A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan imajinatif penyair yang dituangkan ke dalam
sebuah tulisan yang indah dan berirama sehingga dapat membuat hati dan pikiran
pembaca terbawa arus dunia khayal. Baik itu ke dalam sebuah puisi ataupun prosa.
Sinopsis
Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Pak Lurah
sudah melapor Pak Camat. Tapi karena tidak menemukan gerangan siapakah yang
terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang
rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-
menerus terdengar sepanjang hari itu. Radio dan koran-koran ramai memberitakan.
Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat
Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah
mendengar tentang tangisan hingga ke seluruh provinsi. Pada hari ke-92 para
menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah
terdengar ke seluruh negeri. “Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada
Presiden?” kata seorang menteri. Menteri yang lain hanya diam. Di kediaman
Presiden yang asri dan megah juga terdengar tangisan, membuat Presiden
tergeragap dari kanuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak
hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak
istrinya sudah disampingnya, “Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata
istrinya. “Apa nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu
menutup jendela. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan
bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap.
B. Isi
1. Sinopsis
Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Pak Lurah
sudah melapor Pak Camat. Tapi karena tidak menemukan gerangan siapakah yang
terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang
rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-
menerus terdengar sepanjang hari itu. Radio dan koran-koran ramai memberitakan.
Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat
Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah
mendengar tentang tangisan hingga ke seluruh provinsi. Pada hari ke-92 para
menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah
terdengar ke seluruh negeri. “Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada
Presiden?” kata seorang menteri. Menteri yang lain hanya diam. Di kediaman
Presiden yang asri dan megah juga terdengar tangisan, membuat Presiden
tergeragap dari kanuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak
hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak
istrinya sudah disampingnya, “Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata
istrinya. “Apa nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu
menutup jendela. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan
bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap.
1) Lapis Bentuk
a) Satuan peristiwa
”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya. ”Ah paling
juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih
karena suaminya mati dibakar kemaren.”
“Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar
suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem
suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”
8. Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan.
Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal
dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-
mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan
dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan
paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan
menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena
penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi
ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.
9. Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah
segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan
siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada
Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena
tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah
benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis
itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas.
Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran
ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang terus- menerus
menangis sepanjang hari, berhari-hari…
10. Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah
yang tahan terus- terusan menangis seperti itu.
”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang
ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…”
”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya
tersiram air panas.”
11. Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan
membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur
memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh
provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai
sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di
hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang
panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun
paling jauh di pedalaman.
Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi
padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai.
Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat
bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang-
orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul
tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan
kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang
pernah mereka dengar.
12. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur
perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan
terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota.
Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya
lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar
sekan diiris-iris kesedihan.
”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang
Menteri.
13. Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri
dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat
Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi
sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini.
Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah.
Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur
cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana.
Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar
yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah di
sampingnya.
”Ada apa?”
”Siapa?”
”Entahlah…”
”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti
kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya
tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup
jendela.
14. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai
susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta
terkesima dan seketika terdiam. Seekor kelelawar yang terbang melintas
malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak
tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan
cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin.
Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan
itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling
jauh.
b) Tahapan Alur
(5) Perumitan
(6) Klimaks
(7) Peleraian
(8) Penyelesaian
Penyelesaian dari cerpen ini terdapat pada paragraf ke-12,
“Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai
susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta
terkesima dan seketika terdiam. Seekor kelelawar yang terbang melintas malam
mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung
beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang
redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak
ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun
mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh. Apakah kau dengar tangisan itu?”
Tahapan penyelesaian pada cerpen ini bahwa asal-usul suara suara
tangisan itu tidak dapat terungkap siapa yang menangis. Dan masih terus
terdengar mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.
c) Jenis Konflik
(1) Konflik manusia dengan alam
“Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal
dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana.
Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan
kepedihan.”
Pada cerpen ini memang yang tidak begitu jelas menjelaskan konflik
manusia dengan alam, karena kata ‘tangisan’ merupakan kata kias yang dibuat
pengarang. Bahwa tangisan itu seperti banjir, jadi konflik manusia dengan alam
yaitu manusia yang sedang dilanda banjir.
(2) Konflik manusia dengan isi hatinya
“Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan
kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih
dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh
kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu
karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali
dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.”
Pada kutipan di atas, orang-orang atau warga bertanya-tanya dalam hati siapa
yang menangis penuh kepedihan sampai mengingatkan pada kesedihan mereka
sendiri.
d) Latar
(1) Latar waktu
Latar waktu dalam cerpen ini adalah sepanjang hari sampai hari ke-100,
seperti dalam kutipan di bawah.
“Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis,”
“Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri
dan megah.”
(2) Latar alam
Latar alam dalam cerpen ini adalah di kampung, di kota atau satu negara.
Dapat terlihat dari kutipan di bawah,
“Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke
rumah-rumah kampung pinggir kota itu.”
“Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang
terdengar hingga ke seluruh provinsi”
“Para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis
yang telah terdengar ke seluruh negeri.”
Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang
ajar dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk
menjual alat untuk memperbesar kemaluan.
e) Jenis plot
Jenis plot yang terdapat pada cerpen ini adalah jenis plot maju dan
mundur karena rangkain peristiwa dalam cerpen tersebut menunjukan
adanya sebab akibat.
f) Cara pengarang mengakhiri cerita
Dalam cerpennya, pengarang mengahiri cerita dengan
diterangkannya bahwa tokoh Gun memang suah mati namun gagsan
dari sebuah pemikiran lah yang membuat dia bisa tetap bertahan hidup
dan dikenang oleh semua orang bahkan melebihi usia dari pohon
jambu bol tersebut.
Berdasarkan teori di atas dari cerpen Ada yang Menangis Sepanjang Hari karya
Iwan Simantupang adalah sebagai berikut: