Anda di halaman 1dari 5

Bukan Mahasiswa Saya

( Budi Darma )

SAYA yakin tidak pernah mempunyai mahasiswa bernama Abidin. Karena itu,


setelah sekian kali Abidin menghubungi saya melalui HP, disusul SMS, dan akhirnya disusul
WA, saya tetap yakin orang yang menamakan diri Abidin ini tidak pernah menjadi
mahasiswa saya. Tapi, setelah dia nekat menelepon dengan video call, barulah saya ingat
bahwa wajah ini pernah saya kenal entah kapan dan entah di mana.
Pada suatu hari Minggu, ketika saya biasanya bangun lebih siang daripada
biasanya, orang yang menamakan diri Abidin ini menelepon saya dengan video call lagi.
’’Maaf, Pak, sekarang saya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Sebentar lagi
saya akan terbang ke Surabaya, khusus untuk menemui Bapak.’’ Suara Abidin ditimpali
pengumuman penggawa bandara agar semua penumpang segera masuk ke pesawat.
Dalam keadaan masih mengantuk, saya segera mandi. Satu setengah jam kemudian
ada taksi datang, dan turunlah Abidin dari taksi. Dengan sikap sangat sopan dan hormat, dia
memohon maaf karena telah berkali-kali menghubungi saya dan mengaku-aku sebagai bekas
mahasiswa saya. Setelah berbasa-basi sebentar dia mengaku bahwa dia memang bukan
mahasiswa saya. Dengan permohonan maaf dia menyatakan bahwa dahulu sebetulnya dia
mahasiswa MIPA jurusan matematika. Dan, karena dia tertarik sastra, khususnya sastra
dunia, dia sering menyelundup ke kelas saya. Setiap kali menyelundup dia memilih deretan
tempat duduk di belakang, selalu menunduk, supaya bisa memberi kesan bahwa dia tidak ada.
Waktu itu saya mengajar di S-1, mahasiswanya banyak, dan ruangan kelasnya terbatas.
Karena itu, dua kelas mahasiswa kadang-kadang harus dijejal dalam satu ruangan kelas besar.
Kehadiran Abidin, dengan demikian, tidak saya ketahui.
Lalu, dengan agak mewek-mewek karena terharu, dia mengatakan bahwa dia sudah
lulus S-2 matematika di Kanada, dan juga sudah lulus S-3 matematika di Jerman. Dengan
gaya sangat tawaduk dia mengatakan, baik di S-2 maupun di S-3 dia lulus dengan predikat
cum laude. Setelah lulus S-3 dia bekerja di Jerman, kemudian pindah ke Belanda, dan
akhirnya memutuskan untuk bekerja di Jakarta.
Selama bekerja di Jakarta dia sering mendapat tugas untuk bepergian ke luar
negeri, tapi dia tetap memakai SIM card Indonesia. Karena itulah, semua pesan kepada saya
tidak tampak tanda-tanda dia sedang di Vietnam, India, Brussel, Amsterdam, Paris, dan entah
mana lagi.
Hari itu juga, Minggu, dia khusus datang ke Surabaya untuk menemui saya, sebab
malam nanti, hari Minggu itu juga, dia akan terbang ke Amerika. Setelah mengucapkan
permohonan maaf dan terima kasih berkali-kali sampai saya agak risi, dia bertanya, ’’Mohon
maaf, Pak, apakah Bapak pernah mendengar nama Maryam Mirzakhani?”
’’Perempuan kelahiran Iran, hijrah ke Amerika, pemenang  fields medal
mathematics?”
’’Ya.’’
Fields medal mathematics setara dengan nobel prize untuk fisika, ilmu kedokteran,
ekonomi, kimia, fisika, perdamaian, dan sastra. Nobel prize diberikan setiap tahun,
sedangkan  fields medal mathematics diberikan manakala ada pakar matematika yang benar-
benar menonjol. Kalau perlu, selama beberapa tahun tidak ada satu orang pun yang dianggap
layak menerima fields medal mathematics.
Pada waktu sekolah, Maryam dibenci guru-gurunya karena dia tampak bodoh,
dungu, dan agak terbelakang. Setiap kali mengerjakan apa pun dia pasti terlambat. Berbeda
dengan teman-temannya, dia suka menyendiri, melukis, membaca puisi, dan membaca novel.
’’Maaf, Pak, pada waktu saya menyelundup ke kuliah-kuliah Bapak, saya tidak mengenal
nama Maryam, tapi kemudian saya sadar, seperti Maryam, saya suka menggambar, membaca
puisi, dan membaca novel. Karena itulah saya sering menyelundup ke kelas Bapak.
Sebetulnya saya ingin juga menyelundup ke kelas seni rupa, tapi saya selalu diusir.
Maklumlah, mahasiswa seni rupa kan banyak praktik, kalau saya menyelundup, pasti
ketahuan.’’
Lalu dia mengaku, andaikata dulu tidak menyelundup ke kelas saya, dia tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ketika dia kuliah S-2 di Kanada, dia
sering teringat kuliah-kuliah saya. Demikian juga ketika dia menyelesaikan S-3 di Jerman.
Mengapa dia dapat dengan mudah memenangkan beasiswa S-2 dan S-3, tidak lain, kata dia,
karena dia sering teringat kuliah-kuliah saya.
Bukan hanya itu. Kuliah-kuliah saya dulu, kata dia, juga memperlancar pekerjaannya, dan
karena itulah dia sering mendapat promosi dan tempat-tempat yang bagus. Dia masih ingat,
dalam kuliah, saya sering menekankan hubungan erat antara sastra, estetika, dan psikologi.
Barang siapa banyak membaca karya-karya besar sastra, dengan sendirinya akan memiliki
insting untuk mengetahui masalah kejiwaan lawan bicaranya. Meskipun saya mengajarkan
sastra dunia dengan bahasa Inggris, kadang-kadang saya juga membicarakan beberapa nilai
filsafat Indonesia, antara lain kemampuan meramal Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam
tembang-tembangnya, dan pendirian Ki Ageng Suryomentaram mengenai seni kebahagiaan
hidup.
Setelah mengobrol tentang pengalamannya menyelundup di kelas saya, dengan
nada ragu-ragu dia bertanya, ’’Maaf, Bapak, bolehkah saya mengeluarkan pendapat saya?
Tapi saya malu. Saya takut pendapat saya ngawur.’’ Dia menyatakan, sastra yang dianggap
sebagai sastra dunia sekarang sangat mengecewakan. Sastra dunia, itulah salah satu mata
kuliah saya dulu. Ada beberapa contoh, misalnya, kata dia, novel Orhan Pamuk, novel Najib
Mahfudz, novel Adiga, novel Khaled Hosseini, dan yang terbaru novel Han Kang. Novel
Orhan Pamuk, setidaknya yang pernah dia baca, terlalu berbelit-belit. Novel Najib Mahfudz
yang pernah dia baca, yaitu Pencopet dan Para Begundal, mirip novel thriller. Daripada
membaca Pencopet dan Para Begundal, kata dia, lebih baik membaca novel-novel Sidney
Sheldon sekalian. Sidney Sheldon tahu bahwa dia tidak lain adalah pengarang thriller, karena
itu Sidney Sheldon, kata Abidin pula, tidak perlu berpura-pura menulis novel sastra kelas
atas. Dalam novel Adiga, kata Abidin, tokoh sentralnya sadar bahwa dia korban kemiskinan,
dan karena itulah dia membenci kelas atas, apalagi yang sombong, sampai akhirnya dia
membunuh juragannya. Itulah napas novel Adiga, White Tiger.
Andaikata tidak ada Taliban di Afghanistan, Hosseini tidak mungkin mampu
menulis novel The Kite Runner. Situasi yang sangat buruk dan penderitaan tanpa tara di
Afghanistan akibat ulah Taliban dimanfaatkan oleh Hosseini.
Perempuan dalam novel Han Kang The Vegetarian menjadi sinting, atau tambah
sinting, karena ayahnya, veteran perang Vietnam, suka menyiksa, kasar, dan kata-katanya
juga jorok dan menjijikkan. Andaikata ayahnya tidak begitu, mungkin tokoh utamanya hidup
normal.
’’Maaf, Bapak, saya bukan siapa-siapa. Dan saya hanya membaca satu novel karya
mereka. Mungkin kebetulan yang saya baca bukan novel terbaik mereka. Tapi novel terburuk
mereka yang punya nama besar itu.’’
’’Lalu, novel siapa yang baik?’’ tanya saya.
’’Novel yang tidak menyalahkan siapa-siapa. Tokoh utama Dostoevsky
dalam Notes from Underground sinting karena memang dia sinting. Dia tidak menuduh siapa
pun sebagai kambing hitam kesintingannya. Cerpen Edgar Allan Poe The Tell-Tale
Heart bercerita tentang kekejian ’aku’ karena ’aku’ sendiri, tanpa kambing hitam kehidupan
keluarganya, kemelaratannya, dan entah apa lagi. Dalam noveletnya Peristiwa Pembunuhan
di Rue Morgue, tokoh bernama Dupin jatuh miskin juga karena dia jatuh miskin, tanpa
menyalahkan siapa pun. Hidupnya biasa-biasa saja, pikirannya tetap cemerlang, tanpa
kambing hitam kemiskinan.’’
Didahuluinya dengan ’’maaf, saya bukan siapa-siapa,’’ Abidin memberi banyak
contoh lain. Dengan permintaan maaf, saya tidak bisa memberi pendapat mengenai
pendapatnya. Perhatian saya lebih tertarik pada Abidin sebagai pakar matematika, bukan
Abidin sebagai pembaca sastra kelas atas. Dan lebih dari itu, saya lebih tertarik pada Abidin
sebagai manusia. Saya teringat zaman Pak Harto masih berkuasa. Selama menjadi presiden
dalam jangka waktu tiga puluh dua tahun, adalah masuk akal apabila Pak Harto sering
mengganti pejabat-pejabat tinggi negara. Salah satu jaksa agung dalam pemerintahan Pak
Harto, saya ingat, bernama Sukarton, lengkapnya Sukarton Marmosujono SH. Ketika masih
menjadi mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada, Sukarton sering kelayapan ke
kampus lain, yaitu ke fakultas sastra dan kebudayaan. Mengapa? Karena dia jatuh cinta pada
Lastri Fardani, mahasiswa sastra barat fakultas sastra dan kebudayaan. Akhirnya Sukarton
berhasil menikah dengan Lastri Fardani, dan Lastri Fardani juga bisa menyalurkan
kegemarannya menulis untuk majalah wanita. Tidak lama setelah lulus S-1 Sukarton
menikah, sementara Abidin sampai sekarang masih jomblo. Dan seperti tokoh dalam novel-
novel yang dia kagumi, dia jomblo tanpa menyalahkan siapa pun. Kalau jomblo dianggap
sebagai kesalahan, maka kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri. Tampak Abidin ingin
mengemukakan sesuatu, tapi dapat menahan diri. Akhirnya dia saya ajak ke mall untuk
makan, dan sesudah makan dia saya antar ke Bandara Juanda. Ketika semua penumpang
diminta untuk masuk paling lama sepuluh menit lagi, Abidin tampak ingin menangis
menahan perasaan haru.
’’Abidin, kamu memendam rahasia. Katakan apa yang kamu ingin katakan.’’
’’Bapak tahu di mana Maryam Mirzakhani bekerja?’’
’’Stanford University di California, Amerika.”
’’Saya mendapat pekerjaan di sana, Bapak.”
’’Selamat, Abidin. Tidak semua orang bisa menjadi dosen dan peneliti di
Stanford.’’
Stanford adalah nama orang kaya, murah hati, dan gaya hidupnya sangat
sederhana. Bersama istrinya, Stanford mendatangi sebuah universitas tua dan terkenal, yaitu
Harvard University di New England, untuk memberi donasi dalam jumlah besar. Tapi karena
penampilannya seperti orang melarat, dia dan istrinya diusir. Tidak ada satu orang pun yang
percaya bahwa Stanford dan istrinya benar-benar kaya. Meskipun dihina, hati mereka tetap
mulia. Mereka ingin melihat anak-anak muda mendapat pendidikan yang baik, dan karena
itulah akhirnya mendirikan sebuah universitas, Stanford University di California, sebuah
negara bagian yang jauh letaknya dari New England.
’’Apakah Bapak tahu keadaan Maryam Mirzakhani?’’
’’Sudah lama dia berjuang melawan kanker,’’ kata saya.
Waktu sudah habis, dan Abidin terpaksa meninggalkan saya. Setelah saya yakin
pesawat Abidin sudah terbang, saya masuk ke kedai, memesan teh. Saya membuka HP,
langsung menuju ke Fox News. Berita terbaru: Maryam Mirzakhani, empat puluh tahun,
dalam keadaan kritis. Malam harinya saya membuka Fox News lagi, dan dari berita inilah
saya tahu bahwa Maryam Mirzakhani, tokoh matematika yang sangat terkemuka, sudah
meninggalkan dunia fana.

Anda mungkin juga menyukai