Anda di halaman 1dari 4

BENAR – BENAR GILA

Oleh
Bangkit Irmanudin Bahri

Memang di hari Jumat seperti ini, terminal Bungurasih selalu dipenuhi penumpang. Semua orang
ingin pulang ke kampung halamannya setelah lima hari bekerja di kota pahlawan. Banyak
penumpang yang menaiki bus sesuai tujuannya masing-masing. Kondisi terminal Bungurasih yang
dulunya ramai kini mulai sepi dan dingin.

Terminal Bungurasih tidak seperti sembilan tahun lalu, saat aku pertama kali memasuki Kota
Surabaya sebagai calon mahasiswa. Kini bangunan tersebut telah direnovasi hingga tingkat tertentu
dan kebersihannya tetap terjaga. Cuma bus tujuan Ponorogo sudah tidak seperti dulu lagi. Seingat
aku, tahun 2009 lalu bus Restu dan Akas masih antri di terminal jalur tiga tujuan Madiun-Ponorogo-
Pacitan, namun kini yang terlihat hanyalah koridor sepi yang diterangi lampu. Bus tujuan Ponorogo
sudah dua puluh empat jam tidak berangkat. Keberangkatan terakhir adalah pukul dua belas malam.

Malam itu rasanya semakin parah. Ia masih terlihat duduk bersandar di ruang tunggu. Ia merasa
lelah, karena harus bekerja lembur di kantor dari pagi hingga sore. Rokok yang sebelumnya hanya
disimpan di salah satu celana dicuri dan salah satunya kabur, lalu ditangkap. Kondisinya terasa dingin,
meski memakai jaket, hawa dingin masih terasa hingga ke tulang. Sejak sore itu, hujan belum juga
reda. Menurut penuturan masyarakat, hujan sudah lama dan tidak jelas apakah itu awan putih.
Situasinya bisa diamati di pedesaan, namun di Kota Surabaya sulit diamati. Kota yang sembilan tahun
terakhir dihuni ini sulit dilihat, kini dipenuhi gedung-gedung bertingkat, lampu terang benderang,
dan kendaraan penuh sesak memenuhi jalanan.

Sembari menghisap rokok, pikiran Budi selalu tertuju pada keadaan Wahyudi di Ponorogo. Budi yang
bekerja sebagai editor bahasa di surat kabar Warta Metro di Jalan Tunjungan. Ia membaca berita
bahwa di Ponorogo ada seorang pemuda gila yang nekat membunuh ibunya. Bahkan ia sempat kaget
dan seolah tak percaya mengetahui keadaan tersebut, sebab hal itu pernah ia dengar saat ia lulus
kuliah Wahyudi berangkat kerja ke Korea Selatan. Apakah ini benar-benar gila atau tidak?

"Madiun-Solo-Jogja, Madiun-Solo-Jogja! Terakhir-terakhir." Terdengar suara kernet bus sedang


mencari penumpang.

Budi memeriksa rokoknya yang tinggal setengah itu. Tas yang diletakkan di sebelahnya disampirkan di
bahunya. Ia berlari menuju jalur bus menuju Jogja itu. Salah satu cara agar ia bisa datang ke
Ponorogo secepatnya adalah dengan naik bus dari Jogja sampai Madiun dan ganti naik bus kecil
jurusan Madiun-Ponorogo.

”Jogja-Jogja pak!”

“Madiun,” jawabnya singkat.

“Silahkan-silahkan itu busnya sudah mau berangkat!”

Bus Sugeng Rahayu sempat penuh penumpang untuk beberapa saat. Lima menit kemudian, bus
tujuan Jogja meninggalkan terminal kota Surabaya. Jalanya bus kaya petir, memang berisik banget,
misal orang minum air kalau kurang berjaga - jaga bisa jadi basah kuyup kaya orang cuci muka. Dia
juga khawatir, namun mau bagaimana lagi tidak ada bus lain. Agar sedikit tenang, ia mencoba
memejamkan mata yang seharian menatap komputer.

”Madiun-Madiun, yang turun Madiun siap-siap!”

Keget, ia langsung terbangun bersamaan terdengar suara kernet bus Sugeng Rahayu. Ternyata
tidurnya orang yang lelah bisa nyenyak seperti orang mati. Sesampainya di terminal Purboyo, azan
subuh pun berkumandang. Budi melaksanakan salat subuh terlebih dahulu sebelum melanjutkan
perjalanan ke Ponorogo.

“Ayo yang Ponorogo, ayo busnya berangkat!” terdengar suara kernet bus Cendana mencari
penumpang.

Sebuah bus kecil dengan fasilitas tempat duduk sekitar tiga puluh dua penumpang meninggalkan
terminal Purboyo. Jalannya bus tidak bisa ngebut, karena barengan para pedagang hendak berangkat
ke pasar Dolopo. Bus yang seharusnya mengangkut penumpang itu dicampur dengan barang-barang
penjual, seperti tenggok, karung, dan keranjang.

Sesampainya di terminal Seloaji, waktu menunjukkan pukul lima pagi. Kondisi terminal masih sepi,
hanya ada beberapa tukang ojek yang ingin mencari uang. Ia kemudian naik ojek menuju Slahung,
karena jika harus naik bus atau angkutan umum lainnya harus menunggu lama. Keadaan seperti itu
sangat berbeda dengan saat ia masih duduk di bangku SMP dan SMA. Budi sering menumpang
dipintu bus saat berangkat dan pulang sekolah, karena sudah penuh penumpang.

“Bud, ayo beli sate gule di utara perempatan Dengok!”

“Ada apa kok ngajak ke sana? Pasti ada udang di balik batu.”

”Udang dibalik rempeyek enak Bud, bisa buat lauk. Udah ayo kesana!”

Saat ojek melewati Desa Ngampel, ia jadi teringat perilakunya dengan Wahyudi saat masih duduk di
bangku SMA. Wahyudi sering mengajak ia jajan, namun ia harus membantu Wahyudi mengerjakan
tugas sekolah. Merupakan hal yang lumrah jika orang berteman agar bersedia membantu satu sama
lain. Bahkan ketika Budi mendaftar kuliah di Surabaya, hanya Wahyudi satu-satunya yang bersedia
membantu mendaftar secara online.

“Yud, aku ingin kuliah.”

”Dimana itu?”

”Surabaya. Ada jalur PMDK, tapi aku tidak tahu cara mendaftar online. Aku sudah seumur hidup
mengikuti mata pelajaran komputer, dan nilai aku tidak berubah dari tujuh.”

”Tenang, besok tak online kan di warnet Madusari!”

”Sip bos!”

Pukul enam pagi ojek sudah sampai di Slahung. Sepeda motor keluaran Jepang itu memasuki
halaman luas depan rumah joglo. Kedatangan Budi disambut ibunya yang sedang menyapu halaman.

”Kenapa kamu pulang tanpa kabar dulu, Le?”

”Iya Bu, aku akan menjenguk teman.”

”Siapa yang sakit?”


“Wahyudi Bu, temanku waktu SMP dan SMA.”

“Wahyudi yang duli pernah ngobrol bareng aku saat mengambil rapotmu?”

”iyaa, dia berubah pikiran.”

“Lah anake jelas berbohong seperti itu, tidak kelihatan jelas kalau serius,” jawab ibu yang tidak
percaya.

Setelah mandi dan sarapan, dia merasa segar. Ia bersandar pada sepeda motornya dan mengucapkan
selamat tinggal kepada ibunya. Sepeda motor itu perlahan mulai meninggalkan halaman rumah
melewati jalan samping lapangan sepak bola. Tidak lupa teman ia menghampiri Eko untuk teman
menjenguk Wahyudi.

”Ko, ikut aku!”

”Kapan pulang? Mau kemana?”

”Baru dateng aku, kemarin aku baca kabar kalau Wahyudi sakit.”

”Oh iya kemarin rame di grup WA, Wahyudi gila katane.”

“Wah jangan katakan itu! Itu tidak bagus.”

Eko dan Wahyudi merupakan sahabat Budi semasa duduk di bangku SMP dan SMA. Tiga anak sering
berjalan-jalan bersama. Jadi ia merasa kalau mengajak Eko bisa diajak teman diskusi, mungkin
Wahyudi masih ingat teman-teman itu.

Sekitar lima belas menit kemudian, sepeda motor Budi dan Eko sampai di rumah Wahyudi. Yang jelas
dia masih ingat rumah kecil di samping sawah dan sungai. Dia biasa mampir ke sana, menjenguk
Wahyudi. Bahkan terkadang saat musim hujan, ia melihat Wahyudi membawa sepatunya melintasi
sawah sebelum naik bus untuk berangkat ke sekolah, hal yang seharusnya tidak biasa terjadi saat ini.

“Assalamualaikum,” ucapnya sambil mengetok pintu.

”Walaikumsalam. Tunggu sebentar!” suara seorang wanita terdengar dari balik pintu.

”Selamat pagi Bu!”

”Selamat pagi! Siapakah kamu Nak, dan apa yang penting?” ucap wanita yang kepalanya diperban
dengan panik.

”Aki Budi dan ini Eko, teman Wahyudi saat kami SMP dan SMA.”

”Oh nak Budi, silakan duduk! Dulu kamu sering ke sini. Apa kabar?”

”Iya Bu, Aku sehat.

Budi mengira kalau kepala Bu Ginah diperban seperti itu berarti berita yang dibacanya kemarin
benar, Wahyudi gila. Ah masak? Aku harap itu salah. Wanita berusia sekitar enam puluh tahun itu
tampak senang mengetahui teman Wahyudi masih berminat, sehingga ia mengajak Wahyudi keluar
rumah.

”Yud, apa kabarmu? Apakah kamu selalu sehat?” dia bertanya

“Iya Yud, apa kabarmu?” Ucapan Eko terdengar panik.

“Saranghaeyo,” jawab Wahyudi.


”Apa kabarmu?” dia berusaha mengejar jawaban Wahyudi.

”Nae ileum Wahyudi, naneun-eseo onda Indonesia.”

“Kamu masih ingat aku? Aku Budi Santosa, temanmu.”

”Nae chwimineun chuggu ya, naneun miteubol-eul meogneun geol joh-ahae.”

Wahyudi sepertinya tidak mengingat Budi dan Eko. Bahkan kata-kata yang keluar dari bibirnya
semuanya bahasa Korea. Dia adalah editor bahasa di sebuah surat kabar tetapi dia tidak dapat
memahami arti kata-kata tersebut. Hanya kata saranghaeyo yang dapat dimengerti olehnya. Seorang
artis drama Korea yang pernah aku lihat pernah berkata, itu artinya aku cinta kamu.

Menurut ceritanya Bu Ginah, Wahyudi pernah kuliah, tapi tidak selesai. Terus ingin pergi ke Korea.
Wahyudi pernah mengikuti PJTKI dan kursus bahasa Korea, namun gagal karena tidak lolos
pemeriksaan kesehatan. Terdapat bintik hitam di paru-parunya, mungkin karena sering merokok.
Situasi seperti ini membuat Wahyudi tidak bisa menerima kenyataan dan akhirnya berubah pikiran.
Budi tak bisa berkata apa-apa, ia masih memperhatikan kondisinya Wahyudi. Teman lamanya yang
dia cintai berada dalam situasi seperti itu. Tidak hanya rekan-rekan yang memahami situasinya,
bahkan beberapa surat kabar dan media elektronik mengumumkan kondisi Wahyudi. Dia menghela
napas dalam-dalam dan pikirannya selalu mengembara.

“Bud, aku ini wayang seperti Baladewa.”

”Apa alasannya?”

”Baladewa bisa berkumpul dengan Pandawa, dengan Kurawa ya. Aku bisa berkumpul dengan teman
baik, yang buruk juga.”

”Jangan aneh – aneh loh kamu!”

“Aku ini nanti tidak ingin aneh – aneh di masa depan, aku hanya ingin menjalani kehidupan yang baik.
Aku ingin pergi ke luar negeri, lalu aku akan menyuap uang untuk menjadi pegawai negeri.”

Wah gila banget kalau jadi begini. Barangkali apa yang dikatakan Wahyudi itulah yang menjadi biang
permasalahannya. Dikatakan bahwa orang yang hidup akan menuai hasil dari perilaku. Baik dan
buruk tidak bisa hidup berdampingan. Menganut ilmu agama, kebenaran dan kebatilan tidak bisa
menjadi satu. Dalam ilmu sastra, terdapat kata – kata tan hana dharma mangrowa.

Ia melihat keadaan Wahyudi yang berubah pikiran lalu ia ngomong dibibirnya, “Amenangi masa-
masa gila, ada orang bijak, kamu tidak tahan dengan kegilaan itu, kalau kamu tidak ikut di
dalamnya, mungkin kamu akan mati. , pada akhirnya kamu akan mati, kamu akan mati atas
kehendak Allah, berbahagialah orang yang , lebih beruntunglah orang yang mengingat dan
waspada.”

Anda mungkin juga menyukai