Dikisahkan pada zaman dahulu kala Mbah Jaya Perkasa yang merupakan
Patih Agung Kerajaan Sumedang Larang. Beliau juga dikenal sebagai manusia
gagah tiada tanding (sakti mandraguna). Dalam medan perang beliau terkenal
sebagai seseorang yang tak punya urat takut, sekalipun menghadapi musuh
dengan jumlah yang banyak. Mbah Jaya Perkasa merupakan keturunan Raja
dikarenakan pada waktu itu peperangan terjadi kedamaian begitu saja dan daerah
Sanca direbut kembali oleh Raden Wilalodra Beliau adalah Raja Indramayu yang
tampan dan gagah pula. Ketika merebut kembali daerah Sanca Raden Wilalodra
agar Raja Sumedang mau menikahinya. Hingga Raja Sumedang tergoda dan ingin
menikahi Raden Wilalodra yang sedang menyamar, dan Raden wilalodra meminta
agar mahar pernikahannya adalah daerah Sanca. Setelah menikah dan daerah
Bantarhuni memiliki bukti patilasan makam Mbah Jaya Perkasa sebagai orang
2. Jaka Bajul
sepasang suami istri. Namanya Ki Kamal dan Nyi Santi. Pada saat itu Kuwu
Jatisawit dijabat oleh Ki Sardana. Kuwu Jatisawit ini mempunyai anak semata
wayang, namanya Katijah. Ki Kamal dan istri hidupnya sangat bersahaja dan
mencari ikan, baik di sungai maupun di laut. Pasangan suami istri ini tidak
dikaruniai anak. Sekalipun tidak dikaruniai anak, Ki Kamal dalam hatinya tidak
ada niatan untuk mencari istri madu wayuan atau menceraikan Nyi Santi. Ki
Kamal termasuk orang yang sabar dan tawakkal. Sehabis subuh berangkat
mencari ikan, sorenya pulang. Hasil tangkapannya lalu dijual oleh istrinya, Nyi
Santi.
Kamal pergi mencari ikan. Namun, hingga sore hari kembu-nya masih saja
membawa tangan kosong, Ki Kamal pun berpikir mending dibawa saja anak
buaya tersebut. Sesampai rumah, anak buaya tersebut ditaruhnya di balong kolam
kecil.
Buaya ini diurusnya dengan baik. Namun, ada satu keanehan. Buaya ini
seperti manusia. Apa yang ia makan seperti layaknya seorang manusia. Buaya ini
suka dengan nasi, sambal, dan lainnya. Lambat laun buaya ini semakin tumbuh
kembang. Ia semakin besar. Selama itu pula buaya ini diasuh oleh Ki Kamal dan
Nyi Santi. Ada hal yang sangat menggembirakan kedua pasangan ini. Buaya
Ketika Ki Kamal dan Nyi Santi sudah tidur, buaya ini segera menjelma menjadi
sesosok manusia ganteng. Ia menyebut dirinya dengan sebutan Jaka Bajul. Setelah
Ternyata, hanya di rumah Kuwu Sardana yang paling ramai. Di rumah Kuwu
banyak sekali bujang dan gadis sedang bermain. Disitulah perjumpaan pertama
kali antara Katijah dan Jaka Bajul. Katijah yang lugu dan Jaka Bajul yang sedang
kesepian. Benarlah pepatah Jawa bilang ‘witing tresna jalaran saka kulina’. Lama
kelamaan Katijah, anak Ki Kuwu, jatuh cinta kepada Jaka Bajul. Gadis Kuwu
Jatisawit ini rupanya sedang dalam masa berag batok. Masa dimana seorang gadis
lugu baru mencintai lawan jenisnya. Katijah yang sedang gandrung menceritakan
hubungan dengan seorang bujang bernama Jaka Bajul. Beberapa hari kemudian,
Ki Sardana pun menyidang Jaka Bajul. Ditanyailah ia, dari mana? Anak siapa?
Jaka Bajul menjawab bahwa ia anak Ki Kamal dan Nyi Santi. Keesokan harinya,
Ki Sardana pun datang ke rumah Ki Kamal untuk mendapatkan kejelasan atas
Kuwu Sardana, secara diam-diam Ki Kamal dan Nyi Santi menyelidiki perbuatan
buaya itu, firasatnya mengatakan itu adalah ulah ingon-ingonnya. Buaya tersebut
dasar desakan dari Katijah dan Kuwu Sardana, akhirnya Jaka Bajul dikawinkan
sehingga air bengawan itu seakan tidak tampak lagi dan kini yang terlihat adalah
beserta teman-temannya dari dasar bengawan itu. Pasangan penganten baru itu
pun kini menetap di dasar bengawan tersebut. Jaka Bajul tidak memiliki pekerjaan
berpesan pada istrinya supaya tidak naik ke para (bagian atas langit-langit rumah).
Katijah naik ke atas para meski itu larangan suaminya. Ia penasaran mengapa
Jatisawit untuk menanyakan isterinya. Sesudah bertemu, Katijah tidak mau diajak
kembali. Mendapati istrinya tidak mau diajak pulang ia pun berpesan kepada
rakyat Desa Jatisawit. “Yen ana bala lan blai ning Desa Jatisawit, atawa diserang.
Kentongen bae bedug kien. Bakal teka reang lan bala kanca mbelani". Bedug itu
adalah hasil cipta reka Jaka Bajul. Bedug ini kemudian diserahkan kepada Kuwu
bengawan.
Rakyat Jatisawit ketakutan atas peristiwa ini. Mereka takut bala buaya Bengawan
Cimanuk akan kembali datang ke desanya. Atas usul seseorang bedug itupun