Anda di halaman 1dari 5

Bukan Mahasiswa Saya

Cerpen Budi Darma


(Jawa Pos, 20 Agustus 2017)

ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos

SAYA yakin tidak pernah


mempunyai mahasiswa bernama
Abidin. Karena itu, setelah sekian
kali Abidin menghubungi saya
melalui HP, disusul SMS, dan
akhirnya disusul WA, saya tetap
yakin orang yang menamakan diri
Abidin ini tidak pernah menjadi
mahasiswa saya. Tapi, setelah dia
nekat menelepon dengan video call,
barulah saya ingat bahwa wajah ini
pernah saya kenal entah kapan dan
entah di mana.

Pada suatu hari Minggu, ketika saya


biasanya bangun lebih siang daripada
biasanya, orang yang menamakan diri
Abidin ini menelepon saya dengan
video call lagi.

“Maaf, Pak, sekarang saya di Bandara


Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Sebentar lagi saya akan terbang ke Surabaya, khusus
untuk menemui Bapak.” Suara Abidin ditimpali pengumuman penggawa bandara agar semua
penumpang segera masuk ke pesawat.

Dalam keadaan masih mengantuk, saya segera mandi.

Satu setengah jam kemudian ada taksi datang, dan turunlah Abidin dari taksi. Dengan sikap
sangat sopan dan hormat, dia memohon maaf karena telah berkali-kali menghubungi saya dan
mengaku-aku sebagai bekas mahasiswa saya.

Setelah berbasa-basi sebentar dia mengaku bahwa dia memang bukan mahasiswa saya.
Dengan permohonan maaf dia menyatakan bahwa dahulu sebetulnya dia mahasiswa MIPA
jurusan matematika. Dan, karena dia tertarik sastra, khususnya sastra dunia, dia sering
menyelundup ke kelas saya. Setiap kali menyelundup dia memilih deretan tempat duduk di
belakang, selalu menunduk, supaya bisa memberi kesan bahwa dia tidak ada.

Waktu itu saya mengajar di S-1, mahasiswanya banyak, dan ruangan kelasnya terbatas.
Karena itu, dua kelas mahasiswa kadang-kadang harus dijejal dalam satu ruangan kelas besar.
Kehadiran Abidin, dengan demikian, tidak saya ketahui.

Lalu, dengan agak mewek-mewek karena terharu, dia mengatakan bahwa dia sudah lulus S-2
matematika di Kanada, dan juga sudah lulus S-3 matematika di Jerman. Dengan gaya sangat
tawaduk dia mengatakan, baik di S-2 maupun di S-3 dia lulus dengan predikat cum laude.
Setelah lulus S-3 dia bekerja di Jerman, kemudian pindah ke Belanda, dan akhirnya
memutuskan untuk bekerja di Jakarta.

Selama bekerja di Jakarta dia sering mendapat tugas untuk bepergian ke luar negeri, tapi dia
tetap memakai SIM card Indonesia. Karena itulah, semua pesan kepada saya tidak tampak
tanda-tanda dia sedang di Vietnam, India, Brussel, Amsterdam, Paris, dan entah mana lagi.

Hari itu juga, Minggu, dia khusus datang ke Surabaya untuk menemui saya, sebab malam
nanti, hari Minggu itu juga, dia akan terbang ke Amerika.

Setelah mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih berkali-kali sampai saya agak risi,
dia bertanya, “Mohon maaf, Pak, apakah Bapak pernah mendengar nama Maryam
Mirzakhani?”

“Perempuan kelahiran Iran, hijrah ke Amerika, pemenang fields medal mathematics?”

“Ya.”

Fields medal mathematics setara dengan nobel prize untuk fisika, ilmu kedokteran, ekonomi,
kimia, fisika, perdamaian, dan sastra. Nobel prize diberikan setiap tahun, sedangkan fi lds
medal mathematics diberikan manakala ada pakar matematika yang benar-benar menonjol.
Kalau perlu, selama beberapa tahun tidak ada satu orang pun yang dianggap layak menerima
fields medal mathematics.

Pada waktu sekolah, Maryam dibenci guru-gurunya karena dia tampak bodoh, dungu, goblok,
dan agak terbelakang. Setiap kali mengerjakan apa pun dia pasti terlambat. Berbeda dengan
teman-temannya, dia suka menyendiri, melukis, membaca puisi, dan membaca novel.

“Maaf, Pak, pada waktu saya menyelundup ke kuliah-kuliah Bapak, saya tidak mengenal
nama Maryam, tapi kemudian saya sadar, seperti Maryam, saya suka menggambar, membaca
puisi, dan membaca novel. Karena itulah saya sering menyelundup ke kelas Bapak.
Sebetulnya saya ingin juga menyelundup ke kelas seni rupa, tapi saya selalu diusir.
Maklumlah, mahasiswa seni rupa kan banyak praktik, kalau saya menyelundup, pasti
ketahuan.”

Lalu dia mengaku, andaikata dulu tidak menyelundup ke kelas saya, dia tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ketika dia kuliah S-2 di Kanada, dia
sering teringat kuliah-kuliah saya. Demikian juga ketika dia menyelesaikan S-3 di Jerman.
Mengapa dia dapat dengan mudah memenangkan beasiswa S-2 dan S-3, tidak lain, kata dia,
karena dia sering teringat kuliah-kuliah saya.

Bukan hanya itu. Kuliah-kuliah saya dulu, kata dia, juga memperlancar pekerjaannya, dan
karena itulah dia sering mendapat promosi dan tempat-tempat yang bagus.

Dia masih ingat, dalam kuliah, saya sering menekankan hubungan erat antara sastra, estetika,
dan psikologi. Barang siapa banyak membaca karya-karya besar sastra, dengan sendirinya
akan memiliki insting untuk mengetahui masalah kejiwaan lawan bicaranya. Meskipun saya
mengajarkan sastra dunia dengan bahasa Inggris, kadang-kadang saya juga membicarakan
beberapa nilai filsafat Indonesia, antara lain kemampuan meramal Raden Ngabehi
Ronggowarsito dalam tembang-tembangnya, dan pendirian Ki Ageng Suryomentaram
mengenai seni kebahagiaan hidup.

Setelah mengobrol tentang pengalamannya menyelundup di kelas saya, dengan nada ragu-
ragu dia bertanya, “Maaf, Bapak, bolehkah saya mengeluarkan pendapat saya? Tapi saya
malu. Saya takut pendapat saya ngawur.”

Dia menyatakan, sastra yang dianggap sebagai sastra dunia sekarang sangat mengecewakan.
Sastra dunia, itulah salah satu mata kuliah saya dulu. Ada beberapa contoh, misalnya, kata
dia, novel Orhan Pamuk, novel Najib Mahfudz, novel Adiga, novel Khaled Hosseini, dan
yang terbaru novel Han Kang. Novel Orhan Pamuk, setidaknya yang pernah dia baca, terlalu
berbelit-belit.

Novel Najib Mahfudz yang pernah dia baca, yaitu Pencopet dan Para Begundal, mirip novel
thriller. Daripada membaca Pencopet dan Para Begundal, kata dia, lebih baik membaca
novel-novel Sidney Sheldon sekalian. Sidney Sheldon tahu bahwa dia tidak lain adalah
pengarang thriller, karena itu Sidney Sheldon, kata Abidin pula, tidak perlu berpura-pura
menulis novel sastra kelas atas.

Dalam novel Adiga, kata Abidin, tokoh sentralnya sadar bahwa dia korban kemiskinan, dan
karena itulah dia membenci kelas atas, apalagi yang sombong, sampai akhirnya dia
membunuh juragannya. Itulah napas novel Adiga, White Tiger. Andaikata tidak ada Taliban
di Afghanistan, Hosseini tidak mungkin mampu menulis novel The Kite Runner. Situasi yang
sangat buruk dan penderitaan tanpa tara di Afghanistan akibat ulah Taliban dimanfaatkan
oleh Hosseini.

Perempuan dalam novel Han Kang The Vegetarian menjadi sinting, atau tambah sinting,
karena ayahnya, veteran perang Vietnam, suka menyiksa, kasar, dan kata-katanya juga jorok
dan menjijikkan. Andaikata ayahnya tidak begitu, mungkin tokoh utamanya hidup normal.

“Maaf, Bapak, saya bukan siapa-siapa. Dan saya hanya membaca satu novel karya mereka.
Mungkin kebetulan yang saya baca bukan novel terbaik mereka. Tapi novel terburuk mereka
yang punya nama besar itu.”

“Lalu, novel siapa yang baik?” tanya saya.

“Novel yang tidak menyalahkan siapa-siapa. Tokoh utama Dostoevsky dalam Notes from
Underground sinting karena memang dia sinting. Dia tidak menuduh siapa pun sebagai
kambing hitam kesintingannya.

“Cerpen Edgar Allan Poe The Tell-Tale Heart bercerita tentang kekejian ‘aku’ karena ‘aku’
sendiri, tanpa kambing hitam kehidupan keluarganya, kemelaratannya, dan entah apalagi.
Dalam noveletnya Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue, tokoh bernama Dupin jatuh
miskin juga karena dia jatuh miskin, tanpa menyalahkan siapa pun. Hidupnya biasa-biasa
saja, pikirannya tetap cemerlang, tanpa kambing hitam kemiskinan.”

Didahuluinya dengan “maaf, saya bukan siapa-siapa,” Abidin memberi banyak contoh lain.

Dengan permintaan maaf, saya tidak bisa memberi pendapat mengenai pendapatnya.
Perhatian saya lebih tertarik pada Abidin sebagai pakar matematika, bukan Abidin sebagai
pembaca sastra kelas atas. Dan lebih dari itu, saya lebih tertarik pada Abidin sebagai
manusia.

Saya teringat zaman Pak Harto masih berkuasa. Selama menjadi presiden dalam jangka
waktu tiga puluh dua tahun, adalah masuk akal apabila Pak Harto sering mengganti pejabat-
pejabat tinggi negara.

Salah satu jaksa agung dalam pemerintahan Pak Harto, saya ingat, bernama Sukarton,
lengkapnya Sukarton Marmosujono SH. Ketika masih menjadi mahasiswa fakultas hukum
Universitas Gadjah Mada, Sukarton sering kelayapan ke kampus lain, yaitu ke fakultas sastra
dan kebudayaan. Mengapa? Karena dia jatuh cinta pada Lastri Fardani, mahasiswa sastra
barat fakultas sastra dan kebudayaan. Akhirnya Sukarton berhasil menikah dengan Lastri
Fardani, dan Lastri Fardani juga bisa menyalurkan kegemarannya menulis untuk majalah
wanita.

Tidak lama setelah lulus S-1 Sukarton menikah, sementara Abidin sampai sekarang masih
jomblo. Dan seperti tokoh dalam novel-novel yang dia kagumi, dia jomblo tanpa
menyalahkan siapa pun. Kalau jomblo dianggap sebagai kesalahan, maka kesalahan itu
terletak pada dirinya sendiri.

Tampak Abidin ingin mengemukakan sesuatu, tapi dapat menahan diri. Akhirnya dia saya
ajak ke mall untuk makan, dan sesudah makan dia saya antar ke Bandara Juanda.

Ketika semua penumpang diminta untuk masuk paling lama sepuluh menit lagi, Abidin
tampak ingin menangis menahan perasaan haru.

“Abidin, kamu memendam rahasia. Katakan apa yang kamu ingin katakan.”

“Bapak tahu di mana Maryam Mirzakhani bekerja?”

“Stanford University di California, Amerika.”

“Saya mendapat pekerjaan di sana, Bapak.”

“Selamat, Abidin. Tidak semua orang bisa menjadi dosen dan peneliti di Stanford.”

Stanford adalah nama orang kaya, murah hati, dan gaya hidupnya sangat sederhana. Bersama
istrinya, Stanford mendatangi sebuah universitas tua dan terkenal, yaitu Harvard University
di New England, untuk memberi donasi dalam jumlah besar. Tapi karena penampilannya
seperti orang melarat, dia dan istrinya diusir. Tidak ada satu orang pun yang percaya bahwa
Stanford dan istrinya benar-benar kaya. Meskipun dihina, hati mereka tetap mulia. Mereka
ingin melihat anak-anak muda mendapat pendidikan yang baik, dan karena itulah akhirnya
mendirikan sebuah universitas, Stanford University di California, sebuah negara bagian yang
jauh letaknya dari New England.

“Apakah Bapak tahu keadaan Maryam Mirzakhani?”

“Sudah lama dia berjuang melawan kanker,” kata saya.

Waktu sudah habis, dan Abidin terpaksa meninggalkan saya.


Setelah saya yakin pesawat Abidin sudah terbang, saya masuk ke kedai, memesan teh. Saya
membuka HP, langsung menuju ke Fox News. Berita terbaru: Maryam Mirzakhani, empat
puluh tahun, dalam keadaan kritis.

Malam harinya saya membuka Fox News lagi, dan dari berita inilah saya tahu bahwa Maryam
Mirzakhani, tokoh matematika yang sangat terkemuka, sudah meninggalkan dunia fana. ***

BUDI DARMA, sastrawan dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Karyanya, antara
lain, Olenka (novel) dan Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen).

Anda mungkin juga menyukai