Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat serta karunia-Nya maka
saya ini bisa diselesaikan dalam waktu yang tepat dan juga sesuai dengan target yang
sebelumnya sudah ditentukan.
Adapun cerpen saya yang berjudul “Pahit Manisnya Perjalanan Hidup” ini telah saya buat
semaksimal dan sebaik mungkin agar supaya mampu menjadi pelepas dahaga bagi para
pembaca yang budiman yang memang memiliki ketertarikan untuk membaca novel yang
bertemakan perjuangan tersebut.

Saya juga menyadari bahwa tidak ada satupun manusia yang ada di muka bumi ini yang
tidak pernah berbuat kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu, saya memohon agar para pembaca
yang budiman agar berkenan memberikan masukan-masukan karena berkat masukan-
masukan yang berasal dari pembaca inilah, akan membuat saya semakin berkembang.

Demikian karya saya yang bisa saya berikan kepada para pembaca. Semoga dapat bermanfaat
dan menambah wawasan pembaca. Terimakasih.

Bekasi, 23 November 2020

Aurel Valerine M.
PROFIL PENULIS

Hallo semua, nama saya Aurel Valerine Mombilia. Biasanya saya dipangil akrab dengan
panggilan “Aurel”. Saat ini, saya masih mengampuh di bangku Pendidikan sebagai murid
SMA di SMAN 5 Jakarta. Lebih tepatnya saya sekarang berada di kelas 11 ips.
Hobby saya yaitu membaca, mendengarkan lagu, travelling , dan menjelajahi berbagai
macam kuliner.

Cukup sekian untuk pemberitahuan mengenai diri saya. Selamat membaca cerpen yang
telah buat. Semoga bermanfaat 😊
Merajut Kemampuan Demi Masa Depan Gemilang

Namaku Tyas, aku lahir di tanah Jawa. Tapi, sekarang aku menetap di Bali bersama
kedua orangtuaku. Miming Sishta dan I Wayan Duma mereka adalah orang yang telah
merawatku selama empat belas tahun ini. Aku seorang anak tunggal. Jadi, ketika aku berada
di rumah aku tak mempunyai lawan main. Pada kesempatan itulah aku meggunakan waktuku
untuk belajar dan membantu meringankan beban kedua orangtuaku saat bekerja. Ayahku
seorang pengrajin anyaman bambu, namun pendapatannya tak seberapa. Ia mulai membuat
anyaman bambu karyanya tergantung pada konsumen yang memesan anyaman. Ibuku
seorang pengrajin batik. Penghasilan ibuku sedikit lebih besar dibandingkan dengan ayahku.
Di wilayah Bali ini, banyak sekali peminat batik, terutama batik Denpasar sebagai ciri
khasnya. Pada kesempatan inilah ibuku mulai memanfaatkan keadaan.

Aku memang suka membantu kedua orangtuaku, tetapi aku juga tidak lupa dengan
tugas utamaku sebagai seorang pelajar untuk menuntut ilmu. Di waktu-waktu senggangku,
aku habiskan untuk menjawab soal-soal ataupun mengulang kembali pelajaran yang baruku
pelajari di sekolah. Maka tak heran jika aku selalu berprestasi di sekolah karena kecerdasan
dan keahlianku.

Aku anak yang lugu, aku tak mempunyai banyak teman. Teman sekolahku banyak yang
menjauhiku. Mereka enggan bermain denganku. Apa karena aku miskin? Entahlah, aku pun
tak mengerti apa yang mereka pikirkan tentang diriku. Mereka berani pertama kali
menemuiku ketika mereka membutuhkanku dan memanfaatkan kecerdasan dan keahlianku.
Aku tidak mempermasalahkan semua ini. Aku tak mau memiliki banyak musuh. Hanya ada
seorang gadis lugu berponi sama sepertiku yang ingin menjadi teman baikku. Dia adalah
Giovania , teman sebangkuku. Giovania seorang gadis yang baik, rajin dan cerdas. Tapi
sayangnya dia memiliki sifat yang ceroboh. Giovania sangat lihai dalam menggerakkan
tubuhnya saat menari. Jari-jemarinya sangat lentik. Maka tak heran jika ia selalu menjuarai
festival-festival tarian tradisional di Bali.

Tiba-tiba ponselku bergetar dan kuluangkan waktuku untuk membaca satu pesan
singkat, karena penasaran. “Yas, kerajinan batik untuk besok sudah kamu selesaikan?”
Ternyata pesan yang singkat itu berasal dari teman terbaikku, Giovania. “Sudah Giovania,
kerajinan batikku sudah selesai dua hari yang lalu. Kalau kamu gimana? Kamu sudah selesai
belum?” Tanyaku penasaran. “Belum Yas, sepertinya hari ini akan kuselesaikan.” “Kebetulan
sekali, bagaimana kalau aku bantu kamu selesaikan kerajinan batik itu?”, “Tidak usah Tyas,
aku tidak mau merepotkan. Aku sering merepotkanmu.” “Gak masalah. Bagiku itu hanya
langkah awal. Kamu sama sekali tidak merepotkanku.” “Gak papa Tyas, aku bisa selesaikan
secepatnya”, “Bener nih gak apa-apa?” “Iya gak apa-apa. Kalau gitu sampai bertemu besok
ya!”, “Sampai bertemu besok juga Giovania!” Kataku, mengakhiri percakapan yang singkat
itu.
Keesokan harinya, seperti biasa aku berjalan kaki menuju sekolah sejauh satu kilometer. Aku
datang lebih awal. Aku berjalan kaki saat waktu fajar. Aku memang rutin melakukan hal ini,
karena orangtuaku tidak mempunyai kendaraan. Penghasilan kedua orangtuaku hanya cukup
untuk makan sehari-hari, belum lagi untuk membayarkan hutangnya. Tapi, aku tak keberatan
melakukan hal ini, sebab sudahku niatkan diriku untuk menuntut ilmu. Aku berjalan kaki
dalam suasana ramai yang dipenuhi oleh lalu lalang. Mengapa? Karena rumahku berada di
daerah pasar yang banyak dilalui oleh wisatawan dalam maupun luar negeri yang biasanya
mereka melalui jalan ini untuk membeli buah tangan yang akan dibawanya pulang.

Setelah lima belas menit berlalu, fajar pun mulai melihatkan cahayanya, suasana semakin
ramai dan banyak teman sekolahku yang berlalu melewatiku bersama orangtuanya
menggunakan kendaraan pribadi. Mereka melewatiku dengan begitu saja tanpa tegur sapa.
Memakai seragam putih biru yang dilengkapi dengan atribut sekolah. Ya, sudah pasti mereka
akan menuju ke sekolah.
Beberapa menit kemudian, dari kejauhan aku melihat pagar yang akan ditutup oleh Pak
Satpam. Hatiku semakin tidak tenang dan jantungku berdebar sangat kencang, sebab aku tahu
aku akan terlambat dan aku akan kehilangan sedikit ilmu, karena tak mengikuti pelajaran
pertama dan kedua. Ketika itu, aku bergegas mengambil langkah panjang, berlari seperti
angin dengan cepatnya. Aku tak memikirkan resiko yang akan terjadi. Benar saja, aku
terjatuh dan tanpa kusadari, keranjang yang kubawa dari rumah terjatuh, dan barang
daganganku hancur tak karuan. BRAAAAKK!!! “Aw, aduh… Ya ampun gimana ini??!!!”
Ucapku dengan ekspresi dan nada yang khawatir. “Yang benar saja, kue-kue yang dibuat ibu
jatuh semuaa… hikss.” Seketika itu, aku mulai menangis, aku tak tau apa yang harus
kulakukan selain mengekspresikan keadaanku. Mataku tak mampu menahan air mataku yang
perlahan-lahan keluar dari kelopak mataku, sebab kue yang seharusnya habis terjual harus
bersentuhan dengan debu dan aspal. Aku memang selalu berjualan kue-kue tradisional buatan
ibuku di sekolah. Aku tak malu. Aku ingin meringankan beban orangtuaku.

Ketika itu, orang-orang yang melintas di jalanan tempat aku tergores luka ringan mulai
membantuku secara perlahan. “Kamu gak apa-apa?” Tanya seorang pengendara jalan. “Tidak
apa-apa kok, saya hanya mengalami luka ringan saja.” Ucapku, karena aku tak ingin
merepotkan sang pengendara jalan lain.
Aspal berhasil memahat dengkulku. Dengkulku kini dipenuhi cairan merah nan kental.
Terpaksa aku menahan ke sakitan ini saat akan melanjutkan perjalananku ke sekolah.
Setibanya di sekolah, aku sudah tak dapat mengikuti pelajaran pertama dan kedua, sebab aku
harus menjaga pagar untuk sementara.
“Duuuhhhh… Tyas ke mana ya??!! Sebentar lagi kan pelajaran pertama akan dimulai. Gak
seperti biasanya dia seperti ini..” tuturan kata terlontarkan dari mulut Giovania yang sedang
berada di dalam kelas, karena khawatir dengan keadaan Tyas yang tak kunjung datang.

Detik demi detik telahku lewatkan, menit demi menit telahku lalui, hingga sang surya
mulai memancarkan sinarnya yang mulai membara. Sebentar lagi telah tiba waktuku untuk
memasuki lingkungan sekolah. Aku sudah tak sabar. Aku ingin segera mendapatkan ilmu
yang baru. Karena aku sedikit kecewa dengan diriku yang ceroboh tadi pagi. Kreeeekkk
“Kamu sudah diperbolehkan masuk, lain kali jangan terlambat ya” Pak satpam membukakan
jalan untukku. “Iya pak, terimakasih” Aku sangat-sangat berterimakasih, aku sudah tak sabar
bertemu dengan teman dan guruku.
Setibanya di kelas, keadaan kelas sangat gaduh, ada beberapa teman yang mengusikku.
“Yaaeelah, ngapain sih si udik datang, padahal udah bagus-bagus tadi dia ga ada di kelas ini.”
“Tau nih, bikin suasana kelas jadi panas aja!” Ya, itu adalah contoh cacian dari teman
kelasku. Mereka memang sering mencaci-makiku. Mereka hanya memandangku sebelah
mata. Tapi aku selalu menghiraukan itu. Aku tak ingin mencari-cari masalah.
“Ke mana aja sih kamu? Jam segini kok baru datang?” Tanya Giovania karena khawatir. “Iya
Giovania , tadi aku udah datang pagi banget dari rumah, mungkin karena jalanku yang
lambat.” Jawabku agar Giovania tidak curiga. “Loh, kok daganganmu sudah habis? Kamu
dagang dulu ya?” Tanya Giovania sambil memaksa ambil keranjang daganganku.
“Awww…”, “Loh, kamu kenapa Yas?” “Duuuhhh.. eesstt” Spontan aku memegang luka ku
sambil berdesah.
“Aku tadi tak sengaja jatoh Gio.” Terpaksa aku jujur karena Giovania semakin mendesakku.
“Jatoh di mana? Kok bisa? Kamu sih ga hati-hati. Terus daganganmu juga jatoh?” Reaksi
Giovania dalam keadaan khawatir. “Gio kamu nanya-nya satu satu dong. Aku juga gak tau
gimana aku bisa jatoh. Mungkin karena aku terburu-buru karena pintu pagar sudah mau
ditutup.” “Oh gituu, terus barang daganganmu?”. “Oh iya lupa aku sampaikan. Barang
daganganku juga jatoh. Aku bingung bagaimana cara aku beri kabar sama ibuku. Aku takut
ibuku marah Gio.” Jelasku. “Ya sudah, kalau gitu kamu ngomong baik-baik saja dulu dengan
ibu kamu. Kamu jelaskan semua.” Ucap Giovania memberi saran.

Seketika itu suasana kelas yang gaduh beralih menjadi hening. Ya, benar saja,
pelajaran selanjutnya akan dimulai. Pelajaran Seni Budaya, pelajaran yang aku gemari. “Hari
ini ibu akan mengambil nilai seni kerajinan batik yang sudah ibu berikan tugasnya pada
minggu lalu. Yang tidak membawanya terpaksa ibu kosongkan nilainya. Dan kalian juga
tidak boleh masuk pelajaran ibu selama satu minggu.” Ujar guru seni budaya dengan tegas.
“Astaga, aduh Tyas…, gimana iniiii. Aku lupaaaa… Tugasnya belum ku selesaikan.” Ujar
Giovania, panik. “Loh kok bisa? Bukannya semalem kamu yang ingatkan aku?” Tanya aku
penasaran. “Iya, tapi kemaren aku diajak jalan-jalan ke pantai sama orangtuaku mendadak.
Sehabis setelah itu, aku kembali di rumah. Aku sampai dirumah sekitar pukul enam sore.
Karena aku kecapean, aku langsung tidur.”

Aku tak tega dengan keadaan Giovania, meskipun ini kesalahannya sendiri, aku
tetap tak tega. Kusodorkan kain batik dengan balutan plastik hitam yang sudah kubuat selama
empat hari dengan susah payahnya.
“Apa ini?” Tanya Giovania. “Sudah, kamu ambil saja ini. Nanti akan kubuat lagi kok.”,
“Tttttaapii,…”. Ujar Giovania, tak dapat menerukan pembicaraannya karena aku langsung
memotong pembicaraan. “Sudah, kamu ambil saja. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan.
“Bukan itu masalahnya Yu, taapii…”, “Hey kalian yang di belakang, dari tadi yang ibu
dengar suara kalian saja. Kalau kalian tidak mau ikut pelajaran ibu, silahkan keluar! Dan
yang gak membawa tugas membatik silahkan ikut keluar!” Seru Bu Mirna, guru sini budaya.
Lantas aku dengan sigapnya beranjak meninggalkan kelas.

Setibanya waktu pulang sekolah, seperti biasa, aku masih memikul tas dan keranjang
yang ku bawa. Dalam perjalanan pulang sekolah aku masih dalam keadaan yang sama, dan
aku berjalan dengan pincangnya karena peristiwa tadi pagi. Aku berjalan pincang, dengan
keadaan ini membuatku semakin lama aku bisa melihat istana kecilku. Ya, benar sekali aku
sedikit terlambat sampai di rumah. Sesampainya di rumah aku langsung di lemparkan
beberapa pertanyaan dari ibuku. “Dagangan laku ora?”. “Ora, bu.” Aku memberanikan diri
untuk jujur, agar ibuku tidak marah lagi karena ulahku. “Laah terus iki dagangan ne neng
endi?” “Dagangan ne ambruk bu.” “Laah, piye toh.” “Aku ambruk di dalan bu. Dan dagangan
ne juga ambruk. Nuwun bu, aku ora sengojo.”, “Duh gustii gustiii… Yo wes, pengen opo
mene. Koe ngganti baju sana!” “Yo bu” Ya, semuanya memang tak bisa terelakkan. Aku
melakukan hal yang bodoh. Aku membuat lebih banyak hutang orangtua ku untuk modalnya
kembali.

Ya, hari ke hari telah berlalu. Masih seperti sedia kala, aku rutin berjalan kaki
kesekolah. Hingga suatu hari, aku mendengar kabar akan ada festival budaya yang akan
dilaksanakan minggu-minggu ini. Aku tertarik mendengar kabar yang bagus ini. Lantas kabar
ini segera aku bagikan kepada teman terbaikku. Siapa lagi kalau bukan Giovania.
“Giovaniaaa…!!” Aku memanggilnya dengan teriakanku yang melengking ini. “Iya Ayu
kenapa? Sepertinya hari ini kamu terlihat lebih semangat?! Ada apa?”. “Heheee.. Sebentar
lagi akan ada festival seni di kawasan pantai Kuta. Kamu harus ikut nih!!”. Jelasku dengan
semangat. “Waahh, kalau gitu temani aku mendaftar sekarang! Kamu juga harus ikut!” Tegas
Giovania. “Pasti aku ikut, aku ingin sekali menjuarai festival itu!” Kataku dengan penuh
semangat.
Setibanya di ruang pendaftaran, aku tak membawa uang saku. Sedangkan uang sakuku
sehari-hari saja tidak cukup untuk mendaftar. Bagaimana bisa aku mendaftar acara festival
itu. Aku tampak kebingungan. Aku gelisah. Dengan memasang raut wajah seperti ini
Giovania tampaknya mengetahui permasalahanku. “Kamu kenapa? Sepertinya kamu
kelihatan sangat gelisah. Ooohh, aku tau dimana permasalahanmu. Kamu tidak punya uang
bukan?” Tanya Giovania. Aku segera menganggukkan kepalaku sebagai bahasa isyarat ‘Iya’.
“Sudah kamu tidak perlu khawatir, aku punya uang lebih untuk kita mendaftar bersama.
Karena kamu sudah membantuku kemarin, sekarang saatnya untuk aku membalas
kebaikanmu.” Mendengar kabar itu, raut wajah sedih ku beralih menjadi raut wajah yang
penuh dengan harapan. Dengan bantuan dari Giovania aku dapat menjadi salah satu orang
yang mendaftarkan diri sebagai peserta pembatik festival budaya Indonesia mewakili
sekolahku. Sedangkan Giovania mendaftarkan diri sebagai penari tradisional yang sama
seperti hobinya.
Empat hari sudah berlalu, besok adalah puncak acaranya. Aku sudah mempersiapkan
diri untuk berlaga besok. Begitu pula dengan Gio. Festival budaya ini dilaksanakan selama
tiga belas jam WITA. Festival budaya tahun ini diikuti oleh lebih dari ribuan peserta. Aku
dan Gio sangat antusias, walaupun kami tahu kesempatan untuk menang terlalu kecil.

Keesokan harinya, aku dan Gio pergi bersama ke kawasan pantai Kuta, acara festival itu
digelar dengan didampingi oleh orangtua masing-masing. Aku sudah mempersiapkan dan
membawa peralatan membatikku. Sedangkan Gio membawa perlengkapan tarinya. Tak terasa
hari cepat berlalu, tiba waktunya pembukaan acara festival itu di mulai. Pembukaan acara
festival berupa tarian adat Bali yaitu tari Kecak.
Pembukaan acara festival sangat meriah. Semua pengunjung memberikan tepuk tangan yang
meriah pada akhir pertunjukkan. Tak lupa pula kami melakukan ritual-ritual adat yang
lainnya. Seperti upacara adat untuk sesembahan leluhur kami.

Hari-hari, terus berlalu tiba saatnya Giovania menampilkan bakat menarinya di depan
umum. Dari kejauhan aku melihat Giovania yang menari sangat lihai. Ia menarikan tarian
Pendet. Ia tampak lebih anggun. Matanya sangat tajam. Tatapannya membuat indra
penglihatku tersayat-sayat. Orang-orang banyak mengambil gambarnya. Ketika itu pula aku
terus membuat batik karyaku. Mulai dari membuat pola, memanaskan lilin dan mengukir
satu-persatu kain putih menggunakan canting. Tak ada kesulitan yang aku alami. Semuanya
berjalan dengan lancar. Aku mulai mengukir secara perlahan. Dimulai dari bercak kecil
hingga membentuk motif flora. Lama-kelamaan kain milikku yang kubawa dari rumah
berubah warna. Yang awalnya putih bersih tanpa bercak noda namun kini, kain yang
melambangkan simbol suci itu telah mengukir motif flora yang sangat eksotis. Aku mengukir
dan terus mengukir batik. Ketika itu hari sudah semakin senja. Aku harus mengajar waktuku
untuk menyelesaikan karyaku yang sangat berharga ini. Karena dengan cara ini merupakan
awal yang akan aku capai. Awal dari segalanya.
Tepat pukul tujuh WITA, proses pewarnaan sudah ku lakukan. Yang ku lakukan saat ini
adalah menanti gersangnya air pada kain batikku. Ya, memang sangat lama bukan? Aku tetap
bersabar dan aku sangat semangat pada hari ini. Aku tak merasakan letih sama sekali.

Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba. Kain batikku sudah kering.
Kupandangi dan terus kupandangi batik karyaku. Begitu tampak indahnya jika dalam
keadaan kering. Aku segera memberikan batikku ini kepada dewan juri beratas namakan Ni
Made Tyas Jelantik. Harapanku semakin besar untuk menjurai festival ini. Momen yang
kutunggu-tunggu telah tiba. Sebentar lagi akan ada penutupan serta pemenang lomba acara
festival yang dipandu oleh Walikota Denpasar, Bali. Hadiahnya tak tanggung-tanggung.
Juara utama akan diberikan uang tunai sebesar Rp 5.000.000.00,- dan berhak untuk mengikuti
lomba festival budaya tingkat nasional. Di sinilah harapan terbesarku. Aku ingin terus
berkarya hingga negeri seberang. Aku ingin orang-orang yang sudah mengucilkanku tak
memandangku sebelah mata lagi.
“Baiklah, saya akan membacakan serta menyerahkan hadiah kepada pemenang pada malam
hari ini.” Tutur pak walikota. “Untuk pemenang kategori penari terbaik jatuh kepada
Giovania Valensia. Kepada pemenang silahkan menaiki panggung.” Lanjut pak walikota.
“Waaahhhh, selamat Gio, akhirnya yang kamu nanti tercapai juga.” Kataku. “Iya terimakasih,
semoga kamu bisa menyusulku nanti!” Seruan Gloria memberi semangat kepadaku. “Dan
untuk pemenang pembatik favorit jatuh kepada Alia.” Tutur pak walikota. Di sini harapanku
sudah mulai pupus. Ya, Alia. Dia adalah orang yang selama ini mengucilkanku. Di atas
panggung kulihat dari kejauhan matanya mengarah pada diriku. Ia masih sempat-sempatnya
mengucilkanku. Tapi ini semua kuhiraukan. Aku tak peduli walau aku tak menang. Dan aku
memutuskan untuk pulang saja.

“Daannn, juara pertama kategori pembatik terbaik dan terfavorit jatuh kepadaaa.. Ni
Made Tyas… Selamat untuk Tyas, silahkan menyusul temannya di atas panggung.” Ucap pak
Walikota melanjutkan. Seketika itu, sontak aku menghentikan langkahku. Berlari menyusuri
jalan yang minim. Raut mukaku yang penuh dengan penyesalan berubah menjadi berseri-seri.
Sungguh aku tak menyangka akan menjadi seperti ini. “Waah, apa yang kubilang, pasti kamu
akan menyusulku di sini.” Ucap Giovania menyemangati. “Hehee terimakasih ya Gio.”
Kataku kehabisan kata-kata. Selanjutnya adalah acara penyerahan hadiah. Hadiah ini akan
kupersembahkan untuk orangtuaku. Sebagai gantinya kemarin aku telah mejatuhkan barang
dagangan ibuku. Setelah itu, lantas aku menyalami kedua temanku dengan ekspresi wajah
yang sangat gembira ria.

Itu merupakan kisah yang kualami sejak lima tahun yang lalu, sekarang aku menjadi
mahasiswa di Chicago University, Amerika dengan jurusan seni. Aku tak ingin begitu saja
melepas bakatku. Aku akan selalu mengasah bakatku ini. Sebab, karena seni-lah aku bisa
mendapatkan beasiswa hingga negeri seberang. Di sini aku belajar sambil berdagang batik.
Kuluangkan waktuku untuk membuat batik di waktu senggangku. Puji Tuhan, aku
mendapatkan banyak keuntungan di tempat ini. Dan aku akan terus mengikis ilmu di tempat
ini. Bersama dengan Giovania, teman terbaikku. Inilah akhir cerita ku.

Anda mungkin juga menyukai