. Melihat orang
melirik baru Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya. Lalu dia bertanya.

“Apa kalian masih mencium bau kemenyan di kamar ini?” Dua anak murid menggeleng.

“Kalian boleh pergi. Tak usah khawatir. Tak ada apa-apa di sini. Aku berterima kasih kalian punya perhatian atas keselamatanku....
Sebelum pergi mungkin ada hal lain yang hendak kalian katakan padaku?”

Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding Sura. Pemuda itu memandang maksudnya untuk memberi isyarat pada lelaki
itu apakah akan diceritakan saja bagaimana tadi mereka menyaksikan wajah sang Kanjeng berubah seperti muka seekor harimau
putih. Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat membungkuk hingga Cagak Guntoro terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu.

Sampai di geladak Munding Sura memegang lengan Cagak Guntoro lalu bertanya berbisik. “Waktu di dalam kamar tadi kau berada
lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa kau sempat memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?”

“Sempat, tapi aku tak tahu buku apa. Tulisannya kecil-kecil. Lagi pula ditulis memakai huruf Jawa kuno. Aku tidak begitu pandai
membaca tulisan Jawa kuno... Kenapa kau menanyakan kitab itu?”

“Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan Kanjeng tadi...”

“Hem, bagaimana kau bisa menduga begitu kakak Munding Sura?” tanya Cagak Guntoro. Munding Sura terdiam lalu mengangkat
bahu. “Kurasa Kanjeng tidak suka kita membicarakan apa yang tadi kita saksikan. Sebaiknya kita lupakan saja kejadian itu....”

“Kurasa begitu...” kata Cagak Guntoro. Lalu dia menepuk bahu Munding Sura dan berbisik. “Lihat, Kanjeng Sri Ageng ada di ujung
buritan sana....

Memang ada baiknya dia berada di laut terbuka begini berangin- angin. Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang sehat. Panas
dan pengap.”

Sambil berpegangan pada pagar kayu kokoh di buritan kapal sebelah kiri Ageng Musalamat meraba dadanya. Di balik pakaiannya
tersimpan Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di dalam kamar, kitab itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun
dia pergi. Memandang ke arah lautan luas yang menghitam dalam kegelapan malam Ageng Musalamat merenungi apa yang
telah,dialaminya.

“Dua puluh tahun.... Menurut orang tua yang muncul secara aneh itu aku harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada seorang
yang paling aku percayai. Padahal Eyang Ismoyo jelas-jelas me- ngatakan jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab ini aku akan
menjadi penguasa dunia persilatan. Hemmm... mengapa orang tua itu berdusta? Kalau saja sebelumnya dia menceritakan terus
terang pa- daku bahwa kitab ini tidak berjodoh rasanya bebanku tidak akan seberat ini. Atau mungkin dia sendiri tidak mengetahui
kalau dirinya, dan juga diriku hanya ketitipan saja sebelum Kitab Wasiat Dewa sampai di tangan orang yang benar-benar berjodoh?
Lalu siapa pula gerangan orang yang beruntung itu?”

Ageng Musalamat menarik napas dalam berulang kali. “Waktu kutanya apakah ada hal lain yang hendak disampaikan, Cagak
Guntoro kulihat seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Munding Sura cepat-cepat keluar hingga pemuda itu tak sempat bicara.
Atau mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro mengatakan. Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.”
116

Lama Sri Ageng Musalamat merenung dan berpikir-pikir di buritan kapal. Dia baru beranjak dari situ ketika angin laut terasa
semakin kencang dan lembab.

Ketika dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam, langkah Ageng Musalamat serta merta terhenti. Peti kayu berukir tempat
disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit dilihatnya tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan membuka
tutupnya untuk memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit menyilaukannya. Hatinya lega mendapatkan senjata mustika itu masih
berada dalam peti.

“Peti ini sebelumnya berada di atas meja kecil sana. Bagaimana mungkin tahu-tahu berada di lantai? Pasti ada seseorang yang
coba mencurinya...“ Lalu Ageng Musalamat ingat akan keterangan Eyang Ismoyo. Barang siapa bermaksud jahat dan mencuri keris
sakti itu maka senjata itu akan berubah beratnya laksana segunung batu! Ageng Musalamat coba mereka-reka. “Ada seseorang
menyelinap masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya keluar kamar tiba-tiba keris menjadi sangat berat
hingga dia tidak mampu mengangkat dan lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk. Pencuri laknat. Ada pengkhianat dan
pencuri di atas kapal ini. Celakanya dia adalah salah seorang dari murid-muridku!”

Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan buritan. Cagak Guntoro ditemuinya lebih dulu. Pemuda ini terduduk di
salah satu sudut kapal. Kaki kanannya tampak bengkak dan luka. Seorang kawannya sibuk menguruti kaki yang cidera itu.

“Hemm.... Dia rupanya,” kata Ageng Musalamat dalam hati. Dia melangkah mendekati orang yang mengurut dan menepuk
bahunya. “Pergilah... Biar aku yang meneruskan mengurut kakinya.”

“Kanjeng.... Tak usah. Biarkan saja dia...” kata Cagak Guntoro. Namun pandangan mata pimpinan mereka membuat pemuda yang
tadi mengurut segera berdiri dan tinggalkan tempat itu. Setelah me- reka berada berdua saja Ageng Musalamat berjongkok di
depan Cagak Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia berkata.

“Hemmm... Cidera kakimu cukup parah. Apa yang terjadi Cagak Guntoro?”

“Kakiku kejatuhan salah satu besi penahan tiang layar kapal...“ “Pasti kau tidak berhati-hati. Malu rasanya pemuda sehebatmu bisa
dihajar lawan tidak bernapas seperti besi itu!” Ageng Musalamat

menyeringai. Lalu tangan kirinya bergerak memegang kaki kanan mu- ridnya itu. Pegangan sang Kanjeng bukan pegangan
sembarangan karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak Guntoro teraduh-aduh kesakitan.

“Dengar, aku bisa meremukkan tulang kakimu mulai dari ujung jari sampai ke mata kaki...” kata Ageng Musalamat dengan suara
tajam dan pandangan mata tak berkesip.

“Kanjeng.... Apa maksudmu?” tanya Cagak Guntoro sambil menahan sakit.

“Katakan apa yang sebenarnya terjadi! Kakimu itu cidera bukan karena kejatuhan besi kapal!”

“Aku tidak berdusta Kanjeng. Perlu apa....”

“Waktu aku berada di buritan kau menyelinap masuk ke dalam kamarku. Berusaha mencuri peti kayu berisi keris Kiyai Sabrang
Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba menjadi berat dan kau tidak mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari tanganmu, jatuh
menimpa kaki kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro tampak berubah mukanya.

“Kanjeng... aku tak pernah berdusta padamu.... Mengingat budimu aku menghormati lebih dari menghormati orang tua sendiri...“

“Kedua orang tuamu sudah mati! Tak perlu disebut-sebut. Aku tidak percaya pada keteranganmu. Ingat, kau dulu kupungut dari
pasar sewaktu jadi pengemis kecil, kurus kering dan korengan. Hebat kalau kau menyebut segala budi. Kau memang telah
membuktikan. Dengan mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu bagaimana saktinya senjata itul”

Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggeleng- gelengkan kepalanya berulang kali. “Menurut pesan Eyang Ismoyo
manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku
cabut. Derajatmu sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak
terbukti bahwa memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka aku akan memikirkan untuk memulihkan
kedudukanmu kembali!”

Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu.

“Kanjeng!” panggil Cagak Guntoro. “Kau keliru Kanjeng. Aku bersumpah bahwa aku tidak....”

Ageng Musalamat tidak perduli. Dia melangkah terus dan akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di tangga yang
menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura. Anak
muridnya ini segera ditariknya ke salah satu sudut di bawah tangga.

“Aku perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!”

Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun Munding Sura menjawab juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak
kau tanyakan?”

“Sewaktu kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak dikatakannya.
Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku. Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian berdua
cepat-cepat meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu yang kalian tidak mau mengatakan!”
117

“Kanjeng....”

“Aku menunggu Munding Sura. Katakan cepat!”

“Waktu kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami
tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau pingsan. Cuma kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya....”

“Maksudmu?” tanya Ageng Musalamat.

“Muka Kanjeng tidak seperti muka manusia....”

“Munding Sura!” bentak Ageng Musalamat. “Jangan kau bicara ngelantur...“

“Saya tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi muka seekor harimau
putih...“

Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak demikian terkejutnya Ageng Musalamat. “Mukaku berubah menjadi muka
seekor harimau putih katamu?!”

Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan kepala.

Ageng Musalamat tegak tak bergerak. Ingatannya kembali pada apa yang terjadi di kamarnya. Muncul sosok Datuk Rao dan seekor
harimau putih. Lalu harimau putih itu mendekatinya dan membuka mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan
kepalanya ke dalam mulutnya, dia jatuh pingsan. “Orang ini tidak berdusta,” membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada
ucapan Datuk Rao. “Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya... Kau akan
kami berikan satu jurus untuk menjaga diri...“

“Berarti....” Ageng Musalamat usap-usap dagunya, “Datuk Rao memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau
Dewa...”

** SEMBILAN **

Kedatangan rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow. Bersama
utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu
rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia sengaja mengirimkan orang-orang seagama untuk
menyambut kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan. Seorang penterjemah yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di
tempat itu dan kelak akan mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi.

Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak lelaki kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi
selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau.
Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum. Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.

“Ah, rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun belakangan ini aku berusaha
mengurangi merokok karena kurang baik untuk kesehatan. Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku
berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri Ageng Musalamat tertawa lebar. Diusapnya kepala anak lelaki
itu berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan
asapnya tinggi- tinggi ke udara.

“Terima kasih... terima kasih...” kata Ageng Musalamat berulang kali seraya membungkuk. Dia berpaling pada anak lelaki yang
barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah lama diharapkannya. “Anak ini walau kurus tapi memiliki
bentuk tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang bola yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu
bisa ditemukan yang seperti dia....”

Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya. “Anak gagah, siapa namamu?” Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si
penterjemah apa yang ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak dan suara lantang menjawab.

“Nama saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa Chungwei!”

“Anak hebat!” memuji Ageng Musalamat. “Orang tuamu pasti bangga punya anak sepertimu...”

Setelah Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu membungkuk.

“Orang tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu waktu terjadi air bah besar di pantai timur!”

“Ah...” Ageng Musalamat manggut-manggut terharu. Namun dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak ini
tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.
“Anak ini mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan senyum menghias bibir....”

Ageng Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui. “Aku menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama.
Aku juga seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat sekuat batu
karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang pelabuhan Seochow!”

Ki Hok Kui kembali tersenyum. “Saya memang sudah pernah mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu....” Anak ini
menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng.
118

Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang ada di sekitar situ juga terheran-heran mendengar ucapan anak itu.

“Ki Hok Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Kapan... di mana? Padahal kita baru saja saling
bertemu saat ini.”

“Dalam mimpi,” jawab Ki Hok Kui pula. “Satu tahun lalu saya pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu.
Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada
saya....”

Sesaat Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si anak. Begitu juga anggota rombongan yang lain. “Ternyata anak
ini punya daya ingat yang kuat....” kata Ageng Musalamat dalam hati. “Aku yang baru berusia empat puluh tahunan terkadang
sering-sering lupa pada hal-hal yang belum lama terjadi. Hemm.... “

Ageng Musalamat tertawa lebar.

“Apakah kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota ini?”

Ki Hok Kui menggeleng. “Saya tidak punya saudara tidak punya sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin
seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke
Mekkah?”

Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak. “Gurumu itu pasti ulama hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan
pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini....” Ageng Musalamat tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui. “Anak gagah, apakah kau akan
menyertai rombongan kami ke Kotaraja?”

Si anak mengangguk.

“Kalau begitu kita berangkat sekarang....”

“Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan. Nanti saya menyusul....”

“Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?” tanya Ageng Musalamat pula.

Si anak menunjuk ke langit. “Matahari sudah tinggi Kan-jieng.... Saya belum sembahyang Zuhur.”

Ageng Musalamat terkejut. “Astagfirullah, semoga Tuhan mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum
sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar.... Hok Kui, apakah ada mesjid di sekitar sini?”

“Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya
banyak untuk wudhu....”

“Kalau begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang berjamaah di tempat yang kau katakan itu.”

Ki Hok Kui membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan dipegangnya lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah bangunan
besar yang terletak tak jauh dari sana.

Walaupun rombongan mengendarai beberapa kereta dan gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca yang
buruk membuat

mereka tidak bisa bergerak cepat. Satu hari menjelang sampai di Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di
dekat sebuah telaga kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta
dan gerobak serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari suntuk berjalan terus menerus.

Di dalam kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas sehelai tikar
permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan.
Tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.

Ageng Musalamat yang satu kemah dengan penterjemah Bu Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai di luar
dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang
penunggang kuda. Selain mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang kuda ini juga memakai kain hitam penutup wajah
masing-masing. Di belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung gagang pedang. Mereka memiliki rambut hitam lebat.
yang dikuncir di atas kepala. Anehnya rambut di sebelah atas ikatan kuncir berwarna kuning ke- emasan.

“Kami datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari seberang!” Penunggang kuda di sebelah kiri depan berseru. Tidak
seperti enam temannya, dia satu-satunya yang mengenakan mantel merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak
dikenal itu.

Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang diucapkan orang itu.

“Ini aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya mencariku?” bisik Ageng Musalamat.

“Sebentar lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan utusan Raja tengah melangkah ke hadapan penunggang kuda
bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng berikan jawaban.
119

Lu Liong Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta
memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si mantel merah.

“Aku Lu Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika kau ada keperluan
harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa kalian adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau
memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara denganku!”

Orang bermantel terdengar mendengus. “Lu Liong Ong!” orang ini keluarkan suara lantang. “Kami tahu kau pejabat tinggi salah
satu orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang
Kerajaan!”

“Aku minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk melakukan hal
yang sama!”

Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam penutup mukanya. Dia memandang berkeliling pada enam orang anak
buahnya. Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan mantel merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong
membuatnya agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan atur kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai
jatuh oleh sambaran angin mantel yang hebat itu!

Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari punggung kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi
melayang dulu ke atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak tanah tidak sedikit suarapun terdengar. Rupanya orang
ini sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong
Ong yang di- ketahuinya memiliki kepandaian tinggi.

“Hemm.... Orang ini sengaja memamerkan ginkangnya,” membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan tubuh)

Enam penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun dari tunggangan masing-masing.

Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata. “Sekarang katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan
kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah dengan kain bukan tindakan orang-orang bermaksud baik!” adanya. Tapi mengingat
kau adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit berlaku murah. Kalau kami sudah memberitahu harap kau jangan banyak cingcong lagi!”

“Katakan saja langsung siapa kalian!” kata Lu Liong O.ng menahan jengkel.

“Kami utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas. Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang yang datang
dari Jawa...” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai besar di daratan Tiongkok)

Terkejutlah semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu. Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku tenang namun
wajahnya jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada penterjemah Bu Tjeng.

“Orang-orang itu bermaksud menjemputmu... Itu istilah halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara paksa....”

“Mau menculikku?!”

** SEPULUH **

Si penerjemah, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan. “Tapi mengapa? Siapa mereka sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat.
“Selama beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus
partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut
serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun dan mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama
Perkumpulan Kuncir Emas.

“Dari satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin
semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami
Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka sering melakukan perampokan dan pembunuhan walau yang
mereka rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau pejabat-pejabat yang diketahui melakukan korupsi.”

Lu Liong Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu bertanya. “Apakah Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa maksudnya
menjemput tamu kami yang datang dari Jawa itu?”

Lelaki bermantel merah kembali tertawa pendek. “Kami bukan anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal
yang tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami datang untuk menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia
keluar!”

“Selama orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja maka tidak ada satu orang lainpun boleh memintanya! Aku sudah tahu
apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian sebenarnya Raja!”

“Kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan orang itu pada kami?!”

“Aku perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan tempat ini!” bentak Lu Liong Ong.

“Lu Liong Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan tidak ingin
mencari urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam Tojin maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau
bayar dengan mahal!”
120

Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi dirangkapkan di depan dada. “Kami memang sudah lama mendengar dan
mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik.
Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada Lo Sam Tojin. Jika dia tidak segera membubarkan
perkumpulannya maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada
satu putusan pengadilan baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!”

Orang bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya ikut-ikutan tertawa.

“Lu Liong Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau menuduh
kami ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap kami?!”

Ditantang seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong tetap tenang.

“Saatnya akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih untung saat
ini kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-
cepat angkat kaki!”

Orang bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada enam anak buahnya dan berkata. “Kawan-kawan, percuma bicara
dengan manusia satu ini! Bereskan dia!”

Mendengar kata-kata pimpinan mereka enam orang berseragam hitam melompat ke depan. Mereka menebar demikian rupa
hingga Lu Liong Ong terkurung di tengah-tengah.

Melihat kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah. Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki Hok Kui. Anak ini
mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng Musalamat berpaling pada Bu Tjeng.

Orang ini segera memberitahu. “Hok Kui mengkhawatirkan keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah karena
orang itu datang hendak menculikmu.”

Ageng Musalamat tersenyum. “Anak baik! Kau tak usah mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak berbuat jahat
terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rom- bongan tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja.”

“Kalau Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang. Berarti kita akan menonton satu perkelahian seru!” kata Ki Hok Kui
pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat.

Sementara itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang Lu Liong
Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah. Namun yang diserang adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah
membekal diri dengan ilmu silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat
menyentuh tubuh lawan. Keenamnya cepat menyerbu kembali. Perkelahian berlangsung hebat. Saat itulah Ageng Musalamat
berteriak pada beberapa orang anak buahnya.

Lima anak murid Ageng Musalamat, yang memiliki kepandaian tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian.
Melihat ini Lu Liong Ong berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng Musalamat dan berkata. “Pimpinan kami meminta agar kau
menyuruh mundur lima orang itu!”

“Tapi dia dikeroyok secara curang!” jawab Ageng Musalamat. “Tak usah khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi mereka.
Lagipula beberapa orang anggota prajurit Kerajaan yang ada di antara kami akan membantu!”

Mendengar ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa menyuruh murid-muridnya mundur. Bersamaan dengan mundurnya
mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah ka- langan. Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok
maka kini keadaan jadi terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan.

Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Walau dikeroyok begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu bertahan bahkan dengan
membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan serangan-
serangan balasan. Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua orang tergelimpang muntah darah akibat dimakan tendangan
lawan.

Lu Liong Ong kertakan rahang. Otaknya yang cerdik serta matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan
pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke salah satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan. Lawan
pertama terkapar di tanah dengan leher patah akibat hantaman pinggiran tangannya yang sekeras besi. Sesaat kemudian korban
kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan lelaki bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu
terhenyak tak berkutik lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat tendangan kaki kanan Lu Liong Ong.

Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang mendapat semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota
Perkumpulan

Kuncir Emas. Dua orang yang masih tinggal walau kini menghadapi lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi
takut. Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah
yang tak mau melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan melompat ke tengah kalanggn perkelahian. Dia
sempat merobohkan dua prajurit yang menyerang anak buahnya hingga mencelat mental dan menemui ajal dengan kepala pecah!

“Tahan! Lu Liong Ong aku lawanmu!”

Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.


121

“Korban sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan lekas menyerah
dan berlutut!”

“Pejabat jahanam! Makan dulu tanganku ini!” bentak si mantel merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau pukulan. Tangan
kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya.

“Wussss!”

Mantel itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu Liong Ong.

“Orang itu memiliki tenaga dalam tinggi,” membatin Ageng Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian dan melihat
bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap
dan lancarkan satu jotosan ke pelipis kirinya!

Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis. “Bukkkk!”

Dua lengan saling beradu. Entah karena kedudukan kedua kaki Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan tubuhnya
yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat, beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu
terjatuh keras ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang
rusuknya.

Lu Liong Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu Liong
Ong, gulingkan tubuhnya. Si mantel merah tersaruk ke depan namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong
membuat gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu melesat ke atas. Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong
berkelebat ke arah si mantel merah. Inilah jurus silat bernama soan hong liap in yang berarti “angin berpusing mengejar awan.”

Orang bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki kanan lawan menderu ke arah lehernya. Ini benar-benar
merupakan serangan mematikan. Dia cepat melompat hindarkan diri. Meski serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia
masih kurang cepat. Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak lalu tergelimpang di
tanah.

Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si mantel merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri. Namun apa yang
terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si kuncir emas itu. Setelah keluarkan suara menggembor pendek
orang ini melompat bangkit. Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika melihat lawannya tidak cidera malah masih sanggup berdiri
dan melangkah ke arahnya.

“Lu Liong Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”

“Manusia sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu kemari untuk mencari mati!”

Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor. Lalu didahului bentakan keras tubuhnya berkelebat. Sinar merah
mantelnya bertabur. Lu Liong Ong merasa kedua matanya perih. Ada hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat dia tidak dapat
melihat apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya serangan. Dengan cepat dia melompat ke kiri.

“Bukkkkk!”

Lu Liong Ong mengeluh tinggi. Mantel merah menghantam punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini terpental ke
depan. Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak hingga tak sampai jatuh ke tanah. Namun baru saja dia
membalikkan badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong tersandar ke badan gerobak. Dadanya seolah remuk.
Napasnya sesak. Sewaktu dia coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya. Beberapa orang anak buahnya
berseru kaget melihat kejadian ini.

Saat itu si mantel merah sudah berkelebat lag!. Tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan kirinya
menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan
lagi!.

Ketika si mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di udara malam, melewati kepala beberapa orang yang ada di
tempat itu, melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu si mantel merah merasakan ada satu tangan memegang bahu kirinya.
Mendadak sontak tangan kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi. Bersamaan dengan itu di belakangnya
ada satu suara menegur dalam bahasa yang tidak dimengertinya.

“Orang gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada untungnya
bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong....”

Si mantel merah berpaling. Pandangannya membentur wajah Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya.

“Kau pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu...” Ageng Musalamat masih tersenyum. Tidak menjawab karena
memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah.

Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi diucapkan Ageng Musalamat.

Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat berkata. “Paman Bu Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu
saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak mengerti satu sama lain!”
122

“Kau benar!” kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih mencekal si pejabat
tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu.

Ageng Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan. “Orang ini memintamu
agar melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam
Tojin hingga kau diutus untuk menjemputnya?”

Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan mengendur amarahnya. Sepasang pandangan mata lembut Ageng
Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan jambakannya pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah
setengah sadar setengah pingsan. Beberapa orang prajurit segera menggotongnya ke tempat aman.

“Orang asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia mengutusku untuk
menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat kediamannya.”

“Ah, Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang ke tempatnya.
Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku
sedang menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi izin aku akan datang sendiri menyambanginya di
lembah itu...”

Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk memberi hormat. Ketika dia hendak membalikkan badan si mantel merah
berseru.

“Orang asing! Tunggu!”

Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. “Peraturan di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras. Jika
seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan tidak berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan me-
misahkan kepalaku dari tubuhku!”

Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika dia mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng.

“Jika kau tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan, mengapa tidak keluar saja?”

“Itu lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan seluruh keluargaku!”

“Ah... Rupanya susah juga hidup ini bagimu...” kata Ageng Musalamat sambil usap-usap dagunya.

“Sebelum pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku...” “Hemmm, aku ingin mendengarkan....”

“Katanya, jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris emas yang
hendak kau persembahkan pada Raja....”

Ageng Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku membawa keris itu, pikirnya.

“Rupanya kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa sebilah keris
emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.”

Beberapa orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan pimpinan mereka, serentak menegur keras menyatakan ketidak
senangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar setengah pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa
yang hendak dilakukan Ageng Musalamat.

“Tamu terhormat Kanjeng...! Jika kau serahkan keris itu padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja dan rakyat
Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan jatuh terduduk di tanah.

“Sahabatku pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir... Lihat saja apa yang akan terjadi,” kata Ageng Musalamat sambil
tersenyum dan kedipkan matanya.

Ageng Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah mengikutinya. Lalu dia melangkah menuju kemah. Hampir semua orang
yang ada di tempat itu mengikuti.

Sampai di dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat dari kayu yang
terletak di atas tumpukan barang.

“Buka penutup peti dan lihat isinya...” Ageng Musalamat berkata pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan ucapan
Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu. Agaknya dia khawatir orang akan menjebaknya.

Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati peti
kayu jati berukir itu. Dia ulurkan tangan membuka penutup peti. Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar. Si
mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak tangan kiri.

“Apakah benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?” tanya Ageng Musalamat.

Si mantel merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng kembali
menterjemah. “Kau boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin.”
123

”Ah.... Terima kasih... terima kasih...” kata si mantel merah sambil membungkuk berulang kali. Dia tidak menyangka kalau orang
akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti kayu cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia
mengangkat peti dari tumpukan barang yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya terhuyung ke depan. Peti
kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit itu seperti berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat. Bagaimanapun dia
mengerahkan tenaga tetap saja dia tak sanggup bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan tangannya menjadi panjang.
Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia kerahkan tenaga daiam.

“Krakk! Kraaak!”

Si mantel merah menjerit keras. Sambungan tulang bahunya kiri kanan tanggal dari persendian. Peti kayu lepas dari pegangannya
dan bukkk!

Peti jatuh menimpa kakinya. Kasut yang melindungi kakinya berlubang besar. Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak merah
tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel merah menjerit berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.

Ageng Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi keris sakti. Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya bahu si mantel
merah.

“Katakan pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata ini tidak berjodoh
dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang...“

Si mantel merah hendak berteriak marah. Tapi ketika dilihatnya orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada
sinar aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa banyak bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah.

** SEBELAS **

Malam pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng Musalamat dibawa ke istana Raja. Sebelum jamuan makan malam yang
dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng
Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada Raja. Sebagai balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang
terbuat dari batu giok berwarna hijau pekat. Tasbih itu bukan tasbih biasa karena mampu menolak racun serta memiliki kekuatan
besar.

Perjamuan itu menjadi semarak karena dipertunjukkan berbagai tarian dari beberapa propinsi. Menjelang tengah malam,
perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana.

Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa tempat berpemandangan indah. Pada malam ketiga sesuai yang telah
diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk
perunjukan kepandaian silat. Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja, tapi beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan
Pengawal Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir. Lu Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya
masih dalam perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo hari.

Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan
akrobat. Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti memperlihatkan kebolehan mereka. Bagian ketiga yang
merupakan bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa. Agaknya
dalam rangka persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak berjalan cukup seru dan tidak henti-hentinya
mendapatkan sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir.

Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara malam itu tiba-tiba sebuah benda kuning melesat di udara lalu
menancap di atas panggung. Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak
yang pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat
gambar berupa kunciran rambut.

“Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang mengenali. Tempat itupun menjadi gempar. Belum berhenti getaran
besi bendera yang menancap di lantai panggungm belum reda suara gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar suara
tawa mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelap-kelip.

“Braakk!”

Loteng di atas panggung ambruk.

Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak tepat di samping kanan bendera kuning.

“Lo Sam Tojin!” beberapa orang yang duduk di barisan depan sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking kagetnya. Ageng
Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja merasa berdebar. Kedua matanya memandang tak berkesip
pada orang yang di atas panggung.

Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam. Mukanya berwarna
kuning muda. Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi
membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk dipandang. Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan.

Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna kuning.

“Apakah kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan masing-masing?!” Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir
Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh.
124

“Tak ada yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari kebodohan masing-masing!” seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa
bergelak-gelak.

Seseorang berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang ini adalah Suma
Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana.

“Lo Sam Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas turun dari panggung dan tinggalkan tempat ini!”

“Ah…! Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh semua!” Lo Sam Tojin menjawab.

“Apa maksudmu?!” sentak Suma Tiang Bun dengan mata mendelik.

“Beberapa hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong sesumbar jual omongan besar mau menyerbu kediamanku di lembah
Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu itu? Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh
kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal bernama Suma Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk
berlalu. Ha… ha… ha…!”

Merah padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu. Dia cepat memandang berkelliling dan siap berteriak pada para pengawal
untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo Sam Tojin tapi alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun
anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding ruangan kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan
wajah tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala!

Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali tertawa mengekeh. “Jenderal Suma!,” teriak Lo Sam Tojin, “kau tak usah khawatir.

Semua anak buahmu berada di gudang belakang. Semua tertidur pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha… ha… ha…!”
Terkejutlah Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki gemuk pendek yang
tegak di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala Balatentara Daerah Timur.

“Jenderal, aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan. Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di tempat ini. Aku akan
menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!”

Jenderal Tjia mengangguk. “Hati-hati Jenderal Suma. Lo Sam Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung membantumu
begitu selesai menyusun kekuatan!”

Begitu Jenderal Tjia bergerak. Suma Tiang Bun berkelebat ke atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan.

“Ha… ha…! Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku Cuma
memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh, pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha… ha…
ha..!”

“Tojin sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!”

“Ho… ho! Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang itu jangan harapa
aku akan minggat dari sini!”

“Kau akan menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal bisa keluar hidup-
hidup dari sini!”

“Heemm... begitu?!” dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan jelalatan kian kemari. “mari kita main-main sebentar. Sudah lama
aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang Jenderal sepertimu!”

“Kalau kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak akan sungkan-sungkan lagi!” kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke
depan melancarkan serangan.

“Ha… ha! Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!” ejek Lo Sam Tojin. Lalu sapukan tongkat besinya ke depan. (Ouw liong cut
tong = Naga hitam keluar goa).

Jenderal Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang dilancarkannya.
Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan. Jenderal Suma dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan
Kun Lun Pay. Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh itu. Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai.

“Jenderal Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi Kepala Barisan
Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu dengan jurus yang sama!”

Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan tongkat besi kuningnya. Ketika serangan lawan berupa jotosan keras siap
melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras.

“Jurus ouw liong cut tong sejati!”

Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan
paderi melancarkan serangan tahu-tahu…

“Buukkk!”
125

Jenderal Suma terpental satu tombak ke belakang. Dari mulutnya terdengar erang kesakitan. Ketika dia memperhatikan tangan
kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah. Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah tak
mampu dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia melompat ke depan. Kini terjadi perkelahian seru. Lima jurus Jenderal
Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan serangan- serangan ganas. Tapi Lo Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang.
Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang besar
berkelebat mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin berseru keras ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan
serangan lawan. Kini dia tidak menyerang dengan sepasang tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut
gempuran lawan.

“Wuuss…! Wuuss…!”

Dua larik sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah hitam sang paderi. Sinar di sebelah kanan berhasil dielakkan
Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari arah kiri menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini
terpental. Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar keras. Dari mulutnya ada darah meleleh. Sang Jenderal
menderita luka dalam yang cukup parah.

“Paderi keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik ini juga!” kertak Suma Tiang Bun.

“Srett!”

Dia cabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur menyambar ke leher Lo
Sam Tojin.

Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke pinggang. Selarik sinar kuning berkiblat.

“Traangg!”

Bunga api memercik di atas panggung ketika pedang Suma Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam Tojin. Celakanya,
karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu
bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental.

Di atas pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke udara. Semua orang terkesiap ketika melihat bagaimana pedang Jenderal
Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot, melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning. Dengan
cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa mengekeh.

“Jenderal Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa Giam lo ong! Ha…
ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut).

Jenderal Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang dengan melompat ke belakang. Dia menyambar sebuah
jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat dia menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat
dari porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam Tojin menderu dari atas ke bawah, mengarah batok
kepala Jenderal Suma. Rupanya tojin ini benar-benar hendak membuktikan kata- katanya yaitu ingin membelah tubuh sang
Jenderal!

Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan Kerajaan yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua
puluh orang anak buah Lo Sam Tojin. Walau mereka berjumlah lebih sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi
dalam waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut
mengancam Jenderal Suma segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya melayang di udara dia lepaskan satu pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Lo Sam Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan darah di
sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning bertabur.
Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia. Orang gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke
bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin
tahu- tahu melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi
menancap di ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar. Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di
tangan Lo Sam Tojin siap pula membelah kepala Jenderal Suma!

** DUA BELAS **

Sesaat lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari barisan kursi paling
depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat
kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih sanggup meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset
jauh, tak dapat membelah kepala Jenderal Suma melainkan hanya membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian
Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin.

Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak buah Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama
hentikan pertempuran dan memandang ke atas panggung.

Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia
memegang seuntai tasbih.

“Tamu asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!” seseorang berseru. Suasana menjadi gempar sesaat namun segera sirap.
Semua mata ditujukan ke atas panggung.
126

Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa diam kini terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang
berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya
ke dagu. Pedang di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah hingga menancap di lantai panggung.

“Dicari susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa
yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha... ha... ha!”

Karena tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk. Sang paderi makin
keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan pedang yang menancap di lantai panggung.

“Desss!” “Wuuut!”

Pedang yang menancap melesat ke atas, berputar laksana baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat.

Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang tasbih. Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat
dari Raja Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang diberikannya pada Raja.

“Tring.. tring... tring!”

Terdengar suara berdentringan beberapa kali. Bunga api memijar enam kali berturut-turut. Ageng Musalamat terkejut dan cepat
melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan
Kuncir Emas tak kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng Musalamat walau ditujukan pada pedang yang berputar namun
ada hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur terhuyung-huyung. Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih
jatuh berdentrangan di bawah panggung.

“Orang asing, aku mengagumi kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin seraya membungkuk.

Ageng Musalamat balas menghormat.

“Aku tak punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku perlukan untuk
bantu membangun Partai Kuncir Emas...“ Lalu Lo Sam Tojin berikan tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat
mengikutinya.

Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya. Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin. Ke dua
tangannya didorongkan ke muka. Gerakannya perlahan saja. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung dua lengan
jubahnya melesat angin sederas topan. Panggung bergoncang. Tirai-tirai tebal bergoyang keras bahkan ada yang robek. Di atas
panggung tubuh Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat.

“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga dalamnya. Mukanya yang kuning kelihatan seperti mengkerut.

Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat. Jubah putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan sambil
membungkuk dan mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya ber- putar-putar kian kemari.

“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi.

Ageng Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh. Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia
menginjak bara api!

“Kalau aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus
mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!”

Ageng Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri. Mulutnya
dikatupkan rapat-rapat. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan. Tiba-tiba kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung. Laksana
senjata rahasia, puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin. Selagi Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini
berteriak kaget, puluhan pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan porselen ini menancap demikian rupa
laksana disisipkan dengan hati- hati dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka ataupun tergores!

Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat kuning maka semua orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah
sepucat mayat! Kakek ini menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan
pecahan porselen itu.

“Orang asing...” kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar. “Aku menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku
tidak bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan
saat ini cukup membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu...” Lo Sam Tojin membungkuk berulang kali.

Ageng Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali. Pada saat itulah
tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan!

“Kanjeng guru! Awas!” Seseorang berteriak dari bawah panggung.

Ageng Musalamat cepat mengangkat kepalanya. Sebenarnya tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu datang dari
depan. Ketika melihat ke depan terkejutlah dia!

Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan di badan melesat ke arahnya.
127

“Ular iblis pencabut nyawa!” teriak beberapa orang di bawah panggung.

Ular terbang yang diberi julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu adalah senjata rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan
Lo Sam Tojin. Di tempat penyimpanannya di dalam sebuah kantong di balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu
kaku. Tapi begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan. Melesat dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk
mematuk sasaran!

Ageng Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas lantai panggung. Tasbih di tangan kanan diputar sebat. Tiga ular
beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung. Dua lainnya dihantam hancur dengan tasbih.

Lo Sam Tojin menggereng marah. Dia menerjang ke depan, menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh. Lima jari
tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah
menjadi cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu musuhpun
sanggup menghadapinya.

Orang banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi yang tahu betul akan keganasan ilmu yang dimiliki Ketua
Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat. Mereka tidak bisa menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka
terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai.

Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya secara tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan.

Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng Musalamat berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Selagi dia tertegun
kecut lawan telah melompat ke hadapannya. Ageng Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya. Sepasang tangan dan ke
dua kakinya bergerak diluar kendalinya. Tasbih dalam genggamannya menderu menabur sinar angker. Dia mendengar suara
bergedebukan berulang kali. Lalu…

“Praaakkk!”

Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk. Tubuhnya terpelanting namun sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur. Sepasang
matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan darah. Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi hebatnya kakek ini
masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan miring. Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng Musalamat
hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda merah.

Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya. Tapi sikapnya tetap tenang. Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu
depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi ini terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai
panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di dagunya.

Darah menyembur. Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke bawah panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak berkutik lagi, tidak
bernapas lagi!

“Lo Sam Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!” teriak beberapa orang.

Tempat itu menjadi gempar. Beberapa orang anggota Kuncir Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah seribu
menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang.

Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah. Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak sempat melihat datangnya
serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di bawah sana berteriak mengingatkannya. “Kanjeng guru! Awas!” Dia kenal
suara itu. Dia merasa telah ditolong dan diselamatkan. Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro, murid
yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit.

“Berarti... Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam hati.

** TIGA BELAS **

Kematian Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur. Di pegunungan Kun Lun
orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima orang
utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Mereka membawa hadiah-hadiah besar dan
menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka berkunjung ke markas mereka.

Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak menerima hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan
menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun. Namun utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musa-
lamat mau menerima hadiah itu. Setelah saling bersitegang akhirnya Ageng Musalamat mengalah. Namun semua hadiah
kemudian disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuh- an di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan
Keng dimana Ki Hok Kui tinggal.

Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja meminta Ageng Musalamat datang. Kepadanya Raja menghadiahkan
satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang. Di situ dibangun belasan rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan
rombongannya selama mereka suka. Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi Ageng Musalamat namun dengan halus
kedudukan bagus itu ditolaknya.

Lama kelamaan tempat kediaman Ageng Musalamat semakin berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir
semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam rimba persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi
satu nama besar. Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat disejajarkan
ketinggian ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada masa itu. (kang-ouw = dunia persilatan)
128

Diam-diam beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini mengajarkan
kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih suka memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di
sini dia membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu bertambah. Ki Hok Kui termasuk salah seorang murid yang
paling disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Anak yang cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu,
tapi juga dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa.

Sampai dua tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih tetap lowong. Untuk
sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma Tiang Bun. Namun entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja
akan mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur itu.

Tanpa melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri
Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahan-
kannya. Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu demi satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting
bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat yang bagaimanapun juga adalah orang asing. Tindakan Jenderal
Suma tidak sampai disitu saja. Dia berkali-kali menghadap Raja untuk memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng
Musalamat.

Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak orang-orang tertentu tidak suka padanya. Namun dia tidak ambil perduli.
Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasa- biasa saja. Dia lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya yang
melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang. Akhirnya keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang.

Setelah bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa. Bahkan akhirnya
Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli seagama. Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak buahnya.
Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat lagi dikatakan kota kecil. Sebagian penduduknya hidup dari bertani dan
sebagian lainnya mencoba berdagang. Nama kota Hsin Yang menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Jumlah
pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya ratusan tapi sampai ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang telah dibebaskan
dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup berbahagia dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura menempuh jalan
berbeda. Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering mengelana sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat pada
penduduk setempat.

Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat laun membuat
para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak. Ketidak enakan ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.

Tanpa terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat bermukim di Tiongkok. Selama berumah tangga sayangnya dia tidak
dikarunia anak. Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh dikatakan
selama dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan. Pada saat dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu
kepandaian Ageng Musalamat berhasil diserapnya. Bahasa Jawanyapun tak kalah medok dengan orang-orang yang datang dari
tanah Jawa itu.

Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari dia
dipanggil ke istana. Ternyata satu pertemuan penting yang diha- diri oleh pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah
diatur. Dalam pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng Musalamat diangkat menjadi Tikoan berkedudukan di
Hsin Yang dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya. Sekali ini Ageng Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan
Raja itu. (Tikoan = jabatan sederajat Bupati)

Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-
orang yang tidak menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang pernah diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat
maka disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan baru itu.

“Heran,” kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya. “Ilmu pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali memberi
tahu Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya menjadi Tikoan....”

Seorang perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma. Dia adalah
salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma Tiang Bun ke dalam kelompoknya. “Untuk menjatuhkan batu
karang, ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan.
Bukankah bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan banyaknya itu bersumpah untuk membalas dendam
kematian Ketua mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar yang bisa kita jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat
orang Jawa anak murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng
Musalamat?”

“Hemmm.... Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu Louw Bin Nio?”

Perempuan separuh baya itu tersenyum dan kedipkan matanya dengan genit. “Jika kau ingin tahu bukan di sini tempatnya,” jawab
Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada di situ. Mendengar ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio
semua orang yang ada di situ menjadi maklum. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.

“Ikuti aku,” kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan pinggulnya yang besar. Perempuan ini adalah seorang tokoh silat istana
yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi kekasih gelap Jenderal Suma.

Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah kamar. Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan
penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.

“Sudah berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang Bun...”


129

“Hampir dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak sekali akhir-akhir ini....”

“Sekarang lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!” Lalu jari-
jari tangan Louw Bin Nio bergerak. Dia bukan membuka pakaian Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug
nafsu. Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa memuaskannya dengan hubungan badan yang aneh-aneh
sementara istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan sosok dingin sedingin salju di puncak Thay San.

** EMPAT BELAS **

Salah satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan untuk bertahan terhadap godaan. Sejak Adam tergoda oleh setan
hing- ga memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari Taman Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi
manusia, menggoda agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri Kanjeng Sri Ageng Musalamat.

Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke
lima Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana. Malam itu entah mengapa, sewaktu hasutan setan
menghantuinya, dia tidak berdaya melawan. Semakin dilawan semakin keras dorongan untuk ingin mengetahui apa sebenarnya
yang ada di halaman ke lima dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan bimbang akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas
loteng rumah dimana terletak sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri.

Dari balik jubah putihnya dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya gemetar. Tengkuknya
mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya ditutupnya kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara
hatinya.

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki gunung batu
membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau
menjadi penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi sekarang kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin
dia mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima kitab sakti itu, dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak
akan memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu...”

Ageng Musalamat menggigit bibirnya sendiri. Berkali-kali dia menarik napas dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan
kanannya walaupun masih gemetar bergerak membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa!

Begitu halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka, terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Ternyata
halaman itu kosong! Tak ada gambar tak ada tulisan. Dibaliknya halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong!

“Orang menipuku...“ kata Ageng Musalamat terperangah. “Datuk Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan halaman
lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di kejauhan. Suaranya mengalun lembut berhiba-hiba lalu menderam
suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat. Parasnya menjadi pucat pasi.

“Datuk Rao...” desisnya.

Baru saja dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua kepulan asap putih yang dengan cepat berubah membentuk sosok
tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau.

Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada Ageng Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng
Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi orang tua itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin.

“Sayang sekali... Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau telah
mengulang berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali
membaca Sabda dewa ke tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak berpikir mencari manfaat dari pada
kualat?!”

“Maafkan diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa menebus dosa
kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah meratap.

“Mengapa kau tergoda melanggar pantangan, Ageng Musalamat?”

“Aku terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apa-
apanya. Halaman itu kosong!”

Datuk Rao tersenyum. “Matamu tidak seperti mata malaikat. Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha
Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!”

Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak dan wajahnya seputih kain kafan.

“Aku mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku...”

“Kesalahan telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang
akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama hati- hatilah. Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan
Kitab Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!”
130

Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu mulai meniup. Suara seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao
Bamato Hijau membuka mulut keluarkan suara auman. Bersamaan dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah sosok asap ke
dua makhluk itu.

Sepanjang malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa memicingkan mata. Menjelang pagi ketika sepasang matanya sempat
hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda, menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas sebagai
pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.

“Tikoan! Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!” Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang. Telinganya dipasang
kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.

“Tikoan Musalamat! Buka pintu! Cepat!”

“Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur...”

Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang itu cepat-cepat turun ke bawah. Begitu pintu dibuka masuklah
muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang pengawal.

°”Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?” Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro. Muridnya yang satu ini
juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.

“Lekas tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus diberitahu agar segera mengungsi!” kata Ki Hok Kui yang kini telah
menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng
Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa.

“Tinggalkan kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis minum-minum dan mabok?!” ujar Ageng Musalamat.

“Demi Tuhan, Kan-jieng....”

“Katakan ada apa?!” Ageng Musalamat membentak.

“Pasukan Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua! Hsin Yang
hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!”

Paras Ageng Musalamat jadi berubah.

“Bicara yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru...”

Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan, “Raja menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng berserikat
dengan orang-orang Mongol untuk meruntuhkan takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa sepucuk surat
rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan serta siasat
penyerbuannya ke Kotaraja....”

“Fitnah!” teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan dikepal.

“Kan-jieng tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja begitu saja
mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah dua ribu
orang akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kan- jieng mencari jalan selamat...”

Ageng Musalamat gelengkan kepala. “Bahaya sebesar apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak Guntoro
lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas itu!”

”Tapi Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat golongan hitam dan
kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada yang melihat
Munding Sura bersama Jenderal Suma!”

Terkejutlah Ageng Musalamat. Dia sudah lama mendengar hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio. Perempuan satu
ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana! Lain dari itu
dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang dulu begitu dipercayanya ternyata adalah seorang pengkhianat.

“Seribu Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin Nio boleh unjukkan
diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak akan meninggalkan Hsin Yang!”

Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan Kitab Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui. Ternyata
muridnya inilah orang yang paling dipercayanya.

“Hok Kui, selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat ini!”

“Kan-jieng!” seru Ki Hok Kui. “Saya tidak akan pergi! Saya siap bertempur bersama Kan-jieng!”

“Jangan berani membangkang Hok Kui!”

“Saya ingin mati bersama Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui. “Plaaaakkkk!”


131

Satu tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui. Tamparan yang dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang rahang
manusia. Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou atau
Harimau Kepala Besi.

“Hok Kui! Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan kubunuh kau saat ini juga!” teriak Ageng Musalamat.

Ki Hok Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke dalam
baju muridnya itu. “Kitab itu lebih berharga dari nyawaku! Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!”

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara menderu seperti air bah mendatangi. Menyusul suara tiupan terompet.

Paras Ki Hok Kui berubah. “Astaga! Saya tidak menyangka balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat.... “

“Lekas pergi dari sini Kui Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata. “Bangunkan istri dan
para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh mungkin dari Hsin Yang.” Ketika Ageng Musalamat melihat Hok Kui
masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah. “Kau tunggu apa lagi?!”

Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya air mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum berkelebat
dia berkata. “Kan jieng guruku tercinta, saya berdoa untuk keselamatanmu!”

** LIMA BELAS **

Perahu kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya tinggal ku!it pembalut tulang,
mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya yang tadi putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari.
Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan
hanya menunggu hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid terpandai dan paling dipercaya Ageng Musalamat.

Setelah mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan membantai setiap
orang yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok Kui lalu menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat
amanat sang guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini dia mendapat beban berat untuk
menyelamatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Dia sudah selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau dibawa akan dibawa
kemana, kalau diserahkan akan diserahkan pada siapa?

Seperti mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau berada dalam keadaan sangat lemah duduk di lantai perahu. Dua
matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.

“Pulau..” desisnya. Digosoknya dua matanya dengan rasa tidak percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah
pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah?

Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di belakangnya. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan. Pucatlah paras cekung
Ki Hok Kui.

“Astaga! Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di sini!”

Ratusan tombak di belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan sebuah kapal layar besar. Dari bendera yang berkibar di tiang utama
jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok. Apa sebenarnya yang telah terjadi?

Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui
terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak diketahui seluk beluknya. Sewaktu Ki Hok Kui sampai di
Nanchang, Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui diduga masih hidup. Selain itu sewaktu tempat
kediaman dan mayat Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan. Munding Sura yakin kitab itu teiah
diserahkan oleh Ageng Musalamat kepada Hok Kui untuk diselamatkan.

Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat itu dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow.
Tujuan sang Jenderal bukan saja untuk mengikis habis semua anak murid Ageng Musalamat tapi juga untuk mendapatkan Kitab
Putih Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di Seochow. Di sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah
perahu kecil dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura mempunyai dugaan dan hal ini
diberitahukannya pada Jenderal Suma Tiang Bun. Menurut pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui melarikan diri menuju
tanah Jawa. Pemburuan di lautpun dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak begitu memahami kawasan laut
selatan, satu bulan kemudian baru mereka berhasil mengejar perahu Kui Hok.

Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan. Di
kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya.

Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan. Masing- masing perahu berisi tiga penumpang. Perahu terdepan ditumpangi
Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat istana. Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang
Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat
golongan hitam. Tiga perahu lainnya masing-masing berisi seorang perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat.

Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera terkejar. Lima perahu besar mengurungnya. Lima belas orang berkepandaian
tinggi langsung menyerang. Ada dengan tangan kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa orang sengaja melepaskan
senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang Pencabut Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh)
yang lihay melancarkan serangan laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan sebilah golok panjang.
132

Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang hebat
tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri. Apalagi keadaannya saat itu sangat lemah pula. Jenderal Suma berulang kali
berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada bajunya. Tapi
Hok Kui pantang menyerah.

“Louw Bin Nio!” teriak Jenderal Suma yang sudah tidak sabaran. “Bunuh bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!”

“Dengan senang hati kekasihku!” jawab Iblis Terbang Pencabut nyawa. “Tapi biar kupesiangi dulu tubuhnya!” Habis berkata begitu
perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui. Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.

“Crass! Craass! Crass! Craass!”

Jeritan-setinggi langit menggelegar keluar dari mulut Hok Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah membabat buntung dua tangan di
bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal paha! Darah membanjiri lantai perahu. Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa
panjang. Ketika dia hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok Kui, murid Ageng Musalamat ini perlaku nekad.
Dengan sisa tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan tubuh, mencebur masuk ke dalam laut!

“Munding Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik bajunya!” teriak Jenderal Suma. Tidak pikir panjang lagi si pengkhianat
ini segera melompat masuk ke dalam laut. Justru pada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di atas lima
perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat ketika melihat air laut mendadak berwarna merah.

Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras. Tiga belas orang lainnya sama tersentak kaget. Ternyata di sekitar
perahu mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.

“Kembali ke kapal!” teriak Jenderal Suma Tiang Bun. Empat perahu cepat dikayuh kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang
ditumpangi Jenderal Suma. Dua ekor ikan hiu besar menabrak perahunya hingga terbalik. Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang
terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu!

Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan setan. Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut
menyusul Suma Tiang Bun. Di atas batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak. Sekujur badannya dibungkus hawa aneh
sedingin es. Sepasang matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Tiba-tiba “Wusss!” Sekujur tubuh murid Eyang Sinto
Gendeng itu me- ngeluarkan cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi terdengar suara, “Wusss!”

Dari kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar terang. Benda ini melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa
dan akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam. Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak menggeliat lalu
bergerak duduk. Dia memandang celingak-celinguk terheran-heran. Kepalanya dipegang berulang kali. Akhirnya murid Sinto
Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.

“Aneh, barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat seorang bernama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Aku melihat Kitab
Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor
bergelar Tjui-bihun... Tjui... Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya dalam bahasa Cina!” Wiro kembali garuk-garuk kepala.

“Ki Hok Kui... Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi dia
kecebur masuk ke dalam laut!” Wiro garuk-garuk kepala lagi dan kembali memandang berkeliling. Lalu dia ingat pada Delapan
Sabda Dewa. Dan bicara seorang diri.

“Delapan Sabda Dewa... Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu... Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!” Baru saja Wiro
berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi.

Laut Selatan tak pernah tenang Gelombang selalu datang menantang Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta.

“Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu dan
melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai