Anda di halaman 1dari 4

Manusia Kelelawar

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah Kiran di
sebuah kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di pekarangan
rumah mereka.
Oleh
DAMHURI MUHAMMAD
13 November 2022 05:29 WIB·8 menit baca
TEKS 

Bila orang-orang yang datang untuk berguru ke rimba Cempaya menginginkan kesaktian semacam
kebal senjata atau tahan bacok, ia tiba hanya dengan keinginan remeh belaka. Tak terobsesi menjadi
centeng pasar, penguasa terminal, apalagi pemimpin gerombolan preman berdasi. Lantaran satu
keperluan mendesak, ia ingin punya ketangguhan dalam membendung kantuk. Ia ingin kebal dari
serangan kantuk, baik yang datang di siang bolong maupun yang tiba di ujung malam.

”Kau bisa mampus bila menolak tidur!” cemooh Asar Munawar, murid yang sudah berbilang bulan
menghuni rimba Cempaya demi cita-cita menjadi begundal kebal di kota yang jauh.

”Tuan Guru di sini spesialis ajian tahan pelor. Datang dari mana kau, anak muda?” tanya Ngku
Taubat, semacam asisten yang bertugas menyeleksi murid-murid baru.

”Ia berasal dari satu perkampungan di selatan, yang kini sudah porak-poranda setelah digulung
banjir bandang, Ngku!” Sodiq Solihin segera menyambar, seperti juru bicara saja bagi anak muda
berkeinginan ganjil itu.

”Kantuk itu keajaiban yang sempurna dari Tuhan. Derajatnya hanya satu tingkat di bawah maut.
Sebaiknya kau tidak nekat menghadang kehendak Tuhan,” begitu nasihat Ngku Taubat.

Anak muda itu diam saja, sembari menengadah ke langit-langit dangau reyot, tempat peristirahatan
Ngku Taubat. Malam sudah larut. Obrolan mereka hanya ditimpali oleh kesiur angin dari lembah di
sisi kiri rimba Cempaya.
”Namanya Kiran, Ngku! Tapi kami memanggilnya Betmen, lantaran ia mengaku hanya punya
tenaga di malam hari,” kata Sodiq Solihin, berusaha memecah kesunyian. Lagi-lagi, Betmen tak
berselera untuk bicara. Hanya sedikit mengangguk sambil menatap wajah Ngku Taubat.

Semula Kiran bergabung dengan Sodiq Solihin Cs di dangau berlantai bambu yang seolah-olah
disediakan untuk para murid, padahal aslinya hanya tempat berteduh terbengkalai yang sudah lama
ditinggalkan peladang. Di malam-malam awal itulah Kiran memperlihatkan alasan yang absah
perihal kemauan kerasnya untuk menguasai ajian tahan ngantuk. Dalam setiap tidur, ia diserang
mimpi buruk yang itu-itu saja, hingga ia tak bisa lagi memilah mana yang mimpi dan mana yang
nyata. Hari-hari Kiran mengalami mimpi buruk seperti kebiasaan membasuh muka saban pagi.

Adegannya bermula dari perjalanan menyeberang kali sambil menggandeng Hayatunnufus, kekasih
pujaannya, pada sebuah senja yang mendung. Beberapa langkah sebelum sampai di seberang, arus
besar tiba-tiba menggelosor saja dari hulu. Kiran dan Nufus kuyub dalam hujan yang tak tanggung-
tanggung besarnya. Kedalaman kali meningkat hanya dalam beberapa tarikan napas. Nufus
terombang-ambing. Tak berselang lama, ia terlepas dari pegangan tangan Kiran.

Selepas teriakan yang samar, tubuh Nufus timbul-tenggelam digulung arus. Kiran bergegas
mengejar. Menggapai-gapai sekuat tenaga. Semakin dikejar, arus bagai semakin lekas menyeret
tubuh kekasihnya. Dalam hujan yang tak kunjung reda, penampakan Nufus makin jauh, makin
samar, lalu hilang di kejauhan. Itulah awal mula bencana yang melanda kampung halaman Kiran.
Air bah muncul dari mana-mana, melibas apa saja, hingga satu kampung binasa bagai dalam
sekejap mata.

”Nufus, Nufus, Nufuuuuuus…. Kenapa bukan aku saja yang tenggelam?”

”Kenapa bukan aku saja yang mati?”

Begitu igauan berulang-ulang dalam setiap tidur Kiran. Saat igauan itu muncul, napasnya sesak
parah, tubuhnya mandi peluh. Itu sebabnya Kiran hendak menemukan jalan gaib guna menaklukkan
kantuk, agar ia tidak lagi jatuh dalam tidur berisi mimpi mengerikan itu.

”Bila tiap malam kau bikin heboh begini, kami bisa mampus lantaran tak cukup tidur,” protes Asar
Munawar.

”Jadi, kau akan mengigau setiap malam?” tanya Sodiq Solihin.

Betmen tetap saja diam. Sekadar memperlihatkan tatapan merasa bersalah pada komplotan
penghuni dangau usang itu.

”Kau bikinlah dangau sendiri. Jauh-jauh dari sini, kalau bisa!” bentak Asar Munawar.

Esok paginya, Kiran menghilang dari rimba Cempaya. Ia bertolak ke utara, ke arah rimba tak
bernama. Disebut tak bernama karena belum terjamah tangan manusia dan tentu belum ada yang
menamainya. Di sanalah ia membangun dangau baru dengan tiang, dinding, dan atap seadanya.
Dalam kesendirian itu Kiran teringat kembali keinginan Nufus untuk melarikan diri dari dunia
ramai. Lebih-lebih, sejak ia menjadi perhatian lantaran hubungannya dengan Kiran, laki-laki yang
jauh dari harapan ayah-ibunya.

”Apa yang kau banggakan dari laki-laki yang hidup dari upah bongkar-muat truk batu kali?” tanya
ibunya suatu ketika.
”Begitu banyak orang-orang mapan yang ingin melamarmu, tapi kau masih bertahan saja dengan si
kunyuk itu….”

Sedemikian lamanya Nufus bertahan dari macam-macam penawaran (termasuk modus-modus


perjodohan terselubung), tak terasa usianya sudah lanjut saja. Pada setiap keramaian dalam acara
kumpul-kumpul keluarga di hari raya misalnya, tanya-tanya nyinyir sanak saudara tentang rencana
menikah membuat ia senantiasa berbasa-basi. Pokoknya setiap bertemu keramaian, Kiran bagai
dikepung oleh kenyinyiran yang memuakkan. Lebih memuakkan lagi mata-mata curiga atau bisik-
bisik tetangga bahwa ia sudah berada di ambang masa kedaluarsa.

”Segeralah menikah! Sebelum jatahmu disambar yang muda-muda.”

Maka, Kiran menyatakan permusuhan dengan keramaian. Apa pun bentuknya. Baginya, keramaian
adalah derita yang tak ada obatnya, bahaya paling laten dalam hidup kesehariannya.

”Aku ingin hidup di rimba. Bersamamu, Kiran!”

”Mari kita menjadi bagian dari masyarakat kera!”

Kini impian Nufus itu sudah terwujud. Tapi yang menikmati hidup tanpa keramaian itu hanya Kiran
seorang. Itu pun terjadi secara kebetulan, dalam petualangan panjangnya mencari kesaktian agar tak
mempan dihantam kantuk. Alih-alih beroleh kesaktian, Kiran malah terjebak di rimba tak bernama
ini.

”Di sinilah aku kini, Nufus. Hidup sendirian di kedalaman rimba. Hidup yang dulu pernah kau
dambakan.”

”Kalau saja arus besar itu tidak menghanyutkanmu, tentulah kita sudah membangun bahtera rumah
tangga di kesenyapan level dewa ini.”

”Andai kau masih hidup, aku masih berharap kita dapat berjumpa pada suatu masa. Tapi jika kau
sudah tiada, singgahilah aku sebagai arwah. Itu saja sudah cukup membahagiakan bagiku.”

Akibat terlalu sering dilanda mimpi buruk yang membuat tubuhnya mandi peluh, di punggung
Kiran tumbuh sepasang sayap. Di malam-malam selanjutnya, kepalanya perlahan-lahan menciut,
matanya berubah menjadi hitam yang mencekam. Lalu, pada suatu malam gelap bulan, tubuh Kiran
sempurna sebagai kelelawar. Metamorfosa itu membuat Kiran makin mudah untuk bertahan hidup.
Saban malam ia kelayapan, menggerogoti aneka macam buah dari pohon yang melimpah-ruah.
Setelah kenyang sempurna, sebelum terbit fajar, kelelawar itu pulang ke dangau, lalu melungkar
sebagai manusia, sebagai Kiran, yang tentu saja tidurnya akan kembali disesaki adegan-adegan
tragik sebelum Hayatunnufus hanyut terseret arus.

Di malam-malam tertentu, ketika tubuhnya menciut sebagai kelelawar, ia terbang ke kawasan hutan
Cempaya, tempat Sodiq Solihin dan Asar Munawar berguru ajian kebal senapan. Di sana ia
menggerogoti tandan demi tandan pisang di lahan tak bertuan yang dirawat Ngku Taubat. Begitu
juga pepaya yang tumbuh liar di sekitar dangau Sodiq Solihin Cs.

”Sebagai manusia, kalian bisa mengusirku. Tapi sebagai Betmen, aku bisa menumpang makan di
sarang kalian. Maka, rasakan ini!” gumam Kiran sambil mengunyah-ngunyah pepaya matang di
gelap malam.
Tidak lama Kiran hidup dalam keberlimpahan di hutan tak bernama. Kemarau panjang yang
membuat pohon-pohon langkas dan tidak lagi berbuah mendesak manusia kelelawar segera
bermigrasi ke tempat-tempat yang lebih menjanjikan kehidupan. Daripada mati kelaparan, Kiran
berkeputusan untuk melakukan perjalanan jauh, meninggalkan dangau kecilnya dengan segenap
keharuan.

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah Kiran di sebuah
kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di pekarangan rumah mereka.

”Barangkali di sinilah aku bisa menyambung hidup,” ungkapnya saat melihat sebatang pohon
Jambu dengan buah yang rata-rata sudah ranum.

Cukup menggoda dan mengundang selera, hingga Kiran berencana bakal hinggap di sana sekali
waktu. Sebelum meninggalkan hutan tak bernama, Kiran tidak tahu bahwa di dunia luar, orang-
orang sedang giat berburu kelelawar. Sebab, menurut mereka, dari hewan keparat itulah virus
berbahaya berasal. Virus yang sudah beranak-pinak dalam waktu sangat cepat itu telah merenggut
banyak nyawa, sebagaimana bencana yang dulu memusnahkan hampir seisi kampung halaman
Kiran.

Suatu malam, saat melubangi jambu matang di pohon yang sudah lama diincar, sebutir peluru
bersarang di ubun-ubun Kiran. Kepalanya retak. Salah satu sayapnya sobek parah.

”Kukirim kau ke neraka!” teriak si pemburu dari teras rumahnya, sambil menengadah ke pohon
jambu itu.

Teriakan yang hampir bersamaan dengan terkaparnya seekor kelelawar jantan, tak jauh dari posisi
berdiri perempuan bernama Hayatunnufus.

”Ia kesakitan. Hantam dengan satu peluru lagi, Sayang! Agar tuntas penderitaannya,” kata
Hayatunnufus pada si pemburu, yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Dalam posisi menelentang dengan napas satu-satu, kelelawar itu menatap wajah Hayatunnufus.
Aktor utama mimpi buruknya selama belasan tahun. Seorang pemburu bertangan dingin telah
mengantarkan Kiran pada cinta-hidup, sekaligus cinta-matinya….

Damhuri Muhammad, cerpenis dan kolumnis. Pengajar di Universitas Darma Persada, Jakarta.
Tinggal di Depok, Jawa Barat, lahir di Padang, 1 Juli 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Buku fiksi terkininya Anak-anak Masa Lalu (2015). Buku
nonfiksi terbarunya, Takhayul Milenial (2020).

Nadjib Amrullah, lahir di Tuban 19 April 1968. Sejak kecil gemar melukis. Bakatnya dia
kembangkan di FSRD Senirupa UNS sampai selesai. Sudah 10 kali berpameran tunggal. Selain
pernah mengikuti Bienalle Langkawi Malaysia juga pernah duduk di kepengurusan Dewan
Kesenian Jawa Timur. Karyanya banyak di koleksi kolektor dalam dan luar negeri. Sekarang
tinggal di Studio Najib Amrullah Jenu Tuban, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai