Pagi ini nampak begitu cerah, Matahari mulai menampakkan sinar keemasannya.
Dua remaja tujuh belas tahunan sedang asyik bersenda gurau diatas sepeda yang melaju
kencang. Angin berhembus membuat jilbab keduanya berkibar dengan anggunnya.
“Affa, kamu suka sama siapa sih? Kok selama kita berteman, kamu nggak pernah
ceritakan tentwang itu? Ayolah cerita Affa, aku penasaran!” sahut Putri sambil mengayuh
sepedanya.
“Duh Putri, ini sudah ke tujuh ratus tiga puluh lima kali kamu menanyakan hal ini
padaku. Sudahlah, tunggu saatnya saja, lagipula ummi bilang tidak baik menggembar-
gemborkan perasaan kita. Nanti jatuhnya bisa zinah hati tahu” jawab Affa sambil
melemparkan senyum kepada Putri.
“Yah kamu ini curang deh, selama ini aku kan selalu cerita sama kamu kalau sedang
jatuh cinta. Bahkan mungkin kamu juga masih hafal tiga belas pria yang pernah aku sukai
sejak masih TK. Affa curaaaang!” ujar Putri sambil bersungut-sungut memperlambat
kayuhan sepedanya.
“Haha, dasar Putri! Kan sudah kubilang tunggu saja nanti saatnya. Kau akan tahu jika
ada seorang pria gentle yang berani datang ke rumahku untuk menemui Abi dan Ummi ku.
Kamu tenang saja, kamu akan jadi orang pertama yang tahu tentang itu. Percayalah padaku,
Putri.” Jawab Affa dengan karakter tenangnya yang selalu melekat pada dirinya.
“Yah, selalu saja begini. Tapi aku pegang janjimu ya Affa, awas saja kalau kamu
bohong!”
“Iya sahabatku tersayang” ujar Affa sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.
Putri Khairunnisa dan Affa Safitri adalah pasangan sahabat sejak masih dalam ayunan
Ibunya. Ya, ibu mereka juga pasangan sahabat yang tak terpisahkan, mereka saling
mengenal sejak dunia putih-biru hingga sudah beranak dua saat ini. Oleh karena ikatan
itulah, Putri dan Affa layaknya saudara kandung, kemana-mana selalu berdua.
Sudah tujuh belas tahun mereka bersahabat. Orang-orang di sekitarnya selalu
bingung melihat persahabatan mereka. Bagaimana tidak, Affa yang sangat anggun, ramah
dan tidak banyak berbicara bisa bersahabat dengan Putri yang urakan dan iseng pada
teman-temannya. Pernah suatu hari Putri membuat masalah besar di kelas, lalu dengan
tenangnya Affa yang membereskan semuanya. Affa selalu menjadi malaikat penolong bagi
Putri. Lalu mengapa Affa mau bersahabat dengan Putri selama itu? Entahlah, itu tetap
menjadi sebuah pertanyaan besar untuk teman-temannya di sekolah.
…
“Affa, ayo cepat bereskan barang-barangmu! Ayo kita pulang, aku sudah lapar!”
teriak Putri dari luar jendela kelasnya.
“Iya Putri, sebentar. Kebiasaan deh kamu nggak sabaran kalau sudah jam pulang!”
jawab Affa seraya membereskan barang-barangnya.
Siang itu sangat terik. Para pengendara mobil dan motor rasanya sedang berbalapan di jalan
raya. Debu jalanan menghalangi pandangan mata. Affa dan Putri menunggu bis di halte
depan sekolahnya. Affa mengambil dompetnya di dalam tas untuk menyiapkan ongkos
pulang, namun tak sengaja selembar foto terjatuh dari dompetnya dan terbawa angin
terbang ke jalan raya yang sedang ramai. Affa terkejut dan refleks berlari mengambil
selembar foto tersebut.
“BRAAKK!”
Terdengar suara tabrakan yang sangat keras.
Affa terhuyung bangkit di pinggir jalan. Orang-orang sudah mengerumuni jalan. Affa
melihat bercak darah di kaca mobil yang berhenti tepat di sebelahnya. Dan Putri tersungkur
tak berdaya di tengah jalan, darah segar terus mengalir dan membuat jilbab putihnya
berwarna merah.
Putri tertabrak mobil tepat setelah menarik Affa ke pinggir jalan.
Affa pingsan saat itu juga.
…
Putri tidak tahu, Affa menyimpan rahasia besar darinya.
Penyesalan
Tiyas memiliki seorang sahabat yang sangat setia menemaninya dalam menghadapi
lika liku kehidupan. Tidak jauh dari rumahnya Dwi sahabat tiyas tinggal di kampung dekat
rumah Tiyas, hanya saja dipisahkan oleh RT saja. Namun sudah hampir dua minggu Dwi
tidak mengunjungi Tiyas di rumahnya. “Hmmm Dwi kemana ya mah, Biasanya hampir setiap
hari Dwi main kesini. Tapi ini sudah hampir lewat dua minggu Dwi tidak datang lagi.” Ujar
Tiyas. “Mungkin Dwi sedang sakit!” jawab Mama Tiyas. “Ih, iya juga ya mah, siapa tahu
memang Dwi lagi sakit. Kalo begitu nanti sore Tiyas mau menengoknya” katanya dengan
penuh semangat.
Sudah lima kali Tiyas mengetuk pintu rumah Dwi. Karena menunggu lama tidak
kunjung dibuka akhirnya Tiyas memberanikan diri untuk bertanya kepada tetangga tentang
menghilangnya Dwi. Benar saja, Ternyata sudah dua minggu Dwi ikut orang tuanya pulang
ke desa. Sebab ayahnya habis kena PHK. Akhirnya keluarga Dwi memutuskan untuk kembali
ke desa dan memilih menjadi petani.
“Oh, kasihan sekali Dwi,” ujarnya didalam hati,
Di rumahnya, Tyas tampak melamun sambil memikirkan nasib sahabat setianya itu.
“Ada apa Yas? Kok kamu nggak seperti biasanya, malah tampak lesu dan kurang semangat.”
Papa bertanya sambil menegur.
“Dwi, Pa.” Jawab Tiyas
“Memangnya ada apa dengan Dwi sehingga membuatmu muram, Apa dia sedang sakit?”
Tyas menggeleng kepada ayah.
“Lantas kenapa?” Papa menjadi penasaran.
“Sekarang Dwi sudah pindah rumah. Kata tetangga sebelah rumahnya Dwi ikut orang tuanya
pulang ke desa. Kabarnya bapaknya habis di PHK dan memilih untuk menjadi petani”.
Sambil menatap Tiyas papa termenung memikirkan ucapan tiyas dengan rasa setengah tidak
percaya.
“Kalau Papa tidak langsung percaya, Coba tanya deh, sama Pak RT atau ke tetangga lain”
ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Aku pengen Dwi bisa disini lagi” Tyas memohon dengan agak mendesak.
“Baik kalau itu bisa biki kamu seneng. Tapi, kamu harus bisa mencari alamat rumah Dwi
yang di desa” kata Papa.
Berkat bantuan pemilik kontrakan bekas rumah Dwi akhirnya tiga hari kemudian Tiyas
berhasil memperoleh alamat rumah Dwi yang berada di desa. Ia merasa sangat senang.
Kemudian Papa bersama dengan Tiyas datang ke rumah Dwi di sebuah desa terpencil dan
lokasi rumahnya masih masuk ke dalam lagi. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer.
Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi ketika
bertemu dengan Tiyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. pada
awalnya Dwi sangat kaget dengan kedatangan Tiyas secara tiba-tiba.
“Maaf ya Yas. Aku tak sempat memberi kabar ke kamu kalo aku mau pindah”
“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku sudah ketemu kamu dan merasa senang.”
Setelah berbincang cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada orang
tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, mereka menyerahkan segala keputusan
kepada Dwi sendiri.
“Begini, Wik, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu untuk ikut kami ke Surabaya.
Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi, apakah kamu
bersedia ikut?” Tanya Papa.
“Soal sekolahmu,” lanjut Papa, “kamu nggak usah khawatir. Sseluruh biaya pendidikanmu
biar papa yang menanggung.”
“Baiklah kalau memang Bapak dan Tiyas menghendaki saya ikut, saya mau pak. Saya juga
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya dan
keluarga saya.”
Kemudian Tiyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak
mata Tyas berkaca kaca tidak kuat menahan kebahagiaan. Kini Dwi tinggal di rumah Tiyas.
Sementara orang tuanya tetap tinggal di desa. Selain untuk mengerjakan sawah, mereka
juga merawat nenek Dwi yang sudah semakin tua.
Sial
Malam minggu yang cerah di taman kota. Aku duduk bersama pacarku. Seorang
bidadari yang salah alamat sehingga turun ke bumi. Dan sekarang ia sedang mampir di
hatiku. Wajahnya nan elok bagai bulan purnama. Putih berkilau, meskipun ada bintik-bintik
dan lubang-lubangnya, mirip sekali dengan bulan purnama. Kupegang tangannya, dan tiba-
tiba ia menciumku.
“Bangun nak! Sadar nak!”
“Eh ibuk, iya maaf buk.”
Yah itulah, ternyata hanya mimpi. Sekarang bukan malam minggu, tapi malam selasa.
Saat dimana semua PR menumpuk. Sebab aku memang anak yang malas sih.
Aku tertidur di meja belajar, di depan laptop yang masih menyala. Tertulis sebuah
kalimat “Rusa yang Salah Sangka”. Itu adalah judul dari cerpen yang sedang kubuat. Tugas
dari guru Bahasa Indonesiaku. Membuat tiga cerpen dalam waktu dua minggu. Sungguh
indah memang masa-masa di kelas 9 SMP.
Sebenarnya aku tak perlu bersusah payah mengetik sebanyak ini. Jika saja aku
mengerjakannya sudah sejak dulu. Tapi ya tak apalah, sudah terlanjur.
Jarum jam menunjukkan pukul satu pagi tepat. “Astaga sudah pagi. Padahal masih
belum selesai.” Oh ternyata jam yang kulihat adalah jam yang mati. Karena batrainya habis
dan belum kuganti. Kemudian aku melihat jam yang satunya. Pukul setengah sepuluh.
“Huh, satu cerpen lagi. Apa ya? Hmm, aku tulis saja tentang kejadianku saat ini. Yang sedang
bersusah payah mengerjakan tugas menulis cerpen. Mungkin ceritanya bagus.”
Akhirnya selesai sudah. Pukul sebelas malam. Kubereskan meja belajarku, kemudian
pergi ke kamar mandi untuk buang air.
“Huh leganya, sudah setengah jam kutahan.”
Kemudian aku ganti pakaian. Celana pendek dan kaos tipis, karena malam ini cukup
panas, mungkin karena aku bekerja terlalu keras. Kulihat adikku tertidur pulas di pelukan
ibuku. Kelas 2 SD tapi nakalnya luar biasa. Saat aku melihatnya, aku merasa ingin dipeluk
oleh ibu juga. Tapi tak usah lah, peluk guling saja sudah cukup.
“Saatnya melanjutkan kencan bersama pacar mimpiku.”
Aku rebahan di atas kasur. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Tentu saja karena aku
menutup mata. Tiba-tiba muncul lagi cewek itu. Tapi dia tidak jadi menciumku, karena ia
sudah disuruh pulang oleh calon mertuaku. Maksudku ayahnya. Sekarang aku berganti
mimpi yang lain. Wah kali ini seru, aku berada di dalam sebuah game favoritku. Membawa
senapan dan bertarung bersama sang tokoh utama. Seru sekali. Sekarang aku berganti lagi
ke mimpi yang lain. Aku berada di tempat yang luas. Tiba-tiba ada ibuku. Oh ibu, kenapa
engkau selalu ada sebagai pengakhir di mimpi-mimpiku.
“Nak bangun. Sekolah!”
Astaga ternyata sudah pagi. Aku terbangun. Tak kusangka malam bisa secepat ini.
Aku segera ke toilet untuk buang air lagi dan wudlu sekalian mandi. Kemudian aku sholat,
sarapan, ganti baju dan berangkat. Memang hari ini ada yang aneh. Ada yang salah pada
diriku. Tepatnya pada seragamku, sekarang hari Selasa, seharusnya aku memakai seragam
biru putih. Tapi sekarang aku memakai batik.
Aku kembali ke rumah untuk ganti pakaian. Ibuku mengantar adik ke sekolah dan
ayah pergi bekerja, sehingga aku kesulitan mencari seragamku. Akhirnya kutemukan. Masih
basah karena baru dijemur. Tapi tetap saja kupakai, meski rasanya tidak enak. Aku lalu
bergegas ke sekolah. Dan seperti yang kuduga, aku terlambat. Sial bagiku, mengisi buku
pelanggaran dan berdiri sambil hormat bendera selama 30 menit.
Kemudian aku masuk ke kelas. Waktunya mengumpulkan tugas. Dan sial lagi bagiku.
Ternyata aku tidak membawa tugasku itu, sepertinya tertinggal di meja karena aku terburu-
buru. Diomeli lagi oleh guruku, mengisi buku pelanggaran lagi.
Bel istirahat berbunyi. Instrument lagu Dari Sabang Sampai Merauke yang kali ini
menjadi nada bel istirahat. Aku pergi ke kantin. Dan sial lagi bagiku. Ternyata uang sakuku
tertinggal di saku baju batikku tadi, sehingga aku harus berpuasa dadakan.
Entah kenapa sial sekali kali ini nasibku. Mungkin semua ini terjadi karena aku terlalu
ceroboh. Sehingga banyak hal yang membuat diriku sial. Aku sadar memang kita tidak boleh
ceroboh dalam segala hal. Kita juga tidak boleh malas, karena itu membuat segala yang kita
kerjakan menjadi berat.
Tapi meskipun aku sudah sadar dengan kesalahanku, tetap saja aku masih tidak bisa
jajan. Dan saat pulang nanti harus bersiap menghadapi kemarahan ibuku.