Anda di halaman 1dari 5

Manusia Kelelawar

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah


Kiran di sebuah kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di
pekarangan rumah mereka.

Bila orang-orang yang datang untuk berguru ke rimba Cempaya menginginkan


kesaktian semacam kebal senjata atau tahan bacok, ia tiba hanya dengan keinginan
remeh belaka. Tak terobsesi menjadi centeng pasar, penguasa terminal, apalagi
pemimpin gerombolan preman berdasi. Lantaran satu keperluan mendesak, ia ingin
punya ketangguhan dalam membendung kantuk. Ia ingin kebal dari serangan
kantuk, baik yang datang di siang bolong maupun yang tiba di ujung malam.

”Kau bisa mampus bila menolak tidur!” cemooh Asar Munawar, murid yang sudah
berbilang bulan menghuni rimba Cempaya demi cita-cita menjadi begundal kebal
di kota yang jauh.

”Tuan Guru di sini spesialis ajian tahan pelor. Datang dari mana kau, anak muda?”
tanya Ngku Taubat, semacam asisten yang bertugas menyeleksi murid-murid baru.

”Ia berasal dari satu perkampungan di selatan, yang kini sudah porak-poranda
setelah digulung banjir bandang, Ngku!” Sodiq Solihin segera menyambar, seperti
juru bicara saja bagi anak muda berkeinginan ganjil itu.

”Kantuk itu keajaiban yang sempurna dari Tuhan. Derajatnya hanya satu tingkat di
bawah maut. Sebaiknya kau tidak nekat menghadang kehendak Tuhan,” begitu
nasihat Ngku Taubat.

Anak muda itu diam saja, sembari menengadah ke langit-langit dangau reyot,
tempat peristirahatan Ngku Taubat. Malam sudah larut. Obrolan mereka hanya
ditimpali oleh kesiur angin dari lembah di sisi kiri rimba Cempaya.

”Namanya Kiran, Ngku! Tapi kami memanggilnya Betmen, lantaran ia mengaku


hanya punya tenaga di malam hari,” kata Sodiq Solihin, berusaha memecah
kesunyian. Lagi-lagi, Betmen tak berselera untuk bicara. Hanya sedikit
mengangguk sambil menatap wajah Ngku Taubat.
Semula Kiran bergabung dengan Sodiq Solihin Cs di dangau berlantai bambu yang
seolah-olah disediakan untuk para murid, padahal aslinya hanya tempat berteduh
terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan peladang. Di malam-malam awal itulah
Kiran memperlihatkan alasan yang absah perihal kemauan kerasnya untuk
menguasai ajian tahan ngantuk. Dalam setiap tidur, ia diserang mimpi buruk yang
itu-itu saja, hingga ia tak bisa lagi memilah mana yang mimpi dan mana yang
nyata. Hari-hari Kiran mengalami mimpi buruk seperti kebiasaan membasuh muka
saban pagi.

Adegannya bermula dari perjalanan menyeberang kali sambil menggandeng


Hayatunnufus, kekasih pujaannya, pada sebuah senja yang mendung. Beberapa
langkah sebelum sampai di seberang, arus besar tiba-tiba menggelosor saja dari
hulu. Kiran dan Nufus kuyub dalam hujan yang tak tanggung-tanggung besarnya.
Kedalaman kali meningkat hanya dalam beberapa tarikan napas. Nufus terombang-
ambing. Tak berselang lama, ia terlepas dari pegangan tangan Kiran.

Selepas teriakan yang samar, tubuh Nufus timbul-tenggelam digulung arus. Kiran
bergegas mengejar. Menggapai-gapai sekuat tenaga. Semakin dikejar, arus bagai
semakin lekas menyeret tubuh kekasihnya. Dalam hujan yang tak kunjung reda,
penampakan Nufus makin jauh, makin samar, lalu hilang di kejauhan. Itulah awal
mula bencana yang melanda kampung halaman Kiran. Air bah muncul dari mana-
mana, melibas apa saja, hingga satu kampung binasa bagai dalam sekejap mata.

”Nufus, Nufus, Nufuuuuuus…. Kenapa bukan aku saja yang tenggelam?”

”Kenapa bukan aku saja yang mati?”

Begitu igauan berulang-ulang dalam setiap tidur Kiran. Saat igauan itu muncul,
napasnya sesak parah, tubuhnya mandi peluh. Itu sebabnya Kiran hendak
menemukan jalan gaib guna menaklukkan kantuk, agar ia tidak lagi jatuh dalam
tidur berisi mimpi mengerikan itu.

”Bila tiap malam kau bikin heboh begini, kami bisa mampus lantaran tak cukup
tidur,” protes Asar Munawar.

”Jadi, kau akan mengigau setiap malam?” tanya Sodiq Solihin.

Betmen tetap saja diam. Sekadar memperlihatkan tatapan merasa bersalah pada
komplotan penghuni dangau usang itu.
”Kau bikinlah dangau sendiri. Jauh-jauh dari sini, kalau bisa!” bentak Asar
Munawar.

Esok paginya, Kiran menghilang dari rimba Cempaya. Ia bertolak ke utara, ke arah
rimba tak bernama. Disebut tak bernama karena belum terjamah tangan manusia
dan tentu belum ada yang menamainya. Di sanalah ia membangun dangau baru
dengan tiang, dinding, dan atap seadanya. Dalam kesendirian itu Kiran teringat
kembali keinginan Nufus untuk melarikan diri dari dunia ramai. Lebih-lebih, sejak
ia menjadi perhatian lantaran hubungannya dengan Kiran, laki-laki yang jauh dari
harapan ayah-ibunya.

”Apa yang kau banggakan dari laki-laki yang hidup dari upah bongkar-muat truk
batu kali?” tanya ibunya suatu ketika.

”Begitu banyak orang-orang mapan yang ingin melamarmu, tapi kau masih
bertahan saja dengan si kunyuk itu….”

Sedemikian lamanya Nufus bertahan dari macam-macam penawaran (termasuk


modus-modus perjodohan terselubung), tak terasa usianya sudah lanjut saja. Pada
setiap keramaian dalam acara kumpul-kumpul keluarga di hari raya misalnya,
tanya-tanya nyinyir sanak saudara tentang rencana menikah membuat ia senantiasa
berbasa-basi. Pokoknya setiap bertemu keramaian, Kiran bagai dikepung oleh
kenyinyiran yang memuakkan. Lebih memuakkan lagi mata-mata curiga atau
bisik-bisik tetangga bahwa ia sudah berada di ambang masa kedaluarsa.

”Segeralah menikah! Sebelum jatahmu disambar yang muda-muda.”

Maka, Kiran menyatakan permusuhan dengan keramaian. Apa pun bentuknya.


Baginya, keramaian adalah derita yang tak ada obatnya, bahaya paling laten dalam
hidup kesehariannya.

”Aku ingin hidup di rimba. Bersamamu, Kiran!”

”Mari kita menjadi bagian dari masyarakat kera!”

Kini impian Nufus itu sudah terwujud. Tapi yang menikmati hidup tanpa
keramaian itu hanya Kiran seorang. Itu pun terjadi secara kebetulan, dalam
petualangan panjangnya mencari kesaktian agar tak mempan dihantam kantuk.
Alih-alih beroleh kesaktian, Kiran malah terjebak di rimba tak bernama ini.
”Di sinilah aku kini, Nufus. Hidup sendirian di kedalaman rimba. Hidup yang dulu
pernah kau dambakan.”

”Kalau saja arus besar itu tidak menghanyutkanmu, tentulah kita sudah
membangun bahtera rumah tangga di kesenyapan level dewa ini.”

”Andai kau masih hidup, aku masih berharap kita dapat berjumpa pada suatu masa.
Tapi jika kau sudah tiada, singgahilah aku sebagai arwah. Itu saja sudah cukup
membahagiakan bagiku.”

Akibat terlalu sering dilanda mimpi buruk yang membuat tubuhnya mandi peluh,
di punggung Kiran tumbuh sepasang sayap. Di malam-malam selanjutnya,
kepalanya perlahan-lahan menciut, matanya berubah menjadi hitam yang
mencekam. Lalu, pada suatu malam gelap bulan, tubuh Kiran sempurna sebagai
kelelawar. Metamorfosa itu membuat Kiran makin mudah untuk bertahan hidup.
Saban malam ia kelayapan, menggerogoti aneka macam buah dari pohon yang
melimpah-ruah. Setelah kenyang sempurna, sebelum terbit fajar, kelelawar itu
pulang ke dangau, lalu melungkar sebagai manusia, sebagai Kiran, yang tentu saja
tidurnya akan kembali disesaki adegan-adegan tragik sebelum Hayatunnufus
hanyut terseret arus.

Di malam-malam tertentu, ketika tubuhnya menciut sebagai kelelawar, ia terbang


ke kawasan hutan Cempaya, tempat Sodiq Solihin dan Asar Munawar berguru
ajian kebal senapan. Di sana ia menggerogoti tandan demi tandan pisang di lahan
tak bertuan yang dirawat Ngku Taubat. Begitu juga pepaya yang tumbuh liar di
sekitar dangau Sodiq Solihin Cs.

”Sebagai manusia, kalian bisa mengusirku. Tapi sebagai Betmen, aku bisa
menumpang makan di sarang kalian. Maka, rasakan ini!” gumam Kiran sambil
mengunyah-ngunyah pepaya matang di gelap malam.

Tidak lama Kiran hidup dalam keberlimpahan di hutan tak bernama. Kemarau
panjang yang membuat pohon-pohon langkas dan tidak lagi berbuah mendesak
manusia kelelawar segera bermigrasi ke tempat-tempat yang lebih menjanjikan
kehidupan. Daripada mati kelaparan, Kiran berkeputusan untuk melakukan
perjalanan jauh, meninggalkan dangau kecilnya dengan segenap keharuan.

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah


Kiran di sebuah kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di
pekarangan rumah mereka.
”Barangkali di sinilah aku bisa menyambung hidup,” ungkapnya saat melihat
sebatang pohon Jambu dengan buah yang rata-rata sudah ranum.

Cukup menggoda dan mengundang selera, hingga Kiran berencana bakal hinggap
di sana sekali waktu. Sebelum meninggalkan hutan tak bernama, Kiran tidak tahu
bahwa di dunia luar, orang-orang sedang giat berburu kelelawar. Sebab, menurut
mereka, dari hewan keparat itulah virus berbahaya berasal. Virus yang sudah
beranak-pinak dalam waktu sangat cepat itu telah merenggut banyak nyawa,
sebagaimana bencana yang dulu memusnahkan hampir seisi kampung halaman
Kiran.

Suatu malam, saat melubangi jambu matang di pohon yang sudah lama diincar,
sebutir peluru bersarang di ubun-ubun Kiran. Kepalanya retak. Salah satu sayapnya
sobek parah.

”Kukirim kau ke neraka!” teriak si pemburu dari teras rumahnya, sambil


menengadah ke pohon jambu itu.

Teriakan yang hampir bersamaan dengan terkaparnya seekor kelelawar jantan, tak
jauh dari posisi berdiri perempuan bernama Hayatunnufus.

”Ia kesakitan. Hantam dengan satu peluru lagi, Sayang! Agar tuntas
penderitaannya,” kata Hayatunnufus pada si pemburu, yang tak lain adalah
suaminya sendiri.

Dalam posisi menelentang dengan napas satu-satu, kelelawar itu menatap wajah
Hayatunnufus. Aktor utama mimpi buruknya selama belasan tahun. Seorang
pemburu bertangan dingin telah mengantarkan Kiran pada cinta-hidup, sekaligus
cinta-matinya….

Anda mungkin juga menyukai