Ini aku, Chaca. Seorang perempuan yang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang biasa saja.
Aku anak bungsu dari lima bersaudara, lahir dari keluarga yang keras, egois, dan selfish
membuatku merasa kekurangan dalam hal kasih sayang. Karena itulah aku selalu merasa
sendiri dan sempat terpikir untuk menyerah dengan semua ini. Namun, aku sadar menyerah
bukanlah pilihan, dan aku harus bertahan dalam penjara yang berkedok rumah ini.
Menginjak Sekolah Dasar, tentu saja aku belum begitu paham apa arti kehidupan. Tapi
rasanya, sampai di titik ini saja aku cukup paham apa itu kehidupan yang sesungguhnya.
Kehidupan yang penuh hinaan, secara mental maupun fisik. Waktu pun terus berlalu, aku
tumbuh semakin kuat. Meski terkadang muncul rasa iri terhadap teman-temanku yang
mendapat perhatian sepenuhnya dari orang tua mereka.
“Guys, coba dong cerita tentang keluarga kalian, aku mau dengar,” pinta seorang teman
mendekati mejaku. Diikuti beberapa teman lain yang berkumpul seolah antusias dengan
pembahasan ini. “Cha, aku pengen tau dong di keluarga kamu tuh gimana sih? Kayaknya
bahagia banget jadi anak bungsu,” lanjutnya sambil menatapku penasaran.
Aku terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya tergerak untuk menjawab, “i-iya, aku bahagia
kok, hehe.”
Cukup sulit untuk menceritakannya, aku rasa kalian tidak perlu tahu lebih banyak lagi tentang
keluargaku.
Aku berjalan menuju ke sekolah, seperti biasa. Berbeda sekali dengan teman-temanku yang
diantar Ayahnya atau diizinkan mengendarai sepeda motor sendiri. Sementara aku? Jangan
dibahas, aku mulai malas dengan hidupku sendiri.
Tapi, di ujung persimpangan jalan aku melihat sepeda motor mirip dengan milik Ayah. Aku
berhenti melangkah, melayangkan pertanyaan-pertanyaan di kepala.
“Kenapa Ayah berhenti di sini?”
“Ayah sedang bersama siapa?”
Tak lama, motor tua itu melaju pelan setelah berbincang sedikit dengan seorang pria muda.
Perawakannya cukup tinggi dan lumayan berisi. Wajahnya tertutup helm biru dengan motif
naga. Pria itu menutup tangki bensinnya, aku baru berani setelah motor Ayah tidak terlihat
lagi.
Aku menatap pria itu, menelisik ke dalam mata di balik helm.
“Heh! Kamu siapa?” sentaknya. Aku sedikit terperanjat.
“Kamu ngapain tadi sama Ayah aku?”
“Ohh bapak-bapak tadi,” ia menyalakan mesin motor, bunyi bising memenuhi rongga
telingaku. Helm biru itu ia lepas, menampakkan rambut lebat yang berantakan. Wajah itu
terlihat sejuk dengan mata sayu, juga senyum hangat yang seandainya sedari tadi ia tidak
mengenakan helm, mungkin aku sudah pingsan. Terdengar berlebihan, tapi percayalah orang
asing ini memang setampan itu. “Tadi motor aku mogok, kehabisan bensin. Dateng deh bapak
kamu nawarin bantuan,” lanjutnya.
Di balik sifat garangnya ternyata Ayah baik juga.
“Tadi itu Ayah kamu?”
“I-iya,” jawabku gugup ketika bola mata itu menatapku. “Yaudah kalo gitu, saya duluan,
Mas.”
“Ehh tunggu!”
Baru tiga langkah, pria itu memanggil, memajukan motornya hingga sejajar dengan posisiku.
“Sebagai ucapan terima kasih ke Ayah kamu, aku anterin kamu sampe ke sekolah ya.”
“Apa ini? Kenapa tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang?”
“Uhmm, tapi–“
“Tidak menerima penolakan, ayo naik!”
Aku terdiam beberapa detik sebelum akhirnya benar-benar menaiki motor pria itu. Di
sepanjang perjalanan tidak banyak yang kami bicarakan. Dia sempat menyinggung ayahku
yang “baik” itu. Padahal seandainya dia tahu. Sudahlah, setidaknya di mata orang lain
Ayahku masih memiliki sifat baik
“Btw, namaku Hasan,” ucapnya setelah kami sampai di depan gerbang sekolahku. Helm biru
miliknya masih menempel di kepala pria bernama Hasan itu.
“Aku Chacha.” Aku mengulurkan tangan sambil tersenyum, dia membalas uluran tanganku
dengan senyuman yang membuat sinar bintang seolah redup dibuatnya.
Tuhan, kenapa dia manis sekali?
Hari ini, aku lalui dengan penuh kebahagiaan, tidak seperti biasanya yang selalu murung dan
malas berbicara. Tapi pesona pria itu, ahh aku tidak bisa menolaknya. Hasan, semoga kita
bertemu lagi.
Tiba di neraka, uhmm maksudku rumah. Tatapan tajam Mama menyambutku. Wanita
setengah tua itu mengenakan daster orange yang sobek di bagian baju, juga sendal jepit hijau
yang sepertinya baru ia beli.
“Chacha!”
Aku tidak menjawab, diamku sepertinya sudah cukup memberi jawaban.
“Jadi anak tuh harus bantu orang tua. Minimal beres-beres rumah ke, apa ke, jangan main aja
kamu taunya!” celoteh Mama.
“Yaampun, Ma. Chacha kan baru pulang sekolah, duduk juga belum.”
Kujatuhkan tubuh lunglai ini di kursi ruang tamu, meskipun aku tahu mata itu mengikuti ke
mana pun aku pergi.
“Dasar gak guna!”
Aku hanya bisa menghela nafas berat, derap langkah Mama menuju dapur adalah pertanda
aku harus menjadi anak yang berguna seperti yang mereka mau. Aku bergegas berganti
pakaian, menelusuri setiap sudut ruangan yang sekiranya butuh dibersihkan. Sialnya, debu di
mana-mana. Tidak apa-apa, malam ini kita lembur.
Aku hampir lupa dengan map biru yang Ayah titipkan kepadaku untuk Mama, di mana benda
itu sekarang? Sedari tadi aku membersihkan ruang tamu, map biru itu tidak terlihat. Masa
bodo, mungkin diambil Kang Amun untuk bungkus gorengannya.
Pukul sepuluh malam, saatnya merebahkan tubuh lelahku. Meskipun teriakan dari luar kamar
begitu menggema, aku sudah cukup terbiasa.
“Gara-gara Lo hidup gua jadi begini!”
“Lu cewek gak tau diuntung!”
Begitulah kira-kira drama di “istana” ini. Entah sampai kapan semua ini akan terjadi. Entah
siapa yang akan membawaku pergi dari penjara ini.
Hasan.
Argh!!
Bodoh sekali, kenapa aku tiba-tiba teringat pria itu?
Brakk!!
Setibanya di rumah, Ayah dan Mama tengah duduk di ruang tamu, dengan map biru dan
kertas putih di dalamnya yang sudah ditandatangani Mama.
“Chacha, sini!” aku mendekat, duduk di antara kedua orang tuaku. Juga Hasan yang terpaksa
kuminta untuk pulang, mengingat ini adalah urusan keluarga.
“Kamu pilih tinggal sama Mama atau Papa?”
Ya. Inilah aku dari seorang yang memiliki latar keluarga yang penuh kebahagiaan, bahagia
sekali bukan hehehe.