Anda di halaman 1dari 8

Lomba Felsi Cerpen

Oleh: Diva Fitri Angeliani Windra

SMAN 1 Bangkinang Kota

29 Agustus 2022

SEKERAS BAJA

Aku Dwi, gadis berkacamata yang selalu tertawa paling kencang di kelas. Hari ini, usiaku genap
delapan belas tahun. Waw, mari kita lihat perubahan apa yang akan terjadi dikehidupanku?

Seperti biasa, pagi ini aku berangkat ke sekolah dengan tetanggaku, Nilam. Lihat, diusiaku yang
sudah legal ini, orangtuaku belum mengizinkanku untuk membawa kendaraan sendiri ke sekolah.
Menyebalkan! Selain itu, masih banyak larangan larangan yang diberikan oleh orangtuaku. Tapi, jika
aku menceritakan nya sekarang, aku akan terlambat ke sekolah.

“Selamat ulangtahun Dwi ku nan cantik jelita! Wajahmu sungguh ayu pada pagi hari yang cerah ini.
Akankah masadepan kita secerah pagi ini?” celoteh Ria, teman kelas ku sembari merentangkan
tangan nya menyambut kedatanganku.

Aku mendelik. “Untuk kau ingat, aku cantik setiap waktu!” sahutku dengan nada sombong.
Percayalah, aku tidak seangkuh itu. “Terimakasih Ria, kau orang pertama yang memberiku ucapan
selamat.” aku membalas rentangan tangan Ria dengan pelukan hangat.

“Benarkah?” Ria melepaskan pelukan nya. Tangan nya beralih memegang kedua bahuku. “Ku kira
orangtuamu sudah mengucapkan nya. Bahkan, aku mengira mereka akan membangunkan mu tepat
pukul duabelas malam sambil membakar lilin dan bernyanyi, selamat ulang tahun~” Ria memegang
kedua pipinya. “Aku teringat, bagaimana manis nya Ibuku saat menyanyikan lagu selamat
ulangtahun untuk ku tepat pukul duabelas malam saat ulangtahun ku yang ke tujuhbelas!”

Aku terkekeh, “mereka terlalu sibuk untuk itu..”

Ria merangkulku, “bagaimana jika nanti sore kita ke tepi danau belakang rumah mu? Aku akan
membuatkan nasi kuning kesukaanmu!”

Mataku berbinar. Aku benar benar merasakan bagaimana senang nya ketika kita sedang
berulangtahun. Ria memang gadis yang baik hati.

Aku mengangguk. Lalu berlari bersama Ria menuju ke kelas. Karena bel masuk sudah berdentang
sejak dua menit yang lalu.
Diperjalanan pulang, bibirku melengkung keatas. Sungguh hari yang menyenangkan! Semua teman
kelas mengingat hari istimewaku. Bahkan banyak diantara mereka yang memberikan aku kado
ulangtahun. Dan ada satu surat yang kudapat dari Bayu, ketua kelasku.

Jujur, aku menyukai Bayu. Dia tenang dan selalu tersenyum ramah. Tapi, ah sudahlah! Sekalipun
kami saling menyukai, kami tidak akan bisa menjadi sepasang kekasih. Orangtuaku belum
mengizinkanku berpacaran.

“Aku pulang!” aku meletakkan sepatuku di rak paling bawah. “Ibu, lihat! Aku mendapat banyak kado
dari teman temanku!” aku sangat antusias mengambil tempat disebelah Ayahku yang tengah
menonton televisi.

Ibuku menoleh, “baguslah. Setelah membukanya, simpan kado kado itu. Pergi makan, lalu belajar.
Buka kembali apa yang telah kau pelajari di sekolah tadi.” sahut Ibu.

“Baiklah. Tapi nanti sore aku sudah ada janji dengan Ria. Kami akan bermain di danau belakang
rumah.”

“Untuk apa kau membuang waktu seperti itu? Ujian sudah didepan mata. Ayah tidak mengizinkanmu
keluar rumah sore ini.”

“Tapi Ayah, aku sudah berjanji dengan Ria?” sanggahku.

“Apa yang akan kalian lakukan disana? Berlarian kesana kemari seperti balita yang baru bisa
berjalan?” Ayah menatapku tajam. “Tidak, Dwi. Jika terjadi apa apa padamu, bagaimana? Apakah Ria
bisa menolong mu? Kalian masih remaja!” ucap Ayah dengan nada tinggi.

“Tapi ini hari ulangtahunku, Ayah?”

“Lalu kenapa jika ini hari ulangtahunmu? Kau ingin mengumumkan pada dunia bahwa hari ini kau
bertambah tua tapi tidak ada kemajuan pada pola pikirmu?” geram Ayah.

Mataku mulai memanas. Ada sesuatu yang ingin menerjang keluar dari kelopak mataku. “Bahkan
kalian belum mengucapkan selamat untukku!” ucapku bergetar. Aku mengemasi semua kado yang
kudapat dan segera berlari ke kamar.

Aku mengurung diri di kehampaan kamar yang seolah tak bernyawa. Sepi sunyi tanpa ada secercah
semangat. Kamarku seolah ikut merasakan apa yang tengah aku rasakan. Sesak. Hari dimana
seharusnya aku tertawa lepas, bahagia. Malah berakhir dengan tangisan tanpa suara. Tadi sore, aku
mendengar suara Ayah yang mengusir Ria dengan keras.

“Dwi tidak boleh keluar rumah jika tidak ada kepentingan. Dia harus belajar! Agar impian kami untuk
menjadikan Dwi seorang Dokter tercapai.” sergah Ayah kasar. “Kau lebih baik pulang saja,
membantu Ibumu. Atau, jika kau tetap ingin ke tepi danau, pergilah sendiri. Bawa nasi kuningmu itu,
aku bisa membelikan Dwi nasi kuning lebih banyak dari apa yang kau bawa!”

Pedih. Hatiku bagai bawang dapur yang tengah diiris. Menyebabkan kepedihan dimata dan berakhir
dengan bulir bulir airmata yang bercucuran. Aku sangat sedih mendengar perkataan Ayahku kepada
Ria. Ria adalah sahabat karibku. Apakah Ria masih mau berteman denganku?
Semonoton inikah masa remajaku? batinku lirih.

Malam ini, Ibu menyuruhku keluar kamar untuk makan malam bersama. Ibu mengatakan, ada yang
ingin Ayah sampaikan. Perkiraanku, Ayah akan meminta maaf atas perkataan nya tadi. Aku menurut.
Kulihat Ayah tengah sibuk membolak balik beberapa kertas.

“Dwi, ini ada beberapa perguruan tinggi yang sudah Ayah pilih. Kau bisa memilih diantaranya, mana
yang kau suka.”

Aku meraih kertas yang disodorkan oleh Ayah. Aku membolak baliknya, seperti yang Ayah lakukan
tadi. “Aku ingin menekuni bakatku dibidang sastra, Ayah. Bukan dunia medis..” gumamku pelan.

Ayah tertawa kecil sembari menepuk pundak ku, “lelucon macam apa itu, Dwi?”

Aku menggeleng. “Sungguh, aku ingin menekuni bakatku dibidang kepenulisan. Ayah tau, aku suka
sekali puisi. Aku ingin-”

“Tidak ada sastra!” potong Ayah cepat. “Kau bisa apa dengan menjadi lulusan sastra? Guru? Ayah
ingin kau menjadi Dokter, agar kita terpandang! Kau lihat, jurusan Bahasa di sekolahmu, peminatnya
sedikit. Sedangkan IPA, semua orang berlomba lomba untuk mendapatkan nya. Ayolah, Dwi, buka
jalan pikiranmu!”

Aku tidak pernah menyangka dalam menentukan pilihan masadepan pun aku diatur seperti ini. “Itu
bukan patokan, Ayah! Banyak anak anak Bahasa diluar sana yang sukses! Dulu Ayah mengatakan,
jika aku masuk IPA, aku bisa dengan mudah menentukan pilihanku, karena peluang nya besar!”

“Halah, untuk kau ketahui, itu semua ada udang dibalik batu. Dan sekarang, pilihan yang kami pilih
untukmu adalah Dokter. Kau harus menurutinya.”

Selera makanku seketika hilang. Aku benar benar membenci siatuasi seperti ini. Ayah benar benar
egois. Sementara Ibu, pasti tidak akan banyak bicara karena Ibu akan selalu patuh pada Ayah. “Tapi
itu pilihan kalian, Ayah, Ibu! Bukan pilihanku. Itu kemauan kalian, bukan aku yang menginginkan nya!
Bagaimana bisa aku menekuni sesuatu yang bukan bidangku?” aku mulai meninggikan suaraku.

“Turunkan nada bicaramu, Dwi!” Ayah bangkit dari duduknya lalu menunjukku, “kau lihat kakakmu!
Dia dulu sangat tergila gila dengan musik. Tapi ketika memilih tujuan hidup, ia menuruti perintahku.
Bukan membangkang! Lihat, sekarang dia sukses menjadi seorang Jaksa. Apa kau tidak ingin hidup
berkecukupan seperti kakakmu? Sampai kapan kau akan terus terusan membebani ekonomi
keluarga?!”

“Sudah, cukup!” teriak Ibu keras sambil memegangi pelipisnya. “Tidak bisakah kalian bicarakan ini
dengan kepala dingin?!”

“Ibu, lihat apa yang Ayah lakukan padamu. Dari dulu ia selalu mengatur semua pilihanku. Mulai dari
pertemanan, sekolah, jurusan di SMA ku dan sekarang? Aku benar benar tidak tahan dengan ini
semua. Aku lelah terus terusan dibanding bandingkan dengan Kak Dewi! Selalu saja Kak Dewi yang
kalian banggakan!” ucapku terisak. Air mataku yang sedaritadi aku tahan, akhirnya lolos.
“Tentu saja aku yang menentukan pilihanmu, karena aku yang menghidupimu, aku yang
membiayaimu! Aku lebih tau mana yang baik untukmu!” sahut Ayah dengan nada tinggi.

“Aturlah semua kehidupanku, bahkan aturlah tanggal kematianku!”

Aku pergi meninggalkan meja makan dengan suara teriakan Ibu yang memanggilku. Aku tidak peduli
akan dikatakan pembangkang atau apapun itu oleh mereka. Aku benar benar tidak tahan jika terus
terusan begini.

“Bahkan dia mengatakan aku membebani ekonomi keluarga?” aku berdecih. “Aku tidak pernah
meminta untuk dilahirkan kedunia ini ada cinta kalian.”

Aku berjanji akan membuat kalian bangga dengan apa yang akan aku perjuangankan. batinku.

***

Kelulusan tiba. Dengan rasa haru, aku meninggalkan teman teman seperjuanganku yang sudah
menemaniku selama tiga tahun. Mereka pun melepasku dengan isak tangis. Kami benar benar harus
berpisah.

Untuk kalian ketahui, aku sudah tidak tinggal bersama orangtuaku sejak sebulan yang lalu. Aku
memutuskan untuk keluar dari rumah yang tidak pernah mengukir kebahagiaan untukku. Aku tinggal
disebuah kamar yang disewakan khusus anak anak sekolah. Aku juga bekerja paruh waktu disebuah
pusat berbelanjaan untuk memenuhi kebutuhanku serta membayar uang sekolah.

Aku teringat pada surat yang kutinggalkan diatas meja makan saat aku akan pergi.

Jangan cari aku. Aku berjanji akan pulang jika aku sudah sukses nanti. Dan aku tidak akan pulang
sebelum kalian bangga padaku. Pegang janjiku.

Dwi Ayunda

Hari ini, aku harus pergi meninggalkan kota kelahiranku yang belum sepenuhnya aku jejahi. Aku
diterima disalah satu perguruan tinggi negeri. Aku menepati janjiku, aku mengambil fakultas Sastra.

Masalah tempat tinggal dan pekerjaan aku juga sudah menemukan nya. Tugasku sekarang adalah
belajar sambil bekerja. Bekerja agar kebutuhan dan kewajibanku tercukupi. Dan belajar agar aku
mendapat pekerjaan yang aku impikan.

Disela sela pekerjaanku, aku selalu menyempatkan diri untuk menulis. Menulis apapun itu yang
terlintas dibenakku. Aku juga menulis apa yang aku alami sehari hari. Aku menulis runtut
pengalaman hidupku.

Empat tahun berlalu, atasan tempatku bekerja sudah sangat akrab denganku. Ia juga sering
meminjamkan ku laptop nya untuk mengerjakan tugas. Bahkan saat persiapan skripsi, ia
memperbolehkanku untuk membawa pulang laptop nya.
Sidang skripsi pun usai. Aku tinggal menunggu hasil dari apa yang selama ini aku perjuangkan.
Akankah aku menepati janjiku untuk membuat orangtuaku bangga?

Malam ini, aku menutup tulisan tentang perjalanan hidupku.

***

“Selamat siang pemirsa. Disiarkan, seorang penulis muda yang kini tengah ramai diperbincangkan.
Pasalnya, karya pertama yang ia terbitkan sukses membuat para pembaca terharu. Terdengar kabar,
apa yang dia tulis adalah pengalaman pribadinya sebelum menjadi seorang penulis sukses.”

“Berita apa itu, Ayah?” tanya wanita paruh baya sambil meletakkan secangkir kopi hangat didepan
lelaki paruh baya juga.

“Penyiar ini mengatakan ada seorang penulis sukses yang baru saja menerbitkan karya nya yang
ternyata berdasarkan kisah nyata dia sendiri..” jawab laki laki itu sambil meminum kopi buatan
istrinya.

Wanita paruh baya itu tersenyum kecut. “Aku jadi teringat anak kita, Yah. Apa dia akan sesukses
penulis itu?”

Laki laki itu merangkul wanitanya, “sudahlah, Bu. Itu pilihannya. Biarkan dia menyesal dengan apa
yang dia pilih. Kita lihat saja, apakah dia akan memenuhi janjinya?”

Benar benar tidak berubah. Bahkan dia tidak pernah memperlihatkan sedikit rasa kepedulian nya.

Sementara dilain tempat, aku tengah sibuk menyiapkan keperluan acara peresmian. Sibuk menyusun
dekorasi yang pas agar tidak mengecewakan para tamu undangan.

“Kaki ku rasanya ingin patah..” gumamku pelan.

Terdengar kekehan yang berasal dari belakang ku. Aku menoleh. Bayu. Ia berdiri sambil
menyodorkanku sebotol air mineral dingin. “Katakan pada kakimu, bertahanlah sebentar. Acara ini
belum mulai. Banyak yang belum kita kerjakan.”

Aku tersenyum, meraih botol air itu lalu meneguknya. “SEMANGAT!” ucapku dengan keras sambil
mengepal kedua tanganku.

Apakah kalian ingat Bayu? Dia adalah ketua kelasku dulu saat masih bersekolah. Ia bekerja ditempat
yang sama denganku. Jika kalian mempertanyakan hubungan kami, ya jawaban nya teman. Kami
masih berteman baik hingga kini.

***

Tok.. Tok.. Tok!!

“Sebentar!” terdengar suara sahutan dari dalam rumah sederhana yang dihiasi berbagai macam
bunga di halaman nya.

Seorang laki laki paruh baya keluar, “ada apa?”


“Ini ada surat, Pak. Untuk Bapak dan Istri.” seorang jasa pengantar surat menyodorkan secarik
kertas. “Saya permisi, Pak.”

Laki laki itu menutup pintu dan segera masuk kedalam rumah. “Malang?” laki laki itu mengerutkan
kening nya.

“Tadi siapa, Yah?”

“Kita dapat surat undangan, Bu. Dari Malang. Apa kita punya sanak saudara disana?”

Wanita itu menggeleng. “Coba buka suratnya, Yah..”

Mata mereka terbelalak ketika membaca nama pengirim nya. Mereka sungguh tidak mengangka apa
yang terjadi. Tanpa basa basi mereka langsung bersiap siap untuk berangkat ke Malang siang ini
juga. Tak lupa mereka menghubungi Dewi, anak sulung mereka untuk ikut serta ke Malang.

“Jangan sampai terlambat, Bu. Atau kita akan menyesal..” gumam laki laki itu disela sela gerakan
tergesa gesa nya.

***

“Pertama tama, saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Karena, ialah satu satunya zat yang tetap berada didekat saya kapanpun dan apapun
keadaannya. Yang kedua, saya sangat berterimakasih kepada jiwa raga saya sendiri yang telah
bertahan sejauh ini, sendirian. Tanpa bimbingan ataupun perhatian dari orang orang terdekat saya.
Tapi saya bersyukur karena saya bisa kenal orang yang sangat berharga dihidup saya.”

Dua orang yang tengah duduk di depanku pun tersenyum. Bayu dan Ria.

Ria adalah atasanku yang selama ini telah banyak membantuku. Mulai dari mencarikanku tempat
tinggal, menawariku pekerjaan hingga meminjamkanku laptop nya. Dan Bayu, sosok pelindung
sekaligus penyemangat. Dialah satu satunya orang yang selalu ada untukku. Selalu
membangkitkanku dari keterpurukan. Selalu menerangi gelapnya hidupku dengan matahari yang
selalu terpancar dari senyuman nya.

“Dan yang terakhir, tiga sosok manusia yang sangat saya cintai. Tapi mungkin, saya kurang bisa
mengekspresikan nya pada mereka. Saya yakin, pasti. Apapun keadaannya mereka selalu
mendoakan saya. Dan saya juga percaya mereka pasti sangat menyayangi saya. Karena saya hadir
dan dapat berdiri disini karena cinta mereka.”

“Ayah, Ibu, Kak Dewi!” aku menunjukkan tiga orang yang baru saja mengambil tempat yang sudah
aku sediakan semalam. “Aku menepati janjiku. Bahkan karena janjiku kalian datang menjemputku
untuk pulang..”

Kulihat Ayah, Ibu dan Kak Dewi menangis haru sambil tersenyum bangga kepadaku.

Impianku sudah tercapai. Senyuman yang selama ini aku impikan sudah aku lihat terukir dibibir
mereka. Mereka bangga padaku, aku berhasil!
“Buku ini,” ucapku sambil menggenggam erat cetakan asli sebuah buku. “Aku persembahkan untuk
Ayahku. Buku ini berjudul Sekeras Baja. Sesuai dengan kerasnya sikap Ayahku, dan kerasnya
keinginanku untuk membuktikan bahwa aku bukanlah gadis kecil lagi. Bukan gadis yang sedari dulu
selalu menurut akan apa yang menekannya diatas. Dari sini aku belajar, jika kita ingin sukses,
lakukanlah perubahan. Lakukan pemberontakan! Jangan takut untuk mencoba. Karena sejatinya
keberhasilan adalah buah dari kegagalan yang kau racik hingga menjadi hasil yang sempurna. Sekian
dari saya Dwi Ayunda.”

Terdengar gemuruh tepuk tangan dari para tamu undangan. Hari ini adalah hari peresmian buku
pertamaku, Sekeras Baja. Buku resmi aku jual diseluruh toko buku yang ada di Indonesia.

Aku berharap orang orang dapat membacanya. Agar orang orang yang merasa dirinya diambang
keputus asaan dapat tergerak untuk bangkit. Dapat melakukan perubahan besar.

Aku menghampiri Ayah, Ibu dan Kak Dewi. Ayah berlari kearahku, memeluk ku lalu menggendongku
dan memutar badanku. Tangisku pecah. Apa yang selalu aku impikan sejak kecil kini sudah ku
genggam. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya membanggakan orangtuaku.

“Kau menepati janjimu, anakku..” Ibu tak henti membelai rambutku.

“Maafkan aku Ayah, Ibu, jika aku tidak menjadi apa yang kalian inginkan..”

Ayah menggeleng. “Ayah percaya, anak anak Bahasa diluar sana banyak yang sukses. Dan kau salah
satunya.”

Setelah berbincang panjang lebar dengan orangtua serta Kakak ku, aku menghampiri Ria dan Bayu
yang tengah menjamu para tamu undangan.

“Ria, Ayahku ingin berbicara denganmu..”

Ria mengangguk. Masih terekam jelas ditelingaku kata kata yang Ayah ucapkan dulu kepada Ria.
Ayah meminta maaf kepada Ria. Dia menyesal, dan sadar akan kesalahan yang telah ia lakukan. Dia
menyesal telah mengusir Ria begitu saja, bahkan ia mengatai pemberian Ria.

Ria yang baik hati, mengangguk dan mengatakan semua itu sudah berlalu. Ia sudah memaklumi
kejadian itu. Ayah pun sangat berterimakasih atas kebaikan Ria terhadapku selama ini. Setelah acara
selesai, aku dan Bayu duduk disebuah taman yang tak jauh dari tempat acaraku.

“Sore yang indah, aku ingin semua nya juga berakhir indah..” gumam Bayu.

Aku mengangguk setuju. “Keinginanku telah terpenuhi. Aku merasa sangat senang sekaligus lega.”

Bayu menunduk. “Maukah kau membuat sore ini menjadi sempurna?”

Aku menoleh, “maksudmu?”

Bayu menghela nafasnya perlahan. “Aku ingin menagih jawaban dari pertanyaan yang dulu pernah
aku tuliskan disecarik kertas pembungkus nasi..”Aku tersenyum geli saat mengingat surat pemberian
Bayu saat ulangtahunku dulu itu berasal dari kertas pembungkus nasi milik Ibunya. Aku menarik
nafas dalam. “Jujur aku juga sudah lama menginginkan satu anganku untuk tercapai..”
“Apa itu?” tanya Bayu.

“Menjadi milikmu, seperti yang kau inginkan.”

Bayu menghadap kearahku. “Kau tidak bergurau, kan?” tanya Bayu memastikan.

Aku menggeleng. “Mari menentukan tanggal pertunangan!” teriak ku antusias sambil menarik Bayu
untuk menemui keluargaku.

Kurasa aku dan Bayu sudah tidak perlu berpacaran lama. Karena setiap harinya kami selalu
bertingkah layaknya sepasang kekasih.

Apa kalian tidak penasaran dengan isi surat Bayu?

Aku tidak tau harus memulai darimana. Aku bukan seorang laki laki romantis dengan bait bait
puisi.

Aku menyukaimu. Aku tau kau tidak boleh berpacaran. Jadi kapan aku bisa memilikimu? Bisakah
kita saling menjaga hati?

Bayu Wardana

Lucu

Anda mungkin juga menyukai