Anda di halaman 1dari 5

CERPEN

Persahabatan Sejati
Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga

sahabatku yaitu Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang

dimasukkan ke dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah

pohon yang nantinya surat tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian

kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan

hasilnya kita berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi

dan menggali tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang

dulu pernah kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama

untuk selamanya.”

Keesokan hari, aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat.

Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan di situlah saat-saat

yang tidak bisa aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasannya

kepadaku. Akhirnya aku dan anis berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh

malam yang istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.


“Perasaanku ngga enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.

“Udahlah ndi, santai aja, kita ngga bakalan kenapa-kenapa” jawab andri dengan

santai.

Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa

menahan air mata yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.

Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di

sampingku.

“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.

“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di

lokasi kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti

mendengar pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta

kamu, tapi kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku

berkata.
Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami

bisa menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya

angan-angan. Aku berjanji akan selalu mengenang kalian.

CERPEN

Belajar dari yang Tak Pernah Diajar

Pagi itu aku yang sedang sarapan dengan tenang tiba-tiba tersendak karena melihat
jam sudah pukul 7. Aku menggoes sepeda. Sialnya gerbang sekolah sudah ditutup
dan pak satpam dengan wajah kesal berkata padaku di balik gerbang.

Lalu dibukakannya pintu gerbang itu, namun aku dan beberapa murid lain
dihukum dengan berdiri di lapangan basket sampai jam pertama selesai. Aku
melirik pos satpam, sebuah tempat dimana laki-laki itu setiap pagi datang dan
bekerja sampai sore hari tiba.

Namanya adalah Pak Asep, tapi anak-anak sering memanggilnya “Mang Oray”,
entah aku tak tau siapa pencetus panggilan tersebut pada Pak Asep. Dia sangat
popular di SMA Negeri 1 karena dekat dan ramah dengan murid-murid, khususnya
murid laki-laki.

Lama setelah itu aku juga semakin akrab dengan satpam tersebut, yang kawan-
kawanku selalu memanggilnya Mang Oray. Pernah suatu ketika dia menceritakan
kepadaku dan kawan-kawanku tentang dia sewaktu seusia kami.

“ Dulu, Mamang pernah sekolah seperti kalian. Tapi mamang tidak bisa
melanjutkannya hingga selesai, karena orang tua mamang tidak bisa
membiayainya” imbuh dia dengan senyum menutupi.

“Kalian, harus memanfaatkan kesempatan kalian untuk mengais ilmu disini,


makanya mamang suka marah pada kalian yang suka terlambat masuk”
sambungnya.

Dia kemudian melanjutkan ceritanya. Ternyata di rumahnya dia menyediakan


perpustakaan mini untuk para tetangganya yang ingin sekolah namun terkendala
ekonomi keluarga. Aku pun sangat kagum dengan perjuangan Pak Asep. Ditengah
biaya hidup yang semakin susah, kulit kian keriput serta rambut kian memutih, dia
masih bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Terimakasih, Pak.

Anda mungkin juga menyukai