O l e h : Alan Malingi
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Ncuhi yang sangat arif dan bijaksana. Ia sangat disegani
dan dihormati oleh seluruh rakyat. Tutur kata dan perbuatannya selalu diikuti oleh seluruh rakyatnya.
Mereka tinggal di hamparan lembah dan gugusan pegunungan di sebelah utara tanah Sape Bima.
Mereka hidup damai tak terusik dalam dekapan keindahan dan kesuburan tanah tumpah darahnya.
Mata air yang mengalir bersih dan jernih. Sawah ladang yang beraneka hasil. Pepohonan yang rimbun
menghijau. Rakyat yang ramah dan bersatu dalam jalinan persaudaraan dan keakraban. Bagai titian
mutiara yang selalu memancarkan sinarnya. Segala sesuatu yang hendak dilakukan selalu dijalani
dengan musyawarah mufakat. Rumah Ncuhi adalah tempat berkumpul dan bertanya tentang sawah
ladang, masa tanam, masa panen serta segala kejadian yang sedang dan akan terjadi.
Namun Pada suatu ketika, seorang warga lari terbirit-birit menghadap Sang Ncuhi. Bersama nafasnya
yang menggemuruh ia menceritakan tentang kejadian aneh yang baru saja dialaminya.
Ncuhi Buncu terperanjat, dan segera ia berdiri dari duduknya. Sejenak ia terkenang tentang pesan
mendiang Ayahnya. Bahwa suatu saat yang akan datang Raksasa yang akan menyerang kampung ini.
Raksasa itu persis seperti yang telah diceritakan orang tadi. Ia akan datang menyerang pada sat
panen dan malam bulan purnama. Raksasa itu tidak akan berhenti menyerang dan mengamuk jika
tidak memenuhi persaratannya. Persaratan itu hanya satu yaitu persembahan seorang bayi yang lahir
“ Seorang bayi ?” Orang itu berkata lirik. Ia mulai gemetaran. Terkenang istrinya yang sedang hamil
Berita tentang raksasa itu tersiar ke seluruh kampung. Dari puncak gunung sampai ke hulu sungai
Bulan purnama bersinar terang. Tetapi tidak seperti biasanya orang-orang leluasa keluar gubuk. Muda
mudi yang berpantun dan bersyair diiringi senandung malam penyejuk kalbu tidak terdengar lagi.
Bunyi lesung mulai bertalu-talu, demikian pula Pentungan. Semakin lama semakin riuh. Orang-orang
lari berhamburan mencari tempat yang dianggap paling aman. Ada yang bersembunyi di gua, di
lubang-lubang yang telah digali. Ada pula yang telah mengungsi ke tempat yang agak jauh dari
kampungnya. Kampung itu seperti tak berpenghuni. Hening dan lengang. Tabah menanti sesuatu
Suara yang meraung-raung dari gugusan pegunungan di sebelah barat mulai terdengar. Pijakan
kakinya menggetarkan bumi di selubung malam itu. Sawah dan tegalan dengan padi yang sudah
menguning luluh lantah. Gubuk dan Dangau menjadi peot. Pohon-pohon besar dicabutnya layaknya
seperti rumput dan ilalang. Batu-batu besar diangkat dan dilemparkan ke arah gubuk maupun dangau
yang belum sempat diraihnya. Raksasa itu mengamuk dan terus mengamuk.
Sementara itu, di depan gubuk yang sudah hancur Ncuhi Buncu berdiri tegap. Tangan kanannya
memegang tombak. Sedangkan di tangan kirinya sebilah keris siap menghunus. Mulutnya komat
kamit membaca segala mantera. Tiba-tiba Sang raksasa berhenti mengamuk. Tatapannya tertuju
kepada sebuah gubuk yang belum terinjak. Di dalamnya terdengar tangisan seorang bayi. Pelan tapi
pasti raksasa itu terus mengamati. Tangannya mulai meraih daun alang-alang yang menjadi atap
gubuk itu. Hingga seluruh atapnya tercabut. Dan cahaya purnama menampilkan sosok seorang ibu
yang sedang mengggendong bayinya. Dalam keadaan panik dan ketakutan sang ibu mencoba
Ncuhi Buncu mulai beraksi. Ditusuknya kaki raksasa itu dengan tombak. Keris pun demikian. Namun
tusukan Ncuhi Buncu tidak dihiraukan oleh raksasa itu. Baginya tusukan itu seperti gigitan semut saja.
Hingga pada puncaknya, tusukan Ncuhi Buncu sangat keras dan dalam. Mengakibatkan kaki raksasa
itu berlumuran darah. Raksasa itu semakin mengamuk dan gila. Tangannya terus menjalar untuk
memungut bayi yang berada dalam pangkuan ibunya. Melihat dan mengamati keadaan itu, Ncuhi
Buncu secepat kilat meloncat dan berlari merebut bayi dan ibunya.
Sang Raksasa mencoba untuk mendapatkan bayi itu. Namun nyali Ncuhi Buncu sangat kuat.
Ketangkasannya untuk menghindar seperti seekor ular yang meliuk-liuk di celah semak belukar. Kejar
mengejar antara raksasa dengan Ncuhi Buncu terus berlangsung. Meski dengan kaki yang sudah
berlumuran darah, raksasa itu terus memburu dan menghadang langkah Ncuhi Buncu. Berbagai
macam cara pula dilakukan Ncuhi Buncu untuk menghindar dari serangan raksasa itu. Dan langkah
terakhir dari segala upayanya adalah merayap dan bersembunyi di dalam parit yang telah ditutupi
Dan tibalah saatnya bulan purnama tertutup awan. Suasana menjadi gelap. Meski tangisan bayi masih
terdengar oleh sang raksasa. Namun sepertinya raksasa itu mulai putus asa dan kelelahan. Dengan
napas yang menggemuruh panjang raksasa itu berhenti. Suasana kembali hening dan lengang.
Tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Sebab Ncuhi buncu terus menutup mulut bayi itu. Dan
Raksasa itu perlahan melangkah sempoyongan menuju ke arah barat. Di malam yang tinggal
Keesokan harinya seluruh warga kembali ke kampung halamannya. Kepiluan tampak dari raut wajah
mereka. Sebab gubuk, sawah dan ladang, pepohonan yang rindang dan berbuah lebat telah rata
dengan tanah. Rintihan dan tangisan keluar dari setiap bibir. Dan kini mereka harus membangun
kembali semuanya seperti dulu. Ketika pertama kali mereka hadir di tempat itu untuk hidup bersama
Dalam suasana duka yang mendalam mereka membersihkan dan mengumpulkan kembali puing-puing
gubuk yang mungkin saja masih dapat dipergunakan lagi. Dengan penuh ketabahan Ncuhi Buncu tak
bosan-bosan menyerukan kepada suluruh warga untuk bersabar dalam menghadapi cobaan hidup dan
kegetiran dari hari ke hari. Bahan makanan yang masih tersisa dinikmati bersama. Meski untuk
beberapa waktu lamanya, mereka tetap harus menanggung secara bersama-sama. Dengan satu
prinsip hidup “ ADA SAMA DIMAKAN, TIDAK ADA SAMA MENAHAN LAPAR.”
“ Saya akan mencari kesaktian untuk mengalahkan raksasa itu. Sebab pada saat purnama depan ia
akan datang lagi. Untuk itu saya berharap agar kalian tidak mengasingkan diri dari kampung ini. Jaga
dan pertahankan kebersamaan yang telah terjalin. Menjelang purnama saya tetap akan kembali.”
Berhari-hari Ncuhi Buncu menelusuri lembah, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai untuk
mencari sesuatu yang diimpikannya. Hingga pada suatu malam, ia melihat seberkas cahaya dalam
kegelapan malam itu. Semakin lama cahaya itu semakin dekat. Ncuhi Buncu gemetar dan ketakutan.
“ Kau siapa? Darimana asalmu?” Ncuhi Buncu bertanya sambil bergerak mundur.
“ Kau tidak perlu takut, aku datang untuk memberimu petunjuk untuk mengalahkan raksasa itu.”
“ Pada malam purnama nanti, ia akan datang. Dan tetap dengan tujuan yang sama. Dia akan
membawa sebuah cambuk. Tetapi kau jangan khawatir, kau akan bisa melawannya.”
“ Senjata yang harus kau gunakan adalah Teta berbentuk panah yang talinya menggunakan serat
pohon waru. Ambillah dari tajuk yang masih muda. Senjata kedua yang harus kau gunakan adalah
Tende (Tameng) yang terbuat dari kulit kerbau. Tende adalah senjatamu untuk menangkis serangan
Ncuhi Buncu pulang kembali ke kampungnya. Seluruh rakyat menyambutnya dengan suka cita. Ia
mengajak warganya untuk mempersiapkan Teta dan Tende. Akhirnya seluruh rakyat sepakat untuk
membantu Ncuhinya membuat Teta dan Tende. Serat pohon Waru dikumpulkan. Dan dipilihlah yang
masih muda. Kerbau disembelih untuk mendapatkan kulitnya. Yang pertama dibuat adalah Tende
Bulan purnama telah meninggi dari langit timur. Suara yang meraung-raung beserta pijakan kaki yang
sangat dahsyat mulai terlihat. Dan memang benar, Raksasa itu membawa Cambo (Cambuk).
Sementara itu, Ncuhi Buncu lari menghadang di ujung kampung. Hal itu dimaksudkan untuk
menghentikan langkah sang raksasa dan mengalihkan perhatiannya agar tidak memasuki kampung.
Raksasa itu mulai menyerang dengan cambuk. Ncuhi Buncu bertahan dan terus bertahan dengan Teta
dan Tendenya.
Sang Raksasa terus menyerang dengan cambuknya. Tetapi tidak berani mendekat. Ternyata dibalik
kekuatan dan kelebihannya, tersirat sebuah kekurangan. Raksasa itu tidak berani dengan kulit kerbau
dan serat pohon Waru. Pelan tapi pasti Ncuhi Buncu mulai mendekat. Mencoba untuk terus bertahan
sembari sesekali menyerang. Raksasa itu terus melangkah mundur dan mengelak dari serangan Ncuhi
Buncu.
Hingga pada saat yang tepat, lama kelamaan senjata Ncuhi Buncu mengenai kaki raksasa itu. Ncuhi
Buncu terus menyerang dan memukul mundur Raksasa itu. Semakin lama raksasa itu semakin lemah.
Cambukkannya sudah tidak begitu keras lagi. Napasnya terus menggemuruh kelelahan. Dan sinar
bulan mulai tertutup awan. Keadaan itu terus dimanfaatkan oleh Ncuhi Buncu untuk terus memukul
dan menyerang. Hingga raksasa itu tumbang dan tak sadarkan diri lagi. Tetapi Ncuhi Buncu belum
merasa puas dan berhenti sampai di situ saja. Sambil mengamati gerak gerik sang raksasa, ia terus
Rakyat yang sejak tadi menyaksikan adegan perkelahian itu keluar dari tempat persembunyiannya
menuju ke arena pertarungan. Akhirnya wilayah Buncu dan seluruh rakyatnya selamat dari ancaman
Sang Raksasa.
Waktu terus berlalu. Musimpun berganti. Sang Ncuhi pun telah mangkat. Dan untuk mengabadikan
kisah perkelahian antara raksasa dengan Ncuhi Buncu, seluruh rakyat kembali memperagakan adegan
perkelahaian itu. Satu orang dilakonkan sebagai Ncuhi yang memegang Teta dan Tende. Dan yang
Pada perkembangan selanjutnya peragaan itu menjadi permainan rakyat dan atraksi kesenian
tradisional yang sangat menarik di dalam masyarakat Sape dan khususnya dikalangan masyarakat
desa Buncu. Pada masa kesultanan sering dimainkan pada saat upacara PAJA KAI yaitu upacara panen
Sawah sultan.
Diiringi Tambo (Tambur) yang dipukul oleh satu orang, mereka berlaga di tengah sawah yang baru
saja dipanen. Atraksi kesenian ini disebut PARISE BUNCU ( Parise = Perisai BUNCU = Desa Buncu
TAMAT