Anda di halaman 1dari 10

Nama : Ayu Fadilah

Kelas : 3A

Nim : 2020001058

MENGANALISIS SEBUAH CERPEN

1. Cerpen I “ Ketika Sebuah Mimpi Dipahami”

 Identitas cerpen :
a. Judul : KETIKA SEBUAH MIMPI DIPAHAMI
b. Pengarang : Al Kausar Sabani
c. Tahun terbit : 14 September 2014
d. Jumlah halaman : 2 halaman
e. Genre : cerpen kehidupan

 Analisis unsur instrinsik cerpen :


a. Tema : Khayalan
b. Tokoh dan penokohan :
o Aku = pemimpin, pemberani dan periang
c. Latar :
o Waktu = siang hari
o Tempat = di kamar tidur
o Suasana = mengasyikan
d. Alur : alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah maju, karena jalan cerita
dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan masalah sampai ke konflik
dan akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
e. Sudut pandang : sudut pandang yang digunakan yaitu orang pertama sebagai pelaku
utama. Buktinya yaitu cerpen itu menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh
utama dan mengisahkan tentang dirinya sendiri.
f. Gaya bahasa : dalam cerpen ini menggunakan gaya bahasa yang menarik, dan dapat
dipahami oleh pembaca.
g. Amanat : cerpen ini memberikan pesan bahwa ketakutan, keindahan, rasa senang
atau derita semuanya hanya ada di dalam pikiran, bukan hanya di dunia mimpi, tapi
juga ada di dunia nyata.

 Analisis struktur cerpen :


a. Abstrak :
tidak kusangka, siang yang tadinya ingin kujadikan waktu bersantai untuk melepas
Lelah. Setelah seharian berolahraga seperti minggu biasanya, malah berubah
menjadi momen paling mengasyikan daripada hanya sekedar melepas rasa letih di
tubuhku hari ini
b. Orientasi :
pukul 13:00 tengah hari tadi, sewaktu mataku yang terjaga ini mulai kehilangan arah
dalam persiagaannya di tempat tidurku, kemudian ia menutup dirinya dan
membawaku ke alam lain. Dalam khayalnya aku hanya mengalir, karena aku bisa
bermimpi indah.
c. Komplikasi :
Di suatu tempat yang belum jelas asal usulnya, cahaya matahari menyilaukan
mataku yang berharap masih berkedip-kedip mulai memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Terlihat bangunan batu bata besar memanjang ke arah pegunungan
tinggi berkebut ini seperti sebuah benteng raksasa tak berujung. Dengan lebar
sisinya sekitar 10 meter. Aku berada di atasnya dan mulai tahu dimana aku berdiri.
Betul sekali, TEMBOK BESAR CINA biasa orang-orang menyebutnya.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam
hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori
7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya
sebuah fantasi belaka.
“Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang
kulihat ini.” pikirku.
Sejuknya angin membuatku penasaran untuk melihat setiap sudut di tembok ini.
Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara.
Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di telingaku, disaat indra penghlihatan
mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Aku melihat dari jarak ku berdiri
sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar berlari ke arahku.
Perasaanku yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan
kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin
nyawaku juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan
lebih parahnya lagi di belakangku singa-singa ganas mulai menyerbuku.

Berlari dan terus berlari walau kaki terasa sangat lelah, tapi itulah yang sedang aku
lakukan karena tak ada cara lain kecuali berlari sekencang-kencangnya untuk
menyelamatkan diri.

Beberapa saat kemudian aku terhenti ketika melihat nyawaku sudah tidak punya
harapan lagi ditambah kaki yang sudah tak mampu melangkah dalam peristiwa
berbahaya ini, karena seekor singa buas berada di depanku dengan jarak 50 meter.
“Astaga kalau begini, aku hanya bisa pasrah kepadamu tuhan.” ucapku.
Dalam keadaan yang mungkin tidak bisa dibayangkan. Aku mencoba menenangkan
hati, dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku bertanya “Tunggu-tunggu, kenapa aku
berada di tempat ini?”
“Sedangkan aku tidak tahu jalan ke negeri ini.” lanjutku dalam hati yang agak
tenang.
Terbesit kesadaranku yang memahami tentang kejadian semua ini. Aku membuka
mata melihat tubuhku masih berada di antara segerombolan singa dari belakang
dan seekor singa paling besar dari depan yang mendekat ke arah se’onggok daging
segar, yah daging itu adalah diriku
d. Resolusi :
Singa-singa yang berlari langsung melompat ke arahku dengan cakar dan taring-
taringnya yang tajam wuuz… seketika terhanti begitu saja, saat mereka melihatku
tertawa.
“Hahahaha… Hey kalian mau makan apa dariku?” tubuhku dan kalian hanya ilusi
dalam keadaan sekarang ini, aku ini sedang bermimpi.”
“Kalian diciptakan oleh pikiranku sendiri, bahkan bukan kalian saja, semua yang
kulihat cuma ada di halusinasiku.” lanjutku pada binatang-binatang itu yang
sepertinya mengerti ucapanku
e. Evaluasi :
Sekarang singa-singa itu menunduk padaku kemudian lenyap tak tahu kemana. Aku
pun kembali menikmati pemandangan indah dari atas tembok besar, beberapa saat
juga semuanya yang ku lihat sirna seperti singa singa tadi. Mataku yang mulai
terbuka membuatku sadar, kalau aku sudah kembali ke kamarku lagi, dan dalam
kelelahan kaki yang kurasakan karena sudah berlarian dalam pikiranku sendiri, aku
pun tersenyum puas telah melewati mimpi yang mengasyikan hari ini
f. Koda :
Kejadian ini memberiku pesan bahwa ketakutan, keindahan, rasa senang atau derita
semuanya hanya ada di dalam pikiranku, bukan hanya di dunia mimpi, tapi juga
dunia nyata

 Relevansi cerpen dengan realita kehidupan :


Dari isi cerpen Ketika sebuah mimpi dipahami dalam realita kehidupan yaitu rasa
ketakutan, keindahan atau derita itu hanya ada di dalam pikiran, bukan hanya ada di
dalam mimpi tapi juga dalam kehidupan dunia nyata, maka dalam kehidupan nyata kita
harus tetap bisa melawan rasa ketakutan, atau derita.
 Sinopsis cerpen :
Pada cerpen ini terdapat tokoh yang menggunakan kata ganti orang pertama.
Aku ini pada pukul 13.00 tentang kejadian hari tadi, sewaktu matanya masih terjaga itu
mulai kehilangan arah dalam persaingan ditempat tidur, kemudian dia menutup dirinya
dan membawanya kea lam lain dalam khayalan, ia hanya mengikuti kemana alam bawah
sadar ini akan mengalir karena ia berharap akan mendapatkan mimpi yang indah.
Di suatu tempat yang belum jelas asal usulnya, cahaya matahari menyilaukan mataku
yang masih berkedip-kedip mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Terlihat
bangunan batu bata besar memanjang ke arah pegunungan tinggi berkebut ini seperti
sebuah benteng raksasa tak berujung. Dengan lebar sisinya sekitar 10 meter. Aku
berada di atasnya dan mulai tahu dimana aku berdiri. Betul sekali, TEMBOK BESAR CINA
biasa orang-orang menyebutnya.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam
hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori
7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya
sebuah fantasi belaka.
“Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang
kulihat ini.” pikirku.
Sejuknya angin membuatnya penasaran untuk melihat setiap sudut di tembok ini.
Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara.
Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di telinganya, disaat indra penghlihatan
mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Dia melihat dari jaraknya berdiri
sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar berlari ke arahnya.
Perasaannya yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan
kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin
nyawanya juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan
lebih parahnya lagi di belakangnyasinga-singa ganas mulai menyerbunya.
Berlari dan terus berlari walau kaki terasa sangat lelah, tapi itulah yang sedang dia
lakukan karena tak ada cara lain kecuali berlari sekencang-kencangnya untuk
menyelamatkan diri.

Beberapa saat kemudian dia terhenti ketika melihat nyawanya sudah tidak punya
harapan lagi ditambah kaki yang sudah tak mampu melangkah dalam peristiwa
berbahaya ini, karena seekor singa buas berada di depannya dengan jarak 50 meter.
“Astaga kalau begini, aku hanya bisa pasrah kepadamu tuhan.” ucapku.
Dalam keadaan yang mungkin tidak bisa dibayangkan. Aku mencoba menenangkan
hati, dan berdamai dengan diriku sendiri. Aku bertanya “Tunggu-tunggu, kenapa aku
berada di tempat ini?”
“Sedangkan aku tidak tahu jalan ke negeri ini.” lanjutku dalam hati yang agak
tenang.
Terbesit kesadarannya yang memahami tentang kejadian semua ini. Ia membuka
mata melihat tubuhnya masih berada di antara segerombolan singa dari belakang
dan seekor singa paling besar dari depan yang mendekat ke arah se’onggok daging
segar, yah daging itu adalah dirinya.

2. Cerpen “ Penulis Tua”

 Identitas cerpen
a. Judul : PENULIS TUA
b. Pengarang : Haryo Pamungkas
c. Jumlah halaman : 5 halaman
d. Tahun terbit : 18 November 2018
e. Genre : Kenangan

 Analisis unsur intrinsik cerpen :


a. Tema : Kehidupan dan Kenangan
b. Tokoh dan penokohan :
o Kakek = penyayang
o Alenia = periang
c. Latar :
o Tempat = rumah, taman dekat alun-alun, jembatan kembar
o Waktu = pagi dan sore hari
o Suasana = sunyi
d. Alur : alur yang digunakan dalan cerpen ini adalah campuran (maju-mundur), karena
cerita tersebut kakek sempat menceritakan kejadian dimasa lalau saat bersama
alhamarhumah istrinya.
e. Sudut pandang : yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama karena
menggunakan kata ganti “ aku “ sebagai tokoh utama.
f. Gaya bahasa : menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, serta terdapat
beberapa bahasa kiasan.
g. Amanat : jika hidup hanya dihabiskan didepan layar kotak yang bisa memuat
segalanya tanpa kita mengetahui dunia luar kita tidak akan pernah tahu bagaimana
indahnya mengenang masalalu yang begitu menyenangkan pada usia senja
 Struktur cerpen :
a. Abstrak :
Tidak ada yang lebih menarik dari orang berumur 80 tahun sepertiku selain
merenung dan mengenang. Sudah tak ada gairah untuk masa depan, tak ada ambisi,
semua yang kudapat sampai saat ini terasa sudah cukup. Sisa bekal kesiapan untuk
dunia selanjutnya. Dan menunggu. Seperti antre dalam loket pembayaran.
Kenang-kenangan masa lalu mirip potongan puzzle yang mulai terbentuk satu per
satu ketika merenung. Kenangan sewaktu muda bersama almarhumah istriku, atau
soal lika-liku kehidupan yang pernah kujalani .
b. Orientasi :
Barangkali inilah fase paling menarik dalam hidup: mengenang masa lalu. Setelah
semua hal buruk dan baik datang silih berganti sebagai bumbu perjalanan usia.
Inilah fase itu, ketika diam-diam aku tertawa membayangkan permainan masa kecil
yang begitu menyenangkan bersama sahabat-sahabat kecil yang entah di mana
sekarang. Atau terkadang, ketika melihat cucuku Alenia, aku membayangkan,
apakah anak kecil sekarang masih merasakan betapa menyenangkannya bermain di
sungai yang jernih. atau memanjat pohon kelapa setelah riang bermain sepakbola di
tanah lapang? Sedikit banyak kuamati anak-anak kecil—khususnya yang tumbuh di
kota—sekarang lebih senang bermain gadget. Aku membayangkan betapa tidak
serunya ketika nanti mereka sudah seusiaku, hal apa yang bisa dikenang? Jika hidup
hanya dihabiskan di depan layar kotak yang bisa memuat segalanya?
c. Komplikasi :
“Kenapa Alenia menggambar gedung-gedung ini?” tanyaku penasaran.
“Alenia coba menggambar kota dan gedung, Kek. Ini kota Alenia,” masih dengan
meringis Alenia menjawab pertanyaanku.
Mungkin benar juga, untuk anak kecil seusianya, barangkali ia menggambar apa
yang sering ia lihat. Tumbuh di antara banyak gedung-gedung tlnggi dan jalanan
macet, maka begitulah yang ia tuangkan dalam gambar.
“Alenia pernah lihat sawah atau sungai?”
“Pernah dong,” katanya, “Di dekat sekolah Alenia ada sungai. Tapi sungainya bau.
Alenia nggak suka sungai. Sawah juga pernah.”
“Di mana sayang?”
Ia menghambur ke dalam kamarnya dan mengambil telepon genggam yang
diberikan sebagai hadiah ulang tahun lalu.
“Di sini, Kek. Kakek juga mau lihat sawah? Dari sini bisa lihat sawah dan banyak lagi,”
ia berkata sambil menatap telepon genggam di tangannya.
Aku tersenyum, menghela napas, dan membatin. Barangkali inilah zaman di mana
kenangan tak akan terbentuk dengan baik nantinya. Ketika semua hal hanya
diketahui dari segenggam kotak kecil. Maya. Berikut bersama semua kenangan yang
terbentuk. Tidak nyata seluruhnya…
d. Resolusi :
Waktu beranjak, kenangan terus terbentuk, usiaku kini telah menembus 83 tahun.
Cukup tua untuk ukuran manusia. Dan tentunya, sudah banyak pula kejadian-
kejadian yang kulihat.
Tiga tahun belakangan, aku memosisikan diri lebih sebagai pengamat. Orang-orang,
anak muda yang begitu bergairah, kisah-kisah romansa yang mulai bersemi di
taman-taman, atau jalanan yang sibuk sepanjang Jembatan Kembar. Kebiasaan
baruku tiga tahun ini, setiap sore, sebelum senja, aku mengunjungi tempat-tempat
yang cocok untuk merenung dan mengenang. Taman di dekat alun-alun, Jembatan
Kembar yang menghadlrkan senja menawan, dan desa-desa yang masih dibentangi
sawah-sawah hijau beserta petani-petani yang mulai sibuk selepas subuh. Ternyata
di tempat lain, jauh dari kota, masih ada harapan kenangan tumbuh dengan baik.
Beberapa orang tak terlalu bergairah dengan uang, dengan menumpuk kekayaan,
saling teguh kebenaran. Setidaknya, inilah tempat-tempat yang bakal membentuk
kenangan dengan baik nantinya.
e. Evaluasi :
Jalanan sepanjang Jembatan Kembar macet, deru klakson keluar dari begitu banyak
kendaraan yang mengekor bak ular panjang. Umpatan, sumpah serapah keluar dari
bibir-bibir yang putus asa. Mereka adalah orang-orang sibuk yang bergegas pulang.
Aku mengamati dari tepi Jembatan Kembar sembari menunggu senja. Menunggu
langit menghadirkan panorama terbaik untuk merenungi semua perjalanan hidup.
Dan tentu, sudah jarang pula kutemui beberapa orang yang menunggu senja di sini
sepertiku. Mungkin sudah tak ada waktu. Padahal merenung adalah bagian
terpenting dalam hidup yang serba sebentar. Apalagi ketika senja datang.
Percayalah, senja memang dibikin untuk merenung. Dan, di tengah kegaduhan yang
akhir-akhir ini melanda, satu-satunya yang kurang hanyalah: kemauan untuk
merenung. Intropeksi diri.
“Kakek, kenapa setiap sore selalu ke sini?” tanya cucuku, Alenia.
Aku memang sengaja mengajaknya ke mari. Agar nantinya, kenangan dalam
kepalanya tak hanya dipenuhi oleh gemerlap kesibukan kota dan cahaya yang keluar
dari telepon genggam.
“Supaya Alenia bisa gambar langit yang indah, Sayang.”
Alenia duduk di sampingku, menjuntai kaki dan mata kita hanya fokus pada satu titik
di langit. Titik terjauh, titik paling sendu, dan titik paling merah keemasan yang
ditunggu-tunggu. Titik itu adalah titik yang sama, ketika aku dan almarhumah istriku
memandangi langit setiap sore di tepi Jembatan Kembar ini.
f. Koda :
Bayangan samar yang begitu kukenali duduk di antara aku dan Alenia di tepi
Jembatan Kembar. Ikut menjuntai kaki dan menatap langit kemerah-merahan.
“Seperti yang kukatakan dulu kepadamu. Setidaknya aku ingin Alenia tumbuh dan
membentuk kenangan dengan baik.”
Samar-samar kulihat wajah bayangan itu tersenyum, membelai kepala Alenia diam-
diam Aku setuju kalau begitu.”
“Kakek, kakek bicara dengan siapa?” tanya Alenia penasaran.
Aku membelai kepalanya, dan hanya bisa tersenyum. Tepat ketika senja, di tepi
Jembatan Kembar di kota Jember hadirlah potret antara aku, almarhumah istriku,
dan Alenia yang saling berpelukan menatap senja di langit…

 Relevansi cerpen dengan realita kehidupan :


Dari isi cerpen penulis tua ini dalam kehidupan yaitu kita hidup jangan hanya berdiam
diri menatap layar telepon, karena jika kita hanya berdiam diri maka kita tidak akan
tahu bagaimana kehidupan dunia luar, dan kita tidak tahu bagaimana indahnya
mengenang sebuah masalalu yang begitu menyenangkan.

 Sinopsis cerpen :
Cerpen ini berisi tentang seorang kakek yang sudah berumur 80 tahun, baginya tidak
ada yang lebih menarik dari orang yang sudah lanjut usia selain merenung dan
mengenang. Sudah tidak ada gairah untuk masa depan, taka da ambisi, semua yang
didapat sampai saat ini terasa sudah cukup. Sisa bekal kesiapan untuk dunia selanjutnya,
menunggu seperti antri dalam loket pembayaran. Inilah fase paling menarik dalam
hidup, mengenang masa lalu. Setelah semua hal buruk dan baik datang silih berganti
sebagai bumbu perjalanan usia.
Di usia yang semakin beranjak tua, kakek lebih memikih menjadi pengamat,
mengunjungi tempat-tempat yang cocok untuk merenung dan mengenang untuk
menciptakan kenangan dengan baik bersama cucunya. Agar nantinya kenangan dalam
kepalanya tak hanya dipenuhi oleh gemerlap kesibukan kotak dan cahaya yang keluar
dari telepon genggam, seperti cita-cita kakek di masa muda dulu, menjadi seorang
penulis yang tumbuh sekaligus membentuk kenangan. Kakek ini tumbuh dan
membentuk kenangan dengan baik, tidak seperti sekarang, zaman dimana kenangan tak
akan terbentuk dengan baik nantinya. Ketika semua hal hanya diketahui dari segenggam
kotak layer bersama semua kenangan yang terbentuk. Tidak nyata seluruhnya.
3. Cerpen III “ aku mencintaimu dengan Bismillah”

 Identitas cerpen :
a. Judul : AKU MENCINTAIMU DENGAN BISMILLAH
b. Pengarang : Benny Can
c. Tahun terbit : tahun 2013
d. Jumlah halaman : 192 halaman
e. Genre : Cerpen cinta
 Analisis unsur intrinsik cerpen :
a. Tema : cinta dan kesetiaan
b. Tokoh dan penokohan :
o Rendi = penyabar, menerima apa adanya
o Shekar = kekasih Rendi, menerima kenyataan tidak bisa hamil.
o Yuli = pemberi informasi tentang keadaan Shekar
c. Latar :
o Waktu = sore hari
o Tempat = di pantai
o Suasana = mengharukan
d. Alur : alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur maju, karena jalan cerita
dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan masalah sampai ke konflik
dan akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
e. Sudut pandang : dalam cerpen itu menggunakan sudut pandang orang pertama
sebagi pelaku utama, yaitu menggunakan kata ganti “aku”.
f. Gaya bahasa : bahasa yang digunakan menarik.
g. Amanat : terimalah seseorang itu dengan keadaan apa adanya dengan lapang dada,
karena setiap musibah pasti ada hikmah yang dapat diambil.

 Analisis struktur cerpen :


a. Abstrak :
Setiap rasa di setiap saat adalah cinta, selalu dan untuknya tak dapat tergantikan.
Seperti hembusan angin membelaiku mesra, serasa terbuai meyakinkan tentang
taburan mimpi yang bersahaja. Teringat, mengingat, menghayalkan adalah hayalku
bersamanya, melebur rindu hingga tak mampu untuk berpaling.
b. Orientasi :
Aku merasa cerita hidup takkan sempurna bila tanpanya menuliskan kisah cinta
karena satu cinta yang tersaji mengikat hati dan takkan rapuh bila dua yang merayu.
Untuknya satu cinta tak akan beganti walau bidadari merayu menduakannya. Tak
dapat dimunafikkan adalah rasa pada satu sapa dan satu raga yang tak mampu
untukku sekedar berpaling karena bernafas pun serasa harum nafasnya yang
terasakan, menatap adalah wajahnya yang tak mampu sekedar aku palingkan.
Bila itu yang terjadi, keinginan untuk menekuk hari mememutar secepat mungkin
waktu karena hanya bui bantal guling menemani bila sendiri menyendiri di kamar.
Menyentuh senyum dari foto yang menghias diding kamar tanpa dalil membuatku
semakin rindu.
“Rendi, Rendi,” terdengar sapa dan ketuk pintu, aku pun keluar kamar dan
Shekarlah yang datang ketika aku buka pintu.
“Kamu, silahkan masuk,” kataku sambil mempersilahkan duduk.
“Rendi, ikut aku ya. Hari ini aku ingin menikmati keindahan pantai dan melihat
matahari terbenam,” katanya.
Anggukan kepala mengisyaratkan ia. “Shekar, biarlah alam raya ini bersaksi dan
pantai menyaksikan aku dan dirimu berucap saling cinta untuk setia,” kataku dan
sesaat itu Shekar menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangannya memegang
tanganku menikmati dan menanti matahari berganti malam.
c. Komplikasi :
“Rendi,” sapa Yuli yang menghampiri kita.
“Kamu?,” kataku dan aku pun bersalaman. “Oya, kenalin ini Shekar pacarku,” kataku
dan meraka akhirnya berkenalan.
“Rendi, ada sesuatu yang harus aku omongin dan kalau boleh empat mata saja,”
katanya dan setelah diizinkan oleh Shekar kita menjauh dan berbicara. “Aku cuma
mau ngasih tahu sebelum terlambat, cewekmu itu tidak akan bisa hamil karena
rahimnya diangkat bersama tumor yang bersarang di dalamnya.”
“Sudahlah, jangan mengada-ada. Lagian kamu tahu dari mana. Aku mohon jangan
berusaha merusak hubungan aku dengan Shekar,” tegasku.
“Aku tidak bermaksud ikut campur hubunganmu, lagian aku tak mencintaimu.
Sebagai teman aku cuma memberitahukan yang sebenarnya terjadi. Oya, aku tahu
dari bapak karena bapakku adalah tim dokter yang mengoperasi dia, dan dia juga
sering memeriksakan kesehatannya ke bapakku,” katanya. “Kamu pikirkan itu
sebelum melangkah lebih jauh,” tambahnya dan setelah itu dia pergi dan aku hanya
bisa duduk tertunduk menatap dengan tatapan kosong.
d. Evaluasi :
“Rendi, kenapa bengong?” sapa Shekar yang menghampiriku dan duduk di
sampingku.
Secepatnya aku tersenyum menutupi yang sebenarya dan mengalihkan perhatian.
“Cobalah lihat ke barat, mataharinya melukiskan jingga. Shekar, aku ingin kita selalu
bersama menikmati keindahan dan bahkan keinginanku sampai punya anak, kita
akan tetap seperti ini, bertiga menikmati keindahan” kataku yang mencoba
memanfaatkan keadaan.
“Perlu kamu ketahui, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Jika nanti kita
menikah, aku tidak akan punya anak, rahimku telah diangkat karena tumor.
Maafkan aku telah berbohong tentangku yang sebenarnya, sekarang terserah
kepadamu,” katanya dengan tangisnya.
e. Resolusi:
Aku pun memegang tangannya dan menarik di dadaku. “Aku memulai cinta ini
dengan bismillah dan tak mungkin berhenti sebelum amin mengamini. Jadi tak ada
alasan untukku meninggalkanmu sebelum Tuhan mengamini semua mimpi-mimpiku
untuk bersamamu mengikat janji suci dengan ikatan halal. Jantung ini berdetak
serasa separuh jantung adalah jantungmu. Mata ini, jika kau tatap ada ketulusan.
Peluklah aku rasakan kesungguhan. Shekar, masalah anak itu belakangan, yang
terpenting adalah bagaimana kita sebisa mungkin menikmati pelaminan bersama”
rayuku meyakinkannya.
f. Koda :
Senyum begitulah yang terlihat ketika aku mengusap air matanya. “Jangan pernah
tinggalkan aku” katanya sambil memelukku. “Jangan khianati aku,” begitulah
pintaku.

 Relevansi cerpen dengan realita kehidupan :


Dari isi cerpen aku mencintaimu dengan bismillah ini kita dapat mengambil realita
dalam kehidupan yaitu menerima seseorang dengan apa adanya dengan ikhlas dan
lapang dada, karena setiap musibah akan dapat kita ambil hikmahnya, karena musibah
ini datangnya dari Tuhan.

 Sinopsis cerpen :
Pada cerpen ini terdapat seseorang yang bernama Rendi. Rendi adalah seorang laki-laki
yang sangat romantis, dimana ia memiliki kekasih yang bernama Shekar. Suatu hari
mereka berdua menuju ke pantai saat senja, dan tidak disengaja Rendi menyatakan rasa
cintanya kepada Shekar. Dengan romantisnya ia mengatakan “ Shekar, aku mencintaimu
dengan Bismillsh.” Setelah itu datanglah Yuli, kawan Rendi mengajak Rendi untuk
berbicara sejenak jauh dari Shekar. Ia memberi informasi bahwa ternyata Shekar
mengidap penyakit Tumor Rahim dan rahimnya sudah diangkat sehingga ia tidak bisa
mempunyai seorang anak. Rendi pun terkejut dan memastikan Shekar dengan bertanya
kepadanya.

Setelah bertanya kepadanya, Shekar menangis dan langsung berlari, namun Rendi
mencegahnya dan mengatakan “Aku memulai cinta ini dengan Bismillah dan tidak
mungkin aku berhenti sebelum amin mengamini dan tidak ada alasan untukku untuk
meninggalkanmu sebelum Tuhan mengamini mimpi-mimpiku untuk selalu bersamamu.
Jantung ini dapat berdetak serasa separuh jantungku ada padamu. Mata ini, jika kau
tata pada ketulusan, lalu peluklah aku dengan kesungguhan.”

Singkat cerita Rendi menerima Shekar apa adanya. Akhirnya Shekar pun tersenyum lalu
menjawab “ Jangan Tinggalkan Aku.”

Anda mungkin juga menyukai