Anda di halaman 1dari 25

KELOMPOK : 6

Gambar Perahu layar di


dinding
Nama kelompok:
1. Abdul Haris Kurniawan
2. Ayub Arya Salman
3. Fachryn Nissa Ayulia Maharani
biografi
Chairil Gibran
Ramadhan
Chairil Gibran Ramadhan, atau biasa dipanggil CGR, lahir 11
September 1973. Ia besar dan tumbuh di kampung Pondok Pinang,
Jakarta Selatan, menempuh pendidikan di IISIP Jakarta pada
Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Jurnalistik. Pernah menjadi
wartawan dan redaktur musik di sebuah majalah di Jakarta.Chairil
Gibran mengawali debutnya sebagai penulis sejak 1996 tanpa
bergabung dengan komunitas sastra manapun, termasuk komunitas
Betawi.

Sebagai cerpenis, karya-karyanya tampil di majalah dan surat kabar antara lain:
Horison, Jurnal Sastra, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Republika, The
Jakarta Post, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Riau
Pos, Lisa, Nova, Kartini, Femina, Swara Cantika, Annida,Jurnall Perempuan dan
lainnya, termasuk dalam beberapa buku yang telah diterbitkannya seperti :
Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman, and Violence (Gramedia Grup,
2012, antologi tunggal), serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan
The Lontar Foundation: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003), I Am Woman (ed.
John H. McGlynn, 2011), dan Gambar Perahu Layar di Dinding: Indonesia Under
Soeharto and Other Stories (antologi tunggal). CGR pernah diminta menulis untuk
kumpulan esai bersama yang mengantarkannya menyampaikan orasi sastra di
hadapan lima duta besar antara lain duta besar Libanon, Libya, Tunisia, Belgia, dan
Amerika Serikat. Buku yang memuat beberapa cerpennya dalam nuansa Betawi
antara lain :Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi (Masup
Jakarta, 2008, antologi tunggal) antologi bersama: Ujung Laut Pulau Marwah (Temu
Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010) Si Murai dan Orang Gila (DKJ & KPG,
2010), Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya ~ Sketsa, Puisi &
Prosa~ 1900-2000 (M.Balfas dkk, ed. Laora Arkeman, Padasan, 2011) Ibu Kota
Keberaksaraan (The 2nd Jakarta International Literary Festival, 2011)
Antologi Sastra Nusantara (MPU VII, Yogyakarta, 2012),
Di Seberang Perbatasan:
Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2012 (Riau Pos, 2012), dan
Embun Pecah di Taman Kota (MPU IX, Jakarta, 2014, Cerpen Terbaik I).
Sedangkan puisi-puisinya dalam nuansa Betawi dimuat dalam antologi bersama
Gelombang Puisi Maritim (Dewan Kesenian Banten, 2016) dan Rancag si Pitung
(Dewan Kesenian Depok, 2017).
Sejak 1996 CGR gemar melakukan eksplorasi ragam bahasa, ejaan dan gaya
penceritaan dalam karya cerpen dan puisinya yang mengolah sejarah dan budaya
Betawi dalam latar Dari Batavia sampai Jakarta. Ia kerap membubuhkan catatan
kaki pada cerpen dan puisinya. Puisi-puisi yang ditulisnya selama 1996-2016
diterbitkan dalam sembilan buku bertajuk Setangkle Puisi Sejarah dan Budaya:
Betawi dari Batavia sampai Jakarta.
Selain menulis, menyunting buku, membaca puisi budaya-sejarah, ia juga sering
ditunjuk sebagai juri sastra dan pembicara pada ajang budaya dan sastra, radio,
televisi, dan beberapa perguruan tinggi, serta mewakili Provinsi DKI Jakarta pada
ajang sastra di dalam dan luar Jakarta, seperti MPU IV (Solo, 2009), The 2nd
JILfest (Jakarta, 2011), MPU VII (Yogyakarta, 2012), Temu Sastra Indonesia 2012
(Jakarta, 2012) serta diundang oleh guru besar Universitas Riau, Prof. Dr. Yusmar
Yusuf menghadiri "Pancur Lagoon Poetry Reading" (Batam, 2012) dan "Helat
Budaya Melayu" (Kampar, 2012). Kini Chairil Gibran mengelola Penerbit Padasan,
menjadi pemimpin redaksi Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cutural Studies
(Jakarta), redaktur Horison, serta mendirikan Betawi Center Foundation, Forum
Betawi Membaca, dan Museum Orang Betawi. Pada 2012, bersama Cecep Syamsul
Hari, ia pernah menjadi redaktur di Jurnal Sastra: The Indonesian Literary
Quarterly (Bandung). Pada Oktober 2016 terbit bukunya, Kembang Kelapa:
Kumpulan Catatan Budaya Betawi ~ Dari Batavia sampai Jakarta (Penerbit
Padasan).
Buku tunggal: Perempuan di Kamar Sebelah (Gramedia, 2012; antologi tunggal)
Buku bersama: 1. Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, The Lontar Foundation, 2003) 2. I Am
Woman (ed. John H. McGlynn, The Lontar Foundation 2011). Kumpulan cerpen tunggalnya
dalam nuansa politik Indonesia masa Orde Baru: Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia,
Woman, and Violence dan Gambar Perahu Layar di Dinding: Indonesia Under Soeharto and
Other Stories, akan terbit Mei 2021.
Buku tunggal bernuansa Betawi, Batavia, Jakarta: 1. Sebelas Colen di Malam Lebaran
(Masup Jakarta, 2008; cerpen), 2. Passer Gambier: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~
Betawi, Batavia, Jakarta (Juni 2018; puisi) 3. Gedong Bitjara: Setangkle Puisi Sejarah &
Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta (Februari 2019; puisi) 4. Koningin van het Oosten:
Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta (September 2019; puisi). 5.
Kembang Kelapa: Setangkle Catatan Budaya Betawi ~ Dari Batavia sampai Jakarta
(November 2016; akan menyusul: Kembang Terate, November 2021).
Buku bersama (cerpen dan puisinya bernuansa Betawi, Batavia, Jakarta): 1. Ujung Laut
Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia 3, Tanjungpinang, 2010; cerpen) 2. Si Murai dan
Orang Gila (DKJ, 2010; cerpen) 3. Ibu Kota Keberaksaraan (The 2nd Jakarta International
Literary Festival, 2011; cerpen) 4. Antologi Sastra Nusantara (Mitra Praja Utama V
Nusantara (Mitra Praja Utama VII, Yogyakarta, 2012; cerpen) 5. Di Seberang Perbatasan:
Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2012 6. Embun Pecah di Taman Kota (Mitra Praja Utama
IX, Jakarta, 2014; cerpen terbaik) 7. Gelombang Puisi Maritim (Dewan Kesenian Banten,
2016;) 8. Syair, Syiar & Syar’i (Rumah Seni Asnur, 2018; puisi) 9. Mata Khatulistiwa (LSS
Reboeng, Yogyakarta, 2018; puisi).

Gerakan CGR terkait Betawi: 1. Mendirikan Betawi Center Foundation (2011) 2. Mendirikan
Forum Betawi Membaca (2012) 3. Mendirikan Museum Etnografi Orang Betawi (2015) 3.
Menerbitkan Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies sebagai jurnal triwulan
(2021; pada Oktober 2012 terbit hanya satu edisi) 4. Menulis skenario film Ismail Marzuki:
Nada, Cinta, Bangsa (2017) yang menghabiskan waktu riset dan penulisan selama tiga
tahun, dan mengusung ide film dokumenter Ismail Marzuki: Siapa Gerangan Tuan? (2019)—
namun tidak diloloskan Pemprov DKI Jakarta untuk pendanaan meski telah mengikuti
seluruh proses pengajuan.
Mewakili DKI Jakarta pada ajang sastra: 1. MPU IV (Solo, 2009) 2. The 2nd JILfest (Jakarta,
2011) 3. MPU VII (Yogyakarta, 2012) 4. TSI 2012 (Jakarta) 5. Pancur Lagoon Poetry Reading
(Batam, 2012) dan Helat Budaya Melayu (Kampar, 2012), atas undangan guru besar
Universitas Riau, Prof. Dr. Yusmar Yusuf, sebagai tamu khusus mewakili Kaum Betawi. 6.
Hari Puisi 2015 (TIM Cikini) 7. Mimbar Puisi Ramadhan 2016 (Rumah Seni Asnur) 8. Petang
Puisi di Makara Art Center UI, Depok, 2018
Prestasi: 1. Sebanyak 15 cerpennya dalam latar Betawi, Batavia, Jakarta tampil di
majalah sastra Horison (2011-2015) 2. Cerpennya dimuat di majalah sastra Horison edisi
50 Tahun (Juli 2016). 3. Orang Betawi pertama yang menjabat sebagai redaktur di
majalah sastra Horison wajah baru yang dicetuskannya (sejak Januari 2018) 4. Anggota
Tim Perumus Kongres Kebudayaan Betawi (2011) 5. Oleh penyair dan budayawan
Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy pernah akan dicalonkan menerima Anugrah
Budaya dari Pemprov Jawa Barat atas buku garapannya, Kembang Goyang: Orang
Betawi Menulis Kampungnya ~ Sketsa, Puisi & Prosa ~ 1900-2000 (Padasan, 2011).
Namun tidak pernah terwujud karena ASA kemudian menderita sakit keras dan
meninggal dunia. 6. Menggelar talkshow Sastrawan Betawi Jaman Rada Kamaren di
Perpustakaan Taman Fatahillah, Sanggar Betawi Firman Muntaco, dan Rumah Seni
Asnur, 7. Bersama Firman Haris selaku ketua LWG DMO Kota Tua Jakarta, menggagas
talkshow Ngobrol Saptu: Membawa Sastra ke Kota Tua (sejak Januari 2016). 8. Gigih
memperjuangkan lahirnya uang kertas RI bernuansa Betawi yang dia istilahkan sebagai
Duit Betawi, sejak berdialog interaktif dengan H. Eddy Rusli Thabrani di Bens Radio (30
Desember 2000), catatan budaya (2008 dan 2013), Semiloka Kebudayaan Betawi
(2010), dan Kongres Kebudayaan Betawi (2011). Namun ia dilupakan ketika Pemerintah
RI menerbitkan dua pecahan uang kertas RI bernuansa Betawi pada 2016. 9. Selain
menyunting buku dan juri sastra, ia juga pembicara budaya dan sastra di radio, televisi,
UI, UNJ, UHAMKA, UNISMA.
GAMBAR PERAHU LAYAR DI DINDING
CERPEN : CHAIRIL GIBRAN RAMADHAN
LAMPU-LAMPU di sepanjang lorong sudah dimatikan, bersama delapan kali bunyi sirene, seperti biasanya. Gelap. Sebuah bola lampu yang tidak
terlalu terang menyala di ujung lorong, di langit-langit atas meja tempat tujuh orang sipir duduk-duduk merokok dan melempar kartu. Tiap setengah
jam, seorang dari mereka membawa lampu senter, menyusuri lorong hingga ke ujung yang lain.
Tepat di depan sel kami, sel kedua puluh lima, menyeret di atas jeruji besi pentungan yang dibawanya.
"Belum tidur?!" seorang sipir, berperut bunci berkumis tebal, mengarahkan sinar lampu senter ke dalam sel kami, suaranya berat dan kasar, kebencian
dan kebengisan tidak pernah hilang dari wajahnya.
"Belum mengantuk, Pak," kami berlima menjawab.
"Awas kalau besok susah dibangunkan."
"Ya, Pak."
"Sedang apa kau, Yusuf?"
Dia melongok, menyebut nama lelaki setenah umur itu, tidak pernah didahulukan sebutan apa pun, 'Pak' misalnya, padahal kami tahu umurnya jauh
di bawah Pak Yus, sebaya kami, tiga puluh tahun.Pak Yus menoleh,
"Menggambar, Pak. Saya juga belum mengantuk."
"Awas kalau besok susah dibangunkan."
Sipir berwajah semata-mata licik itu kembali ke meja di ujung pintu lorong, dekat pintu yaang memisahkan lorong ini dengan kantor kepala sipir
penjara, menyeret di atas jeruji besi pentungan yang dibawanya.Selepas salat isya tadi, seperti biasanya selalu bertayamum, setengah jam setelah
delapan kali bunyi sirene, dibantu cahaya bulan yang temaram, masuk lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sel sisi selatan, Pak Yus berdiri
menghadap dinding sel sisi timur. Tangan kirinya, menggenggam sebutir kerikil, terus bergerak, menggores-gores dinding hitam kusam, lembap dan
berlumut, menggambar perahu layar. Ketika kami tanya untuk apa, dia selalu menjawab dengan kalimat sama:
"Nanti kalau sudah selesai akan saya ceritakan."
Angin masuk, nyamuk-nyamuk ada setiap waktu, tidak kami peduli.Sebelum menjelang tengah malam, dia duduk di lantai, menyuruh kami berlima
bangun. Kami bangkit dari tidur-tiduran, menghentikan bicara pelan-pelan kami, menuruti ucapannya.
Kami berenam duduk
Kami berenam duduk memandang ke arahnya.Dia menatap wajah kami satu per satu, lalu menoleh ke
dinding sisi timur yang berhadapan dengan dinding sisi barat.
"Gambar perahu layar itu sudah selesai."
Dia tersenyum, tipis saja, "Siapa yang mau ikut saya berlayar subuh nanti?"
Kami berlima saling melihat gambar itu, lalu menahan senyum yang bersiap muncul.
"Berhenti."
Dia setengah membentak, menjaga suaranya tidak memenuhi lorong, sampai ke telinga para sipir.
"Apa kalian pikir saya sedang bergurau?"
Kami diam, menunduk, sesekali melihat wajahnya. Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga, melintas lewat lubang angin
sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami melihat gambar perahu layar itu, di dinding sisi timur. Bagus, lebih bagus
daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri sialan ini.
"Sekali lagi saya tanya dan jangan tertawa."
Dia memandang wajah kami kembali satu per satu, "Siapa yang mau ikut saya berlayar subuh nanti?"
Kami diam, hanya memandang sesekali wajahnya. Meski selama ini kami selalu menuruti kata-katanya (semata karena
menghormati dia sebagai orang yang jauh lebih tua) tapi untuk hal yang satu ini kami yakin tidak perlu. Kami maklum jika
berbulan-bulan di dalam penjara membuat seseorang berpikiran macam-macam, tentang dirinya, dan tentang apa saja.
Banyak yang kemudian tidak mengenali lagi dirinya dan setiap kali bicara selalu ngawur.Pak Yus, begitu kami memanggil,
baru sekali ini kami dengar bicara ngawur, di luar kepala dan tidak menginjak tanah. Selama kami mengenalnya, sudah
sembilan bulan, ia lebih banyak diam, kemudian kami tahu dia memang seorang pendiam. Dia bicara sesekali, bila penting
saja. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu mempunyai makna, tidak asal keluar seperti Marbun yang sering kali malah
tidak pernah dipikir.
Masing-masing kami berbeda, tentu saja. Kami tiba di penjara hampir bersamaan. Aku, Marbun, Karmin, keduanya
tetanggaku, datang hari Sabtu, puluhan lainnya dipisah ke berbagai blok. Sukardi dan Hamdan hari Kamis. Pak Yus tiga
minggu berikutnya. Perampokkah kami hingga dijebloskan ke penjara pengap dan bau ini? Bukan. Kami bukan perampok.
Bukan pula pembunuh, pembuat rusuh, penipu, atau perampas rezeki orang. Kami hanya orang-orang yang ingin mendapat
hidup lebih baik karena negeri kami dilanda kerusuhan berkepanjangan dan kelaparan.
Apakah itu salah? Apakah itu dosa? Kalau memang mencari rezeki halal (kami berencana menjadi buruh pabrik di negeri ini) dianggap sebagai
sebuah kesalahan dan dosa, bagaimana dengan cukong yang menipu kami dengan janji akan memberi pekerjaan di negeri ini tapi malah entah
ke mana sekarang? Apakah itu tidak salah? Apakah itu tidak dosa?
Itu memang soal lain, meski itulah penyebab kami dijebloskan ke dalam penjara ini, katanya hanya untuk pendatang ilegal (untuk kata yang
satu ini kami harus berhari-hari mencari tahu artinya), dituduh memasuki negeri ini tanpa surat-surat lengkap resmi. Kami tidak tahu itu. Kami
hanya tahu, sesuai ucapan si cukong, bahwa kami hanya perlu membayar beberapa ratus ribu, dijamin dapat langsung pergi ke negeri impian.
"Jangan lupa membawa pakaian dan beberapa puluh ribu uang untuk membayar makan sesampainya di sana."
Negeriku, tidak pernah kusangka akan menjadi seperti sekarang. Dulu, setiap menyaksikan berita luar negeri di satu-satunya tv yang ada, milik
pemerintah, aku selalu bersyukur karena kata 'pengungsi', 'kelaparan', 'kerusuhan', 'antre belanja', dan 'teror bom', tidak pernah ada di dalam
kehidupan semua orang di negeriku.
Mungkin aku terlalu tinggi hati, begitu juga semua orang di negeriku, hingga Tuhan pun memperlihatkan amarahnya. Maka dihantamlah kami
dengan badai yang selama berpuluh-puluh bulan aku bosan mendengar namanya, seperti nama manusia saja. Tapi apakah ada manusia yang
mau memakai nama celaka itu?
Sejak itu bencana bertubi-tubi, tapi aku lebih menganggapnya sebagai azab, melanda negeri kami. Maka kata-kata yang tidak pernah ada di
dalam kehidupan semua orang di negeriku itu pun mendera tubuhku, juga semua orang, hingga aku memutuskan untuk meninggalkannya. Aku
bisa mati bila terus-menerus di sana.
Mungkin sebelumnya menjadi gila, kemudian ditemukan mati kaku kelaparan atau mati dibunuh orang gila.Kujual sepetak tanah di sebelah
rumah gubukku (Marbun dan Karmin hanya menjual simpanan perhiasan emas, ditambah beberapa sapi dan kerbau milik mereka), pemberian
almarhum bapak, pada seorang rentenir desa dengan harga beberapa ratus ribu. Sisanya, sungguh tepat, hanya beberapa puluh ribu, cukup
untuk biaya membayar makan di negeri ini, seperti yang dipesankan si cukong.
Kutinggalkan istri dan kedua anakku yang belum lewat sepuluh tahun umurnya. Tidak lupa kuminta restu pada ibuku yang sudah tua renta
yang tinggal bersamaku. Tapi yang kudapat hanya mereka. Berhari-hari kami terombang-ambing di perahu layar penuh manusia, hanya berdoa
yang kami lakukan, berharap Tuhan tidak menenggelamkan kami di lautan entah di mana ini.Ternyata Tuhan benar-benar ada.
Kami selamat, tiba di tanah tidak kami kenal, disambut mata merah orang-orang berseragam warna cokelat lumpur, mengarahkan moncong
senjata laras panjang ke kening kami, membentak, menghina dengan bahasa yang kedengarannya sangat lucu.
"Pulanglah, pendatang haram! Jangan menumpang mencari makan di negeri kami, tapi kalian hina juga bahasa kami! Punyalah rasa malu!"
Berakhirlah harapan kami mendapat pekerjaan dengan upah besar. Mungkin ini salah kami. Sebelum berangkat banyak cerita menyeramkan kami dengar dari
orang-orang yang pernah mencari rezeki di negeri ini dan negeri-negeri lain, atau dari orang yang sering membaca surat kabar. Tapi tidak kami pedulikan.
"Polisi di sana sangat kejam, lebih kejam daripada tentara kita di sini. Kalau marah, mereka lebih mengerikan daripada orang kesurupan."
"Para majikan sering tidak mau membayar upah pekerjanya. Maklumlah, selama berabadabad nenek moyang mereka mengenal perbudakan."
"Para lelakinya memiliki syahwat sangat tinggi, jadi pekerja perempuan harus berpakaian serba tertutup. Bila tidur pun harus mengunci pintu kamar sangat kuat
kalau tidak mau disetubuhi, sudah pasti secara kasar. Mengadukannya ke polisi percuma saja karena malah dianggap memfitnah majikan dan mulut mereka
sudah disumpal uang."
Setiap hari kami berdoa, berharap Tuhan mau berbalik hati menunjukkan kebesarannya, mengirim petinggi-petinggi negeri kami untuk membebaskan kami. Di
negeri kami, mereka selalu mengatakan bahwa mereka sangat memperhatikan pekerja-pekerja seperti kami, karena kami salah satu sumber pemasukan keuangan
negara.
Ah, aku tidak mengerti maksudnya! Aku hanya tahu bahwa kami ingin mencari uang tanpa perlu menjadi buas dan tidak peduli disebut bangsa
pembantu.Semakin hari, tubuh kami semakin ringan dan kudisan. Segala macam penyakit pasti sedang menggerogoti tubuh kami.
Sehari semalam kami hanya makan satu kali: Segenggam nasi dengan kuah sayur bening, minum air mentah dari pompa, di piring dan cangkir kaleng usang.
Mandi seminggu sekali tanpa sabun, airnya keruh dan bau anyir.
Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga, melintas lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami melihat gambar perahu layar itu, di
dinding sisi timur. Bagus, lebih bagus daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri sialan ini.
"Kami bukan tidak mempercayai, Pak Yus."
Aku bicara, "Tapi mana mung...."
"Itu namanya tidak mempercayai, Ahmad," potong Pak Yus, menatap tajam mataku.
Kami berlima diam, semata karena dia orang yang sudah tua.
"Jadi tidak ada yang mau ikut?" Kami masih diam.
"Saya tahu kalian pasti mengira saya gila. Tapi kalau-kalau mau terus-menerus hidup di dalam penjara ini, kurus kering, sakit-sakitan, dan akhirnya mati tanpa
diketahui sanak saudara karena pihak penjara memang tidak pernah mengabari pihak luar untuk kematian pendatang haram seperti kita, silakan saja ikut saya."
Kami memandang wajahnya.
"Baiklah," Pak Yus tersenyum, tetap tipis.
"Ini malam terakhir saya di sini. Maaf kalau selama mengenal kalian ada ucapan dan perbuatan saya yang membuat sakit hati kalian. Bukan itu maksud
saya. Dan, tanpa kalian minta, saya sudah memaafkan segala kesalahan kalian."
Kami masih memandang wajahnya. Kasihan Pak Yus. Tapi kami yakin besok pagi dia pasti sudah mampu berpikir seperti biasa. Dengan kepala dan sudah
menginjak tanah. Angin masuk, nyamuk-nyamuk ada setiap waktu, tidak kami peduli.
"Saya pamit sekarang saja, karena besok begitu kalian bangun, saya sudah tidak berada di kamar ini, di penjara kotor ini. Saya sudah berlayar dengan
perahu layar itu."
Dia menunjuk ke dinding di sebelah timur yang kubelakangi.
"Ingat, jangan pernah menyesali penolakan kalian."
Kami hanya menarik napas. Lalu Pak Yus ke sudut sel tempat dia biasa tidur, menutupi tubuhnya dengan karung goni. Kami pun satu per satu menuju
'tempat tidur'. Melindungi kulit kami dengan lembaran-lembaran kardus dan koran.
Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga, melintas lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami melihat gambar perahu layar
itu, di dinding sisi timur. Bagus, lebih bagus daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri ini. Mereka memukuli kami bagai orang
kesurupan. Kami tidak tahu apakah mereka tuli atau sangatsangat bodoh hingga tidak mengerti semua yang kami berlima katakan berulang-ulang.
"Demi Tuhan, kami tidak tahu bagaimana dia bisa kabur." Brek! Tendangan mendarat di rahang Hamdan.
"Kalau tahu dia kabur tentu kami akan ikut." Buk! Popor senjata bersarang di ulu hati Sukardi.Aku melihat itu sedikit dari balik arah yang mengucur di
keningku.
"Lagi pula seharusnya bukan kami yang disalahkan."
Desh! Tendangan melayang ke dada Karmin.
"Salahkan sipir yang tidak benar bekerjanya."
"Ben...." Brak! Sepatu lars menghantam hidungku, keras.
Kembali ke sel, menjelang sore, tubuh kami bengkak-bengkak, bercucuran darah, tetapi masih memikirkan Pak Yus, hingga malam.
"Jangankan cuma kalian pendatang haram. Bekas pejabat tinggi di negeri ini saja berani mereka pukuli sampai babak belur," seorang dari Pamekasan,
datang kemarin siang, penghuni sel di depan sel kami, menghibur, sepertinya.
"Apa mereka tidak pernah menerima pelajaran agama di sekolah kepolisian?" Sukardi menyeka,
menggunakan ujung lengan kaus oblong di badannya, darah yang terus mengucur dari bibirnya.
"Dan, bukankah di negeri ini pelajaran agama sangat diutamakan dan sudah mendarah daging?"
"Sudah dibilang kalau marah mereka lebih mengerikan daripada orang kesurupan."
"Ya, memang." Sukardi mendengus.
Tapi kami yakin Tuhan tidak akan membiarkan kami membusuk di penjara ini. Angin masuk,
nyamuk-nyamuk ada setiap waktu, tidak kami peduli.Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga,
melintas lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami kembali melihat
dinding sisi timur yang sudah bersih saat kami membuka mata pagi tadi, sebelum pintu sel dibuka,
seperti tidak pernah dipenuhi gambar sebuah perahu layar bagus, yang lebih bagus daripada
perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri ini.
Analisis
1. STRUKTUR
1. Abstrak

Salah satu orang pemuda yang bernama pak yusuf , pak yusuf menggambar sebuah gambar
perahu layar di dinding di dalam sel penjara , dan pak yusuf berambisi sangat ingin keluar
penjara

2. Orientasi

Lampu-lampu di sepanjang lorong sudah dimatikan, bersama delapan kali bunyi sirene, seperti
biasanya. Gelap. Sebuah bola lampu yang tidak terlalu terang menyala di ujung lorong, di
langit-langit atas meja tempat tujuh orang sipir duduk-duduk merokok dan melempar kartu.
Tiap setengah jam, seorang dari mereka membawa lampu senter, menyusuri lorong hingga ke
ujung yang lain. Tepat di depan sel kami, sel kedua puluh lima, menyeret di atas jeruji besi
pentungan yang dibawanya.

3. Komplikasi

Negeriku, tidak pernah kusangka akan menjadi seperti sekarang. Dulu, setiap menyaksikan
berita luar negeri di satu-satunya tv yang ada, milik pemerintah, aku selalu bersyukur karena
kata 'pengungsi', 'kelaparan', 'kerusuhan', 'antre belanja', dan 'teror bom', tidak pernah ada di
dalam kehidupan semua orang di negeriku.
Mungkin aku terlalu tinggi hati, begitu juga semua orang di negeriku, hingga Tuhan pun
memperlihatkan amarahnya. Maka dihantamlah kami dengan badai yang selama berpuluh-puluh bulan
aku bosan mendengar namanya, seperti nama manusia saja. Tapi apakah ada manusia yang mau
memakai nama celaka itu?

Sejak itu bencana bertubi-tubi, tapi aku lebih menganggapnya sebagai azab, melanda negeri kami.
Maka kata-kata yang tidak pernah ada di dalam kehidupan semua orang di negeriku itu pun mendera
tubuhku, juga semua orang, hingga aku memutuskan untuk meninggalkannya. Aku bisa mati bila terus-
menerus di sana.

Mungkin sebelumnya menjadi gila, kemudian ditemukan mati kaku kelaparan atau mati dibunuh orang
gila.Kujual sepetak tanah di sebelah rumah gubukku (Marbun dan Karmin hanya menjual simpanan
perhiasan emas, ditambah beberapa sapi dan kerbau milik mereka), pemberian almarhum bapak, pada
seorang rentenir desa dengan harga beberapa ratus ribu. Sisanya, sungguh tepat, hanya beberapa
puluh ribu, cukup untuk biaya membayar makan di negeri ini, seperti yang dipesankan si cukong.

Kutinggalkan istri dan kedua anakku yang belum lewat sepuluh tahun umurnya. Tidak lupa kuminta
restu pada ibuku yang sudah tua renta yang tinggal bersamaku. Tapi yang kudapat hanya mereka.
Berhari-hari kami terombang-ambing di perahu layar penuh manusia, hanya berdoa yang kami lakukan,
berharap Tuhan tidak menenggelamkan kami di lautan entah di mana ini.Ternyata Tuhan benar-benar
ada.
4. Evaluasi

Kami selamat, tiba di tanah tidak kami kenal, disambut mata merah orang-orang berseragam
warna cokelat lumpur, mengarahkan moncong senjata laras panjang ke kening kami,
membentak, menghina dengan bahasa yang kedengarannya sangat lucu.

Berakhirlah harapan kami mendapat pekerjaan dengan upah besar. Mungkin ini salah kami.
Sebelum berangkat banyak cerita menyeramkan kami dengar dari orang-orang yang pernah
mencari rezeki di negeri ini dan negeri-negeri lain, atau dari orang yang sering membaca surat
kabar. Tapi tidak kami pedulikan.

5. Resolusi

Setiap hari kami berdoa, berharap Tuhan mau berbalik hati menunjukkan kebesarannya,
mengirim petinggi-petinggi negeri kami untuk membebaskan kami. Di negeri kami, mereka selalu
mengatakan bahwa mereka sangat memperhatikan pekerja-pekerja seperti kami, karena kami
salah satu sumber pemasukan keuangan negara.
6. Koda
Aku hanya tahu bahwa kami ingin mencari uang tanpa perlu
menjadi buas dan tidak peduli disebut bangsa pembantu.Semakin kami yakin Tuhan tidak akan membiarkan kami
hari, tubuh kami semakin ringan dan kudisan. Segala macam
membusuk di penjara ini. Angin masuk, nyamuk-
penyakit pasti sedang menggerogoti tubuh kami.
nyamuk ada setiap waktu, tidak kami
Sehari semalam kami hanya makan satu kali: Segenggam nasi peduli.Disapu sinar lampu tembak dari menara
dengan kuah sayur bening, minum air mentah dari pompa, di jaga, melintas lewat lubang angin sebesar batu
piring dan cangkir kaleng usang. Mandi seminggu sekali tanpa
bata di dinding sisi selatan, kami kembali melihat
sabun, airnya keruh dan bau anyir.
dinding sisi timur yang sudah bersih saat kami
Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga, melintas lewat membuka mata pagi tadi,
lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan, kami sebelum pintu sel dibuka, seperti tidak pernah
melihat gambar perahu layar itu, di dinding sisi timur. Bagus, lebih
bagus daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri
dipenuhi gambar sebuah perahu layar bagus,
sialan ini. yang lebih bagus daripada perahu layar yang
dulu membawa kami ke negeri ini.
Unsur intrinsik
Tema :kehidupan di penjara

Kutipan : Lampu-lampu di sepanjang lorong sudah


dimatikan, bersama delapan kali bunyi sirene, seperti
biasanya. Gelap. Sebuah bola lampu yang tidak terlalu
terang menyala di ujung lorong, di langit-langit atas meja
tempat tujuh orang sipir duduk-duduk merokok dan
melempar kartu. Tiap setengah jam, seorang dari mereka
membawa lampu senter, menyusuri lorong hingga ke ujung
yang lain. Tepat di depan sel kami, sel kedua puluh lima,
menyeret di atas jeruji besi pentungan yang dibawanya.
Tokoh/Penokohan : sipir penjara , pak Yusuf , aku , Marbun , karbin , Sukardi dan Hamdan

Sipir penjara : Antagonis , kasar , bengis


-kutipan: "Belum tidur?!" seorang sipir, berperut bunci berkumis tebal, mengarahkan sinar
lampu senter ke dalam sel kami, suaranya berat dan kasar, kebencian dan kebengisan tidak
pernah hilang dari wajahnya.

Pak Yusuf : Ambisius , tokoh utama


-kutipan: "Gambar perahu layar itu sudah selesai."
Dia tersenyum, tipis saja, "Siapa yang mau ikut saya berlayar subuh nanti?"
Kami berlima saling melihat gambar itu, lalu menahan senyum yang bersiap muncul.
"Berhenti."
Dia setengah membentak, menjaga suaranya tidak memenuhi lorong, sampai ke telinga para
sipir.
"Apa kalian pikir saya sedang bergurau?"
Kami diam, menunduk, sesekali melihat wajahnya. Disapu sinar lampu tembak dari menara jaga,
melintas lewat lubang angin sebesar batu bata di dinding sisi selatan,kami melihat gambar
perahu layar itu, di dinding sisi timur. Bagus,
lebih bagus daripada perahu layar yang dulu membawa kami ke negeri sialan ini.
"Sekali lagi saya tanya dan jangan tertawa.”
Dia memandang wajah kami kembali satu per satu, "Siapa yang mau ikut saya berlayar subuh
nanti?"
Kami diam, hanya memandang sesekali wajahnya. Meski selama
ini kami selalu menuruti kata-katanya, (semata karena
menghormati dia sebagai orang yang lebih tua) tapi untuk hal
yang satu ini kami yakin tidak perlu. Kami maklum jika berbulan-
bulan di dalam penjara membuat seseorang berpikiran macam-
macam, tentang dirinya, dan tentang apa saja.

Aku , Marbun , karbin , Sukardi dan Hamdan : Figuran


Alur : maju , karena ceritanya memiliki klimaks di tengah cerita. Peristiwa yang berjalan teratur dan
berurutan sesuai dengan urutan waktu kejadian dari awal sampai akhir.

Setting/latar : - latar tempat : sel penjara


Kutipan : tepat di depan sel kami, sel kedua puluh lima, menyeret di atas jeruji besi pentungan
yang dibawanya”
- latar waktu : malam hari
Kutipan :"Belum tidur?!" tanya seorang sipir
"Belum mengantuk, Pak," kami berlima menjawab
"Awas kalau besok susah dibangunkan."
- suasana : suram
Kutipan : "Saya pamit sekarang saja, karena besok begitu kalian bangun, saya sudah tidak berada di
kamar ini, di penjara kotor ini. Saya sudah berlayar dengan perahu layar itu." "

Sudut pandang : orang pertama

Gaya bahasa : baku

Amanat : saling menghargai pendapat satu sama lain , ketika ada masalah harus saling kerjasama
dalam satu tim.
Unsur Ekstrinsik
Latar belakang masyarakat : antologi tunggal

Latar belakang penulis : Chairil Gibran Ramadhan, atau biasa dipanggil CGR, lahir 11 September 1973. Ia besar dan tumbuh di
kampung Pondok Pinang, Jakarta Selatan, menempuh pendidikan di IISIP Jakarta pada Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu
Jurnalistik. Pernah menjadi wartawan dan redaktur musik di sebuah majalah di Jakarta. Chairil Gibran mengawali debutnya
sebagai penulis sejak 1996 tanpa bergabung dengan komunitas sastra manapun, termasuk komunitas Betawi. Sebagai cerpenis,
karya-karyanya tampil di majalah dan surat kabar antara lain Horison, Jurnal Sastra, Suara Pembaruan, Kompas, Media
Indonesia, Republika, The Jakarta Post, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Riau Pos, Lisa, Nova,
Kartini, Femina, Swara Cantika, Annida, Jurnal Perempuan, dan lainnya, termasuk dalam beberapa buku yang telah
diterbitkannya seperti Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman, and Violence (Gramedia Grup, 2012, antologi tunggal),
serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan The Lontar Foundation: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003), I
Am Woman (ed. John H. McGlynn, 2011), dan Gambar Perahu Layar di Dinding: Indonesia Under Soeharto and Other Stories
(antologi tunggal). Oleh Eka Budianta, CGR pernah diminta menulis untuk kumpulan esai bersama yang mengantarkannya
menyampaikan orasi sastra di hadapan lima duta besar antara lain duta besar Libanon, Libya, Tunisia, Belgia, dan Amerika
Serikat.

Nilai yang terkandung pada cerpen :


Nilai moral: jangan egois dalam segi hal apapun , salah satunya seperti dalam segi ibadah
Nilai sosial: kita harus saling peduli , menghargai dan juga tolong menolong sesama , meskipun hanya sebatas kata terimakasih
ataupun senyuman
Nilai agama: kita sebagai manusia memang diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-nya. namun, kita harus
menyeimbangkan antara keperluan dunia dan akhirat
Nilai adat/budaya: kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai-nilai dalam masyarakat
Nilai pendidikan: mengajarkan kepada kita untuk tidak sembarangan dalam berbicara khususnya berbicara hal-hal yang buruk.
karena apa yang kita ucapkan itu dapat mempengaruhi orang lain
Unsur Kebahasaan
KATA GANTI ORANG PERTAMA TUNGGAL DAN JAMAK :
- “Menggambar, Pak. Saya juga belum mengantuk.”
- padahal kami tahu umurnya jauh di bawah Pak Yus

KATA GANTI ORANG KE DUA TUNGGAL DAN JAMAK :


- “Sedang apa kau, Yusuf?”
- "Ini malam terakhir saya di sini. Maaf kalau selama mengenal kalian ada ucapan
dan perbuatan saya yang membuat sakit hati kalian. Bukan itu maksud saya. Dan,
tanpa kalian minta, saya sudah memaafkan segala kesalahan kalian."

KATA GANTI ORANG KR TIGA TUNGGAL DAN JAMAK :


- Sebelum menjelang tengah malam, dia duduk di lantai
- Tiap setengah jam, seorang dari mereka membawa lampu senter

MENGGUNAKAN DIALOG:
"Belum mengantuk, Pak," kami berlima menjawab.
"Awas kalau besok susah dibangunkan."
"Ya, Pak."
"Sedang apa kau, Yusuf?"

Anda mungkin juga menyukai