Anda di halaman 1dari 47

Kisah Dibalik Mimpi

Friday, February 6, 2009 13:34


Artikel ini di Kirim Oleh: penyair cinta
2 Comments
ketika lelah kaki berpijak, ketika hati tak mampu menahan segala kesedihan, ku
rebahkan tubuhku dalam alunan cinta nya yang begitu hangat mendekap. lama
menanti mata ini terlelap, ku pandang biru nya langit bertabur bintang dan
berhias langit, ku tatap wajahnya yang terukir dalam hatiku, yang tanpa terasa
membawa ku kedalam sebuah impian dan angan-angan.
kulihat sekeliling ku yang kini kian gelap nan sepi, ku rasakan aroma yang tak
pernah ku rasakan slama ini, ku pandang cahaya yang tak pernah redup dalam
hatiku, aku bermimpi. ketika kain tebal yang membalut sekujur tubuhku tak
mampu lagi menahan dinginnya malam ini, ku hanya mampu bersenandung tuk
mengingat nya, serasa ia hadir tuk menemani ku malam ini. tanpa kusadari ia tlah
membawa ku ke sebuah singgasana yang nan jauh di sana.
sambutan yang begitu hangat dari para bidadari dan malaikat, yang seakan
memberi jalan bagi ku dan nya. belum lama aku merasakan indahnya sebuah
kebahagiaan bersamanya, kini ia menghilang dan pergi entah kemana dan bersama
siapa. lelehku kian menderu dan tak dapat terbelenggu, hatiku terbakar padam
cemburu, fikiranku melayang bersama hilangnya angan dan harapan. aku
tenggelam dalam celaan dan tertawaan sang bintang, jeritan hewan malam
memekakan gendang telingaku. yang hingga akhirya mentari menyambutku dengan
cemooh, celaan, serta hinaan yang membuatku termenung dan terus bertanya
pantaskah aku bersanding bersamanya?
haruskah dia pergi meninggalkanku?
mampukah hati ini untuk terus menantinya?.
lamunan ku mulai terganggu dengan ocehan parkit yang sedang bertengger di
sebuah ranting dasar pria bodoh, malang, dirimu bukan ikan yang haus akan
kebahagiaan, dirimu juga bukan burung yang mampu terbang mengejar impian.
kicauan yang terus terulang hingga datang sebuah keyakinan dari bisikan hembus
angin bahwa aku bukan untuk dirinya, aku bukan air yang mampu menghilangkan
dahaganya dengan cinta, aku bukan sesuap nasi yang mampu mengenyangkannya
dengan kerinduan, dan aku bukan sebuah pakaian yang mampu bersamanya dalam
kesetiaan.
Sending by Noor M.A
Thursday, February 5, 2009 1:31 PM






















Sang Pecinta VS Perawan Suci
Posted September 6th, 2010 by Pejuang Cinta
Cerpen
Bisikan cinta membuai membelai halus tegarnya batu karang melunakkannya
mengikisnya menyisakan hanya debu-debu beterbangan. Senyum yang menghias
dunia kini tiada, tawa yang tercipta hasil maha karya sang pecinta kini binasa.
Lalu buat apa penyair menorehkan tinta tentang indahnya cinta?, padahal duka
mengiringi perjalanan cintanya. Benarlah semua penyair adalah pecundang,
menorehkan semua kisah indah cinta-mencinta menyajikan pada sang pecinta
memberi harapan kepada para katak untuk berlomba-lomba menjadi lembu.
Menangislah sang pecinta dibuatnya, tapi bagi sang pecinta tangis hanya ada di
dunia khayal antara dia dan dirinya, dunia nyata hanya ada sejuta senyuman
sejuta makna.
Manis itu bukan namanya....
Aku tahu namanya tapi ku senang meneybutnya manis....
Entah kenapa di mataku dia begitu manis....
Wajahnya menyejukkan setiap pandangan....
Senyumnya mencerahkn hati yang mendung....
Aku mengaguminya walau dia menggapku tak ada....
Aku mencintainy walau tak sedikitpun cinta di hatinya....
Yang pasti aku bahagia melihatnya tersenyum....
Senyumnya mendamaikan dunia....
Dan pada saat senyum terkembang di wajahnya,
pada saat itulah ku merasa memilikinya....
Kisah senyuman sang perawan suci, membawa sang pecinta kepada harapan tak
berbatas. Sang pecinta sadar ketika dirinya melawan wujudnya mencoba terbang
terlampau tinggi, ketika sial menimpanya ia pun terjatuh maka akan terasakan
sakit yang teramat sangat, dan itulah Sang Pecinta bodoh karena cinta, mati
karenanya juga. Tanpa ia sadari, sang perawan suci berhasil memenjarakan
hatinya menguncinya tanpa celah untuk bebas. Sang pecinta menampakkan
senyum simpul pertanda dirinya menikmati masa-masa hatinya tersandera oleh
cinta juga kebodohannya. "inikah yang dinamakan kesalahan terindah? " bisik
hatinya, tanpa perlu alasan tanpa perlu penjelasan sang pecinta pun membentuk
sendiri makna cinta dan ketulusan. Sang pecinta sadar cinta yang ada
dihadapannya kini adalah sebuah permainan hati yang kalah tersakiti dan yang
menang bahagia sampai mati. Dia hanya mengikuti alur permainan dari sebuah
kisah cinta tak berbalas, tanpa amarah dan tanpa dendam karena cinta adalah
keikhlasan bukan sihir yang menghidupkannya tapi cinta adalah titipan Sang
Pencipta.
Mencuri pandang dari kejauhan sketsa wajah sang perawan suci merona penuh
misteri, sungguh sang pecinta hanya ingin menikmati dari jauh sketsa itu karena
ia tak ingin merusak sebuah kesempurnaan wujud menurut akalnya,
menghilangkan senyuman dari sang perawan suci adalah siksaan mendalam bagi
jiwa raganya. Sang pecinta sadar akan dirinya yang buruk rupa di pandangan
mata-mata fana, mata-mata kedagingan yang hanya mampu melihat sisi terluar
dari wujud manusia. Godaan untuk lebih dekat dengan pujaan hati terus datang
dan kadang mengusik relung hati sang pecinta yang harusnya tenang, membuatnya
gundah resah tak menentu. Sang pecinta mencoba untuk tetap tenang ia tidak
akan pernah mengusik mutiara ayng terjaga dalam cangkang berkilau itu, sejauh
ini ia mampu dan harus mampu.
Hny sbatas pandangan.
Hny itu yg bsa dlakukn seorng pujangga ksepian memandang kilau berlian yg
berpadu ruby dgn ronanya yg mrah,
tak sbatas itu snyumnya pun mnis, tp htiku miris krn hny sbatas pandangan.
Rsah Hti, yg ku kurung dlm pnjara hatiku mraung-raung
Utk dbebaskan, saat ini pmenjaraan satu-satunya jln
Utk kbaiknku dan utk mnjaga senyumnya tetap terkembang dbibir manisnya.
Akankah dia mngerti?
Ataukah cukup aku yg mratapi ksah ini?,
sdih, tp sdah cukup bagiku mlihatnya tersenyum mnjalani khidupan.
ku rela kan rsah htiku meronta-ronta dn bercucuran air mata.
Tnang.. ku takkan mbuat kau mrasakn Rsah htiku,
cukup kau Tersenyum itu saja yg kuharap,
krn hny sbatas pandangan....
Harapku Tuhan memilihmu utkku krn ku hny hamba tak mmpu mlawan takdir dan
bukanlah brhak brkhendak.
KpdNYA ku brmohon akn takdir kita, kalaupun knyataannya sama skali brbda.
Cukup manis utk sbuah pandangan...
Sang perawan suci datang entah darimana, mungkin ia bidadari surga yang
sengaja diturunkan oleh Sang Pencipta atau ia adalah putri negeri dongeng
dengan segala kesempurnaannya. Senyuman sang perawan suci, itulah yang
membuat sang pecinta terlena, senyumannya begitu tulus mencerahkan hati yang
mendung. Tanpa disadari oleh sang pecinta, sang perawan suci tiba-tiba hadir
semakin dekat kepada sang pecinta, mungkinkah ini pertanda tibanya persatuan
antara keduanya? Atau ini hanya angin surga yang berhembus sesaat kearah sang
pecinta. Dibutakan oleh mahadaya cinta sang pecinta tidak memperdulikan
bahaya yang akan hadir jika ia membiarkan sang perawan suci membuai angan-
angannya membangkitkan setan hatinya yang haus akan cinta. Sang pecinta
seakan pingsan dan tak dapat lagi mengenali realita. Sang perawan suci terus
menebarkan senyuman penuh arti ke tengah kehidupan sang pecinta, sehingga
sang pecinta tidak sempat berfikir untuk berhati-hati. Alunan lembut nada cinta
membuai sang pecinta yang sangat berbahagia karena ia rasa kisah cinta tak
berbalas akan hilang selamanya. Entah apa namanya kini sang perawan suci telah
hadir disisi sang pecinta, sang pecinta pun memperlakukannya bagai seorang putri
dan meletakkan cintanya di tempat tertinggi dalam hatinya agar tak ada yang
seorangpun yang bisa menjangkau cintanya. Keduanya menjalani hari-hari dengan
bahagia entah itu cinta atau sekedar bahagia yang sementara menyapa, sang
pecinta tidak peduli ia hanya berusaha menjaga cinta menjaga kemurniannya
karena sang pecinta tulus mencintai sang perawan suci. Sang pecinta terus-
menerus menunjukkan cintanya walau tak sedikitpun keluar perkataan dari mulut
sang perawan suci tentang cinta antara mereka.
Cinta kata yg hina ternoda karena janji dan kesaksian2 palsu...
cinta bgtu indah utk disalah artikn mjd rasa suka yg trbungkus obsesi belaka...
cinta tinggi nilainy bgi stiap pemegang teguh janjiny...
cinta remeh di mata siapa saja yg menganggap dunia ini kan slalu ada untknya...
cinta tak trhingga luasny sampai nalar ini lelah menjelajahiny...
cinta mdah saja trucap pdhal tak sdikitpun diri ini mampu menegakknny saat
lemah dan trjatuh...
cinta bgtu sederhana tp memiliki semua duka dan bhagia adlah imbasnya...
cinta bersemi pda musimny maka butuh pnantian utk memetikny...
"Adakah dirimu mencintaiku?", ucap sang pecinta kepada sang perawan suci, sang
perawan suci terdiam ia tidak menyangka akan keluar pertanyaan yang mungkin
takkan pernah terjawab olehnya. Masa lalu cinta yang kelam membuat sang
perawan suci enggan untuk menterjemahkan cinta. Rasa iba lebih dari cukup
untuk menjelaskan apa yang terjadi antara keduany, rasa iba menuntun sang
perawan suci untuk mencoba menjalani apa yang disebut oleh sang pecinta
sebagai cinta. Dalam hatinya sang pecinta pun berbisik "baiklah, biar waktu yang
akan menuntunmu padaku, atau waktu yang akan membunuhku terlebih dulu",
selanjutnya ia berusaha mencari tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi
apakah selama ini ia salah dalam memperlakukan cintanya?. Sang pecinta semakin
pasrah dengan apa yang terjadi setelah ia merasa hanya sendiri memperjuangkan
cinta, tetapi inilah bentuk cinta yang ia tawarkan kepada sang perawan suci cinta
tanpa pamrih walau itu semua harus dibayar dengan tetes air mata.
Sndiri mperjuangkn cinta...
sndiri menahan stiap luka...
jika drita cinta tiada brakhir...
biar cintaku mngakhiriny dgn sjuta perih...
langit mjd saksi prjuangan ini, bumi bukti cinta yg kutangisi...
marahku utkku, bhagiamu bhagiaku...
lncang mungkin hdupku mngusik hdupmu dgn hal remeh brnamakn cinta...
jika mmg cnta ini harus tiba kmatianny...
maka matilah aku dgn tnang brsama cinta dn knangan...
Sang perawan suci sudah sepantasnyalah suci, setelah selama ini sang pecinta
telah mengotori hidupnya dengan bentuk cinta yang bodoh. Kini sang perawan suci
sudah terbangun dari mimpi buruknya, sekarang matanya bisa menyaksikan
betapa kumuhnya sang pecinta selama ini. Sang pecinta berusaha menahan
tangisnya, ia membiarkan hatinya menangis dan berusaha untuk tetap tersenyum.
Ironi kehidupan berusaha ia tembus, kadang timbul di fikirannya betapa
senangnya menjadi seekor burung terbang bebas bersiul bebas tanpa memikirkan
intervensi kehidupan yang menjemukan. Sang perawan suci pun meminta maaf
selama ini salah mengartikan rasa iba menjadi sebuah cinta, sang perawan suci
telah memperingatkan sebelumnya bahwa ia adalah sang penghancur hati tetapi
sang pecinta hanya menganggapnya sebuah canda dan kalupun itu nyata mungkin
cintanya bisa mengubah semua ini. Kenyataan kadang berbeda dengan harapan
sang perawan suci mempunyai alibi yang kuat untuk menuntaskan cinta sang
pecinta. "Tolong, beritahukan pada dunia Sang Pecinta kehilangan cintanya",
teriak sang pecinta diantara sepoi angin dan dedaunan hijau tanpa bunga karena
baginya hanya ada satu bunga yaitu sang perawan suci.
Kicau burung membahana menghiasi suasana pagi yang sepi.
Meramaikan kehampaan jiwa.
Mendatangkan ketenangan yang menyakitkan.
Hela nafas panjang seorang pejuang yang akhirnya pecundang.
Menyiratkan sakit yang begitu dalam.
Datanglah padaku kebohongan.
Bohongi aku, tipu aku agar sakit ini tersamarkan diantara bahagia.
Sayangnya sebuah kenyataan telah terhidang.
Biarkan kunikmati ini dengan tangis dan kesedihan.
Aku dan kehampaanku. Sang Pecinta (si bodoh)


Pengganti Hidup


Posted August 12th, 2009 by Idsam Yasperto
Cerpen
Tangan Pras bergetar ketika Ia berusaha untuk meraih telepon genggamnya.
Jari-jarinya mulai menekan key path untuk mencari data nomor seorang
perempuan yang sangat dicintanya selama ini. Matanya berusaha keras untuk
menahan sesuatu yang sudah sangat ingin meluap. Tuuut Tuuut, Terdengar di
telinganya nada sambung yang antar nadanya seperti bertahun-tahun jaraknya.
Dua, Tiga, Empat, dan sampai nada tunggu ketujuh masih belum ada jawaban. Air
mata itu mulai tidak dapat tertahan ketika pada nada yang kesembilan panggilan
itu terangkat. Ia berbicara dengan nada yang gugup dan terburu-buru, Na.. Na
Dia, Nadia, kamu baik-baik saja?. Tak terdengar suara apa-apa dari ujung
telephone. Hanya suara lemah seperti rintihan yang mendesahkan kata-kata yang
terdengar seperti maaf kan Aku Pras. Ia mengenggam handphonenya
dengan kuat sekali, sepertinya dengan hal itulah Ia dapat melepaskan semua rasa
penyesalannya. Air mata itu mulai mengalir dan membasahi pipinya. Ia telah lupa
untuk berapa tahun ke belakang terakhir kalinya air mata itu keluar. Air mata
lelaki, air mata yang sangat mahal harganya.
*
Terduduk sejenak di kursi depan televisi yang menampilkan berita yang paling
menguncang di tahun ini, Mungkin bagi semua orang dan paling menguncang bagi
dirinya yang padahal tidak merasakannya secara langsung. Masih tidak percaya
dengan apa yang terjadi, Ia merasa semua peristiwa indah itu baru saja Ia alami.
Setelah berusaha untuk berfikir dengan jernih, Ia segera merencanakan apa
yang mau dilakukan dan segera beranjak. Tak banyak yang Ia bawa, hanya satu
tas punggung dan uang sedapatnya. Hanya satu yang Ia fikirkan sekarang. Upaya
untuk bertemu dengan seorang perempuan yang sangat Ia cintai. Yang mungkin
hanya untuk terakhir kalinya. Dalam perjalanannya untuk mencari kendaraan,
kenangan-kenangan empat tahun silam itu segera membanjiri benaknya pada saat
Ia menatap Warnet yang masih berdiri kokoh di seberang pandangannya.
*****
26 Mei 2002, 04:23 PM Di Warnet
Pras_keren : Asl Plz?
C_imut17 : 17 F yog. U?
Pras_keren : 18 M Jkt. Wah hampir sama dong.
C_imut17 : Wah ia nich. Ad Fs?
Pras_keren : Ada dong add gw ya. Buka aja profilnya di pras_keren@yahoo.com
C_imut17 : o.k
Pras membuka browsernya untuk melihat accountnya di Friendster. Setelah kira-
kira sepuluh menit, tidak ada jawaban dari lawan chattingnya.
Pras_keren : Buzz!
Pras_keren : Gimana, udah buka belum?, keren enggak gw di situ.
Pras_keren : Kok enggak bales2? Masih idup enggak. Atau ada tsunami ya baru
aja di situ.
C_imut17 : Maaf, ini bukan yang pakai user ini tadi. Yang barusan pakai sudah
pergi.
Pras_keren : Oh gitu, enggak pa2 deh. Saya chat sama kamu aja ya!
C_imut17 : Oh ya udah, tapi saya tidak bisa lama2, karena setelah cari data mau
langsung pulang.
Pras_keren : Kalau begitu, Aku Pras, kamu?
C_imut17 : Nadia. Kamu bisa panggil saya itu.
Pras_keren : Nama yang bagus, kamu sekarang kuliah atau apa?
C_imut17 : Baru saja lulus SMA, rencananya mau nerusin ke Universitas di sini.
Pras_keren : Sm, eh minta foto kamu dong!
C_imut17 : O.k deh, tapi jangan ketawa yang kalo jelek. Pras, data yg aq cari
udah dapet nih, pergi dulu ya!, Bye.
Pras membuka kiriman file yang berupa foto kiriman Nadia. Ia agak malas-
malasan membukanya setelah membaca tulisan tentang foto Nadia itu. Setelah
foto itu terbuka, mata Pras membelalak melihatnya. Ini sih enggak ada yang
jeleknya sama sekali!, Perfect abis!. Foto Nadia sedang berfose dilatarbelakangi
pemandangan Malioboro yang ramai pengunjung. Wajahnya sempurna, semua
struktur organ yang menyusunnya pas dan tidak ada yang kurang atau
keterlaluan. Ia menggunakan pakaian berkerudung yang membuat wajahnya
semakin cantik dan manis. Gua yakin kalau nih cewe, cewe baik-baik. Kalau
enggak bener pasti udah ngasih fotonya yang super sexy!. Pras segera
menyimpan foto tersebut pada flash disk yang dibawanya dari rumah. Ketika Ia
melihat ke jendela Yahoo Messanger lagi, Ia merasa sangat kecewa, karena
Nadia ternyata sudah Off Line tanpa meninggalkan alamat e-mail atau nomor
yang bisa dihubungi. Ah, dia pasti cewe yang enggak biasa chatting nih kata
Pras sambil sign out usernya dari Yahoo Messanger dan bangkit dari tempat
duduknya.
Di kamar tidur rumahnya, sambil berbaring Pras memandangi hasil print out foto
yang didapatnya sore tadi. Kamar itu sangat berantakan seperti layaknya kamar
anak laki-laki. Buku-buku panduan uan dan SPMB berserakan di sekitar tempat
tidurnya. Jaket dan pakaian seragam yang sudah penuh dengan coretan
tergantung dengan liar di samping lemari pakaian. Seperangkat PC lengkap hanya
tanpa jaringan internet masih aktif dibiarkan begitu saja oleh Pras yang sedang
asyik memandangi hasil print outnya. Ah nih anak-anak pasti bakalan iri banget
kalau tahu gua kenal sama cewe secantik ini. Cewe mantan-mantan gua dan yang
ada di sekitar sini enggak ada yang secantik Nadia ini. Tapi kasian juga kalau
cewe sebaik ini mau gua main-mainin buat jadi list berikutnya dari pacar-pacar
gua. Untung aja dia ada di Yogya, jadi enggak ketemu sama gua. Tapi apa bener
cewe secantik ini belum ada yang ngapa-ngapain nih sama dia?. Pras menyisihkan
rasa penasarannya itu dan memasukan foto Nadia ke dalam dompetnya untuk
ditunjukan pada teman-temannya.*
2 Bulan kemudian
Busyet, elu kenal di mana nih cewe secakep ini pras! Leo menatap foto Nadia
dengan kagum hingga mengangkat-angkat kaca matanya seperti tidak percaya
dengan kaca matanya itu. Ah mau tahu aja lho, rahasia perusahaan dong! Pras
dengan nada kemenangan yang meyakinkan. Ah ini pasti elu dapetin dari
messanger kan? terka Agus yang sudah sadar setelah kekagumannya terhadap
kecantikan Nadia. Ah enggak kok, Pras mencoba menutupi. Udah lah, ngaku aja.
Terus, ini kan foto digital, jadi bisa aja kan fotonya dipercantik pake photo
soft, Leo sambil menyerahkan foto itu kembali kepada Pras. Iya juga sih, tapi
misalnya nih foto alami, elu bakalan kita-kita angkat jadi raja playboy kota ini
kalau bisa ndapetin si cantik ini! Agus coba merebut foto itu lagi, seakan belum
puas memelototi wajah itu. Ah elu, enggak mungkin kale. Dia ini ada di Yogya,
sedangkan gua, masih berkutat di Jakarta. Oh iya, pengumuman SPMB kapan?,
Hari ini, kita lihat yuk pengumumannya di internet! kata Leo yang segera
bergegas ke pinggir jalan raya tempat warnet terdekat, Pras dan Agus
mengikutinya di belakang.
Hari itu sangat cerah dan terik, udara sangat panas sekali sehingga ketika masuk
ke ruang warnet yang berpendingin ruangan, perbedaan suhu itu sangat terasa. Di
antara sepuluh unit komputer dalam warnet itu, sembilan di antaranya penuh
dipakai oleh para calon mahasiswa yang sibuk mencari-cari nama mereka dalam
daftar siswa yang lulus SPMB. Pras, kenapa sih elu enggak pasang aja internet di
rumah elu?, ortu luh kan tajir! sindir Leo ketika mulai membuka browser
internet explorer. Ah elu yo, kalau pasang di rumah, enggak bisa bebas tahu.
Gua bakalan diawasin terus mbuka apaan aja di komputer, Pras dan Agus duduk
di sebelah leo yang sedang sibuk menekan dan menggeser mouse komputer itu.
Pertama kali, Leo memeriksa nomor ujiannya dan di universitas manakah Ia akan
diterima. Leo diterima di ITB Bandung, Kemudian Agus diterima di Universitas
Diponegoro Semarang, dan Pras yang paling jauh. Ia diterima di Universitas
gajah Mada Yogyakarta. Mereka merasa senang karena telah berhasil lulus SPMB
dan diterima di universitas-universitas bergengsi di republik ini. Tapi mereka
sedih pula, karena harus berpisah untuk waktu yang agak lama karena berlainan
kota.
Saat Leo sudah ingin mematikan browsernya, Pras mendapatkan suatu ide yang
cemerlang menurutnya. Jangan ditutup yo, pinjem sebentar! Pras sambil
mendorong Leo agar menyingkir. Leo yang agak sedikit kaget menyingkir dengan
terpaksa, Mau ngapain sih!. Pras tidak memperdulikannya, Ia mengetikan
beberapa kata sebagai key word di form. Ia mencoba mencari nama Nadia yang
diterima di universitas di Yogyakarta. Memang cara yang agak bodoh setelah Ia
sadari. Di sana keluar banyak sekali nama Nadia, yang di berbagai universitas.
Lagi pula Ia tidak tahu nama belakang dari Nadia yang lebih menyulitkan lagi.
*
Sesampainya di rumah, Pras menyampaikan kelulusannya itu kepada orang tuanya.
Baiklah, Papa akan urus semuanya. Hanya itu yang diucapkan oleh ayahnya
dengan tanpa ada ekspresi gembira sedikitpun. Mereka kelihatannya biasa-biasa
saja mendengar berita itu. Soalnya dua orang kakak-nya yang telah bekerja
sebelumnya juga kuliah di universitas negeri terkenal di negara ini. Jadi hal
tersebut tidak terlalu istemewa, karena Pras seharusnya juga harus
mendapatkannya. Pras juga tidak merasa sedih melihat respons dari orang tuanya
itu. Karena hal itu memang sudah hal yang biasa di keluarganya. Suasana di sana
memang statis, penuh dengan keseriusan dan harus dapat mandiri. Ayahnya yang
tegas dan Ibunya yang seorang wanita karir, membuat hubungan antara orang tua
dan anak di antara mereka tidak terlalu dekat.
Pras tidak terlalu memperdulikan sikap kedua orang tuanya itu, Ia langsung saja
menaiki tangga dan masuk ke kamarnya yang seperti biasa selalu berantakan. Ia
menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur yang di sana berserakan pakaian-
pakaian baik yang sudah bersih atau yang kotor. Yogya, Ill be there!,
mengucapkan kata Yogya, Pras seperti teringat akan suatu hal yang amat
menyenangkan. Bukan karena Ia akan kuliah di sana atau dapat jauh dari orang
tuanya, tapi Ia teringat bahwa Nadia tinggal dan kuliah di Yogya, Sehingga
kemungkinan Ia dapat bertemu atau yang lebih beruntung lagi, satu kampus
dengan si cantik itu.
Satu bulan telah berlalu sejak pengumuman hasil SPMB. Ayah Pras telah
mengurus semua administrasi untuk masuk ke universitas itu. Kamar yang selama
ini biasanya seperti kapal pecah, sekarang sudah rapi dan agak lengang. Semua
buku-buku dan pakaian sudah tersimpan rapi dalam rak dan lemari. Poster-poster
sepakbola dan gambar artis-artis sexy sudah dilipat dan disimpannya dalam
lemari. Barang-barang kecil yang dapat dibawa dimasukan ke dalam tas
bawaannya untuk kenang-kenangan dan pajangan di kamar kostnya nanti,
sedangkan yang tidak terbawa Ia sembunyikan di tempat yang aman agar tidak
diambil oleh para keponakannya yang nakal-nakal itu. Komputer juga telah Ia
proteksi dengan password-password di setiap usernya dan untuk perlindungan
lebih canggih, kabel data yang ke hardisk Ia cabut agar tidak ada orang yang
mengacak-acak file-filenya. Ah semuanya sudah beres, enggak ada seorang pun
yang boleh nikmatin nih kamar selain gua! bisiknya sembari melangkah keluar
kamar menuju ke ruang keluarga.
Di sana orang tuanya sudah menunggu. Tapi sebenarnya Ia juga tidak yakin
apakah mereka akan sedih melepaskan dirinya, atau malah senang karena tidak
harus mengurusi dirinya lagi. Ia rasa adalah opsi kedua yang tepat. Pa, Ma, saya
berangkat dulu ya, kata Pras memeluk Ayahnya. Iya, papa dan mama akan selalu
mendoakan mu, Hati-hati ya nak di sana kata Ibu memeluknya. Tak ada
tangisan perpisahan atau kehangatan pada adegan itu seperti yang di sinetron.
Semuanya terasa hambar dan biasa saja. Pras mempercepat langkahnya untuk
keluar rumah dan menuju ke jalan raya terdekat. Tak ada lagi orang yang harus
dia pamiti di kota ini. Sobat karibnya Leo dan Agus, sudah berangkat satu minggu
yang lalu. Ia dan mereka sama, harus ke stasiun untuk naik kereta. Sebenarnya
Ia ditawari ayahnya untuk lewat jalur udara saja, tapi Ia menolaknya dengan
dalih jika naik pesawat terlalu cepat sampainya dan tidak bisa menikmati
perjalanan. Sebagai kompensasinya, uang tersebut Ia minta sebagai penambah
uang saku selama di sana. Kan lumayan bisa buat senang-senang! soraknya dalam
hati.
Di dalam kereta, Ia mengambil salah satu tempat duduk di posisi belakang
gerbong. Ia langsung tertidur di kursinya, karena semalaman Ia tidak tidur untuk
membereskan kamarnya yang sudah sangat parah itu. Ia tidak mengkhawatirkan
akan barang-barangnya, dengan bawaannya yang hanya satu tas jinjing dan tas
punggung, serta tampangnya yang tidak meyakinkan dengan hanya pakai kaos
serta sepatu sendal, Ia tidak perlu khawatir akan copet yang biasanya banyak di
kereta. Pras walau orang-tuanya kaya, tapi Ia tidak suka memperlihatkannya
kepada orang lain dan Ia menganggap bahwa kekayaan itu adalah milik orang
tuanya, bukan dari hasil jirih payah dirinya sendiri.
Tidak terasa setengah hari perjalanan mengantarkannya pada tujuannya. Seorang
Ibu-ibu yang membawa anak kecil membangunkannya bahwa kereta sudah tiba.
Wah gila, gua tidur pasti pulas banget. Itu anak pasti sedari tadi nangis, tapi
gua enggak terbangun sedikit pun! fikirnya sambil mengumpulkan kesadaran. Ia
melangkahkan kakinya di Stasiun Solo Balapan pada kira-kira pukul 05:00 Pagi.
Ini memang bukan stasiun di Yogya, Ia bermaksud untuk transit dan main dulu di
rumah kakek neneknya yang letaknya tidak jauh dari stasiun ini. Suasana di
sekitar stasiun itu sudah mulai ramai. Ini memang ukuran waktu yang cukup siang
untuk para pedagang yang belum melakukan aktifitasnya. Ia naik becak menuju
rumah mbahnya, dan sedikit memberikan surprise pada dua orang di keluarganya
yang paling dekat dan Ia sayangi itu.
Dua minggu Ia menginap di rumah yang masih sangat tradisional itu. Dengan
menggunakan bus Ia langsung menuju ke kota Yogyakarta sekarang. Masih ada
waktu satu minggu lagi sebelum tahun ajaran baru dimulai. Setelah satu jam
perjalanan, bis itu mengerem mendadak di daerah ingin mendekati pusat kota
Yogya. Pras yang sudah mengantuk, kepalanya terantuk kursi di depannya dan
mengumpat-umpat dengan suara yang tidak dikeraskan. Mata Pras dan mungkin
seluruh penumpang yang kaget langsung mengarah ke pintu bis. Sesaat kemudian,
seorang perempuan berkerudung cantik yang membawa tas jinjing berjalan di
dalam bis mencari-cari kursi yang masih kosong. Ia berhenti ketika melangkah di
sebelah kursi yang sedang diduduki Pras. Ia berharap perempuan cantik itu mau
duduk disebelahnya. Tapi seperti yang sudah diterkanya, Perempuan itu lebih
memilih duduk di seberang kursinya di sebelah seorang Ibu tua. Tidak ada orang-
orang yang marah-marah atas kejadian tadi. Mereka seperti terbius dengan
kecantikan perempuan itu. Atau mungkin karena adat orang Jawa yang selalu
menyimpan kemarahan yang mereka rasakan, sehingga menumpuk menjadi sesuatu
yang tidak terkontrol nantinya.
Ia terus memandangi paras cantik perempuan itu. Seperti baru saja mendapatkan
ilham, Pras seperti teringat sesuatu saat memandangi perempuan itu. Ia tanpa
sadar membuka dompet kulitnya dan mengeluarkan lipatan kertas hasil print out
foto seorang perempuan yang didapatnya sebulan lebih yang lalu. Ia terkesiap,
ketika memandangi gambar dalam foto itu dan mencocokkan dengan perempuan
yang ada di seberangnnya. Memang persis sekali, sama cantik. Tapi sepertinya
ada yang beda, Pras masih memindah-mindah pandangannya dari foto itu dan
sosok asli di seberangnya. Dia yang sekarang tampak sedikit murung,, sedangkan
yang di foto ini cerah ceria sekali. Walaupun begitu, tetap tidak mengurangi
kadar kecantikan pada wajahnya. Ada apa ya?. Beberapa menit dalam
keterbiusan memandangi wajah Nadia, bis itu kembali berhenti mendadak dan
lebih membuat Pras kaget kali ini. Tapi Ia tidak sempat mengumpat, karena Ia
memperhatikan langkah-langkah Nadia yang beranjak menuruni bis di salah satu
jalan pusat kota Yogyakarta. Pras tidak melakukan apa-apa. Ia masih belum yakin
apakah Ia adalah Nadia yang Ia temui tempo hari, lagi pula Ia juga belum terlalu
mengenal kota ini. Jadi kalau mau kemana-mana, ya fikir-fikir dulu.
*****
Hari itu masih dalam suasana pagi yang sejuk. Langit mendung seakan tahu apa
yang sedang terjadi di salah satu belahan bumi ini. Atau mungkin sebagai tanda
ikut bersedih akan perasaan hati Pras pada saat itu. Ia tiba di terminal, di sana
mengatakan bahwa semua bis yang jurusan ke Yogya, di batalkan. Tidak ada bis
yang bisa mencapai kota yang sudah hancur tersebut. Semua jalur transportasi
hancur lebur dan hanya sebagian kecil yang masih dapat dilalui, dan itu tidak
diperuntukan bagi umum. Sebelum ini Pras sudah menghubungi agen tiket untuk
pesawat terbang, tapi ternyata Adi Sucipto dan Sumarmo ditutup. Sehingga
tidak ada lagi airport terdekat ke daerah tersebut. Kemudian jalur terakhir yang
cepat adalah kereta. Tapi jika kereta paling dekat jika turun di Solo. Tapi untuk
ke daerah langsungnya tidak dapat dicapai. Karena hanya untuk jalur bantuan
saja yang dapat.
Seperti ada yang menuntun langkahnya, Pras bergegas menuju ke PMI pusat. Ia
di sana segera menemui koordinator untuk pemberangkatan relawan pada daerah
bencana. Di sana Ia langsung diterima dan masuk pada pemberangkatan yang
kedua karena Ia agak telat sedikit. Lalu pemberangkatan itu baru bisa dilakukan
pada malam hari karena masalah birokrasi yang berbelit-belit.
Menunggu selama lima jam, Ia dan para relawan lainnya diangkut ke bandara
halim Pradana kusuma untuk naik Hercules bersama bantuan logistik dan
kesehatan yang lainnya. Di sini dia juga bersamaan dengan para tentara yang ikut
serta membantu penanggulangan bencana. Jika tidak sedang keadaan yang
seperti ini, Ia pasti akan bangga sekali karena menganggap dirinya akan ikut
perang yang hal itu sangat keren. Tapi sekarang pandangannya menerawang jauh
pada kaca jendela pesawat yang di sana hanya terlihat langit biru dan kabut-
kabut putih yang menyelimuti fikirannya.
*****
Sebulan sudah Pras menjalani studinya di universitas yang baru dimasukinya.
Pelajarannya di sini berjalan lancar kecuali ada satu hal yang mengganjal. Ia
sering kali berpapasan atau menatap dari jauh perempuan cantik yang ada di
dalam foto hasil chattingnya itu. Pras tak berani langsung bertemu atau bahkan
mendekati perempuan itu. Ia masih belum yakin apakah dia kah yang diharap-
harapkannya. Karena Nadia yang diamatinya sekarang ini kelihatan lebih murung
dan tidak bergairah dalam hidup. Sering kali Ia bertanya kepada teman satu
kelas yang mungkin mengenalnya. Sampai suatu kali Ia bertanya kepada teman
wanita satu kelasnya. Temannya itu mengaku bahwa Ia teman satu SMA dengan
nadia itu. Sehingga barulah Pras merasa yakin bahwa Perempuan itu benar-benar
Nadia.*
21 September 2002, 04:12 PM Di suatu sudut kampus.
Pras selama ini menjadi detektif bagi dirinya sendiri. Ia sering mengamati Nadia
duduk di satu sudut kampus pada akhir jam pelajaran dan di sana Ia merenung
sendiri serta kadang-kadang diakhiri dengan sebuah tangisan. Pada saat ini, Pras
memberanikan diri untuk menemui Nadia pada saat hal tersebut sedang terjadi.
Memang bukan moment yang tepat, tapi hati kecilnya menyatakan lain.
Pras mulai melangkah mendekat ke arah nadia yang duduk di lantai
membelakanginya. Dengan langkah-langkah kucing yang tak bersuara, Pras ikut
duduk di samping Nadia. hai Nadia, Aku boleh menemanimu?. Tak ada jawaban
dari mulut indah Nadia. Ia masih menatap kosong ke bawah. Setelah beberapa
detik, Pras mencobanya lagi. nadia, Nadia, boleh aku menemanimu?, Oh kamu,
dari mana kamu tahu namaku?, kita kan belum pernah bertemu sebelumnya tanya
Nadia sedikit curiga, tapi tetap tidak jutek. Pras merasa sedikit senang karena
Nadia sudah mau menanggapinya sekarang. Awal yang tidak terlalu buruk! kata
pras dalam hati. Pras segera mengeluarkan secarik kertas hasil print out foto
dari dompetnya dan menunjukannya kepada Nadia. Kita sudah pernah ketemu,
lebih tepatnya chatting lewat messanger sebelumnya, Oh jadi kamu Pras, Dari
mana kamu tahu?, Tentu saja, aku hanya sekali chat dan itu pun hanya
kebetulan. Jadi hanya kamu orang yang pernah chat lewat messanger denganku.
Seperti mendapat angin, Pras merasa pd sekali karena Nadia masih mengingat
namanya sampai sekarang. Setelah itu, terdapat beberapa menit kekosongan di
antara mereka. Pras tidak tahu lagi apa yang harus diobrolkan olehnya.
Sebenarnya ada satu pertanyaan yang ingin sekali ditanyakannya. Tetapi ia takut
jika hal itu akan menyinggung perasaan Nadia. Nadia, ada sesuatu yang ingin ku
tanyakan padamu. Kamu sepertinya yang sekarang dengan yang di foto itu agak
berbeda?, Berbeda apanya?, Kamu yang sekarang lebih murung, Jadi kamu
selama ini menyelidikiku ya!, Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi aku hanya ingin
menjadi temanmu. Kalau kau ingin kamu bisa membagi masalah itu denganku.
Nadia kembali mengalihkan pandangannya kosong ke arah bawah. Ada kesunyian
kira-kira lima menit antara mereka pada saat itu. Pras sudah mulai gusar. Jika Ia
telah menyinggung perasaan Nadia. Saat ia sudah mulai mempertimbangkan untuk
meninggalkan Nadia, Ia mendengar seperti ada suara isak tangis di sebelahnya.
Ternyata benar, itu tangis Nadia. Pras sekarang lebih merasa iba kepada
perempuan cantik itu. Ia sangat tidak tega sekali jika melihat seorang perempuan
menangis. Ayahku meninggal dua bulan yang lalu, kata Nadia yang lirih sekali
sampai-sampai Pras tidak dapat mendengarnya. Nadia menceritakan segalanya
kepada Pras. Ia menceritakan dari sejak ayahnya meninggal dunia, Ia merasa
sangat kehilangan sekali akan sosok ayahnya itu. Pras terus terdiam
mendengarkan kata demi kata Nadia dengan seksama. Ia berusaha dapat
berempati dengan apa yang telah dialami oleh Nadia. Ia memang tidak kehilangan
orang tua, tapi Ia seperti tidak memiliki kehangatan orang tua dengan ketidak
harmonisan hubungan anak dan orang tua antara mereka. Pras mengerti betapa
Nadia sekarang membutuhkan sosok lelaki yang dapat menjadi seorang pelindung
baginya. Rasa untuk memiliki Nadia hanya sebagai cewe yang untuk dimain-mainin
saja sekarang sudah hilang. Hanya rasa cinta untuk melindungi Nadia yang ada
sekarang.
Awan mendung mulai berarak menaungi di mana mereka berada. Hujan mulai
turun. Dari gerimis, menjadi semakin deras, dan deras. Tangis Nadia semakin
meluap-luap seiring derasnya hujan. Pras memandang tetesan air hujan yang ada
di hadapannya jatuh ke bumi dan mengalir dalam parit-parit yang akan
membawanya ke suatu daerah yang jauh. Luapkan perasaanmu Nadia, buang
semua keluh kesah yang membelenggumu. Buanglah itu dalam air matamu yang
akan membawanya menjauh dari dirimu,. Terdengar petir yang menyambar agak
jauh dari pendengaran. Nadia masih terus menangis dan Ia memeluk Pras
kemudian menyandarkan kepalanya di dada Pras. Menangislah Nadia, Jika itu
dapat membuatmu lebih baik. Mulai sekarang Aku ingin menjadi teman mu.
Menjadi pelindung yang akan selalu menjagamu. Kata-kata itu sepertinya
mengalir saja dari mulut Pras. Sepertinya mereka merasa sudah sangat dekat.
Seperti sudah merupakan teman sejak kecil. Pras dengan lembut membelai
punggung Nadia yang sekarang tangisannya sudah mulai mereda.
Pras mengantar Nadia pulang ketika hari sudah mulai malam. Sesampainya di
sana, Ia diperkenalkan kepada satu-satunya orang yang tinggal di rumah itu
selain Nadia. Ia adalah Ibu dari Nadia. Wanita yang sudah setengah baya itu
memiliki sikap yang sangat ramah, hangat, dan bersahabat. Pras seperti merasa
dekat sekali dengan sosok seorang Ibu yang selama ini Ia dambakan. Hal yang
tidak Ia temui pada orang tuanya. Nadia menghidangkan the hangat dan makanan
kecil kepada kami yang sedang mengobrol. Sekarang ekspresi wajah Nadia sudah
cerah ceria kembali dan kelihatan lebih manis lagi. Nduk, kamu sudah tidak
bersedih lagi nak? tanya Ibu itu kepada Nadia yang sedang menata gelas. Nadia
tidak menjawabnya. Ia hanya tersipu malu dan bergegas meninggalkan Pras dan
Ibunya. Raut wajah Ibu itu bahagia sekali ketika Ia menatap Pras. Terima kasih
ya nak, ini semua pasti berkat nak sehingga Nadia bisa ceria lagi!, Ah tidak bu,
kami baru saja ketemu hari ini, Sekali lagi, terima kasih ya nak!. Tidak terasa
Pras sudah bercakap-cakap dengan Ibu itu cukup lama. Kira-kira pukul sembilan
malam Pras minta diri untuk pulang. Sebenarnya Ia sangat berat sekali
meninggalkan keluarga itu. Keluarga yang baru dikenalnya tetapi sudah seperti
keluarga sendiri. andaikan itu benar-benar terjadi, doa Pras dalam hati.
*****
Pesawat terbang raksasa itu sekarang mendarat di kota Semarang. Pras turun
dari situ dan segera diarahkan bersama relawan-relawan yang lain untuk naik
mobil-mobil tentara untuk sekarang melewati jalan darat menuju langsung
tempat bencana. Pras memandangi kota itu, kota yang masih terlihat sama dari
semenjak satu dua tahun yang lalu. Kenangan manis bersama Nadia terulang lagi
di benaknya.
*****
Setahun sudah Pras berkuliah di universitas itu. Studinya lancar dengan nilai-nilai
yang baik. Selama liburan antar semester atau akhir tahun, Ia tidak pernah
pulang ke Jakarta untuk menemui orang tuanya. Ia hanya menghabiskan waktunya
dengan pergi menginap di rumah Kakek Neneknya atau berjalan-jalan dengan
Nadia. Ia juga sering mengajak Nadia untuk berkunjung ke tempat kakek
neneknya itu. Kakek dan Neneknya menyambut hangat Nadia. Mereka mengatakan
bahwa Nadia itu adalah perempuan yang baik dan calon istri yang ideal. Pras
hanya bisa tersenyum-senyum kecil dan diam-diam mengamini harapan tersebut
dalam hati.
Pernah pada suatu malam liburan tahun ketiganya di universitas, Pras mengajak
Nadia untuk melancong ke kota Semarang. Pras beranggapan bahwa mereka
sudah bosan dengan hanya berkutat sekitar Yogyakarta, solo, dan paling banter
ke pantai Parang Tritis. Sekarang Ia ingin mengajaknya menikmati suasana di
pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Setelah sampai sore menikmati berdua
suasana pelabuhan di Tanjung Emas, mereka makan dulu di kota itu. Di sana
mereka banyak ngobrol tentang berbagai masalah kecil. Pras menikmati tawa dari
Nadia yang tidak pernah dilihatnya ketika Ia baru pertama kali mengamati Nadia.
Mereka tidak pernah membicarakan tentang cinta atau hubungan mereka sama
sekali. Pras juga tidak pernah menyatakan cintanya kepada Nadia secara
langsung. Hubungan seperti inilah yang lebih dari sekedar pacaran. Ia bahkan
menganggap Nadia sudah seperti adiknya sendiri. Perasaan yang membuatnya
dapat lebih dekat bagai saudara ini, walaupun jika ke mana-mana berdua orang
pasti akan melihat mereka sebagai sepasang kekasih. Tak pernah ada maksud
untuk menyakiti, atau bahkan berbuat macam-macam yang kelewat batas. Hanya
ada rasa untuk melindungi Nadia seutuhnya. Dialah mutiara yang paling cerah
kemilaunya dalam samudera yang di dalamnya terdapat jutaan mutiara lainnya.
Sebelum jam sembilan malam mereka sudah tiba di depan rumah Nadia. Ketika
Pras sudah mau berpamitan dengan Nadia, handphonenya berdering. Ya Hallo,
ada apa kak?. Apa!! Pras terkejut ketika mendengar berita apa yang sedang
diutarakan kakaknya dari ujung sana. Rasa keterkejutan itu hanya beberapa
detik terlihat di wajahnya. Setelah itu Ia terus mendengarkan penjelasan
Kakaknya dengan ekspresi yang sudah normal lagi. Ada apa Pras, ada yang
serius? tanya Nadia ketika Pras mematikan hubungan telephone itu. Iya, orang
tuaku meninggal dunia satu jam yang lalu, ujar pras dengan nada biasa. Oh, Aku
turut berduka cita. Sekarang apa yang mau kamu lakukan?, Terima kasih,
Sekarang Aku harus ke Jakarta, Bolehkah Aku ikut untuk memberikan
penghormatan terakhir?, Ah tidak usah, terima kasih atas simpati darimu. Aku
tidak ingin Ibumu mengkhawatirkanmu. Aku lebih mencintai keluarga kalian dari
pada apapun!, Mengapa kamu bilang begitu?, Karena mereka bukan orang
tuaku sebenarnya. Kakakku baru menceritakannya tadi. Oleh karena itu mengapa
Aku tidak pernah merasa dekat dengan mereka. Terlihat ada ekspresi ketidak
percayaan Nadia di wajahnya. Aku pamit dulu ya, Assalamualaikum! ucap pras
menutup percakapan itu agar tidak mendapat berbagai pertanyaan lagi dari
Nadia.
Pras segera menjemput Kakek Neneknya yang ada di Solo untuk bersama-sama
terbang ke Jakarta. Di sana Pras ikut melakukan prosesi pemakaman kedua orang
tuanya yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sesampainya di rumah, Pras
kembali di jelaskan mengenai hal ikhwalnya bahwa ia adalah seorang anak pungut.
Walaupun begitu, Pras tetap menghargai dan menghormati kedua orang tuanya
itu yang telah membesarkan dan mendidiknya selama ini. Ia mendapatkan warisan
dari orang tuanya hanya berupa rumah yang ditinggali oleh dirinya dan orang
tuanya itu. Rumah itu untuk sementara Ia biarkan kosong, dan hanya dirawat oleh
pembantu yang selama ini bersama keluarga itu. Rencananya nanti rumah itu akan
dijadikan rumah untuk merawat anak Yatim Piatu yang akan dia kelola dan
mungkin juga dengan Nadia.
*
Setelah kembali lagi di Yogyakarta, Ia jadi lebih sering untuk menginap di rumah
Kakek dan Neneknya yang sebenarnya bukan. Tapi mereka menganggap Pras
seperti cucu-cucunya yang lain, bahkan lebih. Sehingga Pras sangat menyayangi
mereka. Selain itu Pras juga jadi lebih sering berkunjung ke rumah Nadia
walaupun hanya mengobrol di teras dengan Ibunya. Di sana Pras seperti
mendapatkan kehangatan sebuah keluarga yang sebenarnya. Ibunya Nadia sudah
Ia anggap seperti Ibunya sendiri yang nantinya akan menjadi resmi jika Ia
menikah dengan Nadia.
*****
Hari sudah mulai pagi lagi. Mentari redup yang masih tertutup kabut membias
menerangi bumi yang sudah semakin tua ini. Pras terbangun ketika mobil
terguncang melewati jalan-jalan Yogya yang sebagian besar sudah retak-retak.
Semuanya berbeda 180. Kiri kanan jalan yang biasanya berderet-deret kios-
kios, sekarang hanya reruntuhan puing-puing yang tidak bernilai. Tak ada lagi
orang-orang yang lalu lalang ramai dengan cerianya di pinggir jalan, sekarang
hanya terlihat manusia-manusia yang terkulai tak berdaya terluka atau mati
karena reruntuhan bangunan. Mobil yang Pras tumpangi berhenti di pinggir
sebuah lapangan yang di sana terdapat tenda-tenda darurat. Saat Pras
menginjakan lagi kakinya di tanah Yogya, Hatinya sakit. Kesedihan yang luar biasa
menerpanya. Bukan hanya karena pemandangan yang baru saja dilihatnya, tapi
karena penyesalannya yang dibuat terhadap Nadia.
*****
Hampir genap empat tahun sudah Pras studi di Yogya. Sekarang ia sudah lulus
dan diwisuda dengan titel sarjana sastra. Wisudanya juga berbarengan dengan
Nadia yang berhasil pula menjadi seorang sarjana. Kakek neneknya dan Ibu dari
Nadia datang untuk menyaksikan acara tersebut. Bagaimana rencanamu setelah
ini? tanya Nadia setelah acara wisuda itu berlangsung. Mungkin Aku akan
tinggal di sini kira-kira satu bulan untuk cari pekerjaan, atau.., Atau apa?
cemas Nadia. Atau, Aku akan kembali ke Jakarta untuk cari pekerjaan di sana.
Aku akan membantumu mencari pekerjaan di sini Pras. Supaya Aku bisa selalu
dekat denganmu!, Terima kasih Dia! Ujar Pras sambil menggenggam tangan
Nadia.
Selama waktu satu bulan itu Pras terus mondar-mandir mencari pekerjaan. Ia
mencoba melamar pekerjaan sebagai translater di berbagai perusahaan asing,
tetapi semua pekerjaan itu sudah penuh. Dalam keadaan yang sulit itu dan
keuangan yang semakin menipis, Pras mulai merasa frustasi. Ia jadi jarang
berkomunikasi dengan Nadia apa lagi main ke rumahnya. Akhirnya Ia membuat
suatu keputusan untuk berangkat ke Jakarta dan mencari pekerjaan di sana.
Dibelinya tiket pesawat untuk tiga orang dengan maksud mengajak Nadia dan
Ibunya ke Jakarta pula.
Setelah membereskan semua barang-barangnya, Ia berangkat ke rumah Nadia
dengan perasaan yang sudah agak baikan dari sebelumnya. Ia tiba di jalan depan
rumah Nadia. Di sana Ia melihat sebuah mobil yang parkir di situ. Tak lama
kemudian, Seorang pemuda yang usianya kira-kira lebih tua sedikit darinya keluar
diikuti dengan seorang perempuan cantik yang sudah dikenalnya. Ada apa Nadia
dengan orang itu? curiga Pras sambil mengikuti dari belakang. Mereka berjalan
berdua beriringan menuju rumah Nadia. Di tempat agak licin yang sudah
mendekati pintu rumah, tiba-tiba Nadia tergelincir. Tubuh indah itu segera
ditangkap dan dipeluk oleh pemuda yang berjalan dengannya barusan. Melihat
adegan itu, Pras dengan fikiran yang sedang tidak karuan langsung terbakar
hatinya. Nadia!!! teriaknya tidak terkendali. Nadia menoleh dan terlihat
ekspresi sangat terkejut di situ. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pras segera
membalikan badan dan berjalan menjauh dari rumah Nadia.*
Di bandara Maguo, Pras duduk pada ruang tunggu pemberangkatan. Di sana Ia
menatapi handphonenya yang sedari tadi berdering dan menampakan nama serta
wajah Nadia yang cantik sedang tersenyum padanya. Pras tidak
memperdulikannya. Ia menggenggam dua tiket pesawat yang sekarang tidak
terpakai dan merobek lalu membuangnya dalam tong sampah. Saat pengumuman
bahwa pesawat akan segera berangkat, Pras mengnon aktifkan handphonenya dan
bergegas menuju pesawat terbang.
Ia melirik jam tangannya setelah mengenakan seat belt. 11:30 PM, 26 Mei 2006.
Hari ini hari jumat tepat empat tahun lebih sedikit yang mengawali pertemuan
antara mereka. Hari yang mengawali dan mengakhiri semua. Nadia, kau tetap
mutiaraku, Kau tetap yang terindah. Sesal Pras dalam hati. Pras menyandarkan
kepalanya ke kursi pesawat yang empuk. Dicobanya untuk mengistirahatkan
fikirannya dari segala kepenatan yang merusak segala keindahan selama empat
tahun terakhir ini. Ia tidak mengetahui hal besar apa yang akan terjadi beberapa
jam setelah pendaratannya di Jakarta. Hal sangat besar yang merenggut semua
kenangannya.
*****
Pras melaksanakan tugasnya sebagai seorang relawan di daerah bencana. Ia
membantu mengevakuasi korban baik yang luka-luka atau yang sudah meninggal.
Setelah Ia merasa sudah cukup melakukan tugasnya, Ia menyelinap dari
pekerjaan itu untuk melakukan maksud utamanya datang kembali ke kota ini.
Langkah-langkahnya cepat menyusuri jalan-jalan yang sudah rusak di bawah
teriknya terpaan sinar mentari. Ia sangat hafal sekali jalan-jalan itu semenjak
empat tahun yang lalu.
Ia tiba di depan halaman sebuah rumah yang keadaannya tidak terlampau parah.
Tetapi ada kerusakan yang cukup berarti di bagian samping kanan rumah itu.
Bagian itu yang baru disadarinya adalah tempat kamar Nadia. Dalam hati ia
berdoa agar tidak terjadi apa yang sedari tadi dikhawatirkannya. Terlintas lagi
kenangan-kenangan manis bersama Nadia ketika mulai ditapakinya halaman rumah
yang kelihatannya sepi. Dibayangkannya rumah itu masih utuh dan terngiang
suara-suara ceria dari Nadia di telinganya. Lamunannya terpecah ketika Ia
rasakan ada orang yang memeluknya erat. nak Pras, Ibu senang masih bisa
bertemu dengan nak Pras! terdengar isak tangis histeris dari seorang Ibu yang
dikenalnya sebagai Ibu dari nadia. Alhamdulillah Ibu tidak apa-apa. Di mana
Nadia bu? tanya Pras terburu-buru tak bisa menyembunyikan keriangannya.
nadia, Nadia nak Pras. Ia sudah. Tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi,
Ibu itu memberikan sebuah lipatan kertas dari saku dasternya. Pras menerima
kertas itu dan bergerak membelakangi Ibu Nadia. Kertas itu sebenarnya masih
baru dipakai, tetapi keadaannya lusuh karena kotoran debu batu bata. Mulai
dibukanya lipatannya. Tertuliskan huruf-huruf rapi tulisan tangan Nadia. Di
bagian akhir dari surat itu, huruf-hurufnya agak berantakan sepertinya ditulis
dengan terburu-buru, dan terdapat juga beberapa bercak darah di situ.
Dear Pras,
Maafkan aku jika telah menyakiti hatimu. Aku belum sempat mengatakan yang
sebenarnya padamu, dan aku harap semuanya belum terlambat.
Saat kau melihatku yang terakhir kalinya itu, laki-laki itu adalah sepupuku yang
mengepalai sebuah biro perjalanan. Aku bermaksud untuk mengenalkannya
denganmu agar Ia mau memberikan pekerjaan. Aku tahu kamu sedang kesulitan
dalam mencari pekerjaan, jadi aku putuskan karena kamu ahli dalam beberapa
bahasa asing dan punya pengetahuan yang cukup luas, jadi menjadi seorang guide
adalah pekerjaan yang cocok menurutku.
Aku akan ke Jak
Pras, aku harap kita akan dapat bertemu lagi, yang aku juga tidak yakin dengan
hal itu. Walaupun aku harus pergi untuk selamanya, hanya satu pintaku. Maafkan
aku dan kenanglah aku untuk selamanya. Aku yakin kamu akan membaca surat ini,
walaupun aku tak di sisimu, tapi cintaku akan tetap abadi.
Na di a.
Kata-kata yang terakhir itu sudah sangat tidak terlihat jelas. Banyak sekali
bercak darah yang menutupinya. Sekarang tulisan-tulisan itu makin kabur setelah
air mata Pras jatuh satu per satu membasahinya. Air mata yang sudah ditahannya
sedari tadi yang Ia sendiri tak ingin melakukannya. Penyesalannya sekarang
sangat menyiksanya. Ia telah menyakiti hati Nadia yang sangat baik itu. Nadia
tahu semua yang Ia butuhkan. Menjadi seorang pemandu wisata adalah satu-
satunya pekerjaan yang tidak terlintas di fikirannya sebelumnya. Ia menguasai 4
bahasa yaitu perancis, spanyol, jerman, dan Jepang. Tentunya bahasa Indonesia
dan Inggris tidak masuk dalam hitungan bahasa yang sulit baginya. Ia juga hobi
jalan-jalan ke tempat-tempat yang unik. Dirinya sendiri tidak menyadari, tapi
malah Nadialah yang lebih mengerti. 27 Mei 2006, puncak cinta Pras terhadap
Nadia yang tidak dapat dipisahkan oleh maut sekalipun. Ia akan tetap mengenang
mutiara itu, mutiara terindah dalam samudera yang luas.
*****
Pengganti Hidup
Pras harus kembali ke Jakarta setelah menjadi relawan salama 2 minggu. Telah
diajaknya Ibu dari Nadia untuk pergi bersamanya ke Jakarta. Tapi Ia menolak.
Masih cukup banyak sanak saudaranya yang ada di sini, katanya. Tapi Ibu itu
berjanji suatu saat nanti akan ke Jakarta menemuinya. Pras tidak bisa memaksa
Ibu yang telah dianggap seperti Ibu kandungnya itu. Dengan naik bis malam Ia
kembali ke jakarta. Sebelumnya Ia menyerahkan hampir seluruh uang yang
dibawanya sebagai bentuk perhatian untuk meringankan beban atas semua
kerusakan yang telah terjadi. Di saat hari mendekati siang Pras menaiki bis
malam yang akan segera berangkat. Penumpang di dalamnya sudah hampir penuh
dengan orang yang mau balik ke Jakarta. Mungkin mereka datang ke sini untuk
mengkonfirmasi bagaimana keadaan keluarga di sini. Diambilnya deretan kursi
posisi agak belakang yang ternyata salah satu kursinya telah terisi oleh seorang
perempuan. Setelah menyesalkan tas bawaannya di bawah jok kursi, Ia mulai
merebahkan dirinya di situ. Sedikit mencuri-curi pandang, Ia mengamati
perempuan yang duduk di sebelahnya. Ia kelihatannya sangat pemalu sekali.
Sedari tadi wajahnya dipalingkannya ke arah kaca jendela bis yang mulai
berjalan. Dari pantulan kaca, Pras dapat melihat samar-samar wajah dari
perempuan itu. Sepertinya Ia mengenalnya. Karena penasaran, Pras mulai
membuka percakapan. Maaf mbak, mau ke Jakarta juga? tanya Pras sekedar
basa-basi. Sudah tahu ini bis jurusan Jakarta, jadi mau kemana lagi! jawab
perempuan itu dengan memandang wajah Pras sebentar yang kemudian kembali
menatap keluar melalui jendela. Pras terkesiap ketika melihat sekilas wajah itu.
Benar-benar mirip dengan Nadia. Tidak satu milimeter pun yang berbeda. Sesaat
Ia berfikir bahwa Nadia masih hidup dan berada di hadapannya sekarang. Tapi Ia
segera dapat mengontrol kegembiraannya itu dan sadar bahwa Nadia memang
sudah tiada. Ia melihat sendiri makam Nadia walaupun tidak ingin lama-lama di
sana karena akan membuat rasa penyesalannya semakin menyakitkan. Pras nekad
untuk dapat mengajak perempuan di sebelahnya berbicara dengannya. Usahanya
cukup berhasil. Walau gaya bicaranya masih tetap jutek, tapi Ia sudah banyak
beradu pandang dengan Pras. Pras memang masih belum berhasil mengetahui
siapa nama perempuan itu, tapi Ia merasa seperti sudah menemukan pengganti
hidupnya yang sekarang ada di sebelahnya, tetapi dengan sifat yang 180
berbeda.
S E L E S A I
Jakarta, 1 Juli 2006
Cinta di balik bencana
Idsam Y.
Tuan Pembual
View
Track
Posted October 13th, 2009 by saiful bahri
Cerpen
Kamilah rakyat yang tersekat, terjerat, melarat, selalu dalam sekarat, dan selalu
saja terbuai-buai dalam decak indah manis bual-bualmu, wahai Tuan-Tuan
Pembual. Ketika bermula musim semai menyemai bual, amatlah lantang kobar-
kobar bualmu, wahai Tuan-Tuan. Sungguh sangar dan angker bualmu itu.
Terpukaulah kami. Berdeguplah dada kami, menggelegak berbuncah-buncah harap
akan cerahnya hari esok. Begitu cocok dan selalu cocok bualmu mematuk dan
menyosor-nyosor lingkar melingkar selingkar derita kami, menjelang sore itu di
tanah lapang ujung kampung kami.
Karena anda-anda dan saudara-saudari semua adalah saudara-saudara saya
tercinta, saya tak ingin membiarkan angkara murka melindas tak habis-habis awal
hidup hingga akhir hidupmu, wahai saudaraku! Saya bersumpah akan berjuang
demi mengentaskan segala derita yang terpelihara dengan sangat sempurna
bermasa-masa, turun-temurun. Sungguh derita itu jangan lagi kita manjakan.
Mari bersama-sama kita bekerjasama dengan saya punya rencana. Anda-anda tak
perlu ragu, karena janji saya pasti saya tunaikan jika saudara-saudari
mempercayai saya. Percayailah saya! Ingatlah janji saya, tak pernah ada lagi
peminta-minta di simpang-simpang jalan, karena mereka akan kita berikan modal
usaha apa saja sesuai maunya mereka. Lapangan kerja terhampar luas, seluas
samudera di laut lepas. Harga bahan pokok tak akan naik semena-mena, minyak
tanah tak perlu antri, listrik tak perlu bayar, pembangunan fisik dan mental
spiritual menjadi prioritas pertama dan utama. Koruptor dan pemakan uang
rakyat akan kita pancung atau kita gantung, sehingga ia jera, sehingga tak ada
lagi ketimpangan yang merugikan rakyat. Tak ada lagi kebodohan, karena
pendidikan akan bebas dari segala biaya. Tak ada lagi biaya kesehatan, karena
semua akan digratiskan. Free! Free semuanya! Free hidup! Free mati! Tuan
Pembual itu terengah-engah kehabisan nafas.
Sore bersaput debu menjadi saksi atas segala bual yang terpercik di sehampar
tanah lapang yang hampir tandus dari kenangan rerimbunan rumput. Ya, hampir
tandus, sehampirtandusnya keyakinan dan kepercayaan kami akan ampuhnya bual-
bualmu, wahai Tuan Pembual. Sekedar menghargai niat baikmu untuk
memperjuangkan nasib kami, maka kami memaksakan diri untuk sejenak
mendengarkan bual-bualmu. Karena engkau telah membual bahwa kami adalah
saudaramu, maka apa susahnya jika kami juga ala kadarnya menganggapmu
saudara. Alangkah licik dan mirisnya jika kita bersepakat untuk saling bual-
membual!
Untuk itu wahai saudaraku, bulatkan tekad, tetapkan niat agar mempercayakan
nasib hidup mati saudara-saudara kepada saya, karena makmur, adil, sejahtera
pasti segera jadi milik kita. Dukunglah rencana-rencana saya. Pilihlah saya!
Pilihlah saya!
Seekor kelelawar tua terbang rendah melintas tanah lapang. Kepak sayapnya
lemah. Ia berputar-putar tujuh kali di atas kepala Tuan Pembual. Setelah itu,
kelelawar tua itu jatuh, menimpuk kepala botak Tuan Pembual. Seketika itu juga
kelelawar tua itu mati. Tuan Pembual tersentak. Ia meraba kepalanya. Ada darah
melekat di jari tangannya. Ia tercekat. Seketika ia pucat. Ia merasakan sial. Ia
tersadar, ia telah terlalu banyak membual.
Sore hampir selesai. Kami rakyat yang suka dibual-bual berbisik-bisik sesama
kami. Tak jelas apa yang kami bisikkan. Karena kami enggan bersuara, maka bisik
membisik biarlah menjadi jatah kami. Karena bual kami tak sehebat bualnya Tuan
Pembual, maka biarlah kami membual hal-hal yang remeh, seumpama akankan
Obama terpilih menjadi presiden Amerika, makna apakah gempa 3,8 skala
Richter pada jam 08.05 di hari 20 puasa, salah apakah kampung kami kini jarang
hujan, khusyuk mana minum kopi atau shalat tarawih, harga timun murah sekali,
harga emas naik lagi, harga hidup semakin susah lagi, harga mati tak ada tawar-
tawar lagi!
Tuan Pembual menghilang entah kemana. Kami tak sempat mempedulikannya lagi.
Kami sibuk mempedulikan diri kami, anak istri kami, saudara sekampung kami.
Peduli kami hanya dari kami untuk sesama kami sendiri!
Banda Aceh, 20 September 2008



Pemberian Terakhir

Posted August 12th, 2009 by Idsam Yasperto
Cerpen
Assalamualaikum, Bu, Bu, Ibu di mana!
Terlihat seorang pemuda dengan wajah yang bercahaya dan perawakannya yang
tinggi serta tubuh yang berisi. Ia menggunakan celana panjang berwarna hitam
dan kemeja putih yang semakin memperlihatkan wajah yang menyejukkan dan
penuh optimisme. Saat Ia selesai membuka sepatu hitam yang terawat, Seorang
wanita setengah baya yang masih menggunakan celemek masak menghampirinya.
Wa alaikumsalam, ada apa Tri panggil-panggil Ibu sebegitu hebohnya.
Tri segera menghampiri Ibunya dan sembah sungkem. Ibunya memegang tangan
Tri dan menyuruhnya berdiri. Tri berdiri kemudian memeluk Ibunya dengan
berlinang air mata. Tinggi mereka tidak seimbang, tinggi dari Ibunya Tri hanya
mencapai dagu dari Tri sendiri.
Alhamdulillah bu, Tri lulus SPMB dan diterima di Universitas impian Tri,
Kalau begitu Ibu ikut bersyukur. Selamat Ya nak!.
Ibu Tri membelai kepala anaknya dengan sayang.
Oh iya bu, Bapak di mana?,
Sepertinya bapakmu sedang di kebun tuh!
Ibu Tri mengacungkan jari telunjuknya ke arah bagian belakang dari rumah yang
sederhana itu.
Tri menuju ke arah yang ditunjukan Ibunya. Ia berdiri sejenak di ambang pintu
yang di hadapannya terdapat sepetak kebun kecil 3X4 meter. Ia melihat Ayahnya
masih menggunakan baju seragam kantor sedang duduk bersantai menghadap
tanaman yang habis disiram. Moment ini adalah saat pavorit dari Ayah. Ia sangat
senang memandangi tanaman obat-obatan dan buah yang segar setelah disiram.
Di tangannya tergenggam segelas kopi yang terlihat uap kecil masih mengepul di
atasnya. Ia tidak menyadari Kehadiran Tri di sebelahnya. Matanya terbius
dengan keindahan sinar matahari sore kota Jakarta yang dipantulkan oleh tetes-
tetes air.
Pak, aku punya kabar gembira untuk kita semua.
Tri mengejutkan ayahnya dengan menggenggam tangan ayahnya yang sudah mulai
berkerut itu. Tri melakukan hal serupa yang Ia lakukan kepada Ibunya.
Sebelumnya, Tri bukanlah anak yang berbakti seperti sekarang.
Menjadi anak ketiga dari tiga bersaudara yang kedua kakaknya adalah
perempuan, Ia sangat dimanja sekali oleh Ibunya. Tapi ayahnya malah sebaliknya,
Ia menginginkan anak laki-laki satu-satunya itu menjadi Pria sejati dan
bertanggung jawab. Ia mengharapkan agar Tri dapat menjadi penerus keluarga
dan tulang punggung yang dapat menaikan derajat keluarga.
Ayahnya terus memaksa agar Tri mau belajar yang rajin agar nilai-nilainya baik di
sekolah dan memperoleh sekolah negeri terus sampai kuliah. Maklum saja,
keluarga mereka adalah keluarga yang sederhana jadi hanya mampu
menyekolahkan di sekolah negeri. Jarak kelahirannya dengan kakak-kakaknya
jauh sekali. Sehingga pada saat Tri masuk SMA kelas 1, kakak yang keduanya
saja sudah semester akhir di kuliahnya. Lalu untuk kakak yang pertamanya, Ia
sudah menikah dengan sesama rekan dokternya. Kemudian Tri yang masih ingin
bebas, merasa tertekan dengan semua tuntutan dari ayahnya. Tri malas sekali
belajar, Ia masih ingin banyak bermain bersama teman-temannya. Walau pun
malas seperti itu, Ia tetap mendapat peringkat sepuluh besar dalam kela dan
naik kelas tanpa ada masalah sedikitpun. Ya paling-paling merah-merah dikit pada
pelajaran agama dan PPKN gitu deh!.
Di sekolah tri memiliki banyak teman. Terutama teman-teman yang minta
bantuannya untuk diajari pelajaran di sekolah. Itulah tehnik yang dilakukan Tri
dalam belajar. Sedikit sekali belajar, tapi pada saat mengajari teman-temannya
Ia langsung paham dan seterusnya tidak pernah membukanya lagi. Oleh karena
itu, Ayahnya memaksa Tri untuk lebih rajin lagi belajar agar nilai-nilainya dapat
dimaksimalkan. Tri tidak menuruti nasihat itu, Ia sudah cukup puas dengan nilai-
nilainya yang pas-pasan selama ini.
Lalu awal yang hampir merusak masa depan dan merenggut nyawa ayahnya
terjadi. Ia terjerumus dalam penggunaan obat terlarang. Hal itu dilakukannya
pada saat ia sedang belajar brsama di rumah temannya Derry yang anak orang
kaya. Sehingga Ia selalu dapat gratisan saat menggunakan barang haram
tersebut. Tapi setelah naik ke kelas 2 SMA, Derry beserta orang tuanya pindah
ke luar negeri. Tri bingung bagaimana untuk memenuhi ketergantungannya itu.
Akhirnya Ia mulai nekad dengan mencuri barang-barang yang ada di rumahnya
untuk dijual. Pada awalnya hal tersebut tidak ada yang mengetahui. Tapi setelah
nilai-nilai Tri semakin anjlok dan gerak-geriknya yang mencurigakan, Ayah Tri
mulai curiga. Lalu Tri ketahuan dan dengan paksaan dari Ayahnya Ia dimasukan
ke pusat rehabilitasi.
Tri sangat kesal pada Ayah karena diperlakukan seperti sampah. Bahkan lebih
parah lagi yaitu seperti pakaian robek yang bukannya diperbaiki tapi malah
dibuang ke selokan. Dendam itu akhirnya luntur setelah suatu pertemuan di pagi
yang tak terduga.
Siapa tuh yang datang? tanya Tri yang matanya silau melihat cahaya masuk dari
pintu kamarnya yang terbuka.
Dilihatnya orang yang masuk itu menutup kembali pintu dan berjalan menuju
jendela untuk membuka tirai.
Kamu ini tri, sudah siang masih tidur saja! ucap orang itu akhirnya.
Tri mengenali siapa sumber suara itu. Semakin jelaslah saat tirai mulai terbuka
dan seluruh isi kamar menjadi terang karenanya.
Oh kakak, apa kabar kak, ada apa datang kemari? tanya Tri yang sedang
menggeliat malas di atas kasur.
Ternyata orang yang datang adalah Kak Eka, satu-satunya saudara yang paling
baik menurut Tri. Kak Eka tinggal di Jakarta bersama suaminya sesama dokter
mata.
Kakak baik, tapi ayah tidak jawab Kak Eka setelah duduk di satu-satunya
kursi dalam kamar.
Memang ada apa kak? Tanya Tri tanpa ekspresi.
Tadi malam,
Kak Eka berhenti sesaat untuk menhela nafas mencoba menenangkan dirinya
sebelum berkata
Ayah dapat musibah kecelakaan saat menyetir taksi semalam..
Mimik muka Tri terlihat aneh saat mendengar berita dari kakaknya. Raut
wajahnya terlihat senang alih-alih sedih karena Ayahnya kecelakaan.
Syukurlah, ini balasan atas perlakuannya padaku selama ini!
Kak Eka terlihat tenang mendengar pernyataan Tri tadi. Ia sudah tahu pasti Tri
akan berkata seperti itu dengan ketidaktahuannya sekarang.
Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Beliau itu Ayah kamu sendiri,
Hah Ayah?, mana ada ayah yang membuang anaknya sendiri ke tempat busuk
seperti ini! ujar Tri setengah teriak.
Kak Eka merangsek maju dan merangkul adiknya yang dikuasai emosi.
Jika kamu mengerti Tri,
Mengerti apa! sela Tri.
Ayah selama ini sangat menyayangi mu lanjut Kak Eka tidak mendengarkan
rontaan Tri.
Ia bekerja siang malam demi untuk membiayai rehabilitasimu di tempat ini. Ia
ingin melihatmu cepat sembuh dan menjadi anak baik seperti dulu lagi. Lalu Ia
juga sudah menyesali sikapnya yang mungkin terlalu keras selama ini
terhadapmu.
Terasa seperti baru saja seember air dingin yang mengguyur Tri dari kepala ke
ujung kaki saat Kak Eka melepaskan pelukannya. Memang saat itu fikiran Tri
sejuk dan jernih kembali menyadari semua yang terjadi. Tapi Ia juga merasa
malu dengan buruk sangka terhadap ayahnya sendiri. Tri masih dalam
ketertegunannya saat Kak Eka bangkit dari duduknya dan membelai rambut Tri
lembut.
Kakak pulang dulu ya. Tenanglah, keadaan Ayah tidak terlalu parah. Ingat, kami
semua percaya padamu..
Mendengar kata ayah, Tri merasa semakin bersalah dan menundukan kepalanya
dalam-dalam. Saat Ia menegakkan kepala dan ingin mengeluarkan beberapa patah
kata dari dalam tenggorokan yang terasa kering, yang ia temukan hanyalah sisa
cahaya semakin menghilang dari daun pintu yang tertutup.
Tri beranjak dari tempat tidurnya dan sekarang berdiri di balik jendela. Jendela
itu menghadap ke kebun yang di tengah-tengahnya terdapat kolam ikan dengan
air sangat jernih. Dilihatnya ada seekor ikan yang sedang berusaha melompat
untuk keluar dari kolam. Setelah beberapa kali mencoba, ikan itu berhasil keluar
dari kolam dan sekarang menggelepar-gelepar entah senang atau penyesalan di
lantai batu. Beberapa menit ikan itu terus menggelepar-gelepar cepat, kemudian
semakin lambat, lambat, lemas, dan diam kaku tak bergerak.
Ia berfikir bahwa dirinya seperti ikan tersebut. Ingin memperoleh kebebasan
dari tekanan yang membatasi dirinya. Tapi Ia tidak tahu apakah dengan
kebebasan itu akan berakibat baik atau buruk. Ia semakin teringat pada ayahnya
yang keras untuk mendidiknya ke arah yang benar. Ternyata tidak semua
kekangan akan berakibat buruk untuk seseorang. Malah peraturan sengaja dibuat
untuk kemaslahatan hidup manusia sendiri. Di dalam tangis yang setetes demi
setetes membasahi pipinya, Ia bersumpah dalam hati.
Aku berjanji akan dapat memenuhi harapan keluarga, dan tidak ingin menjadi
ikan yang mati itu!.
*****
Seorang pemuda dengan langkah tegap berjalan menyelusuri gang sempit. Gaya
rambutnya rapi dan licin khas orang kantoran. Ia hanya mengenakan kemeja putih
yang ditutupi oleh jaket hitam yang tak dikancing. Bawahannya menggunakan
celana hitam panjang yang disempurnakan dengan sepatu kerja hitam mengkilat.
Ditangannya menjinjing tas berukuran sedang berisi Jas, Dasi, laptop, dan
perlengkapan kerja lainnya. Ia adalah tri. Seorang eksekutif muda yang sudah
tinggal selama 7 tahun di kota Bandung ini. Sebagai sarjana lulusan salah satu
universitas ternama di kota ini, Tri berhasil menjadi seorang manager keuangan
walau baru bekerja selama tiga tahun.
Kakinya mulai terasa letih ketika dilihatnya sebuah rumah kontrakan sederhana
berdiri tepat di hadapannya. Rumah kecil itu yang ditinggali tri selama kurang
lebih tiga tahun terakhir. Bukan karena kebetulan atau tidak mampu ia tinggal di
rumah sederhana itu, tapi Ia memiliki impian tertentu di masa depan.
Saat ia menginjakan kaki di teras kecil rumahnya, hampir tak menyadari akan
seseorang yang sedari tadi menunggu. Ia tak bisa mengenali siapa orang di
hadapannya sekarang. Pandangannya masih kabur karena perubahan intensitas
cahaya yang cepat.
Ternyata, selama tiga tahun ini kamu menghilang ke tempat ini tri.
Tri mulai mengenali siapa yang ada di hadapannya. Selain karena suara yang sudah
sangat dikenalnya, pandangannya sudah mulai jelas sekarang.
Oh kak Eka, dari mana kakak tahu alamat saya?
Kakak tak sengaja menemukan majalah yang berisi tentang profil kamu. Jadi ya
memang sulit ya buat profesional muda berprestasi di sebuah perusahaan
terkenal untuk menyembunyikan keberadaannya!
Tri sudah membuka kunci pintu dan mempersilahkan Kakak tercintanya itu untuk
masuk. Sebenarnya Ia tidak keberatan sama sekali kedatangan keluarganya.
Karena Ia yakin impiannya sebentar lagi akan terwujud.
Bagaimana kabar ayah ibu kak, mereka tidak marah kan selama tiga tahun ini
pada saya?
Ya mereka tidak marah, tapi sangat rindu sekali dengan anak laki-laki satu-
satunya yang bandel itu, terutama Ayah
Ayah?
Tri merasa seperti ada pedang yang baru menusuk dadanya. Kekhawatiran itu
kembali melandanya. Ia takut jika kembali menyakiti hati ayahnya.
Ya ayah. Kamu tahu kan beliau sudah tidak bekerja selama beberapa tahun ini.
Jadi mungkin ia ingin melihat hasil pekerjaannya selama ini. Atau.
Atau apa kak? desak Tri cepat.
Atau Ia masih merasa kalau kamu masih marah terhadapnya
Terdengar desahan nafas panjang dari Kak Eka yang masih terlihat cantik. Tri
tahu, pasti ada sesuatu yang serius di balik semua ini. Tapi Ia tetap tidak bisa
pulang sekarang.
Tapi Aku tetap tidak bisa bertemu mereka sampai aku benar-benar sukses. Oh
iya, kakak mau minum apa? tanya Tri mencoba mencairkan suasana.
Tak usah, waktu kakak sedikit.
Kak Eka menyelipkan tangan halusnya ke dalam tas bahu bawaannya untuk
mengeluarkan sesuatu. Ia meletakan selembar kertas dengan logo salah satu
maskapai penerbangan lokal di meja tepat di bawah hidung Tri.
kakak sudah harus ke bandara sekarang untuk penerbangan beberapa menit lagi.
Tapi ini sudah ku persiapkan tiket untuk penerbangan esok hari.
Tri terpaku menatap lembaran kertas yang ada di hadapannya. Ia tak tahu harus
berbuat apa dengan benda itu.
Pokoknya kamu harus pulang secepatnya, ayah menunggumu! ujar kak Eka yang
sudah berdiri di ambang pintu.
Saat Tri menatap ke arah kakaknya, pintu sudah tertutup dan sosok Kak Eka tak
terlihat lagi.
Ditatapnya kembali tiket pesawat dari Kak Eka. Tangannya meraih lembaran
kertas itu, dan merobeknya menjadi empat bagian.
maaf ayah, aku tidak bisa pulang sekarang. Impian kita sebentarlagi akan
terwujud
Kenangan 12 tahun yang lalu mengalir deras di benak Tri. Saat itu, Ia diajak oleh
ayah ke tempat kerjaan. Tri duduk di bangku mobil sebelah tempat ayahnya
menyetir. Ayahnya memang bekerja sebagai supir kantor. Itulah satu-satunya
keahlian yang Ia miliki. Walaupun begitu, Ia merasa bahagia karena sudah cukup
untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Bahkan dapat menyekolahkan sampai
masuk perguruan tinggi.
Nah nak, berkata Ayah kepada tri.
Sekarang kamu sudah tahu bagaimana pekerjaan ayah sehari-hari. Ayah tak
ingin kamu bernasib seperti ayah yang berpendidikan rendah ini. Tapi ayah ingin
kamu mendapatkan pekerjaan yang baik untuk dirimu sendiri dan keluarga di
kemudian hari. Oleh karena itu, kamu harus belajar yang baik setinggi-tingginya.
Ayah berjanji untuk kerja keras sampai semua anak ayah lulus sekolahnya!
Tri hanya mengangguk-angguk tidak memperhatikan. Ia sibuk memandang
pemandangan di kiri jalan. Sampai pada saat mobil itu berhenti di trafick light
dan mata Tri mengarah ke sebuah show room mobil.
Tapi ada satu lagi impian ayah, suatu hari nanti ayah ingin mobil sendiri
Kata ayah dengan lirih. Tapi cukup jelas didengar Tri. Tri beralih menatap
ayahnya. Ternyata Ia juga sedang memandang ke arah show room mobil yang
berada persis di sebelah mobil mereka berhenti. Tatapan mata ayah jauh
menerawang. Sepertinya Ia sedang melihat jauh ke masa depan yang belum pasti
adanya.
Tri menunduk dan berkata dalam hati,
Aku janji yah..
*****
Hari-hari menjelang idul fitri kira-kira empat bulan setelah pertemuan terakhir
Tri dengan Kak Eka, Ia sudah mempunyai cukup uang untuk membeli mobil. Ia
berencana untuk membeli mobil dan di tempat yang pernah ditunjukan oleh
ayahnya di Jakarta.
Semoga saja tempatnya belum tutup Ucap Tri saat Ia baru saja keluar dari
stasiun gambirr.
Selama menjadi manager, Ia beberapa kali berkunjung ke Jakarta untuk tujuan
bisnis. Tapi sekarang berbeda. Ia merasa seperti anak SMP lagi yang sedang
berjalan-jalan bersama ayahnya.
Di dalam bis kota, Ia melihat sekeliling di jalan yang sama seperti 12 tahun yang
lalu. Tapi bangunan yang berada di pinggirnya sudah banyak yang berbeda.
Sekarang tak ada lagi jalur hijau dan terisi oleh gedung-gedung tinggi.
Kekhawatiran mulai menyergapnya jika tempat itu sudah tak ada lagi. Saat bus
kota berhenti di trafic light, Ia menoleh ke sebelah kiri dan terlihat show room
yang sama dengan kenangannya 12 tahun yang lalu. Segera Ia turun sebelum
lampu berubah dari kuning ke hijau. Ia mengangkat sedikit daun topi yang ia
kenakan untuk dapat melihat lebih jelas bangunan yang ada dihadapannya
sekarang. Show Room itu sudah lebih luas dan bagus. Kemudian setelah benar-
benar yakin, Ia masuk ke tempat itu.
Tampa berlama-lama, Ia langsung memesan mobil Kijang keluaran tahun 2000
seperti apa yang diinginkan ayahnya. Karena ingin membayar cash, ia harus
mengambil uang terlebih dahulu di bank. Untunglah bank tersebut letaknya persis
di sebelah show room.
Beberapa menit kemudian, ia sudah mengambil uang beberapa puluh juta dari
tabungannya.
Ayah, aku berhasil mewujudkan impianmu ucap syukurnya dalam hati.
Tri menerima amplop itu dan ingin mengucapkan terima kasih ketika Ia tak
sengaja melihat name tag yang ada di dada pegawai wanita bank itu. Indah
Rosalia nama yang tertulis. Otaknya bekerja untuk mengingat arsip nama yang
ada di sana. Tapi ternyata hatinya lebih cepat mendeteksinya. Seperti ada aliran
kecil listrik saat pandangan mereka bertabrakan. Wajah cantik dihadapannya
juga terlihat ekspresi tidak percaya sama sepertinya.
Indah, itu benar kamu?
Maaf, mungkin saya salah orang. Benar mas Tri Kusumo teman saya sewaktu
SMA? Jari Indah menunjuk ke nama yang ada di buku tabungan.
Iya ini Aku Tri teman kamu. Kok kamu bisa ada di Jakarta dan apa kamu sudah
tidak.
Hai mas, kalo mau pacaran jangan di sini dong, banyak yang ngantri nih! Tegur
seorang ibu-ibu dari belakang Tri.
Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan jelas Indah singkat.
Tri meninggalkan loket dan meminta maaf pada orang yang menegurnya tadi. Ia
duduk di salah satu kursi panjang dan sesekali melirik ke arah Indah yang sedang
bekerja. Indah pun sesekali memberi senyum manis. Wajah Indah sekarang
sangat berbeda sekali dengan 7 tahun yang lalu. Kalau masalah cantik, itu sih tak
berubah sedikitpun. Tapi auranya sekarang kelihatan lebih cerah dan penuh
optimis.
Kenangan 7 tahun lalu menghujani fikirannya. Saat itu perpisahan yang tidak
mengenakan setelah mereka lulus SMA.
Aku tak mau kamu tinggalkan
kalimat pertama yang diucapkan Indah setelah setengah jam hening. Mereka
sedang berada di salah satu sudut kantin sekolah. Tri duduk dihadapannya
memandangi lekat-lekat sepiring sio may yang belum disentuhnya.
Keputusanku sudah bulat untuk melanjutkan pendidikan di Bandung. jawab Tri
dengan tidak memandang mata Indah yang sudah mulai berkaca-kaca.
Tapi aku mencintaimu.
Tidak, aku tidak bisa menerimamu jika kamu belum mengikuti langkahku.
Selamat tinggal
Tri berdiri dan meninggalkan Indah masih dengan tidak memandang matanya. Ia
berjalan cepat keluar dari kantin. Setelah beberapa langkah di tempat yang tak
terlihat oleh Indah, Ia berhenti dan berbalik. Dari kejauhan Indah terlihat
sedang merunduk dan sepertinya sedang menangis. Tri tidak tega melihat orang
yang dicintainya menangis, apalagi itu karenanya.
Maaf in, aku tetap pada prinsipku sebelum kamu melepaskan diri dari barang
haram itu.*
Jarum pendek jam dinding hampir menyentuh ke angka empat. Bertepatan
dengan itu Indah mendekati Tri yang masih duduk menunggu.
Kamu tinggal di Jakarta? tanya Indah setelah menutup tas perginya.
Tidak, aku di sini mau
Tri langsung teringat dengan apa tujuannya di kota ini. Ia bangkit dan memberi
isyarat pada Indah untuk mengikutinya.
Untung saja Show room itu belum tutup. Tri mendatangi manager show room yang
kelihatan sudah bosan menunggu sambil menimang-nimang kunci.
Ah, I kira you mau tipu I, kata manager itu saat melihat Tri datang.
Manager menghitung ulang uang yang disodorkan oleh Tri. Setelah deal, Tri
menerima kunci mobil dan surat-suratnya. Tri memandang mobil baru untuk
hadiah Ayahnya yang sudah bernomor kendaraan. Untuk masalah plat yang
biasanya membutuhkan waktu beberapa hari, dengan sedikit uang pelicin
semuanya jadi sangat cepat.
Kamu mau pulang kan, bagaimana jika aku antar? kata Tri ketika melihat Indah
yang baru masuk.
Indah mengangguk pelan. Mereka masuk dan langsung melesat.
Di dalam mobil suasana terasa hening. Tak ada yang berani memulai terlebih
dahulu pembicaraan. Sesekali Tri melirik ke kaca spion depan untuk melihat
wajah Indah. Semuanya menjadi lebih baik dari terakhir mereka bertemu.
Kecuali pada tatapan matanya. Dahulu tatapan mata yang begitu penuh cinta
kepadanya, sekarang hambar, tak ada yang spesial. Setelah beberapa menit,
Indah mulai bicara. Itu pun hanya untuk memberi tahu arah jalan menuju
rumahnya. Ia sama sekali tak bertanya bagaimana kabarku, atau apalah tentang
aku. Seperti ada hijab antara kami berdua yang tak terlihat.
Mereka tiba di rumah Indah. Indah tinggal bersama Ibunya yang seorang janda.
Tri dipersilakan masuk dan duduk di sova. Setelah beberapa menit menunggu,
seorang perempuan tua mendatanginya. Ibu Indah yang sudah mengenal Tri
menyambut dengan hangat. Rupanya dia hanya tahu bahwa Tri kuliah di Bandung
tanpa mengetahui hubungan mereka. Tri lama mengobrol dengan Ibu Indah
sampai Indah datang dan Ia mohon diri. Indah sekarang sudah berganti pakaian
santai. Kulitnya yang putih bersih dan rambutnya yang hitam panjang membuat
pakaian apa saja yang dikenakan semakin mempercantik dirinya.
Aku turut senang dengan prestasimu sebagai manager keuangan di Bandung
kata Indah membuka percakapan setelah duduk di sova.
Ah pasti dia tahu dari majalah brengsek itu! umpatnya dalam hati.
Thanks, tapi yang lebih penting, bagaimana kabarmu selama ini. Terus apa kamu
masih.
ternyata kamu masih seperti dulu Tri, selalu lebih mementingkan orang lain
daripada diri sendiri senyum Indah yang tidak menatap Tri sama sekali.
Apakah Ia ingin membalas perlakuanku waktu itu? tanya Tri dalam hati.
Aku sudah tidak nge-drugs lanjut Indah.
Ini semua karena kamu
Aku, kok bisa?
well, aku berusaha untuk menjadi apa yang kamu inginkan. Aku berusaha keras
melepaskan diri dari jeratan barang haram itu. Sambil terus memotivasi diriku
bahwa suatu hari nanti pria yang dulu aku cintai akan melihatku berubah dan
kembali
Tri tak mengerti dengan kata dulu itu. Tapi semua itu terjawab saat Ia melihat
setumpuk kertas undangan yang ada di meja. Ia mengambil salah satunya yang
ternyata berisi surat undangan pernikahan antara Indah dengan pria yang tidak
dikenalnya.
Itu undangan pernikahanku dengan Rendy teman satu kantor kata Indah
setelah melihat Tri memegang selembar dari tumpukan surat undangan.
Entah mengapa Tri tidak merasa cemburu atau tidak suka. Mungkin memang Ia
adalah orang yang dulu Indah Cintai dan sekarang pun Ia sudah mengikhlaskan
kebahagian Indah untuk orang lain. Kebahagian yang lebih utama lagi adalah
karena Indah sudah tidak kecanduan lagi sehinga dapat hidup dengan normal.
OH, coungratulation ya!. Tapi boleh kan aku ambil satu?
Indah sekarang menatap mata bahagia dari Tri dan Ia tersenyum.
Thanks ya, aku pasti datang ke moment bahagia dari sahabat terbaikku ini. By
the way, boleh kan aku menginap di Sova ini semalam? pinta tri dengan nada
yang dimanja-manjakan.
Oh kalau buat anak manja seperti kamu sih pantasnya di kandang ayam sebelah!
Mereka pun tertawa terbahak-bahak. Tri menikmati saat-saat ini. Mereka
seperti dua sahabat yang lama tidak bertemu. Tak ada dendam, tak ada amarah.
Sebenarnya Tri dipersilahkan oleh Ibu Indah untuk tidur di kamar tamu. Tapi Ia
tertidur karena kelelahan setelah membantu menulis nama-nama teman SMA
yang akan diundang. Pada tepat jam 2 dini hari, Handphone tri berdering. Tri
terbangun malas dan saat ingin mengangkat panggilan itu baterainya habis dan
pangilan terputus. Tri tertidur kembali pulas tak perduli.*
Teriakan anak-anak mengajak sahur membangunkannya. Ia bangun dengan
perasaan yang tidak enak.
Ada apa ya, sepertinya ada yang tidak beres. Ah, mungkin ini hanya perasaan
saja
Saat mentari pagi sudah agak tinggi, Tri pamit kepada Indah dan Ibunya. Ia janji
akan menemui Indah untuk bantu-bantu mempersiapkan acara pernikahan setelah
pulang dari Solo.
Di perjalanan ia bersyukur tidak menemui halangan yang berarti. Karena jalur
pantura yang Ia lalui macet di hari-hari menjelang Idul Fitri ini. Sehingga
perjalanan yang normal dapat ditempuh selama 12 jam, bisa molor menjadi 18 jam
lebih. Saat sedang beristirahat mengisi bensin di Cirebon, Ia menemui
handphonenya tidak aktif karena baterainya habis. Ia lupa tidak mengisinya
sebelum berangkat tadi. Merasa memang Ia tak ingin diganggu, Ia memasukannya
kembali ke dalam saku.
Tepat sehabis sholat subuh, Mobil Tri memasuki kawasan kota Solo. Masih satu
jam lagi untuk mencapai ke rumah orang tuanya.
ayah pasti akan senang melihat apa yang aku bawa.
Sinar mentari tua perlahan tapi pasti berhasil menerangi kota yang sudah siap
untuk beraktifitas. Mobil Tri tiba di depan halaman rumah kuno peninggalan
kakek neneknya. Ia berjalan santai menuju ke pintu rumah dan terlihat Ibu Tri
keluar dari dalamnya. Tampak senyum dari wajahnya yang lesu ketika melihat Tri
yang datang. Tri langsung memeluk Ibunya itu dan bertanya di mana ayah. Tapi
Ibu tidak menjawab malah memalingkan wajahnya ke arah Kak Eka yang muncul di
ruang tamu bersama Fika dan Fiko anak kembarnya. Tri memeluk Kak Eka dan
kedua keponakannya yang lucu-lucu itu.
Kak Eka, ayah di mana? Tanya Tri kembali.
Kak Eka mematung tak bicara. Ia dan Ibu menukar pandang tak bersuara.
Loh om Tri aneh sih, kakek kan sudah ucapan Fika terputus saat Kak Eka
menyuruh anaknya diam.
Tri merasa ada kejanggalan di antara mereka semua. Ia berkeliling rumah untuk
mencari keberadaan Ayah. Tapi saat melihat ke kamar Ayah yang dilihatnya
terakhir 5 tahun yang lalu, perubahan terjadi di sana. Kamar itu kosong dari
perabot. Pakaian dan semua barang-barang pribadi ayah tak terlihat di seluruh
sudut kamar. Tri mulai merasa tidak enak. Kak Eka muncul di belakang dan
memberi isyarat untuk mengikutinya. Tri mengikuti Kakaknya tanpa protes. Ia
berjalan ke luar rumah dan setelah sepuluh menit, Kak Eka menghentikan
langkahnya di depan pemakaman umum.
Tri tidak percaya dengan apa yang dimaksudkan Kak Eka, tapi Ia berusaha
mengerti. Spontan Tri berlari ke tengah kompleks pemakaman. Ia berhenti dan
berteriak kepada Kak Eka yang masih berada jauh di belakang.
Di mana Kak!!
Kak Eka menunjuk ke satu arah dan Tri menuju ke sana. Serasa jantungnya naik
ke leher, Ia melihat batu nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Ia pun berlutut
dan tak tertahan lagi air mata yang segera membanjir keluar.
Semua sudah terlambat
Tak ada lagi cinta dari seorang ayah
Mencoba menantang kasih mentari
Tak terbalaskan semua pedih dan beri.
Satu jam Kak Eka menunggu Tri yang menangis dan berdoa di atas makam ayah.
Saat hari mulai terik, Kak Eka menyentuh bahu Tri mengajaknya pulang. Tri
menuruti ajakan kakaknya. Sambil mengelap Air mata di pipi, Tri mulai bangkit
berdiri.
Oh iya, tunggu kak! cegah Tri ketika Kakaknya sudah mulai berjalan.
Tri kembali berlutut di pinggir makam ayahnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari
dalam saku. Di ambilnya salah satu kunci cadangan mobil yang bermaksud sebagai
hadiah untuk ayah. Kunci itu Ia genggam dan berbisik di tangannya.
Ayah, maafkan aku belum sempat membalas kasihmu. Semoga Allah membalas
kebaikanmu yang tak ternilai
Tri membuat sedikit celah di tanah makam. Kemudian dipendamnya kunci itu
dalam-dalam.
Saksi Bisu
Posted October 15th, 2009 by saiful bahri
Cerpen
Akulah Saksi Bisu!
Di segala terang, di segala gelap, di segala gerak, di segala diam, di segala zuhud,
di segala buruk dan caci-maki, hadir adaku hanyalah saksi bisu. Maka,
kusaksikanlah berlaksa-laksa dengki dan tipu-tipu yang ditebar dari pesona yang
dikemas dengan sungguh sangat mempesona. Kulaluilah jalan engkau dan jalan-
jalan mereka yang hakikatnya bertebar duri, tetapi teringkari dengan empuknya
rentang permadani. Seketika itu juga kusesal segala harap, kutepis segala rindu,
kubungkam segala pilu, kutindih-tindih segala janji, lalu kupendam segalanya di
liang-liang sempit batu karang hati, yang mati riak ombaknya dari dada laut
engkau dan laut-laut mereka. Dipicu segala sesat itu, di akhir sisa-sisa sadar
engkau dan sadar mereka, sempat-sempatnya engkau dan mereka bersepakat
untuk jadikan aku saksi! Saksi Bisu!
Akulah Saksi Bisu!
Begitulah adaku. Hanya saksi. Dan sungguh bisu. Hanya mempersaksi-saksikan
saja. Sungguh sangat leceh dan remeh ulah-ulah yang terus engkau dan mereka
lakonkan. Fitnah, kianat, bohong, picik, sirik, munafik, amarah, gorok-gorok,
tumpah darah, lalu makan daging sesamamu dengan semangat purba begitu lihai
dan asyik engkau dan mereka tekuni. Maka, berbanggalah engkau! Berbanggalah
mereka! Tersanjunglah harkat dan martabat engkau dan mereka. Semakin
angkuhlah engkau dan mereka, serentak bersorak dan bertepuk-tepuk dada yang
sempit, seolah-olah semesta ini punyanya engkau dan mereka. Aku hanya
mempersaksi-saksikan saja. Aku hanya saksi! Dan sungguh aku sangat bisu!
***
Sebagai saksi bisu, pagi ini aku sungguh merasa sangat berbahagia. Bahagiaku
terbersit karena ini adalah pagi yang lain, pagi sempurna dari segala pagi, ketika
statusku sebagai saksi bisu kini sudah dicabut. Aku tak lagi bisu. Aku kini jadi
saksi hidup.
Maka, sebagai saksi hidup aku akan bersaksi atas segala yang kusaksikan atas
segala engkau dan segala mereka. Aku akan jujur bersaksi atas segala
ketelanjuran jujur-jujur semu yang pernah engkau dan mereka sumpahkan demi
tegaknya keadilan dan pembangkangan-pembangkangan yang diagung-agungkan.
Aku, catatan perjalanan hidup diri dari sekujur jasad engkau dan mereka, akan
naik saksi atas segala benar dan salahnya engkau dan mereka dengan sebenar-
benarnya, sejujur-jujurnya dan polos utuh apa adanya.
Cukup! Stop ocehan tak bermanfaat itu!koar mulut ceriwis engkau dan mereka
serentak, masih dengan suara tinggi dan sombong.
Aku tak peduli. Aku terus membeberkan kesaksian-kesaksian atas engkau dan
mereka, karena bungkam bisu bukan milikku lagi. Kececar semua sanggah dan
kutebar semua detil tentang segala engkau dan mereka. Tak satupun kulewatkan.
Sungguh aku kini merasa sangat merdeka. Sungguh aku nikmati kemerdekaan ini.
Bohong itu semua!hardik mulut engkau dan mereka masih menyanggah, terus
mencoba membela diri.
Aku semakin tak peduli, karena kini bukti-bukti mulai ditunjukkan. Dokumen
rekaman biografi perjalanan hidup engkau dan mereka mulai diputar. Sungguh
sangat terang tampilan gambar di film dokumenter itu. Tak ada sedikit pun trik
atau efek kamera yang memanipulasi adegan per adegan dalam film itu. Begitu
bersahaja. Apa adanya.
Dalam takzim unjuk kesaksian, engkau dan mereka terbelalak-belalak menonton
film dokumenter itu. Terkaget-kaget bercampur heran menyaksikan diri yang
begitu lihai dan profesional memerankan dan menyutradarai sendiri film
dokumenter yang engkau dan mereka produksi sendiri. Indah sekali skenario dan
jalan ceritanya, sampai-sampai aku, engkau dan mereka sama-sama terpana. Lalu
terpekur dalam-dalam, menyesali sesal yang selalu hinggap di ujung jalan.
Banda Aceh, 21 September 2007





Sang Guru
Monday, December 15, 2008 3:28
Artikel ini di Kirim Oleh: penyair cinta
Cerpen Humam S. Chudori
Sumber: Suara Karya
Kamu ngomong apa Dik? Apa saya tidak salah dengar? tanya Tardi kepada
istrinya. Ia seperti tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan
Asfina. Betapa tidak, tanpa prolog terlebih dulu, tiba-tiba perempuan
berhidung mancung itu mengatakan ingin berhenti kerja.
Benar, Mas. Saya sungguh-sungguh.
Kenapa?
Asfina diam.
Apa kamu takut kita tidak segera punya momongan? desak Tardi.
Lelaki itu bertanya demikian, lantaran Asfina belum memberikan tanda-tanda
akan mempunyai keturunan. Padahal ia sudah sangat merindukan segera
datangnya sang buah hati. Sementara itu, usia perkawinan mereka sudah tiga
tahun lebih.
Memang. Tardi sempat beberapa kali menyatakan keinginannya untuk segera
punya keturunan. Itulah sebabnya mereka tidak ber-KB. Ia pernah merasa
khawatir jika seorang perempuan sibuk tidak akan segera bisa hamil. Dua
orang teman kerja Tardi Ririn dan Ika yang sudah cukup lama menikah
belum juga punya keturunan. Memang. Ika baru empat tahun menikah. Tetapi,
Ririn yang sudah enam tahun menikah belum juga memberi tanda-tanda akan
hamil.
Ririn adalah atasan Tardi di tempat kerjanya. Tak jarang perempuan ini pulang
paling akhir. Sering bekerja lembur. Ya, jika Ririn menyuruh anak buahnya
bekerja lembur tidak bisa tidak ia pun akan ikut bekerja lembur. Kesibukan
inilah yang dipercaya teman-teman kantor Tardi sebagai penyebab Ririn tidak
kunjung hamil. Tardi pernah menceritakan hal ini kepada Asfina.
Ya, sangat mungkin sekali hal itu terjadi, demikian komentar Asfina, tatkala
Tardi menceritakan keadaan Ririn yang tak kunjung hamil, Perempuan kalau
terlalu sibuk bisa jadi akan mengalami hambatan untuk hamil. Masalahnya
akan lain jika Bu Ririn ikut kabe. Tetapi, Mas bilang kalau Bu Ririn .
Saya bingung ngomongnya, Mas, ujar Asfina membuyarkan lamunan
suaminya.
Bingung bagaimana? tanya Tardi, Tetapi, apa kamu takut tidak segera bisa
hamil kalau masih bekerja. Saya tidak akan
Saya tidak berpikir sejauh itu Mas, potong Asfina, Siapa bilang orang yang
bekerja dapat memengaruhi kehamilan. Lha wong, mBok-mbok tukang
gendong di pasar tetap bisa hamil. Bahkan di antara mereka ada yang anaknya
banyak.
Tardi diam kembali. Mungkinkah Asfina sudah berubah pemikiran? tanyanya
dalam batin. Atau barangkali ia tak ingin saya kecewa andaikata dirinya tak
kunjung hamil.
Masalahnya kalau kamu berhenti kerja, tidak mudah untuk mendapat
pekerjaan lagi, kata Tardi, setelah agak lama diam, Cari kerja sekarang ini
susah, Dik.
Asfina bergeming. Ia masih belum tahu bagaimana menjelaskan permasalahan
yang sedang dihadapi di tempat kerjanya kepada suami sendiri. Sebab khawatir
akan dianggap membuka aib korp.
Apa kamu diteror seseorang?
Asfina diam.
Asfina pernah menceritakan ada seorang bapak yang tidak terima karena
anaknya dipulangkan. Gara-garanya anak itu menunggak iuran bulanan. Lelaki
itu datang ke sekolah dengan membawa golok. Ia marah-marah di sana.
Siapa yang telah menyuruh anak saya pulang? Siapa yang tidak mengizinkan
Sani mengikuti pelajaran? kata lelaki itu setengah berteriak, di depan pintu
ruang guru.
Para guru yang tengah duduk di sana tidak ada yang melayani lelaki itu. Para
tenaga pendidik yang sedang beristirahat di ruangan itu tampak tegang. Waw-
was. Takut. Ngeri. Mereka tidak ada yang mencoba mendekati lelaki yang
tengah dikuasai rasa marah itu.
Siapa yang menyuruh anak saya pulang? ulangnya, setengah berteriak.
Lelaki itu datang ke sekolah bukan semata-mata disebabkan anaknya disuruh
pulang. Melainkan sesungguhnya ia masih belum rela melepas tanah warisan
yang telah dijadikan sekolah. Ia memang salah seorang pemilik sebagian lahan
yang kini sudah menjadi kompleks perumahan, dan salah satunya dijadikan
bangunan sekolah. Meskipun ia sudah menerima ganti rugi dari pihak
pengembang. Tetapi, Marsam demikian nama lelaki itu seperti kebanyakan
pemilik tanah lainnya yang sudah dijadikan kompleks perumahan, masih belum
sepenuhnya rela melepas tanahnya menjadi kompleks perumahan.
Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang tentara yang anaknya juga
bersekolah di tempat itu datang. Aparat berpakaian seragam loreng-loreng itu
turun tangan menghadapi Marsam.
Atau ada anak brengsek yang bikin kamu.
Tidak ada, Mas, kembali Asfina memotong kalimat yang belum usai
disampaikan suaminya.
Nah, kalau begitu sebetulnya tidak ada masalah. Kenapa kamu ingin
berhenti?
Asfina diam.
Tardi kembali diam. Ia benar-benar merasa bingung dengan permintaan
istrinya yang dianggap tidak masuk akal. Aneh. Janggal. Betapa tidak, di saat
orang susah mendapatkan pekerjaan Asfina justru ingin berhenti kerja.
Apa karena pendapatan kamu tidak sesuai dengan yang kita harapkan? Tardi
kembali melontarkan pertanyaan, setelah cukup lama ia menunggu reaksi dari
istrinya. Namun, Asfina tetap bergeming.
Pertanyaan ini dilontarkan Tardi, lantaran istrinya pernah melontarkan
kekecewaannya dengan besarnya gaji yang ia terima setiap bulan. Memang.
Gaji yang diterima Asfina setiap bulan nyaris pas-pasan. Apalagi jika Asfina,
misalnya, terpaksa menggunakan jasa ojek ketika berangkat kerja. Tak heran
bila Asfina pernah beberapa kali melontarkan kekecewaannya.
Jika dihitung-hitung saya ini jadi seperti orang kerja bakti, Mas, kata Asfina.
Kalau memang begitu, ya lebih baik kamu tidak usah kerja saja, Dik,
komentar Tardi, setelah berkali-kali istrinya melontarkan kalimat yang sama,
ketika itu.
Toh kamu kerja atau tidak, penghasilan kamu tidak pernah bisa ditabung. Jadi,
buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya, lanjut Tardi memancing reaksi
istrinya.
Ya, bukan tidak ada hasilnya Mas, ujar Asfina.
Tadi kamu bilang kerja bakti. Lalu kenapa .
Maksud saya bukan itu hasilnya.
Lantas?
Saya merasa senang apabila ada murid yang berprestasi. Bangga bila apa yang
saya ajarkan dapat bermanfaat bagi mereka. Jadi, bukan materi yang saya
peroleh Mas. Melainkan kepuasan batin.
Tardi menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tardi merasa aneh lantaran di
satu sisi istrinya mengeluh tetapi di sisi lain ia memperoleh kepuasan batin.
Padahal kepuasan batin tak bisa diukur dengan materi. Bahkan seringkali orang
yang ingin mendapat kepuasan batin harus berkorban materi. Ketika ia masih
bujangan, misalnya. Kegemaran Tardi memancing tidak bisa tidak
memerlukan pengorbanan materi yang tidak sedikit. Namun, ia memperoleh
kepuasan batin ketika kailnya dimakan ikan. Kepuasan ini dirasakan ketika ia
menarik senar pancing. Bukan semata-mata banyaknya ikan yang berhasil ia
peroleh. Sebab jika ia mendapat ikan acapkali hasilnya justru diberikan kepada
tetangga.
Sementara itu, Asfina mendapat kepuasan batin dengan pekerjaan yang
ditekuninya. Mendapat kepuasan batin tanpa harus mengeluarkan biaya. Tidak
merasa sia-sia menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Lalu kenapa mesti
mengatakan kerja bakti? Tardi membatin.
Ada kebanggaan yang tidak bisa dijelaskan bila anak didik saya nanti ada yang
jadi orang. Ya, misalnya di antara anak didik saya nanti .
Saya ingin berhenti bukan karena gaji, Mas, Asfina membuyarkan pikiran
Tardi.
Ya, bagus kalau kamu tidak mempersoalkan gaji. Toh, saya pernah bilang
pekerjaan kamu itu mulia. Pekerjaan mendidik generasi penerus bangsa tak
bisa dinilai dengan apa pun. Jadi,
Kenyataannya tidak demikian, Mas, potong Asfina.
Maksudnya?
Saya merasa mendidik ketidakjujuran mereka.
Tardi diam. Ia terkejut mendengar kalimat istrinya. Meskipun demikian ia tidak
ingin menunjukkan rasa kaget itu di depan Asfina.
Selanjutnya Asfina menceritakan konflik yang terjadi dalam batinnya selama
ini. Ya, lantaran setiap menjelang UN semua guru di sekolahnya termasuk
Asfina, tentunya harus membantu murid-muridnya agar mereka lulus.
Caranya dengan memberikan contekan kepada peserta UN. Jika tidak
demikian, bisa dipastikan, yang lulus tidak sampai separuhnya. Apalagi standar
kelulusan makin ditingkatkan. Padahal jumlah siswa yang lulus sangat
memengaruhi penilaian terhadap pendidik di sekolah.
Bukankah ini artinya guru mendidik anak menjadi manusia yang tidak jujur,
lanjut Asfina.
Apa pengawas independen.
Pengawas independen juga manusia. Kalau mereka diajak damai dalam tanda
kutip juga mau. Nonsense! Jika mereka benar-benar mengawasi pelaksanaan
UN. Itu sebabnya saya selalu dihantui rasa bersalah, Mas.
Pantas banyak orang tidak jujur. Rupa-rupanya mereka salah didik, pikir Tardi.
Kalau begitu tak heran jika ada politisi tidak jujur dengan istrinya melakukan
perselingkuhan. Ada yang tidak jujur dengan negara dan bangsa, melakukan
tindak korupsi. Ada yang tidak jujur dengan rakyat, mengingkari janji terhadap
rakyat. Ada yang tidak jujur dengan keadilan yang harus ditegakkan, seperti
yang dilakukan aparat ..
Mas Tardi pasti tidak akan percaya kenyataan di lapangan tidak sama dengan
teori para pejabat tinggi negara, untuk ke sekian kalinya Asfina menghentikan
pertanyaan yang bergejolak dalam batin Tardi.
Tardi masih tetap diam.
Bagaimana pendapat Mas Tardi kalau saya berhenti?
Sudahlah nanti kita pikirkan lagi bagaimana baiknya. Sekarang kita tidur dulu.
Sudah malam Dik, kata Tardi. br
Lalu Tardi ke kamar tidur diikuti istrinya, setelah sebelumnya mematikan
lampu yang sudah tak terpakai.
Di tempat tidur Tardi langsung merebahkan diri. Memejamkan mata. Namun,
pikiran- nya masih dipenuhi setumpuk pertanyaan mengenai istrinya. Sebab ia
tak pernah menduga Asfina masih punya idealisme ketika sudah banyak orang
yang kehilangan nilai-nilai luhur ini. Istrinya menjadi guru sebuah sltp bukan
karena agar tidak menganggur lantaran ia seorang sarjana. Asfina menjadi guru
karena panggilan hati nurani. Andaikata semua guru seperti istri saya
mungkinkah peserta UN yang lulus tidak akan sampai separuhnya? tanyanya
dalam batin. Meskipun demikian Tardi tak ingin melontarkan pertanyaan ini.
Entah sampai kapan Tardi tak bisa memejamkan mata. Yang jelas, ia baru
benar-benar tertidur setelah seluruh tubuhnya terasa lemas












Misteri Jiwa Tokoh pada Kumpulan Cerpen Bila
Bintang Terpetik
Posted by PuJa on April 2, 2009
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Banyak tema yang bisa digali seorang penulis. Maka, seorang penulis sastra
pun pasti sengaja atau tak sengaja akan memilih pendekatan tertentu, untuk
diapreasiasi, ditanggapi oleh pembaca, penikmat ataupun apresiator.
Akidah Gauzillah, dalam kumpulan cerpen Bila Bintang Terpetik (penerbit
Beranda, Mizan Grup), terasa lebih memunculkan sudut internal di dalam
karya-karyanya. Artinya, dalam cerpennya itu, dia memilih sisi dari tokoh untuk
melihat ke dunia luar.
Problem kejiwaan, karena latar empiris tokoh-tokoh di cerpennya, itulah yang
menarik dari cerpen-cerpen Akidah Gauzillah secara keseluruhan dalam
karyanya tersebut. Pola bahasanya yang teramat panjang dalam satu kalimat
itu barangkali juga adalah pilihan yang dia rasa tepat untuk melukiskan gejolak
hati (tokoh) dan menggabungkannya dengan penggambaran suasana di luar
tokoh.
Untuk masalah internal, mengaduk-aduk psikologi adalah sesuatu yang
dirasakan Akidah lebih tepat. Termasuk, barangkali, membongkar dunia yang
dikatakan oleh Carl Jung berupa tiga tahap conciousness (alam sadar),
unconciousness (alam bahwa sadar) dan preconciousness (pra-sadar).
Analisis psikologi ini bukan tanpa alasan. Saya memakai analisis ini selain
karena terasa faktor internal tadi benar-benar diolah si penulis dalam tokoh-
tokohnya (antara lain fenomena electra complex, kebalikannya oedipus-
complex, pada lukisan ayah, sehingga dia menyukai seorang pelukis tua yang
satu profesi dengan ayahnya namun berbeda tabiat, juga trauma korban
perkosaan yang dalam kisahnya, si tokoh itu melarikan diri ke hutan indah dan
penuh dengan binatang yang nyatanya lebih bersahabat ketimbang manusia
pada Seorang Putri dari Negeri Asing). Hal itu juga terlihat kental pada dialog
yang mendalam antara tokoh utama Marissa dan kekasihnya, Alex, pada
cerpen Ruang (lihat saja, Akidah sebagai penulis atau author, menyertakan
kata vonis neurosa, depresi, psikologi fenomenologi dan kata-kata
sejenis itu).
Akidah memang punya kecenderungan yang kuat untuk menembus labirin
kejiwaan berbagai tokoh yang aneh, gamang, kalut, kesepian, dan
menimbulkan rasa penasaran dan meneror pembaca lewat karyanya yang
mengandung paradoks pikiran antara keinginan ideal tokoh dengan
kenyataan yang dijalani oleh tokoh.
Psikologi an sich
Hanya, terasa sekali, Akidah kurang melepaskan pengaruh kepenulisan di
dalam karyanya itu. Di cerpen Ruang misalnya, Akidah terlalu banyak
memberikan pengertian psikologi an sich, sehingga keanehan jiwa si tokoh
justru jadi terkurangi. Tokoh misteri menjadi jelas ketika Akidah di antara
fenomena dan paradoks pikiran tokoh, kemudian di sela kisahnya, mencoba
menjelaskan fenomena itu sehingga keanehan tokoh jadi terkurangi (bahkan
sekalipun si Marissa adalah seorang calon psikolog!).
Yang muncul malah kegemilangan wawasan si penulis pada analisis psikologi,
suatu hal yang harus dikurangi bahkan disembunyikan di dalam karya sastra
fiksi prosa atau pun novel (baca contoh yang saya maksudkan pada cerpen ini
di halaman 116 atau halaman 118 paragraf keempat).
Baca saja karya Kafka pada Metamorfosis atau Keluarga Pascal Laduarte-
nya Camelio Jose Cella, yang mengolah kegilaan tokoh tanpa penyebutan teori
atau analisis psikologi secara cerdas, namun justru memperlihatkan sosok
orang sakit.
Yang terasa dominan juga di dalam karya Akidah adalah kecenderungan
bahasa puitik. Saya jadi teringat pada karya beberapa penulis dalam
kecenderugan yang sama misalnya Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya
Seruling Kesunyian, atau Sitok Srengenge pada novel Menggarami Burung
Terbang.
Bagi saya yang terasa pas bumbunya adalah karya cerpen SGA di Seruling
Kesunyian, karena di dalam cerpennya itu, bahasa puitik dengan rangkaian
kalimat yang panjang juga, namun tak meninggalkan tokoh-konflik-
perwatakan-latar sebagai kaidah yang mendasar di dalam bangunan sebuah
cerpen.
Dalam soal penyampaian bahasa di kumpulan cerpennya ini, Akidah sangat
lembut memainkan metafora di tengah bangunan tokoh, karakter, alur, latar
termasuk tiap tokoh sampingan yang ada di dalam pengisahannya. Dia cukup
berhasil, untuk pilihannya hanya memakai rangkaian kata puitik dalam bolak-
balik logika kisah yang realis. Baca saja cerpen Kisah dari Seribu Remaja:
Disini, berkepakan harapan kukunjungi kuil-kuil fatamorgana. Bersama
kepalsuan. Tak lupa memperhatikan alam yang mengalun syahdu, Pinggiran
renungan terjalin manis, menantang hari melalui jalan setapak. Tiap kali kaki
tersuruk, aku mencari bebatuan, menggenggamnya erat. Dan kupaksakan
mata menembus kegelapan, liar menelusuri pengap tuk menemukan seberkas
sinar. Pada apa dia memancar? Usiaku masih saja tak memberi jawaban.
Mentah muda tiada segera mahkota mengembang wangi. Tapi aku berkali-kali
gugur. Seribu kali berganti warna bunga, terhempas ke tanah, layu di atas
kubur kekasih, dst (Bila Bintang Terpetik, hal.55).
Untuk karya-karya yang dituangkan pada awal kumpulan cerpen ini (yaitu
Inspirasi Upik Abu dan Yang Tinggal Sekeping Beling), selain pilihan tokoh
yang remaja, memakai bahasa yang baik sesuai suasana remaja, tak begitu
kontemplatif ketimbang cerpen-cerpennya di akhir buku, lebih mengarah pada
gaya penceritaan cerpen remaja (atau pop, dalam istilah umum).
Dalam kedua karyanya ini, juga istimewa dalam kemasan remaja itu, selain
tetap konsisten dengan pola bahasa puitik sehingga kisah remaja itu tetap
punya estetika dari pilihan kata-katanya, terutama dalam pilihan ending.
Bicara akhiran di dalam cerpennya, untuk keseluruhan kumpulan ini, terlihat
Akidah lebih memilih akhiran yang menggantung. Dia tak membiarkan
tokohnya terbunuh atau membunuh, menjadi juara atau pecundang,
mendapat kesedihan atau kegembiraan yang luar biasa.
Akidah lebih memilih menghilangkan tokohnya, atau membiarkan si tokoh
bersunyi-sunyi pada akhir cerpennya itu. Atau bahkan bingung, dingin dan
tenang setelah menghadapi persoalan yang menegangkan sekalipun. Lihat si
tokoh pada cerpen Ruang: Dengan kaki gemetar ia melangkah menjauh,
memutuskan dalam hatinya untuk hanya kembali memikirkan cita-cita. Tapi
tiba-tiba ia terjatuh lemah, meratap tak mengerti arah mana menuju pulang.
Semua jalan terlihat sama. Juga pada cerpen Lukisan Ayah: Bingkai-bingkai
lukisan Ayah terdengar berderak terlepas. Lautnya menghampar menyambut
bulan. Ombak berjalan lembut mencumbui pasir. Tetapi batu karang itu
sekarang kosong, tinggal bercak-bercak darah mengering tertiup angin.
Psikologi tetap menjadi kekuatan yang dominan di sela kecenderungan bahasa
puitik di karya Akidah. Bila saja dia bisa membiarkan tokoh bahkan latarnya
lepas tanpa opini, saya yakin Akidah adalah penulis yang mampu mengungkit
dan mengolah persoalan kejiwaan dalam karya-karyanya. Tokoh yang penuh
dengan luka, kegetiran, gamang, asing atau terasing, tentu saja ini tidak bisa
dihubungkan sebagai paralel atau negasi. Hal itu bila merujuk pada pendapat
bahwa karya konon adalah mimesis, tiruan dari realitas dari kehidupan
penulisnya. Misalnya, Akidah dengan latar keperempuanannya sehingga jadi
peka, Akidah dengan latar belakang lingkungan, masyarakat atau keluarga,
atau bahkan kisah bisa jadi kebalikan dari latar pengarangnya. Si penulis dan
teks sastranya, sama-sama punya risiko dibaca oleh penikmatnya, serupa
cermin.
Bukankah karya sastra pun bisa dilepaskan dari biografi pengarang? Sekali pun
saya sebenarnya tak setuju dengan pendapat pengarang sudah mati.
* Tulisan ini disampaikan di Aula Buya Hamka, Al-Azhar, Minggu, 24 Oktober
2004.

Anda mungkin juga menyukai