Anda di halaman 1dari 6

Manusia-manusia Buas di Desa Ngasem!

Oleh. Petrus Pit Duka Karwayu

Malam murung itu mempertontonkan cahaya purnama dan bintang. Burung-burung rimba
Telomoyo beterbangan ke udara menutup bias cahayanya. Desa Ngasem dipenuhi kegelapan
suram.

Tapi para penduduk desa yang sebagian besar bertani telah lelap dan tidur seperti babi usai
mengunyah singkong. Tak terkecuali ki Selokantara yang bagai kembara semadi teguh dalam
tapa di alam sunyi.

“Hhggg!!!” Teriak Sawitri mengerang. Tak ada yang mendengarnya. Malam itu seisi desa
dituntut gelap dan kelam, ditudungi oleh awan gemawan seolah kedap suara.

“Anak itu akan lahir,” suara langit memburu ke telinga Selokantara. Kakek tua itu lantas terjaga
dan dengan tergesa memasuki rumah mendapati istrinya terkapar. Saking paniknya, ia berlari
mencari pertolongan dan lupa mengenakan selopnya.

Ki Selokantara akhirnya berjumpa dengan seorang dukun kampung usai melewati beberapa
pekarangan. Keduanya bergegas dan sampai di depan rumah. Ki Selokantara berhenti sedang si
dukun masuk ke dalam bilik. Dan benar saja, ruangan bilik itu seolah diselubungi cahaya ilahi.

Ki Selokantara yang berada di luar sejenak dikagetkan dengan tiupan angin sepoi-sepoi basah
yang menyentuh keningnya. Ia pun menyelubungi kepalanya dan masuk ke dalam bilik.

“Astaga!! Anakku,” katanya batah, “seekor naga!”

Dia berjalan jingkrak di samping pembaringan. Mata naga kecil itu berselaput, meski cahaya
merah di matanya kentara. Kelihatannya, naga kecil tampak tak berbahaya.

Adapun Endang Sawitri telah tahu anaknya seekor naga sejak aib Dewata ditanam dalam
rahimnya akibat melanggar titah ayahandanya. Tapi harimau tak pernah memakan anaknya
sendiri, demikian pula dengannya, tak ingin membunuh anaknya seburuk apapun dia.

Saat itu, Selokantara yang ingin melindungi sang anak dan ibunya, menggunakan kesaktian
terakhirnya memeteraikan rumah kediamannya agar tak terlihat warga di kaki Gunung
Telomoyo. Bersamaan dengannya, ia hilang tanpa jejak sesaat setelah memberi nama naga itu
Baru Klinting, nama pusaka yang darinya keluarganya menanggung mala.

***

Hari berlalu dan sang naga bertambahlah dalam usia. Adapun ia dapat bercakap layaknya
manusia karena diajari ibunya tata bahasa. Waktu itu, Klinting hanya mengetahui bahwa manusia
satu-satunya dalam jagad raya adalah ibunya.

Bukan juga kesalahan ibunya memperlakukan Klinting layaknya manusia. Dia tak sadar, caranya
mendidik Klinting mempertajam nalurinya dalam rasa merasa dan berbudi. Jika semula, ia
hanyalah binatang buas yang mengandalkan insting dan hasrat, kini dia menjadi binatang berbudi
dan berperasaan.

Kemampuan Klinting kian hari mencapai fajar, membawanya pada kerinduan purba manusia,
yakni memahami asal usulnya dan hari esok di depannya.

Sementara itu, di desa Ngasem perputaran waktu berjalan cepat. Para penduduk lebih
menghargai percepatan. Jika dahulu sabar keutamaan, kini sabar berarti menerima nasib, pelan,
pasrah, lambat, menyerah. Sebagai penduduk yang mengenal tatanan peradaban, kemajuan dan
percepatan menjadi tulang di hadapan anjing buas. Ketaksabaran adalah keutamaan. Dengan
demikian, kebudayaan yang mengandung tata krama yang mengekang pergerakan bebas
dianggap kaku dan ditinggalkan.

Di suatu pagi, naga dewasa yang tengah tertidur mendengar bisikan gaib yang menyuruhnya
melakukan tapa sambil melingkari gunung Telomoyo. Tanpa berpikir panjang, dia bergerak
cepat ke puncang gunung. Kala itu badai disertai pusarannya menari di antara pepohonan
menumbangkan segala yang berdaun. Itu tampak seperti tarian Siwa.

Para penduduk desa yang menyaksikan teater alam, seolah tak ingin terlihat dalam pementasan,
memilih lari compang-camping sambil memanggil sanak keluarga agar dari mereka tak satupun
binasa. Mereka diam, terjaga, takut, gelisah, cemas, tapi juga kagum dan ingin mengetahui. Jadi
kendati telah berada di dalam rumah, mereka tampak mengintip-intip dari celah dinding.

Peristiwa alam baru terhenti ketika seekor naga yang panjangnya seluas anak pulau melilit
puncak Telomoyo dan mengerang bak nafiri surga dan sesaat setelahnya, dia tak tampak lagi.
“Lihatlah manusia itu,” tunjuk wanita parubaya sambil menutup mata putrinya yang berusia
barang lima tahun. Mereka melihat pria dewasa telanjang bulat berdiri tepat di bawah busur
pelangi yang menembus bumi. “Jangan-jangan dialah naga!”, “Dia telah berubah menjadi
manusia!” demikian rentetan litani tafsiran yang semuanya benar tertuju pada manusia baru di
atas puncak.

Sementara itu, anak manusia yang tak lain adalah Klinting menahan haru. Ternyata dunia tak
seluas rumahnya. Ada banyak manusia dengan ragam warna muka yang mirip ibunya.

Perasaannya semakin berkecamuk mendapati semua manusia di bawah kaki gunung tetap
melihatnya sebagai sosok aneh. Ia lantas menyelinap di bawah batang-batang pohon besar
menuruni lembah namun dengan arah berlawanan agar jauh dari pandangan orang-orang.

“Putraku!” sapa Endang Sawitri pada anaknya yang bermandi keringat. Sementara itu, Klinting
diam dan masuk rumah.

“Nak. Tidakkah kamu bahagia?”

“Aku mau ke seberang bu. Ada banyak manusia di sana,” jawab Klin sambil mengancing
suaranya hingga urat lehernya dilihat.

“Huus,” Perempuan itu menghela nafas panjang. “Pertimbangkanlah maksudmu. Berhati-hatilah


dengan apa yang kamu harapkan.”

“Izinkanlah aku melihat dunia luar bu,” timpal Klinting sesak.

“Bawalah restu ibu,” tutur perempuan itu sambil menjambak pelan rambut putranya. “Ingat!
Berhati-hatilah dengan apa yang kamu harapkan!”

Kala itu, Klinting mulai paham apa artinya dilema. Tapi naluri kejantanannya membuatnya teguh
pada kata dan tekad. Usai mencium kaki ibunya, ia beranjak pergi melewati ngarai dan tiba di
batas desa.

***

“Pindahkan segera batu kecil ini, pindahkan segera, ke sana kemari,” nyanyian permainan anak-
anak desa mencuri perhatian Klinting.
Tapi saat anak-anak yang bernyanyi melihatnya, mereka lantas menghentikan permainan dan lari
berhamburan entah kemana. Dan hanya selang beberapa menit seluruh desa menjadi sunyi.
Klinting bingung karena ia merasa sebatang kara di tengah perkampungan.

“Itu dia tangkap dia,” seru seorang pemuda sambil menunjuk ke arahnya.

Klinting yang kebingungan namun sadar akan bahaya di depannya lantas berlari sekencang
mungkin. Mereka memburunya seperti memburu seekor musang, dan pemuda malang itu belum
paham mengapa ia diburu. Yang ia tahu, ia harus berlari selekas mungkin keluar dari desa.
Sayangnya, ia telah di kepung dari empat penjuru desa itu.

Si Klinting kebingungan lantas berlutut dan sebelum memohon pengampunan dia menanyakan
sebab kenapa ia diburu.

“Kamu jelmaan siluman. Kami melihat rupamu di atas puncak Telomoyo.”

“Tidak,” jawab Klinting yang ingin membela dirinya.

“Sudah!” bentak seorang pasukan balai desa beringas.

Adapun warga kampung yang tahu siluman naga telah diringkus lantas keluar dan ikut
menghakimi.

Klinting kehilangan bahasa manusia untuk membela dirinya. Yang bisa ia lakukan hanyalah
berteriak dengan batin pedih teringat nasehat sang ibu.

“Ternyata manusia lebih buas dari binatang. Dan memang manusia adalah binatang dengan
wujud yang paling sempurna,” batinnya.

Tapi lebih dari terkenang ibunya, Klinting menyimpan kecewa. Ibunya menjinakan sifat buasnya
dengan pengajaran manusia, tapi di depannya berdiri manusia-manusia yang tak berperasaan dan
berbudi.

“Semesta langit,” teriak Klinting membuat semua orang tercengang.

“Kita lihat, apakah Semesta menolongnya,” kata seorang ibu yang langsung disoraki seluruh
penduduk desa.
Pada saat itulah Klinting untuk pertama kalinya meneteskan air mata, dan ia merasa telah
sungguh menjadi manusia.

Bumi bergoncang membelah balai desa. Dari dalam belahan itu keluarlah sumburan air deras.
Para warga lari berhamburan namun mata mereka dibutakan gerhana matahari. Hujan deras
mengguyur desa dan membuka tingkap-tingkap mata air. Dalam sekejap mata, seluruh warga
ditelan kedasyatan air bah secara mengenaskan sementara Klinting menutup matanya dalam
keabadian dengan tersenyum. Bukan karena dendamnya terbalaskan. Tapi dia dapat merasakan
kemurkaan semesta yang membawanya pada kematian bersama dengan manusia yang lain.

***

Konon air yang menggenangi desa ngasem selama ribuan tahun kini berubah menjadi danau
yang disebut Rawa Pening, Danau Keheningan. Tak ada yang tahu, di dasar keheningan tersebut
tersimpan hasrat seekor binatang buas yang ingin menjadi manusia di hadapan manusia-manusia
yang ingin seperti binatang buas. Tapi namanya berpijak pada bumi, tak ada perkara pembuktian
diri atau pembelaan maksud.

Itu hanyalah insting dan hasrat yang tak dapat terukur— meski keduanya adalah sel paling purba
yang dimiliki manusia.
Biodata

Nama: Petrus Pit Duka Karwayu

Alumnus Fakultas Teologi Wedabhakti Kentungan, Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta.

No hp: 081371114809

No Rek: 1537355730 (BNI) Atas Nama: Petrus Pit Duka Karwayu

Anda mungkin juga menyukai