BUAYA PEROMPAK
Konon menurut cerita, dahulu disungai tulang bawang banyak terdapat buaya yang sangat
ganas, sehingga setiap orang yang berlayar disana harus berhati-hati. Para penduduk yang tinggal
disekitar sungai itu pun sangat berhati-hati bila mendekati sungai. Sudah banyak manusia yang hilang
Di sekitar sungai itu, tinggalah seorang gadis yang bernama Aminah. Gadis itu menjadi pujaan
setiap pemuda di kampungnya. Suatu hari, Aminah hilang saat mencuci pakain di sekitar sungai.
“Mungkin Aminah telah disambar buaya, tetapi mengapa kita tidak menemukan jejaknya,” ujar
seorang warga “ Kalau begitu dimanakah Aminah sekarang? Atau ia telah sirna ditelan bumi?
Orang-orang menduga Aminah disambar buaya. Namun anehnya, meskipun penduduk seluruh
kampung tepi sungai Tulang Bawang mencarinya, tidak ada jejak yang tertinggal. Seperti nya Aminah
Semantara itu di dalam sebuah gua besar, Aminah tergolek tak berdaya. Ia baru saja tersadar
dari pingsannya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari gua itu dipenuhi oleh harta benda yang
“jangan takut gadis rupawan!” tiba-tiba terdengar suara yang mengejutkan Aminah. Dilihatnya
“siapa dirimu?” buaya itu pun menjawab “meskipun aku berwujud buaya, sebenarnya aku manusia
juga. “Aku dikutuk menjadi buaya karena perbuatanku yang sangat jahat. Nama ku Somad. Aku
perampok ulung di sungai Tulang Bawang. Setiap saudagar yang berlayar di sungai itu aku rampok.
Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini. Kalau aku butuh makanan, maka sedikit harta itu
kujual di pasar desa tepi sungai. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa aku telah membangun
terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut.” Buaya
perompak tersebut membuka rahasia gua kediamannya, Aminah mendengarkan keterangan itu secara
seksama.
Setiap hari, Buaya itu selalu memberinya hadiah perhiasan. Buaya berharap agar Aminah mau
tetap tinggal bersamanya. Namun, keinginan itu tak ditanggapi Aminah. Aminah ingin kembali ke
“Tolong kembalikan aku ke desa ku” ujar Aminah sambil merengek rengek
Pada suatu hari, Buaya perompak tersebut lengah, ia tertidur dan meninggalkan pintu gua nya
“Aku harus pergi dari tempat ini sebelum buaya itu terbangun dari tidurnya” tiba tiba Amina
terjatuh “ aduuuh, aduh, aduh sakit sekali” Aminah meringis-ringis sambil kesakitan.
Aminah berhasil melarikan diri, Perhiasan yang diberikan kepadanya ia bawa serta. Di balik
gua itu ditemukannya sebuah terowongan yang sempit. Setelah cukup lama menelusuri terowongan itu,
ia melihat seberkas sinar. Rupanya Aminah sudah mendekati pintu terowongan. Betapa gembirannya ia
Setelah keluar dari terowongan, Aminah ditolong ditolong oleh penduduk desa yang sedang
mencari rotan.
“Terima kasih telah menolongku, ini sedikit imbalan untukmu,” kata Aminah kepada penduduk
desa itu.
Aminah pun menghadiahi penolongnya dengan beberapa perhiasan yang dibawanya. Aminah akhirnya
tiba di desanya dengan selamat. Ia kembali hidup tentram di desanya. Kini ia lebih berhati-hati bila
pergi ke sungai.
Amanat : Jika kamu berbuat baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, dan jika kamu berbuat
Pada zaman dahulu ada seorang keluarga kaya yang mempunyai seorang anak laki-laki brnama
si Buyung. Tingkah laku si buyung selalu dibenarkan orangtuanya dan kemauannya selalu diikuti.
Setelah orangtuanya meninggal, si Buyung dewasa menikah. Hidupnya hanya diisi dengan
berfoya-foya. Seluruh peninggalan harta orangtuanya habis untuk bersenang-senang. Setlah harta nya
habis, setiap hari si Buyung hanya duduk melamun. Istrinya yang bekerja mencari nafkah.
Suatu hari istrinya menyuruh si Buyung pergi merantau untuk berguru pada orang pandai. Si
“Angon sukhhok bidi cutiku, artinya kalau mengerjakan sesuatu yang baik, meskipun hati
enggan namun paksakan. Pelajaran ini harus diresapkan selama tiga bulan, maka hidupmu akan
Si Buyung lalu pulang dan mengamalkan ajaran itu. Tetapi, sampai tiga bulan hidupnya tidak
berubah juga. Istrinya menyuruh suaminya berguru lagi. Pada guru yang kedua dia mengaku pernah
mendapat pelajaran pertama dari guru sebelumnya. Guru kedua memberikan pelajaran selanjutnya.
“Angon tilansu sapak cutik, yang artinya jangan terlalu berangan-angan yang tidak masuk akal.”
Pelajaran itu disuruh mengamalkan tiga bulan juga, setelah itu hidup si Buyung akan berubah.
Semenjak menerima pelajaran kedua, hidup si Buyung tak juga berubah. Si Buyung mencari
Guru yang ketiga. Oleh Guru ketiga, si Buyung diberi pelajaran lanjutan.
“Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila di tukhut kon cadang pendirianku. Artinya,
perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila semua dituruti akan rusak.”
Si Buyung pulang untuk mengamalkan dan menunggu selama tiga bulan apakah hidupnya akan
berubah. Tiga kali berguru masih juga tak ada hasilnya. Si Buyung berguru lagi ke empat kalinya. Pada
guru ke empat diberi pelajaran. “Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok titulak. Artinya,
jika ada orang yang meminta pertolongan tengah malam atau sudah menjelang fajar sekalipun, jangan
ditolak.”
Guru itu berpesan supaya si Buyung jangan berguru lagi. Si Buyung disruh mengamalkan ilmu
yang ada padanya dan berbuat kebaikan. Niscaya hidupnya akan berubah.
Sesampai dirumah, si Buyung sadar. Dia memang tak perlu berguru lagi. Akhirnya dia berganti
nama Telu Pak (telu: tiga, pak: empat). Maksud nya adalah orang yang sudah berguru sebanyak empat
kali.
Suatu tengah malam, Telu Pak sedang khusuk berdoa, terdengar pintu rumah nya diketuk.
Ternyata dua orang pegawai istana datang membawa mayat. Pegawai itu meminta Telu Pak untuk
mengubur mayat tersebut. Telu Pak ingat pesan gurunya. Dia langsung mengambil cangkul.
Saat menggali kubur, cangkul nya mengenai sebuah batu. Batu itu mengeluarkan seberkas sinar.
Pekerjaan itu cepat selesai dengan bantuan sinar dari batu itu. Batu bersinar itu dibawa nya pulang dan
ditaruh dibawah jendela rumahnya. Saat itu ada dua orang lewat dan hendak mencuri batu itu. Orang
itu mengatakan bahwa batu itu adalah batu intan yang mahal harganya.
Beruntung istri Telu Pak mendengar percakapan itu. Kemudian batu itu dibawa nya masuk.
Keesokan harinya dia bercerita kepada suaminya perihal batu itu. Batu itu lalu dipecah dan ditunjukkan
pada saudagar perhiasan. Atas persetujuan kedua belah pihak, akhirnya batu intan itu ditukar dengan
dengan took saudagar. Mereka meminta saksi dari kerajaan. Tetapi sang raja berbuat curang. Sang raja
mengatakan kalau dirinya mempunyai intan yang lebih kecil. Sementara intan milik Telu Pak adalah
“Jika intan itu benar induk intan, maka ambilah,” ujar Telu Pak padaraja. Ternyata kedua intan
itu tak bergerak sama sekali. Raja kalah dan terpaksa menandatangani surat perjanjian antara Telu Pak
Telu Pak dan istrinya akhirnya pindah ke rumah yang baru. Ia menjadi orang yang pemurah
hingga sangat dicintai masyarakat. Setelah raja wafat, Telu Pak diangkat oelh rakyat menjadi raja.
Begitulah kisah Telu Pak yang sudah sadar dari kelu-kesahnya, kemudian menjalani hidup
OMPUNG SILAMPONGA
Konon, nama Lampung berasal dari nama seorang yang terdampar setelah berlayar mengarungi
lautan. Orang itu bernama Ompung Silamponga berasal dari Tapanuli, Ompung Silamponga juga
Suatu hari mereka bertiga berlayar. Ketika rakit yang digunakan menepi ke daratan, tanpa
Tiba-tiba ombak datang dan cukup besar menyebabkan Ompung Silamponga bersama rakitnya
terbawa arusnya, Ompung Silamponga juga tak memilki bekal makanan yang cukup.
“aduh perut ku sakit sekali, bekal ku sudah habis pula. Bagaimana ini?” ujar Ompung
Silamponga
Ompung Silamponga merasa kelaparan tubuhnya lemas sehingga membuatnya sakit dan tak
sadarkan diri terombang-ambing tanpa mengetahui ke mana arahnya. Sampai rakitnya menabrak
sebuah karang, esok harinya Ompung Silamponga tersadar, rakitnya tersangkut di batu karang.
Ompung Silamponga turun ke darat mencari sesuatu yang bias dimakan. Ditempatnya
Ompung Silamponga mengingat-ingat kedua saudaranya yang entah berada di mana. Tapi ia tak
putus asa. Terus mencari dan berharap akan bertemu kembali dengan kedua saudara itu.
berharap bisa melihat kedua saudaranya. Namun, sejauh matanya memandang yang terlihat hanyalah
Karena tak menemukan yang dicarinya, Ompung Silamponga turun dari bukit berjalan menuju
ke sebuah lembah. Lembah itu juga memiliki pemandangan yang indah. Ada sungai yang mengalir dan
Secara kebetulan, di tempat ini ia bertemu dengan beberapa orang. Ompung Silamponga
terkejut bertemu orang-orang itu. Orang-orang itu tidak mengenakan pakaian sebagaimana dikenakan
Ompung Silamponga.
“Mengapa mereka tidak memakai baju seperti yang aku pakai,” Ompung Silamponga merasa
keheranan
Mereka bertelanjang dada. Sedangkan bagian bawah tubuh mereka hanya ditutupi dengan
dedaunan. Mereka juga tidak memiliki gubuk untuk berteduh bila malam tiba. Mereka tidur di antara
sela-sela akar pohon yang besar. Ketika siang hari, mereka berjalan masuk keluar hutan. Mereka
memburu hewan-hewan yang ada di hutan. Mereka juga mencari ikan di sungai.
Ompung Silamponga merasa aneh melihat cara hidup orang-orang yang ditemuinya itu. Dan
untungnya, baik Ompung Silamponga dan orang-orang itu tidak saling mengganggu. Ditempat yang
baru itu Ompung Silamponga bekerja sendiri. Ia menebang dahan-dahan pohon untuk mendirikan
gubuk, daun-daun kelapa yang telah jatuh di tanah dianyam oleh Ompung Silamponga untuk dijadikan
atap gubuknya. Dialah satu-satunya orang di hutan itu yang memiliki gubuk sebagai tempat tinggalnya.
Ompung Silamponga melanjutkan pekerjaannya membuka sebidang tanah. Tanah itu dicangkuli
dan ditanami ubi kayu dan ubi rambat. Beberapa bulan bisa dipanen dan hasil panennya banyak,
Mereka senang bisa ikut menikmati hasil panen Ompung Silamponga. Mereka saling membantu
dan akrab. Ompung Silamponga secara tidak langsung mengajari bercocok tanam. Kemudian, mereka
ikut-ikutan membuat gubuk. Orang-orang itupun jadi menaruh hormat kepada Ompung Silamponga.
Lama kelamaan, Ompung Silamponga dan orang-orang itu memiliki kebun yang sangat luas.
Hasil kebun sangat melimpah. Ompung Silamponga mengajari mereka untuk tetap tinggal di tempat
“Kita tak perlu berpindah-pindah tempat. Tempat ini sudah memberikan kita hasil panen yang
Orang-orang itu masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ompung Silamponga. Keesokan
harinya, Ompung Silamponga membuat sebuah gerobak. Gerobak itu kemudian diisi dengan hasil
panen mereka.
Gerobak penuh berisi hasil panenan dibawa Ompung Silamponga ke sebuah tepi sungai. Di
tepi sungai hasil panen diletakkan di sebuah gubuk yang telah dibuat. Setelah itu, Ompung Silamponga
membuat perahu. Oleh Ompung Silamponga perahu itu diisi hasil panen, ia bersama seorang teman
menaiki perahu. Mereka menyisiri aliran air sungai. Ompung Silamponga membawa hasil panennya ke
tempat ramai, turun ke darat menemui orang-orang dan berbincang-bincang. Kepada orang itu,
“Ya, saya mau. Bisa bawa lebih banyak?” Tanya orang yang baru ditemuinya itu.
“Saya punya banyak. Besok saya bawa hasil panen ini ke sini.” Jawab Ompung Silamponga.
Bersama temannya, Ompung Silamponga kembali ke tempat mereka. Setiba di tempat mereka,
orang itu bercererita tentang kejadian hari itu kepada teman-teman mereka. Ompung Silamponga telah
menjual hasil tanaman kita, orang-orang di sungai sebelah sana akan membeli hasil panen kita.
“Nah ini. Tadi aku menjual hasil panen kita dan uang hasil panen itu kubelikan baju untuk
kalian. Sekarang pakailah baju-baju ini,” pinta Ompung Silamponga kepada teman-temannya.
Orang-orang yang dulunya belum mengenakan baju, setelah kejadian jual-beli hari itu kini
mengenakan baju.
Keesokan harinya, seorang saudagar datang menemui Ompung Silamponga. Saudagar itu
merasa senang setelah melihat hasil panen yang begitu melimpah di tempat Ompung Silamponga dan
“Kami juga mencari buah tanaman ini,” kata saudagar itu sambil menunjukkan biji kopi.
“Bisakah saya membeli biji-biji ini, nanti kami akan menanamnya di tanah kami dan
“Oh, tentu. Silahkan, kami sangat senang jika kita bisa bekerja sama,” balas saudagar itu.
Sejak itu, perniagaan di tempat Ompung Silamponga kian ramai dikunjungi para pedagang dari
berbagai tempat. Sungai itu menjadi jalur hilir-mudik perahu-perahu para pedagang. Ompung
Silamponga dan teman-temannya tidak hanya menghasilkan panen umbi-umbian dan sayur-mayur,
tetapi juga menjual biji-biji kopi. Kopi hasil panen di tempat Ompung Silamponga cukup melimpah.
Ini karena penduduknya bertambah ramai. Yang tinggal di situ bukan hanya Ompung
Silamponga dan beberapa temannya, tetapi juga banyak orang lain dari berbagai daerah. Tempat itu
pun dikenal dengan nama Lampung yang berasal dari nama Ompung. Kini Lampung dikenal sebagai