Anda di halaman 1dari 7

Narrator : Dahulu disebuah dusun kecil bernama Ndoso, hiduplah seorang gadis cantik

jelita bernama Nggérang. Dinamakan Nggerang karena kulitnya putih serta


berambut pirang. Nggerang dipercayakan sebagai hasil dari perkawinan silang
resmi antara manusia dengan makhluk halus dari alam lain, dalam bahasa
setempat dinamakan kakartana atau darat atau juga disebut ata pelsina.
Ayah Nggerang bernama Awang dan ibunya bernama Hendang. Hendang
ibunda Nggerang dipercayakan berasal dari alam lain atau darat atau kakartana
dalam bahasa setempat. Namun, Putri Nggerang ditinggalkan ibunya semasa
dia masih balita bukan karena meninggal secara jasmaniah melainkan karena
ayah Nggerang, Awang telah melanggar pantangan sebanyak tiga kali. Bagi
Hendang itu adalah jumlah ayng tidak lumrah lagi.
(Scene 1) dialog tentang ngo teku wae pem
Kisah ini terjadi ketika Hendang pergi timba air, Nggérang yang masih bagi bayi dijaga dan
digendong bapaknya Awang. Hendang memberi pesan kepada Awang.
Hendang : “Awang!”
Awang : “Iyo, Hendang.”
Awang : “Ite cua ho one mai dunia berbeda. Cala bae lite pe me ite ho sebenarn toe
nganceng cama-cama?.”
Awang : “Iyo Hendang, bae laku. Cala manga aturan ata harus patuh lite cua kudut
nganceng cama-cama terus ite to?.”
Hendang : (dengan nada pelan, sambil menatap wajah Awang dan mengangguk) “Jika anak 
ini  menangis janganlah kau dendangkan lagu ini : ipung setiwu, paké sewaé, téu
sa ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun).”

Narator : Awang hanya menatap Endang sambil menganggukan kepala tanpa


mengeluarkan suara. Namun ketika Hendang sedang pergi timba air yang cukup
jauh dari rumah, Nggérang pun menangis. Lalu, Awang berupaya menghentikan
tangisan anaknya Nggérang dengan mendendangkan banyak lagu
Awang : (sambil menggendong Nggerang, menyanyikan beberapa lagu Manggarai)
Narrator : Sudah lebih dari dua lagu Awang nyanyikan untuk menenangkan Nggerang.
Namun tidak membuat ia berhenti menangis. Bahkan tangisannya menjadi
semakin keras dan keras.
Awang : “Do dere ata poli dere laku bao mai ga, toe keta kin hema hia enu koe
Nggerang,” (berkata dengan nada putus asa, sebab tangisan Nggerang masih
terdengar)
Awang pun mencoba untuk menenangkan Nggerang dengan menyanyikan lagu yang dilarang
oleh Hendang
Awing : “Setiwu, paké se waé, téu se ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu
serumpun)” (dia mengulanginya berkali-kali)
Narrator : Saat mendengar lagu tersebut Nggerang barulah tenang dan berhenti menangis.
Lagu terlarang tersebut memang dilarang dan menjadi pantangan bagi Hendang.
Awang sama sekali tidak memahami larang untuk tidak menyanyikan lagu itu.
Awing hanya ingin agar anaknya tenang. Sebenarnya arti dari lagu itu adalah
bahwa, mereka berasal dari dua alam berbeda yang dipersatukan melalui
perkawinan.
Saat mendengar lagu tersebut didendangkan oleh Awang, Hendang marah sekali
ada Awang.
Hendang : (nada marah) “ Sayakan sudah bilang sama kamu, jangan nyanyikan lagu itu! Itu
adalah lagu terlarang karena menceritakan kisah cinta dari dua dunia yang
berbeda. Kamu dan saya telah melanggar peraturanya.”
Awang : (terkejut mendengar Hendang marah, lalu diam mendengarkan Hendang
marah). Maafkan saya Hendang, saya tidak tahu lagi bagaimana cara
menenangkan Nggerang. Sudah banyak lagu yang saya nyanyikan namun dia
tidak kunjung berhenti menangis. Lagu terakhir yang ada dibenak saya adalah
lagu yang kamu larang itu. Pada saat saya menyanyikan lagu tersebut barulah
Nggerang tenang. Sekali lagi maafkan saya Hendang.”(berbicara dengan nada
pelan dan takut)
Narrator : Pelanggaran pertama dan kedua bagi Hendang masih dapat dimaafkan.
Kendatipun diingatkan berulang kali, Awang masih juga melanggarnya untuk
yang ketiga kalinya. Pelanggaran yang ketiga-kalinya, tiada lagi kata maaf.
Perpisahanpun terjadi. Hendang (ibunda putri Nggérang) pergi meninggalkan
kedua orang terkasihnya Awang suaminya serta Nggérang anaknya di dusun
Ndoso. Perpisahan ini bukanlah perpisahan untuk sesaat, namun selama-lamanya.
Hendang meninggalkan suami serta putri tercintanya yang masih bayi dengan
tetesan airmata menggalir dipipinya.
Hendang : “Kau telah melanggar pantangan kita, meskipun aku telah mengingatkan kau
berulang kali. Sekarang tidak ada maaf lagi, kita berdua terpaksa harus berpisah.
Aku kembali ke rumah orang tuaku, sementara Nggérang buah hati  kita tinggal
bersamamu sebagai paca (mas kawin) atas diri saya, harap dipelihara dengan
baik.”
Narator : Begitulah pesan hendang kepada suaminya diringi isak tangis yang sedih.
Tangisan itu juga merupAkan tangisan untuk yang terakhir kali baginya.
Mendengar pesan tersebut, Awang tidak bisa menjawab dan tidak berdaya, karena
seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor népa (ular sawah), dan ketika
di pegang sangat licin, sehingga dengan mudah ia pergi meninggalkan dusun
Ndoso, untuk selamanya, karena setelah itu ia tidak pernah muncul lagi.
SCENE 2
Narrator : Pada saat Nggerang menginjak usia remaja, kecantikannya semakin terlihat dan
sangat memikat banyak hati para pemuda. Sebab kecantikannya yang tiada
taranya itu, banyak raja-raja ingin meminangnya: diantara Mori Reok atau Raja
Reok dan raja Cibal. Meskipun banyak raja yang meminangnya yang tidak hanya
kaya tapi juga berparas menawan Nggerang menolaknya tanpa syarat.
Tak satupun diantaranya dapat memikat hatinya.  Bahkan raja Bima dari pulau
lain yang sedang berkuasa kala itu yang terletak diujung Timur pulau Sumbawa.
Pulau berbeda dengan Nggerang.
Awang : “Nggerang, mengapa kamu menolak semua lamaran ini?”
Nggerang : “Saya belum mau menikah Bapa.”
Awing : (terdiam dan menatap anaknya)
Narrator : Nggerang gadis cantik nan aneh ini memang memiliki sesuatu yang ajaib dalam
dirinya. Ini memang sangat mungkin karena memang dia adalah hasil dari
perkawinan dunia yang berbeda.
(Scene 3)
Nrator : Tentang Raja Bima, , konon ceritanya ia selalu melihat cahaya yang terpancar ke
langit yang berasal dari daerah Manggarai. Cahaya tersebut sesungguhnya berasal
dari kulit emas putri Nggérang yang tumbuh pada punggung bagian atas,
berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata gung. Sultan Bimapun
mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke
Manggarai yang terletak diujung barat pulau Flores guna melacak cahaya
tersebut.
Sultan Bima : “Kalian pergilah mencari tahu darimana cahaya itu.”
Prajurit : “Siap Paduka!”
Narator :Para prajujurit pun berangkat ke Manggarai untuk melacak asal cahaya itu.
Setelah dilacak dan yakin cahaya tersebut dimiliki oleh seorang putri cantik dan
masih remaja bernama Nggérang yang tinggal di dusun Ndoso. Para prajurit pun
melaporkan hasil pencarian mereka kepada Sultan Bima.
Prajurit 1 : “Yang Mulia Paduka, setelah kami mencari tahu ternyata sumber cahaya itu
berasal dari Ndoso.”
Prajurit 2 : “Benar Paduka. Dia bernama Nggerang. Dia wanita yang sangat cantik.”
Narrator : Mendengar hal itu, Sultan Bima mempersiapkan diri untuk berangkat ke
Manggarai untuk meminang putri Nggérang.
Sultan Bima : “Ayo kita ke Manggarai.”
Prajurit : “Siap Paduka.”
Narrator : Ketika Sultan Bima tiba di Ndoso, meskipun  masyarakat menerimanya dengan
baik. Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya
untuk meminang putri Nggérang yang cantik dan masih remaja itu, Nggerang
menolaknya tanpa syarat.
Sultan Bima : “Nggerang saya Sultan Bima. Tujuan kedatangan saya kemari adalah ingin
melamar kamu. “
Nggerang : “Maafkan saya Paduka. Saya menolak lamaran Paduka.”
Sultan Bima : “Mengapa kamu menolak lamaran saya? Saya adalah seorang sultan, saya
punya segalanya, saya juga bisa berbuat apapun.” (kebingungan dan malu)
Nggerang : “Sekali lagi maafkan saya Paduka. Saya tetap tidak ingin menikah dengan
Paduka.”
Narrator : Raja Bima menjadi sakit hati dan dendam kepada Nggerang lantaran cintanya
ditolak oleh Nggerang tanpa syarat. Raja Bima lalu mengancam dengan
mengirimkan santet ke dusun Ndoso.
Sultan Bima : “Kamu telah membuat saya sakit hati Nggerang. Saya tidak bisa menerima hal
ini. Akan saya kirimkan santet ke daerah ini!”(berbicara dengan keras dan
ekspresi wajah mrah sambil menunjukkseisi kampung)
Narrator : Tak lama kemudian seluruh dusun Ndoso diselimuti awan tebal kehitam-
hitaman. Fenemona inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebuta rewung
taki tana.
Sultan Bima : “Jika Nggerang tidak juga sedia menerima pinanganku, awam ini tak akan
berhenti.”(ancam Mori Dima atau Raja Bima)
Narrator : Bagi orang setempat fenomena awan tebal yang meyentuh tanah itu sangatlah
membahayakan kehidupan mereka. Karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa
dalam kondisi alam seperti itu.
Penduduk : “ Oh…Molas Nggerang terimalah saja lamaran itu supaya awan ini segera hilang
dan kami bisa bekerja lagi,” jeritan penduduk setempat.
Narrator : Namun bagi Nggerang, awan tebal itu bukanlah apa-apanya. Ancaman demi
ancaman tak digubris oleh Nggerang hingga akhirnya Raja Bima tak sabar lagi
ingin membunuh Nggerang. Dengan berbekal sebagai raja berkuasa atas tanah
Manggarai termasuk Ndoso saat itu, Sultan Bima menyuruh orang tua Nggerang
membunuh Nggerang dan kulitnya dibuatkan gendang. Satu gendang di bawa ke
Bima dan satu genderang disimpan di Ndoso.
Sultan Bima : “Mana orang tua Nggerang?”
Awang : “Saya, Paduka”(nada takut)
Sultan : “Bunuh Nggerang sekarang juga!”
Awang : (kaget dan takut) “Tapi…..”
Sultan Bima : “Tidak ada tapi-tapian, bunuh dia sekarang juga atau akan kubakar seluruh desa
ini. Kulitnya harus dijadikan gendang!”
Narrator : Bagi Orang tua Nggerang meskipun permintaan Sultan Bima tersebut terasa
sangat berat. Namun, karena ini permintaan Sultan Bima yang juga sebagai Raja
yang berkuasa di daerah Manggarai ketika itu, maka orang tua putri Nggérang
pun tidak bisa menolak. Berbagai usaha dilakukan oleh orang tua putri Nggérang,
seperti memotong kerbau, kemudian kambing, dan kulitnya dibuatkan gendang,
tetapi tidak mengeluarkan bunyi seperti yang diinginkan dan cahaya yang
memancar ke langit pun tidak hilang; tetap kelihatan dari kerajaan Bima.Karena
terus-menerus dipaksa oleh Sultan Bima, akhirnya pada suatu hari orang tua
Nggerang yang bernama Awang mengajak putri Nggérang mencari kutu
rambutnya dan Nggerang menyetujui niat ayahnya tanpa menyangka  bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi.
Awing : “Enu Nggerang,ma ice di cekoen. Mai kawe hutu le ema di.”
Nggerang : “Iyo, Ema.”
Narrator : Nggerang pun duduk dihadapan Awang dengan membelakangi Awang.
Bersamaan dengan itu Awang mencabut beberapa helai rambutnya dan disimpan
dalam tabung kecil, dan hal tersebut tidak menimbulkan efek atau pengaruh apa-
apa. Kemudian ia mencungkil kulit emas yang berbentuk bulat sebesar mata gung
dipunggungnya agar tidak memancarkan cahaya lagi, namun seketika itu putri
Nggérang meninggal.
Sadar bahwa putrinya telah meninggal, maka Awang mencungkil sekalian kulit
punggung bersama kulit emas dan kulit perutnya untuk dibuatkan genderang. Jadi,
sesungguhnya ada dua gendrang yang dihasilkan dari kulit tubuh Nggerang; satu
yang dibuat dari kulit emas di punggung Nggerang dikirim ke Bima. tetapi para
pembawa, bukanya mereka bawa ke Bima melainkan ke Sumbawa dikarenakan
arus deras si selat Gili Banta. Jadi, gendang yang terbuat dari kulit emas itu
keberadaanya bukan di Bima melainkan di Sumbawa hingga saat ini. Sementara
satunya lagi yang  terbuat dari kulit perut disimpan di Ndoso. Namun, selang
beberapa hari setelah Nggerang meninggal, beberapa pemuda dari Todo dengan
rombongan yang cukup banyak datang ke Ndoso meminta gendang tersisa itu
dengan paksa. Dan sebagian kulit emas dari punggung ditanamkan di bukit
Tingku Romot dekat Reo*

Anda mungkin juga menyukai