Anda di halaman 1dari 3

Terima kasih, Ibu

Pagi ini seperti biasanya, aku kembali melangkahkan kaki menuju sekolah bersama
ibu. Melewati pasar pagi dan membantu ibu menata jualannya.

"Bu, aku berangkat dulu, ya?" ucapku sambil mencium tangan ibu.

Ibu tersenyum, lalu memberikan sedikit uang saku. Meskipun ibu seorang tunawicara,
tetapi dari cara ia tersenyum, ia banyak sekali menguatkanku untuk tetap semangat
bersekolah. Di kala teman-temanku sering menganggapku sebagai anak desa yang sangat
kumal, tapi aku tak pernah malu untuk tetap bersekolah di sana. Aku sudah berjanji kepada
almarhum bapak, aku akan bersekolah yang tinggi dan membuat ibu bahagia.

Di pertengahan jalan, aku menemui teman-teman sekolahku. Mereka tertawa melihat


aku yang membawa kotak box berisi nasi kuning.

"Lihat, gaes! Ada Aira yang sedang berjualan, hahaa," tawa mereka terdengar riuh
sekali. Aku hanya tersenyum getir.

Aku tak kuasa menahan air mata. Dengan terus melangkah cepat, aku sesekali teringat
kisah hidupku yang begitu pahit. Pada perjalanan ini, aku tak punya siapa-siapa selain ibu.
Pun jika aku tidak membantu ibu berjualan, aku tak bisa membantu ibu untuk membayar
biaya sekolahku. Apakah aku harus berhenti jualan?

Sesampainya di sekolah, aku dipanggil oleh kepala sekolah. Dengan getir, aku
menghadap dan memenuhi panggilan itu.

"Aira, silakan duduk." Kepala sekolah langsung menyambutku yang baru sampai di
depan pintu ruangannya. Aku hanya tersenyum. Tidak biasanya aku dipanggil secara empat
mata.

"Iya, Pak?" ucapku sembari menganggukkan kepala.

"Kamu sudah menunggak SPP selama 6 bulan, Aira," Pak Kepala sekolah masih
merapihkan beberapa kertas yang dipegangnya, "Kalau minggu depan belum kamu lunasi,
saya mohon maaf, orang tuamu harus menghadap kemari."
Kegiatan sekolahpun berakhir. Aku pulang menuju rumah sambil membawa kotak
box yang masih utuh. Aku tidak menjualkan nasi kuning buatan ibuku di sekolah. Aku mulai
merasa malu karena terus-menerus diejek oleh teman-temanku.

"Assalamu'alaikum, Bu," panggilku dari luar rumah. Aku masuk ke dalam rumah,
menemui ibu yang sedang memasak nasi.

Dengan bahasa isyaratnya, ibu menjawab salamku, dan menanyakan bagaimana


sekolahku hari ini.

"Aira malu, Bu."

Ibu langsung memelukku, pertanda bahwa menyuruhku untuk bercerita.

"Tadi Aira tidak jualan nasi kuning ibu, karena Aira malu, Bu. Aira malu berjualan."

Aku menangis di pelukan ibu. Ibu pun menangis dengan pelukan semakin erat.
Setelah menangis bersama, ibu mengajakku ke kamarnya. Membuka lemari pakaian milik
almarhum bapak. Ada surat dari bapak di sana. Aku membuka surat itu lalu membacanya.

Assalamu'alaikum, Aira, anak bapak tersayang

Surat ini bapak kirim untukmu, Sayang. Jaga baik-baik ibumu, ya, Nak. Bapak tahu,
jalanmu pasti berat. Tapi, kamu pasti bisa melewati itu semua. Tatap ibumu lamat-lamat, ya,
Nak. Kala lelah itu datang. Kala sakit itu menerjang dadamu.

Nak, ibumu itu, meskipun tak bisa bicara, ia sangat sayang padamu. Meskipun ibu
bukanlah orang hebat seperti idola-idolamu, ia tetap sangat sayang padamu. Ketika orang-
orang menyakitimu, ibumu akan berdiri di depan sana. Setelah kepergian bapak, Nak. Ibumu
adalah jiwa bapak. Jaga baik-baik ibumu, ya, Nak. Sayangi ia. Jangan sakiti hatinya.
TTD, bapakmu.

Sampai jumpa di surga-Nya, wahai anakku.

Selesai. Aku telah membaca habis surat itu. Tangisku semakin menjadi. Aku menatap
ibu. Memeluknya erat-erat.

"Ibu, terima kasih. Terima kasih telah ada di sisiku sampai saat ini."

"Bu, maafkan Aira yang sering mengecewakan Ibu. Aira janji, Aira akan berubah, Bu.
Dan Aira akan berjualan lagi, tidak akan malu lagi, karena untuk membantu ibu."

Setiap hari adalah hari ibu. Seorang ibu bisa menggantikan siapapun, tetapi tak
satupun yang bisa menggantikan ibu.

Cerpen: ANDINI AYU NINGSIH

Kelas: IX-A

SMP NEGERI 1 PURI

Anda mungkin juga menyukai