Anda di halaman 1dari 8

IMPIAN CINTA

(Fathya Santari)

K egelisahan Yususf tergambar jelas di sudut netra yang tajam itu, nampaknya
Yusuf tak sabar menunggu jawaban dariku.
"Baiklah Yusuf, akan kujawab pertanyaanmu itu!"
"Yusuf...cinta adalah anugerah. Cinta harapan semua anak manusia, termasuk aku. Aku
pun memiliki cinta, cinta pada kedua orang tuaku dan juga cinta yang telah kutekadkan
dalam hati untuk kupersembahkan pada seseorang yang tepat untuk kulabuhkan cinta itu.
*****

Kraaakk...!!!
Upsss, rasanya jantungku mau copot. Terbayang wajah Si Killer Kumis satpam sekolahku.
Pak Arkam. Tak bisa kubayangkan seandainya Pak Arkam, yang berdiri di hadapanku tadi.
Jika benar dia, maka tamatlah riwayatku hari ini, alamat hukuman besar akan menimpaku.
Tetapi, alhamdulillah bukan Si Killer Kumis. Ternyata hanya bunyi suara derit pintu gerbang
sekolah yang sepertinya tak pernah ditoleh untuk diolesi minyak.
Kulayangkan pandanganku seputaran halaman sekolah sampai ke depan kelasku, kelas 3
Ipa1. Sepi. Tak ada seorang pun yang melintas. Hanya ada dua, tiga orang siswa yang
kelihatan di luar kelas. Sepertinya keadaan aman. Pos Satpam yang letaknya di samping
gerbang juga kelihatan seperti tak berpenghuni.
Akhirnya dengan mengendap-endap penuh ketenangan aku mendekati kelasku. Sekali
melompat, aku sudah berada di dalam kelas, duduk dengan manis dan anteng di bangku
tempat dudukku. Aku tak peduli semua mata memandangku, seolah mengejekku.
"Huuuussstt... pasti Si Bandel membuat onar lagi."
Kudengar ada beberapa orang teman-teman di kelasku saling berbisik. Benar, aku tak peduli
tatapan mereka. Sambil mengeluarkan peralatan tulis menulisku, kutebarkan pandanganku ke
seluruh ruangan kelas, dan tak sengaja tatapanku beradu pandang dengannya. Yah, dengan Si
Mata Elang, Yusuf sang ketua kelas. Mata yang menjadi alasanku untuk tetap rajin sekolah
dan berada di dalam kelas ini.
Cowok cool, ganteng, yang diam-diam selalu mengganggu pikiranku. Tapi aku tak ingin
menampakkan kesukaanku itu. Biarlah Yusuf hanya mengenalku sebagai gadis pembuat onar,
dan tomboi.
Akhhh, namun kali ini pandangan itu menabur racun untukku, ekor matanya berdesir
halus di jantungku begitu kencang. Tatapan itu begitu menghantuiku.
Aduh, mengapa acara tatap-tatapan itu harus terjadi?
Mungkinkah, Yusuf Si Mata Elang itu tahu bahwa mataku menyimpan sesuatu untuknya?
“Ya Allah, tolong jangan biarkan dia tahu!” Semoga Engkau menutupinya Ya Allah.
Teng...teng...teng!
Hmmmm..., bunyi bel istirahat menyelamatkan aku dari ketidaknyamanan ini.
Alhamdulillah kejadian itu tak berlangsung lama. Akhirnya kami harus istrahat dan
selanjutnya nanti kami masuk belajar lagi untuk mengikuti jam keempat.
Aku pun keluar menuju kantin, rasa lapar melilit meremas lambungku, perih. Ternayta
tadi pagi aku tak sempat sarapan, hanya suara mama samar-samar memanggil menyuruhku
untuk sarapan, tapi aku keburu tancap gas. Maafkan anakmu ya mama.
O...iya, sedikit cerita tentang diriku, aku anak tunggal kesayangan mama dan papa. Kasih
sayang mereka padaku begitu besar, hingga usia yang sudah seperti ini, aku masih dianggap
anak kecil oleh mereka. Meskipun jiwaku ingin berontak. Aku tak suka dibuat seperti itu.
Aku ingin mereka menganggapku pribadi yang mandiri dan dewasa. Seperti sekarang,
suka-suka aku, mau sarapan atau tidak, mau ke sekolah atau nongkrong aja di warung Bu
Asri sembari menunggu waktu pulang sekolah tiba.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir harusnya aku seperti remaja cewek pada umumnya, manis
dan anggun. Namun hal itu tak tertera dalam kamus hidupku, aku tak pernah memakai gaun,
kecuali ke sekolah karena itu keharusan bagi seluruh anak perempuan, harus memakai rok
dan blues. Ibu dan ayah selalu saja menegur cara berpakaianku, tapi aku tak pernah
mengindahkan. Celana jeans belel, kaos dan sepatu kets, itu pakaian paforitku. Mungkinkah
perilaku dan sikapku ini karena aku terlalu dimanja oleh kedua orang tuaku? Entahlah....!
Sementara di mata teman-teman, aku adalah seorang siswi yang suka buat onar, cuek,
dan tomboi. Walaupun demikian, untuk urusan akademik aku tak pernah main-main. Tugas-
tugas yang diberikan oleh guru tetap aku selesaikan. Kalau dihitung-hitung, aku tergolong
anak pintar. Aku menyukai mata pelajaran matematika dan kemampuanku dapat
diperhitunngkan. Terbukti setiap pengumuman naik kelas, aku pasti masuk peringkat lima
besar.
Upzzz... lamunanku buyar.
“Hai, Ranti!” Seseorang menepuk pundakku. Sedikit kaget, aku menoleh.
"Akhh rupanya kamu, Nina. Hai juga Nin, Ahmad!"
Nina dan Ahmad adalah teman sekelasku. Walau kami tidak terlalu akrab, tetapi mereka
berdua sedikit lebih welcome-lah padaku.
"Kamu mau ke kantin, Ranti?"
"Iya!" jawabku.
"Apakah kalian berdua juga mau ke kantin?" Kalau iya, yuk kita barengan!"
Serentak mereka berdua menjawab,
"Ayoo!"
Maka jadilah kami barengan bertiga menuju kantin sekolah. Setibanya di kantin sekolah,
kami memilih tempat duduk di pojok. Tempat yang strategis untuk memantau situasi di
dalam kantin. Sambil menunggu pesanan kami datang, kami pun larut dalam obrolan yang
mengasyikkan. Tak terasa pesanan kami pun tiba.
Sementara asyik menyantap makanan pesanan kami, tiba-tiba Si Mata Elang dan teman-
temannya masuk ke dalam kantin. Tanpa sengaja mata kami beradu lagi ‘tuk kesekian kalinya
kali ini sedikit beda, tatapannya lekat dan dalam. kembali aku membatin.
Ya Allah... mengapa skenario ini terulang lagi? Kembali aku berdoa lirih, semoga Si Mata
Elang tak mampu membaca lukisan hati si gadis tomboi ini.
"Ada apa, Ranti? " Aku terhenyak dari lamunan.
"Mengapa kamu diam, mengapa wajahmu memerah?” sergap Nina. Dengan sedikit gugup
kujawab pertanyaan Nina.
"Ahh, ti..ti..dak apa-apa Nin!”
Dengan sedikit gugup kuyakinkan Nina dan Ahmad bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita kembali ke kelas!" ajak Nina.
Akhirnya kami bertiga kembali ke kelas. Saat melewati meja tempat Yusuf dan teman-
temanya duduk, kutundukkan pandanganku. Aku tak ingin ada orang yang tahu tentang cinta
dalam diamku untuk Yusuf Si Mata Elang itu. Aku pantang jatuh cinta. Aku gengsi untuk
jatuh cinta, apalagi ketahuan bahwa akulah yang menaruh rasa kepada Yusuf. Pokoknya
"Nonsen!"
Teeeeengggggg ... bel panjang pun terdengar memenuhi seluruh ruangan sekolah,
pertanda proses belajar mengajar pun telah usai. Kukemas barang-barangku dan bersiap-siap
untuk mengikuti apel pulang.
Semua siswa-siswi SMA 1 Poso berkumpul di lapangan upacara. Bersiap-siap untuk
mendengarkan arahan-arahan dari Kepala Sekolah dan setelah itu semua siswa bubar dan
kembali ke rumah masing-masing. Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua siswa-
siswi diperbolehkan pulang. Anak-anak berlarian dan bergegas untuk pulang. Sementara aku
dengan sedikit gontai kulangkahkan kakiku di sepanjang koridor sekolah.
Sebelum tiba di pintu gerbang, samar-samar kudengar suara memanggil namaku.
"Ran ... Ranti!"
Aku sangat mengenal suara itu. Suara Si Mata Elang, suara khas yang mampu mengusik,
mewarnai dan menguntit siang malamku. Merasuk dalam ceruk indera batinku.
Kucari arah suara itu datang. Ya Allah, benar itu suara Si Mata Elang. Hatiku berdegup
kencang. Aku bahkan tak kuasa menguasai persaanku, dalam hati aku bertanya, ada apa ya
dia memanggilku? Dengan sedikit terbata-bata.
"Aa ... a ... ada apa Yusuf?” sahutku tanpa berani menatap wajahnya.
"Ranti, tolong maafkan aku, aku tak bermaksud mengganggu perjalanan pulangmu. Aku
hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu."

Blessshh ... jantungku berdetak kencang seperti dipermainkan ombak di samudera lepas.
"Ti ... ti ...tidak apa-apa Yusuf. Aku tidak merasa terganggu kok!”
“Oh ya, apa yang ingin kamu sampaikan?"
Sungguh kejadian siang ini benar-benar membuat beda, aku yang terkenal dengan label
gadis tomboi, cuek dan keras kepala, siang ini merek yang melekat padaku seketika hancur
lebur hilang tak berbekas.
"Ranti!" Suara itu kembali mengusik lamunanku.
"Iya Yusuf!"
"Begini Ran, sebenarnya aku segan dan malu untuk mengutarakan ini padamu. Aku malu
jika nanti mendengar jawaban yang tak sesuai harapanku.
Aku didesak oleh situasi dan kondisi. Kita yang saat ini tak lama lagi akan mengikuti ujian
akhir dan perpisahan pun semakin dekat, aku takut hal itu membuatku rapuh. Olehnya dengan
segenap jiwa raga kutata seluruh kemampuan dan kekuatan hati, kubulatkan tekad secepatnya
agar rasa tulus ini kukatakan padamu!"
Mendengar kalimat-kalimat meluncur dari mulut Yusuf, semakin kutundukkan kepalaku.
Aku malu pada diriku, kutatap mata batinku lekat-lekat, semakin berdegup tak karuan.
Aku ingin pertemuan ini cepat berakhir, tapi aku pun ingin mendengarkan apa isi hati
lelaki Si Mata Elang itu.
Kembali kudengar Yusuf berucap;
"Ran..., aku harus mengatakan ini padamu, hal ini benar-benar sebuah desakan rasa yang
telah lama kupendam, yah rasa, rasa cinta yang tulus dariku untukmu, Ranti."
Sudah terlalu lama perasaan ini kupendam. Aku tak mampu membendung gelora di hati
"Maukah engkau menjadi kekasihku?"
Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan. Tolong aku Ya Allah.
Sebenarnya pertanyaan ini yang aku tunggu-tunggu, tetapi entah mengapa tiba-tiba di
sudut hati kecilku yang paling dalam berontak. Terbayang wajah ayah dan ibu yang selama
ini begitu menyayangiku, begitu banyak menaruh harapan padaku, dan begitu menginginkan
aku menjadi orang baik dan sukses di kemudian hari.
Entah mengapa, sudut mataku tiba-tiba panas, ada butiran bening jatuh membasahi pipi
manisku. Terbayang wajah ayah dan ibu yang selama ini tak pernah kupatuhi, sering kubuat
kecewa, dan selalu kuabaikan nasihat dan perintahnya. Namun apa yang terjadi saat ini pun,
tak mampu kutampik, aku pun tak bisa mengelak dari mata itu, mata teduh yang selama ini
sangat kurindukan.

Ya Allah, tolong aku untuk keluar dari percaturan kemulut jiwa. Lama aku tertunduk.
Entah kekuatan dari mana, hati kecilku berbisik
"Jangan dulu Ranti, tunggu...!”
Saat ini belum waktunya engkau untuk mengenal cinta, ingat nasihat ayah dan ibumu!"
Hati kecilku berperang. Di satu sisi aku merasa bahagia, namun di sisi lain aku harus
menepati janji kepada ayah dan ibuku untuk tidak mengenal cinta sebelum toga wisuda di
sematkan di kepalaku.
"Ehmm...bagaimana Ranti?" Yusuf membuyarkan lamunanku.
"I ... i ... iya Yusuf." dengan segala daya upaya kukumpulkan seluruh keberanian untuk
menjawab pertanyaan Yusuf itu.
Akhirnya meluncurlah desiran kata-kata menghiasi bibir manisku.
"Yusuf, sudikah pertanyaan itu kujawab esok hari? Kita berjanji untuk bertemu lagi di
tempat ini pada jam istrahat pertama!”
"Mengapa tidak hari ini, Ranti?"
"Tidak Yusuf! Aku ingin menjawab pertanyaanmu dengan segenap ketenangan yang
kupunya."
"Baiklah kalau begitu Ran, jika itu maumu, aku menurut saja. Mari kuantar engkau
pulang!"
Pagi ini hari begitu cerah. Kuayunkan langkahku menyusuri koridor sekolah dengan
langkah riang menuju kelas 3 IPA 1.
Pada saat aku memasuki kelas, aku berpapasan lagi dengan Yusuf di pintu kelas. Wajahku
bersemu merah. Mungkin aura dari pertemuan kami kemarin.
"Apa kabar, Ran?"
"Alhamdulillah kabar baik, Yusuf."
Tanpa kami sadari, semua mata teman tertuju pada kami berdua. Mungkin mereka
menganggap apa ia, anak tomboi itu mau berkomunikasi dengan orang lain, apalagi sang
ketua kelas, Si Mata Elang. Mungkinkah dia kena sihir Si Mata Elang? Entahlah.
Ehemmm ... terdengar suara teman-teman berdehem menggoda kami berdua. Mungkinkah
mereka tahu tentang pertemuan aku dan Yusuf kemarin? Entahlah! Aku tak ingin
membuang-buang waktu memikirkan itu.
Pertemuan kami kemarin, ada beberapa teman sekelas kami yang melihat. Bisa jadi
mereka telah menebar isu tentang kedekatan kami kepada teman-teman sekelas. Sehingga hal
itu bukan lagi menjadi rahasia. Kami tersipu malu, beruntung guru bahasa Indonesia sudah
berada di depan kelas. Terdengar suara Yusuf menyiapkan kami dan memberi komando
untuk beri salam kepada Pak Ali Buldan. Guru paling baik sedunia. Guru yang tak tahu
marah...hehehe.
"Berdiri ... beri salam!"
"Selamat pagi, Pak!" serentak.
Pelajaran Bahasa Indonesia pun berlangsung dengan situasi yang sangat kondusif, tak
terasa bel pertanda istirahat pertama pun telah tiba. Deg...jantungku berdegup kencang. Bunyi
bel pertanda jam istrahat. Bertanda pula bahwa aku harus menepati janji.
Janjiku untuk bertemu Yusuf di tempat pertemuan kemarin. Bergegas kurapikan semua
buku-buku pelajaran bahasa. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan kelas, mataku
mencari sosok Si Mata Elang. Sosok yang telah mengubahku menjadi gadis pemalu dan
kalem. Kuedarkan seluruh pandanganku, mataku tak menangkap sosoknya. Mungkin Yusuf
telah duluan menungguku di tempat kemarin.
Benar saja dugaanku, dari kejauhan nampak jelas sosok pemilik mata elang itu, dengan
setia menanti kehadiranku. Yusuf sudah berada di tempat itu (aku kembali meyakinkan
perasaanku)
Aku mendekatinya dengan perlahan.
"Yusuf!” dengan suara perlahan namun sungguh-sungguh, kupanggil namanya. Spontan
membalikkan badannya.
"Ooo...kau Ranti."
"Ayoo kita duduk di bawah pohon itu, biar kita bisa rileks!" ajaknya dengan ramah namun
tetap memamerkan tatapan mata elangnya, tatapan yang selalu kurindu di setiap derap
langkahku, sambil tersenyum, aku pun sambut ajakannya.
"Ayoo!" Kataku.
"Hmmm...Ranti, bagaimana jawabanmu atas pertanyaanku kemarin?"
Kegelisahan Yususf tergambar jelas di sudut netra yang tajam itu, kelihatannya Yusuf tak
sabar menunggu jawaban dariku.
"Baiklah Yusuf, akan kujawab pertanyaanmu itu!"
"Yusuf...cinta adalah anugerah. Cinta harapan semua orang, termasuk aku. Aku pun
memiliki cinta, cinta pada kedua orang tuaku dan juga cinta yang telah kutekadkan dalam
hati untuk kupersembahkan pada seseorang yang tepat untuk kulabuhkan cinta itu. Dan saat
ini aku menemukan pelabuhan cinta itu. Pelabuhan yang tepat. Pelabuhan itu adalah dirimu
Yusuf . Padamu Yusuf. Yah, padamu! Aku mencintaimu!" Dengan suara yang sedikit
bergetar kuucapkan kata-kata itu dengan lancar. Tak hanya sampai di situ.
Kembali kukumpulkan kekuatan hatiku untuk menyampaikan apa yang ada di benakku.
Mungkin saja Yusuf akan merasa keberatan dengan apa yang ingin kusampaikan ini, namun
tidak boleh tidak, aku tetap harus menyampaikannya.
"Yusuf, maafkan aku!”
“Untuk saat ini aku belum siap untuk memproklamirkan hubungan cinta kita, biarlah
benih cinta ini kita simpan dahulu nanti kita mekarkan kembali empat tahun lagi, disaat kita
berdua telah selesai kuliah.”
“Cukup kita berdua yang tahu, dan Tuhan kita, bahwa kita saling menyintai dan saling
memiliki. Karena engkau pasti tahu, bahwa kita berdua adalah sama-sama menjadi tumpuan
dan harapan dari orang tua kita.”
“Engkau satu-satunya harapan orang tuamu begitu pun aku.”
“Aku ingin kita berdua tak membunuh harapan-harapan itu. Biarlah cinta ini kita ikrarkan
di tempat ini, sampai nanti kita akan bertemu kembali di tempat ini dengan cinta yang tetap
terjaga.”
“Semoga Allah meridhoi dan merestui cinta kita."
Kulihat Yusuf tertunduk, mungkin ia menyelami setiap kalimat yang keluar dari
mulutku. Atau mungkin Yusuf berpikir, akhh aku terlalu banyak berteori. Yang jelas, biarlah
ini kusampaikan padanya. Aku tak ingin perasaan itu hanya kusimpan dalam hati dan nanti
akan menjadi sekam dalam hubungan kami
Akhirnya kudengar kata-kata meluncur dari mulut Yusuf.
"Baiklah Ranti! Terima kasih atas balasan cintamu, aku sangat berterima kasih, ternyata
aku tak bertepuk sebelah tangan.”
“Aku sangat bahagia setelah mendengarkan jawaban darimu.” mari kita bersama-sama
menjaga hubungan ini. Semoga Allah meridhoi dan merestui.
“Jika memang Allah berkehendak, kita berjanji untuk bertemu kembali di tempat ini
setelah toga wisuda telah disematkan di kepala kita berdua." Kulihat ada ketulusan dan
kejujuran dari kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir Yusuf.
"Ayo sayang, kita kembali ke kelas, sepertinya kita telat lima belas menit nih!” ajak
Yusuf. Dengan tatapan malu-malu kuanggukkan kepalaku.
"Ayo sayang ....!"
Lirih terdengar suaraku yang malu-malu memanggil Yusuf Si Mata Elang dengan sebutan
‘sayang’ (aku benar-benar larut dalam dekapan cinta tak bertepi, kuterbangkan anganku ke
langit bersama rona mata Si Elang Itu).
Akhhhh,...hari ini benar-benar indah. Secawan candu kuteguk bersama di tepian
penantian tak berujung.
******

"Plw di roemahkoe surgaku"


Tahun 2021
Note : Nama dan kejadian hanyalah fiksi belaka.

Anda mungkin juga menyukai