Anda di halaman 1dari 5

"Nyanyian Angsa" oleh Rendra bercerita tentang kematian seorang pelacur, Maria Zaitun, dari

sipilis. Teksnya distruktur secara berselingan antara suatu naratif orang-ketiga dengan suatu doa
sekaligus refrain musikal yang dikatakan oleh Maria. 'Aksi' sajak, 'kode proairetik'nya, dapat
dirangkum dengan garis besar sebagai pengusiran Maria, pertama, dari pekerjaan, tempat tinggal,
dan lingkaran teman-temannya (Rendra 1-8, 17-23); kedua, dari institusi kedokteran (sebagai pelacur
tua dan melarat dia sudah tidak layak diobati (54-58)) lalu dari masyarakat umumnya sejauh tindakan
dokter tersebut mempertanyakan kemanusiaan Maria (31-58); ketiga, dari agama institusional, secara
tradisional suatu 'naungan terakhir' untuk orang putus asa (72-131); dan akhirnya dari kota sendiri
(digambarkan dengan tahi anjing di jalan yang menyandungnya (145-149)), yaitu, dari komunitas
sesama manusia (140-185). Ketika sudah sampai di kali (198), dia telah keluar dari ranah budaya dan
masuk ke ranah alam. Di sana, sesudah mengingat kembali kehidupannya, dia disapa oleh seorang
laki-laki (224-264). Mereka bersanggama, lalu Maria menyadari bahwa lelaki itu adalah Yesus Kristus
(265-301). Maria dibawa masuk ke Taman Firdaus di atas objeksi malaikat penjaganya (303-313); bait
penutup ini merupakan persatuan atau penyelesaian dari dua 'sisi' formal dari teksnya, yaitu, naratif
dan refrain/doa. Penyelesaian ini sesuai dengan rekonsiliasi Maria dengan Tuhan, sama seperti
pengusirannya yang sesuai dengan pengusiran manusia purbakala dari Taman Firdaus, menurut
pengertian Abrahamistis, untuk mengenal pekerjaan, kegetiran, dan rasa malu terhadap tubuh
(Genesis 2-3).
Pembacaan semiotik menaruh perhatian pada 'struktur dalam', bukan 'permukaan' teksnya;
dalam sajak ini, 'perjalanan' Maria dapat dipetakan sepanjang perbatasan alam dan budaya yang
terstruktur oleh wacana keagamaan yang berdasarkan tafsir Genesis, buku pertama dari Alkitab,
terutama sejauh hubungan Maria dengan tubuhnya mempermasalahkan perbatasan dan wacana
tersebut. Sebagaimana akan dipaparkan di bawah, hubungan itu merupakan suatu skandal bagi
wacana dominan atau naratif 'klasik' dalam teks. Analisis ini akan bertolak dari gagasan Roland
Barthes, 'sang semiotisi terakhir', sebagaimana dipersembahkan dalam S/Z dan The Pleasure of the
Text, secara khusus konsep atas kode-kode wacana naratif dan 'konsep paralel' plaisir dan jouissance.
Maria dicirikan fisikalitasnya. Badannya "[p]enuh borok" (Rendra 27) dan baunya tajam (34).
Dia pergi dari rumah pelacuran tanpa barang (21-22) maupun uang (42-43); miliknya hanya tubuh
dan suara. Dia sering dibandingkan dengan hewan: "kupu-kupu malam" (103), "macan betina" (127),
sapi (150), "pandangnya berkunang-kunang" (153), siput (169); bahkan penyakitnya dinamai
dengan eufemisme "rajasinga" (99). Seperti hewan, dia berjalan tanpa sepatu (69). Waktu kecil dia
suka memanjat pohon (226). Dia memasuki Taman Firdaus "sambil menari" (310). Dia bekerja
1

memakai tubuh.
Barthes merujuk tubuh dalam naratif Sarrasine sebagai supplment - suatu keterlaluan
(Barthes 2002 28). Suplementaritas menjadi konsep kunci dalam pikiran pasca-strukturalis Perancis
sesudah pembangunannya dalam Of Grammatology, kritik Jacques Derrida terhadap tanda
Saussurean dan, secara lebih luas, 'metafisika kehadiran'. Secara ringkas, bagi Derrida, dalam setiap
oposisi biner yang melandasi gagasan Barat -- tuturan/tulisan, jiwa/tubuh, lelaki/perempuan,
alam/budaya -- istilah pertama diunggulkan. Pembalikan oposisi ini merupakan transgresi,
pelanggaran atas tataran alamiah: dosa, misalnya, merupakan pembalikan hubungan 'alamiah' atau
'seharusnya' antara jiwa dengan tubuh, yakni, jiwa yang mengendalikan gairah tubuh, menjadi yang
sebaliknya, gairah tubuh yang merajalela (Derrida 34). Istilah kedua dianggap bersifat turunan,
menyimpang dari 'kemurnian' istilah pertama, bahkan sesat, tetapi sementara niscaya. Ini adalah sifat
ganda suplemen: suatu yang ditambah dari luar tetapi sekaligus dibutuhkan (144), misalnya, lelaki
dalam cerita Genesis yang butuh disuplementasi oleh wanita (Genesis 2:18-25). Fakta ini merupakan
suatu skandal: Akal budi tidak mampu memikirkan pelanggaran ganda ini pada Alam: bahwa ada
kekurangan dalam Alam dan karena fakta itu sendiri sesuatu ditambahkan kepadanya (Derrida 149,
tekanan dalam teks asli).1 Anak-anak tidak bisa dibiarkan tumbuh secara alamiah; mereka
membutuhkan perantaraan budaya, yaitu, pendidikan (151). Nafsu tubuh tidak bisa diikuti begitu
saja; harus dikendalikan oleh jiwa, yaitu, moralitas (181).
Contoh kedua itu yang berperan penting dalam sistem referensial yang melintasi "Nyanyian
Angsa". Tuduhan pastor terhadap Maria, "Kamu telah tergoda dosa ... Kamu telah terbujuk setan"
(Rendra 111, 113), merujuk pada godaan Eve di Taman Firdaus (Genesis 3:1-6) sekaligus 'godaan'
Maria menjadi pelacur, yang di mata pastor hanya bisa berasal dari pembalikan jiwa/tubuh tersebut,
kegagalan mengendalikan nafsu. 'Kegagalan' pribadi Maria menunjukkan 'kelemahan' kewanitaan:
Eve yang kalah dari godaan ular, bukan Adam, dan cerita itu sebagai bagian berwibawa dari kode
referensial sering dibaca sebagai bukti bahwa perempuan tidak bisa mengendalikan dirinya dan
membutuhkan pimpinan laki-laki. Maria memperlihatkan kekurangan alamiahnya (yang juga
merupakan kekurangan alam yang meniscayakan suplementasi budaya), yakni, keterlaluan
ketubuhan, dan untuk hal itu akan diusir.
Maria ngotot, dan jawabannya tegas: "Tidak tergoda ... terdesak kemiskinan" (Rendra 112,
114). Cerita seperti ini tentang wanita baik-baik yang terpaksa menjadi pelacur sudah tersebar luas
1

"Reason is incapable of thinking this double infringement upon Nature: that


there is lack in Nature and that because of that very fact something is added to
it

dalam berbagai media, sehingga dalam bahasa Inggris ada perkataan idiomatis, 'hooker with a heart of
gold', yang mendeskripsikannya. Penokohan ini bergantung pada unsur referensial yang mengaitkan
kenikmatan seksual, kecuali pada konteks tertentu, dengan dosa dan demikian memungkinkan kita
mengatakan, misalnya, "dia pelacur tetapi dia baik", suatu yang harus kita anggap regresif secara
kultural. Dengan kata lain, suatu interpretasi atas sajak ini yang hanya mengabulkan penebusan
Maria asalkan dia tidak menikmati pekerjaannya akan terlibat dalam campuran yang meluah dari
pendapat umum, suatu lapisan ide-ide diterima yang menyesakkan nafas" (Barthes 2002 206) 2 yang
mengkonstitusikan 'kehidupan borjuis' sebagaimana diungkapkan oleh kode referensial, yang dalam
konteks seks dan gender dinamai heteronormatifitas. Pembacaan seperti itu merupakan 'pembacaan
klasik', tetapi ada pembacaan lain yang muncul melalui jouissance dalam teks.
Barthes menulis bahwa karya sastra modern mempunyai dua sisi: satu yang bersifat "patuh,
konformis, plagiaris," yang terdiri dari bahasa 'yang baik dan benar' (Barthes 1975 6), dan yang lain
yang bersifat "subversif", yang sejajar dengan baik plaisir maupun jouissance, yang menginginkan
situs suatu kehilangan, kelim, potongan, deflasi, larut yang merebut subjek dalam jouissance3 (7,
tekanan dalam teks asli). Sisi pertama itu sesuai dengan interpretasi yang diuraikan di atas. Sisi yang
kedua, situs jouissance, muncul dua kali dalam teks, sekali secara formal atau estetis dan sekali secara
ideologis atau politik. Kali pertama langsung mendahului kedatangan Yesus, larik 245-255: "Waktu. /
Bulan. / Pohonan. / Kali. / Borok. / Sipilis. / Perempuan. / Bagai kaca / kali memantal cahaya
gemilang. / Rumput ilalang berkilatan. / Bulan." Di sini kita saksikan 'kemogokan' bahasa ketika
mendekati 'yang tak dapat dikatakan' (Barthes 1975 21). Menjelang kematian, Maria mengalami
semacam ekstasi terkait bulan, prinsip feminin, seksualitas, alam. Jouissance tidak harus positif;
dalam psikoanalisis Lacanian (suatu modus pengertian yang sering dirujuk oleh Barthes dalam kedua
buku ini), makna jouissance adalah kenikmatan yang ditemukan subjek dalam gejalanya, suatu
kepuasan dalam ketidakpuasan (Fink 8).
Ledakan jouissance yang kedua terjadi saat Maria pertama-tama melihat lelaki yang ternyata
adalah Yesus: "Ia seperti kenal lelaki itu ... Yang terang tidak di ranjang. / Itu sayang. Sebab ia suka
lelaki seperti dia" (Rendra 263, 265-66). Skandal yang kedua adalah bahwa dia pernah menikmati
pekerjaannya. Fakta ini menggerogoti pembacaan klasik dengan memaksakan suatu keadaan
kerugian ... menggoncang ... anggapan-anggapan historis, kultural, dan psikologis 4 (Barthes 1975
2
3
4

nauseating mixture of common opinions, a smothering layer of received ideas"


"the site of a loss, the seam, the cut, the deflation, the dissolve which seizes
the subject in the midst of bliss"
"imposes a state of loss ... unsettles historical, cultural, psychological
assumptions

14). Maria tidak hanya ditebus kendati menikmati seks di luar pernikahan; dia bercinta dengan
perwujudan yang Ilahi, dan tindakan itu diabadikan sebagai 'karya terakhir'nya dalam judul
sajaknya. Lebih jauh lagi, Yesus sebagai perwujudan ilahi memperlihatkan 'kelemahan' yang sama
dalam bercinta dengan Maria. Hal ini cukup kontroversial, sehingga malaikat penjaga Firdaus sendiri,
yang "wajahnya jahat dan dengki" (Rendra 303) akhirnya "tak bisa apa-apa" (305). Di sini Maria
mewujudkan sifat teks jouissance sebagai orang tanpa tedeng aling-aling yang memperlihatkan
pantatnya kepada Bapak Politik5 (Barthes 1975 53, tekanan dalam teks asli). Akhirnya, skandal Maria
tidak berasal dari statusnya sebagai penjungkir-balik belaka, tetapi dari status gandanya.
Jouissancenya tidak menghapus penderitaannya (suatu pembacaan yang lebih subversif lagi mungkin
akan mencari kenikmatan Maria dalam derita itu) atau adanya sebagai "pelacur terhina" (Rendra 196).
Dia merupakan suatu kontradiksi hidup: subjek terbelah yang menikmati, melalui teks, sekaligus
konsistensi kediriannya serta keruntuhannya, kejatuhannya 6 (Barthes 1975 21). Dia adalah "pelacur
dan pengantin" (Rendra 313, tekanan saya) yang bersifat subversif justru sejauh dia menolak
ditetapkan.

5
6

the uninhibited person who shows his behind to the Political Father"
"living contradiction: a split subject who simultaneously enjoys, through the
text, the consistency of his selfhood and its collapse, its fall"

DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. The Pleasure of the Text. Trans. Richard Miller. New
York: Farrar, 1975. Print.
---. S/Z. Trans. Richard Miller. Oxford: Blackwell, 2002. Print.
Derrida, Jacques. Of Grammatology. Trans. Gayatri Chakravorty Spivak.
Baltimore: Johns Hopkins UP, 1997. Print.
Fink, Bruce. A Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis:
Theory and Technique. Cambridge, MA: Harvard UP, 1997. Print.
The Holy Bible, King James Version. Cambridge Edition: 1769; King
James Bible Online. Web. 17 Dec. 2014.
Rendra. Nyanyian Angsa. Blues Untuk Bonie. Jakarta: Pustaka Jaya,
1981. Print.

Anda mungkin juga menyukai