Anda di halaman 1dari 5

Tawa Gadis Padang Sampah

Korep, Carmi, dan Sopir Dalim adalah tiga di antara banyak manusia yang sering datang ke
padang pembuangan sampah di pinggir kota. Dalim tentu manusia dewasa, sopir truk sampah
berwarna kuning dengan dua awak. Dia pegawai negeri, suka lepas-pakai kacamatanya yang
berbingkai tebal. Carmi sebenarnya masih terlalu muda untuk disebut gadis. Korep anak laki-
laki yang punya noda bekas luka di atas matanya. Keduanya pemulung paling belia di antara
warga padang sampah.

Sopir Dalim sesungguhnya pemulung juga. Dia mengatur kedua pembantunya agar
memulung barang-barang bekas paling baik ketika sampah masih di atas truk. Perintah itu
diberikan terutama ketika truknya mengangkut sampah dari rumah-rumah amat megah di
Jalan Anu. Ikat pinggang kulit yang dipakai Sopir Dalim juga barang pulungan. Katanya, itu
barang buatan Perancis yang dibuang oleh pemiliknya hanya karena ada sedikit noda goresan.
Katanya lagi, kebanyakan penghuni rumah-rumah megah itu hanya mau memakai barang-
barang terbaik tanpa noda sekecil apapun.

Ketika Korep dan Carmi memasuki padang sampah bau busuk belum begitu terasa. Sinar
matahari masih terhambat pepohonan di sisi timur sehingga padang sampah belum
terpangpang. Nati menjelang tengah hari padang sampah akan terjerang dan bau busuk akan
menguap memenuhi udara. Sopir Dalim sering mengingatkan Carmi dan Korep, jangan suka
berlama-lama berada di tengah padang. “Sudah banyak pemulung meninggal karena sakit,
paru-parunya membusuk,” katanya. Entahlah, Sopir Dalim merasa perlu mengingatkan Carmi
dan Korep. Dia sendiri tidak tahu mengapa hatinya dekat dengan kedua anak itu; barangkali
karena Korep dan Carmi adalah dua pemulung paling bocah di padang sampah.

Belasan pemulung sudah berdiri berkerumun di sisi selatan. Mereka sedang menunggu truk
sampah datang. Ada pemulung perempuan memasang puntung rokok di mulutnya. Lalu
bergerak ke sana-kemari meminta api. Ada tangan terjulur ke arah mulutnya. Api menyala
dan asap segera mengepul. Tetapi perempuan itu kemudian berteriak. Rupanya tangan lelaki
pemegang korek api kemudian mencolek pipinya. Dia kejar si lelaki dan balas mencubit
punggungnya. Mereka bergelut. Mendadak muncul tontonan yang meriah. Korep dan Carmi
ikut bersorak-sorak. Ada luapan sukacita dan teriakan-teriakan yang riuh. Begitu riuh
sehingga burung-burung gereja yang sedang cari makan di tanah serentak terbang ke udara.
Seekor anjing yang merasa terusik segera menghilang di balik mesin pengeruk sampah yang
telah lama rusak, menjadi sampah juga.

Truk yang dibawa Sopir Dalim masuk. Dan dalam satu detik suasana berubah. Kerumunan
para pemulung buyar. Mereka berlari di belakang sampai truk berhenti. Pada detik sampah
tercurah terjadilah suasana yang sangat ribut. Belasan pemulung termasuk Korep dan Carmi
berubah layaknya sekandang ayam kelaparan yang ditebari pakan; berebut, saling desak,
saling mendahului, saling dorong. Mereka berebut mengais sampah mencari apa saja selain
popok, kain pembalut atau bangkai tikus.

Korep mendapat dua mangga separuh busuk. Carmi ceritanya lain. Mata Carmi terpana ketika
ada barang jatuh dari bak truk menimpa kepalanya. Itu satu sepatu sebelah kanan yang bagus
ukuran tanggung. Carmi segera mengambil sepatu itu. O, dia sering bermimpi memakai
sepatu seperti itu. Dalam mimpinya Carmi melihat betisnya amat bersih dan berisi, dan makin
indah karena bersepatu. Carmi sungguh-sungguh berdebar. Dia makin keras mengais-kais
tumpukan sampah dengan tangan untuk menemukan sepatu yang kiri. Keringat membasahi
kening dan pipinya, tetapi Carmi gagal. Maka dia menegakkan punggung dan melihat
sekeliling; barangkali sepatu yang satunya ada di sana. Atau ditemukan oleh pemulung lain.
Gagal juga. Maka Carmi berhenti lalu meninggalkan timbunan sampah. Dia bahkan
membuang kembali tiga gelas plastik bekas air kemasan yang sudah didapatnya.

Di tepi padang sampah dia coba memasang sepatu itu pada kaki kanan. Hatinya kembali
berdebar karena sepatu itu terasa begitu nyaman di kakinya. Dilepas dan dibersihkan dengan
remasan kertas koran. Setelah agak bersih dipasang lagi. Carmi berdiri, berputar dan
mengangkat-angkat kaki kanan agar dapat memandang dengan seksama bagaimana sepatu itu
menghiasi kakinya. Sungguh, dia berharap besok atau kapan sepatu yang kiri akan sampai
juga ke padang sampah ini. Siapa tahu. Ya, siapa tahu. Bukankah benda apa saja bisa sampai
ke sini?

Korep datang dan langsung tertawa melihat ulah temannya. Carmi merengut. Dia tersinggung
tetapi tidak ingin menanggapi ulah Korep. Atau mata Carmi lebih tertarik kepada dua mangga
di tangan Korep. Carmi lega karena Korep tanggap. Apalagi Korep tidak meneruskan bicara
soal sepatu di kaki kanannya.
“Kita makan mangga saja. Ayo.” Ajak Carmi sambil memasukkan sepatu yang hanya sebelah
itu ke kantung plastik kuning. Korep nyengir, tetapi ia merasa ajakan Carmi menarik juga.
Maka Korep dan Carmi bergerak ke sisi timur. Di sana ada pohon ketapang yang rindang.
Korep mengeluarkan pisau kecil pemberian Sopir Dalim. Satu mangga ada di tangan kiri.
Dengan sekali gerak tersayatlah mangga itu tepat pada batas yang busuk. Carmi menatap
permukaan sayatan yang berwarna kuning segar. Liur Carmi terbit, tetapi kemudian bergidik
karena ada dua belatung muncul di permukaan sayatan. Korep tertawa, lalu membuat sayatan
lagi, lebih ke dalam. Kali ini bagian mangga yang busuk benar-benar hilang. “Siapa bilang
mangga separuh busuk tidak enak dimakan, iya kan?” Kata Korep sambil menyodorkan satu
iris daging mangga tanpa busuk kepada Carmi. “Iya, kan?” Carmi hanya tertawa. Korep
menatap deretan gigi Carmi yang memang enak dilihat.

Setiap hari Carmi membawa-bawa kantung plastik kuning berisi sepatu sebelah kanan.
Akhirnya semua orang tahu gadis kecil itu masih menunggu sepatu yang sebelah kiri. Mereka
merasa iba. Itu hampir mustahil. Namun kepada Carmi semua pemulung berjanji akan
membantunya. Sopir Dalim bahkan punya gagasan yang luar biasa. Dia akan menyuruh
kedua awak truknya mendatangi setiap rumah di Jalan Anu. Keduanya akan disuruh bertanya
kepada pembantu, sopir, atau tukang kebun di sana, apa mereka tahu di mana sepatu kiri yang
sedang ditunggu Carmi.

Tetapi gagasan Sopir Dalim yang cemerlang itu tidak usah dilaksanakan. Beberapa hari
setelah penemuan sepatu kanan oleh Carmi, Sopir Dalim digoda oleh kedua pembantunya.
Saat itu dia tengah mengemudikan truk di jalan raya. Tiba-tiba di depan matanya, di luar kaca
ruang kemudi ada sepatu kiri yang bergerak turun naik. Pasti sepatu itu diikat dengan tali
panjang dan ujungnya dipegangi oleh pembantunya di bak truk. Dengan serta-merta Sopir
Dalim menginjak pedal rem. Bunyi derit ban menggasak permukaan aspal. Di atas bak truk
kedua pembantu terhuyung dan rubuh ke depan.

Sopir Dalim melompat turun, langsung melepas kacamata. Kedua awak truk juga turun. Salah
satunya menyerahkan sepatu kiri itu kepada Sopir Dalim yang kemudian tersenyum lebar.
Sambil memegangi gagang kacamata dia mengucapkan pujian kepada Tuhan sampai tiga
kali.

“Kamu temukan di mana?”


“Ya di bak sampah depan rumah di Jalan Anu, nomer berapa, lupa.”

“Cukup. Di mana sepatu kiri ini kamu temukan bukan hal yang penting.”

Sopir Dalim berhenti bicara karena mau melepas kacamata dan memakainya lagi. Kini dia
memijit-mijit dahi, terkesan sedang berpikir keras. Perilaku Sopir Dalim membuat dua
pembantunya bertanya-tanya. Mikir tentang apa lagi? Bukankah hanya tinggal satu hal:
menyerahkan sepatu kiri ini kepada Carmi?

“Nanti kamu yang menyerahkan sepatu ini kepada Carmi.” Ini perintah Sopir Dalim kepada
pembantu yang bercelana pendek. Yang ditunjuk mengangkat muka karena agak terkejut.

“Sebaiknya Pak Dalim saja.”

“Ya betul, sebaiknya Pak Dalim saja,” kata pembantu yang bercelana panjang. Dia
mendukung temannya. Sopir Dalim mendesah lalu melepas kacamata. Sebelum memakainya
lagi dia berbicara dengan suara tertekan.

“Ah, kalian tidak tahu. Masalahnya, aku tidak sampai hati melihat Carmi pada detik dia
menerima sepatu ini. Carmi mungkin akan melonjak-lonjak, tertawa-tawa, atau bahkan
menjerit-jerit karena begitu girang. Barangkali matanya akan berbinar-binar atau sebaliknya,
berlinang-linang. Ah, hanya karena sebuah sepatu bekas yang diambil dari tempat sampah
hati Carmi akan berbunga-bunga. Aku tidak akan tega menyaksikannya. Itu akan terasa amat
pahit di hati. Kalian bisa tega?”

Tanpa menunggu jawaban Sopir Dalim memutuskan lain. Sepatu kiri itu akan ditaruh di
bawah pohon ketapang di sisi timur. Carmi dan Korep biasa berteduh di sana pada waktu
tengah hari. Semua setuju, maka Sopir Dalim melompat ke ruang kemudi dengan sepatu kiri
itu di tangannya. Kedua pembantu naik ke atas bak dan truk pun bergerak menuju padang
sampah.

Saat matahari tepat di atas padang sampah semua pemulung menepi ke empat sisi. Mereka
akan menata hasil pemulungan, memasukkan ke dalam karung atau mengikatnya dengan tali
plastik. Carmi juga menepi. Dia mendapatkan belasan gelas plastik bekas kemasan air
minum, disusun rapi sehingga mudah dibawa. Di tangan kiri masih ada kantung plastik
kuning berisi sepatu kanan. Beriringan dengan Korep yang membawa seraup mangga separuh
busuk, Carmi bergerak ke sisi timur menuju kerindangan pohon ketapang.

Ketika udara di padang sampah amat panas, tanpa angin, bau busuk mengembang ke mana-
mana, burung gereja berdatangan, juga anjing-anjing; siapakah yang kemudian mendengar
Carmi tertawa keras diikuti teriakan hore berkali-kali? Tawa keras itu terasa sebagai
pelampiasan rasa gembira berlebihan sehingga terdengar memilukan hati?

Yang mendengar tawa Carmi belasan pemulung di padang sampah. Dan hanya mereka pula
yang bisa memaknai dengan tepat serta menghayati sepenuhnya tawa gadis kecil pemulung
itu. Maka lihatlah, para pemulung berdiri dan tersenyum ketika memandang Carmi dan Korep
pergi memnggalkan padang sampah. Carmi tertawa-tawa, tentu karena ada sepasang sepatu di
kakinya Tetapi kedua bocah pemulung itu mau ke mana kiranya? Semua warga padang
sampah tahu Carmi dan Korep tak punya rumah untuk pulang. 

Anda mungkin juga menyukai