Dahulu kala hiduplah enam orang buta. Mereka sering mendengar tentang gajah. Namun karena
mereka semua belum pernah melihatnya, mereka ingin sekali tahu seperti apa gajah itu. Maka
mereka beramai-ramai pergi melihat gajah.
Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh
gajah yang kokoh. Oh, sekarang aku tahu! katanya, Gajah itu seperti tembok.
Orang buta kedua meraba gading gajah. Mari kita lihat, katanya, Gajah ini bulat, licin dan tajam.
Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.
Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. Kalian salah!
jeritnya, Gajah ini seperti ular!
Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. Ah!
katanya, Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.
Yang kelima memegang telinga gajah. Kipas! teriaknya, Bahkan orang yang paling buta pun tahu,
gajah itu mirip kipas.
Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang
berayun-ayun. Aku tahu, kalian semua salah. Katanya. Gajah mirip dengan tali.
Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh
dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah. Mereka semua hanya
meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu
sendiri.
Dahulu kala hiduplah seekor monyet di sebatang pohon jamblang di tepi sungai. Ia bahagia
walaupun tinggal sendiri . Pohon itu mempunyai banyak buah yang manis dan memberinya tempat
berteduh pada saat hari panas atau hujan.
Pada suatu hari seekor buaya naik ke tepian sungai dan beristirahat di bawah pohon. Sang monyet
yang ramah menyapanya, Halo.
Halo, jawab buaya. Apakah kau tahu dimana aku dapat menemukan makanan? Tampaknya sudah
tidak ada ikan lagi di sungai ini.
Aku tidak tahu dimana ada ikan Namun aku mempunyai banyak buah jamblang yang masak di
pohon ini. Ini, cobalah! kata monyet sambil memetik beberapa buah jamblang dan melemparkannya
kepada buaya.
Buaya memakan semua buah yang diberikan monyet.Ia suka rasanya yang manis. Ia minta monyet
memetik buah jamblang lagi untuknya.
Sejak saat itu buaya datang setiap hari. Mereka pun menjadi sahabat. Mereka mengobrol sambil
makan buah jamblang.
Pada suatu hari buaya bercerita tentang isteri dan keluarganya.Mengapa baru sekarang kau bilang
bahwa kau punya isteri? Bawalah jamblang ini untuk isterimu.
Isteri buaya menyukai buah jamblang. Ia belum pernah makan sesuatu yang begitu manis. Ia
berpikir betapa manisnya daging monyet yang sepanjang hidupnya makan buah jamblang setiap
hari. Air liurnya menetes.
Suamiku, kata isteri buaya, ajaklah monyet kemari untuk makan malam. Lalu kita makan dia.
Pasti dagungnya lezat dan manis.
Puteri Hang Li Po
Hang Li Po ialah isteri kelima kepada Sultan Mansur Syah (1456 1477), sultan Melaka yang
memerintah dari tahun 1456 hingga tahun 1477. Walaupun beliau merupakan puteri kepada
Maharaja Yongle, [1] maharaja Wangsa Ming di China, namun tidak terdapat sebarang rujukan
kepadanya sebagai puteri dalam babad Wangsa tersebut.
Hubungan diplomatik Melaka-Ming
Menurut Sejarah Melayu, karya Tun Seri Lanang daripada abad ke-17, apabila Sultan Mansur Shah
hendak menjalin hubungan diplomatik dengan China, baginda menghantar Tun Perpatih Putih
sebagai utusannya, dengan sepucuk surat untuk Maharaja Yongle. Tun Perpatih berjaya menarik
hati Maharaja China dengan kemasyhuran dan ketersergaman Kesultanan Melaka sehingga
Maharaja tersebut menghadiahi puterinya, Hang Li Po, untuk dijadikan isteri Sultan. [2]
Li Po datang ke Melaka bersama-sama 500 orang pengiring perempuan dan selepas memeluk
agama Islam, berkahwin dengan Sultan Mansur Syah. Selepas perkahwinan mereka, Sultan Mansur
Syah membina sebuah istana untuk Li Po, dengan pengiring-pengiringnya diberikan tempat tinggal
yang tetap di Bukit Cina. Pengiring-pengiring Li Po kemudian berkahwin dengan pegawai-pegawai
Sultan Mansur Syah. Li Po kemudian dikenali sebagai Hang Li Po selepas dianugerahkan dengan
gelaran Hang oleh Sultan Mansur Syah.
Perkahwinan Hang Li Po dengan Sultan Mansur Syah dikurniakan seorang anak lelaki yang dinamai
baginda sebagai Paduka Mimat.
Bukit Cina akhirnya menjadi sebuah kawasan perkuburan untuk orang Cina tempatan. Perkuburan
Bukit Cina dan Perigi Hang Li Poh masih ada di Melaka hingga ke hari ini.
Perigi Hang Li Po
Perigi Hang Li Poh atau juga dikenali sebagai Perigi Raja ini dibina pada tahun 1459 dibawah
arahan Sultan Mansur Shah kepada isteri baginda, seorang puteri dari negara China, Puteri Hang Li
Poh.
Perigi ini tidak pernah kering dan merupakan satu-satunya punca air semasa musim kemarau. Pihak
Belanda membina tembok disekelilingnya pada tahun 1677 untuk memeliharanya sebagai perigi
permintaan (wishing well).
Ada yang berkata bahawa mereka yang melontar duit syiling ke dalamnya akan kembali ke Melaka
pada masa depan. Perigi ini terletak di Jalan Puteri Hang Li Poh.
Sumber: Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas
Dahulu kala, ada sebuah danau yang sangat jernih di Yunnan. Beberapa orang petani
memelihara sapi di dekat danau itu. Tiap pagi mereka mambawa sembilan puluh sembilan
ekor sapi untuk minum di danau, namun pada siang hari, sapi-sapi itu berubah menjadi
seratus ekor. Seorang gadis cantik selalu muncul pada saat yang sama. Tak seorang pun
tahu dari mana asal gadis itu, namun mereka menyukainya. Ia tahu tentang banyak hal dan
suka bercerita. Ceritanya sangat menarik.
Ada seekor sapi ajaib di antara ternak kalian, katanya. Ia dapat berjalan di atas air.
Sehelai bulunya dapat mengangkat beban yang sangat berat.
Para petani menanyakan sapi yang mana yang ia maksudkan, namun ia hanya tersenyum.
Hanya orang yang jujur yang dapat mengetahuinya, katanya.
Pada suatu hari, sapi-sapi itu sedang mencari makanan. Gembala tua yang biasa menjaga
mereka mengumpulkan mereka. Tak disadarinya tongkat tua yang dipakainya menyentuh
seekor sapi. Beberapa helai bulu sapi itu terselip pada retakan pada ujung tongkat.
Sore pun tiba, gembala itu mengikat dua keranjang kayu bakar pada ujung-ujung tongkat
dan memikulnya. Heran, katanya dalam hati, Kayu ini ringan sekali. Mungkin aku baru
mengumpulkan sedikit kayu. Hari masih terang, lebih baik aku mengumpulkan kayu lagi.
Ia pun mengumpulkan kayu lagi banyak-banyak. Diikatnya pada kedua ujung tongkat.
Namun ia tetap dapat mengangkatnya dengan mudah. Ia pun pulang.
Demikianlah, tiap hari gembala tua mengumpulkan banyak kayu bakar dan membawanya
ke pasar untuk dijual. Karena kayu yang dijualnya jauh lebih banyak dari sebelumnya, ia
pun mendapat lebih banyak uang dan dapat menabung.
Pada suatu hari, ketika kakek itu membawa kayu itu ke pasar, seorang kaya melihatnya. Ia
heran karena gembala yang sudah tua itu dapat membawa begitu banyak kayu. Tiap hari ia
menunggu kakek itu lewat membawa kayu. Ia pun menemui kakek itu dan bertanya, Kek,
bagaimana kau dapat membawa kayu yang berat itu?