Anda di halaman 1dari 5

PARISE BUNCU

O l e h : Alan Malingi

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Ncuhi yang sangat arif dan bijaksana. Ia sangat disegani

dan dihormati oleh seluruh rakyat. Tutur kata dan perbuatannya selalu diikuti oleh seluruh rakyatnya.

Mereka tinggal di hamparan lembah dan gugusan pegunungan di sebelah utara tanah Sape Bima.

Tepatnya di desa Buncu kecamatan Sape sekarang.

Mereka hidup damai tak terusik dalam dekapan keindahan dan kesuburan tanah tumpah darahnya.

Mata air yang mengalir bersih dan jernih. Sawah ladang yang beraneka hasil. Pepohonan yang rimbun

menghijau. Rakyat yang ramah dan bersatu dalam jalinan persaudaraan dan keakraban. Bagai titian

mutiara yang selalu memancarkan sinarnya. Segala sesuatu yang hendak dilakukan selalu dijalani

dengan musyawarah mufakat. Rumah Ncuhi adalah tempat berkumpul dan bertanya tentang sawah

ladang, masa tanam, masa panen serta segala kejadian yang sedang dan akan terjadi.

Namun Pada suatu ketika, seorang warga lari terbirit-birit menghadap Sang Ncuhi. Bersama nafasnya

yang menggemuruh ia menceritakan tentang kejadian aneh yang baru saja dialaminya.

“ Saya melihat Raksasa Ncuhi. Sepertinya ia sedang melangkah kemari.”

“ Dimana kamu lihat dia ?” Ncuhi Buncu penasaran

“ Di gunung di sebelah barat kampung kita.”

Ncuhi Buncu terperanjat, dan segera ia berdiri dari duduknya. Sejenak ia terkenang tentang pesan

mendiang Ayahnya. Bahwa suatu saat yang akan datang Raksasa yang akan menyerang kampung ini.

Raksasa itu persis seperti yang telah diceritakan orang tadi. Ia akan datang menyerang pada sat

panen dan malam bulan purnama. Raksasa itu tidak akan berhenti menyerang dan mengamuk jika

tidak memenuhi persaratannya. Persaratan itu hanya satu yaitu persembahan seorang bayi yang lahir

pada malam purnama.

“ Apa yang harus kita perbuat ?” Warga itu bertanya kebingungan.

“ Sebelum purnama tiba, saya akan mengumpulkan seluruh warga. “

“ Kenapa dia datang pada malam itu.?”

“ Dia meminta persembahan. “

“ Persembahan ? Apa yang mesti kita persembahkan ?”


“ Dia menginginkan seorang bayi yang pada malam Itu. “

“ Seorang bayi ?” Orang itu berkata lirik. Ia mulai gemetaran. Terkenang istrinya yang sedang hamil

tua dan menunggu saat-saat melahirkan.

Berita tentang raksasa itu tersiar ke seluruh kampung. Dari puncak gunung sampai ke hulu sungai

orang-orang bercerita dan berbicara tentang kekuatan raksasa itu.

Bulan purnama bersinar terang. Tetapi tidak seperti biasanya orang-orang leluasa keluar gubuk. Muda

mudi yang berpantun dan bersyair diiringi senandung malam penyejuk kalbu tidak terdengar lagi.

Bunyi lesung mulai bertalu-talu, demikian pula Pentungan. Semakin lama semakin riuh. Orang-orang

lari berhamburan mencari tempat yang dianggap paling aman. Ada yang bersembunyi di gua, di

lubang-lubang yang telah digali. Ada pula yang telah mengungsi ke tempat yang agak jauh dari

kampungnya. Kampung itu seperti tak berpenghuni. Hening dan lengang. Tabah menanti sesuatu

yang akan terjadi.

Suara yang meraung-raung dari gugusan pegunungan di sebelah barat mulai terdengar. Pijakan

kakinya menggetarkan bumi di selubung malam itu. Sawah dan tegalan dengan padi yang sudah

menguning luluh lantah. Gubuk dan Dangau menjadi peot. Pohon-pohon besar dicabutnya layaknya

seperti rumput dan ilalang. Batu-batu besar diangkat dan dilemparkan ke arah gubuk maupun dangau

yang belum sempat diraihnya. Raksasa itu mengamuk dan terus mengamuk.

Sementara itu, di depan gubuk yang sudah hancur Ncuhi Buncu berdiri tegap. Tangan kanannya

memegang tombak. Sedangkan di tangan kirinya sebilah keris siap menghunus. Mulutnya komat

kamit membaca segala mantera. Tiba-tiba Sang raksasa berhenti mengamuk. Tatapannya tertuju

kepada sebuah gubuk yang belum terinjak. Di dalamnya terdengar tangisan seorang bayi. Pelan tapi

pasti raksasa itu terus mengamati. Tangannya mulai meraih daun alang-alang yang menjadi atap

gubuk itu. Hingga seluruh atapnya tercabut. Dan cahaya purnama menampilkan sosok seorang ibu

yang sedang mengggendong bayinya. Dalam keadaan panik dan ketakutan sang ibu mencoba

menghindar dan bersembunyi di sekitar gubuk itu.

Ncuhi Buncu mulai beraksi. Ditusuknya kaki raksasa itu dengan tombak. Keris pun demikian. Namun

tusukan Ncuhi Buncu tidak dihiraukan oleh raksasa itu. Baginya tusukan itu seperti gigitan semut saja.

Hingga pada puncaknya, tusukan Ncuhi Buncu sangat keras dan dalam. Mengakibatkan kaki raksasa

itu berlumuran darah. Raksasa itu semakin mengamuk dan gila. Tangannya terus menjalar untuk

memungut bayi yang berada dalam pangkuan ibunya. Melihat dan mengamati keadaan itu, Ncuhi

Buncu secepat kilat meloncat dan berlari merebut bayi dan ibunya.
Sang Raksasa mencoba untuk mendapatkan bayi itu. Namun nyali Ncuhi Buncu sangat kuat.

Ketangkasannya untuk menghindar seperti seekor ular yang meliuk-liuk di celah semak belukar. Kejar

mengejar antara raksasa dengan Ncuhi Buncu terus berlangsung. Meski dengan kaki yang sudah

berlumuran darah, raksasa itu terus memburu dan menghadang langkah Ncuhi Buncu. Berbagai

macam cara pula dilakukan Ncuhi Buncu untuk menghindar dari serangan raksasa itu. Dan langkah

terakhir dari segala upayanya adalah merayap dan bersembunyi di dalam parit yang telah ditutupi

oleh ranting pohon yang sudah tumbang.

Dan tibalah saatnya bulan purnama tertutup awan. Suasana menjadi gelap. Meski tangisan bayi masih

terdengar oleh sang raksasa. Namun sepertinya raksasa itu mulai putus asa dan kelelahan. Dengan

napas yang menggemuruh panjang raksasa itu berhenti. Suasana kembali hening dan lengang.

Tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Sebab Ncuhi buncu terus menutup mulut bayi itu. Dan

Raksasa itu perlahan melangkah sempoyongan menuju ke arah barat. Di malam yang tinggal

sepenggal itu, Sang raksasa telah hilang dari balik gunung.

Keesokan harinya seluruh warga kembali ke kampung halamannya. Kepiluan tampak dari raut wajah

mereka. Sebab gubuk, sawah dan ladang, pepohonan yang rindang dan berbuah lebat telah rata

dengan tanah. Rintihan dan tangisan keluar dari setiap bibir. Dan kini mereka harus membangun

kembali semuanya seperti dulu. Ketika pertama kali mereka hadir di tempat itu untuk hidup bersama

dalam bingkai persahabatan dan kekeluargaan yang telah lama terjalin.

Dalam suasana duka yang mendalam mereka membersihkan dan mengumpulkan kembali puing-puing

gubuk yang mungkin saja masih dapat dipergunakan lagi. Dengan penuh ketabahan Ncuhi Buncu tak

bosan-bosan menyerukan kepada suluruh warga untuk bersabar dalam menghadapi cobaan hidup dan

kegetiran dari hari ke hari. Bahan makanan yang masih tersisa dinikmati bersama. Meski untuk

beberapa waktu lamanya, mereka tetap harus menanggung secara bersama-sama. Dengan satu

prinsip hidup “ ADA SAMA DIMAKAN, TIDAK ADA SAMA MENAHAN LAPAR.”

Pada suatu hari Ncuhi Buncu mengumpulkan seluruh rakyatnya.

“ Saya akan mencari kesaktian untuk mengalahkan raksasa itu. Sebab pada saat purnama depan ia

akan datang lagi. Untuk itu saya berharap agar kalian tidak mengasingkan diri dari kampung ini. Jaga

dan pertahankan kebersamaan yang telah terjalin. Menjelang purnama saya tetap akan kembali.”

Berhari-hari Ncuhi Buncu menelusuri lembah, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai untuk

mencari sesuatu yang diimpikannya. Hingga pada suatu malam, ia melihat seberkas cahaya dalam

kegelapan malam itu. Semakin lama cahaya itu semakin dekat. Ncuhi Buncu gemetar dan ketakutan.
“ Kau siapa? Darimana asalmu?” Ncuhi Buncu bertanya sambil bergerak mundur.

“ Kau tidak perlu takut, aku datang untuk memberimu petunjuk untuk mengalahkan raksasa itu.”

“ Berikanlah petunjuk itu.” Ncuhi Buncu berharap.

“ Pada malam purnama nanti, ia akan datang. Dan tetap dengan tujuan yang sama. Dia akan

membawa sebuah cambuk. Tetapi kau jangan khawatir, kau akan bisa melawannya.”

“ Senjata apa yang harus aku gunakan?”

“ Senjata yang harus kau gunakan adalah Teta berbentuk panah yang talinya menggunakan serat

pohon waru. Ambillah dari tajuk yang masih muda. Senjata kedua yang harus kau gunakan adalah

Tende (Tameng) yang terbuat dari kulit kerbau. Tende adalah senjatamu untuk menangkis serangan

dari raksasa itu. Dan gunakanlah Teta untuk sesekali menyerang. “

Ncuhi Buncu pulang kembali ke kampungnya. Seluruh rakyat menyambutnya dengan suka cita. Ia

mengajak warganya untuk mempersiapkan Teta dan Tende. Akhirnya seluruh rakyat sepakat untuk

membantu Ncuhinya membuat Teta dan Tende. Serat pohon Waru dikumpulkan. Dan dipilihlah yang

masih muda. Kerbau disembelih untuk mendapatkan kulitnya. Yang pertama dibuat adalah Tende

(Tameng) dari kulit kerbau.

Bulan purnama telah meninggi dari langit timur. Suara yang meraung-raung beserta pijakan kaki yang

sangat dahsyat mulai terlihat. Dan memang benar, Raksasa itu membawa Cambo (Cambuk).

Sementara itu, Ncuhi Buncu lari menghadang di ujung kampung. Hal itu dimaksudkan untuk

menghentikan langkah sang raksasa dan mengalihkan perhatiannya agar tidak memasuki kampung.

Raksasa itu mulai menyerang dengan cambuk. Ncuhi Buncu bertahan dan terus bertahan dengan Teta

dan Tendenya.

Sang Raksasa terus menyerang dengan cambuknya. Tetapi tidak berani mendekat. Ternyata dibalik

kekuatan dan kelebihannya, tersirat sebuah kekurangan. Raksasa itu tidak berani dengan kulit kerbau

dan serat pohon Waru. Pelan tapi pasti Ncuhi Buncu mulai mendekat. Mencoba untuk terus bertahan

sembari sesekali menyerang. Raksasa itu terus melangkah mundur dan mengelak dari serangan Ncuhi

Buncu.

Hingga pada saat yang tepat, lama kelamaan senjata Ncuhi Buncu mengenai kaki raksasa itu. Ncuhi

Buncu terus menyerang dan memukul mundur Raksasa itu. Semakin lama raksasa itu semakin lemah.

Cambukkannya sudah tidak begitu keras lagi. Napasnya terus menggemuruh kelelahan. Dan sinar
bulan mulai tertutup awan. Keadaan itu terus dimanfaatkan oleh Ncuhi Buncu untuk terus memukul

dan menyerang. Hingga raksasa itu tumbang dan tak sadarkan diri lagi. Tetapi Ncuhi Buncu belum

merasa puas dan berhenti sampai di situ saja. Sambil mengamati gerak gerik sang raksasa, ia terus

memukul. Sampai Sang Raksasa benar-benar tewas.

Rakyat yang sejak tadi menyaksikan adegan perkelahian itu keluar dari tempat persembunyiannya

menuju ke arena pertarungan. Akhirnya wilayah Buncu dan seluruh rakyatnya selamat dari ancaman

Sang Raksasa.

Waktu terus berlalu. Musimpun berganti. Sang Ncuhi pun telah mangkat. Dan untuk mengabadikan

kisah perkelahian antara raksasa dengan Ncuhi Buncu, seluruh rakyat kembali memperagakan adegan

perkelahaian itu. Satu orang dilakonkan sebagai Ncuhi yang memegang Teta dan Tende. Dan yang

seorang lagi memegang Cambuk sebagai raksasa.

Pada perkembangan selanjutnya peragaan itu menjadi permainan rakyat dan atraksi kesenian

tradisional yang sangat menarik di dalam masyarakat Sape dan khususnya dikalangan masyarakat

desa Buncu. Pada masa kesultanan sering dimainkan pada saat upacara PAJA KAI yaitu upacara panen

Sawah sultan.

Diiringi Tambo (Tambur) yang dipukul oleh satu orang, mereka berlaga di tengah sawah yang baru

saja dipanen. Atraksi kesenian ini disebut PARISE BUNCU ( Parise = Perisai BUNCU = Desa Buncu

kecamatan Sape Bima).

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai