Anda di halaman 1dari 7

KEHIDUPAN KAMPUS KU

Muh. Rafli Lasurua

B011231415\
Pada suatu hari, Ada seorang anak yang bernama Anom, dia berasal dari
Kendari. Anak tersebut memiliki mimpi untuk menjadi seorang Pengacara. Anom
merupakan anak yang rajin dan pintar, dia selalu menjadi yang terbaik di sekolah
nya. Pada suatu ketika, Anom berada pada situasi yang cukup membingungkan,
dikarenakan dia bingung mau melanjutkan kuliah nya dimana, dia pun dapat saran
dari orang tua nya untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Hasanuddin. Dia
pun mecoba mendaftar melalui SNBP, tetapi dia gagal sehingga Anom harus
berusaha lebih keras lagi agar masuk di Universitas Hasanuddin. Dia mulai belajar
hingga larut malam dan mengikut Kursus privat agar dapat mendapatkan hasil
yang maksimal. Dia pun terus belajar sampai pada saat dimana dia mulai takut
karena merasa kurang percaya diri pada saat ujian SNBT nanti. Dia selalu berdoa
agar mendapatkan nilai yang memuaskan, hingga hari dimana ujian telah dimulai.
Setelah ujian SNBT selesai, dia hanya bisa menunggu hasil nya nanti. Saat
menunggu hasil SNBT keluar, Anom berusaha mencari beasiswa gratis. Hingga
pada hari keluarnya hasil SNBT, ternyata Anom mendapatkan nilai yang cukup
tinggi, sehingga dia pun lolos SNBT di Universitas Hasanuddin. Anom sangat
senang, dia pun sudah tidak sabar untuk kuliah di Universitas Hasanuddin. Hingga
pada hari dimana Anom pergi ke Makassar bersama orang tua nya untuk
mencarikan tempat tinggal atau kost untuk di tinggali nanti nya. Anom pun
memutuskan untuk tinggal di area kampus/dekat dengan kampus agar perjalanan
ke kampus tidak terlalu lama. Dia pun membeli perlengkapan tinggal seperti Kasur,
lemari, kompor dll. Agar dapat membiasakan diri di lingkungan kampus, Anom pun
selalu jalan-jalan sore di sekitar area kampus agar bisa lebih mengenal lingkungan
kampus, dia juga selalu ber olahraga pagi maupun sore agar dapat menjaga tubuh
nya tetap fit. Hingga pada saat hari pertama kuliah, Anom sebenarnya sangat takut
karena tidak ada yang dia kenal di Universitas Hasanuddin. Pada saat pengenalan
kampus, Anom sangat gugup, dia takut kalau nanti tidak ada yang mau berteman
sama dia, dia pun mencoba mengajak bicara orang lain agar gugup nya hilang.
Dia pun mendapat teman pertama nya yang bernama Iqra. Mereka sama-sama
dari fakultas Hukum. Dan ternyata mereka tetanggan. Mereka pun mulai
berkenalan lebih lanjut, sering bercerita, kadang mereka juga sering bermain
bersama. Iqra pun bercerita tentang mengapa dia memilih universitas Hasanuddin.
Iqra ternyata dulu nya merupakan siswa yang malas, sehingga dia sering di marahi
oleh orang tua dan guru nya. Awal nya setelah lulus SMK, dia ingin langsung kerja
karena dia mengira setelah lulus SMK, dia bakal lebih mudah mendapatkan
pekerjaan, yang ternyata setelah lulus, Iqra pun nganggur selama 1 tahun karena
tidak mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan, sehingga dia pun merasa frustasi.
Orang Tua nya pun memberikan sebuah saran yaitu melanjutkan Pendidikan nya
di PTN, Orang Tua nya menyarakan untuk melanjutkan nya di Universitas
Hasanuddin, Iqra pun menyetujui nya iqra harus belajar agar bisa masuk ke
Universitas Hasanuddin. Iqra mulai belajar dari pagi hingga malam agar bisa
masuk ke Universitas Hasanuddin. Hingga pada saat ujian iqra sangat percaya diri
kalau dia bisa mendapatkan nilai yang bagus atau memuaskan, selama menunggu
nilai ujian SNBT keluar, iqra selalu bermalas-malasan di rumah karena dia percaya
kalau dia akan lulus. Hingga pada saat niali nya keluar, ternyata iqra tidak lulus
SNBT. Orang Tua nya pun kecewa dan marah, setelah itu iqra mulai memikirkan
apa yang selanjutkan dia lakukan, apakah harus menunggu 1 tahun lagi agar bisa
mengikuti ujian SNBT atau dia harus mengikuti tes MANDIRI atau dia harus
mencari pekerjaan. Dia pun mendapatkan saran dari teman nya untuk mengikuti
tes MANDIRI. Iqra pun mencoba bicara kepada orang tua nya agar membolehkan
dia mengikuti tes MANDIRI. Orang tua nya pun setuju tetapi apabila dia tidak lolos,
maka orang tua nya tidak akan membiayai hidup iqra lagi. Iqra pun dengan
semangat mengikuti tes MANDIRI. Hingga dia pun akhirnya lolos, sehingga orang
tua nya pun senang. Iqra pun pergi ke Makassar. Disana dia terkejut dengan
keadaan Kota Makassar yang cukup ramai. Pada saat mencoba mencari sebuah
kost, Iqra mendapat kabar dari teman nya kalau teman iqra mempunyai keluarga di
Makassar yang mempunyai kost dekat Universitas Hasanuddin. Iqra pun dating
melihat lihat kost tersebut, dan Iqra menyukai nya. Besok nya Iqra pun mencari
barang barang seperti Kasur, lemari, kompor dll. Hingga pada hari dimana
pengenalan kampus di mulai, pada saat itu iqra yang memiliki kepercayaan diri
yang tinggi pun cukup gugup dan takut, karena dia pertama kali ke Kota Makassar
dan kampus yang terkenal. Hingga ada orang secara sengaja mengajak nya
berbicara kepada nya, awal nya iqra takut kalau dia mungkin Kakak Tingkat nya,
ternyata dia adalah Anom yang dimana merupakan Mahasiswa Baru sama seperti
Iqra. Pada saat itu, pertemanan mereka pun di mulai. Hingga pembelajaran pun di
mulai, ternyata mereka sekelas, mereka pun selalu duduk bersampingan hingga
teman kelas nya pun mengira kalau mereka bersaudara, karena hubungan mereka
yang sangat dekat. Hinggi pada suatu saat, teman kelas yang lainnya pun
mencoba berkenalan, hingga mereka terkejut ternyata mereka bukan saudara.
Yang awal nya mereka takut pada kehidupan kampus pun mencoba beradaptasi di
awal semester. Hingga teman mereka pun semakin banyak.
Rizki, itulah namaku. Anak dari keluarga yang dikenal miskin. Ayahku meninggal
dunia beberapa tahun lalu. Kini keseharianku bersama tiga sahabatku, Rahel,
Hafis, dan Gita. Dan rencanaya pagi ini kami akan bermain di tempat biasa kami
bermain. Julukan kami di kampung cukup seram. Kami di juluki dengan “Berandal
Kampung”. Kami memiliki musuh bebuyutan bernama Adam. Dia adalah seorang
anak yang terlahir dari keluarga yang kaya raya.
Cukup kesal ketika Adam mengacak-acak markas kami. Saat itu aku sangat
marah pada Adam. Aku langsung berlari ke markas Adam untuk memberinya
hukuman yang harus dia tanggung. Ternyata dia tak ada di markas, kata
tetangganya, dia berada di pasar malam yang cukup jauh dari tempatnya yang
kutemui saat ini.
Tanpa berpikir panjang. Aku bergegas ke pasar malam. Aku marah, marah
sekali, ketika melihat dia sedang senang-senang bersama teman-temannya di
sana. Aku berlari sekencang mungkin menuju tempat berdirinya Adam. Aku
melawan Adam dan menendangnya hingga terjatuh. Di keramaian umum itu aku
bertengkar dengannya.
Akupun pulang dengan lebam di muka usai berantem. Tapi sewaktu
perjalanan pulang, masih dalam komplek pasar malam, aku melihat tulisan
“Festival Rakit Ciliwung” sebagai peringatan ulang tahun desa kami, dan ada
petugas membagikan brosur.
“Wah,, brosur apa ini om?”
“Brosur semarak gemilang Ciliwung merayakan ulang tahun desa.”
“Boleh diikuti oleh berapa orang dalam satu kelompok?”
“4 sampai 6 orang dek, dan ada yang boleh sendiri tidak berkelompok, tapi
rakitnya harus menepati ukuran, yaitu 50 cm pada setiap sisi.”
“Kalau berkelompok ada batasan gak?”
“Ada, semua itu agar tidak memakan banyak waktu, jika sangat besar
berjalannya cukup lama, jadi yang berkelompok ukuran rakitnya 100cm.”
Aku berfikir bagaimana jika Berandal Kampung mengikuti festival tersebut.
Tapi hari ini adalah hari terakhir mendaftar, untung saja aku masih mendapatkan
nomor, yaitu nomor urut 10, ya, itu nomor terakhir tapi tak apa-apa. Ternyata Adam
juga ikut lomba rakit ini. Aku tak mau bersaing dengan anak sombong itu. Tapi aku
yakin kami akan menang.
***
Rakit tengah kami buat. Rakit ini harus dapat mengalahkan Adam dan gengnya.
Sampai akhirnya persiapan yang dimaksud tiba, dan kami pun hadir di festival rakit
Ciliwung. Satu per satu peserta mulai bergiliran dengan tema-temanya masing-
masing.
Sampai akhirnya, giliran tim kami dengan tema Perbedaan Budaya
Indonesia. Sampai akhirnya, kita pun disebut sebagai salah satu pemenangnya.
Namun ternyata tidak hanya kami saja. Kami hanya pemenang tim beregu. Untuk
individu dimenangkan Adam.
Panitia festival, dan juga tokoh masyarakat setempat, memanggil aku dan
sahabat-sahabatku, juga memanggil Adam. Ada banyak yang ingin ia sampaikan
juga. Ia termasuk juri pada festival kali ini.
“Kalian Berandal Kampung itu ya?” kata seorang tokoh masyarakat tersebut.
“Iya, kami,” jawab kami kompak dan singkat.
“Ah tak cocok kalian menyandang nama itu,” ujarnya.
“Bagaimana kalian menjadi Pasukan Ciliwung saja,” idenya kepada kami.
“Menjadi Pasukan Ciliwung?” Kami masih terkejut terheran-heran.
“Boleeehh,” jawab kami lagi serempak.
Sementara Adam sedari awal mengangguk-angguk saja. Sampai akhirnya,
mulai detik itu panggilan kami tidak menyeramkan lagi melainkan lebih baik dari
sebelumnya. Dan permusuhan dengan Adam berakhir. Adam menjadi bagian
kami, menjadi bagian Pasukan Ciliwung yang ditugaskan untuk menjaga
kelestarian sungai dan alam sekitar Ciliwung.
Sore itu, kulihat kamu disana.
Kulihat kamu duduk menungguku di depan air mancur yang hanya menyala hingga
pukul empat sore itu. Air mancur masih menyala, pertanda waktu belum beranjak
ke pukul empat.

Aku memacu langkahku menuju kamu. Aku tergopoh-gopoh berjalan dengan


membawa laptop berukuran maha besar ini dari gedung departemen. Tas yang
kusampirkan di bahuku yang berayun-ayun ini berisi catatan-catatan dari
pertemuan dengan dosen pembimbing sang maha guru. Pertemuanku dengan
sang maha guru baru saja berakhir. Tiga jam saja aku dibimbing beliau. Satu demi
satu argumenku diputar balik olehnya. Sang maha guru sungguh tertarik dengan
ide yang kurangkai untuk karya akhir ini. Namun ketertarikannya tak sebesar
ketertarikanku untuk menyapamu hari ini. Sungguh aku ingin pertemuan itu
berakhir segera karena aku tak sabar menggegam tanganmu yang kurus, namun
hangat.

Meski aku mengayun langkahku besar-besar, namun tak juga sampai menujumu
secepat keinginanku untuk melihatmu. Beberapa minggu terakhir, aku sudah lama
tak duduk berdua denganmu, mendengar uraian kata yang terjalin untuk
menyampaikan kisahmu. Kita sibuk mengurai pikiran dan tenaga untuk
menyelesaikan tugas utama kita, kuliah. Kamu dan aku sepakat bahwa karya akhir
ini akan menjadi puncak pencapaian kita, bahkan orangtua kita. Maka aku dan
kamu bertekad bahwa enam purnama kedepan tak boleh disia-siakan. Aku dan
kamu pun berniat untuk berjalan kedepan, fokus menyelesaikan amanat itu.
Akibatnya, kisah kita pun terjalin seperti sinyal HP di pegunungan, kadang ada,
dan kadang tiada.

Anda mungkin juga menyukai