Anda di halaman 1dari 8

RESENSI BUKU

“Hujan, Bisiknya entah ke siapa.”

DOSEN PENGAMPU : SALSABILA SOFYAN, S.S

Muhammad Farhan (1317030059)

TELEKOMUNIKASI 1 A

TEKNIK TELEKOMUNIKASI

TEKNIK ELEKTRO

POLITEKNIK NEGERI JAKARTA

JAKARTA

2017
A. Identitas buku

1. Judul buku : Hujan Bulan Juni


2. Penulis buku : Sapardi Djoko Damono
3. Tebal halaman : 135 halaman
4. Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
5. Tahun terbit : November 2017
6. Editor : Mirna Yulistianti

B. Sinopsis
Aku adalah sarwono seorang antropolog yang tengah disibukkan
oleh macam-macam penelitian. Pada saat aku keluar dari salah satu hotel
di Bulaksumur, dekat kampus UGM, yang ada dipikirian aku hanya pergi
ke Malioboro untuk mencari kios majalah. Kali ini aku berada di Yogya
untuk kesekian kalinya atas perintah Kaprodi FISIP-UI yang disampaikan
ketika aku baru saja pulang dari penelitian yang menguras pikiran,
perasaan, tenaga, dan entah apa lagi. Hari ini aku senang karena tiga
puisiku dimuat disebuah koran. Ingin saja diriku untuk memotret ketiga
sajak tersebut untuk dilampirkan di WA yang akan aku kirim ke Kyoto,
akan tetapi kerumunan membuatku untuk mengurungkan niatku tersebut.
“Jadi, kau akan berangkat juga akhirnya?” aku bertanya ke
Pingkan. Tidak terdengar jawaban. Sebenarnya pertanyaanku itu tidak
perlu disampaikan sebab jawabannya juga jelas ya. “Kamu ini cengeng,
Sar, jualan gombal,” komentar Pingkan saat pertama kali membaca sajak
yang ada di sebuah majalah yang dipamerkan olehku. Ketika pertama kali
aku mengenal Pingkan di rumah Toar Pelenkahu, temanku SMA, aku
langsung merasa dirinya menjadi tokoh utama sebuah sinetron dan adik
Toar itu dalam otaknya yang sempat muncul sebagai Audrey Hepburn atau
Grace Kelly. Ketika menjelaskan nama-nama itu ke Pingkan, jawaban
yang aku dengar malah ejekan olehnya, “Yaaahh, ketahuan deh umurmu”.
Aku tidak menjawab. Aku mendengar nama-nama itu dari ibuku, yang
katanya sejak kecil suka menonton film Hollywood. Aku pernah sekali ke
Jepang, untuk ikut seminar budaya urban dan rekannya dari Universitas
Tokyo waktu itu member tahu bahwa dulu ada istilah hepubarnu stairu.
Ketika aku tanya itu, jawabnya, itu Hepburn style. Aku suka sakura yang
mekar seminggu di awal musim semi, dan langsung gugur bagaikan ronin
yang dipenggal kepalanya oleh samurai yang dikhianatinya. Tetapi sakura
tidak pernah berkhianat kepada siapa pun, kataku selalu kalau berbicara
dengan rekannya dari jepang.
“Lha, sekarang aku merasa jadi samurai yang akan ditinggalkan
anak buahnya yang akan berangkat menjadi ronin.”
“Sar, kamu ini sudah sekolah tinggi-tinggi tapi otakmu masih juga
ngelesot di bawah pohon sawo kecil di halaman keraton itu.”
Aku sangat ingin mendengar penjelasan calon ronin itu
selanjutnya. Aku tahu dan diberi tahu, bahwa Pingkan sangat cerdas
sehingga ketika wisuda dialah yang berhak menerima ijazah dari rektor
mewakili wisudawan fakultasnya. “Liat itu yang duduk di sudut,” kataku
sambil menunjuk pemilik warung yang sejak tadi tampaknya mengawasi
kami. Kami biasanya tidak menggubris apa pun. Kami berpisah di depan
Gedung 7 tempat para guru besar ngelamun kalau sedang tidak rapat.
Aku jadi teringat akan dialog picisan yang berlangsung di kampus
itu ketika di Solo keluargaku tiga tahun yang lalu mengadakan pesta
kelulusannya sebagai magister. Ayahku bangga aku bisa menjadi Sarjana
Magister pertama di lingkungan keluarga besar Eyang Tirto. Banyak yang
hadir dari si Budiman yang sudah menjadi ketua redaksi koran daerah
yang galak. Budiman menyalamiku sambil bertanya kenapa Pingkan tidak
hadir. Toar, yang bekerja di sebuah bank, juga tidak tampak, katanya
mengurus adiknya yang mau pindah kos di Jakarta karena tidak cocok
sama pamannya. Akan tetapi Bu Pelenkahu-ibunya Toar- malah muncul
justru lebih dahulu dari tamu-tamu lain. Aku curiga kehadiran ibunya
Pingkan adalah tanda bahwa ibu itu ingin mengenal lebih dekat dengan
keluargaku.
Eric Patiasina, Kaprodi yang lebih Betawi dari Betawi yang tinggal
di Kampung Ambon Rawamangun itu mengirim sms kepadaku untuk
membuka e-mail yang berisikan aku harus ke Universitas Negeri
Gorontalo. Katanya universitas tersebut mau membuka prodi baru. Aku
memang pernah mendengar rencana universitas itu mau menyusun MOU
dengan UI dalam kaitannya dengan pembukaan dan pengembangan
program studi. Aku langsung saja sampaikan perintah itu kepada Pingkan
dan berharap agar perempuan itu mau pergi ke Gorontalo untuk
menemaniku. Sebenarnya aku memiliki niat yang tidak baik, akal-akalan
yang sangat amat jelas sejalan dengan Romantisme yang cengeng.
Bayangkan saja perjalanan naik kendaraan darat selama delapan sampai
sepuluh jam menyusur pantai utara Sulawesi yang pasti akan memberikan
kesepakatan sangat lapang untuk menyudutkan Pingkan untuk menjawab
ya jika dilamar olehku di perjalanan.
Dan sebenarnya Pingkan juga senang karena bisa berlama-lama
denganku yang menjadi asisten seorang dosen galak yang dijuluki Si
Rambut Putih. Aku pernah gagal melanjutkan studi ke Amerika gara-gara
ada flek yang mencurigakan di paru-paruku. Ternyata Patiasina telah
mengatur perjalananku sedemikian rupa agar aku tidak usah repot-repot ke
sana-sini mencari tumpangan.
Aku pernah menjelaskan kepada mahasiswa yang pernah
mengantarkanku bahwa Pingkan adalah calon istriku dan Pingkan sama
sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun.
“Tahun depan kami mau kawin loh,” lanjut kataku ya walaupun
sedikit ngawur sih.
“Wow, kami diundang ya, Meneer,” kata si mahasiswa itu. Pingkan
tetap bungkam. Dia menafsirkan ‘pengumuman’ yang diucapkan olehku
tadi itu sebagai sejenis pinangan.
Di sepanjang perjalanan kami telah disiapkan beberapa makanan
dan minuman oleh orang universitas. Dan kalau sudah merasa agak lelah
dan sudah waktunya sholat, si sopir meminta izin mampir ke masjid untuk
sholat. Di sepanjang perjalanan pula si sopir selalu memutarkan CD yang
isinya lagu-lagu penyanyi yang suaranya dibule-bulekan itu.
Di sepanjang perjalanan aku dan Pingkan membicarakan tentang
guru mereka. Dan aku pun tidak akan pernah melupakan saat-saat aku
harus belajar menari dan nabuh gamelan, dan kalau sekolah usai suka
nyelonong saja masuk keraton mencari buah sawo manila yang berjatuhan
di pasir di halaman Pendapa.
Kami berdua sampai di Gorontalo usai sholat subuh dan disambut
oleh Ahmad seorang professor dan anggota DPR Pusat mewakili Provinsi
Gorontalo. Ahmad menerima kami sebagai pasangan suami-istri,
meskipun belum resmi. Kami pun istirahat dan nanti ketemu lagi dengan
orang kampus waktu makan siang. Akan tetapi Pingkan memilih untuk
tidur sampai siang. Aku pun hanya ikut-ikutan.
Baru kali ini aku dan Pingkan menyadari bahwa kasih sayang
mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami,
tidak bisa dicapai dan tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan
pendekatan apa pun bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul. Dan ketika
berpelukan pun kami merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya
mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa
kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon. Kalau
cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih
sayang adalah Kitab Suci yang tersirat.
Aku dan Pingkan tidak bisa bangun siang dan sudah berada di
ruang makan untuk sarapan ketika Pak Ahmad mengirimi sms bahwa
sopirnya agak telat menjemput ke hotel. Saat sarapan pagi kami diiringi
oleh musik yang sangat kencang dan membuat para tamu hotel sedikit
berteriak kalau sedang berbicara.
“Sip Ping, kamu telah membebaskanku dari peradaban purba,”
kataku.
“Kata Ibu, kita harus empan papan. Meskipun tidak suka, harus
bertata-cara sesuai dengan tempatnya.”
“Tapi ini kan bukan Menado.”
“Pokoknya begini, Menado dan Gorontalo kan bersekutu
menghadapi Jawa hehehe.”
“Tapi...”
“Meskipun Kitab berbeda.”
Kitab boleh berbeda. Yang menyatukan kami berdua adalah gohu
dan es kacang merah yang tanpa diberi label halal pun bebas dijual di resto
elite dan warung pinggir jalan.
Pingkan dan Benny, sepupunya itu, pernah bicara empat mata di
sela-sela rame-rame di rumah pamannya tentang posisi aku nanti dalam
keluarga besar mereka dan juga posisi Pingkan di keluarga besarku. Dan
apabila nanti kami akhirnya memiliki keberanian untuk kawin.
Beberapa kali Pingkan pernah bertanya kepada ayahnya kenapa ia
dinamakan Pingkan. Ayahnya pun melempar pertanyaan itu kepada ibunya
dan ibunya juga melempar kembali pertanyaan itu kepada ayahnya.
Pingkan semakin bertambah sengit keinginannya untuk mengetahui apa
makna Pingkan bagi orang Menado. Pikiran Pingkan tentang namanya itu
pun langsung bergeser ketika aku menjemputnya di kosnya. Aku, Pingkan
dan Sarwono pergi ke suatu tempat dan berbincang-bincang.
Pingkan tidak tahu lagi kampungnya yang mana, Solo apa Menado.
Pingkan merindukan suara ibunya sendiri, yang selalu berbahasa Jawa
dengannya dalam keadaan apa pun. Pingkan juga merindukan diriku yang
suka berbagi earphone kalau sedang cari-cari bahan di perpustakaan
kampus sambil mendengarkan “The Swan” versi jazz Bob James. Pingkan
juga merindukan almarhum ayahnya yang telah mendidiknya mencintai
musik klasik. Dari SMA aku sering bertengkar dengan teman-temanku
yang suka main musik, yang selalu diledeki olehku sebagai gerombolan
rocker yang memaksa orang menjadi tuli gara-gara mendengar suara
bising yang digandakan lewat alat musik elektrik.
Begitu aku mendarat langsung saja aku mengirimi WA, aku rindu
kamu, Ping.
Aku membawa dua koper, salah satunya titipan Pingkan, Bagikan
saja oleh-oleh itu untuk dosen-dosen yang selalu tampak kelaparan itu,
Sar.
Ketika kami saling silang-menyilang WA kami pun kelelahan.
Dalam beberapa WA yang dikirimnya, Pingkan menyelipkan selfi bersama
Benny dengan latar belakang pelabuhan, halaman depan warung makan,
atau bahkan makanan yang dipesannya. Aku terasa demam dan mencari-
cari Panadol warna ungu, obat flu khusus untuk malam hari. Aku lupa
bahwa obat jenis itu sudah tidak dijual di warung dan apotek.
Paginya aku memaksakan diri ke kampus dan langsung bertemu
dengan Patiasina yang langsung berkata setelah melihat wajah pucatku.
“Sar, kau sakit!”
Aku tidak menjawab. Kaprodi itu langsung meminta salah satu
mahasiswa yang kebetulan sedang konsultasi agar mengantarkanku ke
Pusat Kesehatan Mahasiswa di kampus.
Ketika aku keluar kamar periksa dan mengucapkan terima kasih,
dokter itu bertanya,
“Kok tidak sama Pingkan, Mas?”
Aku berusaha untuk tidak kelihatan kaget.
Garuda yang langsung dari Menado mendarat agak terlambat.
Sudah sore, pikirku. Aku menjemputnya dengan menggunakan mobil
fakultas. Pingkan mengirimi WA bilang bahwa ia pulang mendadak karena
dia harus ke solo mengantar keluarga yang akan membicarakan rencana
pernikahan Toar.
Di perjalanan Aku, Pingkan, Tante Henny dan Benny pun
berbincang-bincang sembari melihat hiruk-pikuk jalanan kota. Aku
sebenarnya ingin ikut mengantar mereka ke Solo, tetapi batal karena
keluarga Pelenkahu lebih suka naik kereta api saja. Inilah yang paling aku
suka karena sering menjadikan kereta api sebagai ledekan untuk Pingkan.
Diam-diam aku merencanakan naik pesawat terbang saja, pulang, sekalian
mengantar oleh-oleh dari Menado yang belum juga sempat dikirim untuk
ibuku.
Rombongan Pelenkahu tampaknya merasa senang dengan
penerimaan ibu Pingkan, yang pernah mereka khawatirkan tidak akan bisa
menyesuaikan diri dengan suaminya. Toar sudah mau kawin, sekarang
giliran si Pingkan yang ditanya-tanya kapan kawin. Aku pun minta izin
untuk pergi ke Mesjid Gedhe karena hari itu hari Jumat dan sudah menjadi
tugasku untuk melaksanaka Sholat Jumat. Setelah sholat dan menunggu
mesjid benar-benar kosong, aku menuju alun-alun mencari taksi untuk
menyusul rombongan biri-biri itu ke toko oleh-oleh di dekat Pasar Gede.

Anda mungkin juga menyukai