Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS CERPEN ADA YANG MENANGIS SEPANJANG HARI

KARYA IWAN SIMATUPANG MENGGUNAKAN


PENDEKATAN STRUKTURAL MURNI DAN STRUKTURAL SEMIOTIK

A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan imajinatif penyair yang dituangkan ke dalam
sebuah tulisan yang indah dan berirama sehingga dapat membuat hati dan pikiran
pembaca terbawa arus dunia khayal. Baik itu ke dalam sebuah puisi ataupun prosa.

Sinopsis

Cerpen ini menceritakan tentang sebuah tangisan yang selalu terdengar


sepanjang hari sampai beberapa hari.Pertama kali terdengar tangisan itu, warga
merasa resah karena tangisan itu begitu memilukan. Tangisan itu seperti
kesedihan yang mengapung di udara. Menyelusup ke rumah-rumah kampung
pinggir kota. Tangisan itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang
diam-diam ingin mereka lupakan. Beberapa warga yang jengkel langsung
mendatangi pos ronda. Mereka berusaha mencari dari mana asal tangisan itu
dengan mendatangi rumah warga yang berduka atau warga yang mempunyai anak
kecil.Tapi pemilik dari tangisan itu belum juga ditemukan. Berhari-hari tangisan
itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan.
Warga lalu melapor kepada Pak RT dan bersama-sama menghubungi Ketua RW
karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Namun
Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh
kampung.

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Pak Lurah
sudah melapor Pak Camat. Tapi karena tidak menemukan gerangan siapakah yang
terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang
rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-
menerus terdengar sepanjang hari itu. Radio dan koran-koran ramai memberitakan.
Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat
Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah
mendengar tentang tangisan hingga ke seluruh provinsi. Pada hari ke-92 para
menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah
terdengar ke seluruh negeri. “Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada
Presiden?” kata seorang menteri. Menteri yang lain hanya diam. Di kediaman
Presiden yang asri dan megah juga terdengar tangisan, membuat Presiden
tergeragap dari kanuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak
hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak
istrinya sudah disampingnya, “Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata
istrinya. “Apa nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu
menutup jendela. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan
bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap.

B. Isi
1. Sinopsis

Cerpen ini menceritakan tentang sebuah tangisan yang selalu terdengar


sepanjang hari sampai beberapa hari.Pertama kali terdengar tangisan itu, warga
merasa resah karena tangisan itu begitu memilukan. Tangisan itu seperti
kesedihan yang mengapung di udara. Menyelusup ke rumah-rumah kampung
pinggir kota. Tangisan itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang
diam-diam ingin mereka lupakan. Beberapa warga yang jengkel langsung
mendatangi pos ronda. Mereka berusaha mencari dari mana asal tangisan itu
dengan mendatangi rumah warga yang berduka atau warga yang mempunyai anak
kecil.Tapi pemilik dari tangisan itu belum juga ditemukan. Berhari-hari tangisan
itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan.
Warga lalu melapor kepada Pak RT dan bersama-sama menghubungi Ketua RW
karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Namun
Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh
kampung.

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Pak Lurah
sudah melapor Pak Camat. Tapi karena tidak menemukan gerangan siapakah yang
terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang
rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-
menerus terdengar sepanjang hari itu. Radio dan koran-koran ramai memberitakan.
Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat
Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah
mendengar tentang tangisan hingga ke seluruh provinsi. Pada hari ke-92 para
menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah
terdengar ke seluruh negeri. “Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada
Presiden?” kata seorang menteri. Menteri yang lain hanya diam. Di kediaman
Presiden yang asri dan megah juga terdengar tangisan, membuat Presiden
tergeragap dari kanuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak
hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak
istrinya sudah disampingnya, “Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata
istrinya. “Apa nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu
menutup jendela. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan
bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap.

2. Hasil Analisis Cerpen dengan Pendekatan Struktural Murni dan Pendekatan


Semiotik.

a. Analisis dengan Pendekatan Struktural Murni

1) Lapis Bentuk
a) Satuan peristiwa

1. Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke


rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari
mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.
2. Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun
menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan
pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu
jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi
buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa warga
yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. ”Siapa sih yang terus-terusan
menangis begitu?!”
3. ”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis
seharian. Ini sudah keterlaluan!”

”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya. ”Ah paling
juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih
karena suaminya mati dibakar kemaren.”

4. Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap


mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat
Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami
Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh
terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum
campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di
udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah
yang lebih menyedihkan dari tangisan itu?
5. Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah.
Kamar itu sepi terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu
mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan
mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap rumah, tapi tak
menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu.
Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan.
Kadang seperti suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang
mabok. Kadang terisak panjang. Kadang seperti keluhan. Kadang seperti
erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris
malam.

Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan


yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa
pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu
menyedihkan sepanjang hari seperti itu?

6. ”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang


orang menangis, tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti
begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.
7. Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera
menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu
dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat
pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan
empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih gentayangan
dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara
tangis itu memang terdengar di seluruh kampung.

“Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar
suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem
suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”

8. Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan.
Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal
dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-
mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan
dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan
paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan
menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena
penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi
ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.
9. Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah
segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan
siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada
Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena
tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah
benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis
itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas.
Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran
ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang terus- menerus
menangis sepanjang hari, berhari-hari…
10. Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah
yang tahan terus- terusan menangis seperti itu.

”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…”

”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.”

”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…”

”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang
ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…”

”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya
tersiram air panas.”

”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”

”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”

11. Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan
membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur
memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh
provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai
sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di
hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang
panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun
paling jauh di pedalaman.
Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi
padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai.
Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat
bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang-
orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul
tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan
kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang
pernah mereka dengar.

12. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur
perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan
terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota.
Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya
lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar
sekan diiris-iris kesedihan.

”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang
Menteri.

Menteri yang lain hanya diam.

13. Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri
dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat
Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi
sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini.
Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah.
Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur
cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana.
Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar
yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah di
sampingnya.

”Ada apa?”

”Saya seperti mendengar suara tangis…”

”Siapa?”

”Entahlah…”
”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti
kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya
tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup
jendela.

14. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai
susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta
terkesima dan seketika terdiam. Seekor kelelawar yang terbang melintas
malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak
tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan
cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin.
Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan
itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling
jauh.

Apakah kau dengar tangisan itu?

b) Tahapan Alur

(1) Penyituasian (permulaan)

Penyituasian atau permulaan cerita terdapat pada paragraf ke-1,


“Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke
rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar
orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.”
Pada kutipan diatas dapat diketahui yang menjadi tokoh utama dalam
cerpen tersebut adalah suara tangisan yang meresahkan warga.

(2) Pelukisan situasi


Pelukisan situasi terdapat pada paragraf ke-2,
“Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun
menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada
banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip
cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang
menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan.”
Pada kutipan tersebut menerangkan situasi warga yang resah dan tidak
tahan dengan suara tangisan yang tidak diketahui siapa pemiliknya.
(3) Permunculan konflik

Konflik mulai muncul pada cerpen ini terdapat dalam percakapan,


“Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. ”Siapa sih
yang terus-terusan menangis begitu?!””Suruh keparat itu berhenti menangis,”
sergah warga lainnya. ”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang
peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.” Orang-
orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri
jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok
dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat
mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat
mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini
kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali
mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan
itu?”
Pada kutipan percakapan di atas menjelaskan permuculan konflik terjadi
karena pemikiran atau dugaan warga tentang asal-usul suara tangisan itu.

(4) Peningkatan Konflik

Peningkatan konflik terjadi pada paragraf ke-7,


“Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan
menyedihkan. Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan
berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke
mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat
rintihan dan kepedihan.”
Dan paragraf ke-8,
“Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah
segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah
yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota,
yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang
terus-menerus terdengar sepanjang hari itu.”
Dari dua kutipan di atas menunjukan peningkatan konflik pada cerpen ini
bahwa suara tangisan sudah terdengar di seluruh kota.

(5) Perumitan

Perumitan cerita dalam cerpen karya Iwan Simatupang terletak pada


paragraf k-9,
“Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan
membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang
sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi.”
Dalam kutipan di atas, suara tangisan belum saja berhenti hinggs hari ke-
65 dan sudah terdengar sampai ke seluruh provinsi.

(6) Klimaks

Klimaks dalam cerpen ini terdapat pada paragraf ke-10,


“Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para
Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu
bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota.
Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya
lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan
diiris-iris kesedihan. ”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?”
kata seorang Menteri. Menteri yang lain hanya diam.”
Dalam kutipan di atas, suara tangisan masih belum berhenti sehingga
membuat para menteri berkumpul membahas laporan para gubernur.

(7) Peleraian

Peleraian dalam cerpen terdapat pada paragraf ke-11,


“Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri
dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden
tergeragap dari kantuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak
hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak
istrinya sudah di sampingnya. ”Ada apa?” ”Saya seperti mendengar suara
tangis…” ”Siapa?” ”Entahlah…” ”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,”
kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar
tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan
tenang. Lalu menutup jendela.”
Pada kutipan tersebut sudah nampak kejelasan dari sebuah peleraian, suara
tangisan itu sampai ke kediaman Presiden.

(8) Penyelesaian
Penyelesaian dari cerpen ini terdapat pada paragraf ke-12,
“Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai
susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta
terkesima dan seketika terdiam. Seekor kelelawar yang terbang melintas malam
mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung
beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang
redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak
ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun
mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh. Apakah kau dengar tangisan itu?”
Tahapan penyelesaian pada cerpen ini bahwa asal-usul suara suara
tangisan itu tidak dapat terungkap siapa yang menangis. Dan masih terus
terdengar mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.

c) Jenis Konflik
(1) Konflik manusia dengan alam
“Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal
dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana.
Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan
kepedihan.”
Pada cerpen ini memang yang tidak begitu jelas menjelaskan konflik
manusia dengan alam, karena kata ‘tangisan’ merupakan kata kias yang dibuat
pengarang. Bahwa tangisan itu seperti banjir, jadi konflik manusia dengan alam
yaitu manusia yang sedang dilanda banjir.
(2) Konflik manusia dengan isi hatinya
“Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan
kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih
dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh
kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu
karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali
dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.”
Pada kutipan di atas, orang-orang atau warga bertanya-tanya dalam hati siapa
yang menangis penuh kepedihan sampai mengingatkan pada kesedihan mereka
sendiri.
d) Latar
(1) Latar waktu
Latar waktu dalam cerpen ini adalah sepanjang hari sampai hari ke-100,
seperti dalam kutipan di bawah.
“Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis,”
“Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri
dan megah.”
(2) Latar alam
Latar alam dalam cerpen ini adalah di kampung, di kota atau satu negara.
Dapat terlihat dari kutipan di bawah,
“Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke
rumah-rumah kampung pinggir kota itu.”
“Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang
terdengar hingga ke seluruh provinsi”
“Para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis
yang telah terdengar ke seluruh negeri.”

 Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang
ajar dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk
menjual alat untuk memperbesar kemaluan.

e) Jenis plot
Jenis plot yang terdapat pada cerpen ini adalah jenis plot maju dan
mundur karena rangkain peristiwa dalam cerpen tersebut menunjukan
adanya sebab akibat.
f) Cara pengarang mengakhiri cerita
Dalam cerpennya, pengarang mengahiri cerita dengan
diterangkannya bahwa tokoh Gun memang suah mati namun gagsan
dari sebuah pemikiran lah yang membuat dia bisa tetap bertahan hidup
dan dikenang oleh semua orang bahkan melebihi usia dari pohon
jambu bol tersebut.

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda atau ilmu yang berurusan


dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.
Menurut Pradopo (2001: 96) untuk memberi makna secara hemiotik dapat
dilakukan dengan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik.

1. Analisis Aspek Verba atau Bahasa

Dalam cerpen ini pengarang menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah


dimengerti oleh para pembaca. Bahasa yang digunakan tidak kaku atau terlalu
bebas, jadi cerpen ini dapat dinikmati kalangan manapun. Namun, pengarang
menggunakan kalimat halus untuk membentuk kalimat sindiran.

2. Analisis Cerpen dengan Pendekatan Semiotik

Berdasarkan teori di atas dari cerpen Ada yang Menangis Sepanjang Hari karya
Iwan Simantupang adalah sebagai berikut:

 Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara, ini memiliki


simbol
 Menyelusup ke rumah-rumah kampung pinggir kota

Anda mungkin juga menyukai