Anda di halaman 1dari 74

Kumpulan Cerita Rakyat

Kelas #TeaterDongeng
@festivalGIM
KISAH RAJA PARKIT DARI ACEH
Disebuah hutan yang damai, hiduplah seekor raja burung parkit bersama rakyatnya. Pada suatu hari
seorang pemburu berhasil menangkap mereka semua dengan menaruh perekat disekitar sangkar-
sangkar mereka. Mereka berusaha melepaskan diri, namun tidak berhasil. Ketika semua panik, raja
parkit mengusulkan kepada mereka untuk pura-pura mati saat pemburu itu datang. Setelah itu,
dalam hitungan seratus, semua harus terbang bersama-sama.

Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Betapa kecewanya saat berusaha melepaskan
perekatnya ia mengetahui burung-burung tersebut sudah tidak bergerak. Namun si pemburu jatuh
terpeleset, sehingga membuat burung-burung tersebut terkejut dan terbang. Hanya raja parkit yang
belum terlepas dari perekat. Raja parkit pun meminta agar tidak dibunuh, dan berjanji akan selalu
menghibur si pemburu dengan nyanyian yang merdu. Kabar kemerduanya terdengar hingga ke
telinga sang raja. Raja Parkit pun ditukar dengan harta-harta yang melimpah.

Meskipun di istana sang Raja Burung Parkit tetap berada di sebuah sangkar emas, ia tidak bahagia.
Maka, suatu hari ia berpura-pura mati. Sang raja sangat sedih dan memerintahkan penguburanya
dengan upacara kebesaran. Saat itulah, raja parkit berhasil lolos dan terbang menuju hutan
kediamannya. Ia pun kembali hidup bahagia bersama rakyatnya.

Pesan yang terkandung : Raja parkit selalu bersikap pantangmenyerah terhadap kegagalan, kembali
bangkit dan berusaha.
SUNGAI JODOH (CERITA RAKYAT DARI BANGKA BELITUNG)

Di pedalaman pulau batam, ada seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia bekerja pada
Mah Piah yang kikir dan serakah. Anaknya pun berwatak serupa dengan ibunya. Pada suatu hari
ketika Mah Bongsu mencuci di sungai, seekor ular yang memiliki luka di punggungnya mendekat.
Mah Bongsu merasa kasihan lalu merawatnya di rumah. Setiap kali kulit ular terkelupas, Mah Bongsu
membakarnya hingga menimbulkan asap. Tak disangka asap tersebut menimbulkan banyak harta.
Mah Bongsu pun kaya dalam sekejap. Saat Mah Piah mengetahui bahwa kulit ulat di rumah Mah
Bongsu mendatangkan harta, ia pun segera mencari ular dan meletakannya dikamar anaknya.
Bukanya untung, anaknya justru meninggal karena dipatuk ular berbisa.

Ketika ular yang dipelihara Mah Bongsu sudah sembuh, ia mulai berkata-kata dalam bahasa
manusia.

Ia minta diantarkan ke sungai, dimana ia kemudian menanggalkan kulit ularnya dan menjelma
kembali menjadi pemuda tampan. Kulitnya berubah menjadi sebuah rumah. Tempat itu kemudian
diberi nama desa ‘tiban’ (ketiban rejeki). Sungai tersebut diberi nama sungai jodoh karena dipercaya
sebagai tempat bertemunya jodoh.

Pesan yang terkandung : Keadaan yang sulit tidak menyurutkan mah Bongsu untuk berbuat baik
sehingga mendapatkan kebahagian atas perbuatanya.
TERJADINYA NEGERI JAMBI (CERITA RAKYAT JAMBI)
Dahulu di Sumatra, ada seorang gadis berkulit putih yang kemerah-merahan bagai kulit pinang
masak. Orang-orang menyebutnya Putri Pinang masak. Banyak pemuda yang berniat untuk
melamarnya, termasuk Raja Buruk Rupa yang tinggal di Pulau jawa. Putri Pinang Masak tidak ingin
menikah dengannya, sehingga mencari akal untuk menggagalkan lamaran tersebut demi menjaga
perdamaian. Ia meminta Raja Buruk Rupa membuat istana megah beserta isinya hanya dengan
semalam, mulai dari matahari terbenam hingga kokok ayam bersahut-sahutan. Bila gagal, Raja
tersebut harus menyerahkan seluruh kekayaanya . Raja menyanggupi dan memerintahkan ribuan
tukang untuk mewujudkanya.

Putri Pinang Masak mencari akal untuk menggagalkan usaha Raja. Ia pergi ke kandang ayam sambil
membawa lampu penerang, sehingga membuat ayam-ayam berkokok (karena mengira matahari
telah terbit). Raja menepati janjinya dan menyerahkan seluruh kekayaan kepada Putri Pinang Masak.
Terkesan dengan kesungguhan dan kejujuran sang Raja, Putri Pinang masak memutuskan untuk
menerima lamaranya, mendengar hal itu, Sang Raja sangat gembira dan menceburkan diri ke kolam
yang ia buat untuk sang Putri. Seketika, wajahnya berubah menjadi tampan. Daerah itu kemudian
dinamakan negeri pinang yang dalam bahasa jawa berarti jambe. Sebutan tersebut lama-kelamaan
berubah menjadi jambi.

Pesan yang terkandung : Pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh serta konsistensi Raja
Buruk Rupa akhirnya mengubah yang kurang baik menjadi lebih baik dan mewujudkanya tujuannya.
PARISE BUNCU

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Ncuhi yang sangat arif dan bijaksana. Ia sangat
disegani dan dihormati oleh seluruh rakyat. Tutur kata dan perbuatannya selalu diikuti oleh seluruh
rakyatnya. Mereka tinggal di hamparan lembah dan gugusan pegunungan di sebelah utara tanah
Sape Bima. Tepatnya di desa Buncu kecamatan Sape sekarang. Mereka hidup damai tak terusik
dalam dekapan keindahan dan kesuburan tanah tumpah darahnya. Mata air yang mengalir bersih
dan jernih. Sawah ladang yang beraneka hasil. Pepohonan yang rimbun menghijau. Rakyat yang
ramah dan bersatu dalam jalinan persaudaraan dan keakraban. Bagai titian mutiara yang selalu
memancarkan sinarnya. Segala sesuatu yang hendak dilakukan selalu dijalani dengan musyawarah
mufakat. Rumah Ncuhi adalah tempat berkumpul dan bertanya tentang sawah ladang, masa tanam,
masa panen serta segala kejadian yang sedang dan akan terjadi.
Namun Pada suatu ketika, seorang warga lari terbirit-birit menghadap Sang Ncuhi. Bersama
nafasnya yang menggemuruh ia menceritakan tentang kejadian aneh yang baru saja dialaminya. “
Saya melihat Raksasa Ncuhi. Sepertinya ia sedang melangkah kemari.”
“ Dimana kamu lihat dia ?” Ncuhi Buncu penasaran. “ Di gunung di sebelah barat kampung kita.”
Ncuhi Buncu terperanjat, dan segera ia berdiri dari duduknya. Sejenak ia terkenang tentang pesan
mendiang Ayahnya. Bahwa suatu saat yang akan datang Raksasa yang akan menyerang kampung ini.
Raksasa itu persis seperti yang telah diceritakan orang tadi. Ia akan datang menyerang pada sat
panen dan malam bulan purnama. Raksasa itu tidak akan berhenti menyerang dan mengamuk jika
tidak memenuhi persaratannya. Persaratan itu hanya satu yaitu persembahan seorang bayi yang
lahir pada malam purnama.
“ Apa yang harus kita perbuat ?” Warga itu bertanya kebingungan.
“ Sebelum purnama tiba, saya akan mengumpulkan seluruh warga. “
“ Kenapa dia datang pada malam itu.?”
“ Dia meminta persembahan. “
“ Persembahan ? Apa yang mesti kita persembahkan ?”
“ Dia menginginkan seorang bayi yang pada malam Itu. “
“ Seorang bayi ?” Orang itu berkata lirik. Ia mulai gemetaran. Terkenang istrinya yang sedang hamil
tua dan menunggu saat-saat melahirkan.
Berita tentang raksasa itu tersiar ke seluruh kampung. Dari puncak gunung sampai ke hulu
sungai orang-orang bercerita dan berbicara tentang kekuatan raksasa itu.
Bulan purnama bersinar terang. Tetapi tidak seperti biasanya orang-orang leluasa keluar gubuk.
Muda mudi yang berpantun dan bersyair diiringi senandung malam penyejuk kalbu tidak terdengar
lagi. Bunyi lesung mulai bertalu-talu, demikian pula Pentungan. Semakin lama semakin riuh. Orang-
orang lari berhamburan mencari tempat yang dianggap paling aman. Ada yang bersembunyi di gua,
di lubang-lubang yang telah digali. Ada pula yang telah mengungsi ke tempat yang agak jauh dari
kampungnya. Kampung itu seperti tak berpenghuni. Hening dan lengang. Tabah menanti sesuatu
yang akan terjadi. Suara yang meraung-raung dari gugusan pegunungan di sebelah barat mulai
terdengar. Pijakan kakinya menggetarkan bumi di selubung malam itu. Sawah dan tegalan dengan
padi yang sudah menguning luluh lantah. Gubuk dan Dangau menjadi peot. Pohon-pohon besar
dicabutnya layaknya seperti rumput dan ilalang. Batu-batu besar diangkat dan dilemparkan ke arah
gubuk maupun dangau yang belum sempat diraihnya. Raksasa itu mengamuk dan terus mengamuk.
Sementara itu, di depan gubuk yang sudah hancur Ncuhi Buncu berdiri tegap. Tangan
kanannya memegang tombak. Sedangkan di tangan kirinya sebilah keris siap menghunus. Mulutnya
komat kamit membaca segala mantera. Tiba-tiba Sang raksasa berhenti mengamuk. Tatapannya
tertuju kepada sebuah gubuk yang belum terinjak. Di dalamnya terdengar tangisan seorang bayi.
Pelan tapi pasti raksasa itu terus mengamati. Tangannya mulai meraih daun alang-alang yang
menjadi atap gubuk itu. Hingga seluruh atapnya tercabut. Dan cahaya purnama menampilkan sosok
seorang ibu yang sedang mengggendong bayinya. Dalam keadaan panik dan ketakutan sang ibu
mencoba menghindar dan bersembunyi di sekitar gubuk itu.
Ncuhi Buncu mulai beraksi. Ditusuknya kaki raksasa itu dengan tombak. Keris pun demikian.
Namun tusukan Ncuhi Buncu tidak dihiraukan oleh raksasa itu. Baginya tusukan itu seperti gigitan
semut saja. Hingga pada puncaknya, tusukan Ncuhi Buncu sangat keras dan dalam. Mengakibatkan
kaki raksasa itu berlumuran darah. Raksasa itu semakin mengamuk dan gila. Tangannya terus
menjalar untuk memungut bayi yang berada dalam pangkuan ibunya. Melihat dan mengamati
keadaan itu, Ncuhi Buncu secepat kilat meloncat dan berlari merebut bayi dan ibunya. Sang Raksasa
mencoba untuk mendapatkan bayi itu. Namun nyali Ncuhi Buncu sangat kuat. Ketangkasannya untuk
menghindar seperti seekor ular yang meliuk-liuk di celah semak belukar. Kejar mengejar antara
raksasa dengan Ncuhi Buncu terus berlangsung. Meski dengan kaki yang sudah berlumuran darah,
raksasa itu terus memburu dan menghadang langkah Ncuhi Buncu. Berbagai macam cara pula
dilakukan Ncuhi Buncu untuk menghindar dari serangan raksasa itu. Dan langkah terakhir dari segala
upayanya adalah merayap dan bersembunyi di dalam parit yang telah ditutupi oleh ranting pohon
yang sudah tumbang.
Dan tibalah saatnya bulan purnama tertutup awan. Suasana menjadi gelap. Meski tangisan
bayi masih terdengar oleh sang raksasa. Namun sepertinya raksasa itu mulai putus asa dan
kelelahan. Dengan napas yang menggemuruh panjang raksasa itu berhenti. Suasana kembali hening
dan lengang. Tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Sebab Ncuhi buncu terus menutup mulut
bayi itu. Dan Raksasa itu perlahan melangkah sempoyongan menuju ke arah barat. Di malam yang
tinggal sepenggal itu, Sang raksasa telah hilang dari balik gunung.
Keesokan harinya seluruh warga kembali ke kampung halamannya. Kepiluan tampak dari
raut wajah mereka. Sebab gubuk, sawah dan ladang, pepohonan yang rindang dan berbuah lebat
telah rata dengan tanah. Rintihan dan tangisan keluar dari setiap bibir. Dan kini mereka harus
membangun kembali semuanya seperti dulu. Ketika pertama kali mereka hadir di tempat itu untuk
hidup bersama dalam bingkai persahabatan dan kekeluargaan yang telah lama terjalin.
Dalam suasana duka yang mendalam mereka membersihkan dan mengumpulkan kembali
puing-puing gubuk yang mungkin saja masih dapat dipergunakan lagi. Dengan penuh ketabahan
Ncuhi Buncu tak bosan-bosan menyerukan kepada suluruh warga untuk bersabar dalam menghadapi
cobaan hidup dan kegetiran dari hari ke hari. Bahan makanan yang masih tersisa dinikmati bersama.
Meski untuk beberapa waktu lamanya, mereka tetap harus menanggung secara bersama-sama.
Dengan satu prinsip hidup “ ADA SAMA DIMAKAN, TIDAK ADA SAMA MENAHAN LAPAR.” Pada suatu
hari Ncuhi Buncu mengumpulkan seluruh rakyatnya.
“ Saya akan mencari kesaktian untuk mengalahkan raksasa itu. Sebab pada saat purnama depan ia
akan datang lagi.” Berhari-hari Ncuhi Buncu menelusuri lembah, mendaki gunung, dan
menyeberangi sungai untuk mencari sesuatu yang diimpikannya. Hingga pada suatu malam, ia
melihat seberkas cahaya dalam kegelapan malam itu. Semakin lama cahaya itu semakin dekat. Ncuhi
Buncu gemetar dan ketakutan.
“ Kau siapa? Darimana asalmu?” Ncuhi Buncu bertanya sambil bergerak mundur.
“ Kau tidak perlu takut, aku datang untuk memberimu petunjuk untuk mengalahkan raksasa itu.”
“ Berikanlah petunjuk itu.” Ncuhi Buncu berharap.
“ Pada malam purnama nanti, ia akan datang. Dan tetap dengan tujuan yang sama. Dia akan
membawa sebuah cambuk. Tetapi kau jangan khawatir, kau akan bisa melawannya.”
“ Senjata apa yang harus aku gunakan?”
“ Senjata yang harus kau gunakan adalah Teta berbentuk panah yang talinya menggunakan serat
pohon waru. Ambillah dari tajuk yang masih muda. Senjata kedua yang harus kau gunakan adalah
Tende (Tameng) yang terbuat dari kulit kerbau. Tende adalah senjatamu untuk menangkis serangan
dari raksasa itu. Dan gunakanlah Teta untuk sesekali menyerang. “
Ncuhi Buncu pulang kembali ke kampungnya. Seluruh rakyat menyambutnya dengan suka
cita. Ia mengajak warganya untuk mempersiapkan Teta dan Tende. Akhirnya seluruh rakyat sepakat
untuk membantu Ncuhinya membuat Teta dan Tende. Serat pohon Waru dikumpulkan. Dan
dipilihlah yang masih muda. Kerbau disembelih untuk mendapatkan kulitnya. Yang pertama dibuat
adalah Tende (Tameng) dari kulit kerbau.
Bulan purnama telah meninggi dari langit timur. Suara yang meraung-raung beserta pijakan
kaki yang sangat dahsyat mulai terlihat. Dan memang benar, Raksasa itu membawa Cambo
(Cambuk). Sementara itu, Ncuhi Buncu lari menghadang di ujung kampung. Hal itu dimaksudkan
untuk menghentikan langkah sang raksasa dan mengalihkan perhatiannya agar tidak memasuki
kampung. Raksasa itu mulai menyerang dengan cambuk. Ncuhi Buncu bertahan dan terus bertahan
dengan Teta dan Tendenya. Sang Raksasa terus menyerang dengan cambuknya. Tetapi tidak berani
mendekat. Ternyata dibalik kekuatan dan kelebihannya, tersirat sebuah kekurangan. Raksasa itu
tidak berani dengan kulit kerbau dan serat pohon Waru. Pelan tapi pasti Ncuhi Buncu mulai
mendekat. Mencoba untuk terus bertahan sembari sesekali menyerang. Raksasa itu terus melangkah
mundur dan mengelak dari serangan Ncuhi Buncu. Hingga pada saat yang tepat, lama kelamaan
senjata Ncuhi Buncu mengenai kaki raksasa itu. Ncuhi Buncu terus menyerang dan memukul mundur
Raksasa itu. Semakin lama raksasa itu semakin lemah. Cambukkannya sudah tidak begitu keras lagi.
Napasnya terus menggemuruh kelelahan. Dan sinar bulan mulai tertutup awan. Keadaan itu terus
dimanfaatkan oleh Ncuhi Buncu untuk terus memukul dan menyerang. Hingga raksasa itu tumbang
dan tak sadarkan diri lagi. Tetapi Ncuhi Buncu belum merasa puas dan berhenti sampai di situ saja.
Sambil mengamati gerak gerik sang raksasa, ia terus memukul. Sampai Sang Raksasa benar-benar
tewas.
Rakyat yang sejak tadi menyaksikan adegan perkelahian itu keluar dari tempat
persembunyiannya menuju ke arena pertarungan. Akhirnya wilayah Buncu dan seluruh rakyatnya
selamat dari ancaman Sang Raksasa. Waktu terus berlalu. Musimpun berganti. Sang Ncuhi pun telah
mangkat. Dan untuk mengabadikan kisah perkelahian antara raksasa dengan Ncuhi Buncu, seluruh
rakyat kembali memperagakan adegan perkelahaian itu. Satu orang dilakonkan sebagai Ncuhi yang
memegang Teta dan Tende. Dan yang seorang lagi memegang Cambuk sebagai raksasa.
Pada perkembangan selanjutnya peragaan itu menjadi permainan rakyat dan atraksi kesenian
tradisional yang sangat menarik di dalam masyarakat Sape dan khususnya dikalangan masyarakat
desa Buncu. Pada masa kesultanan sering dimainkan pada saat upacara PAJA KAI yaitu upacara
panen Sawah sultan. Diiringi Tambo (Tambur) yang dipukul oleh satu orang, mereka berlaga di
tengah sawah yang baru saja dipanen. Atraksi kesenian ini disebut PARISE BUNCU ( Parise = Perisai
BUNCU = Desa Buncu kecamatan Sape Bima).
ASAL MULA NAMA WAMENA
Wamena merupakan sebuah distrik di Kabupaten Jaya Wijaya, tanah Papua, Indonesia.
Distrik ini satu-satunya kota terbesar yang berada di pedalaman tengah Papua. Tahukah kalian,
bahwa nama Wamena diambil dari bahasa Dani, dimana terdiri dari dua kata, yaitu Wa dan Mena,
yang berarti Babi Jinak.
Sebelum dinamakan Wamena, tempat ini bernama Ahumpua. Ada cerita rakyat Indonesia
kenapa Ahumpua berubah nama menjadi Wamena, dan itulah asal-usul nama Wamena. Pada suatu
hari, gadis-gadis Ahumpua seperti biasanya menjaga anak-anak babi. Diantara gadis-gadis itu hanya
ada satu gadis yang berani melakukan sesuatu dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Tempat dimana mereka menjaga babi adalah di pinggir kali Ahumpua (sekarang kali Baliem). Mereka
menjaga anak-anak babi itu sejak pagi-pagi sekali. Dan pada siang harinya, gadis-gadis ini mandi di
kali Ahumpua. Tapi sebelum mandi tiba-tiba ada orang berkulit putih muncul di pinggir kali
Ahumpua. Gadis-gadis itu terkejut dan berteriak, "Eye… eye… eye... ap huluan… ap huluan…” (eye
artinya minta tolong untuk menyelamatkan diri, ap huluan adalah orang berkulit putih. Jadi artinya,
"tolong ada orang kulit putih"). Gadis-gadis itu langsung melarikan diri ke hutan, karena takut
melihat orang kulit putih.
Hanya ada satu orang gadis yang berani menghadapi ap huluan. Ia tidak peduli apa yang
terjadi nanti. Ap huluan tahu kalau gadis-gadis tadi takut kepadanya. Ia pun menjaga jarak dan
memberikan salam dari jauh pada gadis pemberani itu. Salam yang disampaikan Ap huluan adalah
bahasa isyarat dengan cara menggerak-gerakkan tangan yang berarti jangan takut… jangan takut,
namun gadis ini tidak mengerti.
Akhirnya, Ap huluan mendekati si gadis dan memberikan salam dengan menjabat tangan
gadis itu. Gadis itu membalas jabatan tangan tersebut. Setelah berjabat tangan, Ap huluan bertanya
pada si gadis, “Apakah nama tempat ini?” Ketika Ap huluan menanyakan nama tempat, muncullah
seekor anak babi, dan secara spontan si gadis berkata “Tu wamena…” yang artinya ini anak babi (tu
adalah ini, ena adalah anak, dan wam adalah babi). Ap huluan segera mengerti dan mencatat dalam
buku agendanya. Jadi, arti dari Wamena adalah anak babi. Telah terjadi kesalahpahaman antara Ap
huluan dan si gadis, dan kesalahan tersebut tidak disadari oleh keduanya.
Percakapan kemudian berlanjut masih dengan menggunakan gerakan-gerakan tangan.
Setelah itu, Ap huluan memberikan salam dan segera berjalan kaki ke arah Ahumpua bagian timur.
Sekarang arah Ap huluan ini disebut “Wamena Timur”. Setelah Ap huluan pergi, si gadis segera
berlari ke rumahnya sambil memanggil teman-temannya yang sedang bersembunyi ketakutan.
Kemudian dengan menangis si gadis bercerita kepada orang tuanya. Mendengar cerita si gadis ini
ada yang percaya dan ada yang tidak. Bagi yang percaya, mereka segera menyiapkan alat-alat
perang dan segera mengejar Ap huluan untuk membunuhnya. Namun beruntunglah, Ap huluan tidak
ditemukan. Peristiwa ini merupakan awal proses pembangunan di daerah tersebut.
Suatu ketika lewatlah pesawat yang ditumpangi oleh orang-orang berkebangsaan Belanda
dan mendarat di daerah Ahumpua dengan suara yang menakutkan. Berturut-turut kemudian
pesawat-pesawat lain mendarat di daerah tersebut selama kurang lebih satu minggu. Akhirnya,
daerah Ahumpua dikuasai Belanda. Orang-orang Belanda mulai menetap di Ahumpua. Mulailah
orang-orang tersebut membangun rumah dengan atap dari seng. Nama daerah yang dulunya
Ahumpua diganti menjadi Wamena, yang berarti anak babi. Pemberian nama ini akibat
kesalahpahaman percakapan antara Ap huluan dengan si gadis. Itulah cerita asal mula kata
Wamena.

***

Bagaimana, sekarang kalian sudah tahu bukan cerita rakyat Indonesia mengenai asal usul
nama Wamena? Semoga dapat membantu kalian belajar mengenal alam Indonesia ya ^^
BIWAR SANG PENAKLUK NAGA (CERITA RAKYAT PAPUA)

Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok
suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi
secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun
perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan
menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur [1] mereka juga membawa
bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu
sekitar dua sampai tiga hari. Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat
yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon
sagu yang sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk
mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk
hingga menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang
disebut dengan sagu. Selanjutnya, sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah bambu
yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air. Setelah itu, kaum perempuan segera memeras
sagu itu. Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati tersebut,
air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya mengendap di dasar wadah bambu.
Setelah air perasan berubah dari warna putih menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang
hingga yang tersisa hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola
tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap dimasak tersebut
mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari
rotan. Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu tersebut ke atas perahu, rombongan itu
pun berlayar menyusuri sungai untuk kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka
tumpangi melewati sungai di daerah Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan
langsung menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu menghancurkan perahu itu
hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam di sungai,
kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan diri.
Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan perahu yang telah hancur
saat ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu itulah kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga
dapat sampai ke tepi sungai dan melarikan diri masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang
buas, perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan tersebut.
Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda dan
umbi-umbian untuk bisa bertahan hidup.
Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang melahirkan seorang diri. Atas kuasa
Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini,
perempuan itu tidak lagi kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan
membesarkan Biwar dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia
mengajarinya berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain
itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa[2] hingga mahir memainkan alat musik tersebut. Beberapa
tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa.
Setiap hari ia membantu ibunya mencari lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga
membantu ibunya membuat sebuah rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat
masyarakat Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari jerami atau ilalang.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai dengan membawa beberapa
ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah
seraya berteriak memanggil ibunya.

“Mama..., Mama..., keluarlah lihat! Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar.
Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Dari mana kamu
dapatkan ikan itu, Anakku?”

“Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam. Sungai itu banyak sekali ikannya dan
pemandangan di sekitarnya amat indah,” ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar
akan tunjukkan tempat itu.”

Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah mereka ke sungai yang
dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar saat tiba di sungai itu. Ia langsung teringat kepada
almarhum suaminya. “Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga dan teman-taman Mama
tewas di sungai itu karena diserang oleh seekor naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya
yang amat memilukan hati. Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk membinasakan
naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya.
“Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya.
“Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah
Biwar akan membinasakan naga yang menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar. Sang ibu tidak
mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya
pulang ke rumah untuk menyiapkan semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak,
golok, dan panahnya, Biwar pun berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di
sekitar sungai.
“Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya. “Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan
ibunya. Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga sebagai tempat persembunyian
naga itu. “Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua ini,” gumam Biwar. Dengan langkah
perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu. Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa
yang diselipkan di pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam
gua. Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga. Tak berapa
lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua. Mendengar suara itu, maka semakin
yakinlah Biwar bahwa di dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan
golok di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya. Ternyata
benar, tak lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut gua. Tanpa berpikir panjang,
Biwar segera melemparkan tombaknya ke arah kepala naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun
terluka parah, naga itu masih terlihat ganas. Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera
mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
“Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah kau binasakan di sungai ini!”
seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu hingga nyaris putus. Tak ayal, naga itu jatuh terkulai
di depan mulut gua. Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan.
Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke rumahnya untuk
memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada ibunya. Betapa senangnya hati
sang ibu mendengar berita gembira tersebut.
“Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah
buat perahu anakku lalu kita kembali ke perkampungan!”
Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu kecil yang cukup ditumpangi mereka
berdua. Dalam beberapa hari, perahu itu pun selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan. Akhirnya,
dengan perahu itu, Biwar bersama ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran
ibunya. Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh penduduk setempat.
Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah menaklukkan naga itu, mereka
mengadakan pesta yang meriah.

***

Demikian cerita Biwar Sang Penakluk Naga dari daerah Mimiki, Provinsi Papua. Sedikitnya
ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat sabar dan
pemberani. Sifat sabar ditunjukkan oleh ditunjukkan oleh perilaku ibu Biwar yang senantiasa
berjuang melahirkan dan membesarkan Biwar seorang diri di tengah hutan. Berkat kesabarannya, ia
berhasil mendidik Biwar menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Sementara itu, sifat
pemberani ditunjukkan oleh keberanian Biwar menghadapi seekor naga yang ganas. Dengan
keberanian yang dimiliki, ia berhasil membinasakan naga itu.

Keterangan :
[1] Pangkur adalah alat untuk memangkur sagu yang bentuknya mirip cangkul. Hanya saja, bentuk
pada bagian ujungnya seperti tombak, lancip, dan lebih kecil.
[2] Tifa adalah alat musik tradisional masyarakat Papua yang bentuknya menyerupai gendang dan
dimainkan dengan cara dipukul.
ASAL NAMA PULAU BAWEAN
Dahulu kala, Kerajaan Majapahit sedang berjaya di wilayah Pulau Jawa. Ketika itu, Patih
Gadjah Mada berniat untuk mempersatukan nusantara di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Patih Gadjah Mada pun memerintahkan seluruh pasukannya untuk berlayar ke berbagai penjuru
negeri. Sayangnya, salah satu rombongan pasukan Majapahit tersebut terkena musibah di tengah
Laut Jawa. Rombongan pasukan Majapahit tersebut disambut dengan badai kencang dan hujan lebat
di tengah laut selama berhari-hari. Cadangan makanan di kapal laut pun semakin menipis. Satu demi
satu pasukan Majapahit berguguran di tengah laut.

Setelah beberapa hari kemudian, badai pun reda, cuaca di atas laut kembali tenang, langit
yang gelap perlahan mulai cerah. Pasukan Majapahit mulai berani keluar ke dek kapal untuk melihat
keadaan sekitar. Jauh di sana, di ufuk timur tampak sebuah gugusan gunung yang samar-samar.
Lama kelamaan pemandangan itu semakin terlihat jelas karena “ada sinar matahari” pagi. Maka
bergegaslah sisa-sisa pasukan Majapahit tersebut ke gugusan gunung yang mereka lihat itu.

Dengan bersusah payah dan dengan menguras sisa-sisa tenaga yang ada, sampai jualah
pasukan Majapahit itu ke gugusan gunung yang dituju. Ternyata gugusan gunung tersebut adalah
sebuah pulau kecil bernama Pulau Majeti atau Pulau Majdi, yang dalam bahasan Arab berarti ‘uang
logam’, karena bentuk pulaunya yang bulat menyerupai uang logam. Di pulau asing inilah mereka
dapat menyambung jiwanya. Dan kemudian berbahagialah mereka karena baru saja terbebas dari
bahaya maut. Apalagi sambutan dan pelayanan dari penduduk setempat sungguh menyenangkan
bagi para pasukan Majapahit tersebut, baik pelayanannya mengenai pakaian, makanan atau tempat
tinggal yang disediakan untuk para pendatang itu.

Karena gembiranya, terlontarlah dengan tak sengaja dari mulut pimpinan mereka rangkaian
kata-kata indah: Ba-We-An. Berasal dari Bahasa Sanskerta: “ba” artinya sinar, “we” artinya matahari,
dan “an” artinya ada. Jadi “Bawean” mempunyai arti “ada sinar matahari”. Rangkaian kata tersebut
terungkapkan karena pimpinan mereka ingin mengenang dan bercerita saat-saat akhir pasukan
Majapahit dalam berjuang antara hidup dan mati di tengah laut, yang akhirnya mereka selamat
berkat pancaran sinar matahari di celah-celah gugusan gunung. Sinar matahari inilah yang membuat
hati mereka bergairah kembali untuk menyambung hidup.

Kini mereka telah hidup di pulau yang baru dikenal itu. Mereka hidup dengan bahagia
sejahtera bersama penduduk setempat. Tidak ada lagi di antara mereka yang berhasrat untuk
kembali ke Kerajaan Majapahit karena hidup di pulau yang baru itu sungguh menyenangkan hati
mereka.

Sejak itulah mereka menyebut pulau itu sebagai Pulau Bawean, yang dengan perlahan-lahan sebutan
Pulau Majeti atau Pulau Majdi tidak terdengan lagi.

Kesimpulan
Masyarakat Pulau Bawean merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia, walaupun pada
dasarnya para penghuninya berasal dari berbagai suku bangsa di Nusantara ini. Nama Bawean tetap
dipakai sampai sekarang dan merupakan nama kebanggaan dari penduduknya. Jadi, apa yang
dilakukan pemimpin pasukan Majapahit dalam memberikan nama pada salah satu kejadian penting
itu adalah hal yang baik. Perlu kita contoh agar peristiwa itu tetap dikenang generasi berikutnya.

*) Zulfa Usman. Seri Pendidikan Budaya: Cerita Rakyat Dari Bawean (Jawa Timur). Penerbit
Grasindo

===========================================================================

Ini yang versi penuturan gw yah, lebih singkat n simpel..


ASAL MULA NAMA PULAU BAWEAN
Dahulu kala, saat Majapahit hendak mempersatukan nusantara dibawah kekuasaannya,
salah satu rombongan armada laut Majapahit terkena musibah alam dan terkatung-katung di Laut
Jawa selama beberapa hari. Saat laut kembali tenang, pimpinan pasukan berteriak “ada sinar
matahari!”. Pasukan armada laut Majapahit bersorak gembira karena cuaca buruk telah usai dan
mereka menemukan daratan berbukit-bukit nun jauh diseberang. Mereka pun bersusah payah
menepi di daratan yang ternyata sebuah pulau kecil tersebut. Mereka disambut dengan hangat dan
ramah oleh masyarakat setempat, disediakan makanan, pakaian dan tempat menginap. Karena
begitu gembira, sang pimpinan pasukan mengeluarkan kata-kata indah: Ba-we-an. Berasal dari
bahasa Sanskerta: “Ba” artinya sinar, “we” artinya matahari, dan “an” artinya ada. Jadi “Bawean”
mempunyai arti “ada sinar matahari”. Rangkaian kata tersebut terungkap karena sang pimpinan
ingin mengenang saat mereka bertahan hidup di tengah laut dan akhirnya menemukan Pulau
Bawean. Mereka pun memutuskan untuk hidup di pulau yang menyenangkan itu dan sejak itulah
mereka dan penduduk setempat menyebut pulau itu sebagai Pulau Bawean.

*) Wahyu Setioko. 2013. Dari Bawah Langit Bawean yang Indah. Hal 9-10. (belum diterbitkan)
KISAH RAKYAT ACEH
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka
merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan
seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai
semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar
anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.

Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun
demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.

“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia
begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti
orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada
beras untuk tanak.”

“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib
kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita
karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda
berusaha menahan tangis.

Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon
agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku
diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau
tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.

Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga
kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri
sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.

Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit
dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi
berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun,
kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum
sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata
tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.

“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah
kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau
memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu
tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.

Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur
remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah
bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan
sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.

Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu,
tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah.
Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama
cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke
pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”

“Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada
dirimu,” sahut ibunya.

“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu
tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.

“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau
memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk
cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.

Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya
memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang
pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan
sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.

Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi
tak dilihatnya seorang pun manusia.

“Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil
ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan
ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara
dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang
dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena
tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè
itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan
pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.

Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil
orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.

Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah
pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia
mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu
menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.

Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya
seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut
berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk
halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya
yang teramat mungil.

Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah
ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan
aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada
diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah
kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.

Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan
jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada
suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka
pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu
tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang
saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu
bertanya darimana ia mendapatkan ikan.

Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan
atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin
dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan
berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian
dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung
melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.

Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana
mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-
siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.

Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap
bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah,
terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau
marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.

Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu.

Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk
melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara
yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul,
pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.

Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe.
Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah
yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun.
Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun
sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit.
Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap
penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan
beras, garam, pakaian, dan sebagainya.

Ditulis oleh Herman RN berdasarkan tuturan lisan Halimah (80-an), seorang warga Ujung Pasir,
Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.
CERITA RAKYAT JAMBI
PUTRI TANGGUK

Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi, ada seorang perempuan bernama Putri
Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, ia bersama suaminya menanam padi di sawahnya yang hanya seluas tangguk.
Meskipun hanya seluas tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap
habis dipanen, tanaman padi di sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi,
dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam menuai padi, tujuh lumbung
padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun, kesibukan itu membuatnya lupa
mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan
sendok. Ia juga tidak sempat bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang
anaknya.

Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri Tangguk berkata kepada suaminya yang
sedang berbaring di atas pembaringan.

“Bang! Adik sudah capek setiap hari menuai padi. Adik ingin mengurus anak-anak dan bersilaturahmi
ke tetangga, karena kita seperti terkucil,” ungkap Putri Tangguk kepada suaminya.

“Lalu, apa rencanamu, Dik?” tanya suaminya dengan suara pelan.

“Begini Bang! Besok Adik ingin memenuhi ketujuh lumbung padi yang ada di samping rumah untuk
persediaan kebutuhan kita beberapa bulan ke depan,” jawab Putri Tangguk.

“Baiklah kalau begitu. Besok anak-anak kita ajak ke sawah untuk membantu mengangkut padi
pulang ke rumah,” jawab suaminya.

“Ya, Bang!” jawab Putri Tangguk.

Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena kelelahan setelah bekerja hampir sehari
semalam. Ketika malam semakin larut, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti
saat hari mulai pagi. akibatnya, semua jalan yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah
menjadi licin.

Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat ke sawah untuk menuai
padi dan mengangkutnya ke rumah. Dalam perjalanan menuju ke sawah, tiba-tiba Putri Tangguk
terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan di belakangnya segera menolongnya. Walau sudah
ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah.

“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.

“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di sini sebagai pengganti pasir agar tidak licin
lagi,” tambahnya.
Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang mereka bawa diserakkan di jalan itu
sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya ke dalam
lumbung padi. Sesuai dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya
yang seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia membuat baju untuk
dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi, kesibukannya menenun kain tersebut
lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke rumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.

Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa
memasak nasi di dapur untuk suami dan anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun
sampai larut malam. Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk
pun ikut tidur di samping anak-anaknya.

Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena kelaparan. Ia menangis minta makan.
Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa
waktu, anak-anaknya yang lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk
kembali tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan
membujuknya, melainkan memarahinya.

“Hei, kamu itu sudah besar! Tidak perlu dilayani seperti anak kecil. Ambil sendiri nasi di panci. Kalau
tidak ada, ambil beras dalam kaleng dan masak sendiri. Jika tidak ada beras, ambil padi di lumbung
dan tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk kepada anak sulungnya.

Oleh karena sudah kelaparan, si Sulung pun menuruti kata-kata ibunya. Namun, ketika masuk ke
dapur, ia tidak menemukan nasi di panci maupun beras di kaleng.

“Bu! Nasi dan beras sudah habis semua. Tolonglah tumbukkan dan tampikan padi!” pinta si Sulung
kepada ibunya.

“Ya, sudahlah kalau begitu. Tahan saja laparnya hingga besok pagi! Ibu malas menumbuk dan
menampi beras, apalagi malam-malam begini. Nanti mengganggu tetangga,” ujar Putri Tangguk.

Usai berkata begitu, Putri Tangguk tertidur kembali karena kelelahan setelah menenun seharian
penuh. Si Sulung pun kembali tidur dan ia harus menahan lapar hingga pagi hari.

Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan perut keroncongan. Si Bungsu menangis
merengek-rengek karena sudah tidak kuat menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang
lain, semua kelaparan dan minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil
padi di lumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang berada di
samping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu lumbung padinya, ia
mendapati lumbungnya kosong.

“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.


Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya yang lain. Namun, setelah
ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa.

“Dik...! Dik...! Cepatlah kemari!” seru sang Suami memanggil Putri Tangguk.

“Ada apa, Bang?” tanya Putri Tangguk dengan perasaan cemas.

“Lihatlah! Semua lumbung padi kita kosong. Pasti ada pencuri yang mengambil padi kita,” jawab
sang Suami.

Putri Tangguk hanya ternganga penuh keheranan. Ia seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru
disaksikannya.

“Benar, Bang! Tadi malam pencuri itu juga mengambil nasi kita di panci dan beras di kaleng,” tambah
Putri Tangguk.

“Tapi, tidak apalah, Bang! Kita masih mempunyai harapan. Bukankah sawah kita adalah gudang
padi?” kata Putri Tangguk.

Usai berkata begitu, Putri Tangguk langsung menarik tangan suaminya lalu berlari menuju ke sawah.
Sesampai di sawah, alangkah kecewanya Putri Tangguk, karena harapannya telah sirna.

“Bang! Pupuslah harapan kita. Lihatlah sawah kita! Jangankan biji padi, batang padi pun tidak ada.
Yang ada hanya rumput tebal menutupi sawah kita,” kata Putri Tangguk.

Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tercengang penuh keheranan menyaksikan
peristiwa aneh itu. Dengan perasaan sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang ke rumah. Kakinya
terasa sangat berat untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi
sikap dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap dan
perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan menyerakkannya di
jalan yang becek agar tidak licin.

“Ya... Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk
dalam hati.

Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas.
Hampir seharian ia hanya duduk termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh
seorang lelaki tua berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.

“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu
mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke langit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang
sombong dan takabbur. Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti
pasir sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Di antara padi-padi yang pernah
kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah raja kami. Jika hanya kami yang kamu
perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan
seperti itu, maka kami semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh di sawahmu. Masa
depan kamu dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil kerja
sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa makan jika tidak bekerja
dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais dulu baru makan....” ujar lelaki tua itu
dalam mimpi Putri Tangguk.

Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu sudah menghilang. Ia terbangun dari
tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang
dalam mimpinya semalam. Ia akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia
sangat menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi
untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.

ditulis dari : Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1998.
CERITA RAKYAT SULAWESI UTARA “ASAL USUL BURUNG
MOOPOO”

Daerah Minahasa yang dikenal dengan malesung adalah salah satu nama kabupaten yang
ada di Sulawesi Utara. Di kabupaten ini terdapat berbagai jenis hewan yang khas daerah. Antara
lain adalah burung Moopoo yang konon kabarnya adalah jelmaan dari seorang anak laki-laki.
Alkisah, di sebuah tempat di Minahasa hidup seorang kakek bersama cucuya yang bernama
Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang sederhana di sekitar hutan besar. Untuk
memenuhi kebutuhan mereka sang kakek setiap hari pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan dan
menjualnya di pasar. Sementara Nondo yang pincang kakinya hanya bisa menbantu dengan cara
memasak dan membersihkan rumah. Nondo memang anak yatim piatu. Ia ditinggal mati oleh
kedua orang tuanya saat masih kecil. Ia dibesarkan oleh kakeknya.
Nondo setiap kali melihat kakeknya pergi ke hutan merasa sedih karna ia tidak bisa
membantu mencari kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Karna ia tidak bisa berjalan jauh.Ia juga
ingin melihat berbagai macam hewan yang ada di hutan yang sering diceritakan kakeknya.
Setiap ia mendengarkan cerita kakeknya ia selalu terpana dengan apa yang ada di hutan. Ia
hanya bisa membayangkan berbagai hewan yang diceritakan oleh kakeknya. Ia juga sering
bermimpi bertemu dengan berbagai macam hewan yag diceritakan kakeknya. Bahkan ia senang
menirukan bunyi hewan-hewan itu.
Pada suatu hari,seperti biasanya,sang kakek akan pergi ke hutan untuk mencari hasil hutan.
Nondo pada hari itu sudah tidak tahan lagi untuk secepatnya melihat hal-hal apa saja yang ada di
hutan.

”Opak! Nondo iko kwak ka utang deng opak?” pinta Nondo kepada kakeknya.
”Ngana di rumah jo kwak Nondo,” jawab sang Kakek.
”Mar opak! Kita suka skali mo lia itu binatang-binatang yang opak ada carita-carita pa nondo”
”Jangan kwak ! Ngana pe kaki ada saki to? Opak tako dengan ngana pe kesehatan.”
”Opak! Nondo minta satu kali ini jo kwak mo iko dengan opak ne?” bujuk Nondo sambil merengek-
rengek.
Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun mengizinkannya.
”Io dang! Ngana boleh iko pa opak mar musti kase kalar dulu itu ngana pe karja di rumah ne,” ujar
sang Kakek.

Dengan semangat Nondo pun langsung saja melaksanakan tugas-tugasnya. Tak berapa lama ia
telah menyelesaikan seluruh tugas yang ada.

”Opak! Manjo torang pigi! Nondo pe karja so kalar,” seru Nondo.


”Io!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.

Merekapun langsung menuju hutan. Sang Kakek berjalan di depan, sedangkan Nondo
mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya,
karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap melihat binatang. Bahkan, ia kerap
bermain-main dan menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena keasyikan bermain-
main dengan binatang itu, sehingga ia semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.
Awalnya Nondo tidak sadar bahwa kakeknya sudah terpisah dengan dia. Haripun semakin
gelap,keadaan hutan mulai mencengkam dengan adanya suara-suara hewan yang menakutkan.
”Opak...!opak...!opak...!Di mana opak?” teriak Nondo memanggil kakeknya sambil menangis.

Nondo berteriak-teriak namun tak terdengar jawaban dari kakeknya. Ia mencoba mencari
jalan untuk ke rumahnyatapi semakin ia berjalan semakin ia masuk ke dalam hutan. Malam
semakin larut tapi Nondo belum menemukan kakeknya. Suara berbagai binatang yang ia sering
dengar dari kakekya menjadi menyeramkan.Apalagi ketika ia mendengar suara burung kuow yang
keras dan menyeramkan. Ia pun menangis dan berteriak sekeras-kerasnya agar suaranya didengar
oleh kakeknya. Usahanya sia-sa saja karna ia tidak mendapat jawaban dari kakeknya. Sementara
sang kakek merasa cemas begitu mengetahui bahwa cucu kesayangannya itu sudah tidak berada di
belakannya.

”Nondo...! Nondo...! Ngana di mana?” teriak sang Kakek.

Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya, ia
pun memutuskan untuk pulang, karena mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun
sesampai di rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang Kakek kembali ke hutan
untuk mencari cucunya. Hingga sore hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak
memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh karena merasa putus asa, akhirnya ia
pun kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang aneh.

`moo-poo..., moo-poo..., moo-poo….!” terdengar suara burung aneh itu.


”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku mendengarnya,” gumam Kakek
Nondo. Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara aneh itu. Setelah berjalan
beberapa langkah, ia pun menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung yang
sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan mendekati pohon untuk melihat burung itu
lebih dekat.

”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di hutan ini, tapi aku belum
pernah melihat jenis burung seperti itu,” gumamnya. Sementara burung itu terbang dari satu
cabang ke cabang yang lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara, ”moo-
poo”.
Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun setelah lama memerhatikan
suara itu, ia pun mulai menyadari jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih
meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia amati, rupanya kaki burung itu
pincang. Tiba-tiba kakek itu menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu adalah
jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang dikeluarkan, maka burung itu diberi nama
moopoo. Hingga saat ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.

Demikian cerita Asal Usul Burung Moopoo dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita di atas
tergolong cerita mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas, yaitu keburukan sifat tidak tahu diri dan suka berperilaku sembrono atau gegabah.
SIGARLAKI DAN LIMBAT
Sumber: http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/sigarlaki-dan-limbat.html

Pada jaman dahulu di Tondano (Minahas, Sulawesi Utara) hiduplah seorang pemburu perkasa yang
bernama Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang
luput dari tombakannya.

Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir semua
pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat. Meskipun terkenal
sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil memperoleh satu ekor
binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat melaporkan pada majikannya
bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri orang.

Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging persediaan
mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan tega menuduh
dirinya sebagai pencuri.

Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang mencuri. Caranya
adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam. Bersamaan dengan itu Si
Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari kolam berarti Si Limbat tidak
mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih dahulu maka terbukti ia yang mencuri.

Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia berkehendak
untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan Sigarlaki menancapkan
tombaknya.

Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan minum di
kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi hutan itu. Tetapi
tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah dengan Si Limbat. Tetapi ia
meminta agar pembuktian itu diulang lagi.

Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja menancapkan
tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar. Iapun menjerit
kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya Si Limbat yang
menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki karena sembarangan
menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.

Sumber: seasite.niu.edu (Diadaptasi secara bebas dari Drs. J Inkiriwang dkk, “Sigarlaki dan si Limbat,”
Dept. P dan K, Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978/1979)
KURA-KURA YANG SOMBONG CERITA RAKYAT DARI SULAWESI
UTARA
Sumber: http://dongengdanceritarakyat.blogspot.com/2013/02/kura-kura-yang-sombong-cerita-
rakyat.html

Ada seekor kura-kura yang hidup disebuah rawa, namanya Pion. Pion terkenal sebagai binatang yang
sombong dan selalu iri terhadap kelebihan binatang lain.

Suatu siang Pion mendekati Ibe dan Tina sepasang bangau, yang sedang mencari ikan di rawa.
“Selamat siang, Ibe dan Tina”, Pion menyapa ramah. “Selamat siang Pion,” jawab mereka bersama-
sama.

“Senang ya bila bisa terbang sepertimu?” Pion bertanya. “Ku piker menyenangkan juga kalau punya
pelindung badan yang indah dan kuat sepertimu,” jawab Ibe. “Tetapi tentu lebih hebat yang bisa
terbang sepertimu” kata Pion.

“Karunia Tuhan memang berbeda-beda. Ada yang bisa terbang, ada yang bisa berenang, ada yang
bisa merayap, dan sebagainya.

“Tetapi yang paling istimewa adalah yang bisa terbang”, sahut Pion.

“Ah, tidak juga. Kita punya kelebihan sendiri-sendiri yang harus disyukuri.”.
“Ibe dan Tina maukah kalian mengajariku terbang?”.

“Kamu mau belajar terbang?” Ibe bertanya heran.


“ya. Kalian tidak keberatan, bukan?”
Ibe dan Tina saling berpandangan dengan penuh heran.

“Aku dan isteriku akan mencengkram sepotong kayu di kedua ujungnya. Kemudian kamu ditengah-
tengahnya sambil mengigit kayu itu kuat-kuat. Bila kami terbang maka kamu pun pasti akan ikut
terbawa terbang.
“Ya…..ya….ya…! Aku mau, Ibe, Pion berterika senang. Kemudian mereka mencari sepotong kayu. Ibe
ujung kanan, Tina ujung kiri, dan Pion ditengah-tengah.
”Gigit baiki-baik selama kita terbang kamu tidak boleh membuka mulut,” kata Tina memperingatkan
Pion.
“Baik” jawab Pion.

“ Satu…dua…tiga…!” Ibe member aba-aba dan mereka mulai mengangkasa. Mula-mula hanya
rendah saja, tetapi makin lama makin tinggi. Semua binatang didarat yang melihat penerbangan
aneh ini mersa takjub.

Pion senang sekali bisa terbang bersam Ibe dan Tina. Namun dasar Pion sombong, ketika tahu
bahwa banyak binatang lain di darat yang memperhatikannya dia tidak bisa tinggal diam.
“Teman..teman, lihatlah saya, aku bisa terbang” teriaknya.
Pion lupa bahwa dengan teriakan itu gigitannya pada ranting terlepas. Beberapa saat kemudian
tubuhnya melayang-layang di udara, lalu jatuh ke tanah.

Ibe dan Tina senang sekali ketika tahu bahwa Pion ternyata masih hidup. Mereka segera terbang lagi
ke angkasa. Sejak saat itu, Pion merasa bersyukur punya pelindung badan yang kuat. Sejak saat itu
pula Pion tidak mau menyombongkan diri.

Pesan yang terkandung: Sikap sombong dan besar mulut tanpa disadari membawa bencana &
malapetaka.
ASAL MULA NAMA PAMBOANG
Pamboang adalah nama kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia. Konon,
kecamatan yang identik dengan Mandar ini dulunya bernama kampung Pallayarang Tallu. Namun
karena terjadi sebuah peristiwa, sehingga namanya berubah menjadi Pamboang. Peristiwa apa
sebenarnya yang terjadi, sehingga nama daerah itu berubah menjadi Pamboang? Peristiwa tersebut
diceritakan dalam cerita rakyat Asal Mula Nama Pamboang berikut ini.

***

Alkisah, di Kampung Benua, Majene, Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak
memperluas lahan perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai.
Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut mereka
sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut.

Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan
lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I
Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang
akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas
untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).

Ketiga pemuda tersebut melaksanakan tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase


bekerja di daerah hutan untuk membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang
bekerja di daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan
tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh semangat di wilayah
kerja masing-masing.

Menjelang sore hari, ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum
tidur, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.

“Hari ini saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.

“Kalian bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.

“Saya sudah banyak membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.

“Saya juga sudah meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.\

“Kalau begitu, saya perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas
kita masing-masing,” kata I Lauase.

“Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.

Ternyata benar perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka
telah selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I
Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I
Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah
pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan.
Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase.

Demikian pula di pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka
bersepakat untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu. “Tapi, apa nama yang cocok
untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.

Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung
untuk memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase
kemudian mengajukan usulan.

“Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”

“Pallayarang Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.

“Pallayarang artinya tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti

Tiga Tiang Layar,” jelas I Lauase.

“Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?”
tanya

I Labuqang kepada I Lauwella.

“Saya juga setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella.

Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka.
Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah
mereka.

Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di
daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut
berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh. Setelah
beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk
bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah
Mandar.

Suatu hari, Puatta Di Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri
Pallayarang Tallu untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud
kedatangannya.

”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi
anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.

”Maaf, Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah
dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.

”Baiklah, kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa
bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena.

”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,” jawab I Lauase.


Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang.

Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka
bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.

Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut
oleh ketiga pemuda tersebut.

”Bagaimana keputusan kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.

”Maafkan kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I
Lauase.

”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena.

”Negeri kami belum makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I
Lauwella.

”Bagaimana jika aku membayar tambo kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.

Mendengar tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima
atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk
menerima tawaran itu.

”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?”
tanya I Lauase.

”Kami akan mengantarkan tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.

Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga
pemuda itu sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun
wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di
Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang
mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat Pallayarang Tallu.
Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo berubah menjadi Tamboang, lalu
menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu
menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan
di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

***

Demikian cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas
termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk
mufakat dan tekun dalam bekerja.

Pertama, sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di
atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah untuk
mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu sandaran dalam adat
Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan
musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut.
Dari cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita
harus tekun dalam bekerja.

Sumber: http://ichaazizahpanggrahito.blogspot.com/2013/03/cerita-rakyat-sulawesi-selatan.html
PUTRI TANDAMPALIK CERITA RAKYAT DARI SULAWESI SELATAN

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, berdiri sebuah
kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja atau datu yang
bernama La Busatana Datu Maongge, atau sering dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Ia adalah
seorang raja yang adil, arif dan bijaksana, sehingga rakyatnya hidup makmur dan sentosa. Datu Luwu
mempunyai seorang putri yang cantik jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik.
Berita kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di Sulawesi Selatan.

Pada suatu hari, Raja Bone ingin menikahkan putranya dengan Putri Tandampalik. Ia pun mengutus
beberapa pengawal istana ke Kerajaan Luwu untuk melamar sang Putri. Sesampainya di istana Luwu,
utusan tersebut disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan
Raja Bone,” lapor seorang utusan sambil memberi hormat kepada Datu Luwu. “Kalau boleh aku
tahu, ada apa gerangan kalian diutus oleh Raja kalian ke istana kami?,” tanya Datu Luwu dengan
penuh wibawa. “Ampun, Baginda! Perkenankanlah kami untuk menyampaikan lamaran Raja Bone
untuk putranya kepada putri Baginda yang bernama Putri Tandampalik,” jawab utusan itu memberi
hormat.

Mendengar lamaran itu, Datu Luwu terdiam sejenak. Ia bingung untuk mengambil keputusan,
menerima atau menolaknya, sebab dalam adat Kerajaan Luwu, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan
menikah dengan pemuda dari negeri lain. Akan tetapi, jika lamaran itu ditolak, ia khawatir akan
terjadi perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga membuat rakyat menderita.
Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih kebingungan untuk memberikan jawaban. “Wahai,
Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa di Kerajaan Luwu ini berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang
putri Luwuk tidak boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu, tolong sampaikan
kepada raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa hari untuk memikirkan lamarannya tersebut,”
ujar Datu Luwu. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun
kembali ke Kerajaan Bone untuk menyampaikan berita tersebut kepada Raja Bone.

Keesokan harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit kusta. Sekujur
tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana
mengatakan bahwa Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang sangat berbahaya. Berita
tentang musibah yang menimpa sang Putri sudah tersebar ke seluruh negeri. Rakyat negeri Luwu
sangat bersedih atas penyakit yang diderita oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir
dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke suatu tempat
yang jauh. Ia khawatir penyakit putrinya akan menular ke seluruh rakyatnya. “Putriku! Demi
keselamatan seluruh rakyat di negeri ini, relakah engkau jika Ayah mengasingkanmu ke daerah lain?”
tanya Raja Luwu pada putrinya. “Jika itu adalah jalan yang terbaik, Ananda menerima keputusan
Ayah dengan senang hati,” jawab sang Putri menerima keputusan ayahnya dengan tulus.

Dengan berat hati, Datu Luwu terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat dicintainya itu.
Berangkatlah sang Putri dengan perahu bersama beberapa pengawal istana. Sebelum berangkat,
Datu Luwu memberikan sebuah keris pusaka kepada Putri Tandampalik sebagai tanda bahwa ia tidak
pernah melupakan, apalagi membuang anaknya. Setelah mempersiapkan segala perbekalan yang
dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu daerah yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan
sudah mereka berlayar tanpa arah dan tujuan.

Pada suatu hari, tampaklah bagi mereka sebuah pulau dari kejauhan. “Lihat, Tuan Putri!” seru
seorang pengawal sambil menunjuk ke arah pulau itu. “Akhirnya, kita pun menemukan pulau,”
jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para pengawal pun semakin cepat mengayuh perahunya
mendekati pulau itu. “Wah, indah sekali pemandangan itu. Sepertinya pulau itu belum terjamah oleh
manusia,” sahut pengawal yang lain dengan kagum.

Tak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Seorang pengawal yang lebih dahulu menginjakkan
kakinya di pulau itu menemukan buah wajao. Pengawal itu kemudian memetik beberapa biji buah
wajao untuk sang Putri. “Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo,” kata sang Putri saat menerima buah itu.
Sejak saat itu, Putri Tandampalik beserta pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup
dengan penuh kesederhanaan. Meskipun demikian, mereka tetap bekerja keras penuh dengan
semangat dan gembira. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa
satu tahun sudah mereka berada di tempat itu.

Suatu waktu, Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah pulau itu. Tiba-tiba
seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri
hendak mengusirnya. Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya, ia diamkan
saja. Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali dijilat oleh kerbau itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan
cairan tiba-tiba hilang tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti
sediakala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan, karena penyakitnya telah sembuh. Ia
kemudian berpesan kepada para pengawalnya, “Mulai saat ini, aku minta kalian untuk tidak
menyembelih atau memakan kerbau putih yang ada di pulau ini, karena hewan itu telah
menyembuhkan penyakitku.” Permintaan sang Putri itu langsung dipenuhi oleh seluruh
pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih yang ada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak
pinak. Kemudian oleh masyarakat setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.

Pada suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka adalah Putra Mahkota
Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan
beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia
sudah terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan. Ia terus berteriak memanggil panglima dan
para pengawalnya. “Panglimaaa...! Pengawaaal...! Aku di sini, kalian di mana...?” Berkali-kali sang
Putra Mahkota berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang malam, ia pun memutuskan untuk
berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena kelelahan seharian berburu.

Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara binatang
malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di tengah gelapnya malam, tiba-tiba ia melihat
seberkas cahaya dari kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu semakin terang. Ia sangat
penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian memberanikan diri untuk mencari sumber cahaya itu.
Dengan tertatih-tatih, Putra Mahkota berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri
gelapnya malam. Akhirnya, sampailah ia di sebuah perkampungan yang ramai dengan rumah-rumah
penduduk. Setelah ia memasuki perkampungan itu, sumber cahaya itu semakin jelas terdapat di
sebuah rumah yang nampak kosong. Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota mendekati dan
memasuki rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis yang cantik sekali bak
bidadari sedang menjerang (memasak) air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri
Tandampalik. “Ya, Tuhan! Mimpikah aku. Selama hidupku, baru kali ini aku melihat gadis secantik
itu,” kata Putra Mahkota dalam hati dengan perasaan kagum.

Putri Tandampalik yang merasa kedatangan tamu, tiba-tiba menoleh. Sang Putri tergagap, “Tampan
sekali pemuda ini. Tetapi, siapa dia dan dari mana asalnya? Sepertinya dia bukan penduduk sini,”
kata sang Putri dalam hati. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya
sudah akrab. Putri Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota. Meski
ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri
Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya
yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati. Namun, Putra
Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo menemani Putri Tandampalik, karena ia harus
kembali ke negerinya untuk menyelesaikan beberapa kewajibannya di Istana Bone.

Sejak perjalanan dari Pulau Wajo sampai ke Kerajaan Bone, Putra Mahkota selalu teringat pada
wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anreguru
Pakanyareng yang lebih dulu tiba di negeri Bone setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau
Wajo, mengetahui apa yang dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering melihat Putra Mahkota duduk
termenung seorang diri di tepi telaga. Oleh karena tidak ingin melihat tuannya terus bersedih, maka
Anreguru Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan semua kejadian yang pernah mereka
alami di Pulau Wajo. “Ampun, Baginda Raja! Hamba mengusulkan agar Paduka Raja segera melamar
Putri Tandampalik,” usul Anreguru Pakanyareng. Setelah mendengar semua cerita dan usulan
Anreguru itu, Raja Bone segera mengutus beberapa pengawalnya mendampingi Putra Mahkota
untuk melamar Putri Tandampalik di Pulau Wajo.

Sesampainya di pulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia
hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahnya ketika ia diasingkan. “Maaf,
Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima lamaran kalian. Bawalah keris ini kepada Ayahandaku. Jika
Ayahandaku menerima keris ini berarti lamaran kalian diterima,” ujar sang Putri seraya
menyerahkan keris pusaka itu. Setelah bermusyawarah dengan pengawalnya, Putra Mahkota
memutuskan untuk berangkat sendiri ke Kerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh
dengan semangat. Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan
Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.

Datu Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu sangat kagum
dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa bahwa Putra Mahkota adalah seorang pemuda
yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang lagi, Datu
Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal ini berarti bahwa lamaran Putra Mahkota
diterima. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk
menemui putri kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat
mengharukan. “Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ke tempat ini,” Datu Luwu minta
maaf sambil memeluk putrinya. “Tidak, Ayah! Justru Ayah harus bersyukur, karena rakyat Luwu
terhindar dari penyakit menular yang menimpa diriku,” kata Putri Tandampalik.
Beberapa hari kemudian, Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja Bone di Pulau
Wajo. Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah. Seluruh keluarga dari dua Kerajaan Besar
di Sulawesi Selatan itu sangat gembira dengan pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra
Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang
arif dan bijaksana. Maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka.

disadur dari : Effendy, Tennas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan
Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa. Sumber:
http://dongengdanceritarakyat.blogspot.com/2013/02/putri-tandampalik-cerita-rakyat-dari.html
CERITA RAKYAT DARI SULAWESI TENGGARA KENDARI
http://www.proberita.com/entertainment/cerita-rakyat/nini-dan-putri-ikan-cerita-rakyat-dari-
sulawesi-tenggara/

Ini adalah cerita tentang seekor ikan kecil yang tinggal di lautan. Pada suatu ketika dia tersesat dan
ditolong oleh ikan yang dulunya adalah seorang manusia. Cerita rakyat ini terasa unik dan sedikit
banyak mirip dengan cerita rakyat dari Luar Negeri. Ini membuktikan bahwa Indonesia kaya akan
ragam budaya dan memiliki kemiripan dengan budaya luar namun tetap asli dari negeri sendiri.
Berikut ini adalah cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang berjudul Nini dan Putri Ikan.

Di sebuah pedesaan bawah laut tinggallah Nini seekor ikan kecil berwarna biru bersama
keluarganya. Karena masih kecil Nini dilarang ibunya untuk keluar rumah. Keseharian Nini adalah
bermain-main di sekitar rumahnya. Padahal Nini ingin sekali berenang keluar dari rumah seperti ikan
lainnya yang bebas berenang kemanapun mereka inginkan. Pada suatu hariketika Nini sendirian di
rumah datanglah ikan-ikan kecil lainnya. Mereka sangat cantik dan berwarna-warni, ada si kuning
bergaris-garis putih, keemasan, dan biru seperti dirinya. Nini senang sekali.

Ikan-ikan kecil itu mendatangi Nini dan mengajaknya bermain di luar rumah, mulanya Nini keberatan
sebab takut dimarahi ibunya. Namun ketiga teman Nini terus membujuknya dan mengatakan bahwa
pemandangan laut lainnya amat menarik, mereka juga berjanji akan menjaga Nini. Setelah berfikir
akhirnya Nini ikut bersama teman-temannya bermain di luar rumah.
Nini sangat terkesan dengan pemandangan di permukaan laut, dia melihat kapal yang besar dan
ombak laut yang bergulung-gulung. Nini berenang mengitari kapal besar tersebut, karena terlalu
senang Nini lupa pada pesan ibunya agar jangan pergi jauh. Tanpa terasa hari sudah beranjak senja,
Nini yang tersadar kebingungan karena ditinggal sendiri oleh teman-temannya. Dia tidak tahu jalan
pulang. Ketika itulah terdengar suara lembut dari arah belakang. Ternyata dibelakang Nini ada
seekor putri ikan yang cantik.

Putri ikan melihat Nini kebingungan. Dihadapan putri ikan Nini mengatakan bahwa dirinya tersesat
dan tidak tahu jalan pulang. Putri ikan yang merasa kasihan akhirnya berjanji akan menolong Nini
kembali ke rumah. Ketika itu putri ikan selalu melihat ke arah kapal besar yang sedang berhenti. Nini
merasa heran lalu bertanya kenapa putri ikan selalu memandang ke arah kapal itu. Tiba-tiba wajah
putri ikan menjadi muram, dia lalu mengatakan bahwa dirinya dulu adalah seorang putri yang cantik.

Putri cantik itu bernama Kanaya. Namun, karena ulah seorang nenek sihir Putri Kanaya di sihir
menjadi manusia setengah ikan. Putri Kanaya mempunyai seorang kakak yang bernama Miruni.
Miruni merasa iri dengan Putri Kanaya karena pangeran tampan yang lebih memilih putri Kanaya
dibanding Miruni. Karena rasa iri tersebut, Miruni mencari seorang nenek sihir untuk mengubah
Kanaya menjadi manusia setengah ikan. Putri Kanaya hanya akan sembuh jika dirinya bertemu
dengan pangeran dan menikah dengannya.

Nini yang mendengar cerita itu merasa kasihan lalu berniat ingin menolong Kanaya. Nini berenang
mendekati kapal besar dan melompat ke atas kapal. Dirinya jatuh tepat di kaki pangeran tampan
yang mencintai Kanaya. Nini lalu menjelaskan kepada pangeran bahwa dirinya adalah teman Kanaya,
putri yang telah disihir menjadi manusia setengah ikan. Nini juga menjelaskan bahwa sihir itu akan
hilang jika pangeran bersedia menikah dengan putri Kanya.
Pangeran yang mendengar penjelasan itu merasa senang karena dapat bertemu kembali dengan
Kanaya. Dia lalu membawa Nini menuruni kapal dan pindah ke sampan kecil untuk menemui Kanaya
di lautan. Nini kemudian di lepaskan ke dalam air dan membawa pangeran bertemu dengan Kanaya.
Setelah bertemu pangeran berjanji akan menikah dengan Kanaya. Saat itulah dengan perlahan-lahan
Kanaya berubah menjadi manusia. Ekornya berubah menjadi sepasang kaki yang cantik.

Putri Kanaya tidak melupakan janjinya kepada Nini, dengan bantuan seekor ikan teman Kanaya, Nini
dibawa pulang menuju rumahnya. Putri Kanaya menikah dan hidup di pinggir pantai bersama
pangeran. Nini dan teman-temannya sering datang mengunjungi mereka yang telah hidup bahagia.

Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara tentang Nini dan Putri Ikanadalah cerita rakyat yang
menceritakan Nini seekor anak ikan yang tidak mengindahkan perintah orang tuanya. Sedangkan
Putri Ikan dikutuk oleh penyihir. Untungnya kedua ikan itu dapat menyelesaikan masalah dengan
baik.
KEONG MAS – JAWA TIMUR

Raja Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri, namanya Dewi
Galuh dan Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra kirana sudah ditunangkan oleh putra mahkota
Kerajaan Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.

Tapi saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana, karena Galuh
Ajeng menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui nenek sihir untuk mengutuk
candra kirana. Dia juga memfitnahnya sehingga candra kirana diusir dari Istana ketika candra kirana
berjalan menyusuri pantai, nenek sihirpun muncul dan menyihirnya menjadi keong emas dan
membuangnya kelaut. Tapi sihirnya akan hilang bila keong emas berjumpa dengan tunangannya.

Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut. Keong Emas
dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi dilaut tetapi tak
seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya ia kaget karena sudah tersedia masakan yang
enak-enak. Sinenek bertanya-tanya siapa yang memgirim masakan ini.

Begitu pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek pura-
pura kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas berubah menjadi gadis cantik
langsung memasak, kemudian nenek menegurnya ” siapa gerangan kamu putri yang cantik ? ” Aku
adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh saudaraku karena ia iri kepadaku ”
kata keong emas, kemudian candra kirana berubah kembali menjadi keong emas. Nenek itu tertegun
melihatnya.

Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun
mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan
mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati
Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap
burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan
Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan.
Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.

Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden
Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah
berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya
untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut,
karena dari balik jendela ia melihatnya tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang
karena perjumpaan dengan Raden Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik gubuk itu dan
putri Candra Kirana memperkenalkan Raden Inu pada nenek. Akhirnya Raden Inu memboyong
tunangannya keistana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda
Kertamarta.

Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman yang
setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia terperosok dan jatuh
kedalam jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapatipun berlangsung.
Mereka memboyong nenek dadapan yang baik hati itu keistana dan mereka hidup bahagia.
ASAL MULA BUKIT CATU

Alkisah di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan
ladangnya selalu memberikan panen yang berlimpah. Di desa tersebut tinggal seorang petani
bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka menginginkan hasil panen padinya lebih banyak dari pada
hasil panen sebelumnya. "Hem, sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita berkaul," usul
Pak Jurna pada istrinya. "Berkaul apa, pak?" sahut Bu Jurna. "Begini, jika hasil panen padi nanti
meningkat kita buat sebuah tumpeng nasi besar, ujar Pak Jurna penuh harap. Ibu Jurna setuju.

Ternyata hasil panen padi Pak Jurna meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah diucapkan, lantas
Pak Jurna dan istrinya membuat sebuah tumpeng nasi besar. Selain itu diadakan pesta makan dan
minum. Namun Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang mereka peroleh. Mereka
ingin berkaul lagi dimusim padi berikutnya. "Sekarang kita berkaul lagi. Jika hasil panen padi nanti
lebih meningkat, kita akan membuat tiga tumpeng nasi besar-besar," ujar Pak Jurna yang didukung
istrinya. Mereka pun ingin mengadakan pesta yang lebih meriah daripada pesta sebelumnya.

Ternyata benar-benar terjadi. Hasil panen padi lebih meningkat lagi. Pak Jurna dan istrinya segera
melaksanakan kaulnya. Sebagian sisa panen dibelikan hewan ternak oleh Pak Jurna. Tapi mereka
masih belum puas. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi akan membuat lima tumpeng besar jika hasil
panen dan ternaknya menjadi lebih banyak. Panen berikutnya melimpah ruah dan ternaknya
semakin banyak. "Suatu anugerah dari Sang Dewata, apa yang kita mohon berhasil," ucap Pak Jurna
datar.

Di suatu pagi yang cerah, Pak Juran pergi ke sawah. Sewaktu tiba di pinggir lahan persawahan, ia
melihat sesuatu yang aneh. "Onggokan tanah sebesar catu?" tanyanya dalam hati. "Perasaanku
onggokan tanah ini kemarin belum ada," gumam pak Juran sambil mengingat-ingat. Catu adalah alat
penakar beras dari tempurung kelapa. Setelah mengamati onggokan tanah itu, pak Jurna segera
melanjutkan perjalanan mengelilingi sawahnya. Setelah itu, ia pulang ke rumah. Setibanya di rumah,
pak Jurna bercerita pada istrinya tentang apa yang dilihatnya tadi. Ia segera mengusulkan agar
membuat catu nasi seperti yang dilihat di sawah. Ibu Jurna mendukung rencana suaminya. "Begini,
pak. Kita buat beberapa catu nasi. Dengan begitu, panenan kita akan berlimpah ruah, sehingga dapat
melebihi panenan orang lain," usul Bu Jurna.

Hasil panen berlimpah ruah. Lumbung padi penuh. Para tetangga Pak Jurna takjub melihat hasil
panen yang tiada bandingnya itu. "Pak Jurna itu petani ulung," kata seorang lelaki setengah baya
kepada teman-temannya. "Bukan petani ulung tetapi petani beruntung," timpal salah satu temannya
sambil tersenyum. Pak Jurna dan istrinya membuat beberap catu nasi. Pesta pora segera
dilaksanakan sangat meriah. Beberapa catu nasi segera dibawa ke tempat sebuah catu yang berupa
onggokan tanah berada. Namun, Pak Jurna sangat terkejut melihat catu tersebut bertambah besar.
"Baik, aku akan membuat catu nasi seperti catu tanah yang semakin besar ini," tekad Pak Jurna
bernada sombong. Pak Jurna segera pulang ke rumah dan memerintahkan istrinya agar membuat
sebuah catu nasi yang lebih besar.

Sebuah catu nasi yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung dan diiringi
gemerciknya air sawah, Pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah tiba ditempat, Pak
Jurna terperanjat. "Astaga! Catu semakin besar dan tinggi!" pekiknya. "Tak apalah. Aku masih
mempunyai simpanan beras yang dapat dibuat sebesar catu ini," ujar Pak Jurna tinggi hati. Begitulah
yang terjadi. Setiap Pak Jurna membuat catu nasi lebih besar, onggokan tanah yang berupa catu
bertambah besar dan semakin tinggi. Lama kelamaan catu tanah tersebut menjadi sebuah bukit. Pak
Jurna dan istrinya pasrah. Mereka sudah tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Lantas apa yang
terjadi? Pak Jurna jatuh miskin karena ulah dan kesombongannya sendiri. Akhirnya, onggokan tanah
yang telah berubah menjadi bukit itu dinamai Bukit Catu.
LEGENDA TELAGA PASIR – JAWA TIMUR

Legenda Telaga Pasir - Pada Suatu Hari di suatu tempat di daerah kaki Gunung lawu daerah
Magetan Jawa Timur hiduplah suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir, Mereka adalah
sepasang suami istri yang tinggal di sebuah gubung di tepi hutan. meskipun terbuat dari kayu dan
beratap dedaunan namun gubuk mungil itu sudah jukup aman bagi kiyai Pasir dan istrinya. dari
gangguan binatang liar dan panasnya terik matahari, dinding gubuk itu terbuat dari kulit kayu yang di
ikatkan pada sebuah tiang kayu dengan menggunakan rotan. diantara dinding-dinding kayu itu diberi
sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar masuk kedalam gubuk yg mereka
tempati itu.

Kyai Pasir adalah seorang petani ladang dari hasil ladang itulah ia dan istrinya bisa hidup, walaupun
dengan hidup seadanya. ladang milik Kyai pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat
tinggalnya, suatu hari, lelaki tua yg mulai renta itu berangkat keladang dengan mebawa sebuah
kapak untuk membabat hutan dan hendak membua ladang baru di dekat ladang miliknya. ketika
hendak menebang selah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebuah telur besa ter geletak
di bawah pohon yang hedak ia tebang itu.

Haaa... telur binatang apa ini gumamnya dengan heran dan kyai Pasir sangat penasaran melihat telur
besar itu. dan diambilah telur besar itu seraya diamatinya.

Ah... tidak mukin kalo telur ayam, mana mukin telur ayam sebesar ini lagi pula tidak ada ayam di
daerah ini''

Kyai pasir ia tidak mau memikirkan itu binatang apa, baginya, itu adalah lauk makan siang oleh
karnanya ia pun bergegas membawa telur itu untuk lauk makan siang ia dan istrinya.

Setelah sampai di rumah ia pun segera menyuruh istrinya, Bu'' tolong masakin telur itu untuk lauk
makan siang kita..'' ujar Kyai Pasir.

Wah, besar sekali telur ini, baru pertama kali ini aku melihat telur sebesar ini'' ujar Nyai Pasir dengan
heran saat menerima telur itu.. dari mana telur ini pak tanya Nyai pasir pada suaminya.

Kyai pasir pun bercerita bagaimana ia menemukan telur itu, setelah itu ia pun kembali meminta
untuk segera memasak telur itu karena sudah kelaparan, ia juga tidak sabar ingin segera menyantap
telur itu.
ini telur binatang apa pak'' tanya istrinya.

Sudah lah Bu, tidak usah banyak tanya ujar kyai pasir mulai kesel, cepatlah masak telur itu perutku
sudah keroncongan.!

Nyai Pasir pun segera kedapur untuk segera memasak telur itu, smbil menunggu telur matang, Kyai
pasir pun sambil berabah tubuhnya sejenak karena merasa kecapekan, tak berapa lama isterinya
pun selalsai memasak telurnya.

Pak hidangan makan siang telah siap, kita makan dulu, ujar Nyi Pasir.

Kyai pasir pun beranjak dari tidurnya, ia dan isterinya pun segera menyantap telur itu dengan lahap,

telur rebus itu pun mereka bagi dua sama rata, usai makan siang ia pun kembali kehutan untuk
melanjutkan pekerjaannya, ditengah perjalanan ia pun masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi,
setelah sesampai diladang, sekujur tubuhnya kaku dan merasa kesakitan.

aduhhh.. kenapa sekujur tubuhku merasa sakit seperti ini'' ratap Kyai Pasir.

semakin lama rasa sakit ditubuhnya semakin menjadi-jadi, Kyai pasir pun tidak kuat menahan rasa
sakit itu sehingga rebah ketanah dan berguling-guling kesana kemari, selang beberapa saat
kemudian tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga besar, sungutnya sangat tajam dan keras Kyai
pasir yg berubah menjadi seekor naga jantan pun terus berguling-guling tanpa henti.

pada saat yg bersamaan Nyai Pasir yg berada di rumah pun mengalami nasib yg sama.

rupanya telur yg telah makan tadi adalah sebuah telur naga, Nyai pasir yg telah merasa kan
kesakitan pun segera berlari keladang untuk minta tolong kepada suaminya. alangkah terkejutnya
setelah ia tiba diladang, ia mendapati suaminya yg telah berubah menjadi naga yg sangat
menakutkan, ia pun segera berlari merasa ketakutan, namun karena tidak sanggup lagi menahan
rasa sakit di sekujur tubuhnya Nyai pasir pun ahirnya rebah dan berguling-guling ditanah, tak lama
kemudian hingga ahirnya sekujur tubuhnya di tumbuhi sisik dan menjadi naga betina.

kedua naga berguling-guling sehingga tanah disekitarnya berserakan dan membentuk cekung seperti
habis digali, lama kelamaan cekungan tanah itu pun menjadi luas dan dalam. kemudian muncul
sebuah semburan air yang deras dari dasar cekungan itu hingga memenuhi cekungan tersebut
semakin deras air yang menyembur dari dasar cekungan, dan ahirnya menjadi sebuah telaga,

oleh masarakat setemat, telaga itu dinamakan telaga pasit yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai
Pasir, namun karena lokasinya di sebuah Kelurahan Sarangan telaga ini bisa disebut telaga sarangan.

Nah demikian lah legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur, hingga saat ini legenda ini masih
digemari masarakat Jawa Timur kususnya masarakat Magetan, kini telaga pasir atau telaga sarangan
menjadi salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Magetan..
DEWI SANGGALANGIT ASAL – USUL REOG – JAWA TIMUR

Dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit. Ia puteri salah satu
raja yang terkenal di Kediri. Karena wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lembut, banyak
pangeran dan raja-raja ingin meminangnya unuk dijadikan sebagai istri.

Namun sayangnya ewi Sanggalangit belum memiliki keinginan untuk berumah tangga sehinga
membuat pusing kedua orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya sudah sangat mendambakan
seorang cucu ditengah-tengah keluarga mereka.

"Anakku, sampai kapan kau menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?" Tanya raja pada
suatu hari.

"Ayahnda, sebenarnya hamba belum berhasrat untuk bersuami. Naun jika ayahnda sangat
mengharapkan hamba untuk menikah, baiklah. Tapi hamba meminta syarat, suami hamba harus
memenuhi keinginan hamba".

"Lalu apa keinginanmu?"

"Hamba belum tahu.."

"Lho, kok aneh??" sahut baginda.

"Hamba akan bersemedi terlebih dahulu untuk meminta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan
menghadap ayahanda untuk menyampaikan einginan hamba."

Demikianlah, lalu Dewi sangalangit besemedi selama tiga hari tiga malam memohon petunjuk sang
Dewa. Lalu pada hari keempat ia menghadap ayahandanya.

"Ayahanda, calon suami hamba harus mampu menghadirkan sebuah tontonan yang menarik.
Tontonan atau pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi
tabuhan dan gamelan, dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor
yang nantinya akan dijadikan sebagai pengiring pengantin. Terakhir harus dapat menghadirkan
binatang berkepala dua.

"Wah berat sekali syaratmu itu..!!" Sakut baginda.


Meski berat, namun syarat itu tetap diumumkan kepada rakyat-rakyatnya, tak terkecuali raja-raja
dan pangeran dari negeri tetangga dan seberang.

Para pelamar yang tadinya menggebu-gebu unuk memperistri Dewi Sanggalangit banyak yang ciut
nyalinya dan akhirnya mereka mengundurkan diri karena merasa syarat yang harus dipenuhi sangat
mustahil dan berat.

Akhirnya inggal dua orang saja yang tersisa dan menyatakan siap dan sanggup untuk memenuhi
permintaan Dewi Sanggalangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja
Kelana Swandana dari Kerajaan Bandarangin.

Baginda Raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab raja Singabarong adalah
manusia yang aneh, ia seorang manusia berkepala harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedangkan
Kelanaswandana adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan
aneh. Suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.

Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan persyaratan yang telah
diumumkannya.

Raja Singabarong bertubuh besar dan tinggi. Dari bagian leher keatas berwujud harimau yang
meyeramkan. Berbulu lebat dan dipenuhi dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memeluhara seekor
burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya.

Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar.
Mengerahkan para seniman untuk menciptakan sebuah tontonan yang menarik dan mendapatkan
seekor binatang berkepala dua.. Namun pekerjaan tersebut ternyata tidak mudah. Kuda kembar
sudah bisa dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi yang baru belum juga tercipta, demikian
pula dengan binatang berkepala dua belum juga bisa didapatkan.

Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala. Ia diutus oleh Raja Singabarong
untuk menyelidiki kesiapan dari pesaingnya, Kelanaswandana. Patih Iderkala dan beberapa prajurit
terlatihnya segera berangkat menuju kerajaan Bandarangin dengan menyamar sebagai seorang
pedagang. Setelah mereka melakukan penyelidika dengan seksama selama beberapa hari, mereka
kembali ke Lodaya.
"Ampun Baginda. Kiranya si Kelanaswanda hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi
Sanggalangit. Hamba melihat lebih dari seratus kuda dikumpulkan. Mereka juga yelah menyiapka
tontonan yang menarik dan sangat menakjubkan." Patik Iderkala melaporkan.

"Wah Celaka..!! Kalau begitu, sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit sebagai istrinya."
Kata Raja Singabarong."Lalu bagaimana dengan binatang berkepala duanya?? Apa mereka juga
sudah siapkan??"

"Hanya binatang itulah yang belum mereka siapkan Baginda, tapi nampaknya sebentar lagi mereka
dapat menyiapkannya" Sambung Patih Iderkal.

"Patih Idkala, mulai siapkan prajurit pilihan yang terbaik dengan persenjatan yang lengkap. Setiap
saat meeka harus siap diperintah untuk menyerbu ke Bandarangin.

Demikianlah, Raja ingabarong ingin bermaksud untuk merebut hasil usaha keras Raja
Kelanaswandana. Setelah mengadakan persiapan yang matang, Raja singabarong memerintahkan
beberapa mata-matanya untuk menyelidiki perjalanan yang ditempuh Raja Kelanawandana dari
Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja Singabarong akan menyerbu mereka diperjalanan dan
merebut hasil usaha Raja Kelanaswandana untuk diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit.

Namun, Rencana Raja Sibgabarong hancur karena semua mata-mtanya berhasil ditangkap dan
dibunuh oleh prajurit kerajaan Bandarangin karena kedok mereka terbongkar.

Sementara itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari pajurit mata-matanya yang di kirim ke
kerajaan Bandarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan kepada patih Iderkala untuk
menyusul mereka ke perbatasan. Sementara ia sendiri pergi ke tamansari untuk menemui si burung
merak, karena pada saat itu kepalanya terasa gatal sekali.

"Hai burung meak, cepat patukilah kutu-kutu dikepalaku!" Teriak aja Singabarong menahan gatal.

Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja Singabarong dan mulai
mematuki kutu-kutu yang bertebaran di kepala Raja Singabarong. Karena Patukan-patukan yang
nikmat dari Burung Merak itu, Raja Singabarong sampai tertidur pulas. Ia sama sekali tak
mengetahui keadaan diluar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor kepadanya.
Diluar istana pasukan Bandarangin telah menyerbu dan mengalahkan prajurit Lodaya. Bahkan patih
Iderkala yang dikirim ke perbatasan elah tewas terlebih dahulu karena berpapasan dengan pasukan
Bandarangin. Ketika pertempuran itu sudah merambat ke dalam istana dekat tamansari, barulah
Raja Singabarong terbangun dari tidurnya karena mendengar suara ribut-ribut. Sementara si burung
merak masih saja terus mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong. Jika dilihat secara sepintas
dari depan Raja Singabarong terlihat seperti binatang berkepala dua yaitu berkepala harimau dan
merak.

"Kai mengapa diluar sana ribut-ribut...!!!" Teriak Raja Singabarong marah.

Namun tak ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain dan tak bukan
adalah Raja Kelanaswandana.

Raja Singabarong terkejut seali. "Hai Raja Kelanaswandana mau apa kau datang kemari..??"

"Jangan pura-pura bodoh!!" Sahut Raja Kelanawandana. "Bukankah kau hendak merampas usahaku
dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit..!!"

"Hemm, jadi kau sudah tahu??" Sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu.

"Ya, maka aku akan menghukummua!!"

Lalu Raja kelanaswandana mengeluarkan kesaktiannya. Seketika kepala Raja Singabarong menjadi
berubah. Burung merak yang tadinya hngga di bahunya lalu menempel dan menyatu dengan kepala
Raja Singabarong. Raja Singabarong marah bukan kepalang, lalu ia mencabut kerisnya dan meloncat
untuk menyerang Raja Kelanaswandana. Namun Raja Kelanaswandana segera mengayunkan cambuk
saktinya yang bernama Samandiman ketubuh Raja Singabarong. Cambuk itu dapat megeluarkan
hawa panas dan suaranya seperti halilintar.

Begitu terkena sabetan Cmbuk itu, Raja Singabarong terpental dan mengglepar-glepar diatas tanah.
Seketika ubuhnya terasa lemah dan berubah menjadi binatang aneh, berkepala dua yaitu harimau
dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya pun hilang. Raja Kelanaswandana segera
memerintahka prajuritnya untuk menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bandarangin.
Beberapa hari kemudian Raja Kelanaswandana mengirim utusan yang memberitahukan Raja Kediri
bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil
Dewi Sanggalangit.

"Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri dari Raja Kelanaswandana??"

"Ayahanda, apakah Raja Kelanaswandana sanggup untuk memenuhi semua persyaratan yang telah
hamba sampaikan??"

"Tentu saja, Dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan, masalahnya sekarang
apakah kau tidak menyesal juka harus menjadi istri Raja Kelanaswandana??".

"Jika hal itu sudah menjadi jodoh, hamba akan menerimanya sebagai Suami hamba ayahanda, dan
hamba akan merubah kebiasaan buruk Raja Kelanaswandana yag suka kepada laki-laki itu."

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan datanglah rombongan Raja Kelanaswandana dngan
kesenian yang diberi nama Reog sebagai pengiring. Raja Kelanaswandana datang dengan iringan
seratus empat puluh ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, kendang, dan terompet aneh yang
menimbulkan perpaduan suara aneh tapi merdu dan mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya
binatang aneh yang berkepala dua, yaitu harimau dan merak.

Pada akhirnya Dewi Sanggalangit lalu menikah dengan Raja Kelanaswandana dan Dewi Sanggalangit
diboyong ke kerajaan Bandarangin di Wengker untuk dijadikan permaisurinya. Lalu kesenian ini
dinamai sebagai Reog yang sering kita lihat di pertunjukan.
ASAL USUL BANYUWANGI – JAWA TIMUR

Di pantai Timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang diperintah Prabu Menak Prakosa. Ia
mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Sri Baginda tersebut mempunyai seorang anak laki-laki
yang gagah, cakap, dan bagus parasnya. Nama anak raja tersebut adalah Raden Banterang.

Raden Banterang menjadi putera mahkota yang kelak menggantikan ayahnya sebagai raja. Ia, Raden
Banterang sangat dicintai dan dihormati rakyatnya. Sayangnya, ia mudah marah, bahkan sering
memberikan hukuman yang berat kepada rakyatnya bila tidak mengikuti perintahnya.

Pada suatu hari, Raden Banterang berburu binatang dengan disertai beberapa pengiringnya. Dalam
perburuan tersebut, Raden Banterang berpisah dengan pengiringnya. Ia berjalan seorang diri dan
sampailah ia di sebuah sungai. Di tepi sungai tersebut, terlihatlah seorang gadis cantik sedang
memetik bunga. Raden Banterang sangat tertarik oleh kecantikannya.

Ia bertanya dalam hati, "Mimpikah aku ini? Mengapa gadis cantik itu seorang diri dalam hutan?"

Bertanyalah Raden Banterang kepada gadis tersebut, "Wahai, puteri yang cantik. Manusia atau
dewikah? Mengapa tuan puteri berada di tempat ini seorang diri?"

Gadis itu sangat terkejut, ia tidak menyangka akan ada orang lain yang mengetahuinya. Gadis cantik
itu pun lalu menjawab, "Saya manusia biasa, sama sekali bukan dewi. Saya berada di sini karena
takut akan serangan musuh. Beberapa waktu lalu kerajaan kami diserang oleh kerajaan lain. Ayah
saya gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Sejak saat itu saya mengembara seorang diri
sampai di tempat ini."

"Benarkah tuan puteri adalah puteri Raja Klungkung?" tanya Raden Banterang. "Benar, yang tuan
katakan. Saya adalah Surati puteri raja Klungkung yang gugur itu."

Raden Banterang diam beberapa saat, ia tahu bahwa yang menyerang kerajaan Klungkung adalah
ayahnya sendiri. Mendengar berita tersebut rasa iba tumbuh dalam hati Raden Banterang.
Selanjutnya puteri Raja Klungkung yang bernama Surati dibawa ke istana. Tidak berapa lama kedua
putera raja tersebut menikah.
Rakyat gembira sekali karena Raden Banterang mendapat isteri yang benar-benar elok dan baik budi
pekerti. Berkat keluhuran budi Surati, sifat pemarah yang ada pada diri Raden Banterang berangsur-
angsur hilang. Suatu saat tatkala Surati berjalan-jalan di luar istana, bertemulah dengan seorang laki-
laki yang pakaiannya compang-camping.

Laki-laki itu berteriak, "Surati! Surati!"

Alangkah terkejutnya Surati mendengar teguran itu. Dipandangnya lama sekali laki-laki tersebut.
Akhirnya, ingatlah bahwa laki-laki itu adalah kakak kandungnya. Sama sekali ia tidak menyangka
bahwa kakaknya masih hidup.

Jawab Surati, "Aduh, kakanda tercinta! Adinda tidak menyangka saat ini dapat berjumpa dengan
kakanda. Adinda menyangka bahwa kakanda telah gugur bersama ayahanda. Kiranya Tuhan masih
memberi perlindungan kepada kita berdua."

"Surati! Engkau tidak tahu malu mau diperisteri oleh orang yang telah membunuh ayah kita.
Sekarang saya hendak menuntut balas atas kematian ayah kita. Maukah engkau membantuku?"

Jawab Surati, "Maaf kakanda, adinda telah berhutang budi kepadanya. Dia telah menyelamatkan
adinda dari penderitaan. Maaf, sekali lagi, adinda tidak dapat mengabulkan permintaan kakanda."

Si kakak kandung nampak kecewa dengan jawaban Dewi Surati.

Pada suatu hari, Raden Banterang sedang berburu, tatkala sedang mengejar kijang, datang seorang
pengemis mendekatinya. Kata pengemis tersebut, "Tuanku Raden Banterang, sejak tadi hamba
mencari Tuanku. Tuanku terancam oleh bahaya maut yang direncanakan oleh permaisuri Tuanku.
Tadi pagi hamba mendengar percakapan permaisuri Tuanku dengan kakak ipar Tuanku tentang
rencana mereka untuk menuntut balas kematian ayahnya. Kalau tidak percaya, di bawah peraduan
permaisuri ada sebilah keris pusaka." Setelah berkata demikian, pengemis itu menghilang.
Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan pengemis tersebut.

Bergegaslah pulang Raden Banterang ke istana. Sesampai di istana, ia langsung menuju peraduan
permaisuri untuk meyakinkan benar tidaknya keterangan pengemis. Alangkah panas hati dan
kecewanya Raden Banterang, karena yang diceritakan pengemis tadi benar, di bawah peraduan
Puteri Surati ditemukan senjata pusaka kerajaan Klungkung.

Kemarahan Raden Banterang tak bisa ditahan. Diajaknya isterinya ke muara sebuah sungai.
Sesampai di muara sungai, Raden Banterang menceritakan semua yang didengarnya dari seorang
pengemis tatkala sedang berburu di hutan.

Raden Banterang menanyakan dengan nada kemarahan, "Itukah balasanmu kepada kebaikanku?"

Jawab permaisuri, "Adinda berani bersumpah, sekali-kali adinda tidak melakukan seperti yang
kakanda tuduhkan."

"Diam, pendusta!", gertak Raden Banterang sambil memperlihatkan keris yang ditemukan.

"Kakanda Raden Banterang! Itu memang pusaka ayahanda Raja Klungkung. Tapi demi Dewata Yang
Agung, pusaka itu hanya dipegang oleh kakak hamba. Hamba tidak mengerti mengapa sekarang
berada di tangan kakanda Raden Banterang. Adinda berani bersumpah bahwa hamba adalah isteri
yang setia. Memang kakak adinda datang menemui adinda, tetapi hanya sampai di pintu gerbang
istana. Dia minta agar adinda mau membantu kakak dalam melaksanakan niatnya menuntut balas
atas kematian ayah kami. Tetapi permintaannya itu adinda tolak."

Raden Banterang tetap tidak percaya atas keterangan isterinya. Ia yakin, isterinya termasuk salah
seorang yang menaruh dendam. Maka dihunusnya keris yang terselip di pinggangnya.

"Baiklah jika kakanda... jika kakanda tidak mempercayai adinda maka adinda bersedia menemui ajal
di sungai ini. Tetapi harap kakanda camkan, bahwa jika nanti sungai ini berbau wangi berarti adinda
tidak bersalah, jika sungai ini berbau busuk memanglah adinda bersalah."

Sebelum keris itu ditikamkan kepada isterinya, Surati melompat ke sungai lalu menghilang. Raden
Banterang berseru dengan suara yang gemetar, "Banyuwangi...! Isteriku tidak berdosa."

"Banyuwangi...!" teriak seorang pengemis hampir bersamaan. "Hai, Raden Banterang! Aku adalah
kakaknya. Isterimu memang tidak berdosa. Ia menolak membantuku untuk membunuhmu.
Banyuwangi..., itulah tanda cinta sucinya."

Setelah selesai berkata, pengemis itu pun menghilang. Raden Banterang terburu nafsu tanpa
menyelidikinya dengan cermat. Ia kecewa, ternyata perbuatannya membawa maut bagi permaisuri
tercinta. Sampai sekarang tempat permaisuri menghilang dalam dasar sungai disebut Banyuwangi.
Banyu artinya air, dan wangi berarti harum.
PUTRI ANJANI

Ada satu sastra Indonesia yang terkenal dari Nusa Tenggara Barat yaitu sebuah kisah tentang
seorang putri raja yang ingin mencari jodohnya sendiri. Berikut adalah cerita tentang Cerita Putri
Anjani sebagai Cerita Rakyat dari Nusa Tenggara Barat.
Anjani adalah seorang putri yang cantik namun tidak seperti putri yang lainnya. Anjani
sangat berbeda, dia tidak suka berdandan selayaknya putri. Putri Anjani sangat tidak memperdulikan
penampilan, dia juga tidak suka merawat tubuhnya. Sebaliknya putri Anjani lebih suka berburu di
hutan, belajar ilmu bela diri dan hidup bebas di luar istana. Melihat hal ini raja bermaksud untuk
menjodohkan putri Anjani bersama seorang pangeran agar perangainya berubah. Namun apa yang
terjadi, putri Anjani menolak mentah-mentah perjodohan itu. Orang tuanya tidak bisa berbuat apa-
apa atas penolakan putrinya. Sebaliknya putri Anjani berkata pada ayahnya bahwa dia akan keluar
istana dan mencari sendiri jodohnya.
Maka berangkatlah putri keluar istana dengan menaiki kuda yang gagah. Berbagai daerah
telah dilewatinya. Gunung dan sungai serta kampung telah di jelajahinya, namun putri Anjani tetap
belum menemukan lelaki yang sanggup membuatnya jatuh cinta. Putri Anjani tidak putus asa, dia
terus melanjutkan perjalanannya dari satu daerah ke daerah lain. Hingga pada suatu hari sampailah
putri Anjani di sebuah hutan yang lebat. Tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk berburu binatang
di dalam hutan tersebut. Putri Anjani melupakan tujuan utamanya yaitu mencari pemuda yang
sesuai dengan keinginannya.
Putri Anjani segera memasuki hutan dan semakin jauh ke dalam. Bergegas dia menyiapkan
busur dan anak panah untuk membunuh binatang di dalam hutan tersebut. Ketika itu ada seekor
rusa yang besar sedang memakan rumput. Putri mengendap diam-diam dan membidikkan panahnya
ke arah rusa tersebut. Pada saat itu tiba-tiba seorang pemuda menampar tangan putri Anjani. Putri
Anjani yang terkejut langsung marahi pemuda tersebut. Sang pemuda tidak peduli dia balik marah
kepada putri Anjani. Pemuda itu tidak setuju melihat putri Anjani membunuh binatang hanya untuk
kesenangannya saja. Putri Anjani tidak terima di marahi oleh pemuda itu, mereka lalu berkelahi.
Perkelahian itu seimbang sebab keduanya memang mahir dalam ilmu silat. Menjelang malam tiba-
tiba tubuh putri Anjadi terangkat ke atas oleh gumpalan awan hitam. Pemuda yang melihat kejadian
itu mengetahui bahwa awan tersebut adalah kiriman nenek sihir yang menjaga hutan tersebut.
Pemuda desa itu mengikuti gumpalan awan hitam tersebut dan sampailah dia di sebuah gua tempat
tinggal nenek sihir. Dengan diam-diam pemuda memasuki gua dan bertemu dengan putri Anjani
yang sudah terikat dan akan di masak dalam kuali yang besar. Pemuda tersebut ini menolong putri
Anjani namun dengan satu syarat putri Anjani tidak boleh membunuh binatang dengan sesuka hati.
Putri Anjani menyetujui syarat itu, pemuda kampung lalu mengelabui nenek sihir dengan
ilmunya. Setelah berhasil pemuda tersebut segera melepaskan putri Anjani. Mereka berlari keluar
dari hutan dan menuju kota. Namun kota masih sangat jauh. Putri Anjani meminta pemuda itu untuk
membawanya ke rumah pemuda tersebut. Pemuda itu setuju lalu tinggallah putri Anjani di rumah
pemuda tersebut. Pemuda itu tinggal bersama ibunya. Putri Anjani banyak belajar tentang
kehidupan dari keluarga sederhana tersebut. Setelah beberapa bulan putri Anjani membawa
pemuda kampung itu ke istana untuk dikenalkan kepada ayahnya. Putri Anjani meminta ayahnya
untuk menyetujui pernikahan mereka sebab sang putri sudah jatuh cinta kepada pemuda kampung
yang sederhana namun memiliki budi pekerti yang baik.

Sumber : http://www.proberita.com/entertainment/cerita-rakyat/putri-anjani-cerita-rakyat-dari-
nusa-tenggara-barat/
SAWUNGGALING – JAWA TIMUR

Jaka Berek baru saja pulang dari bermain dengan teman-temannya. Ia marah, penasaran bukan
kepalang karena teman-temannya selalu mengejek bahwa ia tak punya ayah.

Sesampai di rumah, Jaka Baerek segera menjumpai ibunya yang saat itu sedang berkumpul dengan
kakek dan neneknya.

” Biyung (Ibu), aku tak tahan lagi,” ujar Jaka

” Ada apa, Anakku ? Kenapa wajahmu cemberut begitu?” tanya ibu Jaka-Dewi Sangkrah.

”Biyung harus menjelaskan, siapakah sebenarnya ayahku?..Kalau sudah meninggal dimana kuburnya
biar aku mengirim do’a di pusaranya, dan jika masih hidup, sudilah ibu menunjukkan tempatnya
padaku.”rengek Joko pada Ibunya.

Hati Dewi sangkrah berdebar, Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.Tak bisa tidak dia harus
menjawabnya dengan gamblang.

”Anakku Jaka Berek, karena kau telah dewasa, sudah sepatutnya kau bertanya tentang ayahmu.
Ketahuilah anakku, ayahmu adalah seorang adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Jayengrana.
Bila ingin bertemu dengannya datanglah kesana.”

Dengan bekal seadanya, Jaka Berek berangkat ke Kadipaten Surabaya untuk menjumpai ayahnya.
Ketika hendak memasuki pintu gapura kadipaten,Jaka Berek dicegat oleh seorang prajurit yang
sedang berjaga.

”Berhenti kamu!” teriak prajurit itu. ”mau apa berani datang ke kadipaten ini?”

”Saya ingin bertemu dengan sang adipati..”jawab Jaka dengan wajahnya yang polos sebagaimana
kebanyakan pemuda desa.

”anak muda ketahuilah aku adalah prajurit yang sedang berjaga. Kau tidak boleh masuk ke
kadipaten.kau harus pergi dari sini sebelum kuusir..”bentak prajurit itu.

”aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Adipati Jayengrana,jawab Jaka Berek.

Prajurit penjaga itu jengkel melihat Jaka Berek yang tak mau pergi.Maka iapun menyerang Jaka
Berek agar segera pergi, tetapi Jaka Berek bukannya pergi malah melawan dengan berani. Untunglah
perkelahian itu diketahui oleh dua orang putera Adipati Jayengrana yang bernama Sawungsari dan
Sawungrana.oleh mereka perkelahian itu dilerai.

”Maaf pangeran, pemuda ini hendak memaksa masuk kadipaten.saya halang-halangi tetapi dia
malah melawan.”lapor prajurit itu.

Mendengar laporan dari prajuritnya keduanya bertanya pada Jaka Berek,


”Maaf, siapakah saudara dan ada keperluan apa hendak memaksa masuk kadipaten?”tanya
Sawungrana.

”Aku hendak menghadap Adipati Jayengrana. Ada yang ingin ku sampaikan kepada beliau.”

”Tak ada orang luar yang boleh menemui ayahku. Sebaiknya kau pulang saja atau aku yang
memaksamu pulang ..”kata Sawungsari.

Aku tetap pada pendirianku, mau menemui Adipati Jayengrana!..”tegas Jaka Berek.

Melihat kenekatan Jaka, kedua putera Adipati itupun segera mengeroyoknya, dengan tangkas Jaka
Berek melawan.

Belum lama perkelahian itu, Adipati Jayengrana keluar dan melihatnya dan iapun segera
menghampiri.

”Hei..hentikan perkelahian ini!”teriaknya.Adipati menanyakan hal ihwal perkelahian, kedua


puteranyapun menjelaskan secara terperinci.

”Kamu yang bernama Jaka Berek yang mau menemuiku, sekarang katakan apa keperluanmu?”

”Hamba hanya ingin mencari ayah hamba yang menjadi adipati di sini yang bernama Adipati
Jayengrana.kalau memang tuan orangnya,tentu tuanlah ayah hamba.”

”Nanti dulu. Siapa nama ibumu dan apa buktinya kalau kau memang anakku?”

”Hamba adalah putera dari Biyung Dewi Sangkrah. Sebagai buktinya,ibu memberi hamba sebuah
selendang Cinde Puspita ini.”Jaka Berek mengeluarkan selendang dari bungkusan yang dibawanya.

Ternyata benar selendang itu adalah selendang Cinde Puspita yang dulu oleh Adipati Jayengrana
diberikan pada Dewi Sangkrah yang dicintainya.

”Kalau begitu kau memang anakku” Adipati memeluk Jaka Berek dan memperkenalkan Jaka pada
saudaranya, Sawungrana dan Sawungsari.

Jaka Berekpun tinggal di kadipaten dan berganti nama menjadi Sawunggaling.

Suatu hari Kadipaten Surabaya kedatangan kompeni belanda yang dipimpin oleh Kapten Knol yang
membawa surat dari Jenderal De Boor yang isinya mengatakan bahwa kedudukan adipati di
Surabaya akan dicabut karena Adipati Jayengrana tak mau bekerjasama dengan kompeni belanda.
Tetapi pada saat itu,ada pengumuman bahwa di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara
sodoran (perang tanding prajurit berkuda dengan bersenjata tombak) dengan memanah umbul-
umbul yang bernama umbul-umbul Yunggul Yuda.

Adipati Jayengrana yang sudah dicabut kedudukannya itupun menyuruh kedua anaknya agar giat
berlatih untuk mengikuti sayembara itu.

Pemenang dari sayembara itu akan diangkat menjadi adipati di Surabaya.

Pada hari sayembara diadakan, tanpa memberitahu Sawunggaling, Jayengrana dan kedua puteranya
pergi ke Kartasura.dan tanpa setahu merekapun Sawunggaling juga pergi ke Kartasura. Sebelum
berangkat Sawunggaling pulang ke desa meminta do’a restu dari ibu, kakek dan neneknya.

Sayembara memanah umbul-umbul itu ternyata hanya diikuti oleh Sawungrana dan Sawungsari,
tetapi keduanya gagal tak bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda yang dipasang di Menara
Galah. Karena tak ada pemenangnya, Sosra Adiningrat yang bertindak sebagai panitia pelaksana
lomba, segera mengadakan pendaftaran lagi.

Pada saat itu ada seorang pemuda yang ikut mendaftar dan ternyata dialah Sawunggaling dan
diapulalah satu-satunya yang bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda. Dengan kemenangan ini
selain diangkat menjadi adipati, Sawunggalingpun mendapatkan puteri dari Amangkurat Agung di
Kartasura yang bernama Nini Sekat Kedaton.

Keberhasilan sawunggaling itu membuat iri dua saudaranya.

Sawungrana dan sawungsari ingin mencelakakan sawunggaling, pada saat pesta besar-besaran untuk
merayakan pengangkatan Sawunggaling sebagai adipati di Surabaya, secara diam-diam mereka
memasukkan bubuk racun ke dalam gelas minuman Sawunggaling.namun perbuatan itu diketahui
oleh Adipati Cakraningrat dari Madura.

Ketika minuman itu disodorkan pada Sawunggaling,Adipati Cakraningrat pura-pura menubruk


Sawunggaling yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi racun itu. Melihat itu, Sawungrana
sangat marah ”Dinda Sawunggaling, lihatlah ulah adipati dari Madura itu, dia tidak menghormatimu
karena telah menjatuhkan minuman. Ini penghinaan ”

Dengan cepat, disambarnya tangan Adipati Cakraningrat dan ditariknya keluar dari kadipaten.
”mengapa paman menghinaku di hadapan para tamu. Apakah paman ingin menantangku
berkelahi?” tanya Sawunggaling.

” tenang anakku, ketahuilah bahwa minuman yang hendak kau minum itu sebenarnya telah diberi
racun oleh Sawungrana, aku melihatnya” Sawunggaling merasa menyesal telah tergesa-gesa
menuduh Adipati Cakraningrat yang bukan-bukan.

”Dan semua itu memang telah direncanakan oleh para kompeni belanda. Kedua kakakmu telah
bergabung dengan para kompeni karena menginginkan kedudukan sebagai adipati di Surabaya”jelas
Adipati Cakraningrat.

Sejak saat itu Sawunggaling bertekad memerangi belanda, dia selalu menambah kekuatan
laskarnya. Dalam suatu peperangan yang sengit Sawunggaling berhasil membunuh Jenderal De Boor.
ASAL USUL CIANJUR

Pada jaman dahulu di daerah jawa barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan
lading di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan
lading lelaki kaya itu. Orang kaya itu oleh penduduk desa dijuluki Pak Kikir karena memang dia
adalah orang yang sangat kikir. Kekikirnya Pak kikr tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap
anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit.
Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. Anak Pak Kikir itu berwatak baik.
Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering dia membantu tetangganya yang kesusahan.
Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik
dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran denga baik pula. Takut jika panen berikutnya
gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa
diundang oleh Pak Kikir. Penduduk desa mengira akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat
dalam selamatan itu. Perkiraan itu meleset, ternyata Pak Kikir hanya menyediakan hidangan ala
kadarnya, itupun tidak cukup untuk menjamu seluruh orang yang diundang. Banyakdinatara
undangan yang tidak mendapat makanan. Mereka akhirnya hanya dapat mengelus dada atas sikap
Pak Kikir yang lagi-lagi terbukti kikir.
” huh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakana makanan, sungguh
keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu”
”Tuhan tidak akana memberikan berkah pada jartanya yang banyak itu”
Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan
yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, yiba-tiba datanglah seorang nenek tua renta yang
meminta sedekah pda Pak Kikir.
”Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”rintih nenek tua itu
”Apa sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
”Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu......??”
”Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan suruh tukung pukulku untuk meghajarmu!!”

Nenek itu nampak mengeluarkan air mata.


Demikianlah nenek tua itu tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir sevcara kasar oleh Pak Kikir.
Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir.
Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih. Diam-diam dia mengambil jatah makan siangnya,
lalu dikejarnya nenek yang sudah sampai di ujung desanya itu, diberikannya makanan itu kepada si
nenek.
Nenek itu merasa sangat bergembira ” sengguh baik engkau nak, semoga kelak hidupmu menjadi
mulia”
Setelah si anak muda itu pergi, si nenek melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di sebuah bukit
dekat desa, dia berhenti sejenak. dilihatnya rumah milik Pak Kikir yang palling besar dan megah di
desa itu. Sementara penduduk sekelilingnya menderita katrena ketamakan Pak Kikir.
Karena melihat kelakukan Pak Kikir itu, si nenek marah dan berkata ” ingat-ingatlah Pak Kikir,
keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan
hukuman kepadamu”
Nenek itu lalu menancapkan tongkatnya di tanah, lalu dicabutnya lagi. Dari lubang tancapan itu
memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin besar dan menuju ke desa.
“Banjir!” “Banjirrr!!!!!” teriak orang-orang desa yang mulai panic melihat datangnya air bah dari
lembah itu.
Anak Pak Kikir segera menganjurkan orang-orang agar segera meninggalkan desa dan lari ke atas
bukit.
“cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman”
“Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?”
“Kalian pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi”
Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk
ayahnya agar segera keluar rumah.
”ayah cepat tingga;lkan rumah ini, kita harus segera keluar menyelamatkan diri”
”Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanan
dulu”
Karena tidak ada waktu anak Pak Kikir segera berlari menyelamatka diri, sementara Pak Kikir terus
mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkna diri, akhirnya tenggelam dalam arus
air bah.
Sebagian besar penduduk desa termasuk putera Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya
tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat anak
Pak Kikir sebagai pemimpin desa mereka yang baru.
Putera Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata.
Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara
baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran
pimpinannnya.
Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti
daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam
mengolah sawah, maka sampai sekarang ini bersa Cianjur dikenal sangat enak dan gurih.

D I P O SK A N OL E H A L IM F A N A N I D I 1 7 . 5 4
CERITA SITU BAGENDIT
Sebelah Utara kota Garut terdapat sebuah Situ yang bernama Situ Bagendit. Indahnya alam situ ini
telah membuat Situ Bagendit terkenal sebagai tempat rekreasi yg menyenangkan.
Konon beribu-ribu tahun yang lalu sebelum Situ Bagendit menjadi “Situ”, tempat itu merupakan
dataran desa yg subur dan seorang janda kaya bernama Nyi Endit yg paling berkuasa dan ditakuti di
desa tersebut.
Kekayaan yg berlimpah-limpah ia gunakan untuk modal dipinjamkan kepada penduduk dengan
bunga yg amat tinggi. Untuk keamanan pribadinya, Nyi Endit memelihara beberapa orang jago
sebagai tukang kepruk. Jago-jago itu selain bertindak sebagai pengawal pribadi Nyi Endit, juga
bertugas sebagai “penagih paksa” mereka yg meminjam uangnya dan pada waktunya tak mau
membayar utangnya.
Apabila musim panen tiba, dihalaman rumah Nyi Endit (yg lebih pantas disebut istana) penuh padat
oleh hasil pertanian, terutama padi.

Pada suatu ketika datang musim kemarau yg amat panjang, yg mengakibatkan musim paceklik pun
tiba, yg menyengsarakan petani-petani yg hidupnya sudah amat melarat. Dalam tempo yg singkat,
penyakit kelaparan menghantui penduduk. Hampir setiap hari selalu ada kabar kematian penduduk
karena kelaparan.
Tapi keadaan di istana tuan tanah dan lintah darat Nyi Endit justru sebaliknya. Hampir seminggu
sekali pesta-pesta bersama sanak keluarga dan kerabatnya tetap diselenggarakan.

“saudara-saudara makan dan minumlah sepuas hati….. Malam ini kita rayakan keuntungan besar yg
ku peroleh dari hasil panen tahun ini..” kata Nyi Endit sambil tersenyum di depan tamu-tamunya.
Tiba-tiba ditengah pesta itu muncul pengawal Nyi Endit dan menghadap perempuan itu.
“Nyai, diluar ada pengemis yg maksa ingin masuk ruangan untuk minta sedekah..”
“apa? Pengemis? Tak ada sedekah yg aku berikan….. Usir dia..!” teriak Nyi Endit.
Tapi ternyata yg dimaksud pengemis itu sudah ada di ruangan itu.
“nyi endit, kau memang benar-benar manusia kejam” kata pengemis tua itu.
“mau apa kau pengemis busuk? Pergi kau dari tempatku..!” dengan gusar Nyi Endit membentak.
Namun pengemis itu tetap diam tak beranjak dari tempatnya. Kemudian ia berkata:
“tak mau memberi sedekah kepada manusia melarat macam aku?! Hmm… Sungguh berkutuk
hidupmu Nyi Endit..! Kau tega berpesta pora di tengah-tengah rakyat kelaparan dan sekarat karena
darahnya setiap hari kamu hisap. Betul-betul kau lintah darat terlaknat..!!”

Mendengar ucapan pengemis tua itu Nyi Endit menjadi geram.


“Apaa..! Anak-anak ayo usir pengawas itu..!” teriak Nyi Endit menyuruh pengawalnya.
Serentak keempat pengawal Nyi Endit itu mengusir pengemis itu.Tapi dalam sekali gebrak keempat
pengawal itu terlempar jatuh hingga beberapa meter.
Nyi Endit dan semua tamu yg hadir menjadi sangat terkejut, tak menduga si pengemis itu memiliki
kepandaian yg hebat.
“nyi endit, baiklah. Sebelum aku meninggalkan istanamu, karena ternyata kau tak mau berbaik hati
kepadaku dan manusia-manusia melarat lainnya. Aku ingin memberikan pertunjukan padamu” kata
pengemis itu seraya menancapkan sebatang ranting ke lantai. “Nah sekarang cabutlah kembali
ranting ini, bila tak sanggup kau boleh mewakilinya kepada orang lain..! Bila kalian bisa
mencabutnya, betul-betul kalian adalah orang yg paling mulia di dunia ini..!!!”

Nyi Endit masih memandang enteng pengemis itu, tapi ia merasa penasaran untuk mencabut ranting
itu. Maka disuruh pengawalnya yg berbadan cukup kekar untuk mencabutnya.
“he…he…he…he… Baik nyai, kukira tak ada sulitnya” kata pengawal itu dengan sombong. Namun
walau ia sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencabut rating itu, sungguh ajaib rating itu
tidak tercabut sesenti pun.
“nyi endit, ternyata andalanmu yg kau bayar mahal itu tak berarti apa-apa bagimu. Lihatlah aku
dengan mencabutnya…!!”.

Setelah berkata demikian, pengemis itu dengan mudah mencabut rating kayu itu. Dan dari lubang
bekas rating itu tertancap memancarkan air dengan derasnya….
“nyi endit, sudah saatnya kau mendapat hukuman karena dosa-dosamu memeras penduduk” kata
pengemis itu, kemudian secara samar-samar ia lenyap. Menghilang entah kemana.

Dan kemudian terdengar ledakan hebat dibarengi dengan menggelegaknya air yg keluar dari dalam
tanah. Sementara diluar turun hujan dengan lebatnya, diselingi guncangan-guncangan gempa bumi
yg seakan akan menarik desa itu kedalam perut bumi.
Dengan sekejap desa Nyi Endit yg malang itu sudah tergenangair bagai sebuah danau kecil yg baru
terbentuk. Sementara penduduk lainnya selamat. Karena sebelum mala petaka itu terjai seorang
pengemis misterius telah memberi tahu mereka supaya segera mengungsi, karena akan terjadi
malapetaka dan banjir besar.
Demikianlah cerita tentang situ bagendit. Nama ini mungkin di ambil dari nama Nyi Endit, agar
orang-orang selalu sadar dan ingat akan nasib manusa yg tamak, kikir dan serakah dengan memeras
orang lain.
Joko Kendil
Dongeng anak ini berkisah tentang seorang bocah laki-laki yang memiliki fisik seperti kendil (periuk).
Konon, ia adalah pangeran yang telah dikutuk menjadi buruk rupa karena telah melakukan
kesalahan yang fatal.

***

Alkisah, hiduplah seorang janda tua dan bocah laki-laki bernama Joko Kendil di suatu dusun
terpencil. Joko Kendil ini memiliki bentuk fisik sedikit lucu dan aneh. Karena itu, teman-teman
sebayanya kerap mengolok-olok kekurangannya tersebut. Walaupun demikian, Joko Kendil tetaplah
percaya diri. Selama bertumbuh dari anak-anak menjadi remaja, tidak ada hal-hal yang membuat
Joko Kendil bersedih. Justru si ibu yang sering bersedih, selalu mendengar olok-olok dari teman Joko
Kendil.

Suatu hari, Joko Kendil yang sudah beranjak dewasa bilang pada ibunya bahwa dia sudah ingin punya
istri. Ibunya senang sekaligus bersedih mendengar perkataan joko kendil tersebut. Senang karena
anaknya normal layaknya anak-anak yang lain, sedih karena ibunya tahu tidak bakalan ada yang mau
menjadi istri Joko Kendil yang buruk rupa. Belum selesai ibunya terbengong memikirkan perkataan
anaknya, dia lebih terkejut lagi saat anaknya minta untuk melamarkan putri raja untuk dijadikan
istrinya. Lama sekali ibunya meyakinkan Joko Kendil agar tidak menyuruh ibunya melamar putri raja,
karena sudah pasti akan ditolak. Jangankan putri raja, rakyat jelata saja belum tentu ada yang mau
menjadi istri Joko Kendil. Tetapi tekad Joko Kendil tidak bisa dibendung oleh ibunya, sehingga sang
ibu pun dengan terpaksa menyanggupi permintaan Joko Kendil untuk melamar putri raja.

Dengan perasaan tidak karuan, Ibu Joko Kendil pergi menghadap Raja untuk mengutarakan
permintaan anaknya. Ibu Joko mengungkapkan keinginan anaknya pada Raja. Raja sama sekali tidak
marah mendengar penuturan Ibu Joko. Sebaliknya, Raja meneruskan lamaran itu pada ketiga
putrinya yang cantik-cantik.

Putri Sulung dan Putri Tengah menolak mentah-mentah, bahkan menghujat dan menghina ibu dan
Joko Kendil. Berbeda dengan kedua kakaknya, Putri Bungsu justru menerima pinangan itu dengan
senang hati. Raja dan kakak-kakaknya sangat heran. Tapi karena Putri Bungsu sudah setuju, ia tak
dapat mencegah pernikahan itu.

Putri Bungsu selalu diejek kedua kakaknya, karena mempunyai suami Joko Kendil. Meskipun Putri
Bungsu sedih karena diejek terus-terusan tapi ia berusaha sabar dan tabah. Suatu hari, Raja
mengadakan lomba ketangkasan. Tapi, Joko tidak bisa ikut. Ia mengatakan pada Raja, badannya
sakit. Lomba ketangkasan itu diikuti banyak orang penting seperti para pangeran dan panglima.
Mereka berlomba naik kuda dan menggunakan senjata. Tiba-tiba datang seorang ksatria gagah. Ia
sangat tampan dan tangkas menggunakan senjata.

Putri Sulung dan Putri Tengah senang sekali melihatnya. Mereka jatuh cinta pada ksatria itu. Ia
kembali mengejek adiknya, karena terburu-buru menikahi Joko Kendil. Putri Bungsu pun berlari ke
kamarnya sambil menangis. Di sana ia melihat sebuah kendi. Karena kesal, ia membanting kendi itu
hingga berkeping-keping.

Ksatria gagah itu masuk ke dalam kamar Putri Bungsu. Ia mencari kendi, tapi kendi itu sudah hancur.
Lalu ia melihat Putri Bungsu menangis tersedu-sedu. “Ada apa istriku?” tanyanya. Tentu saja Putri
Bungsu kaget. Bukankah suaminya adalah Joko Kendil? Lalu ksatria itu menceritakan dirinya yang
sebenarnya. Ia sebenarnya Joko Kendil, suaminya. Ia selama ini harus memakai pakaian dalam
bentuk kendi. Tapi ia dapat kembali menjelma menjadi ksatria kalau seorang putri mau menikah
dengannya.

***

Cerita rakyat Indonesia barusan memberi kita pelajaran bahwa apa yang kita lihat belum tentu yang
benar. Bisa jadi sesuatu buruk untukmu, tapi ia sangat bermanfaat. Begitulah kehidupan. Semoga
cerita rakyat diatas dapat diambil hikmahnya untuk kita semua.
ASAL-USUL BATU RADEN
Pada zaman dahulu kala di tanah Jawa ada seorang pemuda tampan bernama Suta. Pemuda
tersebut merupakan seorang pembantu diKadipaten Kutaliman, Banyumas, Jawa Tengah. Tugas
pemuda tadi adalah merawat kuda dan membersihkan istal (kandang kuda). Kuda milik Adipati
Kutaliman

Suta merupakan sosok pekerja keras dan jujur. Oleh karena itu, ia tidak pernah mendapatkan
masalah selama bekerja di Kadipaten. Pada suatu hari, seperti biasa setelah mengurus kuda Adipati
Kutaliman, Suta berkeliling Kadipaten. Dia senang berjalan-jalan untuk melepas lelah sekaligus
mengenal lingkungan tempatnya bekerja. Kadipaten yang luas tentu tidak dapat ia kelilingi dalam
satu kali perjalanan. Maka setiap hari pemuda sederhana ini akan berjalan di lokasi berbeda.

Suta baru saja melewati sebuah pohon mangga ketika ia mendengar jeritan seorang perempuan.
Dia pun berlari menuju sumber suara. Tampaklah seekor ular besar di balik pohan mahoni sedang
membuka lebar-lebar mulutnya, dan siap memangsa seorang perempuan di hadapannya.
Perempuan itu berdiri kaku dengan wajah pucat pasi.

Meskipun sempat takut melihat ular yang demikian besar, namun tanpa berpikir panjang Suta
bergerak maju mendekat. Dia berusaha menolong perempuan yang tak berdaya itu. Pengurus kuda
Adipati ini memang bukan seorang pemain pedang yang hebat, tetapi tekad kuat melawan ular besar
itu membuatnya berani menghadapi ular itu. Dengan susah payah pemuda kurus itu menaklukkan
sang ular. Cabikan dan sabetan pedangnya akhirnya berhasil mematikan hewan berbisa itu.

Seketika pula perempuan yang hampir dimangsa ular itu jatuh tergolek dan pingsan di tanah.
Seorang emban (inang pengasuh) membopongnya ke sisi pendopo tak jauh dari pohon mahoni. Suta
pun mendatanginya. Ia terkejut ketika mengetahui siapa yang telah dia selamatkannya tadi.
Ternyata perempuan tersebut adalah putri Adipati Kutaliman.

Sebagai salah satu penghuni kadipaten, Suta sebelumnya sudah sering mendengar tentang
kecantikan dan kehalusan budi pekerti putri Adipati. Tetapi, tak pernah jua dia bertemu. Dia sangat
bahagia dapat bertatapan langsung dengannya. Sang putri sangat berterima kasih pada Suta yang
telah menyelamatkan nyawanya.

Sejak peristiwa tersebut, Suta dan putri Adipati menjadi akrab. Mereka sering bertemu dan
mengobrol. Lama-kelamaan mereka menjadi saling menyayangi. Hingga akhirnya Suta
memberanikan diri melamar sang putri kepada ayahnya, Adipati Kutaliman.

Adipati sebelumnya sudah mendengar kabar kedekatan putrinya dengan si pengurus kuda. Namun,
dia tak mengira Suta akan nekat melamar putrinya, mengingat status sosial keduanya yang jauh
berbeda. Ketika suta mengutarakan niatnya, Adipati murka. Dia merasa terhina. “Kuu ini seorang
batur (pembantu). Tak pantas kau berdampingan dengan putriku,” katanya.

Kemudian Adipati memerintahkan pengawal untuk memenjarakan abdinya tersebut di penjara


bawah tanah. Suta dinilai lancang karena berani meminang putri Adipati.
Mengetahui hal itu, sang putri pun sedih. Dia tak menyangka bila ayahnya akan sangat marah.
Apalagi Suta tak pernah di beri makan dan minum selama ia berada di dalam penjara yang lembap,
gelap dan, pengap. Hatinya perih mengetahui pria yang dicintainya itu menderita.
Putri Adipati kemudian menyusun rencana. Dia meminta bantuan seorang emban
kepercayaannya untuk mengeluarkan Suta dari penjara bawah tanah. Sementara itu ia menunggu
bersama kudanya di salah satu sisi di Kadipaten. Rencana pun dilaksanakan pada suatu malam, si
emban mengendap-endap menuju penjara bawah tanah. Dia berhasil melewati penjaga yang
tertidur karena memakan kue yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Emban pun menemui Suta.
Di dalam sel, Suta terkapar lemah. Badannya yang semula kurus menjadi makin kurus. Dia
juga menggigil. Emban memberinya pakaian. Mereka kemudian keluar dan mendatangi putri Adipati
yang sudah berpakian layaknya warga desa.
Suta dan Putri menaiki kuda dan melaju ke luar Kadipaten. Untunglah malam itu sangat
gelap pekat sehingga sulit mengenali mereka berdua. Putri memacu kudanya semakin kencang. Dia
mengarahkan kudanya kearah selatan lereng Gunung Selamet.
Ketika hari beranjak siang, mereka lelah dan beristirahat di dekat sungai. Putri baru
menyadari bahwa Suta sedang sakit demam, dia pun merawat suta dengan penuh kasih sayang.
Karena kesabarannya, Suta pun berangsur pulih.
Suta dan Putri menyukai lokasi tempat mereka berada. Hawa yang sejuk serta
pemandangannya yang asri membuat mereka jatuh cinta. Akhirnya mereka menikah dan membina
keluarga di sana. Kini tempat tersebut di kenal dengan nama Baturaden yang artinya pembantu dan
bangsawan.

Disadur dari ;

http://jurirakyat.blogspot.com/2013/04/cerita-rakyat-jawa-tengah-baturaden.html
LONA KAKA DAN LONA RARA

Cerita rakyat dari Nusa Tenggara Timur – adalah kisah dua orang kakak beradik yang bernama Lona
Kaka dan Lona Rara. Cerita rakyat ini memiliki tauladan tentang persaudaraan dan jangan merasa iri
hati dengan apa yang dimiliki saudara yang lain. Cerita rakyat Indonesia ini cukup terkenal di daerah
asalnya. Berikut ini mari kita simak cerita rakyat dari Nusa Tenggara Timur yang berjudul Lona Kaka
dan Lona Rara.

Lona Kaka dan Lona Rara adalah kakak beradik yang tinggal bersama ibu mereka. Suatu hari Lona
Kaka dan Lona Rara di suruh ibu mereka untuk menumbuk padi. Bersama-sama keduanya mulai
menumbuk padi di lesung masing-masing. Keduanya mengadu kecepatan menumbuk padi yang akan
di jadikan beras. Tidak lama kemudian Lona Rara sudah hampir selesai menumbuk padi. Lona Kaka
yang melihat merasa iri lalu pergi menemui ibunya. Di depan ibu mereka Lona Kaka mengatakan
bahwa padi yang ditumbuknya sudah selesai. Ibunya merasa senang dan ingin memberikan hadiah
kepada Lona Kaka. Namun sebelum hadiah diberikan Lona Rara muncul dan memberitahu bahwa
padi yang ditumbuknya sudah selesai. Dan dia juga mengatakan bahwa padi yang ditumbuk
kakaknya Lona Kaka belum selesai. Ibunya membuktikan sendiri padi siapa yang sudah selesai
ditumbuk. Ternyata padi yang ditumbuk Lona Kaka belum selesai. Dengan demikian yang mendapat
hadiah adalah Lona Rara. Ibunya memberikan hadiah berupa daging dendeng kesukaan Lona Rara.
Daging itu dimasukkan dalam ruas bambu dan disimpan oleh Lona Rara. Melihat adiknya mendapat
hadiah menyebabkan Loka Kaka merasa iri dan berusaha mencari cara untuk mencelakakan Lona
Rara.

Pada suatu hari Lona Kaka mengajak adiknya ke sungai, sesampainya di sungai Loka Kaka menyuruh
adiknya mengambil air. Sementara itu sang kakak akan menjaga dendeng yang disimpan dalam
bambu. Tanpa rasa curiga Lona Rara memberikan dendeng tersebut kepada kakaknya. Ketika itulah
sang kakak membuang dendeng tersebut dan berlari-lari sambil berteriak mengatakan bahwa
dendeng itu di makan anjing. Mendengar dendengnya di makan anjing Lona Rara berlari mengejar
anjing tersebut sampai ke dalam hutan. Di dalam hutan Lona Rara tersesat hingga tidak bisa keluar
ketika itulah dia duduk di atas batu. Sambil menangis Lona Rara mendendangkan lagu sedih.

Oou kakakku yang kucinta

Mengapa engkau membuat aku begini

Membiarkan aku jalan sendiri

Oou Gela Wuamaroto berilah aku kedamaian

Tuntunlah aku kembali ke rumah


Setelah Lona Rara menyanyi tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan dan berdiri dihadapanya.
Loka Rara menjadi ketakutan dan berusaha lari. Namun pemuda itu mencegah, dia menjelaskan
bahwa dirinya adalah Goa Wuamaroto yang telah dinyanyikan oleh Lona Rara. Goa Wuamaroto ingin
mengantar Lona Rara kembali ke rumah. Lona Rara menyetujui, mereka berdua saling merasa jatuh
cinta. Sesampainya di rumah Lona Rara mengenalkan pemuda tersebut kepada ibunya. Sang ibu
yang melihat Lona Rara telah kembali pulang merasa senang dan menerima pinangan lelaki tersebut.
Tidak lama kemudian menikahlah Lona Rara dengan Goa Wuamaroto, sementara kakaknya Loka
Kaka menjadi gila karena terlalu memikirkan cara untuk mencelakakan Lona Rara.

Cerita rakyat Lona Kaka dan Lona Rara dari Nusa Tenggara Timur ini menceritakan tentang saudara
tua yang tidak senang kepada adiknya. Kebencian sang kakak terhadap adiknya mirip dengan cerita
Bawang Merah maupun Bawang Putih dan beberapa cerita rakyat lainnya, termasuk cerita rakyat
dari dataran eropa dan Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa sifat manusia itu ada yang baik dan ada
yang buruk. Tetapi kebaikanlah yang selalu akan menemukan kebahagiaan.

http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/asal-usul-danau-lipan.html
RATU AJI BIDARA PUTIH

Kecamatan Muara Kaman (Kalimantan Timu) terletak di tepi aliran sungai Mahakam. Jaraknya cukup
jauh dari kota Samarinda. Keadaan perkampungannya terdiri dari rumah-rumah papan yang
sederhana. Di wilayah ini beredar sebuahcerita legenda yang amat dikenal oleh penduduk. Kisah
tentang seorang ratu yang cantik jelita dengan pasukan lipan raksasanya.

Dahulu kala negeri Muara Kaman diperintah oleh seorang ratu namanya Ratu Aji Bidara Putih. Ratu
Aji Bidara Puthi adalah seorang gadis yang cantik jelita. Anggun pribadi dan penampilannya serta
amat bijaksana. Semua kelebihannya itu membuat ia terkenal sampai di mana-mana; bahkan sampai
ke manca negara. Sang Ratu benar-benar bagaikan kembang yang cantik, harum mewangi. Maka
tidaklah mengherankan apabila kemudian banyak raja, pangeran dan bangsawan yang ingin
mempersunting sebagai istri.

Pinangan demi pinangan mengalir bagai air sungai Mahakam yang tak pernah berhenti mengalir.
Namun sang Ratu selalu menolak. “Belum saatnya aku memikirkan pernikahan. Diriku dan
perhatianku masih dibutuhkan oleh rakyat yang kucintai. Aku masih ingin terus memajukan negeri
ini,” ujarnya.

Kemudian pada suatu hari muncullah sebuah jung atau kapal besar dari negeri Cina. Kapal itu
melayari sungani Mahakam yang luas bagai lautan. Menuju ke arah hulu. Hingga akhirnya berlabuh
tidak jauh dari pelabuhan negeri Muara Kaman.

Penduduk setempat mengira penumpang kapal itu datang untuk berdagang. Sebab waktu itu sudah
umum kapal-kapal asing datang dan singgah untuk berdagang. Akan tetapi ternyata penumpang
kapal itu mempunyai tujuan lain.

Sesungguhnya kapal itu adalah kapal milik seorang pangeran yang terkenal kekayaannya di negeri
Cina. Ia disertai sepasukan prajurit yang gagah perkasa dan amat mahir dalam ilmu beladiri.
Kedatangannya ke Muara Kaman semata-mata hanya dengan satu tujuan. Bukan mau berdagang,
tetapi mau meminang Ratu Aji Bidara Putih!

Kemudian turunlah para utusan sang Pangeran. Mereka menghadap Ratu AJi Bidara Putih di istana
negeri. Mereka membawa barang-barang antik dari emas, dan keramik Cina yang terkenal. Semua
itu mereka persembahkan sebagai hadiah bagi Ratu Aji Bidara Putih dari junjungan mereka. Sambil
berbuat demikian mereka menyampaikan pinangan Sang Pangeran terhadap diri Ratu Aji Bidara
Putih.

Kali ini sang Ratu tidak langsung menolak. Ia mengatakan bahwa ia masih akan memikirkan pinangan
Sang Pangeran. Lalu dipersilakannya para utusan kembali ke kapal. Setelah para utusan
meninggalkan istana, Ratu memanggil seorang punggawa kepercayaannya.

“Paman,” ujarnya, “para utusan tadi terasa amat menyanjung-nyanjung junjungannya. Bahwa
pangeran itu tampan, kaya dan perkasa. Aku jadi ingin tahu, apakaah itu semua benar atau cuma
bual belaka. Untuk itu aku membutuhkan bantuannmu.”
“Apa yang mesti saya lakukan, Tuanku?” tanya si punggawa.

“Nanti malam usahakanlah kau menyelinap secara diam-diam ke atas kapal asing itu. Selidikilah
keadaan pangeran itu. Kemudian laporkan hasilnya kepadaku.”

“Baik, Tuanku. Perintah Anda akan saya laksanakan sebaik-baiknya.” Ketika selimut malam turun ke
bumi, si punggawa pun berangkat melaksanakan perintah junjungannya. Dengan keahliannya ia
menyeberangi sungai tanpa suara. Lalu ia melompat naik ke atas geladak kapal yang sunyi. Dengan
gerak-gerik waspada ia menghindari para penjaga. Dengan hati-hati ia mencari bilik sang pangeran.
Sampai akhirnya ia berhasil menemukannya.

Pintu bilik yangsangat mewah itu tertutup rapat. Tetapi keadaan di dalamnya masih benderang,
tanda sang pangeran belum tidur. Si punggawa mencari celah untuk mengintip kedalam, namun
tidak menemukan. Maka akhirnya ia hanya dapat menempelkan telinga ke dinding bilik,
mendengarkan suara-suara dari dalam.

Pada saat itu sebenarnya sang Pangeran Cina sedang makan dengan sumpit, sambil sesekali
menyeruput arak dari cawan. Suara decap dan menyeruput mulutnya mengejutkan sipunggawa.
“Astaga.. suara ketika makam mengingatkanku kepada… kepada apa, ya?” pikir si Punggawa sambil
mengingat-ingat. Kemudian si Punggawa benar-benar ingat. Pada waktu ia berburu dan melihat
babi hutan sedang minum di anak sungai. Suaranya juga berdecap-decap dan menyeruput seperti
itu. Ia juga teringat pada suara dari mulut anjing dan kucing ketika melahap makanan.

“Ah ya … benar-benar persis … persis seperti suara yang kudengar! Jadi jangan-jangan..” Tiba-tiba
mata si punggawa terbelalak. Seperti orang teringat sesuatu yang mengejutkan. Hampir serentak
dengan itu ia pun menyelinap meninggalkan tempat bersembunyi. Ia meninggalkan kapal dan cepat-
cepat kembali untuk melaporkan kepada Ratu Aji Bidara Putih.

“Kau jangan mengada-ada, Paman,” tegur Ratu setelah mendengar laporan punggawa itu.

“Saya tidak mengada-ada, Tuanku! Suaranya ketika makan tadi meyakinkan saya, ” kata si
punggawa. “Pangeran itu pasti bukan manusia seperti kita. Pasti dia siluman! Entah siluman babi
hutan, anjing atau kucing. Pokoknya siluman! Hanya pada waktu siang ia berubah ujud menjadi
manusia! Percayalah Tuanku. Saya tidak mengada-ada..”

Penjelasan si punggawa yang meyakinkan membuat Ratu Aji Bidara Putih akhirnya percaya. Tidak
lucu, pikirnya, kalau ia sampai menikah dengan siluman. Padahal banyak raja dan pangeran tampan
yang telah meminangnya. Maka pada keesokan harinya dengan tegas ia menyatakan penolakannya
terhadap pinangan pangeran itu.

Sang Pangeran amat murka mendengar penolakan Ratu Aji Bidara Putih. Berani benar putri itu
menolaknya. Dalam kekalapannya ia segera memerintahkan pada prajuritnya untuk menyerang
negeri Muara Kaman.

Para prajurit itu menyerbu negeri Muara Kaman. Kentara bahwa mereka lebih berpengalaman dalam
seni bertempur. Para prajurit Muara Kaman terdesak, korban yang jatuh akibat pertempuran itu
semakin bertambah banyak. Sementara para prajurit suruhan sang pangeran makin mendekat ke
arah istana.
Ratu Aji Bidara Putih merasa sedih dan panik. Namun kemudian ia berusaha menenangkan
pikirannya. Ia mengheningkan cipta. setelah itu ia mengunyah sirih. Kemudian kunyahan sepah sirih
digenggamnya erat-erat. Lalu berkata, “Jika benar aku keturunan raja-raja yang sakti, terjadilah
sesuatu yang dapat mengusir musuh yang sedang mengancam negeriku!”

Serentak dengan itu dilemparkannya sepah sirih itu ke arena pertempuran… dan , astaga..lihatlah!
Tiba-tiba sepah sirih itu berubah menjadi lipan-lipan raksasa yang amat banyak jumlahnya! Lipan-
lipan yang panjangnya lebih dari satu meter itu segera menyerang para prajurit Pangeran Cina. Para
prajurit itu menjadi ketakutan. Mereka lari tunggang-langgang dan kembali ke kapal.

Tetapi lipan-lipan itu tidak berhenti menyerbu. Tiga ekor lipan raksasa mewakili kelompoknya.
Mereka berenang ke kapal, lalu membalikkannya hingga kapal itu tenggelam beserta seluruh
penumpangnya dan isinya… Tempat bekas tenggelamnya kapal itu hingga kini oleh penduduk Muara
Kaman disebut Danau Lipan. Konon, menurut empunya cerita, dulu di tempat ini sesekali ditemukan
barang-barang antik dari negeri Cina.

Diceritakan kembali oleh : Dwianto Setyawan (Majalah Bobo no. 2, 1986)

Anda mungkin juga menyukai