Anda di halaman 1dari 3

Bocah Ontang Anting sesungguhnya termasuk manusia aneh.

Bila lagi banyak pikiran


dia bisa diam membisu selama berhari-hari. Tapi bila pikirannya sedang senang dia
juga bisa menghabiskan waktu tertawa selama berhari-hari demikian juga ketika
sedang dilanda sedih, dia bakal mengucurkan air mata sepanjang hari. Setiap kali
menangis, tangisnya tak pernah terdengar. Hanya air matanya saja berderai-derai
mengalir laksana curah hujan gerimis. Anehnya air mata itu sengaja dia tampung
untuk diminum kembali. Si kakek percaya air mata kesedihan dapat mengingatkan
manusia untuk lebih mawas diri hingga tidak lupa daratan dan eling bahwa hidup itu
intinya adalah penderitaan dan perjuangan panjang.

Tak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya Bocah Ontang Anting ini sebenarnya punya
hubungan Istimewa namun rahasia dengan prabu Sangga Langit. Sejak dulu hingga
sekarang rahasia hubungan sahabat itu tak pernah diketahui orang lain.

Makanya tidaklah mengherankan ketika mendengar kabar istana Pulau Es diserbu orang
dan prabu Sangga Langit bersama seluruh kerabat istana menemui ajal dengan
mengenaskan si kakek pun secara diam-diam datang kesana.

Hatinya jadi terguncang begitu mengetahui Istana Es banjir darah. Mayat-mayat


bergelimpangan hingga tak satupun penghuninya yang tersisa. Dia tak mungkin
menguburkan jenazah sebanyak itu dan juga takut kehadirannya diketahui oleh
penyerbu istana itu.

Ketika dia kembali ke Lembah Tapa Rasa, si Bocah Ontang Anting menangis histeris
selama empat puluh hari empat puluh malam. Tangisnya itu menggugah para penghuni
langit, hingga suatu malam Bocah Ontang Anting menerima sebuah petunjuk berupa
wangsit yang memberi gambaran kejadian di masa depan. Juga bagaimana nasib penerus
Istana. Atas dasar wangsit yang diterima.Bocah Ontang Anting pun menyimpan rapat-
rapat rahasia kepercayaan yang diberikan oleh gusti prabu Sangga Langit ketika
mereka bertemu dua hari sebelum Istana Es diserbu.

Kini kakek cebol bertampang bocah telah menyelesaikan sarapannya. Orang tua ini
kemudian mematikan tungku perapian lalu duduk menyender pada tiang tengah penyangga
pondok sambil mengusap perutnya yang bundar penuh lemak.

SI bocah menguap lebar, dia menggerutu karena rasa kantuk selalu menyerang setiap
kali dia usai makan. Dia gelengkan kepala, mulutnya yang cuma dihiasi beberapa
helai kumis selayaknya ikan lele bergerak-gerak.

Kemudian dari bibirnya terlontar ucapan bercampur keluhan,

"Menunggu dan terus menunggu. Itu yang dapat aku lakukan setiap hari hingga
bertahun-tahun. Yang ditunggu tak kunjung datang. Yang selalu muncul Justru para
setan yang tak pernah diharapkan. Aku ini cuma bocah tua yang tolol. Yang namanya
mulut tergantung pada suasana hati. Dia tak mau datang ataukah petunjuk wangsit
yang kuterima palsu adanya?"

Bocah tua memperbaiki posisi duduknya yang miring.

Akibat terlalu kekenyangan membuat mata orang tua ini tak bisa diajak bermufakat.
Dia mengantuk berat.

Perlahan mata yang belo itu terpejam. Tapi belum sempat tidur si kakek diusik
mimpi. Tiba-tiba kepalanya yang sulah itu terasa dingin. Seperti ada cairan yang
merembes masuk ke dalam pondok menembus atap ijuk berlapis kulit. Si kakek membuka
matanya. Dia mengusap kepala yang terkena tetesan cairan. Ketika tangan diusapkan
ke kepala Bocah Ontang Anting ini terkesiap terkesima.

Cairan yang menetes membasahi kepala bukanlah air. Cairan itu berwarna merah dan
menebar bau amis. Si kakek bangkit. Kepala mendongak keatas, mata menatap ke
langit-langit. Dia melihat memang ada cairan merah berupa darah merembas diatapnya.

Bocah Ontang Anting menundukkan kepala, perlahan dia menatap ke arah pintu yang
terbuat dari jalinan tulang ikan paus itu. Pintu tertutup rapat, sejak tadi
pondokya juga tidak bergoyang.

Seandainya ada orang yang hadir di pondok atau bertengger diatas atap tentu Bocah
Ontang Anting dapat merasakan kehadirannya.

Belum sempat kakek ini berpikir banyak. Tiba-tiba terdengar suara menggerung
disertai suara aneh bergedebukan seperti sebuah benda jatuh di depan pondoknya.

"Siapa diluar ?!" tanya Bocah Ontang Anting. Tak menunggu jawaban dia menghambur ke
arah pintu. Cekatan sekali jemari tangannya yang mungil membuka pintu pondok.

Pintu terbuka, si kakek bertampang layaknya bocah ini menghambur. Dia jejakkan kaki
ditanah dan tampak terkejut ketika melihat sosok tubuh kurus kering berupa seorang
laki- laki berpakaian kuning cokelat. Laki-laki itu tak lain adalah sahabatnya
Sitir Langi atau yang lebih dikenal dengan julukan Elang Mata Juling.

Melihat sahabat satu-satuny terkapar tanpa nyawa, si kakek segera ingat dengan
tetesan darah yang merambas di atas pondoknya. Dia menduga siapapun pembunuhnya
kemungkinan masih bertengger diatas atap.

Tanpa bicara diam-diam dia alirkan tenaga sakti ke tangan kini. Siap melepaskan
pukulan maut.

Lalu si kakek lambungkan tubuhnya keudara. Setelah berjumpalitan di udara beberapa


kali dis jejakkan kakinya distas atap pondok.

Jelalatan mata orang tua ini memperhatikan sekelilingnya. Di atas atap tidak
terlihat siapa pun, terkecuali genangan darah. Tak ada petunjuk tak terlihat jejak
kaki yang ditinggalkan diatas atap yang berlapis es tebal itu.

Si kakek menggeram.

Kemudian dia melesat turun dengan cara menggelundungkan tubuhnya. Setelah berada di
bawah dia duduk bersila. Lalu menangis sambil meratap.

"Oalah, ternyata buruk nian nasibmu Elang Mata Juling sahabatku. Apa yang terjadi?
Kau habis dari mana saja hingga menemui ajal begini rupa?" sedu kakek layaknya anak
kecil yang kehilangan orang tuanya. Tangis si kakek tak berlangsung lama. Sejenak
lamanya dia sudah dapat menguasai diri. Setelah menyeka air mata yang menggenang
dimatanya dia segera memperhatikan Sitir Langi dari kepala hingga ke kaki. Si kakek
tidak puas. Kemudian dia membuka pakaian sebelah atas sahabatnya. Ketika pakaian
dibuka dari dada tersingkap Bocah Ontang Anting melihat sebuah luka ber pa
lubang menganga. Sementara yang membuat alisnya berkerut disekitar luka terdapat
beberapa ekor mahluk menjijikkan benwarna hitam kecoklatan dengan tubuh menggembung
kekenyangan.

Mahluk-mahluk itu segera disingkirkan lalu diremasnya hingga hancur. Darah segar
muncrat kemana-mana membasahi jemari. Dengan mata nyalang dia menggeram.

"Lintah-lintah jahanam. Mahluk terkutuk tak berbeda seperti majikannya. Dimana kau
Ratu Lintah keparat." teriak Bocah Ontang Anting dengan suara lantang.

Sambil menabahkan hati menyabarkan diri, dia memindahkan mayat Elang Mata Juling ke
dalam pondoknya.
Setelah mayat sahabatnya dipindahkan ke tempat yang dianggapnya cukup layak lalu
kakek ini keluar lagi. Sebelum keluar dia tidak lupa menyambar busur sekaligus anak
panah.
Senjata panah adalah pusaka yang menjadi andalannya. Dan panah keramat yang
dimiliki Bocah Ontang Anting bukan panah sembarangan melainkan panah sakti bernama
Panah Asmara Gama.

Kelebihan panah itu dapat mengejar lawan kemanapun lawan bersembunyi.

Kini si kakek telah berada dihalaman pondoknya. Sambil menenteng busur keramat yang
panjang kedodoran dan bumbung anak panah di punggungnya kakek ini kembali layangkan
pandang. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan sang pembunuh. Dia diam. Dalam
diamnya Bocah Ontang Anting yakin pembunuh itu pastilah masih berada disekitar
pondoknya. Mungkin dia bersembunyi sambil mentertawakan kemarahannya.

Anda mungkin juga menyukai