Anda di halaman 1dari 4

BATIK PARANG KUSUMO UNTUK NENEK

Tubuhku meliuk seiring dengan kesadaranku yang perlahan kembali sempurna. Mataku
masih terasa berat namun kupaksakan untuk segera terbuka. Meskipun mataku belum
terbuka seluruhnya, namun otakku sudah dapat berfungsi untuk berpikir, ah tidak, ini hari
Senin.
“Laras, sekolah nggak?” itu suara nenekku, aksen Jawa yang kental membuatnya tidak
terlalu sempurna ketika bercakap bahasa Indonesia yang tidak baku, atau terkesan,
dipaksakan.
“Sekolah nek” aku bangkit dari tempat tidur, menguncir rambut dan berjalan keluar.
“Shalat subuh dulu, habis itu sarapan” aku mengangguk dan berjalan menuju kamar
mandi, bergegas untuk mandi dan menunaikan shalat subuh. Aku bangun pukul lima
kurang lima belas menit, masih belum telah untuk menunaikan shalat subuh sebelum
matahari benar-benar terbit sepenuhnya.
Jujur saja, selama satu tahun aku hidup bersama nenek di desa, bagian kesukaanku adalah
suasana pagi. Meskipun suhu terasa lebih dingin ketika menyentuh kulit, namun itu terasa
sangat menyenangkan. Suasana yang sejuk, air yang segar, lingkungan yang ramai oleh
kicauan burung dan ayam berkokok, menyaksikan aktivitas Petani yang berangkat ke
sawah, semua itu adalah bagian favoritku. Dan mungkin juga, salah satu alasanku mau
bertahan hidup di desa bersama nenek.
“Nek, sarapan pake apa?” aku menghampiri nenek yang tengah menyiapkan sarapan di
meja makan. Biasanya nenek menyediakan susu putih hangat untukku, atau surabi, atau
nasi Pongol. Bukan jenis roti-rotian yang biasa kumakan saat sarapan di kota, namun
rasanya tetap tidak kalah enak.
“Sarapan ini ya?” nenek memperlihatkan sarapan pagi untukku, ya seperti biasa, surabi
dan susu putih murni yang hangat.
“Iya nek”
Setelah sarapan, aku segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Mengenakan seragam
yang telah nenek setrika, memastikan tidak ada buku yang tertinggal, menjepit rambutku
dengan aksesoris, dan yang terakhir berpamitan dengan nenek.
“Laras berangkat!” aku bergegas untuk berangkat ke sekolah, biasanya aku mengendarai
sepeda yang kubawa dari kota untuk berangkat sekolah. Namun terkadang juga tidak,
seperti yang kukatakan sebelumnya, suasana pagi adalah bagian kesukaanku jadi aku
gemar melihatnya lebih lama.
Aku sampai di sekolah tepat pukul tujuh. Setidaknya masih ada waktu lima belas menit
sampai bel tanda masuk berbunyi. Aku memutuskan untuk menghampiri temanku yang
sedang berbincang di depan kelas, duduk di sebelah pohon kembang sepatu dan saling
memperlihatkan jepitan baru yang dikenakan.
“Pagi!” aku menyapa mereka
Kebanyakan temanku adalah orang desa setempat. Mereka terbiasa berbincang
menggunakan bahasa Jawa dan hanya sedikit yang benar-benar mengerti ucapanku. Hal
ini menjadi penghambatku dalam berinteraksi, aku tidak merasa bebas saat bergurau
dengan mereka karena mereka sepertinya tidak mengerti. Di masa awal kepindahanku di
desa, aku merasa sedih dan sulit beradaptasi. Aku menyesali telah menuruti perkataan
mama, lingkungan desa jelas tidak cocok untukku. Aku menjadi terlalu kaku terhadap
mereka.
Bel berbunyi tanda pelajaran akan segera dimulai, aku bergegas lebih dulu masuk ke
kelas.
Meskipun dalam pertemanan aku tidak terlalu beruntung, namun dalam hal pelajaran aku
cukup beruntung. Aku menduduki peringkat dua pada semester satu kelas enam kemarin.
Padahal selama enam bulan pertama sekolahku di sini, aku merasa sangat kesulitan untuk
beradaptasi dengan pelajaran di sini. Salah satunya faktor bahasa, beberapa guru masih
mencampur adukkan bahasa Jawa dalam kegiatan pembelajaran, aku sulit berdiskusi dan
masalah-masalah interaksi lainnya. Jika aku tidak mengerti pada materi yang diajarkan,
biasanya aku bertanya kepada nenek atau tanteku yang berprofesi sebagai seorang guru.
Nenek hanya sesekali mengajariku, ia berkata sudah terlalu tua untuk mengingat
pelajaran yang berlalu, bahkan untuk pelajaran sekolah dasar sekalipun. Jadi jika nenek
tidak bisa, maka aku akan ke rumah Tante dan memintanya untuk mengajariku. Tante
adalah seorang guru agama Islam di salah satu sekolah menengah pertama yang tidak
jauh dari sekolah dasarku berada.
Hari berlalu dengan cepat, sekarang sudah pukul dua belas siang, saatnya murid-murid
untuk pulang. Biasanya aku pulang dijemput oleh nenek atau terkadang bersama teman-
teman dengan berboncengan sepeda, melewati pematang sawah di siang hari dan
sendirian membuatku malas karena akan merasa lebih lelah dua kali lipat.
“Assalamualaikum!” Aku masuk ke rumah dan mencari nenek, biasanya nenek tengah
berkebun di belakang rumah dan mengurusi sayur-mayur kami. Terkadang aku
membantunya, namun nenek lebih sering melarangku dengan alasan cuaca yang terik.
“Waalaikumsalam!” nenek menyahutiku, suaranya berasal dari belakang rumah. Seperti
yang sudah kuduga sebelumnya, nenek tengah berkebun.
Aku memutuskan untuk membersihkan diriku dan mengganti seragam dengan pakaian
rumahan. Kemudian makan siang bersama nenek yang sedang beristirahat di saung
buatan yang berada di depan kebun cabai.
“Nek, kalau aku meneruskan sekolah disini gimana?” aku bertanya pada nenek seusai
makan siang, perbincangan setelah makan adalah rutinitas kami.
“Bagus toh? Kamu Ndak mau?” nenek bertanya padaku.
Aku tidak mengatakan tidak, tapi juga tidak mengatakan iya. Sebenarnya aku tidak
keberatan melanjuti sekolah menengah pertamaku disini, namun aku agak.. takut. Aku
takut menjadi lebih bodoh dan tidak memiliki teman, aku tidak menyukai teman-temanku
disini dan yang paling penting, aku rindu papa dan mama.
“Laras mau pulang” aku bercerita, lalu kemudian menangis. Nenek selalu memelukku
setiap kali aku mengadu ingin pulang.
“Sudah, jangan nangis sayang” nenek mengusap kepalaku “kalau mama sudah tidak lagi
kerja, Laras bisa pulang lagi, yang betah dulu ya disini” nenek mengusap kepalaku dan
pundakku bergantian. Aku memeluknya erat-erat. Menyalurkan rasa sedih dan kecewaku.
Aku tidak begitu mengerti mengapa mama dan papa membiarkan aku tinggal di desa
bersama nenek, namun sedikit yang kuketahui adalah keluarga sedang terjerat masalah
finansial yang membuat mamah harus bekerja lebih keras. Aku diboyong oleh nenek ke
desa dengan alasan agar aku tidak kurang perhatian, namun sebenarnya, aku menjadi
lebih sedih.
“Iya nek”

Hari berlalu, minggu berlalu dan bulan berlalu. Sekarang adalah Minggu terakhirku
sebagai siswi Sekolah Dasar. Minggu depan adalah pengumuman kelulusan dan tahap
pendaftaran sekolah menengah pertama. Itu berarti, aku akan menduduki bangku SMP
sebentar lagi.
Aku telah belajar dengan giat selama enam bulan terakhir, tiga bulan menjelang ujian
Nasional adalah waktu paling sibukku. Aku selalu belajar giat, kerumah Tante untuk
mendapat bimbingan, berdiskusi dengan nenek mengenai beberapa pelajaran ringan yang
tidak aku mengerti dan lain sebagainya. Nenek juga selalu menemaniku selama belajar,
menyiapkan makanan enak, memelukku saat lelah dan memberiku pengertian ketika aku
rindu mama dan papa. Nenek benar-benar memberi perhatian yang besar padaku.
“tringgg!!” bel tanda pelajaran usai berbunyi. Aku bergegas merapihkan alat tulisku dan
pulang kerumah.
Saat mendekati rumah nenek, aku melihat kendaraan yang tidak asing dari kejauhan.
Mataku menyipit untuk memastikan mobil siapakah yang terparkir disana, setelah merasa
yakin dengan pemiliknya, aku bergegas lari masuk kerumah.
Mama dan papa tengah berbincang dengan nenek di ruang tengah. Ketika aku sampai,
mama memelukku erat dan mengatakan rindu padaku. Aku yang sama rindunya dengan
mereka, menangis saat itu juga.
Aku sangat terharu mama datang, terlebih lagi mengetahui bahwa mama menjemputku
untuk pulang. Itu artinya, aku akan melanjuti kehidupanku seperti semula di kota dan
melanjuti SMP ku disana. Aku sangat bahagia karena dapat berkumpul lagi dengan
mereka.
Mama dan papa menetap di rumah nenek sampai penguman kelulusanku, mengurus surat
kepindahan dan melepas rindu dengan nenek. Tiga hari sebelum kepulangan kami, mama
mengajakku untuk ke toko batik di pasar. Mama berencana untuk memberikan kenang-
kenangan indah untuk nenek.
Mama membelikan kain batik parang Kusumo untuk nenek, dibungkus dengan kertas
cantik dan diberi catatan manis didalamnya. Mama menginginkan agar aku yang
memberikannya langsung pada nenek, hal itu bermaksud sebagai tanda terimakasih dan
penghormatanku kepada nenek. Batik parang Kusumo memiliki makna hidup harus
dilandasi perjuangan untuk memperoleh kebahagiaan lahir batin layaknya harumnya
bunga Kusuma. Mama merasa batik itu akan cocok diberikan untuk nenek setelah
mendengar ceritaku mengenai perhatian nenek kepadaku. Mama bilang, nenek telah
membuatku menjadi anak yang patuh dan tangguh untuk memperoleh kebahagiaan.
Mama benar, maka dari itu aku dengan sukacita memberikan batik parang Kusumo
kepada nenek dan memberikan pengertian mengenai arti dari hadiahku. Nenek menangis
terharu, aku memeluknya dan itu menjadi perpisahan kami dan aku harap buka untuk
terakhir kali.

Anda mungkin juga menyukai