Anda di halaman 1dari 10

Kotak Cinta Untuk Ibu Tersayang

Hari-hariku di kampus dipenuhi dengan kegiatan di orgamawa. Ditambah dengan


jadwalku memberi les kepada anak umur SD.

Semua terasa berat, ingin rasanya aku memiliki satu hari yang khusus dihadiahkan
untukku. Agar aku bisa beristirahat. Sedikit menghirup udara segar dan terbebas dari
rutinitas dunia kampus yang terlalu padat.

Aku adalah mahasiswa kos di dekat kampus. Rumahku yang jauh membuatku selalu
rindu dengan kedua orang tuaku.

Rasa capek dan bosan sering membuat sikap malas menghinggapiku yang telah letih
untuk menjalani kegiatan kuliah dan kegiatan lain di luar kampus. Tapi, aku selalu
mencoba menepisnya.

Aku tak ingin perjuangan orang tuaku di desa dengan bekerja keras sia-sia hanya karena
sikap malasku di tanah rantau kuliah. Aku ingin kuliah dengan benar dan sungguh-
sungguh supaya bisa membuat orangtua bangga.

Aku lantas beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi dan bangun
untuk menunaikan ibadah sholat shubuh dan membaca Alqur'an sebentar.

Aku sambar handuk di atas kasur, dan dengan menarik napas dalam-dalam aku berkata.
"Aku harus semangat..! Kamu tidak boleh malas, Nay," kataku sendiri mencoba untuk
menyemangati.

Aku buka buku yang terlihat besar dan lebih lebar dari bukuku yang lain. Aku mencoba
melihat pekerjaanku kemarin. Beginilah pekerjaanku sebelum hari rabu tiba,
mengerjakan tugasku akuntansi.

Karena aku mengambil prodi teknik sipil, mau tidak mau aku harus bergelut dengan
angka-angka dan gambar yang aku sendiri tak tahu.

Meskipun begitu, Teknik sipil adalah mata pelajaran yang aku sukai ketika aku masih di
SMK. Oleh karena itu, aku ingin melanjutkan pengetahuanku mengenai teknik sipil di
jenjang perguruan tinggi ini.

Aku merasakan kesenangan tersendiri dengan kumpulan angka-angka yang menarik itu.
Perhitungannya jelas.

Usai mengerjakan soal teknik sipil, aku membereskan buku-buku di rak yang berantakan.
Aku pun memasukkannya ke dalam kardus agar rakku tidak penuh dengan buku.

Tiba-tiba aku menemukan kotak berwarna coklat. Aku ingat, ini adalah kotak kue yang
dulu pernah aku berikan untuk ibuku. Tepat di hari ibu dan hari ulang tahun ibuku.

Aku langsung menuju kalender yang menempel di dinding kamarku. Mataku terus
berjalan mencari bulan, kemudian mencari hari.

Tampak angka 12. Kurang sepuluh hari adalah hari ibu dan tepat ulang tahun ibuku.

Aku kemudian duduk di atas kasur. Aku terus mengamati kotak kue dari kardus itu.

"Ingin sekali aku melihat senyum dan kebahagiaan itu kembali dari raut wajahnya,"
kataku yang mulai sedih terbawa suasana.
Aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Tugasku memberi les dan kegiatan di organisasi
cukup membuatku kewalahan, antara tanggung jawab dan kerinduan teramat dalam
pada kampung halaman.

"Aku ingin pulang, Ibu, Bapak," teriakku tertahan.

Aku peluk kotak itu erat-erat. Kotak cinta untuk ibu yang mungkin akan aku buat lagi di
tahun ini. Kotak Cinta yang selalu aku buat khusus untuk ibuku. Di hari ibu dan dihari
ulang tahunnya.

Aku mulai berpikir untuk memberikan sesuatu yang berkesan di hati ibuku. Momen yang
aku nanti-nantikan. Aku ingin memberikan kotak cinta itu untuk ibu.

"Kira-kira, aku ingin mengisi kotak itu dengan apa, ya?" pikirku.

"Nay, ngelamun apa, sih?" Tanya Rini.

"Ah.., tidak, Ran. Aku tidak melamun, kok," jawabku.

Dibilang kaget, aku jawabnya juga santai. Masih mikir juga untuk menjawab pertanyaan
Rini.

"Sabtu depan pulang, kan?," tanya Rani.

"Insya Allah, semoga di kampus tidak ada acara dan kegiatan. Aku ingin pulang, Rin. Aku
kangen Ibu dan Bapak. Terutama Nila adikku. Sudah lama aku tidak pulang dan
berkumpul mereka," kataku berbagi beban di pundak ini pada sahabatku.

"Aku tahu, Nay. Kalau kamu mau, kamu pakai saja uangku dulu untuk pulang." Rini
menawarkan bantuan.

"Tidak usah, Rin. Kamu kan juga butuh uang untuk pulang," aku berusaha menolaknya.

"Tidak apa-apa, Nay. Aku sabtu depan ada acara di kampus. Jadi, aku tidak pulang," Rini
menjelaskan.

Aku pun terdiam sejenak untuk memikirkan tawaran Rani, antara senang dan perasaan
tidak enak pada Rini. Senang karena aku bisa pulang dan bertemu dengan Ibu, Bapak,
dan Nila. Tapi, Rani sudah terlalu banyak menolongku.

"Bagaimana, Nay?" Tanya Rini kembali, meminta kepastianku.

"Iya, Ran," aku pun menerima bantuan itu, karena aku ingin sekali bertemu dengan Ibu.

Namun nyatanya, aku tidak bisa pulang Sabtu depan. Ada kegiatan organisasi yang
harus aku selesaikan.

Penggalangan dana untuk saudara-saudara yang sedang tertimpa masalah di Gaza,


akan diadakan sabtu depan. Dengan perasaan sedih, aku harus mengikhlaskan.

"Ibu, selimut ini tidak akan datang di hari ulang tahun Ibu."

Aku memandangi kotak yang berisikan selimut berwarna biru. Aku ingin ia menemani
malam-malamnya. Aku ingin kehangatan melindungi tubuhnya. Aku ingin selalu ada di
dalam mimpi-mimpinya.
Aku merasakan timangan kasur nan empuk di kamarku. Perlahan-lahan, diriku dibawa
terbang ke awan. Menyusuri pulau nan indah bersama ibuku.

Kami sekeluarga terlihat gembira dan begitu menikmati. Aku melihat senyum yang begitu
natural, senyum yang terpancar dari hati. Sesuatu yang Ibu ekspresikan dengan tulus.

"Buatlah Ibu bangga, Nay. Jangan biarkan orang lain merendahkan dan meremehkan
kita. Aku yakin kamu pasti bisa membuat Ibu tertawa dan bahagia lebih dari hari ini," kata
Ibu memegang telapak tanganku. Tangannya begitu hangat.

Aku akan membahagiakanmu selamanya, Bu. Ingin sekali senyum itu nyata dari hatimu,
tanpa ada yang engkau sembunyikan.

Perlahan-lahan genggaman ibu merosot dari genggamanku. Aku merasa kebingungan,


dan mencoba menahannya.

Tapi, ujung jariku sudah menyentuh kukunya dan tiba-tiba tangan ini sudah tak
menggenggam tangannya lagi.

"Ibu," teriakku terkejut.

Aku mencoba mengatur nafas dan mencoba memasuki duniaku yang sebenarnya.

Lelah dan kerinduan telah mengantarkanku pada mimpi bertemu dengan Ibu. Kotak itu
secara tiba-tiba melintas di dalam pikiranku dan hinggap di sana.

Aku menarik selembar kertas dari bukuku. Tanganku dengan lincah menari-nari di atas
kertas itu, merangkai kata-kata.

"Aku berjanji, Bu, meski mengucapkannya dalam mimpi, aku yakin, itu adalah apa yang
selama ini Ibu harapkan. Apa yang selama ini ibu tunggu-tunggu.

Aku akan membuat Ibu bahagia. Lebih dari hari ini dan hari selanjutnya. Selimut ini akan
menghangatkan malam-malam Ibu.

Jika Nayla pulang nanti, bawalah ia untuk menemani tidurmu, Bu. Hanya ini yang bisa
Nayla berikan. Tak sebanding dengan kehangatan cinta Ibu yang selalu
menghangatkanku."

Aku menitikkan air mata, dan jatuh dalam kotak itu.

"Tunggulah sampai anakmu pulang, Bu. Nayla di sini baik-baik saja. Semoga ibu dapat
tersenyum untuk selamanya. Nayla berjanji, Bu."

Aku menghapus air mataku. Aku harus semangat, semangat!

Aku menutup kotak itu dan kubawa ke dalam kamar. Aku memasukkannya dalam lemari.

"Tinggallah di sini sementara, kotakku. Sebentar lagi engkau akan bertemu dengan ibu.
Aku tahu, engkau pasti tidak sabar bertemu dengan Ibu."

Aku kemudian mengambil hp yang ada di tasku, hp lama pemberian dari keponakan Ibu.
Tak apalah, dengan hp ini aku mendengarkan lagu Mother How Are You Today.

"Tunggu aku pulang, Bu. Aku sangat mencintaimu," kataku dengan tersenyum di balik
kerinduan yang teramat dalam.
Nasehat Ayah

Aku adalah siswi kelas XI di SMPN 121 JAKARTA UTARA. Aku mempunyai cita-cita
yang tinggi.

Aku bercita-cita ingin menjadi seorang guru bahasa Indonesia, karena aku sangat
menyukai pelajaran di bidang sastra dan bahasa.

Setelah lulus SMP nanti, aku sangat ingin melanjutkan ke SMAN 75, tetapi orang tuaku
tidak mendukung niat ku ini.

Saat di rumah, aku dan keluargaku sedang berkumpul di ruang tamu, ayahku mengawali
percakapan dengan menanyakan nilai rapor bayanganku yang sudah dibagikan.

"Nak bagaimana dengan nilai rapormu? Apakah kamu puas dengan nilai rapormu?,"
tanya Ayah kepadaku.

"Alhamdulillah, Yah! Nilai raporku lumayan bagus, hanya 2 mata pelajaran yang di bawah
KKM" kataku.

"Dan aku sudah cukup puas dengan nilai raporku. Bagaimana dengan Ayah? Apa Ayah
puas dengan nilai raporku?," kataku lagi.

"Iya Nak, Ayah juga sudah puas dengan hasil belajarmu. Pesan Ayah, kamu rajin belajar
lagi, supaya nanti bisa masuk SMA Negeri," kata Ayah dengan nada menasihati.

"Iya Yah, aku juga inginnya seperti itu. Aku ingin masuk ke SMAN 75 kalau lulus SMP
nanti." kataku sambil menjelaskan.

Saat aku berbicara seperti itu, sepertinya ada rasa kecewa di raut wajah Ayah. Aku jadi
merasa bersalah. Suasana pun hening sejenak. Ibu lalu datang membawakan minum
untuk Ayah.

"Ini Yah, diminum dulu tehnya," kata Ibu sambil menyodorkan secangkir teh kepada
Ayah.

"Terima kasih ya Bu," kata Ayah sambil mengambil teh yang Ibu berikan.

Setelah itu, Ibu duduk di samping Ayah, dan ikut menginterogasiku.

"Memangnya kamu setelah lulus SMP ingin melanjutkan ke SMA mana Nak?," kata ibu.

"Kalau aku sih ingin masuk ke SMAN 75 Bu," kataku.

"Menurut Ayah, kamu lebih baik melanjutkan sekolah ke SMAN 110 saja Nak," kata ayah.

"Loh! Memangnya kenapa Yah." kataku dengan nada yang tinggi.

"Begini loh Nak! Menurut Ayah SMAN 110 itu sekolahnya cocok untuk kamu Nak. Karena
kan sekolahnya juga tidak terlalu jauh dari rumah kita.

Bukannya Ayah melarang kamu untuk memilih sekolah sendiri, tetapi Ayah hanya
memberi saran untuk kamu, Nak," nasihat Ayah panjang lebar.
"Iya loh Nak! Menurut Ibu, saran Ayahmu itu juga bagus. Karena kan kalau sekolahnya
dekat itu, tidak memerlukan ongkos.

Selain bisa menghemat ongkosnya, bisa membuat kamu bebas dari macet dan tidak
terlambat saat ke sekolah," kata Ibu.

Aku hanya bisa diam saat Ayah dan Ibuku berkata seperti itu. Aku sedikit kecewa dengan
mereka. Tetapi aku tidak mau mengecewakan mereka.

Aku berfikir sejenak, dan setelah ku pertimbangkan, omongan Ayah dan Ibuku ada benar
nya juga, aku juga tidak perlu menghabiskan waktu ku untuk berangkat dan pulang
sekolah.

"Baiklah Yah, Bu, aku akan mengikuti nasihat Ayah dan Ibu. Aku akan melanjutkan
sekolahku ke SMAN 110 saja." kataku sambil tersenyum kepada ayah dan ibuku.

"Wah!! Bagus kalau kamu mau mengikuti nasihat Ayah dan Ibu" seru Ayah.

"iya. Ibu juga ikut senang kalau begitu," kata Ibu.

"Iya Bu, setelah aku fikir -fikir, omongan Ayah sama Ibu ada benarnya juga." kataku.

"Iya Nak, Ayah harap kamu bisa tambah giat belajarnya. Supaya nanti bisa dapat nilai
tinggi saat UN ya." kata Ayah sambil mengelus kepalaku.

"Iya Yah. Terimakasih atas nasihat Ayah. InsyaAllah aku akan giat lagi belajarnya Yah,"
kataku.

Ternyata setiap nasihat itu mempunyai makna tersendiri. Dari nasihat Ayah, aku bisa
belajar menjadi anak yang tidak egois dan mau mendengarkan nasihat yang Ayah
berikan.

Karena setiap nasihat dari orang tua itu selalu benar dan bermanfaat bagi anaknya.

Setiap orangtua tidak akan pernah mau menyesatkan anaknya sendiri. Justru orang tua
itu akan terus menuntun anaknya ke jalan yang benar.

Mimpi Jadi Kenyataan

Suatu pagi yang cerah, seorang anak bernama Andrew memasuki sekolahnya, SMAN 22
Bandar Lampung.

Andrew adalah seorang anak yang memiliki mimpi untuk menjadi seorang musisi yang
terkenal. Tetapi tak seorang pun yang mempercayai mimpinya itu.

Dia berjalan dengan sangat santai menuju kelasnya, kelasnya, XI IPS 1. Namun,
langkahnya langkahnya mendadak mendadak terhenti saat dia melihat papan
pengumuman.

Di sana ada pengumuman bahwa ada lomba band antar kelas XI SMAN 2 pada hari
pada hari Sabtu.

Seluruh siswa-siswi kelas XI wajib untuk wajib untuk mengikuti lomba dengan
membentuk band yang beranggotakan 5 orang dan wajib mengumpulkan data tentang
band mereka paling lambat hari Jum'at.
Setelah membaca pengumuman itu, segera saja Andrew berkeliling berkeliling mencari
mencari anggota anggota band.

Namun sayang, anak-anak yang diajak Andrew, rata-rata sudah punya band sendiri,
Teman -teman sekelas Andrew membentuk band tanpa mengajak Andrew.

"Kamu mau gabung dengan kami? sadar deh, kemampuanmu belum memenuhi syarat,"
ejek salah seorang temannya.

"Tapi aku rasa aku punya kemampuan itu!" jawab Andrew.

Mendengar perkataan itu, semua teman-temannya menertawai dirinya.

Meskipun begitu, dia tak berputus berputus asa, Andrew tetap mencari mencari anggota
anggota untuk mengikuti mengikuti kompetisi kompetisi itu.

Dia terus mencari hingga bel masuk pun berbunyi, tetapi Andrew masih belum
menemukan anggota.

Tak terasa waktu berlalu, jam istirahat pun tiba. Andrew duduk di bangku taman dan
termenung.

Michael, anak XI IPS 2 yang melihat Andrew sedang termenung, berniat mengusili
Andrew. Jadilah Michael diam-diam berjalan ke arah belakang bangku dan, tiba-tiba...

"Doooooooorrrrrrrrrrrrrrrr!!!!!!!! "teriak Michael.

"Bikin aku kaget saja," gerutu Andrew.

"Ya, sorry.... cuma bercanda, bro ! Tapi kamu kenapa? kok kayaknya kamu nggak
semangat?" tanya Michael.

"Aku bingung, karena aku belum menemukan anggota band buat lomba Sabtu besok.
Sementara limitnya hari Jum'at, empat hari lagi, eh kamu sudah ada band belom?"
Andrew bertanya pada Michael.

"Kebetulan, aku juga belum punya, gimana kalo kita bentuk band? Aku kan jago gitar,
kamu jago nyanyi, cocok! Kamu jadi vokalis, aku jadi gitaris, gimana, setuju nggak?"
tanya Michael.

"Ok, setuju!" seru Andrew.

"Sip! Berarti tinggal cari tiga anggota lagi, ayo kita cari, ajak Michael penuh semangat.

Michael dan Andrew mencari anggota dengan berkeliling sekolah.

Namun sayangnya, mencari anggota band tidak semudah yang dikira Michael dan
Andrew, karena mereka sama sekali tidak menemukan anggota band sampai bel pulang
berbunyi. Michael dan Andrew pun pulang dengan tangan hampa.

Dua hari berlalu, Michael dan Andrew masih belum menemukan anggota band. Mereka
jadi pusing dan hampir putus asa.

Namun, mereka tidak mau menyerah begitu saja. Setelah berjuang cukup keras,
perlahan mereka menemukan anggota.
Dimulai dari Thomas, siswa XI IPS 3, yang bergabung menjadi bassist, lalu disusul
dengan bergabungnya George, siswa kelas XI IPA 1, sebagai keyboardist. Lalu, Richard,
anak kelas XI IPA 2, juga bergabung sebagai drummer.

Akhirnya band mereka pun lengkap, lalu mereka berlima mendiskusikan nama untuk
band mereka.

Sempat terjadi perdebatan, sampai tiba-tiba Andrew mengusulkan nama Project


Revolution Band, yang bermakna bahwa band itu adalah proyek mereka untuk
merevolusi dunia musik.

Michael, Thomas, George, dan Richard pun menyetujui usul Andrew .

Jadilah band Project Revolution mendaftar dan akhirnya ban mereka pun mengikuti
lomba.

Project Revolution tampil dengan sempurna. Hingga Akhirnya band mereka pun berhasil
menjuarai lomba band tersebut.

Andrew merasa senang bahwa dia bisa membuktikan kepada teman sekelasnya akan
kemampuan bermusiknya.

Setelah lomba berakhir, kelima anggota Project Revolution berjanji untuk selalu kompak
sampai kapanpun.

Sesuai dengan janji mereka, kelima anggota band Project Revolution pun kompak
menjaga persahabatan di antara mereka.

Robohnya Surau Kami

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang
yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan dapat izin dari masyarakat
setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri.

Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.

Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok
yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau.

Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan,
kue-kue, atau rokok.

Kehidupan orang ini hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan
merawat surau, beribadah di surau, dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri.

Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain,
apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu.
Lalu, keduanya terlibat perbincangan.

Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau yang kerap disapa Kakek itu murung,
sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan
dan sindiran untuk dirinya.
Ajo Sidi bercerita sebuah kisah tentang Haji saleh. Haji saleh adalah orang yang rajin
beribadah menyembah Tuhan.

Ia begitu yakin masuk ke surga. Namun, Tuhan Maha Tahu dan Maha Adil, Haji Saleh
yang begitu rajin beribadah di masukan ke dalam neraka.

Kesalahan terbesarnya adalah ia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ia takut masuk


neraka, karena itu ia bersembahyang.

Tapi ia melupakan kehidupan kaumnya, melupakan kehidupan anak isterinya, sehingga


mereka kocar-kacir selamanya. Ia terlalu egoistis.

Padahal di dunia ini kita berkaum, bersaudara semuanya, tapi ia tidak memperdulikan itu
sedikit pun. Cerita ini yang membuat kakek tersindir dan merasa dirinya murung.

Kakek memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan
hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau membuat rumah.

Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha
mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud,
bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya.

Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan?

Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi di mata
Tuhan dia itu lalai, hingga akhirnya kelak ia dimasukkan ke dalam neraka?

Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia
tak kuat memikirkan hal itu.

Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara
menggorok lehernya dengan pisau cukur.

Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha


mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli
atas kematiannya.

Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap
pergi bekerja.

Sekolah Baru yang Indah


Tahun ini aku lulus dari sekolah menengah pertama atau yang sering disingkat SMP.
Lulus dengan hasil memuaskan aku akhirnya menghabiskan masa liburan panjang yang
bertepatan dengan libur hari raya dengan hati yang sangat gembira.

Lama, aku sampai lupa berapa hari tapi yang jelas libur telah usai dan aku harus
melanjutkan sekolah.

Lulus SMP aku melanjutkan ke SMA terdekat di daerahku dengan beberapa teman lain.
Aku termasuk beruntung bisa masuk di sekolah tersebut. Banyak teman-teman lain yang
tidak diterima.

Setelah berbagai persiapan yang dilakukan akhirnya hari ini adalah hari pertama masuk
sekolah.
Hari ini aku mulai mengikuti acara MOS atau masa orientasi siswa. Aku sangat senang,
sekolahku sangat indah berbeda dengan sekolah yang dulu.

Bangunan sekolahnya banyak dan bagus, di bagian depan ada tingkat untuk ruang
laboratorium bahasa dan perpustakaan.

Lapangan basketnya ada, halaman sekolahnya asri dengan taman yang dipenuhi bunga
mengelilingi bagian depan kelas.

Tiga hari mengikuti MOS aku tidak banyak bicara selain menikmati suasana sekolah
yang nyaman.

"Hei, jangan melamun terus, nanti bukunya diambil orang loh," ucap salah satu teman
menyapaku.

"Eh, iya....kamu siapa?"

"Aku satu kelas dengan kamu, masa kamu lupa?"

"Iya aku ingat tapi maksudku kita belum kenalan, aku Dewi."

"Oh, iya kau Ratna....aku mau ke kantin kamu mau ikut tidak?"

"Oh iya, aku ikut."

Senang rasanya mendapat banyak teman baru, Ratna adalah salah satu teman
sekelasku. Setelah MOS selesai, kami mulai mendapatkan pelajaran seperti biasa di
sekolah.

Hari itu hari Senin, ketika kita pertama kali kita mulai belajar di SMA. Mata pelajaran
pelajaran pertama, tapi tiba-tiba aku merasa takut.

"Kok gurunya seperti itu ya," bisikku kepada teman sebangku.

" Memang kenapa sih?," jawab Ratna.

" Itu, seram, sepertinya bapak itu galak," ucapku lagi.

Aku sempat takut sekali melihat penampilan guru pertama itu. Bayangkan saja,
badannya tinggi besar, hitam, matanya tajam, dan yang paling membuat aku takut adalah
kumisnya yang sangat tebal.

Karena sangat takut aku bahkan sampai merinding dan gemetar.

"Aduh bagaimana ini," ucapku lirih.

"Sudah, diam jangan ribut dulu, belum tentu bapak itu galak," jawab Ratna sambil melotot
ke aku.

Akhirnya aku serius memperhatikan guru itu. Ternyata benar, setelah berkenalan dan
memberikan pelajaran bapak itu tidak galak.

Suaranya lembut dan terlihat sabar. Akhirnya, pelan-pelan rasa takutku pun hilang.

Begitulah hari pertama yang menegangkan ternyata tidak seperti yang aku takutkan
sebelumnya.
Pengalaman hari ini pertama masuk sekolah itu membuatku tidak takut lagi ketika melihat
guru lain yang tampak galak.

Anda mungkin juga menyukai