Anda di halaman 1dari 11

Diary singkat seorang guru

Guru adalah profesi yang kurang diinginkan, mengapa begitu…? Apakah balasan yang
diterima kurang mencukupi, apakah jerih payah, keringat yang bercucuran, tak
terbalaskan sesuai dengan keinginan kita ..?. tak pernahkah kita sadari bahwa jasa
ikhlas yang kita beri kepada setiap insan adalah tabungan kita untuk di akhirat kelak,
itulah pendirianku sebagai seorang guru bahasa Indonesia, anak-anak muridku akrab
memanggilku dengan sapaan "bu ros", aku di besarkan dalam keluarga yang kurang
mampu, keluarga yang penuh duka cita. Semenjak aku kecil ibu dan ayahku telah
meninggalkanku dalam kecelakaan kereta api dua tahun yang lalu, sejak saat itu kami,
aku dan adikku di titipkan dengan tanteku, tetapi tanteku tak sebaik yang kukira, kami
hanya diberi pakaian sisa yang tak layak pakai, diberi kamar yang kumuh, tapi apalah
daya kami anak yatim piatu yang hanya bisa berharap kepada Dia yang maha kuasa
akan kegahagiaan. Walaupun begitu kami tetap bersyukur dengan rezeki yang sudah
ada. Aku dan adikku ditempatkan di sebuah sekolah impress yang tak memerlukan
biaya sepeserpun dengan bantuan dana BOS dari pemerintah. "Alhamdulillah itulah
yang patut kami katakan setiap waktu"

Seiring waktu terus berlalu, kini kami sudah besar dan tamat sekolah dengan nilai yang
memuaskan dan mencoba menjadi sesosok manusia yang harus berdiri sendiri, karena
tante yang selama ini menaungi kami telah pergi dan tak akan kembali lagi, sedih sekali
rasanya. Kini hidup kami menjadi lebih buruk, tapi apakah hidup kami begini terus,
pasrah akan semua ini…?? Tidak! Kami akan terus berusaha sampai akhir hidup kami.
Sambil mencari pekerjaan, kami hanya mengganjal perut dengan sebuah roti yang
kami beli dengan uang sisa jajan kami semasa sekolah dulu.

Dua bulan sudah kami lalui hidup ini dengan hampa, Alhamdulillah dengan nilaiku dan
nilai adikku semasa sekolah dulu, membantu kami dapat mengajar di sebuah sekolah
Negeri, meski tanpa gelar apapun, kepala sekolah tersebut dapat memaklumi keadaan
kami, karena dia adalah teman almarhum ayah kami semasa kami kecil dulu. Untuk
sementara kami dapat tinggal di rumah kepala sekolah tersebut, dan setelah dua bulan
berlalu, hasil pekerjaan kami dapat membantu kami membeli sebuah gubuk kecil untuk
tempat tinggal tetap kami. Tapi takdir tidak bisa dihindari, kini adikku telah dipanggil
oleh yang Maha kuasa. Kini hidupku semakin hampa, dan aku mulai lelah untuk hidup.
Tapi apakah iya aku harus bunuh diri..? tidak!
Sejak dua bulan itu dan sejak kepergian adikku yang tercinta itu, kini aku menjadi guru
tetap di sekolah tersebut menggeluti dalam bidang bahasa Indonesia. Aku mulai hidup
sendiri, sebatang kara berusaha untuk dapat hidup lebih tegar.

Pagi ini adalah pagi yang sangat cerah mengawaliku memulai hidup tanpa adikku
tercinta "pagi bu ros…?" sapa seorang murid, "pagi sayang..?" jawabku dengan
senyuman. Hari-hariku kini di hiasi dengan tingkah laku siswa yang berbeda-beda, ada
yang baik, baik sekali, buruk dan buruk sekali. Aku berharap dapat merubah sikap
anak-anak didikku menjadi seorang yang lebih berguna dan cemerlang di masa depan
kelak, tapi keinginan itu tak semudah membalik telapak tangan.

"tteeet….teet….!!!" bel berbunyi menandakan jam pelajaran dimulai

"selamat pagi anak-anak…!!"

"pagi bu….." jawab mereka serentak

"eh bu ros…masa' ke sekolah bajunya kusam amat…!" celetuk seorang anak dari
belakang

"rino…kamu tidak boleh begitu…!!" balas seorang anak yang sebangku dengan rino.

"biar aja…, aku gak suka pelajaran bahasa Indonesia…, koq..!!" bantah rino

"tapi kan bukan begitu caranya..?" sanggah prita cepat seorang anak yang duduk
sebangku dengan rino.

"sudah anak-anak…tidak apa-apa, tetapi ibu ingin mengingatkan pada kalian semua,
kalau kita tidak suka pada sebuah pelajaran jangan membenci gurunya, karena itu bisa
merusak akhlak kita, sebenarnya anak-anak…kita itu bukannya tidak suka pada
pelajaran, hanya saja kita merasa sulit sehingga untuk menutupi kesulitan itu kita
mengatakan tidak suka.. betulkan rino..??, ibu mau tanya dulu, rino suka pelajaran
apa…??

"kesenian..!" jawabnya singkat

"nah…apakah kesenian itu sulit..??

"wah…itu sih enggak bu..! itu mudah sekali..!"


"nah…begitu rino, jika rino tidak suka bahasa indonesia, pasti di satu sisi rino ada
merasa kesulitan ya…??"

"iya…bu, kalau menentukan tanda baca itu susah…banget..!!"

"nah…begini sayang nanti sewaktu istirahat, kamu bisa datang ke kantor ibu dan ibu
akan mengajari kamu..!!"

"terima kasih ya…ibu..!!" jawab rino senang.

"anak-anak sekarang buka bukunya halaman 15, seperti yang ibu katakan tadi, siapa
yang belum mengerti, silahkan datang ke kantor ibu ok!! Jangan malu-malu" karena
"malu bertanya ga' dapat jawaban"

Suasana mulai hening, anak-anak mulai serius memperhatikan, begitulah aku selama di
sekolah, selain mengajar, aku juga menjadi orangg tua kedua bagi mereka, yang selalu
mengingatkan mereka di saat mereka salah.

"TEEtttt…..teeetttt" bel istirahat pun berbunyi, aku pun keluar dari kelas, di tengah
perjalananku menuju kantor, aku menyapa seorang murid yang sedang duduk
termenung.

"pagi sayang…!!, koq gak ke kantin atau bergabung dengan yang lain..??, apa kamu
punya masalah..?? ayo donk kasih tau ibu..?? anak itu melihatku sedih, seakan ingin
berbicara tetapi malu, tetapi setelah beberapa lama ku bujuk, baru ia mulai berterus
terang.

"ibu..aku sedih, aku ini bodoh dan jelek tidak ada seorang temanpun yang mau dekat
samaku, mereka pilih-pilih teman..!!"

"tidak sayang..??, kamu tidak bodoh ataupun jelek, tapi kenapa kamu mesti sendiri
begini, kenapa kamu melamun kan bisa ke perpustakaan?"

" ibu…apakah itu bisa dilakukan setiap hari..??, gita juga butuh teman..??" jawab anak
itu sungguh

"iya sayang ibu ngerti…, ya sudah, ibu ada sedikit solusi, kalau seandainya kamu
merasa bodoh, kamu bisa belajar dengan ibu, dan seandainya kamu merasa jelek,
katakan "TIDAK" percayalah pada diri sendiri kita, karena bila ingin ikut-ikutan kita tidak
akan pernah bersyukur. Ok sayang..!!, tos dulu donk…!!"

"ok bu..!!" membalas tos tangan bu ros.


Kebanggaan terasa di hati saat bisa meringankan masalah seseorang, itulah aku bu ros,
terkadang juga harus berperan menjadi seorang sahabat yang setiap saat harus setia
mendengar keluh kesah seorang murid. Akupun mulai berjalan dan di tengah jalan aku
melintasi sebuah kelas kosong, tetapi aku melihat seorang anak yang mengambil
dompet dari tas satu ke tas yang lain, akupun menghampirinya

"eit…kenapa kamu lakukan itu…"

"i….iibu…ee..saya..saya.."

"sayang ayo kemari mendekat sama ibu…!!" dengan wajah pucat ia menghampiriku

"ibu maafin saya….!!, jangan bilang ke BP bu..??" air matanya menitis

"untuk apa kamu menangis dan kenapa minta maaf sama saya..??

"ibu…ampun bu…!!" tangisnya makin deras

"ayo ikut ibu kekantor..??" sambil membawa dompet itu dengan takutnya ia pun ikut
denganku ke kantor. Sebelum aku mennanyainya ia sudah mulai buka mulut

"ibu begini…

Saya tidak punya uang..!! sedangkan ibu saya sakit, kami hanya tinggal berdua, ayah
saya sudah meninggal, saya tidak ingin ibu saya juga…"

"cukup" kata itu terputus, sebenarnya bu ros teringat pada masanya dulu, tapi tidak
mungkin ku tunjukkan dengan isyarat air mata.

"lalu..kenapa harus didapatkan dengan mencuri..??"

"ibu…pertama saya sudah bilang langsung sama dia..yang punya dompet, tapi dia
malah mengejek saya..??

"astaghfirullah, ya sudah sekarang, panggil yang punya dompet…!!"


tak berapa lama kemudian

"jadi kamu orangnya..??, siapa nama kamu…?? Tanya bu ros tegas

"saya hari bu…"

"apakah kamu tahu kesalahan kamu…??" hari memandang doni anak yang memegang
dompetnya
" hari...kenapa kamu mengejek teman kamu..?? padahal kamu tahu kalau ibunya
sedang sakit, apakah kamu tidak mau membantu dia, apakah kamu tidak mau
mendapat pahala..??, Allah membenci orang yang tidak mau membantu saudaranya"

"bu maafin saya…"

"karena perbuatan kamu doni mengambil dompet kamu tanpa seizin kamu, apakah
kamu rela memaafkannya..??"

"iya bu,…don maafin aku ya…ini buat kamu mudah-mudahan ibu kamu bisa sembuh"
selembar lima puluh ribu keluar, dan dengan prihatin aku juga membantunya dengan
menyodorkan rupiah yang sama seperti hari. Akhirnya merekapun baikan.

Indah rasanya bisa saling berbagi, mengajar bahasa Indonesia bukan tujuan utama,
terkadang guru bahasa Indonesia juga berperan menjadi seorang ustadza yang
menasehati setiap muridnya yang melanggar aturan agama.

Matahari kini sudah berada tepat di atas kepala, waktu setiap guru dan murid-murid
istirahat pulang kerumah-masing-masing, ketika hendak melangkah pulang seorang
murid yang berlari-lari dengan temannya jatuh tepat di depanku dan lututnya berdarah,
ia menangis.

"ayo...bangun sayang…" sambil memapahnya menuju kursi koridor

"hu…hu…ibu sakit…!!!" sambil memegangi lututnya

"sebentar ya..sayang…" sambil mengeluarkan obat merah dan handiplas.

"sini sini sayang mana lukanya tadi..??" sambil mengobatinya "makanya lain kali hati-
hati…jangan lari-lari..!! ok!, ya sudah.."

"makasih ya...bu"

"sama-sama sayang"

Berperan menjadi seorang dokter bukan hanya di rumah sakit, aku senang dapat
menjadi dokter darurat yang menangani setiap masalah tepat pada waktunya. Itulah
aku guru serbaguna, disaat anak murid membutuhkan aku siap dan datang tepat pada
waktunya.
Itulah sebabnya sampai sekarang ini aku tepat mengidolakan profesi guru dalam
hidupku dan itu sebabnya juga kini aku masih menjadi guru, meski berpindah-pindah
sekolah untuk mencari sebuah pengalaman. Setiap pada tanggal 25 november namaku
selalu masuk dalam nominasi "guru favorite" aku senang ternyata selama ini Allah
mendengar do'aku. Sesuai dengan pribahasa "bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian"
Terima kasih..
Tak terasa malam cepat sekali berlalu. Badan ini rasanya sangat malas
beranjak dari kasur ku yang empuk. Walupun jam di dinding kamarku telah
menunjukkan angka 7.15 aku masih tetap saja santai.
Sesampainya di gerbang sekolah aku melihat Bu Tarigan selaku guru
matematika sekaligus sebagai guru B.P. beliau masih tampak semangat mengawasi
para siswa walau umurnya sudah menginjak kepala 4. Rambut putihnya yang terikat
sangat rapi sangat serasi dengan kulit wajahnya yang mulai mengkerut.
“ Dony, kamu terlambat lagi?”ujarnya lembut. Aku hanya terdiam dan segera
mengambil alat-alat kebersihan dan mulai membersihkan lapangan parker. Tak
terasa bel sudah berbunyi 3 kali dan aku memasuki ruangan kelas.
Sesampainya di ruang kelas ku rebahkan badan ku yang lelah di atas meja.
Alex satu-satunya teman ku mulai menemui ku.
“ Don, kamu rugi tak masuk tadi. Kita tadi melakukan 3 ujian sekaligus.”
Ujarnya bersemangat.
“oooo…Jadi?” ucapku santai. Alex hanya terdiam tak percaya. Mungkin dia
berpikir mengapa masih ada orang seperti diriku.
Selama pelajaran berlangsung aku hanya terdiam. Bukannya mendengarkan
apa yang di ajarkan guru tetapi tertidur lelap. Tak terasa ada yang membangunkan
ku.
“Dony, silahkan ke ruang B.P. “ ujar Pak Siagian padaku. Aku segera beranjak
ke tempat yang telah menjadi tempat ke-2 di sekolah ini yang paling sering ku
kunjungi selain kantin.
Sesampainya di ruang B.P, Bu Tarigan tampak memelas seraya
mempersilahkan ku duduk di hadapannya.
“ Kamu dapat surat peringatan lagi. Dan ini yang ke-3. Ini peringatan terakhir.
Ibu harap kamu dapat datang bersama keluargamu dan kita akan mengambil
keputusan yang paling baik.” Ujarnya.
Usai dari ruang B.P aku tak kembali ke ruang kelas. Namun pergi ke kantin.
Kupandangi surat tersebut. Kebanyakan mengkhayal membuatku merasa ingin segera
terlelap. Namun bel yang menandakan bahwa akitivitas di sekolah ini berakhir
akhirnya berbunyi.
Sesampainya di rumah aku segera pergi ke kamar saat aku melewati ruang
keluarga tampak ayah, ibu tiriku dan kakak tiri ku sedang asyik bercanda. Mereka
tak memperdulikan ku sama sekali. Mereka bahkan tak mengetahui akan keberadaan
sama sekali. Namun karena sudah biasa akan hal tersebut aku hanya bersikap acuh
tak acuh walaupun napas ku mulai terasa sesak.
Tidur siang adalah satu-satunya hal yang dapat menengankan perasaan ku.
Namun tidurku terganggu oleh suara keras pintu yang di buka secra paksa. Belum
sempat aku bangun dari kasur, ku rasakan hantaman keras mengenai wajah ku.
“ Kau ini benar-benar anak yang tak bisa diharapkan. Apa ini?” ayah terlihat
sangat marah seraya melemparkan surat peringatan ke wajah ku. Aku hanya
bersikap setenang mungkin dan mulai membela diri.
“ Bagaimana aku bias sukses sedangkan tak ada 1 orang pun di rumah ini yang
menganggap ku ada. Bukankah aku hanya bayangan semu di rumah ini?” ujarku.
Ayah mencoba menamparku lagi, nmaun kali ini aku menahan tangannya.
“ Tanpa mengurangi rasa hormat ku pada ayah. Aku mohon jangan pernah
memperlakukan ku seperti ini. Sewaktu bunda mash hidup tak pernah sekalipun ayah
membentak ku dengan keras bahkan ayah slalu memegang prinsip untuk tak akan
pernah menggunakan tangan dalam mendidik putranya” sambungku lagi
“ Ayah bersikap seperti itu untuk anak yang bisa ayah banggakan. Apa kau tak
bisa meniru Ryan kakakmu. Dia selalu mendapat peringkat pertama di sekolahnya.
Bahkan dia sekolah di sekolah favorit. Sdangkan kau??!” amarahnya terlihat mulai
memuncak.
“Ha ha ha.. Ya Tuhan betapa menyedihkan hidup ku ini. Seorang anak yang tak
pernah di anggap. “ selesai mengucapkan itu , aku meninggalkan kamarku sendiri dan
menuju gudang.
Ku ambil album yang telah usang. Tampak di dalamnya terlihat seorang
ayah,ibu dan anak yang tersenyum bahagia. Aku mulai meneteskan air mata. Aku tak
percaya bahwa hidup ku dulu pernah sangat bahagia.
Semenjak kematian bunda semua berubah. Apalagi sejak ayah menikah lagi
dengan wanita itu. Ayah menikah 3 bulan setelah kematian buna. Itu adalah salah
satu factor yang menyebabkan ku tak menyukai wanita itu.
Dulu aku selalu mengatkan bahwa kisah Bawang Putih Bawang Merah dan
Cinderella adalah omong kosong belaka. Namun saat ini aku dapat merasakan apa
yang mereka rasakan. Bedanya ayah mereka masih sangat mencintai putri
kandungnya. Sedangkan aku?
Esoknya aku dan ayah berangkat ke sekolah. Sesampainya di depan ruang B.P
ayang menyuruh ku menunggu di luar. Selang beberapa waktu aku dipanggil masuk ke
ruangan itu.
“ Saya sudah menyerah untuk mengurusnya. Jika di pecat adalah hal yang
terbaik saya dapat menerimanya. Jantungku terasa berhenti berdetak saat itu juga
sesaat. Tak adakah lagi kasih sayang yang tulus untuk ku dari ayah? Namun dengan
pembelaan Bu Tarigan aku akhirnya dapat tetap melanjutkan sekolah denagn 1
kesempatan akhir.
Aku terjatuh lemas di aula sekolah. Buliran airmata terasa seperti sungai
kecil yangtak akan pernah berhenti mengalir di pipiku. Ku mulai menyanyikan 1 lagu
yang menggambarkan perasaan ku saat ini.
Malam ini hujan turun lagi
Bersama kenangan yang ungkit luka di hati
Luka yang harusnya dapat terobati
Yng ku harap tiada pernah terjadi
Ku ingat saat Ayah pergi, dan kami mulai kelaparan
Hal yang biasa buat aku, hidup di jalanan
Disaat ku belum mengerti, arti sebuah perceraian
Yang hancurkan semua hal indah, yang dulu pernah aku miliki
Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Mungkin sejenak dapat aku lupakan
Dengan minuman keras yang saat ini ku genggam
Atau menggoreskan kaca di lenganku
Apapun kan ku lakukan, ku ingin lupakan
Namun bila ku mulai sadar, dari sisa mabuk semalam
Perihnya luka ini semakin dalam ku rasakan
Disaat ku telah mengerti, betapa indah dicintai
Hal yang tak pernah ku dapatkan, sejak aku hidup di jalanan
Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Seseorang tiba-tiba memegang pundak ku. Terasa tangannya sangat hangat.
Aku sangat terkejut mendapati bahwa itu adalah Bu Tarigan.
“ kehidupan di rumah memang dapat mempengaruhi kehidupan kita di
lingkungan yang lain. Tapi kau harus ingat bahwa kehidupan yang kau inginkan akan
kau dapat jika engkau berusaha,” ujar beliau memulai percakapan.
“ Walaupun kau merasa sangat hancur, jangan pernah lari dari masalah karena
itu akan membuat mu merasa lebih terbebani. Kamu harus mau menghadapinya.
Jikalaupun hasilnya tak sesuai harapan mu, setidaknya kau akan merasa lebih baik
karena sudah berusaha. Kebahagiaan mu ada di dalam genggaman tangan mu sendiri,”
sambungnya seray tersenyum padaku.
Aku melihat kasih sayang yang tulus terpancar dari bola matanya yang indah.
Tatapan yang sangat aku rindukan. Tatapan yang tak pernah ku dapat setelah
kematia bunda.
Dalam benakku aku mulai terbeit keinginan yang kuat untuk merubah
segalanya. Hari-hari selanjutnya ku hadapi dengan jauh lebih baik. Walapun kadang
aku masih terjebak dalam masa-masa burukku namun uluran tangan Bu tarigan yang
penuh kasih sayang selalu dapat menyelamatkanku dan membawa ku ke jalan yang
benar.
Tak terasa besok adalah tanggal 25 November. Aku sibuk mencari hadiah
untuk pahlawan ku. Namun hari ini aku mendapat kabar yang mampu membuatku
menangis lagi.
“ Pengumuman bagi semua siswa agar kita besok mengumpulkan dana social
karena Bu Tarigan Guru mata pelajaran matematika dan juga sebagai guru B.P akan
pindah tugas.” Ucap kepala sekolah.
Malam harinya aku sangat berharap hari esok tak akan pernah datang. Aku
merasa tak siap kehilangan pahlawan ku. Namun apa daya
Aku harus merelakan sekali lagi orang yang paling ku sayangi.
Paginya aku bergegas berangkat ke sekolah. Selama acara di mulai aku merasa
tak semangat. Saat menyanyikan lagu HIMMNE GURU aku meneteskan air mata.
Aku tak peduli apa pendapat orang lain yang melihatku menangis di tengah lapangan.
Mereka mengataiku banci, cengeng, caper, gila aku tak peduli lagi.
Saat acara penyemangatan bunga aku tak kuasa melihat wajah Bu Tarigan.
Tangan ku bergetar hebat. Beliau memelukku dengan sangat hangat. Seperti pelukan
ibu terhadap anaknya.
Akhirnya tiba saat acara perpisahan. Aku membawakan sebuah lagu untuk
pahlawan ku yang hebat.
Guru kan ku sayang…
Guru kan ku kenang…….
Selalu ku ingat kala kita bersama.
Kini kau jauh, aku rindu
Kau selalu di hati ku..

Reff : Ada saat jumpa


Ada saat pisah
Ada saat bertemu lagi…
Namun ku tak lupa..
Sebut namamu..
Dalam stipa DOA ku..

Semua orang terisak pada saat itu juga tak terkecuali Bu Tarigan. Namun air
matanya tampak seperti bulir-bulir berlian yang sangat berharga.
“ Ibu harap kalian dapat menjadi siswa siswi yang baik walaupun ibu tak bisa
mengawasi kalian lagi.” Itulah kalimat terakhir yang di ucapkannya.

Anda mungkin juga menyukai