Anda di halaman 1dari 12

“I HAVE LOVED YOU, OH SO MANY YEARS”

INTROLOGI

Salam kenal dari ane yang newbie di dunia per-kaskus-an. Sekian lama ane jadi
Silent Reader di forum SFTH. Banyak cerita – cerita unik dari curahan hati para
juragan disini, yang akhirnya  “memaksa”  ane membuat ID kaskus dan
memberanikan diri untuk ikut meramaikan jagat karya tulisan di forum SFTH ini
sekadar mengasah kemampuan menulis dan mengarang ane yang memang pas-
pasan.

“I HAVE LOVED YOU, OH SO MANY YEARS” (I.H.L.Y - O.S.M.Y), adalah penggalan


lirik sebuah lagu klasik bernada folk / country milik The Everly Brothers yang di daur
ulang oleh vokalis Green day, om Billie Joe Armstrong dan tante Norah jones sebagai
partner duet nya. (bukan maksud mau promosi, soalnya memang ane gak punya
urusan bisnis sama mereka juga sih, hehehehe) salah satu lagu favorit di playlist
musik punya ane, yang makna nya sejalan dengan tema cerita ini. Maka ane comot
sedikit liriknya sebagai judul cerita.

- Pertama, cerita ini mengenai setting lokasi peristiwa terjadi di dua pulau besar di
Indonesia tercinta, yang beberapa nama tempatnya ane ubah karena lupa detailnya.
Hehehe.. (maklum, faktor umur)

- Kedua, dimohon para juragan sekalian jangan memaksa ane untuk rutin update
cerita ini, karena kita sebagai manusia pasti mempunyai kesibukan yang berat di
dunia nyata. Tanpa agan-agan minta sekalipun, ane tetap akan update kok sampe
selesai.

- Ketiga, mengenai peraturan berkomentar di forum SFTH ini. Ane rasa gak perlu


dijabarkan dengan detail karena agan-agan sekalian pasti lebih paham ketimbang
ane yang baru sebulanan melancong di kaskus. Dipersilakan untuk kepo se-kepo-
kepo-nya mengenai isi cerita...

Udah segitu aja intronya udah kepanjangan nih. kalo ada suatu kesalahan, silakan
kasih tau ane ya gan. Namanya juga manusia “tempat produksinya beragam
masalah”. Akhir kata, selamat menikmati.
- BAB SATU : MASA DI SEKOLAH –

PEMBUKAAN

- Nama gue beni. Pada saat cerita ini dimulai, gue masih bocah cemen yang salah
masuk tempat bersekolah. Gimana gak salah? Gue yang kesehariannya disuruh
nyokap beli minyak goreng ke warung ini di daftarin sekolah oleh bokap gue
ke “sarang penyamun”.

Berhubung bokap gue kepingin banget salah satu anaknya ada yang jadi arsitek,
akhirnya “takdir pilihan” itu dibebankan ke punggung gue yang kurang berisi ini.

Setelah lulus sekolah SMP di kota Palu nun jauh di seberang samudra sana, gue
pulang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. dan di pilihkan lah gue untuk
masuk ke jurusan Gambar Bangunan di salah satu sekolah STM yang pada waktu itu
terkenal brutal di belantara beton kota Jakarta.

Kita semua sepakat bahwa kebanyakan penghuni sekolah STM biasanya menurut
cap masyarakat adalah bocah berandalan yang hobi tawuran, doyan kekerasan dan
tukang berantem.

Demikian juga cap masyarakat tentang sekolah gue itu. Bukti kongkret nya adalah,
perangai gue yang awalnya ‘low profile’ khas anak rumahan, berubah jadi
pemberontak hanya dalam waktu kurang dari setahun. Masa – masa awal di tahun
pertama gue disana di selingi dengan kegiatan ‘memukul dan dipukul, melempar batu
dan dilempar botol’, sungguhlah masa yang suram.

Entah udah berapa kali bokap dipanggil pihak sekolah guna membahas kelakuan gue
yang agak masokis itu. Memang udah sifat dasar bokap gue yang penuh toleransi.
Setelah selesai berurusan dengan pihak sekolah, bukannya memarahi gue, beliau
cuma ketawa cengengesan sambil nyentil jidat gue dengan sedikit komentar ;

Quote:
“kamu ini, bikin susah saya saja. Hehehe”

dan finishing nya di ambil nyokap yang ‘bersenandung merdu’ panjang-lebar


mengenai masa depan dan lain-lain. Bagaikan dua kutub magnet yang berbeda sifat
namun satu badan, sifat nyokap adalah kebalikannya sifat bokap. Itulah sedikit detail
mengenai dua orang yang nantinya akan menjadi alasan pertama ketika gue
mengambil keputusan – keputusan penting di hidup yang absurd ini.
Itu hanya sedikit gambaran tentang jati diri gue di tahun pertama STM yang abu-abu.
Cerita akan gue skip langsung ke tahun kedua gue yang udah mulai ada warna pink-
nya. Here we go.

Pertengahan tahun kedua, kenakalan gue udah mulai sedikit berkurang walaupun
gak signifikan. Kegiatan yang sedikit berdarah udah gak dijalani lagi, Sebagai
gantinya adalah kegiatan berburu cinta.

Pada umur gue saat itu memang sudah memasuki fase pubertas. Perkembangan
tubuh, hormon dan sifat sedang deras – derasnya melanda. Inilah masa nya dimana
seorang bocah mulai bisa membedakan yang mana cinta, yang mana berahi. Here
we go.. ( lho? Dari tadi ngomong here we go tapi gak maju-maju nih cerita? Hmm..
oke lah langsung aja here we go beneran deh.. here we goo!!!)

PERKENALAN (I)

Pagi hari itu, pelajaran jam pertama di kelas terasa amat membosankan. Di muka
kelas, pak guru menerangkan bahan pelajaran dengan nada datar nya yang seperti
lagu pengantar tidur bagi murid-murid pemalas. namun ketika sudut matanya
menangkap bayangan seorang murid tengah merebahkan kepalanya di atas meja,
seketika suaranya menggelegar.

nada yang seperti senandung pengantar tidur itu berubah menjadi ledakan seratus
alarm di tepi telinga. Sukses membuat para murid yang matanya mulai sayu menjadi
terkesiap, dan yang matanya sudah terang jadi membulat. Pelajaran pun di lanjutkan
setelah guru tersebut menggerutu tentang semangat belajar murid jaman sekarang
yang berbanding terbalik dengan masa saat beliau dulu.

Bel berdentang, menandakan waktunya untuk pergantian mata pelajaran. Terdengar


desahan lega para murid yang sudah menanti momen tersebut. Mengharapkan
pelajaran membosankan itu segera berlalu.

Beberapa lamanya setelah guru tadi keluar kelas, guru yang bertugas memberi
pelajaran selanjutnya pun tak kunjung datang. Kelas pun mulai ramai dengan suara
para murid yang sibuk bercengkerama.

Quote:
“eh, Ben. Kita cabut aja yuk? Gile ngantuk banget gue dari tadi. Gak ada yang mampir
ke otak tuh pelajaran barusan.”
Salman, temen sebangku gue ini mengajukan ajakan gila yang pada saat itu di
anggap ‘normal’. Gue Cuma membalas ajakan itu dengan sedikit malas.

Quote:

“masih pagi ini man. absen gue juga udah kebanyakan nih. Tar bisa gak dikasih
makan gue sama nyokap kalo ketahuan bolos mulu. lagian mau kemana emang?
Jam segini warnet blum ada yang buka.”

“Udah deh ikut aja. Gue udah janjian sama temen buat kongkow. Nanti gue kenalin lo
sama temen gue anak SMA sebelah. Mau?”

“HAYOK BERANGKAT!” seru gue yang mendadak semangat sambil nyengir kuda.

Berbeda dengan gue yang agak kuper dan gak banyak ngomong ini. Si Salman ini
orangnya supel, temennya banyak. Apalagi dengan tampang yang agak ke-timur
tengah-an nya, memudahkan dia untuk sekadar berkenalan dengan cewek-cewek
SMA lain.

Mendengar rayuan maut Salman tentang iming-iming mau dikenalkan cewek,


spontan gue dengan semangat 45 langsung meng-iya-kan ajakannya. Jujur saja, di
lingkungan STM gue yang 90% di isi oleh murid lelaki, keberadaan wanita disini
bagaikan mahkluk langka yang susah ditemukan. 10% sisanya memang bisa disebut
wanita, tapi mereka adalah para guru dan ibu penjaga kantin.

Fix gak ada murid cewek di sekolah model begini. Sebab pada saat itu, nama
sekolah STM yang identik dengan kekerasan mengakibatkan para orang tua enggan
menyekolahkan anak perempuan mereka kesana.

PERKENALAN (II)

Singkat kata, setelah berhasil keluar dari pagar sekolah dengan cara yang sedikit
ekstrim, gue dan Salman bergegas menuju ke tempat yang di janjikan.

Sebuah kedai makanan ringan yang cukup luas dan suasananya ‘teenager’.


Sesampainya disana, terlihat anak – anak muda berkerumun masih dengan seragam
sekolah yang bervariasi.

Ternyata, tempat ini cukup terkenal di kalangan pelajar sekolah lain sebagai tempat
favorit kongkow membuang waktu dikala jam pelajaran tengah berlangsung.

Setelah celingukan cukup lama, akhirnya Salman menemukan teman yang dicarinya.
Segerombolan pelajar yang sedang cekikikan sontak melambaikan tangannya
kearah kami yang berjalan menuju meja mereka.

Setelah memesan makanan dan minuman ringan, kami basa – basi sejenak dan
berkenalan dengan beberapa cowok dan cewek yang bergabung di meja itu. Dan
kemudian kami mulai berbicara hangat khas anak muda.

Entah siapa yang memulainya, tema obrolan saat itu adalah menceritakan
pengalaman horror. Lalu, Satu per satu dari kami memulai ceritanya masing-masing
hingga sampailah momen giliran gue yang berbagi cerita.

Quote:
“ini adalah satu-satunya pengalaman horror yang pernah gue alami. Ceritanya
dimulai di hari terakhir gue tinggal di kota Palu, karena keesokan harinya gue udah
harus berangkat ke Jakarta untuk lanjut sekolah, malam itu temen-temen gue
ngadain pesta perpisahan di salah satu warung makan di sudut kota.

Pesta berlangsung sampai kira-kira jam 1 malam. Setelah kelar, gue diantar pulang
sama temen gue pake motor butut yang kalo di nyalainnya itu susah setengah
mampus.

Saat itu jalan satu-satunya menuju rumah tinggal gue adalah lewat jalan kecil yang
gelap gulita di pinggiran hutan yang katanya keramat. Udah gitu harus lewat
pemakaman dulu sebelum akhirnya sampai ke jalan perumahan.

Jadi bisa dibayangin prosesnya, tengah malam - naik motor butut – lewat jalan gelap
di pinggir hutan – lewat pemakaman.

Selama perjalanan di pinggir hutan itu kita gak henti komat – kamit baca do’a.
suasananya emang udah horror Karena kondisi jalanan gelap. Ditambah lagi entah
dari mana asalnya, ada suara anjing menggonggong di kejauhan.

Udah gitu, ketika kita hampir deket sama areal pemakaman, dikejauhan sana
keliatan samar – samar sesuatu berwarna putih tinggi kayak pocongan gitu tengah
berdiri di bawah sorot lampu remang-remang di pinggir jalan, ada sepasang pula.”
Gue berhenti cerita sejenak untuk memperhatikan ekspresi ngeri temen – temen
yang penuh perhatian dengerin cerita. Ada yang meringis, ada yang usap – usap
bahu, dan berbagai ekspresi lainnya. Gue memasang mimik serius dan melanjutkan
cerita.

Quote:
“temen gue yang lagi bawa motor itu terkejut bukan main. Di hentikannya laju motor
di tengah jalan, namun efeknya malah bikin suasana tambah mencekam. Mesin
motor mendadak mati! Kita panik bukan main buru-buru berjuang men-stater motor
supaya nyala lagi.

Akhirnya nyala deh tuh motornya, trus gue putuskan supaya temen gue ini terus aja
nyetir ke depan sambil kita baca-baca sampe ngelewatin putih-putih itu, berharap
putih-putih itu gak lompat ke tengah ngehalangin jalanan. Akhirnya mulai lah kita
jalan lagi.

Makin deket kearah sana, bebacaan yang awalnya hanya bisik-bisik mulai
dilantangkan.

Makin deket lagi, kita bebacaan makin keras.

Makin deket lagi, akhirnya kita bebacaannya nyaris jejeritan.

Dan akhirnya kita pun berpapasan dengan putih-putih itu.

BLAASSSS!!!

Temen gue yang tadinya bebacaan surah – surah suci sambil teriak, akhirnya malah
berganti jadi memaki –maki sambil teriak pula. Gue yang dibonceng cuma bisa
mengumpat sambil ketawa histeris.

Gimana enggak? Ternyata putih-putih yang kita pikir itu sepasang setan pocong di
pinggir jalan, ternyata cuma sepasang gapura warna putih pintu masuk menuju
pemakaman yang disorot lampu remang-remang. Kan brengsek banget judulnya itu
hahahaha.”

Suasana parno itu akhirnya buyar dan pecah dengan suara tawa temen-temen baru
gue yang tadinya diliputi ekspresi horor. Lalu di antara sela-sela tawa itu, tanpa
sengaja mata gue beradu pandang dengan mata seorang gadis yang juga masih
tertawa renyah mendengar ending cerita gue.
Dan gue T-E-R-P-E-S-O-N-A.

*****

TELAT MEKAR

Teman – teman gue menyebut perkembangan mental gue ini dengan istilah “TELAT
MEKAR”. Menurut mereka, masa dimana seorang bocah mulai puber itu di tandai
dengan mulai menyukai lawan jenisnya pertama kali, dan itu biasanya dimulai ketika
masa-masa pertengahan ketika sekolah di SMP.

Masih menurut mereka juga, dengan melihat kondisi gue yang baru mulai menyukai
pesona wanita dimulai di kelas 2 STM itu dinilai gak wajar, oleh sebab itu mereka
sepakat menyebut gue sebagai seseorang yang “TELAT MEKAR” (entah darimana
dan bagaimana caranya mereka dapet istilah tersebut, sekolah aja bolos melulu,
jarang kerjain PR, nilai ulangan pas-pasan, kerjaannya mukulin anak orang kok bisa-
bisanya mendadak mereka paham pendidikan psikologi manusia. Bingung kan? Sama,
gue juga)

Iya, entah kenapa gue merasa terpesona saat beradu mata dengan cewek itu. Seolah
ada aliran listrik statis yang memercik dari sorot matanya yang membuat gue
mendadak terpaku.

Dan juga, saat beradu pandang itu, entah kenapa terasa seolah gue berada di dalam
dimensi yang hampa, kosong tak berujung. Mungkin benar kata orang-orang, bahwa
mata itu adalah jendela hati. Karena itu, ketika mata bertemu mata, maka dua hati
saling bertatap muka. (maaf deh kalo istilahnya terlalu lebay. Soalnya gue gak nemu
pandanan kata yang cocok untuk fenomena ini selain yang tadi gue tulis)

(note : semua karakter cewek yang gue tulis disini akan selalu gue deskripsikan
dengan kata CANTIK, kecuali nanti akan ada karakter ibu kost yang galaknya mirip
macan yang MUNGKIN bakal gue deskripsikan dengan poin buruk sifatnya. mudah-
mudahan si ibu gak maen kaskus juga. Maafin saya yah bu. Hehehe)

Diana, nama gadis pemilik mata yang misterius itu. Parasnya cantik dengan senyum
yang bisa bikin cowok-cowok yang ngeliat jadi sakit diabetes mendadak karena
saking manisnya, sukses bikin pandangan gue stuck.

Setelah momen tersebut, cerita masih berlanjut dengan giliran teman yang lainnya.
Di sela-sela cerita, gue sempetin buat curi-curi pandang ke arah cewek ini. Jelas aja,
momen tadi mampu bikin konsentrasi gue mendengarkan cerita horror mendadak
buyar.

Imajinasi yang tadinya membayangkan kuntilanak ayun-ayun kaki di dahan pohon


berganti menjadi sosok Diana sedang cengengesan dengan latar belakang cahaya
biru pudar bernuansa pop dan kelopak bunga-bunga berterbangan di sekelilingnya.

Sayangnya, momen seperti ini diciptakan Tuhan supaya tidak bertahan terlalu lama.
Gue bilang begitu karena beberapa saat kemudian acara kongkow ini berakhir dan
satu per satu anggota mulai membubarkan diri hingga hanya tersisa gue dan Salman
yang masih duduk disana guna membahas hal lainnya tentang sekolah dan
pelajaran.

Tak terasa waktu bergulir hingga matahari mulai meredup. Gue pun berpamitan
dengan salman untuk segera pulang kerumah.

Jarak antara sekolah dan rumah yang cukup jauh mengharuskan gue untuk naik
angkutan bus kota yang jurusannya mengarah ke tempat tinggal gue.

Setelah berjemur cukup lama di pinggir jalan, akhirnya tiba juga bus yang ditunggu.
Segera setelah naik ke dalam bus itu, tak disangka-sangka ternyata kemalangan
sudah menunggu gue di dalamnya.

*****
BAD LUCK (I)

Segera setelah gue mendapat kursi di dalam bus dan duduk ditengahnya, tiba-tiba
saja entah darimana asalnya ada seorang anak dengan seragam sekolah kucel
berdiri dan berseru sambil menunjuk kearah gue.

Quote:
“Wooiii oii ada bocah STM sebelah masuk bis ini tuh woi..!! Hajarlah buruan hajar
jangan dikasih napas..!!!”

Quote:
“Mampuslah gue dikeroyok disini!” kata batin gue sambil tepuk jidat

Ternyata isi bus ini dipenuhi oleh gerombolan anak-anak STM sebelah yang baru
pulang sekolah. Sekadar memberi penjelasan, pada masa itu antara STM satu
dengan STM yang lainnya itu selalu dipenuhi aroma-aroma permusuhan yang gak
jelas darimana awal mulanya dan sudah berlangsung turun - temurun. Masing-
masing saling lemparan batu jika bertemu di tengah jalan.
Gimana kalo posisinya seperti gue sekarang? Yang jelas itu ibarat seekor ayam sayur
masuk ke sarang gerombolan serigala, kira-kira seperti itu.

Dengan sigap, gerombolan preman berseragam sekolah itu berebut mengambil


tempat sedekat mungkin dari kursi yang gue dudukin. Beberapa diantaranya
mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, suatu alat bantu yang sengaja disiapkan
untuk melakukan atraksi ‘debus’ dadakan.

Dan semua adegan ini gue jelasin dengan gaya frame demi frame yang berjalan
lambat (bahasa kerennya itu slow motion)

Satu per satu anak mulai mengayunkan tangan hendak melancarkan serangan.

Ekspresi gue yang melotot hampir semaput, seketika merem dan menekuk tangan
guna melindungi kepala dari terjangan.

Dalam keadaan mata merem, gue gak bisa memperhatikan sekeliling. Hanya
terdengar suara riuh dari para penumpang yang histeris ngeliat adegan penjagalan di
depan mata mereka. Suara ibu-ibu teriak, suara bapak-bapak ngejerit, semua campur
aduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Gue hanya bisa pasrah terima nasib entah gimana
nanti rupa gue setelah selesai dikerumunin para ‘fans dadakan’ gue ini.

Daaaaannnn…….

BRUK..!!!!

*****
BAD LUCK (II)

Daaaaannnn…….

BRUK..!!!!

Gak terjadi sesuatu apapun di diri gue.

Ketika gue mulai berani membuka mata, ternyata barisan anak-anak liar di lorong
bus itu pada roboh saling tumpang tindih. Ternyata suara gaduh barusan adalah
suara tumbangnya anak-anak itu yang diterjang dari samping oleh seseorang yang
bertenaga cukup dahsyat.

Gimana enggak? Untuk menjatuhkan Sekitar 7 anak yang berjejalan di lorong bus
yang sempit itu dalam sekali libas tentunya butuh power yang warbyasah.
Gue Cuma mampu melongo karna lemotnya merespon peristiwa yang cukup gak
nalar ini. Masih dalam keadaan melongo, tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik
paksa tangan gue dan mengarahkan gue supaya lari ke arah pintu keluar bus.

Dengan kondisi bus yang masih berjalan sedikit pelan (banyakan kencengnya), gue
dan orang yang narik tangan gue ini loncat dan sukses mendarat di aspal dengan
tidak mulus. Masih dalam momen slow motion, gue berusaha untuk melihat sosok
yang barusan saja nyelametin nyawa gue yang cuma selembar ini.

Gue pun mulai berusaha menganalisa. Sepatu sneakers hitam, betis mulus berwarna
putih pucat, rok abu-abu, baju seragam berwarna putih dengan dua tonjolan khas di
bagian depannya, tas punggung yang lumayan girly karena ada bordiran beruang
teddy, rambut hitam lurus yang panjangnya sepunggung, kemudian wajahnya………

Ketika gue belum selesai mengamati sang penyelamat ini, entah dari arah mana
datangnya, melayang sebatang kayu gelondongan yang tanpa menyapa lebih dulu
langsung ‘mencium mesra’ bagian sisi kanan kepala gue.

BLETAAKK…!!!!

Kali ini gue yang terkapar.

Seakan kejutan hari itu belum habis, gue yang baru saja terkapar ternyata belum
dikasih kesempatan buat pingsan barang sekejap ini kemudian kembali di tarik (di
seret paksa lebih tepatnya) ke pinggir pelataran depan sebuah ruko yang gak
terpakai di depan sana.

Fokus gue teralihkan buat menahan sakit, Nampak kunang-kunang berkelip ria di
ruang pandangan, telinga gue hanya menangkap suara singit (mirip denging suara
chanel tivi yang udah gak siaran kalo tengah malam), dan kepala gue berasa diremas
tangan raksasa.

Setelah lama menahan sakit, akhirnya separuh kesadaran gue balik lagi. Kemudian
terdengar suara dari arah depan gue.

Quote:
“Halo, halloo,, hhaallooooo???? Lu gak apa-apa?? Gimana,, udah reda sakitnya?
Aduuhh parah darahnya banyak banget! Rumah lu dimana? Ayok buruan gue anter
pulang! Buruan!”

Gue yang masih belum merespon karena kepala masih keliyengan, akhirnya dipaksa
untuk sadar sepenuhnya dengan cara pipi gue ditepuk – tepuk (nyaris terasa
digampar sebenernya). Dan ketika itu mata gue kembali merasakan sensasi yang
sama saat beradu pandang dengan mata seseorang di kedai kongkow sebelumnya.

Hanya saja mata itu kali ini diliputi rasa penuh khawatir, panik, dan ketakutan.

Penyelamat gue itu ternyata adalah Diana.

*****

Anda mungkin juga menyukai