Anda di halaman 1dari 12

Kancil dan Buaya

Pada zaman dahulu Sang Kancil merupakan binatang yang paling cerdik di dalam hutan. Banyak
binatang di dalam hutan datang kepadanya untuk meminta pertolongan apabila mereka menghadapi
masalah. Walaupun ia menjadi tempat tumpuan binatang-binatang di dalam hutan, tetapi ia tidak
menunjukkan sikap yang sombong malah bersedia membantu kapan saja.

Suatu hari Sang Kancil berjalan-jalan di dalam hutan untuk mencari makanan. Karena makanan di
sekitar kawasan kediamannya telah berkurang, Sang Kancil pergi untuk mencari di luar kawasan
kediamannya. Cuaca pada hari itu, sangat panas dan terlalu lama berjalan, menyebabkan Sang Kancil
kehausan. Lalu, ia berusaha mencari sungai terdekat. Setelah mengelilingi hutan akhirnya Kancil aliran
sungai yang sangat jernih airnya. Tanpa membuang waktu, Sang Kancil minum sepuas-puasnya.
Dinginnya air sungai itu menghilangkan rasa dahaga Sang Kancil.

Kancil terus berjalan menyusuri tebing sungai. Apabila terasa capai, ia beristirahat sebentar di
bawah pohon beringin yang sangat rindang. Kancil berkata di dalam hatinya Aku mesti bersabar jika
ingin mendapat makanan yang lezat-lezat. Setelah rasa capainya hilang, Sang Kancil kembali menyusuri
tebing sungai tersebut sambil memakan dedaunan kegemarannya yang terdapat di sekitarnya. Ketika tiba
di satu kawasan yang agak lapang, Sang Kancil memandang kebun buah-buahan yang sedang masak
ranum di seberang sungai. Alangkah enaknya jika aku dapat menyeberangi sungai ini dan dapat
menikmati buah-buahan tersebut, pikir Sang Kancil.
Sang Kancil terus berpikir mencari akal bagaimana cara menyeberangi sungai yang sangat dalam
dan deras arusnya itu. Tiba-tiba Sang Kacil memandang Sang Buaya yang sedang asyik berjemur di tebing
sungai. Sudah menjadi kebiasaan buaya, apabila hari panas buaya suka berjemur untuk mendapat cahaya
matahari.Tanpa berlengah-lengah lagi kancil menghampiri buaya yang sedang berjemur lalu berkata, Hai
sahabatku Sang Buaya, apa kabarmu hari ini? Buaya yang sedang asyik menikmati cahaya matahari
membuka mata dan didapati Sang Kancil yang menegurnya. Kabar baik sahabatku, Sang Kancil.
Sambung buaya lagi, Apakah yang menyebabkan kamu datang ke mari?

Aku membawa kabar gembira untukmu, jawab Sang Kancil. Mendengar kata-kata Sang Kancil, Sang
Buaya tidak sabar lagi ingin mendengar khabar yang dibawa oleh Sang Kancil, lalu berkata, Ceritakan
kepadaku apakah yang hendak engkau sampaikan?

Kancil berkata, Aku diperintahkan oleh Raja Sulaiman supaya menghitung jumlah buaya yang
terdapat di dalam sungai ini karena Raja Sulaiman ingin memberi hadiah kepada kamu semua.
Mendengar nama Raja Sulaiman saja sudah menakuti semua binatang karena Nabi Sulaiman telah diberi
kebesaran oleh Allah untuk memerintah semua makhluk di muka bumi ini. Baiklah, kamu tunggu di sini,
aku akan turun ke dasar sungai untuk memanggil semua kawanku, kata Sang Buaya. Sementara itu, Sang
Kancil sudah berangan-angan untuk menikmati buah-buahan. Tidak lama kemudian, semua buaya yang
berada di dasar sungai berkumpul di tebing sungai. Sang Kancil berkata Hai buaya sekalian, aku telah
diperintahkan oleh Nabi Saulaiman supaya menghitung jumlah kamu semua karena Nabi Sulaiman akan
memberi hadiah yang istimewa pada hari ini. Kata kancil lagi, Berbarislah kamu merentasi sungai mulai
dari tebing sebelah sini sampai ke tebing sebelah sana.

Karena perintah tersebut datangnya dari Nabi Sulaiman, semua buaya segera berbaris tanpa
membantah. Kata Buaya, Sekarang hitunglah, kami sudah bersedia. Sang Kancil mengambil sepotong
kayu yang berada di situ lalu melompat ke atas buaya yang pertama di tepi sungai dan ia mulai
menghitung dengan menyebut Satu dua tiga lekuk, jantan betina aku ketuk, sambil mengetuk kepala
buaya hingga Kancil berjaya menyeberangi sungai. Ketika sampai ditebing seberang, Kancil terus
melompat ke atas tebing sungai sambil bersorak gembira dan berkata, Hai buaya-buaya sekalian, tahukah
kamu bahwa aku telah menipu kamu semua dan tidak ada hadiah yang akan diberikan oleh Nabi
Sulaiman.

Mendengar kata-kata Sang Kancil semua buaya merasa marah dan malu karena mereka telah ditipu
oleh kancil. Mereka bersumpah dan tidak akan melepaskan Sang Kancil apabila bertemu pada masa akan
datang. Dendam buaya tersebut terus membara hingga hari ini. Sementara itu Sang Kancil terus melompat
kegembiraan dan terus meninggalkan buaya-buaya tersebut dan menghilangkan di dalam kebun buah-
buahan untuk menikmati buah-buahan yang sedang masak ranum itu.
Buaya Perompak
Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah menghuni Sungai Tulang Bawang,
Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia
yang menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah
tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik
Aminah? Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Buaya
Perompak berikut ini!

Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang
melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi
sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama
sekali.

Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama
Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-
hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa
meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan
pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.

Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si
Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.

Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.

Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa
dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua
itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian
indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding
gua.

Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya? tanya Aminah dalam hati.

Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.

Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.

Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar
merangkak di sudut gua.

Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia? tanya Aminah dengan
perasaan takut.

Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu.
Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba., kata Buaya itu.

Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya? tanya Aminah ingin tahu.


Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok
ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di
sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini, jelas Buaya itu.

Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan? tanya Aminah.

Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat
bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka
juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan
gua ini dengan desa tersebut, ungkap Buaya itu.

Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak
disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua
keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.

Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu? tanya Buaya itu.

Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang, jawab Aminah.

Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu? tanya Aminah

Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah! jawab Buaya itu.

Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian? tanya Aminah heran.

Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka
kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku
di dalam gua ini? tanya Buaya itu.

Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.

Ma maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku, jawab
Aminah menolak.

Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.

Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam
gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu, ancam Buaya itu.

Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia
berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.

Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini, jawab Aminah setuju.

Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping
sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.

Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu
memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat
dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam
keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini, kata Aminah dalam hati.

Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah
terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan
sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk
membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.

Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu
dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar
masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut
terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke
belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut
terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat
dari ancaman Buaya Perompak itu.

Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu, Aminah berucap syukur.

Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu
dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.

Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri? tanya penduduk desa
itu.

Aku Aminah, Tuan! jawab Aminah.

Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu.
Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya.
Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang
melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.

Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya
menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada
kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk
mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.

Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas
termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu,
keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.

Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah
yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun
berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik
sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku
Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang
Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya. Dalam
kehidupan orang Melayu, merampas hak milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat
dipantangkan.
Monyet dan Ayam

Pada suatu zaman, ada seekor ayam yang bersahabat dengan seekor monyet. Si Yamyam dan si
Monmon namanya. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si Monmon yang
suka semena-mena dengan binatang lain. Hingga, pada suatu petang si Monmon mengajak Yamyam untuk
berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang, si Monmon mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si
Yamyam dan mulai mencabuti bulunya. Yamyam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Lepaskan aku,
mengapa kau ingin memakan sahabatmu? teriak si Yamyam. Akhirnya Yamyam, dapat meloloskan diri.

Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. si Kepiting
merupakan teman Yamyam dari dulu dan selalu baik padanya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam
lubang rumah si Kepiting. Di sana ia disambut dengan gembira. Lalu Yamyam menceritakan semua
kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Monmon.

Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Monmon. Ia berkata,
Mari kita beri pelajaran si Monmon yang tidak tahu arti persahabatan itu. Lalu ia menyusun siasat untuk
memperdayai si Monmon. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Monmon untuk pergi
berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai
adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.

Kemudian si Yamyam mengundang si Monmon untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan


rakusnya si Monmon segera menyetujui ajakan itu karena ia berpikir akan mendapatkan banyak makanan
dan buah-buahan di pulau seberang. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu
sampai di tengah laut, Yamyam dan kepiting berpantun. Si Yamyam berkokok Aku lubangi ho!!! si
Kepiting menjawab Tunggu sampai dalam sekali!!

Setiap kali berkata begitu maka si Yamyam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka
itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut, sedangkan Si
Yamyam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Monmon yang berteriak minta tolong karena
tidak bisa berenang. Akhirnya ia pun tenggelam bersama perahu tersebut.
Fabel Kancil Mencuri Timun
Alkisah Sang Kancil yang baru saja diangkat jadi raja hutan kedatangan serombongan
gajah yang bertamu sambil membawa anak mereka yang sakit. Semua tabib di hutan telah
menyerah, tak mampu mengobati penyakitnya. Badan Si Ajah (Anak gaJah) demam, kepalanya
pusing, perut mual dan tidak mau makan, mirip dengan penyakit meriang biasa tetapi tidak
kunjung sembuh.

Setelah Sang Kancil memeriksa dengan seksama, tahulah dia bahwa si Ajah telah terserang
typhus. Belum ada obat typhus yang dimiliki apotek hutan raya, sehingga hanya ada harapan kecil
bagi Ajah untuk sembuh.
Namun sebenarnya ada peluang untuk sembuh, yaitu mendapatkan antibiotik yang telah
ditemukan bangsa manusia bertahun-tahun silam. Sang Kancil tahu ada beberapa keluarga petani
yang menetap di pinggir hutan. Mungkin mereka memiliki persediaan antibiotik itu.
Tapi siapakah yang berani meminta antibiotik pada mereka?
Seperti yang diduga Sang Kancil, tak satupun gajah yang berani pergi ke rumah petani
untuk meminta antibiotik. Termasuk Sang Gajah Ketua. Si Gajah raksasa paling besar diantara
rombongan gajah itu gentar mendengar kata manusia.
Dalam bayangannya, bila dia muncul di depan Pak Tani yang gagah perkasa itu, dia masih
beruntung bila hanya ditangkap dan dijadikan kuli pengangkut barang. Kalo lagi sial, hidupnya
bakalan berakhir di moncong senapan berburu yang sangat dahsyat itu. Andai di sini ada si biri-
biri pemberani, pasti dia mau datang pada petani. Tapi biri-biri tinggal di kota, bukan di hutan ini.
Tidak pilihan lain bagi Sang Kancil selaku cendekiawan sekaligus pemimpin binatang-
binatang di hutan raya selain datang sendiri ke rumah petani untuk meminta antibiotik. Maka
pada pagi hari yang cerah, dengan diiringi lambaian tangan rakyatnya, Sang Kancil melangkahkan
kakinya meninggalkan hutan raya menuju tanah pertanian di pinggir hutan dengan hanya
membawa sedikit bekal makanan. Maklum dia sedang diet karena beberapa bulan ini tubuhnya
terasa makin tambun saja.

Dengan bantuan peta yang dipinjam dari perpustakaan hutan raya, Sang Raja Hutan tahu
jalan paling pendek menuju tanah pertanian. Hanya butuh waktu satu minggu sebelum Sang
Kancil menginjakkan kakinya di tepi hutan, padahal bila tanpa bantuan peta bisa mencapai 1
bulan untuk sampai di pemukiman manusia. Wajarlah karena Sang Kancil adalah seorang raja
yang suka melakukan inovasi agar segala sesuatunya semakin baik. Samar-samar dilihatnya
kebun tanaman luas membentang di hadapannya.
Setelah melewati kebun kiwi, kebun alamanda, kebun bunga matahari, kebun rapunzel dan
kebun lidah buaya, sampailah Sang Kancil di kebun timun yang berbuah lebat. Dipandanginya
ratusan timun yang menjuntai dari batang-batang tanaman.
Timun-timun yang panjang dan gemuk, dengan warna hijau segar yang menerbitkan selera.
Dilihatnya ada sesosok tubuh yang berdiri membelakangi dirinya. Disangkanya dia adalah Pak
Tani.
Sang Kancil menyapa sesosok tubuh itu. Tapi dia diam saja. Sang Kancil mencoba menyapa
dengan suara lebih keras, kemudian lebih keras lagi lalu sampai setengah berteriak. Tapi sosok itu
masih diam saja. Sang Kancil mendekat dan mencoba menyentuh bahu sosok itu. Tapi celaka.
Tangannya menempel pada sosok itu.
Saat tangan yang satunya mencoba membantu melepaskan, justru ikut menempel di sosok
itu. Tahulah Sang Kancil bahwa dirinya telah terjebak pada orang-orangan sawah yang telah
dilumuri getah nangka yang sangat lengket.
Dia pernah membaca tentang bahaya jebakan orang-orangan sawah itu di salah satu buku
di perpustakaan hutan raya. Menurut buku itu seharusnya dirinya tak boleh dekat-dekat sosok
mirip manusia itu, karena bisa terperangkap. Tapi terlambat, Kancil baru menyadari setelah
terjebak.
Sore hari saat menengok kebunnya, Pak Tani yang penasaran karena beberapa minggu
terakhir ini timunnya selalu dicuri -- merasa girang gembirang. Seekor binatang asing telah
terjebak pada orang-orangan berlumur getah yang dipasangnya.

Pastilah dia adalah pencuri sialan itu pikirnya. Sia-sia sajalah Sang Kancil mencoba membantah
kata-kata Pak Tani. Tak ada ampun bagi pencuri tandas Pak Tani sambil menyeret Sang Kancil
ke rumahnya.
Anjing Gembala milik Pak Tani menyambangi Sang Kancil yang meringkuk di kandang
ayam di halaman belakang rumah Pak Tani. Sungguh malang kau pengelana pencuri! katanya.
Tiba-tiba Sang Kancil teringat buku tentang anjing yang ditulis kakeknya.
Di buku Monograf tentang Anjing tersebut diterangkan bahwa anjing memiliki kemampuan
melacak berdasar bau-bauan. Sebuah keahlian yang berguna untuk melacak pencuri. Bisa
bermanfaat untuk membuktikan bahwa Kancil tidak bersalah.
Sang Kancil menceritakan bahwa dirinya tidak mencuri. Dimintanya Anjing Gembala
memeriksa apakah timun tidak dicuri lagi setelah dirinya ditangkap. Bila timun masih dicuri,
berarti bukan dirinya yang mencuri.
Untunglah Anjing Gembala bersedia memenuhi permintaan Sang Kancil setelah dipuji-puji
bahwa Si Anjing Gembala adalah binatang paling ahli untuk menjadi detektif yang melacak jejak
pencuri. Sang Anjing yang dari sononya memang memiliki kemampuan melacak itu merasa
tersanjung atas pujian Sang Kancil dan bertekad untuk membuktikan kemampuannya.
Maka dengan senang hati Anjing Gembala menghitung timun pada sore hari dan
menghitung ulang pada pagi harinya. Dan benarlah kata Sang Kancil, bahwa ada pencuri yang lain
yang telah mengambil timun di malam hari.
Saat diberitahu hal itu oleh Anjing Gembala, Pak Tani menjadi marah. Bagaimana mungkin
Sang Kancil yang telah dikurungnya masih mampu mencuri timun?. Setelah berdebat seru dengan
Sang Kancil dan Anjing Gembala tentang siapakah yang telah mencuri timun, akhirnya Pak Tani
mau mengikuti taktik melacak pencuri yang diajarkan Sang Kancil. Tentu saja si Anjing Gembala
girang bukan kepalang,dia punya kesempatan emas untuk membuktikan kehandalan dirinya
dalam melacak pencuri.
Sang Kancil mengajari Anjing Gembala teknik melacak pencuri sesuai yang dia baca di
Buku Detektif Hutan yang menjelaskan cara-cara menemukan pencuri dengan cepat.
Buku yang ditulis oleh seekor anjing hutan senior yang piawai melacak segala macam
pencuri itu telah dibaca berkali-kali oleh Sang Kancil sejak masih kecil. Sang Kancil juga telah
berkali-kali mempraktekkan teknik dari buku itu untuk memecahkan kasus-kasus barang hilang di
hutan raya.
Pertama, Sang Kancil meminta daftar semua binatang peliharaan yang dimiliki petani.
Ternyata ada banyak sekali binatang peliharaan di tanah pertanian itu. Ada lima puluh ekor ayam
yang dibiarkan bebas berkeliaran. Ada enam puluh delapan ekor itik yang digembala oleh seorang
pembantu.Terdapat dua belas ekor sapi perah untuk diambil susunya dan tujuh ekor kerbau yang
dipergunakan untuk bekerja.
Ada juga enam ekor kuda untuk menarik kereta. Kemudian ada sepuluh ekor kelinci yang
dikurung di kebun belakang dengan dikelilingi pagar tembok. Kelinci itu dibeli Pak Tani dua tahun
lalu.
Langkah kedua dimintanya Anjing Gembala melacak bau-bauan dari bulu-bulu atau
rambut yang tercecer di kebun timun, dan dicocokkan dengan bau-bauan di kandang masing-
masing hewan tadi. Sampai akhirnya ketemulah bau kandang yang paling mendekati bau yang ada
di kebun timun.
Langkah ketiga adalah Sang Kancil meminta Anjing Gembala berjaga di luar kandang
binatang yang menjadi tersangka utama. Sampai akhirnya si Anjing Gembala membuntuti
sekelompok binatang yang muncul dari lubang-lubang bawah tanah yang dibuat di luar kadangnya
dan berhasil menangkap basah saat mereka sedang melahap timun.
Pak Tani sangat senang dan berterimakasih pada Sang Kancil dan Anjing Gembala atas
keberhasilan menangkap pencuri. Dikurungnya binatang-binatang pencuri timun yang akan segera
diberi pelajaran olehnya. Namun Sang Kancil mencegah petani memberi hukuman pada binatang
tersebut.
Diceritakannya bahwa wajar binatang yang memiliki kemampuan untuk membuat lubang
dalam tanah tersebut -- untuk keluar mencari makan. Itu karena Pak Tani memberi jatah
makanan yang kurang.
Rupanya binatang itu adalah para kelinci -- yang disangka oleh Pak Tani masih berjumlah
10 ekor. Padahal jumlah kelinci telah bertambah sejak pertamakali dibeli Pak Tani. Sekarang
jumlahnya telah lebih dari dua puluh ekor. Mereka cepat beranak pinak sehingga jumlah makanan
yang dijatah pak Tani tak lagi mencukupi. Akibatnya beberapa ekor kelinci badung nekad keluar
kandang untuk mencari tambahan makanan.
Sadarlah Pak Tani bahwa sejak dua tahun lalu dia hanya memberi jatah satu keranjang
sayur dan buah-buahan yang cukup untuk 10 ekor kelinci. Sementara jumlah kelinci telah jauh
bertambah. Jadi mereka kelaparan dan kemudian ada beberapa ekor yang tidak tahan lapar
keluar dari pagar untuk mencari makanan.
Menyesalah dirinya atas kelalaian itu. Kemudian dibebaskanlah kelinci-kelinci yang
dikurungnya. Mengikuti jejak Sang Kancil yan juga telah dilepaskannya dari kurungan.
Kini tibalah saatnya Sang Kancil mengungkapkan tujuan dirinya bertandang ke tempat Pak
Tani. Diceritakannya bahwa dirinya membutuhkan antibiotik typhus untuk diberikan pada anak
gajah yang sakit.

Untunglah Pak Tani menyanggupi memberikan antibiotik itu. Dia punya kenalan seorang
dokter muda yang kebetulan sedang menginap dirumahnya setelah bertugas mengobati penduduk
di kampung-kampung terpencil yang tengah terjangkit wabah typhus. Dia membawa persediaan
antibiotik yang cukup untuk mengobati anak gajah hingga sembuh.
Maka pada pagi hari yang cerah, Sang Kancil melangkahkan kaki kembali ke hutan sambil
menenteng anibiotik buat anak gajah. Tak disangka keterjebakan dirinya pada orang-orangan
sawah telah membantunya mendapatkan antibiotik dari petani.
Sementara Pak Tani juga merasa beruntung dapat menolong anak gajah. Dia juga senang
karena timun-timunnya tak lagi dicuri setelah dia menambah jatah makanan buat kelinci-
kelincinya. Anjing Gembala juga girang bahwa kemampuan melacaknya telah berhasil
memecahkan problem pencurian timun milik Pak Tani (undil- 2011)
Si Hiu Yang Suka Berbohong

Di sebuah laut yang sangat dalam, hiduplah seekor hiu yang besar. Hiu besar itu mempunyai
banyak teman, dan semua teman-temannya pun suka kepadanya, karena ia pandai mendongeng. teman-
teman hiu antara lain paus besar, gajah laut dan ikan pari, Hiu mulai mendongeng kepada teman-temannya
itu. Ia mendongeng tentang kehebatan dirinya sendiri. Dengan sombongnya hiu memuji-muji dirinya
sendiri.

Hiu mendongeng bahwa ia mempunyai kelebihan bahwa ia tak terkalahkan, hiu bertanya kepada teman-
temannya itu, Terus apa saja kelebihan kalian?, paus besar menjawab,aku bisa tumbuh besar dan
melompat ke atas, lalu gajah laut ikut menjawab, aku bisa berjalan di darat dengan mamakai sirip dan
perutku, tak ketinggalam ikan pari ikut pula menjawab, aku bisa berenang dengan kedua sayapku.
Mendengar jawaban teman-temannya tampaknya hiu tak mau kalah dengan kelebihan temannya
masing-masing, hiu mendongeng lagi, apakah kalian pernah bertemu ikan piranha?, paus besar balik
bertanya kepada hiu, apakah kamu pernah bertemu, hiu?, dengan nada sombong hiu menjawab, aku
pernah bertemu dengan rombongan ikan piranha, dan mereka tidak akan memakanku, karena aku adalah
hiu yang besar, hahahahaaaa!, kamu tidak takut hiu? tanya paus besar. aku tidak takut pada
siapapun? jawab hiu dengan penuh percaya diri.

Dengan nada jengkel ikan pari menyahut, apakah benar semua itu hiu?, benar, karena kau lebih
besar dibanding piranha, dan aku lebih kuat, sahut hiu dengan nada yang lantang. Wah kamu memang
hebat hiu,dengan terkagum gajah laut memuji hiu. Dengan serius mereka mendengarkan dongeng hiu di
atas sebuah kapal yang sudah lama karam. Ketika mereka sedang asyik mendengarkan dongeng si hiu,
dengan tiba-tiba ada rombongan ikan piranha yang lewat di dekat mereka, dengan cepat paus besar, gajah
laut, dan ikan pari bersembunyi di dalam kapal yang karam itu.

Rombongan ikan piranha itu menuju ke kapal karam itu, mereka berputar-putar dan nampaknya
mereka sedang lapar dan ingin mencari makan. Dengan hati-hati mereka bertiga terus bersembunyi di
dalam kapal karam, namun dimana si hiu?, ternyata di hiu sedang bersembunyi dan sangat ketakutan.
Beruntung rombongan piranha itu segera pergi. Setelah situasi aman, paus besar dan kedua temannya
keluar dari persembunyian mereka, dengan penuh tanda tanya mereka mencari si hiu, kemana hiu tadi?
tanya di gajah laut. Dengan gemetar hiu keluar dari persembunyiannya dengan wajah yang ketakutan.
Hiu, kemana saja kamu?, mengapa kamu tidak menghadapi mereka?. tanya ikan pari. Mana
kehebatanmu hiu, seperti dongengmu tadi?, hiu hanya terdunduk dan terdiam menahan malu karena
sudah berbohong kepada teman-temannya.

Maka dari itu jangan suka berbohong ya, karena akan membuat dirimu malu. bicaralah apa adanya
sesuai dengan kenyataan, kalau begini kan malu jadinya.

Anda mungkin juga menyukai