Anda di halaman 1dari 3

Analisis ciri-ciri azab dan sengsara

1.Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat.

“Ajah Aminn’uddin seorang keplaa kampong jang dimalui diluhuk Sipirok. Uang banjak, sawah lebar, kerbau dan
lembupun tjukup, sedang anaknja seorang makan gadji, di Deli pula. Sekali ini haruslah mereka itu mengambil anak
bangsawan jang sekurang-kurangnja sama dengan mereka itu, jang dibawah pantang. Demikianlah pikir orang tua
itu….”(Azab dan Sengsara: 133).

Kutipan tersebut membuktikan bahwa karya sastra angkatan balai pustaka menggambarkan tema tentang
pertentangan paham antara kau tua dan kaum muda. Yaitu perbedaan paham antara ayah Aminu’ddin menginginkan
mempunyai menantu yang sederajat dengan mereka sedangkan Aminu’ddin menginginkan isterinya dalah orang
yang ia cintai.

2.Berisikan soal kawin paksa.

“Kedua laki isteri itu mupakat akan mentjarikan djodoh anak mereka itu. Apakah jang kurang lagi bagi mereka itu
akan memeroleh anak dara jang patut-patut?….”(Azab dan Sengsara: 133).

Kutipan tersebut membuktikan bahwa karya sastra angkatan balai pustaka masih berisikan tentang kawin paksa.
Yaitu orang tua Aminu’ddin hendak mencarikan jodoh bagi Aminu’ddin yang sesuai dengan pertimbangan mereka.

3. Bersifat kedaerahan.

“Hal ini menundjukan djuga, bagaimana kuat perkawinan orang Batak jang sedjati. Lebih lima belas tahun sadja
tinggal di kampong kelahiranku, jang tiada berapa djauh dari Sipirok, tempat tjeritera ini terdjadi; tiadalah lebih dari
dua kali sahadja, jang kulihat dan kuketahui jang tjerai….”( Azab dan Sengsara: 77)

Dari kutipan tersebut membuktikan bahwa karya sastra angkatan balai pustaka masih bersifat kedaerahan karena
menceritakan adat-adat yang berlaku dalam masyarakat. Yaitu menceritakan adat yang berlaku di Batak, dimana
perkawinan sangat dihargai.

4. Menggunakan bahasa klise, pepatah, peribahasa.

“Berumah itu tiada sebagai berdajung, jakni kalau biduk tertumbuk, boleh dikelokkan,”katanja tahadi.

Akan meluaskan pemandangan dan akan mengetahui sedikit adat lembaga orang ditanah Batak, baiklah diterangkan
arti kalimat itu. Kalimat itu sebenarja peri bahasa Batak, dan adalah kira-kira begini salinanja dalam bahasa
Indonesia. Dari peri bahasa itu tahulah kita, bahasa perkawinan disana amat kukuhnja….. (Azab dan Sengsara:76).

Dari kutipan novel di atas dapat membuktikan bahwa karya sastra pada angkatan balai pustaka masih menggunakan
peribahasa. Seperti pada kutipan diatas dan beberapa peribahasa, pepatah, syair maupun pantun pada halaman
lainnya.
5. Berbentuk roman.

“Anak perempuanja itu bernama Mariamin dan ringkasan namanja Riam. Anak itu seorang anak yang elok parasnja.
Akan tetapi, ketjantikan rupanya itu belumlah nampak terangnja, karena ia masih ketjil, ibarat bunga belum
kembang….”( Azab dan Sengsara: 32).

Kutipan tersebut menceritakan Mariamin (tokoh perempuan utama) saat masih kecil.

“Lihatlah kuburan jang baru itu! Tanahja masih merah… itulah tempat Mariamin, anak dara jang saleh itu, unttuk
beristirahat selama-lamanja.” (Azab dan Sengsara:180)

Kutipan tersebut menceritakan tokoh perempuan utama meninggal.

Kedua kutipan tersebut membuktikan bahwa karya sastra angkatan balai pustaka, khususnya prosa berbentuk roman.
Karena roman menceritakan kehidupan tokoh dari lahir sampai meninggal. Yaitu pada saat Mariamin masih kecil
sampai Mariamin meninggal.

6. Yang diceritakan sudah sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari.

“Laki-laki sedang sembahjang magrib dalam masdjid besar dan perempuan tengah bertanak hendak menjediakan
makanan untuknja anak beranak.”(Azab dan Sengsara:8)

Kutipan tersebut membuktikan bahwa karya sastra balai pustaka sudah meceritakan tentang kehidupan masyarakat
yaitu setelah adzan berkumandang, para lelaki menjalankn ibadah di masjid sedangkan yang perempuan menyiapkan
makan malam untuk keluarga.

7.Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu umum.

“Persuaan itu amat menjedihkan…”(Azab dan Sengsara:169).

Persuaan dalam Bahasa Indonesia sehari-hari tidak digunakan lagi yang sering digunakan saat ini yaitu pertemuan.

“Mariamin jang tua dan seorang budak laki-laki….” (Azab dan Sengsara:14)

Budak dalam Bahasa Indonesia sehari-hari yaitu anak.

Tema
Tema dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah Kesengsaraan (Keluarga Mariamin) karena
adat dan kebiasaan di Negeri Sipirok (Tanah Batak). Terlihat dari kutipan:
- Itulah rumahnya, yaitu rumah bambu yang dipinggir suangai itu. Suatu perubahan yang tak mungkin rupanya,
karena seminggu yang lalu mereka itu masih diam di rumha yang besar serta dengan bagusnya. Itu memang benar,
Karena baru sutan Baringin pulang dari Padang, segala hartanya yang tinggal sudah terserah kepada yang berhak.
Rumah dan barang-barang sudah terjual akan pembayar utang. (Siregar, 1920: 113)
Suatan Baringin dan keluarganya melarat karena perbuatan Sutan Baringin yang berperkara dengan saudaranya
sendiri soal harta warisan neneknya, setelah ia kalah dalam perkara, hartanya habis karena sudah diberikan pada
saudaranya. Sedangkan ia dan keluarganya hidup melarat karena perbuatannya sendiri.
- Sutan Baringin, amatlah sengsaranya! Dia seorang bangsawan dan hartawan, sekarang menjadi hina dan dina di
mata orang. Semenjak dari kecil sampai besar hidup dalam kesenangan dan kekayaan, sekarang waktu akan
menghembuskan nafas yang penghabisan dalam azab dan sengsara. Sungguhlah hidupnya yang penghabisn itu
penuh dengan kemelaratan. (Siregar, 1920: 115)
Sutan Baringin sakit-sakitan setelah ia hidup dalam kemelaratan, karena tak kuat menanggung malu, ia dakit
dan akhirnya meninggal, ia meninggalkan istri dan kedua nakanya dalam kemelaratan dan kesengsaraan.
- Sebenar-bnarnya Aminu’ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang
tuanya. Amatlah berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu. Pendek kisah, Mariamin yang
malang itu hanyut juga, makin lama makin jauh, sehingga lenyap dai mata, sedng suaranya minta tolong itu sia-sia
saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. Demikianlah kejadian cinta Mariamin yang malang itu. Siapa yang salah? Dalam
hal ini nyatalah adat dan kepercayaan kepada takhayul itu yang mengurbankan cinta kedua makhluk Allah itu.
(Siregar, 1920: 152)
Kisah cinta Aminu’ddin dan Mariamin yang terjalin dari kecil, kini dipisahkan oleh adat dan kepercayaan orang
tua Aminu’ddin yang beranggapan bahwa keluarga kaya harus menikah dengan kaum yang sederajat, karena
Mariamin miskin, takutlah ia kalau anaknya akan terkena bencana, ayah Aminu’ddin mencarikan jodoh untuk
anaknya, dan memutuskan tali kasih antara Aminu’ddin dan Mariamin.
- Mukanya yang penuh dahulunya, sekarang sudah kurus dan pucat dan matanya yang hitam jernih itu sudah
kurang cahayanya, amat kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu jangan dahulu dibawanya
bekerja, tetapi apa boleh buat, orang yang miskin itu harus minum keringatnya dan makan dagingnya. (Siregar,
1920: 158)
Setelah Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya, Mariamin terlampau sedih, sehingga ia kurang
menjaga tubuhnya, ditambah dengan hidupnya yang miskin, kini kesengsaraannya berlipat.
- Aminu’ddin melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah ia kalau hati
Mariamin bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamn amat sengsara dan
suaminya itu kurang mengasihi dia. (Siregar, 1920: 176)
Mariamin dinikahi seorang Kerani dari Medan, namun pernikahannya itu bukannya memutuskan kemelaratan
hidup Mariamin, karena suaminya itu berkelakuan bengis dan kurang mengasihi Mariamin.
- Hidup Mariamin, pokok cerita telah habis, dan kesengsaraan di dunia ini telah berkesudahan! Lihatlah kuburan
yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-
lamanya. (Siregar, 1920: 185)
Mariamin memberanikan diri melaporkan suaminya ke kantor polisi, dan setelah perkara itu selesai, ia pulang
ke Sipirok membawa malu dan kesengsaraan, ibu dan adiknya tak tahu kemana, ia sangan tertekan dan sakit,
akhirnya ia meninggal, dengan membawa kesengsaraannya.

Anda mungkin juga menyukai