Manusia Kelelawar (Cerpen)
Manusia Kelelawar (Cerpen)
”Kau bisa mampus bila menolak tidur!” cemooh Asar Munawar, murid yang sudah
berbilang bulan menghuni rimba Cempaya demi cita-cita menjadi begundal kebal
di kota yang jauh.
”Tuan Guru di sini spesialis ajian tahan pelor. Datang dari mana kau, anak muda?”
tanya Ngku Taubat, semacam asisten yang bertugas menyeleksi murid-murid baru.
”Ia berasal dari satu perkampungan di selatan, yang kini sudah porak-poranda
setelah digulung banjir bandang, Ngku!” Sodiq Solihin segera menyambar, seperti
juru bicara saja bagi anak muda berkeinginan ganjil itu.
”Kantuk itu keajaiban yang sempurna dari Tuhan. Derajatnya hanya satu tingkat di
bawah maut. Sebaiknya kau tidak nekat menghadang kehendak Tuhan,” begitu
nasihat Ngku Taubat.
Anak muda itu diam saja, sembari menengadah ke langit-langit dangau reyot,
tempat peristirahatan Ngku Taubat. Malam sudah larut. Obrolan mereka hanya
ditimpali oleh kesiur angin dari lembah di sisi kiri rimba Cempaya.
Selepas teriakan yang samar, tubuh Nufus timbul-tenggelam digulung arus. Kiran
bergegas mengejar. Menggapai-gapai sekuat tenaga. Semakin dikejar, arus bagai
semakin lekas menyeret tubuh kekasihnya. Dalam hujan yang tak kunjung reda,
penampakan Nufus makin jauh, makin samar, lalu hilang di kejauhan. Itulah awal
mula bencana yang melanda kampung halaman Kiran. Air bah muncul dari mana-
mana, melibas apa saja, hingga satu kampung binasa bagai dalam sekejap mata.
Begitu igauan berulang-ulang dalam setiap tidur Kiran. Saat igauan itu muncul,
napasnya sesak parah, tubuhnya mandi peluh. Itu sebabnya Kiran hendak
menemukan jalan gaib guna menaklukkan kantuk, agar ia tidak lagi jatuh dalam
tidur berisi mimpi mengerikan itu.
”Bila tiap malam kau bikin heboh begini, kami bisa mampus lantaran tak cukup
tidur,” protes Asar Munawar.
Betmen tetap saja diam. Sekadar memperlihatkan tatapan merasa bersalah pada
komplotan penghuni dangau usang itu.
”Kau bikinlah dangau sendiri. Jauh-jauh dari sini, kalau bisa!” bentak Asar
Munawar.
Esok paginya, Kiran menghilang dari rimba Cempaya. Ia bertolak ke utara, ke arah
rimba tak bernama. Disebut tak bernama karena belum terjamah tangan manusia
dan tentu belum ada yang menamainya. Di sanalah ia membangun dangau baru
dengan tiang, dinding, dan atap seadanya. Dalam kesendirian itu Kiran teringat
kembali keinginan Nufus untuk melarikan diri dari dunia ramai. Lebih-lebih, sejak
ia menjadi perhatian lantaran hubungannya dengan Kiran, laki-laki yang jauh dari
harapan ayah-ibunya.
”Apa yang kau banggakan dari laki-laki yang hidup dari upah bongkar-muat truk
batu kali?” tanya ibunya suatu ketika.
”Begitu banyak orang-orang mapan yang ingin melamarmu, tapi kau masih
bertahan saja dengan si kunyuk itu….”
Kini impian Nufus itu sudah terwujud. Tapi yang menikmati hidup tanpa
keramaian itu hanya Kiran seorang. Itu pun terjadi secara kebetulan, dalam
petualangan panjangnya mencari kesaktian agar tak mempan dihantam kantuk.
Alih-alih beroleh kesaktian, Kiran malah terjebak di rimba tak bernama ini.
”Di sinilah aku kini, Nufus. Hidup sendirian di kedalaman rimba. Hidup yang dulu
pernah kau dambakan.”
”Kalau saja arus besar itu tidak menghanyutkanmu, tentulah kita sudah
membangun bahtera rumah tangga di kesenyapan level dewa ini.”
”Andai kau masih hidup, aku masih berharap kita dapat berjumpa pada suatu masa.
Tapi jika kau sudah tiada, singgahilah aku sebagai arwah. Itu saja sudah cukup
membahagiakan bagiku.”
Akibat terlalu sering dilanda mimpi buruk yang membuat tubuhnya mandi peluh,
di punggung Kiran tumbuh sepasang sayap. Di malam-malam selanjutnya,
kepalanya perlahan-lahan menciut, matanya berubah menjadi hitam yang
mencekam. Lalu, pada suatu malam gelap bulan, tubuh Kiran sempurna sebagai
kelelawar. Metamorfosa itu membuat Kiran makin mudah untuk bertahan hidup.
Saban malam ia kelayapan, menggerogoti aneka macam buah dari pohon yang
melimpah-ruah. Setelah kenyang sempurna, sebelum terbit fajar, kelelawar itu
pulang ke dangau, lalu melungkar sebagai manusia, sebagai Kiran, yang tentu saja
tidurnya akan kembali disesaki adegan-adegan tragik sebelum Hayatunnufus
hanyut terseret arus.
”Sebagai manusia, kalian bisa mengusirku. Tapi sebagai Betmen, aku bisa
menumpang makan di sarang kalian. Maka, rasakan ini!” gumam Kiran sambil
mengunyah-ngunyah pepaya matang di gelap malam.
Tidak lama Kiran hidup dalam keberlimpahan di hutan tak bernama. Kemarau
panjang yang membuat pohon-pohon langkas dan tidak lagi berbuah mendesak
manusia kelelawar segera bermigrasi ke tempat-tempat yang lebih menjanjikan
kehidupan. Daripada mati kelaparan, Kiran berkeputusan untuk melakukan
perjalanan jauh, meninggalkan dangau kecilnya dengan segenap keharuan.
Cukup menggoda dan mengundang selera, hingga Kiran berencana bakal hinggap
di sana sekali waktu. Sebelum meninggalkan hutan tak bernama, Kiran tidak tahu
bahwa di dunia luar, orang-orang sedang giat berburu kelelawar. Sebab, menurut
mereka, dari hewan keparat itulah virus berbahaya berasal. Virus yang sudah
beranak-pinak dalam waktu sangat cepat itu telah merenggut banyak nyawa,
sebagaimana bencana yang dulu memusnahkan hampir seisi kampung halaman
Kiran.
Suatu malam, saat melubangi jambu matang di pohon yang sudah lama diincar,
sebutir peluru bersarang di ubun-ubun Kiran. Kepalanya retak. Salah satu sayapnya
sobek parah.
Teriakan yang hampir bersamaan dengan terkaparnya seekor kelelawar jantan, tak
jauh dari posisi berdiri perempuan bernama Hayatunnufus.
”Ia kesakitan. Hantam dengan satu peluru lagi, Sayang! Agar tuntas
penderitaannya,” kata Hayatunnufus pada si pemburu, yang tak lain adalah
suaminya sendiri.
Dalam posisi menelentang dengan napas satu-satu, kelelawar itu menatap wajah
Hayatunnufus. Aktor utama mimpi buruknya selama belasan tahun. Seorang
pemburu bertangan dingin telah mengantarkan Kiran pada cinta-hidup, sekaligus
cinta-matinya….