Anda di halaman 1dari 71

TAPAK DEWA NAGA Hak Cipta Dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy

atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Serial Raja Naga Dalam Episode 001 : Tapak Dewa Naga Juru Edit: mybenomybeyes http://duniaabukeisel.blogspot.com/ 1 MALAM berkabut dalam. Lolongan serigala di kejauhan, menambah keangkeran malam. Gumpalan awan hitam padat di atas, tak bergeming sedikit pun jugaterhembus angin . Beberapa helai daun berguguran, beterbangan jauh. Malam kali ini lain dengan m alam-malam sebelumnya. Lebih mencekam, dingin dan dalam. Keheningan malam pun melanda sebuah rumah besar yang terletak di sebuah lembah. Lembah yang tak begitu curam dan luas. Hanya beberapa buah pohon yang tumbuh di sana. Tak jauh dari sana puncak-puncak tebing bebatuan berdiri angkuh. Seolah he ndak menantang siapa saja yang berniat untuk merobohkannya. Asap kemenyan tercium dari rumah itu. Rumah yang biasa tenang dan damai, kini te lah menjadl rumah duka. Dua orang lelaki bertubuh tegap dan gagah, dengan seblla h pedang di pinggang, berdiri di depan rumah itu. Menyambut ramah beberapa orang yang datang dan kemudian pergi setelah memberikan ucapan belasungkawa pada tuan rumah. Di dalam rumah itu, di sebuah ruangan yang cukup besar, nampak satu sosok tubuh terbujur kaku di atas sebuah dipan. Di bawah dipan itu, tepat di bag ian kepala dan kaki, mengepul uap kemenyan dari anglo hitam. Seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, nampak khusuk duduk ber lutut di samping kanan jenazah lelaki berwajah tampan yang mengenakan pakaian pu tih bersih, yang pada kening lelaki itu terdapat untaian daun lontar. Mata si pe rempuan berpakaian hitam itu sembab. Di lehernya menggantung untaian daun lontar yang dirajut indah. Dia berulang kali mengusap kedua matanya. Dan dengan ketaba han tinggi, dia berusaha untuk menahan tangis. Tak jauh dari tempatnya, berdiri dua lelaki setengah baya yang mengenakan pakaia n serba kuning panjang. Jubah mereka berwarna hijau. Satu sama lain memiliki rau t wajah yang sama. Keduanya pun datang dengan belasungkawa yang dalam. Salah seorang dari kedua orang itu, yang berdiri di samping kiri, menoleh pada s eorang lelaki bertubuh pendek, gemukkekar. Lelaki yang diperkirakan berusia seki tar enam puluh tahun itu mengenakan pakaian warna biru terbuka dl bagian dada, h ingga tak bisa tutupi perut gemuknya. Mungkin karena lemak yang berlebihan di setiap inci tubuhnya, hingga t ak terlihat adanya kerutan atau keriput di wajahnya. Sebuah tombak berwarna biru tergenggam di tangan kanannya yang gempal, lebih tinggi dari tubuhnya. Orang yang menoleh tadi berbisik, "Dewa Tombak... apa yang sebenarnya terjadi?" Si gemuk pendek mengangkat kepalanya, karena orang yang bertanya lebih tinggi. M ata bulatnya sesaat memandangi orang itu, lalu kembali diarahkan pada jenazah le laki gagah yang terbujur kaku. Masih memandang dia menjawab, "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Lima hari yang l alu... aku datang seperti biasa, untuk menyambangi Pendekar Lontar. Saat itu dia dalam keadaan segar bugar. Tak terlihat tanda-tanda sedang sakit atau kena peny akit. Tetapi kemarin malam, ketika aku datang kembali ke tempat ini, dia sudah t ewas...." "Kau tidak tahu apa yang terjadi?" Dewa Tombak gelengkan kepalanya. Lehernya yang seperti menyatu dengan bahunya se perti tak kelihatan bergerak. "Bukan hanya aku yang tidak tahu apa yang menyebabkan kematian Pendekar Lontar. Tetapi istrinya sendiri, Dewi Lontar, ketika kutanyakan sebab-sebabnya, dia meng

aku tidak tahu sama sekali." "Sebagai seorang sahabat, kau sudah memeriksa keadaan Pendekar Lontar?" "Aku sudah melakukannya. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Semuanya normal. Bagian tubuhnya tak terlihat terkena satu serangan. Tadi siang, aku sudah mengh ubungi Dewa Segala Obat. Biar bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui penyebab k ematian Pendekar Lontar. Bila memang Pendekar Lontar meninggal karena panggilan Sang Pencipta, itu tak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi kita tahu, Pendekar Lo ntar banyak mempunyai musuh akibat dari segala tindakannya yang selalu membela k ebenaran." "Katamu tadi, kau sudah menghubungi Dewa Segala Obat. Apa katanya?" "Dia berjanji untuk datang. Dan aku berharap, dia dapat menemukan sebab-sebab ke matian Pendekar Lontar...," sahut Dewa Tombak. Lalu mengangkat kepalanya, "Sema Kuriang... aku tahu kesibukanmu dengan saudara kembarmu itu. Tetapi kau tetap bisa datang. Aku mengucapkan terima kasih...." Si lelaki berjubah hijau itu menganggukkan kepala. "Kendati kami jarang berjumpa dengan Pendekar Lontar, tetapi kami sangat menghor matinya. Dalam usianya yang baru tiga puluh tahun, julukannya sudah membedah seb agian jagat raya ini sebagai orang yang berada dalam golongan lurus. Selain dike nal dengan ilmu yang dimilikinya, Pendekar Lontar juga pandai memainkan ilmu ped ang. Tak seorang pun yang menyangsikan kehebatannya mempergunakan pedang. Sudah tentu, kami, Dua Serangkai Jubah Hijau, merasa perlu untuk datang memberikan pen ghormatan terakhir...." Baik Sema Kuriang maupun Dewa Tombak tak buka suara. Mereka melihat perempuan be rpakaian ringkas warna hitam perlahan-lahan bangkit. Sepasang mata yang biasanya bersinar ceria dan indah, kini sembab akibat menahan tangis. Si perempuan yang ternyata istri dari si lelaki yang telah menjadi mayat, memandang pada keempat o rang itu. Dia mencoba tersenyum. "Terima kasih atas kedatangan kalian...," katanya agak tersendat. Dewi Lontar..., kata Sema Kuriang. "Aku sudah bertanya pada Dewa Tombak, penyeba b kematian suamimu, si Pendekar Lontar. Tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi. Sebagai orang yang menghargai sekaligus menghormati Pendekar Lontar, kami merasa perlu untuk mengetahui penyebab kematiannya.... . Perempuan berambut hitam indah dikuncir kuda yang dari tubuhnya menguarkan aroma harum itu, menarik napas pendek. Hidung bangirnya agak memerah, demikian pula d engan kulit putih bersihnya. Sambil memainkan kalung daun lontar yang tergerai di dadanya, perlahan-lahan dia menggeleng. "Aku sendiri tidak tahu sama sekali.... Kemarin malam, kami masih bercanda. Bahk an, kami sama-sama mencandai putra kami satu-satunya, si Boma Paksi, sampai putr a kami yang berusia lima tahun itu tertidur." "Apakah kau tidak melihat gelagat buruk saat itu?" tanya lelaki berjubah hijau y ang berdiri di samping Sema Kuriang. Wajahnya mirip dengan Sema Kuriang. Tetapi ada tahi lalat tepat di tengah keningnya. Dewi Lontar kembali menggelengkan kepalanya. Gerakannya sangat lemah. Perempuan perkasa itu merasa sebagian jiwanya telah terampas pergi bersamaan meninggalnya suaminya. Sebelum subuh tadi, dia terbangun karena hendak buang air. Lalu dia pe rgi ke belakang. Setelah itu dia kembali ke kamarnya. Dilihatnya suaminya yang t ertidur dengan kedua mata mengatup. Rasa cinta kasihnya membuatnya lebih lama memperhatikan suaminya. Sampai dia mer asakan sesuatu yang aneh terjadi. Karena dia tak mendengar desahan napas lembut suaminya seperti biasa. Rasa herannya itu membuatnya jadi penasaran. Dijulurkan telunjuknya ke hadapan hidung suaminya. Hati Dewi Lontar seketika tercekat karena dia tak merasakan adanya hembusan atau tarikan napas. Rasa penasarannya berubah menjadi panik. Dia segera tempelkan te linganya pada bagian jantung suaminya. Sama sekali dia tak mendengar bunyi detak an lembut jantung suaminya. Untuk beberapa saat Dewi Lontar tertegun. Seperti tak mempercayai apa yang terja di. Dan perlahan-lahan dia sadar, kalau suaminya sudah meninggal. Kala matahari sepenggalah, Dewa Tombak muncul sesuai janjinya dua hari lalu. Dic

eritakannya apa yang telah terjadi dengan penuh kesedihan. Dewi Lontar menggelengkan kepalanya. Perempuan berwajah bulat telur Ini berusaha untuk kelihatan tegar. "Aku tak melihat tanda-tanda kecemasan suamiku akan sesuatu pada malam itu. Dia tetap kelihatan tenang dan selalu ceria seperti biasanya...." "Dewi Lontar... selama ini suamimu dikenal sebagai orang yang membela orang yang Eemah. Berpuluh orang pernah dikalahkannya karena orang-orang itu berbuat makar . Menurut penilaianku, tak mustahil bila ada orang yang mendendam padanya dan ma lam itu datang melakukan serangan...." "Serangan gelap seperti apa pun akan selalu diketahui oleh suamiku...." Jawaban Dewi Lontar tidak bernada sombong sama sekali. Dua Serangkai Jubah Hijau dan Dewa Tombak, sama-sama tahu kalau Pendekar Lontar memiliki ilmu 'Raga Pasa. Ilmu yang membuatnya dapat mengetahui serangan gelap apa pun juga. Bahkan Ilmu sihir yang dilancarkan oleh seorang ahli sihir yang sangat ahli pun dapat diketahui. Dewa Tombak berkata, "Dewi Lontar... tabahkanlah hatimu. Bila memang suamimu men inggal karena sudah batas usianya, relakanlah...." Dewi Lontar menganggukkan kepalanya. "Ya... aku akan merelakannya. Kematian apa pun yang telah menimpanya, aku akan r ela menerimanya...." "Tidak!" Dewa Tombak berkata tegas. Perutnya yang besar sesaat bergerak. Lalu su aranya berubah lembut ketika tatapan Dewi Lontar tak berkedip ke arahnya, "Maksu dku... aku tak akan pernah terima, bila ternyata ada orang yang telah menjahati suamimu. Bila memang demikian adanya, dugaanku dia tewas akibat ilmu hitam...." Pernyataan Dewa Tombak membuka sepasang mata perempuan jelita berpakaian hitam. Untuk sesaat dia terdiam memlkirkan apa yang dikatakan orang bertubuh gemuk itu. Tetapi di kejap lain perempuan itu sudah gelengkan kepala. "Untuk saat Ini, aku tak ingin memikirkan keadaan itu. Besok... aku akan mengada kan upacara penguburan...." Dewa Tombak tak tersinggung dengan ucapan si perempuan. Dia dapat memakluminya. "Selama aku mengenal Dewi Lontar, belum sekali pun kulihat dia bersedih seperti ini. Dia selalu ceria dengan kegembiraan yang alami. Tak pernah dibuat-buat. Tet api di saat lain, dia bisa berubah menjadi seseorang yang sangat garang, melebih i garangnya harimau betina. Dan biasanya, dia selalu memikirkan baik-baik setiap urusan yang terjadi. Nampaknya kail ini, kesedihan sudah melandanya hingga dia seolah tak pedulikan apa yang kukatakan tadi," kata Dewa Tombak dalam hati. Lalu tamu-tamu pun berdatangan untuk mengucapkan belasungkawa kepada janda Pende kar Lontar. Mereka berdatangan dan segera pergi. Sampai tinggal orang-orang yang sejak tadi memang berada di sana. Saat Itulah te rdengar suara anak kecil menangis. Dewi Lontar segera beranjak ke salah sebuah r uangan yang terdapat di rumah itu. Sema Kuriang berbisik pada Dewa Tombak, "Di mana Dewa Segala Obat? Mengapa sampa i saat ini dia belum juga hadir?" Lelaki gemuk itu menggelengkan kepalanya. "Aku juga heran. Mengapa dia belum hadir juga?" Tak lama kemudian mereka melihat Dewi Lontar sudah muncul kembali, kali ini samb il menggendong bocah laki-laki yang tertidur manja dalam rangkulan-nya. Bocah it u berambut gondrong. Di punggungnya terdapat sebuah gambar seekor naga berwarna hijau. Dua Serangkai Jubah Hijau sama-sama memandang tak berkedip pada tato seekor naga yang terdapat pada punggung si bocah. Sementara Dewa Tombak tak acuh saja, kare na dia sudah sering melihat gambar seekor naga disana. Dewi Lontar sadar apa arti tatapan kedua lelaki setengah baya berjubah hijau. Dia berkata, "Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya gambar naga hijau ini terdap at pada punggung bayiku. Saat kulahirkan, gambar naga hijau yang seperti sebuah tato Ini, sudah terdapat pada punggungnya...." Dua Serangkai Jubah Hijau tak bersuara. Mereka masih memperhatikan tato naga hij au yang terdapat pada punggung si bocah. Sema Kuriang membatin, "Aku seperti melihat sisik tipis warna coklat yang terdap at pada kedua tangannya sebatas siku. Ah, mungkin aku salah melihat. Rasanya aga

k janggal kalau bocah Itu memiliki sisik." Di pihak lain, saudara kembarnya juga membatin, "Pada punggungnya, terdapat tato naga hijau. Pada kedua tangannya sebatas siku terdapat sisik-sisik kecoklatan. Aneh Mengapa kedua tangannya sampai bersisik seperti itu? Padahal Pendekar Lonta r dan istrinya tak memiliki sisik seperti itu. Jangan-jangan... sisik-sisik cokl at yang terdapat mulai jari-jemarinya hing-ga batas siku, juga dibawanya sejak l ahir." Selagi keheningan terjadi, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di depan. Dewa Tombak segera berkelebat ke sana. Dia melihat dua orang bersenjatakan pedang yan g menjaga di depan rumah besar itu, sedang ribut omongan dengan seorang kakek ya ng me-ngenakan jubah merah. Kepala si kakek lonjong. Kumis putihnya panjang turu n ke bawah. Rambutnya yang sudah memutih semua diikat ekor kuda. Bola matanya ta jam dengan sepasang aiisyang seperti menyatu. Dari apa yang ada pada tubuh si kakek, yang mengejutkan adalah kedua pu nggung tangannya. Karena, di sana ada sisik-sisik berwarna hijau. Sangat jelas. Sisik itu pun terdapat pada bagian wajahnya, tetapi tlpis saja. Karena dia menge nakan pakaian panjang, jadi tak bisa diketahui apakah sisik-sisik Itu juga,terda pat pada bagian tubuhnya yang lain. Si kakek saat ini sedang marah-marah. Bahkan tangan kanannya siap terangkat untu k menampar kedua penjaga itu. "Selamat datang ke rumah duka, Dewa Naga...." Ucapan Dewa Tombak yang disusul dengan sosoknya yang mendekat, membuat si kakek mengurungkan niatnya untuk menampar kedua penjaga yang bersiaga. Bahkan tangan k anan masing-masing sudah menggenggam pedang, siap dihunuskan. "Brengsek! Apa-apaan kedua cecunguk ini melarangku masuk, hah?! Hei, Orang bulat ! Katakan pada mereka, jangan banyak tingkah di hadapanku!" Dewa Tombak tersenyum. Saat melangkah tubuhnya mengegal-ngegol. Dia memberi isya rat pada kedua penjaga yang menuruti tetapi tatapannya tajam pada si kakek muka lonjong. "Hanya kesalahpahaman saja...," kata Dewa Tombak dengan senyuman lebar. "Dan kau tetap selalu bersikap keras seperti itu rupanya." Si kakek muka lonjong yang bersisik halus itu menggeram. "Brengsek! Apanya yang kesalah pahaman, hah?! Mereka melarangku masuk! Memangnya di dalam sana ada pertunjukan yang mengharuskan aku membayar untuk melihat?!" Salah seorang penjaga itu berseru, "Tuan Dewa Tombak... sikap si kakek sungguh t ak menyenangkan. Dia datang dengan sikap yang angkuh. Bahkan mulutnya terus berb unyi yang justru menimbulkan kegaduhan..." "Eh, busyet maki si kakek dengan mata tajam. "Mulutku berbunyi?! Keparat betul k au ya? Jangan-jangan kau memang mengharapkan kugaplok?!" Si penjaga sama sekali tak kelihatan takut, karena mereka memang tidak tahu siap a kakek bersisik hijau yang datang ini. Saat ini dia sedang berduka karena majik an mereka tewas tanpa ketahuan penyebabnya. Dan dia sangat tersinggung bila ada orang yang bermaksud menyembangi majikannya bersikap tak menyenangkan. Selama delapan tahun, Markuto dan adiknya yang bernama Gerada sudah mengabdikan diri pada Pendekar Lontar. Bah kan dengan senang hati Pen-dekar Lontar mengajarkan mereka sedikit ilmu pedang y ang dimllikinya. Rasa hormat mereka pada Pendekar Lontar melebihi sayangnya mere ka pada nyawa sendiri. Sementara si penjaga mendelikkan matanya gusar, Dewa Tombak justru tertawa-tawa keras. Si kakek muka lonjong menggeram. "Kau teruskan tawamu, kubunuh kau!!" Dewa Tombak sendiri segera menghentikan tawanya. Bukan karena takut akan ancaman si kakek yang berjuluk Dewa Naga, melainkan karena dia kembali teringat, kalau saat ini suasana duka sedang melanda. Lalu katanya pada Markuto, "Kau salah sangka, Markuto. Bukan mulutnya yang berbu nyi, tetapi pantatnya!" Sementara Markuto melongo, si kakek muka lonjong menggeram. "Brengsek! Kau membuka aibku ya?! Memang... pantatku ini terkadang tidak bisa diajak kompromi! Selalu bunyi tanpa kuminati! Eh, selagi kuminati... susah

sekali bunyinya...." Dewa Tombak menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu diajaknya Dewa Naga masuk ke da lam. Markuto dan Gerada memperhatikan dengan seksama. Mereka membuka pendengaran lebih lebar. Dan mereka tak mendengar suara yang seperti sebelumnya mereka deng ar. Sementara itu, menyadari kalau dua pasang mata tertuju pada pantatnya, si kakek muka lonjong menggeram jengkel. Mendadak dijentikkan ibu jari dengan telunjuknya . Claaap....! Gerakan yang sangat ringan dan cepat itu seperti tak mengandung apa-apa, tetapi Markuto dan Gerada mendadak saja jatuh terjengkang. Dewa Tombak berkata, "Kau terlalu ringan tangan, Kawan...." "Keparat kau, Kakek Bulat! Siapa yang tidak risih kalau pantatnya dilihati terus ? Memangnya aku janda kembang yang punya pantat bulat yang memancing perhatian u ntuk diremas-remas?!" seru si kakek gusar. Dewa Tombak mendengus. "Bila kakek ini mau, kedua orang itu bukan hanya akan langsung tewas seketika. T etapi tubuhnya akan lebur menjadi debu," katanya dalam hati. Kemudian melanjutka n, "Tokoh satu ini memang dikenal memiliki sifat angin-anginan. Setiap orang yan g mendengar julukannya, pasti akan merasa copot jantungnya. Siapa yang tak menge nal julukan Dewa Naga?" Lalu dengan langkah yang mengegal-ngegol dia masuk kembali ke ruangan duka, disu sul oleh Dewa Naga yang mendengus. Di pihak lain, Markuto dan Gerada sedang bangklt sambil meringis. Dan mereka tid ak mengerti apa yang telah menimpa mereka tadi. * * * 2 KEKADIRAN Dewa Naga membuat Dua Serangkai Jubah Hijau segera merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Yang dihormati justru mendengus saja. Dia berkata pada Dewi Lontar yang sedang mengangguk hormat, "Siapa orang keparat yang membunuh pendekar gagah itu, Dewi Lontar?" Dewi Lontar menggelengkan kepalanya. Lalu dengan suara pelan dia menyahut, "Dewa Naga... suamiku tidak mati dibunuh orang. Tetapi ajal memang sudah menjemp utnya...." Huh! Bicaramu terlalu ringan! Kau terlalu diliputi oleh kesedihan rupanya!" dengu s si kakek berjubah merah. Dia berjalan mendekati jenazah Pendekar Lontar. Saat berjaian mendadak saja sesuatu berbunyi, Brrut! Bruuut! Kontan Dewa Naga menghentikan langkahnya. Dia melirik ke kanan kiri dengan wajah agak memerah. Keanehan terpampang. Karena sisik halus warna hijau pada wajahnya , seperti berubah menjadl merah. Setelah dilihatnya tak ada yang ketawa atau mer ingis, dia melangkah lagi. Padaha! saat ini Dewa Tombak sudah tertawa keras dalam hati. Sementara Dua Seran gkai Jubah Hijau hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. "Kakang Segala Jaka memang tak pernah menghilangkan kebiasaannya itu," desis Sem a Kuriang dalam hati. "Ah... kebiasaan buruk. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak akan pernah bisa menghi langkannya...." Dewa Tombak membatin, "Tak kusangka kalau Dewa Naga, Majikan Lembah Naga, akan h adir di sini. Ya, ya... siapa pun akan menyambangi kematian pendekar besar seper ti Pendekar Lontar." Saat itu Dewa Naga sudah berdiri di samping kanan sosok Pendekar Lontar yang ter bujur kaku. Sepasang mata tajam si kakek yang memperlihatkan Sinar kewibawaan ke ndati kalau bicara asal saja, memperhatikan sekujur tubuh Pendekar Lontar. Saat lain mulutnya terlihat berkemak-kemik di saat tangan kanannya digerakkan di atas tubuh Pendekar Lontar. Sisik-sisik hijau pada wajahnya semakin menyala. Tak ada yang menahan apa yang dilakukannya. Mereka tahu, kalau Dewa Naga yang me miliki kesaktian luar biasa itu, sedang mencari penyebab kematian Pendekar Lonta r. Kemudian terlihat tangannya bergetar. Dia buka Suara, "Aku tak

percaya kalau dia tewas tanpa ada penyebabnya...." Kata-katanya itu membuat orang-orang yang berada di sana, termasuk Dewi Lontar j adi membuka mata lebih lebar. Mereka melihat tangan kanan Dewa Naga semakin berg etar, tepat pada jantung Pendekar Lontar. "Aku mencurigai ada sesuatu di jantungnya, yang menyebabkannya meninggal...." "Kakang Segala Jaka...," kata Gala Kuriang salah seorang dari Dua Serangkai Juba h Hijau, "Apakah kau berpendapat kematian Pendekar Lontar tidak wajar?" "Brengsek! Jangan ganggu aku kalau aku sedang mencari sesuatu, hah?! Kau ingin w ajahmu kuhantamkan ke tembok?!" maki Dewa Naga keras. Gala Kuriang tidak tersinggung dengan ucapan itu. Dia justru menutup mulutnya. "Aku yakin, Pendekar Lontar mati tidak wajar. Tetapi aku tidak tahu apa penyebab nya. Semua orang tahu, kalau dia memiliki ilmu 'Raga Pasa'. Boleh dlkatakan, kal au orang yang membunuhnyaini memiliki limu yang tinggi dan aneh. Bisa juga kalau dia mempergunakan sesuatu untuk membunuhnya." "Kalau kau sudah tahu, mengapa kau katakan dia meninggal tidak wajar?" tanya Dew a Tombak. Dewa Naga melotot padanya. "Orang bulat banyak omong! Aku bukan ahli penyakit dan juga bukan ahli obat! Yan g bisa menerangkan semua ini hanya Dewa Segala Obat!" "Aku telah menjumpainya dan memintanya datang ke sini...." "Bagus! Tapi, mengapa dia belum juga datang?!" "Dewa Segala Obat selalu tepati janji. Kalaupun dia terlambat datang, mungkin ad a sesuatu yang menghambatnya. Tetapi aku yakin, dia pasti datang." Justru yang datang kemudian, dua orang lelaki berwajah tirus. Kedua lelaki ini d iperkirakan berusia sekitar enam puluh tahunan. Tampang mereka sadis dan angker. Yang berambut panjang tetapi botak di tengah, memiliki mata tajam mengerikan. T ak berkumis, tetapi berjenggot yang dikepang. Mengenakan pakaian hitam dengan ro mpi biru. Di pergelangan tangannya yang kurus terdapat gelang-gelang hitam hingg a batas lengan. Sementara yang seorang lagi, mengenakan pakaian panjang dengan jubah hitam. Lebi h tinggi dari yang satunya lagi. Tatapannya pun tajam, dengan kelopak mata agak menurun. Kepalanya plontos, dan terdapat tanda matahari tepat di ubun-ubunnya. Masing-masing orang yang berada di sana memandang tidak enak akan kehadiran kedu anya. Mereka mengenal kedua tokoh itu. Yang berjenggot dikepang berjuluk Iblis P enghancur Raga, sementara yang seorang lagi berjuluk Iblis Telapak Darah. Kedua orang ini dikenal sebagal orang sesatyang menguasai daerah timur. Iblis Penghancur Raga mengedarkan pandangannya ke orang-orang yang berada di san a. Begitu tertumbuk pada mata Dewa Naga, dia kelihatan berusaha untuk tidak mena tapnya lebih lama. "Keparat! Kupikir kakek sialan itu tidak hadir di sini!" makinya dalam hati. Lal u melangkah mendekati jenazah Pendekar Lontar. Ditatapnya jenazah itu dengan sek sama. Dan tanpa sungkan dia memperlihatkan senyuman sinisnya. Lalu melakukan per tghormatan tiga kali. Lalu mundur. Iblis Telapak Darah ganti melakukan penghormatan yang sama. Tetapi sambil berkata, "Kehebatanmu ternyata tak seberapa, Pendekar Lontar. Kau yang selama in i dikenal sebagai orang sok suci yang selalu lancang mencampuri urusan orang, ak hirnya pun mampus juga...." Kata-kata sinis Ibiis Telapak Darah membuat muka Dewi Lontar memerah. Tetapi per empuan Jelita yang sedang menggendong Boma Paksi yang masih tertidur, segera tin dih amarahnya. Dia tahu, kalau tiga bulan yang lalu, Ibiis Penghancur Raga dan i blis Telapak Darah pernah dikalahkan suaminya di Lembah Air Mata. Dan dapat dipa stikan kalau keduanya datang untuk mencari gara-gara. Tetapi Sema Kuriang tak menyukai kata-kata iblis Telapak Darah. "Ada seekor kucing yang hendak berubah menjadi harimau, tetapi sampai kapan pun tak akan pernah bisa terjadi walaupun sudah diupayakan seperti apa pun. Keberani annya tak akan ada meskipun dia telah berubah menjadi harimau. Karena masih ada harimau sesungguhnya yang siap menerkamnya...." Sindiran halus Sema Kuriang membuat iblis Telapak Darah seketika menoleh. Lelaki berjubah hitam ini sudah hendak buka mulut menyemprot, tetapi tangannya dijenti

k oleh ibiis Penghancur Raga. Mengerti maksud dari Iblis Penghancur Raga kalau di sana ada Dewa Naga yang seda ng melotot pada mereka, iblis Telapak Darah menelan bulat-bulat kejengkelannya. Iblis Penghancur Raga berkata pada Dewi Lontar, "Dewi Lontar... kuhaturkan ucapa n belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kematian suamimu. Terus terang, kami h adir dengan membawa persahabatan dalam. Tak ada dendam sedikit pun di hati kami kendati pernah dikalahkannya di Lembah Air Mata...." Kendati tak mempercayai kata-kata Iblis Penghancur Raga, Dewi Lontar mengangguk. "Terima kasih kuucapkan atas kesediaanmu menyambangi jenazah suamiku...." Iblis Telapak Darah berkata, "Suamimu adalah seorang tokoh besar yang pernah hid up di zaman in!. Sayang, usianya sangat pendek. Padahal, masih banyak yang bisa dilakukannya...." "Siapa pun tak akan bisa menentang ajal...," kata Dewi Lontar sopan. Iblis Telapak Darah menganggukkan kepalanya. "Ya, siapa pun tak akan bisa menentang ajal. Maafkan kami... kami tak bisa tinggal lebih lama di sini. Sekali lagi, kami turut berduka cita sedalam-da lamnya...." Setelah itu, keduanya melangkah keluar dengan kepala terangkat, angkuh. Iblis Te lapak Darah melirik Sema Kuriang penuh amarah yang dibalas oleh Sema Kuriang tak kalah garangnya. Sepeninggal keduanya, Dewa Tombak berkata, "Sejak tadi kita memikirkan penyebab kematian Pendekar Lontar. Tak seorang pun yang memungkiri kalau sesungguhnya ini sudah panggilan Tuhan. Tetapi, kita wajib berusaha untuk mengetahui segala peny ebabnya. Untuk itu... aku bermaksud untuk menjemput Dewa Segala Obat. Mungkin di a mendapatkan satu halangan hingga terlambat hadir di sini. Padahal, dia su-dah berjanji padaku...." Dewi Lontar sebenarnya ingin melarang, karena dia tak mau kematian suaminya menj adi urusan yang panjang. Baginya, suaminya memang sudah diberikan umur yang cuku p oleh Sang Pencipta. Dan bila Dia menghendakinya untuk pulang, bukan hanya suam inya yang tak dapat menolak, siapa pun orangnya tak akan mungkin bisa menghindar i keadaan itu. Gala Kuriang berkata, "Dewa Tombak... kau adalah sahabat terdekat dari Pendekar Lontar. Akan lebih baik bila kau tetap berada di sini menemani Dewi Lontar. Seba iknya, biar kami saja yang menjemput Dewa Segala Obat...." Bukannya Dewa Tombak yang menyahut, Dewa Naga yang berkata, "Brengsek! Apa kau p ikir kehadiranku di sini tidak akan jadi lebih baik? Benar-benar ingin..." Bruuutt! Kata-kata Dewa Naga terputus karena pantatnya sudah berbunyi lagi. Sekali lagi s isik hijau pada wajahnya berubah menjadi merah. Tetapi dia justru mengangkat dag unya tinggi-tinggi seraya berkata, "Daripada kutahan jadi uban, kan lebih baik kulepas saja?" Baik Dewa Tombak maupun Dua Serangkai Jubah Hijau tak menghiraukan selorohannya. Tetapi Dewi Lontar tersenyum. Perempuan perkasa yang sedang berduka itu, merasa agak terhibur dengan ulah si kakek muka lonjong yang penuh sisik hijau. Lalu penuh duka, dltatapnya jenazah suaminya. Ada keinginan kuat yang mendorongn ya untuk memeluk jenazah Itu. Tetapi ditahan sebisanya. "Suamiku... mungkin hanya Sang Penguasa Jagat dan kau sendiri yang mengetahui pe nyebab kematianmu. Tetapi mungkin pula kau tak mengetahuinya. Semula... aku tak mempedulikan keadaan itu, karena kau tentunya tahu bila ada satu serangan gelap yang datang. Hanya saja... kata-kata Dewa Naga tadi, mengubah keyakinanku. Aku m encurigai kematianmu, suamiku...," katanya dalam hati. Dewa Tombak berkata pada Gala Kuriang, "Bila kalian berkenan melakukannya, silah kan." Dua Serangkai Jubah Hijau sama-sama menganggukkan kepaia. Dewa Naga berkata setelah mendengus, "Gala Kuriang! Bila kau sudah berjumpa deng an Dewa Segala Obat dan masih memiliki waktu, kuminta kau mendatangi Menara Berk abut" Kata-kata bernada perintah dari Dewa Naga itu bukan hanya mengejutkan Gala Kuria ng saja, tetapi orang-orang yang berada di sana. Siapa pun tahu, Menara Berkabut adalah sebuah tempat yang penuh dengan misteri. Bahkan tempat itu seolah telah

melegenda karena kemisteriusan dan keangkerannya. Kalaupun Dewa Naga memerintahk an Dua Serangkai Jubah Hijau untuk mendatangi Menara Berkabut, tentunya ada sesuatu yan g dimaksud. Tetapi dengan konyolnya si kakek muka lonjong penuh sisik hijau itu justru nyeng ir, "Eh... tidak usah saja, deh! Tidak usah! Cepat kalian pergi dari sini! Kalau bisa, selekasnya membawa orang tua pikun berjuluk Dewa Segala Obat itu!" Lalu s ambungnya sambil menggeleng gelengkan kepala seperti ditujukan pada dirinya send iri, "Heran! Sudah sedemikian tua... kenapa dia masih hidup juga, ya?" Kendati demikian, masing-masing orang merasa pasti kalau Dewa Naga mengetahui se suatu. Tetapi seperti yang mereka ketahui, Dewa Naga adalah seorang tokoh yang s elain memiliki kesaktian tinggi juga memiliki sifat angin-anginan. Dan bila ada orang yang berani mendesaknya, bisa jadi mulutnya sudah mencong tanpa orang itu tahu apa penyebabnya! Mendadak dia membentak, "Hei, Kenapa kalian masih berada di sini?! Tadi kalian y ang mau untuk pergi menemui Dewa Segala Obat! Sekarang masih diam di sini kayak kambing ompong! Ayo, sana pergi! Kalau tidak... kujitak kepala kalian!" Sesungguhnya, sikap Dewa Naga tidaklah tepat. Karena saat ini suasana sedang ber kabung tengah melanda rumah besar itu. Tetapi dia masih bersikap semau jidatnya saja. Karena memang begitulah sifatnya. Hanya saja, janganlah sekali-sekaii mema ncing amarahnya! Dua Serangkai Jubah Hijau segera mengangguk dan melangkah keluar. "Brengsek!" dengus Dewa Naga. Lalu diarahkan pandangannya pada Dewi Lontar yang masih menggendong putranya yang tetap tertidur. Mulut Dewa Naga hendak membuka, tetapi mendadak saja dia melongo. Seperti melihat sesuatu yang baru, kakek muka lonjong ini terdiam dengan muiut ternganga. "Ada apa, Orang Tua?" tanya Dewi Lontar pelan. "Busyet! Astaganaga! Benar-benar astaga! Dewi Lontar... bocah siapakah yang seda ng kau gendong itu?" "Dia adalah putraku, Orang Tua." "Siapa namanya?" "Boma Paksi." "Nama yang bagus. Berapa usianya?" "Jalan lima tahun...." "Gila! Sudah hampir lima tahun? Dan selama ini aku tidak tahu kalau kau dan Pendekar Lontar sudah mempunyai anak sebesar itu? Benar-benar busyet! Ke mana ak u selama ini?" "Kau memang tidak ke mana-mana... tetapi asyik menggoda janda dusun sebelah," sa hut Dewa Tombak. Dewa Naga mendengus. Matanya mendadak tajam memerah. "Kakek buntal! Kau terlalu banyak omong! Ingin perutmu kukempeskan?!" Dewa Tombak hanya mengangkat bahunya saja, tak acuh. Dewa Naga kembali memandang Boma Paksi yang masih tertidur. "Astaganaga!" desisnya dalam hati. "Bertahun-tahun aku mencari seorang bocah yan g pada punggungnya terdapat gambar seekor naga hijau. Bertahun-tahun pula aku di bingungkan oleh mimpiku mengenai bocah itu. Dan tidak tahunya, bocah itu terlahi r dari rahim Dewi Lontar yang merupakan perpaduan dengan Pendekar Lontar. Nasib baik, walaupun hari buruk. Tak perlu lagi aku melangkah jauh, melanglang buana m elewati sebagian jagat untuk mencari bocah itu. Kini sudah terpampang di depan m ata...." Dewi Lontar tahu ke mana tatapan Dewa Naga ditujukan. Tetapi perempuan jelita in i tak menghiraukannya. Dilihatnya si kakek muka lonjong hendak membuka suara dengan kedua mata masih ta k berkedip. Namun urung dilakukannya, karena pada saat itu Sema Kuriang melangkah masuk. Dew a Naga sudah mau membentaknya, tetapi didahului oleh Sema Kuriang yang berkata t enang, "Ada orang yang hendak tunjuk ilmu di sini Markuto dan Gerada tewas denga n leher putus" * * * 3

DISAAT Sema Kuriang mengatakan keadaan Markuto dan Gerada, saat ini Gala Kuriang sedang menyipitkan matanya ke depan. Dalam keremangan malam dia melihat satu so sok tubuh kontet sedang melangkah ke arahnya. Dari menyipitkan matanya, mendadak saja sepasang mata lelaki setengah baya yang pada keningnya terdapat cebuah tahi lalat, membesar. Saat itu pula dia merasa te gang. "Hantu Sejuta Setan!" desisnya pelan dan dia berusaha untuk menenangkan perasaan nya. Orang kontet yang ternyata seorang perempuan itu makin lama makin mendekat. Lang kahnya santal saja, seperti tidak tergesa ataupun memburu waktu. Tak lama kemudl an, dia telah tiba di hadapan Gala Kuriang. Sosok perempuan Ini lebih pendek dari Dewa Tombak. Wajahnya dipenuhi keriput dan berkulit hitam. Semakin kelam karena pakaian yang dikenakannya pun berwarna hit am, panjang hingga ke mata kaki. Dan terbetah hingga batas dengkul. Memperlihatk an sepasang kaki hitam yang keriput. Kepalanya bulat dengan rambut panjang acakacakan hingga pinggul. Hidungnya juga bulat dengan bibir lebar tanpa gigi, Yang mengerikan dari sosoknya adalah sepasang boia ma-tanya, yang menyala-nyala merah . "Kudengar kabar.... Pendekar Lontar sudah mampus!" kata Ratu Sejuta Setan dengan suara cempreng. Kepalanya agak ditengadahkan saat menatap tajam pada Gala Kuria ng. Yang ditatap kembali menindih gentarnya. Siapa pun sudah mengenal sepak terjang ganas dari perempuan kontet ini. Lalu dengan sikap tenang, Gaia Kuriang mengangg ukkan kepalanya. "Kabar yang kau dengar tidak salah. Dan sungguh menakjubkan, kalau dari tempat i ni kabar itu menyebar ke tempatmu yang sangat jauh." Perempuan kontet itu mendengus. "Minggir! Aku ingin lihat lelaki yang selalu banyak tingkah itu!" Sikap kurang ajar dan memandang enteng yang diperlihatkan Ratu Sejuta Setan, mem buat Gala Kuriang menjadi geram. Saat itu pula kegentarannya lenyap. "Siapa pun yang datang dengan maksud baik dan bertujuan semata-mata menyembangi Pendekar Lontar, pintu akan selalu terbuka. Tetapi muncul dengan memperlihatkan tingkah tengik dan tangan telengas, apakah masih dapat dibukakan pintu lebar-leb ar untuk kehadirannya?!" "Keparat, Apa yang kau maksudkan dengan tangan telengas itu, Gala Kuriang?!" Gala Kuriang menunjuk mayat Markuto dan Gerada yang telah terpisah dari kepala m asing-masing. "Apakah kau mau memungkiri keadaan dengan melihat kedua mayat ini?" Ratu Sejuta Setan lagi-lagi mendengus. Dia kembali berkata-kata, dan karena tak memiliki gigi, pipinya jadi semakin kempot, "Aku cuma ingin tahu kehebatan dua orang penjaga Ini! Menjadi penjaga Pendekar L ontar tentunya memiliki ilmu yang lumayan! Tapi dari jarak dua puluh tombak, ked uanya tak mampu menghalangi lesatan angin yang kulepaskan!" Makin mengkeiap Gala Kuriang meiihat tingkah Ratu Sejuta Setan, yang selain mema ncing amarahnya juga enak saja mengakui perbuatannya. "Selama ini, aku tak pernah memandang rendah pada perempuan kontet berjuluk Ratu Sejuta Setan! Tetapi malam ini, kedatanganmu sungguh menaikkan amarah! Akulah y ang menjadi penjaga pintu rumah duka ini!" Sepasang boia mata perempuan kontet yang selalu menyala, mendadak bersinar teran g. Merah pekat. "Bagus kalau kau memutuskan untuk menjadi penjaga! Aku ingin lihat apakah kau ma mpu menghalangi langkahku, atau kau hanya menjadi orang ketiga yang malam ini ku bunuh!" Habis ucapannya, mendadak saja Ratu Sejuta Setan melingkarkan telunjuknya pada i bu jarinya. Dengan tiga jari lainnya yang terentang, dia mendorongnya ke arah Gala Kuriang. Gala Kuriang bukanlah anak kemarin sore. Dengan saudara kembarnya dia sudah cuku p lama malang melintang di rimba persilatan. Dengan mudahnya dia dapat menghinda ri Sesatan sinar merah yang berbentuk lingkaran. Namun yang mengejutkannya, kare na mendadak sontak sinar merah berbentuk lingkaran itu seperti sebuah bumerang b

erbalik arah! Kali ini diiringi suara dengungan keras. "Heiiiit!" Gaia Kuriang terkejut dan cepat mengibaskan tangan kanannya. Serangkum angin bes ar memutuskan gerakan sinar merah berbentuk lingkaran Itu. Kalau blasanya gelomb ang angin berbenturan dengan tena-ga lain, akan menimbulkan letupan, ini justru tidak. Gala Kuriang memang mampu memutuskan sinar merah berbentuk lingkaran milik Ratu Sejuta Setan. Tetapi yang terjadi kemudian, sinar merah itu justru membesar dan merangkum gelombang angin yang dilepaskan Gala Kuriang. Menyusul.... Wrrrrr!! Desss!! Gelombang angin itu menghantam dada pemiliknya sendiri yang terjengkang di atas tanah dengan keluhan tertahan. Ratu Sejuta Setan menggeram. "Kau belum pantas menjadi seorang penjaga! Bila kau tahu malu, seharusnya kau su dah menjadi petani di gunung-gunung! Lalu dengan enaknya Ratu Sejuta Setan masuk ke rumah duka. Dia langsung mengedar kan pandangannya pada orang-orang yang berada di sana. Begitu matanya berbentura n dengan tatapan Dewa Naga, perempuan kontet ini segera berkata, "Rupanya Lembah Naga juga sudah kebagian berita hingga penghuninya perlu untuk d atang! Padahal, seorang Pendekar Lontar tak patut didatangi oleh tokoh kenamaan! " Lalu dengan santainya, perempuan kontet berpakaian hitam in! melangkah mendekat jenazah Pendekar Lontar. Dia tak memandang sebelah mata pada Dewi Lontar, Dewa T ombak, maupun Sema Kuriang. Ratu Sejuta Setan tak melakukan gerakan apa-apa, hanya sedikit berjingkat untuk melihat jenazah Pendekar Lontar. Masih memandangi jenazah dia berkata, "Tak kulihat Pusaka Pendekar Lontar ada di sisinya! Orangny a kini sudah mampus! Pusaka itu tentunya tak berguna lagi untuknya! Aku datang u ntuk mengambil pusaka itu!" Tingkah menjengkelkan Ratu Sejuta Setan membuat Dewi Lontar menggeram. Perempuan yang masih menggendong Boma Paksi yang masih tertidur, segera berkata, "Siapa pun yang datang dengan baik-baik untuk menyambangi suamiku, kuterima deng an tangan terbuka. Bila dia datang untuk memancing persoalan, silakan angkat kak i dari sini. Dan tunggu beberapa hari lagi bila tak puas dengan tindakan yang ku lakukan!" Ratu Sejuta Setan menyahut tanpa menoleh, "Tanpa suamimu lagi di sisimu, kau tak akan bisa berbuat banyak, Dewi Lontar. Selama ini, orang hanya meman-dang suami mu yang memiliki iimu tinggi! Sekarang, bila kau banyak tingkah, aku tak akan se gan untuk menampar mulutmu sampai berdarah!" Menggigil tubuh Dewi Lontar mendengar kata-kata yang menyakitkan itu. Dia sudah hendak bergerak, tetapi begitu melihat Dewa Tombak menggelengkan kepala, terpaks a dia surutkan niat. Hati perempuan yang masih dilanda duka karena kematian suaminya, kini berbalur kemara han tinggi terhadap Ratu Sejuta Setan. Masih tanpa berbalik, perempuan kontet itu berkata lagi, "Kurasakan gerakanmu it u, Dewi Lontar! Tapi mengapa kau menahannya? Apakah kau sudah sadar kalau Kau ti dak memiliki kemampuan apa-apa tanpa suamimu? Bagus kalau kau sudah menyadari ha l itu! Itu artinya, kau sadar siapa dirimu sebenarnya! Sekarang, berikan padaku Pusaka Pendekar Lontar!" Di akhir kata-katanya, Ratu Sejuta Setan membalilkkan tubuh. Bola matanya menghu jam dalam pada bola mata bening Dewi Lontar. Dewi Lontar sesaat mengkelap menden gar ucapan si perempuan tua kontet. Tetapi dia tak buka suara. Hanya mengerahkan tenaga dalam, karena merasakan adanya gelombang tenaga yang mencoba menerjang k edua matanya. Tiba-tiba terdengar dengusan Dewa Naga, keras. Disusul makiannya, "Perempuan kon tet! Kau datang dengan sikap memuakkan! Ayo, tinggalkan tempat Ini sebelum kau k utendang sampai menggelinding!" Tanpa mengalihkan pandangannya dari Dewi Lontar, Ratu Sejuta Setan menyahut

dingin, "Silang sengketa tak pernah kulakukan dengan orang Lembah Naga! Tetapi k alau malam ini hendak buka urusan, aku sudah siap menghadapi!" "Eh! Brengsek kau ya?! Kau pikir kau ini siapa, hah? Sudah kontet, banyak lagak lagi! Kau mau tubuhmu kubuat lebih kontet, hingga kau akan dijadikan sebuah bola oleh anak-anak di sebuah dusun? Atau kau...." Bruuut! Pantat Dewa Naga berbunyi. Kali ini si kakek tak mempedulikan bunyi 'merdu itu. D ia berkata lagi, "Eh, tadi aku ngomong sampai mana ya? Makan nasi uduk, ya? Wah, bukan! O ya, kau ini masih mau hidup atau tidak?! Masih mau... waduh! Betul tid ak sih memang itu yang mau kukatakan? Brengsek betul!" Kali Ini Ratu Sejuta Setan segera memalingkan kepalanya. Dia mendongak dan meman dang tajam pada Dewa Naga. Yang ditatap justru membelalakkan kedua matanya. "Busyet! Kau mencoba mengerahkan tenaga dalam melalui matamu? Huh! Apa kau pikir kau sudah mampu melakukan hal itu, hah?!" gerutunya Jengkel. Lalu seiring bunyi dari pantatnya lagi. mendadak saja sosok Ratu Sejuta Setan terhuyung dua tindak ke belakang. Saat itu pula darah merembas dari sela-s ela bibir kempotnya. Kejadian yang tak disangka itu membuat gusar si perempuan k ontet. Mulutnya terlihat berkemak-kemik tetapi tak ada suara yang keluar. "Wah! Kau hendak perlihatkan ilmu sihirmu ya? Tak guna! Tak guna!" seru Dewa Nag a dengan bibir mencibir. Lalu.... Bruuutt Enak saja dia buang angin. Sementara itu, Dewa Tombak menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak menyukai tind akan yang dilakukan Ratu Sejuta Setan. Datang-datang bersikap kurang ajar dan me nginginkan Pusaka Pendekar Lontar. Dewa Tombak tahu, kalau Pendekar Lontar memil iki sebuah benda yang berbentuk gumpalan daun lontar. Menurut cerita Pendekar Lo ntar di kala masih hidup, gumpalan daun lontar yang sejak bertahun-tahun ada pad anya tetapi masih tetap berwarna hijau segar, bila direndam ke dalam air, maka a kan menyembuhkan penyakit apa pun juga. Dan bila dilemparkan ke arah lawan, seti nggi apa pun ilmu lawan, maka tubuhnya akan remuk terkena hantaman gumpalan daun lontar yang sebesar kepalan tangan. Yang menjengkelkannya, suasana duka masih meliputi rumah itu, terutama hati Dewi Lontar. Sebelum Ratu Sejuta Setan bersuara, kakek bertubuh buntal ini sudah berkata, "Pe rempuan kontet... di tempat ini, bukanlah tempat yang tepat untuk adu ilmu. Bila kau penasaran... aku bisa mewakili Dewa Naga...." "Busyet! Orang buntal! Kau jangan sok jago ya? Kau pikir aku tak mampu menghadap inya?!" bentak Dewa Naga. Dewa Tombak hanya mendengus, lalu melangkah keluar sambil membawa tombaknya. Lan gkahnya egal-egol. Kata-kata Dewa Tombak sudah menggelegakkan darah Ratu Sejuta Setan. Dia berkata dulu pada Dewa Naga, Tingkahmu malam ini, akan kuingat terus" Lalu serunya pada Dewi Lontar, "Bila dua puluh hari mendatang kau juga tidak men yerahkan pusaka itu, jangan salahkan aku bila kau akan segera menyusul suamimu!" Kemudian dia melangkah menyusul Dewa Tombak keluar. Sema Kuriang sendiri segera menyusul karena merasa heran, mengapa saudara kembarnya belum muncul juga. Dewi Lontar yang dilanda gusar menarik napas dalam-dalam. Hati perempuan ini san gat masyguL. Hari Ini dia sedang berduka dalam karena kematian suaminya, tetapi tamu yang menyembangi suaminya justru bersikap menjengkelkan. Kendati demikian, Dewi Lontar dapat memaklumi kejadian itu. Karena dia tahu, begitu banyaknya oran g-orang yang mendendam pada suaminya, bahkan mungkin, saat ini ada seseorang ata u sekelompok orang yang sedang berpesta merayakan kematian suaminya. Bruuutt! Pantat Dewa Naga berbunyi lagi. Dia mendengus jengkel pada dirinya sendiri. Lalu berkata, "Kau tak perlu menghiraukan perempuan kontet itu! Biar Dewa Tombak men ghajarnya! Tapi kalaupun Dewa Tombak kalah, biar saja! Toh itu sudah maunya send iri!" Dewi Lontar hanya tersenyum tipis. Lalu memandangi jenazah suaminya. Saat itu, p utranya yang sejak tadi tertidur, terbangun. Sejenak bocah ini menggeliat. Lalu

dia tersenyum pada Dewa Naga yang menganggukkan kepala, Lalu dengan wajah segar, seperti tidak terlihat kalau sebelumnya dia lelap tertidur, bocah Itu turun dari pelukan ibunya. Begitu meiihat ayahnya terbujur di atas dipan, dia segera melangkah diiringi tat apan sedih dari Dewi Lon-tar. Sejenak bocah yang pada punggungnya terdapat tato naga hijau memandangi ayahnya. Dia menoleh pada ibunya. "Ibu...mengapa sejak pagi Ayah tidak bangun-bangun juga? Mengapa tidurnya lama s ekali?" Dewi Lontar sesaat merasa sesak pada dadanya. Napasnya dirasakan putus. Tetapi s ebagai perempuan perkasa dia masih dapat kendaiikan diri, kendati dia ingin bert eriak sekeras-kerasnya, menumpahkan segala kepedihan di hatinya. Lalu perlahan dia menjawab, "Boma.... Ayahmu bukannya tertidur...." "Kalau tidak tertidur, mengapa Ayah tidak bangun juga?" tanya si bocah dengan ke ning berkerut. Dewi Lontar lagi-lagi menahan gemuruh di hatinya. Dipandanginya wajah tampan put ranya. Ketampanan yang diwarisi dari suaminya. Sambli memaksakan sebuah senyum, Dewi Lontar menjelaskan apa yang telah terjadi pada ayah Boma Paksi. Dia menjelaskan begitu lembut dan sejelas-jelasnya. Bocah itu ternyata cerdik. Dia dapat memahami apa yang dikatakan ibunya. Tak ada tangisan apa-apa kecuali sepasang bola mata yang berkaca-kaca. "Ketegaran bocah ini iuar biasa. Dia paham apa yang dikatakan ibunya, kalau dia tak akan pernah lagi melihat ayahnya mulai besok. Tetapi dia dapat bersikap tena ng. Ah, rupanya... pencarianku selama bertahun-tahun memang harus kusudahi. Boca h itullah yang kucari selama ini, bocah yang hadir dalam mimpi-mimpiku. Tetapi.. . apakah Dewi Lontar mau menyerahkannya kepadaku?" Dewa Naga yang membatin tadi, menggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin ini bukan saat yang tepat. Tetapi, aku harus memintanya. Aku merasa yak in, kalau jantung Pendekar Lontarlah yang menyebabkan kematiannya. Bukan karena penyakit, tetapi satu serangan yang dilakukan seseorang. Hanya saja, aku belum b isa memastikan, bagaimana Pendekar Lontar yang memiliki ilmu 'Raga Pasa' tidak m engetahui atau tidak dapat menghindar kalau dirinya diserang. Hemm... hanya Dewa Segala Obat yang mengetahui penyebabnya secara pasti..." Sementara Itu, diluar telah terdengar suara teriakan disusul letupan berkali-kal i. Saking kerasnya letupan itu, orang-orang yang berada di dalam rumah duka, aga k bergetar karena lantai yang mereka pijak pun bergetar. Dewa Naga menggeram. "Brengsek betul Ratu Sejuta Setan itu!" Ibu...," panggil Boma Paksi dengan kening berkerut. "Apakah saat ini sedang terja di gempa seperti lima bulan yang lalu?" Dewi Lontar menggelengkan kepalanya. Tidak, Anakku. Tidak terjadi gempa apa-apa. Kau tak perlu menghiraukannya. Sekara ng, menyembahlah pada jenazah ayahmu untuk terakhir kalinya...." Boma Paksi masih mencoba merasakan letupan keras yang kembali terjadi, yang meny ebabkan lantai yang dipijaknya bergetar. Lalu suara.... Glegaaarrr! Mungkin tembok yang mengelilingi rumah itu sudah jebol. Entah akibat serangan si apa. Lalu dengan sikap tak mempedulikan kejadian itu, bocah gagah yang pada kedua tan gannya sebatas siku dipenuhi sisik-sisik halus warna coklat, segera berlutut dengan merangkapkan kedua tangan nya di depan dada. Dia berdoa khusuk, khusus untuk arwah ayahnya. Kakek muka lonjong memperhatikannya tak berkedip. Samar-samar terlihat senyuman bibirnya. Sikapnya itu tak luput dari perhatian Dewi Lontar. * * * 4 DILUAR rumah duka itu, Dewa Tombak sedang berusaha melayani serangan-serangan ga nas yang dilancarkan Ratu Sejuta Setan. Berulang kali sinar-sinar merah melingka r yang dilepaskan perempuan tua kontet itu berhasil dihindarinya. Namun sinar-si

nar merah itu justru berpentalan dan berbalik arah ke arahnya dengan ganas. Bahk an sinar-sinar merah lainnya naik ke atas, lalu muncrat menyebar dan laksana huj an mengguyur Dewa Tombak. Tanah di mana sebelumnya Dewa Tombak berdiri, langsung meletup keras dan muncrat ke udara. Mendapati setiap serangannya dapat dihindari oleh Dewa Tombak, perempuan kontet berpakaian hitam itu semakin ganas. Serangan demi serangannya terus diiancarkan, yang membuat Dewa Tombak mulai terdesak. Kakek bertubuh gemuk ini pun muiai dibuncah kemarahan. Tetapi meskipun kemarahan nya sudah tiba di ubun-ubunnya, Dewa Tombak tetap tertawa-tawa. "Selama ini kudengar, Ratu Sejuta Setan memiliki ilmu yang sangat tinggi, hingga berani melanglang buana dengan ilmunya itu! Tetapi malam ini, aku melihat sesua tu yang sangat lain dari yang pernah kudengar!!" "Terkutuk! Kau hanya bisa melompat-lompat seperti bola ditendang ke sana kemari! " "Dan bola itu dapat menghindari permainan anak kecil yang kau perlihatkan!" Ucapan Dewa Tombak semakin membuat keganasan Ratu Sejuta Setan kian menjadi-jadi . Kalau tadi sinar merah yang dilepaskannya muncrat ke atas dan turun laksana hu jan, kali ini diiringi gemuruh angin lintang pukang. Dewa Tombak yang sejak tadi terus menghindar, sesaat menahan napas melihat ganasnya serangan lawan. Tombak birunya mendadak saja diputar yang kecepatan put arannya melebihi sebuah baling-baling. Diiringi gemuruh angin yang menderu-deru, bermuncratanlah sinar-sinar biru yang mengandung hawa panas. Jlegaaarrr! Bertemunya dua gelombang angin dahsyat itu menimbulkan letupan yang keras, diiri ngi muncratnya tanah keudara. Saking kerasnya lagi-lagi tempat itu seperti berge tar. Dinding tembok yang mengelilingi rumah duka, bagian depannya kontan roboh. Mengiringi letupan keras itu, bermuncratanlah sinar-sinar merah yang berbenturan dengan sinar-sinar biru. Malam pekat laksana dihiasi kembang api. Berulang-ulan g. Begitu muncratan sinar-sinar itu jatuh ketanah, terdengar letupan-letupan kecil. Namun akibatnya, tanah bermuncratan secara bersamaan! Di tempatnya, Gala Kuriang yang masih menahan sakit, memandang tak berkedip pada Ratu Sejuta Setan. Saudara kembarnya yang kini tahu mengapa Gala Kuriang tidak segera masuk tadi, menyipitkan mata. Gelegak amarah sudah terpampang di depan matanya. "Gala Kuriang... nenek kontet itu sudah menunjukkan sikap yang tidak baik. Dia b ukan hanya buka ucapan yang menyakitkan hati, terutama hati Dewi Lontar. Tetapi sekarang, dia justru menimbulkan keonaran di sini...." Gala Kuriang menganggukkan kepalanya. "Sikap Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah pun tak mengenakkan hati, t etapi mereka tak sampai menimbulkan keributan. Lain halnya dengan perempuan tua kontet satu ini." Sema Kuriang melirik saudara kembarnya. "Apakah kau tak ingin menuntut balas atas perlakuannya terhadapmu?" Sesungguhnya Gala Kuriang sudah tak bisa menahan diri untuk membalas perbuatan R atu Sejuta Setan tadi. Tetapi agaknya, lelaki setengah baya yang pada keningnya terdapat tahi lalat hitam, masih dapat mengendalikan amarahnya. "Sebelum kedatangannya tadi, kita sudah menyetujui, untuk menjemput Dewa Segala Obat. Orang tua yang mengerti bermacam penyakit dan pemunahnya itu, harus tiba d i sini sebelum matahari sepenggalah besok pagi. Karena, upacara penguburan akan dilakukan besok. Bila te rnyata dia tidak bisa datang ke sini, berarti kita tak punya rasa curiga lagi ak an penyebab kematian Pendekar Lontar...." "Dewa Naga sempat mengucapkan kata Menara Berkabut. Aku yakin, sesungguhnya kake k muka lonjong bersisik hijau itu sudah mencurigai sesuatu." "Tetapi kau tentunya tahu akan sifat Kakang Segala Jaka. Orang itu memiliki sifa t angin-anginan. Sudah tentu kita tak akan pernah mendengar apa yang diketahuiny a... Kalaupun kita berhasil mendengar dari mulutnya, mungkin karena sifat baikny a lagi muncul...."

Sema Kuriang tak membuka mulut, dia melihat Ratu Sejuta Setan kembali melancarka n serangannya pada Dewa Tombak yang membalas dengan tombak birunya itu. Lalu katanya pada saudara kembarnya, "Ya... sebaiknya kita segera menjemput Dewa Segala Obat...." Kejap berikutnya, Dua Serangkai Jubah Hijau sudah melesat meninggalkan tempat it u. Gala Kuriang berlari dengan masih menahan rasa sakit. * * * Pertarungan sengit yang terjadi di depan rumah duka itu semakin mengganas. Ratu Sejuta Setan semakin menggila. Dia benar-benar jengkel karena setiap kali melanc arkan serangan, setiap kali pula dapat dilumpuhkan oleh Dewa Tombak. Bahkan, satu tendangan yang dilancarkan oleh Dewa Tombak, tepat mengenai perutny a, hingga perempuan tua kontet itu terjengkang. Pakaian hitam yang dikenakannya tersingkap! Dewa Tombak yang sudah hendak melancarkan serangan, justru menghentikan gerakann ya. Saat lain dia berpaling sambll menutup mata dengan tangan kirinya. "Astaga! Kau tidak pakai apa-apa di balik pakaianmu itu?! Astaganaga! Rumput ker ingmu hitam betul! Kupikir... kau tidak punya kue cucur seperti kebanyakan perem puan! Sudah peot kali, ya?! Duh! Baunya begitu busuk! Tidak pernah kau cuci apa tidak pernah disentuh pacul laki-laki?!" Bukan kata-kata itu yang membuat Ratu Sejuta Setan semakin mengkelap. Tetapi ten dangan yang bersarang telak pada perutnya yang seketika dirasakan seperti diaduk-aduk tangan kasar. Sebenarnya dia cukup heran sekaligus terkejut, karena dia sama sekali tak melihat Dewa Tombak lepaskan tendangan. "Hei, hei! Kau masih pamerkan kue cucurmu tidak? Cepat tutupi! Nanti keburu bany ak lalat!" "Terkutuk!" maki Ratu Sejuta Setan geram. Paras hitamnya nampak semakin menghita m. "Kakek gemuk keparat! Untuk saat ini, kuputuskan untuk menghentikan pertarung an! Tetapi tak akan pernah kulupakan kejadian ini!" Masih berpaling dan menutupi kedua matanya dengan telapak tangan kirinya, Dewa T ombak berseru, "Tidak melupakan ya tidak melupakan! Tapi kau sudah menutupi belum? Baunya sungg uh tak sedap nih!" "Setan buntal! Selama dua puluh hari di muka, kau masih kuberi kesempatan hidup! Katakan pada Dewi Lontar, bila dia tak menjumpaiku di Tanah Terbuang, dia tak a kan pernah menikmati cahaya matahari pada hari kedua puluh satu! Demikian pula d enganmu!" "lya, iya! Tapi... kau sudah menutupi kue cucur hangus itu apa belum?!" seru Dew a Tombak keras. Ratu Sejuta Setan merutuk sehabis-habisnya mendengar kata-kata Dewa Tombak. Teta pi perempuan kontet ini tak melakukan serangan. Sedikit banyaknya, dia dapat men duga kalau dia akan sulit menghadapi Dewa Tombak. "Sambil menunggu dua puluh hari di muka, sebaik nya aku ke Menara Berkabut. Aku yakin, dialah yang telah membunuh Pendekar Lontar...." Habis membatin demikian, dengan membawa sejuta kemarahannya, perempuan tua konte t berkulit hitam legam itu sudah melesat menjauh. Dewa Tombak yang mendengar lesatannya berseru, "Heiii! Bau busuknya masih tertin ggal, nih?! Kau harus mensucikan kembali tempat ini dari bau kue cucurmu!!" Ratu Sejuta Setan tak menghiraukan seruan ejekan itu. Dia mendesis berulang-ulan g, "Kau akan menerima balasannya... kau akan menerima balasannya...." Di tempatnya, Dewa Tombak hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. "Dua puluh hari di muka... perempuan kontet itu tentu akan menjalankan janjinya. ... Hemm. rasanya, aku tak perlu menyampaikan urusan ini pada Dewi Lontar. Biarlah aku yang akan datang ke Tanah Terbuang pada hari kedua puluh." Habis membatin demikian, kakek bertubuh bulat berpakaian biru ini memperhatikan mayat Markuto dan Gerada yang tanpa kepala. Ada kepedihan di hatinya. Lalu sambi l menarik napas pendek, dia muiai menggali makam untuk keduanya dengan tombak bi runya. Di dalam rumah duka, Boma Paksi masih berlutut dihadapan jenazah ayahnya. Dewa N aga masih memperhatikan tak berkedip. Matanya yang bersinar merah berwibawa dala

m, seperti mengandung kekuatan yang tak bisa dihindari. Lalu tanpa menoleh pada Dewi Lontar, kakek muka lonjong penuh sisik hijau ini be rkata, "Dewi Lontar... nampaknya Sang Pencipta telah melakukan satu pilihan utuh yang sangat sempurna. Pilihan yang telah dijatuhkan pada keluargamu.... "Apa maksudmu dengan pilihan itu, Dewa Naga?" "Bertahun-tahun lamanya aku bermimpi. Mimpi aneh yang membuatku semakin tak meng erti. Tetapi bertahun-tahun pula kupaksakan diri untuk mencari titik temu dari m impiku itu. Dan baru sekarang ini, kuhentikan semua pencarianku...." "Aku sama sekali tak mengerti apa yang kau maksudkan, Dewa Naga?" "Dewi Lontar... aku tak tahu, apakah kau tahu makna dari tato naga hijau yang te rdapat pada punggung putramu atau tidak. Tetapi, bocah dengan gambar tato seekor naga hijau pada punggungnya, yang dlbawa sejak lahir itulah yang selalu datang dalam mimpi-mimpiku...." Kening Dewi Lontar berkerut. Dia melirik Boma Paksi yang masih berlutut di sampi ng jenazah suaminya. "Aku belum mengerti...." "Memang sulit bila kujelaskan," kata Dewa Naga. Ketika dia hendak menyambung, di a urung. Karena... bruuutt! "Busyet! Nih pantat tidak bisa diajak diam?!" Dewi Lontar hanya memperhatikan. "Kesaktian yang dimilikinya tiada banding. Sulit mencari tandingan tokoh satu in i. Tetapi sifat angin-anginannya masih saja terlihat," katanya dalam hati. "Menjelaskannya saat ini pun, bukan saat yang tepat. Tetapi telah kubulatkan tek ad, bila aku berjumpa dengan bocah yang hadir dalam setiap mimpiku... aku akan mengangkatnya menjadi seorang murid. " Mendengar kata-kata Dewa Naga, kepala Dewi Lontar terangkat. Sepasang mata perem puan perkasa itu membulat dan mengerjap-ngerjap. Dia tahu arah ucapan si kakek b erjubah merah. "Dewa Naga... aku dan suamiku pernah berangan-angan, bila putra kami sudah berus ia enam tahun, maka dia mulai kami gembleng untuk mewarisi segala ilmu yang kami miliki. Kendati suamiku sudah tiada. aku tetap akan mewujudkan angan-angan kami itu. Jadi...aku pikir, biarlah putraku, si Boma Paksi tetap bersamaku...." "Aku tak pernah memaksa. Bila kau tak menyetujuinya... aku akan menurut saja.... " "Terima kasih atas pengertianmu...." "Satu hal yang harus kukatakan sebelum kutinggalkan tempat ini... adalah tentang penyebab kematian suamimu. Mungkin Dewa Segala Obat yang dapat menjelaskan lebi h rinci. Tetapi telah kutangkap sesuatu yang tak mengenakan, sesuatu yang menyes akkan dada...." Terbuka kedua mata Dewi Lontar. "Dewa Naga... apakah yang kau maksudkan, kalau suamiku tewas dibunuh seseorang?" "Ya! Pada balik jantungnya, terdapat sebuah titik hitam yang telah menghanguskan sebagian jantungnya. Jantung bagian atas masih utuh dan tetap normal, tetapi ba gian bawahnya telah menghitam. Aliran darah tak bisa mengalir secara sempurna. D an aku yakin, suamimu tewas tanpa mengetahui apa penyebabnya. Itulah yang agak k usesali sebenarnya, selain kematian yang merenggut nyawa suamimu...." "Kau tahu apa penyebabnya?" Dada perempuan perkasa itu bergetar. "Hanya Dewa Segala Obat yang bisa menerangkannya...," sahut si kakek muka lonjon g. Lalu sambungnya, "Kendati begitu... aku tahu siapa yang telah melakukannya... ." "Okh! Kau tak mau mengatakan penyebab kematiannya, sekarang, apakah kau juga tid ak mau mengatakan siapa yang telah melakukannya?" "Aku menginginkan putramu menjadi muridku. Karena, niat telah kucanangkan. Bila aku mendustai apa yang selama ini kucari... berarti aku tak pernah menghargai diriku sendiri... Satu hal yang perlu kuceritakan padamu. Sisik yang ada pada tubuhku ini bermula setelah aku menguasai ilmu-ilmu naga. Sisik ini ber tumbuhan dan semakin lama semakin jelas. Tetapi sisik-sisik coklat pada kedua ta

ngan putramu sebatas siku telah dibawanya dari lahir. Dewi Lontar... aku telah b erniat untuk menggembleng putramu. Karena... dialah satu-satunya orang yang tepa t untuk kujadikan sebagai penerus ilmu yang kumiliki." Kata-kata Dewa Naga membuat Dewi Lontar terdiam. Perempuan perkasa ini diliputi kebimbangan dalam. Di satu segi, dia ingin sekali mengetahui penyebab kematian s uaminya dan siapa orang yang telah melakukannya. Tetapi di segi lain, dia tak ma u berpisah dengan putranya. Apalagi sekarang, dia hanya memiliki Boma Paksi seor ang. Lalu dengan membesarkan hati dia berkata, "Maafkan aku... aku terpaksa memilih u ntuk tidak mengetahui siapakah orang yang telah membunuh suamiku." "Itu lebih baik!" suara Dewa Naga terdengar agak serak. "Dan aku berharap, Dewa Segala Obat mau mengatakannya." "Mudah-mudahan...." "Sayangnya, aku merasa tak bisa menghargaimu lagi...." "Itu hakmu. Dewi Lontar, aku terpaksa pamit sekarang. Aku tak bisa menghadiri pe makaman suamimu besok. Tiba-tiba saja aku merasa sedih, karena kau menolak permi ntaanku...." "Maafkan aku, Orang Tua..." Dewa Naga tak menjawab. Dibalikkan tubuhnya dan hendak melangkah. "Kakek" panggilan si kecil itu urungkan niatnya melangkah. Dewa Naga tak berpaling. "Ada apa?" "Hendak ke manakah kau?" tanya si kecil Boma Paksi. "Aku akan kembali ke Lembah Naga." "Besok ayahku akan dimakamkan, kau tak ingin hadir dalam upacara pemakamannya?" "Aku tak biasa melakukan hal itu." "Mengapa?" "Karena aku memang tak biasa melakukannya."..," sahut Dewa Naga, lalu melangkah keluar. Dewi Lontar merangkul putranya yang mencoba memanggil si kakek muka lonjong. "Biarkan dia, Boma." "Ibu... aku menyukai kakek itu. Dia lucu. Pantatnya selalu berbunyi terus. Mukanya memang galak tetapi dia baik hati. Aku dapat merasakannya, Ibu. Pada waj ah dan tubuhnya ada sisik hijau!" "Ibu pun menyukainya," sahut Dewi Lontar sambil mengangguk. "Tetapi seperti yang dikatakannya tadi, dia mungkin memang tak biasa menghadiri upacara pemakaman... ." "Padahal, aku mau ikut dengannya, Ibu...." Dewi Lontar tercekat mendengar kata-kata putranya. Sesaat dipandanginya wajah ta mpan Boma Paksi. Lalu hati-hati diliriknya tato naga hijau yang terdapat pada pu nggung putranya, yang telah ada sejak dia dilahirkannya. "Mungkin... kelak kau akan ikut dengannya, Boma.... Tetapi untuk saat ini... seb aiknya kau menemani Ibu saja." Boma Paksi tersenyum. "Ibu... sampai kapan pun aku akan menemani Ibu. Aku akan menjaga Ibu. Ayo kita b erdoa untuk Ayah...." Sementara kedua ibu dan anak itu berlutut di samping jenazah orang yang mereka c intai, Dewa Naga sedang mendengus tatkala berpapasan dengan Dewa Tombak yang sed ang melangkah masuk. Pertanyaan Dewa Tombak tak disahutinya sama sekali. Tetapi pantatnya berbunyi. Bruuuttt Dewa Tombak menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu masuk ke dalam. Dia melihat Dew i Lontar sedang berdoa khusuk bersama bocah gagah berusia lima tahun itu. Ditunggunya beberapa saat sampai Dewi Lontar menyadari lagi kehadirannya. Peremp uan jelita yang berkalungkan rangkaian daun lontar itu meliriknya sejenak, lalu kembali menatap putranya yang masih khusuk berdoa. Dewa Tombak berbisik, "Mengapa orang tua bersisik itu kelihatan gusar?" Dewi Lontar sejenak menatap kakek gemuk di sampingnya. Lalu diceritakan apa yang kira-kira membuat Dewa Naga kecewa. Dewa Tombak hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan istri mendiang Pendekar

Lontar. "Yah... siapa pun pasti akan merasa kecewa bila keinginannya ditolak. Terutama, setelah memastikan kalau dia akan mengangkat seseorang menjadi murid, yang dapat diharapkan sebagai pewaris dari seluruh ilmu yang dimilikinya." * * * 5 MALAM terus beranjak, keheningan tetap terjaga. Dua pertiga perjalanan malam tel ah terlampaui. Dua bayangan kuning terus berkelebat. Saat berkelebat cepat, masi ng-masing orang yang di punggung terdapat jubah warna hijau itu tak ada yang buk a suara. Mereka bukan lain adalah Dua Serangkai Jubah Hijau. Kendati mereka masi h memikirkan tingkah Ratu Sejuta Setan, tetapi mereka merasa yakin kalau Dewa To mbak dapat mengatasinya. Lagi pula, di sana masih ada Dewa Naga yang meskipun me miliki sifat angin-anginan namun tak seorang pun yang menyangkal kesaktian yang dimilikinya. Dua Serangkai Jubah Hijau sengaja mempergunakan ilmu lari mereka hingga yang nam pak hanyalah bayangan belaka. Mereka berharap, sebelum malam punah, mereka sudah tiba di kediaman Dewa Segala Obat. Tetapi, dua sosok tubuh yang berdiri sejarak dua puluh langkah dari saat mereka berlari, membuat keduanya sating pandang. Semakin dekat, mereka mengenali siapa dua lelaki yang berdiri menghadan g itu. Dan mau tak mau keduanya harus menghentikan lari. Baru saja mereka menghentikan lari dan berdiri sejarak sepuluh langkah dari kedu anya, lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang kepalanya botak ditengah teta pi rambut lainnya panjang tergerai ke belakang, sudah keluarkan dengusan. "Beberapa saat lalu, bukanlah saat yang tepat untuk unjuk gigi! Tetapi di sini, tanpa sosok Dewa Naga maupun Dewa Tombak, kegatalan tanganku harus segera dihent ikan!" Dua Serangkai Jubah Hijau berpandangan. Sema Kuriang berkata dingin, "Iblis Peng hancur Raga! Kalau kau merasa beberapa saat lalu, tepatnya di rumah mendiang Pen dekar Lontar, kau memutuskan untuk tidak cari keributan, kami juga memutuskan, s aat ini pun bukan saat yang tepat untuk melakukannya!" Lelaki yang jenggotnya dikepang itu menggeram. Tangan kurusnya yang terdapat gel ang-gelang hitam menuding ke arah Sema Kuriang. "Malam sebentar lagi berlalu! Aku ingin menikmati kematian kalian sebelum pagi d atang!" Kata-kata lelaki berompi biru yang memang Ib;is Penghancur Raga membuat dada Sem a Kuriang dilanda amarah. Tatapannya menyipit dan siratkan keangkeran. Tetapi me ngingat dia dan saudara kembarnya harus segera menemui Dewa Segala Obat, Sema Ku riang berusaha agar tidak terjadi pertikaian sekarang. "Tak pernah terpikirkan saat ini aku atau saudara kembarku akan tewas! Tetapi bi la memang ajal telah diturunkan oleh Sang Kuasa, tentunya tak akan bisa ditolak! Hanya saja... tangan maut yang kau turunkan, bisa-bisa. kembali pada dirimu sen diri!" Lelaki berjubah hitam berkepala plontos, dan terdapat tanda matahari tepat di ub un-ubunnya, angkat bicara, "Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus berlama-lama la gi! Siapa orang yang kau pilih untuk kau bunuh saat ini?!" "Aku memilih orang yang banyak omong itu!" Habis ucapannya, lelaki berjenggot dikepang itu sudah menggebrak ke arah Sema Ku riang. Dari gelombang angin yang mendahului lesatan tubuhnya, jelas kalau dia sudah mengerahkan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya. Sema Kuriang menjerengkan matanya. Mulutnya merapat dingin. Saat itu pula dikiba skan kedua tangannya ke atas. Segera menggebrak satu pusaran angin yang menyeret dan membuat tanah membubung. Iblis Penghancur Raga hanya mendengus. Tak surutkan kecepatannya. Begitu dekat, segera ditepukkan kedua tangannya. Blaaaarr! Letupan keras terdengar dan menyusul munculnya gelombang angin yang masuk dalam pusaran gelombang angin Sema Kuriang. Blaaam! Blaaam! Blaaam!! Tiga kali letupan terdengar keras disertai muncratan tanah ke udara. Tatkala sir

ap, terlihat masing-masing orang sudah mundur beberapa langkah. Kalau Iblis Penghancur Raga berdiri dengan kepala terangkat angkuh, Sema Kuriang agak sempoyongan. Tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sesak. "Gila! Dia telah mengeluarkan ilmu 'Penghancur Raga'nya. Uh! Bila aku belum tamengkan diri dengan hawa murni, entah apa jadinya!" "Ilmu yang kau miliki tak seberapa! Tetapi kau sudah berani unjuk gigi di hadapa nku". Dengan memperlihatkan ketenangan, Sema Kuriang menyahut, "Kau baru melihat sebag ian kecil dari ilmu yang kumiliki!" "Bagus! Perlihatkan semuanya kepadaku!" Bersamaan Iblis Penghancur Raga menggebrak kembali, lelaki berkepala plontos pun menerjang Gala Kuriang. Kedua telapak tangannya diangkat tinggi-tinggi saat men erjang dan mendadak diturunkan dengan cara menyentak. Angin dibaluri asap merah melesat ke arah Gala Kuriang. Dengan cara yang dilakuk an oleh Sema Kuriang tadi, Gala Kuriang berhasil memutuskan serangan lawan. Ibli s Telapak Darah mundur dengan cara bersalto. Begitu kedua kakinya menginjak tana h kembali, tiba-tiba saja terlihat kedua telapak tangannya memancarkan sinar war na merah. Lalu terlihat tetesan darah dari sana. Angker dan menyebarkan bau busu k. Gala Kuriang tahu, kalau lawan tak mau bertindak ayal. Maka dia segera putar kedua tangannya ke atas. Lalu meletakkannya pada dada. Samar-samar terlihat sina r kuning menyelubungi dirinya. "Huh! Ilmu picisan itu kau perlihatkan kepadaku!" bentak Iblis Telapak Darah. Kejap kemudian dia sudah menerjang ke depan. Kedua telapak tangannya yang menete skan darah, didorong ke atas. Sinar merah bergelombang muncrat. Mengeluarkan sua ra berdenging menggiriskan. Tindakan yang dilakukan oleh Iblis Telapak Darah sesaat membuat kening Gala Kuri ang berkerut. Dia masih tetap berdiri di tempatnya. Kejap berikutnya, lelaki ber jubah hijau ini berteriak tertahan dan segera melompat dari tempatnya. Karena muncratan sinar merah yang masih meneteskan darah mendadak meluncur ke ar ahnya, berkelok-kelok dengan suara berdenging-denging. Jgaaarrr!! Tanah di mana tadi Gala Kuriang berdiri, langsung retak lebar. Tempat sepi itu b ergetar laksana hendak am bias ke bumi. Yang lebih mengejutkan lagi, karena sinar merah yang meneteskan darah Itu mendadak muncrat kembali ke udara. "Gila!" seru Gala Kuriang keras. Menyusul diputar tubuhnya membentuk pusaran cep at. Sinar kuning yang membaluti dirinya berpentalan menerjang sinar-sinar merah yang meneteskan darah. Letupan beruntun terjadi berkali-kali. Di pihak lain, Iblis Penghancur Raga terus mendesak Sema Kuriang yang kini tak b erani berbenturan. Karena tadi dilihatnya. bagaimana sebatang pohon langsung men jadi debu tatkala telapak tangan kanan Iblis Penghancur Raga menyentuhnya. Pertarungan sengit yang tak dapat dihindari, membuat tempat itu benar-benar dila nda kiamat. Dalam waktu singkat saja, tanah sudah banyak yang retak dan rengkah. Pepohonan sudah hangus menjadi debu hingga tempat itu kinl berubah menjadi tana h lapang yang porak poranda. Saat ini Gala Kuriang sudah kewalahan. Kaki kanannya terhantam telapak tangan ki ri Iblis Telapak Darah. Sakitnya tak tertahankan. Rasanya tulangnya patah dan me nembus ke belakang. Tetapi Gala Kuriang masih coba bertahan. Karena dia sadar, lengah sedikit saja berarti kematian. "Sungguh menyenangkan karena kau akan mampus hari ini!" seru Iblis Telapak Darah sambil tertawa-tawa. "Kami hadir untuk membunuh Pendekar Lontar sebenarnya! Tet api pendekar keparat itu sudah mampus! Dan kau telah membuat darah kami mendidih ! Kau akan terbakar oleh didihan darah kami ini!" Gala Kuriang tak menyahuti ejekan Iblis Telapak Darah. Dengan susah payah dia te rus berusaha menghindari ganasnya serangan lawan. Namun dengan kaki kanan yang s emakin sakit, terutama bila dia gerakkan, keadaannya menjadi lintang pukang dan tak menentu. Sema Kuriang bukannya tidak mengetahui apa yang dialami oleh saudara kembarnya. Tetapi untuk menolong, rasanya agak sulit karena dia sendiri sudah masuk dalam l

ingkaran serangan Iblis Penghancur Raga. Dia hanya bisa melompat menghindari maut yang diturunkan Iblis Penghancur Raga. Bahkan, dia sudah terdesak tatkala lelaki tua berjenggot dikepang itu masuk deng an kibasan tangan kanan dan kiri. "Tak lagi kubayangkan betapa nikmatnya melihat kau mampus, karena ini adalah ken yataan sekarang!" Namun mendadak saja, sosok Iblis Penghancur Raga yang sudah siap menurunkan tang an mautnya, terlempar ke belakang laksana sehelai daun dihantam angin. Sosok lel aki itu kehilangan keseimbangan. Dia ambruk dengan keluhan tertahan. "Setan keparat! Siapa yang berani campur tangan dalam urusanku?!" bentaknya kera s. Tetapi tak seorang pun yang muncul di sana kecuali orang-orang yang telah ber ada sebelumnya. Sema Kuriang sendiri mundur dengan kepala memandang ke kanan kiri. Dia juga tak melihat siapa pun kecuali saudara kembarnya yang terdesak ganasnya serangan Ibli s Telapak Darah. Dan kejadian aneh yang dialaminya tadi terulang pada saudara kembarnya. Karena i blis Telapak Darah tahu-tahu terbanting di atas tanah, hampir berjajar dengan Ib iis Penghancur Raga yang sudah bangkrt. "Keparat! Siapa pelaku jahanam yang mau mampus ini?!" serunya sambil menahan sak it pada perutnya. "Hati-hati... orang ini tentunya bukan orang sembarangan. Dia dapat menjatuhkan kita dengan mudah, tetapi sosoknya belum nampak...," kata Iblis Penghancur Raga. "Peduli setan Hatiku belum puas bila belum melihat dua cecunguk Itu mampus!" ser u Iblis Telapak Darah keras. Lalu tanpa menghiraukan apa yang terjadi dengannya barusan, dia menerjang ke arah Gala Kuriang! Namun lagl-lagi sosoknya terpental ke belakang. "Aaaakhhh!!" Bersamaan teriakan kesakitan itu, darah menghambur dari mulutnya. L alu... brrrugg Sosoknya terbanting keras di atas tanah. "Jangan gegabah!" desis Iblis Penghancur Raga sambil memperhatikan sekelilingnya . "Kita belum tahu siapa orang lancang ini. Tapi gelagatnya, dia memiliki ilmu y ang tak bisa dipandang sebelah mata." Kebuasan Iblis Telapak Darah berangsur turun. Dia juga merasa jeri sekarang. "Apa yang harus kita lakukan? Padahal kedua cecunguk itu sudah di ambang kematia n?" "Untuk saat ini, kita terpaksa tunda keinginan. Sebelum kita mengetahui orang la ncang itu masih akan mencampuri urusan kita atau tidak, kita tak bisa bertindak. ..." Iblis Telapak Darah menggeram. Pandangannya dingin terarah pada Dua Serangkai Ju bah Hijau yang juga tak mengerti, siapakah orang yang telah menolong mereka. Tiba-tiba Iblis Telapak Darah mendesis, "Untuk saat ini, kalian masih dapat hidu p lebih lama. Tetapi jangan berharap, kelak kalian masih dapat hidup!" Kejap kemudian, lelaki berjubah hitam itu sudah berkelebat meninggalkan tempat i tu, disusul oleh Iblis Penghancur Raga. Sepeninggal keduanya, Dua Serangkai Jubah Hijau saling mendekat. "Siapa kira-kira orang yang telah menyelamatkan kita?" "Gala Kuriang... bukan hanya kau yang tidak tahu, aku pun tidak tahu. Tetapi kal au orang itu dapat menghalangi serangan ganas kedua durjana tadi tanpa diketahui berada di mana, sudah jelas dia bukan orang sembarangan. Kau lihat sek eliling, sudah tak ada lagi tempat bersembunyi." Gala Kuriang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya! Kita memang tak perlu menunggu sampai orang yang telah menolong kita muncul . Mudah-mudahan orang itu mengerti, kalau kita sebenarnya sangat berterima kasih . Di samping itu, kita memiliki waktu yang sangat terbatas. Kita harus segera me nemui Dewa Segala Obat. Yah... sekaligus meminta bantuannya akan luka yang kita alami...." "Bagaimana dengan kaki kananmu?" "Walau sakitnya tak terkira, aku masih sanggup untuk berlari cepat...." Tiga tarikan napas berikutnya, Dua Serangkai Jubah Hijau sudah meninggalkan temp

at itu. Mereka tak mau mengambil arah yang ditempuh oleh Iblis Penghancur Raga d an Iblis Telapak Darah. Jadi, walaupun agak memutar, mereka merasa lebih aman ke timbang berjumpa lagi dengan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah. Lima betas kejapan mata kemudian, entah darimana datangnya, satu sosok tubuh tah u-tahu telah berdiri di tempat itu. Kakek berjubah merah yang rambut putihnya diikat ekor kuda ini menggerutu p anjang pendek. Lalu terdengar bunyi keras dari pantatnya. Bruuut! "Huh! Untung dugaanku tepat! Makanya kuputuskan untuk meninggalkan rumah duka it u! Karena aku merasakan, kalau Dua Serangkai Jubah Hijau akan mendapat halangan dari Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah!" Si kakek yang ternyata Dewa Naga dan membuat Iblis Penghancur Raga serta Iblis T elapak Darah keheranan akibat serangan yang dilakukannya, kembali menggerutu pan jang pendek. Kumis putih panjangnya yang menjulai hingga ke bahu itu bergerak-ge rak. "Sebenarnya tak ada gunanya memanggil Dewa Segala Obat untuk mengetahui penyebab kematian Pendekar Lontar. Aku tahu siapa yang melakukannya. Hantu Menara Berkab ut. Huh! Seharusnya kukatakan saja pada Dewi Lontar siapa yang telah membunuh su aminya. Tetapi kalau ditanya, bagaimana caranya, pusing juga aku menjawabnya. Be tul juga tindakan kakek buntal itu. Hanya Dewa Segala Obat yang mengetahui bagaimana caranya Pendekar Lontar terbunuh. Sementara aku hanya tahu kalau dia mati dibunuh oleh Hantu Menara Berkabut! Brengsek betul!" Si kakek kembali uring-uringan sendiri, lalu berseru keras dengan wajah jengkel, "Keparat! Seharusnya kudatangi saja Menara Berkabut sekarang. Akan kugebuk peng uasanya sampai dia minta ampun. Tapi...," si kakek terdiam sejenak, lalu melanju tkan, "Aku tak berhak sama sekali untuk itu. Yang berhak melakukannya adalah Dew i Lontar. Atau... ya, ya... si Boma Paksi. Kalau begitu... aku akan tetap mengam bilnya untuk kujadikan murid. Dalam mimpiku, kelak bocah yang pada punggungnya t erdapat seekor naga hijau dan kedua tangan sebatas siku terdapat sisik coklat, a kan menjadi seorang pendekar besar. Bocah itu sungguh luar biasa. Dia terlahir d engan sisik coklat dan tato naga hijau. Yah! Aku harus mendapatkan anugerah itu dengan menurunkan semua ilmu yang kupunyai! Aku harus mendapatkannya!" Habis berkata demikian, Dewa Naga terdiam. Lamat-lamat terlihat bibir keriputnya mengembang. "Ya... aku harus mendapatkannya. Kalau Dewi Lontar tetap tak berkenan, aku akan menculiknya." Kejap kemudian, kakek muka lonjong yang penuh sisik hijau ini sudah meninggalkan tempat Itu. Suara 'merdu' dari pantatnya tersisa di sana. * * * 6 MATAHARI kini sudah menampakkan bias-biasnya di ufuk timur. Menyinari lembah itu dan menerobosi dedaunan. Kakek pendek berambut jarang itu menggeleng-gelengkan kepalanya di samping jenazah Pendekar Lontar. Mulutnya terkatup. Dia merasakan s esuatu yang tak diharapkannya. Tangan kurusnya masih memegang kening Pendekar Lo ntar. "Dewa Tombak... kau benar. Pendekar Lontar meninggal tidak wajar...," katanya ke mudian. Kakek buntal berpakaian biru itu segera ajukan tanya, "Dewa Segala Obat, kira-ki ra... apa yang menyebabkannya tewas?" Kakek pendek yang mengenakan pakaian compang-camping warna putih dan di pinggang nya tercantel sebuah pundi, mengangkat kepalanya. "Dari getaran kuat yang kurasakan, jantung bagian bawahnya telah hangus. Itulah yang menyebabkannya tewas." "Dewa Naga mengatakan hal yang sama," sahut Dewi Lontar sambil memperhatikan Dew a Segala Obat. Di sisinya, Boma Paksi pun memandang tak berkedip. Si kakek yang ternyata Dewa Segala Obat mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah perginya Dewa Naga, tak berapa lama kemudian, Dewa Segala Obat muncul. Dia memin ta maaf karena tak bisa segera datang, mengingat dia masih harus mengobati seora ng pasien.

Dewa Tombak dan Dewi Lontar sudah tentu menyambutnya gembira. Dari Dewa Tombak, Dewa Segala Obat tahu kalau Dewa Naga tadi berada di sini. Dia sangat menyayangk an karena tak bisa menjumpai orang yang sangat dihormatlnya itu. Dia Juga tahu, kalau saat ini Dua Serangkai Jubah Hijau sedang menyusulinya. Kakek berambut jarang ini memasukkan tangan kanannya ke dalam pundi yang tercant el di pinggangnya. Ketika diangkat, teriihat ujung-ujung jarinya menjumput butiran pasir berwarna k eemasan. Lalu dltaburkannya butiran pasir yang luruh dengan memperlihatkan kilau an indah tepat pada jantung Pendekar Lontar. Yang berada di sana hanya memperhatikan. Mereka sama-sama melihat kalau butiran pasir keemasan yang kini menempel tepat pada bagian jantung Pendekar Lontar beru bah warnanya, menjadi kehitaman. Dewa Segala Obat menganggukkan kepalanya sekali, lalu meniup butiran pasir itu. Pasir-pasir itu berhamburan. Kemudian dibalikkan tubuhnya, memandang Dewi Lontar yang nampak tidak sabar untuk mendengar apa yang dikatakannya. "Setahuku, suamimu memiliki ilmu 'Raga Pasa' yang membuatnya dapat mengetahui se tiap serangan yang datang. Baik kasar maupun halus. Tetapi... dia tentunya tak m enduga sama sekali, kalau seekor lebah yang kemudian menyengat bagian jantungnya , akan mengakhiri hidupnya...." "Seekor lebah?" ulang Dewi Lontar tak percaya. "Ya! Seekor lebah! Lebah yang sengatannya telah dibaluri racun yang sangat mengerikan itulah yang telah merenggut nyawanya...," kata Dewa Segala Oba t. "Apakah...." "Seperti kebiasaan seekor lebah, bila dia sudah menyengat, tentunya dia akan mat i." Dewi Lontar yang tadi hendak melontarkan pertanyaannva tetapi sudah dipotong, ta k menjawab. Dia buru-buru masuk ke kamarnya. Boma Paksi hanya memperhatikan. Mat anya yang tajam memandang Dewa Segala Obat dan Dewa Tombak bergantian. Tak lama kemudian, Dewi Lontar muncul kembali dengan membawa seekor lebah hitam yang sudah mati. "Dewa Segala Obat... apa yang kau katakan itu benar," katanya pilu. "Tadi kau ka takan, ada orang yang telah melumuri sengat lebah itu dengan racun. Tahukah kau siapa orang itu?" Dewa Segala Obat mengangguk. "Aku tahu...." "Katakan!" suara perempuan jelita yang pada lehernya menggantung untaian daun lo ntar, tersirat kemarahan. Lebah yang sudah mati itu dilemparnya. Plasss! Menembus tembok dan jatuh entah di mana. Tembok itu kini bolong sebesar jari tel unjuk. Boma Paksi menyaksikan dengan terkagum. Kakek berambut jarang Itu menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini. sebaiknya kau tidak perlu tahu dulu. Nanti siang, seperti yang kau katakan, kau hendak memakamkan jenazah suamimu...." "Aku ingin tahu siapa manusia keparat yang telah membunuh suamiku dengan memperg unakan lebah jahanam ini!" seru Dewi Lontar bersikeras. "Kau sedang dibaluri kemarahan. Sebaiknya, kau tunda dulu keingintahuanmu itu sa mpai upacara penguburan jenazah suamimu selesai." "Tidak! Dewa Segala Obat, selama ini kita bersahabat dan tak pernah punya silang sengketa! Dan sekarang, kau justru menyakitkan hatiku dengan tak mau mengatakan siapakah orang yang telah membunuh suamiku dengan lebah terkutuk itu!" Dewa Segala Obat kelihatan serba salah. Dewa Tombak hanya terdiam. Kendati dia j uga penasaran, tetapi dia masih bisa menerima alasan Dewa Segala Obat. Bocah tampan yang pada punggungnya terdapat tato naga hijau, memegang lengan ibu nya. "Ibu... apa yang dikatakan Kakek itu benar. Sebaiknya, Ibu tak mengetahuinya sek arang. Karena Ibu akan menjadi marah dan dendam. Bukankah Ibu sendiri yang menga jarkan, kalau dendam itu tidak baik?" Kata-kata putranya yang tak disangka sama sekali, meluluhkan kekerasan hati Dewi Lontar. Lalu sambil menarik napas panjang, kendati masih penasaran, dia berkata

pada Dewa Segala Obat, "Maafkan aku...." Waktu pun terus merambat. Beberapa orang rimba persilatan pun hadir di sana. Sam pai kemudian, siang pun menjelang. Persiapan penguburan jenazah Pendekar Lontar pun dilakukan. Tak banyak orang yang datang menghadiri pemakaman itu. Dewi Lontar menahan sedih nya tatkala jasad suaminya mulai dimasukkan ke dalam tanah. Dewa Tombak melirik Boma Paksi. Bocah itu kelihatan tegar meskipun sepasang mata nya berkaca-kaca. Sebutir air mata jatuh pada pipinya. Tak lama kemudian pemakaman pun selesai. Orang-orang yang hadir mohon diri. Termasuk Dewa Tombak, yang berjanji akan datang dua hari di muka. Dewi Lontar berkata pada Dewa Segala Obat yang sudah pamitan, "Apakah kau tetap tidak mau mengatakan siapakah orang keparat yang telah membunuh suamiku?" Dewa Segala Obat menggeleng. "Besok, aku akan kembali ke sini. Saat Ini, tenangkanlah pikiranmu. Karena kau a kan diliputi kemarahan...." Dewi Lontar hanya memandang dingin. Boma Paksi memegang lengan ibunya. "Ibu... kata-kata kakek berambut jarang itu benar. Lagi pula, bukankah dia berja nji akan datang besok yang tentunya akan mengatakan siapa yang telah mem-bunuh A yah. Bukan begitu, Kek?" Dewa Segala Obat menganggukkan kepalanya. Sebenarnya, begitu melihat sisik cokla t sebatas siku yang terdapat pada kedua tangan si bocah, dia agak terkejut tadi. Tetapi dia tak menghiraukannya. "Ya... besok aku akan datang lagi...." Lalu kakek berpakaian putih compang-camping Ini segera melangkah meninggalkan te mpat itu. Tinggal Dewi Lontar yang masih sedlh sekaligus diliputi penasaran tinggi. Boma Paksi membujuk ibunya agar tidak bersedih dan penasaran. Siang dan menjelan g senja, dia terus menghibur ibunya sampai senyuman terpampang di bibir ibunya. Dengan penuh kasih sayang, Dewi Lontar merangkul putranya. Seketika tiba-tiba te rdengar suara tawa yang Iuar biasa keras. Atap rumah itu mendadak berderak dan t erbongkar. Angin menjadi lintang pukang. "Ibu!" seru Boma Paksi terkejut. Dewi Lontar tak menjawab. Kepalanya menoleh ke arah luar. Sepasang matanya membu ka. "Celaka! Tentunya dia yang datang...," desisnya dalam hati. Lalu terburu-buru di a berkata, "Boma... kau masuk ke kamarmu! Kunci rapat-rapat!" "Ibu! Ada apa?" "Jangan banyak tanya! Lakukan perintah Ibu!" Kemudian dia sudah berkelebat ke kamarnya. Dan keluar lagi dengan membawa sebuah gumpalan daun lontar berwarna hijau menyala. Begitu segarnya laksana baru saja disiram. Sementara di punggungnya, sudah tersampir sebuah pedang. "Boma! Bila malam sudah datang Ibu belum menjumpaimu, cepat kau pergi sejauh-jau hnya! Bawa gumpalan daun lontar ini dan jangan sampai jatuh ke tangan orang sesa t . Sambil memegang gumpalan daun lontar segar Itu, Boma Paksi bertanya heran, "Ibu. .. ada apa? Mengapa Ibu begitu panlk? Apakah.... Ibu khawatir dengan orang yang tertawa itu?" "Jangan banyak tanya! Cepat kau masuk ke kamarmu! Ingat pesan Ibu baik-baik! Ayo , Boma! Cepat kau...." "Kabar telah sampai ke telingaku, kalau Pendekar Lontar sudah mampus! Kini tingg al kau sendiri Dewi Lontar! Apakah kau akan tetap keras kepala seperti suamimu y ang tak mau menyerahkan Pusaka Pendekar Lontar?!" suara mengguntur itu memutus k ata-kata Dewi Lontar. Boma Paksi kini tahu apa yang menyebabkan ibunya menjadi panik. Dia berkata gaga h, "Ibu! Aku tahu siapa orang itu! Bukankah dia kakek bongkok yang tiga bulan la lu datang untuk merebut gumpalan daun lontar hijau milik Ayah ini?" Dewi Lontar mengangguk cepat. Sebelum dia berkata, si bocah yang pada punggungnya terdapat tato naga hijau sudah bertanya kembali, "Memangnya... apaka h kegunaan dari gumpalan daun lontar sebesar kepalan Ayah Ini, ibu? Kulihat... t

ak ada yang menarik?" Dewi Lontar menarik napas panjang. "Anakku... saat ini, Ibu tak memiliki waktu u ntuk menjelaskannya kepadamu. Tapi, percayalah, Ibu akan menjelaskannya." "Kalau memang kakek jahat itu menginginkan gumpalan daun lontar ini, Ibu katakan saja di mana memetiknya? Nanti suruh dia datang ke tempat itu. Kan dia bisa mem etiknya sendiri?" Suara di Iuar terdengar lagi. Dewi Lontar berkata terburu-buru, "Ya! Cepat kau k e kamarmu! Ingat, bila Ibu belum menjumpaimu menjelang malam... kau tinggalkan t empat ini!" "Tidak!" seru Boma Paksi tanpa disangka. "Ayah telah tiada! Aku adalah satu-satu nya lelaki di sini! Aku akan melindungi Ibu! Ayo, Bu! Kita hadapi kakek bongkok itu!" Dewi Lontar terharu mendengar kata-kata putranya. Dirangkulnya Boma Paksi erat-e rat. "Ya! Kau seorang lelaki yang kelak akan tumbuh menjadi gagah! Dan sebagai seorang gagah, harus menuruti perintah ibunya...." "Tapi... aku tak mau Ibu menghadapinya seorang diri! Aku akan membantumu, Bu!" Jlegaaar....!! Dinding rumah itu jebol dan pecah berpentalan. Dewi Lontar segera melompat sambi l menggendong putrsnys itu hingga menabrak dinding lainnya. "Boma! Kau lelaki gagah! Lelaki gagah akan menuruti perintah ibunya! . Tidak!!, Aku harus membela ibu!" "Ya ya. Kau akan membela ibu! Tetapi... kau tunggu dulu di kamarmu! Bila Ibu butuh bantuanmu, ibu akan memanggilmu". Sepasang mata Boma Paksi berbinar-binar gembira. "Janji ya, Bu? Janji?" "Ya! Cepat kau masuk ke kamar!" Boma Paksi masuk ke kamarnya dengan membawa gumpalan daun lontar yang diserahkan ibunya tadi. Dewi Lontar menarik napas dulu. Lalu segera berkelebat ke depan. Satu sosok bongkok dengan rambut putih panjang turun ke bawah telah berdiri di s ana. Kulit si kakek sangat tipis. Sepasang matanya dalam dan tajam. Kumis dan jenggotnya seperti terpintal bersatu. Mengenakan pakaian hitam penuh t ambalan. Di tangannya, terdapat sebuah bambu berwarna hitam yang ujungnya runcin g. Mendadak si kakek mendengus, "Aku tak punya banyak waktu! Kedatanganku ke sini, sama dengan kedatanganku tiga bulan yang lalu! Cepat kau serahkan gumpalan daun lontar milik suamimu itu! Tentunya dia tak memerlukannya lagi karena sudah mampu s!" Dewi Lontar berdiri gagah. Matanya memandang tajam pada si pendatang yang telah menghancurkan dinding rumahnya. "Bukan hanya Ratu Sejuta Setan yang menghendaki gumpalan daun lontar sakti milik suamiku. Kakek bernama Dadung Bongkok ini pun menghendaki hal yang sama. Tidak! Sampai kapan pun tak akan pernah kuserahkan gumpalan daun lontar yang hingga sa at ini aku tak pernah tahu bagaimana suamiku mendapatkannya. Benda itu benda sak ti. Dan tentunya, baik Ratu Sejuta Setan maupun Dadung Bongkok, menginginkannya untuk kepentingan pribadi." Habis membatin demikian, dengan gagah Dewi Lontar berkata, "Dadung Bongkok! Kend ati suamiku sudah meninggal, apakah kau berpikir aku tak mampu menghadapimu?" Dadung Bongkok menggeram. "Jangan banyak omong! Serahkan benda sakti itu kepadaku!" "Tiga bulan lalu, kau telah dibuat terbirit-birit oleh suamiku! Hari ini, akulah yang akan membuatmu ingat kembali kejadian tiga bulan lalu!" "Setan betina! Kau akan menyesali tindakanmu ini!" Habis ucapannya, Dadung Bongkok sudah melompat maju dengan gerakan bersaito satu kali. Bambunya yang berujung runcing dikibaskan dengan cepat ke arah leher Dewi Lontar. Yang diserang hanya mundur satu tindak ke belakang. Lalu dengan gerakan yang cepat, digerakkan pedangnya. Traaakk! Benturan yang mengandung tenaga dalam itu membuat masing-masing orang mundur. Da

n tiba-tiba saja sosok Dewi Lontar terjajar ke belakang. Perutnya sudah terkena satu tendangan keras yang diiepaskan dengan cepat oleh Da dung Bongkok. Belum lagi dia dapat menguasai keseimbangannya, Dadung Bongkok sud ah merangsek maju dengan gerakan tombaknya yang serabutan membingungkan. Tersentak Dewi Lontar tatkala merasakan gelombang angin kacau menderu ke arahnya . Cepat perempuan ini membuang tubuh ke samping. Blooorr! Dinding rumahnya jebol terkena hantaman bambu Dadung Bongkok. Rupanya, kakek bon gkok ini memang tak mau bertindak ayal. Kalau tiga bulan lalu dia merasa jeri se telah menyadari kesaktian Pendekar Lontar, kali ini dia merasa di atas angin. Ka rena diyakininya dapat mengalahkan Dewi Lontar. Tetapi Dewi Lontar bukanlah perempuan sembarangan. Pedangnya pun mulai diayunkan dengan kecepatan luar biasa. Disinari matahari senja, ujung pedangnya berkilat kilat dengan mengeluarkan suara mendesing-desing. "Keparat! Rupanya, dia tak kalah hebatnya dengan suaminya!! Tetapi kelihatannya dia tak membawa gumpalan daun lontar itu! Ini kesempatan untuk membunuhnya!" mak i Dadung Bongkok, lalu menyerbu kembali. Kali ini tangan kirinya ikut digerakkan yang seketika menggebah awan-awan hitam! Dewi Lontar pun memperlihatkan kelasnya. Menunjukkan kalau dia adalah istri dari mendiang Pendekar Lontar. Dengan pekikan keras, perempuan jelita berpakaian hit am ini melompat ke atas seraya menggerakkan pedangnya ke bawah membabi-buta. Sin ar-sinar terang bermuncratan dan menghantami awan-awan hitam yang dilepaskan Dad ung Bongkok. Letupan terdengar berkali-kali. Dadung Bongkok terpekik keras, tubu hnya terbanting di atas tanah. Dewi Lontar menggeram dingin. "Tiga bulan lalu kau datang membuat onar! Tetapi suamiku masih mengampuni nyawam u! Dan sekarang kau datang lagi dengan keinginan yang sama! Tak akan pernah kuam puni nyawamu sekarang!!" Dadung Bongkok muntah darah. Darah hitam menyembur keluar. Perlahan-lahan dia be rdiri sambil memegangi dadanya dengan tangan kirinya. Kepaianya agak didongakkan . Tatapannya yang selalu memancarkan kekejian, kini lenyap. Berganti dengan kepa nikan. Lalu terbata-bata dia berkata, Ampuni aku, Dewi... ampuni aku...." "Suamiku pernah mengampunimu tetapi kau masih berani datang lagi! Apakah sekarang aku perlu mengampunimu lagi?!" hardik Dewi Lontar dengan tatapan tajam. Kesedihan yang melanda akibat kematian suaminya, kini berubah menjadi kegeraman dalam. Dan perempuan ini seolah mendapatkan tempat pelampiasan untuk menumpahka n seluruh kesedihan dan amarahnya. Dadung Bongkok bangkit dengan kedua kaki goyah. Dia terbatuk-batuk yang memuncra tkan darah. "Ampuni aku, Dewi... ampuni aku...," serunya penuh iba. "Aku bersumpah... tak ak an pernah lagi kuganggu ketenteramanmu. Tak lagi kuinginkan apa yang selama ini kuinginkan...." Kendati diiiputi amarah tinggi, tetapi Dewi Lontar adalah seorang perempuan yang lemah lembut. Sikap kakek bongkok itu membuatnya merasa kasihan. Lalu serunya, "Baik! Sekali ini kau kuampuni! Tetapi bila kau berani iagi muncul , kau akan mampus, Dadung Bongkok!" Dadung Bongkok mengangguk berkali-kali sambil berucap terima kasih. Dewi Lontar menyampirkan lagi pedangnya pada punggungnya. Dia berkata, Sepuluh tarikan napas kau masih berada di sini, kau akan mampus!" Lalu dia berbalik melangkah ke rumahnya. Dewi Lontar tidak tahu, kalau sesungguhnya Dadung Bongkok sedang merencanakan sa tu kekejian. Dia memang merasa tak sanggup menghadapi kesaktian Dewi Lontar. Jal an satu-satunya, dia memang harus mengiba mohon ampun. Begitu Dewi Lontar berbalik, seringaian melebar di bibirnya. Kejap berikutnya, d ia sudah menerjang dengan bambu yang digerakkan serabutan. Dewi Lontar tersentak tatkala merasakan gelombang angin menderu ke arahnya. "Terkutuk!" makinya sambil berbaiik dan mencabut pedangnya. Plaas!

Plukkk! Bambu keras milik Dadung Bongkok putus tertebas pedangnya. Dewi Lontar berhasil patahkan serangan si kakek. Tetapi, satu gelombang angin yang keluar dari dorong an tangan kiri Dadung Bongkok, tak bisa dihindarinya, Dessss!! "Aaakhhhh!!" Dewi Lontar berteriak sekeras-kerasnya. Tubuhnya terseret ke belakang. Belum lagi dia dapat menguasai keseimbangannya, Dadung Bongkok sudah d atang melancarkan serangan. Perempuan perkasa itu masih bisa menghindari dengan jalan menjatuhkan diri. Bahk an pedangnya langsung diangkat. Dadung Bongkok menggeram. Lalu memutar tubuh dua kali seraya pukulkan bambunya. Praaakk! Bambunya itu tertahan pedang Dewi Lontar. Karena dalam keadaan terguling, bambu itu tidak putus tertebas. Dadung Bongkok menyusulkan serangannya lagi. Tetapi.... Craassl! "Aaaakhhh!" Gerakan yang dilakukan Dewi Lontar sungguh di Iuar dugaannya. Tahu-tahu tangan k irinya telah kutung tertebas pedang. Dadung Bongkok terhuyung. Darah keluar dari lengan kirinya yang sudah buntung. "Perempuan celaka!!" serunya keras seraya melemparkan bambu kerasnya. Dewi Lontar yang masih berada di atas tanah memekik. Dia berguling dan berhasil menghindari bambu itu. Tetapi diluar dugaannya, bambu itu justru berbalik. Dan.. .. Bleesss!! Masuk tepat pada jantungnya! Saat itu, malam pun datang. * * * 7 DiKAMARNYA, Boma Paksi sudah tak sabar untuk segera keluar. Bocah yang pada kedu a tangannya sebatas siku terdapat sisik coklat dan pada punggungnya terdapat gam bar seekor naga hijau yang dibawanya dari lahir, memang mematuhi kata-kata ibuny a, tidak akan keluar sebelum malam datang. Dan saat ini malam telah datang. Tetapi ibunya belum juga muncul menjumpainya. "Mengapa Ibu belum muncul juga?" desisnya dalam hati dengan perasaan tak sabar. "Apakah saat ini Ibu berhasil dikalahkan kakek bongkok itu? Ah, tidak! ibu pasti bisa mengalahkannya! Seperti yang dilakukan Ayah!" Kembali si bocah mondar-mandir dengan perasaan tak tenang. Gumpalan daun lontar yang diberikan ibunya masih dipegangnya erat-erat. Kembali dihentikan langkahnya karena dia tak mendengar langkah-langkah mendekati kamarny a. "Aku harus melihat keluar! Aku harus membantu Ibu!" serunya memutuskan. Lalu den gan langkah tegap dan wajah tegang, bocah yang pada punggungnya terdapat tato se ekor naga hijau itu segera keluar. Langkahnya terburu-buru dengan rasa tidak sabar yang dalam. Di Iuar, dilihatnya keadaan di sana sudah porak poranda. Saat ini rembulan bersinar cuktip terang. B egitu melihat Dadung Bongkok, dia langsung berseru, "Kakek brengsek! Lagi-lagi k au yang datang! Dan... hei! Tangan kirimu telah buntung rupanya! Lebih baik kau cepat pergi dari sini sebelum Ibu membuat tangan kananmu yang satunya lagi buntu ng!" Dadung Bongkok yang masih terhuyung karena menahan sakit, mengangkat kepalanya. Tatapannya tajam menusuk. Dan mendadak saja kepalanya menegak. Matanya terbeliak , tak berkedip. "Gumpalan daun lontar itu... daun lontar itu ada padanya?" desisnya sambil menye ringai. Lalu ditotoknya urat darah pada bahu kirinya. Dia menjerit pelan. Lamatlamat terlihat darah yang tadi banyak keluar perlahan-lahan menipis dan akhirnya tak keluar sama sekali. Rasa sakit dan amarah yang mendekam di dadanya tak lagi dihiraukan begitu meliha t benda yang dicarinya berada di tangan bocah tanpa pakaian itu. Malah mendadak dia terbahak-bahak keras. Boma Paksi yang berdiri dengan kedua kaki dibuka, berseru, "Kakek bongkok! Kau s

udah gila ya? Cepat kau pergi dari sini sebelum Ibu.... Ibu? Hei... di mana Ibu? !" "Hahaha...," menggema keras tawa Dadung Bongkok. "Kau mencari ibumu? Lihat di sa na! Siapa yang tergeletak Itu?!" Segera Boma Paksi mengarahkan pandangannya pada tempat yang ditunjuk Dadung Bong kok. Seketika bocah itu berteriak keras dan memburu ibunya. Karena terburu-buru dia terjatuh. Lalu dengan kekerasan hatinya, dia bangkit dan merangkul ibunya ya ng telah menjadi mayat. "Ibuuuuu" "Ibumu sudah mampus, Bocah! Sekarang, serahkan benda itu kepadaku?!" Boma Paksi masih menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu... ibu...," desisnya mengibakan. Dadung Bongkok menggeram. "Kali ini, tak ada lagi yang akan menghalangi keinginanku! Mendapatkan gumpalan daun lontar sakti yang selama ini kuimpikan, tak akan mendapatkan ganjalan apa-a pa! Huh! Bocah itu pun harus knmampuskan! Biar hilang sudah keturunan dari Pende kar lontar!" serunya puas dalam hati. Lalu dengan langkah agak terhuyung, Dadung Bongkok menghampiri Boma Paksi yang m asih menangis. Sejenak dikerutkan keningnya begitu melihat gambar seekor naga hi jau pada punggung bocah itu. "Aneh! Mengapa ada gambar seekor naga hijau pada punggungnya? Siapa yang telah m entato punggungnya itu?" desisnya sejenak. Lamat-lamat keheranannya itu lenyap, berganti dengan niatnya semula. "Kau akan menyusui ibumu, Bocah!" Tangannya siap dihantamkan pada punggung si bocah. Boma Paksi mendengar seruan itu. Dia hendak berbaiik. Tetapi sebelum dia berbali k, mendadak saja Dadung Bongkok terpentai ke belakang. "Astaga! Ada apa ini?!" serunya gelagapan sambil berusaha mengendalikan keseimba ngannya. Sementara itu, Boma Paksi sudah berbalik dan berdiri dengan tatapan tajam. Kemar ahan sungguh kentara sekali pada wajahnya yang memerah. Di tempatnya, Dadung Bongkok yang telah berdiri terdiam. "Sempat tadi kulihat, kalau gambar seekor naga pada punggung bocah itu seperti k eluarkan sinar. Lalu ada tenaga yang menahan seranganku. Astaga! Apakah gambar s eekor naga hijau itu memang memiliki arti?!" Sementara itu kemarahan Boma Paksi semakin menjadi-jadi. Bocah itu perlahan-laha n berdiri. Dan astaga! Sorot matanya sangat angker, mengerikan! "Ibu... aku akan membalas perbuatan kakek jelek itu!" Saat dia berbalik, Dadung Bongkok melihat gambar naga hijau pada punggung si boc ah semakin bersinar hijau. Keheranannya semakin menjadi-jadi. "Aku yakin, kalau gambar seekor naga hijau itu bukannya tanpa isi! Sekarang sina rnya semakin terang! Hemm... jangan-jangan, ini mengisyaratkan satu bahaya! Pedu li setan! Bahaya apa pun akan kuterjang untuk mendapatkan gumpalan daun lontar itu!" Lalu diiringi teriakan keras, Dadung Bongkok menerjang Boma Paksi yang masih mem belakanginya. Kalau tadi Dadung Bongkok merasakan ada tenaga yang menghantamnya, kali ini dia melihat sinar hijau melesat ke arahnya. Yang membuatnya melengak d an untuk beberapa saat terdiam tegang, karena sinar hijau itu mendadak berubah m enjadi bayangan seekor naga! "Heiiii!!" Cepat dia menghindar. Bggaaaarr! Sinar hijau yang membentuk seekor naga itu menghantam dinding rumah yang seketik a jebol dengan suara keras. Dadung Bongkok terbelalak. Dia tak percaya melihat apa yang terjadi. "Astaga! Ternyata tak semudah dugaanku! Tentunya Pendekar Lontar dan istrinya te lah membekali putranya dengan ilmu aneh itu! Terkutuk!! Selama ini aku tak perna h mendengar kalau Pendekar Lontar maupun istrinya memiliki ilmu lain kecuali ilm u pedang yang sangat tinggi. Dan sekarang... aku melihat kalau keduanya mempunya i ilmu yang disembunyikan. yang diturunkan pada putra mereka! Jahaman terkutuk! Terku-tuk!" makinya dalam hati.

Tetapi di kejap lain, terlihat bibirnya tersenyum. "Hemm, untunglah aku dilahirk an dengan otak cerdik! Aku yakin, bila yang kuserang bagian depan, gambar seekor naga hijau itu tak akan banyak artinya." Memutuskan demikian, Dadung Bongkok menunggu sampai si bocah berbalik sambil men gatur napasnya yang mulai putus-putus. Sementara itu, perlahan-lahan Boma Paksi pun akhirnya berbalik. Kemarahan begitu membias dalam. Tatapannya yang tadi meng goda rasa Iba, kini nyalang mengerikan, seperti mengandung satu kekuatan yang ma mpu melemahkan keberanian lawan. Tangan kirinya mengepal kuat sementara tangan k anannya memegang erat-erat gumpalan daun lontar yang diberikan ibunya. Dadung Bongkok pun merasakan keangkeran pada sorot mata si bocah. Dia juga melih at sisik coklat halus pada kedua tangan si bocah meremang, dan bersinar terang. Tetapi dia tak mempedulikannya. "Kakek kurang ajar! Kau telah membunuh ibuku! Kau telah membunuh ibuku!" seru Boma Paksi dengan tatapan memerah tajam. Dadung Bongkok tak bersuara. Matanya memperhatikan dalam-dalam dengan mulut mera pat. "Bocah ini akan menjadi duri! Sebelum ada yang datang ke sini, aku harus melaksa nakan niat!!" Memutuskan demikian, si kakek dengan bengis berseru, "Serahkan benda yang kau pe gang itu padaku, ketimbang kau akan kesakitan kugebuk!" "Tidak! Bukan aku yang akan kau gebuk! Tetapi kau yang akan kugebuk!" seru Boma Paksi keras. Lalu dengan kegagahan yang sangat kentara dan keberanian luar biasa , si bocah menerjang ke depan. Tangan kanannya yang memegang gumpalan daun lonta r, tak sengaja bergerak. Dadung Bongkok menunggu. Dia sengaja tak segera melaksanakan niatnya, karena kha watir sinar hijau yang membentuk seekor naga hijau keluar lagi. Tetapi bukan itu yang kemudian mengejutkannya. Karena mendadak saja dari gumpalan daun lontar ya ng tak sengaja digerakkan si bocah, mengeluarkan gelombang angin yang diliputi a sap tipis berwarna hijau "Heeiiii!!" Jlgaaarrr!! Gelombang angin itu menghantam dinding rumah yang seketika ambrol berhamburan. Kendati demikian, biar bagaimanapun juga, Dadung Bongkok adalah seorang tokoh se sat yang telah banyak makan asam garam. Tindakan yang dilakukan si bocah jeias-j elas hanya nalurinya belaka. Makanya dia berhasil menghindarinya. Bahkan dapat m engetahui, bila dia menyerang bagian depan tubuh si bocah, sinar hijau yang kemu dian membentuk bayangan seekor naga itu tidak keluar. Tetapi bila diserang pungg ungnya, maka dialah yang akan celaka. "Saatnya dia harus mampus!" Lalu dengan enteng saja, Dadung Bongkok menghindari gelombang angin yang dihiasi asap hijau tipis yang keluar dari gumpaian daun lontar. Menyusul dengan kejamny a, dihantamnya perut si bocah yang terbanting di atas tanah. Rasa sakit yang tak terkira dirasakan Boma Paksi. Kalau tadi air matanya keluar karena kematian ibu nya, sekarang air matanya keluar karena menahan sakit. Tetapi kegagahan Pendekar Lontar mengalir dalam darahnya. Seolah tak merasakan sakitnya, bocah itu menyerang lagi. Bahkan diiringi teriakan keras. Dan untuk kedua kalinya dia terbanting di atas tanah, karena jotosan tangan kana n Dadung Bongkok telah mendarat di perutnya. Darah segar muncrat dari mulutnya. Wajahnya meringis kesakitan. Si bocah menggeliat sebentar. Dia sempat buka suara sebelum jatuh pingsan. "Ibu...." Dadung Bongkok terbahak-bahak keras. "Telah tiba saatnya kudapatkan pusaka itu! Rahasia pusaka itu akan kukupas! Itu artinya... tak lama lagi aku akan menjadi tokoh rimba persilatan tiada tanding!" Lalu menggema tawanya yang sangat keras. Setelah puas melampiaskan kegembiraanny a, Dadung Bongkok berjalan menghampiri Boma Paksi. Diambilnya gumpalan daun lont ar yang diingininya itu, yang tadi menggelinding terlepas dari genggaman tangan Boma Paksi. Diamat-amatinya gumpalan daun lontar sebesar kepalan tangannya itu dengan kegemb iraan tiada banding. Senyuman tak putus di bibirnya.

"Pusaka ini telah banyak membunuh orang-orang segolongan denganku! Sepak terjang Pendekar Lontar tak akan pernah dimaafkan oleh orang-orang segolongan denganku! Dan sekarang... pusaka ini akan menghisap darah dagingnya sendiri!" Kembali diamat-amatinya gumpalan daun lontar itu. Pancaran mata berbinar yang me ngandung kebuasan itu jelas terlihat. Lamat-lamat tetapi pasti, dengan seringaia n lebar, Dadung Bongkok mengangkat gumpalan daun lontar itu. "Tamat sudah riwayat Pendekar Lontar beserta keturunannya!" Tanpa memiliki rasa kasihan sedikit pun juga, digerakkan tangannya dan siap diha ntamkan pada kepala si bocah. Namun.... Dessss!! Dadung Bongkok mendadak saja terjengkang ke belakang dengan perut yang seperti m elesak ke dalam. Gumpalan daun lontar yang dipegangnya terlepas Kakek yang dibut akan oleh keinginannya ini tak menghiraukan rasa sakit atau siapa orang yang tel ah menyerangnya, Dia justru melompat untuk mendapatkan kem-bali pusaka yang tela h terlempar itu. Tetapi... Buukkk! Kembali dia terbanting di atas tanah. Untuk sejenak Dadung Bongkok tergeletak me nahan sakit. Di saat lain, gelagapan dia berusaha untuk bangkit. Saat itulah dil ihatnya satu sosok tubuh berjubah merah telah berdiri di sana dengan memegang pu saka diingininya! "Dewa Naga...," desis Dadung Bongkok dengan suara tertahan. Matanya melotot pani k. Kakek berjubah merah yang telah memegang pusaka Pendekar Lontar itu menggeram. T atapannya dingin. Tak ada tanda-tanda dia akan memperlihatkan sikap konyol dan a ngin-anginan seperti biasanya. Yang terlihat hanyalah kemarahan yang terpancar d ari sepasang matanya yang memancarkan sinar merah, terang. Sisik-sisik hijau yan g terdapat pada wajahnya memerah. "Tindakanmu sudah kelewat batas, Dadung Bongkok!" Paras kejam Dadung Bongkok menciut. Dia tahu kesaktian yang dimiliki Dewa Naga. Dan disesalinya mengapa kakek muka lonjong penuh sisik hijau itu keburu datang s ebelum ditinggalkannya tempat ini. Tetapi, ambisinya yang sudah hampir terpenuhi digagalkan, membuat Dadung Bongkok melupakan keciutannya. Tak lagi dipedulikan siapa orang bersisik hijau yang berdiri di hadapannya. Dia bangkit dengan terhuyung. "Dewa Naga, Aku tak peduli seberapa tinggi kesaktianmu! Tetapi, siapa pun yang l ancang mencampuri urusanku, dia akan menyesal seumur hidup! Serahkan benda sakti itu padaku, maka urusan selesai!" Dewa Naga melotot. "Sinting! Kau ini sudah sinting rupanya? Muiut baumu itu masih bisa juga melonta rkan sesumbar! Hei, kakek bongkok jelek! Apakah kau pikir aku tega membunuhmu ya ng sudah tak berdaya itu?!" Seharusnya Dadung Bongkok menyadari keadaan dirinya. Menghadapi Dewa Naga dalam keadaan segar bugar saja, dia tidak akan menang. Apa lagi sekarang? Tetapi kemar ahan dan keserakahah telah membutakah pikirannya. "Peduli setan! Serahkan pusaka itu! Atau... kau sebenarnya sudah memutuskan untu k mampus malam ini?!" Bukannya mulut Dewa Naga yang berbunyi, justru pantatnya. Bruuut! Kalau biasanya dia selalu memaki-maki karena pantatnya tak bisa diajak berunding , kali Ini dia tak peduli. Sinar matanya terus memancarkan maut. "Ucapanmu benar-benar bikin panas hatiku! Seharusnya aku menghukummu sekarang! T etapi...." "Keparat!!" Dadung Bongkok mendorong tangan kanannya. Wrrrrll Menggebah gelombang angin yang menyeret tanah. Dewa Naga menggeram. Lalu mendehe m. Suara dehemannya kecil saja, tetapi.... Blaaaammm

Gelombang angin itu putus di tengah jalan seperti menghantam sebuah tembok. Bahk an Dadung Bongkok sendiri terbanting lagi di atas tanah. "Kakek terkutuk!" makinya dengan darah yang mengalir dari hidung. "Kau benar-benar tak tahu diuntung! Padahal aku sudah beri peruntunganmu untuk h idup lebih lama lagi! Tapi kalau kau keras kepala, aku tak akan pikir dua kali u ntuk membunuhmu! Hanya saja, lagi-lagi, aku tak berhak membunuhmu!" seru Dewa Na ga sambil melotot. Lalu diangkatnya tubuh Boma Paksi yang pingsan. Ditelitinya s ejenak sebelum dia angkat pandangan dan berseru, "Ingat apa yang kukatakan tadi! Dua belas tahun mendatang, bocah ini akan datang untuk mencabut nyawamu. Jadi, persiapkan dirimu mulai sekarang sebelum dua bela s tahun menjelang!" Habis ucapannya, Dewa Naga segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dadung Bongkok merutuk panjang pendek dengan kegusaran luar biasa. Dihantaminya apa saja dengan kibasan tangan kanannya. Letupan berkali-kali terdengar sebelum akhirnya dia terengah-engah sendiri. "Keparat! Keparat kau, Dewa Naga... kau akan menyesaii tindakanmu ini...." Lalu dengan langkah sempoyongan Dadung Bongkok melangkah meninggalkan tempat itu . "Aku akan menunggu dua belas tahun mendatang...." * * * 8 PERPUTARAN waktu sungguh sangat sukar diikuti. Kita tak tahu sang waktu akan mel angkah ke mana. Tetapi yang pasti, sang waktu tak mau membuang diri untuk kembali ke masa lalu. Dia terus bergerak dan bergerak sampai tiba Sang Pen guasa Jagat memerintahkannya untuk berhenti. Dan tak seorang pun yang mengetahui , kapan Sang Penguasa Jagat memerintahkan sang waktu untuk berhenti bekerja. Dua belas tahun sejak peristiwa kematian Pendekar Lontar pun sudah terlampaui. R entang waktu yang lama itu, ternyata tak begitu terasa. Tahu-tahu sudah membenta ng jauh melewati batas-batas yang tak bisa ditentukan. Pagi masih buta. Butiran embun bergayutan manja di dedaunan. Udara sangat dingin menusuk tulang. Semakin dingin karena semalam hujan turun sangat lebat. Di mana -mana terdapat tanah becek dan genangan air. Tak seekor hewan pun yang keluar un tuk mencari makan. Mungkin mereka sudah mempersiapkan makanan lebih atau juga me rasa enggan bergabung dengan udara dingin. Mendadak.... Jlegaaaarrrl! Sebuah letupan keras menggema di pagi buta. Disusul gemuruh angin dahsyat yang b erputar dan menerjang. Lima batang pohon berpentalan jauh dengan suara bergemuru h. Beberapa kejap kemudian hening menggenang. Pagi senyap kembali. "Guru! Bagaimana menurutmu?!" terdengar suara itu memecah keheningan. Bruuuttt! Suara pantat berbunyi terdengar keras, disusul dengusan. "Brengsek! Apanya yang menurutku, hah?! Anak kecil pun bisa melakukan apa yang b arusan kau lakukan . bentakan keras itu terdengar. "Astaga! Guru! Yang benar saja? Lima batang pohon itu sudah tumbang kuhantam den gan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' yang Guru ajarkan! Kalau ternyata Guru anggap belum sempurna, ya karena ilmu Guru itu tidak bagus!" "Brengsek! Brengsek! Kau mau menganggap gurumu ini tidak becus mengajarkanmu?! S embarangan kalau ngomong! Kau ingin kugampar ya?!" Pemuda yang mengenakan rompi berwarna ungu yang sedikit terbuka hingga memperlih atkan dada bidangnya, yang tadi melepaskan pukulan menghantam lima batang pohon yang berpentalan pecah, tertawa. Tak ada tanda-tanda dia kecut diancam seperti i tu. Sikapnya enak saja berucap demikian dengan kakek berjubah merah yang duduk di atas sebuah batu. Membuat si kakek bermuka lonjong yang penuh sisik hijau itu me nggerutu panjang pendek. Dan berkali-kali dari pantatnya keluar suara, 'Bruttt!' "Sembarangan kau ya?! Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' sukar dicari tandinga nnya di jagat ini?! Itu termasuk ilmu dahsyat yang kuturunkan kepadamu! Yang dap at kau pergunakan sebagai satu senjata tangguh bila kau terdesak! Tapi bukan cum a bisa menumbangkan lima batang pohon itu!"

"Tapikan bagian atasnya hangus?!" seru si pemuda yang rambutnya dikuncir itu tak mau kalah. Dia berdiri berjarak delapan langkah dari si kakek muka lonjong. Ber diri tegak dengan kegagahan yang kentara. Matanya berkilat-kilat jenaka, kendati sorotnya angker. Parasnya tampan dan tubuhnya gagah. Yang agak mengherankan ada lah kedua tangannya, yang mulai dari jari-jemarinya hingga batas siku, bersisik coklat! Padahal bagian tubuhnya yang lain tidak. "Bukan itu yang kuinginkan! Tapi semuanya langsung hangus begitu kau bantam!!" m aki si kakek bersisik hijau keras. "Percuma aku mengajarimu kalau cuma itu saja yang bisa kau lakukan! Kebanyakan makan kau ya?! Atau... kau keban yakan ngintip perawan mandi di desa seberang ya?!" Si pemuda nyengir. Tindakannya itu membuat si kakek bersisik hijau yang bukan lain Dewa Naga menden gus. . "Kenapa kau nyengir begitu, hah?! Kau pikir parasmu tampan apa?!" "Dibandingkan wajah Guru sih... rasanya masih ada deh perawan montok yang akan m elirikku lebih dulu! Lalu menutup mata begitu memandang Guru," sahut si pemuda k alem. "Busyet, Kau ini...." Kata-kata Dewa Naga terputus tatkala didengarnya suara letupan lima kali berturu t-turut. Sejenak si kakek rhengerutkan keningnya. Telinganya dibuka lebar-lebar. Kejap berikutnya, dia mendengus keras. "Brengsek! Kau mempermainkan orangtua ya? Kau mempermainkan gurumu ya? Murid keb luk! Bagaimana bisa kau buat lima batang pohon itu lebur belakangan?!" Si pemuda tertawa. "Nah! Guru akhirnya mengakui bukan, kalau Guru tidak sia-sia menurunkan ilmu kep adaku?" "Kurang asem! Selain memiliki ketegaran dan jiwa ksatria tinggi, pemuda ini juga memiliki sifat asal-asalan! Dia sengaja mempermainkanku rupanya! Lima batang po hon yang dihantamnya dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' tadi hanya untu k menggodaku saja! Tapi... bagaimana caranya dia bisa menyimpan tenaga dari ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautah' pada lima batang pohon yang kemudian lebur bela kangan? Busyet! Dia memang hebat dan cerdik!" Lalu dipandanginya si pemuda yang sedang nyengir. "Sekujur tubuhku dipenuhi sisik-sisik hijau. Pemuda itu memiliki sisik yang sama tetapi berwarna coklat dan hanya terdapat mulai dari jari-jemarinya hingga bata s siku kedua tangannya. Ah, kalau sisik-sisik hijau pada tubuhku karena pengaruh ilmu yang kumiliki, tetapi dia telah membawanya sejak lahir." Melihat tatapan gurunya, si pemuda berkata, "Kenapa Guru melihatku seperti itu? Apakah baru kali ini Guru melihat ketampananku?" Dewa Naga menggerutu. "Banyak omong!" "Apa iya?" Bruuttt! Pantat si kakek berbunyi. "Guru! Kau ini tidak punya malu ya? Buang angin sembarangan! Untung baunya tidak busuk! Coba kalau...." "Hei, hei! Cuma buang angin itu yang tak bisa kuajarkan padamu! Jangan kau pikir buang anginku itu seperti buang angin orang kebanyakan! Hemm... suatu saat akan kuperlihatkan kepadamu! Sekarang... aku ingin melihat kebisaanmu! Ayo, serang a ku!" "Wah! Kok pakai main serang-serangan nih? Kalau aku sudah tamat mewarisi seluruh ilmu Guru, ya su-dah!" "Banyak omong! Ayo, serang aku!!" seru Dewa Naga dengan mata melotot. "Menyerangmu? Wah! Mana bisa kulakukan? Guru sudah tua, gerakan Guru tentunya su dah lamban!" sahut si pemuda sambil tertawa. Dia memang hendak menggoda gurunya. Sebagai sahutan, Dewa Naga menjentikkan ibu jari dengan telunjuknya. Trikk! Bunyi pelan terdengar. Tetapi... secara tak disangka, menggebah gelombang angin yang diliputi asap hijau ke arah si pemuda yang bukan lain Boma Paksi adanya. Putra almarhum Pendekar Lontar dan almarhumah Dewi Lontar mendengus pendek. Tanp

a bergeser dari tempatnya, dia mendorong tangan kanannya Wrrpr!! Serangkum angin merah menggebrak keras. Dan.... Blaaaam!! Letupan keras terjadi. Tanah di mana benturan itu terjadi, muncrat ke udara. Dan bila saat ini matahari sudah menampakkan diri, maka akan terlihat muncratan ang in merah ke mana-mana. Masih dengan pandangan terhalang oleh muncratan tanah, satu gelombang angin lain nya menderu cepat ke arah si pemuda. Merasakan adanya dorongan kuat, si pemuda m enepukkan tangan kanannya pada lengan kirinya. Wuuutttl! Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar dan membubungkan tanah dalam pusaran nya. Si kakek yang sudah meluncur menyerang, mengertakkan rahangnya. Diurungkan niatn ya untuk menyerang. Kaki kanannya dijejakkan ke tanah. Bersamaan tubuhnya melent ing ke atas, tanah menghambur ke arah si pemuda. Tetapi langsung tertelan dalam pusaran angin yang dilakukan si pemuda. "Wah! Guru kenapa?! Kenapa harus melompat ke atas seperti monyet?!" "Brengsek!" Bruuutt! Si kakek memutar tubuhnya kembali. Lalu digerakkan jotosan tangan kanannya tepat pada kepala Boma Paksi. Yang diserang langsung merunduk. Dan tiba-tiba saja kak i kanannya mencuat dari belakang. Plaaak!! Si kakek terpental ke belakang dan hinggap diatas tanah dengan kedua kaki tegak. Sementara itu, Boma Paksi tetap berada di tempatnya. Tetapi kedua kakinya kini melesak hingga lutut di tanah yang becek. Belum lagt diangkat kedua kakinya, mendadak saja dilihatnya tanah bergerak cepat ke arahnya. "Waduh! Kenapa Guru mempergunakan ilmu "Barisan Naga Penghancur karang'?!" seru Boma Paksi keras. Dalam gerakan yang sangat cepat, pemuda tampan ini menghantamkan telapak tangann ya pada tanah yang bergelombang ke arahnya. Blaaaammm! Tanah yang bergerak cepat itu terhenti seperti ada tenaga yang menahannya. Dan m uncrat ke udara. Tubuh Boma Paksi terpental. Kedua kakinya yang ambias sebatas l utut terlepas dan tanah terbongkar. Baru saja kedua kakinya hinggap lagi di atas tanah. tanah sudah bergerak kembali . Boma Paksi langsung melompat menghindari barisan tanah yang bergerak itu. Mend adak... Desss!!! Perutnya terhantam satu pukulan keras yang membuatnya terhuyung. Paras tampan si pemuda meringis. Perutnya dirasakan sakit. Rambutnya yang dikuncir kuda terlemp ar sejenak ke depan. "Bodoh! Anak kecil saja mampu menghindari seranganku" seru Dewa Naga pada murid kesayangannya ini. "Astaga, Anak kecil mampu menghindari pukulan 'Hamparan Naga Tidur' tadi? Ada-ad anya saja guruku ini! Dia selalu bicara semau jidatnya saja! Dan pantatnya itu s elalu saja berbunyi! Hmm... akan kuhadapi dia dengan pukulan yang sama." Saat lain yang terjadi benar-benar tak bisa diikuti oleh mata lagi. Hanya yang t erdengar beberapa kali letupan keras terjadi di sela makian Dewa Naga, "Murid br engsek! Kau mau menghajar 'kantong menyan'ku ya?!" Lalu suara Boma Paksi, "Pecah juga nggak apa-apa, Guru! Toh sudah nggak bisa dig unakan lagi?! Guru ini kok aneh-aneh saja ya? Buat apa barang yang tidak bisa di pergunakan lagi masih Guru tangisi juga?!" "Bicara sembarangan" Blaaarr! Jlgaaarrl! Dewa Naga semakin gencar menyerang muridnya, yang dihadapi muridnya dengan gerak

an-gerakan yang tak kalah gencarnya. Perlahan-lahan matahari pun mulai naik dan tanpa terasa, matahari sudah sepenggalah. Embun-embun sudah mengering. Angin tak lagi menusuk dingin. Dan... astaga! Sinar matahari yang telah menerangi tempat di mana guru dan murid itu sedang berlatih, namun serangan demi serangan sangat berbahaya, membuat jel as tempat itu sekarang. Benar-benar membuat kepala menggeleng-geleng. Tempat itu ternyata sebuah lembah yang ditumbuhi pepohonan. Anehnya, seluruh pohon yang tu mbuh di sana seperti bersisik. Baik batang, dahan, ranting maupun daun! "Gila betul! Guru benar-benar menganggapku sebagai lawan!" seru Boma Paksi dalam hati tatkala tanah yang menghambur ke udara sirap kembali. Rompi berwarna ungu yang dikenakannya sudah kotor. Tangan kanan kirinya terasa ngilu karena berulang kali berbenturan dengan gurunya. Tetapi gurunya terus mendesak. Bahkan langsung mengambil sebatang ranting dan me mutar-mutar ranting itu hingga si pemuda gelagapan. Dia terus melompat karena ta k diberi kesempatan membalas. Plaaakk! Dia langsung terjajar ke belakang dengan tangan kanan ngilu begitu kena gebuk ra nting si kakek. "Guru! Jangan terus menyerangku! Aku kan tidak bersenjata!" serunya sambil melur uk ke depan, Dewa Naga menarik badannya ke belakang seraya mendorong tangan kirinya. Plaak! Plaaakk! "Huhh! Kau ketakutan ya?!" "Eh, siapa bilang aku takut?!" seru Boma Paksi melotot. Bruuuttt! "Ya ampun! Kau ini tidak tahu malu betul, ya? Buang angin sembarangan!" "Bodo, ah!" sahut Dewa Naga cuek. Tanpa mengurangi kecepatannya, dia terus menye rang muridnya itu. Pembicaraan yang enak saja memang kerap kali terjadi. Masingmasing orang dapat berbicara seperti itu. Ini dikarenakan keakraban di antara me reka. Tetapi Boma Paksi sendiri masih dapat mengingat posisinya sebagai seorang murid. Kibasan demi kibasan ranting yang dilakukan Dewa Naga memang menyulitkan Boma Pa ksi. Tiba-tiba saja pemuda yang kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu menerjang ke depan. Suara gerengan terdengar keras. "Bagus! Dia telah mempergunakan jurus 'Naga Mengamuk'! Aku memang ingin melihat kemajuannya!" desis Dewa Naga sambil tersenyum. Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Pepohonan di sana bertumbangan te rhantam tangan kanan kiri Boma Paksi. Paras si pemuda yang sejak tadj terlihat k onyol, kini meregang tegang. Tatapan matanya dingin dan bertambah dingin. Bahkan sisik-sisik coklat pada kedua tangannya semakin terang menyala, berkiiat-kilat. Dewa Naga terus melayani dengan kibasan rantingnya. Sampai kemudian ranting itu patah. "Hebat! Dia dapat mematahkan rantingku ini!" serunya. Lalu dengan mempergunakan jurus 'Naga Mengamuk', Dewa Naga melayani serangan mur id tunggalnya. Apa yang terlihat sungguh mengerikan. Lembah Naga seperti dilanda kiamat. Letupan demi letupan terdengar keras dan angker. Pepohonan tumbang dise rtai muncratan tanah di sana-sini. Tempat itu bergetar hebat. Dari tindakan yang keduanya lakukan, terlihat kalau masing-masing orang telah me mbahayakan dirinya sendiri. Masuk dalam pertarungan jarak dekat dengan kecepatan Iuar biasa, memang sama-sama sukar dihindari. Benturan pun terjadi. Masing-masing orang mundur lima tindak ke belakang. Boma Paksi cepat menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Karena dia merasa a da hawa panas yang melingkupinya. Di lain pihak, Dewa Naga hanya mendengus dan.. .. Bruuttt! Hawa panas yang melingkupinya pun lenyap. "Luar biasa! Sungguh luar biasa!" desisnya. Boma Paksi yang telah selesai mengalirkan tenaga dalamnya hingga hawa panas yang melingkupinya lenyap, juga memandang gurunya. Sisik-sisik coklat yang menyala t

adi, kini lenyap dan memperlihatkan sisik halus seperti sebelumnya. "Guru! Kenapa sih Guru menyerangku betulan seperti itu?!" Kakek muka lonjong mengangkat kepalanya. Dipandanginya pemuda di hadapannya. "Sosoknya gagah dan tegap. Wajahnya tampan. Sifatnya kendati agak konyol tetapi masih bisa mempergunakan otaknya. Sorot matanya itu... terkadang menyiratkan ked inginan dan keangkeran yang membuat orang berpikir untuk tidak menatapnya lebih lama. Ah, aku melihat sosok Pendekar Lontar padanya. Rasanya. hari inilah saat y ang tepat untuk mengatakan semuanya...." Berpikir demikian, Dewa Naga mengangguk-angguk. "Pertanyaanmu barusan, memang datang pada waktu yang tepat! Tapi sebelumnya, aku akan bertanya padamu. Boma... apakah kau lupa pada peristiwa dua belas tahun ya ng lalu?" * * * 9 SEJENAK pemuda bersisik coklat itu terdiam. Dewa Naga melihat pancaran merah ang ker dari matanya. "Aku tahu, dia sedang menahan gejolak batin di hatinya. Tetapi aku harus membuka lagi mata dan ingatannya akan peristiwa dua belas tahun lalu...." Lalu dilihatnya muridnya mengangguk. Suaranya angker tetapi masih dapat dikendal ikan. "Ya, Guru! Sudah tentu aku tidak melupakannya! Aku ingat sekali! Saat itu... Aya h yang berjuluk Pendekar Lontar telah tewas tanpa diketahui penyebabnya! Lalu... ada Dua Serangkai Jubah Hijau! Kakek Dewa Tombak dan Kakek Dewa Segala Obat! Ak u juga ingat, kalau Ibu tewas dibunuh oleh Dadung Bongkok!" "Ingatanmu kuat sekali...." "Ayahku tewas tanpa diketahui penyebabnya. Ibuku tewas dibunuh Dadung Bongkok. A h, lengkaplah apa yang pernah kupunyai kini menghilang...." Melihat pemuda di hadapannya terdiam, Dewa Naga mendengus. "Kau mau mendengarkan penjelasanku lagi atau kau cuma mau bengong seperti kambin g ompong, hah?!" Boma Paksi mengangkat kepalanya. Dewa Naga berkata, "Dua belas tahun yang lalu, aku telah mengucapkan sebuah janji pada Dadung Bongkok! Saat itu, aku memang had ir di sana, tetapi aku terlambat karena ibumu sudah dibunuh olehnya! Aku hanya bisa menyelamatkanmu yang juga hen dak dibunuh Dadung Bongkok!" "Mengapa Guru tak membunuhnya?" "Aku tak berhak melakukannya!" "Mengapa?!" suara si anak muda terdengar menuntut. "Bila itu kulakukan, aku hanya akan menimbulkan keonaran! Jadi, apa bedanya aku dengan Dadung Bongkok sendiri? Silang urusan tak pernah terjadi antara aku denga n orang itu! Lagi pula, aku tak berhak melakukannya!" Boma Paksi terdiam. Kemarahannya mendadak muncul. Tetapi dua kejapan mata beriku t, dia sudah menindih kemarahannya. "Dua belas tahun lalu, aku sudah berkata pada Dadung Bongkok, kalau dia akan men dapatkan balasannya! Tetapi kemudian aku menyadari, kalau aku telah salah beruca p!" "Di mana Dadung Bongkok berada, Guru?" "Dia tinggal di Sungai Darah! Tetapi aku tidak tahu apakah dia masih tinggal di sana atau tidak! Muridku, sebaiknya kau melupakan apa yang telah terjadi. Tak ad a gunanya kau menyimpan dendam atau membalasnya! Karena dengan begitu urusan akan semakin panjang. Sebelum kau berangkat...." "Tunggu, Guru! Berangkat? Apa maksud Guru dengan berangkat?" potong Boma Paksi. "Berangkat ya berangkat!" bentak Dewa Naga tiba-tiba. "Kok kau ini bodoh betul, ya? Berangkat itu sama dengan meninggalkan tempat ini!" "Jadi... maksud Guru... aku harus meninggalkan tempat ini sekarang?!" "Ya! Kapan lagi?!" Boma Paksi hendak membantah ucapan gurunya, tetapi gurunya telah melanjutkan, "S ebelum kau meninggalkan tempat ini, ada satu hal yang hendak kuceritakan padamu. " Boma Paksi tak menjawab.

"Hei! Kau ini mendadak jadi tuli, ya?!" "Apa yang hendak Guru ceritakan?" "Tentang kematian ayahmu...." "Kematian Ayah?" ulang Boma Paksi sambil memandang tajam pada gurunya. "Ya! Kematian ayahmu?!" "Guru! Aku hanya ingat, kalau tak seorang pun yang mengetahui penyebab kematian Ayah! Bahkan, Ibu pun tidak!" "Kau betul! Tetapi aku mengetahuinya!" "Oh!" Sejenak Boma Paksi terdiam. Perasaan pemuda ini kembali bergelora. Hatinya terba wa iagi pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Lamat-lamat dia berkata, "Ceritakanlah, Guru...." Bruuutt! "Busyet! Pantat ini kok tidak bisa diajak tenang ya?!" maki Dewa Naga. "Masa bod oh, ah! Mau diajak tenang atau tidak bukan urusanku!" Lalu sambil memandangi muridnya yang masih memandangnya, kakek berjubah merah it u berkata, "Aku telah memeriksa tubuh ayahmu. Pada jantungnya, aku menemukan kej anggalan Dan satu-satunya racun yang dapat menyebabkan kematian seperti itu, ada lah racun milik Hantu Menara Berkabut!" "Hantu Menara Berkabut? Siapakah dia, Guru?" "Sampai saat ini. Hantu Menara Berkabut tak pernah lagi kedengaran beritanya! Te tapi dulu, aku pernah sekali bertarung dengannya! Dan aku berada pada pihak yang menang! Bahkan sempat kudengar, kalau ayahmu pernah bertarung pula dengannya! K endati sama-sama terluka, tetapi tidak ada yang tewas! Rupanya, Hantu Menara Berkabut masih mendendam pada ayahmu yang kemudian membunuhnya!" "Guru! Aku ingat, kalau Ayah mempunyai ilmu 'Raga Pasa" yang membuatnya akan men getahui setiap serangan yang datang! Lantas, bagaimanakah cara Hantu Menara Berk abut membunuhnya?" "Aku tidak bisa menjawab soal itu. Hanya Dewa Segala Obat yang dapat menjawabnya . Jadi... kau harus mencarinya juga dan menanyakan soal itu." "Apakah Ibu mengetahui siapakah yang telah membunuh Ayah?" tanya Boma Paksi penu h keingintahuan. "Aku tidak tahu pasti soal itu!" "Guru telah mengetahui kalau Hantu Menara Berkabut yang telah membunuh Ayah! Tet api Guru mengatakan tidak tahu pasti Ibu tahu atau tidak soal itu! Berarti Guru tak mengatakannya! Mengapa Guru?! Mengapa tak mengatakannya pada Ibu?!" "Saat itu... ibumu dalam keadaan berduka. Berduka yang sangat dalam. Aku yakin, bila kukatakan soal itu, tentunya dia akan menjadi murka. Dalam keadaan berduka seseorang akan mudah menjadi berduka dan terluka. Itulah sebabnya, aku tak mengatakannya. Di samping itu, aku juga tidak tahu bagaimana caranya Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu. Mungki n, saat itu Dewa Segala Obat sudah datang. Bisa jadi dialah yang mengatakannya k epada ibumu. Hanya saja, aku merasa sangsi apakah dia akan mengatakannya? Karena aku merasa agak yakin, kalau Dewa Segala Obat pun mempunyai pertimbangan yang s ama denganku.... Tapi sekali lagi, aku masih meragukan hal itu." Mendengar penjelasan gurunya, Boma Paksi mengangguk-anqguk mengerti. Dadanya dig olak rasa amarah lagi. Sisik coklat pada kedua tangannya berubah terang. Dewa Naga melihat sinar mata muridnya berkilat-kilat. "Kurasakan ada getaran gaib dari kedua matanya. Ah, matanya itu seperti mengandu ng magnet yang menggetarkan! Dan gambar seekor naga hijau pada punggungnya, tent unya memiliki kekuatan yang sama! Aku tak tahu sama sekali soal kekuatan itu! Ra sanya, biarlah dia yang menemukan jawabannya kelak!" Kemudian kakek ini berkata, "Satu hal lagi yang perlu kukatakan Boma... pada punggungmu terdapat sebuah tato naga hijau!" "Tato naga hijau?" "Ya! Sebuah gambar seekor naga hijau yang kau bawa sejak kau dilahirkan oleh ibu mu! Terus terang, aku pernah bermimpi tentang seorang bocah yang memiliki gambar seekor naga hijau seperti yang ada pada punggungmu! Jangan kau tanyakan apakah

naga hijau itu mengandung sesuatu yang berarti atau tidak! Karena aku tidak tahu ! Jadi kuminta... kau sendiri yang akan menemukannya kelak! Dan kau harus berhas il menemukan jawabannya!" "Ah, selama dua belas tahun ini, aku tak pernah diliputi rasa marah dan heran se perti sekarang. Guru telah banyak buka semua rahasia yang dipendamnya selama dua belas tahun. Dan dari sikap Guru, aku merasa pasti, kalau Guru menghendakiku un tuk tinggalkan tempat ini sekarang. Tentunya bukan dengan maksud mengusir, tetap i menyuruhku untuk menimba pengalaman di dunia Iuar...." Habis membatin demikian, pemuda gagah ini merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Dipandanginya sesaat kakek berjubah merah yang berdiri di hadapannya. Lama t-lamat ditundukkan kepalanya tanpa berucap apa pun. Dewa Naga membatin, "Dia sungguh mengerti apa yang kumaksudkan. Sikapnya itu... ah... benar-benar sungguh Iuar biasa. Santun dan sangat santun sekali. Aku yakin , kelak pemuda ini akan menggegerkan rimba persilatan. Tapi... tentang tato naga hijau pada pung-gungnya, aku masih belum dapat memecahkan, rahasia apa yang ada di sana...." Kakek muka lonjong penuh sisik itu perlahan-lahan mendengar kata-kata si anak mu da yang masih menundukkan kepala, "Guru... aku mohon diri...." "Bagus kalau kau mengerti apa yang kumaksudkan! Satu pesanku... di dunia luar sa na, tak sama dengan dunia yang kita hadapi sekarang ini! Kau akan banyak menemuk an beragam sifat manusia! Kau akan berhadapan dengan manusia yang luarnya baik t etapi hatinya busuk! Dan kau juga akan berhadapan dengan manusia yang luarnya bu ruk tetapi hatinya emas! Juga kau akan berhadapan dengan manusia-manusia yang bu kan hanya memiliki sifat aneh, tetapi juga mengerikan! Pesanku, dapatlah kau men jaga dirirnu sendiri...." Boma Paksi mengangguk. "Akan kuingat pesan, Guru! Guru... di manakah Hantu Menara Berkabut berada?" "Selama dua belas tahun aku terus berada di sini bersamamu. Ingatanku agak lupa. Kau harus menemukannya.... Dan... tunggu sebentar!" Boma Paksi melihat gurunya menjentikkan tangan kanannya ke atas. Dari atap bangu nan kecil yang tak jauh dari sana, mendadak saja melayang sebuah benda. Masih me layang di udara, Dewa Naga menjentikkan lagi tangannya Benda yang melayang itu terpental lagi, kali ini mengarah pada Boma Paksi yang d engan sigap menangkapnya. "Oh! Gumpalan daun lontar!" serunya. Lalu tanyanya kemudian, "Untuk apakah benda ini, Guru? Dan mengapa aku seperti begitu akrab dengan benda ini?" "Benda itulah yang diinginkan oleh Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok. Benda i tulah yang menyebabkan ibumu dibunuh olehnya?!" "Aneh! Mengapa hanya gumpalan daun lontar ini saja orang-orang seperti Ratu Seju ta Setan dan Dadung Bongkok menginginkannya?!" "Kau akan tahu jawabannya kelak! Sekarang... berangkatlah!!" Boma Paksi memasukkan gumpalan daun lontar itu ke balik pakaiannya. Dan mendadak saja dia lerkejut. "Heiii!!" Kalau biasanya sebuah benda bulat bila dimasukkan ke balik pakaian akan menonjol , tetapi gumpalan daun lontar yang tetap segar dan bersinar terang itu, justru m endadak saja mengempis. Begitu mengempis, Boma Paksi merasakan ada hawa sejuk ya ng mengaliri sekujur tubuhnya. "Guru!" "Jangan banyak tanya lagi! Sana pergi! Danjangan terpancing oleh hal-hal yang da pat mencelakakanmu sendiri...." "Semua pesan Guru akan kuingat!" "Jangan meremehkan siapa pun juga! Dan katau bisa, hindarilah pertempuran dengan siapa pun juga. Di samping itu, jangan suka menyimpan dendam! Raja Naga berangkat lah kau sekarang!" Boma Paksi terdiam dengan keningnya berkerut. Matanya menatap dalam gurunya. "Guru memanggilku Raja Naga?" desisnya dalam hati. "Hei, Mengapa kau masih berada di sini, hah?! Ayo! Kau pergi sana! Otakku jadi m umet bila melihatmu masih berada di sini!" Setelah merangkapkan kedua tangannya dan mengucapkan terima kasih, Boma Paksi pu

n muiai berlari meninggalkan tempat itu. Ilmu peringan tubuh dipergunakannya hin gga dalam beberapa kejap saja dia sudah berada jauh dari Lembah Naga. Dilihatnya lembah itu sekali lagi. Warna hijau menyelimutinya, seperti menyemarakkan tempa t. Tetapi di balik semua itu, tersimpan keangkeran dalam yang tak bisa dipecahka n. Juga mengenai pepohonan yang semuanya bersisik halus. "Guru... aku mohon restumu...." Kejap kemudian, pemuda gagah berompi ungu dengan kedua tangan sebatas siku dipen uhi sisik coklat, sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan berjuta rintan gan yang harus dihadapinya. Kelak, rimba persilatan akan dikejutkan dengan munculnya seorang tokoh muda berj uluk Raja Naga SELESAI Ikuti kelanjutan serial ini: KUTUKAN MANUSIA SEKARAT Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: mybenomybeyes http://duniaabukeisel.blogspot.com/ KUTUKAN MANUSIA SEKARAT Hak cipta dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Serial Raja Naga Dalam Episode 002: Kutukan Manusia Sekarat 128 Hal.; 12 x 18 Cm http://duniaabukeisel.blogspot.com/ 1 SEJAK semalam hujan turun dengan derasnya. Curahan air laksana bendu-ngan bobol dari langit. Menggempur bumi dan seisinya. Ditingkahi dengan salakan guntur yang datang bersahut-sahutan, dan kilat yang sambar menyambar, bumi laksana direntak kan oleh kekuatan alam. Rasanya tak lama lagi bumi akan hancur lebur didera huja n yang terus menerus. Satu sosok tubuh yang sedang berkelebat melintasi hujan, bukannya ngeri dengan a lam yang sedang marah. Bahkan sambil berkelebat yang tak ubahnya hantu belaka, l elaki yang diperkirakan berusia sekitar tujuh puluh tahun itu, tertawa-tawa. Sak ing keras tawanya, seolah meredam kekuatan guntur yang lintang pukang.Kilat meny ambar. Guntur menyalak lagi. Blaaaarrr! Pucuk sebuah pohon tersambar dan tumbang menjadi arang. Menyusul guntur menyalak lagi. Lebih dahsyat. Menghantam sebuah pohon yang tumbang dengan gerakan cepat. Tumbangnya pohon itu, tepat di atas kepala sosok tubuh yang tadl melesat laksana hantu dan sekarang sudah menghentikan lesatannya. Dia sedang tertawa-tawa seper ti menerta-wakan sesuatu. Sejenak kakek ini memutuskan tawanya sendiri, lalu di-angkat kepalanya sedikit. Tangan kanannya di gerakkan dengan cara s-perti mengusir seekor lalat. Plaass! Satu tenaga keluar deras. Tumban-gnya pohon akibat guntur yang sedianya akan men impa kepalanya, mendadak saja terpental sejarak tiga tombak dan menindih ranggas an semak yang mungkin sedang menggigil akibat derasnya hujan dan dinginnya desir an angin. Si kakek tertawa lagi. Kilat menyambar cepat, menerangi tempat itu beberapa saat . Menerangi pula dinding tebing yang berdiri kokoh tak jauh dari sana. Saat kilat sempat menerangi tempat itu, terlihat bagaimana wujud si kakek. Kakek ini berkepala bulat dengan rambut panjang warna putih, beriap hingga tergerai a cak-acakan sampai punggungnya. Tubuhnya agak kurus. Sepasang matanya tajam laksa

na sambaran mata elang. Wajahnya yang dilapisi kulit tipis, dihiasi dengan camba ng yang turun hingga dagu. Kakek yang pada tangannya terdapat gelang warna hitam ini, mengenakan pakaian panjang warna jingga. Jubahnya pun berwarna sama. Dari sosoknya yang angker itu, ada satu keanehan. Karena sejak tadi hujan menggempur deras, tetapi tubuhnya tak basah sedikit pun! Bahkan, air hujan seperti tertahan untuk mengenai tubuhnya! Hanya berada pada ba tas kepala dan tubuh bagian depan dan belakang! Tiba-tiba si kakek putuskan tawa-nya. Menyusul terdengar rahang diker-takkan. "Pendekar Harum telah tewas men-jelang senja tadi! Dia adalah orang kedua yang k ubunuh dalam rentang waktu dua belas tahun! Dua belas tahun yang lalu, dengan le bah yang kulumuri racun, Pendekar Lontar telah mampus kubunuh! Huh! Kini... ting gal Bandung Sulang yang akan mampus di tanganku! Tiga manusia itulah yang pernah mengalahkanku dulu!" Kembaii si kakek tertawa keras, hingga kedua bahunya yang kurus berguncang-gunca ng. "Selama dua belas tahun aku menunggu kedatangan seseorang yang akan menuntut bal as atas kematian Pendekar Lontar! Tetapi tak seorang pun yang datang! Aku yakin, tak ada yang mengetahui, kalau akulah si pem-bunuhnya! Akulah yang mencabut nya wa Pendekar Lontar!!" Semakin keras tawa si kakek bercambang turun hingga ke dagu ini. Hujan terus men ggempur ganas. Angin dingin berhembus lintang pukang. Dua buah pohon tumbang ter gedor gelombang-nya, jatuh bergemuruh. "Bukit Gulungan tak jauh lagi dari sini! Malam ini juga akan kutuntaskan semua u rusan hingga tak ada lagi yang mengganjal di dada!" serunya tiba-tiba. Matanya y ang tajam laksana mata elang, menyipit. Sinar angker seperti keluar dari sana. S ambil mengangkat dagunya, si kakek berseru dingin, "Bandung Sulang! Malam ini ju ga kau harus mampus!" Kejap berikutnya, tanpa ada setetes pun air hujan yang mengenai tubuhnya, si kak ek berjubah jingga ini berkelebat. Kelebatannya lebih cepat dari yang pertama! Dalam deraian air hujan tetapi tubuhnya tetap terlindung, si kakek terus berkele bat laksana hantu. Melewati tanah becek, pepobonan yang tumbang dan ranggasan se mak. Dia melakukannya tanpa kesulitan sedikit pun. Setelah melewati pematang sawah yang agak banjir, tubuh si kakek yang masih keri ng kendati hujan sangat deras, tiba di hadapan sebuah bukit yang menjulang tingg i. Dinding bukit itu terjal. Di saat kilat menyambar sepasang mata si kakek pun menyambar memandahg bukit itu. "Bukit Gulungan...," desisnya pendek. Wajah angkernya kelihatan te-gang. Sepasan g matanya berkilat-kilat penuh ancaman. Lama-lama terlihat sorot dendam yang dalam. Perlahan-lahan si kakek menarik napas, lalu berseru ker as, hingga memantul dari bukit itu. "Bandung Sulang! Bila kau masih hidup, kelua rlah untuk terima kematian! Jangan kau berlagak sudah mampus, karena aku selalu memantau keadaanmu!!" Dengan perasaan tak sabar, si kakek menunggu beberapa saat. Tetapi tak ada sahut an apa-apa akan seruannya. "Kakek celaka! Keluarlah! Kita tuntaskan silang urusan yang pernah terjadi di an tara kita!!" Kembali si kakek bertampang ang-ker ini menunggu sahutan. Lagi-lagi dia tak mend engar apa-apa kecuali gema pantulan suaranya yang mengalahkan gemuruh hujan. "Setan keparat! Mengapa dia tidak menyahut?! Jangan-jangan... dia tak berada di tempat Ini? Terkutuk! Ber-arti, sia-sia perjalananku malam ini!" maki si kakek p anjang pendek. Tiba-tiba saja kepalanya diangkat dengan tatapan disipitkan tajam. Menyusul tang an kanan kirinya didorong ke depan. Wrrrr!! Geiombang angin yang memutuskan desiran angin kencang, menggebrak ke arah dindin g bukit. Blaaarr! Blaaarrr! Dua kali letupan terdengar berturut-turut. Saat itu pula batu-batu yang terdapat pada dinding bukit berguguran. Suara gemuruh mengerikan yang ditingkahi ganasny a gempuran hujan terjadi.

Belum lagi batu-batu tuntas berguguran, terdengar satu suara di belakang si kake k, "Hantu Menara Berkabut! Kau datang di malam yang dingin ini, pada saat hujan turun deras! Apakah kau sudah bosan tinggal di Menara Berkabut?!" Serta merta si kakek berjubah jingga memutar tubuhnya. Saat itu pula dikertakkan rahangnya. "Ternyata kau masih punya nyali, Bandung Sulang! Kupikir, kau sudah menjelmakan diri menjadi tikus got belaka!" Orang yang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari hadapannya, hanya tersenyu m. Menilik parasnya, dia berusia tak berbeda jauh dengan si kakek yang dipanggil dengan julukan Hantu Menara Berkabut tadi. Orang ini mengenakan pakaian ber-warna hijau yang penuh tambalan. Jenggot dan ku misnya panjang menjulai, seolah berlomba dengan rambutnya. Kalau sosok Hantu Men ara Berkabut masih kering, si kakek sudah basah sekujur tubuhnya! "Seseorang yang malam-malam merelakan diri untuk datang ke Bukit Gulungan, tentunya tidak tanpa maksud! Hantu Me nara Berkabut, apakah aku boleh mengetahui maksud kedatanganmu sekarang?!" Mendengar ucapan bernada datar itu, sepasang pipi cekung Hantu Menara Berkabut m engembung. Seraya menyembur-kan napasnya keras-keras dia berseru, "Aku datang... untuk mencabut nyawamu!" "Dua puluh lima tahun telah berlalu tanpa terasa! Waktu memang benar-benar tak m engenai ampun! Selalu menggilas siapa pun juga yang lengah! Kupikir, selama dua puluh lima tahun ini, kau sudah kehilangan nama! Karena, tak pernah kudengar lag i tentang dirimu!" "Malam ini, kau sudah melihat diriku! Kau akan menyusul Pendekar Harum ke akhira t!" Kepala Bandung Sulang sesaat menegak. Sepasang matanya menyipit tegang. Terlihat bibirnya bergerak sedikit, hingga suaranya menjadi sengau dan tajam. "Rupanya kau masih menyimpan keonaran yang nampaknya akan kau tumpahkan malam in i! Apakah kau ingin kugebuk seperti dua puluh lima tahun yang lalu?!" "Lain dulu lain sekarang! Aku pernah juga dikalahkan Pendekar Harum di Lembah Utara! Tetapi sekarang, orang itu sudah berkalang tanah!" Bandung Sulang terdiam. Tata-pannya tetap tajam. "Sebelum kau kubunuh, akan kuceritakan sebuah rahasia!" seru Hantu Menara Berkab ut sambi! melipat kedua tangannya di depan dada. "Tentunya kau sudah mendengar b erita kematian Pendekar Lontar, bukan?!" "Aku tak sempat menyembanginya!" desis Bandung Sulang dengan suara sedikit berge tar. Batinnya mengatakan, kalau dia akan mendengar berita yang lebih buruk dari kematian Pendekar Lontar. Hantu Menara Berkabut menyeringai lebar. "Rasanya, bukan hanya kau yang tak mengetahui siapa pelaku dari kematian Pendeka r Lontar!" "Dia meninggal karena...." "Akulah yang membunuhnya!" putus Hantu Menara Berkabut sambii tertawa. Bandung Sulang tak menyahut. Dia Justru mengerutkan keningnya. "Berita kematian Pendekar Lontar sudah me-nyebar ke segenap persada. Siapa pun tentu telah menden gar kematian pendekar perkasa itu. Aku juga men-dengar kalau tak seorang pun yan g mengetahui penyebab kematiannya. Kecu-ali jantungnya yang hangus. Memang sungg uh aneh, karena Pendekar Lontar dikenal sebagai pemilik ilmu 'Raga Pasa' yang dapat membuatnya mengetahui ada se rangan halus sekalipun." Kemudian dia berkata dingin, "Kau hanya membual di hadapanku! Seharusnya kau mem perdengarkan bualan lain yang dapat membuatku mempercayaimu! Bukan dengan omong kosong seperti yang barusan kau lakukan!" Memerah paras si kakek berjubah jingga mendengar kata-kata orang di hadapannya. "Setan terkutuk! Dia mengejekku habis-habisan!" geramnya dalam hati. Lalu ditind ih rasa geramnya. Dia kembaii tertawa panjang. "Ya, Siapa pun orangnya, tentunya akan berpikir kalau aku hanya membual belaka! Tetapi, seekor lebah yang telah k ulumuri racun pada sengatnya, tak akan mungkin bisa dinilai dengan Ilmu 'Raga Pa sa' Lebah itu hanyalah seekor hewan kebanyakan! Tentunya Pendekar Lontar tak aka n pernah mengetahuinya! Tentunya pula, dia hanya menganggap kalau lebah itu hany

a seekor hewan yang kebetulan mampir ke tempatnya!" Bandung Sulang tak menjawab. Tubuhnya terus diguyur hujan deras. "Rupanya manusia ini sedang melancarkan setiap dendam yang dimilikinya. Dan ucap annya tadi, ah, aku mulai dapat mempercayainya. Pendekar Lontar tewas dibunuhnya dengan mempergunakan lebah yang dilumuri racun. Tadi dia juga mengatakan, telah membunuh Pendekar Harum," kata Bandung Sulang dalam hati. Kakek berpakaian hijau penuh tambalan ini terdiam beberapa saat. Memandang pada kakek berjubah jingga yang sedang menyeringai penuh keangkuhan. Lamat-lamat Bandung Sulang bersuara, "Hantu Menara Berkabut! Kau telah menorehka n lagi sejarah hitam di rimba persilatan! Kalau waktu lalu kau masih kuampuni, t etapi dengan membunuh Pendekar Lontar secara pengecut dan merenggut nyawa Pendek ar Harum, hanya setanlah yang mau mengampuni seluruh belang dosamu!" Habis ucapannya, Bandung Sulang menerjang ke depan dengan tangan kanan kiri diki baskan. Dia tak bisa lagi menahan amarahnya mengetahui dua orang sahabatnya tela h tewas. Bahkan dengan sikap angkuh, kakek berjubah jingga di hadapannya mengaku i kalau dialah pelaku kedua pembunuhan itu! Terjangan yang dilakukan Bandung Sulang sed-mikian cepat, hingga memperdengarkan angin berkesiur. Butiran hujan yang turun deras seperti menyibak, seolah member i jalan terkena gelombang tenaga dalam yang dilepas-kannya. Hantu Menara Berkabut mengertakkan rahang. Kepalanya diangkat sedikit. Kejap berikutnya, dia berke-lebat ke depan dengan kedua tangan terangkat dan tiba-tiba disentakkan ke bawah. Blaaaarrr!! Benturan yang terjadi meng-akibatkan letupan keras, mengalahkan suara derasnya h ujan. Saat benturan tadi terjadi, guntur tidak menyalak. Tetapi letupan itu, jus tru melebihi ganasnya salakan guntur! Bandung Sulang terseret ke bela-kang. Celana bagian bawahnya kotor terkena tanah becek. Hantu Menara Berkabut pun surut tiga langkah. Dengan kegeraman yang kent ara, dijejakkan kaki kanannya, yang serta-merta membuat tubuhnya mencelat ke dep an. Gelombang angin berputar yang menyeret tanah basah menggebrak ke arah Bandung Su lang. Yang diserang menyipitkan matanya. Tak beranjak dari tempatnya. Sebelum ge lombang angin itu menghajarnya, mendadak diputar tangan kanannya. Segera menghampar gumpalan asap hijau ke arah gelombang angin yang dilancarkan H antu Menara Berkabut. Kalau biasanya asap akan terkuras sirna bila terkena air, asap-asap hijau yang dilepaskan Bandung Sulang justru seperti menelan air-air it u. Dalam satu kejapan saja, asap-asap itu sudah berubah menjadi kantung air! Menero bos gelombang angin yang dilepaskan Hantu Menara Berkabut! Sudah tentu Hantu Menara Berkabut terkejut melihat serangan lawan. Gelombang ang innya tak berguna, bahkan terus diterobos oleh asap-asap yang telah berubah menj adi kantung air. "Terkutuk!" makinya seraya memukul kantung-kantung air itu. Plaaarr!! Sebuah asap yang telah berubah menjadi kantung air berhasil dipu-kulnya. Begitu pecah, justru dia yang menjadi terkejut dan mendadak sontak membuang tubuh ke sa mping kanan. Karena begitu pecah, kantung air itu memuncratkan air warna hijau yang menyebar laksana puluhan jarum rahasia. Sebagian mengarah pada Hantu Menara Berkabut yang membuatnya segera menghindar. Tiga buah asap yang telah berubah menjadi kantung air itu pecah berhamburan tatk ala menghantam tiga buah pohon. Tak terjadi apa-apa. Tetapi di lain saat, pepoho nan itu bergetar. Dedaunannya berguguran lak-sana diguncang tangan raksasa. Meny u-sul suara letupan tiga kail berturut-turut Bagian atas pohon yang terkena hant aman kantung-kantung air yang pecah, patah berhamburan. Hantu Menara Berkabut terbelalak. Sepasang matanya menatap tak percaya pada tiga batang pohon yang telah hancur bagian atasnya. Lamat-lamat dengan suara erangan pelan diputar kepalanya. Tatapannya tajam pada Bandung Sulang yang telah berdir i tegak. "Dari ketiga orang yang telah mengalahkanku dan membuatku mendendam setinggi lan

git, kupikir Bandung Sulanglah yang paling lemah di antara mereka. Kuperkirakan akan dengan mudah membunuhnya. Tetapi nyatanya, dia justru telah bertindak menge jutkan. Menghadapi Pendekar Lontar, aku telah mempergunakan akal licik untuk mem bunuhnya. Demikian pula dengan Pendekar Harum. Dia mampus setelah kulepaskan tig a ekor lebah yang telah kulumuri racun. Keparat! Rasanya... aku juga harus melep askan lebah-lebahku ini...." "Kau telah membunuh dua saha-batku! Rasanya, aku memang berhak untuk mencabut ny awamu sekarang!" "Jangan berbangga dulu dengan apa yang kau lakukan barusan!" sambut Hantu Menara Berkabut dingin. Dia masih tetap kering, karena sosoknya seperti terpayungi yan g menghalangi derasnya butiran hujan. "Karena... tak lama lagi kau akan menyusul Pendekar Lontar dan Pendekar Harum ke akhirat!" "Mungkin aku akan menyusulnya! Tetapi... kaulah yang akan lakukan perjalanan ke neraka!" Habis ucapannya, Bandung Sulang menggebrak kembali. Gelombang angin mendahului l esatan tubuhnya yang cepat. Saat tangan kanan kirinya digerakkan, kembali mengha mpar asap-asap hijau yang begitu terkena air langsung berubah menjadi kantung-ka ntung air. Hantu Menara Berkabut menatap kantung-kantung air yang melesat cepat ke arahnya itu. Dia tak mau untuk membentur lagi kantung-kantung air itu, karena dia tahu a pa akibatnya. Mendadak terlihat mulutnya mengembung dan.... Wuussss!! Begitu dikempeskan dengan cara menyentak, udara yang keluar dari mulutnya mengge bah deras. Kantung-kantung air yang mengarah padanya, tertahan dan berbalik pada pemiliknya! "Hebat! Tentunya hembusan napas-nya itu bukan dialiri tenaga dalam, tetapi hawa murni karena tak memecahkan asap hijauku yang telah berubah menjadi kantung air! " desis Bandung Sulang dalam hati. Kejap kemudian diputar tangan kanan kirinya. Wrrrrr! Kantung-kantung air yang kembali mengarah padanya, berbalik lagi setelah terkena gelombang angin dari kedua tanga nnya. Hantu Menara Berkabut segera berbuat yang sama seperti yang dila-kukannya barusa n, hingga kantung-kantung air itu kembali berbalik. Demikian pula halnya dengan Bandung Sulang. Dia juga berbuat yang sama seperti yang dilakukannya tadi. Hingga yang terjadi kemudian, lima buah kantung-kantung asap itu akhirnya tertah an di udara. Menggan-tung agak bergoyang. Karena tekanan dari Bandung Sulang dan tahanan dari Hantu Menara Berkabut. Masing-masing orang terlihat mulai bergetar. Berulang kali Bandung Sulang memuta r tangan kanan kirinya. Demikian pula dengan Hantu Menara Berkabut yang menghemb uskan napasnya berulang-ulang. Dan mendadak, lima buah kantung-kantung air itu meluncur ke udara setinggi empat tombak. Lalu meluncur deras ke bawah. Begitu menghantam tanah becek, letupan ke ras yang membongkar tanah terdengar lima kali berturut-turut. Saat itu guntur menyalak. Hingga tempat itu benar-benar laksana kiamat! Sementara itu, baik Bandung Sulang maupun Hantu Menara Berkabut sama-sama terpen tal ke belakang. Bandung Sulang terjengkang di tanah becek. Hantu Menara Berkabut jatuh berlutut. Kalau sebelumnya dia seperti terpayungi, kali ini sekujur tubuhnya didera hujan ! "Keparat!!" makinya sambil mendo-ngakkan kepala. Tatapannya memancarkan keangker an dalam, menyambar laksana mata elang murka. Bandung Sulang sendiri sedang berdiri dengan agak sempoyongan. Dia menarik dan m engeluarkan napas guna mengatasi rasa sesak pada dadanya. Hantu Menara Berkabut pun me-lakukan hal yang sama. Tetapi baru saja dia berdiri , mendadak dia terjatuh kembali. Terkutuk!" desisnya dingin. Sepa-sang rahangnya mengeras. Hujan terus mengguyur tubuhnya. Dia merasakan ngilu pada kedua kakinya. Napasnya dirasakan sesak denga n rasa nyeri tak terkira. "Setan keparat! Aku bisa mampus bila menghadapinya lan

gsung! Kesaktiannya benar-benar tak kuba-yangkan! Rupanya selama dua puluh lima tahun, dia lelah berlatih keras untuk memperdalam ilmunya! Keparat busuk!!" Bandung Sulang berseru dingin, "Dalam hujan yang deras ini, dalam malam yang lak sana kiamat, aku akan menuntut balas kematian kedua sahabatku!" Mendengar ucapan itu, dengan mengerahkan sisa tenaga dalamnya, Hantu Menara Berkabut bangkit berdiri. Agak go yah. Dia berusaha keras untuk mempertahankan keseimbangannya. Lalu kepalanya dia ngkat, memandang angkuh. Matanya keras, tajam dan m-nusuk. "Bandung Sulang.... Jangan berharap kau dapat mengalahkanku malam ini! Aku telah bertekad untuk menumpas semua lawan-lawanku! Dan di hari yang menjelang pagi in i, kau akan mampus di tanganku!!" Habis ucapannya, Hantu Menara Berkabut memasukkan tangan kanannya ke balik pakai annya. Lalu.... Wuuusss!! Dilemparkannya sesuatu yang telah terdapat di telapak langannya. Mata tajam Bandung Sulang melihat tiga buah benda kecil terlempar. Dlpicingkan m atanya untuk mengetahui benda apakah yang telah meluncur ke arahnya itu. Mendadak saja kepalanya menegak. Mulutnya membuka lebar tatkala menge-tahui bend a apakah yang mengarah kepadanya, yang tak bergoyang ditimpa air hujan. "Lebah!!" serunya keras. * * * 2 SERENTAK Bandung Sulang mendorong kedua tangannya karena tiga benda kecil yang d itempar Hantu Menara Berkabut yang ternyata tiga ekor lebah, telah menerjang ke arahnya. Sungut-sungut kecilnya siap menghujam pada bagian-bagian tubuh Bandung Sulang. Suara dengungannya menegakkan bulu roma. Plaass!! Dua jotosan yang dilakukannya hanya mengenai tempat kosong. Karena seperti menge rti apa yang dimaui orang, ketiga ekor lebah itu menghindar dan memutarinya. "Astaga! Makhluk-makhluk kecil ini seperti tahu apa yang akan kulakukan! Hemmm.. . dua ekor berada di belakangku Seekor lagi di hadapanku! Apa yang harus kulakuk an menghadapi ketiga ekor makhluk ini?!" desisnya sambil bersiaga. Dialirkan ten aga dalamnya untuk menamengkan diri bila salah seekor lebah atau ketiga-tiganya, akan menyengatnya. "Kau telah kuberi tahu bagaimana caraku membunuh Pendekar Lontar dan Pendekar Ha rum! Kedua orang itu mampus dengan cara yang sama! Lebah-lebahku sungguh perkasa ! Karena... lebah-lebah itu telah kuberi makanan yang kucampur dengan racun yang ku ramu dari puluhan bisa ular dan cairan katak!" Bandung Sulang tak menyahuti kata-kata Hantu Menara Berkabut. Dia terus bersiaga . "Lebah-lebah itu tak menyerangku, mereka seperti menunggu. Lebah-lebah ini jelas lain dengan lebah-lebah biasa. Dalam gemuruh hujan, dengu-ngannya masih dapat k udengar. Atau... karena pendengaranku yang tajam?" Bandung Sulang masih berdiri bersiaga. Wajahnya mulai terlihat tegang. Mendadak dia menangkap suara dari belakangnya. Seketika dikibaskan tangan kanannya. Plakkk!! Seekor lebah yang menyerangnya terpukul pecah dan jatuh di tanah becek. Menyusul tangan kirinya dige-rakkan pula. Lebah yang seekor lagi sudah menyerangnya pula . Plaaakk! Lebah itu pun menyusul lebah yang pertama tadi. Bandung Sulang belum bisa merasa tenang, karena lebah yang melayang di hadapanny a sudah menerjang dengan dengungannya yang cukup keras. Dan lebah itu dapat meng hindari sampo-kannya. Bahkan berputar dan terus mencari sela untuk menghujamkan sungutnya yang telah dilumuri racun. Bandung Sulang memaki panjang pendek. "Keparat! Baru sekarang aku khawatir dengan makhluk yang bernama lebah ini!" Dan lebah yang tinggal seekor lagi itu ternyata cukup lincah. Setiap kali Bandun g Sulang mengibaskan tangan kanan kirinya, lebah itu dapat terus menghindari. Bi

la seseorang yang melihat (bukan Hantu Menara Berkabut), tentunya akan merasa he ran melihat kakek berpakaian hijau penuh tambalan itu seperti kalang kabut sendi rian. Tangan kanan kirinya terus dikibaskan, tetapi lebah itu terus dapat meng-h indarinya. "Permainan ini bukankah sangat menyenangkan?" ejekan Hantu Menara Berkabut terde ngar. Bandung Sulang tak menghiraukan ejekan itu. Dia semakin jengkel dan penasaran un tuk menghabisi lebah itu. Diam-diam, dia juga merasa khawatir, kalau-kalau Hantu Menara Berkabut membokongnya di saat dia masih disibukkan oleh lebah yang terus mencari sela menyerangnya. Tetapi kakek yang belum lama telah membunuh Pendekar Harum ini, justru melipat k edua tangannya di depan dada. Sambil menyaksikan pertunjukan yang menurutnya san gat lucu di hadapannya, dipergunakannya kesempatan itu untuk memulihkan tenagany a lagi. "Lebah-lebahku memiliki naluri yang tinggi. Kau tak akan mudah membunuhnya!" "Aku telah berhasil memusnahkan dua lebah keparatmu itu!" seru Bandung Sulang da n semakin jengkel karena terus-terus dia gagal melakukan niat-nya. Sementara Hantu Menara Berkabut terbahak-bahak, Bandung Sulang memba-tin, "Pedul i setan dengan lebah yang tinggal seekor ini! Aku masih dapat menghindarinya! He mm... lebih baik kubokong saja kakek celaka itu!" Memutuskan demikian, sambil terus berusaha untuk membunuh lebah yang terus dapat menghindar, mendadak Bandung Sulang memutar tangan kanannya ke arars Hantu Mena ra Berkabut, siap untuk melancarkan asap-asap hijaunya yang bila terkena air mak a akan berubah menjadi kantung-kantung air. Tetapi dia justru urungkan niat dan cepat menarik tangannya ke belakang. "Heiiih!" Lebah yang masih dapat menghindar itu telah menyerbu ke arah tangannya. "Terkutu k!" "Kau tak akan punya kesempatan apa-apa, Bandung Sulang! Kau seharus-nya berterim a kasih padaku, karena aku ternyata bukan orang licik yang seperti kau duga sela ma ini! Padahal aku punya banyak kesempatan untuk membunuhmu di saat kau sedang kelim-pungan!" Lagi-lagi Bandung Sulang tak menyahuti ejekan itu. Jalan satu-satunya dia memang harus membunuh lebah itu! Dengan rasa penasaran yang membakar tubuhnya, akhirnya Bandung, Sulang berhasil membunuh lebah itu! "Huh!" dengusnya pada Hantu Menara Berkabut. Tatapannya tajam. Kemarahannya tak dapat dibendung lagi. "Apakah kau masih mempunyai lebah-lebah jahanam Itu?!" Hantu Menara Berkabut tertawa keras. "Sudah tentu, sudah tentu aku masih mempunyainya! Apakah kau pikir aku sudah keh abisan 'prajurit' yang kumiliki?!" "Keluarkan lebah-lebah itu! Akan kuhancurkan mereka!!" Kakek bercambang hingga dagu itu justru menepuk tangannya berulang-ulang. Sering aiannya lebar di bibir. "Sungguh luar biasa! Kau memang memiliki kepandaian yang tinggi! Kau berhasil me mbunuh ketiga lebahku itu! Ya, ya! Pendekar Harum pun dapat melakukannya!" Bandung Sulang menggeram. Sepasang matanya menyipit dalam. Dagunya agak diangkat . "Bila keparat ini masih hidup, dia akan lebih banyak menimbulkan keonaran! Aku harus menghentikannya sekarang j uga! Manusia sepertinya hanya akan... oh!!" Mendadak sontak kepala Bandung Sulang menegak. "Aneh! Mengapa kau menjadi tegang seperti itu?!" seru Hantu Menara Berkabut penu h ejekan. "Seharusnya kau senang karena telah berhasil mematikan tiga ekor lebah kesayanganku, bukan?! Mengapa kau jadi kelihatan seperti ketakutan?! Apakah par asku mendadak berubah mengerikan?!" Bandung Sulang tak menjawab. Dia merasa aliran darahnya berubah menjadi cepat. "Terkutuk!!" makinya kemudian. "Mengapa kau harus memaki seperti itu?! Seharusnya, akulah yang memaki karena ta k bisa membunuhmu, bahkan lebah-lebahku telah mampus di tangan-mu!"

Bandung Sulang makin merasakan betapa cepatnya aliran darahnya. Malam yang terus didera hujan dan dingin yang menghujam, tak lagi dirasakannya. Karena perlahan tetapi pasti dia mulai merasakan ada hawa panas yang menjalar dari kedua telapak tangannya, terus masuk ke dalam melalui aliran darah yang bertambah cepat. Mendadak ditekap dadanya dengan tangan kanan. Tubuhnya agak limbung sedikit. "Hei, hei! Kau bukan hanya te-gang, tetapi juga kehiiangan keseim-bangan?! Ada a pa ini?!" "Terkutuk!!" bergetar suara Ban-dung Sulang sambil mengangkat kepalanya. "Kau bu kannya melumuri ra-cun pada sungut lebah itu! Tetapi pada sekujur tubuhnya!" "Luar biasa kalau kau mengeta-huinya! Ya, akan kukatakan lagi satu rahasia yang kumiliki! Memang benar yang kau katakan itu! Dan itulah yang terjadi pada Pendek ar Harum hingga nyawanya putus! Dia berhasil membunuh ketiga lebahku yang lain d engan cara memukulnya, sama seperti yang kau lakukan! Dan... hahaha... racun pad a tubuh lebah itu telah mengenai telapak tanganmu yang tentunya sedang kau rasak an sekarang! Bukankah sungguh hebat racun yang kumiliki?!" "Setan! Mengapa aku baru berpikir sekarang? Mengapa aku tak berpikir kalau sekuj ur lebah itu telah dilumuri racun?" desis Bandung Sulang dengan tubuh yang berta mbah goyah. "Aku baru sadar setelah keparat itu mengatakan kalau Pendekar Harum juga berhasil membunuh ketiga lebahnya. Tetapi... hasilnya, Pendekar Harum justr u tewas! Terkutuk! Terkutuk!" Tubuh limbung Bandung Sulang semakin kentara. Diiringi tawa kepuasan dari Hantu Menara Berkabut, dia ambruk di atas tanah becek. Tubuhnya ma kin tersiksa karena derasnya butiran hujan yang menerpa wajah dan tubuhnya. Rasa panas yang mengikatnya kian menyengat. Kulitnya mendadak terlihat memerah. Napa snya mulai tersengal-sengal. Mulutnya merapat. menahan sakit tak terkira. "Sebelumnya kau adalah manusia yang begitu perkasa... tetapi sekarang kau teiah menjadi manusia sekarat...." "Iblis!! Kau akan menyesali semua perbuatanmu ini!" balas Bandung Sulang geram, suaranya agak melemah. Tenaganya perlahan-lahan dirasakan lenyap. "Menyesali tindakanku? Astaga! Apakah aku sudah gila? Melihat musuh-musuhku tewa s di tanganku, aku harus menyesali?! Bandung Sulang! Kau telah menjelma menjadi manusia sekarat! Mungkin itulah yang menyebabkan kau sudah menjadi agak gila!" Bandung Sulang meringis menahan sakit. Dari sela-sela bibirnya mulai merembas da rah, juga hidungnya. Rasa sakit kian dirasakan tatkala darah mengalir keluar dar i kedua tellnganya. Dengan susah payah kakek berpakaian hijau penuh tambaian ini mendesis, "Malam in i... aku akan menyusul dua sahabatku yang telah kau bunuh. Di antara kami, sudah pasti tak ada yang bisa membalas perbuatanmu sekaligus... menghentikan sepak terjangmu. Te tapi... kau tak akan memiliki waktu lama untuk berbangga dengan hasil perbuatanm u ini...." "Tak memiliki waktu lama? Kau benar-benar sudah gila, Bandung Sulang! Manusia se karat yang telah berubah pikiran!" balas Hantu Menara Berkabut penuh ejekan. Bandung Sulang meringis. Bibirnya merapat dalam. Dengan mengumpulkan sisa tenaga dan menahan sakit yang kian mendera, dia berkata terpatah-patah, "Malam ini... menjelang ajalku, kau kukutuk, Orang Celaka! Kau tak akan bisa menikmati keberha silanmu ini! Karena kelak... seseorang yang merupakan darah daging dari kami ber tiga, akan datang untuk menuntut balas segala perbuatanmu!!" Kilat menyambar. Guntur menyalak. Hantu Menara Berkabut tertawa. "Aku jadi ketakutan mendengar kutukanmu itu, Manusia sekarat! Hanya saja... siap a orangnya yang merupakan darah daging di antara kalian ber-tiga?!" "Kau tahu...!" seru Bandung Sulang, "Aku memang tak pernah beristri... demikian pula Pendekar Harum. Tetapi.... Pendekar Lontar mempunyai istri dan... dia mempu nyai seorang anak!" Tawa Hantu Menara Berkabut seketika terputus. Dia menatap tajam pada Bandung Sul ang yang sekarang menyeringai. "Kau... nampak ketakutan seka-rang!" ejeknya sambil menahan sakit. Di saat dia b erkata-kata darah hitam keluar dari mulutnya, tertelan lagi sedikit yang membuat

nya tersedak. "Aku tahu... tentunya kau juga telah mendengar kabar kalau.... Dew i Lontar telah tewas tanpa diketahui siapa pembunuhnya...." "Aku tahu siapa yang telah membunuh Dewi Lontar. Dadung Bongkok. Ratu Sejuta Set an pernah menceri-takannya kepadaku ketika dia datang ke Menara Berkabut," desis kakek berjubah jingga dalam hati. Didengarnya lagi kata-kata Ban-dung Sulang, "Dan tentunya... kau juga telah mend apat kabar... kalau putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar lenyap begitu saja.... " "Ratu Sejuta Setan juga pernah menceritakannya kepadaku. Tetapi dia tidak menget ahui ke mana lenyapnya putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar itu," desis Hantu M enara Berkabut dalam hati. Bandung Sulang terus memaksakan dirinya untuk bicara, "Kutukanku akan dimulai ma lam ini... tak lama lagi, kau akan mampus di tangan putra Pendekar Lontar...." "Keparat!!" Hantu Menara Berkabut tak dapat menahan lagi kegelisahan yang mendadak muncul ya ng kemudian berubah menjadi kemarahan. Tangan kanannya dikibaskan. Dessss!! "Aaaaakhhh!!" Dalam keadaan'susah payah dan kesakitan, Bandung Sulang masih dapat berguiing me nghindari gelombang angin yang mengarah padanya. Kendati de-mikian, paha kananny a terkena pula hantam itu yang seketika terdengar suara berderak. Hantu Menara Berkabut menggeram dingin. "Kau tentunya telah menamengkan dirimu dengan tenaga dalam hingga kau tak mampus sekaligus! Tetapi aku memang tak ingin meiihatmu mampus malam ini! Kau akan men ikmati kesakitanmu dalam keadaan sekarat selama satu hari lagi! Kau nikmatilah i tu, Bandung Sulang!" "Dan kau tetaplah ingat-ingat kutukanku, Manusia Keparat!!" seru Bandung Sulang penuh kemarahan. Hantu Menara Berkabut tak menghiraukan seruan itu. Dia langsung berkelebat menin ggalkan tempat itu. Sejenak dirasakannya kegelisahannya membesar setelah menging at kalau putra Pendekar Lontar kemungkinan besar masih hidup. Di tempatnya, Bandung Sulang masih tergolek dengan kesakitan yang kian dirasakan nya. * * * 3 HUJAN Telah berhenti begitu mata-hari sepenggalah tadi. Sisa butirannya masih te rsimpan pada dedaunan. Tanah becek berada di sana-sini. Menjelang siang hari, si sa air hujan telah lenyap dari dedaunan, tetapi tanah becek masih menggenang. Seorang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun nampak sedang melangkah. L angkahnya begitu tenang. Dia tak begitu menghiraukan tanah becek yang dilangkahi nya. Kendati kulit pengalas kakinya agak basah, tetapi tidak ada tanah yang mene mpel di sana. Padahal tanah begitu becek. Pemuda yang mengenakan rompi berwarna ungu itu, tiba-tiba saja menghentikan lang kahnya. Diarahkan pandangannya pada tempat yang menarik perhatiannya. Astaga sor ot matanya sedemikian angker! "Hemm... sejak tadi kulewati tempat ini, tak ada yang porak poranda seperti ini. ..," desisnya pelan. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia melihat perbukitan yang menghijau. Pemuda ini mengangkat tangan kanannya. Sa at itu pula terlihat sisik-sisik coklat sebatas siku pada lengan kanannya itu. S isik yang sama pun terdapat pada lengan kirinya. "Hmmm... aku mencium bau amis. Amis darah...," desisnya kemudian sambil turunkan lagi tangan kanannya. Kembali pemuda ini terdiam. "Aku masih harus melacak di manakah Menara Berkabut berada, tempat di mana manus ia iblis yang telah membunuh ayahku tinggal. Ah, aku masih pula harus mencari or ang bernama Dadung Bongkok, orang yang telah membunuh ibuku. Tapi... penciumanku tetap mengatakan kalau ada bau amis darah. Nampaknya...." Memutus kata-katanya sendiri, si pemuda yang rambutnya dikuncir ekor kuda ini me ndadak menoleh ke kanan.

"Ada orang yang datang...," desisnya. Baru saja dia mendesis demikian, sepasang matanya yang angker telah menangkap satu kelebatan tubuh di kejauhan. "Seorang gadis...," desisnya lagi. Semakin sama, kelebatan bayangan putih itu se makin jelas. Seperti yang diduganya, orang yang berkelebat itu memang Seorang ga dis. Gadis berpakaian putih bersih dengan dua kuntum mawar merah pada atas dada kanan kirinya itu sudah menghentikan larinya. Tak ada desah napas yang keluar. Bahkan dadanya yang membusung itu sama sekaii tak bergerak. Sejenak sepasang mata indah milik si ga dis memandang tak berkedip pada pemuda di hadapannya. "Aneh! Baru kali ini kulihat seseorang yang memiliki sisik-sisik coklat pada ked ua tangannya sebatas siku. Wajahnya sangat tampan! Tetapi sisik-sisik itu? Duh M atanya begitu angker sekali, tetapi terkesan ramah!" kata si gadis dalam hati. Di pihak lain, pemuda bersisik itu justru tersenyum. Dia berkata sopan, "Kau nampak begitu tergesa, tetapi sekarang kau menghentikan langkah. Apakah memang ada yang bisa kubantu?" Si gadis masih memandangi si pemuda, seolah tak mendengar apa yang dikatakannya. Pemuda berompi ungu itu tersernyum. Tanpa berkata apa-apa, dia menyingkir tiga l angkah ke belakang, memberi jalan pada si gadis. Melihat apa yang dilakukan pemuda di hadapannya, gadis jelita berambut tergerai itu segera berkata, "Maafkan atas keterdiamanku itu barusan." "Tak ada persoalan apa-apa." "Sejak tadi pagi aku sudah melangkah, dan baru kali ini aku berjumpa dengan sese-orang. Sobat, barangkali kau bisa menjawab pertanyaanku." Si pemuda terdiam sejenak. Lalu katanya, "Aku bukanlah orang yang patut dijadika n sebagai tempat ber-tanya, karena aku sendiri baru pertama kali menginjakkan ka ki di tempat ini." "Suaranya sopan. Berbeda jauh dengan tatapannya yang bikin orang keder," kata si gadis dalam hati. Kemudian katanya, "Kalau begitu, mengapa kau berada di sini? Nampak-nya... di sini tak ada buah-buahan bila ternyata kau memang sedang mencar i makanan untuk pengganjal perut?" "Tidak sama sekaii. Aku hanya ingin berada di sini," sahut si pemuda sopan. "Hemm... nampaknya dia memang baru pertama kali berada di sini. Seperti diriku. Ah, ke mana aku harus mencari orang yang harus kubunuh. Guru memerintahkan begit u. Karena dia telah menunggu selama dua belas tahun. Ah, sudahlah... sebaiknya k uteruskan langkah...." Habis membatin demikian, gadis itu berkata, "Sobat... namaku Diah Harum. Guruku memberi julukan Dewi Bunga Mawar. Siapakah namamu dan apakah julukanmu?" Si pemuda tak segera menjawab. Matanya yang memancarkan sinar angker itu memperh atikan si gadis di hadapannya. "Dua belas tahun aku menghuni Lembah Naga, belum sekaii pun berjumpa dengan sese orang kecuali Guru. Dan sekarang... aku berjumpa dengan se-orang gadis yang keca ntikannya melebihi kecantikan seorang bida-dari...." "Sobat! Sejak tadi kau banyak bicara, berarti kau tidak tuli. Tetapi sekarang, k au terdiam seperti itu?!" Kata-kata si gadis membuat si pemuda mengangkat kepala nya. "Namaku Boma Paksi... julukanku Raja Naga...." "Raja Naga?" "Begitulah Guru memberikannya kepadaku." "Hemmm... baiklah! Boma,.. kita berpisah di sini!" Si pemuda bersisik yang terny ata adalah Boma Paksi murid Dewa Naga, menganggukkan kepalanya. Kejap berikutnya, Diah Harum alias Dewi Bunga Mawar segera ber-kelebat meninggal kan tempat itu. Boma Paksi memperhatikan keper-gian si gadis sampai menghilang dari pandangannya . "Luar biasa, sungguh luar biasa! Kecantikannya penuh pesona tiada tara! Ah, bila saja aku tidak penasaran ingin mengetahui dari mana asal bau darah ini, sudah t entu aku akan banyak bertanya tentang dirinya. Nampaknya Diah Harum sedang mencari sesuatu atau seseorang mengingat sikapnya yang tergesa ."

Kejap lain Raja Naga sudah menyusuri tempat itu. Tangan kanannya sebatas siku ya ng penuh sisik coklat kembali diangkat. "Menurut ilmu "Rabaan Naga', bau amis itu berasal dari arah barat. Aku harus ke sana...." Dengan berhati-hati pemuda tampan berompi ungu ini terus melangkah, sampai kemud ian dia menemukan seorang kakek yang sedang terbaring dengan darah yang keluar d ari sekujur pori-porinya. "Astaga!" seru Raja Naga ter-kejut. Segera dia menghampiri si kakek yang bukan l ain Bandung Sulang. Bandung Sulang masih dalam ke-adaan sekarat. Perlahan-lahan kakek ini membuka ke dua matanya takkala merasa ada tangan yang meraba kening-nya. Sejenak Bandung Sulang terkejut melihat tangan yang meraba keningnya. "Astaga! Dewa Naga... mengapa... mengapa kau jadi... sedemikian muda? Mengapa si sik-sisik hijaumu telah berubah menjadi coklat...." Ucapan si kakek membuat kening Raja Naga berkerut. "Hemm... dari kata-katanya, jelas kalau kakek sekarat ini mengenai guruku. Dia menyangka aku adalah Dewa Naga," katanya dalam hati. Lalu berkata, " Jangan banyak bicara dulu.... Kau dalam keadaan terluka parah, Kek...." "Dewa Naga... suaramu mengapa berubah? Kau... apakah kau... sudah menjadi... ora ng suci sekarang?" suara Bandung Sulang begitu lambat. Lalu kakek ini terbatuk-b atuk. Darah keluar dari mulutnya. Raja Naga mendesis pelan, "Aku bukan Dewa Naga, Kek. Aku adalah muridnya...." "Muridnya? Gila! Gila! Bagaimana mungkin... dia... dia bisa mau menu-runkan selu ruh... ilmu yang dimili-kinya?" Raja Naga tak menghiraukan per-tanyaan bernada sinis itu. Bandung Sulang terbatu k-batuk lagi. Dengan hati-hati Raja Naga meme-gang dada si kakek. Lalu dialirkan tenaga dalamn ya. Tetapi baru sekejap dia melakukan, si kakek sudah geleng-gelengkan kepala. "Anak muda... dari hawa panas yang kurasakan... kau nampaknya... sedang... sedan g mencoba mengobati-ku... huk huk huk...." "Jangan banyak bicara dulu, Kek..." "Kuucapkan... terima kasih... huk huk huk... tapi ketahuilah... usahamu ini... akan sia-sia belaka...." Boma Paksi tak menghiraukan kata-kata si kakek, dia terus mengalirkan tenaga dal amnya dengan hati bertanya-tanya, siapakah gerangan orang yang telah mencelakaka n kakek ini? Tetapi justru dia yang tercekat, karena darah yang mengalir dari seluruh pori-po ri yang ada pada tubuh si kakek, semakin deras. Melihat hal itu, seketika Raja N aga menghentikan tindakannya. "Kek! Mengapa jadi demikian?" Aku... aku telah keracunan... sulit... sulit sikal i.., mengobati keracunan-ku... kecuali... kecuali Dewa.... Segala... Obat...." Sejenak kepala Boma Paksi menegak. "Dewa Segala Obat? Aku juga harus mencarinya untuk mengetahui bagaimana caranya Hantu Menara Berkabut membunuh ayahku. Dan kakek ini? Apa yang bisa kulakukan un tuknya? Mengalirkan tenaga dalam guna menambah kekuatannya, malah justru mencela kakannya...." Lamat-lamat dia melihat si kakek yang sesekali tersedak berkata,. "Anak muda..ak u tak tahu... apakah... apakah aku tepat mengadukan hal... ini... padamu.... Ket ahuilah... aku... aku... telah mengutuk manusia... keparat... yang telah... menc elakakanku... huk huk huk.... Dia...:dia akan... mampus di tangan... putra.. Pendekar Lon..." Belum habis kata-katanya, Bandung Sulang terbatuk-batuk keras. Tersedak beberapa kali. Darah kental hitam banyak keluar. "Tak usah kau meneruskan ucapanmu sekarang! Kau..." Ganti Boma Paksi yang memutuskan kata-katanya. Karena dilihatnya kepala si kakek terkulai ke samping kanan. Melihat hal itu, pemuda dari Lembah Naga ini menarik napas panjang. "Dia tak kuasa menahan luka yang dideritanya.... Siapa sebenarnya si kakek ini? Tadi dia mengatakan... kalau dia... telah mengutuk si pembunuh yang akan tewas d i tangan putra seorang pendekar. Sayang, dia tak bisa meneruskan ucapannya. Bahk

an, dia juga belum mengatakan siapa yang telah mencelakakannya...." "Bagus! Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab! Pemuda bersisik siapakah kau adanya?!" bentakan itu tiba-tiba terdengar dari samping kanan. Boma Paksi alias Raja Naga segera mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan dia berdi ri. Ditatapnya perempuan setengah baya berkonde mencuat yang sedang membuka mata penuh amarah itu dengan sek-sama. Sadar akan arti tatapan itu, Boma Paksi seger a tersenyum. Lalu berkata, "Dari ucapanmu, kau menyangka kalau akulah yang telah melakukan pe mbunuhan ini! Kau salah besar!" "Tutup mulutmu!" bentak si nenek berpakaian batik dengan suara keras. Dia akan b ersuara lagi, tetapi mendadak saja dikatupkan. "Gila! Tatapannya itu begitu angk er mengerikan! Lebih gila lagi jantungku menjadi lebih cepat berdetak! Astaga! S iapakah pemuda berompi ungu ini?!" Murid Dewa Naga berkata, "Perempuan berkonde... apa yang kau lihat ini jauh berb eda dengan sangkaanmu! Aku memang datang lebih dulu darimu di sini. Bahkan aku s empat berbicara walaupun menurutku tak berarti banyak dengan kakek yang di saat kutemukan masih hidup dalam keadaan sekarat! Dan bukan aku yang telah membunuhny a!" "Di sini tak ada orang lain kecuali kau! Jadi, tak ada gunanya kau putar ucapan dan kenyataan!" "Sekaii lagi kukatakan, aku bukan pembunuhnya!" Perempuan setengah baya berkonde mencuat,Ini terdiam dengan dada yang entah kenapa berdebar. "Astaga! Suaranya begitu dingin dan angker. Ada satu kekuatan yang meresap dan m embara dalam suaranya. Siapakah pemuda ini? Sosoknya begitu mengerikan!" Habis membatin demikian, si perempuan berkata, "Aku tak peduli siapa kau adanya! Tetapi aku hanya minta satu pengakuan dari mulutmu!" "Apa yang kukatakan tadi adalah sebuah pengakuan tentang kebenaran!" "Keparat! Kau benar-benar hendak kuhajar!" Belum lagi habis terdengar bentakannya, tangan kanan si perempuan berkonde mencu at ini sudah didorong ke depan. Menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi ya ng diliputi asap hitam ke arah si pemuda. Raja Naga menjerengkan matanya. Tanpa berkedip dia mendehem. "Heeemm!" Blaaaarrr!! Gelombang angin yang menggebrak ke arahnya itu mendadak saja putus di tengah Jal an, bermuncratan ke sana kemari. Perempuan tua berkonde mencuat terbelalak. "Gila!" serunya tertahan. Untuk beberapa saat dia tak melakukan tindakan apa-apa . "Nenek berkonde mencuat! Aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi! Sebaiknya, kau terima apa yang kukatakan! Juga lebih baik, kita menguburkan mayat kakek yan g nampaknya kau kenal ini!" SI nenek masih terbelalak, seolah tak mendengar kata-kata si pemuda. "Benar-benar gila! Tak kulihat sama sekaii dia bergerak atau menghindar! Dia han ya mendehem saja! Tapi, seranganku putus di tengah jalan! Gila! Tenaga apa yang telah memutuskan seranganku itu?!" seru si perempuan dalam hati. Lalu berseru, " Pemuda bersisik! Siapakah kau sebenarnya?!" "Namaku Boma Paksi!" "Apa julukanmu?!" "Untuk saat ini, sebaiknya kau mengenalku dengan nama asliku. Tak ada yang kurah asiakan sama sekali! Dan kuharap, kau tak salah sangka dengan tindakanku ini! Ne nek berkonde... aku sudah memperkenalkan diriku, apakah kau merasa rugi bila mem perkenalkan diri juga?" Perempuan setengah baya berpa-kaian batik itu memandang pemuda di hadapannya dal am-dalam. Keheranannya karena serangannya begitu mudah dipa-tahkan si pemuda, ma sih dalam membekas. "Kau boleh mengenalku dengan sebutan Nenek Konde Satu! Aku datang dari tempat ya ng jauh dengan maksud mengunjungi sobatku yang kini telah menjadi mayat, Bandung Sulang!"

"Bila kau masih penasaran hendak mengetahui siapa pembunuhnya, untuk saat ini ak u tak bisa menjawab! Nenek Konde Satu! Aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan! Sebaiknya, kita kuburk an mayat sobatmu ini!" Tanpa menunggu jawaban Nenek Konde Satu, pemuda dari Lembah Naga ini segera meng ambil seb-tang ranting. Dengan ranting itulah dia menggali tanah becek yang dala m waktu tiga kejapan mata sudah membentuk sebuah lubang. Lalu mengubur mayat Bandung Sulang. Nenek Konde Satu hanya memper-hatikan. Dia masih tak percaya bagaimana mudahnya pemuda itu memu-tuskan serangannya. "Lengannya sebatas siku penuh sisik coklat. Apakah... apakah dia ada hubungannya dengan Dewa Naga? Seingatku, hanya Dewa Nagalah satu-satunya manusia yang memil iki sisik, tetapi warna hijau! Dan tatapan mata pemuda itu... gila! Benar-benar angker! Tetapi jelas kalau dia memiliki kelembutan pula!" Raja Naga mengangkat kepalanya. "Sebelum kita berpisah, aku hen-dak bertanya padamu! Tahukah kau di mana Menara Berkabut berada?!" Kepala Nenek Konde Satu menegak. Matanya tak berkedip. Masih dalam posisi sepert i itu dia berkata, "Me-ngapa kau mencari Menara Berkabut? Ada urusan apa kau den gan manusia keji yang berdiam di sana?!" "Itu urusan pribadiku! Bila kau bisa mengatakan di mana Menara Berkabut berada, aku tidak akan pernah melupakan budi baikmu! Kelak... pasti akan kubalas!" "Suaranya berubah dingin dan dalam. Tatapannya makin angker. Ah, pemuda ini namp aknya memang punya urusan yang tak bisa dilepaskan! Tentunya... dengan Hantu Men ara Berkabut!" kata Nenek Konde Satu dalam hati. Kemudian berkata, "Sungguh kebetulan sekali kau bertanya soal itu. Karena, aku s endiri juga hendak menuju ke sana!" "Berarti... kau tahu di mana Menara Berkabut berada?" tanya si pemuda terburu. Perempuan tua berkonde mencuat ini menggelengkan kepala "Aku datang mengunjungi Bandung Sulang, untuk menanyakan dimanakah Menara Berkab ut berada? Tapi sayang, dia sudah keburu mampus!" Nenek Konde Satu melihat pancaran angker si pemuda agak meredup. Kendati demikia n tak mengurangi kengerian siapa pun yang melihatnya. "Ya, sungguh sayang...," kata Raja Naga pelan sambil mengangguk. Kemudian sambun gnya, "Kita sama-sama punya urusan di Menara Berkabut, sebaiknya.. kita cari di mana Menara Berkabut itu berada!" Habis ucapannya, pemuda bersisik ini sudah berkelebat cepat. Rambut panjangnya y ang diikat ekor kuda itu berlompatan. Wuusss!! Nenek Konde Satu yang berdiri agak jauh dari sana, tersentak karena merasa desir an angin yang keluar di saat si pemuda berkeiebat. "Luar biasa! Siapa pemuda itu sebenarnya?! Dia merahasiakan julu-kannya, tentuny a untuk sembunyikan sesuatu! Gila! Sungguh gila!" desisnya terheran dan terkagum . Lalu digeleng-gelengkan kepalanya. "Pemuda itu juga hendak mencari Menara Berk abut! Jelas dia punya persoalan dengan Hantu Menara Berkabut! Bandung Sulang tel ah tiada! Sulit mencari tempat bertanya lagi! Mungkin, tinggal Dewa Naga dan Dew a Segala Obat yang mengetahui tempat itu! Tapi... mencari keduanya sama saja den gan mencari jarum di tumpukan jerami!" Perempuan tua berkonde mencuat ini masih menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya t erlihat agak jengkel. Tak lama kemudian, dia segera meninggalkan Bukit Gulungan. *** 4 MATAHARI kembali memancarkan sinar beningnya di awal perjalanannya. Warna keemas an terpantul indah pada sebuah sungai. Di sekeliling sungai yang mengalirkan air jernih dan tak memperdengarkan suara bergemuruh, tumbuh pepohonan yang sebagian akarnya banyak masuk ke dalam air. Ranggasan semak belukar setinggi dada menghi asi tempat itu. Lelaki bertubuh pendek, gemuk kekar yang mengenakan pakaian warna biru terbuka d i bagian dada, hingga tak bisa menutupi perut gemuknya, hanya berdiri membelakan

gi sungai. Tak ada suara yang keluar dari mulut lelaki gemuk itu. Karena lemak y ang berlebihan di setiap inci tubuhnya, tak terlihat adanya kerutan atau keriput , padahal usia si kakek sudah mencapai tujuh puluh dua tahun. Sebuah tombak berw arna biru tergenggam di tangan kanannya yang gempal, lebih tinggi dari tubuhnya. "Sebelum matahari terbit, aku sudah berada di sini. Tetapi, kakek berambut jaran g itu belum juga datang. Apakah dia sudah melupakan pertemuan ini? Atau, justru aku yang salah tempat itu?" kakek bertubuh gempal ini memandang sekelilingnya. " Tldak! Aku tidak salah tempat! Tempat inilah di mana terakhir kalinya aku bertemu dengan kakek berambut jarang itu!" Belum habis kata-kata si kakek bertubuh gempal, satu suara telah terdengar, "Dew a Tombak! Maafkan keterlambatanku!" Dewa Tombak segera memutar kepala ke samping kanan. Dia langsung menyeringai beg itu melihat satu sosok tubuh berpakaian compang-camping telah berdiri sejarak de lapan langkah. "Kau memang selalu terlambat! Dan aku merasa pasti, alasanmu lagi-lagi tentunya karena kau harus mengobati pasienmu!" Kakek berpakaian ungu compang camping itu mengangguk-anggukkan kepa-lanya yang j arang ditumbuhi rambut. Di pinggangnya yang kurus, menyantel sebuah pundi kecil. Sambil berjalan si kakek berkata, "Dua belas tahun sudah berlalu, usia kita kini sudah bertambah sebanyak dua belas tahun! Tetapi kau tetap tak jauh berubah, De wa Tombak!" "Selain keahlianmu dalam bermacam penyakit dan penemuanmu dalam segala obat, kau rupanya pandai memuji juga! Dewa Segala Obat! Apakah kau belum juga menemukan j ejak di manakah putra mendiang Pendekar Lontar berada?" Dewa Segala Obat menggeleng. "Dua belas tahun aku mencoba melacak jejaknya, tetapi gagal kutemukan! Bagaimana dengan kau sendiri?!" "Aku juga mengalami nasib yang sama! Selama itu pula aku tak menjumpai di manaka h putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar berada!" "Sampai saat ini, aku masih menyesal, mengapa aku tak segera mengatakan pada Dew i Lontar, siapakah orang yang telah membunuh suaminya!" "Kau juga belum mengatakannya kepadaku?! Sekarang, apakah kau mau membuka rahasi a yang selama dua belas tahun kau simpan?!" Dewa Segala Obat mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya! Mungkin sudah terlambat, tetapi tak ada salahnya bila kukatakan sekarang!" "Katakan!" "Seperti hasil yang kudapatkan setelah memeriksa tubuh Pendekar Lontar dua belas tahun yang lalu. aku berkesimpulan, kalau yang membunuhnya adalah Hantu Menara Berkabut!" Kepala Dewa Tombak menegak. "Hantu Menara Berkabut?!" "Demikianlah kesimpulanku!" Dewa Tombak tak segera membuka mulut. Kening kakek gemuk ini berkerut. Lamat-lam at seraya meman-dangi Dewa Segala Obat, Dewa Tombak berkata, "Aku ingat kalau Pe ndekar Lontar pernah mengalahkan manusia itu! Aku juga Ingat, Hantu Menara Berkabut pun pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang dan Pendekar Harum! Bagaimana kau bisa be rkesimpulan demikian?!" "Racun yang mengakibatkan kema-tian Pendekar Lontar, merupakan gabungan dari pul uhan bisa ular mematikan! Dan ular-ular itu hanya bisa didapatkan di sekitar Men ara Berkabut!" Kedua kakek ini tak ada yang bersuara. Air sungai tetap mengalir jernih. Perlaha n-lahan matahari pun semakin naik. Sinarnya tak secemerlang tadi, karena sudah t erdapat sengatan yang cukup panas. "Seperti janjiku pada Dewi Lontar, setelah penguburanjenazah sua-minya, aku akan datang lagi menjumpainya. Tetapi yang kutemukan, hanyalah jenazahnya belaka sem entara putranya sudah tidak ada di tempat. Setelah itu kau datang dan menanyakan sebab-sebab kematian Dewi Lontar yang tak bisa kujawab. Dewa Segala Obat, sampa i hari ini, aku juga masih dibingungkan dengan kematian Dewi Lontar. Siapakah ya ng telah membunuh perempuan perkasa itu?"

Dewa Segala Obat menggelengkan kepalanya. "Saat ini yang terbaik menurutku, kita harus mencari di manakah putra mereka yang bernama Boma Paksi! Mungkin agak sulit untuk menemu-kannya!" "Bagaimana bila ternyata bocah itu juga telah tewas di tangan si pembunuh?" "Tidak! Aku merasa pasti dia belum mati" "Karena kita tak menemukan mayatnya selain mayat Dewi Lontar?" "Kira-kira demikian!" "Bagaimana kalau ternyata si pembunuh membawanya dari tempat itu dan membunuhnya di tempat yang tersembunyi? Mengubur atau membuang mayatnya ke dasar jurang, sa ngat sulit kita temukan!" Kata-kata Dewa Tombak membuat kakek berpakaian compang-camping itu terdiam. "Apa yang kau katakan memang benar! Yah... kalau memang demikian, berarti habisl ah penerus dari Pendekar Lontar dan Dewi Lontar!" Kembali tak ada yang bersuara. Angin pagi yang sejuk telah berubah menjadi sedik it menyengat, karena sinar matahari yang sudah sepenggalah lewat, telah dapat me nerobos rangkaian pepohonan di tepi sungai sana. Tiba-tiba Dewa Segala Obat berkata, "Bagaimana dengan satu kemungkinan lain?" "Kemungkinan apa?" "Menurutmu.... Dewa Naga juga berada di sana." "Ya! Dia memang berada di sana, tetapi dia telah meninggalkan tempat itu dengan paras kecewa! Tentunya ada yang membuatnya kecewa!" "Kau tahu apa sebabnya?" "Dewa Naga menghendaki Boma Paksi menjadi muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolakny a." "Mengapa?" "Aku tak bertanya lebih jauh dengannya. Hanya yang bisa kuduga, karena saat itu Dewi Lontar masih berada dalam kesedihannya. Tentunya dia akan makin sedih bila berpisah dengan putranya. Kau tahu, bila saat itu Pendekar Lontar tidak meningga l, mungkin Dewi Lontar akan mengizinkan anaknya berguru atau mewarisi seluruh il mu Dewa Naga. Dan menurutku...." Dewa Segala Obat memutus kata-katanya sendiri. Sepasang mata bulatnya memandang Dewa Segala Obat. Yang dipandang seperti menger ti apa yang terpancar dari pantiangan itu. Dewa Tombak berkata, "Maksud-mu.... Dewa Naga yang telah membawa putra mereka?" "Itulah satu-satunya jawaban yang dapat diterima pula!" "Tetapi dia sudah meninggalkan tempat penuh kekecewaan." "Kita tahu, Kakang Segala Jaka adalah orang yang angin-anginan. Dia bisa tiba-ti ba marah dan bisa bersikap lebih konyol dari siapa pun. Tak mustahil kalau kemud ian dia datang kembali, kali ini dengan maksud untuk mengambil langsung tanpa pe rmisi putra Dewi Lontar." Kata-kata Dewa Tombak membuat Dewa Segala Obat terdiam. Dan masing-masing orang untuk beberapa lama tak ada yang buka suara. Sampai Dewa Se-gala Obat berkata la gi, "Kalau begitu... bagaimana bila kuusulkan sebaiknya kita segera mendatangi Menar a Berkabut?" "Usul yang bagus! Tetapi sebelum-nya, aku ingin menjumpai Bandung Sulang maupun Pendekar Harum! Mereka pernah mengalahkan Hantu Menara Berkabut! Bila memang Han tu Menara Berkabut datang untuk membalas dendam, keduanya pun tak akan luput dar i dendam yang merejam dirinya!" Dewa Segala Obat mengangguk. "Kalau begitu... kau pergilah menjumpai Bandung Sulang dan aku menjumpai Pendeka r Harum! Kau ingat tempat di mana dulu kita pernah bertemu?" "Maksudmu... di Gunung Menja-ngan?" "Ya! Kita akan berjumpa di sana sepuluh hari di muka!" Setelah berbicara beberapa saat, kedua tokoh itu pun segera berkelebat ke arah y ang berbeda. Siang terus beranjak menuju senja. * * * 5 MENCARI sesuatu atau seseorang yang belum diketahui tempatnya maupun rupanya mem ang laksana mencari jarum di tumpukan Jerami. Sudah tiga hari Raja Naga meningga

lkan Lembah Naga untuk mencari pembunuh ayah dan ibunya. Dan di hari yang keempa t ini, dia belum juga menemukan jejak yang berarti. "Nenek Konde Satu yang pernah kujumpai beberapa hari lalu, sebenarnya punya tuju an yang sama denganku, mencari Hantu Menara Berkabut yang berdiam di Menara Berk abut. Seharusnya aku bisa melacak tempat itu bersama-sama dengannya. Tstapi, ah. .. masih banyak yang harus kupercimbangkan ketimbang melangkah bersamanya. Masih untung dia mau mengerti kalau bukan akulah yang telah membunuh sahabatnya yang bernama Bandung Sulang," kata pemuda berusia tujuh belas tahun ini. Pancaran matanya yang dingin dan angker diedarkan ke sekeliling. Memandang ranggasan semak dan jalan setapak yang tumpang tindih. Untuk beberapa saat Raja Naga terdiam. Otaknya diputar untuk menentukan jalan ma na yang harus ditempuh. Tetapi karena tak tahu harus ke mana, dia lagi-lagi mera sa buntu. "Huh! Sesulit apa pun, aku harus menemukan Hantu Menara Berkabut dan Dadung Bong kok! Kedua manusia itulah yang menjadi musuh utamaku saat ini!" Tiba-tiba Raja Naga menoleh ke kiri. Dia melihat dua sosok tubuh berkelebat cepa t. "Hei! Kupikir hanya aku seorang diri di tempat sunyi ini. Tetapi ada dua orang b erkelebat yang sempat kulihat jubah masing-masing berwarna hijau" Belum lagi Boma Paksi memikirkan lebih jauh tentang siapa kedua orang yang dilih atnya, dia kembali melihat dua sosok tubuh berkelebat cepat ke arah kedua orang yang berkelebat tadi. Bahkan dia sempat mendengar salah seorang yang menyusul itu berseru, "Ke mana pun kalian pergi, kalian tak akan pernah luput dari kematian!" Ditempatnya Raja Naga terdiam dengan kening berkerut. "Astaga! Ada apa ini? Jelas sekali kalau kedua orang yang berkelebat betakangan itu sedang menyusul dua orang berjubah hijau yang berkelebat lebih dulu! Hemm... tentunya telah terjadi sesuatu di antara mereka! Sebaiknya aku melihat apa yang sebenarnya terjadi!" Memutuskan demikian, pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik-sis ik coklat ini sudah ber-kelebat. Dalam waktu singkat dia dapat melihat bayangan dua orang yang mengejar dua orang berjubah hijau. "Jarak telah diperpendek! Dua orang pengejar itu nampaknya tak lama lagi akan da pat mengejar sekaligus melampaui kedua orang berjubah hijau itu!" desisnya. Apa yang diperkirakan Raja Naga memang benar, karena mendadak saja dua pengejar itu telah melenting ke udara, berputar dua kali dan berdiri sejarak sepuluh lang kah dari hadapan dua orang berjubah hijau yang berlari di depan. Begitu kedua ka ki masing-masing orang hinggap di tanah, mereka langsuhg berbalik dan memasang w ajah angker. Salah seorang dari pengejarnya yang berkepala botak di tengah tetapi rambut lain nya panjang tergerai ke belakang, sudah memperlihatkan seri-ngaiannya. "Tak ada lagi tempat untuk melarikan diri selain menuju ke neraka! Dua Serangkai Jubah Hijau... hari ini juga kalian akan mampus!!" Dua kakek berpakaian kuning yang mengenakan jubah hijau itu perlahan-lahan mundur dua tindak ke belakang. Wajah m asing-masing orang yang serupa satu sama lain, pucat pasi. Yang pada keningnya t erdapat sebuah tahi lalat yang dapat dijadikan sebagai pembeda dari yang seorang lagi, nampak sedang menekap dadanya kuat-kuat. Dari bibirnya masih mengalir dar ah segar. Di pihak lain yang seorang lagi hampir-hampir tak bisa menguasai keseimbangannya . Yang ada tahi lalat di keningnya berbisik, "Sema Kuriang... bertahan-lah... kita jangan sampai mampus di tangan mereka...." Sema Kuriang meringis nyeri. "Gala Kuriang, kita tak mungkin bisa menghadapi keduanya...." "Peduli setan! Sebelum kita menemukan putra Pendekar Lontar, kita jangan mati du lu!" Di balik ranggasan semak, Raja Naga yang memutuskan untuk bersembunyi mengerutka n keningnya mendengar ucapan keduanya. Dia mendengarkan lagi. "Tetapi rasanya... kita tak akan pernah menemukan putra mendiang Pendekar Lontar

. Mungkin... saat ini dia sudah bersama Dewa Segala Obat atau Dewa Tombak...." Sebelum Sema Kuriang menyahut, kakek berkepala botak di.tengah tadi sudah mendes is dingin, "Dendam lama telah terkuak! Dua belas tahun lalu kami gagal membunuh kalian karena seseorang tak dikenal telah menye-lamatkan kalian! Tetapi sekarang, kalian tak akan bisa m emohon bernapas lebih lama...." Dua Serangkai Jubah Hijau tak ada yang membuka mulut. Mereka sama-sama menahan s akit dan berusaha untuk mengalirkan tenaga dalam. Kendati keadaan mereka sudah t ak memungkinkan, tetapi keduanya tak ingin mati lebih dulu. Lelaki berjubah hitam berkepala plontos, dan terdapat tanda matahari tepat di ub un-ubunnya, angkat bicara, "Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus berlama-lama la gi?! Membunuh keduanya adalah pekerjaan yang harus kita lakukan! Agar mereka men gerti siapa kita adanya?!" Kakek berjenggot dikepang itu melirik pada temannya. Lalu sambil mengarahkan kem bali pandangannya pada Dua Serangkai Jubah Hijau yang sudah memucat dia berkata dingin, "Kau benar, Iblis Telapak Darah. Kita bunuh keduanya!!" Habis ucapannya, Iblis Penghancur Raga segera menerjang ke depan, ke arah Sema K uriang. Di pihak lain, Iblis Telapak Darah melancarkan serangan ganasnya pada Ga la Kuriang (Teman-teman pembaca bisa membaca episode pertama dari serial Raja Naga; "Tapak Dewa Naga", untuk mengetahui siapa kah orang-orang ini). Kendati mereka telah terluka parah, Dua Serangkai Jubah Hijau masih berusaha unt uk menyelamatkan diri. Iblis Penghancur Raga mendengus begitu melihat Sema Kuriang berhasil memutuskan serangannya. Tanpa surutkan kecepatannya tiba-tiba ditepukkan ke-dua tangannya. Blaaaarrr!! Wrrrrr!! Letupan terdengar, menyusul meng-gebraknya hamparan angin bergemuruh. Melihat ha l itu, wajah Sema Kuriang memucat. Lintang pukang dia menghin-dar! ganasnya sera ngan lawan. Jlgaaaarrr!! Sebatang pohon langsung hangus terkena gelombang angin Iblis Penghan-cur Raga. K ejadian itu membuat kakek berompi biru ini menggeram sengit. "Kau masih dapat menghindar rupanya!" Terhuyung-huyung Sema Kuriang menyahut, "Ilmu Penghancur Ragamu tak memiliki kek uatan berarti!" "Terkutuk! Kukirim nyawamu ke akhirat!!" Di pihak lain lelaki berkepala plontos dan berjubah hitam itu sudah mengangkat k edua telapak tangannya tinggi-tinggi saat menerjang. Lalu secara tiba-tiba diturunkan kedua telapak tangannya dengan cara menyentak! Angin dibaluri asap merah melesat ke arah Gala Kuriang yang memekik tertahan. De ngan sisa tenaganya dia berputar ke belakang menghindari serangan lawan. Kedua kakinya goyah begitu menginjak tanah kembali. Dia hampir saja tak bisa men gendalikan keseim-bangannya. Dengan kekerasan hati dia berhasil mengimbangkan la gi kedudu-kannya. Segera dagunya diangkat ke arah Iblis Telapak Darah. Saat itu juga dilihatnya kedua telapak tangan kakek berkepala plontos memancarkan sinar w arna merah. Lalu terlihat tetesan darah dari sana. Angker dan menyebarkan bau bu suk. "Celaka! Dia sudah mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah'nya! Okh! Rasanya akan sulit untuk bertahan lebih lama! Celaka! Betul-betul celaka! Mengapa kami harus berju mpa dengan dua jahanam ini?!" serunya dalam hati. Belum lagi dia memutuskan untuk melakukan tindakan apa pun guna mengatasi serang an lawan, Iblis Telapak Darah sudah menerjang. Kedua telapak tangannya yang mene teskan darah, didorong ke atas. Sinar merah bergelombang muncrat Memperdengarkan suara berdenging menggiriskan. Lalu laksana anak panah muncratan sinar merah yang masih meneteska n darah mendadak meluncur ke arahnya, berkelok-kelok dengan suara berdenging-den ging. Jgaaarrr!!

Tanah dimana tadi Gala Kuriang berdiri, langsung retak lebar. Belum lagi Gala Ku riang yang berhasil menghindarkan serangan lawan berdiri tegak, sinar merah yang meneteskan darah itu mendadak muncrat kembali ke udara. Dua Serangkai Jubah Hijau memang harus mati-matian mempertahankan selembar nyawa milik mereka. Tetapi sekeras apa pun yang keduanya lakukan, mereka tetap tak ak an bisa menghindari serangan-serangan kedua lawannya. Karena luka dalam yang mer eka derita semakin menyakitkan! Saat ini iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah sudah meluncur dengan ilm u masing-masing, siap mengantar Dua Serangkai Jubah Hijau ke akhirat! Wajah Dua Serangkai Jubah Hijau sendiri sudah memucat laksana mayat. Dada mereka turun nai k dengan napas memburu. Butiran keringat sebesar jagung sudah turun membasahi wa jah masing-masing orang. Namun mendadak saja satu sosok tubuh mencelat dari balik ranggasan semak. Tak ad a desir angin apa-apa di saat sosok tubuh itu melesat. Tak ada tanda-tanda ranggasan semak di mana tadi d ilewati oleh sosok tubuh itu bergerak. Kejap kemudian.... Jlegaaarr!! Blaaaarrrl! Dua serangan ganas dari Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah putus di t engah jalan. Benturan dahsyat itu membuat tanah terbongkar ke udara dan beberapa buah pohon tumbang. Tempat itu laksana dilanda topan dahsyat. Untuk beberapa sa at pandangan masing-masing orang ter-halang. Tatkala tanah-tanah itu surut kembali, terlihat sosok Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah telah mundur sejarak lima langkah. Masing-masing orang saat ini sedang berpandangan dengan wajah terhenyak. Lalu tanpa sadar keduanya memand angi sekujur tubuh mereka. Saat lain keduanya sudah mengangkat kepala ke depan. Mereka melihat seorang pemu da sudah berdiri di tengah-tengah Dua Serangkai Jubah Hijau yang juga sedang mem andangi pemuda yang menolong mereka. Tadi begitu mendengar benturan dahsyat, ked uanya merasakan kalau punggung mereka ditarik ke belakang oleh seseorang. Dan se karang, orang yang ternyata seorang pemuda itu sudah berdiri di tengah-tengah mereka. "Astaga! Siapakah pemuda ini? Wajahnya begitu tampan, tetapi kedua lengannya seb atas siku bersisik coklat. Tadi... astaga! Dia memutuskan dua ilmu mengerikan da ri Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah sekaligus! Dan sekarang dia tak kurang suatu apa," desis Sema Kuriang dalam hati. "Wajah pemuda ini sebenarnya tampan, tetapi tatapannya... sangat dingin dan meng erikan. Bibirnya tersenyum, memperlihatkan kalau dia sebenarnya seseorang yang p enuh canda. Ah, siapakah pemuda yang secara tiba-tiba muncul dan menolong kami I ni?" batin Gala Kuriang. Di pihak lain Iblis Penghancur Raga sudah berseru setelah hilang keterkejutannya , "Pemuda bersisik mau mampus! Sebutkan siapa kau adanya sebelum kubuat lumat tu buhmu!!" Pemuda yang tadi melompat dan mematahkan serangan Iblis Penghancur Raga dan Ibli s Telapak Darah hanya tersenyum. Kendati demikian, tatapan-nya yang angker cukup menyiutkan hati yang melihatnya. "Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini! Dan sungguh kebetulan lagi kalau aku tak pernah menyukai tindakan semenamena ini!". "Tatapannya itu... seperti mengandung kekuatan magis yang dapat merontokkan nyal i lawan! Keparat! Siapa pun dia adanya, aku tak peduli! Dia telah masuk kalangan dan telah mengacaukan semua niatku!" geram Iblis Penghancur Raga dalam hati. De ngan angkuh diangkat dagunya dan berseru, "Kau tak tahu urusan dan telah lancang mencampuri! Apakah salah bila aku menghajar sampai mampus?!" "Urusan salah atau tidak, rasanya tak ada yang bisa tentukan saat ini! Yang past i, aku menghehdaki kalian berdamai dan menghentikan pertikaian ini" "Pemuda celaka! Sikapmu seperti kau sudah berada di atas langit! Sebutkan Juluka n?!" geram Iblis Penghancur Raga dengan tubuh menggigil karena amarah "Aku tidak tahu apakah julukanku ini sudah kau dengar atau belum! Tetapi tak ada

salahnya bila kau mendengarnya! Guruku memberiku julukan Raja Naga...." "Raja Naga?" ulang Iblis Penghancur Raga dalam hati. Matanya memandang tak berke dip pada si pemuda yang masih tersenyum. "Sudah lama aku malang melintang di rim ba persilatan ini bersama Iblis Telapak Darah, tetapi aku belum pernah mendengar julukan angker itu. Sama angker dengan tatapannya yang memerah." Di pihak lain Iblis Telapak Darah yang juga gusar karena niatnya untuk membunuh Dua Serangkai Jubah Hijau gagal, sudah membentak, "Siapa pun kau adanya. kusaran kan lebih baik menyingkir sebelum kau menyesali keadaan!" "Aku telah masuk ke dalam kalangan! Apakah kau pikir aku akan menyesalinya?!" "Bagus! Berarti kau sudah siap untuk mampus!" Habis bentakannya Iblis Telapak Darah sudah menerjang dengan kedua telapak tanga nnya yang seperti meneteskan darah. Gelombang angin diliputi asap merah sudah me nderu ganas ke arah Boma Paksi alias Raja Naga. Yang diserang hanya menggeleng gelengkan kepalanya. "Seharusnya kau menyadari dengan tindakanmu seperti ini bukan mengakhiri urusan dalam perdamaian, tetapi semakin menambah pertikaian!!" Bersamaan dia berucap demikian, pemuda bersisik hijau ini juga menerjang ke depa n. Tangan kanannya diputar sedikit, menyusul disentakkan. Jlegaaaarrrll Benturan yang terjadi itu menim-bulkan letupan yang sangat keras. Tanah seketika memburai ke udara. Dari gumpalan tanah itu mencelat sosok Iblis T elapak Darah yang terbanting teiungkup dengan dada menghantam tanah. Bukan karen a terbanting di atas tanah yang menyebabkan dadanya terasa sakit dan sesak, mela inkan karena benturan yang terjadi tadi. Sementara itu Dua Serangkai Jubah Hijau maupun iblis Penghancur Raga masih mempe rhatikan gumpalan tanah yang menutupi sosok si pemuda, karena pemuda tampan bera mbut dikuncir itu tak terlihat terpental. Iblis Penghancur Raga yang tadi terhenyak melihat ambruknya Iblis Telapak Darah, menggeram dingin sambil memandangi gumpalan tanah yang masih membubung, "Pemuda itu tentunya memi-liki ilmu yang tinggi karena dapat membuat Iblis Telapak Dara h terbanting! Tetapi tentunya, sekarang dia sudah mampus!" Sema Kuriang membatin gelisah, "Pemuda itu terlalu berani! Bahkan sangat berani! Nampaknya dia tidak mengetahui kehebatan ilmu 'Telapak Darah' dari lelaki berju bah hitam itu hingga nekat membenturnya! Ah, bila dia tewas sekarang, keadaan ka mi akan lebih celaka!" Sementara itu sambil menahan nyerinya, Gala Kuriang berkata dalam hati, "Pemuda itu telah melakukan kesalahan besar, karena berani memben-tur ilmu 'Telapak Darah'. Tentunya dia tid ak mengetahui kehebatan dan kekejaman ilmu itu. Sayang sekali kalau pemuda gagah itu harus tewas saat ini juga...." Gumpalan tanah yang membubung tinggi itu perlahan-lahan sirap. Dan orang yang be rada di sana yang melihat ke arah gumpalan tanah itu termasuk Iblis Telapak Dara h yang telah berdiri walau agak sempoyongan, sama-sama memandang tegang. Terutam a pandangan Dua Serangkai Jubah Hijau yang harap-harap cemas. Berbeda dengan tat apan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah yang merasa pasti kalau pemud a berompi ungu itu telah mati. Dan tatkala tanah itu sirap, semuanya melengak kaget. Bahkan seruan terkejut ter dengar dari mulut Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah secara bersamaan , "Gillaaa!!" Sosok pemuda gagah yang kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu, tetap berdiri tegak! Bahkan tersenyum tanpa kurang suatu apa! * * * 6 RAJA Naga tersenyum, "Aneh! Mengapa kau melotot sampai sedemikian rupa, hah?! At au jangan-jangan... matamu sebenarnya memang selalu melotot karena keseringan me ngintip nenek-nenek mandi?!" Sindiran pemuda itu seolah tak terdengar oleh telinga Iblis Peng-hancur Raga. Le laki berjenggot dikepang ini masih tertegun, tak percaya dengan apa yang dilihat nya. Terlebih lagi Iblis Telapak Darah. Orang yang tadi melancarkan serangan-nya

ini pun terdiam tak berkedip. Bahkan mulutnya sampai menganga! Lain halnya dengan Dua Serangkai Jubah Hijau yang begitu melihat sosok si pemuda tak kurang suatu apa, kegelisahan dan ketegangan mereka seketika lenyap. Bahkan keduanya seolah melupakan rasa sakit pada dada masing-masing, karena terlalu ge mbira melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Raja Naga berseru lagi, "Busyet! Kalian Ini kenapa?! Kok pada bengong seperti it u?!" Iblis Telapak Darah lebih dulu sadar dari keterkesimaannya. Tangan kanannya menu ding ke depan. "Pemuda laknat! Siapa kau sebenarnya, hah?!" "Tadi kukatakan... namaku Boma Paksi! Julukanku Raja Naga!" sahut si pemuda sambil tersenyum, tetapi sorot mata nya tetap angker. "Katakan dari mana asalmu?!" "Aku berasal dari Lembah Naga!" "Apa?!" seru Iblis Telapak Darah keras. Dia sampai tersentak mundur dua langkah ke belakang mendengar jawaban si pemuda. Bahkan dia hampir ter-sungkur karena se sungguhnya keseim-bangannya belum pulih. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang berada di sana. Kepala masing-masin g orang tegak, tatapan mereka tak berkedip pada si pemuda. Iblis Penghancur Raga sudah ber-seru, tetapi kali ini suaranya tidak sedingin ta di, "Kau mengatakan berasal dari Lembah Naga! Apa hubunganmu dengan Dewa Naga?!" "Dia adalah guruku...." Kali ini Iblis Penghancur Raga yang surutkan langkah dengan wajah tegang. Dia me lirik Iblis Telapak Da-rah yang juga sedang meliriknya. "Pantas dia dapat menanggulangi ilmu Telapak Darahku," desis Iblis Telapak Darah . Di pihak lain senyuman Dua Serangkai Jubah Hijau semakin mengembang. Mereka sama sekaii tak menyangka kalau pemuda bersisik coklat itu adalah murid dari Dewa Na ga. "Nasib lagi beruntung," desis Sema Kuriang. Raja Naga berkata lagi, "Sekarang apakah kalian masih mau meneruskan urusan Ini? ! Silang urusan ini tak pantas diteruskan! Sebaiknya kita sama-sama membuka tang an untuk saling memaafkan dan menghentikan semua ini." Tak ada yang menyahuti ucapannya. Ketegangan yang memancar dari wajah Iblis Peng hancur Raga semakin menjadi-jadi. Matanya tak berkedip, menyipit dalam. Lamat-la mat ketegangannya itu mencair, berubah menjadi amarah dan rasa tak puas. "Aku ingin membuktikan kebenaran apakah kau memang murid dari Dewa Naga atau kau hanya mengada-ngada!" Belum habis bentakannya, lelaki berjenggot dikepang ini sudah mene-pukkan tangan nya bersamaan luncuran tubuhnya yang sedemikian cepat. Gelombang angin bergemuruh dahsyat menggebrak ke arah Raja Naga. Yang diserang h anya menjerengkan mata. Keangkeran terpancar dalam dari sana. Tanpa bergeser dari tempatnya, anak muda dari Lembah Naga ini sudah mendorong ke dua tangannya ke depan. Menderu pula gelombang angin yang mematahkan gelombang a ngin dari Iblis Penghancur Raga. Menyusul.... Tap! Tap!! Telapak tangan masing-masing orang bertemu. Menempel kuat hingga menimbulkan asap hitam. Iblis Penghan-cur Ra ga menggeram seraya melipat gandakan kekuatannya. Tetapi Raja Naga tetap kelihat an tenang. Bahkan seraya mendehem kecil, dia mendorong kedua telapak tangannya. Wuusss! Kontan Iblis Penghancur Raga terpental ke belakang dan terbanting kuat di atas t anah setelah menabrak pohon yang langsung tumbang. "Keparaaatthhh!!" desisnya seraya mengangkat kepala dengan muiut menge-luarkan d arah. Hanya itu yang bisa dikatakannya, karena kejap kemudian tubuhnya mendadak bergetar hebat. Menyusul terdengar letupan kecil berkali-kali diiringi keluhan t ertahan! Dua tarikan napas betikut sosok Iblis Penghancur Raga tinggal tulang belulang sa ja karena daging yang meliputi tubuhnya telah hancur menjadi debu. Ilmu 'Penghan

cur Raga' yang dikeluarkannya tadi telah menerpa dirinya sendiri. Raja Naga menarik napas pendek. "Dia terlalu kejam...," desisnya pelan. Sementara itu dalam keadaan terhuyung, Iblis Telapak Darah bangkit. Darahnya men didih. Tatapannya sepanas bara api. "Pemuda bersisik! Aku akan terus mengingat peristiwa ini! Kelak kau akan mendapa tkan balasannyal!" Lalu dengan masih menahan sakit dan dendam setinggi gunung merapi, lelaki berjub ah hitam itu sudah berialu. Raja Naga hanya memandang keper-giannya tanpa berkata apa-apa. Lamat-lamat dia m endesis pelan, "Maafkan aku...." "Anak muda... kuucapkan terima kasih atas bantuanmu," terdengar suara itu di bel akangnya. Raja Naga membalikkan tubuhnya. Dilihatnya Sema Kuriang sedang merangkapkan tang an sambil menahan sakit. "Paman... jangan banyak bicara dulu.... Kau masih terluka. Sebaiknya berbaringla h, biar kuobati dulu luka-lukamu. Kau juga, Paman...." Dua Serangkai Jubah Hijau segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Raja Naga . Setelah diobati luka-lukanya, kedua lelaki berpakaian kuning dan berjubah hija u itu duduk bersemadi sementara Raja Naga menunggu. "Salah seorang dari mereka tadi menyebut julukan mendiang Ayah. Aku berharap, me reka mengetahui sesuatu yang selama ini sedang kucari.... Sebaiknya, kutunggu sa ja mereka." Raja Naga pun menunggu sampai keduanya selesai bersemadi. Lalu dia bertanya, "Pa man... aku telah men-dengar julukan kalian tadi. Dua Serangkai Jubah Hijau. Teta pi, aku belum mengetahui siapakah nama Paman berdua?" "Namaku Sema Kuriang dan dia adalah saudara kembarku Gala Kuriang. Anak muda... aku tak menyangsikan lagi kalau kau adalah murid Dewa Naga. Bagaimanakah kabar b eliau?" Raja Naga tersenyum. "Beliau baik-baik saja, Paman Sema Kuriang. O ya, Paman... kalau tak salah denga r tadi, Paman menyebutkan julukan seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Lontar. A pakah Paman menge-nalinya?" Sema Kuriang mengangguk. "Kami bukan hanya mengenalnya, tetapi bersahabat akrab dengannya dan istrinya." "Tolong ceritakan tentang Pen-dekar Lontar dan istrinya, Paman...." Sema Kuriang menarik napas pen-dek. Lalu meluncur cerita dari mulutnya, cerita y ang sama seperti yang pernah didengar Raja Naga dari gurunya. "Sampai hari ini, kami tidak tahu siapa yang telah menolong kami dua belas tahun yang lalu dari maut yang akan diturunkan oleh Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah. Lalu kami segera pergi ke tempat Dewa Segala Obat. Tetapi sayang, kami tak menjumpainya. Kami juga Ingat kalau Dewa Naga menyuruh agar kami datang ke Menara Berkabut. Tetapi cara menyuruh Dewa Naga sungguh angi n-anginan sesuai dengan sifatnya...." Gala Kuriang menyambung, "Karena gagal menjumpai Dewa Segala Obat, akhirnya kami memutuskan untuk tidak mendatangi Menara Berkabut, karena kami ingin hadir dala m upacara pemakaman Pendekar Lontar. Tetapi sayang, kami tertahan hujan badai ya ng sangat dahsyat hingga lima hari kemudian kami baru tiba di rumah kedlaman Pen dekar Lontar. Tak ada siapa pun di sana. Sepi, sepi sekaii. Tak ada Dewi Lontar maupun putranya yang bernama Boma Paksi. Saat itu kami berpikir, kalau Dewi Lont ar sudah meninggalkan tempat itu bersama putranya. Lalu kami pun mencari makam P endekar Lontar. Tetapi yang mengejutkan, karena di sana ada dua buah makam. Pada batu nisan yang ada di masing-masing makam, kami melihat nama Pendekar Lontar d an Dewi Lontar. Hal ini sangat mengejutkan kami! Bagaimana Dewi Lontar yang sega r bugar bisa menemui kematiannya? Kami terus berpikir tetapi kami tak menemukan jawabannya. Sampai kemudian kami ingat putra mereka yang bernama Boma Paksi. Kami mencoba mencarinya tetapi tak pernah menemuinya." "Sampai hari ini?" "Sampai hari ini!" "Paman Gala Kuriang... bagaimana kalian bisa berjumpa kembali dengan Iblis Pengh

ancur Raga dan Iblis Telapak Darah?" "Sesungguhnya, selama dua belas tahun kami masih mencari kebenaran siapakah yang telah Si membunuh Pendekar Lontar, juga yang membunuh istrinya. Kami juga masih penasaran apakah putra mereka masih hidup atau tidak. Karena rasa penasaran itu lah akhirnya kami memutuskan untuk melacak kembali semua itu dari awal. Saat itu kami memutuskan untuk mencari Dewa Segala Obat yang kemungkinan besar dapat men getahui semua rahasia itu. Dan di tengah perjalanan kami berjumpa dengan Iblis P enghancur Raga dan Iblis Telapak Darah yang rupanya tetap mendendam. Kami mencob a menghindari pertarungan, tetapi gagal karena kedua orang itu sudah menerjang. Dan kelanjutannya... kau melihat sendiri apa yang telah terjadi, Anak muda...." Boma Paksi menarik napas panjang. "Tak kusangka kalau urusan yang kuhadapi ini sedemikian sulit. Bermula dari kema tian Bandung Sulang yang tidak kuketahui siapa pembunuhnya. Masih beruntung karena Nenek Konde Satu yang sudah menuduhku masih bisa menerima ucapanku. Dan sekarang? Ah, urusan ini semakin panjang berkem-bang." "Anak muda... sebenarnya kau hendak ke mana?" tanya Sema Kuriang. Boma Paksi tersenyum. Bukan menjawab pertanyaan orang. dia malah berkata, "Paman Sema Kuriang, tadi kalian mengatakan kalau kalian sedang mencari putra Pendekar Lontar." "Ya... kami akan tetap mencarinya sampai kami mengetahui beritanya. Apakah dia s udah mati atau masih hidup." "Dia masih hidup, Paman." "Oh! Kau mengenalnya?! Katakan, di mana dia berada?!" "Aku sangat mengenalnya, Paman. Dan saat ini dia berada di sini...." Seketika Dua Serangkai Jubah Hijau memutar kepala ke sekelillng. Mereka membuka mata lebar-lebar untuk melihat orang lain yang berada di sana. Karena tak meliha t siapa pun di sana kecuali pemuda dihadapannya, masing-masing orang mengarahkan lagi pandangannya ke depan. Sema Kuriang nampak akan buka mulut, tetapi urung dilakukan. Justru dipandanginy a si pemuda yang memiliki tatapan angker itu dengan seksama. "Okh!" desisnya kemudian. "Kau... kaukah putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar?" Kepala Boma Paksi mengangguk perlahan. * * * "Astaga!" seru Gala Kuriang. "Benarkah... benarkah kau putra mendiang Pendekar L ontar dan Dewi Lontar?" "Tak ada yang kudustai, karena aku memang tak pandai berdusta...." Dua Serangkai Jubah Hijau memandang pemuda di hadapannya penuh takjub. Dua belas tahun mereka melacak jejak putra mendiang Pendekar Lontar dan tanpa disangka se karang bertemu. Kalau dulu mereka melihat pemuda itu masih bocah, kini sudah men jadi seorang pemuda gagah. Bahkan memiliki kesaktian tinggi! "Boma Paksi... tentunya, Dewa Nagalah yang telah menyelamatkanmu," kata Gala Kur iang. "Kau benar, Paman. Guru Dewa Naga memang yang telah menyelamatkanku. Bahkan, dia mendidikku dengan menurun-kan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Oya, Paman... menurut Guru, pembunuh ayahku adalah Hantu Menara Berkabut sementara yang membunuh ibuk u adalah Dadung Bongkok." Dua Serangkai Jubah Hijau tak menjawab. Sema Kuriang membatin, "Dulu ketika masih bocah, dia memiliki sisik ya ng halus yang belum begitu kentara pada kedua tangan sebatas siku. Juga tatapan mata yang dingin. Sekarang sisik-sisik pada kedua tangannya sudah jelas kelihata n. Sepasang matanya bukan hanya memancarkan sinar dingin, tetapi juga keangkeran yang membikin ciut hati yang melihatnya. Rasanya... sudah tiba saatnya untuk me mbalas kematian Pendekar Lontar dan Dewi Lontar...." Gala Kuriang berkata dalam hati, "Kesaktian pemuda ini tak disangsikan lagi. Dia adalah murid Dewa Naga, manusia sakti yang tiada tanding di kolong jagat ini." "Paman berdua... mengapa kalian terdiam?" tanya Raja Naga. Sorot matanya tetap m emancarkan keangkeran. Sema Kuriang menarik napas pendek. "Rasanya... perjalanan panjang yang telah kami lakukan harus segera diakhiri. Ka

mi memang bermaksud hendak mencari pembunuh Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Bah kan kami juga hendak mencari Dewa Segala Obat untuk menanyakan kejelasan tentang kematian Pendekar Lontar. Dan hari ini, nampaknya tugas kami sudah selesai...." "Apa maksud, Paman?" "Boma... Sekarang kami hanya ingin memesan kepadamu. Hantu Menara Berkabut dan D adung Bongkok bukanlah orang-orang yang bisa dipandang sebelah mata. Kesaktian k edua manusia itu sangat tinggi. Mungkin, hanya Dewa Naga yang dapat menandingi m ereka." "Aku sudah menduga akan hal itu, Paman. Tetapi biar bagaimanapun Juga kebenaran harus ditegakkan. Aku men-cari mereka bukan untuk menuntut balas kematian kedua orangtuaku. Tetapi mencoba menyadarkan mereka untuk tidak lagi melakukan tindaka n yang sama kejinya seperti tindakan yang pernah mereka lakukan terhadap orangtu aku." "Seingatku.... Hantu Menara Ber-kabut pernah dikalahkan oleh Pendekar Lontar, Pe ndekar Harum dan Bandung Sulang. Nampaknya dia sedang membalas kekalahannya dulu . Hingga hari ini, yang baru kami ketahui adalah kematian ayahmu, Boma. Mungkin pula Hantu Menara Berkabut akan menuntut balas pada Pendekar Harum dan Bandung S ulang." "Bandung Sulang?" desis Boma Paksi dalam hati. "Kakek yang sempat bercakap-cakap denganku sebelum tewas bernama Bandung Sulang. Jangan-jangan dia tewas dibunuh oleh Hantu Menara Berkabut? Sayangnya, aku belum sempat mendengar kelanjutan uca pannya...." "Paman... tahukah Paman di manakah Menara Berkabut berada?" tanyanya kemudian. "Tempat itu merupakan sebuah misteri berkepanjangan yang sulit terpecahkan. Hany a pemiliknya yang mengetahui seluk beluk tempat itu. Menara Berkabut merupakan m enara kokoh berwarna hitam gelap yang selalu diliputi kabuttebal. Bila kita tida k mengetahuinya kendati kita tahu di mana tempatnya, masih memungkinkan kita aka n tersesat dan terjebak. Karena selain kabut tebal yang dapat menghalangi pandan gan, di sana juga terdapat puluhan ular berbisa yang sangat ganas. Boma... kau b isa meneruskan langkahmu ke arah timur. Aku belum pernah datang ke Menara Ber-ka but, tetapi aku pernah melihat tempatnya bersama Dewa Naga. Tanpa dirinya, mungk in aku tak akan bisa mengetahui di mana tempat itu." "Satu hal yang perlu kau ingat," sambung Gala Kuriang, "Di sekitar Menara Berkab ut juga terdapat lumpur hidup yang bisa menelan apa saja dan siapa saja yang jat uh padanya." Wajah Boma Paksi agak sedikit berubah mendengar apa yang dikatakan Dua Serangkai Jubah Hijau. Sesaat murid Dewa Naga ini terdiam. Sisik pada kedua tangannya seb atas siku sedikit agak menyala, pertanda dia agak sedikit tegang. Tetapi di lain Saat pemuda gagah ini sudah berkata, "Paman... bahaya apa pun yan g akan kuhadapi aku tak peduli. Aku harus berhasil menemukan Hantu Menara Berkab ut dan Dadung Bongkok. Aku ingin melihat rupa orang-orang yang telah membunuh ke dua orangtuaku...." "Kegagahan yang dimilikinya itu tentu diwarisi dari mendiang Pendekar Lontar..., " desis Sema Kuriang dalam hati. Lalu berkata, "Kalau begitu... tugas kami sudah selesai. Dan tiba saatnya kami untuk kembali ke tempat asal." "Dari manakah Paman berdua berasal?" "Kami berasal dari sebuah dusun sunyi yang jauh dari keramaian. Berada di antara dua buah gunung yang menjulang tinggi. Mun gkin kami akan berdiam di sana untuk menghabiskan usia...," sahut Gala Kuriang. "Boma... bila kau senggang, mampirlah ke tempai kami." Boma Paksi menganggukkan kepalanya. "Semoga Paman berdua akan selalu baik-baik saja dan dipanjangkan umur...." "Kami turut pula mendoakan agar kau berhasil menjalankan tugasmu...." "Kalau begitu, aku akan segera melanjutkan perjalanan, Paman...." kata Boma Paks i sambil merengkapkan kedua tangannya. Setelah itu dia mulai melangkah dengan gagah diikuti oleh panda ngan Dua Serangkai Jubah Hijau yang beberapa saat kemudian melengak. Karena sosok pemuda bermata angker itu telah lenyap dari pandangan! "Hebat!" Sema Kuriang berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku yakin... tak lama lagi julukan Raja Naga akan menggegerkan rimba persilatan

. Sema Kuriang, seperti yang pernah kita rencanakan, sebaiknya kita memang kemba li ke tempat asal. Aku sudah rindu dengan tanah kelahiran kita...." Saudara kembarnya mengangguk. Lalu keduanya sama-sama mening-galkan tempat itu. Walaupun tenang tetapi keduany a juga sedikit mencemaskan apa yang akan dialami oleh Raja Naga. * * * 7 DUA hari telah berlalu kembali, seperti angin yang terus bertiup, waktu pun teru s bergerak pelan-pelan dan kemudian bertambah cepat tanpa dapat dirasakan kembal i. Terkadang hanya tinggal penyesalan dalam bagi orang yang merasa telah dikalah kan sang Waktu. Saat ini siang meranggas panas. Sinar matahari seolah mengamuk hendak mengkering hitamkan seisi bumi. Kering kerontang melanda beberapa tempat. Akan tetapi di balik sinar terik matahari yang menyengat bumi ada sebuah tempat yang tetap gulita. Tempat yang agak terpencil dan sukar dilihat oleh mata karena tertutup gumpalan kabut yang sangat tebal. Di sekeliling tempat itu dipenuhi lu mpur-lumpur yang kelihatan tenang padahal mematikan. Ular-ular berbisa dari berb agai jenis berkeliaran di seke-liling tempat itu. Dari kengerian yang nampak adalah kabut-kabut tebal itu yang seperti tak mau ber anjak kendati saat ini angin berhembus kencang. Di balik kabut tebal itu berdiri sebuah bangunan yang menjulang tinggi, bangunan kokoh yang tertutup oleh gumpal an kabut hitam. Bukan hanya kabut-kabut hitam itu yang tak bergeming sedikit pun dihembus angin, menara tinggi itu seharusnya pun agak bergetar. Tetapi kekokoha nnya sungguh luar biasa. Di bagian teratas dari bangunan berbentuk menara itu terdapat sebuah ruangan yan g cukup besar. Di ruangan itulah tiga sosok tubuh sedang duduk mengadakan suatu pertemuan. Orang yang duduk di atas sebuah batu altar yang menghadap dua orang lainnya yang duduk di batu altar pula, meman dang kedua tamunya tak berkedip. Orang ini berkepala bulat dengan rambut panjang warna putih, beriap hingga tergerai acak-acakan sampai punggungnya. Tubuhnya ag ak sedikit bongkok dan kurus. Sepasang matanya tajam laksana sambaran mata elang . Wajahnya yang dilapisi kulit tipis, dihiasi dengan cambang yang turun hingga d agu. Kakek yang pada tangannya terdapat geiang warna hitam ini, mengenakan pakai an panjang dan jubah berwarna jingga. Di hadapannya, di sebelah kanan-nya, duduk seorang perempuan tua kontet berkulit hitam legam. Semakin kelam karena pakaian yang dikenakannya pun berwarna hitam, panjang hingga ke mata kaki. Dan terbelah hingga balas dengkul. Memperlihatkan sepasang kaki hitam yang keriput. Kepalanya bulat dengan rambut panjang acak-aca kan hingga pinggul. Hidungnya juga bulat dengan bibir lebar tanpa gigi. Yang men gerikan dari sosoknya adalah sepasang bola matanya, yang menyala-nyala merah. Di samping perempuan kontet ini, duduk seorang kakek bongkok dengan rambut putih panjang. Sepasang matanya dalam dan tajam. Kumis dan jenggotnya seperti terpint al bersatu. Mengenakan pakaian hitam penuh tambalan. Tangan kiri si kakek pertampang angker ini kutung. Masing-masing orang tak ada yang buka mulut. Dari sikap mereka, jelas kalau pert emuan belum dimulai. Kakek berjubah jingga yang bukan lain Hantu Menara Berkabut memandang pada kakek yang tangan kirinya kutung. "Dadung Bongkok! Seingatku kau memiliki dua tangan yang utuh! Tapi sekarang, kau hadir hanya dengan satu tangan! Juga, di manakah senjatamu yang cukup terkenal itu?!" Kakek yang kumis dan jenggotnya terpintal menjadi satu mengangkat kepala. Kepala nya agak condong ke depan karena tubuhnya bongkok. "Hantu Menara Berkabut... dua belas tahun lalu kualami kesialan tiada banding! K esialan yang telah memupuk dendamku setinggi langit! Dewi Lontar yang menyebabka n tangan kiriku kutung seperti ini! Dia juga yang telah menghancurkan senjataku! !" "Kabar telah kudengar, tetapi tak sampai sedemikian parah! Ratu Sejuta Setan! Ba

gaimana kabar Tanah Terbuang?!" Perempuan tua kontet berkulit hitam legam mengangkat kepala. "Tanah Terbuang tetap merupakan tempat terpencil, tempat yang akan kujadikan seb agai kuburan Dewi Lontar! Tetapi dasar sial! Dadung Bongkok telah menggagalkan seluruh rencanaku! Bahkan d ia telah membunuh Dewi Lontar terlebih dulu!" Sambil mengucapkan kata-kata terakhir, sepasang mata Ratu Sejuta Setan melirik t ajam pada Dadung Bongkok. Yang ditatap membalas penuh amarah! "Aku tahu kau menghendaki gum-palan daun lontar milik mendiang Pendekar Lontar! Tetapi bukan hanya kau saja yang menginginkan pusaka itu! Mungkin pula bukan han ya aku seorang yang akan jadi pesaing! Masih banyak lagi yang bertebaran dan men ginginkan pusaka itu!" "Dadung Bongkok! Selama ini kau kuanggap sebagai teman sejalan yang dapat saling bantu! Tapi nyatanya kau menohok dari belakang!" "Seharusnya kau bersyukur hingga kau tak perlu susah payah membunuh Dewi Lontar yang bisa jadi akan mengalahkanmu! Mungkin akan membuatmu terkapar dua belas tah un yang lalu!" "Setan bongkok! Kutampar mulutmu sampai robek!" Dadung Bongkok hanya memperlihat-kan tatapan sinis. "Dan kau tak mampu melakukan apa-apa di hadapan Dewa Tombak!" ejeknya. Ratu Sejuta Setan menahan gejolak amarah dalam dadanya. Sepasang rahangnya mengembung karena menahan napas. Bersamaan dia menghembuskannya dengan cara menyentak, muiutnya bicara, "Kakek buntal itu akan mampus di tanganku sepe rgi dari tempat ini!" "Bicara boleh tinggi tapi kenyataannya masih merayap di tanah!" "Setan! Tutup mulutmu!!" hardik Ratu Sejuta Setan menggelegar. Dadung Bongkok kontan menegakkan kepala, tetapi punggungnya tetap menjorok ke be lakang. "Perempuan tua kontet! Kau telah membuka urusan di hadapanku sekarang! Berarti k au akan mampus di tanganku!" Sebelum Ratu Sejuta Setan berseru, Hantu Menara Berkabut sudah mendahului, "Tak perlu bertengkar! Kita adalah sesama Tiga tokoh kelas tinggi yang sudah tentu ha rus saling bantu!" Kata-kata kakek berjubah jingga itu membuat keduanya terdiam. Kendati demikian m ata mereka tetap saling menatap penuh amarah. Hantu Menara Berkabut berkata lagi, "Seperti yang kalian ketahui, akulah yang te lah membunuh Pendekar Lontar! Dan dari kematiannya telah kalian coba untuk menga mbil kesempatan guna merebut pusaka Pendekar Lontar!" Hantu Menara Berkabut meli hat wajah keduanya memerah. Dia melanjutkan, "Tapi aku tak peduli apa pun yang kalian kehendaki! Yang pasti, dendamku pada Pendekar Lontar telah terbayar! Dan sesuai dengan rencanaku aku memang tak membunuh Dewi Lontar! Aku sengaja menyiks anya agar dia terbawa dalam arus kesedihan sepanjang hari! Dan belum lama ini ak u juga telah menamatkan riwayat Pendekar Harum dan Bandung Sulang! Dua manusia k eparat yang juga pernah mengalahkanku dulu kini telah menjadi makanan cacing tan ah!" Kata-kata Hantu Menara Berkabut membuat dua pasang mata di hadapannya terbuka le bih lebar. Hantu Menara Berkabut melan-jutkan, "Dadung Bongkok! Dewi Lontar telah kau bunuh ! Dan menurut kabar yang kudengar kau juga hampir berhasil mendapatkan pusaka Pe ndekar Lontar! Tetapi mengapa kau kemudian sampai gagal?" Mendengar pertanyaan itu wajah Dadung Bongkok diliputi kegeraman dalam. Untuk be berapa lama kakek bongkok ini tak berkata apa-apa. Ratu Sejuta Setan membentak, "Keparat! Apakah telingamu sudah menjadi tuli hingg a tak mendengar pertanyaan orang?!" Dadung Bongkok tak meladeni bentakan itu. Ditekan napasnya lalu dihembuskan pela n-pelan. "Sesuatu yang tak kusangka terjadi. Dewa Naga muncul dan menggagalkan rencanaku!" Sementara wajah Ratu Sejuta Setan melengak, Hantu Menara Berkabut terdiam dengan pandangan menyipit.

"Dewa Naga! Rupanya dia juga ikut campur dalam urusan ini!" desisnya dingin. "Bila Dewa Naga tidak muncul saat itu, aku bukan hanya telah mendapatkan pusaka Pendekar Lontar! Tetapi juga telah menghabisi keturunan Pendekar Lontar!" Hantu Menara Berkabut menjereng-kan matanya. "Inilah yang kutunggu-tunggu. Kenda ti tak kuhiraukan kutukan Bandung Sulang, tetapi aku masih diliputi rasa penasar an tentang putra Pendekar Lontar. Dan nampaknya manusia bongkok ini mengetahui t entang bocah itu yang bila masih hidup tentunya dia telah berusia sekitar tujuh belas tahun." Lalu dengan sikap tenang dan seolah tak mempedulikan segala sesu-atunya, kakek b ercambang hingga dagu ini berkata, "Apakah Dewa Naga telah menyelamatkan putra P endekar Lontar?!" "Ya! Kakek keparat itulah yang menyelamatkannya! Dan dia umbar ancaman padaku un tuk menunggu dan menerima balasan atas perbuatanku dua belas tahun mendatang. Ta pi... huh! Sampai saat ini aku belum melihat atau mendengar kemunculan putra Pendekar Lontar! Dan aku yakin kalau bocah itu sebena rnya sudah mampus?!" "Bagaimana bila ternyata masih hidup?" tanya Ratu Sejuta Setan. "Kemungkinannya dia akan menjadi murid Dewa Naga! Seperti yang dikatakan oleh Dewa Naga, tentuny a ancaman yang dilakukannya akan dijalankan oleh putra Pendekar Lontar yang tent unya akan diangkat menjadi muridnya!" Dadung Bongkok mendengus. Dia menangkap nada melecehkan darj kata-kata Ratu Seju ta Setan. Makanya dia berkata, "Siapa pun yang akan muncul di hadapanku, aku tak peduli! Aku telah siap untuk menyambutnya! Dan saat ini telah kukirim murid tun ggalku untuk menyelidiki Dewa Naga!" "Kau hanya memberi jalan bagi muridmu untuk menuju ke sebuah musibah yang tak pe rnah dibayangkannya!" "Jangan menganggap sepele! Dengan ucapanmu aku menangkap kau justru melecehkanku ! Apakah kau pikir aku tak mampu mendidik murid tunggalku itu? Ratu Sejuta Setan ! Bila muridku telah muncul, akan kusuruh dia menyerangmu! Ingin kuiihat apakah kau mampu menghadapinya sampai dua puluh lima jurus!" Wajah kelam perempuan tua kontet itu semakin menghitam. Asap putih nampak sediki t mengepul di atas kepalanya, pertanda amarah sudah merasuk dalam dirinya. Tetapi dia tidak-berkata apa-apa karena Hantu Menara Berkabut telah berkata, "Be rarti kalian akan mengha-dapi momok yang cukup angker! Murid Dewa Naga akan munc ul mencari kalian! Terutama kau, Dadung Bongkok!" "Hantu Menara Berkabut! Tadi kukatakan aku telah siap untuk menyambut kedatangan nya!" sahut Dadung Bongkok dingin. Diam-diam dia melanjutkan dalam hati, "Dan bu kan hanya aku saja yang sedang dicari oleh putra Pendekar Lontar bila memang dia masih hidup! Kau pun akan dicarinya pula karena kaulah yang telah membunuh ayah nya!" Ratu Sejuta Setan yang memandangi Hantu Menara Berkabut diam-diam berkata dalam hati, "Tak seharusnya Hantu Menara Berkabut menanyakan tentang putra Pendekar Lo ntar! Dan kalaupun dia bertanya seperti itu, tentunya ada sesuatu yang telah mem buatnya kecut! Mungkin pula dia merasa kalau dirinya akan menjadi sasaran dari p utra Pendekar Lontar!" Berkata Hantu Menara Berkabut, "Telah kudengar kabar kalau putra Pendekar Lontar memiliki sisik coklat halus pada kedua tangannya sebatas siku! Kalau dia memang masih hidup sekarang, sudah tentu sisik-sisik halus berwarna coklat itu akan semakin jelas! Berarti tak sulit menentukan siapa orangnya jika kelak kita berjumpa! Apakah kau punya pikiran untuk menjaga kesel amatanmu, Dadung Bongkok?!" "Sejak dulu aku sudah siap menghadapi apa pun! Keselamatan diriku kujaga di atas segala-galanya! Aku telah canangkan niat untuk mendahuluinya! Aku akan memburun ya sebelum dia memburuku!!" sahut Dadung Bongkok ketus. "Ratu Sejuta Setan... apa yang akan kau laku-kan?!" "Aku tak punya urusan lain kecuali menginginkan pusaka Pendekar Lontar! Bila mem ang putranya itu masih hidup, aku akan memburunya! Selain membunuhnya, aku akan merebut pusaka Pendekar Lontar!" sahut Ratu Sejuta Setan. Lalu melirik Dadung Bo ngkok tajam-tajam, "Bila ada orang lain yang menginginkan benda itu, jangan berh

arap dia dapat melihat matahari lebih lama!" Dadung Bongkok sadar kalau kata-kata ketus itu ditujukan kepadanya. Dia segera m elotot gusar. Diam-diam telapak tangannya ditempelkan pada lantai. Dialirkan ten aga dalamnya yang melesat halus ke arah Ratu Sejuta Setan. Perempuan tua kontet itu merasakan adanya desiran angin yang melesat di bawahnya. Tetapi dia tidak berbua t apa-apa, bahkan berkata pada Hantu Menara Berkabut, "Bila kau berkenan mengata kan, apakah rencanamu selanjutnya?!" Hantu Menara Berkabut juga tahu kalau Dadung Bongkok lancarkan serangan diam-dia m pada Ratu Sejuta Setan. "Hemmm... kakek bongkok itu memandang sebelah mata pada perempuan tua kontet itu . Kendati Ratu Sejuta Setan kelihatan tenang-tenang saja tetapi dia telah mengal irkan tenaga dalamnya melalui pinggulnya. Sebentar lagi akan terjadi bentrok.... Baru saja habis kata batin Hantu Menara Berkabut mendadak saja terlihat lantai s ejarak duduknya Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok bergetar. Lalu berderak! Tak ada letupan yang keluar akibat benturan tenaga dalam Dadung Bongkok dengan R atu Sejuta Setan. Tetapi masing-masing orang terlihat justru terdiam sekarang. T angan kanan Dadung Bongkok semakin kuat menekan lantai, begitu pula dengan Ratu Sejuta Setan yang pinggulnya kuat menempel pada lantai. Hantu Menara Berkabut mendengus sekarang. Mendadak dijentikkan tangannya ke tengah-tengah, tepat di antara Dadung Bongkok dan Ratu Sejuta Setan duduk. Trikkk!! Pyaaarrr!! Letupan kecil terjadi namun akibatnya baik Dadung Bongkok maupun Ratu Sejuta Set an sama-sama terlempar ke samping. "Tak perlu perpanjang urusan yang tak harus kita lakukan! Bila kalian masih kera s kepala, akulah yang akan menghabisi kalian sekarang juga!!" dingin suara Hantu Menara Berkabut. Baik Dadung Bongkok maupun Ratu Sejuta Setan tak ada yang bersuara. Kendati demi kian keduanya sama-sama saling pandang penuh dendam. "Tak lama lagi malam akan datang! Sekarang juga kalian tinggalkan Menara Berkabu t! Bunuh putra Pendekar Lontar bila memang dia masih hidup!" Kali ini kedua orang yang duduk di hadapannya sama-sama merangkapkan kedua tanga nnya di depan dada. "Mulai hari ini, aku akan menuruti apa yang kau katakan," kata Ratu Sejuta Setan . "Hantu Menara Berkabut... apa pun yang terjadi, semuanya akan kupikul sendiri di bawah pantauanmu!" kata Dadung Bongkok. "Bagus! Tinggalkan tempat ini sekarang juga!" Lalu tanpa ada yang bersuara, masing-masing orang melangkah ke belakang. Masuk melewati sebuah pintu dan menur uni undakan tangga yang berputar. Jumlah tangga itu cukup banyak tetapi keduanya dapat menuruni dalam waktu yang cukup singkat. Tangga yang berputar ke bawah itu terus sampai ke bawah tanah, berada di bawah b angunan Menara Berkabut. Setelah itu masing-masing orang melangkah melewati jala n yang cukup sempit dan harus agak menunduk. Bau lumut menusuk penciuman. Tak berapa lama kemudian keduanya sudah keluar dari balik ranggasan semak, dan s egera menghirup udara segar dalam-dalam. Lalu sama-sama memandangi Menara Berkab ut yang tak nampak sama sekaii karena kabut tebal yang melindunginya. "Jalan rahasia ini tak ada yang mengetahui kecuali kita bertiga," kata Ratu Seju ta Setan. "Itu pun dikarenakan kita diberitahu oleh pemilik Menara Berkabut!" "Ratu Sejuta Setan... aku tak lagi menginginkan pusaka Pendekar Lontar! Jadi kau bebas mendapatkannya tanpa ada persaingan dariku! Tetapi aku menginginkan nyawa putra Pendekar Lontar bila memang dia masih hidup. Kau tahu siapa nama pemuda i tu?" Ratu Sejuta Setan memalingkan kepalanya ke kanan. Lama dipandanginya Dadung Bongkok sebelum menggeleng. "Aku tak ingat lagi siapa namanya! Kita berpencar sekarang untuk mencari tahu te ntang putra Pendekar Lontar!"

"Aku pun akan mencari muridku! Barangkali dia sudah menemukan jejak Dewa Naga! K arena... selama ini tak seorang pun yang mengetahui di mana Lembah Naga berada!" Masing-masing orang saling tatap sebelum kemudian menempuh jalan yang berbeda. A pa yang terjadi di Menara Berkabut sebelumnya dan tindakan yang dilakukan Hantu Menara Berkabut, telah membuka mata masing-masing untuk saling membantu. Karena secara tak langsung Hantu Menara Berkabut telah melepaskan ancaman dari ucapanny a. * * * 8 SUNGAI berair jernih itu mengalir agak sedikit bergemuruh. Beberapa helai dedaun an pepohonan yang menjulai ke tengah sungai gugur dan terbawa oleh arus sungai. Agak ke tengah sana batu-batu menyembul keluar. Mendadak.... Byuuurrr! Sebuah kepala muncul dari dalam air, lalu digerak-gerakkan hingga butiran air yang menempel pada wajah jelita dan rambut indahnya bermun-cratan. K emudian gadis jelita berhidung mancung itu kembali menye-lam, berenang-renang ke sana kemari. Lalu muncul kembali wajahnya. Kembali pula digerak-gerakkan hingga butiran air berloncatan. Mendadak gadis berambut indah tergerai yang sekarang basah itu menoleh ke kanan. Pandangannya tajam pada semak belukar yang tak jauh dari tempatnya. "Keparat! Siapa orang lancang yang berani mengintipku itu?!" makinya dalam hati. Lalu perlahan-lahan dia berenang ke tepian, ke balik ranggasan semak lainnya, d i mana sebelumnya diletakkan pakaiannya dengan pandangan bersiaga. Namun belum lagi dia tiba di tempat yang dituju, mendadak sebuah benda berwarna putih jatuh di atas rumput yang tak jauh darinya. "Setan laknat!" maki si gadis begitu mengenali benda yang ternyata pakaiannya it u. "Akan kuhajar orang yang berani berbuat lancang seperti ini! Tapi dalam keada an telanjang bulat seperti sekarang, sulit bagiku untuk melakukan serangan!" Gadis jelita yang ternyata Diah Harum alias Dewi Bunga Mawar itu hanya bisa meru tuk panjang pendek. Dia memang bisa melesat dari dalam air untuk menyambar pakaiannya, tetapi sudah tent u bagian-bagian tubuhnya akan terlihat oleh si pengintip yang berada di balik ra nggasan semak sebelah kanan. Dan kalau dia tidak segera mengambil pakaiannya, ke mungkinan besar si pengintip akan melakukan tindakan yang tak menyenangkan. Dala m keadaan polos seperti itu, sudah tentu Diah Harum akan kelabakan bila si pengi ntip ke-luar untuk melihatnya lebih dekat. Hal itu pun terjadi! Dua sosok tubuh muncul dari balik ranggasan semak sambil tertawa-tawa. Yang memi liki wajah tirus dengan pakaian hitam terbuka di bagian dada sudah ber-seru, "Re nggana! Hidungmu sungguh tajam untuk mencium bau sedap dari tubuh seorang perawa n!" Yang dipanggil Renggana menoleh. Dia seorang laki-laki bermata besar dengan bibi r tebal dan codet di pipi kirinya. Tepian matanya bersinar menggiriskan. Sebilah kapak lebar tergenggam pada tangan kanannya. "Ki Lodan, Aku sangat hafal dengan bau sedap dari tubuh perawan! Karena sebelum mengikutimu tak pernah kulewatkan sehari pun untuk menikmati kehangatan tubuh se orang perawan!" Ki Lodan tertawa lagi. Tubuhnya agak ringkih, kurus dengan kedua tangan yang agak panjang. "Dan perawan itu kini sudah berada di hadapanmu! Berarti kau tidak hendak melewa tkan kesempatan ini!" "Sudah tentu ya! Apakah kau juga akan turut ambil bagian?!" "Renggana, Renggana... aku sudah tua walaupun gairahku tak kalah dengan apa yang kau miliki! Sewaktu muda aku pun banyak mengumbar seluruh nafsuku pada siapa sa ja! Karena itu adalah sebuah pekerjaan penuh nikmat tiada tara! Tapi sekarang in i, biarlah kau yang menikmati perjalanan kehikmatan sementara aku akan menyaksik an saja!" "Gairahku akan semakin bertambah bila kuketahui akulah yang akan menikmati keind ahan ini!" Di dalam air di mana hanya kepalanya yang muncul, Diah Halum menggeram dingin, "

Keparat! Tentunya salah seorang dari mereka yang telah mengambi! pakaianku dan s engaja melemparkannya! Semata untuk memper-mainkanku! Jahanam terkutuk! Bila saj a aku sudah berpakaian, siapa pun keduanya akan kugebrak sampai mampus!" Habis membatin Diah Harum membentak sengit, "Manusia-manusia terkutuk! Kalian te lah melakukan kesalahan karena berani lancang mempermainkanku! Kemarikan pakaian ku itu! Kita akan bergebrak sampai kalian mampus kubunuh!" Bentakan si gadis hanya disambut tawa oleh Ki Lodan dan Renggana. Ki Lodan buka suara, "Perjalanan menuju ke Menara Berkabut masih tiga hari lagi! Dan membuang waktu sedikit untuk memberimu kesempatan rasanya tak ada yang perl u disesali! Renggana, apakah kau akan diam saja?! Apakah matamu buta tidak melih at indahnya dua gundukan bukit yang membayang pada air itu?!" Sementara lelaki tinggi besar bersenjatakan kapak lebar itu ter-bahak-bahak hing ga bahunya berguncang, Diah Harum dengan perasaan marah menurunkan lagi keduduka nnya di dalam air. "Setan keparat!" geramnya dengan pancaran mata diamuk kemarahan. "Mengapa aku ti dak memperhitungkan akan kemunculan kedua manusia keparat ini?!" Renggana buka suara, "Ki Lodan! Kau bukan hanya akan melihat dua gundukan indah pada dadanya, tetapi... hahaha... kau akan melihat pemandanganyang benar-benar l uar biasa! Dari sini saja tubuhnya sudah menjanjikan kenikmatan tiada tara!" Habis ucapannya, Renggana melangkah ke depan. Di dalam air Diah Harum mundur ke belakang. "Manis... mengapa kau menjadi panik seperti itu? Bukankah tadi kau hendak bergebrak denganku? Ayo, muncullah! Kalau kau bisa ambillah pakaianmu! Te tapi bila kau tidak bisa berarti bagiankulah yang akan segera kuperlihatkan!" "Manusia keparat! Lemparkan pakaian itu ke sini!!" "Mengapa kau tidak muncul saja? Aku biasa melihat! keindahan yang terpampang seb elum merasakan keindahan itu! Ayo, ayo! Kau basuhlah kedua mataku ini dengan kei ndahan yang ada pada dirimu" Sebagai jawaban, Diah Harum menggerakkan tangan kanannya ke depan. Air memercik ke atas saat tangan kanannya dikibaskan. Menyusul mengham-par gelombang angin be rkekuatan tinggi ke arah Renggana. Yang diserang sedikit terkejut, tetapi hanya dengan memiringkan tubuh ke kiri ge lombang angin itu telah luput dari sasarannya dan menghajar sebatang pohon yang dedaunannya berguguran laksana hujan. "Hebat! Aku menyukai gadis yang agak keras kepala" serunya sambil tertawa kembal i. Lalu dia melangkah ke tepian sungai, diperhatikannya Diah Harum yang nampak suda h semakin panik. Dalam keadaan tidak berpakaian seperti itu, sudah barang tentu dia tak akan mampu melakukan tindakan apa-apa. Mendadak dilihatnya lelaki tinggi besar itu mengayunkan kapak lebarnya ke dalam air. Pyaaaarrr!! Air itu muncrat ke udara. Kejap berikutnya telah disusul dengan muncratan yang S ebih banyak, dan seperti membelah ke tepian satunya lagi. "Heiiii!!" Diah Harum tersentak kaget dan tanpa sadar dia melompat agak menjauh. Kontan Ki Lodan terbahak-bahak. "Kau memang pandai membuat sebuah permainan menyenangkan, Renggana! Apakah kau t idak melihat benda bulat indah yang ujungnya terdapat bulatan coklat menggiurkan tadi?! Fiuh! Bergoyang indah menantang! Sayang... sayang aku tidak melihat bend a lainnya yang sangat ingin kuiihat karena loncatannya terlalu rendah!" "Kau sendiri rupanya tidak saba-ran, Ki Lodan! Sekarang kau akan melihatnya!" Kemudian Renggana mengangkat kapak lebarnya lagi dan siap diayun-kan. Tetapi sek arang urung karena dengan penuh kemarahan Diah Harum sudah mendorong tangan kana n kirinya. Wuuusss! Wuuusss!! Renggana segera menggerakkan kapak lebarnya ke samping. Blaarr! Blaaarrr!! Dua gelombang angin itu putus terhantam ayunan kapak lebarnya tetapi tubuhnya se ndiri harus terdorong beberapa langkah.

"Perawan kurang ajar!!" makinya dengan tubuh bergetar. Matanya melebar seperti. siap melahap bulat-bulat tubuh yang masih terendam di air itu. Menyusul digerakkan kapak lebar-nya di atas kepala. Suara dengungan terdengar be rdenging-denging, memekak-kan telinga. Menyusul terjadinya ge-lombang angin memu tar yang membuat ranggasan semak dan dedaunan di sekitar sana berguguran. Kejap berikutnya, disentakkan kapak lebarnya kuat-kuat ke arah Diah Harum! Wrrrrrrr!!! Gelombang angin dahsyat menderu ke arah Diah Harum. Gadis jelita itu memekik ter tahan. Tak mau tubuhnya terhantam gelombang angin itu dia segera menyelam dan be renang tergesa agak menjauh. Byuurrrr!! Air yang terkena hantaman gelombang angin yang meluncur dari kapak besar Renggan a muncrat setinggi dua tombak. "Wah! Kau gagal, Renggana! Gadis itu lebih cerdik! Dia tidak melompat seperti ta di malah berenang! Kau gagal! Ayo, sekali iagi kau paksa gadis itu untuk melompa t!!" Kata-kata Ki Lodan membuat Renggana menjadi panas. Dilakukan lagi hal yang sama yang membuat Diah Harum harus berusaha untuk menghindar. Gadis ini memiliki sifa t yang keras rupanya. Dia tetap tak mau melompat lagi kecuali tergesa-gesa beren ang menjauh untuk menghindari gelombang angin yang menderu ke arahnya. "Kau gagal, Renggana! Gagal!!" "Keparat!!" maki'Renggana keras. Sepasang matanya yang bersinar menggiriskan tak berkedip pada Diah Harum yang sedang mengatur napas. Tetapi mendadak saja lelak i tinggi besar itu kemudian terbahak-bahak. "Sekarang kau akan kena batunya.... Lalu orang ini melangkah masuk ke dalam sungai. Paras Diah Harum menegang. "Celaka! Celaka aku sekarang! Tak mungkin aku bisa menghadapinya dalam keadaan s eperti ini!" "Ayo, kau perlihatkan apa yang kau miliki itu, Manis! Agar Ki Lodan gembira di p agi ini!!" seringai Reng-gana sambil terus mendekat. "Terkutuk! Berikan pakaianku! Kau akan kuhajar!!" seru Dewi Bunga Mawar sambil b eringsut mundur. Dia tetap berusaha untuk tidak keluarkan anggota tubuhnya yang lain dari dalam air kecuaii sebatas leher. Renggana hanya tertawa sebagai sahutan. Dia terus mendekati Diah Harum. Yang didekati semakin panik. Wajah jeii tanya mulai diliputi ketegangan dalam. Dan tanpa setahunya, Renggana mengirimkan serangan melalui kedua kakinya yang be rada di dalam air. Diah Harum masih terus beringsut mundur diiringi teriakan-ter iakannya. Ketika dirasakan ada hawa yang menderu ke arahnya, cepat gadis ini ber gerak ke samping kanan! Pyaaarrr!! Air sungai itu terangkat naik dan muncrat ke udara. "Hebat!" desis Renggana kagum bercampur marah. Kejap berikutnya dia sudah berger ak begitu cepat membuat Diah Harum merasa terkepung. Gadis jelita itu masih beru saha untuk menghindar bahkan melancarkan sera-ngannya. Tetapi karena tak berpaka ian, apa yang dilakukan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Bahkan... tap! Tangan kanannya telah. tergenggam tangan kiri Renggana dan siap untuk ditarik ke luar. Namun sebelum dilakukan, bersamaan terdengar seruan tertahan, "Heiiii!!" satu sosok tubuh sudah melayang ke arahnya. Dan.... Tukk!! "Wadoaauuuwww!!" Menyusul... pyarr! Sosok tubuh itu telah menarik keluar tubuh Diah Harum seraya menyelimuti tubuh g adis itu dengan pakaian berwarna putih. Kejap berikutnya orang yang menggagalkan niat busuk Renggana sudah keluar lagi dari balik ranggasan semak di mana tadi d ia membawa Diah Harum ke sana! * * * Ki Lodan yang tadi berseru tertahan karena melihat kejadian yang mengejutkannya, memandang tidak ber-kedip pada pemuda yang telah berdiri sejarak delapan langka

h dari hadapannya. Sejak Ki Lodan memandangi orang itu sebelum kemudian dirasa-k annya debaran jantungnya semakin cepat. "Gila! Siapa pemuda berompi ungu ini?! Tatapannya sungguh angker dan mengerikan! Sosoknya membuat orang akan berpikir dua kali untuk menghadapinya! Tadi... tadi hanya kulihat satu bayangan yang menyambar pakaian si gadis yang dilempar Rengg ana. Lalu dengan gerakan seperti setan bayangan itu sudah melesat dan menggagalkan ni at Renggana. Bahkan dalam waktu yang sama dia sudah membawa keluar tubuh si gadi s tanpa dapat kulihat secara jelas. Dan sekarang dia sudah berdiri di hadapanku. Astaga! Dia hanya membutuh-kan waktu tiga kejapan mata untuk lakukan semua tindakan!! Sementara itu, lelaki tinggi besar yang masih berada di dalam sungai meraung ker as. "Pemuda keparat! Siapa kau?!" bentaknya seraya berenang ke tepian. Pemuda bermata angker itu ganti memandang pada lelaki tinggi besar yang sebagian tubuhnya basah. Namaku Boma Paksi! Julukanku Raja Naga! Lebih baik kalian menyingkir dari sini s ebelum aku marah!" Suara dingin itu membuat Renggana dan Ki Lodan sejenak terdiam. Bukan suara itu yang sebenarnya membuat keduanya terhenyak. Tetapi tatapan angker dari pemuda be rambut dikuncir itu! "Raja Naga...," desis Ki Lodan dalam hati. "Astaga! Julukannya sangat tepat untu knya! Tatapannya begitu mengerikan!" Di pihak lain Renggana tak buka mulut. Lelaki tinggi besar berkapak lebar ini me mandang tak berkedip pada pemuda yang sesungguhnya baru berusia tujuh belas tahu n. "Seumur hidupku... baru kali ini kulihat tatapan angker yang mengandung kekuatan magis," desisnya dan tanpa sadar dia masih tertegun. Ki Lodan yang buka mulut, "Renggana! Mengapa kau diam seperti kerbau dungu, hah? ! Pemuda keparat itu muncul dan menggagalkan keinginanmu! Apakah kau tak mendeng ar ucapannya yang tak memandang kita sebelah mata pun?!" Kata-kata Ki Lodan menyadarkan Renggana dari keterkesimaannya. Lelaki tinggi bes ar ini menggeram. "Pemuda celaka! Ulangi lagi apa yang kau katakan tadi?!" Raja Naga memandang tak berkedip. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua le ngannya sebatas siku lebih bersinar, pertanda dia sudah dilanda amarah. Murid De wa Naga ini sebenarnya tak sengaja melewati tempat itu. Tatkala dia mendengar te riakan memaki dari seorang gadis, nalurinya segera mengatakan kalau ada orang ya ng membutuhkan bantuannya. Dan yang tak disangkanya, orang yang menjerit itu ada lah gadis. yang pernah berjumpa dengannya. Gadis yang diam-diam telah memincut h atinya dengan kecantikan yang dimilikinya! Tatapan angker itu kian meradang. Suaranya bertambah dingin, "Kuminta kalian tin ggalkan tempat ini, sebelum kemarahanku semakin membesar!" Kata-kata itu membuat Renggana meradang. "Setan keparat! Kutebas kepala-mu!!" Meluncur lelaki tinggi besar itu seraya ayunkan kapak lebarnya. Wuuunggg!! Tak! "Aaaakhhhhi!" Renggana memekik tertahan dan terhuyung ke belakang. Tangan kiriny a menekap tangan kanannya dengan mulut monyong menahan sakit. Kapak lebarnya tel ah jatuh di atas tanah! "Gila!!" seruan kaget itu ter-dengar dari mulut Ki Lodan. Sosoknya sampai surut satu tindak ke belakang. "Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa?!" desisnya lagi, be rulang-ulang. Raja Naga tetap berdiri di tempatnya. "Kau telah pancing kema-rahanku! Berarti.. . kau tak akan kuampuni!!" Renggana yang masih menahan sakit mengangkat kepalanya. Tatapannya mengandung ke ngerian sekarang. "Kupikir... tubuhnya akan tercacak buntung akibat kapak lebarku! Tapi... gila! A

ku sama sekaii tak melihatnya bergerak! Gila!!" "Boma Paksi! Terima kasih atas pertolonganmu! Biar aku yang urus manusia keparat itu!!" satu suara terdengar bersamaan melompatnya satu sosok tubuh dengan gerak an indah. Dan tanpa keluarkan suara telah berdiri di samping kanan Raja Naga. Menyusul terdengar bentakannya, "Manusia lak-nat! Kau t erima balasanku sekarang!" * * * 9 GADIS berpakaian putih bersih dengan dua kuntum mawar merah pada atas dada kanan kirinya itu sudah menerjang ke arah Renggana yang masih merasakan ngilu pada ta ngan kanannya, Gerakan si gadis sungguh cepat sekali. Renggana mengangkat kepalanya dan sebisanya digerakkan tangan kirinya. Des! Des! Benturan itu terjadi. Sosok si gadis yang bukan lain Dewi Bunga Mawar terpental ke belakang. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah menerjang k embali. Raja Naga hanya tersenyum. Dan begitu mendengar satu gerakan di sampingnya, dia langsung menoleh. "Jangan gegabah! Kau tak perlu mencampuri urusan ini!" bentaknya pada Ki Lodan. Ki Lodan yang tadi sudah bersiap hendak membantu Renggana menggeram keras. Lelak i berwajab tirus ini memandang tajam Raja Naga tak berkedip. Tetapi dia tak sang gup melakukannya lebih lama, karena tatapan angker itu seperti menghujam pada jantungnya. "Pemuda bersisik! Renggana adalah sobatku. Apa pun yang terjadi padanya aku akan ikut ambil bagian!" bentaknya sambil menenangkan gemuruh dadanya. "Kau telah lakukan kesalahan yang paling bodoh! Sobatmu telah memiliki niat keji terhadap gadis itu! Bila kau masih punya akal seharusnya kau menghalangi niatny a itu, bukannya mendorong atau membantu!" "Peduli setan!" bentak Ki Lodan sambil menindih rasa ngerinya. "Kau boleh unjuk gigi di hadapannya, tapi... kau akan menyesali tindakanmu itu di hadapanku!!" Habis seruannya Ki Lodan menerjang ke depan. Seraya menerjang tangan kanan kirin ya yang kurus direntangkan lebar-lebar. Lalu seperti meraup sebuah benda, digera kkannya masuk ke dalam hingga melipat dadanya sendiri. Kejap berikutnya tubuhnya sudah berputar sedemikian hebat. Tanah segera mengepul mengiringi putaran tubuh nya. Suara yang keluar keras, bergemuruh. Raja Naga hanya memperhatikan tak berkedip. Begitu putaran tubuh Ki Lodan mendekat dan siap menggulungnya, dia segera melepa skan jotosan. Buk!! Tubuh Ki Lodan terpental ke belakang sejenak masih dalam keadaan berputar. Saat lain masih berputar yang semakin cepat tubuhnya kembali meluncur ke arah Raja Na ga. "Keras kepala!" Kalau tadi Raja Naga melancarkan jotosannya sekali, kali ini dua kali. Tetapi ju stru dia yang sekarang terkejut. Karena begitu kedua jotosannya masuk dalam puta ran tubuh Ki Lodan, mendadak saja dia terseret berputar agak terhuyung. Menyusul... buk! Dadanya terhantam tendangan kaki kanan Ki Lodan yang membuatnya mundur. "Ternyata kau tak setangguh apa yang kau perlihatkan pada Renggana tadi!" seru K i Lodan masih berputar. Kali ini gelombang angin semakin dahsyat diiringi tanah yang makin banyak mengep ul. Menyusul be-muncratannya sinar-sinar bening ke arah Raja Naga yang masih sem poyongan. Anak muda bersisik dari Lembah Naga itu mengertakkan rahangnya. Mendadak saja di jejakkan kaki kanannya di atas tanah yang seketika terdengar letupan kecil. Namu n yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Karena tanah itu bergerak cepat men yusur ke arah putaran tubuh Ki Lodan. Rupanya Boma Paksi sudah mengeluarkan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang'. Ki Lodan yang masih berputar dahsyat itu memekik keras karena merasakan tanah me ndadak berderak ke atas!

Brooolll!! Kekuatan besar menyembur dari dalam tanah, memuntahkan tanah ke berbagai arah. K i Lodan memang berhasil menghindari serangan aneh yang dilepaskan Raja Naga, tet api dua kali dia terhantam lesatan tanah yang muncrat ke arahnya. Saat itu pula tubuhnya ambruk! Punggungnya dirasakan seperti mau patah. Untuk sesaat dia menggeliat lalu berusa ha bangkit. Dillhatnya pemuda bersisik coklat hanya berdiri tegak dengan tatapan kian angker. Susah payah Ki Lodan bangkit sambil memegang dadanya dengan tangan kanannya. Ses uatu dirasakan bergolak pada perutnya dan melesat ke atas! "Huaaaakkkl!" dia muntah darah. Untuk beberapa saat Ki Lodan mengalirkan tenagan ya dalam guna memulihkan keadaannya. "Terkutuk! Bertahun-tahun aku berlatih ilmu 'Pusaran Mata Angin'. Tetapi hari in i ilmu itu begitu mudah dipatahkan oleh seorang pemuda yang masih bau kencur!" "Lebih baik kau menyingkir dari sini! Kalaupun kau masih ingin berada di sini, k au hanya berhak sebagai penonton! Biarkan gadis itu menuntut balas apa yang telah dilakukan kawanmu terh adapnya!" Seruan dingin itu membuat Ki Lodan mengangkat kepalanya. Kendati parasnya mering is kesakitan tetapi sorot matanya tetap angkuh. Dia tak melakukan tindakan apa-a pa. Sementara itu Dewi Bunga Mawar sedang berusaha untuk mendesak Renggana. Tetapi t ak mudah dilaku-kannya. Karena kendati tangan kanannya nyeri akibat hantaman Raj a Naga sebelumnya, Renggana masih bisa memperlihatkan kelasnya. Raja Naga membatin, "Dari apa yang terjadi seharusnya Dewi Bunga Mawar dapat seg era mengalahkan orang tinggi besar itu. Tetapi dia terlalu dipenuhi dengan hawa amarah dan keinginan untuk memenangkan perta-rungan." Zeebbb! Tangan kiri Renggana mengibas ke arah kepala Dewi Bunga Mawar yang menghindar. N amun gadis itu tak bisa langsung melancarkan serangan balasan karena kaki kanan Renggana sudah mencuat. Raja Naga menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dewi Bunga Mawar! Coba kau hantam pergelangan kedua tangannya!" Dewi Bunga Mawar yang sedang menghindar langsung mengarahkan sera-ngannya pada kedua pergelangan Renggana. Ga nti Renggana yang keli-hatan agak pucat sekarang. "Gila! Bagaimana pemuda bersisik itu bisa mengetahui kalau kelemahanku terletak pada kedua pergelangan tanganku ini? Jahanam terkutuk! Pemuda bau kencur itu buk an orang sembarangan rupanya!" Karena kelemahannya sudah diketa-hui lawan, Renggana tak bisa berbuat banyak. Di a hanya berusaha menghindari setiap terjangan dari Dewi Bunga Mawar. Orang tinggi besar ini memekik tatkala tendangan Dewi Bunga Mawar telah menghant am pergelangan tangan kirinya. Disusul dengan kibasan tangan dari samping kiri k e pergelangan tangan kanannya. Kontan Renggana terhuyung ke belakang diiringi teriakan keras. Kedua penglihatan nya saat itu pula berkunang-kunang. Kepalanya mendadak pusing tujuh keliling. Dewi Bunga Mawar yang marah karena niat busuk orang, sudah melesat ke depan untu k menyelesaikan pertarungan. "Tahan!" seru Raja Naga sambil menjentikkan tangan kanannya. Trikkk! Satu tenaga menghalangi gerakan Dewi Bunga Mawar yang seketika berputar. Begitu kedua kakinya hinggap di atas ta nah, gadis jelita berambut indah itu sudah buka mulut, "Boma! Mengapa kau menghalangi niatku, hah?!" "Karena sudah cukup kau menghajarnya, Diah...." "Manusia bejat seperti dia, tak patut ada kata cukup untuk menghajarnya! Boma! B iarkan aku menghajarnya lagi!!" "Dia sudah mendapatkan balasan! Diah... bila kau bersikeras. Lantas apa bedanya kau dengannya? Apakah kau Ingin menyamakan dirimu dengan orang seperti dia?" Kata-kata Raja Naga membuat Diah Harum menggeram pendek. Gadis jelita ini keiiha

tan masih belum puas untuk menghajar Renggana. Tetapi dia menuruti juga kata-kat a Boma Paksi. Hanya terlihat kaki kanannya dihentakkan di atas tanah yang seketi ka amblas untuk melampiaskan rasa kesalnya. Raja Naga memalingkan kepalanya, "Sekarang kalian tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran!" Ki Lodan memandanginya tajam-tajam. "Pemuda bersisik! Dengan perginya kami dari sini bukan berarti urusan telah sele sai! ingatlah balk-baik! Kelak kami akan muncul kembali!!" Habis kata-katanya Ki Lodan menarik tubuh Renggana untuk dibawanya berlari. Susa h payah Renggana mengikutinya. Raja Naga berseru, "Heiii! Apakah kau melupakan kapak lebarmu ini?!" Lalu disepaknya kapak yang tergeletak di tanah itu dengan gerakan ringan. Wungg! Kapak Iebar itu melesat dengan kecepatan tak ubahnya anak panah dilepaskan dari busur. Mendesing di atas kepala Ki Lodan yang masih menyeret Renggana. Cleebbb! Kapak lebar itu menancap pada sebatang pohon. Ki Lodan yang di saat kapak lebar itu mendesing di atas kepalanya menghentikan l arinya, menggeram dingin. Di pihak lain Renggana terhuyung. Dengan kegeraman luar biasa, Ki Lodan mencabut kapak itu! Tetapi tak semudah yan g dibayangkannya. Setelah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dan tubuhnya diban jiri keringat, barulah di berhasil mencabut kapak yang menancap pada pohon itu. Mendadak... kraaakk! Begitu kapak lebar itu dicabut, pohon itu seketika tumbang bergemuruh. "Terkutuk! Akan kuingat semua ini! Akan kuingat selama-lamanya!!" makinya keras dengan wajah ditekuk gusar. Lalu katanya pada Renggana yang telah berdiri dan ma sih menahan sakit, "Kita urungkan niat menuju ke Menara Berkabut! Kita akan menu ntut balas perbuatan Raja Naga!" Diiringi Renggana yang menahan sakit, Ki Lodan sudah berlari mendahului dengan m embawa kapak lebar milik temannya itu. * * * "Boma... terima kasih atas pertolonganmu...," kata Diah Harum kemudian. Sesunggu hnya masih ada keinginan untuk menghajar Renggana. Boma Paksi tersenyum. Tatapannya tetap angker. "Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini," sahutnya sambil menatap dalam-dalam w ajah jelita di hadapannya. Dan hati pemuda bersisik ini sedikit demi sedikit mul ai terusik oleh kecantikan alami Diah Harum. "Boma... belum lama kita berjumpa dan kini sudah berjumpa lagi. Apakah kita akan langsung berpisah sekarang?" Diah Harum tersenyum. "Wajahnya tampan. Tapi tatap an itu masih terkesan angker...," sambungnya dalam hati. "Sudah tentu aku tidak punya keinginan selekas itu sekarang. Aku masih ingin men atapnya lebih lama lagi," kata Raja Naga dalam hati. Tetapi mulutnya bicara lain , "Aku tahu kalau kau masih punya urusan, begitu pula denganku. Yah... kupikir seb aiknya kita memang harus berpisah lagi...." "Boma... apakah ini saat yang tepat bagi kita untuk saling mengenal?" Mendengar pertanyaan si gadis, Raja Naga langsung arahkan pan-dangannya ke kejau han. "Apa yang ingin kau kenal dariku, Diah?" "Pemuda ini terlihat begitu tertutup sekali," kata Diah Harum dalam hati. Kemudi an katanya, "Mungkin yang hendak kutanyakan, hendak ke manakah kau sebenarnya? P ertama kali kita berjumpa kau begitu tergesa dan tentunya ada urjusan yang harus kau selesaikan." Boma Paksi mengangguk. "Keberatankah kau bila mengata-kannya kepadaku?" Pemuda dari Lembah Naga ini tak segera menjawab. Dia justru menarik napas panjan g. Dewi Bunga Mawar menunggu untuk beberapa lama. Kemudian didengarnya pemuda itu b erkata, "Aku sedang

mencari pembunuh ayah dan ibuku, Diah...." "Oh! Kau... kau sedang mencari pembunuh ayah dan ibumu?" ulangnya terbata. Raja Naga mengangguk. "Ya... pembunuh yang selama dua belas tahun belum pernah kulihat wajahnya...." "Siapakah orang itu, Boma?" "Yang membunuh ayahku adalah Hantu Menara Berkabut...." "Oh!" untuk kedua kalinya Dewi Bunga Mawar tersentak kaget. Boma Paksi langsung menoleh. "Diah... kau mengenalnya?" Kepala si gadis menggeleng-geleng. "Aku... aku tidak pernah menge-nalnya, aku hanya pernah mendengar Guru mencerita kannya kepadaku... Bukankah dia penghuni Menara Ber-kabut?" "Yah! Aku sedang menuju ke sana! Diah... apakah gurumu pernah menceri-takan di m anakah letak Menara Ber-kabut?" "Guru pernah sekali mengatakannya kepadaku, tetapi aku belum pernah diajaknya ke sana. Dan rasanya sangat sulit untuk mencapai Menara Berkabut. Bahkan melihat m enara itu saja tak bisa dilakukan mengingat diliputi kabut tebal yang sulit dite mbus oleh pandangan." "Aku juga pernah mendengar tentang hal itu. Selain di sekitarnya hidup berbagai jenis ular berbisa juga terdapat lumpur-lumpur hidup yang dapat menelan siapa sa ja." "Boma... guruku pernah mengatakan kalau ada jalan rahasia yang dapat membuat ora ng dengan mudah bisa mendatangi Menara Berkabut." "Oh! Apakah kau tahu di manakah jalan rahasia itu?" Dengan berat hati Dewi Bunga Mawar menggeleng. "Sayang, aku tidak tahu sama sekali. Kendati guruku pernah menerangkan aku tak b isa mengetahuinya mengingat aku belum pernah ke sana...." Raja Naga hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Dewi Bunga Mawar menjadi tidak enak karena melihat pemuda di hadapannya itu jadi kelihatan gelisah. "Maafkan aku, Boma...." Buru-buru pemuda dari Lembah Naga itu menggeleng. "Diah... kau tahu kalau aku masih harus melakukan perjalanan ke Menara Berkabut. Sebaiknya, kita berpisah di sini...." Diah Harum mengangguk. "Sebelum berpisah, ada yang ingin kutanyakan padamu, Boma ." "Aku menunggu." "Tahukah kau di mana Lembah Naga berada?" Pertanyaan Diah Harum membuat kening R aja Naga berkerut. "Lembah Naga? Ada apakah kau mencari tempat itu?" "Guruku memerintahkanku untuk mendatangi Lembah Naga, untuk mengetahui sesuatu d i sana...." "Apa yang ingin kau ketahui?" "Tentang Dewa Naga sendiri yang merupakan penghuni Lembah Naga dan nasib seorang bocah yang dibawa lari olehnya." Kening Raja Naga makin berkerut. Firasatnya mengatakan dia akan mendengar sesuat u yang tidak enak. "Kau tahu di mana tempat itu?" "Jelaskan dulu kepadaku apa yang kau cari." Dewi Bunga Mawar menarik napas hingga dadanya yang membusung itu bergerak indah. Setelah terdiam bebe-rapa saat barulah dia berkata, "Dua belas tahun yang lalu, guruku pernah bertarung dengan Pendekar Lontar yang merupakan musuh bebuyutanny a. Dia mengatakan Pendekar Lontar adalah musuh utamanya yang harus dimusnahkan. Guruku tidak kesampaian membunuh Pendekar Lontar karena pendekar itu sudah tewas lebih dulu. Dia memang datang ke kediaman Pendekar Lontar dan menjumpai istriny a yang berjuluk Dewi Lontar. Pertarungan terjadi. Guruku berhasil membunuh perempuan biadab itu kenda ti dia harus membayar mahal dengan tangan kirinya yang kutung akibat tebasan ped ang Dewi Lontar." Dada Boma Paksi berdebar keras.

"Lantas?" "Yang diinginkan guruku adalah Pusaka Pendekar Lontar yang begitu dia berhasil m embunuh istrinya, putranya muncul dengan membawa pusaka yang berupa gumpalan dau n lontar. Guruku telah berhasil mendapatkannya bahkan bermaksud untuk menghabisi putra Pendekar Lontar yang dimaksudkan agar keturunan pendekar biadab itu tidak ada lagi di muka bumi ini! Tapi...," wajah Dewi Bunga Mawar mengeras. "Dewa Naga datang dan menggagal-kan rencananya!" Gemuruh di dada Boma Paksi mengeras. Sisik coklat pada kedua tangannya hingga si ku mulai bersinar. Dewi Bunga Mawar terkejut melihatnya. "Boma... Ada apa?" "Diah Harum.., Suara si Pemuda dingin. "Siapakah nama Gurumu?". Sesaat Diah Harum memandangi wajah dihadapannya sebelum menjawab, "Dia bernama.. Dadung Bongkok.., SELESAI Ikuti Kelanjutannya dalam episode: Misteri Menara Berkabut Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: mybenomybeyes http://duniaabukeisel.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai